Anda di halaman 1dari 20

Referat

XEROSTOMIA PADA PENDERITA


DIABETES MELITUS

Oleh:
Tia Nurul Hidayah, S. Ked
71 2018 001

Pembimbing:
Drg. Nursiah Nasution, M.Kes

SMF ILMU GIGI DAN MULUT


RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Referat yang Berjudul:

Xerostomia Pada Pasien Diabetes Melitus

Oleh:
Tia Nurul Hidayah, S.Ked

Telah dilaksanakan pada bulan Juni 2020 sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di SMF Ilmu Kesehatan Gigi dan
Mulut RS Muhammadiyah Palembang Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang.

Palembang, Juni 2020


Pembimbing,

drg. Nursiah Nasution,


M.Kes

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan kasih
sayang-Nya, Alhamdulillah berkat kekuatan dan pertolongan-Ny, penulis
dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Xerostomia Pada Penderita
Diabetes Melitus” sebagai salah satu syarat untuk mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di SMF Ilmu Kesehatan Gigi dan Mulut
Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada
Rasulullah Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan
pengikutnya sampai akhir zaman.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan
terima kasih kepada:
1. Drg. Nursiah Nasution, M.Kes selaku pembimbing yang telah
memberikan masukan, arahan, serta bimbingan dalam penyelesaian
referat ini.
2. Rekan-rekan co-assisten dan perawat atas bantuan dan kerjasamanya.
Peneliti menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna,
karena kesempurnaan itu hanya milik Allah SWT. Oleh karena itu, kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun sangat peneliti
harapkan demi perbaikan di masa mendatang.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal
yang diberikan dan semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua dan
perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam
lindungan Allah SWT. Amin.

Palembang, Juni 2020

Tia Nurul Hidayah., S.Ked


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................... ii
KATA PENGANTAR ............................................................................... iii
DAFTAR ISI ............................................................................................. iv
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................. 1
1.2 Tujuan ............................................................................... 2
1.3 Manfaat .............................................................................. 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Melitus ............................................................... 3
2.2 Xerotomia .......................................................................... 7
2.3 Hubungan Xerostomia dan Diabetes Melitus .................. 11

BAB III. PENUTUP


3.1 Simpulan .......................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 14
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang ditandai
dengan adanya hiperglikemia karena berkurangnya sekresi insulin baik
secara absolut maupun relatif atau disebabkan kerena terjadi resistensi
1
insulin. World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa pada
tahun 2025 jumlah pengidap DM akan membengkak menjadi 300 juta orang
2
dan akan bertambah menjadi 438 juta pada tahun 2030 diseluruh dunia.
Menurut perkiraan WHO, 70% prevalensi DM ditemukan pada Negara
3
berkembang. Berdasarkan data dari Hasil Riset Kesehatan Daerah
(RISKESDAS) tahun 2013, prevalensi nasional penyakit DM berdasarkan
diagnosis tenaga kesehatan dan gejala adalah 1,5% dengan Provinsi
Kalimantan Selatan memiliki prevalensi sebesar 1,4% dimana di
4
Banjarmasin paling banyak ditemukan.

Pada penderita DM sering ditemukan beberapa kelainan yang


bermanifestasi pada mukosa mulut. Beberapa manifestasi yang sering
muncul berupa infeksi kandidiasis, burning mouth syndrome, oral lichen
5
planus, stomatitis aftosa rekuren, xerostomia dan disfungsi kelenjar saliva.
Xerostomia terjadi sekitar 40-80% pada pasien DM yang dikaitkan dengan
penurunan laju aliran saliva, baik pada pasien DM yang terkontrol maupun
yang tidak terkontrol. Beberapa penelitian juga menyebutkan xerostomia
sering terjadi pada wanita yaitu sekitar 25-50%. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan di salah satu rumah sakit di Surabaya 38 pasien dari 50 pasien DM
yang diperiksa mengalami xerostomia dengan laju aliran saliva kurang dari
0,15 ml/menit dengan penderita terbanyak pada usia 51-60 tahun dan 34%
xerostomia terjadi pada pasien dengan lama menderita DM sekitar 1-5
6-9
tahun.
Xerostomia merupakan keluhan subjektif berupa mulut kering yang
terjadi akibat penurunan laju aliran saliva yaitu kurang dari atau sama
dengan 0,15 ml/menit, biasanya penderita mengeluh kesulitan mengunyah,
10,11
menelan, berbicara, gangguan pengecapan dan rasa sakit pada lidah.
Xerostomia juga dapat mengakibatkan gigi karies, erythema mukosa oral,
pembengkakan kelenjar parotid, angular cheilitis, mukositis, inflamasi atau
ulser pada lidah dan mukosa bukal, kandidiasis, sialadenitis, halitosis,
12
ulserasi pada rongga mulut.

Xerostomia terjadi sekitar 40-80% pada pasien diabetes melitus yang


dikaitkan dengan penurunan laju aliran saliva, baik pasien diabetes melitus
yang terkontrol maupun pasien diabetes melitus yang tidak terkontrol
dikarenakan adanya peningkatan diuresis yang berhubungan dengan
penurunan cairan ekstraseluler akibat dari hiperglikemia sehingga berefek
10
langsung pada produksi saliva.

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui hubungan diabetes


melitus dengan xerostomia.

1.3 Manfaat Penulisan

Dengan membuat tulisan ini diharap dapat lebih mengetahui dan


memahami hubungan diabetes melitus dengan xerostomia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus

A. Definisi
Diabetes berasal dari bahasa Yunani yang berarti “mengalirkan atau
mengalihkan” (siphon). Melitus berasal dari bahasa Latin yang bermakna
manis atau madu. Diabetes melitus (DM) dapat diartikan individu yang
14
mengalirkan volume urin yang banyak dengan kadar glukosa tinggi.
Diabetes melitus adalah penyakit hiperglikemia yang disebabkan karena
kelainan metabolik karbohidrat, baik secara herediter maupun didapat,
sebagai akibat kekurangan insulin yang relatif atau absolut. Hiperglikemia
kronis pada diabetes, berhubungan dengan kerusakan jangka panjang,
disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal,
1,14,15
saraf, jantung dan pembuluh darah.

B. Klasifikasi
Diabetes melitus dapat diklasifikasikan menjadi diabetes melitus tipe
1, diabetes melitus tipe 2, diabetes melitus tipe lain dan diabetes
gestasional.
a. Diabetes melitus tipe 1
Diabetes melitus tipe 1 (tipe juvenile onset atau ketosis prone).
Diabetes melitus tipe 1 disebabkan destruksi sel beta karena adanya
autoimun idiopatik yang biasanya menyebabkan defisiensi insulin
2,16
absolut. Pada DM tipe ini biasanya dijumpai pada individu yang
tidak gemuk berusia kurang dari 30 tahun, dengan perbandingan laki-
laki sedikit lebih banyak daripada wanita. Sebanyak 30.000 kasus baru
DM tipe 1 dijumpai setiap tahunnya dan lebih sering pada etnik
14,16
keturunan Afrika-Amerika dan Asia. Gambaran klinis yang khas
pada DM tipe 1 berupa poliuria, polidipsi, polifagia, cepat lelah,
kesemutan, adanya penurunan berat badan progresif, gangguan
17
pertumbuhan, dan komplikasi mikrovaskular.
b. Diabetes melitus tipe 2
Diabetes melitus tipe 2 (tipe dewasa atau tipe onset maturitas
16
atau tipe nondependent insulin). Diabetes melitus tipe 2 mempunyai
dua faktor penyebab yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi
18
insulin karena sel beta pankreas mulai terganggu fungsinya. Insiden
DM tipe 2 ini terjadi pada usia > 40 tahun, dijumpai sebesar 650.000
kasus baru setiap tahunnya, meliputi 90% dari semua populasi
16,17
diabetes. Pada DM tipe ini lebih banyak wanita yang mengidap
dibandingkan pria. Diabetes tipe 2 sebagian besar disebabkan oleh
faktor lingkungan dan perilaku. Obesitas sering dikaitkan dengan
15
penyakit ini. Pada pasien diabetes melitus tipe 2 jarang terlihat
timbulnya gejala atau tanda-tanda diabetes pada umumnya, seperti
polidipsi, poliuria, polifagia, dan kehilangan berat badan secara tiba-
tiba, hanya memperlihatkan satu atau lebih gejala non-spesifik, salah
satunya peningkatan angka infeksi akibat peningkatan konsentrasi
18
glukosa di sekresi mukus dan gangguan penglihatan.
c. Diabetes melitus tipe lain
Satu sampai 2% kasus DM yang berada dalam kelompok
ini. Hal ini disebabkan oleh berbagai kerusakan genetik spesifik dari
fungsi sel beta dan kerja insulin, kelainan pankreas yang disebabkan
oleh obat-obatan, infeksi serta beberapa sindrom yang menyebabkan
diabetes melitus. Etiologi diabetes melitus tipe ini adalah heterogen
sehingga terjadi toleransi glukosa abnormal, dimana hal ini menjadi
2
pencetus atau penyebab dari terjadinya diabetes tipe ini.
d. Diabetes gestasional
Diabetes gestasional adalah diabetes yang terjadi pada wanita
2
hamil yang sebelumnya tidak mengidap diabetes. Diabetes
gestasional dapat menimbulkan efek negatif pada kehamilan dengan
meningkatkan risiko malformasi kongenital dan bayi bertubuh besar
sehingga menyebabkan masalah pada saat persalinan. Pada diabetes
2
tipe ini pasiennya sering kembali normal setelah persalinan. Insiden
diabetes gestasional lebih sering ditemukan pada wanita hamil
yang berusia lebih tua dan memiliki kelebihan berat badan.
Frekuensi diabetes tipe ini kira-kira 2-5% dari semua populasi
2
diabetes.

C. Diagnosis
Diagnosis diabetes melitus didasarkan pada bukti yang diperoleh
dari anamnesis, gejala klinis, dan pemeriksaan penunjang seperti,
17
pemeriksaan kadar glukosa darah dan tes glikohemoglobin. Pada
anamnesis ditanyakan riwayat keluarga, riwayat penyakit yang sedang
2
diderita dan gejala yang sering dikeluhkan pasien. Gejala klinis DM
adalah poliuria, polidipsia, polifagia, sering gatal (pruritis), dan sering
10
infeksi kulit. Pada penderita DM tipe 2 gejala klinis terjadi secara
13
lambat. Pemeriksaan penunjang pada penderita diabetes melitus adalah
dengan:
1. Pemeriksaan kadar glukosa darah
Kadar glukosa darah pada penderita diabetes melitus seperti yang
14
diperlihatkan pada tabel 1.

17
Tabel 1. Kadar glukosa darah pada penderita diabetes melitus

Kadar glukosa darah Diabetes Melitus


Glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl
Glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl
Glukosa darah 2 jam sesudah makan ≥ 200 mg/dl

2. Tes glikohemoglobin
Tes glikohemoglobin (HbA1c) adalah untuk mengukur kadar
2,18
gula darah jangka panjang dalam waktu 6-12 minggu. Nilai normal
HbA1c antara 6-8%. Pada penderita diabetes melitus yang terkontrol
17
baik, nilai HbA1c harus tetap berada dibawah 7%.
D. Manifestasi Diabetes Melitus di Rongga Mulut
Manifestasi oral yang berhubungan dengan diabetes melitus adalah
xerostomia, karies, gingivitis, periodontitis, sindrom mulut terbakar,
lambatnya penyembuhan luka, infeksi kandida, abses odontogenik dan
10,19
pembesaran kelenjar saliva atausialosis.

2.2 Xerostomia
A. Definisi
Xerostomia berasal dari bahasa Yunani berarti “mulut kering” (xeros
= kering dan stoma = mulut). Xerostomia adalah keluhan subyektif pada
pasien berupa adanya rasa kering dalam rongga mulut akibat adanya
penurunan produksi saliva (hiposalivasi) atau perubahan komposisi saliva
sehingga dapat menyebabkan kesulitan dalam proses mastikasi, mengecap,
10,19,20
menelan, dan berbicara.

B. Etiologi
Beberapa faktor penyebab xerostomia antara lain:
1. Kerusakan kelenjar saliva
Kerusakan kelenjar saliva dapat menyebabkan berkurangnya produksi
saliva. Kerusakan ini mengakibatkan berubahnya komposisi saliva dan
berkurangnya aliran saliva sehingga menimbulkan xerostomia.
Beberapa penyakit lokal yang dapat mempengaruhi kelenjar saliva
seperti aplasia kongenital, obstruksi duktus kelenjar saliva, dan
22,23
radang kelenjar saliva.
2. Obat-obatan
Obat-obatan termasuk salah satu penyebab terjadinya xerostomia.
Obat-obatan yang paling sering menyebabkan xerostomia yaitu
21,22,23
antihistamin, antidepresan, antihipertensi, dan dekongestan.
Obat-obat tersebut mempengaruhi aliran saliva dengan meniru aksi
sistem syaraf autonom atau dengan secara langsung beraksi pada
21
proses seluler yang diperlukan untuk salivasi.
3. Keadaan fisiologis
Keadaan fisiologis dapat menyebabkan perubahan laju aliran saliva
seperti bernafas melalui mulut, saat berolahraga, dan berbicara yang
lama. Selain itu gangguan emosional seperti cemas, stress, dan putus
21
asa juga dapat menyebabkan xerostomia.
4. Penyakit sistemik
Beberapa penyakit sistemik yang menyebabkan produksi sekresi
saliva berkurang adalah diabetes melitus dan infeksi saluran
2,21
pernafasan. Pada penderita diabetes, berkurangnya saliva
dipengaruhi oleh faktor angiopati dan neuropati diabetik, perubahan
21
pada kelenjar parotis, dan karena poliuria yang berat.
5. Usia
Keluhan mulut kering sering ditemukan pada usia lanjut. Keadaan ini
disebabkan oleh adanya perubahan atrofi pada kelenjar saliva sesuai
dengan pertambahan umur yang akan menurunkan produksi saliva dan
21
mengubah komposisi saliva.
6. Radiasi pada daerah leher dan kepala
Terapi radiasi pada leher dan kepala dapat mengakibatkan rusaknya
struktur kelenjar saliva dengan berbagai derajat kerusakan pada
kelenjar saliva yang terkena radioterapi. Jumlah dan kerusakan
21
kelenjar saliva tergantung pada dosis dan lamanya penyinaran.

C. Diagnosis
Diagnosis xerostomia didasarkan pada bukti yang diperoleh dari
anamnesis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang. Pada
anamnesis ditanyakan riwayat mulut terasa kering, kesulitan menelan,
riwayat penyakit dan obat-obatan yang sedang dikonsumsi oleh
10,21
pasien.
Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan secara menyeluruh
dilakukan untuk mengetahui status mukosa rongga mulut, status gigi-
geligi dan status jaringan periodontal. Pada pasien xerostomia biasanya
memiliki tanda-tanda bibir pecah-pecah, mengelupas, atrofi, lidah licin
11
memerah, saliva tampak berbusa, kental, dan lengket.

11
Gambar 1.Xerostomia

Pemeriksaan penunjang untuk pengumpulan saliva yang


dilakukan pada pasien xerostomia meliputi beberapa metode.
Pengumpulan saliva keseluruhan dapat dilakukan pada saat istirahat
(tanpa stimulasi), dan pada saat pasien melakukan aktivitas (stimulasi).
Laju aliran saliva tanpa stimulasi <0,1 ml/menit dan laju aliran saliva
10
distimulasi <0,7 ml/menit merupakan indikasi dari xerostomia. Untuk
keadaan tidak distimulasi, pasien dianjurkan tidak makan, minum dan
10
merokok selama satu jam sebelum pengumpulan saliva. Metode
utama pengumpulan saliva keseluruhan meliputi metode draining,
10
metode suction, metode spitting, dan metode absorbent (penyerapan).
1. Metode draining
Pada metode ini subyek menundukkan kepalanya dan melakukan
satu kali gerakan penelanan sebelum waktu perhitungan. Subyek
membiarkan saliva yang ada dalam mulutnya mengalir melalui
bibir bawah ke dalam tabung ukur dan pada akhir waktu
pengumpulan, subyek meludahkan sisa saliva yang tidak mengalir
10
kedalam tabung.
2. Metode suction
Pada metode ini digunakan tabung pengukur dan saliva ejector.
Saliva dihisap dari dasar mulut dengan menggunakan saliva
10
ejector secara terus menerus sampai waktu yang ditentukan.
3. Metode spitting
Pada metode ini dilakukan hampir sama dengan metode draining.
Setiap 60 detik subyek harus meludahkan saliva yang terkumpul di
10
dalam mulut ke dalam penampung saliva selama 2-5 menit.
4. Metode absorbent (penyerapan)
Pada metode ini pengumpulan saliva dikumpulkan dengan
menggunakan kain penghisap yang ditimbang lebih dahulu dan
dimasukkan ke dalam mulut. Setelah waktu pengumpulan saliva
10
berakhir, kain penghisap diangkat dan ditimbang.

D. Perawatan
Terapi pasien xerostomia adalah terapi paliatif yang berfungsi untuk
mengurangi gejala dan mencegah terjadinya komplikasi oral. Beberapa
perawatan yang dapat dilakukan untuk pasien xerostomia digolongkan
menjadi 5 yaitu terapi preventif, perawatan simtomatik, stimulasi lokal
atau topikal, stimulasi saliva secara sistemik, dan terapi untuk gangguan
10,11
sistemik.
1. Terapi preventif
Pasien diinstruksikan untuk melakukan kunjungan rutin ke dokter gigi
untuk menjaga kesehatan gigi yang optimal. Pasien juga perlu
melakukan konsultasi diet, menghindari makanan kariogenik,
mengurangi meminum minuman beralkohol, dan yang mengandung
10
kafein karena dapat meningkatkan mulut kering.
2. Perawatan simtomatik
Perawatan simtomatik yang dapat dilakukan antara lain penggunaan
air dan obat kumur. Pasien disarankan untuk mengkonsumsi air yang
cukup. Hal ini dapat membantu menjaga kelembaban rongga mulut,
membasahi mukosa, dan membersihkan debris. Penggunaan obat
kumur juga tersedia untuk pasien xerostomia, tetapi harus
menghindari produk yang mengandung alkohol, gula serta bahan yang
10
dapat mengiritasi.
3. Stimulasi salivasi secara local
Stimulasi lokal dapat dilakukan dengan mengunyah permen karet
bebas gula. Mengunyah dapat menstimulasi aliran saliva secara
efektif. Selain itu berkumur dengan larutan stimulant juga merupakan
10
stimulasi salivasi secara lokal.
4. Stimulasi sistemik
Sekresi saliva dapat dirangsang dengan pemberian obat-obatan yang
mempunyai pengaruh merangsang sistem saraf parasimpatis. Obat-
obatan tersebut seperti bromheksin, anetoletritioin, pilokarpin, dan
11,21
cevimeline.
5. Terapi untuk gangguan sistemik
Pada penderita diabetes melitus terapi ditujukan pada penyakit
sistemik yang diderita. Terapi dilakukan dengan cara mengatur pola
hidup serta pemberian obat- \obatan dan disertai penggunaan saliva
10
buatan.

2.3 Hubungan Diabetes Melitus dengan Xerostomia


Laju aliran saliva diatur oleh saraf simpatis dan parasimpatis. Pada
diabetes melitus dapat menyebabkan komplikasi mikrovaskular, yaitu
neuropati. Salah satu komplikasi neuropati adalah gangguan saraf simpatis dan
parasimpatis, dimana akan berakibat pada penurunan sekresi saliva dan
6
terjadinya keluhan mulut kering.
Hiperglikemia yang berkepanjangan dapat menyebabkan dehidrasi
sebagai konsekuensi dari poliuria. Hal ini disebabkan karena adanya gangguan
dalam pengaturan air dan elektrolit, yang diikuti dengan tidak terjadinya
keseimbangan cairan dalam tubuh yang menyebabkan penurunan sekresi
19
saliva.
Pada dasarnya produksi saliva setiap orang bervariasi, tetapi pada orang tua
risiko untuk mengalami hiposalivasi dan gejala xerostomia lebih
tinggi.
Namun, bertambahnya umur bukan merupakan satu-satunya faktor utama
penyebab terjadinya hal tersebut. Ini berkaitan dengan adanya efek langsung
dari penyakit kronik seperti DM pada orang tua sehingga menyebabkan

timbulnya gejala xerostomia dan hiposalivasi yang cukup tinggi.20

DM merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan kadar glukosa


dalam darah yang tinggi karena terdapat masalah pada sekresi insulin, kerja
3
insulin, atau keduanya. Kondisi ini merupakan akibat dari adanya perubahan
pada proses asimilasi, metabolisme dan keseimbangan konsentrasi gula darah.
DM menyebabkan terjadi hiperglikemia kronis dengan gangguan metabolism
karbohidrat yang dapat dikaitkan dengan obesitas, gangguan protein dan
24,20
elektrolit, serta penyakit lainnya.
Semakin lama seseorang menderita DM maka komplikasi dalam rongga
mulut seperti hiposalivasi dan xerostomia akan lebih banyak muncul. Hal ini
disebabkan hubungan level kadar glukosa darah pada pasien DM yang
7
berhubungan dengan kejadian penurunan aliran saliva.

Adanya peningkatan diuresis yang berhubungan dengan penurunan cairan


ekstraseluler karena adanya hiperglikemia sehingga berefek langsung pada
produksi saliva. Beberapa faktor fisiologis juga dapat mempengaruhi dari
fungsi saliva pada pasien DM. DM dapat mengakibatkan perubahan hormonal,
mikrovaskular dan neuronal yang dapat mempengaruhi fungsi dari berbagai
organ. Perubahan mikrovaskular dapat mempengaruhi kemampuan
kelenjar saliva dalam merespon stimulasi neural atau hormonal. Sekresi saliva
juga dikontrol oleh sistem saraf autonomy sehingga kemungkinan dengan
adanya neuropati dapat menggangu kemampuan seseorang dalam merespon
dan menstimulasi kelenjar saliva, serta mengubah aliran dan komposisi saliva.
Adanya penggantian fungsi jaringan oleh jaringan adipose ada kelenjar
saliva
mayor dapat mengurangi jumlah dan kuantitas sekresi saliva.
7,8,23
Saliva merupakan cairan tubuh yang penting dan membantu dalam
menjaga kesehatan rongga mulut. Fungsi saliva tidak hanya sebagai proteksi
tetapi juga memiliki fungsi lain seperti melindungi dan melapisi mukosa dari
iritasi serta membantu dalam berbicara dan menelan. Apabila sekresi saliva
kurang dari normal, hal tersebut dapat mengurangi fungsi dari saliva itu
sendiri. Berkurangnya aliran saliva dapat mengakibatkan meningkatnya
risiko timbulnya lesi pada mukosa rongga mulut seperti infeki kandidiasis,
risiko karies yang tinggi dan kesulitan dalam menjaga kesehatan rongga mulut.
Penurunan aliran saliva juga dapat mengakibatkan penurunan terhadap kualitas
hidup seseorang sehingga timbul gejala subjektif seperti mulut kering, susah
16,19,24
dalam mengunyah, menelan dan berbicara.
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Diabetes melitus adalah penyakit hiperglikemia yang disebabkan
karena kelainan metabolik karbohidrat, baik secara herediter maupun didapat,
sebagai akibat kekurangan insulin yang relatif atau absolut. Hiperglikemia
kronis pada diabetes, berhubungan dengan kerusakan jangka panjang,
disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf,
1,14,15
jantung dan pembuluh darah.
Semakin lama seseorang menderita DM maka komplikasi dalam rongga
mulut seperti hiposalivasi dan xerostomia akan lebih banyak muncul. Hal ini
disebabkan hubungan level kadar glukosa darah pada pasien DM yang
7
berhubungan dengan kejadian penurunan aliran saliva.

Adanya peningkatan diuresis yang berhubungan dengan penurunan cairan


ekstraseluler karena adanya hiperglikemia sehingga berefek langsung pada
produksi saliva. Beberapa faktor fisiologis juga dapat mempengaruhi dari
fungsi saliva pada pasien DM. DM dapat mengakibatkan perubahan hormonal,
mikrovaskular dan neuronal yang dapat mempengaruhi fungsi dari berbagai
organ. Perubahan mikrovaskular dapat mempengaruhi kemampuan
kelenjar saliva dalam merespon stimulasi neural atau hormonal. Sekresi saliva
juga dikontrol oleh sistem saraf autonomy sehingga kemungkinan dengan
adanya neuropati dapat menggangu kemampuan seseorang dalam merespon
dan menstimulasi kelenjar saliva, serta mengubah aliran dan komposisi saliva.
Adanya penggantian fungsi jaringan oleh jaringan adipose ada kelenjar
saliva
mayor dapat mengurangi jumlah dan kuantitas sekresi saliva.
8,17,23

Penurunan aliran saliva juga dapat mengakibatkan penurunan terhadap


kualitas hidup seseorang sehingga timbul gejala subjektif seperti mulut kering,
16,19,24
susah dalam mengunyah, menelan dan berbicara.
DAFTAR PUSTAKA

1. Al-Maskari AY, Al-Maskari MY and Al-Sudairy S. Oral manifestations


and complications of diabetes mellitus a review. Sultan Qaboos Univ Med
J 2011; 11(2): 179-86.
2. Sudoyo AW, Suyono S, Gustaviani R. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Jilid III Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2009. h. 1852-63.
3. Panchbhai AS. Correlation of salivary glucose level with blood glucose
level in diabetes mellitus. J Oral & Maxillofacial Research 2012; 3:1-7.
4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan
RI. Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI; 2013. h. 87-90
5. Lamster IB, Lalla E, Borgnakke WS, Taylor GW. The relationship
between oral health and diabetes mellitus. J Am Dent Assoc 2008; 139
Suppl: 19S-24S.
6. Harijanti K, Soebadi B, Mulyaningsih I. Prevalence of xerostomia on type
2 diabetes mellitus in Hajj Hospital Surabaya. Dent. J (Maj. Ked. Gigi)
2007; 40(3): 136-9.
7. Gandara BK, Morton TH. Non-periodontal oral manifestations of diabetes:
a framework for medical care providers. Diabetes Spectrum 2011; 24:
199-205.
8. Shrimali L, Astekar M, Sowmya GV. Correlation of oral manifestations in
controlled and uncontrolled diabetes mellitus. Int J Oral & Maxillofacial
Pathology 2011; 2: 24-27.
9. Borgnakke WS, Taylor GW, Anderson PF, Shannon MC. Dry mouth
(Xerostomia): diagnosis, causes, complications and treatment. Research
review. Delta Dental 2010; 1-45.
10. Inayaty, H., & Apriasari, M. L. Studi deskripsi laju aliran saliva pada
pasien diabetes melitus di RSUD Ulin Banjarmasin. Jurnal PDGI Vol. 63,
No.1. 2014. 8-13.
11. Sayuti, H. Dan Harum, S. Xerostomia: Faktor Etiologi, Etiologi dan
Penanggulangan. JKGUI: 7(Edisi Khusus). 2010. 241-248.
12. Wulan, G.W. Gambaran Xerostomia pada Penderita Diabetes Melitus Tipe
2 di Poliklinik Endokrin RSUP. Prof dr. R. D. Kandou Manado, Jurnal e-
Gigi, Vol.1 No.2. 2013.
13. Danaei G et al. National, regional, and global trends in fasting plasma
glucose and diabetes prevalence since 1980: systematic analysis of health
examination surveys and epidemiological studies with 370 country-years
and 2,7 million participants. The Lancet 2011; 378: 31–40.
14. Loe H, Genco RJ. Oral complications in diabetes. http://diabetes.niddk
.nih.gov/dm/pubs/america/pdf/chapter23.pdf (12 Juni 2020).
15. Donald R, Coustan. Gestational diabetes. http://diabetes.niddk.nih.gov/dm/
pubs/America/pdf/chapter35.pdf (12 Juni 2020)
16. Sitompul R. Retinopati diabetik. J Indon Med Assoc 2011; 61(8): 338-340.
17. Riaz S. Diabetes mellitus. Academic Journals 2012; 4 (5): 367-373.
18. Danaei G et al. National, regional, and global trends in fasting plasma
glucose and diabetes prevalence since 1980: systematic analysis of health
examination surveys and epidemiological studies with 370 country-years
and 2,7 million participants. The Lancet 2011; 378: 31–40.
19. Emilienne MPA. Xerostomia oral pathology. http://flipper.diff.org/app/
items/info/2078 (12 Juni 2020)
20. Boedi, S. Penelurusan penyebab xerostomia dan penatalaksanaannya
dalam bidang kedokteran gigi. JITEKGI 2006; 3(3): 71-5.
21. Gupta A, Epstein JB, Sroussi H. Hyposalivation in elderly patients. J Can
Dent Assos 72(9). 2006: 841-6
22. Hasibuan S. Keluhan mulut kering ditinjau dari faktor penyebab,
manifestasi dan penanggulannya.Medan: USU Press, 2012: 1-6.
23. Pedersen AML. Diabetes mellitus and related oral manifestations. Oral
Biosci Med 2014; 1(4): 229-243.
24. Fox CP. Xerostomia: Recognition and management. http://www.ncbi.nlm.
nih.gov/pubmed/18982854 (12 Juni 2020)
20

Anda mungkin juga menyukai