PENDAHULUAN
PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIDIARE
1. Latar Belakang
Diare adalah suatu keadaan meningkatnya berat dari fases (>200 mg/hari) yang dapat
dihubungkan dengan meningkatnya cairan, frekuensi BAB, tidak enak pada perinal,
dan rasa terdesak untuk BAB dengan atau tanpa inkontinensia fekal (Daldiyono, 1990).
Diare atau diarrhea merupakan kondisi rangsangan buang air besar yang terus menerus
disertai keluarnya feses atau tinja yang kelebihan cairan, atau memiliki kandungan air yang
berlebih dari keadaan normal. Umumnya diare menyerang balita dan anak-anak. Namun
tidak jarang orang dewasa juga bisa terjangkit diare. Jenis penyakit diare bergantung pada
jenis klinik penyakitnya (Anne, 2011).
Klinis tersebut dapat diketahui saat pertama kali mengalami sakit perut. Ada
lima jenis klinis penyakit diare, antara lain:
1. Diare akut, bercampur dengan air. Diare memiliki gejala yang datang tiba-
tiba dan berlangsung kurang dari 14 hari. Bila mengalami diare akut,
penderita akan mengalami dehidrasi dan penurunan berat badan jika tidak
diberika makan dam minum.
2. Diare kronik. Diare yang gejalanya berlangsung lebih dari 14 hari yang
disebabkan oleh virus, Bakteri dan parasit, maupun non infeksi.
3. Diare akut bercampur darah. Selain intensitas buang air besar meningkat,
diare ini dapat menyebabkan kerusakan usus halus,spesis yaitu infeksi
bakteri dalam darah, malnutrisi atau kurang gizi dan dehidrasi.
4. Diare persisten. Gejalanya berlangsung selama lebih dari 14 hari. Dengan
bahaya utama adalah kekurangan gizi. Infeksi serius tidak hanya dalam usus
tetapi menyebar hingga keluar usus.
5. Diare dengan kurang gizi berat. Diare ini lebih parah dari diare yang
lainnya, karena mengakibatkan infeksi yang sifatnya sistemik atau
menyeluruh yang berat, dehidrasi, kekurangan vitamin dan mineral. Bahkan
bisa mengakibatkan gagal jantung.
2. Tujuan Percobaan
a. Mempunyai keterampilan dalam percobaab diare
b. Mendalami pengaruhlaksan saluran pencernaan dan mengetahui sejauh mana obat
antidiare dapat menghambat diare yang ditimbulakn oleh laksan
3. Prinsip percobaan
Pengujian efek antidiare berdasarkan konsistensi feses, bobot feses, dan
frekuensi defekasi pada pemerian loperamid, dan kaolin dengan metode pemerian
induksi Paraffin Liq
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Umum
Diare merupakan buang air besar (defekasi) dengan tinja, berbentuk cairan atau
setengah cairan (setengah padat), dengan kandungan air pada tinja lebih banyak dari
biasanya, normalnya 100–200 ml/tinja (Hendarwanto, 1996). Pada diare, tinja
mengandung lebih banyak air dibandingkan yang normal. Tetapi apabila
mengeluarkan tinja normal secara berulang tidak disebut diare (Andrianto, 1995).
Dengan kata lain, diare merupakan keadaan buang air besar dengan banyak cairan
(mencret) dan merupakan gejala dari penyakit-penyakit tertentu atau gangguan
lainnya (Tjay dan Rahardja, 2002).
Diare sebenarnya adalah proses fisiologis tubuh untuk mempertahankan diri dari
serangan mikroorganisme (virus, bakteri, parasit dan sebagainya) atau bahan-bahan
makanan yang dapat merusak usus agar tidak menyebabkan kerusakan mukosa
saluran cerna. Diare dikatakan meningkat ketika frekuensi meningkat dengan
konsentrasi tinja lebih lembek atau cair, bersifat mendadak dan berlangsung dalam
waktu 7-14 hari (Sunoto, 1996).
Secara normal makanan yang terdapat di dalam lambung dicerna menjadi bubur
(chymus), kemudian diteruskan ke usus halus untuk diuraikan lebih lanjut oleh
enzim-enzim. Setelah terjadi resorpsi, sisa chymus tersebut yang terdiri dari 90% air
dan sisa-sisa makanan yang sukar dicernakan, diteruskan ke usus besar (colon).
Bakteri-bakteri yang biasanya selalu berada di colon mencerna lagi sisa- sisa (serat-
serat) tersebut, sehingga sebagian besar dari sisa-sisa tersebut dapat diserap pula
selama perjalanan melalui usus besar. Airnya juga diresorpsi kembali sehingga
akhirnya isi usus menjadi lebih padat (Tjay dan Rahardja, 2002). Beberapa
klasifikasi diare antara lain adalah:
Loperamid adalah opioid yang paling tepat untuk efek local pada usus karena
tidak menembus ke dalam otak. Oleh karena itu, loperamid hanya mempunyai
sedikit efek sentral dan tidak mungkin menyebabkan ketergantungan (Neal, 2005).
Antibiotik : Berguna hanya untuk infeksi tertentu, misalnya kolera dan disentri
basiler berat, yang diterapi dengan tetrasiklin (antibiotic spectrum luas). Kuinolon,
tampaknya efektif melawan patogen diare yang paling penting (Neal, 2005).
BAB III
METODE KERJA
1. Alat dan bahan yang digunakan
Hewan yang akan digunakan adalah marmut dengan berat 407 g, 341 g, 220 g, 266g
dan 213 g
3. Pembuatan bahan
Pembuatan Na. CMC 1%
Panaskan aquadest kurang lebih 200 ml hingga mendidih.
Timbang Na. CMC sebanyak 1g
Masukan Na. CMC sebanyak beaker glass 300 ml lalu tambahkan 50
ml air panas. Aduk campuran tersebut hingga homogeny, ditandai
dengan tidak nampaknya lagi serbuk berwarna putih dan campuran
berupa seperti gel. Tambahkan air panas sedikit demi sedikit samil di
aduk hingga volume larutan tersebut menjadi 100ml, dinginkan.
kelompok 2 Marmut diberi NaCl dan 30 menit kemudian diberi olium ricini/parafin cair
kelompok 3 dan 4 diberi loperamid dosis I dan II dan 30 menit kemudian diberi ol.
ricini/paraffin cair
tiap Marmut dimasukkan kedalam toples yang diberi alas kertas saring yang telah
ditimbang beratnya
waktu timbulnya diare, frekuensi defekasi, jumlah/berat feses, konsistensi feses, dan
lamanya diare dicatat setiap selang waktu 30 menit selama 2 jam
konsistensi feses dapat dinyatakaan dalam bentuk skor dan data dapat disajikan dalam
bentuk tabel
BAB IV
HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN
A. Perhitungan Dosis
1. Loperamid HCI Dosis 1
Perihal Rumus Perhitungan
Pembuatan 30 ml
Larutan stok
4. Kaolin
Pembuatan 30 ml
Larutan stok
B. Analisis Farmasetik :
2. Oleum Ricini
3. Paraffin Cair
4. Loperamid
5. Kaolin
6. Pektin
Pelaporan
Simbol Konsistensi Skor
N Normal 0
LN Lembek Normal 1
L Lembek 2
LC Lembek Cair 3
C Cair 4
D. Hasil
Hewan Uji (BB) Konsistensi Feses Skor
Loperamid 2 mg
Kaolin
E. Pembahasan
Pada praktikum antidiare dengan menggunakan Marmut sebagai Hewan
percobaan dan zat Loperamid + Paraffin, Kaolin + Paraffin, dan NaCl + Paraffin
didapat hasil sebagai berikut:
Penggunaan Loperamid yang berkhasiat untuk meredakan diare yang bekerja
dengan cara memperlambat gerakan usus dan membuat feses menjadi lebih padat.
Selain itu, frekuensi buang air besar dapat berkurang. Penggunaan Loperamid pada
Marmut dengan berat 407 g dan 341 g didapatkan hasil yakni keduanya tidak
mengeluarkan feses dalam hitungan waktu 2 jam atau 120 menit, penyebabnya bisa
terjadi karena absorpsi obat yang tidak teratur, yang tergantung pada faktor-faktor
seperti perbaikan yang mendasar, jumlah atau jenis makanan dalam saluran cerna, dan
perusakan beberapa obat oleh reaksi dari lambung atau oleh enzim-enzim dari saluran
cerna.
Pada penggunaan Kaolin yang berkhasiat untuk diare dengan yang
penyebabnya tidak diketahui dengan pasti. Pemerian diberikan pada Marmut dengan
berat 220g dan 266 g yang diamati dalam waktu 120 menit atau 2 jam, setelah 30
menit diberikan paraffin cair dan kemudian diamati kembali sampai batas waktu.
Hasil yang didapat yakmi Marmut tidak mengeluarkan feses, tetapi slah satunya
mengeluarkan feses pada menit ke 50. Penyebab Marmut tidak menghasilkan feses
dapat terjadi karena absorpsi obat yang tidak teratur, dan tergantung pada faktor-
faktor seperti perbaikan yang mendasar.
Terakhir, yakni pemerian NaCl dan Paraffin Cair pada Marmut yang
digunakan sebagai Control. NaCl berfungsi untuk pengobatan dehidrasi isotonik
ekstraseluler dan paraffin cair yang digunakan untuk melembekkan feses pada
keadaan sulit buang air besar atau konstipasi. Marmut dengan berat 213 g dilakukan
pemerian NaCl dan Paraffin cair pada menit ke 30 menghasilkan feses dengan berat
7,39 gr. Konsistensi feses normal dengan jumlah feses 22 butir dan frekuensi
pengeluaran feses terjadi secara berangsur dari menit ke 30 sampai menit ke 120.
BAB V
KESIMPULAN
Diare merupakan buang air besar (defekasi) dengan tinja, berbentuk cairan atau
setengah cairan (setengah padat), dengan kandungan air pada tinja lebih banyak dari
Loperamid, Kaolin dan NaCl dengan tambahan Paraffin cair didapatkan hasil sebagai
berikut:
1. Marmut dengan pemerian Loperamid tidak mengeluarkan feses sama sekali, dan
dapat terjadi karena disebabkan oleh tidak terabsorpsinya obat dengan maksimal
2. Marmut dengan pemerian Kaolin tidak mengeluarkan feses dan pada marmut lainnya
2. Metabolit umumnya kurang aktif daripada obat asalnya. Akan tetapi, tidak selalu seperti
itu, kadang-kadang metabolit sama aktifnya (atau lebih aktif) daripada obat asli. Sebagai
contoh, diazepam (obat yang digunakan untuk mngobati ansietas) dimetbolisme menjadi
nordiazepam dan oxazepam, keduanya aktif. Prodrug bersifat inaktif sampai
dimetabolisme dalam tubuh menjadi obat aktif. Sebagai contoh, levodopa, suatu obat
antiparkinson, dimetabolisme menjadi dopamin, sementara obat hipotensif metildopa
dimetabolisme menjadi metil norepinefrin-α (Neal, 2005).
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut lemak) menjadi
polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu. Dengan perubahan ini obat
aktif umumnya diubah menjadi inaktif, tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif, kurang aktif,
atau menjadi toksik (Syarif, 1995).
Enzim yang berperan dalam dalam biotransformasi obat dapat dibedakan berdasarkan
letaknya dalam sel, yaitu enzim mikrosom yang terdapat dalam retikulum endoplasma halus
(yang pada isolasi invitro membentuk kromosom ) dan enzim non mikrosom. Kedua enzim
metabolisme ini terutama terdapat dalam sel hati, tetapi juga terdapat dalam sel jaringan lain,
misalnya: ginjal, paru-paru, epitel saluran cerna dan plasma. Di lumen saluran cerna juga
terdapat enzim non mikrosom yang dihasilkan flora usus. Enzim mikrosom mengkatalisis reaksi
glukoronida, sebagian besar reaksi oksidasi obat, serta reksi reduksi dan hidrolisis. Sedangkan
enzim non mikrosom mengkatalisis reaksi konjugasi lainnya, beberapa reaksi oksidasi, reaksi
reduksi dan hidrolisis (Gordon dan Skett,1991).
Metabolisme obat terutama terjadi di hati, yakni di membran endoplasmic reticulum
(mikrosom) dan di cytosol. Tempat metabolisme yang lain (ekstra hepatik) adalah: dinding usus,
ginjal, paru, darah, otak dan kulit, juga di lumen kolon (oleh flora usus).
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang non polar (larut lemak) menjadi
polar (larut air) agar dapat diekskresikan melalui ginjal atau empedu. Dengan perubahan ini obat
aktif umumnya diubah menjadi inaktif. Tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif (jika asalnya
prodrug), kurang aktif, atau menjadi toksik. Reaksi metabolisme yang terpenting adalah oksidasi
oleh enzim cytocrome P450 (cyp) yang disebut juga enzim monooksigenase atau MFO (Mixed
Fungtion Oxidase) dalam endoplasmic reticulum (mikrosom) hati.Interaksi dalam metabolisme
obat berupa induksi atau inhibisi enzim metabolisme, terutama enzim cyp.
Induksi berarti peningkatan sistem enzim metabolisme pada tingkat transkripsi sehingga
terjadi peningkatan kecepatan metabolisme obat yang menjadi substrat enzim yang
bersangkutan. Inhibisi enzim metabolisme berarti hambatan yang terjadi secara langsung dengan
akibat peningkatan kadar substrat dari enzim yang dihambat juga terjadi secara langsung
(Mardjono, 2007).
Proses metabolisme dapat mempengaruhi aktivitas biologis,masa kerja, dan toksisitas
obat. Oleh karena itu pengetahuan tentang metabolisme obat penting dalam studi.suatu obat
dapat menimbulkan suatu respon biologis dengan melalui dua jalur, yaitu:
a. Obat aktif setelah masuk melalui peredaran darah,langsuns berinteraksi dengan reseptor
dan menimbulkan respon biologis.
b. Pra-obat setelah masuk ke peredaran darah mengalami proses metabolisme menjadi obat
aktif,berinteraksi dengan reseptor dan menimbulkan respon biologis (bioaktivasi)
Secara umum tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat menjadi metabolit tidak
aktif dan tidak toksik (bioinaktivasi atau detoksifikasi), mudah larut dalam air dan kemudian
diekskresikan dari tubuh. Hasil metabolit obat bersifat lebih toksik dibanding dengan senyawa
induk (biootoksifikasi) dan ada pula hasilmetabolit obat yang mempunyai efek farmakologis
berbeda dengan senyawa induk contoh iproniazid, suatu obat perangsang system syaraf pusat,
dalam tubuh di metabolis menjadi isoniazid yang berkhasiat sebagai antituberkolosis (Mardjono,
2007).
Metabolisme obat secara normal melibatkan lebih dari satu proses kimiawi dan enzimatik
sehingga menghasilkan lebih dari satu metabolit.Jumlah metabolit ditentukan oleh kadar dan
aktivitas enzim yang berperan dalam proses metabolisme. Kecepatan metabolisme dapat
menentukan intensitas dan masa kerja obat. Kecepatan metabolisme ini kemungkinan berbeda-
beda pada masing-masing individu. Penurunan kecepatan metabolisme akan meningkatkan
intensitas dan memperpanjang masa kerja obat dan kemungkinan meningkatkan toksisitas obat.
Kenaikan kecepatan metabolisme akan menurunkan intensitas dan memperpendek masa kerja
obat sehingga obat menjadi tidak efektif pada dosis normal (Mardjono, 2007).
Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat antara lain:
1. Faktor genetik atau keturunan
Perbedaan individu pada proses metabolisme sejumlah obat kadang-kadang terjadi dalam
system kehidupan.Hal ini menunjukkan bahwa factor genetic atau keturunan ikut berperan
terhadap adanya perbedaan kecepatan metabolisme obat.
2. Perbedaan spesies dan galur
Pada proses metabolisme obat,perubahan kimia yang terjadi pada spesies dan galur
kemungkinan sama atau sedikit berbeda,tetapi kadang-kadang ada perbedan uang cukup besar
pada reaksi metabolismenya.
3. Perbedaan jenis kelamin
Pada spesies binatang menunjukkan ada pengaruh jenis kelamin terhadap kecepatan
metabolisme obat
4. Perbedaan umur
Bayi dalam kandungan atau bayi yang baru lahir jumlah enzim-enzim mikrosom hati
yang diperlukan untuk memetabolisme obat relatif masih sedikit sehingga sangat peka
terhadap obat.
5. Penghambatan enzim metabolism
Kadang-kadang pemberian terlebih dahulu atau secara bersama-sama suatu senyawa yang
menghambat kerja enzim-enzim metabolisme dapat meningkatkan intensitas efek
obat,memperpanjang masa kerja obat dan kemungkinan juga meningkatkan efek samping dan
toksisitas.
6. Induksi enzim metabolism
Pemberian bersama-sama suatu senyawa dapat meningkatkan kecepatan metabolisme
obat dan memperpendek masa kerja obat. Hal ini disebabkan senyawa tersebut dapat
meningkatkan jumlah atau aktivitas enzim metabolisme dan bukan Karena permeablelitas
mikrosom atau adanya reaksi penhambatan. Peningkatan aktivitas enzim metabolisme obat-
obat tertentuatau proses induksi enzim mempercepat proses metabolisme dan menurunkan
kadar obat bebas dalam plasma sehingga efek farmakologis obat menurun dan masa kerjanya
menjadi lebih singkat. Induksi enzim juga mempengaruhi toksisitas beberapa obat karena
dapat meningkatkan metabolisme dan metabolit reaktif (Mardjono, 2007).
Tempat metabolisme obat
Perubahan kimia obat dalam tubuh terutama terjadi pada jaringan-jaringan dan organ-organ
seperti hati, ginjal, paru dan saluran cerna. Hati merupakan organ tubuh tempat utama
metabolisme obat oleh karena mengandung enzim-enzim metabolisme dibanding organ lain.
Metabolisme obat di hati terjadi pada membrane reticulum endoplasma sel. Retikulum
endoplasma terdiri dari dua tipe yang berbeda, baik bentuk maupun fungsinya. Tipe 1
mempunyai permukaan membran yang kasar, terdiri dari ribosom-ribosom yang tersusun secara
khas dan berfungsi mengatur susunan genetik asam aminoyang diperlukan untuk sintesis protein.
Tipe 2 mempunyai permukaan membran yang halus tidak mengandung ribosom. Kedua tipe ini
merupakan tempat enzim-enzim yang diperlukan untuk metabolisme obat. Jalur umum
metabolisme obat dan senyawa organik asing reaksi metabolisme obat dan dan senyawa organic
asing ada dua tahap yaitu:
1. Reaksi fase I atau reaksi fungsionalisasi
Yang termasuk reaksi fase I adalah reaksi-reaksi oksidasi,reduksi,dan hidrolisis.
Tujuan reaksi ini adalah memasukkan gugus fungsional tertentu yang besifat polar.
2. Reaksi fase II atau reaksi konjugasi.
Yang termasuk reaksi fase II adalah reaksi konjugasi,metilasi dan asetilasi.Tujuan
reaksi ini adalah mengikat gugus fungsional hasil metabolit reaksi fase I dengan
senyawa endogen yamg mudah terionisasi dan bersifat polar,seperti asam glukoronat,
sulfat, glisin dan glutamine, menghasilkan konjugat yang mudah larut dalam air.
Hasil konjugasi yang terbentuk (konjugat) kehilangan aktivias dan toksisitasnya,dan
kemudian di ekskresikan melalui urin (Mardjono, 2007).
Pada metabolisme obat,gambaran secara tepat system enzin yang bertanggungjawab
terhadap proses oksidasi, reduksi, masih belum diketahui secara jelas. Secara umum diketahui
bahwa sebagian besar reaksi metabolik akan melibatkan prpses oksidasi. Proses ini memerlukan
enzim sebagai kofaktor, yaitu bentuk tereduksi dari nikotinamid-adenin-dinukleotida fosfat
(NADPH) dan nikotinamid-adenin-dinukleotida (Mardjono, 2007).
BAB III
METODE KERJA
A. Alat dan Bahan
Alat :
Spuit 1 ml
Sonde oral
stopwatch
Bahan :
Fenobarbital (Indikator enzim)
Cimetidine (Penghambat Enzim)
Hewan :
• 3 ekor marmut dengan berat masing-masing: 266g, 360g, dan 298g.
B.
C. Prosedur kerja :
Pengujian ini dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :
Kelompok 2 diberi Fenobarbital 80mg/kg secara ip, amati waktu sampai terjadi gejala
hipnosis serta waktu lama tidur
Kelompok 4 diberi simetidin peroral 80mg/kg 1 jam sebelumnya, amati waktu sampai
terjadi hypnosis serta lama waktu tidur
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Perhitungan Dosis
1. Fenobarbital
Dosis Lazim 80 mg
Obat untuk
manusia
Konversi dosis Dosis lazim x faktor konversi 80 mg x 0,031 = 2,48 mg
Dosis ini 5 ml
diberikan dalam
volume
Pembuatan 30 ml
Larutan stok
2. Simetidin
Dosis ini 5 ml
diberikan dalam
volume
Pembuatan 30 ml
Larutan stok
3. Diazepam
Dosis Lazim 5 mg
Obat untuk
manusia
Konversi dosis Dosis lazim x faktor konversi 5 mg x 0,031 = 0,155 mg
Dosis ini 5 ml
diberikan dalam
volume
Pembuatan 30 ml
Larutan stok
B. Analisis Farmasetik :
Pusing
Kantuk
Sakit kepala
Mual
EFEK SAMPING Muntah
Kehilangan nafsu makan
Sensitif atau mudah marah
Merasa lelah
8. Simetidin
Nyeri otot
Pusing
Sakit kepala
EFEK SAMPING
Diare
Rasa kantuk
9. Diazepam
C. Pelaporan
1. Induksi enzim (Fenobarbital 80 mg/kg i.p)
Perlakuan Obat Waktu Timbul Efek (menit)
1. Kontrol Didiazepam 10 menit
2. Fenobarbital i.p (1) Didiazepam 26 menit
2. Fenobarbital i.p (2) Didiazepam 13 menit
Metabolisme obat adalah proses modifikasi biokimia senyawa obat oleh organisme
hidup, pada umumnya dilakukan melalui proses enzimatik. Proses metabolisme obat
merupakan salah satu hal penting dalam penentuan durasi dan intensitas khasiat
farmakologis obat. Metabolisme obat sebagian besar terjadi di retikulum endoplasma sel-sel
hati. Selain itu, metabolisme obat juga terjadi di sel-sel epitel pada saluran pencernaan, paru-
paru, ginjal, dan kulit.
Pada praktikum metabolisme obat, diazepam menghasilkan terapi yang tepat, sedangkan
pada fenobarbital dan simetidin, didapat hasil yang tak sesuai dengan teori dimana waktu
hasil dri simetidin lebih cepat dibanding fenobarbital dengan diazepam.
DAFTAR PUSTAKA
Anief, M. 2000. Prinsip Umum dan Dasar Farmakologi. Gadjah Mada University Press:
Yogyakarta.
Anief, Moh. 1991. Perjalanan dan Nasib Obat dalam Badan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
Anonim. 2010. Farmakologi untuk SMK Farmasi. Jakarta: DEPKES RI
Ansel, H. C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Universitas. Jakarta: Indonesia Press
Care, P. H. (2020). ABSTRAK. Pemerintah telah menetapkan kebijaksanaan dalam upaya
pelayanan kesehatan yaitu. 6(3), 193–195.
Guyton dan Hall. 1996. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC: Jakarta.
Katzung, G. B. 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi keenam. EGC: Jakarta.
Mutschler,E. 1991. Dinamika Obat, Buku Ajar Farmakologi & Toksikologi edisiV. Penerbit
ITB: Bandung.
Sarjono, S. H. dan Hadi R. D. 1995. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Indonesia
Tjay, T.H dan K. Rahardja. 2007. Obat-obat Penting. PT Gramedia: Jakarta.