Anda di halaman 1dari 10

Resume Skenario 1

A. Primary Herpetic Gingivostomatitis (PHG)

1. Definisi PHG

Gingivostomatitis herpetika primer adalah bentuk tersering dari infeksi HSV tipe

1 pada rongga mulut yang ditandai dengan lesi ulserasi pada lidah, bibir, mukosa

gingiva, palatum durum dan molle. Gingivostomatitis Herpetika Primer merupakan

penyakit yang disebabkan oleh Herpes Simplex Virus (HSV) tipe I. Penularan

virus paling sering terjadi melalui kontak langsung dengan lesi atau sekret oral dari

individu yang terinfeksi (Kusumastuti, 2016).

Gingivostomatitis herpetika primer umumnya terjadi pada anak kecil dan jarang

pada orang dewasa. Dokter gigi seringkali merupakan dokter pertama yang menerima

keluhan karena gejala klinisnya, sehingga penting bagi dokter gigi dapat mengenali

kondisi ini (Gupta, 2017).

2. Epidemiologi PHG
Berdasarkan data epidemiologi, HSV-1 menjadi mayoritas infeksi virus yang

disebabkan oleh famili herpes simpleks virus pada manusia. Sekitar 45% hingga 98%

dari populasi dunia dan 40% hingga 63% dari penduduk Amerika Serikat dilaporkan

memiliki seropositif HSV-1 (Azizah, 2019). Gingivostomatitis herpes primer

biasanya terjadi pada anak-anak yang lebih muda dari usia 5 tahun, tetapi juga dapat

terjadi pada remaja dan dewasa. Diperkirakan bahwa hampir 90% populasi dunia

adalah seropositif untuk HSV-1 pada usia 35, dan setengah dari orang yang

membawa virus akan mengalami reaktivasi dalam bentuk herpes labialis.

Gingivostomatitis herpetik terdistribusi secara merata di antara kelompok gender dan

ras dan tidak ditemukan memiliki distribusi musiman atau geografis tertentu

(Aslanova, 2019). Terutama terjadi pada masa anak, biasanya pada usia 6 bulan

sampai 5 tahun, puncak kedua terjadi pada usia awal 20 tahun. Kebanyakan infeksi

HSV tipe 1 pada anak bersifat asimtomatik atau ringan sehingga anak dan orang tua

tidak menyadarinya. Beberapa penelitian menyatakan hanya 1020% anak yang

terinfeksi memiliki gejala dan tanda klinis yang cukup berat (Harijanti dan Jaya,

2009).

3. Etiologi PHG

Gingivostomatitis herpetik primer secara eksklusif dikaitkan dengan infeksi

HSV tipe I, walaupun sekarang diketahui bahwa HSV tipe II yang secara tradisional

di kaitkan dengan herpes genitalis , mungkin juga terlibat . Kondisi ini merupakan

infeksi virus yang paling sering di dalam mulut . HSV menyebar dengan mudah

melalui saliva dan sumber infeksi mungkin se seorang yang secara asimtomatik
menular kan virus dalam saliva atau menderita infeksi kambuhan , seperti herpes

labialis (Lewis, 2015).

4. Patogenesis PHG

Menurut WHO, infeksi virus ini dapat dengan mudah menyebar dan menular.

Virus ini ditularkan dari orang ke orang ketika individu yang rentan memiliki kontak

fisik langsung dengan orang yang terinfeksi. HSV-1 terutama ditularkan melalui

kontak oral ke oral, melalui kontak dengan virus HSV-1 pada lesi, air liur, dan

permukaan mukosa mulut.HSV jenis ini dapat ditularkan melalui ciuman mulut atau

bertukar alat makan. Proses penetrasi virus terhadap sel inangnya juga sangat mudah,

pada infeksi primer, HSV-1 memasuki tubuh melalui membran mukosa atau kulit

yang terbuka kemudian membuat infeksi lokal pada sel epitel. Virus kemudian

menyebar dari tempat infeksi primer menuju ke inti sel dari saraf sensori yang

menginervasi lokasi dari infeksi lokal tersebut. (Kusumastuti,2016).

Umumnya infeksi Herpes labialis terbagi dalam 4 tahap yang berlangsung selama 2-3

minggu :

a. Tahap pertama ditandai dengan rasa tidak nyaman, gatal, dan sensasi terbakar di

sekitar bibir atau hidung selama 1-2 hari. Selain itu, gejala tersebut dapat disertai

demam dan dengan atau tanpa pembengkakan kelenjar getah bening di bagian

leher.

b. Ketika masuk tahap kedua, muncul bintik-bintik berisi cairan dalam bentuk

tunggal atau multiple yang seringkali disertai rasa nyeri.


c. Tahap ketiga, bintik-bintik tersebut akan pecah dan membentuk luka yang basah.

Cairan yang keluar dalam vesikel (benjolan kecil < 1 cm) akan menular pada

bagian tubuh atau orang lain yang melakukan kontak langsung dengan bagian

yang terluka.

d. Tahap terakhir ditandai dengan luka yang mulai mengering dan sembuh. Lesi

dapat kambuh kembali secara berulang pada berbagai interval waktu.

(Kusumastuti,2016).

5. Gejala PHG

a. Penyakit ini terjadi pertama kali selama hidup yang bermanifestasi di rongga

mulut, diawali dengan gejala prodormal berupa malaise, sakit pada

otot, pusing, demam, serta terjadi pembesaran kelenjar limfe regional.

Setelah beberapa hari, gejala tersebut akan diikuti timbulnya gelembung

kecil-kecil, banyak, bergerombol, dan mudah pecah menjadi ulser multipel

dengan dasar dangkal dan sakit.

b. Umumnya infeksi Herpes labialis terbagi dalam 4 tahap yang berlangsung

selama 2-3 minggu. Tahap pertama ditandai dengan rasa tidak nyaman, gatal,

dan sensasi terbakar di sekitar bibir atau hidung selama 1-2 hari. Selain itu,

gejala tersebut dapat disertai demam dan dengan atau tanpa pembengkakan

kelenjar getah bening di bagian leher.

c. Ketika masuk tahap kedua, muncul bintik-bintik berisi cairan dalam

bentuk tunggal atau multiple yang seringkali disertai rasa nyeri. Tahap ketiga,
bintik-bintik tersebut akan pecah dan membentuk luka yang basah. Cairan

yangkeluar dalam vesikel akan menular pada bagian tubuh atau orang lain

yang melakukan kontak langsung dengan bagian yang terluka. Tahap

terakhir ditandai dengan luka yang mulai mengering dan sembuh. Lesi

dapat kambuh kembali secara berulang pada berbagai interval waktu

(Kusumastuti, 2016).

6. Gambaran Klinis PHG

Manifestasi klinis Infeksi primary HSV-1 umumnya terjadi pada anak-anak dan

remaja. Pada masa awal inkubasi virus, yakni 1-3 hari pertama akan timbul gejala

demam, hilang nafsu makan, malaise, dan myalgia/nyeri otot yang juga dapat disertai

pusing dan nausea. Beberapa hari setelah gejala awal, eritema dan sekelompok

vesikel dan/atau ulser muncul pada mukosa berkeratin palatum durum, gingiva cekat,

dan dorsum lidah, serta mukosa tak berkeratin pada mukosa labial, mukosa bukal, dan

lidah bagian depan. Vesikel pecah untuk membentuk ulkus yang biasanya berukuran

1-5 mm lalu bergabung membentuk ulkus yang lebih besar dengan batas scalloped

dan eritema yang mengelilinginya. Gingiva seringkali tampak merah disertai nyeri

pada mulut yang menyebabkan kesulitan makan (Rafika,2018).

Biasanya menyerang anak-anak di bawah usia lima tahun. Demam, malaise,

erupsi beberapa vesikel (benjolan kecil < 1 cm) yang menyatu dan pecah membentuk

bisul dan erosi di mana saja pada mukosa mulut. Perbatasan vermilion (tepi merah

bibir) sering terpengaruh. Ada rasa sakit, perdarahan dan radang gusi akut (Feller

et.al,2016).
7. Diagnosis Banding

a. Recurrent herpes simplex infection

b. Major apthous stomatitis

c. Erythema multiformae (Singh, 2018).

d. Herpangina: Virus Coxsackie-A menyebabkan herpangina. Presentasi khas

meliputi lepuh kecil (tidak seperti ulkus besar yang ditemukan pada herpetic

gingivostomatitis) dengan membran abu-abu berserat dan eritema perifer terbatas

pada langit-langit lunak dan demam tinggi.

e. Mononukleosis infeksiosa: Tidak seperti gingivostomatitis herpes, mononukleosis

infeksius muncul dengan demam dan limfadenopati. Pada pemeriksaan fisik,

infeksi mononukleosis ditandai dengan petekie oral dengan gingivostomatitis dan

ulserasi.

f. Sindrom Behcet: Gangguan inflamasi yang ditandai oleh ulkus aphthous berulang

dan beberapa komplikasi sistemik termasuk lesi genital, artritis, uveitis, dan

manifestasi gastrointestinal yang menyerupai sindrom iritasi usus.

g. Varicella: Ditandai dengan lesi vesikular di kulit kepala dan batang, dan borok

kecil ditemukan di rongga mulut posterior (Tamay dkk, 2016).


8. Pemeriksaan Penunjang PHG

Pada pasien muda, diagnosis klinis gingivostomatitis herpetika primer biasanya

ditegakkan berdasarkan adanya tanda dan gejala klinis yang khas, terutama jika

dijumpai adanya tanda klasik berupa lesi vesikulaulseratif oral atau perioral disertai

gejala prodromal dan lesi di daerah keratinisasi seperti pada palatum dan gingiva.

Akan tetapi, pada orang dewasa riwayat medis dan riwayat infeksi serta pemeriksaan

penunjang lain perlu dilakukan. Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan sangat

terbatas baik dari segi waktu maupun untuk biaya.

a. Untuk swab meskipun hasilnya menunjukkan adanya VHS pada daerah yang di-

swab namun belum tentu penyebab lesi atau keluhan pasien adalah infeksi VHS

(Virus Herpes Simplex). Kultur tidak dapat dilakukan oleh karena diperlukan

spesimen vesikula pecah yang masih segar, sementara vesikula sangat jarang

dijumpai oleh karena cepat mengalami rupture (pengangkatan). Selain itu metode

ini tidak dapat membedakan antara infeksi primer maupun sekunder. Titer

antibodinya tidak dapat dijumpai hingga minimal 1 minggu setelah masa akut,

atau mencapai puncaknya setelah 3-4 minggu, dengan kemungkinan terjadinya

false positif jika hasil pemeriksaan darah pasien pada saat pertama kali

pemeriksaan menunjukkan hasil seropositive (telah terbentuk zat antibody

terhadap virus HIV / Human Immunodeficiency Virus).

b. Pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction) meskipun akurat dan tidak

membutuhkan spesimen segar namun perlu biaya yang relatif mahal. Sementara

dalam kasus tertentu pasien sudah mengalami rasa nyeri lebih dari seminggu

sehingga diperlukan tindakan yang cepat dan tepat (Marlina dan Soenartyo,2012).
9. Terapi Farmakologis

Pengobatan Pasien diinstruksikan untuk makan makanan bergizi, lembut, campuran

dan obat-obatan berikut diresepkan:

a. Acyclovir 200 mg lima kali sehari, untuk dibilas dan ditelan.

b. Acetaminophen: 10-15 mg / kg / dosis setiap 4-6 jam sesuai kebutuhan

(maksimum 90 mg / kg / 24 jam) diberikan untuk mengatasi rasa sakit dan

demam.

c. Aplikasi anestesi ringan (dyclonine hydrochloride (0,5%)) sebelum waktu makan

(Singh, 2018).

d. Vitamin B complex sebagai terapi suportif (Marline, 2012).

e. Serta obat kumur Benzidamin HCl 0,2% 3-4x sehari (Kusumastuti, 2016).

10. Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) Pada Penderita PHG

Edukasi tercakup dalam upaya preventif, yaitu pasien diinformasikan mengenai

kondisinya yang infeksius sehingga diharapkan pasien mengisolasi diri dari anggota

keluarganya ataupun orang lain. Selanjutnya pasien diinformasikan pula untuk

mengkonsumsi makanan tinggi kalori tinggi protein untuk membantu upaya

penyembuhan (Marlina, 2012). Pasien juga dianjurkan menghindari makanan pedas

dan berbumbu tajam, serta istirahat yang cukup dan mengkonsumsi makanan lunak

tinggi kalori dan protein seperti susu, roti, dan jus buah (Kusumastuti, 2016).
DAFTAR PUSTAKA

Aslanova, M., dan Zito, P. M. 2019. Herpetic gingivostomatitis. StatPearls: StatPearls

Publishing.

Azizah F. Sufiawati I. HEmiawati, Satari M.H. 2019. Pola dan Terapi Infeksi Herpes Simplek

Virus-1 Pada Rongga Mulut di RSUP DR. Hasan Sadikin Bandung Periode 2013-

2017. Padjajaran J Dent Res. Student. 3(2).

Feller,et.al. 2016. Penyakit Mulut yang Terkait dengan Virus Herpes Manusia: Etiologi,

Gambaran Klinis,Diagnosis, dan Penatalaksanaan [Translated]. Sefako Makgatho

Health Sciences University : Clinical Review SADJ . 71(6).

Gupta R. Ranjan P, Gupta I Das N. 2017. Primary Herpetic Gingivostomatitis in a Adult

Patien: A Case Report. Rama Univ J Dent Sci. Vol. 4 Issue 2.

Harijanti dan Jaya. 2009. Gingivostomatitis herpetika primer (Laporan kasus). Universitas

Airlangga Surabaya : Oral Medicine Dental Journal. 1(2).

Lewis, Michael A.O. 2015. Penyakit Mulut: Diagnosis dan Terapi Ed 2. Jakarta: EGC.

Kusumastuti, E. 2016. Gingivostomatitis Herpetika Primer Pada Ny. N Usia 32 Tahun. Kediri :

Journal Wiyata.
Marlina, E., Soenartyo, H. 2012. Primary Herpetic Gingivostomatitis Pada Individu Dewasa

Muda. Surabaya: Dentofasial Journal.

Rafika Mega, Wahyuni, I.S, Hidayat W. 2018. Penentuan Laju Alir Saliva pada Pasien Geriatri

Sebagai Pertimbangan Manajemen Komprehensif Pada Stomatitis Herpetika. Jurna B-

Dent. 5(2) : 144-152.

Singh, A., Thakur, S., Jayam, C. 2018. Primary Herpetic Gingivostomatitis: A Case Report.

India: Journal of Advanced Medical and Dental Sciences Research.

Tamay Z, Ozcekert D, Onel M, Agacfidan A, Guler N. 2016. A Child Presenting With Primary

Gingivostomatitis And Eczema Herpeticum. Minerva Pediatr. 68(1):723.[PubMed].

Anda mungkin juga menyukai