Anda di halaman 1dari 67

Presentasi Kasus

Seorang Perempuan 58 Tahun dengan Ca Papiller Thyroid Pro


Total Thyroidektomi dan Radical Neck Dissection (RND) dengan
General Anestesi Intubasi Oral Status Fisik ASA II

Oleh:
Intan Ardyla Mahardika G991903024

Pembimbing :
dr. Paramita Putri H, Sp.An, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU ANESTESI DAN


TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN
FK UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik


Ilmu Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas
Maret / RSUD Dr. Moewardi. Presentasi kasus dengan judul:

Seorang Perempuan 58 Tahun dengan Ca Papiller Thyroid Pro


Total Thyroidektomi dan Radical Neck Dissection (RND) dengan
General Anestesi Intubasi Oral Status Fisik ASA II

Hari, tanggal :

Oleh:

Intan Ardyla Mahardika – G991903024

Mengetahui dan menyetujui,

Pembimbing Presentasi Kasus

dr. Paramita Putri Hapsari, Sp.An., M.Kes.


BAB I
STATUS PASIEN

A. ANAMNESIS
1. Identitas Penderita
Nama : Ny. S
Umur : 58 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Surakarta
Suku : Jawa
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Status : Menikah
2. Data dasar
Anamnesis dilakukan di bangsal Flamboyan 10 kamar 1009-C RSUD Dr.
Moewardi Surakarta.
Keluhan Utama
Benjolan pada leher
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan benjolan pada leher bagian kanan sejak 5
tahun yang lalu. Nyeri tekan (-), konsistensi padat keras (+), keluar cairan
dari benjolan (-), benjolan dapat digerakkan (+). Sebelumnya terdapat juga
keluhan benjolan pada leher bagian kanan dan telah menjalani operasi
sebanyak 2x yakni pada tahun 2014 dan 2020.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Hipertensi : (-)
Riwayat DM : (-)
Riwayat Asma : (-)
Riwayat Alergi : (-)
Riwayat Kejang : (-)
Riwayat Operasi : 2x tahun 2014 dan 2020, benjolan pada leher kiri.
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Hipertensi : (-)
Penyakit Jantung : (-)
Riwayat DM : (-)
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien berobat menggunakan fasilitas BPJS kelas III
Resume AMPLE
A (Alergi) Alergi ikan
M (Medikasi) Pasien tidak mengonsumsi obat rutin
P (Past Illness) Hipertensi (-), DM (-), jantung (-), asma (-), operasi (+)
2x 2014 dan 2020 dengan GA, riwayat kemoterapi (-)
L (Last Meal) 6 jam sebelum operasi
E (Exposure) Sakit kepala (-), mual (-), muntah (-), batuk (-), pilek (-),
BAB/BAK tidak ada keluhan, aktivitas dalam batas
normal

B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum : Sedang, Composmentis E4V5M6
2. Tanda Vital
a. Tensi : 130/80 mmHg
b. Nadi : 78x/menit
c. RR : 18x/menit
d. SpO2 : 98%
e. Suhu : 36,6oC
3. Status Gizi
a. Berat badan : 44 kg
b. Tinggi badan : 145 cm
c. IMT : 20,9 kg/m2
d. Kesan : normoweight
4. Primary Survey
a. Airway : Buka mulut 3 jari, mallampati II, gigi palsu (+), gigi ompong (-)
, leher pendek (-), gerak leher bebas, patensi hidung (N/N), deviasi trakea
(-), gurgling (-), snoring (-), stridor (-)
b. Breathing : Pengembangan dinding dada (+), frekuensi nafas 18 x/mnt
c. Circulation : Nadi karotis teraba kuat (+), Heart rate 78/mnt, tekanan
darah 130/80 mmHg, CRT <2 detik, saturasi oksigen 98%
d. Disability : GCS E4V5M6, reflek pupil direk indirek (+/+), pupil isokor
3mm/3mm
e. Exposure : Trauma kepala (-), trauma ekstremitas bawah kanan (-),
trauma genital (-), suhu normotermi
5. Secondary Survey
a. Kulit : warna sawo matang, kering (-), hiperpigmentasi (-),
jaundice (-)
b. Kepala : Bentuk mesocephal, atrofi m. temporalis (-/-)
c. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklerik ikterik (-/-), pupil isokor,
katarak matur (-/-)
d. Telinga : Sekret (-/-)
e. Hidung : Sekret (-/-), darah (-/-)
f. Mulut : buka mulut 3 jari, mallampati 2, gigi ompong (+)
geraham, gigi palsu (-)
g. Leher : Trakea di tengah, simetris, pembesaran kelenjar tiroid (+),
gerak leher bebas (+)
h. Toraks : normochest, retraksi (-/-)
i. Jantung
1) Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
2) Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
3) Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
4) Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, bising (-), gallop (-)
j. Pulmo
1) Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
2) Palpasi : Fremitus raba normal
3) Perkusi : Sonor/sonor
4) Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah kasar
(-/-), ronki basah halus (-/-)
k. Abdomen
1) Inspeksi : Dinding perut sama dengan dinding dada,
distended (-)
2) Auskultasi : Bising usus (+) normal
3) Perkusi : timpani di seluruh lapang abdomen, pekak alih (-),
undulasi (-)
4) Palpasi : Supel, nyeri tekan (+) epigastrium
l. Ekstremitas : CRT < 2 detik
Akral dingin - -
- -

- -
Oedem
- -

 B1 (Breathing) : RR 18x/mnt ,SpO2 98% posisi supine udara ruang,


SDV(+/+), ST(-/-)
 B2 (Bleeding) : TD 130/80 mmHg, HR 76x/mnt ,akral hangat, CRT <2
detik, Suara jantung I-II reguler
 B3 (Brain) : GCS E4-V5-M6, pupil isokor,defisit neurologis (-)
 B4 (Bladder) : tidak terpasang kateter
 B5 (Bowel) : abdomen supel, tymphani, bising usus(+) n, nyeri tekan (-)
regio epigastrium, tidak teraba massa
 B6 (Bone) : motorik dalam batas normal
 L : (-)
 E : 3-3-2
 M : Mallampati 2
 O : Obstruksi (-)
 N : (-)
 M: Mask seal (-)
 O : Obesitas (-)
 A : 58 th
 N : (-)
 S : (-)

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Foto Thorax PA (29 Januari 2020)

Kesimpulan:

1. Pneumonic type dan Nodular type Pulmonal Metastase


2. Kardiomegali

2. Laboratorium 29 Januari 2020


SATUA
PEMERIKSAAN HASIL N RUJUKAN
HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 11.2 g/dl 12.0-15.6
Hematokrit 32 % 33-45
Leukosit 9.1 ribu/ul 4,5-11
Trombosit 232 ribu/ul 150-450
Eritrosit 3.67 juta/ul 4,1-5,1
PT 12.4 Detik 10.0-15.0
APTT 28.2 Detik 20.0-40.0
INR 0.960
Golongan darah B
Golongan darah Rh positif
KIMIA KLINIK      
SGOT 14 u/l <31
SGPT 12 u/l <34
Kreatinin 0.7 mg/dl 0,6-1,1
Ureum 36 mg/dl <50
ELEKTROLIT
Natrium darah 138 Mmol/L 136-145
Kalium darah 3.5 Mmol/L 3.3-5.1
Chlorida darah 116 Mmol/L 98-106
Calsium darah 1.24 Mmol/L 1.17-1.29
FUNGSI THYROID
TSH 2.36 Uiu/ml 1.17-1.29
Free T4 14.87 Pmol/l 10.30-34.70
SEROLOGI
Non
HbsAg reactive
GULA DARAH
GDS 104 Mg/dl 60-140

3. USG Vaskular (14 Januari 2020)


1. Masa Malignant Thyroid Dextra (TIRAD 4)
2. Struma Thyroid Sinistra
3. Multiple Lymphadenopathy Colli Dextra dan Supraclavicula bilateral

4. Histopatologi Patologi Anatomi (8 Januari 2020)


Tumor colli dextra dengan jenis Papilloma Carcinoma Thyroid)

5. EKG (30 Januari 2020)


Sinus rythme, Heart rate 77 bpm, Normoaxis, ST Elevasi maupun ST
Depresi (-).
D. ASSESMENT
Ca Papiller Thyroid

E. PLAN
1. Informed consent
2. Daftar OK IBS
3. Konsul cardiologi
4. Puasa 6 jam pre op
5. Site marking
6. Cukur pubis
7. Sefazoline 2 gr

F. DIAGNOSIS ANESTESI
Perempuan 58 Tahun dengan Ca Papiller Thyroid Pro Total Thyroidektomi dan
Radical Neck Dissection (RND) dengan General Anestesi Intubasi Oral Status
Fisik ASA II

G. PROBLEM
1. Keganasan
2. Pulmonal Metastase
3. Alergi ikan

I. POTENSIAL PROBLEM
1. Nyeri Post Operasi
2. Perdarahan

J. PELAKSANAAN OPERASI
Operasi dilaksanakan pada tanggal 31 Januari 2020 di OK 7 IBS

Primary Survey
1. Airway : bebas, patensi hidung (+/+), deviasi septum (-/-), buka mulut 3
jari, mallampati 2, gerak leher bebas.
2. Breathing : thoraks bentuk normochest, simetris, pengembangan dada
kanan=kiri, retraksi (-/-), otot bantu nafas (-/-), sonor/sonor, suara dasar
vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-), frekuensi nafas 18x/menit.
3. Circulation : bunyi jantung I-II reguler, bising (-). Tekanan darah 170/90
mmHg, nadi 74x/menit, irama teratur, isi cukup, CRT <2 detik, akral
dingin (-/-).
4. Disability : GCS E4V5M6, pupil isokor dengan diameter 3mm /3mm, reflek
cahaya (+/+).
5. Exposure : suhu 36,50C

Rencana Anestesi
1. Persiapan Operasi
a. Persetujuan operasi tertulis ( + )
b. Puasa > 6 jam
c. Pasang IV line
d. Premedikasi di OK
2. Jenis Anestesi : General anestesi
3. Teknik Anestesi : Semi closed balance anesthesia,
inhalasi, respirasi terkontrol dengan Nasotracheal Tube no.
6,5
4. Premedikasi : Ondansentron 4 mg IV, Dexamethason 4 mg
IV, Fentanyl 100 mg IV
5. Induksi : Propofol 100 mg IV
6. Pelumpuh otot : Atracrium 30 mg IV
7. Maintenance : N2O/O2 = 2L/2L, Sevofluran 1-2 vol%
8. Monitoring : Tanda vital selama operasi tiap 5 menit,
kedalaman anestesi, cairan, perdarahan, dan produksi urin.
9. Perawatan pasca anestesi di ruang pulih sadar.
Tata laksana Anestesi

1. Di ruang persiapan
a. Cek persetujuan operasi dan identitas penderita

a. Pemeriksaan tanda-tanda vital


b. Lama puasa > 6 jam
c. Cek obat dan alat anestesi
d. Posisi terlentang
e. Pakaian pasien diganti pakaian operasi
f. Infus NaCl 20 tpm
1. Di ruang operasi
a. Jam 08.00 pasien masuk kamar operasi, manset dan monitor
dipasang, premedikasi injeksi Ondansentron 4 mg IV,
Deksametason 4mg IV, Fentanyl 100 mg IV.
b. Jam 08.05 dilakukan induksi dengan propofol 100 mg, segera
kepala diekstensikan, face mask didekatkan pada hidung
dengan O2 6 l/menit. Setelah reflek bulu mata menghilang,
Atracrium 30 mg dimasukkan IV, tampak fasikulasi otot.
Sesudah tenang dilakukan intubasi dengan nasl endotrakheal
tube no. 6,5 dan Guedel, balon ET dikembangkan. Injeksi
Dexametason 5 mg. Setelah terpasang baik dihubungkan
dengan mesin anestesi untuk mengalirkan N2O:O2 = 2 L:2 L
permenit.
c. Jam 08.25 dialirkan agent anestesi berupa sevoflurane 1-2 vol
%, injeksi Ondansentron 4 mg.
d. Jam 08.30 operasi dimulai dan tanda vital dimonitor tiap 5
menit.Infus NaCl 500cc, dilanjutkan RL 0,9% 500cc.
e. Jam 10.00 Injeksi asam tranexamat 1 g dan infus RL 500 cc.
f. Jam 10.30 operasi selesai penderita dipindah ke ruang
recovery.

Perhitungan cairan (BB = 44 kg) durante operasi adalah :


1. EBV (Estimated Blood Volume) pasien = 65 cc/kg x 44 kg = 2860 cc
2. ABL (Allowed Blood Loss) pasien = (Hct Awal – Hct
Target)x3xEBV/100 = (32-30)x3x2860/100 = 171,6 cc
3. Kebutuhan cairan selama operasi (B = 44 kg) :
a. Maintenance = 2cc/kgBB/jam = 88cc/jam
Lama operasi 2 jam  kebutuhan cairan selama operasi 176 cc
b. Stress operasi = 6 cc/kgBB/jam x 44 = 264 cc/jam
c. Pengganti puasa = 88 cc/jam x 6 jam = 528 cc
d. Kebutuhan cairan pasien/ jam = kebutuhan cairan Maintenance +
Stress Operasi = 88 cc + 264 cc = 352 cc
Perhitungan maintenance anestesi durante operasi adalah :
O2 : N2O = 2:2 lpm
Sevoflurane 1,2 vol%
Analgetik fentanyl intermitten 30 mcg
Atracurium bolus intermitten dengan dosis 0.1 mg/kgbb = 4,4 mg

Lama operasi : 2 jam


Total pemberian cairan : kristaloid 1000 cc
Total keluaran cairan : perdarahan 100 cc
Kondisi postoperatif di ruang pemulihan:
Tekanan darah : 145/86 mmHg
Nadi : 63x/menit, reguler, adekuat
Pernafasan : 18x/menit, Saturasi 100% (O2 3lpm)
Aldrette score = 10
Aldrete score ≥ 8, tanpa nilai 0, kemudian pasien dipindah ke ruang
perawatan.

VIII. Instruksi Pasca Anestesi dan Sedasi


a. Pemantauan : Tensi, Nadi, RR, SiO2
b. Posisi : Supine
c. Analgesia : Paracetamol + Fentanyl
d. Infus : Ringer Laktat
e. Obat-obatan lain : Tidak ada
f. Makan / Minum : Post operasi jika tidak mual boleh minum
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. KELENJAR TIROID
1. Anatomi
Kelenjar tiroid terletak di leher, yaitu antara fasia koli media
danfasia prevertebralis. Di dalam ruang yang sama terdapat trakea,
esofagus, pembuluh darah besar dan saraf. Kelenjar tiroid melekat pada
trakea dan fascia pretrakealis dan melingkari trakea dua pertiga bahkan
sampai tiga perempat lingkaran. Keempat kelenjar paratiroid umumnya
terletak pada permukaan belakang kelenjar tiroid, tetapi letak dan
jumlah kelenjar ini dapat bervariasi. Arteri karotis komunis, vena
jugularis interna dan nervus vagus terletak bersama dalam suatu sarung
tertutup di laterodorsal tiroid. Nervus rekurens terletak di dorsal tiroid
sebelum masuk laring. Nervus frenikus dan trunkus simpatikus tidak
masuk ke dalam ruang antara fasia media dan prevertebralis (De Jong &
Sjamsuhidajat, 2005).
Gambar 1. Anatomi kelenjar tiroid (De Jong & Sjamsuhidajat,
2005)
Vaskularisasi kelenjar tiroid berasal dari empat sumber antara
lainarteri karotis superior kanan dan kiri, cabang arteri karotis eksterna
kanan dan kiri dan kedua arteri tiroidea inferior kanan dan kiri, cabang
arteri brakhialis. Kadang kala dijumpai arteri tiroidea ima, cabang dari
trunkus brakiosefalika. Sistem vena terdiri atas vena tiroidea superior
yang berjalan bersama arteri, vena tiroidea media di sebelah lateral dan
vena tiroidea inferior. Terdapat dua macam saraf yang mensarafi laring
dengan pita suara (plica vocalis) yaitu nervus rekurens dan cabang dari
nervus laringeus superior(De Jong & Sjamsuhidajat, 2005).

Gambar 2. Vaskularisasi kelenjar tiroid (Ellis, 2006)

2. Fisiologi
Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama yaitu
tiroksin (T4)yang kemudian berubah menjadi bentuk aktifnya
yaitu triyodotironin (T3). Iodium nonorganik yang diserap dari
saluran cerna merupakan bahan baku hormon tiroid. Zat ini
dipekatkan kadarnya menjadi 30-40 kali sehingga mempunyai
afinitas yang sangat tinggi di dalam jaringan tiroid. T3dan T4
yang dihasilkan ini kemudian akan disimpan dalam bentuk koloid
di dalam tiroid. Sebagian besar T4 kemudian akan dilepaskan ke
sirkulasi sedangkan sisanya tetap di dalam kelenjar yang
kemudian mengalami daur ulang. Di sirkulasi, hormon tiroid akan
terikat oleh protein yaitu globulin pengikat tiroid Thyroid Binding
Globulin(TBG) atau prealbumin pengikat albumin Thyroxine
Binding Prealbumine (TBPA). Hormon stimulator tiroid Thyroid
Stimulating Hormone (TSH) memegang peranan terpenting untuk
mengatur sekresi dari kelenjar tiroid. TSH dihasilkan oleh lobus
anterior kelenjar hipofisis. Proses yang dikenal sebagai umpan
balik negatif sangat penting dalam proses pengeluaran hormon
tiroid ke sirkulasi. Pada pemeriksaan akan terlihat adanya sel
parafolikular yang menghasilkan kalsitonin yang berfungsi untuk
mengatur metabolisme kalsium, yaitu menurunkan kadar kalsium
serum terhadap tulang (De Jong &Sjamsuhidajat, 2005).
Sekresi hormon tiroid dikendalikan oleh kadar hormon
perangsang tiroid yaitu Thyroid Stimulating Hormone (TSH)
yang dihasilkan oleh lobus anterior hipofisis. Kelenjar ini secara
langsung dipengaruhi dan diatur aktifitasnya oleh kadar hormon
tiroid dalam sirkulasi yang bertindak sebagai umpan balik negatif
terhadap lobus anterior hipofisis dan terhadap sekresi hormon
pelepas tirotropin yaitu Thyrotropin Releasing Hormone (TRH)
dari hipotalamus (Guyton&Hall, 2006).
Efek T3 dan T4 dalam mempengaruhi tubuh :
1. Efek laju metabolisme
Hormon tiroid meningkatkan laju metabolisme basal tubuh
secarakeseluruhan. Hormon ini adalah regulator terpenting
bagi tingkatkonsumsi O2dan pengeluaran energi tubuh pada
keadaan istirahat
2. Efek kalorigenik
Peningkatan laju metabolisme menyebabkan peningkatan
produksipanas.
3. Efek pada metabolisme perantara
Hormon tiroid memodulasi kecepatan banyak reaksi spesifik
yang terlibat dalam metabolisme bahan bakar. Efek hormon
tiroid pada bahan bakar metabolik bersifat multifaset, hormon
ini tidak saja mempengaruhi sintesis dan penguraian
karbohidrat, lemak dan protein, tetapi banyak sedikitnya
jumlah hormon juga dapat menginduksi efek yang
bertentangan.
4. Efek simpatomimetik
Hormon tiroid meningkatkan ketanggapan sel sasaran
terhadap katekolamin (epinefrin dan norepinefrin), zat
perantara kimiawi yang digunakan oleh sistem saraf simpatis
dan hormon dari medula adrenal.
5. Efek pada sistem kardiovaskuler
Hormon tiroid meningkatkan kecepatan denyut dan
kekuatankontraksi jantung sehingga curah jantung
meningkat.
6. Efek pada pertumbuhan
Hormon tiroid tidak saja merangsang sekresi hormon
pertumbuhan, tetapi juga mendorong efek hormon
pertumbuhan (somatomedin) pada sintesis protein struktural
baru dan pertumbuhanrangka.
7. Efek pada sistem saraf
Hormon tiroid berperan penting dalam perkembangan normal
sistem saraf terutama Sistem Saraf Pusat (SSP). Hormon
tiroid jugasangat penting untuk aktivitas normal SSP pada
orang dewasa.

3. Histologi
Kelenjar tiroid terdiri atas dua lobus yang dihubungkan
oleh isthmus.Jaringan tiroid terdiri atas folikel yang berisi koloid.
Kelenjar dibungkus oleh simpai jaringan ikat longgar yang
menjulurkan septa ke dalamparenkim (Jonqueira, 2007)

Gambar 3. Gambaran Histologi dari Kelenjar Tiroid

Koloid terdiri atas tiroglobulin yaitu suatu glikoprotein


yangmengandung suatu asam amino teriodinisasi. Hormon
kelenjar tiroiddisimpan dalam folikel sebagai koloid. Selain sel
folikel, sel-selparafolikel yang lebih besar juga terdapat di
kelenjar tiroid. Sel-sel initerdapat di dalam epitel folikel atau
diantara folikel. Adanya banyak pembuluh darah di sekitar
folikel, memudahkan mencurahkan hormon kedalam aliran darah
(Jonqueira, 2007).

4. Karsinoma Tiroid
a. Definisi
Karsinoma tiroid merupakah tumor ganas yang terjadi
pada tiroid, yaitu organ endokrin terbesar pada manusia.
b. Epidemiologi
Kanker tiroid adalah keganasan yang terjadi pada
kelenjar tiroid dan termasuk urutan kesembilan dari angka
kejadian kanker di Indonesia, tetapi diantara kelenjar
endokrin, kanker tiroid termasuk jenis keganasan paling
sering ditemukan. Kelenjar tiroid merupakan organ tubuh
yang relatif jarang mengalami keganasan (Pasaribu, 2009).
Karsinoma tiroid jarang terjadi, dilaporkan hanya 1,5% dari
keganasan seluruh tubuh. Biasanya menunjukkan keganasan
sistem endokrin. Kebanyakan karsinoma tiroid merupakan
lesi well differentiated. Subtipe mayor karsinoma tiroid yang
sering ditemukan yaitu :
 Karsinoma papiler (75%-85% kasus)
 Karsinoma folikular (10%-29% kasus)
 Karsinoma meduler (5% kasus)
 Karsinoma anaplastik (<5% kasus)

c. Faktor Risiko
Faktor risiko yang berperan khususnya pada kanker
tiroid berdiferensiasi baik (well differentiated) tipe papiler
dan folikuler adalah radiasi dan goiter endemis sedangkan
untuk jenis medular adalah faktor genetik. Kondisi geografi
endemis dengan aktivasi TSH berlebihan berhubungan
dengan FTC sedangkan geografis nonendemis dengan tingkat
yodium tinggi berkaitan dengan tipe papiler. Belum
diketahui suatu karsinogen berperan pada kanker tiroid tipe
anaplastik dan medular. Diperkirakan kanker tiroid anaplastik
berasal dari perubahan kanker tiroid berdiferensiasi baik
(papilar dan folikuler) dengan kemungkinan jenis folikuler 2
kali lebih besar sedangkan limfoma pada tiroid diperkirakan
karena perubahan degenerasi ganas dari tiroiditis Hashimoto.
Faktor paparan radiasi diperkirakan memiliki andil 9% dalam
mekanisme onkogenesis kanker tiroid. Paparan radiasi
dengan dosis radiasi diatas 20 Gy secara signifikan
berhubungan dengan terjadinya PTC tipe sporadik. Jenis
radiasi dan lama paparan berkaitan dengan perubahan
genetik dan berhubungan dengan tingkat agresifitas
keganasan (Thomas et al., 2012; Pasaribu, 2009; Gimm et al.,
2001).
Pengaruh usia dan jenis kelamin, risiko pada usia
dibawah 20 tahun dan diatas 50 tahun, dimana jenis kelamin
laki-laki memiliki risiko keganasan lebih tinggi daripada
perempuan. Pengaruh radiasi di daerah leher dan kepala pada
masa lampau, riwayat gangguan mekanik di daerah leher,
riwayat penyakit serupa dalam keluarga menjadi risiko
terjadinya kanker tiroid (Figge, 2006)

d. Klasifikasi
1) Kanker Tiroid Diferensiasi Baik
a) Kanker Tiroid Tipe Papiler
Kanker tiroid tipe papiler adalah jenis
keganasan tiroid yang paling sering ditemukan yaitu
75%-85%, timbul pada akhir masa kanak-kanak atau
awal kehidupan dewasa dan berkaitan dengan riwayat
terpapar radiasi. Tumor ini tumbuh lambat,
penyebaran melalui kelenjar getah bening dan
mempunyai prognosis lebih baik diantara jenis kanker
tiroid lainnya. Sifat biologi dari kanker papiler ini
yakni tumor primer kecil bahkan mungkin tidak
teraba tetapi metastasis ke kelenjar getah bening
dengan massa tumor lebih besar atau terlihat
(Wartofsky, 2006; Sharma, 2011).
Kanker tiroid tipe papiler dipengaruhi oleh
faktor lingkungan (iodine), genetik dan hormonal
serta interaksi diantara ketiga faktor tersebut
sedangkan pada kanker tiroid tipe folikuler, radiasi
merupakan faktor penyebab terjadinya tipe ini
(Wartofsky, 2006).
Kanker tiroid tipe papiler berbentuk soliter
atau lesi mutifokal pada tiroid. Pada beberapa kasus
berbatas tegas dan bahkan berkapsul. Lesi ini
mengandung area fibrosis dan kalsifikasi dan sering
berbentuk kistik. Pada potongan permukaan tampak
granular dan kadang-kadang mengandung fokus-
fokus papiler yang nyata dan dapat dilihat.
Informasi yang penting untuk diagnosis
adalah nodul atau massa multipel yang tumbuh
perlahan menjadi malignan dibandingkan dengan
pembesaran nodul soliter berkembang dengan cepat.
Ukuran tumor bertambah dengan tiba-tiba dapat
diduga sebagai perdarahan. Biasanya nodul tiroid
tidak disertai rasa nyeri, apabila ditemukan nyeri
diagnosis banding harus dipertimbangkan adalah
tiroiditis akut, kista dengan perdarahan akut (acute
haemorrhage), tiroiditis subakut atau De Quervain,
infark tumor sel Hűrtle (jarang) dan tiroiditis
Hashimoto (Wartofsky, 2006).
Tumor dapat tumbuh secara langsung melalui
kapsul tiroid untuk menginvasi struktur di sekitarnya.
Pertumbuhan ke trakea dapat terjadi, memproduksi
hemoptisis. Keterlibatan yang luas dapat
menyebabkan obstruksi jalan napas. N. laringeus
rekuren bisa terlibat karena berdekatan dalam alur
trakeoesofageal. Pasien datang dengan serak, suara
desah dan kadang-kadang disfagia (Sharma, 2011).
Gambaran lain yang umum dari karsinoma
papiler adalah kecenderungan untuk bermetastase ke
kelenjar getah bening. Temuan ini memiliki implikasi
penting pada algoritma pengobatan untuk pasien
(Sharma, 2011).
Bentuk yang paling umum dari kanker tiroid
berdifferensiasi baik (papiler dan folikuler) memiliki
tingkat kelangsungan hidup jangka panjang yang
sangat tinggi (lebih dari 90%), terutama ketika
didiagnosis lebih awal.
b) Kanker Tiroid Tipe Folikuler
Karsinoma folikuler meliputi sekitar 10-20%
keganasan tiroid dan biasa ditemukan pada usia
dewasa pertengahan atau diatas 40 tahun. Angka
kejadian kanker tiroid folikuler meningkat di daerah
dengan defisiensi yodium. Diagnosis tumor ini secara
sitologi sulit dibedakan dengan adenoma folikuler,
diagnosis pasti dengan pemeriksaan frozen section
pada selama operasi atau dengan pemeriksaan
histopatologi untuk melihat adanya invasi ke kapsul
atau pembuluh darah.
Paparan sinar radiasi merupakan salah satu
faktor penyebab terjadinya kanker tiroid tipe ini.
Stimulasi TSH jangka panjang merupakan salah satu
faktor etiologi kanker tiroid. Pemberian diet tanpa
garam yodium pada binatang percobaan, pemberian
zat radioaktif atau sub total tiroidektomi berakibat
stimulasi TSH meningkat dan dalam jangka waktu
yang lama dapat terjadi karsinoma tiroid (Wartofsky,
2006; Simoes et al.,2011).
Kanker tiroid folikuler berkembang dan
tumbuh dengan lambat,
kadang-kadang hingga puluhan tahun dan
sering berasal dari adenoma jinak. Gejala klinis dari
kanker tiroid tipe folikuler yaitu pembesaran kelenjar
tiroid berupa nodul padat, suara parau karena
perluasan tumor pada jaringan atau tekanan terhadap
nervus laringeus rekuren, sakit menelan atau disfagia
karena tumor meluas ke esofagus, berat badan
menurun dan fraktur patologis (Wartofsky, 2006).
Tumor dapat tumbuh secara langsung melalui
kapsul tiroid untuk menginvasi struktur di sekitarnya.
Pertumbuhan ke trakea dapat terjadi, memproduksi
hemoptisis dan keterlibatan yang luas dapat
menyebabkan obstruksi jalan napas. Nervus
Laringeus rekuren bisa terlibat karena kedekatan
mereka dalam alur trakeoesofageal. Pasien datang
dengan serak, suara desah dan kadang-kadang
disfagia (Sharma, 2011).
Berbeda dengan penyebaran kanker tiroid
papiler, metastase dari kanker tiroid folikuler ke
kelenjar limfonodi servikalis jarang terjadi. Pada
kanker tiroid folikuler terjadi peningkatan secara
signifikan dalam bermetastase jauh (sekitar 20%).
Paru-paru dan tulang adalah tempat yang paling
umum (Sharma, 2011).
Bentuk yang paling umum dari kanker tiroid
dibedakan menjadi papiler dan folikuler memiliki
tingkat yang sangat tinggi mengalami kelangsungan
hidup jangka panjang (lebih dari 90 %), terutama
ketika didiagnosis lebih awal.
c) Adenoma sel Hürthle
Adenoma Sel Hürthle adalah tumor
heterogen yang dapat muncul dengan berbagai aspek
klinis. Neoplasma ini berasal dari sel folikel dan
terdiri dari sel oncocytic, juga disebut oncocytes.
Secara mikroskopis oncocytes ditandai dengan
sitoplasma granular berlimpah. Studi ultrastruktural
telah menunjukkan bahwa granular yang berlimpah
ini disebabkan karena banyaknya mitokondria dalam
intrasitoplasmik sel. Sel adenoma Hürthle unilateral
dapat diobati dengan lobektomi/isthmusectomy
(Wartofsky, 2006; Pasaribu, 2009).
Pasien dengan karsinoma sel Hürthle harus
dimonitor kmungkinan berulang dan metastasis.
Tumor ini tidak mengambil yodium dan tidak sensitif
terhadap TSH, penekanan tiroid dan terapi radioiodine
memiliki nilai yang sedikit. Terapi radiasi eksternal-
beam dapat digunakan untuk mengobati penyakit
metastasis. Pembedahan adalah pengobatan utama
(Sharma, 2011).

e. Diagnosis
Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang yang baik dapat membantu menegakkan kasus
kanker tiroid secara benar. Pada anamnesis faktor umur dapat
menjadi salah satu penilaian yang spesifik dalam
mengerucutkan kasus tumor tiroid. Pada usia kurang dari 20
tahun, sekitar 20-50% pasien dengan kanker tiroid
menunjukkan nodul tiroid yang solid. Selain itu dapat
ditanyakan riwayat radiasi pada daerah leher, riwayat kanker
pada keluarga, dan penyakit tiroid sebelumnya.

Pemeriksaan laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium terhadap fungsi
tiroid kebanyakan pasien dengan nodul tiroid biasanya
menunjukkan angka normal. Kondisi hipotiroid maupun
hipertiroid lebih mengarah kepada gangguan fungsional dari
tiroid, seperti pada nodul toksik tiroid atau tiroiditis
Hashimoto, dibandingkan kearah suatu kanker. Langkah
pertama yang dianjurkan adalah menentukan status fungsi
tiroid dengan memeriksa TSH. Pada kanker tiroid umumnya
fungsi tiroid normal atau meningkat
Dapat dilakukan juga pemeriksaan tiroglobulin,
suatu glikoprotein yang diproduksi oleh sel normal tiroid atau
kanker tiroid berdiferensiasi baik, tetapi pemeriksaan
tiroglobulin tidak direkomendasikan pada awal tatalaksana
karena tidak bisa memberikan gambaran suatu tumor ganas
atau jinak, kecuali pada kasus kadar tiroglobulin yang terlalu
tinggi seperti pada kasus kanker tiroid yang sudah
bermetastasis. Pemeriksaan tiroglobulin direkomendasikan
untuk evaluasi pasca tindakan tiroidektomi total dengan
adjuvan RAI, dalam kondisi ini diharapkan sisa tumor dan
tiroid normal sudah tidak ada, sehingga pada pemeriksaan
tiroglobulin yang hasilnya positif atau meningkat
menunjukkan suatu pertumbuhan baru.

Pemeriksaan pencitraan
Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk mencari
metastasis. Dilakukan foto paru anteroposterior, foto polos
jaringan lunak leher antero-posterior dan lateral dengan posisi
leher hiperekstensi bila tumornya besar, esofagogram bila
secara klinis terdapat tanda-tanda adanya infiltrasi ke
esofagus, dan bone scan bila ada tanda-tanda metastasis ke
tulang.

Pemeriksaan ultrasonografi
Kanker tiroid berdiferensiasi baik, khususnya tipe
papiler, memiliki angka penyebaran regional ke KGB leher
sebesar 20-50% walaupun ukuran primer tumor kecil dan
intraitiroid. Frekuensi mikro-metastasis kurang dari <2 mm
sebesar 9-%, sehingga diperlukan pemeriksaan USG untuk
menilai tumor primer dan penyebaran KGB yang bersifat
kecil.
Di samping itu USG dapat dipakai untuk
membedakan nodul yang padat dan kistik, serta dapat
dimanfaatkan untuk panduan dalam tindakan biopsi aspirasi
jarum halus (BAJAH). Evaluasi USG untuk tiroid dapat
dibagi menjadi nodul kecurigaan tinggi, kecurigaan sedang,
kecurigaan rendah, kecurigaan sangat rendah, dan jinak.

Pemeriksaaan tomografi komputer, magnetic resonance


imaging, dan positron emisssion tomography
Pemeriksaan USG tidak selalu dapat memberikan
gambaran yang adekuat pada struktur leher dalam terutama
pada pasien dengan gambaran klinis leher besar akibat
penyebaran multipel KBG leher, terutama untuk evaluasi
daerah mediastinum, infraklavikula, retrofaring, dan
parafaring. Tomografi computer (TK) direkomendasikan
karena lebih sensitif untuk evaluasi KGB pada level sentral
dan lateral dibandingkan dengan USG (77% dibandingkan
62%). Selain itu TK dapat digunakan untuk evalusi infiltrasi
tumor ke daerah sekitar seperti infiltrasi ke trakea, laring, dan
esofagus.
Sensitivitas MRI dan PET-scan relatif lebih rendah
sekitar 30%-40% dibandingkan TK untuk menilai KGB
servikal. Positron Emission Tomography (PET) dapat
mendeteksi KGB dengan inflamasi, sehingga menurunkan
spesifisitas pemeriksaan ini. Sementara MRI dipengaruhi
artefak dari traktus respiratorius, dan lebih sulit untuk
mengevaluasi nodul dengan volume kecil. Tetapi
pemeriksaan PET-scan dapat sekaligus mendeteksi metastasis
jauh dari tumor tiroid, walaupun pemeriksaan ini tidak
direkomendasikan untuk dilakukan secara rutin.

Pemeriksaan skintigrafi
Pemeriksaan sidik tiroid dapat dilakukan jika
terdapat fasilitas kedokteran nuklir. Dasar pemeriksaan ini
adalah uptake dan distribusi yodium radioaktif dalam kelenjar
tiroid. Yang dapat dilihat dari pemeriksaan ini adalah besar,
bentuk, dan letak kelenjar tiroid serta distribusi dalam
kelenjar. Juga dapat diukur uptake yodium dalam waktu 3,
12, 24, dan 48 jam. Bila nodul menangkap yodium lebih
sedikit dari jaringan tiroid
normal disebut nodul dingin, bila sama afinitasnya
disebut nodul hangat dan bila lebih tinggi disebut nodul
panas. Sebagian besar kanker tiroid adalah nodul dingin.
Sekitar 10-17% struma dengan nodul dingin dapat
menunjukkan suatu kanker. Bila dilakukan pemeriksaan sidik
tiroid, obat-obatan yang mengganggu penangkapan yodium
oleh tiroid harus dihentikan selama 2-4 minggu sebelumnya.
Pemeriksaan sidik tiroid seluruh tubuh dapat membantu
mengetahui apakah telah terjadi metastasis, dimana pada
organ/jaringan yang menangkap yodium lebih banyak,
dicurigai telah terjadi metastasis. Kelemahan pada
penggunaan sidik tiroid adalah hasilnya kurang dapat
dipercaya pada nodul kurang dari 2 cm.

Pemeriksaan biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH)


Merupakan tindakan yang mudah dan aman, hanya
saja harus diperiksa oleh seorang ahli sitologi yang
berpengalaman. Ketepatan pemeriksaan sitologi untuk tipe
anaplastik, medular, dan papiler hampir mendekati 100%
tetapi untuk tipe folikular kurang dapat dipakai karena
gambaran sitologi goiter edematosa, folikular edematosa, dan
adenokarsinoma folikular adalah serupa, tergantung
gambaran invasi ke kapsul dan vaskuler yang hanya dapat
dilihat dari pemeriksaan histopatologi. Diagnosis sitologi
sangat membantu pada kanker papiler dengan spesimen yang
adekuat, tetapi hasil pemeriksaan sitologi tidak dapat
membedakan antara adenoma folikular dengan karsinoma
folikular.

f. Terapi
Terdapat beberapa terapi untuk seluruh pasien
dengan kanker tiroid. Empat jenis modalitas terapi pada
umumnya digunakan yaitu:
1) Terapi Pembedahan
Pembedahan adalah pengobatan pilihan dari
kanker tiroid papiler dan folikuler. Sampai saat ini
tingkatan operasi dalam hal kelenjar tiroid dan kelenjar
getah bening masih bervariasi dari pengobatan
konservatif hingga pendekatan secara radikal. Hasil
histologi kanker dan penyebaran secara lokal maupun
regional menentukan jenis pembedahan utama kanker
tiroid papiler dan folikuler (Paschke et al., 2015).
Pembedahan pada kanker tiroid sampai saat ini
masih diperdebatkan antara penganut yang radikal dan
lebih konservatif dengan berbagai argumentasi. Pada
golongan konservatif mengacu kepada beberapa faktor
prognostik terutama pada kanker tiroid berdeferensiasi
baik, tindakan radikal dilakukan pada penderita dengan
risiko tinggi, tindakan operasi dapat berupa
isthmolobektomi, tiroidektomi mendekati total atau
tiroidektomi total (Thomas et al., 2012; Gimm et al.,
2001; Pasaribu, 2006).
Pada kanker tiroid papiler, tiroidektomi total
dianjurkan oleh beberapa ahli bedah sebagai pengobatan
pilihan, dengan alasan:
1. Kanker tiroid papiler sering multifokal (> 25 %).
2. Lesi kecil dapat tumbuh secara agresif dengan
potensi dedifferentiation.
3. Rekurensi lokal meningkat bila dilakukan
tiroidektomi mendekati total.
2. Seorang ahli bedah yang berpengalaman dapat
melakukan tiroidektomi total
3. dengan komplikasi minimal atau tidak ada.
Tiroidektomi dengan sisa
4. kelenjar tiroid berhubungan dengan morbiditas yang
lebih tinggi.
5. Pengukuran thyroglobulin dapat dilakukan selama
masa follow up.
6. Radioterapi dapat dilakukan untuk tujuan diagnostik
dan terapi metastasis. Ablasi sisa-sisa tiroid dengan
radioiodine dapat menyebabkan rasa nyeri (Gimm et
al., 2001).

Tiroidektomi mendekati total dapat dilakukan dengan alasan berikut:


1. Sistem skoring memungkinkan untuk mengidentifikasi pasien low
risk yang memiliki survival rate 20 tahun sebesar 99 % dan disease
free 20 tahun yaitu >90%.
2. Risiko rendah (<1%) terjadinya konversi diferensiasi kanker tiroid
menjadi kanker tiroid undifferentiated (anaplastik).
3. Tidak ada perbedaan survival rate jika dibandingkan dengan
tiroidektomi total.
4. Kekambuhan lokal dapat dikelola dengan operasi ulang.
5. Pertumbuhan kanker tiroid rekuren pada lobus tiroid sisa jarang
dilaporkan dari hasil pemeriksaan mikroskopik.
6. Penurunan morbiditas setelah lobektomi atau tiroidektomi subtotal
dibandingkan dengan tiroidektomi total.
7. Jika perlu ablasi sisa tiroid dengan radioiodin dapat dicapai tanpa
morbiditas (Gimm et al.,2001). Pada kanker tiroid folikuler,
tiroidektomi total merupakan pengobatan pilihan yang sudah
diterima. Terjadinya metastasis secara hematogen lebih umum
terjadi dan tidak dapat diobati secara baik dengan terapi radioiodin
jika masih ada sisa tiroid. Metastasis kelenjar getah bening
tampaknya jarang terjadi dibandingkan dengan kanker tiroid papiler
(Gimm et al., 2001).

2) Terapi Hormon
Terapi hormon menggunakan hormon-hormon untuk menghentikan
pertumbuhan sel kanker. Dalam melakukan terapi kanker tiroid, hormon
dapat digunakan untuk menghentikan tubuh membuat hormon yang dapat
meningkatkan pertumbuhan kanker. Hormon biasanya diberikan dalam
bentuk pil (Wartofsky, 2006).
Pada beberapa literatur dikatakan bahwa semua pasien dengan
kanker tiroid harus dilakukan terapi hormon setelah dilakukan
tiroidektomi sebagai koreksi surgically induced hypotiroidism dan untuk
menekan pertumbuhan yang terstimulasi dari kanker tiroid persisten
maupun yang rekuren dengan menurunkan kadar TSH. Hormon TSH
memiliki fungsi utama dalam mengkontrol pertumbuhan dan diferensiasi
dari sel folikuler tiroid normal. Hormon ini disekresi oleh kelenjar tiroid
dan mengandung glikoprotein dari sub unit alpha dan beta. Setelah
berikatan dengan reseptor membran, TSH menstimulasi proliferasi sel
folikuler dan memiliki fungsi diferensiasi, termasuk uptake iodine,
sintesis thyroglobulin, dan produksi hormon tiroid.
Thyrotropin Releasing Hormone (TRH) menstimulasi sekresi
TSH, meningkatkan hormon tiroid (thyroxine, T4) dan menurunkan
sekresi TSH sebagai mekanisme feedback pada level pituitari (Draeger,
2005; Wartofsky, 2006). Prinsip utama terapi hormon tiroid berdasarkan
hasil penelitian yang menunjukkan bahwa proliferasi sel tiroid merupakan
TSH dependent. Selain itu, sekresi TSH dapat dihambat melaui terapi
hormon tiroid pada semua pasien kanker tiroid berdiferensiasi baik. Terapi
hormon tiroid dapat menurunkan sekresi TSH dan memiliki karakteristik
khusus yang mampu mengekspresikan diferensiasi sel folikuler. Sebelum
menggunakan radioiodine, terapi hormon tiroid harus dihentikan terlebih
dahulu (rata-rata selama 4 minggu) dengan tujuan untuk diagnosis dan
terapi kanker tiroid. Uptake radioiodine, sintesis tiroglobulin, dan sekresi
hormon dari sel kanker itu sendiri dapat distimulasi oleh peningkatan
level TSH (Draeger, 2005).
Pilihan terapi hormonal pada kanker tiroid adalah levothyroxine
(LT4). Hormon LT4 adalah hormon utama yang diproduksi oleh kelenjar
tiroid dan dikonversi menjadi bentuk aktif dari hormon tiroid, yaitu
triiodothyronine (T3), terutama di liver. Mekanisme ini juga terjadi setelah
administrasi secara oral dari L-T4. Kadar serum T3 lebih stabil setelah
administrasi dari L-T4 daripada administrasi oral dengan menggunakan
hormon T3 secara langsung. Beberapa sumber menyebutkan bahwa terapi
hormonal dengan T3 tidak diindikasikan (Draeger, 2005).
Terapi hormonal (LT4) ini dilakukan seumur hidup, namun
tergantung pada status klinis pasien. Pada pasien yang sudah sembuh,
terapi hormonal ini lebih ditujukan untuk menjaga kadar hormon tiroid
dalam kadar rendah tetapi masih dalam batas yang dapat dideteksi atau
sebagai subtitusi sedangkan pada pasien dengan penyakit persisten atau
rekuren, serta kanker tiroid dengan metastase jauh berdeferensiasi baik
tujuan pemberian levothyroxine (LT4) adalah untuk menjaga supresi dari
TSH sekaligus sebagai subtitusi dari TSH untuk mencegah hipertiroid
berlebihan, sehingga diperlukan dosis minimal. Efek samping dari
pemberian levothyroxine (LT4) ini minimal, baik efek pada jantung
maupun pada tulang. Meskipun demikian, L-T4 dapat memperburuk
beberapa keadaan (Draeger, 2005; Manuaba, 2010).

3) Kemoterapi
Penelitian terkait kemoterapi pada pasien kanker tiroid baik jenis
well differentiated maupun undifferentiated sangat terbatas. Hal ini
dikarenakan sebagian besar tumor berespon baik pada terapi pembedahan,
terapi radioiodine, atau external radioterapi. Cytotoxic drugs sering
digunakan secara khusus pada pasien dengan tumor yang tidak dapat
direseksi, tidak berespon pada I131, dan sudah diterapi namun tidak
berespon dengan radioterapi external.
Sebagian besar pasien dengan metastasis jauh kehilangan
kemampuan untuk berespon pada I131 dan meninggal dalam 5 tahun.
Kemoterapi pada kanker tiroid berdiferensiasi baik seharusnya hanya dapat
diberikan pada kasus metastasis progresif dan refrakter pada terapi
radioiodin. Hanya pada poorly differentiated dan kanker anaplastik saja
dapat dilakukan kemoterapi diikuti terapi konvensional sebagai modalitas
awal (Biersack et al., 2005).
Modalitas terapi dengan citotoxic drugs dibagi berdasarkan jenis
tumornya. Selain itu obat-obatan yang dipakai juga dibagi menjadi
monoterapi dan terapi kombinasi. Pada monoterapi biasa menggunakan
doxorubicin, bleomycin, atau cisplatin tergantung jenis tumornya.
Sedangkan pada terapi kombinasi dapat diberikan doxorubicin dan
bleomicyn, doxorubicin dan cisplatin, atau terapi kombinasi lainnya
(Wartofsky, 2006).

4) Diseksi Leher
Prinsip operasi pengangkatan tumor secara umum adalah kontrol
lokal diikuti regional atau diseksi leher pada kasus tiroid. American
Thyroid Association merekomendasikan diseksi leher sentral terapeutik
pada pasien dengan keterlibatan KGB leher sentral, diikuti dengan
tiroidektomi total sebagai terapi adekuat. Sedangkan diseksi leher sentral
profilaksis masih menjadi kontroversi untuk dilakukan. Beberapa pendapat
yang mendukung dilakukannya diseksi leher sentral profilaksis karena
pada kasus kanker tiroid didapatkan angka penyebaran ke daerah KGB
leher berkisar 21-82%. Hal ini juga didukung literatur dari Mazzaferri
dkk.16 didapatkan bahwa angka kejadian disease-assosiated mortality jauh
berkurang pada pasien yang dilakukan diseksi leher sentral.
Pendapat yang menentang dilakukan diseksi leher profilaksis,
berdasarkan karena belum banyaknya penelitian yang menunjukkan
manfaat dari diseksi leher sentral profilaksis terhadap prognosis jangka
panjang pasien, selain itu tindakan ini memiliki risiko pasca operasi seperti
hipokalsemia, ikut terangkatnya kelenjar paratiroid, yang meningkatkan
morbiditas pada pasien.
Pengangkatan KGB lateral atau level II, III, IV dapat dilakukan
pada pasien dengan KGB positif melalui pemeriksaan biopsi diikuti
dengan tiroidektomi total RAI ablasi pada risiko sedang dan berat
menggunakan I131dengan dosis maksimal 150 mCi.
Radioterapi dapat diberikan sebagai adjuvan pada kasus kanker
tiroid yang tidak responsif terhadap RAI ablasi dan supresi hormonal,
seperti pada kasus kanker berdiferensiasi buruk, anaplastik, atau medular.
Radioterapi dapat juga diberikan pada kasus metastasis tulang dari kanker
tiroid. Dosis yang dianjurkan pada daerah yang berpotensi diinfiltrasi
tumor atau clinical target volume (CVT) adalah sebesar 54 Gy pada KGB
level II-VII, sementara CVT risiko sedang pada level VI sebesar 60-63 Gy,
serta 66 Gy dengan CVT risiko tinggi disertai batas sayatan positif.
Pemeriksaan tiroglobulin direkomendasikan untuk menilai apakah
terdapat pertumbuhan baru jaringan tiroid pasca operasi. Pada kasus
kanker tiroid risiko rendah jika kadar tiroglobulin tidak terstimulasi kurang
dari 0,2 ng/mL dilakukan kontrol TSH dengan menggunakan levotiroksin
dengan target 0,5–2 mU/L, sementara jika kadar tiroglobulin ≥0,2 ng/ mL,
targer TSH diturunkan menjadi 0,1–0,5 mU/L. Kasus tiroid risiko sedang
kadar TSH harus dikontrol dengan target 0,1–0,5 mU/L, sementara risiko
berat target TSH kurang dari 0,1 mU/L.

5. Anestesi Umum
a. Definisi
Anestesi umum (General Anesthesia) adalah ketidaksadaran
yang dihasilkan oleh medikasi (Torpy, 2011). Anestesi umum adalah
keadaan fisiologis yang berubah ditandai dengan hilangnya kesadaran
reversibel, analgesia dari seluruh tubuh, amnesia, dan beberapa derajat
relaksasi otot (Morgan et al., 2006). Ketidaksadaran tersebut yang
memungkinkan pasien untuk mentolerir prosedur bedah yang akan
menimbulkan rasa sakit tak tertahankan, yang mempotensiasi
eksaserbasi fisiologis yang ekstrim, dan menghasilkan ingatan yang
tidak menyenangkan. Selama anestesi umum, seseorang tersebut tidak
sadar tetapi tidak dalam keadaan tidur yang alami. Seorang pasien
dibius dapat dianggap sebagai berada dalam keadaan terkontrol,
keadaan tidak sadar yang reversibel (Press, 2013).
Anestesi umum tidak terbatas pada penggunaan agenin halasi.
Banyak obat yang diberikan secara oral, intramuskular, dan intravena
yang menambah atau menghasilkan keadaan anestesi dalam rentang
dosisterapi (Morgan et al., 2006). Tetapi saat ini anestesi umum
biasanya menggunakan sediaan intravena dan inhalasi untuk
memungkinkan akses bedah yang memadai ke tempat yang akan
dioperasi. Hal yang perludicatat adalah bahwaanestesi umum mungkin
tidak selalu menjadi pilihan terbaik. Semua itu tergantung pada
presentasi klinis pasien, dan anestesi lokal atau regional mungkin
lebih tepat. (Press, 2013).
Kombinasi agen anestesi yang digunakan untuk anestesi umum
sering meninggalkan pasien dengan klinis berikut (Press, 2013):
1. Tidak dapat dibangkitkan bahkan sekunder terhadap rangsangan
yang menyakitkan.
2. Tidak dapatmengingat apa yang terjadi (amnesia).
3. Tidak mampu mempertahankan perlindungan jalan napas yang
memadai dan/atau ventilasi spontan akibat kelumpuhan otot.
4. Perubahan kardiovaskular sekunder terhadap
efekstimulan/depresanagen anestesi.

Adapun tahapan-tahapananestesi umum, sebagai berikut (Ezekiel,


2008):
1. Tahap 1 (amnesia) dimulai denganinduksianestesi
danberakhirdengan hilangnyakesadaran(hilangnya reflekskelopak
mata). Ambangpersepsi sakitselama tahap initidakditurunkan.
2. Tahap 2 (delirium) ditandai denganeksitasiyang tidak terinhibisi.
Agitasi,delirium, respirasi yang iregulerdanmenahan nafas. Pupil
dilatasi dan matayangdivergensi. Respons terhadap stimuli
berbahayadapat terjadi selama tahap inimungkin termasukmuntah,
spasme laring, hipertensi, takikardia, dan gerakanyang tidak
terkendali.
3. Tahap 3 (anestesi bedah) ditandai dengantatapan terpusat, pupil
konstriksi, dan respirasi teratur. Target kedalamananestesicukup
ketikastimulasiyangmenyakitkantidakmenimbulkanreflekssomatik
ataumengganggu respon otonom.
4. Tahap 4 (kematian yang akan datang / overdosis) adalahditandai
dengantimbulnyaapnea, pupil yang berdilatasi dantidak reaktif,
dan hipotensi.

b. Sifat-sifat Anestesi Umum yang Ideal


Sifat anestesi umum yang ideal adalah:
1) Bekerja cepat, induksi dan pemilihan baik
2) Cepat mencapai anestesi yang dalam
3) Batas keamanan lebar
4) Tidak bersifat toksis
Untuk anestesi yang dalam diperlukan obat yang secara langsung
mencapai kadar yang tinggi di SSP (obat intravena) atau tekanan
parsial yang tinggi di SSP (obat ihalasi). Kecepatan induksi dan
pemulihan bergantung pada kadar dan cepatnya perubahan kadar
obat anastesi dalam SSP (Munaf, 2008).

.
c. Persiapan Pra Anestesi
Salah satu hal yang sangat penting dalam tindakan anestesi
adalah kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani
anestesi dan pembedahan, baik elektif dan darurat mutlak harus
dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Semua pasien yang
masuk di bagian kebidanan kemungkinan akan membutuhkan
anestesi, baik elektif maupun emergensi. Perlu dibuat anamnesis
yang lengkap mengenai umur, paritas, usia kehamilan, dan faktor-
faktor yang mungkin menyebabkan komplikasi.(1) Pada kasus
elektif biasanya dilakukan satu sampai dua hari sebelum operasi
sedangkan pada kasus darurat waktu yang tersedia lebih singkat.
Adapun tujuanp persiapan pra anestesi adalah untuk
mempersiapkan mental dan fisik secara optimal, merencanakan dan
memilih tehnik serta obat – obat anestesi yang sesuai dengan fisik
dan kehendak pasien, menentukan status fisik penderita dengan
klasifikasi ASA (American Society Anesthesiology). (3)

1. Macam-macam teknik anestesi :


No. Teknik Resevoir bag Valve Rebreathing Soda lime

1. Open _ _ _ _

2. Semi open + + _ _

3. Semi closed + + + +

4. Closed + + + +

Keterangan :

Rebreathing ( - ) = CO2 langsung ke udara kamar.

Rebreathing ( + ) = CO 2 langsung ke udara kamar & sebagian dihisap


lagi.

Rebreathing ( + ) = CO2 dihisap lagi.

Pada kasus ini dipakai semi closed anestesi karena mempunyai


beberapa keuntungan :

1). Konsentrasi inspirasi relatif konstan.


2). Konservasi panas dan uap.
3). Menurunkan polusi kamar.
4). Menurunkan resiko ledakan dengan obat yang mudah terbakar.
2. Menentukan status fisik penderita dengan klasifikasi ASA (American
Society Anesthesiology), yaitu :
 ASA 1 : Pasien dalam keadaan sehat, kelainan bedah terlokalisir,
tanpa kelainan faali, biokimia dan psikiatri. Angka
mortalitas mencapai 2 %.
 ASA 2 : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang
karena penyakit bedah maupun proses patofisiolgis.
Angka mortalitas mencapai 16 %.
 ASA 3 : Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat
sehingga aktivitas harian terbatas . Angka mortalitas
mencapai 36 %.
 ASA 4 : Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara
langsung mengancam kehidupannya dan tidak selalu
sembuh dengan operasi. Angka mortalitas mencapai 68
%.
 ASA 5 : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil.Tindakan
operasi hampir tidak ada harapan.Tidak ada harapan hidup dalam 24 jam
walaupun dioperasi atau tidak. Angka mortalitas mencapai 98 %.

d. Premedikasi Anestesi

Tujuan premedikasi bukan hanya untuk mempermudah induksi dan


mengurangi jumlah obat – obatan yang digunakan, tetapi terutama untuk
menenangkan pasien sebagai persiapan anestesi. Premedikasi anestesi adalah
pemberian obat sebelum anestesi dilakukan. Tindakan ini biasanya dilakukan
sebelum pasien dibawa ke ruang operasi. (4)

Tindakan premedikasi ini mempunyai tujuan antara lain untuk


memberikan rasa nyaman bagi pasien, membuat amnesia, memberikan
analgesia, mencegah muntah, memperlancar induksi, mengurangi jumlah obat
– obat anestesi, menekan reflek – reflek yang tidak diinginkan, mengurangi
sekresi kelenjar saluran nafas.

Obat –obat yang sering digunakan sebagai premedikasi adalah :

1. Golongan hipnotik sedatif : Barbiturat, Benzodiazepin, Transquilizer.


2. Analgetik narkotik : Morfin, Petidin, Fentanil.
3. Neuroleptik : Droperidol, Dehidrobenzoperidol.
4. Anti kolinergik : Atropin, Skopolamin.

Obat – obat premedikasi :

Sulfas Atropin

Sulfas atropin termasuk golongan anti kolinergik. Berguna mengurangi


sekresi lendir dan mengurangi efek bronkhial dan kardial yang berasal dari
perangsangan parasimpatis akibat obat anestesi atau tindakan operasi. Pada
dosis klinik (0,4–0,6 mg ) akan menimbulkan bradikardi yang disebabkan
perangsangan nervus Vagus. Pada dosis yang lebih besar (> 2 mg) akan
menghambat nervus Vagus sehingga terjadi takikardi. Efek lainnya yaitu
melemaskan nervus otot polos, mendepresi vagal reflek, menurunkan spasme
gastrointestinal dan mengurangi rasa mual serta muntah.

Obat ini juga dapat menimbulkan rasa kering di mulut serta penglihatan
kabur, maka lebih baik tidak diberikan pra anestesi lokal atau regional. Dalam
dosis toksik dapat menyebabkan gelisah, delirium, halusinasi, dan kebingungan
pada pasien. Tetapi hal ini dapat diatasi dengan pemberian Prostigmin 1 – 2 mg
intra vena.

Sedian : dalam bentuk Sulfat Atropin dalam ampul 0,25 mg dan 0,50 mg.

Dosis : 0,01 mg/kgBB dan 0,1 – 0,4 mg untuk anak – anak.

Pemberian : SC, IM, IV.(7)


Pethidin

Merupakan derivat fenil piperidin yang efek utamanya, depresi nafas


dan efek sentral lain. Efek analgetik timbul lebih cepat setelah pemberian sub
cutan atau intra muskular, tapi masa kerja lebih pendek. Dosis toksik
menimbulkan perangsangan SSP misal tremor, kedutan otot dan konvulsi. Pada
saluran nafas, akan menurunkan tidal volume sedang frekuensi nafas kurang
dipengaruhi sehingga efek depresi nafas tidak disadari. Secara sistemik
menimbulkan anestesi kornea dengan akibat hilangnya refleks kornea. Obat ini
juga meningkatkan kepekaan alat keseimbangan sehingga menimbulkan mual,
muntah dan pusing pada penderita yang berobat jalan. Pada penderita rawat
baring, obat ini tidak mempengaruhi sistem kardiovaskuler, tapi penderita
berobat jalan dapat timbul sinkop orthostotik karena hipotensi akibat
vasodilatasi perifer karena pelepasan histamin.

Absorbsi petidin berlangsung baik pada semua cara pemberian. Pada


pemberian IV kadarnya dalam darah akan turun cepat 1-2 jam pertama. Petidin
dimetabolisme di hati dan dikeluarkan lewat ginjal sekitar 1/3 dosis yang
diberikan. Preparat oral dalam tablet 50 mg, parenteral dalam bentuk ampul 50
mg per cc. Dosis dewasa 50-100 mg disuntikkan SK atau IM. Jika secara IV
efek analgesiknya tercapai dalam waktu 15 menit.

e. Induksi

Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya


stadium pembedahan (III) yang selanjutnya diteruskan dengan tahap
pemeliharaan anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam stadium
anestesi setelah induksi. (4)

Macam-macam stadium anestesi :

Stadium I (analgesia) : - mulai pemberian zat anestesi sampai dengan


hilangnya kesadaran
- mengikuti perintah, rasa sakit hilang.

Stadium II ( Delirium ) : - mulai hilangnya kesadaran sampai dengan


permulaan stadium bedah.

- gerakan tidak menurut kehendak, nafas tidak


teratur, midriasis, takikardi.

Stadium III (Pembedahan) :

1. Tingkat 1 :nafas teratur spontan, miosis, bola mata tidak menurut


kehendak, nafas dada dan perut seimbang.
2. Tingkat 2 :nafas teratur spontan kurang dalam, bola mata tidak
bergerak, pupil mulai melebar, mulai relaksasi otot.
3. Tingkat 3 : nafas perut lebih dari nafas dada, relaksasi otot sempurna.
4. Tingkat 4 :nafas perut sempurna, tekanan darah menurun, midriasis
maksimal, reflek cahaya ( - )
Stadium IV. (Paralisis) : nafas perut melemah, tekanan darah tidak
terukur, denyut nadi berhenti dan
meninggal.

Propofol

Propofol merupakan derivat isoprofilfenol yang digunakan untuk


induksi dan pemeliharaan anestesi umum. Propofol secara kimia tidak ada
hubungannya dengan anestesi IV lain. Pemberian IV ( 2 mg/kg BB )
menginduksi anestesi secara cepat seperti Tiopental. Anestesi dapat
dipertahankan dengan infus Propofol yang berkesinambungan dengan Opiat,
N2 dan atau anestesi inhalasi lain.(4)

Propofol menurunkan tekanan arterial sistemik, dan kembali normal


dengan intubasi trekea. Propofol tidak menimbulkan aritmia, atau iskemik otot
jantung, tidak merusak fungsi hati dan ginjal. (7)
Keuntungan Propofol, bekerja lebih cepat dari Tiopental,
mempunyai induksi yang cepat, masa pulih sadar yang cepat, sehingga berguna
pada pasien rawat jalan yang memerlukan prosedur cepat dan singkat. (7)

Sediaan :ampul atau vial 20 ml ( 200 mg ), tiap ml mengandung 10


mg Propofol. Dosis : 1,5 – 2 mg/kgBB iv (anak). 2 – 2,5 mg/kgBB iv
(dewasa).

f. Pemeliharaan
Maintenance atau pemeliharaan adalah pemberian obat untuk
mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah induksi.
1) Halotan
Efek terhadap Sistem dalam Tubuh :
a) Kardiovaskular
Depresi miokard bergantung pada dosis, penurunan
otomatisitas sistem konduksi, penurunan aliran darah
ginjal dan splanknikus dari curah jantung yang berkurang,
serta pengurangan sensitivitas miokard terhadap aritmia
yang diinduksi katekolamin yang menyebabkan terjadinya
hipotensi untuk menghindari efek hipotensi yang berat
selama anestesi, yang dalam hal ini perlu diberikan
vasokonstriktor langsung, seperti fenileprin (Munaf,
2008).
b) Pernapasan
Depresi respirasi terkait dengan dosis yang dapat
menyebabkan menurunnya volume tidal dan sensitivitas
terhadap pengaturan respirasi yang dipacu oleh CO2.
Pemberian bronkodilator poten sangat baik untuk
mengurangi spasme bronkus (Munaf, 2008).
c) Susunan Saraf Pusat
Hilangnya autoregulasi aliran darah serebral yang
menyebabkan tekanan intrakranial menurun (Munaf,
2008).
d) Ginjal
Menurunnya GFR, dan berkurangnya aliran darah ke
ginjal disebabkan oleh curah jantung yang menurun
(Munaf, 2008).
e) Hati
Aliran darah ke hati menurun (Munaf, 2008).
f) Uterus
Menyebabkan relaksasi otot polos uterus; berguna dalam
manipulasi kasus obstetrik (misalnya penarikan plasenta)
(Munaf, 2008).
Metabolisme
Sebanyak 80% hilang melalui gas yang dihembuskan, 20%
melalui metabolisme di hati. Metabolit berupa bromida dan
asam trifluoroasetat (Munaf, 2008).
Keuntungan dan Kerugian
Potensi anestesi umum kuat, induksi dan penyembuhan baik,
iritasi jalan napas tidak ada, serta bronkodilator yang sangat
baik. Sedangkan kerugiannya adalah depresi miokard dan
pernapasan, sensitisasi miokard terhadap aritmia yang
diinduksi oleh katekolamin, serta aliran darah serebral menurun
yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial
(Munaf, 2008).
Indikasi Klinik
Halotan digunakan secara ekstensif dalam anestesia anak
karena ketidakmampuannya menginduksi inhalasi secara cepat
dan status asmatikus yang refraktur. Obat ini
dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit intrakranial
(Munaf, 2008).
Efek samping/Toksisitas
a. Hepatitis halotan: kejadian 1/30.000 dari pemberian;
pasien yang mempunyai resiko adalah yang mengalami
obesitas, wanita usia muda lebih banyak terjadi dengan
periode waktu yang singkat; ditandai dengan nekrosis
sentrilobuler; uji fungsi hati abnormal dan eosinofilia.
Sindrom ini dapat juga terjadi dengan isofluran dan etran
(Munaf, 2008).
b. Hipertermi maligna: suatu sindrom yang ditandai dengan
peningkatan suhu tubuh secara belebihan, rigiditas otot
rangka, serta dijumpai asidosis metabolik. Secara umum,
hal ini berakibat fatal kecuali jika diobati dengan dantrolen
yang merupakan pelemas otot yang mencegah Ca dari
retikulum sarkoplasmik (Munaf, 2008).

2) Enfluran
Efek terhadap Sistem dalam Tubuh
a. Kardiovaskular
Depresi miokard bergantung pada dosis, vasodilator
arterial, dan sensitisasi ringan miokard terhadap
katekolamin (Munaf, 2008).
b. Respirasi
Depresi pernapasan bergantung pada dosis; hipoksia
ablasia yang disebabkan oleh bronkodilator (Munaf,
2008).
c. Susunan Saraf Pusat
Dapat menimbulkan kejang pada kadar enfluran tinggi
dengan tekanan parsial CO2 (PCO2) menurun
(hipokarbia); vasodilatasi serebral dengan meningkatnya
tekanan intrakranial (Munaf, 2008).
g. Ginjal
Aliran darah ginjal dan GFR menurun (Munaf, 2008).

Metabolisne
Sebanyak 2% enfluran dimetabolisme di hati, metabolit utama,
yaitu fluorida mempunyai potensi untuk menimbulkan
nefrotoksis (sangat jarang digunakan secara klinis) (Munaf,
2008).
Keuntungan dan kerugian
Secara klinis, enfluran merupakan bronkodilator yang baik,
respons kardiovaskular stabil, kecenderungan aritmia jantung
minimal, dan tidak mengiritasi saluran napas. Sedangkan
kerugiannya adalah Enfluran mempunyai potensi aktivitas
kejang. Kontraindikasi pada pasien dengan tekanan
intrakranial yang meningkat disertai dengan gangguan
patologik intrakranial (Munaf, 2008).

3) Isofluran
Efek terhadap Sistem dalam Tubuh
a. Kardiovaskular
Terjadi depresi miokard yang ringan dan bergantung pada
dosis, sedangkan curah jantung biasanya normal disebabkan
sifat vasodilatasinya, sensitisasi miokard minimal terhadap
katekolamin, dapat menyebabkan coronary stealoleh
vasodilatasi normal pada stenosis dengan aliran yang
berlebihan (Munaf, 2008).
b. Respirasi
Depresi respons terhadap CO2 bergantung pada dosis,
hipoksia ventilasi, bronkodilator, iritasi sedang pada jalan
napas (Munaf, 2008).
c. Ginjal
Glomerular Filtration Rate (GFR) dan aliran darah ginjal
rendah disebabkan tekanan arterial menengah yang menurun
(Munaf, 2008).
d. Susunan Saraf Pusat
Efek minimal pada otoregulasi serebral, konsumsi oksigen
metabolik serebral menurun, dan merupakan obat pilihan
untuk bedah saraf (Munaf, 2008).
Metabolisme
Hanya 0,2% yang dimetabolisme di hati, selebihnya
diekskresikan pada waktu ekspirasi dalam bentuk gas (Munaf,
2008).
Keuntungan dan Kerugian
Keadaan kardeiovaskular stabil, tidak bersifat aritmogenik,
tekanan ntrakranial tidak meningkat, bronkodilator. Sedangkan
kerugiannya adalah Iritasi jalan napas sedang (Munaf, 2008).

4) Sevofluran
Sevofluran merupakan fluorokarbon dengan bau yang tidak
begitu menyengat, dan tidak begitu mengiritasi saluran napas,
serta absorpsinya cepat. Indikasi klinik: sebagai anestesi umum
untuk melewati stadium 2 dan untuk pemeliharaan umum
(Munaf, 20
d. Anestesi Intravena
Pada suatu operasi biasanya digunakan anestesi intravena
untuk induksi cepat melewati stadium II, dilanjutkan stadium III,
dan dipertahankan dengan suatu anestesi umum per inhalasi.
Karena anestesi IV ini cepat menginduksi stadium anestesi,
penyuntikan harus dilakukan secara perlahan-lahan (Kee, et al
(1996)).

e. Anestesi Gas
g. Obat Pelumpuh Otot (Muscle Relaxant)
Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular sehingga
menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme kerjanya,
obat ini dibagi menjadi 2 golongan yaitu obat penghambat secara depolarisasi
resisten, misalnya suksinil kolin, dan obat penghambat kompetitif atau non
depolarisasi , misal kurarin. Dalam anestesi umum , obat ini memudahkan
dan mengurangi cedera tindakan laringoskopi dan intubasi trakea, serta
memberi relaksasi otot yang dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi
kendali.
Dua golongan obat pelumpuh otot:
1. Depolarisasi.
- Ada fasikulasi otot
- Berpotensiasi dengan antikolinesterase
- Tidak menunjukkan kelumpuhan bertahap pada
perangsangan tunggal atau tetanik
- Belum dapat diatasi dengan obat spesifik
- Kelumpuhan berkurang dengan penambahan obat
pelumpuh otot non depolarisasi dan asidosis
- Contoh: suksametonium (suksinil kolin)
2. Non depolarisasi
- Tidak ada fasikulasi otot
- Berpotensiasi dengan hipokalemia, hipotermia, obat
anestetik inhalasi, eter, halothane, enfluran, isoflurane
- Menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada
perangsangan tunggal atau tetanik
- Dapat diantagonis oleh antikolinesterase
- Contoh: tracrium (atrakurium besilat), pavulon
(pankuronium bromida), norkuron (pankuronium bromida), esmeron
(rokuronium bromida).

1. Succynil Choline
Merupakan pelumpuh otot depolarisasi dengan mula kerja cepat,
sekitar 1 – 2 menit dan lama kerja singkat sekitar 3 – 5 menit sehingga
obat ini sering digunakan dalam tindakan intubasi trakea. Lama kerja
dapat memanjang jika kadar enzim kolinesterase berkurang, misalnya
pada penyakit hati parenkimal, kakeksia, anemia, dan hipoproteinemia.
(4)

Komplikasi dan efek samping dari obat ini adalah bradikardi,


bradiaritma dan asistole, takikardi dan takiaritmia, peningkatan tekanan
intra okuler, hiperkalemi dan nyeri otot fasikulasi. (3)

Obat ini tersedia dalam flacon berisi bubuk 100 mg dan 50 mg.
Pengenceran dengan garam fisiologis / aquabidest steril 5 atau 25 ml
sehingga membentuk larutan 2% sebagai pelumpuh otot jangka pendek.
Dosis untuk inhalasi 1 – 2 mg / kgBB. (7)

2. Atrakurium besilat (Tracrium)


Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relative
baru dengan struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman
Leontice Leontopeltatum.
Keunggulan atracurium adalah :

- metabolisme terjadi di dalam darah


- tidak mempunyai efek kumulasi pada pemberian berulang
- tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskular yang
bermakna
Kemasan dibuat dalam ampul berisi 5 ml yang mengandung 50
mg atrakurium besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung penyimpanan
pada suhu dingin dan perlindungan terhadap penyinaran. (4)

Dosis intubasi : 0,5 - 0,6 mg / Kg BB / IV

Dosis relaksasi otot : 0,5 – 0,6 mg / Kg BB / IV

Dosis pemeliharaan : 0,1 – 0,2 mg / Kg BB / IV

h. Analgetik
Ketorolac
Ketorolac dapat diberikan secara oral, intramuskuler, atau intravena.
Setelah suntikan intramuscular atau intravena efek analgesinya dicapai dalam
30 menit, maksimal setelah 1-2 jam dengan lama kerja sekitar 4-6 jam dan
penggunaannya dibatasi untuk 5 hari.
Cara kerja ketorolac ialah menghambat sintesis prostaglandin di
perifer tanpa mengganggu reseptor opioid di system saraf pusar. Seperti
NSAID lain tidak dianjurkan digunakan untuk wanita hamil, menghilangkan
nyeri persalinan, wanita sedang menyusui, usia lanjut, anak usia < 4 tahun,
gangguan perdarahan dan bedah tonsilektomi.
Sifat analgetik ketorolac setara dengan opioid, yaitu 30 mg ketorolac
= 12 mg morfin = 100 mg pethidin, sedangkan sifat antipiretik dan
antiinflamasinya rendah. Ketorolac dapat digunakan secara bersamaan
dengan opioid.
Dosis awal 10-30 mg dan dapat diulang setiap 4-6 jam sesuai
kebutuhan. Untuk pasien normal dosis sehari dibatasi maksimal 90 mg dan
untuk berat < 50 kg, manula atau gangguan faal ginjal dibatasi maksimal 60
mg.
Sediaan : dalam ampul 5mg / 5ml
Pemberian : IM atau IV (2)

i. Intubasi Trakea
Merupakan suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam
trakea, sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah di monitor
dan dikendalikan.

Tindakan intubasi trakea ini bertujuan untuk :

1. Mempermudah pemberian anestesi.


2. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas dan demi kelancaran
pernafasan.
3. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
4. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
5. Untuk pemakaian ventilasi yang lama.
6. Mengatasi obstruksi laring akut. (4)

j. Terapi Cairan
Dalam suatu tindakan operasi terapi cairan harus diperhatikan
dengan serius, terapi cairan perioperatif bertujuan untuk :

1. Mencukupi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama


operasi.
2. Replacement dan dapat untuk tindakan emergency pemberian obat.

Pemberian cairan operasi dibagi :


1. Pra operasi
Pada pasien pra operasi dapat terjadi defisit cairan yang
diakibatkan karena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan isi
lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada ileus
obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain – lain. Kebutuhan cairan
untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kgBB / jam. Bila terjadi
dehidrasi ringan maka diperlukan cairan sebanyak 2% BB, dehidrasi
sedang perlu cairan sebanyak 5% BB, dan dehidrasi berat sebesar 7%

BB. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah 10 –


15 %.

2. Selama operasi
Selama tindakan operasi ini dapat terjadi kehilangan cairan
karena proses operasi. Kebutuhan cairan pada dewasa untuk operasi
ringan 4ml/kgBB/jam, sedang 6ml/kgBB/ jam, berat 8 ml/kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari
10% EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3
kali volume darah yang hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 %
maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran
dengan dosis 1 – 2 kali darah yang hilang. Sedangkan apabila terjadi
perdarahan lebih dari 20% akan dipertimbangkan untuk dilakukannya
transfusi.

3. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit
cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari – hari pasien.

k. Pemulihan
Pasca anetesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan
anestesi yang biasanya dilakukan diruang pulih sadar atau recovery room yaitu
ruangan untuk observasi pasien pasa operasi atau anestesi. Ruang pulih sadar
adalah batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih
memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi
atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi
atau pengaruh anestesinya.1

Di ruang pulih sadar dimonitor jalan nafasnya apakah bebas atau tidak,
ventilasinya cukup atau tidak, dan sirkulasinya sudah baik ataukah tidak. Selain
obstruksi jalan nafas karena lidah yang jatuh ke belakang atau karena spasme
laring, pasca bedah dini juga dapat terjadi muntah yang dapat menyebabkan
aspirasi.1
Monitor kesadaran merupakan hal yang penting karena selama pasien
belum sadar dapat terjadi gangguan jalan nafas. Tidak sadar yang
berkepanjangan adalah akibat dari pengaruh sisa obat anestesi, hipotermi, atau
hipoksia, dan hiperkarbi. Hipoksia dan hiperkarbi terjadi pada pasien dengan
gangguan jalan nafas dan ventilasi. Menggigil yang terjadi pasca bedah adalah
akibat efek vasodilatasi obat anestesi. Menggigil akan menambah beban
jantung dan sangat berbahaya pada pasien dangan penyakit jantung.4

Tabel 1. Steward Scoring System


Kriteria Skor
Kesadaran Bangun 2
Respon terhadap stimuli 1
Tak ada respon 0
Jalan nafas Batuk atas perintah 2
Mempertahankan jalan nafas dengan baik 1
Perlu bantuan untuk mempertahankan 0
Gerakan Menggerakkan anggota badan dengan tujuan 2
Gerakan tanpa maksud 1
Tidak bergerak 0

Tabel 2. Robertson Scoring System


Kriteria Skor
Kesadaran Sadar penuh, mata terbuka, berbicara 4
Tertidur ringan, sekali-kali mata terbuka 3
Mata terbuka atas perintah atau respons bila 2
dipanggil namanya
Respon terhadap cubitan telinga 1
Tak ada respon 0
Jalan nafas Membuka mulut dan atau batuk atas perintah 3
Tak ada batuk volunter, jalan nafas bebas 2
tanpa bantuan
Obtruksi jalan nafas bila leher fleksi tetapi 1
tanpa bantuan ekstensi
Tanpa bantuan terjadi obstruksi 0
Aktivitas Mengangkat tangan dengan perintah 2
Gerakan tak berarti 1
Tak bergerak 0
Tabel 3. Aldrette Scoring System
Kriteria Recovery score
in 15 30 45 60 out
Aktivitas Dapat 4 anggota 2 2 2 2 2 2
bergerak gerak
volunter 2 anggota 1 1 1 1 1 1

atau atas gerak


0 anggota 0 0 0 0 0 0
perintah
gerak
Respirasi Mampu benafas dan batuk 2 2 2 2 2 2
secara bebas
Dyspnea, nafas dangkal 1 1 1 1 1 1
atau terbatas
Apnea 0 0 0 0 0 0
Tensi Pre Tensi ± 20 2 2 2 2 2 2
op…mmHg mmHg preop
Sirkulasi Tensi ± 20-50 1 1 1 1 1 1
mmHg preop
Tensi ± 50 0 0 0 0 0 0
mmHg preop
Kesadaran Sadar Penuh 2 2 2 2 2 2
Bangun waktu dipanggil 1 1 1 1 1 1
Tidak ada respon 0 0 0 0 0 0
Warna Normal 2 2 2 2 2 2
Pucat kelabu 1 1 1 1 1 1
kulit
Sianotik 0 0 0 0 0 0

Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari
komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.

l. Keuntungan dan Kerugian


Penyedia anestesi bertanggung jawab untuk menilai semua faktor yang
mempengaruhi kondisi medis pasien dan memilih teknik anestesi yang optimal
sesuai. Atribut anestesi umum meliputi (Press, 2013):
a) Keuntungan
 Mengurangi kesadaran dan ingatan intraoperatif pasien.
 Memungkinkan relaksasi otot yang diperlukan untuk jangka waktu yang
lama.
 Memfasilitasi kontrol penuh terhadap jalan napas, pernapasan, dan
sirkulasi.
 Dapat digunakan dalam kasus-kasus kepekaan terhadap agen anestesi
lokal.
 Dapat diberikan tanpa memindahkan pasien dari posisi terlentang.
 Dapat disesuaikan dengan mudah dengan durasi prosedur yang tak
terduga.
 Dapat diberikan dengan cepat dan bersifat reversibel.
b) Kekurangan
 Membutuhkan peningkatan kompleksitas perawatan dan biaya terkait.
 Membutuhkan beberapa derajat persiapan pasien sebelum operasi.
 Dapat menyebabkan fluktuasi fisiologis yang memerlukan intervensi
aktif.
 Terkait dengan komplikasi yang kurang serius seperti mual atau muntah,
sakit tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan tertunda kembali ke
fungsi mental yang normal.
 Terkait dengan malignant hyperthermia, kejadian langka, dimana kondisi
otot terhadap paparan beberapa agen anestesi umum dapat menghasilkan
peningkatan suhu akut dan berpotensi mematikan, hiperkarbia, asidosis
metabolik, dan hiperkalemia.
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien Ny. S, 58 th, datang ke ruang operasi untuk menjalani operasi Total
Thyroidektomi dan Radical Neck Dissection (RND) pada tanggal 31 Januari 2020
dengan diagnosis Ca Papiller Thyroid. Persiapan operasi dilakukan pada tanggal
30 Januari 2020. Dari anamnesis didapatkan adanya keluhan benjolan pada leher
bagian kanan semenjak 5 tahun yang lalu dan dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang oleh dokter didiagnosis dengan Ca Papiller Thyroid.

Sehari sebelum operasi keluhan sakit kepala (-), mual (-), muntah (-), batuk
(-), pilek (-), BAB/BAK tidak ada keluhan, aktivitas dalam batas normal. Dari
pemeriksaan fisik keadaan umum sedang, compos mentis (E4V5M6). Dari
pemeriksaan tanda vital didapatkan tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 78x/menit,
frekuensi napas 18x/menit, SpO2 98%, suhu 36,6oC. Dari secondary survey,
semua dalam batas normal/ tidak ada kelainan. Pemeriksaan laboratorium pada
tanggal 29 Januari 2020 menunjukkan penurunan Hemoglobin (11.2 g/dl),
hematokrit (32 %), eritrosit (3.67 juta/ul) namun tidak jauh dari batas bawah
normal. Dari hasil USG Vaskular didapatkan massa malignant thyroid dextra,
struma thyroid dextra, dan multiple lymphadenopathy colli dextra dan
supraclavicula dextra. Dari pemeriksaan histopatologi anatomi, didapatkan tumor
colli dextra dengan jenis papilloma carcinoma thyroid. Kemudian, dari hasil foto
thorax PA didapatkan Pneumonic Type dan Nodular Type Pulmonal Metastase
dan kardiomegali.
Thyroidektomi adalah operasi pengangkatan kelenjar tiroid. Prosedur bedah
thyroidektomi adalah sebuah operasi yang melibatkan operasi pemindahan semua
atau sebagian dari kelejar tiroid (kelenjar yang terletak di depan leher bagian
bawah, tepat di atas trakea). Operasi dapat direkomendasikan untuk berbagai
kondisi, seperti kelenjar tiroid yang terlalu aktif dalam menghasilkan
pertumbuhan hormon tiroid (nodul atau kista) yang terkait dengan kanker kelenjar
tiroid, pertumbuhan tumor ganas (kanker) dan tumor jinak (bukan kanker) yang
bisa menyebabkan kelenjar tiroid membesar (gondok beracun) yang akan
membuat kesulitan untuk bernapas atau menelan. Selain tiroidektomi, pasien juga
dilakukan RND karena telah didapatkan Multiple Lymphadenopathy Colli Dextra
dan Supraclavicula bilateral. RND adalah operasi untuk mengangkat nodus limfe
di leher yang menjadi lokasi sasaran kanker.
Anestesi umum dengan intubasi endotrakeal dan relaksasi otot adalah
teknik anestesi yang paling terkenal untuk tiroidektomi. Sebelum dilakukan
tindakan anestesi perlu dilakukan persiapan pra anestesi. Persiapan pra anestesi
adalah langkah awal tindakan anestesi yang dilakukan terhadap pasien yang
direncanakan untuk menjalani tindakan operatif. Riwayat apakah pasien pernah
mendapat anestesia sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada
hal-hal yang perlu mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah,
nyeri otot, gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga dapat dirancang
anestesia berikutnya dengan lebih baik. Anamnesis saat kunjungan pre operasi
bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat alergi terhadap makanan dan
obat-obatan. Riwayat penyakit sekarang dan dahulu juga harus digali begitu juga
riwayat pengobatan, karena adanya potensi terjadi interaksi obat dengan agen
anestesi. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya bisa menunjukkan komplikasi
anestesi bila ada. Pertanyaan tentang review sistem organ juga penting untuk
mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain yang belum terdiagnosa.
Pada pasien ini didapatkan bahwa pasien sudah pernah melakukan
pembedahan terhadap benjolan pada leher sebelumnya, dilakukan anestesi umum
dan tidak didapatkan adanya alergi ataupun penyulit. Namun, pasien didapatkan
alergi terhadap ikan.
Prosedur kunjugan pre operasi sangat penting dilakukan untuk mengurangi
kejadian kecelakaan anestesi. Prosedur kunjungan pre operasi dilakukan dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan melihat hasil pemeriksaan penunjang pada
pasien. Tujuan pre operasi ini adalah untuk menentukan adakah penyulit anestesi
pada pasien dan menentukan jenis anestesi yang akan diberikan pada pasien.
Kunjungan pre operasi pada pasien juga bisa menghindari kejadian salah identitas
dan salah operasi. Evaluasi pre operasi meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium yang berhubungan. Evaluasi tersebut juga harus
dilengkapi klasifikasi status fisik pasien berdasarkan skala ASA. Kondisi klinis
dan medis pasien harus optimal untuk menjalankan tindakan operatif dan anestesi.
Selanjutnya dokter anestesi harus menjelaskan dan mendiskusikan kepada pasien
tentang manajemen anestesi yang akan dilakukan, hal ini tercermin dalam
informed consent.
Dari semua hasil pemeriksaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pasien
masuk dalam ASA II yang berarti pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit
sistemik ringan sampai sedang, masih dapat melakukan aktivitas sehari-hari. Pada
hasil pemeriksaan terhadap kesulitan airway, skor LEMON dan MOANS tidak
didapatkan penyulit untuk laringoskopi intubasi maupun ventilasi face mask.
Premedikasi anestesi dilakukan dengan memasukkan obat sebelum
anestesi dilakukan. Pada periode pre operatif biasanya diberikan premedikasi
berupa analgesik dan atau anti emetik. Premedikasi pada pasien ini Ondansentron
4 mg IV, Deksametason 4 mg IV dan Fentanyl 100 mg IV. Ondansentron adalah
antagonis reseptor 5-HT3 yang bekerja secara selektif. Reseptor serotonin tipe 5-
HT3 berada di perifer (di ujung nervus vagus) maupun di sentral yaitu di
chemoreseptor trigger zone pada area postrema. Ondansentron mencegah mual
dan muntah setelah operasi. Obat ini memblok reseptor di gastrointestinal dan
area postrema di CNS. Dosis yang diberikan yakni 0,1 mg/kgBB. Jadi dosis yang
diberikan terhadap pasien adalah 4 mg IV.
Deksametason merupakan obat golongan kortikosteroid. Kortikosteroid
menghambat pelepasan asam arakidonat, modulasi substansi yang berasal dari
metabolisme asam arakidonat, dan pengurangan jumlah 5-HT3. Deksametason
mempunyai efek anti emetik, diduga melalui mekanisme menghambat pelepasan
prostaglandin secara sentral sehingga terjadi penurunan kadar 5-HT3 di sistem
saraf pusat, menghambat pelepasan serotonin di saluran cerna sehingga tidak
terjadi ikatan serotonin dengan reseptor 5-HT3, pelepasan endorfin, dan anti
inflamasi yang kuat di daerah pembedahan dan diduga glukokortikoid mempunyai
efek yang bervariasi pada susunan saraf pusat dan akan mempengaruhi regio
neurotransmite, densitas reseptor, transduksi sinyal, dan konfigurasi neuron.
Deksamethason juga bertindak sebagai anti inflamasi dengan cara menghambat
pelepasan fosfolipid serta dapat pula menurunkan kinerja
eosinofil.Deksamethason diberikan dalam dosis 0,1-0,5 mg/kgBB. Pasien
diberikan Deksametason dengan dosis 4 mg.
Pasien juga diberikan Fentanyl 100 mg. Fentanyl adalah opioid sintesis
yang efektif menumpulkan respon simpatis pada intubasi serta stimulus
pembedahan. Karena sifat analgesia yang baik, onset yang cepat dan durasi yang
singkat, sedikit mendrepresi kardiovaskular, maka Fentanyl sering menjadi pilihan
utama agen premedikasi dan induksi umum. Fentanyl mempunyai potensi 1000
kali lebih kuat dibandingkan dengan petidin dan 50-100 kali lebih kuat dari
morfin. Fentanyl bersifat depresan terhadap susunan saraf pusat sehingga
menurunkan kesadaran pasien. Pada dosis lazim, kesadaran pasien menurun dan
khasiat analgetiknya bertambah kuat. Fentanyl diberikan dengan dosis 1-2
mcg/kgBB.
Setelah premedikasi, pasien mendapat induksi. Induksi anestesi adalah
tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga
memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Pasien diberikan Propofol
100 mg (dosis 1-2.5 mg/ kgBB). yang mulai diperkenalkan pada tahun 1985.
Farmakokinetik serta farmakodinamik propofol memenuhi sebagian besar kriteria
dari obat anestesi yang ideal, sehingga saat ini propofol telah menjadi obat
hipnotik sedatif yang sangat populer pada anestesi umum untuk hampir semua
jenis operasi. Mula kerja yang cepat, konsentrasi di dalam darah yang cepat
hilang, serta waktu pemulihan anestesi yang singkat menjadi kelebihan.
Hasil penelitian telah membuktikan bahwa pasien yang diberikan propofol
ternyata waktu kembali fungsi kognitif dan juga psikomotor ke kondisi normal
akan lebih cepat dibandingkan dengan obat anestesi yang lain. Propofol juga tidak
menimbulkan efek samping mual serta muntah, sebaliknya memiliki efek
antimualmuntah sehingga membuat propofol menjadi obat anestesi yang populer
digunakan. Efek yang perlu diwaspadai pada saat penyuntikan propofol adalah
efek hipotensi akibat depresi sistem kardiovaskular, kondisi ini dikarenakan
propofol yang menurunkan tahanan pembuluh darah perifer dan kontraktilitas
jantung. Sifat fisik dari obat ini berupa cairan berwarna putih seperti susu, tidak
larut dalam air, dan bersifat asam. Sebagai obat induksi, mulai kerja obat ini cepat.
Penurunan kesadaran segera terjadi setelah pemberian obat ini secara intravena
Khasiat farmakologinya adalah hipnotik murni, tidak mempunyai efek analgetik
maupun relaksasi otot. Dosis propofol adalah 1-2.5 mg/kgBB untuk menimbulkan
induksi pada pasien. Pasien diberikan 100 mg.
Pada pasien ini, ketika cadangan oksigen sudah cukup. Kemudian muscle
relaxant atracurium dengan dosis 0,5 mg/kgBB diberikan untuk intubasi secara
intravenous. Pasien diberikan 30mg atracurium. Sedangkan atracurium
sebagai obat pelumpuh otot non depolarisasi dipilih sebagai agen
penginduksi karena mempunyai beberapa keunggulan antara
lain metabolisme terjadi di dalam darah (plasma) terutama
melalui suatu reaksi kimia unik yang disebut eliminasi Hofman.
Reaksi ini tidak tergantung pada fungsi hati atau ginjal. Selain itu
tidak mempunyai efek kumulasi pada pemberian berulang dan
tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskular. 
Kemudian pasien dipastikan sudah berada dalam kondisi tidak sadar
dengan cara mengecek refleks bulu mata dan pasien stabil untuk dilakukan
intubasi nasal endotrakeal dilihat dari keadaan status hemodinamik pasien di
monitor. Kemudian dilakukan pemasangan intubasi nasal endotrakeal dilakukan
dengan bantuan laringoskop. Pertama, dilakukan cross finger pada mulut pasien,
lalu laringoskop dimasukkan dengan posisi blade membuka jalan dengan
menyingkirkan lidah, kemudian membuka epiglotis, kemudian mencari plica
vokalis, stelah terlihat plica vokalis, endotracheal tube dimasukkan melalui
orofaring, nasofaring dan masuk ke plica vocalis. Kemudian cuff dikembangkan
dan dicek terlebih dahulu pada lambung, kemudian dicek pada semua lapang paru
dengan stetoskop, dipastikan suara nafas dan pengembangan dada simetris.
Endotracheal tube difiksasi agar tidak bergerak terlalu dalam atau lepas, dan
disambungkan dengan ventilator. Dengan ini dapat dijaga oksigenasi pasien
dengan O2 2 lpm, kemudian analgesik dengan N2O 2 lpm, dan Sevoflurane 1-2 %
sebagai pemeliharaan/maintenance anestesi.
Obat untuk pemeliharaan/ maintenance yakni menggunakan Sevofluran 1-
2%. Koefisien partisi dari darah/gas sevoflurane adalah 0,69 yang secara teoritis
memungkinkan obat ini menginduksi dalam waktu singkat dan terjadi pemulihan
yang cepat pula setelah obatnya dihentikan. Dibandingkan dengan isoflurane,
pemulihan sevoflurane bisa lebih cepat 3 sampai 4 menit. Sevoflurane memiliki
bau yang manis dan tidak iritatif terhadap saluran nafas sehingga dapat digunakan
untuk induksi inhalasi. Efek sevofluran pada sistem kardiovaskular adalah depresi
ringan terhadap kontraktilitas myokard. Resistensi vaskular sistemik serta tekanan
darah arterial sedikit menurun namun tidak sehebat pada isoflurane dan
desflurane. Tidak menyebabkan coronary steal syndrome. Pada sistem pernafasan,
sevoflurane menyebabkan depresi sistem respirasi dan menyebabkan
ronkodilatasi. Pada sistem saraf pusat, sevoflurane menyebabkan peningkatan
cerebral blood flowdan tekanan intrakranial pada kondisi normokarbia.
Sevofluran konsentrasi tinggi (>1,5MAC) akan mengganggu autoregulasi otak
sehingga bila terjadi bersamaan dengan perdarahan otak akan menyebabkan
kegagalan dalam autoregulasi dan perfusi ke otak akan turun. Maintenance juga
menggunakan N2O/O2 = 2L/2L.
Selama proses anestesi, dilakukan pemantauan keadaan umum, kesadaran,
tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu dan perdarahan. Jika terdapat kesulitan
selama melaksanakan anestesi umum, seperti jalan nafas dan intubasi, harus
ditangani dengan benar. Pada kasus Thyroid harus memperhatikan Thyroid Storm
yakni dengan mengamati peningkatan suhu, delirium, takikardia ekstrim, dan
tanda-tanda gangguan pernapasan. Hipertermia adalah tanda awal adanya Thyroid
Storm. Thyroid storm dianggap sebagai kasus darurat karena dapat menyebabkan
gagal jantung dan menyebabkan kematian
Ektubasi dapat segera diberikan setelah spontan normal
kembali dengan volume tidal 300 ml. O2 diberikan terus ( 5-6 L )
selama 2-3 menit untuk mencegah hipoksia difusi. Apabila nafas
tetap lemah setelah ditunggu beberapa menit dapat diberi obat
anti pelumpuh otot non depolarisasi sebelum diekstubasi yaitu
neostigmin (prostigmin) dosis 0,04 mg/kg, piridostigmin 0,1-0,4
mg/kg, atau fisostigmin 0,01-0,03 mg/kg. Penawar pelumpuh
otot bersifat muskarinik menyebabkan hipersalivasi, keringatan,
bradikardi, kejang bronkus, hipermotilitas usus, dan pandangan
kabur, sehingga pemberiannya harus disertai oleh obat vagolitik
seperti atropin dosis 0,01-0,02 mg/kg.
Selama operasi, pasien kehilangan darah 100cc yang mana tidak melebihi
nilai Allowed Blood Loss pasien yakni 171,6 cc sehingga tidak perlu transfusi
darah. Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan general anestesi,
maka perlu melakukan penilaian terlebih dahulu untuk menentukan apakah pasien
sudah dapat dipindahkan ke ruangan atau masih perlu di observasi di ruang
Recovery Room (RR).

Setelah operasi selesai pasien dibawa ke Recovery Room (RR).


Di ruang inilah pemulihan dari anestesi umum atau anestesi regional
dilakukan. RR terletak berdekatan dengan ruang operasi sehingga
apabila terjadi suatu kondisi yang memerlukan pembedahan ulang
tidak akan mengalami kesulitan. Pada saat di RR, dilakukan
monitoring seperti di ruang operasi, yaitu meliputi tekanan darah,
saturasi oksigen, EKG, denyut nadi hingga kondisi stabil. ila pasien
gelisah harus diteliti apakah karena kesakitan atau karena hipoksia (TD
turun, nadi cepat , misalnya karena hipovolemik). Bila kesakitan harus
diberikan analgetik seperti petidin 15-25 mg IV, tetapi kalau gelisah
karena hipoksia harus diobati sebabnya, misalnya dengan menambah
cairan elektrolit ( RL ), koloid ( dextran), darah. Oksigen selalu
diberikan sebelum pasien sadar penuh. Pasien hendaknya jangan
dikirim ke ruangan sebelem sadar, tenang, reflek jalan nafas sudah
aktif, tekanan darah, nadi dalam batas normal. 

Pasien ini diberi obat tambahan yaitu asam tranexamat


bertujuan sebagai untuk membantu pembekuan darah. Pasien dapat
keluar dari RR apabila sudah mencapai skor Lockherte/Aldrete lebih
dari tujuh. Sedangkan pada pasien diatas, didapatkan skornya 10 pada
menit ke 45 sehingga pasien dapat dipindahkan ke tempat perawatan
selanjutnya.
BAB V
KESIMPULAN
 
Dalam suatu tindakan anestesi banyak hal yang harus
diperhatikan agar tindakan anestesi tersebut dapat berjalan
dengan baik sesuai dengan tujuan anestesi. Dalam hal ini
pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada
setiap operasi yang melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang baik
dan teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi pasien dan
memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat
mengantisipasinya serta dapat menentukan teknik anestesi yang
akan dipakai. Selain itu, pemilihan obat dan dosisnya harus
benar- benar diperhatikan agar tidak menimbulkan efek samping
yang membahayakan pasien.
Anestesi umum adalah pilihan utama anestesi untuk
tiroidektomi dan RND. Status fisik pasien termasuk dalam ASA II
sehingga kelainan sistemik dalam pasien masih dalam batas
ringan-sedang. Tindakan premedikasi sendiri, yaitu  pemberian
obat 1-2 jam sebelum induksi anestesia bertujuan untuk
melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia. Pasien
dapat keluar dari recovery room apabila sudah mencapai skor
Lockherte/Aldrete lebih dari tujuh. Hal ini penting dilakukan
untuk menilai kondisi paska operasi pasien.
Dalam laporan ini disajikan kasus penatalaksanaan
anestesi umum pada operasi tiroidektomi pada pasien
perempuan, umur 58 tahun, status fisik ASA II. Dengan diagnosis
Ca Papiller Kronis dengan menggunakan teknik general anestesi
inhalasi semi closed dengan ET no 6,5.
Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan
anestesi berlangsung dengan baik tanpa ada kendala yang
berarti.

DAFTAR PUSTAKA

Abou-Chebl A, Yeatts SD, Yan B, Cockroft K, Goyal M, Jovin T, et al. Impact of


General Anesthesia on Safety and Outcomes in the Endovascular Arm of
Interventional Management of Stroke (IMS) III Trial. Stroke. 2015 Aug. 46
(8):2142-8.

American Society of Anesthesiologists (ASA). Continuum of Depth of Sedation


Definition of General Anesthesia and Levels of Sedation/Analgesia. October
27, 2004. Amended October 21, 2009. ASA Web site.

American Society of Anesthesiologists (ASA). Standards for basic anesthetic


monitoring. Approved by ASA house of delegates October 21, 1986. Last
amended October 25, 2005.

Bansal T, Hooda S. Anesthetic Considerations In Pediatric Patients . JIMSA 2013


; 26:2

Bissonette B, Dalens BJ. Pediatric Anesthesia: Principles And Practice. McGraw-


Hill Medical Publishing Division. New York.2002 : 405-413, 483-503

Christopher D (2015). Clinical Procedures – General Anesthesia. Medscape


References.
Jenkins K, Baker AB. Consent and anaesthetic risk. Anaesthesia. 2003 Oct.
58(10):962-84. 

Krane E. Orientation to Pediatric Anesthesia. http://anesthesia.stanford.edu/


kentgarman/ clinical/ped%20orient.htm. Diakses pada tanggal 22 Januari
2017

Anda mungkin juga menyukai