OLEH:
Diajukan Oleh :
Ni Luh Eka Sugiarsani, S.Kep
C2221073
Telah Disahkan Sebagai Lpaoran Praktik
Stase Keperawatan Gawat Darurat Pada Minggu Pertama
Mengetahui,
STIKES Bina Usada Bali
Ka. Prodi
l. Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII) Saraf ini mensarafi otot-otot lidah,
fungsinya sebagai saraf lidah. Saraf ini terdapat di dalam sumsum penyambung
(Smeltzer, 2001)
C. ETIOLOGI
Cedera otak primer adalah akibat cedera langsung dari kekuatan mekanik yang
merusak jaringan otak saat trauma terjadi (hancur, robek, memar, dan perdarahan).
Cedera ini dapat berasal dari berbagai bentuk kekuatan/tekanan seperti akselerasi
rotasi, kompresi, dan distensi akibat dari akselerasi atau deselerasi. Tekanan itu
mengenai tulang tengkorak, yang dapat memberi efek pada neuron, glia, dan
pembuluh darah, dan dapat mengakibatkan kerusakan lokal, multifokal ataupun difus.
Cedera otak sekunder (COS) yaitu cedera otak yang terjadi akibat proses
metabolisme dan homeostatis ion sel otak, hemodinamika intrakranial dan
kompartement CSS yang dimulai segera setelah trauma tetapi tidak tampak secara
klinis segera setelah trauma. Cedera otak sekunder ini disebabkan oleh banyak faktor
antara lain kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak (ADO), gangguan
metabolisme dan homeostatis ion sel otak, gangguan hormonal, pengeluaran
neurotransmitter dan reactive oxygen species (ROS), infeksi dan asidosis
(Maharendra, 2016).
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau kedua mata dikelilingi
lingkaran “biru” (Brill Hematom atau Racoon’s Eyes), rusaknya Nervus
Olfactorius sehingga terjadi hyposmia sampai anosmia.
2. Fraktur fossa media
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur memecahkan arteri
carotis interna yang berjalan di dalam sinus cavernous sehingga terjadi hubungan
antara darah arteri dan darah vena (A-V shunt) (Sjamsuhidajat & Jong, 2010).
3. Fraktur fossa posterior
Gejala yang dialami penderita cedera kepala berbeda-beda, tergantung pada keparahan
kondisi dan lokasi benturan. Tidak semua gejala akan langsung dirasakan sesaat
setelah cedera terjadi. Terkadang gejala baru muncul beberapa hari hingga beberapa
minggu kemudian.
Gejala cedera kepala ringan
Peningkatan tekanan
intrakranial Gangguan neurovaskular
Pernafasan abnormal
Gangguan mobilitas
fisik
Gangguan pertukaran
Pola Nafas Tidak Efektif gas
G. KOMPLIKASI
1. Perubahan Kesadaran
2. Koma
Seseorang yang berada dalam keadaan koma biasanya tidak sadar, tidak
mengetahui apapun, dan tidak dapat merespon rangsangan apapun. Kondisi ini
terjadi akibat kerusakan otak yang terjadi cukup besar. Setelah beberapa hari atau
beberapa minggu, penderita mungkin akan tersadar dari koma atau justru masuk
ke tingkat vegetatif.
3. Vegetatif
5. Locked-in Syndrome
Seseorang yang berada pada tingkat locked-in biasanya menyadari keadaan
lingkungan di sekitarnya dan terbangun, tetapi ia tidak dapat berbicara atau
bergerak. Penderita biasanya dapat berkomunikasi dengan gerakan mata atau
kedipan. Kondisi ini biasanya terjadi akibat kerusakan pada otak bagian bawah
dan batang otak. Kondisi ini jarang sekali terjadi akibat cedera kepala dan lebih
sering terjadi akibat stroke pada daerah otak tersebut.
6. Kematian Otak
Saat dokter tidak lagi dapat menemukan adanya aktivitas apapun di dalam otak
dan batang otak, maka kondisi ini disebut dengan kematian otak. Pada penderita
yang mengalami kematian otak, maka pelepasan alat bantu pernapasan dapat
menyebabkan gangguan pernapasan dan akhirnya kegagalan fungsi jantung.
Kematian otak biasanya tidak dapat diobati.
7. Kejang
Beberapa orang yang mengalami cedera kepala dapat mengalami kejang dalam
satu minggu pertama paska cedera. Beberapa cedera berat dapat menyebabkan
kejang berulang, yang disebut dengan epilepsi paska trauma.
9. Infeksi
Tulang tengkorak yang patah atau luka tembus pada kepala dapat merobek lapisan
pelindung otak (meningen). Hal ini membuat bakteri dapat masuk ke dalam otak
dan menyebabkan terjadinya infeksi. Infeksi pada selaput otak (meningitis) dapat
menyebar ke seluruh sistem saraf bila tidak segera diobati.
Banyak orang yang pernah mengalami cedera kepala yang cukup berat mengalami
perubahan dalam kemampuan berpikirnya. Selain kemampuan berpikir, cedera
kepala juga dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada kemampuan lainnya
seperti:
a. Daya ingat
b. Kemampuan belajar
c. Kemampuan menganalisa
d. Kecepatan berpikir
e. Kemampuan menilai
f. Perhatian atau konsentrasi
g. Kemampuan menyelesaikan masalah
h. Kemampuan mengerjakan beberapa hal sekaligus
i. Kemampuan berorganisasi
j. Kemampuan untuk membuat keputusan
k. Kemampuan untuk memulai atau menyelesaikan tugas
Gangguan berbahasa dan berkomunikasi merupakan hal yang sering terjadi paska
cedera kepala. Gangguan ini dapat menyebabkan penderita merasa frustasi,
bertengkar, dan disalahpahami. Gangguan komunikasi yang mungkin ditemukan
adalah:
a. Depresi
b. Cemas
c. Mood berubah-ubah
d. Mudah marah
e. Kurang bersimpati terhadap orang lain
f. Sering marah
g. Sulit tidur
h. Perubahan harga diri
Orang yang mengalami cedera kepala juga dapat mengalami gangguan panca
indra seperti telinga berdenging; kesulitan mengenali suatu benda; gangguan
koordinasi tangan dan mata; buta atau penglihatan ganda; merasa pahit atau tidak
enak pada lidahnya; kesulitan mencium; kulit terasa kesemutan, nyeri atau gatal;
kesulitan menjaga keseimbangan atau pusing.
Cedera kepala dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit yang terjadi akibat
degenerasi sel-sel otak dan menurunnya fungsi otak secara perlahan. Beberapa
penyakit yang resiko terjadinya akan meningkat setelah seseorang mengalami
cedera kepala adalah:
Demensia pugilistika, biasanya terjadi akibat pukulan berulang pada kepala (biasa
dialami oleh para petinju), yang menyebabkan demensia (pikun) dan gangguan
pergerakan (Mayapada Hospital, 2017)
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan dalam cedera kepala dan untuk
menegakkan diagnosis dari cedera kepala menurut Kasenda (2018) yaitu:
1. Foto polos kepala
Indikasi dilakukannya pemeriksaan meliputi jejas lebih dari 5 cm, luka tembus
(peluru/tajam), deformasi kepala (dari inspeksi dan palpasi), nyeri kepala yang
menetap, gejala fokal neurologis, gangguan kesadaran.
2. CT-Scan
MRI digunakan untuk pasien yang memiliki abnormalitas status mental yang
digambarkan oleh CT-Scan. MRI telah terbukti lebih sensitive daripada CT-Scan,
terutama dalam mengidentifikasi lesi difus non hemoragig cedera aksonal.
4. X-Ray
Jika benda bergerak membentur kepala yang tidak bergerak, contohnya pada
orang yang diam kemudian dipukul atau dilempar.
2. Deselerasi
Jika kepala yang bergerak membentur benda yang diam, contohnya pada kepala
yang menabrak dinding.
3. Deformitas
Perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang terjadi akibat trauma, contoh
adanya fraktur pada tulang kepala, kompressi, ketegangan atau pemotongan pada
jaringan otak.
Mekanisme cedera /trauma kepala menurut Kasenda (2018), meliputi:
1. Akselerasi
Jika benda bergerak membentur kepala yang tidak bergerak, contohnya pada
orang yang diam kemudian dipukul atau dilempar.
2. Deselerasi
Jika kepala yang bergerak membentur benda yang diam, contohnya pada kepala
yang menabrak dinding.
3. Deformitas
Perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang terjadi akibat trauma, contoh
adanya fraktur pada tulang kepala, kompressi, ketegangan atau pemotongan pada
jaringan otak.
Penatalaksanaan penderita cedera kepala ditentukan atas dasar beratnya cedera
dan dilakukan menurut urutan prioritas. Yang ideal dilaksanakan oleh suatu tim yang
terdiri dari paramedis terlatih, dokter ahli saraf, bedah asraf, radiologi, anestesi dan
rehabilitasi medik. Pasien dengan cedera kepala harus ditangani dan dipantau terus
sejak tempat kecelakaan, selama perjalanan dari tempat kejadian sampai rumah sakit,
diruang gawat darurat, kamar radiologi, sampai ke ruang operasi, ruang perawatan
atau ICU, sebab sewaktu-waktu bisa memburuk akibat aspirasi, hipotensi, kejang dan
sebagainya.
Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom intrakranial
atau hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK sebaiknya dipasang monitor
TIK. TIK yang normal adalah berkisar 0-15 mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus
diturunkan dengan urutan sebagai berikut:
1. Hiperventilasi Setelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi
yang terkontrol, dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2) 27-30 mmHg dimana
terjadi vasokontriksi yang diikuti berkurangnya aliran darah serebral.
Hiperventilasi dengan pCO2 sekitar 30 mmHg dipertahankan selama 48-72 jam,
lalu dicoba dilepas dgnmengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi
hiperventilasi diteruskan lagi selama 24-48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan
hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT scan ulang untuk menyingkirkan
hematom.
2. Drainase Tindakan ini dilakukan bil ahiperventilasi tidak berhasil. Untuk jangka
pendek dilakukan drainase ventrikular, sedangkan untuk jangka panjang dipasang
ventrikulo peritoneal shunt, misalnya bila terjadi hidrosefalus
3. Terapi diuretic
a. Diuretik osmotik (manitol 20%) Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik
air dari jaringan otak normal melalui sawar otak yang masih utuh kedalam
ruang intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya harus
dihentikan. Cara pemberiannya : Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit
dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24-48 jam. Monitor
osmolalitas tidak melebihi 310 mOSm.
b. Loop diuretik (Furosemid) Frosemid dapat menurunkan TIK melalui efek
menghambat pembentukan cairan cerebrospinal dan menarik cairan
interstitial pada edema sebri. Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai
efek sinergik dan memperpanjang efek osmotik serum oleh manitol. Dosis 40
mg/hari/iv 4.
4. Terapi barbiturat (Fenobarbital) Terapi ini diberikan pada kasus-ksus yang tidak
responsif terhadap semua jenis terapi yang tersebut diatas. Cara pemberiannya:
Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3
jam, lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg%, dengan dosis sekitar 1
mg/KgBB/jam. Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis
diturunkan bertahap selama 3 hari.
5. Streroid
Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan tetapi
menfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu sekarang tidak
digunakan lagi pada kasus cedera kepala.
6. Posisi Tidur Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya
ditinggikan bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada pada satu
bidang, jangan posisi fleksi atau leterofleksi, supaya pembuluh vena daerah leher
tidak terjepit sehingga drainase vena otak menjadi lancar.
7. Keseimbangan cairan elektrolit
Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali normal
dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi antara lain oleh
karena meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin dalam darah danakan
bertambah bila ada demam. Setekah 3-4 hari dengan cairan perenterai pemberian
cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000-3000
kalori/hari.
9. Epilepsi/kejang
Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early epilepsi
dan yang terjadi setelah minggu pertama disebut late epilepsy. Early epilelpsi
lebih sering timbul pada anak-anak dari pada orang dewasa, kecuali jika ada
fraktur impresi, hematom atau pasien dengan amnesia post traumatik yang
panjang.
Pengobatan:
a. Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari
b. Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit. Bila
cendrung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan tetesan <40
mg/jam. Setiap 6 jam dibuat larutan baru oleh karena tidak stabil. Bila setelah
400 mg tidak berhasil, ganti obat lain misalnya Fenitoin. Cara pemberian
Fenitoin, bolus 18 mg/KgB/iv pelan-pelan paling cepat 50 mg/menit.
Dilanjutkan dengan 200-500 mg/hari/iv atau oral Profilaksis: diberikan pada
pasien cedera kepala berat dengan resiko kejang tinggi, seperti pada fraktur
impresi, hematom intrakranial dan penderita dengan amnesia post traumatik
panjang.
10. Komplikasi sistematik
a. Infeksi: profilaksis antibiotik diberikan bila ada resiko tinggi infeksi seperti:
pada fraktur tulang terbuka, luka luar dan fraktur basis kranii
b. Demam: kenaikan suhu tubuh meningkatkan metabolisme otak dan
menambah kerusakan sekunder, sehingga memperburuk prognosa. Oleh
karena itu setiap kenaikan suhu harus diatasi dengan menghilangkan
penyebabnya, disamping tindakan menurunkan suhu dengan kompres.
c. Gastrointestinal: pada penderita sering ditemukan gastritis erosi dan lesi
gastroduodenal lain, 10-14% diantaranya akan berdarah. Keadan ini dapat
dicegah dengan pemberian antasida atau bersamaan dengan H2 reseptor
bloker.
d. Kelainan hematologi: kelainan bisa berupa anemia, trombosiopenia, hipo
hiperagregasi trombosit, hiperkoagilasi, DIC. Kelainan tersebut walaupun
ada yang bersifat sementara perlu cepat ditanggulangi agar tidak
memperparah kondisi pasien.
11. Neuroproteksi
AIRWAY BREATHING
RR : 30 x/menit
P
Paten (√ ) Obtruksi (- ) Pergerakan dada :
E *Obstuksi oleh : simetris (√ ) asimetris ( )
( - ) Benda Asing Irama napas :
N
( - ) Bronkospasme Reguler ( ) Ireguler (√ )
G ( - ) Darah Kedalaman :
( - ) Sputum Dalam ( ) Dangkal (√ )
K
( - ) Lendir Suara Napas:
A Vesikuler (√ ) Ronchi ( )
Suara Napas : Craekless ( ) Whezing ( )
J
Stridor (√ ) Gurgling ( - )
I Snowring (-) Lainnya........ SaO2: 94%
Alat Bantu Napas : ventilator
A
Alat Bantu Airway:ETT
N
MASALAH : MASALAH : RR meningkat, suara
Terdapat suara stridor nafas irreguler
P
R CIRCULATION DISABILITY
I Sirkulasi perifer: GCS : E1 V1 M3
Nadi: 91 x/mnt
M
Irama: (√) Teratur ( ) Tidak Tingkat Kesadaran :
E Denyut: (√) Lemah ( ) Kuat ( ) Composmentis
( ) Apatis
R
TD: 100/70 mmHg ( ) Delirium
( ) Somnolen
Akral : ( ) Sopor
( ) Hangat (√ ) Dingin (√ ) Semi koma
( ) Koma
Warna kulit:
( ) Cyanosis (√ ) Pucat Pupil :
( ) Kemerahan ( ) Isokor ( √ )Anisokor
EXPOSSURE
A. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral b/d hematoma
2. Pola nafas tidak efektif b/d kegagalan otor pernafasan
B. INTERVENSI
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi
Keperawatan Hasil
1. Ketidakefektifan Setelah dilakukan asuhan NIC Label: Monitor TIK
perfusi jaringan b/d keperawatan selama 1 x a. Monitor adanya
hematoma ditandai 8 jam diharapkan NOC : keluhan sakit kepala,
dengan adanya a. Circulation status mual, muntah, gelisah.
Intracerebral dan b. Tissue Prefusion b. Monitor status
intraventrikular Cerebral neurologi.
hematoma, terdapat Denggan kriteria Hasil : c. Monitor intake dan
luka terbuka di os Perfusi jaringan cerebral output.
temporal sinistra 1. NIC Label: Manajemen
sepanjang 10 cm, normal Edema Cerebral
bathel sign di bagian 2. a. Monitor adanya
sinistra. kepala kebingungan, keluhan
3. pusing.
kegelisahan b. Monitor status
4. pernafasan, frekuensi
refleks saraf dan kedalaman
Status neurologi pernafasan.
1. Kesadaran normal c. Kurangi stimulus
2. Tekanan intra dalam lingkungan
cranial normal pasien.
3. Pola bernafas d. Berikan sedasi sesuai
normal kebutuhan.
4. Ukuran dan reaksi NIC Label: Monitor
pupil normal Neurologi
a. Monitor tingkat
kesadaran (GCS).
b. Monitor refleks batuk
dan menelan.
c. Pantau ukuran pupil,
bentuk, kesimetrisan.
2. Pola nafas tidak Setelah dilakukan asuhan NIC Label: Airway
efektif b/d kegagalan keperawatan selama 1 x Management
otot pernafasan 8 jam diharapkan NOC : a. Pertahankan bukaan
ditandai dengan RR: a. Respiratory status : jalan nafas.
30x/ menit, suara Ventilation b. Beri posisi head up 30-
nafas stridor, b. Respiratory status : 40 derajat untuk
terpasang ETT, SpO2 Airway patency - emaksimalkan
: 94 %, terpasang Vital sign Status ventilasi.
ventilator dan suara Dengan kriteria Hasil : c. Keluarkan secret
nafas irreguler. 1. Irama pernafasan dengan suction.
normal d. Monitor alat
2. Frekuensi ventilator.
pernafasan normal NIC Label: Oxygen
3. TTV dalam batas Therapy
normal a. Pertahankan jalan
4. Tidak ada tanda nafas yang paten.
sesak b. Monitor aliran
5. Pasien tidak Oksigen.
mengeluh sesak c. Monitor adanya tanda-
tanda hypoventilasi.
NIC Label: Vital Sign
Monitoring
a. Monitor TD, Suhu,
RR.
b. Identifikasi penyebab
dari perubahan vital
sign.
C. IMPLEMENTASI
Implementasi adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat sesuati dengan
rencana keperawatan yang telah ditetapkan.
D. EVALUASI
Pada asuhan keperawatan dievaluasi keadaan umum pasien sesuai dengan tujuan dan
kriteria hasil yang direncanakan perawat. Dengan memperhatikan:
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan b/d hematoma
Perfusi jaringan cerebral:
a. Tekanan intra cranial normal
b. Tidak ada nyeri kepala
c. Tidak ada kegelisahan
d. Tidak ada gangguan refleks saraf
Status neurologi:
a. Kesadaran normal
b. Tekanan intra cranial normal
c. Pola bernafas normal
d. Ukuran dan reaksi pupil normal
2. Pola nafas tidak efektif b/d kegagalan otot pernafasan
a. Irama pernafasan normal
b. Frekuensi pernafasan normal
c. TTV dalam batas normal
d. Tidak ada tanda sesak
e. Pasien tidak mengeluh sesak
DAFTAR PUSTAKA
Bulechek, Gloria., dkk. (2016). Nursing Intervention Classification (NIC) ed. Keenam.
Nursing Intervention Classification (NIC) ed. Keenam. ELSEVIER.
Herdman, Heather & Kamitsuru, Shigemi. Diagnosis Keperawatan NANDA Definisi dan
Klasifikasi ed. 10 (2015-2017). Penerbit buku kedokteran: EGC.
Irawan, H., Setiawan, F., & Dewi, D. G. (2010). Perbandingan glasgow coma scale dan
revised trauma score dalam memprediksi disabilitas pasien trauma kepala di RS. Atma
Jaya. Majalah Kedokteran Indonesia Vol.60 No.10.
Kasenda, M. (2018). Asuhan Keperawatan Pada Tn “J” Dengan Trauma Kepala Berat (Tkb)
Di Ruang Icu Rsud Bahteramas. Jurnal Stainkudus, (1), 43.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Maharendra, Cantik, P., Rahayu, & Sidharta, B. (2016). Hubungan Antara Cedera Kepala
Dan Terjadinya Vertigo Di Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan. Fakultas
Kedokteran, Universitas Muhammadiyah.
Mayapada Hospital. (2017). Berbagai Komplikasi Cedera Kepala Yang Mungkin Terjadi.
Retrieved from https://mayapadahospital.com/news/berbagai-komplikasi-cedera-kepala-
yang-mungkin-terjadi
Moorhead, Sue., Johnson, Marion., dkk. (2016). Nursing Outcomes Classification (NOC)
ed.5. ELSEVIER.
Sjamsuhidajat, & Jong, W. de. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Tjahjadi, M., Arifin, M. Z., Gill, A. S., & Faried, A. (2013). Early mortality predictor of
severe traumatic brain injury: A single center study of prognostic variables based on
admission characteristics. The Indian Journal Of Neurotrauma, 1, 3–8. Retrieved from
http://dx.doi.org/10.1016/j.ijnt.