Anda di halaman 1dari 20

BAB 1

PENDAHULUAN

Nefropati diabetik adalah suatu sindroma yang sering disebut juga

sindroma Kimmelstiel Wilson, nodular glomerulosklerosis diabetik, atau

glomerulonefritis interkapiler yang ditandai dengan adanya penurunan fungsi

ginjal dikarenakan adanya penyakit diabetes melitus. Bukti klinis dari adanya

nefropati adalah albuminuria ( 300 mg/hari atau 200 g/min) yang diperiksa

minimal 2 kali dalam jangka waktu 3-6 bulan, penurunan laju filtrasi glomerular

(LFG) yang progresif, dan hipertensi arterial.(1)

Di Amerika dan Eropa, nefropati diabetik merupakan penyebab utama

gagal ginjal terminal. Angka kejadian nefropati diabetik pada diabetes melitus tipe

1 dan 2 sebanding, tetapi insiden pada tipe 2 sering lebih besar daripada tipe 1

karena jumlah pasien diabetes melitus tipe 2 lebih banyak daripada diabetes

melitus tipe 1. Di Amerika, nefropati diabetik merupakan salah satu penyebab

kematian tertinggi di antara semua komplikasi diabetes melitus, dan penyebab

utama kematian tersering adalah karena komplikasi kardiovaskular.(2)

Penelitian di Inggris membuktikan bahwa pada orang Asia jumlah

penderita nefropati diabetik lebih tinggi dibandingkan dengan orang barat. Hal ini

disebabkan karena pada orang Asia penderita diabetes melitus tipe 2 banyak

terjadi pada umur yang relatif lebih muda sehingga kemungkinan mengalami

nefropati diabetik lebih besar. Di Thailand prevalensi nefropati diabetik

dilaporkan sebesar 29,4%, di Filipina sebesar 20,8%, sedang di Hongkong 13,1%.

Di Indonesia terdapat angka yang bervariasi dari 2,0% sampai 39,3%.(3)

1
Di Amerika serikat, nefropati diabetik merupakan komplikasi terbanyak

penyebab kematian pada pasien diabetes mellitus. Sejak tahun 1950an, 50% dari

pasien diabetes melitus mengalami komplikasi ini. Sedangkan di Indonesia

menurut penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Ciptomangunkusumo pada

tahun 2011 komplikasi yang paling sering ditemui adalah neuropati pada urutan

pertama diikuti dengan retinopati dan nefropati pada urutan ketiga.(4)

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Nefropati diabetik merupakan sindroma klinis yang ditandai

dengan adanya proteinuria atau albuminuria ( 300 mg/hari atau 200

g/min) yang diperiksa minimal 2 kali dalam jangka waktu 3-6 bulan,

adanya penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) yang progresif dan disertai

peningkatan tekanan darah arterial.(1)

2.2 EPIDEMIOLOGI

Insidensi kumulatif mikroalbuminuria pada pasien DM tipe 1

adalah 12.6% berdasarkan European Diabetes (EURODIAB) Prospective

Complications Study Group selama lebih dari 7,3 tahun dan hampir 33%

pada follow-up selama 18 tahun pada penelitian di Denmark. Pada pasien

dengan DM tipe 2, insidensi mikroalbuminuria adalah 2% per tahun dan

prevalensi selama 10 tahun setelah diagnosis adalah 25% di U.K.

Prospective Diabetes Study (UKPDS). Proteinuria terjadi pada 15-40% dari

pasien dengan DM tipe 1, dengan puncak insidens sekitar 15-20 tahun dari

pasien diabetes. Pada pasien dengan DM tipe 2, prevalensi sangat berubah-

ubah, berkisar antara 5 sampai 20%.(5)

Nefropati diabetik lebih umum di antara orang Afrika-Amerika,

Asia, dan Amerika asli daripada orang Kaukasia. Di antara pasien yang

memulai renal replacement therapy, insidensi nefropati diabetik dua kali

lipat dari tahun 1991-2001. Rata-rata peningkatan menjadi semakin

3
menurun, mungkin karena langkah-langkah yang dilakukan untuk diagnosis

awal dan pencegahan nefropati diabetik sekarang lebih baik, yang dengan

cara demikian menurunkan perkembangan penyakit ginjal yang terjadi.(5)

Di Amerika serikat, nefropati diabetik merupakan komplikasi

terbanyak penyebab kematian pada pasien diabetes melitus. Sejak tahun

1950an, 50% dari pasien Diabetes mellitus mengalami komplikasi ini.

Sedangkan di Indonesia menurut penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit

Ciptomangunkusumo pada tahun 2011 komplikasi yang paling sering

ditemui adalah neuropati pada urutan pertama diikuti dengan retinopati dan

nefropati pada urutan ketiga.(4)

Gambar. Persentase Komplikasi Diabetes Melitus di RSCM Tahun 2011

Penelitian di Inggris membuktikan bahwa pada orang Asia jumlah

penderita nefropati diabetik lebih tinggi dibandingkan dengan orang barat.

Hal ini disebabkan karena pada orang Asia penderita diabetes melitus tipe 2

banyak terjadi pada umur yang relatif lebih muda sehingga kemungkinan

mengalami nefropati diabetik lebih besar. Di Thailand prevalensi nefropati

diabetik dilaporkan sebesar 29,4%, di Filipina sebesar 20,8%, sedang di

4
Hongkong 13,1%. Di Indonesia terdapat angka yang bervariasi dari 2,0%

sampai 39,3%.(3)

2.3 ETIOLOGI

Etiologi dari nefropati diabetik belum diketahui secara pasti.

Namun, beberapa mekanisme yang dikaitkan dengan ini adalah

hiperglikemia (menyebabkan hiperfiltrasi dan cedera pada ginjal), produksi

glikasi, dan aktivasi dari sitokin. Banyak penelitian sekarang menyebutkan

bahwa diabetes mellitus merupakan penyakit autoimun dan banyak yang

menghubungkannya dengan Toll like receptors dan regulatory T-cell

(Treg).(6)

2.4 FAKTOR RESIKO

Tidak semua penderita diabetes melitus berakhir dengan nefropati

diabetik, ada beberapa faktor yang meningkatkan resiko terjadinya nefropati

diabetik pada penderita diabetes melitus. Faktor resiko tersebut ada yang

dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi, yaitu:(7)

1. Faktor resiko yang tidak dapat di modifikasi

a. Genetik

Kepekaan (susceptibility) terhadap nefropati diabetik:

1) Antigen HLA (human leukosit antigen)

Beberapa penelitian menemukan hubungan faktor genetika

tipe antigen HLA dengan kejadian nefropati diabetik. Kelompok

penderita diabetes dengan nefropati lebih sering mempunyai Ag

tipe HLA-B9.

5
2) Glukose trasporter (GLUT)

Setiap penderita DM yang mempunyai GLUT 1-5

mempunyai potensi untuk mendapat nefropati diabetik.

b. Usia

c. Ras

2. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi

a. Hiperglikemia

b. Hipertensi

c. Kadar lemak darah

d. Kadar albumin urin

e. Merokok

2.5 PATOFISIOLOGI

Sampai saat ini, hiperfiltrasi masih dianggap sebagai awal dari


mekanisme patogenik dalam laju kerusakan ginjal. Penelitian Brenner dan
kawan-kawan menunjukkan bahwa saat jumlah nefron mengalami
pengurangan yang berkelanjutan, filtrasi glomerulus dari nefron yang masih
sehat akan meningkat sebagai bentuk kompensasi. Hiperfiltrasi yang terjadi
pada sisa nefron yang sehat lambat laun akan menyebabkan sklerosis dari
nefron tersebut.(8)
Mekanisme terjadinya peningkatan laju filtrasi glomerulus pada
nefropati diabetik ini masih belum jelas, tetapi kemungkinan disebabkan
oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang tergantung glukosa, yang
diperantai hormon vasoaktif, IGF-1, nitric oxide, prostaglandin dan
glukagon. Efek langsung dari hiperglikemia adalah rangsangan hipertrofi
sel, sintesis matriks ekstraseluler, serta produksi TGF-B yang diperantai
oleh aktivasi protein kinase-C (PKC) yang termasuk dalam serine-threonin
kinase yang memiliki fungsi pada vaskular seperti kontraktilitas, aliran
darah, proliferasi sel dan permeabilitas kapiler.(8)

6
Hiperglikemi kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi
nonenzimatik asam amino dan protein (reaksi Mallard dan Browning). Pada
awalnya, glukosa akan mengikat residu amino secara non-enzimatik
menjadi basa Schiff glikasi, lalu terjadi penyusunan ulang untuk mencapai
bentuk yang lebih stabil tetapi masih reversible dan disebut sebagai produk
amadori. Jika proses ini berlanjut terus, akan terbentuk Advanced Glycation
End Products (AGEs) yang ireversibel. AGEs diperkirakan menjadi
perantara bagi beberapa kegiatan seluler seperti ekspresi adhesion molecules
yang berperan dalam penarikan sel-sel mononuklear, juga pada terjadinya
hipertrofi sel, sintesa matriks ekstraseluler serta inhibisi sintesis nitrit oxide.
Proses ini akan terus berlanjut sampai terjadi ekspansi mesangium dan
pembentukan nodul serta fibrosis tubulointerstitialis sesuai dengan tahap-
tahap mogensen.(8)
Hipertensi yang timbul bersama dengan bertambahnya kerusakan
ginjal, juga akan mendorong sklerosis pada ginjal pasien diabetes.
Diperkirakan bahwa hipertensi pada diabetes terutama disebabkan oleh
spasme arteriol eferen intrarenal atau intraglomerulus.(8)

7
8
2.6 GAMBARAN KLINIS

Perjalanan penyakit serta kelainan ginjal pada penyakit diabetes

melitus lebih banyak dipelajari pada diabetes melitus tipe 1 daripada

diabetes melitus tipe 2, dan oleh Mogensen dibagi menjadi 5 tahapan,

yaitu:(7,8)

Stadium I Secara klinik pada tahap ini akan dijumpai:

(Hyperfiltration- - Hiperfiltrasi: meningkatnya laju filtrasi

Hypertropy Stage) glomerulus mencapai 20-50% diatas nilai normal

menurut usia.

- Hipertrofi ginjal, yang dapat dilihat melalui foto

sinar X.

- Glukosuria disertai poliuria.

- Mikroalbuminuria lebih dari 20 dan kurang dari

200 g/min.

Stadium II Ditandai dengan:

(Silent Stage) - Mikroalbuminuria normal atau mendekati normal

(<20 /min).

- Sebagian penderita menunjukan penurunan laju

filtrasi glomerulus ke normal. Awal kerusakan

struktur ginjal.

Stadium III Stadium ini ditandai dengan:

(Incipient - Awalnya dijumpai hiperfiltrasi yang menetap

Nephropathy yang selanjutnya mulai menurun.

Stage) - Mikroalbuminuria 20 sampai 200 g/min yang

9
setara dengan eksresi protein 30-300 mg/24 jam.

- Awal hipertensi.

Stadium IV(Overt Stadium ini ditandai dengan:

Nephroathy Stage) - Proteinuria menetap(> 0,5gr/24 jam).

- Hipertensi.

- Penurunan laju filtrasi glomerulus.

Stadium V - Pada stadium ini laju filtrasi glomerulus sudah

(End Stage Renal mendekati nol dan dijumpai fibrosis ginjal. Rata-

Failure) rata dibutuhkan waktu 15-17 tahun untuk sampai

pada stadium IV dan 5-7 tahun kemudian akan

sampai stadiumV.

- Ada perbedaan gambaran klinik dan patofisiologi

nefropati diabetik antara diabetes melitus tipe I

(IDDM) dan tipe II (NIDDM). Mikroalbuminuria

seringkali dijumpai pada NIDDM saat diagnosis

ditegakkan dan keadaan ini serigkali reversibel

dengan perbaikan status metaboliknya. Adanya

mikroalbuminuria pada DM tipe II merupakan

prognosis yang buruk.

10
KONDISI
TAHAP AER LFG TD PROGNOSIS
GINJAL

1 Hipertrofi Reversibel
N N
Hiperfungsi

2 Kelainan struktur Mungkin


N /N
reversibel

3 Mikroalbuminuria 20-200 Mungkin


/N
persisten mg/menit reversibel

4 Makroalbuminuria > 200 Mungkin bisa


Rendah Hipertensi
Proteinuria mg/menit stabilisasi

5 Uremia Tinggi <10 Hipertensi Kesintasan 2 tahun

/Rendah ml/menit + 50 %

Keterangan : AER = Albumin Excretion Rate

LFG = Laju Filtrasi Glomerulus (GFR)

N = Normal

TD = Tekanan Darah

2.7 DIAGNOSIS

Atas dasar penelitian kasus-kasus di Surabaya, maka berdasarkan

visibilitas, diagnosis, manifestasi klinik, dan prognosis, telah dibuat kriteria

diagnosis klasifikasi nefropati diabetika tahun 1983 yang praktis dan

sederhana. Diagnosis nefropati diabetik dapat dibuat apabila dipenuhi

persyaratan seperti di bawah ini:

11
1. Diabetes melitus (DM).

2. Retinopati diabetik.

3. Proteinuria yang persisten selama 2 kali pemeriksaan dengan interval 2

minggu tanpa penyebab proteinuria yang lain, atau proteinuria 1 kali

pemeriksaan plus kadar kreatinin serum > 2,5mg/dl.(9)

Data yang didapatkan pada pasien antara lain pada:

1. Anamnesis

Dari anamnesis kita dapatkan gejala-gejala khas maupun

keluhan tidak khas dari gejala penyakit diabetes. Keluhan khas berupa

poliuri, polidipsi, polifagi, penurunan berat badan. Keluhan tidak khas

berupa: kesemutan, luka sukar sembuh, gatal-gatal pada kulit,

ginekomastia, impotensi.(10)

2. Pemeriksaan Fisik

a. Pemeriksaan Mata

Pada nefropati diabetik didapatkan kelainan pada retina yang

merupakan tanda retinopati yang spesifik dengan pemeriksaan

funduskopi, berupa:(10)

1) Obstruksi kapiler, yang menyebabkan berkurangnya aliran darah

dalam kapiler retina.

2) Mikroaneusisma, berupa tonjolan dinding kapiler, terutama daerah

kapiler vena.

3) Eksudat berupa :

a) Hard exudate. Berwarna kuning, karena eksudasi plasma yang

lama.

12
b) Cotton wool patches. Berwarna putih, tak berbatas tegas,

dihubungkan dengan iskemia retina.

4) Shunt artesi-vena, akibat pengurangan aliran darah arteri karena

obstruksi kapiler.

5) Perdarahan bintik atau perdarahan bercak, akibat gangguan

permeabilitas mikroaneurisma atau pecahnya kapiler.

6) Neovaskularisasi.

3. Pemeriksaan Laboratorium

a. Pemeriksaan darah lengkap

1) Ureum Meningkat, Kreatinin Serum Meningkat

2) Kadar Glukosa Darah, Profil Lipid (Hiperkolestrolemia,

Hipertrigliseridemia, LDL Meningkat)

b. Pemeriksaan urinalisis

Proteinuria yang persisten selama 2 kali pemeriksaan dengan

interval 2 minggu tanpa ditemukan penyebab proteinuria yang lain

atau proteinuria satu kali pemeriksaan plus kadar kreatinin serum >2,5

mg/dl.(10)

c. Pemeriksaan radiologi

USG ginjal (ukuran ginjal mengecil, korteks menipis,

hidronefrosis).

2.8 PENATALAKSANAAN

1. Evaluasi.

Pada saat diagnosis diabetes melitus ditegakkan, kemungkinan

adanya penurunan fungsi ginjal juga harus diperiksa, demikian pula saat

13
pasien sudah menjalani pengobatan rutin. Pemantauan yang dianjurkan

oleh ADA adalah pemeriksaan terhadap adanya mikroalbuminuria serta

penentuan kreatinin serum dan klirens kreatinin. Untuk mempermudah

evaluasi, NKF menganjurkan perhitungan perhitungan laju filtrasi

glomerulus dengan menggunakan rumus dari Cockroft-Gault yaitu:(8)

Klirens kreatinin = (140-umur) x berat badan x (0,85 untuk wanita)

72 x kreatinin serum

Keterangan: Glomerular filtration rate/laju filtrasi glomerulus (GFR)

dalam ml/menit/1,73m.

Sebagian besar kasus proteinuria yang timbul pada pasien

diabetes adalah nefropati diabetik. Tetapi harus disadari bahwa ada kasus

tertentu yang memerlukan evaluasi lebih lanjut, terutama jika ada

gambaran klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium yang mengarah

kepada penyakit glomerulus non diabetik (hematuria makroskopik, cast

sel darah merah dll), atau kalau timbul azotemia bermakna dengan

proteinuria derajat sangat rendah, tidak ditemukan retinopati (terutama

pada diabetes mellitus tipe 1), atau pada kasus proteinuria yang timbul

sangat mendadak serta tidak malalui tahapan perkembangan nefropati.

Pada kasus seperti ini, dianjurkan pemeriksaan melalui biopsy ginjal.(8)

2. Medikamentosa

Tatalaksana nefropati diabetik tergantung pada tahapan tahapan

apakah masih normoalbuminuria, sudah terjadi mikroalbuminuria atau

makroalbuminuria, tetapi pada prinsipnya, pendekatan untuk tatalaksana

nefropati diabetik adalah melalui:(8)

14
1. Pengendalian gula darah (olahraga, diet, obat anti-diabetes).

2. Pengendalian tekanan darah (diet rendah garam, obat antihipertensi).

3. Perbaikan fungsi ginjal (diet rendah protein, pemberian angiotensin

receptor blocker (ACE-I) dan/atau angiotensin receptor blocker

(ARB).

4. Pengendalian factor-faktor ko-morbiditas lain (pengendalian kadar

lemak, mengurangi obesitas, dan lain-lain).

Target tekanan darah pada nefropati diabetik adalah <130/80

mmHg. Obat antihipertensi yang dianjurkan adalah ACE-I atau ARB,

sedangkan pilihan lain adalah diuretika, kemudian beta-blocker atau

calcium-channel bloker.(8)

Walaupun pasien nefropati diabetik memiliki tekanan darah

normal, penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pemberian ACE-I dan

ARB dapat mencegah laju penurunan fungsi ginjal. Diperkirakan bahwa

efek ini dicapai akibat penurunan tekanan darah, penurunan tekanan

intraglomerulus, peningkatan aliran darah ginjal, penurunan proteinuria,

efek natriuretik serta pengurangan proliferasi sel, hipertrofi, ekspansi

matriks, sitokin dan sintesa growth factor, disamping hambatan aktivasi,

proliferasi dan migrasi makrofag, serta perbaikan sensitifitas terhadap

insulin.(8)

3. Non-medikamentosa

Gaya hidup yang sehat meliputi olahraga rutin, diet,

menghentikan merokok, serta membatasi konsumsi alkohol. Olahraga

rutin yang dianjurkan ADA adalah berjalan 3-5 km/hari dengan

15
kecepatan sekitar 10-12 menit/km, 4-5 kali seminggu. Pembatasan

asupan garam adalah 4-5 g/hari (atau 68-85 mEq/hari) serta asupan

protein hingga 0,8 g/kg/berat badan ideal/hari.(8)

Pada pasien yang penurunan fungsi ginjalnya berjalan terus,

maka saat laju filtrasi glomerulus mencapai 10-12 ml/menit (setara

dengan klirens kreatinin < 15 ml/menit atau serum kreatinin > 6 mg/dl)

dianjurkan untuk memulai dialisis (hemodialisis atau peritoneal dialisis),

walaupun masih ada perbedaan pendapat mengenai kapan sebaiknya

terapi pengganti ginjal ini dimulai. Pilihan pengobatan gagal ginjal

terminal yang lain adalah cangkok ginjal, dan pada kasus nefropati

diabetik di negara maju sudah sering dilakukan cangkok ginjal.(8)

2.9 PROGNOSIS

Secara keseluruhan prevalensi dari mikroalbuminuria dan

makroalbuminuria pada kedua tipe diabetes melitus diperkirakan 30-35%.

Nefropati diabetik jarang berkembang sebelum sekurang-kurangnya 10

tahun pada pasien IDDM, dimana diperkirakan 3% dari pasien dengan

NIDDM yang baru didiagnosa menderita nefropati. Puncak rata-rata

insidens (3%/th) biasanya ditemukan pada orang yang menderita diabetes

selama 10-20 tahun.(11)

Mikroalbuminuria memperkirakan morbiditas kardiovaskular, dan

mikroalbuminuria serta makroalbuminuria meningkatkan mortalitas dari

bermacam-macam penyebab dari diabetes melitus. Mikroalbuminuria juga

memperkirakan coronary and peripheral vascular disease dan kematian

dari penyakit kardiovaskular pada populasi umum nondiabetik. Pasien

16
dengan proteinuria yang tidak berkembang memiliki tingkat mortalitas yang

relatif rendah dan stabil, dimana pasien dengan proteinuria memiliki 40 kali

lipat lebih tinggi tingkat relatif mortalitasnya. Pasien dengan IDDM dan

proteinuria memiliki karakteristik hubungan antara lamanya diabetes/umur

dan mortalitas relatif, dengan mortalitas relatif maksimal pada interval umur

34-38 tahun (dilaporkan pada 110 wanita dan 80 pria).(11)

ESRD adalah penyebab utama kematian, 59-66% kematian pada

pasien dengan IDDM dan nefropati. Tingkat insidens kumulatif dari ESRD

pada pasien dengan proteinuria dan IDDM adalah 50%, 10 tahun setelah

onset proteinuria, dibandingkan dengan 3-11%, 10 tahun setelah onset

proteinuria pada pasien Eropa dengan NIDDM. Penyakit kardiovaskular

juga penyebab utama kematian (15-25%) pada pasien dengan nefropati dan

IDDM, meskipun terjadi pada usia yang relatif muda.(11)

17
BAB 3

KESIMPULAN

1. Nefropati diabetik merupakan kelainan degeneratif vaskuler ginjal yang

ditandai dengan albuminuria menetap (> 300 mg/24 jam atau > 200

g/menit) pada minimal 2 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6

bulan.

2. Diagnosis dini membantu penderita untuk mengubah atau menyesuaikan

gaya hidup agar bisa lebih memperlambat gagal ginjal tersebut, atau bahkan

menghentikan gagal ginjal tersebut, tergantung dari penyebabnya.

3. Tujuan pengelolaan nefropati diabetik adalah mencegah atau menunda

progresifitas penyakit ginjal dan memperbaiki kualitas hidup pasien

sebelum menjadi gagal ginjal terminal.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. American Diabetes Association. Standards of medical care for patients with

diabetes mellitus. Diabetes Care, Vol.27. 2004.

2. Sudoyo Aru.W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke V, Jilid III.

Jakarta. 2009.

3. Adam JMF. 2005. Komplikasi Kronik Diabetik Masalah Utama Penderita

Diabetes dan Upaya Pencegahan. Tersedia dari URL:

http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/medhas/9-

John%20Adam.pdf. Diakses pada tanggal 28 Agustus 2017.

4. Pusat Data Dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2014. Situasi dan

Analisis Diabetes. Tersedia dari URL: http://www.depkes.go.id. Diakses

pada tanggal 28 Agustus 2017.

5. Gross JL, de Azevedo MJ, Silveiro SP, Canani LH, Caramori ML,

Zelmanovitz T. 2005. Diabetic Nephropathy: Diagnosis, Prevention, and

Treatment: Stages, Clinical Features, and Clinical Course. Tersedia dari

URL: http://www.medscape.com/viewarticle/497717_3. Diakses pada

tanggal 28 Agustus 2017.

6. Odegaard JI, Chawla A. 2012. Connecting type 1 and type 2 diabetes

through innate immunity. Tersedia dari URL:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3282495/. Diakses pada

tanggal 28 Agustus 2017.

7. Sukandar E. 1997. Tinjauan Umum Nefropati Diabetik. Dalam: Nefropati

Klinik Edisi ke-2. Penerbit ITB: Bandung.

19
8. Sudoyo Aru.W, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi ke-5 Jilid

III. Interna Publishing: Jakarta.

9. Rully R, Endang S, Jusman D. 2001. Nefropati Diabetik. Dalam: Slamet

Suyono,dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi ke-3 Jilid II. Balai

Penerbit FKUI: Jakarta.

10. Lestariningsih. 2004. Hipergensi pada Diabetik. PIT V PERKENI:

Semarang.

11. Soman S. 2009. Diabetic Nephropathy. Tersedia dari URL:

http://emedicine.medscape.com. Diakses pada tanggal 28 Agustus 2017.

20

Anda mungkin juga menyukai