Anda di halaman 1dari 29

Tinjauan Kasus Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Diabetik I Gst Ag Ngurah Ag Sentosa, Made Agus Maharjana, dr.

Jodi S Loekman, SpPD-KGH Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RS Sanglah Denpasar Januari 2009 I. Pendahuluan Diabetes melitus (DM) sebagai salah satu penyakit degeneratif, yang dulu dianggap tidak berbahaya, kini justru merupakan salah satu penyakit yang menyita banyak perhatian karena peningkatan jumlah penderita dan komplikasi yang dapat ditimbulkannya. Diabetes melitus ini sesungguhnya merupakan penyakit yang menyangkut berbagai gangguan heterogen dengan penyebab yang kompleks, serta perkembangannya tidak lepas dari pengaruh genetik dan lingkungan. Pada diabetes melitus terjadi kondisi hiperglikemi yang merupakan konsekuensi relatif ataupun absolut terhadap defisiensi insulin dan relatif maupun absolut terhadap kelebihan glukagon. Menurut laporan terakhir dari International Diabetes Federation, WHO, jumlah pasien DM di dunia meningkat secara alamiah yang akan diikuti peningkatan biaya pengelolaanya menjadi tiga kali lipat.1-3 Penyakit DM merupakan penyakit kronik yang rumit dan banyak komplikasinya sehingga harus benar-benar diperhatikan. Oleh karena itu, pola penyakit DM harus ditelusuri supaya setiap komplikasi dan kelainan yang mungkin timbul dapat diatasi lebih dini. Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi komplikasi akut dan kronis. Komplikasi kronik merupakan komplikasi yang sukar ditangani karena berjalan pelan tetapi pasti dan karenanya akan memakan biaya yang sangat tinggi, yaitu makroangiopati (pembuluh darah jantung, pembuluh darah tepi, dan pembuluh darah otak), mikroangiopati (pembuluh darah kapiler retina mata dan pembuluh darah kapiler ginjal), dan neuropati.4-6 Diabetes melitus telah menjadi salah satu penyakit yang paling banyak menyebabkan penyakit ginjal kronik. Kelainan ginjal akibat dari penyakit diabetes melitus ini kemudian lebih dikenal dengan nama Diabetic Kidney Disease (DKD) yang sesungguhnya merupakan komplikasi mikrovaskular kronis pembuluh darah kapiler ginjal pada penderita diabetes mellitus. Komplikasi ini dikaitkan dengan adanya proteinuria, hipertensi dan gangguan fungsi ginjal yang progresif dengan ekskresi protein pada urin yang berlanjut dengan penurunan

fungsi ginjal. Proteinuria

pada umumnya ditemukan dalam perjalanan penyakit ginjal

progresif, peran proteinuria khususnya mikroalbuminuria sebagai petanda awal nefropati diabetik. disebut sebagai faktor kunci awal yang meramalkan progresivitas dari glomerulopati diabetik dan dipandang sebagai ukuran keparahan dan pemicu terjadinya nefropati yang progresif. Pada sebagian penderita komplikasi ini akan berlanjut menjadi gagal ginjal terminal yang memerlukan pengobatan cuci darah atau cangkok ginjal. DKD menduduki urutan ketiga (16,1%) setelah glomerulonefritis kronik (30,1%) dan pielonefritis kronik (18,51%), sebagai penyebab paling sering gagal ginjal terminal yang memerlukan cuci darah. Perkembangan penyakit DM menjadi penyakit ginjal stadium akhir diduga dipengaruhi oleh berbagai faktor yang terlibat, antara lain : faktor genetik, diet, dan kondisi medis yang lain seperti hipertensi serta kadar gula darah yang tinggi dan tidak terkontrol.7,8,9 Manajemen nefropati diabetik sangat tergantung pada presentasi klinik yang ada, yaitu stadium insipien, overt, atau stadium terminal. Semakin berat presentasi klinik yang ada maka penatalaksanaannya pun lebih melibatkan banyak hal dan tenaga ahli.9-11 II. Tinjauan Pustaka II.1 Definisi1,3,8,9,10,11,13 Penyakit ginjal diabetik (PGD) atau nefropati diabetik (ND) merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi pada penderita diabetes. Pada penyakit ini terjadi kerusakan pada filter ginjal atau yang dikenal dengan glomerulus. Oleh karena terjadi kerusakan glomerulus maka sejumlah protein darah diekskresikan ke dalam urin secara abnormal. Protein utama yang diekskresikan adalah albumin. Pada keadaan normal albumin juga diekskresikan dalam jumlah sedikit dalam urine. Peningkatan kadar albumin dalam urine merupakan tanda awal adanya kerusakan ginjal oleh karena diabetes. PGD dapat dibedakan menjadi dua kategori utama berdasarkan jumlah albumin yang hilang pada ginjal, yaitu: 1. Mikroalbuminuria Terjadi kehilangan albumin dalam urine sebesar 30-300 mg/hari. Mikroalbuminuria juga dikenal sebagai tahapan nefropati insipien. 2. Proteinuri Terjadi bila terjadi kehilangan albumin dalam urine lebih dari 300mg/hari. Keadaan ini dikenal sebagai makroalbuminuria atau nefropati overt. Progresi umum dari mikroalbuminuria menjadi nefropati overt menyebabkan banyak yang menganggap mikroalbuminuria sebagai tanda nefropati tahap awal. Kelainan ginjal sering terjadi sekunder pada pasien diabetes yang lama terutama pasien diabetes tipe I. Secara klinis

nefropati diabetik ditandai dengan adanya peningkatan proteinuria yang progresif, penurunan GFR, hipertensi, dan risiko tinggi untuk menderita penyakit kardiovaskular. Perjalanan alamiah nefropati diabetik merupakan sebuah proses dengan progresivitas bertahap setiap tahun. Diabetes fase awal ditandai dengan hiperfiltrasi glomerulus dan peningkatan GFR. Hal ini berhubungan dengan peningkatan perkembangan sel dan ekspansi ginjal, yang mungkin dimediasi oleh hiperglikemia. Mikroalbuminuria biasanya terjadi setelah 5 tahun menderita penyakit Diabetes tipe 1 sedangkan nefropati yang ditandai dengan ekskresi protein urin lebih dari 300 mg/hari, biasanya terjadi dalam waktu 10-15 tahun. Penyakit ginjal stadium terminal terjadi pada sekitar 50% penderita DM tipe I, yang akan mengalami nefropati dalam 10 tahun. DM tipe II memiliki patogenesis yang lebih bervariasi. Pasien sering didiagnosis sudah dengan mikroalbuminuria yang disebabkan karena keterlambatan diagnosis dan faktor lain yang mempengaruhi ekskresi protein. Sebagian kecil pasien dengan mikroalbuminuria akan berkembang menjadi penyakit ginjal tahap lanjut. Tanpa intervensi, sebanyak 30% pasien akan berkembang menjadi nefropati dengan proteinuria yang nyata, dan setelah 20 tahun mengalami nefropati, sekitar 20% akan berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir. Diabetes yang lama menyebabkan perubahan pada pembuluh darah kecil yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal dimana kerusakan ginjal tersebut dapat menyebabkan kegagalan ginjal yang berat. Kerusakan ginjal dapat dimulai sejak tahun pertama setelah terdiagnosis menderita DM tipe I dan dapat ditemukan pada saat terdiagnosis DM tipe II. Namun diperlukan waktu sekitar 5-10 tahun untuk menjadi masalah kerusakan ginjal yang bermakna. II.2 Epidemiologi Berdasarkan data yang diperoleh dari UK Renal Registry pada tahun 1998, penyakit ginjal diabetik merupakan penyebab utama gagal ginjal terminal di antara pasien yang menjalani terapi pengganti ginjal (16%). Dari angka tersebut sebanyak 9,5% disebabkan oleh penyakit ginjal diabetik (6,8%) dilaporkan disebabkan oleh DM tipe I dan 2,7% disebabkan oleh DM tipe II. Prevalensi mikroalbuminuria pada pasien yang menderita DM tipe I selama 30 tahun adalah sekitar 30 %. Sedangkan prevalensi mikroalbuminuria pada pasien yang menderita DM tipe II selama 10 tahun adalah sekitar 20-25%.1,2,7,8,9,11,13

Diagram 2.1. Penyebab Gagal Ginjal8

Sumber lain menyebutkan dari hasil estimasi 12 sampai 14 juta pasien DM di USA diperoleh bahwa 30% sampai 40% pasien DM tipe I akan mengalami komplikasi menjadi gagal ginjal terminal sedangkan pada pasien DM tipe II hanya sekitar 5-10% yang berkembang menjadi gagal ginjal terminal.8,12 Walaupun banyak sumber yang menyebutkan bahwa pasien DM tipe II lebih jarang yang menjadi gagal ginjal terminal dibandingkan DM tipe I, pada kenyataannya pada suatu studi Cohort pasien DM tipe I dan DM tipe II yang diikuti dalam suatu periode panjang, insiden penyakit ginjal pada dua kelompok tersebut adalah sama. Dari data demografi pada penduduk USA yang menderita DM tipe II, ditemukan insiden gagal ginjal terminal lebih tinggi pada wanita teutama pada kelompok umur 50 sampai 70 tahun.8,11,12 Nefropati Diabetik atau penyakit ginjal diabetik mengenai sekitar 20-30 % pasien diabetes. Penyakit ini merupakan salah satu penyebab umum gagal ginjal terminal yang pada stadium awal ditandai dengan adanya albumin dalam urin dalam jumlah kecil (mikroalbuminuria).3,5 II.3 Patofisiologi3,5,7,8,9,10,12 Tidak semua penderita DM akan mengalami ND. Patogenesis terjadinya kelainan ginjal pada diabetes tidak dapat diterangkan dengan pasti. Pengaruh genetik, metabolik dan hemodinamik berpengaruh terhadap terjadinya proteinuria. Gangguan awal pada jaringan ginjal sebagai dasar terjadinya nefropati adalah terjadinya proses hiperfiltrasi-hiperperfusi membran basal glomeruli. Gambaran histologi lingkungan, faktor

jaringan pada ND memperlihatkan adanya penebalan membran basal glomerulus, ekspansi mesangial glomerulus yang akhirnya menyebabkan glomerulosklerosis, hyalinosis arteri eferen dan eferen serta fibrosis tubulo interstitial. Tampaknya berbagai faktor berperan dalam terjadinya kelainan tersebut. Peningkatan glukosa yang menahun (glukotoksisitas) pada penderita yang mempunyai predisposisi genetik merupakan faktor-faktor utama ditambah faktor lainnya dapat menimbulkan nefropati. Glukotoksisitas terhadap basal membran dapat melalui 2 jalur a. Alur metabolik (metabolic pathway): Faktor metabolik diawali dengan hiperglikemia, glukosa dapat bereaksi secara proses non enzimatik dengan asam amino bebas menghasilkan AGEs (advance glycosilation end-products). Peningkatan AGEs akan menimbulkan kerusakan pada glomerulus ginjal. Terjadi juga akselerasi jalur poliol, dan aktivasi protein kinase C. Pada alur poliol ( polyol pathway) terjadi peningkatan sorbitol dalam jaringan akibat meningkatnya reduksi glukosa oleh aktivitas enzim aldose reduktase. Peningkatan sorbitol akan mengakibatkan berkurangnya kadar inositol yang menyebabkan gangguan osmolaritas membran basal.
Gambar 2.1 Mekanisme polyol pathway5

Penjelasan: Aldose reduktase adalah enzim utama pada jalur polyol, yang merupakan sitosolik monomerik oxidoreduktase yang mengkatalisa NADPH-dependent reduction dari senyawa karbon, termasuk glukosa. Aldose reduktase mereduksi aldehid yang dihasilkan oleh ROS (Reactive Oxygen Species) menjadi inaktif alkohol serta mengubah glukosa menjadi sorbitol dengan menggunakan NADPH sebagai kofaktor. Pada sel,

aktivitas aldose reduktase cukup untuk mengurangi glutathione (GSH) yang merupakan tambahan stres oksidatif. Sorbitol dehydrogenase berfungsi untuk mengoksidasi sorbitol menjadi fruktosa menggunakan NAD sebagai kofaktor.
Gambar 2.2 Mekanisme AGE-pathway5

Penjelasan: mekanisme melalui produksi intracelular prekursor AGE (Advanced Glycation End-Product) menyebabkan kerusakan pembuluh darah. Perubahan ikatan kovalen protein intraseluler oleh prekursor dicarbonyl AGE akan menyebabkan perubahan pada fungsi selular. Sedangkan adanya perubahan pada matriks protein ekstraseluler mengakibatkan interaksi abnormal dengan matriks protein yang lain dan dengan integrin. Perubahan plasma protein oleh prekursor AGE membentuk rantai yang akan berikatan dengan reseptor AGE, kemudian menginduksi perubahan pada ekspresi gen pada sel endotel, sel mesangial, dan makrofag.

Gambar 2.3 Mekanisme protein kinase-C5

Penjelasan: keadaan hiperglikemia menyebabkan peningkatan DAG (Diacylglycerol), yang selanjutnya mengaktivasi protein kinase-C, utamanya pada isoform dan . Aktivasi PKC menyebabkan beberapa akibat pathogenik melalui pengaruhnya terhadap endothelial nitric oxide synthetase (eNOS), endotelin-1 (ET-1), vascular endothelial growth factor (VEGF), transforming growth factor- (TGF- ) dan plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1), dan aktivasi NF-kB dan NAD(P)H oxidase.
Gambar 2.4 Mekanisme hexosamine pathway5

Penjelasan: glycolytic intermediate fructose-6-phosphate (Fruc-6-P) dirubah menjadi glucosamine-6-phosphate oleh enzim glutamin: fructose-6-phosphate amidotransferase (GFAT). Glikosilasi intraseluler oleh N-acethylglucosamine (GIcNAC) menjadi serin dan theorenin yang dikalisasi oleh enzim O-GicNAc transferase (OGT). Peningkatan donasi GicNAC pada residu serin dan threonine dari faktor transkripsi seperti Sp1, yang

biasanya terjadi pada tempat fosforilasi akan menyebabkan peningkatan produksi fakor seperti PAI-1 dan TGF-1, AZA,azaserine; AS-GFAT, antisense GFAT. b. Alur Hemodinamik : Gangguan hemodinamik sistemik dan renal pada penderita DM terjadi akibat glukotoksisitas yang menimbulkan kelainan pada sel endotel pembuluh darah. Faktor hemodinamik diawali degan peningkatan hormon vasoaktif seperti angiotensin II. angiotensin II juga berperan dalam perjalanan ND. Angiotensin II berperan baik secara hemodinamik maupun non-hemodinamik. Peranan tersebut antara lain merangsang vasokontriksi sistemik, meningkatkan tahanan kapiler arteriol glomerulus, pengurangan luas permukaan filtrasi, stimulasi protein matriks ekstra selular, serta stimulasi chemokines yang bersifat fibrogenik. Hipotesis ini didukung dengan meningkatnya kadar prorenin, aktivitas faktor von Willebrand dan trombomodulin sebagai penanda terjadinya gangguan endotel kapiler. Hal ini juga yang dapat menjelaskan mengapa pada penderita dengan mikroalbuminuria persisten, terutama pada DM tipe 2, lebih banyak terjadi kematian akibat kardiovaskular dari pada akibat GGT. Peran hipertensi dalam patogenesis diabetik kidney disease masih kontroversial, terutama pada penderita DM tipe 2 dimana pada penderita ini hipertensi dapat dijumpai pada awal malahan sebelum diagnosis diabetes ditegakkan. Hipotesis mengatakan bahwa hipertensi tidak berhubungan langsung dengan terjadinya nefropati tetapi mempercepat progesivitas ke arah GGT pada penderita yang sudah mengalami diabetik kidney disease.
Tabel 2.5. Peranan Angiotensin II dalam Nefropati Diabetik.10

Peran Angiotensin II dalam Nefropati Diabetik 1. Vasokonstriksi sistemik 2. Peningkatan tahanan arteriol glomerulus 3. Peningkatan tekanan kapiler glomerulus 4. Peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus 5. Penurunan luas permukaan filtrasi 6. Stimulasi protein matriks ekstraseluler 7. Stimulasi faktor fibrogenik

Bagan 2.4. Patofisiologi Nefropati Diabetika

Metabolik

Genetik

hemodinamik

Glukosa

Protein Kinase C

Hormon-hormon vasoaktif (misal angiotensin II, Endotelin)

Aliran / tekanan

Advanced glycation

Sitokin (TGF VEGF)

ECM cross linking

ECM

Permeabilitas pembuluh darah

Penimbunan ECM

Proteinuria

Dari kedua faktor diatas maka akan terjadi peningkatan TGF beta yang akan menyebabkan proteinuria melalui peningkatan permeabilitas vaskuler. TGF beta juga akan meningkatkan akumulasi ektraceluler matrik yang berperan dalam terjadinya ND. II.4 Diagnosis dan Perjalanan Klinis3,5,9,10,14-17 Diagnosis PGD dimulai dari dikenalinya albuminuria pada pasien DM baik tipe I maupun tipe II. Bila jumlah protein atau albumin di dalam urin masih sangat rendah, sehingga sulit untuk dideteksi dengan metode pemeriksaan urin yang biasa, akan tetapi sudah >30 mg/24 jam ataupun >20g/menit disebut juga sebagai mikroalbuminuria. Hal ini sudah dianggap sebagai nefropati insipien. Derajat albuminuria atau proteinuria ini dapat juga ditentukan dengan rationya terhadap kreatinin dalam urin yang diambil sewaktu, disebut sebagai albumin atau kreatinin ratio (ACR). Tingginya ekskresi albumin atau protein dalam urine aelanjutnya akan menjadi petunjuk tingkatan kerusakan ginjal seperti terlihat dalam tabel di bawah ini:

Kategori Normal Mikroalbuminuria Albuminuria Klinis 1. Tahap I.

Kumpulan Urin 24 jam(mg/24 jam) < 30 30 299 300

Kumpulan Urin sewaktu (g/menit) < 20 20 199 200

Urin Sewaktu (g/mg creatinin) < 30 30 299 300

Pada tahap ini LFG meningkat sampai dengan 40% di atas normal yang disertai pembesaran ukuran ginjal. Albuminuria belum nyata dan tekanan darah biasanya normal. Tahap ini masih reversible dan berlangsung 0 5 tahun sejak awal diagnosis DM tipe I ditegakkan. Dengan pengendalian glukosa darah yang ketat, biasanya kelainan fungsi maupun struktur ginjal akan normal kembali. 2. Tahap II Terjadi setelah 5 -10 tahun diagnosis DM tegak, saat perubaan struktur ginjal berlanjut, dan LFG masih tetap meningkat. Albuminuria hanya akan meningkat setelah latihan jasmani, keadaan stress atau kendali metabolik yang memburuk. Keadaan ini dapat berlangsung lama. Hanya sedikit yang akan berlanjut ke tahap berikutnya. Progresivitas biasanya terkait dengan memburuknya kendali metabolik. Tahap ini selalu disebut sebagai tahap sepi (silent stage). 3. Tahap III Ini adalah tahap awal nefropati (insipient diabetic nephropathy), saat mikroalbuminuria telah nyata. Tahap ini biasanya terjadi 10-15 tahun diagnosis DM tegak. Secara histopatologis, juga telah jelas penebalan membran basalis glomerulus. LFG masih tetap tinggi dan tekanan darah masih tetap ada dan mulai meningkat. Keadaan ini dapat bertahan bertahun-tahun dan progresivitas masih mungkin dicegah dengan kendali glukosa dan tekanan darah yang kuat. 4. Tahap IV Ini merupakan tahapan saat dimana nefropati diabetik bermanifestasi secara klinis dengan proteinuria yang nyata dengan pemeriksaan biasa, tekanan darah sering meningkat secara LFG yang sudah menurun di bawah normal. Ini terjadi setelah 15 20 tahun DM tegak. Penyulit diabetes lainnya sudah pula dapat dijumpai seperti retinopati, neuropati, gangguan profil lemak dan gangguan vascular umum.

Progresivitas ke arah gagal ginjal hanya dapat diperlambat dengan pengendalian glukosa darah, lemak darah dan tekanan darah. 5. Tahap V Ini adalah tahap gagal ginjal, saat LFG sudah sedemikian rendah sehingga pasien menunjukkan tanda-tanda sindrom uremik, dan memerlukan tindakan khusus yaitu terapi pengganti, dialisis maupun cangkok ginjal. Pada DM tipe II, pada saat diagnosis ditegakkan, sudah banyak pasien yang mengalami mikro dan makroalbuminuria, karena sebenarnya DM telah berlangsung bertahun-tahun sebelumnya. Lagipula keberadaan albuminuria kurang spesifik untuk adanya nefropati diabetik. Tanpa penanganan khusus 20-40 % dari tahap ini akan berlanjut kepada nefropati nyata. Setelah terjadinya penurunan LFG maka laju penurunan akan bervariasi secara individual, akan tetapi 20 tahun setelah keadaan ini, hanya sekitar 20 % pada mereka yang berlanjut menjadi penyakit ginjal tahap akhir (PGTA). Pada tahap ini tidak ada lagi perbedaan antara DM tipe I dan tipe II. Begitupun karena usia pasien dengan DM tipe II lebih tua, maka banyak pula pasien yang diiringi penyakit jantung koroner, yang sering membuat pasien tak sampai mencapai PGTA. Akan tetapi karena penanggulangan PJK dewasa ini telah lebih baik, maka banyak pula pasien DM yang hidupnya cukup lama yaitu sampai mengalami gagal ginjal. II.5 Terapi dan Pencegahan Tanda-tanda klinik bagi setiap tahap terutama adalah hiperglikemia, hipertensi, dan selalu pula dijumpai hiperlipidemia. Keseluruhan tanda klinik ini sekaligus juga merupakan faktor resiko untuk progresivitas kepada tahap berikutnya sampai ke tahap akhir. Faktor resiko lainnya adalah konsumsi rokok. Dengan demikian, maka terapi di tiap-tiap tahapan pada umumnya sama dan adalah juga merupakan tindakan pencegahan untuk memperlambat progresivitas dimaksud. Terapi dasar adalah kendali kadar gula darah, kendali tekanan darah, dan kendali lemak darah. Disamping itu, perlu pula dilakukan mengubah gaya hidup seperti pengaturan diet, penurunan berat badan bila berlebih, latihan fisik, menghentikan kebiasaan merokok dll. Semua tindakan ini adalah juga tindakan preventif terhadap penyakit kardiovaskuler. Di dalam pengelolaan penyakit ginjal diabetik, yang dilaporkan memberikan hasil positif adalah dengan: Pengendalian kadar glukosa darah secara intensif. Non farmakologis terdiri dari 3 pengelolaan penyakit ginjal diabetik yaitu:

1. Edukasi. Hal ini dilakukan untuk mencapai perubahan prilaku, melalui pemahaman tentang penyakit DM, makna dan perlunya pemantauan dari pengendalian DM, penyulit DM, intervensi farmakologis dan non-farmakologis, hipoglikemia, masalah khusus yang dihadapi, dll.11,18,19,20,22 2. Perencanaan makan. Perencanaan makan pada pasien DM dengan komplikasi penyakit ginjal diabetik disesuaikan dengan penatalaksanaan diet pada penderita gagal ginjal kronis. Perencanaan diet yang diberikan adalah diet tinggi kalori, rendah protein dan rendah garam. Dalam upaya mengurangi progresivitas nefropati maka pemberian diet rendah protein sangat penting. Dalam suatu penelitian klinik selama 4 tahun pada pasien DM Tipe I diberi diet mengandung protein 0,9 gr/kgBB/hari selama 4 tahun menurunkan resiko terjadinya penyakit gagal ginjal tahap akhir (PGTA=ESRD) sebanyak 76 %. Pada umumnya dewasa ini disepakati pemberian diet mengandung protein sebanyak 0,8 gr/kgBB/hari yaitu sekitar 10 % dari kebutuhan kalori pada pasien dengan nefropati overt, akan tetapi bila LFG telah mulai menurun, maka pembatasan protein dalam diet menjadi 0,6 gr/kgBB/hari mungkin bermanfaat untuk memperlambat penurunan LFG selanjutnya. Jenis protein sendiri juga berperan dalam terjadinya dislipidemia. Mengganti daging merah dengan daging ayam pada pasien DM tipe II telah pula ditunjukkan menurunkan eksresi albumin dalam urin sebanyak 46 % dengan juga disertai penurunan total kolesterol, LDL kolesterol dan apo-lipoprotein B. Ini mungkin karena komposisi lemak jenus (tak jenuh) pada kedua jenis bahan makanan yang berbeda. Pemberian diet rendah protein ini harus diseimbangkan dengan pemberian diet tinggi kalori, yaitu rata-rata 40-50 Kal/24 jam. Pasien DM sendiri cenderung mengalami keadaan dislipidemia. Keadaan ini perlu diatasi dengan diet dan obat bila diperlukan. Dislipidemia diatasi dengan statin dengan target LDL kolesterol < 100mg/dl pada pasien DM dan < 70 mg/dl bila sudah ada kelainan kardiovaskuler.17,19,22,26-28 3. Latihan Jasmani. Dilakukan teratur 3-4 kali seminggu, selama kurang lebih 30 menit. Latihan jasmani dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitifitas terhadap insulin, tapi tetap harus disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani pasien. Contoh latihan jasmani yang dimaksud adalah jalan, sepeda santai, joging, berenang. Prinsipnya CRIPE (Continous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance).15,17

Intervensi Farmakologis yang perlu dilakukan adalah : 1. Pengendalian DM Berbagai penelitian klinik jangka panjang (5-7 tahun) dengan melibatkan ribuan pasien telah menunjukkan bahwa pengendalian kadar gula darah secara intensif akan mencegah progresivitas dan mencegah timbulnya penyulit kardiovaskuler, baik pada DM tipe I maupun tipe II. Oleh karena itu, perlu sekali diupayakan agar terapi ini dilaksanakan sesegera mungkin. Diabetes terkendali yang dimaksud adalah pengendalian secara intensif kadar gula darah, lipid dan kadar HbAlc sehingga mencapai kadar yang diharapkan. Selain itu pengendalian status gizi dan tekanan darah juga perlu diperhatikan.9,10,13,15,17,26-28 Indikator keberhasilan Glukosa darah puasa Glukosa darah 2 jam pp A1C Kolesterol total Kolesterol LDL Kolesterol HDL Trigliserida 2. Pengendalian Tekanan Darah17,19,21,23-26 Pengendalian tekanan darah merupakan hal yang penting dalam pencegahan dan terapi nefropati diabetik. Pengendalian tekanan darah juga telah ditunjukkan memberi efek perlindungan yang besar, baik terhadap ginjal, renoproteksi maupun terhadap organ kardiovaskuler. Makin rendah tekanan darah yang dicapai, makin baik pula renoproteksi. Banyak panduan yang menetapkan target yang seharusnya dicapai dalam pengendalian tekanan darah pada pasien diabetes. Pada pasien diabetes dan kelainan ginjal, target tekanan darah yang dianjurkan oleh American Diabetes Association dan National Heart, Lung, and Blood Institute adalah < 130/80 mmHg, akan tetapi bila proteinuria lebih berat 1 gr/24 jam, maka target lebih rendah yaitu < 125/75 mmHg. Pengelolaan tekanan darah dilakukan dengan dua cara, yaitu non-farmakologis dan famakologis. Terapi non-farmakologis adalah melalui modifikasi gaya hidup antara lain menurunkan berat badan, meningkatkan aktivitas fisik, menghentikan merokok, Target 80-100 mg/dl 80-144 mg/dl <6,5% <200 <100 >45 <150

serta mengurangi konsumsi garam. Harus diingat bahwa untuk mencapai target ini tidak mudah. Sering harus memakai kombinasi berbagai jenis obat dengan berbagai efek samping dan harga obat yang kadang sulit dijangkau pasien. Hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah tercapainya tekanan darah yang ditargetkan apapun jenis obat yag dicapai. Akan tetapi karena Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACE-I) dan Angiotensin Reseptor blocker (ARB), dikenal mempunyai efek antiprotein uric maupun renoproteksi yang baik, maka selalu disukai pemakaian obatobatan ini sebagai awal pengobatan hipertensi pada pasien DM. Pada pasien hipertensi dengan mikroalbuminuria atau makroalbuminuria, ACE inhibitor dan ARB merupakan terapi utama yang paling dianjurkan. Jika salah satu tidak dapat diterima atau memberikan hasil yang kurang maksimal maka dapat dianjurkan penggunaan Non Dihydropyridine CalciumChannel Blockers (NDCCBs). 3. Penanganan Gagal Ginjal9,10,15,17,18,24,26 Dasar penatalaksanaan gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi dua, yaitu: Terapi konservatif dan terapi pengganti. a. Terapi Konservatif 1. Memperkecil beban ginjal atau mengurangi kadar toksin uremik: - keseimbangan cairan - diet tinggi kalori, rendah protein, dan rendah garam bila ditemukan adanya oedema atau hipertensi - menghindarkan obat-obat nefrotoksik (NSAID, aminoglikosida, tetrasiklin, dll) 2. Memperbaiki faktor-faktor yang reversible - mengatasi anemia - menurunkan tekanan darah - mengatasi infeksi 3. Mengatasi hiperfosfatemia dengan memberikan Ca(CO)3 dan diet rendah fosfat 4. Terapi penyakit dasar seperti DM 5. Terapi keluhan: - untuk mual/muntah diberikan Metoklopramid - untuk gatal-gatal diberikan Dipenhydramin 6. Terapi komplikasi

- payah jantung dengan Diuretik, vasodilator, dan hati-hati terhadap pemberian digitalis b. Terapi pengganti 1. Dialisis - hemodialisis - dialisis peritoneal mandiri berkesinambungan - indikasi : bila Klirens Kreatinin kurang dari 5 cc/menit. 2. Cangkok ginjal 4. Penanganan Multifaktorial5,11,13,15,17,20,21,26 Suatu penelitian klinik dari Steno Diabetes Center di Copenhagen mendapatkan bahwa penanganan intensif secara multifaktorial pada pasien DM tipe II dengan mikroalbuminuria menunjukkan pengurangan faktor resiko yang jauh melebihi penanganan sesuai panduan umum penanggulangan diabets nasional mereka. Juga ditunjukkan bahwa penurunan yang sangat bermakna pada kejadian kardiovaskuler, termasuk stroke yang fatal dan nonfatal. Demikian pula kejadian yang spesifik seperti nefropati, retinopati, dan neuropati autonomik lebih rendah. Yang dimaksud dengan intensif adalah energi yang dititrasi sampai mencapai target, baik tekanan arah, kadar gula darah, lemak darah dan mikroalbuminuria juga disertai pencegahan penyakit kardiovaskuler dengan pemberian aspirin. dalam kenyataanya pasien dengan terapi intensif lebih banyak mendapat obat golongan ACE-I dan ARB. Demikian juga dengan obat hipoglikemik ora l atau insulin. Untuk pengendalian lemak darah lebih banyak mendapat statin. Bagi pasien yang sudah berada dalam tahap V gagal ginjal maka terapi yang khusus untuk gagal ginjal perlu dijalankan, sepeti pemberian diet rendah protein, pemberian obat pengikat fosfat dalam makanan, pencegahan dan pengobatan anemia dengan pemberian eritropoietin dan lain-lain. Pada tinjauan kasus ini, akan difokuskan pada pembahasan tentang diagnosis dan penatalaksanaan diabetik kidney disease pada penderita DM. III. Kasus Seorang laki-laki, 58 tahun, Hindu, Bali datang ke rumah sakit dikeluhkan tidak sadar sejak 30 menit sebelumnya. Saat diwawancara, pasien mengatakan tidak ingat mengapa dia dibawa ke rumah sakit tetapi hanya mengingat sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit tubuhnya gemetar, keluar keringat dingin dan jantung berdebar kemudian merasa pusing dan gelisah.

Pasien sempat mengatakan minum obat diabetes yang didapat dari dokter umum pagi dan sore. Sesak napas yang dirasakan sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, seperti sulit mengeluarkan napas. Dirasakan makin lama makin memberat, namun masih mampu beraktivitas. Memberat mendadak saat di UGD setelah sadar dari pingsannya. Penglihatan kabur yang dirasakan sejak 10 tahun yang lalu, pasien tidak mampu melihat jelas wajah orang di sekitarnya. Hal ini dirasakan semakin memberat sejak keluhan ini pertama dirasakan. Berat badan dikatakan menurun. Sekitar 15 tahun yang lalu pasien pernah memiliki berat badan 80 kg, namun kini berat badan hanya 58 kg walaupun makan dan minumnya biasa saja. Makan 3x sehari, satu piring tiap kali makan. Frekuensi berkemihnya agak menurun, dulu dikatakan 5-6 kali sehari, dengan volume berkemih 1-2 gelas per kali. Sejak sebulan yang lalu berkurang menjadi 2-3 x/hari, dengan volume 1/2 gelas kali. Urine berwarna agak keruh, berbuih, tidak berbau. Badan lemas dikatakan dirasakan sejak setahun yang lalu, memberat sejak sebulan. Lemas di seluruh badan, hampir sepanjang hari, bertambah berat bila digunakan beraktivitas dan sedikit membaik jika beristirahat. Saat ini pasien sedang menjalani pengobatan DM, rutin berobat ke dokter umum dan diberikan obat Glibenklamid. Pasien menderita DM sejak tahun 1987, kontrol ke dokter hanya bila muncul keluhan. Sejak Mei 2008 mulai mengkonsumsi obat diabetes. Saat itu datang ke dokter karena merasa kedua tangannya kesemutan. Hipertensi diketahui sejak saat itu, namun tidak rutin berobat. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit jantung, ginjal, batu. Adik laki-laki menderita DM, diketahui di dokter setelah melakukan pemeriksaan gula darah. Penderita dahulu seorang perokok namun sudah berhenti sejak sakit DM. Kebiasaan minum alkohol maupun mengkonsumsi jamu-jamuan tidak ada. Pada hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan pada tanggal 18 Desember 2009 didapatkan penderita dengan kesadaran compos mentis (E4V5M6) dengan tekanan darah 170/90 mmHg. Nadi 84 kali per menit, reguler, isi cukup. Respirasi 24 kali per menit (teratur, tipe thorakal). Temperatur aksila 36,70 C. Tinggi badan 165 cm, berat badan 58 kilogram, IMT 21,3 kg/m2. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pada kedua mata tampak anemia ringan. Tidak tampak ikterus, refleks pupil positif pada kedua mata. Telinga Hidung Tenggorokan dalam batas normal. Pada leher tidak didapatkan peningkatan Jugular Venous Pressure (JVP). Pemeriksaan thorak didapatkan dada simetris kanan dan kiri saat statis dan dinamis, namun ekspansi dada menurun. Pada palpasi didapatkan fremitus vokal menurun pada kedua sisi basal, perkusi redup pada kedua sisi paru dari ICS V, auskultasi didapatkan suara nafas vesikuler menurun dari ICS V, tanpa ronkhi maupun wheezing pada kedua sisi paru.

Pemeriksaan fisik jantung, inspeksi iktus cordis tidak tampak, palpasi iktus kordis teraba pada MCL kiri ICS V, tidak kuat angkat, pada perkusi didapatkan batas atas pada ICS II, batas kanan PSL kanan ICS IV, batas kiri pada MCL kiri ICS V, auskultasi didapatkan S1S2 tunggal reguler, tidak ada murmur. Pemeriksaan abdomen, inspeksi tidak tampak ada distensi, auskultasi bising usus normal, palpasi hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan tidak ada, ballotement negatif, perkusi perut didapatkan suara timpani. Hangat pada keempat ektremitas dan tidak ditemukan adanya edema pada kedua kaki penderita. Hasil gula darah saat MRS 29 mg/dl. Pemeriksaan laboratorium tanggal 16 Desember 2008 didapatkan WBC 15,5 K/uL, RBC 3,34 106/mm3, HgB 9,5 gr/dL, HCT 28,7 %, PLT 271 K/uL, MCV 86,1 fl, MCH 28,3 pg, MCHC 32,9 gr/dl, albumin 2,2 g/dl, AST 45 IU/L, ALT 41 IU/L, BUN 64,1 mg/dL, SC 9,92 mg/dL, Glukosa sewaktu 97 mg/dL, Na 137,1 mmol/L, K 6,79 mmol/L. Pemeriksaan analisa gas darah didapatkan pH 7,32, pCO2 39 mmHg, pO2 126 mmHg, Na+ 135 mmol/L, K+ 7,1 mmol/L, HCO3- 20,1 mmol/L, BE (B) -5,5, SO2 99 %. Pemeriksaan cairan pleura didapatkan Cell 2/mm3, mono 100%, Rivalta test negatif, makroskopis tampak warna kuning pucat, tidak ada darah, tidak ada bekuan, mikroskopis ada eritrosit 2-3, bentuk utuh bikonkaf. Pemeriksaan tanggal 17/12/08 didapatkan HbA1c 6,0%. Tanggal 22/12/08 didapatkan glukosa darah sewaktu 208, puasa 141, glukosa darah 2 jam post prandial 160. Pemeriksaan urine lengkap didapatkan PH 8, leukosit 25, nitrit +, protein 150, eritrosit 25, warna kuning, sedimen leukosit 4-5, eritrosit 1-2 (dismorfik). Pemeriksaan EKG tanggal 16 Desember 2008 didapatkan irama sinus, 100 kali per menit, axis normal. Perubahan segmen ST-T tidak ada. Pemeriksaan rontgen thorax AP tanggal 16-12-2008 didapatkan CTR 54%, tampak pinggang jantung, tidak tampak infiltrat, corakan bronkovaskular normal, tampak perselubungan homogen di kedua lapangan paru setinggi ICS V di hemithoraks kiri dan setinggi ICS V di hemithoraks kanan. Pada pemeriksaan BOF tanggal 16-12-2008 tidak didapatkan gambaran batu radioopaque. Pasien ini didiagnosa dengan koma hipoglikemia ec obat (Glibenkelamide), diabetes mellitus, efusi pleura bilateral ec hipoalbumin, CKD stg V ec susp DKD dd PNC, anemia ringan N-N on CKD, Hipertensi stadium II. Penatalaksanaan pada pasien ini diberikan D40 % 2 fl, D10 % 20 tts/menit, IVFD NS 8 tts/mnt, D50% + 20 unit insulin, diet 35 kkal+0,8 gr protein/kgBB/hr, asam folat 2x4 mg, CaCO3 3x500 mg, captopril 2x25 mg tab, nifedipine GITS 1x30 mg, ca glukonas 100 mg IV, kalitake 3x5 g, punksi efusi dan HD cito.

Untuk perencanaan mendiagnosis pasien ini direncanakan dilakukan USG Abdomen, lipid profile, A1C. Konsul mata, neuro dan gizi, SI, TIBC dengan pemantauan vital sign dan keluhan pasien. Prognosis pada pasien ini dubius ad malam. IV. Pembahasan Hipoglikemia pada pasien diabetes ditegakkan bila kadar glukosa plasma 63% (3,5 mmol/L). Hal ini disebabkan karena respon regulasi non pankreas dimulai pada kadar glukosa darah 63-65%(3,5-3,6 mmol/L). Pada diabetes, hipoglikemia sering didefinisikan sesuai gambaran klinisnya. Hipoglikemia akut menunjukkan gejala triad Whipple yang meliputi : 1. Keluhan yang menunjukkan adanya kadar glukosa darah plasma yang rendah, 2. Kadar glukosa rendah (3 mmol/L) dan hilangnya keluhan tersebut secara cepat dengan koreksi. Ringan Sedang Berat Tabel 1. Klasifikasi Klinis Hipoglikemia Akut Simptomatik, dapat diatasi sendiri, tidak ada gangguan aktivitas sehari-hari yang nyata Simptomatik, dapat diatasi dengan nyata, menimbulkan aktivitas sehari-hari yang nyata Sering tidak simptomatik, terdapat gangguan kognitif sehingga tidak dapat diatasi sendiri. 1. Membutuhkan pihak ketiga, tetapi belum memerlukan terapi parenteral 2. Terapi parenteral (glukagon IM atau glukosa IV) 3. Disertai koma atau kejang

Keluhan dan gejala hipoglikemia akut yang sering dijumpai pada pasien diabetes adalah Otonomik Berkeringat Jantung berdebar Tremor Lapar Neuroglikopenik Bingung, mengantuk Sulit berbicara Inkoordinasi Perubahan perilaku Gangguan visual Parestesi Malaise Mual Sakit kepala

Penyebab dari hipoglikemia pada pasien diabetes timbul akibat peningkatan kadar insulin yang kurang tepat, baik sesudah penyuntikan insulin subkutan ataupun obat yang meningkatkan sekresi insulin seperti sulfonilurea. Pada pasien ditemukan gejala hipoglikemia seperti berkeringat, bingung, jantung berdebar dan penurunan kesadaran, ditemukan kadar glukosa plasma rendah 29 mg/dl, dan segera merespon dengan pemberian glukosa intravena, sehingga dapat digolongkan menjadi

hipoglikemia berat atau koma hipoglikemia. Hipoglikemia yang terjadi pada pasien ini akibat glibenklamide, suatu kelompok obat hipoglikemik oral yang bekerja meningkatkan sekresi insulin yang dikonsumsi dua kali pagi dan sore oleh pasien. Perubahan dalam diagnosis dan klasifikasi DM terus-menerus dibuat baik oleh WHO, American Diabetes Association (ADA), maupun PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia). Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah dan tidak dapat ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuria saja.
Tabel 2.1. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan (mg/dL) penyaring dan diagnosis DM

Kadar glukosa Plasma vena darah sewaktu (mg/dL) darah (mg/dL) puasa Darah kapiler

Bukan DM <100 <90 <100 <90

Belum pasti DM 100-199 90-199 100-125 90-99

DM 200 200 126 100

Kadar glukosa Plasma vena Darah kapiler

Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita.
Tabel 2. 2. Kriteria diagnosis diabetes melitus

1. Gejala klasik DM + glukosa darah sewaktu 200 mg/dL (11,1 mmol/L) Glukosa sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir Atau 2. Gejala klasik DM + kadar glukosa darah puasa 126 mg/dL (7,0 mmol/L) Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam Atau 3. Kadar glukosa darah 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L) TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air

Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal. Pada pasien diagnosis ditegakkan dari anamnesis, didapatkan bahwa pasien telah dikatakan menderita DM sejak tahun 1987, didapatkan penurunan berat badan serta dari pemeriksaan gula darah sewaktu 208 mg/dl serta gula darah puasa 141 mg/dl (22/12/09). Dari hasil pemeriksaan HbA1C ditemukan hasil 6,0 mg/dl. Dari kriteria pengendalian DM, hal ini masuk ke dalam pengendalian baik. Namun hal ini bukanlah satu-satunya kriteria yang digunakan karena HbA1C hanya menggambarkan pengendalian dalam waktu 3 bulan terakhir. Pemeriksaan lipid profile diperlukan untuk mengetahui indikator lain dari keberhasilan terapi. Diagnosis PGK mengacu pada kriteria K/DOQI didasarkan atas 2 kriteria, yaitu : 1. Kerusakan ginjal 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal dengan atau tanpa penurunan penurunan laju filtrasi glomerolus berdasarkan kelainan patologik atau petanda kerusakan ginjal seperti kelainan pada komposisi darah atau urin atau kelainan pada pemeriksaan pencitraan. 2. Laju filtrasi glomerolus < 60 ml/min/1,73 m3 selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal. PGK diklasifikasikan berdasarkan oleh laju filtrasi glomerolus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerolus yang lebih rendah, berdasarkan ada atau tidaknya penyakit ginjal. Tabel 1. Stadium Penyakit Ginjal Kronik Stadium 1 2 3 4 5 Deskripsi Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan Penurunan LFG sedang Penurunan LFG berat Gagal Ginjal LFG (ml.min/1,73 m3) > 90 60-89 30-59 15-29 < 15 atau dialisis

LFG dihitung menggunakan rumus Cockroft Gault yaitu : LFG (ml/menit/1,73 m3) = ( 140 umur ) x BB x 0,85 (jika wanita) 72 x kreatinin plasma

Pasien ini didiagnosis dengan PGK stadium V ec. susp. DKD dd PNC. Berdasarkan rumus Cockroft Gault, LFG pasien saat ini adalah 6,65. Hal ini berarti sesuai dengan kriteria dan klasifikasi yaitu PGK stadium V atau gagal ginjal. Nefropati diabetik didefinisikan sebagai sindrom klinis pada pasien diabetes mellitus yang ditandai dengan albuminuria menetap (>300 mg/ 24 jam atau >200g/menit) pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3-6 bulan. Dasar dari diagnosis penyakit ginjal diabetik adalah adanya riwayat diabetes mellitus yang lama disertai dengan ditemukannya protein atau albumin dalam urin. Tahapan nefropati diabetik oleh Mogensen dibagi menjadi 5 tahap yaitu : Tahapan nefropati diabetik oleh Mogensen Tahap 1 2 3 4 5 Kondisi Hipertropi hiperfungsi Kelainan struktur AER N N LFG /N TD N /N Prognosis Reversibel

Mungkin reversibel Mikroalbuminuria 20-200 Mungkin persisten mg/menit reversibel Makroalbuniuria >200 Rendah Hipertensi Mungkin Proteinuria mg/menit bisa stabilisasi Uremia Tinggi/rendah <10 Hipertensi Kesintasan ml/menit 2 tahun + 50%

Penyebab dari gagal ginjal pada pasien ini adalah suatu penyakit ginjal diabetik. Hal ini didukung dari anamnesis bahwa pasien telah mengidap diabetes lama sejak 22 tahun (1987) dengan kontrol yang tidak teratur. Menurut tahapan Mogensen, pasien ini dapat digolongkan nefropati diabetik tahap 5, karena ditemukan ekskresi albumin tinggi yang ditandai dengan menurunnya kadar albumin darah(Alb : 2,2), LFG yang rendah < 10 ml/menit (6,65), serta hipertensi. Hiperglikemia pada tahap awal dapat menyebabkan peningkatan LFG (hiperfiltrasi), hal ini diikuti dengan kompensasi berupa peningkatan ukuran ginjal yang terjadi baik karena hipertropi ginjal maupun peningkatan proliferasi tubulointerstisial. Perubahan yang terlihat setelahnya adalah mikroalbuminuria persisten (ekskresi albumin 30-300 mg/hari), yang jika tidak tertangani dapat berkembang menjadi proteinuria (ekskresi albumin >300 mg/hari. Proteinuria ini menandakan kerusakan glomerulus yang parah, sampai akhirnya ginjal tidak mampu menjalankan fungsi ekskresi, yang ditandai dengan LFG yang rendah (<10 ml/menit)

dan menumpuknya bahan uremik. Mekanisme hiperglikemia menyebabkan nefropati diabetik adalah melalui beberapa hal : efek langsung glukosa melalui protein kinase C, efek produk akhir glikasi (AGE) dan efek dari sorbitol (poliol pathway) Pasien ini juga didiagnosa anemia ringan normokromik normositer ec. PGK. Secara laboratorik anemia dijabarkan sebagai penurunan kadar hemoglobin, eritrosit dan hematokrit di bawah normal. Sesuai dengan umur pasien maka kadar RBC 3,34 juta/mm3, HgB 9,5 gr/dL, HCT 28,7 % berada dibawah normal. Derajat anemia pada pasien ini adalah anemia ringan, sesuai dengan klasifikasi derajat anemia ringan yaitu HgB 8-9,9 g/dl. Klasifikasi anemia pada pasien ini didasarkan atas morfologik dan etiopatogenesis yaitu anemia normokromik normositer ec. PGK karena nilai MCV 86,1 fl (80-94), MCH 28,3 pg (27-32) masih dalam batas normal serta penyebab anemia pada pasien ini oleh karena PGK. Penyebab utama terjadinya anemia pada PGK adalah penurunan produksi eritropoietin oleh ginjal. Akan tetapi banyak faktor non renal yang ikut berkontribusi antara lain infeksi, inflamasi, masa hidup eritrosit yang memendek, dan faktor-faktor yang berpotensi menurunkan fungsi sumsum tulang seperti defesiensi besi, asam folat, toksisitas aluminium dan hiperparatiroidism. Pada pemeriksaan didapatkan tekanan darah pasien 170/90 mmHg. Sesuai dengan klasifikasi hipertensi menurut JNC 7 maka pasien ini diklasifikasi dalam hipertensi stadium II. Tabel 2. Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC VII Klasifikasi Tekanan Darah Normal Prehipertensi Hipertensi stadium I Hipertensi stadium II Sistolik (mmHg) < 120 120-139 140-159 > 160 dan atau atau atau Diastolik (mmHg) < 80 80-89 90-99 > 100

Seperti diketahui bahwa hipertensi dan diabetik nefropati merupakan dua hal yang memiliki hubungan timbal balik, di mana hipertensi dapat menyebabkan nefropati diabetik dan nefropati diabetik juga dapat menyebabkan hipertensi sekunder. Hipertensi pada nefropati diabetik disebabkan karena keterlibatan sistem renin angiotensin. Mekanisme patologi yang menyebabkan angiotensin II menyebabkan nefropati diabetik tidak terlalu jelas. Sebagai tambahan efek hemodinamik yaitu dengan meningkatkan tekanan darah sistemik dan glomerulus, menyebabkan proteinuria, dan vasokonstriksi ginjal, angiotensin II juga merangsang proliferasi sel, hipertropi, ekspansi matriks dan sintesis sitokin terutama TGF. Pada pasien ini hipertensi diketahui baru sejak Mei 2008, setelah pasien menderita

DM hampir selama 20 tahun. Jadi kemungkinan hipertensi terjadi setelah terjadinya nefropati diabetik atau kerusakan ginjal. Hipertensi memiliki berbagai macam komplikasi berupa kerusakan target organ seperti jantung (hipertrofi ventrikel kiri, angina atau infark myokard, gagal jantung), otak (stroke dan Transient Ischemic Attack), penyakit ginjal kronis, penyakit arteri perifer, dan retinopati. Pada pasien ini pada pemeriksaan toraks, tidak ditemukan tanda hipertensi yang lama seperti pembesaran jantung (CTR 54%). Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui mikroangiopati adalah pemeriksaan optalmologi dengan funduskopi. Pada pemeriksaan dapat dicari suatu retinopati diabetik atau retinopati hipertensif. Namun hal ini sulit dicari pada pasien karena dari konsul mata yang dilakukan didapatkan katarak di kedua mata. Tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan resistensi pembuluh darah perifer, di mana jika salah satu atau keduanya meningkat maka akan menyebabkan peningkatan tekanan darah. Pada PGK kedua faktor tersebut mengalami peningkatan yang disebabkan karena penurunan fungsi ginjal. Penyebab utama hipertensi pada PGK adalah ketidakmampuan ginjal mengekskresikan natrium dan air. Hal ini akan menyebabkan air yang berada di ekstraseluler akan berpindah ke pembuluh darah untuk menyesuaikan osmolaritas darah, sehingga volume darah akan bertambah dan menyebabkan peningkatan curah jantung. Peningkatan resistensi vaskular pada PGK dipengaruhi oleh beberapa hal. Pada PGK terjadi disregulasi sistem renin angiotensin yang disebabkan oleh iskemia pada aparatus jukstaglomerolus. Iskemia tersebut mengakibatkan ketidakadekuatan pengaktifan renin terhadap rangsangan natrium. Pada PGK juga terjadi aktivitas berlebihan dari sistem saraf simpatis yang terjadi akibat peningkatan sensitifitas kemoreseptor ginjal terhadap toksin uremic dan afferent limb yang akan mengaktifkan sistem saraf simpatik sentral. Pada PGK juga terjadi peningkatan vasopresor (Endothelin I dan Thromboxane) dan penurunan vasodilator (Nitric Oxide). Hiperparatiod sekunder yang diakibatkan oleh hiperfosfatemia juga mengakibatkan peningkatan resistensi vaskular melalui peningkatan kalsium intraseluler, efek langsung terhadap sekresi renin, dan sensitisasi otot polos pembuluh darah terhadap vasopresor. Pada pemeriksaan klinis di UGD ditemukan pasien tampak sesak. Pemeriksaan toraks didapatkan dada simetris kanan dan kiri saat statis dan dinamis, namun ekspansi dada menurun. Pada palpasi didapatkan fremitus vokal menurun pada kedua sisi basal, perkusi redup pada kedua sisi paru dari ICS V. Hal ini ditunjang dengan hasil foto toraks tampak perselubungan homogen di kedua lapangan paru setinggi ICS V di hemithoraks kiri dan

setinggi ICS V di hemithoraks kanan. Hal ini mendukung adanya suatu efusi pleura bilateral. Penatalaksanaan untuk memastikan pasien dengan efusi pleura adalah dengan dilakukan punksi pleura. Pada pasien ini punksi dilakukan untuk kepentingan diagnostik dan terapi. Dari pemeriksaan cairan pleura ditemukan bahwa cairan efusi merupakan cairan eksudat dan bilateral, hal ini mendukung efusi yang disebabkan karena kelainan sistemik dalam kasus ini adalah hipoalbuminemia (2,2). Hipoalbuminemia yang terjadi diakibatkan karena peningkatan ekskresi albumin melalui ginjal. Penatalaksanaan pada pasien ini diberikan D40 % 2 fl, D10 % 20 tts/menit, IVFD NS 8 tts/mnt, diet 35 kkal+0,8 gr protein/kgBB/hr, asam folat 2xII tab, CaCO3 3x1 tab, captopril 2x25 mg tab, nifedipine GITS 1x30 mg, ca glukonas 1 amp IV, D50% + 20 unit insulin, kalitake 3x1 sachet, Natrium bikarbonat 50 meq bolus dilanjutkan 50 meq/jam drip, punksi efusi dan HD cito. Pemberian glukosa intravena sesuai dengan penatalaksanaan hipoglikemia akut berat. Penatalaksanaan lainnya yang dapat dilakukan adalah pemberian glukagon intramuskular. Untuk cairan pada pasien ini diberikan IVFD NaCl 0,9 % 8 tetes/menit. Jumlah cairan yang masuk dan keluar harus dimonitoring karena adanya fungsi ginjal yang menurun serta untuk mencegah terjadinya kelebihan cairan yang masuk. Pasien tidak disarankan untuk minum banyak karena dapat menyebabkan kelebihan cairan dalam tubuh sehingga dapat memperberat beban ginjal, memperparah terjadinya peningkatan tekanan darah, ascites, dan edema ekstrimitas. Rekomendasi dari K-DOQI untuk mempertahankan keadaan klinik stabil pada pasien gagal ginjal sebelum dilakukan HD reguler adalah 0,8 gram protein/kgBB/hr, di mana 50 % protein dianjurkan yang mempunyai nilai biologi tinggi. Energi yang dibutuhkan adalah 35 Kkal/kgBB/hari. Diet rendah protein akan menurunkan hasil katabolisme protein dan asam amino berupa ureum, fosfat dan toksin uremik lainnya yang tidak dapat diekskresikan oleh ginjal. Kebutuhan kalori harus dipenuhi guna mencegah terjadinya pembakaran protein tubuh dan merangsang pengeluaran insulin. Selain itu pada pasien ini juga dilakukan diet rendah garam karena adanya hipertensi dan edema. Untuk mencegah osteodistrofi tulang akibat hiperparatiroidisme sekunder, kadar fosfat serum harus dikendalikan dengan diet rendah fosfat (terutama daging dan susu). Apabila LFG < 30 ml/menit, diperlukan pemberian pengikat fosfor seperti kalsium karbonat atau kalsium asetat yang diberikan pada saat makan. Pada penderita ini juga diberikan CaCO 3 3x500 mg untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia, sehingga hipokalsemia dan hiperparatiroidisme dapat dicegah.

Pada penatalaksanaan pasien ini diberikan asam folat 3 x I. Pemberian asam folat dimaksudkan untuk mengatasi keadaan hiperhomositein pada PGK. Peningkatan kadar homosistein dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Selain itu asam folat juga dimaksudkan untuk mengatasi anemia pada pasien PGK yang disebabkan oleh defisiensi asam folat. Pasien ini didiagnosa dengan hipertensi derajat II, sehingga modalitas terapi yang digunakan adalah kombinasi dua atau lebih macam obat antihipertensi. Pada pasien ini diberikan captopril 2 x 25 mg Seperti telah disebutkan di atas bahwa salah satu mekanisme terjadinya hipertensi pada pasien PGK adalah melalui aktivasi sistem renin angiotensin. Oleh sebabkan itu terapi lini pertama adalah anti hipertensi golongan ACE Inhibitor. Suatu penelitian membuktikan bahwa pemberian ACE inhibitor dapat menurunkan proteinuria dan memperbaiki perubahan glomerulus berkaitan dengan penurunan tekanan hidrostatik glomerulus. Penelitian juga menunjukkan bahwa ACE inhibitor juga menurunkan cedera tubulointerstitial pada percobaan Diabetes. Suatu penelitian pada manusia juga menunjukkan ACE inhibitor menghambat progresi mikroalbuminuria pada diabetes tipe 1 dan 2. Kombinasi yang disukai untuk hipertensi pada DM adalah ACE inhibitor dan Angiotensin Reseptor Blocker (ARB) karena efek antiprotein uric maupun renoproteksi yang baik. Penggunaan Dihydropiridine Calsium Channel Blocker pada hipertensi dengan DM dan PGD masih merupakan kontroversi, karena penggunaan tunggal dapat meningkatkan proteinuria dan angka kejadian kardiovaskuler. Namun beberapa penelitian menyebutkan bahwa penggunaan DCCB apabila dikombinasikan dengan ACE inhibitor tidak terbukti meningkatkan risiko kardiovaskuler. Target terapi pada pasien hipertensi dengan PGK adalah < 130/80. Terapi untuk hiperkalemia pada pasien ini adalah hemodialisis cito. Indikasi hemodialisis adalah: 1. Indikasi cito Pericarditis/efusi perikardium Ensefalopati/neuropati azotemik Bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik. Hiperkalemia (> 6,5)

2. Indikasi elektif Sindrom uremia Hipertensi sulit terkontrol

Overload cairan Persiapan preoperasi Oliguria-anuria (3-5 hari) BUN > 120 mg% dan kreatinin > 10mg% atau CCT < 5 ml/menit.

Namun karena pasien menolak dilakukan hemodialisis cito, maka yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian ca glukonas 1 amp IV yang berperan untuk mencegah efek kalium pada otot jantung yaitu terjadinya aritmia, D50% + 20 unit insulin yang berfungsi untuk memasukkan kalium ke intrasel, kalitake 3x5 g untuk meningkatkan penyerapan kalium di usus, Natrium bikarbonat 50 meq bolus dilanjutkan 50 meq/jam drip yang berfungsi untuk mengatasi asidosis metabolik. Kemudian dilakukan pemantauan Na-K setiap hari dan direncanakan dilakukan konsultasi gizi, mata dan neuro yang dilakukan sebagai penalaksanaan diabetes terpadu. Prognosis pasien ini dubius ad malam baik tanda-tanda vital maupun fungsi tubuh secara keseluruhan. Pasien sudah masuk dalam tahap gagal ginjal kronik dan sampai saat ini terapi definitif untuk gagal ginjal kronik adalah terapi pengganti baik itu transplantasi, hemodialisis, maupun peritonial dialisis. Pasien dengan gagal ginjal kronik juga memiliki berbagai macam komplikasi oleh karena hipertensi, anemia, hiperfosfatemia, maupun uremic toksin yang juga bisa memperburuk prognosis pada pasien ini. V. Ringkasan Penyakit ginjal diabetik merupakan salah satu komplikasi kronik dari penyakit DM. Patogenesis yang menyebabkan keadaan hiperglikemi menyebabkan penyakit ginjal diabetik melalui alur metabolik yang melibatkan produk akhir glikasi (AGE), protein kinase C dan polyol, serta alur hemodinamik yang terutama melibatkan sistem angiotensin II. Pada pasien ini penyakit ginjal kronik yang terjadi diakibatkan karena penyakit diabetes yang diderita pasien selama > 20 tahun. Pasien ini dapat digolongkan nefropati diabetik tahap 5, karena ditemukan ekskresi albumin tinggi yang ditandai dengan menurunnya kadar albumin darah (Alb : 2,2), LFG yang rendah < 10 ml/menit (6,65), serta hipertensi. Pasien ini didiagnosa dengan koma hipoglikemia ec obat (Glibenkelamide), diabetes mellitus, efusi pleura bilateral ec hipoalbumin, CKD stg V ec susp DKD dd PNC, anemia ringan N-N on CKD, Hipertensi stadium II. Penatalaksanaan pada pasien ini diberikan D40 % 2 fl, D10 % 20 tts/menit, IVFD NS 8 tts/mnt, D50% + 20 unit insulin, diet 35 kkal+0,8 gr

protein/kgBB/hr, asam folat 2x4 mg, CaCO3 3x500 mg, captopril 2x25 mg tab, nifedipine GITS 1x30 mg, ca glukonas 100 mg, kalitake 3x5 g, punksi efusi dan HD cito. DAFTAR PUSTAKA 1. Foster, D.W., Unger, R.H., (1998), DM, in: Williams Textbook of Endocrinology, 9th ed, WB Saunders, Philadelphia, Pg 973-1039. 2. Waspadji, S., (1996), Komplikasi Kronik DM: Pengenalan dan Penanganannya. dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi ketiga, Gaya Baru, Jakarta, hal. 597614. 3. Sundoyo, Ari W, dkk. (Juni 2006), Penyakit Ginjal Diabetik, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid II, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI, Jakarta, Hal. 545-547. 4. Perkeni. Konsensus Pengelolaan DM Tipe 2 Di Indonesia. Jakarta: PB Perkeni; 2006. 5. Bethesda.Kidney Disease of Diabetes Available at: http: // www. kidney. niddk. nih. gov / kudiseases / pubs / kdd / index.htm. Accessed December l8, 2006. 6. Sukandar, E., (2006). Nefropati Diabetik Pada DM Tidak Tergantung Insulin (DMTTI), dalam: Nefrologi Klinik Edisi III. FK UNPAD/RS Hasan Sadikin, Bandung. 7. Bieke F. Schrijvers, An S. De Vriese, Allan Flyvbjerg. From Hyperglicemia to Diabetic Kidney Disease: The Role of Metabolic, Hemodynamic, Intracellular Factor and Growth Factor/Cytokines. The Endocrine Society. Endocrine reviews 25: 9711010, 2004. 8. Diabetic Nephropathy, (2006, August 30-last update), Available at: http://www.diabetes.org.uk/ (Accessed: 2008 December 17). 9. Joshua, A.,Diabetic Nephropathy, Available at: http: // www. Cleveland clinicmeded. com / disease management/ nephrology.htm. (Accessed: at December l8, 2008) . 10. DeFronzo RA, (1996), Diabetic Nephropathy. In: Ellendberg & Rifkins DM, 5th ed. Connecticut: Appleton Lange. pp: 971-1008. 11. Goldman Ausiello. Cecil Essential of Medicine. Diabetes and The Kidney. WB Saunders Company, USA, l997. 12. Micahl, T. Diabetic Nephropathy: Common Questions, Available at: http://www.aafp.org/afp/20050701/96.html. (Accessed 2008, December l8).

13. Diabetic

Nephropathy.

Available

at:http://en.wikipedia.org/wiki/

Diabeticnephropathy . (Accessed 2006, December l8). 14. Michael, S., Diabetic Nephropathy: Clinical Evidence Concise, Available at: http://www.aafp.org/afp/20051201/bmj.html, (Accessed 2008, December l8). 15. Rudd and Osterberg. (2002), Hypertension: context, patophysiologi and management. In: Text of cardiovascular medicine. 2nded. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. 16. Feldman EL, et all. Diabetic neuropathy. In: Principles and practice of endocrinology and metabolism. 3rd ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2001: 13911402. 17. Roesli R, Endang S,Djaafar J. Nefropati Diabetik. In: Buku ajar ilmu penyakit dalam . 3rd ed. Jakarta: Gaya Baru; 1996; II: 356-365 18. Sutjahjo A. Neuropati diabetik: Dasar-dasar Diagnosis, Patogenesis, dan Penatalaksanaan Ditinjau Dari Sudut Pandang Diabetelogis. In: Naskah lengkap simposium pengelolaan dan penanganan penyakit endokrin dan metabolik. Medan: Perkumpulan Endokrinologi Cabang medan. 1995: 95-110. 19. Diabetic Nephropathy (2006, July 25 last update). Available at: http://renux.dmed.ed.ac.uk/edren/EdRenINFObits/Diabetic_nephLong.html (Accessed 2008, December 18). 20. Nicholas Robertloon, MB, BCh, BAO. Diabetic Kidney Disease: Preventing Dialysis and Transplantation. Clinical Diabetes. Vol. 21:2. 2003 21. Steigerwalt S, MD, FACP. Management hypertension in Diabetic Patient With Chronic Kidney Disease. Diabetes Spectrum. Vol.21: 1. 2008 22. Diabetes and Cardiovascular Disease Review, Available at: http: // www. diabetes. org / uedocuments / ADA cardioreview_2pdf. (Accessed 2008, December l8) 23. Perkeni. (2002), Petunjuk Praktis Pengelolaan DM Tipe 2. Jakarta: PB Perkeni. 24. Gale EAM & Anderson JV., (2002), DM And Other Dissorder Of Metabolism. In: Kumar & Clark clinical medicine. London: WB Saunders. 25. Loekman JS. (2003), Beberapa Hal Baru Dalam Penatalaksanaan Hipertensi, dalam: Naskah Lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan. 11th ed. Denpasar: Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/ RS Sanglah.pp. 1-7. 26. Kevin J. Hardy, Niall J. Furlong, Shirley A Hulme. Delivering Improved Management and Outcomes in Diabetic Kidney Disease in Routine Clinical Care. The British Journal Diabetes and Vascular Disease.

27. Williams G H. Hipertensive vascular disease. In: Harrisons of internal medicine. 15 th ed. India: Mc Graw-Hill. 2003; 1: 1414-1377. 28. Powers AC. DM. In: Harrisons of internal medicine. 15 th ed. India: Mc Graw-Hill. 2003; 2: 2109-2137

Anda mungkin juga menyukai