OLEH:
Diajukan Oleh :
Ni Luh Eka Sugiarsani, S.Kep
C2221073
Telah Disahkan Sebagai Lpaoran Praktik
Stase Keperawatan Gawat Darurat Pada Minggu Pertama
Mengetahui,
STIKES Bina Usada Bali
Ka. Prodi
Peningkatan tekanan
intrakranial Gangguan neurovaskular
Pernafasan abnormal
Gangguan mobilitas
fisik
2. Koma
Seseorang yang berada dalam keadaan koma biasanya tidak sadar, tidak mengetahui
apapun, dan tidak dapat merespon rangsangan apapun. Kondisi ini terjadi akibat
kerusakan otak yang terjadi cukup besar. Setelah beberapa hari atau beberapa
minggu, penderita mungkin akan tersadar dari koma atau justru masuk ke tingkat
vegetatif.
3. Vegetatif
Kerusakan otak yang cukup luas dapat menyebabkan seseorang memasuki keadaan
vegetatif. Walaupun penderita biasanya tidak menyadari keadaan lingkungan di
sekitarnya, akan tetapi penderita dapat membuka matanya, mengeluarkan suara,
berespon terhadap rangsangan, atau bergerak. Keadaan ini dapat bersifat permanen,
akan tetapi pada sebagian besar kasus, tingkat kesadaran penderita biasanya akan
semakin membaik dan memasuki tingkat minimally conscious state.
5. Locked-in Syndrome
Seseorang yang berada pada tingkat locked-in biasanya menyadari keadaan
lingkungan di sekitarnya dan terbangun, tetapi ia tidak dapat berbicara atau
bergerak. Penderita biasanya dapat berkomunikasi dengan gerakan mata atau
kedipan. Kondisi ini biasanya terjadi akibat kerusakan pada otak bagian bawah dan
batang otak. Kondisi ini jarang sekali terjadi akibat cedera kepala dan lebih sering
terjadi akibat stroke pada daerah otak tersebut.
6. Kematian Otak
Saat dokter tidak lagi dapat menemukan adanya aktivitas apapun di dalam otak dan
batang otak, maka kondisi ini disebut dengan kematian otak. Pada penderita yang
mengalami kematian otak, maka pelepasan alat bantu pernapasan dapat
menyebabkan gangguan pernapasan dan akhirnya kegagalan fungsi jantung.
Kematian otak biasanya tidak dapat diobati.
7. Kejang
Beberapa orang yang mengalami cedera kepala dapat mengalami kejang dalam satu
minggu pertama paska cedera. Beberapa cedera berat dapat menyebabkan kejang
berulang, yang disebut dengan epilepsi paska trauma.
9. Infeksi
Tulang tengkorak yang patah atau luka tembus pada kepala dapat merobek lapisan
pelindung otak (meningen). Hal ini membuat bakteri dapat masuk ke dalam otak
dan menyebabkan terjadinya infeksi. Infeksi pada selaput otak (meningitis) dapat
menyebar ke seluruh sistem saraf bila tidak segera diobati.
a. Daya ingat
b. Kemampuan belajar
c. Kemampuan menganalisa
d. Kecepatan berpikir
e. Kemampuan menilai
f. Perhatian atau konsentrasi
g. Kemampuan menyelesaikan masalah
h. Kemampuan mengerjakan beberapa hal sekaligus
i. Kemampuan berorganisasi
j. Kemampuan untuk membuat keputusan
k. Kemampuan untuk memulai atau menyelesaikan tugas
a. Depresi
b. Cemas
c. Mood berubah-ubah
d. Mudah marah
e. Kurang bersimpati terhadap orang lain
f. Sering marah
g. Sulit tidur
h. Perubahan harga diri
Demensia pugilistika, biasanya terjadi akibat pukulan berulang pada kepala (biasa
dialami oleh para petinju), yang menyebabkan demensia (pikun) dan gangguan
pergerakan (Mayapada Hospital, 2017)
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan dalam cedera kepala dan untuk
menegakkan diagnosis dari cedera kepala menurut Kasenda (2018) yaitu:
1. Foto polos kepala
Indikasi dilakukannya pemeriksaan meliputi jejas lebih dari 5 cm, luka tembus
(peluru/tajam), deformasi kepala (dari inspeksi dan palpasi), nyeri kepala yang
menetap, gejala fokal neurologis, gangguan kesadaran.
2. CT-Scan
Indikasi CT-Scan adalah:
a. Nyeri kepala menetap atau muntah-muntah yang tidak menghilang setelah
pemberian obat-obatan analgesia.
b. Adanya kejang-kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat pada lesi
intrakranial dibandingkan dengan kejang general.
c. Penurunan GCS lebih dari 1 dimana factor-faktor ekstrakranial telah
disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena syok, febris, dll).
d. Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai.
e. Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.
f. Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI digunakan untuk pasien yang memiliki abnormalitas status mental yang
digambarkan oleh CT-Scan. MRI telah terbukti lebih sensitive daripada CT-Scan,
terutama dalam mengidentifikasi lesi difus non hemoragig cedera aksonal.
4. X-Ray
X-Ray berfungsi mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (perdarahan /edema), fragment tulang
5. BGA ( Blood Gas Analyze)
Mendeteksi masalah pernafasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intra
kranial (TIK).
6. Kadar elektrolit
Mengoreksi keseimbangan elektrolit sebgai akibat peningkatan tekanan intra
kranial
I. PENATALAKSANAAN KEGAWATAN
Mekanisme cedera /trauma kepala menurut Kasenda (2018), meliputi:
1. Akselerasi
Jika benda bergerak membentur kepala yang tidak bergerak, contohnya pada orang
yang diam kemudian dipukul atau dilempar.
2. Deselerasi
Jika kepala yang bergerak membentur benda yang diam, contohnya pada kepala
yang menabrak dinding.
3. Deformitas
Perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang terjadi akibat trauma, contoh
adanya fraktur pada tulang kepala, kompressi, ketegangan atau pemotongan pada
jaringan otak.
Mekanisme cedera /trauma kepala menurut Kasenda (2018), meliputi:
1. Akselerasi
Jika benda bergerak membentur kepala yang tidak bergerak, contohnya pada orang
yang diam kemudian dipukul atau dilempar.
2. Deselerasi
Jika kepala yang bergerak membentur benda yang diam, contohnya pada kepala
yang menabrak dinding.
3. Deformitas
Perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang terjadi akibat trauma, contoh
adanya fraktur pada tulang kepala, kompressi, ketegangan atau pemotongan pada
jaringan otak.
Penatalaksanaan penderita cedera kepala ditentukan atas dasar beratnya cedera dan
dilakukan menurut urutan prioritas. Yang ideal dilaksanakan oleh suatu tim yang terdiri
dari paramedis terlatih, dokter ahli saraf, bedah asraf, radiologi, anestesi dan rehabilitasi
medik. Pasien dengan cedera kepala harus ditangani dan dipantau terus sejak tempat
kecelakaan, selama perjalanan dari tempat kejadian sampai rumah sakit, diruang gawat
darurat, kamar radiologi, sampai ke ruang operasi, ruang perawatan atau ICU, sebab
sewaktu-waktu bisa memburuk akibat aspirasi, hipotensi, kejang dan sebagainya.
Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom intrakranial
atau hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK sebaiknya dipasang monitor
TIK. TIK yang normal adalah berkisar 0-15 mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus
diturunkan dengan urutan sebagai berikut:
1. Hiperventilasi Setelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi
yang terkontrol, dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2) 27-30 mmHg dimana terjadi
vasokontriksi yang diikuti berkurangnya aliran darah serebral. Hiperventilasi
dengan pCO2 sekitar 30 mmHg dipertahankan selama 48-72 jam, lalu dicoba
dilepas dgnmengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi hiperventilasi diteruskan
lagi selama 24-48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan hiperventilasi periksa gas
darah dan lakukan CT scan ulang untuk menyingkirkan hematom.
2. Drainase Tindakan ini dilakukan bil ahiperventilasi tidak berhasil. Untuk jangka
pendek dilakukan drainase ventrikular, sedangkan untuk jangka panjang dipasang
ventrikulo peritoneal shunt, misalnya bila terjadi hidrosefalus
3. Terapi diuretic
a. Diuretik osmotik (manitol 20%) Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik
air dari jaringan otak normal melalui sawar otak yang masih utuh kedalam
ruang intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya harus dihentikan.
Cara pemberiannya : Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan
0,25-0,5 gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24-48 jam. Monitor osmolalitas
tidak melebihi 310 mOSm.
b. Loop diuretik (Furosemid) Frosemid dapat menurunkan TIK melalui efek
menghambat pembentukan cairan cerebrospinal dan menarik cairan interstitial
pada edema sebri. Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai efek sinergik
dan memperpanjang efek osmotik serum oleh manitol. Dosis 40 mg/hari/iv 4.
4. Terapi barbiturat (Fenobarbital) Terapi ini diberikan pada kasus-ksus yang tidak
responsif terhadap semua jenis terapi yang tersebut diatas. Cara pemberiannya:
Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam,
lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg%, dengan dosis sekitar 1
mg/KgBB/jam. Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis
diturunkan bertahap selama 3 hari.
5. Streroid
Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan tetapi
menfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu sekarang tidak
digunakan lagi pada kasus cedera kepala.
6. Posisi Tidur Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya
ditinggikan bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada pada satu bidang,
jangan posisi fleksi atau leterofleksi, supaya pembuluh vena daerah leher tidak
terjepit sehingga drainase vena otak menjadi lancar.
7. Keseimbangan cairan elektrolit
Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah bertambahnya edema
serebri dengan jumlah cairan 1500-2000 ml/hari diberikan perenteral, sebaiknya
dengan cairan koloid seperti hydroxyethyl starch, pada awalnya dapat dipakai
cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau ringer laktat, jangan diberikan cairan yang
mengandung glukosa oleh karena terjadi keadaan hiperglikemia menambah edema
serebri. Keseimbangan cairan tercapai bila tekanan darah stabil normal, yang akan
takikardia kembali normal dan volume urin normal >30 ml/jam. Setelah 3-4 hari
dapat dimulai makanan peroral melalui pipa nasogastrik. Pada keadaan tertentu
dimana terjadi gangguan keseimbangan cairan eletrolit, pemasukan cairan harus
disesuaikan, misalnya pada pemberian obat diuretik, diabetes insipidus, syndrome
of inappropriate anti diuretic hormon (SIADH). Dalam keadaan ini perlu dipantau
kadar eletrolit, gula darah, ureum, kreatinin dan osmolalitas darah.
8. Nutrisi
Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali normal dan
akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi antara lain oleh karena
meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin dalam darah danakan bertambah
bila ada demam. Setekah 3-4 hari dengan cairan perenterai pemberian cairan nutrisi
peroral melalui pipa nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari.
9. Epilepsi/kejang
Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early epilepsi
dan yang terjadi setelah minggu pertama disebut late epilepsy. Early epilelpsi lebih
sering timbul pada anak-anak dari pada orang dewasa, kecuali jika ada fraktur
impresi, hematom atau pasien dengan amnesia post traumatik yang panjang.
Pengobatan:
a. Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari
b. Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit. Bila
cendrung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan tetesan <40 mg/jam.
Setiap 6 jam dibuat larutan baru oleh karena tidak stabil. Bila setelah 400 mg
tidak berhasil, ganti obat lain misalnya Fenitoin. Cara pemberian Fenitoin,
bolus 18 mg/KgB/iv pelan-pelan paling cepat 50 mg/menit. Dilanjutkan
dengan 200-500 mg/hari/iv atau oral Profilaksis: diberikan pada pasien cedera
kepala berat dengan resiko kejang tinggi, seperti pada fraktur impresi,
hematom intrakranial dan penderita dengan amnesia post traumatik panjang.
10. Komplikasi sistematik
a. Infeksi: profilaksis antibiotik diberikan bila ada resiko tinggi infeksi seperti:
pada fraktur tulang terbuka, luka luar dan fraktur basis kranii
b. Demam: kenaikan suhu tubuh meningkatkan metabolisme otak dan menambah
kerusakan sekunder, sehingga memperburuk prognosa. Oleh karena itu setiap
kenaikan suhu harus diatasi dengan menghilangkan penyebabnya, disamping
tindakan menurunkan suhu dengan kompres.
c. Gastrointestinal: pada penderita sering ditemukan gastritis erosi dan lesi
gastroduodenal lain, 10-14% diantaranya akan berdarah. Keadan ini dapat
dicegah dengan pemberian antasida atau bersamaan dengan H2 reseptor
bloker.
d. Kelainan hematologi: kelainan bisa berupa anemia, trombosiopenia, hipo
hiperagregasi trombosit, hiperkoagilasi, DIC. Kelainan tersebut walaupun ada
yang bersifat sementara perlu cepat ditanggulangi agar tidak memperparah
kondisi pasien.
11. Neuroproteksi
Adanya waktu tenggang antara terjadinya trauma dengan timbulnya kerusakan
jaringan saraf, memberi waktu bagi kita untuk memberikan neuroprotektan.
Manfaat obat-obat tersebut masih diteliti pada penderita cedera kepala berat antara
lain, antagonis kalsium, antagonis glutama dan sitikolin (Kasenda, 2018)..
ASUHAN KEPERAWATAN GADAR
A. PENGKAJIAN GADAR
AIRWAY BREATHING
P RR : 30 x/menit
Paten (√ ) Obtruksi (- ) Pergerakan dada :
E
*Obstuksi oleh : simetris (√ ) asimetris ( )
N ( - ) Benda Asing Irama napas :
( - ) Bronkospasme Reguler ( ) Ireguler (√ )
G
( - ) Darah Kedalaman :
K ( - ) Sputum Dalam ( ) Dangkal (√ )
( - ) Lendir Suara Napas:
A
Vesikuler (√ ) Ronchi ( )
J Suara Napas : Craekless ( ) Whezing ( )
Stridor (√ ) Gurgling ( - )
I
Snowring (-) Lainnya........ SaO2: 94%
A Alat Bantu Napas : ventilator
Alat Bantu Airway:ETT
N
MASALAH : MASALAH : RR meningkat, suara
Terdapat suara stridor nafas irreguler
P
R
I CIRCULATION DISABILITY
M Sirkulasi perifer: GCS : E1 V1 M3
Nadi: 91 x/mnt
E
Irama: (√) Teratur ( ) Tidak Tingkat Kesadaran :
R Denyut: (√) Lemah ( ) Kuat ( ) Composmentis
( ) Apatis
TD: 100/70 mmHg ( ) Delirium
( ) Somnolen
Akral : ( ) Sopor
( ) Hangat (√ ) Dingin (√ ) Semi koma
( ) Koma
Warna kulit:
( ) Cyanosis (√ ) Pucat Pupil :
( ) Kemerahan ( ) Isokor ( √ )Anisokor
EXPOSSURE
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral b/d hematoma
2. Pola nafas tidak efektif b/d kegagalan otor pernafasan
C. INTERVENSI
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi
Keperawatan Hasil
1. Ketidakefektifan Setelah dilakukan asuhan NIC Label: Monitor TIK
perfusi jaringan b/d keperawatan selama 1 x 8 a. Monitor adanya
hematoma ditandai jam diharapkan NOC : keluhan sakit kepala,
dengan adanya a. Circulation status mual, muntah, gelisah.
Intracerebral dan b. Tissue Prefusion b. Monitor status
intraventrikular Cerebral neurologi.
hematoma, terdapat Denggan kriteria Hasil : c. Monitor intake dan
luka terbuka di os Perfusi jaringan cerebral output.
temporal sinistra 1. Tekanan intra NIC Label: Manajemen
sepanjang 10 cm, cranial normal Edema Cerebral
bathel sign di bagian 2. Tidak ada nyeri a. Monitor adanya
sinistra. kepala kebingungan, keluhan
3. Tidak ada pusing.
kegelisahan b. Monitor status
4. Tidak ada gangguan pernafasan, frekuensi
refleks saraf dan kedalaman
Status neurologi pernafasan.
1. Kesadaran normal c. Kurangi stimulus
2. Tekanan intra dalam lingkungan
cranial normal pasien.
3. Pola bernafas d. Berikan sedasi sesuai
normal kebutuhan.
4. Ukuran dan reaksi NIC Label: Monitor
pupil normal Neurologi
a. Monitor tingkat
kesadaran (GCS).
b. Monitor refleks batuk
dan menelan.
c. Pantau ukuran pupil,
bentuk, kesimetrisan.
2. Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan asuhan NIC Label: Airway
b/d kegagalan otot keperawatan selama 1 x 8 Management
pernafasan ditandai jam diharapkan NOC : a. Pertahankan bukaan
dengan RR: 30x/ a. Respiratory status : jalan nafas.
menit, suara nafas Ventilation b. Beri posisi head up 30-
stridor, terpasang b. Respiratory status : 40 derajat untuk
ETT, SpO2 : 94 %, Airway patency - emaksimalkan
terpasang ventilator Vital sign Status ventilasi.
dan suara nafas Dengan kriteria Hasil : c. Keluarkan secret
irreguler. 1. Irama pernafasan dengan suction.
normal d. Monitor alat ventilator.
2. Frekuensi NIC Label: Oxygen
pernafasan normal Therapy
3. TTV dalam batas a. Pertahankan jalan nafas
normal yang paten.
4. Tidak ada tanda b. Monitor aliran
sesak Oksigen.
5. Pasien tidak c. Monitor adanya tanda-
mengeluh sesak tanda hypoventilasi.
NIC Label: Vital Sign
Monitoring
a. Monitor TD, Suhu, RR.
b. Identifikasi penyebab
dari perubahan vital
sign.
D. IMPLEMENTASI
Implementasi adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat sesuati dengan
rencana keperawatan yang telah ditetapkan.
E. EVALUASI
Pada asuhan keperawatan dievaluasi keadaan umum pasien sesuai dengan tujuan dan
kriteria hasil yang direncanakan perawat. Dengan memperhatikan:
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan b/d hematoma
Perfusi jaringan cerebral:
a. Tekanan intra cranial normal
b. Tidak ada nyeri kepala
c. Tidak ada kegelisahan
d. Tidak ada gangguan refleks saraf
Status neurologi:
a. Kesadaran normal
b. Tekanan intra cranial normal
c. Pola bernafas normal
d. Ukuran dan reaksi pupil normal
2. Pola nafas tidak efektif b/d kegagalan otot pernafasan
a. Irama pernafasan normal
b. Frekuensi pernafasan normal
c. TTV dalam batas normal
d. Tidak ada tanda sesak
e. Pasien tidak mengeluh sesak
DAFTAR PUSTAKA
Bulechek, Gloria., dkk. (2016). Nursing Intervention Classification (NIC) ed. Keenam.
Nursing Intervention Classification (NIC) ed. Keenam. ELSEVIER.
Herdman, Heather & Kamitsuru, Shigemi. Diagnosis Keperawatan NANDA Definisi dan
Klasifikasi ed. 10 (2015-2017). Penerbit buku kedokteran: EGC.
Irawan, H., Setiawan, F., & Dewi, D. G. (2010). Perbandingan glasgow coma scale dan revised
trauma score dalam memprediksi disabilitas pasien trauma kepala di RS. Atma Jaya.
Majalah Kedokteran Indonesia Vol.60 No.10.
Kasenda, M. (2018). Asuhan Keperawatan Pada Tn “J” Dengan Trauma Kepala Berat (Tkb)
Di Ruang Icu Rsud Bahteramas. Jurnal Stainkudus, (1), 43.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Maharendra, Cantik, P., Rahayu, & Sidharta, B. (2016). Hubungan Antara Cedera Kepala Dan
Terjadinya Vertigo Di Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan. Fakultas Kedokteran,
Universitas Muhammadiyah.
Mayapada Hospital. (2017). Berbagai Komplikasi Cedera Kepala Yang Mungkin Terjadi.
Retrieved from https://mayapadahospital.com/news/berbagai-komplikasi-cedera-kepala-
yang-mungkin-terjadi
Moorhead, Sue., Johnson, Marion., dkk. (2016). Nursing Outcomes Classification (NOC) ed.5.
ELSEVIER.
Sjamsuhidajat, & Jong, W. de. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Tjahjadi, M., Arifin, M. Z., Gill, A. S., & Faried, A. (2013). Early mortality predictor of severe
traumatic brain injury: A single center study of prognostic variables based on admission
characteristics. The Indian Journal Of Neurotrauma, 1, 3–8. Retrieved from
http://dx.doi.org/10.1016/j.ijnt.