Anda di halaman 1dari 66

Rabu, 02 Juni 2010

ADENOMA PLEOMORFIK : Neoplasia Kelenjar Saliva


Di bidang kedokteran gigi, penyakit-penyakit jaringan lunak rongga mulut telah
menjadi perhatian serius oleh para ahli. Hal ini disebabkan karena meningkatnya
kasus kematian yang diakibatkan oleh tumor rongga mulut terutama pada negaranegara berkembang (Sayuti, 2004). Tumor di rongga mulut merupakan
pertumbuhan dari berbagai jaringan di dalam dan sekitar mulut termasuk tulang,
otot dan syaraf. Pertumbuhan ini dapat bersifat jinak dan dapat bersifat ganas
(Syafriadi, 2008).

Tumor pada kelenjar saliva relatif jarang terjadi, persentasenya kurang dari 3% dari
seluruh keganasan pada kepala dan leher. Keganasan pada tumor kelenjar saliva
berkaitan dengan paparan radiasi, faktor genetik, dan karsinoma pada dada. Di
dalam rongga mulut, kelenjar saliva dibagi menjadi kelenjar saliva mayor dan minor.
Kelenjar saliva mayor ada tiga yaitu parotis, submandibularis dan sublingualis,
sedangkan kelenjar saliva minor terdapat disepanjang aerodigestif bagian atas
submukosa. Sebagian besar tumor pada kelenjar saliva terjadi pada kelenjar parotis,
dimana 75% - 85% dari seluruh tumor berasal dari parotis dan 80% dari tumor ini
adalah adenoma pleomorphic jinak (Miloro & Schow, 2003; Asih, 2008).

Adenoma Pleomorfik merupakan tumor campuran, yang terdiri dari komponen


epitel, mioepitel dan mesenkim dan tersusun dalam beberapa variasi komponennya
(Kakimoto et al., 2007; Syafriadi, 2008). Tumor ini merupakan tumor jinak dengan
karasteristik tumbuh secara lambat, setelah mencapai ukuran tertentu menetap
dan tidak berkembang lagi. Adenoma Pleomorfik mempunyai kapasitas tumbuh
membesar dan berubah menjadi malignant membentuk carsinoma (Asih, 2008).

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang tumor


Adenoma Pleomorfik dengan menjelaskan definisi, etiologi, pemeriksaan gambaran
klinis, gambaran histopatologi, gambaran radiografi, perawatan dan prognosa dari
Adenoma Pleomorfik pada kelenjar saliva.

Adenoma Pleomorfik adalah tumor kelenjar saliva umumnya terdapat pada kelenjar
saliva mayor dan minor dan paling banyak terjadi pada kelenjar parotis. Tumor ini
merupakan tumor campuran (benign mixed tumor), yang terdiri dari komponen
epitel, mioepitel dan mesenkim dan tersusun dalam beberapa variasi komponennya
(Kakimoto et al., 2007).

Penyebab Adenoma Pleomorfik pada kelenjar saliva belum diketahui secara pasti,
diduga karena keterlibatan lingkungan dan faktor genetik (Fadi, 2008). Secara
umum -catenin memainkan peranan penting di dalam perkembangan Adenoma
Pleomorfik. Tidak hanya dalam perubahan bentuk yang malignant, tetapi juga di
dalam pengaturan fungsi-fungsi fisiologis. Ekspresi molekul-molekul adhesi di dalam
neoplasma-neoplasma kelenjar saliva telah diselidiki (Prado et al., 2006).

Adenoma Pleomorfik mempunyai gambaran klinis berupa massa tumor tunggal,


keras, bulat, bergerak (mobile), pertumbuhan lambat, tanpa rasa sakit, nodul
tunggal (Gambar 2.1). Suatu nodul yang terisolasi umumnya tumbuh di luar dari
pada normal, dari suatu nodul utama dibandingkan dengan suatu multinodular
(Syafriadi, 2008; Fadi, 2008).

Pada kelenjar saliva mayor, Adenoma Pleomorfik paling sering di jumpai pada
kelenjar parotid. Sedangkan pada kelenjar saliva minor, Adenoma Pleomorfik lebih
sering dijumpai pada palatum dan bibir atas. Adenoma Pleomorfik biasanya mobile,
kecuali di palatum dapat menyebabkan atropy ramus mandibula jika lokasinya pada
kelenjar parotid. Adenoma Pleomorfik dapat ditemukan di ekor kelenjar parotid
dengan menunjukkan suatu bentukan khas seperti cuping telinga (Ansori, 2009).

Gejala dan tanda tumor ini tergantung pada lokasinya. Adenoma Pleomorfik pada
kelenjar parotid menyebabkan kelumpuhan nervus fasialis jarang di jumpai, tetapi
apabila tumor ini bertambah besar mungkin kelumpuhan nervus fasialis bisa di
jumpai. Seperti ketika tumor ini menjadi malignant. Apabila tumor ini di jumpai pada
kelenjar saliva minor, gejala yang timbul bermacam-macam tergantung pada lokasi
tumor. Gejala yang timbul seperti : dysphagia, dyspnea, serak ,susah mengunyah,
dan epistaxsis (Ansori, 2009).

Diagnosa histopatologi Adenoma Pleomorfik dapat dilakukan dengan prosedurprosedur sampling termasuk fine needle aspiration biopsy (FNAB) dan coore nedlee
biopsy (bigger needle comparing to byopsi) (Ansori, 2009).

Secara histologi, Adenoma Pleomorfik mempunyai gambaran yang ber- variasi.


Dinamakan pleomorfik karena terbentuk dari sel-sel epitel dan jaringan ikat. Secara

klasik Adenoma Pleomorfik adalah bifasik dan karakteristiknya merupakan satu


campuran epitel poligonal dan elemen myoepitel spindle-shaped membentuk unsur
dengan latar belakang stroma oleh mukoid, myxoid, kartilago atau hyalin (Fadi,
2008; Elsoin, 2009).

Gambaran CT Adenoma Pleomorfik (benign mixed tumor) adalah suatu penampang


yang tajam dan pada dasarnya mengelilingi lesi homogen yang mempunyai suatu
kepadatan yang lebih tinggi dibanding glandular tisssue. T1- weighted MRI
menunjukkan Adenoma Pleomorfik (benign mixed tumor) dengan area yang relatif
mempunyai intensitas signal rendah (area gelap/radiolusen) dibanding glandular
tisssue (White, 2000).

Perawatan tumor Adenoma Pleomorfik adalah pembedahan dengan mengupayakan


seluruh jaringan tumor terangkat (Gambar 2.5). Jika pengambilan tumor tidak hatihati dan meninggalkan sel tumor di dalam jaringan mesenkim glandula, maka dapat
terjadi kekambuhan. Jika tumor ini tumbuh di dalam jaringan parotis kadangkala
nervus fasialis diikutsertakan diambil bersama jaringan tumor (Syafriadi, 2008).

Apabila Adenoma Pleomorfik kambuh dan malignant, radiasi dan kemoterapi


digunakan sebagai perawatan tambahan. Indikasi terapi radiasi sesudah operasi jika
tingkat malignansi tinggi. Kemoterapi digunakan sebagai perawatan paliatif bila
tumor kambuh dan bermetastase (Ansori, 2009).

Prognosis Adenoma Pleomorfik adalah sempurna, dengan angka kesembuhan


mencapai 96 %. Prognosisnya baik, karena umumnya jika terjadi kekambuhan lokal
tidak menunjukan tanda-tanda keganasan (Asih, 2008; Syafriadi, 2008).

SKYDRUGZ

Syukri La Ranti's Book. For General Convenience, Never Use This Blog as Scientific
Reference.

Beranda
About

Pencarian Referat - Dokumen - Artikel

Rabu, 29 Februari 2012


Refarat Kanker Kepala dan Leher
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke
Pinterest

KANKER KEPALA DAN LEHER


EPIDEMIOLOGI DAN PATOGENESIS
Kanker kepala dan leher merupakan kelompok kanker yang secara relatif tidak
terlalu banyak jumlahnya, namun penting untuk diketahui. Penatalaksanaan pada
keganasan ini harus dikaitkan dengan kepentingan fungsional dan morbiditas
estetika yang memiliki dampak dramatis dalam kualitas hidup pasien. Meskipun
kebanyakan kanker pada kepala dan leher berasal dari traktus aerodigestif dan
kelenjar ludah, namun kita tidak boleh mengenyampingkan kanker kulit, kelenjar
tiroid, dan kelenjar paratiroid.

Kanker kepala dan leher dapat ditemukan pada kira-kira 3% dari keseluruhan kasus
kanker yang ada di Amerika Serikat (dan sekitar 6% dari semua populasi kanker
dunia pada tahun 2002), dan sekitar 45.000 kasus kanker kepala dan leher
didiagnosis pada tahun 2004. Mayoritas kanker kepala dan leher didiagnosis pada
dekade keenam hingga kedelapan, dengan rasio penderita pria yang mencapai 4:1.
Kanker kepala dan leher terkait erat dengan faktor resiko berupa paparan terhadap
rokok. Dan faktor resiko tersebut dapat bekerja secara sinergis bersama konsumsi
alkohol, meskipun konsumsi alkohol juga dapat berdiri sendiri sebagai faktor resiko
terhadap kanker kepala dan leher. Sebagai tambahan, beberapa pasien seperti yang
mengalami instabilitas gen (seperti pada pasien kanker hipofaringeal yang terkait
dengan Sindrom Plummer-Vinson), infeksi virus (seperti virus Ebstein-Barr yang
berkaitan dengan kanker nasofaring, human papilloma virus yang berkaitan dengan
kanker tonsilar), dan faktor pekerjaan (seperti serbuk gergaji pada adenokarsinoma

nasal), dan paparan lingkungan (seperti paparan ultra violet [UV] pada kanker bibir
bawah, buah pinang pada kanker buccal, mengisap rokok pada kanker palatum)
memiliki implikasi tertentu yang dapat memicu kanker kepala dan leher. Pada
sebuah kelompok pasien (terutama mereka yang berusia muda dan menderita
kanker mulut dan lidah) tidak dapat diidentifikasi faktor resikonya dan biasanya
memiliki perjalanan penyakit yang agresif. Beberapa penelitian memberikan kesan
bahwa perjalanan penyakit yang agresif lebih sering ditemukan pada orang Amerika
yang berkulit hitam bila dibandingkan dengan mereka yang berkulit putih, dan
tingkat kematian akibat kanker laring dan rongga mulut pada orang Amerika
berkulit hitam mencapai dua kali lipat jumlah orang Amerika yang berkulit putih.
PATOLOGI
Karsinoma sel skuamosa (SCC) merupakan tumor tipe histologis yang paling sering
ditemukan, jumlahnya mencapai 90% dari semua pasien tumor yang ada. Tumor ini
memiliki pola pertumbuhan yang ulseratif dan eksofit. Secara histologis, tumor ini
bisa bersifat in situ maupun invasif. Diferensiasi histologisnya (baik, moderat, dan
diferensiasi yang buruk) memiliki implikasi prognostik, namun hal ini belum
dikonfirmasi secara universal. Basaloid, SCC yang berbentuk kumparan dan
karsinoma verukosa dipercaya sebagai beberapa varian dari SCC, dan masingmasing perbedaan varian juga memiliki implikasi prognostk. Lesi pra-keganasan
seperti leukoplakia dan eritroplakia, berkaitan erat dengan tingginya faktor resiko
pertumbuhan kanker.
PRESENTASI KLINIS, EVALUASI, DAN PROGNOSIS
Tanda dan gejala klinis kanker pada traktus aerodigestif bagian atas bersifat spesifik
menurut lokasinya. Gejala klinis yang paling sering ditemukan pada pasien kanker
kepala dan leher adalah nyeri. Gejala lain yang memberikan kesan sebagai kanker
pada traktus aerodigestif bagian atas antara lain adanya ulkus yang tidak sembuhsembuh, perdarahan, suara parau, disfagia, odinofagia, otalgia (nyeri alih), nyeri
wajah, massa pada leher, atau lesi baru intraoral.Gejala dapat timbul secara
sekunder akibat kerusakan struktur lokal, atau akibat keterlibatan struktur di
dekatnya (saraf, jaringan lunak, atau keterlibatan tulang). Para dokter harus
waspada apabila dihadapkan pada kasus di mana seseorang menderita tanda dan
gejala di atas. Apabila setelah dua minggu pasien tersebut tidak mengalami
perbaikan, maka sebaiknya segera melakukan rujukan pada dokter yang lebih ahli
untuk dievaluasi lebih lanjut.
Pemeriksaan klinis pada kepala dan leher meliputi inspeksi visual dan palpasi
(pemeriksaan bimanual) pada kulit kepala, telinga luar, saluran telinga, membran
mukosa mata, nasofaring, orofaring, hipofaring, dan laring. Pemeriksaan pada
daerah laring dan faring sebaiknya dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan
cermin atau endoskopi fleksibel. Pemeriksaan kelenjar ludah mayor harus dilakukan
secara hati-hati. Pemeriksaan saraf kranialis yang mendetail penting dilakukan

untuk mendokumentasikan fungsinya sebelum pemberian terapi karena kanker


yang progresif dapat menyebabkan defisit pra-terapi dan beberapa pengobatan
kanker bisa juga menimbulkan disfungsi pasca-terapi. Pemeriksaan pada leher
dilakukan secara sistematis lalu menyebar ke arah nodus limfatikus servikal pada
rantai jugulodigsatrik superior karena hal ini penting untuk penentuan prognosis.
Pengelompokan nodus limfatikus rantai jugulodigastrikus servialis dapat dilihat pada
gambar 1, dapat menyeragamkan sistem pemeriksaan sehingga memudahkan
proses pertukaran informasi antara para dokter. Metastasis pada kelompok nodus
atau tingkatan nodus tertentu dapat memprediksikan lokasi tumor primer apabila
pasien datang dengan sejumlah metastasis servikal dari tumur primer yang tidak
diketahui lokasinya.
Gambar 1: Pengelompokan Nodus Limfatikus. Tingkat I submental dan
submandibular; Tingkat II kelompok jugular superior; Tingkat III, kelompok jugular
medial; tingkat IV kelompok jugular inferior; tingkat V kelompok triangulus
posterior; tingkat VI, kelompok kompartemen anterior.
Biopsi pada lesi yang mencurigakan dapat dilakukan di klinik maupun ruangan
operasi. Biopsi dapat dilakukan dengan menggunakan skapel ataupun dengan
forseps punch biopsi pada lesi primer atau dengan menggunakan aspirasi jarum
halus (FNA) pada nodus limfatikus yang mencurigakan. FNA pada masa leher sama
akuratnya dengan biopsi terbuka jika dilakukan oleh dokter sitopatologis yang
berpengalaman dan metode ini lebih sering dipilih bila dibandingkan dengan biopsi
terbuka karena dapat mengurangi resiko penyebaran tumor di area leher yang lain.
Panendoskopi intraoperatif (lanringoskopi direk, esofagoskopi, endoskopi nasal, dan
bronkoskopi) dapat dilakukan untuk memberikan informasi yang adekuat mengenai
jaringan yang sulit diakses pada pemeriksaan biasa, selain itu dengan metode ini
hemostasis lebih terjamin dan kita bisa memperoleh informasi yang lebih luas
mengenai penyebaran penyakit sehingga dapat digunakan dalam rencana
penatalaksanaan. Perkembangan teknologi serat optik (seperti pada esofagoskopi
intranasal) dapat memperluas jangkuan kita dalam mengevaluasi dan melakukan
biopsi secara sukses.
Pemeriksaan radiologi meliputi X-ray biasa, computed tomography (CT) scan,
magnetic resonance imaging (MRI) scan, USG, dan positron emission tomography
(PET) scanning. X-ray dada dapat membantu kita menentukan keberadaan
metastasis jauh (sekitar 15% pasien) atau tumor primer ke dua (5%-10%). Film
panorex dapat membantu menentukan apakah terdapat keterlibatan mandibula. CT
dasar tengkorak hingga kalvikula menyediakan informasi yang mendetail mengenai
perluasan jaringan lunak lokal, dan keterlibatan tulang pada traktus aerodigestif
bagian atas, dan keberadaan penyakit metastasis regional pada rantai
jugulodigastrik superiror servikalis.
Secara umum, prognosis kanker traktus aerodigestif bagian atas ditentukan oleh
ukuran tumor primer, keberadaan metastasis pada nodus limfatikus regional, dan

penyakit yang meluas memiliki prognosis terburuk. Keberadaan metastasis pada


nodus limfatikus dapat menurunkan angka bertahan hidup hingga mencapai 50%
dan hal ini berkaitan erat dengan peningkatan resiko metastasis jauh. Ringkasan
penentuan stadium tumor yang dilakukan oleh American Joint Committee on Cancer
(AJCC) dapat dilihat pada Tabel 1. Huruf T mewakili ukuran tumor primer; huruf N
mewakili ukuran, jumlah,dan lokasi penyebaran nodus limfatikus; dan huruf M
mewakili ada tidaknya metastasis jauh. Kira-kira 15% kanker kepala dan leher akan
berkembang menjadi metastasis jauh.
Tabel 1: Sistem Klasifikasi Kanker Kepala dan Leher Menurut AJCC
Pengelompokan Stadium
Stadium I

T1, N0, M0
Stadium II

T2, N0, M0
Stadium III

T3, N0, M0
T1-3, N1, M0
Stadium IV

T4, N0 atau N1, M0


Setiap T, N2 atau N3, M0
Setiap T, setiap N, M1
Tumor Primer (T) yang bergantung pada lokasi anatomi
N0

Tidak ada metastasis regional

N2a

Metastasis pada satu nodus limfatikus ipsilateral >3 cm tapi <6 cm


N2b

Metastasis pada beberapa nodus limfatikus ipsilateral, tapi tidak ada yang
ukurannya >6 cm
N2c

Metastasis pada nodus limfatikus bilateral atau kontralateral, tapi tidak ada yang
ukurannya >6 cm
N3

Metastasis pada nodus limfatikus dengan ukuran >6 cm


Metastasis penyakit
M0

Tidak ada bukti metastais jauh


M1

Ada bukti metastasis jauh


Sebagai tambahan terhadap penanda prognostik tradisional, kedalaman invasi,
invasi perineural, dan penyebaran nodus limfatikus ekstranodal berkaitan erat
dengan perburukan prognosis. Tingkat bertahan hidup pada penyakit stadium dini
(stadium I dan II) berada mengalami penurunan hingga mencapai kisaran 80%
hingga 90%, dan dapat mengalami penurunan drastis dalam kisaran 3% hingga
40% pada pasein yang berada pada stadium III dan IV. Banyak penelitian yang telah
dilakukan untuk mengidentifikasi penanda biologis yang lebih sensitif dan selektif
serta prediktif dalam menilai prognsis, seperti ekspresi p53 yang termutasi, dan
ekspresi reseptor faktor pertumbuhan epidermal.

Penatalaksanaan utama untuk kanker kepala leher stadium awal adalah modalitas
terapi tunggal, entah itu pembedahan maupun terapi radiasi. Pada penyakit yang
lebih lanjut, maka penatalaksaan yang lebih tepat adalah terapi multimodalitas.
Kemoterapi telah mengalami peningkatan peran dalam penatalaksanaan utama
pada kanker kepala dan leher stadium lanjut, sebagai tambahan peran lamanya
dalam penatalaksaan tumor rekuren dan tumor yang tidak memungkinkan untuk
dibedah.
Pada kebanyakan lokasi, (rongga mulut, sinonasal, kelenjar ludah) pembedahan
merupakan penatalaksanaan pilihan untuk penyakit stadium dini dan memberikan
kesempatan terbaik dalam proses penyembuhan bila reseksi margin yang adekuat
dapat tercapai. Faktor pembatas pada penatalaksanaan ini adalah defisit fungsional
yang potensial atau deformitas kosmetik pada suatu sistem organ, atau
aksesibilitas pada tumor hanyalah pembedahan ekstirpasi komplit. Kemajuan dalam
teknik pembedahan rekonstruktif dan prostetik mengalami perluasan hingga
mampu menentukan bagian mana saja yang bisa dibuang melalui pembedahan.
Beberapa penyakit stadium dini lainnya yang berada di tempat-tempat tertentu
(laring dan faring), terapi radiasi merupakan penatalaksanaan yang sama efektifnya
dengan terapi bedah, hanya saja keuntungan terapi radiasi adalah mampu
mempertahankan struktur anatomi. Pada penyakit stadium lanjut, radiasi
merupakan terapi adjuvan pra-operatif dan pasca-operatif dalam mengontrol
penyakit lokal dan regional dan untuk mensterilisasi penyakit secara mikroskopis.
Indikasi untuk terapi radiasi pasca-operasi adalah pembedahan reseksi margin
postif, invasi perineural atau perivaskuler, penyebaran ekstrakapsuler, tumor lokal
yang diferensiasinya buruk, terjadi tumpahan tumor selama reseksi, dan penyakit
stadium lanjut. Meskipun terapi ini dapat menjaga struktur anatomi, radiasi
bukannya tanpa menimbulkan defisit fungsional yang signifikan. Mukositis parah
dapat terjadi dalam onset akut. Mukositis ini bisa menyebabkan rasa nyeri, yang
dapat mengakibatkan disfagia. Gejala xerostamia (mulut kering) dan disfgia
biasanya tidak dihiraukan padahal keduanya dapat menyebabkan sekuele dalam
jangka panjang. Sebagai tambahan, disfungsi kelenjar ludah, disfungsi tiroid dan
fibrosis serta pembentukan parut pada jaringan lunak merupakan sekuele jangka
panjang dari radiasi terapi. Terapi multimodal merupakan pilihan utama
penatalaksanaan untuk penyakit kanker kepala leher stadium lanjut (stadium II
hingga IV).
Bagian penting dari penatalaksanaan adalah mempertahankan fungsi organ pascaterapi. Rehabilitasi sistem organ spesifik merupakan hal yang penting dalam
mempertahankan fungsi suara dan menelan.
Follow up pasien yang menderita kanker kepala dan leher merupakan merupakan
hal yang penting karena penyakit ini dapat rekurens dalam jangka waktu 2 tahun
pasca-terapi. Di Universitas Texas, follow up pasien dilakukan tiap tiga bulan selama

2 tahun pasca-terapi, dan tiap 6 bulan untuk tiga tahun berikutnya, tiap tahun untuk
5 tahun berikutnya. Pemeriksaan X-ray dada dan fungsi hati dilakukan tiap tahun.
DISEKSI LEHER
Metastasis nodal berkaitan dengan penurunan tingkat bertahan hidup hingga 50%.
Penyakit pada leher dapat diberikan penatalaksanaan secara efektif dengan
menggunakan terapi pembedahan dan/atau radiasi. Penyakit yang terbatas (satu
nodus) tanpa penyebaran ekstrakapsuler dapat diberikan penatalaksaan dengan
modalitas terapi tunggal, sedangakn untuk penyakit stadium lanjut, harus
mendapat terapi kombinasi.
Secara tradisional, pembedahan leher meliputi beberapa tipe diseksi leher berikut
ini: diseksi leher radikal (RND), diseksi leher radikal yang dimodifikasi (MRND),
diseksi leher selektif (SND). RND terdiri dari proses penghilangan semua nodus
limfatikus leher mulai dari level I hingga level V, otot sternokleidomastoideus, vena
jugularis interna, dan saraf spinalis aksesorius. Batas diseksi ini adalah batas bawah
madibula superior, klavikula inferior, trapezius posterior, batas lateral otot
sternohioid bagian anterior, dan fascia servikalis profunda yang merupakan tempat
melekatnya otot levator skapula dan otot skalenius. Untuk menurunkan morbiditas
pasca-operasi, maka desain MRND dibuat. Teknik ini mirip dengan RND namun
melibatkan perlindungan pada pada nervus aksesorius leher, vena jugular interna,
dan/atau otot sternokleidomastoideus.
Diseksi selektif pada leher melibatkan pengangkatan kelompok nodus limfatikus
servikal secara terbatas (tingkat I-III [diseksi supraomohyoid], tingkat II-IV [diseksi
leher lateral], tingkat II-V,VII dan nodus potsoksipital dan retroaurikuler [diseksi
posterolateral]), dengan mempertahankan saraf aksesorius, vena jugularis interna,
dan otot sternokleidomastoideus. Diseksi supraomohyoid dilakukan pada tumor
yang gambaran klinisnya terbatas (tidak dapat diraba) dan penyebarannya berasal
dari kanker laring. Diseksi posterolateral dilakukan untuk kanker kulit (seperti
melanoma, SCC) pada kulit kepala. Dan sebagai catatan, tingkat VI atau diseksi
kompartemen leher anterior digunakan dalam manajemen kanker tiroid, yang
dilakukan bersamaan dengan teknik diseksi leher lateral. Penyakit yang
penyebarannya semakin meluas membutuhkan juga pembedahan diseksi leher
yang luas pula. Semua pasien yang menjalani diseksi saraf aksesorius akan
mengalami gejala neuropraksia dan harus menjalani terapi fisik pasca-pembedahan.
Pasien yang mendapat penatalaksanaan berupa pembedahan primer dan disesksi
leher pra-radiasi di Rumah Sakit Anderson, akan menjalani diseksi leher selektif
(seperti diseksi leher supraomohyoid pada kanker rongga mulut, diseksi leher
lateral untuk kanker laring) untuk semua penyakit kanker yang secara klinis
tersembunyi. Penyakit kanker pada nodus limfatikus yang secara klinis tampak
mendapat terapi MRND. Untuk pasien pasca-radiasi, diseksi leher selektif (tingkat II
dan III) merupakan prosedur pilihan untuk adenopati persisten, karena prosedur ini

dapat memberikan kontrol regional dan lokal yang baik serta keluaran fungsional
juga lebih bagus.
KARSINOMA RONGGA MULUT
Rongga mulut merupakan bagian dari traktur aerodigestif yang terbentuk oleh
batas vermilion bibir hingga tautan antara palatum durum dan molle dan papillae
circumvallate lidah. Daerah ini secara anatomis tersusun atas bibir, mukosa buccal,
gingiva, lantai mulut, lantai depan mulut, dua pertiga bagian depan lidah, palatum
durum, dan daerah trigonum retromolar. Kanker rongga mulut dapat ditemukan
pada 3% pasien kanker di Amerika Serikat, dan merupakan kanker ke-enam
terbanyak di dunia, dan mencakup 30% dari semua kasus kanker kepala dan leher.
Pada tahun 2005, di Amerika Serikat sendiri, diperkirakan terdapat 20.000 kasus
kanker rongga mulut yang terjadi, dan sekitar 5000 di antaranya berakhir dengan
kematian. Pria lebih sering terkena kanker mulut bila dibandingkan dengan wanita,
rasionya sekitar 3-4:1, dan usia rata-rata pasiennya dekade keenam hingga ketujuh.
Penentuan stadium kanker ini menggunakan stadium TNM, dan ukuran tumor
primer diwakili dengan huruf T. Lesi T1 ukurannya kurang dari 2 cm, T2 ukurannya
2-4 cm, T3 ukurannya 4 cm, dan T4 ukurannya > 4 cm atau telah menyebar hingga
ke jaringan lunak sekitarnya. Pada dilihat pada tabel Tabel 2.

Tabel 2: Sistem Klasifikasi Stadium pada Kanker Rongga Mulut


Tis

Karsinoma in situ
T1

Tumor 2 cm pada dimensi terbesarnya


T2

Tumor > 2 4 cm pada dimensi terbesarnya


T3

Tumor > 4 cm pada dimensi terbesarnya


T4

Tumor menginvasi struktur di sekitarnya (seperti tulang kortikal, otot lidah ekstrinsik
yang dalam, sinus maksilaris, atau kulit)
Eksisi pembedahan merupakan pilihan utama penatalaksanaan pada kanker rongga
mulut. Pembatasan margin yang adekuat dari jaringan normal (sekurang-kurangnya
1-1,5 cm) harus dilakukan secara hati-hati untuk memastikan reseksi yang tepat.
Defek pembedahan dapat ditinggalkan sehingga bisa sembuh sendiri, atau ditutup
dengan penutupan primer, dengan dipasangi skin graft split-thickness, dengan
rekonstruksi flap rotasional, atau rekonstruksi flap bebas bila defeknya luas. Diseksi
leher dilakukan pada penyakit kanker yang dapat terbukti secara klinis, dan secara
elektif dilakukan untuk tumor primer yang luas atau tumor dengan kedalaman
invasi lebih besar dari 4 mm atau terdapat faktor-faktor yang dapat memperburuk
prognosis. Diseksi leher tradisional untuk lesi rongga mulut adalah dengan
menggunakan teknik diseksi leher supraomohyoid (tingkat I-III), meskipun terdapat
beberapa data yang memasukkan nodus limfatikus tingkat IV karena adanya
kemungkinan metastasis yang terlewat. Tumor primer yang dekat dengan garis
tengah membtuhkan diseksi leher secara bilateral karena terdapat resiko
penyebaran kanker ke arah kontralateral sebesar 20%.
Terapi radiasi diberikan dalam bentuk terapi sinar eksternal atau implan brakiterapi
(implan brakiterapi interstisial primer digunakan untuk lesi kecil pada komisura
anterior bibir, lidah, dan lantai mulut [lesi T1]). Terapi radiasi jarang digunakan
sebagai terapi primer dan biasanya digunakan sebagai terapi cadangan pada
pasien pasca-terapi pembedahan dan memiliki resiko tinggi rekurensi (seperti pada
tumor primer yang luas, [T3-T4]), tumor primer dengan margin positif, terdapat
bukti invasi perineural atau perivaskuler, tumor dengan kedalaman lebih dari 4 mm,
metastasis nodus limfatikus dengan bukti adanya penyebaran ekstrakapsuler).
Prognosis untuk lesi dini (T1-T2) pada rongga mulut biasanya baik. Dengan tingkat
bertahan hidup selama 5 tahun mencapai 80% hingga 90%. Tingkat bertahan hidup
pada pasien dengan lesi lanjut (T3 dan T4) dapat bervariasi mulai dari 30% hingga
60%, tergantung pada faktor-faktor lain yang mempengaruhi prognosis seperti yang
telah disebutkan sebelumnya.
BIBIR
Kanker pada bibir dapat ditemukan pada sekitar 25% hingga 30% pasien kanker
rongga mulut, dan lebih dari 90% di antaranya berupa SCC dan lebih 90% kasusnya
terjadi pada bibir bawah. Merokok dan paparan sinar matahari merupakan faktor
resiko utama kanker ini. Pembedahan merupakan penatalaksanaan pilihan untuk

lesi yang kecil, dengan pengecualian pada lesi komisura, yang lebih baik diterapi
dengan radiasi. Tingkat penyembuhan kanker ini mencapai 90% jika diterapi pada
stadium dini, sedangkan untuk penyakit stadium lanjut, angka bertahan hidupnya
dalam 5 tahun hanya mencapai 50%. Metastasis nodus limfatikus berkaitan dengan
lesi yang lebih luas; tumor pada bibir atas dan komisura juga penyebaran perineural
sepanjang saraf mentalis memiliki prognosis yang lebih buruk.

MUKOSA BUCCAL
Kanker mukosa buccal dapat ditemukan pada 5% kanker rongga mulut. Merokok,
penggunaan alkohol, perokok pasif, dan kebiasaan makan sirih berkaitan dengan
kanker buccal. Daerah pada sepertiga molar bawah merupakan tempat yang sering
ditemukan kanker buccal, dan pasien biasanya datang dengan keluhan trismus
karena kankernya sudah menyebar pada otot pterigoideus. Metastasis leher biasa
ditemukan (50%) dan biasanya berkaitan prognosis yang lebih buruk. Eksisi lokal
yang luas merupakan penatalaksanaan pilihan, dan apabila memungkinkan, dapat
dilakukan mandibuloektomi marginal untuk mendapatkan margin yang lebih bersih.
Penyakit stadium dini memiliki tingkat penyembuhan yang berkisar antara 60%
hingga 70%, sedangkan untuk penyakit stadium lanjut memiliki tingkat bertahan
hidup mencapai 40%. Rekurensi lokal-regional merupakan masalah yang penting
untuk diatasi. Angka bertahan hidup dapat meningkat dengan penggunaan terapi
radiasi pasca-pembedahan. Defek pembedahan dapat direkonstruksi dengan
menggunakan flap advancement lokal (seperti lidah) atau membutuhkan
rekonstruksi free flap.
LANTAI MULUT
Sekitar 10% hingga 15% kanker rongga mulut terjadi pada lantai mulut. Sekitar 50%
pasien datang dengan metastasis pada daerah servikal, yang mana, keberadaan
lesi rongga mulut lainnya dapat memperburuk prognosis. Penyebaran ke otot lidah
dalam dan mandibula sering ditemukan, membutuhkan glosoektomi parsial dan
mandibuloektomi marginal atau segmental dengan disertai rekonstruksi free flap
untuk memperoleh margin yang bersih. Metastasis servikal bilateral bukanlah hal
yang sering ditemukan. Secara umum, angka bertahan hidup selama 5 tahun
berkisar antara 30% hingga 70% dengan penyakit stadium I dan II dapat mencapai
70% hingga 80% dan penyakit stadium IV kurang dari 50%.
LIDAH
Kanker lidah (dua pertiga lidah bagian anterior) terjadi pada sekitar 37% pasien
kanker rongga mulut baru di tahun 2005. Glosoektomi parsial yang proses
penutupannya dilakukan dengan penutupan primer, skin grafting, atau rekonstruksi
free flap merupakan penatalaksanaan pilihan pada pasien ini. Ukuran tumor primer
dan gambaran histologis, serta ketebalan tumor memiliki signifikansi prognosis

dalam menentukan rekurensi lokal-regional, lesi yang lebih besar dari 4 mm


memiliki tingkat insidensi metastasis nodal mencapi 40%hingga 50%. Untuk tumor
yang lebih besar dari 4 mm, maka diseksi leher ipsilateral supraomohyoid (tingkat IIII) lebih direkomendasikan sebagai penatalaksanaan. Terdapat sejumlah data yang
meberikan kesan bahwa diseksi hingga tingkat IV lebih memberikan jaminan untuk
mengatasi keberadaan metastasis yang terlewat. Tumor stadium dini memiliki
prognosis yang baik (angka bertahan hidup dalam 3 tahun mencapai 70%-80%
untuk pasien stadium I-II dan 40%-50% untuk pasien stadium III-IV). Pasien stadium
lanjut membutuhkan penatalaksanaan multimodalitas. Terdapat varian kanker lidah
yang terjadi pada pasien yang lebih muda dari 40 tahun tanpa faktor resiko yang
diketahui; kanker ini terlihat lebih agresif dan oleh karena itu membutuhkan terapi
yang agrefi pula. Rehabilitasi bicara dan menelan merupakan hal yang esensial
untuk mendapatkan fungsi hasil pasca-operatif yang baik.
PALATUM DURUM
Jumlah SCC palatum durum mencapai 0,5% dari semua kasus kanker rongga mulut
di Amerika Serikat. Kanker palatum durum dan gingiva diberika penatalaksanaan
berupa eksisi lokal yang luas. Tumor yang dekat dengan atau mencapai tulang dan
tumor yang luas membutuhkan palatektomi parsial atau maksilektomi untuk
memperoleh margin yang bersih. Defek tulang sebaiknya direkonstruksi dengan
protesis palatal atau obturator. Tingkat kesembuhan dalam 5 tahun mencapai 40%
hingga 70% pada pasien yang tidak disertai metastasis nodal.
KANKER LARING
Di Amerika Serikat, pada tahun 2005, insidensi kanker laring diperkirakan mencapai
10.000 kasus baru. Kanker laring biasanya menyerang orang-orang yang berada
pada dekade keenam hingga kedelapan dengan rasio penderita pria terhadap
wanita adalah 4:1. Penggunaan rokok dan penyalahgunaan alkohol merupakan
resiko utama yang berkaitan dengan kanker laring. Laring dibagi menjadi tiga
bagian yakni supraglotis, glots, dan subglotis-pembagian ini memiliki implikasi
berbeda dalam gejala, penatalaksaan dan prognosis.
Supraglotis merupakan daerah laring yang terletak di atas ventrikel laringeal dan
berada di bawah permukaan epiglotis. Supraglotis terdiri atas epiglotis, arytenoid,
selaput aryepiglotika, pita suara palsu, dan ventrikel. Drainase limfatika daerah ini
menuju ke rantai jugulodigastrik superior dan media melalui sinus piriformis dan
bilateral, sehingga hal ini apabila terjadi kanker, biasanya dapat terjadi pada kedua
sisi supraglotis. Saraf sensasi daerah ini dipersarafi oleh cabang nervus laringeal
superior. Kanker supraglotis dapat terjadi pada 35% kasus kanker laring. Glotis
merupakan daerah laring yang terletak di sekitar pita suara sejati. Drainase
limfatikus daerah ini bersifat minimal karena perlekatan mukosa yang sangat erat di
bawah ligamen vokal. Daerah ini dipersarafi oleh nervus laringeal superior. Kanker
glotis dapat ditemukan pada 65% kasus kanker laring. Daerah subglotis terletak di

inferior pita suara sejati dan meluas hingga mencapai kartilago krikoidea. Drainase
limfatika pada daerah ini melalui suatu pembuluh efferen yang masuk hingga ke
dalam nodus limfatikus jugulodigastrikus profunda dan limfonodus paratrakeal dan
pretrakeal secara bilateral. Kanker subglotis terdapat pada 5% kasus kanker laring.
Pembagian lokasi laring ini sangat penting dalam penentuan penatalaksanaan dan
prognosis pada kanker stadium dini; namun pada stadium lanjut, kanker laringeal
dapat meluas hingga mencapai paraglotis (penyebaran secara submukosal di
sekitar laring) dan transglotis (meluas pada area glotis lainnya). Penentuan stadium
untuk kanker laringeal bervariasi dan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3: Sistem penentuan stadium untuk kanker laring


Supraglotis
T1

Tumor terbatas pada daerah asalnya


T2

Tumor menjalar ke aderah sekitar supraglotis, tanpa ada keterlibatan glotis


T3

Tumor terbatas pada laring, perluasan pada dinding posterokrikoid medial dari sinus
piriformis atau ruangan pre-epiglotis
T4

Tumor masif meluas melewati laring hingga mencapai orofaring, jaringan lunak
leher, atau kerusaka kartilago tiroidea
Glotis
T1

Tumor terbatas pada pita suara, mobilitas pita suara masih baik

T1a

Terbatas pada satu pita suara


T1b

Menjalar pada kedua pita suara


T2

Tumor meluas hingga ke supraglotis dan/atau subglotis dengan mobilitas pita suara
yang normal atau terganggu
T3

Tumor hanya terbatas pada laring, terfiksasi erat pada pita suara
T4

Tumor masif, yang disertai dekstruksi kartilago tiroidea dan/atau perluasan melebihi
laring
Gejala yang dapat ditemui pada kanker laringeal antara lain suara parau, nyeri,
disfagia, dan distres pernapasan. Evaluasi pada daerah laring merupakan hal yang
penting dalam penentuan stadium kanker. Gangguan pada pergerakan pita suara
dan perluasan kanker ke area laring lainnya merupakan tanda dari penyakit yang
sudah lanjut dan prognosis untuk kondisi seperti ini biasanya buruk. Kanker yang
mempengaruhi pita suara sejati biasanya memiliki gejala yang berkaitan dengan
gangguan fungsi pernapasan dan fonasi. Onset gejala pada kanker supraglotis
biasanya lambat, meskipun sudah terjadi penyebaran submukosa dan daerah
sekitarnya, gejala baru timbul setelah adanya invasi pada jaringan lunak didekatnya
yang mengakibatkan suara parau, disfagia, odinofagia, otalgia (nyeri alih), dan
distres pernapasan. Pemeriksaan radiologi (CT scan) merupakan pemeriksaan yang
penting dalam menentukan perluasan penyakit primer, kerusakan kartilago
laringeal, dan mengungakapkan keberadaan penyakit yang secara klinis
tersembunyi.
Penatalaksanaan

Berhubung kanker glotis adalah jenis kanker laring yang terbanyak, maka
pembahasan mengenai penatalaksaan kanker laring akan difokuskan pada tipe
glotis. Tujuan penatalaksaan kanker laring adalah mengeradikasi penyakit, sekaligus
mempertahankan fungsi dan anatomi apabila memungkinkan. Penatalaksaan
berupa pembedahan maupun radiasi dapat memberikan kontrol yang baik selama
kanker glotis masih berada pada stadium T1 dan T2. Tingkat bertahan hidup 5
tahun pada semua jenis kanker laring adalah 65%. Tingkat kemampuan kontrol lokal
pada kedua jenis modalitas terapi ini berkisar antara 70% hingga 100%, dan hal
tersebut diperbaiki hasilnya dengan tindakan laringektomi penyelamatan. Tumor
laringeal yang berada pada stadium lanjut, dapat dikontrol secara lokal dengan
tingkat keberhasilan yang berkisar antara 80% hingga 85% untuk T3, serta 60%
hingga 70% untuk T4. Tingkat bertahan hidup pasien yang memiliki lesi TI dan T2
adalah sekitar 80%-90%, sedangkan untuk lesi T3 dan T4 adalah sekitar 50% dan
60%. Kanker laring stadium lanjut membutuhkan terapi multimodalitas yang disertai
dengan total laringektomi (atau modifikasinya) dan terapi radiasi pascapembedahan.
Pembedahan
Kanker glotis stadium dini dapat diterapi secara efektif dengan menggunakan terapi
pembedahan aatau radiasi.Pilihan pembedahan dilakukan untuk kanker glotis
stadium dini meliputi pelepasan pita suara, pembedahan mikro laser transoral,
hemilaringektomi, laringektomi subtotal (laringektomi parsial suprakrikoid [SCPL]),
dan laringektomi total. Keuntungan terapi pembedahan adalah ekstirpasi penyakit
secara komplit, dan menyimpan terapi lain (seperti radiasi) untuk persiapan
menghadapi kemungkinan rekurensi di masa depan. Pelepasan pita suara dan
pembedahan mikro laser dapat mengakibatkan timbulnya jaringan parut yang
dapat menyulitkan evaluasi terhadap kemungkinan rekurensi. Laringektomi parsial
vertikal (VPL atau hemilaringektomi) melibatkan pengangkatan separuh dari laring
secara vertikal sekaligus tetap mempertahankan separuh lainnya secara vertikal
juga, untuk mempertahankan suara dan fungsi laring lainnya. Pasien yang tumornya
mengecil setelah radiasi merupakan kandidat yang baik untuk prosedur ini.
Untuk kanker supraglotis stadium dini (T1 dan T2), laringektomi horizontal atau
supraglotis dapat dilakukan sebagai terapi. Krikoid dan setidaknya satu arytenoid
dipertahankan dan dijahit ke dasar lidah. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan
respirasi yang adekuat, suara, dan fungsi menelan. Kandidat yang bagus untuk
prosedur ini adalah pasien yang memiliki cadangan fungsi paru dan jantung yang
adekuat untuk mencegah terjadinya pneumonia aspirasi.
SCPL merupakan suatu teknik pembedahan yang merupakan perluasan dari
laringektomi horizontal. Prosedur ini dapat mempertahankan fungsi suara dan
memungkinkan laringektomi hampir total tanpa trakeostoma permanen. SCPL
meliputi pengangkatan pita suara palsu dan sejati, keseluruhan kartilago tiroidea
termasuk seluruh ruangan paraglotis, dan salah satu bagian atau semua bagian dari

supraglotis dan ruangan pra-epiglotis. Pada sejumlah kasus tertentu, satu arytenoid
bisa jadi ikut direseksi. Fungsi fonasi dan deglutisi dapat dipertahankan dengan
pergerakan arytenoid yang masih tersisa yang melawan dasar lidah. Prosedur ini
membutuhkan kemahiran karena dalam pengerjaannya, kita harus menggunakan
laringeal framework untuk mempertahankan fungsi suara asli, sekaligus melakukan
reseksi tumor true en bloc.
Laringektomi total merupakan prosedur cadangan untuk penyakit kanker stadium
lanjut (T3 dan T4) atau pada pasien yang gagal diterapi dengan penatalaksanaan
sebelumnya dan pada pasien yang kemungkinan keluaran fungsionalnya jelek
(suara dan menelan) meskipun dilakukan prosedur pembedahan untuk
mempertahankan fungsi suara. Diseksi leher lateral yang dilakukan secara bilateral
dapat dilakukan secara bersamaan untuk penyakit yang meluas (laringektomi
lapangan luas), dan hemi-atau total tiroidektomi dilakukan pada penyakit kanker
yang menghancurkan kartilago atau mengenai sinus piriformis, subglotis, atau
nodus limfatikus paratrakeal. Pada kasus yang mengalami perluasan kanker hingga
ke hipofaringeal atau esofageal servikalis, prosedur laringofaringektomi dapat
dilakukan dan perbaikan jaringan defek dilakukan dengan rekonstruksi transfer
jaringan mikrovaskuler. Radiasi pasca-pembedahan harus diberikan untuk semua
penyakit kanker tahap lanjut. Konsultasi pada ahli patologi suara esensial dilakukan
pada saat pra-pembedahan agar rehabilitasi suara dan menelan pasca-pembedahan
bisa lebih adekuat. Rehabilitasi suara dapat dilakukan dengan elektrolaring, punktur
trakeoesofageal atau esofageal. Untuk mengawasi kemungkinan rekuresi, pasien
harus di follow up secara ketat, dan kita harus memperhatikan adanya gejala
hipotiroidisme potensial (baik karena pembedahan maupun radiasi).
Terapi Radiasi
Terapi radiasi dianjurkan sebagai penatalaksanaan pilihan untuk penyakit kanker
stadium dini karena tingkat keberhasilan kontrol lokal pada terapi ini cukup tinggi.
Keuntungan terapi radiasi adalah dapat mempertahankan anatomi dan fungsi suara.
Kerugian terapi ini adalah adanya kemungkinan sekuele pasca-radiasi (seperti
xerostamia, radionekrosis pada laringeal framework) dan kita tidak bisa lagi
menggunakan radiasi apabila terjadi rekurensi. Radiasi pasca-pembedahan
biasanya diberikan pada pasien yang mengalami kanker yang meluas (seperti
menyebar secara submukosa, perluasan ke daerah laring lainnya [seperti supraatau subglotis, perluasan ekstralaringeal]), penyakit dengan margin positif, ada
tumor pada beberapa nodus limfatikus, atau terjadi penyebaran kanker
ekstrakapsuler, dan pasien yang membutuhkan trakeostomi prelaringektomi (yang
memiliki resiko tinggi mengalami rekurensi stomal).
Dosis tipikal untuk radiasi primer pada kanker laringeal stadium dini adalah 65
hingga 75 Gy. Untukkanker glotis radiasi dapat difokuskan pada lokasi primer karena
rendahnya insidensi metastasis noda. Untuk kanker supraglotis dengan tingginya
kemungkinan metastasis servikal saat diagnosis ditegakkan, maka lapangan radiasi

sebaiknya diperluas hingga mencapai drainase nodus limfatikus (tingkat II-V),


dengan dosis antara 50 hingga 60 Gy.
KANKER OROFARING, NASOFARING, DAN HIPOFARING
Faring merupakan suatu struktur tubular yang berisi laring. Faring dapat dibagi
menjadi tiga bagian yakni nasofaring, orofaring, dan hipofaring. Batas anatomis dari
orofaring adalah pilar tonsilar anterior, uvula,dan dasar lidah, dan permukaan
vallkula epiglotis bagian inferior. Tonsila faringea dan dasar lidah termasuk dalam
bagian orofaring. Struktur yang memisahkan nasofaring dari orofaring adalah
palatum molle. Batas dari hipofaring adalah permukaan laringeal dari epidlotis,
sinus piriformis, dinding posterior faringeal, dan area di belakang krikoid di atas otot
krikofaringeus. Drainase limfatikus untuk nasofaring adalah kumpulan nodus
limfatikus retrofaringeal, nodus limfatikus parafaringeal, dan nodus limfatikus
jugulodigastrik superior dan posterior. Drainase limfatikus orofaring adalah rantai
nodus limfatikus jugulodigastrik superior dan profunda, sedangkan drainase
hipofaring adalah rantai jugulodigastrik media, dan inferior profunda. Metastasis
bilateral pada leher jarang terjadi. Ruangan parafaringeal merupakan suatu ruangan
yang terletak di luar faring yang sejati. Bentuknya menyerupai piramida dam ,eluas
dari dasar tulang tengkorak hingga tulang hyoid. Kebanyakan tumor pada daerah ini
bersifat jinak; dan kebanyakan tumor yang berasal dari lobus profunda kelenjar
paratiroid dan beberapat tumor yang memiliki varian histologis yang tidak biasa
seperti adenoma pleomorfik, paraganglionoma, dan tumor neurogenik
(schwannoma dan neurofibroma), lebih sering ditemukan dari pada SCC yang biasa
terjadi pada traktus aerodigestif.
Gejala yang sering ditemukan pada pasien kanker faring adalah nyeri, disfagia,
otalgia, dan massa pada leher. Untuk mengobati penyakit ini serta mengurangi
morbiditas dan mempertahankan fungsi (menelan), maka kita dapat menggunakan
radiasi sinar eksternal (pada tonsil, hipofaring, dasar lidah) sebagai
penatalaksanaan pilihan. Tingkat bertahan hidup dengan menggunakan terapi ini
berkisar antara 70% hingga 80% untuk stadium I dan II sedangkan untuk stadium
lanjut hanya 50%. Pembedahan biasanya dijadikan cadangan untuk lesi kecil dan
penyakit rekuren, karena morbiditas setelah pembedahan cukup tinggi. Brakiterapi
juga digunakan oleh beberapa pusat kesehatan untuk mengatasi tumor pada dasar
lidah.
Kanker nasofaring merupakan suatu keganasan yang berasal dari daerah dekat
fossa Rossenmuller di nasofaring. Kanker ini sering ditemukan pada daerah China
dan Afrika, dan penyakit ini berkaitan erat dengan infeksi virus Ebstein-Bar (EBV).
Titer kapsid antigen IgA virus EBV (VC) dan IgA antigen dini (EA) merupakan
penanda tumor untuk rekurensi penyakit ini. Usia rata-rata penderita kanker ini
adalah dekade kelima dan keenam. Kebanyakan pasien datang karena adanya
massa leher yang tidak nyeri, obstruksi nasal, otitis media serosa unilateral, atau
epistaksis. Neuropati kranialis (terutama yang melibatkan saraf kranialis II, IV, V,

dan VI) dapat terjadi karena invasi pada dasar tulang tengkorak, yang dapat
ditemukan pada 25% pasien. Massa ireguler dapat terlihat pada nasofaringoskopi.
Tumor ini diklasifikasikan menurut klasifikasi WHO (tipe I adalah tumor SCC
berkeratin yang berdiferensiasi bagus, tipe II adalah karsinoma tak berkeratin, dan
tipe III adalah karsinoma yang berdiferensiasi jelek [atau tidak berdiferensiasi sama
sekali], termasuk limfoepitelima, dan karsinoma anaplastik).
Terapi utama kanker ini adalah kemoterapi berbasis cisplatin dan terapi radiasi.
Penentuan derajat tumor didasarkan oleh perluasan penyakit. Stadium I hanya
terbatas pada nasofaring; stadium II melibatkan perluasan hingga ke orofaring,
fossa nasal, dan ruangan parafaringeal; stadium III sudah terdapat keterlibatan
dasar tulang tengkorak dan sinus paranasalis; stadium IV sudah mengalami
perluasan hingga ke intratemporal, orbita dan hipofaring, atau perluasannya hingga
ke intrakranial dan/atau adenopati servikal. Angka bertahan hidup kanker
nasofaring adalah kurang dari 20% untuk tumor tipe I dan mendekati 50% untuk
tumor tipe II dan III. Pembedahan sangat terbatas digunakan untuk terapi kanker ini.
Hanya bisa digunakan untuk kanker stadium dini, tapi angka morbiditasnya cukup
tinggi. Diseksi leher dilakukan untuk kanker residual pasca-kemoterapi.
Kanker hipofaing biasanya ditemukan saat penyakit sudah mencapai stadium lanjut
(lebih besar dari 60% merupakan stadium III dan IV) dan berkaitan dengan kontrol
lokal yang buruk dan angka bertahan hidupnya sangat rendah. Mayoritas kanker ini
terjadi pada sinus piriformis (70%-80%) dan penyakit yang melibatkan nodus
limfatikus sering menyertai gejala yang timbul (70%-80%). Kemoradiasi merupakan
terapi pilihan utama untuk penyakit ini, namun laringektomi total atau
laringofaringektomi kadang-kadang cocok untuk mengatasinya. Angka bertahan
hidup pasien yang menderita kanker hipofaringeal sangat kecil berkisar antara 20%
hingga 40%.
KANKER RONGGA HIDUNG DAN SINUS PARANASALIS
Rongga hidung meluas dari dorsum nasl eksternal dan apertura piriformis hingga
sampai ke choana dan nasofaring, dan dari lantai hidung (yang tersusun atas
maksila di anteriornya dan tulang palatina di posteriornya) hingga mencapai atap
hidung (yang merupakan tempat berdiamnya bulbus olfaktorius dan saraf kranialis
I). Septum nasal yang tersusun atas kartilago pada bagian anteriornya serta vomer
dan lempeng perpendikuler tulang ethmoid pada bagian posteriornya, membagi
rongga hidung menjadi dua ruangan. Dinding lateral hidung terdiri atas ostium sinus
paranasal, duktus nasofrontal; dan konka superior, media, dan inferior. Ruangan
hidung dan sinus paranasalis dilapisi oleh epitel respiratoris (epitel kolumner
berlapis bersilia), kecuali pada vestibulum nasi yang dilapisi oleh epitel skuamosa
berkeratin. Inervasi sensoris pada mukosa nasa l dan paranasal berasal dari cabang
saraf trigeminal (V1 dan V2). Aliran darah berasal dari arteri karotis eksternal (labial
superior, angular, dan arteri makslirasi interna) dan arteri karotis interna (arteri
ethmoidal anterioe dan posterior.

Ada empat buah sinus paranasalis yang berpasangan yakni: sinus maksilaris, sinus
frontalis, sinus ethmoidalis, dan sinus sphenoid. Sinus berhubungan langsung
dengan rongga hidung melalui ostium.Ostium dari sinus maksilarasi terletak pada
konka media pada kompleks osteomeatal, begitu juga dengan sinus ethmoidalis
anterior dan media. Drainase sinus frontalis melalui duktus nasofrontal yang
terletak di aspek anterior hidung. Ostium sinus sphenoid terletak di konka superior.
Drainase limfatikus sinus paranasalis melalui nodus limfatikus retrofaringeal,
parafaringeal, dan jugulodigastrik superior.
Gejala yang sering ditemukan pada penderita tumor sinonasal adalah obstruksi
hidung, nyeri wajah, keram pada wajah, dan epistaksis. Pasien juga bisa mengalami
otitis media serosa yang unilateral (karena obstruksi pada ostium tuba Eustachius),
epifora, atau air mata berlebih (karena adanya obstruksi pada duktus
nasolakrimalis, yang bermuara pada bagian bawah konka nasalis inferior).
Metastasis nodus limfatikus merupakan hal yang jarang terjadi dalam keganasan
sinonasal. Paparan akibat kerja merupakan hal yang berkaitan erat dengan
sejumlah keganasan sinonasal (seperti serbuk kayu dengan adenokarsinoma,
menghirup nikel dan logam berat berkaitan dengan SCC).
Evaluasi pada hidung dan sinus paranasalis meliputi inspeksi eksternal dan
endoskopi. Biopsi pada tumor nasal dan paranasal harus dilakukan dengan hati-hati
karena resiko perdarahan dan kebocoran cairan cerebrospinalis akibat perluasan
tumor ke intrakranial, dan sebaiknya dilakukan pemeriksaan radiologis sebelum
prosedur biopsi dijalankan. Pemeriksaan radiologis (baik itu CT scan maupun MRI)
merupakan modalitas yang penting dalam menentukan perluasan tumor (seperti
perluasan hingga ke otak, orbita, dasar tulang tengkorak, dan fossa infratemporal).
CT kontras dapat digunakan untuk menentukan adanya kerusakan tulang dan lesi
intravaskuler. MRI sangat membantu dalam menentukan kerusakan jaringan lunak
(baik itu intrakranial maupun intraorbital) dan pemeriksaan ini dapat membedakan
antara tumor dengan cairan pada mode pemeriksaan T2.
Tumor jinak pada rongga hidung meliputi papiloma nasal, dan angiofibroma.
Papiloma nasal dibagi menjadi skuamosa dan Schneiderian papiloma (tipe ini yang
terbanyak). Papiloma Schneiderian biasanya memiliki gejala berupa obstruksi
hidung unilateral, epistaksis, dan rinorea. Ada tiga subtipe papiloma Schneiderian
yakni: silindris, septal, dan inverting, dua tipe yang terakhir merupakan yang
tersering. Papiloma septal terdapat pada 50% kasus papiloma Schneiderian.
Papiloma ini berasal dari septum nasal, bentuknya eksofit, dan sering terjadi pada
pria pada dekade usia ketiga dan keenam. Papiloma inverting biasanya berasal dari
dinding hidung lateral, berbentuk polipoid, sering terjadi pada pria (dekade usia
kelima hingga kedelapan), dan sesuai dengan namanya, tumor ini tumbuh
mendorong stroma ke arah dalam (oleh karena itu namanya papiloma inverting).
Sekitar 15% tumor sinonasal menyembunyikan SCC, dan ada resiko (10%) terjadi
degenerasi skuamosa. Pembedahan eksisi merupakan penatalaksanaan pilihan

pada tumor sinonasal; hal ini dapat berupa maksiloektomi medial, atau reseksi
terbuka atau endoskopis pada dinding lateral hidung.
Angiofibroma merupakan tumor vaskular lokal yang jinak namun merusak. Tumor ini
sering ditemukan pada anak muda (dekade kedua hingga keempat) yang datang
dengan keluhan hidung tersumbat secara unilateral yang berulang, epistaksis yang
sulit berhenti. Tumor ini berupa massa mulus yang berlobulasi berasal dari dinding
hidung lateral di bagian posterior dekat foramen sphenopalatina (saluran aliran
darah yang berasal dari arteri sphenopalatina). CT kontras atau MRI merupakan
diagnosis pasti untuk kelainan ini (dinding sinus maksilaris posterior mengalami
kelengkungan ke depan [tanda Hollman-Miller]). Biopsi di klinik tidak boleh
dilakukan karena adanya resiko perdarahan. Pembedahan yang diikunti dengan
embolisasi (dalam 48 jam) merupakan penatalaksanaan pilihan untuk tumor ini.
Keganasan sinonasal jarang ditemukan, kira-kira hanya 5% dari semua jenis
keganasan di kepala dan leher. Diagnosis banding untuk keganasan sinonasal
antara lain melanoma mukosal, sarkoma, SCC, karsinoma sinonasal yang tak
berdiferensiasi (SNUC), limfoma (limfoma sel-T angiosentrik), estesioneuroblastoma
(disebut juga neuroblastoma olfaktorius), plasmasitoma ekstrameduler,
adenokarsinoma, dan karsinoma kistik adenoid. Pewarnaan hematoksilin dan eosin
dapat mengungkapkan sel biru kecil, yang membuat diagnosis semakin sluti.
Analisis imunohistokimia meruapakan modalitas yang penting untuk menegakkan
diagnosis.
Tipe kanker sinonasal yang paling sering adalah SCC, keganasan ini sering terjadi
pada pria di dekade kehidupan keenam hingga kedepalan. Secara histologis, SCC di
sinonasal mirip dengan SCC di kepala, maupun di bagian tubuh yang lain.
Melanoma mukosal jarang ditemukan (1%-2% dari semua melanoma), dengan rasio
yang sama antara pria dan wanita. Sepertiga dari semua kasus itu bisa jadi bersifat
amelanotik, dan pewarnaan imunohistokimia merupakan pemeriksaan yang
diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Angka bertahan hidup keganasan ini
cukup rendah, hanya 30% pasien yang dapat bertahan hidup dalam 5 tahun.
Estesioneuroblastoma merupakan tumor yang jarang ditemukan. Berasal dari
neuroepitelium olfaktorius yang mengalami perluasan di intranasal. Epistaksis,
anosmia, nyeri, dan sumbatan hidung merupakan gejala yang sering ditemukan
pada tumor ini. Kombinasi pembedahan nasal dan intrakranial (reseksi kraniofasial)
yang diikuti dengan radiasi merupakan terapi pilihan untuk penyakit ini. Angka
bertahan hidup pasien ini mencapai 70% untuk kasus yang dapat direseksi,
meskipun terdapat kemungkinan rekurensi yang tinggi. Limfoma T-sel angiosentrik
merupakan suatu jenis limfoma non-Hodgkin yang dapat menimbulkan gejala
berupa sumbatan pada hidung, epistaksis, dan kerusakan jaringan lokal pada garis
tengah wajah (septum). Jaringannya sangat paruh dan tampak nekrotik pada
pemeriksaan endoskopi. Biopsi multipel dibutuhkan untuk mengkonfirmasi
diagnosis. Radiasi merupakan terapi pilihan untuk penyakit ini. Sarkoma sinonasal
merupakan suatu keganasan yang jarang ditemukan dan prognosis kanker ini cukup

buruk. Terapi sarkoma sinonasal adalah kombinasi antara radiasi dan pembedahan.
Namun kemoterapi juga dapat digunakan tergantung pada tipe histologisnya. SNUC
juga merupakan salah satu keganasan yang jarang dan prognosisnya juga jelek.
Perluasan secara lokal sering ditemukan (intrakranial dan intraorbital). Reseksi
kraniofasial dengan radiasi pasca-pembedahan merupakan terapi pilihan untuk
keganasan ini. Plasmasitoma ekstrameduler merupakan tipe neoplasma yang
terlokalisasi pada plasma sel. Dan ini adalah tumor plasma sel yang paling sering
ditemui pada kepala dan leher; dan penyakit ini dapat ditemukan pada 1% dari
semua kasus neoplasma kepala dan leher. Pria lebih sering terkena penyakit ini
dengan rasio terhadap wanita sekitar 3:1, dan sekitar 70% terjadi di kepala dan
leher. Gejala penyakit ini adalah hidung tersumbat dan epistaksis. CT dan MRI tidak
bersifat diagnostik, dan biopsi adalah modalitas penting untuk menegakkan
diagnosis. Pewarnaan untuk menemukan cahaya rantai kappa dan lambda dapat
mengkonfirmasi diagnosis. Pengawasan ketat perlu dilakukan pada pasien ini untuk
mengantisipasi perkembangannya menuju mieloma multipel yang bisa terjadi pada
30% kasus. Radiasi merupakan pilihan terapi untuk penyakit ini dengan kontrol lokal
yang mencapai 70% hingga 80% dan angka bertahan hidup berkisar di antara 60%
hingga 70%. Adenokarsinoma dan karsinoma adeno kistik sering ditemukan pada
keganasan sinonasal dan keganasan ini dapat menyebar secara lokal maupun
melalui perineural.
Pembedahan yang diikuti dengan radiasi merupakan terapi pilihan untuk penyakit
tersebut. Tumor yang kecil dapat diangkat melalui pembedahan ekstirpasi via
pendekatan terbuka atau endoskopis. Tumor sel skuamosa yang kecil pada
vestibulum nasi dapat memberikan respon yang baik terhadap brakiterapi. Namun
karena lambatnya timbul gejala klinis mengakibatkan kebanyakan tumor sinonasal
dan perluasan hingga ke dasar tulang tengkorak dan orbita, mengakibatkan proses
pembedahan memiliki morbiditas yang tinggi (seperti sekuele neurologis dan
mengorbankan mata). Pembedahan dapat dilakukan melalui rinektomi parsial atau
total, maksilektomi parsial atau total, dan melepaskan sinus (ethmoidalis dan
frontal), eksenterasi orbital, dan yang dikombinasikan dengan pendekatan
pembedahan saraf untuk perluasan intrakranial (reseksi kraniofasial). Diseksi leher
menjadi cadangan terapi untuk penyakit yang secara klinis cukup besar. Terdapat
sejumlah data yang memberikan kesan bahwa kemoterapi pra-pembedahan dapat
berguna untuk mengurangi pembedahan yang luas, tapi hingga sekarang data ini
masih berada dalam tahap investigasi. Prognosis keganasan sinonasal cukup buruk,
dengan angka bertahan hidup dalam 5 tahun hanya mencapai 20% hingga 30%.
Angka bertahan hidup pada pasien stadium dini (60%-70% untuk T1) lebih baik dari
pasien yang menderita stadium lanjut (10%-20% untuk T4).

PENYEBAB PRIMER YANG TIDAK DIKETAHUI DISERTAI METASTASIS SERVIKAL

Sekitar 2% hingga 9% pasien yang datang dengan keluhan metastasis SCC ke leher
tidak dapat didiagnosis atau kalau pun didiagnosis, maka tak ada diagnosis utama
untuk keluhan yang dialaminya. Namun dengan evaluasi hati-hati dan pemeriksaan
lanjutan, sekitar 90% dari pasien itu akan memiliki diagnosis utama. Hanya sekitar
10% pasien yang diagnosis tumor primernya tidak diketahui. Meskipun adenopati
persisten dapat dikaitkan dengan sejumlah kondisi inflamasi atau infeksi (seperti
penyakit yang disebabkan cakaran kucing, mycobacterium atipikal), adenopati
servikal yang ganas harus dicurigai pada pasien harus dicurigai pada pasien yang
mengalami adenopati persisten selama lebih dari 2 minggu walaupun telah
mendapat terapi antibiotik). Patologi yang sering ditemukan adalah ACC, meskipun
limfoma, metastasis melanoma dari kulit, dan metastasis tiroid, paru-paru, dan
kanker payudara jarang timbul bersama adenopati persisten pada kepala dan leher.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik oleh dokter, termasuk pemeriksaan endoskopi
harus dilakukan pada semua pasien untuk dapat menegakkan diagnosis. Biopsi
acak pada sejumlah lokasi yang potensial tidak dianjurkan. Namun biopsi harus
diarahkan pada beberapa area yang mencurigakan dan tonsilektomi bilateral
diindikasin, tergantung pada lokasi metastasis nodus limfatikaus, karena sebanyak
25% tonsil dapat menyembunyikan penyakit primer yang terselubung. Sebagai
contoh, adenopati kistik atau adenopati tingkat II dapat memberikan kesan sumber
primer yang berasal dari orofaringeal (dasar lidah atau tonsil), sedangkan adenopati
tingkat V kemungkinan primernya berasal dari nasofaringeal atau tiroid dan
keterlibatan nodus supraklavikuler dapat mengindikasikan kelainan primer yang
berasal paru-paru atau traktus gastrointestinal. Lokasi pada traktus aerodigestivus
yang sering menyembunyikan penyakit primer adalah tonsil, dasar lidah, sinus
piriformis, dan nasofaring. Jika FNA memberikan kesan adanya penyebab primer lain
selain SCC, maka pemeriksaan untuk mencari sumber metastasis harus segera
dilakukan. Pemeriksaan langsung pada kepala dan leher seperti CT dan MRI
merupakan modalitas yang penting. Peranan PET dalam pemeriksaan kepala dan
leher belum terlalu sering dilakukan, tapi modalitas ini cukup menjanjikan untuk
memeriksa kelainan primer yang tidak diketahui sumbernya.
Penatalaksanaan untuk kelainan servikal yang penyebab primernya tidak diketahui
adalah pembedahan (diseksi leher), radiasi, atau pembedahan yang diikuti dengan
terapi radiasi pada kumpulan nodus limfatikus atau iradiasi elektif pada lokasi
mukosal yang sering ditemukan tumor (seperti nasofaring, orofaring, hipofaring,
dan supraglotis). Beberapa data memberikan kesan bahwa angka kejadian kelainan
primer yang tersembuyi dapat dilakukan bila pendekatan diagnosisnya dibuat lebih
lama. Namun beberapa peneliti menganggap hal ini kontroversial dan
merekomendasikan agar radiasi disimpan sebagai cadangan pada lokasi tertentu
hingga penyebab primernya berkembang dan lebih jelas terlihat untuk mengurangi
morbiditas yang berkaitan dengan radiasi.
Pembedahan untuk primer SCC biasanya memerlukan MRND. Jika terdapat penyakit
nodus limfatikus yang sederhana tanpa ada faktor yang memperburuk prognosis

(seperti penyebaran ekstrakapsuler, keterlibatan nodus limfatikus multipel, kurang


dari 3 cm), maka pembedahan atau radiasi dapat memberikan hasil keluaran yang
bagus. Untuk penyakit yang lebih besar dan agresif, maka pembedahan (MRND,
RND) dan radiasi (biasanya pasca-pembedahan, tapi kadang pra-operatif)
merupakan terapi pilihan. Pembedahan juga diindikasikan untuk mendiagnosis
metastasis kanker tiroid yang berdiferensiasi baik. Prosedur pembedahannya
memerlukan tiroidektomi total dan diseksi leher (lateral dan kompartemen anterior).
Pembedahan untuk tumor yang berasal dari infraklavikuler (seperti payudara atau
traktus gastrointestinal) harus dilakukan secara hati-hati dengan
mempertimbangkan resiko metastasis sistemik ke seluruh tubuh. Jika tumornya
terbatas pada leher tanpa ada metastasis jauh, maka terapi pembedahan dan
radiasi dapat memberikan kontrol lokal yang baik. Untuk tumor yang tidak
berdiferensiasi baik dan memberi kesan berasal dari nasofaring, maka terapi
pilihannya adalah radiasi.
Angka bertahan hidup pasien yang mengalami metastasis skuamosa dari penyebab
primer yang tidak diketahui adalah sekitar 40% hingga 60% meskipun sudah
mendapat terapi radiasi, pembedahan, maupun kombinasinya. Follow up ketat
merupakan hal yang penting hingga sumber primernya akan terungkap sendiri
seperti yang terjadi pada 20% pasien. Prognosis penyakit yang berasal dari sumber
infraklavikuler lebih jelek, kurang dari 10% dari semua kasus.
KANKER TELINGA DAN TULANG TEMPORAL
Telinga tersusun atas telinga luar (pinna, aurikula, dan kanalis eksternal), telinga
tengah, dan telinga dalam. Epitel yang melapisi telinga eksternal adalah epitel
skuamosa yang didalamnya mengandung struktur kelenjar adneksa dan sebaseus,
sedangkan pada telinga tengah, dilapisi oleh epitel goblet bersilia. Jaringan aurikula
dan sepertiga telinga bagian luar tersusun atas kartilago elastis, sedangkan dua
pertiga bagian dalam dan telinga tengah tersusun atas tulang temporal.
Kanker pada telinga dan tulang temporal jarang ditemukan. Hanya ada pada 1%
kasus dari semua kasus keganasan kepala dan leher. Meskipun keganasan kutaneus
pada pinna dan aurikula cukup sering ditemukan, namun kanker pada tulang
temporal sangat jarang ada. Mayoritas tumor telinga melibatkan aurikula
(>80%),yang diikuti oleh saluran telinga dan telinga tengah kemudian mastoid. Pria
lebih sering menderita penyakit ini, dan paparan terhadap sinar matahari
merupakan faktor resiko utama. SCC adalah kanker histologis yang sering dijumpai
pada telinga luar, lalu kemudian karsinoma sel basal. Rhabdomiosarkoma dan
adenokarsinoma dapat terjadi pada telinga tengah. Gejala-gejala yang sering
menyertai keganasan pada telinga dan tulang temporal antara lain nyeri, rasa
penuh pada telinga, tuli konduktif, ulserasi, dan otorea kronik. Perluasan pada
telinga tengah dapat menimbulkan gejala neuropati kranial seperti paralisis saraf
fasialis dan tuli sensorineural pada sekitar sepertiga pasien.

Pembedahan adalah terapi pilihan pada SCC dan karsinoma sel basal, meskipun
terapi radiasi dapat memainkan peranan penting dalam sejumlah kasus tertentu.
Lesi kecil pada telinga luar dapat diterapi secara efektif melalui aurikuloektomi
parsial atau total. Lesi pada kanalis eksterna yang dini dapat secara efektif diterapi
dengan reseksi lengan. Reseksi tulang temporal lateral merupakan terapi cadangan
untuk tumor yang luas dengan perluasan ke medial, yang kemungkinan besar dapat
dilakukan parotidektomi untuk metastasis nodus limfatikus parotis.
Angka bertahan hidup pasien yang menderita kanker telinga luar mencapai 90%
jika kankernya terbatas pada aurikula, dan prognosisnya semakin memburuk pada
perluasan ke arah medial dan telinga tengah hingga, dan angka bertahan hidupnya
hanya mencapai 30%. Keganasan pada tulang temporal memiliki angkat bertahan
hidup hanya 20% hingga 30% dalam 5 tahun.
NEOPLASMA KELENJAR LUDAH
Jaringan kelenjar ludah pada traktus aerodigestif terdiri dari tiga pasang kelejar
besar-kelejar parotis, submandibula atau submaksila, dan kelenjar sublingualis- dan
ribuan kelejar kecil yang terletak pada mukosa bibir, buccal, palatum durum dan
molle, dan orofaring. Kelejar parotis terletak dilateral dan posterior mandibula,
dapat dibagi menjadi lobus superfisial dan lobus profunda yang dilalui oleh saraf
fasialis. Lobus profunda kelejar parotis terletak di prestiloid, ruangan parafaringeal,
dan kebanyakan tumor kelenjar ludah berasal dari daerah ini (seperti adenoma
plomorfik). Duktus kelejar ludah (duktus Stenso) membawa ludah menuju intraoral
dekat dengan molar kedua maksila. Nodus limfatikus terletak pada glandula dan
berkaitan dengan nodus limfatikus yang berkaitan dengan kumpulan nodus
limfatikus yang berasal dari kulit kepala, dan keganasan pada telinga. Kelenjar
submandibula terletak dibawah mandibula dan duktusnya (duktus Wharton), aliran
ludah dibawa dekat frenulum lidah pada lantai mulut. Saraf fasialis cabang
mandibula marginal terletak di superfisial kelenkar, pembuluh darah fasialis
melekat (dan berkaitan dengan nodus limfatikus) pada kelenjar submandibula serta
saraf hipoglosus dan lingualis berkaitan erat dengan permukaan dalam kelenjar.
Kelenjar sublingualis terletak pada mukosa dalam lantai mulut di atas otot
mylohyoid.
Tumor kelenjar ludah dapat terjadi pada kelenjar mayor maupun kelenjar minor,
namun tumor ini paling sering ditemukan pada kelenjar mayor. Berdasarkan
presentasi, kelejar parotis adalah kelenjar yang paling sering diserang tumor sekitar
90%, dan mayoritas tumor ini bersifat jinak (80%). Makin kecil ukuran kelenjar,
maka resiko keganasan mengalami peningkatan. Lima puluh persen tumor yang
terjadi pada kelenjar submandibula bersifat ganas dan 80% tumor yang ada pada
kelenjar sublingual adalah tumor ganas. Beberapa tumor berhubungan dengan
radiasi dan kebiasaan merokok (contoh tumor Warthin). Namun, mayoritas tumor
kelenjar ludah tidak memiliki faktor resiko yang bisa diidentifikasi.

Kebanyakan tumor kelenjar ludah ditandai oleh gejala massa yang tidak nyeri,
meskipun pertumbuhannya cepat dan nyeri kadang-kadang dapat terjadi, namun
hal tersebut tidak selalu berarti keganasan. Karena penyakit inflamasi atau infeksi
bisa mempunyai gejala yang sama (seperti parotitis atau penyakit kolagen vaskuler
seperti sindrom Sjorgen atau granulomatosis Wegner). Paralisis saraf fasialis,
metastasis pada nodus limfatikus, dan invasi jaringan lunak merupakan indikasi dari
penyakit yang agresif. Sebagai catatan, Bells palsy (paralisis saraf fasialis idiopatik)
adalah diagnosis ekslusi, dan pasien yang mengalami kelumpuhan saraf fasialis
tiba-tiba yang kemungkinan besar disebabkan oleh keganasan parotis (baik itu
bersifat primer atau metastasis dari lesi primer di kulit) tidak boleh didiagnosis
sebagai Bells palsy.
FNA sangat membantu dalam penegakkan diagnosis namun hal ini tergantung pada
pengalaman dan kemampuan dari dokter sitopatologisnya (tingkat akurasi
mencapai 60% - 90%). Jika FNA tidak dapat menegakkan diagnosis, maka kita perlu
melakukan biopsi eksisional terbuka. Pada kasus tumor parotis, biopsi eksisi
memerlukan tindakan parotidektomi superfisialis untuk mengidentifikasi dan
mempertahankan saraf fasialis. Biopsi insisional harus dihindari untuk mencegah
kerusakan pada tumor, tumpahan tumor, dan pada kasus tumor parotis, cedera
saraf fasialis. CT dan MRI dapat membantu dalam menentukan rincian perluasan
penyakit (seperti perluasan pada ruangan parafaringeal atau perluasan ke tulang
tengkorak).
Mayoritas tumor kelenjar ludah bersifat jinak, dan adenoma pleomorfik adalah jenis
yang terbanyak ditemukan. Tumor jinak lain termasuk tumor Warthin (yang
berkaitan dengan merokok dan dapat bilateral pada 10% kasus), adenoma
monomorfik, dan onkositoma. Tumor ganas pada kelenjar ludah antara lain
karsinoma mukoepidermoid, karsnioma kistik adenoid, adenokarsinoma, dan SCC.
Penatalaksanaan
Pembedahan merupakan terapi pilihan untuk semua jenis tumor parotis. Untuk
tumor jinak, paratidektomi dan eksisi kelenjar submandibula dapat berguna sebagai
tindakan diagnostik sekaligus kuratif. Karena adanya hubungan yang sangat dekat
antara kelenjar parotis dan submandibula dengan cabang persarafan saraf fasialis,
maka morbiditas terapi ini berkaitan dengan paralisis saraf fasialis, dan apabila
tumor menjalar hingga ke saraf, maka itu adalah indikasi untuk melakukan
pengorbanan pada saraf. Adenoma pleomorfik meruapakan tumor jinak yang paling
sering ditemukan pada kelenjar saliva. Kita harus berhati-hati saat melepaskan
jaringan normal di sekitar tumor untuk mencegah ruptur pada pseudokapsul dan
tumpahan tumor, sehingga dapat mengurangi angka rekurensi.
Tumor ganas pada kelenjar ludah biasnya membtuhkan terapi pembedahan dan
radiasi. Kecuali pada neoplasma stadium awal (seperti karsinoma mukuepidermoid
dan adenokarsinoma polimorfik), yang dapat diterapi dengan pembedahan

saja.Parotidektomi superfisial diindikasikan untuk lesi kecil.Untuk tumor parotis


dengan perluasan hingga ke lobus dalam, parotidektomi total dengan
mempertahankan saraf fasialis merupakan penatalaksanaan pilihan. Keterlibatan
saraf fasialis pada perluasan tumor menjadi indikasi untuk mengorbankan saraf
untuk mencegah perluasan tumor.Pada kasus seperti ini, Saraf harus diperiksa
hingga ke arah proksimal (bahkan kalau perlu hingga batang otak) untuk
memastikan tidak lagi ada tumor. Terutama hal ini dilakukan pada karsinoma
adenoid kistik sejati karena tumor ini bersifat neurotropik. Pengorbanan yang
dilakukan pada saraf fasialis harus segera diperbaiki dengan menggunakan grafting
interpersonal (menggunakan saraf suralis dari kaki atau saraf cutaneus media
antebrakhial) atau grafiting saraf kranialis dari saraf XII ke saraf VII. Tumor parotis
yang mengalami ekstensi lokal (menajalr hingga ke kanalis eksternal atau kulit)
membutuhkan mastoidektomi (untuk memeriksa saraf secara proksimal) dan
pengangkatan bagian lateral dari tulang temporal. Eksisi kelenjar submadibular
merupakan terapi untuk tumor submadibular. Begitu juga pada kelenjar parotis,
hanya perluasan tumor yang mencapai saraf yang mengindikasikan perngorbanan
saraf (seperti contoh saraf lingualis dan saraf hipoglosus), dan perluasan lokal
hingga ke jaringan sekitar (seperti pada lantai lidah, dan otot mulut). Disekssi
selektif biasanya disimpan untuk penyakit yang tampak secara klinis.
Radiasi merupakan terapi cadangn yang diberikan pada pasien yang menderita
tumor ganas namun tidak memungkinkan untuk dilakukan operasi atau pasien
menolak dilakukan operasi, begitu juga untuk pasien yang mendapat terapi pascapembedahan pada pasien resiko tinggi dan penyakit rekuren. Penyakit penyakit
keganasan yang biasanya mendapat terapi radiasi antara lain karsinoma kistik
adenoid, karsinoma mukoepidermoid, adenokarsinoma tahap lanjut, SCC, dan
penyakit metastatis.
Angka bertahan hidup selama lima tahun pasien tumor jinak biasanya mencapai
100%, dengan kemungkinan rekurensi yang tinggi pada pasien yang terapi
inisialnya tidak adekuat. Untuk tumor ganas, angka bertahan hidup selama 5 tahun
adalah sekitar 70% hingga 90% untuk tumor tahap dini, dan 20% hingga 30% untuk
tumor tahap lanjut. Resiko rekurensi regional dan daerah yang lebih adalah sekitar
15% hingga 20% dan sering terjadi pada kasus invasi perineural (seperti pada
karsinoma adenoid kistik). Karsinoma adenoid kistik memiliki kecenderungan
menyebar melalui saraf dan bermetastasis ke paru-paru, pengawasan pada pasien
harus mencakup pemeriksaan radiologis (seperti MRI dan X-ray dada) untuk
mengekslusi rekurensi.

Home
about me!
RSS

Dentisha's Blog
Dentisha's Blog
Just another WordPress.com site
heyyah dance dulu sebelum belajar
picture widgets

Bedah Mulut
Konservasi
Orto
Perio
PKM
Prosto
Uncategorized

Infeksi Odontogenik
Filed under: Bedah Mulut 1 Comment
June 21, 2010

1. Infeksi Odontogenik dan Spasia Wajah Dalam (Deep Facial Space)

1.1 Patofisiologi infeksi

Berikutnya akan dijelaskan mengenai kepatogenesisan fisiologi yang menyebabkan


adanya infeksi, dinataranya adalah:

1.1.1

Virulensi dan resistensi

Flora normal biasanya hidup secara komensalisme dengan host. Apabila keadaan
memungkinkan terjadinya invasi, baik oleh flora normal ataupun asing, maka dapat
terjadi perubahan hubungan menjadi parasitisme. Lingkungan biokimia jaringan
setempat akan menentukan kerentanan dan ketahanan hospes terhadap
mikrorganisme.

Serangan mikroorganisme diawali dengan terjadinya luka langsung, sehingga


memungkinkan mikroorganisme melakukan invasi, mengeluarkan eksotoxin,
endotoxin dengan cara autolisis (pada dinding sel bakteri gram negatif). Sedangkan
host dapat menunjukkan reaksi alergi terhadap produk-produk mikrobial atau
kadang-kadang menimbulkan gangguan langsung terhadap fungsi metabolisme sel
oleh sel-sel hospes.

1.1.2

Pertahanan sel

Respon lokal dari host adalah terjadinya peradangan. Proses ini diawali dengan
dilatasi kapiler, terkumpulnya cairan edema, penyumbatan limfatik oleh fibrin.
Didukung oleh kemotaksis maka akan terjadi fagositosis. Daerah tersebut menjadi
sangat asam dan protease selular cenderung menginduksi terjadinya lisis terhadap
leukosit. Akhirnya makrofag mononuklear timbul, memangsa debris leukositik,
membuka jalan untuk pemulihan terhadap proses infeksi dan penyembuhan.

1.1.3

Pertahanan humoral

Respon sistemik host adalah pertahanan humoral, yaitu reaksi antigen-antibodi.


Antibodi menetralkan toksin bakteri, mencegah perlekatan dan mengaktifkan
komplemen. Komplemen berperan dalam pengenalan host terhadap bakteri dan
memicu proses fagositosis.

1.1.4

Gambaran klinis infeksi

Akibat perubahan jaringan yang disebabkan karena aktivitas bakteri dan


pertahanan lokal dari host serta mekanisme serupa yang bekerja secara sistemik),
menimbulkan gambaran klinis infeksi. Rasa sakit tekan, eritema dan edema mudah
dikenali sebagai manifestasi suatu peradangan. Kadang-kadang bakteri yang
memproduksi gas bisa memicu dan mendukung terjadinya respon pembengkakan.
Pernanahan adalah akibat langsung dari mekanisme lokal pertahanan virulensi
bakteri.

1.1.5

Manifestasi sistemik dari infeksi

Manifestasi sistemik yang utama dari infeksi adalah demam ( temperatur mulut di
atas 37,5oC dianggap febril). Keadaan tersebut mungkin disebabkan oleh
endotoksin bakteri, ekstrak leukosit, hipermetabolisme, defisiensi cairan, atau
kombinasi dari hal-hal tersebut. Bakteremia bisa mengakibatkan demam, malaise,
hipotensi, takikardia, takhipnea. Sistem hematopoetik merespon dengan terjadinya
leukositosis (sel darah putih di atas 10.000/mm3) dan meningkatkan neutrofil
polimorfonuklear. Perubahan yang lain adalah meningkatnya laju endap darah (ESR)
yang normalnya adalah 0-20 mm/jam menjadi 30-70 mm/jam pada keadaan infeksi.

1.2 Jalur penyebaran infeksi dental

Infeksi odontogenik memiliki 2 sumber, yaitu :

Periapical

Berawal dari nekrosis pulpa yang dilanjutkan dengan invasi bakteri ke jaringan
periapikal

Periodontal

Berawal dari poket periodontal yang dalam yang memudahkan bakteri masuk ke
jaringan lunak.

Nekrosis pulpa karena karies yang dalam, akan memberikan jalan bagi bakteri
untuk memasuki jaringan periapical. Ketika jaringan ini telah diinokulasi oleh bakteri
lalu terjadi infeksi aktif, maka infeksi menyebar ke berbagai arah, terutama yang
paling sedikit memiliki pertahanan. Infeksi menyebar melalui tulang cancellous
hingga lempeng cortical. Jika lempeng cortical tipis, infeksi akan mengikis tulang
dan memasuki jaringan lunak.

Lokasi infeksi yang spesifik tergantung pada 2 faktor utama, yaitu

Ketebalan tulang pada apex gigi

Ketika infeksi mencapai tulang, infeksi akan memasuki jaringan lunak melalui
bagian tulang yang palig tipis.

Gambar di bawah menunjukkan bagaimana infeksi yang mengalami perforasi


melewati tulang sampai jaringan lunak. Pada gambar A, tulang labial yang
mendasari apex gigi lebih tipis dibandingkan dengan tulang pada bagian palatal.
Karena itu, proses infeksi menyebar ke dalam jaringan lunak labial. Pada gambar B,
tulang labial lebih tebal dan tulang palatal lebih tipis. Dalam situasi ini, infeksi
menyebar melalui tulang ke dalam jaringan lunak, sehingga disebut abses palatal.

Hubungan pada tempat perforasi dari tulang ke perlekatan otot pada maxila dan
mandibula.

Pada gambar A, infeksi mengikis melalui aspek labial dari gigi dan menginfeksi
perlekatan dari otot buccinators, sehingga menghasilkan infeksi yang tampak
sebagai vestibular abscess. Pada gambar B, infeksi mengikis melalui tulang superior
ke perlekatan dari otot buccinator, dan akan dinyatakan sebagai infeksi ruang
buccal (buccal space).

Infeksi dari kebanyakan gigi pada maxilla melalui lempeng labiobuccocortical.


Infeksi ini juga melalui tulang dibawah perlekatan dari otot yang melekat ke maxilla,
yang berarti kebanyakan abses pada maxilla diawali oleh abses vestibular. Infeksi
pada mandibula biasanya melalui lempeng labiobuccocortical dan diatas tempat
berkumpulnya otot-otot, sehingga menghasilkan abses vestibular.

Infeksi odontogenic yang paling umum terjadi ialah abses vestibular. Kadang pasien
mengobati infeksi ini, dan proses tersebut akan menghasilkan pemecahan infeksi.
Kadang-kadang abscess ini membentuk sinus kronis ke kavitas oral. Selama sinus
tersebut terus membesar, pasien tidak akan merasa sakit. Antibiotik dapat
menghentikan infeksi ini, tetapi ketika antibiotik dihentikan, infeksi akan berulang.

1.3 Pengobatan infeksi odontogenik

1.3.1

Perawatan infeksi dengan pembedahan

Prinsip utama dari perawatan infeksi odontogenik adalah melakukan pembedahan


drainase dan menghilangkan penyebab dari infeksi. Tujuan utamanya adalah
menghilangkan pulpa nekrotik dan poket periodontal yang dalam. Tujuan yang
kedua adalah menghilangkan pus dan nekrotik debris.

Ketika pasien memiliki infeksi odontogenik yang biasanya terlihat abses vestibular
yang kecil. Dokter gigi memiliki 3 pilihan untuk perawatannya, diantaranya adalah
perawatan endodontik, extraksi, dan insisi drainase (I&D). Jika tidak dilakukan
ekstraksi, bagian tersebut harus dibukan dan pulpa harus dihilangkan, sehinga
menghilangkan penyebab dari infeksi dan menghasilkan drainase yang terbatas.
Jika gigi tidak bisa diselamatkan, harus dilakukan ekstraksi secepatnya.

Ekstraksi memberikan baik menghilangkan penyebab dari infeksi dan drainase dari
akumulasi pus dna debris. Pada prosedur I&D, insisi dari cavitas abses memberikan
drainase untuk akumulasi pus dan bakteri dari jaringan dibawahnya. Drainase dari
pus dapat mengurangi tekanan terhadap jaringan, berarti menambah supply darah
dan meningkatkan antibodi dari host. Prosedur I&D termasuk insersi dari saluran
untuk mencegah penutupan dari insisi mucosa, yang akan mengakibatkan
deformasi dari abses cavitas.Jika perawatan endodontik dengan membuka gigi tidak
bisa memberikan drainase yang adekuat, maka lebih baik memilih perawatan I&D.

Sebelum melakukan prosedur I&D, perlu diperimbangkan untuk melakuakan tes


culture dan sensitivitas (C&S) pada spesimen pus. Ketika area lokasi telah di
anestesi, jarum ukuran besar, biasa ukuran 18, digunakan untuk pengumpulan
specimen. Syringe kecil, biasanya 2 ml, sudah cukup. Permukaan dari mukosa
didisinfeksi dengan larutan seperti betadine lalu dikeringkan dengan sterile gauze.
Kemudian jarum di masukan ke dalam abses kavitas, dan 1 atau 2 ml dari pus
diaspirasikan. Syringe dipegang secara vertical, dan beberapa gelembung udara
yang terkandung dalam syringe disemprotkan.

Ujung dari jarum lalu ditutupi oleh rubber stopper dan diambil secara langsung
untuk laboratorium mikrobiologi. Metode ini digunakan untuk mendapatkan jenis
bakterinya, seperti yang dibicarakan sebelumnya bahwa bakteri anaerob hampir
selalu hadir dalam infeksi odontogenik.

Sesudah culture specimen didapatkan, insisi dibuat dengan blade no 11 melewati


mucosa dan submucosa ke dalam kavitas abses. Insisi sebaiknya pendek tidak lebih
dari 1 cm. Sesudah insersi selesai, curved hemostat yang pendek di masukan
melewati insisi ke dalam abes kavitas. Hemostat kemudian membuka ke berbagai
arah untuk memisahkan beberapa lokulasi kecil atau kavitas dari pus yang tidak
terbuka oleh insisi awal. Pus dianjurkan agar mengalir keluar selama proses dengan
menggunakan suction, pus sebaiknya tidak dianjurkan mengalir dalam mulut
pasien.

Sesudah semua area dari abses cavitas dibuka, dan semua pus dibuang, saluran
kecil dimasukan untuk mempertahankan pembukaan. Umumnya saluran yang
digunakan untuk intraoral abses adalah saluran inch steril Penrose. Yang biasanya
digunakan sebagai pengganti adalah strip kecil sterilisasi dari rubber dam. Saluran
tersebut dimasukan dengan menggunakan hemostat. Saluran kemudian di jahitan
ke dalam tempat dengan jahitan yang nonresobrsi. Jahitan sebaiknya ditempatkan
di daerah yang terlihat untuk mencegah hilangnya saluran yang telah ada.

Saluran sebaiknya tetap dalam tempat sampai pembuangan dari abses cavitas
berhenti, biasanya 2-5 hari. Tahap awal infeksi yang terlihat awal-awal sebagai
cellulitis dengan pembengkakan yang soft, doughty, dan menyebar, sebenarnya
bukan respon khas terhadap prosedur I&D. Surgical management infeksi dari tipe ini
terbatas untuk pembersihan nekrosis dari pulpa atau pembersihan dari gigi yang
terlibat.

Sangatlah kritikal untuk berpikir bahwa metode utama untuk penyembuhan infeksi
odontogenik adalah dengan melakukan surgery untuk membersihkan sumber dari
infeksi dan membuang pus dimana saja pus itu berada.

Jika surgeon bertanya apakah pus tersebut ada, test aspirasi sebaiknya dilakukan
dengan jarum ukuran 18.Tahapan yang perlu dipikirkan oleh surgeon adalah,
pertama surgeon sebaiknya memutuskan jika pasien memiliki abcess, apakah gigi
sebaiknya di ekstrasi dan abcess dibuang, atau pemisahan dengan I&D. Lalu pasien
sebaiknya diberi antibiotic, jika pasien tidak memiliki abcess tetapi memiliki
cellulitis yang ringan, gigi sebaiknya diekstrasi dan pasien diberikan antibiotic. Jika
cellulitis berat, extraksi dan I&D sebaiknya dilakukan, antibiotic juga diberikan.

1.3.2

Memilih antibiotik yang tepat

Pemilihan antibiotik harus dilakukan dengan hati-hati. Sering terjadi salah


pemahaman bahwa semua infeksi harus diberikan antibiotik, padahal tidak semua
infeksi perlu diberikan antibiotik. Pada beberapa situasi, antibiotik mungkin tidak
banyak berguna dan justru bisa menimbulkan kontraindikasi. Untuk
menentukannya, ada 3 faktor yang perlu dipertimbangkan. Yang pertama adalah
keseriusan infeksi ketika pasien datan ke dokter gigi. Jika pasien datang dengan
pembengkakan yang ringan, progress infeksi yang cepat, atau difuse celulitis,
antibiotik bisa ditambahkan dalam perawatan. Faktor yang kedua adalah jika
perawatan bedah bisa mencapai kondisi adekuat. Pada banyak situasi ekstraksi bisa
menyebabkan mempercepat penyembuhan infeksi.Pada keadaan lain, pencabutan
mungkin saja tidak bisa dilakuakan. Sehingga, terapi antibiotik sangat perlu
dilakukan untuk mengontrol infeksi sehingga gigi bisa dicabut. Pertimbangan yang
ketiga adalah keadaan pertahanan tubuh pasien. Pasien yang muda dan dengan
kondisi sehat memiliki antibodi yang baik, sehingga penggunaan antibiotik bisa
digunakan lebih sedikit. Di sisi lain, pasien dengan penurunan pertahanan tubuh,
seperti pasien dengan penyakit metablik atau yang melakukan kemoterapi pada
kanker, mungkin memerlukan antibiotik yang cukup besar walaupun infeksinya
kecil.

Indikasi penggunaan antibiotik :

Pembengkakan yang berproges cepat


Pembengkakan meluas
Pertahanan tubuh yang baik
Keterlibatan spasia wajah
Pericoronitis parah
Osteomyelitis

Kontra indikasi penggunaan antibiotik :

abses kronik yang terlokalisasi


abses vestibular minor
soket kering
pericoronitis ringan

Pengobatan pilihan pada infeksi adalah penisilin. Penicillin ialah bakterisidal,


berspektrum sempit, meliputi streptococci dan oral anaerob, yang mana
bertanggung jawab kira-kira untuk 90% infeksi odontogenic, memiliki toksisitas
yang rendah, dan tidak mahal.

Untuk pasien yang alergi penisilin, bisa digunakan clarytromycin dan clindamycin.
Cephalosporin dan cefadroxil sangat berguna untuk infeksi yang lebih luas.
Cefadroxil diberikan dua kali sehari dan cephalexin diberikan empat kali sehari.
Tetracycline, terutama doxycycline adalah pilihan yang baik untuk infeksi yang
ringan. Metronidazole dapat berguna ketika hanya terdapat bakteri anaerob.

Pada umumnya antibiotik harus terus diminum hingga 2 atau 3 hari setelah infeksi
hilang, karena secara klinis biasanya seorang pasien yang telah dirawat dengan
pengobatan antibiotik maupun pembedahan akan mengalami perbaikan yang
sangat dramatis dalam penampakan gejala di hari ke-2, dan terlihat asimptomatik
di hari ke-4. Maka dari itu, antibiotik harus tetap diminum hingga 2 hari setelahnya
(total sekitar 6 atau 7 hari).

Dalam situasi tertentu dimana tidak dilakukan pembedahan (contohnya endodontik


atau ekstraksi), maka resolusi dari infeksi akan lebih lama sehingga antibiotik harus
tetap diminum hingga 9 10 hari. Penambahan beberapa administrasi obat
antibiotik juga dapat dilakukan untuk infeksi yang tidak sembuh dengan cepat.

1.4 Infeksi spasia wajah

Fascia adalah suatu balutan jaringan pengikat yang mengelilingi struktur (seperti
pelapis pada otot), dapat menyebabkan peningkatan spasia (space) jaringan yang
potensial dan jalur yang menyebabkan penyebaran infeksi.

Spasia wajah adalah ruangan potensial yang dibatasi, ditutupi, atau dilapisi oleh
lapisan jaringan ikat. Lapisan-lapisan pada fascia menghasilkan spasia pada wajah
yang kesemuanya terisi dengan jaringan pengikat longgar areolar

Spasia wajah adalah area fascia-lined yang dapat dikikis atau membengkak berisi
eksudat purulent. Spasia ini tidak tampak pada orang yang sehat namun menjadi
berisi ketika orang sedang mengalami infeksi. Ada yang berisi struktur
neurovascular dan disebut kompartemen, dan ada pula yang berisi loose areolar
connective tissue disebut cleft.

Infeksi odontogenic dapat berkembang menjadi spasia-spasia wajah. Proses


pengikisan (erosi) pada infeksi menembus sampai ke tulang paling tipis hingga
mengakibatkan infeksi pada jaringan sekitar (jaringan yang berbatasan dengan
tulang). Berkembang atau tidaknya menjadi abses spasia wajah, tetap saja hal ini
dihubungkan dengan melekatnya tulang pada sumber infeksi. Kebanyakan infeksi
odontogenik menembus tulang hingga mengakibatkan abses vestibular. Selain itu
terkadang dapat pula langsung mengikis spasia wajah dan mengakibatkan infeksi
spasia wajah. Penyakit odontogenik yang paling sering berlanjut menjadi infeksi
spasia wajah adalah komplikasi dari abses periapikal. Pus yang mengandung bakteri
pada abses periapikal akan berusaha keluar dari apeks gigi, menembus tulang, dan
akhirnya ke jaringan sekitarnya, salah satunya adalah spasia wajah. Gigi mana yang
terkena abses periapikal ini kemudian yang akan menentukan jenis dari spasia
wajah yang terkena infeksi. Tulang hyoid merupakan struktur anatomis yang paling
penting pada leher yang dapat membatasi penyebaran infeksi

Spasia diklasikfikasikan menjadi spasia primer dan spasia sekunder. Spasia primer
diklasifikasikan lagi menjadi spasia primer maxilla dan spasia primer mandibula.
Spasia primer maxilla terdapat pada canine, buccal, dan ruang infratemporal.
Sedangkan spasia primer mandibula terdapat pada submental, buccal, ruang
submandibular dan sublingual. Infeksi juga dapat terjadi di tempat-tempat lain yang
disebut sebagai spasia sekunder, yaitu pada Masseteric, pterygomandibular,
superficial dan deep temporal, lateral pharyngeal, retropharyngeal, dan
prevertebral.

1.4.1

Spasia kanina

Spasia kanina merupakan ruang tipis di antara levator angulioris dan M. labii
superioris. Spasia kanina terbentuk akibat dari infeksi yang terjadi pada gigi caninus
rahang atas. Gigi caninus merupakan satu-sarunya gigi dengan akar yang cukup
panjang untuk menyebabkan pengikisan sepanjang tulang alveolar superior hingga
otot atau facial expression. Infeksi ini mengikis bagian superior hingga ke dasar M.
levator anguli oris dan menembus dasar M. levator labii superior.

Ketika spasia ini terinfeksi, gejala klinisnya yaitu pembengkakan pipi bagian depan
dan swelling pada permukaan anterior menyebabkan lipatan nasolabial menghilang.
Penyebaran lanjut dari infeksi canine spaces dapat menyerang daerah infraorbital
dan sinus kavernosus.

1.4.2

Spasia bukal

Spasia bukalis terikat pada permukaan kulit muka pada aspek lateral dan M.
buccinators dan berisi kelenjar parotis dan n. facialis. Spasia dapat terinfeksi akibat
perpanjangan infeksi dari gigi maxilla dan mandibula. Penyebab utama infeksi
spasia bukal adalah gigi-gigi posterior, terutama Molar maxilla. Spasia bukal
menjadi berhubungan dengan gigi ketika infeksi telah mengikis hingga menembus
tulang superior hingga perlekatan M. buccinators.

Gejala infeksi yaitu edema pipi dan trismus ringan. Keterlibatan spasia bukal dapat
menyebabkan pembengkakan di bawah lengkung zygomatic dan daerah di atas

batas inferior dari mandibula. Sehingga baik lengkung zygomatic dan batas inferior
mandibula Nampak jelas pada infeksi spasi bukal.

1.4.3

Spasia mastikasi (masseter, pterygoid, temporal)

Jika infeksi spasia primer tidak ditangani secara tepat, infeksi dapat meluas ke arah
posterior hingga melibatkan spasia facial sekunder. Ketika spasia sekunder telah
ikut terlibat, infeksi menjadi lebih berat, dapat menyebabkan komplikasi hingga
kematian, dan lebih sulit untuk ditangani. Hal ini dikarenakan spasia sekunder
dikelilingi oleh jaringan ikat fascia yang sedikit sekali mendapat suplai darah.
Sehingga infeksi pada spasia ini sulit ditangani tanpa prosedur pembedahan untuk
mengeluarkan eksudat purulen.

Spasia masseter Spasia masseter berada di antara aspek lateral mandibula dan
batas median m. masseter. Infeksi ini paling sering diakibatkan penyebaran infeksi
dari spasia bukalis atau dari infeksi jaringan lunak di sekitar Molar ketiga mandibula.
Ketika spasia masseter terlibat, area di atas sudut rahang dan ramus menjadi
bengkak. Inflamasi m. masseter ini dapat menyebabkan trismus

Spasia pterygomandibular Spasia pterygomandibular berada ke arah median dari


mandibula dan ke arah lateral menuju m. pterygoid median. Area ini merupakan
area tempat penyuntikan larutan anastesi local disuntikan ketika dilakukan block
pada saraf alveolar inferior. Infeksi pada area ini biasanya merupakan penyebaran
dari infeksi spasia sublingual dan submandibula.

Infeksi pada area ini juga sering menyebabkan trismus pada pasien, tanpa disertai
pembengkakan. Ini lah yang menjadi dasar diagnosa pada infeksi ini

Spasia temporal Spasia temporal berada pada posterior dan superior dari spasia
master dan pterygomandibular. Dibagi menjadia dua bagian oleh m. temporalis.
Bagian pertama yaitu bagian superficial yang meluas menuju m. temporalis,
sedangakn bagian kedua merupakan deep portion yang berhubungan dengan
spasia infratemporal. infeksi ini, baik superficial maupun deep portion hanya terlihat
pada keadaan infeksi yang sudah parah. Ketika infeksi sudah melibatkan spasia
temporalis, itu artinya pembengkakan sudah terjadi di sepanjang area temporal ke
arah superior menuju arcus zygoamticus dan ke posterior menuju sekeliling mata.

Spasia masseter, pterygomandibular, dan temporal juga dikenal sebagai spasia


matikator. Spasia ini saling berhubungan, sehingga ketika salah satunya mengalami
infeksi maka spasia lainnya berkemungkinan juga terkena infeksi

1.4.4

Spasia submandibula dan sublingual

Terletak posterior dan inferior dari m. mylohyoid dan m. platysma. Infeksi berasal
dari gigi molar mandibula dengan ujung akar di bawah m. mylohyoid dan dari
pericoronitis. Gejala infeksi berupa pembengkakan pada daerah segitiga
submandibula leher disekitar sudut mandibula, perabaan terasa lunak dan adanya
trismus ringan.

Kedua spasia ini terbentuk dari perforasi lingual dari infeksi molar mandibula, dan
dapat juga disebabkan infeksi pada premolar. Yang membedakan infeksi tersebut
apakah submandibula atau siblingual adalah perlekatan dari M. mylohyoid pada
ridge mylohyoid pada aspek medial mandibula. Jika infeksi mengikis medial aspek
mandibula di atas garis mylohyoid, artinya infeksi terjadi pada spasia lingual (sering
terjadi pada gigi premolar dan molar). Sedangkan jika infeksi mengikis aspek medial
dari inferior mandibula hingga mylohyoid line , spasia submandibular pun dapat
terkena infeksi.

Molar ketiga mandibula paling sering menjadi penyebab spasia primer mandibula.
Sedangkan molar kedua mandibula dapat mengakibatkan baik spasia sublingual
maupun submandibular.

Spasia sublingual berada di antara mucosa oral dasar mulut dan m. mylohyoid.
Batas posteriornya terbuka hingga berhubungan langsung dengan spasia
submandibular dan spasia sekunder mandibula hingga aspek posterior. Secara
klinis, pada infeksi spasia sublingual sering terlihat pembengkakan intraoral, terlihat
pada bagian yang terinfeksi pada dasar mulut. Infeksi biasanya menjadi bilateral
dan lidah menjadi terangkat (meninggi)

Spasia submandibula berada di antara m. mylohyoid dan lapisan kulit di atasnya


serta fascia superficial. Batas posterior spasia submandibula berhubungan dengan

spasia sekunder dari bagian posterior rahang. Infeksi pada submandibular


menyebabkan pembengakakan yang dimulai dari batas inferior mandibula hingga
meluas secara median menuju m. digastricus dan meluas ke arah posterior menuju
tulang hyoid.

Ketika bilateral submandibula, sublingual dan submentalis terkena infeksi, inilah


yang disebut dengan Ludwigs angina. Infeksi ini menyebar dengan cepat kea rah
posterior menuju spasia sekunder mandibula.

Sulit menelan hampir selalu terjadi pada infeksi ini, disertai dengan elevasi dan
displacement lidah serta pengerasan superior submandibula hingga tulang hyoid

Pasien yang mengalami infeksi ini biasanya mengalami trismus, mengeluarkan


saliva, kesulitan menelan bahkan bernafas yang dapat berkembang menjadi
obstruksi nafas atas yang dapat menyebabkan kematian.

1.4.5

Spasia submental

Spasia submental berada di antara anterior bellies dari m. digastricus dan di antara
m. mylohyoid dengan kulit di atasnya. Spasia ini biasanya terjadi karena infeksi dari
incisor mandibula. Incisor mandibula cukup panjang untuk dapat menyebabkan
infeksi mengikis bagian labial dari tulang apical hingga perlekatan m. mentalis.
Gejala infeksi berupa bengkak pada garis midline yang jelas di bawah dagu. Infeksi
juga dapat terjadi pada batas inferior mandibula hingga ke m. submentalis

1.4.6

Ludwigs Angina

Definisi Ludwigs Angina ialah keadaan dimana adanya sepsis cellulitis di regio
submandibular. Kebanyakan kasus, penyakit ini disebabkan oleh infeksi gigi molar
rahang bawah hingga dasar mulut (akar gigi melekat pada otot mylohyoid) karena
ekstraksi. Infeksi ini berbeda dari jenis cellulitis post-ekstraksi lainnya. Hal utama
yang membedakannya adalah:

Indurasinya kuat. Adanya gangrene dengan keluarnya cairan serosanguinous


yang meragukan ketika dilakukan incise dan tidak jelas apakah itu adalah pus.
Spasia yang terlibat (submandinular, submental, sublingual) terbentuk bilateral.
Pasien biasanya dalam kondisi openmouth, dasar mulutnya elevasi dan lidahnya
protusi. Kondisi ini yang menyebabkan pasien sulit bernafas.

Etiologi Infeksi ini disebabkan oleh streptokokus hemolitik, walaupun bisa jadi
disebabkan pula oleh miksturasi antara bakteri aerob dan anaerob.

Gejala dan tanda klinis: sakit dan bengkak pada leher, leher menjadi merah,
demam, saliva bertambah, lidah bergerak kaku, dan ada edematous di larynx,
lemah, lesu, mudah capek, rasa dingin, bingung dan perubahan mental, dan
kesulitan bernapas (gejala ini menunjukkan adanya suatu keadaan darurat) yaitu
obstruksi jalan nafas. Pasien Ludwig`s angina akan mengeluh bengkak yang jelas
dan lunak pada anterior leher, jika dipalpasi tidak terdapat fluktuasi.

Terapi Pada kasus ini pasien dapat diberi antibiotik dengan spektrum luas dan terapi
suportif. Pada kasus akut dilakukan tracheostomy. Jika tidak ada progress, dapat
dilakukan pembedahan dengan dua alasan:untuk melepaskan tekanan jaringan dan
drainase.

Komplikasi Komplikasi paling serius dari Ludwig`s angina adalah adanya penekanan
jalan nafas akibat pembengkakan yang berlangsung hebat dan dapat menyebabkan
kematian.

1.4.7

Spasia faringeal

Batas anatomi Spasia ini perluasan dari dasar tengkorak di tulang sphenoid menuju
tulang hyoid di inferior dan terletak antara otot pterygoid medial di aspek lateral
dan superior faringeal konstriktor aspek medial. Di bagian depan dibatasi oleh
pterygomandibular raphe dan meluas ke bagian posteriomedia fascia prevertebral.
Prosessus styloid, associated muscles, dan facia membagi spasia ini menjadi
kompartemen anterior yang mengandung selubung carotid dan beberapa nervus
cranial.

Gejala dan tanda klinis infeksi Tanda klinis yang terlihat ialah trismus yang cukup
berat yang merupakan keterlibatan otot pterygoid media; pembengkakan leher
lateral, terutama sudut inferior mendibula; dan pembengkakan dinding faringeal
lateral.ke arah midline. Pasien dengan kasus ini biasanya sulit menelan dan demam.

1.4.8

Spasia retrofaringeal

Batas anatomi Spasia ini terletak di belakangan jaringan lunak aspek posterior
faring. Di bagian depan dibatasi oleh konstriktor faringeal superior; bagian muka
dan posterior oleh alar layer fascia prevetebral. Spasia ini berawal dari dasar
tengkoran dan meluas ke arah inferior di vertebra C7 atau T1, di mana fascia alar
menyatu dengan fascia buccopharyngeal

Gejala dan tanda klinis infeksi (1)Obstruksi jalan nafas atas yang serius sebagai
hasil dari displacement anterior dari dinding faringeal posterior ke arah faring.
(2)Rupturnya abses spasia retrofaringeal dengan masuknya pus ke paru-paru

1.4.9

Mediastinitis

Lokasi anatomi mediastinum Mediastinum adalah ruang ekstrapleura yang dibatasi


sternum di sebelah depan, kolumna vertebralis di sebelah belakang, pleura
mediastinal di sebelah lateral kiri dan kanan, di superior oleh thoracic inlet dan di
inferior oleh diafragma. Mediastinum terdiri dari tiga area : anterosuperior
mediastinum, middle mediastinum, posterior mediastinum. Mediastinitis adalah
peradangan di daerah mediastinum yang terdiri dari mediastinitis akut dan kronik
(fibrosing mediastinitis).

Penyebaran infeksi Dalam kasus ini faktor penyebab diperkirakan berasal dari otitis
media yang berkembang menjadi mastoiditis lalu menyebabkan osteitis dan
periostitis yang akan mendestruksi korteks dari mastoid lalu menyebar melalui fasia
leher ke dalam mediatinum.

Gejala dan tanda klinis Pada kasus ini dijumpai gejala klinis berupa demam hilang
timbul, sesak nafas, nyeri menelan serta riwayat penyakit penyerta berupa
diabetes, mastoiditis kronis dan infeksi telinga, pada pemeriksaan fisik tak
didapatkan kelainan. Gejala klinis ini sesuai dengan kepustakaan dimana demam
yang ditimbulkan bersifat lowgrade dan dapat menjadi hectic bila kontaminasi
terhadap mediastinum terus berlangsung, gejala lainnya dapat berupa
pembengkakan pada daerah leher, nyeri pada substernal, nyeri pada prekordial
dalam, punggung dan epigastrium yang dapat menyerupai gejala akut abdomen.

Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai panas tinggi, takikardi, edema dari leher dan
kepala, emfisema subkutan. Pada orang dewasa distress pernafasan dapat terjadi
yang mengindikasikan terjadinya pneumotorak atau efusi pleura sedangkan pada
anak anak dapat terjadi pernafasan stakato akibat nyeri saat bernafas.

Terapi Terapi pembedahan dengan kombinasi penggunaan antibiotik dalam kasus


ini sudah tepat yaitu untuk drainase abses sesuai dengan kepustakaan yang
mengatakan drainase abses dapat dengan torakotomi seperti kasus diatas
khususnya pada pasien yang sakit berat atau melalui pendekatan
cervicomediastinal dimana insisi pararel dengan M. sternokleidomastoideus, lalu
diretraksi ke lateral, maka terdapat akses ke sarung karotis dan ruang pretrakeal
serta retroviseral, cara ini dapat digunakan untuk drainase mediastinum sampai ke
level vertebra torakal empat di posterior dan percabangan trakea di anterior. Aspek
inferior mediastinum harus di drainase transpleura / ekstrapleura, melalui bidang
posterior dari iga yang bersangkutan. 1,2 Walaupun saat ini telah diperkenalkan
berbagai cara pencucian mediastinum yaitu : pendekatan subxiphoid, median
sternotomy dan thorakoskopi, tetapi posterolateral torakotomi tetap di
rekomendasikan dan merupakan kombinasi terbaik dengan CT scan toraks serial
walaupun gejala klinis dari infeksi tak ditemukan. Trombolitik intrapleura dengan
dosis urokinase 5400 IU/Kg/hari dapat digunakan untuk penanganan komplikasi
mediastinitis berupa empiema sehingga cairan dapat di drainase melalui selang
WSD.

1.4.10

Terapi infeksi spasia wajah

Ada lima hal yang ditempuh dalam dalam mengatasi infeksi spasia ini, diantaranya
adalah:

Medical support untuk mengoreksi pertahanan imun, termasuk di dalamnya


pemberian analgesic.
Pemberian antibiotik yang tepat, yakni dosis tinggi bakterisidal yang diberikan
secara intravena.
Surgical removal
Surgical drainage
Evaluasi konstan dari perawatan infeksi

Osteomielitis

Osteomyelitis rahang adalah suatu infeksi yang ekstensif pada tulang rahang, yang
mengenai spongiosa, sumsum tulang, kortex, dan periosteum. Infeksi terjadi pada
bagian tulang yang terkalsifikasi ketika cairan dalam rongga medullary atau
dibawah periosteum mengganggu suplai darah. Tulang yang terinfeksi menjadi
nekrosis ketika ischemia terbentuk. Perubahan pertahanan host yang mendasar
terdapat pada mayoritas pasien yang mengalami ostemyelitis pada rahang. Kondisikondisi yang merubah persarafan tulang menjadikan pasien rentan terhadap onset
ostemielitis, kondisi-kondisi ini antara lain radiasi, osteoporosis, osteopetrosis,
penyakit tulang Paget, dan tumor ganas tulang.

Komplikasi yang dapat terjadi akibat osteomyelitis, serupa dengan komplikasi yang
disebabkan oleh infeksi odontogen, dapat merupakan komplikasi ringan sampai
terjadinya kematian akibat septikemia, pneumonia, meningitis, dan trombosis pada
sinus kavernosus. Diagnosis yang tepat amat penting untuk pemberian terapi yang
efektif, sehingga dapat memberikan prognosis yang lebih baik.

2.1 Definisi

Istilah osteomyelitis pada literatur berarti inflamasi sumsum tulang. Secara klinis,
osteomyelitis biasanya diartikan infeksi dari tulang. Dimulai dari cavitas medulla
(medullary cavity), melibatkan tulang spongiosa (cancellous bone) yang kemudian
menyebar ke tulang kortikal bahkan terkadang sampai ke periosteum. Osteomyelitis
dental atau yang disebut osteomyelitis rahang adalah keadaan infeksi akut atau
kronik pada tulang rahang, biasanya disebabkan karena bakteri.

2.2 Klasifikasi

Bertahun-tahun banyak cara untuk menentukan klasifikasi osteomyelitis. Sistem


klasifikasi yang paling kompleks dikemukakan oleh Ciemy,dkk. Osteomyelitis
diklasifikasikan bedasarkan suppurative dan nonsupurative oleh Lewd van
Waldvogel. Klasifikasi ini kemudian dimodifikasi oleh Topazian:
Osteomielitis supuratif

Osteomielitis nonsupuratif

Osteomielitis supuratif akut

Fokal

Difus

Osteomielitis sclerosis kronis

Osteomielitis supuratif kronis

Primer

Sekunder
Osteomielitis Garre

Osteomielitis pada anak Osteomielitis aktinimikosa


Osteomielitis radiasi

Sistem lainnya dikemukakan oleh Hudson yang membagi osteomyelitis menjadi


bentuk akut dan kronik. Dengan beberapa macam klasifikasi, kontroversi klasifikasi
osteomyelitis jelas terjadi.

FIGURE 17-2 A, Panoramic view of extraction site of tooth no. 32 in an otherwise


healthy 32-year-old patient. The patient experienced multiple episodes of pain and
swelling in the right posterior mandible after tooth no. 32 was removed. B, Close-up
of the panoramic view of the no. 32 site. C, Axial computed tomography scan of the
no. 32 site. D, Coronal computed tomography scan of the no. 32 site. Note the
moth-eaten bone and bone sequestrum. E, Transoral dbridements of the right
posterior mandible. F, Bone dbrided and adjacent tooth no. 31 removed. Tissue eas
sent for culture and sensitivity and histopathology.
Acute Osteomyelitis
Contigous focus

Chronic osteomyelitis

Recurrent multifocal

Progressive Garres
Hematogenous

Suppurative/ non suppurative

Sclerosing

Chronic sclerosing osteomyelitis

Chronic suppurative osteomyelitis

2.3 Faktor predisposisi

Faktor predisposisi utamanya ialah fraktur mandibula dan didahului oleh infeksi
odontogenik. Dua kejadian ini jarang menyebabkan infeksi pada tulang kecuali jika
ketahanan tubuh host mengalami gangguan seperti alcoholism malnutritional
syndrome, diabetes, kemoterapi penyakit kanker yang dapat menurunkan system
imun pada seseorang, penyakit myeloproliferative seperti leukemia. Pengobatan
yang berhubungan dengan osteomylitis adalah steroid, agen kemoterapi, dan
bisphonate. Kondisi lokal yang kurang baik memengaruhi suplay darah dapat

menjadi predisposisi host pada infeksi tulang. Terapi radiasi, osteopetrosis, dan
pathologi tulang dapat memberikan kedudukan yang potensial bagi osteomyelitis.

2.4 Etiologi dan pathogenesis

Penyebab utama yang paling sering dari osteomyelitis adalah penyakit-penyakit


periodontal (seperti gingivitis, pyorrhea, atau periodontitis, tergantung seberapa
berat penyakitnya). Bakteri yang berperan menyebabkan osteomyelitis sama
dengan yang menyebabkan infeksi odontogenik, yaitu streptococcus, anaerobic
streptococcus seperti Peptostreptococcus spp, dan batang gram negatif pada genus
Fusobacterium dan Prevotella. Cara membedakan osteomyelitis mandibula dengan
osteomyelitis pada tulang lain ialah dari pus yang mengandung Staphylococcus
sehingga staphylococci merupakan bakteri predominan.

Penyebab osteomyelitis yang lain adalah tertinggalnya bakteri di dalam tulang


rahang setelah dilakukannya pencabutan gigi. Ini terjadi karena kebersihan operasi
yang buruk pada daerah gigi yang diekstraksi dan tertinggalnya bakteri di
dalamnya. Hal tersebut menyebabkan tulang rahang membentuk tulang baru di
atas lubang sebagai pengganti pembentukan tulang baru di dalam lubang, dimana
akan meninggalkan ruang kosong pada tulang rahang (disebut cavitas). Cavitas ini
ditemukan jaringan iskemik (berkurangnya vaskularisasi), nekrotik, osteomielitik,
gangren dan bahkan sangat toksik. Cavitas tersebut akan bertahan, memproduksi
toksin dan menghancurkan tulang di sekitarnya, dan membuat toksin tertimbun
dalam sistem imun. Bila sudah sampai keadaan seperti ini maka harus ditangani
oleh ahli bedah mulut.

Penyebab umum yang ketiga dari osteomyelitis dental adalah gangren radix.
Setelah gigi menjadi gangren radix yang terinfeksi, diperlukan suatu prosedur
pengambilan, tetapi seringnya tidak komplit diambil dan tertinggal di dalam tulang
rahang, selanjutnya akan memproduksi toksin yang merusak tulang di sekitarnya
sampai gigi dan tulang nekrotik di sekitarnya hilang.

Pada pembedahan gigi, trauma wajah yang melibatkan gigi, pemakaian kawat gigi,
atau pemasangan alat lain yang berfungsi sebagai jembatan yang akan membuat
tekanan pada gigi (apapun yang dapat menarik gigi dari socketnya) dapat
menyebabkan bermulanya osteomyelitis.

Selain penyebab osteomyelitis di atas, infeksi ini juga bisa di sebabkan trauma
berupa patah tulang yang terbuka, penyebaran dari stomatitis, tonsillitis, infeksi
sinus, furukolosis maupun infeksi yang hematogen (menyebar melalui aliran darah).
Inflamasi yang disebabkan bakteri pyogenik ini meliputi seluruh struktur yang
membentuk tulang, mulai dari medulla, kortex dan periosteum dan semakin parah
pada keadaan penderita dengan daya tahan tubuh rendah.

Invasi bakteri pada tulang spongiosa menyebabkan inflamasi dan edema di rongga
sumsum (marrow spaces) sehingga menekan pembuluh darah tulang dan
selanjutnya menghambat suplay darah. Kegagalan mikrosirkulasi pada tulang
spongiosa merupakan faktor utama terjadinya osteomyelitis, karena area yang
terkena menjadi iskemik dan tulang bernekrosis. Selanjutnya bakteri berproliferasi
karena mekanisme pertahanan yang banyak berasal dari darah tidak sampai pada
jaringan dan osteomyelitis akan menyebar sampai dihentikan oleh tindakan medis.

Pada regio maxillofacial, osteomyelitis terutama terjadi sebagai hasil dari


penyebaran infeksi odontogenik atau sebagai hasil dari trauma. Hematogenous
osteomyelitis primer langka dalam region maxillofacial, umumnya terjadi pada
remaja. Proses dewasa diinisiasi oleh suntikan bakteri kedalam tulang rahang. Ini
dapat terjadi dengan ekstraksi gigi, terapi saluran akar, atau fraktur
mandibula/maksila. Awalnya menghasilkan dalam bakteri yang diinduksi oleh
proses inflamasi. Dalam tubuh host yang sehat, proses ini dapat self-limiting dan
component dapat dihilangkan. Terkadang, dalam host normal dan compromised
host, hal ini potensial untuk proses dalam kemajuannya kepada titik dimana
mempertimbangkan patologik. Dengan inflamasi, terdapat hyperemia dan
peningkatan aliran darah ke area yang terinfeksi. Tambahan leukosit didapatkan ke
area ini untuk melawan infeksi. Pus dibentuk ketika suplay bakteri berlimpah dan
debris sel tidak dapat dieliminasi oleh mekanisme pertahanan tubuh. Ketika pus dan
respon inflamasi yang berikutnya terjadi di sumsum tulang, tekanan intramedullary
ditingkatkan dibuat dengan menurunkan suplay darah ke region ini. Pus dapat
berjalan melewati haversian dan volkmanns canal untuk menyebarkan diseluruh
tulang medulla dan cortical. Point terakhir yang terjadi adalah ketika pus keluar
jaringan lunak dari intraoral atau ektraoral fistulas.

Walaupun maksila dapat terkena osteomyelitis, hal itu sangat jarang bila
dibandingkan dengan mandibula. Alasan utamanya adalah bahwa peredaran darah
menuju maksila lebih banyak dan terbagi atas beberapa arteri, dimana membentuk
hubungan kompleks dengan pembuluh darah utama. Dibandingkan dengan maksila,

mandibula cenderung mendapat suplai darah dari arteri alveolar inferior. Alasan
lainnya adalah padatnya overlying cortical bone mandible menghambat penetrasi
pembuluh darah periosteal.

2.5 Simptom dan tanda klinis

Gejala awalnya seperti sakit gigi dan terjadi pembengkakan di sekitar pipi,
kemudian pembengkakan ini mereda, selanjutnya penyakitnya bersifat kronis
membentuk fistel kadang tidak menimbulkan sakit yang membuat menderita.

Pasien dengan osteomyelitis regio maxillofacial dapat memperlihatkan gejala klasik,


yaitu:

Sakit

Pembengkakkan dan erythema dari overlying tissues

Adenopathy

Demam intermittent

Paresthesia pembuluh darah alveolar inferior

Gigi goyang

Trismus

Malaise

Fistulas/fistel (saluran nanah yang bermuara di bawah kulit)

Pada osteomylitis akut sering terjadi pembengkakan dan erythema jaringan.


Demam sering muncul dalam osteomyelitis akut. Paresthesia inferior alveolar nerve
adalah tanda klasik dari tekanan pada inferior alveolar nerve dari proses inflamasi
dalam tulang medulla mandibula. Trismus mungkin ada jika ada respon inflamasi
dalam otot mastikasi dari regio maxillofacial. Pasien biasanya malaise dan lelah,
yang akan menyertai beberapa infeksi sistemik. Akhirnya baik intraoral maupun
ekstraoral, fistulas biasa terjadi pada fase kronik osteomyelitis regio maxillofacial.

periapical and interdental osteolytic lesion pada regio anterior mandibula, 3 minggu
setelah onset gejala klinis osteomyelitis

Pada fase akut osteomyelitis, terlihat leukocytosis dengan left shift, biasa dalam
beberapa infeksi akut. Leukocytosis relatif banyak dalam fase kronis osteomylitis.
Pasien mungkin juga menunjukkan erythrocyte sedimentation rate (ESR) and Creactive protein (CRP) yang tinggi. Baik ESR maupun CRP adalah indikator yang
sangat sensitif dari inflamasi tubuh dan sangat tidak spesifik. Oleh karena itu,
keduanya digunakan mengikuti kemajuan klinis osteomylitis.

Acute suppurative osteomyelitis menunjukkan perubahan radiografik yang sedikit


atau tidak sama sekali, sebab membutuhkan 10-12 hari untuk dapat melihat
perubahan kerusakan tulang secara radiografi. Chronic osteomyelitis menunjukkan
destruksi tulang pada area yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan banyaknya
daerah radiolusen yang bentuknya biasanya seragam. Juga bisa terdapat daerah
radiopak di dalam daerah yang radiolusen. Daerah radiopak ini seperti sebuah
pulau yang merupakan tulang yang tidak mengalami resorbsi yang disebut
sequestra (moth-eaten appearance).

2.6 Pengobatan

Terapi osteomyelitis terdiri dari medis dan pembedahan. Acute osteomyelitis rahang
utamanya diobati dengan pemberian antibiotik yang sesuai. Antibiotika ditentukan
berdasarkan hasil pemeriksaan sensitivitas bakteri, dan selama menunggu

sebelum ada hasilnya, dapat diberikan penisilin sebagai drug of choice. Bila pasien
menderita osteomielitis akut yang hebat, perlu dirawat inap untuk dapat diberikan
antibiotika intra vena. Pilihan antibiotik biasanya clindamycin, karena sangat efektif
melawan streptococci dan bakteri anaerob yang biasanya ada pada osteomyelitis..
Pembedahan pada acute suppurative osteomyelitis biasanya terbatas. Biasanya
hanya dilakukan pencabutan gigi yang non-vital pada sekitar daerah yang terifeksi.
Terapi pada chronic osteomyelitis membutuhkan tidak hanya antibiotic tetapi juga
terapi pembedahan. Clindamycin merupakan pilihan obat utama. Mengkultur
material penginfeksi juga sebaiknya dilakukan agar dapat diberikan antibiotik yang
lebih spesifik.

Pemberian antibiotik pada terapi untuk acute dan chronic osteomyelitis ini lebih
lama dibandingkan infeksi odontogenik yang biasa. Untuk acute osteomyelitis
ringan, antibiotic diberikan hingga 4 minggu. Akan tetapi pada acute osteomyelitis
berat, antibiotic terus diberikan hingga 6 bulan.

2.7 Jenis osteomielitis

2.7.1

Osteomyelitis Supuratif

Dulu diduga mikroba penyebab utama osteomyelitis rahang adalah Staphylococcus


aureus, sama dengan penyebab osteomyelitis pada tulang panjang. Belakangan
diketahui hanya kadang-kadang saja mikroba ini ditemukan pada osteomyelitis
rahang, terutama pada kasus osteomyelitis dengan luka ekstra oral yang terinfeksi.
Dari sumbernya infeksi mencapai tulang langsung melalui perluasan penyakit,
secara hematogen atau langsung mengenai tulang misalnya pada compound
fracture.

Pada osteomyelitis supuratif akut, setelah infeksi masuk ke dalam medula terjadi
inflamasi supuratif disini. Dengan terbentuk dan terkumpulnya pus, tekanan dalam
medula menjadi besar, mendorong infeksi meluas sepanjang spongiosa medial dan
lateral ke bagian korteks tulang, menembus sistem Havers dan Volkman mencapai
periosteum. Tekanan ini juga menyebabkan kolapsnya kapiler, stasis dan iskemi di
daerah radang mengakibatkan kematian fragmen-fragmen trabekula. Sementara itu
pus yang mencapai periosteum terkumpul di bawah periosteum, sehingga
periosteum terangkat dari tulang, memutuskan suplai darah ke dalam tulang,

akibatnya terjadi iskemi diikuti dengan kematian tulang, dan tulang mati ini disebut
sekuester.

Pada proses selanjutnya periosteum ruptur dan tembus karena tekanan tersebut,
sehingga pus dan infeksi mencapai jaringan lunak. Tempat tembusnya ini bisa pada
satu tempat atau pada beberapa tempat membentuk saluran sinus (fistel) yang
multipel. Meskipun periosteum terangkat dari tulang dan terkena infeksi, namun
sebagian sel-selnya bertahan hidup yang kemudian bila fase akutnya lewat, akan
membentuk lapisan tulang baru di atas sekuester yang disebut involukrum, dimana
involukrum ini cenderung mengurung sekuester dan mencegahnya keluar.
Involukrum ditembus oleh sinus yang merupakan jalan keluar pus yang disebut
kloaka.

Pada bayi dan anak, osteomyelitis supuratif lebih banyak menyerang maksila dan
terjadi secara hematogen dengan sumber infeksi berupa abrasi kecil atau luka
dikulit yang terjadi waktu dilahirkan, luka di daerah mulut dengan mikroorganisme
berasal dari vagina atau susu ibunya.

Gejala klinis

Osteomyelitis supuratif akut, umumnya didahului oleh rasa sakit yang berlanjut
dengan pembengkakan pada muka. Penderita mengeluh sakit hebat yang berlokasi
dalam disertai demam (kadang-kadang demam tinggi) dan malaise. Bila yang
terkena mandibula, sakitnya terasa menyebar sampai telinga disertai parestesi
bibir. Pembengkakan ini baru timbul setelah terjadinya periosteitis, yang ditandai
dengan kemerahan pada kulit atau mukosa. Di samping itu penderita sukar
membuka mulut (trismus). Gigi-gigi pada rahang yang terkena terasa sakit pada
oklusi, menjadi goyang karena terjadinya destruksi tulang. Gingiva bengkak
(edema) dan pus keluar dari margianal gingiva atau fistel multipel pada mukosa.
Bila yang terkena maksila bagian anterior, tampak bibir membengkak dan menonjol
serta infeksi bisa menyebar ke daerah pipi. Jika yang terkena maksila bagian
posterior, pipi dan infra orbita membengkak dan dengan terkenanya infra orbita ini
bisa disertai dengan penonjolan bola mata. Infeksi ini disertai dengan limfadenopati
regional.

Osteomyelitis kronis terjadi setelah stadium akut menjadi reda. Osteomyelitis kronis
yang melalui fase akut ini disebut Osteomyelitis supuratif kronis sekunder.

Sedangkan osteomyelitis kronis yang terjadi tanpa melalui atau memperlihatkan


fase akut, dimana terus berjalan dengan ringan, disebut osteomyelitis supuratif
kronis primer, dan osteomyelitis tipe ini jarang terjadi.

Gambaran klinis osteomyelitis kronis sama dengan yang akut, hanya gejalagejalanya lebih ringan. Rasa sakit sudah berkurang, tapi demam masih ada. Gigigigi yang goyang pada fase akut kegoyangannya berkurang dan dapat berfungsi
kembali meskipun terasa kurang sempurna. Parestesi bibir berkurang bahkan
mungkin juga hilang, trismus perlahan-lahan berkurang sehingga penderita merasa
lebih enakan. Supurasi dan abses lokal tetap ada dan membentuk fistel multipel
pada mukosa dan kulit, tempat keluarnya pus dan tulang-tulang nekrosis.

Pada keadaan lebih lanjut mungkin sudah tampak sekuester, sebagai tulang yang
terbuka ataupun suatu fraktura patologis. Eksaserbasi akut dari stadium kronis
dapat terjadi secara periodik dengan gejala-gejala sama seperti osteomielitis akut.

Pengobatan

Antibiotika adalah yang pertama dan utama diberikan. Antibiotika diberikan sedini
mungkin dengan dosis masif secara parenteral. Dosis yang tidak adekuat dapat
membuat mikroorganisme resisten.

Drainase harus dibuat sesegera mungkin, untuk mengeluarkan pus, mengurangi


absorpsi bahan toksis, mencegah penyebaran infeksi di dalam tulang dan memberi
jalan untuk terlokalisasinya penyakit. Drainase bisa berupa ekstraksi gigi yang
menjadi infeksi primer dan gigi lainnya yang terkena penyakit dan pada ekstraksi ini
kalau mungkin septum inter radikuler juga diangkat untuk mendapatkan drainase
yang cukup.

Pada kasus akut yang berat, penderita dirawat inap dan harus mendapat istirahat
yang cukup. Diberikan diet makanan dengan tinggi kalori dan tinggi protein serta
multivitamin yang memadai. Rasa sakit ditanggulangi dengan analgesik atau
sedatif.

Sekuesterektomi (intervensi bedah) berupa pengangkatan sekuester dilakukan


sesudah fase akut reda dan diindikasikan bila sekuester memang sudah tampak
pada foto (fase kronis). Pada fase ini penderita dan antibiotika telah dapat
mengatasi virulensi bakteri. Di samping sekuesterektomi, pada beberapa kasus
dimana timbul lubang besar, perlu dilakukan dekortisasi dan suserisasi, agar
periosteum yang dilepaskan dari tulang dapat dikembalikan menutup dan kontak
dengan permukaan tulang, sehingga mempercepat penyembuhan. Pada kasus yang
disertai dengan fraktura patologis dilakukan fiksasi rahang.

2.7.2

Osteomyelitis Non Supuratif

2.7.2.1 Osteomyelitis sklerosis fokal kronis

Pada osteomyelitis sklerosis dan osteomyelitis Garre, infeksi berjalan kronis, daya
tahan tubuh penderita tinggi dan virulensi mikroorganisme rendah, maka yang
terjadi adalah neoosteogenesis dimana sejumlah tulang terbentuk dan diletakkan
sekitar fokus infeksi dalam ruang medula menyebabkan penambahan densitas dan
sklerosis tulang pada bagian perifer daerah infeksi. Neogenesis ini bila berlangsung
dalam periode waktu yang lama memberi gambaran sklerosis padat.

Osteomyelitis skerosis fokal kronis umumnya terjadi pada orang muda usia di
bawah 20 tahun, terjadi pada apeks gigi. Gigi yang terkena biasanya molar pertama
permanen dengan infeksi periapikal ringan yang mengakibatkan sklerosis di sekitar
apeks gigi. Secara klinis tidak memberikan gejala, selain adanya sakit ringan
sehubungan dengan adanya infeksi pulpa.

Gigi yang merupakan sumber infeksi bisa dipertahankan dengan pengobatan


endodontik, atau bisa juga diekstraksi. Bagian tulang yang padat ini kadang-kadang
tidak mengalami remodelisasi dan tetap tampak pada foto meskipun sudah
bertahun-tahun. Ini membuktikan daya tahan tubuh yang dapat mengatasi infeksi,
karena itu tidak perlu pengangkatan tulang sklerosis tersebut, kecuali kalau timbul
keluhan.

2.7.2.2 Osteomyelitis Sklerosis Difus Kronis

Osteomyelitis jenis ini bisa terjadi pada semua umur. Namun seringkali ditemukan
pada orang yang sudah berumur terutama pada mandibula yang sudah tidak
bergigi atau daerah yang tidak bergigi. Penyakit ini pada dasarnya merupakan
penyakit tersembunyi, tidak diketahui kehadirannya secara klinis. Kadang-kadang
tampak eksaserbasi dari suatu infeksi yang sebelumnya tidak tampak, dengan
pembentukan fistel spontan ke permukaan mukosa. Dalam keadaan ini penderita
mengeluh sakit yang samar, dan rasa tidak enak di mulut, gejala klinis lain tidak
ditemukan.

Pengobatan untuk osteomyelitis sklerosis difus kronis merupakan masalah yang


sulit. Lesinya biasanya terlalu luas untuk diambil dengan pembedahan, sedang
pihak lainnya sering terjadi eksaserbasi akut. Pada fase akut bisa diberikan
antibiotika. Lesi ini tidak terlalu membahayakan karena tidak destruktif dan jarang
menimbulkan komplikasi.

Jika pada daerah sklerosis ada gigi yang perlu diekstraksi hendaknya diperhitungkan
kemungkinan terjadinya infeksi dan lamanya penyembuhan luka pasca ekstraksi,
sebab bagian tulang ini avaskuler dan kurang bereaksi terhadap infeksi. Karena itu
kalau giginya akan diekstraksi, hendaknya melalui pendekatan berupa pengambilan
tulang yang cukup untuk memudahkan ekstraksi dan menambahkan pendarahan.
Pada kasus dengan pengambilan tulang yang banyak, defeknya bisa diperbaiki
dengan transplantasi tulang.

2.7.3

Osteomyelitis Aktinomikosis

Aktinomikosis adalah infeksi yang bermanifestasi supuratif granulomatus,


menyerang jaringan lunak dan tulang. Penyakit ini membentuk sinus yang
mengeluarkan granula sulfur yang menyebar menembus batas anatomi bila bakteir
komensal menginvasi jaringan servikofasial, toraks dan abdomen. Jaringan diserang
melalui ekstensi langsung atau melalui hematogen.

Penyebab penyakit ini adalah Actinomyces israelii, suatu bakteri gram positif,
mikroaerofili, tidak membentuk spora dan tidak tahan asam. Infeksi oleh
aktinomises terjadi pada jaringan yang rusak atau yang meradang bersama-sama
dengan mikroba lainnya seperti Bacteroides. Mikroorganisme masuk ke dalam
jaringan lunak secara langsung atau dengan perluasan dari tulang melalui lesi

periapikal atau periodontal, fraktura dan luka ekstraksi. Kemudian infeksi menyebar
dan cenderung muncul pada permukaan kulit daripada mukosa oral.

Gejala klinis

Tampak pembengkakan pada jaringan lunak kulit, tegas, keungu-unguan atau


merah gelap, berminyak dengan daerah-daerah kecil yang menunjukkan fluktuasi.
Dapat terjadi drainase cairan serus yang mengandung materi granuler. Bila ditekan
pada kain kasa, granule ini merupakan massa yang kekuning-kuningan, disebut
granula sulfur, yang merupakan koloni bakteri dan dapat dilihat di bawah
mikroskop. Ada limfadenopati regional, tidak ada trismus, kecuali bila terjadi infeksi
sekunder dan tidak ada keluhan demam ataupun sakit.

Penisilin merupakan obat pilihan. Dosis dan lama pengobatan tergantung kepada
keparahan penyakit. Pada penderita yang alergi terhadap penisilin, bisa diberikan
tetrasiklin, terutama minosiklin, 250 mg 4 kali sehari selama 8 sampai 16 minggu,
atau eritromisin 500 mg, 4 kali sehari selama 6 bulan.

Obat pilihan keduanya doksisiklin atau minosiklin yang diberikan satu kali sehari.
Pemberian obat yang lama ini adalah untuk mencegah terjadinya rekuren. Radiograf
dibuat secara periodik untuk memonitor perubahan pada tulang. Kadang-kadang
perlu sekusterektomi dan sauserisasi. Aktinomikosis meninggalkan jaringan parut
pada kulit dan memerlukan bedah kosmetik.

2.7.4

Osteomyelitis radiasi dan nekrosis

Radiasi merupakan salah satu cara terapi untuk kanker maksilofasial, di samping
pembedahan dan kemoterapi. Komplikasi pada tulang adalah osteoradionekrosis,
yaitu penyakit pada tulang yang terkena radiasi yang menimbulkan rasa sakit,
hilangnya tulang serta cacat muka sehingga menunjukkan sebagai suatu luka yang
tidak sembuh diakibatkan oleh hipoksia, hiposelulariti dan hipovaskularisasi dari
tulang yang terkena radiasi.

Mandibula umumnya lebih sering terkena daripada maksila, karena kebanyakan


tumor mulut terdapat di mandibula. Tidak adanya korteks yang padat dan kaya
akan jaringan pembuluh darah di maksila menyebabkan maksila jarang terkena
nekrosis radiasi. Radiasi melebihi 5000 rad mengakibatkan kematian sel-sel tulang
yang berakibat arteritis progresif. Pembuluh-pembuluh darah di periosteum, dan
alveolaris inferior sangat terkena. Terjadi nekrosis asepsis bagian tulang yang
langsung terkena sinar, dengan akibat kurangnya vaskularisasi pada tulang dan
jaringan lunaknya. Respons terhadap infeksi menjadi sangat menurun. Selama
jaringan lunak tidak rusak, tulang akan berfungsi normal.

Bila tulang terkena infeksi dari kulit, maka mikroorganisme yang biasa ditemukan
adalah Staphylococcus aurens dan Staphylococcus epidermidis.

Gejala utama dari osteoradionekrosis adalah rasa sakit dari tulang yang terbuka.
Pada permulaan, penderita mengeluh trismus, halitosis dan kenaikan suhu tubuh,
meskipun tidak ada infeksi akut. Tulang terbuka yang berwarna kekuning-kuningan
tampak bersama fistel intra oral dan mungkin disertai dengan adanya fraktur
patologis.

Tulang terbuka ini permukaannya kasar dan menyebabkan abrasi jaringan lainnya
yang menambah rasa tidak enak bagi penderita. Jaringan sekitar tulang terbuka
menjadi indurasi, keras dan ulserasi karena infeksi atau tumor yang rekuren. Jika
indurasi persisten sesudah infeksi dikuasai dengan irigasi dan antibiotika, maka jika
perlu atau jika ulserasi tetap ada, harus dilakukan biopsi.

Pengobatan awal adalah pemberian antibiotika bila ada infeksi. Jika ada gejala
toksis dan dehidrasi, penderita dirawat inap untuk pemberian cairan dan antibiotika
IV. Penisilin merupakan obat pilihan pertama, diberikan 500 mg peroral 4 kali sehari.
Irigasi ringan pada tepi jaringan lunak sangat berguna untuk membersihkan debris
dan mengurangi inflamasi. Bila terbentuk abses atau fistula kulit, kultur aerob dan
anaerob dibuat untuk melihat sensitivitas bakteri, dan penentuan antibiotika yang
sesuai.

3. Noma

3.1 Definisi

Cancrum oris atau noma merupakan suatu penyakit gangren yang menyebar
dengan cepat dan memengaruhi jaringan padat dan lunak dari wajah, biasanya
disebabkan oleh spirochaeta anaerob. Cancrum oris biasanya menyerang anak-anak
umur 2-5 tahun. Penyebab pasti penyakit ini sebenarnya masih tidak diketahui.
Akan tetapi, oral hygiene yang buruk, sistem imun yang lemah, past history
campak, scarlet fever, tifoid, malaria, tuberculosis, kanker, dan HIV merupakan
faktor predisposisi.

3.2 Gambaran klinis

Cancrum oris memiliki gejala seperti spot kemerahan atau keunguan yang sakit
pada margin alveolar, umumnya terdapat pada regio molar atau premolar. Biasanya
diikuti ulserasi yang sangat cepat dan mengenai jaringan tulang. Ulserasi biasa
terdapat pada lipatan labiogingival dan mukosa bibir dan pipi. Anak pada tahap ini
mengalami sore mouth, fetid odor, swollen, dan tender lips and cheek, profuse
salivation dan foul foctor. Dalam dua atau tiga hari bisa terdapat diskolorisasi
menjadi hitam pada bagian luar bibir, pipi dan proses gangrenous akan menjalar ke
hampir seluruh jaringan pada wajah, baik itu pada tulang, gigi, mukosa, otot dan
kulit. Bau busuk dan rongga mulut yang bernanah (purulent oral discharge)
berhubungan dengan salivasi yang terlalu banyak, anorexia, dan lymphadenopathy
leher yang jelas.

Pada fase akut, anak-anak yang terserang biasanya mengalami kesakitan, anaemic,
aphatetic dan seringkali measle, gastroenteritis atau bronchopneumonia. Secara
sistemik, pasien biasanya mengalami demam, takikardia, tachypnea dan anorexia.
Jika tidak segera ditangani, maka penyakit ini akan berakibat fatal.

Kematian pada penderita cancrum oris dapat disebabkan predisposing factor seperti
typhoid atau pneumonia atau bisa juga karena adanya komplikasi seperti dehidrasi,
aspiration pneumonia atau septicemia.

3.3 Mikrobiologi dan pathogen

Terdapat mikroorganisme yang terlibat sebagai penyebab noma, salah satunya


yaitu Fusobacterium necrophorum. F. necrophorum dapat menguraikan sebagian
dermonekrotik metabolit toksik. Pada anak-anak, bakteri ini diperoleh melalui
kontaminasi fecal, yang disebabkan sanitasi lingkungan yang rendah. Organism
pathogen lainnya yang ditemukan pada lesi noma yaitu Prevotella intermedia dan
Borrelia vincentii. Hubungan simbiosis antara fusiform bacilli dan streptococcus nonhemolitik dan staphylococcus telah diperkirakan sebagai faktor pada perkembangan
noma. B. vincentii dan Fusiform bacilli dapat dikultur pada hampir kebanyakan
kasus. MacDonalds menyatakan bahwa Bacteroides melaninogenicus dapat
menjadi organism penting pada penyakit ini. Bacteroides melaninogenicus adalah
bakteri gram negatif, cocobasilus anaerob, terdapat pada rongga mulut dan traktus
gastrointestinal. Memiliki karakter proteolitik yang dapat menghidrolisis kolagen
gingival. Penyakit ini diperkirakan tidak menular karena belum diketahui menyebar
atau tidaknya di lingkungan rumah, rumah sakit atau sekitarnya.

Mula-mula, jaringan wajah akan terlihat lunak, terdapat spot merah keunguan pada
gingival, berlanjut menjadi ulserasi dan nekrosis yang dibarengi edema. Hal itu akan
membentuk jaringan nekrotik berwarna hitam kebiruan berbentuk kerucut yang
berkumpul di dasar intra-oral. Perkembangan secara cepat dari tahap awal menjadi
gangrene berlangsung selama 2 72 jam. Dapat terjadi secara uni atau bilateral
dan dapat menyerang bagian wajah lain termasuk rahang atas atau bawah. Hal
tersebut dapat membentuk kerusakan wajah yang parah sehingga mengakibatkan
hilangnya struktur dan fungsi intraoral.

3.4 Pengobatan

Penanganan penyakit noma sangat memerlukan pendekatan tim yang multidisiplin.


Pada tahap awal, anak-anak akan memerlukan irigasi oral dengan hydrogen
peroksida, saline, dan 0,2% chlorhexidine untuk mengurangi jaringan nekrotik.
Hidrasi yang cukup, elektrolit yang seimbang dan defisiensi vitamin dengan nutrisi
yang cukup, ataupun nagostic tube jika diperlukan. Pada banyak literatur,
merekomendasikan penicillin dan metronidazole untuk menghambat organisme
predominan. Pengobatan perlu dilakukan dan dilanjutkan kurang lebih selama 14
hari. Antibiotik yang dipiih yaitu penicilin G 2.4 million U intravenously qid dan
metronidazole 500 mg IV setiap 8 jam sekali. Alternatif lainnya yaitu ampicilin atau
sulbactam 3 gram IV setiap 6 jam sekali. Penggunaan antibiotic dapat
menyebabkan pertumbuhan candida yang berlebih sehingga harus ditangani
dengan antifungal (nystatin 5 ml q.i.d atau flukonazol 200 mg oral, sehari sekali).
Tahap terakhir dari perawatan yaitu operasi plastik/rekonstruksi untuk kerusakan

wajah yang sudah parah. Untuk mencegah noma, diperlukan adanya peningkatan
nutrisi, kebersihan, dan sanitasi serta vaksinasi.

4. Sinusitis Maksilaris

Sinus maksilaris mempunyai hubungan erat dengan profesi Kedokteran Gigi karena
akar gigi premolar dan molar sangat dekat dengan sinus ini dan memiliki persarafan
yang sama sehingga sakit dari sinus maksilaris memberikan gambaran yang sama
dengan sakit gigi. Disebabkan karena kedekatan ini pula, seringkali infeksi gigi bisa
menimbulkan infeksi pada sinus maksilaris dan tindakan pada gigi menimbulkan
komplikasi pada sinus maksilaris. Seperti terjadinya komunikasi oroantral atau
masuknya benda asing pada sinus ini. Selain itu keadaan patologis pada sinus
sering ditemukan secara kebetulan pada radiografi gigi.

Alasan-alasan tersebut diantaranya menjelaskan dari sudut Kedokteran Gigi sinus


maksilaris penting untuk dipahami baik dalam keadaan normal maupun dalam
keadaan terkena penyakit.

Anatomi dan Fisiologi Sinus Maksilaris

Batas-Batas

Sinus Maksilaris merupakan rongga berbentuk pyramid dan menempati sebagian


besar korpus maksilaris dengan puncak pada processus zygomatikus maksilla.
Dinding medial dibatasi oleh dinding lateral kavum nasi, atap dibatasi oleh dasar
orbita, dan bagian anterior oleh permukaan depan maksilla (fosa kanina). Dasarnya
dibatasi oleh prosesus alveolaris maksila yang mendukung gigi P, M, dan sebagai
tulang palatum.

Fungsi Sinus Maksilaris

Sebagai ruang tambahan untuk membantu memanaskan dan melembababkan


udara pernapasan

Alat resonansi yang mempengaruhi suara


Mengandung organ olfaktoria yang memiliki rasa penciuman
Pelindung untuk alat-alat yang terdapat dalam orbita dan cranial terhadap
perubahan suhu yang terjadi di rongga hidung

4.1 Definisi

Sinusitis maksilaris didefinisikan sebagai peradangan yang terjadi pada lapisan


mukosa sinus maksilaris, karena mukosa sinus sangat rentan terhadap infeksi,
alergi dan neoplasma.

4.2 Gambaran klinis

4.2.1

Radang

Menimbulkan peningkatan jumlah sekresi dan edema pada mukosa sinosial. Bila
kondisi ini berlanjut, sekresi akan mengisi sinus karena terganggunya fungsi silia,
atau keduanya. Karena letak ostium sinus maksilaris tidak dipengaruhi oleh gaya
gravitasi, maka drainase yang normal bukan cara perawatan ideal. Bila drainase
terganggu akan terjadi penurunan tekanan oksigen sebagian dan proliferasi bakteri
pathogen.

4.2.2

Sinusitius akut

Sinusitis maksilaris akut sering terjadi setelah rhinitis alergik/infeksi virus pada
saluran pernapasan atas. Alergi hidung yang kronis, adanya benda asing, dan
deviasi septi nasi dianggap sebagai prediposisi yang paling umum. Gejala akut ini
dapat bersumber dari hidung yang mengalami alergi (rhinitis akut), infeksi dari
daerah faring (faringitis, adenoiditis, tonsillitis) dan dari infeksi gigi rahang atas
premolar dan molar. Gejala akut ini dapat juga berasal dari berenang menyelam,
trauma yang menyebabkan perdarahan mukosa sinus dan barotraumas yang
menyebabkan nekrosis mukosa. Gejala yang ditunjukkan adalah sebagai berikut :

Gejala sistemik demam dan lesu


Gejala lokal terdapat sumbatan pada hidung, lender yang kental, kadang berbau
dan dapat berwarna kuning atau kuning kehijauan
Nyeri pada daerah di bawah kelopak mata, nyeri di gigi, daerah dahi dan daerah
depan telinga
Terdapat pembengkakan di daerah muka, yaitu pada pipi dan kelopak mata
bawah

Dari pemeriksaan sering terlihat adanya sekresi mukopurulen dalam hidumg dan
nasofaring. Terdapat nyeri palpasi dan tekan pada sinus dan gigi yang berkaitan
dengannya. Pemeriksaan mulanya memperlihatkan penebalana mukosa sinus yang
sering digantikan dengan osifikasi karena meningkatnya pembengkakan mukosa
atau adanya timbunan cairan didalam sinus atau keduanya.

4.2.3

Sinusitis kronis

Sinusitis kronis dapat merupakan kelanjutan dari sinusitis akut, Perubahanperubahan patologis pada sinusitis kronis biasanya bersifat irreversible, yang
ditandai dengan penebalan mukosa dan pseudo polip dengan mikroabses,
granulasi, dan jaringan parut. Sinusitis kronis dapat bertahan dalam hitungan bulan
atau tahun. Perawatan sinusitis akut atau sinusitis kambuhan yang tidak memadai
dapat menyebabkan kegagalan regenerasi permukaan epitel bersilia. Pada akhirnya
hal ini akan mengakibatkan kerusakan lebih jauh dari pembuangan secret sinus
yang mendorong terjadinya infeksi ulang. Penyembuhan oleh berbagai sebab
seperti polip hidung , deviasi septum, atau tumor juga berperan dalam etiologi
sinusitis kronis.

Gejala yang terjadi sangat bervariasi terdiri dari:

Gejala hidung dan naso faring, berupa secret di hidung dan secret pasca nasal
Gejala faring, yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorok

Gejala telinga, berupa gangguan pendengaran karena tersumbatnya tuba


eustahius
Adanya sakit kepala
Gejala mata, oleh karena penjalaran infeksi melalui duktus naso lakrimalis
Gejala saluran napas kadang terdapat komplikasi di paru berupa bronchitis,
bronkoektasis atau asma bronkiale
Gejala di saluran cerna oleh karena mukopus yang tertelan, sering terjadi pada
anak. Terdapat secret kental dan purulen dari meatus medius atau meatus superior
di nasofaring atau turun ke tenggorok.

4.2.4

Trauma

Cedera yang mencapai sinus maksilaris terjadi pada kasus le fort I dan II, fraktur
kompleks zygomatikomaksilaris, blow out orbita dan fraktur prosesus maksila
bagian posterior. Dengan adanya trauma, dinding antrum mengalami fraktur atau
remuk dan pelapisnya robek, sehingga sinus akan terisi darah. Baik trauma
langsung maupun cedera tidak langsung yang diakibatkan oleh penangan fraktur
muka yang berhubungan ( biasanya pendekatan transnatal) berperan dalam
terjadinya sinusitis pascatrauma. Sinusitis juga dapat mengalami cedera pada
pencabutan gigi rahang atas dan pada pelasanaan penanganan patologis gigi yang
berdekatan. Region molar pertama rahang atas merupakan darah yang paling
sering berhubungan dengan keterlibatan sinus, diikuti oleh regio molar kedua dan
premolar kedua.

4.3 Pemeriksaan radiografi

Evaluasi radiografi dari sinus paling bagus diperoleh dengan proyeksi waters
dengan muka menghadap ke bawah dan proyeksi waters dengan modifikasi tegak.
Gambaran yang sering didapat dari sinus akut adalah opasifikasi dan batas udara
atau cairan. Sinusitis kronis sering digambarkan dengan adanya penebalan
membrane pelapis. Lesi jinak lainnya misal mucocele dan kista dentigerus, juga
dapat terlihat dengan jelas. Dalam mendiagnosisi trauma penggunaan foto
panoramic, waters, oklusal dan periapkal maupun tomografi konvensional, serta
penelitian dengan CT sangat membantu.

4.4 Pengobatan

Walaupun penatalaksanaan sinusitis maksilaris kronis dan akut bukan termasuk


dalam wilayah perawatan dokter gigi, akan tetapi bila keadaan ini menunjukkan
keterlibatan gigi sebagai penyebab, dibutuhkan keikusertaan dokter gigi dalam
penanganan atau perawatannya. Untuk melakukan perawatan sinusitis maksilaris
akut obat-obatan yang sesuai adalah antibiotik spectrum luas ampisilin dan
sefaleksin. Jika diketahui terdapat aspergillus sinusitis, maka harus diberikan
antimikotik yang tepat, biasanya dengan amphotericin B, dekongestan antihistamin
sisitemik misalnya pseudoefinefrin, dan tetes hidung seperti phenyleprine akan
sangat berguna pada fase dini dan perawatan. Jika terdapat keadaan alergi yang
mendasari kondisi tersebut maka pemberian bahan antialergi kadang sangat
membantu. Untuk menghilangkan atau menyembuhkan gejala yang timbul dapat
diberikan kompres panas pada muka dan analgesik. Bila penyembuhannya lambat,
lebih dari sepuluh hari, kemungkinan dibutuhkan irigasi antrum melalui fossa
canina. Selain terapi yang tepat untuk kondisi akut, sinusitis kronis kemungkinan
membutuhkan pembedahan untuk mendapatkan ostium (lubang) sinus yang baru.
Hal ini dapat diperoleh melalui prosedur nasoantrostomi yang bertujuan untuk
membuat jendela nasoantral pada meatus nasalis inferior.

Bila penyebab sinusitis adalah karena infeksi gigi maka penatalaksanaannya


meliputi perawatan pada sumber absesnya. Perawatan ini terdiri atas terapi
antibiotik yang disertai dengan inisiasi dan drainase bila diindikasikan, dan terapi
lanjutan yang meliputi perawatan endodontik atau pencabutan gigi penyebab.

Prosedur CALDWELL-Luc

Prosedur Caldwell-Luc digunakan untuk membuat jalan masuk peroral ke sinus


maksilaris melalui fossa canina. Lesi jinak pada antrum yang berasal dari epitel
pelapis atau yang berasal dari gigi (odontogen) atau penyebab lainnya, dieksisi
atau dienukleasi melalui jalur ini. Untuk mengambil benda asing ataupun
pemeriksaan dan perawatan didnding orbita dan fraktur tertentu pada
zygomaticomaksilaris juga digunakan jalur sama. Operasi pada sinus dapat
dilakukan dengan anestesi umum ataupun anestesi lojkal (yang ideal adalah
dengan blok maksila pada nervus V2 divisi kedua). Prosedur diawali dengan
membuat inisiasi bulan 2 sampai 3 mm diatas pertemuan mukosa bergerak dan tak
bergerak. Kemudian flap mukoperiosteal diangkat kea rah postero-superior hingga
terlihat foramen infraorbitale. Selanjutnya dibuat lubang dengan bor, sebagai

pembentukan awal yang terletak sedikitnya 4 hingga 5 mm di atas apeks yang


terdekat. Besar lubang masuk ini diperbesar dengan menggunakan reverse biting
bone foreceps, kerison. Bila diperlukan dapat digunakan pembukaan yang relative
lebar dengan tanpa merusakkan struktur didekatnya 9diameter 1 cm ).
Penerangan yang sangatpenting artinya untuk penglihatan dapat diperoleh dengan
menggunakan head lamp (lampu kepala) atau probe fiberoptik. Setelah
pengambilan lesi, sinus diirigasi dengan larutan saline steril dan kemudian
diperiksa.

Trauma

Cedera yang mengenai sinusmaksilaris merupakan keadaan yang sangat sering


didapatkan pada fraktur wajah bagian tengah. Tanda-tanda radiograf yang umum
didapatakan adalah opasifikasi akibat perdarahan ke dalam sinus dan fraktur ( cacat
bertingkat) dinding lateral. Tanda-tanda ini bila berdiri sendiri bukan merupakan
tanda-tanda indikasi keterlibatan sinus. Sebaliknya, bila tidak ada tanda-tanda
keterlibatan sinus lainnya seperti fraktur dasar orbita atau adanya fragmen tulang
atau benda asing atau keduanya, maka lapisan sinus biasanya tidak terganggu.
Penatalaksanaan secara konservatif dengan menggunakan dekongestan sistemik,
tetes hidung, dan antibiotic, bila diindikasikan akan meningkatkan pembersihan
sinus secara normal, yang biasanya berlangsung antara 10 sampai 14 hari.
m

Anda mungkin juga menyukai