Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN DAN KONSEP DASAR ASUHAN KEPERWATAN

GAWAT DARURAT

“FRAKTUR TERBUKA”

DISUSUN OLEH:

RONALDO HINA WANGULANGU


PO : 5303203200786

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES KUPANG
PRODI KEPERAWATAN WAINGAPU
2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fraktur merupakan suatu patahan pada kontinuitas struktur jaringan tulang atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan trauma, baik trauma langsung ataupun tidak langsung.
Akibat dari suatu trauma pada tulang dapat bervariasi tergantung pada jenis, kekuatan dan
arahnya trauma. Patahan tadi mungkin tidak lebih dari suatu retakan, suatu pengisutan
atau perimpilan korteks, biasanya patahan itu lengkap dan fragmen tulang bergeser. Kalau
kulit diatasnya masih utuh, keadaan ini disebut fraktur tertutup (fraktur sederhana), kalau
kulit atau salah satu dari rongga tubuh tertembus keadaan ini disebut fraktur terbuka
(fraktur compound) yang cenderung mengalami kontaminasi dan infeksi.
Penampilan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis fraktur
dibagi beberapa kelompok :
1. Fraktur lengkap
Tulang patah menjadi dua fragmen atau lebih. Termasuk disini adalah fraktur
kominutif yang merupakan fraktur dengan lebih dari dua fragmen karena ikatan
sambungan pada permukaan fraktur tidak baik, fraktur ini sering tak stabil.
2. Fraktur tidak lengkap
Tulang terpisah secara tidak lengkap dan periosteum tetap menyatu. Biasanya
pada fraktur greenstick tulang bengkok atau melengkung, ditemukan pada anak.
Selain itu fraktur tidak lengkap bisa terdapat pada fraktur kompresi.

Trauma langsung akibat benturan akan menimbulkan garis fraktur transversal dan
kerusakan jaringan lunak. Benturan yang lebih keras disertai dengan penghimpitan tulang
akan mengakibatkan garis fraktur kominutif diikuti dengan kerusakan jaringan lunak yang
lebih luas. Trauma tidak langsung mengakibatkan fraktur terletak jauh dari titik trauma
dari jaringan sekitar fraktur tidak mengalami kerusakan berat. Pada olahragawan, penari
dan tentara dapat pula terjadi fraktur pada tibia, fibula atau metatarsal yang disebakan
oleh karena trauma yang berulang.
B. Rumusan Masalah
 Apa itu fraktur terbuka?
 Apa saja etiologi dari fraktur terbuka?
 Bagaimana patofisiologi dan pathway dari fraktur terbuka?
 Apa saja pemeriksaan penunjang pada fraktur terbuka?
 Apa saja penatalaksanaan medis pada fraktur terbuka?
 Apa saja komplikasi dari fraktur terbuka?
 Apa saja fokus pengkajian pada fraktur terbuka?
 Apa saja diagnosa keperawatan pada fraktur terbuka?
 Apa saja fokus intervensi pada fraktur terbuka?

C. Tujuan
 Untuk mengetahui apa itu fraktur terbuka
 Untuk mengetahui apa saja etiologi dari fraktur terbuka
 Untuk mengetahui bagaimana patofisiologi dan pathway dari fraktur terbuka
 Untuk mengetahui apa saja pemeriksaan penunjang pada fraktur terbuka?
 Untuk mengetahui apa saja penatalaksanaan pada fraktur terbuka?
 Untuk mengetahui apa saja komplikasi dari fraktur terbuka?
 Untuk mengetahui apa saja fokus pengkajian pada fraktur terbuka?
 Untuk mengetahui apa saja diagnosa keperawatan pada fraktur terbuka?
 Untuk mengetahui apa saja fokus intervensi pada fraktur terbuka.
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Fraktur terbuka merupakan suatu fraktur dimana terjadi hubungan
dengan lingkungan luar melalui kulit sehingga terjadi kontaminasi
bakteri, sehingga timbul komplikasi berupa infeksi.

B. ETIOLOGI
Fraktur terjadi bila ada suatu trauma yang mengenai tulang, dimana trauma tersebut
kekuatannya melebihi kekuatan tulang, 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya
fraktur :
1. Ekstrinsik meliputi kecepatan dan durasi trauma yang mengenai tulang, arah dan
kekuatan trauma.
2. Instrisik meliputi kapasitas tulang mengasorbsi energi trauma, kelenturan, kekuatan
dan densitas tulang.

Setelah fraktur lengkap, fragmen-fragmen biasanya bergeser. Sebagian oleh gaya


berat dan sebagian oleh tarikan otot yang melekat padanya. Pergeseran biasanya disebut
dengan aposisi, penjajaran (alignment), rotasi dan berubahnya panjang.
Semua fraktur terbuka harus dianggap terkontaminasi, sehingga mempunyai potensi
untuk terjadi infeksi. Pada fraktur tulang dapat terjadi pergeseran fragmen-fragmen
tulang. Pergeseran fragmen bisa diakibatkan adanya keparahan cedera yang terjadi, gaya
berat, maupun tarikan otot yang melekat padanya.
Pergeseran fragmen fraktur akibat suatu trauma dapat berupa :
1. Aposisi (pergeseran ke samping/ sideways, tumpang tindih dan berhimpitan/
overlapping, bertrubukan sehingga saling tancap/ impacted) : fragmen dapat bergeser
ke samping, ke belakang atau ke depan dalam hubungannya dengan satu sama lain,
sehingga permukaan fraktur kehilangan kontak. Fraktur biasanya akan menyatu
sekalipun aposisi tidak sempurna, atau sekalipun ujung-ujung tulang terletak tidak
berkontak sama sekali.
2. Angulasi (kemiringan/ penyilangan antara kedua aksis fragmen fraktur) : fragmen
dapat miring atau menyudut dalam hubungannya satu sama lain.
3. Rotasi (pemuntiran fragmen fraktur terhadap sumbu panjang) : salah satu fragmen
dapat berotasi pada poros longitudinal, tulang itu tampak lurus tetapi tungkai akhirnya
mengalami deformitas rotasional.
4. Panjang (pemanjangan atau pemendekan akibat distraction atau overlapping antara
fragmen fraktur) : fragmen dapat tertarik dan terpisah atau dapat tumpang tindih,
akibat spasme otot, menyebabkan pemendekan tulang.

Hubungan garis fraktur dengan energi trauma :


GARIS FRAKTUR MEKANISME TRAUMA ENERGI
Transversal, oblik, spiral Angulasi/ memutar Ringan
(sedikit bergeser/ masih ada
kontak)
Butterfly, transversal Kombinasi Sedang
(bergeser), sedikit kominutif
Segmental kominutif Variasi Berat
(sangat bergeser)

C. PATOFISIOLOGI DAN PATHWAY


Patofisiologi fraktur terbuka adalah terjadinya trauma langsung dengan energi tinggi
menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan jaringan lunak. Hal itu menyebabkan terjadinya
periosteal stripping dan kerusakan jaringan lunak sehingga terjadi fraktur, biasanya bersifat
komunitif, yang merusak jaringan otot dan neurovaskular yang signifikan. Ketika terdapat luka
terbuka, semua kontaminan disekitar luka dan bahan asing dapat masuk ke dalam korteks
intramuskular dan tulang sehingga komplikasi yang paling sering terjadi pada kasus fraktur terbuka
adalah infeksi.
Risiko fraktur terbuka tergantung pada banyaknya jaringan lunak yang berada di sekitar fraktur
dan besarnya energi yang terkena pada lokasi fraktur. Misalnya, karena os femur dikelilingi oleh
jaringan lunak yang tebal dan besar, risiko fraktur terbuka lebih kecil dibandingkan tibia yang
dikelilingi jaringan lunak yang sedikit.
PATWAHY

Trauma langsung

Fraktur terbuka

Kehilangan Perubahan fragmen tulang, Fraktur terbuka, ujung


integritas kulit kerusakan pada jaringan dan tulang menembus otot
pembuluh darah dan tulang

Ketidakstabilan posisi Perdarahan lokal


fraktur, apabila organ Luka
fraktur digerakkan

Hematoma pada
daerah fraktur Gangguan
Fragmen tulang yang
integritas kulit
patah menusuk organ
sekitar
Aliran darah kedaerah distal
berkurang atau terhambat Resiko tinggi
Gangguan rasa infeksi
nyaman. Nyeri Warna jaringan pucat, nadi
lemah, sianosis, kesemutan

Kerusakan neuromuskular

Gangguan fungsi organ

Gangguan mobilitas fisik


D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a) Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah“pencitraan” menggunakan sinar
rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang
sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu
diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari
karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan xray harus atas dasar indikasi
kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan.
Hal yang harus dibaca pada x-ray:
 Bayangan jaringan lunak.
 Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi.
 Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
 Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.

Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
 Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit
divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada
satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
 Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang
vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
 Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
 Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari tulang
dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
b) Pemeriksaan Laboratorium
 Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
 Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik
dalam membentuk tulang.
 Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino
Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
c) Pemeriksaan lain-lain
 Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme
penyebab infeksi.
 Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi
lebih di indikasikan bila terjadi infeksi.
 Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur. Arthroscopy:
didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan.
 Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
 MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
(Ignatavicius, Donna D, 1995)

E. PENATALAKSANAAN MEDIS
Banyak pasien dengan fraktur terbuka mengalami cedera ganda dan syok hebat. Bagi mereka,
terapi yang tepat di tempat kecelakaan sangat penting. Luka harus ditutup dengan pembalut steril
atau bahan yang bersih dan dibiarkan tidak terganggu hingga pasien mencapai bagian rawat
kecelakaan.
Di Rumah Sakit, penilaian umum yang cepat merupakan langkah yang pertama, dan setiap
keadaan yang membahayakan jiwa dapat diatasi. Luka kemudian diperiksa, idealnya dipotret dengan
kamera polaroid. Setelah itu dapat ditutup lagi dan dibiarkan tidak terganggu hingga pasien berada
di kamar bedah.
Empat pertanyaan yang perlu dijawab :
1. Bagaimana sifat luka tersebut.
2. Bagaimana keadaan kulit di sekitar luka.
3. Apakah sirkulasi cukup baik.
4. Apakah saraf utuh.

Semua fraktur terbuka, tidak peduli seberapa ringannya, harus dianggap terkontaminasi,
penting untuk mencoba mencegahnya infeksi. Untuk tujuan ini, perlu diperhatikan empat hal yang
penting :
1. Pembalutan luka dengan segera.
2. Profilaksis antibiotika.
3. Debridement luka secara dini.
4. Stabilisasi fraktur.

 Penanganan fraktur terbuka


Pada kasus fraktur terbuka diperlukan ketepatan dan kecepatan diagnosis pada penanganan
agar komplikasi terhindar dari kematian atau kecacatan. Penatalaksanaan fraktur terbuka derajat III
meliputi tindakan life saving dan life limb dengan resusitasi sesuai dengan indikasi, pembersihan luka
dengan irigasi, eksisi jaringan mati dan debridement, pemberian antibiotik (sebelum, selama, dan
sesudah operasi), pemberian anti tetanus, penutupan luka, stabilisasi fraktur dan fisioterapi. Tindakan
definitif dihindari pada hari ketiga atau keempat karena jaringan masih inflamasi/ infeksi dan
sebaiknya ditunda sampai 7-10 hari, kecuali dapat dikerjakan sebelum 6-8 jam pasca trauma.
Prinsip penanganan fraktur terbuka derajat III secara umum adalah sebagai berikut :
1. Pertolongan pertama
Secara umum adalah untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri dan mencegah gerakan-
gerakan fragmen yang dapat merusak jaringan sekitarnya. Stabilisasi fraktur bisa menggunakan
splint atau bandage yang mudah dikerjakan dan efektif. Luka ditutup dengan material yang bersih
dan steril.
2. Resusitasi
Penatalaksanaan sesuai dengan ATLS (Advance Trauma Life Support) dengan
memberikan penanganan sesuai prioritas (resusitasi), bersamaan itu pula dikerjakan
penanganan fraktur terbuka agar terhindar dari komplikasi. Kehilangn banyak darah pada
frkatur terbuka derajat III dapat mengakibatkan syok hipovolemik dan dapat diperberat oleh
rasa nyeri yang dapat menyebabkan syok neurogenik. Tindakan resusitasi dilakukan
dilakukan bila ditemukan tanda syok hipovolemik, gangguan nafas atau denyut jantung
karena fraktur terbuka seringkali bersamaan dengan cedera organ lain. Penderita diberikan
resusitasi cairan Ringer Laktat atau transfusi darah dan pemberian analgetik selama tidak ada
kontraindikasi. Pemeriksaan radiologis dilakukan setelah pasien stabil.

3. Penilaian awal
Pemeriksaan yang teliti dan hati-hati merupakan dasar dalam observasi dan penanganan awal
yang memadai. Fakta-fakta pada pemeriksaan harus direkam dengan baik termasuk trauma pada
daerah atau organ lain dan komplikasi akibat fraktur itu sendiri.
4. Terapi antibiotik dan anti tetanus serum (ATS)
Pemberian antibiotik sebaiknya diberikan segera mungkin setelah terjadinya trauma.
Antibiotik adalah yang berspektrum luas, yaitu sefalosporin generasi I (cefazolin 1-2 gram) dan
dikombinasikan dengan aminoglikosid (gentamisin 1-2 mg/kgBB tiap 8 jam) selama 5 hari.
Selanjutnya perawatan luka dilakukan setiap hari dengan memperhatikan sterilitas, dan
pemberian antibiotik disesuaikan dengan hasil kultur dan sensitifitas terbaru. Bila
dalamperawatan ditemukan gejala dan tanda infeksi, maka dilakukan pemeriksaan kultur dan
sensitifitas ulang untuk penyesuaian ualng pemberian antibiotik yang digunakan. Pemberian anti
tetanus diindikasikan pada fraktur kruris terbuka derajat III berhubungan dengan kondisi luka
yang dalam, luka yang terkontaminasi, luka dengan kerusakan jaringan yang luas serta luka
dengan kecurigaan sepsis. Pada penderita yang belum pernah mendapat imunisasi anti tetanus
dapat diberikan gemaglobulin anti tetanus manusia dengan dosis 250 unit pada penderita diatas
usia 10 tahun dan dewasa, 125 unit pada usia 5-10 tahun dan 75 unit pada anak dibawah 5 tahun.
Dapat pula diberikan serum anti tetanus dari binatang dengan dosis 1500 unit dengan tes
subkutan0,1 selama 30 menit. Jika telah mendapat imunisasi toksoid tetanus (TT) maka hanya
diberikan 1 dosis boster 0,5 ml secara intramuskular.
5. Debridement
Operasi bertujuan untuk membersihkan luka dari benda asing dan jaringan mati,
memberikan persediaan darah yang baik di seluruh bagian itu. Dalam anestesi umum, pakaian
pasien dilepas, sementara itu asisten mempertahankan traksi pada tungkai yang mengalami
cedera dan menahannya agar tetap ditempat. Pembalut yang sebelumnya digunakan pada luka
diganti dengan bantalan yang steril dan kulit di sekelilingnya dibersihkan dan dicukur.
Kemudian bantalan tersebut diangkat dan luka diirigasi seluruhnya dengan sejumlah besar
garam fisiologis. Irigasi akhir dapat disertai obat antibiotika, misalnya basitrasin. Turniket
tidak digunakan karena akan lebih jauh membahayakan sirkulasi dan menyulitkan pengenalan
struktur yang mati.

Jaringan itu kemudian ditangani sebagai berikut :


 Kulit
Hanya sesedikit mungkin kulit dieksisi dari tepi luka, pertahankan sebanyak mungkin
kulit. Luka perlu diperluas dengan insisi yang terencana untuk memperoleh daerah terbuka
yang memadai. Setelah diperbesar, pembalut dan bahan asing lain dapat dilepas.
 Fasia
Fasia dibelah secara meluas sehingga sirkulasi tidak terhalang.
 Otot
Otot yang mati berbahaya, ini merupakan makanan bagi bakteri. Otot yang mati ini
biasanya dapat dikenal melalui perubahan warna yang keungu-unguannya, konsistensinya
yang buruk, tidak dapat berkontraksi bila dirangsang dan tidak berdarah. Semua otot mati dan
yang kemampuan hidupnya meragukan perlu dieksisi.
 Pembuluh darah
Pembuluh darah yang banyak mengalami perdarahan diikat dengan cermat, tetapi untuk
meminimalkan jumlah benang yang tertinggal dalam luka, pembuluh darah yang kecil dijepit
dengan gunting tang arteri dan dipilin.
 Saraf
Saraf yang terpotong biasanya terbaik dibiarkan saja. Tetapi, bila luka itu bersih dan
ujung-ujung saraf tidak terdiseksi, selubung saraf dijahit dengan bahan yang tidak dapat
diserap untuk memudahkan pengenalan di kemudian hari.
 Tendon
Biasanya, tendon yang terpotong juga dibiarkan saja. Seperti halnya saraf, penjahitan
diperbolehkan hanya jika luka itu bersih dan diseksi tidak perlu dilakukan.
 Tulang
Permukaan fraktur dibersihkan secara perlahan dan ditempatkan kembali pada posisi yang
benar. Tulang, seperti kulit, harus diselamatkan dan fragmen baru boleh dibuang bila kecil
dan lepas sama sekali.

 Sendi
Cedera sendi terbuka terbaik diterapi dengan pembersihan luka, penutupan sinovium dan
kapsul, dan antibiotik sistemik : drainase atau irigasi sedotan hanya digunakan kalau terjadi
kontaminasi hebat.
Debridement dapat juga dilakukan dengan :
 Pembersihan luka
Pembersihan luka dilakukan dengan cara irigasi dengan cairan NaCl fisiologis secara
mekanis untuk mengeluarkan benda asing yang melekat.
 Eksisi jaringan yang mati dan tersangka mati (debridement)
Semua jaringan yang kehilangan vaskularisasinya merupakan daerah tempat pembenihan
bakteri sehingga diperlukan eksisi secara operasi pada kulit, jaringan subkutaneus, lemak,
fasia, otot dan fragmen-fragmen yang lepas.
 Pengobatan fraktur itu sendiri
Fraktur dengan luka yang hebat memerlukan suatu traksi skeletal atau reduksi terbuka
dengan fiksasi eksterna tulang. Fraktur grade II dan III sebaiknya difiksasi dengan fiksasi
eksterna.
 Penutupan kulit
Apabila fraktur terbuka diobati dalam waktu periode emas (6-7 jam mulai dari terjadinya
kecelakaan), maka sebaiknya kulit ditutup. Hal ini tidak dilakukan apabila penutupan
membuat kulit sangat tegang. Dapat dilakukan split thickness skin-graft serta pemasangan
drainase isap untuk mencegah akumulasi darah dan serum pada luka yang dalam. Luka dapat
dibiarkan terbuka setelah beberapa hari tapi tidak lebih dari 10 hari. Kulit dapat ditutup
kembali disebut delayed primary closure. Yang perlu mendapat perhatian adalah penutupan
kulit tidak dipaksakan yang mengakibatkan sehingga kulit menjadi tegang.
 Pemberian antibiotik
Pemberian antibiotik bertujuan untuk mencegah infeksi. Antibiotik diberikan dalam dosis
yang adekuat sebelum, pada saat dan seudah tindakan operasi.
 Pencegahan tetanus
Semua penderita dengan fraktur terbuka perlu diberikan pencegahan tetanus. Pada
penderita yang telah mendapat imunisasi aktif cukup dengan pemberian toksoid tapi bagi
yang belum, dapat diberikan 250 unit tetanus imunoglobulin (manusia).
6. Penanganan jaringan lunak
Pada kehilangan jaringan lunak yang luas dapat dilakukan soft tissue tranplantation atau
falap pada tindakan berikutnya, sedangkan tulang yang hilang dapat dilakukan bone grafting
setelah pengobatan infeksi berhasil baik.

7. Penutupan luka
Pada luka yang kecil dan tidak banyak kontaminasi setelah dilakukan debridement dan irigasi
dapat langsung dilakukan penutupan secara primer tanpa tegangan. Pada luka yang luas dan
dicurigai kontaminasi yang berat sebaiknya dirawat secara terbuka, luka dibalut kassa steril dan
dilakukan evaluasi setiap hari. Setelah 5 – 7 hari dan luka bebas dan infeksi dapat dilakukan
penutupan kulit secara sekunder atau melalui tandur kulit. Pada anak sebaiknya dihindari
perawatan terbuka untuk menghindari terjadi khondrolisis yaitu kerusakan epiphyseal plate akibat
infeksi. Penyambungan tulang pada anak relatif lebih cepat, maka reposisi dan fiksasi dikerjakan
secepatnya untuk mencegahnya deformitas.
8. Stabilitas fraktur
Dalam melakukan stabilitas fraktur awal penggunaangips sebagai temporary splinting
dianjurkan sampai dicapai penanganan luka yang adekuat, kemudian bisa dilanjutkan dengan
pemasangan gips sirkuler atau diganti fiksasi dalam dengan plate and screw, intermedullary nail
atau external fixator devices sebagai terapi stabilisasi definitif. Pemasangan fiksasi dalam dapat
dipasang setelah luka jaringan luka baik dan diyakini tidak ada infeksi lagi. Penggunaan fiksasi
luar (external fixation devices) pada fraktur terbuka derajat III adalah salah satu pilihan untuk
memfiksasi fragmen-fragmen fraktur tersebut dan untuk mempermudah perawatan luka harian.

 Imobilisasi Gips (Plaster of Paris)


Penggunaan gips sebagai fiksasi agar fragmen-fragmen fraktur tidak bergeser setelah dilakukan
manipulasi / reposisi atau sebagai pertolongan yang bersifat sementara agar tercapai imobilisasi dan
mencegah fragmen fraktur tidak merusak jaringan lunak disekitarnya. Keuntungan lain dari
penggunaan gips adalah murah dan mudah digunakan oleh setiap dokter, non toksik, mudah
digunakan, dapat dicetak sesuai bentuk anggota gerak, bersifat radiolusen dan menjadi terapi
konservatif pilihan. Pada fraktur terbuka derajat III, dimana terjadi kerusakan jaringan lunak yang
hebat dan luka terkontaminasi, penggunaan gips untuk stabilisasi fraktur cukup beralasan
untuk mempermudah perawatan luka. Setelah luka baik dan bebas infeksi penggunaan gips untuk
fiksasi fraktur dapat dilanjutkan untuk menunjang secondary bone healing dengan pembentukan
kalus.

 Pemasangan fiksasi
Pemasangan fiksasi dalam sering menjadi pilihan terapi yang paling diperlukan dalam stabilisasi
fraktur pada umumnya termasuk fraktur kruris terbuka derajat III. Pilihan metode yang dipergunakan
untuk fiksasi dalam ada beberapa macam, yaitu:
1. Pemasangan plate and screws
Pemasangan fiksasi dalam pada fraktur terbuka mempunyai resiko tinggi terjadi
komplikasi infeksi, non-union dan refraktur. Pada penelitian awalnya pemasangan plat pada
fraktur terbuka diketahui telah memperbaiki fraktur dengan penyambungan kortek langsung tanpa
pembentukan kalus. Osteosit langsung menyeberangi gap antar fragmen fraktur. Tapi pada
kenyataannya terjadi osteogenesis meduler dan sedikit pembentukan kalus periosteum. Pada
penelitian selanjutnya diketahui bahwa pada pemasangan plat itu sendiri telah mengganggu
vaskularisasi ke kortek tulang oleh plat yang berakibat gangguan aliran darah yang menyebabkan
nonunion. Mengatasi permasalahan ini para pakar AO/ASIF dari Swiss telah menciptakan antara
lain LCDCP (limited contact dynamic compression plate) dan ada yang membuat inovasi baru
dengan merekonstruksi plat yang non-rigid dengan tidak memasang sekrup yang banyak sehingga
terjadi pembentukan kalus (Matter, 1997 cit. Trafton, 2000 ). Pemasangan plat perlu hati-hati
dalam melakukan irisan jaringan lunak agar tidak terjadi kerusakan periosteum, fascia dan
otot karena dapat mengakibatkan non-union. Penutupan kulit diatas plat sering mengalami
kesulitan dan dapat terjadi nekrosis kulit atau infeksi superfisial. Untuk pencegahan kerusakan
jaringan lunak dilakukan dengan pemasangan plat dibawah kulit dan sekrup langsung dipasang ke
tulang dengan bantuan alat fluoroskopi.
2. Pemasangan screws or wires
Untuk melakukan fiksasi fraktur diafisis jarang menghasilkan fraktur yang stabil.
Pemasangan screw banyak digunakan dalam fiksasi fraktuur intraartikuler dan periartikuler, baik
digunakan secara tunggal atau kombinasi bersamaan dengan pemasangan plat atau external
fixation device. (Behrens, 1996).
3. Pemasangan intramedullary nails/rods
Pada pemasangan reamed intramedullary nails dapat menyebabkan ujung-ujung fragmen
fraktur diafisis mengalami robekan periosteum kehilangan blood supply sehingga meningkatkan
kejadian infeksi dan non-union. Beberapa penelitian awal menyimpulkan bahwa penggunaan
undreamed intramedullary nails pada fraktur tibia terbuka cukup aman terhadap vaskularisasi
intrameduler dan direkomendasikan untuk stabilisasi fraktur terbuka derajat I,II dan III A,
sedangkan untuk derajat IIIB dan IIIC sementara disarankan dengan traksi atau fiksasi luar.
Secondary nailing dilaksanakan setelah fiksasi luar dengan syarat tidak ada tanda infeksi local
maupun pin tract infection.
4. Pemasangan external fixation devices
Akhir-akhir ini pakar lebih tertarik pemasangan fiksasi luar daripada pemasangan
plat. Menurut Van der Linden dan Larson (1979) pada penelitian pemasangan plat disbanding
konservatif ternyata angka infeksi lebih tinggi pada pemasangan plat seperti infeksi
superfisial, nekross kulit dan osteomielitis. Kejadian infeksi pada pemasangan plat akan
memerulkan operasi berulang kali. Sedangkan Clifford et al.( 1988) menyarankan
pemasangan plat dilaksanakan untuk stabilisasi fraktur terbuka derajat I dan derajat II dan
fraktur avulse. Menurut Bach dan Hansen (1989) yang membandingkan pemasangan plat
dengan fiksasi luar pada fraktur kruris terbuka menyimpulkan bahwa pemasangan plat kurang
ideal pada fraktur terbuka derajat II dan III. ( cit. Court-Brown et al., 1996). Penggunaan
fiksasi luar yang pernah sangat popular di Eropa dan Amerika mempunyai resiko terjadinya
komplikasi pada tempat masuknya pin (pin tract infection) sebesar 20-42 %, dan resiko
terjadi malunion sebagai akibat reduksi yang kurang memadai dan akibat pelepasan fiksasi
yang terlalu awal setelah lama pemasangan. Pda fraktur diafisis tibia, pemasangan fiksasi luar
dengan unilateral frame external fixator merupakan indikasi, tetapi pada fraktur yang tibia
proksimal atau lebih distal penggunaan multiplanar external fixator yang lebih cepat. (Court-
Brown et al., 1996).

F. KOMPLIKASI
1) Komplikasi umum
Syok, koagulasi difus dan gangguan fungsi pernafasan terjadi selama 24 jam pertama
setelah cedera. Juga terdapat reaksi metabolic lambat terhadap cedera yang terjadi beberapa
hari atau beberapa minggu setelah cedera, ini mencangkup peningkatan katabolisme dan
membutuhkan dukungan gizi.

 Sindroma peremukan (Crush syndrome)


 Trombosis vena dan emboli paru-paru
 Tetanus
 Gas gangren
2) Komplikasi lokal
Komplikasi local dapat timbul lebih dini (selama beberapa minggu pertama setelah cedera)
atau belakangan (dari beberapa minggu sampai beberapa tahun setelah fraktur). Komplikasi ini
selanjutnya dapat dibagi lagi memnjadi yang mempengaruhi tulang dan yang melibatkan jaringan
lunak dan sendi-sendi.
 Komplikasi dini tulang
 Komplikasi dini jaringan lunak
 Lepuh fraktur  Cedera pembuluh darah
 Borok akibat gips  Sindroma kompartemen
 Robekan serabut otot  Cedera saraf
 Hematrosis  Cedera visceral
 Komplikasi belakang tulang
 Nekrosis avascular
 Penyatuan terlambat
 Non union
 Malunion
 Komplikasi belakang-jaringan lunak
 Ulkus dekubitus (bed sores)
 Miotitis osifikans
 Tendinitis
 Ruptur tendon
 Kompresi saraf
 Terjepitnya saraf

Kontraktur volk
 Komplikasi yang belakang-sendi
 Ketidakstabilan sendi
 Kekakuan sendi
 Algodistrofi (atrofi sudeck)
 Osteoatritis
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS FRAKTUR
TERBUKA

1. Pengkajian
Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut
bisa akut atau kronik tergantung lamanya serangan.

Riwayat penyakit
 Riwayat penyakit sekarang
Dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam
membuat rencana tindakan terhadap klien. Bisa berupa kronologi terjadinya
penyakit sehingga bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana
yang terkena.
 Riwayat penyakit dahulu
Dilakukan untuk menentukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi
petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit tertentu seperti
Paget’s atau Ca tulang yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit
untuk disambung. Selain itu penyakit diabetes dengan luka di kaki sangat
beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kroni dan menghambat proses
penyembuhan tulang.
 Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah
satu faktor predisposisi terjadinya fraktur seperti diabetes, osteoporosis yang
sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik.

Pemeriksaan Fisik (Review of Systems)


a. B1 – Breath (Pernafasan)
MEmperhatikan pola nafas klien. Pola nafas yang cepat dan ireguler
mengindikasikan klien merasakan nyeri pada angota bagian tubuhnya.
b. B2 – Blood (Kardiovaskuler)
Memperhatikan irama dan frekuensi denyut jantung, reguler/ireguler. Perabaan
denyut nadi perifer untuk mengindikasikan kemungkinan adanya perdarahan
didalam dekat jaringan yang mengalami fraktur, sehingga nadi teraba cepat
namun lemah.
c. B3 – Brain (Perkemihan)
Tingkat kesadaran klien dapat dikaji lewat pertanyaan-pertanyaan seperti nama
dan alamat klien, dan menentukan nilai GCS klien.
d. B4 – Bladder (Perkemihan)
Memeriksan jumlah, warna, dan karaktersitik urine. Ada atau tidaknya distensi
kandung kemih.
e. B5 – Bowel (Pencernaan)
Penilaian apda rongga mulut, ada tidaknya lesi pada mulut atau perubahan pada
lidah menunjukkan adanya dehidrasi. Ada atau tidaknya bising usus. Ada atau
tidaknya distensi abdomen.
f. B6 – Bone (Muskuloskeletal)
Perhatikan warna kulit, suhu, kelembaban, dan turgor kulit. Kebiruan
menunjukkan sianosis, kemerahan menunjukkan adanya infeksi atau perdarahan.
Warna kulit pucat menandakan klien memiliki kadar Hemoglobin (Hb) yang
rendah. Mengkaji rentang gerak dan kekuatan ekstremitas klien, dan juga melihat
integritas atau keutuhan kulit klien.

2. Diagnosa Keperawatan
 Resiko trauma b/d kehilangan integritas tulang (fraktur).
 Nyeri b/d spasme otot, pergerakan fragmen tulang, edema, trauma pada
jaringan lunak, stres, dan cemas.
 Resiko terjadi disfungsi neuromuskular periferal b/d trauma jaringan, edema,
adanya trombus, hipovolemia dan terhambatnya aliran darah.
 Resiko terjadi gangguan pertukaran gas b/d gangguan peredaran darah/ emboli
lemak dan perubahan membran alveolar.
 Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan neuromuskular, nyeri,
restrictive therapy, dan imobilisasi.
 Resiko terjadi gangguan integritas kulit/ jaringan yang berhubungan dengan
adanya fraktur, pemasangan gips/ traksi dan gangguan sirkulasi.
 Resiko terjadi infeksi b/d tidak adekuatnya pertahanan primer (rusak kulit/
jaringan, prosedur invasif, traksi tulang).

3. Perencanaan Keperawatan
 Resiko terjadi trauma b/d kehilangan integritas tulang (fraktur) Hasil yang
diharapkan:
o Mempertahankan stabilisasi dan alignment fraktur,
o Mendemonstrasikan mekanika tubuh untuk mempertahankan stabilitas posisi tubuh,
dan Menunjukkan pertumbuhan valus yang baru pada bagan fraktur. Rencana
Tindakan:
1. Anjurkan bed-rest dengan memberikan penyangga saat mencoba menggerakkan bagian
yang fraktur. R/ Meningkatkan kemampuan, mereduksi kemungkinan pengobatan.
2. Letakkan klien pada tempat tidur ortopedis. R/ Kelembutan dan kelenturan alas dapat
mempengaruhi bentuk gips yang basah.
3. Beri penyangga pada fraktur dengan bantal, pertahankan posisi netral dengan menahan
bagian yang fraktur dengan bantalan pasir, bidai, trochanter-roll, dan papan kaki. R/
Mencegah penakanan sehingga menghindari deformitas pada gips.
4. Evaluasi pergerakan bidai untuk menghindari edema. R/ Bidai digunakan untuk
memberikan imobilisasi ada fraktur dan untuk mencegah terjadinya bengkak pada
jaringan. Edema akan hilang dengan pemberian bidai.
5. Pertahankan posisi dan integritas dari traksi. R/ Tarikan pada traksi dilakukan pada
tulang panjang yang fraktur dan kemudian menjadikan otot tegang sehingga
memudahkan alignment.
6. Follow-up pemeriksaan X-ray. R/ Mengetahui proses tumbuhnya calus untuk
menentukan tingkat aktivitas dan memerlukan perubahan atau tambahan terapi.
7. Pertahankan fisioterapi jika perlu. R/ Membantu menguatkan pertumbuhan tulang dalam
penyembuhan.

 Nyeri b/d spasme otot, pergerakan fragmen tulang, edema,


traksi/imobilisasi karena penggunaan alat, stres dan kecemasan.
Hasil yang diharapkan:
o Klien mengerti penyebab nyeri,
o Klien mampu mengontrol nyeri, dan
o Tanda-tanda vital dalam rentang normal.

Rencana tindakan:
1) Lakukan imobilisasi (bed-rest, gips, bidai dan traksi). R/ Mengurangi nyeri
dan mencegah perubahan posisi tulang serta luka pada jaringan.
2) Tinggikan dan sangga daerah luka. R/ Meningkatkan aliran vena, mengurangi
edema dan mengurangi nyeri.
3) Tinggikan bagian depan tempat tidur. R/ Memberikan rasa nyaman.
4) Anjurkan klien untuk menggunakan teknik relaksasi nafas dalam.
R/ Meningkatkan kemampuan mengurangi rasa nyeri.
5) Lakukan latihan range of motion. R/ Mempertahankan kemampuan otot dan
menghindari pembengkakan pada jaringan yanag luka.
6) Kolaborasi untuk pemberian obat sesuai terapi. R/ Meningkatkan relaksasi
otot dan menekan rangsangan nyeri.
7) Evaluasi rasa nyeri, lokasi, dan karakteristik, termasuk intensitas. Perhatikan
juga rasa nyeri non-verbal (tanda vital, emosi, pergerakan/ perilaku). R/
Monitor keefektifan intervensi, tingkat kecemasan dapat menunjukkan reaksi
dari nyeri.
 Resiko terjadi gangguan integritas kulit/jaringan b/d compound fracture,
pemasangan traksi, gangguan sensasi, sirkulasi dan imobilisasi fisik.
Hasil yang diharapkan:

Rencana tindakan:
o Periksa kulit sekitar luka, kemerahan, perdarahan, perubahan warna kulit. R/
Memberikan informasi gangguan sirkulasi kulit dan masalah-masalah yang
mungkin disebabkan oleh penggunaakn traksi dan terbentuknya edema.
o Masase kulit dan tempat yang menonjol, menjaga alat tenun tetap kering,
memberikan alas yang lembut pada siku dan tumit. R/ Mengurangi penekanan
pada daerah yang beresiko lecet dan rusak.
o Ubah posisi selang-seling sesuai indikasi. R/ Mengurangi penekanan yang
terus menerus pada posisi tertentu.
o Kaji posisi splint ring traksi. R/ salah posisi akan menyebabkan kerusakan
kulit.
o Pakai bed-matras/ air-matras. R/ Mencegah perlukaan setiap anggota tubuh,
dan untuk anggota tubuh yang kurang gerak efektif untuk mencegah
penurunan sirkulasi.

4. Implementasi Keperawatan
Merupakan pelaksanaan rencana tindakan keperawatan yang telah ditentukan agar
kebutuhan klien terpenuhi secara optimal. Pelaksanaan tindakan keperawatan dapat
dilaksanakan sebagian oleh klien, perawat secara mandiri, atau bekerjasama dengan
tim kesehatan lain. Dalam hal ini perawat adalah sebagai perencana dan pelaksana
asuhan keperawatan yaitu memberikan pelayanan perawatan dengan menggunakan
proses keperawatan.
5. Evaluasi Keperawatan
Merupakan tahap akhir proses keperawatan yang merupakan aktivitas
berkesinambungan dari tahap awal (pengkajian) sampai tahap akhir (evaluasi) dan
melibatkan klien/ keluarga. Evaluasi bertujuan untuk menilai efektivitas rencana dan
strategi asuhan keperawatan. Ada tiga alternatif dalam menafsirkan hasil evaluasi, yaitu:
a. Masalah teratasi, apabila klien menunjukkan perubahan perilaku dan
perkembangan kesehatan sesuai dengan kriteria pencapaian tujuan yang
ditetapkan.
b. Masalah sebagian teratasi, apabila klien menunjukkan perubahan dan
perkembangan kesehatan hanya sebagian dari kriteria pencapaian tujuan
yang telah ditetapkan.
c. Masalah belum teratasi, jika klien sama sekali tidak menunjukkan
perubahan perilaku dan perkembangan kesehatan atau bahkan timbul
masalah baru.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Fraktur merupakan suatu patahan pada kontinuitas struktur jaringan tulang atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan trauma, baik trauma langsung ataupun tidak langsung.
Akibat dari suatu trauma pada tulang dapat bervariasi tergantung pada jenis, kekuatan
dan arahnya trauma.
Kalau kulit diatasnya masih utuh, keadaan ini disebut fraktur tertutup (fraktur
sederhana), kalau kulit atau salah satu dari rongga tubuh tertembus keadaan ini disebut
fraktur terbuka (fraktur compound) yang cenderung mengalami kontaminasi dan infeksi.
Penampilan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis fraktur
dibagi beberapa kelompok :
1. Fraktur lengkap
2. Fraktur tidak lengkap
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Ed. 8.
Jakarta: EGC.

Doengoes, E. Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Ed.3. Jakarta:
EGC.

IAI. 2012. ISO: Informasi Spesialite Obat Indonesia. Vol.47 – 2012 s/d 2013 ISSN
0854-4492. Jakarta: Isfi Penerbitan.

Mansjoer, Arief. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Ed.4. Jakarta: Media


Aesculapicus.

Smeltzer, C. Suzanne. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Ed.8. Jakarta: EGC.

Wilkinson, M. Judith, Nancy R. Ahern. 2011. Buku Saku Diagnosisi


Keperawatan; Diagnosisi NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil
HOC. Ed.9. Jakarta: EGC
http://www.bedahugm.net/Bedah-Orthopedi/Fraktur-Terbuka/Penanganan.html
http://medicastore.com/penyakit/654/Patah_Tulang_fraktur_.html
http://www.indonesiaindonesia.com/f/9874-patah-tulang/
di akses 16 september 2019

Anda mungkin juga menyukai