Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN GADAR

PADA CEDERA KEPALA

OLEH:

NI LUH EKA SUGIARSANI (C2221073)

PROGRAM STUDI NERS KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BINA USADA BALI
TAHUN 2021/2022
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN


DI RUANG IGD RUMAH SAKIT BALIMED DENPASAR
TANGGAL 29 NOPEMBER 2021

Diajukan Oleh :
Ni Luh Eka Sugiarsani, S.Kep
C2221073
Telah Disahkan Sebagai Lpaoran Praktik
Stase Keperawatan Gawat Darurat Pada Minggu Pertama

Perseptor Klinik Perseptor Akademik

Ns. Dedi Nurdyansah,S.Kep Ns. Ni Komang Yogi Triana,S.Kep,.M.Kep.,Sp.Kep.An


NIK : 2012120607 NIK :13.13.0068

Mengetahui,
STIKES Bina Usada Bali
Ka. Prodi

Ns. I Putu Artha Wijaya, S.Kep, M.Kep


NIK. 11.01.0045
LAPORAN PENDAHULUAN CEDERA KEPALA
KONSEP DASAR PENYAKIT

A. DEFINISI CEDERA KEPALA


Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang dapat
menyebabkan adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk atau garis pada tulang
tengkorak dan disertai atau tanpa disertai perdarahan intertisial dalam substansi otak
tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin, 2008).
Cedera kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa
struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan
fungsional jaringan otak (Irawan, 2010). Cedera kepala merupakan salah satu penyebab
utama kematian dan kecacatan akibat trauma di banyak negara berkembang (Tjahjadi,
2013).
Jadi dapat disimpulkan bahwa Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera
mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang
mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak dan
kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis.
B. ANATOMI FISIOLOGI
Otak merupakan salah satu organ yang teksturnya lembut dan berada dalam kepala.
Otak dilindungi oleh rambut, kulit, dan tulang. Adapun pelindung otak yang lain
adalah lapisan meningen, lapisan ini yang membungkus semua bagian otak. , Lapisan
ini terdiri dari duramater, araknoid, piamater.
1. Tengkorak Tengkorak merupakan kerangka kepala yang disusun menjadi dua
bagian kranium yang terdiri dari tulang oksipital, parietal, frontal, temporal, etmoid
dan kerangka wajah terdiri dari tulang hidung, palatum, lakrimal, zigotikum, vomer,
turbinatum, maksila, mandibula. Rongga tengkorak mempunyai permukaan atas yang
dikenal sebagai kubah tengkorak, yang licin pada permukaan luar dan pada
permukaan dalam ditandai dengan gili-gili dan lekukan supaya dapat sesuai dengan
otak dan pembuluh darah. Permukaan bawah rongga dikenal dengan dasar tengkorak
permukaan ini dilalui banyak lubang supaya dapat dilalui serabut saraf dan pembuluh
darah (Pearce, 2019)
2. Lapisan otak (Sumber: Lutjen drecoll, 2011). Pelindung lain yang melapisi
otak adalah meningen, ada tiga lapisan meningen yaitu duramater, araknoid, dan
piamater, masing-masing memiliki struktur dan fungsi yang berbeda a) Duramater
Duramater adalah membran luar yang liat semi elastis. Duramater melekat erat dengan
pemukaan dalam tengkorak. Duramater memiliki suplai darah yang kaya. Bagian
tengah dan posterior disuplai oleh arteria meningea media yang bercabang dari arteria
karotis dan menyuplai fosa anterior. Duramater berfungsi untuk melindungi otak,
menutupi sinus-sinus vena dan membentuk poriosteum tabula interna.
3. Diantara duramater dan araknoid terdapat ruang yang disebut subdural yang
merupakan ruang potensial terjadi perdarahan, pada perdarahan diruang subdural
dapat menyebar bebas , dan hanya terbatas oleh sawar falks serebri dan tentorium.
Vena yang melewati otak yang melewati ruang ini hanya mempunyai sedikit jaringan
penyokong oleh karena mudah terjadi cidera dan robek yang menendakan adanya
trauma kepala
4. Araknoid Araknoid terletak tepat dibawah duramater, lapisan ini merupakan
lapisan avaskuler, mendapat nutrisi dari cairan cerbrospinal, diantara araknoid dan
piamater terdapat ruang subaraknoid. Ruangan ini melebar dan mendalam pada
tempat tertentu, dan memungkinkan sirkulasi cairan serebrospinal. Araknoid
membentuk tonjolan vilus. c) Piamater Piamater adalah suatu membran halus yang
sangat kaya akan pembuluh darah halus, piamater merupakan satu-satunya lapisan
meningen yang masuk ke dalam suklus dan membungkus semua girus(kedua lapisan
yang hanya menjembatani suklus). Pada beberapa fisura dan suklus di sisi hemisfer,
piamater membentuk sawar antara ventrikel dan suklus atau fisura. Sawar ini
merupakan struktur penyokong dari pleksus koroideus pada setiap ventrikel (price,
2018)
5. Otak merupakan organ tubuh yang paling penting karena merupakan pusat
dari semua organ tubuh, otak terletak didalam rongga tengkorak (kranium) dan
dibungkus oleh selaput otak (meningen) yang kuat
6. Cerebrum Cerebrum atau otak besar merupakan bagian yang terluas dan
terbesar dari otak, berbentuk telur terbagi menjadi dua hemisperium yaitu kanan dan
kiri dan tiap hemisperium dibagi menajdi empat lobus yaitu lobus frontalis, parietalis,
temporalis dan oksipitalis. Dan bagian tersebut mengisi penuh bagian depan atas
rongga tengkorak. cerebellum Lobus perietalis Lobus frontalis Lobus temporalis
Lobus oksipitalis
7. ) Lobus frontalis Lobus frontalis pada bagian korteks cerebri dari bagian
depan suklus sentralis dan di dasar suklus lateralis. Pada bagian ini memiliki area
motorik dan pramotorik. Lobus frontalis bertanggung jawab untuk perilaku bertujuan,
penentuan keputusan moral, dan pemikiran yang kompleks. Lobus frontalis
memodifikasi dorongan emosional yang dihasilkan oleh sistem limbik dan reflek
vegetatif dari batang otak.
8. Lobus parietalis Lobus Parietalis adalah bagian korteks yang gterletak di
belakang suklus sentralis, diatas fisura lateralis dan meluas belakang ke fisura parieto-
oksipitalis. Lobus ini merupakan area sensorik primer otak untuk sensasi raba dan
pendengaran. 3) Lobus oksipitalis Lobus oksipitalis teletak disebelah posterior dari
lobus parietalis dan diatas fisura parieto-oksipitalis, yang memisahkan dari serebelum.
Lobus ini merupakan pusat asosiasi visual utama yang diterima dari retina mata
9. Lobus parietalis Lobus Parietalis adalah bagian korteks yang gterletak di
belakang suklus sentralis, diatas fisura lateralis dan meluas belakang ke fisura parieto-
oksipitalis. Lobus ini merupakan area sensorik primer otak untuk sensasi raba dan
pendengaran. 3) Lobus oksipitalis Lobus oksipitalis teletak disebelah posterior dari
lobus parietalis dan diatas fisura parieto-oksipitalis, yang memisahkan dari serebelum.
Lobus ini merupakan pusat asosiasi visual utama yang diterima dari retina mata
10. Batang otak Batang otak terdiri dari otak tengah (diensfalon)pons varoli dan
medula oblongata. Otak tengah merupakan merupakan bagian atas batang otak
akuaduktus cerebriyang 14 menghubungkan ventrikel ketiga dan keempat melintasi
melalui otak tengah ini. Otak tengah mengandung pusat-pusat yang mengendalikan
keseimbangan dan gerakan-gerakan bola mata.
11. Saraf kranial Cedera kepala dapat menyebabkan gangguan pada saraf kranial
jika mengenai batang otak karena edema otak atau perdarahan pada otak. Macam
saraf kranial antara lain
a. ) Nervus Olfaktorius (Nervus Kranialis I) Berfunsi sebagai saraf pembau yang
keluar dari otak dibawa oleh dahi, membawa rangsangan aroma (bau-bauan)
dari rongga hidung ke otak
b. Nervus Optikus (Nervus Kranialis II) Mensarafi bola mata, membawa
rangsangan penglihatan ke otak;
c. Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III) Bersifat motoris, mensarafi otot-
otot orbital (otot pengerak bola mata) menghantarkan serabut-serabut saraf para
simpati untuk melayani otot siliaris dan otot iris
d. Nervus Trokhlearis (Nervus Kranialis IV) Bersifat motoris, mensarafi otot-otot
orbital. Saraf ini berfunsi sebagai pemutar mata yang pusatnya terletak
dibelakang pusat saraf penggerak mata;
e. Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V) Sifatnya majemuk (sensoris motoris)
saraf ini mempunyai tiga buah cabang. Fungsinya sebagai saraf kembar tiga,
saraf ini merupakan saraf otak besar, sarafnya yaitu 1) Nervus oftalmikus
sifatnya sensorik, mensarafi kulit kepala bagian depan kelopak mata atas,
selaput lendir kelopak mata dan bola mata; 2) Nervus maksilaris sifatnya
sensoris, mensarafi gigi atas, bibir atas, palatum, batang hidung, ronga hidung
dan sinus maksilaris; 3) Nervus mandibula sifatnya majemuk (sensori dan
motoris) mensarafi otot-otot pengunyah. Serabut-serabut sensorisnya mensarafi
gigi bawah, kulit daerah temporal dan dagu
f. Nervus Abducens (Nervus Kranialis VI) Sifatnya motoris, mensarafi otot-otot
orbital. Fungsinya sebagai saraf penggoyang sisi mata
g. Nervus Fasialis (Nervus Kranialis VII) Sifatnya majemuk (sensori dan motori)
serabut-serabut motorisnya mensarafi otot-otot lidah dan selaput lendir ronga
mulut. Di dalam saraf ini terdapat serabut-serabut saraf otonom (parasimpatis)
untuk wajah dan kulit kepala fungsinya sebagai mimik wajah untuk
menghantarkan rasa pengecap
h. Nervus Akustikus (Nervus Kranialis VIII) Sifatnya sensori, mensarafi alat
pendengar, membawa rangsangan dari pendengaran dan dari telinga ke otak.
Fungsinya sebagai saraf pendengar
i. Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX) Sifatnya majemuk (sensori dan
motoris) mensarafi faring, tonsil dan lidah, saraf ini dapat membawa rangsangan
cita rasa ke otak.
j. Nervus Vagus (Nervus Kranialis X) Sifatnya majemuk (sensoris dan motoris)
mengandung sarafsaraf motorik, sensorik dan parasimpatis faring, laring,
paruparu, esofagus, gaster intestinum minor, kelenjar-kelenjar pencernaan
dalam abdomen. Fungsinya sebagai saraf perasa
k. Nervus Aksesorius (Nervus Kranialis XI), Saraf ini mensarafi muskulus
sternokleidomastoid dan muskulus trapezium, fungsinya sebagai saraf tambahan
l. Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII) Saraf ini mensarafi otot-otot lidah,
fungsinya sebagai saraf lidah. Saraf ini terdapat di dalam sumsum penyambung
(Smeltzer, 2001)
C. ETIOLOGI
Cedera otak primer adalah akibat cedera langsung dari kekuatan mekanik yang
merusak jaringan otak saat trauma terjadi (hancur, robek, memar, dan perdarahan).
Cedera ini dapat berasal dari berbagai bentuk kekuatan/tekanan seperti akselerasi rotasi,
kompresi, dan distensi akibat dari akselerasi atau deselerasi. Tekanan itu mengenai
tulang tengkorak, yang dapat memberi efek pada neuron, glia, dan pembuluh darah, dan
dapat mengakibatkan kerusakan lokal, multifokal ataupun difus.
Cedera otak sekunder (COS) yaitu cedera otak yang terjadi akibat proses
metabolisme dan homeostatis ion sel otak, hemodinamika intrakranial dan
kompartement CSS yang dimulai segera setelah trauma tetapi tidak tampak secara klinis
segera setelah trauma. Cedera otak sekunder ini disebabkan oleh banyak faktor antara
lain kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak (ADO), gangguan
metabolisme dan homeostatis ion sel otak, gangguan hormonal, pengeluaran
neurotransmitter dan reactive oxygen species (ROS), infeksi dan asidosis (Maharendra,
2016).

D. MANIFESTASI KLINIS/TANDA DAN GEJALA

Gejala tergantung letak frakturnya:


1. Fraktur fossa anterior
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau kedua mata dikelilingi
lingkaran “biru” (Brill Hematom atau Racoon’s Eyes), rusaknya Nervus
Olfactorius sehingga terjadi hyposmia sampai anosmia.
2. Fraktur fossa media
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur memecahkan arteri
carotis interna yang berjalan di dalam sinus cavernous sehingga terjadi hubungan
antara darah arteri dan darah vena (A-V shunt) (Sjamsuhidajat & Jong, 2010).
3. Fraktur fossa posterior
Tampak warna kebiru-biruan di atas mastoid. Getaran fraktur dapat melintas
foramen magnum dan merusak medula oblongata sehingga penderita dapat mati
seketika
Selain itu pasien dengan cedera kepala biasanya mengalami penurunan kesadaran
hingga terjadi koma dan bisa terjadi amnesia. Pasien juga mungkin akan mengeluh
nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah dan pucat (Maharendra et al., 2016)
Gejala yang dialami penderita cedera kepala berbeda-beda, tergantung pada keparahan
kondisi dan lokasi benturan. Tidak semua gejala akan langsung dirasakan sesaat
setelah cedera terjadi. Terkadang gejala baru muncul beberapa hari hingga beberapa
minggu kemudian.
Gejala cedera kepala ringan

 Benjolan atau bengkak di kepala


 Luka kulit kepala yang tidak dalam
 Linglung atau memiliki pandangan kosong
 Pusing berputar atau sakit kepala
 Mual
 Mudah merasa lelah
 Mudah mengantuk dan tidur lebih lama dari biasanya
 Sulit tidur
 Kehilangan keseimbangan
 Sensitif terhadap cahaya atau suara
 Penglihatan kabur
 Telinga berdenging
 Kemampuan mencium atau merasakan berubah
 Kesulitan mengingat atau berkonsentrasi
 Depresi
 Perubahan suasana hati

Gejala cedera kepala sedang dan berat

 kehilangan kesadaran selama beberapa menit hingga jam


 Terdapat luka pada kepala yang dalam
 Terdapat benda asing yang menancap di kepala
 Sakit kepala parah yang berkepanjangan
 Mual atau muntah secara berkelanjutan
 Kehilangan koordinasi tubuh
 Kejang
 Pelebaran pupil mata
 Terdapat cairan yang keluar melalui hidung atau telinga
 Sulit dibangunkan saat tidur
 Jari-jari tangan dan kaki melemah atau kaku
 Merasa sangat bingung
 Perubahan perilaku yang drastis
 Berbicara cadel
 Koma
E. PATOFISIOLOGI
Cedera kepala didasarkan pada proses patofisiologi dibagi menjadi dua yang
didasarkan pada asumsi bahwa kerusakan otak pada awalnya disebabkan oleh kekuatan
fisik yang lalu diikuti proses patologis yang terjadi segera dan sebagian besar bersifat
permanen. Dari tahapan itu, dikelompokkan cedera kepala menjadi dua yaitu primer
dan sekunder.
a. Cedera Primer
Ini adalah kerusakan otak tahap pertama yang diakibatkan oleh benturan/proses
mekanik yang membentur kepala. Derajat kerusakan tergantung pada kuatnya
benturan dan arahnya, kondisi kepala yang bergerak/diam, percepatan dan
perlambatan gerak kepala. Proses primer mengakibatkan fraktur tengkorak,
perdarahan segera dalam rongga tengkorak/otak, robekan dan regangan serabut
saraf dan kematian langsung neuron pada daerah yang terkena.
Telah diketahui bahwa trauma otak primer menyebabkan depolarisasi neuronal
yang luas yang disertai dengan meningkatnya kalsium intraseluler (Hays, 5) dan
meningkatnya kadar neurotransmitter eksitatorik. Peningkatan dan kebocoran
neurotransmitter eksitatorik akan merangsang terjadinya delayed neuronal death.
Selain itu kerusakan dalam hemostasis ionik mengakibatkan meningkatnya kadar
kalsium (ca) intraseluler serta ion natrium. Influks ca ke dalam sel disertai rusaknya
sitoskeleton karena enzim fosfolipase dan merangsang terlepasnya radikal bebas
yang memperburuk dan merusak integritas membran sel yang masih hidup.
b. Cedera Sekunder
Merupakan tahap lanjutan dari kerusakan otak primer dan timbul karena kerusakan
primer membuka jalan untuk kerusakan berantai karena berubahnya struktur
anatomi maupun fungsional dari otak misalnya meluasnya perdarahan, edema otak,
kerusakan neuron berlanjut, iskemia fokal/global otak, kejang, hipertermi. Insult
sekunder pada otak berakhir dengan kerusakan otak iskemik yang dapat melalui
beberapa proses:
a. Kerusakan otak berlanjut (progressive injury). Terjadi kerusakan berlanjut
yang progresif terlihat pada daerah otak yang rusak dan sekitarnya serta terdiri
dari 3 proses
1. Proses kerusakan biokimia yang menghancurkan sel-sel dan
sistokeletonnya. Kerusakan ini dapat berakibat: Edema sintotoksik karena
kerusakan pompa natrium terutama pada dendrit dan sel glia, Kerusakan
membran dan sitoskeleton karena kerusakan pada pompa kalsium
mengenai semua jenis sel, Inhibisi dari sintesis protein intraseluler
2. Kerusakan pada mikrosirkulasi seperti vasoparisis, disfungsi membran
kapiler disusul dengan edema vasogenik. Pada mikrosirkulasi regional ini
tampak pula sludging dari sel-sel darah merah dan trombosit. Pada
keadaan ini sawar darah otak menjadi rusak.
3. Perluasan dari daerah hematoma dan perdarahan petekial otak yang
kemudian membengkak akibat proses kompresi lokal dari hematoma dan
multipetekial. Ini menyebabkan kompresi dan bendungan pada pembuluh
di sekitarnya yang pada akhirnya menyebabkan peninggian tekanan
intracranial
b. Insult otak sekunder berlanjut (delayed secondary barin injury) Penyebab dari
proses inibisa intrakranial atau sistemik:
1. Intrakranial Karena peninggian tekanan intrakranial (TIK) yang meningkat
secara berangsur-angsur dimana suatu saat mencapai titik toleransi
maksimal dari otak sehingga perfusi otak tidak cukup lagi untuk
mempertahankan integritas neuron disusul oleh hipoksia/hipoksemia otak
dengan kematian akibat herniasi, kenaikan TIK ini dapat juga akibat
hematom berlanjut misalnya pada hematoma epidural. Sebab TIK lainnya
adalah kejang yang dapat menyebabkan asidosis dan
vasospasme/vasoparalisis karena oksigen tidak mencukupi.
2. Sistemik Perubahan sistemik akansangat mempengaruhi TIK. Hipotensi
dapat menyebabkan penurunan tekanan perfusi otak berlanjut dengan
iskemia global. Penyebab gangguan sistemik ini disebut sebagai nine
deadly Hs yaitu hipotensi, hipokapnia, hiperglikemia, hiperkapnia,
hiperpireksia, hipoksemia, hipoglikemia, hiponatremia dan
hipoproteinemia.
Trauma yang mengenai kepala, dapat diredam oleh rambut dan kulit kepala.
Selanjutnya bagian yang terberat dari benturan diteruskan ke tengkorak, yang
cukup mempunyai elastisitas hingga dapat mendatar, bila kepala terbentur pada
objek yang tumpul atau datar. Bila pendataran tengkorak melebihi toleransi
elastisitas, tulang akan patah/retak. Hal ini dapat menyebabkan fraktur linear
yang sederhana, meluas dari pusat pukulan sampai ke basis. Benturan yang lebih
hebat dapat menyebabkan fraktur stellata dan bila lebih hebat lagi dapat
menyebabkan depresi fraktur (Tjahjadi et al., 2013)
F. PATHWAY

Benturan/ terjadi trauma, gangguan aliran


darah ke otak, gangguan hormonal,
gangguan metabolisme dan homeostatis ion
sel otak

Cedera otak primer,


Cedera otak sekunder

Peningkatan tekanan
intrakranial Gangguan neurovaskular

Deficit sensori Ketidakseimbangan Kerusakan kordinasi


perfusi ventilasi

Perubahan tingkat Perubahan membrane Penurunan kekuatan


kesadaran alveolar-kapiler otot

Dispnea Keterbatasan rentang


Ketidakefektifan perfusi
gerak
jaringan serebral

Pernafasan abnormal
Gangguan mobilitas
fisik

Pola Nafas Tidak Gangguan pertukaran


Efektif gas
G. KOMPLIKASI
1. Perubahan Kesadaran
Cedera kepala sedang hingga berat dapat menyebabkan seseorang mengalami
perubahan kesadaran, kewaspadaan, atau respon dalam waktu yang lama atau
bahkan permanen. Tingkat kesadaran dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan
seperti di bawah ini.

2. Koma
Seseorang yang berada dalam keadaan koma biasanya tidak sadar, tidak mengetahui
apapun, dan tidak dapat merespon rangsangan apapun. Kondisi ini terjadi akibat
kerusakan otak yang terjadi cukup besar. Setelah beberapa hari atau beberapa
minggu, penderita mungkin akan tersadar dari koma atau justru masuk ke tingkat
vegetatif.

3. Vegetatif
Kerusakan otak yang cukup luas dapat menyebabkan seseorang memasuki keadaan
vegetatif. Walaupun penderita biasanya tidak menyadari keadaan lingkungan di
sekitarnya, akan tetapi penderita dapat membuka matanya, mengeluarkan suara,
berespon terhadap rangsangan, atau bergerak. Keadaan ini dapat bersifat permanen,
akan tetapi pada sebagian besar kasus, tingkat kesadaran penderita biasanya akan
semakin membaik dan memasuki tingkat minimally conscious state.

4. Minimally Concious State


Minimally conscious state merupakan suatu keadaan di mana tingkat kesadaran
penderita sangat terganggu, tetapi ia masih menyadari keadaan di lingkungan
sekitarnya. Tingkat kesadaran ini biasanya merupakan masa transisi dari kondisi
koma atau vegetatif ke masa penyembuhan.

5. Locked-in Syndrome
Seseorang yang berada pada tingkat locked-in biasanya menyadari keadaan
lingkungan di sekitarnya dan terbangun, tetapi ia tidak dapat berbicara atau
bergerak. Penderita biasanya dapat berkomunikasi dengan gerakan mata atau
kedipan. Kondisi ini biasanya terjadi akibat kerusakan pada otak bagian bawah dan
batang otak. Kondisi ini jarang sekali terjadi akibat cedera kepala dan lebih sering
terjadi akibat stroke pada daerah otak tersebut.
6. Kematian Otak
Saat dokter tidak lagi dapat menemukan adanya aktivitas apapun di dalam otak dan
batang otak, maka kondisi ini disebut dengan kematian otak. Pada penderita yang
mengalami kematian otak, maka pelepasan alat bantu pernapasan dapat
menyebabkan gangguan pernapasan dan akhirnya kegagalan fungsi jantung.
Kematian otak biasanya tidak dapat diobati.

7. Kejang
Beberapa orang yang mengalami cedera kepala dapat mengalami kejang dalam satu
minggu pertama paska cedera. Beberapa cedera berat dapat menyebabkan kejang
berulang, yang disebut dengan epilepsi paska trauma.

8. Peningkatan Tekanan di Dalam Kepala


Cairan serebrospinal dapat menumpuk di dalam otak (ventrikel) paska terjadinya
cedera kepala pada sejumlah orang, yang akan menyebabkan peningkatan tekanan
di dalam kepala dan pembengkakan otak.

9. Infeksi
Tulang tengkorak yang patah atau luka tembus pada kepala dapat merobek lapisan
pelindung otak (meningen). Hal ini membuat bakteri dapat masuk ke dalam otak
dan menyebabkan terjadinya infeksi. Infeksi pada selaput otak (meningitis) dapat
menyebar ke seluruh sistem saraf bila tidak segera diobati.

10. Kerusakan Pembuluh Darah


Beberapa pembuluh darah kecil atau besar di dalam otak dapat mengalami
kerusakan saat terjadinya cedera kepala. Kerusakan pembuluh darah ini dapat
menyebabkan terjadinya stroke, terbentuknya bekuan darah, atau gangguan lainnya.

11. Kerusakan Saraf


Cedera pada dasar tulang tengkorak dapat menyebabkan terjadinya kerusakan saraf
yang keluar langsung dari dalam otak (saraf kranial). Kerusakan saraf kranial dapat
memicu terjadinya beberapa gejala di bawah ini, yaitu:

a. Kelumpuhan otot-otot wajah


b. Kerusakan saraf yang berfungsi untuk mengatur pergerakan bola mata, yang
dapat menyebabkan terjadinya penglihatan ganda
c. Kerusakan saraf yang berfungsi untuk mengatur penciuman
d. Hilangnya penglihatan
e. Wajah mati rasa
f. Gangguan menelan

12. Gangguan Kecerdasan


Banyak orang yang pernah mengalami cedera kepala yang cukup berat mengalami
perubahan dalam kemampuan berpikirnya. Selain kemampuan berpikir, cedera
kepala juga dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada kemampuan lainnya
seperti:

a. Daya ingat
b. Kemampuan belajar
c. Kemampuan menganalisa
d. Kecepatan berpikir
e. Kemampuan menilai
f. Perhatian atau konsentrasi
g. Kemampuan menyelesaikan masalah
h. Kemampuan mengerjakan beberapa hal sekaligus
i. Kemampuan berorganisasi
j. Kemampuan untuk membuat keputusan
k. Kemampuan untuk memulai atau menyelesaikan tugas

13. Gangguan Komunikasi


Gangguan berbahasa dan berkomunikasi merupakan hal yang sering terjadi paska
cedera kepala. Gangguan ini dapat menyebabkan penderita merasa frustasi,
bertengkar, dan disalahpahami. Gangguan komunikasi yang mungkin ditemukan
adalah:

a. Kesulitan mengerti perkataan atau tulisan


b. Kesulitan berbicara atau menulis
c. Ketidakmampuan mengorganisir pikiran dan ide
d. Kesulitan mengikuti obrolan
e. Kesulitan memilih topik pembicaraan atau melanjutkan pembicaraan
f. Kesulitan memahami perubahan intonasi suara untuk menunjukkan emosi dan
sikap
g. Kesulitan mengartikan sinyal non verbal (bahasa tubuh)
h. Kesulitan membaca petunjuk dari pendengar
i. Kesulitan memulai atau menghentikan pembicaraan
j. Ketidakmampuan menggunakan otot-otot yang diperlukan untuk membentuk
kata-kata

14. Perubahan Perilaku


Orang yang pernah mengalami cedera kepala seringkali mengalami perubahan
perilaku seperti:

a. Kesulitan mengendalikan dirinya


b. Tidak menyadari kemampuan dirinya
c. Suka melakukan hal-hal yang berbahaya
d. Tidak mengetahui jati dirinya
e. Kesulitan bersosialisasi
f. Sering tiba-tiba marah baik dengan kata-kata atau tindakan fisik

15. Perubahan Emosional


Orang yang mengalami cedera kepala juga dapat mengalami perubahan emosional
seperti:

a. Depresi
b. Cemas
c. Mood berubah-ubah
d. Mudah marah
e. Kurang bersimpati terhadap orang lain
f. Sering marah
g. Sulit tidur
h. Perubahan harga diri

16. Gangguan Panca Indra


Orang yang mengalami cedera kepala juga dapat mengalami gangguan panca indra
seperti telinga berdenging; kesulitan mengenali suatu benda; gangguan koordinasi
tangan dan mata; buta atau penglihatan ganda; merasa pahit atau tidak enak pada
lidahnya; kesulitan mencium; kulit terasa kesemutan, nyeri atau gatal; kesulitan
menjaga keseimbangan atau pusing.

17. Penyakit Otak Degeneratif


Cedera kepala dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit yang terjadi akibat
degenerasi sel-sel otak dan menurunnya fungsi otak secara perlahan. Beberapa
penyakit yang resiko terjadinya akan meningkat setelah seseorang mengalami
cedera kepala adalah:

a. Penyakit Alzheimer, yang menyebabkan gangguan daya ingat dan kemampuan


berpikir lain secara progresif
b. Penyakit Parkinson, yang merupakan gangguan progresif yang akan
menyebabkan gangguan pergerakan seperti gemetar, kaku, dan gerakan lambat

Demensia pugilistika, biasanya terjadi akibat pukulan berulang pada kepala (biasa
dialami oleh para petinju), yang menyebabkan demensia (pikun) dan gangguan
pergerakan (Mayapada Hospital, 2017)
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan dalam cedera kepala dan untuk
menegakkan diagnosis dari cedera kepala menurut Kasenda (2018) yaitu:
1. Foto polos kepala
Indikasi dilakukannya pemeriksaan meliputi jejas lebih dari 5 cm, luka tembus
(peluru/tajam), deformasi kepala (dari inspeksi dan palpasi), nyeri kepala yang
menetap, gejala fokal neurologis, gangguan kesadaran.
2. CT-Scan
Indikasi CT-Scan adalah:
a. Nyeri kepala menetap atau muntah-muntah yang tidak menghilang setelah
pemberian obat-obatan analgesia.
b. Adanya kejang-kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat pada lesi
intrakranial dibandingkan dengan kejang general.
c. Penurunan GCS lebih dari 1 dimana factor-faktor ekstrakranial telah
disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena syok, febris, dll).
d. Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai.
e. Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.
f. Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI digunakan untuk pasien yang memiliki abnormalitas status mental yang
digambarkan oleh CT-Scan. MRI telah terbukti lebih sensitive daripada CT-Scan,
terutama dalam mengidentifikasi lesi difus non hemoragig cedera aksonal.
4. X-Ray
X-Ray berfungsi mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (perdarahan /edema), fragment tulang
5. BGA ( Blood Gas Analyze)
Mendeteksi masalah pernafasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intra
kranial (TIK).
6. Kadar elektrolit
Mengoreksi keseimbangan elektrolit sebgai akibat peningkatan tekanan intra
kranial
I. PENATALAKSANAAN KEGAWATAN
Mekanisme cedera /trauma kepala menurut Kasenda (2018), meliputi:
1. Akselerasi
Jika benda bergerak membentur kepala yang tidak bergerak, contohnya pada orang
yang diam kemudian dipukul atau dilempar.
2. Deselerasi
Jika kepala yang bergerak membentur benda yang diam, contohnya pada kepala
yang menabrak dinding.
3. Deformitas
Perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang terjadi akibat trauma, contoh
adanya fraktur pada tulang kepala, kompressi, ketegangan atau pemotongan pada
jaringan otak.
Mekanisme cedera /trauma kepala menurut Kasenda (2018), meliputi:
1. Akselerasi
Jika benda bergerak membentur kepala yang tidak bergerak, contohnya pada orang
yang diam kemudian dipukul atau dilempar.
2. Deselerasi
Jika kepala yang bergerak membentur benda yang diam, contohnya pada kepala
yang menabrak dinding.
3. Deformitas
Perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang terjadi akibat trauma, contoh
adanya fraktur pada tulang kepala, kompressi, ketegangan atau pemotongan pada
jaringan otak.
Penatalaksanaan penderita cedera kepala ditentukan atas dasar beratnya cedera dan
dilakukan menurut urutan prioritas. Yang ideal dilaksanakan oleh suatu tim yang terdiri
dari paramedis terlatih, dokter ahli saraf, bedah asraf, radiologi, anestesi dan rehabilitasi
medik. Pasien dengan cedera kepala harus ditangani dan dipantau terus sejak tempat
kecelakaan, selama perjalanan dari tempat kejadian sampai rumah sakit, diruang gawat
darurat, kamar radiologi, sampai ke ruang operasi, ruang perawatan atau ICU, sebab
sewaktu-waktu bisa memburuk akibat aspirasi, hipotensi, kejang dan sebagainya.
Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom intrakranial
atau hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK sebaiknya dipasang monitor
TIK. TIK yang normal adalah berkisar 0-15 mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus
diturunkan dengan urutan sebagai berikut:
1. Hiperventilasi Setelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi
yang terkontrol, dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2) 27-30 mmHg dimana terjadi
vasokontriksi yang diikuti berkurangnya aliran darah serebral. Hiperventilasi
dengan pCO2 sekitar 30 mmHg dipertahankan selama 48-72 jam, lalu dicoba
dilepas dgnmengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi hiperventilasi diteruskan
lagi selama 24-48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan hiperventilasi periksa gas
darah dan lakukan CT scan ulang untuk menyingkirkan hematom.
2. Drainase Tindakan ini dilakukan bil ahiperventilasi tidak berhasil. Untuk jangka
pendek dilakukan drainase ventrikular, sedangkan untuk jangka panjang dipasang
ventrikulo peritoneal shunt, misalnya bila terjadi hidrosefalus
3. Terapi diuretic
a. Diuretik osmotik (manitol 20%) Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik
air dari jaringan otak normal melalui sawar otak yang masih utuh kedalam
ruang intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya harus dihentikan.
Cara pemberiannya : Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan
0,25-0,5 gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24-48 jam. Monitor osmolalitas
tidak melebihi 310 mOSm.
b. Loop diuretik (Furosemid) Frosemid dapat menurunkan TIK melalui efek
menghambat pembentukan cairan cerebrospinal dan menarik cairan interstitial
pada edema sebri. Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai efek sinergik
dan memperpanjang efek osmotik serum oleh manitol. Dosis 40 mg/hari/iv 4.
4. Terapi barbiturat (Fenobarbital) Terapi ini diberikan pada kasus-ksus yang tidak
responsif terhadap semua jenis terapi yang tersebut diatas. Cara pemberiannya:
Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam,
lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg%, dengan dosis sekitar 1
mg/KgBB/jam. Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis
diturunkan bertahap selama 3 hari.
5. Streroid
Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan tetapi
menfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu sekarang tidak
digunakan lagi pada kasus cedera kepala.
6. Posisi Tidur Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya
ditinggikan bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada pada satu bidang,
jangan posisi fleksi atau leterofleksi, supaya pembuluh vena daerah leher tidak
terjepit sehingga drainase vena otak menjadi lancar.
7. Keseimbangan cairan elektrolit
Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah bertambahnya edema
serebri dengan jumlah cairan 1500-2000 ml/hari diberikan perenteral, sebaiknya
dengan cairan koloid seperti hydroxyethyl starch, pada awalnya dapat dipakai
cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau ringer laktat, jangan diberikan cairan yang
mengandung glukosa oleh karena terjadi keadaan hiperglikemia menambah edema
serebri. Keseimbangan cairan tercapai bila tekanan darah stabil normal, yang akan
takikardia kembali normal dan volume urin normal >30 ml/jam. Setelah 3-4 hari
dapat dimulai makanan peroral melalui pipa nasogastrik. Pada keadaan tertentu
dimana terjadi gangguan keseimbangan cairan eletrolit, pemasukan cairan harus
disesuaikan, misalnya pada pemberian obat diuretik, diabetes insipidus, syndrome
of inappropriate anti diuretic hormon (SIADH). Dalam keadaan ini perlu dipantau
kadar eletrolit, gula darah, ureum, kreatinin dan osmolalitas darah.
8. Nutrisi
Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali normal dan
akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi antara lain oleh karena
meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin dalam darah danakan bertambah
bila ada demam. Setekah 3-4 hari dengan cairan perenterai pemberian cairan nutrisi
peroral melalui pipa nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari.
9. Epilepsi/kejang
Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early epilepsi
dan yang terjadi setelah minggu pertama disebut late epilepsy. Early epilelpsi lebih
sering timbul pada anak-anak dari pada orang dewasa, kecuali jika ada fraktur
impresi, hematom atau pasien dengan amnesia post traumatik yang panjang.
Pengobatan:
a. Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari
b. Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit. Bila
cendrung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan tetesan <40 mg/jam.
Setiap 6 jam dibuat larutan baru oleh karena tidak stabil. Bila setelah 400 mg
tidak berhasil, ganti obat lain misalnya Fenitoin. Cara pemberian Fenitoin,
bolus 18 mg/KgB/iv pelan-pelan paling cepat 50 mg/menit. Dilanjutkan
dengan 200-500 mg/hari/iv atau oral Profilaksis: diberikan pada pasien cedera
kepala berat dengan resiko kejang tinggi, seperti pada fraktur impresi,
hematom intrakranial dan penderita dengan amnesia post traumatik panjang.
10. Komplikasi sistematik
a. Infeksi: profilaksis antibiotik diberikan bila ada resiko tinggi infeksi seperti:
pada fraktur tulang terbuka, luka luar dan fraktur basis kranii
b. Demam: kenaikan suhu tubuh meningkatkan metabolisme otak dan menambah
kerusakan sekunder, sehingga memperburuk prognosa. Oleh karena itu setiap
kenaikan suhu harus diatasi dengan menghilangkan penyebabnya, disamping
tindakan menurunkan suhu dengan kompres.
c. Gastrointestinal: pada penderita sering ditemukan gastritis erosi dan lesi
gastroduodenal lain, 10-14% diantaranya akan berdarah. Keadan ini dapat
dicegah dengan pemberian antasida atau bersamaan dengan H2 reseptor
bloker.
d. Kelainan hematologi: kelainan bisa berupa anemia, trombosiopenia, hipo
hiperagregasi trombosit, hiperkoagilasi, DIC. Kelainan tersebut walaupun ada
yang bersifat sementara perlu cepat ditanggulangi agar tidak memperparah
kondisi pasien.
11. Neuroproteksi
Adanya waktu tenggang antara terjadinya trauma dengan timbulnya kerusakan
jaringan saraf, memberi waktu bagi kita untuk memberikan neuroprotektan.
Manfaat obat-obat tersebut masih diteliti pada penderita cedera kepala berat antara
lain, antagonis kalsium, antagonis glutama dan sitikolin (Kasenda, 2018)..
ASUHAN KEPERAWATAN GADAR

A. PENGKAJIAN GADAR

NO RM : 226732 Tanggal : 29 /11/2021


I Identitas Pasien Identitas Penanggung jawab Pasien
D Nama : Tn.B Nama : Ny.W
E Usia : 35 Tahun Umur : 35 Tahun
N TTL : Badung, 31-12-1984 Jenis Kelamin : perempuan
T Status perkawinan : Menikah Alamat Jl gn agung no 112
I Alamat : Jl gn agung no 112 Pekerjaan : Swasta
T Status pendidikan : SMA Hubungan dengan pasien : Istri
A Jenis kelamin : Laki-laki
S Pekerjaan : Swasta
Agama : Hindu

KESADARAN KATEGORI TRIASE :


( - ) ALERT Merah
T ( - ) VERBAL
R ( √ ) PAIN
I ( - ) UNRESPONSIVE
A
G
E TRAUMA/ NONTRAUMA DX. MEDIS :Cedera Kepala

AIRWAY BREATHING
P  RR : 30 x/menit
Paten (√ ) Obtruksi (- )  Pergerakan dada :
E
*Obstuksi oleh : simetris (√ ) asimetris ( )
N ( - ) Benda Asing  Irama napas :
( - ) Bronkospasme Reguler ( ) Ireguler (√ )
G
( - ) Darah  Kedalaman :
K ( - ) Sputum Dalam ( ) Dangkal (√ )
( - ) Lendir  Suara Napas:
A
Vesikuler (√ ) Ronchi ( )
J Suara Napas : Craekless ( ) Whezing ( )
Stridor (√ ) Gurgling ( - )
I
Snowring (-) Lainnya........  SaO2: 94%
A  Alat Bantu Napas : ventilator
Alat Bantu Airway:ETT
N
MASALAH : MASALAH : RR meningkat, suara
Terdapat suara stridor nafas irreguler
P
R
I CIRCULATION DISABILITY
M Sirkulasi perifer: GCS : E1 V1 M3
Nadi: 91 x/mnt
E
Irama: (√) Teratur ( ) Tidak Tingkat Kesadaran :
R Denyut: (√) Lemah ( ) Kuat ( ) Composmentis
( ) Apatis
TD: 100/70 mmHg ( ) Delirium
( ) Somnolen
Akral : ( ) Sopor
( ) Hangat (√ ) Dingin (√ ) Semi koma
( ) Koma
Warna kulit:
( ) Cyanosis (√ ) Pucat Pupil :
( ) Kemerahan ( ) Isokor ( √ )Anisokor

Nyeri dada: ( ) Ada (√) Tidak (√ ) Gangguan Motorik


Karakterisrik nyeri dada: (√ ) Gangguan Sensorik
( ) Menetap ( ) Menyebar
( ) Seperti ditusuk-tusuk *Glukosa Darah Sewaktu :120
( ) Seperti ditimpa benda berat mg/dL

CRT: (√ ) < 3 detik ( ) > 3 detik


MASALAH :
Edema: ( ) Ya (√ ) Tidak Status kesadaran pasien semi koma,
Terpasangi IVFD : (√ ) Ya ( ) Tidak pupil anisokor, terjadi gangguan
motorik dan sensorik
MASALAH :
Keluar darah di area telinga

EXPOSSURE

Terdapat luka terbuka di os temporal


sinistra sepanjang 10 cm
P SIGN & SYMPTON PAST ILNESS
E
Penurunan kesadaran (semi koma), Keluarga mengatakan sebelumnya
N keluar darah di area telinga, pupil pasien pernah mengalami benturan
anisokor, terdapat suara stridor, RR yang cukup keras dikepalanya karena
G
meningkat 30x/menit, akaral dingin, jatuh
K warna kulit pucat, terdapat gangguan
motorik dan sensorik, terdapat luka
A
terbuka di os temporalis.
J
ALERGIC LAST ORAL INTAKE
I
Kaji pasien apakah memiliki alergi pada Kaji makanan atau apapun yang
A makanan, obat ataupun minuman dikonsumsi pasien terakhir kali
N

MEDICAL HISTORY EVENT OF LEADING


S Keluarga mengatakan sebelumnya Pasien mengalami kecelakaan lalu
pasien tidak pernah mengkonsumsi obat lintas dan mengalami penurunan
E
ketika sakit. Pasien hanya kesadaran
K mengandalkan ramuan herbal seperti
jamu
U
N
D
E
R

Hasil Pemeriksaan Penunjang Terapi Medis


Laboratorium : 1. Pantoprazole 2 x 1 vial
Hb 8,0 g/dL
2. Furosemide 2 x 2 ampul
Leukosit 20,10 sel/mm3.
Na 140,7 mEql/L 3. Ceftriaxon 2 x 1 vial
Pem
K 4,21 mEql/L
4. Domperidone 3 x 10 mg
erik CL 106,0 mEql/L
5. Ketorolac 3 x 1 amp
saa
6. Antrain 3 x 1 amp
n CT Scan hasil:
Intracerebral dan intraventrikular 7. Asam tranexamat 3x 1 amp
Pen
hematoma, terdapat luka terbuka di os
8. Paracetamol infuse 3x 500 mg
unj temporal sinistra sepanjang 10 cm,
bathel sign di bagian sinistra 9. Morfina 2 amp dalam 20 cc 1 cc/
ang
jam/ siring pump
ECG
- 10. IVFD Kaen 3B : Asering (2:2) /
hari

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral b/d hematoma
2. Pola nafas tidak efektif b/d kegagalan otor pernafasan
C. INTERVENSI
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi
Keperawatan Hasil
1. Ketidakefektifan Setelah dilakukan asuhan NIC Label: Monitor TIK
perfusi jaringan b/d keperawatan selama 1 x 8 a. Monitor adanya
hematoma ditandai jam diharapkan NOC : keluhan sakit kepala,
dengan adanya a. Circulation status mual, muntah, gelisah.
Intracerebral dan b. Tissue Prefusion b. Monitor status
intraventrikular Cerebral neurologi.
hematoma, terdapat Denggan kriteria Hasil : c. Monitor intake dan
luka terbuka di os Perfusi jaringan cerebral output.
temporal sinistra 1. Tekanan intra NIC Label: Manajemen
sepanjang 10 cm, cranial normal Edema Cerebral
bathel sign di bagian 2. Tidak ada nyeri a. Monitor adanya
sinistra. kepala kebingungan, keluhan
3. Tidak ada pusing.
kegelisahan b. Monitor status
4. Tidak ada gangguan pernafasan, frekuensi
refleks saraf dan kedalaman
Status neurologi pernafasan.
1. Kesadaran normal c. Kurangi stimulus
2. Tekanan intra dalam lingkungan
cranial normal pasien.
3. Pola bernafas d. Berikan sedasi sesuai
normal kebutuhan.
4. Ukuran dan reaksi NIC Label: Monitor
pupil normal Neurologi
a. Monitor tingkat
kesadaran (GCS).
b. Monitor refleks batuk
dan menelan.
c. Pantau ukuran pupil,
bentuk, kesimetrisan.
2. Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan asuhan NIC Label: Airway
b/d kegagalan otot keperawatan selama 1 x 8 Management
pernafasan ditandai jam diharapkan NOC : a. Pertahankan bukaan
dengan RR: 30x/ a. Respiratory status : jalan nafas.
menit, suara nafas Ventilation b. Beri posisi head up 30-
stridor, terpasang b. Respiratory status : 40 derajat untuk
ETT, SpO2 : 94 %, Airway patency - emaksimalkan
terpasang ventilator Vital sign Status ventilasi.
dan suara nafas Dengan kriteria Hasil : c. Keluarkan secret
irreguler. 1. Irama pernafasan dengan suction.
normal d. Monitor alat ventilator.
2. Frekuensi NIC Label: Oxygen
pernafasan normal Therapy
3. TTV dalam batas a. Pertahankan jalan nafas
normal yang paten.
4. Tidak ada tanda b. Monitor aliran
sesak Oksigen.
5. Pasien tidak c. Monitor adanya tanda-
mengeluh sesak tanda hypoventilasi.
NIC Label: Vital Sign
Monitoring
a. Monitor TD, Suhu, RR.
b. Identifikasi penyebab
dari perubahan vital
sign.

D. IMPLEMENTASI
Implementasi adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat sesuati dengan
rencana keperawatan yang telah ditetapkan.
E. EVALUASI
Pada asuhan keperawatan dievaluasi keadaan umum pasien sesuai dengan tujuan dan
kriteria hasil yang direncanakan perawat. Dengan memperhatikan:
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan b/d hematoma
Perfusi jaringan cerebral:
a. Tekanan intra cranial normal
b. Tidak ada nyeri kepala
c. Tidak ada kegelisahan
d. Tidak ada gangguan refleks saraf
Status neurologi:
a. Kesadaran normal
b. Tekanan intra cranial normal
c. Pola bernafas normal
d. Ukuran dan reaksi pupil normal
2. Pola nafas tidak efektif b/d kegagalan otot pernafasan
a. Irama pernafasan normal
b. Frekuensi pernafasan normal
c. TTV dalam batas normal
d. Tidak ada tanda sesak
e. Pasien tidak mengeluh sesak
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, Gloria., dkk. (2016). Nursing Intervention Classification (NIC) ed. Keenam.
Nursing Intervention Classification (NIC) ed. Keenam. ELSEVIER.

Herdman, Heather & Kamitsuru, Shigemi. Diagnosis Keperawatan NANDA Definisi dan
Klasifikasi ed. 10 (2015-2017). Penerbit buku kedokteran: EGC.

Irawan, H., Setiawan, F., & Dewi, D. G. (2010). Perbandingan glasgow coma scale dan revised
trauma score dalam memprediksi disabilitas pasien trauma kepala di RS. Atma Jaya.
Majalah Kedokteran Indonesia Vol.60 No.10.

Kasenda, M. (2018). Asuhan Keperawatan Pada Tn “J” Dengan Trauma Kepala Berat (Tkb)
Di Ruang Icu Rsud Bahteramas. Jurnal Stainkudus, (1), 43.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004

Maharendra, Cantik, P., Rahayu, & Sidharta, B. (2016). Hubungan Antara Cedera Kepala Dan
Terjadinya Vertigo Di Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan. Fakultas Kedokteran,
Universitas Muhammadiyah.

Mayapada Hospital. (2017). Berbagai Komplikasi Cedera Kepala Yang Mungkin Terjadi.
Retrieved from https://mayapadahospital.com/news/berbagai-komplikasi-cedera-kepala-
yang-mungkin-terjadi

Moorhead, Sue., Johnson, Marion., dkk. (2016). Nursing Outcomes Classification (NOC) ed.5.
ELSEVIER.

Muttaqin, A. (2008). Pengantar asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem


persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.

RISKESDAS. (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013. Retrieved from


www.depkes.go.id/resources/ download/general/ Hasil Riskesdas 2013.pdf.

Sjamsuhidajat, & Jong, W. de. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Tjahjadi, M., Arifin, M. Z., Gill, A. S., & Faried, A. (2013). Early mortality predictor of severe
traumatic brain injury: A single center study of prognostic variables based on admission
characteristics. The Indian Journal Of Neurotrauma, 1, 3–8. Retrieved from
http://dx.doi.org/10.1016/j.ijnt.

Anda mungkin juga menyukai