TUGAS KEPANITERAAN
Disusun oleh:
Rosita Dewi
04/181055/KG/07861
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
3. Apa faktor-faktor yang harus diperhatikan pada saat praktikum Bedah
Mulut?
4. Apa komplikasi yang dapat terjadi pada pemberian anestesi dan proses
pencabutan gigi?
5. Apa ciri-ciri tang posterior rahang atas dan rahang bawah?
1.3 Tujuan
1. Memenuhi ujian kepaniteraan Bedah Mulut.
2. Mengetahui teknik anestesi blok N. alveolaris inferior metode Fisher.
3. Mengetahui cara-cara sterilisasi alat, ruangan dan bahan-bahan medis.
4. Mengetahui faktor-faktor yang harus diperhatikan pada saat praktikum
Bedah Mulut.
5. Mengetahui komplikasi yang dapat terjadi pada pemberian anestesi dan
proses pencabutan gigi.
6. Mengetahui ciri-ciri tang posterior rahang atas dan rahang bawah.
3
BAB II
PEMBAHASAN
Prosedur:
1. Pasien didudukkan dengan posisi semisupine atau setengah telentang.
7. Jarum diinsersikan dipertengahan lengkung kuku dari sisi rahang yang tidak
dianestesi tepatnya dari regio premolar dan jarum dengan bevel mengarah ke
tulang sampai jarum kontak dengan tulang (Posisi I). Arah jarum hampir tegak
lurus dengan tulang.
8. Spuit digeser kesisi yang akan dianestesi, sejajar dengan bidang oklusal dan
jarum ditusukkan sedalam 5 mm, lakukan aspirasi bila negatif keluarkan
anestetikum sebanyak 0,5 ml untuk menganestesi N. Lingualis (Posisi II).
4
Gambar 1. Posisi jarum di foramen mandibula
9. Spuit digeser ke arah posisi I tapi tidak penuh sampai sekitar region kaninus
lalu jarum ditusukkan sambil menyelusuri tulang sedalam kira-kira 10-15 mm.
Aspirasi dan bila negatif keluarkan anestetikum sebanyak 1 ml untuk
menganestesi N. Alveolaris inferior (Posisi III). Setelah selesai spuit ditarik
kembali.
5
anestesi lokal blok mandibula metode Fischer juga dapat dilihat secara objektif
pada pasien apabila selama perawatan pasien tersebut tidak mengeluhkan rasa
sakit (Nanda, 2011).
2.2 Sterilisasi
a. Sterilisasi alat
1. Autoclave
Ini merupakan cara atau metode yang dianggap paling efektif dan dapat
merusak spora – spora yang resisten serta fungus. Penggunaan panas yang lembab
dengan tekanan tinggi ini menghasilkan kekuatan penghacur bakteri yang paling
efektif terhadap semua bentuk mikroorganisme.
Alat – alat dan bahan – bahan yang akan disterilisasi dalam Autoclave
biasanya dibungkus dahulu dalam kasa biasanya disteriliser dalam satu paket
bedah, untuk sesuatu jenis operasi. Pembungkusan dengan kain kasa ini gunanya
untuk mempertahankan sterilitas alat atau bahan beberapa hari atau minggu diluar
autoclave. Alat – alat atau bahan – bahan yang telah disterilkan di autoclave
dengan pembungkus kertas yang cukup dapat disimpan dilemari selama 2 – 4
minggu.
Lama atau waktu sterilisasi dengan autoclave tergantung dari besar kecilnya
0
paket bedah. Paket yang kecil dapat disterilkan dalam waktu 30 menit pada 250
F dengan tekanan 20 pon ( 10 kg ).
Sarung tangan dari karet merupakan bahan yang lebih peka terhadap
tekanan uap dari pada peralatan lainnya seperti pembalut, seprai dan instrumen
dari metal. Oleh sebab itu bahan dari karet cukup disteriliser dengan tekanan uap
15 pon atau 15 menit pada 250 0 F.
6
2. Sterilisasi dengan Air Mendidih
Cara ini dapat dipakai dengan efektif bila kedalam air yang digunakan
dicampurkan bahan – bahan kimia untuk menaikan titik didih daripada air
tersebut. Kenaikan titik didih dari pada air tersebut gunaya untuk mendapatkan
temperatur 250 0
F, yang bukan saja mematikan bakteri tetapi juga spora –
sporanya.
Suatu larutan karbonas 2 % sudah cukup untuk memperoleh hasil yang baik.
Ini dapat diperoleh dengan melarutkan 60 cc karbonas Na dalam 1 galon akuades.
Larutan ini dapat menghemat waktu sterilisasi dan dapat mengurangi daya korosif
pada alat – alat metal dan dengan demikian alat – alat metal dengan demikian alat
– alat tesebut menjadi lebih awet karena berkurangya kadar O2 didalamnya.
3. Sterilisasi dengan Panas kering ( Dry Heat Sterilisation atau Hot Oven ).
Sterilisasi dengan oven panas ini sudah meluas dipergunakan di Kedokeran
Gigi pada umumnya dan Bagian Bedah Mulut pada khususnya. Teknik ini dapat
dipergunakan untuk mensterilkan alat – alat ( instrumen ), powder ( bubuk ),
minyak ( petrolatum ), “bone wax”, dan bahan – bahan lainnya yang tidak tahan
dengan sterilisais air mendidih atau uap air bertekanan tinggi.
Kelebihan cara ini ialah :
- Tidak merusak kaca
- Tidak mengakibatkan alat – alat berkarat
Kekurangan lainnya adalah :
- Membutuhkan waktu yang lama untuk menjamin efek bakterisidnya yakni
minimal 6 jam.
4. Sterilisasi Dingin.
Yakni dengan cara merendam alat – alat yang dipakai dengan bahan – bahan
kimia yang dapat membunuh kuman atau menghambat pertumbuhannya. Caranya
ini sangat sedikit manfaatnya karena bahan kimia yang dipakai untuk ini masing –
masing mempunyai kekurangannya dan tidak dapat dijamin efeknya terhadap
spora atau fungus.
Bahan – bahan yang dapat dipakai :
- Alkohol
7
Ini terlalu mahal dan mudah menguap sehingga yang tinggal airnya saja yang
dapat menimbulkan karat.
- Benzalkonim Chloride
Larutan 1 ; 1000, membutuhkan bahan anti karat (sodium nitrate).
Membutuhkan waktu yang lama (18 jam) untuk mensterilkan alat – alat yang
direndam kedalamnya.
5. Sterilisasi dengan Gas
Bahan yang dipakai etilen – oksid cara ini terlalu rumit, membutuhkan alat
khusus dan gas etilen oksid ini sangat mahal. Alat khusus ini berupa “cartridge “
yang dihubungkan dengan tangki gas etilen. Waktu sterilisasi dibutuhkan 2 s/d 12
jam.
b. Sterilisasi ruangan.
1. Asepsis.
Asepsis adalah suatu keadaan yang bebas dari mikroorganisme. Di bidang
kedokteran gigi asepsis di daerah rongga mulut harus diusahakan sebaik mungkin
termasuk daerah Iidah. Keadaan asepsis juga diusahakan untuk operator terutama
tangan, alat bedah yang digunakan dan kamar bedah. Sebelum melakukan
tindakan eksodonsia rongga mulut selalu harus dibersihkan dengan mengolesi
seluruh mukosa rongga mulut dan lidah dengan antiseptika misalnya larutan yood
glyserin.
8
Seluruh alat yang akan dipakai harus dalam keadaan steril, diletakkan di atas
baki dan kemudian ditutup handuk steril. Kain kasa dan kapas steril dapat
digunakan di daerah operasi.
Tangan operator yang bekerja di daerah operasi harus diperhatikan
kebersihannya yaitu tangan dan telapak tangan termasuk daerah kuku lalu ke
daerah atas sampai siku tangan harus secara tekun disikat (srubbing) dengan
sabun selama 10 menit dan sabun yang melekat kemudian dibasuh dengan air
yang mengalir dan keran langsung. Sebelum operator memakai sarung tangan
steril maka telapak tangan harus dicuci terlebih dahulu dengan alkohol 70%.
Untuk operasi besar operator dan pembantunya membutuhkan gaun operasi steril.
Penggunaan jarum suntik hipodermik yang telah disteril dengan autoclaving
akan lebih aman dibanding yang disteril melalui sterilisasi dingin. Sekarang
penggunaan jarum sekali pakai ( dispossable ) steril dipandang paling aman.
2. Bedah atraumatik.
Bedah atraumatika adalah cara mengerjakan bedah ( operasi) janngan hidup
yang berprinsip pada trauma jaringan yang ditimbulkan diusahakan sekecil
mungkin. Prinsip ini berlaku bagi tindakan eksodonsia. Semua kegiatan
eksodonsia harus terencana pasti untuk menghindan komplikasi eksodonsia yang
tidak dikehendaki, misalnya fraktur akar gigi, fraktur tulang pendukung gigi,
fraktur tulang rahang, perdarahan, terjadinya oro anthral fistula yang lebar,
paralisis syaraf, laserasi jaringan lunak di sekitar gigi. Jaringan yang laserasi
berpotensi menjadi nekrosis karena sel-sel yang membentuknya menjadi rusak
dan kehilangan aktivitasnya.
3. Anestesi.
Anestesi untuk menghilangkan rasa sakit. Pemilihan anastesi yg tepat,teknik
yang benar akan menghasilkan efek anastesi yang baik. Menurut istilah, anestesi
lokal adalah hilangnya rasa sakit pada bagian tubuh tertentu tanpa desertai dengan
hilangnya kesadaran. Anestesi lokal merupakan aplikasi atau injeksi obat anestesi
pada daerah spesifik tubuh, kebalikan dari anestesi umum yang meliputi seluruh
tubuh dan otak. Anestesi lokal memblok secara reversible pada sistem konduksi
9
saraf pada daerah tertentu sehingga terjadi kehilangan sensasi dan aktivitas
motorik.
4. Keseimbangan cairan tubuh.
Seorang penderita yang mengalami perdarahan yang berlebihan akibat
kecelakaan atau tindakan bedah perlu mendapatkan pengganti darah yang hilang.
Juga penderita yang mengalami demam tinggi atau sedang dalam keadaan toksis
memerlukan cairan yang memadai. Beberapa penderita memerlukan penggantian
cairan tubuh melalui jalan intravenosa ( infus). Umumnya pemberian cairan
intravenosa terdiri dan glukosa dalam 500-1000 cc akuadestilata steril. Permbenan
larutan glukosa dianjurkan 250 cc per jam dan jangan Iebih cepat dan ketentuan
itu. Bila penderita dalam keadaan dehidrasi dan toksis lebih baik diberikan cairan
garam ( salin) (Mario, 2012).
1. Komplikasi Lokal
a. Jarum Patah
Penyebab utama jarum patah adalah kondisi jarum yang fatig akibat
dibengkokkan. Jarum patah dapat pula disebabkan oleh kesalahan teknik saat
administrasi, kelainan anatomi pasien, serta jarum yang disterilkan berulang.
Apabila kondisi ini terjadi, pasien diinstruksikan untuk tidak bergerak dan tangan
10
operator jangan dilepaskan dari mulut pasien dan pasang bite block bila perlu. Jika
patahan dapat terlihat, patahan dapat dicoba diambil dengan arteri klem kecil.
Namun, apabila jarum tidak terlihat, insisi dan probing tidak boleh dilakukan dan
segera konsultasikan ke spesialis bedah mulut untuk diambil secara surgical.
b. Rasa sakit
Rasa sakit saat administrasi anestesi lokal disebabkan oleh penggunaan jarum
yang tumpul, pengeluaran anestetikum dengan terlalu cepat, serta tidak menguasai
teknik anestesi lokal. Hal ini dapat dicegah dengan menggunakan anestesi topikal
sebelum insersi jarum dan mengeluarkan anestetikum secara perlahan, serta
anestetikum yang digunakan lebih baik jika suhunya sama dengan suhu tubuh.
Parestesi atau anestesi yang berkepanjangan dapat terjadi akibat trauma saraf,
anestetikum bercampur alkohol, serta adanya perdarahan pada sekitar saraf.
Parestesi berkepanjangan dapat menyebabkan trauma pada bibir yang tergigit dan
apabila mengenai N. Lingualis dapat menyebabkan mati rasa kecap. Sebagai
upaya pencegahan, operator harus berhati- hati saat administrasi dan
menggunakan spuit sekali pakai sehingga tidak perlu mensterilkan dengan larutan
alkohol. Penanggulangan parestesi yang berkepanjangan dapat dilakukan dengan
penjelasan pada pasien bahwa hal tersebut akan terjadi dalam waktu lama, control
setiap dua bulan, dan apabila berlangsung lebih dari satu tahun maka konsultasi
neurologis diperlukan.
d. Paralisis Fasial
Paralisis fasial disebabkan oleh insersi jarum yang terlalu dalam saat blok N.
Alveolaris Inferior sehingga masuk ke kelenjar parotis dan mengenai cabang saraf
wajah, biasanya N. Orbicularis oculi. Penanggulangan hal tersebut dilakukan
dengan memberitahu pasien bahwa hal tersebut akan berlangsung selama
11
beberapa jam dan mata pasien harus dilindungi selama refleks berkedip belum
kembali.
e. Trismus
f. Hematom
g. Infeksi
Infeksi terjadi akibat kontaminasi jarum dan dapat menyebabkan trismus. Bila
infeksi berlanjut sampai lebih dari hari ketiga, maka antibiotik diindikasikan
untuk pasien tersebut.
12
h. Edema
Pada pasien anak- anak, atau pasien dengan cacat mental, rasa baal setelah
pemberian anestesi lokal dapat menyebabkan pasien tersebut mengigit bibir
maupun jaringan lunak lainnya. Penanggulangan trauma jaringan lunak di sekitar
area yang dianestesi dilakukan dengan pemberian salep untuk mengurangi iritasi,
analgesic, serta antibiotik jika diperlukan.
j. Lesi intraoral
Lesi intraoral umumnya disebabkan oleh trauma jarum pada jaringan saat
insersi. Penanggulangan lesi ini dilakukan dengan pemberian topikal anestesi
praanestesi, pemberian obat kumur, dan pemberian antibiotik jika terjadi infeksi.
2. Komplikasi Sistemik
a. Reaksi psikis
Reaksi psikis yang sering terjadi sebagai komplikasi sistemik akibat pemberian
anestesi lokal adalah sinkop atau serangan vasovagal. Hal ini merupakan
gangguan emosional sebelum penyuntikan. Pada saat terjadi reaksi psikis, arteri
mengalami vasodilatasi sehingga menyebabkan volume darah ke jantung
berkurang sehingga menyebabkan penurunan umpan balik kardiak yang
menyebabkan hilang kesadaran mendadak. Tanda- tanda reaksi psikis ini adalah
pucat, mual, pusing, keringat dingin, dan jika tidak ditangani cepat kesadaran akan
13
hilang, pupil membesar, denyut nadi lemah dan tidak teratur. Perawatan reaksi
psikis ini adalah dengan penaganan emergensi sinkop.
b. Reaksi toksik
Reaksi toksik pada administrasi anestesi lokal jarang terjadi bila penyuntikan
dilakukan sesuai dengan prosedurnya. Apabila aspirasi tidak dilakukan sebelum
penyuntikan, maka anestetikum akan masuk ke dalam intravaskuler sehingga
menyebabkan overdosis. Tanda- tanda reaksi toksik adalah terjadi konvulsi,
gangguan pernafasan, dan syok.
c. Reaksi alergi
Penyebaran kedua virus ini dapat melalui jarum suntik. Oleh karena itu, jarum
suntik harus digunakan sekali pakai sebagai upaya pencegahan.
e. Interaksi obat
Interaksi obat dapat terjadi pada pasien yang mendapat obat sistemik. Secara
umum, interaksi obat dengan anestesi lokal sangat jarang. Namun, anestesi lokal
yang mengandung noradrenalin dapt merangsang respon tekanan darah pasien
14
yang mendapatkan antidepresan trisiklik. Karena itu, noradrenalin tidak
dianjurkan untuk dipakai (Oosten, 2012).
15
Selama pencabutan mungkin tidak dapat dihindari bila gigi sudah
mengalami karies atau restorasi besar. Namun hal ini sering juga disebabkan
oleh tidak tepatnya aplikasi tang pada gigi, bilah tang di aplikasikan pada
mahkota gigi bukan pada akar atau massa akar gigi, atau dengan sumbu
panjang tang yang tidak sejajar dengan sumbu panjang gigi. Bila operator
memilih tang dengan ujung terlalu lebar dan hanya memberikan ‘kontak 1
titik’ gigi dapat pecah bila tang ditekan. Bila tangkai tang tidak dipegang
dengan kuat, ujung tas mungkin terlepas dari akar dan mematahkan mahkota
gigi. Terburu-buru biasanya merupakan penyebab dari semua kesalahan, yang
sebenarnya dapat dihindari bila operator bekerja sesuai metode. Pemberia
tekanan berlebihan dalam upaya mengatasi perlawanan dari gigi tidak
dianjurkan dan bisa menyebabkan fraktur mahkota gigi.
Bila fraktur mahkota gigi terjadi, metode yang digunakan untuk
mengambil sisa dari gigi bergantung pada banyaknya gigi yang tersisa serta
penyebab kegagalannya. Terkadang diperlukan aplikasi tang atau elevator
tambahan untuk mengungkit gigi dan metode pencabutan transalveolar.
b. Fraktur tulang alveolar
Dapat terjadi pada waktu pencabutan gigi yang sukar. Bila terasa
bahwa terjadi fraktur tulang alveolar sebaiknya giginya dipisahkan terlebih
dahulu dari tulang yang patah, baru dilanjutkan pencabutan.
c. Fraktur tuberositas maxillaris
Terjadi pada waktu pencabutan gigi molar tiga rahang atas. Perlu
dihindari oleh karena tuberositas diperlukan sebagai retensi pada pembuatan
gIgi palsu.
d. Fraktur yang bersebelahan atau gigi antagonis
Fraktur gigi yang bersebelahan atau gigi antagonis selama pencabutan
dapat dihindari. Pemeriksaan praoperasi secara cermat dapat menunjukkan
apakah gigi yang berdekatan dengan gigi yang akan dicabut telah mengalami
karies, restorasi besar, atau terletak pada arah pencabutan. Bila gigi yang akan
dicabut adalah gigi penjangkaran, mahkota jembatan harus dibelah dengan
disk vulkarbo atau intan sebelum pencabutan. Bila gigi sebelahnya terkena
16
karies dan tambalannya goyang atau mengaung (overhanging) maka harus
diambil atau ditambal dengan tambalan sementara sebelum dilakukan
pencabutan. Tidak boleh diaplikasikan tekanan pada gigi yang berdekatan
selama pencabutan, dan gigi lainnya tidak boleh digunakan sebagai fulcrum
untuk elevator kecuali bila gigi tersebut juga akan dicabut pada kunjungan
yang sama.
Gigi antagonis bisa pecah atau fraktur bila gigi yang akan dicabut tiba-
tiba diberikan tekanan yang tidak terkendali dan tang membentur gigi tersebut.
Tekhnik pencabutan yang terkontrol dapat mencegah kejadian ini.
e. Fraktur mandibula atau maxilla
Kondisi ini terjadinya fraktur (patah tulang) yang tidak diharapkan dari
bagian soket gigi, atau bahkan tulang mandibula atau maksila tempat
melekatnya tulang alveolar berada. Paling umum terjadi dikarenakan
kesalahan tehnik operator saat melakukan pencabutan gigi. Oleh karena itu
operator diharuskan memiliki tehnik yang benar dan bisa memperhitungkan
seberapa besar penggunaan tenaga saat mencabut gigi dan cara menggunakan
alat dengan tepat (Riwan, 2007).
3. Perforasi sinus maksilaris.
Terjadi pada pencabutan gigi-gigi premolar atau molar rahang atas.
Keadaan ini lebih mudah terjadi pada gigi dengan keadaan adanya infeksi pada
apikal karena tulang antara akar dan sinus terlibat keradangan kronis sehingga
rusak.
Biasanya hal ini ditandai dengan adanya cairan yang keluar melalui hidung
bilamana penderita kumur atau minum, kadang kala saat pencabutan tidak
diketahui baik oleh dokter ataupun penderita kalau terjadi perforasi.
Bila terjadi segera diatasi dengan menutup socket dengan jahitan yang
rapat bila perlu tulang bagian bukal dikurangi sehingga dapat dilakukan tarikan
pada mukosa dari bukal untuk menutup. Penderita dianjurkan tidak meniup-niup
hidung kurang lebih selama satu minggu, jangan kumur terlalu keras.
4. Terdorongnya akar pada sinus maksilaris.
17
Bila terjadi dapat dicoba untuk mengambil fragmen tersebut dengan jalan :
penderita disuruh meniup dengan lubang hidung ditutup
Diambil dengan ujung alat penghisap ( suction tip ) pada socket
Bila tidak berhasil perlu dilakukan tindakan pembedahan dengan merujuk
penderita ke dokter ahli.
5. Lecet dan luka bakar.
Cedera jaringan lunak yang paling umum adalah lecet (luka sobek) dan
luka bakar/abrasi. Lecet sering diakibatkan oleh retraksi berlebihan dari flap yang
kurang besar. Sobeknya mukosa sering terjadi pada tempat yang tak diharapkan
yaitu pada tepi tulang, atau pada tempat penyambungan tepi-tepi flap. Komplikasi
ini bisa dihindari dengan membuat flap yang lebih besar dan menggunakan
retraksi yang ringan saja.
6. Empisema subkutan.
Empisema subkutan lebih sering terjadi pada region maksila dan
disebabkan oleh adanya udara yang masuk. Di bawah tekanan, udara dikeluarkan
dari henpis yang terletak didekat bur. Empisema jaringan lunak bisa juga terjadi
kalau pasien batuk atau bersin pada waktu flap yang luas dalam keadaan terbuka.
Empisema subkutan bisa didiagnosis dengan adanya pembengkakan yang
mendadak, perabaan berbenjol-benjol dari kulit setempat dan penampakan secara
radiografis yang menunjukkan adanya udara di jaringan lunak (Pedersen, 1996).
18
Paruh bukal dari masing-masing tang memiliki desain yang runcing,
yang mana akan tepat menempati bifurkasio bukal dari kedua akar bukal.
19
Tang molar rahang bawah digunakan untuk pencabutan gigi permanen
rahang bawah. Ujung paruh akan menempati furkasi molar, dapat
digunakan pada gigi rahang bawah kanan atau kiri (Abusallamah, 2013).
20
rotasional juga digunakan
apabila diperlukan
(Pedersen, 1996)
21
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
5. Tang posterior rahang atas dan rahang bawah memiliki perbedaan dalam hal
desain, aplikasi dan tekanan yang dihantarkan.
3.2 Saran
22
DAFTAR PUSTAKA
23