Definisi
Smeltzer dan Bare (2015) mengemukakan bawha CKD atau gagal ginj
al kronis merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel di
mana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan kesei
mbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi uremia (retensi urea dan sampa
h nitrogen lain dalam darah). Black & Hawks menjelaskan bahwa (2014) Gag
al Ginjal Kronik (GGK) adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif dan tid
ak dapat pulih kembali, dimana tubuh tidak mampu memelihara metabolisme
dan gagal memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit yang berakibat pad
a peningkatan ureum.
B. Etiologi
Pada dasarnya, penyebab gagal ginjal kronik adalah penurunan laju fil
trasi glomerulus atau yang disebut juga penurunan glomerulus filtration rate
(GFR). Penyebab gagal ginjal kronik menurut Andra & Yessie, 2013):
1. Gangguan pembuluh darah: berbagai jenis lesi vaskuler dapat menyebabk
an iskemik ginjal dan kematian jaringan ginajl. Lesi yang paling sering a
dalah Aterosklerosis pada arteri renalis yang besar, dengan konstriksi skl
eratik progresif pada pembuluh darah. Hyperplasia fibromaskular pada sa
tu atau lebih artieri besar yang juga menimbulkan sumbatan pembuluh da
rah. Nefrosklerosis yaitu suatu kondisi yang disebabkan oleh hipertensi la
ma yang tidak di obati, dikarakteristikkan oleh penebalan, hilangnya elast
istisitas system, perubahan darah ginjal mengakibatkan penurunan aliran
darah dan akhirnya gagal ginjal.
2. Gangguan imunologis: seperti glomerulonephritis
3. Infeksi: dapat dijelaskan oleh beberapa jenis bakteri terutama E. Coli yan
g berasal dari kontaminasi tinja pada traktus urinarius bakteri. Bakteri ini
mencapai ginjal melalui aliran darah atau yang lebih sering secara ascend
en dari traktus urinarius bagian bawah lewat ureter ke ginjal sehingga dap
at menimbulkan kerusakan irreversible ginjal yang disebut pielonefritis.
4. Gangguan metabolik: seperti DM yang menyebabkan mobilisasi lemak m
eningkat sehingga terjadi penebalan membrane kapiler dan di ginjal dan
berlanjut dengan disfungsi endotel sehingga terjadi nefropati amiloidosis
yang disebabkan oleh endapan zat-zat proteinemia abnormal pada dindin
g pembuluh darah secara serius merusak membrane glomerulus.
5. Gangguan tubulus primer: terjadinya nefrotoksis akibat analgesik atau lo
gam berat.
6. Obstruksi traktus urinarius: oleh batu ginjal, hipertrofi prostat, dan kontst
riksi uretra.
7. Kelainan kongenital dan herediter: penyakit polikistik sama dengan kond
isi keturunan yang dikarakteristik oleh terjadinya kista atau kantong beris
i cairan didalam ginjal dan organ lain, serta tidak adanya jaringan ginjal y
ang bersifat konginetal (hypoplasia renalis) serta adanya asidosis.
C. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit CKD pada awalnya tergantung pada penyakit y
ang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi
kurang lebih sama. Penyakit CKD dimulai pada fase awal gangguan keseimba
ngan cairan, penanganan garam, serta penimbunan zat-zat sisa masih bervaria
si dan bergantung pada ginjal yang sakit (Muttaqin & Sari, 2011).
Berdasarkan proses perjalanan penyakit dari berbagai penyebab yaitu i
nfeksi, vaskuler, zat toksik, obstruksi saluran kemih yang pada akhirnya akan
terjadi kerusakan nefron sehingga menyebabkan penurunan GFR dan menyeb
abkan CKD, yang mana ginjal mengalami gangguan dalam fungsi eksresi dan
fungsi non-eksresi (Nursalam,2007). Fungsi renal menurun, produk akhir met
abolisme protein (yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dal
am darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin ba
nyak timbunan produk sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak masa
lah muncul pada CKD sebagai akibat dari penurunan jumlah glomeruli yang b
erfungsi, yang menyebabkan penurunan kliresn (substansi darah yang seharus
nya dibersihkan oleh ginjal). Menurunnya filtrasi glomerulus (akibat tidak ber
ungsinya gromeruli) klirens kreatinin akan menurun dan kadar kreatinin seru
m akan meningkat. Selain itu, kadar nitrogen urea darah (BUN) juga meningk
at (Smeltzer & Bare, 2015).
Ginjal juga tidak mampu untuk mengkonsentrasikan atau mengencerk
an urin secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir. Terjadi penahanan cai
ran dan natrium, sehingga beresiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif,
dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis renin-angiot
ensin dan kerjasama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Sindrom ure
mia juga bisa menyebabkan asidosis metabolik akibat ginjal tidak mampu me
nyekresi asam (H+) yang berlebihan.
Penurunan sekrsi asam akibat tubulus ginjal tidak mampu menyekresi
ammonia (NH3-) dan megapsorbsi natrium bikarbonat (HCO3-). Penurunan e
ksresi fosfat dan asam organik yang terjadi, maka mual dan muntah tidak dap
at dihindarkan (Smeltzer & Bare, 2015). Penurunan sekresi eritropoetin sebag
ai faktor penting dalam stimulasi produksi sel darah merah oleh sumsum tula
ng menyebabkan produk hemoglobin berkurang dan terjadi anemia sehingga
peningkatan oksigen oleh hemoglobin berkurang maka tubuh akan mengalam
i keletihan, angina dan napas sesak.
Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat merupakan gangguan metaboli
sme. Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan timbal balik.
Jika salah satunya meningkat maka fungsi yang lain akan menurun. Dengan
menurunnya filtrasi melaui glomerulus ginjal maka meningkatkan kadar fosfa
t serum, dan sebaliknya, kadar serum kalsium menurun. Penurunan kadar kals
ium serum menyebabkan sekresi parathhormon dari kelenjar paratiroid, tetapi
gagal ginjal tubuh tidak dapat merspons normal terhadap peningkatan sekresi
parathormon sehingga kalsium ditulang menurun, menyebabkan terjadinya pe
rubahan tulang dan penyakit tulang. Selain itu, metabolit aktif vitamin D yang
secara normal dibuat di ginjal menurun seiring dengan berkembangnya gagal
ginjal (Smeltzer & Bare, 2015).
D. Tanda dan Gejala
Menurut perjalanan klinisnya (Corwin, E (2009):
1. Menurunnya cadangan ginjal pasien asimtomatik, namun GFR dapat men
urun hingga 25% dari normal.
2. Insufisiensi ginjal, selama keadaan ini pasien mengalami polyuria dan no
kturia, GFR 10% hingga 25% dari normal, kadar kreatinin serum dan BU
N sedikit meningkat diatas normal.
3. Penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) atau sindrom uremik (lemah, letar
gi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati
perifer, pruritus, uremic frost, pericarditis, kejang-kejang sampai koma),
yang ditandai dengan GFR kurang dari 5-10 ml/menit, kadar serum kreati
nin dan BUN meningkat tajam, dan terjadi perubahan biokimia dan gejal
a yang komplek.
E. Diagnosis Medis
Penyakit ginjal kronis didefinisikan sebagai adanya kelainan pada stru
ktur ginjal atau fungsi bertahan selama lebih dari 3 bulan. Ini mencakup 1 ata
u lebih hal berikut menurut KDGIO (2012):
1. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 mL/menit/1,73 m2;
2. Albuminuria (yaitu, albumin urin 30 mg per 24 jam atau rasio albumin-kr
eatinin urin 30 mg/g);
3. Kelainan pada sedimen urin, histologi, atau pencitraan yang menunjukka
n kerusakan ginjal;
4. Gangguan tubulus ginjal; atau
5. Sejarah dari transplantasi ginjal. Jika durasi penyakit ginjal tidak jelas, ul
angi penilaian harus dilakukan untuk membedakan PGK dari cedera ginja
l akut (perubahanfungsi ginjal yang terjadi dalam 2-7 hari) dan penyakit
ginjal akut (kerusakan atau penurunan ginjal).
F. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada klien CKD, yaitu:
1. Pemeriksaan pada urine yang meliputi:
a. Volume urine pada orang normal yaitu 500-3000 ml/24 jam atau 1.2
00 ml selama siang hari sedangkan pada orang CKD produksi urine
kurang dari 400 ml/24 jam atau sama sekali tidak ada produksi urine
(anuria) (Debora, 2017).
b. Warna urine pada temuan normal transparan atau jernih dan temuan
pada orang CKD didapatkan warna urine keruh karena disebabkan ol
eh pus, bakteri, lemak, fosfat atau urat sedimen kotor, kecoklatan kar
ena ada darah, Hb, myoglobin, porfirin (Nuari & Widayati, 2017).
c. Berat jenis untuk urine normal yaitu 1.010-1.025 dan jika < 1.010 m
enunjukkan kerusakan ginjal berat (Nuari & Widayati, 2017).
d. Klirens kreatinin kemungkinan menurun dan untuk nilai normalnya
menurut Verdiansah (2016), yaitu: a) Laki-laki: 97 mL/menit – 137
mL/menit per 1,73 m2 b) Perempuan: 88 mL/menit – 128 mL/menit
per 1,73 m2
e. Protein: derajat tinggi proteinuria (3-4+) menunjukkan kerusakan glo
merulus bila SDM dan fragmen ada. Normalnnya pada urine tidak di
temukan kandungan protein.
2. Pemeriksaan darah pada penderita CKD menurut Nuari & Widayati (201
7)
a. BUN meningkat dari keadaan normal 10.0-20.0 mg/dL, kreatinin m
eningkat dari nilai normal < 0,95 mg/dL, ureum lebih dari nilai nor
mal 21 – 43 mg/dL
b. Hemoglobin bisasanya < 7-8 gr/dl
c. SDM menurun dari nilai normal 4.00-5.00, defisiensi eritopoetin
d. BGA menunjukkan asidosis metabolik, pH < 7,2
e. Natrium serum rendah dari nilai normal 136-145 mmol/L
f. Kalium meningkat dari nilai normal 3,5-5 mEq/L atau 3,5-5 mmol/
L
g. Magnesium meningkat dari nilai normal 1,8-2,2 mg/dL
h. Kalsium menurun dari nilai normal 8,8-10,4 mg/dL
i. Protein (albumin) menurun dari nilai normal 3,5-4,5 mg/dL
3. Pielografi intravena bisa menunjukkan adanya abnormalitas pelvis ginjal
dan ureter. Pielografi retrograde dilakukan bila muncul kecurigaan adany
a obstruksi yang reversibel. Arteriogram ginjal digunakan untuk mengkaj
i sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular massa (Haryono, 20
13).
4. Ultrasono ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal serta ada ata
u tidaknya massa, kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas
(Nuari & Widayati, 2017).
5. Biopsi ginjal dilakukan secara endoskopi untuk menentukan sel jaringan
untuk diagnosis histologis (Haryono, 2013).
G. Penatalaksanaan Medis
Tujuan penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan cairan elektrol
it dan mencegah komplikasi, yaitu sebagai berikut (Muttaqin, 2011):
1. Dialisis
Dialisis dapat dilakukan dengan mencegah komplikasi gagal ginjal yang
serius, seperti hyperkalemia, pericarditis, dan kejang. Dialisis memperbai
ki abnormalitas biokimia, menyebabkan cairan, protein dan natrium dapa
t dikonsumsi secara bebas, menghilangkan kecenderungan perdarahan da
n membantu penyembuhan luka. Dialisis atau dikenal dengan nama cuci
darah adalah suatu metode terapi yang bertujuan untuk menggantikan fun
gsi/kerja ginjal yaitu membuang zat-zat sisa dan kelebihan cairan dari tub
uh. Terapi ini dilakukan apabila fungsi kerja ginjal sudah sangat menurun
(lebih dari 90%) sehingga tidak lagi mampu untuk menjaga kelangsungan
hidup individu, maka perlu dilakukan terapi. Selama ini dikenal ada 2 jen
is dialisis:
a. Hemodialisis (cuci darah dengan mesin dialiser)
Hemodialisis atau HD adalah jenis dialisis dengan menggunakan me
sin dialiser yang berfungsi sebagai ginjal buatan. Pada proses ini, dar
ah dipompa keluar dari tubuh, masuk kedalam mesin dialiser. Didala
m mesin dialiser, darah dibersihkan dari zat-zat racun melalui proses
difusi dan ultrafiltrasi oleh dialisat (suatu cairan khusus untuk dialisi
s), lalu setelah darah selesai di bersihkan, darah dialirkan kembali ke
dalam tubuh. Proses ini dilakukan 1-3 kali seminggu di rumah sakit
dan setiap kalinya membutuhkan waktu sekitar 2-4 jam.
b. Dialisis peritoneal (cuci darah melalui perut)
Terapi kedua adalah dialisis peritoneal untuk metode cuci darah deng
an bantuan membrane peritoneum (selaput rongga perut). Jadi, darah
tidak perlu dikeluarkan dari tubuh untuk dibersihkan dan disaring ole
h mesin dialisis.
2. Koreksi hiperkalemi
Mengendalikan kalium darah sangat penting karena hiperkalemi dapat m
enimbulkan kematian mendadak. Hal pertama yang harus diingat adalah j
angan menimbulkan hiperkalemia. Selain dengan pemeriksaan darah, hip
erkalemia juga dapat didiagnosis dengan EEG dan EKG. Bila terjadi hipe
rkalemia, maka pengobatannya adalah dengan mengurangi intake kalium,
pemberian Na Bikarbonat, dan pemberian infus glukosa.
3. Koreksi anemia
Usaha pertama harus ditujukan untuk mengatasi factor defisiensi, kemudi
an mencari apakah ada perdarahan yang mungkin dapat diatasi. Pengenda
lian gagal ginjal pada keseluruhan akan dapat meninggikan Hb. Tranfusi
darah hanya dapat diberikan bila ada indikasi yang kuat, misalnya ada inf
usiensi coroner.
4. Koreksi asidosis
Pemberian asam melalui makanan dan obat-obatan harus dihindari. Natri
um Bikarbonat dapat diberikan peroral atau parenteral. Pada permulaan 1
00 mEq natrium bikarbonat diberi intravena perlahan-lahan, jika diperluk
an dapat diulang. Hemodialisis dan dialisis peritoneal dapat juga mengata
si asidosis.
5. Pengendalian hipertensi
Pemberian obat beta bloker, alpa metildopa dan vasodilatator dilakukan.
Mengurangi intake garam dalam mengendalikan hipertensi harus hati-hat
i karena tidak semua gagal ginjal disertai retensi natrium.
6. Transplantasi ginjal
Dengan pencakokkan ginjal yang sehat ke pasien gagal ginjal kronik, ma
ka seluruh faal ginjal diganti oleh ginjal yang baru.
H. Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan pada pasien gagal ginjal kronik adalah
denngan meningkatkan kualitias hidup pasien. Penderita Gagal Ginjal Kronik
(GGK) sering mengalami komplikasi penyakit lanjut akibat ketidakmampuan
dalam melakukan kontrol terhadap nutrisi, kebutuhan cairan, kadar ureum dan
kreatinin, adekuasi HD yang akan berpengaruh terhadap kualitas hidupnya. K
omplikasi baik fisik maupun psikis tentunya menjadi gangguan dalam melaku
kan perawatan diri secara mandiri pada pasien GGK yang menjalani hemodial
isa (Smeltzer & Bare, 2011). Pasien hemodialisa membutuhkan kemampuan
dalam perawatan dirinya sendiri. Saat ini kemampuan self care pasien telah m
enjadi perhatian dunia seiring dengan peningkatan kejadian penyakit kronis, p
eningkatan biaya pengobatan serta jumlah tenaga educator yang tidak cukup
menjadi alasan self care penting sebagai upaya meningkatkan kualitas hidup
pasien penyakit kronis, keluarga dan komunitas (Taylor, 2011; dikutip
Nurcahyati & Karim, 2016). Setiap individu secara natural memiliki kemamp
uan dalam merawat dirinya sendiri dan perawat harus berfokus terhadap dam
pakkemampuan tersebut bagi pasien (Tomey & Alligod, 2006; dikutip
Nurcahyati & Karim, 2016).
I. Komplikasi
Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut Smletzer & Bare (20
15) yaitu:
1. Hiperkalemia akibat penurunan eksresi, asidosis metabolik, katabolisme
dan masukan diet berlebihan.
2. Perikarditis, efusi pericardial dan tamponade jantung akibat retensi produ
k sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renni
n-angiostensin-aldosteron
4. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah
merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin dan kehilanga
n darah selama hemodialisis.
5. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatik akibat retensi fosfat, kadar kal
sium serum yang rendah, metabolisme vitamin D abnormal dan peningka
tan kadar alumunium.
J. Prognosis
Prognosis pasien dengan penyakit ginjal kronis menurut Chan (2005)
adalah bervariasi menurut stadium dan penatalaksanaan yang dilakukan. Den
gan deteksi dan penatalaksanaan dini, morbiditas dan mortalitas diharapkan d
apat diturunkan.
K. WOC
CES meningkat
Sindrom uremia Produksi Hb turun
Volume
intersitial
Ganguuan Perpospatermia meningkat Kadar O2 dalam
keseimbangan
darah menurun
asam basa
Edema naik
Perfusi perifer
Anoresia Gangguan tidak efektif
integritas kulit Tekanan vena
pulmonalis
meningkat Proses
Defisit nutrisi pembentukan
energi terganggu
Aliran darah ke Kapiler paru
ginjal turun naik
Keletihan
DAFTAR PUSTAKA
Andra, S.W., & Yessie, M.P. (2013). KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah
Keperawatan Dewasa Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta: Nuha
Medika
Chan W.K.Y. (2005). Fluid and electrolyte disorder. In: Chiu MC, Yap HK,
editors. Practical Paediatric nephrology, Medcom Ltd, 59-79.
Muttaqin, A., & Kumala, S. (2011). Askep Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta:
Salemba Medika.
Nurcahyati, S., & Karim, D. (2016). Implementasi Self Care Model Dalam Upaya
Meningkatkan Kualitas Hidup Penderita Gagal Ginjal Kronik. Jurnal
Keperawatan Sriwijaya, 3 (2), 25 – 32.