Anda di halaman 1dari 28

1

Departemen Keperawatan medical bedah


sistem pencernaan dan endokrim

LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN DIAGNOSA DKD PADA TN “D”


DI RUANGAN PERAWATAN LONTARA 1 BAWAH BELAKANG DAN
PAKIS RSWS MAKASSAR

OLEH
ADELIANA

NIM : 70900118008
RESEPTOR LAHAN RESEPTOR INSTITUSI

(……………………...) (…..……………………)

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI ALAUDDIN MAKASSAR FAKULTAS


KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI PROFESI NERS ANGKATAN. XIV
TAHUN 2018
2

BAB I
KONSEP MEDIS
A. Defenisi
Diabetes melitus telah menjadi salah satu penyakit yang paling banyak
menyebabkan penyakit ginjal kronik. Kelainan ginjal akibat dari penyakit diabetes
melitus ini kemudian lebih dikenal dengan nama Diabetic Kidney Disease
(DKD) yang sesungguhnya merupakan komplikasi mikrovaskular kronis
pembuluh darah kapiler ginjal pada penderita diabetes mellitus. Komplikasi ini
dikaitkan dengan adanya proteinuria, hipertensi dan gangguan fungsi ginjal yang
progresif dengan ekskresi protein pada urin yang berlanjut dengan penurunan
fungsi ginjal. Proteinuria pada umumnya ditemukan dalam perjalanan penyakit
ginjal progresif, peran proteinuria khususnya mikroalbuminuria sebagai petanda
awal nefropati diabetik. disebut sebagai faktor kunci awal yang meramalkan
progresivitas dari glomerulopati diabetik dan dipandang sebagai ukuran
keparahan dan pemicu terjadinya nefropati yang progresif. Pada sebagian
penderita komplikasi ini akan berlanjut menjadi gagal ginjal terminal yang
memerlukan pengobatan cuci darah atau cangkok ginjal.
Penyakit ginjal diabetik (PGD) atau nefropati diabetik (ND) merupakan
salah satu komplikasi yang sering terjadi pada penderita diabetes. Pada penyakit
ini terjadi kerusakan pada filter ginjal atau yang dikenal dengan glomerulus. Oleh
karena terjadi kerusakan glomerulus maka sejumlah protein darah diekskresikan
ke dalam urin secara abnormal. Protein utama yang diekskresikan adalah albumin.
Pada keadaan normal albumin juga diekskresikan dalam jumlah sedikit dalam
urine. Peningkatan kadar albumin dalam urine merupakan tanda awal adanya
kerusakan ginjal oleh karena diabetes.
Nefropati diabetik adalah penyebab utama penyakit ginjal stadium akhir di
seluruh dunia dan berhubungan dengan peningkatan resiko penyakit
kardiovaskuler. Nefropati diabetes adalah penyakit ginjal yang seringkali
menyertai stadium lanjut penyakit diabetes mellitus, dimulai dengan hiperfiltrasi,
hipertrofi ginjal, mikroalbuminuria, dan hipertensi, seiring waktu akan terjadi
3

proteinuria dengan tanda tanda lain penurunan fungsi ginjal, dan akhirnya
menyebabkan penyakit ginjal terminal (Corwin, 2009).
B. Etiologi
Diabetik Kidney Disease (DKD) diawali oleh adanya kondisi disregulasi
metabolik lingkungan, yaitu keadaan hiperglikemi, hiperlipidemia, dan resistensi
insulin. Hampir semua nefropati akan berakhir dengan penyakit ginjal kronik.
Studi DCCT menunjukkan bahwa kontrol glikemik yang ketat (HbA1c pada
rentang 7-9%) dapat menurunkan progresivitas DKD sebesar 50% pada DMT1.
Pada DMT1 insiden DKD terjadi pada 20-40% setelah 20-25 tahun mengalami
diabetes. Akan tetapi meningkatnya manajemen diabetes dengan berkembangnya
pemantauan kadar glukosa darah, terapi insulin serta pengukuran HbA1c sejak
tahun 1980-an terjadi penurunan DKD pada DMT1. Sementara itu insiden DKD
terjadi pada 25-40% pasien DMT2 selama 10-15 tahun. Ini menunjukkan bahwa
DKD pada DMT2 terjadi lebih cepat, kemungkinan disebabkan karena banyaknya
komorbid yang dialami oleh pasien DMT2.
Etiologi gagal ginjal kronik sangat bervariasi antara satu Negara dengan
Negara yang lain. Tabel 1 menunjukkan penyebab utama dan insiden penyakit
ginjal kronik di Amerika Serikat. Sedangkan perhimpunan Nefrologi Indonesia
(Pernefri) tahu 2015 mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis
di Indonesia seperti pada tabel 2.
Tabel 1. Penyebab utama penyakit ginjal kronik di Amerika Serikat
Penyebab Insiden Persentase
Diabetes Melitus 44 %
Tipe I (7%)
Tipe 2 (37%)
Hipertensi dan penyakit pembuluh 27 %
darah besar
Glomerulonefritis 10%
Nefritis Interstitial 4%
Kista dan penyakit bawaan lain 3%
Penyakit sistemik (mis. Lupus dan 2%
vaskulitis)
Neoplasma 2%
Tidak diketahui 4%
Penyakit lain 4%
4

Tabel 2. Penyebab gagal ginjal kronik yang mengalami hemodialisa di


Indonesia
Penyebab Insiden Persentase
Glomerulonefritis 46.39%
Diabetes Melitus 18.65%
Obstruksi dan infeksi 12.85%
Hipertensi 8.46%
Sebab lain 13.65%

C. Patofisiologi
Patogenesis terjadinya kelainan ginjal pada diabetes tidak dapat
diterangkan dengan pasti. Pengaruh genetik, lingkungan, faktor metabolik dan
hemodinamik berpengaruh terhadap terjadinya proteinuria. Gangguan awal pada
jaringan ginjal sebagai dasar terjadinya nefropati adalah terjadinya proses
hiperfiltrasi-hiperperfusi membran basal glomeruli. Gambaran histologi jaringan
pada ND memperlihatkan adanya penebalan membran basal glomerulus, ekspansi
mesangial glomerulus yang akhirnya menyebabkan glomerulosklerosis, hyalinosis
arteri eferen dan eferen serta fibrosis tubulo interstitial. Tampaknya berbagai
faktor berperan dalam terjadinya kelainan tersebut. Peningkatan glukosa yang
menahun (glukotoksisitas) pada penderita yang mempunyai predisposisi genetik
merupakan faktor-faktor utama ditambah faktor lainnya dapat menimbulkan
nefropati. Glukotoksisitas terhadap basal membran dapat melalui 2 jalur:
1. Alur metabolik (metabolic pathway): Faktor metabolik diawali dengan
hiperglikemia, glukosa dapat bereaksi secara proses non enzimatik dengan asam
amino bebas menghasilkan AGE’s (advance glycosilation end-products).
Peningkatan AGE’s akan menimbulkan kerusakan pada glomerulus ginjal. Terjadi
juga akselerasi jalur poliol, dan aktivasi protein kinase C. Pada alur poliol (polyol
pathway) terjadi peningkatan sorbitol dalam jaringan akibat meningkatnya
reduksi glukosa oleh aktivitas enzim aldose reduktase. Peningkatan sorbitol
akan mengakibatkan berkurangnya kadar inositol yang menyebabkan gangguan
osmolaritas membran basal
5

Gambar D.1 Mekanisme Polyol Pathway

Penjelasan:
Aldose reduktase adalah enzim utama pada jalur polyol, yang
merupakan sitosolik monomerik oxidoreduktase yang mengkatalisa NADPH-
dependent reduction dari senyawa karbon, termasuk glukosa. Aldose reduktase
mereduksi aldehid yang dihasilkan oleh ROS (Reactive Oxygen Species)
menjadi inaktif alkohol serta mengubah glukosa menjadi sorbitol dengan
menggunakan NADPH sebagai kofaktor. Pada sel, aktivitas aldose reduktase
cukup untuk mengurangi glutathione (GSH) yang merupakan tambahan stres
oksidatif. Sorbitol dehydrogenase berfungsi untuk mengoksidasi sorbitol menjadi
fruktosa menggunakan NAD – sebagai kofaktor.
Gambar D.2 Mekanisme AGE pathway
6

Penjelasan:
mekanisme melalui produksi intracelular prekursor AGE (Advanced
Glycation End-Product) menyebabkan kerusakan pembuluh darah. Perubahan
ikatan kovalen protein intraseluler oleh prekursor dicarbonyl AGE akan
menyebabkan perubahan pada fungsi selular. Sedangkan adanya perubahan pada
matriks protein ekstraseluler mengakibatkan interaksi abnormal dengan matriks
protein yang lain dan dengan integrin. Perubahan plasma protein oleh prekursor
AGE membentuk rantai yang akan berikatan dengan reseptor AGE, kemudian
menginduksi perubahan pada ekspresi gen pada sel endotel, sel mesangial, dan
makrofag.
Gambar D.3 Mekanisme Protein Kinase C 5

Penjelasan:
keadaan hiperglikemia menyebabkan peningkatan DAG (Diacylglycerol),
yang selanjutnya mengaktivasi protein kinase-C, utamanya pada isoform β dan δ.
Aktivasi PKC menyebabkan beberapa akibat pathogenik melalui pengaruhnya
terhadap endothelial nitric oxide synthetase (eNOS), endotelin-1 (ET-1), vascular
endothelial growth factor (VEGF), transforming growth factor-β (TGF- β) dan
plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1), dan aktivasi NF-kB dan NAD(P)H
oxidase.
7

Gambar D.4 Mekanisme Hexosamine Pathway

Penjelasan:
Glycolytic intermediate fructose-6-phosphate (Fruc-6-P) dirubah menjadi
glucosamine-6-phosphate oleh enzim glutamin: fructose-6-phosphate
amidotransferase (GFAT). Glikosilasi intraseluler oleh N-acethylglucosamine
(GIcNAC) menjadi serin dan theorenin yang dikalisasi oleh enzim O-GicNAc
transferase (OGT). Peningkatan donasi GicNAC pada residu serin dan threonine
dari faktor transkripsi seperti Sp1, yang biasanya terjadi pada tempat fosforilasi
akan menyebabkan peningkatan produksi fakor seperti PAI-1 dan TGF-β1,
AZA,azaserine; AS-GFAT, antisense GFAT.
2. Alur Hemodinamik : Gangguan hemodinamik sistemik dan renal pada
penderita DM terjadi akibat glukotoksisitas yang menimbulkan kelainan pada
sel endotel pembuluh darah. Faktor hemodinamik diawali degan peningkatan
hormon vasoaktif seperti angiotensin II. angiotensin II juga berperan dalam
perjalanan ND. Angiotensin II berperan baik secara hemodinamik maupun non-
hemodinamik. Peranan tersebut antara lain merangsang vasokontriksi
sistemik, meningkatkan tahanan kapiler arteriol glomerulus, pengurangan
luas permukaan filtrasi, stimulasi protein matriks ekstra selular, serta stimulasi
chemokines yang bersifat fibrogenik. Hipotesis ini didukung dengan
meningkatnya kadar prorenin, aktivitas faktor von Willebrand dan
trombomodulin sebagai penanda terjadinya gangguan endotel kapiler. Hal
ini juga yang dapat menjelaskan mengapa pada penderita dengan
8

mikroalbuminuria persisten, terutama pada DM tipe 2, lebih banyak terjadi


kematian akibat kardiovaskular dari pada akibat GGT. Peran hipertensi dalam
patogenesis diabetik kidney disease masih kontroversial, terutama pada penderita
DM tipe 2 dimana pada penderita ini hipertensi dapat dijumpai pada awal malahan
sebelum diagnosis diabetes ditegakkan. Hipotesis mengatakan bahwa hipertensi
tidak berhubungan langsung dengan terjadinya nefropati tetapi mempercepat
progesivitas ke arah GGT pada penderita yang sudah mengalami diabetik kidney
disease.
Dari kedua faktor diatas maka akan terjadi peningkatan TGF beta
yang akan menyebabkan proteinuria melalui peningkatan permeabilitas
vaskuler. TGF beta juga akan meningkatkan akumulasi ektraceluler matrik yang
berperan dalam terjadinya DKD.
D. Klasifikasi DKD
Terdapat 2 klasifikasi faktor resiko DKD, yaitu faktor yang dapat
dimodifikasi dan faktor yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor yang dapat
dimodifikasi meliputi : kontrol glikemik yang buruk, hipertensi, dislipidemia,
merokok, kurang aktivitas fisik, dan pola makan tidak sehat. Sementara faktor
yang tidak dapat dimodifikasi adalah: genetik, usia dan jenis kelamin.
1. Kontrol Glikemik
Hiperglikemik menyebabkan peningkatan Advanced glycation end products
(AGEs) pada individu diabetes. Metabolit glukosa akan menstimulasi sel intrinsic
glomerular untuk memproduksi TGF-1yang berkontribusi terhadap timbulnya
sklerosis glomerulus dan kerurasakan tubulointerstitial dangan cara memproduksi
abnmal ekstraseluler matriks . Insiden DKD meningkat pada pasien DM dengan
kontrol glikemik yang buruk.

2. Hipertensi
Hipertensi adalah faktor resiko sangat penting sebagai penyebab DKD terutama
resiko ini akan diperberat dengan adanya kontrol glikemik yang buruk. Jika
kontrol glikemik yang baik, resiko ini tetap lebih besar tetapi progresivitas DKD
dapat di tunda. Meningkatnya tekakan darah sistolik merupakan indikator klasik
9

adanya komplikasi ginjal. Peningkatan tekanan darah berbanding lurus dengan


meningkatnya albuminuria.

3. Dislipidemia
Dislipidemia adalah hal yang umum terjadi pada Diabetes Melitus. Hal ini karena
resistensi insulin menyebabkan peningkatan metabolisme lemak. Dampaknya
terjadi hipetrigliseridemia. Kondisi dislipdemia tidak selalau sama pada semua
tahap DKD. Trigliserida yang tinggi, apolipoprotein (ApoB), Apo A-II dan HDL
3 - Kolesterol memprediksi terjadinya mikroalbuminuria, sedang trigleserida
tinggi dan Apa B meprediksi berkembangnya menjadi mikroalbuminuria.

4. Kebiasaan Merokok Rokok


menjadi faktor resiko karena meningkatkan stres oksidatif pada pembulh darah,
akumulasi lipid, dan akumilasi AGEs, sementara prouksi nitric oxide menurun,
dimana semua kondisi ini menyebabkan penebalan membrane basal glomerular,
ekspansi mesangial, glomerulosklerpsis, dan fibrosis interstitial.

5. Kurang aktivitas fisik


Kurang kativitas menyebabkan kurang berkembangnya mikroalbuminuria karena
kativitas simpatik dan rendahnya sensitifitas barorefleks. Aktivitas fisik dapat
mencegah berkembangnya DKD karena dapat menurunkan tekakan darah,
memperbaiki profil lipid, kontrol glikemik, sensitifitas insulin, dan fungsi endotel.

6. Pola Diet
Pola makan tidak sehat dan tinggi kalori seperti fast food, minuman bersoda,
konsumsi alcohol menjadi faktor resiko meningkatnya DKD karena meningkatnya
AGEs akibat hiperglikemik. Meningkatnya AGEs dapat berdampak pada
terjadinya kerusakan sel dan jaringan serta meningkatkan resiko kerusakan fungsi
ginjal.
10

7. Genetik
Terjadinya perubahan struktur dan fungsi glomerulus pada DKD dipengaruhi oleh
adanya faktor genetik atau riwayat penyakit keturunan di keluarga seperti
hipertensi, DMT2, penyakit kardiovaskuler, dan resistensi insulin.

8. Usia dan jenis kelamin


Fungsi ginjal menurun 1 ml/menit tiap tahunnya sejak individu berusia 40 tahun.
Diabetik kidney desiase (DKD) jarang berkembang sebelum masa pubertas. Pada
usia dewasa hormon seksual berperan dalam terajdinya resiko DKD. Edogen dan
estrogen berperan penting dalam patofisiologi penyakit ginjal. Pada wanita
menopause, kadar estrogen berkurang dan hal ini lebih meningkatkan resiko
resistensi insulin karena estrogen berperan sebagai inhibitor interleukin -6 (IL6).
Laki-laki dengan DMT1 lebih beresiko karena terjadinya peningkatan atau behkan
penurunan free testoteron dan peningkatan estradiol.
E. Manifestasi klinis
Pada tahap awal perkembangannya, nefropati diabetik sering tanpa gejala.
Bila sudah melewati tahap awal, dimana sudah ada kerusakan ginjal berlanjut
maka gejala yang timbul berupa lemas, lelah dan kurang sehat. Gejala yang lebih
spesifik dirasakan pengidap seiring bertambahnya tingkat keparahan penyakit ini
(biasanya setelah 5-10 tahun setelah kerusakan ginjal mulai terjadi). Beberapa
gejala dan tanda klinis meliputi :
1. Tidak nafsu makan
2. Penurunan berat badan
3. Sulit berpikir jernih
4. Pembengkakan disekitar mata
5. Kulit yang kering dan gatal
6. Kram otot
7. Peningkatan frekuensi buang air kecil
11

F. Pemeriksaan Diagnostik DKD


National Kidney Foundation / Kidney Disease qualitative initiative (NKF-
KDOQI, 2007) merekomendasikan skrining DKD dilakukan setelah 5 tahun
terdiaknosa DM baik pada tipe I ataupun tipe II. Pemeriksaan meliputi albumin
kreatinin rasio dari urin sewaktu, pengukuran serum kreatinin dan laju filtrasi
glomerulus (LFG). Peningkatan albumin kreatini rasio harus dengan penapisan
infeksi saluran kemih (SK) oleh karena itu direkomendasikan pemeriksaan mikro
albuminuria dilakukan dua kali dengan jarak 3-6 bulan mikro albuminuria adalah
peningkatan albumin kreatinin rasio sebesar 30-300 mg/gr. Sementara makro
albominuria adalah peningkatan albumin kreatinin rasio sebesar > 300mg/ gr.
Status hidrasi dapat mempengaruhi konsentrasi albumin urin. Pengukuran
albumin kreatinin rasion direkomendasikan menggukan urin sewaktu dan
menghindari urin pagi (bangun tidur).
G. Manajemen DKD
Manajemen DKD untuk meningkatkan status fungsional, qualitas hidup,
dan kepatuhan dengan program pentalaksanaan, disamping itu untuk menurunkan
progresifitas penyakit dan terjadinya komplikasi kardiovaskuler. Secara
farmakoterapi, pengobatan DKD meliputi pengandelaian hipertensi, kontrol
glikemik dan disiplinpidemia. Hal lainnya adalah skrining untuk adanya
komplikasi mikrovaskuler yang lain seperti: retinopati dan neuropati. Disamping
itu penatalaksanaan non farmatologi pengaturan diet (rendah protein), rendah
garam asupan cairan dan elektrolit, dan pendidikan kesehatab untuk meningkatkan
kemampuan self manajemen dan modifikasi gaya hidup.
Individu dengna DM diabetes mellitus tipe II yang menjalani hemodialisis
rutin memiliki kebutuhan yang lebih khusus dibandingkan individu terminal non
diabetic. Pengontrolan glikemik yang baik merupakan inti perawatan diabetes
yang baik pada individu yang menjalani dialysis kontrol glikemik. Intensif
membutuhkan perhatian khusus karena kondisi GFR yang rendah beresiko tinggi
untuk mengalmi hipoglikemik. Pemilihan jenis obat hipoglikemik oral (OH) lebih
terbatas karena harus menyesuaikan dengan kemampuan bersihan ginjal dan efek
samping obat terhadap beban ginjal hampir semua golongan OH kontra indikasi
12

untuk pasien gagal ginjal terminal. Bebrapa obat yang masih diijinkan untuk
diberikan pada pasien dialysis dengan dosis paling rendah adalah golongan
sulfonil urea generasi ke II (glimefirit 1 mg/ hr), thiasolidinedione (fioglitazone
15-30 mg/hr) DPP- 4 inhibitor (sitagliptin 25 mg/ hr, saxagliptin 2.5 mg/ hr, dan
alogliptin 6.25 mg/ hr).
H. Penatalaksanaan DKD
1. Tahap I dan II
Meliputi pengendalian glikemik dengan cara perencanaan makan, terapi
insulin dan obat hipoglikemi oral (OHO). Penentuan diet harus memperhatikan
adanya penyakit penyerta yang lain seperti dislipidemia, gout arthritis, hipertensi.
Optimalisasi terapi insulin eksogen harus optimal karena dapat mencegah
kerusakan glomerulus lebih lanjut, mencegah reabsorpsi glukosa di tubulus
proksimal, mengurangi dan menghambat stimulasi growth hormone dan insulin-
like growth factor (IGF-I), mengurangi tekanan kapiler di glumerulus. Pemilihan
OHO harus memperhatikan efek farmakologi dan farmakokinetik, serta adakah
efek retensi Na+ yang akan memperberat hipertensi.
Pengendalian hipertensi sangat bermanfaat untuk mencegah risiko
komplikasi kardiovaskular dan progresivitas DKD. Pengendalian
mikroalbuminuria dengan pembatasan intake protein hewani (0,6-0,8 gr/kgBB/hr)
sangat penting untuk mencegah progresivitas DKD. Pada pasien dengan
dislipidemia (LDL >100mg/dl) harus mendapatkan pengobatan statin untuk
mencegah komplikasi kardiovaskular .
2. Tahap 3 dan 4
Manajemen utama pada fase ini terkait pengendalian hipertensi dengan
diet rendah garam (5gr/hr) untuk mencegah retensi Na+. target tekanan darah bagi
pasien dengan penurunan fungsi ginjal adalah 130/85 mmHg. Pengendalian
mikroalbuminuria dengan diet rendah protein (0,6-0,8 gr/kgBb/hr), serta
optimalisasi terapi hiperglikemi dengan insulin dan OHO. Pemilihan OHO yang
diekskresikan di ginjal tidak dianjurkan karena bahaya akumulasi disertai
hipoglikemia. Manajemen substitusi terkait adanya komplikasi yang lain, seperti
retinopati, manajemen penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular, serta
13

pengendalian dislipidemia. Pasien DKD tahap 3 dan 4 dengan LDL >100mg/dl


harus mendapat pengobatan dengan statin untuk mencapai target LDL < 70 mg.
Hal ini bertujuan untuk menurunkan progresivitas DKD dan mencegah
komplikasi kardiovaskular .
3. DKD tahap akhir
Pada fase ini dibutuhkan terapi ginjal pengganti (TPG), seperti :
hemodialisis (HD), peritoneal dialisis (PD), atau transplantasi ginjal. Pemilihan
TPG bersifat individual, diperlukan pemberian informasi yang adekuat agar
pasien dan keluarga memiliki gambaran tentang kelebihan dan kekurangan
masing-masing modalitas sehingga dapat menentukan pilihan. Penjelasan lebih
lanjut akan diuraikan pada pembahasan selanjutnya.
Penatalaksanaan yang berfokus pada terapi farmakologi adalah hal umum
yang biasa dilakukan di klinik. Akan tetapi sejumlah penelitian membuktikan
bahwa tindakan lain sebagai pendamping terapi farmakologi penting diperhatikan
dalam manajemen DKD. Seperti : penatalaksanaan diet, (pembatasan) asupan
cairan, kebutuhan keseimbangan elektrolit, aktivitas dan olahraga, serta edukasi
untuk meningkatkan pengetahuan dan kepatuhan terhadap program terapi.
Edukasi pada pasien DM dengan dialisis yang dilakukan secara intensif saat
tindakan di ruangan dialisis terbukti sangat menunjang dan efektif dalam
meningkatkan kepatuhan pasien untuk mencapai kontrol glikemik dan kualitas
hidup yang baik. Pemberian pendidikan kesehatan yang dilakukan perawat dan
edukator terlatih lainnya terbukti efektif dalam mencapai target berat badan ideal,
HbA1c dalam rentang normal, meningkatkan pengetahuan tentang diet DM,
meningkatnya keterampilan dalam menyuntik insulin, dan membaiknya
penampilan secara psikologis.
a) Hemodialisa
Terapi Pengganti Ginjal (TPG) merupakan modalitas yang harus dijalani
oleh individu dengan gagal ginjal terminal dengan GFR <15 ml/mnt/1,73 m3.
Para ahli sepakat bahwa inisiasi dialisis harus segera dilakukan pada gagal ginjal
terminal diabetik dibanding non-diabetik. Dialisis lebih awal (terutama dengan
peritoneal dialisis) pada DKD tahap akhir penting untuk menjaga fungsi ginjal
14

yang masih tersisa. HD inisiasi bisa lebih awal dimulai jika ditemukan gejala
klinis hipervolemia, tekanan darah tidak terkontrol, anoreksia, mual muntah akibat
hiperuremia dan gastroparesis. Pada kondisi ini temuan klinis lebih menjadi
pertimbangan daripada hasil pemeriksaan penunjang. Pemilihan akses vaskuler
untuk hemodialisis menjadi hal penting yang harus diperhatikan untuk
meningkatkan efektivitas HD.
b) Manajemen Tekanan Darah
Tekanan darah cenderung tinggi pada pasien diabetes dibandingkan pada
pasien non-diabetes karena meningkatnya pertukaran natrium. Hal ini
menyebabkan risiko hipervolemia lebih tinggi. Menurunkan tekanan darah secara
agresif dengan mengurangi volume harus dihindari karena risiko hipotensi
intradialisis dan akan mengganggu perfusi koroner. Pendekatan paling efektif
untuk kontrol hipertensi pada individu HD adalah dengan diet rendah natrium,
meningkatkan waktu dialisis, mengatur ultrafiltrasi dialisis, memilih dialisat
dengan konsentrasi rendah natrium, tidak minum obat antihipertensi menjelang
HD, mengatur ultrafiltrasi, terapi eritropoetin stimulazing agent (ESA),
pertahankan hematokrit >30%, gunakan dialisat bikarbonat.
c) Manajemen Kontrol glikemik
Kontrol glikemik pada pasien yang menjalani dialisis bertujuan untuk
menjaga kadar glukosa darah yang sifatnya sesaat dan jangka panjang. Pada
pasien yang menjalani dialisis sangat penting karena hiperglikemi menyebabkan
haus, rasa ingin banyak minum, dan kondisi hipervolemia dapat meningkatkan
shif cairan dan kalium ke ekstrasel sehingga menyebabkan hiperkalemia. Terapi
farmakologi pada pasien dialisis harus mempertimbangkan dampak terhadap
penurunan fungsi ginjal. Disamping itu perlu dilakukan penyesuaian dosis insulin
dan OHO untuk menjaga kadar glukosa darah tetap normal terutama 24 jam
pertama pada hari dilakukannya HD karena risiko tinggi terjadinya
hipoglikemi.
Terdapat beberapa parameter pengukuran kontrol glikemik, seperti:
HbA1c, Glycated albumin, dan fructosamine, Self Monitoring of Blood Glucose
(SMBG) dan Continuos Glucose Monitoring System (CGMS) (Tuttle, 2014).
15

HbA1c adalah parameter yang paling umum digunakan untuk menilai kontrol
glikemik. Akan tetapi pengukuran HbA1c pada pasien gagal ginjal terminal dapat
menjadi bias karena kondisi sel darah merah yang berusia pendek, defisiensi besi,
transfusi, dan penggunaan erythropoietin stimulating agent (ESA).
Glycated albumin, dan fructosamine adalah parameter lain yang masih
jarang digunakan karena lebih jarang tersedia dan adanya kondisi khusus yang
dapat terjadi pada gagal ginjal seperti adanya inflamasi, gangguan metabolism
protein, peritoneal dialisis, proteinuria, transfusi albumin, atau kondisi
gastrointestinal protein losses. Oleh karena itu untuk kebutuhan dalam membuat
keputusan klinik seperti evaluasi pemberian dosis terapi lebih sering
menggunakan hasil pemeriksaan kadar glukosa darah dengan SMBG.
d) Manajemen dislipidemia
Dislipidemia pada pasien yang mejalani HD dapat meningkatkan risiko
terjadinya komplikasi kardiovaskular. Sebanyak 80% pasein DMT2 dapat
mengalami komplikasi kardiovaskular sehingga penanganan dislipidemia menjadi
sangat penting, target LDL pada pasien DKD adalah <100 mg/dl, dan < 70mg/dl
bagi yang sedang dengan pengobatan statin. Pada pasien HD (DKD tahap 5) mulai
pemberian terapi statin dapat dinilai terlambat kecuali diberikan terutama jika
pasien sedang mendapat pengobatan kardiovaskular. Pemeriksaan profil lipid
direkomendasikan diulang setelah 2-3 bulan untuk menilai efektivitas pengobatan.
e) Manajemen nutrisi
Pendekatan terapi nutrisi untuk mengurangi progresivitas DKD masih
menjadi perdebatan. Intake protein rendah berisiko menyebabkan malnutrisi,
sementara tinggi protein dapat memperburuk albuminuria, penurunan fungsi renal
secara cepat, dan risiko mortalitas akibat kompliksi kardiovaskular. National
Kidney Foundation Kidney Disease Outcome Quality Initiative
merekomendasikan intake protein 0,8gr/kgBB/hari bagi pasien dewasa dengan
GFR <30 ml/mnt/1,73m3, dengan disertai edukasi perencanaan makan. Sementara
pasien gagal ginjal terminal asupan protein yang direkomendasikan adalah 1,2
gr/kgBb/hr bagi yang menjalani HD rutin, dan 1,2- 1,3 gr/kgBB/hr bagi pasien
yang menjalani peritoneal dialisis. Konsumsi kalium dan posfor dibatasi untuk
16

pasien dialisis. Pembatasan asupan garam juga penting, oleh karena itu pasien
dialisis harus menghindari makanan dengan kadar natrium tinggi, seperti makanan
yang diawetkan dan fast food
f) Manajemen Anemia
Individu dengan DKD cenderung mengalami anemia yang lebih parah
daripada non-diabetik. Kadar eritropoetin yang rendah berhubungan dengan
penurunan fungsi renal dan retinopati diabetik yang progresif. Anemia umumnya
mulai terjadi pada gagal ginjal kronik tahap 3 dan hampir selalu ditemukan pada
stadium 5. Kidney Disease: Improving Global Outcomes merekomendasikan
pemberian Eritropoetin Stimulazing Agent (ESA) mulai diberikan pada kisaran
Hb 9-10 mg/dl untuk mencegah penurunan Hb <9 mg/dl. Target hemoglobin (Hb)
pada pasien HD yang mendapat ESA adalah 10-12 g/dl. Agar respon eritropoesis
optimal, maka status besi (serum Fe) harus cukup sebelum mulai pemberian ESA.
Status besi cukup menurut standar Pernefri (2011), yaitu saturasi transferin ≥20
%, feritin serum ≥200 ng/ml.
Menurut konsensus Pernefri, penatalaksanaan anemia dengan transfusi
darah hanya dilakukan pada kondisi khusus, seperti : Hb <7 g/dl, perdarahan akut
dengan gejala gangguan hemodinamik, pasien yang akan menjalani operasi.
Pemberian ESA tetap lebih diutamakan daripada transfusi pada anemia renal.
Target capaian Hb dengan transfusi adalah 7-9 g/dl (berbeda dengan target ESA).
Transfusi diberikan secara bertahap untuk menghindari bahaya overhidrasi,
hiperkatabolik (asidosis), dan hiperkalemi. Terapi nutrisi berperan dalam
pengelolaan anemia renal, asupan besi harus adekuat.
g) Manajemen Komplikasi Kardiovaskular
Penyakit jantung koroner adalah komplikasi yang paling sering terjadi
pada pasien diabetes (46,4%) dibanding non-diabetes (32,2%). Jika pasien
diabetes dengan HD mengalami sindroma koroner akut, maka diprediksi tingkat
survivalnya rendah (Herzog, Ma & Collins, 1998). Terdapat beberapa prediktor
terjadinya kematian akibat komplikasi kardiovaskular pada individu diabetes,
yaitu: riwayat penyakit vascular (miokard infark atau angina pectoris), retinopati
dan polineuropati (ketidakseimbangan persarafan otonom di jantung), kadar lipid
17

serum. Studi prostektif melaporkan prediktor terkuat kematian akibat penyakit


jantung adalah merokok seperti halnya dan kontrol glikemik yang buruk pada
pasien diabetes dengan dialisis.
18

BAB II
KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Kemampuan individu harus diidentifikasi oleh perawat melalui proses
pengkajian sebagai langkah awal dalam proses keperawatan. Pada tahap ini
perawat juga harus melihat riwayat kesehatan individu. Informasi ini dapat
diperoleh dari hasil penilaian profesi lain atau dari individu dan keluarga. Hal ini
akan menjadi dasar bagi perawat untuk dapat menentukan bagaimana individu
dapat berperan memenuhi self care secara mandiri atau membutuhkan bantuan
dari perawat. Menurut Orem ada empat hal yang harus diperhatikan dalam
pengkajian :
1. Basic Conditioning Faktor

Basic conditioning factor meliputi : usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi
badan, status perkawinan, suku, budaya, agama, pekerjaan, lingkungan tempat
tinggal, status kesehatan, system pelayanan kesehatan yang tersedia dan
terjangkau, serta bagaimana individu memanfaatkan keberadaan sistem pelayanan
kesehatan tersebut saat mengalami masalah kesehatan. Kondisi diatas akan
mempengaruhi individu dalam memenuhi kebutuhan ADL dan perawatan dirinya.

2. Universal self care requisites

Universal self care requisites, meliputi kebutuhan dasar individu yang


bersifat biopsikososial, yaitu : kebutuhan akan udara, cairan, nutrisi, pemenuhan
kebutuhan eliminasi, kebutuhan istirahat dan aktivitas, keseimbangan antara
interaksi dan isolasi sosial, mencegah dan mengatasi risiko yang mengancam
kehidupan, serta meningkatkan fungsi dan perkembangan dirinya dalam
kehidupan sosial.
a) Keseimbangan oksigenisasi
Pengkajian keseimbangan oksigenasi pasien endokrin meliputi : frekuensi,
kedalaman, bunyi pernafasan, pernafasan cuping hidung, adanya batuk
dengan atau tanpa sputum, batuk berdarah, adanya nyeri dada, bentuk dan
19

pengembangan dada, risiko gangguan bersihan jalan nafas. Penting bagi


perawat untuk menilai terjadinya infeksi paru atau adanya edema paru
pada pasien HD dengan kelebihan cairan.
b) Keseimbangan cairan dan elektrolit
Meliputi keadaan cairan tubuh, kebutuhan cairan, jenis cairan, kemampuan
pemenuhan kebutuhan cairan, tanda-tanda dehidrasi, berkaitan dengan
pemeriksaan laboratorium untuk menilai kondisi cairan dan elektrolit.
Pada pasien dialisis berisiko untuk terjadi hiponatremi, hiperkalemi,
hiperfosfatemi, hiperkalsemi. Edema tungkai atau edema paru sering
ditemukan pada pasien HD dengan kelebihan cairan.
c) Pemenuhan kebutuhan nutrisi
Pemenuhan kebutuhan nutrisi yang harus dikaji meliputi nafsu
makan,adanya keluhan mual, muntah, berat badan, lingkar lengan atas,
kepatuhan dengan diet, pengetahuan pasien tentang diet dan hasil
laboratorium untuk menilai status nutrisi pasien. Kondisi komplikasi
gastroparesis, atau gastropati uremikum dapat memunculkan gejala adanya
kelainan dalam pemenuhan nurisi. Tanda dan gejala gangguan nutrisi di
tingkat sel akibat defisiensi insulin.
d) Pemenuhan kebutuhan eliminasi
Pengkajian eliminasi meliputi : perubahan pola, retensio urin, dan
inkontinensia urin atau alvi, kemampuan berkemih secara normal, anuria
pada DKD tahap akhir, tanda-tanda neurogenik bladder, melena dapat
terjadi pada kondisi gastropati uremikum. Hasil pemeriksaan laboratorium
yang dapat menunjukan adanya penurunan fungsi ginjal, misalnya
mikroalbuminuria pada nefropati diabetik.
e) Kebutuhan aktivitas dan istirahat
Pengkajian meliputi kemampuan mobilisasi, beraktivitas, gangguan tidur,
tingkat nyeri, penurunan tonus dan kekuatan otot, keluhan rasa mudah
lelah, gangguan atau penurunan motorik.
f) Interaksi dan isolasi sosial
20

Pasien degan gangguan penyakit kronis seperti DM dengan HD, perlu


untuk dikaji tentang adanya perasaan berbeda dengan orang lain karena
terkait perubahan pola hidup seperti : harus suntik insulin setiap sebelum
makan, datang ke rumah sakit atau unit dialisis 2 kali setiap minggu,
pengaturan makan dan asupan minum yang relatif ketat. Penilaian gejala
gejala yang mengarah pada gangguan psikososial depresi, stress, tingkat
kecemasan, tingkat ketergantungan pada orang lain, penerimaan terhadap
penyakit, kontak sosial, dukungan sosial, dan partisipasi dalam perawatan
pasien selama dalam masa perawatan di rumah sakit.
g) Pencegahan dan mengatasi resiko yanag mengancam jiwa
Meliputi pengkajian adanya komplikasi kardiovaskular (sindrom koroner
akut), gagal jantung akibat kelebihan asupan cairan, infeksi yang meluas
(sepsis) akibat luka kronik, risiko cedera akibat penurunan persepsi
sensori, kecacatan, serta risiko terjadinya komplikasi akut seperti
hipoglikemi dan ketoasidosis (ensefalopati diabetikum/uremikum).
h) diabetikum/uremikum).
Peningkatan fungsi dan perkembangan hidup dalam kelompok sosial
Ketersediaan sistem pendukung dan keterlibatan pasien dalam
perkumpulan/ komunitasnya, serta kemampuan pasien dalam pemenuhan
self care.
3. Developmental self care requisites

Terdapat tiga kondisi yang menunjukan proses perkembangan dan


kematangan individu dalam mencapai fungsi yang optimal untuk mencegah
terjadinya kondisi yang dapat menghambat perkembangan tersebut. Yaitu :
mempertahankan kondisi yang dapat meningkatkan perkembangan, penggunaan
perkembangan diri, dan mencegah atau menanggulangi kondisi individu dan
situasi lingkungan yang dapat merugikan perkembangan individu, seperti :
beradaptasi dengan mengatur jadwal kegiatan harian, membentuk kebiasaan yang
kondusif dengan kebutuhan perawatan penyakit kronis, bersikap terbuka dan mau
berbagi dengan orang lain yang mengalami kondisi yang sama.
21

4. Health deviation self care requisites

Terdapat tiga tipe kebutuhan, yaitu : berhubungan dengan perubahan


struktur fisik, berhubungan perubahan fungsi fisik, dan berhubungan dengan
dengan perubahan perilaku. Seperti penurunan fungsi penglihatan karena
retinopati atau terjadinya deformitas kaki yang mempengaruhi terjadi perubahan
aktivitas pasien, menggunakan alas kaki yang tepat sesuai anjuran.

B. Diagnosis Keperawatan dan Intervensi


Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) menjadi panduan dalam
penegakan diagnosis keperawatan. Penegakan diagnosis ini disesuaikan dengan
therapeutic self care demand, yang merupakan uraian dari pengkajian universal
self care requisites, developmental self care requisites, dan health deviation self
care requisites. Dalam proses penegakan diagnosis akan dianalisis tentang
adekuasi pemenuhan therapeutic self care demand, metode bantuan yang
diperlukan sesuai self care agency. Dari diagnosis ini kemudian akan dibuat
perencanaan berdasarkan tingkat ketergantungan pasien, yaitu : wholly
compensatory system, partial compensatory system, dan supportif educative.
1) Defisit Nutrisi
Definisi : Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
metabolik.
Intervensi (nic)
1) Kaji status nutrisi
Rasional: pengkajian penting dilakukan untuk mengetahui status
nutrisi pasien sehingga dapat menentukan intervensi yang
diberikan
2) Monitor adanya penurunan berat badan
Rasioanl: penurunan BB menandakan asupan makanan yang tidak
terkontrol ataupun gangguan pada penyerapan nutrisi
22

3) Berikan makanan yang terpilih (sudah dikonsultasikan dengan ahli


gizi) : diet pasien diabetes mellitus
Rasioanl: untuk membantu memenuhi kebutuhan nutrisi
yangdibutuhkan pasien
4) Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
Rasional: untuk menyesuaikan berapa jumlah nutrisi yang
dibutuhkan pasien
5) Monitor pucat, kemerahan dan kekeringan jaringan, konjungtiva
Rasional: kondisi tersebut menandakan bahwa kekurangan kadar
nutrisi dan cairan pasien
6) Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat
Rasioanl: untuk mencegah konstipasi
2) Ketidak Stabilan Kadar Glukosa darah
Defenisi : Variasi kadar glukosa darah naik/turun dari rentang normal
Intervensi (nic)
1) Pemantauan kadar glukosa darah
Rasioanl: untuk mengetahui kondisi glukosa dalam darah apakah
mengalami peningkatan atau penurunan
2) Monitoring tanda-tanda hiperglikemia seperti poliuri, polidipsia,
polifagi dan keletihan
Rasional: Poliuri, polidipsia, polifagi dapat memperparah kondisi
keletihan yang dialami pasien
3) Pemberian karbohidrat sederhana
Rasional: menjaga keseimbangan glukosa dalam darah
4) Managemen hiperglikemi
Rasional: agar dapat memanajemen diabetes yang dialami pasien
dan mengetahui bagaimana cara penanganan terhadap
hiperglikemi
5) Konsultasikan dengan dokter jika tanda dan gejala hiperglikemik
memburuk
23

Rasional: Mengantisipasi dan menghambat keparahan yang


diakibatkan oleh hiperglikemik
3) Nyeri akut
Definisi : Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau
lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari
3 bulan.
Intervensi (nic)
1) Lakukan pegkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi dan kualitas
Rasional: menegtahui tingkatnyeri yang dirasakan klien dan untuk
menentukan intervensi selanjutnya
2) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
Rasional: reaksi nonverbal dapat menun jukkan tingkat nyeri yang
dirasakan klien
3) Ajarkan teknik non farmakologis (relaksasi, distraksi dll) untuk
mengetasi nyeri
Rasional: teknik non-farmakologi dapat membantu pasien untuk
mengurangi nyeri yang dirasakan
4) Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
Rasional: pemberian obat analgetik dapat mengurangi nyeri
5) Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa
lama nyeri akan berkurang
Rasional: menambah pengetahuan klien dan keluarga tentang
penyakit yang dialami
4) Perfusi perifer tidak efektif
Definisi : Penurunan sirkulasi darah ke perifer yang dapat menggangggu
kesehatan.
Intervensi (nic)
1) Pantau tanda-tanda vital
24

Rasional: terjadi perubahan pada TD, respirasi dan Nadi,


menandakan terjadinya gangguan pada tubuh
2) Kaji secara komprehensif sirkulasi perifer
Rasional: sirkulasi perifer dapat menunjukan tingkat keparahan
penyakit
3) Evaluasi nadi perifer dan edema
Rasional: pulsasi yang lemah menimbulkan ↓ cardiac output
4) Monitor laboratorium ( Hb, Hmtc)
Rasional: nilai laboratorium dapat menunjukan komposisi darah
5) Keletihan
Defenisi : Penurunan kapasitas kerja fisik dan mental yang tidak pulih
dengan istirahat.
Intervensi (nic)
1) Observasi adanya pembatasan klien dalam melakukan aktivitas
Rasional: untuk mengetahui batasan aktivitas klien
2) Kaji adanya faktor yang menyebabkan ketihan
Rasional: sebagai landasan membuat intervensi selanjutnya
3) Monitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat
Rasioanl: nutrisi yang adekuat menghasilkan energi
4) Bantu aktivitas sehari-hari sesuai dengan kebutuhan
Rasional: untuk memenuhi kebutuhan klien
5) Konsultasi dengan ahli gizi untuk meningkatkan asupan makanan
yang berenergi tinggi : untuk pasien DM
Rasioanl: untuk memenuhi kebutuhan energi
6) Gangguan Eliminasi urin/retensi urin
Defenisi : pengosongan kandung kemih tidak tuntas.
Intervensi (nic)
1) Monitor intake dan output
Rasional: mengetahui haluaran dan masukan urin
2) Monitor derajat distensi bladder
Rasional: mengetahui derajat distensi kandung kemih
25

3) Monitor tanda dan gejala ISK


Rasional: mengetahui adanya infeksi saluran kemih
7) Gangguan integritas kulit/jaringan.
Definisi : Kerusakan kulit (dermis atau epidermis).
Intervensi (nic)
1) Monitor kulit akan adanya kemerahan
Rasional: kemerahan menandakan adanya peradangan atau
kerusakan berarti pada kulit
2) Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
Rasional: kulit bersih dapat menghindari pembentukan ataupun
perkembangan kuman dan bakteri yang memicu kerusakan pada
kulit
3) Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar
Rasional: karena pakaian yang longgar tidak akan menekan kulit
yang memicu timbul rasa nyeri ataupun gatal
4) Bersihkan area sekitar jahitan, menggunakan lidi kapas steril
Rasional: mencegah terjadinya infeksi dan mempercepat proses
penyembuhan
5) Ganti balutan pada interval waktu yang sesuai atau biarkan luka
tetap terbuka sesuai program
Rasional: mencegah terjadinya infeksi
6) Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali
Rasional: melancarkan sirkulasi darah ke bagian tubuh dan
mencegah dekubitus
8) Ansietas
Definisi : Perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang samar disertai
respon otonom, atau perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi
terhadap bahaya.
Intervensi (nic)
1) Gunakan pendekatan yang menenangkan
Rasional: memberikan rasa nyaman kepada pasien
26

2) Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur


Rasional : agar klien dapat mengerti dan memahami prosedur yang
akan dilaksanakan
3) Instruksikan kepada pasien untuk menggunakan teknik relaksasi
Rasional : dapat mengurangi kecemasan pasien
4) Libatkan keluarga untuk mendampingi pasien
Rasional : support dari keluarga dapat mengurangi kecemasan
pasien
5) Kolaborasi pemberian obat anti cemas
Rasional: pemberian obat cemas dapat menurunkan kecemasan
pasien
9) Resiko ketidak seimbangan cairan
Defenisi : Beresiko mengalami penurunan, peningkatan atau percepatan
cairan dari intravaskuler, interstisial atau intraseluler.
Intervensi (nic)
1) Monitoring status hidrasi pasien (kelembaban membrane mukosa
dan nadi adekuat.
Rasional: kelembaban mukosa menandakan bahwa intake cairan
telah adekuat
2) Batasi intake cairan
Rasional: mempertahankan keseimbangan cairan
3) Timbang berat badan pasien
Rasional: peningkatan BB menandakan asupan makanan dan
cairan yang tidak terkontrol
4) kolaborasi dengan dokter jika ada tanda cairan berlebih muncul
memburuk
Rasional: Agar dapat menghambat dan mencegah keparahan yang
ditimbulkan karena kesalahan masukan cairan
10) Resiko infeksi
Definisi : Rentan mengalami invasi dan multiplikasi organisme patogenik
yang dapat mengganggu kesehatan.
27

Intervensi (nic)
1) Mencuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan
Rasional: tindakan aseptic meminimalkan terjadinya infeksi
2) Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
Rasional: untuk mengetahui pada daerah mana saja berresiko
terhadap infeksi serta penyebaran dari infeksi tersebut
3) Monitor hitung granulosit, WBC
Rasional: untuk mengetahui jumlah kadar leukosit akibat adanya
gangguan system kekebalan tubuh
4) Inspeksi kulit dan membrane mukosa terhadap kemerahan, panas,
drainase
Rasional: kemerahan merupakan tanda adanya infeksi
5) Berikan terapi antibiotic
Rasional: untuk proteksi terhadap infeksi
6) Ajarkan pasien cara menghindari infeksi
Rasional: mencegah terpapar ataupun kembali terinvasi infeksi
28

DAFTAR PUSTAKA

Adib. 2011. Pengetahuan praktis ragam penyakit mematikan yang paling sering
menyerang kita. Buku Biru. Jokjakarta.

Corwin, EJ. 2010. Buku Saku Patofisiologi, 3 Edisi Revisi. EGC: Jakarta.

Hananta, P. Yuda Dan Harry Freitag. 2011. Deteksi Dini Dan Pencegahan 7
Penyakit Penyebab Mati Muda. Medpress: Yogyakarta.

Khasanah, Nur.2012.Waspadai Beragam Penyakit Degeneratif Akibat Pola


Makan.Jogjakarta:Laksana

Mansjoer, A. 2007. Kapita selekta kedokteran. Media aeskulapius: Jakarta


.
Nurarif, Amin Huda & Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis Dn Nanda Nic-Noc Edisi Revisi Jilid 1.
Mediacton Publishing: Jogjakarta.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonsia,
Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia

Anda mungkin juga menyukai