Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Congenital talipes equinovarus (CTEV) yang juga dikenal sebagai ‘club foot’ adalah
suatu gangguan perkembangan ekstremitas inferior yang sering ditemui, tetapi masih jarang
dipelajari. CTEV dimasukkan dalam terminologi “sindromik” bila kasus ini ditemukan
bersamaan dengan gambaran klinik lain sebagai suatu bagian dari sindrom genetik. CTEV
dapat timbul sendiri tanpa didampingi gambaran klinik lain, dan sering disebut sebagai CTEV
idiopatik. CTEV sindromik sering menyertai gangguan neurologis dan neuromuskular, seperti
spina bifi da maupun atrofi muskular spinal. Bentuk yang paling sering ditemui adalah CTEV
idiopatik; pada bentuk ini, ekstremitas superior dalam keadaan normal.

Club foot ditemukan pada hieroglif Mesir dan perawatannya dijelaskan oleh Hipokrates
pada 400 SM dengan cara memanipulasi kaki dengan lembut untuk kemudian dipasangi
perban. Sampai saat ini, perawatan modern juga masih mengandalkan manipulasi dan
immobilisasi. Manipulasi dan immobilisasi serial yang dilakukan secara hati-hati diikuti
pemasangan gips adalah metode perawatan modern non-operatif. Cara imobilisasi yang saat
ini mungkin paling efektif adalah metode Ponseti; metode ini dapat mengurangi perlunya
operasi. Walaupun demikian, masih banyak kasus yang membutuhkan terapi operatif.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Congenital talipes equinovarus adalah fi ksasi kaki pada posisi adduksi, supinasi
dan varus. Tulang kalkaneus, navikular, dan kuboid terrotasi ke arah medial terhadap
talus, dan tertahan dalam posisi adduksi serta inversi oleh ligamen dan tendon. Sebagai
tambahan, tulang metatarsal pertama lebih fl eksi terhadap daerah plantar.

B. EPIDEMIOLOGI
Insidens CTEV bervariasi, bergantung dari ras dan jenis kelamin. Insidens
CTEV di Amerika Serikat sebesar 1-2 kasus dalam 1000 kelahiran hidup. Perbandingan
kasus laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Keterlibatan bilateral didapatkan pada 30-
50% kasus.

C. KLASIFIKASI
Terdapat banyak klasifikasi CTEV, belum ada yang digunakan secara universal.
Pembagian yang sering digunakan adalah postural atau posisional, serta fi xed/rigid.
Club foot postural atau posisional bukan merupakan club foot sebenarnya. Sedangkan
club foot jenis fi xed atau rigid dapat digolongkan menjadi jenis fl eksibel (dapat
dikoreksi tanpa operasi) atau resisten (membutuhkan terapi operatif, walaupun hal ini
tidak sepenuhnya benar - Ponseti).

D. ETIOLOGI
Etiologi CTEV tidak diketahui pasti; beberapa teori tentang etiologi CTEV antara lain:
a. Faktor mekanik intrauteri Teori tertua oleh Hipokrates.
Dikatakan bahwa kaki bayi ditahan pada posisi equinovarus karena kompresi
eksterna uterus. Parker (1824) dan Browne (1939) mengatakan bahwa
oligohidramnion mempermudah terjadinya penekanan dari luar karena
keterbatasan gerak fetus.
b. Defek neuromuskular
Beberapa peneliti percaya bahwa CTEV selalu karena adanya defek
neuromuskular, tetapi banyak penelitian tidak menemukan adanya kelainan
histologis dan elektromiografi
c. Defek sel plasma primer
Setelah melakukan pembedahan pada 11 kaki CTEV dan 14 kaki normal; Irani
& Sherman menemukan bahwa pada kasus CTEV, leher talus selalu pendek,
diikuti rotasi bagian anterior ke arah medial dan plantar; diduga karena defek
sel plasma primer.
d. Perkembangan fetus terhambat
e. Herediter
Adanya faktor poligenik mempermudah fetus terpapar faktor-faktor eksternal,
seperi infeksi Rubella dan pajanan talidomid (Wynne dan Davis).
f. Vaskular
Atlas dkk. (1980) menemukan abnormalitas vaskulatur berupa hambatan
vaskular setinggi sinus tarsalis pada kasus CTEV. Pada bayi dengan CTEV
didapatkan muscle wasting di bagian ipsilateral, mungkin karena berkurangnya
perfusi arteri tibialis anterior selama masa perkembangan.

E. PATOFISIOLOGI
Beberapa teori mengenai patogenesis CTEV antara lain:
a. Terhambatnya perkembangan fetus pada fase fibular
b. Kurangnya jaringan kartilagenosa talus
c. Faktor neurogenik.
Telah ditemukan adanya abnormalitas histokimiawi pada kelompok otot peroneus
pasien CTEV. Hal ini diperkirakan akibat perubahan inervasi intrauterin karena
penyakit neurologis, seperti stroke. Teori ini didukung oleh insiden CTEV pada 35%
bayi spina bifida.
a. Retraksi fibrosis sekunder karena peningkatan jaringan fibrosa di otot dan ligamen.
Pada penelitian postmortem, Ponsetti menemukan adanya jaringan kolagen yang
sangat longgar dan dapat teregang di semua ligamen dan struktur tendon (kecuali
Achilles). Sebaliknya, tendon Achilles terbuat dari jaringan kolagen yang sangat
padat dan tidak dapat teregang. Zimny dkk. menggunakan mikroskop elektron,
menemukan mioblast pada fasia medialis yang dihipotesiskan sebagai penyebab
kontraktur medial.
b. Anomali insersi tendon (Inclan)
Teori ini tidak didukung oleh penelitian lain; karena distorsi posisi anatomis CTEV
yang membuat tampak terlihat adanya kelainan insersi tendon.
c. Variasi iklim
Robertson mencatat adanya hubungan antara perubahan iklim dengan insiden
CTEV. Hal ini sejalan dengan adanya variasi serupa insiden kasus poliomielitis di
komunitas. CTEV dikatakan merupakan sequela dari prenatal polio-like condition.
Teori ini didukung oleh adanya perubahan motor neuron pada spinal cord anterior
bayi-bayi tersebut.
F. DIAGNOSIS
GAMBARAN KLINIS
Cari riwayat adanya CTEV atau penyakit neuromuskuler dalam keluarga.
Deformitas serupa dapat ditemui pada mielomeningokel dan artrogriposis. Lakukan
pemeriksaan lengkap untuk mengidentifi kasi kelainan lain. Periksa kaki bayi dalam
keadaan tengkurap, sehingga bagian plantar dapat terlihat. Periksa juga dengan posisi
bayi supine untuk mengevaluasi adanya rotasi internal dan varus. Pergelangan kaki
berada dalam posisi ekuinus dan kaki berada dalam posisi supinasi (varus) serta
adduksi. Tulang navikular dan kuboid bergeser ke arah lebih medial. Terjadi kontraktur
jaringan lunak plantar pedis bagian medial. Tulang kalkaneus tidak hanya berada dalam
posisi ekuinus, tetapi bagian anteriornya mengalami rotasi ke arah medial disertai rotasi
ke arah lateral pada bagian posteriornya.
Tumit tampak kecil dan kosong; pada perabaan tumit akan terasa lembut (seperti
pipi). Sejalan dengan terapi, tumit akan terisi kembali dan pada perabaan akan terasa
lebih keras (seperti meraba hidung atau dagu). Karena bagian lateralnya tidak tertutup,
maka leher talus dapat dengan mudah teraba di sinus tarsalis. Normalnya leher talus
tertutup oleh tulang navikular dan badan talus. Maleolus medialis menjadi sulit diraba
dan pada umumnya menempel pada tulang navikular. Jarak yang normal terdapat antara
tulang navikular dan maleolus menghilang. Tulang tibia sering mengalami rotasi
internal.
GAMBARAN RADIOLOGIS
Gambaran radiologis CTEV adalah adanya kesejajaran tulang talus dan
kalkaneus. Posisi kaki selama pengambilan foto radiologis sangat penting. Posisi
anteroposterior (AP) diambil dengan kaki fleksi terhadap plantar sebesar 30º dan posisi
tabung 30° dari keadaan vertikal. Posisi lateral diambil dengan kaki fl eksi terhadap
plantar sebesar 30º. Gambaran AP dan lateral juga dapat diambil pada posisi kaki
dorsofl eksi dan plantar fl eksi penuh. Posisi ini penting untuk mengetahui posisi relatif
talus dan kalkaneus dan mengukur sudut talokalkaneal dari posisi AP dan lateral.
Garis AP digambar melalui pusat dari aksis tulang talus (sejajar dengan batas
medial) serta melalui pusat aksis tulang kalkaneus (sejajar dengan batas lateral). Nilai
normalnya adalah antara 25-40°. Bila sudut kurang dari 20°, dikatakan abnormal. Garis
anteroposterior talokalkaneus hampir sejajar pada kasus CTEV. Seiring dengan terapi,
baik dengan casting maupun operasi, tulang kalkaneus akan berotasi ke arah eksternal,
diikuti dengan talus yang juga mengalami derotasi. Dengan demikian akan terbentuk
sudut talokalkaneus yang adekuat.
Garis lateral digambar melalui titik tengah antara kepala dan badan tulang talus
serta sepanjang dasar tulang kalkaneus. Nilai normalnya antara 35-50°, sedang pada
CTEV nilainya berkisar antara 35° dan negatif 10°.
Garis AP dan lateral talus normalnya melalui pertengahan tulang navikular dan
metatarsal pertama. Sudut dari dua sisi (AP and lateral) ditambahkan untuk menghitung
indeks talokalkaneus; pada kaki yang sudah terkoreksi akan memiliki nilai lebih dari
40°.
Pengambilan foto radiologis lateral dengan kaki yang ditahan pada posisi
maksimal dorsofl eksi adalah metode yang paling dapat diandalkan untuk mendiagnosis
CTEV yang tidak dikoreksi.

G. TERAPI
Tujuan terapi medis adalah untuk mengoreksi deformitas dan mempertahankan koreksi
yang telah dilakukan sampai terhentinya pertumbuhan tulang. Secara tradisional,
CTEV dikategorikan menjadi dua macam, yaitu:
 CTEV yang dapat dikoreksi dengan manipulasi, casting, dan pemasangan gips.
 CTEV resisten yang memberikan respons minimal terhadap penatalaksanaan
dengan pemasangan gips dan dapat relaps cepat walaupun awalnya berhasil
dengan terapi manipulatif. Pada kategori ini dibutuhkan intervensi operatif.

THE PIRANI SCORING SYSTEM

Dapat digunakan untuk identifi kasi tingkat keparahan dan memantau perkembangan
kasus CTEV selama koreksi dilakukan. Sistem ini terdiri dari 6 kategori, masing-
masing 3 dari hindfoot dan midfoot. Untuk hindfoot, kategori terbagi menjadi tonjolan
posterior/posterior crease (PC), kekosongan tumit/emptiness of the heel (EH), dan
derajat dorsofleksi/ degree of dorsifl exion (DF). Sedangkan untuk kategori midfoot,
terbagi menjadi kelengkungan batas lateral/curvature of the lateral border (CLB),
tonjolan di sisi medial/medial crease (MC) dan terpajannya kepala lateral
talus/uncovering of the lateral head of the talus (LHT).

A. Curvature of the lateral border of the foot (CLB)


Batas lateral kaki normalnya lurus. Batas kaki yang tampak melengkung
menandakan terdapat kontraktur medial. Lihat pada bagian plantar pedis dan
letakkan batangan/penggaris di bagian lateral kaki. Normalnya, batas lateral kaki
tampak lurus, mulai dari tumit sampai ke kepala metatarsal ke lima. Skor adalah 0.
Pada kaki abnormal, batas lateral nampak menjauhi garis lurus tersebut. Batas
lateral yang tampak melengkung ringan diberi nilai 0,5 (lengkungan terlihat di
bagian distal kaki pada area sekitar metatarsal)
Kelengkungan batas lateral kaki yang nampak jelas diberi nilai 1 (kelengkungan
tersebut nampak setinggi persendian kalkaneokuboid)

B. Medial crease of the foot (MC)


Pada keadaan normal, kulit daerah telapak kaki akan memperlihatkan garis-
garis halus. Lipatan kulit yang lebih dalam dapat menandakan adanya kontraktur di
daerah medial. Pegang kaki dan tarik dengan lembut saat memeriksa.
Lihatlah pada lengkung batas medial kaki. Normalnya, akan terlihat garis-garis
halus pada kulit telapak kaki yang tidak mengubah kontur lengkung medial tersebut.
Nilai MC adalah 0. Pada kaki abnormal, akan tampak satu atau dua lipatan kulit
yang dalam. Apabila hal ini tidak terlalu banyak mempengaruhi kontur lengkung
medial, nilai MC adalah 0,5. Apabila lipatan ini tampak dalam dan dengan jelas
mempengaruhi kontur batas medial kaki, nilai MC adalah sebesar 1.

C. Posterior crease of the ankle (PC)


Pada keadaan normal, kulit bagian tumit posterior akan memperlihatkan lipatan
kulit multipel halus. Terdapatnya lipatan kulit yang lebih dalam menunjukkan
adanya kemungkinan kontraktur posterior yang lebih berat. Tarik kaki dengan
lembut saat memeriksa. Pemeriksa melihat ke tumit pasien. Normalnya akan terlihat
adanya garis-garis halus yang tidak mengubah kontur tumit. Lipatan-lipatan ini
menyebabkan kulit dapat menyesuaikan diri, sehingga dapat meregang saat kaki
dalam posisi dorsofl eksi. Pada kondisi ini, nilai PC adalah 0.
Pada kaki abnormal, akan didapatkan satu atau dua lipatan kulit yang dalam.
Apabila lipatan ini tidak terlalu mempengaruhi kontur dari tumit, nilai PC adalah
0,5. Apabila pada pemeriksaan ditemukan lipatan kulit yang dalam di daerah tumit
dan hal tersebut merubah kontur tumit, nilai PC adalah 1.
D. Lateral part of the Head of the Talus (LHT)
Pada kasus CTEV yang tidak diterapi, pemeriksa dapat meraba kepala talus di
bagian lateral. Dengan terkoreksinya deformitas, tulang navikular akan turun
menutupi kepala talus, membuatnya menjadi lebih sulit teraba, dan akhirnya sama
sekali tidak dapat teraba. Tanda “turunnya tulang navikular menutupi kepala talus”
adalah ukuran besarnya kontraktur di daerah medial.
Penatalaksanaan Non-operatif
Berupa pemasangan splint yang dimulai pada bayi berusia 2-3 hari. Urutan koreksi yang
akan dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Adduksi kaki depan (forefoot)
2. Supinasi kaki depan
3. Ekuinus

Usaha-usaha untuk memperbaiki posisi ekuinus di awal masa koreksi dapat


mematahkan kaki pasien, dan mengakibatkan terjadinya rockerbottom foot. Tidak
boleh dilakukan pemaksaan saat melakukan koreksi. Tempatkan kaki pada posisi
terbaik yang bisa didapatkan, kemudian pertahankan posisi ini dengan menggunakan
“strapping” yang diganti tiap beberapa hari, atau menggunakan gips yang diganti
beberapa minggu sekali. Cara ini dilanjutkan hingga dapat diperoleh koreksi penuh atau
sampai tidak dapat lagi dilakukan koreksi selanjutnya.

Posisi kaki yang sudah terkoreksi ini kemudian dipertahankan selama beberapa
bulan. Tindakan operatif harus dilakukan sesegera mungkin saat tampak kegagalan
terapi konservatif, yang antara lain ditandai dengan deformitas menetap, deformitas
berupa rockerbottom foot, atau kembalinya deformitas segera setelah koreksi
dihentikan.

Setelah pengawasan selama 6 minggu biasanya dapat diketahui apakah jenis


deformitas CTEV mudah dikoreksi atau resisten. Hal ini dikonfi rmasi menggunakan
X-ray dan dilakukan perbandingan penghitungan orientasi tulang. Tingkat kesuksesan
metode ini 11-58%.

METODE PONSETI

Metode ini dikembangkan dari penelitian kadaver dan observasi klinik oleh dr. Ignacio
Ponseti dari Universitas Iowa.

Langkah-langkah yang diambil:

1. Deformitas utama pada kasus CTEV adalah adanya rotasi tulang kalkaneus ke arah
intenal (adduksi) dan fl eksi plantar pedis. Kaki dalam posisi adduksi dan plantar
pedis mengalami fleksi pada sendi subtalar. Tujuan pertama adalah membuat kaki
dalam posisi abduksi dan dorsofleksi. Untuk mendapatkan koreksi kaki yang
optimal, tulang kalkaneus harus bisa dengan bebas dirotasikan ke bawah talus.
Koreksi dilakukan melalui lengkung normal persendian subtalus, dapat dilakukan
dengan cara meletakkan jari telunjuk operator di maleolus medialis untuk
menstabilkan kaki, kemudian mengangkat ibu jari dan diletakkan di bagian lateral
kepala talus, sementara melakukan gerakan abduksi pada kaki depan dengan arah
supinasi.
2. Cavus kaki akan meningkat bila kaki depan berada dalam posisi pronasi. Apabila
ada pes cavus, langkah pertama koreksi kaki adalah mengangkat metatarsal pertama
dengan lembut untuk mengoreksi cavusnya. Setelah terkoreksi, kaki depan dapat
diposisikan abduksi seperti pada langkah pertama.
3. Saat kaki dalam posisi pronasi, dapat menyebabkan tulang kalkaneus berada di
bawah talus. Apabila hal ini terjadi, tulang kalkaneus tidak dapat berotasi dan
menetap pada posisi varus, cavus akan meningkat. Hal ini dapat menyebabkan
terjadinya bean-shaped foot. Pada akhir langkah pertama, kaki akan berada pada
posisi abduksi maksimal, tetapi tidak pernah pronasi.
4. Manipulasi dikerjakan di ruang khusus setelah bayi disusui. Setelah kaki
dimanipulasi, selanjutnya dipasang long leg cast untuk mempertahankan koreksi
yang telah dilakukan. Gips dipasang dengan bantalan seminimal mungkin, tetapi
tetap adekuat. Langkah selanjutnya adalah menyemprotkan tingtur benzoin ke kaki
untuk melekatkan kaki dengan bantalan gips. Dr. Ponsetti lebih memilih memasang
bantalan tambahan sepanjang batas medial dan lateral kaki, agar aman saat melepas
gips menggunakan gunting gips. Gips yang dipasang tidak boleh sampai menekan
ibu jari kaki atau mengobliterasi arcus transversalis. Posisi lutut berada pada sudut
90° selama pemasangan gips panjang. Orang tua bayi dapat merendam gips ini
selama 30-45 menit sebelum dilepas. Gips dibelah dua, dilepas menggunakan
gergaji berosilasi (berputar), kemudian disatukan kembali. Hal ini untuk
mengetahui perkembangan abduksi kaki depan, selanjutnya dapat digunakan untuk
mengetahui dorsofl eksi serta koreksi yang telah dicapai oleh kaki ekuinus.
5. Usaha mengoreksi CTEV dengan paksaan melawan tendon Achilles yang kaku
dapat mengakibatkan patahnya kaki tengah (midfoot) dan berakhir dengan
terbentuknya deformitas berupa rockerbottom foot. Kelengkungan kaki abnormal
(cavus) harus diterapi terpisah seperti pada langkah kedua, sedangkan posisi
ekuinusnya harus dapat dikoreksi tanpa menyebabkan patahnya kaki tengah.
Secara umum dibutuhkan 4-7 kali pemasangan gips untuk mendapatkan abduksi
kaki maksimum. Gips diganti tiap minggu. Koreksi (usaha membuat kaki dalam
posisi abduksi) dapat dianggap adekuat bila aksis paha dan kaki sebesar 60° Setelah
dapat dicapai abduksi kaki maksimal, kebanyakan kasus membutuhkan tenotomi
perkutaneus tendon Achilles secara aseptis. Daerah lokal dianestesi dengan
kombinasi lignokain topikal dan infi ltrasi lidokain lokal minimal. Tenotomi
dilakukan dengan cara membuat irisan menggunakan pisau Beaver (ujung bulat).
Luka pasca-operasi ditutup dengan jahitan tunggal menggunakan benang yang
dapat diabsorpsi. Pemasangan gips terakhir dilakukan dengan kaki berada pada
posisi dorsofl eksi maksimum, kemudian gips dipertahankan hingga 2-3 minggu.
6. Langkah selanjutnya setelah pemasangan gips adalah pemakaian sepatu yang
dipasangkan pada lempengan Dennis Brown. Kaki yang bermasalah diposisikan
abduksi (rotasi ekstrem) hingga 70°, kaki sehat diabduksi 45°. Sepatu ini juga
memiliki bantalan di tumit untuk mencegah kaki terselip dari sepatu. Sepatu
digunakan 23 jam sehari selama 3 bulan, kemudian dipakai saat tidur siang dan
malam selama 3 tahun.
7. Pada 10-30% kasus, tendon tibialis anterior dapat berpindah ke bagian lateral
kuneiformis saat anak berusia 3 tahun. Hal ini membuat koreksi kaki dapat bertahan
lebih lama, mencegah adduksi metatarsal dan inversi kaki. Prosedur ini
diindikasikan pada anak usia 2-2,5 tahun, dengan cara supinasi dinamik kaki.
Sebelum operasi, pasangkan long leg cast untuk beberapa minggu.

TERAPI OPERATIF
1. Insisi
Beberapa pilihan insisi, antara lain :
 Cincinnati: berupa insisi transversal, mulai dari sisi anteromedial (persendian
navikular-kuneiformis) kaki sampai ke sisi anterolateral (bagian distal dan
medial sinus tarsal), dilanjutkan ke bagian belakang pergelangan kaki setinggi
sendi tibiotalus.
 Insisi Turco curvilineal medial/posteromedial: insisi ini dapat menyebabkan
luka terbuka, khususnya di sudut vertikal dan medial kaki.

Banyak pendekatan bisa dilakukan untuk terapi operatif di semua kuadran, antara lain:

 Plantar: fasia plantaris, abduktor halucis, fl eksor digitorum brevis, ligamen


plantaris panjang dan pendek
 Medial: struktur-struktur medial, selubung tendon, pelepasan talonavikular
dan subtalar, tibialis posterior, FHL (fleksor halucis longus), dan pemanjangan
FDL (fleksor digitorum longus)
 Posterior: kapsulotomi persendian kaki dan subtalar, terutama pelepasan
ligamen talofibular posterior dan tibiofi bular, serta ligamen kalkaneofibular.
 Lateral: struktur-struktur lateral, selubung peroneal, pesendian
kalkaneokuboid, serta pelepasan ligamen talonavikular dan subtalar

Pendekatan mana pun harus bisa menghasilkan pajanan yang adekuat. Struktur-
struktur yang harus dilepaskan atau diregangkan adalah:

 Tendon Achilles
 Pelapis tendon dari otot-otot yang melewati sendi subtalar
 Kapsul pergelangan kaki posterior dan ligamen Deltoid
 Ligamen tibiofi bular inferior
 Ligamen fi bulokalkaneal
 Kapsul dari sendi talonavikular dan subtalar
 Fasia plantar pedis dan otot-otot intrinsik.

Aksis longitudinal talus dan kalkaneus harus dipisahkan sekitar 20° dari
proyeksi lateral. Koreksi yang dilakukan kemudian dipertahankan dengan
pemasangan kawat di persendian talokalkaneus, atau talonavikular atau
keduanya. Hal ini juga dapat dilakukan menggunakan gips. Luka paska
operasi tidak boleh ditutup paksa. Luka dapat dibiarkan terbuka agar
membentuk jaringan granulasi atau nantinya dapat dilakukan cangkok (graft)
kulit.
Penatalaksanaan dengan operasi harus mempertimbangkan usia pasien :
- Pada anak kurang dari 5 tahun, koreksi dapat dilakukan hanya melalui
prosedur jaringan lunak.
- Untuk anak lebih dari 5 tahun, membutuhkan pembentukan ulang
tulang/bony reshaping (misal, eksisi dorsolateral dari persendian
kalkaneokuboid [prosedur Dillwyn Evans] atau osteotomi tulang
kalkaneus untuk mengoreksi varus).
- Apabila anak berusia lebih dari 10 tahun, dapat dilakukan tarsektomi
lateralis atau arthrodesis.

Harus diperhatikan keadaan luka pascaoperasi. Jika penutupan kulit sulit


dilakukan, lebih baik dibiarkan terbuka agar dapat terjadi reaksi granulasi, untuk
kemudian memungkinkan terjadinya penyembuhan primer atau sekunder.
Dapat juga dilakukan pencangkokan kulit untuk menutupi defek luka operasi.
Perban hanya boleh dipasang longgar dan harus diperiksa secara reguler.
BAB III

KESIMPULAN

Congenital talipes equinos varus (CTEV) adalah terfiksasinya kaki depan dalam
posisi aduksi dan supinasi, tumit yang mengalani inversi dan pergelangab kaki dalam
keadaan plantar fleksi. Etiologi dari CTEV belum diketahui secara pasti namun diduga
karena beberapa hal antara lain faktor mekanik intrauteri, defek neuromuskular, defek
sel plasma primer, perkembangan fetus terhambat, herediter, dan vaskular. Terapi dari
CTEV dapat dilakukan secara non-operatif dengan cara manipulasi atau pemasangan
gips yang sebelumnya dapat ditentukan dengan menggunakan pirani scoring system
dan dapat juga dilakukan melalui tindakann operatif.
DAFTAR PUSTAKA

Patel M. Clubfoot [Internet]. 2007 [cited 2008 Jul 29]. Available from:
www.emedicine.com

Nordin S. Controversies in congenital clubfoot: literature review [Internet]. 2002 [cited


2008 jul 29]. Available from: www.mjm.com

Soule RE. Treatment of congenital talipes equinovarus in infancy and early childhood
[Internet]. 2008 [cited 2008 Jul 5]. Available from: www.jbjs.com

Meidzybrodzka Z. Congenital talipes equinovarus (clubfoot): disorder of the foot but


not the hand [Internet]. 2002 [cited 2008 Jul 29]. Available from:
www.anatomisociety.com

Anonym. Clubfoot deformity [Internet]. 2005 [cited 2008 Jul 5]. Available from:
www.dubaibone.com

Kler J. Treatment methods of congenital talipes equinovarus-three case reports


[Internet]. 2005 [cited 2005 Jul 7]. Available from: www.jpn-online.com

Harris E. Key insight to treating talipes equinovarus [Internet]. 2008 [cited 2008 Jul
29]. Available from: www.podiatry.com

Hussain S, Gomal J. Turco’s postero–medial release for congenital talipes equinovarus


2007 [Internet]. 2008 [cited 2008 Jul 5]. Available from: www.gjm.com

Pirani S. A reliable and valid method of assessing the amount of deformity in the
congenital clubfoot deformity [Internet]. 1991 [cited 2008 Jul 2]. Available from:
www.ubc.com

Anonym. Birth defect risk factor series: talipes equinovarus (clubfoot) [Internet]. 2006
[cited 2008 Jul 2]. Available from: www.statehealth.com

Anda mungkin juga menyukai