System kardiovaskular atau biasa disebut dengan system peredaran darah. Sistem ini bekerja
dari beberapa kumpulan struktur/organ yang melaksanakan fungsinya sebagai transportasi.
Transportasi dari sistem ini yaitu membawa darah yang berisi zat penting yang dibutuhkan
oleh tubuh, seperti nutrisi (glukosa, asam amino), hormone dan zat imun, selain itu sistem
kardiovaskular juga berperan untuk mengeluarkan zat sisa metabolic yang tidak diperlukan
seperti karbondioksida (Irman,.et all, 2019).
Terdapat 2 komponen utama dalam sistem kardiovaskular yaitu jantung dan pembuluh darah.
Pembuluh darah meliputi arteri, kapiler dan vena (Irman,.et all, 2019).
JANTUNG
Jantung terletak di dalam mediastinum rongga dada yang terdiri dari otot. Berbentuk seperti
jantung pisang dengan berat kira-kira 250-300 gram. Rata-rata detakan jantung yaitu 60-100
detak per menit atau sekitar 100.000 kali dalam satu hari. Lapisan pembungkus jantung
disebut pericardium. Lapisan ini terdiri dari dua bagian yaitu lapisan dalam (viseralis) dan
lapisan luar (parietalis). Terdapat cairan pelumas diantara kedua lapisan yang berfungsi untuk
menjaga serta mencegah kerusakan jantung saat berkontruksi dan melindungi jantung dari
infeksi penyakit. Jaringan otot jantung memiliki keunikan, hal ini dikarenakan jika dilihat
dari cara kerja seperti otot polos (diluar kehendak manusia) dan dari bentuknya seperti otot
serat lintang. Terdapat 3 lapisan pada jantung meliputi: lapisan terluar (epicardium), lapisan
tengah (miokardium) dan lapisan terdalam (endocardium). Sistem persyarafan pada jantung
diperoleh dari nervus simpatikus dan nervus para simpatikus. Jantung melakukan kontraksi
dan relaksasi di pengaruhi oleh saraf otonom. Jantung dibagi dalam 4 ruang antara lain
(Irman,.et all, 2019):
1. Atrium kanan
Atrium kanan berfungsi sebagai tempat penyimpanan darah dari vena yang masuk
dari vena kava superior, vena kava inferior dan arteri coroner.
2. Atrium kiri
Darah dari paru-paru masuk ke atrium kiri melalui vena pulmonalis, bila terjadi
peningkatan pada ruang ini, maka menyebabkan bendungan paru.
3. Ventrikel kanan
Ventrikel kanan menerima darah dari atrium ke sirkulasi paru-paru dan sirkulasi
seluruh tubuh. Beban kerja dari ventrikel kanan lebih ringan dari ventrikel kiri.
4. Ventrikel kiri
Ventrikel kiri memiliki tekanan yang cukup tinggi, ini disebabkan karena fungsinya
mengalirkan darah ke seluruh tubuh. Bisa di bayangkan, apabila perfusi ventrikel kiri
bermasalah maka organ pusat dan perifer akan mengalami kekurangan oksigen.
SIKLUS JANTUNG
Jantung mengalami gerakan selama proses peredaran darah. Gerakan jantung yaitu fase
kontriksi (sistole) dan fase pengendoran (diastole). Ventrikel kiri berkontruksi lebih lama dan
kuat sebagai upaya untuk mengalirkan darah ke seluruh tubuh (kontriksi ventrikel ± 0.3 detik
dan lama pengendoran ± 0.5 detik). Daya kontriksi ventrikel kanan lebih rendah dikarenakan
hanya mengantarakan darah ke paru-paru. Kontriksi ke dua atrium juga lebih pendek. Daya
pompa jantung selama fase istirahat beredar 70-80 kali/menit dan saat aktifitas yang tinggi
kecepatan jantung bisa mencapai 150 kali/menit.
KATUP JANTUNG
Jantung memiliki katup yang berfungsi untuk menjaga aliran darah searah. Berikut penjelasan
terkait katup jantung:
1. Valvula trikuspidalis, terdiri dari 3 katup terletak antara atrium kanan dan ventrikel
kanan
2. Valvula bikuspidalis, terdiri dari 2 katup yang terletak antara atrium kiri dan ventrikel
kiri
3. Valvula semilunaris arteri pulmonalis, tempat darah mengalir ke paru-paru, yang
terletak antara arteri pulmonalis dengan ventrikal kanan
4. Valvula semilunaris aorta, tempat darah mengalir ke seluruh tubuh, yang terletak
antara ventrikel kiri dan aorta.
Gambar 02. Katup Jantung
CURAH JANTUNG
Curah jantung diartikan sebagai jumlah darah yang keluar dari ventrikel dalam 1 menit.
Dalam tubuh manusia dewasa sekitar 5 liter darah. Setiap kali sistole, ventrikel memompa
darah disebut sebagai volume sekuncup. Jadi curah jantung dapat dihitung = volume
sekuncup x frekuensi nadi/menit. Pada keadaan istirahat volume sekuncup = 80 cc. volume
sekuncup juga disebut isi sekuncup atau stroke volume. Jadi jika seseorang pada saat
pemeriksaan nadi = 70x/menit, maka curah jantung = (80 x 70) = 5600 cc atau 5,6 liter.
Jumlah darah yang masih tersimpan didalam ventrikel disebut sebagai volume residu.
Misalnya isi ventrikel pada akhir diastole 130 cc, volume sekuncup = 85 cc, maka pada akhir
diastole masih tersisa darah sebanyak 45 cc. jadi volume residu = 45 cc. Setiap individu
memiliki curah jantung yang berbeda tergantung aktifitas fisik, cemas, stress dan pada saat
tidur curah jantung menurun. Curah jantung dipengaruhi denyut jantung, kontraktilitas
(kekuatan kontraksi) dan resistensi aliran perifer (Irman,.et all, 2019).
REFLEKS JANTUNG
DENYUT NADI
Denyut nadi terjadi dari gelombang yang teraba pada arteri pada saat darah dipompa keluar
dari jantung. Denyut nadi normal pada orang dewasa sebesar 60-100x/menit (Irman,.et all,
2019).
BUNYI JANTUNG
Bunyi yang dihasilkan oleh jantung disebabkan oleh menutupnya katup jantung, terdapat 2
bunyi jantung. Bunyi pertama terdengar saat menutupnya katup atrioventrikel dan terdengar
panjang. Bunyi jantung ke dua terdengar pendek serta tajam. Bila ada gangguan misalnya
gangguan pada katup maka terdengar bunyi tambahan atau bising (Irman,.et all, 2019).
Ketiga
jenis kejadian
coroner
itu
sesungguhnya merupakan suatu proses berjenjang dari fenomena yang ringan sampai yang
terberat. Dan jenjang itu terutama dipengaruhi oleh kolateralisasi, tingkat oklusinya, akut
tidaknya dan lamanya iskemia miokard berlangsung APTS (Depkes, 2006).
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan kasus kegawatan dari Penyakit Jantung
Koroner (PJK) yang terjadi karena proses penyempitan pembuluh darah sehingga aliran darah
coroner berkurang secara mendadak. Sindrom Koroner Akut mengalami jumlah kematian
yang tinggi dan meningkat setiap tahunnya diakibatkan oleh ketidakseimbangan antara
kebutuhan oksigen pada jantung dan aliran darah (Irman,.et all, 2019).
SKA terdiri dari tiga yaitu Unstable Angina Pectoris (UAP), NSTEMI (Non-ST
Elevation Myocardial Infraction) dan STEMI (ST Elevation Myocardial Infraction). Keadaan
STEMI merupakan indikator terjadinya oklusi pembuluh darah koroner sehingga
memerlukan tindakan revaskularisasi. Sedangkan NSTEMI dan UAP dibedakan berdasarkan
nilai laboratorium jantung, yang mana jika terjadi peningkatan biokimia marka jantung
disebut NSTEMI dan jika tidak terjadi peningkatan biokimia marka jantung disebut UAP
(PERKI, 2015).
GEJALA
Penderita baru menyadari dirinya terkena jantung koroner ketika penyakitnya sudah
parah bahkan tak jarang harus meninggal karena keterlambatan penanganan. Berikut ini
adalah gejala-gejala jantung koroner
a. Timbulnya rasa nyeri dada (angina pectoris)
Rasa nyeri pada dada merupakan s alah satu gejala penyakit jantung. Rasa nyeri
timbul karena otot jantung tidak mendapatkan cukup suplai darah sehigga kekurangan
oksigen. Rasa nyeri di dada muncul dan menyebar pada beberapa bagian tubuh seperti bahu,
leher, dada, dan lengan. Timbulnya rasa nyeri memiliki intensitas yang cukup bervariasi
karena berhubungan secara langsung dengan aktivitas atau emosi seseorang. Rasa nyeri yang
timbul bisa bersifat stabil atau tidak stabil.
b. Sesak napas (dyspnea)
Sesak napas merupakan salah satu gejala penyakit jantung selain nyeri dada dan rasa
tidak nyaman pada dada. Sesak napas terjadi karena tubuh tidak mampu untuk mendapatkan
oksigen dan melepaskan karbondioksida karena masuknya cairan ke dalam rongga udara di
paru-paru.
c. Keanehan pada irama denyut jantung
Apabila irama denyut jantung tidak teratur dan aneh, perlu diwaspadai karena
berdampak fatal. Ketidakteraturan denyut jantung disebabkan oleh penebalan otot di katup
jantung sehingga katup jantung mengalami penyempitan dan berakibat pada kebocoran
jantung.
d. Pusing
Selain nyeri dada, sesak napas dan irama jantung yang tidak teratur gejala lain yang
dirasakan dari penyakit jantung yaitu timbul rasa pusing akibat menurunnya kemampuan
jantung untuk melakukan fungsinya secara normal, sehingga aliran darah dalam tubuh
menjadi tergangggu.
e. Rasa lelah berkepanjangan
Sering merasa lelah yang berkepanjangan namun tidak melakukan pekerjaan yang
berat merupakan gejala penyakit jantung. Gejala ini muncul sebulan lebih awal dari serangan
jantung yang disertai dengan sulit bernapas, sulit tidur, dan gangguan pencernaan.
f. Sakit perut, mual dan muntah
Hal ini terjadi akibat pembengkakan diperut. Biasanya gejala ini disalahartikan
sebagai masuk angina bisa sehingga pengobatan yang dilakukan tidak tepat (Hermawati dan
Dewi, 2014).
Patofisiologi
Gambar 04 menunjukkan terdapat 4 jenis sindrom angina yaitu gambar A: arteri koroner
normal yang paten, fungsi endotel normal. Gambar B: stable angina, plak atherosclerotic dan
vasokonstriksi karena disfungsi endotel. Gambar C: unstable angina,disrupsi dari plak
menyebabkan agregasi platelet, thrombus, dan vasokonstriksi, menurunkan aliran darah
koroner. Pada kondisi Stable dan Unstable Angina kadar troponin masih normal. Gambar D:
variant angina, tak ada plak atherosclerotic, iskemi terjadi selama vasospasme yang
menurunkan suplai oksigen miokard. Pada kondisi ini kadar troponin sudah tinggi (Lilly,
2013).
Tabel 2.1 Perbedaan Stabel Angina, Unstable Angina, NSTEMI dan STEMI
Parameter Stable Unstable Angina NSTEMI STEMI
Angina
ECG Normal Normal atau deviasi Depresi segmen Peningkatan
segmen ST di kedua ST iskemik 0,5 segmen ST lebih
arah yang kurang mm (0,5 mV) besar dari 1 mm
dari 0,5 mm atau atau inversi (0,1 mV) dalam 2
inversi gelombang T gelombang T- atau lebih sadapan
2 mm atau 0,2 mV Dinamik yang prekordial yang
atau kurang lebih besar berdekatan atau 2
dengan rasa atau lebih sadapan
sakit atau tidak ekstremitas yang
nyaman / berdekatan
Peningkatan ST
transien 0,5 mm
atau lebih besar
selama kurang
dari 20 menit
Gambar
ECG
DIAGNOSA
Menurut Mahdiana (2011), diagnosis serangan jantung bisa diperkuat dengan
melakukan pemeriksaan berikut :
1. EKG (Elektrokardiogram)
Bila di duga terjadi suatu serangan jantung, maka EKG merupakan pemeriksaan
diagnostik awal yang paling penting. Beberapa kelainan bisa di lihat pada EKG, tergantung
ukuran dan lokasi dari kerusakan jantung.
2. Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah di lakukan untuk menentukan kadar enzim tertentu. Enzim CK-
MB dalam keadaan normal ditemukan di dalam otot jantung dan dilepaskan ke dalam darah
jika terjadi kerusakan jantung. Peningkatan kadar enzim ini akan tampak dalam waktu 6 jam
setelah serangan jantung dan menetap selama 36-48 jam. Kadar enzim ini biasanya diperiksa
pada saat penderita masuk rumah sakit.
3. Ekokardiogram
Ekokardiogram akan menggambarkan berkurangnya pergerakan sebagian dari dinding
ventrikel kiri (ruang jantung yang memompa darah ke seluruh tubuh), yang merupakan
petunjuk adanya kerusakan karena serangan jantung.
4. Radinuclide imaging
Penggambaran dengan radionuklida bisa menunjukkan berkurangnya aliran darah ke
salah satu bagian otot jantung, yang merupakan petunjuk adanya jaringan parut (jaringan
yang mati) akibat serangan jantung.
FAKTOR RESIKO
Terdapat dua jenis faktor resiko yaitu faktor resiko yang dapat dihindari dan faktor
resiko yang tidak dapat dihindari. Faktor resiko yang dapat dihindari antara lain:
a. Stres
Stres yang berlebihan dapat memicu terjadinya penyempitan pembuluh darah. Hal ini
disebabkan oleh tingginya produksi hormon adrenalin dan zat ketokolamin di dalam
tubuh.
TERAPI FARMAKOLOGI
Tabel 2.2 Terapi Farmakologi Jantung Koroner
Unstable Angina dan
Stable Angina STEMI
NSTEMI
Antikoagulan dan Nitrat Antitrombotik
Antiplatelet
ACE inhibitor dan Beta Blocker Beta Blocker
Angiotensin reseptor
blocker
Beta Blocker Antiplatelet Statin
CCB Antikoagulan Nitrat
Nitrat Glycoprotein IIb/IIIa CCB
inhibitors
Ranolazin ACE inhibitor ACE inhibitor dan ARB
Statin CCB Antagonis reseptor
aldosterone
Statin
Gambar 2.4 menunjukkan klasifikasi beta blocker selektif dan non selektik. Selektif
berarti hanya bekerja pada reseptor B1 saja, sedangkan nonselektif bekerja pada reseptor B1
dan B2. ISA berarti intrinsic sympathomimetic activity, simbol E berarti eropa, simbol *
menunjukkan alfa blocker lemah, tulisan miring artinya obat larut lemak, simbol # artinya
beta 1 selektif yang lemah dan ISA lemah, simbol ×× artinya beta blocker vasodilator.
Menurut definisi beta blocker memblok reseptor beta. Secara struktural, beta blocker
menyerupai katekolamin. Beta-blocker adalah inhibitor kompetitif, efeknya tergantung pada
rasio konsentrasi beta blocker. Blokade reseptor beta 1 dijantung menyebabkan penurunan
denyut jantung, kontraktilitas miokard, dan kecepatan kontraksi jantung. Beta blocker bisa
digunakan pada beberapa penyakit seperti angina, aritmia, hipertensi, akut miokard infark,
perkutan koronari intervensi (PCI), gagal jantung, aneurisma dan beberapa penyakit lainnya
(Khan, 2007).
Kecuali kontraindikasi, BBs harus dimulai pada semua pasien yang telah memiliki MI
atau sindrom koroner akut. BBs mengurangi permintaan oksigen dengan menurunkan denyut
jantung, tekanan darah, kontraktilitas miokard, dan afterload ventrikel kiri. Agen ini juga
meningkatkan toleransi latihan pada mereka dengan angina exertional. BBs mengurangi
episode silent iskemik dan iskemia dini hari dan meningkatkan mortalitas Post-MI lebih
efektif daripada nitrat dan calcium Channel Blockers (CCBs). Pada pasien dengan fungsi
ventrikel kiri normal, terapi BB harus dilanjutkan selama 3 tahun. Pada pasien dengan
disfungsi ventrikel kiri (fraksi ejeksi ≤ 40%), terapi BB dengan carvedilol, metoprolol, atau
bisoprolol harus dimulai, dan pengobatan jangka panjang dengan BBs dapat
dipertimbangkan untuk setiap pasien dengan penyakit pembuluh darah koroner atau lainnya
(Fihn et al., 2012).
Beta-selektif BBs harus digunakan, dengan mengingat bahwa pada dosis tinggi akan
kehilangan selektivitasnya. Ini termasuk metoprolol, atenolol, bisoprolol, dan nebivolol. BBs
generasi ketiga menawarkan perlindungan tambahan. Carvedilol menyebabkan vasodilatasi
perifer melalui blokade reseptor Alfa-Adrenergik, dan itu adalah pilihan yang baik untuk
pasien dengan gagal jantung kongestif. Nebivolol memiliki selektivitas yang lebih besar
untuk reseptor beta dari bisoprolol, metoprolol, dan carvedilol. Nebivolol juga menginduksi
vasodilatasi perifer dengan merangsang pelepasan nitric oxide. Mekanisme yang terjadi ini
mungkin melalui stimulasi reseptor beta. Kombinasi beta-reseptor blokade dan stimulasi beta
telah ditunjukkan untuk meningkatkan sensitivitas insulin, sedangkan lain BBs merusak
sensitivitas insulin. Nebivolol saat ini diindikasikan untuk hipertensi saja dan belum diteliti
pada pasien dengan angina atau yang telah memiliki miokard infark baru (Fihn et al., 2012).
4. Calcium Channel Blockers
Calsium
Channel
Blocker
Non
Dihydopyridine
Dihydopyridine
Amlodipin
Verapail
Nicardipin
Diltiazem
Nimodipin
Gambar 06. Jenis Calsium Channel Blocker
Ada dua jenis utama dari CCBs yaitu dihydopyridine dan non-dihydropyridine; tipe
pertama adalah selektif vaskular. Dihidropiridin dapat meningkatkan refleks mediasi
baroreseptor pada denyut jantung. Hal disebabkan oleh potensi efek vasodilatasi perifer.
Dihidropiridin pada umumnya tidak menurunkan konduksi nodus atrioventricular.
Dihidropyrines diindikasikan untuk hipertensi, angina kronis, stabil dan vasospastic. Non
dihidropriridin menurunkan denyut jantung dan memperlambat konduksi nodus
atrioventricular. Non-dihydropyridines memiliki indikasi yang sama ditambah efek
antiarrythmic di fibrilasi atrium atau flutter dan takikardia supraventricular Paroxysmal.
Selain itu, CCBs mengurangi lesi koroner yang baru terbentuk pada aterosklerosis (Dipiro et
al., 2008) (Godfraind, 2014).
CCBs mengurangi permintaan oksigen dengan mengurangi tekanan darah,
kontraktilitas, dan afterload. Hal ini dicapai melalui vasodilatasi arteriol dan arteri koroner.
Kandidat yang baik untuk CCBs adalah mereka yang tidak dapat mentolerir BBs dan mereka
dengan angina varian atau penyakit vaskular perifer. CCBs harus digunakan dengan berhati-
hati pada pasien dengan gagal jantung. CCBs nondihydropyridine diltiazem dan verapamil
dapat digunakan sebagai terapi lini pertama ketika BBs merupakan kontraindikasi. CCBs juga
dapat ditambahkan ke rejimen BB ketika BB tidak cukup memberikan respon (Fihn et al.,
2012).
5. Nitrat
Nitrat dapat digunakan untuk serangan akut dan profilaksis. Mereka mengurangi
permintaan oksigen melalui vasodilatasi dan mengurangi sisa ventrikel preload. Sublingual
nitrogliserin menyediakan bantuan simtomatik untuk sekitar 75% pasien dalam 3 menit.
Dosis adalah 0,3 atau 0,4 mg. Pasien harus duduk ketika meminum sublingual nitrogliserin.
Jika tidak ada bantuan setelah 5 menit, dosis harus diulang sampai maksimum tiga tablet. Jika
setelah 15 menit pasien terus mengalami rasa sakit, ia harus mencari perhatian medis segera.
Sublingual nitroglisein juga dapat digunakan profilaksis ketika pasien mengantisipasi gejala
pada pengerahan tenaga. Pasien harus mengambil 5 sampai 10 menit sebelum aktivitas, dan
akan berlangsung sekitar 30 sampai 40 menit. Efek samping dari Sublingual nitrogliserin
termasuk hipotensi postural, sakit kepala, takikardia, dan sesekali mual. Pasien harus
diberitahukan untuk menjaga tablet sublingual dalam wadah asli mereka untuk melestarikan
potensi dan untuk menggantinya setelah 6 sampai 12 bulan (Fihn et al., 2012).
Karena nitrogliserin memiliki umur paruh 1 sampai 5 menit, formulasi lepas lambat
diperlukan untuk profilaksis. Formulasi yang lebih lama bertindak ini juga dapat
meningkatkan toleransi latihan. Lepas lambat nitrat baik untuk pasien yang angina dicirikan
oleh vasospasm. Mereka biasanya diberikan dengan BB ketika monoterapi tidak cukup.
Mereka juga dapat menjadi pilihan jika pasien tidak dapat mentolerir BB. Karena toleransi
berkembang dengan penggunaan nitrat yang berkepanjangan, pasien harus memiliki periode
bebas nitrat 8 hingga 12 jam setiap 24 jam (Fihn et al., 2012).
6. Statin
Dislipidaemia harus dikelola sesuai dengan pedoman lipid dengan intervensi
farmakologis dan gaya hidup. Pasien dengan CAD dianggap sebagai risiko sangat tinggi
untuk kejadian kardiovaskular dan pengobatan statin harus dipertimbangkan, terlepas dari
kadar LDL-C. Tujuan dari pengobatan adalah untuk menurunkan LDL-C oleh setidaknya
50% dari baseline dan untuk < 1,4 mmol/L (< 55 mg/dL) meskipun target LDL-C yang lebih
rendah dari < 1,0 mmol/L (< 40 mg/dL) dapat dipertimbangkan pada pasien yang mengalami
kejadian vaskular kedua dalam 2 tahun, tidak harus dari jenis yang sama, sementara dapat
ditoleransi secara maksimal terapi berbasis statin. Ketika tingkat ini tidak dapat dicapai,
penambahan ezetimibe telah ditunjukkan untuk mengurangi kolesterol dan kardiovaskular
kejadian pada pasien pasca-SKA, dan pada mereka dengan diabetes, tanpa efek lebih lanjut
pada mortalitas. Selain latihan, Diet, dan pengendalian berat badan, yang harus
direkomendasikan untuk semua pasien, suplemen diet termasuk pitosterol dapat menurunkan
LDL-C untuk tingkat lebih rendah, tetapi belum ditunjukkan untuk meningkatkan hasil klinis.
Ini juga digunakan pada pasien dengan intoleransi terhadap statin yang membentuk kelompok
pada risiko yang lebih tinggi untuk peristiwa kardiovaskular (Knuuti et al., 2020).
Berdasarkan intensitasnya statin dibedakan menjadi intensitas redah, sedang dan tinggi.
Tabel 2.3 Intensitas Statin (Grundy et al., 2019)
Intensitas tinggi Intensitas Sedang Intensitas Rendah
LDL-C ≥ 50% 30%-49% <30%
lowerin
g
Statin Atorvastatin (40 mg) Atorvastatin 10 mg Simvastatin 10 mg
80mg (20mg)
Rosuvastatin 20 mg Rosuvastatin (5 mg)
(40mg) 10mg
Simvastatin 20–40 mg
Pravastatin 40 mg Pravastatin 10-20 mg
(80mg) Lovastatin 20 mg
Lovastatin 40 mg Fluvastatin 20–40
(80mg) mg
Fluvastatin XL 80 mg
Fluvastatin 40 mg BID
Pitavastatin 1–4 mg
7. Ranolazine
Ranolazine telah disetujui pada bulan Januari 2006 untuk pengobatan angina kronis.
Pedoman saat ini merekomendasikan terapi ranolazine ketika BBs merupakan kontraindikasi
atau tidak ditoleransi. Ranolazine juga dapat ditambahkan ke BB ketika monoterapi BB tidak
cukup. Ranolazine tidak menurunkan tekanan darah atau denyut jantung; itu menghambat
arus natrium akhir, sehingga mengurangi akumulasi natrium dan kalsium intraseluler (Fihn et
al., 2012).
Ranolazine harus digunakan sebagai pengobatan lini kedua untuk angina ketika obat
lain tidak memadai. Karena ranolazine terutama dimetabolisme oleh CYP3A, itu tidak boleh
diberikan dengan inhibitor CYP3A ampuh (misalnya, ketoconazole, klaritromisin,
nefazodone, ritonavir, atau nelnavir) atau induser (misalnya, rifampisin, fenobarbital,
carbamazepine, fenitin, atau St. John Wort). Ranolazine juga kontraindikasi pada pasien
dengan sirosis hati. QT-interval perpanjangan mungkin terjadi saat mengambil ranolazine.
Reaksi merugikan yang umum termasuk pusing, sakit kepala, mual, dan sembelit (Fihn et al.,
2012).
Gambar 07. Terapi Bertahap Jangka Panjang Stable Angina
Gambar 2.6 menunjukkan strategi bertahap disarankan untuk jangka panjang terapi obat anti-
ischaemik pada pasien dengan stable angina dan karakteristik dasar tertentu. Pendekatan
bertahap yang diusulkan harus disesuaikan dengan karakteristik dan preferensi masing-
masing pasien. Mengingat bukti yang terbatas pada berbagai kombinasi obat dalam kondisi
klinis yang berbeda, pilihan yang diusulkan hanya menunjukkan kombinasi potensial dan
tidak mewakili rekomendasi formal. BB = beta blocker; Beats Per Minute = denyut per
menit; CCB = [setiap kelas] Calcium Channel blocker; DHP-CCB = dihidropiridin blocker
saluran kalsium; Heart Failure = gagal jantung; Long Acting Nitrat = nitrat kerja panjang;
Left Ventrikular = ventrikel kiri; non-DHP-CCB = non-dihidropiridin Calcium Channel
blocker. akombinasi dari BB dengan DHP-CCB harus dianggap sebagai langkah pertama;
kombinasi BB atau CCB dengan obat lini kedua dapat dianggap sebagai langkah pertama;
b
kombinasi dari BB dan non-DHP-CCB awalnya harus menggunakan dosis rendah setiap
obat di bawah pengawasan ketat toleransi, terutama denyut jantung dan tekanan darah; cLow-
dosis BB atau dosis rendah non-DHP-CCB harus digunakan di bawah pengawasan ketat
d
toleransi, terutama denyut jantung dan tekanan darah; Ivabradine tidak boleh
dikombinasikan dengan non-DHP-CCB; epertimbangkan menambahkan obat yang dipilih
pada langkah 2 untuk obat diuji pada langkah 1 jika tekanan darah tetap tidak berubah
(Knuuti et al., 2020).
Menurut Europan Society of Cardiology tahun 2015 terdapat beberapa terapi yang
digunakan untuk jantung koroner jenis UAP dan NSTEMI yaitu :
1. Terapi anti-iskemik
Terapi antiiskemik merupakan terapi dengan tujuan untuk mengurangi permintaan
oksigen miokard atau untuk meningkatkan pasokan oksigen miokard (oleh administrasi
oksigen atau melalui vasodilatasi koroner). Jika setelah pengobatan tanda iskemik atau gejala
masih berlanjut, angiografi koroner segera dianjurkan secara independen dari temuan EKG
dan tingkat troponin jantung. Oksigen harus diberikan ketika saturasi oksigen darah adalah <
90% atau jika pasien dalam tekanan pernapasan (Roffi et al., 2016).
a. Nitrat
Nitrat dapat meningkatkan suplai oksigen dan mengurangi kebutuhan oksigen. Pasien
yang masih mengalami nyeri dada setelah pemberian tiga tablet nitrat sublingual dapat
diberikan nitrat secara intravena (bila tidak ada kontraindikasi seperti penggunaan sildenafil
dalam 24 jam terakhir) dan EKG menunjukan iskemia miokard (menderita gagal jantung).
Pada pasien dengan tekanan darah yang normal, tekanan darah sistolik tidak boleh turun
dibawah 110 mmHg, sedangkan pada pasien hipertensi, tekanan darah rata-rata tidak boleh
turun > 25%. Nitrat oral dapat diberikan setelah 12-24 jam periode bebas nyeri. Pada pasien
dengan asupan baru dari phosphodiesterase inhibitor (yaitu dalam 24 jam untuk sildenafil
atau vardenafil dan 48 jam untuk tadalafil), nitrat tidak boleh diberikan karena risiko
hipotensi berat. Nitrat memiliki efek anti-iskemik melalui beberapa mekanisme antara lain
dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokardium karena terjadi penurunan preload dan
afterload, memiliki efek vasodilatasi, meningkatkan aliran darah kolateral, menurunkan
kecenderungan vasospasme, serta berpotensial dapat menghambat agregasi trombosit (Roffi
et al., 2016).
Nitrat Dosis
Isosorbid dinitrate (ISDN) Sublingual 2,5–15 mg (onset 5 menit)
Oral 15-80 mg/hari dibagi 2-3 dosis
Intravena 1,25-5 mg/jam
Isosorbid 5 mononitrate Oral 2x20 mg/hari
Oral (slow release) 120-240 mg/hari
Nitroglicerin (trinitrin, TNT, glyceryl Sublingual tablet 0,3-0,6 mg–1,5 mg
trinitrate) Intravena 5-200 mcg/menit
b. Beta Blocker
Beta-blocker secara kompetitif menghambat efek miokard dari sirkulasi katekolamin
dan mengurangi konsumsi oksigen miokard dengan menurunkan denyut jantung, tekanan
darah dan kontraktilitas miokard. Beta blocker tidak boleh diberikan pada pasien yang fungsi
ventrikelnya tidak diketahui. Beta blocker tidak boleh diberikan pada pasien dengan gejala
mungkin terkait dengan vasospasme koroner atau penggunaan kokain. Terapi oral digunakan
untuk mendapatkan target denyut jantung 50-60/menit (Roffi et al., 2016).
Tabel 2.5 Jenis obat dan dosis penyekat beta (PERKI, 2015)
Penyekat Beta Selektifitas Dosis untuk Angina
Atenolol B1 50-200 mg/hari
Bisoprolol B1 10 mg/hari
2 × 6,25 mg/hari,
titrasi sampai
Carvedilol Alfa dan beta
maksimum 2×25
mg/hari
Metoprolol B1 50-200 mg/hari
Propanolol Non selektif 2× 20-80 mg/hari
2. Antiplatelet
Gambar 08. Target Obat Antitrombotik
Gambar 2.7 menunjukkan mekanisme dari obat antitrombotik. Dimulai dari obat
aspirin yang bekerja dengan cara menghambat sintesis tromboxan A2. Cangrelor,
clopidogrel, prasugrel, dan ticagrelor bekerja dengan cara menghambat reseptor ADP agar
tidak mengaktifkan GPIIb/IIIa. Obat golongan GPIIb/IIIa inhibitor bekerja dengan
menghambat aktivitas dari GPIIb/IIIa. Sedangkan varopaxar bekerja dengan menghambat
agregasi platelet yang bersifat antagonis reversible dari aktivasi reseptor protease 1 (PAR-1).
Rivaroxaban dan fondaparinux bekerja secara langsung menghambat faktor pembekuan darah
Xa. Unfractionated Heparin (UFH) dan Low Moleculer Weight Heparin (LMWH) bekerja
dengan menghambat pada faktor Xa dan thrombin. Bivalirudin bekerja dengan cara langsung
menghambat pada thrombin.
Aspirin (asam asetilsalisilat) bersifat ireversibel inaktivasi siklooksigenase (COX)
aktivitas platelet prostaglandin endoperoksida (PGH) sintase 1 (COX-1), sehingga menekan
produksi tromboksan A2. Kontraindikasi aspirin sangat sedikit, termasuk alergi (biasanya
timbul gejala asma), ulkus peptikum aktif, dan diatesis perdarahan. Aspirin disarankan untuk
semua pasien dengan dugaan SKA, bila tidak ditemui kontraindikasi pemberiannya (Roffi et
al., 2016).
Clopidogrel diberikan pada pasien yang tidak bisa menggunakan ticagrelor. Dosis
loading clopidogrel yaitu 300 – 600 mg dan 75 dosis pemeliharaan mg/hari. Clopidogrel
adalah prodrug yang tidak aktif yang memerlukan oksidasi oleh sistem sitokrom P450 (CYP)
untuk menghasilkan metabolit aktif (Roffi et al., 2016).
Ticagrelor oral bersifat reversibel mengikat P2Y12 inhibitor dengan half life plasma 6
– 12 jam. Ticagrelor juga menghambat reabsorpsi adenosin melalui sisi nukleosalatif
transporter 1 (ENT1). Dosis loading ticagrelor 180 mg dan dosis pemeliharaan 75 mg (Roffi
et al., 2016).
3. Antikoagulan
Antikoagulan digunakan untuk menghambat pembuatan dan/atau aktivitas trombin,
sehingga mengurangi kejadian terkait trombus. Ada bukti bahwa antikoagulasi efektif dalam
mengurangi kejadian iskemik di NSTE-SKA dan bahwa kombinasi dengan inhibitor platelet
lebih efektif daripada pengobatan tunggal (Roffi et al., 2016).
4. Glycoprotein IIb/IIIa inhibitors
GPIIb/IIIa intravena inhibitor bekerja dengan menghambat agregasi platelet dengan
menghambat fibrinogen mengikat bentuk konformasi dari reseptor GPIIb/IIIa pada dua
trombosit yang berdekatan. Penggunaan inhibitor GPIIb/IIIa dikaitkan dengan peningkatan
komplikasi perdarahan utama tanpa peningkatan yang signifikan dalam perdarahan
intracranial (Roffi et al., 2016).
5. ACE Inhibitor
ACE inhibitor berguna dalam mengurangi remodeling dan menurunkan angka
kematian penderita pascainfark-miokard yang disertai gangguan fungsi sistolik jantung,
dengan atau tanpa gagal jantung klinis. Penggunaannya terbatas pada pasien dengan
karakteristik tersebut, walaupun pada penderita dengan faktor resiko PJK atau yang telah
terbukti menderita PJK, beberapa penelitian memperkirakan adanya efek antiaterogenik.
ACE Inhibitor diindikasikan penggunaannya untuk jangka panjang, kecuali ada indikasi
kontra, pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40% dan pasien dengan diabetes
mellitus, hipertensi, atau penyakit ginjal kronik (PGK). ACE Inhibitor hendaknya
dipertimbangkan pada semua penderita selain seperti di atas. Pilih jenis dan dosis inhibitor
ACE yang telah direkomendasikan berdasarkan penelitian yang ada. Penghambat reseptor
angiotensin diindikasikan bagi pasien infark mikoard yang intoleran terhadap ACE inhibitor
dan mempunyai fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40%, dengan atau tanpa gejala klinis gagal
jantung (PERKI, 2015).
6. Calsium Channel Blocker
Nifedipin dan amlodipin mempunyai efek vasodilator arteri dengan sedikit atau tanpa
efek pada SA Node atau AV Node. Sebaliknya verapamil dan diltiazem mempunyai efek
terhadap SA Node dan AV Node yang menonjol dan sekaligus efek dilatasi arteri. Semua
CCB tersebut di atas mempunyai efek dilatasi koroner yang seimbang. Oleh karena itu CCB,
terutama golongan dihidropiridin, merupakan obat pilihan untuk mengatasi angina
vasospastik. Studi menggunakan CCB pada UAP dan NSTEMI umumnya memperlihatkan
hasil yang seimbang dengan penyekat beta dalam mengatasi keluhan angina. CCB
dihidropiridin direkomendasikan untuk mengurangi gejala bagi pasien yang telah
mendapatkan nitrat dan penyekat beta. CCB non-dihidropiridin direkomendasikan untuk
pasien NSTEMI dengan indikasi kontra terhadap penyekat beta. CCB nondihidropiridin
(long acting) dapat dipertimbangkan sebagai pengganti terapi penyekat beta. CCB
direkomendasikan bagi pasien dengan angina vasospastik. Penggunaan CCB dihidropiridin
kerja cepat (immediate release) tidak direkomendasikan kecuali bila dikombinasi dengan
penyekat beta (PERKI, 2015).
Tabel 2.7 Jenis dan Dosis CCB untuk target terapi (PERKI, 2015)
Nama Obat Golongan CCB Dosis
Verapamil 180-240 mg/hari dibagi 2-3 dosis
Diltiazem 120-360 mg/hari dibagi 3-4 dosis
Nifedipin GITS (long acting) 30-90 mg/hari
Amlodipin 5-10 mg/hari
7. Golongan Statin
Statin menurunkan resiko komplikasi atherosklerosis sebesar 30% pada pasien angina
stabil. Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan modifikasi
diet, inhibitor hydroxymethylglutary-coenzyme A reductase (statin) harus diberikan pada
semua penderita UAP/NSTEMI, termasuk mereka yang telah menjalani terapi
revaskularisasi, jika tidak terdapat kontraindikasi. Terapi statin dosis tinggi hendaknya
dimulai sebelum pasien keluar rumah sakit, dengan sasaran terapi untuk mencapai kadar
kolesterol LDL <100 mg/ dL. Menurunkan kadar kolesterol LDL sampai <70 mg/dL
mungkin untuk dicapai (PERKI, 2015).
Sedangkan menurut Europan Society of Cardiology tahun 2017 terdapat beberapa
terapi yang digunakan untuk jantung koroner STEMI yaitu :
1. Antitrombotik
Pengobatan dengan aspirin dalam jangka panjang, diindikasikan pada semua pasien
paska STEMI. Untuk pencegahan jangka panjang diindikasikan dosis rendah 75-100 mg.
Pasien dengan riwayat hipersensitivitas pada aspirin dapat menjalankan desensitisasi dan
melanjutkan terapi tanpa batas waktu. Pasien yang benar-benar tidak toleran terhadap aspirin
harus menerima monoterapi clopidogrel 75 mg/hari sebagai tambahan terhadap terapi jangka
panjang. Penggunaan monoterapi ticagrelor sebagai pengganti aspirin untuk pencegahan
sekunder setelah penghentian DAPT sedang diselidiki dan tidak ada rekomendasi yang dapat
dirumuskan pada saat ini (Ibanez et al., 2018).
2. Beta Blocker
Pada pasien yang fibrinolisis, pengobatan awal beta-blocker intravena mengurangi
kejadian aritmia ventrikel ganas akut, meskipun tidak ada bukti jelas manfaat klinis jangka
panjang. Manfaat dari perawatan jangka panjang dengan beta-blocker oral setelah STEMI
yang tidak bisa dipungkiri yaitu menurunnya angka kematian (Ibanez et al., 2018).
3. Golongan Statin
Manfaat statin dalam pencegahan sekunder telah dibuktikan secara jelas, dan uji coba
telah menunjukkan manfaat terapi statin. Terapi statin yang lebih intensif menghasilkan
pengurangan yang lebih besar dalam risiko kematian kardiovaskular, MI non-fatal, stroke
iskemik, dan revaskularisasi koroner. Untuk setiap pengurangan 1,0 mmol / L pada LDL-C,
pengurangan risiko lebih lanjut ini serupa dengan pengurangan proporsional dalam uji coba
statin vs kontrol. Oleh karena itu, statin direkomendasikan pada semua pasien dengan AMI,
terlepas dari konsentrasi kolesterol. Perawatan penurun lipid harus dimulai sedini mungkin,
karena ini meningkatkan kepatuhan pasien setelah pulang, dan diberikan sebagai perawatan
intensitas tinggi, karena ini terkait dengan manfaat klinis awal dan berkelanjutan. Intensitas
terapi statin harus ditingkatkan pada mereka yang menerima pengobatan statin intensitas
rendah atau sedang, kecuali mereka memiliki riwayat intoleransi terhadap terapi statin
intensitas tinggi atau karakteristik lain yang dapat mempengaruhi keselamatan. Tujuan
pengobatan adalah konsentrasi LDL-C <1,8 mmol / L (<70 mg / dL) atau setidaknya 50%
pengurangan LDL-C jika kadar LDL-C pada awal adalah 1,8-3,5 mmol / L. Penggunaan
terapi statin intensitas rendah harus dipertimbangkan pada pasien dengan peningkatan resiko
efek samping dari statin (misalnya lansia, gangguan hati atau ginjal, efek samping
sebelumnya, atau potensi interaksi obat). Setelah MI, profil lipid mengalami perubahan fasik,
dengan sedikit penurunan kolesterol total, LDL-C, dan HDL-C, dan peningkatan trigliserida
dalam 24 jam pertama. Lipid harus dievaluasi kembali 4-6 minggu setelah SKA untuk
menentukan apakah target telah dicapai dan mengenai masalah keamanan; terapi penurun
lipid kemudian dapat disesuaikan. Hasil uji coba dengan atorvastatin dosis tinggi dan
simvastatin mendukung statin intensitas tinggi (Ibanez et al., 2018).
4. Nitrat
Penggunaan rutin nitrat dalam STEMI tidak bermanfaat dalam uji coba terkontrol
secara acak terhadap plasebo dan karenanya tidak direkomendasikan. Nitrat intravena dapat
berguna selama fase akut pada pasien dengan hipertensi atau gagal jantung, asalkan tidak ada
hipotensi, infark RV, atau penggunaan inhibitor fosfodiesterase tipe 5 dalam 48 jam
sebelumnya. Setelah fase akut, nitrat tetap menjadi agen yang berharga untuk mengendalikan
gejala sisa angina (Ibanez et al., 2018).
5. Calcium Channel Blockers
Sebuah percobaan menunjukkan penggunaan antagonis kalsium pada awal perjalanan
STEMI menunjukkan tidak ada efek menguntungkan pada kematian atau infarksi, dengan
kecenderungan mortalitas yang lebih tinggi untuk pasien yang diobati dengan nifedipine.
Oleh karena itu, penggunaan rutin antagonis kalsium dalam fase akut tidak diindikasikan.
Pada fase kronis, pada pasien dengan kontraindikasi terhadap beta-blocker, dengan adanya
penyakit saluran napas obstruktif, antagonis kalsium adalah pilihan yang masuk akal untuk
pasien tanpa gagal jantung atau gangguan fungsi ventrikuler kiri. Di sisi lain, penggunaan
dihydropyridine secara rutin, gagal menunjukkan manfaat setelah STEMI, dan karena itu
mereka hanya boleh diresepkan untuk indikasi tambahan yang jelas seperti hipertensi atau
sisa angina (Ibanez et al., 2018).
6. ACE inhibitor dan Penghambat Reseptor Angiotensin
ACE Inhibitor direkomendasikan pada pasien dengan gangguan LVEF (≤40%) atau
yang telah mengalami gagal jantung pada fase awal. Tinjauan sistematis uji coba
penghambatan ACE di awal STEMI menunjukkan bahwa terapi ini aman, dapat ditoleransi
dengan baik, dan terkait dengan penurunan kecil tetapi signifikan dalam mortalitas selama 30
hari, dengan sebagian besar manfaat diamati pada minggu pertama. Pengobatan dengan ACE
inhibitor direkomendasikan pada pasien dengan disfungsi ventrikuler kiri sistolik atau gagal
jantung, hipertensi, atau diabetes, dan harus dipertimbangkan pada semua pasien STEMI.
Pasien yang tidak mentolerir ACE inhibitor harus diberi penghambat reseptor angiotensin II
(ARB). Dalam konteks STEMI, valsartan ditemukan tidak kalah dengan kaptopril.
7. Mineralkortikoid atau Antagonis reseptor aldosterone
Terapi antagonis reseptor mineralokortikoid (MRA) direkomendasikan pada pasien
dengan disfungsi ventrikuler kiri (LVEF ≤40%) dan gagal jantung setelah STEMI.
Eplerenone, antagonis reseptor aldosteron selektif, telah terbukti mengurangi morbiditas dan
mortalitas pada pasien ini (Ibanez et al., 2018).
DAFTAR PUSTAKA