Anda di halaman 1dari 20

1.

Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau meyalahgunakan narkotika


dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis.
Penyalahgunaan adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan
hukum.
2. Penyalahgunaan adalah penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat
Adiktif) yang sudah bersifat patologis, dipakai secara rutin (paling tidak sudah
berlangsung selama satu bulan), terjadi penyimpangan perilaku dan gangguan fisik di
lingkungan sosial.
3. Korban peyalahgunaan adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika,
karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/ atau diancam untuk menggunakan
narkotika. Mantan Pecandu Narkotika adalah orang yang telah sembuh dari
ketergantungan terhadap narkotika secara fisik maupun psikis.

Terapi dan Rehabilitasi Pecandu Narkoba

Menurut ketentuan UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ditentukan bahwa


rehabilitasi terhadap pecandu narkotika dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) kategori yaitu :

1. Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk
membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika (Pasal 1 angka 16 Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009).
2. Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik,
mental maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan
fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat (Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1997).

DEFENISI REHABILITASI

Rehabilitasi adalah fasilitas yang sifatnya semi tertutup, maksudnya hanya orang – orang
tertentu dengan kepentingan khusus yang dapat memasuki area ini. Rehabilitasi narkoba
adalah tempat yang memberikan pelatihan ketrampilan dan pengetahuan untuk
menghindarkan diri dari narkoba (Soeparman, 2000).

Badan Narkotika Nasional Memuat definisi tersendiri mengenai rehabilitasi yaitu


“Suatu proses pemulihan klien gangguan penggunaan Narkoba baik dalam jangka waktu
pendek maupun panjang yang bertujuan mengubah perilaku untuk mengembalikan fungsi
individu tersebut di masyarakat”.

REHABILITASI ANAK & UU PERLINDUNGAN ANAK

Dari hukum nasional yang mengatur mengenai tindak pidana Narkoba, juga ada
penegasan pecandu Narkoba selain adalah pelaku kejahatan juga adalah sebagai korban
yang termuat dalam Pasal 37 ayat 1 UU No. 5 tahun1997 tentang Psikotropika, Pasal 54
UU. No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 67 UU. No. 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak.Secara umum anak dibawah umur adalah anak yang belum mencapai
usia dewasa/ belum cukup umur dan belum pernah kawin dalam hal ini berumur 12 – 18
tahun. Dengan demikian yang dimaksud dengan pecandu narkoba anak dibawah umur
adalah anak yang berusia dibawah 18 tahun yang menjadi korban dari penyalahgunaan
Narkoba

Tujuan Rehabilitasi
1. Memulihkan dan mengembalikan fungsi fisik, psikologis, sosial klien/pecandu napza
kepada keberfungsian sosial manusia yang seharusnya.
2. Menjadi stimulus kesadaran para korban penyalahgunaan napza terhadap bahaya napza
melalui pengetahuan-pengetahuan terkait napza secara keseluruhan.
3. Mengembalikan kemauan dan kemampuan klien/pecandu napza untuk dapat melaksanakan
fungsi sosialnya secara wajar.
4. Membrikan edukasi atau pengetahuan-pengetahuan terkait napza kepada msyarakat sekitar
dalam rangka meningkatkan kewaspadaan serta preventif penyebarluasan serta peningkatan
angka pecandu napza di Indonesia khususnya lingkungan sekitar.

Berikut ada 5 manfaat untuk merehabilitasi bagi orang-orang yang sudah menjadi pecandu
narkoba.

1. Selamatkan Hidup
Narkoba bisa memicu penyakit seperti HIV/AIDS, hepatitis hingga kerusakan organ penting
seperti otak, jantung hingga paru-paru. Jika dibiarkan, kondisi ini bisa berujung pada
kematian.

2. Hidup Lebih Positif


Lingkungan rehabilitasi yang positif dinilai bisa membantu membebaskan seseorang dari
narkoba. Lingkungan ini pun diharapkan dapat mendorong perubahan perilaku para pecandu
Narkoba.

3. Bersih dan Sadar


Sejumlah rehabilitasi menerapkan prinsip abstinentia atau putus obat total. Di mana seorang
pecandu tidak boleh mengonsumsi narkoba. Hal ini tercantum dalam tiga aturan utama,
yakni, dilarang memakai narkoba, dilarang berhubungan sexual secara sembarangan dan
dilarang berbuat kekerasan.
Pembiasaan yang disertai dengan proses penyadaran diri dinilai bisa membuat seorang
pecandu tidak lagi mengonsumsi narkoba setelah keluar dari pusat rehabilitasi.

4. Pemulihan Jangka Panjang


Umumnya pusat rehabilitasi memiliki program pemulihan untuk jangka panjang. Seperti di
tahap primary, pecandu harus mengikuti program pemulihan selama enam sampai 12 bulan
dan lanjut pada tahap Re-entry dan Aftercare. Program-program ini pun diharapkan bisa
membantu pecandu terbebas dari narkoba selamanya sehingga bisa kembali beraktivitas
dengan normal.

5. Kesehatan Lebih Baik


Penggunaan narkoba memicu beragam penyakit. Mulai dari HIV/AIDS, lever, ginjal, dan
paru-paru. Namun, di pusat rehabilitasi pecandu diajarkan untuk hidup tertib, bersih,
berolahraga, serta mengonsumsi makanan sehat. Secara medis mereka juga diharuskan untuk
memeriksakan kesehatan di laboratorium atau rumah sakit. Kesehatan secara mental dan
spiritualnya juga akan diperhatikan. Mereka akan diajarkannya mengendalikan emosi dan
cara mengatasi stres. Dengan demikian, pecandu akan lebih sehat.

Program Rehabilitasi
1. Rawat inap
Pelayanan yang ditawarkan adalah terletak pada penyediaan fasilitas yang nyaman dan
layanan terapi dan rehabilitasi sosial yang terpadu yang diberikan kepada penerima layanan
dalam hal ini pecandu. Natura memberikan apa yang dibutuhkan oleh klien/para penerima
pelayanan dalam menjalani program pemulihan di lembaga diantaranya adalah pelayanan
kesehatan dilakukan oleh dokter yang profesional di bidang adiksi, konselor-konselor adiksi
yang bekerja penuh pada layanan ini, profesi lainnya seperti Psikolog, Psikiater dan juga
Pekerja Sosial.
2. Rawat Jalan
Pelayanan yang ditawarkan oleh Natura adalah selain rehabilitasi sosial Program Rawat Inap,
juga ada rehabilitasi sosial Program Pendampingan atau yang lebih sering disebut Rawat
Jalan. Seorang klien yang ditetapkan untuk menjalankan program rehabilitasi rawat jalan
ditentukan melalui kegiatan asesmen yang dilakukan. Jangka waktu lamanya program
rehabilitasi rawat inap Natura diterapkan bagi seorang klien adalah tergantung pada seberapa
parah atau tidaknya penggunaan narkoba seseorang.

Sarana dan Prasarana Rehabilitasi


Rehabilitasi merupakan suatu proses kegiatan pemulihan kepada kondisi yang semula, agar
dapat mencapai tujuan tersebut, rehabilitasi memerlukan serangkaian sarana dan prasarana
sebagai penunjang berlangsungnya proses rehabilitasi yang integratif dan komprehensif.
Sarana dan prasarana yang menunjang proses rehabilitasi yaitu:
a. Program Rehabilitasi
Program rehabilitasi mencakup pelaksanaan prosedur rehabilitasi yang terencana,
terorganisir, dan sistematis. Umumnya program rehabilitasi menjadi bagian dan sebuah
kegiatan organisasional lembaga, baik lembaga pemerintah maupun lembaga non pemerintah.
Hal penting untuk mencapai tujuan rehabilitasi adalah dengan kerjasama dan saling
keterkaitan antar lembaga dalam menyelenggrakan program rehabilitasi, dimana tujuan dan
fokus rehabilitasi akan tergantung pada kebijakan lembaga.
b. Pelayanan
Penyelenggaraan pelayanan pada klien mengintegrasikan berbagai pendekatan, disiplin ilmu,
dan tenaga-tenaga profesional untuk mencapai tujuan dari proses rehabilitasi.
Edi Suharto, ed, Isu-Isu Tematik Pembangunan Sosial: Konsepsi dan Strategi,
(Jakarta:Badan
Pelatihan dan Pengembangan Sosial Departemen Sosial republik Indonesia, 2004),
h.187-189.
28

c. Sumber Daya Manusia (SDM)


Tanpa adanya sumber daya manusia sebagai pelaksana proses, proses rehabilitasi tidak akan
mungkin dapat berjalan. Pelaksana rehabilitasi melibatkan tenaga-tenaga profesional dari
berbagai latar belakang pendidikan dan keterampilan-keterampilan khusus, seperti dokter,
psikolog, konselor, terapis, edukator, pengajar vokasional, pekerja sosial, dan lain
sebagainya.
d. Peralatan Penunjang Rehabilitasi
Peralatan yang dipergunakan merupakan bagian penting dari kelengkapan kegiatan
rehabilitasi untuk kelancaran proses rehabilitasi,sifat dari peralatan dapat manual atau
menggunakan teknologi tinggi. Jenis dan jumlahnya tergantung pada banyakya profesi yang
terlibat.

Bantuan Rehabilitasi

Bantuan rehabilitasi bagi para pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkoba di
Indonesia merujuk pada Peraturan Bersama tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan
Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi yang diterbitkan pada
tahun 2014. Bantuan rehabilitasi juga merujuk pada Undang-Undang No. 35 tahun 2009
tentang Narkotika dan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2011.

Kedua peraturan ini memastikan para pengguna narkoba mendapatkan layanan rehabilitasi
yang diperlukan dan tidak lagi ditempatkan sebagai pelaku tindak pidana atau kriminal.

Mereka dapat melaporkan diri pada Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) resmi yang
tersebar di seluruh Indonesia, yang terdiri dari Rumah Sakit, Puskesmas, serta Lembaga
Rehabilitasi Medis, baik milik pemerintah atau swasta. Sejak diresmikan pada tahun 2011,
kini jumlah IPWL di seluruh Indonesia sudah mencapai 274 institusi.

Seluruh IPWL yang tersedia memiliki kemampuan melakukan rehabilitasi medis, termasuk
terapi untuk menangani gejala, program detoksifikasi, terapi penyakit komplikasi, maupun
konseling. Sedangkan IPWL berbasis rumah sakit, juga dapat memberikan rehabilitasi medis
yang memerlukan rawat inap.

permohonan rehabilitasi narkoba dapat dilakukan melalui situs daring milik Badan
Narkotika Nasional (BNN).

Ada beberapa syarat yang perlu dipenuhi sebelum seseorang dapat menjalani program
rehabilitasi narkoba tersebut, antara lain kelengkapan surat permohonan rehabilitasi, hasil
tes urine, hasil pemeriksaan medis secara keseluruhan, kesediaan orang tua atau wali yang
dapat mewakili, dan persyaratan administratif lainnya.

Indonesia juga telah memiliki beberapa rumah sakit khusus penanggulangan narkoba, di
antaranya Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) yang berada di kawasan Jakarta
Timur. Rumah sakit yang didirikan tahun 1972 itu memang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat, yang secara khusus memberikan layanan kesehatan di bidang
penyalahgunaan narkoba.

Yang perlu dipahami, proses melepaskan diri dari narkoba untuk penggunanya tidaklah
mudah. Selain menjalani rehabilitasi narkoba, mereka juga membutuhkan dukungan
keluarga dan masyarakat agar dapat kembali menjalani hidup sehat dan produktif. Jika
Anda atau orang yang Anda kenal sedang berjuang untuk melawan ketergantungan
narkoba, jangan ragu untuk berkonsultasi ke psikiater.
 itinjau oleh: dr. Kevin Adrian
 Referensi
 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2014). Cegah Penyalahgunaan Narkoba,
Selamatkan Penggunanya.
Info DATIN Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
(2017). Anti Narkoba Internasional 26 Juni’17.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2014). Hari Anti Narkoba Internasional
– 26 Juni. Pengguna Narkoba Dapat Dicegah dan Dapat Direhabilitasi.
Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia BNN (2015). HARI ANTI
NARKOTIKA INTERNASIONAL.
Humas Badan Narkotika Nasional (2012). Tahap-Tahap Pemulihan Pecandu Narkoba.
Pusat Layanan Publik untuk Indonesia (Satu Layanan). Permohonan Rehabilitasi
Narkoba.
National Institute on Drug Abuse NIH (2018). Treatment Approaches for Drug
Addiction.
Parekh, R. American Psychiatric Association APA (2017). What Is Addiction?
Mayo Clinic (2017). Diseases & Conditions. Drug addiction (substance use disorder).
WebMD. Drugs & Medications. Naltrexone HCL.
Goldberg, J. WebMD (2016). Counseling and Addiction.
Dryden-Edwards, R. & Stöppler, M. MedicineNet. Drug Abuse and Addiction.
 Edi Suharto, ed, Isu-Isu Tematik Pembangunan Sosial: Konsepsi dan Strategi,
(Jakarta:Badan
 Pelatihan dan Pengembangan Sosial Departemen Sosial republik Indonesia, 2004),
h.187-189.

PrarehabilitasiMenurut Kepala Bagian Humas Badan Narkotika Nasional (BNN)


Kombes Sulistriandriatmoko, ada serangkaian tahapan sebelum pengguna narkoba
mendapat tindakan rehabilitasi.

Pertama, melapor ke instansi terkait. Misalnya Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL)
yang diresmikan sejak tahun 2011.

Saat ini, sudah tersedia 274 IPWL di seluruh Indonesia dari berbagai lembaga, termasuk
Puskesmas, Rumah Sakit dan Lembaga Rehabilitasi Medis, baik milik pemerintah atau
swasta. Informasinya bisa Anda dapatkan dalam berkas PDF di sini atau di sini.

Selain IPWL, Anda juga bisa mengajukan permohonan rehabilitasi narkoba melalui situs
daring milik Badan Narkotika Nasional (BNN). Syaratnya kelengkapan dokumen pribadi,
hasil tes urine, hasil pemeriksaan medis secara keseluruhan, juga kesediaan orang tua atau
wali yang dapat mewakili.

Kedua, akan dilakukan penilaian medis dan sosial. Istilahnya observasi awal guna
mengetahui metode rehabilitasi apa yang akan dijalani pengguna, termasuk berapa lama
akan direhabilitasi. Ada berbagai pertanyaan yang akan diajukan dalam proses ini.

Misalnya kapan mulai penggunaan narkoba, bagaimana intensitasnya, sampai perasaan


yang dialami ketika memakai narkoba. Termasuk menganalisis apakah yang bersangkutan
terlibat jaringan atau tidak.
Proses penilaian bagi pengguna yang tertangkap aparat dan proses hukumnya sedang
berjalan, berbeda dengan yang datang secara suka rela. Mereka yang tertangkap aparat
akan didampingi penyidik dari Polri atau BNN.

Setelah itu, baru keluar rekomendasi rehabilitasi, "Tindakan rehabilitasi bentuknya kalau
yang ringan bisa rawat jalan, kalau yang sedang dan berat itu harus menjalani rawat
inap," pungkas Sulis.

DEFENISI REHABILITASI MEDIS

Dalam pasal 54 UU No. 35 tahun 2009 ditegaskan bahwa pecandu dan korban
penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi untuk menghentikan
ketergantunganya terhadap narkoba, serta untuk memulihkan kemampuan fisik, mental, dan
sosial penderita.

Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk
membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika. Dalam Pasal 17 menyatakan,
“Rehabilitasi medis memuat layanan minimal sebagai berikut: terapi detoksifikasi, terapi
simtomatik, intervensi psikososial melalui konseling, wawancara motivasional, terapi
perilaku dan kognitif, termasuk pencegahan kekambuhan; pelayanan tes urin; dan evaluasi
secara berkala”. Selanjutnya kebijakan ini diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2015 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Wajib
Lapor dan Rehabilitasi Medis bagi Pecandu, Penyalah guna, dan Korban Penyalahgunaan
Narkotika.

Tahapan Rehabilitasi Medis

Dalam pasal 54 UU No. 35 tahun 2009 ditegaskan bahwa pecandu dan korban
penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi untuk menghentikan
ketergantunganya terhadap narkoba, serta untuk memulihkan kemampuan fisik, mental, dan
sosial penderita. Ada tiga tahap rehabilitasi narkoba yang harus dijalani yaitu:

Tahap pertama, tahap rehabilitasi medis (detoksifikasi), yaitu proses di mana pecandu
menghentikan penyalahgunaan narkoba di bawah pengawasan dokter untuk mengurangi
gejala putus zat (sakau). Tahap ini pecandu diperiksa seluruh kesehatannya baik fisik dan
mental oleh dokter terlatih. Dokterlah yang memutuskan apakah pecandu perlu diberikan
obat tertentu untuk mengurangi gejala putus zat (sakau) yang ia derita. Pemberian obat
tergantung dari jenis narkoba dan berat ringanya gejala putus zat. Dalam hal ini dokter
butuh kepekaan, pengalaman, dan keahlian guna memdeteksi gejala kecanduan narkoba
tersebut.Pada tahap ini pecandu narkoba perlu mendapat pemantauan di rumah sakit oleh
dokter.

Pada tahap rehabilitasi medis juga dilakukan pemeriksaan/skrining penyakit infeksi menular
seksual –seperti HIV-AIDS, hepatitis, gonorhea, dan sebagainya. Selain itu, ada juga
konseling atau psikoterapi setelah dilakukan evaluasi psikologis.

Beberapa teknik detoksifikasi, yakni:

 Cold turkey. Merupakan metode tertua, dengan mengurung pecandu pada fase putus
obat (sakau) tanpa memberikan obat-obatan lain. Prosesnya sekitar 2 minggu.
 Terapi substitusi/penggantian. Hanya digunakan pada pecandu opioid/heroin.
Kebutuhan heroin akan diganti dengan beberapa jenis obat –seperti; methadone,
naltrekson, morfin, atau codein.
 Terapi simptomatik. Terapi ini dilakukan dengan memberikan obat yang disesuaikan
dengan gejala/keluhan pecandu narkoba.

Tahap kedua, tahap rehabilitasi non medis, yaitu dengan berbagai program di tempat
rehabilitasi, Di Indonesia sudah di bangun tempat-tempat rehabilitasi, sebagai contoh di
bawah BNN adalah tempat rehabilitasi di daerah Lido (Kampus Unitra), Baddoka
(Makassar), dan Samarinda. Di tempat rehabilitasi ini, pecandu menjalani berbagai
program di antaranya:

 Theurapeutic communities (TC). Ini bertujuan untuk membantu peserta mengenal


dirinya melalui lima area pengembangan kepribadian –yaitu; emosi/psikologis,
manajemen perilaku, intelektual dan spiritual, pendidikan, dan keterampilan untuk
bertahan bebas dari narkoba.
 Criminon, yang artinya no crime. Ini bertujuan untuk membina pecandu agar tidak
kembali melakukan kejahatan.
 Pembinaan spiritual (religius). Ini membantu mengembalikan nilai-nilai moral agama
untuk menjadi manusia yang lebih baik di mata Tuhan.

Tahap ketiga, tahap bina lanjut, yang akan memberikan kegiatan sesuai minat dan
bakatnya masing-masing. Misalnya kegiatan kerja atau keterampilan, olahraga, dan
kesenian. Ini agar mereka dapat kembali pada lingkungan sosialnya, menjalankan pola
hidup sehat, menjadi lebih produktif dan lebih percaya diri. Pecandu yang sudah berhasil
melewati tahap ini dapat kembali ke masyarakat, baik untuk bersekolah atau kembali
bekerja.

Agar program rehabilitasi narkoba dapat berhasil, diperlukan adanya dukungan dan perhatian
dari lingkungan terdekat –seperti keluarga atau teman. Bila Anda memiliki teman atau
keluarga yang menjadi pecandu narkoba, sebaiknya segera didaftarkan untuk proses
rehabilitasi. Dengan rehabilitasi narkoba, pecandu dapat diselamatkan dan dibimbing untuk
menjadi manusia yang lebih baik.
Untuk setiap tahap rehabilitasi diperlukan pengawasan dan evaluasi secara terus menerus
terhadap proses pulihan seorang pecandu.

Dalam penanganan pecandu narkoba, di Indonesia terdapat beberapa metode terapi dan
rehabilitasi yang digunakan yaitu :

1. Cold turkey; artinya seorang pecandu langsung menghentikan penggunaan narkoba/zat


adiktif. Metode ini merupakan metode tertua, dengan mengurung pecandu dalam masa
putus obat tanpa memberikan obat-obatan. Setelah gejala putus obat hilang, pecandu
dikeluarkan dan diikutsertakan dalam sesi konseling (rehabilitasi nonmedis). Metode ini
bnayak digunakan oleh beberapa panti rehabilitasi dengan pendekatan keagamaan dalam
fase detoksifikasinya.

2. Metode alternatif

3. Terapi substitusi opioda; hanya digunakan untuk pasien-pasien ketergantungan heroin


(opioda). Untuk pengguna opioda hard core addict (pengguna opioda yang telah bertahun-
tahun menggunakan opioda suntikan), pecandu biasanya mengalami kekambuhan kronis
sehingga perlu berulang kali menjalani terapi ketergantungan. Kebutuhan heroin
(narkotika ilegal) diganti (substitusi) dengan narkotika legal. Beberapa obat yang sering
digunakan adalah kodein, bufrenorphin, metadone, dan nalrekson. Obat-obatan ini
digunakan sebagai obat detoksifikasi, dan diberikan dalam dosis yang sesuai dengan
kebutuhan pecandu, kemudian secara bertahap dosisnya diturunkan.

Keempat obat di atas telah banyak beredar di Indonesia dan perlu adanya kontrol
penggunaan untuk menghindari adanya penyimpangan/penyalahgunaan obat-obatan ini
yang akan berdampak fatal.

4. Therapeutic community (TC); metode ini mulai digunakan pada akhir 1950 di Amerika
Serikat. Tujuan utamanya adalah menolong pecandu agar mampu kembali ke tengah
masyarakat dan dapat kembali menjalani kehidupan yang produktif. Program TC,
merupakan program yang disebut Drug Free Self Help Program. program ini mempunyai
sembilan elemen yaitu partisipasi aktif, feedback dari keanggotaan, role modeling, format
kolektif untuk perubahan pribadi, sharing norma dan nilai-nilai, struktur & sistem,
komunikasi terbuka, hubungan kelompok dan penggunaan terminologi unik. Aktivitas
dalam TC akan menolong peserta belajar mengenal dirinya melalui lima area
pengembangan kepribadian, yaitu manajemen perilaku, emosi/psikologis, intelektual &
spiritual, vocasional dan pendidikan, keterampilan untuk bertahan bersih dari narkoba.

5. Metode 12 steps; di Amerika Serikat, jika seseorang kedapatan mabuk atau


menyalahgunakan narkoba, pengadilan akan memberikan hukuman untuk mengikuti
program 12 langkah. Pecandu yang mengikuti program ini dimotivasi untuk
mengimplementasikan ke 12 langkah ini dalam kehidupan sehari-hari.

Mengenai Informasi dan Edukasi Narkoba


Website Informasi dan Edukasi Narkoba merupakan Sub Website BNN yang bertujuan
memberikan informasi dan edukasi narkoba, secara interaktif melalui media online.
© Humas BNN 2013

http://www.bnn.go.id/portalbaru/portal/konten.php?nama=ArtikelTrithab&op=detail_arti
kel_trithab&id=78&mn=2&smn=e

Seluruh tahapan ini idealnya dilakukan di bawah pengawasan konselor. Tempat


rehabilitasi pun harus mengantongi izin dari Kementerian Kesehatan atau Kementerian
Sosial. Namun perlu dipahami, tak ada satu metode standar atau jenis pengobatan yang
lebih efektif dari yang lain, sebab karakter pencandu beda-beda. Ada yang gampang
down, pun yang keras kepala. Apalagi proses melepaskan diri dari narkoba untuk
penggunanya tidaklah mudah.

Agar seluruh proses rehabilitasi bisa berhasil, dukungan keluarga dan lingkungan
dibutuhkan. Dengan demikian mereka akan terdorong untuk mengikis keinginan untuk
tidak kembali menggunakan narkoba.

Ada beberapa jenis rehabilitasi antara lain 1) Rehabilitasi Medis (Medical


Rehabilitation). Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu
untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika. Rehabilitasi medis adalah
lapangan specialisasi ilmu kedokteran yang berhubungan dengan penanganan secara
menyeluruh (comprehensive management) dari pasien yang mengalami gangguan
fungsi/cedera (impairment), (musculos keletal), susunan otot syaraf (system), serta
ganggungan mental, sosial dan kekaryaan yang menyertai kecacatan tersebut. Untuk
pelaksananaan rehabilitasi medis diatur dalam PERMENKES No. sehingga mengalami
2415/MENKES/Per/XII/2011 tentang ketergantungan baik secara fisik maupun Psikis.
Sehingga harus segera menjalani proses rehabilitasi dan orang tua atau wali melaporkannya
ke lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh pemerintah.hal ini dapat dilihat dalam UU. NO. 35
tahun 2009 pasal 55 ayat 1 “Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup
umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.”
Rehabilitasi Rehabilitasi berasal dari dua kata, yaitu re yang berarti kembali dan
habilitasi yang berartikemampuan.Rehabilitasi berarti mengembalikan kemampuan. Menurut
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) bahwa Rehabilitasi adalah perbaikan tubuh yang
cacat dan sebagainya atas individu (misalnya pasien rumah sakit, korban bencana) supaya
menjadi manusia yang berguna dan memiliki tempat dalam masyarakat. rehabilitasi medis
Pecandu, Penyalahguna dan Korban Penyalahguna Narkotika dan PERMENKES No. 50
tahun 2015 tentang petunjuk teknis Pelaksanaan Wajib Lapor dan Rehabilitasi medis bagi
Pecandu, Penyalahguna dan Korban Penyalahguna Narkotika. 2) Rehabilitasi karya
(Vocational Rehabilitation.Istilah rehabilitasi vokasional berarti bagian dari suatu proses
rehabilitasi secara berkesinambungan dan terkoordinasikan yang menyangkut pengadaan
pelayanan-pelayanan di bidang jabatan seperti bimbingan jabatan (vocational guidance),
latihan kerja (vocational training), penempatan yang selektif (selective placement), adalah
diadakan guna memungkinkan para penderita cacat memperoleh kepastian dan mendapatkan
pekerjaan yang layak. Kegiatan dalam rehabilitasi vokasional meliputi: Kegiatan evaluasi;
Bimbingan vokasional; Latihan kerja; Penempatan kerja dan follow-up; Peserta program
rehabilitasi vokasional adalah Individu penyandang cacat fisik atau mental, yang
mengakibatkan individuterhambat untuk mendapatkan pekerjaan. Adanya dugaan yang logis,
masuk akal, bahwa pelayanan rehabilitasi dapat di ukur melalui indikator berikut:
a)Pemahaman program; b) Ketepatan sasaran; c) Ketepatan waktu; d) Ketercapaian target; e)
Tercapainya tujuan; dan f) Perubahan nyata.

REHABILITASI SOSIAL
Sedangkan layanan rehabilitasi sosial yang dimaksud dalam Pasal 19 yaitu, diberikan kepada
pecandu narkotika, penyalah guna narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika yang
mengalami kondisi: telah selesai menjalani program rehabilitasi medis, yang dibuktikan
dengan resume perawatan dari lembaga rehabilitasi medis. Proses ini terdiri dari kegiatan
pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika
dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. Kebijakan ini
kemudian diatur lebih mendetail dalam Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor
9 Tahun 2017 tentang Standar Nasional Rehabilitasi Sosial bagi Pecandu dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya.

Tahapan Rehabilitasi Sosial


Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2012 Tentang Standar
Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif
Lainnya. Terdapat 7 tahapan dalam melaksanakan rehabilitasi sosial, yaitu:
a. Pendekatan awal. Merupakan rangkaian yang mengawali keseluruhan proses rehabilitasi
sosial, terdiri atas kegiatan sosialisasi dan konsultasi, identifikasi, motivasi, seleksi
penerimaan. Kegiatan yang mengawali proses rehabilitasi sosial dilaksanakan dengan
menyampaikan informasi kepada msyarakat, instansi terkait, dan organisasi sosial guna
memperoleh dukungan dan data awal korban Penyalahgunaan NAPZA.
b. Pengungkapan dan pemahaman masalah. Merupakan kegiatan mengumpulkan,
menganalisis dan merumuskan masalah, kebutuhan, potensi dan sumber yang meliputi aspek
fisik, psikis, sosial, spiritual, budaya dan hasilnya dibahas dalam pembahasan kasus.
c. Penyusunan rencana pemecahan masalah. Merupakan kegiatan penyusunan rencana
pemecahan masalah berdasarkan hasil pengungkapan dan pemahaman masalah meliputi
penentuan tujuan,sasaran, kegiatan, metoda, strategi, dan teknik, tim pelaksana, waktu
pelaksanaan dan indikator keberhasilan.
d. Pemecahan masalah. Merupakan pelaksanaan kegiatan dari rencana masalah yang telah
disusun.
e. Resosialisasi. Merupakan kegiatan menyiapkan lingkungan sosial, lingkungan pendidikan
dan lingkungan kerja.
f. Terminasi. Merupakan kegiatan pengakhiran rehabilitasi sosial kepada korban
penyalahgunaan NAPZA. Terminasi dapat dilakukan
antara lain:
1) Korban telah selesai mengikuti rehabilitasi.
2) Keinginan korban sendiri tidak melanjutkan rehabilitasi sosial.
3) Korban meninggal dunia.
4) Keterbatasan lembaga rehabilitasi sosial sehingga diperlukan
sistem rujukan.
g. Bimbingan lanjut. Merupakan bagian dari penyelenggaraan rehabilitasi sosial sebagai
upaya yang diarahkan kepada klien yang telah selesai mengikuti proses rehabilitasi sosial,
baik di dalam maupun di luar lembaga.

Pascarehabilitasi adalah kegiatan pelayanan yang merupakan tahapan pembinaan lanjutan


yang diberikan kepada pecandu narkotika, penyalah guna narkotika, dan korban
penyalahgunaan narkotika, setelah menjalani rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial,
yang merupakan bagian yang integral dalam rangkaian rehabilitasi.

Dapat ditarik kesimpulan mengenai layanan rehabilitasi ini yaitu layanan rehabilitasi medis,
sosial dan pascarehabilitsi tidak dapat dipisahkan atau dibolak balik dalam alur layanan
rehabilitasi. Pecandu, penyalahguna dan korban narkotika harus terlebih dahulu melalui
rehabilitasi medis, dimana pemulihan kesehatan merupakan tujuan utama selanjutnya
dilakukan layanan rehabilitasi sosial dengan harapan dapat mengembalikan fungsi sosial
dalam hubungan bermasyarakat, serta layanan pascarehabilitasi berupa pembinaan untuk
pencegahan kekambuhan dan kemampuan pengambilan keputusan dalam suatu masalah.

Selanjutnya pelaksanaan rekam rehabilitasipun perlu dilakukan. Dalam Pasal 25


menyebutkan bahwa rekam rehabilitasi klien harus dibuat secara tertulis, lengkap dan jelas
atau secara elektronik. Pendokumentasian rekam rehabilitasi klien dilaksanakan oleh seluruh
layanan rehabilitasi baik milik pemerintah ataupun masyarakat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Dengan terlaksananya kebijakan di atas diharapkan dapat
membantu para pecandu, penyalah guna dan korban narkotika mengahadapi masalah secara
fisik dan social dengan tepat.

pa Itu Pelayanan Pascarehabilitasi?


Pelayanan pascarehabilitasi merupakan salah satu implementasi tugas dan fungsi
dari Direktorat Pascarehabilitasi Deputi Bidang Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional.
Pascarehabilitasi adalah tahapan akhir dari rangkaian proses pelayanan rehabilitasi yang
berkesinambungan. Dengan perkataan lain, layanan pascarehabilitasi merupakan tahapan bina
lanjut (after care) yang merupakan serangkaian kegiatan yang positif dan produktif bagi
pecandu ataupun penyalahguna Narkotika pasca (sesudah) menjalani tahapan rehabilitasi.
Pelaksanaan pascarehabilitasi merupakan layanan yang wajib dijalani oleh klien yang telah
selesai menjalankan layanan terapi rehabilitasi.

Ada beberapa bentuk program layanan pascarehabilitasi yang diberikan. Program


tersebut antara lain berupa Self Help Group (Kelompok Bantu Diri) atau Group Therapy atau
diistilahkan juga Peer Group, merupakan salah satu pendekatan kelompok yang melibatkan
para mantan pecandu dan penyalahguna narkotika dalam sesi saling berbagi dan saling
mendukung yang diharapkan dapat menjadi kekuatan bagi mereka untuk tidak relaps atau
tidak kembali berhubungan dengan narkotika. Ada juga program Family Support Group
berupa kelompok terapi yang melibatkan keluarga klien untuk saling mendukung dalam
memahami masalah, menerima kenyataan, mendorong penyalahguna agar dapat mengikuti
program sampai akhir, dan membantunya agar dapat terus mempertahankan kondisinya.
Selain itu, ada terapi vokasional yang berupa pemberian keterampilan yang sesuai dengan
minat dan bakat klien yang tentunya dapat digunakan sebagai modalitas untuk membangun
kegiatan dan usaha yang produktif. Selanjutnya, pemberian life skill, misalnya melalui
seminar pengembangan diri, dalam rangka pengembangan pengetahuan, sikap, keterampilan
dan tentunya perubahan perilaku.

Layanan Pascarehabilitasi BNN juga dibedakan menjadi dua. Ada program layanan
pascarehabilitasi dan program rawat lanjut pascarehabilitasi. Rawat lanjut ini dilakukan
setelah klien selesai menjalankan seluruh tahapan layanan pascarehabilitasi. Setiap penyalah
guna yang telah selesai menjalani proses perawatan rehabilitasi mulai dari tahap awal sampai
dengan selesainya program pascarehabilitasi, tetap membutuhkan pendamping untuk
memonitor perkembangan klien dan memotivasi klien untuk tetap mempertahankan
pemulihannya. Berdasarkan pengalaman menjadi pendamping rawat lanjut inilah, tulisan ini
dapat dimunculkan. Bentuk program yang utama dari pelayanan rawat lanjut adalah
kunjungan ke rumah (Home Visit) sebanyak 4 hingga 6 kali selama enam bulan.

Pendampingan tidak hanya berfungsi untuk memonitor dan memotivasi klien saja,
akan tetapi dapat memfasilitasi klien kepada sumber-sumber yang ada, guna memecahkan
masalah-masalah atau hambatan yang sedang dialami oleh klien. Pendamping dapat merujuk
klien untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang positif dalam rangka pengembangan dirinya.
Pendamping juga dapat menyediakan pusat informasi (hotline) mengenai berbagai hal terkini
yang dapat dimanfaatkan oleh klien dalam upaya menjadi produktif dan berfungsi secara
sosial. Pada program rawat lanjut ini, pendamping juga dapat menfasilitasi pelaksanaan peer
group sebagaimana pada program layanan pascarehabilitasi sebelumnya.

Selain program-program tersebut, baik pada program layanan pascarehabilitasi


maupun program rawat lanjut pascarehabilitasi, dilakukan juga tes urin beberapa kali guna
memastikan ada atau tidaknya konsumsi narkotika. Konsultasi kesehatan dan psikologis serta
konseling dapat juga diberikan untuk klien yang membutuhkan. Pada kedua program tersebut
juga dilakukan beberapa bentuk asesmen, misalnya asesmen awal, asesmen kondisi
emosional, serta asesmen minat dan bakat. Ada juga pengukuran psikologis tertentu yang
diberikan untuk mengetahui keadaan klien, seperti untuk mengetahui motivasi berhenti
menggunakan NAPZA serta untuk mengetahui kualitas hidup klien pada beberapa aspek
kehidupan.

Urgensi Pascarehabilitasi

Pemulihan adalah proses yang tidak sebentar, apalagi dalam hal ini adalah
pemulihan adiksi. Pemulihan adiksi seringkali membutuhkan beberapa episode terapi untuk
memperoleh kondisi abstinensia (tidak menggunakan NAPZA) jangka panjang dan pulih
secara penuh. Bukanlah sebuah jaminan bahwa penyalahguna yang telah menjalani
perawatan tidak akan kambuh lagi atau tidak akan menggunakan zat kembali. Hal ini
dikarenakan adiksi/kecanduan sama sifatnya dengan penyakit kronis yang dapat kambuh
sewaktu-waktu. Partisipasi dalam program pascarehabilitasi setelah terapi rehabilitasi sangat
membantu dalam mempertahankan abstinensia.

Sebagaimana yang telah diketahui, penggunaan narkotika, psikotropika dan zat-zat


adiktif lainnya memberikan dampak pada kesehatan fisik, kondisi sosioemosional, dan
kondisi spiritual. Dimensi jasmani, psikologis dan spiritual pada diri seseorang dapat
terpengaruh oleh zat-zat yang digunakan dalam dosis tertentu secara terus-menerus. Apa yang
membuat kita kemudian berpikir lebih jauh mengenai dampak dari NAPZA? Jika dampak
fisik dapat dipulihkan dengan pengobatan dan perawatan medis intensif, dampak
sosioemosional dan spiritual dapat dipulihkan dengan berbagai bentuk psikoterapi dan
konseling, mengapa kemudian kita patut mengkhawatirkan dampak berkepanjangan dan
kekambuhan yang terjadi?

Pada dasarnya, mekanisme adiksi melibatkan kerja otak. Sesungguhnya yang


diserang oleh NAPZA sebagai zat psikoaktif adalah otak manusia. Dalam sel otak manusia
terdapat macam-macam zat kimia yang disebut sebagai neurotransmitter. Zat kimia ini
bekerja pada suatu sambungan antar sel saraf yang disebut sinapsis. Beberapa diantara
neurotransmitter itu mirip dengan beberapa jenis Narkoba. Semua zat psikoaktif (Narkotika,
psikotropika dan bahan adiktif lainnya) dapat mengubah perilaku, perasaan dan pikiran
seseorang melalui pengaruhnya terhadap salah satu atau beberapa neurotransmitter tersebut.
Dalam hal adiksi, neurotransmitter yang banyak bekerja adalah dopamin..

Pada otak manusia, terdapat pusat yang mengatur kenikmatan, yaitu sistem limbik. Sistem
limbik inilah yang berfungsi mengatur emosi, keinginan untuk makan serta keinginan untuk
melakukan hubungan seksual. Jika NAPZA yang bersifat psikoaktif masuk ke dalam tubuh
dengan cara ditelan, dihirup atau disuntikkan maka sistem limbik menjadi aktif dan susunan
biokimiawinya dapat berubah. Sistem limbik yang aktif karena perasaan aman dan nikmat
akan mengaktifkan neurotransmitter dopamin yang memberikan rasa senang, penasaran, dan
kecanduan. Otak akan merekam apa yang membuatnya senang dan bagaimana cara
memperolehnya. Jika menggunakan NAPZA kembali maka seseorang kembali merasa
nikmat seolah-olah kebutuhan batinnya terpuaskan. Otak akan mengingatnya sebagai sesuatu
yang harus dicari sebagai prioritas karena menyenangkan. Akibatnya, otak membuat program
yang salah, seolah-olah orang itu memerlukannya sebagai kebutuhan pokok. Jadi, adiksi
adalah hasil pembelajaran sel-sel otak pada pusat kenikmatan.

Salah satu bagian otak yang istimewa adalah Pre Frontal Cortex (PFC). Penelitik otak,
Jordan Grofman, mengatakan bahwa PFC hanya ada pada otak manusia, yang membedakan
manusia dengan binatang. PFC membuat manusia mampu memiliki dan memilah etika. PFC
juga membantu manusia dalam hal mengatur konsentrasi, mengetahui benar dan salah,
menunda kepuasan, mengendalikan diri, berpikir kritis dan merencanakan masa depan. PFC
adalah pusat pertimbangan dan pengambilan keputusan. PFC mengatur kepribadian dan
perilaku sosial manusia[6].

Sebagai bagian yang istimewa, PFC mudah mengalami kerusakan dikarenakan kecelakaan
dan pengaruh zat-zat kimia. Dalam kasus kecanduan NAPZA, dopamin akan dialirkan dari
sistem limbik ke PFC. Jika sistem limbik selalu aktif karena pengaruh NAPZA maka sistem
limbik akan semakin besar dan terus mengaktifkan dopamin. Pada akhirnya, dopamin
dialirkan ke PFC dalam jumlah yang berlebihan. Jumlah dopamin yang berlebihan itu dapat
menyebabkan PFC semakin mengerut hingga mengalami kerusakan fungsi. Kerusakan otak
pada bagian PFC menyebabkan kurangnya konsentrasi, kemampuan memilah benar dan
salah, serta pengambilan keputusan. Tentu saja hal itu akan berdampak pada perubahan
perilaku dan kepribadian seseorang[6]. Berdasarkan penjelasan tersebut, penyalahgunaan
NAPZA pada dasarnya akan menciderai organ pengendali vital yang salah satu fungsinya
membedakan manusia dengan binatang. Narkoba dapat menciderai fungsi-fungsi luhur kita
sebagai manusia.

Bukan hanya bagian PFC pada otak yang dapat mengalami kerusakan. Bagian otak yang
lainnya juga dapat mengalami kerusakan akibat kecanduan NAPZA. Bagian yang juga
terkena dampak adalah bagian yang mengatur movement (perpindahan), sensasi, penglihatan,
koordinasi, memori, dan reward (pemberian penghargaan)[5].

Kerusakan pada otak akan menimbulkan dampak berkepanjangan. Struktur bagian otak yang
berubah berdampak pula pada perubahan fungsinya. Inilah salah satu alasan mengapa
penyalahguna ataupun pecandu narkoba tidak dikatakan sembuh secara total, tetapi dikatakan
dapat pulih. Hasil belajar otak yang salah membuat penyalahguna dapat kembali ke dunia
hitamnya kapanpun. Disini pula pentingnya layanan pascarehabilitasi. Melalui layanan ini,
klien dapat difasilitasi lingkungan yang baik untuk proses belajar otak yang baru. Otak dapat
merekam hal-hal baru yang setidaknya dapat menutupi rekaman lama. Secara perlahan,
layanan ini pada akhirnya dapat “mengembalikan” pecandu ataupun penyalahguna ke
lingkungannya dengan lembaran yang baru untuk memulai cerita yang lebih baik dari
sebelumnya. Penjara bukanlah satu-satunya solusi untuk para penyalahguna. Akar dari adiksi
berada dalam otak yang tidak dapat diatasi hanya dengan penjara yang justru terkadang tidak
mengatasi apapun.

Tantangan-Tantangan

Dalam menjalankan program pascarehabilitasi, selalu mungkin target kita tidak tercapai.
Terkadang dalam proses pelaksanaannya, dijumpai berbagai tantangan. Ada yang berhasil
dilalui dan ada juga yang tidak berhasil. Tantangan yang paling sering ditemui dan terkadang
menjadi tantangan terberat bagi pendamping layanan pascarehabilitasi adalah tantangan yang
berasal dari klien itu sendiri, yaitu berkaitan dengan intensi dan kehendak klien untuk
berubah atau pulih. Meskipun klien dulunya adalah pecandu NAPZA kelas berat atau sudah
memasuki tahap intoksifikasi (tahap dimana seseorang sudah terikat kuat oleh NAPZA dan
tidak bisa melepaskan diri lagi tanpa bantuan orang lain[5]), namun jika klien memang
memiliki kehendak untuk betul-betul melepaskan diri maka klien tersebut secara perlahan-
lahan akan pulih. Sebaliknya, meskipun tingkat adiksi klien belum memasuki fase terparah
atau masih masuk dalam kategori ringan, namun kehendaknya untuk berhenti menggunakan
NAPZA tidak sepenuh hati, itu akan dapat memperlambat proses pemulihannya.
Intensi, kehendak dan courage (keteguhan hati/keberanian) yang dimiliki oleh klien akan
sangat memengaruhi sikap persisten klien dalam menjalani perubahannya. Konsistensi klien
mengikuti program layanan pascarehabilitasi dan rawat lanjut pascarehabilitasi bergantung
pada seberapa besar kehendak dan courage yang dimilikinya. Akan jauh lebih mudah
mendampingi klien yang memiliki kehendak yang besar untuk berubah dibandingkan
mendampingi klien yang masih berkutat pada kehendak yang lemah dan ketidakberaniannya
untuk berubah. Disamping itu, penerimaan diri klien (self acceptance) yang melibatkan
persepsi klien terhadap dirinya, juga memiliki pengaruh dalam proses pemulihannya. Klien
yang memandang dirinya secara lebih positif jauh lebih mudah untuk diajak mengembangkan
potensinya ke arah yang lebih baik dibandingkan klien yang selalu memandang dirinya
sebagai “sampah masyarakat” atapun label negatif lainnya.

Selanjutnya, masih banyak lagi variabel psikologis yang dapat menjadi tantangan tersendiri
bagi pendamping layanan dalam memberikan pendampingan. Beberapa di antara variabel-
variabel tersebut adalah kepribadian klien, mekanisme pertahanan diri (self defense
mechanism), kematangan emosional, serta orientasi dan cara berpikir klien. Terkadang
penulis juga menemukan kurangnya spiritualitas (penentuan tujuan hidup dan religiusitas)
pada klien-klien.

Tantangan selanjutnya adalah tantangan yang berasal dari keluarga klien. Seyogianya pihak
keluarga menjadi pihak utama yang mendukung klien selama proses pemulihannya. Pihak
keluarga yang seyogianya memahami klien lebih baik dibandingkan siapapun. Namun, pihak
keluarga menjadi tantangan yang cukup menyita perhatian apabila mereka tidak kooperatif
terhadap pendamping layanan. Keluarga yang tidak kooperatif diantaranya adalah keluarga
yang bersikap apatis terhadap program yang disediakan untuk klien. Tantangan berupa
keluarga yang kurang koopertif ini sering ditemui dalam pelaksanaan kunjungan rumah.
Pendamping layanan sampai harus mengunjungi rumah klien tiga sampai lima kali hanya
untuk mengetahui bahwa klien sedang keluar dan keluarga tidak mengetahui keberadaannya.
Keluarga yang mendukung seyogianya adalah mereka yang berupaya untuk memberikan
pemahaman kepada klien agar dapat mengikuti program secara konsisten. Penulis sendiri
menghayati bahwa klien yang didukung oleh keluarganya menunjukkan sikap yang lebih
positif selama mengikuti program dibandingkan klien yang kurang mendapat dukungan dari
keluarga. Hal ini tidak terlepas pula dari pengaruh hubungan klien dengan keluarga ataupun
konflik yang terjadi dalam keluarga. Tidak sedikit orang tua yang tidak mengetahui bahwa
anaknya pernah terlibat dalam penyalahgunaan zat hingga pendamping datang untuk
menjelaskannya.

Setelah keluarga, masyarakat yang tidak kooperatif juga menjadi tantangan tersendiri.
Tantangan ini berupa stigma masyarakat terhadap klien. Label-label negatif terkadang masih
melekat pada klien penyalahguna NAPZA. Selain itu, masyarakat yang tidak bekerjasama
untuk mendukung program layanan pascarehabilitasi juga bisa menjadi faktor penghambat.
Masyarakat yang diwakili oleh pejabat setempat (kepala RT/Kepala RW/Kepala Lingkungan)
seyogianya dapat menghimbau klien dan keluarganya untuk bersikap proaktif terhadap
program layanan ini, mengingat layanan ini adalah bagian dari program pemerintah dalam
upaya P4GN. Namun, terkadang yang terlihat adalah sikap apatis dari masyarakat setempat.
Ada juga masyarakat yang merasa takut berhubungan dengan pihak BNN dikarenakan takut
berhubungan dengan hukum. Sejumlah masyarakat masih mengira bahwa pihak BNN hanya
menyangkut pemberantasan yang melibatkan para polisi. Hal inilah yang mungkin menjadi
salah satu alasan mengapa masyarakat takut melaporkan diri kepada pihak BNN untuk
menerima layanan rehabilitasi. Tidak banyak masyarakat yang ingin secara sukarela
melaporkan diri dan atau keluarganya agar direhabilitasi.

Selanjutnya, tantangan yang terdekat berasal dari internal pelaksana teknis dalam bidang
rehabilitasi itu sendiri, yaitu bagaimana keberhasilan tahapan rehabilitasi, baik itu berupa
rehabilitasi rawat inap maupun rawat jalan. Ketika klien menyelesaikan proses rehabilitasi
dengan baik dan benar, akan lebih mudah baginya untuk pulih dan akan lebih mudah bagi
pendamping layanan pascarehabilitasi untuk memberikan pendampingan lebih lanjut. Namun
sebaliknya, jika proses rehabilitasi yang dijalani hanya setengah-setengah dan tidak tepat
sasaran maka kepulihan yang diharapkan sulit untuk dicapai klien dan pendamping layanan
pascarehabilitasi akan bekerja keras untuk mendampingi klien tersebut. Dengan kondisi
seperti ini, program layanan pascarehabilitasi juga berubah menjadi program yang tidak tepat
sasaran. Penulis sendiri menghayati bahwa terkadang motivasi klien untuk berubah perlu
didorong kembali dari titik “nol”. Hal yang seyogianya sudah teratasi pada tahapan
rehabilitasi harus menyita energi kembali pada tahapan pascarehabilitasi. Penulis sering
mendengar bahwa keberhasilan program rehabilitasi sangat bergantung pada program
pascarehabilitasi karena program pascarehabilitasi inilah yang akan mengembalikan mereka
kepada fungsi-fungsi sosialnya secara langsung. Namun, pernyataan ini tidak sepenuhnya
benar. Upaya yang keras sama-sama perlu dilakukan oleh kedua pihak. Meskipun
programnya dibedakan, program rehabilitasi dan pascarehabilitasi adalah program yang
berkesinambungan dan saling berhubungan. Oleh sebab itu, kedua pelaksana program perlu
untuk saling mendukung dan saling berkoordinasi.

Tantangan-tantangan yang bersifat khusus yang ditemui dalam pelaksanaan program


pascarehabilitasi tentu dapat berbeda-beda di setiap daerah. Meskipun demikian, faktor
personal klien, dukungan keluarga, penerimaan dan dukungan masyarakat, profesionalisme
para pendamping layanan dan pelaksana teknis program, serta dukungan pemerintah,
semuanya itu dapat memengaruhi bagaimana tantangan-tantangan muncul dan bagaimana hal
itu dapat diatasi.

“Skill” Pascarehabilitasi

Skill adalah istilah yang digunakan dalam tulisan ini, merujuk pada kemampuan-kemampuan
ataupun kompetensi-kompetensi yang diperlukan bagi para pendamping-pendamping yang
berkecimpung di dunia pascarehabilitasi (secara umum dalam bidang rehabilitasi). Skill yang
dimaksud dalam tulisan ini bukan hanya keterampilan yang akan dikembangkan melainkan
juga keterampilan yang memang telah dimiliki oleh pendamping. Istilah Skill yang dimaksud
juga akan merujuk pada karakter positif yang seyogianya dimiliki dan dikembangkan.

Sebelum membahas lebih jauh, ada dua hal yang perlu dipahami dan ditanamkan dalam
pikiran kita jika ingin bergelut dalam bidang rehabilitasi secara umum. Pertama, kita wajib
memiliki niat untuk menolong orang lain dan membuat lingkungan sekitar kita menjadi lebih
baik, terlepas dari apapun ideologi dan atau keyakinan kita. Itu adalah niat dasar. Tanpa niat
yang seperti itu, lupakan saja untuk menjadi pendamping di bidang rehabilitasi. Altruisme
adalah karakter yang perlu dimiliki dan dikembangkan ketika kita ingin bergelut di dunia
pelayanan. Di dalamnya ada kepedulian dan keingintahuan yang merupakan minat dasar
terhadap manusia. Tanpa kedua minat tersebut, akan sulit bagi kita untuk menjalankan tugas
sebagai pendamping. Kedua, kita jangan pernah lupa untuk memanusiakan manusia. Klien
adalah manusia. Jadi, jangan pernah melihatnya sebagai sesuatu selain manusia. Sifat-sifat
kemanusiaan melekat padanya.
Nah, apa yang menjadi skill yang pertama dan paling utama? Empati dan pengertian. Empati
dan pengertian adalah kunci untuk bisa membangun hubungan dengan orang lain, termasuk
dengan klien pascarehabilitasi. Empati seperti “pendamping berupaya untuk memasuki dunia
klien meskipun dunia itu sangat berbeda dengan dunia pendamping, tanpa terseret atau larut
di dalamnya”. Bayangkan seseorang yang bisa keluar masuk ke dalam rumah yang berbeda-
beda pemiliknya untuk bersilatuhrahmi. Empati bukan membiarkan perilaku dan gagasan-
gagasan klien yang terdistorsi ataupun menyimpang, melainkan berupaya memahaminya
untuk memperoleh perspektif yang akan digunakan untuk membantu klien. Dunia klien
tersebut meliputi jalan pikiran klien, kondisi sosioemosionalnya, termasuk juga kepribadian
klien.

Empati ditunjukkan dengan skill mendengarkan. Mendengarkan juga merupakan teknik


konseling mendasar yang wajib dimiliki oleh pendamping. Ada baiknya kita meluangkan
waktu lebih untuk mendengarkan dibandingkan menjelaskan. Dari proses itu kita bisa
memperoleh banyak informasi. Namun, pada kasus-kasus lain, misalnya pada klien yang
pasif, terkadang menjelaskan adalah ide yang bagus untuk menghidupkan suasana.
Menjelaskan dalam hal ini adalah berbagi informasi dan bercerita mengenai kehidupan dan
pengalaman. Penting untuk mengurangi penjelasan berupa nasihat, kecuali jika itu benar-
benar diperlukan. Olehnya itu para pendamping perlu untuk selalu memonitor dirinya, fokus
dan menghadir, sehingga bisa melakukan penilaian kondisi. Pendamping sangat perlu untuk
menelaah kapan dirinya perlu untuk menjadi pendengar dan kapan dirinya perlu menjadi
pembicara dan penasehat.

Selanjutnya, seorang pendamping seyogianya adalah seorang yang open-minded (berpikiran


terbuka). Berpikiran terbuka akan membantu pendamping untuk menerima informasi yang
ada, tertutama yang berhubungan dengan klien. Juga membuat pendamping tidak mudah
memberikan judgement terhadap klien. Kita selaku pendamping akan lebih mudah menerima
perbedaan-perbedaan pandangan serta lebih mudah berempati ketika kita bisa berpikiran
terbuka. Berpikiran terbuka juga membuat kita selalu mungkin dapat mempelajari hal-hal
yang baru yang diperoleh dari sudut pandang klien sehingga dapat memperkaya insight
(wawasan) yang dimiliki.

Seorang pendamping juga merupakan seorang yang dapat menikmati percakapan yang
berlangsung antara dirinya dengan klien. Dalam hal ini, kemampuan komunikasi pendamping
perlu untuk dilatih. Pendamping seyogianya berkomunikasi secara asertif, yaitu tegas, jujur
dan terbuka. Dalam berkomunikasi, pendamping juga perlu memahami pentingnya bahasa
tubuh atau komunikasi non verbal. Kita tidak harus merespon klien dengan bahasa verbal.
Kita juga dapat menggunakan kode-kode non verbal. Selain itu, kata-kata yang dipilih adalah
kata-kata yang berenergi tinggi, yang bersifat mendukung, mendorong dan persuasif. Untuk
kondisi tertentu, pendamping dapat menggunakan perbandingan-perbandingan (metafora)
tertentu untuk mengajak klien berpikir. Pendamping dapat menggambarkan masalah klien
dan solusinya dengan menggunakan metafora. Olehnya itu, pendamping juga perlu berpikir
kreatif untuk menemukan perbandingan yang tepat.

Pandamping juga seyogianya memiliki “sense of humor”. Setidaknya, seorang pendamping


mampu untuk tertawa. Pendamping perlu untuk memiliki kemampuan melihat dinamika
peristiwa yang diceritakan klien dan menemukan sisi humor didalamnya. Dengan demikian,
perbincangannya dengan klien akan lebih berwarna dan lebih hidup.
Tiga hal berikut, yaitu kemampuan mengelola emosi, kemampuan membina keakraban dan
kemampuan menguasai keadaan (power), perlu dimiliki pendamping dalam menjalankan
tugasnya. Pendamping seyogianya dapat mengelola berbagai jenis perasaan dan emosi, mulai
dari perasaan negatif hingga perasaan positif. Akan tidak baik bagi pendamping jika dirinya
sangat mudah bersimpati. Pendamping juga seyogianya memiliki kemampuan untuk
mempertahankan keakrabannya dengan klien. Namun di sisi lain, pendamping mampu
memegang kekuasaan dengan menjaga jarak tertentu dengan klien. Penulis
mengistilahkannya sebagai profesionalisme yang luwes.

Selanjutnya, pendamping sangat perlu untuk mengenali dan memahami karakter-karakter


positif dan berupaya mengembangkannya. Mengapa demikian? Sebab karakter-karakter ini
bisa dibagikan kepada klien sebagai bekal dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Kita tidak
bisa berbagi atau memberi jika kita tidak memilikinya, bukan? Cobalah untuk menghayati
perbandingan ketika kita sebagai pendamping hanya membicarakan isi kognisi kita dengan
ketika kita membicarakan isi hati kita. Penulis pernah mendengar perkataan bijak bahwa
perubahan dapat lebih mudah terjadi dengan menyentuh hati seseorang, dan cara yang paling
efektif untuk menyentuh hati adalah dengan hati pula. Jadi apa yang kita bagikan kepada
klien seyogianya merefleksikan hati kita, bukan sekedar pengetahuan yang ada di kepala. Ini
berarti kita betul-betul memiliki apa yang dibagikan itu di dalam diri kita. Nah, karakter-
karakter positif tersebut antara lain persisten, sabar, bersyukur, pemaaf, ramah, jujur dan
berintegritas.

Tidak kalah pentingnya, kemampuan pemecahan masalah yang kreatif perlu dikembangkan
oleh pendamping. Kemampuan ini dibarengi dengan kemampuan mengambil keputusan
secara bijak. Pengambilan keputusan secara bijak adalah proses pengambilan keputusan
dengan mempertimbangkan berbagai perspektif dengan tepat dan demi kebaikan semua
pihak. Kedua skill tersebut perlu dimiliki sebab ketika pendamping diperhadapkan pada
masalah-masalah di lapangan, pendamping perlu untuk segera mengatasinya dengan solusi
yang bijak. Kadangkala, masalah-masalah yang sebelumnya tidak diantisipasi muncul pada
saat menjalankan program.

Kemampuan mendasar yang berupa kualitas kepribadian yang tidak bisa dilupakan oleh para
pendamping adalah kemampuan mengintrospeksi diri. Dengan introspeksi diri, pendamping
dapat memahami karakter apa yang kurang dan perlu untuk dikembangkan dalam dirinya.
Selain itu, pendamping bisa menemukan cara-cara yang efektif dan kurang efektif dalam
berhubungan dengan klien ataupun dalam menjalankan program layanan pascarehabilitasi.

Kemampuan terakhir dalam tulisan ini terkait dengan kemampuan untuk senantiasa
menambah ilmu pengetahuan. Sebagai refleksi dari penulis, pengetahuan yang diperlukan
sebagai staf pascarehabilitasi adalah pengetahuan tentang komunikasi interpersonal, teknik
dasar konseling serta pengetahuan lainnya terkait NAPZA dan dampak yang ditimbulkan
akibat penyelahgunaannya. Namun, pengetahuan pendamping tentu tidak dibatasi dengan itu
saja. Semakin luas pengetahuan pendamping, semakin bermanfaat baginya dalam
menjalankan perannya sebagai pembicara dan konsultan. Ketika kita berbincang-bincang
dengan klien, bukan tidak mungkin percakapannya meluas ke area topik lain yang
memerlukan pengetahuan lebih agar percakapannya tetap berlangsung dengan efektif dan
menyenangkan.

Pihak yang Mendukung


Keberhasilan program layanan pascarehabilitasi tidak dapat dicapai tanpa keterlibatan pihak-
pihak lainnya. Kita perlu memahami bahwa persoalan penyalahgunaan NAPZA hanya bisa
diselesaikan dengan pendekatan sistemik. Persoalan tersebut bukan persoalan yang
disebabkan oleh faktor tunggal sehingga penyelesaiannya pun tidak bisa hanya menggunakan
satu cara oleh satu pihak saja. Persoalan tersebut memerlukan dukungan dari pihak-pihak
lainnya. Pihak-pihak tersebut terutama adalah keluarga, masyarakat dan pemerintah. Semua
pihak seyogianya dapat bersinergi bersama BNN dalam melakukan upaya P4GN.

Di dalam BNN sendiri, bidang rehabilitasi perlu bekerja sama dan berkoordinasi dengan
bidang-bidang lainnya. Keberhasilan bidang rehabilitasi tidak bisa dilepaskan dari
keberhasilan bidang-bidang lainnya. Bidang pemberantasan, bidan hukum dan kerjasama,
bidang pemberdayaan masyarakat dan terutama bidang pencegahan. Mengapa penulis
mengutamakan bidang pencegahan? Suatu kesimpulan yang tidak sesederhana
kedengarannya terlintas dalam pikiran penulis. Semakin banyak bidang pemberantasan
menangkap penyalahguna dan semakin banyak bidang rehabilitasi memberikan pelayanan,
bukankah dapat mengindikasikan kurangnya internalisasi masyarakat terhadap sosialisasi
bahaya NAPZA yang dilakukan oleh bidang pencegahan. Jika proses internalisasi berhasil
tentu akan berkurang masyarakat yang menjadi pecandu, penyalahguna dan atau korban
penyalahguna. Namun, sungguh ini tidak sesederhana kedengarannya. Masalah ini adalah
masalah yang sistemik.

Bentuk pencegahan utama dari masalah ini tidak terlepas dari peran keluarga. Keluarga
adalah media sosialisasi primer bagi anak sebelum keluar ke lingkungan sosial yang lebih
luas. Keluarga adalah wadah pembinaan generasi yang paling awal. Disinilah semua dimulai.
Bahkan, masalah penyalahgunaan ini pun dapat dimulai dari keluarga. Pihak BNN perlu
untuk selalu mengajak peran aktif keluarga-keluarga secara terbuka, khususnya orang tua,
dalam upaya P4GN. Selanjutnya, masyarakat sebagai suprasistem keluarga menjadi
pendukung. Upaya dilakukan dari berbagai arah.

Sebagai penutup, suatu insight ingin dibagikan penulis. Dalam proses pelaksanaannya,
layanan pascarehabilitasi adalah upaya rehabilitasi sekaligus pencegahan dan pemberdayaan
masyarakat. Ketiga aspek itu dapat dimunculkan dalam program pascarehabilitasi. Layanan
pascarehabilitasi adalah titik yang menghubungkan ketiganya. Dengan demikian, pendekatan
dan teknik yang digunakan oleh para pelaksana program dapat lebih bervariasi. Sebagai
pendamping layanan pascarehabilitasi, kita dapat mengeskplorasi diri sebagai konselor,
konsultan, penyuluh, bahkan community developer dalam satu program tanpa mengambil alih
lahan kerja bidang pencegahan dan pemberdayaan masyarakat. Dalam program layanan
pascarehabilitasi, kita dapat menjangkau keluarga dan masyarakat untuk kemudian dijadikan
sasaran dari upaya preventif yang dilakukan. Kita juga dapat menghubungkan klien-klien
dengan sumber-sumber lain, seperti Usaha Kecil Menengah (UKM), sebagai upaya
memberdayakan mereka.

Tulisan ini adalah sudut pandang penulis. Lebih dari sekedar menjadi refleksi pengalaman
menjadi pendamping pascarehabilitasi, tulisan ini juga mengajak kita semua untuk bisa
berpartisipasi aktif dalam upaya P4GN sesuai dengan kapasitas kita masing-masing. Memulai
dari hal-hal yang kecil untuk mencapai sesuatu yang lebih besar. Langkah sederhana untuk
perubahan yang besar. Upaya yang kita lakukan tidak selalu menunjukkan hasil yang terlihat
dengan cepat. Tidak semua serba instan apalagi menyangkut perubahan mental dan perilaku.
Ada hasil yang tidak kelihatan namun berdampak besar. Ada hasil yang jelas kelihatan
namun berdampak kecil. Hanya melakukan usaha. Itu yang perlu kita lakukan.
Sumber:

1. http://www.bnn.go.id (diakses pada tanggal 22 September 2017)


2. Direktorat Pascarehabilitasi Deputi Bidang Rehabilitasi. Petunjuk Teknis Layanan
Pascarehabilitasi
3. Direktorat Pascarehabilitasi Deputi Bidang Rehabilitasi. Rawat Lanjut
4. Tinjauan Pustaka, Dampak Penggunaan Narkoba
(http://digilib.unila.ac.id/585/7/BAB%20II.pdf)
5. Budhi S., Esther. Konseling Narkoba (http://www.e-
jurnal.ukrimuniversity.ac.id/file/P114.pdf)
6. Hilton, D.L. Pornography Addiction: A Neuroscience Perspective
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3050060/)

Di Indonesia sendiri data berdasarkan hasil penelitian Badan Narkotika Nasional bekerja
sama dengan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia Tahun 2017 tentang Survei
Nasional Penyalahgunaan Narkoba, menyatakan bahwa angka proyeksi penyalahguna
narkoba di Indonesia mencapai 1,77% atau 3.367.154 orang yang pernah pakai narkoba
dalam setahun terakhir (current users) pada kelompok usia 10-59 tahun (Jurnal Data
Puslitdatin Tahun 2018).

Anda mungkin juga menyukai