Disusun oleh :
dr. Mochamad. Hafidin Ilham, Sp. An
RSU dr.Soedono Madiun
Gejala klinis yang terjadi pada stadium ini adalah gelisah, kulit
pucat dan dingin, pengisisan kapiler > 2 detik, dan takikardi.
2. Stadium dekompensasi
Pada stadium ini akan terjadi beberapa hal dalam tubuh
diantaranya:
a. Perfusi jaringan buruk sehingga menyebabkan O2 sangat turun
yang akan menimbulkan efek pada metabolisme anaerob yaitu
laktat meningkat dan terjadilah asidosis yang akan diperberat
dengan penumpukan CO2 dimana CO2 menjadi asam karbonat.
Asidemia akan menghambat kontraktilitas miokardium dan respon
terhadap katekolamin.
b. Gangguan metabolisme energi natrium atau kalium di seluler
menyebabkan integritas membran sel terganggu dan fungsi
lisosom juga mitokondria memburuk sehingga terjadi kerusakan
pada sel.
c. Aliran darah lambat, rusaknya rantai kinin dan sistem koagulasi,
dan diperburuk dengan adanya agregasi trombosit dan trombus
disertai perdarahan.
d. Pelepasan mediator vaskuler yaitu histamin, serotonin, sitokin (TNF
alpha dan Interleukin 1). Xanthine oxydase akan membentuk
oksigen radikal dan platelets aggregating factor. Pelepasan
mediator oleh makrofag akan menyebabkan arteriol berdilatasi dan
meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga venous return turun
yang memberikan efek preload juga menurun sehingga
menurunkan nilai cardiac output.
3. Stadium irreversibel
Syok yang berlanjut akan menyebabkan kerusakan dan
kematian sel sehingg dapat terjadi kerusakan banyak organ (multi
organ failure). Kemudian cadangan fosfat berenergi tinggi (ATP) akan
habis terutama di jantung dan hepar sehingga tubuh kehabisan energi.
Gejala klinis pada stadium ini yaitu nadi tidak teraba, anuria,
tekanan darah tidak terukur, dan tanda-tanda dari muti organ failure.
Syok terbagi berdasarkan penyebabnya, yaitu:
1. Kardiogenik (pompa jantung terganggu)
2. Hipovolemik (volume intravaskuler berkurang)
3. Distributif (vasomotor terganggu)
4. Obstruktif (hambatan sirkulasi menuju jantung)
1. Syok Kardiogenik
Alwi I. dan Sally K. (2015) berpendapat bahwa syok kardiogenik
merupakan gangguan yang disebabkan oleh penurunan curah jantung
sistemik saat volume intravaskuler cukup. Hipoksia jaringan dapat saja
terjadi. Biasanya, syok ini terjadi karena disfungsi ventrikel kiri tetapi
dapat juga terjadi ketika fungsi ventrikel kiri cukup baik. Sedangkan
menurut Diepen S. V. et.al. (2017), ketidakstabilan hemodinamik akut
dapat disebabkan oleh kerusakan fungsi dari miokardium, katup
jantung, sistem konduksi, atau perikardium yang nantinya dapat
menyebabkan terjadinya syok kardiogenik pada seseorang. Tidak
hanya syok hipovolemik yang memiliki angka mortalitas tinggi, akan
tetapi syok kardiogenik ini juga memiliki angka mortalitas tinggi dengan
angka mortalitas di rumah sakit 20%-60% (Puymirat E. et. al., 2016).
Gejala klinis yang dapat terjadi pada penderita ini yaitu
perubahan status mental, oliguria, kulit dingin, dan hipotensi sistemik
(tekanan darah biasanya < 90 mmHg selama > satu jam) dimana
penderita tidak responsif dengan pemberian cairan saja, sekunder
terhadap disfungsi jantung, dan berkaitan dengan tanda-tanda
hipoperfusi atau indeks kardiak < 2,2 L/menit per m2 dan tekanan baji
kapiler paru > 18 mmHg. Pertimbangkan juga pasien dengan tekanan
darah sistolik meningkat > 90 mmHg dalam 1 jam setelah pemberian
inotropik (Alwi I. dan Sally K., 2015). Selain itu, menurut Leksana E.
(2004) gejala klinis yang dapat timbul pada pasien ini yaitu nyeri dada
tipikal akut dan kemungkinan sudah memiliki riwayat penyakit jantung
koroner sebelumnya. Sedangkan pada pasien syok akibat komplikasi
mekanik dari infark miokard akut biasanya terjadi dalam beberapa hari
hingga seminggu setelah onset infark tersebut yaitu berupa nyeri dada
dan biasanya disertai gejala tiba-tiba dari edema paru akut atau
bahkan henti jantung. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya
penurunan darah sistolik hingga < 90 mmHg atau bahkan < 80 mmHg
pada pasien yang tidak memperoleh pengobatan adekuat, denyut
jantung dan frekuensi pernapasan meningkat.
Kriteria diagnosis syok kardiogenik menurut Levy B. et. al.
(2015) yaitu tekanan darah sistolik < 90 mmHg selama 30 menit atau
tekanan arteri rata-rata (MAP) < 65 mmHg selama 30 menit atau
membutuhkan vasopresor untuk mencapai tekanan darah ≥ 90 mmHg,
kongesti pulmo atau elevasi tekanan ventrikel kiri, tanda kerusakan
organ perfusi dengan salah satu kriteria (status mental berubah, kulit
lembab atau dingin, oliguria, dan laktat serum meningkat).
Pada 70% kasus, syok kardiogenik disebabkan oleh Infark
Miokardium Akut (IMA) akibat terjadinya nekrosis dan biasanya
disertai dengan ST elevasi. IMA tersebut juga dapat terjadi dengan
atau tanpa komplikasi mekanik seperti ruptur septum, dinding
ventrikel, atau korda tendinea (Levy B., et. al., 2015).
Alwi I. dan Sally K. (2015) mengatakan bahwa syok kardiogenik
terjadi pada 2,9% pasien dengan angina pektoris tak stabil dan 2,1%
pasien dengan IMA non ST elevasi. Selain itu, infark ventrikel kanan
tanpa disertai infark atau disfungsi ventrikel kiri, takiaritmia atau
bradiaritmia yang rekuren dimana biasanya akibat disfungsi ventrikel
kiri dan dapat timbul bersamaan dengan aritmia supraventrikular
ataupun ventrikular, manifestasi tahap akhir dari disfungsi miokard
yang progresif (termasuk akibat penyakit jantung iskemi, ataupun
kardiomiopati hipertrofik dan restriktif) juga bisa menjadi salah satu
penyebab terjadinya syok tersebut.
Sedangkan pada bayi baru lahir, syok kardiogenik dapat
disebabkan karena Penyakit Jantung Bawaan (PJB) yang akan
menyebabkan curah jantung berkurang dan hipotensi sistemik (seperti
stenosis aorta dan koarktasio aorta berat) atau karena kelainan otot
jantung akibat hipoksia dan asidosis berat pada asfiksia intrapartum.
Sedangkan pada bayi dan anak dapat disebabkan karena obstruksi
ekstrinsik dan intrinsik pada jalan keluar dan jalan masuk jantung
(seperti pneumoperikardium, tension pneumothorax, dan efusi
perikardium), kelainan otot jantung (seperti miokarditis dan
kardiomiopati primer ataupun sekunder), kelainan metabolik seperti
hipoglikemia berat dan insufisiensi adrenal), kelainan irama jantung
seperti takikardi ventrikel dan takikardi supraventrikel, atau karena
pasca operasi jantung (Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UI-
RSCM, 2013).
Patofisiologi pada syok jenis ini adalah depresi kontraktilitas
miokard sehingga menyebabkan lingkaran setan penurunan curah
jantung, tekanan darah rendah, insufisiensi koroner, dan kemudian
akan terjadi penururnan kontraktilitas dan curah jantung. Diperkirakan
terdapat vasokonstriksi sistemik sebagai kompensasi dengan
peningkatan resistensi vaskular sistemik sebagai respon dari
penurunan curah jantung. Pada pasien infark miokard, diduga terdapat
aktivasi sitokin inflamasi sehingga menyebabkan peningkatan kadar
iNOS, NO, dan peroksinitrit yang memiliki efek buruk multipel
diantaranya efek proinflamasi, memicu vasodilatasi sistemik,
penurunan responsivitas katekolamin, inhibisi langsung kontraktilitas
miokard, efek terhadap metabolisme glukkosa, dan supresi respirasi
mitokondria pada miokard non sistemik. Pasien infark miokard tersebut
sering memiliki gejala klinis seperti peningkatan suhu tubuh, sel darah
putih, komplemen, interleukin, c-reactive protein, dan tanda-tanda
inflamasi lainnya (Alwi I. dan Sally K., 2015).
Usia lanjut, infark miokard anterior, hipertensi, diabetes mellitus,
gagal ginjal, riwayat stroke, gagal jantung, riwayat penyakit arteri
perifer, riwayat penyakit arteri koroner multivesel, riwayat infark
miokard sebelumnya, blok cabang berkas kiri, tekanan sistolik awal,
frekuensi jantung, dan klas Killip merupakan prediktor syok
kardiogenik pada penderita infark miokard. Klirens kreatinin dan
jumlah vasopresor yang digunakan merupakan prediktor mortalitas
yang bermakna.
Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan dalam penegakan
diagnosa ini diantaranya adalah EKG (elektrokardiografi) yang dapat
membantu menentukan penyebab syok kardiogenik, rontgen dada,
saturasi oksigen, pemantauan hemodinamik dan ekokardiografi.
Gangguan kontraktilitas miokardium pada jantung
menyebabkan terjadinya syok kardiogenik ini sehingga tujuan terapi
yang diberikan pada pasien ini adalah untuk memperbaiki fungsi dari
miokardium dan sirkulasi (Leksana E., 2015).
Tindakan yang dapat dilakukan dalam menangani pasien
dengan syok ini yaitu segera resusitasi untuk mencegah kerusakan
organ pasien ketika dilakukan terapi definitif, menentukan secara dini
arteri koroner, dan melakukan revaskularisasi dini (Alwi I. dan Sally K.,
2015).
a. Resusitasi segera
Tindakan ini merupakan salah satu usaha untuk
mempertahankan tekanan arteri rata-rata yang adekuat untuk
mencegah sekuele neurologi dan ginjal. Pemberian dopamin atau
noradrenalin (norepinefrin) yang bergantung pada derajat hipotensi
harus segera diberikan secepatnya untuk meningkatkan tekanan
arteri rata-rata dan dipertahankan pada dosis minimal yang
dibutuhkan. Dobutamin tersebut dapat dikombinasikan dengan
dopamin dalam dosis sedang atau digunakan tanpa kombinasi
pada keadaan low output tanpa hipotensi nyata.
Intra-aortic ballon counterpulsation (IABP) harus dilakukan
sebelum transportasi jika fasilitas tersedia. Analisis gas darah dan
saturasi oksigen harus dimonitor dengan memberikan continuous
positive airway pressure atau ventilasi mekanik jika terdapat
indikasi pada pasien. EKG dimonitor secara terus-menerus dan
peralatan defibrilator, obat antiaritmia amiodaron atau lidokain
harus tersedia.
Terapi fibrinolitik dapat diberikan pada pasien dengan ST
elevasi jika diantisipasi keterlambatan angiografi > 2 jam.
Meningkatkan tekanan darah dengan IABP dapat menyebabkan
peningkatan tekanan perfusi koroner sehingga terjadi trombolisis.
Terapi dengan heparin dapat diberikan pada pasien syok
kardiogenik yang disebabkan oleh infark miokard non ST elevasi
yang menunggu kateterisasi.
Tanda klinis: hipoperfusi, CHF, edema paru akut. penyakit dasar yang
paling mungkin ?
Syok kardiogenik
b. Perdarahan
Trauma (terutama kecelakaan lalu lintas) menjadi
kontributor utama dalam terjadinya syok hemoragik ini (Lawton L.
D. Et. al., 2015). Sedangkan, Leksama E. (2015) mengungkapkan
bahwa perdarahan akan membuat tekanan pengisian pembuluh
darah rata-rata menjadi turun dan menurunkan aliran darah balik
ke jantung sehingga menimbulkan penurunan curah jantung.
Curah jantung dibawah nilai normal akan menyebabkan beberapa
kejadian pada beberapa organ diantaranya adalah:
- Mikrosirkulasi
Saat curah jantung menurun, tahanan vaskular sistemik
berusaha meningkatkan tekanan sistemik agar tersedia perfusi
cukup bagi jantung dan otak melebihi jaringan laian seperti
kulit, otot, dan khususnya pada traktus gastrointestinal.
Kebutuhan energi pada pelaksanaan metabolisme jantung dan
otak sangat tinggi tetapi kedua organ tersebut tidak dapat
menyimpan cadangan energi sehingga kedua organ tersebut
sangat bergantung pada ketersediaan oksigen dan nutrisi.
Sedangkan ketika tekanan arterial rata-rata turun hingga < 60
mmHg, maka aliran darah ke organ akan menurun secara
drastis sehingga fungsi sel setiap organ akan menjadi
terganggu.
- Neuroendokrin
Hipovolemik, hipotensi, dan hipoksia dapat dideteksi
oleh baroreseptor dan kemoreseptor tubuh sehingga respon
autonom tubuh yang mengatur perfusi serta substrak lain
tertangani.
- Kardiovaskular
Pengisian atrium, tahanan terhadap ejeksi ventrikel, dan
kontraktilitas miokard bekerja keras dalam mengontrol volume
sekuncup. Hipovolemi menyebabkan penurunan pengisian
ventrikel yang akan menyebabkan turunnya volume sekuncup.
- Gastrointestinal
Aliran darah ke intestinal menurun sehingga terjadi
peningkatan absorbsi endotoksin yang dilepaskan oleh bakteri
gram negatif yang mati di dalam usus sehingga memicu
pelebaran pembuluh darah dan peningkatan metabolisme dan
bukan memperbaiki nutrisi sel dan menyebabkan depresi
jantung.
- Ginjal
Gagal ginjal akut merupakan salah satu komplikasi dari
syok dan hipoperfusi yang frekuensi terjadinya sangat jarang
karena pemberian cairan pengganti dapat dilakukan dengan
cepat. Saat ini yang banyak terjadi adalah nekrosis tubular akut
akibat interaksi antara syok, sepsis, dan pemberian obat
nefrotoksik seperti aminoglikosida dan media kontras
angiografi.
3. Syok Distributif
Syok distributif ini disebabkan oleh adanya gangguan
vasomotor. Syok anafilaktik, syok neurogenik, syok sepsis, dan acute
adrenal insufficiency merupakan golongan dari syok distributif
(Leksana E., 2004).
a. Syok anafilaktik
Syok anafilaktik jarang terjadi tetapi terdapat lebih dari 500
kematian setiap tahun karena antibiotik golongan betaa laktam
khususnya penisilin. Penyebab tersering kedua yaitu pemakaian
media kontras dalam pemeriksaan radiologi. Akan tetapi, angka
kematian itu berkurang setelah terdapat media kontras yang
hipoosmolar. Selain obat, syok anafilaktik juga dapat disebabkan
oleh makanan, kegiatan jasmani, sengatan lebah, faktor fisis
(seperti udara yang panas dan air yang dingin), dan beberapa yang
tidak diketahui penyebabnya.
Sistem Pernapasan
- Memelihara saluran napas yang memadai.
Tersumbatnya saluran napas baik karena edema laring atau
spasme bronkus merupakan penyebab tersering kematian pasien.
Epinefrin sering dapat mengatasi keadaan tersebut. Akan tetapi,
pada kasus edema kadang laring diperlukan tindakan trakeostomi.
Sedangkan trakeostomi hanya dapat dilakukan oleh dokter ahli
atau dokter yang berpengalaman sehingga yang dapat dilakukan
adalah melakukan pungsi membran krikoid dengan jarum besar
dan segera dirujuk ke rumah sakit yang lebih memadai.
- Pemberian oksigen 4-6 L/menit
- Bronkodilator bila terjadi obstruksi saluran napas bawah seperti
pada penderita asma atau status asmatikus. Pada kasus tersebut
dapat diberikan salbutamol atau agonis beta-2 lainnya sebanyak
0,25 cc-0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0,9% melalui nebulisasi atau
aminofilin 5-6 mg/kgBB yang diencerkan dalam 20 cc dekstrosa
5% atau NaCl 0,9% secara perlahan-lahan sekitar 15 menit.
Sistem Kardiovaskular
- Gejala hipotensi atau syok yang tidak berhasil dengan pemberian
epinefrin menandakan bahwa terjadi kekurangan cairan
intravaskular sehingga membutuhkan cairan intravena secara
cepat baik dengan kristaloid (NaCl 0,9%) atau koloid (plasma,
dextran). Dianjurkan memberikan koloid sebanyak 0,5-1 L dan sisa
kebutuhannya diberikan kristaloid karena cairan koloid tersebut
tidak hanya dapat mengganti cairan intravaskular yang merembes
keluar pembuluh darah atau yang terkumpul di jaringan sp
stravaskular tetapi koloid juga dapat menarik cairan ekstravaskular
untuk kembali ke intravaskular.
- Oksigen harus diberikan sembari memantau sistem kardiovaskular
pasien. Selain itu, berikan natrium bikarbonat bila pasien
mengalami asidosis metabolik.
- Kadang diperlukan CVP (Central Venous Pressure) untuk
memantau kebutuhan cairan dan menghindari kelebihan
pemberian cairan, juga dapat digunakan dalam pemberian obat
yang bila bocor dapat merangsang jaringan sekitarnya.
- Jika tekanan darah belum teratasi dengan pemberian cairan,
berikan vasopresor melalui infus intravena dengan melarutkan 1
ml epinefrin 1:1000 dalam 250 ml dekstrosa (konsentrasi 4 mg/ml)
diberikan dengan infus 1-4 mg/menit atau 15-60 mikrodrip/menit
(dengan infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat dinaikkan
hingga maksimum yaitu 10 mg/ml. Bila sarana pembuluh darah
tidak tersedia dan keadaan nafilaksis berat, American Heart
Association (AHA) menganjurkan pemberian epinefrin endotrakeal
dengan dosis 10 ml epinefrin 1:10.000 dengan jarum panjang atau
kateter melalui pipa endotrakeal. Sedangkan dosis pada anak
yaitu 5 ml epinefrin 1:10.000. Kemudian diikuti pernapasan
hiperventilasi untuk menjamin absorbsi obat yang cepat.
b. Syok neurogenik
Syok neurogenik ini sering terjadi pada penderita cervical atau
high thoracic spinal cord injury. Gejala klinis yang dapat terjadi pada
penderita syok neurogenik ini yaitu hipotensi yang diikuti dengan
bradikardi dan gangguan neurologis (seperti paralisis flasid,
priapismus, dan refleks ekstremitas hilang. Tindakan yang dapat
dilakukan pada penderita yaitiu resusitasi cairan dan pemberian
vasopresor.
c. Syok sepsis
Sepsis merupakan masalah sistemik dari respon host yang
buruk terhadap infeksi yang menyebabkan sepsis berat (kerusakan
organ akut sekunder akibat infeksi yang dicurigai) dan syok sepsis
(sepsis berat dan hipotensi tidak membaik dengan resusitasi cairan).
Sepsis berat dan syok sepsis merupakan masalah kesehatan utama,
menyerang beberapa juta orang di dunia setiap tahun, membunuh
satu dari empat orang (bahkan lebih banyak), dan kejadiannya
meningkat. Seperti multitrauma, infark miokardium akut, atau stroke.
Kecepatan dan kesesuaian terapi yang dilakukan pada awal waktu
setelah sepsis berat akan mempengaruhi hasil (Dellinger R. P., 2013).
Dalam Chen, K., dan Herdiman T.P. (2015), sepsis merupakan
respon sistemik pejamu terhadap infeksi dimana patogen atau toksin
dilepaskan dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi proses
inflamasi. American College of Chest Physician dan Society of Critical
Care Medicine pada tahun 1992 mendefinisikan sepsis, sindrom
respon inflamasi sistemik (Systemic Inflammatory Response
Syndrome/SIRS), sepsis berat, dan syok/renjatan septik yaitu:
< 8 mmHg
Kristaloid
CVP
< 65 mmHg
Obat vasoaktif
MAP
< 90 mmHg
< 70%
Transfusi eritrosit sampai
ScvO2 hematokrit > 30%
Obat inotropik
Target tercapai
TIDAK
YA
< 70%
> 70%
> 70%
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, I. dan Sally A., 2015. Syok Kardiogenik (Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam). Jakarta: Interna Publishing.
Chen, K., dan Herdiman T.P., 2015. Penatalaksanaan Syok Septik. (Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam). Jakarta: Interna Publishing.
Dellinger R. P., Mitchell M. L., Andrew R., Djillali A., Herwig G., Steven M.
O., Jonathan E., Sevransky, Charles L. S., Ivor S. D., Roman J.,
Tiffany M. O., Mark E. N., Sean R. T., Konrad R., Ruth M. K., Derek C.
A., Clifford S. D., Flavia R. M., Gordon D. R., Steven W., Richard J. B.,
Jean-Louis V., Rui M., 2013. Surviving Sepsis Campaign: International
Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock, 2012.
Intensive Care Med 39:165–228.
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Indonesia-RSCM,
2013. Tatalaksana berbagai Keadaan Gawat Darurat pada Anak.
Jakarta: FK UI.
Diepen S. V., Jason N. K., Nancy M. A., Timothy D. H., Alice K. J., Navin K.
K., Ahmet K., Venu M., E. Magnus O., Nancy K. S., Holger T., Jeffrey
B. W., Mauricio G. C., 2017. Contemporary Management of
Cardiogenic Shock. A Scientific Statement from the American Heart
Association. Circulation: 136:00–00.
Lawton L. D., Sue Roncal, Elizabeth Leonard, Amanda Stack, Michael M
Dinh, Christopher M Byrne, Jeffrey Petchell, 2015. The utility of
Advanced Trauma Life Support (ATLS) clinical shock grading in
assessment of trauma. Emergency Medical Journal: 31:384–389.
Leksana, E., dkk., 2004. Terapi Cairan dan Elektrolit. Semarang: FK Undip.
Leksana E., 2015. Dehidrasi dan Shock. Anestesi dan Terapi Intensif: CDK-
228/ vol. 42 no. 5.
Levy, B., Olivier B., Karim B., Alain C., Tahar C., Alain C., Alexandre M.,
Bruno M., Patrick P., Alexandre O., Christian S., Jean-Louis T.,
Fabrice V., Thierry B., dan Kaldoun K., 2015. Experts’
Recommendations for the Management of Adult Patients with
Cardiogenic Shock. Annals of Intensive Care 5:17.
Puymirat E., Jean Y. F., Philippe A., Jean L. D., Alexandra M., Caroline H. B.,
Florence B., Gilles C., Bertrand C., Nicolas D., dan Nadia A., 2016.
Cardiogenic Shock in Intensive Care Units:Evolution of Prevalence,
Patient Profile, Management and Outcomes, 1997–2012. European
Journal of Heart Failure: 19, 192–200.
Rengganis, I., dkk., 2015. Renjatan Anafilaktik (Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam). Jakarta: Interna Publishing.
Wijaya, I. P., 2015. Syok Hipovolemik (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam).
Jakarta: Interna Publishing.