Anda di halaman 1dari 62

KEPERAWATAN JIWA

“Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Kebutuhan Khusus,


Korban Pemerkosaan, KDRT”

Dosen Pembimbing:
Ns. Isti Antari S. Kep.,M.Med.Ed

Disusun Oleh:
Nabila Herdiyanti M19010017
Nadiatul Haera M19010019
Nanda Nur Asmiyati M19010020
Ngaisah eka raditya M19010021
Nikmaturohmah M19010022

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN


STIKES MADANI
YOGJAKARTA
2019/2020

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................................................
DAFTAR ISI..............................................................................................................................................................
BAB I (PENDAHULUAN)
1.1 LATAR BELAKANG..........................................................................................................................................
1.2 RUMUSAN MASALAH......................................................................................................................................
1.3 TUJUAN...............................................................................................................................................................
1.4 MANFAAT...........................................................................................................................................................
BAB II (PEMBAHASAN)
2.1 ASUHAN KEPERAWATAN KDRT
1. Definisi KDRT...................................................................................................................................................
2. Etiologi KDRT...................................................................................................................................................
3. Konsep Asuhan Keperawatan Pada KDRT........................................................................................................
2.2 ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
1. Autisme .............................................................................................................................................................
2. Sindrom Hiperaktivitas .....................................................................................................................................
3. Sindrom Down...................................................................................................................................................
4. Ratardasi Mental................................................................................................................................................
5. Askep Down Sindrom........................................................................................................................................
6. Askep Retardasi Mental.....................................................................................................................................
7. Askep Hiperaktivitas..........................................................................................................................................
8. Askep Autisme...................................................................................................................................................
2.3 ASUHAN KEPERAWATAN PADA KORBAN PEMERKOSAAN..................................................................
1. Definisi....................................................................................................................................................................
2. Tanda Gejala...........................................................................................................................................................
3. Batasan Karakteristik..............................................................................................................................................
4. Permasalahan Permasalahn yg Berkaitan Dengan Korban Pemerkosaan...............................................................

2
5. Kemungkinan Perilaku Anak Dan Remaja yg Mengalami Trauma.......................................................................
6. Pengobatan..............................................................................................................................................................
7. Peran Perawat .........................................................................................................................................................

BAB III (PENUTUP)


3.1 KESIMPULAN.....................................................................................................................................................
3.2 SARAN.................................................................................................................................................................
3.3 DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................................................

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi wabarokatuh,

Bismillah, dengan menyebut nama Allah-SWT yang Maha-Pengasih lagi Maha-Panyayang,


segala puji bagi Allah Tuhan semesta-alam. Sehingga makalah ini dapat selesai tanpa halangan
yang berarti.

Kami mengucapkan syukur kepada Allah Subhanahu Wata’ala atas limpahan nikmat
sehat-Nya, karena dapat memenuhi tugas dari mata kuliah Keperawatan Jiwa dengan bahan
kajian “Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Kebutuhan Khusus, Korban Pemerkosaan,
KDRT”.

Terlepas dari itu semua kami menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah yang
kami buat. Mungkin dari segi bahasa, susunan kalimat atau hal lain yang tidak kami sadari. Oleh
karenanya kami sangat mengharapkan kritik dan saran sebagai sarana perbaikan makalah yang
lebih baik.

3
Dan semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan masyarakat luas.
Akhir kata kami ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas perhatiannya.
Wassalamu”alaikum Warahamatullahi wabarokatuh.

Yogyakarta,28 November 2021

Penulis

Kelompok 3

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini, semakin banyak kasus pelecehan seksual dan perkosaan yang menimpa anak-
anak dan remaja. Kasus pelecehan seksual dan perkosaan sebagian besar menimpa anak-anak
dan remaja putri. Kasus pelecehan seksual dan perkosaan dimulai dari anak-anak yang masih di
bawah umur (Anonim, 2006), pelecehan seks di sekolah (Anonim, 2006), bahkan kepala sekolah
yang seharusnya memberi contoh pada murid-muridnya melakukan pelecehan seksual kepada
siswi-siswinya (Anonim,2007), walikota yang menghamili ABG (Anonim, 2007), hingga
personel tentara perdamaian pun melakukan pelecehan seksual (Anonim, 2006).
Pelecehan seksual pada dasarnya adalah setiap bentuk perilaku yang memiliki muatan
seksual yang dilakukan seseorang atau sejumlah orang namun tidak disukai dan tidak diharapkan
oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan akibat negatif, seperti: rasa malu,
tersinggung, terhina, marah, kehilangan harga diri, kehilangan kesucian, dan sebagainya, pada
diri orang yang menjadi korban (Supardi, S.& Sadarjoen, 2006).

4
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) semakin menjadi fenomena sosial yang
memprihatinkan ditengah masyarakat. Abrahams (2009), mengungkapkan bahwa kekerasan
dalam rumah tangga adalah segala bentuk perilaku mengancam dan menyakiti yang digunakan
untuk mengendalikan seseorang dalam sebuah keluarga tanpa memperhatikan jenis kelamin atau
gender. KDRT dapat berbentuk kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga.
Konsistensi pemerintah untuk melindungi perempuan dan anakanak korban KDRT
dibuktikan dengan dikeluarkannya berbagai peraturan perundang-undangan tentang penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga.

Anak merupakan anugrah dari 'uhan yang sangat dinantikan kehadirannya, namun tidak
semua anak beruntung dengan mendapatkan kesempurnaan. Terdapat beberapa anak yang
istimewa, berbeda dari yang lain yang harus mendapatkan perhatian khusus. anak berkebutuhan
khusus adalah mereka yang memerlukan penanganan khusus yang berkaitan dengan
kekhususanya (fadhli 2010). Sama halnya dengan anak yang normal, anak yang berkebutuhan
khusus juga harus di perhatikan, pertumbuhan dan perkembangan anak sangat penting bagi anak
karena menentukan masa depannya.
1.2 Rumusan Masalah.
1. Apakah yang dimaksud dengan korban perkosaan?
2. Apa saja gangguan stress pasca trauma korban perkosaan?
3. Apa saja tanda dan gejala korban perkosaan?
4. Apa saja batasan karakteristik
5. Apa saja permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan korban pemerkosaan?
6. Apa saja kemungkinan perilaku anak-anak dan remaja yang mengalami trauma?
7. Bagaimana pengobatan pada korban pemerkosaan?
8. Apa saja beban psikologis dan kesehatan korban pemerkosaan?
1.3 Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui bagaimana asuhan keperawatan pada pasien korban pemerkosaan, Pasien
KDRT, dan Pasien dengan kebutuhan khusus.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 ASUHAN KEPERAWATAN KDRT


1. DEFINISI KDRT
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah tindakan yang dilakukan di dalam rumah
tangga baik oleh suami, istri, maupun anak yang berdampak buruk terhadap keutuhan fisik,
psikis, dan keharmonisan hubungan sesuai yang termaktub dalam pasal 1 UU Nomor 23 tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Komnas
Perempuan: Kekerasan adalah segala tindakan yang mengakibatkan kesakitan yang meliputi
empat aspek: fisik, mental, sosial dan ekonomi. Begitu juga kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT).
Menurut U.S Departement of Health, Education and Wolfare child abuse merupakan
tidakan kekerasan fisik atau mental, kekerasan seksual dan penelantaran terhadap anak dibawah

6
usia 18 tahun yang dilakukan oleh orang yang seharusnya bertanggung jawab terhadap
kesejahteraan anak yang terancam.
Menurut Harry Kempe dkk (1992), child abuse merupakan the battered child syndrome
yang hanya terbatas pada anak-anak yang mendapatkan perlakuan salah secara fisik yang bersifat
ekstrem atau membahayakan anak-anak. Jadi, child abuse merupakan suatu tidak kekerasan
kekerasan (fisik dan/atau mental), eksploitasi (ekonomi, seksual) dan diskriminasi dalam tulisan
ini selanjutnya disebut anak yang mengalami berbagai perlakuan salah. Kondisi dan situasi anak
yang sulit tersebut tergolong ke dalam anak yang memerlukan perlindungan khusus.

Pasal 59 Undang-undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa
perlindungan khusus diberikan kepada:
1) anak dalam situasi darurat (anak pengungsi, anak korban kerusuhan,anak korban bencana
alam, anak dalam situasi konflik bersenjata)
2) anak yang berhadapan dengan hukum,
3) anak dari kelompok minoritas dan terisolasi,
4) anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual,
5) anak yang diperdagangkan,
6) anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, akohol, psikotropika dan zat
adiktif lainnya (napza),
7) anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan,
8) anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental,
9) anak korban perlakuan salah, penelantaran
10) anak yang menyandang cacat

Selain itu, dimasukkan pula kelompok anak rentan lainnya yakni anak jalanan dan anak tanpa
akta kelahiran. Dengan demikian terdapat berbagai jenis kondisi dan situasi anak yg memerlukan
perlindungan khusus dari perlakuan salah.yang dapat dilakukan oleh orang perorang, keluarga,
masyarakat bahkan oleh negara sekalipun.

7
2. ETIOLOGI KDRT
Etiologi perlakuan salah terhadap anak bersifat multidimensional, tetapi ada 3 faktor
penting yang berperan dalam terjadinya perlakuan salah pada anak, yaitu:
 Karakteristik orangtua dan keluarga Faktor-faktor yang banyak terjadi dalam keluarga dengan
child abuse antara lain:
1) Para orangtua juga penderita perlakuan salah pada masa kanak-kanak.
2) Orangtua yang agresif dan impulsif.
3) Keluarga dengan hanya satu orangtua.
4) Orangtua yang dipaksa menikah saat belasan tahun sebelum siap secara emosional dan
ekonomi.
5) Perkawinan yg saling mencederai pasangan dalam perselisihan
6) Tidak mempunyai pekerjaan.
7) Jumlah anak yang banyak.
8) Adanya konflik dengan hukum.
9) Ketergantungan obat, alkohol, atau sakit jiwa.
10) Kondisi lingkungan yang terlalu padat.
11) Keluarga yang baru pindah ke suatu tempat yang baru dan tidak mendapat dukungan dari
sanak
12) keluarga serta kawan- kawan.
 Karakteristik anak yang mengalami perlakuan salah Beberapa faktor anak yang berisiko tinggi
untuk perlakuan salah adalah:
1) Anak yang tidak diinginkan.
2) Anak yang lahir prematur, terutama yang mengalami komplikasi neonatal, berakibat
adanya keterikatan bayi dan orangtua yang membutuhkan perawatan yang
berkepanjangan.
3) Anak dengan retardasi mental, orangtua merasa malu.
4) Anak dengan malformasi, anak mungkin ditolak

8
5) Anak dengan kelainan tingkah laku seperti hiperaktif mungkin terlihat nakal.
6) Anak normal, tetapi diasuh oleh pengasuh karena orangtua bekerja.

 Beban dari lingkungan:


Lingkungan hidup dapat meningkatkan beban terhadap perawatan anak. Penelitian
yang telah dilakukan menyatakan bahwa penyiksaan anak dilakukan oleh orang tua dari
banyak etnis, letak geografis, agama, tingkat pendidikan, pekerjaan dan social ekonomi.
Kelompok masyarakat yang hidup dalam kemiskinan meningkatkan laporan penyiksaan fisik
terhadap anak-anak. Hal ini mungkin disebabkan karena:
1) Peningkatan krisis di tempat tinggal mereka (contoh: tidak bekerja atau hidup yang
berdesakan).
2) Akses yang terbatas ke pusat ekonomi dan sosial saat masa- masa krisis.
3) Peningkatan jumlah kekerasan di tempat tinggal mereka.
4) Hubungan antara kemiskinan dengan faktor resiko seperti remaja dan orang tua tunggal
(single parent), (hidayat,2008)

Klasifikasi Terdapat 2 golongan besar yaitu : Dalam keluarga Penganiayaan fisik, non-
Accidental injury mulai dari ringan bruiser laserasi sampai pada trauma neurologik yang berat
dan kematian. Cedera fisik akibat hukuman badan di luar batas, kekejaman atau pemberian
racun. Penelantaran anak/kelalaian, yaitu: kegiatan atau behavior yang langsung dapat
menyebabkan efek merusak pada kondisi fisik anak dan perkembangan psikologisnya. Kelalaian
dapat berupa pemeliharaan yang kurang memadai,menyebabkan gagal tumbuh, anak merasa
kehilangan kasih sayang, gangguan kejiwaan, keterlambatan perkembangan
pengawasan yang kurang memadai. Menyebabkan anak gagal mengalami resiko untuk
terjadinya trauma fisik dan jiwa Kelalaian dalam mendapatkan pengobatan Kegagalan dalam
merawat anak dengan baik.

9
Kelalaian dalam pendidikan, meliputi kegagalan dalam mendidik anak agar
mampu berinteraksi dengan lingkungannya, gagal menyekolahkan atau menyuruh anak mencari
nafkah untuk keluarga sehingga anak terpaksa putus sekolah. Penganiayaan emosional Ditandai
dengan kecaman/kata-kata yang merendahkan anak, tidak mengakui sebagai anak. Penganiayaan
seperti ini umumnya selalu diikuti bentuk penganiayaan lain.Penganiayaan seksual
mempergunakan pendekatan persuasif. Paksaan pada seseorang anak untuk mengajak
berperilaku/mengadakan kegiatan seksual yang nyata, sehingga menggambarkan kegiatan
seperti: aktivitas seksual (oral genital, genital, anal, atau sodomi) termasuk incest.

3. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN KDRT


A. Pengkajian
1.Riwayat keluarga dari penganiayaan anak yang lalu.
2.Kecelakaan yang berulang-ulang, dengan fraktur/memar/jaringan yang berbeda waktu
sembuhnya.
3.Orang tua yang lambat mencari pertolongan medis.
4.Orang tua yang mengaku tidak mengetahui bagaimana jelas tersebut terjadi.
5. Riwayat kecelakaan dari orangtua berbeda atau berubah-ubah pada anamnesis.
6.Keterangan yang tidak sesuai dengan penyebab jejas yang tampak atau stadium
perkembangan anak.
7.Orang tua yang mengabaikan jejas utama yang hanya membicarakan masalah kecil yang
terus-menerus.
8.Orangtua berpindah dari satu dokter ke dokter yang lain sampai satu saat akhir bercerita
bahwa ada sesuatu yang salah dengan anak mereka.
9.Penyakit anak yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya.
10. Anak yang gagal tumbuh tanpa alasan yang jelas.
11.Anak wanita yang tiba-tiba berubah tingkah lakunya, menyendiri atau sangat takut dengan
orang asing, harus diwaspadai kemungkinan terjadinya penganiayaan seksual.

10
12.Pada anak yang lebih tua, mungkin dapat menceritakan jejasnya, tetapi kemudian
mengubah uraiannya karena rasa takut akan pembalasan atau untuk mencegah pembalasan
orangtua.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko trauma berhubungan dengan karakteristik anak, pemberian asuhan dan lingkungan.
2. Cemas berhubungan dengan perlakuan salah yang berulang-ulang,
ketidakberdayaan dan potensial kehilangan orang tua.
3. Resiko terhadap kerusakan kedekatan orang tua / anak / bayi berhubungan dengan
perlakuan kekerasan.
4. Risiko cidera berhubungan dengan kekerasan fisik (kekerasan orang tua)
5. Ketakutan berhubungan dengan kondisi fisik / social
6. Resiko keterlamnbatan perkembangan berhubungan dengan perilaku kekerasan (Nanda,
2012)

C. Intervensi
Dx 1: Resiko trauma berhubungan dengan karakteristik anak, pemberian asuhan dan lingkungan.
 Tujuan: setelah dialakukan tindakan keperawatan diharapkan tidak terjadi trauma pada
anak
 NOC: Abuse Protection
 Kriteria hasil:
1. Keselamatan tempat tinggal
2. Rencana dalam menghindari kekerasan/ perlakuan yang salah
3. Rencanakan tindakan untuk menghindari perlakuan yang salah
4. Keselamatan diri sendiri
5. Keselamatan anak
 NIC: Enviromental Mangemen: safety
 Intervensi:

11
1. Identifikasi kebutuhan rasa aman pasien berdasarkan tingkat fisik, fungsi kognitif dan
perilaku masa lalu
2. Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan bahaya dan resiko
3. Monitor lingkungan dalam perubahan status keamanan
4. Bantu pasien dalam menyiapkan lingkungan yang aman
5. Ajarkan resiko tinggi individu dan kelompok tentang bahaya lingkungan
6. Kolaborasi dengan agen lain untuk mengmbangkan keamanan lingkungan.
Dx 2: Cemas berhubungan dengan perlakuan salah yang berulang-ulang ketidakberdayaan dan
potensial kehilangan orang tua.
 Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatandiharapkan rasa cemas anak dapat
berkurang / hilang
 NOC: Kontrol cemas
 Kriteria hasil:
1. Monitor intensitas kecemasan
2. Menyingkirkan tanda kecemasan
3. Menurunkan stimulasi lingkuangan ketika cemas
4. Mencari informasi untuk menurunkan cemas
5. Menggunakan strategi koping efektif
 NIC: Penurunan cemas
 Intervensi:
1. Tenangkan klien
2. Berusaha memahami keadaan klien
3. Temani pasien untuk mendukung keamanan dan menurunkan rasa takut
4. Bantu pasien untuk mengidentifikasi situasi-situasi yang menciptakan cemas
5. Dukung penggunaan mekanisme pertahanan diri dengan cara yang tepat
6. oKaji tingkat kecemasan dan reaksi fisik pada tingkat kecemasan.
Dx 3: Resiko terhadap kerusakan kedekatan orang tua / anak / bayi
berhubungan dengan perlakuan kekerasan

12
 Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan
tidak terjadi kerusakan kedekatan orang tua / anak / bayi
 NOC: Parenting
 Kriteria hasil:
1. Menyediakan kebutuhan fisik anak
2. Merangsang perkembangan kognitif
3. Merangsang perkembangan emosi
4. Merangsang perkembangan spiritual
5. Menggunakan masyarakat dan sumber lain yang tepat
6. Gunakan interaksi yang tepat untuk perkembangan emosi anak
 NIC: Anticipatory guidance
 Intervensi:
1. Kaji pasien untuk mengidentifikasi perkembangan dan krisis situasional selanjutnya
dalam efek dari krisis yang ada pada kehidupan individu dan keluarga.
2. Instruksikan perkembangan dan perilaku yang tepat
3. Sediakan informasi yang realistic yang berhubungan dengan perilaku pasien
4. Tentukan kebiasaan pasien dalam mengatasi masalah
5. Bantu pasien dalam memutuskan bagaimana dalam memutuskan masalah
6. Bantu pasien berpartisipasi dalam mengantisipasi perubahan peraturan
Dx 4: Risiko cidera berhubungan dengan kekerasan fisik (kekerasan orangtua)
 Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tidak terjadi cidera
 NOC: Pengendalian resiko
 Kriteria hasil:
1. Pantau factor resiko perilaku pribadi dan lingkungan
2. Mengembangkan dan mengikuti strategi pengendalian resiko
3. Mengubah gaya hidup untuk mengurangi resiko
4. Menghindari cidera fisik
5. Orang tua akan mengenali resiko dan membantu kekerasan.

13
 NIC: Manajemen lingkungan: keselamatan
 Intervensi
1. Monitor lingkungan untuk perubahan status
2. Identifikasi keselamatan yang dibutuhkan pasien, fungsi kognitif dan level fisik
3. Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan bahaya dan resiko
4. Gunakan alat-alat pelindung untuk mobilitas fisik yang sakit
5. Catat agen-agen berwenang untuk melindungi lingkungan
Dx 5: Ketakutan berhubungan dengan kondisi fisik / social
 Tujuan: Pasien tidak merasa takut.
 NOC: Kontrol ketakutan
 Kriteria hasil:
1) Mencari informasi untuk menurunkan ketakutan
2) Menghindari sumber ketakutan bila mungkin
3) Mengendalikan respon ketakutan
4) Mempertahan penampilan peran dan hubungan social
 NIC 1: Pengurangan Ansietas
 Intervensi:
1) Sering berikan penguatan positif bila pasien mendemonstrasikan perilaku yang dapat
menurunkan / mengurangi takut
2) Tetap bersama pasien selama dalam situasi baru
3) Gendong/ayun-ayun anak
4) Sering berikan penguatan verbal / nonverbal yang dapat membantu menurunkan
ketakutan pasien
 NIC 2: Peningkatan koping
 Intervensi:
1) Gunakan pendekatan yang tenang, meyakinkan
2) Bantu pasien dalam membangun penilaian yang objektif terhadap suatu peristiwa
3) Tidak membuat keputusan pada saat pasien berada dalam stress berat

14
4) Dukung untuk menyatukan perasaan, persepsi dan ketakutan secara verbal
5) Kurangi stimulasi dalam lingkungan yang dapat disalah interprestasikan sebagai
ancaman
Dx 6: Resiko keterlambatan perkembangan berhubungan dengan perilaku kekerasan
 Tujuan: Tidak terjadi keterlambatan perkembangan
 NOC: Abusive behavior self- control
 Kriteria hasil:
1) Hindari perilaku kekerasan fisik
2) Hindari perilaku kekerasan emosi
3) Hindari perilaku kekerasan seksual
4) Gunakan alternative mekanisme koping untuk mengurangi stress
5) Identifikasi factor yang dapat menyebabkan perilaku kekerasan
 NIC: Family terapi
 Intervensi:
1) Tentukan terapi dengan keluarga
2) Rencanakanstrategi terminasi dan evaluasi
3) Tentukan ketidakmampuan spesifik dalam harapan peran
4) Gunakan komunikasi dalam berhubungan dengan keluarga
5) Berikan penghargaan yang positif pada anggota keluarga

3.1 ASKEP ANAK DENGAN KEBUTUHAN KHUSUS


 AUTISME
A. DEFINISI

Autisme berasal dari istilah dalam bahasa Yunani; ,aut "= diri sendiri, isme"
orientation/state = orientasi/keadaan. Maka autisme dapat diartikan sebagai kondisi seseorang
yang secara tidak wajar terpusat pada dirinya sendiri; kondisi seseorang yang senantiasa berada
di dalam dunianya sendiri.

Istilah "autisme" pertama kali diperkenalkan oleh Leo Kanner pada tahun 1943,
selanjutnya ia juga memakai istilah "Early Infantile Autism", atau dalam bahasa Indonesianya
diterjemahkan sebagai "Autisme masa kanak-kanak". Hal ini untuk membedakan dari orang

15
dewasa yang menunjukkan gejala autism seperti ini. Autisme merupakan suatu gangguan
perkembangan pada anak yang sifatnya komplek dan berat, biasanya telah terlihat sebelum
berumur 3 tahun, tidak mampu untuk berkomunikasi dan mengekspresikan perasaan maupun
keinginannya. Akibatnya perilaku dan hubungannya dengan orang lain menjadimterganggu,
sehingga keadaan ini akan sangat mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya.

Autisme dapat mengenai siapa saja tidak tergantung pada etnik, tingkat pendidikan, sosial
dan ekonomi. Autisme bukanlah masalah baru, dari berbgai bukti yang ada, diketahui kelainan
ini sudah ada sejak berabad- abad yang lampau. Hanya saja istilahnya relatif masih baru.
Diperkirakan kira-kira sampai 15 tahun yang lalu, autisme merupakan suatu gangguan yang
masih jarang ditemukan, diperkirakan hanya 2-4 penyandang autisme. Tetapi sekarang terjdi
peningkatan jumlah penyandang autisme sampai lebih kurang 15-20 per 10.000 anak. Jika angka
kelahiran pertahun di Indonesia 4,6 juta anak, maka jumlah penyandang autisme pertahun akan
bertambah dengan 0,15% yaitu 6900 anak.

B. PENYEBAB
Beberapa tahun yang lalu, penyebab autisme masih merupkan suatu misteri, oeh karena
itu banyak hipotesis yang berkembang mengenai penyebab autisme. Salah satu hipotesis yang
kemudian mendapat tanggapan yang luas adalah teori "ibu yang dingin". Menurut teori ini
dikatakan bahwa anak masuk ke dalam dunianya sendiri oleh karena merasa ditolak oleh ibu
yang dingin. Teori ini banyak yang menentang karena banyak ibu yang bersifat hangat tetap
mempunyai anak yang menunjukkan ciri-ciri autisme. Teori tersebut tidak memberi gambaran
secara pasti, sehingga hal ini mengakibatkan penanganan yang diberikan kurang tepat bahkan
tidak jarang berlawanan dan berakibat kurang menguntungan bagi pekembangan individu
autisme. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama di bidang kedokteran akhir-akhir
ini telah menginformasikan individu dengan gangguan autisme mengalami kelainan
neurobiologis pada susunan saraf pusat. Kelainan ini berupa pertumbuhan sel otak yang tidak
sempurna pada beberapa bagian otak. Gangguan pertumbuhan sel otak ini, terjadi selama
kehamilan, terutama kemahilan muda dimana sel-sel otak sedang dibentuk.

Pemeriksaan dengan alat khusus yang disebut Magnetic Resonance Imaging (MRI) pada
otak ditemukan adanya kerusakan yang khas di dalam otak pada daerah apa yang disebut dengan
limbik sistem (pusat emosi). Pada umumnya individu autisme tidak dapat mengendalikan
emosinya, sering agresif terhadap orang lain dan diri sendiri, atau sangat pasif seolah-olah tidak
mempunyai emosi. Selain itu muncul pula perilaku yang berulang-ulang (stereotipik) dan
hiperaktivitas. Kedua peilaku tersebut erat kaitannya dengan adanya gangguan pada daerah
limbik sistem di otak.

Terdapat beberapa dugaan yang menyebabkan terjadinya kerusakan pada otak yang
menimbulkan gangguan autisme di antaranya adanya pertumbuhan jamur Candida yang

16
berlebihan di dalam usus. Akibat terlalu banyak jamur, maka sekresi enzim ke dalam usus
berkurang. Kekurangan enzim menyebabkan makanan tak dapat dicerna dengan sempurna.
Beberapa protein jika tidak dicema secara sempurna akan menjadi "racun" bagi tubuh. Protein
biasanya suatu rantai yang terdiri dari 20 asam amino. Bila pencernaan baik, maka rantai tersebut
seluruhnya dapat diputus dan ke-20 asam amino tersebut akan diserap oleh tubuh. Namun bila
pencernaan kurang baik, maka masih ada beberapa asam amino yang rantainya belum terputus.
Rangkaian yang terdiri dari beberapa asam amino disebut peptida. Oleh karena adanya
kebocoran usus, maka peptida tersebut diserap melalui dinding usus, masuk ke dalam aliran
darah, menembus ke dalam otak. Di dalam otak, peptide tersebut ditangkap oleh reseptor oploid,
dan ia berfungsi seperti opium atau morfin. Melimpahnya zat-zat yang bekerja seperti opium ini
ke dalam otak menyebabkan terganggunya kerja susunan saraf pusat. Yang terganggu biasanya
seperti persepsi, kognisi (kecerdasan), emosi, dan perilaku. Dimana gejalanya mirip dengan
gejala yang ada pada individu autisme. Tentu masih terdapat dugaan dugaan lain yang
menimbulkan keruskan pada otak seperti adanya timbal, mercury atau zat beracun lainnya yang
termakan bersama makanan yang dikonsumsi ibu hamil, yang selanjutnya mempengaruhi
pertumbuhan otak janin yang dikandungnya. Apapun yang melatarbelakangi penyebab gangguan
pada individu autisme, yang jelas bukan karena ibu yang frigit (ibu yang tidak memberi
kehangatan kasih sayang), seperti yang dianut dahulu, akan tetapi gangguan pada autisme terjadi
erat kaitannya dengan gangguan pada otak.

C. KARAKTERISTIK AUTISME
Karakteristik gangguan autisme pada sebagian individu sudah mulai muncul sejak bayi.
Kciri yang sangat menonjol adalah tidak ada kontak mata dan reaksi yang sangat minim terhadap
ibunya atau pengasuhnya.Ciri ini semakin jelas dengan bertambahnya umur. Pada sebagian kecil
lainnya dari individu penyandang autisme, perkembangannya sudah terjadi secara". relatif
normal". Pada saat bayi sudah menatap, mengoceh, dan cukup menunjukkan reaksi pada orang
lain, tetap kemudian pada suatu saat sebelum usia 3 tahun ia berhenti berkembang dan terjadi
kemunduran. Ia mulai menolak tatap mata, berhenti mengoceh, dan tidak bereaksi terhdap orang
lain.

Oleh karena itu kemudian diketahui bahwa seseorang baru dikatakan mengalami
gangguan autisme, jika ia memiliki gangguan perkembangan dalam tiga aspek yaitu kualitas
kemampuan interaksi sosial dan emosional, kualitas yang kurang dalam kemampuan komunikasi
timbal balik, dan minat yang terbatas disertai gerakan - gerakan berulang tanpa tujuan Ciri-ciri
tersebut harus sudah terlihat sebelum anak berumur 3 tahun. Mengingat bahwa tiga aspek
gangguan perkemb angan di atas terwujud dalam berbagai bentuk yang berbeda, dapat
disimpulkan bahwa autism sesungguhnya adalah sekumpulan gejala/ciri yang melatar-belakangi
berbagai factor yang sangat bervariasi, berkaitan satu sama lain dan unik karena tidak sama
untuk masing-masing anak. Dengan demikian, maka sering ditemukan ciri-ciri yang tumpang
tindih dengan beberapa gangguan perkembangan lain. Gradasi manifestasi gangguan juga sangat

17
lebar antara yang berat hingga yang ringan. Di satu sisi ada individu yang memiliki semua
gejala, dan di sisi lain ada individu yang memiliki sedikit gejala.

Adapun tanda-tanda awal autism anak usia 0-5 tahun menurut Harris (1989) sebagai berikut:

1.Bayi lahir - usia 6 bulan

a. Anak terlalu tenang atau baik"

b. Mudah terangsang (irritable) banyak menangis terutama malam, susah ditenangkan

c. Jarang menyodorkan kedua tangan untuk minta diangkat d. Jarang mengoceh

e. Jarang menunjukkan senyuman social

f. Jarang menunjukkan kontak mata g. Perkembangan gerakan kasar tampak normal

2. Usia 6 bulan-2 tahun

a. Tidak mau dipeluk, atau menjadi tegang bila diangkat

b. Cuek menghadapi kedua orang tuanya c. Tidak mau ikut permainan sederhana seperti
"ciluk ba, bye-bye"

d. Tidak berupaya menggunakan kata-kata

e. Seperti tidak tertarik pada boneka atau binatang mainan untuk bayi

f. Bisa sangat tertarik pada kedua tangannya sendiri

g. Mungkin menolak makanan keras atau tidak mengunyah

3. Usia 2-3 tahun

a. Tidak tertarik (terbatas) atau menunjukkan perhatian khusus, (perlu dikoreksi

untuk usia muda)

b. Menganggap orang lain sebagai alat atau benda

c. Menunjukkan kontak mata yang terbatas

d. Mungkin mencium atau menjilat benda-benda

e. Menolak untuk dipeluk dan menjadi tegang atau sebaliknya tubuh menjadi lemas

f. Relative cuek menghadapi kedua orag tuanya

4. Usia 4-5 tahun

18
a. Bila anak akhirnya berbicara, tidak jarang echolalic (megulang-ngulang apa yang
diucapkan orang lain segera atau setelah beberapa lama)

b. Meunjukkan nada suara yang aneh (biasanya bernada tinggi da monoton)

c. Merasa sangat terganggu bila terjadi perubahan rutin pada kegiatan sehari hari

d. Kontak mata masih sangat terbatas, walaupun bisa terjadi perbaikan e. Tantrum dan
agresi berkelanjutan tetapi bisa juga berangsur-angsur berkurang

f. Melukai diri sediri

g. Merangsang diri sendiri

D. PERTIMBANGAN KEPERAWATAN
Intervensi terapeutik untuk anak penderita autism merupaka wilayah khusus yang
melibatkan profesioal terlatih. Meskipun tidak ada penyembuhan utuk autism, berbagai terapi
telah digunakan. Hasil yang paling menjanjikan adalah melalui program modifikasi perilaku
yang dilakukan secara intensif dan terstruktur. Secara. umum, tujuan penanganan adalah
meningkatkan penguatan positif, enigkatkan kesadaran social terhadap orang lain, mengajari
keterampilan komunikasi verbal, dan mengurangi perilaku yag tidak dapat diterima. Memberikan
rutinitas terstruktur untuk diikuti anak merupakan kunci dalam penatalaksanaan autism.

Apabila anak ini di rawat di rumah sakit, orang tua sangat penting merencanakan asuhan
dan idealnya harus tinggal bersama anak sesering mungkin. Perawat harus memahami bahwa
tidak semua anak penderita autism sama dan bahwa mereka akan memerlukan pengkajian dan
penatalaksanaan individual. Mengurangi stimulasi dengan menggunakan ruang pribadi,
menghindari distraksi suara dan visual yang berlebihan, dan mendorong orag tua untuk
membawakan barang-barang yang sangat enting bagi anak dapat mengurangi gangguan akibat
rawat inap. Karea kontak fisik sering menjengkelkan anak ini maka menggendong dan kontak
mata perlu dibatasi untuk menghindaari ledakan perilaku. Harus hati-hati saat melakukan
prosedur, member obat, atau member makan anak, karea mereka susah makan sampai kelaparan
sendiri atau melakukan muntah untuk meghidari makan anak atau mengulum makanan, menelan
semua benda yang bisa atau tidak bisa dimakan, seperti thermometer.

Mereka perlu diperkenalkan dengan situasi baru secara perlahan, kunjungan pemberi
asuhan dibuat singkat jika mugkin. Karena anak ini mengalami kesulitan mengatur perilaku dan
mengarahkan kembali energy mereka, maka segala sesuatu yang harus dikerjakan mereka perlu
diperintah secara langsung. Komunikasi harus sesuai dengan tingkat perkembangan anak, singkat
dan konkret. Hanya satu permintaan diberikan pada satu kesempatan, seperti "duduk di tempat
tidur".

19
Orang tua memerlukan ahli untuk konsultasi dini dalam riwayat penyakitnya dan harus
dirujuk ke Autism Society of America (ASA). ASA menyediakan informasi mengenai edukasi,
program dan teknik penanganan, serta fasilitas seperti berkemah dan rumah kelompok. Ada juga
kelompok sibling yang dinamakan SHARE (Siblings Helping Persons with Autism Through
Resources and Energy). Sumber daya yang sangat membantu lainnya adalah departemen
kesehatan mental local dan nasional serta hendaya (desabilitas) perkembangan; organisasi ini
menyediakan program penting untuk anak autistic dan program dalam sekolah seluruh wilayah
Amerika Serikat. Ketika anak mendekati masa dewasa dan orang tua menjadi semakin tua,
keluarga mungkin memerlukan bantuan untuk mencari fasilitas penempatan jangka panjang.

 SINDROM HIPERAKTIVITAS
Sindroma hiperaktivitas merupakan istilah gangguan kekurangan perhatian menandakan
gangguan-gangguan sentral yang terdapat pada anak-anak, yang sampai saat ini dicap sebagai
menderita hiperaktivitas, hiperkinesis, kerusakan otak minimal atau disfungsi serebral minimal.

A. ETIOLOGI

Pandangan-pandangan serta pendapat-pendapat mengenai asal usul, gambaran-gambaran,


bahkan mengenai realitas daraipada gangguan ini masih berbeda-beda serta dipertentangkan satu
sama lainnya. Beberapa orang berkeyakinan bahwa gangguan tersebut mungkin sekali timbul
sebagai akibat dari gangguan-gangguan di dalam neurokimia atau neurofisiologi susunan syaraf
pusat. Istilah gangguan kekurangan perhatian merujuk kepada apa yang oleh banyak orang
diyakini sebagai ganggua yag utamanya. Sindroma tersebut diduga disebabkan oleh factor
genetic, pembuahan ataupun racun, bahaya bahaya yang diakibatkan terjadinya prematuritas atau
immaturitas, maupun rudapaksa, anoksia atau penyulit kelahiran lainnya.

Telah dilakukan pula pemeriksa an tentag temperamen sebagai kemungkinan merupakan


factor yang mempermudah timbulnya gangguan tersebut, sebagaimana halnya dengan praktek
pendidikan serta perawatan anak dan kesulitan emosional di dalam interaksi oranng tua anak
yang bersangkutan. Sampai sekarang tidak ada satu atau beberapa factor peyebab pasti yang
dapat diperlihatkan.

B. PATAFOSIOLOGI
Kurang konsentrasi/ gangguan hiperaktivitas ditadai dengan gangguan konsentrasi, sifat
impulsive, dan hiperaktivitas. Tidak terdapat bukti yang meyakinkan tentang suatu mekanisme
patofisiologi ataupun gangguan biokimiawi. Anak pria yang hiperativ, yang berusia antara 6-9
tahun serta yang mempunyai IQ yang sedang, yang telah memberikan tanggapan yang baik
terhadap pengobatan-pengobatan stimulant, memperlihatkan derajat perangsangan yang rendah
di dalam susunan saraf pusat mereka, sebelum pengobatan tersebut dilaksanakan, sebagaimana

20
yang berhasil diukur dengan mempergunakan elektroensefalografi, potensial-potensial yang
diakibatkan secara auditorik serta sifat penghantaran kulit. Anak pria ini mempunyai skor tinggi
untuk kegelisahan, mudahnya perhatian mereka dialihkan, lingkup perhatian mereka yang buruk
serta impulsivitas. Dengan 3 minggu pengobata serta perawatan, maka angka-angka laboratorik
menjadi lebih mendekati normal serta penilaian yang diberikan oleh para guru mereka
memperlihatkan tingkah laku yang lebih baik.

C. MANIFESTASI KLINIS
Ukuran objektif tidak memperlihatkan bahwa anak yang terkena gangguan ini
memperlihatkan aktivitas fisik yang lebih banyak, juka dibandingkan dengna anak-anak kotrol
yang normal, tetapi gerakan-gerakan yang mereka lakukan kelihatan lebih kurang bertujuan serta
mereka selalu gelisah dan resah. Mereka mempunyai rentang perhatian yang pendek, mudah
dialihkan serta bersifat impulsive dan mereka cenderung untuk bertindak tanpa
mempertimbangkan atau merenungkan akibat tindakan tersebut. Mereka mempunyai toleransi
yang rendah terhadap perasaan frustasi dan secara emosional mereka adalah orang orang yang
labil serta mudah terangsang. Suasana perasaan hati mereka cenderung untuk bersifat netral atau
pertenangan, mereka kerap kali berkelompok, tetapi secara social mereka bersikap kaku.
Beberapa orang di antara mereka bersikap bermusuhan dan negative, tetepi ciri ini sering terjadi
secara sekunder terhadap permasalahan-permasalahan psikososial yang mereka alami. Beberapa
orang lainnya sangat bergantung secara berlebih lebihan, namun yang lain lagi bersikap begitu
bebas dan merdeka, sehingga kelihatan sembrono.

Kesulitan-kesulitan emosional dan tingkah laku lazim ditemukan dan biasanya sekunder
terhadap pengaruh social yang negative dari tingkah laku mereka. Anak-anak ini akan menerima
celaan dan hukuman dari orang tua serta guru dan pengasingan social oleh orang-orang yang
sebaya dengan mereka. Secara kronik mereka mengalami kegagalan di dalam tugas-tugas
akademik mereka dan banyak diantara mereka tidak cukup terkoordinasi serta cukup mampu
mengendalikan diri sediri untuk dapat berhasil di dalam bidang olahraga. Mereka mempunyai
gambaran mengenai diri mereka sendiri yang buruk serta mempunyai rasa harga diri yang rendah
dan kerap kali mengalami depresi. Terdapat angka kejadian tinggi mengenai ketidakmampuan
belajar membaca matematika, mengeja serta tulis tangan. Prestasi akademik mereka dapat
tertinggal 1-2 tahun dan lebih sedikit daripada yang sesungguhnya diharapkan dari kecerdasan
mereka yang diukur.

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang akan menegakkan diagnosis gangguan
kekurangan perhatian. Anak yang mengalami hiperaktivitas dilaporkan memperlihatkan jumlah
gelombang-gelombang lambat yang bertambah banyak pada elektroensefalogram mereka, tanpa

21
disertai dengan adanya bukti tentang penyakit neurologic ata epilepsy yang progresif, tetapi
penemuan ini mempunyai makna yang tidak pasti. Suatu EEG yang dianalisis oleh computer
akan dapat membantu di dalam melakukan penilaian tentang ketidakmampuan belajar pada anak
itu.

E. KOMPLIKASI
1. Diagnosis sekuder, gangguan konduksi, depresi dan penyakit ansietas.

2. Pencapaian akademik kurag, gagal di sekolah, sulit membaca dan mengerjakan aritmatika
(sering kali akibat abnormalitas konsentrasi)

3. Hubungan dengan teman sebaya buruk (sering kaliakibat perilaku agresif dan kata-kata
yang diungkapkan)

F. PENATALAKSANAAN MEDIS

Rencana pengobatan bagi anak dengan gangguan ini terdiri atas penggunaan
psikostimulan, modifikasi perilaku, pendidikan orang tua, dan konseling keluarga. Orang tua
mungkin mengutarakan kekhawatirannya tentang penggunaan obat. Resiko dan keuntungan dari
obat harus dijelaskan pada orang tua, termasuk pencegahan skolastik dan gangguan social yang
terus menurus karena penggunaan obat-obat psikostimulan. Ratting scale conners dapat
digunakan sebagai dasar pengobatan dan untuk memantau efektifitas dari pengobatan.

Psikostimulan-metilfenidat (ritalin), amfetamin sulfat (benzedrine), dan


dekstroamfetamin sulfat (dexedrine)- dapat memperbaiki rentang perhatian dan konsentrasi anak
dengan meningkatkan efek paradoksikal pada kebanyakan anak dan sebagian orang dewasa yang
menderita gangguan ini.

 DOWN SYNDROME
A. DEFINISI
Kelainan bawaan sejak yang terjadi pada 1 diantara 800-900 bayi. ditandai oleh kelainan
jiwa atau cacat mental mulai dari yang sedang sampai berat. Tetapi hampir semua anak yang
menderita kelainan ini dapat belajar membaca dan merawat dirinya sendiri.

merupakan kelainan kromosom autosomal yang paling banyak terjadi pada manusia.
Diperkirakan 20 % anak dengan dilahirkan oleh ibu yang berusia diatas 35 tahun. Syndrom down
merupakan cacat bawaan yang disebabkanoleh adanya kelebihan kromosom x. Syndromini juga
Trisomy 21, karena 3 dari 21 kromosom menggantikan yang normal. 95 % kasus syndrom down
disebabkan oleh kelebihan kromosom.

22
B. ETIOLOGI
Penyebab dari Syndrom Down adalah adanya kelainan kromosom yaitu terletak pada
kromosom 21 dan 15, dengan kemungkinan-kemungkinan :

1. NonDisjunction sewaktu osteognesis (Trisomi)

2. Translokasi kromosom 21 dan 15 3. Prostzygotic non disjunction (mosaicism)

Faktor-faktor yang berperan dalm terjadinya kelainan kromosom (Kejadian NonDisjunction)


adalah:

1. Genetik, Karena menurut hasil penelitian epidemiologi mengatakan adanya peningkatan


resiko berulang bila dalam keluarga terdapat anak dengan syndrome.

2. Radiasi, Ada sebagian besar penelitian bahwa sekitar 30 % ibu yang melahirkan anak
dengan syndrome down pernah mengalami radiasi di daerah sebelum terjadi konsepsi.

3. Infeksi dan Kelainan Kehamilan

4. Autoimun dan Kelainan Endokrin pada Ibu Terutama autoimun tiroid atau atau penyakit
yang dikaitkan dengan tiroid.

5. Umur Ibu, Apabila umur ibu diatas 35 tahun diperkirakan terdapatperubahanhormonal yang
dapat menyebabkan "non disjunction" pada kromosom. Perubahan endokrin seperti
meningkatnya sekresi androgen, menurunnya kadar hidroepiandrosteron, menurunnya
konsentransi estradiolsistemik, perubahan konsentrasi reseptor hormone dan peningkatan
kadar LH dan FSH secara tiba-tiba sebelum dan selama menopause. Selain itu kelainan
kehamilan juga berpengaruh

6. Umur Ayah, Selain itu ada faktor lain seperti gangguan intragametik, organisasi nucleolus,
bahan kimia dan frekuensi koitus.

C. MANIFESTASI KLINIS
Berat badan waktu lahirdari bayi dengan syndrome down umumnya kurang dari normal.
Beberapa Bentuk Kelainan Pada Anak Dengan Syndrom Down:

1. Sutura Sagitalis Yang Terpisah


2. Fisura Palpebralis Yang Miring
3. Jarak yang lebar antara kaki
4. Fontanela Palsu
5. "Plantar Crease"
6. Hyperfleksibilitas
7. Peningkatan Jaringan Sekitar Leher
8. Bentuk Palatum Yang Abnormal

23
9. Hidung Hipoplastik
10. Kelainan otot dan hipotonia
11. Bercak Brushfield pada Mata
12. Mulut terbuka dan lidah terjulur
13. Lekukan epikantus (Lekukan kulit yang berbentuk bundar) pada sudut mata sebelah dalam
14. Single palmar crease pada tangan kiri dan kanan
15. Jarak pupil yang lebar
16. Oksiput yang datar
17. Tangan dan kaki yang pendek serta lebar
18. Bentuk/ struktur telinga yang abnormal
19. Kelainan mata, tangan, kaki, mulut, sindaktili
20. Mata sipit

D. DIAGNOSA

1. Keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan

2. Resiko infeksi

3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan


pemberian makanankarena lidah yang menjulur dan palatum yang tinggi

4. Defisiensi pengetahuan (orang tua) b/d perawatan anak syndrome down

f. Discharge Planning

1. Konseling genetic maupun amniosentesis pada kehamilan yang dicurigaiakan sangat


membantu mengurangi angka kejadian syndrome down

2. Dengan biologi molekuler, misalnya dengan "gene targeting" atau yang dikenal sebagai
"homologous recombination" sebuah gen yang dapat di nonaktifkan

3. Pencegahan dengan melakukan pemeriksaan kromosom melalui amniocentesis bagiibu hamil


terutama pada bulan-bulan awal kehamilan, ibu hamil pernah mempunyai anak dengan sindrom
down atau hamil diatas usia 40 tahun harus dengan hati-hati memantau perkembangan janinnya
karena mereka memiliki risiko melahirkan anak dengan sindrom down lebih tinggi

4. Fisioterapi pada down sindrom adalah membantuanak belajar untuk menggerakkan tubuhnya
dengan cara/gerakan yang tepat (appropriate ways). (NIC-NOC, 2013)

 RATARDASI MENTAL

24
Mental menerangkan keadaan fungsi intelektual umum bertara subnormal yang dimulai
dalam masa perkembangan individu dan yang berhubungan dengan terbatasnya kemampuan
belajar maupun penyesuaian diri proses pendewasaan individu tersebut atau kedua-duanya
(Nelson,2000). Angka kejadian pada retardasi mental ini cukup banyak terutama di Negara yang
sedang berkembang dan merupakan dilemma atau penyebab kecemasan keluarga, masyarakat,
dan Negara. Diperkirakan kejadian retardasi mental berat di Negara yang sedang
berkembangsekitar 0,3% dari seluruh populasi dan dan hamper 3% mempunyai IQ dibawah 70.
Sebagai sumber daya tentunya mereka tidak bisa dimanfaatkan karena 0,1% dari kelompok anak
ini memerlukan perawatan, bimbingan, serta pengawasan sepanjang hidupnya (Swaiman dalam
Tumbang Anak, Soetjiningsih, 1994) dalam (Muttaqin, 2008).

Hasil penelitian Triman Prasedio (1980) mengemukakan angka prevalensi retardasi


mental di Indonesia adalah 3% hasil penelitian ini diperkirakan suatu angka yang tinggi. Sebagai
perbandingan di Prancis angka Prevalensinya adalah 1,5-8,6% dan di Inggris 1-8% (laporan
WHOyang dikutip Triman Prasedio). Statistik menunjukkan bahwa di Indonesia didapatkan 10-
30 dari 1000 penderita yang mengalami tuna grahita, terdapat 1.750.000-5.250.000 jiwa
menderita tuna grahita. Melalui data demologi dilaporkan bahwa 34,39% pengunjung Pukesmas
berusia 5-15 tahun menunjukkan gangguan mental emosional.

A. DEFINISI
Pengertian retardasi mental adalah suatu kondisi yang ditandai intelegensi yang rendah
yang menyebabkan ketidakmampuan individu untuk belajar dan beradaptasi terhadap tuntutan
masyarakatatas kemampuan yang dianggap normal (Soetjiningsih, 1994) dalam (Muttaçin,
2008). Anak tidakmampu belajardan beradaptasi karena intelegensinya rendah, biasanya IQ di
bawah 70. Retardasi mental memiliki kriteria sebagai berikut:
1. Fungsi intelektual umum di bawah normal (umumnya dibawah 70)
2. Terdapat kendala dalam perilaku adaptif sosial.
3. Gejalanya timbul dalam masa perkembangan, yaitu di bawah usia 18 tahun.

B. ETIOLOGI
Secara garis besarnya faktor penyebab dapat dibagi empat golongan, yaitu (Soetjiningsih, 1994)
dalam (Muttaqin, 2008):

1. Faktor genetic

a. Akibat kelainan jumlah kromosom, misalnya trisomi 21 atau dikenal dengan syndrome
down.

b. Kelainan bentuk kromosom

2. Faktor Prenatal

25
Dimaksudkan adalah keadaan tertentu yang telah diketahui ada sebelum atau pada saat
kelahiran, tetapi tidak dapat dipastikan sebabnya.

3. Faktor Perinatal

a. Proses kelahiran yang lama misalnya placenta previa rupture tali umbilicus

b. Posisi janin abnormal seperti letak bokong atau melintang, anomaly uterus, dan kelainan
bentuk jalan lahir.

c. Kecelakaan pada waktu lahir dan distress fatal

4. Faktor pascanatal

a. Akibat infeksi (meningitis, ensefalitis, meningoencefalitis, dan infeksi).

b. Trauma kapitis dan tumor otak.

c. Kelainan tulang tengkorak

d. Kelainan endokrin dan metabolic, keracunan pada otak, serta faktor sosio- budaya.
(Muttaqin, 2008).

Anak yang retardasi mental dapat dikenali dari tanda sebagi berikut:

1. Penampilan fisik tidak seimbang misalnya kepala terlalu besar atau terlalu kecil, mulut
melongo, mata sipit/mongoloid, badan bungkuk.

2. Kecerdasan terbatas

3. Tidak dapat mengurus diri sendiri tanpa bantuan orang lain sesuai usia

4. Arah minat sangat terbatas pada hal-hal yang terbatas dan sederhana saja

5. Perkembangan bahasa / bicara lambat

6. Tidak ada perhatian terhadap lingkungannya (pandangan kosong) dan perhatiannya labil,
sering berpindah-pindah

7. Koordinasi gerakan kurang, gerakan kurang terkendali.

8. Daya ingatnya lemah, emosi sangat miskin dan terbatas, apatis, dan acuh tak acuh terhadap
sekitarnya.

9. Sering kali ngiler.

26
 ASUHAN KEPERAWTAAN PADA DOWN SYNDROME
A. Pengkajian

1. Identitas
a. Nama
Harus lengkap dan jelas, umur perlu dipertanyakan untuk interpretasi tingkat perkembangan
anak yang sudah sesuai dengan umur, jenis kelamin.
b. Nama orang tua
c. Alamat
d. Umur
e. Pendidikan
f. Agama
g. Pekerjaan

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Biasanya diawali dari pengalaman dan perasaan cemas ibu klien yang melihat pertumbuhan dan
perkembangan anaknya yangterlambat tidak sesuai dengan kelompok seusianya.

3. Riwayat penyakit dahulu


Penyakit seperti rubella, tetanus, difteri, meningitis, morbili, polio,pertusis, vricella, dan
ensefalitis dapat berkaitan atau mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan baik secara
enteral maupun parenteral.

4. Riwayat antenatal, natal, dan pascanatal


a. Antenatal
Kesehatan ibu selama hamil, penyakit yang pernah diderita serta upaya yang dilakukan
untuk mengatasi penyakitnya, berapa kali, perawatan antenatal, kemana serta kebiasaan minum
jamu-jamuan dan obat yang pernah diminum serta kebiasaan selama hamil.

b. Natal
Tanggal, jam, tempat pertolongan persalinan, siapa yang menolong, cara persalinan
(spontan, ekstraksi vacuum, ekstraksi forcep, sectiosesaria, dan gamelli), presentasi kepala, dan
komplikasi atau kelainan congenital. Keadaan saat lahir dan morbiditas pada hari pertama setelah
lahir, masa kehamilan (cukup, kurang, lebih)bulan.

c. Pascanatal
Lama dirawat di rumah sakit, masalah-masalah yang berhubungan dengan gangguan
system, masalah nutrisi, perubahan berat badan, warna kulit,pola eliminasi, dan respons lainnya.
Selama neonatal perlu dikaji adanya asfiksia, trauma, dan infeksi.

5. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan

27
Berat badan, lingkar kepala, lingkar lengan kiri atas, lingkar dada terakhir. Tingkat
perkembangan anak yang telah dicapai motorik kasar, motorik halus, kemampuan bersosialisasi,
dan kemampuan bahasa.

6. Riwayat kesehatan keluarga Sosial, perkawinan orang tua, kesejahteraan dan


ketentraman, rumah tangga yang harmonis dan pola asuh, asah, dan asih.
Ekonomi dan adat istiadat berpengaruh dalam pengelolaan lingkungan internal ekste mal
yang dapat memengaruhi perkembangan intelektual dan pengetahuan serta keterampilan anak. Di
samping itu juga berhubungan dengan persediaan dan bahan pangan, sandang, dan papan.

7. Pola fungsi kesehatan


Pola nutrisi, makanan pokok utama apakah ASI atau PASI pada umur anak tertentu. Jika
diberikan PASI ditanyakan jenis, takaran, dan frekuensi pemberian serta makanan tambahan
yang diberikan. Adakah makanan yang disukai, alergi atau masalah makanan yang lainnya.

Pola eliminasi, system pencernaan dan perkemihan pada anak perlu di kaji BAB atau
BAK (konsistensi, warna, frekuensi, jumlah, serta bau). Bagaimana tingkat toilet training sesuai
dengan tingkatperkembangan anak. Pola aktivitas, kegiatan dan gerakan yang sudah di capai
anak pada usia sekelompoknya mengalami kemunduran atau percepatan.

Pola istirahat, kebutuhan istirahat setiaphari, adakah gangguan tidur, hal-hal yang
mengganggu tidur dan yang mempercepat tidur. Pola kebersihan diri, bagaimana perawatan pada
diri anak apakah sudah mandiri atau masih ketergantungan sekunder pada orang lain atau orang
tua.

8. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum pasien saat dikaji kesan kesadaran, tanda-tanda vital (perubahan suhu,
frekuensi pernapasan, system sirkulasi, dan perfusi jaringan). Kepala dan lingkar kepala
hendaknya diperiksa sampai anak usia 2 tahun dengan pengukuran diameter oksipito-frontalis
terbesar. Ubun-ubun normal: besarrata atau sedikit cekung sampai anak usia 18 bulan.

Mata, reflex mata baik, sclera adakah ikterus, konjungtiva adakah anemis, penurunan
penglihatan (visus).Telinga, simetris, fungsi pendengaran baik.

Mulut/leher, keadaan faring, tonsil (adakah pembesaran, hyperemia), adakah pembesaran


kelenjar limfe, lidah dan gigi (kotor atau tidak, adakah kelainan, bengkak, dan gangguan fungsi).
Kelenjar tiroid adakah pembesaran (gondok) yang dapat mengganggu proses pertumbuhan dan
perkembangan anak. Kulit, keadaan warna, turgor, edema, keringat, dan infeksi.

Thorak, bentuk simetris, gerakanParu, normal vesicular, adakah kelainan pernapasan


(ronkhi wheezing). Jantung, pembesaran, irama, suara jantung, dan bising.

Genitalia, testis, jenis kelamin, apakah labia mayor menutupi labia minor pada perempuan.

28
Ekstremitas, reflek fisidogis, reflek patologis, reflek memegang, sensibilitas, tonus, dan motorik.

9. Pemeriksaan Diagnostik
Penatalaksanaan pada anak down sindrom meliputi:

1. Radiologi

2. Pemeriksaan EEG

3. Pemeriksaan CT scan 4. Thoraks AP/PA

5. Laboratorium: SE (serum elektrolit), FL, UL, DL, BUN, LED, serum protein, IgG, IgM.

6. Konsultasi bidang THT, jantung, paru, bidang mata, rehabilitasi medis

7. Program terapi: gizi seimbang, multivitamin, AB sesuai dengan infeksi penyerta.

10. Intervensi
1. Tujuan: Peningkatan perkembangan anak sesuai tingkatannya, keluarga dan anak mampu
menggunakan koping terhadap tantangan karena adanya ketidakmampuan, keluarga mampu
mendapatsumber sumber sarana komunitas, status nutrisi seimbang, berat badan normal.
Rencana:

a. Peningkatan perkembangan anak dan remaja


a) Kaji faktor penyebab gangguan perkembangan anak.

b) Identifikasi dan gunakan sumber pendidikan untuk memfasilitasi perkembangan anak yang
optimal.

c) Berikan instruksiberulang dan sederhana

d) Berikan reinforcement positifatas hasil yang dicapai anak

e) Dorong anak melakukan perawatan sendiri

f) Manajemen perlakuanak yang sulit

g) Dorong anak melakukan sosialisasi dengan kelompok

h) Ciptakan lingkungan yang aman

b. Manajemen nutrisi
a) Kaji keadekuatan asupan nutrisi (misalnya kalori zat gizi).

b) Tentukan makanan yang disukai anak

c) Pantau kecenderungan kenaikan dan penurunan berat badan

29
c. Nutrition theraphy
a) Menyelesaikan penilaian gizi

b) memantau kesesuaian perintah diet, untuk memenuhi kebutuhan gizi sehari-hari

c) kolaborasi dengan ahli gizi, jumlah jenis nutrisi yang sesuai

d) pilih suplemen yang sesuai

e) dorong pasien memakan makanan semisoft jika air liur kurang

2. Tujuan: klien bebas dari tanda dan gejala infeksi, mendeskripsikan proses penularan
penyakit, faktor yg mempengaruhi penularan serta penatalaksanaannya, menunjukkan
kemampuan untuk mencegah infeksi, jumlah leukosit dalam batas normal, menunjukan perilaku
hidup sehat.

Rencana: Infection control


a) Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain

b) Pertahankan teknik isolasi

c) Batasi pengunjung bila perlu

d) Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung meninggalkan pasien

e) Gunakan sabun untuk cuci tangan

f) Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan

g) Pertahankan lingkungan aseptic h) Tingkatkan intake nutrisi

i) Dorong masukan cairan

j) Dorong istirahat

3. Tujuan: adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tinggi badan, mampu
mengidentifikasi kebutuhan nutrisi, tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti.

Rencana: Nutrition managemen


a) Kaji adanya alergi makanan

b) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan
pasien

c) Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin-c

d) Berikan substansi gula

30
e) Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi f)
Berikan makanan yang terpilih

g) Ajarkan pasien membuatcatatan makanan

h) Beri informasi tentang kebutuhan nutrisi

i) Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang diperlukan j) Monitoring BB dan
intake makanan.

4. Tujuan: Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis
dan program pengobatan, pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan
secara benar.
Rencana:
a) Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien tentang proses penyakit yang spesifik

b) Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi
dan fisiologi, dengan cara yang tepat

c) Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyaki, dengan cara yang tepat

d) Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat

e) Identifikasi kemungkinan penyebab, dengan cara yang tepat

f) Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi, dengan cara yang tepat

g) Hindari jaminan yang kosong

h) Sediakanbagikeluarga atau SO informasi tantang kemajuan pasien dengan cara yang tepat

i) Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk mencegah komplikasi di
masa yang akan dating dan atau proses pengontrolan penyakit

j) Diskusikan pilihan terapi atau penanganan

k) Dukung pasien untuk mengeksplorasiatau mendapatkan second opinion dengan cara yang
tepat atau diindikasikan

l) Rujuk pasien pada grup atau agensidi komunitas local, dengan cara yang tepat atau
diindikasikan

m) Rujuk pasien pada grup atau agensi di komunitas local, dengan cara yang tepat

n) Instruksikan pasien mengenai tanda dan gejala untuk melaporkan pada pemberik perawatan
kesehatan, dengan cara yang tepat.

31
11. Implementasi
Melakukan implementasi berdasarkan perencanaan dan sesuaikan dengan keadaan
pasien.

12. Evaluasi
Evaluasi sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil

 ASUHAN KEPERAWATAN ANAK RETARDASI MENTAL


A. Pengkajian
1. Identitas
a. Nama, Harus lengkap dan jelas, umur perlu dipertanyakan untuk interpretasi tingkat
perkembangan anak yang sudah sesuai dengan umur, jenis kelamin.
b. Nama orang tua
c. Alamat
d. Umur
e. Pendidikan
f. Agama
g. Pekerjaan
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Biasanya diawali dari pengalaman dan perasaan cemas ibu klien yang melihat pertumbuhan dan
perkembangan anaknya yangterlambat tidak sesuai dengan kelompok seusianya.

3. Riwayat penyakit dahulu


Penyakit seperti rubella, tetanus, difteri, meningitis, morbili, polio,pertusis, vricella, dan
ensefalitis dapat berkaitan atau mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan baik secara
enteral maupun parenteral.

4. Riwayat antenatal, natal, dan pascanatal


a. Antenatal
Kesehatan ibu selama hamil, penyakit yang pernah diderita serta upaya yang dilakukan untuk
mengatasi penyakitnya, berapa kali, perawatan antenatal, kemana serta kebiasaan minum jamu-
jamuan dan obat yang pernah diminum serta kebiasaan selama hamil.

b. Natal
Tanggal, jam, tempat pertolongan persalinan, siapa yang menolong, cara persalinan (spontan,
ekstraksi vacuum, ekstraksi forcep, sectiosesaria, dan gamelli), presentasi kepala, dan komplikasi
ataukelainan congenital. Keadaan saat lahir dan morbiditas pada hari pertama setelah lahir, masa
kehamilan (cukup, kurang, lebih)bulan.

32
c. Pascanatal
Lama dirawat di rumah sakit, masalah-masalah yang berhubungan dengan gangguan system,
masalah nutrisi, perubahan berat badan, warna kulit,pola eliminasi, dan respons lainnya. Selama
neonatal perlu dikaji adanya asfiksia, trauma, dan infeksi.

5. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan


Berat badan, lingkarkepala, lingkar lengan kiri atas, lingkar dada terakhir. Tingkat
perkembangan anak yang telah dicapai motorik kasar, motorik halus, kemampuan bersosialisasi,
dan kemampuan bahasa. 6. Riwayat kesehatan keluarga Sosial, perkawinan orang tua,
kesejahteraan dan ketentraman, rumah tangga yang harmonis dan pola asuh, asah, dan asih.
Ekonomi dan adat istiadat berpengaruh dalam pengelolaan lingkungan intem al ekstemalyang
dapat memengaruhi perkembangan intelektual dan pengetahuan serta keterampilan anak. Di
samping itu juga berhubungan dengan persediaan dan bahan pangan, sandang, dan papan.. 7.
Pola fungsi kesehatan, Pola nutrisi, makanan pokok utama apakah ASI atau PASI pada umur
anak tertentu. Jika diberikan PASI ditanyakan jenis, takaran, dan frekuensi pemberian serta
makanan tambahan yang diberikan. Adakah makanan yang disukai, alergi atau masalah makanan
yang lainnya.

Pola eliminasi, system pencernaan dan perkemihan pada anak perlu di kaji BAB atau
BAK (konsistensi, warna, frekuensi, jumlah, serta bau). Bagaimana tingkat toilet training sesuai
dengan tingkatperkembangan anak.

Pola aktivitas, kegiatan dan gerakan yang sudah di capai anak pada usia sekelompoknya
mengalami kemunduran atau percepatan. Pola istirahat, kebutuhan istirahat setiaphari, adakah
gangguan tidur, hal hal yang mengganggu tidur dan yang mempercepat tidur. Pola kebersihan
diri, bagaimana perawatan pada diri anak, apakah sudah mandiri atau masih ketergantungan
sekunder pada orang lain atau orang tua.

8. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum pasien saat dikaji, kesan kesadaran, tanda-tanda vital (perubahan suhu,
frekuensi pernapasan, system sirkulasi, dan perfusi jaringan). Kepala dan lingkar kepala
hendaknya diperiksa sampai anak usia 2 tahun dengan pengukuran diameter oksipito-frontalis
terbesar. Ubun-ubun normal: besar rata atau sedikit cekung sampai anak usia 18 bulan. Mata,
reflex mata baik, sclera adakah ikterus, konjungtiva adakah anemis, penurunan penglihatan
(visus).

Telinga, simetris, fungsi pendengaran baik. Mulut/leher, keadaan faring, tonsil (adakah
pembesaran, hyperemia), adakah pembesaran kelenjar limfe, lidah dan gigi (kotor atau tidak,
adakah kelainan, bengkak, dan gangguan fungsi). Kelenjar tiroid adakah pembesaran (gondok)
yang dapat mengganggu proses pertumbuhan dan perkembangan anak.

Kulit, keadaan warna, turgor, edema, keringat, dan infeksi. Thorak, bentuk simetris,
gerakan Paru, normal vesicular, adakah kelainan pernapasan (ronkhi,wheezing). Jantung,

33
pembesaran, irama, suara jantung, dan bising. Genitalia, testis, jenis kelamin, apakah labia mayor
menutupi labia minor pada perempuan.

Ekstremitas, reflek fisiologis, reflek patologis, reflek memegang, sensibilitas, tonus, dan motorik.

9. Pemeriksaan Diagnostik
Penatalaksanaan pada anak retardasi mental meliputi:
a. Radiologi
b. Pemeriksaan EEG
c. Pemeriksaan CT scan
d. Thoraks AP/PA
e. Laboratorium : SE (serum elektrolit), FL, UL, DL, BUN, LED, serumbprotein, lgG, IgM.
f. Konsultasi bidang THT, jantung, paru, bidang mata, rehabilitasi medis
g. Program terapi: gizi seimbang, multivitamin, AB sesuai dengan infeksi penyerta.

10. Diagnosis keperawatan


1. Gangguan tingkat perkembangan (personal sosial, bahasa, dan kognitif) yang
berhubungan dengan atrofi hemisfer kiri (disfungsi otak).
2. Hambatan mobilitas fisik dan ketergantungan sekunder yang berhubungan dengan
disfungsi otak.
3. Hambatan interaksi sosial (Keterbatasan untuk memenuhi kebutuhan sosial, bahasa,
bermain, dan pendidikan sekunder) yang berhubungan dengan kurangnya informasi tentang
pertumbuhan dan perkembangan anak.
4. Kecemasan orang tua yang berhubungan dengan keadaan pertumbuhan dan
perkembangan anak yang terlambat. (Muttaqin, 2008)

11. Rencana Intervensi

1. Tujuan: Peningkatan perkembangan anak sesuai tingkatannya, keluarga dan anak mampu
menggunakan koping terhadap tantangan karena adanya ketidakmampuan, keluarga mampu
mendapatsumber sumber sarana komunitas, status nutrisi seimbang, berat badan normal.
Rencana: Peningkatan perkembangan anak dan remaja

1. Kaji faktor penyebab gangguan perkembangan anak.


2. Identifikasi dan gunakan sumber pendidikan untuk memfasilitasi perkembangan anak
yang optimal.
3. Berikan instruksiberulang dan sederhana
4. Berikan reinforcement positifatas hasil yang dicapai anak
5. Doronganak melakukan perawatan sendiri
6. Manajemen perilakuanak yang sulit
7. Dorong anak melakukan sosialisasi dengan kelompok
8. Ciptakan lingkungan yang aman

34
Manajemen nutrisi

1) Kaji keadekuatan asupan nutrisi (misalnya kalori zat gizi)


2) Tentukan makanan yang disukai anak
3) Pantau kecenderungan kenaikan dan penurunan berat badan

Nutrition theraphy
1) Menyelesaikan penilaian gizi
2) memantau kesesuaian perintah diet, untuk memenuhi kebutuhan gizi sehari-hari
3) kolaborasi dengan ahli gizi, jumlah jenis nutrisi yang sesuai pilih suplemen yang sesuai
4) dorong pasien memakan makanan semisoft jika air liur kurang

2. Tujuan: klien meningkat dalam aktivitas fisik, mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas

Rencana: Exercise therapy

a) Monitoring vital sign sebelum dan sesudah latihan dan lihatrespon pasien saat latihan

b) Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi

sesuai dengan kebutuhan

c) Bantu klien untuk menggunakan tongkat saatberjalan dan cegah terhadap cidera

d) Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang teknik ambulasi

e) Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi

f) Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLS secara mandiri sesuai kemampuan

g) Dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi dan bantu pasien saatADLS

h) Berikan alat bantu jika klien memerlukan

i) Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan

3. Tujuan: lingkungan yang supportif yang bercirikan hubungan dan tujuan anggota keluarga,
menggunakan aktivitas yang menyenangkan, menarik, dan menenangkan untuk meningkatkan
kesejahteraan, interaksi sosial dengan orang, kelompok, atau organisasi, mengungkapkan
keinginan untuk berhubungan dengan orang lain.

Rencana: Socialization enchancement

a) Buat interaksi terjadwal

b) Dorong pasien ke kelompok atau program keterampilan interpersonal yang membantu


meningkatkan pemahaman tentang pertukaran informasi atau sosialisasi

35
c) Identifikasikan perubahan perilaku tertentu

d) Berikan umpan balik positif jika pasien berinteraksi dengan orang lain

e) Fasilitas pasien dalam memberi masukan pada orang lain

f) Anjurkan bersikap jujur dan apa adanya dalam berinteraksi dengan orang lain

g) Anjurkan menghargai orang lain

h) Gunakan teknik bermain peran dan berkomunikasi

4. Tujuan: klien mampu mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukan teknik untuk


mengontrol cemas, vital sign dalam batas normal, postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh
dan tingkat aktivitas menunjukkan berkurangnya kecemasan

Rencana:
a. Gunakan pendekatan yang menyenangkan
b. Nyatakan dengan jelas harapan pada pelaku pasien
c. Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur
d. Pahami prespektif pasien terhadap situasi stress
e. Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut
f. Dorong keluarga untuk menemani anak
g. Lakukan back/neckrub
h. Dengarkan dengan penuh perhatian
i. Identifikasi tingkat kecemasan
j. Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan
k. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan,
l. Instruksikan pasien menggunakan teknik relaksasib ersepsi
m. Berikan obat untuk mengurangi kecemasan (NIC-NOC, 2013)

5. Implementasi
Melakukan implementasi berdasarkan perencanaan dan sesuaikan dengan keadaan pasien.

6. Evaluasi
Evaluasi sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil

 ASUHAN KEPERAWATAN HIPERAKTIVITAS


A. Pengkajian
a. Pengkajian anak yang mengalami Attention Deficyt Hiperactivity Disorder (ADHD) antara
lain:

36
1. Pengkajian riwayat penyakit

a) Orang tua mungkin melaporkan bahwa anaknya rewel dan mengalami masalah saat bayi
atau perilaku hiperaktif hilang tanpa disadari sampai anak berusia todler atau masuk sekolah
atau daycare.
b) Anak mungkin mengalami kesulitan dalam semua bidang kehidupan yang utama, seperti
sekolah atau bermain dan menunjukkan perilaku overaktif atau bahkan perilaku yang
membahayakan di rumah.
c) Berada diluar kendali dan mereka merasa tidak mungkin mampu menghadapi perilaku
anak.
d) Orang tua mungkin melaporkan berbagai usaha mereka untuk mendisplinkan anak atau
mengubah perilaku anak dansemua itu sebagian besar tidak berhasil.
2. Penampilan umum dan perilaku motorik
a) Anak tidak dapat duduk tenang di kursi dan mengeliat dan bergoyang-goyang saat mencoba
melakukannya.

b) Anak mungkin lari mengelilingi ruang dari satu benda ke benda lain dengan sedikit tujuan
atau tanpa tujuan yang jelas.

c) Kemampuan anak untuk berbicara terganggu, tetapi ia tidak dapat melakukan suatu
percakapan, ia menyela, menjawab pertanyaan sebelum pertanyaan berakhir dan gagal
memberikan perhatian pada apa yang telah dikatakan.

d) Percakapan anak melompat-lompat secara tiba-tiba dari satu topik ke topik yang lain. Anak
dapat tampak imatur atau terlambat tingkat perkembangannya

3. Mood dan afek


a) Mood anak mungkin labil, bahkan sampai marah-marah atau tempertantrum.

b) Ansietas, frustasi dan agitasi adalah hal biasa.

c) Anak tampak terdorong untuk terus bergerak atau berbicara dan tampak memiliki sedikit
kontrol terhadap perilaku tersebut.

d)Usaha untuk memfokuskan perhatian anak dapat menimbulkan perlawanan dan kemarahan.

4. Proses dan isi pikir


Secara umum tidak ada gangguan pada area ini meskipun sulit untuk mempelajari anak
berdasarkan tingkat aktivitas anak dan usia atau tingkat perkembangan.

5. Sensorium dan proses intelektual

37
a) Anak waspada dan terorientasi, dan tidak ada perubahan sensori atau persepsi seperti
halusinasi. Kemampuan anak untuk memberikan perhatian atau berkonsentrasi tergangguan
secara nyata.

b) Rentang perhatian anak adalah 2 atau 3 detik pada ADHD yang berat 2 atau 3 menit pada
bentuk gangguan yang lebih ringan.

c) Mungkin sulit untik mengkaji memori anak, ia sering kali menjawab, saya tidak tahu,
karena ia tidak dapat memberi perhatian pada pertanyaan atau tidak dapat berhenti
memikirkan sesuati.

d) Anak yang mengalami ADHD sangat mudah terdistraksi dan jarang yang mampu
menyelesaikan tugas.

6. Penilaian dan daya tilik diri


a) Anak yang mengalami ADHD biasanya menunjukkan penilaian yang buruk dan sering kali
tidak berpikir sebelum bertindak

b) Mereka mungkin gagal merasakan bahaya dan melakukan tindakan impulsif, seperti berlari
ke jalan atau melompat dari tempat yang tinggi.

c) Meskipun sulit untukmempelajari penilaian dan daya tilik pada anak kecil.

d) Anak yang mengalami ADHD menunjukkan kurang mampu menilai jika dibandingkan
dengan anak seusianya.

e) Sebagian besar anak kecil yang mengalami ADHD tidak menyadari sama sekali bahwa
perilaku mereka berbeda dari perilaku orang lain.

f) Anak yang lebih besar mungkin mengatakan, "tidak ada yang menyukaiku di sekolah",
tetapi mereka tidak dapat menghubungkan kurang teman dengan perilaku mereka sendiri.

7. Konsep diri

a) Hal ini mungkin sulit dikaji pada anak yang masih kecil, tetapi secara umum harga diri
anak yang mengalami ADHD adalah rendah.

b) Karena mereka tidak berhasil di sekolah, tidak dapat memiliki banyak teman, dan
mengalami masalah dalam mengerjakan tugas di rumah, mereka biasanya merasa terkucil
sana merasa diri mereka buruk.

c) Reaksi negatif orang lain yangmuncul karena perilaku mereka sendiri sebagai orang yang
buruk dan bodoh

8. Peran dan hubungan


a) Anak biasanya tidak berhasil disekolah, baik secara akademis maupun sosial.

38
b) Anak sering kali mengganggu dan mengacau di rumah, yang menyebabkan perselisihan
dengan saudara kandung dan orang tua.
c) Orang tua sering meyakini bahwa anaknya sengaja dan keras kepala dan berperilaku buruk
dengan maksud tertentu sampai anak yang didiagnosis dan diterapi.
d) Secara umum tindakan untuk mendisiplinkan anak memiliki keberhasilan yang terbatas
pada beberapa kasus, anak menjadi tidak terkontrol secara fisik, bahkan memukul orang tua
atau merusak barang-barang miliki keluarga.
e) Orang tua merasa letih yang kronis baik secara mental maupun secara fisik.
f) Guru serungkali merasa frustasi yang sama seperti orang tua dan pengasuh atau babysister
mungkin menolak untuk mengasuh anak yang mengalami ADHD yang meningkatkan
penolakan anak.

9. Pertimbangan fisiologis dan perawatan diri


Anak yang mengalami ADHD mungkin kurus jika mereka tidak meluangkan waktu
untuk makan secara tepat atau mereka tidak dapat duduk selama makan. Masalah penenangan
untuk tidur dan kesulitan tidur juga merupakan masalah yang terjadi. Jika anak melakukan
perilaku ceroboh atau berisiko, mungkin juga ada riwayat cedera fisik.

B. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik yang biasanya ditemukan pada anak dengan gangguan hiperaktif mencakup:

a. Rambut yang halus

b. Telinga yang salah bentuk

c. Lipatan-lipatan epikantus

d. Langit-langit yang melengkung tinggi serta

e. Kerutan-kerutan telapak tangan yang hanya tunggal saja

f. Terdapat gangguan keseimbangan, astereognosis, disdiadokho kinesis serta permasalahan-


permasalahan di dalam koordinasi motorik yang halus.

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang akan dapat menegakan diagnosis gangguan
hiperaktif. Anak yang mengalami hiperaktivitas dilaporkan memperlihatkan jumlah gelombang
lambat yang bertambah banyak pada elektroensefalogram (EEG). Suatu EEG yang dianalisis
oleh komputer akan dapat membantu di dalam melakukan penilaian tentang ketidakmampuan
belajar pada anak.
2. Alat-alat berikut ini dapat untuk mengidentifikasi anak-anak dengan gangguan ini.
a. Bebas dari distraksibilitas (aritmatika, rentang anka, dan pengkodean)

39
b. Daftar periksa gangguan (misal: Copeland symptom checklist for attention. Defisit
Disorders, attention Deficit Disorders Evaluation Scale)
3. Wechsler Intelligence Scale for Children, edisi 3 (WISC_III) juga sering digunakan, sering
terlihat kesulitan meniru rancangan.

D. DIAGNOSA
1. Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan disabilitas perkembangan (hiperaktivitas).

2. Perubahan proses pikir berhubungan dengan gangguan kepribadian.

3. Resiko perubahan peran menjadi orang tua berhubungan dengan anak dengan gangguan
pemusatan perhatian hiperaktivitas.

4. Resiko cedera berhubungan dengan psikologis (orientasi tidak efektif)

5. Resiko keterlambatan perkembangan berhubungan dengan penyakit mental (hiperaktivitas),


kurang konsentrasi.

E. INTERVENSI
1. Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan disabilitas perkembangan
(hiperaktivitas).
NOC: Ketrampilan interaksi social
Tujuan: Pasien mampu menunjukan interaksi social yang baik.
Kriteria Hasil:
1) Menunjukan perilaku yang dapat meningkatkan atau memperbaiki interaksi social

2) Mendapatakan atau meningkatkan ketrampilan interaksi social (misalnya: kedekatan, kerja


sama, sensitivitas dan sebagainya).

3) Mengungkapkan keinginan untuk berhubungan

4) Indicator skala :

1. Tidak ada

2. Terbatas

3. Sedang

4. Banyak

NIC: Peningkatan sosialisasi, aktivitas keperawatan:

1. Kaji pola interaksi antara pasien dan orang laindengan orang lain.

40
2. Anjurkan pasien untuk bersikap jujur dalam berinteraksi dengan orang lain dan menghargai
hak orang lain.

3. Identifikasi perubahan perilaku yang spesifik.

4. Bantu pasien meningkatkan kesadaran akan kekuatan dan keterbatasan dalam


berkomunikasi dengan orang lain.

5. Berikan umpan balik yang positif jika pasien dapat berinteraksi dengan orang lain.

2. Perubahan proses pikir berhubungan dengan gangguan kepribadian.

NOC: Konsentrasi

Tujuan: Pasien dapat berkonsentrasi secara penuh terhadap obyek atau benda-
bendadisekitarnya

Kriteria Hasil:
1) Menunjukan proses pikir yang logis, terorganisasi.

2) Tidak mudah terganggu / focus terhadap sesuatu

3) Berespon dengan baik terhadap stimulus.

4) Indikator skala;
1. Tidak pernah
2.Jarang
3. Kadang-kadang
4. Sering
5. Konsisten
NIC: Pengelolaan Konsentrasi, aktivitas keperawatan

1. Berikan pada anak yang membutuhkan ketrampilan dan perhatian

2. Kurangi stimulus yang berlebihan terhadap orang-orang dan lingkungan dan


orang/bebda-benda disekitarnya.

3. Berikan umpan balik yang positif dan perilaku yang sesuai.

4. Bantu anak untuk mengidentifikasikan benda-benda disekitarnya seperti, memberikan


permainan-permainan yang dapat merangsang pusat konsentrasi.

5. Kolaborasi medis dalam pemberian terapi obat stimulan untuk anak dengan gangguan
pusat konsentrasi.

41
3. Resiko perubahan peran menjadi orang tua berhubungan dengan anak dengan
gangguan pemusatan perhatian hiperaktivitas.

NOC: Menjadi orang tua Tujuan: Orang tua mampu menghadapi kemungkinan resiko
yang terjadi terhadap anak dengan hiperaktivitas.

Kriteria Hasil:

1) Mempunyai harapan peran orang tua yang realistis

2) Mengidentifikasi factor-faktor resiko dirinya yang dapat mengarah menjadi orang tua yang
tidak efektif.

3) Mengungkapkan dengan kata-kata sifat positif dari anak.

4) Indikator skala:
1. Tidak sama sekali
2. Sedikit
3. Sedang
4. Kuat
5. Adekuat total
NIC: Peningkatan Perkembangan, aktivitas keperawatan:

1. Berikan informasi kepada orang tua tentang bagaimana cara mengatasi perilaku anak yang
hiperaktif

2. Ajarkan pada orang tua tentang tahapan penting perkembangan normal dan perilaku anak.

3. Bantu orang tua dalam mengimplementasikan program perilaku anak yang positif.

4. Bantu keluarga dalam membuat perubahan dalam lingkungan rumah yang dapat
menurunkan perilaku negative anak.

4. Resiko cedera berhubungan dengan psikologis (orientasi tidak efektif)

NOC: Pengendalian Resiko

Tujuan: Klien dapat terhindar dari resiko cedera

Kriteria Hasil:

1) Mengubah gaya hidup untuk mengurangii resiko.

2) Pasien/keluarga akan mengidentifikasikan resiko yang dapat meningkatkan kerentanan


terhadap cedera

42
3) Orang tua akan memilih permainan, memberi perawatan dan kontak social lingkungannya
dengan baik.

4) Indikator skala:
1. Tidak pernah
2. Jarang
3. Kadang-kadang
4. Sering
5. Konsisten
NIC: Mencegah Jatuh, aktivitas keperawatan:

1. Identifikasikan factor yang mempengaruhi kebutuhan keamanan, misalnya: perubahan


status mental, keletihan setelah beraktivitas, dll.
2. Berikan materi pendidikan yang berhubungan dengan strategi dan tindakan untuk
mencegah cedera.
3. Berikan informasi mengenai bahaya lingkungan dan karakteristiknya (misalnya : naik
tangga, kolam renang jalan raya, dll )
4. Hindarkan benda-benda disekitar pasien yang dapat membahayakan dan menyebabkan
cidera.
5. Ajarkan kepada pasien untuk berhati-hati dengan alat permainannya dan intruksikan
kepada keluarga untuk memilih permainan yang sesuai dan tidak menimbulkan cedera.
5. Resiko keterlambatan perkembangan berhubungan dengan penyakit mental
(hiperaktivitas), kurang konsentrasi.

NOC: Child Development

Tujuan: Pasien tidak mengalami keterlambatan perkembangan

Kriteria Hasil:
1) Anak akan mencapai tahapan dalam perkembangan yaitu tidak mengalami keterlambatan
25 % atau lebih area sosial/perilaku pengaturan diri atau kognitif, bahasa, keterampilan
motorik halus dan motorik kasar.

2) Indikator skala:
1. Tidak pernah menunjukkan
2. Jarang
3. Kadang-kadang
4. Sering
5. Konsisten
NIC: Meningkatan Perkembangan

1. Lakukan pengkajian kesehatan yang seksama (misalnya, riwayat anak, temperamen,


budaya, lingkungan keluarga, skrining perkembangan) untuk menentukan tingkat fungsional.

43
2. Berikan aktivitas bermain yang sesuai, dukung beraktivitas dengan anak lain.

3. Kaji adanya faktor resiko pada saat prenatal dan pasca natal.

4. Berkomunikasi dengan perkembangannya pasien sesuai dengan tingkat kognitif pada


perkembangannya

5. Berikan penguatan mengekspresikan diri yang positif/umpan balik terhadap usaha-usaha


mengekspresikan diri

6. Ajarkan kepada orang tua tentang hal-hal penting dalam perkembangan anak.

f. Evaluasi
1. Kemampuan interaksi sosial
2. Proses pikir
3. Fokus terhadap sesuatu
4. Respon terhadap stimulus
5. Harapan peran orang tua
6. Mengungkapkan dengan kata sifat positif
7. Gaya hidup untuk mengurangi resiko

 ASUHAN KEPERAWATAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS AUTISME


A. Pengkajian
a. Riwayat gangguan psikiatri/jiwa pada keluarga.

b. Riwayat keluarga yang terkena autisme.

c. Riwayat kesehatan ketika anak dalam kandungan.

1) Sering terpapar zat toksik, seperti timbal.

2) Cedera otak

d. Status perkembangan anak.

1) Anak kurang merespon orang lain.

2) Anak sulit fokus pada objek dan sulit mengenali bagian tubuh.

3) Anak mengalami kesulitan dalam belajar.

4) Anak sulit menggunakan ekspresi

5) Keterbatasan Kongnitif.

44
B. Pemeriksaan fisik
a. Tidak ada kontak mata pada anak.
b. Anak tertarik pada sentuhan (menyentuh/disentuh).
c. Terdapat Ekolalia.
d. Tidak ada ekspresi nonverbal.
e. Sulit fokus pada objek semula bila anak berpaling ke objek lain
f. Anak tertarik pada suara tapi bukan pada makna benda tersebut.
g. Peka terhadap bau.

C. Diagnosa Keperawatan
a. Kelemahan interaksi sosial berhubungan dengan ketidakmampuan untuk percaya pada
orang lain.
b. Hambatan komunikasi verbal dan nonverbal berhubungan dengan ransangan sensori tidak
adekuat, gangguan keterampilan reseptif dan ketidakmampuan mengungkapkan perasaan.
c. Risiko tinggi cidera; menyakiti diri berhubungan dengan kurang pengawasan.
d. Kecemasan pada orang tua behubungan dengan perkembang anak.

D. Intervensi
a. Kelemahan interaksi sosial berhubungan dengan ketidakmampuan untuk percaya pada
orang lain.
Tujuan: Klien mau memulai interaksi dengan pengasuhnya Intervensi::
1) Batasi jumlah pengasuh pada anak.
2) Tunjukan rasa kehangatan/keramahan dan penerimaan pada anak.
3) Tingkatkan pemeliharaan dan hubungan kepercayaan.
4) Motivasi anak untuk berhubungan dengan orang lain.
5) Pertahankan kontak mata anak selama berhubungan dengan orang lain.
6) Berikan sentuhan, senyuman, dan pelukan untuk menguatkan sosialisasi.

b. Hambatan komunikasi verbal dan nonverbal berhubungan dengan ransangan sensori


tidak adekuat, gangguan keterampilan reseptif dan ketidakmampuan mengungkapkan
perasaan.
Tujuan: Klien dapat berkomunikasi dan mengungkapkan perasaan kepada orang lain.
Intervensi:
1) Pelihara hubungan saling percaya untuk memahami komunikasi anak.
2) Gunakan kalimat sederhana dan lambang/maping sebagai media.
3) Anjurkan kepada orang tua/pengasuh untuk melakukan tugas secara konsisten.
4) Pantau pemenuhan kebutuhan komunikasi anaksampai anak menguasai.
5) Kurangi kecemasan anak saat belajar komunikasi.
6) Validasi tingkat pemahaman anak tentang pelajaran yang telah diberikan.
7) Pertahankan kontak mata dalam menyampaikan ungkapan nonverbal.
8) Berikan reward pada keberhasilan anak.
45
9) Bicara secara jelas dan dengan kalimat sederhana.
10) Hindari kebisingan saat berkomunikasi.

c. Risiko tinggi cidera: menyakiti diri berhubungan dengan kurang pengawasan. Tujuan :
Klien tidak menyakiti diriya.
Intervensi:
1) Bina hubungan saling percaya.
2) Alihkan prilaku menyakiti diri yang terjadi akibat respon dari peningkatan kecemasan.
3) Alihkan/kurangi penyebab yang menimbulkan kecemasan.
4) Alihkan perhatian dengan hiburan/aktivitas lain untuk menurunkan tingkat kecemasan.
5) Lindungi anak ketika prilaku menyakiti diri terjadi.
6) Siapkan alat pelindung/proteksi.
7) Pertahankan lingkungan yang aman.
d. Kecemasan pada orang tua behubungan dengan perkembang anak. Tujuan: Kecemasan
berkurang/tidak berlanjut.
Intervensi:

1) Tanamkan pada orang tua bahwa autis bukan aib/penyakit.


2) Anjurkan orang tua untuk membawa anak ke tempat terapi yang berkwalitas baik serta
melakukan secara konsisten.
3) Berikan motivasi kepada orang tua agar dapat menerima kondisi anaknya yang spesial.
4) Anjurkan orang tua untuk mengikuti perkumpulan orang tua dengan anak autis, seperti
kegiatan Autis Awareness Festifal.
5) Berikan informasi mengenai penanganan anak autis.
6) Beritahukan kepada orang tua tentang pentingnya menjalankan terapi secara konsisten
dan kontinue.

2.3 ASUHAN KEPERAWATAN PADA KORBAN PEMERKOSAAN


A. Pengertian
Perkosaan (rape) merupakan bagian dari tindakan kekerasan (violence), sedangkan
kekerasan dapat berupa kekerasan secara fisik, mental, emosional dan hal-hal yang sangat
menakutkan pada korban. Perkosaan adalah suatu penetrasi penembusan penis ke vagina
perempuan yang tidak dikehendaki, tanpa persetujuan dan tindakan itu diikuti dengan pemaksaan
baik fisik maupun mental.
Pengertian pemerkosaan berdasarkan Pasal 381 RUU KUHP:
1. Seorang laki-laki dengan perempuan bersetubuh, bertentangan dengan kehendaknya, tanpa
persetubuhan atau dengan persetubuhan yang dicapai melalui ancaman atau percaya Ia suaminya
atau wanita dibawah 14 tahun dianggap perkosaan.

46
2. Dalam keadaan ayat (1), memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut perempuan,
benda bukan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus perempuan.
Perkosaan adalah tindakan kekerasaan atau kejahatan seksual berupa hubungan seksual yang
dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan dengan kondisi atas kehendak dan persetujuaan
perempuan, dengan persetujuan perempuan namun dibawah ancaman, dengan persetujuan
perempuan namun melalui penipuan. Dalam KUHP pasal 285 disebutkan perkosaan adalah
kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa seseorang perempuan bersetubuh dengan dia (laki-
laki) diluar pernikahan.
Kalimat korban perkosaan menurut arti leksikal dan gramatikal adalah suatu kejadian,
perbuatan jahat, atau akibat suatu kejadian, atau perbuatan jahat. Perkosaan adalah
Menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan, menggagahi, merogol.
(Mendikbud,2010: 525, 757).

Gangguan Stres Pasca Trauma


Seorang psikiater di Jakarta yang bernama W. Roan menyatakan trauma berarti cidera,
kerusakan jaringan, luka atau shock. Sementara trauma psikis, dalam Psikologi diartikan
sebagai kecemasan hebat dan mendadak akibat suatu peristiwa dilingkungan seseorang yang
melampaui batas kemampuannya untuk bertahan, mengatasi atau menghindar (Roan, W.,
2003).
Gangguan stress pasca trauma (Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)) merupakan suatu
sindrom kecemasan, labilitas autonomic, ketidakrentanan emosional, dan kilas balik dari
pengalaman yang amat pedih itu setelah stress fisik maupun emosi yang melampaui batas
ketahanan orang biasa (Kaplan et al., 1997). Menurut National Institute of Mental Health
(NIMH), definisi PTSD adalah gangguan berupa kecemasan yang bisa timbul setelah seseorang
mengalami suatu peristiwa yang mengancam keselamatan jiwa atau fisiknya. Peristiwa yang
menimbulkan trauma ini bisa berupa serangan kekerasan, bencana alam yang menimpa
manusia, kecelakaan atau perang (Anonim, 2005)
Sedangkan Hikmat mengatakan bahwa PTSD adalah sebuah kondisi yang muncul setelah
pengalaman luar biasa yang mencekam, mengerikan, dan mengancam jiwa seseorang seperti
bencana alam, kecelakaan hebat, sexual abuse (kekerasan seksual), atau perang (Hikmat, 2005).

47
B. TANDA DAN GEJALA
1. Terdapat stressor yang berat dan jelas (kekerasan, perkosaan), yang akan menimbulkan
gejala penderitaan yang berarti bagi hampir setiap orang.
2. Penghayatan yang berulang-ulang dari trauma itu yang dibuktikan oleh terdapatnya
paling sedikit satu dari hal berikut:
a. ingatan berulang dan menonjol tentang peristiwa itu;
b. mimpi-mimpi berulang dari peristiwa itu;
c. timbulnya secara tiba-tiba perilaku atau perasaan seolah-olah peristiwa traumatik
itu sedang timbul kembali, karena berkaitan dengan suatu gagasan atau
stimulus/rangsangan lingkungan.
3. Penumpulan respons terhadap atau berkurangnya hubungan dengan dunia luar (“psychic
numbing” atau “anesthesia emotional”) yang dimulai beberapa waktu sesudah trauma,
dan dinyatakan paling sedikit satu dari hal berikut:
a. berkurangnya secara jelas minat terhadap satu atau lebih aktivitas yang cukup
berarti;
b. perasaan terlepas atau terasing dari orang lain;
c. afek (alam perasaan) yang menyempit (constricted affect) atau afek depresif
(murung, sedih, putus asa).
4. Paling sedikit ada dua dari gejala-gejala berikut ini yang tidak ada sebelum trauma
terjadi, yaitu:
a. kewaspadaan atau reaksi terkejut yang berlebihan;
b. gangguan tidur (disertai mimpi-mimpi yang menggelisahkan);
c. perasaan bersalah karena lolos dari bahaya maut, sedangkan orang lain tidak, atau
merasa bersalah tentang perbuatan yang dilakukannya agar tetap hidup;
d. hendaya (impairment) daya ingat atau kesukaran konsentrasi
e. penghindaran diri dari aktivitas yang membangkitkan ingatan tentang peristiwa
traumatik itu;
f. peningkatan gejala-gejala apabila dihadapkan pada peristiwa yang menyimbolkan
atau menyerupai peristiwa traumatik itu

C. BATASAN KARAKTERISTIK
1. Fase akut

48
a. Respons somatic
 Peka rangsang gastrointerstinal (mual, muntah, anoreksia)
 Ketidaknyamanan genitourinarius (nyeri, pruritus)
 Ketegangan otot-otot rangka (spasme, nyeri).
b. Respons psikologis
 Menyangkal
 Syok emosional
 Marah
 Takut – akan mengalami kesepian, atau pemerkosa akan kembali
 Rasa bersalah
 Panik melihat pemerkosa atau adegan penyerangan
c. Respons seksual
 Tidak percaya pada laki-laki
 Perubahan dalam perilaku seksual
2. Fase jangka panjang
Setiap respons pada fase akut dapat berlanjut jika tidak pernah terjadi resolusi
a. Respons psikologis
 Fobia
 Mimpi buruk atau gangguan tidur
 Ansietas
 Depresi

D. PERMASALAHAN PERMASALAHAN YANG BERKAITAN DENGAN KORBAN
PEMERKOSAAN
 Panic attack (serangan panik)
Anak / remaja yang mempunyai pengalaman trauma dapat mengalami serangan panik
ketika dihadapkan / menghadapi sesuatu yang mengingatkan mereka pada trauma.
Serangan panik meliputi perasaan yang kuat atas ketakutan atau perasaan tidak nyaman
yang menyertai gejala fisik maupun psikologis. Gejala fisik meliputi jantung berdebar-
debar, berkeringat, gemetar, sesak nafas, sakit dada, sakit perut, pusing, merasa
kedinginan, badan panas, mati rasa.

49
 Perilaku menghindar
Menghindari hal-hal yang dapat mengingatkan penderita pada kejadian traumatis.
Kadang-kadang penderita mengaitkan semua kejadian dalam seluruh kehidupannya setiap
hari dengan kejadian trauma, padahal kondisi kehidupan sekarang jauh dari kondisi
trauma yang pernah dialaminya. Hal ini seringkali menjadi lebih parah sehingga
penderita menjadi takut untuk keluar rumah dan harus ditemani oleh orang lain jika harus
keluar rumah.
 Depresi
Banyak orang menjadi depresi setelah mengalami pengalaman trauma dan menjadi tidak
tertarik dengan hal-hal yang disenanginya sebelum peristiwa trauma. Mereka
mengembangkan perasaan-perasaan yang tidak benar, perasaan bersalah, menyalahkan
diri sendiri, dan merasa bahwa peristiwa yang dialaminya adalah merupakan
kesalahannya, walaupun semua itu tidak benar.
 Membunuh pikiran dan perasaan
Kadang-kadang orang yang depresi berat merasa bahwa kehidupannya sudah tidak
berharga. Hasil penelitian menjelaskan bahwa 50 % korban kejahatan mempunyai pikiran
untuk bunuh diri. Jika anda dan orang yang terdekat dengan anda mempunyai pemikiran
untuk bunuh diri setelah mengalami peristiwa traumatik, segeralah mencari pertolongan
dan berkonsultasi dengan para profesional.
 Merasa disisihkan dan sendiri
Perlunya dukungan dari lingkungan sosialnya tetapi mereka seringkali merasa sendiri dan
terpisah. Karena perasaan mereka tersebut, penderita kesulitan untuk berhubungan
dengan orang lain dan mendapatkan pertolongan. Penderita susah untuk percaya bahwa
orang lain dapat memahami apa yang telah dia alami.
 Merasa tidak percaya dan dikhianati
Setelah mengalami pengalaman yang menyedihkan, penderita mungkin kehilangan
kepercayaan dengan orang lain dan merasa dikhianati atau ditipu oleh dunia, nasib atau
oleh Tuhan.
 Mudah marah
Marah dan mudah tersinggung adalah reaksi yang umum diantara penderita trauma.
Tentu saja kita dapat salah kapan saja, khususnya ketika penderita merasa tersakiti, marah

50
adalah suatu reaksi yang wajar dan dapat dibenarkan. Bagaimanapun, kemarahan yang
berlebihan dapat mempengaruhi proses penyembuhan dan menghambat penderita untuk
berinteraksi dengan orang lain di rumah dan di tempat terapi.
 Gangguan yang berarti dalam kehidupan sehari-hari
Beberapa gangguan yang terkait dengan fungsi sosial dan gangguan di sekolah dalam
jangka waktu yang lama setelah trauma. Seorang korban kejahatan mungkin menjadi
sangat takut untuk tinggal sendirian. Penderita mungkin kehilangan kemampuannya
dalam berkonsentrasi dan melakukan tugasnya di sekolah. Bantuan perawatan pada
penderita sangat penting agar permasalahan tidak berkembang lebih lanjut.
 Persepsi dan kepercayaan yang aneh
Adakalanya seseorang yang telah mengalami trauma yang menjengkelkan, seringkali
untuk sementara dapat mengembangkan ide atau persepsi yang aneh (misalnya : percaya
bahwa dia bisa berkomunikasi atau melihat orang-orang yang sudah meninggal).
Walaupun gejala ini menakutkan dan menyerupai halusinasi dan khayalan, gejala tersebut
seringkali bersifat sementara dan hilang dengan sendirinya.

E. KEMUNGKINAN PERILAKU ANAK ANAK DAN REMAJA YG MENGALAMI


TRAUMA

Saat perlu ditangani


Reaksi ketika sedang
Usia Korban Akibat yang normal oleh tenaga
stress
profesional
1-5 tahun Menghisap jempol,
Menangis tidak Keinginan menyendiri
mengompol, kurang dapat
terkontrol secara berlebihan
mengontrol diri
Tidak mengenal waktu. Gemetaran karena Tidak ada respon
Ingin menunjukkan ketakutan, tidak bisa terhadap perhatian
kemandirian bergerak khusus
Takut gelap atau
binatang, sehingga Berlarian ketakutan tanpa
merasa terteror di malam arah
hari
Tidak mau lepas dari Terlalu ketakutan dan

51
tidak mau ditinggal
pegangan orang tua
sendirian
Perilaku agresif (kembali
Rasa ingin tahu,
menghisap jari atau
eksploratif
mengompol lagi)
Tidak dapat menahan
Amat sensitif dengan
kencing maupun buang
suara dan cuaca
air besar
Kesulitan bicara Bingung, panik
Perubahan selera makan Sulit makan
Perilaku regresif yang
5-11 tahun Rasa gelisah, ketakutan jelas terlihat (menjadi
lebih kekanak-kanakan)
Mengeluh Gangguan tidur
Senang menempel kepada
orang tua atau yang Ketakutan akan cuaca
dianggap dekat
Pusing, mual, timbul
Pertanyaan yang agresif masalah penglihatan dan
pendengaran
Berkompetisi dengan
sebayanya/saudaranya Ketakutan yang tidak
untuk mencari perhatian beralasan
orang tua/guru
Menolak untuk masuk
Menghindar atau malas sekolah, tidak bisa
ke sekolah konsentrasi, dan senang
berkelahi
Mimpi buruk, dan takut Tidak dapat beraktivitas
gelap dengan baik
Menyendiri dari kawan-
kawan
Hilang minat/konsentrasi
di sekolah

52
Remaja awal Disorientasi dan lupa
Gangguan tidur Menarik diri, menyendiri
(11-14 tahun) terhadap sesuatu
Depresi, kesedihan, dan Depresi berat dan
Tidak ada nafsu makan membayangkan bunuh tidak mau ketemu
diri orang
Menjadi pemberontak di
Memakai obat-obatan
rumah atau tidak mau Perilaku agresif
terlarang
mengerjakan tugasnya
Permasalahan kesehatan Tidak bisa merawat
(kulit, buang air besar, Depresi dirinya (makan,
pegal-pegal, pusing) minum, mandi)
Masalah psikosomatis
Remaja
(gatal, sulit buang air Bingung
(14-18 tahun)
besar, asma)
Halusinasi, ketakutan
Menarik diri dan
Pusing/perasaan tertekan akan membunuh diri
menyendiri
sendiri atau orang lain
Perilaku antisosial Tidak dapat
Gangguan selera makan (mencuri, agresif, dan memutuskan hal-hal
dan tidur mencari perhatian yang paling mudah
dengan bertingkah) sekalipun
Mulai
mengidentifikasikan diri Menarik diri dan tidur
Terlalu
dengan kawan sebaya, terlalu pulas atau
terobsesi/dikuasai
ingin menyendiri dengan ketakutan di waktu
oleh satu pikiran
menghindar dari acara malam
keluarga
Protes, apatis
Perilaku yang tidak
Depresi
bertanggung jawab
Tidak bisa berkonsentrasi

F. PENGOBATAN

53
Ada dua macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan korban pemerkosaan, yaitu dengan
menggunakan farmakoterapi dan psikoterapi.
1. Farmakoterapi
Mulai terapi obat hanya dalam hal kelanjutan pengobatan pasien yang sudah dikenal. Terapi
dengan anti depresiva pada gangguan stress pasca traumatik ini masih kontroversial. Obat yang
biasa digunakan adalah benzodiazepin, litium, camcolit dan zat pemblok beta – seperti
propranolol, klonidin, dan karbamazepin. Obat tersebut biasanya diresepkan sebagai obat yang
sudah diberikan sejak lama dan kini dilanjutkan sesuai yang diprogramkan, dengan kekecualian,
yaitu benzodiazepin – contoh, estazolam 0,5 – 1 mg per os, Oksanazepam10-30 mg per os,
Diazepam (valium) 5 – 10 mg per os, Klonazepam 0,25 – 0,5 mg per os, atau Lorazepam 1- 2 mg
per os atau IM – juga dapat digunakan dalam UGD atau kamar praktek terhadap ansietas yang
gawat dan agitasi yang timbul bersama gangguan stres pasca traumatik tersebut (Kaplan et al,
1997).
2. Psikoterapi
 Anxiety Management
Pada anxiety management, terapis akan mengajarkan beberapa ketrampilan untuk membantu
mengatasi gejala korban pemerkosaan dengan lebih baik melalui :
 Relaxation Training
Yaitu belajar untuk mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan merelaksasikan
kelompok otot-otot utama.
 Breathing retraining
Yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan-lahan, santai dan menghindari bernafas
dengan tergesa-gesa yang menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak
baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala.
 Positive thinking dan self-talk
Yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran negatif dan mengganti dengan pikiran positif ketika
menghadapi hal-hal yang membuat stress (stresor).
 Assertiveness Training
Yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan emosi tanpa menyalahkan atau
menyakiti orang lain.
 Thought Stopping

54
Yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang memikirkan hal-hal yang
membuat kita stress (Anonim, 2005).
 Cognitive therapy
Terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu emosi dan
mengganggu kegiatan-kegiatan kita. Misalnya seorang korban kejahatan mungkin menyalahkan
diri sendiri karena tidak hati-hati. Tujuan kognitif terapi adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran
yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk melawan
pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk membantu
mencapai emosi yang lebih seimbang (Anonim, 2005).
 Exposure therapy
Pada exposure terapi, terapis membantu menghadapi situasi yang khusus, orang lain, obyek,
memori atau emosi yang mengingatkan pada trauma dan menimbulkan ketakutan yang tidak
realistik dalam kehidupan sehari-hari. Terapi ini dapat berjalan dengan dua cara :
 Exposure in the imagination
Terapis bertanya kepada penderita untuk mengulang-ulang cerita secara detail kenangan-
kenangan traumatis sampai mereka tidak mengalami hambatan untuk menceritakannya.
 Exposure in reality
Terapis membantu untuk menghadapi situasi yang sekarang aman tetapi ingin dihindari karena
menyebabkan ketakutan yang sangat kuat (misalnya : kembali ke rumah setelah terjadi
perampokan di rumah). Ketakutan itu akan bertambah kuat jika kita berusaha untuk mengingat
situasi tersebut dibanding berusaha untuk melupakannya. Pengulangan situasi yang disertai
penyadaran yang berulang-ulang akan membantu kita menyadari bahwa situasi lampau yang
menakutkan tidak lagi berbahaya dan kita dapat mengatasinya (Anonim, 2005).
 Play therapy
Terapi bermain digunakan untuk menerapi anak-anak dengan trauma. Terapis menggunakan
permainan untuk memulai topik yang tidak dapat dimulai secara langsung. Hal ini dapat
membantu anak-anak untuk lebih merasa nyaman dalam berproses dengan pengalaman
traumatiknya (Anonim, 2005).
 Support Group Therapy
Seluruh peserta dalam Support Group Therapy merupakan korban perkosaan, yang mempunyai
pengalaman serupa (misalnya korban bencana tsunami, korban gempa bumi) dimana dalam

55
proses terapi mereka saling menceritakan tentang pengalaman traumatis mereka, kemdian
mereka saling memberi penguatan satu sama lain (Swalm, 2005).
 Terapi Bicara
Sejumlah studi penelitian membuktikan bahwa terapi berupa saling berbagi cerita mengenai
trauma mampu memperbaiki kondisi kejiwaan penderita. Dengan berbagi pengalaman, korban
bisa memperingan beban pikiran dan kejiwaan yang dipendamnya selama ini. Bertukar cerita
dengan sesama penderita membuat mereka merasa senasib, bahkan merasa dirinya lebih baik
dari orang lain. Kondisi ini memicu seseorang untuk bangkit dari trauma yang dideritanya dan
melawan kecemasan (Anonim, 2005).

BEBAN PSIKOLOGIS DAN KESEHATAN KORBAN PEMERKOSAAN


Kondisi, dampak, dan tantangan yang dihadapi tiap korban pemerkosaan berbeda satu sama
lain. Merasa takut, cemas, panik, shock, atau bersalah adalah hal yang wajar. Luka yang mereka
rasakan dapat menetap dan berdampak hingga seumur hidup. Banyak korban yang merasa
kehilangan kepercayaan diri dan kendali atas hidup mereka sendiri. Hal ini juga dapat membuat
mereka kesulitan mengungkapkan yang terjadi pada diri mereka, meski cerita mereka sangat
dibutuhkan untuk menindak pelaku. Berbagai perasaan yang campur aduk dan situasi rumit
tersebut akan membawa dampak bagi kesehatan dan psikologis mereka.
1. Beban Psikologis
Tindak pemerkosaan pasti mendatangkan trauma bagi yang mengalaminya. Respons tiap
orang terhadap pemerkosaan yang menimpanya pasti berbeda dengan munculnya
berbagai perasaan yang menjadi satu dan bahkan dapat baru terlihat lama setelah
peristiwa tersebut terjadi. Berikut ini adalah beberapa perubahan psikologis yang
umumnya dialami korban.
a. Menyalahkan diri sendiri
Sikap menyalahkan diri sendiri adalah kondisi yang paling umum dialami korban
pemerkosaan. Sikap inilah yang paling menghambat proses penyembuhan.
Korban pemerkosaan dapat berisiko menyalahkan diri sendiri karena dua hal:
 Menyalahkan diri karena perilaku. Mereka menganggap ada yang salah dalam tindakan
mereka sehingga akhirnya mengalami tindakan pemerkosaan. Mereka akan terus merasa
untuk seharusnya berperilaku berbeda sehingga tidak diperkosa.

56
 Menyalahkan diri karena merasa ada sesuatu yang salah di dalam diri mereka sendiri
sehingga mereka pantas mendapatkan perlakuan kasar.
Sayangnya orang-orang terdekat, seperti pasangan, belum tentu dapat mendukung
pulihnya kondisi pasien. Sebagian kerabat korban mungkin merasa tidak dapat menerima
kenyataan atau justru menyalahkan sehingga korban makin berada dalam posisi yang
sulit.
Kebanyakan korban pemerkosaan juga tidak dapat dengan mudah diyakinkan bahwa ini
bukanlah salah mereka. Rasa malu ini kemudian berhubungan erat dengan gangguan lain,
seperti pola makan, kecemasan, depresi, mengonsumsi minuman keras dan obat-obatan
terlarang, serta gangguan mental lain. Kondisi ini dapat diatasi dengan terapi perilaku
kognitif dalam melakukan reka ulang proses penyusunan fakta dan logika dalam pikiran.
b. Bunuh diri
Kondisi stres pascatrauma membuat korban pemerkosaan lebih berisiko untuk
memutuskan bunuh diri. Tindakan ini terutama dipicu oleh rasa malu dan merasa tidak
berharga.
c. Kriminalisasi korban pemerkosaan
Pada budaya dan kelompok masyarakat tertentu, korban pemerkosaan dapat menjadi
korban untuk kedua kalinya karena dianggap telah berdosa dan tidak layak hidup. Mereka
diasingkan dari masyarakat, tidak diperbolehkan menikah, atau diceraikan (jika telah
menikah). Dalam kelompok masyarakat lain, kriminalisasi pun dapat terjadi ketika
korban disalahkan karena dianggap perilaku atau cara berpakaiannya yang menjadi
penyebab diperkosa.
Selain itu, korban berisiko mengalami hal-hal lain seperti depresi, merasa seakan-akan
peristiwa tersebut terulang terus-menerus, sering merasa cemas dan panik, mengalami
gangguan tidur dan sering bermimpi buruk, sering menangis, menyendiri, menghindari
pertemuan dengan orang lain, atau sebaliknya tidak mau ditinggal sendiri. Ada kalanya
mereka menarik diri dan menjadi pendiam, atau justru menjadi pemarah.
2. Efek terhadap Fisik Korban
Selain luka psikologis, korban pemerkosaan membawa luka pada tubuhnya. Sebagian
mungkin terlihat, namun sebagian lagi barangkali baru dapat dideteksi beberapa waktu
kemudian.

57
Sementara secara fisik mereka dapat terlihat mengalami perubahan pola makan atau
gangguan pola makan. Tubuh mereka bisa terlihat tidak terawat, berat badan turun, dan
luka pada tubuh seperti memar atau cedera pada vagina.
Berikut beberapa kondisi yang umum terjadi pada korban pemerkosaan:
a. Penyakit menular seksual (PMS)
Penetrasi vagina yang dipaksakan membuat terjadinya luka yang membuat virus dapat
masuk melalui mukosa vagina. Kondisi ini lebih rawan terjadi pada anak atau remaja
yang lapisan mukosa vaginanya belum terbentuk dengan kuat.
Meski belum ada tanda-tanda yang terasa, namun korban pemerkosaan sebaiknya
memeriksakan diri untuk mendeteksi kemungkinan terkena penyakit menular seksual.
Infeksi seperti HIV (virus yang menyebabkan AIDS) dapat ditangani dengan post-
exposure prophylaxis (PEP), yaitu perawatan profilaksis setelah tubuh terpapar penyakit.
Namun perawatan ini harus dilakukan sesegera mungkin.
b. Penyakit lain
Selain penyakit menular seksual, korban perkosaan umumnya menderita
konsekuensi yang berpengaruh pada kesehatan mereka:
 Peradangan pada vagina atau vaginitis.
 Infeksi atau pendarahan pada vagina atau anus.
 Gangguan hasrat seksual hipoaktif (hypoactive sexual desire
disorder/HSDD): keengganan esktrem untuk berhubungan seksual atau justru
menghindari semua atau hampir semua kontak seksual.
 Nyeri saat berhubungan seksual, disebut juga dyspareunia.
 Vaginismus: kondisi yang memengaruhi kemampuan wanita untuk merespons
penetrasi ke vagina akibat otot vagina yang berkontraksi di luar kontrol.
 Infeksi kantong kemih.
 Nyeri panggul kronis.
c. Kehamilan yang tidak diinginkan
Kehamilan adalah salah satu kondisi dan konsekuensi terberat yang mungkin
terjadi pada korban pemerkosaan. Belum berhasil menyembuhkan diri sendiri,
mereka harus dihadapkan pada kenyataan adanya kehidupan lain di dalam
tubuhnya yang sebenarnya tidak mereka harapkan. Kondisi psikologis wanita

58
yang buruk dapat membuat bayi berisiko tinggi mengalami kondisi kelainan atau
lahir prematur.
Dampak fisik mungkin dapat sembuh dalam waktu lebih singkat. Namun dampak
psikologis dapat membekas lebih lama. Peran keluarga, kerabat, dokter, dan
terapis akan menjadi kunci dari kesembuhan dan ketenangan bagi mereka yang
menjadi korban pemerkosaan.

G. PERAN PERAWAT
1. Pentingnya mengkomunikasikan empat ucapan berikut ini pada korban perkosaan:
a. Saya prihatin hal ini terjadi padamu
b. Anda aman disini
c. Saya senang anda hidup
d. Anda tidak bersalah. Anda adalah koban. Ini bukan kesalahan anda. Apapun
keputusan yang anda buat pada saat pengorbanan adalah hak seseorang karena anda
hidup.
Korban yang telah diperkosa secara seksual takut terhadap kehidupannya dan harus
diyakinkan kembali keamanannya. Ia mungkin juga sangat ragu-ragu dengan dirinya
dan menyalahkan diri sendiri, dan penyataan-pernyataan ini membangkitkan rasa
percaya secara bertahap dan memvalidasi harga diri.
2. Jelaskan setiap prosedur pengkajian yang akan dilakukan  dan mengapa. Pastikan bahwa
pengumpulan data dilakukan dalam perawatan, cara tidak menghakimi, untuk
menurunkan ketakutan atau ansietas dan untuk meningkatkan rasa percaya.
3. Pastikan bahwa pasien memiliki privasi yang adekuat untuk semua intervensi-intervensi
segera pasca-krisis. Cobakan sedikit mungkin orang yang memberikan perawatan segera
atau mengumpulkan bukti segera. Pasien pasca-trauma sangat rentan. Penambahan orang
dalam lingkungannya meningkatkan perasaan rentan ini dan bertindak  meningkatkan
ansietas.
4. Dorong pasien untuk menghitung jumlah serangan. Dengarkan, tapi tidak menyelidiki.
Mendengarkan dengan tidak menghakimi memberikan kesempatan untuk katarsis bahwa
pasien perlu memulai pemulihan. Jumlah yang rinci mungkin dibutuhkan untuk tindak  

59
lanjut secara legal, dan seorang klinisi sebagai pembela pasien, dapat menolong untuk
mengurangi trauma dari pengumpulan bukti.
5. Diskusikan dengan pasien siapa yang dapat dihubungi untuk memberikan dukungan atau
bantuan. Berikan informasi tentang rujukan setelah perawatan. Karena ansietas berat dan
rasa takut, pasien mungkin membutuhkan bantuan dari orang lain selama periode segera
pasca-krisis. Berikan informasi rujukan tertulis untuk referensi selanjutnya (mis.,
psikoterapis, klinik kesehatan jiwa, kelompok pembela masyarakat.
6. Discharge Planning
Hasil yang diharapkan dari pemberian asuhan keperawatan pada anak dengan
penganiayaan seksual (sexual abuse) antara lain:
a. Anak tidak mengalami ansietas panik lagi.
b. Anak mendemonstrasikan derajat percaya kepada perawat primer.
c. Anak menerima perhatian dengan segera terhadap cedera fisiknya.
d. Anak memulai perilaku yang konsisten terhadap respons berduka.
e. Anak mendapatkan perhatian segera untuk cedera fisiknya jika ada.
f. Anak menyatakan secara verbal jaminan keamanannya dengan segera.
g. Anak mendiskusikan situasi kehidupannya dengan perawat primer.
h. Anak mampu menyatakan secara verbal pilihan –pilihan yang tersedia untuk
dirinya yang dari hal ini ia menerima bantuan.
i. Anak mendemosntrasikan rasa percaya kepada perawat utama melalui
mendiskusikan perlakuan penganiayaan melalui penggunaan terapi bermain.
j. Anak mendemonstrasikan suatu penurunan dalam perilaku agresif.

BAB III
KESIMPULAN

Ketika seseorang mengalami kekerasan atau pelecehan secara seksual baik itu
secara fisik maupun psikologis, maka kejadian tersebut dapat menimbulkan suatu trauma
yang sangat mendalam dalam diri seseorang tersebut terutama pada anak-anak dan
remaja. Dan kejadian traumatis tersebut dapat mengakibatkan gangguan secara mental,

60
yaitu Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Tingkatan gangguan stress pasca trauma
berbeda-beda bergantung pada seberapa parah kejadian tersebut mempengaruhi kondisi
psikologis dari korban.
Untuk menyembuhkan gangguan stress pasca trauma pada korban kekerasan atau
pelecehan seksual diperlukan bantuan baik secara medis maupun psikologis, agar korban
tidak merasa tertekan lagi dan bisa hidup secara normal kembali seperti sebelum kejadian
trauma. Dan pendampingan itu sendiri juga harus dengan metode-metode yang benar
sehingga dalam menjalani penyembuhan atau terapi korban tidak mengalami tekanan-
tekanan baru yang diakibatkan dari proses pendampingan itu sendiri.

Child abuse adalah seorang anak yang mendapat perlakuan badani yang keras,
dimana termasuk malnutrisi dan mentelantarkan anak sebagai stadium awal dari indrom
perlakuan salah, dan penganiayaan fisik berada pada stadium akhir yang paling berat dari
spectrum perlakuan salah oleh orang tuanya/ pengasuh. Child Abuse adalah tindakan
yang mempengaruhi perkembangan anak sehingga tidak optimal lagi.
Diagnosa Keperawatan:
1.Resiko trauma berhubungan dengan karakteristik anak, pemberian asuhan dan
lingkungan.
2.Cemas berhubungan dengan perlakuan salah yang berulang-ulang, ketidakberdayaan
dan potensial kehilangan orang tua.
3.Resiko terhadap kerusakan kedekatan orang tua / anak / bayi berhubungan dengan
perlakuan kekerasan
4.Risiko cidera berhubungan dengan kekerasan fisik (kekerasan orang tua)
5. Ketakutan berhubungan dengan kondisi fisik / social
6. Resiko keterlamnbatan perkembangan berhubungan dengan perilaku kekerasan

DAFTAR PUSTAKA
https://id.scribd.com/document/421779439/ASUHAN-KEPERAWATAN-JIWA-DENGAN-
KASUS-PEMERKOSAAN-PADA-REMAJA

61
https://id.scribd.com/document/253581460/Asuhan-Keperawatan-Anak-Berkebutuhan-Khusus
https;//id.scribd.com/document/436303798/makalah-Kdrt-Anak

62

Anda mungkin juga menyukai