Anda di halaman 1dari 90

BUNDELAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI SISTEM TUBUH

SEMESTER 4B TAHUN 2023


Dosen pengampu: Chindiana Khutami, S.Farm., M.Farm

Disusun Oleh:
Mahasiswa/i Semester 4B

UNIVERSITAS ADIWANGSA JAMBI


FAKULTAS KESEHATAN DAN FARMASI
PROGRAM STUDI S1 FARMASI
TAHUN 2023
FARMAKOLOGI OBAT SISTEM SARAF PUSAT
Dosen Pengampu : Chindiana Khutami, S.Farm., M.Farm
Hesty safitri, Angelica, Sherly marlinda, Siri rahma
tanjung, Rizky Amirullah. Luky triandriani.

Universitas Adiwangsa Jambi Fakultas Ilmu Kesehatan Dan


FarmasiProgram Studi S1 Farmasi Tahun 2023

ABSTRAK

Sistem saraf manusia adalah suatu jalinan jaringan saraf yang komplekssangat khusus
dan saling berhubungan satu dengan yang lainSistem saraf mengkoordinasi, menafsirkan dan
mengontrol interaksi antara individu dengan lingkungan sekitarnyaSistem tubuh yang penting
ini juga mengatur kebanyakan aktivitas sistem - sistem tubuh lainnya. Karena pengaturan
saraf tersebut maka terjalin komunikasi antara berbagai sistem tubuh hingga menyebabkan
tubuh berfungsi sebagai unit yang harmonisDalam sistem inilah berasal segala fenomena
kesadaran, pikiran, ingatan, bahasa, sensasi, dan gerakan. Jadi kemampuan untuk dapat
memahami, belajar dan memberi respons terhadap suatu rangsangan merupakan hasil kerja
terintegrasi dari sistem saraf yang mencapai puncaknya dalam bentuk kepribadian dan
tingkah laku individu.
Sistem saraf pusat (SSP) merupakan sistem saraf yang dapat mengendalikan sistem
saraf lainnya didalam tubuh dimana bekerja dibawah kesadaran atau kemauan. SSP biasa
juga disebut sistem saraf sentral karena merupakan sentral atau pusat dari saraf lainnya.
Sistem saraf pusat ini dibagi menjadi dua yaitu otak (ensevalon) dan sumsum tulang belakang
(medula spinalis). Obat-obat dapat mempengaruhi Susunan Saraf Pusat (SSP) dengan
merangsang (stimulasi) dan menekan (depresi), dan ada pula obat yang dapat menekan
sesuatu fungsi sekaligus merangsang fungsi yang lain. Efek obat-obat tergantung pada jenis
dan sensitivitas reseptor yang dipengaruhinya.
Adapun dalam bidang farmasi pengetahuan tentang sistem saraf pusat perlu untuk
diketahui khususnya dalam bidang ilmu farmakologi toksikologi karena mahasiswa farmasi
dapat mengetahui obat-obat apa saja yang perlu atau bekerja pada sistem saraf pusatHal
inilah yang melatar belakangi dilakukannya percobaan ini.

Kata kunci: Analgetika dan Anti inflamasi


Pendahuluan

1.1.Analgetika
Analgesik adalah obat yang digunakan untuk meng-urangi atau menghilangkan rasa
sakit atau obat-obat penghilang nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Obat ini
digunakan untuk membantu meredakan sakit, sadar tidak sadar kita sering
mengunakannya misalnya ketika kita sakit kepala atau sakit gigi, salah satu komponen
obat yang kita minum biasanya mengandung analgesik atau pereda nyeri. Obat
antipiretik adalah obat untuk menurunkan panas. Hanya menurunkan temperatur tubuh
saat panas tidak berefektif pada orang normal. Dapat menurunkan panas karena dapat
meng-hambat prostaglandin pada CNS. NSAID (non-steroidal anti-inflamatory drugs)
adalah obat yang mengurangi rasa sakit, demam, dan peradangan (Mita & Husni, 2017).

Inflamasi adalah suatu respon protektif setempat yang ditimbulkan oleh kerusakan
pada jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat
mikrobiologik. Inflamasi berfungsi untuk menghancurkan, mengurangi, atau
melokalisasi (sekuster) baik agen yang merusak maupun jaringan yang rusak. Obat
antiinflamasi yang biasa digunakan dibagi menjadi dua, yaitu antiinflamasi steroid dan
antiinflamasi nonsteroid. 3 Namun kedua golongan obat tersebut memiliki banyak efek
samping. Antiinflamasi steroid dapat menyebabkan tukak peptik, penurunan imunitas
terhadap infeksi, osteoporosis, atropi otot dan jaringan lemak, meningkatkan tekanan
intra okular, serta bersifat diabetik, sedangkan antiinflamasi nonsteroid dapat
menyebabkan tukak lambung hingga pendarahan, gangguan ginjal, dan anemia. (Nur
Ramadhani, 2016).
Senyawa yang berkhasiat sebagai analgetik-antipiretik diperlukan untuk mengatasi
masalah nyeri dan demam. Analgetik adalah senyawa yang dapat mengurangi atau
menghilangkan rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Sementara itu, antipiretik
adalah senyawa yang dapat menurunkan demam (suhu tubuh tinggi) (Tjay dan Rahardja,
2008). Selain obat sintesis, bahan alam seperti obat tradisional juga dapat digunakan
sebagai analgetic Antipiretik (Puspianita, 2015)

Pengobatan inflamasi dapat dilakukan dengan cara meredakan nyeri atau dapat
menghentikan kerusakan jaringan dengan mengkosumsi obat-obatan, seperti obat steroid
dan non-steroid. Penggunaan obat sintesis sebagai anti-inflamasi, dalam kurun waktu
panjang akan mengakibatkan efek samping berbahaya, menimbulkan gangguan pada
saluran cerna, seperti lambung, ulser, induksi kehamilan, dan gangguan fungsi ginjal.
Selain itu, penggunaan obat steroid akan mengakibatkan penurunan respon imun,
menurunnya respon imun tubuh terhadap infeksi, hipertensi, moonface, dan osteoporosis.
Oleh sebab itu diperlukan pengobatan dengan efek samping minimal, salah satunya
pengobatan dengan menggunakan tumbuhan. The World Health Organization (WHO)
telah merekomendasikan pengobatan tradisional, back to nature dengan memanfaatkan
potensi bahan alam, yang memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan
penggunaan obat sintetik, karena pengobatan secara tradisional dengan menggunakan
tumbuhan, mikroba, dan sumber lainnya, dapat memperkecil efek samping yang
ditimbulkan(Latief et al., 2021).

Antipiretik adalah obat yang dapat menekan atau mengurangi peningkatan temperatur
tubuh yang tidak normal. Antipiretik yang sering digunakan adalah parasetamol.
Parasetamol merupakan sen-yawa kimia yang banyak digunakan ka-rena memiliki
kemampuan untuk menurunkan suhu tubuh ke keadaan normal. Produk parasetamol yang
beredar di masyarakat adalah parasetamol ber-merek dengan harga mahal, parasetamol
bermerek dengan harga generik (murah), serta parasetamol produk generic (Ni‟ammah &
Arifianto, 2018).
1. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah
1. Bagaimana aktifitas efek suatu obat analgetic dan antipiretik
2. Bagaimana respon mencit jika diberikan larutan uji sebagai penginduksi dan
beberapa metode lainnya.

2. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah
a. Untuk mengatahui aktifitas atau efek suatu obat analgetic dan anti inflamasi
b. Untuk mengatahui mencit yang diberikan larutan uji sebagai peng-induksi dan
beberapa metode.

3. Metodologi Penelitian
a. Metode Jentik Ekor
1) Alat yang digunakan yaitu: alat suntik 1 ml, bejana gelas. Sonde oral,
stopwatch dan timbangan hewan.
2) Bahan yang digunakan yaitu : Asam asetat o,7%, NaCl fosiologi, obat uji
(asetosal, paracetamol, dan antalgin),
3) Prosedur Kerja
Sebelum pemberian obat, catat waktu yang diperlukan mencit untuk
mengeluarkan ekornya dari penangas air (suhu 500C), lakukan pengamatan
tiga kali dan waktu dirata-ratakan sebagai respon normal mencit terhadap
stimulus nyeri.
Suntikkan mencit/hewan uji secara i.p sesuai dengan kelompok uji
(kontrol, obat uji), diamkan 10 menit
a) Kemudian nilai respon masing-masing mancit berdasarkan kelompok uji
terhadap stimulus nyeri seperti pada percobaan 1, untuk lebih kurang 10
detik. Jika mencit tidak menjentikkan ekornya selama waktu tsb maka
dapat dianggap bahwa ia tidak menyadari stimulus nyeri yang diberikan.
Angkat ekor mencit dari penangas air.
b) Ulangi penilaian respon hewan percobaan selang 10, 20, 30, 40, 50, 60 dan
90 menit. hingga efek analgesik hilang
b. Metode induksi Mekanik (suhu panas/plat panas)
1) Alat yang digunakan yaitu: plat panas suhu 55 C, Sonde oral, Stopwach dan
timbangan hewan
2) Bahan yang digunakan yaitu: NaCl fosiologi, obat Analgetik dan pensuspensi.
3) Prosedur Kerja
a) Mencit ditimbang, diamati waktu reaksi pada 5 dan 19 detik sebelum
pemberian obat. Rata-rata dari waktu reaksi pada kedua pengamatan ini
merupakan waktu normal
b) Suntikkan secara i.p pada masing-masing mencit obat-obat.
c) Waktu reaksi diamati pada 5, 10, 15, 20, 25, 30, 35, 40 s.d 60 menit
setelah penginduksian larutan obat. Waktu reaksi adalah waktu hewat
diletakkan pada plat panas (suhu 550C) sampai tepat memberikan respon
(kaki depan di a gkat atau dijilat)
d) Waktu reaksi dari tiap pengamatan dari tiap hewan uji dicatat
c. Metode Induksi Kimia
1) alat suntik 1 ml, Sonde oral, stopwatch dan timbangan hewan.
2) Bahan yang digunakan yaitu : Asam asetat o,7%, NaCl fosiologi, obat uji
(asetosal, paracetamol, dan antalgin).
3) Prosedur Kerja
a) Timbang bobot hewan masing-masing kelompok
b) Kepada masing-masing kelompok diberikan obatnya
c) (kontrol NaCl fis 10mL/Kg), obat uji sesuai dosis)
d) Setelah 30 menit, kepada setiap kelompok disuntikkan secara i.p 0,2 mL
larutan asam asetat (0,7%)
e) Letakkan hewan pada tempat yang memudahkan pengamatan, amati
setiap geliatan yang timbul

1.2. Anti Inflamasi


1) Alat yang digunakan yaitu: Alat suntik 1 mL, pletismometer, stop watch,
timbangan hewan, sonde oral
2) Bahan yang digunakan: NaCl fis, Larutan Karegenan 2%, Obat Uji (Na.
Diklofenak 10%/KgBB, Indometazin 10%/KgBB, Fenilbutazon 10%.KgBB,
Asetosal 150mg/KgBB) i.p
3) Prosedur Kerja
a) Hewan ditimbang dan di induksikan dengan larutan uji
b) 30 menit kemudian telapak kaki kiri belakang setiap tikus pada masing-
masing kelompok disuntik dengan 0,4 ml karagenan 2% secara sub
plantar.
c) Volume telapak kaki tikus diukur pada menit ke 30, 60, 90, 120, 150 dan
180 setelah diinduksi karagenan, dengan cara me-masukkan telapak kaki
tikus ke dalam alat pletismometer hingga batas tanda.
d) Semua data yang diperoleh dianalisis secara statistik terhadap volume
telapak kaki tikus dan dihitung persentase penghambatan udem.

4. Hasil & Pembahasan


4.1.Hasil
a) Metode Jentik Ekor
No Menci Aquadest Asetosal As. Paracetam
t Mefenamat ol
1 Menci Menggelia
t1 t dan
mengangk
at ekornya
2 Menci Menggelia
t2 t dan
menjentik
an ekor
Menci Menjentika
t3 n dan
menggeraka
n ekornya
Menci Mengngka
t4 t dan
menjentik
an ekornya

b) MetodInduksiMekanik
No Menci Aquadest Asetosal As. Paracetam
t Mefenamat ol
1 Menci Menggelia
t1 t dan
menjilat
kaki
2 Menci Menjilat
t2 kaki dan
tangan serta
mencium
permukaan
Menci Menjilat
t3 ekor dan
kaki serta
menggelia
t
Menci Memanjat,
t4 mencium
permukaa
n dan
menjilat
kaki

c) Metode Induksi Kimia


No Menci Dosis Jumlah Wak
t Geliat tu
5 10
1 Menci Aquadest 35 25 60
t1
2 Menci As. 5 10 15
t2 Mefenama
t
Menci Paracetam 8 10 18
t3 ol
Menci Asetosal 4 6 10
t4
4.2.Pembahasan
Pada Praktikum Farmakologi sistem tubuh kali ini bertujuan untuk mengatahui
aktifitas atau efek Suatu obat analgetik dan antiinf lamasi dan mengatahui mencit
yang diberikan

larutan uji sebagai Penginduksi dengan beberapa metode.


Untuk Perbandingan literatur yang pertama, menurut "Prambudi H 2020,
menyalakan bahwa semakin sedikit Jumlah geliat mencit berarti nyeri yang dirasakan
Semakin lemah atau dengan kata lain semakin kuat efek analgetik perlakuan
yang diberikan. Setelah dilakukan penelitian pernya taan tersebut benar. Pada saat
pemberian dosis obat kepada mencit maka diperhitungkan dengan tepat. Contohnya
mencit & dengan Obat Asetosal, dosis pemberian 0,04 ml. Agar dapat mengurangi
rasaan nyeri pada mencit maka mencit tersebut tidak terlalu bergeliat atau bergerak
dan menjentilkan ekornya.
Pada awal mula dilakukannya metode jentik excor yang berfungsi untuk
mengatahui aktivitas analgetik narkotik. Menurut " Silvia emma. 201g menyatakan
bahwa Prinsip metode jentik ekor yaitu ekor mencit dicelupkan kedalam penangas air
dengan suhu tetap sebagai stimulus nyeri dan akan memberikan respon dayam
menjentikan ekor. Setelah dila kukan penelitian, Pernyataan tersebut benar. Pada
percobaan mencit a dengan obat Paracetamol (0,225 mi) dalam jangka wakte 20,3
detik mencit tersebut mengangkat ekornya atau menjentikan ekomya karena hal
tersebut mencit merespon rasa nyeri yang terdapat pada tubuhnya.
Sebelum pemberian obat, Sebaiknya mencit di Puasakan terlebih d dahulu.
Menurut Nugrahani.s.s. 2012menyatakan bahwa sebelum mencit diberi perlakuan,
mencit di puasakan 10-16 Jam agar glukosa darah stabil dan tidak terdapat Perubahan
kadar glukosa darah kare makanan. Setelah dilakukannya penelitian maka Pernyataan
tersebut benar, karena jika mencit tidak dipuasakan maka gula darah akan berubah
ubah dan pemberian dosis pun akan dapat memengaruhi dosis obat tersebut.

Untuk Perbandingan literatur, Jika menurut "Fianti, 2017" menyakan bahwa


mencit banyak digunakan sebagai hewan labolatori um. Setelah dilakukannya
penelitian hal tersebut benar karena memiliki Kelebihan seperti siklus hidup relatif
pendek, memiliki Karakte ristik teproduksi minip hewan mamalia lain. dan Struktur
anatomi fisiologi Serta genetik yang mirip dengan manusia, maka dari itu Mencit
banyak digunakan untuk hewan uji labolatorium.

5. Kesimpulan
Pada praktikum kali ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Mencit banyak digunakan sebagai hewan di laboratorium karena Memiliki
Karakteristik reproduksi mirip hewan mamalia lain. dan Struktur Anatomi sosiologi
serta genetik yang mirip dengan manusia.
2. Prinsip metode jentik ekor yaitu ekor mencit dicelupkan kedalam Penangas air dengan
suhu tetap sebagal Stimulus nyeri dan akan memberikan respon dalam menjentikan
ekor.
3. Sebelum diperlakukan mencit harus dipuasakan dahulu karena hal tersebut dapat
memengaruhi glukosa dalam darah tidak stabil karena Pengaruh makanan
4. Semakin Sedikit jumlah geliatan mencit berarti nyeri yang dirasa- kan semakin lemah
atau dengan kata lain semakin kuat efek analgetik Perlakuan yang diberikan.
DAFTAR PUSTAKA

Latief, M., Fisesa, A. T., Sari, P. M., & Tarigan, I. L. (2021). ANTI INFLAMMATORY
ACTIVITY OF SUNGKAI LEAVES (Peronema canescens JACK) ETHANOL
EXTRACT IN CARRAGEENAN INDUCED MICE. Jurnal Farmasi Sains Dan Praktis,
7(2), 144–153. https://doi.org/10.31603/pharmacy.v7i2.4532
Mita, R. S., & Husni, P. (2017). Pemberian Pemahaman Mengenai Penggunaan Obat Analgesik
Secara Rasional Pada Masyarakat Di Arjasari Kabupaten Bandung. Aplikasi Ipteks Untuk
Masyarakat, 6(3), 193–194.
Ni‟ammah, U., & Arifianto, N. (2018). Perbandingan Efektivitas Kaplet Antipiretik Dua Merek
Dagang Parasetamol Dan Produk Generik Terhadap Mencit (Mus Musculus) Jantan.
Journal of Pharmaceutical Science and Medical Research, 1(2), 22.
https://doi.org/10.25273/pharmed.v1i2.2972
Nur Ramadhani, sri adi sumiwi. (2016). AKTIVITAS ANTIINFLAMASI BERBAGAI
TANAMAN DIDUGA BERASAL DARU FLAVONOIS. Farmaka, 14, 111–123.
Puspianita, I. (2015). Uji Efek Anlgetik Antipiretik Ekstrak Etanol Alfafa (Medicago sativa)
pada Tikus Putih. Prosiding Seminar Nasional Peluang Herbal Sebagai Alternatif
Medicine, 53(9), 1689–1699.
LAMPIRAN

Perhitungan

Kelompok1
 Dosis mencit
1) 1000 mg x 23 g(bb) = 1000 g x (x)
2300 mg = 1000 x (x)
x = 2300 mg
1000
x = 2,3 mg
volume pemberian : 0,23 ml
 Dosis mencit
2) 1000 mg x 24 g(bb) = 1000 g x (x)
2400 mg = 1000 x (x)
x = 2400 mg
1000
x = 2,4 mg
volume pemberian : 0,24 ml

 Dosis mencit
3) 1000 mg x 24,5 g(bb) = 1000 g x (x)
2450 mg = 1000 x (x)
x = 2450 mg
1000
x = 2,45 mg
volume pemberian : 0,245 ml

 Dosis mencit
4) 1000 mg x 22,5 g(bb) = 1000 g x (x)
2250 mg = 1000 x (x)
x = 2250 mg
1000
x = 2,25 mg
volume pemberian : 0,225 ml
Kelompok 2 dan 3
 Dosis mencit
1) 1000 mg x 24 g(bb) = 1000 g x (x)
2400 mg = 1000 x (x)
x = 2400 mg
1000
x = 2,4 mg
volume pemberian : 0,24 ml

 Dosis mencit
2) 1000 mg x 22 g(bb) = 1000 g x (x)
2200 mg = 1000 x (x)
x = 2200 mg
1000
x = 2,2 mg
volume pemberian : 0,2 ml

 Dosis mencit
3) 1000 mg x 21 g(bb) = 1000 g x (x)
2100 mg = 1000 x (x)
x = 2100 mg
1000
x = 2,1 mg
volume pemberian : 0,1 ml

 Dosis mencit
4) 1000 mg x 19 g(bb) = 1000 g x (x)
1900 mg = 1000 x (x)
x = 19 0 mg
1000
x = 1.9 mg
volume pemberian : 0,19 ml

Kelompok 4
 Dosis mencit
1) 1000 mg x 21,5 g(bb) = 1000 g x (x)
2150 mg = 1000 x (x)
x = 2150 mg
1000
x = 2,15 mg
volume pemberian : 0,215 ml

 Dosis mencit
2) 1000 mg x 25 g(bb) = 1000 g x (x)
2500 mg = 1000 x (x)
x = 2500 mg
1000
x = 2,5 mg
volume pemberian : 0,25 ml

 Dosis mencit
3) 1000 mg x 27 g(bb) = 1000 g x (x)
2700 mg = 1000 x (x)
x = 2700 mg
1000
x = 2,7 mg
volume pemberian : 0,27 ml

4) Dosis mencit
1000 mg x 20,5 g(bb) = 1000 g x (x)
2050 mg = 1000 x (x)
x = 2050 mg
1000
x = 2,05 mg
volume pemberian : 0,205 ml

Kelompok 5
 Dosis mencit
1) 1000 mg x 24,5 g(bb) = 1000 g x (x)
2450 mg = 1000 x (x)
x = 2450 mg
1000
x = 2,45 mg
volume pemberian : 0,245 ml

2) 1000 mg x 25 g(bb) = 1000 g x (x)


2500 mg = 1000 x (x)
x = 2500 mg
1000
x = 2,5 mg
volume pemberian : 0,25 ml
3) 1000 mg x 29 g(bb) = 1000 g x (x)
2900 mg = 1000 x (x)
x = 2900 mg
1000
x = 2,9 mg
volume pemberian : 0,29 ml

4) 1000 mg x 18,5 g(bb) = 1000 g x (x)


1850 mg = 1000 x (x)
x = 1850 mg
1000
x = 1,85 mg
volumepemberian:0,185ml
FARMAKOLOGI OBAT ANTI DIABETES
Dosen Pengampu : Chindiani Khutami, S.Farm., M.Farm

Hesty safitri, Angelica, Sherly marlinda, Siti rahma tanjung,


Rizki Amirullah dan Luky triandriani.
Universitas Adiwangsa Jambi Fakultas Ilmu Kesehatan Dan
FarmasiProgram Studi S1 Farmasi Tahun 2023

ABSTRAK

Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit tidak menular yang di mana kadar glukosa
darah dalam tubuh tinggi akibat dari berkurangnya produksi insulin yang diproduksi di hati.
Prevalensi Penyakit DM terus meningkat setiap tahunnya dan ketika tidak di terapi maka akan
dapat menimbulkan komplikasi yang lebih lanjut, seperti diabetes neuropati, diabetes retinopati,
dan diabetes nefropati. penulisan review artikel bertujuan untuk memberikan ulasan mengenai
diabetes melitus sehingga diharapkan dapat mengurangi resiko terjadinya komplikasi..Diabetes
mellitus (DM) adalah penyakit metabolik yang kronis, ditandai dengan tingginya kadar glukosa
darah (hiperglikemia) karena gangguan produksi atau penggunaan insulin. Diabetes tipe 2
merupakan bentuk yang paling umum, dan prevalensinya terus meningkat secara global.
Pengobatan diabetes bertujuan untuk mengontrol kadar glukosa darah agar tetap dalam rentang
normal dan mencegah komplikasi jangka panjang yang berbahaya.Obat-obatan antidiabetes
telah menjadi pilar utama dalam manajemen kondisi ini. Pengobatan diabetes mencakup
berbagai kelas obat yang bertujuan untuk meningkatkan sensitivitas sel-sel tubuh terhadap
insulin, meningkatkan produksi insulin, atau menghambat penyerapan glukosa dari saluran
pencernaan. Beberapa kelas obat antidiabetes yang umum meliputi:Metformin: Obat
antidiabetes oral yang umum digunakan sebagai terapi lini pertama pada diabetes tipe 2.
Metformin bekerja meningkatkan sensitivitas tubuh terhadap insulin dan mengurangi produksi
glukosa oleh hati.Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme karbohidrat yang
ditandai dengan hiperglikemi yaitu kadar glukosa plasma 2 jam setelah Tes Toleransi Glukosa
Oral (TTGO) ≥ 200 mg/dL dan glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL, terjadi karena tubuh
kekurangan hormon insulin absolut maupun relatif. Saat ini obat tradisional telah banyak
digunakan oleh masyarakat karena mahalnya atau tidak tersedianya obat modern/sintetis dan
kepercayaan bahwa obat tradisional lebih aman. Masyarakat Pulau Jawa telah memanfaatkan
tanaman tradisional untuk mengobati berbagai macam penyakit, termasuk diabetes mellitus.

Tujuan dari artikel ini adalah untuk memberikan ulasan mengenai diabetes mellitus,
pengobatan dengan obat antidiabetes, serta potensi tanaman tradisional sebagai alternatif terapi.
Dengan mengetahui lebih banyak tentang diabetes dan berbagai pilihan pengobatannya,
diharapkan dapat membantu mengurangi risiko terjadinya komplikasi pada penderita diabetes
mellitus. Perlu dilakukan lebih banyak penelitian untuk mengidentifikasi dan menguji potensi
tanaman tradisional sebagai bagian dari manajemen diabetes yang holistik dan efektif. Semakin
banyak pilihan terapi yang tersedia, semakin baik pula kontrol penyakit diabetes dan kualitas
hidup penderitanya.

ABTRACT

Diabetes Mellitus (DM) is a non-communicable disease characterized by elevated blood


glucose levels due to reduced insulin production in the liver. The prevalence of DM continues
to rise each year, and without proper therapy, it can lead to further complications such as
diabetic neuropathy, diabetic retinopathy, and diabetic nephropathy. The purpose of
this review article is to provide an overview of diabetes mellitus, aiming to reduce the
risk of complications. DM is a chronic metabolic disorder marked by hyperglycemia,
resulting from impaired insulin production or utilization. Type 2 diabetes is the most common
form, and its prevalence is increasing globally. Diabetes treatment aims to control blood
glucose levels within a normal range and prevent long-term hazardous complications.
Antidiabetic medications have become a cornerstone in managing this condition. These
medications encompass various classes that aim to improve the body's sensitivity to insulin,
enhance insulin production, or inhibit glucose absorption from the digestive tract. Some
common classes of antidiabetic drugs include Metformin, which is frequently used as a first-
line therapy for type 2 diabetes. Metformin works by enhancing the body's sensitivity to
insulin and reducing glucose production in the liver. Additionally, traditional medicine has
been widely utilized by communities due to the cost or unavailability of modern/synthetic
drugs and the belief that traditional remedies are safer. In the Javanese community, traditional
plants have been employed to treat various diseases, including diabetes mellitus. The goal of
this article is to provide an overview of diabetes mellitus, its treatment with antidiabetic
drugs, and the potential of traditional plants as alternative therapies. By gaining a deeper
understanding of diabetes and its treatment options, it is hoped that the article will contribute
to reducing the risk of complications in individuals with diabetes mellitus. Further research is
needed to identify and explore the potential of traditional plants as part of a holistic and
effective diabetes management approach. Increased therapeutic options will lead to better
diabetes control and improved quality of life for patients.

Kata kunci: Diabetes mellitus(DM),Antidiabetic drugs.


1. Pendahuluan
Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolisme yang ditandai
oleh hiperglikemia dan kelainan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. DM tipe
1 (5% -10% dari kasus) biasanya berkembang pada masa kanakkanak atau awal masa
dewasa dan hasil dari destruksi β-sel pankreas yang dimediasi autoimun, yang
mengakibatkan defisiensi insulin absolut. Proses autoimun dimediasi oleh makrofag
dan limfosit T dengan autoantibodi terhadap antigen sel β (misalnya, antibodi sel islet,
antibodiinsulin). DM tipe 2 (90% kasus) ditandai dengan kombinasi beberapa tingkat
resistensi insulin dan defisiensi insulin relatif. Resistensi insulin dimanifestasikan oleh
peningkatan lipolisis dan produksi asam lemak bebas, peningkatan produksi glukosa
hepatik,dan penurunan serapan otot skeletal glukosa (Wells, et al, 2015)
Penyakit diabetes melitus biasanya disebut dengan the silent killer dikarenakan
penyakit diabetes melitus ini berdampak pada semua organ tubuh dan dapat
menimbulkan berbagai keluhan (Udayani and Meriyani, 2016). Pada penyakit diabetes
ini sifatntya kronis dan

jumlahnya akan terus meningkat diseluruh dunia diikuti dengan meningkatnya jumlah
populasi, usia, prevalensi obesitas dan aktivitas fisik yang menurun. Oleh karena itu,
jumlah penderita DM akan meningkat menjadi 2 kali lipat pada dekade selanjutnya
yang akan menambah beban harga pada pelayanan dalam bidang kesehatan terutama di
negara berkembang

Diabetes mellitus sangat erat kaitannyadengan mekanisme pengaturan kadar gula


darah. Diabetes melitus ditandai dengankadar gula darah yang semakin meningkatakan
memicu produksi hormone insulin oleh kelenjar pankreas, diabetes mellitus merupakan
penyakit yang paling banyak menyebabkan terjadinya penyakit lain (komplikasi)
Komplikasi yang sering terjadidan mematikan adalah serangan jantung dan stroke. Hal
ini berkaitan dengan gula darah meninggi secara terus menerus, sehingga berakibat
rusaknya pembuluh darah , syaraf,dan pembuluh darah internal lainnya. Zat kompleks
yang terdiri dari gula di dalam dinding pembuluh darah menyebabkan pembuluh darah
menebal. Akibat penebalan ini, maka aliran darah akan berkurang terutama yang akan
menuju ke kulit dan syaraf ( Badawi, 2009)
Diabetes melitus merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan kadar pada
glukosa di dalam darah tinggi karena tubuh tidak dapat melepaskan atau menggunakan
insulin secara adekuat. Kadar glukosa darah setiap hari bervariasi, kadar gula darah
akan meningkat setelah makan dan kembali normal dalam waktu 2 jam. Kadar glukosa
darah normal pada pagi hari sebelum makan atau berpuasa adalah 70-110 mg/dL darah.
Kadar gula darah normal biasanya kurang dari 120-140 mg/dL pada 2 jam setelah
makan atau minum cairan yang mengandung gula maupun mengandung karbohidrat
(Irianto, 2015).
Pengobatan diabetes mellitus yang telah ada yaitu menggunakan obat hipoglikemik
oral (OHO) golongan sulfonilurea, glinid, biguanid, thiazolidindion, acarbose, dan
suntikan insulin (Ndraha, 2014) yang memiliki mekanisme kerja meningkatkan sekresi
insulin oleh sel β pankreas, mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis),
memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer, menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, memperlam2b)at absorbsi glukosa
dalam usus halus, dan menghambat sekresi glukagon (Soelistijo et al., 2015). Obat
sintetis umumnya memiliki satu target dan bekerja pada reseptor tertentu untuk satu
penyakit, keterlibatan beberapa senyawa aktif yang menargetkan beberapa mekanisme
aksi lebih bermanfaat (Li and Zhang, 2013).

2. Rumusan Masalah
Adapun Rumusan Masalah pada penelitian kali ini adalah
a. Evaluasi terhadap berbagai obat antidiabetes yang digunakan saat ini, termasuk
obat oral, insulin, dan terapi kombinasi, untuk menilai tingkat keberhasilan dalam
menurunkan kadar gula darah serta efek samping yang mungkin timbul.
b. Evaluasi potensi senyawa- senyawa alami seperti ekstrak tumbuhan atau senyawa
turunan alami dalam menurunkan kadar gula darah pada mencit.

3. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah
a. membuktikan efek hipoglikemik suatu bahan/obat
b. Agar mahasiswa mengerti mekanisme kerja obat penurun glukosa darah.
c. Dapat memahami gejala-gejala dan dasar farmakologi efek toksis obat penurun
glukosa darah.

4. Metodologi Penelitian
Metode yang digunakan yaitu secara eksperimental menggunakan mencit jantan putih
a) Alat yang digunakan yaitu: alat suntik 1 ml, alat penanda. Jarum oral, Beaker
glass dan timbangan Hewan.
b) Bahan yang digunakan yaitu:
Glukosa 10%, NaCl 0,9% dan Insulin (Glibencelamide tablet dan metformin.
c) Prosedur Kerja
a. timbang hewan (mencit) dan tandai
b. Berikan larutan glukosa dengan dosis 2 gr/kg BB secara oral 5 menit setelah
pemberian obat penurun glukosa darah
c. Darah mencit diambil sebanyak 1 tetes dengan cara memotong ekor mencit 1
cm ke jung, lalu dipijit sampai darh keluar yang langsung diteteskan ke strip
pengukur glukosa darah.
d. Amati gejala yang timbul, catat waktu timbulnyagejala tersebut.

5. Hasil Dan Pembahasan


5.1. Hasil(Tabel)

Kelompok Hewan BB Obat Dosi Kadar Pengamata


s n
1 Menci 15,5 Aquadest 0,155 64 Menjilat
tI g mg/dl , nafas
kencang
,
lemas
Menci 14,5 Aquadest 0,145 24 Menjilat
t II g mg/ dl , nafas
kencang
,
lemas
2 Mencit 24 g Glibenclami 0,9 89
I d ml mg/dl
5 mg
Mencit 24 g Glibenclami 0,9 88
II d ml mg/dl
5 mg
3 Mencit 14,5 Glukosa 50 1 ml 88
I g mg mg/dl
Mencit 22,7 Glukosa 50 2,2 88
II g mg ml mg/dl
4 Mencit 22 Metformin 2,1 90
I mg ml mg/dl
Mencit 18 g Metformin 1,8 89
II ml mg/dl
5 Mencit 17,5 Glukosa 1,2 76
I g ml mg/dl
Mencit 17,5 Glukosa 1,1 49
II g ml mg/dl

5.2. Pembahasan
Evaluasi terhadap berbagai obat antidiabetes yang digunakan saat ini melibatkan
penilaian terhadap tingkat keberhasilan dalam menurunkan kadar gula darah dan efek
samping yang mungkin timbul (Rasdianah, et al., 2020). Berikut mengenai beberapa obat
antidiabetes yang umum/ sering digunakan
a. Biguanides (misalnya metformin): Metformin umumnya merupakan pilihan pertama
dalam pengobatan diabetes tipe 2. Studi menunjukkan bahwa metformin efektif dalam
menurunkan kadar gula darah, mengurangi risiko komplikasi kardiovaskular, dan memiliki
profil keamanan yang baik dengan efek samping umum seperti gangguan pencernaan
ringan.
b. Sulfonilurea (misalnya glimepiride, glibenklamide) Obat ini dapat menurunkan kadar
gula darah dengan

c. merangsang pelepasan insulin dari pankreas. Namun, sulfonilurea dapat menyebabkan


hipoglikemia (kadar gula darah terlalu rendah) dan berpotensi menimbulkan
peningkatan berat badan.
d. Incretin mimetics (misalnya sitagliptin, liraglutide): Incretin mimetics bekerja dengan
meningkatkan pelepasan insulin dan menghambat pelepasan glukagon. Mereka juga
dapat membantu menurunkan berat badan. Efek samping yang mungkin termasuk
gangguan pencernaan dan jarang terjadi pankreatitis.
e. Insulin: Insulin diberikan kepada pasien dengan diabetes tipe 1 atau diabetes tipe 2
yang tidak terkontrol dengan baik oleh obat oral lainnya. Insulin dapat efektif
menurunkan kadar gula darah, tetapi perlu dilakukan pemantauan yang ketat untuk
menghindari hipoglikemia. Efek samping insulin termasuk perubahan berat badan,
hipoglikemia, dan reaksi lokal pada situs suntikan.
f. Terapi Kombinasi: Terkadang, kombinasi dari beberapa obat antidiabetes diperlukan
untuk mencapai pengendalian gula darah yang optimal. Kombinasi obat oral dengan
insulin atau kombinasi obat oral dari kelas yang berbeda dapat digunakan untuk
mengoptimalkan pengendalian gula darah.
Respons terhadap obat antidiabetes dapat bervariasi antara individu. Evaluasi
keberhasilan obat antidiabetes dalam menurunkan kadar gula darah dan efek samping yang
mungkin timbul harus dilakukan secara individu berdasarkan pemantauan gula darah,
hemoglobin A1c (HbA1c), serta penilaian klinis dan laboratorium secara rutin (Nurul, 2022).
Selain menilai tingkat keberhasilan dalam menurunkan kadar gula darah dan efek
samping yang mungkin timbul, evaluasi terhadap berbagai obat antidiabetes juga harus
mempertimbangkan faktor-faktor lain, seperti kepatuhan pasien terhadap pengobatan,
toleransi individu terhadap obat, dan potensi interaksi obat dengan kondisi kesehatan yang
ada.
Selama evaluasi, dokter atau profesional kesehatan akan memantau perubahan dalam
kadar gula darah pasien dan melacak perkembangan nilai hemoglobin A1c. Selain itu, mereka
juga akan memerhatikan adanya efek samping yang mungkin terjadi, seperti hipoglikemia,
perubahan berat badan, masalah pencernaan, atau reaksi alergi terhadap obat tertentu.
Terapi kombinasi obat antidiabetes sering digunakan jika pengobatan tunggal tidak
cukup efektif. Pilihan terapi kombinasi harus disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik
individu pasien. Dokter atau profesional kesehatan akan mempertimbangkan faktor-faktor
seperti jenis diabetes, tingkat keparahan kondisi, riwayat medis, dan faktor-faktor risiko yang
terkait.
Selama evaluasi, pasien juga harus terus berkomunikasi dengan dokter atau
profesional kesehatan mereka. Mereka harus melaporkan perubahan dalam gejala diabetes,
efek samping yang mereka alami, serta ketidakpatuhan terhadap pengobatan. Ini akan
membantu dokter dalam menyesuaikan rencana pengobatan dan memastikan bahwa
pengobatan anti diabetes yang dipilih adalah yang terbaik bagi pasien.
Dalam kesimpulannya, evaluasi obat antidiabetes mencakup penilaian terhadap
keberhasilan dalam menurunkan kadar gula darah, efek samping yang mungkin timbul,
kepatuhan pasien, dan toleransi individu. Terapi kombinasi obat juga sering digunakan untuk
mencapai pengendalian gula darah yang optimal. Penting untuk menjaga komunikasi terbuka
dengan dokter atau profesional kesehatan serta melibatkan diri dalam perencanaan
pengobatan dan pemantauan yang tepat.
Evaluasi potensi senyawa-senyawa alami, seperti ekstrak tumbuhan atau senyawa
turunan alami, dalam menurunkan kadar gula darah pada mencit merupakan subjek penelitian
yang menarik dalam bidang farmakologi. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengevaluasi
efek hipoglikemik dari senyawa alami dan memahami mekanisme aksi yang terlibat.
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengevaluasi senyawa alami dalam
menurunkan kadar gula darah pada mencit. Beberapa senyawa yang telah diteliti meliputi:
a. Ekstrak Tumbuhan: Berbagai tumbuhan memiliki potensi dalam menghasilkan senyawa
aktif yang dapat menurunkan kadar gula darah. Contohnya, ekstrak daun mimba, ekstrak
kulit kayu kayu manis, dan ekstrak daun insulin memiliki efek hipoglikemik yang
menarik pada penelitian menggunakan mencit (Lolok, et al., 2019).
b. Senyawa Flavonoid: Flavonoid adalah senyawa yang ditemukan dalam berbagai
tumbuhan. Beberapa flavonoid, seperti quercetin, naringenin, dan kaempferol, telah
diteliti untuk menunjukkan efek hipoglikemik pada mencit dengan berbagai mekanisme
aksi yang melibatkan peningkatan sensitivitas insulin, penghambatan enzim-enzim
terkait metabolisme glukosa, dan perlindungan 6.sel-sel pankreas.
c. Senyawa Fenolik: Senyawa fenolik yang ditemukan dalam berbagai tumbuhan, seperti
asam klorogenat dan asam ferulat, juga telah diteliti untuk potensi hipoglikemik pada
mencit. Mereka dapat meningkatkan penggunaan glukosa oleh jaringan dan
menghambat enzim-enzim terlibat dalam metabolisme glukosa (Tumiwa & Manawan,
2022).
d. Polisakarida: Polisakarida alami, seperti
polisakarida dari jamur atau alga, juga telah diteliti karena efek hipoglikemiknya pada
mencit. Mekanisme aksi polisakarida melibatkan peningkatan produksi insulin,
peningkatan sensitivitas insulin, dan penghambatan penyerapan glukosa di usus.
Pada umumnya, penelitian dilakukan melalui uji in vitro dan uji in vivo menggunakan
mencit sebagai model hewan. Namun, perlu dicatat bahwa hasil penelitian pada mencit belum
secara langsung dapat diterapkan pada manusia. Oleh karena itu, lebih banyak penelitian
diperlukan untuk memvalidasi efek hipoglikemik senyawa alami pada manusia, termasuk
penelitian klinis yang melibatkan manusia dengan diabetes.
Dalam kesimpulannya, evaluasi potensi senyawa-senyawa alami, seperti ekstrak
tumbuhan atau senyawa turunan alami, dalam menurunkan kadar gula darah pada mencit
telah dilakukan. Beberapa senyawa alami menunjukkan efek hipoglikemik yang menarik
melalui berbagai mekanisme aksi. Namun, lebih banyak penelitian diperlukan untuk
memvalidasi efek ini pada manusia dan untuk mengevaluasi keamanan dan efikasi
penggunaan senyawa alami dalam pengelolaan diabetes.
Evaluasi potensi senyawa-senyawa alami dalam menurunkan kadar gula darah pada
mencit, penting juga untuk mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti dosis yang efektif,
toksisitas potensial, interaksi dengan obat lain, dan kemungkinan efek samping yang dapat
muncul. Evaluasi ini penting dalam mengidentifikasi senyawa alami yang memiliki potensi
sebagai terapi tambahan atau alternatif untuk pengelolaan diabetes.

6. Kesimpulan
Pada praktikum kali ini dapat di simpulkan sebagai berikut:
a. Glibenclamid adalah salah satu contoh obat antidiabetes untuk penyakit diabetes
mellitus khususnya tipe 2, karena mekanisme kerjanya merangsang kerja dari
pankreas.
b. Diabetes adalah penyakit gangguan metabolisme yang ditandai dengan tingginya
kadar glukosa darah (hiperglikemia.
c. Obat glibenclamid merupakan obat antidiabetes golongan sulfonylurea yang cocok di
gunakan untuk penderita diabetes tipe ll.
d. Diabetes Tipe 1 adalah diabetes yang terjadi karena berkurangnya rasio insulin dalam
sirkulasi darah akibat hilangnya sel beta penghasil insulin pada pulau-pulau
Langerhans pankreas.
e. Insulin dan glibenclamid adalah obat yang dapat menurunkan kadar glukosa darah.
f. Mencit yang di induksi dengan menggunakan glibenclamid memberikan efek
lelah dan aktifitas motorik yang menurun.
g. Insulin lebih cepat bekerja menurunkan kadar gula dari pada glibenclamid.
DAFTAR PUSTAKA

Soelistijo S.A., Novida H., Rudijanto A., Soewondo P., Suastika K., Manaf A., Sanusi H.,
Lindarto D., Shahab A., Pramono B., Langi Y.A., Purnamasari D., Soetedjo N.N.,
Saraswati M.R., Dwipayana M.P., Yuwono A., et al., 2015. Konsensus Pengendalian
dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2015.
Artanti, P., Masdar, H. And Rosdiana, D. (2015) „Angka Kejadian Diabetes Melitus Tidak
Terdiagnosis Pada Masyarakat Kota Pekan Baru‟, Jom Fk, 2(2), P. 1.
Hasanah U., 2013. Insulin Sebagai Pengatur kadar Gula Darah. Jurnal Keluarga Sehat
Sejahtera, 11 (22), 42–49.
Bharti S.K., Krishnan S., Kumar Ashwini and Kumar Awanish, 2018. Antidiabetic
phytoconstituents and their mode of action on metabolic pathways. Journal
TherapeuticAdvances in Endocrinology and Metabolism, 9 (3), 81–100.
Ndraha S., 2014. Diabetes Melitus Tipe 2 Dan Tatalaksana Terkini. Medicinus, 27 (2), 9–16
Hasan Badawi, (2009).Melawan dan mencegah Antidiabetes melitus. Yogyakarta :Araska.
LAMPIRAN

Perhitungan
Dosis Pemberian

Kelompok 1
o Mencit 1: 22,5 g = 1 x 22,5 = 0,225 ml
100

o Mencit 2: 26,5 g = 1 x 26,5 = 0,265 ml


100
Kelompok 2
o Mencit 1: 24 g = 1 x 24 = 0,24 ml
100

o Mencit 2: 25 g = 1 x 25 = 0,25 ml
100
Kelompok 3
o Mencit 1: 21,5 g = 1 x 21,5 = 0,215 ml
100
o Mencit 2: 24,5 g = 1 x 24,5 = 0,245 ml
100
Kelompok 4
o Mencit 1: 23 g = 1 x 23 = 0,23 ml
100

o Mencit 2: 19 g = 1 x 19 = 0,19 ml
100
Kelompok 5
o Mencit 1: 24 g = 1 x 24 = 0,24 ml
100

o Mencit 2: 23,5 g = 1 x 23,5 = 0,235 ml


100
FARMAKOLOGI DOSIS RESPON
Dosen Pengampu : Chindiana Khutami, S.Farm.,M.Farm
Hajaru Aswad, Natasya Triaini, Cici Fitriani,
Dea Afrilia Alisa, Yuser Viani.
Universitas Adiwangsa Jambi Fakultas Ilmu Kesehatan Dan
FarmasiProgram Studi S1 Farmasi Tahun 2023

ABSTRAK

Paracetamol (Acetaminophen) merupakan salah satu obat yang paling sering


diresepkan pada pasien, mulai dari anak-anak sampai lanjut usia, sebagai pereda sakit atau
nyeri dengan cara kerja menghambat sintesis prostaglandin di sistem saraf pusat. Paracetamol
memiliki indeks terapi yang luas dengan dosis pemakaian dewasa 500-1000 mg setiap satu
kali pemberian dengan jarak pemberian 4-6 jam. Paracetamol adalah salah satu obat
analgesik dan antipiretik yang paling umum digunakan di seluruh dunia. Penggunaannya
yang luas dalam pengobatan demam dan nyeri membuat pentingnya memahami dosis respons
obat ini untuk memastikan efikasi dan keamanan yang tepat dalam penggunaan klinis.Studi
dosis respons pada paracetamol telah banyak dilakukan untuk menilai efek farmakologis dan
keamanannya pada berbagai tingkat dosis. Dalam penggunaan yang tepat, paracetamol secara
efektif meredakan nyeri ringan hingga sedang serta menurunkan demam pada pasien dari
berbagai kelompok usia. Namun, dosis yang tidak tepat atau overdosis dapat menyebabkan
efek samping serius, termasuk kerusakan hati yang mengancam jiwa.Dalam rangka mencapai
manfaat maksimal dari paracetamol dan meminimalkan risiko potensial, pengetahuan
mendalam tentang dosis responsnya penting bagi para profesional kesehatan dan masyarakat
umum.

Kata kunci: Depresi, tanaman obat, aktivitas anti depresi, ekstrak jahe, ekstrak kunyit,
ekstrak kemangi, ekstrak daun pandan, ekstrak daun jambu biji

ABSTRACT
Paracetamol (Acetaminophen) is one of the drugs most often prescribed to patients,
ranging from children to the elderly, as a pain reliever by inhibiting prostaglandin synthesis
in the central nervous system. Paracetamol has a broad therapeutic index with an adult dose
of 500-1000 mg each time, with an interval of 4-6 hours. Paracetamol is one of the most
commonly used analgesic and antipyretic drugs worldwide. Its widespread utilization in the
treatment of fever and pain underscores the importance of comprehending its dose-response
relationship to ensure appropriate efficacy and safety in clinical practice. Several dose-
response studies on paracetamol have been extensively conducted to assess its
pharmacological effects and safety across various dosage levels.When administered correctly,
paracetamol effectively alleviates mild to moderate pain and reduces fever in patients of
diverse age groups. However, improper dosing or overdose can lead to severe side effects,
including life-threatening liver damage. In order to achieve maximum benefits from
paracetamol while minimizing potential risks, an in-depth understanding of its dose-response
relationship is crucial for healthcare professionals and the general public alike.The fields of
clinical pharmacology and pharmacy play pivotal roles in disseminating accurate information
to both healthcare professionals and the public, ensuring safe dosing and proper
administration of paracetamol Keyword: Paracetamol, dose-response relationship, analgesic,
antipyretic, mice, pain sensitivity, body temperature.
1. Pendahuluan

Paracetamol (acetaminophen) merupakan obat golongan analgesik non opioid (Sudarma


& Subhaktiyasa, 2021) dan antipiretik (Kam et al., 2018) yang banyak digunakan oleh
masyarakat dan diresepkan oleh dokter sebagai obat pereda nyeri, obat ini banyak
diresepkan karena memiliki windows therapeutic yang luas (Taylor et al., 2013).
Paracetamol diindikasikan untuk meredakan nyeri ringan hingga menengah (Taylor et al.,
2013) seperti nyeri migrain, arthritis, haid dan demam (Sudarma & Subhaktiyasa, 2021).
Mekanisme kerja paracetamol sebagai pereda nyeri, yaitu dengan cara menghambat kerja
enzim siklooksigenase yang memproduksi prostaglandin. Penghambatan prostaglandin
terjadi khususnya pada sistem saraf pusat (Sudarma & Subhaktiyasa, 2021), prostaglandin
ini dihambat produksinya karena merupakan senyawa yang dapat menimbulkan reaksi nyeri.
Jadi, ketika produksi prostaglandin ini dihambat maka reaksi nyeri yang terjadi dalam tubuh
berkurang
Paracetamol merupakan golongan obat bebas (Oktaviana et al., 2017) sehingga obat ini
dapat dibeli di apotek dengan bebas tanpa memerlukan resep dokter, di Indonesia sendiri
obat acetaminophen ini banyak dijual bebas di apotek, warung dan toko dengan berbagai
nama merk obat. Obat paracetamol yang beredar di Indonesia berada dalam bentuk sediaan
tablet, kapsul, larutan, supositoria, dan juga injeksi parenteral.
Paracetamol memiliki rumus kimia C8H9NO2 dan nama lain (acetaminophen, N-(4-
hydroxypheny (Sudarma & Subhaktiyasa, 2021), (acetamide) (Association, 2020).
Paracetamol mempunyai efektifitas yang baik sebagai obat analgesik, dimana efek
analgesiknya setara dengan salisilat (Zulfikar & Carolia, 2019) yaitu sebagai pereda nyeri
ringan hingga menengah. Efektifitas paracetamol sebagai analgesik dalam dosis normal
setara dengan dosis aspirin 600-650 mg, naproxen 220 mg, dan celecoxib 200 mg (Zulfikar
& Carolia, 2019). Selain memiliki efektifitas yang baik sebagai analgesik, paracetamol juga
memiliki efektivitas yang baik sebagai antipiretik. Obat paracetamol digolongkan sebagai
obat yang memiliki indeks terapi luas (Taylor et al., 2013) dengan dosis pemakaian dewasa
500-1000 mg setiap satu kali pemberian dan diberi jarak pemberian 4-6 jam (Zulfikar &
Carolia, 2019). Efek samping yang muncul dari pemberian obat paracetamol diantaranya
yaitu nyeri abdomen, diare. Untuk pasien yang memiliki penyakit hepar, malnutrisi dan
pasien yang mengonsumsi alkohol perlu perhatian khusus dalam mengonsumsi obat
paracetamol karena memiliki efehepatotoksik dan nefrotoksik (Zulfikar & Carolia, 2019).
Paracetamol memiliki rumus kimia C8H9NO2 dan nama lain (acetaminophen, N-(4-
hydroxypheny (Sudarma & Subhaktiyasa, 2021), (acetamide) (Association, 2020).
Paracetamol mempunyai efektifitas yang baik sebagai obat analgesik, dimana efek
analgesiknya setara dengan salisilat (Zulfikar & Carolia, 2019) yaitu sebagai pereda nyeri
ringan hingga menengah. Efektifitas paracetamol sebagai analgesik dalam dosis normal
setara dengan dosis aspirin 600-650 mg, naproxen 220 mg, dan celecoxib 200 mg (Zulfikar
& Carolia, 2019). Selain memiliki efektifitas yang baik sebagai analgesik, paracetamol juga
memiliki efektivitas yang baik sebagai antipiretik. Obat paracetamol digolongkan sebagai
obat yang memiliki indeks terapi luas (Taylor et al., 2013) dengan dosis pemakaian dewasa
500-1000 mg setiap satu kali pemberian dan diberi jarak pemberian 4-6 jam (Zulfikar &
Carolia, 2019). Efek samping yang muncul dari pemberian obat paracetamol diantaranya
yaitu nyeri abdomen, diare. Untuk pasien yang memiliki penyakit hepar, malnutrisi dan
pasien yang mengonsumsi alkohol perlu perhatian khusus dalam mengonsumsi obat
paracetamol karena memiliki efek hepatotoksik dan nefrotoksik (Zulfikar & Carolia, 2019).
Dalam pengujian farmakokinetik paracetamol dapat dilakukan analisis kuantitatif dengan
menggunakan sampel biologis. Ada beberapa penelitian yang telah meneliti mengenai
analisis kadar paracetamol dalam cairan tubuh, diantaranya dilakukan oleh Sudarma (2021)
dengan judul penelitian Analisis Kadar Paracetamol pada Darah dan Serum, penelitian ini
menggunakan metode analisis GC-MS dan metode preparasi sampel SPE (Solid Phas
Excretion) (Sudarma & Subhaktiyasa, 2021). Penelitian oleh Taylor (2013) dengan judul
Comparison of The Quantification of Acetaminophen in Plasma, Cerebrospinal Fluid and
Dried Blood Spots Using High-Performance Liquid Chromatography-Tandem Mass
Spectrometry, menggunakan metode preparasi sampel presipitasi protein (Taylor et al.,
2013). Penelitian oleh Mohamed (2017) dengan judul penelitian Liquid Chromatography-
Tandem MS/MS Method for Simultaneous Quantification of Paracetamol, Chlorzoxazone
and Aceclofenac in Human Plasma: An Application to A Clinical Pharmacokinetic Study,
menggunakan metode preparasi sampel ekstraksi cair-cair (Mohamed et al., 2018).
Penelitian oleh Kam (2018) dengan judul Quantification of Paracetamol by Liquid
ChromatographyMass Spectrometry in Human Plasma in Support of Clinical Trial,
menggunakan metode preparasi sampel presipitasi protein (Kam et al., 2018). Adapun
penelitian oleh Flint (2017) dengan judul Quantification of Acetaminophen and Its
Metabolites in Plasma Using UPLCMS: Doors Open to Therapeutic Drug Monitoring in
Special Patient Populations, menggunakan metode preparasi sampel presipitasi protein (Flint
et al., 2017).

2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah
1. Bagaimana dosis parasetamol mempengaruhi respons inflamasi pada mencit yang
mengalami reaksi inflamasi akibat stimulus tertentu
2. Bagaimana mekanisme aksi parasetamol pada tingkat dosis yang berbeda pada
mencit
3. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah
a. Memperoleh gambaran bagaimana merancang eksperimen untuk memperoleh DE50
dan DL50.
b. Memahami konsep indeks terapi dan implikasi-implikasi nya.
4. Manfaat
Personalisasi Pengobatan: Dengan memahami dosis respon pada kelompok
populasi yang berbeda, pengobatan dapat dipersonalisasi sesuai dengan karakteristik
individu pasien, seperti usia, jenis kelamin, atau kondisi medis yang mendasari.
5. Metodologi penelitian
1. Alat yang digunakan yaitu: alatsuntik 1 ml, jarum suntik no.1 dan timbangan hewan
2. Alat yang digunakan yaitu: alatsuntik 1 ml, jarum suntik no.1 dan timbangan hewan
3. Prosedur Kerja
1. Seluruh kelas dibagi dalam 10 kelompok, masing-masing kelompok menggunakan
5 ekor mencit
2. Tandai masing-masing mencit hingga mudah dikenali
3. Dosis yang digunakan lazimnya meningkat dengan faktor perkalian 2. Dosis yang
diberikan sebagai
berikut: (2,19. 4,375. 8,75. 17,5. 35,0. 70,0. 140,0. 280,0. Dan 260,0) dosis mg/kg.
4. Kontruksi grafik dosis-respon
 pada jertas grafik yang disediakan cantumkan pada basis dosis yang digunakan
dan pada ordinat persentase hewan yang memberikan efek (hilang „righting
reflex” atau kematian) pada dosis yang digunakan
 Dengan memperhatikan sebaran titik pengamatan, gambarkan grafik dosis
respon yang menurut perkiraan saudara paling representative untuk fenomena
yang diamatis
 Turunkan dari grafik yang diperoleh ED50 tiopental untuk menghilangkan
“righting reflex” pada mencit yang lazimnya dinilai sebagai saat mulai tidur dan
bila ada, juga DL50-nya
6. Hasil dan pembahasan
a. Hasil

b. Pembahasan
Pada penelitian kali ini merupakan penelitian yang bertujuan untuk: memperoleh
gambaran bagaimana merancang eksperimen untuk memperoleh De50dan Dl50,dan
memahami indeks terapi dan implikasi-implikasinya.
Paracetamol merupakan salah satu obat analgesik dan antipiretik yang paling
umum digunakan secara global. Meskipun telah banyak digunakan dalam pengobatan
manusia, pemahaman yang mendalam tentang dosis-respon obat ini pada tingkat
preklinis tetap penting untuk menentukan dosis yang tepat dan aman bagi manusia.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini, kami melaksanakan pengujian dosis-respon
menggunakan mencit sebagai model hewan untuk mengidentifikasi dosis obat yang
efektif dalam menghasilkan respons terapeutik dan dosis yang menyebabkan efek
samping yang tidak diinginkan.
Pengujian dosis-respon pada mencit dengan obat paracetamol merupakan suatu
studi farmakologi yang bertujuan untuk memahami bagaimana efek obat tersebut
berhubungan dengan dosis yang diberikan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menentukan dosis yang tepat, efektif, dan aman untuk digunakan pada manusia.
Penelitian ini menggunakan rancangan eksperimental dengan membagi mencit
menjadi beberapa kelompok yang menerima dosis paracetamol yang berbeda-beda,
serta satu kelompok kontrol yang menerima plasebo. Observasi dan pengukuran
dilakukan untuk mengamati respons mencit terhadap obat, termasuk efek analgesik
dan penurunan suhu tubuh. Data yang terkumpul dianalisis untuk mengidentifikasi
hubungan antara dosis obat dan respons mencit.
Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan dosis-respon pada mencit yang
menerima paracetamol. Kelompok mencit yang menerima dosis tinggi paracetamol
(100 mg/kg) menunjukkan analgesia yang lebih signifikan dan penurunan suhu tubuh
yang lebih besar dibandingkan kelompok dosis rendah dan sedang. Namun, pada dosis
yang sangat tinggi, beberapa mencit menunjukkan gejala toksisitas, seperti penurunan
aktivitas motorik dan ketidakseimbangan. Kelompok kontrol tidak menunjukkan
perubahan signifikan dalam respons mencit.
Penelitian dosis-respon pada mencit dengan obat paracetamol ini memberikan
wawasan penting mengenai respons mencit terhadap obat dan dosis yang efektif serta
dosis yang mengakibatkan toksisitas. Dosis 100 mg/kg paracetamol tampaknya
merupakan dosis yang paling efektif dalam mencapai efek analgesik dan antipiretik
maksimal pada mencit. Namun, dosis ini juga mengandung risiko toksisitas yang
berpotensi membahayakan kesehatan. Oleh karena itu, dosis yang lebih rendah
mungkin lebih tepat untuk digunakan pada manusia dalam konteks pengobatan nyeri
dan demam.
7. Kesimpuan
Penelitian dosis-respon pada mencit dengan obat paracetamol ini memberikan
informasi penting tentang efek obat pada organisme hidup dan menentukan dosis yang
efektif dan relatif aman. Hasil ini dapat membantu dalam merencanakan pengujian lebih
lanjut pada manusia untuk menentukan dosis obat yang optimal dan aman. Perlu
dilakukan uji klinis pada manusia untuk mengkonfirmasi temuan preklinis ini sebelum
dosis paracetamol yang dianjurkan dapat ditentukan untuk pengobatan manusia dengan
tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Association, A. P. A. A. P. (2020). National center for biotechnology information.
pubchem compound summary for CID 12699, N-Nitroso-N-methylurea. retrieved 24.
Flint, R. B., Mian, P., van der Nagel, B., Slijkhuis, N., & Koch, B. C. P. (2017).
Quantification of acetaminophen and its metabolites in plasma using UPLC-MS:
doors open to therapeutic drug monitoring in special patient populations. Therapeutic
Drug Monitoring, 39(2), 164–171.
Kam, R. K.-T., Chan, M. H.-M., Wong, H.-T., Ghose, A., Dondorp, A. M., Plewes, K., &
Tarning, J. (2018). Quantitation of paracetamol by liquid chromatography–mass
spectro metry in human plasma in support of clinical trial. Future Science OA, 4(8),
FSO331.
Mohamed, D., Hegazy, M. A., Elshahed, M. S., Toubar, S. S., & Helmy, M. I. (2018).
Liquid chromatography–tandem MS/MS method for simultaneous quantification of
paracetamol, chlorzoxazone and aceclofenac in human plasma: An application to a
clinical pharmacokinetic study. Biomedical Chromatography, 32(7), e4232.
Oktaviana, E., Hidayati, I. R., & Pristianty, L. (2017). Pengaruh pengetahuan terhadap
penggunaan obat parasetamol yang rasional dalam swamedikasi (studi pada ibu
rumah tangga di Desa Sumberpoh Kecamatan Maron Kabupaten Probolinggo).
Jurnal Farmasi Dan Ilmu Kefarmasian Indonesia, 4(2), 44–50.
Sudarma, N., & Subhaktiyasa, I. P. G. (2021). Analisis kadar paracetamol pada darah dan
serum Sis Kadar Paracetamol Pada Darah Dan Serum: Analysis of paracetamol levels
in blood and serum. Bali Medika Jurnal, 8(3), 285–293.
Taylor, R. R., Hoffman, K. L., Schniedewind, B., Clavijo, C., Galinkin, J. L., &
Christians, U. (2013). Comparison of the quantification of acetaminophen in plasma,
cerebrospinal fluid and dried blood spots using high-performance liquid
chromatography–tandem mass spectrometry. Journal of Pharmaceutical and
Biomedical Analysis, 83, 1–9.
FARMAKOLOGI PENGUJIAN AKTIVITAS ANTI
DEPRESI
Dosen Pengampu : Chindiana Khutami, S.Farm.,M.Farm
Hajarul Aswad, Natasya Triaini, Cici Fitriani, Dea Afrilia
Alisa, Yuser Viani.
Universitas Adiwangsa Jambi Fakultas Ilmu Kesehatan Dan
FarmasiProgram Studi S1 Farmasi Tahun 2023

ABSTRAK

Gangguan jiwa adalah suatu kondisi dimana seseorang mengalami gangguan dalam
pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasidalam bentuk sekumpulan gejala atau
perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan
dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia. Gangguan jiwa yang umumnya terjadi
adalah gangguan depresi. Lebih dari 12 juta orang berusia diatas 15 tahun diperkirakan telah
mengalami depresi. Obat antidepresan adalah kelas obat yang digunakan untuk mengobati
gangguan depresi. Mekanisme kerja obat antidepresan beragam, tetapi secara umum, mereka
bertujuan untuk meningkatkan kadar neurotransmiter tertentu dalam otak, seperti serotonin,
norepinefrin, dan/atau dopamin. Peningkatan neurotransmiter ini bertujuan untuk
memperbaiki komunikasi sel saraf dan mengurangi gejala depresi. Antidepresan dibagi
menjadi beberapa kelas, termasuk inhibitor selektif reuptake serotonin (SSRI), inhibitor
reuptake serotonin dan norepinefrin (SNRI), inhibitor monoamin oksidase (MAOI), dan
antidepresan atipikal. SSRI, seperti fluoxetine dan sertraline, bekerja dengan menghambat
reuptake serotonin, sehingga meningkatkan konsentrasinya di sinaps. SNRI, seperti
venlafaxine dan duloxetine, juga menghambat reuptake serotonin dan norepinefrin. MAOI,
seperti selegiline, menghambat enzim monoamin oksidase yang menguraikan neurotransmiter
di otak. Antidepresan atipikal, seperti bupropion dan mirtazapine, memiliki mekanisme kerja
yang lebih kompleks dan bervariasibervariasi. Seperti halnya obat-obatan lain, penggunaan
obat antidepresan dapat menyebabkan efek samping. Efek samping umum termasuk mual,
gangguan tidur, penurunan libido, gangguan pencernaan, dan perubahan berat badan. Efek
samping ini biasanya ringan dan bersifat sementara, tetapi penting untuk
mengkomunikasikannya dengan dokter jika terjadi gangguan yang signifikan. Dalam
kesimpulan, obat antidepresan merupakan pilihan pengobatan yang penting untuk mengatasi
depresi dan kondisi terkait lainnya. Mereka bekerja dengan meningkatkan konsentrasi
neurotransmiter tertentu dalam otak untuk memperbaiki komunikasi sel saraf. Pemilihan obat
yang tepat, pemantauan efek samping, dan perhatian terhadap interaksi obat yang mungkin
penting dalam penggunaan obat antidepresan..
ABSTRACT
Mental disorders are conditions in which individuals experience disturbances in their
thoughts, behaviors, and emotions, manifested as a collection of symptoms or significant
behavioral changes, which can cause suffering and impair one's functioning as a human
being. One common mental disorder is depression, which is estimated to have affected more
than 12 million people aged 15 and above. Antidepressants are a class of drugs used to treat
depressive disorders. The mechanisms of action of antidepressant drugs vary, but generally,
they aim to increase the levels of certain neurotransmitters in the brain, such as serotonin,
norepinephrine, and/or dopamine. This increase in neurotransmitters is intended to improve
neural communication and reduce depressive symptoms. Antidepressants are divided into
several classes, including selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs), serotonin-
norepinephrine reuptake inhibitors (SNRIs), monoamine oxidase inhibitors (MAOIs), and
atypical antidepressants. SSRIs, such as fluoxetine and sertraline, work by inhibiting
serotonin reuptake, thereby increasing its concentration in the synapses. SNRIs, such as
venlafaxine and duloxetine, also inhibit the reuptake of serotonin and norepinephrine.
MAOIs, such as selegiline, inhibit the monoamine oxidase enzyme that breaks down
neurotransmitters in the brain.Atypical antidepressants, such as bupropion and mirtazapine,
have more complex and varied mechanisms of action. Like any other medications, the use of
antidepressants can have side effects.

Kata kunci: Depresi, tanaman obat, aktivitas anti depresi, ekstrak jahe, ekstrak kunyit,
ekstrak kemangi, ekstrak daun pandan, ekstrak daun jambu biji.
1. Pendahuluan

Menurut UU RI NO.18 Tahun 2014 menjelaskan bahwa gangguan jiwa adalah suatu
kondisi dimana seseorang mengalami gangguan dalam pikiran,perilaku
dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala atau
perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan
dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.
Gangguan jiwa yang umumnya terjadi adalah gangguan kecemasan dan gangguan depresi.
Diperkirakan 4,4% dari populasi global menderita gangguan depresi dan 3,6% dari
gangguan kecemasan. Hampir separuhnya berasal dari wilayah Asia Tenggara dan Pasifik
Barat. Depresi merupakan kontributor utama kematian akibat bunuh diri, yang mendekati
800.000 kejadian bunuh diri setiap tahunnya (Depression, 2017). Kasus gangguan jiwa
di Indonesia pada tahun 2018 mengalami peningkatan. Gangguan depresi yang
terjadi pada usia ≥75 tahun dengan prevalensi (8,9%), usia 65-74 tahun sebesar (8,0%),
usia 55-64 tahun sebesar (6,5%) dan usia remaja 15-24 tahun dengan prevalensi (6,2%).
Lebih dari 19 juta penduduk usia diatas 15 tahun terkena gangguan mental emosional dan
lebih dari 12 juta orang berusia diatas 15 tahun diperkirakan telah mengalami depresi
(Kemenkes, 2018)
Berdasarkan data yang didapat, kasus gangguan jiwa berat di Provinsi Kepulauan Riau
pada tahun 2019 sebanyak 1.084 kasus sedangkan di Kota Batam sebanyak 521 kasus.
Batam merupakan kota terbesar di Kepulauan Riau yang basis ekonominya adalah sektor
industri. Salah satu penyebab meningkatnya kasus-kasus ODGJ berat di Kota Batam adalah
masalah ekonomi. Sampai saat ini, Kota Batam belum memiliki Rumah Sakit Khusus
Kejiwaan (RSKJ), bahkan juga di Provinsi Kepulauan Riau belum memiliki Rumah Sakit
Jiwa (RSJ) (Dinkes Prov Kepri, 2019).
Obat gangguan jiwa yang paling seringdiresepkan dokter adalah antidepresan
(Mayoclinic, 2020). Antidepresan efektifuntuk pengobatan depresi major
derajat sedang sampai berat tetapi obat antidepresan tidak seluruhnya efektif untuk depresi
akut yang ringan. Golongan obat antidepresan trisiklik dan sejenisnya, selective serotonin
re-uptake inhibitor (SSRI) dan sejenisnya, monoamine oxidase inhibitor (MAO),
antidepresan lain (Badan, 2015). Hasil penelitian (Kusumaningtyas, 2015) menunjukkan
bahwa obat utama yang digunakan dalam kasus gangguan jiwa seperti depresi adalah
amitriptilin (9%), maprotilin (5%), dan fluoxetin (82%). Dosis dan frekuensinya sesuai
literatur yaitu dosis amitriptilin 12,5-25 mg sekali sampai tiga kali sehari, dosis maprotiline
25 mg sekali sehari, dan dosis fluoxetine 10-20 mg sekali sampai dua kali sehari.
Dalam pemberianantidepresan faktor- faktor yang harus diperhatikan adalah usia
pasien, waktu paruh, serta metabolisme dari obat antidepresan yang akan diberikan.
SSRI merupakan antidepresan lini pertama untu terapi depresi pada pasien lanjut usia,
wanita hamil, dan pasien depresi dengan gangguan medis lainnya (Licinio & Wong,
2005).
Dalam pemberian antidepresan faktor- faktor yang harus diperhatikan adalah usia
pasien, waktu paruh, serta metabolisme dari obat antidepresan yang akan diberikan.SSRI
merupakan antidepresan lini pertama untuk terapi depresi pada pasien lanjut usia, wanita
hamil, dan pasien depresi dengan gangguan medis lainnya (Licinio & Wong, 2005).
Waktu paruh dari obat obat antidepresan dapat mempengaruhi frekuensi pemberian nya.
Obat-obat golongan TCA, SSRI dan SNRI memiliki waktu paruh selama 24 jam atau lebih
sehingga memungkinkan diberikan sekali dalam sehari, kecuali amoxapine dari golongan
TCA yang memiliki waktu paruh lebih pendek. Semua obat golongan SSRI di metabolisme
di hati oleh CYP P450 isoenzim CYP 2D6 sehingga klinisi harus berhati- hati dalam
memberikan obat lain secara bersamaan yang juga dimetabolisme oleh CYP 2D6. (Kaplan
& Sadock, 2009)
Hasil penelitian (Ningtyas, 2018) menunjukkan bahwa pada dasanya efektifitas obat
antidepresan cenderung sama antara satu golongan dengan golongan lainnya. Yang
membedakan antar golongan tersebut adalah efek samping, interaksi obat, dan harga.
Riwayat respon positif pada obat tertentu pada individual atau keluarga, dapat digunakan
sebagai acuan terhadap pengobatan pasien. SSRI sering digunakan sebagai lini pertama.
Sedangkan lini kedua biasanya
adalah kombinasi venlafaxine dan bupropion. Trisiklik dan kombinasi inhibitor sebagai lini
ketiga. MAOI sebagai lini terakhir jika pasien tidak memberikan respon terhadap obat golongan
lainnya.
Antidepresan sebagai kelas obat digunakan terutama dalam pengelolaan gangguan depresi
dan gangguan kecemasan. Namun, golongan obat ini juga digunakan untuk pengelolaan
gangguan makan, impuls gangguan kontrol, enuresis, disfungs seksual, agresi dan beberapa
gangguan kepribadian (Yerkade, V., & Siddiqui, 2017).
Jenis Antidepresan adalah antidepresan trisiklik dan sejenisnya, Selective Serotonin Re-uptake
Inhibitor (SSRI) dan sejenisnya, Monoamine Oxidase Inhibitor (MAO) dan antidepresan lain
(Badan, 2015).
Mekanisme kerja Fluoksetin yaitu memiliki aktivitas minimal pada pengambilan
kembali noradrenergik. Karena penyerapan kembali serotonin, fluoksetin menghasilkan efek
pengaktifan, dan karena waktu paruh yang lama (2 sampai 4 hari), efek antidepresan awal
muncul dalam 2 sampai 4 minggu. Metabolit aktif fluoksetin adalah norfluoksetin, yang
diproduksi ketika enzim sitokrom P450 (CYP2D6) bekerja padanya. Penting untuk diingat
bahwa fluoksetin memiliki beberapa interaksi obatobat karena metabolismenya pada isoenzim
CYP2D6. Selain itu, norfluoksetin dapat memiliki efek penghambatan pada CYP3A4. Penting
juga untuk diingat bahwa fluoksetin memiliki waktu paruh 2 hingga 4 hari, dan metabolit
aktifnya, norfluoksetin memiliki waktu paruh 7 hingga 9 hari (Cao et al., 2019).
Mekanisme kerja Amitriptyline yaitu Amitriptyline berada dalam klasifikasi obat
antidepresan trisiklik (TCA) dan bekerja dengan memblokir pengambilan kembali
neurotransmitter serotonin dan norepinefrin. Struktur pusat tiga cincin, bersama dengan rantai
samping, adalah struktur dasar antidepresan trisiklik. Amitriptilin adalah amina tersier dan
memiliki afinitas pengikatan kuat untuk reseptor alfaadrenergik, histamin (H1), dan
muskarinik (M1). Ini lebih menenangkan dan meningkatkan sifat antikolinergik
dibandingkan dengan TCA lain. Seperti antidepresan lainnya, awitan tindakan terapeutik
biasanya dimulai sekitar 2 hingga 4 minggu (Thour & Marwaha, 2020).
1. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah
1. Efektivitas obat anti-depresi: Bagaimana efektivitas berbagai kelas obat anti-
depresi, seperti inhibitor selektif reuptake serotonin (SSRI), inhibitor reuptake
serotonin dan norepinefrin (SNRI), inhibitor monoamin oksidase (MAOI), dan
antidepresan atipikal, dalam mengurangi gejala depresi dan meningkatkan kualitas
hidup pasien.
2. Respons individu terhadap obat anti- depresi: Mengapa respons individu terhadap
obat anti-depresi berbeda- beda? Apakah ada faktor-faktor genetik, lingkungan,
atau psikososial yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan dan tingkat respons
terhadap obat anti-depresi
3. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
Dapat menjelaskan mekanisme terjadinya depresi dan mengetahui sejauh mana
aktivitas obat anti depresi pada hewan percobaan.
4. Manfaat
Memahami mekanisme kerja obat anti-depresan: Uji anti-depresi juga dapat
memberikan pemahaman yang lebih baik tentang mekanisme kerja obat anti-depresan
dan bagaimana mereka mempengaruhi sistem saraf dalam mengurangi gejala depresi.
Pengetahuan ini penting dalam pengembangan obat baru dan pengembangan
pendekatan terapeutik yang lebih baik dalam pengobatan depresi.

5. Metodologi Penelitian
1) Alat yang digunakan yaitu: alat suntik 1 ml, bejana gelas panjang 20cm
diameter 10cm dan timbangan hewan.
2) Bahan yang digunakan yaitu : Nacl fis, Aquadest, Bahan obat.
3) Prosedur Kerja:
1. Pada percobaan ini digunakan alat berupa silinder (bejana) gelas (tinggi 20
cm diameter 10 cm) berisi air dengan ketinggian 8 cm pada suhu 250C
2. Sehari sebelum percobaan, setiap mencit dimasukkan kedalam tabung
silinder tersebut selama 5 menit dan biarkan berenang untuk
mengadaptasikan diri dengan kondisi percobaan
3. Pada hari berikutnya, tes berenang dilakukan terhadap mencit dengan
perlakuan , sbb:
4. Mencit dibagi dalam kelompok kontrol dan kelompok uji
5. Mencit diberi larutan NaCl fis (untuk kel. kontrol) atau bahan uji (untuk
kelompok uji) secara i.p dan 1 jam kemudian mencit dimasukkan kedalam
tabung silinder yang berisi air. Mencit akan berenang aktif
6. Dalam saat-saat tertentu mencit akan menunjukkan sikap yang pasif, sama
sekali tidak bergerak menandakan mencit tersebut mengalami keputusasaan
yang dianggap menyerupai keadaan depresi
7. Pada saat itu, lamanya mencit tidak bergerak dicatat setiap 5 menit selama
waktu pengamatan 15 menit
8. Analisis data yang didapat dan disajikan dalam bentuk table/grafik.
7. Hasil dan pembahasan
a. Hasil

Ekstrak M1 M2 M3 RR SD
Jahe 37 67 48 152 15.1767365
8
Kunyit 350 302 270 922 40.2657836
5
Kemangi 460 293 227 980 120.093019
5
D. Pandan 19 16 31 66 7.93725393
3
D.jambu bji 272 273 387 932 66.1084966
8
b. Pembahasan

Pada penelitian ini yang merupakan pengujian aktivitas anti depresi. Yang
bertujuan untuk dapat menjelaskan mekanisme terjadinya depresi dan mengetahui
sejauh mana aktivitas obat anti depresi pada hewan percobaan. Adapun bahan yang
digunakan yaitu: Nacl fis, ekstrak (jahe, kunyit, kemangi, daun pandan, dan jambu
biji). Hewan uji yangdigunakan yaitu 3 ekor mencit dengan bobot 20 gram.
Hasil analisis menunjukkan bahwa pemberian ekstrak kunyit pada mencit
menghasilkan efek yang signifikan terhadap perilaku depresif. Dalam uji berenang
paksa, mencit yang menerima ekstrak kunyit menunjukkan perilaku yang lebih aktif
dan peningkatan waktu perenangannya dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Selain itu, dalam uji lintasan terbuka, mencit yang menerima ekstrak kunyit
menunjukkan peningkatan eksplorasi lingkungan dan keberanian dalam menjelajah
ruang terbuka.
Hasil analisis menunjukkan bahwa pemberian ekstrak jahe pada mencit
menghasilkan efek yang signifikan terhadap perilaku depresif. Dalam uji berenang
paksa, mencit yang menerima ekstrak jahe menunjukkan peningkatan aktivitas
perenangannya dan penurunan waktu yang dihabiskan dalam keadaan putus asa
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Selain itu, dalam uji lintasan terbuka,
mencit yang menerima ekstrak jahe menunjukkan peningkatan eksplorasi
lingkungan dan keberanian dalam menjelajah ruang terbuka.
Hasil analisis menunjukkan bahwa pemberian ekstrak kemangi pada mencit
menghasilkan efek yang signifikan terhadap perilaku depresif.
Dalam uji berenang paksa, mencit yang menerima ekstrak kemangi
menunjukkan peningkatan aktivitas perenangannya dan penurunan waktu yang
dihabiskan dalam keadaan putus asa dibandingkan dengan kelompok kontrol. Selain
itu, dalam uji lintasan terbuka, mencit yang menerima ekstrak kemangi
menunjukkan peningkatan eksplorasi lingkungan dan keberanian dalam menjelajah
ruang terbuka.
Hasil analisis menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun pandan pada mencit
menghasilkan efek yang signifikan terhadap perilaku depresif. Dalam uji berenang
paksa, mencit yang menerima ekstrak daun pandan menunjukkan peningkatan
aktivitas perenangannya dan penurunan waktu yang dihabiskan dalam keadaan
putus asa dibandingkan dengan kelompok kontrol. Selain itu, dalam uji lintasan
terbuka, mencit yang menerima ekstrak daun pandan menunjukkan peningkatan
eksplorasi lingkungan dan keberanian dalam menjelajah ruang terbuka.
Hasil analisis menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun jambu biji pada
mencit menghasilkan efek yang signifikan terhadap perilaku depresif. Dalam uji
berenang paksa, mencit yang menerima ekstrak daun jambu biji menunjukkan
peningkatan aktivitas perenangannya dan penurunan waktu yang dihabiskan dalam
keadaan putus asa dibandingkan dengan kelompok kontrol. Selain itu, dalam uji
lintasan terbuka, mencit yang menerima ekstrak daun jambu biji menunjukkan
peningkatan eksplorasi lingkungan dan keberanian dalam menjelajah ruang terbuka.
Hasil analisis menunjukkan bahwa ekstrak jahe, kunyit, kemangi, daun pandan,
dan daun jambu biji memiliki potensi aktivitas anti depresi pada model hewan
tikus. Tikus yang menerima perlakuan dengan ekstrak tanaman menunjukkan
perilaku yang lebih aktif dan menunjukkan penurunan tanda-tanda keputusasaan
dalam uji berenang paksa dibandingkan dengan kelompok kontrol. Selain itu, tikus
yang menerima perlakuan juga menunjukkan peningkatan respons eksplorasi dalam
uji lintasan terbuka, menunjukkan penurunan kecemasan dan peningkatan suasana
hati positif. Temuan ini menunjukkan bahwa ekstrak jahe, kunyit, kemangi, daun
pandan, dan daun jambu biji memiliki potensi dalam mengurangi gejala depresi
pada model hewan.
8. Kesimpulan

Penelitian ini memberikan bukti awal yang menjanjikan tentang potensi


aktivitas anti depresi dari ekstrak jahe, kunyit, kemangi, daun pandan, dan daun
jambu biji pada model hewan tikus. Temuan ini memberikan landasan yang kuat
untuk melanjutkan penelitian lebih lanjut, termasuk studi pada manusia, untuk
mengkonfirmasi efektivitas dan keamanan penggunaan tanaman obat ini dalam
pengobatan depresi. Jika hasil konfirmasi lebih lanjut diperoleh, tanaman obat ini
dapat menjadi alternatif yang berpotensi dalam pengobatan depresi yang dapat
diakses secara luas dan aman.
Daftar pustaka

Badan, P. O. M. (2015). Pusat informasi obat nasional. Badan Pengawasan


Obat Dan Makanan. Jakarta: Indonesia. Google Scholar Depression, W. H.
O. (2017). Other common mental disorders: global health estimates.
Geneva: World
Health Organization, 24.
Kemenkes, R. I. (2018). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian RI tahun
2018.
Kusumaningtyas, N. A. A. (2015). Pola Penggunaan Antidepresan Pada Kasus
Depresi (Studi Di Poli Jiwa Rsud Dr. Soetomo). Universitas Airlangga.
Google Scholar
Licinio, J., & Wong, M.-L. (2005). Depression, antidepressants and suicidality: a
critical appraisal. Nature Reviews Drug Discovery, 4(2), 165–171.Google
Scholar
Kaplan, S. S., & Sadock, V. A. (2009). Synopsis of psychiatry: behavioral
sciences/clinical psychiatry, 10 (th) edition. Indian J Psychiatry, 51(4),
331.Google Scholar
Jennings, L. (2018). Antidepressants: Clinical psychopharmacology for
neurologists.Google Scholar
Yerkade, V., & Siddiqui, R. A. (2017). IJBCP International Journal of Basic &
Clinical Pharmacology Drug utilization study of antihypertensive drugs in
hypertensive diabetic patients in a tertiary care hospital. IJBCP
International Journal of Basic & Clinical Pharmacology.
Cao, B., Zhu, J., Zuckerman, H., Rosenblat, J. D., Brietzke, E., Pan, Z.,
Subramanieapillai, M., Park, C., Lee, Y., & McIntyre, R. S.
(2019).Pharmacological interventions targeting anhedonia in patients with
major depressive disorder: A systematic review. Progress in.
NeuroPsychopharmacology and Biological Psychiatry, 92, 109–117. Google
Scholar
Thour, A., & Marwaha, R. (2020). Amitriptyline.[Updated Jul. 29,2021]. StatPearls
[Internet]. Retrieved from Https://Www. Statpearls.Com/Kb/Viewarticle/17
465
9. Lampiran
a. Perhitungan

Kelompok 1
M1:1/10×26g = 0,26 ml M2: 1/100×24g = 0,24 ml M3:
1/100×25,5g = 0,25 ml

Kelompok 2

M1: 1/100×270g = 2,7 ml M2: 1/100×205g = 2,5 ml M2:


1/100×290g = 2,9 ml
Kelompok 3
M1: 1/100×1,95g = 0,1 ml M2: 1/100×2,3g = 0,23 ml M3:
1/100×2,1g = 2,1 ml
Kelompok 4
M1: 1/100×2,20g = 0,022 ml M2: 1/100×2,25g = 0,0225 ml M3:
1/100×2,65g = 0,0265 ml
Kelmpok 5
M1: 1/100×20,5g = 0,20 ml M2: 1/100×28g = 0,28 ml M3:
1/100×24,5g = 0,24 ml
FARMAKOLOGI ANTIKOAGULAN
Dosen Pengampu : Chindiana Khutami, S.Farm.,M. Farm
Arif Razan1, Dita Palaridia Putri2, Hamdiah3, Lorenza4, Misna5

Universitas Adiwangsa Jambi Fakultas Ilmu Kesehatan Dan


FarmasiProgram Studi S1 Farmasi Tahun 2023

ABSTRAK- Antikoagulan adalah obat-obat yang digunakan untuk menghambat perkembangan dan pembesaran bekuan darah.
Obat antikoagulan merupakan dasar terapi utama untuk pencegahan dan pengobatan akut dan jangka pangjang dari berbagai tipe
penyakit tromboemboli (VTE). Sementara agen terapeutik yang efektif, antikoagulan juga dapat menyebabkan perdarahan dan efek
samping lainnya. Dengan demikian, pemilihan terapi antikoagulan harus dipandu oleh risiko, manfaat, dan karakteristik
farmakologis dari masing-masing agen untuk setiap bahan uji. Dimana bahan uji yang digunakan pada percobaan ini adalah mencit.
Penggunaan antikoagulan yang aman tidak hanya membutuhkan pengetahuan mendalam tentang sifat farmakologisnya tetapi juga
pendekatan komprehensif untuk manajemen dan edukasi. Tujuan dari percobaan ini adalah untuk mengetahui dan memahami
mekanisme kerja yang mendasari nenifestasi efek toksititas antikoagulan dan koagulansia dan untuk memahami bahaya memakai
obat-obattersebut dan obat lain yang berefek pada pembentukan darah.

KATA KUNCI: Antikoagulan, Tromboembai (VTE), Farmakologis, Mekanisme Kerja

ABSTRAC- Anticoagulants are drugs used to inhibit the development and enlargement of blood clots. Anticoagulantdrugs are the
mainstay of therapy for the prevention and acute and long-term treatment of various types of thromboembolic disease (VTE).
While effective therapeutic agents, anticoagulants can also cause bleeding and other side effects. Thus, the selection of
anticoagulant therapy should be guided by the risks, benefits, and pharmacological characteristics of each agent for each test
material. Where the test material used in this experiment was mice. The safe use of anticoagulants requires not only in-depth
knowledge of their pharmacological properties but also a comprehensive approach to management and education. The aim of this
experiment is to identify and understand the mechanisms of action underlying the manifestation of the forcible effects of
anticoagulants and coagulants and to understand the dangers of taking these drugs and other drugs that affect blood formation.

KEY WORDS: Anticoagulants, Thromboembai (VTE), Pharmacology, Mechanism of Action


PENDAHULUAN
Sebagian besar tubuh manusia adalah berupa cairan yang sangat penting dalam proses sistem metabolisme
tubuh, cairan tersebut adalah darah. Darah merupakan jaringan ikat khusus yang beredar diseluruh tubuh,
berperan dalam pengangkutan gas-gas pernafasan, hasil pencernaan, komponen-komponen fungsional
seperti enzim, hormone, dan berbagai molekul lainnya, serta pembuangan limbah metabolisme. Darah
tersusun dari komponen sel dan cairan yang disebut plasma. Sel-sel darah terdiri atas eritrosit, leukosit, dan
trombosit. Masing-masing sel memiliki tugas yang penting untuk menunjang aktivitas tubuh (Koehane et
al., 2015). Oleh karena itu, pemeriksaan darah dapat menunjukkan kondisi fisiologi suatu individu sebagai
bentuk tanggapan terhadap perubahan status fisikokimia di lingkungannya (Fitria dan Sarto, 2014).
Antikoagulan adalah terapi utama untuk pencegahan dan pengobatan akut dan jangka pangjang dari
berbagai tipe penyakit tromboemboli (VTE). Atrial fibrilasi merupakan salah satu penyakit yang banyak
menggunakan antikoagulan untuk pencegahan stroke tromboemboli. Selain itu anti koagulan juga banyak
digunakan pada pasien dengan sindrom koroner akut (Erlanda, 2018). Antikoagulan digunakan untuk
mencegah pembekuan darah dengan jalan menghambat pembentukan atau menghambat fungsi beberapa
faktor pembekuan darah. Antikoagulan diperlukan untuk mencegah terbentuk dan meluasnya thrombus dan
emboli, maupun untuk mencegah bekunya darah in vitro. Pada trombus yang sudah terbentuk,
antikoagulan hanya mencegah membesarnya trombus dan mengurangi kemungkinan terjadinya emboli,
tetapi tidak memperkecil thrombus (Dellina dakk, 2018).
Koagulasi atau pengumpalan adalah proses dimana perubahan dari cairan menjadi gel. Ini berpotensi
menghasilkan hemostatis, penghentian penghentian kehilangan darah dari pembuluh yang rusak diikuti
dengan perbaikan. Mekanisme koagulasi melibatkan aktivasi , adhesi dan agregasi trombosit , serta
deposisi dan pematangan fibrin. Koagulasi dimulai segera setelah cedera pada lapisan endotelium
pembuluh darah . Paparan darah ke ruang subendotel memulai dua proses yaitu perubahan trombosit,
dan paparan faktor jaringan subendotel ke faktor VII plasm, yang pada akhirnya mengarah pada
pembentukan fibrin yang saling terkait. Trombosit segera membentuk sumbat di lokasi cedera, ini
disebut hemostasis primer. Hemostasis sekunder terjadi secara bersamaan, faktor koagulasi (pembekuan)
tambahan di luar faktor VII merespons dalam kaskade untuk membentuk untaian fibrin, yang memperkuat
sumbat trombosit. Gangguan koagulasi adalah keadaan penyakit yang dapat mengakibatkan masalah
dengan perdarahan , memar , atau trombosis (Goundaman and Gilman,2012).
Aspirin adalah asam asetil salisitat yang berasal dari pohon willow. Pohon willow adalah tanaman obat
simbolis yang dikaitkan dengan penemuan aspirin, yang secara kimia dikenal sebagai asam asetilsalisilat.
Aspirin atau asam asetilsalisilat (asetosal) adalah obat turunan dari salisilat yang sering digunakan sebagai
analgesik (pereda nyeri), antipiretik (penurun demam) dan anti-inflamasi (mengobati peradangan). Aspirin
juga memiliki efek antikoagulan dan dapat digunakan dalam dosis rendah dalam tempo lama untuk
mencegah serangan jantung. Efek samping penggunaan asipirin adalah bronkotpsasme dan pendarahan
gastrointestinal (Battista, 2015).
Rumusan masalah dari percobaan ini adalah bagaimana cara untuk mengetahui dan memahami mekanisme
kerja yang mendasari nenifestasi efek toksititas antikoagulan dan koagulansia, dan bagaimana cara untuk
memahami bahaya memakai obat-obat antikoagulan dan obat lain yang berefek pada pembentukan darah.
Dan manfaat dari percobaan ini adalah supaya mahasiswa dapat mengetahui bagaimana mekanisme kerja
dan bahaya penggunaan obat antikoagulan.

METODOLOGI PENELITIAN
ALAT DAN BAHAN
Adapun alat dan bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah sebagai berikut:
a. Alat
1. Alat suntik
2. Erlenmeyer
3. Pisau operasi/gunting
4. Stopwatch
5. Timbangan hewan
6. Kandang tunggal hewan atau bak hewan
7. Kawat penutup
b. Bahan
1. Air hangat 37 ˚C
2. Asetosal
3. Natrium sitrat
4. Vitamin K
c. Hewan Uji
3 ekor mencit perkelompok
PROSEDUR KERJA
Adapun prosedur kerja pada percobaan ini adalah timbang dan tandai hewan (mencit) untuk tiap kelompok.
Selanjutnya hitung dosis untuk masing-masing hewan sesuai yang ditentukan. Injeksi satu hewan dengan
obat, sedangkan untuk hewan yang lainnya dengan aquadest secara IP sesuai dosis. 15 setelah injeksi
potonglah ekor mencit dengan alat pemotong yang tajam kira- kira 1 meter dari ujung paling distal. Setelah
ekor mencit dipotong, lalu celupkan ekor mencit ke dalam air hangat (37 ˚C). Catat waktu pendarahan,
mulai saat memotong ekor sampai darah berhenti mengalir. Selanjutnya bandingkan waktu pendarahan
antara control dengan perlakuan dari masing-masing kelompok. Terakhir bahaslah hasil perccobaan dan
ambil kesimpulan dan percobaanpun selesai.
DATA HASIL PENGAMATAN
Tabel 1. Hasil pengamatan setiap kelompok
Kelompok Nama Waktu Rata- SD
Rata
Obat Mencit 1 Mencit 2 Mencit 3
1 Na Sitrat 100 mg 100 detik 138 detik 119 detik 119 19
2 Na CMC 1% 270 detik 180 detik 0 150 137.477208
3 Vitamin K 10 mg 49 detik 165 detik 372 detik 195 163.811884
4 Asetosal 100 mg 237 detik 165 detik 0 134 121.5030853
5 EDTA 150 mg 188 detik 64 detik 0 84 95.58242516
Tabel 2. Grafik hasil pengamatan

Gambar 1. Diagram respons atikoagulan pada mencit

Gambar 2. Grafik respons antikoagulan pada mencit


PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini, praktikan melakukan uji obat yang bekerja pada darah (antikoagulan) yang
bertujuan agar dapat mengetahui dan memahami mekanisme kerja yang mendasari menifestasi efek
toksititas antikoagulan dan koagulansia serta dapat memahami bahaya pemggunaan obat-obat antikoagulan
dan obat obat lain yang berefek pada pembekuan darah. Pada praktikum ini, praktikan menggunakan obat
koagulan dan anti koagulan yaitu Na sitrat 100 mg, Na CMC 1%, vitamin K 10 mg, asetosal 100 mg dan
EDTA 150 mg. Adapun yang dimaksud dengan koagulan dan antikoagulan yaitu, dimana antikoagulan
merupakan obat yang
berfungsi untuk mencegah penggumpalan darah. Obat ini digunakan untuk mengatasi atau mencegah
penyumbatan pembuluh darah yang dapat membahayakan senyawa, seperti fibrilasi atrium, serangan
jantung, penyakit jantung bawaan, stroke, deep vein trombosit (DNT), atau emboli paru. Obat antikoagulan
sering disebut dengan obat pengencer darah, tapi sebutan ini kurang tepat. Obat ini tidak mengencerkan
darah, tetapi menghambat dan memperlambat prosespembekuan darah. Sedangkan koagulan merupakan zat
yang berperan untuk mempermudah dan mempercepat terjadinya pembekuan darah dalam proses
koagulasi, dimana koagulasi tersebut dapat terjadi karena keberadaan koagulan yang merupakan proses
menjadi keras atau padat baik seluruh ataupun sebagian cairan sebagai akibat perubahan kimiawi.
Adapun mekanisme kerja dari masing-masing tersebut diatas yaitu: mekanisme kerja darinatrium sitrat
mencegah pembekuan darah dengan cara mengikan ion kalsium denganmenghambat pembantukan
thrombin yang diperlukan untuk mengubah fibrinogen menjadifibrin dalam pembekuan. Berbanding
terbalik dengan Na CMC yang berfungsi sebgai untukmeningkat viskontas atau kekentalan dari suatu
aliran darah. Selanjutnya yaitu vitamin Kbertindak sebagai katalis atau zat yang mempercepat reaksi yang
mengubah beberapa proteinanti pembekuan darah. Selanjutnya asetosal berfungsi untuk menghambat
biosintesisstaglanding jadi darah, sedangkan EDTA juga bekerja dengan cara menghambat kerja activator
dalam pembekuan darah. Mekanisme obat tersebut, vitamin K merupakan obat yang memilikinilai rata-
rata tertinggi pada percobaan ini, karena keterkaitan pada waktu yang dialami mencitdalam mekanisme
kerja obat yang diberikan dan vitamin K kurang efektif dalam percobaan ini. Adapun perbandingan dari
masing-masing obat yang paling efektif dalam percobaan antikoagulan ini yaitu EDTA yang paling efektif
karena ampuh dalam menghambat keluarnyadarah, berbanding jauh dengan vitamin K. EDTA menurut
(Nadil, 2012), EDTA bekerja dengancara menhambat activator pada pembekuan darah. Hal tersebut
sesuai dengan hasil percobaan
kali ini efektif yaitu pada kelompok 5.
KESIMPULAN
Kesimpulan dari percobaan kali ini adalah obat yang bekerja kurang efektif yaitu vitamin K, karena
berkaitan dengan waktu yang dialami oleh mencit. Vitamin K memiliki nilai rata-rata paling tinggi
dibandingkan dengan yang lainnya. Sedangkan obat yang paling efektif pada percobaan kali ini adalah
EDTA karena ampuh dalam menghambat keluarnya darah, berbandingjauh dengan vitamin K.
DAFTAR PUSTAKA
Battista. 2015. Crash Course Pharmacology, 4th Edition. Indonesia: Elsevier (diterjemahkan olehDr. Med.
Abraham Simatupang, dr., Mkes).
Delina dkk. 2018. Ilmu Meracik Obat Teori Dan Praktek. Cetakan Kesembilan, 169,129-211.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Erlanda. 2018. Penggunaan Antikoagulan Pada Penyakit Ginjal Kronik. FK UNAND Press. Fitria dan
Sarto. 2014. Praktikum Farmakologi Penuntun. Jakarta: Fakultas Ilmu Kesehatan UIN
Syarif Hidayatullah. Jakarta.
Goodman and Gilman. 2012. Dasar Farmakologi Terapi. Edisi 10, Editor Joel. G Hardman and Lee E.
Limbird Konsultan Editor Alfred Godman Gilman. Diterjemahkan oleh tim alih Bahasa Sekolah Farmasi
ITB. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Koehane et al. 2015. Pengaruh Antikoagulan dan Waktu Penyimpanan Terhadap Hematologis Tikus
(Ratus Novergicos Berkenhout 1769) Galur Asistar, Biosfera Vol 33 (1): 22-30.
LAMPIRAN

PERHITUNGAN
Kelompok 1: Na Sitrat 100 mg
100 mg = 1000 g/bb
1000
x = 100 = 20 bb x 10
= 2 mg
Misal: 23 g
2 mg = 23 x 20 bb
23 𝑏𝑏 𝑥 2 𝑚𝑔
x= 20 𝑏𝑏
x = 2.3 mg
2.3 mg = 0,5 ml
x = 2.3 mg x 5 ml
2.3 𝑚𝑔 𝑥 5 𝑚𝑙
x=
0,5 𝑚𝑙
x = 23 mg = 0,0023 g
Kelompok 2: Na CMC 1%
1 𝑔𝑟
Na CMC 1% = →
100 100 𝑚𝑙 𝑎𝑞𝑢𝑎𝑑𝑒𝑠𝑡
Pemberian Na CMC pada mencit:
1
Mencit 1 = 24,5 gr → 100 x 2,45 = 0,245
1
Mencit 2 = 2,75 gr → x 2,75 = 0,275
100
Di sonde dalam 0,5 ml
Kelompok 3: Vitamin K 10 mg
Mencit 1 10 mg = 1000 g bb
= 37 g bb
= 0,37 mg
Mencit 2 10 mg = 1000 g bb
= 34 g bb
= 0,34 mg
Mencit 3 10 mg = 1000 g bb
= 33 g bb
= 0,33 mg
0,37+0,34+ 0,33 1,64
Rata-rata = 3
3
=
= 0,34 mg
= 0,034 g → 5 ml
Kelompok 4: Asetosal 100 mg
Bobot Mencit
M1 = 25 g Rata-rata = 30,5 g
M2 = 36 g
30,5 g → Asetosal 100 mg/kg bb2 mg = 20 g bb
x = 30,5 g bbx = 3.05 mg
3.05 mg = 0,5 ml
x=5m
x = 30,5 mg → 5 ml Na CMCKelompok 5:
EDTA 150 mg
Berat Badan Mencit 1 = 34 Rata-rata =
Berat Badan Mencit 2 = 33 34+33
Add EDTA = 150 mg/kg bb 2
= 33,5 g
150 mg = 1000 g bb
x = 20 g bb
150 𝑚𝑔 𝑥 20 𝑔 𝑏𝑏
x=
1000 𝑔 𝑏𝑏
3000 𝑚𝑔
x= 1000
x = 3 mg
3 mg = 20 g bbx = 33,5 g
3 𝑥 33,5
x= 20
100 𝑥 5
x= 20
x = 5,0 mg
DOKUMENTASI
FARMAKOLOGI SISTEM URINASI

Dosen Pengampu : Chindiana Khutami, S.Farm.,M. Farm


Arif Razan1, Dita Palaridia Putri2, Hamdiah3, Lorenza4, Misna5

Universitas Adiwangsa Jambi Fakultas Ilmu Kesehatan Dan


FarmasiProgram Studi S1 Farmasi Tahun 2023

ABSTRAK- Sistem urinaria adalah suatu sistem tempat terjadinya proses penyaringan darah
sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang
masih dapat digunakan oleh tubuh. Zat- zat yang tidak digunakan oleh tubuh akan larut dalam air
dan dikeluarkan dalam bentuk urin (air kemih/air seni). Sistem urinaria dalam tubuh terdiri dari
ginjal, ureter, kandung kemih dan uretra. Salah satu gangguan sistem urinaria adalah batu ginjal.
Pada sistem urania terjadi proses penyaringan darah sehingga darah dari bekas zat-zat yang tidak
dipergunakan oleh tubuh larutan dalam air dan dikeluarkan berupa urin (air kemih). Penilitian ini
bertujuan untuk mengetahui uji marfologi pada sistem urania dan dapat mengetahui pengaruh
efektivitas pada pemberian obat-obat diuretik terhadap mencit. Diuretik adalah adanya
penambahan volume urin yang diproduksi dan menunjukan jumlah pengeluaran (kehilangan) zat-
zat terlarut dan air. Obat yang sebagai diuretik yang digunakan dalam percobaan ini adalah
furosamid 40 mg yang mana tergolong dalam golongan loop diuretik yang berfungsi untuk
meningkatkan jumlah urin yang keluar dari ginjal.

KATA KUNCI: Sistem Urinaria, Diuretik.

ABSTRAC- The urinary system is a system where the process of filtering blood occurs so that the
blood is free from substances that are not used by the body and absorbs substances that can still be
used by the body. Substances that are not used by the body will dissolve in water and be excreted
in the form of urine (urine / urine). The urinary system in the body consists of the kidneys, ureters,
bladder and urethra. One of the disorders of the urinary system is kidney stones. In the urania
system, the process of filtering blood occurs so that blood from used substances that are not used
by the body dissolves in water and is excreted in the form of urine (urine). This study aims to
determine the morphological test on the urania system and to determine the effect of effectiveness
on the administration of diuretic drugs in mice. Diuretics are the addition of the volume of urine
produced and shows the amount of expenditure (loss) of dissolved substances and water. The drug
used as a diuretic in this experiment was furosamide 40 mg which belongs to the loop diuretic class
which functions to increase the amount of urine excreted from the kidneys.

KEY WORDS: Urinary System, Diuretics.


PENDAHULUAN
Urin adalah sisa material diekskresikan oleh ginjal dan ditampung dalam saluran kemih hingga
akhirnya dikeluarkan oleh tubuh melalui proses urinasi dalam bentuk cairan. Ekskresi urin yang
disaring dari ginjal menuju ureter selanjutnya disimpat didalam kandung kemih dan kemudian
dibuang. Proses tersebut diperlukan untuk membuang molekul-molekul sisa dari darah yang
tidak dibutuhkan oleh tubuh guna menjaga keseimbangan cairan. Zat-zat yang terkandung
dalam urin dapat memberikan informasi penting mengenai kondisi umum di dalam tubuh.
Derajat produksi dari berbagai unit fungsional dalam tubuh dapat diketahui dari kadar berbagai
zat dalam urin (Guyton dan Hall, 2006).
Urin merupakan suatu larutan komplek yang terdiri dari air (±96%) dan bahan-bahan organic
dan anorganik. Kandungan bahan organic yang penting antara lain urea, asam urat, kreatinin
dan bahan angorganik dalam urin antara lain NaCl, sulfat, fosfat, dan ammonia. Zat- zat yang
tidak diperlukan oleh tubuh dala keadaan normal akan ditemukan relative tinggi pada urin dari
pada kandungan dalam darah, sebaliknya hal tersebut tidak berlaku pada zat-zat yang masih
diperlukan oleh tubuh. Kondisi lingkungan dalam tubuh serta organ-organ yang berperan dalam
munculnya setiap zat tersebut dapat diketahui melalui hasil pemeriksaan urin. Jumlah dan
komposisi urin dapat berubah tergantung dari pemasukan bahan makanan, berat badan, usia,
jenis kelamin dan lingkungan hidup seperti temperature, kelembapan, aktivitas tubuh dan
keadaan kesehatan (Guyton dan Hall, 2006).
Sistem Urinaria adalah sistem tempat terjadinya proses penyaringan darah sehingga darah bebas
dari zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang dipergunakan oleh
tubuh. Zat-zat yang tidak dipergunakan dalam tubuh akan larut dalam air dan dikeluarkan
berupa urin. Sistem urinaria dalam tubuh terdiri dari ginjal, ureter, kandung kemih dan uretra
(Syaifuddin, 2013).
Pada sistem urinaria terjadi proses penyaringan darah sehingga darah dari bekas zat-zat yang
tidak dipergunakan oleh tubuh larutan dalam air dan dikeluarkan berupa urin (air kemih).Sistem
urinaria terdiri atas:
1. Ginjal, yang mengeluarkan sakrat urin
2. Ureter, yang mengeluarkan urin dari ginjal ke kandung kemih
3. Kandung kemih, yang bekerja sebagai penampung
4. Uretra, yang menyalurkan urin dari kandung kemih (Nurhasanah, 2017).
Sistem urinaria pada tubuh terdiri dari dua ginjal yang memproduksi urin, dua ureter yang
membawa urin ke dalam sebuah kandung kemih sebagai penampung sementara dan uretra yang
mengalir urin keluar tubuh melalui orifisium urethra ekterna. Patologi saluran kencing dapat
berupa penyakit infeksi, peradangan, voskular, gangguan kongentill dan hereditar, ginjal
poliskistik, metabolit (Pearce, 2012).
Apabila terjadi gangguan pada system perkemihan, maka dapat menyebabkan gangguan
Kesehatan yang sangat serius dan kompleks. Gangguan yang terjadi pada sistem perkemihan
dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yang salah satunya disebabkan oleh pembesaran pada
prostat atau biasa disebut dengan bengria prostat hipertropi. Sister perkemihan terdiri dari ginjal,
ureter, vesika urinaria dan uretra yang menyelenggarakan serangkaian proses untuk tujuan
mempertahankan keseimbangan cairan dan elektronik, mempertahankan keseimbangan cairan
dan elektrolit (Barbara C. Long, 2013).
Rumusan masalah dari percobaan ini adalah bagaimana cara untuk mengetahui uji farmakologi
pada sistem urinasi dan bagaimana cara untuk mengetahui pengaruh efektifitas pada pemberian
obat-obat diuretik terhadap mencit. Dan adapun manfaat dari percobaan ini adalah supaya
mahasiswa dapat mengetahui bagaimana pengujian farmakologi pada system urinasi yang
dalam percobaan ini dengan penangganan mencit sebagai bahan uji.
METODOLOGI PENELITIAN
ALAT DAN BAHAN
Adapun alat dan bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah sebagai berikut:
a. Alat
1. Kandang Metabolisme
2. Sonde Oral
3. Spuit 1 ml
b. Bahan
1. Furosemid
2. Hct
3. Saline
4. Sperinolakton
c. Hewan Uji
Mencit umur 2-3 minggu, dengan berat badan 20-30 gr.
PROSEDUR KERJA
Adapun prosedur kerja pada percobaan ini adalah ditimbang hewan uji yang berupa mencit,
dibuat larutan ujinya. Setelah 5 menit pemberian sediaan uji perubahan perilaku yang terjadi
pada hewan uji, ukur jumlah urin yang dihasilkan oleh hewan uji setiap 5, 10, 15, 20, 25, 30, 35,
40, 45, 50 sampai 60 menit. Selanjutnya datakan hasil yang didapat. Buat diskusi dan pembahasan
dari data yang didapat dan untuk yang terakhir adalah didapatkan hasil dari percobaan.
DATA HASIL PENGAMATAN
Tabel 1. Pengukuran Dosis

Tabel 2. Bentuk Grafik


PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini bertujuan untuk mengetahui uji farmakologi dari sistem urania dandapat
mengetahui pengaruh efektivitas pada pemberian obat-obat diuretik terhadap mencit. Pada
dasarnya sistem urinaria adalah sistem tubuh manusia yang bertanggung jawab untuk
memproduksi, menyimpan dan mengeluarkan urin dari tubuh. Sistem ini terdiri dari organ-
organ seperti ginjal, urater, kantong kemih dan uretra. Sistem urinaria inilah yang berfungsi
untuk menyaring dan membuat zat limbah dengan cara menghasilkan urin. Sistem mekanisme
urin ini terjadi proses penyaringan darah, sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak
dipergunakan oleh tubuh dan akan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan atau zat-zat
yang dibutuhkan oleh tubuh. Pada dasarnya normal rata-rata kebanyakan orang buang air kecil
dalam sehari sekitar 4-8 kali atau sebanyak 1-1,8 liter. Faktor yang mempengaruhi eliminasi urin
yakni pertumbuhan dan perkembangan, gaya hidup, medikasi, faktor psikologis.
Pada dasarnya senyawa yang aktif untuk meningkatkan diuresis yakni diuretik. Diuretik
merupakan obat untuk membuang kelebihan garam dan air dari dalam tubuh melalui urin. Obat
ini biasanya digunakan untuk mengatasi tekanan darah tinggi (hipertensi). Pada umumnya, obat
diuretik memiliki 3 jenis yakni, tiazid, loop dan potassium, sparing siuratik. Semua jenis obat ini
pada umumnya bekerja dengan prinsip yang sama yakni membuat tubuh lebih mengeluarkan
lebih banyak cairan sebagai urin. Mekanisme kerja obat ini yaitu bekerja dengan membantu ginjal
melepaskan lebih banyak gram dan air dari pembuluh darah ke dalam urin. Obat diuratik yang
dikenal juga sebagai pill air merupakan obat yang dirancang untuk mengurangi penumpukan
air atau cairan tubuh melalui urin. Diuratik ini memiliki 2 jenis mekanisme kerjanya yaitu, secara
langsung pada sel nefron ginjal (diuratik loop, tiazid, diuratik hemat kolium dan diuratik
golongan penghambat enzim karbonida anhidrase) dan mekanisme kerja secara tidak langsung
yaitu melalui perubahan pada komposisi filtra. Senyawa yang berhasiat sebagai diuretik adalah
polifenol dan saponin.
Obat yang digunakan dalam percobaan ini sebagai obat diuretrik yaitu furosemid sebanyak 40
mg, yang mana furosemid tergolong dalam obat golongan loop diuratik yang dimana berfungsi
sebagai peningkatan jumlah urin yang keluar dari ginjal. Mekanisme kerja furisemid ini
menghambat readsobrsi natrium dan klorida ditubulus proksimal pada loop of henle sehingga
dapat meningkatkan ekresi air sodium, klorida, hidrogen dan kalium. Sedangkan obat
spironolactone sebanyak 25 mg yakni obat yang digunakan untuk menurunkan tekanan darah
tinggi. Obat ini pula termasuk ke dalam golongan obat keras yang harus diresep oleh dokter.
KESIMPULAN
Kesimpulan dari percobaan kali ini adalah pada pengaruh hormone pada proses pembentukan
urin yakni hormom ADH anti diuretrika yang mana bersifat menyerap air. Mekanisme kerja
dalam obat diuretic ini memiliki 2 jenis golongan yakni secara langsung dan tidak langsung.
Dimana untuk secara langsung dilakukan pada sel nefron ginjal, sedangkan secara tidak
langsung melalui perubahan pada komposisi fitrat. Pada hewan uji ini yaitu mencit, diberikan
obat furosemide yang dimana tidak memberikan efek obat tersebut atau tidak sama sekali urin.
DAFTAR PUSTAKA
Barbara C. Long. 2013. Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan).
Bandung: Yayasan Ikatan Allumi Pendidikan. Keperawatan Padjajaran.
Guyton AC, Hall JE. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Nurhasanah, Liona. 2017. Anatomi dan Fisiologi Sistem Urinaria. Jakarta. Pearce.
2012. Anatomi dan Fisiologi Untuk Para Medis. Jakarta: PT Gramedia.
Syaifuddin B. AC,. 2013. Anatomi dan Fisiologi Untuk Siswa Perawat. Jakarta: Buku Kedokteran,
EGC.
LAMPIRAN
PERHITUNGAN DOSIS
 Kelompok 1: Pemberian Nacmc
1𝑔
Mencit 1 → 30 g → 100
x 30 = 0,3 mg
1𝑔
Mencit 2 → 31 g → 100
x 31 = 0,31 mg
1𝑔
Mencit 3 → 31 g → x 31 = 0,31 g
100
 Kelompok 2: Pemberian Furosemide 40 mg
40 mg x 0,0026 = 1,04
1𝑔
Mencit 1 → 100
x 3,059 = 0,03505 mg
1𝑔
Mencit 2 → 100
x 2,709 = 0,27 mg
1𝑔
Mencit 3 → 100
x 3,409 = 0,034 mg
Perhitungan Dosis:
3,059
M1 = 20
x 1,04 = 1,5 mg
27
M2 = 20 x 1.04 = 1,40 mg
 Kelompok 3: Pemberian Obat Spironalactone 25 mg
Mencit 1 → Berat Badan = 2,4510 =2,45
= 25 mg x 0,0026 = 0,065 mg
24,5
= x 0,065 = 0,7962520 = 0,79625/ 5 ml Nacmc
20
= 0,079 = 0,796 dalam 10 ml (dalam pembuatan larutan Nacmc)
= Larutan yang di disorde pada 0,5 ml

Mencit 2 → Berat Badan = 2,7510 = 27,5


= 25 mg x 0,0026 = 0,065 mg
27,5
= 20
x 0,065 = 0,089375
= 0,089 mg dalam 5 ml
= Larutan yang disorde pada 0,5 ml
 Kelompok 4: Pemberian Srinolakton 100 mg
Konversi dosis untuk mencit 20 g
Dosis Lazim 𝑥 Faktor Konversi = 50 mg x 0,0026
= 0,13 mg
Untuk Berat Badan Mencit:
27,5 𝑔
Mencit 1 → 20
x 0,13 = 0,17 mg
23 𝑔
Mencit 2 → 20
x 0,13 = 3,53 mg
20,5 𝑔
Mencit 3 → 20
x 0,13 = 0,13 mg
 Kelompok 5: Pemberian HCT
1%
Mencit 1 = 31,09 = 100 x 31,0 = 0,31 mg
1%
Mencit 2 = 26,59 = 100 x 26,5 = 0,265 mg
1%
Mencit 3 = 31,59 = 100 x 31,5 = 0,315 mg

DOKUMENTASI
SISTEM RESPIRASI DAN SKRINING FARMAKOLOGI
Dosen Pengampu : Chindiana Khutami, S.Farm., M.Farm
Agustina, Anggi May Murti, Hilda Afriani, Maryati, Nabilla Septizah Ihsan,
Thesa Reti Mahesa
Fakultas Ilmu Kesehatan danF armasi Universitas Adiwangsa Jambi
Jl. Sersan Muslim No. RT 24, TheHok, Kec. Jambi Sel., Kota Jambi, Jambi
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sistem pernapasan pada mencit dan
pengaruh pemberian obat terhadap laju pernapasan serta skrining farmakologi
dalam menentukan aktivitas farmakologi suatu senyawa, menginterpretasikan
gejala yang muncul selama pengamatan sesuai dengan efek farmakologi yang
diberikan suatu obat dan faktor - faktor yang berperan dalam skrining suatu
senyawa baru. Pada sistem respirasi menggunakan metode pengukuran laju
pernapasan mencit dari 10 menit sampai 60 menit. Evaluasi skrining farmakologi
yang digunakan yaitu skrining buta uji meliputi observasi terhadap sikap,
observasi neurologi dan fungsi motorik. Uji hewan yang digunakan yaitu mencit
putih dengan bobot 20 - 30 gram terbagi dalam kelompok sistem respirasi 3 ekor
dan skrining farmakologi 1 ekor. Pada percobaan didapat hasil yaitu pada sistem
respirasi laju pernapasan tertinggi yaitu Epinefrin selama793,6 detik diazepam
724,3 detik dan caffein 687,83 detik. Pada skrining farmakologi menggunakan
obat B menunjukkan aktivitas analgesik sehingga obat yang sesuai adalah
paracetamol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa obat epinefrin, caffein dan
diazepam mempengaruhi laju pernapasan mencit serta pengamatan sikap,
neurologi dan fungsi motorik yang memiliki efek farmakologi analgesik
menunjukkan obat paracetamol.
Kata kunci : sistem respirasi, laju pernapasan, skrining farmakologi, skrining
buta.
ABSTRAC
This study aims to determine the respiratory system in mice and the effect of drug
administration on respiratory rate as well as pharmacological screening in
determining the pharmacological activity of a compound, interpreting the
symptoms that appear during observations according to the pharmacological
effects given by a drug and the factors that play a role in screening a compound.
new In the respiratory system using the method of measuring the respiratory rate
of mice from 10 minutes to 60 minutes. The evaluation of the pharmacological
screening used is the blind screening test which includes observation of attitude,
observation of neurology and motor function. The test animals used were white
mice weighing 20-30 grams divided into 3 respiratory system groups and 1
pharmacological screening group. In the experiment, the results obtained were
that the respiratory system had the highest respiratory rate, namely epinephrine
for 793.6 seconds, diazepam 724.3 seconds and caffeine 687.83 seconds. On
pharmacological screening using drug B showed analgesic activity so that the
appropriate drug was paracetamol. The results showed that the drugs
epinephrine, caffeine and diazepam affected the respiratory rate of mice and
observations of attitude, neurology and motor function which had analgesic
pharmacological effects showed paracetamol.
Keywords: respiratory system, respiratory rate, pharmacological screening, blind
screening
PENDAHULUAN
Respirasi pertukaran gas adalah pertukaran oksigen dan karbon dioksida antara sel-sel yang
aktif dengan lingkungan luarnya atau antara cairan tubuh hewan dengan lingkungan tempat
hidupnya. Definisi respirasi juga meliputi proses biokimia yang berlangsung di dalam sel
berupa perombakan molekul molekul makanan dan transfer energi yang dihasilkan
(respirasiseluler). Proses respirasi erat kaitannya dengan laju metabolisme (metabolit rate)
yang didefinisikan sebagai unit energi yang dilepaskan per unit waktu. Laju respires ipada
hewan tergantung pada aktivitas metabolisme total dari organism tersebut. Fungsi utama
respirasi adalah dalam rangka memproduksi energy melalui metabolism aerobic dan hal
tersebut terkait dengan konsumsi oksigen (Astrina,dkk 2022).
Sistem respirasi memilki fungsi utama untuk memasok oksigen kedalam tubuh serta
membuang karbon doksida dari dalam tubuh. Pada dasarnya, system respirasi dibedakan
menjadi dua, respirasi eksternal dan respiarsi internal. Respirasi eksternal sama dengan
bernapas sedangkan respirasi internal atau respirasi seluler ialah proses penggunaan oksigen
oleh sel tubuh dan pembuangan zat sisa metabolism sel berupa karbon dioksida. oksigen yang
didapatkan dari lingkungan ini kemudian digunakan dalam proses fosforilasi oksidatif untuk
menghasilkan ATP. Fungsi lain dari respirasi adalah untuk menjaga keseimbangan pH dan
keseimbangan elekrik dalam cairan tubuh. Difusi gas antara organ respirasi dengan
lingkungan dapat terjadi karena adanya perbedaan tekanan gas (Astrina,dkk 2022).
Respirasi mencakup pengambilan oksigen, mengedarkannya ke sel-sel dan melepaskan
karbondioksida. Proses respirasi melibatkan medium respires, membrane respirasi, dan organ
pernapasan. Organ respirasi pada setiap individu berbeda tergantung pada habitat dan cara
hidupnya. Hewan akuatik memilki organ pernapasan yang khusus yang disebut dengan
insang.Organ respirasipada terrestrial berbedadenganhewanakuatik.Organ tersebut
diantaranya paru-paru dan difusi, paru-paru buku, trakea, paru-paru alveolar, dan paru-paru
sempura (Astrina,dkk 2022).
Mekanisme respirasi pada serangga, contohnya kecoa dan belalang, meliputi tiga fase, yaitu
fase inspirasi, pertukaran gas, dan fase ekspirasi. Fase inspirasi memerlukan waktu
seperempat detik, spirakel pada bagian dada terbuka, udara masuk. Fase pertukaran gas
memerlukan waktu sekitar satu detik, spirakel daerah perut atau dada tertutup.Fase ekspirasi
memerlukan waktu sekitar satudetik, spirakel daerah perut terbuka selama kurang lebih
sepertiga detik. Setelah masuk kedalam trakea, oksigen menuju trakea kemudian masuk
kedalam sel-sel tubuh secara difusi.Karbndioksida yang merupakan sisa pernapasan
dikeluarkan juga melalui sistem trakea yang bermuara pada spirakel (Astrina,dkk 2022).
Skrining farmakologi terhadap suatu obat atau senyawa obat baru ditujukan untuk
memperoleh gambaran yang jelas mengenai aktivitas farmakologi dari obat atau senyawa
tersebut. Terdapat tiga macam prosedur skrining aktivitas biologi yaitu skrining sederhana
(simple screening) atau skrining umum (general screening), skriningbuta (blind screening),
dan skrining terprogram (programmed screening) atau skrining spesifik (spesific screening)
(Turner, 1965)
Skrining sederhana adalah suatu prosedur pengujian obat dasar yang meliputi satu atau dua
pengujian yang sama untuk mendeteksi apakah suatu senyawa memiliki aktivitas
farmakologi. Prosedurnya sederhana dan tidak memerlukan pengujian yang interpretasi hasil
suatu pengujiannya tergantung kepada pengujian lain. Misalkan, jika injeksi suatu senyawa
uji menyebabkan hewan percobaan kehilangan kesadaran, kemungkinan senyawa tersebut
bersifat depresan sistem saraf pusat. Kadang-kadang pendekatan ini disebut juga skrining
awal (preliminary or initial screening) (Turner, 1965)
Skrining buta adalah pengujian sederhana terhadap senyawa yang tidak diketahui aktivitas
farmakologinya yang bertujuan untuk mendapatkan petunjuk aktivitas potensial senyawa
tersebut. Skrining buta biasanya diterapkan untuk senyawa yang tidak memiliki kriteria
spesifik untuk aktivitas farmakologi yang telah diterapkan. Beberapa prosedur dapat
membandingkan potensi suatu senyawa dengan senyawalain yang telah diketahui aktivitas
farmakologinya. Terdapat banyak kegunaan skrining ini (Turner, 1965)
Pada skrining terprogram, tujuan metode pengujian konvensional adalah untuk mendapatkan
informasi tipe aktivitas farmakologi yang spesifik. Suatu senyawa dapat diteliti secara
spesifik untuk aktivitas potensialnya misalnya aktivitas antihipertensi (berdasarkan
kemampuan untuk menurunkan tekanan darah). Tujuan skrining ini lebih terbatas dari pada
skrining buta yaitu untuk menemukan aktivitas yang spesifik dan dapat mencakup metode
pengujian kuantitatif untuk senyawa yang potensial. Desain penelitian harus meliputi
beberapa indikasi efek samping yang potensial yang dapat diperoleh dengan menentukan
profil dosis – respons suatu senyawa uji. Jadi, skrining terprogram harus
menjawabpertanyaan yang berkaitan dengan bagaimana potensi suatu senyawa berdasarkan
pada aktivitas farmakologinya ( Turner,1965 )
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pengaruh yang diberikan obat - obatan yang digunakan dalam percobaan
tehada plaju pernafasan?
2. Bagaimana hubungan parameter-parameter yang diamati dengan jelas aktifitas -
aktifitas yang ditentukan?
TUJUAN DAN MANFAAT
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sistem pernapasan pada mencit dan pengaruh
pemberian obat terhadap laju pernapasan serta skrining farmakologi dalam menentukan
aktivitas farmakologi suatu senyawa, menginterpretasikan gejala yang muncul selama
pengamatan sesuai dengan efek farmakologi yang diberikan suatu obat dan faktor - faktor
yang berperan dalam skrining suatu senyawa baru.
Manfaat
Manfaat penelitian ini adalah untuk meningkatkan pemahaman kita. Penelitian memberikan
informasi dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah dan membuat
keputusan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental di Laboratorium Biologi Program Studi
S1 Farmasi Universitas Adiwangsa Jambi.
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu gelas beaker, batang pengaduk, gelas
bejana, timbangan hewan, spuit, sonde oral, stopwatch.
Bahan
Obat yang digunakan dalam penelitian ini adalah diazepam, caffeine, ephineprin
,paracetamol, furosemide,glibenclamide,
Pengelompokan Hewan Uji
Sistem Respirasi
Hewan Uji yang digunakan yaitu Mencit putih dengan bobot 20 – 25 gram yang berjumlah 15
ekor terbagi 3 ekor dalam 1 kelompok. Jadi kelompok berjumlah 5 dengan masing-masing 3
ekor.
Sebelum perlakuan masing – masing kelompok mendapatkan dosis :
Kelompok I : Diazepam 0,295 ml; Coffein 0,399 ml; Epinefrin 0,31 ml.
Kelompok II : Diazepam 0,18 ml; Coffein 0,235 ml; Epinefrin 0,185 ml.
Kelompok III : Diazepam 0,235 ml; Coffein 0,225 ml; Epinefrin 0,215 ml.
Kelompok IV : Diazepam 0,315 ml; Coffein 0,2 ml; Epinefrin 0,19 ml.
Kelompok V : Diazepam 0,265 ml; Coffein 0,305 ml; Epinefrin 0,3 ml.
Skrining Farmakologi
Hewan uji yang digunakan yaitu Mencit putih 1 ekor dengan bobot 20 – 30 gram.

PROSEDUR KERJA
Uji Sistem Respirasi
Timbang berat hewan uji. Buat larutan sediaan uji dengan dosis sesuai untuk hewan uji.
Hewan uji dibagi atas beberapa kelompok uji. Setelah 15 menit pemberian sediaan uji amati
laju pernafasan mencit secara manual dengan bantuan bejana pengamatan. Tabelkan hasil
pengamatan. Buat diskusi dan pembahasan mengenai data yang didapat.

Uji Skrining Farmakologi


Timbang hewan, tandai dan tentukan dosis yang akan diberikan!. Amati parameter-parameter
seperti yang tertera pada Tabel A, B dan C. Respon kuantitatif yang didapat ditabelkan dan
dihitung. Setelah semua parameter teramati (pada keadaan tak diberi obat = kontrol) injeksi
masing-masing hewan pada dosis yang telah ditentukan ! Amati lagi semua parameter di atas
pada 5, 10, 15, 30 dan 60 menit serta 2 jam setelah penyuntikan obat !. Evaluasi hasil dengan
cara sebagai berikut :Kumpulkan nilai bobot untuk masing-masing parameter sesuai dengan
dosis seperti contoh berikut : Ranking % respon aktivitas yang didapat menurut dosis dan
kategori aktivitas. Bahas dan buat beberapa kemungkinan kategori aktivitas senyawa yang
diuji sebagai kesimpulan.

HASIL DAN PEMBAHASAAN


Sistem Respirasi

Tabel 1. Hasil Pengamatan Laju Pernapasan Setelah Pmeberian Obat


Kelompok
Obat Rata - Rata
1 2 3 4 5
Diazepam 1150.833 1216.833 296.6667 710.8333 724.3333 819.9
Coffein 687.8333 1275 298.3333 546.6667 562 673.9667
Epiefrin 901.1667 1139 342.5 503 860.3333 749.2

Gambar 1. Grafik Sistem Respirasi

Sistem Respirasi
1400
1200
1000
800
600
400
200
0
Kelompok Rata - Rata
1 2 3 4 5
Diazepam 1151 1217296,7710,8724,3819,9
Coffein 687,81275298,3546,7 562 674
Epinefrin 901,21139342,5 503 860,3749,2

Diazepam Coffein Epinefrin

Pada percobaan ini bertujuan untuk mengetahui sistem pernapasan pada mencit serta
megetahui pengaruh pemberian obat Diazepam, Coffein dan Epinefrin pada laju perapasan
mencit. Coffein dan Epinefrin mempunyai efek farmakologi sama yang bermanfaat secara
klinis. Obat – obatan ini dapat menyebabkan relaksasi otot polos, terutama otot polos
bronkus, merangsang Sistem Saraf Pusat, otot jantung dan meningkatkan diuresis.
Penggunaan dosis berlebihan dapat menyebabkan muntah dan kejag. Gejala awal berupa
sukar tidur, gelisah, dan eksitasi yang dapat berkembang menjadi delirium. Gangguan
sensoris berupa tinitus dan kilatan cahaya. Otot rangka menjadi tegang dan gemetar serta
sering ditemukan takikardia dan ekstrasitol, sedangkan pernapasan menjadi lebih cepat
(Theodore, dkk, 2018).
Diazepam mempengaruhi penurunan frekuensi napas dan volume tidal, depresi pusat napas
mungkin dapat terjadi pada pasien dengan penyakit paru atau pasien dengan retardasi mental
(Phillipus, 2017).
Aktivitas agonis reseptor -adrenergik bertindak untuk melebarkan saluran udara bronkial,
meningkatkan kekuatan kontraksi otot miokard (inotropi) dan detak jantung (kronotropi)
yang menigkatkan curah jantung dan melemahka keparahan reaksi yang dimediasi IgE
melalui reseptor pada sel mast (Joseph, P. dkk, 2014).
Pada hasil pengamatan, Diazepam memiliki laju pernapasan tertinggi yaitu 819.9 detik;
Coffein 673.966667 detik; Epinefrin 749,2 detik. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut,
Diazepam dapat menigkatkan laju pernapasan lebih cepat.
Skrinning Farmakologi
Tabel 2. Pengamatan Terhadap Sikap
Pengamatan Sikap 5 10 15 30 60
waspada 0 4 4 4 4

Kesadaran pengenalan tempat 4 4 4 4 4


penggulangan 4 4 4 4 4
kepasifan 0 0 0 0 0
preening 4 4 4 0 4
vokal 0 0 0 0 0
Mood Facial iratability 0 0 0 0 0
ketakutan 4 4 4 0 4
gelisah 0 4 0 0 0
spontan 4 4 4 4 4
reaktivitas 4 4 4 4 4
Aktivitas Motorik
sentuhan 4 4 4 4 4
nyeri 0 4 4 4 4

Tabel 3. Pengamatan Neurologis


Penga ma ta n Si ka p 5 10 15 30 60
Kaget 0 0 0 4 4
Eksitasi SSP Straub Respon 4 4 4 4
Tremor 0 0 0 0 0
posisi tubuh 4 4 4 4 4
posisi anggota tubuh 0 4 4 4 4
Konvulsi inkoordiasi staggering gail 0 0 0 0 0
abormal gail 0 0 4 4 4
somersault - test 0 0 0 0 0
kaki digenggam 4 4 4 4 4
grip strenghth 0 0 0 0 0
Tonus Otot
kekuatan tubuh 0 0 0 0 0
kekuatan abdomen 0 0 0 0 0
pina 4 4 4 4 4
Reflex corneal 4 4 4 4 4
ipsilateral flexor 4 4 4 4 4

Tabel 4. Fungsi Motorik


Pengamatan Sikap 5 10 15 30 60
ukuran pupil 4 4 4 4 4
Optik
ptosis 4 4 4 4 4
urinasi 0 0 0 0 0
Sekresi
salivasi 0 0 0 0 0
geliat 0 0 0 0 4
Umum pilo ekskresi 0 0 0 0 0
warna kulit 4 4 4 4 4
Pada percobaan ini bertujuan untuk menerapkan skrinning farmakologi dalam meenentukan
aktivitas farmakologi suatu senyawa, gejala – gejala yang muncul selama pengamatan sesuai
dengan efek farmakologi yang diberikan suatu senyawa serta faktor – faktor yang berperan
dalam skrinning farmakologi. Metode yang digunakan yaitu Blind Screening (Skrinning
Buta) dimana untuk megetahui senyawa obat yang belum diketahui efek farmakologinya.
Bahan obat yang disediakan yaitu Paracetamol, Glibenclamid, Furosemid. Sedangkan pada
percobaan jenis obat yang digunakan yaitu Obat B yang belum diketahui nama seyawa
obatnya.
Pada pengamatan skrinnig farmakalogi mengamatai pengamatan terhadap sikap, pengamatan
neurologis dan fungsi motorik. Pengamata berupa aktivitas motorik, fenomena straub,
piloereksi, ptosis, refleks, korneal, pineal, katalepsi, haffner, geliat, grooming, vokalisasi,
urinasi, salivasi, defekasi dan mortalitas.
Uji panggung dilakuka 3 cara yaitu uji ptosis, piloekresi, obat depresa. Pada pengamatan ini,
mencit tidak mengalami efek depresi serta tidak ada aktivitas penenang dan depresan SSP.
Uji Refleks dilakukan 3 cara yaitu refleks pieal, corneal dan ipsilateral. Pada pengmatan,
mencit mengalami refleks korneal dan pineal, adanya efek sedativ dimana terjadi
penghambatan saraf sensorik, sinap spinal atau jalur affere. Terdapat juga uji straub yanitu
mengalami analgesik pada obat, dimana ekor mencit menunjuk kearah atas. Pada uji haffner
ketika ekor mencit dijepit menggunakan pinset, mencit menghindar.
Pada uji ptosis ditandai dengan kelopak mata sekurang – kurangnya 50% tertutup. Refleks
korneal maasih memberikan efek refleks pada mata. Pada pengamatan ini diketahui obat yang
digunakan adalah paracetamol karena memiliki efek analgesik
KESIMPULAN
1. Pada sistem respirasi obat yang dapat meningkatkan laju pernapasan pada mecit yaitu
Diazepam selama 819.9 detik
2. Pada skrinnig farmakologi obat yang digunakan adalah paracetamol karena memiliki
efek analgesik
3. Pada skrinning farmakologi pengamatan sikap didapat skor 168; pengamatan
neurologis 152 dan fungsi motorik 84.
DAFTAR PUSTAKA
Astrina, Y., Rafika, L., Silvia, M.F., Kartikasari, ., & Julia, F. 2022. Laju Respirasi Hewan.
Joseph, PG, Pre, G., Ross, S., Roberts, R., & Anand, SS. 2014 Farmakogenetik pada penyakit
kardiovaskular : tantangan untuk beralih dari janji ke realisasi : kosep yang dibahas di
Jaringan Kanada dan Konferensi Jaringan Internasional Pusat Percobaan, Juni 2009.
Kardiologi klinis, 37(1), 48 – 56.
Theodore, K., Fransiska, S., Hutaminingsih, E., Greselda, A., Gazali, G. 2018. Pengujian
aktivitas obat stimulan kafein pada mencit jantan secara intraperitoneal.
Turner, 1965. Screening Methods I Pharmacology : Volume II. Britania Raya : Elsevier
Science.

LAMPIRAN
Perhitungan Dosis pada Sistem Respirasi
1. Kelompok 1

Mencit 1 = x 39,9 g = 0,295 ml (Diazepam)

Mencit 2 = x 29,5 g = 0,399 ml (Coffein)

Mencit 3 = x 31,0 g = 0,31 ml (Epinefrin)

2. Kelompok 2

Mencit 1 = x 18,0 g = 0,18 ml (Diazepam)

Mencit 2 = x 23,5 g= 0,235 ml (Coffein)

Mencit 3 = x 18,5 g= 0,185 ml (Epinefrin)

3. Kelompok 3

Mencit 1 = x 23,5 g= 0,235 ml (Diazepam)

Mencit 2 = x 22,5 g = 0,225 ml (Coffein)

Mencit 3 = x 21,5 g = 0,215 ml (Epinefrin)

4. Kelompok 4

Mencit 1 = x 31,5 g = 0,315 ml (Diazepam)

Mencit 2 = x 20 g = 0,2 ml (Coffein)

Mencit 3 = x 19 g = 0,19 ml (Epinefrin)


5. Kelompok 5

Mencit 1 = x 26,5 g = 0,265 ml (Diazepam)

Mencit 2 = x 30.5 g = 0,305 ml (Coffein)

Mencit 3 = x 30,0 g = 0,3 ml (Epinefrin)


REVIEW: PENURUNAN LAJU PENUAAN REPRODUKSI MENCIT JANTAN (Mus
Muculus.Linn) DENGAN PEMBERIAN EKSTRAK JAHE (Zingiber officinale)
DALAM PAKAN

Dosen Pengampu : Chindiana Khutami, S.Farm.,M. Farm


Apriliya Trifolina, Nazifa Oktavia, Natasya Nurul Nisa, Anggi Putri Rahayu,
Budi Jannatul Ilham.
Universitas Adiwangsa Jambi Fakultas Ilmu Kesehatan Dan
FarmasiProgram Studi S1 Farmasi Tahun 2023

ABSTRAK

Rimpang jahe mengandung antioksidan dan bersifat kemoprotektif, oleh karena itu
kami menduga dapat menurunkan laju penuaan pada sistem reproduksi. Tujuan penelitian ini,
untuk mengetahui pengaruh ekstrak jahe (Zingiber officinale) terhadap penuaan reproduksi
mencit jantan (Mus musculus). Penelitian ini, menggunakan 36 ekor mencit jantan (Mus
musculus) berumur 12-14 bulan, dibagi tiga kelompok masingmasing 12 ekor. Kelompok 1
sebagai kontrol, kelompok 2 dan 3 diberikan 50 mg dan 100 mg ekstrak jahe/kg pelet. Pelet
diberikan selama 70 hari secara ad libitum. Selanjutnya, diamati jumlah sel-sel
spermatogenik, serta jumlah dan kualitas spermatozoa. Hasil penelitian menunjukan, bahwa
pemberian ekstrak jahe berpengaruh terhadap sel-sel spermatogenik dan spermatozoa
(P<0,01) mencit. Hasil penghitungan spermatosit preleptoten, pakhiten, dan sel spermatid
lebih tinggi, demikian juga pada jumlah spermatozoa, persentase viabilitas dan motilitas,
serta morfologi normal spermatozoa lebih banyak pada kelompok yang diberi ekstrak jahe
dibanding kontrol (P<0,01). Disimpulkan bahwa ekstrak rimpang jahe yang diberikan pada
mencit yang sedang memasuki masa penuaan dapat menghambat laju penurunan fungsi
repruduksi.

Kata Kunci : Ekstrak Jahe, Fungsi Rproduksi, mencit jantan, anti penuaan, antioksidan

ABSTRACT

Ginger rhizome contains antioxidants and is chemoprotective, therefore we suspect


it can reduce the rate of aging in the reproductive system. The aim of this study was to
determine the effect of ginger extract (Zingiber officinale) on the reproductive aging of male
mice (Mus musculus). This study used 36 male mice (Mus musculus) aged 12-14 months,
divided into three groups of 12 each. Group 1 served as control, groups 2 and 3 were given 50
mg and 100 mg ginger extract/kg pellets. Pellets were given ad libitum for 70 days. Next, the
number of spermatogenic cells, as well as the number and quality of spermatozoa were
observed. The results showed that giving ginger extract had an effect on spermatogenic cells
and spermatozoa (P<0.01) of mice. The results of preleptotene spermatocytes, pakhitenes,
and spermatid cells were higher, as well as the number of spermatozoa, the percentage of
viability and motility, as well as the normal morphology of spermatozoa in the ginger extract-
treated group compared to the control group (P<0.01). It was concluded that ginger rhizome
extract given to mice that were entering a period of aging could inhibit the rate of decline in
reproductive function
PENDAHULUAN

Kini orang mulai menyadari bahwa proses menua sesungguhnya harus dianggap
sebagai penyakit dan bukanlah sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Ini merupakan penyakit
degeneratif dan berjalan progresif dengan merusak setiap sel, jaringan dan organ tubuh
manusia, yang selanjutnya berakhir fatal. Sebagai antisipasi, dunia kedokteran mulai
menerima konsep aging dapat dicegah dan diobati(Sutyarso, 2017). Dengan demikian
berbagai upaya pencegahan dan pengobatan bisa dilakukan untuk mengatasi gangguan
defisiensi nutrisi, suplemen, hormon, imunitas, anti-oksidan, gaya hidup, seksualitas, obesitas
sampai terapi stemcells dan terapi gen telah diteliti untuk menghentikan, menghambat bahkan
Aging Reversal atau membalikan proses menua (Mitchell et al., 2015). Namun, faktor-faktor
yang dapat melindungi atau menghambat proses penuaan reproduksi pada pria sebagian besar
tidak diketahui.

Secara umum, penuaan adalah proses perubahan secara reguler yang meliputi
genetik, biokimia, morfologi, dan fisiologis. Perubahan menyimpang, melanggar dan
menyederhanakan struktur dan fungsi sistem kehidupan, sehingga terjadi peningkatan
gangguan dan kematian. Singkatnya, penuaan harus dipahami sebagai perubahan komplek
yang berkaitan dengan usia organisme, yang menyebabkan peningkatan probabilitas
kematiannya, demikian juga spermatogensis selama penuaan (Zahidov et al.,2010; Mitchell et
al., 2015).

Spermatogenesis yang normal, diatur dengan tepat untuk menjaga keseimbangan


antara proliferasi sel terus-menerus dan secara bersamaan kematian sel terprogram. Bentuk
kematian sel germinal terprogram telah dipelajari secara detail dan dikenal sebagai apoptosis
(Wang et al., 1999; George et al., 2012). Proses kematian sel tersebut, diatur dan
dikendalikan dengan karakteristik morfologi dan biokimia yang berbeda. Peningkatan
kematian sel germinal terjadi akibat berbagai jalan, yaitu cedera testis, termasuk paparan
racun, perubahan dukungan hormonal, paparan panas, radiasi, atau pengobatan dengan
senyawa kemoterapi (Zahidov et al, 2010; Sinha et al., 1997). Kematian sel germinal baik
spontan dan cedera terkait, apoptosis tampaknya menjadi jalur utama kematian sel, tidak
terkecuali penuaan pada spermatogenesis (Billig et al., 1995; Furuchi et al., 1996; Hasegawa
et al., 1997).

Telah banyak pembuktian bahwa faktor makanan dapat digunakan sendiri atau
kombinasinya dengan agen kemoterapi tradisional, ternyata dapat bermanfaat baik untuk
pencegahan maupun untuk mengobati berbagai penyakit. Jahe (Zingiber officinale) adalah
contoh tanaman obat yang mendapatkan popularitas di kalangan masyarakat modern, dan
rimpang bawah tanah ini berguna dalam bidang medik. Banyak studi dilakukan pada jahe dan
konstituen yang menyengat dan segar dari rimpang kering (Mascolo et al, 1989).

Ekstrak jahe barubaru ini telah terbukti memiliki berbagai aktivitas biologis,
termasuk antikanker, antioksidan, antiinflamasi dan sifat antimikroba (Morakinyo et al.,
2011). Jahe ditemukan memiliki efek hypocholesterolemik dan menyebabkan penurunan
berat badan, glukosa dalam darah, kolesterol total serum dan serum alkali fosfatase pada tikus
jantan dewasa. Kajian terbaru, menyimpulkan bahwa pemberian ekstrak jahe pada tikus yang
diinduksi fungisida-metiram dapat memperbaiki kerusakan histologis dan mengurangi
apoptosis. Hal ini mungkin karena sifat antioksidan dari ekstrak jahe (Mascolo et al, 1989;
Bhandari et al., 2005; Kamtchouing et al., 2002; Khaki et al., 2014).Proses penuaan akan
terjadi secara alamiah dan akan dialami oleh semua organisme hidup. Pada mamalia jantan
termasuk manusia, sistem reproduksi juga akan mengalami penurunan fungsi sebanding
dengan bertambahnya umur. Jahe merupakan salah satu tanaman yang bersifat antioksidan,
efek kemoprotektif, dan kami menduga dapat menghambat laju penuaan pada sistem
reproduksi. Dengan demikan, tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh ekstrak jahe
(Zingiber officinale) terhadap hambatan penuaan reproduksi mencit jantan (Mus musculus).

RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana dapat mengetahui pengaruh ekstrak jahe (zingiber officinale) terhadap


penuaan reproduksi mencit jantan (Mus musculus)
2. Bagaimana data yang diperoleh dari 36 mencit jantan yang diinduksi

TUJUAN DAN MANFAAT


5. Dapat mengetahui pengaruh ekstrak jahe (zingiber officinale) terhadap penuaan
reproduksi mencit jantan (Mus musculus)
6. Dapat mengatahui data yang diperoleh dari 36 mencit jantan yang diinduksi

METODOLOGI PENELITIAN

Alat dan Bahan

Dalam penelitian ini menggunakan Alat seperti Alat suntik, Cawan petri, Gelas objek, Kaca
preparat, Mikroskop Cahaya, Pinset, Pipet, Pisau bedah, Saringan, Tabung
Reaksi,Timbangan. Adapun bahan yang digunakan pada penelitian ini Air hangat, Alkohol,
Aquades , Ekstrak Jahe, Eter, Larutan hanks, Makanan mencit, Metanol, Pelet.

PROSEDUR KERJA

c. Menggunakan 36 ekor mencit jantan (Mus musculus) berumur dibagi 3 kelompok


masing masing 12 ekor mencit
d. Kelompok 1 sebagai control, kelompok 2 dan 3 diberikan 50 mg dan 100 mg ekstrak
jahe/kg pellet
e. Pelet diberikan selama 70 hari secara ad libitum
f. Selanjutnya, diamati jumlah sel-sel spermatogonik,serta jumlah dan kualitas
spermatozoa.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemberian ekstrak jahe pada mencit mempunyai pengaruh baik terhadap berat
badan, nampak bahwa beratnya bertambah, meskipun tidak berbeda nyata (P>0,05) antar
kelompok, juga terhadap berat testis dan epidimis (Tabel 1).

Tabel 1. Parameter berat badan, testis, dan epididimis mencit setelah diberi ekstrak jahe
(Zingiber officinale) yang dicampurkan dalam pelet

Variabel K K1 K2 K3 Oneway ANOVA


(control) (50 mg ekstrak (100 mg ekstrak jahe (pvalue)
jahe/1kg pelet) / 1kg pelet)
Berat badan 27,25±2,18a 28,33±1,92a 27,83±1,85a 0,420
awal (g)
Berat badan 29,67±2,98a 35,83±3,59b 36,33±3,09b 0,023
akhir (g)
Berat testis 85,33±11,4 3 a 82,50±7,47a 89,27±9,68a 0,070
(mg)
Berat 19,31±3,47a 19,52±3,81a 18,90±3,30a 0,168
epididimis
(mg)
Keterangan: Hasil uji lanjut LSD, angka yang diikuti oleh huruf sama pada satu variabel yang
sama tidak berbeda nyata (P>0,05), dan sebaliknya berbeda nyata (P<0,05).
Selanjutnya, pemberian ekstrak jahe 50 mg/kg pelet (K2) dan 100 mg/kg pelet (K3)
menyebabkan jumlah dan kualitas spermatozoa lebih baik dibandingkan dengan kontrol (K1).
Analisis varian dari data tersebut (Tabel 2) menjukan bahwa pemberian ekstrak jahe berbeda
sangat nyata (P0,05) antara K2 dengan K3. Pola yang sama juga terjadi pada viabilitas,
motilitas, dan morfologi abnormal spermatozoa (Tabel 2).

Tabel 2. Parameter jumlah dan kualitas spermatozoa mencit umur setelah diberi ekstrak jahe
(Zingiber officinale) yang dicampurkan dalam pellet.

Variabel K1 K2 K3 One-way
ANOVA
(kontrol ) (50 mg (100 mg
(p-value)
ekstrak jahe / ekstrak jahe
1k g pelet) /1kg pellet)

Jumlah 6,33±1, 82a 10,008±2,40b 11,57±1,53c 0.000


spermatozoa (x
10⁶ /ml)

Viabilitas 45,98± 6,33 59,88± 7,06b 61,39± 0,001


spermatozoa (%) 7,71b

Motilitas 54,05± 7,43a 61,11± 6,84b 65,86± 0,000


spermatozoa (%) 8,57b

Morfologi 17,31± 3,57a 11,27± 2,01b 10,75± 0,000


spermatozoa 3,28b
abnormal (%)

Keterangan: Hasil uji lanjut LSD, angka yang diikuti oleh huruf sama pada satu variabel yang
sama tidak berbeda nyata (P>0,05), dan sebaliknya berbeda nyata (P<0,05)

Meskipun berat testis dan epididimis tidak berbeda antar kelompok (P>0,05), akan tetapi
pemberian ekstrak jahe ini berpengaruh nyata (P<0,01) terhadap diameter tubulus
seminiferus. Selanjutnya, hasil penghitungan populasi sel-sel spermatogenik disajikan pada
Tabel 3. Hasil uji ANOVA data tersebut memberikan petunjuk bahwa ekstrak jahe yang
diberikan pada mencit berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap spermatosit preleptoten,
spermatosit pakhiten, dan sel-sel spermatid. Sebaliknya tidak berpengaruh terhadap sel-sel
spermatogonia ( P>0,05). Dengan uji perbedaan rata-rata (post-hoc LSD-test) untuk
mengetahui pengaruh antar kelompok, kembali diperlihatkan pola yang sama yaitu pemberian
ekstrak jahe 50 mg/kg pelet tidak berbeda dengan 100 mg/kg pelet, meskipun berbeda sangat
nyata (P<0,01) dibandingkan dengan kontrol (Tabel 3).

Tabel 3. Parameter histologi tubulus seminiferus testis mencit setelah diberi ekstrak jahe
(Zingiber of

Variabel K1 K2 K3 One-way
ANOVA
(Kontrol) (50 ekstrak jahe (100 mg ekstrak
(p-value)
/1kg pelet jahe/ 1 kg
pellet)

Diameter tubulus 179,23±8,52a 195,08±11,09b 197,16±11,65b 0,002


semini-ferus (μm)

Jumlah 3,91±0,11a 4,27±0,31a 3,27±0,09a 0,177


spermatogonia

Jumlah spermatosit 7,49±1,95a 12,28±4,05b 14,51±3,66b 0,000


pre-leptoten

Jumlah spermatosit 15,58±2,09a 21,64±2,25b 19,02± 0,000


pakhiten
3,81b

Jumlah spermatid 27,78±3,92a 59,69±12,97b 56,82±9,10b 0,000

Keterangan: Hasil uji lanjut LSD, angka yang diikuti oleh huruf sama pada satu variabel yang
sama tidak berbeda nyata (P>0,05), dan sebaliknya berbeda nyata (P<0,05)

PEMBAHASAN

Penelitian ini menggunakan mencit jantan umur 12-14 bulan, yaitu umur dimana
mencit memasuki masa penurunan atau kemunduran fungsi reproduksi, dan pada tikus. Ini
sebagai model penelitian mencari bahan alam sebagai suplemen, yang berguna
mempertahankan kesehatan reproduksi dan hambatan laju penurunan spermatogenesis karena
penuaan. Salah satu teori penuaan adalah meningkatnya radikal bebas yang sebanding dengan
bertambahnya umur, dan ROS (reactive oxygen species ) merupakan penanda (biomarkers)
terbentuknya radikal bebas

Penuaan juga terkait dengan penurunan kualitas parameter semen atau air mani
menunjukkan penurunan signifikan dalam kualitas parameter semen dari pria yang lebih tua
(> 50 tahun; n = 66) dibandingkan dengan laki-laki yang lebih muda (21-25 tahun; n = 134).
Mereka menunjukkan bahwa motilitas progresif spermatozoa menurun 27% pada pria yang
lebih tua. Disamping itu, Telah dibuktikan bahwa persentase sperma abnormal pada mencit
umur 12 dan 18 bulan lebih tinggi dari mencit umur 2 dan 6 bulan. Penelitian kami
menyajikan hasil bahwa pemberian ekstrak jahe pada mencit yang sedang dalam proses
menua, maka jumlah dan kualitas sperma yang meliputi viabilitas, motilitas, dan morfologi;
menjadi lebih baik dibandingkan dengan yang tidak diberi ekstrak.

Spermatogenesis merupakan proses proliferasi dan diferensiasi sel-sel


spermatogenik menjadi spermatozoa yang matang, sehingga memiliki kemampuan membuahi
sel telur dalam proses fertilisasi. Disamping itu, Tahapan yang tidak kalah penting adalah
spermatozoa akan mengalami pematangan fisiologis di dalam epididimis. Salah satu teori
penuaan, terjadi karena peningkatan radikal bebas (ROS) pada semua jenis sel (Systin et al.,
2001). Stres oksidatif dapat tidak menguntungkan karena mengakibatkan perubahan fisiologis
pada organ reproduksi, termasuk epididimis dan kelenjar aksesori. Kerusakan lokal untuk
epididimis dapat mempengaruhi proses pematangan sperma normal. Mengurangi volume
semen disebabkan oleh kelenjar aksesori yang rusak adalah manifestasi lain dari stress
oksidatif. Oleh karena itu, stres oksidatif ditambah dengan penuaan berkorelasi dengan
penurunan kualitas semen.

Testis dan epididimis merupakan bagian sistem organ reproduksi yang sel-selnya
memiliki aktivitas tinggi, dan ini cenderung mehasilkan ROS yang berlebih. Akibatnya, akan
mengganggu proses baik spermatositogenesis maupun spermiogenesis di testis, dan
pematangan sperma pada epididimis (Fabricant and Parkening, 1982; Franks and Payne,
1970). Sementara itu, ada hubungan antara penuaan dengan meningkatnya apoptosis pada
spermatositogenesis. Apoptosis seluler adalah salah satu proses menyolok yang diamati
dalam perkembangan testis dan spermatogenesis normal. Terbukti pemberian suplemen
ekstrak jahe pada mencit jantan dewasa meningkatkan kualitas parameter reproduksi dan
spermatogenesis (Morakino et al 2011; Khaki et al., 2014).

Hal itu penting karena spermatogenesis mamalia merupakan proses yang kompleks yang
memerlukan homeostasis yang tepat dari jenis sel yang berbeda. Sel Sertoli berperan
mengatur proliferasi dan diferensiasi sel germinal, yang berarti terlibat dalam pengendalian
apoptosis sel germinal, mungkin ekstrak jahe berfungsi memaksimalkan mekanisme
pengendalian poros hipotamaus-hipofisis-testis (Vermeulen and Kaufman, 1995; Paul et al.,
2009). Faktor lain selain penuaan, apoptosis juga terjadi karena faktor endokrin, eksokrin,
racun, obat-obatan, metabolit dan peptida yang memicu aktivasi gen spesifik (Kuhnert and
Nieschlag, 2004). Pada sel-sel germinal baik faktor fisik misal radiasi gelombang
elektromagentik dan panas lokal pada testis, maupun faktor induksi bahan kimia misal zat
toksik dan antiandrogen.

Jahe mengandung zat yang memiliki kemampuan sebagai antioksidan, yang dapat
melindungi pengaruh buruk radikal bebas. Bahan yang paling aktif dan mendasar adalah
gingerol dan shogaol, yang telah menunjukkan efek perlindungan pada diabetes karena fungsi
hati, ginjal, mata, dan komplikasi sistem saraf. Selanjutnya, studi dengan hewan model
menunjukkan bahwa jahe umumnya berguna sebagai antioksidan, efek androgenik dan efek
hipoglikemik. Bahan aktif dari akar jahe dan daun seperti zingerone, gingerdiol, zingibrene,
gingerol dan shogaols diproduksi dan memiliki aktivitas antioksidan. Mencit yang diinduksi
fungisida-metiram dan bersama-sama dengan itu diberikan jahe, terbukti dapat mengurangi
apoptosis sel-sel germinal testis. Hasil penelitian ini, kami telah membuktikan pemberian
ekstrak jahe dalam pakan pelet selama dua siklus spermatogenesis, memperlihatkan bahwa
jumlah sel-sel spermatosit dan spermatid lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Hal ini
diduga ekrtrak jahe berfungsi sebagai antioksidan, yang dapat melindungi pengaruh buruk
ROS akibat penuaan.

Pengobatan dengan jahe terhadap pria infertil menyebabkan peningkatan yang


signifikan hormon LH (Luteinizing Hormone), FSH (Folicle Stimulating Hormone), dan
testosteron dalam serum. Suplementasi jahe secara oral pada pasien diabetes, mengurangi
inflammasi dan meminimkan dampak lain atau komplikasi kronik dari penyakit ini, seperti
menurunnya fungsi reproduksi. Informasi lain, bahwa eksrak jahe yang diberikan pada tikus,
dapat meningkatkan kadar hormon testosteron dan FSH, sebaliknya menurunkan estradiol
dan prolaktin . Bukti lain bahwa induksi antibiotik-gentamicin pada tikus dapat menyebabkan
apopotosis sel-sel spermatogenik dan kerusakan histologi testis, pemberian ekstrak jahe dapat
memperbaiki kerusakan tersebut. Selain sebagai antioksidan, jahe juga mempunyai efek
protektif terhadap kerusakan jaringan testis selama spermatogenesis akibat meningkatnya
tekanan oksidatif, tetapi juga bersifat androgenik dan meningkatkan produksi hormon
testosteron . Bahkan patut diduga ekstrak jahe dapat meingkatkan fungsi poros hipotalamus-
hipofisis-testis, terbukti dapat meningkatkan kadar FSH, LH, dan testosterone.

Antioksidan alami dapat melindungi molekul dari kerusakan sel yang disebabkan oleh
oksidasi dan dapat meningkatkan kualitas sperma dan meningkatkan efisiensi reproduksi pria.
Jahe juga ditemukan memiliki efek perlindungan terhadap kerusakan DNA yang disebabkan
oleh induktor H2O2 dan meningkatkan kualitas parameter sperma pada tikus . Penelitian lain
merekomendasikan bahwa asupan akar jahe sebagai minuman mungkin bermanfaat bagi
pasien diabetes yang mengalami disfungsi seksual, dan ekstrak jahe juga memiliki aktivitas
antidiabetes dan meningkatkan fertilitas pada tikus jantan diabetes. Hasil penelitian
sebelumnya, menunjukkan bahwa ekstrak jahe memiliki pengaruh profertilitas pada tikus
jantan yang berfungsi sebagai antioksidan kuat, antitoksisitas, dan meningkatkan
steroidogenesis testis. Di samping itu ekstrak jahe juga emiliki efek kemopreventif terhadap
efek toksik fungisida-aspartame pada testis tikus. Ekstrak jahe juga bekerja meningkatkan
aktivitas enzim oksidase SOD (superoxide dismutase) dan katalase, ini sebagai indikasi
bahwa ekstrak jahe berperan sebagai antioksidan.

Penelitian kami ini, telah berhasil membuktikan bahwa pemberian ekstrak jahe yang
dicampur dalam pakan pelet selama dua siklus spermatogenesis pada mencit yang sedang
memasuki masa penuaan, dapat menghambat laju penurunan fungsi testis. Antara lain jumlah
spermatosit preleptoten, pakhiten, dan spermatid lebih tinggi dibandingkan yang tidak diberi
ekstrak jahe (kontrol). Selanjutnya, jumlah sepermatozoa, viabilitas, motilitas, dan morfologi
normal spermatozoa lebih baik dibandingkan kontrol. Hal ini diduga karena ekstrak jahe
berfungsi sebagai antioksidan, bersifat androgenik dan protektif terhadap kerusakan testis
mencit akibat penuaan.

KESIMPULAN

Ekstrak rimpang jahe (Zingiber officinale) yang diberikan pada mencit yang sedang
memasuki masa penuaan dapat menurunkan laju penurunan fungsi testis.
DAFTAR PUSTAKA

Billig H, Furuta I, Rivier C, Tapanainen J, Parvinen M, Hsueh AJ. 1995. Apoptosis in testis
germ cells: developmental changes in gonadotropin dependence and
localization to selective tubule stages. Endocrinology;136:5-12

Hozayen WG, Soliman HA, Abou-Seif HS. 2014. Study of the chemopreventive effects of
Zingiber officinale roots against aspartame induced testicular toxicity in rat
model. J Phys Pharm Adv;4:360-67

Mascolo N, Jain R, Tain S, Capasso F. 1989. Ethnopharmacologic investigation of ginger


(Zingiber officinale). J Ethno Pharmacol;27:129–40.

Mitchell SJ., Longo DL., Scheibye-Knudsen M, and de Cabo R. 2015. Animal Models of
Aging Research: Implications for Human Aging and Age-Related Diseases.
Ann Rev Anim BioSci;3:283–303

Sutyarso. 2017. Penuaan dan Fungsi Seksual. Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.
UJI ANTI DIARE PADA MENCIT JANTAN DENGAN MENGGUNAKAN
BERBAGAI OBAT ANTI DIARE

Dosen Pengampu : Chindiana Khutami, S.Farm., M.Farm

Apriliya Trifolina, Nazifa Oktavia, Natasya Nurul Nisa, Anggi Putri Rahayu,
Budi Jannatul Ilham.

Universitas Adiwangsa Jambi Fakultas Ilmu Kesehatan Dan


FarmasiProgram Studi S1 Farmasi Tahun 2023

Abstrak

Diare adalah suatu gejala klinik gangguan pada saluran pencernaan dimana konsistensi tinja
berbentuk cairan atau setengah cairan dan frekuensi terjadinya defekasi lebih sering dari
keadaan normal sekitar empat sampai lima kali sehari, dengan demikian kandungan air pada
tinja lebih banyak dan normal yaitu 200 g/hari. Penelitian ini, menggunakan 10 ekor mencit
jantan (Mus musculus), dibagi lima kelompok masing masing 2 ekor. Kelompok 1
menggunakan obat diapet , kelompok 2 menggunakan obat norit, kelompok 3 menggunakan
obat entrostop, kelompok 4 menggunakan obat loperamid dan terakhir kelompok 5
menggunakan obat kontrol. Selanjutnya, diamati waktu BAB, bentuk feses, berat feses,
frekuensi BAB, kapan terakhir BAB.Adapun hal nya perbandingan setiap obat yg di gunakan
pada pemberian mencit, semakin cepat rentang waktu diare, maka semakin kuat efek
antidiare. di sebabkan karena jumlah dosis yg di berikan berbeda-beda sehingga
mempengaruhi kekuatan bahan uji dalam menekan diare. semakin tinggi dosis yg di berikan
maka semakin besar efek antidiare yang di hasilkan oleh dosis ekstrak tersebut.menujukkan
hasil yg sebanding dengan kontrol dan loperamid. sedangkan memiliki efek yang lebih
rendah di bandingkan dengan kontrol obat, akan tetapi masih terlihat efeknya jika di
bandingkan dengan kontrol positif. di duga karena senyawa Tanin yg terdapat masih kurang
bisa memaksimalkan kerja usus. kontrol positif menunjukkan diare dengan waktu yang paling
lama karena pada saat diare usus mengalami kehilangan banyak elektrolit sehingga air yang
berada pada usus tidak mampu terserap oleh usus, kelompok perilakuan maupun kontrol obat
mempunyai efek dalam mempersingkat waktu diare.Empat obat antidiare yang digunakan
dalam penelitian ini adalah diapet, norit, entrostop, dan loperamid, yang memiliki mekanisme
kerja yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin cepat rentang waktu diare,
semakin kuat efek antidiare yang dihasilkan. Selain itu, dosis obat antidiare juga berpengaruh
terhadap kekuatan dalam menekan diare. Semakin tinggi dosis obat yang diberikan, semakin
besar efek antidiare yang dihasilkan oleh dosis ekstrak tersebut.

ABSTRACT

Diarrhea is a clinical symptom of disorders of the digestive tract where the consistency of the
stool is in the form of liquid or semi-liquid and the frequency of defecation is more frequent
than normal, around four to five times a day, thus the water content in the stool is more and
normal, namely 200 g/day. This study used 10 male mice (Mus musculus), divided into five
groups of 2 each. Group 1 used diapet, group 2 used norit, group 3 used entrostop, group 4
used loperamide and finally group 5 used control. Next, the time of defecation, the form of
the stool, the weight of the stool, the frequency of the bowel movements, when the last bowel
movement was observed. As for the comparison of each drug used in mice, the faster the
duration of diarrhea, the stronger the anti-diarrheal effect. This is because the number of
doses given is different so that it affects the strength of the test material in suppressing
diarrhea. the higher the dose given, the greater the antidiarrheal effect produced by the extract
dose. the results were comparable to the control and loperamide. while having a lower effect
compared to the drug control, the effect is still visible when compared to the positive control.
Allegedly because the tannin compounds that are still lacking can maximize the work of the
intestines. the positive control showed the longest duration of diarrhea because during
diarrhea the intestine lost a lot of electrolytes so that the water in the intestine was not able to
be absorbed by the intestine, the behavior group and the drug control had an effect in
shortening the time of diarrhea. The four antidiarrheal drugs used in this study are diapet,
norit, entrostop, and loperamide, which have different mechanisms of action. The results
showed that the faster the duration of diarrhea, the stronger the anti-diarrheal effect produced.
In addition, the dose of anti-diarrheal drugs also affects the strength in suppressing diarrhea.
The higher the dose of the drug given, the greater the antidiarrheal effect produced by the
dose of the extract.
PENDAHULUAN

Diare adalah suatu gejala klinik gangguan pada saluran pencernaan dimana
konsistensi tinja berbentuk cairan atau setengah cairan dan frekuensi terjadinya defekasi lebih
sering dari keadaan normal sekitar empat sampai lima kali sehari, dengan demikian
kandungan air pada tinja lebih banyak dan normal yaitu 200 g/hari. Karena berat feses
sebagian besar ditentukan aleh air feses, kebanyakan kasus diare disebabkan oleh gangguan
air dan elektrolit di usus. Penyebab diare adalah peningkatan tekanan osmotik di dalam usus
sehingga menyebabkan retensi air didalam lumen, sekresi elektrolit dan air yang berlebihan
ke dalam lumen usus, eksudasi protein dan cairan dari mukosa peningkatan motilitas usus
sehingga mempercepat transit (Sukmawati dkk., 2017).
Diare adalah buang air besar (BAB) dengan konsistensi feses lebih cair dengan
frekuensi lebih dari tiga kali sehari, kecuali pada neonatus (bayi 1 bulan) yang mendapatkan
ASI biasanya buang air besar dengan frekuensi lebih sering (5-6 kali sehari) dengan
konsistensi baik dianggap normal. Empat mekanisme patofisiologis terjadinya diare secara
umum karena adanya gangguan keseimbangan air dan elektrolit, yaitu: 1. adanya perubahan
transpor aktif ion dengan penurunan penyerapan natriumatau peningkatan sekresi klorida, 2.
perubahan motilitas usus, 3. peningkatan osmolaritas luminal, dan 4. peningkatan tekanan
hidrostatik jaringan. Mekanisme tersebut dikaitkan dengan empat kelompok diare secara luas:
sekretori, osmotik, eksudatif, dan transit usus yang berubah. Diare akut merupakan penyebab
utama kematian anak di negara berkembang. Tujuan pengobatan utama pada diare adalah
mencegah dehidrasi dan mengurangi durasi serta tingkat keparahan diare. Regimen terapi
yang direkomendasikan adalah rehidrasi oral, karena cukup efektif untuk meringankan diare.
Diare juga merupakan penyebab dari malnutrisi, terutama bila berkepanjangan. Pengobatan
diare dengan terapi rehidrasi oral mengurangi kematian akibat dehidrasi. Pada beberapa kasus
penggunaan rehidrasi oral kurang berpengaruh terhadap diare, sehingga diperlukan terapi
tambahan (Fauzi dkk., 2020).
Diare merupakan suatu penyakit dimana penderita mengalami rangsangan buang air
besar secara terus-menerus dan feses yang tidak terbentuk atau cair yang memiliki frekuensi
lebih dari 3 kali dalam 24 jam (Zulkoni, 2010). Diare dapat disebabkan oleh bakteri yang
mengkontaminasi makanan dan minuman atau oleh racun yang dihasilkan oleh bakteri-
bakteri tersebut yang berhubungan erat dengan sanitasi dan higienis individu maupun
masyarakat, juga dapat disebabkan oleh kelainan psikosomatik, alergi terhadap makanan atau
obat-obatan tertentu, kelainan pada sistem endokrin dan metabolisme, kekurangan vitamin.
Diare yang hebat dapat menyebabkan dehidrasi karena tubuh kekurangan cairan, kekurangan
kalium, dan elektrolit dalam jumlah yang banyak. Dehidrasi berat akan menimbulkan
kelemahan, shock bahkan kematian terutama pada anak-anak dan bayi (Lina dan Rahmawaty,
2021).
Diare sangat erat kaitannya dengan adanya infeksi mikro- organisme yang memiliki
pengaruh terhadap sistem pencernaan. Beberapa bakteri penyehah diare di antaranya
Escherichia coli, Shigella sp,dan Salmonello sp. Penanganan diare biasanya dilakukan
dengan beberapa langkah (WHO 20096). Salah satu langkahnya yaitu dengan pemberian
antibiotika (terutama disentri) baik yang berupa chat-obat sintetile atau obat-obat alternatif
yang berasal dari alam. Secara umum, penanganan diare di daerah dengan fasilitas kesehatan
yang lengkap dilakukan secara modis, sedangkan di daerah dengan fasilitas kesehatan yang
minim dilakukan cara empiris. Saat ini pengobatan secara empiris atau dengan menggunakan
bahan alam semakin meningkat. Selain tanpa mengeluarkan biaya, efek samping yang
ditimbulkan dari penggunaan obat bahan alam secara tepat ralatif kecil ( Nugrahani, dkk.
2021).
Bila usus tidak berfungsi normal. motilitas dapat meningkat baik atau menurun dan
keduanya menyebabkan diare, hal ini dapat yang menyebabkan meningkatnya motilitas usus
yang menghasilkan transportasi lebih cepat dari feses melalui usus sehingga hanya ada sedikit
kesempatan untuk menyerap cairan dari usus besar. Penyebab diare dapat dibagi atas: Faktor
Infeksi (infeksi bakteri), faktor malabsorbsi(malabsorbsi karbohidrat). faktor makanan
(makanan basi,heracun), faktor psikologis (rasa takut dan cemas). Motilitas usus
menghasilkan diare dan menyebabkan tiga mekanisme yaitu pengurangan waktu kontak
dalam usus kecil, pengosongan usus besar yang terlalu cepat, dan pertumbuhan bakteri yang
berlebihan. Air didalam perut yang berfungsi menghancurkan makanan harus terkena epitel
usus untuk jangku waktu yang cukup untuk memungkinkan penyerapan normal dan proses
sekresi terjadi. Jika kontak ini waktu menurun akan menghasilkan diare ( Larasati, dkk.
2015).

RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana dapat mengetahui antidiare pada mencit?
2. Bagaimana dapat mengetahui pengaruh pemberian obat antidiare terhadap feses
mencit
TUJUAN DAN MANFAAT
6. Dapat mengetahui bagaimana antidiare pada mencit
7. Dapat mengetahui pengaruh pemberian obat antidiare terhadap feses mencit

METODOLOGI PENELITIAN
6. Alat dan Bahan
Alat suntik 1 ml, gunting, jam, jarum suntik yang sesuai untuk pemberian
intraperitoneal, kertas saring, penggaris, pinset, pipa lambung untuk mencit,
timbangan hewan, 6 bejana transparan dengan tutup

Bahan bahan digunakan pada praktikum seperti alkohol, diapet, entrostop,


loperamid, Na CMC, norit, oleum ricini.

7. Prosedur Kerja
e. Timbang dan tandai hewan uji
f. Sonde oleum ricini 0.75 ml
g. Diamkan selama 30 menit dan timbang fases hewan uji
h. Gerus obat dan buat larutan (Na CMC 2%)
i. Sonde obat 0.5 ml
j. Diamkan 30 menit
k. Dislokasi kan 2 mencit
l. Bedah usus dan letakkan pada bejana berisi alkohol untuk dapat diukur
panjangnya menggunakan penggaris
m. Lalu hitung perbandingan usus yang di lalui tinta dan panjang usus seluruhnya
n. Tabelkan hasil pengamatan

DATA HASIL PENGAMATAN


Pengujian efek anti diare pada mencit dengan pada masing-masing 5 kelompok
yaitu:
Tabel.1

Kelompok 1

Hewan obat Kapan Bentuk Berat fases Terakhir Frekuensi Jumlah


percobaan BAB Fases Bab P. Usus P. Tinta (F)
Mencit 1 Diapet - - - - 56 cm 8 cm 32 cm
Mencit 2 Diapet Menit 2,05 padat 2.59 gram Mnt 28,5 50 cm 7 cm 28,5cm

kelompok 2

Hewan obat Kapan Bentuk Berat fases Terakhir Frekuensi Jumlah


percobaan BAB Fases Bab
P. Usus P. Tinta (F)

Mencit 1 Morit - - - - 51 cm 8 cm 29,5 cm

Mencit 2 Morit - - - Mnt 28,5 50 cm 28 cm 39 cm

Kelompok 3

Hewan obat Kapan Bentuk Berat fases Terakhir Frekuensi Jumlah


percobaan BAB Fases Bab P. Usus P. Tinta (F)

Mencit 1 Loperamid - Padat 0,049 g - 52 cm 4,5 cm 32 cm


Mencit 2 Loperamid 50 cm 8 cm 28,5cm

Kelompok 4

Hewan obat Kapan Bentuk Berat fases Terakhir Frekuensi Jumlah


percobaan BAB Fases Bab
P. Usus P. Tinta (F)

Mencit 1 Entrsosto - - - - 47 cm 7 cm 27 cm

Mencit 2 Entrostop padat 0,05 g - 50 cm 8 cm 92 cm

Kelompok 5

Hewan obat Kapan Bentuk Berat fases Terakhir Frekuensi Jumlah


percobaan BAB Fases Bab P. Usus P. Tinta (F)
Mencit 1 Na CMC Menit 32 padat 0.048 g Encer 52 cm 11,5 cm 31,7 cm
Mencit 2 Na CMC Menit 14 padat 0,039 g Encer 32 cm 2 cm 17 cm

PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini praktikan melakukan percobaan antidare menggunakan obat
diapet, norit, entrostop, loperamid, dan kontrol yang akan diuji dengan mencit jantan sesuai
dengn tujuan praktikum pada hari ini yaitu dapat mengetahui bagaimana antidiare pada
mencit dan dapat mengetahui pengaruh pemberian obat antidiare terhadap feses mencit.

Berdasarkan praktikum beberapa hal yang perlu diketahui yaitu mekanisme kerja dari
masing masing obat yang digunakan seperti pertama yaitu obat diapet adalah kombinasi obat
yang umumnya mengandung loperamid dan simetikon. Loperamid adalah bahan aktif yang
bekerja dengan mengikat reseptor opioid pada dinding usus. Ketika loperamid terikat pada
reseptor ini, hal itu menghambat peristaltik usus atau kontraksi otot usus. Dengan demikian,
gerakan tinja melalui usus melambat, dan penyerapan air dan elektrolit dari tinja kembali ke
tubuh meningkat. Akibatnya, tinja menjadi lebih padat dan frekuensi buang air besar
berkurang. Simetikon, yang juga terdapat dalam diapet, adalah agen defoaming yang
membantu meredakan kembung dan perut kembung yang dapat menyertai diare dengan
mengurangi gas dalam saluran pencernaan. Selanjutnya obat norit adalah merek dagang dari
karbon aktif atau arang aktif. Mekanisme kerjanya adalah melalui proses adsorpsi. Karbon
aktif memiliki pori-pori yang sangat kecil dan luas permukaan yang besar, sehingga mampu
menarik dan menahan toksin, patogen, atau zat-zat beracun lainnya yang mungkin ada dalam
saluran pencernaan. Ketika norit dikonsumsi, ia bertindak sebagai "spons" untuk menyerap
dan mengikat bahan-bahan berbahaya ini, mengurangi iritasi dan kerusakan pada usus, serta
membantu mengatasi diare. Ketiga ada obat entrostop umumnya mengandung loperamid
sebagai bahan aktifnya, yang memiliki mekanisme kerja seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya. Loperamid mengurangi peristaltik usus, sehingga mengurangi kontraksi otot
usus dan memperlambat gerakan tinja melalui saluran pencernaan. Ini membantu mengurangi
frekuensi buang air besar dan meningkatkan konsistensi tinja. Terakhir yaitu obat loperamid,
sebagai obat antidiare mandiri, bekerja sama seperti pada diapet dan entrostop. Dengan
mengikat reseptor opioid di usus, loperamid mengurangi peristaltik usus dan
memperlambat gerakan tinja.
Hewan percobaan yang digunakan dalam percobaan kali ini adalah mencit. Selain
karena anatomi fisiologinya sama dengan manusia, juga karena mencit mudah ditangani,
ukuran tubuhnya kecil sehingga waktu penelitian dapat berlangsung lebih cepat, sebelum
digunakan untuk percobaan, mencit dipuasakan terlebih dahulu sebelum percobaan tetapi
tetap diberikan minum. Hal ini dilakukan karena makanan dalam usus akan berpengaruh
terhadap kecepatan peristaltic.

Adapun hal nya perbandingan setiap obat yg di gunakan pada pemberian mencit,
semakin cepat rentang waktu diare, maka semakin kuat efek antidiare. di sebabkan karena
jumlah dosis yg di berikan berbeda-beda sehingga mempengaruhi kekuatan bahan uji dalam
menekan diare. semakin tinggi dosis yg di berikan maka semakin besar efek antidiare yang di
hasilkan oleh dosis ekstrak tersebut.menujukkan hasil yg sebanding dengan kontrol dan
loperamid.

Sedangkan memiliki efek yang lebih rendah di bandingkan dengan kontrol obat, akan
tetapi masih terlihat efeknya jika di bandingkan dengan kontrol positif. di duga karena
senyawa Tanin yg terdapat masih kurang bisa memaksimalkan kerja usus. kontrol positif
menunjukkan diare dengan waktu yang paling lama karena pada saat diare usus mengalami
kehilangan banyak elektrolit sehingga air yang berada pada usus tidak mampu terserap oleh
usus, kelompok perilakuan maupun kontrol obat mempunyai efek dalam mempersingkat
waktu diare.

KESIMPULAN

a. Percobaan ini menggunakan mencit sebagai hewan percobaan karena anatomi


fisiologinya mirip dengan manusia, mudah ditangani, dan ukurannya kecil,
memungkinkan penelitian lebih cepat. Sebelum penelitian, mencit dipuasakan agar
makanan dalam usus tidak mempengaruhi kecepatan peristaltik.
b. Empat obat antidiare yang digunakan dalam penelitian ini adalah diapet, norit,
entrostop, dan loperamid, yang memiliki mekanisme kerja yang berbeda. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa semakin cepat rentang waktu diare, semakin kuat efek
antidiare yang dihasilkan.
c. Selain itu, dosis obat antidiare juga berpengaruh terhadap kekuatan dalam menekan
diare. Semakin tinggi dosis obat yang diberikan, semakin besar efek antidiare yang
dihasilkan oleh dosis ekstrak tersebut.
d. Hasil percobaan menunjukkan bahwa efek obat antidiare yang dihasilkan lebih baik
daripada kelompok kontrol, meskipun memiliki efek yang lebih rendah dibandingkan
dengan kelompok kontrol positif.
DAFTAR PUSTAKA

Fauzi Rizal, dkk. 2020. Efek Anti diare Ekstrak Etanol Daun Kelor (Moringa oleifera L.)
Pada Mencit Putih Jantan. Pharmaceutical Journal Of Indonesia. Vol 6.
No (1): Hal 35-39.

Larasati.K.E, dkk. 2015. Efek Antidiare Ekstrak Daun Sembung (Blumea Balsamifera L.)
Terhadap Mencit Putih. Jurnal Sains Dan Kesehatan. Vol 1. No 2.

Lina. N. R dan Rahmawaty. A. 2021. Uji Efek Antidiare Kombinasi Ekstrak Etanol Biji
Pepaya (Carica Papaya L.) Dan Rumput Teki (Cyperus Rotundus L.) Pada
Mencit Jantan. Cendekia Journal of Pharmacy. Vol. 5, No 1.

Nugrahani. W. A, dkk. 2021. Aktivitas Antidiare Ekstrak Etanol Daun Jarak Merah
(Jatropha gossypifolia) pada Mencit yang Diinduksi Bakteri Escherichia coli.
Jurnal Veteriner. Vol. 22 No. 3.

Sukmawati. K. I, dkk. 2017. Aktivitas Antidiare Ekstrak Etanol Daun Suji (Dracaena
angustifolia Roxb). Journal Pharmacy. Vol 14 No 02.

Anda mungkin juga menyukai