Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH KEPANITERAAN

STASE KERUMAHSAKITAN RSUP Dr.SARDJITO


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

Manifestasi Oral pada Pasien dengan Chronic Kidney Disease Stage V et


causa suspect nefropati DM disertai Asidosis Metabolik, Efusi Pleura
Bilateral, Hepatitis B, Anemia Renal, dan Diabetes Mellitus Tipe 2 Obese

DISUSUN OLEH:
Koas Kerumahsakitan Angkatan 134

Rosita Dewi KG/07861


Arkhia Rahmah KG/08075

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016

1
BAB I
PENDAHULUAN

Chronic Kidney Disease (CKD) menggambarkan suatu keadaan abnormal


dari fungsi dan/atau struktur ginjal. CKD merupakan silent disease. Kebanyakan
penderita CKD tidak mempunyai gejala pada tahap awal. Gejala mulai timbul
ketika sebagian besar fungsi ginjal telah hilang. Gejala yang sering muncul
diantaranya sering sakit kepala, letih, gatal di seluruh tubuh (Anonim, 2008).
Biasanya keadaan ini sering tidak diketahui dan muncul bersamaan dengan
kondisi sistemik lain seperti penyakit kardiovaskuler dan diabetes (Halpin, D.,
dkk., 2008).
Diabetes dapat memicu terjadinya komplikasi kronis di antaranya
gangguan ginjal, gangguan organ pernapasan, dan gangguan jantung (Scully dan
Cawson, 2005). Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolik yang
disebabkan oleh berbagai macam etiologi, ditandai oleh hiperglikemia kronis
dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang dihasilkan
dari cacat pada sekresi insulin, fungsi insulin, atau keduanya (Negrato dan Tarzia,
2010). Diabetes dikaitkan dengan komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular
jangka panjang yang dapat mempengaruhi hampir seluruh bagian tubuh (Scully
dan Cawson, 2005). Komplikasi yang sering pada penderita CKD adalah
hipertensi, anemia, dan juga terjadi asidosis metabolik.
Perubahan-perubahan kondisi lokal dan sistemik pada pasien dengan penyakit
sistemik membuat para praktisi kesehatan membutuhkan suatu modifikasi
perawatan dalam menangani pasien tersebut. Beberapa klasifikasi yang biasa
digunakan sebagai acuan dalam manajemen pasien dengan penyakit sistemik
adalah ASA (The American Society of Anesthesiologist) dan ORA (Oral Risk
Assesment).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. CHRONIC KIDNEY DISEASE


Chronic Kidney Disease (CKD) menggambarkan suatu keadaan abnormal
dari fungsi dan/atau struktur ginjal. Biasanya keadaan ini sering tidak diketahui
dan muncul bersamaan dengan kondisi sistemik lain seperti penyakit
kardiovaskuler dan diabetes (Halpin, D., dkk., 2008)
CKD merupakan silent disease. Kebanyakan penderita CKD tidak
mempunyai gejala pada tahap awal. Gejala mulai timbul ketika sebagian besar
fungsi ginjal telah hilang. Gejala yang sering muncul diantaranya sering sakit
kepala, letih, gatal di seluruh tubuh. Jika CKD telah memburuk, tubuh tidak
mampu membuang zat sisa dan air yang berlebih. Kondisi ini disebut uremia
(Anonim, 2008). Jika uremia tidak dirawat dengan segera, hal ini dapat
menimbulkan efek pada sistem saraf pusat sehingga menyebabkan hilang ingatan,
depresi, halusinasi, berbicara tidak jelas, epilepsi, bahkan bisa koma. Manifestasi
oral penderita CKD seperti xerostomia, gingival bleeding, gingival enlargement,
infeksi jamur, gigi goyah, ulkus, lichen planus, stomatitis, dan white patches
(Vesterrinen, M., 2011).
Beberapa gejala sistemik yang mungkin muncul seperti
 Anemia
 Platelet disorders
 Tekanan darah meningkat
 Sering kencing tetapi kencingnya sedikit
 Pembengkakan di kaki, pergelangan kaki, telapak kaki, wajah, dan.atau
tangan
 Hyperkalemia
 Metallic acidosis
 Rasa mual dan muntah
 Kehilangan selera makan
 Nafas pendek-pendek

3
 Merasa demam
 Sulit berkonsentrasi, pusing
 Kram otot
Adapun pemeriksaan laboratorium kimia yang dapat dilakukan adalah
dengan melihat estimated glomerular filtration rate (eGFR) yang dihitung dari
serum creatinine, dan dengan urine tests (Anonim, 2008). Menurut Suwitra (2006)
dan Kydney Organizazion (2007) tahapan CKD dapat ditunjukan dari laju filtrasi
glomerulus (LFG), adalah sebagai berikut :
a. Tahap I adalah kerusakan ginjal dengan LFG normal atatu meningkat >90
ml/menit/1,73 m2.
b. Tahap II adalah kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan yaitu 60-89
ml/menit/1,73 m2.
c. Tahap III adalah kerusakan ginjal dengan penurunan LFG sedang yaitu 30-59
ml/menit/1,73 m2.
d. Tahap IV adalah kerusakan ginjal dengan penurunan LFG berat yaitu 15-29
ml/menit/1,73 m2.
e. Tahap V adalah gagal ginjal dengan LFG < 15 ml/menit/1,73 m2.
Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare (2001) serta Suwitra (2006)
antara lain adalah :
1. Hiper kalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme, dan
masukan diit berlebih.
2. Prikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin
angiotensin aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium
serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan
kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion anorganik.
6. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
7. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebian.
8. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.

4
9. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.
Kerusakan ginjal pada CKD juga menyebabkan produksi eritropoetin menurun
dan anemia terjadi disertai sesak napas, angina dan keletian. Eritropoetin yang tidak
adekuat dapat memendekkan usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan
kecenderungan untuk mengalami perdarahan karena setatus pasien, terutama dari
saluran gastrointestinal sehingga terjadi anemia berat atau sedang. Eritropoitin sendiri
adalah subtansi normal yang diproduksi oleh ginjal untuk menstimulasi sum-sum
tulang untuk menghasilkan sel darah merah.
Asidosis metabolik terjadi akibat ketidakmampuan ginjal mensekresikan muatan
asam (H+) yang berlebihan. Sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus
ginjal untuk mensekresi amonia (NH3) dan mengabsorpsi natrium bikarbonat
(HCO3). Penurunan sekresi fosfat dan asam organik lain juga terjadi.
CKD menunjukkan suatu kondisi medis dimana kemampuan ginjal untuk
menyaring sisa olahan tubuh terganggu. CKD biasanya berkembang lambat dan
progressnya hingga beberapa tahun. Jika terdiagnosis dan dirawat dengan segera,
mungkin perkembangan CKD bisa diperlambat atau bahkan sembuh. Namun jika
keadaannya memburuk, CKD dapat menyebabkan gagal ginjal. Jika sudah sampai
pada tahap ini, makan pilihan perawatannya adalah dialisis atau transplantasi
ginjal (Anonim, 2008).
Beberapa perawatan lainnya yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
a) Mengurangi tekanan darah
b) Mengurangi proteinuria
c) Terapi angiotensin converting enzyme inhibitors dan angiotensin receptors
blockers
d) Terapi non-dihydropyridine calcium channel blockers
e) Menurunkan lemak
f) Terapi antiplatelet
g) Modifikasi diet
h) Modifikasi gaya hidup
Perilaku yang dapat dilakukan untuk mencegah CKD seperti:
 Kontrol diabetes

5
 Kontol tekanan darah dan hindari rokok
 Kontrol berat badan dan sering berolahraga
 Hindari pemakaian antiinflamasi dan anti nyeri terlalu sering dan dalam
durasi lama
 Hindari atau kurangi stress

B. DIABETES MELLITUS

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kompleks penyakit dengan


komponen-komponen metabolik dan vaskuler. Penyakit DM merupakan penyakit
kronis yang ditandai dengan hiperglikemia dan komplikasi-komplikasi yang
meliputi penyakit mikrovaskular pada ginjal, mata dan neuropati klinis yang
bervariasi (Little dkk, 2007).
Scully & Cawson (2005) menyebutkan bahwa DM merupakan suatu penyakit
yang disebabkan kekurangan absolut atau relatif insulin. Mungkin bisa disebabkan
oleh rendahnya output insulin dari sel-sel beta pankreas, atau bisa juga karena
jaringan perifer mengembangkan resistensi terhadap insulin. Bila insulin kurang
atau aksi insulin terblok (terhalangi), glukosa tidak bisa masuk ke dalam sel dan
tanpa energi, akan menyebabkan kelemahan. Glukosa juga terakumulasi di dalam
darah (hiperglikemi) dan tumpah ke urine (glikosuria), urin yang mengandung
gula ini memiliki tekanan osmotik yang tinggi sehingga menarik air dan terjadi
poliuria. Istilah DM merupakan istilah yang diberikan pada hiperglikemia kronis
pada tingkat yang cukup untuk bisa menimbulkan komplikasi-komplikasi
mikrovaskuler dan menjadi sebab utama kematian dan kecacatan (Scully &
Cawson, 2006).
Menurut Scully & Cawson (2007) DM disebabkan antara lain kelainan
genetik (DM tipe 1A dan DM tipe 2 non obese), autoimun (DM tipe 1B), bisa
juga karena obesitas (DM tipe 2), bisa karena kerusakan pankreas (karena
pankreatis akut dan hemokromatosis), atau kelainan-kelainan endokrin seperti
pada Sindrome Cushing, terapi kortikosteroid, akromegali, pheokromositoma, dan
glukagonoma.

6
DM tipe 1 adalah diserangnya sel-sel beta pankreas oleh suatu respon
autoimmun yang dimediasi oleh limfosit T dan mediator-mediator humoral (TNF,
IL-1, NO) yang bereaksi secara spesifik dengan pada satu atau lebih protein-
protein sel beta (autoantigen) yang menghasilkan defisiensi absolut sekresi
insulin endogen (insulinopenia) dan ketergantungan pada terapi insulin eksogen
untuk berahan hidup. Karena insulinopenia endogen, pasien dengan DM tipe 2
mengalami ketosis dan mungkin ketoasidosis bahkan pada kondisi basal. Etiologi
DM tipe 2 disebabkan antara lain: a. berkurangnya fungsi sel beta (sehingga
sekresi insulin berkekurangan) b. adanya resistensi bermakna atau insensitivitas
terhadap aksi-aksi metabolik insulin (baik endogen maupun eksogen) karena
berkurangnya reseptor-reseptor insulin jaringan (liver, otot skelet, jaringan
adiposa. Kegagalan koupling posreseptor dan aksi insulin intraseluler merupakan
sebab resistensi insulin yang utama (Hupp dkk, 2006).
DM tipe 1 merupakan sindrom dengan kelainan metabolisme karbohidrat dan
hiperglikemia yang tidak terkendali karena defisiensi sekresi insulin endogen.
Kondisi ini menimbulkan komplikasi-komplikasi akhir pada organ termasuk
atherosklerosis yang dipercepat, neuropati, nefropati, dan retinopati. Karakteristik
utama dari DM tipe 1 meliputi: kerusakan sel beta pankreas karena mediasi imun
ataupun idiopathik. hal ini menimbulkan defisiensi insulin absolut. Adanya
poliuri, polidipsi, dan kehilangan berat badan dengan cepat yang terkait dengan
kadar gula darah sewaktu >200 mg/dl. adanya ketonemia, ketonuria atau
kombinasi keduanya.
DM tipe 2 merupakan sindrom dengan kelainan metabolisme karbohidrat dan
hiperglikemia yang tidak terkendali karena defisiensi sekresi insulin endogen dan
atau kombinasi resistensi insulin dan kekurangan kompensasi insulin, yang
menghasilkan komplikasi akhir organ termasuk atherosklerosis yang dipercepat,
neuropati, nefropati, dan retinopati. Karakteristik utama dari DM tipe 2 adalah: 1.
resistensi insulin dengan defisiensi insulin relatif hingga defek sekresi insulin
predominan dengan resistensi insulin seluler target, 2. poliuri dan polidipsia,
ketonuria dan kehilangan berat badan umumnya tidak dijumpai saat diagnosis. 3.

7
banyak pasien memiliki sedikit gejala atau bahkan tidak ada gejala sama sekali. 4.
hipertensi, hiperlipidemia dan atherosklerosis seringkali terkait.

Diabetes Mellitus Tipe II


Manifestasi Klinis DM tipe II menurut Hupp dkk (2006) umumnya muncul
pada usia 40, tetapi dapat pula muncul pada usia yang lebih awal khususnya pada
populasi-populas tertentu. Manifestasi klinisnya adalah sekunder dari
hiperglikemi atau pada beberapa kasus sekunder dari ketosis dan asidosis.
Manifestasi klinis dari hiperglikemia antara lain: poliuria, polidipsia, polifagia dan
kehilangan berat badan dengan glukosuria nyata dan suatu diuresis osmotic yang
berujung pada dehidrasi., kelemahan, kelelahn otot, mual dan ketidaknyamanan
perut, pandangan kabur (karena difusi glukosa ke dalam lensa yang diikuti
pembengkakan dan peningkatan densitas optis, adanya infeksi candida pada
vagina dan ruang intertriginous, adanya peningkatan frekuensi infeksi (khususnya
infeksi saluran kencing akut pada pasien wanita dan infeksi infeksi luka. Tanda-
tanda dan gejala-gejala awal dari DM 1 relatif lebih parah ketimbang pada DM
tipe 2. DM tipe 2 relatif memiliki onset yang jauh lebih lambat. Hal ini terjadi
karena pada DM tipe 2 manifestasi awal dari hiperglikemia mungkin ringan dan
tidak cukup menghasilkan gejala. Serta penyakit baru benar-benar terlihat sebagai
bukti yang nyata hanya jika komplikasi-komplikasi telah berkembang. Diagnosis
ditegakkan dengan ada tidaknya gejala-gejala diabetes yaitu poliuria, polidipsia,
kehilangan berat badan disertai gula darah sesaat.
Komplikasi-komplikasi oral dari Diabetes Mellitus meliputi: 1. Disfungsi
kelenjar saliva yang menghasilkan xerostomia dan mungkin pembengkakan
parotid bilateral 2. Peningkatan risiko infeksi-infeksi oral seperti candidiasis,
median rhomboid glossitis, denture stomatitis, angular cheilitis dan abses
periapikal. 3.peningkatan insidensi dan keprhan inflamasi gingiva, abses
periodontal, penyakit periodontal kronis. 4.peningkatan insidensi dan keparahan
karies.5.adaya glossodynia dan burning mouth syndrome. Pada DM tipe 2 perlu
pemeriksaan radiografi dengan OPG untuk memeriksa apakah terdapat
formasi/pembentuka atheroma arteri carotis. Pasien-pasien dengan lesi-lesi

8
atheromatous harus dirujuk kepada dokter medisnya untuk evaluasi dan perawatan
lebih lanjut , karena modifikasi faktor-faktor risiko atherogenic dan pembuangan
atheroma secara bedah pada beberapa pasien tertentu menurunkan risiko.
Manajemen Dental: perlu dilakukan evaluasi –evaluasi general seperti waktu
onset DM, tipe DM, tipe terapi yang diperlukan (apakah kontrol diet blabal). Little
dkk (2007) menyebukan komplikasi-komplikasi oral dan manifestasi oral dari DM
yang tidak terkontrol mungkin meliputi xerostomia, infeksi-infeksi bakteri virus
dan jamur (termasuk candidiasis), penyembuhan luka yang buruk, peningkatan
insidensi dan keparahan karies, gingivitis dan penyakit periodontal, abses-abses
periapikal dan gejala-gejala mulut terbakar. Temuan-temuan oral pada pasien
dengan diabetes tidak terkontrol sangat terkait dengan kehilangan cairan dalam
jumlah banyak melalui urinasi, perubahan respons terhadap infeksi, perubahan-
perubahan mikrovaskular dan mungkin peningkatan konsentrasi glukosa di dalam
saliva. Efek-efek dari hiperglikemia mengarah pada peningkatan jumlah urin yang
mengurangi cairan-cairan ekstrasseluler dan mengurangi sekresi saliva, sehingga
menghasilkan mulut kering. Mayoritas pasien dengan DM mengalami xerostomia.
Saliva dari glandula parotis pada pasien dengan DM tak terkontrol dilaporkan
mengandung sedikit peningkatan jumlah glukosa. Beberapa studi melaporkan
adanya peningkatan insidensi dan keparahan inflamasi gingiva, abses periodontal,
dan penyakit periodontal krinis pada pasien-pasien diabetik. Perubahan-perubahan
pembuluh darah kecil juga mungkin terjadi pada jaringan giingiva pasien dengan
diabetes. Pasien dewasa dengan DM yang tidak terkontrol yang terpapar penyakit
periodontal ternyata memiliki manifestasi-manifestasi penyakit periodontal yang
lebih parah di

C. EFUSI PLEURA
Efusi pleura adalah penumpukan cairan di dalam ruang pleural, proses
penyakit primer jarang terjadi namun biasanya terjadi sekunder akibat penyakit
lain. Efusi dapat berupa cairan jernih, yang mungkin merupakan transudat,
eksudat, atau dapat berupa darah atau pus (Baughman dan Diane, 2000). Secara
normal, ruang pleural mengandung sejumlah kecil cairan (5 sampai 15ml)

9
berfungsi sebagai pelumas yang memungkinkan permukaan pleural bergerak
tanpa adanya friksi (Smeltzer dan Suzanne, 2002). Efusi pleura adalah istilah yang
digunakan bagi penimbunan cairan dalam rongga pleura (Price dan Sylvia, 1995).
Etiologi Efusi Pleura:
1. Hambatan resorbsi cairan dari rongga pleura, karena adanya bendungan
seperti pada dekompensasi kordis, penyakit ginjal, tumor mediatinum, sindroma
meig (tumor ovarium) dan sindroma vena kava superior
2. Pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang (tuberculosis,
pneumonia, virus), bronkiektasis, abses amuba subfrenik yang menembus ke
rongga pleura, karena tumor dimana masuk cairan berdarah dan karena trauma. Di
Indonesia 80% karena tuberculosis. Kelebihan cairan rongga pleura dapat
terkumpul pada proses penyakit neoplastik, tromboembolik, kardiovaskuler, dan
infeksi. Ini disebabkan oleh sedikitnya satu dari empat mekanisme dasar :
- Peningkatan tekanan kapiler subpleural atau limfatik
- Penurunan tekanan osmotic koloid darah
- Peningkatan tekanan negatif intrapleural
- Adanya inflamasi atau neoplastik pleura

Tanda dan Gejala:


- Adanya timbunan cairan mengakibatkan rasa sakit karena pergesekan, setelah
cairan cukup banyak rasa sakit hilang. Bila cairan banyak, penderita akan sesak
napas.
- Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan nyeri
dada
pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosisi), banyak
keringat, batuk, banyak riak.
- Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi
penumpukan cairan pleural yang signifikan.
- Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karena
cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak dalam
pernapasan, fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati daerah

10
pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis melengkung
(garis Ellis Damoiseu).
- Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani
dibagian atas garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu daerah
pekak karena cairan mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi
daerah ini didapati vesikuler melemah dengan ronki.
- Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura.
Tujuan pengobatan adalah untuk menemukan penyebab dasar, untuk mencegah
penumpukan kembali cairan, dan untuk menghilangkan ketidaknyamanan serta
dispneu. Pengobatan spesifik ditujukan pada penyebab dasar (misal: gagal jantung
kongestif, pneumonia, sirosis).
- Torasentesis dilakukan untuk membuang cairan, untuk mendapatkan specimen
guna keperluan analisis dan untuk menghilangkan dispneu. Bila penyebab
dasar malignansi, efusi dapat terjadi kembali dalam beberapa hari atau minggu,
torasentesis berulang mengakibatkan nyeri, penipisan protein dan elektrolit,
dan kadang pneumothoraks. Dalam keadaan ini kadang diatasi dengan
pemasangan selangdada dengan drainase yang dihubungkan ke system drainase
water-seal atau pengisapan untuk mengevaluasi ruang pleura dan
pengembangan paru.
- Agen yang secara kimiawi mengiritasi, seperti tetrasiklin dimasukkan kedalam
ruang pleura untuk mengobliterasi ruang pleural dan mencegah akumulasi
cairan lebih lanjut.
- Pengobatan lainnya untuk efusi pleura malignan termasuk radiasi dinding dada,
bedah plerektomi, dan terapi diuretic.

D. HEPATITIS B
Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus hepatitis B,
suatu anggota famili hepadnavirus yang dapat menyebabkan peradangan hati akut
atau menahun yang dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati
(Kominfo, 2008). Infeksi virus hepatitis B suatu infeksi sistemik yang
menimbulkan peradangan dan nekrosis sel hati yang mengakibatkan terjadinya

11
serangkaian kelainan klinik, biokimiawi, imunoserologik, dan morfologik
(Sulaiman, 1998).
Faktor determinan atau faktor yang mempengaruhi adalah faktor-faktor yang
mempengaruhi untuk terjadinya penyakit infeksi VHB, adapun faktor determinan
tersebut antara lain : Riwayat penyakit yang dialami manusia yang mempunyai
risiko terinfeksi HVB adalah penyakit yang diderita oleh individu dengan kelainan
kekebalan seluler seperti : penderita uremia dengan hemodialisis, penderita
leukemia limfosit, yang selalu memerlukan transfusi darah dan penderita yang
mendapat terapi imunosuperif (British Medical Assosiation., 1995).

E. KONSEP PERAWATAN DENTAL YANG SESUAI PADA PASIEN


DENGAN PENYAKIT SISTEMIK
Perubahan-perubahan kondisi lokal dan sistemik pada pasien dengan penyakit
sistemik membuat para praktisi kesehatan membutuhkan suatu modifikasi
perawatan dalam menangani pasien tersebut. Beberapa klasifikasi yang biasa
digunakan sebagai acuan dalam manajemen pasien dengan penyakit sistemik
adalah ASA (The American Society of Anesthesiologist) dan ORA (Oral Risk
Assesment).
Klasifikasi ASA adalah sistem subyektif yang mengklasifikasikan pasien
berdasarkan tingkat keparahan penyakit tersebut mempengaruhi kehidupan sehari-
hari. Setiap pasien dapat menunjukkan kategori yang berbeda pada setiap
kunjungannya tergantung kontrol dan stabilitas penyakitnya. Klasifikasi ASA :
1. ASA I
Pasien sehat normal, tidak memerlukan perubahan tindakan perawatan dental.
2. ASA II
Pasien dengan penyakit sistemik ringan yang tidak mengganggu aktivitas
sehari-hari atau seseorang yang memiliki faktor resiko kesehatan seperti
merokok, penyalahgunaan alcohol, dan kegemukan. Contohnya adalah pasien
dengan kasus hipertensi stage 1 atau 2, diabetes tipe 2, mur-mur jantung,
RHD asimptomatik, alergi, asma terkontrol, hepatitis B surface antigen

12
positif, HIV, chronic Pulmonary Obstructive Disease (COPD) ringan, stable
angina pectoris.
3. ASA III
Pasien dengan kondisi sistemik sedang hingga parah yang dapat mengganggu
aktivitas sehari-hari, memerlukan pertimbangan pemakaian obat, perawtan
khusus, perlu modifikasi perawatan dental. Contohnya adalah pasien dengan
diabetes tipe 2, hipertensi stadium 2, unstable angina pectoris, recent
myocardial infarction, congestive heart failure yang tidak terkontrol, AIDS,
COPD, dan hemophilia.
4. ASA IV
Pasien dengan penyakit sistemik parah yang terus-menerus mengancam
kehidupan sehingga memerlukan modifikasi perawatan dental yang
memerlukan kerjasama antara dokter dengan dokter spesialis. Contohnya
adalah pasien dengan gagal ginjal, gagal hati, dan AIDS tingkat lanjut (Little
dkk., 2002).
Bricker dkk (1994) menyatakan bahwa pengambilan keputusan dalam
manajemen pasien dengan penyakit sistemik merupakan suatu keputusan yang
sulit karena bergantung pada 4 variabel, yaitu : 1) keinginan pasien, 2) rencana
perawatan, 3) emosi dan kondisi fisik pasien, dan 4) saran dari ahli, misalnya
dokter spesialis. Rencana perawatan disusun menurut tingkat stres pasien dan
resiko yang mungkin terjadi. Pendekatan untuk menentukan tingkat resiko adalah
Oral Risk Assesment (ORA) :
1. ORA tipe I
Perawatan meliputi diagnosis dan prosedur dental pencegahan yang tidak
menimbulkan reaksi lanjut. Pengamatan klinis dan radiograf, kesan pertama,
dan prosedur pengumpulan data.
2. ORA tipe II
Perawatan meliputi prosedur dental rutin yang memiliki resiko kecil untuk
menimbulkan reaksi lanjut, termasuk tindakan dental sederhana dengan
administrasi anestesi local, terapi saluran akar standar tanpa administrasi
anestesi local, perawtan orto sederhana, prosedur untuk meminimalkan

13
perdarahan (skaling dan polishing, penggantian tumpatan), dan perawatan
darurat.
3. ORA tipe III
Perawatan termasuk prosedur dental yang mempunyai resiko sedang untuk
menimbulkan reaksi lanjut. Prosedur yang termasuk ORA tipe 3 antara lain :
prosedur invasive dan hemoragi sedang (pencabutan gigi yang sederhana) dan
perawatan yang membutuhkan beberapa waktu (1-2 jam) yang melibatkan
fase 2 tindakan dental rekonstruktif kompleks, ortodonsia, periodonsia, atau
endodontic. Juga termasuk prosedur yang memerlukan administrasi obat-
obatan intravena (agen ankiolitik, antibiotic, atau beberapa karpul anestesi
local untuk kontrol rasa sakit).
4. ORA tipe IV
Prosedur meliputi prosedur perdarahan (ekstraksi multiple, bedah flap
mukoperiosteal, dan bedah endodontic). Prosedur berlangsung lebih dari 2
jam, infeksi orofacial dengan pembengkakan wajah, rasa sakit yang sulit
dikontrol dan memerlukan sedasi sadar atau terapi ankilotik intravena, dan
perawatan darurat yang menimbulkan tekanan fisik dan emosional pasien
(contohnya adanya infeksi, perdarahan, trauma kraniofasial).
5. ORA tipe V
Perawatan meliputi prosedur dental yang menimbulkan resiko reaksi lanjut
yang tinggi seperti infeksi orofacial yang parah, prosedur sedasi yang dalam,
prosedur bedah ekstensif, dan prosedur yang memerlukan anestesi umum.

14
BAB III
LAPORAN KASUS

Nama : Sukisno
Umur : 54 tahun
Tempat/ Tanggal Lahir : Sragen/ 12 Juni 1962
Tanggal Masuk : 4 Juni 2016
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Bendorejo RT 4 RW 15 Semanu, Gunung Kidul
Alamat dokter pengirim : RSUD Wonosari, Jalan Taman Bakti Wonosari
Pekerjaan : Pegawai Swasta
No RM : 01-77-37-75
No Kamar : Dahlia I no.6 (JKN Non PBI)

Keluhan Utama:
Sesak nafas memberat sejak ± 1 hari sebelum masuk Rumah Sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang:


Kira-kira 1 hari sebelum masuk Rumah Sakit, pasien mengeluh sesak
nafas memberat saat aktivitas ringan (+), tidak disertai batuk dan demam. Pasien
sudah mulai merasakan sesak nafas sejak ± 1 bulan sebelum masuk rumah sakit,
dirasakan sesak saat jalan menanjak atau agak jauh. Kira-kira 2 minggu sebelum
masuk rumah sakit, pasien mengeluh sesak nafas memberat → pasien mondok
kira-kira 8 hari di RS Wonosari. Pasien disarankan cuci darah namun pasien
masih menolak.
Pasien adalah penderita DM sejak kira-kira 15 tahun lalu, rutin kontrol
dengan terapi Glibenclamide (gula darah rerata ± 130 an, gula darah tertinggi 200-
an). Pasien mengkonsumsi obat gula terakhir ± 2 minggu sebelum masuk rumah
sakit. Lemas (-), kesemutan pada kedua kaki (-). Pasien juga memiliki riwayat
penyakit hipertensi ± sejak 1 tahun lalu. Pada hari saat masuk rumah sakit: sesak

15
nafas (+), batuk (-), demam (-), mual (-), muntah (-), gatal-gatal diseluruh badan
(+) →sejak kira-kira 2 minggu sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Pribadi:
Pasien adalah seorang pegawai swasta dan seorang duda dengan 3 orang
anak. Memiliki kesulitan biaya, biaya ditanggung JKN Non PBI.

Riwayat Penyakit Dahulu:


- Alergi (-)
- Riwayat operasi (-)
- Diabetes Mellitus sejak ± 15 tahun lalu
- Hipertensi sejak ± 1 tahun lalu

Riwayat Penyakit Keluarga:


- Alergi (-)
- Hipertensi (-)
- Diabetes Mellitus (-)

Keadaan Umum : Sedang, Compos Mentis, tampak sesak.

Pemeriksaan Jasmani
Vital Signs:
Tekanan Darah : 150/80 mmHg
Nadi : 108 kali/menit
Suhu : 36,6 ˚C
Pernapasan
Frekuensi : 24 kali/menit
Jenis : abdominothoracal
Keadaan gizi : overweight
Kulit : suhu raba hangat-kering
Keringat : oedema

16
Konjungtiva : pucat

Pemeriksaan Fisik
Thorax : perkusi kiri (+) redup ,mulai dari sis V-VI
Perkusi kanan (+) redup, mulai dari sis VI-VII
Auskultasi: kiri : vesikuler ↓ mulai dari sis V
kanan : vesikuler ↓ mulai dari sis VI
Bising (-)
Abdomen : protuberant, nyeri tekan (-), hepar/lien tak teraba, ascites (+)
minimal.
Extremitas : edema - -
+ +

Hasil Laboratorium
Hemoglobin : 6,9 BUN : 54,7
Angka Leukosit : 7,7 Creatinin : 9,34
Angka Trombosit: 202 Na : 141
GDS : 130 K : 3,6
GDP : 94 Cl : 109
MCV : 96,5 HbsAg reaktif
MCH : 30,5 PH : 7,31
Albumin : 2,79 HCO3 : 9,2

Diagnosis
- Chronic Kidney Disease Stage V et causa suspect nefropati DM
- Asidosis Metabolik
- Efusi Pleura Bilateral
- Hepatitis B
- Anemia Renal
- Diabetes Mellitus Tipe 2 Obese
- Hipertensi

17
Pengobatan
- O2 nasal kanol 3L/menit - CaCO3 3xI
- IV plug - Eclid 3x50 g
- Irbesarta 1x300 mg - HCT 1x 12,5 g
- Amlodipin 1x10 mg - Mecobalamin 2x1, 500 mg
- Asam folat 3x1 - Gabapentin 2x100 mg

Apel Gigi:

V IV III II I I II III IV V
8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8

8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8
V IV III II I I II III IV V

Hasil Pemeriksaan Oral Dental


- OHI buruk - Gigi 16,17,18, 28, 38 dan 48 hilang
- Radix gigi 36,38 dan 46 - Gingivitis
- Nekrosis pulpa gigi 25, 45 dan 47 - Periodontitis
- Luksasi derajat 3 gigi 37 - Resesi gingiva

Rekomendasi Oral Dental


● DHE
- Mengedukasi dan memotivasi pasien untuk selalu menjaga
kebersihan gigi dan mulutnya dengan sikat gigi minimal 2 kali sehari
yaitu setelah sarapan dan sebelum tidur malam serta berkumur
dengan obat kumur tanpa alkohol setelah makan.
- Menganjurkan kepada pasien untuk memilih bulu sikat yang halus
serta menjelaskan cara menyikat gigi yang benar.

18
- Menginformasikan kepada pasien bahwa terdapat pembesaran gusi yang
disebabkan oleh penumpukan karang gigi, terdapat gigi goyang yang
berhubungan dengan kondisi diabetes pasien, serta terdapat beberapa gigi
yang sebaiknya dicabut.
 Menyarankan kepada pasien untuk melakukan scaling calculus ketika kondisi
tubuh telah stabil.
 Menyarankan kepada pasien untuk mencabutkan sisa akar dan gigi yang
berlubang besar sebelah kiri atas dan bawah ketika kondisi tubuh telah stabil.
 Menyarankan kepada pasien untuk membuatkan gigi tiruan sebagian lepasan
untuk menggantikan gigi-gigi atas dan bawah yang hilang.

Pasien memiliki penyakit sistemik yang masuk dalam klasifikasi ASA II dan
ORA III, sehingga dilakukan tindakan dental dengan modifikasi sebagai
berikut :
1. Tindakan dental dilaksanakan 1 hari setelah pasien melakukan hemodialisis.
2. Scaling dilakukan per regio demi mempersingkat waktu kunjungan,
diutamakan pada regio yang paling kotor terlebih dahulu.
3. Syarat dilakukan tindakan dental jika nilai Hb > 7
4. Syarat dilakukan tindakan dental jika tekanan darah pasien ≤ 140/80 mmHg
5. Syarat dilakukan tindakan dental jika gula darah sewaktu < 200

19
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien adalah penderita chronic kidney disesase stage V et causa suspect


nefropati DM disertai komplikasi asidosis metabolik, efusi pleura bilateral,
hepatitis B, dan anemia renal, diabetes mellitus tipe 2 obese dan hipertensi. Pasien
adalah penderita Diabetes Melitus kira-kira sejak berumur 38 tahun dan memiliki
riwayat hipertensi kira-kira sejak berumur 53 tahun. Pasien telah melakukan
hemodialisis pada tanggal 4 Juni dan 7 Juni 2016 sejak dirawat di RSUP Dr.
Sardjito.
Pemeriksaan intraoral pasien menunjukkan OHI buruk akibat banyaknya
kalkulus subgingiva disertai banyak debris, 6 gigi hilang, radix gigi 36, 38 dan 46,
nekrosis pulpa gigi 25, 45 dan 47, luksasi derajat 3 gigi 37, gingivitis,
periodontitis, resesi gingiva dan atrisi gigi anterior bawah. Kelainan-kelainan
yang ditemukan lebih disebabkan oleh buruknya oral hygiene pasien. Keadaan ini
tidak menutup kemungkinan disebabkan pula oleh penyakit DM yang sudah lama
diderita pasien.
Diabetes diasosiasikan dengan respons inflamasi berlebih gingiva terhadap
plak. Secara umum, pasien dengan diabetes terkontrol dan pasien tanpa diabetes
mempunyai tingkat gingivitis yang serupa apabila jumlah plak pada kedua
kelompok tersebut serupa juga. Sementara itu, pasien diabetes tidak terkontrol
mempunyai tingkat gingivitis lebih parah dibandingkan pasien tanpa diabetes atau
pasien dengan diabetes terkontrol.
Periodontitis juga memiliki hubungan yang erat dengan diabetes. Sebuah
penelitian menunjukkan bahwa pasien DM tipe 2 dewasa mempunyai risiko
kehilangan tulang alveolar progresif empat kali lipat lebih besar dibandingkan
orang dewasa tanpa diabetes. Seperti gingivitis, pasien diabetes dengan kontrol
glikemik buruk juga mempunyai risiko perkembangan periodontitis dan risiko
kehilangan perlekatan lebih besar dibandingkan pasien diabetes yang kontrol
glikemiknya baik. Pada pasien juga ditemukan adanya resesi gingiva yang

20
kemungkinan disebabkan adanya destruksi jaringan periodontal sebagai
manifestasi penyakit DM serta pengaruh usia tua pada pasien.
Pada pasien ditemukan adanya gigi yang luksasi. Luksasi atau kegoyahan
gigi yang terjadi pada pasien diabetes mellitus disebabkan karena adanya
destruksi pada jaringan ikat dan resorbsi tulang alveolar. Keadaan tersebut
disebabklan oleh adanya mikroangiopati pada pembuluh darah kecil yang
menyuplai jaringan periodontal. Mikroangiopati pada jaringan periodontal
menyebabkan penurunan ketahanan jaringan periodontal terhadap infeksi
sehingga lebih rentan terhadap faktor lokal dalam rongga mulut seperti plak dan
kalkulus yang menyebabkan pasien mudah terkena periodontitis. Destruksi
jaringan ikat dan resorbsi tulang yang diperparah dengan adanya kalkulus akan
menyebabkan gigi goyah dan akhirnya tanggal dengan sendirinya.
Berdasarkan klasifikasi ASA dan ORA, pasien saat ini tergolong dalam
ASA II dan ORA tipe III. Bricker dkk (1994) menyatakan bahwa pasien dengan
klasifikasi tersebut dapat dilakukan tindakan dental dengan modifikasi
penanganan dental dan konsultasi medis.
ORA I ORA II ORA III ORA IV ORA V
ASA I Routine Routine Routine Routine Strict precaution
precaution precaution precaution precaution
ASA II Routine Modification Modification in Strict Strict precaution
precaution in dental dental treatment precaution and medical
treatment and medical consultation
consultation
ASA III Routine Modification Modification in Strict Hospitalization
precaution in dental dental treatment precaution protocol and
treatment and and medical and medical medical
medical consultation consultation consultation
consultation
ASA IV Modification Strict contraindicated Defer until Contraindicated
in dental precaution/ condition
treatment and hospitalization improves,
medical protocol and precaution
consultation medical in hospital
consultation environment
and medical
consultation

Rekomendasi oral pertama kali yang dilakukan pada pasien adalah edukasi.
Pasien disarankan untuk selalu menjaga kebersihan gigi dan mulutnya dengan

21
sikat gigi minimal 2 kali sehari yaitu setelah sarapan dan sebelum tidur malam
serta berkumur dengan obat kumur tanpa alkohol setelah makan. Menganjurkan
kepada pasien untuk memilih bulu sikat yang halus serta menjelaskan cara
menyikat gigi yang benar.
Saat melakukan penatalaksanaan dental terhadap pasien dengan kondisi
seperti ini, dokter gigi harus memperhatikan riwayat kesehatan pasien. Tindakan
dental sebaiknya dijadwalkan pada pagi hari setelah pasien mengkonsumsi obat-
obatannya karena pagi hari adalah waktu yang terbaik, selain untuk mereduksi
kecemasan pasien, pada siang hari tekanan darah pasien mencapai puncaknya
sehingga tidak baik untuk dilakukan tindakan dental. Tindakan dental dapat
dilakukan ketika pasien sudah dapat duduk dalam waktu yang cukup lama dan
pasien sudah tidak merasa sesak napas sehingga perawatan dapat berlangsung
dengan nyaman. Sebelum dilakukan tindakan perlu dilakukan edukasi psikoterapi
yaitu menjelaskan secara detail mengenai tindakan yang akan dilakukan oleh
dokter gigi, serta ketidaknyamanan yang mungkin akan terjadi saat perawatan
dental.
Tindakan dental dilakukan secara bertahap, pada kunjungan pertama
disarankan untuk membersihkan karang giginya dengan scaling. Scaling
dilakukan untuk mencegah resorbsi tulang alveolar karena faktor lokal dan
mengatasi gingivitis yang diderita pasien. Modifikasi dental yang dilakukan pada
pasien adalah dilaksanakan stress reduction programe, tindakan dental
dilaksanakan 1 hari setelah pasien melakukan hemodialisis supaya heparin (anti
koagulan) dalam darah pada tingkat paling minimal demi mengurangi resiko
perdarahan. Scaling dilakukan per regio demi mempersingkat waktu kunjungan,
diutamakan pada regio yang paling kotor terlebih dahulu. Scaling dapat dilakukan
saat kondisi pasien stabil dengan syarat jika nilai Hb > 7, tekanan darah pasien ≤
140/80 mmHg dan gula darah sewaktu < 200 mg/dL.
Pada pertemuan berikutnya dapat dilakukan pencabutan gigi dengan syarat
kadar glukosa darah pasien terkontrol (< 200 mg/dL), nilai Hb > 7, tekanan darah
pasien ≤ 140/80 mmHg dan dilakukan H+1 setelah hemodialisis. Terkait dengan
penyakit CKD pada pasien, antibiotik profilaksis harus dipertimbangkan, anestesi

22
lokal disuntikkan dengan perlahan dan tidak boleh > 25% dosis total yang
direkomendasikan untuk pasien normal, aspirin dihindari. Perlu ditanyakan pada
pasien sebelumnya mengenai waktu makan terakhir dan konsumsi obat sebelum
pasien berkunjung untuk mencegah hipoglikemia. Perlu juga dilakukan
penyesuaian posisi kursi dental semisupine atau tegak, disesuaikan dengan
kenyamanan pasien. Perawatan harus dilakukan dalam waktu yang singkat dan
tidak menimbulkan kecemasan pasien.
Pada kunjungan selanjutnya, setelah luka pencabutan sembuh dan menutup
sempurna, dapat dilakukan pencetakan gigi pasien untuk pembuatan protesa gigi.
Protesa gigi yang digunakan adalah protesa lepasan berbahan valplast yang elastis
yang tidak memerlukan kawat dengan penjangkar gigi. Alasan penggunaan bahan
valplast adalah mengurangi beban terhadap gigi sehingga mencegah kegoyahan
gigi karena resorbsi tulang alveolar yang dialami pasien.

23
KESIMPULAN

Manifestasi oral yang ditemukan pada pasien bernama Sukisno, 54 tahun


dengan diagnosis Chronic Kidney Disease Stage V et causa suspect nefropati DM
disertai Asidosis Metabolik, Efusi Pleura Bilateral, Hepatitis B, Anemia Renal,
dan Diabetes Mellitus Tipe 2 Obese antara lain kalkulus, gingivitis, periodontitis,
resesi gingiva, radiks, nekrose pulpa, dan luksasi gigi. Kategori manajemen
perawatan dental pasien ini masuk dalam klasifikasi ASA II dan ORA III. Pasien
dengan klasifikasi tersebut dapat dilakukan tindakan dental dengan modifikasi
penanganan dental dan konsultasi medis.

24
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2008, Diagnosis and Management of Chronic Kidney Disease, a


national clinical guidelines, Scottish Intercollegiate Guidelines Network.

Anonim, 2008, Guidelines & Protocols, Chronic Kidney Disease-Identification,


Evaluation and Management of Patients, Ministry of Health Services,
British Columbia Medical Association.

Baughman, D.C., Hackley, J.C., 2000, Keperawatan medikal-bedah: buku saku


dari Brunner dan Suddarth, EGC, Jakarta, p. 166

Bricker, S.L., Langlais, R.P., Miller, C.S., 1994, Oral Diagnosis, Oral Medicine,
and Treatment Planning, Lea & Febiger, Pennsylvania.

British Medical Assosiation., 1995, Imunisasi Hepatitis B. Penterjemah Irrene W,


Edisi Kedua, Penerbit Hypocrates, Jakarta.

Halpin, D., dkk., 2008, Chronic Kidney Diseases, Early Identification and
Management of Chronic Kidney Diseases in Adults in Primary and
Secondary Care, NICE clinical guidelines

Hupp JR, Williams TP, Firrolo FJ., 2006, Dental Clinical Advisor, Mosby
Elsevier: USA.

Kominfo., 2008. Hepatitis B. http://id.wikipedia.org/wiki/Hepatitis_B.

Little J.R., Falace D.A., 2002, Dental Management of The Medically


Compromised Patient, 4th ed., St.Louis : Mosby.

Little JW, Falace DA, Miller CS, Rhodus NL., 2007, Dental Management of the
Medically Compromised Patient 7th Edition, Mosby Elsevier.

Negrato, C.A., Tarzia, O., 2010, Buccal alterations in diabetes mellitus, Negrato
and Tarzia Diabetology & Metabolic Syndrome, 2:3.

Scully C., Cawson R.A., 2005, Medical Problems in Dentistry, Elsevier,


Edinburgh.

Scully, Crispian & Cawson, Roderick., 2005, Medical Problems in Dentistry 5th
Edition, Elsevier Churchill Livingstone: London.

Smeltzer, Suzanne, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner and
Suddarth’s, Ed.8, EGC, Jakarta.

25
Sulaiman A., 1998, Virus Hepatitis B Sirorsis Hati dan Karsinoma Hepatoseluler.
Publisher, Jakarta.

Vesterrinen, M., 2011, Oral Health and Kidney Disease with emphasis on
diabetic nephropathy, Institute of Dentistry, University of Helsinki,
Department of Oral and Maxillofacial Disease, and Department of
Medicine, Division of Nephrology, Helsinki University Central Hospital,
Helsinki, Finland).

26

Anda mungkin juga menyukai