VARICELA
Oleh:
dr. Lukas Jonathan
Pendamping :
dr. H. Fachrurrodji
PUSKESMAS CIDEMPET
INDRAMAYU
2014
VARICELA
1. Definisi
Infeksi akut primer oleh virus varicella zoster (Varicella Zoster Virus;
VZV) yang menyerang kulit dan mukosa, klinis terdapat gejala konstitusi,
kelainan kulit polimorf, terutama berlokasi di bagian sentral tubuh.
2. Epidemiologi
Usia
Pada orang yang belum mendapat vaksinasi, 90% kasus terjadi pada
anak-anak dibawah 10 tahun, 5% terjadi pada orang yang berusia lebih dari
15 tahun. Sementara pada pasien yang mendapat imunisasi, insiden
terjadinya varicella secara nyata menurun.
Insiden
Sejak diperkenalkan adanya vaksin varicella pada tahun 1995, insiden
terjadinya varicella terbukti menurun. Dimana sebelum tahun 1995, terbukti
di Amerika terdapat 3-4 juta kasus varicella setiap tahunnya. Di Indonesia,
tidak banyak data yang mencatat kasus varicela secara nasional, data yang
tercatat merupakan data epidemi cacar air pada daerah tertentu saja. Data
Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas menyebutkan, selama periode
Januari hingga November 2007, sedikitnya 691 warga terkena penyakit
cacar air. Kepala Bidang Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan Dinkes, mengatakan terdapat lebih dari 500 penderita, akan
tetapi jumlah tersebut menurun dibandingkan tahun 2006. Data Dinkes
tahun 2006 mencatat, jumlah penderita cacar air sebanyak 1.771 orang.
Transmisi
Transmisi penyakit ini secara aerogen maupun kontak langsung.
Kontak tidak langsung jarang sekali menyebabkan varicella. Penderita yang
dapat menularkan varicella yaitu beberapa hari sebelum erupsi muncul dan
sampai vesikula yang terakhir. Tetapi bentuk erupsi kulit yang berupa krusta
tidak menularkan virus.
Musim
Di daerah metropolitan yang beriklim sedang, dimana epidemi
varicella sering terjadi pada musim musim dingin dan musim semi.
3. Patogenesis
Varicella disebabkan oleh VZV yang termasuk dalam famili virus herpes.
Virus masuk ke dalam tubuh manusia melalui mukosa saluran napas dan
orofaring. Multiplikasi virus di tempat tersebut diikuti oleh penyebaran virus
dalam jumlah sedikit melalui darah dan limfe (viremia primer). Virus VZV
dimusnahkan oleh sel sistem retikuloendotelial, yang merupakan tempat utama
replikasi virus selama masa inkubasi. Selama masa inkubasi infeksi virus
dihambat sebagian oleh mekanisme pertahanan tubuh dan respon yang timbul.
Pada sebagian besar individu replikasi virus dapat mengatasi pertahanan
tubuh yang belum berkembang sehingga dua minggu setelah infeksi terjadi
viremia sekunder dalam jumlah yang lebih banyak. Lesi kulit muncul berturut-
berturut, yang menunjukkan telah memasuki siklus viremia, yang pada
penderita yang normal dihentikan setelah sekitar 3 hari oleh imunitas humoral
dan imunitas seluler VZV. Virus beredar di leukosit mononuklear, terutama
pada limfosit. Bahkan pada varicella yang tidak disertai komplikasi, hasil
viremia sekunder menunjukkan adanya subklinis infeksi pada banyak organ
selain kulit.
Respon imun penderita menghentikan viremia dan menghambat
berlanjutnya lesi pada kulit dan organ lain. Imunitas humoral terhadap VZV
berfungsi protektif terhadap varicella. Pada orang yang terdeteksi memiliki
antibodi serum biasanya tidak selalu menjadi sakit setelah terkena paparan
eksogen. Sel mediasi imunitas untuk VZV juga berkembang selama varicella,
berlangsung selama bertahun-tahun, dan melindungi terhadap terjadinya resiko
infeksi yang berat.
4. Gambaran Klinis
Masa inkubasi antara 14 sampai 16 hari setelah paparan, dengan kisaran
10 sampai 21 hari. Masa inkubasi dapat lebih lama pada pasien dengan
defisiensi imun dan pada pasien yang telah menerima pengobatan pasca
paparan dengan produk yang mengandung antibodi terhadap varicella.
Gejala prodromal
Pada anak kecil jarang terdapat gejala prodromal. Sementara pada
anak yang lebih besar dan dewasa, ruam yang seringkali didahului oleh
demam selama 2-3 hari, kedinginan, malaise, anoreksia, nyeri punggung,
dan pada beberapa pasien dapat disertai nyeri tenggorokan dan batuk kering.
Ruam pada varicella
Pada pasien yang belum mendapat vaksinasi, ruam dimulai dari muka
dan skalp, dan kemudian menyebar secara cepat ke badan dan sedikit ke
ekstremitas. Lesi baru muncul berturut-turut, dengan distribusi terutama di
bagian sentral. Ruam cenderung padat kecil-kecil di punggung dan antara
tulang belikat daripada skapula dan bokong dan lebih banyak terdapat pada
medial daripada tungkai sebelah lateral. Tidak jarang terdapat lesi di telapak
tangan dan telapak kaki, dan vesikula sering muncul sebelumnya dan dalam
jumlah yang lebih besar di daerah peradangan, seperti daerah yang terkena
sengatan matahari.
Gambaran lesi kulit Varicella (sebelah kiri); Gambaran lesi kulit Varicela
pada penderita yang sudah mendapatkan imunisasi (sebelah kanan)
Gambaran dari lesi varicella berkembang secara cepat, yaitu lebih kurang
12 jam, dimana mula-mula berupa makula eritematosa yang berkembang
menjadi papul, vesikel, pustul, dan krusta. Vesikel dari varicella berdiameter
2-3 mm, dan berbentuk elips, dengan aksis panjangnya sejajar dengan lipatan
kulit. Vesikel biasanya superfisial dan berdinding tipis, dan dikelilingi daerah
eritematosa sehingga tampak terlihat seperti “embun di atas daun mawar”.
Cairan vesikel cepat menjadi keruh karena masuknya sel radang, sehingga
mengubah vesikel menjadi pustul. Lesi kemudian mengering, mula-mula di
bagian tengah sehingga menyebabkan umbilikasi dan kemudian menjadi
krusta. Krusta akan lepas dalam 1-3 minggu, meninggalkan bekas bekas
cekung kemerahan yang akan berangsur menghilang. Apabila terjadi
superinfeksi dari bakteri maka dapat terbentuk jaringan parut. Lesi yang telah
menyembuh dapat meninggalkan bercak hipopigmentasi yang dapat menetap
selama beberapa minggu/bulan.
Vesikel juga terdapat di mukosa mulut, hidung, faring, laring, trakea,
saluran cerna, kandung kemih, dan vagina. Vesikel di mukosa ini cepat pecah
sehingga seringkali terlihat sebagai ulkus dangkal berdiameter 2-3 mm.
Gambaran khas dari varicella adalah adanya lesi yang muncul secara
simultan (terus-menerus), di setiap area kulit, dimana lesi tersebut terus
berkembang. Suatu prospective study menunjukkan rata-rata jumlah lesi pada
anak yang sehat berkisar antara 250-500. Pada kasus sekunder karena paparan
di rumah gejala klinisnya lebih berat daripada kasus primer karena paparan di
sekolah, hal ini mungkin disebabkan karena paparan di rumah lebih intens dan
lebih lama sehingga inokulasi virus lebih banyak.
Demam biasanya berlangsung selama lesi baru masih timbul, dan
tingginya demam sesuai dengan beratnya erupsi kulit. Jarang di atas 39 oC,
tetapi pada keadaan yang berat dengan jumlah lesi banyak dapat mencapai
40,5oC. Demam yang berkepanjangan atau yang kambuh kembali dapat
disebabkan oleh infeksi sekunder bakterial atau komplikasi lainnya. Gejala
yang paling mengganggu adalah gatal yang biasanya timbul selama stadium
vesikuler.
5. Diagnosa varicella
Varicella biasanya mudah didiagnosa berdasarkan penampilan dan
perubahan pada karakteristik dari ruam yang timbul, terutama apabila ada
riwayat terpapar varicella 2-3 minggu sebelumnya.
6. Laboratorium
Lesi pada varicella dan herpes zoster tidak dapat dibedakan secara
histopatologi. Pada pemeriksaan menunjukkan sel raksasa berinti banyak dan
sel epitel yang mengandung badan inklusi intranuklear yang asidofilik.
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan pewarnaan Tzanck, dimana bahan
pemeriksaan dikerok dari dasar vesikel yang muncul lebih awal, kemudian
diletakkan di atas object glass, dan difiksasi dengan ethanol atau methanol, dan
diwarnai dengan pewarnaan hematoxylin-eosin, Giemsa, Papanicolaou, atau
pewarnaan Paragon.
7. Komplikasi
Pada anak-anak, varicella jarang disertai komplikasi. Komplikasi
tersering umumnya disebabkan oleh infeksi sekunder bakterial pada lesi kulit,
yang biasanya disebabkan oleh stafilokokus atau streptokokus, sehingga terjadi
impetigo, furunkel, selulitis, atau erisipelas, tetapi jarang terjadi gangren.
Infeksi fokal tersebut sering menyebabkan jaringan parut, tetapi jarang terjadi
sepsis yang disertai infeksi metastase ke organ yang lainnya. Vesikel dapat
menjadi bula bila terinfeksi stafilokokus yang menghasilkan toksin eksfoliatif.
Pneumonia, otitis media, dan meningitis supurativa jarang terjadi dan
responsif terhadap antibiotik yang tepat. Bagaimanapun juga, superinfeksi
bakteri umum dijumpai dan berpotensi mengancam kehidupan pada pasien
dengan leukopenia.
Pada orang dewasa demam dan gejala konstitusi biasanya lebih berat dan
berlangsung lebih lama, ruam varicella lebih luas, dan komplikasi lebih sering
terjadi. Pneumonia varicella primer merupakan komplikasi tersering pada
orang dewasa. Pada beberapa pasien gejalanya asimpomatis, tetapi yang
lainnya dapat berkembang mengenai sistem pernafasan dimana gejalanya dapat
lebih parah seperti batuk, dyspnea, tachypnea, demam tinggi, nyeri dada
pleuritis, sianosis, dan batuk darah yang biasanya timbul dalam 1-6 hari
sesudah timbulnya ruam.
Varicella pada kehamilan mengancam ibu dan janinnya. Infeksi yang
menyebar luas dan varicella pneumonia dapat mengakibatkan kematian pada
ibu, tetapi baik kejadian maupun keparahan pneumonia varicella tampaknya
meningkat secara signifikan pada kehamilan. Janin dapat meninggal karena
kelahiran prematur atau kematian ibu karena varicella pneumonia berat, tetapi
varicella selama kehamilan, tidak, jika tidak secara subtansial meningkatkan
kematian janin. Namun demikian, pada varicella yang tidak disertai
komplikasi, viremia pada ibu dapat menyebabkan infeksi intrauterin
(kongenital), dan dapat menyebabkan abnormalitas kongenital. Varicella
perinatal (varicella yang terjadi dalam waktu 10 hari dari kelahiran) lebih
serius daripada varicella yang terjadi pada bayi yang terinfeksi beberapa
minggu kemudian.
Morbiditas dan mortalitas pada varicella secara nyata meningkat pada
pasien dengan defisiensi imun. Pada pasien ini replikasi virus yang terus-
menerus dan menyebar luas mengakibatkan terjadinya viremia yang
berkepanjangan, dimana mengakibatkan ruam yang semakin luas, jangka
waktu yang lebih lama dalam pembentukan vesikel baru, dan penyebaran
visceral klinis yang signifikan. Pada pasien dengan defisiensi imun dan diterapi
dengan kortikosteroid mungkin dapat berkembang menjadi pneumonia,
hepatitis, encephalitis, dan komplikasi berupa perdarahan, dimana derajat
keparahan dimulai dari purpura yang ringan hingga parah dan seringkali
mengakibatkan purpura yang fulminan dan varicella malignansi.
Komplikasi susunan saraf pusat pada varicella terjadi kurang dari 1
diantara 1000 kasus. Varicella berhungan dengan sindroma Reye (ensepalopati
akut disertai degenerasi lemak di liver) yang khas terjadi 2 hingga 7 hari
setelah timbulnya ruam. Dulu, dari 15-40% pada semua kasus sindroma Reye
berhubungan dengan varicella, khususnya pada penderita yang diterapi dengan
aspirin saat demam, dengan mortalitas setinggi 40%. Ataksia serebri akut lebih
umum terjadi daripada kelainan neurologi yang lainnya. Encephalitis lebih
jarang lagi terjadi yaitu pada 1 diantara 33.000 kasus, tetapi merupakan
penyebab kematian tertinggi atau menyebabkan kelainan neurologi yang
menetap. Patogenesa terjadinya ataksia serebelar dan ensephalitis tetap jelas,
dimana pada banyak kasus ditemukan adanya VZV antigen, VZV antibodi, dan
VZV DNA pada cairan cerebrospinal pada pasien, yang diduga menyebabkan
infeksi secara langsung pada sistem saraf pusat.
Komplikasi yang jarang terjadi antara lain myocarditis, pancreatitis,
gastritis dan lesi ulserasi pada saluran pencernaan, artritis, vasculitis Henoch-
Schonlein, neuritis, keratitis, dan iritis. Patogenesa dari komplikasi ini belum
diketahui, tetapi infeksi VZV melalui parenkim secara langsung dan
endovascular, atau vasculitis yang disebabkan oleh VZV antigen-antibodi
kompleks, tampaknya menjadi penyebab pada kebanyakan kasus.
8. Terapi
Antivirus
Beberapa analog nukleosida seperti acyclovir, famciclovir, valacyclovir,
dan brivudin, dan analog pyrophosphate foskarnet terbukti efektif untuk
mengobati infeksi VZV. Acyclovir adalah suatu analog guanosin yang secara
selektif difosforilasi oleh timidin kinase VZV sehingga terkonsentrasi pada sel
yang terinfeksi. Enzim-enzim selular kemudian mengubah acyclovir
monofosfat menjadi trifosfat yang mengganggu sintesis DNA virus dengan
menghambat DNA polimerase virus. VZV kira-kira sepuluh kali lipat kurang
sensitif terhadap acyclovir dibandingkan HSV.
Valacyclovir dan famcyclovir, merupakan prodrug dari acyclovir yang
mempunyai bioavaibilitas oral lebih baik daripada acyclovir sehingga kadar
dalam darah lebih tinggi dan frekuensi pemberian obat berkurang.
Antivirus pada anak
Pengobatan dini varicella dengan pemberian acyclovir (dalam 24 jam
setelah timbul ruam) pada anak imunokompeten berusia 2-12 tahun dengan
dosis 4x20 mg/kgBB/hari selama 5 hari menurunkan jumlah lesi,
penghentian terbentuknya lesi yang baru, dan menurunkan timbulnya ruam,
demam, dan gejala konstitusi bila dibandingkan dengan placebo. Tetapi
apabila pengobatan dimulai lebih dari 24 jam setelah timbulnya ruam
cenderung tidak efektif lagi. Hal ini disebabkan karena varicella merupakan
infeksi yang relatif ringan pada anak-anak dan manfaat klinis dari terapi
tidak terlalu bagus, sehingga tidak memerlukan pengobatan acyclovir secara
rutin. Namun pada keadaan dimana harga obat tidak menjadi masalah, dan
kalau pengobatan bisa dimulai pada waktu yang menguntungkan
menguntungkan pasien (dalam 24 jam setelah timbul ruam), dan ada
kebutuhan untuk mempercepat penyembuhan sehingga orang tua pasien
dapat kembali bekerja, maka obat antivirus dapat diberikan.
9. Pencegahan
Vaksin Varicela
Karakteristik
Vaksin varicella (Varivax, Merck) merupakan vaksin virus hidup yang
dilemahkan, yang berasal dari strain Oka VZV. Virus vaksin diisolasi oleh
Takahashi pada awal tahun 1970 dari cairan vesikular yang berasal dari
anak sehat dengan penyakit varicella. Vaksin varicella ini dilisensikan untuk
penggunaan umum di Jepang dan Korea pada tahun 1988. Vaksin ini
diijinkan di Amerika Serikat pada tahun 1995 untuk orang-orang usia 12
bulan dan yang lebih tua.
Keefektifan vaksin
Setelah pemberian satu dosis tunggal vaksin varicella antigen, 97% dari
anak yang berusia 12 bulan sampai 12 tahun mengembangkan titer antibodi
yang dapat terdeteksi. Sedangkan lebih dari 90% dari responden vaksin
mempertahankan antibodi untuk setidaknya 6 tahun. Dalam studi di Jepang,
97% dari anak-anak memiliki antibodi 7 sampai 10 tahun setelah vaksinasi.
Efikasi vaksin diperkirakan memiliki ketahanan 70% sampai 90% terhadap
infeksi, dan 90% sampai 100% terhadap penyakit sedang atau berat.
Di antara remaja yang sehat dan orang dewasa yang berusia 13 tahun dan
yang lebih tua, rata-rata 78% mengembangkan antibodi setelah pemberian
satu dosis, dan 99% mengembangkan antibodi setelah pemberian dosis
kedua yang diberikan 4 sampai 8 minggu kemudian. Antibodi bertahan
selama minimal 1 tahun pada 97% dari pemberian vaksin varicella setelah
dosis kedua yang diberikan pada 4 sampai 8 minggu setelah dosis pertama.1
Kekebalan tampaknya bertahan lama, dan mungkin permanen di sebagian
besar vaksin. Infeksi pada orang yang pernah mendapat vaksin secara
signifikan lebih ringan, dengan lesi sedikit (biasanya kurang dari 50),
banyak yang makulopapular daripada vesikuler. Dimana kebanyakan orang
yang pernah mendapat vaksinasi sebelumnya tidak terjadi demam.
Meskipun pada penemuan dari beberapa studi telah menyarankan
sebaliknya, penyelidikan sebagian belum diidentifikasi waktu sejak
vaksinasi sebagai faktor risiko untuk terobosan varicella. Beberapa, tetapi
tidak semua, penyelidikan baru-baru telah mengidentifikasi adanya asma,
penggunaan steroid, dan vaksinasi di lebih muda dari 15 bulan usia sebagai
faktor risiko untuk terobosan varicella. Terobosan infeksi varicella bisa
menjadi hasil dari beberapa faktor, termasuk gangguan replikasi virus
vaksin oleh sirkulasi antibodi, vaksin impoten akibat kesalahan
penyimpanan atau penanganan, atau pencatatan tidak akurat.
Penelitian telah menunjukkan bahwa dosis kedua vaksin varicella
meningkatkan kekebalan dan mengurangi penyakit terobosan pada anak-
anak.
1. Djuanda, Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Adhi, Edisi Enam Cetakan
Kedua, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2010, hal 115
2. Wolff, Klaus. Johnson, Richard Allen. Fitzpatrick’s Color Atlas and Sypnosis
of Clinical Dermatology sixth edition, 2009, page 831-835
3. Straus, Stephen E. Oxman, Michael N. Schmader, Kenneth E. Fitzpatrick’s
Dermatology in general medicine seventh edition, vol 1 and 2, 2008, page
1885-1895
4. Comitee on Infectious Diseases. Varicella Vaccine Update. Pediatrics 2000;
105: 136-141.
5. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak
Infeksi dan Penyakit Tropis. Edisi ke-1. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2002.
h.152-159.
6. www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/varicella.pdf
7. http://www.ncirs.edu.au/immunisation/fact-sheets/varicella-fact-sheet.pdf