Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN PENDAHULUAN DIABETES MELITUS NEFROPATI DESEASE

A. Konsep Medis
1. Pengertian
Diabetes mellitus adalah suatu keadaan dimana tubuh tidak bisa menghasilkan
hormon insulin sesuai kebutuhan atau tubuh tidak bisa memanfaatkan secara optimal
insulin yang dihasilkan, sehingga terjadi kelonjakan kadar gula darah melebihi normal
(Fitriana, 2016).
DMND adalah komplikasi Diabetes mellitus pada ginjal yang dapat berakhir
sebagai gagal ginjal. DMND merusak struktur ginjal dan / atau fungsi yang disebabkan
oleh diabetes mellitus. Lebih khususnefropati diabetic adalah yang ditandai dengan
mikroalbuminuria (30-300 mg albumin urin / 24 jam). Hal ini dapat berkembang
menjadi makroalbuminuria, atau nefropati (> 300 mg albumin urin / 24 jam). Kemudian
dapat terjadi penurunan fungsional ginjal yang ditandai dengan penurunan GFR
(Brunner dan Suddarth, 2002).

Nefropati diabetic adalah kelainan ginjal yang dapat muncul sebagai akibat dari
komplikasi diabetes mellitus (DM) baik tipe 1 maupun 2, ditandai dengan adanya
albuminuria (mikro/makroalbuminuria) (Peter, 2013).

Nefropati diabetic dapat menyebabkan gagal ginjal hingga tahap akhir (GGT =
Gagal Ginjal Terminal). Oleh karenanya penanganan kasus ini harus dilakukan secara
optimal agar dapat mencegah perusakan ginjal ke tahap yang lebih buruk. Salah satu
penemuan yang telah dikembangkan dalam terapi penyakit ginjal diabetes adalah
melalui pemberian agonis adenosine 2A, yang berguna sebagai terapi dan atau
pencegahan nefropati diabetic.

Diagnosis stadium klinis nefropati diabetic secara klasik adalah ditemukannya


proteinuria > 0,5 gr/hari. Diagnosis klinis nefropati diabetic sudah dapat ditegakkan
bila terdapat makroalbuminuria persisten (albuminuria > 300mg/24 jam atau 200
mikrogram/menit ). Disebut persisten (menetap) adalah bila 2 dari 3x pemeriksaan yang
dilakukan dalam kurun waktu 6 bulan, memberikan hasil positif. Pada pasien DM tipe
1, diagnosis dini nefropati diabetic ditandai dengan ditemukannya mikroalbuminuria
persisten (albuminuria 30-300 mg/24 jam atau 20-200 mikrogram/menit) (Elizabeth,
2012).
Definisi tahapan nefropati diabetic pada DM tipe 1 dan tipe 2 tercantum dalam table.

Microgram/menit Miligram/menit Albumin/ creatinin


DM tipe 1  < 10  <15  <0,001
 20-200  30-300  0,02-0,2
 Normal
 >200  >300  >0,2
 Stad. Awal
 Nefropati
klinis

DM tipe 2  >200  >300  >0,2

Nefropati klinis

Sebagai catatan, urin yang dipakai dalam pemeriksaan albumin untuk


menegakkan diagnosa harus steril, non ketotik, sebaiknya urin pertama pagi hari.

DM mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal dalam berbagai cara. Istilah


nefropati diabetic meliputi semua lesi pada ginjal pasien dengan DM. Lesi ini termasuk
glomerulosklerosis ( difus atau noduler ), anterionefrosklerosis, nefritis interstitial
kronik, nekrosis papiler dan berbagai lesi tubulus. Nefropati Diabetik dihubungkan
dengan berbagai sindroma klinis meliputi proteinuria asimtomatik ringan, sindrom
nefrotik, gagal ginjal progresif (acute, progresif cepat atau kronik) dan hipertensi
(Elizabeth, 2012).

2. Etiologi
Secara ringkas, factor-faktor etiologis timbulnya penyakit ginjal diabetic sebagai
berikut :
a. Kurang terkendalinya gula darah
b. Factor-faktor genetic
c. Kelainan hemodinamik (peningkatan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus,
peningkatan tekanan intraglomerulus)
d. Hipertensi sistemik Sindroma resistensi insulin (sindroma metabolic)
e. Keradangan
f. Perubahan permeabilitas pembuluh darah
g. Asupan protein berlebih
h. Gangguan metabolic ( kelainan metabolisme polyol peningkatan produksi sitokin)
i. Pelepasan growth factor
j. Kelainan metabolisme karbohidrat/lemak/protein
k. Kelainan structural (hipertropi glomerulus, ekspansi mesangium, penebalan
membrane basalis glomerulus)
l. Gangguan ion pumps
m. Hiperlipidemia
n. Aktivasi protein kinase C
Secara histologis, gambaran utama yang tampak adalah penebalan membrane basalis,
ekspansi mesangium (berupa akumulasi matriks kstraseluller; penimbunan kolagen tipe
IV, laminin dan fibronectin) yang kemudian akan menimbulkan glomerulosklerosis
noduler dan/atau difus (Kimmelstiel-Wilson), hyalinosis arteriolar aferen dan eferen,
serta fibrosus tubulo- interstisial. Karasteristik Nefropati Diabetik
a. Peningkatan material matriks mesangium
b. Penebalan membrane basalis glomerulus
c. Hialinosis arteriol aferen dan eferen
d. Penebalan membran basalis tubulus
e. Atrofi tubulus
f. Fibrosis interstisial

3. Insiden

Di USA: nefropati diabetic jarang berkembang sebelum 10 tahun selam


mengalami IDDM. Kira kira 30% pasien dengan diagnosa terbaru NIDDM mengalami
nefropati. Insiden puncak rata rata 3% pertahun biasanya ditemukan pada orang orang
yang telah menderita diabetes selama 10-20 tahun, setelah kemunduran rata rata setelah
progresif. Resiko untuk berkembang menjadi nefropati diabetic rendah pada pasien
normoalbuminuria dengan durasi diabetes lebih dari 30 tahun. Onset puncak nefropati
pada pasien dengan DM adalah 10-15 tahun setelah awal penyakit. Pasien yang tidak
mengalami proteinuria setelah 20-25 tahun mempunyai resiko berkembang menjadi
penyakit ginjal hanya kira kira 1% pertahun. Secara internasional: perbedaan
epidemiologi mencolok di negara eropa. Di beberapa negara eropa khususnya Jerman,
sebagian pasien menyetujui dilakukan terapi pengganti ginjal melebihi jumlah yang
dilaporkan dari USA. Di Heidelberg (Jerman Barat) 59% pasien menyetujui dilakukan
terapi pengganti ginjal pada tahun 1995 telah menderita DM dan 90% menderita IDDM.
Peningkatan ESRD dari NIDDM telah tercatat terjadi di negara yang terkenal rendah
insiden NIDDM, seperti Denmark dan Australia.

Mortalitas/ morbiditas : Mortalitas/ morbiditas nefropati diabetic dilaporkan


secara signifikan. Sebagian pasien dengan IDDM yang berkembang menjadi gagal
ginjal muncul pada dekade akhir. Bagaimanapun, 20-40% masih mengalami
komplikasi ini. Pada laporan lain, hanya 10-20% pasien dengan NIIDM didapatkan
uremia selama diabetes. Kontribusi yang sama dari total jumlah pasien dengan diabetes
yang berkembang menjadi gagal ginjal dan prevalensi yang lebih tinggi dari NIDDM.

Ras : pada kulit putih, prevalensi penyakit ginjal progresif secara umum lebih
rendah pada yang dengan NIDDM daripada dengan IDDM. Ini tidak digunakan pada
orang dengan kelompok yang rasional dengan IDDM dan prognosis ginjal yang buruk.
Contoh nefropati berkembang sebanyak 50% pada suku Indian dengan diabetes pada
usia 20 tahun, dengan 15% berkembang menjadi End stage renal disease (ESRD) pada
saat ini. Sebagai tambahan suku Indian, pada kelompok rasial atau etnik tertentu,
memiliki insiden tinggi mengalami nefropati diabetic pada kelompok yang memiliki
hubungan keluarga. Jenis kelamin : Nefropati diabetic mengenai laki laki dan
perempuan. Usia: Nefropati diabetic jarang berkembang sebelum 10 tahun selama
menderita IDDM. Insiden puncak 30% pertahun biasanya ditemukan pada orang orang
yang telah mengalami diabetes selama 10-20 tahun (Corwin, 2000).

4. Anatomi dan Fisiologi


a. Anatomi Pankreas
Pankreas terletak melintang dibagian atas abdomen dibelakang gaster didalam
ruang retroperitoneal. Disebelah kiri ekor pankreas mencapai hilus limpa diarah
kronio – dorsal dan bagian atas kiri kaput pankreas dihubungkan dengan corpus
pankreas oleh leher pankreas yaitu bagian pankreas yang lebarnya biasanya tidak
lebih dari 4 cm, arteri dan vena mesentrika superior berada dileher pankreas bagian
kiri bawah kaput pankreas ini disebut processus unsinatis pankreas. Pankreas terdiri
dari dua jaringan utama yaitu :
1) Asinus, yang mengekskresikan pencernaan ke dalam duodenum.
2) Pulau Langerhans, yang tidak mempunyai alat untuk mengeluarkan getahnya
namun sebaliknya mensekresi insulin dan glukagon langsung kedalam darah.
Pankreas manusia mempunyai 1 – 2 juta pulau langerhans, setiap pulau langerhans
hanya berdiameter 0,3 mm dan tersusun mengelilingi pembuluh darah kapiler.
Pulau langerhans mengandung tiga jenis sel utama, yakni sel-alfa, beta dan delta.
Sel beta yang mencakup kira-kira 60 % dari semua sel terletak terutama ditengah
setiap pulau dan mensekresikan insulin. Granula sel B merupakan bungkusan
insulin dalam sitoplasma sel. Tiap bungkusan bervariasi antara spesies satu dengan
yang lain. Dalam sel B , molekul insulin membentuk polimer yang juga kompleks
dengan seng. Perbedaan dalam bentuk bungkusan ini mungkin karena perbedaan
dalam ukuran polimer atau agregat seng dari insulin. Insulin disintesis di dalam
retikulum endoplasma sel B, kemudian diangkut ke aparatus golgi, tempat ia
dibungkus didalam granula yang diikat membran. Granula ini bergerak ke dinding
sel oleh suatu proses yang tampaknya sel ini yang mengeluarkan insulin ke daerah
luar dengan eksositosis. Kemudian insulin melintasi membran basalis sel B serta
kapiler berdekatan dan endotel fenestrata kapiler untuk mencapai aliran darah
(Ganong, 1995). Sel alfa yang mencakup kira-kira 25 % dari seluruh sel
mensekresikan glukagon. Sel delta yang merupakan 10 % dari seluruh sel
mensekresikan somatostatin (Pearce, 2000).

b. Fisiologi Pankreas
Kelenjar pankreas dalam mengatur metabolisme glukosa dalam tubuh berupa
hormon-hormon yang disekresikan oleh sel – sel dipulau langerhans. Hormon-
hormon ini dapat diklasifikasikan sebagai hormon yang merendahkan kadar
glukosa darah yaitu insulin dan hormon yang dapat meningkatkan glukosa darah
yaitu glukagon.
Fisiologi Insulin :
Insulin dilepaskan pada suatu kadar batas oleh sel-sel beta pulau langerhans.
Rangsangan utama pelepasan insulin diatas kadar basal adalah peningkatan kadar
glukosa darah. Kadar glukosa darah puasa dalam keadaan normal adalah 80-90
mg/dl. Insulin bekerja dengan cara berkaitan dengan reseptor insulin dan setelah
berikatan, insulin bekerja melalui perantara kedua untuk menyebabkan peningkatan
transportasi glukosa kedalam sel dan dapat segera digunakan untuk menghasilkan
energi atau dapat disimpan didalam hati (Guyton & Hall, 1999)
5. Patofisiologi

Nefropati diabetic adalah gangguan fungsi ginjal akibat kebocoran selaput


penyaring darah. Sebagaimana diketahui, ginjal terdiri dari jutaan unit penyaring
(glomerolus). Setiap unit penyaring memiliki membrane atau selaput penyaring. Kadar
gula darah tinggi secara perlahan akan merusak selaput penyaring ini. Menurut Prof.
dr. Wiguno Prodjosudjadi PhD dari subbagian nefrologi bagian Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSCM, gula yang tinggi dalam darah akan bereaksi dengan protein sehingga
merubah struktur dan fungsi sel, termasuk membrane basal glomerolus. Akibatnya,
penghalang protein rusak dan terjadi kebocoran protein ke urine (albuminuria). Hal ini
berpengaruh buruk pada ginjal. Menurut situs nefrologi Channel, tahap
mikroalbuminuria ditandai dengan keluarnya 30 mg albumin dalam urin selama 24 jam.
Jika kondisi ini berlanjut akan sampai tahap gagal ginjal terminal.
Gagal ginjal kronis akan menggangu sekresi protein yang akan menyebabkan
sindrom uremia yaitu terjadinya retensi urea dan hydrogen yang akan menyebabkan
gangguan keseimbangan asam basa yang menyebabkan nausea, mual dan muntah
sehingga muncul masalah keperawatan berupa ketidakseimbangan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh . sindrom uremia juga akan menyebabkan ukrom tertimbun di
kulit yang akan menyebabkan terjadinya pruritus sehingga muncul masalah
keperawatan berupa kerusakan integritas kulit.
Gagal ginjal kronis akan menyebabkan retensi natrium sehingga menyebabkan
total CES meningkat yang akan menyebabkan tekanan kapiler naik sehingga volume
interstisial juga meningkat sehingga menyebabkan kelebihan volume cairan (edema),
kondisi ini akan menyebabkan pre load naik, beban kerja jantung juga naik sehingga
menyebabkan hipertrovi ventrikel kiri dan berakhir pada kondisi payah jantung kiri.
Payah jantung kiri akan menyebabkan Cardiac Out put turun yang menyebabkan aliran
darah ginjal turun, RAA turun yang mengakibatka terjadinya retensi Natrium dan H2O
sehingga timbul masalah keperawatan Kelebihan Volume cairan. Turunnya cardiac
output menyebabkan suplai O2 di jaringan turun yang menyebabkan metabolisme
anaerob sehingga asam laktat naik yang menyebabkan nyeri sendi sehingga muncul
masalah keperawatan nyeri. Penurunan cardiac output juga menyebabkan trunyya
suplai O2 ke otak ang akan menyebabkan syncope (kehilangan kesadaran).
Payah jantung kiri akan menyebabkan terjadinya bendungan di atrium kiri naik,
sehingga tekanan vena pulmonalis, kapiler paru pun naik yang dapat menyebabkan
edema paru sehingga muncul masalah keperawatan gangguan pertukaran gas.
Kondisi gagal ginjal kronis dapat menyebabkan produksi eritropoetin di ginjal
menurun sehingga produksi Hb pun turun yang berakibat pada gangguan nutisi dalam
darah sehingga terjadilah penurunan oksiheoglobin, turunnya oksihemoglobin juga
mengekibatkan suplai O2 kasar turun sehingga muncul masalah keperawatan
Intoleransi aktivitas dan Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer.
Pathway
DM Tipe I DM Tipe II

Sel Beta Pankreas Hancur sel Beta Pankreas Hancur

Defisinsi insulin

Penurunan pemakaian glukosa

Hiperglikemi

Kerusakan struktur dan fungsi sel glomerulus

Penghalang protein rusak

Kebocoran protein (Albuminuria)

Gagal Ginjal Kronis

Sekresi protein terganggu retensi Na sekresi eritropoetin turun

Sindrom uremia total CES naik produk Hb turun

gg. keseimbangan asam basa perpostemia Tek. Kapiler naik suplai nutrisi darah turun

prod. Asam lambung naik pruritus Vol. interstitial naik gangguan nutrisi

Nausea Edema oksihemoglobin turun


Kerusakan integritas
mual muntah kulit Pre load naik suplai O2 kasar turun

Beban jantung naik Intoleransi aktivitas


Ketidak seimbangan Risiko tinggi infeksi
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh Hipertovi ventrikel kiri
Ketidakefektifan
perfusi jaringan perifer
Payah jantung kiri

COP turun bendungan atrium kiri naik

Aliran darah ginjal turun suplai O2 ke jaringan turun suplai O2 ke otak turun tek. Vena pulmonalis

RAA turun metabolism anaerob kapiler paru naik

Retensi Na dan H2O asam laktat naik Edema paru

Fatigue nyeri sendi


Kelebihan vol Gangguan
cairan pertukaran gas
nyeri
6. Manifestasi Klinik

Sesuai dengan tahap-tahapnya, keluhan dan gejala pada penderita nefropati


diabetes dapat bervariasi dari yang asimptomatik (tahap I s/d III) sampai dengan gejala
uremia yang berat (tahap IV s/d V). Gejala-gejala uremia dapat berupa lemah badan,
anoreksia, mual, muntah yang disertai dengan anemia, overhidrasi, asidosis, hipertensi,
kejang-kejang sampai coma uremik. Selain itu penderita nefropati diabetes sering
disertai dengan komplikasi mikro/makrovaskular lain seperti neuropati, retinopati dan
gangguan serebrovaskular atau gangguan profil lemak.
Diabetic nephropathy tidak mempunyai gejala klinis. Gejala timbul pada
tingkat akhir dan merupakan hasil dari eksresi protein yg banyak melalui urine atau
akhirnya akan timbul renal failure.

a. Bengkak, biasanya disekitar mata pada pagi hari kemudian ke seluruh badan
b. Urin berbusa
c. Pertambahan berat badan yang tidak disengaja (karena adanya penumpukan cairan)
d. Bengkak pada kaki
e. Nafsu makan berkurang
f. Mual dan muntah
g. Rasa sakit yang menyeluruh
h. Fatique
i. Sakit kepala
j. Cegukan berulang
k. Gatal-gatal

Manifestasi utama penyakit glomerulus diabetik adalah proteinuria. Awalnya


hanya sejumlah kecil albumin 15-40 mikrogram/menit diekresi terutama sesudah
latihan fisis (mikroalbuminuria). Laju filtrasi glomerulus pada awalnya meningkat dan
sesudah itu turun kearah normal bersamaan dengan munculnya proteinuria yg jelas.
Sedimen urin secara khas biasanya tidak mengalami kelainan, meskipun
mikrohematuria dan atau piuria juga dapat muncul jika terjadi komplikasi infeksi
saluran kemih atau nekrosis papilaris. Hipertensi terjadi pada saat mikroalbuminuria
muncul, dan pada saat LFG turun dari kadar normalnya. Jika hipertensinya berat,
sebaiknya dicurigai sebagai komplikasi stenosis arteri renalis aterosklerotik. Asidosis
metabolik hiperkloremik ringan sering terjadi. (Brunner & Suddart, 2002).

Progresifitas kelainan ginjal pada diabetes militus tipe I (IDDM) dapat dibedakan dalam
5 tahap:
a. Stadium I (Hyperfiltration-Hypertropy Stage)
Secara klinik pada tahap ini akan dijumpai: Hiperfiltrasi: meningkatnya laju filtrasi
glomerules mencapai 20-50% diatas niali normal menurut usia. Hipertrofi ginjal,
yang dapat dilihat melaui foto sinar x. Glukosuria disertai poliuria.
Mikroalbuminuria lebih dari 20 dan kurang dari 200 ug/min.
b. Stadium II (Silent Stage)
Ditandai dengan: Mikroalbuminuria normal atau mendekati normal (<20ug/min).
Sebagian penderita menunjukan penurunan laju filtrasi glomerulus ke normal.
Awal kerusakan struktur ginjal
c. Stadium III (Incipient Nephropathy Stage)
Stadium ini ditandai dengan: Awalnya dijumpai hiperfiltrasi yang menetap yang
selanjutnya mulai menurun Mikroalbuminuria 20 sampai 200ug/min yang setara
dengan eksresi protein 30-300mg/24j. Awal Hipertensi.
d. Stadium IV (Overt Nephroathy Stage)
Stadium ini ditandai dengan: Proteinuria menetap(>0,5gr/24j). Hipertensi,
Penurunan laju filtrasi glomerulus.
e. Stadium V (End Stage Renal Failure)
Pada stadium ini laju filtrasi glomerulus sudah mendekati nol dan dijumpai fibrosis
ginjal. Rata-rata dibutuhkan waktu15-17 tahun untuk sampai pada stadium IV dan5-
7 tahun kemudian akan sampai stadiumV.
Ada perbedaan gambaran klinik dan patofisiologi Nefropati Diabetika antara
diabetes mellitus tipe I (IDDM) dan tipe II (NIDDM). Mikroalbuminuria seringkali
dijumpai pada NIDDM saat diagnosis ditegakkan dan keadaan ini serigkali
reversibel dengan perbaikan status metaboliknya. Adanya mikroalbuminuria pada
DM tipe II merupakan prognosis yang buruk.

7. Komplikasi
Retinopati diabetic sebenarnya tampak pada semua orang dengan IDDM yang
menderita nefropati meskipun hanya 50-60% pasien dengan proteinuria NIDDM
menderita retinopati. Ketiadaan retinopati memerlukan pemeriksaan lebih lanjut pada
gromerulopati non diabetic. Kebutaan berupa retinopati proliferatif berat atau
makulopati kira kira 5x lebih biasa pada orang dengan IDDM atau NIDDM dan
nefropati daripada pada orang dengan normoalbuminuria. Makroangiopati seperti
stroke, stenosis arteri carotis, coronary heart disease, penyakit vascular perifer adalah
2-5 x lebih biasa pada pasien dengan nefropati. Nefropati perifer timbul pada hamper
semua pasien dengan nefropati lanjut. Ulkus pada kaki yang berhubungan dengan
sepsis, yang membutuhkan amputasi, sering kali terjadi (>25%), mungkin karena
adanya gabungan kelainan saraf dan arteri. Neuropati autonom mungkin asimtomatik
dan manifestasi sederhana berupa gambaran cardiovascular abnormal atau berupa
gejala tidak khas.
Komplikasi yang mungkin termasuk (corwin, 2000) :

a. Hipoglikemi (dari penurunan ekresi insulin)


b. Gagal ginjal kronik
c. End stage Kidney disease
d. Hiperkalemia
e. Hipertensi berat
f. Komplikasi dari dialisa
g. Komplikasi dari transplantasi ginjal
h. Efek lain dari komplikasi diabetes
i. Peritonitis (jika ada bekas dialysis peritoneal)
j. Meningkatnya infeksi

8. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
1) Darah
a) Kadar glukosa darah

Sebagaimana halnya penyakit DM, kadar glukosa darah akan meningkat.


Tetapi perlu diperhatikan bahwa pada tahap lanjut yaitu bila terjadi gagal
ginjal, kadar gula darah bisa normal atau malahan rendah. Hal ini
disebabkan menurunnya bersihan ginjal terhadap insulin endogen maupun
eksogen.
 HbA1C
 Ureum
 Creatinin
 BUN

2) Urine
a) Urin rutin ; tampak gambaran proteinuria
b) Aseton
c) Dipstik untuk albumin/ mikroalbumin
d) Penentuan protein dalam urin secara kuantitatif

3) Mikrobiologis untuk kultur urin terhadap mikroorganisme dan uji kepekaan


kuman terhadap antibiotic.

a) Opthalmoskop à pemeriksaan fundus mata


b) Biopsi ginjal

Merupakan diagnosis pasti untuk nefropati diabetikum. Kebanyakan


ahli nephrologists tidak perlu melakukan biopsy ginjal pada kasus dengan
proteinuria yang progresif sepanjang waktu dan adanya retinophaty diabetic
pada pemeriksaan retina mata. Untuk menutupi kecurigaan dalam
menegakkan diagnosis, biopsy injal merupakan salah satu cara untuk
menegakkan diagnosis dan sebagai penunjang pendidikan

4) USG ginjal

Untuk mengamati ukuran ginjal, biasanya ukuran meningkat pada tahap


awal dan kemudian menurun atau menyusut pada gagal ginjal kronik. Dapat
juga untuk menggambarkan adanya obstruksi, sebagai study Echogenisitas pada
gagal ginjal kronik.

Serum dan electrophoresis urine ditujukan untuk menyingkirkan


multiple myeloma dan untuk mengklasifikasikan proteinuria (dimana
predominan pada glomerolus pada nephropati diabetic).
9. Tes Diagnostik

Kriteria diagnosis (DX & TW)

a. Menderita diabetes mellitus (DM) baik DMTJ atau DMTTJ berdasarkan anamnesis
adanya gejala DM/riwayat pengobatan DM dan pemeriksaan laboratorium gula
darah puasa ≥ 126 mg % dan gula darah 2 jam sesudah makan ≥ 200 mg %
b. Albuminuria : mikroalbuminuria maupun makroalbuminuria
c. Mikroalbuminuria : apabila eksresi albumin urin antara 20-200 ??g/menit atau 30-
300 mg/24 jam
d. Makroalbuminuria : apabila ekskresi albumin urin > 200 ? g/menit atau > 300
mg/24 jam
e. Adanya retinopati diabetik pada pemeriksaan funduskopi mata
f. Biopsi ginjal menunjukkan adanya gambaran hipertrofi glomerulus,
glomerulosklerosis dan hialinosis arteriolar

Untuk menegakkan diagnosis komplikasi nefropati diabetes akibat DM tipe 1 atau DM


tipe 2 harus dicari manifestasi klinis maupun laboratorium yang meenunjang penyakit
dasarnya (diabetes) maupun komplikasi yang ditimbulkannya (nefropati diabetes)

Albumin erection rate (AER) atau urinary albumin excretion (UAE) dapat dinyatakan
dalam mg/hari atau gr/menit, normal : 10-30 mg/hari atau 7-20 gr/menit. Pada dasarnya,
sudah disepakati bahwa pada nefropati diabetik selalu didapatkan proteinuria persisten,
yang biasanya sudah melebihi 500 mg/hari pada 2 kali pemeriksaan tanpa ISK.

Menurut klasifikasi Schrier et al., (1996) ada 3 kategori albuminaria :

a. Albuminaria normal (< 20 gr/menit)


b. Mikroalbuminaaria (20-200 gr/menit)
c. Overt albuminaria (> 200 gr/menit)

Eksresi protein sebesar 500 mg/hari setara dengan albuminaria ± 300 mg/hari atau 200
mikrogram/menit. Eksresi antara 30-300 mg/hari atau 20-200 mikrogram/menit disebut
mikroalbuminaria yang masih belum dapat di tes dengan albumin stix, tetapi positif
dengan pemeriksaan micral test. Disebut albuminaria persisten apabila terdapat
albuminaria lebih dari 300 mg/hari. Eksresi albumin yang lebih rendah lagi (antara 10-
30 mg/hari atau 7-20 mikrogram/menit) baru dapat dikenal radioimmuno assay.

Selain Micral test, untuk pengenalan dini adanya gangguan faal ginjal pada DMTT 1
(NIDDM) dan TGT (Toleransi glukosa terganggu) perlu dikenali 3 enzim urin :

a. NAG (N-Acetyl-B-D-Glycosaminidase)
b. IAP (Intestinal Alkaline Phosphatase)
c. TNAP (Tissue Non Specific Isoenzyme)

IAP dan NAG naik sesuai dengan derajat gangguan toleransi glukosa, terendah pada
normal. TGT tertinggi pada DMTT 1.

TNAP tidak dapat digunakan sebagai pertanda adanya kelainan tersebut pada
TGT dan DMTT 1.

Mikroalbuminaria disebabkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus yang


mungkin disebabkan oleh peningkatan GCP (Glomerular Cappilary Pressure) dan
hilangnya muatan negatif dari GBM (Glomerular Basement Membrane).

Albumin bermuatan negatif, sedangkan IgG bermuatan positif dan negatif. Apabila
muatan negatif GBM hilang atau berkurang, maka albumin akan mudah lolos melalui
pori GBM. Apabila berlanjut, maka IgG juga akan lolos melalui urine, lebih-lebih
diameter pori yang normal 55 Ao sudah berubah menjadi 100-200 Ao. Ratio klirens
IgG dan albumin merupakan “selectivity index”. Makin tinggi IgG dalam urine, makin
jelek prognosisnya (Bare & suzanne, 2002)

10. Diagnosis Banding

a. Multipel Myeloma
b. Nephrifis Interstisial
c. Nephrosclerosis
d. Nephrotic Syndrom
e. Renal Artery Stenosis
f. Renal Vein Trombosis
g. Renovascular Hypertension
10. Penatalaksanaan Medik
a. Umum

1) Pengendalian keadaan metabolic / gula darah dengan mengatur diet yang


disesuaikan dengan kebutuhan pasien. Jumlah kalori yang diperhitungkan untuk
keperluan basal 35 kcal/kgBB/hari. Insulin untuk pasien DMT 1 dan obat
penurun gula darah untuk pasien DMT 1 apabila gula darah tidak terkontrol
dengan diet.
2) DM dengan albuminuria : protein dalam diet dibatasi à 0,8 gr/ kgBB hari
3) DM dengan hipertensi : diet DM + obat antihipertensi ACEI/ kombinasi ACEI
+ antagonis kalsium bila tekanan darah tak terkendali dengan ACEI target
tekanan darah 130/80 mmHg
4) DM dengan insuffisiensi ginjal: diet DM dengan pembatasan protein 0.6-0,8
gr/kgBB/hari. Pasien dengan insufisiensi ginjal yang mendapat ACEI perlu di
monitor fungsi ginjal secara berkala.

b. Khusus

1) DM dengan albuminuria : protein dalam diet dibatasi à 0,8 gr/kgBB/hari


2) DM dengan hipertensi : Diet DM + obat antihipertensi penghambat ACE atau
kombinasi ACEI + antagonis kalsium bila tekanan darah tidak terkendali
dengan ACEI saja. Target tekanan darah 130/80 mmHg
3) DM dengan insufiensi ginjal : diet DM dengan pembatasan protein 0,6-
0,8/kgBB/hari. Pasien insufisiensi ginjal yang mendapat ACEI perlu di monitor
fungsi ginjal secara berkala.

c. Medikamentosa

Hormon → untuk menstimulasi penggunaan glukosa dalam sel dan


mengurangi kadar gula darah

1) Insulin (Novolin, Humulin)

a) Insulin regular : onset dimulai ±30 menit setelah SC dan berakhir 8-12 jam.
Efek maximal diperoleh 1-3 jam
b) Buffered regular insulin : Farmakokinetik sama dengan insulin regular,
dipakai secara SC.
c) Insulin Lispro atau insulin aspart : Lebih cepat untuk menurunkan
aktifitas glukosa secara SC. Kadar puncak plasma dicapai dalam 30-90
menit setelah SC, lebih cepat dibanding regular insulin
d) Semi lente insulin : onset actionnya 1-1,5 jam SC. Efek puncak timbul 5-
10 jam
e) Intermediate – acting NPH insulin, Dosis : 0,5-1 U/kgBB/ hari SC dibagi
beberapa dosis, Kurangi dosis untuk mempertahankan kadar 80-140 mg/dl
pada saat kadar glukosa sebelum makan dan menjelang tidur

2) Sulfonyl urea

a) Chlorpropamide

Generasi pertama sulfonyi urea yang menstimulasi pelepasan insulin dari


sel β pancreas. Dosis 100-500 mg/hari per oral setiap hari.

b) Tolazamide

Generasi pertama sulfonyi urea yang menstimulasi pelepasan insulin dari


sel β pancreas. Dosis 500-3000mg/hari peroral 2x sehari atau 3x sehari.

c) Glyburide

Generasi kedua sulfonyl urea yang menstimulasi pelepasan insulin dari sel
β pancreas. Dosis 1,25-20 mg/hari peroral 2x sehari

d) Glipizide

Generasi kedua sulfonyl urea yang menstimulasi pelepasan insulin dari sel
β pancreas. Dosis 2,5-40 mg/hari peroral 2x sehari.

3) Golongan Biguanides :

a) Metformin (glucophage) :
 Mengurangi pelepasan glukosa hati
 Meningkatkan absorbsi glukosa di intestinal
 Meningkatkan pengambilan glukosa di jaringan peripheral

Dosis awal : 500 mg peroral 2x sehari

4) Golongan Thiazolidinedione :

a) Pioglitazone (Actos) :

 Meningkatkan respon sel target terhadap insulin tanpa mengurangi


sekresi insulin dari pancreas.

 Mengurangi hepatic glukosa output dan meningkatkan insulin


dependent use pada otot skeletal, hati dan jaringan lemak.

Dosis initial dosis :15-30 mg per oral per hari. JIka kurang respon tingkatkan
45mg per oral per hari.

5) Golongan Angiotensin- Converting Enzym Inhibitor

a) Captopril

Dosis 25-75 mg per oral 3x sehari

b) Enalapril

1. Inhibitor ACE
2. Mengurangi levels angiotensi II
3. Mengurangi sekresi aldosteron

Dosis 10-20 mg peroral tiap hari 2x sehari

c) Lisinopril

Dosis 10-80 mg peroral tiap hari


6) Golongan Diuretic

a) Furosemid 20-80 mg peroral atau 2-3x sehari


b) HCT 25-100mg per oral per hari
c) Bumetanide 0,5-2 mg peroral per hari atau dibagi 2x sehari

B. Asuhan keperawatan
Dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien Diabetes Melitus Nefropati
Disease hendaknya dilakukan secara komperhensif dengan menggunakan proses
keperawatan. Proses keperawatan adalah suatu metode sistematik untuk mengkaji respon
manusia terhadap masalah-masalah dan membuat rencana keperawatan yang bertujuan
untuk mengatasi masalah – masalah tersebut. Masalah-masalah kesehatan dapat
berhubungan dengan klien keluarga juga orang terdekat atau masyarakat. Proses
keperawatan mendokumentasikan kontribusi perawat dalam mengurangi / mengatasi
masalah-masalah kesehatan. Proses keperawatan terdiri dari lima tahapan, yaitu :
pengkajian, diagnose keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah utama dan dasar utama dari proses keperawatan yang
mempunyai dua kegiatan pokok, yaitu :
a. Pengumpulan data
Pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan membantu dalam menentukan
status kesehatan dan pola pertahanan penderita , mengidentifikasikan, kekuatan dan
kebutuhan penderita yang dapt diperoleh melalui anamnese, pemeriksaan fisik,
pemerikasaan laboratorium serta pemeriksaan penunjang lainnya.
1) Anamnese
a. Identitas penderita
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat,
status perkawinan, suku bangsa, nomor register, tanggal masuk rumah sakit
dan diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
Kondisi yang paling dikeluhkan pasien saat itu yang menyebabkan pasien
dibawa ke rumah sakit.
c. Riwayat kesehatan sekarang
Berisi tentang kapan terjadinya penyakit , penyebab terjadinya penyakit
serta upaya yang telah dilakukan oleh penderita untuk mengatasinya.
d. Riwayat kesehatan dahulu
Adanya riwayat penyakit DM atau penyakit – penyakit lain yang ada
kaitannya dengan defisiensi insulin misalnya penyakit pankreas. Adanya
riwayat penyakit jantung, obesitas, maupun arterosklerosis, tindakan medis
yang pernah di dapat maupun obat-obatan yang biasa digunakan oleh
penderita.
e. Riwayat kesehatan keluarga
Dari genogram keluarga biasanya terdapat salah satu anggota keluarga yang
juga menderita DM atau penyakit keturunan yang dapat menyebabkan
terjadinya defisiensi insulin misal hipertensi, jantung.
f. Riwayat psikososial
Meliputi informasi mengenai prilaku, perasaan dan emosi yang dialami
penderita sehubungan dengan penyakitnya serta tanggapan keluarga
terhadap penyakit penderita.
b. Pemeriksaan fisik
1) Status kesehatan umum
Meliputi keadaan penderita, kesadaran, suara bicara, tinggi badan, berat badan
dan tanda – tanda vital.
2) Kepala dan leher
Kaji bentuk kepala, keadaan rambut, adakah pembesaran pada leher, telinga
kadang-kadang berdenging, adakah gangguan pendengaran, lidah sering terasa
tebal, ludah menjadi lebih kental, gigi mudah goyah, gusi mudah bengkak dan
berdarah, apakah penglihatan kabur / ganda, diplopia, lensa mata keruh.
3) Sistem integument
Turgor kulit menurun, adanya luka atau warna kehitaman bekas luka,
kelembaban dan suhu kulit di daerah sekitar ulkus dan gangren, kemerahan pada
kulit sekitar luka, tekstur rambut dan kuku.
4) Sistem pernafasan
Adakah sesak nafas, batuk, sputum, nyeri dada. Pada penderita DM mudah
terjadi infeksi.
5) Sistem kardiovaskuler
Perfusi jaringan menurun, nadi perifer lemah atau berkurang,
takikardi/bradikardi, hipertensi/hipotensi, aritmia, kardiomegalis.
6) Sistem gastrointestinal
Terdapat polifagi, polidipsi, mual, muntah, diare, konstipasi, dehidrase,
perubahan berat badan, peningkatan lingkar abdomen, obesitas.
7) Sistem urinary
Poliuri, retensio urine, inkontinensia urine, rasa panas atau sakit saat berkemih.
8) Sistem musculoskeletal
Penyebaran lemak, penyebaran masa otot, perubahn tinggi badan, cepat lelah,
lemah dan nyeri, adanya gangren di ekstrimitas.
9) Sistem neurologis
Terjadi penurunan sensoris, parasthesia, anastesia, letargi, mengantuk, reflek
lambat, kacau mental, disorientasi.
c. Pemeriksaan Head to toe
1) Keadaan Rambut dan Higiene Kepala
Inspeksi : Rambut hitam, coklat, pirang, berbau.
Palpasi : Mudah rontok, kulit kepala kotor, berbau secara umum menunjukkan
tingkat hygiene seseorang.
2) Hidrasi Kulit Daerah Dahi
Palpasi : Penekanan ibu jari pada kulit dahi, karena mempunyai dasar tulang.
Pada dehidrasi biasanya ditemukan “finger print”pada kulit dahi
3) Palpebrae
Inspeksi : Bisa terlihat penumpukan cairan atau edema pada palpebrae, selain
itu bias juga terlihat cekung pada pasien dehidrasi
Palpasi : Dengan cara meraba menggunakan tiga jari pada palpebrae untuk
merasakan apakah ada penumpukan cairan, atau pasien dehidrasi bila teraba
cekung
4) Sclera dan Conjungtiva
Icterus tampak lebih jelas di sclera disbanding pada kulit. Teknik memeriksa
sclera dengan palpasi menggunakan kedua jari menarik palpebrae, pasien
melihat kebawah radang pada conjungtiva bulbi maupun conjungtiva palpebrae.
Keadaan anemic bias diperiksa pada warna pucat pada conjungtiva palpebrae
inferior.
5) Tekanan Intra Okular (T.I.O)
Dengan dua jari telunjuk memeriksa membandingkan TIO bola mata kiri dan
kanan dengan cara tekanan berganti pada bola mata atas dengan kelopak mata
tertutup kewaspadaan terhadap glaucoma umumnya terhadap pasien berumur
lebih dari 40 tahun.
6) Hidung
Inspeksi : Hidung simetris, pada rongga dikaji apakah ada kotoran hidung, polip
atau pembengkakan
7) Higien Rongga Mulut, Gigi, Lidah, Tonsil dan Pharynk
Rongga mulut : diperiksa bau mulut, radang mocosa (stomatitis), dan adanya
aphtae
Gigi : diperiksa adanya makanan, karang gigi, caries, sisa akar, gigi yang
tanggal, perdarahan, abses, benda asing,(gigi palsu), keadaan gusi, meradang
Lidah : kotor/coated, akan ditemui pada keadaan: hygiene mulut yang kurang,
demam thypoid, tidak suka makan, pasien coma, perhatikan pula tipe lidah yang
hipertemik yang dapat ditemui pada pasien typoid fever
Tonsil : Tonsil diperiksa pakah ada pembengkakan atau tidak. Diukur
berdasarkan panduan sebagai berikut

 T0 – bila sudah dioperasi


 T1- ukuran normal yang ada
 T2- pembesaran tonsil tidak sampai garis tengah
 T3- pembesaran mencapai garis tengah
 T4- pembesaran melewati garis tengah

Pharinx : dinding belakang oro pharink diperiksa apakah ada peradangan,


pembesaran adenoid, dan lender/secret yang ada
8) Kelenjar Getah Bening Leher
Pembesaran getah bening dapat terjadi karena infeksi, infeksi toxoplasmosis
memberikan gejala pembesaran getah bening leher.

9) Kelenjar Tyroid

Inspeksi : bentuk dan besarnya bila pembesarannya telah nyata


Palpasi : satu tangan dari samping atau dua tangan dari arah belakang, jari-jari
meraba permukaan kelenjar dan pasien diminta menelan rasakan apakah terasa
ada pembengkakan pada jaringan sekitar.

10) Dada/ Punggung


Inspeksi : kesimetrisan, bentuk/postur dada, gerakan nafas (frekuensi, irama,
kedalaman, dan upaya pernafasan/penggunaan otot-otot bantu pernafasan),
warna kulit, lesi, edema, pembengkakan/ penonjolan. Normal: simetris, bentuk
dan postur normal, tidak ada tanda-tanda distress pernapasan, warna kulit sama
dengan warna kulit lain, tidak ikterik/sianosis, tidak ada
pembengkakan/penonjolan/edema
Palpasi: Simetris, pergerakan dada, massa dan lesi, nyeri, tractile
fremitus. (perawat berdiri dibelakang pasien, instruksikan pasien untuk
mengucapkan angka “tujuh-tujuh” atau “enam-enam” sambil melakukan
perabaan dengan kedua telapak tangan pada punggung pasien). Normal:
integritas kulit baik, tidak ada nyeri tekan/massa/tanda-tanda peradangan,
ekspansi simetris, taktil vremitus cendrung sebelah kanan lebih teraba jelas.
Perkusi: paru, eksrusi diafragma (konsistensi dan bandingkan satu sisi dengan
satu sisi lain pada tinggi yang sama dengan pola berjenjang sisi ke sisi). Normal:
resonan (“dug dug dug”), jika bagian padat lebih daripada bagian udara=pekak
(“bleg bleg bleg”), jika bagian udara lebih besar dari bagian padat=hiperesonan
(“deng deng deng”), batas jantung=bunyi rensonan----hilang>>redup.
Auskultasi: suara nafas, trachea, bronchus, paru. (dengarkan dengan
menggunakan stetoskop di lapang paru kika, di RIC 1 dan 2, di atas manubrium
dan di atas trachea). Normal: bunyi napas vesikuler, bronchovesikuler, brochial,
tracheal.
11) Abdomen
Inspeksi : pada inspeksi perlu disimak apakah abdomen
membusung/membuncit atau datar saja, tepi perut menonjol atau tidak,
umbilicus menonjol atau tidak, amati apakah ada bayangan vena, amati juga
apakah didaerah abdomen tampak benjolan-benjolan massa. Laporkan bentuk
dan letakknya
Auskultasi : mendengar suara peristaltic usus, normal berkisar 5-35 kali per
menit : bunyi peristaltic yang yang keras dan panjang disebut borborygmi,
ditemui pada gastroenteritis atau obstruksi usu pada tahap awal. Peristaltic yang
berkurang ditemui pada ileus paralitik. Apabila setelah 5 menit tidak terdengar
suara peristaltic sama sekali maka kita katakana peristaltic negative (pada
pasien post operasi)

Palpasi : sebelum dilakukan palpasi tanyakan terlebih dahulu kepada pasien


apakah daerah yang nyeri apabila ada maka harus dipalpasi terakhir, palpasi
umum terhadap keseluruhan dinding abdomen untuk mengetahui apakah ada
nyeri umum (peritonitis, pancreatitis). Kemudian mencari dengan perabaan ada
atau tidaknya massa/benjolan (tumor). Periksa juga turgor kullit perut untuk
menilai hidrasi pasien. Setelah itu periksalah dengan tekanan region
suprapubika (cystitis), titik MC Burney (appendicitis), region epigastrica
(gastritis), dan region iliaca (adnexitis) barulah secara khusus kita melakukan
palpasi hepar. Palpasi hepar dilakukan dengan telapak tangan dan jari kanan
dimulai dari kuadrant kanan bawah berangsur-angsur naik mengikuti irama
nafas dan cembungan perut. Rasakan apakah ada pembesaran hepar atau
tidak. Hepar membesar pada keadaan :

 Malnutrisi
 Gangguan fungsi hati/radang hati (hepatitis, thyroid fever, malaria, dengue,
tumor hepar)
 Bendungan karena decomp cordis

12) Anus
Posisikan pasien berbaring miring dengan lutut terlipat menempel
diperut/dada. Diperiksa adannya :

 Hemhoroid externa
 Fisurra
 Fistula
 Tanda keganasan
d. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah :
1) Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah meliputi : GDS > 200 mg/dl, gula darah puasa >120 mg/dl
dan dua jam post prandial > 200 mg/dl.
2) Urine
Pemeriksaan didapatkan adanya glukosa dalam urine. Pemeriksaan dilakukan
dengan cara Benedict ( reduksi ). Hasil dapat dilihat melalui perubahan warna
pada urine : hijau ( + ), kuning ( ++ ), merah ( +++ ), dan merah bata ( ++++ ).
3) Kultur pusMengetahui jenis kuman pada luka dan memberikan antibiotik yang
sesuai dengan jenis kuman.
4) Mikrobiologis untuk kultur urin terhadap mikroorganisme dan uji kepekaan
kuman terhadap antibiotic.

a) Opthalmoskop à pemeriksaan fundus mata


b) Biopsi ginjal

Merupakan diagnosis pasti untuk nefropati diabetikum. Kebanyakan


ahli nephrologists tidak perlu melakukan biopsy ginjal pada kasus dengan
proteinuria yang progresif sepanjang waktu dan adanya retinophaty diabetic
pada pemeriksaan retina mata. Untuk menutupi kecurigaan dalam
menegakkan diagnosis, biopsy injal merupakan salah satu cara untuk
menegakkan diagnosis dan sebagai penunjang pendidikan

5) USG ginjal

Untuk mengamati ukuran ginjal, biasanya ukuran meningkat pada tahap


awal dan kemudian menurun atau menyusut pada gagal ginjal kronik. Dapat
juga untuk menggambarkan adanya obstruksi, sebagai study Echogenisitas pada
gagal ginjal kronik.

Serum dan electrophoresis urine ditujukan untuk menyingkirkan


multiple myeloma dan untuk mengklasifikasikan proteinuria (dimana
predominan pada glomerolus pada nephropati diabetic).
13) Analisa Data
Data yang sudah terkumpul selanjutnya dikelompokan dan dilakukan analisa
serta sintesa data. Dalam mengelompokan data dibedakan atas data subyektif
dan data obyektif dan berpedoman pada teori Abraham Maslow yang terdiri dari
:
1) Kebutuhan dasar atau fisiologis
2) Kebutuhan rasa aman
3) Kebutuhan cinta dan kasih sayang
4) Kebutuhan harga diri
5) Kebutuhan aktualisasi diri
Data yang telah dikelompokkan tadi di analisa sehingga dapat diambil
kesimpulan tentang masalah keperawatan dan kemungkinan penyebab, yang
dapat dirumuskan dalam bentuk diagnosa keperawatan meliputi aktual,
potensial, dan kemungkinan.

2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon individu, keluarga atau
komunitas terhadap proses kehidupan/ masalah kesehatan. Aktual atau potensial dan
kemungkinan dan membutuhkan tindakan keperawatan untuk memecahkan masalah
tersebut.
Adapun diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien gangren kaki diabetik adalah
sebagai berikut :

a. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane kapiler-


alveolar
b. Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan suplai oksigen ke jaringan
menurun
c. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan keluaran urine, diet
berlebih dan retensi cairan dan natrium.
d. Nyeri (kram otot, iritasi okular, luka akibat pruritus) yang berhubungan dengan
kekurangan natrium, uremia.
e. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia,
mual, muntah, pembatasan diet dan perubahan membrane mukosa mulut.
f. Risiko infeksi yang berhubungan dengan gangguan respon imun.
g. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan gangguan status metabolic,
sirkulasi, sensasi, penurunan turgor kulit, penurunan aktivitas, akumulasi ureum
dalam kulit.
h. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk sampah
dan prosedur.

3. Intervensi
a. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan peningkatan bendungan
atrium kiri.

Tujuan :

1) Dalam waktu 2 x 24 jam setelah diberikan intervensi keperawatan, tidak terjadi


gangguan pertukaran gas.
Kriteria hasil :
a. Mendemonstrasikan ventlasi dan oksigenasi yang adekuat
b. Memelihara kebersihan paru dan beba dari tanda-tanda distress pernapasan
c. Tidak ada sianosis dan dyspnea.
d. Pasien dapat memperlihatkan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat

dengan nilai ABG normal :

 PH = 7,35 -7,45
 PO2 = 80-100 mmHg
 Saturasi O2 = > 95 %
 PCO2 = 35-45 mmHg
 HCO3 = 22-26mEq/L
 BE (kelebihan basa) = -2 sampai +2

Intervensi Rasional
Mandiri
1. Kaji status pernafasan, catat peningkatan1. Takipneu adalah mekanisme
respirasi atau perubahan pola nafas. kompensasi untuk hipoksemia dan
peningkatan usaha nafas.
2. Catat ada tidaknya suara nafas dan adanya2. Suara nafas mungkin tidak sama atau
bunyi nafas tambahan seperti crakles, dan tidak ada ditemukan. Crakles terjadi
wheezing. karena peningkatan cairan di permukaan
jaringan yang disebabkan oleh
peningkatan permeabilitas membran
alveoli – kapiler. Wheezing terjadi
karena bronchokontriksi atau adanya
mukus pada jalan nafas
3. Selalu berarti bila diberikan oksigen
3. Kaji adanya cyanosis.
(desaturasi 5 gr dari Hb) sebelum
cyanosis muncul. Tanda cyanosis dapat
dinilai pada mulut, bibir yang indikasi
adanya hipoksemia sistemik, cyanosis
perifer seperti pada kuku dan
ekstremitas adalah vasokontriksi.
4
4.
5. Berikan istirahat yang cukup dan nyaman
5. Menyimpan tenaga pasien, mengurangi
penggunaan oksigen.
Ubah posisi pasien sesering mungkin
Membantu mencegah atelectasis paru.

Kolaboratif :
6. Berikan humidifier oksigen dengan
6. Memaksimalkan pertukaran oksigen
masker CPAP jika ada indikasi.
secara terus menerus dengan tekanan
yang sesuai
7
7.
Kolaborasi dengan tim kesehatan lain
8. Hipoksemia dapat menjadi berat selama
dalam memantau BGA.
edema paru.

Kolaborasi dengan tim medis dalam


Meningkatkan oksigen alveolar yang
pemberian oksigen tambahan
dapat memperbaiki hioksemia jaringan.
Observasi
Observasi pergerakan dada, amati Mengamati adanya kondisi yang
kesimetrisan penggunaan otot tambahan, memperparah kondisi dan dapat
retraksi otot supraklavikula dan interkosta. menentukan intervensi lanjutan.

9.

b. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan suplai oksigen ke jaringan menurun

Tujuan : setelah diberikan intervensi selama 3 x 24 jam mempertahankan sirkulasi perifer


tetap normal.
Kriteria Hasil :
1) Tekanan systole dan diastole dalam rentang normal 100-140/60-90 mmHg.
2) Menunjukan fungsi sensri motori kranial: tingkat kesadaran membaik.
3) Berkomunikasi dengan jelas dan sesuai dengan kemampuan
4) Menunjukan perhatian dan konsentrasi dan orientasi
5) Kulit sekitar luka teraba hangat.

Intervensi Rasional
1. Mandiri 1.
Awasi tanda vital, kaji pengisian kapiler, Memberikan informasi tentang derajat/
warna kulit/membrane mukos, dasa kuku. keadekuatan perfusi jaringan perifer dan
membantu menentukan kebutuhan
intervensi.
Tinggikan kepala tempat tidur sesuai Meningkatkan ekspansi paru dan
toleransi. memaksimalkan oksigenasi untuk
kebutuhan seluler. Catatan : kontraindikas
bila ada hipotensi.
Awasi upaya pernapasan, auskultasi bunyi Dyspnea, gemericik menunjukan
napas, perhatikan bunyi adventisius gangguan jantung karena regangan
jantung lama/ peningkatan kompensasi
curah jantung.
Hindari penggunaan botol penghangat atau Termoreseptor jaringan dermal dangkal
botol air panas, ukur suhu air mandi dengan karena gangguan oksigen.
thermometer.
Kolaborasi
Kolaborasi pengawasan hasil pemeriksaan Mengindentifikasi defisiensi dan
laboratorium. kebutuhan pengobatan/ respon terhadap
terapi.
Berikan oksigen taahan sesuai indikasi Memaksimalkan transport oksigen ke
jaringan.

c. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan keluaran urine, diet


berlebih dan retensi cairan dan natrium.

Tujuan :
Setelah dilakukan asuhan keperawaan selama 3 x 24 jam klien dapat mempertahankan berat
tubuh ideal tanpa kelebihan cairan.
Kriteria Hasil :
a. Haluaran urine tepat dengan berat jenis/hasil lab mendekati normal.
b. BB stabil.
c. TTV dalam batas normal (RR: 16-24 x/menit; N: 60-100 x/menit; TD: 120/80; T: 36,5-
37,5 0C)
d. Tidak ada edema
e. Turgor kulit baik
f. Membran mukosa lembab
Intervensi Rasional
Mandiri :
a. Identifikasi faktor penyebab a. Untuk menentukan tindakan keperawatan
b.
b. Batasi masukan cairan Pembatasan cairan akan menentukan
berat tubuh ideal, haluaran urin, dan
respon terhadap terapi.
c. Anjurkan klien untuk melakukan aktifitasc. Agar tidak terjadi imobilitasi
pergerakan seperti berdiri, meninggikan
kaki
d. Kurangi asupan garam, pertimbangkand. Agar tidak terjadi peningkatan natrium
penggunaan garam pengganti
5.
HE : e.
e. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang Pemahaman meningkatkan kerjasama
pembatasan cairan. pasien dan keluarga dalam pembatasan
cairan
f. Bantu pasien dalam menghadapif. Kenyamanan pasien meningkatkan
ketidaknyamanan akibat pembatasan kepatuhan terhadap pembatasan diet.
cairan.

Kolaborasi :
g. Berikan diuretic g. Diuretic bertujuan untuk menurunkan
g. furosemide, spironolakton, hidronolakton volume plasma dan menurunkan retensi
h. Adenokortikosteroid, golongan prednisone cairan di jaringan sehingga menurunkan
resiko terjadinya edema paru.
Adenokortikosteroid, golongan predison
digunakan untuk menurunkan proteinuri.
Observasi :
h. Kaji status cairan dengan menimbang berath. Pengkajian merupakan dasar dan data
badan perhari, keseimbangan masukan dan dasar berkelanjutan untuk memantau
pengeluaran, turgor kulit dan adanya perubahan dan mengevaluasi intervensi.
edema, distensi vena leher. i. Untuk mengetahui kondisi pasien
i. Kaji tanda tanda vital

d. Nyeri (kram otot, iritasi okular, luka akibat pruritus) yang berhubungan dengan
kekurangan natrium, uremia.
Tujuan : Tidak ada kram otot, tidak gatal, dan tidak ada iritasi okular.
Intervensi :
Intervensi Rasional
Pasien dengan ESRD mengalami pruritus Menakai lotion kulit supaya kulit tidak
yang sangat. Pasien dibantu dengan : kering.
Obat trimeprazin tartat (Temaril).
Kamar yang dingin agar pasien tidak Stress emosi dapat memperberat pruritus
merasa panas dan tidak berkeringat. sehingga pasien perlu diberi waktu untuk
mengungkapkan perasaannya. Perawat
dapat memakai komunikasi terapeutis dan
dirinya secara terapeutik.

Kuku pasien dipotong pendek. Pasien


dapat mengenakan sarung tangan yang
dibuat dari kain agar kulit tidak digaruk
langsung dengan kuku.

Penanganan kram otot dengan mengatasi Penanganan uremia, cairan elektrolit, dapat
uremia. menghilangkan kram otot. Kram otot
dikaitkan dengan defisit natrium. Obat
Quinine Sulfate 325mg sebelum tidur
malam dapat mencegah kram otot.

Iritasi okular diatasi dengan pemberian Iritasi ocular disebabkan deposit kalsium
obat-obat ikatan fosfor per oral untuk dalam konjungtiva yang menyebabkan
mengendalikan fosfat plasma. Pasien juga airmata keluar terus dan rasa perih pada
dibantu dengan air mata buatan (metil mata.
selulosa) yang diteteskan dalam kantong
konjungtiva.

e. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia,


mual, muntah, pembatasan diet dan perubahan membrane mukosa mulut.

Tujuan :

Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam klien dapat mempertahankan
masukan nutrisi yang adekuat

Kriteria Hasil :

- Nafsu makan meningkat


- Tidak ada keluhan anoreksia, nausea.
- Porsi makan dihabiskan
- BB meningkat

Intervensi Rasional

Mandiri :

a. Berikan makanan dalam porsi kecil tapia. Memenuhi kebutuhan nutrisi dengan

sering meminimalkan rasa mual dan muntah

b. Beri nutrisi dengan diet lunak, tinggib. Memenuhi kebutuhan nutrisi adekuat

kalori tinggi protein

HE :
c. Anjurkan kepada orang tuac. Menambah selera makan dan dapat

klien/keluarga untuk memberikan menambah asupan nutrisi yang

makanan yang disukai dibutuhkan klien

d. Anjurkan kepada orang tuad. Dapat meningkatkan asam lambung yang

klien/keluarga untuk menghindari dapat memicu mual dan muntah dan

makanan yang mengandung gas/asam, menurunkan asupan nutrisi

pedas

Kolaborasi :

e. Berikan antiemetik, antasida sesuaie. Mengatasi mual/muntah, menurunkan

indikasi asam lambung yang dapat memicu

mual/muntah

Observasi : f.
f. Kaji kemampuan makan klien
Untuk mengetahui perubahan nutrisi

klien dan sebagai indikator intervensi

selanjutnya
f. Risiko infeksi yang berhubungan dengan gangguan respon imun.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam Pasien tehindar dari
risiko infeksi. Dengan kriteria hasil :
 Pasien bebas dari tanda dan gejala infeksi (demam).
 Menujukan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
 Jumlah leukosit dalam batas normal 3,37-10

Intervensi :
Intervensi Rasional
Mandiri
Observasi tanda infeksi dan peradangan Pasien mungkin masuk dengan infeksi yang
biasanya telah mencetuskan keadaan
ketoasidosis dan dapat mengalami infeksi
nosokomnial.
Tingkatkan upya pencegahan dengan Mencegah timbulny infeksi silang.
melakukan cuci tangan baik pada semua
orang yang berhubungan dengan pasien
termasuk pasiennya sendiri.
Pertahankan teknik aseptic pada Kadar glukosa yang tinggi dalam darah akan
prosedur invasive. menjadi media terbaik bagi pertumbuhan
kuman.
Berikan perawatan kulit dengan teratur Sirulasi perifer bias terganggu yang
dan sungguh-sungguh. menempatkan pasien pada peningkatan
resiko terjadinya kerusakan pada kulit/
iritasi kulit dan infeksi.
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian antibiotic sesuai Mencegah penyebaran infeksi.
indikasi.

g. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan mobilitas fisik.


Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan kerusakan
integritas kulit dapat dicegah dengan kriteria hasil :
1) Integritas kulit yang baik bias dipertehankan
2) Tidak ada luka/ lesi pada kulit.
3) Perfusi jaringan baik
4) Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan
alami.

Intervensi
Intervensi Rasional
Mandiri
kaji integritas kulit, catat perubahan pada kondisi kulit dipengaruhi oleh sirkulasi,
turgor, gangguan warna, hangat local, nutrisi dan mobilisasi. Jaringan dapat
eritema, ekskoriasi. menjadi rapuh dan cenderung untuk infeksi
dan rusak.
Reposisi secara periodic dan pijat Meningkatkan sirkulasi ke semua kulit,
permukaan tulang apabila pasien tidak membatasi iskemia jaringan/ mempengaruhi
bergerak/ ditempat tidur. hipoksia seluler.
Pertahankan permukaan kulit kering dan Area lembab, terkontaminasi, memberikan
bersih. Batasi penggunaan sabun. media yang sangat baik untuk pertumbuhan
organisme patogenik. Sabun dapat
mengeringkan kulit secara berlebih.
Bantu untuk melakukan latihan rentang Meningkatkan sirkulasi jaringan, mencegh
gerak pasif. stasis.

h. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan dan anemia Tujuan : Dapat


berpartisipasi dalam aktivitas yang dapat ditoleransi.
Intervensi :
Intervensi Rasional
Mandiri
Kaji faktor yang dapat menyebabkan Menyediakan informasi tentang indikasi
keletihan dan anemia. tentang keletihan.
Tingkatkan kemandirian dalam aktivitas Meningkatkan aktivitas sedang / ringan
perawatan diri yang dapat ditoleransi ; dan memperbaiki harga diri.
bantu jika keletihan terjadi.
Ajarkan aktivitas alternatif sambil istrahat Mendorong latihan dan aktivitas dalam
batas – batas yang dappat ditoleransi dan
istrahat yang adekuat

4. Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah tahap pelaksananan terhadap rencana tindakan keperawatan yang telah
ditetapkan untuk perawat bersama pasien. Implementasi dilaksanakan sesuai dengan
rencana setelah dilakukan validasi, disamping itu juga dibutuhkan ketrampilan
interpersonal, intelektual, teknikal yang dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi
yang tepat dengan selalu memperhatikan keamanan fisik dan psikologis. Setelah selesai
implementasi, dilakukan dokumentasi yang meliputi intervensi yang sudah dilakukan dan
bagaimana respon pasien.
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan. Kegiatan evaluasi ini adalah
membandingkan hasil yang telah dicapai setelah implementasi keperawatan dengan tujuan
yang diharapkan dalam perencanaan.Perawat mempunyai tiga alternatif dalam menentukan
sejauh mana tujuan tercapai:
a) Berhasil : prilaku pasien sesuai pernyatan tujuan dalam waktu atau tanggal yang
ditetapkan di tujuan.
b) Tercapai sebagian : pasien menunujukan prilaku tetapi tidak sebaik yang
ditentukan dalam pernyataan tujuan.
c) Belum tercapai. : pasien tidak mampu sama sekali menunjukkan prilaku yang
diharapakan sesuai dengan pernyataan tujuan.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner and Suddart, 2015, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume 2,
(Edisi 8), EGC, Jakarta

Carpenito, 2012, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, (Edisi 2), EGC,
Jakarta

Corwin,. J. Elizabeth, 2012, Patofisiologi, EGC, Jakarta

Doenges, E. Marilynn dan MF. Moorhouse, 2012, Rencana Asuhan Keperawatan,


(Edisi III), EGC, Jakarta.

FKUI, 2011, Patologi, FKUI, Jakarta

Ganong, 2013, Fisiologi Kedokteran, EGC, Jakarta

Gibson, John, 2013, Anatomi dan Fisiologi Modern untuk Perawat, EGC, Jakarta

Guyton dan Hall, 2013, Fisiologi Kedokteran, (Edisi 9), EGC, Jakarta

Hinchliff, 2014, Kamus Keperawatan, EGC, Jakarta

Price, S. A dan Wilson, L. M, 2014, Patofisiologi, EGC, Jakarta

Sherwood, 2012, Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, (edisi 21), EGC, Jakarta

Sobotta, 2013, Atlas Anatomi, (Edisi 21), EGC, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai