Anda di halaman 1dari 13

Percobaan Acak Pengobatan Komunitas

Dengan Azithromycin dan Ivermectin Sebagai Obat untuk


Mengontrol Scabies dan Impetigo

Michael Marks,1,2 Hilary Toloka,3 Ciara Baker,4 Christian Kositz,1 James Asugeni,3 Elliot Puiahi,5
Rowena Asugeni,3 Kristy Azzopardi,4 Jason Diau,3 John M. Kaldor,6 Lucia Romani,6 Michelle
Redman-MacLaren,7 David MacLaren,7 Anthony W. Solomon,1,2 David C. W. Mabey,1,2 and Andrew
C. Steer5,8,9
1Clinical Research Department, Faculty of Infectious and Tropical Diseases, London School of Hygiene
& Tropical Medicine, and 2Hospital for Tropical Diseases, University College London Hospitals NHS
Trust, United Kingdom; 3Atoifi Adventist Hospital, Malaita Province, Solomon Islands; 4Group A
Streptococcal Research Group, Murdoch Children’s Research Institute, Melbourne, Victoria, Australia;
5National Referral Hospital, Honiara, Solomon Islands; 6Kirby Institute, University of New South Wales,
Sydney, and 7College of Medicine and Dentistry, James Cook University, Cairns, Queensland, Australia;
8Centre for International Child Health, University of Melbourne, and 9Department of General Medicine,
Royal Children’s Hospital, Melbourne, Victoria, Australia

Latar Belakang : Skabies adalah masalah kesehatan masyarakat di banyak negara, disertai
impetigo dan komplikasinya merupakan akibat yang penting. Ivermectin sebagai obat yang
diberikan secara massal dan teratur (MDA) mengurangi prevalensi skabies dan, pada tingkat yang
lebih rendah, berfungsi mengurangi impetigo. Kami mempelajari dampak pemberian Bersama
azitromisin pada prevalensi impetigo dan resistensi antimikroba.
Metode : Enam komunitas diacak untuk menerima ivermectin yang berbasis MDA atau
ivermectin yang berbasis MDA diberikan Bersama dengan azitromisin. Kami mengukur
prevalensi skabies dan prevalensi impetigo di awal dan bulan ke 12. Kami mengumpulkan lesi
impetigo di awal, bulan ke 3 dan 12 untuk mendeteksi resistansi antimikroba.
Hasil : Di awal, prevalensi skabies dan impetigo adalah 11,8% dan 10,1% pada kelompok
yang hanya menggunakan ivermectin 9,2% dan 12,1% pada kelompok pengobatan kombinasi.
Pada 12 bulan, prevalensi telah turun menjadi 1,0% dan 2,5% pada kelompok yang hanya
menggunakan ivermectin dan 0,7% dan 3,3% pada kelompok pengobatan gabungan. Proporsi lesi
impetigo yang mengandung Staphylococcus aureus yang terdeteksi tidak berubah (80% pada awal
vs 86% pada 12 bulan; tidak ada perbedaan yang signifikan) tetapi proporsi yang mengandung
streptokokus piogenik turun secara signifikan (63% vs 23%, P <0,01) . Pada 3 bulan, 53% (8/15)
dari isolat S. aureus resisten makrolida dalam kelompok perlakuan gabungan, tetapi tidak ada
strain resisten (0/13) yang terdeteksi pada 12 bulan.
Kesimpulan : Pemberian bersama azitromisin dengan ivermectin menyebabkan
penurunan pada prevalensi skabies dan prevalensi impetigo dibandingkan dengan ivermectin saja.
Proporsi lesi impetigo yang mengandung streptokokus piogenik menurun setelah MDA.
Ada peningkatan sementara dalam proporsi S. aureus yang resistan terhadap makrolida dengan
pemberian azithromycin MDA.
Pendaftaran Uji Klinis : clinicaltrials.gov (NCT02775617).
Kata kunci : skabies; penyakit tropis terabaikan; ivermectin; impetigo; resistensi
antimikroba.

Skabies adalah masalah utama pada kesehatan masyarakat di banyak negara tropis [1].
Serta konsekuensi langsung dari infestasi, skabies mengarah pada peningkatan risiko penyakit
kulit bakteri sekunder (impetigo), sebagian besar disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan
Streptococcus pyogenes [2], karena kerusakan pada kulit dan kemungkinan pengaturan regulasi
komplemen oleh Sarcoptes scabei [3]. Infeksi kulit, terutama yang disebabkan oleh S. pyogenes,
dapat menyebabkan penyakit yang lebih serius, termasuk bakteremia, glomerulonefritis, dan
kemungkinan penyakit jantung rematik [1, 4-6]. Pada tahun 2017 skabies secara resmi diakui
sebagai penyakit tropis terabaikan (NTD) oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yang
mengarah pada peningkatan minat dalam strategi untuk mengendalikan skabies dan morbiditas
terkait.
Pemberian obat massal dan teratur (MDA) telah terbukti efektif sebagai pengukur kontrol
untuk skabies, melalui studi single-arm menggunakan permethrin atau ivermectin [7-10] dan,
baru-baru ini, uji coba komparatif di Fiji, yang menunjukkan ivermectin lebih unggul dari pada
permethrin [11]. Dalam studi ini, pengobatan skabies di seluruh masyarakat, tanpa terapi
antibakteri, menyebabkan pengurangan substansial dalam impetigo.
Mengingat beratnya impetigo dan komplikasinya yang sedang berlangsung dalam
pengaturan ini, masuk akal untuk mempertimbangkan apakah penambahan agen antibakteri
mungkin bermanfaat. Azitromisin makrolida adalah kandidat potensial untuk peran ini, karena
memiliki aktivitas yang baik terhadap S. pyogenes dan S. aureus. Karena waktu paruh yang
panjang dan toksisitas yang rendah, direkomendasikan oleh WHO untuk pemberian obat massal
dan teratur (MDA) untuk mengendalikan trachoma, dan pemberantasan frambusia [12, 13].
Setiap manfaat dari penggunaan agen antimikroba di seluruh masyarakat perlu
dipertimbangkan terhadap risiko resisten antimikroba. Sejumlah penelitian telah menilai dampak
azitromisin MDA pada pengangkutan nasofaring atau orofaring dari bakteri resisten azitromisin
[14-18], tetapi tidak ada yang menilai dampak pada organisme yang diisolasi dari lesi impetigo.
Seperti di banyak negara Kepulauan Pasifik, prevalensi skabies dan impetigo tinggi di
Kepulauan Solomon [7, 19-21]. Frambusia dan trakoma juga ditemukan pada level tinggi di
Kepulauan Solomon [22-24]. Koendemisitas ini telah memberikan alasan untuk
mempertimbangkan pemberian bersama ivermectin dan azitromisin. Penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa pemberian bersama lebih aman dibandingkan dengan penggunaan 2 agen
secara individu [25, 26].
Kami melakukan percobaan acak komunitas untuk menilai apakah menambahkan
azitromisin pada ivermectin yang berbasis MDA untuk skabies memiliki dampak tambahan pada
prevalensi impetigo pada 12 bulan atau pada resistensi antimikroba dari bakteri Gram-positif yang
diisolasi dari lesi impetigo.

METODE
Pengaturan dan Perekrutan Studi
Ini adalah randomized open label study yang dilakukan pada masyarakat di provinsi
Malaita di Kepulauan Solomon. Enam komunitas diacak menjadi satu dari 2 kelompok: kelompok
ivermectin atau kelompok pengobatan gabungan. Kami memilih komunitas yang terisolasi satu
sama lain untuk mengurangi kontaminasi antara kedua kelompok penelitian.
Semua penghuni yang tinggal di komunitas berhak untuk berpartisipasi. Keterlibatan dan
pendidikan masyarakat dilakukan oleh tim studi sebelum dimulainya penelitian. Informed consent
tertulis diperoleh dari orang dewasa dan dari orang tua atau wali anak-anak. Persetujuan juga
diperoleh dari anak-anak yang mampu memberikannya.
Pengumpulan Data
Kunjungan studi berlangsung pada 3 titik waktu. Di awal waktu, peserta terlihat untuk
pendaftaran, pengumpulan data awal dan pengobatan. Pada 3 bulan, kami memeriksa ulang anak-
anak (usia ≤12 tahun) di setiap komunitas yang memungkinkan pengumpulan swab untuk
memantau resistensi antimikroba (lihat di bawah); kelompok usia ini dipilih karena mereka
diperkirakan memiliki prevalensi impetigo tertinggi. Pada kunjungan tindak lanjut 12 bulan, kami
kembali bertujuan untuk memeriksa semua warga dalam komunitas yang berpartisipasi. Sebelum
kunjungan di awal dan 12 bulan, tim studi melakukan sensus desa. Di awal waktu dan 12 bulan,
peserta menjalani pemeriksaan standar oleh klinisi berpengalaman (MM) dengan data dicatat ada
atau tidak adanya lesi kulit, lokasi mereka, dan apakah mereka konsisten dengan skabies, impetigo,
atau diagnosis lain. Diagnosis klinis skabies didasarkan pada morfologi (liang, papula, nodul,
vesikel) dan distribusi ruam bersama dengan adanya pruritus atau bukti ekskoriasi. Impetigo aktif
didiagnosis berdasarkan lesi papular, pustular, atau ulseratif diskrit dengan eritema terkait,
pengerasan kulit, bula, atau pus terang [27]. Tingkat keparahan skabies dan impetigo
diklasifikasikan sebagai yang dijelaskan sebelumnya [19]. Data dikumpulkan langsung ke
smartphone Android menggunakan perangkat lunak OpenDataKit [28].
Pengobatan
Perawatan ditawarkan kepada semua anggota masyarakat yang berpartisipasi dan secara
langsung diamati oleh tim studi. Di kelompok ivermectin kami memberikan MDA ivermectin pada
awal. Dalam kelompok pengobatan gabungan kami memberikan ivermectin dan azithromycin
MDA pada awal. Ivermectin MDA terdiri dari ivermectin (200 μg / kg) dosis oral tunggal yang
ditentukan berdasarkan berat badan. Pada individu dengan kontra indikasi untuk ivermectin
(kehamilan, menyusui, berat <15 kg) diberikan permethrin topikal. Individu yang secara klinis
didiagnosis dengan skabies di awal ditawarkan dosis kedua ivermectin (atau aplikasi kedua
permethrin topikal) pada 7 hari [11]. Azithromycin MDA terdiri dari azithromycin dosis tunggal
(30 mg / kg, max 2 gm) oral yang ditentukan berdasarkan berat badan [29, 30]
Pengumpulan Sampel dan Analisis
Untuk menilai perubahan resistensi antimikroba, kami bertujuan untuk mengumpulkan
swab dari sekitar 40 lesi impetigo aktif pada anak-anak (≤12 tahun) per kelompok pengobatan di
awal (setara dengan sekitar sepertiga dari kasus impetigo kami pada awal). Pada 3 bulan, swab
dikumpulkan dari semua anak dengan impetigo aktif. Akhirnya, pada 12 bulan kami sekali lagi
bertujuan untuk mengumpulkan swab dari semua individu dengan impetigo aktif. Kami
mengumpulkan swab dari lesi tunggal pada setiap individu. Ujung kapas steril di swab pada pus
atau eksudat dari lesi impetigo aktif dan ditempatkan di dalam tabung transportasi kering,
kemudian dikirim pada suhu sekitar dalam waktu 7 hari [31]. Swab dikirim ke Murdoch Children's
Research Institute, Melbourne, Australia, di mana hasil swab akan digesekkan (streak) ke media
horse blood agar dan diinkubasi pada suhu 37 °C dalam 5% CO2. Media tersebut ditinjau pada 24
jam dan kemudian dilakukan pelapisan kemurnian. Koloni streptokokus beta-hemolitik
dikelompokkan berdasarkan aglutinasi lateks (Pro-Lab Diagnostics, Richmond Hill, Kanada).
Koloni S. aureus terdeteksi menggunakan tes aglutinasi slide lateks (Oxoid, Inggris). Pengujian
sensitivitas antimikroba dilakukan menggunakan VITEK 2 (bioMérieux Inc., Durham, NC). Kami
menyimpulkan resistensi azitromisin dari hasil pengujian sensitivitas eritromisin menggunakan
breakpoint yang ditentukan oleh Clinical and Laboratory Standards Institute [32]. Kami
melaporkan hasil sensitivitas untuk (1) S. aureus dan (2) streptokokus piogenik (kelompok A, C,
dan G) secara kolektif, termasuk S. pyogenes (kelompok A).
Pengetikan emm dilakukan sesuai dengan protokol yang ditentukan oleh Pusat
Pengendalian dan Pencegahan Penyakit dengan modifikasi kecil, seperti yang dijelaskan
sebelumnya [33]. Emm dikelompokkan berdasarkan hasil pengetikan emm [34].
Analisis Statistik
Penelitian ini dirancang untuk menilai apakah menambahkan dosis tunggal azitromisin,
bersama ivermectin, menghasilkan penurunan prevalensi impetigo pada 12 bulan dibandingkan
dengan pengobatan dengan ivermectin saja. Kami menghitung prevalensi skabies dan impetigo di
setiap kelompok penelitian di awal waktu dan 12 bulan. Kami menghitung pengurangan absolut
dan relatif dalam pengurangan prevalensi skabies dan prevalensi impetigo antara awal dan 12
bulan. Kami membandingkan perubahan dalam prevalensi, secara terpisah untuk skabies dan
impetigo, antara kelompok studi dengan menghitung rasio prevalensi pada awal dan 12 bulan
untuk setiap kelompok, dan menguji hipotesis bahwa kedua rasio ini sama [35].
Perhitungan Ukuran Sampel
Kami memperkirakan prevalensi skabies dan impetigo pra-MDA masing-masing sekitar
15% dan 25%. Berdasarkan penelitian sebelumnya, kami mengantisipasi prevalensi skabies akan
turun menjadi 1% pada kedua kelompok dan prevalensi impetigo akan turun menjadi 10% pada
12 bulan pada kelompok yang hanya menggunakan ivermectin [11, 19]. Dengan asumsi bahwa
dalam pencegahan impetigo dengan pengobatan gabungan turun menjadi 5%, dan tidak di follow
up adalah 10%, kami perlu mendaftarkan 635 orang di setiap kelompok penelitian untuk memiliki
kekuatan 80% untuk mendeteksi perbedaan antara study arm sama pentingnya pada tingkat 0,05.
Sebagai hasil sekunder kami menghitung proporsi isolat S. aureus dan S. pyogenes yang resisten
makrolida pada masing-masing kelompok di awal, 3 bulan dan 12 bulan. Analisis statistik
dilakukan dalam R 3.4.2 [36].
Persetujuan Etika
Penelitian ini disetujui oleh London School of Hygiene & Tropical Medicine, Komite Etika
Kesehatan Nasional Kepulauan Solomon dan Komite Etika Rumah Sakit Advent Atoifi.
Azitromisin diberikan oleh WHO (yang membelinya dari Medopharm [India]). Ivermectin dibeli
dari Merck Sharp dan Dohme (Australia). Permethrin dibeli dari Pharmatec (Fiji). Pada 12 bulan,
semua individu dalam kelompok yang hanya menggunakan ivermectin ditawarkan azitromisin
sesuai dengan pedoman WHO untuk pengobatan frambusia [13]. Penelitian ini secara prospektif
terdaftar di clinicaltrials.gov (NCT02775617). Semua penulis memiliki akses untuk mempelajari
data dan berbagi tanggung jawab atas keputusan untuk mengajukan publikasi.

HASIL
Di awal, 1.291 orang (90,8% dari populasi penduduk di 6 komunitas studi) diperiksa dan
menerima pengobatan. Pada tindak lanjut 12 bulan populasi penduduk dari komunitas penelitian
telah menurun menjadi 1255, di antaranya 1083 individu diperiksa (86,3%) (Tabel 1). Tindak
lanjut lebih rendah pada kelompok yang hanya menggunakan ivermectin pada 12 bulan (hanya
76,2% yang hanya menggunakan ivermectin vs kelompok pengobatan kombinasi 96,3%). Secara
keseluruhan, 46,6% peserta adalah laki-laki, dan usia rata-rata peserta adalah 25 tahun (IQR 11-
47) (Tabel 1).
Di awal, prevalensi skabies adalah 11,8% (interval kepercayaan 95% [CI] 9,4-14,6%) pada
kelompok yang hanya menggunakan ivermectin dan 9,2% (95% CI 7,1-11,7%) pada kelompok
pengobatan kombinasi. Tingkat keparahan skabies serupa di kedua kelompok; secara keseluruhan,
77,8% individu memiliki skabies ringan, 20% memiliki skabies sedang, dan 2,2% memiliki
skabies parah (data tidak ditampilkan). Tidak ada kasus skabies berkrusta terdeteksi. Pada awal,
prevalensi impetigo aktif adalah 10,1% (95% CI 8,1–13,0%) pada kelompok perlakuan khusus
menggunakan ivermectin dan 12,1% (95% CI 9,7-14,9%) pada kelompok pengobatan kombinasi.
Tingkat keparahan impetigo serupa pada kedua kelompok; secara keseluruhan, 84,1% peserta
memiliki impetigo ringan, 11% memiliki impetigo sedang, dan 4,9% memiliki impetigo parah
(data tidak ditunjukkan).
Pada 12 bulan, prevalensi skabies dan impetigo turun menjadi 1,0% (95% CI 0,3-2,6%)
dan 2,5% (95% CI 1,4-4,5%), masing-masing, dalam kelompok pengobatan hanya dengan
ivermectin dan kelompok pengobatan kombinasi menjadi 0,7% ( 95% CI 0,2–1,8%) dan 3,3%
(95% CI 2,1–5,1%), (Tabel 2). Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok
(91,5% vs 92,4%, P = 0,31), dalam perubahan dari awal menjadi 12 bulan dalam prevalensi skabies
atau perubahan dalam prevalensi impetigo (75,2% vs 72,7%, P = 0,49 ).
Kami melakukan analisis sensitivitas post hoc untuk menilai apakah tindak lanjut yang
lebih rendah pada kelompok yang hanya menggunakan ivermectin mungkin mempengaruhi hasil
kami. Kami menghitung prevalensi impetigo yang akan terlihat pada kelompok perawatan yang
hanya menggunakan ivermectin jika kami telah mencapai tindak lanjut pada tingkat yang serupa
dengan kelompok pengobatan gabungan dan prevalensi di antara peserta yang tidak terlihat pada
12 bulan tidak berubah dari awal. Berdasarkan asumsi-asumsi ini, prevalensi impetigo pada
kelompok perawatan yang hanya menggunakan ivermectin adalah 4,1% pada dua belas bulan.
Dalam analisis ini tidak ada perbedaan yang signifikan dalam pengurangan relatif impetigo antara
kelompok (60,2% vs 72,7%, P = 0,23).
Swab dikumpulkan dari 73 orang dengan impetigo di awal, 36 orang pada 3 bulan, dan 22
orang pada 12 bulan. Pada awal, 80% lesi impetigo kami memperoleh swab menghasilkan S.
aureus pada kultur dan 62% menghasilkan streptokokus piogenik (terutama S. pyogenes, 56%).
Pada 3 dan 12 bulan proporsi S. aureus tidak berubah (masing-masing 78% dan 86%), tetapi
proporsi lesi impetigo dari kultur S. pyogenes telah turun secara signifikan menjadi 33% pada 3
bulan (P = 0,04 untuk perbandingan dengan waktu awal) dan 23% pada 12 bulan (P <0,01 untuk
perbandingan dengan waktu awal). Penurunan relatif S. pyogenes adalah serupa pada kedua
kelompok penelitian (Tabel 3).
Tidak ada resistansi makrolida yang terdeteksi di antara streptokokus di kedua kelompok
pada salah satu dari 3 titik waktu. Dalam kelompok pengobatan yang hanya menggunakan
ivermectin, kami tidak mengisolasi S. aureus yang resistan terhadap makrolida kapan saja. Pada
kelompok perlakuan kombinasi, satu isolat S. aureus resisten makrolida pada awal, dan 8/15 (53%)
isolat S. aureus resisten makrolida pada 3 bulan. Pada 12 bulan, tidak ada resistansi makrolida
yang terdeteksi di salah satu dari 6 isolat yang diuji (Tabel 4). Isolat S. pyogenes terbagi dalam 27
tipe emm yang berbeda. Dua puluh lima tipe emm dapat dikategorikan ke dalam salah satu dari 11
kelompok emm yang berbeda (Tambahan Tabel 1).
KESIMPULAN
Dalam penelitian pertama yang membandingkan secara langsung pemberian bersama
azitromisin dan ivermectin dengan yang hanya diberi ivermectin berbasis MDA, pemberian
bersama tidak menghasilkan penurunan yang lebih besar dalam prevalensi klinis impetigo pada 12
bulan, dibandingkan dengan ivermectin saja. Penurunan substansial diamati pada prevalensi
skabies dan impetigo, tetapi besarnya penurunan yang serupa pada kedua kelompok penelitian dan
konsisten dengan ukuran efek yang terlihat pada penelitian sebelumnya [11]. Di kedua kelompok,
kami mengamati pengurangan besar dalam proporsi lesi impetigo dimana streptokokus piogenik
diisolasi, sedangkan proporsi lesi dimana kultur S. aureus tidak berubah pada kedua kelompok.
Tujuan utama program pengendalian skabies adalah pengurangan sekuele infeksi S.
pyogenes. Studi kami menyediakan beberapa data pertama yang menunjukkan bahwa pengurangan
yang diamati dalam impetigo klinis mungkin disebabkan oleh penurunan infeksi S. pyogenes.
Penurunan streptokokus piogenik ini terjadi di kedua komunitas yang menerima ivermectin saja
dan mereka yang menggunakan ivermectin dengan azithromycin. Mengapa S. pyogenes harus
menurun ke tingkat yang lebih besar daripada S. aureus tidak jelas. S. aureus yang asimptomatik
atau tanpa gejala lebih umum dari pada S.pyogenes dan dapat bertahan setelah pemberian berbasis
MDA dengan azitromisin [17], sehingga mungkin berfungsi sebagai reservoir potensial untuk
transmisi yang sedang berlangsung. Data kami tidak memungkinkan kami untuk menilai hipotesis
ini, dan studi di masa depan untuk lebih memahami dampak MDA pada lesi impetigo diperlukan.
Kami mengamati peningkatan pada 3 bulan dalam proporsi strain S. aureus yang resisten
makrolida setelah pemberian berbsis MDA dengan azitromisin. Efek ini tampaknya menyusut
setelah 12 bulan pasca pemberian berbasis MDA, meskipun ukuran sampel kami terlalu kecil
untuk menarik kesimpulan yang kuat tentang durasi efek. Di komunitas yang diteliti, ada
penggunaan terbatas makrolida selain dalam pengelolaan infeksi menular seksual. Kurangnya
tekanan selektif yang terus-menerus mungkin berkontribusi pada kembalinya pola kerentanan
wild-type antibiotik pada 12 bulan. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan peningkatan
sementara Streptococcus pneumoniae pada pengangkutan nasofaring yang resisten azitromisin
diikuti azitromisin MDA, dengan bukti terbatas bahwa beberapa putaran MDA mengarah pada
pemilihan isolat resisten yang lebih banyak daripada satu putaran tunggal [14-16]. Sebuah studi
tentang pengangkutan nasofaring menemukan resistensi S. aureus terhadap makrolida meningkat
dalam satu bulan pemberian azithromycin MDA tetapi kemudian menurun selama 6 bulan.
Individu yang menerima beberapa putaran MDA lebih cenderung memiliki strain resisten dari
pada mereka yang hanya menerima satu ronde [17]. Secara kolektif,data ini menyoroti perlunya
kewaspadaan berkelanjutan mengenai dampak azithromycin MDA pada organisme selain
dari yang merupakan target langsung tetapi juga menunjukkan bahwa yang jarang diberikan MDA
azitromisin(tahunan) tidak mungkin secara substansial mempengaruhi tingkat resistensi makrolida
pada organisme Gram-positif. [18]

Penelitian kami memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, dan konsisten dengan penelitian
lain yang menilai dampak MDA, tidak blind. Kedua, diagnosis skabies dan impetigo dibuat
berdasarkan klinis saja, meskipun oleh seorang dokter berpengalaman menggunakan kriteria yang
sebelumnya telah terbukti memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik [27]. Ketiga, tingkat
tindak lanjut berbeda antara kedua kelompok penelitian kami. Di satu desa di kelompok yang
khusus diberikan ivermectin, desas-desus beredar bahwa MDA sedangdilakukan tanpa persetujuan
dari rumah sakit setempat walaupun staf rumah sakit merupakan mayoritas tim lapangan.
Pertemuan diadakan dengan tokoh masyarakat dan tim studi termasuk Direktur Perawat (RA)
rumah sakit, tetapi tindak lanjut di desa ini tetap lebih rendah daripada desa lain dalam penelitian
ini. Meskipun demikian, kami memiliki ukuran sampel yang memadai untuk menunjukkan bahwa
tidak ada pengurangan tambahan dalam prevalensi impetigo pada kelompok yang menerima
pengobatan kombinasi, dan analisis sensitivitas kami konsisten dengan hasil keseluruhan kami.
Keempat, kami tidak mengumpulkan swab dari semua individu dengan impetigo aktif (atau dari
setiap lesi pada individu dengan banyak lesi). Kami tidak dapat mengesampingkan kemungkinan
bahwa peningkatan proporsi individu dari swab siapa dikumpulkan mungkin telah mengubah
proporsi sampel yang mengandung streptokokus piogenik atauresisten makrolida bakteri.
Akhirnya, sampel dikirim ke Australia, sebuah perjalanan yang mungkin juga telah mengurangi
tingkat pemulihan patogen kami. Namun, kami berhasil mengisolasi S. aureus, streptococcus,
atau keduanya dari lebih dari 95% swab, jadi anggaplah tidak mungkin bahwa proses transportasi
mempengaruhi hasil kami. Hasil kami konsisten dengan penelitian sebelumnya tentang perubahan
pola pengangkutan flora resisten antimikroba setelah pemberian MDA dan memberikan beberapa
data titik akhir bakteriologis pertama tentang dampak ivermectin berbasis MDA pada impetigo.

Data kami menambah kepada mereka dari sejumlah kecil studi sebelumnya yang meneliti
potensi menggabungkan masing-masing program MDA ke dalam satu intervensi. Penelitian kami
tidak bertujuan untuk menyelidiki keamanan pemberian bersama ivermectin dan azitromisin,
karena data farmakokinetik dan uji coba yang ada sudah mendukung keamanan pemberian
bersama agen ini [25, 26], dan kami baru saja menyelesaikan bidang skala besar studi langsung
membahas masalah keselamatan di tingkat kabupaten (ACTRN12613000474752) [37]. Meskipun
kami tidak dapat mendeteksi dampak klinis pada prevalensi impetigo dalam menambahkan
azitromisin pada ivermectin berbsis MDA pada prevalensi impetigo, pemberian bersama masih
memiliki potensi manfaat logistik dan finansial dengan memperlakukan beberapa NTD melalui
beberapa intervensi tunggal. Diperlukan studi lebih lanjut tentang pendekatan terintegrasi untuk
menarik kesimpulan yang lebih kuat tentang potensi manfaat pada terjadinya penyakit.
Ivermectin berbasis MDA telah muncul sebagai komponen utama dari strategi kontrol
untuk skabies di komunitas dengan prevalensi tinggi. Data kami menunjukkan penambahan dosis
tunggal azitromisin, pada satu titik waktu, tidak berarti memiliki manfaat tambahan dalam
mengurangi prevalensi impetigo pada 12 bulan atau menghasilkan peningkatan prevalensi
resistensi antimikroba. Tidak diketahui apakah strategi alternatif, seperti MDA dua kali setahun
atau penggunaan agen antimikroba alternatif, mungkin lebih berhasil. Investigasi lebih lanjut dapat
membantu untuk mengoptimalkan intervensi masyarakat untuk pengendalian skabies dan gejala
sisa.

Tambahan Data
Tambahan Bahan pelengkap tersedia di Clinical Infectious Diseases online. Terdiri dari
data yang disediakan oleh penulis untuk menguntungkan pembaca,diposting materi yang tidak
disalin dan merupakan tanggung jawab penulis, sehingga pertanyaan atau komentar harus
ditujukan kepada penulis yang sesuai.

Catatan
Kontributor. MM menulis draf pertama makalah ini. CB, KA, dan EP melakukan
pekerjaan laboratorium. MM, HT, CK, JA, dan RA melakukan penelitian lapangan. MM, CB, dan
KA menganalisis data. MM, JD, JKM, LR, MR M, DM, AWS, DCWM, dan AS merancang
dan mengawasi penelitian ini. Semua penulis merevisi naskah.
Dukungan finansial. MM didukung olehWellcome Trust Clinical fellowship
PhD(102807).
Potensi konflik kepentingan. JD melaporkan hibah dari International Trachoma
Initiative. MM melaporkan biaya konsultasi dari Organisasi Kesehatan Dunia. Semua penulis lain
melaporkan tidak ada potensi konflik kepentingan. Semua penulis telah menyerahkan Formulir
ICMJE untuk Pengungkapan Potensi Konflik Kepentingan. Konflik yang dianggap editor
relevan dengan isi naskah telah diungkapkan.

References
1. Hay RJ, Steer AC, Engelman D, Walton S. Scabies in the developing world: its prevalence,
complications, and management. Clin Microbiol Infect 2012; 18:313–23.
2. Steer AC, Jenney AW, Kado J, et al. High burden of impetigo and scabies in a tropical
country. PLoS Negl Trop Dis 2009; 3:e467.
3. Swe PM, Christian LD, Lu HC, Sriprakash KS, Fischer K. Complement inhibition by
Sarcoptes scabiei protects Streptococcus pyogenes: an in vitro study to unravel the
molecular mechanisms behind the poorly understood predilection of S. pyogenes to infect
mite-induced skin lesions. PLoS Negl Trop Dis 2017; 11:e0005437.
4. Parks T, Smeesters PR, Steer AC. Streptococcal skin infection and rheumatic heart disease.
Curr Opin Infect Dis 2012; 25:145–53.
5. Thornley S, Marshall R, Jarrett P, Sundborn G, Reynolds E, Schofield G. Scabies is
strongly associated with acute rheumatic fever in a cohort study of Auckland children. J
Paediatr Child Health 2018; 54:625–32. Available at: https://onlinelibrary.
wiley.com/doi/abs/10.1111/jpc.13851. Accessed 9 April 2018.
6. Lynar S, Currie BJ, Baird R. Scabies and mortality. Lancet Infect Dis 2017; 17:1234.
7. Lawrence G, Leafasia J, Sheridan J, et al. Control of scabies, skin sores and haematuria in
children in the Solomon Islands: another role for ivermectin. Bull World Health Organ
2005; 83:34–42.
8. Bockarie MJ, Alexander ND, Kazura JW, Bockarie F, Griffin L, Alpers MP. Treatment
with ivermectin reduces the high prevalence of scabies in a village in Papua New Guinea.
Acta Trop 2000; 75:127–30.
9. Taplin D, Porcelain SL, Meinking TL, et al. Community control of scabies: a model based
on use of permethrin cream. Lancet 1991; 337:1016–8.
10. Marks M, Taotao-Wini B, Satorara L, et al. Long term control of scabies fifteen years after
an intensive treatment programme. PLoS Negl Trop Dis 2015; 9:e0004246.
11. Romani L, Whitfeld MJ, Koroivueta J, et al. Mass drug administration for scabies control
in a population with endemic disease. N Engl J Med 2015; 373:2305–13.
12. Solomon AW, Zondervan M, Kuper H, Buchan J, Mabey DC, Foster A. Trachoma control:
a guide for programme managers. Geneva, Switzerland: World Health Organization, 2006.
Available at: http://www.who.int/iris/handle/10665/43405. Accessed 13 March 2018.
13. World Health Organization. Eradication of yaws: the Morges strategy. Wkly Epidemiol
Rec 2012; 87:189–94.
14. Coles CL, Mabula K, Seidman JC, et al. Mass distribution of azithromycin for trachoma
control is associated with increased risk of azithromycin-resistant Streptococcus
pneumoniae carriage in young children 6 months after treatment. Clin Infect Dis 2013;
56:1519–26.
15. Skalet AH, Cevallos V, Ayele B, et al. Antibiotic selection pressure and macrolide
resistance in nasopharyngeal Streptococcus pneumoniae: a cluster-randomized clinical
trial. PLoS Med 2010; 7:e1000377.
16. Burr SE, Milne S, Jafali J, et al. Mass administration of azithromycin and Streptococcus
pneumoniae carriage: cross-sectional surveys in the Gambia. Bull World Health Organ
2014; 92:490–8.
17. Bojang E, Jafali J, Perreten V, et al. Short-term increase in prevalence of nasopharyngeal
carriage of macrolide-resistant Staphylococcus aureus following mass drug administration
with azithromycin for trachoma control. BMC Microbiol 2017; 17:75.
18. Batt SL, Charalambous BM, Solomon AW, et al. Impact of azithromycin administration
for trachoma control on the carriage of antibiotic-resistant Streptococcus pneumoniae.
Antimicrob Agents Chemother 2003; 47:2765–9.
19. Mason DS, Marks M, Sokana O, et al. The prevalence of scabies and impetigo in the
Solomon Islands: a population-based survey. PLoS Negl Trop Dis 2016; 10:e0004803.
20. Romani L, Koroivueta J, Steer AC, et al. Scabies and impetigo prevalence and risk factors
in Fiji: a national survey. PLoS Negl Trop Dis 2015; 9:e0003452.
21. Romani L, Steer AC, Whitfeld MJ, Kaldor JM. Prevalence of scabies and impetigo
worldwide: a systematic review. Lancet Infect Dis 2015; 15:960–7.
22. Marks M, Vahi V, Sokana O, et al. Mapping the epidemiology of yaws in the Solomon
Islands: a cluster randomized survey. Am J Trop Med Hyg 2015; 92:129–33.
23. Sokana O, Macleod C, Jack K, et al. Mapping trachoma in the Solomon Islands: results of
three baseline population-based prevalence surveys conducted with the global trachoma
mapping project. Ophthalmic Epidemiol 2016; 23:15–21.
24. Solomon AW, Marks M, Martin DL, et al. Trachoma and Yaws: common ground? PLoS
Negl Trop Dis 2015; 9:e0004071.
25. Coulibaly YI, Dicko I, Keita M, et al. A cluster randomized study of the safety of integrated
treatment of trachoma and lymphatic filariasis in children and adults in Sikasso, Mali. PLoS
Negl Trop Dis 2013; 7:e2221.
26. Amsden GW, Gregory TB, Michalak CA, Glue P, Knirsch CA. Pharmacokinetics of
azithromycin and the combination of ivermectin and albendazole when administered alone
and concurrently in healthy volunteers. Am J Trop Med Hyg 2007; 76:1153–7.
27. Steer AC, Tikoduadua LV, Manalac EM, Colquhoun S, Carapetis JR, Maclennan C.
Validation of an integrated management of childhood illness algorithm for managing
common skin conditions in Fiji. Bull World Health Organ 2009; 87:173–9.

Anda mungkin juga menyukai