DISUSUN OLEH:
Koas Kerumahsakitan Angkatan 134
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Merasa demam
Sulit berkonsentrasi, pusing
Kram otot
Adapun pemeriksaan laboratorium kimia yang dapat dilakukan adalah
dengan melihat estimated glomerular filtration rate (eGFR) yang dihitung dari
serum creatinine, dan dengan urine tests (Anonim, 2008). Menurut Suwitra (2006)
dan Kydney Organizazion (2007) tahapan CKD dapat ditunjukan dari laju filtrasi
glomerulus (LFG), adalah sebagai berikut :
a. Tahap I adalah kerusakan ginjal dengan LFG normal atatu meningkat >90
ml/menit/1,73 m2.
b. Tahap II adalah kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan yaitu 60-89
ml/menit/1,73 m2.
c. Tahap III adalah kerusakan ginjal dengan penurunan LFG sedang yaitu 30-59
ml/menit/1,73 m2.
d. Tahap IV adalah kerusakan ginjal dengan penurunan LFG berat yaitu 15-29
ml/menit/1,73 m2.
e. Tahap V adalah gagal ginjal dengan LFG < 15 ml/menit/1,73 m2.
Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare (2001) serta Suwitra (2006)
antara lain adalah :
1. Hiper kalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme, dan
masukan diit berlebih.
2. Prikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin
angiotensin aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium
serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan
kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion anorganik.
6. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
7. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebian.
8. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
4
9. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.
Kerusakan ginjal pada CKD juga menyebabkan produksi eritropoetin menurun
dan anemia terjadi disertai sesak napas, angina dan keletian. Eritropoetin yang tidak
adekuat dapat memendekkan usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan
kecenderungan untuk mengalami perdarahan karena setatus pasien, terutama dari
saluran gastrointestinal sehingga terjadi anemia berat atau sedang. Eritropoitin sendiri
adalah subtansi normal yang diproduksi oleh ginjal untuk menstimulasi sum-sum
tulang untuk menghasilkan sel darah merah.
Asidosis metabolik terjadi akibat ketidakmampuan ginjal mensekresikan muatan
asam (H+) yang berlebihan. Sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus
ginjal untuk mensekresi amonia (NH3) dan mengabsorpsi natrium bikarbonat
(HCO3). Penurunan sekresi fosfat dan asam organik lain juga terjadi.
CKD menunjukkan suatu kondisi medis dimana kemampuan ginjal untuk
menyaring sisa olahan tubuh terganggu. CKD biasanya berkembang lambat dan
progressnya hingga beberapa tahun. Jika terdiagnosis dan dirawat dengan segera,
mungkin perkembangan CKD bisa diperlambat atau bahkan sembuh. Namun jika
keadaannya memburuk, CKD dapat menyebabkan gagal ginjal. Jika sudah sampai
pada tahap ini, makan pilihan perawatannya adalah dialisis atau transplantasi
ginjal (Anonim, 2008).
Beberapa perawatan lainnya yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
a) Mengurangi tekanan darah
b) Mengurangi proteinuria
c) Terapi angiotensin converting enzyme inhibitors dan angiotensin receptors
blockers
d) Terapi non-dihydropyridine calcium channel blockers
e) Menurunkan lemak
f) Terapi antiplatelet
g) Modifikasi diet
h) Modifikasi gaya hidup
Perilaku yang dapat dilakukan untuk mencegah CKD seperti:
Kontrol diabetes
5
Kontol tekanan darah dan hindari rokok
Kontrol berat badan dan sering berolahraga
Hindari pemakaian antiinflamasi dan anti nyeri terlalu sering dan dalam
durasi lama
Hindari atau kurangi stress
B. DIABETES MELLITUS
6
DM tipe 1 adalah diserangnya sel-sel beta pankreas oleh suatu respon
autoimmun yang dimediasi oleh limfosit T dan mediator-mediator humoral (TNF,
IL-1, NO) yang bereaksi secara spesifik dengan pada satu atau lebih protein-
protein sel beta (autoantigen) yang menghasilkan defisiensi absolut sekresi
insulin endogen (insulinopenia) dan ketergantungan pada terapi insulin eksogen
untuk berahan hidup. Karena insulinopenia endogen, pasien dengan DM tipe 2
mengalami ketosis dan mungkin ketoasidosis bahkan pada kondisi basal. Etiologi
DM tipe 2 disebabkan antara lain: a. berkurangnya fungsi sel beta (sehingga
sekresi insulin berkekurangan) b. adanya resistensi bermakna atau insensitivitas
terhadap aksi-aksi metabolik insulin (baik endogen maupun eksogen) karena
berkurangnya reseptor-reseptor insulin jaringan (liver, otot skelet, jaringan
adiposa. Kegagalan koupling posreseptor dan aksi insulin intraseluler merupakan
sebab resistensi insulin yang utama (Hupp dkk, 2006).
DM tipe 1 merupakan sindrom dengan kelainan metabolisme karbohidrat dan
hiperglikemia yang tidak terkendali karena defisiensi sekresi insulin endogen.
Kondisi ini menimbulkan komplikasi-komplikasi akhir pada organ termasuk
atherosklerosis yang dipercepat, neuropati, nefropati, dan retinopati. Karakteristik
utama dari DM tipe 1 meliputi: kerusakan sel beta pankreas karena mediasi imun
ataupun idiopathik. hal ini menimbulkan defisiensi insulin absolut. Adanya
poliuri, polidipsi, dan kehilangan berat badan dengan cepat yang terkait dengan
kadar gula darah sewaktu >200 mg/dl. adanya ketonemia, ketonuria atau
kombinasi keduanya.
DM tipe 2 merupakan sindrom dengan kelainan metabolisme karbohidrat dan
hiperglikemia yang tidak terkendali karena defisiensi sekresi insulin endogen dan
atau kombinasi resistensi insulin dan kekurangan kompensasi insulin, yang
menghasilkan komplikasi akhir organ termasuk atherosklerosis yang dipercepat,
neuropati, nefropati, dan retinopati. Karakteristik utama dari DM tipe 2 adalah: 1.
resistensi insulin dengan defisiensi insulin relatif hingga defek sekresi insulin
predominan dengan resistensi insulin seluler target, 2. poliuri dan polidipsia,
ketonuria dan kehilangan berat badan umumnya tidak dijumpai saat diagnosis. 3.
7
banyak pasien memiliki sedikit gejala atau bahkan tidak ada gejala sama sekali. 4.
hipertensi, hiperlipidemia dan atherosklerosis seringkali terkait.
8
atheromatous harus dirujuk kepada dokter medisnya untuk evaluasi dan perawatan
lebih lanjut , karena modifikasi faktor-faktor risiko atherogenic dan pembuangan
atheroma secara bedah pada beberapa pasien tertentu menurunkan risiko.
Manajemen Dental: perlu dilakukan evaluasi –evaluasi general seperti waktu
onset DM, tipe DM, tipe terapi yang diperlukan (apakah kontrol diet blabal). Little
dkk (2007) menyebukan komplikasi-komplikasi oral dan manifestasi oral dari DM
yang tidak terkontrol mungkin meliputi xerostomia, infeksi-infeksi bakteri virus
dan jamur (termasuk candidiasis), penyembuhan luka yang buruk, peningkatan
insidensi dan keparahan karies, gingivitis dan penyakit periodontal, abses-abses
periapikal dan gejala-gejala mulut terbakar. Temuan-temuan oral pada pasien
dengan diabetes tidak terkontrol sangat terkait dengan kehilangan cairan dalam
jumlah banyak melalui urinasi, perubahan respons terhadap infeksi, perubahan-
perubahan mikrovaskular dan mungkin peningkatan konsentrasi glukosa di dalam
saliva. Efek-efek dari hiperglikemia mengarah pada peningkatan jumlah urin yang
mengurangi cairan-cairan ekstrasseluler dan mengurangi sekresi saliva, sehingga
menghasilkan mulut kering. Mayoritas pasien dengan DM mengalami xerostomia.
Saliva dari glandula parotis pada pasien dengan DM tak terkontrol dilaporkan
mengandung sedikit peningkatan jumlah glukosa. Beberapa studi melaporkan
adanya peningkatan insidensi dan keparahan inflamasi gingiva, abses periodontal,
dan penyakit periodontal krinis pada pasien-pasien diabetik. Perubahan-perubahan
pembuluh darah kecil juga mungkin terjadi pada jaringan giingiva pasien dengan
diabetes. Pasien dewasa dengan DM yang tidak terkontrol yang terpapar penyakit
periodontal ternyata memiliki manifestasi-manifestasi penyakit periodontal yang
lebih parah di
C. EFUSI PLEURA
Efusi pleura adalah penumpukan cairan di dalam ruang pleural, proses
penyakit primer jarang terjadi namun biasanya terjadi sekunder akibat penyakit
lain. Efusi dapat berupa cairan jernih, yang mungkin merupakan transudat,
eksudat, atau dapat berupa darah atau pus (Baughman dan Diane, 2000). Secara
normal, ruang pleural mengandung sejumlah kecil cairan (5 sampai 15ml)
9
berfungsi sebagai pelumas yang memungkinkan permukaan pleural bergerak
tanpa adanya friksi (Smeltzer dan Suzanne, 2002). Efusi pleura adalah istilah yang
digunakan bagi penimbunan cairan dalam rongga pleura (Price dan Sylvia, 1995).
Etiologi Efusi Pleura:
1. Hambatan resorbsi cairan dari rongga pleura, karena adanya bendungan
seperti pada dekompensasi kordis, penyakit ginjal, tumor mediatinum, sindroma
meig (tumor ovarium) dan sindroma vena kava superior
2. Pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang (tuberculosis,
pneumonia, virus), bronkiektasis, abses amuba subfrenik yang menembus ke
rongga pleura, karena tumor dimana masuk cairan berdarah dan karena trauma. Di
Indonesia 80% karena tuberculosis. Kelebihan cairan rongga pleura dapat
terkumpul pada proses penyakit neoplastik, tromboembolik, kardiovaskuler, dan
infeksi. Ini disebabkan oleh sedikitnya satu dari empat mekanisme dasar :
- Peningkatan tekanan kapiler subpleural atau limfatik
- Penurunan tekanan osmotic koloid darah
- Peningkatan tekanan negatif intrapleural
- Adanya inflamasi atau neoplastik pleura
10
pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis melengkung
(garis Ellis Damoiseu).
- Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani
dibagian atas garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu daerah
pekak karena cairan mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi
daerah ini didapati vesikuler melemah dengan ronki.
- Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura.
Tujuan pengobatan adalah untuk menemukan penyebab dasar, untuk mencegah
penumpukan kembali cairan, dan untuk menghilangkan ketidaknyamanan serta
dispneu. Pengobatan spesifik ditujukan pada penyebab dasar (misal: gagal jantung
kongestif, pneumonia, sirosis).
- Torasentesis dilakukan untuk membuang cairan, untuk mendapatkan specimen
guna keperluan analisis dan untuk menghilangkan dispneu. Bila penyebab
dasar malignansi, efusi dapat terjadi kembali dalam beberapa hari atau minggu,
torasentesis berulang mengakibatkan nyeri, penipisan protein dan elektrolit,
dan kadang pneumothoraks. Dalam keadaan ini kadang diatasi dengan
pemasangan selangdada dengan drainase yang dihubungkan ke system drainase
water-seal atau pengisapan untuk mengevaluasi ruang pleura dan
pengembangan paru.
- Agen yang secara kimiawi mengiritasi, seperti tetrasiklin dimasukkan kedalam
ruang pleura untuk mengobliterasi ruang pleural dan mencegah akumulasi
cairan lebih lanjut.
- Pengobatan lainnya untuk efusi pleura malignan termasuk radiasi dinding dada,
bedah plerektomi, dan terapi diuretic.
D. HEPATITIS B
Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus hepatitis B,
suatu anggota famili hepadnavirus yang dapat menyebabkan peradangan hati akut
atau menahun yang dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati
(Kominfo, 2008). Infeksi virus hepatitis B suatu infeksi sistemik yang
menimbulkan peradangan dan nekrosis sel hati yang mengakibatkan terjadinya
11
serangkaian kelainan klinik, biokimiawi, imunoserologik, dan morfologik
(Sulaiman, 1998).
Faktor determinan atau faktor yang mempengaruhi adalah faktor-faktor yang
mempengaruhi untuk terjadinya penyakit infeksi VHB, adapun faktor determinan
tersebut antara lain : Riwayat penyakit yang dialami manusia yang mempunyai
risiko terinfeksi HVB adalah penyakit yang diderita oleh individu dengan kelainan
kekebalan seluler seperti : penderita uremia dengan hemodialisis, penderita
leukemia limfosit, yang selalu memerlukan transfusi darah dan penderita yang
mendapat terapi imunosuperif (British Medical Assosiation., 1995).
12
positif, HIV, chronic Pulmonary Obstructive Disease (COPD) ringan, stable
angina pectoris.
3. ASA III
Pasien dengan kondisi sistemik sedang hingga parah yang dapat mengganggu
aktivitas sehari-hari, memerlukan pertimbangan pemakaian obat, perawtan
khusus, perlu modifikasi perawatan dental. Contohnya adalah pasien dengan
diabetes tipe 2, hipertensi stadium 2, unstable angina pectoris, recent
myocardial infarction, congestive heart failure yang tidak terkontrol, AIDS,
COPD, dan hemophilia.
4. ASA IV
Pasien dengan penyakit sistemik parah yang terus-menerus mengancam
kehidupan sehingga memerlukan modifikasi perawatan dental yang
memerlukan kerjasama antara dokter dengan dokter spesialis. Contohnya
adalah pasien dengan gagal ginjal, gagal hati, dan AIDS tingkat lanjut (Little
dkk., 2002).
Bricker dkk (1994) menyatakan bahwa pengambilan keputusan dalam
manajemen pasien dengan penyakit sistemik merupakan suatu keputusan yang
sulit karena bergantung pada 4 variabel, yaitu : 1) keinginan pasien, 2) rencana
perawatan, 3) emosi dan kondisi fisik pasien, dan 4) saran dari ahli, misalnya
dokter spesialis. Rencana perawatan disusun menurut tingkat stres pasien dan
resiko yang mungkin terjadi. Pendekatan untuk menentukan tingkat resiko adalah
Oral Risk Assesment (ORA) :
1. ORA tipe I
Perawatan meliputi diagnosis dan prosedur dental pencegahan yang tidak
menimbulkan reaksi lanjut. Pengamatan klinis dan radiograf, kesan pertama,
dan prosedur pengumpulan data.
2. ORA tipe II
Perawatan meliputi prosedur dental rutin yang memiliki resiko kecil untuk
menimbulkan reaksi lanjut, termasuk tindakan dental sederhana dengan
administrasi anestesi local, terapi saluran akar standar tanpa administrasi
anestesi local, perawtan orto sederhana, prosedur untuk meminimalkan
13
perdarahan (skaling dan polishing, penggantian tumpatan), dan perawatan
darurat.
3. ORA tipe III
Perawatan termasuk prosedur dental yang mempunyai resiko sedang untuk
menimbulkan reaksi lanjut. Prosedur yang termasuk ORA tipe 3 antara lain :
prosedur invasive dan hemoragi sedang (pencabutan gigi yang sederhana) dan
perawatan yang membutuhkan beberapa waktu (1-2 jam) yang melibatkan
fase 2 tindakan dental rekonstruktif kompleks, ortodonsia, periodonsia, atau
endodontic. Juga termasuk prosedur yang memerlukan administrasi obat-
obatan intravena (agen ankiolitik, antibiotic, atau beberapa karpul anestesi
local untuk kontrol rasa sakit).
4. ORA tipe IV
Prosedur meliputi prosedur perdarahan (ekstraksi multiple, bedah flap
mukoperiosteal, dan bedah endodontic). Prosedur berlangsung lebih dari 2
jam, infeksi orofacial dengan pembengkakan wajah, rasa sakit yang sulit
dikontrol dan memerlukan sedasi sadar atau terapi ankilotik intravena, dan
perawatan darurat yang menimbulkan tekanan fisik dan emosional pasien
(contohnya adanya infeksi, perdarahan, trauma kraniofasial).
5. ORA tipe V
Perawatan meliputi prosedur dental yang menimbulkan resiko reaksi lanjut
yang tinggi seperti infeksi orofacial yang parah, prosedur sedasi yang dalam,
prosedur bedah ekstensif, dan prosedur yang memerlukan anestesi umum.
14
BAB III
LAPORAN KASUS
Nama : Sukisno
Umur : 54 tahun
Tempat/ Tanggal Lahir : Sragen/ 12 Juni 1962
Tanggal Masuk : 4 Juni 2016
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Bendorejo RT 4 RW 15 Semanu, Gunung Kidul
Alamat dokter pengirim : RSUD Wonosari, Jalan Taman Bakti Wonosari
Pekerjaan : Pegawai Swasta
No RM : 01-77-37-75
No Kamar : Dahlia I no.6 (JKN Non PBI)
Keluhan Utama:
Sesak nafas memberat sejak ± 1 hari sebelum masuk Rumah Sakit.
15
nafas (+), batuk (-), demam (-), mual (-), muntah (-), gatal-gatal diseluruh badan
(+) →sejak kira-kira 2 minggu sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat Pribadi:
Pasien adalah seorang pegawai swasta dan seorang duda dengan 3 orang
anak. Memiliki kesulitan biaya, biaya ditanggung JKN Non PBI.
Pemeriksaan Jasmani
Vital Signs:
Tekanan Darah : 150/80 mmHg
Nadi : 108 kali/menit
Suhu : 36,6 ˚C
Pernapasan
Frekuensi : 24 kali/menit
Jenis : abdominothoracal
Keadaan gizi : overweight
Kulit : suhu raba hangat-kering
Keringat : oedema
16
Konjungtiva : pucat
Pemeriksaan Fisik
Thorax : perkusi kiri (+) redup ,mulai dari sis V-VI
Perkusi kanan (+) redup, mulai dari sis VI-VII
Auskultasi: kiri : vesikuler ↓ mulai dari sis V
kanan : vesikuler ↓ mulai dari sis VI
Bising (-)
Abdomen : protuberant, nyeri tekan (-), hepar/lien tak teraba, ascites (+)
minimal.
Extremitas : edema - -
+ +
Hasil Laboratorium
Hemoglobin : 6,9 BUN : 54,7
Angka Leukosit : 7,7 Creatinin : 9,34
Angka Trombosit: 202 Na : 141
GDS : 130 K : 3,6
GDP : 94 Cl : 109
MCV : 96,5 HbsAg reaktif
MCH : 30,5 PH : 7,31
Albumin : 2,79 HCO3 : 9,2
Diagnosis
- Chronic Kidney Disease Stage V et causa suspect nefropati DM
- Asidosis Metabolik
- Efusi Pleura Bilateral
- Hepatitis B
- Anemia Renal
- Diabetes Mellitus Tipe 2 Obese
- Hipertensi
17
Pengobatan
- O2 nasal kanol 3L/menit - CaCO3 3xI
- IV plug - Eclid 3x50 g
- Irbesarta 1x300 mg - HCT 1x 12,5 g
- Amlodipin 1x10 mg - Mecobalamin 2x1, 500 mg
- Asam folat 3x1 - Gabapentin 2x100 mg
Apel Gigi:
V IV III II I I II III IV V
8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8
8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8
V IV III II I I II III IV V
18
- Menginformasikan kepada pasien bahwa terdapat pembesaran gusi yang
disebabkan oleh penumpukan karang gigi, terdapat gigi goyang yang
berhubungan dengan kondisi diabetes pasien, serta terdapat beberapa gigi
yang sebaiknya dicabut.
Menyarankan kepada pasien untuk melakukan scaling calculus ketika kondisi
tubuh telah stabil.
Menyarankan kepada pasien untuk mencabutkan sisa akar dan gigi yang
berlubang besar sebelah kiri atas dan bawah ketika kondisi tubuh telah stabil.
Menyarankan kepada pasien untuk membuatkan gigi tiruan sebagian lepasan
untuk menggantikan gigi-gigi atas dan bawah yang hilang.
Pasien memiliki penyakit sistemik yang masuk dalam klasifikasi ASA II dan
ORA III, sehingga dilakukan tindakan dental dengan modifikasi sebagai
berikut :
1. Tindakan dental dilaksanakan 1 hari setelah pasien melakukan hemodialisis.
2. Scaling dilakukan per regio demi mempersingkat waktu kunjungan,
diutamakan pada regio yang paling kotor terlebih dahulu.
3. Syarat dilakukan tindakan dental jika nilai Hb > 7
4. Syarat dilakukan tindakan dental jika tekanan darah pasien ≤ 140/80 mmHg
5. Syarat dilakukan tindakan dental jika gula darah sewaktu < 200
19
BAB IV
PEMBAHASAN
20
kemungkinan disebabkan adanya destruksi jaringan periodontal sebagai
manifestasi penyakit DM serta pengaruh usia tua pada pasien.
Pada pasien ditemukan adanya gigi yang luksasi. Luksasi atau kegoyahan
gigi yang terjadi pada pasien diabetes mellitus disebabkan karena adanya
destruksi pada jaringan ikat dan resorbsi tulang alveolar. Keadaan tersebut
disebabklan oleh adanya mikroangiopati pada pembuluh darah kecil yang
menyuplai jaringan periodontal. Mikroangiopati pada jaringan periodontal
menyebabkan penurunan ketahanan jaringan periodontal terhadap infeksi
sehingga lebih rentan terhadap faktor lokal dalam rongga mulut seperti plak dan
kalkulus yang menyebabkan pasien mudah terkena periodontitis. Destruksi
jaringan ikat dan resorbsi tulang yang diperparah dengan adanya kalkulus akan
menyebabkan gigi goyah dan akhirnya tanggal dengan sendirinya.
Berdasarkan klasifikasi ASA dan ORA, pasien saat ini tergolong dalam
ASA II dan ORA tipe III. Bricker dkk (1994) menyatakan bahwa pasien dengan
klasifikasi tersebut dapat dilakukan tindakan dental dengan modifikasi
penanganan dental dan konsultasi medis.
ORA I ORA II ORA III ORA IV ORA V
ASA I Routine Routine Routine Routine Strict precaution
precaution precaution precaution precaution
ASA II Routine Modification Modification in Strict Strict precaution
precaution in dental dental treatment precaution and medical
treatment and medical consultation
consultation
ASA III Routine Modification Modification in Strict Hospitalization
precaution in dental dental treatment precaution protocol and
treatment and and medical and medical medical
medical consultation consultation consultation
consultation
ASA IV Modification Strict contraindicated Defer until Contraindicated
in dental precaution/ condition
treatment and hospitalization improves,
medical protocol and precaution
consultation medical in hospital
consultation environment
and medical
consultation
Rekomendasi oral pertama kali yang dilakukan pada pasien adalah edukasi.
Pasien disarankan untuk selalu menjaga kebersihan gigi dan mulutnya dengan
21
sikat gigi minimal 2 kali sehari yaitu setelah sarapan dan sebelum tidur malam
serta berkumur dengan obat kumur tanpa alkohol setelah makan. Menganjurkan
kepada pasien untuk memilih bulu sikat yang halus serta menjelaskan cara
menyikat gigi yang benar.
Saat melakukan penatalaksanaan dental terhadap pasien dengan kondisi
seperti ini, dokter gigi harus memperhatikan riwayat kesehatan pasien. Tindakan
dental sebaiknya dijadwalkan pada pagi hari setelah pasien mengkonsumsi obat-
obatannya karena pagi hari adalah waktu yang terbaik, selain untuk mereduksi
kecemasan pasien, pada siang hari tekanan darah pasien mencapai puncaknya
sehingga tidak baik untuk dilakukan tindakan dental. Tindakan dental dapat
dilakukan ketika pasien sudah dapat duduk dalam waktu yang cukup lama dan
pasien sudah tidak merasa sesak napas sehingga perawatan dapat berlangsung
dengan nyaman. Sebelum dilakukan tindakan perlu dilakukan edukasi psikoterapi
yaitu menjelaskan secara detail mengenai tindakan yang akan dilakukan oleh
dokter gigi, serta ketidaknyamanan yang mungkin akan terjadi saat perawatan
dental.
Tindakan dental dilakukan secara bertahap, pada kunjungan pertama
disarankan untuk membersihkan karang giginya dengan scaling. Scaling
dilakukan untuk mencegah resorbsi tulang alveolar karena faktor lokal dan
mengatasi gingivitis yang diderita pasien. Modifikasi dental yang dilakukan pada
pasien adalah dilaksanakan stress reduction programe, tindakan dental
dilaksanakan 1 hari setelah pasien melakukan hemodialisis supaya heparin (anti
koagulan) dalam darah pada tingkat paling minimal demi mengurangi resiko
perdarahan. Scaling dilakukan per regio demi mempersingkat waktu kunjungan,
diutamakan pada regio yang paling kotor terlebih dahulu. Scaling dapat dilakukan
saat kondisi pasien stabil dengan syarat jika nilai Hb > 7, tekanan darah pasien ≤
140/80 mmHg dan gula darah sewaktu < 200 mg/dL.
Pada pertemuan berikutnya dapat dilakukan pencabutan gigi dengan syarat
kadar glukosa darah pasien terkontrol (< 200 mg/dL), nilai Hb > 7, tekanan darah
pasien ≤ 140/80 mmHg dan dilakukan H+1 setelah hemodialisis. Terkait dengan
penyakit CKD pada pasien, antibiotik profilaksis harus dipertimbangkan, anestesi
22
lokal disuntikkan dengan perlahan dan tidak boleh > 25% dosis total yang
direkomendasikan untuk pasien normal, aspirin dihindari. Perlu ditanyakan pada
pasien sebelumnya mengenai waktu makan terakhir dan konsumsi obat sebelum
pasien berkunjung untuk mencegah hipoglikemia. Perlu juga dilakukan
penyesuaian posisi kursi dental semisupine atau tegak, disesuaikan dengan
kenyamanan pasien. Perawatan harus dilakukan dalam waktu yang singkat dan
tidak menimbulkan kecemasan pasien.
Pada kunjungan selanjutnya, setelah luka pencabutan sembuh dan menutup
sempurna, dapat dilakukan pencetakan gigi pasien untuk pembuatan protesa gigi.
Protesa gigi yang digunakan adalah protesa lepasan berbahan valplast yang elastis
yang tidak memerlukan kawat dengan penjangkar gigi. Alasan penggunaan bahan
valplast adalah mengurangi beban terhadap gigi sehingga mencegah kegoyahan
gigi karena resorbsi tulang alveolar yang dialami pasien.
23
KESIMPULAN
24
DAFTAR PUSTAKA
Bricker, S.L., Langlais, R.P., Miller, C.S., 1994, Oral Diagnosis, Oral Medicine,
and Treatment Planning, Lea & Febiger, Pennsylvania.
Halpin, D., dkk., 2008, Chronic Kidney Diseases, Early Identification and
Management of Chronic Kidney Diseases in Adults in Primary and
Secondary Care, NICE clinical guidelines
Hupp JR, Williams TP, Firrolo FJ., 2006, Dental Clinical Advisor, Mosby
Elsevier: USA.
Little JW, Falace DA, Miller CS, Rhodus NL., 2007, Dental Management of the
Medically Compromised Patient 7th Edition, Mosby Elsevier.
Negrato, C.A., Tarzia, O., 2010, Buccal alterations in diabetes mellitus, Negrato
and Tarzia Diabetology & Metabolic Syndrome, 2:3.
Scully, Crispian & Cawson, Roderick., 2005, Medical Problems in Dentistry 5th
Edition, Elsevier Churchill Livingstone: London.
Smeltzer, Suzanne, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner and
Suddarth’s, Ed.8, EGC, Jakarta.
25
Sulaiman A., 1998, Virus Hepatitis B Sirorsis Hati dan Karsinoma Hepatoseluler.
Publisher, Jakarta.
Vesterrinen, M., 2011, Oral Health and Kidney Disease with emphasis on
diabetic nephropathy, Institute of Dentistry, University of Helsinki,
Department of Oral and Maxillofacial Disease, and Department of
Medicine, Division of Nephrology, Helsinki University Central Hospital,
Helsinki, Finland).
26