Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Impaksi molar tiga rahang bawah merupakan kasus yang umumnya


sering dijumpai dalam praktik kedokteran gigi. Odontektomi merupakan
perawatan yang dianjurkan untuk mengangkat gigi molar tiga rahang bawah yang
impaksi sehingga dengan demikian dapat menghilangkan keluhan-keluhan yang
mungkin dirasakan pasien oleh karena gigi impaksi tersebut. Dalam hal ini
mandibular blok anastesi merupakan pilihan anastesi yang tepat dan harus
dilakukan untuk mendapatkan efek anastesi dengan durasi yang lama. Anatomi,
sistem persyarafan serta teknik yang tepat merupakan hal dasar yang harus
diketahui dalam melakukan mandibular blok anastesi sehingga dapat
meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi-komplikasi yang timbul dari
efek anastesi.

Salah satu komplikasi yang mungkin timbul dari kesalahan anastesi adalah
adanya parastesi. Parestesi merupakan efek perpanjangan anastesi berupa rasa
kebas yang bertahan . Menurut penelitian yang dilakukan oleh Blondeu (2007),
melaporkan bahwa angka terjadiya presistensi setelah pencabutan molar tiga
rahang bawah impaksi berkisar 0,4% sampai 8,4% dari 550 molar tiga rahang
bawah. Haug (2005), melakukan sebuah penelitian terhadap 8.000 kasus
pencabutan molar tiga rahang bawah impaksi, dimana hasil penelitian
memperlihatkan bahwa insidensi parastesi kurang dari 2 % pada pasien berumur
25 tahun keatas. Insidensi parastesi meningkat seiring pertambahan usia.

Melihat bahwa parestesi merupakan komplikasi yang persentasenya kecil


tetapi dapat terjadi dalam praktik kedokteran gigi, maka dengan ini akan sedikit
mengupas mengenai sistem persyarafan mandibula, kesalahan-kesalahan yang
menyebabkan parestesi dan perawatan yang sesuai untuk mengobati parestesi.

1
BAB II

PARASTESI NERVUS ALVEOLARIS INFERIOR

A. Nervus alveolaris inferior

Nervus alveolaris inferior adalah cabang yang terbesar dari divisi posterior
dari nervus mandibularis yang menginervasi gigi-geligi dan jaringan
pendukungnya di regio mandibula. mula-mula melalui permukaan medial dari
muskulus pterigoideus eksternus dan dari arteri maksilaris interna, kemudian di
antara ramus mandibula dan muskulus pterigoideus internus, sedikit
membengkok, dan ke bawah menuju ke foramen mandibula kemudian ke bagian
depan di dalam kanalis mandibula bersama-sama dengan arteri dan vena, dekat
dengan foramen mental, nervus alveolaris inferior terbagi atas nervus mental dan
vabang kecil gigi insisivus yang mana berlanjut menyusuri tulang dan gingival
bagian labial.

Nervus alveolaris inferior mengadakan cabang-cabang:

1. Nervus milohioideus, berasal dari nervus alveolaris inferior tepat sebelum


masuk ke foramen mandibularis dan turun ke bawah dank e depan di
dalam sulkus milohioideus mandibula, mula-mula lateral dari muskulus
pterigoideus internus, kemudian di bawah muskulus milohioideus dan
akhirnya menambah venter anterior muskulus digastrikus.

2. Rami dentalis inferior dan rami gingivalis inferior, yang berjalan di dalam
kanalis mandibula yang menginervasi gigi molar, premolar, prosesus
alveolaris dan periosteum dan masuk ke tiap-tiap akar gigi yang akhirnya
membentuk pleksus dentalis inferior di atas nervus mandibularis.

3. Nervus mentalis, adalah cabang yang terbesar, meninggalkan kanalis


mandibula melalui foramen mentalis, ditutupi muskulus triangularis.

2
Nervus ini membelah menjadi rami labialis inferior yang berjalan ke
bagian atas untuk kulit dan membrane mukosa bibir bawah.1

Gambar 1

Nervus alveolaris inferior1

B. Pengertian parestesi

Parestesi didefinisikan sebagai suatu fenomena sensorik berupa kebas, rasa


terbakar dari kulit tanpa adanya stimulus yang jelas dan salah satu manisfestasi
klinis adanya sensasi yang tidak normal, hal ini terjadi akibat adanya perubahan
sensasi pada sistem saraf perifer, dapat bersifat sementara atau menetap. Parestesi
disebabkan oleh cedera saraf yang dapat mengenai n alveolaris inferior, n
lingualis, n bukalis, n milohioideusdan n mentalis. Cabang-cabang saraf tersebut
mempunyai fungsi sensoris.2 Cedera yang mengenai syaraf-syaraf ini biasanya

3
sulit dihindari karena anatomi pembuluh-pembuluh syaraf tersebut dekat dengan
bagian apical gigi molar ketiga rahang bawah. Pembuluh-pembuluh syaraf
tersebut merupakan cabang-cabang nervus mandibularis, divisi ketiga dari nervus
trigeminus.3

Terkadang pasien merasakan kebas (beku) beberapa jam setelah pemberian


anestesi lokal yang terjadi pada bagian-bagian wajah tertentu seperti bibir, gusi,
ujung lidah atau dagu. Hal ini tidak menjadi masalah, namun ketika parestesi tetap
ada selama beberapa hari, minggu atau bulan, akan menjadi masalah. Parestesi
atau anestesi yang persisten merupakan komplikasi yang mengganggu dari
pemberian anestesi lokal yang terkadang tidak dapat dicegah. Parestesi juga
merupakan salah satu penyebab dari tuntutan malpraktek yang paling sering.2

Mekanisme terjadinya parestesi sebagai respon terhadap kerusakan syaraf


perifer dapat dijelaskan melalui proses wallerian degeneration bahwa kerusakanan
anatomi syaraf menyebabkan kelainan sensasi, sentuhan ringan saja dapat
menimbulkan kelainan sensasi. Pada sistem syaraf perifer, jika terjadi kerusakan
maka ujung akson pada sisi distal akan mengalami degenerasi. Makrofag akan
bermigrasi untuk melaksanakan fungsi fagositosis terhadap debris maupun benda-
benda asing di daerah kerusakan. Sel-sel schwan tidak berdegenerasi tetapi
berproliferasi dan berubah membentuk sel yang solid menyerupai bentuk sel yang
asli seperti sel-sel schwan pada akson bagian proksimal. Kemudian akson distal
sebagai akson baru yang dibungkus oleh sel-sel schwann, akan masuk dan bersatu
dengan akson proksimal. Jika pembentukan berlangsung terus secara normal maka
akan terbentuk akson baru yang akan menghubungkan dengan sinaps. Dengan
terbentuknya kembali selubung akson maka peristiwa penghantaran impuls akan
kembali normal. Selama fase regenerasi didaerah kerusakan maka peristiwa
penghantaran impuls tidak sebaik sebagaimana mestinya. Kelainan sensasi pada
daerah penyembuhan jaringan yang teriritasi khronis oleh karena adanya kontak
jaringan syaraf baru dengan jaringan syaraf semula disekitarnya, dapat
menyebabkan penghentian penghantaran impuls syaraf secara spontan selama fase
regenerasi syaraf. Jembatan syaraf yang dihasilkan oleh fase regenerasi syaraf

4
biasanya tidak sama dalam hal bentuk dan ukuran semula sehingga sifat dan
kemampuan jaringan syaraf yang baru dalam penghantaran impuls jadi berubah.
Disamping itu daya regenerasi dari pembuluh syaraf tergantung atas sifat gen dan
umur individu. Pada individu yang sudah tua respon badan sel biasanya lebih
lambat dari yang lebih muda.3

Menurut seddon (1943), kerusakan saraf secara umum dapat dibagi menjadi tiga
kelompok besar, yaitu:4

1. Neurapraxia

Neurapraxia adalah kerusakan saraf tanpa kehilangan kontinuitas akson,


tanpa demieliniasi atau tanpa terbentuknya neuroma. Dalam hal ini terdapat
gangguan penghantaran impuls yang bersifat sementara. Neurapraxia disebabkan
karena tekanan ringan pada saraf, pengaruhtermal, dan infeksi akut. Biasanya
dapat sembuh secara spontan kurang dari 2 bulan.

2. Axonotmesis

Axonotmesis adalah kerusakan saraf yang cukup berat, dimana terjadi


kehilangan kontinuitas akson tetapi selubung endoneuriam masih utuh dan
mungkin terbentuk neuroma. Hal ini disebabkan karena kerusakan saraf sebagian,
saraf tertarik, terkena bahan kimia, hematom dan infeksi kronis. Keadaan ini dapat
sembuh spontan dalam 2 sampai 4 bulan.

3. Neurotmesis

Neurotmesis adalah kerusakan saraf yang parah, dimana semua susunan


dan struktur saraf terputus dan terbentuk neuroma. Neurotmesis terjadi karena
luka robek, laserasi dan avulse batang saraf. Penyembuhan dapat berlangsung
lama hingga 2 tahun, bahkan kehilangan sensasi biasanya menetap.

C. Insidensi parastesi pada nervus alveolaris inferior

Blondeu (2007), melaporkan angka terjadiya presistensi setelah


pencabutan molar tiga rahang bawah impaksi berkisar 0,4% sampai 8,4% dari 550

5
molar tiga rahang bawah. Haug (2005), melakukan sebuah penelitian terhadap
8.000 kasus pencabutan molar tiga rahang bawah impaksi, dimana hasil penelitian
memperlihatkan bahwa insidensi parastesi kurang dari 2 % pada pasien berumur
25 tahun keatas. Insidensi parastesi meningkat seiring pertambahan usia.4

Schultze-mosgau dan reich (1993), melaporkan angka terjadinya parastesi


pasca pencabutan molar tiga rahang bawah impaksi, dari 791 pasien yang
dilakukan tindakan pencabutan molar tiga rahang bawah dilaporkan 1,3%
mengalami cedera pada alveolaris inferior dan 1,9% mengalami cedera pada
nervus lingualis, sedangkan cedera pada nervus bukalis sangat jarang. Fielding
dkk (1997), juga melaporkan bahwa pada pasca pencabutan molar tiga rahang
bawah impaksi terjadi lingual parastesi unilateral sebanyak 92,7%, sedangkan
lingual parastesi bilateral sebanyak 7,3%.4

Menurut peterson (1993), impaksi mesio angular memiliki insidensi


terjadinya parastesi lingual yang paling tinggi (30,6%), kemudian diikuti oleh
impaksi disto angular (19,6%). Hal ini disebabkan karena pencabutan impaksi
disto angular mempunyai tingkat kesulitan yang cukup tinggi karena dalam
pencabutannya melibatkan ramus mandibula dan membutuhkan intervensi bedah
yang besar seperti pembuangan tulang yang banyak.4

Selain itu, posisi impaksi mesio angular sangat dekat dengan kanalis
mandibularis sehingga paska pencabutan molar 3 rahang bawah sering
menimbulkan parestesi nervus alveolaris inferior

BAB III

6
PENYEBAB PARESTESIA PADA NERVUS ALVEOLARIS INFERIOR
SETELAH PENCABUTAN GIGI MOLAR TIGA BAWAH

Etiologi parestesia pasca pencabutan molar tiga rahang bawah

Penyebab timbulnya parestesia pasca pencabutan molar tiga bawah adalah


karena trauma yang mengenai saraf-saraf di sekitar molar tiga rahang bawah. 5
Terdapat berbagai macam faktor yang dapat menyebabkan parestesia pasca
pencabutan molar tiga rahang bawah impaksi, diantaranya yaitu:

1. Anatomi
Hubungan posisi akar molar tiga rahang bawah terhadap kanalis
mandibularis dapat mempengaruhi terjadinya parestesia. Hal ini dapat
dilihat dengan pemeriksaan radiografi.5 Menurut Rood dan Shehab (1990),
ada lima gambaran radiografi yang menunjukkan hubungan antara kanalis
mandibularis dengan akar molar tiga rahang bawah, diantaranya yaitu:6
a. Radilosen pada akar molar tiga rahang bawah
b. Deviasi kanalis mandibularis
c. Interupsi garis putih kanalis mandibularis
d. Defleksi akar molar tiga rahang bawah oleh kanalis mandibularis
e. Penyempitan akar molar tiga rahang bawah

7
Gambar 2
Hubungan antara kanalis mandibularis dengan akar molar tiga rahang bawah menurut
Rood dan Shehab.6

Gambar 3
Gambaran radiografis hubungan akar molar tiga rahang bawah dengan kanalis
mandibularis.7

Nervus lingualis biasanya terletak pada aspek lingual dari mandibula pada
region retromolarpad, tetapi kadang-kadang jalan nervus lingualis berada
di area retromolarpad sehingga insisi mukosa pada daerah ini dapat
menyebabkan cedera nervus lingualis.8

2. Trauma
Retraksi flap yang berlebihan, tekanan retractor selama retraksi di bagian
lingual gigi molar tiga, dan retraksi lidah yang berlebihan dengan retractor
dapat menekan nervus lingualis, sehingga menyebabkan cedera nervus
lingualis.9 Selain itu, Booth (2007) berpendapat bahwa penggunaan
periosteal elevator Howarth tradisional dapat meningkatkan frekuensi
trauma nervus lingualis.10

Pogrel (1995), melakukan sebuah penelitian pada cadaver dan radiografis,


dimana hasilnya menunjukkan bahwa terdapat variasi letak nervus
lingualis, yaitu kurang lebih 20% letak nervus lingualis berada di atas
lingual crest atau berkontak langsung dengan lingual plate. Oleh karena
itu, pada saat memotong mahkota gigi molar tiga rahang bawah impaksi
8
mungkin saja terjadi perforasi lingual cortical plate yang merupakan
tempat tulang untuk melindungi nervus, sehingga menyebabkan cedera
nervus lingualis.11 Fraktur lingual cortical plate juga dapat menyebabkan
cedera nervus lingualis.9

Pada pemakaian bur yang tidak hati-hati, seperti bur masuk ke dalam
kanalis mandibularis saat melakukan pemotongan gigi dapat menyebabkan
parestesia. Selain itu, pemakaian bur handpiece yang tidak disertai irigasi
dengan aliran larutan saline yang stabil akan mengakibatkan tulang yang
berada di sekitar saraf memanas, sehingga dapat menyebabkan cedera
saraf.9

Gambar 4

Ilustrasi menunjukkan cedera Nervus Alveolaris Inferior yang berada dekat dengan gigi
molar tiga rahang bawah disebabkan karena bur yang mengenai kanalis mandibularis.9

Pemakaian instrument yang tidak hati-hati pada saat pencabutan molar tiga
rahang bawah dapat mendorong sisa akar ke dalam kanalis mandibularis,
sehingga menyebabkan trauma pada nervus alveolaris inferior.9

9
Gambar 5

Sisa akar terdorong ke dalam kanalis mandibularis saat melakukan tindakan pencabutan
gigi molar tiga rahang bawah.9

Selain itu, trauma yang disebabkan karena jarum suntik yang mengenai
jaringan saraf akan menyebabkan parestesia. Beberapa pasien
mengeluhkan adanya sensasi seperti sengatan listrik. Walaupun jarum
suntik yang digunakan dengan ukuran yang kecil, parestesia mungkin saja
dapat terjadi.12

3. Perdarahan
Perdarahan pascaoperatif dapat menyebabkan tekanan pada nervus
alveolaris inferior yang dekat dengan soket sehingga menyebabkan
parestesia. Jika nervus alveolaris inferior berada di dekat soket dan di
dalam soket tersebut terdapat bekuan darah, pengurangan tekanan udara
dapat menyebabkan terbentuknya gelombang udara kecil di dalam soket
dan mengakibatkan tekanan yang bersifat sementara pada nervus
alveolaris inferior sehingga menyebabkan sensasi yang tidak
menyenangkan.13 Perdarahan di dalam atau sekitar nervus lingualis setelah
injeksi anestesi blok mandibular dapat menyebabkan terjadinya
parestesia.14

4. Dampak penggunaan larutan anestesi lokal

10
Parestesia dapat juga disebabkan karena adanya molekul larutan anestesi
lokal yang terhidrolisis pada saat masih terikat reseptor dan juga karena
adanya alkohol berada pada saluran atau pori-pori sodium. Metabolit ini
dapat mengganggu konduksi saraf dan menyebabkan disfungsi saraf
(parestesia).14
5. Peradangan dan infeksi
Infeksi setelah pencabutan gigi molar tiga rahang bawah dapat
menyebabkan tekanan pada nervus alveolaris inferior yang dekat dengan
soket, sehingga akan menyebabkan parestesia.13
6. Jaringan parut
Dalam proses penyembuhan, pada soket dapat terbentuk jaringan parut
fibrosa dimana nervus alveolaris inferior yang dekat dengan soket akan
tertekan sehingga menyebabkan sensasi yang tidak menyenangkan.13
7. Debridement yang tidak baik
Pasca pencabutan gigi terkadang terdapat mikrofraktur dengan fragmen
tulang tajam yang berada jauh di dalam soket, kondisi ini mungkin saja
terjadi pada pencabutan gigi molar tiga rahang bawah. Jika terdapat
pergerakan yang kuat atau trauma pascaopertaif, kemungkinan akan
menyebabkan perpindahan fragmen tulang, sehingga menekan nervus
alveolaris inferior.13

8. Penjahitan
Penjahitan flap yang tidak hati-hati, sehingga menekan saraf.9

Teknik pencabutan gigi molar tiga rahang bawah

Odontektomi Molar Ketiga Rahang Bawah Metode Split Technique. 15


Adapun tahapan odontektomi dengan metode split technique adalah sebagai
berikut
a Dilakukan disinfeksi jaringan di luar dan di dalam rongga mulut sebelum
odontektomi, dapat digunakan obat kumur antiseptik selanjutnya
dilakukan blok anestesi.
b Dibuat insisi dengan memperhitungkan garis insisi tetap akan berada di
atas tulang rahang setelah pengambilan jaringan tulang pasca odontektomi,
dan selanjutnya dibuat flap.

11
c Tulang yang menutup gigi diambil seminimal mungkin dengan perkiraan
besar setengah dari besar gigi yang akan dikeluarkan.

d Selanjutnya dilakukan pemotongan gigi yang biasanya dimulai dengan


memotong pertengahan mahkota gigi molar ketiga impaksi ke arah
bifurkasi atau melakukan pemotongan pada regio servikal untuk
memisahkan bagian mahkota dan akar gigi. Selanjutnya dilakukan
pemotongan menjadi bagian-bagian lebih kecil sesuai dengan kebutuhan.
Mahkota gigi dapat dipotong menjadi dua sampai empat bagian, demikian
pula pada bagian akarnya, kemudian bagian-bagian tersebut dikeluarkan
satu per satu.

e Selanjutnya dilakukan kuretase untuk mengeluarkan kapsul gigi dan


jaringan granulasi di sekitar mahkota gig1 dan dilanjutkan dengan
melakukan irigasi dengan air steril atau larutan saline 0,09 % steril.

f Pada saat melakukan pemotongan tulang dan gigi dengan menggunakan


bur, tidak boleh dilakukan secara blind akan tetapi operator harus dapat
melihat secara langsung daerah yang dilakukan pengeboran. Tindakan
pengeboran secara blind akan dapat menyebabkan terjadinya trauma yang
tidak diinginkan dijaringan sekitarnya.

g Penjahitan dilakukan mulai dari ujung flap dibagian distal molar kedua
dan dilanjutkan ke arah anterior kemudian ke arah posterior.

Odontektomi Molar Ketiga Rahang Bawah posisi Mesioversi. 15

Gigi impaksi molar ketiga rahang bawah dengan posisi mesioversi dapat
ditemukan dengan keadaan mahkota gigi terletak di bawah atau di atas servikal
gigi molar kedua dan akar giginya dapat terletak jauh atau dekat dengan kanalis
mandibula. Faktor lain adalah mahkota bagian distal tertutup oleh tulang
mandibula yang tebal. Pada keadaan mahkota gigi terletak dibawah servikal
mahkota molar kedua dan akar gigi terletak dekat dengan kanalis mandibula, split

12
technique sangat dianjurkan karena dapat mencegah terjadinya trauma pada gigi
molar kedua dan kanalis mandibula.

Gambar 6
Gambaran ilustrasi pencabutan gigi molar tiga rahang bawah:
(A) gigi molar tiga rahang bawah impaksi mesioangluar, (B) garis insisi, (C) pembukaan
flap mukoperiosteal, (D) menentukan jumlah tulang yang akan dibuang, (E)
pembuangan tulang menggunakan bur dan hand piece, (F) pemisahan gigi, (G)
pengangkatan gigi sebelah distal, (H) pengangkatan gigi sebelah mesial dan (I)
penjahitan

BAB IV

13
PELAKSANAAN PARASTESI PADA NERVUS ALVEOLARIS
INFERIOR PASCA PENCABUTAN GIGI MOLAR TIGA RAHANG
BAWAH

Cedera pada nervus alveolaris inferior akibat tindakan odontektomi


akan mengalami penyembuhan secara spontan, namun direkomendasikan
juga beberapa tindakan yang dapat dilakukan untuk mempercepat proses
regenerasi syaraf. Penyembuhan secara spontan dapat terjadi beberapa
minggu sampai bulan hingga 1 tahun. Apabila setelah 1 tahun tidak hilang
maka kelainan sensasi tersebut kemungkinan bersifat menetap.
Beberapa tindakan yang dapat dilakukan untuk mempercepat
proses penyembuhan cedera syaraf yaitu:
1. Pemijatan
Pemijatan dilakukan dengan jari tangan yang bertujuan
mengurangi cairan inflamasi pada lokasi peradangan serta
mengurangi pertumbuhan jaringan ikat fibrinogen. Terlalu
banyak jaringan ikat fibrous akan menimbulkan scar pada lokasi
syaraf yang rusak. Selama fase regenerasi, pemijatan ikut
membantu remodelling jaringan ikat kolagen.3
2. Cryotherapy
Merupakan pemberian es di jaringan sekitar saraf pada 24 jam
pertama setelah terjadi cedera saraf dan dilakukan secara berkala
selama minggu pertama. Terapi ini bertujuan untuk mengurangi
kemungkinan cedera saraf sekunder akibat edema dan tekanan,
sehingga memperlambat pembentukan neuroma dan jaringan
parut.17
3. Electrotherapy / Electro-iontophoresis
Terapi ini menggunakan aliran listrik berkekuatan rendah untuk
mengahntarkan obat atau bahan kimia melalui kulit, salah satunya
yaitu pasta yang mengandung lidokain dan deksametason yang
dapat berguna untuk mengurangi edema dan juga mengontrol rasa
sakit pada minggu pertama setelah cedera saraf. Mekanisme yang
tepat dari electrotherapy ini masih banyak diperdebatkan.

14
Electrotherapy dapat langsung memblokir transmisi sinyal rasa
sakit di sepanjang saraf. Selain itu, electrotherapy telah terbukti
dapat membantu pelepasan hormon endorfin yang merupakan
penghilang rasa sakit alami yang diproduksi oleh tubuh.3,17
4. Terapi panas
Kompres air hangat berpengaruh pada perbaikan vaskularisasi di
daerah kerusakan syaraf. Cara ini dapat dilakukan selama 30 menit
setiap hari.3
5. Penggunaan antibiotik
Parestesi yang disebabkan oleh peradangan atau infeksi dianjurkan
untuk menggunakan antibiotik. Pengobatan dengan antiobiotik
selama 7 hari dengan penisilin merupakan standar untuk mencegah
infeksi.17
6. Penggunaan obat-obat neurotropik
Terapi dengan obat-obatan selain bertujuan mempercepat proses
regenerasi syaraf juga bertujuan untuk mengatasi penyebab
parastesia. Parestesi yang disebabkan oleh peradangan atau
infeksi dianjurkan untuk menggunakan antibiotik dan
antiinflamasi. Sedangkan penggunaan golongan neurotropik dapat
membantu fase regenerasi syaraf. Pemakaian multivitamin B
kompleks atau methylcobalt selama 6-8 minggu memberikan
pengaruh yang baik pada proses penyembuhan cedera syaraf.3
7. Penggunaan anti-inflamasi
Pasien yang mengalami parestesi pasca pencabutan molar tiga
rahang bawah sebaiknya menggunakan kortikosteroid untuk
meminimalisasi terjadinya inflamasi. Obat ini harus digunakan
secepat mungkin, idealnya sehari setelah pencabutan gigi molar
tiga rahang bawah. Pada pasien yang mengalami gejala parestesi
ringan dapat juga diberikan obat anti inflamasi yaitu ibuprofen atau
aspirin.17
8. Penggunaan obat topikal
Penggunaan obat topikal belum diteliti dengan baik, tetapi terdapat
beberapa bukti bahwa capsaicin yang digunakan secara teratur

15
akan meredakan rasa sakit. Dosis yang dianjurkan adalah 5 kali per
hari selama 5 hari, kemudian 3 kali per hari selama 3 minggu.17

Pada kasus-kasus cedera syaraf yang tidak kunjung sembuh dengan


perawatan non-bedah maka direkomendasikan untuk melakukan
perawatan bedah. Beberapa metode perbaikan secara bedah antara lain
dekompresi syaraf, penjahitan syaraf dan graft syaraf.3
Dekompresi syaraf dilakukan dengan membuka jaringan lunak
hingga ke daerah cedera syaraf, eksploitasi ini bertujuan menghilangkan
jaringan tulang yang menekan pembuluh syaraf. Metode ini dilakukan
karena pembuluh syaraf masih intak.3
Penjahitan syaraf dilakukan pada pembuluh syaraf yang terputus
dengan jarak antar kedua ujung syaraf sekitar 1 cm. Selain itu penjahitan
dilakukan bila syaraf terpotong lurus serta tidak ada jaringan yang hancur.
Penyambungan kedua ujung syaraf yang terputus menggunakan benang
nilon berukuran 8.0 atau 9.0. Penjahitan dilakukan pada lapisan terluar
pembuluh syaraf perifer yaitu epinerium.3
Teknik graft syaraf dilakukan bila rekonstruksi mengharuskan
pengambilan jaringan syaraf yang rusak sehingga memberikan jarak cukup
panjang antara kedua ujung syaraf yang rusak, sehingga tidak mungkin
dilakukan penyambungan jaringan syaraf dengan penjahitan.3

Laporan Kasus
Seorang wanita umur 24 tahun datang ke bagian bedah mulut
subdivisi exodonsia RSGM-FKG UNPAD dengan keluhan sejak kurang
lebih 6 bulan yang lalu sering sakit pada gigi belakang kiri bawah, selain
itu gigi tersebut tumbuh miring. Bila sedang timbul rasa sakit kadang-
kadang menyebar sampai ke daerah telinga disertai rasa pusing. Bila
sedang sakit os minum obat pereda sakit, sakit hilang namun dapat timbul
kembali pada suatu waktu. Rasa sakit terakhir sekitar 1 minggu yang lalu,
os berobat ke dokter gigi swasta dan diberi obat antibiotika dan
analgetika.Pasien ingin dicabut.

16
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital dalam batas normal.
Ekstraoral tidak terdapat kelainan. Pada pemeriksaan intraoral gigi 38
terpendam dan 48 terpendam sebagian serta tumbuh miring. Gingiva di
sekitar gigi tersebut tampak lebih merah dibanding jaringan sekitarnya.
Status gigi geligi lainnya tidak ada kelainan. Pada gambaran panoramik
foto tampak posisi oklusal gigi 38 terpendam dan berada di servikal gigi
anteriornya, serta ujung dari apeks gigi tersebut menembus kanalis
mandibularis.
Berdasarkan pemeriksaan-pemeriksaan tersebut ditegakkan
diagnosa klinis dengan impaksi klas II C gigi 38. Dilakukan terapi
odontektomi gigi 38. Setelah operasi odontektomi os diberi obat Amoxillin
3 x 500 mg dan Nimesulide 2 x 100 mg selama 5 hari. Pada kontrol hari
ke-1 paska odontektomi didapatkan pembengkakan pada pipi kiri bawah,
tidak ada trsimus, keluhan lain tidak ada. Pada kontrol hari ke-5 paska
odontektomi dilakukan pembukaan jahitan, pembengkakan berkurang
serta didapatkan keluhan rasa kebas atau baal pada bibir bawah sebelah
kiri, sudut mulut sebelah kiri dan juga pada kulit daerah dagu sebelah kiri
yang dikeluhkan sejak hari ke-4 paska odontektomi. Hal ini menunjukkan
bahwa pada pasien terdapat parestesi paska odontektomi gigi 38.
Selanjutnya pasien diberi Neurotropik (Neurovit E) 1 x 1 dan Methycobal
3 x 500 mg selama 7 hari serta diinstruksikan untuk kompres hangat
selama 30 menit setiap hari. Pada kontrol hari ke-12 paska odontektomi
masih terdapat parestesi sedangkan keluhan lain tidak ada, pasien kembali
diberikan neurotropik dan Methycobal selama 7 hari dengan instruksi
sama seperti sebelumnya, serta dilakukan rontgen foto periapikal 38. Pada
kontrol hari ke-19 keluhan parestesi sudah mulai berkurang, pasien masih
diberikan terapi dan instruksi yang sama untuk selama 7 hari. Pada kontrol
hari ke-26 paska odontektomi keluhan parestesi tidak ada. Pasien
merasakan sensasi di sekitar bibir bawah kiri dan kulit sekitar dagu
sebelah kiri sudah kembali seperti sedia kala.
Berdasarkan contoh kasus tersebut dapat disimpulkan, bahwa pada
pasien mengalami parestesi yang mulai dirasakan sejak hari ke-4 paska

17
odontektomi. Parestesi berlangsung sekitar 3 minggu. Pada pasien ini,
komplikasi parestesi tidak dapat dihindari karena secara anatomi posisi
ujung akar gigi 38 tampak menembus kanalis mandibularis.3

Daftar Pustaka

1. Mardi, 2008. Transposisi nervus alveolaris inferior sebagai persiapan


implan dental. Fakultas kedokteran gigi sumatera utara. Medan. Hal 13 dan 15.
2. Handoyo benny, 2009. Parestesi sebagai salah satu komplikasi darianastesi
blok pada mandibula. Fakultas kedokteran gigi sumatera utara. Medan. Hal 17.
3. Hendaya hedis, kasim alwin. Parestesi sebagai komplikasi pasca bedah
molar tiga bawah impaksi. Fakultas kedokteran gigi unpad. Bandung.
4. Damayantianisa, 2012. penatalaksanaan parastesi pasca pencabutan molar
tiga rahang bawah impaksi. Fakultas kedokteran gigi updm(b). Jakarta.
5. Moore UJ, 2001. Principles of Oral and Maxillofacial Surgery. Edisi ke-5.
Great Britain: Blackwell Science, 113.
6. Loescher AR, Smith KG, Robinson PP, 2003. Nerve Damage and Third
Molar Removal. Dental Update, 376, 379-380.
7. Caissie R, Goulet J, Fortin M, Morielli D, 2005. Iatrogenic Paresthesia in
The Third Division of The Trigeminal Nerve. J. Can Dent Assoc 71(3): 188-189.
8. Hupp, JR, 2008. Contempory Oral and Maxillofacial Surgery. Edisi ke-5.
Vol. 1, China: Mosby, 153-157, 160, 173, 175, 193.
9. Fragiskos DF, 2007. Oral Surgery. New York: Springer Berlin Heidelberg,
191-194.

18
10. Booth PW, Schendel SA, Hausamen JA, 2007. Maxillofacial Surgery. Vol.
2. Edisi ke-2. Missouri: Churchill Livingstone, 1615.
11. Foncesca RJ, 2009. Oral and Maxillofacial Surgery. Vol. 1, Edisi ke-2,
Missouri: Saunders, 45, 260, 265-268, 276-277.
12. Malamed, Stanley F, 2004. Handbook of Local Anesthesia. Edisi ke-5,
Missouri: Mosby, 181-184.
13. Tolstunov L, Pogrel MA, 2009. Delayed Paresthesia of Inferior Alveolar
Nerve After Extraction of Mandibular Third Molar: Case Report and Possible
Etiology. J. Oral Maxillofacial Surgery 67(8):1765.
14. Fielding AF, Rachiele DP, Frazier G, 1997. Lingual Nerve Paresthesia
Following Third Molar Surgery. J. Oral Surg. Oral Med. Oral Pathol. Oral
Radiol. Endod. 84(4): 345, 347
15. http://christ-drg.blogspot.com/2011/11/odontektomi-m3-rahang-
bawah.html
16. Balaji SM, 2007. Textbook of Oral and Maxillofacial Surgery. New Delhi:
Elsevier, 244.
17. Damayanti, Anisa. Penatalaksanaan Parestesi Pasca Pencabutan Molar
Tiga Rahang Bawah Impaksi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Univ. Prof. Dr.
Moestopo, 2012.

19

Anda mungkin juga menyukai