Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH ILMU BEDAH MULUT

TUGAS KEPANITERAAN

Disusun oleh:

Rosita Dewi
04/181055/KG/07861

Bagian Ilmu Bedah Mulut


Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
2015

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bedah mulut adalah bagian kecil dari pada bedah umum, berdasarkan ilmu
pengetahuan pokok yang cukup luas. Seorang ahli bedah mulut sebagaimana ahli
– ahli bedah lainnya, seharusnya mempunyai pengetahuan yang luas dan
mendalam bukan saja dalam ilmu bedah, tetapi juga mempunyai pengetahuan
yang mengenai ilmu kedokteran dasar. Dalam ilmu bedah mulut juga perlu
dipahami ilmu anestesi, yaitu anestesi lokal anestesi umum.
Pekerjaan haruslah dilakukan dalam keadaan steril dan untuk ini dibutuhkan
sterilisasi dari pada alat – alat, ruangan, operator dan lain – lain, yang
berhubungan langsung atau tidak langsung dengan luka. Hal ini harus
diperhatikan benar untuk mencegah terjadinya infeksi.
Masalah asepsis ini dalam bedah mulut menimbulkan banyak kesukaran dan
untuk mencegah infeksi masih banyak hal – hal yang menjadi pemikiran dan
dapat diperbaiki, misalnya teknis dan prosedur.
Tetapi walaupun demikian dengan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknis
bekerja serta tindakan profilaktis dengan penggunaan antibiotika, memungkinkan
kita melakukan bedah mulut yang besar, seperti reseksi rahang, bahkan
melakukan transplantasi tulang dari intra oral tanpa khawatir akan terjadi
komplikasi.
Pencabutan gigi merupakan suatu tindakan bedah dan oleh karena itu segala
langkah yang dilakukan harus berdasarkan prinsip yang sama dengan prinsip
tindakan bedah pada umumnya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana teknik anestesi blok N. alveolaris inferior metode Fisher?


2. Bagaimana cara-cara sterilisasi alat, ruangan dan bahan-bahan medis?

2
3. Apa faktor-faktor yang harus diperhatikan pada saat praktikum Bedah
Mulut?
4. Apa komplikasi yang dapat terjadi pada pemberian anestesi dan proses
pencabutan gigi?
5. Apa ciri-ciri tang posterior rahang atas dan rahang bawah?

1.3 Tujuan
1. Memenuhi ujian kepaniteraan Bedah Mulut.
2. Mengetahui teknik anestesi blok N. alveolaris inferior metode Fisher.
3. Mengetahui cara-cara sterilisasi alat, ruangan dan bahan-bahan medis.
4. Mengetahui faktor-faktor yang harus diperhatikan pada saat praktikum
Bedah Mulut.
5. Mengetahui komplikasi yang dapat terjadi pada pemberian anestesi dan
proses pencabutan gigi.
6. Mengetahui ciri-ciri tang posterior rahang atas dan rahang bawah.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Blok N. alveolaris inferior metode Fisher

Prosedur:
1. Pasien didudukkan dengan posisi semisupine atau setengah telentang.

2. Intruksikan pasien untuk membuka mulut selebar mungkin agar mendapatkan


akses yang jelas ke mulut pasien. Posisi diatur sedemikian rupa agar ketika
membuka mulut, oklusal dari mandibula pasien sejajar dengan lantai.
3. Posisi operator berada pada arah jam 8 dan menghadap pasien untuk rahang
kanan mandibula, sedangkan untuk rahang kiri mandibula posisi operator berada
pada arah jam 10 dan menghadap ke pasien.
4. Jarum 25 gauge direkomendasikan untuk pasien dewasa dengan panjang jarum
sekitar 42 mm atau 1,625 inchi. Hal ini diperlukan karena bagian jarum yang
masuk ke jaringan adalah sekitar 20 mm.

5. Aplikasikan antiseptik di daerah trigonom retromolar.

6. Jari telunjuk diletakkan di belakang gigi terakhir mandibula, geser ke lateral


dan palpasi linea oblique eksterna pada ramus mandibula, kemudian telunjuk
digeser ke median untuk mencari linea oblique interna. Ujung lengkung kuku
berada di linea oblique interna dan permukaan samping jari berada di bidang
oklusal gigi rahang bawah.

7. Jarum diinsersikan dipertengahan lengkung kuku dari sisi rahang yang tidak
dianestesi tepatnya dari regio premolar dan jarum dengan bevel mengarah ke
tulang sampai jarum kontak dengan tulang (Posisi I). Arah jarum hampir tegak
lurus dengan tulang.
8. Spuit digeser kesisi yang akan dianestesi, sejajar dengan bidang oklusal dan
jarum ditusukkan sedalam 5 mm, lakukan aspirasi bila negatif keluarkan
anestetikum sebanyak 0,5 ml untuk menganestesi N. Lingualis (Posisi II).

4
Gambar 1. Posisi jarum di foramen mandibula

9. Spuit digeser ke arah posisi I tapi tidak penuh sampai sekitar region kaninus
lalu jarum ditusukkan sambil menyelusuri tulang sedalam kira-kira 10-15 mm.
Aspirasi dan bila negatif keluarkan anestetikum sebanyak 1 ml untuk
menganestesi N. Alveolaris inferior (Posisi III). Setelah selesai spuit ditarik
kembali.

Gambar 2. Insersi spuit pada anestesi lokal blok mandibula.


Metode Fischer sering juga dimodifikasi dengan penambahan anestesi untuk
syaraf bukal setelah kita melakukan posisi III, pada waktu menarik kembali spuit
sebelum jarum lepas dari mukosa tepat setelah melewati linea oblique interna
,jarum digeser kelateral ke daerah trigonom retromolar, aspirasi dan bila negatif
keluarkan anestetik sebanyak 0,5 ml untuk menganestesi syaraf bukal dan
kemudian spuit ditarik keluar.
Keberhasilan dari anestesi lokal blok mandibula metode Fischer dapat
diketahui dengan memeriksa keadaan bibir bagian bawah dan lidah dari regio
yang dianestesi. Jika terjadi pati rasa pada daerah tersebut, maka dapat dijadikan
indikator bahwa nervus lingualis dan nervus mentalis yang merupakan cabang
dari nervus inferior alveolar sudah dianestesi dengan baik. Keberhasilan dari

5
anestesi lokal blok mandibula metode Fischer juga dapat dilihat secara objektif
pada pasien apabila selama perawatan pasien tersebut tidak mengeluhkan rasa
sakit (Nanda, 2011).

2.2 Sterilisasi

Sterilisasi, adalah suatu proses mematikan segala bentuk kehidupan mikro


organisme yang ada dalam sample/contoh, peralatan-peralatan atau lingkungan
tertentu. Dalam bidang bakteriologi, kata sterilisasi sering dipakai untuk
menggambarkan langkah yang diambil agar mencapai tujuan meniadakan atau
mematikan semua bentuk kehidupan mikroorganisme.

a. Sterilisasi alat
1. Autoclave
Ini merupakan cara atau metode yang dianggap paling efektif dan dapat
merusak spora – spora yang resisten serta fungus. Penggunaan panas yang lembab
dengan tekanan tinggi ini menghasilkan kekuatan penghacur bakteri yang paling
efektif terhadap semua bentuk mikroorganisme.
Alat – alat dan bahan – bahan yang akan disterilisasi dalam Autoclave
biasanya dibungkus dahulu dalam kasa biasanya disteriliser dalam satu paket
bedah, untuk sesuatu jenis operasi. Pembungkusan dengan kain kasa ini gunanya
untuk mempertahankan sterilitas alat atau bahan beberapa hari atau minggu diluar
autoclave. Alat – alat atau bahan – bahan yang telah disterilkan di autoclave
dengan pembungkus kertas yang cukup dapat disimpan dilemari selama 2 – 4
minggu.
Lama atau waktu sterilisasi dengan autoclave tergantung dari besar kecilnya
0
paket bedah. Paket yang kecil dapat disterilkan dalam waktu 30 menit pada 250
F dengan tekanan 20 pon ( 10 kg ).
Sarung tangan dari karet merupakan bahan yang lebih peka terhadap
tekanan uap dari pada peralatan lainnya seperti pembalut, seprai dan instrumen
dari metal. Oleh sebab itu bahan dari karet cukup disteriliser dengan tekanan uap
15 pon atau 15 menit pada 250 0 F.

6
2. Sterilisasi dengan Air Mendidih
Cara ini dapat dipakai dengan efektif bila kedalam air yang digunakan
dicampurkan bahan – bahan kimia untuk menaikan titik didih daripada air
tersebut. Kenaikan titik didih dari pada air tersebut gunaya untuk mendapatkan
temperatur 250 0
F, yang bukan saja mematikan bakteri tetapi juga spora –
sporanya.
Suatu larutan karbonas 2 % sudah cukup untuk memperoleh hasil yang baik.
Ini dapat diperoleh dengan melarutkan 60 cc karbonas Na dalam 1 galon akuades.
Larutan ini dapat menghemat waktu sterilisasi dan dapat mengurangi daya korosif
pada alat – alat metal dan dengan demikian alat – alat metal dengan demikian alat
– alat tesebut menjadi lebih awet karena berkurangya kadar O2 didalamnya.
3. Sterilisasi dengan Panas kering ( Dry Heat Sterilisation atau Hot Oven ).
Sterilisasi dengan oven panas ini sudah meluas dipergunakan di Kedokeran
Gigi pada umumnya dan Bagian Bedah Mulut pada khususnya. Teknik ini dapat
dipergunakan untuk mensterilkan alat – alat ( instrumen ), powder ( bubuk ),
minyak ( petrolatum ), “bone wax”, dan bahan – bahan lainnya yang tidak tahan
dengan sterilisais air mendidih atau uap air bertekanan tinggi.
Kelebihan cara ini ialah :
- Tidak merusak kaca
- Tidak mengakibatkan alat – alat berkarat
Kekurangan lainnya adalah :
- Membutuhkan waktu yang lama untuk menjamin efek bakterisidnya yakni
minimal 6 jam.
4. Sterilisasi Dingin.
Yakni dengan cara merendam alat – alat yang dipakai dengan bahan – bahan
kimia yang dapat membunuh kuman atau menghambat pertumbuhannya. Caranya
ini sangat sedikit manfaatnya karena bahan kimia yang dipakai untuk ini masing –
masing mempunyai kekurangannya dan tidak dapat dijamin efeknya terhadap
spora atau fungus.
Bahan – bahan yang dapat dipakai :
- Alkohol

7
Ini terlalu mahal dan mudah menguap sehingga yang tinggal airnya saja yang
dapat menimbulkan karat.
- Benzalkonim Chloride
Larutan 1 ; 1000, membutuhkan bahan anti karat (sodium nitrate).
Membutuhkan waktu yang lama (18 jam) untuk mensterilkan alat – alat yang
direndam kedalamnya.
5. Sterilisasi dengan Gas
Bahan yang dipakai etilen – oksid cara ini terlalu rumit, membutuhkan alat
khusus dan gas etilen oksid ini sangat mahal. Alat khusus ini berupa “cartridge “
yang dihubungkan dengan tangki gas etilen. Waktu sterilisasi dibutuhkan 2 s/d 12
jam.
b. Sterilisasi ruangan.

Dekontaminasi permukaan- permukaan yang tersentuh sekresi mulut pasien,


instrument atau tangan operator dengan bahan kimia antikuman. Semua
permukaan kerja yang terkontaminasi, pertama-tama dilap dengan handuk
pengisap untuk menghilangkan bahan-bahan organik kemudian didesinfeksi
dengan larutan pemutih (Pedersen, 1996).
c. Sterilisasi bahan-bahan medis.

Bahan-bahan medis dapat disterilisasi dengan menggunakan autoclave.


2.3 Faktor-faktor yang harus diperhatikan pada saat praktikum bedah
mulut.

1. Asepsis.
Asepsis adalah suatu keadaan yang bebas dari mikroorganisme. Di bidang
kedokteran gigi asepsis di daerah rongga mulut harus diusahakan sebaik mungkin
termasuk daerah Iidah. Keadaan asepsis juga diusahakan untuk operator terutama
tangan, alat bedah yang digunakan dan kamar bedah. Sebelum melakukan
tindakan eksodonsia rongga mulut selalu harus dibersihkan dengan mengolesi
seluruh mukosa rongga mulut dan lidah dengan antiseptika misalnya larutan yood
glyserin.

8
Seluruh alat yang akan dipakai harus dalam keadaan steril, diletakkan di atas
baki dan kemudian ditutup handuk steril. Kain kasa dan kapas steril dapat
digunakan di daerah operasi.
Tangan operator yang bekerja di daerah operasi harus diperhatikan
kebersihannya yaitu tangan dan telapak tangan termasuk daerah kuku lalu ke
daerah atas sampai siku tangan harus secara tekun disikat (srubbing) dengan
sabun selama 10 menit dan sabun yang melekat kemudian dibasuh dengan air
yang mengalir dan keran langsung. Sebelum operator memakai sarung tangan
steril maka telapak tangan harus dicuci terlebih dahulu dengan alkohol 70%.
Untuk operasi besar operator dan pembantunya membutuhkan gaun operasi steril.
Penggunaan jarum suntik hipodermik yang telah disteril dengan autoclaving
akan lebih aman dibanding yang disteril melalui sterilisasi dingin. Sekarang
penggunaan jarum sekali pakai ( dispossable ) steril dipandang paling aman.
2. Bedah atraumatik.
Bedah atraumatika adalah cara mengerjakan bedah ( operasi) janngan hidup
yang berprinsip pada trauma jaringan yang ditimbulkan diusahakan sekecil
mungkin. Prinsip ini berlaku bagi tindakan eksodonsia. Semua kegiatan
eksodonsia harus terencana pasti untuk menghindan komplikasi eksodonsia yang
tidak dikehendaki, misalnya fraktur akar gigi, fraktur tulang pendukung gigi,
fraktur tulang rahang, perdarahan, terjadinya oro anthral fistula yang lebar,
paralisis syaraf, laserasi jaringan lunak di sekitar gigi. Jaringan yang laserasi
berpotensi menjadi nekrosis karena sel-sel yang membentuknya menjadi rusak
dan kehilangan aktivitasnya.
3. Anestesi.
Anestesi untuk menghilangkan rasa sakit. Pemilihan anastesi yg tepat,teknik
yang benar akan menghasilkan efek anastesi yang baik. Menurut istilah, anestesi
lokal adalah hilangnya rasa sakit pada bagian tubuh tertentu tanpa desertai dengan
hilangnya kesadaran. Anestesi lokal merupakan aplikasi atau injeksi obat anestesi
pada daerah spesifik tubuh, kebalikan dari anestesi umum yang meliputi seluruh
tubuh dan otak. Anestesi lokal memblok secara reversible pada sistem konduksi

9
saraf pada daerah tertentu sehingga terjadi kehilangan sensasi dan aktivitas
motorik.
4. Keseimbangan cairan tubuh.
Seorang penderita yang mengalami perdarahan yang berlebihan akibat
kecelakaan atau tindakan bedah perlu mendapatkan pengganti darah yang hilang.
Juga penderita yang mengalami demam tinggi atau sedang dalam keadaan toksis
memerlukan cairan yang memadai. Beberapa penderita memerlukan penggantian
cairan tubuh melalui jalan intravenosa ( infus). Umumnya pemberian cairan
intravenosa terdiri dan glukosa dalam 500-1000 cc akuadestilata steril. Permbenan
larutan glukosa dianjurkan 250 cc per jam dan jangan Iebih cepat dan ketentuan
itu. Bila penderita dalam keadaan dehidrasi dan toksis lebih baik diberikan cairan
garam ( salin) (Mario, 2012).

2.4 Komplikasi pencabutan gigi

a. Komplikasi anestesi lokal

Pada pemberian anestesi lokal, terdapat komplikasi yang mungkin saja


terjadi. Komplikasi yang disebabkan pemberian anestesi lokal dibagi menjadi dua,
komplikasi lokal, dan komplikasi sistemik. Komplikasi lokal merupakan
komplikasi yang terjadi pada sekitar area injeksi, sedangkan komplikasi sistemik
merupakan komplikasi yang melibatkan respon sistemik tubuh terhadap
pemberian anestesi lokal.

1. Komplikasi Lokal

a. Jarum Patah

Penyebab utama jarum patah adalah kondisi jarum yang fatig akibat
dibengkokkan. Jarum patah dapat pula disebabkan oleh kesalahan teknik saat
administrasi, kelainan anatomi pasien, serta jarum yang disterilkan berulang.
Apabila kondisi ini terjadi, pasien diinstruksikan untuk tidak bergerak dan tangan

10
operator jangan dilepaskan dari mulut pasien dan pasang bite block bila perlu. Jika
patahan dapat terlihat, patahan dapat dicoba diambil dengan arteri klem kecil.
Namun, apabila jarum tidak terlihat, insisi dan probing tidak boleh dilakukan dan
segera konsultasikan ke spesialis bedah mulut untuk diambil secara surgical.

b. Rasa sakit

Rasa sakit saat administrasi anestesi lokal disebabkan oleh penggunaan jarum
yang tumpul, pengeluaran anestetikum dengan terlalu cepat, serta tidak menguasai
teknik anestesi lokal. Hal ini dapat dicegah dengan menggunakan anestesi topikal
sebelum insersi jarum dan mengeluarkan anestetikum secara perlahan, serta
anestetikum yang digunakan lebih baik jika suhunya sama dengan suhu tubuh.

c. Parestesi atau Anestesi Berkepanjangan

Parestesi atau anestesi yang berkepanjangan dapat terjadi akibat trauma saraf,
anestetikum bercampur alkohol, serta adanya perdarahan pada sekitar saraf.
Parestesi berkepanjangan dapat menyebabkan trauma pada bibir yang tergigit dan
apabila mengenai N. Lingualis dapat menyebabkan mati rasa kecap. Sebagai
upaya pencegahan, operator harus berhati- hati saat administrasi dan
menggunakan spuit sekali pakai sehingga tidak perlu mensterilkan dengan larutan
alkohol. Penanggulangan parestesi yang berkepanjangan dapat dilakukan dengan
penjelasan pada pasien bahwa hal tersebut akan terjadi dalam waktu lama, control
setiap dua bulan, dan apabila berlangsung lebih dari satu tahun maka konsultasi
neurologis diperlukan.

d. Paralisis Fasial

Paralisis fasial disebabkan oleh insersi jarum yang terlalu dalam saat blok N.
Alveolaris Inferior sehingga masuk ke kelenjar parotis dan mengenai cabang saraf
wajah, biasanya N. Orbicularis oculi. Penanggulangan hal tersebut dilakukan
dengan memberitahu pasien bahwa hal tersebut akan berlangsung selama

11
beberapa jam dan mata pasien harus dilindungi selama refleks berkedip belum
kembali.

e. Trismus

Trismus merupakan salah satu komplikasi pemberian anestesi akibat adanya


trauma pada M. Mastikatorius atau pembuluh darah pada intra temporal fossa.
Trismus dapat pula disebabkan oleh anestesi lokal yang bercampur alkohol dan
berdifusi ke jaringan sehingga mengiritasi M. Mastikatorius. Penangulangan
trismus dilakukan dengan cara pemberian analgetik, kompes air panas selama 20
menit, latihan buka tutup mulut selama 5 menit setiap 3-4 jam, dapat pula
diberikan permen karet untuk melatih gerakan lateral. Bila trismus berlanjut lebih
dari 7 hari, maka konsulkan pada spesialis bedah mulut.

f. Hematom

Hematom sering terjadi pada komplikasi blok N. Alveolaris Inferior, N.


Alveolaris Superior Posterior, dan N. Mentalis/ Insisif. Pencegahan hematom
dapat dilakukan dengan mengetahui anatomi sehingga tidak terjadi penyebaran
darah ke rongga ekstravaskuler. Penggunaan jarum pendek pada anestesi N.
Alveolaris superior posterior juga dapat dilakukan sebagai upaya meminimalisasi
hematom. Penanggulangan hematom akibat administrasi anestesi lokal adalah
dengan menekan perdarahan dan jangan mengompres panas selama 4-6 jam
setelah kejadian, namun setelah satu hari dapat dikompres hangat 20 menit per
jam. Kompres dingin dapat dilakukan segera setelah terjadi hematom untuk
mengurangi perdarahan dan rasa sakit.

g. Infeksi

Infeksi terjadi akibat kontaminasi jarum dan dapat menyebabkan trismus. Bila
infeksi berlanjut sampai lebih dari hari ketiga, maka antibiotik diindikasikan
untuk pasien tersebut.

12
h. Edema

Edema disebabkan oleh trauma selama anestesi lokal, infeksi, alergi,


perdarahan, dan penyuntikan anestetikum yang terkontaminasi alkohol.
Penanggulangan edema dilakukan dengan observasi bila edema disebabkan oleh
trauma injeksi atau iritasi larutan, biasanya akan hilang 1- 3 hari tanpa terapi.
Sedangkan bila lebih dari 3 hari dan disertai rasa sakit atau disfungsi mandibula,
antibiotik sebaiknya diberikan untuk pasien tersebut.

i. Trauma jaringan lunak

Pada pasien anak- anak, atau pasien dengan cacat mental, rasa baal setelah
pemberian anestesi lokal dapat menyebabkan pasien tersebut mengigit bibir
maupun jaringan lunak lainnya. Penanggulangan trauma jaringan lunak di sekitar
area yang dianestesi dilakukan dengan pemberian salep untuk mengurangi iritasi,
analgesic, serta antibiotik jika diperlukan.

j. Lesi intraoral

Lesi intraoral umumnya disebabkan oleh trauma jarum pada jaringan saat
insersi. Penanggulangan lesi ini dilakukan dengan pemberian topikal anestesi
praanestesi, pemberian obat kumur, dan pemberian antibiotik jika terjadi infeksi.

2. Komplikasi Sistemik

a. Reaksi psikis

Reaksi psikis yang sering terjadi sebagai komplikasi sistemik akibat pemberian
anestesi lokal adalah sinkop atau serangan vasovagal. Hal ini merupakan
gangguan emosional sebelum penyuntikan. Pada saat terjadi reaksi psikis, arteri
mengalami vasodilatasi sehingga menyebabkan volume darah ke jantung
berkurang sehingga menyebabkan penurunan umpan balik kardiak yang
menyebabkan hilang kesadaran mendadak. Tanda- tanda reaksi psikis ini adalah
pucat, mual, pusing, keringat dingin, dan jika tidak ditangani cepat kesadaran akan

13
hilang, pupil membesar, denyut nadi lemah dan tidak teratur. Perawatan reaksi
psikis ini adalah dengan penaganan emergensi sinkop.

b. Reaksi toksik

Reaksi toksik pada administrasi anestesi lokal jarang terjadi bila penyuntikan
dilakukan sesuai dengan prosedurnya. Apabila aspirasi tidak dilakukan sebelum
penyuntikan, maka anestetikum akan masuk ke dalam intravaskuler sehingga
menyebabkan overdosis. Tanda- tanda reaksi toksik adalah terjadi konvulsi,
gangguan pernafasan, dan syok.

c. Reaksi alergi

Riwayat alergi pasien harus ditanyakan praanestetikum sehingga


meminimalisasi terjadinya reaksi alergi. Reaksi alergi yang terjadi berbeda- beda
dengan tingkat keparahan yang juga berbeda. Tingkat reaksi alergi yang paling
ringan adalah localized skin reaction dengan gejala lokal eritema, edema, dan
pruritus. Untuk tingkatan lesi yang lebih parah yaitu reaksi pada kulit yang
tergeneralisasi, antihistamin perlu diberikan. Pada kasus alergi yang melibatkan
traktus respiratorius, diberikan epinefrin secara intramuscular kemudian
melakukan prosedur emergensi. Tingkat reaksi alergi yang paling parah adalah
syok anafilaktik yang perlu ditangani dengan segera dengan pemberian epinefrin
IM atau IV, serta penanganan emergensi syok.

d. Virus Hepatitis/ HIV

Penyebaran kedua virus ini dapat melalui jarum suntik. Oleh karena itu, jarum
suntik harus digunakan sekali pakai sebagai upaya pencegahan.

e. Interaksi obat

Interaksi obat dapat terjadi pada pasien yang mendapat obat sistemik. Secara
umum, interaksi obat dengan anestesi lokal sangat jarang. Namun, anestesi lokal
yang mengandung noradrenalin dapt merangsang respon tekanan darah pasien

14
yang mendapatkan antidepresan trisiklik. Karena itu, noradrenalin tidak
dianjurkan untuk dipakai (Oosten, 2012).

b. Komplikasi saat proses pencabutan gigi.

Beberapa faktor penyebab terjadinya komplikasi diantaranya karena


kondisi sistemik dan lokal pasien lalu keahlian, keterampilan dan pengalaman
sang operator serta standar prosedur pelaksanaan juga mempengaruhi. Berbagai
komplikasi dapat terjadi, seperti:
1.Perdarahan
Perdarahan mungkin merupakan komplikasi yang paling ditakuti, karena
oleh dokter maupun pasien dianggap dapat mengancam kehidupan. Pasien dengan
gangguan pembekuan darah sangatlah jarang ditemukan, kebanyakan adalah
individu dengan penhyakit hati, misalnya seorang alkoholik yang menderita
sirosis, pasien yang menerima terapi antikoagulan, atau pasien yang
mengkonsumsi aspirin dosis tinggi atau agen antiradang nonsteroid. Semua itu
mempunyai resiko perdarahan.
Pembedahan merupakan tindakan yang dapat mencetuskan perdarahan,
untuk penderita dengan kondisi yang normal, perdarahan yang terjadi dapat
ditangani. Hal yang berbeda dapat terjadi apabila pasien mengalami gangguan
sistem hemostasis, perdarahan yang hebat dapat terjadi dan sering mengancam
kelangsungan hidupnya.
Bukanlah hal yang tidak mungkin terjadi kita dihadapkan dengan kelainan
hemostasis ringan sehingga dalam evaluasi pra bedah tidak terdeteksi secara
klinis. Kesulitan kemudian timbul setelah dilakukan pembedahan, terjadi
perdarahan selama ataupun sesudah pembedahan sehingga dapat mengancam jiwa
pasien. Oleh karenanya kelainan hemostasis sekecil apapun sebaiknya diketahui
sebelum tindakan bedah dikerjakan agar dapat dilakukan persiapan dan
pencegahan sebelumnya.
2. Fraktur
a. Fraktur mahkota gigi

15
Selama pencabutan mungkin tidak dapat dihindari bila gigi sudah
mengalami karies atau restorasi besar. Namun hal ini sering juga disebabkan
oleh tidak tepatnya aplikasi tang pada gigi, bilah tang di aplikasikan pada
mahkota gigi bukan pada akar atau massa akar gigi, atau dengan sumbu
panjang tang yang tidak sejajar dengan sumbu panjang gigi. Bila operator
memilih tang dengan ujung terlalu lebar dan hanya memberikan ‘kontak 1
titik’ gigi dapat pecah bila tang ditekan. Bila tangkai tang tidak dipegang
dengan kuat, ujung tas mungkin terlepas dari akar dan mematahkan mahkota
gigi. Terburu-buru biasanya merupakan penyebab dari semua kesalahan, yang
sebenarnya dapat dihindari bila operator bekerja sesuai metode. Pemberia
tekanan berlebihan dalam upaya mengatasi perlawanan dari gigi tidak
dianjurkan dan bisa menyebabkan fraktur mahkota gigi.
Bila fraktur mahkota gigi terjadi, metode yang digunakan untuk
mengambil sisa dari gigi bergantung pada banyaknya gigi yang tersisa serta
penyebab kegagalannya. Terkadang diperlukan aplikasi tang atau elevator
tambahan untuk mengungkit gigi dan metode pencabutan transalveolar.
b. Fraktur tulang alveolar
Dapat terjadi pada waktu pencabutan gigi yang sukar. Bila terasa
bahwa terjadi fraktur tulang alveolar sebaiknya giginya dipisahkan terlebih
dahulu dari tulang yang patah, baru dilanjutkan pencabutan.
c. Fraktur tuberositas maxillaris
Terjadi pada waktu pencabutan gigi molar tiga rahang atas. Perlu
dihindari oleh karena tuberositas diperlukan sebagai retensi pada pembuatan
gIgi palsu.
d. Fraktur yang bersebelahan atau gigi antagonis
Fraktur gigi yang bersebelahan atau gigi antagonis selama pencabutan
dapat dihindari. Pemeriksaan praoperasi secara cermat dapat menunjukkan
apakah gigi yang berdekatan dengan gigi yang akan dicabut telah mengalami
karies, restorasi besar, atau terletak pada arah pencabutan. Bila gigi yang akan
dicabut adalah gigi penjangkaran, mahkota jembatan harus dibelah dengan
disk vulkarbo atau intan sebelum pencabutan. Bila gigi sebelahnya terkena

16
karies dan tambalannya goyang atau mengaung (overhanging) maka harus
diambil atau ditambal dengan tambalan sementara sebelum dilakukan
pencabutan. Tidak boleh diaplikasikan tekanan pada gigi yang berdekatan
selama pencabutan, dan gigi lainnya tidak boleh digunakan sebagai fulcrum
untuk elevator kecuali bila gigi tersebut juga akan dicabut pada kunjungan
yang sama.
Gigi antagonis bisa pecah atau fraktur bila gigi yang akan dicabut tiba-
tiba diberikan tekanan yang tidak terkendali dan tang membentur gigi tersebut.
Tekhnik pencabutan yang terkontrol dapat mencegah kejadian ini.
e. Fraktur mandibula atau maxilla
Kondisi ini terjadinya fraktur (patah tulang) yang tidak diharapkan dari
bagian soket gigi, atau bahkan tulang mandibula atau maksila tempat
melekatnya tulang alveolar berada. Paling umum terjadi dikarenakan
kesalahan tehnik operator saat melakukan pencabutan gigi. Oleh karena itu
operator diharuskan memiliki tehnik yang benar dan bisa memperhitungkan
seberapa besar penggunaan tenaga saat mencabut gigi dan cara menggunakan
alat dengan tepat (Riwan, 2007).
3. Perforasi sinus maksilaris.
Terjadi pada pencabutan gigi-gigi premolar atau molar rahang atas.
Keadaan ini lebih mudah terjadi pada gigi dengan keadaan adanya infeksi pada
apikal karena tulang antara akar dan sinus terlibat keradangan kronis sehingga
rusak.
Biasanya hal ini ditandai dengan adanya cairan yang keluar melalui hidung
bilamana penderita kumur atau minum, kadang kala saat pencabutan tidak
diketahui baik oleh dokter ataupun penderita kalau terjadi perforasi.
Bila terjadi segera diatasi dengan menutup socket dengan jahitan yang
rapat bila perlu tulang bagian bukal dikurangi sehingga dapat dilakukan tarikan
pada mukosa dari bukal untuk menutup. Penderita dianjurkan tidak meniup-niup
hidung kurang lebih selama satu minggu, jangan kumur terlalu keras.
4. Terdorongnya akar pada sinus maksilaris.

17
Bila terjadi dapat dicoba untuk mengambil fragmen tersebut dengan jalan :
penderita disuruh meniup dengan lubang hidung ditutup
Diambil dengan ujung alat penghisap ( suction tip ) pada socket
Bila tidak berhasil perlu dilakukan tindakan pembedahan dengan merujuk
penderita ke dokter ahli.
5. Lecet dan luka bakar.
Cedera jaringan lunak yang paling umum adalah lecet (luka sobek) dan
luka bakar/abrasi. Lecet sering diakibatkan oleh retraksi berlebihan dari flap yang
kurang besar. Sobeknya mukosa sering terjadi pada tempat yang tak diharapkan
yaitu pada tepi tulang, atau pada tempat penyambungan tepi-tepi flap. Komplikasi
ini bisa dihindari dengan membuat flap yang lebih besar dan menggunakan
retraksi yang ringan saja.
6. Empisema subkutan.
Empisema subkutan lebih sering terjadi pada region maksila dan
disebabkan oleh adanya udara yang masuk. Di bawah tekanan, udara dikeluarkan
dari henpis yang terletak didekat bur. Empisema jaringan lunak bisa juga terjadi
kalau pasien batuk atau bersin pada waktu flap yang luas dalam keadaan terbuka.
Empisema subkutan bisa didiagnosis dengan adanya pembengkakan yang
mendadak, perabaan berbenjol-benjol dari kulit setempat dan penampakan secara
radiografis yang menunjukkan adanya udara di jaringan lunak (Pedersen, 1996).

2.5 Ciri-ciri tang posterior RA dan RB.

A. Tang posterior rahang atas

Paruh tang premolar rahang atas berhadapan seperti bayangan cermin


satu sama lain, dapat digunakan untuk pencabutan premolar rahang atas
kiri maupun kanan.

18
Paruh bukal dari masing-masing tang memiliki desain yang runcing,
yang mana akan tepat menempati bifurkasio bukal dari kedua akar bukal.

Tang bayonet dengan paruh memanjang didesain untuk ekstraksi gigi


dan akar molar ketiga rahang atas.

B. Tang posterior rahang bawah

Tang akar rahang bawah dengan paruh runcing digunakan untuk


pencabutan incisivus, premolar, dan akar gigi rahang bawah.

19
Tang molar rahang bawah digunakan untuk pencabutan gigi permanen
rahang bawah. Ujung paruh akan menempati furkasi molar, dapat
digunakan pada gigi rahang bawah kanan atau kiri (Abusallamah, 2013).

C. Perbedaan tang posterior rahang atas dan rahang bawah


D. Rahang Atas Rahang Bawah

Desain Paruhnya cenderung lebih Paruhnya lebih membentuk


paralel terhadap pegangannya. sudut terhadap pegangannya.
Desain pegangan bayonet hanya Paruh tang mandibula selalu
khusus untuk tang rahang atas. simetris. Pegangan vertikal
Modifikasi ini dimaksudkan jika digunakan adalah khusus
untuk membantu menghindari untuk tang-tang rahang bawah
bibir bawah. Desain paruh yang
asimetris, kanan dan kiri hanya
terdapat pada tang untuk gigi
molar atas

Aplikasi Dikenakan pada daerah servikal Gaya vertikal yang diperlukan


gigi yang dicabut. Adaptasi untuk adaptasi atau
diperoleh melalui kombinasi dari menempatkan tang diimbangi
tekanan mencengkram dan oleh gaya berlawanan yang
apikal. Digunakan dengan pinch dikenakan terhadap mandibula
grasp dan telapak tangan dengan melakukan sling grasp.
menghadap ke atas. Telapak tangan menghadap ke
bawah

Tekanan Lateral (bukal/lingual), paralel Tekanan lateral (bukal/lingual)


yang (apikal/oklusal), dan rotasional dihantarkan, tetapi tekanan
dihantarkan lingual mungkin lebih
dominan pada pencabutan
gigi-gigi molar bawah.
Tekanan paralel, apikal, dan
oklusal serta tekanan

20
rotasional juga digunakan
apabila diperlukan

(Pedersen, 1996)

21
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Daerah yang teranestesi pada anestesi blok N. alveolaris inferior dengan


teknik Fisher adalah gigi gigi mandibula setengah kuadran, badan
mandibula dan ramus bagian bawah,nmukoperiosteum bukal dan membran
mukosa didepan foramen mentalis, dasar mulut dan dua pertiga anterior
lidah, jaringan lunak dan periosteum bagian lingual mandibula.
2. Peralatan dapat disterilisasi dengan autoclave. Sterilisasi ruangan dapat
dilakukan dengan larutan pemutih pada daerah yang terkontaminasi.

3. Faktor-faktor yang harus diperhatikan pada saat praktikum bedah mulut


antara lain asepsis, bedah atraumatik, anestesi dan keseimbangan cairan
tubuh.

4. Tindakan pencabutan gigi dapat menimbulkan hal-hal yang merugikan baik


berupa komplikasi saat pemberian anestesi lokal maupuan saat proses
pencabutan berupa paralisis, hematoma, trismus, empisema subkutan,
perdarahan, fraktur dan lain-lain.

5. Tang posterior rahang atas dan rahang bawah memiliki perbedaan dalam hal
desain, aplikasi dan tekanan yang dihantarkan.

3.2 Saran

Prinsip-prinsip bedah seperti asepsis, bedah atraumatik, anestesi dan


keseimbangan cairan tubuh perlu dilaksanakan oleh dokter gigi dengan sebaik-
baiknya untuk memperkecil kemungkinan terjadinya komplikasi yang disebabkan
tidak terciptanya kondisi yang asepsis serta teknik anestesi yang tidak sesuai.

22
DAFTAR PUSTAKA

Abusallamah, A., 2012, Simple Tooth Extraction Technique,


http://www.slideshare.net/, diakses pada 3/3/2015.

Nanda, 2011, Anestesi Blok pada Maksila dan Mandibula, http://nanda-


sekelak.blogspot.com.
Oosten, D.H., 2012, Komplikasi Anestesi Pencabutan Gigi,
http://potooloodental.blog.com.
Pedersen, W.G., 1996, Buku Ajar Praktis Bedah Mulut, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.

Riwan, 2007, Komplikasi Pencabutan, http://www.martariwansyah.com.

23

Anda mungkin juga menyukai