Anda di halaman 1dari 27

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cedera kepala merupakan serangkaian kejadian patofisiologik yang terjadi
setelah trauma kepala, yang dapat melibatkan kulit kepala, tulang dan jaringan
otak atau kombinasinya. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian
dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dalam kecelakaan lalu lintas.
(Mansjoer Arif ,dkk ,2000)
Insiden cidera kepala di Indonesia setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus. Dari jumlah diatas, 10% penderita meninggal sebelum tiba di
rumah sakit. Dari psien yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokan sebagai
cedera kepala ringan, 10 % termasuk cedera sedang dan 10% sedang, dan 10 %
termasuk cedera kepala berat.
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para
dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama
pada penderita. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan
tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya
cedera otak sekunder merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting
untuk keberhasilan kesembuhan penderita. Sebagai tindakan selanjutnya yang
penting setelah primary survey adalah identifikasi adanya lesi masa yang
memerlukan tindakan pembedahan, dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan
CT Scan kepala.
Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang
memerlukan tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya dirawat secara
konservatif. Pragnosis pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan
dilakukan secara tepat dan cepat.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana etiologi, klasifikasi, patogenesis, dan penatalaksanaan Cedera
Kepala Ringan dan Epidural Hematome?
1.3 Tujuan

1.3.1 Mengetahui etiologi, klasifikasi, patogenesis, dan penatalaksanaan Cedera


Kepala Ringan dan Epidural Hematome.
1.4 Manfaat
1.4.1 Menambah

wawasan

mengenai

penyakit

bedah

saraf

khususnya

penatalaksanaan Cedera Kepala Ringan dan Epidural Hematome.


1.4.2 Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti
kepaniteraan klinik bagian ilmu penyakit bedah saraf.

BAB II
STATUS PENDERITA
2.1 Identitas Penderita
Nama

: Tn. S

Umur

: 50 tahun

Jenis kelamin

: Laki-laki

Pekerjaan

: Buruh Tani

Agama

: Islam

Alamat

: Wajak

Status perkawinan

: Menikah

Suku

: Jawa

Tanggal MRS

: 23 Oktober 2014

Tanggal periksa

: 27 Oktober 2014

2.2 Anamnesa
1. Keluhan Utama:
Nyeri kepala setelah kecelakaan lalu lintas
2. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke UGD RSUD Kanjuruhan (23/10/2014), pukul 16.30)
diantar oleh petugas kesehatan dengan keluhan nyeri kepala. Keluhan ini
terjadi setelah pasien mengalami tabrakan antar sepeda motor (23/10/2014,
pada pukul 07.00). Pasien mengalami tabrakan sepeda motor ketika pasien
mau pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan. Saat itu pasien hendak
mendahului kendaraan lain,namun dari arah berlawanan sepeda motor lain
melaju dengan kecepatan tinggi. Terjdilah kecelakaan yang tidak di inginkan.
Saat terjadi kecelakaan pasien tidak sadarkan diri, saat terbangun

sudah

berada di RS Bokor.
Setelah kejadian pasien dibawa RS Bokor, pukul 08.30. Pasien dirawat,
luka dijahit dan diinfus. Setelah di observasi pasien mengalami mual dan

kepala terasa sakit seperti berputar putar.selama 2 hari. kemudian pasien


dirujuk ke RSUD Kanjuruhan Kepanjen. .Pasien mengalami mual tapi tidak
muntah, dan juga tidak mengalami kejang. Pasien juga tidak mengeluarkan
darah dari lubang telinga atau lubang hidung. Terdapat luka robek di kepala
sebelah kiri dan luka babras di pedis kanan .
3. Riwayat Penyakit Dahulu
:
Riwayat trauma sebelumnya tidak didapatkan
Pasien tidak pernah menjalani operasi sebelumnya
Alergi
: disangkal
4. Riwayat Pengobatan
:
Pasien tidak sedang mengkonsumsi obatobatan apapun sebelumnya.
5. Riwayat Penyakit Keluarga :
Trauma
: disangkal
Operasi
: disangkal
Diabetes Mellitus
: disangkal
Hipertensi
: disangkal
Asma
: disangkal
2.3 Pemeriksaan Fisik (27 Oktober 2014)
1) Vital sign
Tensi

: 150/100 mmHg

Nadi

: 66 x/menit

R.R

: 20 x/menit

Suhu

: 36,0 C

2) Status Neurologik
Kesadaran

: Compos mentis GCS 456

Reflek fisiologis
Reflek Bisep

: dbn

Reflek Trisep

:dbn

Reflek Pattella

:dbn

Reflek Achilles

:dbn

Refleks Patologis

Babinski

:(-)

Chaddock

:(-)

Oppenheim

:(-)

3) Status Generalis
Kepala
Bentuk mesocephal, simetris, terdapat luka sudah dijahit sepanjang 3
cm.
Mata
Conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema (+/-) eritema palpebra
(+/-).
Telinga
Bentuk normotia, otorhoe (-/-), battle sign (-/-), sekret (-/-),
pendengaran berkurang (-).
Hidung
Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-),
Mulut dan Tenggorokan
Bibir atas luka (-), perdarahan (-).
Leher
JVP tidak meningkat, trakea ditengah, pembesaran kelenjar tiroid (-),
kelenjar getah bening tidak teraba membesar, tidak teraba adanya
benjolan.
Thorax
Paru-paru
Inspeksi

: Simetris dalam keadaan statis dan dinamis, luka dan

benjolan tidak tampak.


Palpasi
: Stem fremitus paru kanan sama dengan paru kiri
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler + / +, ronkhi - / -, wheezing - / Jantung
Inspeksi : Tidak tampak pulsasi ictus cordis
Palpasi
: Teraba ictus cordis di ICS V MCLS
Perkusi : Redup
Batas atas
: ICS III parasternal line sinistra
Batas kiri
: ICS V MCLS
Batas kanan : ICS V midsternal line
Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, Murmur -/-, Gallop -/ Abdomen
Inspeksi : datar, tidak tampak adanya kelainan

Palpasi

: supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan

epigastrium (-)
Perkusi : timpani
Auskultasi: bising usus (+) normal
Kulit
Warna sawo matang, turgor kulit baik.
Ekstremitas
Ekstremitas superior: tidak tampak kelainan
Ekstremitas inferior regio pedis valnus laseratum 4 cm
4) Status Lokalis
Pada regio temporal dextra terdapat vulnus laceratum sudah dijahit

dengan panjang 3 cm.


2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
CT Scan Skull:

Gambar 1. Kesan: epidural hematoma temporal sinistra

2.5 Resume
Laki laki usia 50 tahun datang ke UGD RSUD Kanjuruhan dengan keluhan
nyeri kepala, setelah mengalami tabrakan dengan sepeda. Pasien tidak sadar, dan
terdapat luka di kepala sebelah kiri. Pasien dirawat di RS Bokor, tetapi setelah di
observasi selama 2 hari, pasien mual, kepala masih terasa sakit, sehingga dirujuk
ke RSUD.
Pada pemeriksaan fisik keadaan umum GCS 456, TD: 150/90, N:66x/mnt,
RR: 20x/mnt, S: 360 C. Pada regio temporal sinistra terdapat vulnus laseratum
yang sudah dijahit dengan panjang 3 cm. Selain itu juga pada region pedis dekstra
selebar 4 cm
Pada pemeriksaan penunjang yaitu Pemeriksaan CT scan kepala kesan
epidural hematoma temporal sinistra.

2.6 Working Diagnosa


Cedera kepala ringan dengan epidural hematoma temporal sinistra
2.7 Penatalaksanaan
PLANNING TERAPI Medikamentosa
O2 2-4 liter/menit
NS 20 tetes/menit
Cefotaxim 2x1 gram
Antrain 3x500 mg
Non Medikamentosa

observasi

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Anatomi Kepala
Anatomi kepala terdiri dari :
1. Kulit Kepala (Scalp)
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu :
a. Skin atau kulit
b. Subcutaneous tissue
c. Aponeurosis atau galea aponeurotika
d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
e. Perikranium.
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari
perikranium dan merupakan tempat tertimbunnya darah (hematoma subgaleal).
Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan
akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah,
terutama pada bayi dan anak-anak.

Gambar 2. Anatomi Kulit Kepala

2. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Kalvaria
khususnya di bagian temporal tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporal.
Tulang sebenarnya terdiri dari dua dinding atau tabula yang dipisahkan oleh
tulang berongga. Tulang tengkorak terdiri dari 8 tulang cranial membentuk
tempurung otak dan 14 tulang wajah yang menyusun wajah. Diantara tulang
terdapat sendi yang tidak dapat digerakkan disebut sutura. Dinding luar disebut
tabula eksterna, dan dinding bagian dalam disebut tabula interna. Struktur
demikian memungkinkan suatu kekuatan dan isolasi yang lebih besar, dengan
bobot yang lebih ringan. Tabula interna mengandung alur-alur yang berisikan
arteri meningea anterior, media dan posterior. Basis kranii berbentuk tidak rata
sehinga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi
dan deselerasi.
Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu: fosa anterior, fosa media,
dan fosa posterior. Fosa anterior adalah tempat lobus frontalis, fosa media
adalah tempat lobus temporalis, dan fosa posterior adalah ruang bagian bawah
batang otak dan serebelum.

Gambar 3. Anatomi Tulang Tengkorak

10

3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan yaitu: duramater, araknoid dan piamater. Duramater adalah selaput
yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan
dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput araknoid di bawahnya,
maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdural) yang terletak antara
duramater dan araknoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural.
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan
otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging
Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus
sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus
sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan
hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari
kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat
menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan dapat menyebabkan perdarahan
epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media
yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
Dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang tipis dan
tembus pandang disebut lapisan araknoid. Lapisan ketiga adalah piamater yang
melekat erat pada permukaan korteks serebri. Cairan serebrospinal bersirkulasi
dalam ruang sub araknoid.
4. Otak
Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak. Serebrum
terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri yaitu
lipatan duramater dari sisi inferior sinus sagitalis superior. Pada hemisfer
serebri kiri terdapat pusat bicara manusia. Hemisfer otak yang mengandung
pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer dominan.
Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fiungsi motorik, dan pada sisi
dominan mengandung pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan

11

dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi
memori. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan.
Batang otak terdiri dari mesensefalon (mid brain), pons, dan medula
oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular
yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata
terdapat pusat kardiorespiratorik, yang terus memanjang sampai medulla
spinalis dibawahnya. Lesi yang kecil saja pada batang otak sudah dapat
menyebabkan defisit neurologis yang berat.
Serebelum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan,
terletak dalam fosa posterior, berhubungan dengan medula spinalis, batang
otak, dan juga kedua hemisfer serebri.
5. Cairan serebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral
melalui foramen monro menuju ventrikel III kemudian melalui aquaductus
sylvii menuju ventrikel IV. Selanjutnya CSS keluar dari sistem ventrikel dan
masuk ke dalam ruang subaraknoid yang berada di seluruh permukaan otak
dan medula spinalis. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui
vili araknoid.
6. Tentorium
Tentorium serebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supra
tentorial (terdiri atas fossa kranii anterior dan fossa kranii media) dan ruang
infratentorial (berisi fosa kranii posterior).
3.2 Cidera Kepala
3.2.1 Definisi
Menurut Brain Injury Assosiation of America cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau

12

mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif


dan fungsi fisik.
3.2.2 Etiologi
Penyebab cedera kepala antara lain :
Kecelakaan Lalu lintas
Kecelakaan Olahraga
Penganiayaan
Luka tembakan.
3.2.3 Klasifikasi
Secara umum cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan tiga hal,
yaitu:
1. Berdasarkan morfologi

Fraktur kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan
dapat terbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup.
Fraktur dasar tengkorak biasanya merupakan pemeriksaan CT Scan
untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur
dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan
pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda tersebut antara lain :
-

Ekimosis periorbital (Raccoon eye sign)

Ekimosis retro aurikuler (Battle`sign )

Kebocoran CSS (rhonorrea, ottorhea) dan

Parese nervus facialis (N VII )

Sebagai patokan umum bila terdapat fraktur tulang yang menekan ke


dalam, lebih tebal dari tulang kalvaria, biasanya memerlukan tindakan
pembedahan.
Lesi Intrakranial

13

Lesi ini diklasifikasikan dalam lesi local dan lesi difus, walaupun
kedua jenis lesi sering terjadi bersamaan. Yang termasuk lesi lesi local
yaitu;
-

Perdarahan Epidural

Perdarahan Subdural

Kontusio (perdarahan intra cerebral)

Cedera otak difus umumnya menunjukkan gambaran CT Scan


yang normal, namun keadaan klinis neurologis penderita sangat buruk
bahkan dapat dalam keadaan koma. Berdasarkan pada dalamnya koma
dan lamanya koma, maka cedera otak difus dikelompokkan menurut
kontusio ringan, kontusio klasik, dan Cedera Aksona Difus (CAD).
2.Berdasarkan tingkat keparahan
Tingkat kesadaran yang diukur dengan Glasgow Coma Scale (GCS) telah
digunakan untuk mengklasifikasikan derajat keparahan cedera kepala yang
tersaji dalam tabel berikut:
Tabel 1. Klasifikasi Cidera Kepala Berdasarkan Tingkat Keparahan
Tingkat keparahan cedera kepala GCS score
Ringan
13-15
Sedang
9-12
Berat
8 atau kurang
3. Berdasarkan mekanismenya terbagi atas 2:

Static loading

Dynamic loading:
a. Lesi impact dan
b. Lesi akselerasi-deselerasi

Static loading
Gaya langsung bekerja pada kepala, lamanya gaya yang bekerja
lambat, lebih dari 200 milidetik, mekanisme static loading ini jarang
terjadi, tetapi kerusakan yang dihasilkan sangat berat mulai dari cidera
pada kulit kepala sampai kerusakan tulang kepala, jaringan otak dan
pembuluh darah otak.

14

Dynamic loading
Gaya mengenai kepala terjadi secara cepat (kurang dari 50
milidetik), gaya yang bekerja pada kepala dapat secara langsung
(Impact injury) ataupun gaya tersebut bekerja tidak langsung
(Accelerated-decelerated injury), mekanisme cidera kepala dynamic
loading ini paling sering terjadi.
a. Impact injury
Gaya langsung bekerja pada kepala, gaya yang terjadi akan
diteruskan kesegala arah, jika mengenai jaringan lunak akan diserap
sebagian dan sebagian yang lain akan diteruskan sedangkan jika
mengenai jaringan yang keras akan dipantulkan kembali. Gaya
impact ini dapat juga menyebabkan lesi akselerasi-deselerasi. Akibat
dari impact injury akan menimbulkan lesi:
-

Cidera pada kulit kepala (SCALP): Vulnus apertum, Excoriasi,


Hematom

Cidera pada tulang atap kepala: Fraktur linier, Fraktur diastase,


Fraktur steallete, Fraktur depresi

Fraktur basis kranii.

Hematom intrakranial: Hematom epidural, Hematom subdural,


Hematom intraserebral, Hematom intraventrikular

Kontusio serebri: Contra coup kontusio, Coup kontusio

Laserasi serebri

Lesi diffuse: Komosio serebri, Diffuse axonal injury.(DAI)

b. Lesi akselerasi deselerasi


Gaya tidak langsung bekerja pada kepala tetapi mengenai bagian
tubuh yang lain tetapi kepala tetap ikut terkena gaya. Oleh karena
adanya perbedaan densitas antara tulang kepala dengan densitas
yang tinggi dan jaringan otak dengan densitas yang lebih rendah,
maka jika terjadi gaya tidak langsung maka tulang kepala akan
bergerak lebih dahulu sedangkan jaringan otak dan isinya tetap

15

berhenti, sehingga pada saat tulang kepala berhenti bergerak maka


jaringan otak mulai bergerak dan oleh karena pada dasar tengkorak
terdapat tonjolan-tonjolan maka akan terjadi gesekan antara jaringan
otak dan tonjolan tulang kepala tersebut akibatnya terjadi lesi
intrakranial berupa:

Hematom subdural

Hematom intraserebral

Hematom intraventrikel

Contra coup kontusio

Selain itu gaya akselerasi dan deselerasi akan menyebabkan gaya


tarikan ataupun robekan yang menyebabkan lesi diffuse berupa:

Komosio serebri

Diffuse axonal injury

3.2.4 Patofisiologi
1. Cedera primer
Luka primer termasuk transfer eksternal dari energi kinetik ke berbagai
komponen stukrtur otak (misal neuron, sinaps saraf, sel glial, akson, dan
pembuluh darah cerebral). Desakan zat biokimia bertanggung jawab
terhadap luka otak primer dapat diklasifikasikan secara umum sebagai
concussive/compressive (misal pukulan benda tumpul, luka penetrasi
peluru) dan akselerasi/deselerasi (misal pergerakan otak akibat kecelakaan
bermotor). Luka primer terkategori selanjutnya sebagai fokal (misal luka
memar, hematoma) atau difusse.
2. Cedera sekunder
Suatu rangkaian patofisiologi yang kompleks dipercepat oleh cedera
otak primer dapat mengganggu secara serius terhadap keseimbangan antara
kebutuhan dan supply oksigen di CNS. Hipotensi selama periode awal pasca
trauma merupakan penyumbang utama terhadap ketidakseimbangan yang
terjadi

dan

faktor

yang

menentukan

outcome.

Hasil

akhir

dari

ketidakseimbangan ini dapat menimbulkan iskemia cerebral, yang

16

merupakan kunci patofisiologi pemicu luka sekunder. Bagan berikut


merupakan skema sederhana dari proses luka sekunder dan hubungan timbal
baliknya.
3.2.5 Gambaran Klinis
Secara Umum yaitu derajat kesadaran dalam rentang bangun sampai tidak
berespon sama sekali. Gejala berupa amnesia pasca trauma (lebih dari 1 jam),
pusing yang bertambah, sakit kepala sedang sampai berat, kelemahan anggota
badan, atau paresthesia mungkin mengindikasikan cedera yang lebih berat.
Tanda yaitu CSF otorrhea atau rhinorhea dan kejang mungkin mengindikasikan
cedera yang lebih berat. Kemunduran status mental yang cepat sangat
menandakan adanya lesi yang meluas dalam tengkorak. Tes laboratorium:
Arterial Blood Gas mengindikasikan hipoksia (penurunan PaO2) atau
hypercapnia yang menandakan gangguan ventilasi/pernafasan. Tes diagnosa
lain: CT scan kepala merupakan alat diagnosa yang penting untuk mendeteksi
adanya massa lesi.
Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:
a.Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os
mastoid)
b.

Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)

c. Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)


d.

Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)

e.Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)


Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan;
a. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat
kemudian sembuh.
b. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.
c. Mual atau dan muntah.
d. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.
e. Perubahan keperibadian diri.
f. Letargik.

17

Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat;


a. Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan
peningkatan di otak menurun atau meningkat.
b.

Perubahan ukuran pupil (anisokoria).

c. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi


pernafasan).
d. Apabila

meningkatnya

tekanan

intrakranial,

terdapat

pergerakan atau posisi abnormal ekstrimitas.


3.2.6 Diagnosa
Kriteria diagnosa:

Riwayat trauma kapitis

Sakit kepala/pusing, muntah, tidak sadar, amnesia, kesadaran menurun

Defisit neurologis fokal:


o Lateralisasi:

pupil

anisokor,

refleks

cahaya

menurun/hemiparesis/plegi, dll
o Kejang

Gradasi cedera kepala:


o Tingkat I : sadar penuh (dapat disertai sakit kepala, muntah, atau
amnesia)
o Tingkat II : tidak sadar tetapi masih dapat melaksanakan perintah
sederhana, atau sadar penuh tetapi terdapat defisit neurologis
o Tingkat III: tidak sadar dan tidak dapat melaksanakan perintah
sederhana
o Tingkat IV: mati otak

Pemeriksaan penunjang: Rontgen tengkorak; CT scan; MRI; EEG


3.2.7 Penatalaksanaan
1. Melancarkan jalan nafas (airway), menjaga pernafasan dan ventilasi
(breathing) dan peredaran darah (circulation) selama periode awal
resusitasi dan evaluasi

18

2. Menjaga keseimbangan antara CD O2 (cerebral oxygen delivery)


dan CM O2 (cerebral oxygen consumption)
3. Mencegah kejadian cedera neuronal sekunder
4. Mencegah dan atau mengobati komplikasi medis yang berhubungan
Penatalaksanaan terapi
Penatalaksanaan terapi untuk pasien yang tidak sadar (Standar Pelayanan
Medik, 2009):
1. Suportif ABC
a. A airway (jalan nafas)
b. B breathing (pernafasan)
c. C circulation (sirkulasi/peredaran darah)
i. Mengatasi syok hipovolemik
ii. Infus dengan cairan kristaloid :
Ringer laktat
NaCl 0,9%; D5%; 0,45 saline
Infus dengan cairan koloid
Transfusi darah
2. Pengendalian peningkatan tekanan intrakranial
a. Manitol 0,5-1 gr/kgBB, diberikan dalam waktu 20 menit diulangi
tiap 4-6 jam
b. Furosemid 1-2 mg/kgBB
c. Hiperventilasi dengan mempertahankan PaCO2 25-30 mmHg
3. Koreksi gangguan elektrolit asam basa
4. Antikonvulsan bila perlu
5. Antibiotik profilaksis
6. Nutrisi
7.

Operasi Cedera Kepala

19

Hasil segera yang ingin dicapai dari operasi adalah kembalinya pergeseran
garis tengah, kembalinya tekanan intrakranial ke dalam batas normal, kontrol
pendarahan dan mencegah perdarahan ulang.
lndikasi operasi pada cedera kepala harus mempertimbangkan hal dibawah
ini :
1. Status neurologis
2. Status radiologis
3. Pengukuran tekanan intrakranial
Secara umum indikasi operasi pada hematoma intrakranial :
Massa hematoma kira-kira 40 cc
Masa dengan pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm
EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah dengan
GCS 8 atau kurang.
Kontusio cerebri dengan diameter 2 cm dengan efek massa yang jelas atau
pergeseran garis tengat lebih dari 5 mm.
Pasien

yang

menurun

kesadarannya

dikemudian

waktu

disertai

berkembangnya tanda-tanda lokal dan peningkatan tekanan intraknial lebih


dari 25 mm Hg.
lndikasi Burr hole eksplorasi dilakukan bila pemeriksaan CT Scan tidak
memungkinkan dan didapat :
Dilatasi pupil ipsilateral
Hemiparese kontralateral
Lucid interval/penurunan GCS tiba-tiba
Operasi Cedera Kepala segera yang ingin dicapai dari operasi adalah
kembalinya pergeseran garis tengah, kembalinya tekanan intrakanial ke dalam
batas normal, kontrol pendarahan dan mencegah pendarahan ulang.
3.3 Epidural Hematoma
3.3.1 Definisi

20

Epidural hematoma (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang


potensial antara tabula interna dan duramater dengan ciri berbentuk bikonvek
atau menyerupai lensa cembung. Paling sering terletak diregio temporal atau
temporoparietal dan sering terjadi akibat robeknya pembuluh darah meningeal
media. Perdarahan biasanya dianggap berasal dari arterial, namun mungkin dari
vena hanya pada sepertiga kasus. Kadang epidural hematoae terjadi akibat
robeknya sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior.
3.3.2 Etiologi
Epidural hematoma dapat terjadi pada siapa saja dan umur berapa saja.
Beberapa keadaan yang bisa menyebabkan EDH misalnya benturan kepala pada
kecelakaan motor. Epidural hematoma terjadi akibat trauma kepala, yang
biasanya berhubungan dengan fraktur tulang tengkorak dan laserasi pembuluh
darah. Epidural hematoma juga bisa disebabkan akibat pemakaian obat obatan
antikoagulan, hemophilia, penyakit liver, penggunaan aspirin, sistemik lupus
erimatosus, fungsi lumbal.
3.3.3 Gejala Klinis
Pada anamnesa didapatkan riwayat cedera kepala dengan penurunan
kesadaran. Pada kurang lebih 50 % kasus kesadaran pasien membaik dan
adanya lucid interval diikuti adanya penurunan kesadaran secara perlahan
sebagaimana peningkatan TIK. Pada kasus lainnya, lucid interval tidak
dijumpai, dan penurunan kesadaran berlangsung diikuti oleh detoriasi progresif.
Epidural hematoma terkadang terdapat pada fossa posterior yang pada beberapa
kasus dapat terjadi sudden death sebagai akibat kompresi dari pusat
kardiorespiratori pada medulla. Pasien yang tidak mengalami lucid interval dan
mereka yang terlibat pada kecelakaan mobil pada kecepatan tinggi biasanya
akan mempunyai prognosis yang lebih buruk.
Gejala neurologik yang terpenting adalah pupil mata anisokor, yaitu pupil
ipsilateral melebar.
Tanda Diagnostik Klinik Epidural Hematoma :
1. Lucid interval (+)

21

2. Kesadaran makin menurun


3. Late hemiparese kontralateral lesi
4. Pupil anisokor
5. Babinsky (+) kontralateral lesi
6. Fraktur daerah temporal
Gejala dan Tanda Klinis Epidural Hematoma di Fossa Posterior :
1. Lucid interval tidak jelas
2. Fraktir kranii oksipital
3. Kehilangan kesadaran cepat
4. Gangguan serebellum, batang otak, dan pernafasan
5. Pupil isokor
3.3.4 Patofisiologi
Pada epidural hematome, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan
dura meter. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu
cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur
tulang tengkorak di daerah bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah
frontal atau oksipital.
Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen
spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dan os
temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural, desakan
oleh hematoma akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala
sehingga hematom bertambah besar.
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada
lobus temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan
bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium.
Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik.
Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang mengurus formasi
retikularis di medulla oblongata yang menyebabkan hilangnya kesadaran. Di
tempat ini terdapat nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada
saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada

22

lintasan kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan


kelemahan respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat,
dan tanda babinski positif.
Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan
terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang
besar. Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intracranial antara lain
kekakuan deserebrasi dan gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.
Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus
keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur
mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu
beberapa jam , penderita akan merasakan nyeri kepala yang progersif
memberat, kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua
penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan di
sebut interval lucid. Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang
ringan pada Epidural hematom. Kalau pada subdural hematoma cedera
primernya hamper selalu berat atau epidural hematoma dengan trauma primer
berat tidak terjadi lucid interval karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan
tidak pernah mengalami fase sadar.
Sumber perdarahan :

Artery meningea ( lucid interval : 2 3 jam )

Sinus duramatis

Diploe (lubang yang mengisis kalvaria kranii) yang berisi a.


diploica dan vena diploica

3.3.5 Diagnosis
Diagnosis EDH didasarkan gejala klinis serta pemeriksaan penunjang
seperti foto Rontgen kepala dan CT scan kepala. Adanya garis fraktur yang
menyokong diagnosis epidural hematoma bila sisi fraktur terletak ipsilateral
dengan pupil yang melebar, garis fraktur juga dapat menunjukkan lokasi
hematoma.

23

Computed tomografi (CT) scan otak akan memberikan gambaran hiperdens


(perdarahan) di tulang tengkorak dan dura, umumnya di daerah temporal dan
tampak bikonveks.

Gambar 4. Computed tomografi scan otak

3.3.6 Terapi
Penanganan darurat :

Dekompresi dengan trepanasi sederhana

Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom

Usahakan agar jalan nafas selalu babas, bersihkan lendir dan darah yang
dapat menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu dipasang pipa
naso/orofaringeal dan pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk
membuka jalur intravena : guna-kan cairan NaC10,9% atau Dextrose in saline.
Elevasi kepala 300 dari tempat tidur setelah memastikan tidak ada cedera
spinal atau gunakan posisi trendelenburg terbalik untuk mengurang tekanan
intracranial dan meningkakan drainase vena.
Pengobatan yang lazim diberikan pada cedera kepala adalah golongan
dexametason (dengan dosis awal 10 mg kemudian dilanjutkan 4 mg tiap 6 jam),
mannitol 20% (dosis 1-3 mg/kgBB/hari) yang bertujuan untuk mengatasi edema
cerebri yang terjadi akan tetapi hal ini masih kontroversi dalam memilih mana
yang terbaik. Dianjurkan untuk memberikan terapi profilaksis dengan fenitoin

24

sedini mungkin (24 jam pertama) untuk mencegah timbulnya focus


epileptogenic dan untuk penggunaan jangka panjang dapat dilanjutkan dengan
karbamazepin. Tri-hidroksimetil-amino-metana (THAM) merupakan suatu
buffer yang dapat masuk ke susunan saraf pusat dan secara teoritis lebih
superior dari natrium bikarbonat, dalam hal ini untuk mengurangi tekanan
intracranial. Barbiturat dapat dipakai unuk mengatasi tekanan inrakranial yang
meninggi dan mempunyai efek protektif terhadap otak dari anoksia dan iskemik
dosis yang biasa diterapkan adalah diawali dengan 10 mg/kgBB dalam 30 menit
dan kemudian dilanjutkan dengan 5 mg/ kgBB setiap 3 jam serta drip 1
mg/kgBB/jam unuk mencapai kadar serum 3-4mg%.
Terapi Operatif
Operasi di lakukan bila terdapat :

Volume hamatom > 30 ml

Ketebalan > 2 cm

Midline shifting > 4 mm

Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk
fungsional saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya
menjadi operasi emergenci. Biasanya keadaan emergenci ini di sebabkan oleh
lesi desak ruang
Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :

> 25 cc desak ruang supra tentorial

> 10 cc desak ruang infratentorial

> 5 cc desak ruang thalamus

Sedangakan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan:

Penurunan klinis

Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm


dengan penurunan klinis yang progresif.

Tebal epidural hematoma > 1 cm dengan midline shift > 5 mm


dengan penurunan klinis yang progresif.

3.3.7 Prognosa

25

Prognosis tergantung pada :

Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )

Besarnya

Kesadaran saat masuk kamar operasi.

Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik,


karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka kematian
berkisar antara 7-15% dan kecacatan pada 5-10% kasus. Prognosis sangat buruk
pada pasien yang mengalami koma sebelum operasi. Skor GCS penting untuk
menilai tingkat kesadaran dan berat ringannya trauma kapitis.

26

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pada pasien yang mengalami Cedera Kepala Ringan

perlu dilakukan

penanganan yang cepat dan tepat, baik dalam upaya untuk tindakan life saving
dan untuk mencegah terjadinya kecacatan fisik maupum mental, sehingga setelah
semua kegawatan telah diatasi perlu dilakukan pemeriksaan penunjang yang tepat
untuk mendapatkan diagnosa pasti, sehingga terapi Operatif ataupun Non-operatif
(medikamentosa dan non-medikamentosa) yang diberikan dapat adekuat dan
tepat.

27

DAFTAR PUSTAKA

Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4, Anugrah
P. EGC, Jakarta,1995, 1014-1016
Anonym,Epiduralhematoma,www.braininjury.com/epidural-subdural-hematoma.html
Duus P. Diagnosis Topik Neurologi Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala. Jakarta: EGC,
1994. p. 329-30
Japardi I. Penatalaksanaan Cedera Kepala Secara Operatif. Bagian Bedah Fakultas
Kedokteran USU. 2004.. Didapat dari : http://library.usu.ac.id/download/fk/bedahiskandar%20japardi61.pdf
Markam S, Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua, Harsono, Gajah
Mada University Press, Yogyakarta, 2005, 314
Mardjono M. Sidharta P., Mekanisme Trauma Susunan Saraf, Neurologi Kilinis
Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 2003, 254-259
Mc.Donald D., Epidural Hematoma, www.emedicine.com
Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC, 2003. p.
818-9
Wedro B C, Stoppler MC. Head Injury Overview. on emedicine health. Available at
http://www.emedicinehealth.com/script/main/art.asp?
articlekey=59402&page=1#overview

Anda mungkin juga menyukai