Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

Morbus Hansen

Pembimbing :

dr. Prasti Adhi Dharmasanti, Sp. KK

Disusun Oleh :

Corryana Theresia

112017079

Kepaniteraan Stase Penyakit Kulit dan Kelamin

Rumah Sakit Bhayangkara H.S. Samsoeri Mertojoso, Surabaya

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Periode 12 Agustus 2019 – 14 September 2019

LEMBAR PENGESAHAN
Telah disetujui oleh dokter pembimbing laporan kasus dari:
Nama : Corryana Theresia
NIM : 112017079
Bagian : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Judul : Morbus Hansen

Dokter Pembimbing : dr. Prasti Adhi Dharmasanti, Sp. KK

Diajukan guna melengkapi tugas kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

Surabaya, 20 Agustus 2019

Dokter Pembimbing,

(dr. Prasti Adhi Dharmasanti, Sp. KK)


BAB I

PENDAHULUAN

Kusta merupakan penyakit tertua yang sampai sekarang masih ada. Kusta merupakan
penyakit yang sangat ditakuti oleh masyarakat karena dapat menyebabkan ulserasi, mutilasi dan
deformitas. Kata kusta berasal dari bahasa India kustha,dikenal sejak 400 tahun SM. Kata lepra
disebut dalam kitab Injil,terjemahan dari bahasa Hebrew zaraath.

Kusta (lepra atau penyakit Hansen) adalah infeksi menahun yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae, bakteri ini menyerang saraf perifer, kulit, mukosa traktus respiratorius
bagian atas, kemudian organ lainnya. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar
keringat, dan ASI, namun jarang di urin. Mycobacterium leprae masih belum dapat dibiakkan
dalam medium buatan sehingga diagnosis yang tepat dalam waktu pendek masih belum
memungkinkan. Pada sebagian besar orang yang terinfeksi, penyakit bersifat asimptomatik.
Sebagian kecil terlambat didiagnosis dan terlambat diobati, memperlihatkan gejala klinis dan
mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat. Tetapi diagnosis dapat dibuat berdasarkan
gejala-gejala klinis yang spesifik pada pasien.1 Penyakit ini disebarkan melalui droplet infeksi dan
mempunyai masa tunas yang panjang (antara 2 bulan sampai 40 tahun)2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Istilah kusta berasal dari bahasa India, yakni kustha berarti kumpulan gejala-gejala kulit
secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan
kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut
Morbus Hansen. Kusta yang juga disebut lepra merupakan penyakit infeksi granulomatous kronik
yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, terutama mengenai sistem saraf perifer, kulit, namun
dapat juga terjadi mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali
susunan saraf pusat 1

2.2 Epidemiologi
Di Indonesia penderita anak-anak di bawah umur 14 tahun didapatkan ±13 %, tetapi anak
di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur antara 25-
35 tahun. Kusta terdapat dimana-mana, tertama di Asia, Afrika, Amerika latin, daerah tropis dan
subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonominya rendah.1

Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia dengan endemisitas yang berbeda-beda.


Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat di seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh
perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut. Penyakit ini disebarkan melalui droplet
infeksi dan mempunyai masa tunas yang panjang (antara 2 bulan sampai 40 tahun)2

2.3 Etiologi
Kuman penyebab lepra adalah Mycobacterium leprae. Kuman ini bersifat obligat intrasel,
aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro, berbentuk basil Gram positif dengan ukuran 3 – 8 μm
x 0,5 μm, bersifat tahan asam dan alkohol. Waktu pembelahan Mycobacterium leprae sangat lama,
yaitu 2-3 minggu, kuman ini dapat bereproduksi optimal pada suhu 27°C – 30°C secara in vivo,
tumbuh dengan baik pada jaringan yang lebih dingin (kulit, sistem saraf perifer, hidung, cuping
telinga, anterior chamber of eye, saluran napas atas, kaki dan testis), dan tidak mengenai area yang
hangat (aksila, inguinal, kepala, garis tengah punggung.1,2
Gambar 1.1 Mycobacterium leprae

2.4 KLASIFIKASI DAN MANIFESTASI KLINIS

Menurut WHO, kusta dibagi menjadi 2 bentuk yaitu pausi basiler (indeterminate dan
tuberculoid) dan multi basiler (borderline dan lepromatous).

Tabel 2.1 Bagan Diagnosis Klinis menurut WHO1

PB (Pausibasilar) MB (Multibasilar)

Lesi kulit (makula yang 1-5 lesi >5 lesi


datar, papul yang
Hipopigmentasi/eritema Distribusi lebih simetris
meninggi, infiltrate,
plak eritem, nocus) Distribusi tidak simetris

Kerusakan saraf Hilangnya sensasi yang Hilangnya sensasi


(menyebabkan jelas kurang jelas
hilangnya
sensasi/kelemahan otot
yang dipersarafi oleh Hanya satu cabang saraf Banyak cabang saraf

saraf yang terkena

BTA Negatif Positif

Tipe Indeterminate (I), Lepromatosa (LL),


Tuberkuloid (T), Borderline lepromatous
Borderline tuberkuloid (BL), Mid borderline
(BT) (BB)

Berdasarkan klasifikasi Ridley and Jopling, penyakit kusta dibagi menjadi:3

a. Indeterminate leprosy (I): makula hipopigmentasi, terkadang makula eritema. Kehilangan


rasa sensoris belum ada. Sekitar 75% penderita mengalami kesembuhan spontan,
sedangkan pada yang lainnya akan tetap pada bentuk ini sampai ketika imunitas menurun,
maka akan berubah menjadi bentuk yang lain.
b. Tuberculoid leprosy (TT): lesi kulit minimal. Biasanya hanya berupa satu plak eritem
dengan bagian tepi yang meninggi. Predileksi pada wajah, ekstremitas, intertriginosa, dan
kepala. Lesi kering, skuama, hipohidrotik, dan tanpa rambut. Pada bentuk ini, lesi pada
kulit sudah mengalami anestesi.
c. Bordeline tuberculoid leprosy (BT): lesi sama dengan tipe tuberculoid, namun lesi lebih
kecil dan banyak. Berupa makula anestesi atau plak yang disertai lesi satelit di pinggirnya.
Gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit dan skuama tidak jelas. Saraf tidak terlalu
membesar dan tidak terlalu menyebabkan alopesia dibandingkan tipe tuberculoid. Bentuk
ini biasanya bertahan/tetap, namun dapat kembali pada tipe tuberkuloid atau progresif
menuju bentuk lepromatosa.
d. Borderline borderline leprosy (BB): tipe yang paling tidak stabil, disebut juga dimorfik
dan jarang dijumpai. Lesi kulit banyak, merah, berupa plak ireguler. Lesi sangat bervariasi
baik ukuran, bentuk, maupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi punched out yaitu
hipopigmentasi yang oval pada bagian tengah. Distribusi menyerupai bentuk lepromatosa,
namun asimetris. Dapat terjadi adenopati regional.
e. Borderline lepromatous leprosy(BL): lesi banyak dan terdiri atas makula, papula, plak dan
nodul. Terdapat lesi punched-out annular. Anestesi tidak terjadi.
f. Lepromatous leprosy(LL): lesi awal berupa makula yang pucat. Makula kecil, difus dan
simetris. Anetesi tidak terjadi pada bentuk ini, saraf tidak menebal, dan hidrotik. Hilangnya
rangsang saraf lambat dan progresif.
Tabel 2.2 Gambaran klinis, Bakteriologis, dan Imunologik Kusta PB1

Karakteristik Tuberkuloid Borderline Indeterminate


Tuberkuloid (BT)
(TT) (I)

Lesi

Bentuk Makula atau Makula dibatasi Hanya infiltrat


makula dibatasi infiltrat; infiltrat
infiltrat saja

Jumlah Satu atau Satu dengan lesi Satu atau


beberapa satelit beberapa

Distribusi Terlokasi dan Asimetris Bervariasi


asimetris

Permukaan Kering,skuama Kering, skuama Halus agak


berkilat

Anestesia Jelas Jelas Tidak ada sampai


tidak jelas

Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau


tidak jelas

BTA

Pada lesi kulit Negatif Negatif, atau 1+ Biasanya negatif

Tes Lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif


lemah atau negatif

*Tes Lepromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, hasilnya baru dapat diketahui setelah
3minggu
Tabel 2.3 Gambaran klinis, Bakteriologis, dan Imunologik Kusta MB1
Karakteristik Lepromatosa Borderline Mid-borderline
(LL) Lepromatosa (BB)
(BL)

Lesi

Bentuk Makula, infiltrat Makula, plak, Plak, lesi bentuk


difus, papul, papul kubah, lesi punched
nodus out

Jumlah Banyak distribusi Banyak tapi kulit Beberapa, kulit


luas, praktis tidak sehat masih ada sehat (+)
ada kulit sehat

Distribusi Simetris Cenderung Asimetris


simetris

Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Sedikit berkilap,


beberapa lesi kering

Anestesia Tidak jelas Tidak jelas Lebih jelas

Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas

BTA

Pada lesi Banyak Banyak Agak banyak


kulit

Sekret Banyak Biasanya tidak Tidak ada


hidung ada

Tes Negatif Negatif Biasanya negatif


Lepromin
TT BT I

LL BL BB

Gambar 2.2 Tipe Kusta


Gambar 2.3 Foto Manifestasi Tuberculoid Lepra di Punggung

Gambar 2.4 Foto Manifestasi Tuberculoid Lepra di Wajah

2.5. PATOGENESIS

M. leprae berpredileksi di daerah-daerah tubuh yang relatif lebih dingin.


Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dan derajat penyakit disebabkan oleh respon imun yang
berbeda yang menyebabkan timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat
sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit
imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada intensitas
infeksinya. Meskipun cara masuk M. leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan pasti,
beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering ialah melalui kulit yang lecet pada
bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh, M. leprae terhadap kulit
bergantung pada faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup M. leprae pada suhu tubuh yang
rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulens dan nontoksis.
Masuknya M. leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen Presenting Cell)
dan melalui dua sinyal yaitu sinyal pertama dan sinyal kedua. Sinyal pertama adalah tergantung
pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang dipresentasikan oleh molekul MHC pada
permukaan APC sedangkan sinyal kedua adalah produksi sitokin dan ekspresinya pada permukaan
dari molekul kostimulator APC yang berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD28. Adanya kedua
sinyal ini akan mengaktivasi To sehingga To akan berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Adanya
TNF α dan IL 12 akan membantu differensiasi To menjadi Th1.
Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN γ yang akan meningkatkan fagositosis makrofag
(fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari M. leprae akan berikatan dengan C3 melalui
reseptor CR1,CR3,CR4 pada permukaannya lalu akan difagositosis) dan proliferasi sel B. Selain
itu, IL 2 juga akan mengaktifkan CTL lalu CD8+. Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I akan
melindungi bakteri dari penghancuran oksidatif oleh anion superoksida dan radikal hidroksil yang
dapat menghancurkan secara kimiawi. Karena gagal membunuh antigen maka sitokin dan growth
factors akan terus dihasilkan dan akan merusak jaringan akibatnya makrofag akan terus diaktifkan
dan lama kelamaan sitoplasma dan organella dari makrofag akan membesar, sekarang makrofag
seudah disebut dengan sel epiteloid dan penyatuan sel epitelioid ini akan membentuk granuloma.

Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi dari eosinofil. IL


4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4 akan mengaktifasi sel B untuk menghasilkan
IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi sel mast.

Sinyal I tanpa adanya sinyal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan tidak
teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2. Pada Tuberkoloid
Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th2 sedangkan
pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th1.3

2.6. DIAGNOSIS

Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis, dan


histopatologis, dan serologis. Diantara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang terpenting dan
paling sederhana. Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit, sedangkan
histopatologik 10-14 hari. Kalau memungkinkan dapat dilakukan tes lepromin (Mitsuda) untuk
membantu penentuan tipe, yang hasilnya baru dapat diketahui setelah 3 minggu. Kelainan kulit
pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk makula saja, infiltrat, saja atau
keduanya. Secara inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya anestesia sangat banyak membantu
penentuan diagnosis, meskipun tidak terlalu jelas. Hal ini dengan mudah dilakukan dengan
menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba, dan dapat juga dengan rasa
suhu, yaitu panas dan dingin dengan tabung reaksi. Perhatikan pula ada tidaknya dehidrasi di
daerah lesi yang dapat dipertegas dengan menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara
menggoresnya mulai dari tengah lesi ke arah kulit normal. Dapat pula diperhatikan adanya alopesia
di daerah lesi. Dan ditemukan satu atau lebih tanda kardinal pasien dari daerah endemik,lesi kulit
dengan karakter lepra dengan atau tidak rasa baal,disertai dengan saraf perifer,dan menemukan
M.Leprae. 1,4
Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsistensi, dan nyeri
atau tidak. Hanya beberapa saraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa, yaitu N. fasialis, N.
aurikuralis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus, N. poplitea lateralis, dan N. tibialis
posterior. Untuk tipe lepramatosa kelainan saraf biasanya bilateral dan menyeluruh, sedang untuk
tipe tuberkuloid kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.1,4

Deformitas pada kusta, sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi dalam deformitas
primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk
sebgai reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit,
mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi
sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena
kerusakan saraf. Gejala-gejala kerusakan saraf:1,4

1. N. ulnaris: anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis, clawing kelingking
dan jari manis, atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial.
2. N. medianus: anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah,
tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, ibu jari kontraktur,
atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.
3. N. radialis: anestesia dorsum manus, serta ujumg proksimal jari telunjuk, tangan gantung
(wrist drop), tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan.
4. N. poplitea lateralis: anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis, kaki
gantung (foot drop), kelemahan otot peroneus.
5. N. tibialis posterior: anestesia telapak kaki, claw toes, paralisis otot intristik kaki dan kolaps
arkus pedis.
6. N. fasialis: lagoftalmus (cabang temporal dan zigomatik), kehilangan ekspresi wajah dan
kegagalan mengaktupkan bibir (cabang bukal, mandibular dan servikal).
7. N. trigeminus: anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.

Pemeriksaan Fungsi Saraf


a. Tes sensorik
Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.
- Rasa raba
- Rasa tajam
- Suhu
b. Tes Otonom
Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada penyakit kusta,
pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis, yaitu:5
1. Tes keringat dengan tinta ( tes Gunawan)
2. Tes Pilokarpin
3. Tes Motoris (voluntary muscle test) pada n. ulnaris, n.medianus, n.radialis, dan n.
peroneus

2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG1

1. Pemeriksaaan bakterioskopik
Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan obat. Sediaan dibuat
dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan Ziehl
Neelson. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak
mengandung basil M. leprae. Pertama – tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling
padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat
diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga
bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling
infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut
karena pada cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae.

Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan
dengan indeks bakteri (I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam
100 lapangan pandang (LP).

1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP

2+ Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP

3+ Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP

4+ Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP

5+ Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP

6+ Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP

Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid dan
non solid.

IM= Jumlah solidx 100 %/ Jumlah solid + Non solid

Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak perlu dibuat
IM karena untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000 sampai 10.000 lapangan,
mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan.1

2. Pemeriksaan histopatologi
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang mempunyai
nama khusus, dan yang dari kulit disebut histiosit. Apabila SIS nya tinggi, makrofag akan mampu
memfagosit M. leprae. Datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses imunologik
dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus
difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan
kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia Langhans.
Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel
akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan SIS rendah
atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan
dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sebagai sel Virchow atau sel lepra atau sel busa
dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.

Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih
nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi
subepidermal (subepidermal clear zone) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang
jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline
terdapat campuran unsur – unsur tersebut.1

3. Pemeriksaan serologik
Didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae.
Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti phenolic
glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16kD serta 35kD. Sedangkan antibodi yang tidak
spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman M.
tuberculosis.1

Kegunaan pemeriksaan serologik ialah dapat membantu diagnosis kusta yang meragukan,
karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.Pemeriksaan serologik adalah MLPA
(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Sorbent
Assay) dan ML dipstick (Mycobacterium Leprae dipstick).1

2.8 DIAGNOSIS BANDING

DD Etiologi Efluoresensi,Gejala Klinis

Vitiligo Idiopatik Hipomelanosis,adanya makula putih yang dapat


meluas
dapat mengenai seluruh bagian tubuh yang
mengandung melanosit, misalnya rambut dan mata.
Makula berwarna putih dengan diameter beberapa
milimeter sampai beberapa sentimeter, bulat atau
lonjong dengan batas tegas, tanpa perubahan
epidermis yang lain.

Pitiariasis Malassezia Bercak berskuama halus yang berwarna putih


Vesikolor furfur Robin sampai coklat hitam, terutama meliputi badan dan
kadang-kadang dapat menyerang ketiak, lipat paha,
lengan, tungkai atas, leher, muka dan kulit kepala
yang berambut
Dermatitis Idiopatik,Statu Eritema dan skuama berminyak dan agak
Seboroik s seboroik kekuningan batasnya agak kurang tegas
Psoriasis Autoimun,Gen Bercak eritema yang meninggi (plak)dengan
etik skuama di atasnya. Fenomena tetesan Lilin,Auspitz
dan Kobner
Neurofibromatosi Mutasi gen Neurofibroma,Cafe-au-lait spot
s NF1
Granuloma Idiopatik Ruam berbentuk benjol kemerahan
Anulare
Xantomatosis Genetik Deposit lemak kekuning kuningan pada kulit atau
tempat lain (dalam sel retikulo-endotelial) karena
hiperlipidemia
Skleroderma Idiopatik Bercak skleropatik atau plak soliter (tersering) atau
bercak-bercak multiple (terjarang)
Leukemia Kutis Leukimia Infiltrasi sel-sel leukemia yang bersifata gresif
kedalam lapisan epidermis,dermis maupun
subkutis.
Tuberkulosis M. Skrofuloderma,chancre
Kutis Tuberculosis
Verukosa HPV Kutil berbentuk bulat,berwarna abu-abu,permukaan
kasar
Birth mark Overgrowth of Gambaran kelainan kulit yang timbul saat atau
B.V.,Melanocy setelah lahir
tes,smooth
muscle,fat,fibr
oblast, or
keratinocytes
Dermatofitosis Jamur Gatal dan kelainan berbatas tegas,polomorfi.
Eczema marginatum

2.9 PENATALAKSANAAN

Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden penyakit,
mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit, untuk mencapai tujuan
tersebut, strategi pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita.2
Pengobatan kusta disarankan memakai program Multi Drugs Therapy (MDT) dengan
kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS, direkomendasikan oleh WHO sejak 1981. Tujuan
dari program MDT adalah: mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, menurunkan
angka putus obat (drop-out rate) dan ketidaktaatan penderita.
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS, klofazimin dan
rifampicin. Pada tahun 1998 WHO menambahkan 3 obat antibiotik lain untuk pengobatan
alternatif yaitu ofloksasin, minosiklin, dan klaritomisin.1,4

DDS (Dapsone)

Merupakan singkatan dari Diamino Diphenyl Sulfon. Dapson bersifat bakteriostatik


dengan menghambat enzim dihidrofolat sintetase. Dapson bekerja sebagai anti metabolit PABA.
Indeks morfologi kuman penderita LL yang diobati dengan Dapson biasanya menjadi nol setelah
5 sampai 6 bulan.

Dosis: dosis tunggal yaitu 50-100 mg/hari untuk dewasa atau 2 mg/kg berat badan untuk anak-
anak. Efek samping: erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropatia,

nekrolisis epidermal toksik, hepatitis dan methemoglobinemia. Efek samping tersebut


jarang dijumpai pada dosis lazim.

Rifampisin

Rifampisin merupakan bakterisidal kuat pada dosis lazim dan merupakan obat paling
ampuh untuk kusta saat ini. Rifampisin bekerja menghambat enzim polimerase RNA yang
berikatan secara irreversibel. Namun obat ini harganya mahal dan telah dilaporkan adanya
resistensi.

Dosis: dosis tunggal 600 mg/hari (atau 5-15 mg/kgBB) mampu membunuh kuman kira-kira 99.9%
dalam waktu beberapa hari.

Efek samping: hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal dan erupsi kulit.

Klofazimin

Obat ini bersifat bakteriostatik setara dengan dapson. Diduga bekerja melalui gangguan
metabolisme radikal oksigen. Obat ini juga mempunyai efek anti inflamasi sehingga berguna untuk
pengobatan reaksi kusta.

Dosis: 50 mg/hari atau 100 mg tiga kali seminggu dan untuk anak-anak 1 mg/kgBB/hari. Selain
itu dosis bulanan 300 mg juga diberikan setiap bulan untuk mengurangi reaksi tipe I dan II.5

Efek samping: hanya terjadi pada dosis tinggi berupa gangguan gastrointestinal (nyeri abdomen,
diare, anoreksia dan vomitus).

Obat alternatif

Ofloksasin

Merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap M. leprae in vitro. Dosis
optimal harian adalah 400 mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh
kuman M. leprae hidup sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan
saluran cerna lainnya, berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala,
dizziness, nervousness dan halusinasi.
Minoksiklin

Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi daripada


klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis standar harian adalah 100 mg. Efek
sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang menyebabkan
hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai simtom saluran cerna dan susunan saraf
pusat, termasuk dizziness dan unsteadiness.

Klaritromisin

Merupakan kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal terhadap


M. leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta lepromatosa, dosis harian 500 mg dapat
membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99% dalam 56 hari. Efek sampingnya
adalah nausea, vomitus dan diare.2

Penatalaksanaan kusta menggunakan Multi Drug Therapy (MDT) menurut WHO tahun
1998 adalah sebagai berikut:5

Skema Regimen MDT WHO

Tabel 2.4 Obat dan dosis regimen MDT-PB

OBAT DEWASA

BB<35 kg BB>35 kg

Rifampisin 450 mg/bln (diawasi) 600 mg/bln (diawasi)

Dapson swakelola 50mg/hari(1-2mg/kgBB/hari) 100 mg/hari

Tabel 2.5 Obat dan dosis regimen MDT-MB

OBAT DEWASA

BB<35 kg BB>35 kg

Rifampisin 450 mg/bln (diawasi) 600 mg/bln (diawasi)


Klofazimin 300 mg/bln diawasi dan
diteruskan 50 mg/hari
swakelola
Dapson swakelola 100 mg/hari
50mg/hari(1-2mg/kgBB/hari)

Tabel 2.6 Obat dan dosis regimen MDT WHO untuk anak

PB MB

OBAT < 10 tahun 10 th – 14 th < 10 th 10 th -14 th

BB < 50kg BB < 50 kg

Rifampisin 300 mg/bln 450 mg/bln 300 mg/bln 450 mg/bln

Klofazimin - - 100 mg/bln 150 mg/bln


dilanjutkan 50 mg, dilanjutkan 50
2x/mgg mg/hr
25 mg/hr 50 mg/hr
25 mg/hr 50 mg/hr

Obat morbus hansen dari WHO

 Lamanya pengobatan morbus hansen tipe PB adalah 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan.
 Pengobatan morbus hansen tipe MB adalah sudah sebesar 24 dosis diselesaikan dalam waktu
maksimal 36 bulan.
 Minimum 6 bulan untuk PB dan minimum 24 bulan untuk MB maka dinyatakan RFT (Release
From Treatment).
 WHO Expert Committee:1,5
o MB menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan, sedangkan pengobatan untuk kasus PB dengan
lesi kulit 2-5 buah tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan.
o Bagi kasus PB dengan lesi tunggal pengobatan adalah Rifampisin 600 mg ditambah dengan
Ofloksasin 400 mg dan Minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal.
 Penderita MB yang resisten dengan rifampisin biasanya akan resisten pula dengan DDS
sehingga hanya bisa mendapat klofazimin. Untuk itu pengobatannya dengan klofazimin 50
mg, ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg setiap hari selama 6 bulan, diteruskan
klofazimin 50 mg ditambah ofkloksasin 400 mg atau minosiklin 100 mg setiap hari selama 18
bulan.
 Bagi penderita MB yang menolak klofazimin, diberikan rifampisin 600 mg ditambah dengan
ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg dosis tunggal setiap bulan selama 24 bulan.
 Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment (RFT). Setelah RFT
dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dan bakterioskopis minimal
setiap tahun selama 5 tahun. Bila bakterioskopis tetap negatif dan klinis tidak ada keaktifan
baru, maka dinyatakan bebas dari pengamatan atau disebut Release From Control (RFC).

Reaksi kusta

Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang
sebenarnya sangat kronik.1 Penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (cellular
response) atau reaksi antigen antibody (humoral response). Reaksi ini dapat terjadi sebelum
pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah pengobatan. Dari segi imunologis terdapat
perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan tipe 2, yaitu pada reaksi tipe 1 yang memegang peranan
adalah imunitas seluler (SIS), sedangkan pada reaksi tipe 2 yang memegang peranan adalah
imunitas humoral. 6

Tabel 2.7 Perbedaan Reaksi Kusta Tipe 1 dan Tipe 2 3


No. Gejala/tanda Tipe I (reversal) Tipe II (ENL)
1 Kondisi umum Baik atau demam ringan Buruk, disertai malaise dan
febris
2 Peradangan di Bercak kulit lama menjadi Timbul nodul kemerahan,
kulit lebih meradang (merah), dapat lunak, dan nyeri tekan.
timbul bercak baru Biasanya pada lengan dan
tungkai. Nodul dapat pecah
(ulserasi)
3 Waktu terjadi Awal pengobatan MDT Setelah pengobatan yang
lama, umumnya lebih dari 6
bulan
4 Tipe kusta PB atau MB MB
5 Saraf Sering terjadi Dapat terjadi
Umumnya berupa nyeri tekan
saraf dan atau gangguan fungsi
saraf
6 Keterkaitan organ Hampr tidak ada Terjadi pada mata, KGB,
lain sendi, ginjal, testis, dll
7 Faktor pencetus  Melahirkan  Emosi
 Obat-obat yang  Kelelahan dan stress
meningkatkan fisik lainnya
kekebalan tubuh  kehamilan

Tabel 2.8 Perbedaan Reaksi Kusta Ringan dan Berat tipe 1 dan tipe 2 3
No Gejala/tanda Tipe I Tipe II
Ringan Berat Ringan Berat
1. Kulit Bercak : Bercak : Nodul : Nodul : merah,
merah, merah, merah,panas,nyeri panas, nyeri yang
tebal, tebal, bertambah parah
panas, panas, sampai pecah
nyeri nyeri yang
bertambah
parah
sampai
pecah
2 Saraf tepi Nyeri pada Nyeri Nyeri pada Nyeri pada perabaan
perbaan (-) pada perabaan (-) (+)
perabaan
(+)
3 Keadaan Demam (-) Demam Demam (+) Demam (+)
umum (+)
4 Keterlibatan - - - +
organ lain Terjadi peradangan
pada :
 mata :
iridocyclitis
 testis :
epididimoorchitis
 ginjal : nefritis
 kelenjar limpa :
limfadenitis
 gangguan pada
tulang, hidung,
dan tenggorokan
*bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf, dikategorikan sebagai reaksi
berat

Fenomena Lucio
Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe
lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak atau infiltrat difus, bewarna merah
muda, bentuk tidak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstremitas, kemudian meluas ke
seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematous disertai purpura dan bula kemudian
dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya
terbentuk jaringan parut.
Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan nekrosis
pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi endhotelial pembuluh darah lebih dalam.
Didapatkan banyak basil M.Leprae di endotel kapiler. Walaupun tidak ditemukan infiltrat PMN
seperti pada ENL namun dengan imunofluoresensi tampak deposit imunoglobulin dan komplemen
di dalam dinding pembuluh darah.1

Pengobatan ENL

Obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid, antara lain prednisone.
Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya 15-30 mg/hari dan dosisnya
diturunkan bertahap.

Klofazimin juga dapat dipakai sebagai anti ENL, tetapi dengan dosis yang lebih tinggi.
Dosisnya antara 200-300mg/hari. Khasiatnya lebih lambat daripada kortikosteroid dan dapat
dipakai untuk melepaskan ketergantungan kortikosteroid.1

Pengobatan Reaksi Reversal

Bila reaksi ini tidak disertai neuritis akut, maka tidak perlu diberi obat tambahan. Bila ada
neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya disesuaikan dengan berat
ringannya neuritis. Biasanya diberikan prednisone 40-60 mg/hari yang dosisnya diturunkan secara
bertahap. Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgesik dan sedatif
kalau diperlukan dapat diberikan.

Pada pasien ini diberikan terapi morbus hansen sesuai dengan regimen MDT-MB dari
WHO dan diberikan kortikosteroid oral untuk mengatasi reaksi ENL yang terdapat pada pasien
ini. Pada pasien ini juga diberikan antihistamin. Antihistamin yang dipilih disini adalah
antihistamin golongan sedatif misalnya Klorfeniramin maleat 2 x 4 mg. Obat ini dipilih karena
murah serta mudah didapat, namun dapat menyebabkan kantuk karena memiliki efek sedatif.1
2.10 PENCEGAHAN CACAT

Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT mempunyai resiko
tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Selain itu, penderita dengan reaksi kusta, terutama reaksi
reversal, lesi kulit multipel dan dengan saraf yang membesar atau nyeri juga memiliki resiko
tersebut.

Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan berkurangnya
kekuatan otot. Penderitalah yang mula-mula menyadari adanya perubahan sensibilitas atau
kekuatan otot. Keluhan berbentuk nyeri saraf atau luka yang tidak sakit, lepuh kulit atau hanya
berbentuk daerah yang kehilangan sensibilitasnya saja. Juga ditemukan keluhan sukarnya
melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya memasang kancing baju, memegang pulpen atau
mengambil benda kecil, atau kesukaran berjalan. Keluhan tersebut harus diperiksa dengan teliti
dengan anamnesis yang baik tentang bentuk dan lamanya keluhan, sebab pengobatan dini dapat
mengobati, sekurangnya mencegah kerusakan berlanjut.

Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of disabilities (POD)
adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT yang cepat dan
tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan syaraf
serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin. Bila terdapat gangguan
sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana misalnya memakai sepatu untuk melindungi kaki
yang telah terkena, memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda yang tajam atau panas, dan
memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu diajarkan pula cara perawatan kulit
sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka atau ulkus. Setelah itu
tangan dan kaki direndam, disikat dan diminyaki agar tidak kering dan pecah.

WHO Expert Committee on Leprosy membuat klasifikasi cacat pada tangan, kaki dan mata
bagi penderita kusta. Berikut adalah klasifikasi cacat pada penderita kusta:

Cacat pada tangan dan kaki

Tingkat 0 : tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau deformitas yang terlihat.

Tingkat 1 : ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang terlihat.

Tingkat 2 : terdapat kerusakan atau deformitas.


Cacat pada mata

Tingkat 0 : tidak ada kelainan atau kerusakan pada mata (termasuk visus).

Tingkat 1 : ada kelainan atau kerusakan pada mata, tetapi tidak terlihat, visus sedikit
berkurang.

Tingkat 2 : ada kelainan mata yang terlihat (misalnya lagoftalmos, iritis, kekeruhan kornea) dan
atau visus sangat terganggu.1

Rehabilitasi

Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh ialah antara lain dengan
jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke asal, tetapi fungsinya
secara kosmetik dapat diperbaiki.

Cara lain ialah secara kekaryaan, yaitu memberi lapangan pekerjaan yang sesuai cacat
tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa percaya diri, selain itu dapat
dilakukan terapi psikologik (kejiwaan).1

2.11 PROGNOSIS

Quo ad vitam adalah ad bonam karena MH tidak mengancam nyawa walaupun bersifat kronik dan
membutuhkan pengobatan jangka panjang.

Quo ad fungsionam adalah dubia ad bonam karena MH juga tidak mengakibatkan gangguan fungsi
organ-organ tubuh pada pasien ini, walaupun dapat menyebabkan deformitas pada beberapa kasus
yang terlambat mendapatkan pengobatan.

Quo ad sanationam pada pasien ini adalah dubia ad bonam karena pasien memiliki pendidikan
yang cukup dan mampu memahami pentingnya pengobatan jangka panjang terhadap penyakitnya.
BAB III

KESIMPULAN

Diagnosa pada kusta didasarkan pada diagnostik secara klinis dimana terdapat tiga tanda
kardinal yang khas yaitu lesi kulit yang mati rasa (hipopigmentasi atau eritema yang mati rasa atau
anestesi), penebalan saraf perifer dan ditemukan M. leprae (bakteriologis positif). Pemeriksaan
penunjang dengan pemeriksaan BTA dan menentukan indeks bakteri membantu membedakan
jenis kusta yang diderita.

Pengobatan lepra disarankan memakai program Multi Drugs Therapy (MDT), yang
direkomendasikan oleh WHO sejak 1981. Tujuan dari program MDT adalah mengatasi resistensi
dapson yang semakin meningkat, menurunkan angka putus obat (drop-out rate) dan ketidaktaatan
penderita. Komplikasi utama yang ditakutkan adalah kecacatan bagian tubuh akibat hilangnya
sensitifitas terutama pada kulit. Prognosis penyakit ini dengan adanya obat-obat kombinasi,
menjadi lebih baik, dan pengobatannya menjadi lebih sederhana.
DAFTAR PUSTAKA

1. A.Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe – Dili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta. Dalam:
Djuanda,Adhi dkk.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2010.h. 73-88.
2. Buxton K.P. ABC of Dermatology, 4th ed (BMJ Books); 2003.p.109-10.
3. Lewis S. Leprosy. Update 4 Februari 2010. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview#showall, Agustus 2019.
4. Hajar S. Morbus Hansen: Biokimia dan imunipatogenesis. Jurnal Kedokteran Syiah
Kuala: 17(3): Desember 2017.hal. 190-4.
5. World Health Organization. WHO model prescribing information: drug used in
leprosy. Diunduh dari: http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Jh2988e/1.html, 20
Agustus 2019.
6. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Fritzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 6th
Edition. Mc Graw Hill; 2008.h. 665-71.

Anda mungkin juga menyukai