Anda di halaman 1dari 33

REFERAT

Infeksi Virus Pada Kulit

Disusun oleh:
Thirafi Prastito
1102012294

Pembimbing :
Dr. Yenny Sp.KK. M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KULIT KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RSUD ARJAWINANGUN
2017
BAB I
MOLUSKUM KONTANGIOSUM

3.1 Definisi
Moluskum kontangiosum merupakan infeksi virus DNA genus Molluscipox.
Pada individu sehat dapat sembuh spontan setelah beberapa bulan. Namun, kadang
menetap sampai 2 bulan atau lebih.

3.2 Epidemiologi
Penyakit ini terutama menyerang anak, kadang-kadang juga orang dewasa,
dan pasien dengan imunokompremais. Jika pada orang dewasa digolongkan pada
penyakit infeksi menular seksual (IMS). Transmisinya melalui kontak langsung,
otoinokulasi, atau melalui benda yang terkontaminasi, misalnya handuk, baju,
kolam renang, dan mainan.

3.3 Etiopatogenesis
Virus moluskum tergolong Virus DNA genus Molluscipox, ditemukan 4
subtipe dan tipe 1 dianggap dapat menyerang individu yang imunokompeten. Masa
inkubasi antara 2-8 minggu.

3.4. Gejala Klinis


Lokasi penyakit ini yaitu di daerah wajah, leher, ketiak, badan, dan
ekstremitas (jarang di telapak tangan atau telapak kaki), sedangkan pada orang
dewasa di daerah pubis dan genitalia eksterna.
Kelainan kulit berupa papul berbentuk bulat mirip kubah, berukuran miliar
sampai lentikular dan berwarna putih dan berkilat seperti lilin. Papul tersebut
setelah beberapa lama membesar kemudian di tengahnya terdapat lekukan (delle).
Jika dipijat akan tampak keluar massa yang berwarna putih mirip butiran nasi.
Kadang-kadang dapat timbul infeksi sekunder sehingga timbul supurasi, sebagian
papul dapat berukuran 1-5 mm dan bertangkai, juga dapat berukuran besar hingga
10-15 mm disebut giant molluscum. Komplikasi dapat terjadi infeksi sekunder
akibat garukan.

2
Pada pasien imunokompremais, misalnya HIV/AIDS, lesi moluskum menjadi
cepat tumbuh, berjumlah sampai ratusan, besar-besar dan tersebar.

Gambar 1.1 dan 3.2 Moluskum Kontangiosum

3.5 Laboratorium dan Histopatologik


Virus dapat dideteksi dengan pemeriksaan PCR, pada pemeriksaan
histopatologik di daerah epidermis dapat ditemukan badan moluskum
(intracytoplasmic inclusion body) yang mengandung partikel virus. Badan inklusi
tersebut dinamakan Henderson-Paterson bodies. Badan moluskum juga dapat
dlihat dengan pulasan gram, wright, atau giemsa.

3.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding


Morfologi klinis yang khas berupa papul bulat, keras, berkilat mirip lilin dan
permukaan dapat disetai delle. Biasanya tanpa inflamasi.
Klinis mudah dibedakan dengan milia, folikulitis, dan lesi awal varisela.

3
3.7 Tatalaksana
Prinsip pengobatan adalah mengeluarkan masa yang mengandung badan
moluskum. Untuk mengeluarkan massa tersebut, dapat dipakai alat, antara lain
ekstraktor komedo, jarum suntik, atau kuret. Cara lain yang dapat digunakan adalah
elektrokuterisasi atau bedah beku dengan CO2, dan N2. Sebelum tindakan dapat
diberikan anastetik lokal, misalnya krim yang mengandung lidokain/prilokain.
Pada anak, diberikan pengobatan kantaridin, yaitu ekstrak racun lebah yang
mampu menimbulkan gelembung (vesikel) di kulit. Kantaridin 0,7% dioleskan dan
dibiarkan selama 4 jam lalu dicuci. Kemudian dapat terjadi rasa nyeri saat timbul
vesikel (1-3 hari setelah aplikasi). Rasa nyeri dapat diatasi dengan pemberian
asetaminofen, dan bila gelembung pecah dapat diolesi krim/salep yang mengadung
natrium fusidat atau mupirosin. Selain itu, obat pilihan lain adalah pengolesan
dengan fenol jenuh dan dicuci setelah 4 jam. Penyembuhan dapat disertai
hipopigmentasi atau hiperpigmentasi pasca inflamasi.
Terapi lain yang dapat dipakai adalah golongan keratolitik topikal, misalnya
tretinoin, bbichlorocetic acid, atau trichloroacetic acid, dan asam salisililat.
Pada orang dewasa pengobatan harus juga dilakukan terhadap pasangan
seksualnya, bila lesi luas dan banyak, misalnya pada pasien dengan HIV/AIDS
dianjurkan terapi antivirus per oral misalnya Cidofovir yang dilaporkan berhasil
karena dapat menghamba aktivitas virus DNA polymerase.

3.8 Pencegahan
Pasien diminta menjaga kebersihan diri, tidak saling meminjam alat mandi,
misalnya handuk, pakaian, dan mainan. Mencegah kontak fisik sesama teman, dan
selama sakit dilarang berenang.

3.9 Prognosis
Dengan menghilangkan semua lesi yang ada, penyakit ini tidak atau jarang
residif.

4
BAB II
VARIOLA

4.1 Definisi
Variola ialah penyakit virus yang disertai keadaan umum yang buruk, dapat
menyebabkan kematian, efluoresensinya bersifat monomorf terutama pada perifer
tubuh.

4.2 Epidemiologi
Penyebaran penyakit ini kosmopolit tetapi pada daerah tertentu memberi
insidens yang tinggi, misalnya di Amerika tengah dan Selatan. Dengan vaksinasi
yang teratur dan terorganisasi baik, maka insidens akan jauh menurun.

4.3 Etiologi
Penyebab variola ialah virus poks (pox virus variolae). Dikenal 2 tipe virus
yang hampir identik, tetapi menyebabkan 2 tipe variola, yaitu variola mayor dan
variola minor (alastrim). Perbedaan kedua tipe virus tersebut adalah bahwa viru
yang menyebabkan variola mayor bila diinokulasikan pada membran korioalantoik
tumbuh pada suhu 38-38,5 derajat celcius, sedangkan yang menyebabkan variola
minor tumbuh dibawah 38 derajat celcius. Virus ini sangat stabil pada suhu
ruangan, sehingga dapat hidup di luar tubuh selama berbulan-bulan.

4.4 Patogenesis
Transmisi terjadi secara aerogen karena virus ini terdapat dalam jumlah
yang sangat banyak di saluran napas bagian atas dan juga terdapat/terbawa di
pakaian penderita. Setelah masuk kedalam tubuh, virus akan mengalami
multiplikasi dalam sistem retikuloendotelial, kemudian masuk kedalam darah
(viremia) dan melepaskan diri melalui kapiler dermis menuju sel epidermis
(epidermotropik) dan membentuk badan inklusi intra sitoplasma yang terletak di
inti sel (Badan Guarneri). Tipe variola yang timbul bergantung pada imunitas, tipe
virus dan gizi penderita.

5
4.5 Gejala Klinis
Inkubasinya 2-3 minggu, terdapat 4 stadium

1. stadium inkubasi erupsi (prodromal)


terdapat nyeri kepala, nyeri tulang, dan sendi. Disertai demam tinggi,
menggigil, lemas dan muntah-muntah, yang berlangsung selama 3-4 hari.
2. stadium makulopapular
timbul banyak makula eritomatosa yang cepat menjadi papul, terutama di
wajah dan ekstremitas, termasuk telapak tangan dan telapak kaki. Pada
stadium ini suhu tubuh normal kembali, penderita merasa sehat dan tidak
timbul lesi baru.
3. stadium vesikulo-pustulosa
dalam waktu 5-10 hari timbul vesikel yang kemudian menjadi pustul dan
pada saat ini suhu tubuh meningkat lagi. Pada kelainan tersebut timbul
umbilikasi.
4. stadium resolusi
stadium ini berlangsung dalam waktu 2 minggu, timbul krusta dan suhu
tubuh mulai menurun. Kemudian krusta terlepas dan meninggalkan
sikatriks yang atrofi. Kadang-kadang dapat timbul perdarahan yang
disebabkan depresi hemtopoetik dan disebut sebagai black variola yang
sering fatal.

Gambar 2 variola

6
4.6 Penunjang
Penunjang diagnosis terdiri atas inokulasi pada korioalantoik, pemeriksaan
virus dengan mikroskop elektron, dan deteksi antigen virus pada agar-sel. Kecuali
itu juga pemeriksaan histopatologik dan tes serologik (tes ikatan komplemen).

4.7 Komplikasi
Komplikasinya ialah bronko pneumonia, infeksi kulit sekunder (furunkel,
impetigo dan sebagainya), ulkus kornea, ensefalitis, efluvium, dan telogen dalam
waktu 3-4 bulan.

4.8 Pengobatan
Penderita harus dikarantinakan. Sistemik dapat diberikan obat antiviral
(asiklovir atau valasiklovir) misalnya isoprinosin, dan interferon, dapat pula
diberikan globulin gama. Kecuali itu obat yang berrsifat simtomatik, misalnya
analgetik/antipiretik. Diawasi pula kemungkinan timbulnya infeksi sekunder,
mupun infeksi nosokomial, serta cairan tubuh dan elektrolit. Jika di mulut masih
terdapat lesi, diberikan makanan lunak. Pengobatan topikal bersifat penunjang,
misalnya kompres dengan antiseptik atau salap antibiotik.

4.9 Prognosis
Prognosis sangat bergantung pada penatalaksanaan pertama dan fasilitas
perawatan yang tersedia. Maka mortalitas sangat bervariasi di antara 1-50%.
Jaringan parut yang timbul dapat diperbaiki dengan tindakan dermabrasi atau
pemberian collagen implant.

4.10 Profilaksis
Vaksinasi dengan virus vaksinia yang diberikan dengan metode multiple
puncture, merupakan teknik yang dianggap terbaik. Pada waktu pemberian
vaksinasi tempat tersebut tidak dibersihkan dengan alkohol, tetapi cukup dengan
eter atau aseton agar alkohol tidak menginaktifkan virus vaksinia tersebut.

7
BAB III
VARISELA

5.1 Definisi
Infeksi akut primer oleh virus varisela zoster yang menyerang kulit dan
mukosa, manifestasi klinis didahului gejala konstitusi, kelainan kulit polimorf,
terutama berlokasi di bagian sentral tubuh. Sinonim : cacar air, chicken pox.

5.2 Epidemiologi
Varisela tersebar kosmopolit, menyerang terutama anak-anak (90%)m
tetapi dapat juga menyerang orang dewasa (2%), sisanya menyerang kelompok
tertentu. Transmisi penyakit ini secara aerogen. Masa penularannya lebih kurang 7
hari dihitung dari timbulnya gejala kulit.
Berbeda dengan varisela, meskipun virusnya sama VVZ, namun herpes zoster
jarang mengenai anak-anak. Morbiditas meningkat seiring bertamahnya usia. Bilal
ditemukan herpes zoster pada anak, sebaiknya dicurigai kemungkinan pasien
tersebut imunokompremais.

5.3 Etiopatogenesis
Penyebab varisela adalah virus varisela zoster (VVZ). Penamaan tersebut
memberi pengertian bahwa infeksi primer virus ini menyebabkan penyakit varisela,
sedangkan reaktivasi menyebabkan herpes zoster. VVZ merupakan anggota famili
herpes virus. Virion VVZ berbentuk bulat, diameter 150-200 nm, DNA terletak di
antara nukleokapsid dan dikelilingi oleh selaput membran luar dengan sedikitnya
terdapat tiga tonjnola glikopretein mayor. Glikoprotein ini yang merupakan target
imunitas humoral dan seluler.
VVZ masuk ke dalam tubuh melalui mukosa saluran napas atas dan orofaring.
Virus bermultiplikasi di tempat masuk (port dentree), menyebar melalui pembuluh
darah dan limfe, mengakibatkan viremia primer. Tubuh mencoba mengeliminasi
virus terutama melalui sesitem pertahanan tubuh non spesifik, dan imunitas spesifik
terhadap VVZ. Apabila pertahanan tubuh tersebut gagal mengeliminasi virus terjadi
viremia sekunder kurang lebih dua minggu setelah infeksi. Viremia ini ditandai oleh

8
timbulnya erupsi varisela, terutama di bagian sentral tubuh dan di bagian perifer
lebih ringan. Pemahaman baru menyatakan bahwa erupsi kulit sudah dapat terjadi
setelah viremi primer. Setelah erupsi kulit dan mukosa, virus masuuk ke ujung saraf
sensorik kemudian menjadi laten di ganglion dorsalis posterior. Pada suatu saat,
bila terjadi reaktivasi VVZ, dapat terjadi manifestasi herpes zoster, sesuai
deematom yang terkena.

5.4 Gejala Klinis


Masa inkubasi penyakit ini berlangsung 14 sampai 21 hari. Gejala klinis
dimulai dengan gejala prodormal, yakni demam yang tidak terlalu tinggi, malaise,
dan nyeri kepala. Kemudia disusul timbulnya erupsi kulit berupa papul eritematosa
yang dalam waktu beberapa jam berubah menjadi vesikel. Bentuk vesikel ini khas
mirip tetesan embun (tear drops) di atas dasar yang eritematosa. Vesikel akan
berubah menjadi keruh menyerupai pustul dan kemudian menjadi krusta.
Sementara proses ini berlangsung, timbul lagi vesikel-vesikel baru sehingga pada
satu saat tampak gambaran polimorfi.
Penyebaran terutama di daerah badan, kemudian menyebar secara setrifugal
ke wajah dan ekstremitas, serta dapat menyerang selaput lendir mata, mulut, dan
saluran napas bagian atas. Jika terdapat infeksi sekunder terdapat pembesaran
kelejar getah bening regional. Penyakit ini biasanya disertai rasa gatal.
Komplikasi pada anak-anak umumnya jarang timbul dan lebih sering pada
orang dewasa, berupa ensefalitis, pneumonia, glomerulonefritis, karditis, hepatitis,
keratitis, kojungtivitis, otitis, atreritis, dan kelainan darah (beberapa macam
purpura).
Infeksi yang timbul pada trimester pertama kehamilan dapat menimbulkan
kelainan kongenital, sedangkan infeksi yang terjadi beberapa hari menjelang
kelahiran dapat menyebabkan varisela kongenital pada neonatus

9
Gambar 5.1 dan 5.2 Varicella

5.5 Pemeriksaan Penunjang


Pada umumnya tidak diperlukan pada varisela tanpa komplilkasi, pada
sediaan darah tepi dapat ditemukan penurunan leukosit dan peningkatan enzim
hepatik. Dapat dilakukan percobaan Tzanck dengan cara membuat sediaan hapus
yang diwarnai dengan giemsa. Bahan diambil dari kerokan dasar vesikel dan akan
didapati sel datia berinti banyak. Namun hasil ini tidak spesidik untuk varisela.
Bila keadaan laboraturium memungkinkan dapat dilakukan pemeriksaan cairan
vesikel denngan PCR guna membuktikan infeksi DNA VVZ, atau serologik untuk
fluoresent-antibody to membrane antigen of VVZ dan atau dengan menggunakan
tes aglutinasi lateks.

5.6 Diagnosis

10
Diagnosis varisela ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala prodormal, rasa
gatal, dan manifestasi klinis sesuai tempat predileksi dan morfologi yang khas
varisela

5.7 Diagnosis Banding


Harus dibedakan dengan variola (walaupun saat ini sudah sangat jarang).
Variola secara klinis lebih berat dan memberi gambaran monomorf, penyebaran
dimulai dari bagian akral tubuh yakni telapak tangan dan telapak kaki.
Beberapa penyakit lain yang mirip adalah reaksi hipersensitivitas gigitan
serangg (insect bites), Hand, foot and mouth disease serta Pityriasis lichenonides
et varioliformis acuta (PLEVA), skabies impetigesinata)

5.8 Tatalaksana
Pengobatan bersifat simptomatik dengan antipiretik dan analgesik, untuk
menghilangkan rasa gatal dapat diberikan sedatif, atau anthistamin yang
mempunyai efek sedatif. Antipiretik antara lain parasetamol, hindari salisilat atau
aspirin kakrena dapat menimbulkan sindrom Reye.
Terapi lokal ditujukan mencegah agar vesikel tidak pecah terlalu dini, karena
itu diberikan bedak yang ditambah dengan zat anti gatal (mentol, kamfora). Jka
timbul infeksi sekunder dapat diberikan antibiotik oral atau salap. Dapat pula
diberikan obat-obat antivirus. Varicella zoster immunoglobuline (VIZIG) dapat
mencegah atau meringankan varisela dan diberikan secara intramuskular dalam 4
hari setelah terpajan.
Indikasi pemberian antivirus adalah bila sebelumnya telah ada anggota
keluarga serumah yang menderita varisela, atau pada pasien imunokompremais,
antara lain pasien dengan keganasan, infeksi HIV/AIDS, atau yang sedang
mendapat pengobatan imunosupresan, misalnya kortikosteroid jangkan panjang,
atau sitostatik dan pada kehamilan. Pemberian dosis asiklovir sebagai berikut:

Status Dosis asiklovir


Bayi / anak 10-20mg/KgBB/hari; dosis terbagi 4-5 x 20 mg/KgBB/kali
(maks 800 mg/kali) selama 7 hari

11
Status Dosis asiklovir
Dewasa Asiklovir 5 x 800 mg /hari selama 7 hari, atau
Vasiklovir 3 x 1 gram/hari selama 7 hari
Famsiklovir 3x 250 mg/hari selama 7 hari
Imunokompremais Asiklovir 10 mg/KgBB, intravena atau iv drip 3x sehari
minimal 10 hari, atau
Asiklovir 5 x 800 mg/hari/oral minimal 10 hari, atau
Valasiklovir 3 x 1 gram/ hari minimal 10 hari, atau
Famsiklovir 3 x 500 ng/hari selama minimal 10 hari

5.9 Pencegahan dengan Vaksinasi


varisela berasal dari galur yang telah dilemahkan. Angka serokonversi
mencapai 97-99%. Diberikan pada yang berumur 12 bulan atau lebih. Lama
proteksi belum diketahui pasti. Meskipun demikian, vaksinasi ulangan dapat
diberikan setelah 4-6 tahun.
Pemberian secara subkutan sebesar 0,5 ml pada anak berusia 12 bulan sampai
12 tahun. Pada usia diatas 12 tahun juga diberikan 0,5 ml, setelah 4-8 minggu
diulang dengan dosis yang sama.

5.10 Prognosis
Perawatan yang teliti dan memperhatikan higiene memberi prognosis yang
baik dan dapat mencegh timbulnya jaringan parut

12
BAB IV
HERPES ZOSTER

6.1 Definisi
Herpes zoster atau shingles adalah penyakit neurokutan dengan manifestasi
erupsi vesikular berkelompok dengan dasar eritematosa disertai nyeri radikular
unilateral yang umumnya terbatas di satu dermatom. Herpes zoster merupakan
manifestasi reaktivasi infeksi laten endogen virus varisela zoster didalam neuron
ganglion sensoris radiks dorsalis, ganglion saraf kranialis atau ganglioin saraf dan
kulit dengan segmen yang sama.

6.2 Epidemiologi
Penyakit herpes zoster terjadi sporadis sepanjang tahun tanpa mengenal
musim. Insidensnya 2-3 kasus per-1000 orang/tahun. Insiden dan keparahan
penyakitnya meningkat dengan bertambahnya usia. Lebih dari setengah jumlah
keseluruhan kasus dilaporkan terjadi pada usia lebih dari 60 tahun dan komplikasi
terjadi hampir 50% di usia tua. Jarang dijumpai pada usia dini, bila terjadi,
kemungkinan dihubungkan dengan varisela maternal saat kehamilan. Risiko
penyakit meningkat dengan adanya keganasan, atau dengan transplantasi sumsum
tulang/ginal atau infeksi HIV. Tidak terdapat predileksi gender. Penyakit ini
bersifat menular namun daya tularnya kecil bila dibandingkan dengan varisela.

6.3 Etiopatogenesis
Hope Simpson, 1965, mengajukan hipotesis bahwa imunitas terhadap
varisela zoster virus berperan dalam patogenesis herpes zoster terutama iunitas
selulernya. Mengikuti infeksi primer virus barisela-zoster, partikel virus dapat tetap
tinggal di dalam ganglion saraf spinalis, kranialis, atau otonom selama tahunan.
Pada saat respons imunitas selular dan titer antibodi spesifik terhadap virus varisela-
zoster menurun (misal karena umur, atau penyakit imunosupresif) sampai tidak lagi

13
efektif mencegah infeksi virus, maka partikel virus varisela-zoster yang laten
tersebut mengalami reaktivasi dan menimbulkan ruam kulit yang terlokalisata
didalam satu dermatom. Faktor lain seperti radiasi, trauma fisik, obat-obat tertentu
dan infeksi lain ataupun stres dapat dianggap sebagai pencetus, walaupun belum
pasti.

6.4 Gejala Klinis


Herpes zoster dapat dimulai dengan timbulnya gejala prodormal berupa
sensasi abnormal atau nyeri otot lokal, nyeri tulang, pegal, parastesia sepanjang
dermatom, gatal, rasa terbakar dari ringan sampai berat. Dapat juga dijumpai gejala
konstitusi misalnya nyeri kepala, malaise, dan demam. Gejala prodormal dapat
berlangsung beberapa hari (1-10 hari, rata-rata 2 hari).
Setelah awitan gejala prodormal, timbul erupsi kulit yang biasanya gatal atau
nyeri terlokalisata (terbatas di satu dermatom) berupa makula kemerahan.
Kemudian berkembang menjadi papul, vesikel jernih berkelompok selama 3-5 hari.
Selanjutnya isi vesikel menjadi keruh dan akhirnya pecah menjadi krusta
(berlangsung selama 7-10 hari). Erupsi kulit mengalami involusi setelah 2-4
minggu. Sebagian besar kasus herpes zoster erupsi kulitnya menyembuh secara
spontan tanpa gejala sisa.
Pada sejumlah kecil pasien dapat terjadi komplikasi berupa kelainan mata
(10-20% penderita) bila menyerang di daerah mata, infeksi sekunder, dan neuropati
motorik. Kadang-kadang dapat terjadi meningitis, ensefalitis, atau mielitis.
Perjalanan penyakit herpes zoster pada penderita imunokompremais sering
rekuren, cenderung kronik persisten, lesi kulitnya lebih berat (terjadi bula
hemoragik, nekrotik, dan sangat nyeri), tersebar diseminata, dan dapat disertai
dengan keterlibatan organ dalam. Proses penyembuhannya juga berlangsung lebih
lama.
Dikenal beberapa variasi klinis herpes zoster antara lain zoster sine herpete
bila terjadi nyeri segmental yang tidak diikuti dengan erupsi kulit. Herpes zoster
abortif bila erupsi kulit hanya berupa eritema dengan atau tanpa vesikul yang
langsung mengalami resolusi sehingga perjalanan penyakitnya berlangsung
singkat. Disebut herpes zoster aberans bila erupsi kulitnya melalui garis tengah.

14
Bila virusnya menyerang nervus fasialis dan nervus auditoris, terjadi sindrom
Ramsay-Hunt yaitu erupsi kulit timbul di liang telinga luar atau membran timpani
disertai paresis fasialis, gangguan lakrimasi, gangguan pengecap 2/3 bagian depan
lidah, tinitus, vertigo dan tuli
Terjadi herpes zoster oftalmikus bila virus menyerang cabang pertama nervus
trigeminus. Bila mengenai anak cabang nasosiliaris (timbul vesikel di puncak
hidung yang dikenal sebagai tanda Hutchinson) kemungkinan besar terjadi kelainan
mata.

Gambar 6.1 herpes zoster

Gambar 6.2 herpes zoster oftalmikus

6.5 Diagnosis
Diagnosis penyakit herpes zoster sangat jelas, karena gambaran klinisnya
memiliki karakteristik tersendiri. Untuk kasus-kasus yang tidak jelas, deteksi

15
antigen atau nucleus acid varicella zoster virus , isolasi virus dan sediaan hapus lesi
atau pemeriksaan antibodi IgM spesifik diperlukan. Pemeriksaan dengan teknik
polymerasi chain reaction (PCR) merupakan tes diagnostik yng paling sensitif dan
spesifik (dapat mendeteksi DNA virus varisela zoster dari cairan vesikel).

6.6 Diagnosis Banding


Herpes zoster awal dapat didiagnosis banding dengan dermatitis venenata
atau dermatitis kontak. Herpes zoster yang timbul di daerah genitalia mirip dengan
herpes simpleks, sedangkan herpes zoster diseminata dapat mirip dengan varisela.

6.7 Pengobatan
Prinsip dasar pengobatan herpes zoster adalah menghilangkan nyeri secepat
mungkin dengan cara membatasi replikasi virus, sehingga mengurangi kerusakan
saraf lebih lanjut.
Sistemik :

1. Obat Antivirus
Antivirus terbukti menurunkan durasi lesi herpes zoster dan derajat
keparahan nyeri akut. Obat yang biasa digunakan ialah asiklovir dan
modifikasinya, misalnya valasiklovir dan famsiklovir. Asiklovir bekerja
sebagai inhibitor DNA polimerase pada virus. Asiklovir dapat diberikan
peroral ataupun intravena. Asiklovir Sebaiknya pada 3 hari pertama sejak
lesi muncul. Dosis asiklovir peroral yang dianjurkan adalah 5800
mg/hari selama 7 hari, sedangkan melalui intravena biasanya hanya
digunakan pada pasien yang imunokompromise atau penderita yang tidak
bisa minum obat. Obat lain yang dapat digunakan sebagai terapi herpes
zoster adalah valasiklovir. Valasiklovir diberikan 31000 mg/hari selama
7 hari, karena konsentrasi dalam plasma tinggi. Selain itu famsiklovir juga
dapat dipakai. Famsiklovir juga bekerja sebagai inhibitor DNA
polimerase. Famsiklovir diberikan 3200 mg/hari selama 7 hari.

2. Kortikosteroid

16
Indikasi pemberian kortikosteroid ialah untuk Sindrom Ramsay Hunt.
Pemberian harus sedini mungkin untuk mencegah terjadinya paralisis.
Yang biasa diberikan ialah prednison dengan dosis 320 mg/hari, setelah
seminggu dosis diturunkan secara bertahap. Dengan dosis prednison
setinggi itu imunitas akan tertekan sehingga lebih baik digabung dengan
obat antivirus.

3. Analgetik
Analgetik diberikan untuk mengurangi neuralgia yang ditimbulkan oleh
virus herpes zoster. Obat yang biasa digunakan adalah asam mefenamat.
Dosis asam mefenamat adalah 1500 mg/hari diberikan sebanyak 3 kali,
atau dapat juga dipakai seperlunya ketika nyeri muncul.

Topikal
Pengobatan topikal bergantung pada stadiumnya. Jika masih stadium vesikel
diberikan bedak dengan tujuan protektif untuk mencegah pecahnya vesikel
agar tidak terjadi infeksi sekunder. Bila erosif diberikan kompres terbuka.
Kalau terjadi ulserasi dapat diberikan salep antibiotik.

6.8 Komplikasi

1. Neuralgia pasca herpetic


Neuralgia pasca herpetik adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas
penyembuhan. Neuralgia ini dapat berlangsung selama berbulan-bulan
sampai beberapa tahun. Keadaan ini cenderung timbul pada umur diatas 40
tahun, persentasenya 10 15 % dengan gradasi nyeri yang bervariasi.
Semakin tua umur penderita maka semakin tinggi persentasenya.
2. Infeksi sekunder
Pada penderita tanpa disertai defisiensi imunitas biasanya tanpa komplikasi.
Sebaliknya pada yang disertai defisiensi imunitas, infeksi H.I.V.,
keganasan, atau berusia lanjut dapat disertai komplikasi. Vesikel sering
manjadi ulkus dengan jaringan nekrotik.
3. Kelainan pada mata

17
Pada herpes zooster oftatmikus, kelainan yang muncul dapat berupa: ptosis
paralitik, keratitis, skleritis, uveitis, korioratinitis dan neuritis optik.
4. Sindrom Ramsay Hunt
Sindrom Ramsay Hunt terjadi karena gangguan pada nervus fasialis dan
otikus, sehingga memberikan gejala paralisis otot muka (paralisis Bell),
kelainan kulit yang sesuai dengan tingkat persarafan, tinitus, vertigo,
gangguan pendengaran, nistagmus, nausea, dan gangguan pengecapan.
5. Paralisis motorik
Paralisis motorik dapat terjadi pada 1-5% kasus, yang terjadi akibat
perjalanan virus secara kontinuitatum dari ganglion sensorik ke sistem saraf
yang berdekatan. Paralisis ini biasanya muncul dalam 2 minggu sejak
munculnya lesi. Berbagai paralisis dapat terjadi seperti: di wajah,
diafragma, batang tubuh, ekstremitas, vesika urinaria dan anus. Umumnya
akan sembuh spontan.

18
BAB V
HERPES SIMPLEKS

7.1 Definisi
Herpes simpleks merupakan infeksi virus yang ditandai dengan lesi primer
terlokalisir, laten dan adanya kecendurangan untuk kambuh kembali. Ada 2 jenis
virus yaitu virus herpes simpleks (HSV) tipe 1 dan 2 pada umumnya
menimbulkan gejala klinis yang berbeda, tergantung pada jalan masuknya.Dapat
menyerang alat-alat genital atau mukosa mulut.

7.2 Epidemiologi
Tersebar di seluruh dunia. Hampir 50%-90% orang dewasa memiliki
antibodi terhadap HSV 1. Infeksi awal HSV 1 biasanya terjadi sebelum usia 5 tahun,
namun saat ini banyak infeksi primer ditemukan terjadi pada orang dewasa. Infeksi
HSV 2 biasanya dimulai karena aktivitas seksual dan jarang terjadi sebelum
menginjak dewasa, kecuali kalau terjadi sexual abused pada anak-anak. Antibodi
HSV 2 ditemukan sekitar 20%-30% pada orang Amerika dewasa. Prevalensi
antibodi HSV 2 meningkat (lebih dari 60%) pada kelompok sosial ekonomi rendah
dan pada orang-orang yang berganti-ganti pasangan.

7.3 Etiologi
Penyebab infeksi adalah virus herpes simpleks termasuk dalam famili
herpesviridae, subfamili alphaherpesvirinae.HSV tipe I dan tipe II dapat dibedakan
secara imunologis (terutama kalau digunakan antibody spesifik atau antibody
monoclonal). Dan HSV tipe 1 dan tipe 2 juga berbeda kalau dilihat dari pola
pertumbuhan dari virus tersebut pada kultur sel, embryo telur dan pada binatang
percobaan.
Kontak dengan virus HSV 1 pada saliva dari carrier mungkin cara yang
paling penting dalam penyebaran penyakit ini. Infeksi dapat terjadi melalui
perantaraan petugas pelayanan kesehatan (seperti dokter gigi) yaitu dari pasien
HSV mengakibatkan lesi herpes bernanah (herpetic whitlow). Penularan HSV2
biasanya melalui hubungan seksual. Kedua tipe baik tipe 1 dan tipe 2 mungkin

19
ditularkan keberbagai lokasi dalam tubuh melalui kontak oral-genital, oral-anal,
atau anal-genital. Penularan kepada neonatus biasanya terjadi melalui jalan lahir
yang terinfeksi, jarang terjadi didalam uterus atau postpartum.

7.4 Masa Inkubasi


Masa inkubasi berlangsung dari 2 sampai dengan 12 hari.

7.5 Masa Penularan


HSV dapat diisolasi dalam 2 minggu dan kadang-kadang lebih dari 7
minggu setelah muncul stomatitis primer atau muncul lesi genital primer.
Keduanya, yaitu baik infeksi primer maupun infeksi ulang mungkin terjadi tanpa
gejala. Setelah itu, HSV mungkin ditemukan secara intermittent pada mukosal
selama bertahun-tahun dan bahkan mungkin seumur hidup, dengan atau tanpa
gejala klinis. Pada lesi yang berulang, infektivitis lebih pendek dibandingkan
infeksi primer dan biasanya virus tidak bisa ditemukan lagi setelah 5 hari.

7.6 Gejala klinis


Infeksi primer dengan HSV 1 mungkin ringan tanpa gejala, terjadi pada
awal masa kanak-kanak. Kira-kira 10% dari infeksi primer, muncul sebagai suatu
penyakit dengan spektrum gejala klinis yang beragam, ditandai dengan panas dan
malaise sampai 1 minggu atau lebih, mungkin disertai dengan gingivostomatitis
yang berat diikuti dengan lesi vesikuler pada orofaring, keratokonjungtivitis berat,
dan disertai munculnya gejala dan komplikasi kulit menyerupai eczema kronis,
meningoencephalitis atau beberapa infeksi fatal yang terjadi pada bayi baru lahir
(kongenital herpes simpleks). HSV tipe 1 sebagai penyebab sekitar 2%
faringotonsilitis akut, biasanya sebagai infeksi primer.
Reaktivasi infeksi laten biasanya menyebabkan herpes labialis (demam
blister atau cold sores) ditandai dengan munculnya vesikula superfisial yang jelas
dengan dasar erythematous, biasanya pada muka atau bibir, mengelupas dan akan
sembuh dalam beberapa hari. Reaktivasi dipercepat oleh berbagai macam trauma,
demam, perubahan psikologis atau penyakit kambuhan dan mungkin juga
menyerang jaringan tubuh yang lain; hal ini terjadi karena adanya circulating

20
antibodies, dan antibodi ini jarang sekali meningkat oleh karena reaktivasi.
Penyebaran infeksi yang luas dan mungkin terjadi pada orang-orang dengan
immunosuppressed.
HSV 1 adalah penyebab utama dari meningoencephalitis. Dapat timbul
gejala panas, sakit kepala, leukositosis, iritasi selaput otak, drowsiness, bingung,
stupor, koma dan tanda-tanda neurologis fokal, dan sering dikaitkan dengan satu
atau wilayah temporal lain. Gejala-gejala ini mungkin dikacaukan dengan
berbagai lesi intracranial lain seperti abses pada otak dan meningitis TB. Karena
terapi antiviral dapat menurunkan angka kematian yang tinggi, maka
pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) untuk DNA virus herpes atau
biopsi dari jaringan otak seharusnya segera dilakukan pada tersangka untuk
menegakkan diagnosa pasti.
Genital herpes, biasanya disebabkan oleh HSV tipe II terjadi terutama pada
orang dewasa dan penderita penyakit menular seksual. Infeksi pertama dan infeksi
ulang terjadi dengan atau tanpa gejala. Pada wanita terjadi pada cervix dan vulva.
Infeksi ulang umumnya menyerang vulva,kulit daerah perineum, kaki dan pantat.
Pada laki-laki, lesi muncul pada glans penis atau daerah preputium, dan pada
anus dan rektum pada orang yang melakukan anal seks.Daerah lain yang terkena
selain alat kelamin dan daerah perineal, antara lain adalah mulut, terjadi pada
kedua jenis kelamin, tergantung dari kebiasaan hubungan seksual yang dilakukan
oleh orang tersebut.Infeksi oleh HSV tipe II lebih sering menyebabkan meningitis
aseptik dan radikulitis daripada meningoencephalitis.
Infeksi neonatal dapat dibagi menjadi 3 jenis gejala klinis yaitu: infeksi yang
menyebar dan umumnya menyerang hati, encephalitis dan infeksi yang terbatas
pada kulit, mata dan mulut.Bentuk pertama dan kedua sering menyebabkan
kematian.Infeksi umumnya disebabkan oleh HSV 2 tetapi infeksi yang
disebabkan oleh HSV1 juga sering terjadi.
Risiko terjadinya infeksi pada anak-anak tergantung kepada 2 faktor utama
pada ibu;yaitu usia kehamilan pada saat ibu hamil tersebut mengeluarkan HSV dan
tergantung juga kepada apakah infeksi yang dialami infeksi sekunder atau infeksi
primer. Hanya ekskresi yang mengandung HSV yang dikeluarkan saat persalinan
yang berbahaya bagi bayi yang baru lahir dengan pengecualian walaupun jarang

21
infeksi intrauterine dapat terjadi. Infeksi primer pada ibu dapat meningkatkan risiko
infeksi pada bayi dari 3% menjadi 30% diperkirakan karena imunitas pada ibu dapat
memberikan perlindungan.

Gambar 7.1 dan 7.2 Herpes Simpleks

7.7 Diagnosa dan pemeriksaan penunjang


Diagnosa ditegakkan berdasarkan terjadinya perubahan sitologis yang khas
(multinucleated giant cell dengan intranuclear inclusion pada kerokan jaringan atau
biopsi), tetapi harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan FA secara langsung atau
dengan isolasi virus dari lesi mulut atau lesi alat kelamin atau dari biopsi otak pada
kasus-kasus encephalitis atau dengan ditemukannya DNA HSV pada lesi atau
cairan LCS dengan PCR. Diagnosis pada infeksi primer dipastikan dengan adanya
kenaikan 4 kali pada titer paired sera dengan berbagai macam tes serologis; adanya
imunoglobulin spesifik IgM untuk herpes mengarah pada suspek tetapi antibodi
konklusif terhadap infeksi primer. Teknik-teknik yang dapat diandalkan untuk
membedakan antibodi tipe 1 dan tipe 2 saat ini tersedia diberbagai laboratorium

22
diagnostik; isolat virus dapat dibedakan dari yang lain dengananalisis DNA. Tes
serologis yang spesifik belum tersedia secara luas.

7.8 Terapi
Gejala akut dari herpetic keratitis dan stadium awal dendritic ulcers diobati
dengan trifluridin atau adenine arabisonide (vidarabine, via-A atau Ara-A)
dalam bentuk ophthalmic ointment atau solution. Corticosteroid jangan digunakan
untuk herpes mata kecuali dilakukan oleh seorang ahli mata yang 275 sangat
berpengalaman. Acyclovir IV sangat bermanfaat untuk mengobati herpes simpleks
encephalitis tetapi mungkin tidak dapat mencegah terjadinya gejala sisa neurologis.
Acyclovir (zovirax) digunakan secara oral, intravena atau topical untuk
mengurangi menyebarnya virus, mengurangi rasa sakit dan mempercepat waktu
penyembuhan pada infeksi genital primer dan infeksi herpes berulang, rectal herpes
dan herpetic whitlow (lesi pada sudut mulut bernanah).
Preparat oral paling nyaman digunakan dan mungkin sangat bermanfaat
bagi pasien dengan infeksi ekstensif berulang. Namun, telah dilaporkan adanya
mutasi strain virus herpes yang resisten terhadap acyclovir. Valacyclovir dan
famciclovir baru-baru ini diberi lisensi untuk beredar sebagai pasangan acyclovir
dengan efikasi yang sama. Pemberian profilaksis harian obat tersebut dapat
menurunkan frekuensi infeksi HSV berulang pada orang dewasa. Infeksi neonatal
seharusnya diobati dengan acyclovir intravena.

7.9 Upaya Pencegahan


1. Berikan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat dan tentang kebersihan
perorangan yang bertujuan untuk mengurangi perpindahan bahan-bahan
infeksius.
2. Mencegah kontaminasi kulit dengan penderita eksim melalui bahan-bahan
infeksius.
3. Petugas kesehatan harus menggunakan sarung tangan pada saat
berhubungan langsung dengan lesi yang berpotensi untuk menular.
4. Disarankan untuk melakukan operasi ceasar sebelum ketuban pecah pada
ibu dengan infeksi herpes genital primer yang terjadi pada kehamilan

23
trimester akhir, karena risiko yang tinggi terjadinya infeksi neonatal (30-
50%). Penggunaan elektroda pada kepala merupakan kontra indikasi. Risiko
dari infeksi neonatal yang fatal setelah infeksi berulang lebih rendah (3-5%)
dan operasi ceasar disarankan hanya jika terjadi lesi aktif pada saat
persalinan.
5. Menggunakan kondom lateks saat melakukan hubungan seksual
mengurangi risiko infeksi; belum ada anti virus yang dapat digunakan untuk
mencegah terjadinya infeksi primer meskipun acyclovir mungkin dapat
digunakan untuk pencegahan untuk menurunkan insidensi kekambuhan,
dan untuk mencegah infeksi herpes pada pasien dengan defisiensi imunitas.

24
BAB VI
VERUKA VULGARIS

1.1 Definisi
Veruka Vulgaris (VV) adalah papul verukosa yang disebabkkan oleh infeksi
virus human papilloma virus (HPV). Sinonim : Common Warts, kutil.

1.2 Epidemiologi
VV dapat timbul pada segala usia, tetapi jarang pada bayi dan anak kecil.
Kelainan meningkat selama umur sekolah dan menurun setelah umur 20 tahun.

1.3 Etiopatogenesis
Penyebab VV terutama HPV 2, tetapi dapat juga HPV 1 dan 4. VV dapat
menyebar karena autoinokulasi dan dalam masa 2 tahun 65% VV dapat menghilang
dengan spontan

1.4 Gambaran Klinis


Pemeriksaan klinis menunjukan papul padar verukosa, keratotik, dengan
ukuran beberapa mm sampai dengan 1 cm, dan bila berkonfluensi dapat menjadi
lebih besar. Lokasi dapat dimana saja, tetapi sering di punggung, tangan, dan jari
tangan. Biasanya asimptomatik, tetapi dapat nyeri bila tumbuh di palmar atau
plantar dan merusak kuku bila tumbuh pada lipatan atau bawah kuku. Pada anak-
anak, dapat di wajah dan leher.

Gambar 3 Verruca vulgaris.

25
1.5 Pemeriksaan Penunjang
Biopsi kulit bila perlu untuk pemeriksaan histopatologis yang akan
menunjukan adanya akantosis, hiperkeratosis, papilomatosis, dan rete ridges
memanjang mengarah ke medial

1.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding


Diagnosis ditegakan dengan gambaran klinis dan bila perlu ditambah dengan
pemeriksaan histopatologis.
Diagnosis banding ialah keratosis seboroik, tetapi keratosis seboroik lebih
hiperpigmentasi. Diagnosis banding lain ialah nervus verukosus, biasanya tersusun
linier dan ada sejak bayi.

1.7 Tatalaksana
Nonmedikamentosa: menjaga higiene perorangan supaya tidak tertular,
misalnya dengan menghindari kontak langsung
Medikamentosa: destruksi dengan bedah listrik, bedah beku, bedah laser,
destruksi dengan bedah keratolitik, kaustik, atau lainnya secara topikal, misalny
asidum salisikum 25-50%, triklorasetat 25%, fenoll liquefaktum. Bahan topikal lain
yang dapat digunakan adalah kantaridin, imiquimoid, 5 fluorourasil. Terapi intralesi
dapat menggunakan bleomisin dan interferon.

1.8 Prognosis
Bila destruksi baik, tidak terjadi rekurensi. Akan tetapi dapat juga terjadi
infeksi berulang atau regresi spontan.

26
BAB VII
KONDILOMA AKUMINATUM

2.1 Definisi
Kondiloma akuminatum (bila banyak disebut sebagai kondiloma akuminata),
atau kutil kelamin (venereal warts) ialah lesi berbentuk papilomatosis, dengan
permukaan verukuosa, disebabkan oleh Human Papilloma Virus (HPV) tipe
tertentu (terutama tipe 6 dan 11), terdapat di daerah kelamin atau anus.

2.2 Epidemiologi
Penyakit ini termasuk kelompok infeksi menular seksual, karena 98%
penularan melalui hubungan seksual. Sisanya dapat ditularkan melalui barang yang
tercemar partikel HPV. Frekuensinya pada laki-laki dan perempuan sama. Tersebar
kosmopolit dan transmisi melalui kontak kulit langsung.

2.3 Etiologi
Penyebab kondiloma akuminatujm adalah HPV, yaitu virus DNA yang
tergolong dalam keluarga papovavirus. Sampai saat ini telah dikenal sekitar 100
genotipe HPV. Namun tidak seluruhnya dapat menyebabkan kondiloma
akuminatum.

2.4 Gejala Klinis


Penyakit ini terutama terdapat di daerah lipatan yang lembab, misalnya
daerah genitalia eksterna. Pada laki-laki tempat predileksinya di perineum dan
sekitar anus, sulkus koronarius, glans penis, di dalam meatus ureta, korpus, dan
pangkal penis. Pada perempuan didaerah vulva dan sekitarnya, introitus vagina,
kadang-kadang pada portio uteri. Dengan semakin banyaknya kejadian hubungan
seksual anogenital, semakin banyak pula ditemukan kondiloma akuminatum di
sekitar anus.
Kondisi lembab, misalnya pada perempuan dengan fluor albus atau pada laki-
laki yang tidak disirkumsisi, lesi kondiloma akuminata lebih cepat membesar dan
bertambah banyak. Selain itu, kondisi imunitas yang menurun, misalnya pada orang

27
yang terinfeksi HIV atau menjalani transplantasi organ tubuhu juga akan
menambah cepat pertumbuhan kondiloma akuminatu,. Dalam keadaan hamil, akan
menambah banyak lesi dan akan cembuh dengan berakhirnya kehamilan.
Kondiloma akuminatum seringkali tidak menimbulkan keluhan, namun dapat
disertai rasa gatal. Bila terdapat infeksi sekunder, dapat menimbulkan rasa nyeri,
bau kurang enak, dan mudah berdarah.
Bentuk klinis yang paling sering ditemukan berupa lesi seperti kembang kol,
berwarna seperti daging atau sama dengan mukosa. Ukuran lesi berkisar dari
beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter. Tiap kutil dapat bergabung
menjadi massa yang besar. Bentuk lain berupa lesi keratotik, dengan permukaan
kasar dan tebal, biasanya ditemukan di atas permukaan yang kering, misalnya
batang penis. Lesi timbul sebagai papul atau plak verukosa atau keratotik, soliter,
atau multipel. Lesi berbentuk kubah dengan permukaan yang rata dapat ditemukan
di tempat yang kering, sama halnya dengan lesi keratotik. Seringkali berkelompok
dengan warna seperti mukosa sampai merah jambu atau merah kecoklatan.

Gambar 4.1 kondiloma akuminatum

28
Gambar 2.2 kondiloma akuminata

2.5 Diagnosis
Kondiloma akuminatum terutama didiagnosis secara klinis karena bentuknya
yang khas. Pada keadaan yang meragukan dapat dilakukan tes asam asetat. Lesi dan
kulit atau mukosa sekitarnya dibungkus dengan kain kasa yang telah dibasahi
dengan larutan asam asetat 5% selama 3-5 menit. Setelah kain kasa dibuka, seluruh
area yang dibungkus tadi diperiksa dengan kaca pembesar (pembesaran 4-8 kali).
Hasil tes yang positif disebut sebagai positif acetowhite, terjadi warna putih akibat
ekspresi sitokeratin pada sel suprabasal yang terinfeksi HPV. Bagian sel ini
mengandung banyak protein, dan warna putih terjadi sebagai akibat denaturasi
protein. Lesi HPV seringkali menunjukan pola kapilar (punctuated capillary
pattern) yang berbatas tegas. Pada keadaan inflamasi, tes dapat menunjukan hasil
positif namun dengan pola yang lebih difus dan tidak beraturan.

2.6 Diagnosis Banding

1. Veruka vulgaris yang tidak bertangkai, kering dan berwarna abu abu atau
sama dengan warna kulit.
2. Kondiloma latum atau sifilis stadium II, klinis berupa plakat yang erosi,
3. Karsinoma sel skuamosa vegetasi yang seperti kembang kol mudah berdarah
dan berbau.

29
2.7 Pengobatan
Pilihan obat berdasarkan keadaan lesi, yaitu jumlah, ukuran dan bentuk serta
lokasi. Cara pengobatan dapat dibagi atas pengobatan yang dilakukan oleh pasien
(home-patient-applied treatment) dan pengobatan oleh dokter (physician-applied
treatment).
1. Kemoterapi
a. Podophylin
Podophylin adalah resin yang diambil dari tumbuhan dengan kandungan
beberapa senyawa sitotoksik yang rasionya tidak dapat dirubah.
Podophylino yang paling aktif adalah podophylotoksin. Jenis ini mungkin
terdiri atas berbagai konsentrasi 10 25 % dengan senyawa benzoin
tinoture, spirit dan parafin cair.yang digunakan adalah tingtur podofilin 25
%, kulit di sekitarnya dilindungi dengan vaselin atau pasta agar tidak
terjadi iritasi setelah 4 6 jam dicuci. Jika belum ada penyembuhan dapat
diulangi setelah 3 hari, setiap kali pemberian tidak boleh lebih dari 0,3 cc
karena akan diserap dan bersifat toksik. Gejala toksik ialah mual, muntah,
nyeri abdomen gangguan alat napas dan keringat kulit dingin. Pada wanita
hamil sebaiknya jangan diberikan karena dapat terjadi kematian fetus.
Respon pada jenis perawatan ini bervariasi, beberapa pasien membutuhkan
beberapa sesi perawaan untuk mencapai kesembuhan klinis, sementara
pasien pasien yang lain menunjukkan respon yang kecil dan jenis
perawatan lain harus dipertimbangkan.

B. Podofilytocin
Ini merupakan satu bahan aktif resin podophylin dan tersedia sebanyak 0,5
% dalam larutan eatnol. Ini merupakan agen anti mitotis dan tidak
disarankan untuk penggunaan pada masa kehamiolan atau menysui, jenis
ini lebih aman dibandingkan podophylin apilkasi mandiri dapat
diperbolehkan pada kasus kasus keluhan yang sesuai
C. Asam Triklorasetik ( TCA )
Ini agent topikal alternatif dan seringkali digunakan pada kutil dengan
konsentrasi 30 50 % dioleskan setiap minggu dan pemberian harus

30
sangat hati hati karena dapat menimbulkan ulkus yang dalam. Bahan ini
dapat digunakan pada masa kehamilan.

D. Topikal 5-Fluorourasil (5 FU )
Cream 5 Fu dapat digunakan khususnya untuk perawatan kutil uretra dan
vulva vagina, konsentrasinya 1 5 % pemberian dilakukan setiap hari
sampai lesi hilang dan tidak miksi selama pemberian. Iritasi lokal buakn
hal yang tidak bisa.

E. Interferon
Meskipun interferon telah menunjukkan hasil yang menjanjinkan bagi
verucciformis dan infeksi HPV anogenital, keefektifan bahan ini dalam
perawatan terhadap kutil kelamin masih dipertanyakan. Terapi parentral
dan intra lesional terhadapa kutil kelamin dengan persiapan interferon
alami dan rekombinasi telah menghasilkan tingkat respon yang berkisar
antara 870 80 % pada laporan laporan awal. Telah ditunjukkan pula
bahwa kombinasi IFN dengan prosedur pembedahan ablatif lainnya
menghasilkan tingkat kekambuhan ( relapse rate ) dan lebih rendah. Efek
samping dari perlakuan inerferon sistemik meliputi panyakit seperti flu
dan neutropenia transien

2. Terapi pembedahan
A. Kuret atau Kauter (Elektrokauterisasi)
Kuret atau Kauter (Elektrokauterisasi) dengan kondisi anastesi lokal dapat
digunakan untuk pengobatan kutil yang resister terhadap perlakuan topikal
munculnya bekas luka parut adalah salah satu kekurangan metode ini.

B. Bedah Beku ( N2, N2O cair )

C. Laser

31
Laser karbodioksida efektif digunakan untuk memusnahkan beberapa kutil
kutil yang sulit. Tidak terdapat kekawatiran mengenai ketidakefektifan
karbondioksida yang dibangkitkan selama prosedur selesai, sedikit
meninggalkan jaringan parut.

D. Terapi Kombinasi
Berbagai kombinasi terapi yang telah dipergunakan terhadap kutil kelamin
yang membandel, contohnya kombinasi interferon dengan prosedur
pembedahan, kombinasi TCAA dengan podophylin, pembedahan dengan
podophylin. Seseorang harus sangat berhati hati ketika menggunakan
terapi kombinasi tersebut dikarenakan beberapa dari perlakuan tersebut
dapat mengakibatkan reaksi yang sangat serius.

2.8 Prognosis
Walaupun sering mengalami residif, prognosisnya baik. Perbaiki faktor
predisposisi misalnya higiene, fluor albus, atau kelembaban pada laki-laki akibat
tidak di sirkumsisi, atau keadaan imunosupresi.

32
BAB VIII
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.


5th ed. Jakarta: FKUI. 2016.
2. Mansjoer, Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran:Jilid 2, 3rd Ed. Jakarta.
Media Aesculapius FKUI. 2007
3. Melton CD. Herpes Zoster. eMedicine World Medical Library:
http://www.emedicine.com/EMERG/topic823.htm
4. Wolff K, Johnson RA. Editors. Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis of
Clinical Dermatology. 6th ed. USA: McGraw Hill. 2009. Page: 770-850
5. Grant-Kels JM. Editor. Color Atlas of Dermatopathology. USA: Infroma
Healthcare USA. 2007.
6. Crowe, Mark A. Molluscum Contagiosum.
http://emedicine.medscape.com/article/910570 -overview.
7. Brown ST, Nalley JF, Kraus SJ. Molluscum contagiosum. Sex Transm Dis.
Jul-Sep 1981;8(3):227-34

33

Anda mungkin juga menyukai