Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN
PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIDIARE

1. Latar Belakang
Diare adalah suatu keadaan meningkatnya berat dari fases (>200 mg/hari) yang dapat
dihubungkan dengan meningkatnya cairan, frekuensi BAB, tidak enak pada perinal,
dan rasa terdesak untuk BAB dengan atau tanpa inkontinensia fekal (Daldiyono, 1990).
Diare atau diarrhea merupakan kondisi rangsangan buang air  besar yang terus menerus
disertai keluarnya feses atau tinja yang kelebihan cairan, atau memiliki kandungan air yang
berlebih dari keadaan normal. Umumnya diare menyerang balita dan anak-anak.  Namun
tidak jarang orang dewasa juga bisa terjangkit diare. Jenis  penyakit diare bergantung pada
jenis klinik penyakitnya (Anne, 2011).
Klinis tersebut dapat diketahui saat pertama kali mengalami sakit perut. Ada
lima jenis klinis penyakit diare, antara lain:
1. Diare akut, bercampur dengan air. Diare memiliki gejala yang datang tiba-
tiba dan berlangsung kurang dari 14 hari. Bila mengalami diare akut,
penderita akan mengalami dehidrasi dan penurunan berat badan  jika tidak
diberika makan dam minum.
2. Diare kronik. Diare yang gejalanya berlangsung lebih dari 14 hari yang
disebabkan oleh virus, Bakteri dan parasit, maupun non infeksi.
3. Diare akut bercampur darah. Selain intensitas buang air besar meningkat,
diare ini dapat menyebabkan kerusakan usus halus,spesis yaitu infeksi
bakteri dalam darah, malnutrisi atau kurang gizi dan dehidrasi.
4. Diare persisten. Gejalanya berlangsung selama lebih dari 14 hari. Dengan
bahaya utama adalah kekurangan gizi. Infeksi serius tidak hanya dalam usus
tetapi menyebar hingga keluar usus.
5. Diare dengan kurang gizi berat. Diare ini lebih parah dari diare yang
lainnya, karena mengakibatkan infeksi yang sifatnya sistemik atau
menyeluruh yang berat, dehidrasi, kekurangan vitamin dan mineral. Bahkan
bisa mengakibatkan gagal jantung.
2. Tujuan Percobaan
a. Mempunyai keterampilan dalam percobaab diare
b. Mendalami pengaruhlaksan saluran pencernaan dan mengetahui sejauh mana obat
antidiare dapat menghambat diare yang ditimbulakn oleh laksan

3. Prinsip percobaan
Pengujian efek antidiare berdasarkan konsistensi feses, bobot feses, dan
frekuensi defekasi pada pemerian loperamid, dan kaolin dengan metode pemerian
induksi Paraffin Liq
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Umum
Diare merupakan buang air besar (defekasi) dengan tinja, berbentuk cairan atau
setengah cairan (setengah padat), dengan kandungan air pada tinja lebih banyak dari
biasanya, normalnya 100–200 ml/tinja (Hendarwanto, 1996).  Pada diare, tinja
mengandung lebih banyak air dibandingkan yang normal. Tetapi apabila
mengeluarkan tinja normal secara berulang tidak disebut diare (Andrianto, 1995).
Dengan kata lain, diare merupakan keadaan buang air besar dengan banyak cairan
(mencret) dan merupakan gejala dari penyakit-penyakit tertentu atau gangguan
lainnya (Tjay dan Rahardja, 2002).

Diare sebenarnya adalah proses fisiologis tubuh untuk mempertahankan diri dari
serangan mikroorganisme (virus, bakteri, parasit dan sebagainya) atau bahan-bahan
makanan yang dapat merusak usus agar tidak menyebabkan kerusakan mukosa
saluran cerna. Diare dikatakan meningkat ketika frekuensi meningkat dengan
konsentrasi tinja lebih lembek atau cair, bersifat mendadak dan berlangsung dalam
waktu 7-14 hari (Sunoto, 1996).

Secara normal makanan yang terdapat di dalam lambung dicerna menjadi bubur
(chymus), kemudian diteruskan ke usus halus untuk diuraikan lebih lanjut oleh
enzim-enzim. Setelah terjadi resorpsi, sisa chymus tersebut yang terdiri dari 90% air
dan sisa-sisa makanan yang sukar dicernakan, diteruskan ke usus besar (colon).
Bakteri-bakteri yang biasanya selalu berada di colon mencerna lagi sisa- sisa (serat-
serat) tersebut, sehingga sebagian besar dari sisa-sisa tersebut dapat diserap pula
selama perjalanan melalui usus besar. Airnya juga diresorpsi kembali sehingga
akhirnya isi usus menjadi lebih padat (Tjay dan Rahardja, 2002). Beberapa
klasifikasi diare antara lain adalah:

1. Klasifikasi berdasarkan pada jenis infeksi gastroenteritis (diare dan muntah),


diklasifikasikan menurut dua golongan:

a. Diare infeksi spesifik: titis abdomen dan poratitus, disentri bani


(Shigella).

b. Diare non spesifik.


2. Klasifikasi lain diadakan berdasarkan organ yang terkena infeksi:
a. Diare infeksi enternal atau diare karena infeksi di usus (bakteri, virus,
parasit).
b. Diare infeksi parenteral atau diare karena infeksi di luar usus (otitis,
media, infeksi saluran pernafasan, infeksi saluran urin, dan lainnya)
(Andi, 2010).
3. Klasifikasi diare berdasarkan lamanya diare:
a. Diare akut atau diare karena infeksi usus yang bersifat mendadak, dan
bisa berlangsung terus selama beberapa hari. Diare ini disebabkan
oleh karena infeksi usus sehingga dapat terjadi pada setiap umur dan
bila menyerang umumnya disebut gastroenteritis infantile.
b. Diare kronik merupakan diare yang berlangsung lebih dari dua
minggu, sedangkan diare yang sifatnya menahun diantara diare akut
dan diare kronik disebut diare sub akut (Andrianto, 1995).

Patogenesis terjadinya proses diare kronik sangat kompleks dan multipel


(Andrade et al., 2000). Patogenesis utama pada diare kronik adalah kerusakan
mukosa usus (Suraatmaja, 2005) yang menyebabkan gangguan digesti dan
transportasi nutrien melalui mukosa. Faktor penting lainnya adalah faktor intraluminal
yang menyebabkan gangguan proses digesti saja misalnya akibat gangguan pankreas,
hati, dan membran brush border enterosit. Biasanya kedua faktor tersebut terjadi
bersamaan sebagai penyebab diare kronik (Ghishan, 2008).
Pada tahap awal kerusakan mukosa usus disebabkan oleh etiologi diare akut
yang tidak mendapat penanganan dengan baik. Akhirnya berbagai faktor melalui
interaksi timbal balik mengakibatkan lingkaran setan. Keadaan ini tidak hanya
menyebabkan perbaikan kerusakan mukosa tidak efektif tetapi juga menimbulkan
kerusakan mukosa yang lebih berat dengan segala komplikasinya (Suraatmaja,
2005).
Enteropatogen misalnya infeksi bakteri/infestasi parasit yang sudah resisten
terhadap antibiotik/anti parasit, disertaiov ergrowth bakteri non-patogen seperti
Pseudomonas, Klebsiella, Streptococcus, Staphylococcus, dan sebagainya akan
memprovokasi timbulnya lesi di mukosa usus. Kerusakan epitel usus menyebabkan
kekurangan enzim laktase dan protease yang mengakibatkan maldigesti dan
malabsorpsi karbohidrat dan protein. Pada tahap lanjut, setelah terjadi malnutrisi,
terjadi atrofi mukosa lambung, usus halus disertai penumpulan vili, dan kerusakan
hepar dan pankreas yang mengakibatkan terjadinya maldigesti dan malabsorpsi
seluruh nutrien. Makanan yang tidak dicerna dengan baik akan meningkatkan tekanan
koloid osmotik dalam lumen usus sehingga terjadilah diare osmotik. Ov ergrowth
bakteri yang terjadi mengakibatkan dekonjugasi dan dehidroksilasi asam empedu.
Dekonjugasi dan dehidroksilasi asam empedu merupakan zat toksik terhadap epitel
usus dan menyebabkan gangguan pembentukan ATP-ase yang sangat penting sebagai
sumber energi dalam absorpsi makanan (Suraatmaja, 2005).
Usus merupakan organ utama untuk pertahanan tubuh. Defisiensi sekretori IgA
(SigA) dan cell mediated immunity akan menyebabkan individu tidak mampu
mengatasi infeksi bakteri/virus/jamur atau infestasi parasit dalam usus,
akibatnya
kuman akan berkembang biak dengan leluasa, terjadiovergrowth dengan akibat
lebih lanjut berupa diare kronik dan malabsorpsi makanan yang lebih berat
(Suraatmaja, 2005).
Kelompok obat yang sering kali digunakan pada diare adalah:
1. Kemoterapeutik untuk terapi kausal, yakni memberantas bakteri penyebab
diare, seperti antibiotika, sulfonamida, kinolon, dan funazolidon.
2. Obstipansia untuk terapi simtomatis, yang dapat menghentikan diare
dengan beberapa cara, yakni:
a. Zat-zat penekan peristaltik (antimotilitas) sehingga memberikan lebih
banyak waktu untuk resorpsi air dan elektrolit oleh mukosa usus: candu
dan alkaloidnya, derivat-derivat petidin (difenoksilat dan loperamida),
dan antikolinergik (atropin, ekstra belladonna). Adapun mekanisme
kerja obat-obatan ini adalah menstimulasi aktivasi reseptor μ pada
neuron menterikus dan menyebabkan hiperpolarisasi dengan
meningkatkan konduktansi kaliumnya. Hal tersebut menghambat
pelepasan asetilkolin dari pleksus mienterikus dan menurunkan
motilitas usus. Loperamid merupakan opioid yang paling tepat untuk
efek lokal usus karena tidak menembus sawar otak. Oleh karena itu
loperamid hanya menimbulkan sedikit efek sentral dan tidak
menimbulkan efek ketergantungan (Tjay dan Rahardja, 2002).
b. Adstringensia, yang menciutkan selaput lendir usus, misalnya asam
semak (tanin) dan tannalbumin, garam-garam bismut, dan aluminium
(Tjay dan Rahardja, 2002).
c. Adsorbensia, misalnya yang pada permukaannya dapat menyerap
(adsorpsi) zat-zat beracun (toksin) yang dihasilkan oleh bakteri atau
yang adakalanya berasal dari makanan (udang, ikan) (Tjay dan
Rahardja, 2002).
3. Spasmolitika,yakni zat-zat yang dapat melepaskan kejang-kejang otot yang
seringkali mengakibatkan nyeri perut pada diare, antara lain papaverin dan
oksifenonium (Tjay dan Rahardja, 2002).

Pengobatan simtomatik dengan opiat atau loperamid bermanfaat untuk


mengurangi hebatnya diare. Meskipun demikian, perlu diperhatikan bahwa obat-obat
ini dapat menimbulkan efek samping seperti distensi abdominal, dll (Neal, 2005).

Obat antimotilitas secara luas digunakan sebagai simtomatis pada diare akut


ringan sampai sedang. Opioid seperti morfin, difenoksilat, dan kodein  menstimulasi
aktivasi reseptor µ pada neuron mienterikus dan menyebabkan hiperpolarisasi
dengan meningkatkan konduktansi kaliumnya. Hal tersebut menghambat pelepasan
asetilkolin dari pleksus mienterikus dan menurunkan motilitas usus (Neal, 2005).

Loperamid adalah opioid yang paling tepat untuk efek local pada usus karena
tidak menembus ke dalam otak. Oleh karena itu, loperamid hanya mempunyai
sedikit efek sentral dan tidak mungkin menyebabkan ketergantungan (Neal, 2005).

Loperamid merupakan derivat difenoksilat dengan khasiat obstipasi yang dua


sampai tiga kali lebih kuat tetapi tanpa khasiat terhadap susunan saraf pusat sehingga
tidak menimbulkan ketergantungan. Zat ini mampu menormalkan keseimbangan
resorpsi-sekresi dari sel-sel mukosa, yaitu memulihkan sel-sel yang berada dalam
keadaan hipersekresi ke keadaan resorpsi normal kembali (Tjay dan Rahardja,
2002).
Loperamid tidak diserap dengan baik melalui pemberian oral dan penetrasinya
ke dalam otak tidak baik, sifat-sifat ini menunjang selektifitas kerjanya. Kadar
puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 4 jam sesudah minum obat. Masa laten
yang lama ini disebabkan oleh penghambatan motilitas saluran cerna dan karena
obat mengalami sirkulasi enterohepatik (Andi, 2010).
Loperamid memperlambat motilitas saluran cerna dengan mempengaruhi otot
sirkuler dan longitudinalis usus. Obat ini berikatan dengan reseptor opioid sehingga
diduga efek konstipasinya diakibatkan oleh ikatan loperamid dengan reseptor
tersebut. Waktu paruh 7-14 jam (Andi, 2010).
Terapi Rehidrasi :  Larutan oral yang mengandung elektrolit dan glukosa
diberikan untuk mengoreksi dehidrasi berat yang dapat diakibatkan oleh infeksi
akibat organisme toksigenik. Terapi ini lebih penting daripada terapi dengan obat,
terutama pada bayi dan pada diare karena infeksi (Neal, 2005).

Antibiotik :  Berguna hanya untuk infeksi tertentu, misalnya kolera dan disentri
basiler berat, yang diterapi dengan tetrasiklin (antibiotic spectrum luas). Kuinolon,
tampaknya efektif melawan patogen diare yang paling penting (Neal, 2005).
BAB III
METODE KERJA
1. Alat dan bahan yang digunakan

2. Hewan yang akan digunakan

Hewan yang akan digunakan adalah marmut dengan berat 407 g, 341 g, 220 g, 266g
dan 213 g

3. Pembuatan bahan
 Pembuatan Na. CMC 1%
 Panaskan aquadest kurang lebih 200 ml hingga mendidih.
 Timbang Na. CMC sebanyak 1g
 Masukan Na. CMC sebanyak beaker glass 300 ml lalu tambahkan 50
ml air panas. Aduk campuran tersebut hingga homogeny, ditandai
dengan tidak nampaknya lagi serbuk berwarna putih dan campuran
berupa seperti gel. Tambahkan air panas sedikit demi sedikit samil di
aduk hingga volume larutan tersebut menjadi 100ml, dinginkan.

 Pembuatan suspensi Loperamid


Perhitungan dosis oral untuk manusia = 2mg
Konversi dosis untuk mencit BB 20g = dosis lazim x factor konversi
= 2mg x 0,031 = 0,062 mg
Untuk marmut dengan berat 407 g = (407 g/400 g) x 0,062 mg
= 0,063 mg
Dosis yang di berikan dalam volume = 5 ml
Dibuat larutan persediaan sebanyak = 100 ml
Jumlah Loperamid yang digunakan = (100 ml/5 ml) x 0,0630 mg
= 0,37851 mg ~ 0,4 mg
Kadar Loperamid = (0,4mg / 100 ml) x 100%
= 0,4%
Cara pembuatan suspense Loperamid 0,4% b/v
a.) Ambil 1 tablet Loperamid lalu gerus hingga halus.
b.) Masukan sebuk Loperamid yang sudah halus ke dalam Erlenmeyer
100 ml
c.) Tambahkan sekitar 50 ml larutan Gom Arab 1%, kocok hingga
homogeny, lalu cukupkan volumenya hingga 100 ml dengan larutan
Gom Arab 1%
4. Prosedur kerja

2 jam sebelum dimulai, Marmut dipuasakan

Marmut dibagi menjadi 4 kelompok, masing-masing 3-4 ekor

kelompok 1 Marmut Diberi NaCl dan 30 menit kemudian diberi Air

kelompok 2 Marmut diberi NaCl dan 30 menit kemudian diberi olium ricini/parafin cair

kelompok 3 dan 4 diberi loperamid dosis I dan II dan 30 menit kemudian diberi ol.
ricini/paraffin cair

tiap Marmut dimasukkan kedalam toples yang diberi alas kertas saring yang telah
ditimbang beratnya

waktu timbulnya diare, frekuensi defekasi, jumlah/berat feses, konsistensi feses, dan
lamanya diare dicatat setiap selang waktu 30 menit selama 2 jam

konsistensi feses dapat dinyatakaan dalam bentuk skor dan data dapat disajikan dalam
bentuk tabel
BAB IV
HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN
A. Perhitungan Dosis
1. Loperamid HCI Dosis 1
Perihal Rumus Perhitungan

Dosis Lazim Obat 2 mg


untuk manusia
Konversi dosis Dosis Lazim x Faktor Konversi 2 mg x 0,031 = 0,062 mg

Untuk marmut Bobot Hewan Hitung 407


× Dosis Konversi ×0,062 mg=0,063085 mg
dengan berat 407 g Bobot Hewan Normal 400
Dosis ini diberikan 5 ml
dalam volume
Pembuatan 30 ml
Larutan stok
Jumlah Obat yang Volume Stok Larutan 30 ml
× Dosis Normal × 0,063085 mg=0,37851 mg ~
digunakan Volume Pemberian 5 ml
0,4 mg
% Kadar Obat Berat Obat 0,0004 g
%kadar obat = ×100 % %kadar obat = × 100 %
Volume Stok 30 ml
= 0,0013 %

2. Loperamid HCI Dosis 2


Perihal Rumus Perhitungan

Dosis Lazim Obat 4 mg


untuk manusia
Konversi dosis Dosis Lazim x Faktor Konversi 4 mg x 0,031 = 0,124 mg

Untuk marmut Bobot Hewan Hitung 341


× Dosis Konversi × 0,124 mg=0,10571mg
dengan berat 341 g Bobot Hewan Normal 400

Dosis ini diberikan 5 ml


dalam volume
Pembuatan 30 ml
Larutan stok
Jumlah Obat yang Volume Stok Larutan 30 ml
× Dosis Normal × 0,063085 mg=0,10571 mg ~
digunakan Volume Pemberian 5 ml
0,6 mg
% Kadar Obat Berat Obat 0,0006 g
%kadar obat = ×100 % %kadar obat = ×100 %
Volume Stok 30 ml
= 0,002 %
3. Kaolin

Perihal Rumus Perhitungan

Dosis Lazim 550 mg


Obat untuk
manusia
Konversi dosis Dosis lazim x faktor konversi 550 mg x 0,031 = 17,05 mg

Untuk Marmut Dosis hitung = Dosis hitung =


dengan berat 266
bobot hewanhitung 266 g
g x dosis x 17,5 mg = 11,637 mg
bobot hewan normal 400
koversi

Dosis ini 0.06 ml


diberikan dalam
volume

Pembuatan 30 ml
Larutan stok

Jumlah Obat vol stok larutan 30 ml


x dosis normal x 11,637 mg = 69,82 mg = 70 mg
yang digunakan vol pemberian 5 ml

% Kadar Obat berat obat 0,087 g


x 100 % x 100 %=0,29 %
volume stok 30 ml

4. Kaolin

Perihal Rumus Perhitungan

Dosis Lazim 550 mg


Obat untuk
manusia
Konversi dosis Dosis lazim x faktor konversi 550 mg x 0,031 = 17,05 mg

Untuk Marmut Dosis hitung = Dosis hitung =


dengan berat 220
bobot hewanhitung 220 g
g x dosis x 17,05 mg = 9,4 mg
bobot hewan normal 400
koversi

Dosis ini 0.5 ml


diberikan dalam
volume

Pembuatan 30 ml
Larutan stok

Jumlah Obat vol stok larutan 30 ml


x dos is normal x 0,341mg = 2 mg
yang digunakan vol pemberian 5 ml

% Kadar Obat berat obat 0,002 g


x 100 % x 100 %=0,006 %
volume stok 30 ml

B. Analisis Farmasetik :

No Nama Zat Pemerian/bentuk sediaan, Inkompabilitas Kegunaan dalam Uji


. dan kelarutan
kekuatan
1 NaCI Kristal tidak berbau tidak berwarna Larutan berair pelarut sediaan injeksi
atau serbuk kristal putih, rasa asin, korosif terhadaf Fe,
tiap 1g setara dengan 17,1 mmol bereaksi
NaCl. membentuk
2,54g NaCl ekivalen dengan 1 g Na endapan dengan
perak dan garam
Kelarutan : 1 bagian larut dalam 3 merkuri
bagian air, 10 bagian gliserol, agak
larut dalam alcohol dan alkohol
anhidrat
2 Paraffin cair Transparan tidak berwarna, cairan Ketidakcampuran Pencahar
kental tidak berfluorosensi, tidak dengan zat
berasa dan berbau ketika dingin dan pengoksida lain
berbau ketika dipanaskan yang kuat.

Kelarutan : praktis tidak larut etanol


95 %, gliserin dan air. Larut dalam
jenis minyak lemak hangat;
3 Oleum ricini Cairan kental, pucat atau kuning Oleum ricini tidak Obat antidiare
pucat atau hamper tidak berwarna, kompatible dengan
bau lemah; rasa manis kemudian oksidator kuat
agak pedas, umumnya memualkan

4 Loperamid Serbuk putih agak kuning melebur Obat diare


pada suhu lebih kurang 225°C
disertai peruraian

Kelarutan : mudah larut dalam


metanol dalam isopropil alkohol dan
kloroform
5 Kaolin Serbuk putih ringan tidak Amoksisilin, Adsorben; pengisi tablet
mengandung butiran kasar tidak atau ampisilin, simetidin, dan kapsul, zat
hampir tidak berbau. digoksin, pensuspensi
linkomisin, fenitoin,
Kelarutan : praktis tidak larut dalam dantetrasiklin.
air dan dalam asam mineral. Kecepatan
penyerapan
klindamisin
dipengaruhi oleh
adanya kaolin (tapi
bukan jumlah yang
diserap)
6 Pektin Serbuk kasar atau halus, berwarna - Zat penstabil
putih kekuningan hampir tidak
berbau mempunyai rasa mucilago.

Kelarutan : hampir larut sempurna


dalam 20 bagian air membentuk
cairan kental, opalesen, larutan
koloidal mudah dituang dan bersifat
asam terhadap lakmus, praktis tidak
larut dalam etanol atau pelarut
organik lainnya.

C. Analisis Farmakologi (Farmakokinetik & Farmakodinamik) :


1. NaCl Fisiologis

Obat digunakan untuk pengobatan dehidrasi


INDIKASI isotonik ekstraseluler, deplesi natrium dan juga
dapat digunakan sebagai pelarut sediaan injeksi
Untuk pasien penyakit hati perifer udem atau
KONTRAINDIKASI
pulmonali udem, kelainan fungsi ginjal
Dosis penggunaan NaCl 0.9% bersifat individual
tergantung berat tidaknya penyakit yang diderita.
Berikut dosis yang harus Anda patuhi dan di
bawah pengawasan dokter serta apoteker:

 Penggantian cairan dan elektrolit:


Dosis tergantung pada usia, berat
badan, kondisi klinis, dan penentuan
DOSIS/ATURAN PAKAI hasil laboratorium pasien.
 Hipernatremia: Dosis tergantung pada
usia, berat badan, kondisi klinis, dan
penentuan hasil laboratorium pasien.

Simpan dalam ruangan dengan temperatur sejuk


(25 derajat Celsius) dan tidak lembap, serta
hindari terkena sinar matahari.

Keracunan NaCl disebabkan oleh induksi yang


gagal dapat menyebabkan hipernatremia yang
memicu terjadinya trombosit dan hemorrage.
Efek samping yang sering terjadi nausea, mual,
EFEK SAMPING
diare, kram usus, haus, menurunkan salivasi dan
lakrimasi, berkeringat, demam, hipertensi,
takikardi, gagal ginjal, sakit kepala, lemas,
kejang, koma dan kematian
Beberapa obat-obatan yang mungkin
menimbulkan interaksi jika dikonsumsi
INTERAKSI OBAT
bersamaan dengan NaCl adalah lithium dan
tolvaptan

2. Oleum Ricini

INDIKASI Sebagai pencahar yaitu untuk pengobatan sembelit


atau sulit buang air besar
KONTRAINDIKASI Tidak boleh dikonsumsi wanita hamil
Dosis oleum ricini adalah 2 sampai 3 sendok makan
(15–30 ml), diberikan sewaktu perut kosong.
DOSIS/ATURAN PAKAI Efeknya timbul 1 sampai 6 jam setelah 11 13
pemberian, berupa pengeluaran buang air besar
berbentuk encer
EFEK SAMPING Kolik, mual, muntah
INTERAKSI OBAT -
Oleum ricini (minyak jarak) merupakan
trigliserida yang berkhasiat sebagai laksansia. Di
dalam usus halus, minyak ini mengalami
FARMAKODINAMIK hidrolisis dan menghasilkan asam risinolat yang
merangsang mukosa usus, sehingga mempercepat
gerak peristaltik dan mengakibatkan pengeluaran
isi usus dengan cepat.

3. Paraffin Cair

Melembekkan feses pada keadaan sulit buang air


besar (konstipasi).
Melembekkan feses pada kondisi yang
INDIKASI mengalami peradangan di sekitar anus dan
pembengkakan atau pembesaran dari pembuluh
darah di usus besar bagian akhir (hemorrhoid).
Melembekkan feses sesudah operasi
KONTRAINDIKASI hipersensitif
Dewasa: 2 sendok takar sebanyak 1 kali/hari.
DOSIS/ATURAN PAKAI Anak-anak:
6-12 tahun: 1 sendok takar sebanyak 1 kali/hari
EFEK SAMPING Diare.
Konsumsi banyak air untuk menghindari
terjadinya dehidrasi. Dehidrasi ditandai dengan
penurunan frekuensi dan jumlah buang air kecil
yang lebih sedikit dari biasanya atau urin yang
berarna gelap dan berbau tajam.
Mual atau muntah.
Tetaplah konsumsi makanan sederhana dan
jangan mengonsumsi makanan pedas. Cobalah
untuk meminum obat ini setelah makan mungkin
akan membantu mengurangi efek samping ini.
Jika Anda terus mengalami gejala gangguan
pencernaan, tanyakan apoteker Anda untuk
merekomendasikan antasida. Hubungi dokter
Anda jika gejala Anda berlanjut selama lebih dari
beberapa hari atau jika semakin parah.
Reaksi alergi kulit ruam (pruritis).
Reaksi alergi kulit seperti terasa terbakar.
Hidrokortison atau deksametason.
Penggunaan obat ini bersama obat di atas dapat
menyebabkan peningkatan risiko dehidrasi dan
penurunan kadar kalium dalam darah.
INTERAKSI OBAT
Amoksisilin, klaritromisin, atau lansoprazol.
Penggunaan bersama obat di atas dapat
meningkatkn risiko penurunan kadar kalium
dalam darah

4. Loperamid

Pengobatan beberapa jenis diare seperti diare


akut nonspesifik, diare ringan, sindrom iritasi
INDIKASI
usus, diare kronis akibat reseksi usus, dan diare
kronis sekunder untuk penyakit radang usus
Hipersensitivitas; kolitis akut & kondisi dimana
konstipasi hrs dihindari; demam tinggi atau
KONTRAINDIKASI
terdapat darah dlm feses. Hamil & laktasi. Anak
<12 thn
Dewasa: dosis awal 4 mg diberikan setelah BAB,
dilanjutkan dengan 2 mg setiap kali selesai BAB.
Dosis maksimal 16 mg per hari.
Anak-anak usia 6–8 tahun: dosis awal 2 mg
diberikan setelah BAB, dilanjutkan dengan 1 mg
DOSIS/ATURAN PAKAI setiap kali selesai BAB. Dosis maksimal 4 mg per
hari.
Anak-anak usia 9–11 tahun: dosis awal 2 mg
diberikan setelah BAB, dilanjutkan dengan 1 mg
setiap kali selesai BAB. Dosis maksimal 6 mg per
hari
Sembelit, kram perut, pusing, kantuk, mual,
EFEK SAMPING
muntah, dan mulut kering
Meningkatkan level plasma jika digunakan
bersama inhibitor P-glycoprotein
INTERAKSI OBAT
(seperti:quinidine, ritonavir).
Dapat mengurangi paparan terhadap saquinavir
Slows intestinal motility through opioid receptor;
MECHANISM OF ACTION has direct effects on circular and longitudinal
muscle; reduces fecal volume; increase viscosity.
BIOAVAILABILITY 0,3%
ONSET 1-3 hr
PEAK PLASMA TIME 5 hr (capsule); 2,5 hr (liquid)
DURATION 41 hr
DISTRIBUTION Poor penetration through blood-brain barrier
Significant first-pass metabolism, resulting in
METABOLISM
very low plasma level of drug.
METABOLITE Glucuronide (inactive)
HALF-LIFE ELIMINATION 7-14 hr
EXCRETION Feces (30-40%), urine (1%)

5. Kaolin

digunakan untuk membantu pengobatan


simtomatik pada diare, karena pencernaan yang
INDIKASI
tidak normal, dan diare karena penyebab lain
yang tidak diketahui secara pasti
Jangan diberikan pada pasien dimana konstipasi
KONTRAINDIKASI harus dihindari, Hipersensitifterhadapobatini,
Obslruksi usus
Dewasa dan anak > 12 tahun 2 sendok
makan/hari atau 6 sendok takar (30 mL)/hari.
Maksimal 12 sendok makan/hari atau 36 sendok
DOSIS/ATURAN PAKAI
takar/hari. Anak 6-12 tahun 1 sendok makan/hari
atau 3 sendok takar(15 mL)/hari. Maksimal 6
sendok makan/hari atau 18 sendok taka
EFEK SAMPING Selain dapat mengatasi diare, kaolin juga
memiliki beberapa efek samping jika dikonsumsi,
seperti gangguan elektolit akibat meningkatnya
jumlah natrium dan kalium dalam feses. Kondisi
ini umum terjadi pada pasien yang berusia tua,
anak-anak, dan pada pasien yang menderita diare
berat
INTERAKSI OBAT Kaolin berinteraksi dengan Clindamycin atau
Cleocin. Kaolin dapat menurunkan kemampuan
penyerapan obat Cleomycin atau Cleocin yang
berperan sebagai antibiotik. Namun, Kaolin tidak
menurunkan jumlah Cleomycin atau Cleocin
yang masuk ke tubuh, hanya menurunkan
kemampuan penyerapannya saja.
Kaolin juga berinteraksi dengan obat yang
berperan dalam pengobatan jantung seperti
Digoxin atau Lanoxin . Kaolin dapat menurunkan
kemampuan penyerapan dan keefektifan obat
Digoxin atau Lanoxin.
Kaolin juga berinteraksi dengan obat jantung
lainnya yaitu Quinidin atau Quinidex. Kaolin
dapat menurunkan kemampuan penyerapan obat
Quinidine (Quinidex)dan juga menurunkan
keefektifannya.
Kaolin juga bisa berinteraksi dengan obat
Trimethoprim (Proloprim) yang berfungsi
sebagai antibiotik. Kaolin bisa menurunkan
kemampuan penyerapan terhadap obat
Trimethoprim (Proloprim) dan juga menurunkan
keefektifannya.
Sebaiknya Anda mencegah terjadinya interaksi
antara Kaolin dengan Digoxin atau Lanoxin,
Quinidine (Quinidex), dan Trimethoprim
(Proloprim) dengan cara memberi jarak konsumsi
Kaolin dengan obat-obatan tersebut paling tidak 2
jam.
Beberapa obat lain yang juga bisa berinteraksi
dengan Kaolin antara lain : Abilify
(Aripiprazole), Atarax (Hydroxyzine),
Augmentin (Amoxicillin / Clavulanate), Brilinta
(Ticagrelor), CoQ10 (Ubiquinone), Coumadin
(Warfarin), Kaopectate, Ginkgo Biloba, dan
Euthyrox (Levothyroxine)
MECHANISM OF ACTION Skin protectant

6. Pektin

digunakan untuk mengobati diare yang ringan, serta


INDIKASI
diare yang tidak diketahui penyebabnya
Hindari penggunaan pada pasien yang memiliki
KONTRAINDIKASI indikasi Penderita dengan hambatan pata usus atau
usus tersumbat
Anak-anak di bawah 2 tahun: 4 kali sehari, 1
sendok teh (5mL).
Anak-anak di atas 2 tahun: 4 kali sehari, 2-4 sendok
DOSIS/ATURAN PAKAI
teh (10mL-20mL).
Dewasa: 4 kali sehari, 2-4 sendok makan (10mL-
20mL)
Efek samping yang mungkin terjadi selama
pengunaan , antara lain:
Dapat menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit
EFEK SAMPING
dengan meningkatkan kehilangan natrium dan
kalium dalam tinja, terutama pada orang tua, anak-
anak dan diare berat
Berikut adalah beberapa Interaksi obat yang
umumnya terjadi saat penggunaan :
INTERAKSI OBAT Dapat mengurangi penyerapan sejumlah obat
(Tetrasiklin, lincomycin, digoxin, aspirin,
kloroquin, hidroksi kloroquin, fenotiazin)
MECHANISM OF ACTION Demulcent

Pelaporan
Simbol Konsistensi Skor
N Normal 0
LN Lembek Normal 1
L Lembek 2
LC Lembek Cair 3
C Cair 4

D. Hasil
Hewan Uji (BB) Konsistensi Feses Skor
Loperamid 2 mg

I Marmut 407 g Tidak mengeluarkan feses

II Marmut 341 g Tidak mengeluarkan feses

Kaolin

I Marmut 220 g Tidak mengeluarkan feses


Terdapat 1 feses pada waktu ke 50
II Marmut 266 g dengan konsistensi feses Normal (1 1
buah)
Control (NaCl + Paraffin Liq)
Mengeluarkan 22 feses dalam
I Marmut 213 g kurun waktu 2 jam dengan 1
konsistensi feses Normal

E. Pembahasan
Pada praktikum antidiare dengan menggunakan Marmut sebagai Hewan
percobaan dan zat Loperamid + Paraffin, Kaolin + Paraffin, dan NaCl + Paraffin
didapat hasil sebagai berikut:
Penggunaan Loperamid yang berkhasiat untuk meredakan diare yang bekerja
dengan cara memperlambat gerakan usus dan membuat feses menjadi lebih padat.
Selain itu, frekuensi buang air besar dapat berkurang. Penggunaan Loperamid pada
Marmut dengan berat 407 g dan 341 g didapatkan hasil yakni keduanya tidak
mengeluarkan feses dalam hitungan waktu 2 jam atau 120 menit, penyebabnya bisa
terjadi karena absorpsi obat yang tidak teratur, yang tergantung pada faktor-faktor
seperti perbaikan yang mendasar, jumlah atau jenis makanan dalam saluran cerna, dan
perusakan beberapa obat oleh reaksi dari lambung atau oleh enzim-enzim dari saluran
cerna.
Pada penggunaan Kaolin yang berkhasiat untuk diare dengan yang
penyebabnya tidak diketahui dengan pasti. Pemerian diberikan pada Marmut dengan
berat 220g dan 266 g yang diamati dalam waktu 120 menit atau 2 jam, setelah 30
menit diberikan paraffin cair dan kemudian diamati kembali sampai batas waktu.
Hasil yang didapat yakmi Marmut tidak mengeluarkan feses, tetapi slah satunya
mengeluarkan feses pada menit ke 50. Penyebab Marmut tidak menghasilkan feses
dapat terjadi karena absorpsi obat yang tidak teratur, dan tergantung pada faktor-
faktor seperti perbaikan yang mendasar.
Terakhir, yakni pemerian NaCl dan Paraffin Cair pada Marmut yang
digunakan sebagai Control. NaCl berfungsi untuk pengobatan dehidrasi isotonik
ekstraseluler dan paraffin cair yang digunakan untuk melembekkan feses pada
keadaan sulit buang air besar atau konstipasi. Marmut dengan berat 213 g dilakukan
pemerian NaCl dan Paraffin cair pada menit ke 30 menghasilkan feses dengan berat
7,39 gr. Konsistensi feses normal dengan jumlah feses 22 butir dan frekuensi
pengeluaran feses terjadi secara berangsur dari menit ke 30 sampai menit ke 120.
BAB V

KESIMPULAN

Diare merupakan buang air besar (defekasi) dengan tinja, berbentuk cairan atau

setengah cairan (setengah padat), dengan kandungan air pada tinja lebih banyak dari

biasanya, pada percobaan pemerian antidiare pada marmut dengan menggunakan

Loperamid, Kaolin dan NaCl dengan tambahan Paraffin cair didapatkan hasil sebagai

berikut:

1. Marmut dengan pemerian Loperamid tidak mengeluarkan feses sama sekali, dan

dapat terjadi karena disebabkan oleh tidak terabsorpsinya obat dengan maksimal

2. Marmut dengan pemerian Kaolin tidak mengeluarkan feses dan pada marmut lainnya

mengeluarkan 1 feses dengan konsistensi normal

3. Marmut dengan pemerian NaCl dan ditambahkan Paraffin cair mengeluarkan 22

feses dengan konsistensi normal dalam frekuensi waktu 2 jam


Daftar Pustaka

Anne, Ahira. 2011. Penyakit Diare Akut. http://www.anneahira.com/diare-akut.ht. , diakses pada


hari Kamis tanggal 24 Desember 2020, pukul 20.15 WIB
Daldiyono. 1990. Diare, Gastroenterologi-Hepatologi. Jakarta : Infomedika. Hal : 14-4.
Andi. 2010. Pengujian Aktivitas Antidiare. Available online at
http://andiscientist.blogspot.com/2010/11/pengujian-aktivitas-antidiare.html [diakses 23
Desember 2020]
Andrade, J.A.B., C. Murcira, and U.F. Neto. 2000. Persistent diarrhea. Mac Millan.
Philadelphia.
Andrianto, P. 1995. Penatalaksanaan dan Pencegahan Diare Akut. Penerbit Buku EGC. Jakarta.

Ghishan, F. K. 2008. Chronic Diarrhea. Edisi ke-18. Saunders. Philadelpia.


Hendarwanto. 1996. Diare Akut Karena Infeksi Ilmu Penyakit Dalam. FKUI. Jakarta.

Neal, M. J. 2005.  At A Glance Farmakologi Medis. Penerbit Buku EGC. Jakarta.

Sunoto. 1996. Buku Ajar Diare. Depkes RI. Jakarta.

Suraatmaja, S. 2005. Gastroenterologi Anak. Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK


UNUD/RS Sanglah. Denpasar.
Tjay, Tan Hoan dan Kirana, Rahardja. 2002. Obat-obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek-
Efek Sampingnya Edisi Kelima. PT Elex Media Komputindo. Jakarta.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Praktikum
Metabolisme obat adalah proses modifikasi biokimia senyawa obat oleh organisme
hidup, pada umumnya dilakukan melalui proses enzimatik. Proses metabolisme obat
merupakan salah satu hal penting dalam penentuan durasi dan intensitas khasiat
farmakologis obat. Metabolisme obat sebagian besar terjadi di retikulum endoplasma sel-sel
hati. Selain itu, metabolisme obat juga terjadi di sel-sel epitel pada saluran pencernaan, paru-
paru, ginjal, dan kulit.
Metabolisme obat terbagi dalam 2 fase, yakni fase I dan II. Pada reaksi-reaksi ini,
senyawa yang kurang polar akan dimodifikasi menjadi senyawa metabolit yang lebih polar.
Proses ini dapat menyebabkan aktivasi atau inaktivasi senyawa obat. Reaksi fase I, disebut
juga reaksi nonsintetik, terjadi melalui reaksi-reaksi oksidasi, reduksi, hidrolisis, siklikasi,
dan desiklikasi. Reaksi oksidasi terjadi bila ada penambahan atom oksigen atau
penghilangan hidrogen secara enzimatik. Biasanya reaksi oksidasi ini melibatkan sitokrom
P450 monooksigenase (CYP), NADPH, dan oksigen. Obat-obat yang dimetabolisme
menggunakan metode ini antara lain golongan fenotiazin, parasetamol, dan steroid. Reaksi
oksidasi akan mengubah ikatan C-H menjadi C-OH, hal ini mengakibatkan beberapa
senyawa yang tidak aktif (pro drug) secara farmakologi menjadi senyawa yang aktif. Juga,
senyawa yang lebih toksik/beracun dapat terbentuk melalui reaksi oksidasi ini. Reaksi fase
II, disebut pula reaksi konjugasi, biasanya merupakan reaksi detoksikasi dan melibatkan
gugus fungsional polar metabolit fase I, yakni gugus karboksil (-COOH), hidroksil (-OH),
dan amino (NH2), yang terjadi melalui reaksi metilasi, asetilasi, sulfasi, dan glukoronidasi.
Reaksi fase II akan meningkatkan berat molekul senyawa obat, dan menghasilkan produk
yang tidak aktif. Hal ini merupakan kebalikan dari reaksi metabolisme obat pada fase I.
Metabolisme obat dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain faktor fisiologis (usia,
genetika, nutrisi, jenis kelamin), serta penghambatan dan juga induksi enzim yang terlibat
dalam proses metabolisme obat. Selain itu, faktor patologis (penyakit pada hati atau ginjal)
juga berperan dalam menentukan laju metabolisme obat.
B. Tujuan Praktikum
1. Mempunyai keterampilan setelah melakukan percobaan tersebut
2. Untuk mengetahui posisi penting metabolism obat dalam evaluasi keamanan dan
kemanfaatan suatu obat
3. Untuk mengetahui bagaimana obat di metabolisir dan dideaktivasi
4. Untuk mengenal jalur dan kecepatan distribusi serta eliminasi obat dan metabolitnya
C. Prinsip Percobaan
Mempelajari pengaruh beberapa senyawa kimia terhadap enzim metabolisme obat dan
mengukur efek farmakologi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Dasar Teori
Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian pada umumnya
mengalami absorpsi, distribusi dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan
efek. Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi, obat diekskresikan dari dalam tubuh (Anief,
1984).
Biotransformasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia obat yang
terjadi di dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim (Syarif, 1995). Metabolisme obat mempunyai
dua efek penting yaitu:
1. Obat menjadi lebih hidrofilik-hal ini mempercepat ekskresinya melalui ginjal karena
metabolit yang kurang larut lemak tidak mudah direabsorpsi dalam tubulus ginjal.

2. Metabolit umumnya kurang aktif daripada obat asalnya. Akan tetapi, tidak selalu seperti
itu, kadang-kadang metabolit sama aktifnya (atau lebih aktif) daripada obat asli. Sebagai
contoh, diazepam (obat yang digunakan untuk mngobati ansietas) dimetbolisme menjadi
nordiazepam dan oxazepam, keduanya aktif. Prodrug bersifat inaktif sampai
dimetabolisme dalam tubuh menjadi obat aktif. Sebagai contoh, levodopa, suatu obat
antiparkinson, dimetabolisme menjadi dopamin, sementara obat hipotensif metildopa
dimetabolisme menjadi metil norepinefrin-α (Neal, 2005).
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut lemak) menjadi
polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu. Dengan perubahan ini obat
aktif umumnya diubah menjadi inaktif, tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif, kurang aktif,
atau menjadi toksik (Syarif, 1995).
Enzim yang berperan dalam dalam biotransformasi obat dapat dibedakan berdasarkan
letaknya dalam sel, yaitu enzim mikrosom yang terdapat dalam retikulum endoplasma halus
(yang pada isolasi invitro membentuk kromosom ) dan enzim non mikrosom. Kedua enzim
metabolisme ini terutama terdapat dalam sel hati, tetapi juga terdapat dalam sel jaringan lain,
misalnya: ginjal, paru-paru, epitel saluran cerna dan plasma. Di lumen saluran cerna juga
terdapat enzim non mikrosom yang dihasilkan flora usus. Enzim mikrosom mengkatalisis reaksi
glukoronida, sebagian besar reaksi oksidasi obat, serta reksi reduksi dan hidrolisis. Sedangkan
enzim non mikrosom mengkatalisis reaksi konjugasi lainnya, beberapa reaksi oksidasi, reaksi
reduksi dan hidrolisis (Gordon dan Skett,1991).
Metabolisme obat terutama terjadi di hati, yakni di membran endoplasmic reticulum
(mikrosom) dan di cytosol. Tempat metabolisme yang lain (ekstra hepatik) adalah: dinding usus,
ginjal, paru, darah, otak dan kulit, juga di lumen kolon (oleh flora usus).
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang non polar (larut lemak) menjadi
polar (larut air) agar dapat diekskresikan melalui ginjal atau empedu. Dengan perubahan ini obat
aktif umumnya diubah menjadi inaktif. Tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif (jika asalnya
prodrug), kurang aktif, atau menjadi toksik. Reaksi metabolisme yang terpenting adalah oksidasi
oleh enzim cytocrome P450 (cyp) yang disebut juga enzim monooksigenase atau MFO (Mixed
Fungtion Oxidase) dalam endoplasmic reticulum (mikrosom) hati.Interaksi dalam metabolisme
obat berupa induksi atau inhibisi enzim metabolisme, terutama enzim cyp.
Induksi berarti peningkatan sistem enzim metabolisme pada tingkat transkripsi sehingga
terjadi peningkatan kecepatan metabolisme obat yang menjadi substrat enzim yang
bersangkutan. Inhibisi enzim metabolisme berarti hambatan yang terjadi secara langsung dengan
akibat peningkatan kadar substrat dari enzim yang dihambat juga terjadi secara langsung
(Mardjono, 2007).
Proses metabolisme dapat mempengaruhi aktivitas biologis,masa kerja, dan toksisitas
obat. Oleh karena itu pengetahuan tentang metabolisme obat penting dalam studi.suatu obat
dapat menimbulkan suatu respon biologis dengan melalui dua jalur, yaitu:
a.       Obat aktif setelah masuk melalui peredaran darah,langsuns berinteraksi dengan reseptor
dan menimbulkan respon biologis.
b.      Pra-obat setelah masuk ke peredaran darah  mengalami proses metabolisme menjadi obat
aktif,berinteraksi dengan reseptor dan menimbulkan respon biologis (bioaktivasi)
Secara umum tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat menjadi metabolit tidak
aktif dan tidak toksik (bioinaktivasi atau detoksifikasi), mudah larut dalam air dan kemudian
diekskresikan dari tubuh. Hasil metabolit obat bersifat lebih toksik dibanding dengan senyawa
induk (biootoksifikasi) dan ada pula hasilmetabolit obat yang mempunyai efek farmakologis
berbeda dengan senyawa induk contoh iproniazid, suatu obat perangsang system syaraf pusat,
dalam tubuh di metabolis menjadi isoniazid yang berkhasiat sebagai antituberkolosis (Mardjono,
2007).
Metabolisme obat secara normal melibatkan lebih dari satu proses kimiawi dan enzimatik
sehingga menghasilkan lebih dari satu metabolit.Jumlah metabolit ditentukan oleh kadar dan
aktivitas enzim yang berperan dalam proses metabolisme. Kecepatan metabolisme dapat
menentukan intensitas dan masa kerja obat. Kecepatan metabolisme ini kemungkinan berbeda-
beda pada masing-masing individu. Penurunan kecepatan metabolisme akan meningkatkan
intensitas dan memperpanjang masa kerja obat dan kemungkinan meningkatkan toksisitas obat.
Kenaikan kecepatan metabolisme akan menurunkan intensitas dan memperpendek masa kerja
obat sehingga obat menjadi tidak efektif pada dosis normal (Mardjono, 2007).
Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat antara lain:
1. Faktor genetik atau keturunan
Perbedaan individu pada proses metabolisme sejumlah obat kadang-kadang terjadi dalam
system kehidupan.Hal ini menunjukkan bahwa factor genetic atau keturunan ikut berperan
terhadap adanya perbedaan kecepatan metabolisme obat.
2. Perbedaan spesies dan galur
Pada proses metabolisme obat,perubahan kimia yang terjadi pada spesies dan galur
kemungkinan sama atau sedikit berbeda,tetapi kadang-kadang ada perbedan uang cukup besar
pada reaksi metabolismenya.
3. Perbedaan jenis kelamin
Pada spesies binatang menunjukkan ada pengaruh jenis kelamin terhadap kecepatan
metabolisme obat
4. Perbedaan umur
Bayi dalam kandungan atau bayi yang baru lahir jumlah enzim-enzim mikrosom hati
yang diperlukan untuk memetabolisme obat relatif masih sedikit sehingga sangat peka
terhadap obat.
5. Penghambatan enzim metabolism
Kadang-kadang pemberian terlebih dahulu atau secara bersama-sama suatu senyawa yang
menghambat kerja enzim-enzim metabolisme dapat meningkatkan intensitas efek
obat,memperpanjang masa kerja obat dan kemungkinan juga meningkatkan efek samping dan
toksisitas.
6. Induksi enzim metabolism
Pemberian bersama-sama suatu senyawa dapat meningkatkan kecepatan metabolisme
obat dan memperpendek masa kerja obat. Hal ini disebabkan senyawa tersebut dapat
meningkatkan jumlah atau aktivitas enzim metabolisme dan bukan Karena permeablelitas
mikrosom atau adanya reaksi penhambatan. Peningkatan aktivitas enzim metabolisme obat-
obat tertentuatau proses induksi enzim mempercepat proses metabolisme dan menurunkan
kadar obat bebas dalam plasma sehingga efek farmakologis obat menurun dan masa kerjanya
menjadi lebih singkat. Induksi enzim juga mempengaruhi toksisitas beberapa obat karena
dapat meningkatkan metabolisme dan metabolit reaktif (Mardjono, 2007).
Tempat metabolisme obat
Perubahan kimia obat dalam tubuh terutama terjadi pada jaringan-jaringan dan organ-organ
seperti hati, ginjal, paru dan saluran cerna. Hati merupakan  organ tubuh tempat utama
metabolisme obat oleh karena mengandung enzim-enzim metabolisme dibanding organ lain.
Metabolisme obat di hati terjadi pada membrane reticulum endoplasma sel. Retikulum
endoplasma terdiri dari dua tipe yang berbeda, baik bentuk maupun fungsinya. Tipe 1
mempunyai permukaan membran yang kasar, terdiri dari ribosom-ribosom yang tersusun secara
khas dan berfungsi mengatur susunan genetik asam aminoyang diperlukan untuk sintesis protein.
Tipe 2 mempunyai permukaan membran yang halus tidak mengandung ribosom. Kedua tipe ini
merupakan tempat enzim-enzim yang diperlukan untuk metabolisme obat. Jalur umum
metabolisme obat dan senyawa organik asing reaksi metabolisme obat dan dan senyawa organic
asing ada dua tahap yaitu:
1. Reaksi fase I atau reaksi fungsionalisasi
Yang termasuk reaksi fase I adalah reaksi-reaksi oksidasi,reduksi,dan hidrolisis.
Tujuan reaksi ini adalah memasukkan gugus  fungsional tertentu yang besifat polar.
2. Reaksi fase II atau reaksi konjugasi.
Yang termasuk reaksi fase II adalah reaksi konjugasi,metilasi dan asetilasi.Tujuan
reaksi ini adalah mengikat gugus fungsional hasil metabolit reaksi fase I dengan
senyawa endogen yamg mudah terionisasi dan bersifat polar,seperti asam glukoronat,
sulfat, glisin dan glutamine, menghasilkan konjugat yang mudah larut dalam air.
Hasil konjugasi yang terbentuk (konjugat) kehilangan aktivias dan toksisitasnya,dan
kemudian di ekskresikan melalui urin (Mardjono, 2007).
Pada metabolisme obat,gambaran secara tepat system enzin yang bertanggungjawab
terhadap proses oksidasi, reduksi, masih belum diketahui secara jelas. Secara umum diketahui
bahwa sebagian besar reaksi metabolik akan melibatkan prpses oksidasi. Proses ini memerlukan
enzim sebagai kofaktor, yaitu bentuk tereduksi dari nikotinamid-adenin-dinukleotida fosfat
(NADPH) dan nikotinamid-adenin-dinukleotida (Mardjono, 2007).
BAB III
METODE KERJA
A. Alat dan Bahan
Alat :
 Spuit 1 ml
 Sonde oral
 stopwatch
Bahan :
 Fenobarbital (Indikator enzim)
 Cimetidine (Penghambat Enzim)
Hewan :
• 3 ekor marmut dengan berat masing-masing: 266g, 360g, dan 298g.
B.
C. Prosedur kerja :
Pengujian ini dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :

Siapkan Marmut sebanyak 12 ekor dan bagi untuk 4 kelompok

Kelompok Kontrol (1) diberi Heksobarbital dengan dosis 100mg/kg

Kelompok 2 diberi Fenobarbital 80mg/kg secara ip, amati waktu sampai terjadi gejala
hipnosis serta waktu lama tidur

Kelompok 3 kontrol diberi Heksobarbital 100mg/kg secara ip dosis tunggal

Kelompok 4 diberi simetidin peroral 80mg/kg 1 jam sebelumnya, amati waktu sampai
terjadi hypnosis serta lama waktu tidur
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Perhitungan Dosis
1. Fenobarbital

Perihal Rumus Perhitungan

Dosis Lazim 80 mg
Obat untuk
manusia
Konversi dosis Dosis lazim x faktor konversi 80 mg x 0,031 = 2,48 mg

Untuk mencit Dosis hitung = Dosis hitung =


dengan berat 266
bobot hewanhitung 266 g
g x dosis x 2,48 mg = 1,6492 mg
bobot hewan normal 400
koversi

Dosis ini 5 ml
diberikan dalam
volume

Pembuatan 30 ml
Larutan stok

Jumlah Obat vol stok larutan 30 ml


x dosis normal x 1,6492mg = 9,8952mg = 10 mg
yang digunakan vol pemberian 5 ml

% Kadar Obat berat obat 0,01 g


x 100 % x 100 %=0,03 %
volume stok 30 ml

2. Simetidin

Perihal Rumus Perhitungan

Dosis Lazim 200 mg


Obat untuk
manusia
Konversi dosis Dosis lazim x faktor konversi 200 mg x 0,031 = 6,2 mg

Untuk mencit Dosis hitung = Dosis hitung =


dengan berat 360 bobot hewanhitung 360 g
x dosis x 6,2 mg = 5,58 mg
g bobot hewan normal 400
koversi

Dosis ini 5 ml
diberikan dalam
volume

Pembuatan 30 ml
Larutan stok

Jumlah Obat vol stok larutan 30 ml


x dosis normal x 5,58 mg = 33,48 mg = 33 mg
yang digunakan vol pemberian 5 ml

% Kadar Obat berat obat 0,033 g


x 100 % x 100 %=0,11 %
volume stok 30 ml

3. Diazepam

Perihal Rumus Perhitungan

Dosis Lazim 5 mg
Obat untuk
manusia
Konversi dosis Dosis lazim x faktor konversi 5 mg x 0,031 = 0,155 mg

Untuk mencit Dosis hitung = Dosis hitung =


dengan berat 298
bobot hewanhitung 298 g
g x dosis x 0,155 mg = 0,115475 mg
bobot hewan normal 400
koversi

Dosis ini 5 ml
diberikan dalam
volume

Pembuatan 30 ml
Larutan stok

Jumlah Obat vol stok larutan 30 ml


x dosis normal x 0,115475 mg = 0,69285 mg = 0,7 mg
yang digunakan vol pemberian 5 ml
 

% Kadar Obat berat obat 0,0007 g


x 100 % x 100 %=0,0023 %
volume stok 30 ml

B. Analisis Farmasetik :

No Nama Zat Pemerian/bentuk sediaan, Inkompabilitas Kegunaan dalam Uji


. dan kelarutan
kekuatan
ablur1.atau Fenobarbital
ser Hablur atau serbuk hablur, putih Fenobarbital akan Indikator enzim
berbau, rasa pahit. (FI III, 481) mengalami
kelarutan :  Sangat sukar larut presipitasi
tergantung pH
dalam air, larut dalam etanol
campuran dan
(95%) P, dalam etr P, dalam konsentrasi
larutan alkali hidroksida dan barbiturat.
dalam larutan alkali karbon. (FI Apabila campuran
III, 481) hersifat alkali
penetepan pH
menjadi penting.
Pengendapan
asam bebas
dilaporkan terjadi
pada pH 8,8 ( the
pharmceutical
CODEX. Ed 12
hal 996)
2. Simetidin Serbuk hablur, putih sampai obat-obatan Penghambat enzim
hampir putih; praktis. Tidak golongan
Berbau atau bau merkaptan antagonis reseptor
lemah. 7. H2 lainnya.
Kelarutan : Larut dalam etanol,
dalam polietilen glikol 400;
Mudah larut dalam metanol;
agak sukar larut dalam
isopropanol; sukar larut dalam
air dan dalam kloroform; praktis
tidak larut dalam eter.
3. Diazepam Serbuk hablur, hampir putih - Efek hipnotik
sampai kuning, praktis tidak
berbau..Kelarutan : Praktis tidak
larut dalam air, mudah larut
dalam propilen glikol, larut
dalam alkohol.
C. Analisis Farmakologi (Farmakokinetik & Farmakodinamik) :
7. Fenobarbital

Phenobarbital adalah obat untuk mengontrol


dan meredakan kejang, yang salah satunya
adalah akibat epilepsi. Phenobarbital atau
INDIKASI fenobarbital bekerja dengan cara
mengendalikan aktivitas listrik yang abnormal
di sistem saraf dan otak selama terjadinya
kejang
 Depresi berat
 Gangguan ginjal dan hati berat
KONTRAINDIKASI
 Porfiria intermiten akut

DOSIS/ATURAN PAKAI  Fungsi: Mengatasi kejang pada status


epileptikus
Dewasa: Dosis awal 15–20mg/kgBB suntikan
IV, bisa diulang setelah 10 menit dengan
tambahan dosis 5–10 mg/kbBB.
Anak-anak: Dosis awal 15–20 mg/kgBB
suntikan IV pelan, bisa diulang setelah 15–30
menit dengan dosis 5–10 mg/kgBB.

 Fungsi: Mengatasi kejang


Dewasa: 1–3 mg/kgBB tablet atau suntikan IV,
1–2 kali sehari.
Anak-anak usia >12 tahun: 1–3 mg/kgBB obat
minum atau suntikan IV, 1–2 kali sehari.
Anak-anak usia 6–12 tahun: 4-6 mg/kgBB obat
minum atau suntikan IV, 1–2 kali sehari.
Anak-anak usia 1–5 tahun: 6–8 mg/kgBB obat
minum atau suntikan IV, 1–2 kali sehari.
Bayi: 5–6 mg/kbBB obat minum atau melalui
suntikan IV, 1–2 kali sehari.
Neonatus (<28 hari): 1–3 mg/kgBB obat
minum atau suntikan IV, 1–2 kali sehari.

 Fungsi: Obat penenang


Dewasa: 30–120 mg obat minum, 2–3 kali
sehari. Dosis tidak lebih dari 400 mg per hari.
Anak-anak: 2 mg/kgBB obat minum, 3 kali
sehari.
Untuk pasien lansia, dosis akan disesuaikan
dengan kondisi pasien.

 Pusing
 Kantuk
 Sakit kepala
 Mual
EFEK SAMPING  Muntah
 Kehilangan nafsu makan
 Sensitif atau mudah marah
 Merasa lelah

INTERAKSI OBAT - Penurunan efektivitas obat golongan


antikoagulan, seperti warfarin dan heparin
- Penurunan efektivitas obat penghambat
protein kinase, seperti axitinib, bortezomib,
crizotinib, duvelisib, dan erlotinib
- Penurunan efektivitas obat inhibitor protease,
seperti atazanavir, darunavir, sofosbuvir, dan
cobicistat
- Peningkatan risiko terjadinya efek samping
jika digunakan bersama obat-obatan yang
mengandung kalsium, kalium, atau natrium
oksidat
- Penurunan efektivitas obat hormon, seperti pil
KB

- Penurunan efektivitas obat golongan


kortikosteroid
- Penurunan efektivitas obat golongan
antijamur, seperti griseofulvin

8. Simetidin

Cimetidine adalah obat untuk mengobati luka


(ulkus) pada lambung dan usus, penyakit asam
lambung atau GERD , serta mengatasi penyakit
INDIKASI
yang terkait dengan asam lambung berlebih,
seperti sindrom Zollinger-Ellison. Cimetidine
hanya dapat digunakan dengan resep dokter.
Pasien yang memiliki hipersensitivitas dan
KONTRAINDIKASI alergi terhada cimetidine atau obat-obatan
golongan antagonis reseptor H2 lainnya.
DOSIS/ATURAN PAKAI Penggunaan obat ini harus sesuai dengan
petunjuk dokter. Dewasa: ulkus duodenum 3-4
kali sehari 1-2 tablet, minimal 4 minggu.
sindroma zollinger-ellison dan hipersekresi
lambung 4 kali sehari 1 tablet, maksimal
2400mg/hari. esofagitis 4 kali sehari 2 tablet
selama 4-8 minggu. anak: menghambat sekresi
lambung 20-40mg/kgBB/hari dalam dosis
terbagi.

 Nyeri otot
 Pusing
 Sakit kepala
EFEK SAMPING
 Diare
 Rasa kantuk

 Peningkatan risiko terjadinya


perpanjangan interval QT pada hasil EKG,
yang dapat berakibat fatal jika digunakan
bersama dofelitide atau pimozide
 Peningkatan kadar eliglustat, yang bisa
meningkatkan risiko terjadinya gangguan
irama jantung atau gangguan jantung yang
membahayakan nyawa
 Peningkatan risiko terjadinya efek samping
berupa diare, muntah, nyeri perut, dan
kerusakan hati, jika digunakan bersama
lomitapide
INTERAKSI OBAT
 Penurunan penyerapan dasatinib, itraconazole,
atau ketoconazole
 Peningkatan kadar antikoagulan oral,
hydroxyzine, lidocaine, phenytoin, atau
teofilin, di dalam darah
 Penurunan penyerapan cimetidine bila
digunakan dengan antasida, sukralfat, atau
propantheline

Peningkatan risiko terjadinya efek samping


jika digunakan dengan obat myelosupresif,
seperti antimetabolit dan agen alkilasi
H2-receptor antagonist; blocks H2-receptors
MECHANISM OF ACTION of gastric parietal cells, leading to inhibition of
gastric secretions.
PO : 60-70% (undergoes minimal 1st pass
BIOAVAILABILITY
metabolism)
IV : 30 min
ONSET
PO : <1 hr
IM : 15 min
PEAK PLASMA TIME
PO : 45-90 min
IV/IM : 4-5 hr
DURATION
PO : 4-8 hr
PROTEIN BOUND 15-20%
Adults :1 L/kg
Vd
Children 1-12 years : 2,13 L/kg
METABOLISM Liver, inhibit microsomal enzymes
Cimetidine sulfoxide, 5-hydroxymethyl
METABOLITES
derivative (inactive met)
Adults : 2 hr; increases to 4-5 hr with renal
HALF-LIFE ELIMINATION impairment
Infant : 2,1-3,6 hr
Total body : 30-48 L/hr
RENAL CLEARANCE
Renal : 13,8-30 L/hr (removed by HD & PD)
Urine : 48-75%
EXCRETION
Feces : 2-3% (<2% in bile)
DIALYZABLE Yes, removed by HD and PD
ENZYMES INHIBITED Hepatic CYP1A2, CYP2D6, CYP3A4

9. Diazepam

INDIKASI  Meredakan cemas dan mengatasi kesulitan


tidur (insomnia).
 Mengatasi kejang demam, gangguan
kecemasan, dan kepanikan jangka pendek.
 Mengatasi kejang otot.
 Pembiusan (anestesi) sebelum melakukan
tindakan operasi untuk memberikan efek
tenang selama pembedahan.
 Terapi putus alkohol untuk mengurangi
gejala, seperti gangguan gerakan gemetar
yang tidak dapat dikendalikan (tremor),
halusinasi, dan gangguan kejiwaan yang
menyebabkan merasa gelisah dan marah
tanpa sebab (agitasi).
 Mengatasi ketergantungan benzodiazepine.

 Pasien yang memiliki alergi terhadap


diazepam atau obat golongan
benzodiazepin lainnya.
 Pasien dengan keadaan mental terganggu,
seperti delusi atau halusinasi (psikosis
berat),
 Pasien yang mengalami peningkatan
tekanan bola mata menjadi terlalu tinggi
KONTRAINDIKASI (glaukoma sudut sempit).
 Bayi prematur atau baru lahir.
 Pasien penderita gangguan fungsi hati atau
ginjal yang berat.
 Pasien penderita asma akut.
 Pasien yang mengalami kelemahan otot
(myasthenia gravis).
 Ibu hamil pada trimester pertama.

DOSIS/ATURAN PAKAI Oral :

Ansietas, 2 mg 3 kali sehari jika perlu dapat


dinaikkan menjadi 15-30 mg sehari dalam dosis
terbagi;
Lansia (atau yang sudah tidak mampu
melakukan aktivitas) setengah dosis dewasa

Insomsia yang disertai ansietas, 5-15 mg


sebelum tidur.

Anak-anak, night teror dan somnambulisme, 1-


5 mg sebelum tidur.

Injeksi i.m atau injeksi i.v lambat :

(kedalam vena besar dengan kecepatan tidak


lebih dari 5 mg/menit)untuk ansietas akut berat,
pengendalian serangan panik akut, penghentian
alkohol akut, 10 mg, jika perlu ulangi setelah 4
jam.
EFEK SAMPING  Sistem saraf: penurunan kemampuan
kognitif dan psikomotor, tremor, nyeri kepala,
vertigo, amnesia anterograde
 Mata: pandangan kabur, diplopia
 Gastrointestinal: konstipasi, mual,
muntah, hipersalivasi
 Kardiovaskular: palpitasi (pada gejala
putus obat), hipotensi, bradikardia, gagal
jantung
 Respirasi: peningkatan sekresi bronkus
(terutama pada pasien anak), depresi napas,
batuk, dispnea
 Lokasi injeksi lokal: reaksi lokal pada
tempat injeksi, misalnya tromboflebitis dan
thrombosis vena
 Psikiatri: kebingungan, depresi,
gangguan bicara
 Ginjal dan urogenital: inkontinensia
urin, retensi urin
 Metabolik: penurunan nafsu makan
 Reproduksi: perubahan libido
INTERAKSI OBAT  Obat untuk mengatasi gangguan mental
seperti halusinasi (antipsikotik), obat untuk
mengatasi gangguan kecemasan (ansiolitik),
obat untuk mengatasi kejang (antikonvulsan),
obat untuk mengatasi alergi (antihistamin),
obat untuk mengatasi depresi (MAO inhibitor),
obat untuk mati rasa (anestetik), dan obat
penenang (barbiturat.
Penggunaan obat di atas bersama diazepam
dapat meningkatkan efektivitas obat-obatan
tersebut, sehingga dapat meningkatkan risiko
terjadinya efek samping
 Obat opioid.
Penggunaan obat di atas bersama diazepam
menyebabkan kantuk, depresi pernapasan,
koma, dan kematian.
 Zidovudin.
Penggunaan zidovudin bersama diazepam
meningkatkan risiko kantuk berkepanjangan.
 Sodium oksibat.
Penggunaan obat di atas bersama diazepam
meningkatkan efek antidepresan obat sistem
saraf pusat (SSP).
 Lofeksidin, nabilon, simetidin,
isoniazid, eritromisin, omeprazol, dan
ketokonazol.
Diazepam dapat meningkatkan efektivitas obat
di atas, sehingga dapat meningkatkan risiko
terjadinya efek samping.

Modulates postsynaptic effects of GABA-A


transmission, resulting in an increase in
MECHANISM OF ACTION presynaptic inhibition. Appears to act on part
of the limbic system, as well as on the thalamus
and hypothalamus, to induce a calming effect.
BIOAVAILABILITY 90% (PR)
PEAK PLASMA TIME 30-90 min (PO), 5-90 min (PR)
373 ng/mL (initial at 45 min); 447 ng/mL
PEAK PLASMA CONCENTRATION
(second peak at 70 min).
Variable, dependent on dose and frequency
DURATION (PO [hypnotic action]); 15-60 min (IV
[sedative action]).
PROTEIN BOUND 98%
Vd 0,8-1 L/kg
Metabolized by hepatic P450 enzymes
METABOLISM
CYP2C19, CYP3A4
N-desmethyldiazepam, 3-hydroxdiazepam,
METABOLITES
oxazepam
HALF-LIFE ELIMINATION 20-70 hr (active metabolite)
RENAL CLEARANCE 20-30 mL/min
EXCRETION Urine

C. Pelaporan
1. Induksi enzim (Fenobarbital 80 mg/kg i.p)
Perlakuan Obat Waktu Timbul Efek (menit)
1. Kontrol Didiazepam 10 menit
2. Fenobarbital i.p (1) Didiazepam 26 menit
2. Fenobarbital i.p (2) Didiazepam 13 menit

2. Penghambatan enzim (Simetidin 80 mg/kg i.p)


Perlakuan Obat Waktu Timbul Efek (menit)
1. Kontrol Didiazepam 10 menit
2. Simetidin (1) Didiazepam 10 menit
2. Simetidin (2) Didiazepam 16 menit
D. PEMBAHASAN
Pada praktikum Metabolisme Obat, menggunakan 2 sampel, yakni Fenobarbital sebagai
penginduksi enzim, dan Simetidin sebagai Penghambat Enzim, dari keduanya menggunakan
obat Diazepam sebagai Obat utama, dengan masing-masing control yakni diazepam.
Pada Marmut pertama sebagai control yang hanya diberi diazepam menghasilkan efek
timbul 10 menit, yang mana diazepam bekerja dengan cara memengaruhi zat kimia di otak
sehingga memberikan efek menenangkan selama beberapa jam atau bahkan beberapa hari
setelah dikonsumsi.
Pemerian Fenobarbital sebagai penginduksi enzim dengan obat utama yakni diazepam
menghasilkan waktu timbul efek selama 26 menit dan 10 menit pada marmut kedua. Hal ini
dikarenakan fenobarbital bekerja dengan cara mengendalikan aktivitas listrik yang abnormal
di sistem saraf dan otak selama terjadinya kejang. Fenobarbital juga merubah metabolit
diazepam menjadi lebih cepat.
Pemerian simetidin sebagai penghambat enzim dengan obat utama diazepam
menghasilkan waktu timbul efek selama 10 menit dan 16 menit. Simetidin bekerja dengan
cara menghibisi obat lain yang makna akan memperlambat enzim sehingga obat yang
menghibisi akan memperlambat metabolitnya dan akan berefek lebih lama.
BAB V
KESIMPULAN

Metabolisme obat adalah proses modifikasi biokimia senyawa obat oleh organisme
hidup, pada umumnya dilakukan melalui proses enzimatik. Proses metabolisme obat
merupakan salah satu hal penting dalam penentuan durasi dan intensitas khasiat
farmakologis obat. Metabolisme obat sebagian besar terjadi di retikulum endoplasma sel-sel
hati. Selain itu, metabolisme obat juga terjadi di sel-sel epitel pada saluran pencernaan, paru-
paru, ginjal, dan kulit.
Pada praktikum metabolisme obat, diazepam menghasilkan terapi yang tepat, sedangkan
pada fenobarbital dan simetidin, didapat hasil yang tak sesuai dengan teori dimana waktu
hasil dri simetidin lebih cepat dibanding fenobarbital dengan diazepam.
DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. 2000. Prinsip Umum dan Dasar Farmakologi. Gadjah Mada University Press:
Yogyakarta.
Anief, Moh. 1991. Perjalanan dan Nasib Obat dalam Badan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
Anonim. 2010. Farmakologi untuk SMK Farmasi. Jakarta: DEPKES RI
Ansel, H. C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Universitas. Jakarta: Indonesia Press
Care, P. H. (2020). ABSTRAK. Pemerintah telah menetapkan kebijaksanaan dalam upaya
pelayanan kesehatan yaitu. 6(3), 193–195.
Guyton dan Hall. 1996. Buku Ajar Fisiologi  Kedokteran. EGC: Jakarta.
Katzung, G. B. 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi keenam. EGC: Jakarta.
Mutschler,E. 1991. Dinamika Obat, Buku Ajar Farmakologi & Toksikologi edisiV. Penerbit
ITB: Bandung.
Sarjono, S. H. dan Hadi R. D. 1995. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Indonesia
Tjay, T.H dan K. Rahardja. 2007. Obat-obat Penting. PT Gramedia: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai