SMF ILMU PENYAKIT BEDAH RST dr. SOEDJONO MAGELANG 2014
BAB I LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN Nama pasien : Bp. Sakum Raharjo Umur : 70 tahun Jenis kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Petani Alamat : windusari, magelang Status perkawinan : Menikah Agama : Islam Tanggal masuk RS : 08 Mei 2014 Tanggal pemeriksaan : 09 Maei 2014 Bangsal : Seruni
II. ANAMNESIS Anamnesis didapatkan secara autoanamnesis dan alloanamnesis pada tanggal 09 Mei 2014, pukul 06.45 WIB di bangsal Seruni
A. Keluhan utama Sakit kepala hebat. B. Riwayat penyakit sekarang Kronologis : 3 bulan yang lalu, pasien jatuh akibat kaki tersangkut selang, pasien mengeluhkan sakit kepala hebat, mengerti pembicaraan tetapi tidak bisa bicara, kelemahan anggota gerak pada ekstremitas kanan. Pasien berobat ke dokter umum dan membaik. 1 bulan yang lalu, pasien sedang makan bakso dan tanpa terjadi trauma apapun kesadaran pasien menghilang, 15 menit setelah pingsan, pasien bangun dengan keadaan tidak bisa bicara kembali, nyeri kepala hebat, dan kelemahan pada ekstremitas kanan. Pasien berobat ke dokter saraf dan belum ada perbaikan Pada pukul 21.00 WIB tanggal 8 Mei 2014 pasien datang dengan rujukan dari klinik RSJ dengan diagnosa SDH Kronis, dengan keadaan afasia dan kelemahan ekstremitas kanan. C. RiwayatPenyakitDahulu Riwayat hipertensi : diakui Riwayat DM : disangkal Riwayat alergi :disangkal Riwayat operasi : disangkal Riwayat trauma : disangkal
D. Riwayat Keluarga Riwayat hipertensi : disangkal Riwayat DM : disangkal Riwayat alergi :disangkal Riwayatasma : disangkal
III. PEMERIKSAAN FISIK A. Status Generalis 1. Keadaan umum : tampak sakit sedang 2. Kesadaran : kompos mentis, GCS : E 4 M 6 V 5
3. Vital sign Tekanandarah :130/80 mmHg Nadi : 84x/menit, isi cukup, reguler Respirasi : 22 x/menit Suhu : 36,6 o C 4. Pemeriksaan Fisik Kepala : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil Isokor 3mm/3mm Leher : pembesaran kelenjar limfe (-), deviasi trakea (-) Thoraks :jejas (-) Paru Inspeksi : simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi dada (-/-) Palpasi : pengembangan paru yang tertinggal (-), fremitus raba (normal/normal) Perkusi : sonor Auskultasi : SDV (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Status neurologis kemampuan bicara : afasia kekuatan motoric : kelemahan otot wajah sebelah sinistra dengan hemiparese ekstremitas superior dan inferior dekstra sensitifitas rabaan : penurunan sensitifitas rabaan pada wajah bagian sinistra dan ekstremitas bagian dektra reflek fisiologis (+) reflek patologis (-)
IV. Diferensial Diagnosis SDH Kronik EDH Trauma Kepala dengan Defisit neurologis
V. Planning Diagnosis Laboratoriom Darah Lengkap,CT/BT CT Scan
VI. Diagnosis Klinis SDH Kronik FrontoParietal Sinistra
VII. Planning Terapi InfusRL 20 tpm InjCefotaxim 1 gr 1x1 Inj Ketorolac 2x 30 gr Rencana craniotomi RIWAYAT RAWAT INAP Follow up pre-operatif (9 Mei 2014) Subjektif : Nyeri kepala (+) afasia (+) kelemahan ekstremitas kanan (+) Objektif Vital sign: Tekanandarah : 140/80 mmHg Nadi : 86 x/menit reguler Suhu : 36,5 o C Respirasi : 20 x/menit Status General Keadaanumum: baik, GCS: E4V5M6 Kepala/Leher : pupil isokor, 3-3 mm Thorax : dbn Abdomen : dbn Status lokalis Look : tampak Hematom (+) tidak tampak luka, bersih,, Feel : nyeri tekan(+), hematom diameter 6x6 cm, teraba hangat
Assessment SDH Kronik Frontoparietal Sinistra
Planning Infus RL Inj Ketorolac 2 x 30 mg Pro craniotomi Pre medikasi inj cefotaksim 2 x 1 g Puasa
Laporan Operasi (09 Maret 2014) Pasien terlentang di meja oprasi dalam anestesi umum, kepala menghadap ke kanan, ada antisepsi di daerah oprasi dan sekitarnya, insisi kulit linier, 2 buah di frontal dan parietal kiri. Insisi periosteum lalu di pasang spender. Di buat 2 buah lubang bor, lalu di perluas dengan kerison, tampak durah tegang berwarna ke biruan, dilakukan insisi dura silang, keluar hematom lisis memancar, spooling dengan Nacl sampai jernih, tampak otak tidak berkembang dengan maksimal, di pasang drain subdural dengan NGT no 12, luka di jahit lapis demi lapis . Dokumentasi Saat Operasi (9 Maret 2014)
Monitoring dan Evaluasi Keadaan umum, tanda vital, dan kesadaran Puasa sampai bising usus normal Inful Nacl : RL 2:2 24 jam Manitol stop, ceftriaxon 2x1, ketolorac 3x1 Cek DL post Op, transfusi bila HB <10 VIII. PROGNOSIS Quo ad vitam : dubia ad bonam Quo ad sanam : dubia ad bonam Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
Follow up post-operatif hari ke 1 (10 Maret 2014) Subjektif :nyeri pada daerah luka, pusing (+), sudah bisa bicara, ekstremitas kanan sudah dapat bergerak perlahan Objektif Vital sign: Tekanandarah : 130/70 mmHg Nadi : 84 x/menit reguler Suhu : 36,5 o C Respirasi : 20 x/menit Status General Keadaanumum: baik, GCS: E4V5M6 Kepala/Leher : pupil isokor 3-3 mm Thorax : dbn Abdomen : dbn Assessment Post Op Craniotomi H+1 e.c. SDH Kronik Terapi - Tranfusi RL 20 tpm - Inj. Ketorolac 3x30 mg - Ceftriaxone 2x1 g Follow up post-operatif hari ke 2 (11 Mei 2014) Subjektif :nyeri pada daerah post op, pusing (+) afasia (-) ekstremitas kanan sudah mulai bergerak ke arah normal Objektif Vital sign: Tekanandarah : 120/80 mmHg Nadi : 80 x/menit reguler Suhu : 36,5 o C Respirasi : 20 x/menit Status General Keadaanumum: baik, GCS: E4V5M6 Kepala/Leher : pupil isokor 3-3 mm Thorax : dbn Abdomen : dbn Assessment Post OP Craniotomi e.c SDH Kronik Terapi - Tranfusi RL 20 tpm - Inj. Ketorolac 3x30 mg - Ceftriaxone 2x1 g
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi A. Kulit Kepala Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit, connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan pericranium.
B. Tulang Tengkorak Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di sini dilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapatmelukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior tempat lobusfrontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum. C. Meningen Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu : 1. Duramater Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal.4 Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosatemporalis (fosa media). 2. Selaput Arakhnoid Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis.4 Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala. 3. Pia mater Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri.3. Pia mater adarah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.
D. Otak Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat padaorangdewasa sekitar 14 kg.7 Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum
retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan. E. Cairan serebrospinalis Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial.3 Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari. F. Tentorium Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior). G. Perdarahan Otak Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis
2.2 ASPEK FISIOLOGIS CEDERA KEPALA a. Hukum Monroe-Kellie Volume intrakranial adalah tetap karena sifat dasar dari tulang tengkorang yang tidak elastik. Volume intrakranial (Vic) adalah sama dengan jumlah total volume komponen-komponennya yaitu volume jaringan otak (V br), volume cairan serebrospinal (V csf) dan volume darah (Vbl). Vic = V br+ V csf + V bl
b. Tekanan Perfusi Serebral Adalah selisih antara mean arterial pressure (MAP) dan tekanan intarkranial (ICP). Pada seseorang yang dalam kondisi normal, aliran darah otak akan bersifat konstan selama MAP berkisar 50-150mmhg. Hal ini dapat terjadi akibat adannya autoregulasi dari arteriol yang akan mengalami vasokonstriksi atau vasodilatasi dalam upaya menjaga agar aliran darah ke otak berlangsung konstan. PATOFISIOLOGI Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasideselarasi gerakan kepala.Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi. Fraktur tengkorak Fraktur tengkorak dapat terjadi pada kalvaria atau basis. Pada fraktur kalvaria ditentukan apakah terbuka atau tertutup, linear atau stelata, depressed atau non depressed. Fraktur tengkorak basal sulit tampak pada foto sinar-x polos dan biasanya perlu CT scan dengan setelan jendela-tulang untuk memperlihatkanlokasinya. Sebagai pegangan umum, depressed fragmen lebih dari ketebalan tengkorak (> 1 tabula) memerlukan operasi elevasi. Fraktura tengkorak terbuka atau compound berakibat hubungan langsung antara laserasi scalp dan permukaan serebral karena duranya robek, dan fraktura ini memerlukan operasi perbaikan segera. Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sakit untuk pengamatan, tidak peduli bagaimana baiknya tampak pasien tersebut.15 Lesi Intrakranial Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam. Basis selular cedera otak difusa menjadi lebih jelas pada tahun-tahun terakhir ini. Hematoma Epidural Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial antara tabula interna dan duramater. Paling sering terletak diregio temporal atau temporalparietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural mungkin akibat robeknya sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior. Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena cedera otak disekitarnya biasanya masih terbatas. Outcome langsung bergantung pada status pasien sebelum operasi. Mortalitas dari hematoma epidural sekitar 0% pada pasien tidak koma, 9% pada pasien obtundan, dan 20% pada pasien koma dalam.12,14 Hematoma Subdural Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak. Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif.
Kontusi dan hematoma intraserebral. Kontusi serebral sejati terjadi cukup sering. Selanjutnya, kontusi otak hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural. Majoritas terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari. Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan.
KLASIFIKASI Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale adalah sebagai berikut : 1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat. 2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13 dan, 3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.
PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit.16 Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala ringan, sedang, atau berat. Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak. Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat antara lain: 1. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam) 2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit) 3. Penurunan tingkat kesadaran 4. Nyeri kepala sedang hingga berat 5. Intoksikasi alkohol atau obat 6. Fraktura tengkorak 7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea 8. Cedera penyerta yang jelas 9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan 10. CT scan abnormal
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi, pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan antikonvulsan. Pada penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan tindakan operatif. Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai berikut: 1. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih 2. dari 20 cc di daerah infratentorial 3. kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta gejala dan 4. tanda fokal neurologis semakin berat 5. terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat 6. pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm 7. terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg. 8. terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan 9. terjadi gejala akan terjadi herniasi otak 10. terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis
2.2 Subdural Hematoma Definisi Hematoma adalah sekelompok sel darah yang telah mengalami ekstravasasi, biasanya telah menggumpal, baik di dalam organ, interstitium, jaringan dan otak. Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural. Dalam bentuk akut yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki ruang tersebut sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya arakhnoidea sehingga menambah penekanan subdural pada jejas langsung di otak. Dalam bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang subdural akibat pecahnya vena-vena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup. Efusi itu merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa minggu setelah cedera, sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan darah.
2. Epidemiologi Hematom subdural yang akut jarang terjadi. Literatur tentang laporan kasus sporadic sangat terbatas. Kasus ini sering mempunyai suatu sumber arteri, karena mereka biasanya dihubungkan dengan keadaan patologis yang sama seperti yang terjadi pada perdarahan subaraknoid dan perdarahan intraserebral. Darah dari ruptur aneurisma bisa masuk memotong melalui parenkim otak atau ruang subaraknoid. Nyatanya, kasus telah dilaporkan mengenai suatu hematom subdural akut yang dicetus dengan penyalahgunaan kokain. Suatu penelitian retrospektif melaporkan bahwa 56% dari kasus pada pasien dalam kelima dan decade ketujuh. Penelitian lain mencatat bahwa lebih dari setengah dari semua kasus terlihat pqada pasien >60 tahun . Insiden yang tertinggi dari 7,,35 per 100.000 terjadi pada remaja dengan umur 10-19 tahun. Rata-rata mortalitas pada pasien dengan hematom subdural akut dilaporkan berkisar 30-90 %, tetapi sekitar 60% adalah tipikal . Rata-rata morbiditas dan mortalitasnya dihubungkan dengan pengobatan secara pembedahan dari hematom subdural kronik, telah diperkirakan berkisar 11% dan 5% secara berurutan. Hematom subdural dapat terjadi pada semua umur
3. Etiologi Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural. Hemoragi subdura biasanya disebabkan oleh sobeknya vena di tempat vena itu melalui rongga subdura. Gerak otak depan relatif terhadap dura dengan mendadak, dapat terjadi setelah mendapat pukulan yang tidak mengakibatkan fraktur tengkorak. Hemoragi subdural mungkin sekali selalu disebabkan oleh trauma kapitis walaupun traumanya mungkin tidak berarti (trauma pada orang tua) sehingga tidak terungkap oleh anamnesis. Yang seringkali berdarah ialah bridging veins, karena tarikan ketika terjadi pergeseran rotatorik otak. Subdural merupakan lapisan sebelum dura ( duramater adalah membran pembungkus terluar dari otak ). Subdural hematom terjadi ketika darah vena yang berlokasi antara lapisan pembungkus otak ( meningen ) ditemukan darah setelah head injury pada kepala. Subdural hematom timbul ketika vena-vena yang berjalan antara dura dan permukaan otsk pecah dan mengeluarkan darah. Pengumpulan darah kemudian terbentuk diatas permukaan otak. Pada pengumpulan subdural kronik, darah yang berasal dari vena-vena berjalan lambat. Ini dapat terjadi karena head injury atau frekuensi kurang, itu dapat terjadi spontan jika pasien agak tua. Hematom subdural kronik biasanya dihubungkan dengan atropi serebral. Vena batang kortek diperkirakan tekanannya menjadi lebih rendah sebagaimana penyusunan otak yang berangsur-angsur dari tulang tengkorak, bahkan trauma minor bisa menyebabkan satu dari vena menjadi bocor. Perdarahan yang lambat dari sistem vena yang bertekanan rendah sering bisa memperbesar bentuk hematom sebelum nampak tanda-tanda klinis. Hematom subdural yang kecil sering diabsorbsi secara spontan. Kumpulan yang besar dari darah subdural sering mengatur dan membentuk membran vaskuler yang menyelubungi hematom subdural. Perdarahan kecil yang berulang , vena bersama dengan membran ini bertanggung jawab terhadap perluasan dari beberapa hematom subdural Perdarahan sub dural dapat terjadi pada: Trauma kapitis Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk. Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada orangtua dan juga pada anak anak. Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan subdura. Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor intrakranial. Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati. 4. Patofisiologi Pada perlukaan kepala , dapat terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid, kedalam rongga subdural (hemoragi subdural) antara dura bagian luar dan tengkorak (hemoragi ekstradural) atau ke dalam substansi otak sendiri. Putusnya vena-vena penghubung ( bridging veins ) antara permukaan otak dan sinus dural adalah penyebab perdarahan subdural yang paling sering terjadi. Perdarahan ini seringkali terjadi sebagai akibat dari trauma yang relatif kecil, dan mungkin terdapat sedikit darah di dalam rongga subaraknoid. Anak-anak ( karena anak-anak memiliki vena-vena yang halus ) dan orang dewasa dengan atropi otak ( karena memiliki vena-vena penghubung yang lebih panjang ) memiliki resiko yang lebih besar. Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi bridging veins . Karena perdarahan subdural sering disebabkan olleh perdarahan vena, maka darah yang terkumpul hanya 100-200 cc saja. Perdarahan vena biasanya berhenti karena tamponade hematom sendiri. Setelah 5-7 hari hematom mulai mengadakan reorganisasi yang akan terselesaikan dalam 10-20 hari. Darah yang diserap meninggalkan jaringan yang kaya pembuluh darah. Disitu timbul lagi perdarahan kecil, yang menimbulkan hiperosmolalitas hematom subdural dan dengan demikian bisa terulang lagi timbulnya perdarahan kecil dan pembentukan kantong subdural yang penuh dengan cairan dan sisa darah (higroma). Kondisi- kondisi abnormal biasanya berkembang dengan satu dari tiga mekanisme. Perdarahan yang terjadi akibat rusaknya arteri kortikal (termasuk epidural hematom), perdarahan dari rusaknya dasar parenkim, dan kebocoran pembuluh darah dari korteks terhadap satu dari aliran sinus venosus. Pada semua kasus , pergerakan sagital dari kepala bisa dihasilkan dengan suatu akselerasi angular (kaku ) yang menyebabkan ruptur batang vena parasagital dan suatu hematom subdural yang berat. Gennereli dan Thibault menggambarkan bahwa rata-rata akselerasi dan deselerasi dari kepala merupakan factor utama kegagalan vena Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya araknoidea. Karena otak yang bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di mana mereka menembus duramater Perdarahan yang besar akan menimbulkan gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural. Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala seperti tumor serebri karena tekanan intracranial yang berangsur meningkat. Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan terjadinya membran vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut. Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural kronik. Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena komplains tekanan intra kranial yang cukup tinggi. Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut. Komplains intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada hematoma subdural kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basaalis lebih terganggu dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya. Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena tekanan onkotik yang meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua mengatakan bahwa, perdarahan berulang yangdapat mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik. 5. Klasifikasi a. Perdarahan Subdural dapat dibagi menjadi 3 bagian, berdasarkan saat timbulnya gejala- gejala klinis yaitu: 1) Perdarahan akut Gejala yang timbul segera hingga berjam jam setelah trauma. Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran skening tomografinya, didapatkan lesi hiperdens. 2) Perdarahan sub akut Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 14 hari sesudah trauma. Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah . Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin. 3) Perdarahan kronik Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih. Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus berhati hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi hipodens. b. Berdasarkan pada arsitektur internal dan densitas tiap hematom, perdarahan subdural kronik dibagi menjadi 4 kelompok tipe, yaitu : 1. Tipe homogen ( homogenous) 2. Tipe laminar 3. Tipe terpisah ( seperated) 4. Tipe trabekular (trabecular) Tingkat kekambuhan pada tipe terpisah adalah tinggi sedangkan pada tipe yang trabekular adalah rendah. Pada perdarahan subdural kronik diyakini bahwa pada awalnya dalam bentuk homogen, kemusian seringkali berlanjut menjadi bentuk laminar. Sedangkan pada subdural kronik yang matang, diwakili oleh stadium terpisah dan hematomnya terkadang melalui stadium trabekular selama penyerapan. c. Sedangkan berdasarkan perluasan iutrakranial dari tiap hematom, perdarahan subdural kronik dikelompokkan menjadi 3 tipe yaitu: 1. Tipe konveksiti ( convexity). 2. Tipe basis cranial ( cranial base ). 3. Tipe interhemisferik Tingkat kekambuhan perdarahan subdural Kronik tipe cranial base adalah tinggi, sedangkan kekambuhan tipe convexity adalah rendah. Pengelompokan perdarahan subdural kronik berdasarkan arsitektur internal dan perluasan intra kranial ini berguna untuk memperkirakan resiko terjadinya kekambuhan pasca operatif. 6. Manifestasi Klinis Dalam latent interval kebanyakan penderita hematom subdural mengeluh tentang sakit kepala dan pening, seperti umumnya penderita kontusio serebri juga mengeluh setelah trauma kapitis. Tetapi apabila disamping itu timbul gejala-gejala yang mencerminkan adanya proses desak ruang intrakranial, baru pada saat itu timbulnya manifestasi hematom subdural. Gejala-gejala tersebut bisa berupa kesadaran yang makin menurun, organic brain syndrom, hemiparesis ringan, hemihipestesia, adakalanya epilepsy fokal dengan adanya tanda-tanda papiledema.
Gejala umum yang dapat tampak adalah : 1. Penderita mengeluh sakit kepala yang semakin bertambah terus. 2.Tampak ada gangguan psikik. 3. Setelah beberapa lama tampak kesadaran tambah menurun. 4. Kelainan neurologis yang mungkin tampak adalah hemiparese, bangkitan epilepsy, dan papiledema. 5. Arterigrafi karotis dapat memperlihatkan adanya perpindahan ( shift ) dari a.perikallosa ke sisi kontralateral, sedangkan di tempat lokasi dari hematom subdural sendiri akan tampak suatu daerah bebas kontras yang berbentuk bifocal. 6. CT-Scan akan dapat memperlihatkan hematom tersebut dengan baik.
Pada 75% kasus, sakit kepala timbul dengan gejala-gejala paling kurang satu dari karakteristik berikut ini : onsetnya tiba-tiba, nyerinya berat, nausea dan muntah-muntah dan eksaserbasi batuk, ketegangan otot atau latihan. Gejala umum lainnya adalah kelemahan, kejang-kejang, dan inkonntinensia. Hemiparesis dan penurunan kesadaran merupakan tanda yang paling sering terjadi. Hemiparesis terjadi ipsilateral dengan hematom pada 40% kasus a. Hematoma Subdural Akut Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah. b. Hematoma Subdural Subakut Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural. Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang otak. c. Hematoma Subdural Kronik Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma. Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah. 7. Diagnosis Penegakkan diagnosa subdural hematom kronis tidaklah gampang. Gejala- gejalanya sangat menyerupai gejala suatu tumor serebri. Hematom subdural kronis itu terletak antara duramater dan araknoid. Ia dapat menyerap cairan dari sekitarnya sehingga lama kelamaan akan bertambah besar. Simptomatologinya sangat menyerupai gejala suatu tumor serebri. Trauma kapitisnya sendiri begitu ringan. Sehingga dapat terjadi bahwa si penderita sendiri tidak ingat lagi tentang kapan dan dimana kepalanya terbentur. Trauma kapitisnya tidak menimbulkan kesadaran menurun. Pemeriksaan neurologik yang awal menyediakan suatu garis dasar yang penting yang harus digunakan untuk memfollow-up perjalanan klinis pasien. Jika dicatat dalam bentuk score GCS, ia juga memberikan informasi prognostic yang penting. Pasien dengan cedera kepala yang serius sering di intubasi dengan cepat dan diberikan perawatan yang diorientasi pada trauma. Namun karena prognostiknya yang signifikan, pemeriksaan neurology yang singakat diukur dengan menggunakan GCS yang merupakan komponen penting dari penilaian skunder dan memerlukan waktu kurang dari 2 menit untuk menyempurnakannya. Lihat tanda-tanda dari fraktur tulang tengkorak basilar. Ini termasuk ekimosis bilateral (mata racoon) dan ekimosis retroaurikuler. Area di sekitar laserasi harus dicukur dan di inspeksi. Pasien dengan cedera kepala yang berat harus dinilai cedera kepala tulang servikal (C-spine); immobilisasi pasien sampai penelitian klinis dan penelitian radiografik dapat dibuktikan sebaliknya 1. CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. Hematom subdural akut tampak sebagai suatu hiperdense, konkaf terhadap otak, dan garis suturanya tidak jelas, berbeda dengan hematom epidural dimana konveks tehadap otak dan garis suturanya berbatas jelas. 2. Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma. 3. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan / edema), fragmen tulang. 4. Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial. 5. Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrakranial. 6. Pemeriksaan Laboratorium - Prevalensi abnormalitas koagulasi telah lama dikenali pada pasien cedera kepala. Abnormalitas ini dipercaya akibat pelepasan dari bahan-bahan tromboplastik oleh kerusakan jaringan otak. - Pada suatu ulasan 253 pasien dengan cedera kepala yang memerlukan pemeriksaan CT-Scan, resiko perkembangan otak yang lambat seperti yang terlihat pada CT-Scan meningakt dari 31% pada pasien dengan koagulasi. Reperensi rata-rata hampir 85% pada pasien dengan penemuan abnormal terhadap protrombine time (PT), activated Partial Thromboplastin Time (aPTT), atau hitung platelet. - Fresh frozen plasma atau platelet sebaiknya diberikan jika perlu, menunggu hasil dari penelitian ini sebaiknya tidak menunda pembedahan darurat. - Produk-produk darah dapat diberikan secara intraoperatif untuk memperbaiki parameter pembekuan. Abnormalitas elektrolit dapat mengeksaserbasi cedera kepala dan sebaiknya dikoreksi dengan suatu alat penghitung waktu. 7. MRI merupakan suatu alternatif yang ada yang mampu menggambarkan CSDH dengan jelas. 8. Serial C-Spine X-Ray penting dalam mengevaluasi kemungkinan adanya fraktur C-Spine yang menyertai. 8. Penatalaksanaan
Seperti halnya pasien pada setiap trauma, resusitasi dimulai dengan ABC (Airway, Breathing, Circulation ). - Semua pasien dengan score GCS < 8 harus diintubasi untuk membebaskan jalan nafas. - Lakukan pemeriksaan neurologis yang jelas. Respirasi yang adekuat harus dilaksanakan pada awalnya dan dipertahankan untuk menghindari terjadinya hipoksia. Hiperventilasi dapat dilaksanakan jika terjadi sindrom herniasi. - Tekanan darah harus dipertahankan pada keadaan normal atau pada level yang tinggi dengan menggunakan salin isotonic dan/alat pressor. - Sedatif short acting dan obat-obat paralitik harus digunakan hanya jika perlu untuk memudahkan ventilasi yang adekuat. - Jika diduga terjadi peningkatan tekanan intrakranial atau memperlihatkan gejala sindrom herniasi, maka berikan manitol 1 g/kg dengan cepat secara IV. - Berikan obat-obat antikonvulsan untuk mencegah iskemik yang diinduksi serangan dan rangkaian kejang dalam tekanan intrakranial. - Jangan berikan steroid, seperti yang telah mereka temukaN dimana tidak efektif pada pasien dengan cedera kepala. Hematom subdural kronik simptomatik ditangani secara pembedahan. Craniotomy merupakan pilihan yang valid. Namun drinase burr hole dan twist drill craniotomy kurang invasive dan mempunyai tampakan yang sama-sama efektif. Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak: a. Hiperventilasi, bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga mencegah vasodilatasi pembuluh darah. b. Cairan hiperosmoler, umumnya digunakan cairan Manitol 10-15% per infus untuk menarik air dari ruang intersel ke dalam ruang intravaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis. c. Kortikosteroid, penggunaan kortikosteroid untuk menstabilkan sawar darah otak. Berupa Dexametason, Metilprednisolon, dan Triamsinolon. d. Barbiturat, digunakan untuk membius pasien sehingga metabolisme otak dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan kerusakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen berkurang. e. Pemberian obat-obat neurotropik untuk membantu mengatasi kesulitan/gangguan metabolisme otak, termasuk pada keadaan koma. a) Piritinol, merupakan senyawa mirip piridoksin (vitamin B6) yang dikatakan mengaktivasi metabolisme otak dan memperbaiki struktur serta fungsi membran sel. Pada fase akut diberikan dalam dosis 800-4000 mg/hari lewat infus. Tidak dianjurkan pemberian intravena karena sifatnya asam sehingga mengiritasi vena. b) Piracetam, merupakan senyawa mirip GABA suatu neurotransmitter penting di otak. Diberikan dalam dosis 4-12 gram/ hari intravena. c) Citicholine, disebut sebagai koenzim pembentukan lecithin di otak. Lecithin sendiri diperlukan untuk sintesis membran sel dan neurotransmitter di dalam otak. Diberikan dalam dosis 100-500 mg/hari intravena. 9. Komplikasi Komplikasi yang paling sering adalah reakumulasi hematom, perdarahan intraserebral yang disebabkan oleh pergeseran atau irigasi drainase tube yang salah, pneumoencepalus tension, seizure dan empyema subdural . - Karakteristik dari sindrome herniasi bisa terjadi selama terjadi pergeseran otak. Seperti halnya lobus temporal medial, atau uncus, herniasi melewati tentorium. Ini dapat menekan arteri cerebral poaterior ipsilateral, nervus okulomotorius, dan pedunkulus serebri. Secara klinis rangkaian kelumpuhan nervus okulomotorius dan kompresi pedunkulus serebri sering bermanifestasi sebagai dilatasi pupil ipsilateral dan hemiparesis kontralateral. - Pasien bisa juga menderita stroke dari distribusi arteri cerebral posterior. Hampir 5% kasus, hemiparesis bisa ipsilateral dengan dilatasi pupil. Fenomena ini disebut sebagai fenomena Kernohan Notch Syndrome dan terjadi jika herniasi unkus menekan otak tengah bergeser sehingga pedunkulus serebri kontralateral ditekan melawan incisura tentorial kontralateral. 10. Prognosis Tidak ada prognostic yang jelas yang dihubungkan dengan hematom subdural kronik. Sementara beberapa pengarang telah menemukan suatu hubungan dengan tingkat preoperative dari fungsi neurologis dan hasil akhir, yang lain tidak. Diantara 86% dan 90% pasien dengan CSDH diobati dengan adekuat setelah prosedur pembedahan. Rata-rata mortalitas dikeseluruhan seri adalah 50%. Rata-rata mortalitas untuk semua dari 37 pasien dengan score GCS 3 adalah 100% danrata-rata mortalitas dihubungkan dengan nonreaktif pupil sebelah yaitu 48%, dengan nonreaktif pupil bilateral 88%, yang sangat menarik, rata-rata yang bertahan hidup pada pasien dengan nonreaktif pupil bilateral adalah 12% meskipun hasil akhirnya tidak dicatat BAB IV DAFTAR PUSTAKA
1. Sidharta, Priguna. Neurologi Klinis Dasar, edisi IV, cetakan kelima. Jakarta : PT Dian Rakyat. 87-95. 1999 2. Sidharta, Priguna. Sakit Neuromuskuloskeletal Dalam Praktek Umum. Jakarta : PT Dian Rakyat. 182-212. 3. Purwanto ET. Hernia Nukleus Pulposus. Jakarta: Perdossi 4. Nuarta, Bagus. Ilmu Penyakit Saraf. In: Kapita Selekta Kedokteran, edisi III, jilid kedua, cetakan keenam. Jakarta : Media Aesculapius. 54-59. 2004