Anda di halaman 1dari 18

A.

Definisi
Smeltzer dan Bare (2015) mengemukakan bawha CKD atau gagal ginj
al kronis merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel di
mana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan kesei
mbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi uremia (retensi urea dan sampa
h nitrogen lain dalam darah). Black & Hawks menjelaskan bahwa (2014) Gag
al Ginjal Kronik (GGK) adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif dan tid
ak dapat pulih kembali, dimana tubuh tidak mampu memelihara metabolisme
dan gagal memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit yang berakibat pad
a peningkatan ureum.
B. Etiologi
Pada dasarnya, penyebab gagal ginjal kronik adalah penurunan laju fil
trasi glomerulus atau yang disebut juga penurunan glomerulus filtration rate
(GFR). Penyebab gagal ginjal kronik menurut Andra & Yessie, 2013):
1. Gangguan pembuluh darah: berbagai jenis lesi vaskuler dapat menyebabk
an iskemik ginjal dan kematian jaringan ginajl. Lesi yang paling sering a
dalah Aterosklerosis pada arteri renalis yang besar, dengan konstriksi skl
eratik progresif pada pembuluh darah. Hyperplasia fibromaskular pada sa
tu atau lebih artieri besar yang juga menimbulkan sumbatan pembuluh da
rah. Nefrosklerosis yaitu suatu kondisi yang disebabkan oleh hipertensi la
ma yang tidak di obati, dikarakteristikkan oleh penebalan, hilangnya elast
istisitas system, perubahan darah ginjal mengakibatkan penurunan aliran
darah dan akhirnya gagal ginjal.
2. Gangguan imunologis: seperti glomerulonephritis
3. Infeksi: dapat dijelaskan oleh beberapa jenis bakteri terutama E. Coli yan
g berasal dari kontaminasi tinja pada traktus urinarius bakteri. Bakteri ini
mencapai ginjal melalui aliran darah atau yang lebih sering secara ascend
en dari traktus urinarius bagian bawah lewat ureter ke ginjal sehingga dap
at menimbulkan kerusakan irreversible ginjal yang disebut pielonefritis.
4. Gangguan metabolik: seperti DM yang menyebabkan mobilisasi lemak m
eningkat sehingga terjadi penebalan membrane kapiler dan di ginjal dan
berlanjut dengan disfungsi endotel sehingga terjadi nefropati amiloidosis
yang disebabkan oleh endapan zat-zat proteinemia abnormal pada dindin
g pembuluh darah secara serius merusak membrane glomerulus.
5. Gangguan tubulus primer: terjadinya nefrotoksis akibat analgesik atau lo
gam berat.
6. Obstruksi traktus urinarius: oleh batu ginjal, hipertrofi prostat, dan kontst
riksi uretra.
7. Kelainan kongenital dan herediter: penyakit polikistik sama dengan kond
isi keturunan yang dikarakteristik oleh terjadinya kista atau kantong beris
i cairan didalam ginjal dan organ lain, serta tidak adanya jaringan ginjal y
ang bersifat konginetal (hypoplasia renalis) serta adanya asidosis.
C. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit CKD pada awalnya tergantung pada penyakit y
ang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi
kurang lebih sama. Penyakit CKD dimulai pada fase awal gangguan keseimba
ngan cairan, penanganan garam, serta penimbunan zat-zat sisa masih bervaria
si dan bergantung pada ginjal yang sakit (Muttaqin & Sari, 2011).
Berdasarkan proses perjalanan penyakit dari berbagai penyebab yaitu i
nfeksi, vaskuler, zat toksik, obstruksi saluran kemih yang pada akhirnya akan
terjadi kerusakan nefron sehingga menyebabkan penurunan GFR dan menyeb
abkan CKD, yang mana ginjal mengalami gangguan dalam fungsi eksresi dan
fungsi non-eksresi (Nursalam,2007). Fungsi renal menurun, produk akhir met
abolisme protein (yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dal
am darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin ba
nyak timbunan produk sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak masa
lah muncul pada CKD sebagai akibat dari penurunan jumlah glomeruli yang b
erfungsi, yang menyebabkan penurunan kliresn (substansi darah yang seharus
nya dibersihkan oleh ginjal). Menurunnya filtrasi glomerulus (akibat tidak ber
ungsinya gromeruli) klirens kreatinin akan menurun dan kadar kreatinin seru
m akan meningkat. Selain itu, kadar nitrogen urea darah (BUN) juga meningk
at (Smeltzer & Bare, 2015).
Ginjal juga tidak mampu untuk mengkonsentrasikan atau mengencerk
an urin secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir. Terjadi penahanan cai
ran dan natrium, sehingga beresiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif,
dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis renin-angiot
ensin dan kerjasama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Sindrom ure
mia juga bisa menyebabkan asidosis metabolik akibat ginjal tidak mampu me
nyekresi asam (H+) yang berlebihan.
Penurunan sekrsi asam akibat tubulus ginjal tidak mampu menyekresi
ammonia (NH3-) dan megapsorbsi natrium bikarbonat (HCO3-). Penurunan e
ksresi fosfat dan asam organik yang terjadi, maka mual dan muntah tidak dap
at dihindarkan (Smeltzer & Bare, 2015). Penurunan sekresi eritropoetin sebag
ai faktor penting dalam stimulasi produksi sel darah merah oleh sumsum tula
ng menyebabkan produk hemoglobin berkurang dan terjadi anemia sehingga
peningkatan oksigen oleh hemoglobin berkurang maka tubuh akan mengalam
i keletihan, angina dan napas sesak.
Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat merupakan gangguan metaboli
sme. Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan timbal balik.
Jika salah satunya meningkat maka fungsi yang lain akan menurun. Dengan
menurunnya filtrasi melaui glomerulus ginjal maka meningkatkan kadar fosfa
t serum, dan sebaliknya, kadar serum kalsium menurun. Penurunan kadar kals
ium serum menyebabkan sekresi parathhormon dari kelenjar paratiroid, tetapi
gagal ginjal tubuh tidak dapat merspons normal terhadap peningkatan sekresi
parathormon sehingga kalsium ditulang menurun, menyebabkan terjadinya pe
rubahan tulang dan penyakit tulang. Selain itu, metabolit aktif vitamin D yang
secara normal dibuat di ginjal menurun seiring dengan berkembangnya gagal
ginjal (Smeltzer & Bare, 2015).
D. Tanda dan Gejala
Menurut perjalanan klinisnya (Corwin, E (2009):
1. Menurunnya cadangan ginjal pasien asimtomatik, namun GFR dapat men
urun hingga 25% dari normal.
2. Insufisiensi ginjal, selama keadaan ini pasien mengalami polyuria dan no
kturia, GFR 10% hingga 25% dari normal, kadar kreatinin serum dan BU
N sedikit meningkat diatas normal.
3. Penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) atau sindrom uremik (lemah, letar
gi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati
perifer, pruritus, uremic frost, pericarditis, kejang-kejang sampai koma),
yang ditandai dengan GFR kurang dari 5-10 ml/menit, kadar serum kreati
nin dan BUN meningkat tajam, dan terjadi perubahan biokimia dan gejal
a yang komplek.
E. Diagnosis Medis
Penyakit ginjal kronis didefinisikan sebagai adanya kelainan pada stru
ktur ginjal atau fungsi bertahan selama lebih dari 3 bulan. Ini mencakup 1 ata
u lebih hal berikut menurut KDGIO (2012):
1. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 mL/menit/1,73 m2;
2. Albuminuria (yaitu, albumin urin 30 mg per 24 jam atau rasio albumin-kr
eatinin urin 30 mg/g);
3. Kelainan pada sedimen urin, histologi, atau pencitraan yang menunjukka
n kerusakan ginjal;
4. Gangguan tubulus ginjal; atau
5. Sejarah dari transplantasi ginjal. Jika durasi penyakit ginjal tidak jelas, ul
angi penilaian harus dilakukan untuk membedakan PGK dari cedera ginja
l akut (perubahanfungsi ginjal yang terjadi dalam 2-7 hari) dan penyakit
ginjal akut (kerusakan atau penurunan ginjal).
F. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada klien CKD, yaitu:
1. Pemeriksaan pada urine yang meliputi:
a. Volume urine pada orang normal yaitu 500-3000 ml/24 jam atau 1.2
00 ml selama siang hari sedangkan pada orang CKD produksi urine
kurang dari 400 ml/24 jam atau sama sekali tidak ada produksi urine
(anuria) (Debora, 2017).
b. Warna urine pada temuan normal transparan atau jernih dan temuan
pada orang CKD didapatkan warna urine keruh karena disebabkan ol
eh pus, bakteri, lemak, fosfat atau urat sedimen kotor, kecoklatan kar
ena ada darah, Hb, myoglobin, porfirin (Nuari & Widayati, 2017).
c. Berat jenis untuk urine normal yaitu 1.010-1.025 dan jika < 1.010 m
enunjukkan kerusakan ginjal berat (Nuari & Widayati, 2017).
d. Klirens kreatinin kemungkinan menurun dan untuk nilai normalnya
menurut Verdiansah (2016), yaitu: a) Laki-laki: 97 mL/menit – 137
mL/menit per 1,73 m2 b) Perempuan: 88 mL/menit – 128 mL/menit
per 1,73 m2
e. Protein: derajat tinggi proteinuria (3-4+) menunjukkan kerusakan glo
merulus bila SDM dan fragmen ada. Normalnnya pada urine tidak di
temukan kandungan protein.
2. Pemeriksaan darah pada penderita CKD menurut Nuari & Widayati (201
7)
a. BUN meningkat dari keadaan normal 10.0-20.0 mg/dL, kreatinin m
eningkat dari nilai normal < 0,95 mg/dL, ureum lebih dari nilai nor
mal 21 – 43 mg/dL
b. Hemoglobin bisasanya < 7-8 gr/dl
c. SDM menurun dari nilai normal 4.00-5.00, defisiensi eritopoetin
d. BGA menunjukkan asidosis metabolik, pH < 7,2
e. Natrium serum rendah dari nilai normal 136-145 mmol/L
f. Kalium meningkat dari nilai normal 3,5-5 mEq/L atau 3,5-5 mmol/
L
g. Magnesium meningkat dari nilai normal 1,8-2,2 mg/dL
h. Kalsium menurun dari nilai normal 8,8-10,4 mg/dL
i. Protein (albumin) menurun dari nilai normal 3,5-4,5 mg/dL
3. Pielografi intravena bisa menunjukkan adanya abnormalitas pelvis ginjal
dan ureter. Pielografi retrograde dilakukan bila muncul kecurigaan adany
a obstruksi yang reversibel. Arteriogram ginjal digunakan untuk mengkaj
i sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular massa (Haryono, 20
13).
4. Ultrasono ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal serta ada ata
u tidaknya massa, kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas
(Nuari & Widayati, 2017).
5. Biopsi ginjal dilakukan secara endoskopi untuk menentukan sel jaringan
untuk diagnosis histologis (Haryono, 2013).
G. Penatalaksanaan Medis
Tujuan penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan cairan elektrol
it dan mencegah komplikasi, yaitu sebagai berikut (Muttaqin, 2011):
1. Dialisis
Dialisis dapat dilakukan dengan mencegah komplikasi gagal ginjal yang
serius, seperti hyperkalemia, pericarditis, dan kejang. Dialisis memperbai
ki abnormalitas biokimia, menyebabkan cairan, protein dan natrium dapa
t dikonsumsi secara bebas, menghilangkan kecenderungan perdarahan da
n membantu penyembuhan luka. Dialisis atau dikenal dengan nama cuci
darah adalah suatu metode terapi yang bertujuan untuk menggantikan fun
gsi/kerja ginjal yaitu membuang zat-zat sisa dan kelebihan cairan dari tub
uh. Terapi ini dilakukan apabila fungsi kerja ginjal sudah sangat menurun
(lebih dari 90%) sehingga tidak lagi mampu untuk menjaga kelangsungan
hidup individu, maka perlu dilakukan terapi. Selama ini dikenal ada 2 jen
is dialisis:
a. Hemodialisis (cuci darah dengan mesin dialiser)
Hemodialisis atau HD adalah jenis dialisis dengan menggunakan me
sin dialiser yang berfungsi sebagai ginjal buatan. Pada proses ini, dar
ah dipompa keluar dari tubuh, masuk kedalam mesin dialiser. Didala
m mesin dialiser, darah dibersihkan dari zat-zat racun melalui proses
difusi dan ultrafiltrasi oleh dialisat (suatu cairan khusus untuk dialisi
s), lalu setelah darah selesai di bersihkan, darah dialirkan kembali ke
dalam tubuh. Proses ini dilakukan 1-3 kali seminggu di rumah sakit
dan setiap kalinya membutuhkan waktu sekitar 2-4 jam.
b. Dialisis peritoneal (cuci darah melalui perut)
Terapi kedua adalah dialisis peritoneal untuk metode cuci darah deng
an bantuan membrane peritoneum (selaput rongga perut). Jadi, darah
tidak perlu dikeluarkan dari tubuh untuk dibersihkan dan disaring ole
h mesin dialisis.
2. Koreksi hiperkalemi
Mengendalikan kalium darah sangat penting karena hiperkalemi dapat m
enimbulkan kematian mendadak. Hal pertama yang harus diingat adalah j
angan menimbulkan hiperkalemia. Selain dengan pemeriksaan darah, hip
erkalemia juga dapat didiagnosis dengan EEG dan EKG. Bila terjadi hipe
rkalemia, maka pengobatannya adalah dengan mengurangi intake kalium,
pemberian Na Bikarbonat, dan pemberian infus glukosa.
3. Koreksi anemia
Usaha pertama harus ditujukan untuk mengatasi factor defisiensi, kemudi
an mencari apakah ada perdarahan yang mungkin dapat diatasi. Pengenda
lian gagal ginjal pada keseluruhan akan dapat meninggikan Hb. Tranfusi
darah hanya dapat diberikan bila ada indikasi yang kuat, misalnya ada inf
usiensi coroner.
4. Koreksi asidosis
Pemberian asam melalui makanan dan obat-obatan harus dihindari. Natri
um Bikarbonat dapat diberikan peroral atau parenteral. Pada permulaan 1
00 mEq natrium bikarbonat diberi intravena perlahan-lahan, jika diperluk
an dapat diulang. Hemodialisis dan dialisis peritoneal dapat juga mengata
si asidosis.
5. Pengendalian hipertensi
Pemberian obat beta bloker, alpa metildopa dan vasodilatator dilakukan.
Mengurangi intake garam dalam mengendalikan hipertensi harus hati-hat
i karena tidak semua gagal ginjal disertai retensi natrium.
6. Transplantasi ginjal
Dengan pencakokkan ginjal yang sehat ke pasien gagal ginjal kronik, ma
ka seluruh faal ginjal diganti oleh ginjal yang baru.
H. Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan pada pasien gagal ginjal kronik adalah
denngan meningkatkan kualitias hidup pasien. Penderita Gagal Ginjal Kronik
(GGK) sering mengalami komplikasi penyakit lanjut akibat ketidakmampuan
dalam melakukan kontrol terhadap nutrisi, kebutuhan cairan, kadar ureum dan
kreatinin, adekuasi HD yang akan berpengaruh terhadap kualitas hidupnya. K
omplikasi baik fisik maupun psikis tentunya menjadi gangguan dalam melaku
kan perawatan diri secara mandiri pada pasien GGK yang menjalani hemodial
isa (Smeltzer & Bare, 2011). Pasien hemodialisa membutuhkan kemampuan
dalam perawatan dirinya sendiri. Saat ini kemampuan self care pasien telah m
enjadi perhatian dunia seiring dengan peningkatan kejadian penyakit kronis, p
eningkatan biaya pengobatan serta jumlah tenaga educator yang tidak cukup
menjadi alasan self care penting sebagai upaya meningkatkan kualitas hidup
pasien penyakit kronis, keluarga dan komunitas (Taylor, 2011; dikutip
Nurcahyati & Karim, 2016). Setiap individu secara natural memiliki kemamp
uan dalam merawat dirinya sendiri dan perawat harus berfokus terhadap dam
pakkemampuan tersebut bagi pasien (Tomey & Alligod, 2006; dikutip
Nurcahyati & Karim, 2016).
I. Komplikasi
Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut Smletzer & Bare (20
15) yaitu:
1. Hiperkalemia akibat penurunan eksresi, asidosis metabolik, katabolisme
dan masukan diet berlebihan.
2. Perikarditis, efusi pericardial dan tamponade jantung akibat retensi produ
k sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renni
n-angiostensin-aldosteron
4. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah
merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin dan kehilanga
n darah selama hemodialisis.
5. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatik akibat retensi fosfat, kadar kal
sium serum yang rendah, metabolisme vitamin D abnormal dan peningka
tan kadar alumunium.
J. Prognosis
Prognosis pasien dengan penyakit ginjal kronis menurut Chan (2005)
adalah bervariasi menurut stadium dan penatalaksanaan yang dilakukan. Den
gan deteksi dan penatalaksanaan dini, morbiditas dan mortalitas diharapkan d
apat diturunkan.
K. WOC

Gagal Ginjal Kronis (GGK)

Sekresi protein Retensi Na Sekresi eritropoitin


terganggu turun

CES meningkat
Sindrom uremia Produksi Hb turun

Volume
intersitial
Ganguuan Perpospatermia meningkat Kadar O2 dalam
keseimbangan
darah menurun
asam basa
Edema naik

Ganguuan Pruritus Hipoksia


metabolisme
Preload naik

Perfusi perifer
Anoresia Gangguan tidak efektif
integritas kulit Tekanan vena
pulmonalis
meningkat Proses
Defisit nutrisi pembentukan
energi terganggu
Aliran darah ke Kapiler paru
ginjal turun naik
Keletihan

Retensi Na dan Edema paru


H20

Hipervolemia Pola napas tidak


efektif
L. Konsep Teori Asuhan Keperawatan Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik
1. Pengkajian
Pengkajian pada pasien gagal ginjal kronik menurut Smeltzer & Bare
(2011) adalah sebagai berikut:
a. Identitas pasien
Meliputi nama lengkat, tempat tinggal, umur, tempat lahir, asal suku
bangsa, nama orang tua, pekerjaan orang tua.
b. Keluhan utama
Kelemahan, susah berjalan/bergerak, kram otot, gangguan istirahat d
an tidur, takikardi/takipnea pada waktu melakukan aktivitas dan kom
a.
c. Riwayat kesehatan pasien dan riwayat pengobatan sebelumnya
Berapa lama pasien sakit, bagaimana penanganannya, mendapat tera
pi apa, bagaimana cara minum obatnya apakan teratur atau tidak, apa
saja yang
dilakukan pasien untuk menaggulangi penyakitnya.
d. Aktivitas/istirahat
Kelelahan ekstrem, kelemahan, malaise, gangguan tidur (insomnia/g
elisah atau samnolen), kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan
rentang gerak
e. Sirkulasi
Adanya riwayat hipertensi lama atau berat, palpatasi, nyeri dada (ang
ina), hipertensi, nadi kuat, edema jaringan umum dan pitting pada ka
ki, telapak tangan, nadi lemah, hipotensi ortostatik menunjukkan hip
ovolemia, yang jarang pada penyakit tahap akhir, pucat, kulit coklat
kehijauan, kuning, kecenderungan perdarahan.
f. Integritas ego
Faktor stress, perasaan tak berdaya, taka da harapan, taka da kekuata
n,
menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan kepri
badian.
g. Eliminasi
Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (pada gagal ginjal tahap l
anjut), abdomen kembung, diare, atau konstipasi, perubahan warna u
rine, contoh kuning pekat, merah, coklat, oliguria.
h. Makanan/cairan
Peningkatan berat badan cepat (oedema), penurunan berat badan (ma
lnutrisi), anoreksia, nyeriulu hati, mual/muntah, rasa metalik tak seda
p pada mulut (pernapasan ammonia), penggunaan diuretic, distensi a
bdomen/asietes, pembesaran hati (tahap akhir), perubahan turgor kuli
t/kelembaban, ulserasi gusi, perdarahan gusi/lidah.
i. Neurosensori
Sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot/kejang, syndrome “kaki g
elisah”, rasa terbakar pada telapak kaki, kesemutan dan kelemahan, k
hususnya ekstremitas bawah, gangguan status mental, contoh penuru
nan lapang perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan m
emori, kacau, penurunan tingkat kesadaran, stupor, kejang, fasikulasi
otot, aktivitas kejang, rambut tipis, kuku rapuh dan tipis
j. Nyeri/kenyamanan
Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot/nyeri kaki dan perilaku berhat
i- hati/distraksi, gelisah.
k. Pernafasan
Napas pendek, dyspnea, batuk dengan/tanpa sputum kental dan bany
ak, takipnea, dyspnea, peningkatan frekuensi/kedalaman dan batuk d
engan sputum encer (edema paru).
l. Keamanan
Kulit gatal, ada/berulangnya infeksi, pruritus, demam (sepsis, dehidr
asi), normotermia dapat secara actual terjadi peningkatan pada pasie
n yang mengalami suhu tubuh lebih rendah dari normal, petekie, area
ekimosis pada kulit, fraktur tulang, keterbatasan gerak sendi.
m. Seksualitas
Penurunan libido, amenorea, infertilitas
n. Interaksi sosial
Kesulitan menentukan kondisi, contoh tak mampu bekerja, mempert
ahankan fungsi peran biasanya dalam keluarga.
o. Penyeluhan
Riwayat Diabetes Melitus (resiko tinggi untuk gagal ginjal), penyakit
polikistik, nefritis herediter, kalkulus urenaria, maliganansi, riwayat t
erpejan pada toksin, contoh obat, racun lingkungan, penggunaan anti
biotic nefrotoksik saat ini/berulang.
2. Diagnosis keperawatan
a. Pola napas tidak efektif b.d. posisi tubuh yang menghambat
ekspansi paru (edema paru) d.d. dispnea, penggunaan otot bantu
pernafasan, pola napas abnormal
b. Perfusi perifer tidak efektif b.d. penurunan konsentrasi hemoglobin
d.d. CRT > 3 detik, nadi perifer menurun, akral teraba dingin, warna
kulit pucat
c. Hipervolemia b.d. gangguan mekanisme regulasi d.d. dispnea,
edema, JVP/CVP meningkat, hepatomegali, kadar HB turun
d. Defisit nutrisi b.d. gangguan metabolisme pencernaan d.d. nafsu
makan menurun, serum albumin menurun, BB menurun
e. Keletihan b.d. kondisi fisiologis (penyakit gagal ginjal) d.d.
mengeluh lelah, tampak, lesu
f. Gangguan integritas kulit b.d. perpospatermia d.d. mengeluh gatal di
ekstremitas, adanya pruritus
3. Rencana keperawatan

Diagnosis Keperawata Luaran


No. Intervensi Keperawatan
n Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif Setelah diberikan interv Manajemen jalan napas
b.d. posisi tubuh yang ensi keperawatan selam Observasi
menghambat ekspansi a 3 x 24 jam maka dihar - Monitor pola napas
paru (edema paru) d.d. apkan perfusi perifer me - Monitor bunyi napas
dispnea, penggunaan ningkat dengan kriteria tambahan
otot bantu pernafasan, hasill: Terapeutik
pola napas abnormal 1. Dispnea menurun - Posisikan semi fowler atau
2. Pola napas abnorm fowler
al menurun - Lakukan fisioterapi dada,
3. Penggunaan otot jika perlu
bantu pernafasan - Berikan oksigen, jika perlu
menurun Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
bronkodilator jika perlu

2. Perfusi perifer tidak Setelah dilakukan interv Perawatan sirkulasi


efektif b.d. penurunan ensi keperawatan selam Observasi
konsentrasi hemoglobin a 3 x 24 jam diharapaka - Periksa sirkulasi perifer
d.d. CRT > 3 detik, nadi n perfusi perifer mening - Identifikasi faktor risiko g
perifer menurun, akral kat dengan kriteria hasil: angguan sirkulasi
teraba dingin, warna 1. Denyut nadi perifer Terapeutik
kulit pucat meningkat - Lakukan pencegahan infe
2. Warna kulit pucat ksi
menurun Transfusi darah
3. Pengisian kapiler m Observasi
embaik - Identifikasi rencana
4. Akral membaik transfusi
5. Turgor kulit memb - Monitor tanda – tanda vita
aik l sebelum, selama, sesuda
h transfusi
- Monitor reaksi transfusi
Terapeutik
- Lakukan pengecekan gan
da
- Pasang akses intravena
- Berikan NaCl 0,9% 50-10
0 ml sebelum transfusi dil
akukan
- Berikan transfusi dalam w
aktu maksimal 4 jam
Edukasi
- Jelaskan tujuan dan
prosedur transfusi
- Jelaslan tanda dan gejala
reaksi transfusi yang perlu
dilaporkan
3. Hipervolemia b.d. gangg Setelah diberikan Manajemen hipervolemia
uan mekanisme regulasi intervensi selama 3x24 Observasi
d.d. edema, JVP/CVP m jam diharapkan status - Periksa tanda dan gejala
eningkat,hepatomegali, k cairan meningkat hipervolemia
adar HB turun dengan kriteria hasil: - Identifikasi penyebab
1. Edema menurun hipervolemia
2. Distensi vena - Monitor status
jugularis menurun hemodinamik
3. JVP membaik - Monitor intake dan output
4. Kadar hb membaik cairan
5. Hepatomegali Terapeutik
membaik - Batasi asupan cairan dan
garam
Edukasi
- Ajarkan cara membatasi
cairan
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
diuretik
4. Defisit nutrisi b.d. gangg Setelah dilakukan Manajemen nutrisi
uan metabolisme pencer intervensi keperawatan Observasi
naan d.d. nafsu makan m selama 3 x 24 jam - Identifikasi status nutrisi
enurun, serum albumin diharapkan status nutrisi - Identifikasi kebutuhan
menurun, BB menurun membaik dengan kalori dan jenis nutrien
kriteria hasil: - Monitor asupan makanan
1. Porsi makanan yang - monitor hasil pemeriksaan
dihabiskan laboratorium
meningkat - Monitor berat bada
2. Serum albumin Terapeutik
meningkat - Berikan makanan tinggi
3. Berat badan serat untuk mencegah
membaik konstipasi
- Berikan makanan tinggi
kalori dan tinggi protein
Edukasi
- Ajarkan diet yang
diprogramkan
Kolaborasi
- Kolaborasi dengan ahli
gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis
nutrien yang dibutuhkan
5. Gangguan integritas Setelah dilakukan interv Perawatan integritas kulit
kulit b.d. perpospatermia ensi keperawatan selam Observasi
d.d. mengeluh gatal di a 3 x 24 jam diharapaka - Identifikasi penyebab
ekstermitas, adanya n integritas kulit dan gangguan integritas kulit
pruritus jaringan meningkat den Pemberian obat intravena
gan kriteria hasil: Observasi
1. Elastisitas - Identifikasi kemungkinan
meningkat alergi, interaksi, dan
2. Kerusakan lapisan kontraindikasi obat
kulit menurun Terapeutik
- Lakukan prinsip enam
benar
- Pastikan kepatenan IV
- Berikan obat IV dengan
kecepatan yang tepat
Edukasi
- Jelaskan jenis obat, alasan
pemberian, tindakan yang
diharapkan, dan efek
samping obat
6. Keletihan b.d. kondisi Setelah dilakukan interv Manajemen Medikasi
fisiologis (penyakit ensi keperawatan selam Observasi
gagal ginjal kronis) d.d. a 3 x 24 jam diharapaka - Identifikasi pengetahuan
mengeluh lelah, tampak n tingkat keletihan dan kemampuan
lesu menurun dengan kriteria menjalani program
hasil: pengobatan
1. Pasien mengekuh - Monitor darah serum
lelah menurun - Monitor kepatuhan
2. Pasien tampak lesu menjalani program
menurun pengobatan
Terapeutik
- Sediakan sumber
informasi program
pengobatan secara visual
dan tertulis
Edukasi
- Ajarkan pasien dan
keluarga cara mengelola
obat

DAFTAR PUSTAKA
Andra, S.W., & Yessie, M.P. (2013). KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah
Keperawatan Dewasa Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta: Nuha
Medika

Black, J & Hawks, J. (2014). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis


untuk Hasil yang Diharapkan. Dialihbahasakan oleh Nampira R. Jakarta:
Salemba Emban Patria.

Chan W.K.Y. (2005). Fluid and electrolyte disorder. In: Chiu MC, Yap HK,
editors. Practical Paediatric nephrology, Medcom Ltd, 59-79.

Corwin, elizabeth, J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC

Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) CKD Work Group.


(2012). KDIGO 2012 clinical practice guideline for the evaluation and
management of chronic kidney disease. Kidney Int Suppl, 3(1): 1–150.

Muttaqin, A., & Kumala, S. (2011). Askep Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta:
Salemba Medika.

Haryono. (2013). Keperawatan medical bedah: system perkemihan. Yogyakarta:


Rapha Publishing.

Nuari & Widayati. (2017). Gangguan Pada Sistem Perkemihan &


Penatalaksanaan Keperawatan. Yogyakarta: Deepublish

Nurcahyati, S., & Karim, D. (2016). Implementasi Self Care Model Dalam Upaya
Meningkatkan Kualitas Hidup Penderita Gagal Ginjal Kronik. Jurnal
Keperawatan Sriwijaya, 3 (2), 25 – 32.

Nursalam & Batticaca. (2009). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan


Gangguan Sistem Perkemihan.Jakarta: Salemba Medika.

PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator


Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan


Keprawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria


Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
Smeltzer S.C., & Bare B.G. (2010). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai