Anda di halaman 1dari 12

STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN (SAK) BPH

A. KONSEP DASAR
1. DEFINISI
a. Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan
oleh penuaan. Price&Wilson (2005)
b. Hiperplasia prostat jinak adalah pembesaran kelenjar prostat
nonkanker, (Corwin, 2000)
c. BPH adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami
pembesaran memanjang keatas kedalam kandung kemih dan
menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra.
(Smeltzer dan Bare, 2002)
d. Hiperplasi prostat adalah pembesaran progresif dari kelenjar
prostat ( secara umum pada pria > 50 tahun) yang menyebabkan
berbagai derajat obstruksi uretra dan pembiasan aliran
urinarius. (Doenges, 1999)

2. ETIOLOGI
Karena etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa
yang diduga timbulnya Benigne Prostat Hyperplasia antara lain :
a. Teori Dehidrotestosteron (DHT)
Testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan
sebagian dari kelenjar adrenal (10%) masuk dalam peredaran
darah dan 98% akan terikat oleh globulin menjadi sex hormon
binding globulin (SHBG). Sedang hanya 2% dalam keadaan
testosteron bebas. Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke
dalam “target cell” yaitu sel prostat melewati membran sel
langsung masuk kedalam sitoplasma, di dalam sel, testosteron
direduksi oleh enzim 5 alpha reductase menjadi 5
dehidrotestosteron yang kemudian bertemu dengan reseptor
sitoplasma menjadi “hormone receptor complex”. Kemudian
hormone receptor complex ini mengalami transformasi reseptor,
menjadi nuclear receptor yang masuk kedalam inti yang
kemudian melekat pada kromatin dan menyebabkan transkripsi
m-RNA. RNA ini akan menyebabkan sintese protein
menyebabkan terjadinya pertumbuhan kelenjar prostat.
b. Teori Hormonal
Dengan meningkatnya usia pada pria terjadi peningkatan
hormon Estrogen dan penurunan testosteron sedangkan
estradiol tetap. yang dapat menyebabkan terjadinya hyperplasia
stroma.
c. Teori Growth Factor (Faktor Pertumbuhan)
Terdapat empat peptic growth factor yaitu: basic transforming
growth factor, transforming growth factor 1, transforming
growth factor 2, dan epidermal growth factor. Peningkatan
epidermal gorwth faktor atau fibroblas gorwth faktor dan
penurunan transforming gorwth faktor beta menyebabkan

Standar Asuhan Keperawatan (SAK) Kperawatan Medikal Bedah (KMB) 1


hiperplasia stroma dan epitel. Peranan dari growth factor ini
sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar prostat.
d. Teori peningkatan lama hidup sel-sel prostat karena
berkurangnya sel yang mati.
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup
stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
e. Teori Sel Stem (stem cell hypothesis)
Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral
pada seorang dewasa berada dalam keadaan keseimbangan
“steady state”, antara pertumbuhan sel dan sel yang mati,
keseimbangan ini disebabkan adanya kadar testosteron tertentu
dalam jaringan prostat yang dapat mempengaruhi sel stem
sehingga dapat berproliferasi. Pada keadaan tertentu jumlah sel
stem ini dapat bertambah sehingga terjadi proliferasi lebih cepat.
Terjadinya proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan
produksi atau proliferasi sel stroma dan sel epitel kelenjar
periuretral prostat menjadi berlebihan (Poernomo, 2000, hal 74-
75).

3. PATOFISIOLOGI
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang
terletak di sebelah inferior buli-buli, dan membungkus uretra
posterior. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada
orang dewasa ± 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan
bukunya Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa
zona, antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona
fibromuskuler anterior dan periuretra (Purnomo, 2000).
Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan
terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena
produksi testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron
menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Purnomo (2000)
menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung
pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat
hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan
bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara
langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk
mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek
terjadinya perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-
lahan. Perubahan patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat
sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah
prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi
detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem
parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem
simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat
akan terjadi resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah
prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini

Standar Asuhan Keperawatan (SAK) Kperawatan Medikal Bedah (KMB) 1


dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal.
Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan
sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-
buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor.
Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang
besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase
kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut
maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi
dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi
urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu
obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal
berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga kontraksi
terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi terputus,
menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah
miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak
sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung
kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau
dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi
meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko
urinaria tidak mampu lagi menampung urin, sehingga tekanan
intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan obstruksi sehingga
terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi kronik
menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal,
maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus
urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan
penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia
dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk
batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain
itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media
pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan
bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)

4. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benigne Prostat Hyperplasia
disebut sebagai Syndroma Prostatisme. Syndroma Prostatisme dibagi
menjadi dua yaitu :
a. Gejala Obstruktif yaitu :
1) Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali
disertai dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot
destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama
meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya
tekanan dalam uretra prostatika.
2) Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang
disebabkan karena ketidakmampuan otot destrussor dalam
pempertahankan tekanan intra vesika sampai berakhirnya

Standar Asuhan Keperawatan (SAK) Kperawatan Medikal Bedah (KMB) 1


miksi.
3) Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir
kencing.
4) Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran
destrussor memerlukan waktu untuk dapat melampaui
tekanan di uretra.
5) Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan
terasa belum puas.
b. Gejala Iritasi yaitu :
1) Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit
ditahan.
2) Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya
dapat terjadi pada malam hari (Nocturia) dan pada siang
hari.
3) Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.

5. PENATALAKSANAAN MEDIS
a. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang yang mesti
dilakukan pada pasien dengan BPH adalah :
1) Laboratorium
a) Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau
inflamasi saluran kemih.
b) Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau
sekaligus menentukan sensitifitas kuman terhadap
beberapa antimikroba yang diujikan.
2) Radiologis
a) Foto polos abdomen
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau
kalkulosa prostat dan kadang menunjukan bayangan buii-
buli yang penuh terisi urin yang merupakan tanda dari
retensi urin.
b) IVP (Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter
berupa hidroureter atau hidronefrosis, memperkirakan
besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli.
c) Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli
atau mengukur sisa urin dan keadaan patologi lainnya
seperti difertikel, tumor.
d) Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang
uretra parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke
dalam rektum.

Standar Asuhan Keperawatan (SAK) Kperawatan Medikal Bedah (KMB) 1


b. Terapi medis
1) Farmakologi
a) Pemberian obat Golongan Supressor Androgen/anti
androgen :
Inhibitor 5 alfa reductase
Obat yang dipakai adalah finasterid (proskar) dengan
dosis 1x5 mg/hari. Obat golongan ini dapat menghambat
pembentukan dehidrotestosteron sehingga prostat yang
membesar dapat mengecil. Namun obat ini bekerja lebih
lambat daripada golongan alpha blocker dan manfaatnya
hanya jelas pada prostat yang sangat besar. Salah satu
efek samping obat ini adalah melemahkan libido dan
ginekomastia.
b) Pemberian obat Golongan Alfa Bloker/obat penurun
tekanan diuretra-prostatika : Prazosin, Alfulosin,
Doxazonsin, Terazosin
Dasar pengobatan ini adalah mengusahakan agar tonus
otot polos di dalam prostat dan leher vesica berkurang
dengan menghambat rangsangan alpha adrenergik.
Seperti diketahui di dalam otot polos prostat dan leher
vesica banyak terdapat reseptor alpha adrenergik. Obat-
obatan yang sering digunakan prazosin, terazosin,
doksazosin, dan alfuzosin. Obat penghambat alpha
adrenergik yang lebih selektif terhadap otot polos prostat
yaitu α1a (tamsulosin), sehingga efek sistemik yang tak
diinginkan dari pemakai obat ini dapat dikurangi. Dosis
dimulai 1 mg/hari sedangkan dosis tamzulosin 0,2-0,4
mg/hari. Penggunaan antagonis alpha 1 adrenergik untuk
mengurangi obstruksi pada vesica tanpa merusak
kontraktilitas detrusor.
Obat-obatan golongan ini memberikan perbaikan laju
pancaran urine, menurunkan sisa urin dan mengurangi
keluhan. Obat-obat ini juga memberi penyulit hipotensi,
pusing, mual, lemas, dan meskipun sangat jarang bisa
terjadi ejakulasi retrograd, biasanya pasien mulai
merasakan berkurangnya keluhan dalam waktu 1-2
minggu setelah pemakaian obat.
2) Pembedahan
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria,
penurunan fungsi ginjal, infeksi saluran kemih berulang,
divertikel batu saluran kemih, hidroureter, hidronefrosis jenis
pembedahan:
a) TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar
prostat melalui sitoskopi atau resektoskop yang
dimasukkan malalui uretra.

Standar Asuhan Keperawatan (SAK) Kperawatan Medikal Bedah (KMB) 1


b) Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang
dibuat pada kandung kemih.
c) Prostatektomi retropubic
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada
abdomen bagian bawah melalui fosa prostat anterior
tanpa memasuki kandung kemih.
d) `Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui
sebuah insisi diantara skrotum dan rektum.
e) Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula,
vesikula seminalis dan jaringan yang berdekatan melalui
sebuah insisi pada abdomen bagian bawah, uretra
dianastomosiskan ke leher kandung kemih pada kanker
prostat. Kontraindikasi adalah: Infak miokard akut(IMA),
dan cerebro vasculer acid(CVA), dekompensasi cordis,
dalam keadaan koma,diabetes millitus, malnutrisi berat,
tekanan darah sistol 200-260 mmHg

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. PENGKAJIAN
Pengkajian pada pasien BPH dilakukan dengan pendekatan proses
keperawatan. Menurut Doenges (1999) fokus pengkajian pasien
dengan BPH adalah sebagai berikut :
a. Sirkulasi
Pada kasus BPH sering dijumpai adanya gangguan sirkulasi;
pada kasus preoperasi dapat dijumpai adanya peningkatan
tekanan darah yang disebabkan oleh karena efek pembesaran
ginjal. Penurunan tekanan darah; peningkatan nadi sering
dijumpai pada. kasus postoperasi BPH yang terjadi karena
kekurangan volume cairan.
b. Integritas Ego
Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu
integritas egonya karena memikirkan bagaimana akan
menghadapi pengobatan yang dapat dilihat dari tanda-tanda
seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku.
c. Eliminasi
Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali
dialami oleh pasien dengan preoperasi, perlu dikaji keragu-
raguan dalam memulai aliran urin, aliran urin berkurang,
pengosongan kandung kemih inkomplit, frekuensi berkemih,
nokturia, disuria dan hematuria. Sedangkan pada postoperasi
BPH yang terjadi karena tindakan invasif serta prosedur
pembedahan sehingga perlu adanya obervasi drainase kateter
untuk mengetahui adanya perdarahan dengan mengevaluasi
warna urin. Evaluasi warna urin, contoh : merah terang dengan

Standar Asuhan Keperawatan (SAK) Kperawatan Medikal Bedah (KMB) 1


bekuan darah, perdarahan dengan tidak ada bekuan,
peningkatan viskositas, warna keruh, gelap dengan bekuan.
Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada kemugkinan
terjadinya konstipasi. Pada preoperasi BPH hal tersebut terjadi
karena protrusi prostat ke dalam rektum, sedangkan pada
postoperasi BPH, karena perubahan pola makan dan makanan.
d. Makanan dan cairan
Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu
karena efek penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi),
maupun efek dari anastesi pada postoperasi BPH, sehingga
terjadi gejala: anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan,
tindakan yang perlu dikaji adalah awasi masukan dan
pengeluaran baik cairan maupun nutrisinya.
e. Nyeri dan kenyamanan
Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah
kebutuhan dasar yang utama. Karena menghindari nyeri
merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Pada pasien
postoperasi biasanya ditemukan adanya nyeri suprapubik,
pinggul tajam dan kuat, nyeri punggung bawah.
f. Keselamatan/ keamanan
Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH faktor
keselamatan tidak luput dari pengkajian perawat karena hal ini
sangat penting untuk menghindari segala jenis tuntutan akibat
kelalaian paramedik, tindakan yang perlu dilakukan adalah kaji
adanya tanda-tanda infeksi saluran perkemihan seperti adanya
demam (pada preoperasi), sedang pada postoperasi perlu adanya
inspeksi balutan dan juga adanya tanda-tanda infeksi baik pada
luka bedah maupun pada saluran perkemihannya.
g. Seksualitas
Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang
mengalami masalah tentang efek kondisi/terapi pada
kemampuan seksualnya, takut inkontinensia/menetes selama
hubungan intim, penurunan kekuatan kontraksi saat ejakulasi,
dan pembesaran atau nyeri tekan pada prostat.
2. PEMERIKSAAN FISIK
a. Pemeriksaan fisik dilakukan dengan pemeriksaan tekanan
darah, nadi dan suhu. Nadi dapat meningkat pada keadaan
kesakitan pada retensi urin akut, dehidrasi sampai syok pada
retensi urin serta urosepsis sampai syok - septik.
b. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk
mengetahui adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada
daerah supra simfiser pada keadaan retensi akan menonjol. Saat
palpasi terasa adanya ballotemen dan klien akan terasa ingin
miksi. Perkusi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya
residual urin. Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung
kencing yang terisi penuh dan teraba masa kistus di daerah

Standar Asuhan Keperawatan (SAK) Kperawatan Medikal Bedah (KMB) 1


supra simfisis akibat retensio urin dan kadang terdapat nyeri
tekan supra simfisis.
c. Penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan stenose
meatus, striktur uretra, batu uretra, karsinoma maupun fimosis.
d. Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididimitis
e. Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk
menentukan konsistensi sistim persarafan unit vesiko uretra dan
besarnya prostat. Dengan rectal toucher dapat diketahui derajat
dari BPH, yaitu :

a) Derajat I = beratnya ± 20 gram.


b) Derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram.
c) Derajat III = beratnya > 40 gram.

Pemeriksaan fisik diagnostik yang paling penting untuk


BPH adalah colok dubur (digital rectal examination). Pada
pemeriksaan ini akan dijumpai pembesaran prostat teraba simetris
dengan konsistensi kenyal, Pemeriksaan colok dubur dapat
memberikan gambaran tentang keadaan tonus sfingter ani, reflek
bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti
benjolan di dalam rektum dan tentu saja teraba prostat. Pada
perabaan prostat harus diperhatikan:
a) Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya
kenyal)
b) Adakah asimetris
c) Adakah nodul pada prostat
d) Apakah batas atas dapat diraba
e) Sulcus medianus prostat
f) Adakah krepitasi
Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan prostat
teraba membesar, konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung
hidung, permukaan rata, lobus kanan dan kiri simetris, tidak
didapatkan nodul, dan menonjol ke dalam rektum. Semakin berat
derajat hiperplasia prostat, batas atas semakin sulit untuk diraba.
Sedangkan pada karcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan
atau teraba nodul dan diantara lobus prostat tidak simetris.
Sedangkan pada batu prostat akan teraba krepitasi.
Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada
traktus urinaria bagian atas kadang-kadang ginjal dapat teraba dan
apabila sudah terjadi pielonefritis akan disertai sakit pinggang dan
nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila
sudah terjadi retensi total, daerah inguinal harus mulai diperhatikan
untuk mengetahui adanya hernia. Genitalia eksterna harus pula
diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab yang lain yang
dapat menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa
navikularis atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis,
condiloma di daerah meatus.

Standar Asuhan Keperawatan (SAK) Kperawatan Medikal Bedah (KMB) 1


3. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Preoperasi
1) Retensi urine berhubungan dengan tekanan uretral tinggi
karena kelemahan detrusor (dekompensasi otot detrusor).
2) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera (iritasi kandung
kemih, spame, sesuai dengan prosedur bedah atau tekanan
dari balon kandung kemih).
3) Resiko infeksi berhubungan dengan peningkaran paparan
lingkungan terhadap patogen (pemasangan kateter).
4) Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan akan
dilakukannya tindakan operasi.

b. Pascaoperasi
1) Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasca
obstruksi dengan diuresis dari drainase cepat kandung kemih
yang terlalu distensi secara kronis.
2) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologi
( terputusnya kontinuitas jaringan akibat pembedahan).
3) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kerusakan
neurovaskuler (nyeri).
4) Resiko infeksi berhubungan dengan peningkaran paparan
lingkungan terhadap patogen (adanya media masuknya
kuman akibat prosedur invasif).

4. ANALISI DATA
NO DATA ETIOLOGI MASALAH
1 Data subjektif Benigna prostat Retensi urine.
a. Sensai penuh pada hiperplasia,
kandung kemih pembengkakan
b. dribbling perinial, cidera
Data objektif medula spinalis,
a. Disuria/anuria rektokel, tumor di
b. Distensi kandung kemih saluran kemih
c. Inkontinensia berlebih
d. Residu urine 150 ml atau
lebih
2 Data subjektif Kondisi Nyeri akut
a. Mengeluh nyeri pembedahan,
Data objektif cidera traumatis,
a. Tampak meringis infeksi, sindrom
b. Bersikap protektif koroner akut,
c. Gelisah galaukoma.
d. Prekuensi nadi meningkat
e. Sulit tidur
3 Data subjektif Tindakan invasif, Resiko infeksi
a. Mengeluh adanya tanda peningkatan
kemerahan di are luka paparan
Data objektif organisme

Standar Asuhan Keperawatan (SAK) Kperawatan Medikal Bedah (KMB) 1


a. Imununosupresi patogen
b. Leukopenia. lingkungan,
c. supresi respon inflamsi. penyakit kronis.

5. INTERVENSI KEPERAWATAN
NO DIAGNOSA LUARAN SIKI
( SDKI ) ( SLKI ) ( INTERVENSI )
1 D.0050 L.04034 I.04148
Retensi urine Tidak terjadi distensi Observasi
berhubungan dengan kandung kemih dengan a. Identifikasi tanda
tekanan uretral tinggi kriteria hasil. dan gejala retensi
karena kelemahan a) Berkemih dalam urine atau
detrusor jumlah yang cukup inkontinensia
(dekompensasi otot b) Tidak teraba urine.
detrusor) distensi kandung b. Identifikasi factor
kemih yang
c) Jumlah urine menyebabkan
normal: 600-1600 retensi urine atau
ml/24 jam inkontinensia
urine
c. Monitor eliminasi
urine
Terapeutik
a. Catat waktu-
waktu berkemih.
b. Batasi asupan
cairan jika perlu.
c. Ambi sempel urine
tengah
(midstream), atau
kultur.
Edukasi
a. Ajarkan tanda dan
gejala infeksi
saluran kemih
b. Ajarkan
mengukur asupan
cairan dan
pengeluaran urine
c. Ajarkan
mengambil sampel
urine midstream
d. Anjurkan minum
yang cukup, jika
tidak ada
kontraindikasi.
e. Anjurkan
mengurangi
minum menjelang
tidur.
2 (D.0077). (L08066). I.08238
Nyeri akut Nyeri tertasi dengan Observasi
berhubungan dengan kriteria hasil a. Identifikasi factor
iritasi mukosa buli-  Keluahan nyeri pencetus dan
buli, distensi menurun Pereda nyeri
kandung kemih  Meringis menurun b. Monitor kulitas
nyeri

Standar Asuhan Keperawatan (SAK) Kperawatan Medikal Bedah (KMB) 1


 Gelisah menurun c. Monitor lokasi dan
 Kesulitan tidur dan penyebaran
menurun. nyeri
d. Monitor intensitas
nyeri dengan
menggunakan
skala.
e. Monitor durasi
dan frekuensi
nyeri.
Terapeutik
a. atur interval
waktu
pemantauan
sesuai dengan
kondisi pasien
b. dokumentasi hasil
pemantauan
c. Ajarkan Teknik
relaksasai nafas
dalam.
d. Atur posisi pasien.
Edukasi
Jelaskan tujuan dan
prosedur
pemantauan
Kolaborasi
Kolaborasi
pemeberian Obat anti
nyeri.
3 (D.0142) (L.141137). I.14539
Resiko tinggi infeksi Resiko infeksi Obeservasi
berhubungan dengan menurun dengan Monitor dan tanda
prosedur invasif: alat kriteria hasil dan gejala infeksi
selama pembedahan,  Kebersihan badan local dan sistemik
kateter, irigasi meningkat. Terapeutik
kandung kemih  Kebersihan badan a. Batasi jumlah
sering meningkt. pengunjung.
 Deman menurun b. Berikan
 Kemerahan pada area perawatan kulit
luka menurun pada area edema.
 Nyeri dan bengkak c. Cuci tangan
menurun. sebelum dan
sesudah kontak
dengan pasien
maupun
lingkungan
pasien.
d. Pertahankan
Teknik asptik
pada pasien
beresiko tinggi.
Edukasi
a. Jelaskan tanda
dan gejala infeksi
b. Ajarkan cara
mencuci tangan.
c. Ajarkan cara
memeriksa

Standar Asuhan Keperawatan (SAK) Kperawatan Medikal Bedah (KMB) 1


kondisi luka.
d. Anjurkan
meningkatkan
asupan nutrisi.
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
obat atau imunisasi,
jika perlu.

DAFTAR PUSTAKA

1. Carpenito, L. J., 2000, Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, Alih


Bahasa Monica Ester, EGC, Jakarta.
2. Corwin, E. J., 2000, Buku Saku Pathofisiologi, Editor Endah P., EGC,
Jakarta.
3. Doenges, M. E., Moorhous, M. F., & Geissler, A. C., 1999, Rencana
Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3, Alih Bahasa I Made
Kariasa dan Ni Made Sumarwati, EGC, Jakarta.
4. Engram, B, 1998, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, EGC,
Jakarta
5. Mansjoer, A., dkk, 2000, Kapita SelektaKedokteran, Edisi Jilid 2, Media
Aesculapius, Jakarta.
6. Potter, P. A., & Perry, A. G., 2005, Buku Ajar Fundamental
Keperawatan: Konsep, Prose.c, dan Praktik, EGC, Jakarta.
7. Price, S. A., & Wilson, L. M., 2005, Pathofsiologi: Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit, Alih Bahasa: Editor Caroline Wijaya, Edisi 4, EGC,
Jakarta.
8. Purnomo, B. B., 2000, Dasar-dasar Urologi, CV Info Medika, Jakarta.
9. Sjamsuhidajat, R., & de Jong, W., 2005, Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC,
Jakarta
10. Smeltzer, S. C., & Bare, B. G., 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah. Brunner & Suddarth, Editor Suzane, C. S., Brenda, G. B., Edisi
8, EGC, Jakarta

Standar Asuhan Keperawatan (SAK) Kperawatan Medikal Bedah (KMB) 1

Anda mungkin juga menyukai