Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN JIWA

ANDINI SITI SA'ADAH

5020031005

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI PROFESI NERS
UNIVERSITAS FALETEHAN
SERANG TAHUN 2021
LAPORAN PENDAHULUAN
HARGA DIRI RENDAH

I. Kasus (Masalah Utama)


Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah

II. Proses Terjadinya Masalah


A. Pengertian Harga Diri Rendah
Harga diri rendah merupakan perasaan tidak berharga, tidak berharga, tidak berarti,
rendah diri, yang menjadikan evaluasi negatif terhadap diri sendiri dan kemampuan
diri (Keliat, 2009).
Harga diri rendah merupakan evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau kemampuan
diri yang negatif terhadap diri sendiri, hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa
gagal dalam mencapai keinginan (Direja, 2011).

B. Faktor Predisposisi
Menurut Kemenkes RI (2013) faktor predisposisi ini dapat dibagi sebagai berikut:
1. Faktor Biologis
Pengaruh faktor biologis meliputi adanya faktor herediter anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa, riwayat penyaakit atau trauma kepala.
2. Faktor Psikologis
Pada pasien yang mengalami harga diri rendah, dapat ditemukan adanya
pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan, seperti penolakan dan harapan
orang tua yang tidak realisitis, kegagalan berulang, kurang mempunyai tanggung
jawab personal, ketergantungan pada orang lain, penilaian negatif pasien terhadap
gambaran diri, krisis identitas, peran yang terganggu, ideal diri yang tidak
realisitis, dan pengaruh penilaian internal individu.
3. Faktor Sosiao Budaya
Pengaruh sosial budaya meliputi penilaian negatif dari lingkungan terhadap pasien
yang mempengaruhi penilaian pasien, sosial ekonomi rendah, riwayat penolakan
lingkungan pada tahap tumbuh kembang anak, dan tingkat pendidikan rendah.
C. Faktor Presipitasi
Menurut Kemenkes RI (2013) faktor presipitasi harga diri rendah antara lain:
1. Trauma: penganiayaan seksual dan psikologis atau menyaksikan peristiwa yang
mengancam kehidupan.
2. Ketegangan peran: berhubungan dengan peran atau posisi yang diharapkan dan
individu mengalaminya sebagai frustasi.
a. Transisi peran perkembangan: perubahan normatif yang berkaitan dengan
pertumbuhan.
b. Transisi peran situasi: terjadi dengan bertambah atau berkurangnya anggota
keluarga melalui kelahiran atau kematian.
c. Transisi peran sehat-sakit: sebagai akibat pergeseran dari keadaan sehat dan
keadaan sakit. Transisi ini dapat dicetuskan oleh kehilangan bagian tubuh;
perubahan ukuran, bentuk, penampilan atau fungsi tubuh; perubahan fisik
yang berhubungan dengan tumbuh kembang normal; prosedur medis dan
keperawatan.

D. Jenis-Jenis Harga Diri Rendah


1. Harga diri rendah kronis: evaluasi atauperasaan negatif terhadap diri sendiri atau
kemampuan pasien seperti tidak berarti, tidak berharga, tidak berdaya yang
berlangsung dalam waktu yang lama dan terus menerus.
2. Harga diri rendah situasional: evaluasi atauperasaan negatif terhadap diri sendiri
atau kemampuan pasien sebagai respon terhadap situasi saat ini.

E. Rentang Respon
Adapun tentang respon konsep diri dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Respon Adaptif Respon Maladptif

Aktualisasi Diri Konsep Diri Positif Harga Diri Rendah Keracunan Identitas Depersonalisasi

Respon adaptif terhadap konsep diri meliputi:


1. Aktualisasi diri: Pernyataan diri tentang konsep diri yang positif dengan latar
belakang pengalaman nyata yang sukses dan dapat diterima individu dapat
mengapresiasikan kemampuan yang dimilikinya.
2. Konsep diri positif: Apabila individu mempunyai pengalaman positif dalam
beraktualisasi diri dan menyadari hal-hal positif maupun yang negatif dari
dirinya. Individu dapat mengidentifikasi kemampuan dan kelemahannya
secara jujur dalam menilai suatu masalah individu berfikir secara positif dan
realistis.
Sedangkan respon maladaptif dari konsep diri meliputi:
1. Harga diri rendah: Individu cenderung untuk menilai dirinya negatif dan
merasa lebih rendah dari orang lain.
2. Kekacauan identitas: Suatu kegagalan individu mengintegrasikan berbagai
identifikasi masa kanak-kanak kendala kepribadian psikososial dewasa yang
harmonis.
3. Depersonalisasi: Perasaan yang tidak realitas dan asing terhadap diri sendiri
yang berhubungan dengan kecemasan, kepanikan serta tidak dapat
membedakan dirinya dengan orang lain.

F. Mekanisme Koping
Mekanisme koping pasien harga diri rendah menurut Ridhyalla Afnuhazi (2015)
adalah:
1. Jangka pendek
a. Kegiatan yang dilakukan untuk lari sementara dari krisis: pemakaian obat-
obatan, kerja keras, nonton TV terus menerus.
b. Kegiatan mengganti identitas sementara (ikut kelompok sosial, keagaman,
politik).
c. Kegiatan yang memberi dukungan sementara (kompetisi olahraga kontes
popularitas).
d. Kegiatan mencoba menghilangkan identitas sementara (penyalahgunaan obat).
2. Jangka panjang
a. Menutup identitas
b. Identitas negatif: asumsi yang bertentangan dengan nilai dan harapan
masyarakat.
III. A. Pohon Masalah
Defisit perawatan diri

Menarik diri: isolasi sosial

Harga diri rendah

Koping individu tidak efektif


(Stuart, 2013)

B. Masalah Keperawatan dan Data yang Perlu Dikaji


Masalah
No Data Subjektif Data Objektif
Keperawatan
1. Gangguan Konsep a. Menilai diri sendiri a. Enggan mencoba hal baru
Diri: Harga Diri tidak berguna/tidak b. Menolak penilaian positif
Rendah tertolong tentang diri sendiri
b. Merasa c. Melebih-lebihkan penilaian
malu/bersalah negatif tentang diri sendiri
c. Merasa tidak d. Berjalan menunduk
mampu melakukan e. Postur tubuh menunduk
apapun f. Kontak mata kurang
d. Meremehkan g. Lesu dan tidak bergairah
kemampuan h. Berbicara pelan dan lirih
mengatasi situasi i. Pasif
e. Merasa tidak j. Perilaku tidak asertif
memiliki kelebihan k. Mencari penguatan secara
atau kemmapuan berlebihan
positif l. Bergantung pafa pendapat
f. Merasa sulit orang lain
konsentrasi m. Sulit membuat keputusan
g. Mengungkapkan n. Sering kali mencari
sulit tidur dan penegasan.
keputusasaan
(SDKI, 2016)

C. Diagnosa Keperawatan
Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah

D. Rencana Tindakan Keperawatan


Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah
1. Tujuan
a. Pasien dapat menunjukkan peningkatan harga diri
b. Pasien dapat membina hubungan saling percaya
c. Pasien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang
dimiliki
d. Pasien dapat melatih kegiatan yang sudah dipilih, sesuaikan
dengan kemampuan
e. Pasien dapat merencanakan kegiatan yang sudah dilatihnya

2. Tindakan
a. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang masih
dimiliki pasien untuk membantu pasien dapat mengungkapkan
kemampuan dan aspek positif seperti kegiatan pasien dirumah,
adanya keluarga dan lingkungan terdekat pasien.
b. Beri pujian yang realistik/nyata dan hindarkan setaip kali
bertemu dengan pasien penilaian yang negatif.

3. Evaluasi
a. Kilen dapat mengungkapkan kemampuan dan aspek positif yang
dimiliki
b. Pasien dapat menunjukan peningkatan harga diri
c. Pasien dapat menilai dan meltih kemampuan yang dikerjakan
d. Pasien dapat membuat jadwal kegiatan harian
e. Pasien dapat melakukan kegiatan sesuai jadwal kegiatan harian
LAPORAN PENDAHULUAN
ISOLASI SOSIAL

I. Kasus (Masalah Utama)


Isolasi Sosial

II. Proses TerjadinyaMasalah


A. Pengertian Isolasi Sosial
Ketidakmampuan untuk membina hubungan yang erat, hangat, terbuka, dan
interdependen dengan orang lain (SDKI, 2016).

B. FaktorPredisposisi
1. Faktor Perkembangan
Kurangnya stimulasi, kasih sayang, perhatian dan kehangatan dari ibu
pengasuh kepada bayi akan memberikan rasa tidak aman yang dapat
menghambat terbentuknya rasa percaya.
2. Faktor Biologik
Faktor genetik dapat menunjang terhadap respon sosial maladaptif. Genetik
merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa. Kelainan struktur otak,
seperti atropi, pembesaran ventrikel, penurunan berat dan volume otak serta
perbahan skizofrenia (Direja, 2011).
3. Faktor Sosiokultural
Isolasi sosial merupakan faktor dalam gangguan hubungan. Ini merupakan
akibat dari norma yang tidak mendukung pendeatan terhadap orang lain, atau
tidak menghargai anggota masyarakat yang tidak produktif, seperti lansia, orang
cacat, dan berpenyakit kronik. Isolasi dapat terjadi karena mengadopsi norma,
perilaku dan sistem nilai yang berbeda dari yang dimiliki budaya mayoritas.
Harapan yang tidak realistis terhadap hubungan merupakan faktor lain yang
berkaitan dengan gangguan ini (Sujono, 2009).
4. Faktor Komunikasi dalam Keluarga
Menurut Dalami (2009) Masalah komunikasi dalam keluarga dapat menjadi
kontribusi untuk mengembangkan gangguan tingkah laku.
a. Sikap bermusuhan.
b. Sikap mengancam, merendahkan dan menjelek-jelekkan anak.
c. Selalu mengkritik, menyalahkan, anak tidak diberi kesempatan untuk
mengungkapkan pendapatnya.
d. Kurang kehangatan, kurang memperhatikan ketertarikan pada pembicaraan
anak, hubungan yang kaku antara keluarga, kurang tegur sapa, komunikasi
kurang terbuka.
e. Ekspresi emosi yang tinggi.
f. Double bind (dua pesan yang bertentangan disampaikan saat bersamaan
yang membuat dan kecemasannya meningkat).
5. Faktor Sosial Budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan faktor
pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga disebabkan oleh
karena norma-norma yang salah yang dianut oleh satu keluarga. Seperti anggota
tidak produktif diasingkan dari lingkungan sosial (Dalami,2009).

C. Faktor Presipitasi
Menurut Aziza (2011) stressor presipitasi adalah stimulus yang dipersepsikan oleh
individu sebagai tantangan, ancaman atau tuntutan dan memerlukan energi ekstra
untuk mengatasinya (faktor yang memperberat atau memperparah terjadinya
gangguan jiwa). Ada beberapa faktor presipitasi yang dapat menyebabkan seseorang
menarikdiri. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari berbagai stressor antara lain :
1. Stressor Sosiokultural
Stressor sosial budaya dapat menyebabkan terjadinya gangguan dalam membina
hubungan dengan orang lain, misalnya menurunnya stabilitas unit keluarga,
berpisah dari orang yang berarti dalam kehidupannya, misalnya karena dirawat
di rumah sakit.
2. Stressor Psikologik
Ansietas berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan keterbatasan kemampuan
untuk mengatasinya. Tuntutan untuk berpisah dengan orang terdekat atau
kegagalan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya hal ini dapat menimbulkan
ansietas tinggi bahkan dapat menimbulkan sesorang mengalami gangguan
hubungan menarik diri.
3. Stressor Intelektual
a. Kurangnya pemahaman diri dalam ketidakmampuan untuk berbagai pikiran
dan perasaan yang menggangu pengembangan hubungan dengan orang lain.
b. Pasien dengan “kegagalan” adalah orang yang kesepian dan kesulitan dalam
menghadapi hidup. Mereka juga akan sulit berkomunikasi dengan orang
lain.
c. Ketidakmampuan seseorang mambangun kepercayaan dengan orang lain
akan persepsi yang menyimpang dan akan berakibat pada gangguan
berhubungan dengan orang lain.
4. Stressor Fisik
a. Kehidupan bayi atau keguguran dapat menyebabkan seseorang menarik diri
dari orang lain.
b. Penyakit kronik dapat menyebabkan seseorang minder atau malu sehingga
mengakibatkan menarik diri dari orang lain.

D. Rentang Respon
Respon adaptif adalah respon yang diterima oleh norma-norma sosial dan
kebudayan yang berlaku dimana invidu tersebut mneyelesaikan masalahnya masih
dalam batas normal. Sedangkan respon maladaptif adalah respon yang dilakukan
individu dalam menyelesaikan masalahnya yang sudah menyamping dari norma-
norma sosial dan kebudayaan suatu tempat perilaku, yang berhubungan dengan
respon sosial maladaptif adalah manipulasi, impulsive, dan narkisme.
1. Menyendiri (Solitude). Merupakan respon yang dibutuhkan seseorang untuk
merenungkan apa yang telah dilakukan di lingkungan sosialnya dan suatu cara
mengevaluasi diri untuk menentukan langkah selanjutnya. Solitude umumnya
dilakukan setelah melakukan kegiatan.
2. Otonomi. Merupakan kemampuan individu untuk menentukan dan
menyampaikan ide-ide pikiran, perasaan dalam hubungan sosial.
3. Kebersamaan (Mutualisme). Mutualisme adalah suatu kondisi dalam hubungan
interpersonal dimana individu tersebut mampu untuk saling memberi dan
menerima.
4. Saling Ketergantungan (Intedependen). Intendependen adalah kondisi saling
ketergantungan antara individu dengan orang lain dalam membina hubungan
interpersonal.
5. Kesepian. Merupakan kondisi diman individu merasa sendiri dan teransing dari
lingkungannya.
6. Isolasi Sosial. Merupakan suatu keadaan dimana seseorang menemukan
kesulitan dalam membina hubungan secara terbukadengan orang lain.
7. Ketergantungan. Dependen terjadi bila seseorang gagal mengembangkan rasa
percaya diri atau kemampuannya untuk berfungsi secara sukses. Pada gangguan
hubungan sosial jenis ini orang lain diperlakukan sebagai objek, hubungan
terpusat pada masalah pengendalian orang lain, dan individu cenderung
berorientasi pada diri sendiri atau tujuan, bukan pada orang lain.
8. Manipulasi. Merupakan gangguan hubungan sosial yang terdapat pada individu
yang menganggap orang lain sebagai objek. Individu tersebut tidak dapat
membina hubungan sosial secara mendalam.
9. Impulsif. Individu impulsif tidak mampu merencanakan sesuatu, tidak mampu
belajar dari pengalaman, tidak dapat diandalkan, dan penilaian yang buruk
10. Narkisisme. Pada invididu narsisme terdapat hargadiri yang rapuh, secara terus
menerus berusaha mendapatkan penghargaan dan pujian, sikap ego sentrik,
pencemburu, marah jika orang lain tidak mendukung.

E. Mekanisme Koping
Mekanisme koping digunakan pasien sebagai usaha mengatasi kecemasan yang
merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya. Kecemasan koping yang
sering digunakan adalah regresi, represi dan isolasi. Sedangkan contoh sumber
koping yang dapat digunakan misalnya keterlibatan dalam hubungan yang luas
dalam keluarga dan teman, hubungan dengan hewan peliharaan, menggunakan
kreativitas untuk mengekspresikan stress interpersonal seperti kesenian, musik, atau
tulisan, (Stuart and sundeen,1998:349)

III. A. PohonMasalah
Risiko perubahan persep sisensori: Halusinasi

Isolasi Sosial: Menarik Diri

Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah

B. Masalah Keperawatan dan Data yang perlu Dikaji


Masalah
No. Data Subjektif Data Objektif
Keperawatan
1. Isolasi Sosial 1. Ingin sendiri 1. Menarik diri
2. Merasa tidak aman di 2. Tidak
tempat umum berminat/menolak
3. Merasa berbeda dengan melakukan kegiatan atau
orang lain interaksi dengan orang lain
4. Merasa asyik dengan atau lingkungan.
pikiran sendiri 3. Afek datar
5. Merasa tidak mempunyai 4. Afek sedih
tujuan yang jelas 5. Riwayat ditolak
6. Menunjukan permusuhan
7. Tidak mampu memenuhi
harapan orang lain.
8. Kondisi difabel
9. Tindakan berulang
10. Tindakan tidak berarti
11. Tidak ada kontak mata
12. Anggota subktur tertentu
13. Perkembangan terlambat
14. Tidak bergairah.
(SDKI, 2016)

IV. Diagnosa Keperawatan


Isolasi Sosial

V. Rencana Tindakan Keperawatan


Isolasi Sosial
1. Tujuan
a. Membina hubungan saling percaya
b. Menyadari penyebab isolasi social
c. Berinteraksi dengan orang lain
2. Tindakan
a. Membina hubungan saling percaya
b. Membantu pasien menyadari perilaku isolasi sosial
c. Melatih pasien berinteraksi dengan orang lain secara bertahap
3. Evaluasi
a. Pasien menjelaskan kebiasaan interaksi
b. Pasien menjelaskan penyebab tidak bergaul dengan orang lain
c. Pasien menyebutkan keuntungan bergaul dengan orang lain
d. Pasien menyebutkan kerugian tidak bergaul dengan orang lain
e. Pasien memperagakan cara berkenalan dengan orang lain
f. Pasien bergaul/berinteraksi dengan perawat, keluarga, tetangga
g. Pasien menyatakan perasaan setelah berinteraksi dengan orang tua
h. Pasien mempunyai jadwal bercakap-cakap dengan orang lain
i. Pasien menggunakan obat dengan patuh
LAPORAN PENDAHULUAN
HALUSINASI

I. Kasus (Masalah Utama)


Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi

II. Proses Terjadinya Masalah


A. Pengertian Halusinasi
Halusinasi adalah kesan, respon dan pengalaman sensori yang salah (Struart, 2007).
Halusinasi adalah gangguan (persepsi) panca indera tanpa adanya rangsangan dari
luar yang dapat meliputi semua system penginderaan dimana terjadi pada saat
kesadaran individu itu penuh/baik. Individu yang mengalami halusinasi sering kali
beranggapan sumber atau penyebab halusinasi itu berasal dari lingkungannya, padahal
rangsangan primer dari halusinasi adalah kebutuhan perlindungan diri secara
psikologik terhadap kejadian traumatic sehubungan dengan rasa bersalah, rasa sepi,
marah, rasa takut ditinggalkan oleh orang yang dicintai, tidak dapat mengendalikan
dorongan ego, pikiran dan perasaannya sendiri.

B. Faktor Predisposisi
Terdiri dari faktor Biologis, psikologis, dan social budaya. Faktor biologis terjadi
karena abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon
neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Faktor Psikologis terjadi karena
keluarga, pengasuh dan lingkungan pasien sangat mempengaruhi respon dan kondisi
psikologis pasien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan
orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup
pasien serta faktor Sosial Budaya terjadi karena kondisi sosial budaya mempengaruhi
gangguan orientasi realita seperti: kemiskinan, konflik sosial budaya (perang,
kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stres.

C. Faktor Presipitasi
Secara umum pasien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya
hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan
tidak berdaya. Penilaian individu terhadap stressor dan masalah koping dapat
mengindikasikan kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2006).
D. Jenis-Jenis Halusinasi
1. Pendengaran, mendengar suara atau kebisingan, paling sering suara orang.
2. Penglihatan, stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar-gambar,
bayangan yang rumit atau komplek, bayangan bisa menyenangkan bahkan
menakutkan seperti melihat moster.
3. Penghidung, membaui bau-bauan tertentu seperti bau darah, urin dan fase umunya
bau-bauan yang tidak menyenangkan.
4. Pengecapan, merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.
5. Perabaan, mengalami nyeri/ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas. Rasa
tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati atau orang lain.

E. Rentang Respon
Adapun tentang respon konsep diri dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Respon Adaptif Respon Maladptif
Respon adaptif: Respon maladaptif:
- Pikiran kadang
- Fikiran logis - Delusi
menyimpang
- Persepsi akurat - Halusinasi
- Ilusi
- Emosi konsisten dengan - Ketidakmampuan
- Reaksi emosional
pengalaman emosi
kurang / lebih
- Perilaku sesuai - Isolasi sosial
- Perilaku ganjil
- Hubungan social
- Menarik diri
harmonis

F. Mekanisme Koping
1. Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi diri sendiri dari pengalaman
yang menakutkan berhubungan dengan respon neurobiologik.
2. Regresi adalah mundur pada karakteristik perilaku tingkat perkembangan
sebelumnya.
3. Projeksi adalah menghubungkan pemikiran atau implus seseorang pada orang lain.
Melaluli proses ini seseorang dapat menghubungkan keinginan yang tidak
realistik, perasaan, perasaan emosi, atau motivasi pada orang lain.
4. Menarik diri

III. A. Pohon Masalah


Defisit perawatan diri

Risiko perilaku kekerasan

Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi

Isolasi sosial

B. Masalah Keperawatan dan Data yang Perlu Dikaji


Masalah
No Data Subjektif Data Objektif
Keperawatan
1. Gangguan Persepsi a. Pasien mengatakan a. Pasien tampak ketakutan
Sensori: sering mendengar b. Ekspresi wajah tegang
Halusinasi suara, melihat, c. Pasien tampak melamun
menghirup, dan
merasa sesuatu
yang tidak nyata
b. Pasien mengatakan
sering mendengar
suara-suara dan
berbicara padanya
c. Keluarga
mengatakan
keluarga sering
menjerit, tampak
ketakutan kemudian
berteriak, berbicara
dan tertawa sendiri
(SDKI, 2016)

C. Diagnosa Keperawatan
Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi
D. Rencana Tindakan Keperawatan
Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi
1. Tujuan
a. Pasien mengenali halusinasi yang dialaminya
b. Pasien dapat mengontrol halusinasinya
c. Pasien mengikuti program pengobatan secara optimal
2. Tindakan
a. Melatih pasien menghardik halusinasi
b. Melatih bercakap-cakap dengan orang lain
c. Melatih pasien beraktivitas secara terjadwal
d. Melatih pasien menggunakan obat secara teratur
e. Pemberian psiko farmakoterapi
4. Evaluasi
a. Pasien mempercayai perawat sebagai terapis
b. Pasien menyadari bahwa yang dialaminya tidak ada objeknya dan
merupakan masalah yang harus diatasi
c. Pasien dapat mengontrol halusinasi
d. Keluarga mampu merawat pasien di rumah
LAPORAN PENDAHULUAN
PERILAKU KEKERASAN

I. Kasus (Masalah Utama)


Perilaku Kekerasan

II. Proses Terjadinya Masalah


A. Pengertian Perilaku Kekerasan
Suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan
secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang lain.

B. Faktor Predisposisi
1. Faktor Psikologis
a. Terdapat asumsi bahwa seseorang untuk mencapai suatu tujuan
mengalami hambatan akan timbul dorongan agresif yang memotivasi PK.
b. Berdasarkan penggunaan mekanisme koping individu dan masa kecil
yang tidak menyenangkan.
c. Frustasi
d. Kekerasan dalam rumah atau keluarga

2. Faktor Sosial Budaya


Seseorang akan berespons terhadap peningkatan emosionalnya secara
agresif sesuai dengan respons yang dipelajarinya. Adanya norma
dapat membantu mendefinis ikan ekspresi marah yang dapat
diterima dan yang tidak dapat diterima
3. Faktor Biologis
Berdasarkan hasil penelitian pada hewan, adanya pemberian stimulus
elektris ringan pada hipotalamus (pada sistem limbik) ternyata
menimbulkan perilaku agresif, dimana jika terjadi kerusakan fungsi limbik
untuk emosi dan perilaku, lobul frontal untuk pemikiran rasional, dan lobus
temporal untuk interprestasi indra penciuman dan memori) akan
menimbulkan mata terbuka lebar, pupil berdilatasi, dan hendak menyerang
objek yang ada disekitarnya.

C. Faktor Presipitasi
1. Pasien: kelemahan fisik, keputusaan, ketidakberdayaan, kehidupan yang
penuh dengan agresif, dan masa lalu yang tidak menyenangkan.
2. Interaksi: penghinaan, kekerasan, kehilangan orang, merasa terancam baik
internal dari permasalahan diri pasien sendiri maupun eksternal dari lingkungan.
3. Lingkungan: panas, padat dan bising.

D. Rentang Respon
Adapun tentang respon konsep diri dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Respon Adaptif Respon Maladptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif


Amuk

1. Assertif adalah mengungkapkan marah tanpa menyakiti, melukai perasaan orang


lain, atau tanpa merendahkan harga diri orang lain.
2. Frustasi adalah respons yang timbul akibat gagal mencapai tujuan atau keinginan.
Frustasi dapat dialami sebagai suatu ancaman dan kecemasan.
4. Pasif adalah respon dimana individu tidak mampu mengungkapkan perasaan yang
dialami.
5. Agresif adalah perilaku yang menyertai marah namun masih dikontrol oleh
individu.
6. Mengamuka dalah rasa marah dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan
kontrol diri.

E. Mekanisme Koping
Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada pasien marah untuk melindungi diri
antara lain:
1. Sublimasi: Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya dimata
masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan penyalurannya
secara normal. Misalnya: meremas adonan kue yang tujuannya untuk mengurangi
kelegaan akibat rasa marah.
2. Represi: Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke
alam sadar. Misalnya seorang anak yang membenci orang tuanya. Akan tetapi
menurut ajaran sejak kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal yang tidak
baik atau terkutuk.

III. A. Pohon Masalah


Risiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan

Perilaku Kekerasan

Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah

B. Masalah Keperawatan dan Data yang Perlu Dikaji


Masalah
No Data Subjektif Data Objektif
Keperawatan
1. Perilaku a. Mengancam a. Menyerang orang lain
Kekerasan b. Bicara kasar b. Melukai diri
c. Suara keras sendiri/lingkungan
c. Merusak lingkungan
(SDKI, 2016)

C. Diagnosa Keperawatan
Perilaku Kekerasan
D. Rencana Tindakan Keperawatan
Perilaku Kekerasan
1. Tujuan
a. Pasien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
b. Pasien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan
c. Pasien dapat menyebutkan jenis-jenis perilaku kekerasan yang
pernah dilakukan
d. Pasien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasannya
e. Pasien dapat menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasannya
secara fisik, spiritual, sosial dan dengan terapi psikofarma

2. Tindakan
a. Bina hubungan saling percaya
b. Diskusikan bersama pasien penyebab perilaku kekerasan saat ini dan yang lalu
c. Diskusikan perasaan pasien jika terjadi penyebab perilaku kekerasan
d. Diskusikan bersama pasien perilaku kekerasan yang biasa dilakukan pada saar
marah
e. Diskusikan bersama pasien akibat perilakunya
f. Diskusikan bersama pasien cara mengontrol perilaku kekerasan
g. Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara fisik
h. Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara verbal
i. Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara spiritual
j. Latihan mengontro perilaku kekerasan dengan patuh minum obat

7. Evaluasi
a. Pasien menyebutkan penyebab, tanda dan gelaja perilaku
kekerasan, perilaku kekerasan yang biasa dilakukan, dan akibat
dari perilaku kekerasan yang dilakukan.
b. Pasien mampu menggunakan cara mengontrol perilaku kekerasan
secara teratur sesuai jadwal: secara fisik, sosial/verbal,
spiritual, dan terapi psikofarma.
LAPORAN PENDAHULUAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI

I. Kasus (Masalah Utama)


Defisit Perawatan Diri

II. Proses Terjadinya Masalah


A. Pengertian Defisit Perawatan Diri
Suatu kondisi pada seseorang yang mengalami kelemahan kemampuan dalam
melakuakn atau melengkapi aktivitas perawatan diri secara mandiri seperti mandi,
berpakaian/berhias, makan, BAB/BAK.

B. Faktor Predisposisi
1. Faktor Perkembangan. Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan pasien
sehingga perkembangan inisiatif terganggu.
2. Faktor Biologis. Penyakit kronis yang menyebabkan pasien tidak mampu
melakukan perawatan diri.
3. Kemampuan Realitas Turun. Pasien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan
realitas yang kurang menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan
termasuk perawatan diri.
4. Sosial. Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri
lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan
dalam perawatan diri.

C. Faktor Presipitasi
Yang merupakan faktor presipitasi defisit perawatan diri adalah kurang penurunan
motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah yang dialami
individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan perawatan diri.
D. Jenis-Jenis Defisit Perawatan Diri
1. Defisit Perawatan Diri: Mandi
2. Defisit Perawatan Diri: Berpakaian
3. Defisit Perawatan Diri: Makan
4. Defisit Perawatan Diri: Eliminasi

E. Rentang Respon
Adapun tentang respon konsep diri dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Respon Adaptif Respon Maladptif

Pola Perawatan Kadang Tidak Melakukan


Diri Seimbang Perawatan Diri Perawatan Diri
Kadang Tidak Pada Saat Stress

a. Pola perawatan diri seimbang: saat pasien mendapatkan stressor dan mampu untuk
berprilaku adaptif, maka pola perawatan yang dilakukan pasien seimbang, pasien
masih melakukan perawatan diri.
b. Kadang perawatan diri kadang tidak: saat pasien mendapatkan stresor kadang-
kadang pasien tidak memperhatikan perawatan dirinya.
c. Tidak melakukan perawatan diri: pasien mengatakan dia tidak peduli dan tidak
bisa melakukan perawatan saat stresor.

F. Mekanisme Koping
Mekanisme koping pada pasien dengan defisit perawatan diri adalah sebagai berikut :
1. Regresi, menghindari stress, kecemasan dan menampilkan perilaku kembali,
seperti pada perilaku perkembangan anak atau berhubungan dengan masalah
proses infromasi dan upaya untuk mengulangi ansietas.
2. Penyangkalan (Denial), melindungi diri terhadap kenyataan yang tak
menyenangkan dengan menolak menghadapi hal itu, yang sering dilakukan
dengan cara melarikan diri seperti menjadi “sakit” atau kesibukan lain serta tidak
berani melihat dan mengakui kenyataan yang menakutkan.
3. Menarik diri, reaksi yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik maupun
psikologis, reaksi fisik yaitu individu pergi atau lari menghindar sumber stresor,
misalnya :menjauhi sumber infeksi, gas beracun dan lain-lain. Reaksi psikologis
individu menunjuk kan perilaku apatis, mengisolasi diri, tidak berminat, sering
disertai rasa takut dan bermusuhan.
4. Intelektualisasi, suatu bentuk penyekatan emosional karena beban emosi dalam
suatu keadaan yang menyakitkan, diputuskan, atau diubah (distorsi) misalnya rasa
sedih karena kematian orang dekat, maka mengatakan “sudah nasibnya” atau
“sekarang ia sudah tidak menderita lagi”.

III. A. Pohon Masalah


GangguanPemeliharaanKesehatan (BAB/BAK, mandi, makan, minum)

Defisit Perawatan Diri

Menurunnya motivasi dalam perawatan diri

Isolasi sosial

B. Masalah Keperawatan dan Data yang Perlu Dikaji


Masalah
No Data Subjektif Data Objektif
Keperawatan
1. Defisit Perawatan a. Adanya ungkapan dari a. Badan tampak kotor dan
Diri pasien tentang bau
ketidakmampuan, b. Baju tidak diganti
kurang minat atau c. Pasien tampak sering
motivasi, malas untuk mengantuk
berhias / merawatdiri. d. Rambut kusut, kotor
dan bau
e. Kuku panjang, hitam
dan kotor
f. Tidak rapi
g. Pasien tampak menarik
diri
h. Mulut dan gigi kotor
(SDKI, 2016)

C. Diagnosa Keperawatan
Defisit Perawatan Diri
D. Rencana Tindakan Keperawatan
Defisit Perawatan Diri
1. Tujuan
a. Pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri
b. Pasien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik
c. Pasien mampu melakukan makan dengan baik
d. Pasien mampu melakukan BAB/BAK secara mandiri
2. Tindakan
a. Melatih pasien cara-cara perawatan kebersihan diri
b. Melatih pasien berdandan/berhias
c. Melatih pasien makan secara mandiri
d. Mengajarkan pasien melakukan BAB/BAK secara mandiri

5. Evaluasi
a. Pasien dapat menyebutkan penyebab tidak merawat diri, manfaat
menjaga perawatan diri, tanda-tanda bersih dan rapi, gangguan
yang dialami jia perawatan diri tidak diperhatikan
b. Pasien dapat melaksanakan perawaran diri secara mandiri dlaam
hal kebersihan diri, berdandan, makan, BAB/BAK
LAPORAN PENDAHULUAN
RISIKO BUNUH DIRI

I. Kasus (Masalah Utama)


Risiko Bunuh Diri

II. Proses Terjadinya Masalah


A. Pengertian Risiko Bunuh Diri
Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan oleh pasien untuk
mengakhiri hidupnya. Menurut Keliat (2009), bunuh diri memiliki empat pengertian,
antara lain:
1. Bunuh diri adalah membunuh diri sendiri secara intensional
2. Bunuh diri dilakukan dengan intensi
3. Bunuh diri dilakukan oleh diri sendiri kepada diri sendiri
4. Bunuh diri dapat terjadi secara tidak langsung (aktif) atau tidak langsung (pasif),
misalnya dengan meminum obat yang menentukan kelangsungan hidup atau
secara sengaja berada di rel kereta api.
Pada tahun 2012, WHO mengungkapkan bunuh diri merupakan penyebab kematian
nomor dua terbanyak pada kelompok usia 15-29 tahun.

B. Faktor Predisposisi
Menurut Stuart GW & Laraia (2005) factor predisposisi bunuh diri yaitu:
1. Diagnostik > 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri,
mempunyai hubungan dengan penyakit jiwa. Tiga gangguan jiwa yang dapat
membuat individu beresiko untuk bunuh diri yaitu gangguan apektif,
penyalahgunaan zat, dan skizofrenia
2. Sifat kepribadian
Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan besarnya resiko bunuh diri
adalah rasa bermusuhan, implisif dan depresi.
3. Lingkungan psikososial
Seseorang yang baru mengalami kehilangan, perpisahan/perceraian, kehilangan
yang dini dan berkurangnya dukungan sosial merupakan faktor penting yang
berhubungan dengan bunuh diri.
4. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan faktor resiko
penting untuk prilaku destruktif.

C. Faktor Presipitasi
Faktor seseorang mengakhiri hidupnya yaitu sebagai berikut:
1. Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal/gagal
dalam hubungan yang berarti.
2. Kegagalan dalam beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stress.
3. Perasaan marah/bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman pada diri
sendiri
4. Cara untuk mengakhiri keputusan.

D. Jenis-Jenis
Pembagian atau klasifikasi perilaku bunuh diri menurut Stuart dan Sundeen (1995)
dibagi menjadi tiga kategori yaitu:
1. Percobaan Bunuh Diri (Suicide Attempt)
Pada kategori ini, individu sengaja melakukan kegiatan menuju bunuh diri, dan
bila kegiatan tersebut dilakukan sampai tuntas, maka akan menyebabkan
kematian. Kondisi ini telah terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau
diabaikan. Individu yang hanya berniat melakukan percobaan bunuh diri dan tidak
benar-benar ingin mati.
2. Isyarat Bunuh Diri (Suicide Gesture)
Kategori ini merupakan bunuh diri yang direncanakan untuk usaha mempengaruhi
perilaku orang lain. Hal ini dilakukan untuk menarik perhatian dengan status
emosional pasien yang terganggu tetapi tidak seserius pada percobaan bunuh diri,
meskipun dapat mengakibatkan bunuh diri secara disengaja atau tidak disengaja.
Contoh isyarat bunuhdiri termasuk cutting, dimana tidak diiris cukup dalam untuk
menyebabkan kehilangan darah yang signifikan, atau mengkonsumsi obat non-
berbahaya dengan dosis yang berlebihan.
3. Ancaman Bunuh Diri (Suicide Threat)
Kategori ini merupakan suatu peringatan baik secara langsung maupun tidak
langsung, verbal maupun non-verbal, bahwa seseorang sedang mengupayakan
bunuh diri. Individu tersebut mungkin menunjukkan secara verbal bahwa dia tidak
akan ada di kehidupannya lagi atau mengungkapkan secara non-verbal seperti
pemberian hadiah, wasiat, dan sebagainya. Kurangnya respon positif dari orang-
orang yang ada disekitarnya dapat dipersepsikan sebagai dukungan untuk
melakukan tindakan bunuh diri.

E. Rentang Respon
Menurut Yosep (2009) Respon Adaptif Respon Maladaptif

Perilaku bunuh diri menunjukkan kegagalan mekanisme koping. Ancaman bunuh diri
mungkin menunjukkan upaya terakhir untuk mendapatkan pertolongan agar dapat
mengatasi masalah. Bunuh diri yang terjadi merupakan kegagalan koping dan
mekanisme adaptif pada diri seseorang.
1. Peningkatan diri
Seseorang dapat meningkatkan proteksi atau pertahanan diri secara wajar terhadap
situasional yang membutuhkan pertahanan diri.
2. Beresiko destruktif
Seseorang memiliki kecenderungan atau berisiko mengalami perilaku destruktif
atau menyalahkan diri sendiri terhadap situasi yang seharusnya dapat
mempertahankan diri, seperti seseorang patah semangat bekerja ketika dirinya
dianggap tidak loyal terhadap pimpinan padahal sudah melakukan pekerjaan
secara optimal.
3. Destruktif diri tidak langsung
Seseorang telah mengambil sikap yang kurang tepat (maladaptif) terhadap situasi
yang membutuhkan dirinya untuk mempertahankan diri.
4. Pencederaan diri
Seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau pencederaan diri akibat
hilangnya harapan terhadap situasi yang ada.
5. Bunuh diri
Seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai dengan nyawanya hilang.

F. Mekanisme Koping
Seorang pasien mungkin memakai beberapa variasi mekanisme koping yang
berhubungan dengan perilaku bunuh diri, termasuk denial, rasionalization, regression
dan megical thinking. Mekanisme pertahanan diri yang ada seharusnya tidak
ditentang tanpa memberikan koping alternatif.

III. A. Pohon Masalah


Risiko menciderai diri sendiri, orang lain dan lingkungan

Risiko Bunuh Diri

Isolasi sosial, HDR

Stres, tekanan

B. Masalah Keperawatan dan Data yang Perlu Dikaji


1. Pengkajian Faktor Risiko Bunuh Diri
a. Jenis kelemain: risiko meningkat pada pria
b. Usia: lebih tua masalah semakin banyak
c. Status perkawinan: menikah dapat menurunkan risiko, hidup sendiri merupakan
masalah
d. Riwayat keluarga: meningkat apabila da keluarga dengan percobaan bunuh
diri/penyalahgunaan zat
e. Pencetus (peristiwa yang baru terjadi): kehilangan orang yang dicintai,
pengangguran, mendapat malu di lingkungan sosial, dll.
f. Faktor kepribadian: lebih sering pada kepribadian introvert/menutup diri.

2. Masalah Keperawatan
a. Data Subjektif: menyatakan ingin bunuh diri/ingin mati saja, tak ada gunanya
hidup
b. Data Objektif: ada isyarat bunuh diri, ada ide bunuh duru, pernah mencoba
bunuh diri.

Masalah
No Faktor Risiko
Keperawatan
1. Risiko Bunuh Diri a. Gangguan perilaku (misalnya mendadak setelah
depresi, perilaku mencari senjata berbahaya,
memberli obat dalam jumlah banyak, emmbuat
surat warisan)
b. Demografi (misalnya lansia, status perceraian,
janda/duda, ekonomi rendah, pengangguran)
c. Gangguan fisik (misalnya nyeri kronis, penyakit
terminal)
d. Masalah sosial (misalnya berduka, tidak berdaya,
putus asa, kesepian, kehilangan hubungan yang
penting, isolasi sosial)
e. Gangguan psikologis (misalnya penganiayaan
masa kanak-kanak, riwayat bunuh diri
sebelumnya, remaja homoseksual, gangguan
psikiatrik, penyakit psikiatrik, penyalahgunaan
zat)
(SDKI, 2016)

C. Diagnosa Keperawatan
Risiko Bunuh Diri
D. Rencana Tindakan Keperawatan
Risiko Bunuh Diri
1. Tujuan dan Tindakan
a. Pasien membina hubungan saling percaya
1) Perkenalkan diri dengan pasien
2) Tanggapi pembicaraan pasien dengan sabar dan tidak menyangkal
3) Bicara dengan tegas, jelas dan jujur
4) Bersifat hangat dan bersahabat
5) Temani pasien saat keninginan mencederai diri meningkat
b. Pasien dapat terlindung dari perilaku bunuh diri
1) Jauhkan pasien dari benda-benda yang dapat membahayakan (pisau,
silet, gunting, dll)
2) Tempatkan pasien di ruanagan yang tenang dan selalu terlihat perawat
3) Awasi pasien secara ketat setiap saat
c. Pasien dapat mengekspresikan perasaannya
1) Dengaarkan keluhan yang dirasakan
2) Bersikap empati untuk meningkatkan ungkapan keraguan, ketakutan, dan
keputusasaan.
3) Beri dorongan untuk mengungkapkan mengapa dan bagaimana
harapannya
4) Beri waktu dan kesempatan untuk menceritakan arti penderitaan,
kematian, dll.
5) Beri dukungan pada tindakan atau ucapan pasien yang menunjukan
keinginan untuk hidup
d. Pasien dapat meningkatkan harga diri
1) Bantu untuk memahami bahwa pasien dapat mengatasi keputusasaanya
2) Kaji dan kerahkan sumber-sumber internal individu
3) Bantu mengidentifikasi sumber-sumber harapan (misalnya hubungan
antar sesama, keyakinan, hal-hal untuk diselesaikan)
e. Pasien dapat menggunakan koping adaftif
1) Ajarkan untuk mengidentifikasi pengalaman-pengalaman yang
menyenangkan setiap hari (misalnya: berjalan-jalan, membaca buku
favorit, menulis surat, dll)
2) Bantu untuk mengenali hal-hal yang ia cintai dan sayang, dan pentingnya
terhadap kehidupan orang lain, mengesampingkan tentang kegagalan
dalam kesehatan
3) Beri dorongan untuk berbagi keprihatinan pada orang lain yang
mempunyai suatu masalah dan atau penyakit yang sama dan telah
mempunyai pengalamn positif dalam mengatasi masalah tersebut dengan
koping yang efektif

LAPORAN PENDAHULUAN
WAHAM

I. Kasus (Masalah Utama)


Waham

II. Proses Terjadinya Masalah


A. Pengertian Waham
Waham adalah keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas yang
salah. Keyakinan pasien tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar
belakang budaya pasien. Gangguan isi pikir dapat diidentifikasi dengan
adanya waham. Waham atau delusia dalah ide yang salah dan bertentangan
atau berlawanan dengan semua kenyataan dan tidak ada kaitannya dengan
latar belakang budaya (Keliat, 2009).

B. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya waham yang dijelaskan
oleh Towsend 1998 adalah:
1. Teori Biologis
Teori biologi terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap
waham:
a. Faktor-faktor genetik yang pasti mungkin terlibat dalam perkembangan
suatu kelainan ini adalah mereka yang memiliki anggota keluarga
dengan kelainan yang sama (orang tua, saudara kandung, sanak saudara
lain).
b. Secara relatif ada penelitian baru yang menyatakan bahwa kelainan
skizofrenia mungkin pada kenyataannya merupakan suatu kecacatan
sejak lahir terjadi pada bagian hipokampus otak. Pengamatan
memperlihatkan suatu kekacauan dari sel-sel pramidal di dalam otak
dari orang-orang yang menderita skizofrenia.
c. Teori biokimia menyatakan adanya peningkatan dari dopamin
neurotransmiter yang dipertukarkan menghasilkan gejala-gejala
peningkatan aktivitas yang berlebihan dari pemecahan asosiasi-asosiasi
yang umumnya diobservasi pada psikosis.

2. Teori Psikososial
a. Teori sistem keluarga Bawen dalam Towsend (1998 : 147)
menggambarkan perkembangan skizofrenia sebagai suatu
perkembangan disfungsi keluarga. Konflik diantara suami istri
mempengaruhi anak. Penanaman hal ini dalam anak akan
menghasilkan keluarga yang selalu berfokus pada ansietas dan suatu
kondsi yang lebih stabil mengakibatkan timbulnya suatu hubungan
yang saling mempengaruhi yang berkembang antara orang tua dan
anak-anak. Anak harus meninggalkan ketergantungan diri kepada
orang tua dan anak dan masuk ke dalam masa dewasa, dan dimana
dimasa ini anak tidak akan mamapu memenuhi tugas perkembangan
dewasanya.
b. Teori interpersonal menyatakan bahwa orang yang mengalami psikosis
akan menghasilkan hubungan orang tua anak yang penuhakan
kecemasan. Anak menerima pesan-pesan yang membingungkan dan
penuh konflik dari orang tua dan tidak mampu membentuk rasa
percaya terhadap orang lain.
c. Teori psikodinamik menegaskan bahwa psikosis adalah hasil dari suatu
ego yang lemah. Perkembangan yang dihambat dan suatu hubungan
saling mempengaruhi antara orang tua, anak. Karena ego menjadi lebih
lemah penggunaan mekanisme pertahanan ego pada waktu kecemasan
yang ekstrim menjadi suatu yang maladaptif dan perilakunya sering
kali merupakan penampilan dan segmen di dalam kepribadian.

C. Faktor Presipitasi
1. Biologis Stressor biologis yang berhubungan dengan neurobiologis yang
maladaptif termasuk gangguan dalam putaran umpan balik otak yang
mengatur perubahan isi informasi dan abnormalitas pada mekanisme pintu
masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara
selektif menanggapi rangsangan.
Pada pasien dengan waham, pemeriksa MRI menunjukkan bahwa derajat
lobus temporal tidak simetris. Akan tetapi perbedaan ini sangat kecil,
sehingga terjadinya waham kemungkinan melibatkan komponen
degeneratif dari neuron. Waham somatic terjadi kemungkinan karena
disebabkan adanya gangguan sensori pada sistem saraf atau kesalahan
penafsiran dari input sensori karena terjadi sedikit perubahan pada saraf
kortikal akibat penuaan (Boyd, 2005 dalam Purbadkk, 2008).
2. Stres Lingkungan. Secara biologis menetapkan ambang toleransi terhadap
stres yang berinterasksi dengan sterssor lingkungan untuk menentukan
terjadinya gangguan prilaku.
3. Pemicu Gejala. Pemicu yang biasanya terdapat pada respon neurobiologis
yang maladaptif berhubungan dengan kesehatan lingkungan, sikap dan
prilaku individu, seperti : gizi buruk, kurang tidur, infeksi, keletihan, rasa
bermusuhan atau lingkungan yang penuh kritik, masalah perumahan,
kelainan terhadap penampilan, stres gangguan dalam berhubungan
interpersonal, kesepain, tekanan, pekerjaan, kemiskinan, keputusasaan dan
sebagainya.

D. Jenis-Jenis Waham
Jenis waham menurut Keliat (2009):
1. Waham kebesaran: individu meyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau
kekuasaan khusus dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai
kenyataan. Misalnya, “saya ini pejabat departemen kesehatan lho!” atau,
“saya punya tambang emas”.
2. Waham curiga: Individu meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok
yang berusaha merugikan/menceerai dirinya dan diucapkan berulang kali,
tetapi tidak sesuai kenyataan. Contoh, “saya tahu seluruh saudara saya
ingin menghancurkan hidup saya karena mereka iri dengan kesuksesan
saya”.
3. Waham agama: Individu memiliki keyakinan terhadap suatu agama secara
berlebihan dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai dengan
kenyataan. Contoh, “kalau saya mau masuk surga, saya harus
menggunakan pakaian putih setiap hari”.
4. Waham somatic: Individu meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya
terganggu atau terserang penyakit dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak
sesuai dengan kenyataan. Contoh, “saya sakit kanker”. (Kenyataannya
pada pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan tanda-tanda kanker, tetapi
pasien terus mengatakan bahwa ia sakit kanker).
5. Waham nihilistic: Individu meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada di
dunia/meniggal dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai dengan
keadaan nyata. Misalnya, “Ini kana alam kuburya, semua yang ada di sini
adalah roh-roh.”

E. Rentang Respon
Respon Adaptif Respon Maladaptif

Pikiran Logis Perilaku kadang menyimpang Kelainan pikir/waham


Persepsi akurat Ilusi Halusinasi
Emosi konsisten Reaksi emosi berlebihan Ketidakmampuan emosi
Pengalaman Perilaku ganjil/tdk lazim Perilakutidak terorganisasi
Perilaku sosial Menarik diri Isolasi sosial
Hubungan sosial
Harmonis
F. Mekanisme Koping
Ada beberapa sumber koping individu yang harus dikaji yang dapat
berpengaruh terhadap gangguan otak dan perilaku kekuatan dalam sumber
koping dapat meliputi seperti: modal intelegensi atau kreativitas yang tinggi.
Orang tua harus secara aktif mendidik anak-anaknya, dewasa muda tentang
keterampilan koping karena mereka biasanya tidak hanya belajar dan
pengamatan. Sumber keluarga dapat berupa pengetahuan tentang penyakit,
finansial yang cukup, ketersediaan waktu dan tenaga dan kemampuan untuk
memberikan dukungan secara berkesinambungan.

III. A. Pohon Masalah

Kerusakan Komunikasi Verbal

Gangguan Proses Pikir: Waham

Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah

B. Diagnosa Keperawatan

Gangguan Proses Pikir: Waham

D. Rencana Tindakan Keperawatan

1. Tujuan
a. Pasien dapat berorientasi kepada realita secara bertahap
b. Pasien mampu berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan
c. Pasien menggunakan obat dengan prinsip 6 benar

2. Tindakan
a. Bina hubungan saling percaya
Sebelum memulai mengkaji pasien dengan waham, saudara harus
membina hubungan saling percaya terlebih dahulu agar pasien merasa
aman dan nyaman saat berinteraksi dengan saudara. Tindakan yang
harus saudara lakukan dalam rangka membina hubungan saling
percayaadalah:
1) Mengucapkan salam
2) Berjabat tangan
3) Menjelaskan tujuan interaksi
4) Membuat kontrak topik, waktu dan tempat setiap kali bertemu
pasien
b. Tidak mendukung atau membantah waham pasien
c. Yakinkan pasien berada dalam keadaan aman
d. Observasi pengaruh waham terhadap aktivitas sehari-hari
e. Jika pasien pasien terus-menerus membicarakan wahamnya dengarkan
tanpa memberikan dukungan atau menyangkal sampai pasien berhenti
membicarakannya
f. Berikan pujian bila penampilan dan orientasi pasien sesuai dengan
realitas
g. Diskusikan dengan pasien kemampuan realistis yang dimilikinya pada
saat yang lalu dan saatini
h. Anjurkan pasien untuk melakukan aktivitas sesuai kemampuan yang
dimilikinya
i. Diskusikan kebutuhan psikologis/emosional yang tidak terpenuhi
sehingga menimbulkan kecemasan, rasa takut dan marah
j. Tingkatkan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan fisik dan
emosional pasien
k. Berbicara dalam konteks realitas
l. Bila pasien mampu memperlihatkan kemampuan positifnya berikan
pujian yang sesuai
m. Jelaskan pada pasiententang program pengobatannya (manfaat, dosis
obat, jenis, dan efek samping obat yang diminum serta cara meminum
obat yang benar)
n. Diskusikan akibat yang terjadi bila pasien berhenti minum obat tanpa
konsultasi

3. Evaluasi
Pasien mampu:
a. Mengungkapkan keyakinannya sesuai dengan kenyataan
b. Berkomunikasi sesuai kenyataan
c. Menggunakan obat dengan benar dan patuh

DAFTAR PUSTAKA

Direja, Ade Herman Surya. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha
Medika

Kusumawatidan Hatono. 2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : Salemba Medika

Keliat Budi A. 1999. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Edisi 1. Jakarta: EGC

Keliat, B.A. 2009. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta: EGC

Modul Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa Universitas Faletehan 2018

Riskesdas. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Mentri Kesehatan RI

Stuart. 2013. Buku Saku Keperawatan. Jakarta: EGC

TIM Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta
Yosep, Iyus. 2009. Keperawatan Jiwa Cetakan Kedua (Edisi Revisi). Bandung: PT Refrika
Aditama

Yoseph, Iyus. 2010. Keperawatan jiwa. (Edisi Revisi). Bandung: Revika Aditama

Anda mungkin juga menyukai