Anda di halaman 1dari 34

LI.1.

MAMPU MEMAHAMI DAN MENJELASKAN ANATOMI MENINGES, LCS dan


SISTERNA VENTRIKULARIS.
LO.1.1 MAKROSKOPIK
MENINGES
Meninges adalah sistem membran yang melapisi sistem saraf pusat. Meningen tersusun
atas unsur kolagen dan fibril yang elastis serta cairan serebrospinal Meninges terbagi menjadi
tiga lapisan, yaitu durameter, arachnoid dan piameter. Fungsi utama meninges dan kelenjar
serebrospinal adalah untuk melindungi sistem saraf pusat.

Fungsi utama dari meninges meliputi:

Melindungi otak dan sumsum bentuk cedera mekanik tulang belakang


Memberikan darah suply ke tengkorak dan belahan

Menyediakan ruang untuk aliran cairan serebrospinal.

1. DURAMATER
Durameter adalah pembungkus susunan syaraf pusat (otak dan medulla spinalis) paling luar yang
terdiridari jaringan ikat padat. Dalam otak membentuk 5 sekat :
- Falx cerebri
- Tentorium cerebelli
- Falx cerebelli
- Diafragma sellae
- Kantong Meckelli
- Di antara lapis luar dan dalam terdapat sinus (venosus) duraemetris (system vena)
Duramater Encephali
a. Lapis Luar (lapis endosteal=lapis periosteal)
- Melekat erat ke periosteum tengkorak
- Perlekatan terkuat pada sutura dan basis crania
- Lapis luar melekat erat pada foramen occipital magnum
- Celah yang terbentuk antara lapis luar durameter dengan periosterum adalah

CAVUMEPIDURAL, isi dari cavum epidural :


- Jaringan ikat jarang
- Sedikit lemak
- Plexus venosus
- Vena, Arteri, Vasa lymphatica
b.Antara lapis dalam dan luar terjadi
pembentukan sinus duraemetris
c. Lapis Dalam (meningeal)
- Menghadap kearah arachnoidea
- Dilapisi mesotel
- Menghasilkan sedikit serosa berfungsi untuk lubrikasi permukaan dalam durameter dengan
permukaan luar arachnoidea jadi gesekan teredam

Duramater Spinalis
Lapis luar melekat pada :
- Foramen occipital magnum lanjut menjadi durameter encephali
- Periosteum VC 2-3
- Lig. Longitudinal posterior
- Mempunyai cavum epidural dan subdural
- Setinggi os. Sacrale 2, duraeter spinalis membungkus filum terminale dan melekat pada
os.Coccygeus
- Antara L2 dengan S2, cavum epidural diisi oleh caudal equine (untaian NN. Spinals)
- Paling bawah medulla spinallis setinggi VL2 da banyak NN. Spinals

CAVUM SUBDURAL : ruangan antara durameter dengan arachnoidea, yang


mengandung :
- Sedikit serosa untuk meredam gesekan
- Menghubungkan vena cerebri superior kr sinus sagitalis superior : Bridging Vein

2. ARACHNOIDEA-MATER
Arachnoidea-mater selubung jaringan ikat tipis terdiri dari non vaskuler yang
memisahkan duramater dan piamater. Dipisahkan dengan piamater oleh cavum arachnoidea
yang berisi liquor cerebrospinalis.
Arachnoidea Encephali
- Mengahadap durameter dilapisi oleh mesotel
- Tidak memasuki sulci dan gyri kecuali falx dan tentorium
- Permukaan yang menghadap kearah piameter punya pita-pita fibrotic halus, yang disebut
trabecular archnoidea
- Bagian tertentu menonjol ke dalam sinus : villi arachnoidea
- Villi arachnoidea berkembang sesuai dengan usia :
Bayi : belum ditemukan
< 3 tahun : masih jarang
< 7 tahun : merata ditemukan
Arachnoidea Spinalis
- Ke cranial melalui foramen occipital magnum lanjut menjadi arachnoidea encephali
- Ke caudal membentuk filum terminale

3. PIAMATER
Piamater adalah selubung tipis yang kayak dengan pembuluh darah dan langsung
membungkus otak dan medulla spinalis. Antara piameter dengan otak tidak ada rongga. Di
permukaannya ada vassa dan nervus. Dataran luarnya ditutupi oleh villi arachnoidea
Piamater Encephali
- Membungkus seluruh permukaan otak dan cerebellum termasuk sulci dan gyri
- Fisura cerebri tranversa membentuk tela choroidea ventriculi III bergabung dengan ependyma
untuk membentuk plexus choroideus ventriculi IV et lateralis
Piamater Spinalis
- Lebih tebal dan kuat, vasa tidak sebanyak piamater encephali
- VL3 tidak membungkus medulla spinalis (medulla spinalis ujungnya di VL2 atau VL1) dan
membentuk
filum terminale (benang) kemudian bergabung dengan durameter spinalis dan melekat pada
os. Coccygeus dan fiksasi di medulla spinalis
- Terdiri dari dua lapis :
Lapisan luar
Terdiri dari jaringan kolagen yang memanjang
Pada sisi segment medulla spinalis, membentuk lig. denticulatum berjalan antara radix
anterior dengan radix posterior dan melekat pada n. spinalis
Lapisan dalam : melekat pada seluruh permukaan medulla spinalis dan membentuk sekatpada
fisura mediana anterior

LCS
Cairan serebrospinal yang berada di ruang
subarakhnoid merupakan salah satu proteksi untuk
melindungi jaringan otak dan medula spinalis terhadap
trauma atau gangguan dari luar. Pada orang dewasa
volume intrakranial kurang lebih 1700 ml, volume otak
sekitar 1400 ml, volume cairan serebrospinal 52-162 ml
(rata-rata 104 ml)dan darah sekitar 150 ml. 80% dari
jaringan otak terdiri dari cairan, baik ekstrasel maupun
intra sel.

SISTERNA VENTRIKULARIS
Systema ventricularis berasal dari rongga tabung neuralis dan dindingnya dilapisi oleh sel
ependyma. Rongga systema ventricularis diisi oleh liquor cerebrospinalis.

Terdiri dari :
1. Ventriculus Lateralis
Berbentuk huruf C panjang dan menempati kedua hemisphaerum cerebri. Dia berhubungan
dengan ventriculus tertius melalui foramen interventriculare (Monroi) yang terletak di bagian
depan dinding medial ventriculus.
Dibedakan :
Corpus, terletak dalam lobus parietalis
Cornu anterior, terletak dalam lobus frontalis
Cornu posterior, terletak dalam lobus occipitalis
Cornu inferior, terletak dalam lobus temporalis
Atrium s.trigonus, bagian yang terletak dekat splenium, dimana corpus dengan cornu posterior
dan inferior bertemu.

2. Ventriculus Tertius
- Terletak antara kedua thalamus kanan dan kiri.
- Berhubungan dengan ventriculus quartus melalui
aquaeductus cerebri (Sylvii).

3. Ventriculus Quartus
- Terletak antara pons, medulla oblongata bagian atas
dengan cerebellum.
- Ke bawah melanjutkan diri ke canalis centralis yang
terdapat dalam medulla spinalis.
- Ke atas melanjutkan diri ke cavum subarachnoidea
melalui 3 buah lobang di atap ventriculus quartus,
dimana liquor cerebrospinalis memasuki cavum
subarachnoidea tersebut, yaitu :
Foramen Magendie : pada ujungg bawah linea mediana
dari atap ventriculus IV.
Sepasang Foramina Luschka : pada ujung recessus lateralis ventriculus quartus antara
flocculus cerebelli dengan N.glossopharyngeus.

4. Ventriculus Terminalis
Merupakan ujung paling bawah caudalis centralis yang sedikit melebar.

LO.1.2 MIKROSKOPIK
MENINGEN
A. Duramater
Duramater adalah jaringan ikat kolagen, yang
terletak di permukaan paling atas dari meningens.
Cavum Epidural memisahkan duramater dan
periosteum.Terdiri dari lapisan luar dan lapisan dalam.
Lapisan luar (endosteum) merupakan jaringan ikat padat
dengan banyak pembuluh darah dan saraf. Lapisan
dalam (fibrosa) kurang mengandung pembuluh darah,
dilapisi epitel selapis gepeng di mesoderm.
B. Arachnoid
-Membran tipis, halus non vaskuler , fibrosit gepeng
yang menempel ke permukaan duramater
-Membran arachnoid dan trabekulanya, tersusun dari
serat-serat kolagen halus dan serat elastis
-Semua permukaan dilapisi oleh lapisan yang kontinyu terdiri dari epitel selapis gepeng.
C. Piamater
Piamater terdiri dari serat kolagen di sepanjang permukaan substansia alba (white matter)
dan fibrosit gepeng membentuk garis di sepanjang cavum subarachnoid. Terdapat ligament
denticulate yang memanjang dari piamater ke duramater. Ligamen denticulate adalah
pelebaran dari serat kolagen pia mater.Lapisan piamater yang lebih superfisial, tersusun dari
anyaman-anyaman jaring serat kolagen, yang berhubungan dengan arachnoid dan lebih nayat
pada medulla spinalis. Lapisan dalam terdiri dari serat-serat retikular dan elastin yang halus,
lapisan tersebut memberi septum median posterior yang fobrosa ke dalam subtansia medulla
spinalis. Permukaan piamater tertutup epitel selapis gepeng, yang melanjutkan diri menjadi sel-
sel yang melapisi jaringan arachnoid.

LCS
CSS dibentuk dalam pleksus koroid di semua empat ventrikel otak dan mereka tersebar di
semua ventrikel. Pleksus koroid terdiri dari sel-sel ependymal dan kapiler yang melekat pada pia
mater dan menciptakan CSF. Silia dari mereka menonjol ke dalam ruang dalam ventrikel. Di
bawah sel ependymal adalah kapiler. Plasma darah berdifusi keluar kapiler dan bergerak ke
dalam sel ependymal. Setelah plasma darah keluar, hal itu disebut CSS. Komposisi CSS ini
adalah air, sodium, glukosa, oksigen, vitamin, dll

SISTERNA VENTRIKULARIS
Sel ependim melapisi dinding rongga ventriculus di otak
dan kanalis sentralis medula spinalis
Plexus Choroidalis merupakan lipatan-lipatan invaginasi
piamater yg menembus ventrikel. Terdiri dari jaringan
penyambung piamater, dilapisi oleh epitel selapis kuboid atau
torak rendah yg berasal dr neural tube menghasilkan cairan
cerebrosipnalis (LCS)

LI.2 MAMPU MEMAHAMI DAN MENJELASKAN FISIOLOGI LCS


Cairan serebrospinal adalah cairan yang berada diotak dan sterna serta ruang subrachnoid
yang mengelilingi otak dan medulla spinalis. Cairan serebrospinal mempunyai tekanan yang
konstan, dan seluruh ruangan berhubungan satu sama lain.
Secara anatomis, cairan serebrospinal ditemukan dalam ruang-ruang otak (ventrikel otak), yaitu
pada:

Ruang subarachnoid
Ventrikel otak
Kanal sentralis medula spinalis.

Cairan serebrospinal (CSS) diproduksi dari aliran darah arterial oleh pleksus koroideus ventrikel
ke-4 dan ke-3 otak melalui proses difusi, pinositosis, dan transpor aktif. Sebagian kecil CSS
diproduksi oleh sel ependim.

Fungsi :

1. Menyokong dan melindungi otak dan spinal cord


2. Sebagai shock absorber antara otak dan tulang cranium (otak dan CSF memiliki
gaya berat spesifik yang kurang-lebih sama sehingga otak dapat dengan aman terapung
dalam cairan ini)
3. Menjaga agar otak dan spinal cord tetap basah sehingga memungkinkan
pertukaran zat antara CSF dan sel saraf
4. Mempertahankan tekanan intracranial
5. Transportasi nutrisi bagi jaringan saraf mengangkut produk sisa
6. Sebagai buffer / lingkungan yang baik bagi jaringan saraf
7. Menjaga hemeostatis dengan cara:
- Mechanical protection (sebagai bantalan untuk jaringan lunak otak & medulla spinalis.)
- Sirkulasi (sebagai tempat pertukaran nutrien dan zat buangan antara darah dan jaringan
saraf)
- Chemical protection (melindungi otak & medulla spinalis dari bahan kimia yang
berbahaya)

LO.2.1 SIRKULASI
Keterangan:

Cairan bergerak dari ventrikel lateral melalui foramen interventrikular (Munro) menuju ventrikel
ke-3 otak (tempat cairan semakin banyak karena ditambah oleh plexus koroid) melalui aquaductus
cerebral (Sylvius) menuju ventrikel ke-4 (tempat cairan ditambahkan kembali dari pleksus koroid)
melalui tiga lubang pada langit-langit ventrikel ke-4 bersirkulasi melalui ruang subarakhnoid, di
sekitar otak dan medulla spinalis direabsorsi di vili arakhnoid (granulasi) ke dalam sinus vena pada
duramater kembali ke aliran darah tempat asal produksi cairan tersebut.

LO.2.2 PEMERIKSAAN LCS


Normal performance of CSF
Jernih (tidak berwarna) seperti air.
Ditemukan sel-sel mononuclear (limfosit 2 5 sel/ml dan monosit).
Tidak ditemukan mikroorganisme
Sifatnya basa / alkali
Tidak berbau

Pengambilan dan Transpor Spesimen


- Kira-kira 5-10 ml LCS ditampung dalam dua tabung steril melalui pungsi lumbal/pungsi
ventrikel. Disinfeksi kulit wajib dilakukan.
- Sebagian specimen LCS akan digunakan untuk pemeriksaan sitology dan kimia, dan sisanya
untuk mikrobiologi.
- Spesimen harus segera dikirim ke lab, dan diproses secepatnya, karena sel mengalami
disintegrasi dengan cepat.

A. MAKROSKOPIS
Untuk pemeriksaan makroskopis selalu bandingkan cairan serebrospinal dengan aquadest untuk
melihat kelainan yang ringan.
1. Warna
Cairan otak normalnya jernih seperti aquadest. Jika ada warna kemungkinannya antara lain :
a. Merah
Warna merah disebabkan karena adanya darah. Harus dibedakan antara darah karena trauma
pungsi atau perdarahan subarachnoidal. Jika darah berasal dari pungsi, maka dalam tabung
pertama terdapat yang terbanyak, tabung kedua dan ketiga makin kurang jumlahnya. Jika
dibiarkan atau di sentrifugasi cairan serebrospinal jernih dan darah akan membentuk bekuan.
Pada perdarahan subarachnoidal, darah pada ketiga tabung sama jumlahnya dan tidak akan
membeku serta cairan serebrospinal berwarna kuning.
b. Coklat
Warna coklat menunjukkan adanya perdarahan yang tua dan disebabkan oleh eritrosit yang
mengalami hemolisis. Cairan serebrospinal berwarna kuning setelah disentrifugasi.
c. Kuning (xanthokromi)
Disebabkan karena adanya perdarahan tua, mungkin juga karena ikterus berat oleh kadar
protein yang tinggi.
d. Keabu-abuan
Disebabkan oleh leukosit dalam jumlah besar seperti didapat pada radang purulen.
2. Kekeruhan
Untuk menguji kekeruhan, cairan serebrospinal dibandingkan dengan tabung berisi aqua
destillata. Pada keadaan normal, cairan otak sejernih aquadest. Umumnya kekeruhan dapat
disebabkan oleh darah, sel-sel peradangan (epitel dan leukosit) dan oleh kuman-kuman.
Penambahan jumlah sel (pleiositosis) tidak selalu disertai dengan kekeruhan. Seperti pada
ensefalitis, meningitis tuberkulosa, meningitis sifilitika dan poliomyelitis.
Pada umumnya sebanyak 200 sel/ul atau kurang tidak menyebabkan kekeruhan yang
dapat dilihat. Kadar 200-500 sel/ul membuat cairan sedikit keruh dan kadar lebih dari 500
sel/ul menimbulkan kekeruhan. Kekeruhan yang jelas terjadi pada meningitis purulenta.
Laporan untuk hasil pemeriksaan : jernih, agak keruh, keruh atau sangat keruh.
3. Sedimen
Cairan otak normal walaupun disentrifugasi tidak akan menimbulkan sedimen sedikitpun.
Adanya sedimen merupakan adanya abnormalitas. Jumlah sedimen berbanding lurus dengan
kekeruhan otak.
4. Bekuan
Cairan otak normal walaupun didiamkan tidak akan membentuk bekuan karena tidak
mengandung fibrinogen. Jika terjadi bekuan, laporkan
wujud bekuan apakah halus sekali, menyusun keping-keping, menyusun serat-serat, berupa
selaput atau ada bekuan yang kasar dan besar. Bekuan terjadi apabila terdapat fibrinogen di
cairan serebrospinal dan biasanya disertai dengan bertambanya protein (albumin dan globulin).

B. MIKROSKOPIS
1. Menghitung Jumlah Sel
Pemeriksaan ini harus segera dilakukan sebaiknya dalam waktu setengah jam setelah
mendapat cairan serebrospinal karena leukosit-leukosit sangat cepat rusak. Dalam keadaan
normal didapat 0-5 sel/ul cairan karena itu dipakai pengenceran dan kamar hitung yang
berlainan dengan cara menghitung leukosit dalam darah. Kamar hitung yang sering dan
sebaiknya digunakan ialah menurut Fuchs-Rosenthal, tinggi kamar hitung 0,2 mm dan
luasnya 16 mm2. Larutan pengencer adalah larutan Turk pekat.
Dalam keadaan normal didapat 0-5 sel/ul cairan serebrospinal. Jika terdapat eritrosit,
eritrosit tersebut tidak dihitung. Bila ditemukan 6-10 sel/ul cairan termasuk batas keadaan
abnormal, sedangkan lebih dari 10 sel/ul berarti abnormal. Pada anak-anak di bawah umur 5
tahun sampai 20 sel/ul masih dalam kisaran normal.
Jika ada lesi setempat yang bersifat menahun dan degeneratif yang tidak disertai radang
atau radang yang sangat ringan, jumlah sel tidak meningkat atau hanya meningkat sedikit
saja. Misalnya pada keadaan meningismus, tumor otak tanpa komplikasi dan sklerosis
multipel. Poliomyelitis, ensefalitis dan neurosifilis disertai pleiositosis ringan sampai 200
sel/ul, begitu juga dengan meningitis tuberkulosa. Jumlah sel yang besar sekali didapat pada
meningitis acuta purulenta.
2. Menghitung Jenis Sel
Meskipun dalam cairan serebrospinal ada lebih dari dua jenis sel, namun hanya dibuat
perbedaan antara sel yang berinti satu (limfosit) dan yang polinuklear (segmen). Jika jumlah
sel tidak terlalu banyak, yaitu kurang dari 50/ul sudah cukup untuk membuat hitung jenis dari
kamar hitung saja dengan hanya membedakan limfosit dari segmen. Jika jumlahnya lebih
besar, cara tersebut tidak dapat digunakan.
Dalam keadaan normal hanya ditemukan limfosit saja. Pada infeksi ringan yang menahun
dan disertai pleiositosis sedang, meningitis tuberkulosa dan meningitis sifilitika ditemukan
terutama sel limfosit. Pada peradangan mendadak oleh causa manapun (misalnya
meningococci dan pneumococci) ditemukan sel-sel segmen. Jumlah segmen besar dapat
ditemukan pula pada infeksi pyogen setempat seperti abses serebral atau ekstradural. Jumlah
segmen yang meningkat menandakan proses sedang menghebat sedangkan bila limfosit
bertambah maka proses tersebut mereda.
3. Bakterioskopi
- Kuman yang paling sering terdapat di dalam cairan serebospinal adalah M. tuberculosis,
meningococci, pneumococci, streptococci dan H. influenzae. Pemeriksaan bakteriologi
berguna untuk mengetahui etiologi radang. Pewarnaan yang dipakai adalah pulasan
menurut Gram dan Ziehl-Nielsen atau Kinyoun. Sedimen merupakan bahan pemeriksaan.
- Pulasan terhadap batang tahan asam baik dilakukan dengan bekuan halus atau dengan
selaput permukaan sebagai bahan pemeriksaan pada meningitis tuberkulosa.
- Pemeriksaan bakteriologi yang baik adalah dengan langsung menampung cairan
serebrospinal dari jarum pungsi ke dalam medium biakan. Jika hal tersebut tidak mungkin
dilakukan, segera kirim bahan tersebut dalam tabung steril ke laboratorium secepatnya. Jika
terpaksa menunggu, simpan tabung di dalam lemari pengeram 37oC.

C. PEMERIKSAAN KIMIA
1. Protein
Pemeriksaan protein dalam cairan serebrospinal adalah yang paling penting di antara
pemeriksaan kimia. Pemeriksaan dapat dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif.
Jika ada darah dalam cairan serebrospinal, hasil pemeriksaan tidak ada artinya lagi (dengan
cara manapun).
a. Tes Busa
Merupakan tes kasar terhadap kadar protein yang sangat meningkat. Jika cairan serebrospinal
normal dikocok kuat-kuat, maka busa yang muncul hanya sedikit dan menghilang lagi
setelah didiamkan 1-2 menit. Jika kadar protein sangat tinggi, lebih banyak busa yang
terbentuk dan tidak hilang setelah didiamkan selama 5 menit.
b. Tes Pandy
Reagens Pandy, yaitu larutan jenuh fenol dalam air bereaksi dengan globulin dan albumin.
Tes Pandy mudah dilakukan pada waktu pungsi dan sering dijalankan sebagai bedside test.
Dalam keadaan normal tidak akan terjadi kekeruhan atau kekeruhan yang sangat ringan
berupa kabut halus. Semakin tinggi kadar protein, semakin keruh hasil reaksi. Penilaian harus
segera dilakukan setelah pencampuran cairan serebrospinal dengan reagens.
Hasil negatif bila tidak terdapat kekeruhan atau kekeruhan yang sangat halus berupa kabut.
Hasil positif bila terdapat kekeruhan yang lebih berat.
c. Tes Nonne
Reagens yang digunakan adalah larutan jenuh amoniumsulfat. Tes Nonne digunakan untuk
mengukur kadar globulin dalam cairan serebrospinal. Tes Nonne juga sering digunakan
sebagai bedside test pada waktu mengambil cairan serebrospinal dengan pungsi.
Hasil negatif apabila tidak terjadi kekeruhan pada perbatasan. Hasil positif apabila terbentuk
cincin keruh pada perbatasan. Semakin tinggi kadar globulin semakin tebal cincin keruh yang
terjadi.
Tes Nonne lebih bermakna dibandingkan Tes Pandy karena cairan serebrospinal dalam
keadaan normal pada Tes Nonne menunjukkan hasil negatif.
d. Penetapan Protein Kuantitatif
Kadar protein dapat diukur dengan cara :
Fotokolorimetri
Dengan mengukur absorbansi larutan setelah membuat warna dengan reaksi biuret atau
mengukur warna hasil reaksi warna dengan tirosin atau triptofan.
Turbidimetri
Diukur kekeruhan yang timbul oleh reaksi antara protein dan asam sulfosalisilat atau
reagens lain yang mengendapkannya.
Batas-batas normal kadar protein dipengaruhi oleh tempat pengambilan cairan otak.
Semakin kranial, semakin kurang kadar protein.
Lokasi Kadar Protein
Ventriculi 5-15 mg/dL
Cisterna Magna 10-25 mg/dL
Lumbal 15-40 mg/dL

e. Dalam keadaan normal terdapat protein terutama albumin yang ada di dalam cairan
serebrospinal. Pada keadaan patologik globulin-globulin juga akan muncul beserta
fibrinogen. Dalam cairan serebrospinal juga terdapat fraksi-fraksi protein yang diukur dengan
menggunakan elektroforesis dan imunoelektroforesis sebagai berikut :
Fraksi Protein Kadar
Prealbumin 4,6 1,3%
Albumin 49,5 6,5%
-1-globulin 6,7 2,1%
-2-globulin 8,3 2,1%
-globulin 18,5 4,8%
-globulin 8,2 2,7%
Perubahan dalam konsentrasi fraksi-fraksi protein dapat dihubungkan dengan kelainan
neurologis tertentu. Pada banyak keadaan abnormal kadar protein total meningkat. Kadar
protein yang sangat tinggi (200-1000 mg/dL) ditemukan pada meningitis purulenta,
perdarahan subarachnoidal dan jika ada suatu penyumbatan. Hampir semua macam penyakit
organik pada susunan saraf pusat disertai meningginya kadar protein, derajat meningkatnya
protein sesuai dengan beratnya lesi.
2. Glukosa
Penetapan glukosa harus dikerjakan dengan cairan serebrospinal segar karena sel-sel dan
mikroorganisme akan mengurangi jumlahnya. Kadar normal glukosa 50-80 mg/dL atau kira-
kira setengah dari kadar dalam plasma, maka sebaiknya selalu melakukan penetapan kadar
glukosa darah.
Indikasi terutama untuk pasien dugaan meningitis. Pada meningitis bakterial kadar
glukosa menurun. Kadar normal disertai pleiositosis ditemukan pada peradangan nonbakterial.
Pada meningitis purulenta kadar glukosa turun, mungkin hingga mencapai nol. Kadar glukosa
biasanya tidak berubah pada ensefalitis, tumor otak dan neurosifilis.
Pemakaian metode carik celup pada pemeriksaan glukosa cairan serebrospinal tidak
dianjurkan.
3. Klorida
Seperti glukosa, kadar klorida dalam cairan serebrospinal turut naik turun dengan kadar
klorida dalam plasma darah, maka perlu penetapan kadar klorida serum. Dalam keadaan
normal kadar klorida dalam cairan serebrospinal 720-750 mg/dL (disebut sebagai NaCl).
Sedangkan nilai normal dalam serum 550-620 mg/dL (sebagai NaCl). Penetapan kadar klorida
berguna pada diagnosis meningitis. Pada meningitis akuta kadar akan menurun hingga kurang
dari 680 mg/dL. Pada meningitis tuberkulosa terjadi penurunan sangat drastis, biasanya sampai
kurang dari 600 mg/dL. Peradangan setempat, peradangan nonbakterial, tumor otak, ensefalitis,
poliomyelitis dan neurosifilis tidak disertai perubahan kadar klorida.
4. Koloid
Apabila cairan serebrospinal normal diencerkan secara berderet dengan larutan garam
kemudian dicampur dengan suatu suspensi koloidal maka keadaan koloid tidak akan terganggu
olehnya. Tetapi jika cairan serebrospinal abnormal, keadaan akan berubah dan akan terlihat
perubahan warna atau presipitasi dalam koloid itu. Perubahan yang terjadi dalam larutan koloid
tidak secara uniform dengan semua pengenceran, melainkan akan memperlihatkan perubahan
maksimal pada pengenceran rendah, yang pertengahan atau yang tinggi (first zone, mid zone
atau end zone).
Dasar reaksi ini berkaitan dengan kadar protein dan dengan perubahan kuantitatif dan
kualitatif pada fraksi-fraksi protein.
Derajat perubahan dalam suspensi koloid biasanya dinilai dengan angka 0 (tanpa perubahan)
sampai 5 (perubahan total).

D. LUMBAL PUNGSI
Lumbal Pungsi adalah suatu cara pengambilan cairan cerebrospinal melalui pungsi pada
daerah lumbal atau upaya pengeluaran cairan serebrospinal dengan memasukan jarum ke dalam
ruang subarachnoid.

Pemeriksaan ini bisa bertujuan :


- pemeriksaan cairan serebrospinal
- mengukur dan mengurangi tekanan cairan serebrospinal
- menentukan ada tidaknya darah pada cairan serebrospinal
- mendeteksi adanya blok subarakhnoid spinal
- memberikan antibiotic intrathekal ke dalam kanalis spinal terutama kasus infeksi
Indikasi
- Kejang
- Paresis atau paralisis termasuk paresis Nervus VI (Nervus Abdusens)
- Pasien koma
- Ubun ubun besar menonjol
- Kaku kuduk dengan kesadaran menurun
- Tuberkolosis milier (TB Milier seluruh paru)
Kontra Indikasi
- Syok/renjatan
- Infeksi lokal di sekitar daerah tempat pungsi lumbal
- Peningkatan tekanan intracranial (oleh tumor, space occupying lesion,hedrosefalus) karena
akan menyebabkan CSS otak akan sangat menurun, dan akan membawa kepada kehilangan
kesadaran
- Gangguan pembekuan darah yang belum diobati
Keuntungan :
LP sangat penting untuk alat diagnosa. Prosedur ini memungkinkan melihat bagian dalam
seputar medulla spinalis, yang mana memberikan pandangan pada fungsi otak juga. Prosedur ini
relative mudah untuk dilaksanakan dan tidak begitu mahal. Dokter yang berpengalaman, LP akan
menurunkan angka komplikasi. Ia akan melakukannya dengan cepat dan dilaksanakan di tempat
tidur pasien.
Kerugian :
1. Nyeri kepala hebat akibat kebocoran CSF.
2. Meningitis akibat masuknya bakteri ke CSF.
3. Paresthesia/ nyeri bokong atau tungkai.
4. Injury pada medulla spinalis.
5. Injury pada aorta atau vena cava, menyebabkan perdarahan serius.
6. Herniasi otak. Pada pasien denga peningkatan tekanan, tiba-tiba terjadi penurunan tekanan
akibat lumbar puncture, bisa menyebabkan herniasi kompressi otak terutama batang otak.
Komplikasi
- Sakit kepala
- Infeksi
- Iritasi zat kimia terhadap selaput otak
- Jarum pungsi patah
- Herniasi
- Tertusuknya saraf oleh jarum pungsi
Alat dan Bahan
- Sarung tangan steril
- Duk lubang
- Kassa steril, kapas dan plester
- Jarum pungsi lumbal no. 20 dan 22 beserta stylet
- Antiseptic: povidon iodine dan alcohol 70%
- Tabung reskasi untuk menampung cairan serebrospinal
Anestesi local
- Spuit dan jarum untuk memberikan obat anestesi local
- Obat anestesi loka (lidokian 1% 2 x ml), tanpa epinefrin
- Tempat sampah.
Persiapan Pasien
Pasien diposisikan tidur lateral pada ujung tempat tidur dengan lutut ditarik ke abdomen. Catatan
: bila pasiennya obesitas, bisa mengambil posisi duduk di atas kursi, dengan kursi dibalikan dan
kepala disandarkan pada tempat sandarannya.
Prosedur Pelaksanaan
1. Lakukan cuci tangan steril
2. Persiapkan dan kumpulkan alat-alat
3. Jamin privacy pasien
4. Bantu pasien dalam posisi yang tepat, yaitu
pasien dalam posisi miring pada salah satu
sisi tubuh. Leher fleksi maksimal (dahi
ditarik kearah lutut), eksterimitas bawah
fleksi maksimum (lutut di atarik kearah
dahi), dan sumbu kraniospinal (kolumna
vertebralis) sejajar dengan tempat tidur.
5. Tentukan daerah pungsi lumbal diantara
vertebra L4 dan L5 yaitu dengan menemukan
garis potong sumbu kraniospinal (kolumna
vertebralis) dan garis antara kedua spina
iskhiadika anterior superior (SIAS) kiri dan kanan. Pungsi dapat pula dilakukan antara L4 dan
L5 atau antara L2 dan L3 namun tidak boleh pada bayi
6. Lakukan tindakan antisepsis pada kulit di sekitar daerah pungsi radius 10 cm dengan larutan
povidon iodine diikuti dengan larutan alcohol 70 % dan tutup dengan duk steril di mana daerah
pungsi lumbal dibiarkan terbuka
Tentukan kembali daerah pungsi dengan menekan ibu jari tangan yang telah memakai sarung
tangan steril selama 15-30 detik yang akan menandai titik pungsi tersebut selama 1 menit.
7. Anestesi lokal disuntikan ke tempat tempat penusukan dan tusukkan jarum spinal pada tempat
yang telah di tentukan. Masukkan jarum perlahan lahan menyusur tulang vertebra sebelah
proksimal dengan mulut jarum terbuka ke atas sampai menembus durameter. Jarak antara kulit
dan ruang subarakhnoi berbeda pada tiap anak tergantung umur dan keadaan gizi. Umumnya
1,5 2,5 cm pada bayi dan meningkat menjadi 5 cm pada umur 3-5 tahun. Pada remaja
jaraknya 6-8 cm.
8. Lepaskan stylet perlahan lahan dan cairan keluar. Untuk mendapatkan aliran cairan yang
lebih baik, jarum diputar hingga mulut jarum mengarah ke cranial. Ambil cairan untuk
pemeriksaan.
9. Cabut jarum dan tutup lubang tusukkan dengan plester
10. Rapihkan alat-alat dan membuang sampah sesuai prosedur rumah sakit
11. Cuci tangan

Interpretasi hasil pemeriksaan :


Cairan spinal tersebut dibiarkan naik pada pipa kaca sampai setinggi-tingginya. Jika nilainya
naik sampai setinggi 136 mm di atas tingkat jarum tersebut, tekanannya dikatakan 136 mm air
atau, dibagi dengan 13,6 yang merupakan berat jenis air raksa, kira-kira 10 mmHg.

LI.3 MAMPU MEMAHAMI DAN MENJELASKAN KEJANG DEMAM


LO.3.1 DEFINISI
Kejang demam (Febrile Convulsion) merupakan salah satu kelainan neurologis yang
paling sering dijumpai pada bayi dan anak, biasanya menyerang pada anak berusia 3 bulan
sampai dengan 5 tahun. Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan
suhu tubuh (suhu rectal diatas 38 C) yang disebabkan oleh berbagai hal.
4 tempat pengukuran suhu :

Rentang; rerata Dema


Tempat m
Jenis termometer suhu normal
pengukuran
(oC) (oC)
Air raksa, 34,7 37,3;
Aksila 37,4
elektronik 36,4

Air raksa, 35,5 37,5;


Sublingual 37,6
elektronik 36,6

Air raksa, 36,6 37,9;


Rektal 38
elektronik 37

Emisi infra 35,7 37,5;


Telinga 37,6
merah 36,6

LO.3.2 ETIOLOGI
1. Demam itu sendiri
Oleh karena infeksi : infeksi saluran pernafasan atas(ISPA), otitis media, pneumonia,
gastroenteritis, dan infeksi saluran kemih, kejang tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi.
Dan karena imunisasi.
2. Efek produk toksik daripada mikroorganisme (kuman, virus) terhadap otak
3. Respons alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh karena infeksi
4. Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit
5. Ensefalitis viral ( radang otak akibat virus) yang ringan yang tidak diketahui atau
ensefalopati toksisk sepintas

Faktor Resiko :

Demam
Riwayat kejang demam pada orang tua atau sudara kandung
Perkembangan terlambat
Problem pada masa neonates
Anak dalam perawatan khusus
Kadar natrium rendah
Resiko rekurensi meningkat pada :
Usia dini
Cepatnya anak mendapat kejang setelah demam timbul
Temperatur yang rendah saat kejang
Riwayat keluarga kejang demam
Riwayat keluarga epilepsi

LO.3.3 EPIDEMIOLOGI
A. Frekuensi
-Amerika Serikat
Antara 2% sampai 5% anak mengalami kejang demam sebelum usianya yang ke 5. Sekitar 1/3
dari mereka paling tidak mengalami 1 kali rekurensi.
-Internasional
Kejadian kejang demam seperti di atas serupa di Eropa. Kejadian di Negara lain berkisar
antara 5 sampai 10% di India, 8.8% di Jepang, 14% di Guam, 0.35% di Hong Kong, dan 0.5-
1.5% di China.
B. Mortalitas/Morbiditas
Kejang demam biasanya tidak berbahaya. Anak dengan kejang demam memiliki resiko
epilepsy sedikit lebih tinggi dibandingkan yang tidak (2% : 1%). Faktor resiko untuk epilepsy
di tahun-tahun berikutnya meliputi kejang demam kompleks, riwayat epilepsy atau kelainan
neurologi dalam keluarga, dan hambatan pertumbuhan. Pasien dengan 2 faktor resiko tersebut
mempunyai kemungkinan 10% mendapatkan kejang demam.
C. Ras : semua ras.
D. Jenis kelamin : Beberapa penelitian menunjukkan kejadian lebih tinggi pada pria.
E. Usia : Kejang demam terjadi pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun

LO.3.4 KLASIFIKASI
1. Kejang Demam Sederhana (Simple Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala klinis sebagai
berikut:
Kejang berlangsung singkat, < 15 menit
Kejang umum tonik dan atau klonik

Umumnya berhenti sendiri

Tanpa gerakan fokal atau berulang dalam 24 jam

2. Kejang Demam Komplikata (Complex Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala klinis sebagai
berikut:

Kejang lama, > 15 menit


Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam

LO.3.5 PATOFISIOLOGI
Untuk mempertahankan hidupnya, sel otak membutuhkan energi yaitu senyawa glukosa yang
didapat dari proses metabolisme sel. Sel - sel otak dikelilingi oleh membran yang dalam keadaan
normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion Kalium (K +) dan sangat sulit
dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit lain kecuali Clorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi ion
K+ di dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi ion Na + rendah. Keadaan sebaliknya terjadi di luar
sel neuron. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di
dalam dan di luar sel tersebut maka terjadi beda potensial
yang disebut Potensial Membran Sel Neuron. Untuk
menjaga keseimbangan potensial membran sel diperlukan
energi dan enzim Na-K-ATP ase yang terdapat di
permukaan sel. Keseimbangan potensial membran ini dapat
diubah.
Sebuah potensial aksi akan terjadi akibat adanya
perubahan potensial membran sel yang didahului dengan
stimulus membrane sel neuron. Saat depolarisasi, channel
ion Na+ terbuka dan channel ion K+ tertutup. Hal ini
menyebabkan influx dari ion Na+, sehingga menyebabkan
potensial membran sel lebih positif, sehingga terbentuklah
suatu potensial aksi.
Dan sebaliknya, untuk membuat keadaan sel neuron repolarisasi, channel ion K + harus
terbuka dan channel ion Na+ harus tertutup, agar dapat terjadi efluks ion K + sehingga
mengembalikan potensial membran lebih negatif atau ke potensial membrane istirahat.
LO.3.6 MANIFESTASI

Kebanyakan kejang demam berlangsung singkat, bilateral, serangan berupa klonik atau
tonik-klonik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak memberi
reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak terbangun dan sadar
kembali tanpa adanya kelainan saraf.

Kejang demam dapat berlangsung lama dan/atau parsial. Pada kejang yang unilateral
kadang-kadang diikuti oleh hemiplegi sementara (Todds hemiplegia) yang berlangsung beberapa
jam atau bebarapa hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiplegi yang menetap.

1. Anak mengalami demam (terutama demam tinggi atau kenaikan suhu tubuh yang terjadi
secara tiba-tiba), kejang tonik-klonik atau grand mal, pingsan yang berlangsung selama 30
detik - 5 menit (hampir selalu terjadi pada anak-anak yang mengalami kejang demam).
2.Kejang dapat dimulai dengan kontraksi yang tiba-tiba pada otot kedua sisi tubuh anak.
Kontraksi pada umumnya terjadi pada otot wajah, badan, tangan dan kaki.
Saat kejang, anak akan mengalami berbagai macam gejala seperti :
- Anak hilang kesadaran
- Tangan dan kaki kaku atau tersentak-sentak
- Sulit bernapas
- Busa di mulut
- Wajah dan kulit menjadi pucat atau kebiruan
- Mata berputar-putar, sehingga hanya putih mata yang terlihat
3. Anak dapat menangis atau merintih akibat kekuatan kontaksi otot. Anak akan jatuh apabila
dalam keadaan berdiri.
4. Postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh yang biasanya berlangsung selama 10-
20 detik), gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang kuat dan berirama, biasanya
berlangsung selama 1-2 menit), lidah atau pipinya tergigit, gigi atau rahangnya terkatup rapat,
inkontinensia (mengeluarkan air kemih atau tinja diluar kesadarannya), gangguan pernafasan,
apneu (henti nafas), dan kulitnya kebiruan.

LO.3.7 DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING


A. ANAMNESIS
- Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang, suhu sebelum/saat kejang, frekuensi,
interval, pasca kejang, penyebab kejang di luar SSP.
-Tidak ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya.
-Riwayat kelahiran, perkembangan, kejang demam dalam keluarga, epilepsi dalam keluarga
(kakak-adik, orangtua).
-Suhu sebelum / saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval kejang, keadaan anak pasca
kejang, penyebab demam di luar infeksi susunan saraf pusat ( gejala infeksi saluran napas akut
/ ISPA, infeksi saluran kemih (ISK), otitis media akut (OMA) dll,
-Kesadaran : Sebelum dan sesudah kejang (menyingkirkan diagnosis meningoensefalitis)
-Singkirkan penyebab kejang yang lain ( misalkan diare, muntah yang mengakibatkan
gangguan elektrolit, sesak yang mengakibatkan hipoksemia, asupan kurang yang dapat
menyebabkan hipoglikemik.

B. PEMERIKSAAN FISIK & NEUROLOGIS


-Keadaan umum, kesadaran, suhu tubuh, tekanan darah, nadi, napas, tanda rangsang
meningeal, tanda peningkatan tekanan intrakranial, dan tanda infeksi di luar SSP
-Pemeriksaan sistemik (kulit, kepala, kelenjer getah bening, rambut,mata , telinga, hidung,
mulut, tenggorokan, leher, thorax : paru dan jantung, abdomen, alat kelamin, anus, ekstremitas
: refilling kapiler, reflek fisiologis dan patologis, tanda rangsangan meningeal)
-Status gizi (TB, BB, Umur, lingkar kepala) .
-Pada umumnya tidak dijumpai adanya kelainan neurologis, termasuk tidak ada kelumpuhan
nervi kranialis

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
C.1 Pemeriksaan laboratorium
Tidak dilakukan secara rutin, namun untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam,
atau
keadaan lain. Pemeriksaan yang dapat dikerjakan, beberapa contohnya adalah pemeriksaan
darah perifer, elektrolit dan gula darah
C.2 Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan
kemungkinan meningitis, dianjurkan pada:
-Bayi kuang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan
-Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan
-Bayi >18 bulan tidak rutin
C.3 Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya kejang, atau
memprediksi berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada
pasien kejang demam. Oleh karena itu tidak direkomendasikan.
C.4 Pencitraan (Imaging)
-Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti CT-scan atai MRI jarang sekali dikerjakan, tidak
rutin
-dan hanya atas indikasi seperti:
-Kelainan neurologic fokal yang menetap (hemiparesis)
-Paresis nervus VI
-Papiledema

DIAGNOSIS BANDING
Menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang, harus dipikirkan apakah
penyebab kejang itu di dalam atau diluar susunan saraf pusat. Kelainan di dalam otak biasanya
karena infeksi, misalnya meningitis, ensefalitis, abses otak, dan lain-lain. Oleh sebab itu perlu
waspada untuk menyingkirkan dahulu apakah ada kelainan organis di otak.

Kriteri Kejang Epilepsi Meningitis


Banding Demam Ensefalitis

Demam Pencetusnya Tidak berkaitan Salah satu


demam dengan demam gejalanya demam
Kelainan Otak (-) (+) (+)

Kejang (+) (+) (+)


berulang
Penurunan (+) (-) (+)
kesadaran

LO.3.8 PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksana Medis
Menurut Livingston penatalaksanaan medis ada:
a) Menghentikan kejang secepat mungkin
Biasanya kejang demam berlangsung
singkat dan pada waktu pasien datang
kejang sudah berhenti. Apabila datang
dalam keadaaan kejang, obat paling cepat
unutuk menghentikan kejang adalah
diazepam yang diberikan secara intravena.
Dosis diazepam intravena adalah 0,3 0,5
mg/kgBB perlahan lahan dengan
kecepatan 1-2 mg / menit atau dalam
waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal
20 mg.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh
orang tua atau di rumah adalah diazepam
rektal.
- Dosis diazepam rektal adalah 0,5 0,75
mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk
anak dengan berat badan kurang dari 10
kg
- Dosis diazepam rektal 10 mg untuk
berat badan lebih dari 10 kg
- Dosis diazepam rektal 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun
- Dosis diazepam rektal 7,5 mg untuk anak diatas usia 3 tahun
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi dengan
cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit.
Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke Rumah
Sakit. Di Rumah Sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3 0,5
mg/kgBB.
Bila kejang tetap belum berhenti dapat diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis
awal 10 20 mg/kgBB/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis
selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal.
Bila dengan fenitoin kejang masih belum berhenti maka pasien harus dirawat diruangan
intensif
Bila kejang telah berhenti maka pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis demam.
b) Pemberian oksigen
c) Penghisapan lendir kalau perlu
d) Mencari dan mengobati penyebab
Pengobatan rumah profilaksis intermitten. Untuk mencegah kejang berulang, diberikan obat
campuran anti konvulsan dan antipiretika.
1. Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya kejang
demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap diberikan. Dosis
parasetamol yang digunakan adalah 10 15 mg /kgBB/kali diberikan 3 kali sehari dan
tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5 10 mg/kgBB/kali diberikan 3 - 4 kali sehari.
2. Antikonvulsan : Diazepam IV/rektal, Fenitonin IV
LO.3.9 KOMPLIKASI

Awal (< 15 menit) Lanjut (15-30 menit) Berkepanjangan (>1jam)


Meningkatnya kecepatan Menurunnya tekanan Hipotensi disertai berkurangnya aliran
denyut jantung darah darah serebrum sehingga terjadi
Meningkatnya tekanan darah Menurunnya gula darah hipotensi serebrum
Meningkatnya kadar glukosa Disritmia Gangguan sawar darah otak yang
Meningkatnya suhu pusat Edema paru nonjantung menyebabkan edema serebrum
tubuh
Meningkatnya sel darah putih

LO.3.10 PROGNOSIS
Hampir semua studi populasi melaporkan bahwa anak-anak dengan kejang demam,
memiliki prognosis yang baik, serta intelektual anakk tidak terganggu. Kematian dan kerusakan
jaras neurologi sangat jarang terjadi, biasanya hal tersebut disebabkan oleh berbagai faktor
sebelum kejang terjadi. Namun, bila tidak ditangani dengan baik, bisa terjadi :
- Kejang demam berulang
- Epilepsi
- Kelainan motorik
- Gangguan mental dan belajar

LO.3.11 PENCEGAHAN
a. Pencegahan berkala (intermiten)
Untuk kejang demam sederhana dengan Diazepam 0,3 mg/KgBB/dosis PO dan antipiretika
pada saat anak menderita penyakit yang disertai demam
b. Pencegahan kontinu
Untuk kejang demam komplikata dengan Asam Valproat 15-40 mg/KgBB/hari PO dibagi
dalam 2-3 dosis

LI.4 MAMPU MEMAHAMI DAN MENJELASKAN MENINGOENCEPALITIS


DEFINISI

Meningitis adalah radang pada meningen (membran yang mengelilingi otak dan medula spinalis)
dan disebabkan oleh virus, bakteri atau organ-organ jamur (Smeltzer,2001). Meningitis
merupakan infeksi akut dari meninges, biasanya ditimbulkan oleh salah satu dari
mikroorganisme pneumokok, Meningokok, Stafilokok, Streptokok, Hemophilus influenza dan
bahan aseptis (virus) (Long, 1996). Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan
serebrospinal dan spinal column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat
(Suriadi & Rita, 2001).
ETIOLOGI

Bakteri
a. Streptococcus pneumoniae (50%)

Sering terjadi pada orang dewasa berusia di atas 20 tahun dan timbul karena sebelumnya pasien
menderita penyakit sinusitis, otitis media (permasalahan THT). Berhubungan dengan
alkoholisme, penyakit diabetes, hypogammaglobulinemia, dan juga trauma kepala.

b. Neisseria meningitidis (25%)

Kejadian pada anak-anak dan pada dewasa muda berusia 2-20thn sekitar 60%, paling sering
merupakan penyebaran dari infeksi nasofaring dan juga berhubungan dengan pasien yang
menderita diabetes, sirosis, dan Infeksi Saluran Kemih.

c. Streptococcus group B (15%)

Sering pada neonatus dan frekuensi kejadian meningkat pada individu berusia lebih dari 50 tahun
serta pasien yang memiliki penyakit infeksi streptokokal.

d. Listeria monocytogenes (10%)

Sering pada neonatus berusia kurang dari 1 bulan dan kejadiannya sering terjadi akibat pasien
meminum susu yang terkontaminasi Listeria.

e. Haemophilus influenza type B (<10%)Terjadi pada anak-anak yang tidak menjalani vaksinasi
HiB.

f. Staphylococcus aureus

Sering merupakan akibat dari prosedur bedah saraf (neuro-surgery procedure).

Meningitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, riketsia, jamur, cacing dan protozoa. Penyebab
paling sering adalah virus dan bakteri. Meningitis yang disebabkan oleh bakteri berakibat lebih
fatal dibandingkan meningitis penyebab lain karena mekanisme kerusakan dan gangguan otak
yang disebabkan oleh bakteri maupun produk bakteri lebih berat.
Infectious Agent meningitis purulenta mempunyai kecenderungan pada golongan umur tertentu,
yaitu golongan neonatus paling banyak disebabkan oleh E.Coli, S.beta hemolitikus dan Listeria
monositogenes. Golongan umur dibawah 5 tahun (balita) disebabkan oleh H.influenzae,
Meningococcus dan Pneumococcus. Golongan umur 5-20 tahun disebabkan oleh Haemophilus
influenzae, Neisseria meningitidis dan Streptococcus Pneumococcus, dan pada usia dewasa (>20
tahun) disebabkan oleh Meningococcus, Pneumococcus, Stafilocccus, Streptococcus dan
Listeria.
Penyebab meningitis serosa yang paling banyak ditemukan adalah kuman Tuberculosis dan
virus. Meningitis yang disebabkan oleh virus mempunyai prognosis yang lebih baik, cenderung
jinak dan bisa sembuh sendiri. Penyebab meningitis virus yang paling sering ditemukan yaitu
Mumpsvirus, Echovirus, dan Coxsackie virus , sedangkan Herpes simplex , Herpes zooster, dan
enterovirus jarang menjadi penyebab meningitis aseptik(viral).
Penularan kuman dapat terjadi secara kontak langsung dengan penderita dan droplet infection
yaitu terkena percikan ludah, dahak, ingus, cairan bersin dan cairan tenggorok penderita.
Saluran nafas merupakan port dentree utama pada penularan penyakit ini. Bakteri-bakteri ini
disebarkan pada orang lain melalui pertukaran udara dari pernafasan dan sekresi-sekresi
tenggorokan yang masuk secara hematogen (melalui aliran darah) ke dalam cairan serebrospinal
dan memperbanyak diri didalamya sehingga menimbulkan peradangan diselaput otak maupun di
otak.

KLASIFIKASI MENINGITIS

a. Berdasarkan onset
1. Acute : <24jam
2. Subacute : 1-7hari, pasien mempunyai sakit kepala, kaku kuduk, demam yang tidak
terlalu tinggi dan lethargy untuk beberapa hari ke minggu.
3. Chronic : >7hari, mempunyai karakteristik syndrome neurologic untuk >4minggu dan
berkaitan dengan inflamasi yang persistent di CSF (WBC > 5L).
Penyebab :
infeksi meningeal, keganasan, noninfectious inflammatory disorder, meningitis kimiawi
and infeksi parameningeal.

b. Berdasarkan Penyebab dan hasil Pemeriksaan LCS


1. Meningitis purulenta (Bakterialis)
2. Meningitis Serosa :
Meningitis Tuberkulosa
Pada meningitis serosa TBC, cairan serebrospinal berwarna jernih/opalesen/kekuningan
(xantokrom). Tekanan dan jumlah sel meninggi, terutama terdiri dari limfosit. Kadar
protein meninggi, sedangkan kadar glukosa dan klorida menurun.
Meningitis Viral / Aseptik
Meningitis Sifilitika (Lues SSP)
Mengitis Jamur

PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI

Masuknya agen penyebab (Bakteri, Viral, dan Jamur) ke dalam tubuh dapat melalui:
a. Hematogen (infeksi faring, tonsil, endocarditis, dan pneumonia)
b. Infeksi paranasal sinus, mastoid
c. Trauma kepala terbuka
d. Transplasental

Meningitis Bakterialis
Sekitar 40% pasien meningitis bakterialis mempunyai riwayat infeksi saluran pernafasan yang
dapat mengganggu meknisme pertahanan mukosa sehingga memudahkan timbulnya infeksi oleh
organisme. Kolonisasi bakteri di nasofaring menghasilkan IgA protease yang dapat merusak
barier mukosa dan memungkinkan bakteri menempel pada selepitel nasofaring. Bakteri akan
melewati sel-sel tersebut dan selanjutnya masuk ke aliran darah. Saat bakteri di dalam darah,
bakteri berhadapan dengan sistem kekebalan tubuh tapi karena bakteri memiliki kapsul
polisakarida yang bersifat antifagosit dan anti komplemen, maka bakteri dapat masuk ke dalam
sistem kapiler SSP. Bakteri melewati sawar darah otak lalu, mencapai choroids plexus dan
menginfeksi sel-sel epitel choroids plexus sebagai akses masuk ke ruang subarachnoid yang
berisi CSF. Bakteri bermultiplikasi dicairan serebrospinal karena cairan tersebut kurang memiliki
pertahanan seluler (komplemen, antibodi, sel fagosit). Kerusakan otak terjadi akibat peningkatan
reaksi inflamasi yang disebabkan peranan komponen dinding sel bakteria. Endotoksin (bagian
dinding bakteri gram negatif) dan asam teichoic (bagian dinding bakteri gram positif) akan
merangsang sel-sel endotel dan sel glial melepaskan proinflamatory cytokines: TNF dan IL-1.
Selanjutnya terjadi serangkaian proses inflamasi lanjut sehingga terjadi kerusakan sawar darah
otak. Lekosit dan komplemen mudah masuk ke dalam ruang subarakhnoid disertai masuknya
albumin mengakibatkan edema vasogenik di otak. Lekosit dan mediator-mediator lain akan
menyebabkan trombosis vena dan vaskulitis sehingga dapat pula terjadi iskemik otak dan terjadi
edema sitotoksik pada jaringan otak. Proses inflamasi lebih lanjut akan menyebabkan gangguan
reabsorpsi cairan serebrospinal di granula arakhnoid yang berakibat meningktakan tekanan
intrakranial sehingga timbullah edema interstitial di otak.
MANIFESTASI KLINIS

Trias klasik meningitis : demam, nyeri kepala, dan kaku kuduk


Iritasi dan kerusakan saraf kranial (selubung saraf yang terinflamasi) :
a. N II : papil edema, kebutaan
b. N III, IV, VI : ptosis, defisit lapang pandang, diplopia
c. N V : fotofobia
d. N VII : paresis facial
e. N VIII : ketulian, tinnitus dan vertigo
Gejala meningitis diakibatkan dari infeksi dan peningkatan TIK :
1. Sakit kepala dan demam (gejala awal yang sering)
2. Perubahan pada tingkat kesadaran dapat terjadi letargik, tidak responsif, dan koma.
3. Iritasi meningen mengakibatkan sejumlah tanda sbb:
a. Rigiditas nukal (kaku leher). Upaya untuk fleksi kepala mengalami kesukaran karena
adanya spasme otot-otot leher.
b. Tanda kernik positip: ketika pasien dibaringkan dengan paha dalam keadaan fleksi
kearah abdomen, kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna.
c. Tanda brudzinki : bila leher pasien di fleksikan maka dihasilkan fleksi lutut dan
pinggul. Bila dilakukan fleksi pasif pada ekstremitas bawah pada salah satu sisi maka
gerakan yang sama terlihat peda sisi ektremita yang berlawanan.
d. Mengalami foto fobia, atau sensitif yang berlebihan pada cahaya.
e. Kejang akibat area fokal kortikal yang peka dan peningkatan TIK akibat eksudat
purulen dan edema serebral dengan tanda-tanda perubahan karakteristik tanda-tanda
vital (melebarnya tekanan pulsa dan bradikardi), pernafasan tidak teratur, sakit
kepala, muntah dan penurunan tingkat kesadaran.
f. Adanya ruam merupakan ciri menyolok pada meningitis meningokokal.
g. Infeksi fulminating dengan tanda-tanda septikimia: demam tinggi tiba-tiba muncul,
lesi purpura yang menyebar, syok dan tanda koagulopati intravaskuler diseminata.

DIAGNOSIS

1. Anamnesis

Apakah pasien pernah mengalami nyeri kepala ?


Adakah gejala penyerta : fotofobia, kaku leher, mual, muntah, demam, mengantuk, atau
bingung ?
Adakah tanda-tanda neurologis : diplopia, kelemahan fokal atau gejala sensoris B
Gejala sistemik lainnya : mual, muntah, demam, atau menggigil.
Adakah Riwayat meningitis, kebocoran atau pirau LCS, trauma kepala berat, infeksi telinga atau
sinusitis ?
Adakah riwayat vaksinasi ?
Adakah riwayat meningitis dalam keluarga atau dilingkugan sekitar
Apakah berpergian ke luar negeri ?

2. Pemeriksaan Fisik

a. Pemeriksaan Rangsangan Meningeal

Pemeriksaan Kaku Kuduk


Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi dan rotasi kepala.
Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan tahanan pada pergerakan fleksi
kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot. Dagu tidak dapat disentuhkan ke dada dan juga
didapatkan tahanan pada hiperekstensi dan rotasi kepala.

Pemeriksaan Tanda Kernig


Pasien berbaring terlentang, tangan diangkat dan dilakukan fleksi pada sendi panggul kemudian
ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mengkin tanpa rasa nyeri. Tanda Kernig positif
(+) bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135 (kaki tidak dapat di ekstensikan
sempurna) disertai spasme otot paha biasanya diikuti rasa nyeri.

Pemeriksaan Tanda Brudzinski I ( Brudzinski Leher)


Pasien berbaring terlentang dan pemeriksa meletakkan tangan kirinya dibawah kepala dan
tangan kanan diatas dada pasien kemudian dilakukan fleksi kepala dengan cepat kearah dada
sejauh mungkin. Tanda Brudzinski I positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi involunter
pada leher.

Pemeriksaan Tanda Brudzinski II ( Brudzinski Kontra Lateral Tungkai)


Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendi panggul (seperti pada
pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski II positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi
involunter pada sendi panggul dan lutut kontra lateral.

b. Glasgow Coma Scale (GCS)


Secara kuantitatif, kesadaran dapat dinilai dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS)
yang meliputi pemeriksaan untuk Penglihatan/ Mata (E), Pemeriksaan Motorik (M) dan Verbal
(V). Pemeriksaan ini mempunyai nilai terendah 3 dan nilai tertinggi 15. Pemeriksaan derajat
kesadaran GCS untuk penglihatan/ mata:
E1 = tidak membuka mata dengan rangsang nyeri
E2 = membuka mata dengan rangsang nyeri
E3 = membuka mata dengan rangsang suara
E4 = membuka mata spontan
Motorik:
M1 : tidak melakukan reaksi motorik dengan rangsang nyeri
M2 : reaksi deserebrasi dengan rangsang nyeri
M3 : reaksi dekortikasi dengan rangsang nyeri
M4 : reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi tidak mencapai sasaran
M5 : reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi mencapai sasaran
M6 : reaksi motorik sesuai perintah
Verbal:
V1 : tidak menimbulkan respon verbal dengan rangsang nyeri (none)
V2 : respon mengerang dengan rangsang nyeri (sounds)
V3 : respon kata dengan rangsang nyeri (words)
V4 : bicara dengan kalimat tetapi disorientasi waktu dan tempat (conf used)
V5 bicara dengan kalimat dengan orientasi baik (orientated)

Diagnosis Banding

a. Abscess Serebral

Merupakan radang suppurativa lokal pada jaringan otak dan penyebab yang terbanyak dari
abscess di lobus temporal. Mikroorganisma penyebab bisa bakteri aerob dan anaerob.
Streptococci, staphylococci, proteus, E.coli, pseudomonas merupakan organisma yang terbanyak.
Abscess Serebral dapat terjadi oleh karena penyebaran bakteria piogenik secara langsung akibat
infeksi dari otitis media, mastoiditis ataupun sinus paranasal. Gejala klinis dari abscess serebral:
Nyeri kepala yang progressif, demam, muntah, papiledema, bradikardi, serta hemiparesis dan
homonymous hemianopia. Pada pemeriksaan laboratorium dan cairan serebrospinal biasanya
tidak memberikan hasil yang spesifik. Pada pemeriksaan CT scan tanpa kontrast (Non-contrast
Computerized Tomography/ NCCT), stadium serebritis pada permulaannya nampak sebagai
suatu area hipodens di white matter dengan batas yang menyebar luas yang menggambarkan
kongesti vaskuler dan edema pada pada pemberian
kontrast (Contrast Enhancement Computerized Tomography/CECT) enhancement bisa dijumpai
atau hanya sedikit. Dan pada perkembangan proses inflamasi selanjutnya terjadi perlunakan otak
(softening) dan petechial hemorrhage, yang menggambarkan kerusakan sawar darah otak
progressif. Pada stadium ini, CECT menunjukkan area bercorak yang tidak teratur yang enhance,
terutama di gray matter.
Dalam mengevaluasi serebritis tahap dini, pemeriksaan MRI lebih akurat dari pada Head
CT-scan. Oleh karena sensitivitasnya terhadap perubahan kandungan air, MRI dapat mendeteksi
perubahan infeksi pada fase permulaan dengan cepat. T1-W1 menunjukkan hipointensitas yang
ringan dan efek massa.
Sering terlihat sulkus yang menghilang. Pada T2-W1 nampak hiperintensitas dari area inflamasi
sentral dan edema sekelilingnya.

b. Empiema subdural

Empiema subdural biasanya merupakan komplikasi dari sinusitis paranasalis dan dapat
sangat mirip dengan absess serebri. Gejala klinis ditandai dengan peninggian tekanan intrakranial
seperti sakit kepala, muntah proyektil dan kejang. Gambaran MRI dan CT scan akan
membedakan kedua kondisi ini.

c. Lateral Sinus Thrombosis

Merupakan suatu thrombophlebitis dari lateral sinus dan merupakan komplikasi intrakranial dari
otitis media yang sangat berbahaya. Gejala klinis : demam yang intermitten meningkat secara
irreguler, kedinginan, nyeri kepala, anemia serta adanya tanda Greisingers [adanya edema pada
daerah post auricular yang melalui vena emissary mastoid]. Pada funduscopi terlihat adanya
papil edema.
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Pungsi Lumbal


Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan protein cairan
cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan tekanan intrakranial.
1. Pada Meningitis Serosa terdapat tekanan yang bervariasi, cairan jernih, sel darah putih
meningkat, glukosa dan protein normal, kultur (-).
2. Pada Meningitis Purulenta terdapat tekanan meningkat, cairan keruh, jumlah sel darah putih
dan protein meningkat, glukosa menurun, kultur (+) beberapa jenis bakteri.

Pemeriksaan darah
Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah leukosit, Laju Endap Darah (LED), kadar
glukosa, kadar ureum, elektrolit dan kultur.
Pada Meningitis Serosa didapatkan peningkatan leukosit saja. Disamping itu, pada Meningitis
Tuberkulosa didapatkan juga peningkatan LED. Pada Meningitis Purulenta didapatkan
peningkatan leukosit.

Pemeriksaan Radiologis
a. Pada Meningitis Serosa dilakukan foto dada, foto kepala, bila mungkin dilakukan CT Scan.
b. Pada Meningitis Purulenta dilakukan foto kepala (periksa mastoid, sinus paranasal, gigi
geligi).

KOMPLIKASI

Komplikasi neurologis yang dapat terjadi antara lain:


a. Ventrikulitis
b. efusi subdural
c. meningitis berulang
d. abses otak
e. paresis
f. hidrosefalus
g. epilepsi
Tanda komplikasi non neurologis :
a. artritis
b. endokarditis bakterial akut
c. SIADH
d. gangguan koagulasi DIC
e. syok

TATALAKSANA
Management Meningitis Bakterialis
Jika meningitis bakterialis sudah dicurigai maka pengobatan haruslah segera diberikan walaupun
bakteri penyebab masih belum jelas (belum diidentifikasi). Antibiotik yang diberikan harus dapat
menembus sawar cairan serebrospinal, diberikan dalam dosis yang adekuat serta sensitif terhadap
bakteri penyebab (stlh diiidentifikasi). Pada kasus-kasus dimana organisme penyebab tidak dapat
teridentifikasi, pengetahuan tentang pola resistensi obat akan menentukan pemilihan antibiotika
secara empiris misalnya pada anak-anak (sefalosporin generasi ketiga atau ampisilin beserta
Kloramfenikol), pada dewasa (penisilin dan sefalosporin generasi ketiga) dan pada orangtua
(Ampisilin dan sefalosporin generasi ketiga). Pemberian sefalosporin generasi ketiga
(seftriakson, sefotaksim) dan kloramfenikol masih sangat efektif, obat ini diberikan selama
minimal 7-10 hari sebaiknya selama 2 minggu penuh

PROGNOSIS

Prognosis meningitis tergantung kepada umur, mikroorganisme spesifik yang menimbulkan


penyakit, banyaknya organisme dalam selaput otak, jenis meningitis dan lama penyakit sebelum
diberikan antibiotik. Penderita usia neonatus, anak-anak dan dewasa tua mempunyai prognosis
yang semakin jelek, yaitu dapat menimbulkan cacat berat dan kematian.
Pengobatan antibiotika yang adekuat dapat menurunkan mortalitas meningitis purulenta, tetapi
50% dari penderita yang selamat akan mengalami sequelle (akibat sisa). Lima puluh persen
meningitis purulenta mengakibatkan kecacatan seperti ketulian, keterlambatan berbicara dan
gangguan perkembangan mental, dan 5 10% penderita mengalami kematian.

PENCEGAHAN
1. Pencegahan Primer

Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor resiko meningitis bagi individu
yang belum mempunyai faktor resiko dengan melaksanakan pola hidup sehat.
Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan imunisasi meningitis pada bayi agar dapat
membentuk kekebalan tubuh. Vaksin yang dapat diberikan seperti Haemophilus influenzae type
b (Hib), Pneumococcal conjugate vaccine (PCV7), Pneumococcal polysaccaharide vaccine
(PPV), Meningococcal conjugate vaccine (MCV4), dan MMR (Measles dan Rubella). Imunisasi
Hib Conjugate vaccine (HbOC atau PRP-OMP) dimulai sejak usia 2 bulan dan dapat digunakan
bersamaan dengan jadwal imunisasi lain seperti DPT, Polio dan MMR. Vaksinasi Hib dapat
melindungi bayi dari kemungkinan terkena meningitis Hib hingga 97%. Pemberian imunisasi
vaksin Hib yang telah direkomendasikan oleh WHO, pada bayi 2-6 bulan sebanyak 3 dosis
dengan interval satu bulan, bayi 7-12 bulan di berikan 2 dosis dengan interval waktu satu bulan,
anak 1-5 tahun cukup diberikan satu dosis. Jenis imunisasi ini tidak dianjurkan diberikan pada
bayi di bawah 2 bulan karena dinilai belum dapat membentuk antibodi.
Meningitis Meningococcus dapat dicegah dengan pemberian kemoprofilaksis (antibiotik) kepada
orang yang kontak dekat atau hidup serumah dengan penderita. Vaksin yang dianjurkan adalah
jenis vaksin tetravalen A, C, W135 dan Y. Meningitis TBC dapat dicegah dengan meningkatkan
sistem kekebalan tubuh dengan cara memenuhi kebutuhan gizi dan pemberian imunisasi BCG.
Hunian sebaiknya memenuhi syarat kesehatan, seperti tidak over crowded (luas lantai > 4,5
m2/orang), ventilasi 10 20% dari luas lantai dan pencahayaan yang cukup. Pencegahan juga
dapat dilakukan dengan cara mengurangi kontak langsung dengan penderita dan mengurangi
tingkat kepadatan di lingkungan perumahan dan di lingkungan seperti barak, sekolah, tenda dan
kapal. Meningitis juga dapat dicegah dengan cara meningkatkan personal hygiene seperti
mencuci tangan yang bersih sebelum makan dan setelah dari toilet.

2. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan penyakit sejak awal, saat masih tanpa gejala
(asimptomatik) dan saat pengobatan awal dapat menghentikan perjalanan penyakit. Pencegahan
sekunder dapat dilakukan dengan diagnosis dini dan pengobatan segera. Deteksi dini juga dapat
ditingkatan dengan mendidik petugas kesehatan serta keluarga untuk mengenali gejala awal
meningitis.
Dalam mendiagnosa penyakit dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan cairan
otak, pemeriksaan laboratorium yang meliputi test darah dan pemeriksaan X-ray (rontgen) paru.
Selain itu juga dapat dilakukan surveilans ketat terhadap anggota keluarga penderita, rumah
penitipan anak dan kontak dekat lainnya untuk menemukan penderita secara dini.

Penderita juga diberikan pengobatan dengan memberikan antibiotik yang sesuai dengan jenis
penyebab meningitis yaitu :
a. Meningitis Purulenta
Haemophilus influenzae b : ampisilin, kloramfenikol, setofaksim, seftriakson.
Streptococcus pneumonia : kloramfenikol , sefuroksim, penisilin, seftriakson.
Neisseria meningitidies : penisilin, kloramfenikol, serufoksim dan seftriakson.

b. Meningitis Tuberkulosa (Meningitis Serosa)


Kombinasi INH, rifampisin, dan pyrazinamide dan pada kasus yang berat dapat ditambahkan
etambutol atau streptomisin. Kortikosteroid berupa prednison digunakan sebagai anti inflamasi
yang dapat menurunkan tekanan intrakranial dan mengobati edema otak.

3. Pencegahan Tertier

Pencegahan tertier merupakan aktifitas klinik yang mencegah kerusakan lanjut atau mengurangi
komplikasi setelah penyakit berhenti. Pada tingkat pencegahan ini bertujuan untuk menurunkan
kelemahan dan kecacatan akibat meningitis, dan membantu penderita untuk melakukan
penyesuaian terhadap kondisi-kondisi yang tidak diobati lagi, dan mengurangi kemungkinan
untuk mengalami dampak neurologis jangka panjang misalnya tuli atau ketidak mampuan untuk
belajar.
Fisioterapi dan rehabilitasi juga diberikan untuk mencegah dan mengurangi cacat.

LI.5 MAMPU MEMAHAMI DAN MENJELASKAN KEABSAHAN IBADAH UMRAH


Pengertian Umrah adalah mengunjungi Kabah untuk melakukan serangkaian ibadah dengan
syarat-syarat yang telah ditetapkan.Umrah disunatkan bagi setiap muslim yang mampu.
Pelaksanaan dapat dilakukan kapan saja, kecuali pada hari Arafah, tgl 10 Zulhijah, dan hari-hari
Tasyrik tgl 11, 12, 13 Zulhijah.

LO.5.1 SYARAT
1. Islam. Orang kafir tidak disyariatkan melaksanakan umrah dan ibadah-ibadah lainnya
karena dia tidak mengakui dan menganut agama Islam.
2. Baligh (Dewasa). Anak kecil yang belum baligh tidak disyariatkan melaksanakan umrah,
meskipun umrahnya sah jika dia telah mumayyiz.
3. Aqil (Berakal sehat). Tidak ada perintah melaksanakan umrah bagi orang gila dan tidak
pula sah umroh yang dilakukan oleh orang gila.
4. Merdeka. Hamba sahaya (budak) tidak diperintahkan melaksanakan ibadah umrah karena
umrah memerlukan waktu yang panjang sehingga kepentingan tuannya akan terabaikan.
5. Istithaah atau memiliki kemampuan dari segi fisik, harta, dan keamanan

LO.5.2 RUKUN
1. Niat Ihram. Setiap ibadah dimulai dengan niat, begitu pula dengan ihram jika tidak
berniat maka umrahnya tidak sah.
2. Thawaf Umrah. Berniat mengelilingi Kaabah semata-mata untuk menunaikan tawaf
karena Allah S.W.T.
3. Sai. Sai dilakukan genap dan sempurna bilangan sebanyak tujuh kali perjalanan balik
dari Marwah ke Safa.
4. Tahallul (Cukur / gunting rambut). Bagi umrah seseorang itu boleh bertahallul setelah
selesai melaksanakan dengan sempurna semua rukun yang lain yaitu niat, tawaf dan Saie.
5. Tertib. Rukun tidak boleh ditinggalkan (harus dilaksanakan). Bila tidak dilaksanakan
umrahnya tidak sah.

Anda mungkin juga menyukai