Anda di halaman 1dari 42

1

BAB 1. KONSEP TEORI

Teori merupakan serangkaian pernyataan teruji yang menguraikan,


menjelaskan, memprediksi, dan mengendalikan fenomena tertentu (Meleis;
Walker & Avant dalam Hamid, 2007). Oleh karena itu pada bab ini akan disajikan
tinjauan teori sebagai landasan studi kasus, yang berisi tentang konsep dasar teori
dan konsep dasar keperawatan.
1.1 Konsep Dasar Medis DKD
1.1.1. Pengertian
Diabetes melitus telah menjadi salah satu penyakit yang paling banyak
menyebabkan penyakit ginjal kronik. Kelainan ginjal akibat dari penyakit diabetes
melitus ini dikenal dengan nama Diabetic Kidney Disease (DKD) yang
sesungguhnya merupakan komplikasi mikrovaskular kronis pembuluh darah
kapiler ginjal pada penderita diabetes mellitus dengan ditandai adanya proteinuria,
hipertensi dan gangguan fungsi ginjal yang progresif dengan ekskresi protein pada
urin yang kemudian berlanjut dengan penurunan fungsi ginjal sebagai petanda
awal nefropati diabetik dan sebagai faktor kunci awal yang meramalkan
progresivitas dari glomerulopati diabetik, mengindikasikan keparahan dan pemicu
terjadinya nefropati yang progresif (Foster & Unger, 1998).
Lesi renal yang khas dari nefropati diabetik adalah glomerulosklerosis
yang nodular yang tersebar di kedua ginjal yang disebut sindrom Kommelstiel-
Wilson. Glomerulosklerosis nodular dikaitkan dengan proteinuria, edema, dan
hipertensi. Lesi sindrom Kommelstiel-wilson ditemukan hanya pada DM (Mary
baradero, dkk., 2009). Bahkan sebagian kecil pasien, terutama yang memiliki
kontrol glikemik yang buruk, telah memiliki ginjal yang membesar dengan
peningkatan laju filtrasi glomerulus (LFG) pada saat diagnosis diabetes
ditegakkan (Chris A. O’Callaghan, 2009).
1.1.2. Klasifikasi dan Etiologi
Penyakit ginjal diabetik (PGD) atau nefropati diabetik (ND) merupakan
salah satu komplikasi yang sering terjadi pada penderita diabetes. Pada penyakit
ini terjadi kerusakan pada filter ginjal atau yang dikenal dengan glomerulus.

1
2

Oleh karena terjadi kerusakan glomerulus maka sejumlah protein darah


diekskresikan ke dalam urin secara abnormal. Protein utama yang diekskresikan
adalah albumin. Pada keadaan normal albumin juga diekskresikan dalam jumlah
sedikit dalam urine. Peningkatan kadar albumin dalam urine merupakan tanda
awal adanya kerusakan ginjal oleh karena diabetes. PGD dapat dibedakan menjadi
dua kategori utama berdasarkan jumlah albumin yang hilang pada ginjal, yaitu:
1. Mikroalbuminuria
terjadi kehilangan albumin dalam urine sebesar 30-300 mg/hari.
Mikroalbuminuria juga dikenal sebagai tahapan nefropati insipien.
2. Proteinuri
terjadi bila terjadi kehilangan albumin dalam urine lebih dari 300mg/hari.
Keadaan ini dikenal sebagai makroalbuminuria atau nefropati overt.
(Foster & Unger, 1998; Waspadji, 1996; Sundoyo, Ari W, dkk., Juni 2006).
Progresi umum dari mikroalbuminuria menjadi nefropati overt
menyebabkan banyak yang menganggap mikroalbuminuria sebagai tanda
nefropati tahap awal. Kelainan ginjal sering terjadi sekunder pada penderita
diabetes yang lama terutama penderita diabetes tipe I. Secara klinis nefropati
diabetik ditandai dengan adanya peningkatan proteinuria yang progresif,
penurunan GFR, hipertensi, dan risiko tinggi untuk menderita penyakit
kardiovaskular. Perjalanan alamiah nefropati diabetik merupakan sebuah proses
dengan progresivitas bertahap setiap tahun. Diabetes fase awal ditandai dengan
hiperfiltrasi glomerulus dan peningkatan GFR. Hal ini berhubungan dengan
peningkatan perkembangan sel dan ekspansi ginjal, yang mungkin dimediasi oleh
hiperglikemia (Perkeni, 2006). Mikroalbuminuria biasanya terjadi setelah 5 tahun
menderita penyakit Diabetes tipe 1 sedangkan nefropati yang ditandai dengan
ekskresi protein urin lebih dari 300 mg/hari, biasanya terjadi dalam waktu 10-15
tahun. Penyakit ginjal stadium terminal terjadi pada sekitar 50% penderita DM
tipe I, yang akan mengalami nefropati dalam 10 tahun (Bethesda, 2012).
DM tipe II memiliki patogenesis yang lebih bervariasi. Penderita sering
didiagnosis sudah dengan mikroalbuminuria yang disebabkan karena
keterlambatan diagnosis dan faktor lain yang mempengaruhi ekskresi protein.

2
3

Sebagian kecil penderita dengan mikroalbuminuria akan berkembang menjadi


penyakit ginjal tahap lanjut. Tanpa intervensi, sebanyak 30% penderita akan
berkembang menjadi nefropati dengan proteinuria yang nyata, dan setelah 20
tahun mengalami nefropati, sekitar 20% akan berkembang menjadi penyakit ginjal
tahap akhir. Diabetes yang lama menyebabkan perubahan pada pembuluh darah
kecil yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal dimana kerusakan ginjal tersebut
dapat menyebabkan kegagalan ginjal yang berat. Kerusakan ginjal dapat dimulai
sejak tahun pertama setelah terdiagnosis menderita DM tipe I dan dapat
ditemukan pada saat terdiagnosis DM tipe II. Namun diperlukan waktu sekitar 5-
10 tahun untuk menjadi masalah kerusakan ginjal yang bermakna (“Diabetic
Nephropathy”, 2006; Joshua, 2012).
Berdasarkan data yang diperoleh dari UK Renal Registry pada tahun 1998,
penyakit ginjal diabetik merupakan penyebab utama gagal ginjal terminal di
antara penderita yang menjalani terapi pengganti ginjal (16%). Dari angka
tersebut sebanyak 9,5% disebabkan oleh penyakit ginjal diabetik, (6,8%)
dilaporkan disebabkan oleh DM tipe I dan 2,7% disebabkan oleh DM tipe II.
Prevalensi mikroalbuminuria pada penderita yang menderita DM tipe I selama 30
tahun adalah sekitar 30 %. Sedangkan prevalensi mikroalbuminuria pada
penderita yang menderita DM tipe II selama 10 tahun adalah sekitar 20-25%.
Sumber lain menyebutkan dari hasil estimasi 12 sampai 14 juta penderita DM di
USA diperoleh bahwa 30% sampai 40% penderita DM tipe I akan mengalami
komplikasi menjadi gagal ginjal terminal sedangkan pada penderita DM tipe II
hanya sekitar 5-10% yang berkembang menjadi gagal ginjal terminal (Micahl,
2012; Goldman Ausiello, l997).

3
4

Diagram 2.1. Penyebab Gagal Ginjal

(Bethesda.”Kidney Disease of Diabetes” Available at: http: // www. kidney. niddk. nih.gov /
kudiseases / pubs / kdd / index.htm, accessed; Maret 17, 2012).
1.1.3. Patofisiologi
Patogenesis terjadinya kelainan ginjal pada diabetes tidak dapat
diterangkan dengan pasti. Pengaruh genetik, lingkungan, faktor metabolik dan
hemodinamik berpengaruh terhadap terjadinya proteinuria pada Nefropati
Diabetik (ND). Gangguan awal pada jaringan ginjal sebagai dasar terjadinya
nefropati adalah terjadinya proses hiperfiltrasi-hiperperfusi membran basal
glomeruli. Gambaran histologi jaringan pada ND memperlihatkan adanya
penebalan membran basal glomerulus, ekspansi mesangial glomerulus yang
akhirnya menyebabkan glomerulosklerosis, hyalinosis arteri eferen dan eferen
serta fibrosis tubulo interstitial. Tampaknya berbagai faktor berperan dalam
terjadinya kelainan tersebut. Peningkatan glukosa yang menahun (glukotoksisitas)
pada penderita yang mempunyai predisposisi genetik merupakan faktor-faktor
utama ditambah faktor lainnya dapat menimbulkan nefropati. Glukotoksisitas
terhadap basal membran dapat melalui 2 jalur (Bethesda, 2012):
a. Alur metabolik (metabolic pathway): Faktor metabolik diawali dengan
hiperglikemia, glukosa dapat bereaksi secara proses non enzimatik dengan
asam amino bebas menghasilkan AGE’s (advance glycosilation end-

4
5

products). Peningkatan AGE’s akan menimbulkan kerusakan pada


glomerulus ginjal. Terjadi juga akselerasi jalur poliol, dan aktivasi protein
kinase C. Pada alur poliol (polyol pathway) terjadi peningkatan sorbitol
dalam jaringan akibat meningkatnya reduksi glukosa oleh aktivitas enzim
aldose reduktase. Peningkatan sorbitol akan mengakibatkan berkurangnya
kadar inositol yang menyebabkan gangguan osmolaritas membran basal.
Gambar 2.1 Mekanisme polyol pathway

(Bethesda.”Kidney Disease of Diabetes” Available at: http: // www. kidney. niddk. nih.gov /
kudiseases / pubs / kdd / index.htm, accessed; Maret 17, 2012).
Penjelasan: Aldose reduktase adalah enzim utama pada jalur polyol, yang
merupakan sitosolik monomerik oxidoreduktase yang mengkatalisa NADPH-
dependent reduction dari senyawa karbon, termasuk glukosa. Aldose reduktase
mereduksi aldehid yang dihasilkan oleh ROS (Reactive Oxygen Species) menjadi
inaktif alkohol serta mengubah glukosa menjadi sorbitol dengan menggunakan
NADPH sebagai kofaktor. Pada sel, aktivitas aldosereduktase cukup untuk
mengurangi glutathione (GSH) yang merupakan tambahan stres oksidatif. Sorbitol
dehydrogenase berfungsi untuk mengoksidasi sorbitol menjadi fruktosa
menggunakan NAD – sebagai kofaktor.

5
6

Gambar 2.2 Mekanisme AGE-pathway

(Bethesda.”Kidney Disease of Diabetes” Available at: http: // www. kidney. niddk. nih.gov /
kudiseases / pubs / kdd / index.htm, accessed; Maret 17, 2012).
Penjelasan: mekanisme melalui produksi intracelular prekursor AGE (Advanced
Glycation End-Product) menyebabkan kerusakan pembuluh darah. Perubahan
ikatan kovalen protein intraseluler oleh prekursor dicarbonyl AGE akan
menyebabkan perubahan pada fungsi selular.
Sedangkan adanya perubahan pada matriks protein ekstraseluler mengakibatkan
interaksi abnormal dengan matriks protein yang lain dan dengan integrin.
Perubahan plasma protein oleh prekursor AGE membentuk rantai yang akan
berikatan dengan reseptor AGE, kemudian menginduksi perubahan pada ekspresi
gen pada sel endotel, sel mesangial, dan makrofag.

6
7

Gambar 2.3 Mekanisme protein kinase-C

(Bethesda.”Kidney Disease of Diabetes” Available at: http: // www. kidney. niddk. nih.gov /
kudiseases / pubs / kdd / index.htm, accessed; Maret 17, 2012).
Penjelasan: keadaan hiperglikemia menyebabkan peningkatan DAG
(Diacylglycerol), yang selanjutnya mengaktivasi protein kinase-C, utamanya pada
isoform β dan δ. Aktivasi PKC menyebabkan beberapa akibat pathogenik melalui
pengaruhnya terhadap endothelial nitric oxide synthetase (eNOS), endotelin-1
(ET-1), vascular endothelial growth factor (VEGF), transforming growth factor-
β(TGF- β) dan plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1), dan aktivasi NF-kB dan
NAD(P)H oxidase.

7
8

Gambar 2.4 Mekanisme hexosamine pathway

(Bethesda.”Kidney Disease of Diabetes” Available at: http: // www. kidney. niddk. nih.gov /
kudiseases / pubs / kdd / index.htm, accessed; Maret 17, 2012).
Penjelasan: glycolytic intermediate fructose-6-phosphate (Fruc-6-P) dirubah
menjadi glucosamine-6-phosphate oleh enzim glutamin: fructose-6-phosphate
amidotransferase (GFAT). Glikosilasi intraseluler oleh N-acethylglucosamine
(GIcNAC) menjadi serin dan theorenin yang dikalisasi oleh enzim O-GicNAc
transferase (OGT). Peningkatan donasi GicNAC pada residu serin dan threonine
dari faktor transkripsi seperti Sp1, yang biasanya terjadi pada tempat fosforilasi
akan menyebabkan peningkatan produksi fakor seperti PAI-1 dan TGF-β1,
AZA,azaserine; AS-GFAT, antisense GFAT.
b. Alur Hemodinamik : Gangguan hemodinamik sistemik dan renal pada
penderita DM terjadi akibat glukotoksisitas yang menimbulkan kelainan
pada sel endotel pembuluh darah. Faktor hemodinamik diawali degan
peningkatan hormon vasoaktif seperti angiotensin II. angiotensin II juga
berperan dalam perjalanan ND. Angiotensin II berperan baik secara
hemodinamik maupun non-hemodinamik. Peranan tersebut antara lain
merangsang vasokontriksi sistemik, meningkatkan tahanan kapiler arteriol
glomerulus, pengurangan luas permukaan filtrasi, stimulasi protein matriks
ekstra selular, serta stimulasi chemokines yang bersifat fibrogenik.

8
9

Hipotesis ini didukung dengan meningkatnya kadar prorenin, aktivitas


faktor von Willebrand dan trombomodulin sebagai penanda terjadinya
gangguan endotel kapiler. Hal ini juga yang dapat menjelaskan mengapa
pada penderita dengan mikroalbuminuria persisten, terutama pada DM tipe
2, lebih banyak terjadi kematian akibat kardiovaskular dari pada akibat
GGT. Peran hipertensi dalam patogenesis diabetik kidney disease masih
kontroversial, terutama pada penderita DM tipe 2 dimana pada penderita
ini hipertensi dapat dijumpai pada awal malahan sebelum diagnosis
diabetes ditegakkan. Hipotesis mengatakan bahwa hipertensi tidak
berhubungan langsung dengan terjadinya nefropati tetapi mempercepat
progesivitas ke arah GGT pada penderita yang sudah mengalami diabetik
kidney disease.
Dari kedua faktor diatas maka akan terjadi peningkatan TGF beta
yang akan menyebabkan proteinuria melalui peningkatan permeabilitas
vaskuler. TGF beta juga akan meningkatkan akumulasi ektraceluler matrik
yang berperan dalam terjadinya ND.
Tabel 2.1. Peranan Angiostensin II dalam Nefropati Diabetik

DeFronzo RA, (1996), Diabetic Nephropathy. In: Ellendberg & Rifkin’s DM, 5th ed. Connecticut:
Appleton Lange. pp: 971-1008.

9
Proses Perjalanan Faktor Genetik Mekanisme Hemodinamik Komplikasi
10
Metabolik

Kerusakan/kegagalan
Hormon-hormon vasoaktif tubulus dan glomerulus
WOC Glukosa Protein Aliran /
Kinase C (misal angiotensin II, tekanan
Endotelin)
Jaringan ginjal
kurang O2 dan nutrisi
Advanced
glycation Sitokin (TGF β ↑ Permeabilitas
VEGF) pembuluh darah Pe fungsi nefron
PK. Perdarahan
ECM Cross
Pe GFR
Linking EC|M Proteinuria
Kecemasan
BUN dan craetinin
Penimbunan
ECM
Nefropati Diabetika / DKD CKD Hemodialisa Kurang Pengetahuan

B3 B5
Penumpukan Pe produksi B4
B1 B2
sisa metabolik eritropoetin
Penumpukan sisa fungsi ginjal
metabolik Pe aktivasi system
Pe kemampuan Mencapai ujung Masa hidup Ginjal tidak dapat RAA
ginjal pembuluh kapiler eritrosit berkurang membuang kalium Penumpukan Kerusakan / ↓
mengekresikan H+ paru dngn alveoli dan jumlah melalui urine zat-zat toxin, fungsi
Terakumulasi pd pembuluh
eritrosit darah membran sawar ureum glomerulus
Retensi air dan
darah otak natrium
Hiperkalemia
PH, BE, HCO3 Gangguan proses
Anemia/Hb↓ Gangguan glomerulus &
difusi O2 & CO2
Hambat O2 & nutrisi ke otak, metabolisme GFR,
Cairan terjebak di CES, protein, foetor nefropati
Gangguan serta merusak selaput myelin
Asupan nutrisi & Pe produksi urine uremik
konduksi jantung
Asidosis metabolik Difusi terganggu O2 Sel ↓
Pe kesadaran Proteinuri,
Penumpukan cairan, Kolaborasi/Progr mikroalbumin
↓Aktifitas/metabolisme Aritmia, supply am pembatasan
Pernafasan oedema Oliguri, anuri uria/loss
Dipsneu, Penurunan SpO2 sel darah kaluar/masuk cairan & asupan
kusmaul, foetor jantung tdk adekuat albumin 30-
Pe kewaspadaan protein per oral 300 mg/hr
uremik & keamanan diri
Kelemahan fisik Kelebihan volume
cairan Perubahan nutrisi
Gangguan pola Gangguan Resiko pe curah Gangguan/perubahan kurang dari
nafas pertukaran gas jantung Resiko cedera/jatuh
Intoleransi pola eliminasi kebutuhan tubuh
aktivitas
11

WOC LANJUTAN Nefropati


DiabetikaDKD

B6 Reproduksi

Gangguan hormonal
Penumpukan zat-zat toxin, ureum Pengaktivan vit. D oleh
menyebar dalam peredaran darah ginjal terganggu
hingga ke pembuluh darah perifer

Gangguan Gangguan oogenesis


gangguan absorsi kalsium spermatogenesis
Penimbunan ureum dan kalsium oleh usus
di epidermis dan pori-pori kulit
Amenore,
Libido me, infertil
Hipokalsemia Impoten
Menutup celah pori-pori,
oksigenasi kulit , timbul iritasi,
reaksi gatal, dan kerusakan
epidermis kulit Merangsang kelenjar
paratiroid mengeluarkan Gangguan pola seksual
PTH Kecemasan
Kulit menghitam, reaksi ingin
menggaruk → luka
Reabsorbsi kalsium dan
fosfat tulang

Kerusakan
intergritas kulit
Osteoporosis

Nyeri persendian & Resti cedera


Kelemahan Muskuloskeletal
12

1.1.4. Tanda dan Gejala


a. Tahap I
Pada tahap ini LFG meningkat sampai dengan 40% di atas normal yang
disertai pembesaran ukuran ginjal. Albuminuria belum nyata dan tekanan
darah biasanya normal. Tahap ini masih reversible dan berlangsung 0 – 5
tahun sejak awal diagnosis DM tipe I ditegakkan. Dengan pengendalian
glukosa darah yang ketat, biasanya kelainan fungsi maupun struktur ginjal
akan normal kembali.
b. Tahap II
Terjadi setelah 5 -10 tahun diagnosis DM ditegakkan, saat perubaan
struktur ginjal berlanjut, dan LFG masih tetap meningkat. Albuminuria
hanya akan meningkat setelah latihan jasmani, keadaan stress atau kendali
metabolik yang memburuk. Keadaan ini dapat berlangsung lama. Hanya
sedikit yang akan berlanjut ke tahap berikutnya. Progresivitas biasanya
terkait dengan memburuknya kendali metabolik. Tahap ini selalu disebut
sebagai tahap sepi (silent stage).
c. Tahap III
Ini adalah tahap awal nefropati (insipient diabetic nephropathy), saat
mikroalbuminuria telah nyata. Tahap ini biasanya terjadi 10-15 tahun
diagnosis DM tegak. Secara histopatologis, juga telah jelas penebalan
membran basalis glomerulus. LFG masih tetap tinggi dan tekanan darah
masih tetap ada dan mulai meningkat. Keadaan ini dapat bertahan
bertahun-tahun dan progresivitas masih mungkin dicegah dengan kendali
glukosa dan tekanan darah yang kuat.
d. Tahap IV
Ini merupakan tahapan saat dimana nefropati diabetik bermanifestasi
secara klinis dengan proteinuria yang nyata dengan pemeriksaan biasa,
tekanan darah sering meningkat dengan sudah ditemukan LFG yang sudah
menurun di bawah normal. Ini terjadi setelah 15 – 20 tahun DM tegak.
Penyulit diabetes lainnya sudah pula dapat dijumpai seperti retinopati,
neuropati, gangguan profil lemak dan gangguan vascular umum.
13

Progresivitas ke arah gagal ginjal hanya dapat diperlambat dengan


pengendalian glukosa darah, lemak darah dan tekanan darah.
e. Tahap V
Ini adalah tahap gagal ginjal, saat LFG sudah sedemikian rendah sehingga
penderita menunjukkan tanda-tanda sindrom uremik, dan memerlukan
tindakan khusus yaitu terapi pengganti, dialisis maupun cangkok ginjal.
1.1.5. Komplikasi
Pada sebagian penderita komplikasi ini akan berlanjut menjadi gagal ginjal
terminal yang memerlukan pengobatan cuci darah atau cangkok ginjal. DKD
menduduki urutan ketiga (16,1%) setelah glomerulonefritis kronik (30,1%) dan
pielonefritis kronik (18,51%), sebagai penyebab paling sering gagal ginjal
terminal yang memerlukan cuci darah. Perkembangan penyakit DM menjadi
penyakit ginjal stadium akhir diduga dipengaruhi oleh berbagai faktor yang
terlibat, antara lain: faktor genetik, diet, dan kondisi medis yang lain seperti
hipertensi serta kadar gula darah yang tinggi dan tidak terkontrol (Waspadji,
1996).
1.1.6. Pemeriksaan Penunjang
Atas dasar penelitian kasus-kasus di Surabaya, maka berdasarkan
visibilitas, diagnosis, manifestasi klinik, dan prognosis, telah dibuat kriteria
diagnosis klasifikasi Nefropati Diabetika tahun 1983 yang praktis dan sederhana.
Diagnosis Nefropati Diabetika dapat dibuat apabila dipenuhi persyaratan seperti di
bawah ini:
a. DM
b. Retinopati Diabetika
c. Proteinuri yang presisten selama 2x pemeriksaan interval 2 minggu tanpa
penyebab proteinuria yang lain, atau proteinuria 1x pemeriksaan plus
kadar kreatinin serum >2,5mg/dl.
Data yang didapatkan pada pasien antara lain pada:
a. Anamnesis
Dari anamnesis kita dapatkan gejala-gejala khas maupun keluhan tidak
khas dari gejala penyakit diabetes. Keluhan khas berupa poliuri, polidipsi,
14

polipagi, penurunan berat badan. Keluhan tidak khas berupa: kesemutan, luka
sukar sembuh, gatal-gatal pada kulit, ginekomastia, impotens.
b. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan Mata
Pada Nefropati Diabetika didapatkan kelainan pada retina yang
merupakan tanda retinopati yang spesifik dengan pemeriksaan
Funduskopi, berupa :
a) Obstruksi kapiler, yang menyebabkan berkurangnya aliran darah
dalam kapiler retina.
b) Mikroaneusisma, berupa tonjolan dinding kapiler, terutama daerah
kapiler vena.
c) Eksudat berupa :
1) Hard exudate. Berwarna kuning, karena eksudasi plasma yang
lama.
2) Cotton wool patches. Berwarna putih, tak berbatas tegas,
dihubungkan dengan iskhemia retina.
d) Shunt artesi-vena, akibat pengurangan aliran darah arteri karena
obstruksi kapiler.
e) Perdarahan bintik atau perdarahan bercak, akibat gangguan
permeabilitas mikroaneurisma atau pecahnya kapiler.
f) Neovaskularisasi
Bila penderita jatuh pada stadium end stage (stadium IV-V) atau
CRF end stage, didapatkan perubahan pada :
- Cor → cardiomegali
- Pulmo → oedem pulmo
c. Pemeriksaan Laboratorium
Proteinuria yang persisten selama 2 kali pemeriksaan dengan interval 2
minggu tanpa ditemukan penyebab proteinuria yang lain atau proteinuria
satu kali pemeriksaan plus kadar kreatinin serum > 2,5 mg/dl.
1.1.7. Penatalaksanaan
a. Nefropati Diabetik Pemula (Incipatien diabetic nephropathy)
1. Pengendalian hiperglikemia
15

Pengendalian hiperglikemia merupakan langkah penting untuk


mencegah/mengurangi semua komplikasi makroangiopati dan
mikroangiopati.
a) Diet
Diet harus sesuai dengan rekomendasi dari Sub Unit
Endokrinologi & Metabolisme, misalnya reducing diet khusus
untuk pasien dengan obesitas. Variasi diet dengan pembatasan
protein hewani bersifat individual tergantung dari penyakit
penyerta :
- Hiperkolesterolemia
- Urolitiasis (misal batu kalsium)
- Hiperurikemia dan artritis Gout
- Hipertensi esensial
b) Pengendalian hiperglikemia
1) Insulin
Optimalisasi terapi insulin eksogen sangat penting .
(a) Normalisasi metabolisme seluler dapat mencegah
penimbunan toksin seluler (polyol) dan metabolitnya
(myoinocitol)
(b) Isnulin dapat mencegah kerusakan glomerulus
(c) Mencegah dan mengurangi glikolisis protein glomerulus
yang dapat menyebabkan penebalan membran basal dan
hilangnya kemampuan untuk seleksi protein dan kerusakan
glomerulus (permselectivity).
(d) Memperbaiki fatal tubulus proksimal dan mencegah
reabsorpsi glukosa sebagai pencetus nefomegali. Kenaikan
konsentrasi urinary N-acetyl-Dglucosaminidase (NAG)
sebagai petanda hipertensi esensial dan nefropati.
(e) Mengurangi dan menghambat stimulasi growth hormone
(GH) atau insulin-like growth factors (IGF-I) sebagai
pencetus nefromegali.
(f) Mengurangi capillary glomerular pressure (Poc)
16

2) Obat antidiabetik oral (OADO)


Alternatif pemberian OADO terutama untuk pasien-pasien
dengan tingkat edukasi rendah sebagai upaya memelihara
kepatuhan (complience). Pemilihan macam/tipe OADO harus
diperhatikan efek farmakologi dan farmakokinetik antara lain :
(a) Eleminasi dari tubuh dalam bentuk obat atau metabolitnya.
(b) Eleminasi dari tubuh melalui ginjal atau hepar.
(c) Perbedaan efek penghambat terhadap arterial smooth
muscle cell (ASMC).
(d) Retensi Na+ sehingga menyebabkan hipertensi.
2. Pengendalian hipertensi
Pengelolaan hipertensi pada diabetes sering mengalami kesulitan
berhubungan dengan banyak faktor antara lain : (a) efikasi obat
antihipertensi sering mengalami perubahan, (b) kenaikan risiko efek
samping, (c) hiperglikemia sulit dikendalikan, (d) kenaikan lipid
serum.
Sasaran terapi hipertensi terutama mengurangi/mencegah angka
morbiditas dan mortalitas penyakit sistem kardiovaskuler dan
mencegah nefropati diabetik. Pemilihan obat antihipertensi lebih
terbatas dibandingkan dengan pasien angiotensin-corverting (EAC)
a) Golongan penghambat enzim angiotensin-coverting (EAC)
Hasil studi invitro pada manusia penghambat EAC dapat
mempengaruhi efek Ang-II (sirkulasi dan jaringan).
17

b) Golongan antagonis kalsium


Mekanisme potensial untuk meningkatkan risiko (efek samping):
1) Efek inotrofik negatif
2) Efek pro-aritmia
3) Efek pro-hemoragik
Peneliti lain masih mengajurkan nifedipine GITSs atau non
dihydropiridine.
c) Obat-obat antihipertensi lainnya dapat diberikan tetapi harus
memperhatikan kondisi setiap pasien :
 Blokade b-kardioselektif dengan aktivitaas intrinsik simpatetik
minimal misal atenolol.
 Antagonis reseptor a-II misal prozoasin dan doxazosin.
 Vasodilator murni seperti apresolin, minosidil kontra indikati
untnuk pasien yang sudah diketahui mengidap infark miokard.
3. Mikroalbuminuria
a) Pembatasan protein hewani
Sudah lebih ½ abad (50 tahun) diketahui bahwa diet rendah protein
(DRP) mencegah progresivitas perjalanan penyakit dari penyakit
ginjal eksperimen, tetapi mekanismenya masih belum jelas.
Pembatasan konsumsi protein hewani (0,6-0,8 per kg BB per hari)
dapat mengurangi nefromegali, memperbaiki struktur ginjal pada
nefropati diabetik (ND) stadium dini Hipotesis DRP untuk
mencegah progresivitas kerusakan ginjal:
1) Efek hemodinamik
Perubahan hemodinamik intrarenal terutama penurunan LFG,
plasma flow rate (Q) dan perbedaan tekanan-tekanan hidrolik
transkapiler, berakhir dengan penurunan tekanan kapiler
glomerulus (PGC = capillarry glomerular preessure)
2) Efek non-hemodinamik
 Memperbaiki selektivitas glomerulus
Kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus
menyebabkan transudasi circulating macromolecules,
18

termasuk lipid ke dalam ruang subendotelial dan


mesangium. Lipid terutama oxidize LDL merangsang
sintesis sitokin dan chemoattractant dan penimbunan sel-sel
inflamasi terutama monosit dan makrofag.
 Penurunan ROS
Bila pH dalam tubulus terutama lisosom bersifatt asam
dapat menyebabkan disoasi Fe dari transferrin akibat
endositosis. Kenaikan konsentrasi Fe selular menyebabkan
pembentukan ROS.
 Penurunan hipermetabolisme tubular
Konsumsi (kebutuhan) O2 meningkat pada nefron yang
masih utuh (intac), diikuti peningkatan transport Na+ dalam
tubulus dan merangsang pertukaran Na+/H+. DRP
diharapkan dapat mengurangi energi untuk transport ion
dan akhirnya mengurangi hipermetabolisme tubulus.
 Mengurangi growth factors & systemic hormones
Growth factors memegang peranan penting dalam
mekanisme progresivitas kerusakan nefron (sel-sel
glomerulus dan tubulus).
DRP diharapkan dapat mengurangi :
- Pembentukan transforming growth factor beta (TGF-b
dan platelet-derived growth factors (PDGF).
- Konsentrasi insulin-like growth factors (IGF-1),
epithelial-derived growth factors (EDGF), Ang-II (lokal
dan sirkulasi), dan parathyroid hormones (PTH).
3) Efek antiproteinuria dari obat antihipertensi
Penghambat enzim angiotensin-converting (EAC) sebagai
terapi tunggal atau kombinasi dengan antagonis kalsium non-
dihydropiridine dapat mengurangi proteinuria disertai
stabilisasi faal ginjal.
19

b. Nefropati diabetik nyata (overt diabetic nephropathy)


Manajemen nefropati diabetik nyata tergantung dari gambaran klinis; tidak
jarang melibatkan disiplin ilmu lain.
Prinsip umum manajemen nefropati diabetik nyata :
1. Manajemen Utama (esensi)
a) Pengendalian hipertensi
1) Diet rendah garam (DRG)
Diet rendah garam (DRG) kurang dari 5 gram per hari penting
untuk mencegah retensi Na+ (sembab dan hipertensi) dan
meningkatkan efektivitas obat antihipertensi yang lebih proten.
2) Obat antihipertensi
Pemberian antihipertensi pada diabetes mellitus merupakan
permasalahan tersendiri. Bila sudah terdapat nefropati diabetik
disertai penurunan faal ginjal, permasalahan lebih rumit lagi.
Beberapa permasalahan yang harus dikaji sebelum pemilihan
obat antihipertensi antara lain :
a) Efek samping misal efek metabolik
b) Status sistem kardiovaskuler.
- Miokard iskemi/infark
- Bencana serebrovaskuler
c) Penyesuaian takaran bila sudah terdapat insufisiensi ginjal.
b) Antiproteinuria
1) Diet rendah protein (DRP)
DRP (0,6-0,8 gram per kg BB per hari) sangat penting untuk
mencegah progresivitas penurunan faal ginjal.
2) Obat antihipertensi
Semua obat antihipertensi dapat menurunkan tekanan darah
sistemik, tetapi tidak semua obat antihipertensi mempunyai
potensi untuk mengurangi ekskresi proteinuria.
20

(a) Penghambat EAC


Banyak laporan uji klinis memperlihatkan penghambat
EAC paling efektif untuk mengurangi albuminuria
dibandingkan dengan obat antihipertensi lainnya.
(b) Antagonis kalsium
Laporan studi meta-analysis memperlihatkan antagonis
kalsium golongan nifedipine kurang efektif sebagai
antiproteinuric agent pada nefropati diabetik dan nefropati
non-diabetik.
(c) Kombinasi penghambat EAC dan antagonis kalsium non
dihydropyridine.
Penelitian invitro dan invivo pada nefropati diabetik (DMT)
kombinasi penghambar EAC dan antagonis kalsium non
dihydropyridine mempunyai efek.
3) Optimalisasi terapi hiperglikemia
Keadaan hiperglikemi harus segera dikendalikan menjadi
normoglikemia dengan parameter HbA1c dengan insulin atau
obat antidiabetik oral (OADO).
2. Managemen Substitusi
Program managemen substitusi tergantung dari kompliaksi kronis
lainnya yang berhubungan dengan penyakit makroangiopati dan
mikroangiopati lainnya.
a) Retinopati diabetik
 Terapi fotokoagulasi
b) Penyakit sistem kardiovaskuler
 Penyakit jantung kongestif
 Penyakit jantung iskemik/infark
c) Bencana serebrovaskuler
 Stroke emboli/hemoragik
d) Pengendalian hiperlipidemia
Dianjurkan golongan sinvastatin karena dapat mengurangi
konsentrasi kolesterol-LDL.
21

c. Nefropati diabetik tahap akhir (End Stage diabetic nephropathy)


Gagal ginjal termasuk (GGT) diabetik
Saat dimulai (inisiasi) program terapi pengganti ginjal sedikit berlainan
pada GGT diabetik dan GGT non-diabetik karena faktor indeks
komorbiditas. Pemilihan macam terapi pengganti ginjal yang bersifat
individual tergantung dari umur, penyakit penyertaa dan faktor indeks ko-
morbiditas.
1.2 Konsep Dasar Keperawatan DKD
1.1.1. Pengkajian
Untuk mengetahui permasalahan yang ada pada klien dengan DKD perlu
dilakukan pengkajian yang lebih menyeluruh dan mendalam dari berbagai aspek
yang ada sehingga dapat ditemukan masalah-masalah yang ada pada klien dengan
DKD. Pengkajian pada klien DKD menurut Suzanne C. Smeltzer, Doenges (1999)
dan Susan Martin Tucker (1998).
a. Biodata
terjadi terutama pada usia lanjut (50-70 tahun), usia muda, dapat terjadi
pada semua jenis kelamin tetapi 70 % pada pria.
b. Keluhan Utama
pada pasien tanpa keluhan dan gejala hanya kebetulan pemeriksaan BUN
dan kreatinin meningkat, berlangsung berbulan-bulan sampai beberapa
tahun. Kemudian berlanjut toksin uremik makin menumpuk sehingga
timbul GGK dengan keluhan gangguan fungsi berbagai organ antara lain :
kencing sedikit, tidak dapat kencing, gelisah, tidak selera makan
(anoreksi), mual, muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, nafas berbau
(ureum), gatal pada kulit.
c. Riwayat Penyakit
1. Sekarang
Keadaan lemah, edema ditemukan dibeberapa/diseluruh bagian tubuh,
terdapat permasalahan eliminasi, mengalami permasalahan di
pernafasan, nyeri dada, dan lain-lain.
22

2. Dahulu
riwayat penyakit diabetes mellitus, infeksi saluran kemih, payah
jantung, hipertensi, penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign
Prostatic Hyperplasia, prostatektomi.
3. Keluarga
adanya penyakit keturunan Diabetes Mellitus (DM).
d. Pola Fungsi Kesehatan
1. Pola Persepsi
pada pasien biasanya terjadi perubahan persepsi dan tata laksana
hidup sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak penyakit
yang dideritanya. Hal ini menimbulkan persepsi yang negatif terhadap
dirinya dan kecenderungan untuk tidak mematuhi prosedur
pengobatan dan perawatan yang lama. Oleh karena itu perlu adanya
penjelasan yang benar dan mudah dimengerti pasien.
2. Pola Nutrisi dan Metabolisme
anoreksi, mual, muntah dan rasa pahit pada rongga mulut, intake
minum yang kurang. dan mudah lelah. Keadaan tersebut dapat
mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi dan metabolisme yang
dapat mempengaruhi status kesehatan pasien.
Gejala: Peningkatan berat badan cepat (oedema), penurunan berat
badan (malnutrisi), anoreksia, nyeri ulu hati, mual muntah, bau mulut
(amonia).
Tanda: Gangguan status mental, ketidakmampuan berkonsentrasi,
kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran, kejang,
rambut tipis, kuku rapuh.
3. Pola Eliminasi
a) Eliminasi uri
kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine kuning tua
dan pekat, tidak dapat kencing.
Gejala: Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap
lanjut) abdomen kembung, diare atau konstipasi.
23

Tanda: Perubahan warna urine, (pekat, merah, coklat, berawan)


oliguria atau anuria.
b) Eliminasi alvi
diare.
4. Pola Tidur dan Istirahat
gelisah, cemas, gangguan tidur.
5. Pola Aktivitas dan Latihan
pasien mudah mengalami kelelahan dan lemas menyebabkan pasien
tidak mampu melaksanakan aktivitas sehari-hari secara maksimal.
Gejala: Kelelahan ektremitas, kelemahan, malaise.
Tanda: Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak.
6. Pola Hubungan dan Peran.
pasien mengalami kesulitan menentukan kondisi seperti tidak mampu
bekerja dan mempertahankan fungsi peran.
7. Pola Sensori dan Kognitif
pasien cenderung mengalami neuropati/mati rasa pada luka sehingga
tidak peka terhadap adanya trauma. Pasien mampu melihat dan
mendengar dengan baik/tidak, pasien mengalami disorientasi/tidak.
8. Pola Persepsi dan Konsep Diri
adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan
penderita mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya
perawatan, banyaknya biaya perawatan dan pengobatan menyebabkan
pasien mengalami kecemasan dan gangguan peran pada keluarga (self
esteem).
9. Pola Seksual dan Reproduksi
angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ
reproduksi sehingga menyebabkan gangguan potensi seksual,
gangguan kualitas maupun ereksi, serta memberi dampak pada proses
ejakulasi serta orgasme.
Gejala: Penurunan libido, amenorea, infertilitas.
24

10. Pola Mekanisme/Penanggulangan Stress dan Koping


lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, faktor
stress, perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan,
karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif
berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung dan lain – lain, dapat
menyebabkan pasien tidak mampu menggunakan mekanisme koping
yang konstruktif / adaptif.
Gejala: faktor stress, perasaan tak berdaya, tak ada harapan, tak ada
kekuatan.
Tanda: menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan
kepribadian.
11. Pola Tata Nilai dan Kepercayaan
adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta
gagal ginjal kronik dapat menghambat pasien dalam melaksanakan
ibadah maupun mempengaruhi pola ibadah pasien.
e. Pengkajian Fisik
1. Keadaan Umum
keadaan umum pasien diamati mulai saat pertama kali bertemu
dengan pasien dilanjutkan mengukur TTV, kesadaran pasien diamati
sadar sepenuhnya (composmentis, apatis, somnolen, delirium, semi
koma, koma).
2. Tanda Tanda Vital
peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah, hipertensi, nafas cepat
dan dalam (kussmaul), dyspnea.
3. Sistem Kardiovakuler
Tanda dan gejala: Hipertensi, pitting edema (kaki, tangan, sacrum).
Edema periorbital, fiction rub pericardial, dan pembesaran vena
jugularis, gagal jantung, perikardtis takikardia dan disritmia.
4. Sistem Integument
Tanda dan gejala : Warna kulit abu – abu mengkilat, kulit kering
bersisik, pruritus, echimosis, kulit tipis dan rapuh, rambut tipis dan
kasar, turgor kulit buruk, dan gatal – gatal pada kulit.
25

5. Sistem Pulmoner
Tanda dan gejala: Sputum kental, nafas dangkal, pernafasan kusmaul,
udem paru, gangguan pernafasan, asidosis metabolic, pneumonia,
nafas berbau amoniak, sesak nafas.
6. Sistem Gastrointestinal
Tanda dan gejala: Nafas berbau amoniak, ulserasi dan perdarahan
pada mulut, anoreksia, mual, muntah, konstipasi dan diare, perdarahan
dari saluran gastrointestinal, stomatitis dan pankreatitis.
7. Sistem Neurologi
Tanda dan gejala: Kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi,
kejang, penurunan konsentrasi, kelemahan pada tungkai, rasa panas
pada telapak kaki, dan perubahan perilaku, malaise serta penurunan
kesadaran.
8. Sistem Muskuloskletal
Tanda dan gejala: Kram otot, kekuatan otot hilang, fraktur tulang, foot
drop, osteosklerosis, dan osteomalasia.
9. Sisem Urinaria
Tanda dan gejala: Oliguria, hiperkalemia, distropi renal, hematuria,
proteinuria, anuria, abdomen kembung, hipokalsemia,
hiperfosfatemia, dan asidosis metabolik.
10. Sistem Reproduktif
Tanda dan gejala: Amenore, atropi testikuler, penurunan libido,
infertilitas.
11. Penyuluhan dan pembelajaran
Gejala: Riwayat keluarga DM (resiko tinggi untuk gagal ginjal),
penyakit polikistik, nefritis herediter, kalkulus urinaria, malignasi,
riwayat terpajan pada toksin, contoh obat, racun lingkungan,
penggunaan antibiotik nefrotoksik saat ini/berulang.
1.1.2. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan data pengkajian yang telah didapat atau terkaji, kemudian
data dikumpulkan maka dilanjutkan dengan analisa data untuk menentukan
diagnosa keperawatan yang ada pada klien dengan DKD.
26

Menurut Doenges (1999), Lynda Juall (1999), dan Suzanne C. Smeltzer (2001)
diagnosa keperawatan pada klien DKD adalah sebagai berikut :
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan oksigen dalam
inspirasi yang ditandai dengan takipneu, RR meningkat, pasien tampak sesak.
2. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan keletihan, anemia, penurunan fungsi
ginjal yang ditandai dengan kelemahan, pasien mengeluh pusing, RR dan
nadi meningkat, pasien terlihat pucat.
3. Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan
ketidakseimbangan volume cairan.
4. Resiko tinggi terhadap cidera berhubungan dengan penekanan
produksi/sekresi eritropoetin.
5. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan fungsi ginjal yang
ditandai dengan edema palpebra, kulit tidak kering (lembab), wajah sembab,
kondisi kulit pada kedua kaki dan tangan tampak mengkilap (edema), turgor
kulit sedang.
6. Gangguan pola eliminasi urine berhubungan dengan penurunan isyarat
kandung kemih atau gangguan kemampuan untuk mengenali isyarat kandung
kemih yang ditandai dengan pasien mengeluh tidak bisa kencing, anuria,
oliguria, nokturia.
7. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
kurang atau pembatasan nutrisi yang ditandai dengan diare, rontok rambut
yang berlebih, kurang nafsu makan, bising usus berlebih, konjungtiva pucat,
denyut nadi lemah (<60 x/menit).
8. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan status metabolisme
yang ditandai dengan Gangguan pada bagian tubuh, Kerusakan lapisa kulit
(dermis), Gangguan permukaan kulit (epidermis).
9. Resiko gangguan fungsi seksual berhubungan dengan deficit pengetahuan
tentang alternatif respon terhadap transisi kesehatan, penurunan fungsi tubuh,
dampak pengobatan.
10. Kecemasan berhubungan dengan komplikasi tindakan dan tidak mengetahui
hasil pengobatan ditandai dengan pasien tampak gelisah, banyak bertanya,
nadi dan TD meningkat.
27

1.1.3. Perencanaan Keperawatan


Setelah diagnosa keperawatan pada klien dengan DKD ditemukan, maka
dilanjutkan dengan menyusun perencanaan untuk masing-masing diagnosa yang
meliputi prioritas diagnosa keperawatan, penetapan tujuan dan kriteria evaluasi
sebagai berikut :
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan oksigen dalam
udara inspirasi yang ditandai dengan takipneu, pasien tampak sesak, RR
meningkat.
Tujuan: Pasien memperlihatkan pola nafas efektif setelah dilakukan
tindakan keperawatan dengan criteria hasil:
o Tidak ada dispneu
o Pola nafas normal
o RR normal (16-20 kali/mnt)
o Tidak ada retraksi dada
Intervensi :
a. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang tindakan yang akan
dilakukan
R/ pengetahuan yang memadai memungkinkan pasien kooperatif
terhadap tindakan keperawatan yang dilakukan.
b. Berikan posisi semifowler atau fowler
R/ posisi semifowler membuat diafragma tidak terdorong oleh isi
abdomen sehingga ekspansi paru meningkat.
c. Kolaborasi dalam pemberian
o Diuretik
R/ Membatasi retensi cairan yang berlebihan dengan cara
menghambat reabsorbsi natrium dan kalium pada ascenden loop
and handle dan selanjutnya mengurangi preload.
o Oksigen
R/ Oksigen akan meningkatkan oksigen alveoli dan oksigenasi
arteri untuk memperbaiki hipoksemia.
28

d. Observasi pola nafas, RR, adanya retraksi dada


R/ menilai keberhasilan tindakan dan menentukan tindakan
selanjutnya.
2. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan gangguan system transport oksigen
sekunder akibat anemia, penurunan fungsi ginjal yang ditandai dengan
kelemahan, pasien mengeluh pusing, RR dan nadi meningkat, pasien terlihat
pucat.
Tujuan : Pasien dapat beraktivitas normal setelah dilakukan tindakan
keperawatan dengan kriteria hasil :
o Pasien tidak lemah
o Pasien tidak mengeluh pusing
o RR normal (16-20 kali/menit)
o Nadi normal (60-100 kali/menit)
o Pasien tidak terlihat pucat
Intervensi :
a. Jelaskan kepada pasien alas an pembatasan aktifitas
R/ membatasi pengeluaran energi yang berlebihan
b. Berikan lingkungan yang terang, pertahankan tirah baring
R/ meningkatkan istirahat untuk menurunkan kebutuhan oksigen
tubuh
c. Bantu pasien memenuhi kebutuhannya
R/ untuk menghindari pengeluaran oksigen berlebihan
d. Motivasi pasien untuk melakukan aktifitas secara bertahap
R/ aktifitas yang mendadak dapat menyebabkan pusing dan
meningkatkan resiko cedera
e. Observasi keluhan pusing, RR dan nadi, keadaan umum pasien
R/ RR dan nadi dalam rentang normal, keadaan umum yang baik dan
tidak adanya pusing melanjutkan aktifitas dapat teratasi.
3. Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan
ketidakseimbangan volume cairan.
Tujuan : Curah jantung adekuat.
29

Kriteria evaluasi :
a. TD dan frekuensi dalam batas normal (Tensi 100/70 - 140/90 mmHg;
Suhu 36,5 oC - 37,5 oC; Nadi 60 - 100 kali/menit; RR 16 - 20 kali/menit).
b. Nadi perifer kuat dan waktu pengisian kapiler vaskuler.
c. Dispneu tidak ada.
Intervensi :
a. Auskultasi suara jantung dan paru. Evaluasi adanya edema, perifer,
kongesti vaskuler dan keluhan dispnoe.
R/ adanya edema paru, kongesti vaskuler, dan keluhan dispnea
manunjukan adanya renal failure.
b. Monitor tekanan darah, nadi, catat bila ada perubahan tekanan darah
akibat perubahan posisi.
R/ hipertensi yang signifikan merupakan akibat dari gangguan renin
angiotensin dan aldosteron. Tetapi ortostatik hipotensi juga dapat terjadi
akibat dari defisit intravaskular fluid.
c. Kaji adanya keluhan nyeri dada, lokasi dan skala keparahan.
R/ hipertensi dan Chronic renal failure dapat menyebabkan terjadinya
myocardial infarct.
d. Kaji tingkat kemampuan pasien beraktivitas.
R/ kelemahan dapat terjadi akibat dari tidak lancarnya sirkulasi darah.
e. Kolaborasi dalam:
Pemeriksaan laboratorium Na, K, BUN, Serum kreatinin, Kreatinin
klirens.
Pemeriksaan thoraks foto.
R/ mengetahui perkembangan kondisi pasien serta jantungnya
f. Observasi TD, nadi, CRT
R/ mengetahui keberhasilan tindakan keperawatan
4. Resiko tinggi terhadap cedera berhubungan dengan penekanan produksi atau
sekresi eritropoetin.
Tujuan : Cedera tidak terjadi.
30

Kriteria Evaluasi :
a. Tidak mengalami tanda atau gejala perdarahan, tidak ada luka, pasien
tidak jatuh.
b. Mempertahankan atau menunjukkan perbaikan nilai laboratorium
(Elektrolit, Hb, creatinin, BUN, Foto dada).
Intervensi :
a. Jelaskan kepada pasien dan keluarga tentang cara menghindari cedera
pada pasien
R/ Pengetahuan tentang cara menghindarkan pasien dari cedera dapat
mambantu menghindari aktifitas yang dapat beresiko cedera.
b. Ciptakan lingkungan bebas dari bahaya
R/ Lingkungan aman dapat mengurangi resiko cedera.
c. Bantu pasien untuk melakukan aktifitas sehari-hari secara perlahan
R/ Ambulasi yang tergesa-gesa dapat menyebabkan pasien mudah jatuh
d. Observasi tanda terjadinya cedera (memar, fraktur, lesi)
R/ Mengetahui apakah telah terjadi cedera dan untuk menentukan
tindakan selanjutnya.
5. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan fungsi ginjal yang
ditandai dengan edema palpebra, kulit tidak kering (lembab), wajah sembab,
kondisi kulit pada kedua kaki dan tangan tampak mengkilap (edema), turgor
kulit sedang.
Tujuan : Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan.
Kriteria Evaluasi :
a. Haluaran urine tepat dengan berat jenis/hasil lab mendekati normal.
b. BB stabil.
c. TTV dalam batas normal (Tensi 100/70 - 140/90 mmHg; Suhu 36,5 oC -
37,5 oC; Nadi 60 - 100 kali/menit; RR 16 - 20 kali/menit).
d. Tidak ada edema.
Intervensi :
a. Jelaskan kepada pasien penyebab kelebihan volume cairan
R/ kelebihan volume cairan disebabkan oleh penurunan GFR
31

b. Batasi masukan cairan


R/ intake cairan yang tidak terkontrol dapat meningkatkan cairan dalam
tubuh serta memperberat kerja ginjal.
c. Timbang BB sehari-hari
R/ penimbangan berat badan untuk mendeteksi peningkatan BB akibat
peningkatan cairan dalam tubuh.
d. Kolaborasi dengan ahli gizi dalam memberikan diet rendah garam
R/ diet rendah garam akan menurunkan retensi Na+
e. Observasi BB, balance cairan, edema dan turgor kulit
R/ BB, balance cairan turgor kulit dalam batas normal dan tidak ada
edema menunjukkan keberhasilan tindakan keperawatan.
6. Gangguan pola eliminasi urine berhubungan dengan penurunan isyarat
kandung kemih atau gangguan kemampuan untuk mengenali isyarat kandung
kemih yang ditandai dengan pasien mengeluh tidak bisa kencing, anuria,
oliguria, nokturia.
Tujuan : pasien memperlihatkan adanya perbaikan pola eliminasi urine
setelah dilakukan tindakan keperawatan dengan criteria hasil:
- Produksi urine 1-2cc/kgBB/jam
- Tidak ada oedem
- Pasien tidak sesak
- Intake dan output seimbang
- Tensi dan nadi dalam batas normal (Tensi 100/70 - 140/90 mmHg;
Suhu 36,5 oC - 37,5 oC; Nadi 60 - 100 kali/menit; RR 16 - 20
kali/menit).
Intervensi:
1) Jelaskan pada pasien penyebab urine sedikit dan tindakan yang akan
dilakukan
R/ dengan penjelasan yang diberikan pasien akan mengerti dan
kooperatif terhadap tindakan yang akan dilakukan.
2) Batasi intake cairan.
R/ pembatasan cairan untuk mengurangi overload dan menurangi
beban kerja ginjal.
32

3) Observasi produksi urine, intake cairan, balance, oedem, keluhan


sesak, tensi, nadi.
R/ dengan observasi akan mengetahui keadaan pasien dan dapat
menentukan tindakan secara tepat.
4) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi diuretik
R/ diuretik berfungsi untuk meristiksi overload dan dikeluarkan
melalui urine.
7. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
pembatasan nutrisi yang ditandai dengan diare, rontok rambut yang berlebih,
kurang nafsu makan, bising usus berlebih, konjungtiva pucat, denyut nadi
lemah (<60 x/menit)
Tujuan : Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat.
Kriteria Evaluasi :
a. Mempertahankan/meningkatkan berat badan seperti yang diindikasikan
oleh situasi individu.
b. Nafsu makan meningkat
c. BB dalam batas normal
d. Pasien tidak lemas
e. Mual, muntah hilang
Intervensi :
a. Jelaskan pentingnya nutrisi yang adekuat
R/ intake nutrisi yang adekuat memberikan kalori untuk tenaga dan
protein untuk proses penyembuhan.
b. Anjurkan pasien untuk mengurangi jenis makanan yang banyak
mengandung garam.
R/ makanan yang mengandung garam menyebabkan retensi cairan dan
akan memperparah penyakit.
c. Kaji kebutuhan nutrisi pasien sesuai dengan kebutuhan nutrisi pasien
R/ mengetahui tingkat pemenuhan nutrisi sesuai dengan kebutuhan
d. Berikan makan yang menimbulkan selera dan menarik dalam
penyajiannya.
R/ meningkatkan selera makan pasien
33

e. Kolaborasi dalam pemberian :


Antiemetik
R/ mengurangi gejala gastrointestinal dan perasaan tidak enak pada perut
f. Dengan ahli gizi dalam pemberian diet bagi pasien
R/ pasien GGK membutuhkan diet yang tepat untuk perbaikan keadaan
dan fungsi ginjalnya.
g. Observasi BB tiap hari dengan alat ukur yang sama
R/ peningkatan BB menandakan indikator keberhasilan tindakan.
8. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan status metabolik
yang ditandai dengan Gangguan pada bagian tubuh, Kerusakan lapisa kulit
(dermis), Gangguan permukaan kulit (epidermis).
Tujuan : Mempertahankan kulit utuh.
Kriteria Evaluasi : Menunjukkan perilaku/teknik untuk mencegah
kerusakan atau cedera kulit.
Intervensi :
a. Jelaskan pada pasien penyebab kerusakan integritas kulit
R/ kerusakan integritas kulit disebabkan bedrest yang terlalu lama dan
didukung oleh kandungan ureum dalam tubuh yang meningkat.
b. Ubah posisi tiap 3 jam
R/ perubahan posisi menurunkan tekanan pada jaringan edema untuk
memperbaiki sirkulasi.
c. Pertahankan sprei kering dan bebas lipatan
R/ kelembaban akan meningkatkan pruritus dan meningkatkan resiko
kerusakan kulit.
d. Berikan minyak kayu putih atau lotion pada permukaan kulit
R/ kulit yang kering rentan untuk iritasi.
e. Observasi keadaan kulit pasien (eritema, mukosa lembab, tidak ada lesi)
R/ Tidak ada eritema dan lesi serta mukosa yang lembab menunjukkan
tidak adanya kerusakan integritas kulit.
9. Resiko gangguan fungsi seksual berhubungan dengan deficit pengetahuan
tentang alternatif respon terhadap transisi kesehatan, penurunan fungsi tubuh,
dampak pengobatan.
34

Tujuan : pasien tidak mengalami gangguan seksual setelah dilakukan


tindakan keperawatan dengan kriteria hasil :
- pemahaman hubungan antara kondisi fisik terhadap masalah seksual
Intervensi:
a. Kaji mengenai anatomi dan fisiologi fungsi seksual pasien dan orang
terdekat dalam hubunganya dengan situasi
R/ Pemahaman fisiologis yang normal membantu pasien dan keluarga
memahami mekanisme kerusakan seksual
b. Beri penguatan informasi yang diberikan oleh dokter. Dorong pasien
bertanya dan berikan informasi sesuai kebutuhan
R/ Pengulangan informasi yang diberikan sebelumnya membantu
pasien untuk mendengarkan dan proses pengetahuan
c. Dorong penggunaan rasa humor
R/ Humor dapat membantu individu menerima situasi sulit lebih
efektif dan meningkatkan pengalaman seksual positif
d. Beri pengetahuan kepada pasien tentang kemungkinan terjadinya
keadaan amenorea.
R/ Amenorea merupakan akibat dari perubahan hormone pada
perempuan
10. Kecemasan berhubungan dengan komplikasi tindakan dan tidak mengetahui
hasil pengobatan ditandai dengan pasien tampak gelisah, banyak bertanya,
nadi dan TD meningkat
Tujuan : pasien dapat mengatasi kecemasan yang dialami dengan tepat
setelah diberikan penjlasan dengan criteria hasil :
- pasien tampak rileks
- tenang
- nadi dan TD normal
Intervensi:
a. Kaji tingkat kecemasan yang dialami oleh pasien.
R/ Untuk menentukan tingkat kecemasan yang dialami pasien
sehingga perawat bisa memberikan intervensi yang cepat dan tepat.
35

b. Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan rasa cemasnya.


R/ Dapat meringankan beban pikiran pasien.
c. Gunakan komunikasi terapeutik.
R/ Agar terbina rasa saling percaya antar perawat-pasien sehingga
pasien kooperatif dalam tindakan keperawatan.
d. Beri informasi yang akurat tentang proses penyakit dan anjurkan
pasien untuk ikut serta dalam tindakan keperawatan.
R/ Informasi yang akurat tentang penyakitnya dan keikutsertaan
pasien dalam melakukan tindakan dapat mengurangi beban pikiran
pasien.
e. Berikan keyakinan pada pasien bahwa perawat, dokter, dan tim
kesehatan lain selalu berusaha memberikan pertolongan yang terbaik
dan seoptimal mungkin.
R/ Sikap positif dari timkesehatan akan membantu menurunkan
kecemasan yang dirasakan pasien.
f. Berikan kesempatan pada keluarga untuk mendampingi pasien secara
bergantian.
R/ Pasien akan merasa lebih tenang bila ada anggota keluarga yang
menunggu.
g. Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman
R/ Lingkungan yang tenang dan nyaman dapat membantu mengurangi
rasa cemas pasien.
1.1.4. Konsep Dasar Kelebihan Volume Cairan (HIPERVOLEMIA)
a. Pengertian
Gangguan volume cairan adalah suatu keadaan ketika individu
beresiko mengalami penurunan, peningkatan, atau perpindahan cepat dari
satu kelainan cairan intravaskuler, interstisial dan intraseluler (Carpenito,
2000).
Keadaan dimana seorang individu mengalami atau berisiko
mengalami kelebihan cairan intraseluler atau interstisial (Carpenito, 2000).
36

Kelebihan volume cairan mengacu pada perluasan isotonok dari CES


yang disebabkan oleh retensi air dan natrium yang abnormal dalam
proporsi yang kurang lebih sama dimana mereka secara normal berada
dalam CES. Hal ini selalu terjadi sesudah ada peningkatan kandungan
natrium tubuh total, yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan air
tubuh total (Brunner & Suddarth. 2002).
b. Etiologi
Hipervolemia ini dapat terjadi jika terdapat :
1. Stimulus kronis pada ginjal untuk menahan natrium dan air.
2. Fungsi ginjal abnormal, dengan penurunan ekskresi natrium dan air.
3. Kelebihan pemberian cairan intra vena (IV).
4. Perpindahan cairan interstisial ke plasma.
c. Patofisiologi
Kelebihan volume cairan terjadi apabila tubuh menyimpan cairan dan
elektrolit dalam kompartemen ekstraseluler dalam proporsi yang
seimbang. Karena adanya retensi cairan isotonik, konsentrasi natrium
dalam serum masih normal. Kelebihan cairan tubuh hampir selalu
disebabkan oleh peningkatan jumlah natrium dalam serum. Kelebihan
cairan terjadi akibat overload cairan/adanya gangguan mekanisme
homeostatis pada proses regulasi keseimbangan cairan.
d. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala klinik yang mungkin didapatkan pada klien dengan
hipervolemia antara lain: sesak nafas, ortopnea.
Mekanisme kompensasi tubuh pada kondisi hiperlemia adalah berupa
pelepasan Peptida Natriuretik Atrium (PNA), menimbulkan peningkatan
filtrasi dan ekskresinatrium dan air oleh ginjal dan penurunan pelepasan
aldosteron dan ADH.
Abnormalitas pada homeostatisis elektrolit, keseimbangan asam-basa
dan osmolalitas sering menyertai hipervolemia.
Hipervolemia dapat menimbulkan gagal jantung dan edema pulmuner,
khususnya pada pasien dengan disfungsi kardiovaskuler.
37

e. Komplikasi
Akibat lanjut dari kelebihan volume cairan adalah :
1. Gagal ginjal, akut atau kronik.
Berhubungan dengan peningkatan preload, penurunan kontraktilitas,
dan penurunan curah jantung.
2. Infark miokard.
3. Gagal jantung kongestif.
4. Gagal jantung kiri.
5. Penyakit katup.
6. Takikardi/aritmia.
Berhubungan dengan hipertensi porta, tekanan osmotik koloid plasma
rendah, etensi natrium.
7. Penyakit hepar: Sirosis, Asites, Kanker.
8. Berhubungan dengan kerusakan arus balik vena.
9. Varikose vena.
10. Penyakit vaskuler perifer.
11. Flebitis kronis.
f. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Fisik.
Oedema, peningkatan berat badan, peningkatan TD (penurunan TD
saat jantung gagal) nadi kuat, asites, krekles (rales), ronkhi, mengi,
distensi vena leher, kulit lembab, takikardia, irama galop.
2. Protein rendah.
3. Anemia.
4. Retensi air yang berlebihan.
5. Peningkatan natrium dalam urine.
g. Penatalaksanaan Medis
Tujuan terapi adalah mengatasi masalah pencetus dan mengembalikan
CES pada normal. Tindakan dapat berupa hal berikut :
1. Pembatasan natrium dan air.
2. Diuretik.
38

3. Dialisi atau hemofiltrasi arteriovena kontinue: pada gagal ginjal atau


kelebihanbeban cairan yang mengancam hidup.
h. Pedoman Penyuluhan Keluarga
Beri pasien dan orang terdekat instruksi verbal dan tertulis tentang hal
berikut:
1. Tanda dan gejala hipervolemia.
2. Gejala-gejala yang memerlukan pemberitahuan dokter setelah pulang
dari rumah sakit; sesak nafas, nyeri dada, ketidakteraturan nadi baru.
3. Diet rendah garam, bila diprogramkan; gunakan pengganti garam; dan
hindari makanan yang mengandung natrium tinggi.
4. Obat-obatan: termasuk nama, tujuan, dosis, frekwensi, kewaspadaan
danpotensial efek samping; tanda dan gejala hipokalemia bila pasien
menggunakan diuretik.
5. Pentingnya pembatasan cairan bila hipervolemia berlanjut.
6. Pentingnya penimbangan berat badan setiap hari
i. Asuhan Keperawatan
1) Pengkajian
Data Subjektif
a) Kaji batasan karakteristik
(1) Riwayat gejala
Adanya keluhan :
(a) Napas pendek
(b) Penambahan berat badan
(c) Awitan/durasi
(d) Lokasi
(e) Gambaran
(f) Kelemahan/keletihan
(g) Edem
b) Kaji faktor-faktor yang berhubungan
(1) Riwayat faktor-faktor penyebab dan penunjang
(a) Riwayat diabetes pada keluarga atau perorangan
(b) Kehamilan
39

(c) Awal menstruasi


(d) Penyakit jantung atau gagal ginjal
(e) Penyakit hati
(f) Alkoholik
(g) Hiper atau hipertiroidisme
(h) Terapi steroid
(i) Malnutrisi
(j) Masukan garam berlebihan
(k) Penggunaan enema air hangat yang berlebihan
(l) Obstruksi limfatik
(m)Penggantian cairan yang berlebihan
(2) Masukan nutrisi
(a) Perkiraan masukan protein (adekuat / tak adekuat)
(b) Perkiraan masukan kalori (adekuat / tak adekuat /
kelebihan)
(c) Perkiraan masukan cairan (adekuat / tak adekuat /
kelebihan)
(d) Konsumsi alkohol setiap hari (jenis dan jumlah)
(e) Masukan dan haluaran dalam 24-72 jam
Data Objektif
(1) Tanda kelebihan cairan
(a) Nadi (kuat atau tidak teratur)
(b) Peningkatan tekanan darah
(c) Pernapasan: frekuensi (takipnea), kualitas dangkal, bunyi
paru abnormal (misalnya: ronkhi)
(2) Edema
(a) Tekan ibu jari paling sedikit 5 detik, catat sisa-sisa
lekukannya
(b) Catat derajat dan lokasi (kaki, tumit, tangan, sacrum,
keseluruhan secara umum)
(3) Penambahan berat badan (timbang berat badan setiap hari
dengan timbangan yang sama)
40

(4) Distensi vena leher (distensi vena setinggi 45 derajat


mungkin ada indikasi terjadinya kelebihan cairan atau
berkurangnya curah jantung.
2) Diagnosa Keperawatan
Kelebihan volume cairan adalah kondisi ketika individu mengalami
atau beresiko mengalami kelebihan beban cairan intraseluler atau
interstisial.
Batasan Karakteristik
Mayor :
a) Edema
b) Kulit tegang, mengkilap
Minor :
a) Asupan melebihi haluaran
b) Sesak napas
c) Kenaikan berat badan
Faktor yang berhubungan :
a) Berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi cairan,
sekunder akibat gagal jantung.
b) Berhubungan dengan preload, penurunan kontraktilitas, dan
penurunan curah jantung, sekunder akibat infark miokard, gagal
jantung, penyakit katup jantung.
c) Berhubungan dengan hipertensi porta, tekanan osmotik, koloid
plasma yang rendah, retensi natrium, sekunder akibat penyakit
hepar, serosis hepatis, asites, dan kanker.
d) Berhubungan dengan gangguan aliran balik vena, sekunder akibat
varises vena, thrombus, imobilitas, flebitis kronis.
e) Berhubungan dengan retensi natrium dan air, sekunder akibat
penggunaan kortikosteroid.
f) Berhubungan dengan kelebihan asupan natrium/cairan.
g) Berhubungan dengan rendahnya asupan protein pada diet lemak,
malnutrisi.
41

h) Berhubungan dengan venostasis/bendungan vena, sekunder akibat


imobilitas, bidai atau balutan yang kuat, serta berdiri atau duduk
dalam waktu yang lama.
i) Berhubungan dengan kompresi vena oleh uterus pada saat hamil
j) Berhubungan dengan drainase limfatik yang tidak adekuat,
sekunder akibat mastetomi.
Tujuan
Kebutuhan cairan klien dapat terpenuhi sesuai dengan kebutuhan
tubuh klien.
Kriteria Hasil
Individu akan :
(1) Mengungkapkan faktor -faktor penyebab dan metode-metode
pencegahan edema.
(2) memperlihatkan penurunan edema perifer dan sakral.
3) Intervensi
a) Kaji asupan diet dan kebiasaan yang mendorong terjadinya retensi
cairan.
b) Anjurkan individu untuk menurunkan masukan garam.
c) Ajarkan individu untuk.
d) Membaca label untuk kandungan natrium.
e) Hindari makanan yang menyenangkan, makanan kaleng, dan
makanan beku.
f) Masak tanpa garam dan gunakan bumbu-bumbu untuk menambah
rasa (lemon, kemangi, mint).
g) Gunakan cuka mengganti garam untuk rasa sop, rebusan, dan
lain-lain.
h) Kaji adanya tanda-tanda venostatis pada bagian tergantung.
i) Jaga ekstremitas yang mengalami edema setinggi diatas jantung
apabila mungkin (kecuali jika terdapat kontraindikasi oleh gagal
jantung).
42

j) Instruksikan individu untuk menghindari celana yang terbuat dari


kaos/korset, celana setinggi lutut, dan menyilangkan tungkai
bawah dan latihan tetap meninggikan tungkai bila mungkin.
k) Untuk drainase yang tidak adekuat :
(1) Jaga ekstremitas ditinggikan diatas bantal.
(2) Ukur tekanan darah pada lengan yang tidak sakit.
(3) Jangan memberi suntikan atau memasukan cairan intravena
padalengan yang sakit.
(4) Lindungi lengan yang sakit dari cedera.
(5) Anjurkan individu untuk menghindari deterjen yang kuat,
membawa kantong yang berat, merokok, mencederai kulit ari
atau bintil pada kuku, meraih kedalam oven yang panas,
menggunakan perhiasan atau jam tangan, atau menggunakan
bando.
(6) Peringatkan individu untuk menemui dokter jika lengan
menjadi merah, bengkak, atau keras lain dari biasa.
(7) Lindungi lengan yang edema dari cedera
4) Evaluasi
Evaluasi pada kelebihan volume cairan yaitu mengacu pada kriteria
hasil.

Anda mungkin juga menyukai