Anda di halaman 1dari 74

RESPONSI

Seorang Laki – Laki 45 Tahun Mitral Stenosis Severe (MS Severe), Trikuspid
Regurgitasi Moderate (TR Moderate), Aorta Regurgitasi Mild (AR Mild), High
Probability of Pulmonary Hypertension (PH), Right Heart Filure (RHF) , Atrial Fibrilasi
Rapid Ventricular Response (AF RVR) dengan etiologi Penyakit Jantung Rematik.

Disusun Oleh:

Hanifah Kamilah G991903023


Intan Ardyla Mahardika G991903024
Fauziyyah Boenyamin G991905023
Gema An Nisa’ P P G991905024
Muh Zaki Wisnumurti G991908011
Muhammad Afif Murad G991908012
Muhammad Irsa Madjid G991908013

Pembimbing:
dr. Risalina Myrtha, SpJP, FIHA

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT JANTUNG


DAN PEMBULUH DARAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2019

1
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi Kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret /
RSUD Dr. Moewardi. Referensi artikel dengan judul:

Seorang Laki – Laki 45 Tahun Mitral Stenosis Severe (MS Severe), Trikuspid
Regurgitasi Moderate (TR Moderate), Aorta Regurgitasi Mild (AR Mild), High
Probability of Pulmonary Hypertension (PH), Right Heart Filure (RHF) , Atrial Fibrilasi
Rapid Ventricular Response (AF RVR) dengan etiologi Penyakit Jantung Rematik.

Hari, tanggal : Kamis, 26 Desember 2019

Oleh:
Hanifah Kamilah G991903023
Intan Ardyla Mahardika G991903024
Fauziyyah Boenyamin G991905023
Gema An Nisa’ P P G991905024
Muh Zaki Wisnumurti G991908011
Muhammad Afif Murad G991908012
Muhammad Irsa Madjid G991908013

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Responsi

dr. Risalina Myrtha, SpJP, FIHA

2
BAB I
STATUS PASIEN

A. ANAMNESIS
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. A
Usia : 45 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Norowangsan Pajang Laweyan Surakarta
Tanggal Periksa : 23 Desember 2019
No. RM : 0148xxxx

2. Keluhan Utama
Sesak Nafas

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien rujukan dari RS Slamet Riyadi dengan CHF dan oedem pulmo. Pasien
datang dengan keluhan sesak nafas sudah sejak 1 bulan terakhir, dan memberat 3
hari ini. Sesak bertambah dengan aktivitas dan sedikit mambaik dengan istirahat.
Pasien tidak nyaman saat posisi berbaring, lebih nyaman posisi duduk. Pasien
sering terbangun di malam hari karena sesaknya. Batuk (+), tidak disertai
demam, nyeri dada (-), berdebar (+), keringat dingin (-), mual muntah (-). Kaki
tangan agak bengkak (+), BAB dan BAK tidak ada keluhan.

4. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Sakit Jantung : (+), sebelumnya berobat ke RS Swasta di Solo yaitu RS
Panti Waluyo, dan dikatakan sakit pembengkakan Jantung. Pasien mendapat
obat Furosemid 40 mg (1/2 - 0 - 0), Digoxin 1x 0,25 mg, Lisinopril 5 mg,
Simarc 2x1 mg.
Riwayat Diabetes Melitus : disangkal
Riwayat Hipertensi : (+), tensi tertinggi pernah mencapai sistolik
170mmHg
Riwayat Alergi : disangkal
Riwayat Asma : disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
3
6. Riwayat Kebiasaan
Riwayat Minum Alkohol : disangkal
Riwayat Merokok : (+), sudah 10 tahun berhenti, dahulu ± 1
bungkus/hari

7. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien merupakan karyawan dan berobat menggunakan fasilitas pelayanan
kesehatan BPJS.

B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Compos mentis (E4V5M6), tampak sakit sedang, gizi kesan underweight.
2. Tanda Vital
Tekanan Darah : 125/80 mmHg
Laju Napas : 32x/menit
Detak Jantung : 146x/menit
Denyut Nadi : 116x/menit
Suhu : 36,6°C
Saturasi O2 Pulse : 94% (O2 NRM 10 lpm)
GDS : 112 mg/dl
3. Keadaan Sistemik
Kepala : Mesocephal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Telinga : Sekret (-/-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-/-), sekret (-/-)
Mulut : Sianosis (-)
Leher : JVP 5+3cm H2O, pembesaran kelenjar getah bening (-)
Toraks : Bentuk normochest, simetris (+/+), retraksi (-/-)
Cor :
Inspeksi : Ictus cordis tak tampak
Palpasi : Ictus cordis tak kuat angkat, teraba di SIC V 1 cm Linea Mid
Clavicularis Sinistra
Perkusi : Batas jantung melebar ke lateral
Auskultasi : S1-S2 intensitas bervariasi, iregularly iregular, bising sulit
dievaluasi
Pulmo :
Inspeksi : Pengembangan dada kanan sama dengan dada kiri
4
Palpasi : Fremitus raba dada kanan sama dengan dada kiri
Perkusi : Sonor / sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah halus (+/+) 2/3
lapang paru, ronki basah kasar (+/+), wheezing (+/+)
Abdomen :
Inspeksi : Distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Pekak alih (-), timpani
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-)
Ekstremitas :
Sianosis : - - Edema : - -
- - + +

Akral Dingin : - -
- -

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hasil Laboratorium
a. 21 Desember 2019

PEMERIKSAAN HASIL SATUAN RUJUKAN


HEMATOLOGI
Hemoglobin 13.3 g/dl 13.5-17.5
Hematokrit 42 % 33-45
Leukosit 23.3 ribu/ul 4.5-11.0
Trombosit 101 ribu/ul 150-450
Eritrosit 5.22 juta/ul 4.50-5.90
HITUNG JENIS
Eosinofil 0.00 % 0.00-4.00
Basofil 0.20 % 0.00-2.00
Netrofil 91.00 % 55.00-80.00
Limfosit 4.00 % 22.00-44.00
Monosit 4.80 % 0.00-7.00
HEMOSTASIS
PT 23.5 Detik 10.0-15.0
APTT 46.2 Detik 20.0-40.0
INR 2.120
KIMIA KLINIK
Gula Darah Sewaktu 113 mg/dl 60-140
Albumin 4.0 g/dl 3.5-5.2
Creatinin 1.7 mg/dl 0.9-1.3
Ureum 83 mg/dl <50
ELEKTROLIT
Natrium Darah 138 Mmol/L 136-145
Kalium Darah 4.8 Mmol/L 3.3-5.1
Kalsium Darah 0.85 Mmol/L 1.17-1.29
SEROLOGI
HBsAg Nonreactive Nonreactive
5
ANALISA GAS DARAH
PH 7.280 7.350-7.450
BE 5.0 Mmol/L -2 - +3
PCO 2 74.0 mmHg 27.0-41.0
PO 2 155.0 mmHg 83.0-108.0
Hematokrit 53 % 37-50
HCO 3 35.4 Mmol/L 21.0-28.0
Total CO2 37.8 Mmol/L 19.0-24.0
O2 Saturasi 99.0 % 94.0-98.0
LAKTAT
Arteri 4.20 Mmol/L
Kesan AGD : Asidosis respiratorik terkompensasi sebagian, gagal nafas tipe
II

b. 22 Desember 2019

ANALISA GAS DARAH


PH 7.442 7.350-7.450
BE 20.1 Mmol/L -2 - +3
PCO 2 64.5 mmHg 27.0-41.0
PO 2 88.9 mmHg 83.0-108.0
Hematokrit 44 % 37-50
HCO 3 44.4 Mmol/L 21.0-28.0
Total CO2 46.4 Mmol/L 19.0-24.0
O2 Saturasi 96.2 % 94.0-98.0
LAKTAT
Arteri 2.00 Mmol/L

c. 23 Desember 2019

ANALISA GAS DARAH


PH 7.360 7.350-7.450
BE 16.2 Mmol/L -2 - +3
PCO 2 81.0 mmHg 27.0-41.0
PO 2 81.0 mmHg 83.0-108.0
Hematokrit 43 % 37-50
HCO 3 45.8 Mmol/L 21.0-28.0
Total CO2 48.3 Mmol/L 19.0-24.0
O2 Saturasi 95.0 % 94.0-98.0
LAKTAT
Arteri 1.90 Mmol/L

6
2. Hasil EKG
a. 21 Desember 2019

Interpretasi : Atrial Fibrilasi Rapid Supraventikular, Ireguler , HR 140


bpm, RAD, QRS kompleks 0.08 s, ST elevasi (-), ST depresi (+), T inverted
(+), RVH, RBBB
Kesimpulan : Atrial Fibrilasi Rapid Supraventikular, HR 140 bpm, RAD,
RVH, RBBB
b. 22 Desember 2019

Interpretasi : Atrial Fibrilasi Rapid Supraventikular, Ireguler, HR 125


bpm, RAD, QRS kompleks 0.08-0.12 s, ST elevasi (-), ST depresi (-), T
inverted (+), RVH, RBBB

7
Kesimpulan : Atrial Fibrilasi Rapid Supraventikular, HR 125 bpm, RAD,
RVH, RBBB
c. 23 Desember 2019

Interpretasi : Atrial Fibrilasi Rapid Supraventikular, Ireguler, HR 100


bpm, RAD, QRS kompleks 0.08-0.12 s, ST elevasi (-), ST depresi (-), T
inverted (+), RVH, RBBB
Kesimpulan : Atrial Fibrilasi Rapid Supraventikular, HR 100pm, RAD,
RVH, RBBB
d. 24 Desember 2019

Interpretasi : Atrial Fibrilasi Rapid Supraventikular, Ireguler, HR 100


bpm, RAD, QRS kompleks 0.08-0.12 s, ST elevasi (-), ST depresi (-), T
inverted (+), RVH, RBBB
Kesimpulan : Atrial Fibrilasi Rapid Supraventikular, HR 100pm, RAD,
RVH, RBBB

8
3. Hasil Rontgen

Interpretasi :
Foto Thorax AP (asimetris)
COR : Ukuran dan bentuk membesar dengan CTR 74%, tmapak pinggang
jantung mnghilang, batas kanan lebih dari 1/3 hemithoraks kanan dan apekx
rounded
Paru : Tampak perihilar haziness di kedua lapang paru
Sinus costophrenicus kanan kiri tajam
Hemidiaphragma kanan kiri normal
Trakhea di tengah
Sistema tulang baik
Tampak terpasang ET tube dengan tip terproyeksi setinggi VTh3
Kesimpulan :
a. Cardiomegaly dengan konfigurasi LAH, RAH, dan RVH
b. Edema Paru
c. Terpasang ET tube dengan tip terproyeksi setinggi VTh3

4. Hasil Mikroskopis Sputum


23 Desember 2019
a. Bahan : Sputum
b. Hasil Pemeriksaan Direk

No
Jenis Pemeriksaan Hasil
.
9
1. Pengecatan Gram Tidak ditemukan bakteri, Leukosit 1+,
Epitel 1+
2. Pengecatan BTA dari S:
Sputum P : Negatif
S:

D. DIAGNOSIS
Anatomis : Suspek Mitral Stenosis
Fungsional : RHF, AF Rapid VR
Etiologi : PJR
Penyerta :
1. Suspek Pneumonia (AL 21.800  dari RS Slamet Riyadi)
2. Hipertensi terkontrol obat

E. TERAPI
 Terapi IGD
1. Bed rest total ½ duduk
2. O2 10 lpm NRM
3. IVFD RL 20ml/jam
4. Injeksi Furosemid 100mg extra IV, selanjutnya syr pump 200mg murni dosis
20mg/jam (2cc/jam)
5. Injeksi Lanoxin 0.5mg dalam 10ml NaCl 0.9% IV pelan
 Terapi ICVCU
1. Bed rest total ½ duduk
2. O2 10 lpm NRM, lalu sesuaikan dengan hasil AGD
3. Diet Jantung III 1700kkal
4. IVFD RL 20ml/jam
5. Injeksi Furosemid syr pump 200mg murni dosis 20mg/jam (2cc/jam)
6. Bisoprolol 1.25mg inisiasi besok
7. Warfarin 0-0-4mg
8. Ramipril 1x10mg
 Plan
1. Echocardiography, echohemodinamik
2. Pantau UO, BC
3. Cek lab melengkapi (GDP, G2PP, HbA1c)
4. Usul konsul Paru (ec Pneumonia)
5. EKG evaluasi post lanoxin, EKG evaluasi jika AF Rapid

10
F. FOLLOW UP

TGL/JAM CATATAN PERKEMBANGAN TERINTEGRASI


21/12/19 Menerima pasien baru kiriman RS Slamet Riyadi dengan CHF
Cardio oedem, pulmo. Pasien datang dengan keluhan sesak nafas ± 4
DPH 0 bulan ini, memberat 3 hari SMRS. Sesak bertambah dengan
15.00 aktivitas dan berkurang dengan istirahat. Pasien lebih nyaman
dengan posisi duduk dibandingkan berbaring. PAsien sering
terbangun si malam hari saat tidur karena sesak. Batuk (+),
demam (-). Riwayat pembengkakan jantung (+), HT (+)
S : sesak (+), nyeri dada (-), berdebar (+)
O:
KU : Tampak sakit sedang, compos mentis
VS : TD: 163/102 mmHg
HR: 132x/menit
N : 121x/menit
RR: 28x/menit
SpO2: 100% (on NRM 12 lpm)
T : 36.5 oC
Kepala : Mata conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Leher : JVP 5+3 cmH2O
Cor :
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat, teraba di SIC V 1 cm
LMCS
Perkusi : Batas jantung melebar ke lateral
Auskultasi : S1-S2 bervariasi, irregularly iregular, bising sde
Pulmo : SDV +/+, RBH +/+ 2/3 lapang paru, RBK +/+, wheezing
+/+
Abdomen : Supel (+),bising usus (+) normal

Ekstremitas :
Oedema - -
+ +

Assessment :
Anatomi : Mitral Stenosis
Fungsional : RHF, AF RVR
Etiologi : PJR
Penyerta:
1. Suspek Penumonia
2. Hipertensi terkontrol obat

Terapi :
1. Bed rest total ½ duduk
2. O2 10 lpm NRM, lalu sesuaikan dengan hasil AGD
3. Diet Jantung III 1700kkal
4. IVFD RL 20ml/jam
5. SP Furosemid 200mg / murni, 20mg/jam, 2ml/jam
11
6. Bisoprolol tunda, 1.25mg inisiasi besok
7. Warfarin 0-0-4mg
8. Ramipril 1x10mg 0-0-1
9. Extra Morfin 2.5 mg
10. Extra Lanoxin 0.25 mg
Plan :
1. Echocardiography, echohemodinamik
2. Balance Cairan
3. Cek lab melengkapi (GDP, G2PP, HbA1c)
4. Konsul TS Paru
5. EKG evaluasi post injeksi lanoxin (jam 18.00)

17.30 Advis DPJP dr. Habibie SpJP(K)


- Spironolactone 1x25mg 1-0-0
- Kultur darah + kultur sputum

20.30 S: pasien knock down setelah Injeksi Morphine ± jam 18 tapi


WOB tampak fungsi
O :
TD : 115/80 N :134x
HR : 144x SpO2 : 100% (on NRM 12 lpm)
GDS : 121 mg/dl

Hasil AGD : Asidosis respiratorik terkompensasi sebagian. Gagal


nafas tipe II
Usul untuk NIV  namun pasien knock down pasca Morphin
- Usul intubasi
- Usul Nebu / 6 jam
Lapor via phone ke dr. Habibie SpJP (+) :
Acc untuk intubasi dan rawat di CVCU dulu

22.20
Telah terintubasi + setting ventilator sesuai TS anestesi dengan
mode SMV F14 VC + VT 375ml ; T1 1.04 ; I:E 1.04:3.25
P support 10, O2 &)% PEEP 3
TD : 107/42 N :102x
HR : 112x SpO2 : 100% (on venti)
22/12/19 S : sesak (-), nyeri dada (-), berdebar (-)
Cardio O:
DPH 1 VS : TD: 137/86 mmHg
05.00 HR: 150x/menit
N : 140x/menit
RR: on venti
SpO2: 97% (on venti)
T : 37.5 oC
BC : -1886
GDP : 99 mg/dl
Kepala : Mata conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Leher : JVP 5+3 cmH2O
Cor :
12
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat, teraba di SIC V 1 cm
LMCS
Perkusi : Batas jantung melebar ke lateral
Auskultasi : S1-S2 bervariasi, irregularly iregular, bising sde
Pulmo : SDV +/+, RBH +/+ 2/3 lapang paru, RBK +/+, wheezing
+/+
Abdomen : Supel (+),bising usus (+) normal
Ekstremitas :
Oedema - -
+ +

Assessment :
Anatomi : Mitral Stenosis severe, TR moderate, AR mild, high
probability of PH
Fungsional : RHF, AF RVR
Etiologi : PJR
Penyerta:
1. Suspek Penumonia  HAP + sepsis
2. Hipertensi terkontrol obat
3. Gangguan nafas hiperkapnia
4. Suspek Sepsis
5. Observasi Febris

Terapi :
1. Bed rest total
2. O2 on ventilator
3. Diet Jantung I 6x200 ml 1700kkal
4. IVFD RL 20ml/jam
5. SP Furosemid 200mg / murni, 20mg/8 jam IV
6. Bisoprolol 1.25mg
7. Warfarin 0-0-4mg
8. Ramipril 1x10mg 0-0-1
9. Spironolacton 1x25 mg
10. Injeksi MP 62.5 mg/12 jam IV
11. Injeksi Paracetamol 1 gram IV (jika demam)
12. Injeksi Miloz syringe pump 1mg/jam IV
13. Nebulisasi Berotec : Atroven = 16 tetes : 16 tetes / 6 jam
Plan :
1. Kultur darah + sputum
2. Echocardiography, echohemodinamik
3. AGD perpagi
4. Cek lab melengkapi (GDP, G2PP, HbA1c)
5. Cek Procalcitonin  Senin
6. Cek G2 jam PP (Sonde)
7. Cek INR per 3 hari
8. EKG pagi
9. Konfirmasi TS Paru hasil AGD dan terapi nebu

06.00 Lapor dr. Habibie SpJP (K)


13
Sofa score : 6 point, mortality < 33%
Advis :
1. IV Furosemid 20 mg/8 jam
2. IV Paracetamol 500 mg (extra)
3. Echohemodinamik hasil lapor
4. IV MP 62.5 mg / 12 jam
5. Assest suspek Sepsis
6. Cek Procalcitonin  Senin

07.00 T : 36.7oC
GDP :99
Plan : cek GD 2 jam PP (sonde)

23/12/19 S : kesadaran menurun


Cardio O:
DPH 2 VS : TD: 107/62 mmHg
05.00 HR: 118x/menit
N : 105x/menit
RR: 18 on venti
SpO2: 96% (on venti)
T : 36.4 oC
BC : -1668
Kepala : Mata conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Leher : JVP 5+3 cmH2O
Cor :
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat, teraba di SIC V 1 cm
LMCS
Perkusi : Batas jantung melebar caudolateral
Auskultasi : S1-S2 bervariasi, irregularly iregular, bising sde
Pulmo : SDV +/+, RBH +/+ 2/3 lapang paru, RBK +/+, wheezing
+/+
Abdomen : Supel (+),bising usus (+) normal
Ekstremitas :
Oedema - -
- -

Assessment :
Anatomi : Mitral Stenosis severe, TR moderate, AR mild, high
probability of PH
Fungsional : RHF, AF RVR  VVR
Etiologi : PJR
Penyerta:
1. HAP + sepsis
2. Hipertensi terkontrol obat
3. Gangguan nafas hiperkapnia
4. Hiperglikemia in critical illness

Terapi :
1. Bed rest total
14
2. O2 on ventilator
3. Diet Jantung I 6x200 ml personde
4. IVFD RL 20ml/jam
5. Injeksi Furosemid 20mg/12 jam IV  STOP
6. Injeksi MP 62.5 mg/12 jam IV
7. Injeksi Paracetamol 1 gram IV (jika demam)
8. Bisoprolol 1x 1.25mg
9. Warfarin 0-0-4mg
10. Ramipril 1x10mg 0-0-1
11. Spironolacton 1x25 mg
12. SP Miloz 1mg/jam IV  STOP
13. Nebulisasi Berotec : Atroven = 16 tetes : 16 tetes / 6 jam
14. Injeksi Levofloxacin 750mg/24 jam
15. Injeksi Ampicilin 1gr/6jam
Plan :
1. Echocardiography bila KU stabil
2. AGD perpagi
3. Cek lab melengkapi
4. Cek Procalcitonin  Senin
5. Cek G2 jam PP (Sonde)
6. Cek INR per 3 hari  Selasa
7. EKG per pagi

05.20 GDS : 312 mg/dl


A : Hiperglikemia in criticall illness
P : Terapi
1. Injeksi Insulin SP sebelumnya 3 unit bolus IV selanjutnya
SP 3 unit/jam IV sesuai protocol texas IV. Target GDS
140-180 mg/dl
Plan :
1. Cek GDS perjam sesuai protocol texas
2. Usul konsul Interna

09.00 Pasien terpasang ventilator on injeksi midazolam 1 mg/jam SP.


Pomsay score 5
TD : 111/61 mmHg tanpa support
HR : 96x/menit AF
SpO2 : (*% O2 45% PEEP 3 Psupp 15 mmH2O
On NGT  produksi (-)
Planning :
1. DJ 1 RG 2100kkal 6x250 ml
2. O2 on ventilator volume control ganti pressure  PEEP 5
Psupp 8 (target mode spontan jika pasien sadar)
Target SpO2 > 94%
Turunkan Psupp di fisiologis, jika sesuai klinis
Target volume tidal 420-560ml
Timing I:E 1:2
3. Titrasi turun injeksi midazolam, target ramsay score 2
4. Echohemodinamik dengan target responder 12-18% / 8jam

15
5. Protokol texas regulasi cepat insulin target 140-180 mg/dl

21.40 Melaporkan hasil procalcitonin (19.54) ke DPJP


Advis : Injeksi Metil prednisolone 20 mg/ 8 jam IV

24/12/19 S : kesadaran pasien menurun


Cardio O:
DPH 3 VS : TD: 144/73 mmHg
05.00 HR: 104x/menit
N : 94x/menit
RR: 38x/menit
SpO2: 100% (on ventilator)
T : 36,8 oC
BC : -1087
UO : 1,423
GDS 135
Kepala : Mata conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Leher : JVP 5+3 cmH2O
Cor :
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kesan melebar ke caudo lateral
Auskultasi : S1-S2 intensitas bervariasi, irregularly iregular,
bising (+) sde
Pulmo : SDV +/+, RBH -/-, RBK +/+
Abdomen : Supel (+),bising usus (+) normal
Ekstremitas :
Oedema - - Akral Dingin - -
- - - -

Assessment :
Anatomi : MS severe, TR moderate, PR mild, high probability of
PH
Fungsional : RHF, AF RVR, EF 58%
Etiologi : PJR
Penyerta:
1. HAP + Sepsis
2. Hipertensi
3. Gagal nafas hiperkapni
4. DM tipe 2 pada critical illness

Terapi :
1. Bedrest total
2. O2 on venti SIMV FiO2 45% PEEP 7.0
3. DJ I RG 2100 kkal, 6 x 250ml per sonde
4. IVFD RL 20 cc/jam
5. Metilprednisolon 20 mg / 8 jam
6. Paracetamol 1 gr/IV jika demam
7. Bisoprolol 2.5mg 1-0-0
8. Warfarin 4 mg 0-0-1
16
9. Ramipril 10 mg 0-0-1
10. Spironolacton 25 mg 1-0-0
11. Nebu Berotec : Atrovent 16 tetes:16 tetes / 6 jam
12. Injeksi Levofloxacin 750 mg/24 jam IV
13. Injeksi Ampicilin 1gr/6 jam IV
14. SP insulin 50 U/50 CC NS  1U/jam  1 cc/jam
Plan :
1. Echocardiography jika KU stabil
2. Cek INR 3 hari (Selasa)
3. EKG/pagi
4. AGD/pagi
5. Sputum Mo/g/k/r (tunggu hasil)

17
BAB II
ANALISA KASUS

A. Anamnesis
Dari anamnesis, didapatkan keluhan sesak nafas yang dirasakan pasien sejak
kurang lebih 1 bulan yang lalu dan memberat 3 hari terakhir. Keluhan sesak nafas
adalah gangguan fungsi pernafasan yang diakibatkan karena mengecilnya atau
tersumbatnya saluran pernafasan atau lemahnya organ pernafasan/ paru atau karena
penyakit lainnya. Sesak nafas dapat menjadi manifestasi klinis dari penyakit pada
saluran pernafasan, jantung, maupun pencernaan.
Sesak nafas dirasakan oleh pasien setelah aktivitas fisik dan berkurang
dengan istirahat. Pasien merasakan lebih nyaman posisi duduk daripada berbaring.
Pasien sering terbangun di malam hari karena merasa sesak. Pasien juga mengeluh
jantung berdebar-debar dan terdapat bengkak pada kaki dan tangan. Dari anamnesis
tersebut, kemungkinan sesak nafas yang dirasakan oleh pasien ini disebabkan oleh
adanya gangguan pada jantung.
Dari hasil anamnesis, didapatkan juga bahwa pasien memiliki riwayat sakit
jantung sebelumnya dan di RS. Panti Waluyo dikatakan bahwa pasien pernah
mengalami pembengkakan jantung. Pasien mengkonsumsi Furosemide 40 mg ½-0-0,
Digoxin 1x0,25 mg, Lisinopril 1x0,5 mg, Simarc 2x1 mg. Pasien memiliki riwayat
hipertensi, tekanan sistolik tertinggi yakni 170 mmHg. Pasien juga memiliki riwayat
merokok, namun sudah 10 tahun berhenti. Pasien tidak memiliki riwayat Diabetes
Melitus.

B. Pemeriksaan Fisik
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran pasien composmentis saat
datang ke IGD Rumah Sakit dr Moewardi, tampak sakit sedang dan gizi kesan
cukup. Tekanan darah didapatkan 125/80 mmHg, denyut jantung 116x/menit ,
denyut nadi 116x/menit, laju napas 32x/menit, saturasi oksigen 94% dengan O2
NRM 10 lpm. Kemudian, didapatkan GDS pasien 112 mg/dl. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan denyur nadi 116x/menit yang menunjukkan bahwa pasien mengalami
takikardi. Hal ini sesuai dengan anamnesis pasien dimana pasien mengalami keluhan
berdebar-debar. Didapatkan peningkatan laju napas pada pasien.
Pada pasien ronki basah halus pada 2/3 lapang paru kanan dan kiri, ronki
basah kasar pada kedua lapang paru, juga wheezing pada kedua lapang paru.
Kemudian JVP pasien mengalami peningkatan yakni 5+3 cm H2O. Gejala-gejala
yang didapatkan tersebut sesuai dengan gejala pada pasien gagal jantung. Gagal

18
jantung merupakan keadaan dimana jantung tidak bisa memompa darah ke jaringan
dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh.
Terdengarnya ronki basah halus pada 2/3 lapang paru kanan dan kiri
menandakan bahwa terjadinya edema pada alveoli maupun parenkim paru. Edema
paru pada gagal jantung terjadi karena cairan dari vaskular terdorong ke alveoli atau
parenkim paru. Terdorongnya cairan ini terjadi karena peningkatan tekanan dari
vaskular paru akibat ventrikel kiri gagal memompa darah yang berasal dari paru-
paru ke sirkulasi tubuh. Kondisi ini bisa disebabkan juga karena adanya kelainan
katup seperti pada mitral stenosis.
Mitral stenosis merupakan kondisi dimana terjadi obstruksi pada aliran ke
dalam ventrikel pada level katup mitral karena adanya abnormalitas struktural pada
katup mitral. Penyempitan katup secara progresif dapat menyebabkan peningkatan
tekanan atrium kiri. Peningkatan tersebut dapat menyebabkan hipertensi pulmonal
dan kondisi konstriksi arteriol pulmonar, edema intersisial, serta perubahan struktur
pembuluh darah pulmonal menjadi hiperplasia intima dan hipertrofi media. Seiring
peningkatan tekanan arteri pada pembuluh darah pulmonal, usaha ekstra dari
ventrikel menyebabkan dilatasi ventrikular kanan. Kondisi tersebut jika berlangsung
terus-menerus dapat menyebabkan trikuspid regurgitasi (katup trikuspid tidak
menutup sempurna saat ventrikel kanan memompa darah ke paru-paru). Trikuspid
regurgitasi dapat menyebabkan peningkatan Tekanan Vena Jugularis, edema
tungkai, kongesti liver, dan ascites. Peningkatan Tekanan Vena Jugularis pada
pasien (5+3 cm H2O) merupakan tanda klasik dari hipertensi vena seperti pada gagal
jantung kanan.
Edema yang didapatkan pada ekstremitas pasien terjadi karena adanya
ekstravasasi dari cairan ke jaringan. Ekstravasasi tersebut terjadi karena keberadaan
bendungan vena sistemik atau hambatan venous return. Hambatan tersebut
disebabkan oleh adanya bendungan pada atrium kanan. Bendungan itu sendiri
dikarenakan adanya peningkatan tekanan akhir diastolik dari ventrikel kanan akibat
ventrikel kanan tidak dapat memompa darah dengan maksimal.
Pada perkusi didapatkan batas jantung melebar. Kondisi ini menunjukkan
adanya hipertrofi pada jantung.

C. Pemeriksaan Penunjang
1. Elektrokardiografi
Pemeriksaan EKG di IGD Rumah Sakit Dr. Moewardi dan didapatkan irama
Atrial Fibrilasi Rapid Supraventrikular, dengan denyut jantung 140 x/menit,
RAD, QRS kompleks 0.08 s, ST elevasi (-), ST depresi (+), T inverted (+).

19
Dari hasil dapat disimpulkan dari pemeriksaan EKG terdapat Atrial Fibrilasi
Rapid Supraventrikular, denyut jantung 140 x/menit, RAD, RVH, RBBB.

2. Laboratorium
Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan kreatinin 1.7mg/dl
(meningkat), ureum 83 mg/dl (meningkat). Kalsium darah 0.85 mmol/l
(menurun). Dari hasil pemeriksaan sputum, pengecatan BTA (-). Dapat
disingkirkan TB pada pasien.

3. Foto Thoraks PA
Didapatkan CTR 74%, pinggang jantung menghilang, batas kanan lebih dari
1/3 hemithoraks kanan dan apeks rounded. Dari foto thoraks PA didapatkan
kesimpulan bahwa pasien mengalami kardiomegali dengan konfigurasi LAH,
RAH, dan RVH.

D. Diagnosis
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pasien
dapat didiagnosis dengan Mitral Stenosis Severe (MS Severe), Trikuspid Regurgitasi
Moderate (TR Moderate), Aorta Regurgitasi Mild (AR Mild), High Probability of
Pulmonary Hypertension (PH), Right Heart Filure (RHF) , Atrial Fibrilasi Rapid
Ventricular Response (AF RVR) dengan etiologi Penyakit Jantung Rematik.
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, serta penunjang didapatkan bahwa pasien
mengalami Right Heart Filure (RHF)/ Gagal Jantung Kanan. Didapatkan bahwa
pasien mengalami peningkatan JVP, edema pada ekstremitas bawah. Pada EKG
pasien, didapatkan adanya RAD atau Right Axis Deviation yang menunjukkan
bahwa terdapat hipertrofi pada ventrikel kanan. Serta didapatkan gambaran
hipertrofi pada atrium kanan pada foto thoraks PA. Gagal jantung kanan umumnya
disebabkan karena regurgitasi katup atrioventrikular maupun sebagai akibat
sekunder dari hipertensi pulmonal.
Hipertensi pulmonal paling sering berhubungan dengan penyakit jantung kiri.
Kondisi yang dapat menjadi penyebabnya adalah Mitral Stenosis. Dari hasil
echokardiografi, pasien didiagnosis dengan Mitral Stenosis. Beberapa teori
mengatakan perubahan struktur jantung akibat Mitral Stenosis dapat memicu proses
remodelling baik pada ventrikel atau atrium. Proliferasi dan diferensiasi dari
fibroblas menjadi miofibroblas, peningkatan deposisi jaringan ikat merupakan
penyebab utama perubahan struktur jantung. Perubahan struktur tersebut berakibat
kelainan elektrikal antara otot dan serabut konduksi memungkinkan inisiasi Atrial
Fibrilasi pada pasien.
20
Mitral stenosis pada pasien juga ditunjang dengan terdengarnya ronki basah
halus pada 2/3 lapang paru kanan dan kiri menandakan bahwa terjadinya edema
pada alveoli maupun parenkim paru. Edema paru terjadi karena cairan dari vaskular
terdorong ke alveoli atau parenkim paru akibat peningkatan tekanan oleh sebab
darah tidak bisa dipompa oleh ventrikel kiri ke tubuh.

E. Tata laksana
Saat di IGD, pasien ditatalaksana dengan pemberian terapi oksigen O2
10lpm, terapi cairan dengan IVFD RL 20ml/jam, injeksi furosemide SP 200mg
murni dosis 20mg/jam (2cc/jam). Oksigen berfungsi mencukupi kebutuhan O2 organ
paru yang mengalami gangguan. Diuretik kuat diindikasikan untuk
edema,hiperkalsemia akut,hiperkalemia,gagal ginjal akut dan hipertensi.Diuretik
kuat seperti furosemid menurunkan reabsorpsi sodium dan klorida di ascending loop
henle dan tubulus distal ginjal yang meningkatkan ekskresi Na,air,kalsium dan
magnesium.Selain itu,diuretic kuat selektif juga menginduksi sintesis prostaglandin
renal sehingga terjadi vasodilatasu pada arteriola aferen.(pembuluh darah yang
masuk glomerulus).
Pasien juga ditatalaksana dengan injeksi Lanoxin 0.5 mg dalam 10 ml NaCl
0.9%. Lanoxin (digoksin) adalah glikosida kardiak, golongan obat yang memiliki
efek spesifik pada myokard. Digoksin berperan pada SA-AV node, sensitisasi
baroreseptor untuk meningkatkan aktivitas inhibitorik afferent dan menurunkan
aktivitas sistem saraf simpatik dan sistem RAAS. Efek yang diharapkan adalah
peningkatan kecepatan dan kekuatan kontraksi sistolik myokard, penurunan aktivasi
RAAS, menurunkan denyut nadi melalui aksi vagomimetik pada AV node.
Kemudian di HCU, pasien mendapat tambahan tata laksana dengan
Bisoprolol 1,25 mg/24 jam, Warfarin 4mg/24 jam, dan Ramipril 10mg/24 jam.
Bisoprolol merupakan selektif beta-1 blocker. Beta bloker memperlambat aktivitas
jantung dengan menghentikan neurotransmitter yang dikirim syaraf simpatis ke
jantung. Beta bloker berkerja untuk menurunkan kebutuhan oksigen oleh myokard
dan memblokade RAAS. Kombinasi efek tersebut dapat menurunkan frekuensi
takiaritmia atrial maupun ventrikular.
Gagal jantung kerap berkaitan dengan kondisi hiperkoagulasi, pembentukan
trombus, dan emboli serebral. Kondisi tersebut menjadi dasar untuk pemberian
antikoagulan pada pasien. Pasien ini diberikan antikoagulan yakni Warfarin.
Pemberian antikoagulan pada gagal jantung berkontribusi untuk mencegah stroke
dan kematian. Pasien juga diberikan Ramipril yang merupakan ACE inhibitor,
digunakan untuk mentatalaksana hipertensi pada pasien.

21
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Mitral Valve Stenosis


Katub mitral adalah struktur kompleks yang terdiri dari satu annulus, dua leaflet,
tiga tipe chordae tendineae, dan dua otot papiler dominan. Anulus katub mitral
merupakan lanjutan dari katub aorta. Dua leaflet itu yang di sebelah anterior panjang
sempit dan di posterior pendek dan lebih lebar.Chordae tendineae yaitu struktur
fibrosa yang mengikatkan leaflet katub mitral ke otot papiler. Ada tiga tipe chordae
berdasarkan insersinya, chordae primer (insersi pada tepi bebas), sekunder (insersi
pada permukaan kasar), dan tersier (insersi hanya pada basal leaflet posterior). Otot
papiler, ada dua otot dominan, anterolateral dan posteromedial. Otot papiler
posteromedial divaskularisasi oleh posterior descending artery, sedangkan otot
papiler anteromedial divaskularisasi oleh left anterior descending artery dan left
circumflex artery.

1. Etiol
ogi

Penyakit jantung rematik (PJR) adalah penyebab paling sering dari Mitral
Stenosis (MS) di seluruh dunia. Diperkirakan berhubungan dengan respon imun
berlebihan yang disebabkan oleh reaktivitas silang antara antigen streptokokus
dan jaringan katup. Meskipun dapat berpengaruh pada katub manapun, katub
mitral yang paling sering terkena.

Etiologi lain dari MS antara lain


a. Kalsifikasi annular Mitral (MAC): sementara MAC biasanya terlihat pada
orang tua dan pasien dengan penyakit ginjal lanjut, jarang menyebabkan MS
yang signifikan
b. Radiasi valvulitis: yang biasanya bermanifestasi 10 hingga 20 tahun setelah
terapi radiasi mediastinum.
22
c. Penyebab bawaan: sangat jarang, seperti cor triatriatum, katup mitral
parasut, katup mitral double-orifice, atau cincin mitral supravalvular.
d. Gangguan peradangan sistemik seperti lupus erythematous dan rheumatoid
arthritis kadang-kadang dapat menyebabkan valvulitis dan menyebabkan
MS.
e. Lesi obstruktif seperti myxoma atrium besar atau vegetasi yang terinfeksi
yang dapat menyebabkan MS fungsional.
2. Patofisiologi
Luas katub mitral normalnya 4 – 6 cm 2, dengan MS progresif dan ketika luas
katub mitral kurang dari 2 cm2, gradient tekanan diastolic berkembang antara
Atrium kiri (LA) dan ventrikel kiri (LV). Ini menyebabkan peningkatan tekanan
LA (A) dan penurunan laju aliran (B). Takikardi sangat merugikan pada MS
dikarenakan memperpendek waktu pengisian diastolik, menyebabkan
peningkatan gradient transmitral. Adapula konsekuensi yang didapat antara lain :
1. Konsekuensi peningkatan tekanan LA
1) Perbesaran LA dengan peningkatan risiko atrial aritmia, utamanya atrial
fibrilasi, dan tromboembolisme sistemik
2) Peningkatan tekanan pulmonal dengan akibat edema pulmonal dan
hipertensi pulmonal. Kemudian bisa menyebabkan kegagalan ventrikel
kanan dan lama kelamaan regurgitasi tricuspid
2. Konsekuensi penurunan laju aliran
1) Cardiac Output rendah : karena pengisian LV jelek.
3. Penilaian Mitral Stenosis
Dilakukan dengan echocardiografi. Asesmen kuantitatif dilakukan
berdasarkan guideline ASE/EAE, fokus parameter asesmen pada : (1) Mean
diastolik transmitral pressure gradient, (2) Luas MV, dan (3) perubahan sekunder
4. Manajemen
a) Terapi medis
Diuretik, betabloker, antikoagulan dengan warfarin direkomendasikan untuk
atrial fibrilasi (AF), novel oral antikoagulan tidak boleh digunakan pada MS

B. Regurgitasi Trikuspid (TR)


Katub Trikuspid (TV) adalah katub terbesar dan secara posisi dia terletak paling
atas, fungsi dari katub ini mirip dengan katub mitral. TV bisa dibagi menjadi 4
komponen, antara lain : (1) anulus fibrosus, (2) 3 leaflet,(3) otot papiler, dan (4)
chorda tendinea. Bidang anulus fibrosus hampir vertikal dan 45 o dari bidang sagital.
Anulusnya kompleks dan dinamik, membuat anulus dapat berubah bervariasi
tergantung kondisi pengisian.
23
Penyebab dari TR fungsional (sekunder) biasanya juga terdapat dilatasi ventrikel
kanan (RV), hipertensi pulmonal atau hipertensi RV, dan gagal RV. Baru – baru ini,
diketahui penyebab dari TR fungsional yaitu dilatasi anuler atau isolated/idiopatik
TR.
1. Penilaian TV
Visualisasi TV dilakukan dengan Transthoracic Echocardiography (TTE) dan
Transesophagial Echocardiography (TEE) multipel. Guideline American Society
of Echocardiography (ASE) terakhir merekomendasikan TTE untuk evaluasi
komprehensif katub dan pegukuran ruang jantung kanan, untuk komprehensif
TEE, guideline ASE terbaru juga menekankan pencitraan TV, pendekatan
pencitraan 3D pada TV juga terdapat pada guideline-nya.
2. Penderajatan keparahan TR

Parameter Mild Moderate Severe


Kualitatif
Morfologi TV Leaflet abnormal Leaflet abnormal Leaflet abnormal
ringan sedang berat
Interventrikuler septal Normal Normal Paradoxical
motion
Flow Convergence Zone Tidak terlihat Ukuran dan Besar ketika
durasinya sistol
Intermediate
CW signal TR jet Parabolik Kontur variabel Trianguler
dengan early
peaking kontur
Diameter IVC Normal 2,1 – 2,5 cm > 2,5 cm
Semi - kuantitatif
Color flow jet area <5 5 – 10 >10
Color jet area : RA area (%) 10 – 20 10 – 33 > 33
Vena contracta (cm) <0,3 <0,6 >= 0,7
PISA radius (cm)b <=0,5 0,6-0,9 >0,9
Hepatic vein flow Dominan sistolik Sistolik blunting Sistolik flow
reversal
Tricuspid inflow E-wave < 1m/sec Variabel E-wave >1 m/sec
atau dominan A-
wave
Kuantitatif
EROA (mm2) (PISA) <20 20-39 >= 40
EROA (mm2) (3d) Tidak diketahui Tidak diketahui >75
Volume regurgitan (ml) <30 30-45 >45
(PISA)
Ukuran RV dan RA Biasanya normal Biasanya normal Biasanya dilatasi
atau dilatasi
ringan
24
C. AORTA REGURGIRTASI
Aorta regurgitasi merupakan salah satu jenis penyakit katup jantung. Penyebab
terbanyak dari insufuisiensi aorta selama satu dekade terakhir ini adalah demam dan
sifilis.Jenis kelainan katup yang sering di dapatkan adalah stenosis aorta 43,1% dari
1197 pasien, regurgitasi mitral 31,5% dari 887n pasien, regurgitasi aorta 13,3% dari
369 pasien, stenosis mitral 12,1% dari 336 pasien. Dari studi Farmingham di
dapatkan 4,9% angka kejadian regurgitasi aorta dan dari strong heart study
menunjukkan angka 10% dari 250 pasien.
Aorta regurgitasi kronikbiasanya terjadi akibat proses kronik seperti penyakit
jantung reumatik, sehingga artifisial kardiovaskular sempat melakukan kompensasi.
Meskipun penyakit jantung reumatik merupakan penyebab paling umum dari
regugitasi aorta di seluruh dunia, kelainan katup kongenital dan degenratif adalah
penyebab umum di Amerika Serikat dengan usia memuncak pada 40-60 tahun.
Dalam kohort dari studi Farmingham regurgitasi aorta ditemukan pada 13% pria dan
8,5% wanita.
Prevalensi regurgitasi aorta berdasarkan kondisi yang menyebabkan telah
dijelaskan. Contohnya pada penyakit jantug reumatik masih sangat lazim ditemukan
di Asia, Timur Tengah, dan negara-negara Afrika Utara. Secaraumum, prevalensi
dan keparahan regurgitasi aorta meningkat dengan usia, meskipun regurgitasi aorta
kronik yang parahh jarang terjadi sebelum usia 70 tahun. Namun banyak
pengecualian untuk pengamatan ini. Pasien dengan katup aorta bikuspid dan
terutama orang dengan sindrom marfan cenderung untuk terjadi lebih awal dan. Dari
keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa dunia kesehatan masih tidak lepas dari
regurgitasi aorta dan perlu adanya tindakan dalam penangannya, apalagi adanya
dampak mortalitas.
1. Definisi
Insuficiensi katup aorta adalah kebocoran pada katup aorta karena adanya
inkompetensi katup aorta sehinggga pada fase diastolik sebagian dari volume

25
curah jantung dari ventrikel kiri mengalir kembali ke ruang ventrikel. (Price et
al, 2005). Regurgitasi aorta atau insufisiensi aorta adalah kelainan pada katup
aorta yang menjadi lemah ataupun membesar sehingga katup tidak dapat
menutup dengan baik. Hal ini menimbulkan aliran balik darah dari aorta ke
ventrikel kiri (A. Samik Wahab, 2009).

Gambar 1. Aorta regurgitasi

2. Epidemiologi
Insufisiensi aorta mengenai sekitar 5 : 10.000 populasi. Insidensi lebih tinggi
pada pria dibanding wanita, terutama pada pria yang berumur 30-60 tahun.
Insufisiensi aorta biasanya disertai dengan kelainan jantung lain, seperti VSD
tipe membran, kelainan katup aorta subvalvular, displasia daun katup tanpa fusi
komisura, dan hilangnya 2 atau 3 katup aorta. Resiko terjadinya kematian
prematur, komplikasi, dan kebutuhan akan pengobatan karena penyakit jantung
kongenital sedikitnya 50% dari populasi penderita.
Sekitar 2/3 pasien regurgitasi aorta, penyebabnya adalah demam reumatik
yang menimbulkan penebalan, deformasi, dan pemendekan daun katup aorta. Hal
ini mengakibatkan pembukaan pada sistol dan penutupan saat diastol menjadi
tidak sempurna. Namun, kejadian demam reumatik jarang menjadi aorta
regurgitasi yang tersendiri.
3. Etiologi
Penyebab terbanyak adalah demam reumatik. Kelainan katup dan pangkal
aorta juga bisa menimbulkan insufisiensi aorta. Pada insufisiensi aorta kronik
terlihat fibrosis dan retraksi daun-daun katup dengan atau tanpa kalsifikasi, yang
umumnya merupakan sekuele dari demam reumatik (Hadi purnomo, 2004).
Insufisiensi darah dari aorta ke ventrikel kiri dapat terjadi dalam 2 macam
kelainanartifisial yaitu:
a. Dilatasi pangkal aorta seperti yang ditemukan pada:
1) Penyakit kolagen

Dengan penuaan, protein collagen dari kelopak-kelopak klep


dihancurkan, dan kalsium mengendap pada kelopak-kelopak. Pergolakan
diseluruh klep-klep meningkatkan penyebab luka parut dan penebalan.
Penyakit yang progresif menyebabkan klasifikasi aorta tidak ada sangkut
pautnya dengan piliha-pilihan gaya hidup yang sehat, tidak seperti kalsium
yang dapat mengendap pada arteri koroner untuk menyebabkan serangan
jantung.
2) Aortitis sifilitika
26
Sifilis sekarang jarang menjadi penyebab aortitis. Infeksi spirokaeta
pada tunika media arteri, biasanya selama fase kedua infeksi sifilis,
memicu proses peradangan kronis. Hal ini menyebabkan kelemahan aorta
dan destruksi komponen muscular dan elastic dinding aorta, serta dilatasi
aneurisma, paling sering pada aorta asenden.
3) Diseksi aorta
Diseksi aorta merupakan kelainan yang membahayakan dan
menyebabkan kematian mendadak. Robekan pada tunika intima aorta
memungkinkan aorta mengalami diseksi atau tercarik pada lapisan
subintinmanya. Proses ini dapat diawalai oleh pendarahan spontan pada
satu area dinding aorta diikuti oleh robekan tunika intima, atau robekan
dapat disebabkan tenaga regangan dari dalam lumen aorta.
b. Penyakit katup artifisial
1) Penyakit jantung reumatik
Penyakit jantung rematik ini adalah kondisi dimana terjadi kerusakan
permanen dari katup-katup jantung yang disebabkan oleh demam reumatik.
Katup-katup jantung tersebut rusak karena proses perjalanan penyakit yang
dimulai dengan infeksi tenggorokan yang disebabkan oleh bakteri kelas A
Beta-hemoliticus streptococcus.
2) Endokarditis bakterialis
Endokarditis bakterialis adalah infeksi yang mengenai lapisan dalam
jantung (ondokardium) atau katup jantung. Infeksi ini dapat merusak atau
menghancurkan katup jantung.
3) Aorta artificial congenital
Merupakan kelainan bawaan yang dibawa bayi sejak lahir, misalnya
kelainan katup yang tidak bisa menutup secara sempurna saat dalam
kandungan, menyebabkan aliran darah dari ventrikel kiri tidak bisa
mengalir secara sempurna.
4) Ventricular septal defect (VSD)
Defek septum ventrikel atau Ventricular Septal Defect (VSD)
adalah gangguan atau lubang pada septum atau sekat di antara rongga
ventrikel akibat kegagalan fusi atau penyambungan sekat interventrikel.
VSD terjadi pada 1,5 – 3,5 dari 1000 kelahiran hidup dan sekitar 20-25%
dari seluruh angka kejadian kelainan jantung kongenital. Umumnya lubang
terjadi pada daerah membranosa (70%) dan muscular (20%) dari septum.
5) Ruptur traumatik

27
Ruptur traumatik aorta adalah kondisi dimana aorta sebagai arteri
ternesar mengalami ruptur. Kondisi ini sangat fatal karena pendarahan
yang banyak dihasilkan dari ruptur tersebut.
6) Aortic left ventricular tunnel
Merupakan kelainan jantung bawaan antara aorta dan ventrikel kiri.
Biasanya penatalaksanaannya adalah dengan prosedur pembedahan
kemudian dilanjutkan dengan transkateter perkutan.
c. Genetik
1) Sindrom marfan
Terdapat kelainan genetic jaringan ikat yang mungkin dominan
autosomal namun tidak terekspresi secara sempurna. Perjalanan alami
abnormalitas jaringan ikat bervariasi begitu pula manifestasi fenotipik.
2) Mukopolisakaridosis
Mukopolisakaridosis adalah sekumpulan kelainan metabolik yang
diturunkan. Penyebabnya adalah kekurangan enzim lisosom tertentu yang
diperlukan untuk menguraikan mukopolisakarida. Mukopolisakarida
adalah molekul gula rantai panjang yang digunakan untuk membangun
jaringan ikat dan organ tubuh. Jika terjadi mutasi genetik pada enzim
tersebut maka mukopolisakarida akan terdapat dalam jumlah yang
berlebihan dan disimpan di dalam tubuh, menyebabkan kerusakan yang
progresif dan kematian.z

Mikroorganisme
Mikroorganisme yang dapat menyebabkan insuisiensi aorta adalah
bakteri (streptokokus, enterokokus, pnemokokus, stapilokokus), fungi,
riketsia dan streptokokus vidans. Mikroorganisme tersebut menginvasi katup
dan permukaan endotel jantung sehingga menyebabkan rematik endokarditis.
Kemudian terjadi fenomena reaksi sensitivitas seperti pembengkakan,
fibrosis dan perforasi daun katup. Kemudian terjadi peningkatan
pembentukan modul dan jaringan parut, penebalan progresif dan pengerutan
bilah-bilah katup yang menyebabkan kerusakan bilah katup sehingga
penutupan/kekakuan katup aorta tidak sempurna dan terjadi insufisiensi
aorta.

Hipertrofi ventrikel
Ada beberapa penyebab yang dapat mengarah pada hipertrofi
ventrikel yaitu bentuk ventrikel yang mengalami pembesaran dan dilatasi

28
sebagai bagian dari kompensasi jantung terhadap penyakit ini. Hal tersebut
mengakibatkan kemampuan otot papilaris untuk mendekatkan daun-daun
katup pada waktu katup menutup berkurang. Semakin lama apabila keadaan
ini terus berlanjut maka akan memperlebar lubang pada katup aorta dan
mempersulit penutupan katup aorta. Serangkaian kejadian ini akan membuat
jantung mengalami insufisiensi aorta.
4. Patofisiologi
Insufisiensi aorta disebabkan oleh lesi peradangan yang merusak bentuk
bilah katup aorta, sehingga masing-masing bilah tidak bisa menutup lumen aorta
dengan rapat selama diastole dan akibatnya menyebabkan aliran balik darah dari
aorta ke ventrikel kiri.1
Defek katup ini bisa disebabkan oleh endokarditis, kelainan bawaan, atau
penyakit seperti sifilis dan pecahnya aneurisma yang menyebabkan dilatasi atau
sobekan aorta asenden.1
Karena kebocoran katup aorta saat diastole, maka sebagian darah dalam
aorta, yang biasanya bertekanan tinggi, akan mengalir ventrikel kiri, sehingga
ventrikel kiri harus mengatasi keduanya, yaitu mengirim darah yang secara
normal diterima dari atrium kiri maupun darah yang kembali dari aorta.
Ventrikel kiri kemudian melebar dan hipertrofi untuk mengakomodasi
peningkatan volume ini, demikian juga akibat tenaga mendorong yang lebih dari
normal untuk memompa darah, menyebabkan tekanan darah sistolik meningkat.
Sistem kardiovaskuler berusaha mengkompensasi melalui refleks dilatasi
pembuluh darah dan arteri perifer melemas, sehingga tahanan perifer menurun
dan tekanan diastolik turun drastis.1
Perubahan hemodinamik keadaan akut dapat dibedakan dengan keadaan
kronik. Kerusakan akut timbul pada pasien tanpa riwayat insufisiensi
sebelumnya. Ventrikel kiri tidak punya cukup waktu untuk beradaptasi terhadap
insufisiensi aorta. Peningkatan secara tiba-tiba dari tekanan diastolik akhir
ventrikel kiri bisa timbul dengan sedikit dilatasi ventrikel.
5. Manifestasi Klinis
Kebanyakan pasien yang menderita insufisiensi aorta datang dengan keluhan
adanya pulsasi arteri karotis yang nyata serta denyut pada apeks saat pasien
berbaring ke sisi kiri. Bisa juga timbul denyut jantung prematur, oleh karena isi
sekuncup besar setelah diastolik yang panjang. Pada penderita insufisiensi aorta
kronik bisa timbul gejala-gejala gagal jantung, termasuk dispnea waktu
beraktifitas, ortopnea, dispnea nokturnal paroksismal, edema paru dan kelelahan.
Angina cenderung timbul waktu beristirahat saat timbulnya bradikardi dan lebih
lama menghilang daripada angina akibat penyakit koroner saja. Pada
29
pemeriksaan fisik ditemukan denyut arteri karotis yang cepat dan perbedaan
tekanan darah yang besar bisa timbul pada keadaan hiperdinamik dengan pulsus
bisferiens. Jika insufisiensi berat, timbul efek nyata pada pulsasi arteri perifer.
Jika gagal jantung berat, tekanan diastolik bisa normal akibat peningkatan
tekanan diastolik pada ventrikel kiri. Jantung bisa berukuran normal bila
insufisiensi aorta kronik ringan atau jika insufisiensinya akut. Pada klien dengan
insufisiensi sedang atau berat, jantung tampak membesar, impuls apeks bergeser
ke inferolateral dan bersifat hiperdinamik. Bunyi jantung pertama menurun
intensitasnya terutama jika interval PR memanjang. Bunyi ejeksi sistolik bisa
terdengar sepanjang perbatasan sternum kiri akibat distensi tiba-tiba dari aorta.
Sekunder dari insufisiensi bisa timbul bising diastolik aorta di sela iga 2 kiri,
bising sistolik di apeks, bising austin flint (diatolic rumble) di apeks dan bising
sistolik trikuspid. Karakteristik bising diastoliknya adalah bunyi bernada tinggi,
paling jelas terdengar diperbatasan sternum kiri, menggunakan diafragma
stetoskop dengan penekanan yang cukup dan klien condong ke depan setelah
ekspirasi. Jika terdapat penyakit pangkal aorta, bising paling jelas terdengar di
sternum kanan. Bising diastolik nada tinggi bisa terdengar jika daun katup itu
terbuka, timbul lubang karena endokarditis. Bising tersebut sering terdengar pada
insufisiensi aorta akut. Biasanya bunyi melemah oleh karena penutupan dini
katup mitral. Irama derap ventrikel yang terdengar di apeks biasanya merupakan
tanda disfungsi ventrikel kiri. Bising austin flint timbul akibat pergeseran aliran
balik aorta terhadap daun katup anterior dari katup mitral, yang menimbulkan
stenosis mitral fungsional.

Adapun tanda dan gejala yang biasa dirasakan oleh pasien dengan aorta
regurgitasi adalah sebagai berikut:1,2
a. Rasa lelah
b. Dyspnea saat aktivitas
c. Palpitasi
d. Angina dengan hipertropi ventrikel kiri
e. Temuan hemodinamik :
1) Pengisian dan pengosongan denyut arteri yang cepat
2) Tekanan nadi melebar disertai peningkatan tekanan sistemik dan
penurunan tekanan diastolik
3) Tekanan diastolik rendah
f. Auskultasi : Bising diastolic, bising austinflint yang khas, Sistolic Ejection
Click disebabkan oleh peningkatan volume ejeksi.

30
Pada insufisiensi aorta, dapat ditemukan tanda klinis yang khas seperti berikut
(Mann et al, 2014)

Corrigan’s pulse Pulsasi arteri karotis yang terihat jelas


De Musset’s sign Kepala bergerak seiring denyut jantug
Muller’s sign adanya pulsasi sistolik pada uvula
Quincke’s sign adanya pulsasi kapiler yang terlihat pada bibir atau
bantalan kuku proksimal
Traube’s sign Auskultasi pada arteri femoralis yang seperti
tembakan pistol
Duroziez’s sign Penekanan arteri femoral dengan diafragma
stetoskop mengakibatkan terdengarnya murmur
diastolik

Hill’s sign Pada posisi horizontal tekanan darah ekstremitas


bawah 20mmHg lebih besar dibanding ekstremitas
atas
Rosenbach’s sign Pulsasi hepatik

Gerhardt’s sign Splenomegali


(Sailer sign)
Mayne’s sign Penurunan tekanan darah diastolik > 15 mmHg ketika
lengan diangkat

a. Corrigan’s sign
Corrigan’s sign merupakan salah satu tanda dari aorta regurgitasi dimana
pulsasi dari aorta terlihat jelas. Pertama kali tanda ini ditemukan oleh Sir
Dominic John Corrigan.
b. De musset’s sign
De musset sign adalah suatu kondisi dimana nkepala seseorang mengangguk
berirama selaras dengan detak jantung. Kepala yang mengangguk merupakan
tanda dari pulsasi sistolik yang dirasakan penderita akibat peningkatan denyut
nadi akibat insufisiensi aorta. Nama tanda ini diambil dari penyair Perancis
Alfred de Musset.
c. Muller’s sign
Merupakan tanda dari aorta regurgitasi yang ditandai dengan adanya pulsasi
sistolik pada uvula
d. Quincke’s sign
Merupakan salah satu tanda pada aorta regurgitasi dimana terdapat pulsasi di
bantalan kuku proksimal karena berdenyut arteriolar subpapilari dan pleksi
venular.
e. Traube’s sign

31
Merupakan salah satu tanda dari aorta regurgitasi yang ditandai dengan
adanya auskultasi pada arteri femoralis seperti tembakan pistol
f. Duroziez’s sign
Duroziez’s sign merupakan suatu keadaan dimana terdapat penekanan arteri
femoral dengan diafragma stetoskop mengakibatkan terdengarnya murmur
diastolik
g. Hill’s sign
Pada posisi horizontal tekanan darah ekstremitas bawah 20mmHg lebih besar
dibanding ekstremitas atas.
h. Rosenbach’s sign Terdapat pulsasi hepatik
i. Gerhardt’s sign Terdapat splenomegali.
j. Mayne’s sign
k. Penurunan tekanan darah diastolik > 15 mmHg ketika lengan diangkat
5. Pemeriksaan Diagnostik
a. Foto rontgen dada
Pada pemeriksaan dengan menggunakan foto rontgen dada, terlihat ventrikel
kiri membesar, atrium kiri membesar, dan dilatasi aorta. Bentuk dan ukuran
jantung tidak berubah pada insufisiensi akut, tapi terlihat edema paru.
b. Elektrokardiogram
Terlihat gambaran hipertrofi ventrikel kiri, amplitudo QRS meningkat, ST-T
berbentuk tipe diastolic-overload, artinya vektor rata- rata menunjukkan ST yang
besar dan gelombang T paralel dengan vektor rata-rata kompleks QRS.
Gambaran tegangan ventrikel kiri juga ada jika vektor ST-T rata-rata menunjuk
ke arah yang berlawanan dengan vektor QRS. Interval P-R memanjang.
c. Ekokardiogram
Pemeriksaan dengan menggunakan ekokardiogram memberikan gambaran
anatomi pangkal aorta dan katup aorta, termasuk vegetasi bila ada. Selain itu,
fungsi ventrikel juga dapat dinilai. Peningkatan dimensi aorta menyokong ke
arah insufisiensi kronik. Curah sekuncup ventrikel kiri dan fraksi ejeksi saat
istirahat dan kerja dalam posisi terlentang dapat diukur. Penelitian pra dan pasca
bedah menunjukkan bahwa dimensi akhir sistolik ventrikel kiri yang lebih besar
dari 55mm merupakan petunjuk kelompok risiko tinggi untuk timbulnya gagal
jantung. Katup aorta harus diganti sebelum timbul kerusakan ventrikel kiri yang
ireversibel.
6. Penatalaksanaan
Prinsip pengelolaan penyakit insufisiensi aorta meliputi :
a. Terapi dengan Obat
1) Vasodilator
32
Vasodilator dapat menyebabkan penurunan left ventricular systolic
pressure sehingga terjadi penurunan tegangan dinding ventrikel kiri dan
penurunan regurgitant volume melalui penurunan gradien tekanan pada katup
aorta saat diastolik. Keadaan tersebut akan mengurangi beban volume dan
tekanan yang berlebihan pada ventrikel kiri, sehingga gejala gagal jantung
dapat berkurang bahkan progresivitas dilatasi dan disfungsi ventrikel kiri
dapat di hambat. Hal tersebut didukung oleh hasil beberapa penelitian
sebelumnya bahkan guideline ACC/AHA merekomendasikan penggunaan
vasodilator pada penderita insufisiensi aorta (kelas IA). Vasodilator yang
dapat digunakan antara lain calcium channel blocker, hydralazin, penghambat
ACE, nitroprusid, dan lain-lain. Jenis vasodilator yang akan dipilih bersifat
individual, tergantung kondisi ko-morbid dan toleransi penderita.
2) ACE-Inhibitor
Hasil beberapa penelitian yang telah dilakukan, pemberian ACE- inhibitor
pada penderita dengan insufisiensi aorta juga memberikan manfaat. ACE-
inhibitor dapat mengurangi stres dan volume pada dinding ventrikel kiri.
Pemberian ACE-inhibitor pada insufisiensi aorta kronis terbukti dapat
mengurangi morbiditas dan mortalitas pada penderita dengan hipertensi atau
gagal jantung. Sehingga ACE-inhibitor merupakan obat pilihan untuk
penderita insufisiensi aorta kronis dengan gejala dan hipertensi, fungsi
ventrikel kiri yang buruk atau gagal jantung.
3) Beta-blocker
Golongan obat ini tidak terlalu bermanfaat pada penderita insufisiensi
aorta, oleh karena efek inotropik negatifnya, di mana adanya bradikardi bisa
merugikan penderita itu sendiri. Fase diastolik yang memanjang akibat
pemberian beta-blocker ini akan menyebabkan peningkatan volume
regurgitan, sehingga penggunaannya pada penderita insufisiensi aorta
merupakan kontra indikasi relatif. Namun pada keadaan dimana terdapat
dilatasi aorta seperti pada sindrom Marfan, beta-blocker dapat memperlambat
progresivitas pelebaran aorta dengan mengurangi wall stress pada dinding
aorta akibat penurunan tekanan darah setelah pemberian beta-blocker.
4) Digoksin
Digoksin bermanfaat terutama pada keadaan di mana telah terjadi
gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri dan atrial fibrasi. Namun pemberian
harus hati-hati karena efek samping digoksin (bradiaritmia) dapat
memperburuk keadaan hemodinamik.
5) Diuretik

33
Pada keadaan di mana didapatkan akumulasi cairan dan tanda kongesti
paru, pemberian diuretik dan restriksi garam akan sangat bermanfaat untuk
mengurangi gejala dan tanda gagal jantung.
6) Antibiotika Profilaksis
Penderita dengan insufisiensi mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya
endokarditis. Pada keadaan di mana penderita akan dilakukan tindakan gigi
atau prosedur pembedahan lainnya diperlukan pemberian antibiotika
profilaksis. Hal ini memang direkomendasikan oleh AHA, yang selanjutnya
harus dilakukan follow-up yang ketat dan evaluasi berkelanjutan (tiap 6 bulan
atau 1 tahun).
b. Tindakan Bedah
Penggantian katup aorta adalah terapi pilihan, tetapi kapan waktu yang tepat
untuk penggantian katup masih kontroversial. Pilihan untuk katup buatan
ditentukan berdasarkan umur, kebutuhan, kontraindikasi untuk koagulan, serta
lamanya umur katup. Penderita dengan katup jaringan, baik porsin atau
miokardial, mungkin tidak membutuhkan penggunaan antikoagulan jangka
panjang.

Bagaimanapun juga, umur katup ini barangkali lebih pendek daripada katup
buatan. Risiko operasi kurang lebih 2% pada penderita insufisiensi kronik sedang
dengan arteri koroner normal. Sedangkan risiko operasi pada penderita
insufisiensi berat dengan gagal jantung, dan penderita penyakit arteri, bervariasi
antara 4-10%. Dapat juga lebih besar, tergantung keadaan klinis penderita
tersebut. Hasil akhir tergantung pada fungsi ventrikel kiri saat operasi, tetapi juga
tergantung dari etiologi penyakit. Penderita harus dianjurkan untuk mendapat
antibiotik profilaksis untuk endokarditis setelah operasi. Penderita dengan katup
buatan mekanis harus mendapat terapi antikoagulan jangka panjang. Pasien harus
dipantau secara berkala untuk mendeteksi kemunduran dari fungsi katup.
Pembedahan dianjurkan pada semua pasien dengan hipertrofi ventrikel kiri tanpa
memperhatikan ada atau tidaknya gejala lain. Bila pasien mengalami gejala gagal
jantung kongestif, harus diberikan penatalaksanaan medis sampai dilakukannya
pembedahan.

D. HIPERTENSI PULMONAL

Hipertensi pulmonal (Pulmonary hypertension) atau yang disebut hipertensi


paru.Hipertensi pulmonal adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan
tekanan darah pada pembuluh darah arteri paru-paru yang menyebabkan sesak
nafas, pusing dan pingsan pada saat melakukan aktivitas. Berdasar penyebabnya
34
hipertensi pulmonal dapat menjadi penyakit berat yang ditandai dengan penurunan
toleransi dalam melakukan aktivitas dan gagal jantung kanan. Penyakit ini pertama
kali ditemukan oleh Dr Ernst von Romberg pada tahun 1891.Penyakit ini adalah
jenis penyakit fatal yang menyerang banyak orang pada usia produktif. Sedihnya,
angka kejadian pada perempuan dua setengah kali lipat dibanding laki-laki. Pada
kasus hipertensi pulmonal primer, penyakit ini diturunkan, atau terkait faktor
genetik.

Meski diakui, meluasnya penyakit hipertensi pulmonal saat ini kurang diketahui,
namun diperkirakan sekitar 1-2 juta orang per tahun terdiagnosis menderita
penyakit ini. Bahkan, angka yang sebenarnya diprediksi lebih tinggi mengingat
diagnosis penyakit ini masih minim.(wanita ) Di Indonesia dan kawasan Asia
Pasifik, hipertensi pulmonal kurang terdiagnosis dan kurang pengobatan antara lain
faktor kurangnya kesadaran mengenai penyakit ini. Mereka yang menderita
hipertensi pulmonal kebanyakan tidak terobati. Bahkan penderita tidak sadar bahwa
mereka terkena penyakit berbahaya ini, tidak tahu tentang pengobatan yang dapat
meningkatkan harapan hidup dan memberi kualitas hidup yang lebih baik.

Di Indonesia dan kawasan Asia Pasifik, hipertensi pulmonal kurang terdiagnosis


dan kurang pengobatan antara lain karena faktor kurangnya kesadaran mengenai
penyakit ini. Mereka yang menderita hipertensi paru kebanyakan tidak terobati.
Bahkan penderita tidak sadar bahwa mereka terkena penyakit berbahaya ini, tidak
tahu tentang pengobatan yang dapat meningkatkan harapan hidup dan memberi
kualitas hidup yang lebih baik.Kendala lain adalah banyak gejala yang dikaitkan
dengan hipertensi paru ternyata tidak spesifik mengarah pada hipertensi paru,
sehingga tak heran diagnosis penyakit ini kian sulit saja.
1. Definisi
Hypertensi Pulmonary atau yang biasa disebut Hipertensi Paru merupakan
kondisi yang tidak terlihat secara klinis sampai pada tahap lanjut kemajuan
penyakitnya. Penyakit ini ditandai dengan peningkatan tekanan darah pada
pembuluh darah arteri paru-paru yang menyebabkan sesak nafas, pusing dan
pingsan pada saat melakukan aktivitas. Berdasar penyebabnya hipertensi
pulmonal dapat menjadi penyakit berat yang ditandai dengan penurunan
toleransi dalam melakukan aktivitas dan gagal jantung kanan. Penyakit ini
pertama kali ditemukan oleh Dr Ernest von Romberg pada tahun 1891.
Awalnya PH diklasifikasikan menjadi hipertensi pulmonal idiopatik (IPAH,
atau zhipertensi pulmonal primer) dan PH sekunder.

35
a. Primer
Merupakan hipertensi pulmonal yang tidak diketahui penyebabnya.
Keadaan ini paling sering terjadi pada usia 20 tahun sampai 40 tahun. Dan
biasanya fatal dalam 5 tahun diagnosis. Hipertensi pulmonal primer lebih
sering didapatkan pada perempuan dengan perbandingan 2:1, angka kejadian
pertahun sekitar 2-3 kasus per 1 juta penduduk, dengan mean survival dari
awitan penyakit sampai timbulnya gejala sekitar 2-3 tahun.
b. Sekunder
Merupakan bentuk yang lebih umum dan diakibatkan oleh penyakit
paru atau jantung yang diderita oleh klien. Penyebab yang paling umum dari
hipertensi pulmonal sekunder adalah konstriksi arteri pulmonar akibat
hipoksia karena penyakit paru obstruksi kronik (PPOK), obesitas, inhalasi
asap dan kelainan neuromuskular.
Namun kemudian diketahui bahwa beberapa hipertensi pulmonal
sekunder sangat mirip dengan IPAH dalam hal gambaran histopatologis,
natural history, dan respon terhadap terapi. Jadi, berdasarkan mekanisme
penyakitnya, WHO kemudian membagi hipertensi pulmonal menjadi 5 kelas
:
1) Hipertensi Arteri Pulmonal (PAH). Gambaran hemodinamik kelompok
ini adalah:
Mean pulmonary artery pressure (MPAP) >25 mmHg pada istirahat,
atau > 30 mmHg pada aktivitas fisik, dan Pulmonary capillary wedge
pressure (PCWP) > 15 mmHg, dan Peningkatan tahanan vaskular
pulmonal dan gradien transpulmonal (gradien tekanan tekanan diastolik
arteri pulmonal dan PCWP)

2) Hipertensi Vena Pulmonal. Kelompok ini disebabkan oleh kelainan


pada atrium kiri, ventrikel kiri atau katup jantung kiri.
3) Hipertensi pulmonal yang berhubungan dengan penyakit paru-paru
atau hipoksemia. Penyebabnya antara lain penyakit paru interstitial,
PPOK, sleep- disordered breathing, kelainan hipoventilasi alveoli, dan
sebab-sebab lain dari hipoksemia.
4) Hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh penyakit trombotik dan
embolik kronis. Pada kelompok ini penyebab PH adalah oklusi
trombus di proksimal atau distal pembuluh darah paru (misalnya
penyakit tromboembolik kronis), atau emboli pulmonal nontrombotik
(misalnya schistosomiasis).
5) Hipertensi Pulmonal pada kelompok ini disebabkan oleh inflamasi,

36
obstruksi mekanis, atau kompresi ekstrinsik pada pembuluh darah paru
(misalnya pada sarcoidosis, histiocytosis X, dan fibrosing
mediastinitis)

37
2. Etiologi
Penyebab tersering dari hipertensi pulmonal adalah gagal jantung kiri. Hal ini
disebabkan karena gangguan pada bilik kiri jantung akibat gangguan katub
jantung seperti regurgitasi (aliran balik) dan stenosis (penyempitan katub mitral).
Penyebab lain hipertensi pulmonal antara lain adalah : HIV, penyakit autoimun,
sirosis hati, anemia sel sabit, penyakit bawaan dan penyakit tiroid.
a. Hipertensi pulmonal pasif
Agar darah dapat mengalir melalui paru dan kemudian masuk ke dalam
vena pulmonalis, maka tekan dalam arteri pulmonalis harus lebih tinggi
daripada vena pulmonalis. Dengan demikian, maka setiap kenaikan tekanan
dalam vena pulmonalis seperti pada stenosis mitral, insufisiensi mitral dan
ventrikel kiri yang hipertrofi akan menyebabkan peningkatan tekanan dalam
arteri pulmonalis pula.
b. Hipertensi pulmonal reaktif
Sebagai reaksi akibat peningkatan dalam vena pulmonalis maka pada
beberapa penderita terjadi vasokonstriksi arteriol pulmonal yang aktif.
Vasokonstriksi ini menyebabkan resistensi terhadap pengaliran darah melalui
paru bertambah besar dan tekanan dalam arteri pulmonalis meningkat, misal
pada penderita dengan stenosis mitral yang berat dan kadang-kadang pada
penderita dengan insufisiensi mitral atau dengan gagal jantung kiri. Faktor
penyebab ini dihubungkan pula dengan faktor familial.
c. Aliran darah dalam paru yang meningkat
Peningkatan aliran darah paru yang sedang, bila disertai dengan dilatasi
pembuluh darah paru dan terbukanya lubang saluran yang sebelumnya telah
menutup, maka dapat berlangsung tanpa terjadi peningkatan tekanan dalam
arteri pulmonalis. Kalau aliran darah itu lebih besar misalnya sampai lebih 3
kali yang normal, maka akan diperlukan tekanan yang lebih besar dalam paru
agar pengaliran darah dapat berlangsung.
d. Vaskularisasi paru yang berkurang
Bila dua pertiga atau lebih dari vaskularisasi paru mengalami obliterasi
maka diperlukan peningkatan tekanan dalam arteri pulmonalis supaya tetap
ada aliran yang adekuat, misalnya pada kelainan dengan embolus paru yang
berulang-ulang sehingga menyumbat arteri dan arteriol dalam paru. Pada

38
penyakit paru yang luas seperti enfisema, fibrosis pada paru yang luas dan
pada hipertensi pulmonal idiopati
3. Patofisiologi
Hipertensi Pulmonal dapat menyebabkan pengerasan pembuluh darah pada dan
didalam paru. Hal ini memperberat kerja jantung dalam memompa darah ke paru.
Lama-kelamaan pembuluh darah yang terkena akan menjadi kaku dan menebal.
Hal ini akan menyebabkan tekanan dalam pembuluh darah meningkat dan aliran
darah terganggu. Hal ini akan menyebabkan bilik jantung kanan membesar
sehingga menyebabkan suplai darah dari jantung ke paru berkurang sehingga
terjadi suatu keadaan yang disebut dengan gagal jantung
kanan. Sejalan dengan hal tersebut, maka aliran darah ke jantung kiri juga
menurun sehingga darah membawa kandungan oksigen yang kurang dari normal
untuk mencukupi kebutuhan tubuh terutama pada saat melakukan
aktivitas.
4. Manifestasi Klinis
Gejala yang timbul biasanya berupa :

a. Sesak nafas yang timbul secara bertahap ntuk meningkatkan secara bertahap
atau mendadak nafas dan kebutuhan udara bagi tubuh, pasien mengalami
nafas pendek dan haus udara. Terjadi hiperventilasi (napas cepat dan dalam).
1) kelemahan
2) batuk tidak produktif
3) pingsan atau sinkop
Pasien mengeluh berkunang-kunang, telinganya mendenging atau sering
pingsan. Munculnya memar-memar menunjukkan episode sinkope. Wajah
pasien merah panas dan merasa lemah lesu.
b. Edema perifer (pembengkakan pada tungkai terutama tumit dan kaki)
Pembengkakan pada tungkai terutama tumit dan kaki, terutama pada pagi
hari dan sore hari mengalami perbaikan. Pemasukan garam menyebabkan
retensi cairan. Terjadi selisih berat badan antara oedema dan tidak. gejala
yang jarang timbul adalah hemoptisis (batuk berdarah) Tanda hipertensi
pulmonal berupa :
1. Distensi vena jugularis
2. Impuls ventrikel kanan dominan

39
3. Komponen katup paru menguat.
Kelainan hepatomegali terjadi karena peningkatan kerja jantung kanan
untuk memompakan darah ke paru melalui resistensi arteri pulmonal yang
meningkat, sehingga terjadi hipertrofi dan dilatasi dari ventrikel kanan
Karena pada hipertensi pulmonal, curah jantung berkurang maka terjadi
penimbunan darah yang abnormal dalam ventrikel kanan sehingga
kemungkinan untuk mengalami gagal jantung kanan dapat terjadi setiap
saat. Kelelahan, dispnoe, angina pektoris, kejang dan sinkop merupakan
gejala yang umumnya ditemukan. Edema biasanya terlihat pada keadaan
yang lanjut, sedangkan hemoptisis terjadi akibat adanya infark atau
robeknya pembuluh darah yang abnormal dalam paru. Pada pemeriksaan
fisis ditemukan anggota gerak yang dingin, sianosis perifer, nadi dengan
amplitudo yang kecil, tekanan vena jugularis meningkat, aktivitas daerah
jantung kanan bertambah, komponen pulmonal bunyi jantung II mengeras,
terdengar pula “pulmonary ejection click” dan bising sistolik ejeksi, bising
pansistolitik pada daerah tricuspid, bising mid-diastolik pada sisi tulang
sternum sebelah kiri dan terdapatnya irama derap atrium pada daerah
tricuspid.
5. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang.
a. Pemeriksaan Fisik
Berdasarkan surve umum dan pengkajian neurologi menunjukkan
manifestasi kerusakan organ :
1) Otak – sakit kepala, mual, muntah, epistaksis, kesemutan pada
ekstremitas, enchepalopati, hipertensis ( mengantuk, kejang atau koma)
2) Mata – retinopati ( hanya dapat dideteksi dengan penggunaan
oftalmuskop, yang akan menunjukkan hemoragie retinal dan eksudat
dengan papiledema), penglihatan kabur
3) Jantung – gagal jantung (dispnea pada pergerakan tenaga, takhikardia)
4) Ginjal – penurunan keluaran urine dalam hubungannya dengan
pemasukan cairan, penambahan berat badan tiba-tiba, dan edema.
b. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Non Invasif
Pertama kali mencurigai klinis hipertensi pulmonal, harus melakukan
pemeriksaan konfirmasi dan pemeriksaan untuk mengeklusi tipe lain
penyebab hipertensi pulmonal,di samping untuk menentukan beratnya atau
40
prognosis.Baru- baru ini suatu konsensus merekomendasikan pemeriksaan
untuk hipertensi pulmonal.
1) Ekokardiograf
Pada pasien yang secara klinis dicurigai hipertensi pulmonal, untuk
diagnosis sebaiknya dilakukan ekokardiografi. Ekokardiografi dapat
mendeteksi kelainan katup, disfungsi ventrikel kiri, shunt jantung. Untuk
menilai tekanan sistolik ventrikel kanan dengan ekokardiografi harus ada
regurgitasi trikuspid. Bila pada pasien dengan hipertensi pulmonal tidak
ada regurgitasi trikuspid untuk menilai tekanan ventrikel kanan secara
kuantitatif, dapat dipakai nilai kualitatif. Tanda-tanda kualitatif tersebut
yaitu pembesaran atrium dan ventrikel kanan serta septum yang cembung
atau rata. Adanya efusi perikard menunjukkan beratnya penyakit dan
prognosis yang kurang baik.
2) Tes Berjalan 6 Menit
Pemeriksaan yang sederhana dan tidak mahal untuk keterbatasan
fungsional klien hipertensi pulmonal adalah dengan tes ketahanan berlajan
6 menit (6WT). Ini digunakan sebagai pengukur kapasitas fungsional
klien dengan sakit jantung, memiliki prognostik yang signifikan dan telah
digunakan secara luas dalam penelitian untuk evaluasi klien hipertensi
pulmonal yang diterapi. 6WT tidak memerlukan ahli dalam penilaian.
3) Tes Fungsi Paru
Pengukuran kaasitas vital paksa (FVC) saat istirahat, volume ekspirasi
paksa 1 detik (FEV1), ventilasi volunter maksimum (MW), kapasitas
difusi karbon monoksida, volume alveolar efektif, dan kapasitas paru total
adalah komponen penting dalam pemeriksaan Hhipertensi pulmonal, yang
dapat mengidentifikasi secara significan obstruksi saluran atau defek
mekanik sebagai faktor kontribusi hipertensi pulmonal. Tes fungsi paru
juga secara kuantitatif menilai gangguan mekanik sehubungan dengan
penurunan volume paru pada HP.
4) Radiografi Torak (Ro Torak)
Khas parenkim paru pada hipertensi pulmonal bersih. Foto torak dapat
membantu diagnosis atau membantu menemukan penyakit lain yang
mendasari hipertensi pulmonal. Gambaran khas foto toraks pada
hipertensi pulmonal ditemukan bayangan hilar, bayangan arteri
41
pulmonalis dan pada foto toraks lateral pembesaran ventrikel kanan.
5) Elektrokardiografi
Gambaran tipikal EKG pada klien HP sering menunjukkan
pembesaran atrium dan ventrikel kanan, terkadang dapat memperkirakan
tekanan arteri pulmonal, strain ventrikel kanan ,dan pergeseran aksis ke
kanan, yang juga memliki nilai prognostik. Elektrokardiogram
menunjukkan perubahan hipertrofi ventrikel kanan (panah panjang)
dengan regangan pada pasien dengan hipertensi pulmonal primer. Deviasi
sumbu kanan (pendek panah), peningkatan amplitudo gelombang P pada
lead II (panah hitam), dan tidak lengkap blok cabang berkas kanan (panah
putih) yang sangat spesifik tetapi tidak memiliki kepekaan untuk
mendeteksi hipertrofi ventrikel kanan.
6) CT Scan Resolusi Tinggi
CT Scan dilakukan hanya untuk membedakan apakah termasuk
hipertensi pulmonal primer atau hipertensi pulmonal sekunder. Tanpa zat
kontras untuk menilai parenkim paru seperti bronkiektasi, emfisema, atau
penyakit interstisial. Dengan zat kontras untuk mendeteksi dan melihat
penyakit tromboemboli paru.
c. Pemeriksaan Invasif
1) Kateterisasi jantung
Kateterisasi jantung dapat mengukur dengan tepat tekanan di ventrikel
kanan dan mengukur resistensi pembuluh darah di paru. Tes vasodilator
dengan obat kerja singkat (seperti : adenosin, inhalasi nitric oxide atau
epoprosteno) dapat dilakukan selama kateterisasi, respons vasolidatif
positif bila didapatkan penurunan tekanan arteri pumonalis dan resistensi
vaskular paru sedikitnya 20% dari tekanan awal.
Kateterisasi jantung kanan dengan mengukur hemodinamik pulmonal
adalah gold standart untuk konfirmasi PAH. Dengan definisi hipertensi
pulmonal adalah tekanan PAP ≥25 mHg pada saat istirahat, atau ≥30
mmHg pada saat aktivitas. Kateterisasi membantu diagnosis dengan
menyingkirkan etiologi lain seperti penyakit jantung kiri dan memberikan
informasi penting untuk prosnotik hipertensi pulmonal.
Pengukuran Kateterisasi Jantung pada Klien PAH
a. Systemic arterial pressure (BP) and heart rate (HR)
42
b. Right arterial pressure (RAP)
c. Right ventrikuler pressure (RVP)
d. Pulmonaly artery pressure (PAP)
e. Pulmonaly capillary wedge pressure (PCWP)
f. Cardiac output and index
g. Pulmonaly vasoreactivity
h. Sistemic and pulmonaly arteril oxygen saturation

Hemodinamik adalah prognostik untuk hipertensi pulmonal primer,


nilai prognostik pengukuran hemodinamik bila RAP < 10 mmHg, angka
harapan hidup 50 bulan bila tidak mendapat terapi vasodilator sedangkan
bila RAP ≥ 20mmHg harapan hidupnya kurang dari 3 bulan.
2) Tes vasodilator
Vasoreaktivitas adalah suatu bagian penting untuk evaluasi klien
hipertensi pulmonal, klien yang respon dengan vasodilator terbukti
memperbaiki survival dengan mengunakan blok kanal kalsium (CCB)
jangka panjang. Definisi respon adalah penurunan rata-rata tekanan arteri
pulmonal < 10 mmHg dengan penignkatan kardiak output. Tujuan primer
tes vasodilator adalah untuk menentukan apakah klien bisa diterapi
dengan CCB oradenganzl.
3) Biopsi paru
Jarang dilakukan karena riskan pada klien hipertensi pulmonal, biopsi
paru di indikasikan bila klien yang diduga hipertensi pulmonal primer
dengan pemeriksaan standar tidak kuat untuk diagnosis definitif.

6. Terapi.
a. Pengobatan
Pengobatan hipertensi pulmonal bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi
jantung kiri dengan menggunakan obat-obatan seperti : diuretik, beta-bloker
dan ACE inhibitor atau dengan cara memperbaiki katup jantung mitral atau
katup aorta (pembuluh darah utama). Pada hipertensi pulmonal pengobatan
dengan perubahan pola hidup, diuretik, antikoagulan dan terapi oksigen
merupakan suatu terapi yang lazim dilakukan, tetapi berdasar dari penelitian
terapi tersebut belum pernah dinyatakan bermanfaat dalam mengatasi
43
penyakit tersebut.
Obat-obatan vasoaktif
Obat-obat vasoaktif yang digunakan pada saat ini antara lain adalah
antagonis reseptor endotelial, PDE-5 inhibitor dan derivat prostasiklin. Obat-
obat tersebut bertujuan untuk mengurangi tekanan dalam pembuluh darah
paru. Sildenafil adalah obat golongan PDE-5 inhibitor yang mendapat
persetujuan dari FDA pada tahun 2005 untuk mengatasi hipertensi pulmonal
Untuk vasodilatasi pada paru, ada beberapa obat-obatan yang dapat
digunakan. Antara lain Beraprost sodium (Dorner), infus PGI, Injeksi lipo
PGE-1, ACE Inhibitor, Antagonis Kalsium dan Inhalasi NO. Beraprost
sodium efeknya tidak hanya sebagai vasodilator, tetapi juga efek pleiotropik,
seperti menghambat agresi platelet, mencegah cedera sel endotel dan
memperbaiki cedera sel endotel.
Pasien yang diberikan Beraprost, memiliki harapan hidup yang lebih baik
(86%) dibandingkan yang tidak diberi Beraprost (75%). Hal ini karena
Beraprost bekerja sebagai vasodilator yang menurunkan curah jantung dan ini
mengurangi beban ventrikel kanan, menghambat progresifitas gagal jantung
kanan, memperbaiki toleransi olahraga dan meningkatkan harapan hidup.
b. Terapi bedah
Pembedahan sekat antar serambi jantung (atrial septostomy) yang dapat
menghubungkan antara serambi kanan dan serambi kiri dapat mengurangi
tekanan pada jantung kanan tetapi kerugian dari terapi ini dapat mengurangi
kadar oksigen dalam darah (hipoksia). Transplantasi paru dapat
menyembuhkan hipertensi pulmonal namun komplikasi terapi ini cukup
banyak dan angka harapan hidupnya kurang lebih selama 5 tahun.
c. Atrial septosotomi
Blade ballon atrial septostomy dilakukan pada pasien dengan tekanan
ventrikel kanan yang berat. Tujuan prosedur ini adalah dekompresi overload
jantung kanan dan perbaikan output sistemik ventrikel kiri. Septastotomi
atrial harus dilakukan pada. fasilitas yang memadai dan operator yang
berpengalaman

d. Thromboenarterectomy pulmonary
Menjadi pilihan pengobatan pada pasien hipertensi pulmonal yang
44
berhubungan dengan penyakit tromboembolik kronik. Dilakukan melalui
median stertonomi pada cardiopulmonary baypass. Secara keseluruhan angka
kematian terus membaik dan kini kirang dari 5%.
e. Transplantasi paru-paru
Hipertensi pulmonal primer biasanya progresif dan akhirnya berakibat
fatal. Tranplantasi paru adalah suatu pilihan pada beberapa pasien lebih muda
dari 65 tahun yang memiliki hipertensi pulmonal yang tidak merespon
manajemen medis. Menurut AS tahun 1997 transplantasi laporan registri, 24
penerima transplantasi paru-paru dengan hipertensi pulmonal primer memiliki
tingkat ketahanan hidup dari 73 persen pada satu tahun, 55 persen di tiga
tahun dan 45 persen pada lima tahun. Pengurangan langsung tekanan arteri
paru-paru dikaitkan dengan perbaikan dalam fungsi ventrikel kanan.
Kambuhnya hipertensi pulmonal primer setelah transplantasi paru-paru belum
dilaporkan.

E. GAGAL JANTUNG
1. Definisi
Gagal jantung dapat didefinisikan sebagai kelainan struktur atau fungsi
jantung yang menyebabkan kegagalan jantung untuk memberikan suplai darah
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan.
2. Etiologi
Perubahan struktur atau fungsi dari ventrikel kiri dapat menjadi faktor
predisposisi terjadinya gagal jantung pada seorang pasien, meskipun etiologi
gagal jantung pada pasien tanpa penurunan Ejection Fraction (EF) berbeda dari
gagal jantung dengan penurunan EF. Terdapat pertimbangan terhadap etiologi
dari kedua keadaan tersebut tumpang tindih. Di Negara-negara industri,
Penyakit Jantung Koroner (PJK) menjadi penyebab predominan pada 60-75%
pada kasus gagal jantung pada pria dan wanita. Hipertensi memberi kontribusi
pada perkembangan penyakit gagal jantung pada 75% pasien, termasuk pasien
dengan PJK. Interaksi antara PJK dan hipertensi memperbesar risiko pada gagal
jantung, seperti pada diabetes mellitus.
Emboli paru dapat menyebabkan gagal jantung, karena pasien yang tidak
aktif secara fisik dengan curah jantung rendah mempunyai risiko tinggi
membentuk thrombus pada tungkai bawah atau panggul. Emboli paru dapat
45
berasal dari peningkatan lebih lanjut tekanan arteri pulmonalis yang sebaliknya
dapat mengakibatkan atau memperkuat kegagalan ventrikel.
Infeksi apapun dapat memicu gagal jantung, demam, takikardi dan
hipoksemia yang terjadi serta kebutuhan metabolik yang meningkat akan
memberi tambahan beban pada miokard yang sudah kelebihan beban meskipun
masih terkompensasi pada pasien dengan penyakit jantung kronik.

Tabel 2. Etiologi gagal jantung


Etiologi gagal jantung
Dengan Penurunan EF (<40%)
PJK Kardiomiopati dilatasi non iskemik
Infark miokard Familial / kelainan genetic
Iskemia miokard Kelainan infiltrative
Kenaikan tekanan Kerusakan akibat toksin / obat
Hipertensi Penyakit metabolik
Penyakit katup obstruktif Virus
Kenaikan volume Penyakit Chagas
Penyakit katup regurgitasi Kelainan irama dan detak jantung
Left to right shunting Bradi aritmia kronis
Extracardiac shunting Takiaritmia kronis
Tanpa Penurunan EF (>40-50%)
Hipertrofi patologis Kardiomiopati restriktif
Primer (kardiomiopati hipertrofi) Kelainan infiltrative (amyloidosis,

sarkoidosis)
Sekunder (hipertensi) Fibrosis
Penuaan Kelainan enso-miokardium
Pulmonary Heart Disease (PHD)
Cor pulmonale

Kelainan pembuluh darah paru

Output meningkat

Kelainan metabolik Aliran darah yang berlebihan

Tirotoksikosis Shunt arteri-vena sistemik

Beriberi Anemia kronis

46
3. Patofisiologi
Penurunan curah jantung pada gagal jantung mengaktifkan serangkaian
adaptasi kompensasi yang dimaksudkan untuk mempertahankan homeostasis
kardiovaskuler. Salah satu adaptasi terpenting adalah aktivasi system saraf
simpatik, yang terjadi pada awal gagal jantung. Aktivasi system saraf simpatik
pada gagal jantung disertai dengan penarikan tonus parasimpatis. meskipun
gangguan ini dalam kontrol otonom pada awalnya dikaitkan dengan hilangnya
penghambatan masukan dari arteri atau refleks baroreseptor kardiopulmoner,
terdapat bukti bahwa refleks rangsang juga dapat berpartisipasi dalam
ketidakseimbangan otonom yang terjadi pada gagal jantung. dalam kondisi
normal masukan penghambatan dari “tekanan tinggi” sinus karotis dan
baroreceptor arcus aorta dan “tekanan rendah” mechanoreceptor
cardiopulmonary adalah inhibitor utama aliran simpatis, sedangkan debit dari
kemoreseptor perifer nonbaroreflex dan otot “metaboreseptor” adalah input
rangsang utama outflow simpatik. Pada gagal jantung, penghambat masukan
dari baroreseptor dan mekanoreseptor menurun dan rangsangan pemasukan
meningkat, maka ada peningkatan dalam aktivitas saraf simpatik, dengan
hilangnya resultan dari variabilitas denyut jantung dan peningkatan resistensi
pembuluh darah perifer.
Berbeda dengan sistem saraf simpatik, komponen dari sistem renin-
angiotensin diaktifkan beberapa saat kemudian pada gagal jantung. mekanisme
untuk aktivasi RAS dalam gagal jantung mencakup hipoperfusi ginjal,
penurunan natrium terfiltrasi mencapai makula densa di tubulus distal, dan
meningkatnya stimulasi simpatis ginjal, yang menyebabkan peningkatan
pelepasan renin dari aparatus juxtaglomerular. Renin memotong empat asam
amino dari sirkulasi angiotensinogen, yang disintesis dalam hepar, untuk
membentuk angiotensin I. Angiotensin Converting Enzyme (ACE) memotong
dua asam amino dari angiotensin I untuk membentuk angiotensin II. Mayoritas
(90%) dari aktivitas ACE dalam tubuh terdapat dalam jaringan, sedangkan 10%
sisanya terdapat dalam bentuk terlarut (ikatan non membran) dalam interstitium
jantung dan dinding pembuluh darah. Angiotensin II mengerahkan efeknya
dengan mengikat gabungan dua reseptor G-Protein angiotensin yang disebut
tipe 1 (AT 1) dan angiotensin tipe 2 (AT 2). Reseptor angiotensin yang
dominan dalam pembuluh darah adalah reseptor AT1. Aktivasi reseptor AT1
47
menyebabkan vasokonstriksi, pertumbuhan sel, sekresi aldosteron, dan
pelepasan katekolamin, sedangkan aktivasi reseptor AT2 menyebabkan
vasodilatasi, penghambatan pertumbuhan sel, natriuresis, dan pelepasan
bradikinin. Angiotensin II memiliki beberapa tindakan penting untuk
mempertahankan sirkulasi homeostasis jangka pendek. Namun, ekspresi
berkepanjangan dari angiotensin II dapat menyebabkan fibrosis jantung, ginjal,
dan organ lainnya. Angiotensin II dapat juga memperburuk aktivasi
neurohormonal dengan meningkatkan pelepasan norepinefrin dari ujung saraf
simpatik, serta merangsang zona glomerulosa korteks adrenal untuk
memproduksi aldosteron. Aldosteron menyediakan dukungan jangka pendek ke
dalam sirkulasi dengan melakukan reabsorbsi natrium dalam pertukaran dengan
kalium di tubulus distal. Aldosterone dapat menimbulkan disfungsi sel endotel,
disfungsi baroreseptor, dan menghambat uptake norepinefrin, salah satu atau
semua dari kelainan tersebut dapat memperburuk gagal jantung.
Stimulasi sistem renin-angiotensin-aldosteron menyebabkan peningkatan
konsentrasi renin, angiotensin II plasma, dan aldosteron. Angiotensin II adalah
vasokonstriktor kuat dari ginjal (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik, di mana
ia merangsang pelepasan noradrenalin dari terminal saraf simpatis, menghambat
tonus vagus, dan mempromosikan pelepasan aldosteron. Hal ini menyebabkan
retensi natrium dan air dan peningkatan ekskresi kalium. Selain itu, angiotensin
II memiliki efek penting pada miosit jantung dan dapat menyebabkan disfungsi
endotel yang diamati pada gagal jantung kronis.
4. Kriteria Gagal Jantung

Tabel 4: Kriteria Framingham

Kriteria mayor Kriteria minor


1. Edema paru akut 1. Edema ekstremitas
2. Kardiomegali 2. Batuk malam hari
3. Ronki paru 3. Dispneu d’effort
4. Hepatojugular refluks 4. Hepatomegali
5. Paroximal nocturnal dispneu 5. Efusi pleura
6. Gallop S3 6. Penurunan Vital Capacity 1/3

dari normal
48
7. Distensi vena leher 7. Takikardi (>120/menit)
8. Peninggian vena jugularis
5. Klasifikasi Gagal Jantung
Ada berbagai klasifikasi untuk gagal jantung, diantaranya berdasarkan
abnormalitas struktur jantung yang di susun oleh American Heart
Association/American College of Cardiology (AHA/ACC) atau berdasarkan
gejala berkaitan dengan kapasitas fingsional yang diterbitkan oleh New York
Heart Association (NYHA).
Diagnosis gagal jantung berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
electrocardiography, foto thorax, echocardiography Doppler, dan kateterisasi.

a. Berdasarkan Tingkat Keparahan Gagal Jantung Tabel

Klasifikasi menurut ACC/AHA Klasifikasi menurut NYHA


Stadium A Kelas I
Memiliki risiko tinggi untuk Pasien dengan penyakit jantung tetapi
berkembang menjadi gagal jantung. tidak ada pembatasan aktivitas fisik.
Tidak terdapat gangguan struktural Aktivitas fisik biasa tidak menyebabkan
atau fungsional jantung. kelelahan berlebihan, palpitasi, dispnea
atau nyeri angina.
Stadium C Kelas III

Stadium B
Gagal jantung yang simpatomatis Kelas
PasienIIdengan penyakit jantung yang
Telah terbentuk dengan
berhubungan penyakit penyakir
struktur Pasien
terdapatdengan penyakit jantung
pembatasan aktivitasdengan
fisik.
jantung
structural yang
jantungberhubungan dengan sedikit
yang mendasari pembatasan
Merasa nyaman aktivitasAktifitas
saat istirahat. fisik.
perkembangan gagal jantung, tidak Merasa nyamanmenyebabkan
fisik ringan saat istirahat. kelelahan,
Hasil
terdapat tanda dan gejala. aktivitas normalatau fisik
palpitasi, dispnea kelelahan,
nyeri angina.
palpitasi, dispnea atau nyeri angina.
Stadium D Kelas IV

Penyakit structural jantung yang lanjut Pasien dengan penyakit jantung yang
serta gejala gagal jantung yang sangat mengakibatkan ketidakmampuan untuk
bermakna saat istirahat walaupun telah melakukan aktivitas fisik apapun tanpa
mendapat terapi. ketidaknyamanan. Gejala gagal jantung

49
dapat muncul bahkan pada saat istirahat.
Keluhan meningkat saat melakukan
aktifitas

b. Berdasarkan curah jantung

1) Gagal jantung curah-tinggi


Pada pasien dengan gagal jantung curah-tinggi, curah jantung tidak
melebihi batas atas normal, tetapi mungkin lebih dekat dengan batas atas
normal. Gagal jantung curah-tinggi terlihat pada pasien hipertiroidisme,
anemia, kehamilan, fistula arteriovenosa, beri-beri, dan penyakit Paget
2) Gagal jantung curah rendah
Pada gagal jantung curah-rendah, curah jantung berada dalam batas
normal pada saat istirahat, tetapi tidak mampu meningkat secara normal
selama aktivitas fisik.
c. Berdasarkan gangguan fungsi

1) Gagal jantung Sistolik


Gagal jantung sistolik yang utama berkaitan dengan curah jantung yang
tidak adekuat dengan kelemahan, kekelahan, berkurangnya toleransi
terhadap exercise, dan gejala lain dari hipoperfusi.
2) Gagal Jantung Diastolik
Gagal jantung diastolik berhubungan dengan peningkatan tekanan
pengisian. Pada banyak pasien yang mempunyai hipertrofi ventrikel dan
dilatasi, abnormalitas kontraksi dan relaksasi terjadi secara bersamaan.
d. Berdasarkan letak
1) Gagal jantung kanan
Gagal jantung kanan terjadi Jika abnormalitas yang mendasari
mengenai ventrikel kanan secara primer seperti stenosis katup paru atau
hipertensi paru sekunder terhadap tromboembolisme paru sehingga terjadi
kongesti vena sistemik

2) Gagal jantung kiri


Pada gagal jantung kiri, ventrikel kiri secara mekanis mengalami
kelebihan beban atau melemah, mengalami dispnea dan ortopnea akibat

50
dari kongesti paru.

4. Pedoman Pengobatan Gagal Jantung

Tingkatan Definisi Saran Penggunaan

Rekomendasi
Kelas I Pengobatan/prosedur Direkomendasikan
memberikan manfaat dan
efektif

Kelas II Adanya bukti masih


kontroversi
Kelas IIa Bukti cenderung bermanfaat Seharusnya

dipertimbangkan
Kelas IIb Khasiat kurang memberikan Dapat dipertimbangkan

bukti
Kelas III Tindakan tidak bermanfaat Tidak
bahkan berbahaya direkomendasikan
bahkan berbahaya

F. Atrial Fibrilasi
1. Definisi
Fibrilasi atrium (FA) merupakan aritmia yang paling sering dijumpai dalam
praktek sehari-hari dan paling sering menjadi penyebab individu harus
menjalani perawatan di rumah sakit. Fibrilasi atrium (FA) bukan merupakan
keadaan yang mengancam jiwa, namun FA berhubungan dengan peningkatan
angka morbiditas dan mortalitas.
Fibrilasi atrium (FA) merupakan takiaritmia supraventrikuler yang ditandai
dengan aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi. Pada elektrokardiogram (EKG)
FA menunjukkan gelombang P yang digantikan oleh gelombang getar (fibrilasi)
yang bervariasi bentuk, durasi dan amplitudo yang dapat diikuti dengan respon
ventrikel yang ireguler. Ciri-ciri FA pada EKG umumnya memiliki gambaran
sebagai berikut:

51
a. Pola interval RR yang ireguler dan tidak repetitif.
b. Tidak terdapat gelombang P yang jelas pada gambaran EKG. Kadang-
kadang dapat terlihat aktivitas atrium yang ireguler pada beberapa sadapan
EKG, paling sering pada sadapan V1.
c. Siklus atrium (interval antara dua gelombang aktivasi atrium) tersebut
biasanya bervariasi, umumnya kecepatannya melebihi 450x/menit.

52
2. Klasifikasi Fibrilasi Atrium

Terdapat beberapa macam klasifikasi FA dan berubah seiring dengan


perkembangan waktu. Klasifikasi pada FA yang dibuat oleh American College of
Cardiology (ACC), American Heart Association (AHA), European Society of
Cardiology (ESC) membagi FA dalam beberapa jenis berikut:
Tabel 2. Klasifikasi Fibrilasi Atrium`

Klasifikasi FA Berdasarkan ACC/AHA/ESC 2006 Guidelines for the


Management of Patients with Atrial Fibrillation

Tipe Atrial Fibrilasi Karakteristik

Terdeteksi pertama Individu yang pertama kali datang dengan manifestasi


kali (first detected) klinis FA, tanpa memandang durasi atau berat ringannya
gejala yang muncul.

Rekuren Dua atau lebih episode FA

Paroksismal Terminasi FA spontan kurang dari tujuh hari


Persisten Paroksismal fibrilasi atrium yang menetap dalam 7 hari
dan dilakukan kardioversi untuk pengendalian irama.
Persisten lama (long Fibrilasi atrium yang bertahan lebih dari 1 tahun.
standing) Kardioversi masih dilakukan.
Permanen Fibrilasi atrium dengan episode menetap. Tidak responsif
dengan kardioversi

8
Diagnosis fibrilasi atrium pertama kali

Paroksismal ( umumnya ≤ 48 jam)

Persisten (> 7 hari atau membutuhkan


kardioversi)

Persisten lama (long standing persistent) > 1


tahun
Permanen

Gambar 2. Klasifikasi Fibrilasi Atrium dan Perkembangannya

3.
Pola konduksi abnormal supraventrikel merupakan penyebab munculnya FA.
Terdapat dua teori mekanisme elektrofisiologis pada FA yaitu mekanisme fokal
dan hipotesis wavelet multipel, meskipun kedua mekanisme tersebut dapat
terjadi secara bersamaan.
Teori mekanisme fokal, terdapat pemicu (triggers) ektopik fokal dari serabut
muskuler pada daerah tertentu seperti vena pulmonalis, vena cava superior,
posterior atrium kiri, dan ligamentum Marshall. Hal ini disebabkan oleh karena
mekanisme selular dari aktivitas fokal sehingga terjadi pemendekan dari
periode refrakter pada serat miosit dan gangguan konduksi, sehingga dapat
berpotensi untuk mencetuskan takiaritmia atrium.
Teori hipotesis wavelet multipel, FA disebabkan oleh konduksi kontinyu
yang dihasilkan oleh gelombang-gelombang reentry yang menjalar ke otot

9
dinding atrium. Gelombang-gelombang tersebut dapat terpecah menjadi
gelombang-gelombang lebih kecil, bergabung satu sama lain menimbulkan
gelombang yang lebih besar, atau dapat bertabrakan sehingga meniadakan satu
sama lain. Jika cetusan gelombang masih cukup banyak, kondisi FA tetap dapat
dipertahankan.

Gambar 3.Gambaran skematik pola konduksi abnormal pada FA21

4. Manifestasi Klinis Fibrilasi Atrium

Manifestasi klinis yang diakibatkan FA berhubungan dengan kecepatan


laju ventrikel, penyakit yang mendasari FA, lamanya FA dan komplikasi yang
ditimbulkan FA. Gejala umum yang dapat ditimbulkan seperti ansietas, palpitasi,
dispneu, pusing, nyeri dada, cepat lelah dan gejala tromboemboli. Diperkirakan
25% pasien dengan FA bersifat asimptomatik terutama pada pasien lanjut usia dan
pasien dengan FA persisten.

10
5. Faktor Risiko Fibrilasi Atrium

Fibrilasi atrium (FA) mempunyai kaitan erat dengan kelainan pada sistem
kardiovaskuler. Beberapa literatur membagi faktor risiko FA menjadi dua jenis
yaitu FA dengan kondisi kelainan jantung (cardiac) maupun kelainan non jantung
(non cardiac). Beberapa contoh faktor risiko klasik seperti hipertensi, penyakit
katup jantung, kardiomiopati, penyakit jantung koroner, diabetes mellitus, dan
penyakit tiroid. Pada beberapa kasus, FA bisa muncul tanpa adanya kelainan pada
sistem kardiovaskuler yang disebut lone FA. Pada kasus lone FA, suatu penelitian
menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor risiko lain yang diperkirakan dapat
menimbulkan FA seperti obesitas, sleep apneu, intoksikasi alkohol, olahraga yang
berlebihan, inflamasi dan faktor genetik. Namun, diperlukan penelitian lebih
lanjut untuk menganalisa dan memvalidasi faktor- faktor risiko baru tersebut.
Secara umum, faktor risiko FA dibagi menjadi dua kategori yaitu kelainan
pada jantung dan kelainan non jantung. Faktor risiko tersebut meliputi:
Kelainan pada jantung

a) Penyakit katup mitral

b) Gagal jantung

c) Infark miokard

d) Kardiomiopati hipertrofik

e) Perikarditis

f) Sick Sinus Syndrome

g) Wolff-Parkinson-White syndrome

11
h) Post operasi bypass arteri koroner

Penyakit non jantung

i) Konsumsi alkohol

j) Hipertiroidisme atau hipotiroidisme

k) Emboli pulmonal

l) Sepsis, pneumonia

m) Obesitas

n) Hipertensi

o) Penyakit paru obstruktif kronik

Faktro-faktor risiko tersebut mempengaruhi struktur jantung atau secara


langsung mempengaruhi irama denyut jantung sehingga menimbulkan FA.
ii. Diagnosis Fibrilasi Atrium

Denyut jantung yang ireguler dapat dicurigai sebagai FA, namun


pemeriksaan EKG diperlukan untuk menegakkan diagnosis FA. Aritmia yang
mempunyai karakteristik seperti FA yang dapat berlangsung lama sehingga
tercatat di 12 lead EKG atau berlangsung selama 30 detik dapat dikategorikan
sebagai FA. Denyut jantung pada FA dapat diukur dengan menghitung interval
RR selama 10 detik lalu dikali enam. Risiko komplikasi yang ditimbulkan tidak
jauh berbeda antara FA yang bersifat episodik dengan FA yang berkelanjutan
(sustained FA).
Penentuan diagnosis FA sangat diperlukan sebagai manajemen FA
selanjutnya. Manajemen akut pasien dengan FA berorientasi pada penanganan
gejala dan faktor risiko yang ditimbulkan FA. Evaluasi klinis dapat ditentukan

12
oleh skor EHRA (European Heart Rhytm Association). Penentuan diagnosis
berguna untuk menentukan klasifikasi FA pada pasien.
Tabel 3. Skor EHRA

Kelas EHRA Penjelasan

EHRA I Tanpa gejala

EHRA II Gejala ringan, aktivitas harian normal tidak


terganggu EHRA III Gejala berat, aktivitas harian normal terganggu
EHRA IV Gejala sangat berat, tidak dapat beraktivitas

Evaluasi klinis FA pada pasien dapat meliputi anamnesis, pemeriksaan


fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan tipe FA,
menentukan beratnya gejala yang menyertai, dan penyakit jantung yang
mendasari. Pemeriksaan fisik meliputi tanda vital, tekanan vena jugularis, ronkhi
pada paru, irama gallop S3, hepatomegali, dan edema perifer. Pemeriksaan
penunjang meliputi pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan EKG, ekokardiografi,
dan studi elektrofisiologi.
iii. Komplikasi Fibrilasi Atrium

Fibrilasi atrium mempunyai hubungan dengan meningkatnya risiko


mortalitas, stroke, tromboemboli, gagal jantung, dan disfungsi ventrikel kiri.
Fibrilasi atrium merupakan faktor independen yang meningkatkan risiko
mortalitas hingga dua kali lipat. Suatu penelitian menyatakan bahwa terapi
antitrombotik dapat menurunkan kejadian mortalitas yang mempunyai korelasi
dengan FA.

13
Stroke pada pasien dengan FA seringkali berdampak buruk seperti
disabilitas jangka panjang atau kematian. Sekitar seperlima kasus stroke
diakibatkan oleh FA. Selain itu, FA yang tidak terdiagnosis dapat menyebabkan
stroke kriptogenik. Fibrilasi atrium paroksismal mempunyai kecenderungan yang
sama pada FA persisten atau permanen pada kejadian stroke.
Fibrilasi atrium merupakan penyumbang terbesar hospitalisasi pada kasus
aritmia jantung. Penyebab hospitalisasi merupakan akibat dengan keadaan yang
berhubungan dengan FA seperti penyakit jantung koroner, gagal jantung,
komplikasi tromboemboli, dan kontrol aritmia akut. Hospitalisasi berpengaruh
terhadap penurunan kualitas hidup pasien dengan FA.
Kualitas hidup dan kapasitas latihan mengalami penurunan pada pasien
dengan FA. Kualitas hidup pasien dengan FA lebih rendah dibandingkan pada
individu yang sehat, populasi umum maupun pasien dengan penyakit jantung
koroner dengan irama sinus. Fibrilasi atrium menyebabkan stress akibat palpitasi
dan gejala-gejala FA lainnya.
Pasien dengan FA juga berpotensi untuk mengalami gangguan fungsi
ventrikel kiri yang disebabkan kecepatan kontraksi ventrikel yang meningkat dan
ireguler, penurunan kontraktilitas atrium, dan peningkatan tekanan pengisian fase
diastolik akhir (end diastolic). Pengaturan kecepatan denyut jantung dan
mempertahankannya pada irama sinus dapat meningkatkan fungsi ventrikel kiri
pada pasien FA.
iv. Tata Laksana Fibrilasi Atrium

a) Tujuan

14
Tujuan dalam penatalaksanaan FA terdiri dari tiga aspek fundamental
yaitu: mengontrol laju irama ventrikel, mengembalikan ke irama sinus, dan
pencegahan tromboemboli. Dalam penatalaksanaan FA perlu diperhatikan apakah
pada pasien tersebut dapat dilakukan konversi ke irama sinus atau cukup dengan
pengontrolan laju irama ventrikel. Konversi ke irama sinus merupakan tindakan
utama apabila kardioversi masih dapat dilakukan.
b) Pengontrolan Laju Irama Ventrikel

Tidak terdapat acuan yang ketat dalam menentukan batas yang perlu
dicapai dalam pengontrolan laju irama ventrikel, namun direkomendasikan kurang
dari 80 kali/menit pada saat istirahat dan kurang dari 110 kali/menit saat
melakukan aktivitas. Monitor jangka panjang dengan menggunakan Holter atau
alat telemetrik lainnya dapat berguna dalam evaluasi laju irama ventrikel.
Insufisiensi kontrol laju irama ventrikel dapat menyebabkan takikardiomiopati
pada pasien FA. Pengontrolan laju irama ventrikel juga dilaksanakan pada pasien
gagal jantung dengan FA.
Pemberian penyekat beta atau antagonis kanal kalsium non-dihidropiridin
oral dapat digunakan pada pasien dengan hemodinamik stabil. Antagonis kanal
kalsium non-dihidropiridin hanya boleh dipakai pada pasien dengan fungsi
sistolik ventrikel yang masih baik. Obat intravena mempunyai respon yang lebih
cepat untuk mengontrol respon irama ventrikel. Digoksin atau amiodaron
direkomendasikan untuk mengontrol laju ventrikel pada pasien dengan FA dan
gagal jantung atau adanya hipotensi. Pada FA dengan preeksitasi, obat yang
digunakan adalah antiaritmia kelas I (propafenon, disopiramid, mexiletine) atau

15
amiodaron. Obat antiaritmia oral dapat digunakan untuk mengendalikan laju
ventrikel namun bersifat sementara. Diharapkan laju jantung akan menurun dalam
waktu 1-3 jam setelah pemberian antagonis kanal kalsium (ditiazem 30 mg atau
verapamil 80 mg), penyekat beta (propanolol 20-40 mg, bisoprolol 5 mg, atau
metoprolol 50 mg). Penting untuk menyingkirkan adanya riwayat dan gejala gagal
jantung. Kendali laju yang efektif tetap harus dengan pemberian obat antiaritmia
intravena.
c) Pengendalian Irama Jantung

Respon irama ventrikel jantung yang terlalu cepat akan menyebabkan


gangguan hemodinamik pada pasien FA. Pada pasien dengan hemodinamik tidak
stabil akibat FA harus dilakukan kardioversi elektrik untuk mengembalikan ke
irama sinus. Pasien yang masih menunjukkan gejala dengan gangguan
hemodinamik meskipun strategi kendali telah optimal, dapat dilakukan
kardioversi farmakologis dengan obat antiaritmia intravena atau kardioversi
elektrik. Obat intravena untuk kardioversi farmakologis salah satunya amiodaron
yang mempunyai efek kardioversi beberapa jam setelah pemberian.
Pemberian propafenon oral (450-600 mg) dapat mengonversi irama FA
menjadi irama sinus. Efektivitas propafenon oral tersebut mencapai 45% dalam 3
jam. Strategi terapi ini dapat dipilih pada pasien dengan gejala yang berat dan FA
jarang. Pasien dengan respon ventrikuler yang cepat membutuhkan penyekat beta
oral atau penyekat kanal kalsium non dihidropiridin. Verapamil dan metoprolol
banyak digunakan untuk memperlambat konduksi nodus atrioventrikuler.

16
Pasien FA dengan hemodinamik tidak stabil akibat laju irama ventrikel
yang cepat disertai tanda iskemia, hipotensi, dan sinkop perlu segera dilakukan
kardioversi elektrik. Kardioversi elektrik dimulai dengan 100 Joule (bifasik). Bila
tidak menunjukkan hasil dapat dinaikkan menjadi 200 Joule. Pasien dipuasakan
dan dilakukan anestesi kerja pendek. Kardioversi dinyatakan berhasil apabila
didapatkan satu atau dua gelombang P setelah kardioversi. Risiko tromboemboli
atau stroke emboli tidak berbeda antara kardioversi elektrik dan farmakologis
sehingga rekomendasi pemberian antikoagulan sama pada keduanya.
d) Terapi Antitrombotik

Secara umum FA merupakan faktor yang dapat memicu stroke. Sehingga


penting mengindentifikasi pasien FA yang memiliki risiko tinggi stroke dan
tromboemboli. Penggunaan antitrombotik pada pasien dengan faktor risiko rendah
mengalami stroke tidak direkomendasikan karena untuk menghindari efek
pemberian antikoagulan. Terapi antritrombotik tidak direkomendasikan pada
pasien FA yang berusia lebih dari 65 tahun dan lone FA karena kedua kelompok
pasien tersebut mempunyai risiko tingkat kejadian stroke yang rendah.
Penilaian stratifikasi risiko stroke pada pasien FA menggunakan skor
CHA2DS2-VASc (Congestive heart failure, Hypertension, Age ≥ 75 years :score
2, Diabetes mellitus, Stroke history: score 2 , peripheral Vascular disease, Age
between 65-74 years, Sex category: female). Skor tersebut sudah divalidasi pada
beberapa studi kohort dan menunjukkan hasil yang lebih baik untuk
mengidentifikasi pasien FA berisiko rendah terkena stroke maupun identifikasi
pasien FA yang akan mengalami stroke dan tromboemboli. Pemberian

17
antikoagulan perlu diseimbangkan dengan risiko perdarahan khususnya perdarahan
intrakranial yang sifatnya fatal dan menimbulkan disabilitas. Skor HAS-BLED
(Hypertension, Abnormal renal or liver function, Stroke, Bleeding, Lanile INR
value, Elderly, antithrombotic Drug and alcohol) telah divalidasi pada studi kohort
berkorelasi baik dengan perdarahan intrakranial. Penggabungan kedua skor tersebut
sangat bermanfaat dalam keputusan tromboprofilaksis pada praktik sehari-hari.
Terapi antitrombotik yang digunakan untuk prevensi stroke pada pasien FA
meliputi antagonis vitamin K (warfarin atau coumadin), dabigatran, rivaroxaban,
apixaban, maupun antiplatelet (aspirin dan clopidogrel). Diperlukan pertimbangan-
pertimbangan khusus dalam pemberian antikoagulan dalam pencegahan efek
tromboemboli pada FA.

G. PENYAKIT JANTUNG REMATIK


1. Definisi
Penyakit jantung reumatik merupakan kelainan katup jantung yang menetap
akibat demam reumatik akut sebelumnya, terutama mengenai katup mitral
(75%), aorta (25%), jarang mengenai katup trikuspid, dan tidak pernah
menyerang katup pulmonal. Penyakit jantung reumatik dapat menimbulkan
stenosis atau insufisiensi atau keduanya.
2. Epidemiologi
Penyakit jantung rematik menyebabkan setidaknya 200.000-250.000
kematian bayi premature setiap tahun dan penyebab umum kematian akibat
penyakit jantung pada anak-anak dan remaja di negara berkembang.
Dalam laporan WHO Expert Consultation Geneva, 29 Oktober–1 November
2001 yang diterbitkan tahun 2004 angka mortalitas untuk PJR 0,5 per 100.000
penduduk di Negara maju hingga 8,2 per 100.000 penduduk di negara
berkembang di daerah Asia Tenggara diperkirakan 7,6 per 100.000 penduduk.
Diperkirakan sekitar 2.000-332.000 penduduk yang meninggal diseluruh dunia
akibat penyakit tersebut.
Prevalensi demam rematik di Indonesia belum diketahui secara pasti,
meskipun beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa
prevalensi penyakit jantung rematik berkisar antara 0,3 sampai 0,8 per 1.000
anak sekolah.
3. Etiologi
Etiologi terpenting dari penyakit jantung reumatik adalah demam reumatik.
Demam reumatik merupakan penyakit vaskular kolagen multisistem yang terjadi
setelah infeksi Streptococcus grup A pada individu yang mempunyai faktor
predisposisi. Keterlibatan kardiovaskuler pada penyakit ini ditandai oleh
18
inflamasi endokardium dan miokardium melalui suatu proses ’autoimunne’ yang
menyebabkan kerusakan jaringan. Inflamasi yang berat dapat melibatkan
perikardium. Valvulitis merupakan tanda utama reumatik karditis yang paling
banyak mengenai katup mitral (76%), katup aorta (13%) dan katup mitral dan
katup aorta (97%). Insidens tertinggi ditemukan pada anak berumur 5-15 tahun.

4. Patogenesis
Streptococcus beta hemolyticus grup A dapat menyebabkan penyakit
supuratif misalnya faringitis, impetigo, selulitis, miositis, pneumonia, sepsis
nifas dan penyakit non supuratif misalnya demam rematik, glomerulonefritis
akut. Setelah inkubasi 2-4 hari, invasi Streptococcus beta hemolyticus grup A
pada faring menghasilkan respon inflamasi akut yang berlangsung 3-5 hari
ditandai dengan demam, nyeri tenggorok, malaise, pusing dan leukositosis.4
Pasien masih tetap terinfeksi selama berminggu- minggu setelah gejala
faringitis menghilang, sehingga menjadi reservoir infeksi bagi orang lain.
Kontak langsung per oral atau melalui sekret pernafasan dapat menjadi media
trasnmisi penyakit. Hanya faringitis Streptococcus beta hemolyticus grup A
saja yang dapat mengakibatkan atau mengaktifkan kembali demam rematik.
Penyakit jantung rematik merupakan manifestasi demam rematik
berkelanjutan yang melibatkan kelainan pada katup dan endokardium. Lebih
dari 60% penyakit rheumatic fever akan berkembang menjadi rheumatic heart
disease. Adapun kerusakan yang ditimbulkan pada rheumatic heart disease
yakni kerusakan katup jantung akan menyebabkan timbulnya regurgitasi.
Episode yang sering dan berulang penyakit ini akan menyebabkan penebalan
pada katup, pembentukan skar (jaringan parut), kalsifikasi dan dapat
berkembang menjadi valvular stenosis.
Sebagai dasar dari rheumatic heart disease, penyakit rheumatic fever dalam
patogenesisnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Adapun beberapa faktor
yang berperan dalam patogenesis penyakit rheumatic fever antara lain faktor
organisme, faktor host dan faktor sistem imun.
Bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A sebagai organisme
penginfeksi memiliki peran penting dalam patogenesis rheumatic fever.
Bakteri ini sering berkolonisasi dan berproliferasi di daerah tenggorokan,
dimana bakteri ini memiliki supra-antigen yang dapat berikatan dengan major
histocompatibility complex kelas 2 (MHC kelas 2) yang akan berikatan dengan
reseptor sel T yang apabila teraktivasi akan melepaskan sitokin dan menjadi
sitotosik. Supra-antigen bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A yang
terlibat pada patogenesis rheumatic fever tersebut adalah protein M yang
merupakan eksotoksin pirogenik Streptococcus. Selain itu, bakteri
19
Streptococcus beta hemolyticus grup A juga menghasilkan produk
ekstraseluler seperti streptolisin, streptokinase, DNA-ase, dan hialuronidase
yang mengaktivasi produksi sejumlah antibodi autoreaktif. Antibodi yang
paling sering adalah antistreptolisin-O (ASTO) yang tujuannya untuk
menetralisir toksin bakteri tersebut. Namun secara simultan upaya proteksi
tubuh ini juga menyebabkan kerusakan patologis jaringan tubuh sendiri. Tubuh
memiliki struktur yang mirip dengan antigen bakteri Streptococcus beta
hemolyticus grup A sehingga terjadi reaktivitas silang antara epitop organisme
dengan host yang akan mengarahkan pada kerusakan jaringan tubuh.
Kemiripan atau mimikri antara antigen bakteri Streptococcus beta
hemolyticus grup A dengan jaringan tubuh yang dikenali oleh antibodi adalah:
1) Urutan asam amino yang identik, 2) Urutan asam amino yang homolog
namun tidak identik, 3) Epitop pada molekul yang berbeda seperti peptida dan
karbohidrat atau antara DNA dan peptida. Afinitas antibodi reaksi silang dapat
berbeda dan cukup kuat untuk dapat menyebabkan sitotoksik dan menginduksi
sel–sel antibodi reseptor permukaan.
Epitop yang berada pada dinding sel, membran sel, dan protein M dari
streptococcus beta hemolyticus grup A memiliki struktur imunologi yang sama
dengan protein miosin, tropomiosin, keratin, aktin, laminin, vimentin, dan N-
asetilglukosamin pada tubuh manusia. Molekul yang mirip ini menjadi dasar
dari reaksi autoimun yang mengarah pada terjadinya rheumatic fever.
Hubungan lainnya dari laminin yang merupakan protein yang mirip miosin dan
protein M yang terdapat pada endotelium jantung dan dikenali oleh sel T anti
miosin dan anti protein M.
Disamping antibodi terhadap N-asetilglukosamin dari karbohidrat,
Streptococcus beta hemolyticus grup A mengalami reaksi silang dengan
jaringan katup jantung yang menyebabkan kerusakan valvular. Disamping
faktor organisme penginfeksi, faktor host sendiri juga memainkan peranan
dalam perjalanan penyakit rheumatic fever. Sekitar 3-6% populasi memiliki
potensi terinfeksi rheumatic fever. Penelitian tentang genetik marker
menunjukan bahwa gen human leukocyte-associated antigen (HLA) kelas II
berpotensi dalam perkembangan penyakit rheumatic fever dan rheumatic heart
disease. Gen HLA kelas II yang terletak pada kromosom 6 berperan dalam
kontrol imun respon. Molekul HLA kelas II berperan dalam presentasi antigen
pada reseptor T sel yang nantinya akan memicu respon sistem imun selular dan
humoral. Dari alel gen HLA kelas II, HLA-DR7 yang paling berhubungan
dengan rheumatic heart disease pada lesi-lesi valvular.
Lesi valvular pada rheumatic fever akan dimulai dengan pembentukan

20
verrucae yang disusun fibrin dan sel darah yang terkumpul di katup jantung.
Setelah proses inflamasi mereda, verurucae akan menghilang dan
meninggalkan jaringan parut. Jika serangan terus berulang veruccae baru akan
terbentuk didekat veruccae yang lama dan bagian mural dari endokardium dan
korda tendinea akan ikut mengalami kerusakan.
Kelainan pada valvular yang tersering adalah regurgitasi katup mitral (65-
70% kasus).4 Perubahan struktur katup diikuti dengan pemendekan dan
penebalan korda tendinea menyebabkan terjadinya insufesiensi katup mitral.
Karena peningkatan volume yang masuk dan proses inflamasi ventrikel kiri
akan membesar akibatnya atrium kiri akan berdilatasi akibat regurgitasi darah.
Peningkatan tekanan atrium kiri ini akan menyebabkan kongesti paru diikuti
dengan gagal jantung kiri. Apabila kelainan pada mitral berat dan berlangsung
lama, gangguan jantung kanan juga dapat terjadi.
Kelainan katup lain yang juga sering ditemukan berupa regurgitasi katup
aorta akibat dari sklerosis katup aorta yang menyebabkan regurgitasi darah ke
ventrikel kiri diikuti dengan dilatasi dan hipertropi dari ventrikel kiri Di sisi
lain, dapat terjadi stenosis dari katup mitral. Stenosis ini terjadi akibat fibrosis
yang terjadi pada cincin katup mitral, kontraktur dari daun katup, corda dan
otot papilari. Stenosis dari katup mitral ini akan menyebabkan peningkatan
tekanan dan hipertropi dari atrium kiri, menyebabkan hipertensi vena pulmonal
yang selanjutnya dapat menimbulkan kelainan jantung kanan.

5. DIAGNOSIS
Rheumatic fever merupakan penyakit sistemik, pasien rheumatic fever
menunjukan keluhan yang bervariasi. Gambaran klinis pada rheumatic fever
bergantung pada sistem organ yang terlibat dan manifestasi yang muncul dapat
tunggal atau merupakan gabungan beberapa sistem organ yang terlibat.
a. Anamnesis
Sebanyak 70% remaja dan dewasa muda pernah mengalami sakit
tenggorok 1-5 minggu sebelum muncul rheumatic fever dan sekitar 20%
anak-anak menyatakan pernah mengalami sakit tenggorokan. Keluhan
mungkin tidak spesifik, seperti demam, tidak enak badan, sakit kepala,
penurunan berat badan, epistaksis, kelelahan, malaise, diaforesis dan
pucat. Terkadang pasien juga mengeluhkan nyeri dada, ortopnea atau sakit
perut dan muntah.
Gejala spesifik yang kemudian muncul adalah nyeri sendi, nodul di
bawah kulit, peningkatan iritabilitas dan gangguan atensi, perubahan
kepribadian seperti gangguan neuropsikiatri autoimun terkait dengan

21
infeksi Streptococcus, difungsi motorik, dan riwayat rheumatic fever
sebelumnya.

b. Manifestasi Klinis

Untuk diagnosis rheumatic fever digunakan kriteria Jones yang


pertama kali diperkenalkan pada tahun 1944, dan kemudian dimodifikasi
beberapa kali. Kriteria ini membagi gambaran klinis menjadi dua, yaitu
manifestasi mayor dan minor.4

Tabel 1. Kriteria Jones Sebagai Pedoman Dalam Diagnosis Rheumatic Fever

Manifestasi mayor Manifestasi minor

Karditis Klinis :
Poliartritis migrans - artralgia: nyeri sendi tanpa merah dan bengkak
- demam tinggi (>390 C)
Chorea sydenham Laboratorium:
Eritema marginatum - peningkatan penanda peradangan yaitu erythrocyte
Nodul subkutan sedimentation rate (ESR) atau C Reactive Protein (CRP)
- pemanjangan interval PR pada EKG
Ditambah
Bukti infeksi streptococcus beta hemolyticus grup A sebelumnya (45 hari terakhir)
- Kultur hapusan tenggorok atau rapid test antigen streptococcus beta
hemolyticus grup A hasilnya positif
- Peningkatan titer serologi antibodi streptococcus beta hemolyticus grup A.

a. Kriteria Mayor
1) Karditis
Karditis adalah komplikasi yang paling serius dan paling sering terjadi
setelah poli artritis. Pankarditis meliputi endokarditis, miokarditis dan
perikarditis. Pada stadium lanjut, pasien mungkin mengalami dipsnea ringan-
sedang, rasa tak nyaman di dada atau nyeri pada dada pleuritik, edema, batuk
dan ortopnea. Pada pemeriksaan fisik, karditis paling sering ditandai dengan
murmur dan takikardia yang tidak sesuai dengan tingginya demam.
Gambaran klinis yang dapat ditemukan dari gangguan katup jantung dapat
dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Manifestasi Klinis Sesuai Gangguan Katup Jantung yang Timbul

Gangguan Manifestasi

22
- Aktivitas ventrikel kiri meningkat
 Regurgitasi Mitral
- Bising pansistolik di apeks, menyebar ke aksila
bahkan ke punggung
- Murmurmid-diastolik (carrey coombs
murmur) di apeks

- Aktivitas ventrikel kiri meningkat


- Bising diastolik di ICS II kanan/kiri, menyebar
ke apeks
 Regurgitasi aorta - Tekanan nadi sangat lebar (sistolik tinggi,
sedangkan diastolik sangat rendah bahkan
hingga 0 mmHg)
- Aktivitas ventrikel kiri negatif
 Stenosis mitral
- Bising diastolik di daerah apeks, dengan S1
mengeras
Gagal jantung kongestif bisa terjadi sekunder akibat insufisieni katup
yang parah atau miokarditis, yang ditandai dengan adanya takipnea,
ortopnea, distensi vena jugularis, ronki, hepatomegali, irama gallop, dan
edema perifer.
Friction rub pericardial menandai perikarditis. Perkusi jantung yang
redup, suara jantung melemah, dan pulsus paradoksus adalah tanda khas
efusi perikardium dan tamponade perikardium yang mengancam.
2) Poliartritis Migrans
Merupakan manifestasi yang paling sering dari rheumatic fever, terjadi
pada sekitar 70% pasien rheumatic fever. Gejala ini muncul 30 hari setelah
infeksi Streptococcus yakni saat antibodi mencapai puncak. Radang sendi
aktif ditandai dengan nyeri hebat, bengkak, eritema pada beberapa sendi.
Nyeri saat istirahat yang semakin hebat pada gerakan aktif dan pasif
merupakan tanda khas. Sendi yang paling sering terkena adalah sendi-sendi
besar seperti sendi lutut, pergelangan kaki, siku, dan pergelangan tangan.
Gejala ini bersifat asimetris dan berpindah-pindah (poliartritis migrans).
Peradangan sendi ini dapat sembuh spontan beberapa jam sesudah serangan
namun muncul pada sendi yang lain. Pada sebagian besar pasien dapat
sembuh dalam satu minggu dan biasanya tidak menetap lebih dari dua atau
tiga minggu.

3) Chorea Sydenham/Vt. Vitus’ Dance


Chorea sydenham terjadi pada 13-14% kasus rheumatic fever

23
dan dua kali lebih sering pada perempuan. Gejala ini muncul pada
fase laten yakni beberapa bulan setelah infeksi Streptococcus
(mungkin 6 bulan). Manifestasi ini mencerminkan keterlibatan proses
radang pada susunan saraf pusat, ganglia basal, dan nukleus kaudatus
otak. Periode laten dari chorea ini cukup lama, sekitar tiga minggu
sampai tiga bulan dari terjadinya rheumatic fever. Gejala awal
biasanya emosi yang lebih labil dan iritabilitas. Kemudian diikuti
dengan gerakan yang tidak disengaja, tidak bertujuan, dan
inkoordinasi muskular. Semua bagian otot dapat terkena, namun otot
ekstremitas dan wajah adalah yang paling mencolok. Gejala ini
semakin diperberat dengan adanya stress dan kelelahan, namun
menghilang saat beristirahat.
4) Eritema Marginatum
Eritema marginatum merupakan ruam khas pada rheumatic
fever yang terjadi kurang dari 10% kasus. Ruam berbentuk anular
berwarna kemerahan yang kemudian ditengahnya memudar pucat,
dan tepinya berwarna merah berkelok-kelok seperti ular. Umumnya
ditemukan di tubuh (dada atau punggung) dan ekstremitas.

5) Nodulus Subkutan
Nodulus subkutan ini jarang dijumpai, kurang dari 5% kasus.
Nodulus terletak pada permukaan ekstensor sendi, terutama pada
siku, ruas jari, lutut, dan persendian kaki. Kadang juga ditemukan di
kulit kepala bagian oksipital dan di atas kolumna vertebralis. Nodul
berupa benjolan berwarna terang keras, tidak nyeri, tidak gatal,
mobile, dengan diameter 0,2-2 cm. Nodul subkutan biasanya terjadi
beberapa minggu setelah rheumatic fever muncul dan menghilang
dalam waktu sebulan. Nodul ini selalu menyertai karditis rematik
yang berat.
b. Kriteria Minor
Demam biasanya tinggi sekitar 39oC dan biasa kembali normal dalam
waktu 2-3 minggu, walau tanpa pengobatan. Artralgia, yakni nyeri sendi
tanpa disertai tanda-tanda objektif (misalnya bengkak, merah, hangat)
juga sering dijumpai. Artralgia biasa melibatkan sendi-sendi yang besar.
Penanda peradangan akut pada pemeriksaan darah umumnya tidak
spesifik, yaitu LED dan CRP umumnya meningkat pada rheumatic fever.
Pemeriksaan dapat digunakan untuk menilai perkembangan penyakit.

24
c. Dasar Diagnosis

Tabel 3. Kriteria WHO 2002-2003 dalam Mendiagnosis Rheumatic Fever dan RHD11

Kategori diagnosis Kriteria


- Dua mayor
 Rheumatic Fever serangan
- Atau satu mayor dan dua minor
pertama
- Ditambah bukti infeksi SBHGA sebelumnya
- Dua mayor
 Rheumatic Fever serangan
- Atau satu mayor dan dua minor
ulang tanpa RHD
- Ditambah bukti infeksi SBHGA sebelumnya
- Dua minor
 Rheumatic Fever serangan
- ditambah dengan bukti infeksi SBHGA
ulang dengan RHD
sebelumnya
 Chorea reumatik - Tidak diperlukan kriteria mayor lainnya atau
 Karditis reumatik bukti infeksi SBHGA
insidious
- Tidak diperlukan kriteria lainnya untuk
 RHD
mendiagnosis sebagai RHD

6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien dengan rheumatic heart disease secara garis besar
bertujuan untuk mengeradikasi bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A,
menekan inflamasi dari respon autoimun, dan memberikan terapi suportif
untuk gagal jantung kongestif. Setelah lewat fase akut, terapi bertujuan untuk
mencegah rheumatic heart disease berulang pada anak-anak dan memantau
komplikasi serta gejala sisa dari rheumatic heart disease kronis pada saat
dewasa. Selain terapi medikamentosa, aspek diet dan juga aktivitas pasien
harus dikontrol. Selain itu, ada juga pilihan terapi operatif sebagai penanganan
kasus-kasus parah.

25
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan keluhan sesak nafas yang
dirasakan pasien sejak kurang lebih 1 bulan yang lalu dan memberat 3 hari
terakhir. Sesak nafas dirasakan oleh pasien setah aktivitas fisik dan berkurang
dengan istirahat. Pasien merasakan lebih nyaman posisi duduk daripada
berbaring. Pasien sering terbangun di malam hari karena merasa sesak. Pasien
juga mengeluh jantung berdebar-debar dan terdapat bengkak pada kaki dan
tangan. Pasien memiliki riwayat hipertensi, tekanan sistolik tertinggi yakni 170
mmHg. Dari anamnesis tersebut, kemungkinan sesak nafas yang dirasakan oleh
pasien ini disebabkan oleh adanya gangguan pada jantung.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan takikardi, ronki basah halus pada 2/3
kedua lapang paru, ronki basah kasar pada kedua lapang paru yang menandakan
terjadinya edema pada alveoli maupun paenkim paru, kondisi ini bisa disebabkan
juga karena adanya kelainan katup seperti pada mitral stenosis. Didapatkan JVP
mengalami peningkatan yang merupakan gejala pada pasien hipertensi vena pada
gagal jantung kanan. Pada perkusi didapatkan batas jantung melebar, kondisi ini
menunjukkan adanya hipertrofi pada jantung.
Pada pemeriksaan EKG terdapat Atrial Fibrilasi Rapid Supraventrikular,
denyut jantung 140 x/menit, RAD, RVH, dan RBBB. Pada pemeriksaan
labratrium, hasil pemeriksaan sputum pengecatan BTA (-) dapat disingkirkan TB
pada pasien. Pada pemeriksaan foto thoraks PA didapatkan kesimpulan bahwa
pasien mengalami kardiomegali dengan konfigurasi LAH, RAH, dan RVH.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
pasien dapat didiagnosis dengan Mitral Stenosis Severe (MS Severe), Trikuspid
Regurgitasi Moderate (TR Moderate), Aorta Regurgitasi Mild (AR Mild), High
Probability of Pulmonary Hypertension (PH), Right Heart Filure (RHF) , Atrial
Fibrilasi Rapid Ventricular Response (AF RVR) dengan etiologi Penyakit
Jantung Rematik.

26
DAFTAR PUSTAKA

Armstrong, C. AHA Guidelines on Prevention of Rheumatic Fever and Diagnosis and


Treatment of Acute Streptococcal Pharyngitis. Am Fam Physician. 2010
1;81(3):346-359.
Baughman, Diane C. (2000). Keperawatan Medikal-Bedah: Buku Saku untuk Brunner &
Suddarth. Jakarta: EGC.
Boestan, Iwan N. (2007). Penyakit Jantung Katup. Surabaya: Airlangga University Press
Carapetis, J., dkk. Acute Rheumatic Fever. Harrison’s Cardiovascular Medicine. United
States: The McGraw-Hill. 2010;17: 290-296.
Chakko S, Bisno AL. Acute Rheumatic Fever. In: Fuster V, Alexander RW, O’Rourke et al.
Hurst The Heart; vol.II; 10th ed. Mc Graw-Hill : New York, 2001; p. 1657 – 65.
Chin TK. 2014. Pediatric Rheumatic Heart disease. Medscape. [Online] Melalui:
http://emedicine.medscape.com/article/891897-overview#a0199 [diakses pada 1 Mei
2016].
Ciliers, A.M. Rheumatic Fever and Its Management. BMJ. 2006;333(7579): 1153-1156
Essop, M.R & Omar, T. Valvular Heart Disease: Rheumatic Fever. Philadelphia: Crawford.
2010;3:1215-1223
Hahn, R.T., 2016. State-of-the-art review of echocardiographic imaging in the evaluation
and treatment of functional tricuspid regurgitation. Circulation: Cardiovascular
Imaging, 9(12), p.e005332.
Harb, S.C. and Griffin, B.P., 2017. Mitral valve disease: a comprehensive review. Current
cardiology reports, 19(8), p.73.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis, Ed. 2. Jakarta:Badan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011:41-42.
Kliegman, Robert M, dkk. Rheumatic Heart Disease. Nelson Textbook of Pediatrics, Edisi
18. Elsevier. 2007: 438.
Kumar, R.K., Tandon R. Rheumatic Fever & Rheumatic Heart Disease: The last 50 years.
Indian J Med Res. 2013:137; 643-658.
Kumar, Vinay dkk. Valvular Heart. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease.
Philadelpia: Elsevier Inc. 2010.
Latief, abdul dkk. 1985. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 2. Jakarta : Fakultas Kedokteran
UI.
Luiza Guilherm, dkk. Molecular Mimicry in The Autoimmune Pathogenesis of Rheumatic
Heart Disease. Autoimmunity 2006; 39(1): 31 –39.
Majid Abdul. Anatomi Jantung dan pembuluh darah, Sistem Kardiovaskuler secara Umum,
Denyut Jantung dan Aktifitas Listrik Jantung, dan Jantung sebagai Pompa. Fisiologi
Kardiovaskular. Medan: Bagian Fisiologi Fakultas Kedokteran USU. 2005; 7 -16.

27
Mann, D.L., Zipes, D.P., Libby, P. and Bonow, R.O., 2014. Braunwald's heart disease: a
textbook of cardiovascular medicine. Elsevier Health Sciences.
Marijon E, Mirabel M, ,et al. Rheumatic fever. Paris: Lancet 2012; 379: 953–64
Mishra T.K., Acute Rheumatic Fever and Rheumatic Heart Disease: current scenario.
JIACM. 2007;8(4):324-30.
Muttaqin, Arif. 2009. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskular. Jakarta : Salemba Medika.
Price, Sylvia Anderson and Lorraine McCarty Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-proses penyakit. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Rilantono, LI. Penyakit Kardiovaskular (PKV). Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2013;331-335.
Rilantono, Lily Ismudiati, dkk. (2004). Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Sudoyo, Aru W dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Fakultas Kedokteran
UI.
Wahab, A. Samik. (2009). Kardiologi Anak: Penyakit Jantung Kongenital yang Tidak
Sianotik. Jakarta: EGC.
WHO. Rhematic fever and Rheumatic Heart Disease. Report of a WHO expert
Consultation. 2004. [Online]. Melalui:
http://www.who.int/cardiovascular_diseases/resources/en/cvd_trs923.pdf [diunduh 1
Mei 2016].
World Health Organization. Rheumatic fever and rheumatic heart disease WHO Technical
report series 923. Report of a WHO Expert Consultation Geneva, 29 October–1
November 2001.

28

Anda mungkin juga menyukai