Anda di halaman 1dari 31

PRESENTASI KASUS

SUBDURAL HEMORAGE KRONIK






Disusun Oleh :
I Gusti Ayu Ary N.W 1310221087

Pembimbing :
dr. Aditya Sp.BS


SMF ILMU PENYAKIT BEDAH
RST dr. SOEDJONO
MAGELANG
2014


BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama pasien : Bp. Sakum Raharjo
Umur : 70 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Petani
Alamat : windusari, magelang
Status perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Tanggal masuk RS : 08 Mei 2014
Tanggal pemeriksaan : 09 Maei 2014
Bangsal : Seruni

II. ANAMNESIS
Anamnesis didapatkan secara autoanamnesis dan alloanamnesis pada tanggal
09 Mei 2014, pukul 06.45 WIB di bangsal Seruni

A. Keluhan utama
Sakit kepala hebat.
B. Riwayat penyakit sekarang
Kronologis :
3 bulan yang lalu, pasien jatuh akibat kaki tersangkut selang, pasien
mengeluhkan sakit kepala hebat, mengerti pembicaraan tetapi tidak bisa bicara,
kelemahan anggota gerak pada ekstremitas kanan. Pasien berobat ke dokter umum
dan membaik.
1 bulan yang lalu, pasien sedang makan bakso dan tanpa terjadi trauma
apapun kesadaran pasien menghilang, 15 menit setelah pingsan, pasien bangun
dengan keadaan tidak bisa bicara kembali, nyeri kepala hebat, dan kelemahan
pada ekstremitas kanan. Pasien berobat ke dokter saraf dan belum ada perbaikan
Pada pukul 21.00 WIB tanggal 8 Mei 2014 pasien datang dengan rujukan dari
klinik RSJ dengan diagnosa SDH Kronis, dengan keadaan afasia dan kelemahan
ekstremitas kanan.
C. RiwayatPenyakitDahulu
Riwayat hipertensi : diakui
Riwayat DM : disangkal
Riwayat alergi :disangkal
Riwayat operasi : disangkal
Riwayat trauma : disangkal

D. Riwayat Keluarga
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat alergi :disangkal
Riwayatasma : disangkal


III. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
1. Keadaan umum : tampak sakit sedang
2. Kesadaran : kompos mentis, GCS : E
4
M
6
V
5

3. Vital sign
Tekanandarah :130/80 mmHg
Nadi : 84x/menit, isi cukup, reguler
Respirasi : 22 x/menit
Suhu : 36,6
o
C
4. Pemeriksaan Fisik
Kepala : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
Isokor 3mm/3mm
Leher : pembesaran kelenjar limfe (-), deviasi trakea (-)
Thoraks :jejas (-)
Paru
Inspeksi : simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi dada (-/-)
Palpasi : pengembangan paru yang tertinggal (-), fremitus
raba (normal/normal)
Perkusi : sonor
Auskultasi : SDV (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Ekstremitas
Superior Inferior
Akral dingin (-/-) (-/-)
Akral sianosis (-/-) (-/-)
Oedem (-/-) (-/-)
Capillary Refill < 2 < 2

Status neurologis
kemampuan bicara : afasia
kekuatan motoric : kelemahan otot wajah sebelah sinistra dengan hemiparese
ekstremitas superior dan inferior dekstra
sensitifitas rabaan : penurunan sensitifitas rabaan pada wajah bagian sinistra
dan ekstremitas bagian dektra
reflek fisiologis (+)
reflek patologis (-)

IV. Diferensial Diagnosis
SDH Kronik
EDH
Trauma Kepala dengan Defisit neurologis

V. Planning Diagnosis
Laboratoriom Darah Lengkap,CT/BT
CT Scan

Hasil laboratorium darah (9 Maret 2014)
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
WBC 9 3,5-10
RBC 5,47 10
3
/mm
3
3,80-5,80
HGB 14,3 g/dl 11.0-16.5
HCT 42,2 % 35,0-50,0
PLT 311 10
3
/mm
3
150-390
PCT 245 % 100-500
MCV 77 um
3
(L) 80-97
MCH 26,2 pg (L) 26,5-33,5
MCHC 34,0 g/dl 31,5-35,0
RDW 14,9 % 10,0-15,0
MPV 7,9 um
3
6,5-11,0
PDW 13,7 % 10,0-18,0
% LYM 11,8 % (L) 17,0-48,0
%MON 2,7% (L) 4,0-10,0
%GRA 85,5 % (H) 43,0-76,0
# LYM 2,0 10
3
/mm
3
1,2-3,2
#MON 0,4 10
3
/mm
3
0,3-0,8
#GRA 15,3 10
3
/mm
3
(H) 1,2-6,8


Ct scan

Kesan : CT Scan hematoma subdural

VI. Diagnosis Klinis
SDH Kronik FrontoParietal Sinistra

VII. Planning Terapi
InfusRL 20 tpm
InjCefotaxim 1 gr 1x1
Inj Ketorolac 2x 30 gr
Rencana craniotomi
RIWAYAT RAWAT INAP
Follow up pre-operatif (9 Mei 2014)
Subjektif : Nyeri kepala (+) afasia (+) kelemahan ekstremitas kanan (+)
Objektif
Vital sign:
Tekanandarah : 140/80 mmHg
Nadi : 86 x/menit reguler
Suhu : 36,5
o
C
Respirasi : 20 x/menit
Status General
Keadaanumum: baik, GCS: E4V5M6
Kepala/Leher : pupil isokor, 3-3 mm
Thorax : dbn
Abdomen : dbn
Status lokalis
Look : tampak Hematom (+) tidak tampak luka, bersih,,
Feel : nyeri tekan(+), hematom diameter 6x6 cm, teraba hangat

Assessment
SDH Kronik Frontoparietal Sinistra

Planning
Infus RL
Inj Ketorolac 2 x 30 mg
Pro craniotomi
Pre medikasi inj cefotaksim 2 x 1 g
Puasa

Laporan Operasi (09 Maret 2014)
Pasien terlentang di meja oprasi dalam anestesi umum, kepala
menghadap ke kanan, ada antisepsi di daerah oprasi dan sekitarnya, insisi
kulit linier, 2 buah di frontal dan parietal kiri. Insisi periosteum lalu di
pasang spender. Di buat 2 buah lubang bor, lalu di perluas dengan
kerison, tampak durah tegang berwarna ke biruan, dilakukan insisi dura
silang, keluar hematom lisis memancar, spooling dengan Nacl sampai
jernih, tampak otak tidak berkembang dengan maksimal, di pasang drain
subdural dengan NGT no 12, luka di jahit lapis demi lapis
.
Dokumentasi Saat Operasi (9 Maret 2014)





Monitoring dan Evaluasi
Keadaan umum, tanda vital, dan kesadaran
Puasa sampai bising usus normal
Inful Nacl : RL 2:2 24 jam
Manitol stop, ceftriaxon 2x1, ketolorac 3x1
Cek DL post Op, transfusi bila HB <10
VIII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam

Follow up post-operatif hari ke 1 (10 Maret 2014)
Subjektif :nyeri pada daerah luka, pusing (+), sudah bisa bicara, ekstremitas
kanan sudah dapat bergerak perlahan
Objektif
Vital sign:
Tekanandarah : 130/70 mmHg
Nadi : 84 x/menit reguler
Suhu : 36,5
o
C
Respirasi : 20 x/menit
Status General
Keadaanumum: baik, GCS: E4V5M6
Kepala/Leher : pupil isokor 3-3 mm
Thorax : dbn
Abdomen : dbn
Assessment
Post Op Craniotomi H+1 e.c. SDH Kronik
Terapi
- Tranfusi RL 20 tpm
- Inj. Ketorolac 3x30 mg
- Ceftriaxone 2x1 g
Follow up post-operatif hari ke 2 (11 Mei 2014)
Subjektif :nyeri pada daerah post op, pusing (+) afasia (-) ekstremitas kanan
sudah mulai bergerak ke arah normal
Objektif
Vital sign:
Tekanandarah : 120/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit reguler
Suhu : 36,5
o
C
Respirasi : 20 x/menit
Status General
Keadaanumum: baik, GCS: E4V5M6
Kepala/Leher : pupil isokor 3-3 mm
Thorax : dbn
Abdomen : dbn
Assessment
Post OP Craniotomi e.c SDH Kronik
Terapi
- Tranfusi RL 20 tpm
- Inj. Ketorolac 3x30 mg
- Ceftriaxone 2x1 g














BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
A. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit,
connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea
aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan
pericranium.



B. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang
tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan
oksipital. Kalvaria khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di sini dilapisi
oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapatmelukai
bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga
tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior tempat lobusfrontalis, fosa
media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak
dan serebelum.
C. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan yaitu :
1. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal.4 Duramater merupakan selaput yang keras,
terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari
kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka
terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater dan
arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak,
pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus
sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami
robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior
mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari
sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri meningea terletak
antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya
fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan
menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah
arteri meningea media yang terletak pada fosatemporalis (fosa media).
2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.
Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah
luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang
potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid
yang terisi oleh liquor serebrospinalis.4 Perdarahan sub arakhnoid umumnya
disebabkan akibat cedera kepala.
3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri.3. Pia mater adarah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk
kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan
menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak
juga diliputi oleh pia mater.

D. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat padaorangdewasa
sekitar 14 kg.7 Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon (otak depan)
terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan
rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan
serebellum

retikular yang berfungsi
dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat
kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan
keseimbangan.
E. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral
melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju
ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio
arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS
dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS
dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial.3 Angka rata-rata pada kelompok
populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS
per hari.
F. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang
infratentorial (berisi fosa kranii posterior).
G. Perdarahan Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk
sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam
dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar
dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis

2.2 ASPEK FISIOLOGIS CEDERA KEPALA
a. Hukum Monroe-Kellie
Volume intrakranial adalah tetap karena sifat dasar dari tulang tengkorang yang
tidak elastik. Volume intrakranial (Vic) adalah sama dengan jumlah total volume
komponen-komponennya yaitu volume jaringan otak (V br), volume cairan
serebrospinal (V csf) dan volume darah (Vbl).
Vic = V br+ V csf + V bl

b. Tekanan Perfusi Serebral
Adalah selisih antara mean arterial pressure (MAP) dan tekanan intarkranial
(ICP). Pada seseorang yang dalam kondisi normal, aliran darah otak akan bersifat
konstan selama MAP berkisar 50-150mmhg. Hal ini dapat terjadi akibat adannya
autoregulasi dari arteriol yang akan mengalami vasokonstriksi atau vasodilatasi
dalam upaya menjaga agar aliran darah ke otak berlangsung konstan.
PATOFISIOLOGI
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala
sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan
langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses
akselarasideselarasi gerakan kepala.Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi
peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya
benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada
daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut
contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti
secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).

Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses
patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa
perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan
tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.
Fraktur tengkorak
Fraktur tengkorak dapat terjadi pada kalvaria atau basis. Pada fraktur
kalvaria ditentukan apakah terbuka atau tertutup, linear atau stelata, depressed
atau non depressed. Fraktur tengkorak basal sulit tampak pada foto sinar-x polos
dan biasanya perlu CT scan dengan setelan jendela-tulang untuk
memperlihatkanlokasinya. Sebagai pegangan umum, depressed fragmen lebih dari
ketebalan tengkorak (> 1 tabula) memerlukan operasi elevasi. Fraktura tengkorak
terbuka atau compound berakibat hubungan langsung antara laserasi scalp dan
permukaan serebral karena duranya robek, dan fraktura ini memerlukan operasi
perbaikan segera.
Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan
bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak mempunyai cedera
berat. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar
400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar.
Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400
kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk
alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah
sakit untuk pengamatan, tidak peduli bagaimana baiknya tampak pasien
tersebut.15
Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau
kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma
epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral). Pasien
pada kelompok cedera otak difusa, secara umum, menunjukkan CT scan normal
namun menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam. Basis selular
cedera otak difusa menjadi lebih jelas pada tahun-tahun terakhir ini.
Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang
potensial antara tabula interna dan duramater. Paling sering terletak diregio
temporal atau temporalparietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal
media. Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder
dari perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural
mungkin akibat robeknya sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa
posterior. Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari
keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat
menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis
biasanya baik karena cedera otak disekitarnya biasanya masih terbatas. Outcome
langsung bergantung pada status pasien sebelum operasi. Mortalitas dari
hematoma epidural sekitar 0% pada pasien tidak koma, 9% pada pasien obtundan,
dan 20% pada pasien koma dalam.12,14
Hematoma Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara
duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan
sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat
robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining. Namun ia juga
dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktura
tengkorak mungkin ada atau tidak. Selain itu, kerusakan otak yang mendasari
hematoma subdural akuta biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih
buruk dari hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin
diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis
agresif.

Kontusi dan hematoma intraserebral.
Kontusi serebral sejati terjadi cukup sering. Selanjutnya, kontusi otak
hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural. Majoritas terbesar kontusi
terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat
termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan hematoma
intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun, terdapat zona
peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral
dalam beberapa hari.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan
(parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan
otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam
jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan
temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi
lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan
tergantung pada lokasi dan luas perdarahan.

KLASIFIKASI
Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale
adalah sebagai berikut :
1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat.
2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13 dan,
3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili
tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder
serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu
penyembuhan sel-sel otak yang sakit.16 Penatalaksanaan cedera kepala tergantung
pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala ringan, sedang, atau berat.
Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam
penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway,
breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan
dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala
berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan
mencegah homeostasis otak. Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat
inap di rumah sakit.
Indikasi rawat antara lain:
1. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)
2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
3. Penurunan tingkat kesadaran
4. Nyeri kepala sedang hingga berat
5. Intoksikasi alkohol atau obat
6. Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
8. Cedera penyerta yang jelas
9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan
10. CT scan abnormal


Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk
memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan
dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi,
pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan antikonvulsan. Pada
penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan tindakan operatif. Indikasi
untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan
neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan
sebagai berikut:
1. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau
lebih
2. dari 20 cc di daerah infratentorial
3. kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta gejala
dan
4. tanda fokal neurologis semakin berat
5. terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
6. pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
7. terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
8. terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
9. terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
10. terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis

2.2 Subdural Hematoma
Definisi
Hematoma adalah sekelompok sel darah yang telah mengalami ekstravasasi,
biasanya telah menggumpal, baik di dalam organ, interstitium, jaringan dan otak.
Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural. Dalam
bentuk akut yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki ruang
tersebut sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya arakhnoidea sehingga
menambah penekanan subdural pada jejas langsung di otak. Dalam bentuk kronik,
hanya darah yang efusi ke ruang subdural akibat pecahnya vena-vena
penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup. Efusi itu
merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa minggu setelah cedera,
sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan
darah.


2. Epidemiologi
Hematom subdural yang akut jarang terjadi. Literatur tentang laporan kasus
sporadic sangat terbatas. Kasus ini sering mempunyai suatu sumber arteri, karena
mereka biasanya dihubungkan dengan keadaan patologis yang sama seperti yang
terjadi pada perdarahan subaraknoid dan perdarahan intraserebral. Darah dari
ruptur aneurisma bisa masuk memotong melalui parenkim otak atau ruang
subaraknoid. Nyatanya, kasus telah dilaporkan mengenai suatu hematom subdural
akut yang dicetus dengan penyalahgunaan kokain. Suatu penelitian retrospektif
melaporkan bahwa 56% dari kasus pada pasien dalam kelima dan decade ketujuh.
Penelitian lain mencatat bahwa lebih dari setengah dari semua kasus terlihat
pqada pasien >60 tahun . Insiden yang tertinggi dari 7,,35 per 100.000 terjadi pada
remaja dengan umur 10-19 tahun. Rata-rata mortalitas pada pasien dengan
hematom subdural akut dilaporkan berkisar 30-90 %, tetapi sekitar 60% adalah
tipikal . Rata-rata morbiditas dan mortalitasnya dihubungkan dengan pengobatan
secara pembedahan dari hematom subdural kronik, telah diperkirakan berkisar
11% dan 5% secara berurutan. Hematom subdural dapat terjadi pada semua umur



3. Etiologi
Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan
kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan
subdural. Hemoragi subdura biasanya disebabkan oleh sobeknya vena di tempat
vena itu melalui rongga subdura. Gerak otak depan relatif terhadap dura dengan
mendadak, dapat terjadi setelah mendapat pukulan yang tidak mengakibatkan
fraktur tengkorak. Hemoragi subdural mungkin sekali selalu disebabkan oleh
trauma kapitis walaupun traumanya mungkin tidak berarti (trauma pada orang tua)
sehingga tidak terungkap oleh anamnesis. Yang seringkali berdarah ialah bridging
veins, karena tarikan ketika terjadi pergeseran rotatorik otak.
Subdural merupakan lapisan sebelum dura ( duramater adalah membran
pembungkus terluar dari otak ). Subdural hematom terjadi ketika darah vena yang
berlokasi antara lapisan pembungkus otak ( meningen ) ditemukan darah setelah
head injury pada kepala. Subdural hematom timbul ketika vena-vena yang
berjalan antara dura dan permukaan otsk pecah dan mengeluarkan darah.
Pengumpulan darah kemudian terbentuk diatas permukaan otak. Pada
pengumpulan subdural kronik, darah yang berasal dari vena-vena berjalan lambat.
Ini dapat terjadi karena head injury atau frekuensi kurang, itu dapat terjadi spontan
jika pasien agak tua. Hematom subdural kronik biasanya dihubungkan dengan
atropi serebral. Vena batang kortek diperkirakan tekanannya menjadi lebih rendah
sebagaimana penyusunan otak yang berangsur-angsur dari tulang tengkorak,
bahkan trauma minor bisa menyebabkan satu dari vena menjadi bocor. Perdarahan
yang lambat dari sistem vena yang bertekanan rendah sering bisa memperbesar
bentuk hematom sebelum nampak tanda-tanda klinis. Hematom subdural yang
kecil sering diabsorbsi secara spontan. Kumpulan yang besar dari darah subdural
sering mengatur dan membentuk membran vaskuler yang menyelubungi hematom
subdural. Perdarahan kecil yang berulang , vena bersama dengan membran ini
bertanggung jawab terhadap perluasan dari beberapa hematom subdural
Perdarahan sub dural dapat terjadi pada:
Trauma kapitis
Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau
putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk.
Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah
terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada orangtua
dan juga pada anak anak.
Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan
subdura.
Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan
subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor intrakranial.
Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati.
4. Patofisiologi
Pada perlukaan kepala , dapat terjadi perdarahan ke dalam ruang
subaraknoid, kedalam rongga subdural (hemoragi subdural) antara dura bagian
luar dan tengkorak (hemoragi ekstradural) atau ke dalam substansi otak sendiri.
Putusnya vena-vena penghubung ( bridging veins ) antara permukaan otak dan
sinus dural adalah penyebab perdarahan subdural yang paling sering terjadi.
Perdarahan ini seringkali terjadi sebagai akibat dari trauma yang relatif kecil, dan
mungkin terdapat sedikit darah di dalam rongga subaraknoid. Anak-anak ( karena
anak-anak memiliki vena-vena yang halus ) dan orang dewasa dengan atropi otak
( karena memiliki vena-vena penghubung yang lebih panjang ) memiliki resiko
yang lebih besar. Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral
dan atas hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi
bridging veins . Karena perdarahan subdural sering disebabkan olleh perdarahan
vena, maka darah yang terkumpul hanya 100-200 cc saja. Perdarahan vena
biasanya berhenti karena tamponade hematom sendiri. Setelah 5-7 hari hematom
mulai mengadakan reorganisasi yang akan terselesaikan dalam 10-20 hari. Darah
yang diserap meninggalkan jaringan yang kaya pembuluh darah. Disitu timbul
lagi perdarahan kecil, yang menimbulkan hiperosmolalitas hematom subdural dan
dengan demikian bisa terulang lagi timbulnya perdarahan kecil dan pembentukan
kantong subdural yang penuh dengan cairan dan sisa darah (higroma).
Kondisi- kondisi abnormal biasanya berkembang dengan satu dari tiga
mekanisme. Perdarahan yang terjadi akibat rusaknya arteri kortikal (termasuk
epidural hematom), perdarahan dari rusaknya dasar parenkim, dan kebocoran
pembuluh darah dari korteks terhadap satu dari aliran sinus venosus.
Pada semua kasus , pergerakan sagital dari kepala bisa dihasilkan dengan suatu
akselerasi angular (kaku ) yang menyebabkan ruptur batang vena parasagital dan
suatu hematom subdural yang berat. Gennereli dan Thibault menggambarkan
bahwa rata-rata akselerasi dan deselerasi dari kepala merupakan factor utama
kegagalan vena
Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat
terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan
vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena
robeknya araknoidea. Karena otak yang bermandikan cairan cerebrospinal dapat
bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi
otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di
mana mereka menembus duramater Perdarahan yang besar akan menimbulkan
gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural.
Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan
tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun
mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala
seperti tumor serebri karena tekanan intracranial yang berangsur meningkat.
Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena
jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil
sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan
pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena
yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum
gejala klinis muncul. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi
perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan
terjadinya membran vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut.
Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang
peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh
sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural
kronik.
Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial
dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh
efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase
ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena komplains
tekanan intra kranial yang cukup tinggi. Meskipun demikian pembesaran
hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan melampaui mekanisme
kompensasi tersebut. Komplains intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan
terjadinya peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi
serebral berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi
transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat
terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh
meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada hematoma subdural kronik,
didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basaalis lebih terganggu
dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya.
Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik,
yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan
mencair sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam
kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan
onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena tekanan onkotik yang
meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut.
Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari
penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata
hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua
mengatakan bahwa, perdarahan berulang yangdapat mengakibatkan terjadinya
perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan dapat
meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut memberi
bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau
kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim
fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan
terjadinya perdarahan subdural kronik.
5. Klasifikasi
a. Perdarahan Subdural dapat dibagi menjadi 3 bagian, berdasarkan saat
timbulnya gejala- gejala klinis yaitu:
1) Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera hingga berjam jam setelah trauma. Biasanya terjadi
pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih
lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya.
Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran
skening tomografinya, didapatkan lesi hiperdens.
2) Perdarahan sub akut
Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 14 hari sesudah trauma.
Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah .
Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya.
Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi
isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari
hemoglobin.
3) Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih. Perdarahan
kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun
bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya
terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga
mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan
subdural kronik , kita harus berhati hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa
menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan
dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk
mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk
atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila
terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah
yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini
protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari
hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru
yang menyebabkan menggembungnya hematoma.
Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat
menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan
menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma
subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada
gambaran skening tomografinya didapatkan lesi hipodens.
b. Berdasarkan pada arsitektur internal dan densitas tiap hematom, perdarahan
subdural kronik dibagi menjadi 4 kelompok tipe, yaitu :
1. Tipe homogen ( homogenous)
2. Tipe laminar
3. Tipe terpisah ( seperated)
4. Tipe trabekular (trabecular)
Tingkat kekambuhan pada tipe terpisah adalah tinggi sedangkan pada tipe yang
trabekular adalah rendah. Pada perdarahan subdural kronik diyakini bahwa pada
awalnya dalam bentuk homogen, kemusian seringkali berlanjut menjadi bentuk
laminar. Sedangkan pada subdural kronik yang matang, diwakili oleh stadium
terpisah dan hematomnya terkadang melalui stadium trabekular selama
penyerapan.
c. Sedangkan berdasarkan perluasan iutrakranial dari tiap hematom,
perdarahan subdural kronik dikelompokkan menjadi 3 tipe yaitu:
1. Tipe konveksiti ( convexity).
2. Tipe basis cranial ( cranial base ).
3. Tipe interhemisferik
Tingkat kekambuhan perdarahan subdural Kronik tipe cranial base adalah tinggi,
sedangkan kekambuhan tipe convexity adalah rendah. Pengelompokan perdarahan
subdural kronik berdasarkan arsitektur internal dan perluasan intra kranial ini
berguna untuk memperkirakan resiko terjadinya kekambuhan pasca operatif.
6. Manifestasi Klinis
Dalam latent interval kebanyakan penderita hematom subdural mengeluh
tentang sakit kepala dan pening, seperti umumnya penderita kontusio serebri juga
mengeluh setelah trauma kapitis. Tetapi apabila disamping itu timbul gejala-gejala
yang mencerminkan adanya proses desak ruang intrakranial, baru pada saat itu
timbulnya manifestasi hematom subdural. Gejala-gejala tersebut bisa berupa
kesadaran yang makin menurun, organic brain syndrom, hemiparesis ringan,
hemihipestesia, adakalanya epilepsy fokal dengan adanya tanda-tanda papiledema.

Gejala umum yang dapat tampak adalah :
1. Penderita mengeluh sakit kepala yang semakin bertambah terus.
2.Tampak ada gangguan psikik.
3. Setelah beberapa lama tampak kesadaran tambah menurun.
4. Kelainan neurologis yang mungkin tampak adalah hemiparese, bangkitan
epilepsy, dan papiledema.
5. Arterigrafi karotis dapat memperlihatkan adanya perpindahan ( shift ) dari
a.perikallosa ke sisi kontralateral, sedangkan di tempat lokasi dari hematom
subdural sendiri akan tampak suatu daerah bebas kontras yang berbentuk
bifocal.
6. CT-Scan akan dapat memperlihatkan hematom tersebut dengan baik.

Pada 75% kasus, sakit kepala timbul dengan gejala-gejala paling kurang satu
dari karakteristik berikut ini : onsetnya tiba-tiba, nyerinya berat, nausea dan
muntah-muntah dan eksaserbasi batuk, ketegangan otot atau latihan. Gejala umum
lainnya adalah kelemahan, kejang-kejang, dan inkonntinensia. Hemiparesis dan
penurunan kesadaran merupakan tanda yang paling sering terjadi. Hemiparesis
terjadi ipsilateral dengan hematom pada 40% kasus
a. Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam
setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan
neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi
batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan
pada batang otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan
dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.
b. Hematoma Subdural Subakut
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam
tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut,
hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural.
Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala
yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status
neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita
memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat
kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.Dengan
meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita
mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap
rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan
intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi
unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang
otak.
c. Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan
beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek salah satu vena
yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan
subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh
membrane fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang mampu menarik
cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma.
Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut
dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah
ukuran dan tekanan hematoma.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi
pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan
ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak
dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya
genangan darah.
7. Diagnosis
Penegakkan diagnosa subdural hematom kronis tidaklah gampang. Gejala-
gejalanya sangat menyerupai gejala suatu tumor serebri. Hematom subdural
kronis itu terletak antara duramater dan araknoid. Ia dapat menyerap cairan dari
sekitarnya sehingga lama kelamaan akan bertambah besar. Simptomatologinya
sangat menyerupai gejala suatu tumor serebri. Trauma kapitisnya sendiri begitu
ringan. Sehingga dapat terjadi bahwa si penderita sendiri tidak ingat lagi tentang
kapan dan dimana kepalanya terbentur. Trauma kapitisnya tidak menimbulkan
kesadaran menurun.
Pemeriksaan neurologik yang awal menyediakan suatu garis dasar yang penting
yang harus digunakan untuk memfollow-up perjalanan klinis pasien. Jika dicatat
dalam bentuk score GCS, ia juga memberikan informasi prognostic yang penting.
Pasien dengan cedera kepala yang serius sering di intubasi dengan cepat dan
diberikan perawatan yang diorientasi pada trauma. Namun karena prognostiknya
yang signifikan, pemeriksaan neurology yang singakat diukur dengan
menggunakan GCS yang merupakan komponen penting dari penilaian skunder
dan memerlukan waktu kurang dari 2 menit untuk menyempurnakannya.
Lihat tanda-tanda dari fraktur tulang tengkorak basilar. Ini termasuk ekimosis
bilateral (mata racoon) dan ekimosis retroaurikuler. Area di sekitar laserasi harus
dicukur dan di inspeksi. Pasien dengan cedera kepala yang berat harus dinilai
cedera kepala tulang servikal (C-spine); immobilisasi pasien sampai penelitian
klinis dan penelitian radiografik dapat dibuktikan sebaliknya
1. CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. Hematom subdural akut
tampak sebagai suatu hiperdense, konkaf terhadap otak, dan garis suturanya tidak
jelas, berbeda dengan hematom epidural dimana konveks tehadap otak dan garis
suturanya berbatas jelas.
2. Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
3. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan / edema), fragmen tulang.
4. Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi)
jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
5. Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrakranial.
6. Pemeriksaan Laboratorium
- Prevalensi abnormalitas koagulasi telah lama dikenali pada pasien cedera kepala.
Abnormalitas ini dipercaya akibat pelepasan dari bahan-bahan tromboplastik oleh
kerusakan jaringan otak.
- Pada suatu ulasan 253 pasien dengan cedera kepala yang memerlukan
pemeriksaan CT-Scan, resiko perkembangan otak yang lambat seperti yang
terlihat pada CT-Scan meningakt dari 31% pada pasien dengan koagulasi.
Reperensi rata-rata hampir 85% pada pasien dengan penemuan abnormal terhadap
protrombine time (PT), activated Partial Thromboplastin Time (aPTT), atau
hitung platelet.
- Fresh frozen plasma atau platelet sebaiknya diberikan jika perlu, menunggu hasil
dari penelitian ini sebaiknya tidak menunda pembedahan darurat.
- Produk-produk darah dapat diberikan secara intraoperatif untuk memperbaiki
parameter pembekuan. Abnormalitas elektrolit dapat mengeksaserbasi cedera
kepala dan sebaiknya dikoreksi dengan suatu alat penghitung waktu.
7. MRI merupakan suatu alternatif yang ada yang mampu menggambarkan
CSDH dengan jelas.
8. Serial C-Spine X-Ray penting dalam mengevaluasi kemungkinan adanya
fraktur C-Spine yang menyertai.
8. Penatalaksanaan

Seperti halnya pasien pada setiap trauma, resusitasi dimulai dengan ABC
(Airway, Breathing, Circulation ).
- Semua pasien dengan score GCS < 8 harus diintubasi untuk membebaskan jalan
nafas.
- Lakukan pemeriksaan neurologis yang jelas. Respirasi yang adekuat harus
dilaksanakan pada awalnya dan dipertahankan untuk menghindari terjadinya
hipoksia. Hiperventilasi dapat dilaksanakan jika terjadi sindrom herniasi.
- Tekanan darah harus dipertahankan pada keadaan normal atau pada level yang
tinggi dengan menggunakan salin isotonic dan/alat pressor.
- Sedatif short acting dan obat-obat paralitik harus digunakan hanya jika perlu
untuk memudahkan ventilasi yang adekuat.
- Jika diduga terjadi peningkatan tekanan intrakranial atau memperlihatkan gejala
sindrom herniasi, maka berikan manitol 1 g/kg dengan cepat secara IV.
- Berikan obat-obat antikonvulsan untuk mencegah iskemik yang diinduksi
serangan dan rangkaian kejang dalam tekanan intrakranial.
- Jangan berikan steroid, seperti yang telah mereka temukaN dimana tidak efektif
pada pasien dengan cedera kepala.
Hematom subdural kronik simptomatik ditangani secara pembedahan. Craniotomy
merupakan pilihan yang valid. Namun drinase burr hole dan twist drill craniotomy
kurang invasive dan mempunyai tampakan yang sama-sama efektif.
Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:
a. Hiperventilasi, bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga
mencegah vasodilatasi pembuluh darah.
b. Cairan hiperosmoler, umumnya digunakan cairan Manitol 10-15% per
infus untuk menarik air dari ruang intersel ke dalam ruang intravaskular untuk
kemudian dikeluarkan melalui diuresis.
c. Kortikosteroid, penggunaan kortikosteroid untuk menstabilkan sawar darah
otak. Berupa Dexametason, Metilprednisolon, dan Triamsinolon.
d. Barbiturat, digunakan untuk membius pasien sehingga metabolisme otak
dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan
menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari
kemungkinan kerusakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen berkurang.
e. Pemberian obat-obat neurotropik untuk membantu mengatasi
kesulitan/gangguan metabolisme otak, termasuk pada keadaan koma.
a) Piritinol, merupakan senyawa mirip piridoksin (vitamin B6) yang dikatakan
mengaktivasi metabolisme otak dan memperbaiki struktur serta fungsi membran
sel. Pada fase akut diberikan dalam dosis 800-4000 mg/hari lewat infus. Tidak
dianjurkan pemberian intravena karena sifatnya asam sehingga mengiritasi vena.
b) Piracetam, merupakan senyawa mirip GABA suatu neurotransmitter penting
di otak. Diberikan dalam dosis 4-12 gram/ hari intravena.
c) Citicholine, disebut sebagai koenzim pembentukan lecithin di otak. Lecithin
sendiri diperlukan untuk sintesis membran sel dan neurotransmitter di dalam otak.
Diberikan dalam dosis 100-500 mg/hari intravena.
9. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering adalah reakumulasi hematom, perdarahan
intraserebral yang disebabkan oleh pergeseran atau irigasi drainase tube yang
salah, pneumoencepalus tension, seizure dan empyema subdural .
- Karakteristik dari sindrome herniasi bisa terjadi selama terjadi pergeseran otak.
Seperti halnya lobus temporal medial, atau uncus, herniasi melewati tentorium. Ini
dapat menekan arteri cerebral poaterior ipsilateral, nervus okulomotorius, dan
pedunkulus serebri. Secara klinis rangkaian kelumpuhan nervus okulomotorius
dan kompresi pedunkulus serebri sering bermanifestasi sebagai dilatasi pupil
ipsilateral dan hemiparesis kontralateral.
- Pasien bisa juga menderita stroke dari distribusi arteri cerebral posterior. Hampir
5% kasus, hemiparesis bisa ipsilateral dengan dilatasi pupil. Fenomena ini disebut
sebagai fenomena Kernohan Notch Syndrome dan terjadi jika herniasi unkus
menekan otak tengah bergeser sehingga pedunkulus serebri kontralateral ditekan
melawan incisura tentorial kontralateral.
10. Prognosis
Tidak ada prognostic yang jelas yang dihubungkan dengan hematom subdural
kronik. Sementara beberapa pengarang telah menemukan suatu hubungan dengan
tingkat preoperative dari fungsi neurologis dan hasil akhir, yang lain tidak.
Diantara 86% dan 90% pasien dengan CSDH diobati dengan adekuat setelah
prosedur pembedahan.
Rata-rata mortalitas dikeseluruhan seri adalah 50%. Rata-rata mortalitas untuk
semua dari 37 pasien dengan score GCS 3 adalah 100% danrata-rata mortalitas
dihubungkan dengan nonreaktif pupil sebelah yaitu 48%, dengan nonreaktif pupil
bilateral 88%, yang sangat menarik, rata-rata yang bertahan hidup pada pasien
dengan nonreaktif pupil bilateral adalah 12% meskipun hasil akhirnya tidak
dicatat
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Sidharta, Priguna. Neurologi Klinis Dasar, edisi IV, cetakan kelima.
Jakarta : PT Dian Rakyat. 87-95. 1999
2. Sidharta, Priguna. Sakit Neuromuskuloskeletal Dalam Praktek Umum.
Jakarta : PT Dian Rakyat. 182-212.
3. Purwanto ET. Hernia Nukleus Pulposus. Jakarta: Perdossi
4. Nuarta, Bagus. Ilmu Penyakit Saraf. In: Kapita Selekta Kedokteran,
edisi III, jilid kedua, cetakan keenam. Jakarta : Media Aesculapius. 54-59.
2004

Anda mungkin juga menyukai