Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
Kejang adalah suatu manifestasi klinis sebagai akibat dari cetusan yang berlebihan dan
abnormal dari sel-sel neuron di otak. Manifestasi klinis dapat berupa fenomena abnormal yang
sementara dan mendadak, antara lain berupa gangguan kesadaran, motorik, sensorik, otonom,
ataupun psikis. Kejang merupakan salah satu gejala gangguan susunan saraf pusat dan
kedaruratan paling sering pada masa neonatus. Kejang pada neonatus adalah kejang yang terjadi
pada bayi baru lahir sampai usia 28 hari.1
Pada kenyataannya, kejang pada neonatus sulit dikenali karena bentuk klinis maupun
gambaran elektroensefalografi (EEG) yang sering tidak khas. Proses pertumbuhan akson dan
tonjolan dendrit serta mielinisasi belum sempurna pada otak neonatus sehingga letupan kejang
tidak dapat dengan mudah dijalarkan ke seluruh otak neonatus untuk menimbulkan kejang
menyeluruh. Kejang pada periode neonatus merupakan keadaan darurat medis yang dapat
mengakibatkan hipoksia otak yang cukup berbahaya bagi kelangsungan hidup bayi atau dapat
mengakibatkan sekuele di kemudian hari, disamping itu kejang dapat merupakan tanda atau
gejala dari satu masalah atau lebih. Pada neonates cukup bulan maupun neonatus kurang bulan
2/3 kasus kejang ini menyebabkan gejala sisa berupa retardasi mental, palsi serebral, dan
epilepsi. Prognosis sangat tergantung pada etiologi, bentuk klinis kejang, dan gambaran EEG.2
Insiden kejang pada neonatus berkisar antara 1,5-3 per 1000 kelahiran bayi cukup bulan
dan 50-150 per 1000 pada bayi kurang bulan.2 Insiden kejang pada neonatus di Amerika Serikat
belum dapat dipastikan dengan jelas meskipun berdasarkan penelitiansebelumnya diperkirakan
sekitar 80-120 kasus per 100.000 neonatus per tahun.1
Hingga saat ini belum ada teori pasti yang dapat menjawab etiologi dari kejang pada
neonatus secara jelas. Peneliti hanya sepakat bahwa kejadian kejang pada neonatus dikarenakan
multifaktor yang berhubungan dengan faktor dari ibu dan janin. Faktor dari ibu yang
berpengaruh terhadap kejadian kejang pada neonatus antara lain status paritas ibu, infeksi
intrauterin, dan cara persalinan. Sedangkan faktor bayi yang berpengaruh terhadap kejadian

kejang pada neonatus antara lain adalah tindakan resusitasi pasca lahir, riwayat gawat janin, serta
masa gestasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1

Definisi Kejang Neonatus


Kejang pada BBL secara klinis adalah perubahan paroksismal dari fungsi neurologik
(misalnya perilaku, sendorik, motorik dan fungsi autonom sistem saraf) yang terjadi pada

II.2

bayi berumur sampai dengan 28 hari.1


Etiologi
Ada banyak beberapa penyebab utama kejang neonatus, yaitu :3

PENYEBAB
Ensefalopati

KETERANGAN
Penyebab paling sering pada bayi cukup bulan (40-60%) dan

merupakan penyebab utama dari perkembangan bayi yang buruk


Biasanya timbul dalam 24 jam
Sulit dikontrol dengan medikamentosa
Pendarahan intraventrikular
Pendarahan intracerebral
Pendarahan subdural
Pendarahan subarachnoid
Meningitis bakteri
Meningitis virus
Encephalitis
Intrauterine (TORCH) infections
Bakteri patogen yang paling sering dari streptokokus grup B,

escherichia coli, listeria, staphyloccocus


Oklusi arteri atau thrombosis vena dapat menyebabkan stroke
Insidensi 1 per 4000
Hipoglikemia
Hipokalsemia
Hipomagnesaemia
Hipo/hipernatremia
Ketergantungan pyridoxine
Merupakan penyebab yang jarang ditemukan, namun tetap

Iskemik hipoksik

Pendarahan
intrakranial
Infeksi SSP

Stroke perinatal
Metabolik

Kelainan
metabolik

membutuhkan perhatian khusus untuk menemukan penyebab

bawaan
Putus obat ibu

yang dapat di tangani

Kelainan

otak

kongenital
Kejang neonatus
familial jinak
Kejang
hari
kelima

Anomali kromosom
Anomali otak kongenital
Kelainan neuro-degeneratif
Biasanya timbul sebagai kejang tonik atau klonik pada hari ke 2

atau ke 3
Dengan nama lain kejang neonatus jinak idiopatik
Biasanya hilang pada hari ke 15, penyebab tidak diketahui

A. Ensefalopati iskemik hipoksik


Merupakan penyebab tersering (60-65%) kejang pada BBL, biasanya terjadi
dalam waktu 24 jam pertama, dapat terjadi pada BCB maupun BKB terutama bayi
dengan asfiksia. Bentuk kejang subtle atau multifokal klonik serta fokal klonik.
Kasus iskemik hipoksik disertai kejang, 20 % akan mengalami infark serebral.
Manifestasi klinis ensefalopati hipoksik iskemik dapat dibagi dalam 3
stadium,yaitu : ringan, sedang dan berat. Manifestasi kejang terjadi pada stadium
sedang dan berat.1
B. Perdarahan Intrakranial
Perdarahan matriks germinal atau intraventrikel adalah penyebab kejang tersering
pada bayi preterm. Scher menentukan 45 % bayi preterm dengan kejang
mengalami perdarahan matriks germinal atau intraventrikel (GMH-IVH).
Perdarahan intrakranial sering sulit disebut sebagai penyebab tunggal kejang,
biasanya berhubungan dengan penyebab lain, yaitu :

1. Perdarahan sub arachnoid


Perdarahan yang sering dijumpai pada BBL, kemungkinan karena robekan
vena superfisial akibat partus lama. Pada mulanya bayi tampak baik, tiba-tiba
dapat terjadi kejang pada hari pertama atau hari kedua. Pungsi lumbal harus
dikerjakan untuk mengetahui apakah terdapat darah di dalam cairan
serebrospinal. Pemeriksaan CT-Scan sangat berguna untuk menentukan letak
dan luasnya perdarahan. Pemeriksaan perdarahan perlu dikerjakan untuk
menyingkirkan kemungkinan koagulopati. 1
2. Perdarahan subdural
3

Perdarahan ini umumnya terjadi akibat robekan tentorium di dekat falks


serebri. Keadaan ini akibat molase kepala yang berlebihan pada letak verteks ,
letak muka dan partus lama. Darah terkumpul di fosa posterior dan dapat
menekan batang otak. Manifestasi klinis hamper sama dengan ensefalopati
hipoksik-iskemik ringan sampai sedang. Bila terjadi penekanan pada batang
otak terdapat pernapasan yang tidak teratur, kesadaran menurun, tangus
melengking, ubun-ubun besar menonjol dan kejang. Perdarahan pada
parenkim otak kadang-kadang dapat menyertai perdarahan subdural. Deteksi
kelainan ini dengan pemeriksaan USG atau CT-Scan. Perdarahan yang kecil
tidak membutuhkan pengobatan, tetapi pada perdarahan yang besar dan
menekan batang otak perlu dilakukan tindakan bedah untuk mengeluarkan
darah. Mortilitas tinggi, dan pada bayi yang hidup biasanya terdapat gejala
sisa neurologis. 1
3. Perdarahan periventrikuler/ intraventrikuler
Gambaran klinis perdarahan intraventrikuler tergantung kepada beratnya
penyakit dan saat terjadinya perdarahan. Pada bayi yang mengalami trauma
atau asfiksia biasanya kelainan timbul pada hari pertama atau kedua setelah
lahir. Pada BKB dapat mengalami perdarahan hebat, gejala timbul dalam
waktu beberapa menit sampai beberapa jam berupa gangguan napas, kejang
tonik umum, pupil terfiksasi, kuadriparesis flaksid, deserebrasi dan stupor atau
koma yang dalam. Pada perdarahan sedikit, gejala timbul dalam beberapa jam
sampai beberapa hari sampai penurunan kesadaran, kurang aktif, hipotonia,
kelainan posisi dan pergerakan bola mata seperti deviasi, fiksasi vertical dan
horizontal disertai dengan gangguan respirasi. Bila keadaan memburuk akan
timbul kejang. BCB biasanya disertai riwayat intrapartum misalnya trauma,
pasca-pemberian cairan hipertonik secara cepat terutama natrium bikarbonat
dan asfiksia. Manifesasi klinis yang timbul bervariasi mulai dari asimtomatik
sampai gejala yang hebat. Gejala neurologis yang paling umum dijumpai
adalah kejang yang dapat bersifat fokal, multifokal atau umum. Di samping
itu terdapat manifestasi berupa apnu, sianosis, letargi, jitteriness, muntah,
ubun-ubun besar menonjol, tangis melengking dan perubahan tonus otot.
Untuk menegakan diagnosis perdarahan intraventrikular yang pasti dilakukan
4

pungsi lumbal, pemeriksaan darah misalnya Hb, Ht dan trombosit,


pemeriksaan EEG dan USG. Pemeriksaan USG mempunyai nilai diagnostik
yang tinggi, tidak invasif, aman bagi bayi dan relatif murah. USG digunakan
untuk menentukan saat timbulnya perdarahan, memantau perubahan yang
terjadi dan meramalkan akibat perdarahan pada masa akut.1
C. Metabolik
Penyebab paling sering kejang metabolik adalah :

Hipoglikemia
Bayi dengan kadar glukosa darah < 45 mg/dL disebut hipoglikemia.
Kadang asimtomatis. Hipoglikemia yang berkepanjangan dan berulang dapat
mengakibatkan dampak yang menetap pada SSP. BBL yang mempunyai
resiko tinggi untuk terjadinya hipoglikemia adalah : Bayi Kecil untuk masa
kehamilan, Bayi Besar untuk masa kehamilan dan bayi dari Ibu dengan
Diabetes Mellitus. Hipoglikemi dapat menjadi penyebab dasar pada kejang
BBL dan gejala neurologis lainnya seperti apnu, letargi dan jiterness. Kejang
seperti hipoglikemia ini sering dihibungkan dengan penyebab kejang yang
lain. Hanya sekitar 3% yang benar disebabkan Karena hipoglikemia. Tidak
ada keraguan pemberian terapi dextrose intravena jika ditemukan kadar
glukosa rendah pada bayi kejang, untuk mengembalikan kadar gula darah
kembali secepatnya. 1

Hipokalsemia/ hypomagnesemia
Kejadian awal kejang akibat hipokalsemia pada hari pertama dan kedua.
Lebih sering didapatkan pada BBLR dan sering dihubungkan dengan keadaan
asfiksia serta bayi dari ibu dengan diabetes mellitus. Hipokalsemia
didefinisikan kadar kalsium < 7,5 mg/dL (<1,87 mmol/L), biasanya disertai
kadar fosfat > 3 mg/dL (> 0,95mmol/L), seperti hipoglikemia kadang
asimtomatis. Sering berhubungan dengan prematuritas atau kesulitan
persalinan dan asfiksia. Kadar magnesium yang rendah sering terjadi bersama
dengan hipokalsemi dan perlu diterapi agar memberikan respon yang baik
untuk menghentikan kejang. Mekanisme terjadinya hipokalsemia bersamaan
dengan hipomagnesemia belum jelas. Bila kejang pada bayi berat lahir rendah
5

yang disebabkan oleh hipokalsemia diberikan kalsium glukonat kejang masih

belum berhenti harus dipikirkan adanya hipomagnesemia.1


Hiponatremia dan hypernatremia
Kadar natrium serum yang sangat tinggi, sangat rendah atau yang
mengalami perubahan dengan sangat cepat, sering terjadi pada kondisi
tertentu seperti Syndrome of Inappropreiate Anti-Diuretic Hormone (SIADH),
sindroma Bartter atau dehidrasi berat dapat menyebabkan kejang. SIADH
berhubungan dengan keadaan sekunder dari meningitis atau perdarahan
intracranial, terapi diuretika, kehilangan garam yang berlebihan atau asupan
cairan yang mengandung kadar natrium yang rendah, hiponatremia dapat
terjadi akibat minum air, pemberian infus intravena yang berlebihan atau
akibat pengeluaran natrium yang berlebihan lewat kencing dan feses.
Hipernatremia terjadi akibat dehidrasi berat atau iatrogenik atau sekunder
akibat asupan natrium yang berlebihan. Dapat juga terjadi akibat pemberian
natrium yang berlebihan secara oral maupun parenteral.2

D. Infeksi
Infeksi terjadi sekitar 5-10% dari seluruh penyebab kejang BBL, bakteri,
nonbakteri maupun kongenital dapat menyebabkan kejang BBL, biasanya terjadi
setelah minggu pertama kehidupan.2
1.

Infeksi digolongkan menjadi :


Infeksi akut
Infeksi bakteri atau virus pada SSP dengan atau tanpa keadaan sepsis dapat
mengakibatkan kejang, biasanya sering berhubungan dengan meningitis.
Kuman gram negative sering mengakibatkan infeksi intrakranial dan sistemik
pada BBL. Bakteri yang sering ditemukan adalah group B streptococcus,

2.

Eschericia coli, Listeria sp, Staphylococcus dan Pseudomonas species


Infeksi kronik
Infeksi intrauterin yang berlangsung lama: toxoplasmosis, rubella,

3.

cytomegalovirus, herpes (TORCH), treponema pallidum .2


Kernikterus/ensefalopati bilirubin
Suatu keadaan ensefalopati akut dengan sekuele neurologis yang disertai
meningkatkan kadar serum bilirubin dalam darah. Bilirubin indirek
6

menyebabkan kerusakan otak pada BCB apabila melebihi 20mg/dl. Pada


bayi prematur yang sakit, kadar 10mg/dl sudah berbahaya. Kemungkinan
kerusakan otak yang terjadi tidak hanya disebabkan oleh kadar bilirubin
yang tinggi tetapi tergantung kepada lamanya hiperbilirubinemia. BKB
yang sakit dengan sindrom distress

pernapasan, asidosis mempunyai

risiko yang tinggi untuk terjadinya kernikterus. Manifestasi klinis


kernikterus terdiri dari hipotonia, letargi dan refleks menghisap lemah.
Pada hari kedua terdapat gejala demam, regiditas dan posisi dalam
opistotonus. Selanjutnya gambaran klinis bulan pertama menunjukkan
tonus otot meningkatkan progresif. Sindrom klinis yang tampak sesudah
tahun pertama meliputi : 1) disfungsi ekstra piramidal biasanya berbentuk
atetosis dan kora; 2)gangguan gerak bola mata vertikal, ke atas lebih dari
pada ke bawah, terdapat 90% kasus; 3) kehilangan pendengaran frekuensi
tinggi terdapat pada 60% kasus; 4) retardasi mental terdapat pada 25%
4.

kasus.2
Kejang yang berhubungan dengan obat
- Pengaruh pemberhentian obat (Drug withdrawl)
Kecanduan metadon pada ibu hamil sering dikaitkan dengan kejang
BBL karena efek putus obat dari kecanduan heroin. Ibu yang ketagihan
dengan obat narkotik selama hamil, bayi yang dilahirkan dalam 24 jam
pertama terdapat gejala gelisah, jitteriness dan kadang-kadang terdapat
kejang. Kejang akibat putus obat (withdrawl) terjadi pertama kali pada
usia 3 hari pertama dengan onset rata-rata 10 hari. Kejang tersebut
dapat menetap untuk beberapa bulan. Tremor dialami oleh bayi yang
mendapatkan infus narkotik jangka panjang untuk mengurangi rasa
sakit dan telah diperhatikan pula efek serupa dari midazolam untuk
-

sedasi pada BKB.2


Intoksikasi anestesi local
Kejang akibat intoksikasi anestesi lokal/anestesi blok pada ibu yang
masuk ke dalam sirkulasi janin. Ini dapat terjadi akibat anestesi blok
paraservikal, pudendal atau epidural serta anestesi local pada
episiotomi yang tidak tepat. Curiga intoksikasi bila didapatkan pupil
tetap dilatasi pada pemeriksaan reflek pupil dan gerakan mata
7

terfiksasi pada reflek okulosefalik (refle dolls eye menghilang). Bayi


lahir menunjukkan Apgar skor yang rendah, hipotonia dan
hipoventilasi.

Kejang

terjadi

dalam

waktu

jam

pertama

kelahiran.Prognosisnya baik, bila diberikan pengobatan suportif yang


memadai akan membaik setelah 24-48 jam.2

Penyebab kejang lainnya yang jarang terjadi2


1. Gangguan Perkembangan Otak
Kelainan disebabkan karena terganggunya perkebangan otak. Beberapa
kelainan susunan saraf pusat dapat menimbulkan kejang pada hari pertama
kehidupan. Penyebab yang sering ditemukan adalah disgenesis korteks
serebri, dapat disertai keadaan : dismorfi, hidrosefalus, mikrosefalus. Kelainan
migrasi sel saraf seperti lisensefali atau schizensefali dapat terjadi pada kejang
BBL.2
2. Kelainan yang diturunkan
a.
Gangguan metabolisme asam amino
Kejang biasanya terjadi antara 5-14 hari setelah bayi lahir. Termasuk
kelainan ini adalah: maple syrup urine disease, isovaleric academia,
b.

glycine encephalopathy, arginosuccsinic aciduria dan phenylketonuria.2


Ketergantungan dan kekurangan piridoksin
Kasus pertama kejang tak terkontrol yang berespon pada piridoksin
dilaporkan oleh Hunt dkk pada tahun 1954. Ketergantungan piridoksin
terjadi akibat gangguan metabolisme piridoksin. Dasar dari kelainan ini
kemungkinan karena kekurangan dalam pengikatan koenzim piridoksal
fosfat pada glutamik dekarboksilase, yaitu enzim yang terlibat dalam
pembentukan gama-aminobutyric acid (GABA). Kekurangan atau
menghilangnya GABA, yaitu suatu zat transmitter inhibisi yang dapat
menimbulkan kejang . Kejang sering terjadi pada jam pertama kehidupan,
bahkan sejak dalam kandungan. Kejang ini bersifat resisten terhadap
8

antikonvulsan. Pada BBL dengan kejang yang diduga karena gangguan


metabolik,

tidak

membaik

dengan

pemberian

glucose,

kalsium,

antikonvulsan dan sebagainya dapat diberikan piridoksin intravena


sebaiknya dengan monitoring EEG. Sebelum pengobatan EEG menjadi
normal. Bila gambaran EEG normal dan serangan kejang berhenti,
diagnosis ketergantungan piridoksin dapat ditegakkan.2

3.

Idiopatik
Kejang pada BBL yang tidak diketahui penyebabnya, secara relatif sering
menunjukkan hasil yang baik. Tetapi pada kejang beulang yang lama, resisten
terhadap pengobatan atau kejang terulang sesudah pengobatan dihentikan
menunjukkan kemungkinan adanya kerusakan di otak. Pada golongan
idiopatik terdapat 2 hal yang perlu mendapat perhatian yaitu, kejang BBL

familial jinak dan kejang hari kelima:2


Kejang BBL familial jinak (Benign familial Neonatal seizures)
Kejang ini diturunkan secara autosomal dominan, pertama diketahui tahun
1964. Penanda genetik menunjukkan adanya mutasi pada kromosom 29q13.3
dan 8q.24. Kejang terjadi antara hari kedua dan hari kelima belas sesudah
lahir, dan kebanyakan (80%) dimulai pada hari kedua dan ketiga setelah lahir.
Jenis kejang biasanya klonik, sering berulang sampai beberapa puluh kali per
hari tetapi berhenti secara spontan setelah beberapa lama, biasanya serangan
kejang berhenti pada usia 6 bulan. Pada keadaan antara kejang bayi tampak
normal. Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat keluarga ada yang pernah
mengalami kejang. Kelainan elektrografis yang spesifik berupa gelombang
datar diikuti gelombang bilateral spike dan slow. Kejang dapat dihentikan

dengan obat-obatan biasa dan prognosis untuk perkembangan anak baik.2


Kejang hari kelima (The Fifth day fits)
Kejang ini adalah kejang berulang antara hari ketiga dan ketujuh
kehidupan, paling sering terjadi pada hari ke 4 dan 5 (80-90%) berlangsung
hingga 2 minggu pada BCB dengan riwayat kelahiran normal dan tidak terdapat
kelainan neurologis pada beberapa hari pertama kehidupan. Serangan kejang
yang terjadi dapat berbentuk klonik fokal atau multifokal dan serangan apneu.
9

Penyebabnya masih merupakan misteri, meskipun kadar zinc pada cairan

serebrospinal yang rendah ditemukan pada beberapa kasus.2


Bangkitan klonus pada BBL tidur (Benign Neonatal Sleep Mioklonus)
Kejang mioklonik hanya terjadi saat BBL tidur, dan EEG nya normal.
Mioklonus terjadi pada semua fase tidur meskipun frekuensinya tergantung fase
tidurnya dan paling sering saat BBL tidur tenang. Kejang menghilang saat usia 6
bulan. Tidak diperlukan terapi, dan orang tua harus diyakinkan jika kejang ini
pada akhirnya akan berhenti sendiri.2

II.3

Awitan Kejang
Kebanyakan dimulai antara 12 hingga 48 jam setelah lahir. Penelitian pada binatang
menunjukkan bahwa kejang muncul 3-13 jam setelah terjadi keadaan hipoksik iskemik
dan sesuai dengan yang kita ketahui tentang pelepasan dan penghancuran glutamate
selama fase reperfusi sekunder. Keadaan yang sama dapat terjadi pada bayi. Kejang onset
lanjut member kesan meningitis, kejang familial benigna atau hipokalsemia. Awitan
kejang pada setiap etiologi dapat berbeda, perbedaan tersebut dapat digunakan untuk
memperkirakan penyebab kejang.

Etiologi

Onset (hari)
0-3

Ensefalopati

>3

Kurang bulan

Cukup bulan

+++

+++

Iskemik hipoksik
Perdarahan

++

J.Infeksi

++

++

Gangguan

++

++

intracranial

perkembangan
otak
Hipoglikemia

Hipokalsemi

10

Sindrom epileptic

Keterangan : +++ sering terjadi; ++jarang terjadi; + sangat jarang terjadi


Tabel 1. Awitan kejang berdasarkan etiologi2

Etiologi Kejang pada Bayi Baru Lahir Berdasarkan Umur:3

Dikutip dari kepustakaan 3

II.4

Patogenesis
Pertumbuhan otak pada masa neonatus merupakan masa perkembangan pesat dari
sinaptogenesis eksitator. Pada manusia sinaps eksitator ini terjadi pada sekitar masa
neonatal matur hingga usia 1 bulan kehidupan. Pada masa awal kelahiran faktor eksitator
lebih mendominasi terhadap faktor inhibitor yang menyebabkan sinaptogenesis dan
plastisitas terjadi pada proses perkembangan otak.3
A. Patofosiologi terjadinya neonatal seizure dapat dijelaskan pada mekanisme berikut ini:
1. Peningkatan rangsangan pada otak neonatus.
2. Reseptor glutamat sangat penting untuk plastisitas otak dan dalam kondisi over expressed
pada masa neonatal dibandingkan saat dewasa."
3. Reseptor glutamat akan menyebabkan influks dari ion Na + dan Ca2+ sehingga neuron
post sinaps berada pada keadaan depolarisasi
B. Penurunan aktivitas inhibitor pada otak imatur.
Ekspresi dan fungsi dari reseptor GABA inhibitor juga diatur sesuai dengan
perkembangan otak. Pada suatu studi dikatakan aktivitas GABA rendah pada awal
kehidupan, Reseptor GABA terdiri dari subunit u l, a2, a3 dan a4. Subunit a4 dan a2 dalam
keadaan over expressed dibandingkan n l . Subunit a4 pada suatu penelitian lebih rendah
sensitivitasnya terhadap golongan benzodiazepin sehingga secara klinis penggunaan
golongan benzodiazepin menjadi tidak tepat. Efek dari ekspresi reseptor GAB A pada otak
matur dan neonatus berbeda. Pada otak matur ekspresi GABA akan menyebabkan influks ion
cr yang menyebabkan hiperpolarisasi sementara pada neonatus. Aktivitas GABA akan
menyebabkan depolarisasi.3

11

C. Konfigurasi saluran ion


Saluran ion pada pre dan post sinaps akan meregulasi eksitabilitas neuron dan seperti
reseptor neurotransmiter konfigurasi ini juga mengikuti perkembangan otak neonatus. Mutasi
ion KCNQ2 dan KCNQ3 berhubungan dengan kejang neonatal benign familial. Mutasi pada
gen ini akan menyebabkan adanya gangguan hiperpolarisasi ion K + yang menyebabkan
letupan aksi potensial berulang. Sehingga pada keadaan fisiologis reseptor eksitator dan
inhibitor, mutasi gen ini akan meyebabkan kejang dini pada neonatus.f Saluran ion lain yang
penting dalam patomekanisme neonatal seizure adalah ekspresi saluran H (HCN).3
Pada perkembangan otak ekspresi saluran H meningkat yang menyebabkan eksitabilitas
neuron meningkat dan mudah terjadi kejang. Suatu penelitian pada tikus membuktikan
bahwa penghambat saluran HCN akan menyebabkan turunnya aktivitas gelombang
epileptiform di hipokampus. Saluran ion lainnya adalah saluran ion Ca2 + (saluran tipe P/Q).
Mutasi pada saluran ini menunjukkan aktivitas epilepsi absans yang meningkat.3
D. Peranan neuropeptida dalam hipereksitabilitas otak imatur.
Sistem neuropeptida secara dinamis berfluktuasi selama masa perinatal. Hormon
kortikotropin merupakan salah satu neuropeptida poten untuk eksitasi. Pada suatu studi
dikatakan bahwa ekspresi dari CRH meningkat terutama pada dua minggu paska lahir.
Peranan klinis dari neuropeptide khususnya sebagai terapi neonatal seizure saat ini sedang
dalam tahap penelitian.
jaringan kortikal dan memiliki kadar tinggi dari AMP ARs dan NMDARs.35 Selain itu, selsel ini juga rentan terhadap stres oksidatif. Pada keadaan ini ekspresi neuron subplate yang
tinggi akan menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap kejang.3
Neuron di dalan sistem syaraf pusat mengalami depolarisasi sebagai hasil dari
perpindahan natrium ke arah dalam. Repolarisasi terjadi melalui keluarnya kalium. Kejang
terjadi apabila timbul depolarisasi yang berlebihan, sehingga terbentuk gelombang listrik
yang berlebihan: 4

Kegagalan dari pompa natrium kalium dikarenakan terganggunya produksi energi.


12

Terjadinya kelebihan relatif dari neurotransmiter eksitatorik melawan inhibitorik


Adanya kekurangan relatif dari neurotransmiter inhibitorik melawan eksitatorik
Perubahan dari membran neuron, menyebabkan inhibisi dari pergerakan natrium.
Perubahan fisiologis pada saat kejang berupa penurunan kadar glukosa otak yang

tajam dibandingkan kadar glukosa darah yang tetap normal atau meningkat disertai
peningkatan laktat. Hal ini merupakan refleksi dari kebutuhan otak yang tidak dapat dipenuhi
secara adekuat. Kebutuhan oksigen dan aliran darah ke otak sangat esensial untuk mencukup
kebutuhan oksigen dan glukosa otak. Laktat terkumpul dan berakumulasi selama terjadi
kejang, sehingga PH arteri menurun dengan cepat. Hal ini menyebabkan tekanan darah
sistemik meningkat dan aliran darah ke otak naik.
Terjadinya kejang yang multifokal atau adanya perilaku yang tidak biasa berhubungan pada
kejang pada neonatus, merupakan efek dari mielinasi struktur kortikal dan subkortikal yang
masih sangat minim.4
Perkembangan otak anak terjadi sangat cepat dari sejak baru lahir sampai 2 tahun
yang disebut sebagai periode emas dan pembentukan sinaps dan kepadatan dendrit pada
sunsum tulang belakang terjadi sangat aktif pada sekitar kehamilan sampai bulan pertama
setelah kelahiran. Pada saat baru lahir, merupakan periode tertinggi dari aktifitas eksitasi
sinaps fisiologis dan sinaptogenesis yang terjadi pada saat ini sepenuhnya bergantung pada
aktifitas. Selain itu, menurut penelitian, pada periode ini keseimbangan antara eksitasi dan
inhibisi pada sinaps cenderung mengarah pada eksitasi untuk memberi jalan pada
pembentukan sinaps yang bergantung pada aktifitasnya5.
Beberapa mekanisme penting sehubungan dengan terjadinya kejang pada neonatus
adalah:5
A.

Peningkatan eksitabillitas pada neonatus


Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada otak tikus yang diketahui homolog
dengan otak manusia, didapatkan bahwa jumlah neurotransmiter seperti
glutamate, -amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid (AMPA) dan
N-methyl-D-aspartate (NMDA) meningkat tajam pada 2 minggu awal kelahiran
untuk membantu pembentukan sinaps yang bergantung pada aktifitasnya5. Selain
itu, pada periode ini merupakan saat sesnsitifitas terhadap magnesium di titik

13

terendah. Magnesium merupakan penghalang reseptor endogen alamiah. Sehingga


berdampak pada meningkatnya eksitabilitas otak bayi.5
B.

Penurunan efektifitas inhibisi neurotansmiter pada otak imatur


Fungsi inhibisi dari reseptor GABA agonis terbentuk dan berkembang secara
perlahan-lahan. Penelitian terhadap tikus menunjukkan, fungsi pengikatan
reseptor GABA, pembentukan enzym dan ekspresi dari reseptor lebih rendah pada
masa-masa awal kehidupan. Sehingga dengan hubungannya terhadap aktifitas sel
syaraf pada neonatus yang lebih mengakomodasi aktifitas eksitabilitas, hal ini
mendukung terjadinya kejang. 5

C.

Konfigurasi kanal ion lebih mengarah ke depolarisasi pada fase awal

kehidupan
Regulasi kanal ion juga mengatur eksitabilitas neuron dan seperti reseptor
neurotransmiter, regulasinya terbentuk dan berkembang perlahan-lahan. Seperti
yang terjadi pada mutasi kanal ion K+ (KCNQ2 dan KCNQ3) yang berhubungan
dengan terjadinya kejang neonatus familial jinak, menyebabkan proses
hiperpolarisasi K+ yang berakibat terjadinya penembakan potensial aksi yang
berulang dengan cepat.5
D.

Peranan Neuropeptida Dalam Terjadinya Hipereksitabilitas Pada Otak

Imatur
Sistem neuropeptida berfluktuasi secara dinamis pada periode perinatal. Contoh
penting ada pada Corticotropin releasing hormone(CRH), yang memicu terjadinya
potensi eksitasi pada neuron. Jika dbandingkan pada fase kehidupan selanjutnya,
CRH dikeluarkan pada tingkat yang lebih tinggi pada 2 minggu awal kehidupan,
seperti yang terlihat pada tikus CRH juga meningkat pada keadaan stress, yang
menjelaskan mengapa pada saat terjadi kejang pada otak yang imatur, maka akan
memicu terjadinya kejadian kejang yang berulang. 5
II.5

Diagnosis
Diagnosis kejang pada neonatus harus dimulai dengan pemeriksaan menyeluruh terhadap
riwayat dan pemeriksaan fisik. Data-data penting seperti riwayat penyalahgunaan
narkotika dan pemakaian obat yang salah pada saat kehamilan, infeksi intrauterus, dan

14

kondisi metabolik harus dicatat dengan baik dan didapat langsung dari ibu sedetail
mungkin.

Adapun yang penting dicari melalui anamnesis adalah3 :


Faktor resiko :

Riwayat kejang dalam keluarga


o Riwayat yang menyatakan adanya kejang pada masa neonatus pada anak
sebelumnya atau bayi meninggal pada masa neonatal tanpa diketahui

penyebabnya.
Riwayat kehamilan /prenatal
o Infeksi infeksi yang terjadi pada waktu hamil
o Preeklampsia, gawat janin
o Pemakaian obat golongan narkotika, metadon
o Imunisasi anti tetanus, rubela
Riwayat persalinan
o Asfiksia, episode hipoksik
o Trauma persalinan
o Ketuban Pecah Dini
o Anestesi lokal/blok
Riwayat pascanatal
o Infeksi neonatus, keadaan bayi tiba-tiba memburuk
o Bayi dengan pewarnaan kuning dan timbulnya dini
o Perawatan tali pusat tidak bersih dan kering, infeksi tali pusat
o Faktor pemicu kejang oleh suara bising atau karena prosedur perawatan
o Waktu atau awitan kejang mungkin terjadi berhubungan dengan etiologi
o Bentuk gerakan abnormal yang terjadi.3

Manifestasi klinik
15

Kejang neonatus bisa timbul dalam beberapa tipe yang mungkin terlihat
bersamaan selama beberapa jam. Kejang diklasifikasikan menurut manifestasi klinis
yang timbul3
Tipe kejang
Subtle

Proporsi dari kejang


o Mata-

maturitas4
o Lebih sering pada

deviasi horizontal
o Oral- Mencucu, mengunyah,

bayi cukup bulan


o Terjadi pada bayi

menghisap, menjulurkan lidah


o Ekstremitas- memukul, gerak

dengan

gangguan

SSP berat

Klonik

Tanda klinis

neonatus
o 10-35% tergantung

seperti

melotot,

berenang,

mengedip,

mengayuh

pedal
o Otonomik- apneu, takikardia,

o 50%
o Lebih sering pada
bayi cukup umur

tekanan darah tidak stabil


o Biasanya dalam keadaan sadar
o Gerak ritmik (1-3/detik)
o Fokus organ lokal atau 1 sisi
wajah atau tubuh. Mungkin
merupakan fokal neuropathy
yang tersembunyi
o Multifokal

Tonik

irregular,

20%4
Lebih sering pada

terpotong-potong
Mungkin meliatkan 1 bagian

bayi preterm

ekstremitas atau seluruh tubuh


Ekstensi
generalisata
dari
bagian tubuh atas dan bawah

Mioklonik

5%

dengan postur opisthotonic


Sentakan
cepat
terisolasi
(membedakan dari mioklonik

neonatus jinak)
Fokal (1 bagian ekstremitas)
atau

16

multifokal

(beberapa

bagian tubuh)
Ditemukan pada putus obat

(terutama gol. opiat


Pemeriksaan penunjang3
1. Pemeriksaan laboratorium
Untuk menentukan prioritas pada pemeriksaan laboratorium, harus digunakan
informasi yang didapatkan dari riwayat dan pemeriksaan jasmani dengan baik untuk
mencari penyebab yang lebih spesifik
Kimia darah
Pemeriksaan kadar glukosa, kalsium, natrium, BUN dan magnesium pada darah
serta analisa gas darah harus dilakukan.

Pemeriksaan darah rutin


Termasuk di dalamnya pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, trombosit , leukosit,
hitung jenis leukosit
Kelainan metabolik
Dengan adanya riwayat keluarga kejang neonatus, bau yang khas pada bayi baru
lahir, intoleransi laktosa, asidosis, alkalosis atau kejang yang tidak responsif
terhadap antikonvulsan, harus dicari penyebab-penyebab metabolik yang
mungkin.
o Kadar amonia dalam darah harus diperiksa
o Asam amino di plasma darah dan urin. Pada urin sebaiknya diperiksa untuk

mencari substansi reduksi


2. Pemeriksaan radiologis
a. USG kepala dilakukan sebagai pemeriksaan lini pertama untuk mencari adanya
perdarahan intraventrikular atau periventrikular. Perdarahan subarakhnoid atau
lesi kortikal sulit dinilai dengan pemeriksaan ini.

b. CT-scan kranium
Merupakan pemeriksaan dengan hasil mendetail mengenai adanya penyakit
intrakranial. CT scan sangat membantu dalam menentukan bukti-bukti adanya
infark, perdaraham, kalsifikasi dan malformasi serebral.Melalui catatan
sebelumnya, pemeriksaan ini memberikan hasil yang penting pada kasus kejang
neonatus, terutama bila kejang terjadi asimetris.
c. MRI

17

Pemeriksaan paling sensitif untuk mengetahui adanya malformasi subtle yang


kadang tidak terdeteksi dengan CT-scan kranium.3
3. Pemeriksaan lain
a. EEG(electroencephalography)
EEG yang dilakukan selama kejang akan memperlhiatkan tanda abnormal. EEG
interiktal mungkin memperlihatkan tanda normal. Pemeriksaan EEG akan jauh
lebih bernilai pabila dilakukan pada 1-2 hari awal terjadinya kejang, untuk
mencegah kehilangan tanda-tanda diagnostik yang penting untuk menentukan
prognosis di masa depan bayi. EEG sangat signifikan dalam menentukan
prognosis pada bayi cukup bulan dengan gejala kejang yang jelas. EEG sangat
penting untuk memeastikan adanya kejang di saat manifestasi klinis yang timbul
subtle atau apabila obat-obatan penenang neuromuscular telah diberikan. Untuk
menginterpretasikan hasil EEG dengan benar, sangatlah penting untuk
mengetahui status klinis bayi (termasuk keadaan tidur) dan obat-obatan yang
diberikan.3

II.6

Tatalaksana
Tatalaksana kejang pada neonatus bertujuan untuk meminimalisir gangguan fisiologis
dan metabolik serta mencegah berulangnya kejang. Ini melibatkan bantuan ventilasi dan
perfusi, jika dibutuhkan, dan koreksi keadaan hipoglikemia, hipocalcemia atau gangguan
metabolik lainnya.

18

Manajemen kejang pada neonatus4

Pengawasan jalan napas bersih dan terbuka, pemberian oksigen


Periksa dan catat aktivitas kejang yang terjadi
Lakukan penilaian secepatnya apakah penyebab kejang dapatg ditangani dengan
cepat, jika tidak bisa tangani kejang dengan fenobarbital 20 mg/kg IV sambil terus

19

memonitor sistem kardiovaskular dan respirasi dan lakukan teapi suportif yang

dibutuhkan.
Hentikan semua asupan secara oral
Usahakan tangani penyebab utama kejang sesuai tata cara yang diindikasikan
Jika kejang masih berlanjut, berikan dosis tambahan fenobarbital 5 mg/kg IV

(sampai tercapai dosis maksimal 40 mg/kgbb)


Jika kejang masih berlanjut, berikan fenitoin 15-20mg/kgbb4
Kejang dapat tertangani, lanjutkan pengawasan. Pertimbangkan untuk
menghentikan obat antikonvulsan jika : kejang terkontrol dan pemeriksaan
neurologis normal atau pemeriksaan neurologis abnormal namun EEG normal. 4

Penggunaan obat-obatan anti konvulsi


Prinsip penatalaksaan pertama yaitu menangani penyebab yang mendasari sangatlah
penting untuk mencegah kerusakan otak yang lebih berat.Namun, apabila penyebab
yang mendasar kejang sulit untuk ditangani dengan segera, perlu diingat untuk
secepatnya menangani kejang agar tidak terjadi kerusakan neurologis yang berat.
Pada akhirnya, kejang yang terjadi mungkin saja menjadi sulit ditangani dengan obatobatan anti konvulsi apabila penyebab utama yang mendasar tidak ditangani dengan
baik. (Lihat tabel penyebab utama kejang pada neonatus). Beberapa aspek yang harus
dipertimbangkan dalam menggunakan obat anti konvulsi sebagai berikut : 4
-

Bukti penggunaan
Sedikit bukti yang mendukung penggunaan obat anti konvulsi yang diberikan
pada neonatus saat ini dan sedikit konsensus yang memberikan protokol
penatalaksanaan optimal. Deteksi kejang secara dini dan akurat sangat penting
dalam memberikan jalur pemberian obat anti konvulsi.

Administrasi
Pemberian obat anti konvulsi dengan prinsip :
o Intravena untuk efek yang cepat dan kadar obat dalam darah yang dapat

diprediksi
o Untuk mencapai level terapeutik dalam serum yang tinggi
o Untuk mencapai dosis maksimum sebelum memberikan dosis yang kedua
Rumatan dan durasi penggunaan obat antikonvulsi
o Terapi dengan dosis rumatan mungkin tidak dibutuhkan apabila dosis awal
cukup untuk menangani kejang secara klinis
20

o Bayi dengan konvulsi lama atau dengan kesulitan dalam menangani


kejang dan bayi dengan kelainan pada EEG akan mendapat manfaat dari
pemberian obat anti konvulsi yang berkelanjutan dengan syarat :
- Level serum harus dimonitor
- Rencana manajemen penatalaksanaan kejang darurat harus dibuat.
Termasuk, jika dibutuhkan, rencana penggunaan Midazolam
-

buccal/intranasal.
Penghentian penggunaan obat-obatan anti konvulsi
Ada sedikit resiko terjadinya kejang berulang setelah pemutusan obat
anti konvulsi secara dini pada neonatus. Pertimbangkan penghentian
penggunaan obat anti konvulsi apabila :

Setelah kejang sudah berhenti dan pemeriksaan neurologis normal

Setelah pemeriksaan neurologis selanjutnya tetap tidak normal,

pertimbangkan berhenti jika EEG tampak normal.


Jadwal pemberian onat anti konvulsi4

Phenobarbital4

21

Phenobarbital
Dosis dan
Loading dose :
- 20 mg/kg IV selama 10-15 menit
administrasi
- Dosis tambahan(pilihan) 5 mg/kg/kali
sampai kejang mereda atau dosis total
(40 mg/kg) telah tercapai
Rumatan :
-

IV (perlahan-lahan contoh : 1

mg/kg/menit), IM, Oral


2.5-5 mg/kg sekali sehari dimulai 1224 jam setelah dosis awal

Keterangan
Fenitoin
Dosis dan
administrasi

Pengobatan lini pertama


Efektivitas kurang dari 50%4
awal :
Dosis
Mengurangi
kejang secara klinis namun
- 15-20 mg/kg IV kecepatan infus

Keterangan

efek kurang pada kejang EEG


maksimum
0.5kedua
mg/kg/menit(jika
Penambahan
obat
(contoh : fenitoin)
melalui IV)
seringkali dibutuhkan
- IV atau oral
Mungkin menyebabkan apneu/depresi
- Setelah dosis awal : 4-8 mg/kg perhari
- Setelah umur
1 minggu
sampai
respiratorik
pada dosis
tinggi: dosis
(40 mg/kg)

mg/kg/kali konsentrasi
2 sampai 3serum
kali sehari
dan 8peningkatan
(diatas
Tidak cocok dengan pemberian intra
60 mikrogram/mL
muskular
Jangkauan
Pastikanterapeutik
keutuhan:dari pembuluh darah

- Ukur
level resiko
serum radang
setelah jaringan
48 jam dari
karena
adanya
dan

pemberian
dosis awal
nekrosis
apabilaintravena
terjadi ekstravasasi
- 15-40dengan
microgram/mL
(65-170
Berikan
menggunakan
filter dan

micromol/L)
diikuti
bolus Nacl 0.9%
Berikan perlahan-lahan secara intravena

untuk mencegah terjadinya aritmia jantung


Monitor heart rate dan ritme dan tekanan
darah untuk mengetahui apabila ada
hipotensi

Jangkauan level terapeutik


-

Ukur konsentrasi dalam darah setelah

pemberian dosis awal intravena


6-15 mikrogram/mL pada 22
mingguminggu awal kehidupan dilanjutkan
10-20 mikrogram/mL

Fenitoin4

Midazolam
Dosis dan
administrasi

0.15 mg/kg IV minimal selama 5 menit

Infus :

60-400 mikrogram/kg/jam
Rekonstitusi dan dilusi
Dilusi 1 mg/kg midazolam
sampai dosis total 50 mL dengan
Nacl 0.9%, glukosa 5% atau
10%
1 ml/jam = 20
mikrogram/kg.jam

Keterangan

Efektif pada bayi yang tetap kejang setelah

diberikan fenobarbital dan/atau fenitoin


Dapat menyebabkan depresi respiratorik
23

dan hipotensi jika disuntikkan dengan cepat


atau diberikan bersamaan dengan obat
golongan narkotika

Midazolam4

Kontroversi Phenobarbital vs Phenitoin


Selama ini ada beberapa perdebatan mengenai mana yang lebih baik digunakan
terlebih dahulu untuk menangani kejang pada neonatus. Ada beberapa pertimbangan
mengenai kelebihan dan kekurangan dari masing-masing obat. Terapi yang dulu
dipergunakan adalah fenitoin sebagai terapi awal. Namun seiring berkembangnya
waktu, banyak paradigma baru yang mempergunakan phenobarbital sebagai terapi
awal yang lebih baik.4
Phenobarbital
Penggunaan fenobarbital telah lama dianggap sebagai yang utama untuk menangani
kejang pada neonatus. Pemberian secara intravena dapa dilakukan secepatnya setelah
jalur infus telah terpasang. Konsentarsi serum dapat ditentukan dengan sangat cepat
dan dosis yang lebih jauh lagi dapat diberikan apabila diperlukan. Absorbsi secara
enteral termasuk baik, jadi memudahkan pemindahan antara administrasi intravena ke
pemberian secara oral. Fenobarbital dimetabolismekan di hepar, sehingga dosis
rumatan biasanya harus dinaikkan 5-8 mg/kg6 karena pada beberapa kasus asfiksia,
bayi harus memulihkan diri dari disfungsi hepar akut. Hipotermia juga menurunkan
metabolisme phenobarbital.4
Fenitoin
Fenitoin memiliki efektivitas yang sama dengan phenobarbital sebagai terapi awal
kejang neonatus. Namun dikarenakan sulitnya mempertahankan dosis terapi fenitoin6,
phenobarbital lebih sering digunakan sebagai terapi awal, terutama pada kasus akut.
Kekurangan lain pada fenitoin adalah tingginya potensi interaksi dengan obat-obatan
yang berikatan dengan protein. Namun, dosis awal dari fenitoin lebih rendah
resikonya untuk menyebabkan efek sedasi dibandingkan fenobarbital. Fenitoin
bercampur kurang baik pada PH netral dan juga menyebabkan presipitat jika
digunakan bersama dextrose, jadi harus diberikan dengan jalur intravena bebas
dextrose. Vehikulus yang digunakan fenitoin sangat iritatif terhadap jaringan lunak,
sehingga sering menyebabkan cedera jaringan lunak jika terjadi jalur ekstravasasi.
Fenitoin menggunakan jalur anti kejang yang berbeda dengan phenobarbital, fenitoin
menghalangi kanal natrium sehingga mencegah tembakan neuron berulang.
Sedangkan phenobarbital meningkatkan kemampuan inhibisi.
24

Karen perbedaan inilah, ditarik kesimpulan fenitoin dan phenobarbital digunakan


secara berdampingan dalam menangani kejang pada neonatus.4
Obat-obatan lain
Ada beberapa laporan penggunaan obat-obatan lain dalam menangani kejang pada
neonatus. 1 yang paling diterima secara antusias adalah levetiracetam. Levetiracetam
telah digunakan walaupun masih sedikit catatan mengenai percobaan obat ini
terhadap neonatus. Obat ini tidak memiliki interaksi dengan obat lain. Obat ini
tersedia sebagai solusi oral, sehingga memudahkan konversi ke terapi oral. Obat ini
dimetabolisme di ginjal, bukan di hati. Mekanisme yang diketahui saat ini tidk secara
langsung melalui inhibisi atau eksitasi neutransmisi 7. Dilaporkan beberapa asus yang
mengindikasikan efektifitas dan efek samping serius. Dosis yang biasa digunakan
adalah diantara 10-50 mg/kg7 dan dosis rumatan harian dengan jumlah yang sama.4
Kriteria memulangkan bayi
Sebagian besar dokter anak akan memulangkan bayi dengan memberikan fenobarbital
dosis rumatan jika ada pemeriksaan neurologis yang abnormal.Beberapa melakukan
pemeriksaan EEG lagi dalam 1 bulan, atau sesaat sebelum keluar dari perawatan, dan
menghentikan terapi antikonvulsan jika EEGnya normal. Jika keluar dari perawatan
dengan tetap menggunakan obat antikonvulsan, pertimbangkan penghentiannya jika
mereka telah bebas kejang selama 9 bulan.4
II.7

Prognosis
Kejang pada neonatus dapat mengakibatkan kematian, atau jika hidup dapat menderita
gejala sisa atau sekuele3

Etiologi
HIE sedang dan berat
Bayi kurang bulan
Meningitis
Malformasi otak
Hipokalsemia
Hipoglikemia

Meninggal (%)
50
58
20
60

Cacat (%)
25
23
40
40
50

Normal (%)
25
18
40
100
50

Prognosis jangka panjang sesudah kejadian kejang pada bayi berat lahir rendah seperti
pada bayi berat lahir normal berhubungan langsung dengan penyebabnya.
Kejang awitan dini biasanya dihubungkan dengan angka kesakitan dan kematian
yang tinggi. Kejang berulang, semakin lama kejang berlangsung semakin tinggi risiko

25

kerusakan pada otak dan berdampak pada terjadinya kelainan neurologik lanjut (misalnya
cerebral palsy dan retardasi mental).3

BAB III
KESIMPULAN
Kejang pada neonatus merupakan kelainan yang dapat berdampak buruk pada masa
depan bayi bahkan dapat menyebabkan kematian bayi. Angka kejadian pasti dari kejang pada
neonatus belum diketahui secara pasti karena sulitnya mempelajari bayi yang baru lahir
Manifestasi klinis dari kejang pada neonatus dapat bermacam-macam dapat berupa
kejang tonik, klonik, subtle dan mioklonik.Selain iru bisa juga tidak terlihat manifestasi secara
klinis, namun bila diperiksa dengan menggunakan EEG, akan terlihat tanda abnormal pada hasil
pemeriksaan .
Penegakkan Diagnosis kejang pada neonatus didapat dari pemeriksaan secara
menyeluruh dan detail melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
`

Tatalaksana yang digunakan merupakan manajemen terpadu yang dilakukan untuk

meminimalisir kerusakan otak bayi melibatkan penggunaan obat-obat anti konvulsi.


Ada beberapa obat-obatan antikonvulsi yang digunakan saat ini. Yang paling sering
adalah phenobarbital dan fenitoin.
Sampai saat ini belum ada panduan yang menyeluruh mengenai diagnostik dan
tatalaksana neonatal seizure sehingga penggunaan obat anti kejang menjadi sangat luas dan
terkadang menjadi kurang tepat harus dapat menentukan etiologi kejang, sehingga tatalaksana
menjadi tepat. Hipoksik iskemik ensefalopati merupakan etiologi kejang tersering pada Neonatus
yakni sekitar 1-3 per 1000 kelahiran hidup pada bayi matur. Pada saat ini terjadinya neonatal
seizure tidak hanya didasarkan pada mekanisme HIE tersebut melainkan semakin berkembang
serta disesuaikan dengan perkembangan otak neonatus.3
26

27

Anda mungkin juga menyukai