Anda di halaman 1dari 6

Pencetakan, Teknik Mencetak, DVO , Lempeng Galangan Gigit

2.2. Dimensi Vertikal

Dimensi vertical (DV) merupakan salah satu komponen penting dalam perawatan gigi

tiruan. Hal ini disebabkan karena fungsi mastikasi, berbicara, maupun estetika wajah, semuan

ya bergantung pada hubungan vertical dan horizontal mandibula dengan maksila. Menurut

Miller, penentuan dimensi vertical yang tepat sangatlah penting, tidak hanya membangun

oklusi yang harmonis, tetapi juga untuk kenyamanan dan estetika wajah pasien. Apabila

dimensi vertical tidak ditentukan dengan tepat, selain mengakibatkan berkurangnya efisiensi

mastikasi, tetapi juga merusak sisa ridge (residual ridge), gigi geligi yang tersisa, serta sendi

temporomandibular. Menurut Glossary of Prosthodontic Terms, “dimensi vertikal adalah

jarak antara dua titik anatomi yang dipilih, yaitu satu titik pada maksila dan satu titik pada

mandibula.

Begitu besarnya peran dimensi vertical dalam perawatan prostodontik, maka

penentuan dimensi vertical harus dilakukan setepat mungkin (atau mendekati tepat). Dalam

menentukan dimensi vertical, terdapat beragam metode yang dapat digunakan antara lain

dengan metode physiologic rest position, fonetik, estetik, fenomena menelan, biometric

facial, dan sefalometri


Gambar 2.2.1. Perbedaan dimensi vertical oklusi dan istirahat

Pada umumnya, terdapat dua jenis dimensi vertical yang dapat diukur, yaitu dimensi

vertical oklusal, DVO (occlusal vertical dimension) dan dimensi vertical fisiologis, DVF (

rest vertical dimension). DVO adalah jarak vertical rahang saat gigi geligi beroklusi atau

dalam posisi oklusi sentrik, dan bibir atas dan bawah berkontak wajar. Sedangkan DVF

adalah jarak vertical saat otot-otot pembuka dan penutup mandibula dalam kondisi istirahat

pada tonic contraction, dimana gigi geligi tidak saling berkontak. Posisi istirahat fisiologis

diartikan posisi rahang bawah saat otot elevator dan depressor dalam keadaan

istirahat/fisiologis ,tonus seimbang, dan kondilus dalam kedudukan rileks dalam fossa

glenoid. Oleh karna itu, DVF selalu lebih besar daripada DVO. Kedua DV ini dipengaruhi

oleh perubahan akibat kehilangan gigi dan jarigan pendukuungnya. Selisih antara DVF

dengan DVO disebut freeway space atau interocclusal gap atau interocclusal clearance.

Para ahli dalam penelitiannya telah mengembangkan metode untuk menentukan

dimensi vertikal yaitu metode konvensional dan antropometri. Salah satu metode

konvensional yang digunakan secara luas oleh dokter gigi di Indonesia yaitu two dot

technique. Metode konvensional secara garis besar dibagi atas metode mekanik dan

fisiologis. Metode mekanis menggunakan catatan yang digunakan sebelum pasien mengalami

kehilangan gigi, dimana catatan yang digunakan dapat berupa gambaran radiografik atau

cetakan gigi pada saat gigi dioklusikan. Metode mekanis antara lain menentukan relasi

linggir, penggunaan gigi tiruan lama, serta catatan pra-ekstraksi dan pengukurannya. Salah

satu pengukuran catatan pra-ekstraksi menggunakan two dot technique untuk mengukur

tinggi sepertiga bagian bawah.

Sedangkan metode fisiologis adalah pengukuran dimensi vertical secara langsung

pada pasien menggunakan Teknik-teknik tertentu. Metode fisiologis termasuk penentuan


posisi fisiologis istirahat (physiologic rest position), estetik, fonetik, ambang batas penelanan

(swallowing threshold) , serta sensasi taktil dan kenyamanan.

Pada saat menghitung DVF, garis FP berada pararel dengan lantai. Garis FP adalah

garis yang meluas dari titik terendah tepi orbitale dan titik tertinggi tepi external auditory

meatus.

Keterangan :
FP  Frankfort’s Plane
CL  Camper’s Line
OP  Occlusal Plane

Gambar 2.2.3. Posisi Kepala saat Istirahat Fisiologis

Pengukuran secara langsung adalah pengukuran wajah, swallowing (penelanan),

metode fonetik, metode taktil dan rumus Hayakawa.

a. Pengukuran wajah

Pengukuran ini umumnya dilakukan dengan alat ukur jangka sorong. Willis

yang mempopulerkan Teknik pengukuran DVF bahwa jarak dari pupil mata ke

sudut bibir adalah sama dengan jarak dari dasar hidung ke ujung dagu. Tiga

pengukuran wajah yang dianggap konstan selama hidup, yaitu : jarak dari tengah

pupil mata ke garis yang ditarik dari sudut bibir, jarak glabella ke subnasion, dan

jarak antara sudut mulut ketika bibir istirahat. Dua dari tiga pengukuran ini akan

sama dan terkadang ketiganya akan sama satu sama lain.


Metode Wiilis, jarak sudut mata ke komisura bibir = jarak dasar hidung ke

ujung dagu. Metode yang sering digunakan di klinik adalah metode 2 titik. Alat

yang digunakan pada metode pengukuran 2 titik adalah jangka sorong dan Will’s

bite gange , karena mempunyai skala yang cocok.

b. Swallowing (penelanan)

Pada cara ini, pasien diinstrusikan melakukan geraka menelan dengan rileks

sampai garis dari bibir atas ke ujung dagu yang segaris dengan median wajah.

Posisi tersebut diukur sebagai DVF. Instruksikan pasien untuk rileks. Tentukan 2

titik acuan pada ujung hidung dan ujung dagu pasien. Ketika pasien telah menelan

atau membasahi bibirnya, maka mandibular akan berada pada posisi istirahat

fisiologis sebelum bergeser ke posisi habitual rest, ukur secepatnya ketika

mandibular masih berada pada posisi istirahat fisiologis.

c. Metode Fonetik

Pengukuran ini berdasarkan closest speaking distance yaitu pada saat

menghasilkan suarah ‘ss’ atau ‘sh’, tidak ada kontak antar gigi. Posisi ini

digunakan sebagai panduan memprediksi DVO. Penggunaan closest speaking

distance adalah dianggap paling akurat,mudah, dan praktis untuk mendapatkan

DVO

d. Metode Taktil

Menentukan 2 titik acuan pada ujung hidung dan ujung dagu. Dengan

menginstrusikan pasien untuk membuka mulutnya selebar mungkin hingga merasa

ada rsa tidaka nyaman pada ototnya. Lalu instrusikan pasien untuk menurutp

mulutnya secara perlahan dan segera berhenti ketika merasa ototnya telat rileks
dan nyaman kembali. Hitung jarak dari titik acuan, bandingkan dengan hasil

pengukuran menggunakan metode menelan.

e. Rumus Hayakawa

Pengukuran DVF secara tidak langsung dapat dengan rumus yang telah

dikemukakan oleh Hayakawa (1999), melalui pengukuran beberapa titik

referensi pada wajah dan tangan, serta disesuaikan dengan jenis kelamin dan

profil wajah pasien. Jika dimasukan ke dalam rumus Hayakawa dengan

menggunakan lembaran plastic milimeter dan standar penahan dagu.

Sn – Gn = 36,653 + 4, 576 (jenis kelamin) + 0,46 (P – P)

Sn = subnasion (tepi inferior hidung)


Gn = Gnation (titik inferior dagu)
P = Pupil point ( pupil mata)
Nilai jenis kelamin :
Perempuan = 0
Laki – laki = 1
P – P = Jarak antar pupil

Metode antropometri merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk

penentuan DVO. Metode yang digunakan untuk menghitung DVO pada pasien yang masih

memiliki gigi adalah dengan menginstrusikan pasien untuk menelan saliva dan menahan

posisi rahang setelah pasien menelan. Selama proses penelanan saliva, mandibula

meninggalkan posisinya saat istirahat dan bergerak naik ke posisi dimensi vertical oklusi,

sehingga pada saat saliva didorong ke faring oleh lidah, mandibula mengalami pergerakan

retrusi bersamaan dengan lidah dan mencapai relasi sentris. Sedangkan pada pasien dengan

rahang tak bergigi adalah menggunakan galangan gigit oklusal.


Gambar 2.2.2. Pengukuran Dimensi Vertikal Oklusi (DVO)

DAFTAR PUSTAKA

1. Glossary of Prosthodontics Terms. 8th ed. J Prosthet Dent 94; 2005: 10 – 85.

2. Nelson SJ, Ash MM. Wheeler’s dental anatomy, physiology, and occlusion ninth edition. St.

Louis, Missouri: Saunders, Elsevier Inc. 2010. 282, 299 – 30

3.

Anda mungkin juga menyukai