Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia


yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Menurut data
RISKESDAS 2018, 10.9 % dari total jumlah penduduk di Indonesia memiliki penyakit
diabetes mellitus. Penyakit ini merupakan penyakit menahun yang akan disandang seumur
hidup yang memerlukan peran serta dokter, perawat, ahli gizi, dan tenaga kesehatan lain
dalam pengelolaan penyakit ini. Apabila tidak ditangani secara baik, akan menimbulkan
komplikasi baik makrovaskuler maupun mikrovaskuler. Salah satunya adalah mikrovaskuler
berupa nefropati diabetik (diabetic kidney disease ). Nefropati diabetik ( diabetic kidney
disease ) adalah sindrom klinis pada penderita DM yang ditandai dengan albuminuria yang
menetap (> 30 mg/24 jam) secara klinis pada dua dari tiga kali pemeriksaan dalam kurun
waktu 3 sampai 6 bulan tanpa penyebab albuminuria lainnya.
Nefropati diabetik ( diabetic kidney disease ) berhubungan dengan peningkatan tekanan
darah dan penurunan LFG (laju filtrat glomerulus). Penyakit ini ditemukan pada 20-40 %
penyandang diabetes mellitus tipe 1 maupun tipe 2. Ketika nefropati diabetik telah terjadi,
interval menuju end stage renal disease (ESRD) bervariasi dari 4 tahun pertama pada
penelitian awal hingga lebih dari 10 tahun pada penelitian baru-baru ini dan terjadi kemiripan
antara DM tipe 1 dan tipe 2. Oleh karena itu, identifikasi awal pada orang yang berisiko
tinggi sangat penting sehingga tata laksana dapat diberikan untuk mengurangi progresivitas
nefropati diabetik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Nefropati diabetik adalah sindrom klinis pada penderita DM yang ditandai dengan
albuminuria yang menetap (> 30 mg/24 jam) secara klinis pada dua dari tiga kali
pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan tanpa penyebab albuminuria lainnya.

2.2. Epidemiologi
Insidens kumulatif mikroalbuminuria pada pasien DM tipe 1 adalah 12.6% berdasarkan
European Diabetes (EURODIAB) Prospective Complications Study Group selama lebih dari
7,3 tahun dan hampir 33% pada follow-up selama 18 tahun pada penelitian di Denmark. Pada
pasien dengan DM tipe 2, insidens mikroalbuminuria adalah 2% per tahun dan prevalensi
selama 10 tahun setelah diagnosis adalah 25% di U.K. Prospective Diabetes Study (UKPDS).
Proteinuria terjadi pada 15-40% dari pasien dengan DM tipe 1, dengan puncak insidens
sekitar 15-20 tahun dari pasien diabetes. Pada pasien dengan DM tipe 2, prevalensi sangat
berubah-ubah, berkisar antara 5 sampai 20%.
Nefropati diabetik lebih umum di antara orang Afrika-Amerika, Asia, dan Amerika asli
daripada orang Kaukasia. Di antara pasien yang memulai renal replacement therapy, insidens
nefropati diabetik dua kali lipat dari tahun 1991-2001. Rata-rata peningkatan menjadi
semakin menurun, mungkin karena pemakaian pada praktek klinis bermacam-macam langkah
yang berperan pada diagnosis awal dan pencegahan nefropati diabetik, yang dengan cara
demikian menurunkan perkembangan penyakit ginjal yang terjadi. Bagaimanapun,
pelaksanaan langkah-langkah ini jauh dibawah tujuan yang diharapkan.5 
Penelitian di Inggris membuktikan bahwa pada orang Asia jumlah penderita nefropati
diabetik lebih tinggi dibandingkan dengan orang barat. Hal ini disebabkan karena penderita
diabetes melitus tipe 2 orang Asia terjadi pada umur yang relatif lebih muda sehingga
berkesempatan mengalami nefropati diabetik lebih besar. Di Thailand prevalensi nefropati
diabetik dilaporkan sebesar 29,4%, di Filipina sebesar 20,8%, sedang di Hongkong 13,1%. Di
Indonesia terdapat angka yang bervariasi dari 2,0% sampai 39,3%.4
2.3 Faktor risiko
Faktor risiko terjadinya nefropati diabetik ( diabetic kidney disease ) antara lain :
1. Usia.
2. Jenis kelamin.
3. Ras.
4. Riwayat penyakit keluarga.
5. Hipertensi.
6. Obesitas
7. Merokok.

2.4 Klasifikasi
Joint Committee on Diabetic Nephropathy membagi nefropati diabetic menjadi 5 tahapan ,
yaitu :
Tahap Albumin urin GFR (eGFR)
Tahap 1 Normoalbuminuria ( < 30 ) ≥ 30
Tahap 2 Mikroalbuminuria ( 30-299 ) ≥ 30
Tahap 3 Makroalbuminuria ( ≥ 300 ) ≥ 30
atau
Proteinuria persisten ( ≥ 0.5 )
Tahap 4 ≤ 30
Tahap 5
Tabel 2.1 Klasifikasi Nefropati Diabetik ( diabetic kidney disease ) menurut Joint Committee
on Diabetic Nephropathy

2.5 Patofisiologi.
Patofisiologi nefropati diabetik ( diabetic kidney disease ) adalah sebagai berikut.
Hipertensi glomerular dan hiperfiltrasi adalah abnormalitas ginjal yang paling awal pada
hewan eksperimental dan manusia yang diabetes dan diobservasi dalam beberapa hari hingga
beberapa minggu diagnosis. Hiperfiltrasi masih dianggap sebagai awal dari mekanisme
patogenik dalam laju kerusakan ginjal. Penelitian Brenner dkk pada hewan menunjukkan
bahwa pada saat jumlah nefron mengalami pengurangan yang berkelanjutan, filtrasi
glomerulus dari nefron yang masih sehat akan meningkat sebagai bentuk kompensasi.
Hiperfiltrasi yang terjadi pada sisa nefron yang sehat lambat laun akan menyebabkan
sklerosis dari nefron tersebut.
Gambar 2.1 Patofisiologi Nefropati Diabetik ( diabetic kidney disease )

Mekanisme terjadinya peningkatan laju filtrasi glomerulus pada nefropati diabetik masih
belum jelas, tetapi kemungkinan disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang
tergantung glukosa yang diperantarai hormon vasoaktif, IGF-1, nitrit oksida, prostaglandin
dan glukagon. Efek langsung dari hiperglikemia adalah rangsangan hipertrofi sel, sintesis
matriks ekstraseluler, serta produksi TGF-β yang diperantarai oleh aktivasi protein kinase-C
yang termasuk dalam serine-threonin kinase yang memiliki fungsi pada vaskular seperti
kontraktilitas, aliran darah, proliferasi sel dan permeabilitas kapiler.1,6
Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik asam amino dan
protein. Pada awalnya glukosa akan mengikat residu asam amino secara non-enzimatik
menjadi basa Schiff glikasi, lalu terjadi penyusunan ulang untuk mencapai bentuk yang lebih
stabil tetapi masih reversibel dan disebut sebagai produk amadori. Jika proses ini berlanjut
terus, akan terbentuk Advanced Glycation End Product (AGEs) yang ireversibel. AGEs
diperkirakan menjadi perantara bagi beberapa kegiatan seluler seperti ekspresi adesi molekul
yang berperan dalam penarikan sel-sel mononuklear, juga pada terjadinya hipertrofi sel,
sintesa matriks ekstraseluler serta inhibisi sintesis nitrit oksida. Proses ini akan terus berlanjut
sampai terjadi ekspansi mesangium dan pembentukan nodul serta fibrosis
tubulointerstisialis.1,6,8,10 
Hipertensi yang timbul bersama dengan bertambahnya kerusakan ginjal, juga akan
mendorong sklerosis pada ginjal pasien diabetes. Diperkirakan bahwa hipertensi pada
diabetes terutama disebabkan oleh spasme arteriol eferen intrarenal atau intraglomerulus.1,10

2.6 Patologi.
Diabetes menyebabkan perubahan yang unik pada struktur ginjal. Glomerulosklerosis klasik
dicirikan sebagai penebalan membrana basalis, sklerosis mesangial yang difus, hialinosis,
mikroaneurisma, dan arteriosklerosis hialin. Perubahan tubular dan interstitial juga terjadi.
daerah ekspansi mesangial yang ekstrim dinamakan nodul Kimmelstiel-Wilson atau ekspansi
mesangial nodular yang diobservasi pada 40-50% pasien yang terdapat proteinuria. Pasien
DM tipe 2 dengan mikroalbuminuria dan makroalbuminuria memiliki lebih banyak struktur
heterogenitas daripada pasien dengan DM tipe 1.5
Secara histologis, gambaran utama yang tampak adalah penebalan membrana basalis,
ekspansi mesangium yang kemudian menimbulkan glomerulosklerosis noduler atau difus,
hialinosis arteriolar aferen dan eferen, serta fibrosis tubulo-interstisial.1,5,8

2.7 Penatalaksanaan.
Prinsip tatalaksana nefropati diabetik adalah sebagai berikut :
1. Optimalisasi kontrol glukosa untuk mengurangi resiko ataupun menurunkan progresi
nefropati.
2. Optimalisasi kontrol hipertensi untuk mengurangi resiko ataupun menurunkan
progresi nefropati.
3. Pengurangan diet protein pada diet pasien diabetes dengan penyakit ginjal kronik
tidak direkomendasikan karena tidak mengubah kadar glikemik, resiko kejadian
kardiovaskuler, atau penurunan GFR.
4. Terapi dengan penghambat ACE atau obat penyekat reseptor angiotensin II tidak
diperlukan untuk pencegahan primer.
5. Terapi Penghambat ACE atau Penyekat Reseptor Angiotensin II diberikan pada pasien
tanpa kehamilan dengan albuminuria sedang (30-299 mg/24 jam) dan albuminuria berat
(>300 mg/24 jam).
6. Apabila nefropati diabetik jatuh pada tahap akhir Penyakit Ginjal Kronik, penatalaksanaan
akan ditujukan dalam perbaikan kualitas hidup secara paliatif dengan terapi pengganti
ginjal yaitu Hemodialisis, CAPD.
Terapi non farmakologis nefropati diabetik berupa gaya hidup yang sehat meliputi olah raga
rutin, diet, menghentikan merokok serta membatasi konsumsi alkohol. Olahraga rutin yang
dianjurkan ADA adalah berjalan 3-5 km/hari dengan kecepatan 10-12 menit/km, 4-5 kali
seminggu. Pembatasan asupan garam 4-5 g/hari, serta asupan protein hingga 0,8 g/kg/berat
badan ideal/hari.1
Target tekanan darah pada nefropati diabetik adalah <130/80 mmHg. Obat antihipertensi
yang dianjurkan adalah ACE-I atau ARB. Walaupun pasien diabetik nefopati memiliki
tekanan darah normal, penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pemberian ACE-I dan ARB
dapat mencegah laju penurunan fungsi ginjal. Diperkirakan bahwa efek ini dicapai akibat
penurunan tekanan darah, penurunan tekanan intraglomerulus, peningkatan aliran darah
ginjal, penurunan proteinuria, efek natriuretik serta pengurangan proliferasi sel, hipertrofi,
ekspansi matriks, sitokin dan sintesa growth factor, disamping hambatan aktivasi, proliferasi
dan migrasi makrofag, serta perbaikan sensitivitas terhadap insulin.1 Pada pasien-pasien yang
penurunan fungsi ginjalnya berjalan terus, maka saat laju filtrasi glomerulus mencapai 10-15
ml/menit dianjurkan untuk memulai dialisis.3

2.8 Prognosis
BAB III
KESIMPULAN

Nefropati diabetik ditandai oleh terjadinya albuminuria, hipertensi dan penurunan fungsi
ginjal. 2. Faktor-faktor etiologis timbulnya penyakit ginjal diabetik adalah:

 Kurang terkendalinya kadar gula darah (gula darah puasa >140-160 mg/dl [7,7-8,8
mmol/l]); AIC >7-8%
 Faktor-faktor genetis
 Kelainan hemodinamik (peningkatan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus,
peningkatan tekanan intraglomerulus)
 Hipertensi sistemik
 Sindrom resistensi insulin (sindroma metabolik)
 Keradangan
 Perubahan permeabilitas pembuluh darah
 Asupan protein berlebih
 Gangguan metabolik (kelainan metabolisme polyol, pembentukan advanced glycation
end products, peningkatan produksi sitokin)
 Pelepasan growth factors
 Kelainan metabolisme karbohidrat/ lemak/ protein
 Kelainan struktural (hipertrofi glomerulus, ekspansi mesangium, penebalan
membrane basalis glomerulus)
 Gangguan ion pumps (peningkatan Na+ -H+ pump dan penurunan Ca2+- ATPase
pump)
 Hiperlipidemia (hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia)
 Aktivasi protein kinase C

3. Prinsip tatalaksana nefropati diabetik adalah melalui pengendalian gula darah, tekanan
darah, perbaikan fungsi ginjal dan pengendalian faktor komorbid.

3.2 Saran
1. Perlu dilakukan evaluasi pada pasien diabetes melitus untuk mengetahui adanya penurunan
fungsi ginjal.
2. Perlu dilaksanakan penelitian lebih lanjut mengenai nefropati diabetik agar diketahui data
insidensi nefropati diabetik di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai