OLEH
ADELIANA
NIM : 70900118008
RESEPTOR LAHAN RESEPTOR INSTITUSI
(……………………...) (…..……………………)
BAB I
KONSEP MEDIS
A. Defenisi
Diabetes melitus telah menjadi salah satu penyakit yang paling banyak
menyebabkan penyakit ginjal kronik. Kelainan ginjal akibat dari penyakit diabetes
melitus ini kemudian lebih dikenal dengan nama Diabetic Kidney Disease
(DKD) yang sesungguhnya merupakan komplikasi mikrovaskular kronis
pembuluh darah kapiler ginjal pada penderita diabetes mellitus. Komplikasi ini
dikaitkan dengan adanya proteinuria, hipertensi dan gangguan fungsi ginjal yang
progresif dengan ekskresi protein pada urin yang berlanjut dengan penurunan
fungsi ginjal. Proteinuria pada umumnya ditemukan dalam perjalanan penyakit
ginjal progresif, peran proteinuria khususnya mikroalbuminuria sebagai petanda
awal nefropati diabetik. disebut sebagai faktor kunci awal yang meramalkan
progresivitas dari glomerulopati diabetik dan dipandang sebagai ukuran
keparahan dan pemicu terjadinya nefropati yang progresif. Pada sebagian
penderita komplikasi ini akan berlanjut menjadi gagal ginjal terminal yang
memerlukan pengobatan cuci darah atau cangkok ginjal.
Penyakit ginjal diabetik (PGD) atau nefropati diabetik (ND) merupakan
salah satu komplikasi yang sering terjadi pada penderita diabetes. Pada penyakit
ini terjadi kerusakan pada filter ginjal atau yang dikenal dengan glomerulus. Oleh
karena terjadi kerusakan glomerulus maka sejumlah protein darah diekskresikan
ke dalam urin secara abnormal. Protein utama yang diekskresikan adalah albumin.
Pada keadaan normal albumin juga diekskresikan dalam jumlah sedikit dalam
urine. Peningkatan kadar albumin dalam urine merupakan tanda awal adanya
kerusakan ginjal oleh karena diabetes.
Nefropati diabetik adalah penyebab utama penyakit ginjal stadium akhir di
seluruh dunia dan berhubungan dengan peningkatan resiko penyakit
kardiovaskuler. Nefropati diabetes adalah penyakit ginjal yang seringkali
menyertai stadium lanjut penyakit diabetes mellitus, dimulai dengan hiperfiltrasi,
hipertrofi ginjal, mikroalbuminuria, dan hipertensi, seiring waktu akan terjadi
3
proteinuria dengan tanda tanda lain penurunan fungsi ginjal, dan akhirnya
menyebabkan penyakit ginjal terminal (Corwin, 2009).
B. Etiologi
Diabetik Kidney Disease (DKD) diawali oleh adanya kondisi disregulasi
metabolik lingkungan, yaitu keadaan hiperglikemi, hiperlipidemia, dan resistensi
insulin. Hampir semua nefropati akan berakhir dengan penyakit ginjal kronik.
Studi DCCT menunjukkan bahwa kontrol glikemik yang ketat (HbA1c pada
rentang 7-9%) dapat menurunkan progresivitas DKD sebesar 50% pada DMT1.
Pada DMT1 insiden DKD terjadi pada 20-40% setelah 20-25 tahun mengalami
diabetes. Akan tetapi meningkatnya manajemen diabetes dengan berkembangnya
pemantauan kadar glukosa darah, terapi insulin serta pengukuran HbA1c sejak
tahun 1980-an terjadi penurunan DKD pada DMT1. Sementara itu insiden DKD
terjadi pada 25-40% pasien DMT2 selama 10-15 tahun. Ini menunjukkan bahwa
DKD pada DMT2 terjadi lebih cepat, kemungkinan disebabkan karena banyaknya
komorbid yang dialami oleh pasien DMT2.
Etiologi gagal ginjal kronik sangat bervariasi antara satu Negara dengan
Negara yang lain. Tabel 1 menunjukkan penyebab utama dan insiden penyakit
ginjal kronik di Amerika Serikat. Sedangkan perhimpunan Nefrologi Indonesia
(Pernefri) tahu 2015 mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis
di Indonesia seperti pada tabel 2.
Tabel 1. Penyebab utama penyakit ginjal kronik di Amerika Serikat
Penyebab Insiden Persentase
Diabetes Melitus 44 %
Tipe I (7%)
Tipe 2 (37%)
Hipertensi dan penyakit pembuluh 27 %
darah besar
Glomerulonefritis 10%
Nefritis Interstitial 4%
Kista dan penyakit bawaan lain 3%
Penyakit sistemik (mis. Lupus dan 2%
vaskulitis)
Neoplasma 2%
Tidak diketahui 4%
Penyakit lain 4%
4
C. Patofisiologi
Patogenesis terjadinya kelainan ginjal pada diabetes tidak dapat
diterangkan dengan pasti. Pengaruh genetik, lingkungan, faktor metabolik dan
hemodinamik berpengaruh terhadap terjadinya proteinuria. Gangguan awal pada
jaringan ginjal sebagai dasar terjadinya nefropati adalah terjadinya proses
hiperfiltrasi-hiperperfusi membran basal glomeruli. Gambaran histologi jaringan
pada ND memperlihatkan adanya penebalan membran basal glomerulus, ekspansi
mesangial glomerulus yang akhirnya menyebabkan glomerulosklerosis, hyalinosis
arteri eferen dan eferen serta fibrosis tubulo interstitial. Tampaknya berbagai
faktor berperan dalam terjadinya kelainan tersebut. Peningkatan glukosa yang
menahun (glukotoksisitas) pada penderita yang mempunyai predisposisi genetik
merupakan faktor-faktor utama ditambah faktor lainnya dapat menimbulkan
nefropati. Glukotoksisitas terhadap basal membran dapat melalui 2 jalur:
1. Alur metabolik (metabolic pathway): Faktor metabolik diawali dengan
hiperglikemia, glukosa dapat bereaksi secara proses non enzimatik dengan asam
amino bebas menghasilkan AGE’s (advance glycosilation end-products).
Peningkatan AGE’s akan menimbulkan kerusakan pada glomerulus ginjal. Terjadi
juga akselerasi jalur poliol, dan aktivasi protein kinase C. Pada alur poliol (polyol
pathway) terjadi peningkatan sorbitol dalam jaringan akibat meningkatnya
reduksi glukosa oleh aktivitas enzim aldose reduktase. Peningkatan sorbitol
akan mengakibatkan berkurangnya kadar inositol yang menyebabkan gangguan
osmolaritas membran basal
5
Penjelasan:
Aldose reduktase adalah enzim utama pada jalur polyol, yang
merupakan sitosolik monomerik oxidoreduktase yang mengkatalisa NADPH-
dependent reduction dari senyawa karbon, termasuk glukosa. Aldose reduktase
mereduksi aldehid yang dihasilkan oleh ROS (Reactive Oxygen Species)
menjadi inaktif alkohol serta mengubah glukosa menjadi sorbitol dengan
menggunakan NADPH sebagai kofaktor. Pada sel, aktivitas aldose reduktase
cukup untuk mengurangi glutathione (GSH) yang merupakan tambahan stres
oksidatif. Sorbitol dehydrogenase berfungsi untuk mengoksidasi sorbitol menjadi
fruktosa menggunakan NAD – sebagai kofaktor.
Gambar D.2 Mekanisme AGE pathway
6
Penjelasan:
mekanisme melalui produksi intracelular prekursor AGE (Advanced
Glycation End-Product) menyebabkan kerusakan pembuluh darah. Perubahan
ikatan kovalen protein intraseluler oleh prekursor dicarbonyl AGE akan
menyebabkan perubahan pada fungsi selular. Sedangkan adanya perubahan pada
matriks protein ekstraseluler mengakibatkan interaksi abnormal dengan matriks
protein yang lain dan dengan integrin. Perubahan plasma protein oleh prekursor
AGE membentuk rantai yang akan berikatan dengan reseptor AGE, kemudian
menginduksi perubahan pada ekspresi gen pada sel endotel, sel mesangial, dan
makrofag.
Gambar D.3 Mekanisme Protein Kinase C 5
Penjelasan:
keadaan hiperglikemia menyebabkan peningkatan DAG (Diacylglycerol),
yang selanjutnya mengaktivasi protein kinase-C, utamanya pada isoform β dan δ.
Aktivasi PKC menyebabkan beberapa akibat pathogenik melalui pengaruhnya
terhadap endothelial nitric oxide synthetase (eNOS), endotelin-1 (ET-1), vascular
endothelial growth factor (VEGF), transforming growth factor-β (TGF- β) dan
plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1), dan aktivasi NF-kB dan NAD(P)H
oxidase.
7
Penjelasan:
Glycolytic intermediate fructose-6-phosphate (Fruc-6-P) dirubah menjadi
glucosamine-6-phosphate oleh enzim glutamin: fructose-6-phosphate
amidotransferase (GFAT). Glikosilasi intraseluler oleh N-acethylglucosamine
(GIcNAC) menjadi serin dan theorenin yang dikalisasi oleh enzim O-GicNAc
transferase (OGT). Peningkatan donasi GicNAC pada residu serin dan threonine
dari faktor transkripsi seperti Sp1, yang biasanya terjadi pada tempat fosforilasi
akan menyebabkan peningkatan produksi fakor seperti PAI-1 dan TGF-β1,
AZA,azaserine; AS-GFAT, antisense GFAT.
2. Alur Hemodinamik : Gangguan hemodinamik sistemik dan renal pada
penderita DM terjadi akibat glukotoksisitas yang menimbulkan kelainan pada
sel endotel pembuluh darah. Faktor hemodinamik diawali degan peningkatan
hormon vasoaktif seperti angiotensin II. angiotensin II juga berperan dalam
perjalanan ND. Angiotensin II berperan baik secara hemodinamik maupun non-
hemodinamik. Peranan tersebut antara lain merangsang vasokontriksi
sistemik, meningkatkan tahanan kapiler arteriol glomerulus, pengurangan
luas permukaan filtrasi, stimulasi protein matriks ekstra selular, serta stimulasi
chemokines yang bersifat fibrogenik. Hipotesis ini didukung dengan
meningkatnya kadar prorenin, aktivitas faktor von Willebrand dan
trombomodulin sebagai penanda terjadinya gangguan endotel kapiler. Hal
ini juga yang dapat menjelaskan mengapa pada penderita dengan
8
2. Hipertensi
Hipertensi adalah faktor resiko sangat penting sebagai penyebab DKD terutama
resiko ini akan diperberat dengan adanya kontrol glikemik yang buruk. Jika
kontrol glikemik yang baik, resiko ini tetap lebih besar tetapi progresivitas DKD
dapat di tunda. Meningkatnya tekakan darah sistolik merupakan indikator klasik
9
3. Dislipidemia
Dislipidemia adalah hal yang umum terjadi pada Diabetes Melitus. Hal ini karena
resistensi insulin menyebabkan peningkatan metabolisme lemak. Dampaknya
terjadi hipetrigliseridemia. Kondisi dislipdemia tidak selalau sama pada semua
tahap DKD. Trigliserida yang tinggi, apolipoprotein (ApoB), Apo A-II dan HDL
3 - Kolesterol memprediksi terjadinya mikroalbuminuria, sedang trigleserida
tinggi dan Apa B meprediksi berkembangnya menjadi mikroalbuminuria.
6. Pola Diet
Pola makan tidak sehat dan tinggi kalori seperti fast food, minuman bersoda,
konsumsi alcohol menjadi faktor resiko meningkatnya DKD karena meningkatnya
AGEs akibat hiperglikemik. Meningkatnya AGEs dapat berdampak pada
terjadinya kerusakan sel dan jaringan serta meningkatkan resiko kerusakan fungsi
ginjal.
10
7. Genetik
Terjadinya perubahan struktur dan fungsi glomerulus pada DKD dipengaruhi oleh
adanya faktor genetik atau riwayat penyakit keturunan di keluarga seperti
hipertensi, DMT2, penyakit kardiovaskuler, dan resistensi insulin.
untuk pasien gagal ginjal terminal. Bebrapa obat yang masih diijinkan untuk
diberikan pada pasien dialysis dengan dosis paling rendah adalah golongan
sulfonil urea generasi ke II (glimefirit 1 mg/ hr), thiasolidinedione (fioglitazone
15-30 mg/hr) DPP- 4 inhibitor (sitagliptin 25 mg/ hr, saxagliptin 2.5 mg/ hr, dan
alogliptin 6.25 mg/ hr).
H. Penatalaksanaan DKD
1. Tahap I dan II
Meliputi pengendalian glikemik dengan cara perencanaan makan, terapi
insulin dan obat hipoglikemi oral (OHO). Penentuan diet harus memperhatikan
adanya penyakit penyerta yang lain seperti dislipidemia, gout arthritis, hipertensi.
Optimalisasi terapi insulin eksogen harus optimal karena dapat mencegah
kerusakan glomerulus lebih lanjut, mencegah reabsorpsi glukosa di tubulus
proksimal, mengurangi dan menghambat stimulasi growth hormone dan insulin-
like growth factor (IGF-I), mengurangi tekanan kapiler di glumerulus. Pemilihan
OHO harus memperhatikan efek farmakologi dan farmakokinetik, serta adakah
efek retensi Na+ yang akan memperberat hipertensi.
Pengendalian hipertensi sangat bermanfaat untuk mencegah risiko
komplikasi kardiovaskular dan progresivitas DKD. Pengendalian
mikroalbuminuria dengan pembatasan intake protein hewani (0,6-0,8 gr/kgBB/hr)
sangat penting untuk mencegah progresivitas DKD. Pada pasien dengan
dislipidemia (LDL >100mg/dl) harus mendapatkan pengobatan statin untuk
mencegah komplikasi kardiovaskular .
2. Tahap 3 dan 4
Manajemen utama pada fase ini terkait pengendalian hipertensi dengan
diet rendah garam (5gr/hr) untuk mencegah retensi Na+. target tekanan darah bagi
pasien dengan penurunan fungsi ginjal adalah 130/85 mmHg. Pengendalian
mikroalbuminuria dengan diet rendah protein (0,6-0,8 gr/kgBb/hr), serta
optimalisasi terapi hiperglikemi dengan insulin dan OHO. Pemilihan OHO yang
diekskresikan di ginjal tidak dianjurkan karena bahaya akumulasi disertai
hipoglikemia. Manajemen substitusi terkait adanya komplikasi yang lain, seperti
retinopati, manajemen penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular, serta
13
yang masih tersisa. HD inisiasi bisa lebih awal dimulai jika ditemukan gejala
klinis hipervolemia, tekanan darah tidak terkontrol, anoreksia, mual muntah akibat
hiperuremia dan gastroparesis. Pada kondisi ini temuan klinis lebih menjadi
pertimbangan daripada hasil pemeriksaan penunjang. Pemilihan akses vaskuler
untuk hemodialisis menjadi hal penting yang harus diperhatikan untuk
meningkatkan efektivitas HD.
b) Manajemen Tekanan Darah
Tekanan darah cenderung tinggi pada pasien diabetes dibandingkan pada
pasien non-diabetes karena meningkatnya pertukaran natrium. Hal ini
menyebabkan risiko hipervolemia lebih tinggi. Menurunkan tekanan darah secara
agresif dengan mengurangi volume harus dihindari karena risiko hipotensi
intradialisis dan akan mengganggu perfusi koroner. Pendekatan paling efektif
untuk kontrol hipertensi pada individu HD adalah dengan diet rendah natrium,
meningkatkan waktu dialisis, mengatur ultrafiltrasi dialisis, memilih dialisat
dengan konsentrasi rendah natrium, tidak minum obat antihipertensi menjelang
HD, mengatur ultrafiltrasi, terapi eritropoetin stimulazing agent (ESA),
pertahankan hematokrit >30%, gunakan dialisat bikarbonat.
c) Manajemen Kontrol glikemik
Kontrol glikemik pada pasien yang menjalani dialisis bertujuan untuk
menjaga kadar glukosa darah yang sifatnya sesaat dan jangka panjang. Pada
pasien yang menjalani dialisis sangat penting karena hiperglikemi menyebabkan
haus, rasa ingin banyak minum, dan kondisi hipervolemia dapat meningkatkan
shif cairan dan kalium ke ekstrasel sehingga menyebabkan hiperkalemia. Terapi
farmakologi pada pasien dialisis harus mempertimbangkan dampak terhadap
penurunan fungsi ginjal. Disamping itu perlu dilakukan penyesuaian dosis insulin
dan OHO untuk menjaga kadar glukosa darah tetap normal terutama 24 jam
pertama pada hari dilakukannya HD karena risiko tinggi terjadinya
hipoglikemi.
Terdapat beberapa parameter pengukuran kontrol glikemik, seperti:
HbA1c, Glycated albumin, dan fructosamine, Self Monitoring of Blood Glucose
(SMBG) dan Continuos Glucose Monitoring System (CGMS) (Tuttle, 2014).
15
HbA1c adalah parameter yang paling umum digunakan untuk menilai kontrol
glikemik. Akan tetapi pengukuran HbA1c pada pasien gagal ginjal terminal dapat
menjadi bias karena kondisi sel darah merah yang berusia pendek, defisiensi besi,
transfusi, dan penggunaan erythropoietin stimulating agent (ESA).
Glycated albumin, dan fructosamine adalah parameter lain yang masih
jarang digunakan karena lebih jarang tersedia dan adanya kondisi khusus yang
dapat terjadi pada gagal ginjal seperti adanya inflamasi, gangguan metabolism
protein, peritoneal dialisis, proteinuria, transfusi albumin, atau kondisi
gastrointestinal protein losses. Oleh karena itu untuk kebutuhan dalam membuat
keputusan klinik seperti evaluasi pemberian dosis terapi lebih sering
menggunakan hasil pemeriksaan kadar glukosa darah dengan SMBG.
d) Manajemen dislipidemia
Dislipidemia pada pasien yang mejalani HD dapat meningkatkan risiko
terjadinya komplikasi kardiovaskular. Sebanyak 80% pasein DMT2 dapat
mengalami komplikasi kardiovaskular sehingga penanganan dislipidemia menjadi
sangat penting, target LDL pada pasien DKD adalah <100 mg/dl, dan < 70mg/dl
bagi yang sedang dengan pengobatan statin. Pada pasien HD (DKD tahap 5) mulai
pemberian terapi statin dapat dinilai terlambat kecuali diberikan terutama jika
pasien sedang mendapat pengobatan kardiovaskular. Pemeriksaan profil lipid
direkomendasikan diulang setelah 2-3 bulan untuk menilai efektivitas pengobatan.
e) Manajemen nutrisi
Pendekatan terapi nutrisi untuk mengurangi progresivitas DKD masih
menjadi perdebatan. Intake protein rendah berisiko menyebabkan malnutrisi,
sementara tinggi protein dapat memperburuk albuminuria, penurunan fungsi renal
secara cepat, dan risiko mortalitas akibat kompliksi kardiovaskular. National
Kidney Foundation Kidney Disease Outcome Quality Initiative
merekomendasikan intake protein 0,8gr/kgBB/hari bagi pasien dewasa dengan
GFR <30 ml/mnt/1,73m3, dengan disertai edukasi perencanaan makan. Sementara
pasien gagal ginjal terminal asupan protein yang direkomendasikan adalah 1,2
gr/kgBb/hr bagi yang menjalani HD rutin, dan 1,2- 1,3 gr/kgBB/hr bagi pasien
yang menjalani peritoneal dialisis. Konsumsi kalium dan posfor dibatasi untuk
16
pasien dialisis. Pembatasan asupan garam juga penting, oleh karena itu pasien
dialisis harus menghindari makanan dengan kadar natrium tinggi, seperti makanan
yang diawetkan dan fast food
f) Manajemen Anemia
Individu dengan DKD cenderung mengalami anemia yang lebih parah
daripada non-diabetik. Kadar eritropoetin yang rendah berhubungan dengan
penurunan fungsi renal dan retinopati diabetik yang progresif. Anemia umumnya
mulai terjadi pada gagal ginjal kronik tahap 3 dan hampir selalu ditemukan pada
stadium 5. Kidney Disease: Improving Global Outcomes merekomendasikan
pemberian Eritropoetin Stimulazing Agent (ESA) mulai diberikan pada kisaran
Hb 9-10 mg/dl untuk mencegah penurunan Hb <9 mg/dl. Target hemoglobin (Hb)
pada pasien HD yang mendapat ESA adalah 10-12 g/dl. Agar respon eritropoesis
optimal, maka status besi (serum Fe) harus cukup sebelum mulai pemberian ESA.
Status besi cukup menurut standar Pernefri (2011), yaitu saturasi transferin ≥20
%, feritin serum ≥200 ng/ml.
Menurut konsensus Pernefri, penatalaksanaan anemia dengan transfusi
darah hanya dilakukan pada kondisi khusus, seperti : Hb <7 g/dl, perdarahan akut
dengan gejala gangguan hemodinamik, pasien yang akan menjalani operasi.
Pemberian ESA tetap lebih diutamakan daripada transfusi pada anemia renal.
Target capaian Hb dengan transfusi adalah 7-9 g/dl (berbeda dengan target ESA).
Transfusi diberikan secara bertahap untuk menghindari bahaya overhidrasi,
hiperkatabolik (asidosis), dan hiperkalemi. Terapi nutrisi berperan dalam
pengelolaan anemia renal, asupan besi harus adekuat.
g) Manajemen Komplikasi Kardiovaskular
Penyakit jantung koroner adalah komplikasi yang paling sering terjadi
pada pasien diabetes (46,4%) dibanding non-diabetes (32,2%). Jika pasien
diabetes dengan HD mengalami sindroma koroner akut, maka diprediksi tingkat
survivalnya rendah (Herzog, Ma & Collins, 1998). Terdapat beberapa prediktor
terjadinya kematian akibat komplikasi kardiovaskular pada individu diabetes,
yaitu: riwayat penyakit vascular (miokard infark atau angina pectoris), retinopati
dan polineuropati (ketidakseimbangan persarafan otonom di jantung), kadar lipid
17
BAB II
KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Kemampuan individu harus diidentifikasi oleh perawat melalui proses
pengkajian sebagai langkah awal dalam proses keperawatan. Pada tahap ini
perawat juga harus melihat riwayat kesehatan individu. Informasi ini dapat
diperoleh dari hasil penilaian profesi lain atau dari individu dan keluarga. Hal ini
akan menjadi dasar bagi perawat untuk dapat menentukan bagaimana individu
dapat berperan memenuhi self care secara mandiri atau membutuhkan bantuan
dari perawat. Menurut Orem ada empat hal yang harus diperhatikan dalam
pengkajian :
1. Basic Conditioning Faktor
Basic conditioning factor meliputi : usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi
badan, status perkawinan, suku, budaya, agama, pekerjaan, lingkungan tempat
tinggal, status kesehatan, system pelayanan kesehatan yang tersedia dan
terjangkau, serta bagaimana individu memanfaatkan keberadaan sistem pelayanan
kesehatan tersebut saat mengalami masalah kesehatan. Kondisi diatas akan
mempengaruhi individu dalam memenuhi kebutuhan ADL dan perawatan dirinya.
Intervensi (nic)
1) Mencuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan
Rasional: tindakan aseptic meminimalkan terjadinya infeksi
2) Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
Rasional: untuk mengetahui pada daerah mana saja berresiko
terhadap infeksi serta penyebaran dari infeksi tersebut
3) Monitor hitung granulosit, WBC
Rasional: untuk mengetahui jumlah kadar leukosit akibat adanya
gangguan system kekebalan tubuh
4) Inspeksi kulit dan membrane mukosa terhadap kemerahan, panas,
drainase
Rasional: kemerahan merupakan tanda adanya infeksi
5) Berikan terapi antibiotic
Rasional: untuk proteksi terhadap infeksi
6) Ajarkan pasien cara menghindari infeksi
Rasional: mencegah terpapar ataupun kembali terinvasi infeksi
28
DAFTAR PUSTAKA
Adib. 2011. Pengetahuan praktis ragam penyakit mematikan yang paling sering
menyerang kita. Buku Biru. Jokjakarta.
Corwin, EJ. 2010. Buku Saku Patofisiologi, 3 Edisi Revisi. EGC: Jakarta.
Hananta, P. Yuda Dan Harry Freitag. 2011. Deteksi Dini Dan Pencegahan 7
Penyakit Penyebab Mati Muda. Medpress: Yogyakarta.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonsia,
Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia