1. Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk
membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika (Pasal 1 angka 16 Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009).
2. Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik,
mental maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan
fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat (Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1997).
DEFENISI REHABILITASI
Rehabilitasi adalah fasilitas yang sifatnya semi tertutup, maksudnya hanya orang – orang
tertentu dengan kepentingan khusus yang dapat memasuki area ini. Rehabilitasi narkoba
adalah tempat yang memberikan pelatihan ketrampilan dan pengetahuan untuk
menghindarkan diri dari narkoba (Soeparman, 2000).
Dari hukum nasional yang mengatur mengenai tindak pidana Narkoba, juga ada
penegasan pecandu Narkoba selain adalah pelaku kejahatan juga adalah sebagai korban
yang termuat dalam Pasal 37 ayat 1 UU No. 5 tahun1997 tentang Psikotropika, Pasal 54
UU. No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 67 UU. No. 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak.Secara umum anak dibawah umur adalah anak yang belum mencapai
usia dewasa/ belum cukup umur dan belum pernah kawin dalam hal ini berumur 12 – 18
tahun. Dengan demikian yang dimaksud dengan pecandu narkoba anak dibawah umur
adalah anak yang berusia dibawah 18 tahun yang menjadi korban dari penyalahgunaan
Narkoba
Tujuan Rehabilitasi
1. Memulihkan dan mengembalikan fungsi fisik, psikologis, sosial klien/pecandu napza
kepada keberfungsian sosial manusia yang seharusnya.
2. Menjadi stimulus kesadaran para korban penyalahgunaan napza terhadap bahaya napza
melalui pengetahuan-pengetahuan terkait napza secara keseluruhan.
3. Mengembalikan kemauan dan kemampuan klien/pecandu napza untuk dapat melaksanakan
fungsi sosialnya secara wajar.
4. Membrikan edukasi atau pengetahuan-pengetahuan terkait napza kepada msyarakat sekitar
dalam rangka meningkatkan kewaspadaan serta preventif penyebarluasan serta peningkatan
angka pecandu napza di Indonesia khususnya lingkungan sekitar.
Berikut ada 5 manfaat untuk merehabilitasi bagi orang-orang yang sudah menjadi pecandu
narkoba.
1. Selamatkan Hidup
Narkoba bisa memicu penyakit seperti HIV/AIDS, hepatitis hingga kerusakan organ penting
seperti otak, jantung hingga paru-paru. Jika dibiarkan, kondisi ini bisa berujung pada
kematian.
Program Rehabilitasi
1. Rawat inap
Pelayanan yang ditawarkan adalah terletak pada penyediaan fasilitas yang nyaman dan
layanan terapi dan rehabilitasi sosial yang terpadu yang diberikan kepada penerima layanan
dalam hal ini pecandu. Natura memberikan apa yang dibutuhkan oleh klien/para penerima
pelayanan dalam menjalani program pemulihan di lembaga diantaranya adalah pelayanan
kesehatan dilakukan oleh dokter yang profesional di bidang adiksi, konselor-konselor adiksi
yang bekerja penuh pada layanan ini, profesi lainnya seperti Psikolog, Psikiater dan juga
Pekerja Sosial.
2. Rawat Jalan
Pelayanan yang ditawarkan oleh Natura adalah selain rehabilitasi sosial Program Rawat Inap,
juga ada rehabilitasi sosial Program Pendampingan atau yang lebih sering disebut Rawat
Jalan. Seorang klien yang ditetapkan untuk menjalankan program rehabilitasi rawat jalan
ditentukan melalui kegiatan asesmen yang dilakukan. Jangka waktu lamanya program
rehabilitasi rawat inap Natura diterapkan bagi seorang klien adalah tergantung pada seberapa
parah atau tidaknya penggunaan narkoba seseorang.
Bantuan Rehabilitasi
Bantuan rehabilitasi bagi para pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkoba di
Indonesia merujuk pada Peraturan Bersama tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan
Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi yang diterbitkan pada
tahun 2014. Bantuan rehabilitasi juga merujuk pada Undang-Undang No. 35 tahun 2009
tentang Narkotika dan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2011.
Kedua peraturan ini memastikan para pengguna narkoba mendapatkan layanan rehabilitasi
yang diperlukan dan tidak lagi ditempatkan sebagai pelaku tindak pidana atau kriminal.
Mereka dapat melaporkan diri pada Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) resmi yang
tersebar di seluruh Indonesia, yang terdiri dari Rumah Sakit, Puskesmas, serta Lembaga
Rehabilitasi Medis, baik milik pemerintah atau swasta. Sejak diresmikan pada tahun 2011,
kini jumlah IPWL di seluruh Indonesia sudah mencapai 274 institusi.
Seluruh IPWL yang tersedia memiliki kemampuan melakukan rehabilitasi medis, termasuk
terapi untuk menangani gejala, program detoksifikasi, terapi penyakit komplikasi, maupun
konseling. Sedangkan IPWL berbasis rumah sakit, juga dapat memberikan rehabilitasi medis
yang memerlukan rawat inap.
permohonan rehabilitasi narkoba dapat dilakukan melalui situs daring milik Badan
Narkotika Nasional (BNN).
Ada beberapa syarat yang perlu dipenuhi sebelum seseorang dapat menjalani program
rehabilitasi narkoba tersebut, antara lain kelengkapan surat permohonan rehabilitasi, hasil
tes urine, hasil pemeriksaan medis secara keseluruhan, kesediaan orang tua atau wali yang
dapat mewakili, dan persyaratan administratif lainnya.
Indonesia juga telah memiliki beberapa rumah sakit khusus penanggulangan narkoba, di
antaranya Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) yang berada di kawasan Jakarta
Timur. Rumah sakit yang didirikan tahun 1972 itu memang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat, yang secara khusus memberikan layanan kesehatan di bidang
penyalahgunaan narkoba.
Yang perlu dipahami, proses melepaskan diri dari narkoba untuk penggunanya tidaklah
mudah. Selain menjalani rehabilitasi narkoba, mereka juga membutuhkan dukungan
keluarga dan masyarakat agar dapat kembali menjalani hidup sehat dan produktif. Jika
Anda atau orang yang Anda kenal sedang berjuang untuk melawan ketergantungan
narkoba, jangan ragu untuk berkonsultasi ke psikiater.
itinjau oleh: dr. Kevin Adrian
Referensi
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2014). Cegah Penyalahgunaan Narkoba,
Selamatkan Penggunanya.
Info DATIN Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
(2017). Anti Narkoba Internasional 26 Juni’17.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2014). Hari Anti Narkoba Internasional
– 26 Juni. Pengguna Narkoba Dapat Dicegah dan Dapat Direhabilitasi.
Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia BNN (2015). HARI ANTI
NARKOTIKA INTERNASIONAL.
Humas Badan Narkotika Nasional (2012). Tahap-Tahap Pemulihan Pecandu Narkoba.
Pusat Layanan Publik untuk Indonesia (Satu Layanan). Permohonan Rehabilitasi
Narkoba.
National Institute on Drug Abuse NIH (2018). Treatment Approaches for Drug
Addiction.
Parekh, R. American Psychiatric Association APA (2017). What Is Addiction?
Mayo Clinic (2017). Diseases & Conditions. Drug addiction (substance use disorder).
WebMD. Drugs & Medications. Naltrexone HCL.
Goldberg, J. WebMD (2016). Counseling and Addiction.
Dryden-Edwards, R. & Stöppler, M. MedicineNet. Drug Abuse and Addiction.
Edi Suharto, ed, Isu-Isu Tematik Pembangunan Sosial: Konsepsi dan Strategi,
(Jakarta:Badan
Pelatihan dan Pengembangan Sosial Departemen Sosial republik Indonesia, 2004),
h.187-189.
Pertama, melapor ke instansi terkait. Misalnya Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL)
yang diresmikan sejak tahun 2011.
Saat ini, sudah tersedia 274 IPWL di seluruh Indonesia dari berbagai lembaga, termasuk
Puskesmas, Rumah Sakit dan Lembaga Rehabilitasi Medis, baik milik pemerintah atau
swasta. Informasinya bisa Anda dapatkan dalam berkas PDF di sini atau di sini.
Selain IPWL, Anda juga bisa mengajukan permohonan rehabilitasi narkoba melalui situs
daring milik Badan Narkotika Nasional (BNN). Syaratnya kelengkapan dokumen pribadi,
hasil tes urine, hasil pemeriksaan medis secara keseluruhan, juga kesediaan orang tua atau
wali yang dapat mewakili.
Kedua, akan dilakukan penilaian medis dan sosial. Istilahnya observasi awal guna
mengetahui metode rehabilitasi apa yang akan dijalani pengguna, termasuk berapa lama
akan direhabilitasi. Ada berbagai pertanyaan yang akan diajukan dalam proses ini.
Setelah itu, baru keluar rekomendasi rehabilitasi, "Tindakan rehabilitasi bentuknya kalau
yang ringan bisa rawat jalan, kalau yang sedang dan berat itu harus menjalani rawat
inap," pungkas Sulis.
Dalam pasal 54 UU No. 35 tahun 2009 ditegaskan bahwa pecandu dan korban
penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi untuk menghentikan
ketergantunganya terhadap narkoba, serta untuk memulihkan kemampuan fisik, mental, dan
sosial penderita.
Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk
membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika. Dalam Pasal 17 menyatakan,
“Rehabilitasi medis memuat layanan minimal sebagai berikut: terapi detoksifikasi, terapi
simtomatik, intervensi psikososial melalui konseling, wawancara motivasional, terapi
perilaku dan kognitif, termasuk pencegahan kekambuhan; pelayanan tes urin; dan evaluasi
secara berkala”. Selanjutnya kebijakan ini diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2015 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Wajib
Lapor dan Rehabilitasi Medis bagi Pecandu, Penyalah guna, dan Korban Penyalahgunaan
Narkotika.
Dalam pasal 54 UU No. 35 tahun 2009 ditegaskan bahwa pecandu dan korban
penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi untuk menghentikan
ketergantunganya terhadap narkoba, serta untuk memulihkan kemampuan fisik, mental, dan
sosial penderita. Ada tiga tahap rehabilitasi narkoba yang harus dijalani yaitu:
Tahap pertama, tahap rehabilitasi medis (detoksifikasi), yaitu proses di mana pecandu
menghentikan penyalahgunaan narkoba di bawah pengawasan dokter untuk mengurangi
gejala putus zat (sakau). Tahap ini pecandu diperiksa seluruh kesehatannya baik fisik dan
mental oleh dokter terlatih. Dokterlah yang memutuskan apakah pecandu perlu diberikan
obat tertentu untuk mengurangi gejala putus zat (sakau) yang ia derita. Pemberian obat
tergantung dari jenis narkoba dan berat ringanya gejala putus zat. Dalam hal ini dokter
butuh kepekaan, pengalaman, dan keahlian guna memdeteksi gejala kecanduan narkoba
tersebut.Pada tahap ini pecandu narkoba perlu mendapat pemantauan di rumah sakit oleh
dokter.
Pada tahap rehabilitasi medis juga dilakukan pemeriksaan/skrining penyakit infeksi menular
seksual –seperti HIV-AIDS, hepatitis, gonorhea, dan sebagainya. Selain itu, ada juga
konseling atau psikoterapi setelah dilakukan evaluasi psikologis.
Cold turkey. Merupakan metode tertua, dengan mengurung pecandu pada fase putus
obat (sakau) tanpa memberikan obat-obatan lain. Prosesnya sekitar 2 minggu.
Terapi substitusi/penggantian. Hanya digunakan pada pecandu opioid/heroin.
Kebutuhan heroin akan diganti dengan beberapa jenis obat –seperti; methadone,
naltrekson, morfin, atau codein.
Terapi simptomatik. Terapi ini dilakukan dengan memberikan obat yang disesuaikan
dengan gejala/keluhan pecandu narkoba.
Tahap kedua, tahap rehabilitasi non medis, yaitu dengan berbagai program di tempat
rehabilitasi, Di Indonesia sudah di bangun tempat-tempat rehabilitasi, sebagai contoh di
bawah BNN adalah tempat rehabilitasi di daerah Lido (Kampus Unitra), Baddoka
(Makassar), dan Samarinda. Di tempat rehabilitasi ini, pecandu menjalani berbagai
program di antaranya:
Tahap ketiga, tahap bina lanjut, yang akan memberikan kegiatan sesuai minat dan
bakatnya masing-masing. Misalnya kegiatan kerja atau keterampilan, olahraga, dan
kesenian. Ini agar mereka dapat kembali pada lingkungan sosialnya, menjalankan pola
hidup sehat, menjadi lebih produktif dan lebih percaya diri. Pecandu yang sudah berhasil
melewati tahap ini dapat kembali ke masyarakat, baik untuk bersekolah atau kembali
bekerja.
Agar program rehabilitasi narkoba dapat berhasil, diperlukan adanya dukungan dan perhatian
dari lingkungan terdekat –seperti keluarga atau teman. Bila Anda memiliki teman atau
keluarga yang menjadi pecandu narkoba, sebaiknya segera didaftarkan untuk proses
rehabilitasi. Dengan rehabilitasi narkoba, pecandu dapat diselamatkan dan dibimbing untuk
menjadi manusia yang lebih baik.
Untuk setiap tahap rehabilitasi diperlukan pengawasan dan evaluasi secara terus menerus
terhadap proses pulihan seorang pecandu.
Dalam penanganan pecandu narkoba, di Indonesia terdapat beberapa metode terapi dan
rehabilitasi yang digunakan yaitu :
2. Metode alternatif
Keempat obat di atas telah banyak beredar di Indonesia dan perlu adanya kontrol
penggunaan untuk menghindari adanya penyimpangan/penyalahgunaan obat-obatan ini
yang akan berdampak fatal.
4. Therapeutic community (TC); metode ini mulai digunakan pada akhir 1950 di Amerika
Serikat. Tujuan utamanya adalah menolong pecandu agar mampu kembali ke tengah
masyarakat dan dapat kembali menjalani kehidupan yang produktif. Program TC,
merupakan program yang disebut Drug Free Self Help Program. program ini mempunyai
sembilan elemen yaitu partisipasi aktif, feedback dari keanggotaan, role modeling, format
kolektif untuk perubahan pribadi, sharing norma dan nilai-nilai, struktur & sistem,
komunikasi terbuka, hubungan kelompok dan penggunaan terminologi unik. Aktivitas
dalam TC akan menolong peserta belajar mengenal dirinya melalui lima area
pengembangan kepribadian, yaitu manajemen perilaku, emosi/psikologis, intelektual &
spiritual, vocasional dan pendidikan, keterampilan untuk bertahan bersih dari narkoba.
http://www.bnn.go.id/portalbaru/portal/konten.php?nama=ArtikelTrithab&op=detail_arti
kel_trithab&id=78&mn=2&smn=e
Agar seluruh proses rehabilitasi bisa berhasil, dukungan keluarga dan lingkungan
dibutuhkan. Dengan demikian mereka akan terdorong untuk mengikis keinginan untuk
tidak kembali menggunakan narkoba.
REHABILITASI SOSIAL
Sedangkan layanan rehabilitasi sosial yang dimaksud dalam Pasal 19 yaitu, diberikan kepada
pecandu narkotika, penyalah guna narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika yang
mengalami kondisi: telah selesai menjalani program rehabilitasi medis, yang dibuktikan
dengan resume perawatan dari lembaga rehabilitasi medis. Proses ini terdiri dari kegiatan
pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika
dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. Kebijakan ini
kemudian diatur lebih mendetail dalam Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor
9 Tahun 2017 tentang Standar Nasional Rehabilitasi Sosial bagi Pecandu dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya.
Dapat ditarik kesimpulan mengenai layanan rehabilitasi ini yaitu layanan rehabilitasi medis,
sosial dan pascarehabilitsi tidak dapat dipisahkan atau dibolak balik dalam alur layanan
rehabilitasi. Pecandu, penyalahguna dan korban narkotika harus terlebih dahulu melalui
rehabilitasi medis, dimana pemulihan kesehatan merupakan tujuan utama selanjutnya
dilakukan layanan rehabilitasi sosial dengan harapan dapat mengembalikan fungsi sosial
dalam hubungan bermasyarakat, serta layanan pascarehabilitasi berupa pembinaan untuk
pencegahan kekambuhan dan kemampuan pengambilan keputusan dalam suatu masalah.
Layanan Pascarehabilitasi BNN juga dibedakan menjadi dua. Ada program layanan
pascarehabilitasi dan program rawat lanjut pascarehabilitasi. Rawat lanjut ini dilakukan
setelah klien selesai menjalankan seluruh tahapan layanan pascarehabilitasi. Setiap penyalah
guna yang telah selesai menjalani proses perawatan rehabilitasi mulai dari tahap awal sampai
dengan selesainya program pascarehabilitasi, tetap membutuhkan pendamping untuk
memonitor perkembangan klien dan memotivasi klien untuk tetap mempertahankan
pemulihannya. Berdasarkan pengalaman menjadi pendamping rawat lanjut inilah, tulisan ini
dapat dimunculkan. Bentuk program yang utama dari pelayanan rawat lanjut adalah
kunjungan ke rumah (Home Visit) sebanyak 4 hingga 6 kali selama enam bulan.
Pendampingan tidak hanya berfungsi untuk memonitor dan memotivasi klien saja,
akan tetapi dapat memfasilitasi klien kepada sumber-sumber yang ada, guna memecahkan
masalah-masalah atau hambatan yang sedang dialami oleh klien. Pendamping dapat merujuk
klien untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang positif dalam rangka pengembangan dirinya.
Pendamping juga dapat menyediakan pusat informasi (hotline) mengenai berbagai hal terkini
yang dapat dimanfaatkan oleh klien dalam upaya menjadi produktif dan berfungsi secara
sosial. Pada program rawat lanjut ini, pendamping juga dapat menfasilitasi pelaksanaan peer
group sebagaimana pada program layanan pascarehabilitasi sebelumnya.
Urgensi Pascarehabilitasi
Pemulihan adalah proses yang tidak sebentar, apalagi dalam hal ini adalah
pemulihan adiksi. Pemulihan adiksi seringkali membutuhkan beberapa episode terapi untuk
memperoleh kondisi abstinensia (tidak menggunakan NAPZA) jangka panjang dan pulih
secara penuh. Bukanlah sebuah jaminan bahwa penyalahguna yang telah menjalani
perawatan tidak akan kambuh lagi atau tidak akan menggunakan zat kembali. Hal ini
dikarenakan adiksi/kecanduan sama sifatnya dengan penyakit kronis yang dapat kambuh
sewaktu-waktu. Partisipasi dalam program pascarehabilitasi setelah terapi rehabilitasi sangat
membantu dalam mempertahankan abstinensia.
Pada otak manusia, terdapat pusat yang mengatur kenikmatan, yaitu sistem limbik. Sistem
limbik inilah yang berfungsi mengatur emosi, keinginan untuk makan serta keinginan untuk
melakukan hubungan seksual. Jika NAPZA yang bersifat psikoaktif masuk ke dalam tubuh
dengan cara ditelan, dihirup atau disuntikkan maka sistem limbik menjadi aktif dan susunan
biokimiawinya dapat berubah. Sistem limbik yang aktif karena perasaan aman dan nikmat
akan mengaktifkan neurotransmitter dopamin yang memberikan rasa senang, penasaran, dan
kecanduan. Otak akan merekam apa yang membuatnya senang dan bagaimana cara
memperolehnya. Jika menggunakan NAPZA kembali maka seseorang kembali merasa
nikmat seolah-olah kebutuhan batinnya terpuaskan. Otak akan mengingatnya sebagai sesuatu
yang harus dicari sebagai prioritas karena menyenangkan. Akibatnya, otak membuat program
yang salah, seolah-olah orang itu memerlukannya sebagai kebutuhan pokok. Jadi, adiksi
adalah hasil pembelajaran sel-sel otak pada pusat kenikmatan.
Salah satu bagian otak yang istimewa adalah Pre Frontal Cortex (PFC). Penelitik otak,
Jordan Grofman, mengatakan bahwa PFC hanya ada pada otak manusia, yang membedakan
manusia dengan binatang. PFC membuat manusia mampu memiliki dan memilah etika. PFC
juga membantu manusia dalam hal mengatur konsentrasi, mengetahui benar dan salah,
menunda kepuasan, mengendalikan diri, berpikir kritis dan merencanakan masa depan. PFC
adalah pusat pertimbangan dan pengambilan keputusan. PFC mengatur kepribadian dan
perilaku sosial manusia[6].
Sebagai bagian yang istimewa, PFC mudah mengalami kerusakan dikarenakan kecelakaan
dan pengaruh zat-zat kimia. Dalam kasus kecanduan NAPZA, dopamin akan dialirkan dari
sistem limbik ke PFC. Jika sistem limbik selalu aktif karena pengaruh NAPZA maka sistem
limbik akan semakin besar dan terus mengaktifkan dopamin. Pada akhirnya, dopamin
dialirkan ke PFC dalam jumlah yang berlebihan. Jumlah dopamin yang berlebihan itu dapat
menyebabkan PFC semakin mengerut hingga mengalami kerusakan fungsi. Kerusakan otak
pada bagian PFC menyebabkan kurangnya konsentrasi, kemampuan memilah benar dan
salah, serta pengambilan keputusan. Tentu saja hal itu akan berdampak pada perubahan
perilaku dan kepribadian seseorang[6]. Berdasarkan penjelasan tersebut, penyalahgunaan
NAPZA pada dasarnya akan menciderai organ pengendali vital yang salah satu fungsinya
membedakan manusia dengan binatang. Narkoba dapat menciderai fungsi-fungsi luhur kita
sebagai manusia.
Bukan hanya bagian PFC pada otak yang dapat mengalami kerusakan. Bagian otak yang
lainnya juga dapat mengalami kerusakan akibat kecanduan NAPZA. Bagian yang juga
terkena dampak adalah bagian yang mengatur movement (perpindahan), sensasi, penglihatan,
koordinasi, memori, dan reward (pemberian penghargaan)[5].
Kerusakan pada otak akan menimbulkan dampak berkepanjangan. Struktur bagian otak yang
berubah berdampak pula pada perubahan fungsinya. Inilah salah satu alasan mengapa
penyalahguna ataupun pecandu narkoba tidak dikatakan sembuh secara total, tetapi dikatakan
dapat pulih. Hasil belajar otak yang salah membuat penyalahguna dapat kembali ke dunia
hitamnya kapanpun. Disini pula pentingnya layanan pascarehabilitasi. Melalui layanan ini,
klien dapat difasilitasi lingkungan yang baik untuk proses belajar otak yang baru. Otak dapat
merekam hal-hal baru yang setidaknya dapat menutupi rekaman lama. Secara perlahan,
layanan ini pada akhirnya dapat “mengembalikan” pecandu ataupun penyalahguna ke
lingkungannya dengan lembaran yang baru untuk memulai cerita yang lebih baik dari
sebelumnya. Penjara bukanlah satu-satunya solusi untuk para penyalahguna. Akar dari adiksi
berada dalam otak yang tidak dapat diatasi hanya dengan penjara yang justru terkadang tidak
mengatasi apapun.
Tantangan-Tantangan
Dalam menjalankan program pascarehabilitasi, selalu mungkin target kita tidak tercapai.
Terkadang dalam proses pelaksanaannya, dijumpai berbagai tantangan. Ada yang berhasil
dilalui dan ada juga yang tidak berhasil. Tantangan yang paling sering ditemui dan terkadang
menjadi tantangan terberat bagi pendamping layanan pascarehabilitasi adalah tantangan yang
berasal dari klien itu sendiri, yaitu berkaitan dengan intensi dan kehendak klien untuk
berubah atau pulih. Meskipun klien dulunya adalah pecandu NAPZA kelas berat atau sudah
memasuki tahap intoksifikasi (tahap dimana seseorang sudah terikat kuat oleh NAPZA dan
tidak bisa melepaskan diri lagi tanpa bantuan orang lain[5]), namun jika klien memang
memiliki kehendak untuk betul-betul melepaskan diri maka klien tersebut secara perlahan-
lahan akan pulih. Sebaliknya, meskipun tingkat adiksi klien belum memasuki fase terparah
atau masih masuk dalam kategori ringan, namun kehendaknya untuk berhenti menggunakan
NAPZA tidak sepenuh hati, itu akan dapat memperlambat proses pemulihannya.
Intensi, kehendak dan courage (keteguhan hati/keberanian) yang dimiliki oleh klien akan
sangat memengaruhi sikap persisten klien dalam menjalani perubahannya. Konsistensi klien
mengikuti program layanan pascarehabilitasi dan rawat lanjut pascarehabilitasi bergantung
pada seberapa besar kehendak dan courage yang dimilikinya. Akan jauh lebih mudah
mendampingi klien yang memiliki kehendak yang besar untuk berubah dibandingkan
mendampingi klien yang masih berkutat pada kehendak yang lemah dan ketidakberaniannya
untuk berubah. Disamping itu, penerimaan diri klien (self acceptance) yang melibatkan
persepsi klien terhadap dirinya, juga memiliki pengaruh dalam proses pemulihannya. Klien
yang memandang dirinya secara lebih positif jauh lebih mudah untuk diajak mengembangkan
potensinya ke arah yang lebih baik dibandingkan klien yang selalu memandang dirinya
sebagai “sampah masyarakat” atapun label negatif lainnya.
Selanjutnya, masih banyak lagi variabel psikologis yang dapat menjadi tantangan tersendiri
bagi pendamping layanan dalam memberikan pendampingan. Beberapa di antara variabel-
variabel tersebut adalah kepribadian klien, mekanisme pertahanan diri (self defense
mechanism), kematangan emosional, serta orientasi dan cara berpikir klien. Terkadang
penulis juga menemukan kurangnya spiritualitas (penentuan tujuan hidup dan religiusitas)
pada klien-klien.
Tantangan selanjutnya adalah tantangan yang berasal dari keluarga klien. Seyogianya pihak
keluarga menjadi pihak utama yang mendukung klien selama proses pemulihannya. Pihak
keluarga yang seyogianya memahami klien lebih baik dibandingkan siapapun. Namun, pihak
keluarga menjadi tantangan yang cukup menyita perhatian apabila mereka tidak kooperatif
terhadap pendamping layanan. Keluarga yang tidak kooperatif diantaranya adalah keluarga
yang bersikap apatis terhadap program yang disediakan untuk klien. Tantangan berupa
keluarga yang kurang koopertif ini sering ditemui dalam pelaksanaan kunjungan rumah.
Pendamping layanan sampai harus mengunjungi rumah klien tiga sampai lima kali hanya
untuk mengetahui bahwa klien sedang keluar dan keluarga tidak mengetahui keberadaannya.
Keluarga yang mendukung seyogianya adalah mereka yang berupaya untuk memberikan
pemahaman kepada klien agar dapat mengikuti program secara konsisten. Penulis sendiri
menghayati bahwa klien yang didukung oleh keluarganya menunjukkan sikap yang lebih
positif selama mengikuti program dibandingkan klien yang kurang mendapat dukungan dari
keluarga. Hal ini tidak terlepas pula dari pengaruh hubungan klien dengan keluarga ataupun
konflik yang terjadi dalam keluarga. Tidak sedikit orang tua yang tidak mengetahui bahwa
anaknya pernah terlibat dalam penyalahgunaan zat hingga pendamping datang untuk
menjelaskannya.
Setelah keluarga, masyarakat yang tidak kooperatif juga menjadi tantangan tersendiri.
Tantangan ini berupa stigma masyarakat terhadap klien. Label-label negatif terkadang masih
melekat pada klien penyalahguna NAPZA. Selain itu, masyarakat yang tidak bekerjasama
untuk mendukung program layanan pascarehabilitasi juga bisa menjadi faktor penghambat.
Masyarakat yang diwakili oleh pejabat setempat (kepala RT/Kepala RW/Kepala Lingkungan)
seyogianya dapat menghimbau klien dan keluarganya untuk bersikap proaktif terhadap
program layanan ini, mengingat layanan ini adalah bagian dari program pemerintah dalam
upaya P4GN. Namun, terkadang yang terlihat adalah sikap apatis dari masyarakat setempat.
Ada juga masyarakat yang merasa takut berhubungan dengan pihak BNN dikarenakan takut
berhubungan dengan hukum. Sejumlah masyarakat masih mengira bahwa pihak BNN hanya
menyangkut pemberantasan yang melibatkan para polisi. Hal inilah yang mungkin menjadi
salah satu alasan mengapa masyarakat takut melaporkan diri kepada pihak BNN untuk
menerima layanan rehabilitasi. Tidak banyak masyarakat yang ingin secara sukarela
melaporkan diri dan atau keluarganya agar direhabilitasi.
Selanjutnya, tantangan yang terdekat berasal dari internal pelaksana teknis dalam bidang
rehabilitasi itu sendiri, yaitu bagaimana keberhasilan tahapan rehabilitasi, baik itu berupa
rehabilitasi rawat inap maupun rawat jalan. Ketika klien menyelesaikan proses rehabilitasi
dengan baik dan benar, akan lebih mudah baginya untuk pulih dan akan lebih mudah bagi
pendamping layanan pascarehabilitasi untuk memberikan pendampingan lebih lanjut. Namun
sebaliknya, jika proses rehabilitasi yang dijalani hanya setengah-setengah dan tidak tepat
sasaran maka kepulihan yang diharapkan sulit untuk dicapai klien dan pendamping layanan
pascarehabilitasi akan bekerja keras untuk mendampingi klien tersebut. Dengan kondisi
seperti ini, program layanan pascarehabilitasi juga berubah menjadi program yang tidak tepat
sasaran. Penulis sendiri menghayati bahwa terkadang motivasi klien untuk berubah perlu
didorong kembali dari titik “nol”. Hal yang seyogianya sudah teratasi pada tahapan
rehabilitasi harus menyita energi kembali pada tahapan pascarehabilitasi. Penulis sering
mendengar bahwa keberhasilan program rehabilitasi sangat bergantung pada program
pascarehabilitasi karena program pascarehabilitasi inilah yang akan mengembalikan mereka
kepada fungsi-fungsi sosialnya secara langsung. Namun, pernyataan ini tidak sepenuhnya
benar. Upaya yang keras sama-sama perlu dilakukan oleh kedua pihak. Meskipun
programnya dibedakan, program rehabilitasi dan pascarehabilitasi adalah program yang
berkesinambungan dan saling berhubungan. Oleh sebab itu, kedua pelaksana program perlu
untuk saling mendukung dan saling berkoordinasi.
“Skill” Pascarehabilitasi
Skill adalah istilah yang digunakan dalam tulisan ini, merujuk pada kemampuan-kemampuan
ataupun kompetensi-kompetensi yang diperlukan bagi para pendamping-pendamping yang
berkecimpung di dunia pascarehabilitasi (secara umum dalam bidang rehabilitasi). Skill yang
dimaksud dalam tulisan ini bukan hanya keterampilan yang akan dikembangkan melainkan
juga keterampilan yang memang telah dimiliki oleh pendamping. Istilah Skill yang dimaksud
juga akan merujuk pada karakter positif yang seyogianya dimiliki dan dikembangkan.
Sebelum membahas lebih jauh, ada dua hal yang perlu dipahami dan ditanamkan dalam
pikiran kita jika ingin bergelut dalam bidang rehabilitasi secara umum. Pertama, kita wajib
memiliki niat untuk menolong orang lain dan membuat lingkungan sekitar kita menjadi lebih
baik, terlepas dari apapun ideologi dan atau keyakinan kita. Itu adalah niat dasar. Tanpa niat
yang seperti itu, lupakan saja untuk menjadi pendamping di bidang rehabilitasi. Altruisme
adalah karakter yang perlu dimiliki dan dikembangkan ketika kita ingin bergelut di dunia
pelayanan. Di dalamnya ada kepedulian dan keingintahuan yang merupakan minat dasar
terhadap manusia. Tanpa kedua minat tersebut, akan sulit bagi kita untuk menjalankan tugas
sebagai pendamping. Kedua, kita jangan pernah lupa untuk memanusiakan manusia. Klien
adalah manusia. Jadi, jangan pernah melihatnya sebagai sesuatu selain manusia. Sifat-sifat
kemanusiaan melekat padanya.
Nah, apa yang menjadi skill yang pertama dan paling utama? Empati dan pengertian. Empati
dan pengertian adalah kunci untuk bisa membangun hubungan dengan orang lain, termasuk
dengan klien pascarehabilitasi. Empati seperti “pendamping berupaya untuk memasuki dunia
klien meskipun dunia itu sangat berbeda dengan dunia pendamping, tanpa terseret atau larut
di dalamnya”. Bayangkan seseorang yang bisa keluar masuk ke dalam rumah yang berbeda-
beda pemiliknya untuk bersilatuhrahmi. Empati bukan membiarkan perilaku dan gagasan-
gagasan klien yang terdistorsi ataupun menyimpang, melainkan berupaya memahaminya
untuk memperoleh perspektif yang akan digunakan untuk membantu klien. Dunia klien
tersebut meliputi jalan pikiran klien, kondisi sosioemosionalnya, termasuk juga kepribadian
klien.
Seorang pendamping juga merupakan seorang yang dapat menikmati percakapan yang
berlangsung antara dirinya dengan klien. Dalam hal ini, kemampuan komunikasi pendamping
perlu untuk dilatih. Pendamping seyogianya berkomunikasi secara asertif, yaitu tegas, jujur
dan terbuka. Dalam berkomunikasi, pendamping juga perlu memahami pentingnya bahasa
tubuh atau komunikasi non verbal. Kita tidak harus merespon klien dengan bahasa verbal.
Kita juga dapat menggunakan kode-kode non verbal. Selain itu, kata-kata yang dipilih adalah
kata-kata yang berenergi tinggi, yang bersifat mendukung, mendorong dan persuasif. Untuk
kondisi tertentu, pendamping dapat menggunakan perbandingan-perbandingan (metafora)
tertentu untuk mengajak klien berpikir. Pendamping dapat menggambarkan masalah klien
dan solusinya dengan menggunakan metafora. Olehnya itu, pendamping juga perlu berpikir
kreatif untuk menemukan perbandingan yang tepat.
Tidak kalah pentingnya, kemampuan pemecahan masalah yang kreatif perlu dikembangkan
oleh pendamping. Kemampuan ini dibarengi dengan kemampuan mengambil keputusan
secara bijak. Pengambilan keputusan secara bijak adalah proses pengambilan keputusan
dengan mempertimbangkan berbagai perspektif dengan tepat dan demi kebaikan semua
pihak. Kedua skill tersebut perlu dimiliki sebab ketika pendamping diperhadapkan pada
masalah-masalah di lapangan, pendamping perlu untuk segera mengatasinya dengan solusi
yang bijak. Kadangkala, masalah-masalah yang sebelumnya tidak diantisipasi muncul pada
saat menjalankan program.
Kemampuan mendasar yang berupa kualitas kepribadian yang tidak bisa dilupakan oleh para
pendamping adalah kemampuan mengintrospeksi diri. Dengan introspeksi diri, pendamping
dapat memahami karakter apa yang kurang dan perlu untuk dikembangkan dalam dirinya.
Selain itu, pendamping bisa menemukan cara-cara yang efektif dan kurang efektif dalam
berhubungan dengan klien ataupun dalam menjalankan program layanan pascarehabilitasi.
Kemampuan terakhir dalam tulisan ini terkait dengan kemampuan untuk senantiasa
menambah ilmu pengetahuan. Sebagai refleksi dari penulis, pengetahuan yang diperlukan
sebagai staf pascarehabilitasi adalah pengetahuan tentang komunikasi interpersonal, teknik
dasar konseling serta pengetahuan lainnya terkait NAPZA dan dampak yang ditimbulkan
akibat penyelahgunaannya. Namun, pengetahuan pendamping tentu tidak dibatasi dengan itu
saja. Semakin luas pengetahuan pendamping, semakin bermanfaat baginya dalam
menjalankan perannya sebagai pembicara dan konsultan. Ketika kita berbincang-bincang
dengan klien, bukan tidak mungkin percakapannya meluas ke area topik lain yang
memerlukan pengetahuan lebih agar percakapannya tetap berlangsung dengan efektif dan
menyenangkan.
Di dalam BNN sendiri, bidang rehabilitasi perlu bekerja sama dan berkoordinasi dengan
bidang-bidang lainnya. Keberhasilan bidang rehabilitasi tidak bisa dilepaskan dari
keberhasilan bidang-bidang lainnya. Bidang pemberantasan, bidan hukum dan kerjasama,
bidang pemberdayaan masyarakat dan terutama bidang pencegahan. Mengapa penulis
mengutamakan bidang pencegahan? Suatu kesimpulan yang tidak sesederhana
kedengarannya terlintas dalam pikiran penulis. Semakin banyak bidang pemberantasan
menangkap penyalahguna dan semakin banyak bidang rehabilitasi memberikan pelayanan,
bukankah dapat mengindikasikan kurangnya internalisasi masyarakat terhadap sosialisasi
bahaya NAPZA yang dilakukan oleh bidang pencegahan. Jika proses internalisasi berhasil
tentu akan berkurang masyarakat yang menjadi pecandu, penyalahguna dan atau korban
penyalahguna. Namun, sungguh ini tidak sesederhana kedengarannya. Masalah ini adalah
masalah yang sistemik.
Bentuk pencegahan utama dari masalah ini tidak terlepas dari peran keluarga. Keluarga
adalah media sosialisasi primer bagi anak sebelum keluar ke lingkungan sosial yang lebih
luas. Keluarga adalah wadah pembinaan generasi yang paling awal. Disinilah semua dimulai.
Bahkan, masalah penyalahgunaan ini pun dapat dimulai dari keluarga. Pihak BNN perlu
untuk selalu mengajak peran aktif keluarga-keluarga secara terbuka, khususnya orang tua,
dalam upaya P4GN. Selanjutnya, masyarakat sebagai suprasistem keluarga menjadi
pendukung. Upaya dilakukan dari berbagai arah.
Sebagai penutup, suatu insight ingin dibagikan penulis. Dalam proses pelaksanaannya,
layanan pascarehabilitasi adalah upaya rehabilitasi sekaligus pencegahan dan pemberdayaan
masyarakat. Ketiga aspek itu dapat dimunculkan dalam program pascarehabilitasi. Layanan
pascarehabilitasi adalah titik yang menghubungkan ketiganya. Dengan demikian, pendekatan
dan teknik yang digunakan oleh para pelaksana program dapat lebih bervariasi. Sebagai
pendamping layanan pascarehabilitasi, kita dapat mengeskplorasi diri sebagai konselor,
konsultan, penyuluh, bahkan community developer dalam satu program tanpa mengambil alih
lahan kerja bidang pencegahan dan pemberdayaan masyarakat. Dalam program layanan
pascarehabilitasi, kita dapat menjangkau keluarga dan masyarakat untuk kemudian dijadikan
sasaran dari upaya preventif yang dilakukan. Kita juga dapat menghubungkan klien-klien
dengan sumber-sumber lain, seperti Usaha Kecil Menengah (UKM), sebagai upaya
memberdayakan mereka.
Tulisan ini adalah sudut pandang penulis. Lebih dari sekedar menjadi refleksi pengalaman
menjadi pendamping pascarehabilitasi, tulisan ini juga mengajak kita semua untuk bisa
berpartisipasi aktif dalam upaya P4GN sesuai dengan kapasitas kita masing-masing. Memulai
dari hal-hal yang kecil untuk mencapai sesuatu yang lebih besar. Langkah sederhana untuk
perubahan yang besar. Upaya yang kita lakukan tidak selalu menunjukkan hasil yang terlihat
dengan cepat. Tidak semua serba instan apalagi menyangkut perubahan mental dan perilaku.
Ada hasil yang tidak kelihatan namun berdampak besar. Ada hasil yang jelas kelihatan
namun berdampak kecil. Hanya melakukan usaha. Itu yang perlu kita lakukan.
Sumber:
Di Indonesia sendiri data berdasarkan hasil penelitian Badan Narkotika Nasional bekerja
sama dengan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia Tahun 2017 tentang Survei
Nasional Penyalahgunaan Narkoba, menyatakan bahwa angka proyeksi penyalahguna
narkoba di Indonesia mencapai 1,77% atau 3.367.154 orang yang pernah pakai narkoba
dalam setahun terakhir (current users) pada kelompok usia 10-59 tahun (Jurnal Data
Puslitdatin Tahun 2018).