Anda di halaman 1dari 35

JENIS-JENIS SYOK

Disusun oleh :
dr. Mochamad. Hafidin Ilham, Sp. An
RSU dr.Soedono Madiun

Pemerintah Provinsi Jawa Timur


RSUD. Dr. Soedono, Madiun
Tahun 201
Leksana (2004) mengatakan bahwa syok merupakan sindrom akibat
kegagalan sirkulasi dalam mencukupi kebutuhan oksigen jaringan tubuh.
Syok memiliki 3 stadium yaitu stadium kompensasi, stadium dekompensasi,
dan stadium irreversibel.
1. Stadium kompensasi
Sesuai dengan namanya, pada stadium ini fungsi organ vital
tubuh dipertahankan melalui mekanisme fisiologis tubuh dengan
meningkatkan kerja saraf simpatis sehingga akan terjadi beberapa
respon tubuh diantaranya yaitu:
a. Resistensi sistemik meningkat
Terjadi distribusi selektif aliran darah dari organ sekunder ke organ
primer (jantung, paru, dan otak) dan resistensi arteriol meningkat
sehingga menyebabkan tekanan diastol juga meningkat.
b. Heart rate meningkat sehingga akan menyebabkan cardiac output
meningkat.
c. Sekresi vasopresin, renin-angiostenin-aldosteron (RAA) meningkat
sehingga ginjal akan menahan air dan sodium didalam sirkulasi.

Gejala klinis yang terjadi pada stadium ini adalah gelisah, kulit
pucat dan dingin, pengisisan kapiler > 2 detik, dan takikardi.

2. Stadium dekompensasi
Pada stadium ini akan terjadi beberapa hal dalam tubuh
diantaranya:
a. Perfusi jaringan buruk sehingga menyebabkan O2 sangat turun
yang akan menimbulkan efek pada metabolisme anaerob yaitu
laktat meningkat dan terjadilah asidosis yang akan diperberat
dengan penumpukan CO2 dimana CO2 menjadi asam karbonat.
Asidemia akan menghambat kontraktilitas miokardium dan respon
terhadap katekolamin.
b. Gangguan metabolisme energi natrium atau kalium di seluler
menyebabkan integritas membran sel terganggu dan fungsi
lisosom juga mitokondria memburuk sehingga terjadi kerusakan
pada sel.
c. Aliran darah lambat, rusaknya rantai kinin dan sistem koagulasi,
dan diperburuk dengan adanya agregasi trombosit dan trombus
disertai perdarahan.
d. Pelepasan mediator vaskuler yaitu histamin, serotonin, sitokin (TNF
alpha dan Interleukin 1). Xanthine oxydase akan membentuk
oksigen radikal dan platelets aggregating factor. Pelepasan
mediator oleh makrofag akan menyebabkan arteriol berdilatasi dan
meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga venous return turun
yang memberikan efek preload juga menurun sehingga
menurunkan nilai cardiac output.

Gejala klinis pada stadium ini adalah takikardia, tekanan darah


sangat turun, asidosis, oliguria, perfusi perifer buruk, dan
kesadaran menurun.

3. Stadium irreversibel
Syok yang berlanjut akan menyebabkan kerusakan dan
kematian sel sehingg dapat terjadi kerusakan banyak organ (multi
organ failure). Kemudian cadangan fosfat berenergi tinggi (ATP) akan
habis terutama di jantung dan hepar sehingga tubuh kehabisan energi.
Gejala klinis pada stadium ini yaitu nadi tidak teraba, anuria,
tekanan darah tidak terukur, dan tanda-tanda dari muti organ failure.
Syok terbagi berdasarkan penyebabnya, yaitu:
1. Kardiogenik (pompa jantung terganggu)
2. Hipovolemik (volume intravaskuler berkurang)
3. Distributif (vasomotor terganggu)
4. Obstruktif (hambatan sirkulasi menuju jantung)

1. Syok Kardiogenik
Alwi I. dan Sally K. (2015) berpendapat bahwa syok kardiogenik
merupakan gangguan yang disebabkan oleh penurunan curah jantung
sistemik saat volume intravaskuler cukup. Hipoksia jaringan dapat saja
terjadi. Biasanya, syok ini terjadi karena disfungsi ventrikel kiri tetapi
dapat juga terjadi ketika fungsi ventrikel kiri cukup baik. Sedangkan
menurut Diepen S. V. et.al. (2017), ketidakstabilan hemodinamik akut
dapat disebabkan oleh kerusakan fungsi dari miokardium, katup
jantung, sistem konduksi, atau perikardium yang nantinya dapat
menyebabkan terjadinya syok kardiogenik pada seseorang. Tidak
hanya syok hipovolemik yang memiliki angka mortalitas tinggi, akan
tetapi syok kardiogenik ini juga memiliki angka mortalitas tinggi dengan
angka mortalitas di rumah sakit 20%-60% (Puymirat E. et. al., 2016).
Gejala klinis yang dapat terjadi pada penderita ini yaitu
perubahan status mental, oliguria, kulit dingin, dan hipotensi sistemik
(tekanan darah biasanya < 90 mmHg selama > satu jam) dimana
penderita tidak responsif dengan pemberian cairan saja, sekunder
terhadap disfungsi jantung, dan berkaitan dengan tanda-tanda
hipoperfusi atau indeks kardiak < 2,2 L/menit per m2 dan tekanan baji
kapiler paru > 18 mmHg. Pertimbangkan juga pasien dengan tekanan
darah sistolik meningkat > 90 mmHg dalam 1 jam setelah pemberian
inotropik (Alwi I. dan Sally K., 2015). Selain itu, menurut Leksana E.
(2004) gejala klinis yang dapat timbul pada pasien ini yaitu nyeri dada
tipikal akut dan kemungkinan sudah memiliki riwayat penyakit jantung
koroner sebelumnya. Sedangkan pada pasien syok akibat komplikasi
mekanik dari infark miokard akut biasanya terjadi dalam beberapa hari
hingga seminggu setelah onset infark tersebut yaitu berupa nyeri dada
dan biasanya disertai gejala tiba-tiba dari edema paru akut atau
bahkan henti jantung. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya
penurunan darah sistolik hingga < 90 mmHg atau bahkan < 80 mmHg
pada pasien yang tidak memperoleh pengobatan adekuat, denyut
jantung dan frekuensi pernapasan meningkat.
Kriteria diagnosis syok kardiogenik menurut Levy B. et. al.
(2015) yaitu tekanan darah sistolik < 90 mmHg selama 30 menit atau
tekanan arteri rata-rata (MAP) < 65 mmHg selama 30 menit atau
membutuhkan vasopresor untuk mencapai tekanan darah ≥ 90 mmHg,
kongesti pulmo atau elevasi tekanan ventrikel kiri, tanda kerusakan
organ perfusi dengan salah satu kriteria (status mental berubah, kulit
lembab atau dingin, oliguria, dan laktat serum meningkat).
Pada 70% kasus, syok kardiogenik disebabkan oleh Infark
Miokardium Akut (IMA) akibat terjadinya nekrosis dan biasanya
disertai dengan ST elevasi. IMA tersebut juga dapat terjadi dengan
atau tanpa komplikasi mekanik seperti ruptur septum, dinding
ventrikel, atau korda tendinea (Levy B., et. al., 2015).
Alwi I. dan Sally K. (2015) mengatakan bahwa syok kardiogenik
terjadi pada 2,9% pasien dengan angina pektoris tak stabil dan 2,1%
pasien dengan IMA non ST elevasi. Selain itu, infark ventrikel kanan
tanpa disertai infark atau disfungsi ventrikel kiri, takiaritmia atau
bradiaritmia yang rekuren dimana biasanya akibat disfungsi ventrikel
kiri dan dapat timbul bersamaan dengan aritmia supraventrikular
ataupun ventrikular, manifestasi tahap akhir dari disfungsi miokard
yang progresif (termasuk akibat penyakit jantung iskemi, ataupun
kardiomiopati hipertrofik dan restriktif) juga bisa menjadi salah satu
penyebab terjadinya syok tersebut.
Sedangkan pada bayi baru lahir, syok kardiogenik dapat
disebabkan karena Penyakit Jantung Bawaan (PJB) yang akan
menyebabkan curah jantung berkurang dan hipotensi sistemik (seperti
stenosis aorta dan koarktasio aorta berat) atau karena kelainan otot
jantung akibat hipoksia dan asidosis berat pada asfiksia intrapartum.
Sedangkan pada bayi dan anak dapat disebabkan karena obstruksi
ekstrinsik dan intrinsik pada jalan keluar dan jalan masuk jantung
(seperti pneumoperikardium, tension pneumothorax, dan efusi
perikardium), kelainan otot jantung (seperti miokarditis dan
kardiomiopati primer ataupun sekunder), kelainan metabolik seperti
hipoglikemia berat dan insufisiensi adrenal), kelainan irama jantung
seperti takikardi ventrikel dan takikardi supraventrikel, atau karena
pasca operasi jantung (Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UI-
RSCM, 2013).
Patofisiologi pada syok jenis ini adalah depresi kontraktilitas
miokard sehingga menyebabkan lingkaran setan penurunan curah
jantung, tekanan darah rendah, insufisiensi koroner, dan kemudian
akan terjadi penururnan kontraktilitas dan curah jantung. Diperkirakan
terdapat vasokonstriksi sistemik sebagai kompensasi dengan
peningkatan resistensi vaskular sistemik sebagai respon dari
penurunan curah jantung. Pada pasien infark miokard, diduga terdapat
aktivasi sitokin inflamasi sehingga menyebabkan peningkatan kadar
iNOS, NO, dan peroksinitrit yang memiliki efek buruk multipel
diantaranya efek proinflamasi, memicu vasodilatasi sistemik,
penurunan responsivitas katekolamin, inhibisi langsung kontraktilitas
miokard, efek terhadap metabolisme glukkosa, dan supresi respirasi
mitokondria pada miokard non sistemik. Pasien infark miokard tersebut
sering memiliki gejala klinis seperti peningkatan suhu tubuh, sel darah
putih, komplemen, interleukin, c-reactive protein, dan tanda-tanda
inflamasi lainnya (Alwi I. dan Sally K., 2015).
Usia lanjut, infark miokard anterior, hipertensi, diabetes mellitus,
gagal ginjal, riwayat stroke, gagal jantung, riwayat penyakit arteri
perifer, riwayat penyakit arteri koroner multivesel, riwayat infark
miokard sebelumnya, blok cabang berkas kiri, tekanan sistolik awal,
frekuensi jantung, dan klas Killip merupakan prediktor syok
kardiogenik pada penderita infark miokard. Klirens kreatinin dan
jumlah vasopresor yang digunakan merupakan prediktor mortalitas
yang bermakna.
Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan dalam penegakan
diagnosa ini diantaranya adalah EKG (elektrokardiografi) yang dapat
membantu menentukan penyebab syok kardiogenik, rontgen dada,
saturasi oksigen, pemantauan hemodinamik dan ekokardiografi.
Gangguan kontraktilitas miokardium pada jantung
menyebabkan terjadinya syok kardiogenik ini sehingga tujuan terapi
yang diberikan pada pasien ini adalah untuk memperbaiki fungsi dari
miokardium dan sirkulasi (Leksana E., 2015).
Tindakan yang dapat dilakukan dalam menangani pasien
dengan syok ini yaitu segera resusitasi untuk mencegah kerusakan
organ pasien ketika dilakukan terapi definitif, menentukan secara dini
arteri koroner, dan melakukan revaskularisasi dini (Alwi I. dan Sally K.,
2015).
a. Resusitasi segera
Tindakan ini merupakan salah satu usaha untuk
mempertahankan tekanan arteri rata-rata yang adekuat untuk
mencegah sekuele neurologi dan ginjal. Pemberian dopamin atau
noradrenalin (norepinefrin) yang bergantung pada derajat hipotensi
harus segera diberikan secepatnya untuk meningkatkan tekanan
arteri rata-rata dan dipertahankan pada dosis minimal yang
dibutuhkan. Dobutamin tersebut dapat dikombinasikan dengan
dopamin dalam dosis sedang atau digunakan tanpa kombinasi
pada keadaan low output tanpa hipotensi nyata.
Intra-aortic ballon counterpulsation (IABP) harus dilakukan
sebelum transportasi jika fasilitas tersedia. Analisis gas darah dan
saturasi oksigen harus dimonitor dengan memberikan continuous
positive airway pressure atau ventilasi mekanik jika terdapat
indikasi pada pasien. EKG dimonitor secara terus-menerus dan
peralatan defibrilator, obat antiaritmia amiodaron atau lidokain
harus tersedia.
Terapi fibrinolitik dapat diberikan pada pasien dengan ST
elevasi jika diantisipasi keterlambatan angiografi > 2 jam.
Meningkatkan tekanan darah dengan IABP dapat menyebabkan
peningkatan tekanan perfusi koroner sehingga terjadi trombolisis.
Terapi dengan heparin dapat diberikan pada pasien syok
kardiogenik yang disebabkan oleh infark miokard non ST elevasi
yang menunggu kateterisasi.

b. Menentukan secara Dini Anatomi Koroner


Langkah penting dalam penanganan syok kardiogenik ini
berasal dari kegagalan pompa (pump failure) iskemik yang
predominan. Hipotensi segera diatasi dengan IABP. Syok ini
memiliki ciri penyakit dua pembuluh darah di daerah proksimal
(LAD dan LCX proksimal), penyakit left main, dan penurunan
ventrikel kiri. Disfungsi ventrikel dan instabilitas hemodinamik
memiliki korelasi dengan antomi koroner. Lesi circumflex atau lesi
koroner kanan jarang memiliki manifestasi syok pada keadaan
tanpa infark ventrikel kanan, underfilling ventrikel kiri, bradiaritmia,
infark miokard sebelumnya, ataupun kardiomiopati.

c. Melakukan Revaskularisasi Dini


Setelah menentukan anatomi koroner, harus diikuti
pemilihan terapi secepatnya. Trial SHOCK merekomendasikan
CABG emergensi pada pasien left main atau penyakit tiga
pembuluh besar. Angka mortalitas di rumah sakit dengan CABG
pada penelitian SHOCK dan registry sama dengan outcome
dengan PCI meskipun lebih banyak penyakit arteri koroner
berat dan diabetes yaitu dua kali pada pasien yang menjalani
CABG.

Tanda klinis: hipoperfusi, CHF, edema paru akut. penyakit dasar yang
paling mungkin ?

Low output: syok


Edema paru akut Hipovolemia Aritmia
kardiogenik

Pemberian furosemid IV 0,5-1


mg/kg, morfin IV 2-4 mg, oksigen
Pemberian: cairan, transfusi
bila perlu, nitrogliserin SL kemudian
darah, intervensi spesifik, Periksa tekanan darah Bradikardia Takikardia
10-20 mcg/menit bila TDS > 100
vasopresor
mmHg, dopamin 5-15
mcg/kg/menit IV jika TDS 70-100
mmHg dan tanda/gejala syok +,
dobutamin 2-20 mcg/kg/menit IV
jika TDS 70-100 mmHg dan gejala
syok -

Lihat guidline AHA/ACC


TDS 70-100 mmHg dan TDS 70-100 mmHg dan TDS < 70 mmHg dan
TDS > 100 mmHg tentang infark miokard dg ST
tanda atau gejala syok - tanda atau gejala syok + tanda/gejala syok +
elevasi

Periksa tekanan darah


mcg/menit IV mcg/kg/menit IV IV mcg/menit IV

Tekanan darah sistolik > 100


mmHg dan tidak kurang dari
30 mmHg dibawah TDS
sebelumnya

Berikan ACE inhibitor


golongan kerja pendek
seperti catopril 6,25 mg

Gambar 1. Penatalaksanaan Syok Kardiogenik

Syok kardiogenik

Delayed onset shock,


pemeriksaan
Syok awal, diagnosa
ekokardiografi untuk
saat pasien masuk RS
menyingkirkan defek
mekanikal

Terapi fibrinolitik pada


IABP
keadaan:
1. > 90 menit baru dapat
dilakukan PCI
2. Awitan IM < 3 jam Kateterisasi jantung
dan angiografi
3. Tidak ada kontraindikasi koroner
Moderate 3 vessel
1-2 vessel CAD Severe 3 vessel CAD Left main CAD
CAD

PCI, IRA PCI, IRA CABG segera

Stagged Bila tidak


Stagged CABG
multivessel, PCI memungkinkan
Rujuk ke pusat invasif
yang memadai

Revaskularisasi mekanis segera dengan


PCI atau CABG , direkomendasikan
pada:
1. Usia < 75 tahun
2. Elevasi ST, LBBB atau IM posterior
3. Terjadi syok < 36 jam setelah awitan
IM
4. Revaskularisasi dapat dilakukan
dalam waktu 18 jam setelah syok

Gambar 2. Rekomendasi Terapi Reperfusi Dini pada Syok Kardiogenik


karena Komplikasi Infark Miokard Akut
2. Syok Hipovolemik
Syok ini dapat terjadi karena volume intravaskuler berkurang
akibat perdarahan atau kehilangan cairan seperti diare, muntah-
muntah, luka bakar, dan third space loss). Tujuan terapi untuk
restorasi volume intravaskular dengan mengoptimalkan tekanan
darah, nadi, dan perfusi organ. Jika hipovolemi telah teratasi, barulah
diberikan vasoactive agent seperti dopamin dan dobutamin (Leksana
E., 2004).
a. Kehilangan cairan
Pasien ini akan mengalami dehidrasi akibat kehilangan
banyak cairan dalam tubuhnya (diare, muntah-muntah, luka bakar,
dan third space loss). Dehidrasi merupakan suatu kondisi dimana
seseorang kehilangan cairan dan elektrolit tubuh (Leksana E.,
2015). Dehidrasi terbagi menjadi tiga derajat yaitu ringan, sedang
dan berat.
Pada orang dewasa dengan dehidrasi ringan terjadi
kehilangan cairan tubuh sebanyak 4% dari berat badan (BB)
sedangkan bayi dan anak 5% dari BBnya. Dehidrasi sedang terjadi
kehilangan cairan tubuh sebanyak 6% dari BB pada pasien
dewasa dan 10% dari BB pada bayi dan anak-anak. Sedangkan
8% dari BB pada orang dewasa dan 15% dari BB bayi dan anak
merupakan klasifikasi dari dehidrasi berat. Berikut merupakan
tanda-tanda klinis dari masing-masing derajat dehidrasi:

Ringan Sedang Berat


Defisit cairan 3-5% 6-8% > 10%
Gejala pada Takikardi Takikardi Takikardi
hemodinamik Nadi Nadi Nadi tak
lemah sangat teraba
lemah Akral
Volume dingin
collaps Sianosis
Hipotensi
ortostatik
Efek dari perfusi Lidah Lidah Atonia
jaringan kering keriput Turgor
Turgor Turgor buruk
menurun kurang
Urin Pekat Berkuran Oliguria
g
jumlahnya
Sistem Saraf Pusat Mengantuk Apatis Koma
(SSP)

Tabel 1. Derajat Dehidrasi

b. Perdarahan
Trauma (terutama kecelakaan lalu lintas) menjadi
kontributor utama dalam terjadinya syok hemoragik ini (Lawton L.
D. Et. al., 2015). Sedangkan, Leksama E. (2015) mengungkapkan
bahwa perdarahan akan membuat tekanan pengisian pembuluh
darah rata-rata menjadi turun dan menurunkan aliran darah balik
ke jantung sehingga menimbulkan penurunan curah jantung.
Curah jantung dibawah nilai normal akan menyebabkan beberapa
kejadian pada beberapa organ diantaranya adalah:
- Mikrosirkulasi
Saat curah jantung menurun, tahanan vaskular sistemik
berusaha meningkatkan tekanan sistemik agar tersedia perfusi
cukup bagi jantung dan otak melebihi jaringan laian seperti
kulit, otot, dan khususnya pada traktus gastrointestinal.
Kebutuhan energi pada pelaksanaan metabolisme jantung dan
otak sangat tinggi tetapi kedua organ tersebut tidak dapat
menyimpan cadangan energi sehingga kedua organ tersebut
sangat bergantung pada ketersediaan oksigen dan nutrisi.
Sedangkan ketika tekanan arterial rata-rata turun hingga < 60
mmHg, maka aliran darah ke organ akan menurun secara
drastis sehingga fungsi sel setiap organ akan menjadi
terganggu.
- Neuroendokrin
Hipovolemik, hipotensi, dan hipoksia dapat dideteksi
oleh baroreseptor dan kemoreseptor tubuh sehingga respon
autonom tubuh yang mengatur perfusi serta substrak lain
tertangani.
- Kardiovaskular
Pengisian atrium, tahanan terhadap ejeksi ventrikel, dan
kontraktilitas miokard bekerja keras dalam mengontrol volume
sekuncup. Hipovolemi menyebabkan penurunan pengisian
ventrikel yang akan menyebabkan turunnya volume sekuncup.
- Gastrointestinal
Aliran darah ke intestinal menurun sehingga terjadi
peningkatan absorbsi endotoksin yang dilepaskan oleh bakteri
gram negatif yang mati di dalam usus sehingga memicu
pelebaran pembuluh darah dan peningkatan metabolisme dan
bukan memperbaiki nutrisi sel dan menyebabkan depresi
jantung.
- Ginjal
Gagal ginjal akut merupakan salah satu komplikasi dari
syok dan hipoperfusi yang frekuensi terjadinya sangat jarang
karena pemberian cairan pengganti dapat dilakukan dengan
cepat. Saat ini yang banyak terjadi adalah nekrosis tubular akut
akibat interaksi antara syok, sepsis, dan pemberian obat
nefrotoksik seperti aminoglikosida dan media kontras
angiografi.

Perdarahan yang menyebabkan syok hipovolemik terbagi


menjadi 4 derajat yaitu:
Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
Sistol > 110 > 100 > 90 < 90
(mmHg)
Nadi < 100 > 100 > 120 > 140
(x/min)
Napas 16 16-20 21-26 > 26
(x/min)
Mental Gelisah Agitasi Bingung Letargi
Kehilangan < 750 750-1500 1500- > 2000 ml
darah ml ml 2000 ml > 40%
< 15% 15-30% 30-40%

Tabel 2. Derajat Syok Hipovolemik

Gejala klinis syok hipovolemik terbagi menjadi tiga yaitu ringan,


sedang, dan berat dengan masing-masing ciri yaitu (Wijaya I. P.,
2015):

Ringan (< 20% Sedang (20-40% Berat (> 40%


volume darah) volume darah) volume darah)
Ekstremitas dingin Sama dengan ringan Sama dan
dan ditambah: ditambah:
Waktu pengisisan Takikardia Hemodinamik tidak
kapiler meningkat stabil
Diaporesis Takipnea Takikardia bergejala
Vena kolaps Oliguria Hipotensi
Cemas Hipotensi ortostatik Perubahan
kesadaran

Tabel 3. Derajat Gejala Klinis Syok Hipovolemik


Diagnosis pada syok ini ditegakkan ketika terdapat
ketidakstabilan hemodinamik dan ditemukan adanya sumber
perdarahan. Terkadang, perdarahan yang terjadi tidak terlalu jelas
atau berada di dalam traktus gastrointestinal atau hanya berupa
penurunan jumlah plasma darah. Setelah perdarahan biasanya
hemoglobin dan hematokrit tidak langsung turun sampai terjadi
gangguan kompensasi atau terjadi penggantian cairan dari luar
sehingga kadar hematokrit awal tidak bisa menjadi tolak ukur adanya
perdarahan. Kecurigaan adanya hipovolemi dapat dilihat dari
hemokonsentrasi (tanda seseorang kehilangan plasma darahnya) dan
hipernatremia (tanda seseorang kehilangan cairan bebas). Syok
hipovolemik memiliki beberapa persamaan dengan syok kardiogenik
diantaranya terdapat penurunan curah jantung dan terdapat
mekanisme kompensasi simpatis. Tetapi syok kardiogenik memiliki ciri
khas yang tidak dimiliki oleh syok hipovolemik yaitu berupa distensi
vena jugularis, ronki, dan gallop s 3. Tindakan yang harus
dilakukan pada pasien dengan syok hipovolemik yaitu menempatkan
pasien dengan posisi kaki lebih tinggi, menjaga jalur pernapasan, dan
beri resusitasi cairan dengan cepat melalui intravena cara lain yang
memungkinkan (seperti pemasangan kateter CVP [central venous
pressure] atau jalur intraarterial. Pemberian cairan 2-4 L dalam 20-30
menit diharapkan dapat mengembalikan keadaan hemodinamik
pasien.
Transfusi darah dilakukan pada orang dewasa ketika EBV >
15% sedangkan pada bayi dan anak-anak ketika EBV > 10%.
Terdapat dua macam cairan dalam transfusi darah yaitu whole blood
dan packed red cell. Saat menggunakan whole blood, perhitungan
yang dipakai yaitu ( Hb x - Hb pasien) x BB x 6 = ml. Sedangkan jika
memakai packaged red cell, menggunakan perhitungan ( Hb x - Hb pasien)
x BB x 3 = ml. Jika cairan yang digunakan adalah cairan kristaloid,
maka kristaloid yang diberikan pada pasien dikalikan 3 dengan volume
darah yang hilang. Ketika cairan yang digunakan adalah koloid maka
diberikan jumlah yang sama dengan jumlah darah yang hilang
(Leksana E., 2004).
Wijaya I. P. (2015) berpendapat bahwa pada pasien dengan
hipovolemik berat atau berkepanjangan, dapat diberikan inotropik
dengan dopamin, vasopresin, atau dobutamin untuk mendapatkan
kekuatan ventrikel yang cukup setelah volume darah tercukupi terlebih
dahulu. Pemberian norepinefrin infus tidak memberikan banyak
manfaat pada pasien dengan kondisi seperti ini. Nalokson bolus 30
mcg/kg dalam 3-5 menit dilanjutkan 60 mcg/kg dalam 1 jam dalam
dekstrosa 5% dapat membantu meningkatkan MAP.
Saluran pernapasan juga harus tetap dijaga dengan
mengoptimalkan kebutuhan oksigen pasien (dapat dilakukan intubasi
jika dibutuhkan). Kerusakan organ dapat terjadi pada susunan saraf
pusat, hati, dan ginjal. Tetapi kerusakan organ pada syok hipovolemik
lebih jarang dibandingkan dengan syok septik atau traumatik.

3. Syok Distributif
Syok distributif ini disebabkan oleh adanya gangguan
vasomotor. Syok anafilaktik, syok neurogenik, syok sepsis, dan acute
adrenal insufficiency merupakan golongan dari syok distributif
(Leksana E., 2004).
a. Syok anafilaktik
Syok anafilaktik jarang terjadi tetapi terdapat lebih dari 500
kematian setiap tahun karena antibiotik golongan betaa laktam
khususnya penisilin. Penyebab tersering kedua yaitu pemakaian
media kontras dalam pemeriksaan radiologi. Akan tetapi, angka
kematian itu berkurang setelah terdapat media kontras yang
hipoosmolar. Selain obat, syok anafilaktik juga dapat disebabkan
oleh makanan, kegiatan jasmani, sengatan lebah, faktor fisis
(seperti udara yang panas dan air yang dingin), dan beberapa yang
tidak diketahui penyebabnya.

Sistem Gejala dan Tanda


Umum Lemah, lesu, rasa tidak enak di dada dan perut,
Prodromal gatal di hidung dan palatum
Pernapasan
Hidung Hidung gatal, bersin, dan tersumbat
Laring Suara sesak, seperti tercekik, sesak napas,
stridor, spasme, dan edema
Lidah Edema
Bronkus Sesak, mengi, spasme, dan batuk
Kardiovaskule Pingsan, palpitasi, takikardi, hipotensi dan
r aritmia
Kelainan EKG: Gelombang T datar, terbalik,
atau tanda-tanda infark miokard
Gastro Mual, muntah, disfagia, kolik, diare yang
intestinal kadang disertai dengan darah, dan peristaltik
usus meningkat
Kulit Urtikaria dan angiodema di bibir, muka, atau
ekstremitas
Mata Gatal dan lakrimasi
Susunan Saraf Gelisah dan kejang
Pusat (SSP)
Tabel 4. Gejala dan Tanda Syok Anafilaktik
Anafilaksis Antibiotik (sefalosporin dan penisilin)
Ekstrak alergen (tawon atau polen)
(melalui IgE)
Obat (Glukokortikoid, Thiopental, dan suksinil
kolin)
Enzim (tripsin dan kemopapain)
Protein manusia (insulin, vasopresin, dan serum)
Serum heterolog (antitoksin tetanus, globulin
antilimfosit)
Anafilaktoid Zat pelepas histamin secara langsung:
(tidak melalui - Obat (Opiat, kurare, dan vankomisin)
IgE) - Cairan hipertonik (Manitol dan media
radiokontras)
- Obat lain (Dekstran dan fluoresens)
Aktivasi komplemen
- Protein manusia (imunoglobulin dan
produk darah lainnya)
- Bahan dialis
Modulasi metabolisme asam arakhidonat
- Asam asetilsalisilat
- Antiinflamasi nonsteroid

Tabel 5. Golongan Obat pada Syok Anafilaktik

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis sistematis


yang muncul beberapa detik atau menit setelah pasien terpajan
alergen atau pencetusnya. Terkadang, syok anafilaktik muncul tanpa
tanda-tanda awal (Rengganis I., dkk, 2015).
Setelah gejala-gejala klinis syok anafilaktik timbul, harus segera
diberikan epinefrin 1:1000 sebanyak 0,01 ml/kgBB hingga 0,3 ml
subkutan setiap 15-20 menit 3-4 kali tanpa memandang berat
ringannya syok anafilaktik yang diderita oleh pasien tersebut. Jika
gejala bertambah buruk atau kondisi sudah buruk sejak awal, maka
suntikan yang diberikan melalui intramuskular atau dosis epinefrin
dinaikkan hingga mencapai 0, 5 ml selama pasien tidak memiliki
kelainan jantung (Rengganis I., dkk, 2015).
Bila pencetusnya alergen seperti pada suntikan imunoterapi,
penisilin, atau sengatan serangga segera beri suntikan infiltrasi
epinefrin 1:1000 0,1-0,3 ml pada bekas suntikan untuk mengurangi
absorbsi alergen tersebut. Jika memungkinkan, pasang torniket pada
proksimal dari tempat suntikkan dan kendurkan torniket setiap 10
menit dan dapat dilepas total setelah keadaan sudah terkendali. Dua
hal penting yang harus diperhatikan ketika memberikan terapi pada
pasien ini yaitu harus selalu mengusahakan sistem pernapasan pasien
lancar sehingga oksigenasi dapat berjalan dengan baik dan sistem
kardiovaskular harus berfungsi dengan baik sehingga perfusi jaringan
memadai. Akan tetapi, organ lain selain sistem pernapasan dan
kardiovaskular juga harus diperhatikan (Rengganis I., dkk, 2015).

Sistem Pernapasan
- Memelihara saluran napas yang memadai.
Tersumbatnya saluran napas baik karena edema laring atau
spasme bronkus merupakan penyebab tersering kematian pasien.
Epinefrin sering dapat mengatasi keadaan tersebut. Akan tetapi,
pada kasus edema kadang laring diperlukan tindakan trakeostomi.
Sedangkan trakeostomi hanya dapat dilakukan oleh dokter ahli
atau dokter yang berpengalaman sehingga yang dapat dilakukan
adalah melakukan pungsi membran krikoid dengan jarum besar
dan segera dirujuk ke rumah sakit yang lebih memadai.
- Pemberian oksigen 4-6 L/menit
- Bronkodilator bila terjadi obstruksi saluran napas bawah seperti
pada penderita asma atau status asmatikus. Pada kasus tersebut
dapat diberikan salbutamol atau agonis beta-2 lainnya sebanyak
0,25 cc-0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0,9% melalui nebulisasi atau
aminofilin 5-6 mg/kgBB yang diencerkan dalam 20 cc dekstrosa
5% atau NaCl 0,9% secara perlahan-lahan sekitar 15 menit.

Sistem Kardiovaskular
- Gejala hipotensi atau syok yang tidak berhasil dengan pemberian
epinefrin menandakan bahwa terjadi kekurangan cairan
intravaskular sehingga membutuhkan cairan intravena secara
cepat baik dengan kristaloid (NaCl 0,9%) atau koloid (plasma,
dextran). Dianjurkan memberikan koloid sebanyak 0,5-1 L dan sisa
kebutuhannya diberikan kristaloid karena cairan koloid tersebut
tidak hanya dapat mengganti cairan intravaskular yang merembes
keluar pembuluh darah atau yang terkumpul di jaringan sp
stravaskular tetapi koloid juga dapat menarik cairan ekstravaskular
untuk kembali ke intravaskular.
- Oksigen harus diberikan sembari memantau sistem kardiovaskular
pasien. Selain itu, berikan natrium bikarbonat bila pasien
mengalami asidosis metabolik.
- Kadang diperlukan CVP (Central Venous Pressure) untuk
memantau kebutuhan cairan dan menghindari kelebihan
pemberian cairan, juga dapat digunakan dalam pemberian obat
yang bila bocor dapat merangsang jaringan sekitarnya.
- Jika tekanan darah belum teratasi dengan pemberian cairan,
berikan vasopresor melalui infus intravena dengan melarutkan 1
ml epinefrin 1:1000 dalam 250 ml dekstrosa (konsentrasi 4 mg/ml)
diberikan dengan infus 1-4 mg/menit atau 15-60 mikrodrip/menit
(dengan infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat dinaikkan
hingga maksimum yaitu 10 mg/ml. Bila sarana pembuluh darah
tidak tersedia dan keadaan nafilaksis berat, American Heart
Association (AHA) menganjurkan pemberian epinefrin endotrakeal
dengan dosis 10 ml epinefrin 1:10.000 dengan jarum panjang atau
kateter melalui pipa endotrakeal. Sedangkan dosis pada anak
yaitu 5 ml epinefrin 1:10.000. Kemudian diikuti pernapasan
hiperventilasi untuk menjamin absorbsi obat yang cepat.

Perlu diperhatikan juga:


- Pada pasien yang mendapat obat atau dalam masa pengobatan
penyakit yang menggunakan reseptor beta (beta blocker) gejala
sering sulit untuk diatasi dengan epinefrin atau bahkan menjadi
lebih buruk karena stimulan reseptor adrenergik alfa tidak
terhambat. Inhalasi agonis beta-2 atau sulfas atropin akan
memberikan manfaat pada pasien disamping pemberian obat
aminofilin dan kortikosteroid secara intravena.
- Antihistamin (AH) khususnya kombinasi AH2 dengan AH2 bekerja
secara sinergis terhadap reseptor pad apembuluh darah. AH dapat
diberikan secara oral atau parenteral tergantung beratnya
penyakit. Pada keadaan anafilaksis berat, antihistamin dapat
diberikan secara intravena. AH2 seperti simetidin (300 mg) atau
ranitidin (150 mg) harus diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan
diberikan dalam waktu 5 menit. Tetapi jika pasien sedang
menggunakan terapi obat teofilin, simetidin harus dihindari dan
sebaiknya menggunakan ranitidin.
- Kortikosteroid harus rutin diberikan pada pasien gangguan napas
atau gangguan kardiovaskular untuk mencegah reaksi anafilaksis
yang berat dan berlangsung lama. Jika pasien sadar dapat
digunakan tablet prednison. Bisa juga mengunakan hidrokortison
atau ekuivalennya dengan dosis 5 mg/kgBB setiap 4-6 jam.

Pencegahan yang dapat dilakukan pasien agar tidak terjadi reaksi


anafilaksis (Rengganis I., dkk, 2015), yaitu:
- Pada pasien yang pernah mengalami reaksi anafilaksis, memiliki
resiko untuk memperoleh reaksi yang sama jika terpajan oleh
pencetus yang sama. Pasien tersebut harus dikenali dan diberikan
tanda peringatan. Kadang diberikan bekal suntikan adrenalin yang
harus dibawa kemanapun pergi terutama jika pencetus tersebut
sering timbul tidak terduga seperti pada sengatan lebah atau
anafilaksis idiopatik.
- Pasien asma atau penyakit jantung saat mendapat serangan
anafilaksis dapat jauh lebih berat daripada pasien tanpa penyakit
tersebut sehingga kedua pasien tersebut harus mendapatkan
pengobatan yang optimal. Pasien yang memiliki resiko anafilaksis
dianjurkan untuk tidka menggunakan obat-obatan penyekat beta
dan dapat diganti dengan substitusi pengganti obat penyekat beta
tersebut.
- Pada beberapa keadaan terdapat adanya tindakan pencegahan
untuk menghindari reaksi anafilaksis seperti prednisolon dan
antihistamin sebelum memberikan media kontras pada
pemeriksaan radiologi pada pasien yang memiliki resiko atau
tindakan desensitasi jangka pendek dengan penisislin dan
desensitasi jangka panjang pada pasien dengan alergi sengatan
lebah.

Rengganis I., dkk (2015) juga berpendapat bahwa terdapat


beberapa petunjuk dalam dalam pemakaian obat-obatan yang dapat
mencegah terjadinya anafilaksis, yaitu:
1. Sebelum memberikan obat
o Indikasi pemberian obat
o Riwayat alergi sebelumnya
o Apakah memiliki resiko alergi obat
o Apakah obat perlu diuji pada kulit terlebih dahulu
o Adakah terapi pencegahan dalam mengurangi resiko alergi
2. Sewaktu minum obat
o Jika memungkinkan diberikan secara oral
o Hindari pemakaian intermiten
o Harus selalu diobservasi setelah pemberian injeksi
o Beritahu pasien kemungkinan yang terjadi
o Menyediakan alat/obat untuk mengatasi keadaan darurat
o Bila memungkinkan lakukan uji provokasi atau desensitasi
3. Sesudah minum obat
o Mengenali tanda dini reaksi alergi obat
o Hentikan obat bila terjadi reaksi
o Imunisasi sangat dianjurkan
o Jika terjadi reaksi berikan penjelasan dasar kepada pasien agar
kejadian tersebut tidak terulang kembali

b. Syok neurogenik
Syok neurogenik ini sering terjadi pada penderita cervical atau
high thoracic spinal cord injury. Gejala klinis yang dapat terjadi pada
penderita syok neurogenik ini yaitu hipotensi yang diikuti dengan
bradikardi dan gangguan neurologis (seperti paralisis flasid,
priapismus, dan refleks ekstremitas hilang. Tindakan yang dapat
dilakukan pada penderita yaitiu resusitasi cairan dan pemberian
vasopresor.

c. Syok sepsis
Sepsis merupakan masalah sistemik dari respon host yang
buruk terhadap infeksi yang menyebabkan sepsis berat (kerusakan
organ akut sekunder akibat infeksi yang dicurigai) dan syok sepsis
(sepsis berat dan hipotensi tidak membaik dengan resusitasi cairan).
Sepsis berat dan syok sepsis merupakan masalah kesehatan utama,
menyerang beberapa juta orang di dunia setiap tahun, membunuh
satu dari empat orang (bahkan lebih banyak), dan kejadiannya
meningkat. Seperti multitrauma, infark miokardium akut, atau stroke.
Kecepatan dan kesesuaian terapi yang dilakukan pada awal waktu
setelah sepsis berat akan mempengaruhi hasil (Dellinger R. P., 2013).
Dalam Chen, K., dan Herdiman T.P. (2015), sepsis merupakan
respon sistemik pejamu terhadap infeksi dimana patogen atau toksin
dilepaskan dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi proses
inflamasi. American College of Chest Physician dan Society of Critical
Care Medicine pada tahun 1992 mendefinisikan sepsis, sindrom
respon inflamasi sistemik (Systemic Inflammatory Response
Syndrome/SIRS), sepsis berat, dan syok/renjatan septik yaitu:

SIRS Respon tubuh terhadap inflamasi sistemik,


mencakup dua atau lebih keadaan berikut:
- Suhu > 38ᵒC atau < 36ᵒC
- Frekuensi jantung > 90 kali/menit
- Frekuensi napas > 20 kali/menit atau
PaCO2 < 32 mmHg
- Leukosit darah > 12.000/mm3 atau <
4.000/mm3 atau batang > 10%
Sepsis Keadaan klinis berkaitan dengan infeksi dan
manifestasi SIRS
Sepsis berat Keadaan sepsis yang disertai dengan
disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi
termasuk asidosis laktat, oliguria, dan
penurunan kesadaran
Sepsis dengan Sepsis dengan tekanan darah sistolik < 90
hipotensi mmHg atau penurunan tekanan darah
sistolik > 40 mmHg dan tidak ditemukan
penyebab hipotensi lain
Renjatan sepsis Sepsis dengan hipotensi meski telah
diberikan resusitasi cairan secara adekuat
atau membutuhkan vasopresor dalam
mempertahankan tekanan darah dan perfusi
organ

Tabel 6. Definisi Syok Septik


Sedangkan yang dimaksud dengan syok septik yaitu keadaan
dimana seseorang mengalami penurunan tekanan darah (tekanan
darah sistolik < 90 mmHg atau penurunan darah sistolik > 40 mmHg)
disertai tanda kegagalan sirkulasi meski telah dilakukan resusitasi
cairan secara adekuat atau memerlukan vasopresor dalam
mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ.
Terjadinya syok sepsis dimulai dengan endotoksin
(lipopolisakarida) yang dilepaskan oleh mikroba yang menyebabkan
proses inflamasi dengan melibatkan berbagai mediator inflamasi
seperti sitokin, neutrofil, komplemen, NO, dan berbagai mediator lain.
Proses inflamasi yang terjadi pada sepsis merupakan proses
homeostatis dimana proses inflamasi dan antiinflamasi terjadi secara
seimbang. Homeostatis pada proses inflamasi ini terkait faktor
suseptibilitas individu terhadap inflamasi tersebut. Bila terjadi proses
inflamasi yang melebihi kemampuan homeostatis, maka akan terjadi
proses inflamasi yang maladaptif sehingga terjadi berbagai proses
inflamasi yang bersifat destruktif. Keadaan tersebut menimbulkan
gangguan tingkat seluler pada berbagai organ. Gangguan pada tingkat
sel juga menyebabkan disfungsi endotel dan vasodilatasi akibat NO
sehingga menyebabkan terjadinya maldistribusi volume darah yang
kemudian terjadi hipoperfusi jarinagn dan syok. Disfungsi miokard
karena pengaruh berbagai mediator yang menyebabkan penurunan
curah jantung merupakan faktor lain yang juga berperan dalam
terjadinya syok pada pasien sepsis dan hipotensi. Proses inflamasi
yang maladaptif dapat berlanjut dan menyebabkan gangguan fungsi
berbagai organ yang dikenal dengan disfungsi atau gagal organ
multipel (MODS/MOF). MOF merupakan kerusakan tingkat seluler
(termasuk disfungsi endotel), gangguan perfusi organ atau jaringan
akibat hipoperfusi, iskemia reperfusi, dan mikrotrombus. Faktor
humeral dalam sirkulasi (myocardial depressant substance), malnutrisi
kalori-protein, translokasi toksin bakteri, gangguan pada eritrosit, dan
efek samping terapi yang diberikan merupakan beberapa faktor yang
dapat berperan dalam terjadinya syok septik (Chen, K., dan Herdiman
T.P., 2015).
Penatalaksanaan syok sepsis mencakup eliminasi patogen
penyebab infeksi, eliminasi sumber infeksi (bila perlu dapat dengan
drainase atau bedah), terapi antimikroba yang sesuai, resusitasi jika
terjadi kegagalan organ atau renjatan, vasopresor dan inotropik, terapi
suportif terhadap kegagalan organ, gangguan koagulasi dan terapi
imunologi jika terjadi respon imun maladaptif pejamu terhadap infeksi.
Resusitasi dilakukan secara intensif dalam 6 jam pertama sejak pasien
datang di unit gawat darurat yang mencakup tindakan airway,
breathing, circulation, oksigenasi, terapi cairan (koloid dan atau
kristaloid), dan vasopresor atau inotropik dan transfusi jika diperlukan.
Sebaiknya dilakukan pemantauan dengan kateter vena sentral (CVP)
8-12 mmHg, tekanan arteri rata-rata (MAP) > 65 mmHg, dan produksi
urin > 0,5 ml/kg/jam (Chen, K., dan Herdiman T.P., 2015).
Chen, K., dan Herdiman T.P., (2015) juga berpendapat bahwa
pada sepsis dapat terjadi hipoksemia dan hipoksia akibat kegagalan
sistem respirasi karena gangguan ventilasi maupun perfusi. Transpor
oksigen ke jaringan juga dapat terganggu akibat karena keadaan
hipovolemik dan disfungsi miokard yang menyebabkan penurunan
pada curah jantung. Hemoglobin yang rendah akibat perdarahan
menyebabkan daya angkut oksigen oleh eritrosit menurun. Transpor
oksigen ke jaringan juga dipengaruhi oleh gangguan perfusi karena
disfungsi vaskular, mikrotrombus, dan gangguan penggunaan oksigen
oleh jaringan yang iskemia. Pada pasien dengan hipoksemia dan
hipoksia, seluruh faktor yang mempengaruhi (seperti ventilasi, perfusi,
delivery, dan penggunaan oksigen) perlu mendapat perhatian dan
dikoreksi. Pasien dengan hipoksemia berat dan gagal napas bila
disertai penurunan kesadaran atau kerja ventilasi yang berat maka
perlu dilakukan dengan segera ventilasi mekanik. Oksigenasi
dilakukan untuk mengatasi hipoksia dengan meningkatkan saturasi
oksigen di darah, meningkatkan transpor oksigen, dan memperbaiki
utilisasi oksigen di jaringan.
Vasopresor sebaiknya diberikan setelah syok teratasi dengan
pemberian cairan adekuat tetapi masih dalam keadaan hipotensi
sebagai akibat dari disfungsi miokardial sehingga terjadi penurunan
curah jantung. Vasopresor diberikan mulai dari dosis terendah secara
titrasi sehingga didapatkan tekanan arteri rata-rata (MAP) 60 mmHg
atau tekanan darah sistolik 90 mmHg. Vasopresor yang dapat
digunakan diantaranya yaitu dopamin > 8 mcg/kg/menit, norepinefrin
0,03-1,5 mcg/kg/menit, fenileferin 0,5-8 mcg/kg/menit, atau epinefrin
0,1-0,5 mcg/kg/menit. Sedangkan inotropik yang dapat digunakan
yaitu dobutamin 2-28 mcg/kg/menit, dopamin 3-8 mcg/kg/menit,
epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit, atau dengan inhibitor fosfodiesterase
(amrinon dan milrinon).
Penggunaan bikarbonat untuk memberikan koreksi asidemia
pada sepsis saat ini diragukan manfaatnya karena bikarbonat yang
berperan sebagai buffer memberikan manfaat pada tingkat seluler
sedangkan sepsis dan renjatan terjadi hipoperfusi ke jaringan dengan
konsekuensi terjadinya gangguan transpor karbondioksida dari
jaringan sehingga pH sel akan semakin rendah. Secara empirik,
bikarbonat dapat diberikan jika pH < 7,2 atau serum bikarbonat < 9
mEq/L dengan disertai upaya memperbaiki keadaan hemodinamik.
Gangguan fungsi ginjal pada sepsis dan renjaatn terjadi secara
akut karena gangguan perfusi ke organ tersebut. Bila pasien dalam
keadaan hipovolemik atau hipotensi maka keadaan tersebut harus
segera diperbaiki dengan pemberian cairan secara adekuat dan terapi
vasopresor dan inotropik jika diperlukan. Pada pasien dengan oliguria,
pemberian cairan harus dipanatau secara ketat karena pemberian
cairan secara agresif dapat menyebabkan edema paru. Pada gagal
ginjal akut dapat dilakukan hemodialisis maupun hemofiltrasi secara
kontinu (continous hemofiltration). Hemodialisis dilakukan dengan
tekanan osmotik dalam filtrasi sunstansi plasma sedangkan pada
hemofiltrasi dilakukan dengan gradien tekanan hidrostatik. Hemofiltrasi
dilakukan secara kontinu selama pearawatan sedangkan jika kondisis
telah stabil dapat dilakukan hemodialisis. Hemofiltrasi yang digunakan
dapat dengan teknik circulation of dialysate on ultrafiltrate chamber
(CAVHDF) ataupun dengan continuous arteriovenous hemofiltration
(CAVH). Hemofiltrasi tersebut berfungsi dalam memperbaiki
kontraktilitas miokard, memperbaiki transpor oksigen, dan memodulasi
respon imunologis melalui bersihan mediator inflamasi.
Nutrisi juga merupakan salah satu terapi suportif yang harus
diperhatikan pada pasien ini karena sepsis yang terjadi akan
menyebabkan gangguan metabolisme pada berbagai zat nutrisi. Di
lain pihak juga dapat terjadi hiperkatabolisme karena kebutuhan
meningkat, sedangkan gangguan perfusi dan hipoksia dapat
menyebabkan proses utilisasi dan pengangkutan sisa metabolisme
terganggu. Oleh karena itu, nutrisi berupa kalori, protein (asam amino),
asam lemak, cairan, vitamin, dan mineral perlu diberikan sedini
mungkin dengan pemberian utama secara enteral dan jika tidak
memungkinkan dapat secara parenteral.
Saat ini, kortikosteroid hanya diberikan dengan indikasi
insufisiensi adrenal dan dapat diberikan secara empirik. Hidrokortison
50 mg bolus intravena 4 kali selama 7 hari pada pasien renjatan septik
menunjukkan penurunan mortalitas dibandingkan dengan kontrol.
Terdapat penelitian yang dilakukan oleh Rivers dalam terapi
pada pasien syok sepsis dengan cara membandingkan terapi standar
yang telah ada dengan early goal directed treatment dan memberi
hasil lebih baik daripada terapi standar. Pada terapi early goal directed
treatment tersebut mencakup penyesuaian beban jantung preload,
afretload, dan kontraktilitas dengan oxygen delivery dan demand.
Terapi tersebut mencakup pemberian kristaloid dan koloid bolus 500
ml tiap 30 menit untuk mencapai tekanan vena sentral (CVP) 8-12
mmHg. Jika tekanan arteri rata-rata (MAP) < 65 mmHg, berikan
vasopresor hingga > 65 mmHg dan jika MAP > 90 mmHg maka
berikan vasodilator. Lakukan evaluasi saturasi oksigen vena sentral
(ScvO2), bila ScvO2 < 70% maka lakukan koreksi hematokrit hingga
diatas 30%. Setelah CVP, MAP, dan hematokrit optimal namun ScvO2
< 70% maka mulai berikan inotropik. Inotropik diturunkan saat MAP <
65 mmHg atau frekuensi jantung > 120 kali/menit.

Suplementasi oksigen ± intubasi


endotrakeal dan ventilasi mekanik

Kateterisasi arteri dan vena


sentral

Sedasi, paralisis (bila diintubasi)


atau kekurangan kristaloid

< 8 mmHg
Kristaloid

CVP
< 65 mmHg
Obat vasoaktif
MAP
< 90 mmHg

< 70%
Transfusi eritrosit sampai
ScvO2 hematokrit > 30%

Obat inotropik

Target tercapai
TIDAK
YA

Perawatan rumah sakit

< 70%

> 70%

> 70%

d. Acute adrenal insufficiency

Gambar 3. Early Goal Directed Theraphy

Penyebab Acute adrenal insufficiency ini dapat karena


kerusakan pada kelenjar adrenal (seperti infeksi HIV, penyakit
autoimun, perdarahan adrenal, meningokokemia, dan penyakit
granulomatosa) atau karena kerusakan pada aksis pituitari atau
hipothalamik (seperti efek putus obat pada pengguna glukokortikoid).
Leksana E. (2015) berpendapat bahwa gejala klinis yang dapat
ditimbulkan pada pasien ini yaitu hiperkalemia, asidosis, hipoglikemia,
azotemia prarenal, lemah, mual bahkan muntah, nyeri abdomen,
hipotensi ortostatik, demam, dan lain-lain. Saat didapatkan gejala-
gejala tersebut pada pasien dan telah ditegakkan diagnosisnya,
berikan hidrokortison 100 mg setiap 8 jam atau infus secara berkala
300 mg setiap 24 jam. Kemudian ambil sampel darahnya untuk
melihat kadar elektrolit dan kortisol pasien.
Tindakan yang dapat dilakukan oleh seorang dokter pada
pasien ini yaitu memberikan infus dextrose 5%-normal saline yang
berfungsi dalam mempertahankan tekanan darah, dexamethasone 4
mg secara intravena yang dilanjutkan 4 mg setiap 6 jam, dan
mengatasi faktor pencetus yang menyebabkan keadaan pasien
tersebut (Leksana E., 2015).

DAFTAR PUSTAKA
Alwi, I. dan Sally A., 2015. Syok Kardiogenik (Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam). Jakarta: Interna Publishing.
Chen, K., dan Herdiman T.P., 2015. Penatalaksanaan Syok Septik. (Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam). Jakarta: Interna Publishing.
Dellinger R. P., Mitchell M. L., Andrew R., Djillali A., Herwig G., Steven M.
O., Jonathan E., Sevransky, Charles L. S., Ivor S. D., Roman J.,
Tiffany M. O., Mark E. N., Sean R. T., Konrad R., Ruth M. K., Derek C.
A., Clifford S. D., Flavia R. M., Gordon D. R., Steven W., Richard J. B.,
Jean-Louis V., Rui M., 2013. Surviving Sepsis Campaign: International
Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock, 2012.
Intensive Care Med 39:165–228.
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Indonesia-RSCM,
2013. Tatalaksana berbagai Keadaan Gawat Darurat pada Anak.
Jakarta: FK UI.
Diepen S. V., Jason N. K., Nancy M. A., Timothy D. H., Alice K. J., Navin K.
K., Ahmet K., Venu M., E. Magnus O., Nancy K. S., Holger T., Jeffrey
B. W., Mauricio G. C., 2017. Contemporary Management of
Cardiogenic Shock. A Scientific Statement from the American Heart
Association. Circulation: 136:00–00.
Lawton L. D., Sue Roncal, Elizabeth Leonard, Amanda Stack, Michael M
Dinh, Christopher M Byrne, Jeffrey Petchell, 2015. The utility of
Advanced Trauma Life Support (ATLS) clinical shock grading in
assessment of trauma. Emergency Medical Journal: 31:384–389.
Leksana, E., dkk., 2004. Terapi Cairan dan Elektrolit. Semarang: FK Undip.
Leksana E., 2015. Dehidrasi dan Shock. Anestesi dan Terapi Intensif: CDK-
228/ vol. 42 no. 5.
Levy, B., Olivier B., Karim B., Alain C., Tahar C., Alain C., Alexandre M.,
Bruno M., Patrick P., Alexandre O., Christian S., Jean-Louis T.,
Fabrice V., Thierry B., dan Kaldoun K., 2015. Experts’
Recommendations for the Management of Adult Patients with
Cardiogenic Shock. Annals of Intensive Care 5:17.
Puymirat E., Jean Y. F., Philippe A., Jean L. D., Alexandra M., Caroline H. B.,
Florence B., Gilles C., Bertrand C., Nicolas D., dan Nadia A., 2016.
Cardiogenic Shock in Intensive Care Units:Evolution of Prevalence,
Patient Profile, Management and Outcomes, 1997–2012. European
Journal of Heart Failure: 19, 192–200.
Rengganis, I., dkk., 2015. Renjatan Anafilaktik (Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam). Jakarta: Interna Publishing.
Wijaya, I. P., 2015. Syok Hipovolemik (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam).
Jakarta: Interna Publishing.

Anda mungkin juga menyukai