Anda di halaman 1dari 20

Shortcase

Erosi Kornea OS ec Trauma Tumpul Tertutup +


Subconjunctival Bleeding

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSMH Palembang

Oleh:
Amalia Dienanti Fadhillah, S.Ked.
04084821820004

Pembimbing:

dr. H. Alie Solahuddin, Sp.M(K)

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA RSUP


DR.MOH. HOESIN PALEMBANG/ FAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Shortcase

Erosi Kornea OS ec Trauma Tumpul Tertutup + Subconjunctival Bleeding

Oleh:

Amalia Dienanti Fadhillah, S.Ked.

04084821820004

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian
kepaniteraan klinik senior di Departemen Mata Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya/RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Periode 15 April - 20 Mei
2019.

Palembang, Mei 2019

dr. H. Alie Solahuddin, Sp.M(K)

1
STATUS PASIEN

1. Status Pasien
Nama : Tn. DB
Umur : 17 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Dusun IV Teluk Lais Musi Banyuasin
Tanggal Pemeriksaan : 21 April 2019

2. Anamnesis (Alloanamnesis dengan keluarga pasien tanggal 21 April 2019


pukul 20.30 WIB )

a. Keluhan Utama
Pasien post kecelakaan lalu lintas, trauma tumpul pada mata kiri sejak 22
jam SMRS.

b. Riwayat Perjalanan Penyakit


Sejak 22 jam SMRS, pasien mengalami kecelakaan lalu lintas, pasien
tidak sadarkan diri, kedua mata bengkak (+) memar (+) kelopak mata sukar
dibuka (+), kotoran mata (+) merah pada mata kiri akibat terbentur aspal dari
arah depan setelah terpelanting menabrak badan truk (+), keluar darah dari
mata (-) Keluar cairan putih bening seperti putih telur (-) mata berair (-)
pandangan menjadi kabur belum dapat dinilai. Lalu pasien dirujuk dari RSUD
Musi Banyuasin ke RSMH.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


• Riwayat keluhan nyeri dan mata merah sebelum kejadian disangkal
• Riwayat operasi mata sebelumnya disangkal
2
• Riwayat memakai kacamata disangkal
• Riwayat memakai lensa kontak disangkal
• Riwayat kencing manis disangkal
• Riwayat darah tinggi disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga disangkal

3. Pemeriksaan Fisik
a. Status Generalis
Keadaan umum : tampak sakit berat
Kesadaran : delirium
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 106 kali/menit, regular, isi dan tegangan cukup
Frekuensi napas : 23 kali/menit, thorakoabdominal
Suhu : 36,7o C

b. Status Oftalmologis
Okuli Dekstra Okuli Sinistra

Visus Belum dapat dinilai Belum dapat dinilai

Tekanan P=N+0 P=N+0


intraokular

KBM Ortoforia
GBM Belum dapat dinilai Belum dapat dinilai
Segmen Anterior
Palpebra edema Edema (+) hematom (+)
palpebra superior, hematom
(+) palpebra inferior,
Konjungtiva Tenang Subkonjunctival bleeding
(+)

3
Kornea Jernih Tampak erosi kornea (+)
arah sentral jam 9, dengan
Fluoresein Test (+) Tampak
endapan berwarna hijau
±6x2mm.
BMD Sedang Sedang
Iris Gambaran baik Gambaran baik
Pupil Bulat, central, refleks cahaya Bulat, central, refleks
(+), diameter 3 mm cahaya (-), diameter 3 mm

Lensa Jernih Jernih


Segmen Posterior
Refleks RFOD (+) RFOS (+)
Fundus
Papil Bulat, batas tegas, warna Bulat, batas tegas, warna
oranye, c/d rasio 0.3, a:v 2:3 oranye, c/d rasio 0.3, a:v 2:3
Makula Refleks fovea (+) Refleks fovea (+)
Retina Kontur pembuluh darah baik, Kontur pembuluh darah
perdarahan (-) baik, perdarahan (-)

4. Pemeriksaan Penunjang
 Fluoresein Test
 Pemeriksaan slit lamp/ Penlight cobalt blue

5. Diagnosis banding
 Erosi kornea OS ec. trauma tumpul tertutup + Subconjuctival Bleeding
 Erosi kornea OS ec. trauma tumpul tertutup + Conjunctival Bleeding
 Erosi kornea OS ec. trauma tumpul tertutup + Keratitis

6. Diagnosis Kerja
Erosi kornea OS ec. trauma tumpul tertutup + Subconjuctival Bleeding

7. Tatalaksana
4
1. Informed consent
2. Non Farmakologi
- KIE
 Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit dan tentang
prognosis penyakit sehingga pasien tidak mengalami kecemasan
yang berlebih.
 Menjelaskan kepada pasien untuk tidak menggosok-gosok mata
karena akan memperparah erosi.
 Menjelaskan pada pasien untuk tidak mencoba mengobati mata
yang terkena trauma dengan cara-cara tradisional.
 Menjelaskan kepada pasien tentang pentingnya alat pelindung diri
saat berkendara terutama helm sehingga dapat mengurangi dan
menghindari trauma kepala.
 Menjelaskan kepada pasien untuk menjaga hygiene diri terutama
tangan, mencuci tangan sebelum dan sesudah meneteskan obat.

3. Farmakologi
 Bebat Tekan 6 jam OS
 Kloramfenikol Eye Ointment 1 ue/8 jam OS
 Levofloxacin Eye Drop 1 gtt/4 jam OS
 Protagenta Eye Drop 1 gtt/4 jam OS

8. Prognosis
• Okuli Sinistra
- Quo ad vitam : bonam
- Quo ad functionam : dubia ad bonam
- Quo ad sanationam : dubia ad bonam

5
LAMPIRAN

Gambar 1. Mata kanan dan mata kiri penderita saat menutup mata. Mata kanan
penderita: edema (+) palpebra superior. Mata kiri penderita: hematoma (+) palpebra
superior, hematom (+) palpebra inferior.

Gambar 2. Mata kanan penderita.

Gambar 3. Mata kiri penderita setelah dilakukan Fluoresein Test. Tampak endapan
berwarna hijau kekuningan dari sentral sampai parasentral di arah jam 9 dengan ukuran
±6x2mm. Disertai tampak kemosis/ edema pada konjungtiva bulbi.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Mata dan Konjungtiva


Mata adalah sebuah organ yang kompleks yang memiliki lebih dari satu sistem
anatomi yang mendukung fungsi mata itu sendiri. Secara umum ada beberapa sistem
anatomi yang mendukung fungsi organ mata, yaitu: 2
1. Anatomi kelopak mata
Kelopak mata memiliki peranan proteksi terhadap bola mata dari benda asing yang
membahayakan mata. Kelopak atau palpebra mempunyai fungsi melindungi bola mata,
serta mengeluarkan sekresi kelenjarnya yang membentuk film air mata di depan kornea.
Pada kelopak terdapat bagian-bagian seperti kelanjar sebasea, kelenjar Moll, kelenjar Zeis
dan kelenjar Meibom. Sementara pergerakan kelopak mata dilakukan oleh M. levator
palpebra yang dipersarafi oleh N. fasialis.
2. Anatomi sistem lakrimal
Sistem lakrimal terdiri atas 2 bagian, yaitu:
a. Sistem produksi atau glandula lakrimal. Sistem sekresi air mata atau lakrimal terletak di
daerah temporal bola mata.
b. Sistem ekskresi mulai pada pungtum lakrimal, kanalikuli lakrimal, sakus lakrimal,
duktus nasolakrimal, meatus inferior.
3. Anatomi konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak bagian belakang.
Bermacam-macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva. Konjungtiva mengandung
kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel Goblet. Musin bersifat membasahi bola mata
terutama kornea. Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu:
a. Konjungitva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan dari tarsus
b. Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera dibawahnya.
c. Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat peralihan
konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Konjungtiva bulbi dan forniks
berhubungan dengan sangat longgar dengan jaringan di bawahnya sehingga bola
mata mudah bergerak.
7
4. Anatomi bola mata
Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. Bola mata di bagian depan
(kornea) mempunyai kelengkungan yang lebih tajam, sehingga terdapat bentuk dengan 2
kelengkungan yang berbeda. Bola mata dibungkusoleh 3 lapis jaringan, yaitu:
a. Sklera, merupakan bagian terluar yang melindungi bola mata. Bagian terdepan sklera
disebut kornea yang bersifat transparan yang memudahkan sinar masuk ke dalam bola
mata.
b. Jaringan uvea merupakan jaringan vaskular. Jaringan sklera dan uveadibatasi oleh ruang
yang potensial mudah dimasuki darah apabila terjadiperdarahan pada ruda paksa yang
disebut perdarahan suprakoroid. Jaringan uvea terdiri atas iris, badan siliar dan koroid.
Badan siliar menghasilkan cairan bilik mata (akuos humor).
c. Lapis ketiga bola mata adalah retina yang terletak paling dalam dan mempunyai
susunan lapis sebanyak 10 lapis yang merupakan lapis membran neurosensoris yang
akan merubah sinar menjadi rangsangan pada saraf optik dan diteruskan ke otak.
5. Anatomi rongga orbita
Rongga orbita adalah rongga yang berisi bola mata dan terdapat 7 tulang yang membentuk
dinding orbita yaitu: lakrimal, etmoid, sfenoid, frontal, dan dasar orbita yang terutama terdiri
atas tulang maksila, Bersama-sama tulang palatinum dan zigomatikus. Secara garis besar
anatomi mata terdiri dari (luar ke dalam):
a. Kornea
b. Kamera okuli anterior
c. Iris
d. Lensa
e. Kamera okuli posterior (vitreus body)
f. Retina
g. Nervus optikus

B. Fisiologi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran mukus yang transparan yang membentang
dipermukaan dalam kelopak mata dan permukaan bola mata sejauh dari limbus.
Konjungtiva memiliki suplay limfatik yang tebal dan sel imunokompeten yang
berlimpah. Mukus dari sel goblet dan sekresi dari kelenjar aksesoris lakrimal

8
merupakan komponen penting pada air mata. Konjungtiva merupakan barier
pertahanan dari adanya infeksi. Aliran limfatik berasal dari nodus preaurikuler dan
submandibula, yang berkoresponden dengan aliran di kelopak mata. Konjungtiva
terdiri atas 3 bagian, yaitu:

Gambar 4. Anatomi Konjungtiva

a. Konjungtiva palpebra dimulai dari hubungan mukokutaneus pada tepikelopak dan


bergabung ke lapis tarsal posterior.3 Konjungtiva palpebra melapisi permukaan posterior
kelopak mata dan melekat erat ke tarsus. Pada tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva
melipat ke posterior (pada forniks superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera
dan menjadi konjungtiva bulbaris.4
b. Konjungtiva forniks merupakan konjungtiva peralihan konjungtiva palpebra dan bulbi.
c. Konjungtiva bulbi yang menutupi sklera anterior dan bersambung dengan epitel kornea pada
limbus. Punggungan limbus yang melingkar membentuk palisade Vogt. Stroma beralih
menjadi kapsula tenon, kecuali pada limbus dimana dua lapisan menyatu.3 Konjungtiva
bulbaris melekat longgar ke septum orbital di forniks dan melipat berkali-kali. Pelipatan ini
memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik.
Lipatan konjungtiva bulbaris tebal, mudah bergerak dan lunak (plika semilunaris) terletak di
9
kanthus internus dan membentuk kelopak mata ketiga pada beberapa binatang. Struktur
epidermoid kecil semacam daging (karunkula) menempel superfisial ke bagian dalam plika
semilunaris dan merupakan zona transisi yang mengandung elemen kulit dan membran
mukosa.4

Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri palpebralis.
Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan banyak vena konjungtiva
yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jarring-jaring vaskuler
konjungtiva yang banyak sekali. Pembuluh limfe konjungtiva terususun dalam lapisan
superfisial dan lapisan profundus dan bersambung dengan pembuluh limfe kelopak
mata hingga membentuk pleksus limfatikus. Konjungtiva menerima persarafan dari
percabangan pertama nervus kranialis kelima. Saraf ini hanya relatif sedikit
mempunyai serat nyeri.4

C. Perdarahan Subkonjungtiva
1. Definisi
Perdarahan subkonjungtiva adalah perdarahan akibat rapuhnya pembuluh darah
konjungtiva. Darah terdapat di antara konjungtiva dan sklera, sehingga mata akan
terlihat merah dan mengkhawatirkan bagi pasien.3 Perdarahan subkonjungtiva dapat
terjadi secara spontan pada pasien usia tua sebagai akibat dari arteriosclerosis, dapat
pula terjadi karena batuk, bersin, atau mengangkat beban berat. Meskipun keadaan
mata merah mendadak yang terjadi sering mengkhawatirkan pasien, namun perdarah
subkonjungtiva akan mengalami penyembuhan dalam waktu 1-3 minggu.4

2. Epidemiologi
Dari segi usia, perdarahan subkonjungtiva dapat terjadi di semua kelompok umur,
namun hal ini dapat meningkat kejadiannya sesuai dengan pertambahan umur.
Penelitian epidemiologi di Kongo rata–rata usia yang mengalami perdarahan
subkonjungtiva adalah usia 30 tahun. Perdarahan subkonjungtiva sebagian besar
terjadi unilateral (90%). Kondisi hipertensi memiliki hubungan yang cukup tinggi
dengan angka terjadinya perdarahan subkonjungtiva (14.3%). Kondisi lainnya namun
jarang adalah muntah, bersin, malaria, penyakit sickle cell, dan melahirkan.6

10
3. Etiologi
1. Idiopatik
2. Manuver Valsalva (seperti batuk, tegang, muntah-muntah, bersin)
3. Traumatik (terpisah atau berhubungan dengan perdarahan retrobulbar atauruptur bola
mata)
4. Hipertensi
5. Gangguan perdarahan (jika terjadi berulang pada pasien usia muda tanpa adanya
riwayat trauma atau infeksi), termasuk penyakit hati atau hematologik, diabetes, SLE,
parasit dan defisisensi vitamin C.
6. Berbagai antibiotik, obat NSAID, steroid, kontrasepsi dan vitamin A dan Dyang telah
mempunyai hubungan dengan terjadinya perdarahan subkonjungtiva, penggunaan
warfarin.
7. Sequele normal pada operasi mata sekalipun tidak terdapat insisi pada konjungtiva.
8. Beberapa infeksi sistemik febril dapat menyebabkan perdarahan subkonjungtiva,
termasuk septikemia meningokokus, demam scarlet, demamtifoid, kolera, riketsia,
malaria, dan virus (influenza, smallpox, measles, yellow fever, sandfly fever).
9. Perdarahan subkonjungtiva telah dilaporkan merupakan akibat emboli dari patahan
tulang panjang, kompresi dada, angiografi jantung, operasi bedah jantung.
10. Penggunaan lensa kontak, faktor resiko mayor perdarahan subkonjungtivayang
diinduksi oleh penggunaan lensa kontak adalah konjungtiva khalasis dan pinguecula.
11. Konjungtivokhalasis merupakan salah satu faktor resiko yang memainkan peranan
penting pada patomekanisme terjadinya perdarahan subkonjungtiva.

4. Patofisiologi
Konjungtiva adalah selaput tipis transparan yang melapisi bagian putih dari bola
mata (sklera) dan bagian dalam kelopak mata. Konjungtiva mengandung serabut saraf
dan sejumlah besar pembuluh darah yang halus, cukup rapuh, dan dindingnya mudah
pecah, sehingga menyebabkan perdarahan subkonjungtiva. Struktur konjungtiva yang
halus menyebabkan sedikit darah dapat menyebar secara difus di jaringan ikat
subkonjungtiva dan menyebabkan eritema difus, yang biasanya memiliki intensitas
yang sama dan menyembunyikan pembuluh darah. Konjungtiva yang lebih rendah

11
lebih sering terkena daripada bagian atas. Pendarahan berkembang secara akut, dan
biasanya menyebabkan kekhawatiran, meskipun sebenarnya tidak berbahaya. Apabila
tidak ada kondisi trauma mata terkait, ketajaman visual tidak berubah karena
perdarahan terjadi murni secara ekstraokulaer, dan tidak disertai rasa sakit.4
Secara klinis, perdarahan subkonjungtiva tampak sebagai perdarahan yang datar,
berwarna merah, di bawah konjungtiva dan dapat menjadi cukup berat sehingga
menyebabkan kemotik kantung darah yang berat dan menonjol di atas tepi
kelopak mata. Perdarahan subkonjungtiva dapat terjadi secara spontan, akibat trauma,
ataupun infeksi. Perdarahan dapat berasal dari pembuluh darah konjungtiva atau
episclera yang bermuara ke ruang subkonjungtiva.
Berdasarkan mekanismenya, perdarahan subkonjungtiva dibagi menjadi dua, yaitu:3
a. Perdarahan subkonjungtiva tipe spontan
Perdarahan tipe ini diakibatkan oleh menurunnya fungsi endotel sehingga pembuluh darah
rapuh dan mudah pecah. Keadaan yang dapat menyebabkan pembuluh darah menjadi rapuh
adalah pertambahan umur, hipertensi, arterisklerosis, konjungtivitis hemoragik, anemia,
pemakaian antikoagulan dan batuk rejan. Perdarahan subkonjungtiva tipe spontan ini
biasanya terjadi unilateral. Namun pada keadaan tertentu dapat menjadi bilateral atau kambuh
kembali; untuk kasus seperti ini kemungkinan diskrasia darah (gangguan hemolitik) harus
disingkirkan terlebih dahulu.
b. Perdarahan subkonjungtiva tipe traumatik
Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien sebelumnya mengalami trauma di mata langsung
atau tidak langsung yang mengenai kepala daerah orbita. Perdarahan yang terjadi kadang-
kadang menutupi perforasi jaringan bola mata yang terjadi.

5. Manifestasi Klinis
Sebagian besar tidak ada gejala simptomatis yang berhubungan dengan
perdarahan subkonjungtiva selain terlihat darah pada bagian sklera. Pasien sangat
jarang mengalami nyeri pada awal perdarahan subkonjungtiva. Ketika perdarahan
terjadi pertama kali, akan terasa tidak nyaman, terasa ada yang mengganjal dan penuh
di mata. Tampak adanya perdarahan di sklera dengan warna merah terang (tipis) atau
merah tua (tebal). Tidak ada tanda peradangan, kalaupun ada biasanya peradangan

12
yang ringan. Perdarahan akan terlihat meluas dalam 24 jam pertama, kemudian akan
berkurang perlahan ukurannya karena diabsorpsi.9
Pada pasien tertentu harus dikonsulkan ke dokter spesialis mata, misalnya jika
pasien merasa nyeri pada mata, terjadi perubahan visus, terdapat riwayat trauma atau
cedera baru-baru ini, terdapat riwayat gangguan perdarahan, atau riwayat tekanan
darah tinggi.9

6. Penegakan Diagnosis
Diagnosis dibuat secara klinis dan anamnesis tentang
riwayat dapat membantu penegakan diagnosis dan terapi lebih lanjut.
Ketika ditemukan adanya trauma, maka trauma dari bola mata atau orbita
harus disingkirkan. Apabila perdarahan subkonjungtiva idiopatik terjadi
untuk pertama kalinya, biasanya tidak diperlukan langkah diagnostik
lebih lanjut.6
Jika merupakan suatu kekambuhan, hipertensi arteri dan kelainan
koagulasi harus disingkirkan. Pemeriksaan fisik bisa dilakukan dengan memberi
tetes mata proparacaine (anestesi topikal) jika pasien tidak dapat membuka
mata karena sakit; dan curiga etiologi lain jika nyeri terasa berat atau
terdapat fotofobia. Selain itu, pemeriksaan vsus juga diperlukan pada
kasus ini. Pemeriksaan reaktivitas pupil dan defek pupil dilakukan dengan
menggunakan slit lamp.6
Pada pasien dengan riwayat perdarah subkonjungtiva berulang juga
dipertimbangkan pemeriksaan waktu perdarahan, waktu prothrombin,
parsial thromboplastin, dan hitung darah lengkap dengan jumlah
trombosit, serta protein C dan S. Tes laboratorium ini juga penting untuk
pasien yang menggunakan obat antikoagulan seperti heparin dan
warfarin, dan pada pasien yang dicurigai memiliki gangguan koagulasi
darah.6
7. Diagnosis banding 6
a. Konjungtivitis, hal ini dikarenakan memiliki kesamaan pada klinisnya yaitu mata merah.
b. Konjungtivitis hemoragik akut
c. Sarcoma kaposi

13
8. Penatalaksanaan 10
Perdarahan subkonjungtiva biasanya tidak memerlukan pengobatan. Pengobatan
dini pada perdarahan subkonjungtiva ialah dengan kompres hangat. Perdarahan
subkonjungtiva akan hilang atau diabsorpsi dalam 1- 2 minggu tanpa diobati. Pada
bentuk-bentuk berat yang menyebabkan kelainan dari kornea, dapat dilakukan sayatan
dari konjungtiva untuk drainase dari perdarahan. Pemberian air mata buatan juga dapat
membantu pada pasien yang simtomatis. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, dicari
penyebab utamanya, kemudian terapi dilakukan sesuai dengan penyebabnya. Tetapi
untuk mencegah perdarahan yang semakin meluas beberapa dokter memberikan
vasacon (vasokonstriktor) dan multivitamin. Air mata buatan untuk iritasi ringan dan
mengobati faktor risikonya untuk mencegah risiko perdarahan berulang. Perdarahan
subkonjungtiva harus segera dirujuk ke spesialis mata jika ditemukan kondisi berikut
ini:
a. Nyeri yang berhubungan dengan perdarahan.
b. Terdapat perubahan penglihatan (pandangan kabur, ganda atau kesulitanuntuk melihat)
c. Terdapat riwayat gangguan perdarahan
d. Riwayat hipertensi
e. Riwayat trauma pada mata.

9. Komplikasi
Perdarahan subkonjungtiva akan diabsorpsi sendiri oleh tubuh dalam waktu 1-2
minggu, sehingga tidak ada komplikasi serius yang terjadi. Namun, adanya perdarahan
subkonjungtiva harus segera dirujuk ke dokter spesialis mata jika ditemui gejala klinis
yang melibatkan penurunan penglihatan.6

10. Prognosis
Secara umum prognosis dari perdarahan subkonjungtiva adalah baik karena
sifatnya yang dapat diabsorpsi sendiri oleh tubuh. Namun untuk keadaan tertentu
seperti sering mengalami kekambuhan, persisten atau disertai gangguan pandangan,
maka dianjurkan untuk dievaluasi lebih lanjut lagi.

14
D. Erosi Kornea
1. Definisi
Erosi kornea adalah suatu keadaan terlepasnya epitel kornea (sel
skuamosa) yang dapat diakibatkan oleh gesekan keras pada epitel kornea.
Erosi dapat terjadi tanpa cedera pada membran basal. Epitel kornea
sekitarnya akan bermigrasi dengan cepat dan menutupi defek epitel
tersebut dalam waktu yang singkat. Pasien biasanya mengeluh sakit sekali
pada mata akibat erosi merusak kornea yang mempunyai banyak serat
sensible, mata berair, blefarospasme, lakrimasi, fotopobia, dan
penglihatan akan terganggu karena media kornea yang keruh.3
2. Manifestasi Klinis11
a. Injeksi siliar (+)
b. Kornea lebih tipis pada daerah erosi
c. Warna iris dibelakang erosi lebih hitam
d. Terdapat defek epitel kornea yang bila diberi pewarnaan fluoresein akan
berwarna hijau.
3. Penatalaksanaan
Pasien dengan erosi kornea perlu mendapatkan antibiotik untuk
mencegah infeksi, seperti antibiotika spektrum luas neosporin,
kloramfenikol, dan sulfasetamid tetes mata. Untuk mengurangi rasa sakit
dan mengistirahatkan mata, dapat diberikan sikloplegik aksi-pendek
seperti tropikamida. Lakukan bebat tekan pada pasien dengan erosi
kornea untuk mencegah terganggunya proses reepitelisasi. Bebat tekan
dapat dilakukan selama 24 jam atau 48 jam.3
4. Komplikasi12
Komplikasi yang dapat timbul antara lain:
a. Erosi kornea rekuren
b. Ulkus kornea
c. Endoftalmitis
d. Ptosis bulbi

15
BAB II
ANALISIS MASALAH

Tn. DB usia 17 tahun, datang karena pasien post kecelakaan lalu lintas,
trauma tumpul tertutup pada mata kiri sejak 22 jam SMRS.
Sejak 22 jam SMRS, pasien mengalami kecelakaan lalu lintas, pasien tidak
sadarkan diri, kedua kelopak mata bengkak (+) memar (+) kelopak mata sukar
dibuka (+) kotoran mata (+) merah pada mata kiri akibat terbentur aspal dariarah
depan setelah terpelanting menabrak badan truk (+) keluar darah dari mata (-)
Keluar cairan putih bening seperti putih telur (-) mata berair (-) pandangan
menjadi kabur belum dapat dinilai. Lalu pasien dirujuk dari RSUD Musi
Banyuasin ke RSMH.
Pada pemeriksaan status generalis didapatkan keadaan umum tampak sakit
berat, kesadaran delirium, tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 106x/menit,
Respiratory rate 23x/menit, suhu 36,7oC, status gizi baik. Pada pemeriksaan
oftalmologi visus mata kanan dan mata kiri tidak dapat dinilai, pada mata kiri
terdapat perdarahan subkonjungtiva, dan terdapat erosi kornea pada sentral dari
arah jam 9 dengan ukuran 6x2mm dengan hasil Fluoresein Test (+).Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan untuk mendukung diagnosis kasus ini adalah
pemeriksaan Fluorosein Test dan pemeriksaan slit lamp/ dapat digantikan dengan
penlight cobalt blue.
Dari anamnesis, didapatkan riwayat trauma tumpul tertutup pada mata 22 jam
sebelum masuk rumah sakit. Dari gejala yang dilihat dapat diambil kemungkinan
diagnosis banding berupa perdarahan konjungtiva dimana terdapat warna merah
terang pada mata pasien, dan diagnosis banding yang lain berupa keratitis, yaitu
akibat dari erosi pada kornea dapat menyebabkan iritasi dan infamasi pada kornea.
Menyingkirkan satu per satu diagnosis banding tersebut dapat dilakukan dengan
anamnesis dan pemeriksaan status oftalmologi.
Pada kasus mekanisme trauma tumpul tertutup terhadap bola mata
dikarenakan mata terkena benturan keras sehinggal menyebabkan pecahnya
pembuluh darah , dan karena pembuluh darah di daerah subkonjungtiva

16
merupakan daerah yang paling banyak dialiri pembuluh darah menyebabkan
daerah ini yang paling rentan terkena dampak trauma tersebut. Pada pemeriksaan
status oftalmologi, didapatkan perdarahan subkonjungtiva dan tampak erosi
kornea dengan hasil fluoresein test positif, sehingga diagnosis yang paling
memungkinkan adalah erosi kornea dan perdarahan subkonjungtiva.
Erosi kornea merupakan keadaan terkelupasnya epitel kornea yang dapat
diakibatkan oleh gesekan keras pada epitel kornea diatas membran basal. Erosi
dapat terjadi tanpa cedera membran basal. Defek pada epitel kornea memudahkan
kuman menyerang kornea sehingga mengakibatkan terjadinya infeksi sekunder.
Segera sesudah trauma atau masuknya benda asing, penderita akan merasa sakit
sekali, akibat erosi merusak kornea yang mempunyai serat sensibel yang banyak,
mata berair, fotofobia, blefarospasme, dan dapat terjadi gangguan penglihatan
akibat kornea yang keruh.
Rasa sakit diakibatkan karena erosi merusak kornea yang mempunyai
serat sensibel yang banyak. Karena pasien merasakan rasa sakit yang sangat,
diperlukan analgetik topikal berupa Pantocain 0.5% eyedrop yang diteteskan pada
mata untuk mengurangi nyeri pada pasien dan memperlancar pemeriksaan tajam
penglihatan dan fluoresein test. Pada kornea akan terlihat suatu defek epitel
kornea yang bila diberi pewarnaan fluoresein test akan menghasilkan warna hijau.
Setiap defek kornea, maka bagian tersebut akan bersifat basa dan flurosein
bereaksi dengan keadaan alkali yang memberikan warna hijau pada kornea yang
mengalami erosi.
Tatalaksana yang dilakukan pada pasien yaitu pertama kita
menginformasikan kepada pasien mengenai penyebab dan prognosis penyakit.
Kemudian, defek pada epitel kornea dapat memudahkan infeksi sehingga pasien
harus diingatkan untuk menjaga hygiene dan tidak menggosok-gosok mata karena
dapat memperparah erosi. Untuk mencegah infeksi bakteri diberikan antibiotika
spektrum luas, dalam kasus ini diberikan Kloramfenikol Ointment sebelum dibebat
tekan. Untuk kenyamanan pasien, antibiotik selanjutnya diberikan levofloxacin
eye drop. Dalam waktu yang pendek epitel sekitarnya dapat bermigrasi dengan
cepat dan menutupi defek epitel tersebut, sehingga diperlukan pemberian artificial
tears dan balut tekat untuk imobilisasi palpebra dan mengurasi risiko pergesekan

17
dinding palpebra dengan kornea yang dapat memperparah erosi, dan artificial
tears memberikan nutrisi yang merekatkan hubungan antar sel melalui desmosom
yang dapat mempercepat penyembuhan dari erosi kornea, dimana kornea
merupakan struktur mata yang avaskular. Prognosis keadaan vital pasien
umumnya baik karena erosil biasanya akan tertutup kembali dengan sendirinya
dalam waktu kurang lebih dari 72 jam.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, Sidarta. Masalah Kesehatan Anda. 2005. FK UI. Jakarta.


2. Schlote, Pocket Atlas of Ophthalmology. 2006 Thieme.
3. Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. 2008. FK UI. Jakarta.
4. Vaughan, Daniel G. Oftalmologi Umum, 2000. Widia Meka. Jakarta.
5. K Lang, Gerhard. Ophthalmology A Short Textbook. 2000. Thieme Stuttgart. New
York.
6. Graham, R. K. Subconjunctival Hemorrhage. 1st Edition. 2009. Medscape’s
Continually Updated Clinical Reference. Diakses tanggal 21 April 2019, dari
http://emedicine.medscape.com/article/1192122-overview.
7. Kaimbo D, Kaimbo Wa. Epidemiology of traumatic and spontaneous subconjunctival
haemorrhages in Congo. Congo. 2008. Diakses pada tanggal 21 April 2019, dari
https://pubmed.com.
8. Stolp W, Kamin W, Liedtke M, Borgmann H. [Eye diseases and control of labor.
Studies of changes in the eye in labor exemplified by
subconjunctivalhemorrhage (hyposphagmas)]. Johanniter-Krankenhauses Bonn.
Jerman. Diakses pada tanggal 21 April 2019.
9. American Academy. 2009. Subconjunctival Haemorrhages. Amerika.
10. Sullivan JA,. Orbita. Dalam : Vaughan DG, Asbury T, Riordan EP, editor.
Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC. 2007.
11. Kanski JJ, Bowling B. Clinical Ophthalmology: a systemic approach. 7th
ed.Elsevier, 2011.
12. Khurana AK. Comprehensive Ophthalmology. 4th ed. New age
international,2007.
13. Suhardjo, Hartono. Ilmu kesehatan mata. Yogyakarta: Bagian Ilmu Penyakit
Mata Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah mada; 2012.
14. Friedman NJ, Kaiser PK. Essentials of ophthalmology. 1st Ed. Philadelphia:
Saunders Elsevier; 2007.

19

Anda mungkin juga menyukai