Anda di halaman 1dari 5

Klasifikasi Fraktur Terbuka

Dikenal beberapa klasifikasi fraktur terbuka seperti menurut Byrd et al.(1981) yang menekankan pentingnya vaskularisasi tulang, kemudian menurut Oestern dan Tscherne (1984) yang menekankan pentingnya tingkat kerusakan jaringan lunak dan luas kontusio otot, serta menurut AO group oleh Muller et al. (1990) yang menekankan berat ringannya cedera kulit, cedera otot dan tendon serta cedera neurovaskuler. (cit. Court-Brown et al, 1996). Klasifikasi fraktur terbuka paling sering digunakan menurut Gustillo dan Anderson (1976), yang menilai fraktur terbuka berdasarkan mekanisme cedera, derajat kerusakan jaringan lunak, konfigurasi fraktur dan derajat kontaminasi. Klasifikasi Gustillo ini membagi fraktur terbuka menjadi tipe I,II dan III Klasifikasi Fraktur terbuka menurut Gustillo dan Anderson ( 1976 ) Tipe Batasan I Luka bersih dengan panjang luka < 1 cm II Panjang luka > 1 cm tanpa kerusakan jaringan lunak yang berat III Kerusakan jaringan lunak yang berat dan luas, fraktur segmental terbuka, trauma amputasi, luka tembak dengan kecepatan tinggi, fraktur terbuka di pertanian, fraktur yang perlu repair vaskuler dan fraktur yang lebih dari 8 jam setelah kejadian. Tipe I berupa luka kecil kurang dari 1 cm akibat tusukan fragmen fraktur dan bersih. Kerusakan jaringan lunak sedikit dan fraktur tidak kominutif. Biasanya luka tersebut akibat tusukan fragmen fraktur atau inout. Tipe II terjadi jika luka lebih dari 1 cm tapi tidak banyak kerusakan jaringan lunak dan fraktur tidak kominutif. Pada tipe III dijumpai kerusakan hebat maupun kehilangan cukup luas pada kulit, jaringan lunak dan putus atau hancurnya struktur neurovaskuler dengan kontaminasi, juga termasuk fraktur segmental terbuka atau amputasi traumatik. Klasifikasi ini juga termasuk trauma luka tembak dengan kecepatan tinggi atau high velocity, trauma didaerah pertanian, fraktur terbuka yang memerlukan repair vaskular, fraktur terbuka lebih 8 jam setelah kecelakaan

Kemudian Gustillo et al. (1984) membagi tipe III dari klasifikasi Gustillo dan Anderson (1976) menjadi tiga subtipe, yaitu tipe IIIA, IIIB dan IIIC (tabel 3). IIIA terjadi apabila fragmen fraktur masih dibungkus oleh jaringan lunak, walaupun adanya kerusakan jaringan lunak yang luas dan berat. IIIB fragmen fraktur tidak dibungkus oleh jaringan lunak sehingga tulang terlihat jelas atau bone expose, terdapat pelepasan periosteum, fraktur kominutif. Biasanya disertai kontaminasi masif dan merupakan trauma high energy tanpa memandang luas luka. IIIC terdapat trauma pada arteri yang membutuhkan repair agar kehidupan bagian distal dapat dipertahankan tanpa memandang derajat kerusakan jaringan lunak.

Klasifikasi lanjut fraktur terbuka tipe III (Gustillo dan Anderson, 1976) oleh Gustillo, Mendoza dan Williams (1984): Tipe Batasan

IIIA IIIB IIIC

Periosteum masih membungkus fragmen fraktur dengan kerusakan jaringan lunak yang luas Kehilangan jaringan lunak yang luas, kontaminasi berat, periosteal striping atau terjadi bone expose Disertai kerusakan arteri yang memerlukan repair tanpa melihat tingkat kerusakan jaringan lunak.

Penanganan Fraktur terbuka


Mengikuti prinsip 4 R yaitu Recognition, Reduction, Retaining ( retention of reduction ) dan Rehabilitation. Pada kasus fraktur terbuka diperlukan ketepatan dan kecepatan diagnosis pada penanganan agar terhindar dari kematian atau kecacatan. Penatalaksanaan fraktur terbuka derajat III meliputi tindakan life saving dan life limb dengan resusitasi sesuai indikasi, pembersihan luka dengan irigasi, eksisi jaringan mati dan tersangka mati dengan debridemen, pemberian antibiotik pada sebelum, selama dan sesudah operasi, pemberian antitetanus, penutupan luka, stabilisasi fraktur dan fisioterapi. Tindakan definitif dihindari pada hari ketiga atau keempat karena jaringan masih inflamasi / infeksi dan sebaiknya ditunda sampai 7-10 hari, kecuali dapat dikerjakan sebelum 6-8 jam pasca trauma Prinsip penanganan fraktur terbuka derajat III secara umum adalah sebagai berikut: 1. Pertolongan Pertama. Secara umum adalah untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri dan mencegah gerakan-gerakan fragmen yang dapat merusak jaringan sekitarnya. Stabilisasi fraktur bisa menggunakan splint atau bandage yang mudah dikerjakan dan efektif. Luka ditutup dengan material yang bersih dan steril. 2. Resusitasi Penatalaksanaan sesuai prinsip ATLS (Advance Trauma Life Support) dengan memberikan penanganan sesuai prioritas (resusitasi), bersamaan itu pula dikerjakan penanganan fraktur terbuka agar terhindar dari komplikasi. Kehilangan darah yang banyak pada fraktur terbuka derajat III dapat mengakibatkan syok hipovolemik dan dapat diperberat oleh rasa nyeri yang dapat menyebabkan syok neurogenik. Tindakan resusitasi dilakukan bila ditemukan tanda syok hipovolemik, gangguan napas atau denyut jantung karena fraktur terbuka seringkali terjadi bersamaan dengan cedera organ lain. Penderita diberikan resusitasi cairan Ringer Laktat atau tranfusi darah dan pemberian analgetik selama tidak ada kontraindikasi. Pemeriksaan radiologis dikerjakan setelah kondisi pasien stabil. (Apley & Solomon, 1993; Trafton, 2000) 3. Penilaian awal. Pemeriksaan yang teliti dan hati-hati merupakan dasar dalam observasi dan penanganan awal yang memadai. Fakta-fakta pada pemeriksaan harus direkam dengan baik termasuk trauma pada daerah atau organ lain dan komplikasi akibat fraktur itu sendiri. (Rasjad, 1998; Trafton, 2000). 4. Terapi Antibiotik dan Anti Tetanus Serum (ATS) Pemberian antibiotik sebaiknya diberikan segera mungkin setelah terjadinya trauma. Antibiotik adalah yang berspektrum luas yaitu sefalosporin generasi I (cefazolin 1-2 gram) dan dikombinasikan dengan aminoglikosid (gentamisin 1-2 mg/kg BB tiap 8 jam) selama 5 hari. Selanjutnya perawatan luka dilakukan setiap hari dengan memperhatikan sterilitas, dan pemberian antibiotik disesuaikan dengan hasil kultur dan sensitifitas terbaru. Bila dalam perawatan ditemukan gejala dan tanda infeksi, maka dilakukan pemeriksaan kultur dan sensifitas ulang untuk penyesuaian ulang pemberian antibiotik yang digunakan. Pemberian anti tetanus diindikasikan pada fraktur kruris terbuka derajat III berhubungan dengan kondisi luka yang dalam, luka yang terkontaminasi, luka dengan kerusakan jaringan yang luas serta luka dengan kecurigaan sepsis. Pada penderita yang belum pernah mendapat

imunisasi anti tetanus dapat diberikan gamaglobulin anti tetanus manusia dengan dosis 250 unit pada penderita diatas usia 10 tahun dan dewasa , 125 unit pada usia 5-10 tahun dan 75 unit pada anak dibawah 5 tahun. Dapat pula diberikan serum anti tetanus dari binatang dengan dosis 1500 unuit dengan tes subkutan 0,1 selama 30 menit. Jika telah mendapat imunisasi toksoid tetanus (TT) maka hanya diberikan 1 dosis boster 0,5 ml secara intramuskuler. 5. Debridemen a. Ambil sample dari luka untuk pemeriksaan kultur dan sensitifitas pra debridemen b. Pembersihan luka dengan irigasi cairan fisiologis sebanyak 6-10 liter. c. Jaringan mati atau fragmen tulang kecil yang mati maupun benda asing dibuang. d. Pembuluh darah vital untuk bagian distal yang terputus dilakukan repair. e. Saraf yang terputus diberi tanda pada ujung saraf untuk dilakukan delayed repair f. Reposisi fragmen fraktur. g. Pengambilan sampel pada luka yang bersih untuk kultur dan tes sentifitas pasca debridmen. h. Luka dibiarkan terbuka atau dilakukan jahitan parsial, bila perlu ditutup setelah satu minggu dimana oedem sudah menghilang. i. Fiksasi awal yang baik untuk fraktur terbuka kruris derajat III adalah fiksasi eksternadengan external fixation device sehingga akan mempermudah dalam perawatan luka harian. Bila fasilitas tidak memadai, pemasangan gips sirkuler dengan jendela atau temporary splinting dengan gips atau traksi dapat digunakan dan kemudian dapat direncanakan operasi pemasangan fiksasi interna setelah luka baik (delayed internal fixation). j. Pemakaian suntikan antibiotik dilanjutkan 3-5 hari, dimonitor tanda klinis dan penunjang k. Bila dalam perawatan harian di bangsal ditemukan gejala dan tanda infeksi dilakukan debridemen dan pemeriksaan kultur dan sensitifitas ulang untuk mendapatkan penanganan yang memadai. (Apley & Solomon, 1993; Behrens, 1996; Rasjad, 1998; Trafton, 2000; Hutagalung , 2003 ). 6. Penanganan jaringan lunak. Pada kehilangan jaringan lunak yang luas dapat dilakukan soft tissue tranplantation atau flap pada tindakan berikutnya, sedangkan tulang yang hilang dapat dilakukan bone grafting setelah pengobatan infeksi berhasil baik. 7. Penutupan Luka Pada luka yang kecil dan tidak banyak kontaminasi setelah dilakukan debridemen dan irigasi dapat langsung dilakukan penutupan secara primer tanpa tegangan. Pada luka yang luas dan dicurigai kontaminasi yang berat sebaiknya dirawat secara terbuka, luka dibalut kassa steril dan dilakukan evaluasi setiap hari. Setelah 5-7 hari dan luka bebas dari infeksi dapat dilakukan penutupan kulit secara sekunder atau melalui tandur kulit. Pada anak sebaiknya dihindari perawatan terbuka untuk menghindari terjadi khondrolisis yaitu kerusakan epiphyseal plate akibat infeksi. Penyambungan tulang pada anak relatif lebih cepat maka reposisi dan fiksasi dikerjakan secepatnya untuk mencegah deformitas. 8. Stabilisasi fraktur Dalam melakukan stabilisasi fraktur awal penggunaan gips sebagai temporary splinting dianjurkan sampai dicapai penanganan luka yang adekuat, kemudian bisa dilanjutkan dengan pemasangan gips sirkuler atau diganti fiksasi dalam dengan plate and screw, intermedullary nail atau external fixator devices sebagai terapi stabilisasi definitif. Pemasangan fiksasi dalam dengan plate and screw pada fraktur terbuka dengan kontaminasi tidak direkomendasikan. Namun demikian fiksasi dalam dapat dipasang setelah luka jaringan lunak baik dan diyakini tidak ada infeksi lagi. Penggunaan fiksasi luar (external fixation devices) pada fraktur terbuka derajat III adalah salah satu pilihan untuk memfiksasi fragmen-fragmen fraktur tersebut dan untuk mempermudah perawatan luka harian.

Imobilisasi Gips ( Plaster of Paris)


Penggunaan gips sebagai fiksasi agar fragmen-fragmen fraktur tidak bergeser setelah dilakukan manipulasi / reposisi atau sebagai pertolongan yang bersifat sementara agar tercapai imobilisasi dan mencegah fragmen fraktur tidak merusak jaringan lunak disekitarnya. Keuntungan lain dari penggunaan gips adalah murah dan mudah digunakan oleh setiap dokter, non toksik, mudah digunakan, dapat dicetak sesuai bentuk anggota gerak, bersifat radiolusen dan menjadi terapi konservatif pilihan Pada fraktur terbuka derajat III dimana terjadi kerusakan jaringan lunak yang hebat dan luka terkontaminasi penggunaan gips untuk stabilisasi fraktur cukup beralasan untuk mempermudah perawatan luka. Setelah luka baik dan bebas infeksi penggunaan gips untuk fiksasi fraktur dapat dilanjutkan untuk menunjang secundary bone healing dengan pembentukan kalus. ORIF ( Open Reduction and Internal Fixations ) A. Reduksi tertutup diindikasikan untuk keadaan sebagai berikut: 1). Fraktur dengan tak ada pergeseran, 2). Fraktur yang stabil setelah reposisi/ reduksi, 3). Fraktur pada anak-anak, 4). Cedera jangan luk minimal 5). Trauma berenergi rendah. B. Reduksi terbuka diindikasikan untuk keadaan sebagai berikut: 1). kagagalan dalam penanganan secara reduksi tertutup, 2). fraktur yang tidak stabil, 3). fraktur intraartikuler yang mengalami pergeseran dan 4). fraktur yang mengalami pemendekan. Pemasangan Fiksasi dalam sering menjadi pilihan terapi yang paling diperlukan dalam stabilisasi fraktur pada umumnya termasuk fraktur kruris terbuka derajat III. Pilihan metode yang dipergunakan untuk fiksasi dalam ada beberapa macam yaitu: a. Pemasangan plate and screws Pemasangan fiksasi dalam pada fraktur terbuka mempunyai resiko tinggi terjadi komplikasi infeksi, non-union dan refraktur. Pada penelitian awalnya pemasangan plat pada fraktur terbuka diketahui telah memperbaiki fraktur dengan penyambungan kortek langsung tanpa pembentukan kalus. Osteosit langsung menyeberangi gap antar fragmen fraktur. Tapi pada kenyataannya terjadi osteogenesis meduler dan sedikit pembenrukan kalus periosteum. Pada penelitian selanjutnya diketahui bahwa pada pemasangan plat itu sendiri telah mengganggu vaskularisasi ke kortek tulang oleh plat yang berakibat gangguan aliran darah yang menyebabkan nonunion. Mengatasi permasalahan ini para pakar AO/ASIF dari Swiss telah menciptakan antara lain LCDCP (limited contact dynamic compression plate) dan ada yang membuat inovasi baru dengan merekonstruksi plat yang non-rigid dengan tidak memasang sekrup yang banyak sehingga terjadi pembentukan kalus (Matter, 1997 cit. Trafton, 2000 ). Pemasangan plat perlu hati-hati dalam melakukan irisan jaringan lunak agar tidak terjadi kerusakan periosteum, fascia dan otot karena dapat mengakibatkan nonunion. Penutupan kulit diatas plat sering mengalami kesulitan dan dapat terjadi nekrosis kulit atau infeksi superfisial. Untuk pencegahan kerusakan jaringan lunak dilakukan dengan pemasangan plat dibawah kulit dan sekrup langsung dipasang ke tulang dengan bantuan alat fluoroskopi b. Pemasangan screws or wires Untuk melakukan fiksasi fraktur diafisis jarang menghasilkan fraktur yang stabil. Pemasangan skru banyak digunakan dalam fiksasi fraktur intraartikuler dan periartikuler baik digunakan secara tunggal atau kombinasi bersamaan dengan pemasangan plat atau external fixation device. (Behrens, 1996). Pemasangan intramedullary nai/ rods

c.

Pada pemasangan reamed intramedullary nails dapat menyebabkan ujung-ujung fragmen fraktur diafisis mengalami robekan periosteum kehilangan blood supply sehingga meningkatkan kejadian infeksi dan nonunion. Beberapa penelitian awal menyimpulkan bahwa penggunaan unreamed intramedullary nails pada fraktur tibia terbuka cukup aman terhadap vaskularisasi intrameduler dan direkomendasikan untuk stabilisasi fraktur terbuka derajat I,II dan III A, sedangkan untuk derajat IIIB dan IIIC sementara disarankan dengan traksi atau fiksasi luar. Secondary nailing dilaksanakan setelah fiksasi luar dengan syarat tidak ada tanda infeksi lokal maupun pin tract infection. d. Pemasangan external fixation devices Akhir-akhir ini para pakar lebih tertarik pemasangan fiksasi luar dari pada pemasangan plat. Menurut Van der Linden dan Larson (1979) pada penelitian pemasangan plat dibanding konservatif ternyata angka infeksi lebih tinggi pada pemasangan plat seperti infeksi superfisial, nekross kulit dan osteomielitis. Kejadian infeksi pada pemasangan plat akan memerlukan operasi berulangkali. Sedangkan Clifford et al.( 1988) menyarankan pemasangan plat dilaksanakan untuk stabilisasi fraktur terbuka derajat I dan derajat II dan fraktur avulsi. Menurut Bach dan Hansen (1989) yang membandingkan pemasangan plat dengan fiksasi luar pada fraktur kruris terbuka menyimpulkan bahwa pemasangan plat kurang ideal pada fraktur terbuka derajat II dan III. ( cit. Court-Brown et al., 1996). Penggunaan fiksasi luar yang pernah sangat populer di Eropa dan Amerika mempunyai resiko terjadinya komplikasi pada tempat masuknya pin ( pin tract infection) sebesasr 20-42%, dan resiko terjadi malunion sebagai akibat reduksi yang kurang memadai dan akibat pelepasan fiksasi yang terlalu awal setelah lama pemasangan. Pada fraktur diafisis tibia pemasangan fiksasi luar dengan unilateral frame external fixator merupakan indikasi tetapi pada fraktur yang tibia proksimal atau lebih distal penggunaan multiplanar external fixator yang lebih tepat. (Court-Brown et al., 1996).

Anda mungkin juga menyukai