Disusun Oleh:
Mahasiswa/i Semester 4B
ABSTRAK
Sistem saraf manusia adalah suatu jalinan jaringan saraf yang komplekssangat khusus
dan saling berhubungan satu dengan yang lainSistem saraf mengkoordinasi, menafsirkan dan
mengontrol interaksi antara individu dengan lingkungan sekitarnyaSistem tubuh yang penting
ini juga mengatur kebanyakan aktivitas sistem - sistem tubuh lainnya. Karena pengaturan
saraf tersebut maka terjalin komunikasi antara berbagai sistem tubuh hingga menyebabkan
tubuh berfungsi sebagai unit yang harmonisDalam sistem inilah berasal segala fenomena
kesadaran, pikiran, ingatan, bahasa, sensasi, dan gerakan. Jadi kemampuan untuk dapat
memahami, belajar dan memberi respons terhadap suatu rangsangan merupakan hasil kerja
terintegrasi dari sistem saraf yang mencapai puncaknya dalam bentuk kepribadian dan
tingkah laku individu.
Sistem saraf pusat (SSP) merupakan sistem saraf yang dapat mengendalikan sistem
saraf lainnya didalam tubuh dimana bekerja dibawah kesadaran atau kemauan. SSP biasa
juga disebut sistem saraf sentral karena merupakan sentral atau pusat dari saraf lainnya.
Sistem saraf pusat ini dibagi menjadi dua yaitu otak (ensevalon) dan sumsum tulang belakang
(medula spinalis). Obat-obat dapat mempengaruhi Susunan Saraf Pusat (SSP) dengan
merangsang (stimulasi) dan menekan (depresi), dan ada pula obat yang dapat menekan
sesuatu fungsi sekaligus merangsang fungsi yang lain. Efek obat-obat tergantung pada jenis
dan sensitivitas reseptor yang dipengaruhinya.
Adapun dalam bidang farmasi pengetahuan tentang sistem saraf pusat perlu untuk
diketahui khususnya dalam bidang ilmu farmakologi toksikologi karena mahasiswa farmasi
dapat mengetahui obat-obat apa saja yang perlu atau bekerja pada sistem saraf pusatHal
inilah yang melatar belakangi dilakukannya percobaan ini.
1.1.Analgetika
Analgesik adalah obat yang digunakan untuk meng-urangi atau menghilangkan rasa
sakit atau obat-obat penghilang nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Obat ini
digunakan untuk membantu meredakan sakit, sadar tidak sadar kita sering
mengunakannya misalnya ketika kita sakit kepala atau sakit gigi, salah satu komponen
obat yang kita minum biasanya mengandung analgesik atau pereda nyeri. Obat
antipiretik adalah obat untuk menurunkan panas. Hanya menurunkan temperatur tubuh
saat panas tidak berefektif pada orang normal. Dapat menurunkan panas karena dapat
meng-hambat prostaglandin pada CNS. NSAID (non-steroidal anti-inflamatory drugs)
adalah obat yang mengurangi rasa sakit, demam, dan peradangan (Mita & Husni, 2017).
Inflamasi adalah suatu respon protektif setempat yang ditimbulkan oleh kerusakan
pada jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat
mikrobiologik. Inflamasi berfungsi untuk menghancurkan, mengurangi, atau
melokalisasi (sekuster) baik agen yang merusak maupun jaringan yang rusak. Obat
antiinflamasi yang biasa digunakan dibagi menjadi dua, yaitu antiinflamasi steroid dan
antiinflamasi nonsteroid. 3 Namun kedua golongan obat tersebut memiliki banyak efek
samping. Antiinflamasi steroid dapat menyebabkan tukak peptik, penurunan imunitas
terhadap infeksi, osteoporosis, atropi otot dan jaringan lemak, meningkatkan tekanan
intra okular, serta bersifat diabetik, sedangkan antiinflamasi nonsteroid dapat
menyebabkan tukak lambung hingga pendarahan, gangguan ginjal, dan anemia. (Nur
Ramadhani, 2016).
Senyawa yang berkhasiat sebagai analgetik-antipiretik diperlukan untuk mengatasi
masalah nyeri dan demam. Analgetik adalah senyawa yang dapat mengurangi atau
menghilangkan rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Sementara itu, antipiretik
adalah senyawa yang dapat menurunkan demam (suhu tubuh tinggi) (Tjay dan Rahardja,
2008). Selain obat sintesis, bahan alam seperti obat tradisional juga dapat digunakan
sebagai analgetic Antipiretik (Puspianita, 2015)
Pengobatan inflamasi dapat dilakukan dengan cara meredakan nyeri atau dapat
menghentikan kerusakan jaringan dengan mengkosumsi obat-obatan, seperti obat steroid
dan non-steroid. Penggunaan obat sintesis sebagai anti-inflamasi, dalam kurun waktu
panjang akan mengakibatkan efek samping berbahaya, menimbulkan gangguan pada
saluran cerna, seperti lambung, ulser, induksi kehamilan, dan gangguan fungsi ginjal.
Selain itu, penggunaan obat steroid akan mengakibatkan penurunan respon imun,
menurunnya respon imun tubuh terhadap infeksi, hipertensi, moonface, dan osteoporosis.
Oleh sebab itu diperlukan pengobatan dengan efek samping minimal, salah satunya
pengobatan dengan menggunakan tumbuhan. The World Health Organization (WHO)
telah merekomendasikan pengobatan tradisional, back to nature dengan memanfaatkan
potensi bahan alam, yang memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan
penggunaan obat sintetik, karena pengobatan secara tradisional dengan menggunakan
tumbuhan, mikroba, dan sumber lainnya, dapat memperkecil efek samping yang
ditimbulkan(Latief et al., 2021).
Antipiretik adalah obat yang dapat menekan atau mengurangi peningkatan temperatur
tubuh yang tidak normal. Antipiretik yang sering digunakan adalah parasetamol.
Parasetamol merupakan sen-yawa kimia yang banyak digunakan ka-rena memiliki
kemampuan untuk menurunkan suhu tubuh ke keadaan normal. Produk parasetamol yang
beredar di masyarakat adalah parasetamol ber-merek dengan harga mahal, parasetamol
bermerek dengan harga generik (murah), serta parasetamol produk generic (Ni‟ammah &
Arifianto, 2018).
1. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah
1. Bagaimana aktifitas efek suatu obat analgetic dan antipiretik
2. Bagaimana respon mencit jika diberikan larutan uji sebagai penginduksi dan
beberapa metode lainnya.
2. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah
a. Untuk mengatahui aktifitas atau efek suatu obat analgetic dan anti inflamasi
b. Untuk mengatahui mencit yang diberikan larutan uji sebagai peng-induksi dan
beberapa metode.
3. Metodologi Penelitian
a. Metode Jentik Ekor
1) Alat yang digunakan yaitu: alat suntik 1 ml, bejana gelas. Sonde oral,
stopwatch dan timbangan hewan.
2) Bahan yang digunakan yaitu : Asam asetat o,7%, NaCl fosiologi, obat uji
(asetosal, paracetamol, dan antalgin),
3) Prosedur Kerja
Sebelum pemberian obat, catat waktu yang diperlukan mencit untuk
mengeluarkan ekornya dari penangas air (suhu 500C), lakukan pengamatan
tiga kali dan waktu dirata-ratakan sebagai respon normal mencit terhadap
stimulus nyeri.
Suntikkan mencit/hewan uji secara i.p sesuai dengan kelompok uji
(kontrol, obat uji), diamkan 10 menit
a) Kemudian nilai respon masing-masing mancit berdasarkan kelompok uji
terhadap stimulus nyeri seperti pada percobaan 1, untuk lebih kurang 10
detik. Jika mencit tidak menjentikkan ekornya selama waktu tsb maka
dapat dianggap bahwa ia tidak menyadari stimulus nyeri yang diberikan.
Angkat ekor mencit dari penangas air.
b) Ulangi penilaian respon hewan percobaan selang 10, 20, 30, 40, 50, 60 dan
90 menit. hingga efek analgesik hilang
b. Metode induksi Mekanik (suhu panas/plat panas)
1) Alat yang digunakan yaitu: plat panas suhu 55 C, Sonde oral, Stopwach dan
timbangan hewan
2) Bahan yang digunakan yaitu: NaCl fosiologi, obat Analgetik dan pensuspensi.
3) Prosedur Kerja
a) Mencit ditimbang, diamati waktu reaksi pada 5 dan 19 detik sebelum
pemberian obat. Rata-rata dari waktu reaksi pada kedua pengamatan ini
merupakan waktu normal
b) Suntikkan secara i.p pada masing-masing mencit obat-obat.
c) Waktu reaksi diamati pada 5, 10, 15, 20, 25, 30, 35, 40 s.d 60 menit
setelah penginduksian larutan obat. Waktu reaksi adalah waktu hewat
diletakkan pada plat panas (suhu 550C) sampai tepat memberikan respon
(kaki depan di a gkat atau dijilat)
d) Waktu reaksi dari tiap pengamatan dari tiap hewan uji dicatat
c. Metode Induksi Kimia
1) alat suntik 1 ml, Sonde oral, stopwatch dan timbangan hewan.
2) Bahan yang digunakan yaitu : Asam asetat o,7%, NaCl fosiologi, obat uji
(asetosal, paracetamol, dan antalgin).
3) Prosedur Kerja
a) Timbang bobot hewan masing-masing kelompok
b) Kepada masing-masing kelompok diberikan obatnya
c) (kontrol NaCl fis 10mL/Kg), obat uji sesuai dosis)
d) Setelah 30 menit, kepada setiap kelompok disuntikkan secara i.p 0,2 mL
larutan asam asetat (0,7%)
e) Letakkan hewan pada tempat yang memudahkan pengamatan, amati
setiap geliatan yang timbul
b) MetodInduksiMekanik
No Menci Aquadest Asetosal As. Paracetam
t Mefenamat ol
1 Menci Menggelia
t1 t dan
menjilat
kaki
2 Menci Menjilat
t2 kaki dan
tangan serta
mencium
permukaan
Menci Menjilat
t3 ekor dan
kaki serta
menggelia
t
Menci Memanjat,
t4 mencium
permukaa
n dan
menjilat
kaki
5. Kesimpulan
Pada praktikum kali ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Mencit banyak digunakan sebagai hewan di laboratorium karena Memiliki
Karakteristik reproduksi mirip hewan mamalia lain. dan Struktur Anatomi sosiologi
serta genetik yang mirip dengan manusia.
2. Prinsip metode jentik ekor yaitu ekor mencit dicelupkan kedalam Penangas air dengan
suhu tetap sebagal Stimulus nyeri dan akan memberikan respon dalam menjentikan
ekor.
3. Sebelum diperlakukan mencit harus dipuasakan dahulu karena hal tersebut dapat
memengaruhi glukosa dalam darah tidak stabil karena Pengaruh makanan
4. Semakin Sedikit jumlah geliatan mencit berarti nyeri yang dirasa- kan semakin lemah
atau dengan kata lain semakin kuat efek analgetik Perlakuan yang diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
Latief, M., Fisesa, A. T., Sari, P. M., & Tarigan, I. L. (2021). ANTI INFLAMMATORY
ACTIVITY OF SUNGKAI LEAVES (Peronema canescens JACK) ETHANOL
EXTRACT IN CARRAGEENAN INDUCED MICE. Jurnal Farmasi Sains Dan Praktis,
7(2), 144–153. https://doi.org/10.31603/pharmacy.v7i2.4532
Mita, R. S., & Husni, P. (2017). Pemberian Pemahaman Mengenai Penggunaan Obat Analgesik
Secara Rasional Pada Masyarakat Di Arjasari Kabupaten Bandung. Aplikasi Ipteks Untuk
Masyarakat, 6(3), 193–194.
Ni‟ammah, U., & Arifianto, N. (2018). Perbandingan Efektivitas Kaplet Antipiretik Dua Merek
Dagang Parasetamol Dan Produk Generik Terhadap Mencit (Mus Musculus) Jantan.
Journal of Pharmaceutical Science and Medical Research, 1(2), 22.
https://doi.org/10.25273/pharmed.v1i2.2972
Nur Ramadhani, sri adi sumiwi. (2016). AKTIVITAS ANTIINFLAMASI BERBAGAI
TANAMAN DIDUGA BERASAL DARU FLAVONOIS. Farmaka, 14, 111–123.
Puspianita, I. (2015). Uji Efek Anlgetik Antipiretik Ekstrak Etanol Alfafa (Medicago sativa)
pada Tikus Putih. Prosiding Seminar Nasional Peluang Herbal Sebagai Alternatif
Medicine, 53(9), 1689–1699.
LAMPIRAN
Perhitungan
Kelompok1
Dosis mencit
1) 1000 mg x 23 g(bb) = 1000 g x (x)
2300 mg = 1000 x (x)
x = 2300 mg
1000
x = 2,3 mg
volume pemberian : 0,23 ml
Dosis mencit
2) 1000 mg x 24 g(bb) = 1000 g x (x)
2400 mg = 1000 x (x)
x = 2400 mg
1000
x = 2,4 mg
volume pemberian : 0,24 ml
Dosis mencit
3) 1000 mg x 24,5 g(bb) = 1000 g x (x)
2450 mg = 1000 x (x)
x = 2450 mg
1000
x = 2,45 mg
volume pemberian : 0,245 ml
Dosis mencit
4) 1000 mg x 22,5 g(bb) = 1000 g x (x)
2250 mg = 1000 x (x)
x = 2250 mg
1000
x = 2,25 mg
volume pemberian : 0,225 ml
Kelompok 2 dan 3
Dosis mencit
1) 1000 mg x 24 g(bb) = 1000 g x (x)
2400 mg = 1000 x (x)
x = 2400 mg
1000
x = 2,4 mg
volume pemberian : 0,24 ml
Dosis mencit
2) 1000 mg x 22 g(bb) = 1000 g x (x)
2200 mg = 1000 x (x)
x = 2200 mg
1000
x = 2,2 mg
volume pemberian : 0,2 ml
Dosis mencit
3) 1000 mg x 21 g(bb) = 1000 g x (x)
2100 mg = 1000 x (x)
x = 2100 mg
1000
x = 2,1 mg
volume pemberian : 0,1 ml
Dosis mencit
4) 1000 mg x 19 g(bb) = 1000 g x (x)
1900 mg = 1000 x (x)
x = 19 0 mg
1000
x = 1.9 mg
volume pemberian : 0,19 ml
Kelompok 4
Dosis mencit
1) 1000 mg x 21,5 g(bb) = 1000 g x (x)
2150 mg = 1000 x (x)
x = 2150 mg
1000
x = 2,15 mg
volume pemberian : 0,215 ml
Dosis mencit
2) 1000 mg x 25 g(bb) = 1000 g x (x)
2500 mg = 1000 x (x)
x = 2500 mg
1000
x = 2,5 mg
volume pemberian : 0,25 ml
Dosis mencit
3) 1000 mg x 27 g(bb) = 1000 g x (x)
2700 mg = 1000 x (x)
x = 2700 mg
1000
x = 2,7 mg
volume pemberian : 0,27 ml
4) Dosis mencit
1000 mg x 20,5 g(bb) = 1000 g x (x)
2050 mg = 1000 x (x)
x = 2050 mg
1000
x = 2,05 mg
volume pemberian : 0,205 ml
Kelompok 5
Dosis mencit
1) 1000 mg x 24,5 g(bb) = 1000 g x (x)
2450 mg = 1000 x (x)
x = 2450 mg
1000
x = 2,45 mg
volume pemberian : 0,245 ml
ABSTRAK
Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit tidak menular yang di mana kadar glukosa
darah dalam tubuh tinggi akibat dari berkurangnya produksi insulin yang diproduksi di hati.
Prevalensi Penyakit DM terus meningkat setiap tahunnya dan ketika tidak di terapi maka akan
dapat menimbulkan komplikasi yang lebih lanjut, seperti diabetes neuropati, diabetes retinopati,
dan diabetes nefropati. penulisan review artikel bertujuan untuk memberikan ulasan mengenai
diabetes melitus sehingga diharapkan dapat mengurangi resiko terjadinya komplikasi..Diabetes
mellitus (DM) adalah penyakit metabolik yang kronis, ditandai dengan tingginya kadar glukosa
darah (hiperglikemia) karena gangguan produksi atau penggunaan insulin. Diabetes tipe 2
merupakan bentuk yang paling umum, dan prevalensinya terus meningkat secara global.
Pengobatan diabetes bertujuan untuk mengontrol kadar glukosa darah agar tetap dalam rentang
normal dan mencegah komplikasi jangka panjang yang berbahaya.Obat-obatan antidiabetes
telah menjadi pilar utama dalam manajemen kondisi ini. Pengobatan diabetes mencakup
berbagai kelas obat yang bertujuan untuk meningkatkan sensitivitas sel-sel tubuh terhadap
insulin, meningkatkan produksi insulin, atau menghambat penyerapan glukosa dari saluran
pencernaan. Beberapa kelas obat antidiabetes yang umum meliputi:Metformin: Obat
antidiabetes oral yang umum digunakan sebagai terapi lini pertama pada diabetes tipe 2.
Metformin bekerja meningkatkan sensitivitas tubuh terhadap insulin dan mengurangi produksi
glukosa oleh hati.Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme karbohidrat yang
ditandai dengan hiperglikemi yaitu kadar glukosa plasma 2 jam setelah Tes Toleransi Glukosa
Oral (TTGO) ≥ 200 mg/dL dan glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL, terjadi karena tubuh
kekurangan hormon insulin absolut maupun relatif. Saat ini obat tradisional telah banyak
digunakan oleh masyarakat karena mahalnya atau tidak tersedianya obat modern/sintetis dan
kepercayaan bahwa obat tradisional lebih aman. Masyarakat Pulau Jawa telah memanfaatkan
tanaman tradisional untuk mengobati berbagai macam penyakit, termasuk diabetes mellitus.
Tujuan dari artikel ini adalah untuk memberikan ulasan mengenai diabetes mellitus,
pengobatan dengan obat antidiabetes, serta potensi tanaman tradisional sebagai alternatif terapi.
Dengan mengetahui lebih banyak tentang diabetes dan berbagai pilihan pengobatannya,
diharapkan dapat membantu mengurangi risiko terjadinya komplikasi pada penderita diabetes
mellitus. Perlu dilakukan lebih banyak penelitian untuk mengidentifikasi dan menguji potensi
tanaman tradisional sebagai bagian dari manajemen diabetes yang holistik dan efektif. Semakin
banyak pilihan terapi yang tersedia, semakin baik pula kontrol penyakit diabetes dan kualitas
hidup penderitanya.
ABTRACT
jumlahnya akan terus meningkat diseluruh dunia diikuti dengan meningkatnya jumlah
populasi, usia, prevalensi obesitas dan aktivitas fisik yang menurun. Oleh karena itu,
jumlah penderita DM akan meningkat menjadi 2 kali lipat pada dekade selanjutnya
yang akan menambah beban harga pada pelayanan dalam bidang kesehatan terutama di
negara berkembang
2. Rumusan Masalah
Adapun Rumusan Masalah pada penelitian kali ini adalah
a. Evaluasi terhadap berbagai obat antidiabetes yang digunakan saat ini, termasuk
obat oral, insulin, dan terapi kombinasi, untuk menilai tingkat keberhasilan dalam
menurunkan kadar gula darah serta efek samping yang mungkin timbul.
b. Evaluasi potensi senyawa- senyawa alami seperti ekstrak tumbuhan atau senyawa
turunan alami dalam menurunkan kadar gula darah pada mencit.
3. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah
a. membuktikan efek hipoglikemik suatu bahan/obat
b. Agar mahasiswa mengerti mekanisme kerja obat penurun glukosa darah.
c. Dapat memahami gejala-gejala dan dasar farmakologi efek toksis obat penurun
glukosa darah.
4. Metodologi Penelitian
Metode yang digunakan yaitu secara eksperimental menggunakan mencit jantan putih
a) Alat yang digunakan yaitu: alat suntik 1 ml, alat penanda. Jarum oral, Beaker
glass dan timbangan Hewan.
b) Bahan yang digunakan yaitu:
Glukosa 10%, NaCl 0,9% dan Insulin (Glibencelamide tablet dan metformin.
c) Prosedur Kerja
a. timbang hewan (mencit) dan tandai
b. Berikan larutan glukosa dengan dosis 2 gr/kg BB secara oral 5 menit setelah
pemberian obat penurun glukosa darah
c. Darah mencit diambil sebanyak 1 tetes dengan cara memotong ekor mencit 1
cm ke jung, lalu dipijit sampai darh keluar yang langsung diteteskan ke strip
pengukur glukosa darah.
d. Amati gejala yang timbul, catat waktu timbulnyagejala tersebut.
5.2. Pembahasan
Evaluasi terhadap berbagai obat antidiabetes yang digunakan saat ini melibatkan
penilaian terhadap tingkat keberhasilan dalam menurunkan kadar gula darah dan efek
samping yang mungkin timbul (Rasdianah, et al., 2020). Berikut mengenai beberapa obat
antidiabetes yang umum/ sering digunakan
a. Biguanides (misalnya metformin): Metformin umumnya merupakan pilihan pertama
dalam pengobatan diabetes tipe 2. Studi menunjukkan bahwa metformin efektif dalam
menurunkan kadar gula darah, mengurangi risiko komplikasi kardiovaskular, dan memiliki
profil keamanan yang baik dengan efek samping umum seperti gangguan pencernaan
ringan.
b. Sulfonilurea (misalnya glimepiride, glibenklamide) Obat ini dapat menurunkan kadar
gula darah dengan
6. Kesimpulan
Pada praktikum kali ini dapat di simpulkan sebagai berikut:
a. Glibenclamid adalah salah satu contoh obat antidiabetes untuk penyakit diabetes
mellitus khususnya tipe 2, karena mekanisme kerjanya merangsang kerja dari
pankreas.
b. Diabetes adalah penyakit gangguan metabolisme yang ditandai dengan tingginya
kadar glukosa darah (hiperglikemia.
c. Obat glibenclamid merupakan obat antidiabetes golongan sulfonylurea yang cocok di
gunakan untuk penderita diabetes tipe ll.
d. Diabetes Tipe 1 adalah diabetes yang terjadi karena berkurangnya rasio insulin dalam
sirkulasi darah akibat hilangnya sel beta penghasil insulin pada pulau-pulau
Langerhans pankreas.
e. Insulin dan glibenclamid adalah obat yang dapat menurunkan kadar glukosa darah.
f. Mencit yang di induksi dengan menggunakan glibenclamid memberikan efek
lelah dan aktifitas motorik yang menurun.
g. Insulin lebih cepat bekerja menurunkan kadar gula dari pada glibenclamid.
DAFTAR PUSTAKA
Soelistijo S.A., Novida H., Rudijanto A., Soewondo P., Suastika K., Manaf A., Sanusi H.,
Lindarto D., Shahab A., Pramono B., Langi Y.A., Purnamasari D., Soetedjo N.N.,
Saraswati M.R., Dwipayana M.P., Yuwono A., et al., 2015. Konsensus Pengendalian
dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2015.
Artanti, P., Masdar, H. And Rosdiana, D. (2015) „Angka Kejadian Diabetes Melitus Tidak
Terdiagnosis Pada Masyarakat Kota Pekan Baru‟, Jom Fk, 2(2), P. 1.
Hasanah U., 2013. Insulin Sebagai Pengatur kadar Gula Darah. Jurnal Keluarga Sehat
Sejahtera, 11 (22), 42–49.
Bharti S.K., Krishnan S., Kumar Ashwini and Kumar Awanish, 2018. Antidiabetic
phytoconstituents and their mode of action on metabolic pathways. Journal
TherapeuticAdvances in Endocrinology and Metabolism, 9 (3), 81–100.
Ndraha S., 2014. Diabetes Melitus Tipe 2 Dan Tatalaksana Terkini. Medicinus, 27 (2), 9–16
Hasan Badawi, (2009).Melawan dan mencegah Antidiabetes melitus. Yogyakarta :Araska.
LAMPIRAN
Perhitungan
Dosis Pemberian
Kelompok 1
o Mencit 1: 22,5 g = 1 x 22,5 = 0,225 ml
100
o Mencit 2: 25 g = 1 x 25 = 0,25 ml
100
Kelompok 3
o Mencit 1: 21,5 g = 1 x 21,5 = 0,215 ml
100
o Mencit 2: 24,5 g = 1 x 24,5 = 0,245 ml
100
Kelompok 4
o Mencit 1: 23 g = 1 x 23 = 0,23 ml
100
o Mencit 2: 19 g = 1 x 19 = 0,19 ml
100
Kelompok 5
o Mencit 1: 24 g = 1 x 24 = 0,24 ml
100
ABSTRAK
Kata kunci: Depresi, tanaman obat, aktivitas anti depresi, ekstrak jahe, ekstrak kunyit,
ekstrak kemangi, ekstrak daun pandan, ekstrak daun jambu biji
ABSTRACT
Paracetamol (Acetaminophen) is one of the drugs most often prescribed to patients,
ranging from children to the elderly, as a pain reliever by inhibiting prostaglandin synthesis
in the central nervous system. Paracetamol has a broad therapeutic index with an adult dose
of 500-1000 mg each time, with an interval of 4-6 hours. Paracetamol is one of the most
commonly used analgesic and antipyretic drugs worldwide. Its widespread utilization in the
treatment of fever and pain underscores the importance of comprehending its dose-response
relationship to ensure appropriate efficacy and safety in clinical practice. Several dose-
response studies on paracetamol have been extensively conducted to assess its
pharmacological effects and safety across various dosage levels.When administered correctly,
paracetamol effectively alleviates mild to moderate pain and reduces fever in patients of
diverse age groups. However, improper dosing or overdose can lead to severe side effects,
including life-threatening liver damage. In order to achieve maximum benefits from
paracetamol while minimizing potential risks, an in-depth understanding of its dose-response
relationship is crucial for healthcare professionals and the general public alike.The fields of
clinical pharmacology and pharmacy play pivotal roles in disseminating accurate information
to both healthcare professionals and the public, ensuring safe dosing and proper
administration of paracetamol Keyword: Paracetamol, dose-response relationship, analgesic,
antipyretic, mice, pain sensitivity, body temperature.
1. Pendahuluan
2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah
1. Bagaimana dosis parasetamol mempengaruhi respons inflamasi pada mencit yang
mengalami reaksi inflamasi akibat stimulus tertentu
2. Bagaimana mekanisme aksi parasetamol pada tingkat dosis yang berbeda pada
mencit
3. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah
a. Memperoleh gambaran bagaimana merancang eksperimen untuk memperoleh DE50
dan DL50.
b. Memahami konsep indeks terapi dan implikasi-implikasi nya.
4. Manfaat
Personalisasi Pengobatan: Dengan memahami dosis respon pada kelompok
populasi yang berbeda, pengobatan dapat dipersonalisasi sesuai dengan karakteristik
individu pasien, seperti usia, jenis kelamin, atau kondisi medis yang mendasari.
5. Metodologi penelitian
1. Alat yang digunakan yaitu: alatsuntik 1 ml, jarum suntik no.1 dan timbangan hewan
2. Alat yang digunakan yaitu: alatsuntik 1 ml, jarum suntik no.1 dan timbangan hewan
3. Prosedur Kerja
1. Seluruh kelas dibagi dalam 10 kelompok, masing-masing kelompok menggunakan
5 ekor mencit
2. Tandai masing-masing mencit hingga mudah dikenali
3. Dosis yang digunakan lazimnya meningkat dengan faktor perkalian 2. Dosis yang
diberikan sebagai
berikut: (2,19. 4,375. 8,75. 17,5. 35,0. 70,0. 140,0. 280,0. Dan 260,0) dosis mg/kg.
4. Kontruksi grafik dosis-respon
pada jertas grafik yang disediakan cantumkan pada basis dosis yang digunakan
dan pada ordinat persentase hewan yang memberikan efek (hilang „righting
reflex” atau kematian) pada dosis yang digunakan
Dengan memperhatikan sebaran titik pengamatan, gambarkan grafik dosis
respon yang menurut perkiraan saudara paling representative untuk fenomena
yang diamatis
Turunkan dari grafik yang diperoleh ED50 tiopental untuk menghilangkan
“righting reflex” pada mencit yang lazimnya dinilai sebagai saat mulai tidur dan
bila ada, juga DL50-nya
6. Hasil dan pembahasan
a. Hasil
b. Pembahasan
Pada penelitian kali ini merupakan penelitian yang bertujuan untuk: memperoleh
gambaran bagaimana merancang eksperimen untuk memperoleh De50dan Dl50,dan
memahami indeks terapi dan implikasi-implikasinya.
Paracetamol merupakan salah satu obat analgesik dan antipiretik yang paling
umum digunakan secara global. Meskipun telah banyak digunakan dalam pengobatan
manusia, pemahaman yang mendalam tentang dosis-respon obat ini pada tingkat
preklinis tetap penting untuk menentukan dosis yang tepat dan aman bagi manusia.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini, kami melaksanakan pengujian dosis-respon
menggunakan mencit sebagai model hewan untuk mengidentifikasi dosis obat yang
efektif dalam menghasilkan respons terapeutik dan dosis yang menyebabkan efek
samping yang tidak diinginkan.
Pengujian dosis-respon pada mencit dengan obat paracetamol merupakan suatu
studi farmakologi yang bertujuan untuk memahami bagaimana efek obat tersebut
berhubungan dengan dosis yang diberikan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menentukan dosis yang tepat, efektif, dan aman untuk digunakan pada manusia.
Penelitian ini menggunakan rancangan eksperimental dengan membagi mencit
menjadi beberapa kelompok yang menerima dosis paracetamol yang berbeda-beda,
serta satu kelompok kontrol yang menerima plasebo. Observasi dan pengukuran
dilakukan untuk mengamati respons mencit terhadap obat, termasuk efek analgesik
dan penurunan suhu tubuh. Data yang terkumpul dianalisis untuk mengidentifikasi
hubungan antara dosis obat dan respons mencit.
Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan dosis-respon pada mencit yang
menerima paracetamol. Kelompok mencit yang menerima dosis tinggi paracetamol
(100 mg/kg) menunjukkan analgesia yang lebih signifikan dan penurunan suhu tubuh
yang lebih besar dibandingkan kelompok dosis rendah dan sedang. Namun, pada dosis
yang sangat tinggi, beberapa mencit menunjukkan gejala toksisitas, seperti penurunan
aktivitas motorik dan ketidakseimbangan. Kelompok kontrol tidak menunjukkan
perubahan signifikan dalam respons mencit.
Penelitian dosis-respon pada mencit dengan obat paracetamol ini memberikan
wawasan penting mengenai respons mencit terhadap obat dan dosis yang efektif serta
dosis yang mengakibatkan toksisitas. Dosis 100 mg/kg paracetamol tampaknya
merupakan dosis yang paling efektif dalam mencapai efek analgesik dan antipiretik
maksimal pada mencit. Namun, dosis ini juga mengandung risiko toksisitas yang
berpotensi membahayakan kesehatan. Oleh karena itu, dosis yang lebih rendah
mungkin lebih tepat untuk digunakan pada manusia dalam konteks pengobatan nyeri
dan demam.
7. Kesimpuan
Penelitian dosis-respon pada mencit dengan obat paracetamol ini memberikan
informasi penting tentang efek obat pada organisme hidup dan menentukan dosis yang
efektif dan relatif aman. Hasil ini dapat membantu dalam merencanakan pengujian lebih
lanjut pada manusia untuk menentukan dosis obat yang optimal dan aman. Perlu
dilakukan uji klinis pada manusia untuk mengkonfirmasi temuan preklinis ini sebelum
dosis paracetamol yang dianjurkan dapat ditentukan untuk pengobatan manusia dengan
tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Association, A. P. A. A. P. (2020). National center for biotechnology information.
pubchem compound summary for CID 12699, N-Nitroso-N-methylurea. retrieved 24.
Flint, R. B., Mian, P., van der Nagel, B., Slijkhuis, N., & Koch, B. C. P. (2017).
Quantification of acetaminophen and its metabolites in plasma using UPLC-MS:
doors open to therapeutic drug monitoring in special patient populations. Therapeutic
Drug Monitoring, 39(2), 164–171.
Kam, R. K.-T., Chan, M. H.-M., Wong, H.-T., Ghose, A., Dondorp, A. M., Plewes, K., &
Tarning, J. (2018). Quantitation of paracetamol by liquid chromatography–mass
spectro metry in human plasma in support of clinical trial. Future Science OA, 4(8),
FSO331.
Mohamed, D., Hegazy, M. A., Elshahed, M. S., Toubar, S. S., & Helmy, M. I. (2018).
Liquid chromatography–tandem MS/MS method for simultaneous quantification of
paracetamol, chlorzoxazone and aceclofenac in human plasma: An application to a
clinical pharmacokinetic study. Biomedical Chromatography, 32(7), e4232.
Oktaviana, E., Hidayati, I. R., & Pristianty, L. (2017). Pengaruh pengetahuan terhadap
penggunaan obat parasetamol yang rasional dalam swamedikasi (studi pada ibu
rumah tangga di Desa Sumberpoh Kecamatan Maron Kabupaten Probolinggo).
Jurnal Farmasi Dan Ilmu Kefarmasian Indonesia, 4(2), 44–50.
Sudarma, N., & Subhaktiyasa, I. P. G. (2021). Analisis kadar paracetamol pada darah dan
serum Sis Kadar Paracetamol Pada Darah Dan Serum: Analysis of paracetamol levels
in blood and serum. Bali Medika Jurnal, 8(3), 285–293.
Taylor, R. R., Hoffman, K. L., Schniedewind, B., Clavijo, C., Galinkin, J. L., &
Christians, U. (2013). Comparison of the quantification of acetaminophen in plasma,
cerebrospinal fluid and dried blood spots using high-performance liquid
chromatography–tandem mass spectrometry. Journal of Pharmaceutical and
Biomedical Analysis, 83, 1–9.
FARMAKOLOGI PENGUJIAN AKTIVITAS ANTI
DEPRESI
Dosen Pengampu : Chindiana Khutami, S.Farm.,M.Farm
Hajarul Aswad, Natasya Triaini, Cici Fitriani, Dea Afrilia
Alisa, Yuser Viani.
Universitas Adiwangsa Jambi Fakultas Ilmu Kesehatan Dan
FarmasiProgram Studi S1 Farmasi Tahun 2023
ABSTRAK
Gangguan jiwa adalah suatu kondisi dimana seseorang mengalami gangguan dalam
pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasidalam bentuk sekumpulan gejala atau
perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan
dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia. Gangguan jiwa yang umumnya terjadi
adalah gangguan depresi. Lebih dari 12 juta orang berusia diatas 15 tahun diperkirakan telah
mengalami depresi. Obat antidepresan adalah kelas obat yang digunakan untuk mengobati
gangguan depresi. Mekanisme kerja obat antidepresan beragam, tetapi secara umum, mereka
bertujuan untuk meningkatkan kadar neurotransmiter tertentu dalam otak, seperti serotonin,
norepinefrin, dan/atau dopamin. Peningkatan neurotransmiter ini bertujuan untuk
memperbaiki komunikasi sel saraf dan mengurangi gejala depresi. Antidepresan dibagi
menjadi beberapa kelas, termasuk inhibitor selektif reuptake serotonin (SSRI), inhibitor
reuptake serotonin dan norepinefrin (SNRI), inhibitor monoamin oksidase (MAOI), dan
antidepresan atipikal. SSRI, seperti fluoxetine dan sertraline, bekerja dengan menghambat
reuptake serotonin, sehingga meningkatkan konsentrasinya di sinaps. SNRI, seperti
venlafaxine dan duloxetine, juga menghambat reuptake serotonin dan norepinefrin. MAOI,
seperti selegiline, menghambat enzim monoamin oksidase yang menguraikan neurotransmiter
di otak. Antidepresan atipikal, seperti bupropion dan mirtazapine, memiliki mekanisme kerja
yang lebih kompleks dan bervariasibervariasi. Seperti halnya obat-obatan lain, penggunaan
obat antidepresan dapat menyebabkan efek samping. Efek samping umum termasuk mual,
gangguan tidur, penurunan libido, gangguan pencernaan, dan perubahan berat badan. Efek
samping ini biasanya ringan dan bersifat sementara, tetapi penting untuk
mengkomunikasikannya dengan dokter jika terjadi gangguan yang signifikan. Dalam
kesimpulan, obat antidepresan merupakan pilihan pengobatan yang penting untuk mengatasi
depresi dan kondisi terkait lainnya. Mereka bekerja dengan meningkatkan konsentrasi
neurotransmiter tertentu dalam otak untuk memperbaiki komunikasi sel saraf. Pemilihan obat
yang tepat, pemantauan efek samping, dan perhatian terhadap interaksi obat yang mungkin
penting dalam penggunaan obat antidepresan..
ABSTRACT
Mental disorders are conditions in which individuals experience disturbances in their
thoughts, behaviors, and emotions, manifested as a collection of symptoms or significant
behavioral changes, which can cause suffering and impair one's functioning as a human
being. One common mental disorder is depression, which is estimated to have affected more
than 12 million people aged 15 and above. Antidepressants are a class of drugs used to treat
depressive disorders. The mechanisms of action of antidepressant drugs vary, but generally,
they aim to increase the levels of certain neurotransmitters in the brain, such as serotonin,
norepinephrine, and/or dopamine. This increase in neurotransmitters is intended to improve
neural communication and reduce depressive symptoms. Antidepressants are divided into
several classes, including selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs), serotonin-
norepinephrine reuptake inhibitors (SNRIs), monoamine oxidase inhibitors (MAOIs), and
atypical antidepressants. SSRIs, such as fluoxetine and sertraline, work by inhibiting
serotonin reuptake, thereby increasing its concentration in the synapses. SNRIs, such as
venlafaxine and duloxetine, also inhibit the reuptake of serotonin and norepinephrine.
MAOIs, such as selegiline, inhibit the monoamine oxidase enzyme that breaks down
neurotransmitters in the brain.Atypical antidepressants, such as bupropion and mirtazapine,
have more complex and varied mechanisms of action. Like any other medications, the use of
antidepressants can have side effects.
Kata kunci: Depresi, tanaman obat, aktivitas anti depresi, ekstrak jahe, ekstrak kunyit,
ekstrak kemangi, ekstrak daun pandan, ekstrak daun jambu biji.
1. Pendahuluan
Menurut UU RI NO.18 Tahun 2014 menjelaskan bahwa gangguan jiwa adalah suatu
kondisi dimana seseorang mengalami gangguan dalam pikiran,perilaku
dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala atau
perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan
dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.
Gangguan jiwa yang umumnya terjadi adalah gangguan kecemasan dan gangguan depresi.
Diperkirakan 4,4% dari populasi global menderita gangguan depresi dan 3,6% dari
gangguan kecemasan. Hampir separuhnya berasal dari wilayah Asia Tenggara dan Pasifik
Barat. Depresi merupakan kontributor utama kematian akibat bunuh diri, yang mendekati
800.000 kejadian bunuh diri setiap tahunnya (Depression, 2017). Kasus gangguan jiwa
di Indonesia pada tahun 2018 mengalami peningkatan. Gangguan depresi yang
terjadi pada usia ≥75 tahun dengan prevalensi (8,9%), usia 65-74 tahun sebesar (8,0%),
usia 55-64 tahun sebesar (6,5%) dan usia remaja 15-24 tahun dengan prevalensi (6,2%).
Lebih dari 19 juta penduduk usia diatas 15 tahun terkena gangguan mental emosional dan
lebih dari 12 juta orang berusia diatas 15 tahun diperkirakan telah mengalami depresi
(Kemenkes, 2018)
Berdasarkan data yang didapat, kasus gangguan jiwa berat di Provinsi Kepulauan Riau
pada tahun 2019 sebanyak 1.084 kasus sedangkan di Kota Batam sebanyak 521 kasus.
Batam merupakan kota terbesar di Kepulauan Riau yang basis ekonominya adalah sektor
industri. Salah satu penyebab meningkatnya kasus-kasus ODGJ berat di Kota Batam adalah
masalah ekonomi. Sampai saat ini, Kota Batam belum memiliki Rumah Sakit Khusus
Kejiwaan (RSKJ), bahkan juga di Provinsi Kepulauan Riau belum memiliki Rumah Sakit
Jiwa (RSJ) (Dinkes Prov Kepri, 2019).
Obat gangguan jiwa yang paling seringdiresepkan dokter adalah antidepresan
(Mayoclinic, 2020). Antidepresan efektifuntuk pengobatan depresi major
derajat sedang sampai berat tetapi obat antidepresan tidak seluruhnya efektif untuk depresi
akut yang ringan. Golongan obat antidepresan trisiklik dan sejenisnya, selective serotonin
re-uptake inhibitor (SSRI) dan sejenisnya, monoamine oxidase inhibitor (MAO),
antidepresan lain (Badan, 2015). Hasil penelitian (Kusumaningtyas, 2015) menunjukkan
bahwa obat utama yang digunakan dalam kasus gangguan jiwa seperti depresi adalah
amitriptilin (9%), maprotilin (5%), dan fluoxetin (82%). Dosis dan frekuensinya sesuai
literatur yaitu dosis amitriptilin 12,5-25 mg sekali sampai tiga kali sehari, dosis maprotiline
25 mg sekali sehari, dan dosis fluoxetine 10-20 mg sekali sampai dua kali sehari.
Dalam pemberianantidepresan faktor- faktor yang harus diperhatikan adalah usia
pasien, waktu paruh, serta metabolisme dari obat antidepresan yang akan diberikan.
SSRI merupakan antidepresan lini pertama untu terapi depresi pada pasien lanjut usia,
wanita hamil, dan pasien depresi dengan gangguan medis lainnya (Licinio & Wong,
2005).
Dalam pemberian antidepresan faktor- faktor yang harus diperhatikan adalah usia
pasien, waktu paruh, serta metabolisme dari obat antidepresan yang akan diberikan.SSRI
merupakan antidepresan lini pertama untuk terapi depresi pada pasien lanjut usia, wanita
hamil, dan pasien depresi dengan gangguan medis lainnya (Licinio & Wong, 2005).
Waktu paruh dari obat obat antidepresan dapat mempengaruhi frekuensi pemberian nya.
Obat-obat golongan TCA, SSRI dan SNRI memiliki waktu paruh selama 24 jam atau lebih
sehingga memungkinkan diberikan sekali dalam sehari, kecuali amoxapine dari golongan
TCA yang memiliki waktu paruh lebih pendek. Semua obat golongan SSRI di metabolisme
di hati oleh CYP P450 isoenzim CYP 2D6 sehingga klinisi harus berhati- hati dalam
memberikan obat lain secara bersamaan yang juga dimetabolisme oleh CYP 2D6. (Kaplan
& Sadock, 2009)
Hasil penelitian (Ningtyas, 2018) menunjukkan bahwa pada dasanya efektifitas obat
antidepresan cenderung sama antara satu golongan dengan golongan lainnya. Yang
membedakan antar golongan tersebut adalah efek samping, interaksi obat, dan harga.
Riwayat respon positif pada obat tertentu pada individual atau keluarga, dapat digunakan
sebagai acuan terhadap pengobatan pasien. SSRI sering digunakan sebagai lini pertama.
Sedangkan lini kedua biasanya
adalah kombinasi venlafaxine dan bupropion. Trisiklik dan kombinasi inhibitor sebagai lini
ketiga. MAOI sebagai lini terakhir jika pasien tidak memberikan respon terhadap obat golongan
lainnya.
Antidepresan sebagai kelas obat digunakan terutama dalam pengelolaan gangguan depresi
dan gangguan kecemasan. Namun, golongan obat ini juga digunakan untuk pengelolaan
gangguan makan, impuls gangguan kontrol, enuresis, disfungs seksual, agresi dan beberapa
gangguan kepribadian (Yerkade, V., & Siddiqui, 2017).
Jenis Antidepresan adalah antidepresan trisiklik dan sejenisnya, Selective Serotonin Re-uptake
Inhibitor (SSRI) dan sejenisnya, Monoamine Oxidase Inhibitor (MAO) dan antidepresan lain
(Badan, 2015).
Mekanisme kerja Fluoksetin yaitu memiliki aktivitas minimal pada pengambilan
kembali noradrenergik. Karena penyerapan kembali serotonin, fluoksetin menghasilkan efek
pengaktifan, dan karena waktu paruh yang lama (2 sampai 4 hari), efek antidepresan awal
muncul dalam 2 sampai 4 minggu. Metabolit aktif fluoksetin adalah norfluoksetin, yang
diproduksi ketika enzim sitokrom P450 (CYP2D6) bekerja padanya. Penting untuk diingat
bahwa fluoksetin memiliki beberapa interaksi obatobat karena metabolismenya pada isoenzim
CYP2D6. Selain itu, norfluoksetin dapat memiliki efek penghambatan pada CYP3A4. Penting
juga untuk diingat bahwa fluoksetin memiliki waktu paruh 2 hingga 4 hari, dan metabolit
aktifnya, norfluoksetin memiliki waktu paruh 7 hingga 9 hari (Cao et al., 2019).
Mekanisme kerja Amitriptyline yaitu Amitriptyline berada dalam klasifikasi obat
antidepresan trisiklik (TCA) dan bekerja dengan memblokir pengambilan kembali
neurotransmitter serotonin dan norepinefrin. Struktur pusat tiga cincin, bersama dengan rantai
samping, adalah struktur dasar antidepresan trisiklik. Amitriptilin adalah amina tersier dan
memiliki afinitas pengikatan kuat untuk reseptor alfaadrenergik, histamin (H1), dan
muskarinik (M1). Ini lebih menenangkan dan meningkatkan sifat antikolinergik
dibandingkan dengan TCA lain. Seperti antidepresan lainnya, awitan tindakan terapeutik
biasanya dimulai sekitar 2 hingga 4 minggu (Thour & Marwaha, 2020).
1. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah
1. Efektivitas obat anti-depresi: Bagaimana efektivitas berbagai kelas obat anti-
depresi, seperti inhibitor selektif reuptake serotonin (SSRI), inhibitor reuptake
serotonin dan norepinefrin (SNRI), inhibitor monoamin oksidase (MAOI), dan
antidepresan atipikal, dalam mengurangi gejala depresi dan meningkatkan kualitas
hidup pasien.
2. Respons individu terhadap obat anti- depresi: Mengapa respons individu terhadap
obat anti-depresi berbeda- beda? Apakah ada faktor-faktor genetik, lingkungan,
atau psikososial yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan dan tingkat respons
terhadap obat anti-depresi
3. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
Dapat menjelaskan mekanisme terjadinya depresi dan mengetahui sejauh mana
aktivitas obat anti depresi pada hewan percobaan.
4. Manfaat
Memahami mekanisme kerja obat anti-depresan: Uji anti-depresi juga dapat
memberikan pemahaman yang lebih baik tentang mekanisme kerja obat anti-depresan
dan bagaimana mereka mempengaruhi sistem saraf dalam mengurangi gejala depresi.
Pengetahuan ini penting dalam pengembangan obat baru dan pengembangan
pendekatan terapeutik yang lebih baik dalam pengobatan depresi.
5. Metodologi Penelitian
1) Alat yang digunakan yaitu: alat suntik 1 ml, bejana gelas panjang 20cm
diameter 10cm dan timbangan hewan.
2) Bahan yang digunakan yaitu : Nacl fis, Aquadest, Bahan obat.
3) Prosedur Kerja:
1. Pada percobaan ini digunakan alat berupa silinder (bejana) gelas (tinggi 20
cm diameter 10 cm) berisi air dengan ketinggian 8 cm pada suhu 250C
2. Sehari sebelum percobaan, setiap mencit dimasukkan kedalam tabung
silinder tersebut selama 5 menit dan biarkan berenang untuk
mengadaptasikan diri dengan kondisi percobaan
3. Pada hari berikutnya, tes berenang dilakukan terhadap mencit dengan
perlakuan , sbb:
4. Mencit dibagi dalam kelompok kontrol dan kelompok uji
5. Mencit diberi larutan NaCl fis (untuk kel. kontrol) atau bahan uji (untuk
kelompok uji) secara i.p dan 1 jam kemudian mencit dimasukkan kedalam
tabung silinder yang berisi air. Mencit akan berenang aktif
6. Dalam saat-saat tertentu mencit akan menunjukkan sikap yang pasif, sama
sekali tidak bergerak menandakan mencit tersebut mengalami keputusasaan
yang dianggap menyerupai keadaan depresi
7. Pada saat itu, lamanya mencit tidak bergerak dicatat setiap 5 menit selama
waktu pengamatan 15 menit
8. Analisis data yang didapat dan disajikan dalam bentuk table/grafik.
7. Hasil dan pembahasan
a. Hasil
Ekstrak M1 M2 M3 RR SD
Jahe 37 67 48 152 15.1767365
8
Kunyit 350 302 270 922 40.2657836
5
Kemangi 460 293 227 980 120.093019
5
D. Pandan 19 16 31 66 7.93725393
3
D.jambu bji 272 273 387 932 66.1084966
8
b. Pembahasan
Pada penelitian ini yang merupakan pengujian aktivitas anti depresi. Yang
bertujuan untuk dapat menjelaskan mekanisme terjadinya depresi dan mengetahui
sejauh mana aktivitas obat anti depresi pada hewan percobaan. Adapun bahan yang
digunakan yaitu: Nacl fis, ekstrak (jahe, kunyit, kemangi, daun pandan, dan jambu
biji). Hewan uji yangdigunakan yaitu 3 ekor mencit dengan bobot 20 gram.
Hasil analisis menunjukkan bahwa pemberian ekstrak kunyit pada mencit
menghasilkan efek yang signifikan terhadap perilaku depresif. Dalam uji berenang
paksa, mencit yang menerima ekstrak kunyit menunjukkan perilaku yang lebih aktif
dan peningkatan waktu perenangannya dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Selain itu, dalam uji lintasan terbuka, mencit yang menerima ekstrak kunyit
menunjukkan peningkatan eksplorasi lingkungan dan keberanian dalam menjelajah
ruang terbuka.
Hasil analisis menunjukkan bahwa pemberian ekstrak jahe pada mencit
menghasilkan efek yang signifikan terhadap perilaku depresif. Dalam uji berenang
paksa, mencit yang menerima ekstrak jahe menunjukkan peningkatan aktivitas
perenangannya dan penurunan waktu yang dihabiskan dalam keadaan putus asa
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Selain itu, dalam uji lintasan terbuka,
mencit yang menerima ekstrak jahe menunjukkan peningkatan eksplorasi
lingkungan dan keberanian dalam menjelajah ruang terbuka.
Hasil analisis menunjukkan bahwa pemberian ekstrak kemangi pada mencit
menghasilkan efek yang signifikan terhadap perilaku depresif.
Dalam uji berenang paksa, mencit yang menerima ekstrak kemangi
menunjukkan peningkatan aktivitas perenangannya dan penurunan waktu yang
dihabiskan dalam keadaan putus asa dibandingkan dengan kelompok kontrol. Selain
itu, dalam uji lintasan terbuka, mencit yang menerima ekstrak kemangi
menunjukkan peningkatan eksplorasi lingkungan dan keberanian dalam menjelajah
ruang terbuka.
Hasil analisis menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun pandan pada mencit
menghasilkan efek yang signifikan terhadap perilaku depresif. Dalam uji berenang
paksa, mencit yang menerima ekstrak daun pandan menunjukkan peningkatan
aktivitas perenangannya dan penurunan waktu yang dihabiskan dalam keadaan
putus asa dibandingkan dengan kelompok kontrol. Selain itu, dalam uji lintasan
terbuka, mencit yang menerima ekstrak daun pandan menunjukkan peningkatan
eksplorasi lingkungan dan keberanian dalam menjelajah ruang terbuka.
Hasil analisis menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun jambu biji pada
mencit menghasilkan efek yang signifikan terhadap perilaku depresif. Dalam uji
berenang paksa, mencit yang menerima ekstrak daun jambu biji menunjukkan
peningkatan aktivitas perenangannya dan penurunan waktu yang dihabiskan dalam
keadaan putus asa dibandingkan dengan kelompok kontrol. Selain itu, dalam uji
lintasan terbuka, mencit yang menerima ekstrak daun jambu biji menunjukkan
peningkatan eksplorasi lingkungan dan keberanian dalam menjelajah ruang terbuka.
Hasil analisis menunjukkan bahwa ekstrak jahe, kunyit, kemangi, daun pandan,
dan daun jambu biji memiliki potensi aktivitas anti depresi pada model hewan
tikus. Tikus yang menerima perlakuan dengan ekstrak tanaman menunjukkan
perilaku yang lebih aktif dan menunjukkan penurunan tanda-tanda keputusasaan
dalam uji berenang paksa dibandingkan dengan kelompok kontrol. Selain itu, tikus
yang menerima perlakuan juga menunjukkan peningkatan respons eksplorasi dalam
uji lintasan terbuka, menunjukkan penurunan kecemasan dan peningkatan suasana
hati positif. Temuan ini menunjukkan bahwa ekstrak jahe, kunyit, kemangi, daun
pandan, dan daun jambu biji memiliki potensi dalam mengurangi gejala depresi
pada model hewan.
8. Kesimpulan
Kelompok 1
M1:1/10×26g = 0,26 ml M2: 1/100×24g = 0,24 ml M3:
1/100×25,5g = 0,25 ml
Kelompok 2
ABSTRAK- Antikoagulan adalah obat-obat yang digunakan untuk menghambat perkembangan dan pembesaran bekuan darah.
Obat antikoagulan merupakan dasar terapi utama untuk pencegahan dan pengobatan akut dan jangka pangjang dari berbagai tipe
penyakit tromboemboli (VTE). Sementara agen terapeutik yang efektif, antikoagulan juga dapat menyebabkan perdarahan dan efek
samping lainnya. Dengan demikian, pemilihan terapi antikoagulan harus dipandu oleh risiko, manfaat, dan karakteristik
farmakologis dari masing-masing agen untuk setiap bahan uji. Dimana bahan uji yang digunakan pada percobaan ini adalah mencit.
Penggunaan antikoagulan yang aman tidak hanya membutuhkan pengetahuan mendalam tentang sifat farmakologisnya tetapi juga
pendekatan komprehensif untuk manajemen dan edukasi. Tujuan dari percobaan ini adalah untuk mengetahui dan memahami
mekanisme kerja yang mendasari nenifestasi efek toksititas antikoagulan dan koagulansia dan untuk memahami bahaya memakai
obat-obattersebut dan obat lain yang berefek pada pembentukan darah.
ABSTRAC- Anticoagulants are drugs used to inhibit the development and enlargement of blood clots. Anticoagulantdrugs are the
mainstay of therapy for the prevention and acute and long-term treatment of various types of thromboembolic disease (VTE).
While effective therapeutic agents, anticoagulants can also cause bleeding and other side effects. Thus, the selection of
anticoagulant therapy should be guided by the risks, benefits, and pharmacological characteristics of each agent for each test
material. Where the test material used in this experiment was mice. The safe use of anticoagulants requires not only in-depth
knowledge of their pharmacological properties but also a comprehensive approach to management and education. The aim of this
experiment is to identify and understand the mechanisms of action underlying the manifestation of the forcible effects of
anticoagulants and coagulants and to understand the dangers of taking these drugs and other drugs that affect blood formation.
METODOLOGI PENELITIAN
ALAT DAN BAHAN
Adapun alat dan bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah sebagai berikut:
a. Alat
1. Alat suntik
2. Erlenmeyer
3. Pisau operasi/gunting
4. Stopwatch
5. Timbangan hewan
6. Kandang tunggal hewan atau bak hewan
7. Kawat penutup
b. Bahan
1. Air hangat 37 ˚C
2. Asetosal
3. Natrium sitrat
4. Vitamin K
c. Hewan Uji
3 ekor mencit perkelompok
PROSEDUR KERJA
Adapun prosedur kerja pada percobaan ini adalah timbang dan tandai hewan (mencit) untuk tiap kelompok.
Selanjutnya hitung dosis untuk masing-masing hewan sesuai yang ditentukan. Injeksi satu hewan dengan
obat, sedangkan untuk hewan yang lainnya dengan aquadest secara IP sesuai dosis. 15 setelah injeksi
potonglah ekor mencit dengan alat pemotong yang tajam kira- kira 1 meter dari ujung paling distal. Setelah
ekor mencit dipotong, lalu celupkan ekor mencit ke dalam air hangat (37 ˚C). Catat waktu pendarahan,
mulai saat memotong ekor sampai darah berhenti mengalir. Selanjutnya bandingkan waktu pendarahan
antara control dengan perlakuan dari masing-masing kelompok. Terakhir bahaslah hasil perccobaan dan
ambil kesimpulan dan percobaanpun selesai.
DATA HASIL PENGAMATAN
Tabel 1. Hasil pengamatan setiap kelompok
Kelompok Nama Waktu Rata- SD
Rata
Obat Mencit 1 Mencit 2 Mencit 3
1 Na Sitrat 100 mg 100 detik 138 detik 119 detik 119 19
2 Na CMC 1% 270 detik 180 detik 0 150 137.477208
3 Vitamin K 10 mg 49 detik 165 detik 372 detik 195 163.811884
4 Asetosal 100 mg 237 detik 165 detik 0 134 121.5030853
5 EDTA 150 mg 188 detik 64 detik 0 84 95.58242516
Tabel 2. Grafik hasil pengamatan
PERHITUNGAN
Kelompok 1: Na Sitrat 100 mg
100 mg = 1000 g/bb
1000
x = 100 = 20 bb x 10
= 2 mg
Misal: 23 g
2 mg = 23 x 20 bb
23 𝑏𝑏 𝑥 2 𝑚𝑔
x= 20 𝑏𝑏
x = 2.3 mg
2.3 mg = 0,5 ml
x = 2.3 mg x 5 ml
2.3 𝑚𝑔 𝑥 5 𝑚𝑙
x=
0,5 𝑚𝑙
x = 23 mg = 0,0023 g
Kelompok 2: Na CMC 1%
1 𝑔𝑟
Na CMC 1% = →
100 100 𝑚𝑙 𝑎𝑞𝑢𝑎𝑑𝑒𝑠𝑡
Pemberian Na CMC pada mencit:
1
Mencit 1 = 24,5 gr → 100 x 2,45 = 0,245
1
Mencit 2 = 2,75 gr → x 2,75 = 0,275
100
Di sonde dalam 0,5 ml
Kelompok 3: Vitamin K 10 mg
Mencit 1 10 mg = 1000 g bb
= 37 g bb
= 0,37 mg
Mencit 2 10 mg = 1000 g bb
= 34 g bb
= 0,34 mg
Mencit 3 10 mg = 1000 g bb
= 33 g bb
= 0,33 mg
0,37+0,34+ 0,33 1,64
Rata-rata = 3
3
=
= 0,34 mg
= 0,034 g → 5 ml
Kelompok 4: Asetosal 100 mg
Bobot Mencit
M1 = 25 g Rata-rata = 30,5 g
M2 = 36 g
30,5 g → Asetosal 100 mg/kg bb2 mg = 20 g bb
x = 30,5 g bbx = 3.05 mg
3.05 mg = 0,5 ml
x=5m
x = 30,5 mg → 5 ml Na CMCKelompok 5:
EDTA 150 mg
Berat Badan Mencit 1 = 34 Rata-rata =
Berat Badan Mencit 2 = 33 34+33
Add EDTA = 150 mg/kg bb 2
= 33,5 g
150 mg = 1000 g bb
x = 20 g bb
150 𝑚𝑔 𝑥 20 𝑔 𝑏𝑏
x=
1000 𝑔 𝑏𝑏
3000 𝑚𝑔
x= 1000
x = 3 mg
3 mg = 20 g bbx = 33,5 g
3 𝑥 33,5
x= 20
100 𝑥 5
x= 20
x = 5,0 mg
DOKUMENTASI
FARMAKOLOGI SISTEM URINASI
ABSTRAK- Sistem urinaria adalah suatu sistem tempat terjadinya proses penyaringan darah
sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang
masih dapat digunakan oleh tubuh. Zat- zat yang tidak digunakan oleh tubuh akan larut dalam air
dan dikeluarkan dalam bentuk urin (air kemih/air seni). Sistem urinaria dalam tubuh terdiri dari
ginjal, ureter, kandung kemih dan uretra. Salah satu gangguan sistem urinaria adalah batu ginjal.
Pada sistem urania terjadi proses penyaringan darah sehingga darah dari bekas zat-zat yang tidak
dipergunakan oleh tubuh larutan dalam air dan dikeluarkan berupa urin (air kemih). Penilitian ini
bertujuan untuk mengetahui uji marfologi pada sistem urania dan dapat mengetahui pengaruh
efektivitas pada pemberian obat-obat diuretik terhadap mencit. Diuretik adalah adanya
penambahan volume urin yang diproduksi dan menunjukan jumlah pengeluaran (kehilangan) zat-
zat terlarut dan air. Obat yang sebagai diuretik yang digunakan dalam percobaan ini adalah
furosamid 40 mg yang mana tergolong dalam golongan loop diuretik yang berfungsi untuk
meningkatkan jumlah urin yang keluar dari ginjal.
ABSTRAC- The urinary system is a system where the process of filtering blood occurs so that the
blood is free from substances that are not used by the body and absorbs substances that can still be
used by the body. Substances that are not used by the body will dissolve in water and be excreted
in the form of urine (urine / urine). The urinary system in the body consists of the kidneys, ureters,
bladder and urethra. One of the disorders of the urinary system is kidney stones. In the urania
system, the process of filtering blood occurs so that blood from used substances that are not used
by the body dissolves in water and is excreted in the form of urine (urine). This study aims to
determine the morphological test on the urania system and to determine the effect of effectiveness
on the administration of diuretic drugs in mice. Diuretics are the addition of the volume of urine
produced and shows the amount of expenditure (loss) of dissolved substances and water. The drug
used as a diuretic in this experiment was furosamide 40 mg which belongs to the loop diuretic class
which functions to increase the amount of urine excreted from the kidneys.
DOKUMENTASI
SISTEM RESPIRASI DAN SKRINING FARMAKOLOGI
Dosen Pengampu : Chindiana Khutami, S.Farm., M.Farm
Agustina, Anggi May Murti, Hilda Afriani, Maryati, Nabilla Septizah Ihsan,
Thesa Reti Mahesa
Fakultas Ilmu Kesehatan danF armasi Universitas Adiwangsa Jambi
Jl. Sersan Muslim No. RT 24, TheHok, Kec. Jambi Sel., Kota Jambi, Jambi
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sistem pernapasan pada mencit dan
pengaruh pemberian obat terhadap laju pernapasan serta skrining farmakologi
dalam menentukan aktivitas farmakologi suatu senyawa, menginterpretasikan
gejala yang muncul selama pengamatan sesuai dengan efek farmakologi yang
diberikan suatu obat dan faktor - faktor yang berperan dalam skrining suatu
senyawa baru. Pada sistem respirasi menggunakan metode pengukuran laju
pernapasan mencit dari 10 menit sampai 60 menit. Evaluasi skrining farmakologi
yang digunakan yaitu skrining buta uji meliputi observasi terhadap sikap,
observasi neurologi dan fungsi motorik. Uji hewan yang digunakan yaitu mencit
putih dengan bobot 20 - 30 gram terbagi dalam kelompok sistem respirasi 3 ekor
dan skrining farmakologi 1 ekor. Pada percobaan didapat hasil yaitu pada sistem
respirasi laju pernapasan tertinggi yaitu Epinefrin selama793,6 detik diazepam
724,3 detik dan caffein 687,83 detik. Pada skrining farmakologi menggunakan
obat B menunjukkan aktivitas analgesik sehingga obat yang sesuai adalah
paracetamol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa obat epinefrin, caffein dan
diazepam mempengaruhi laju pernapasan mencit serta pengamatan sikap,
neurologi dan fungsi motorik yang memiliki efek farmakologi analgesik
menunjukkan obat paracetamol.
Kata kunci : sistem respirasi, laju pernapasan, skrining farmakologi, skrining
buta.
ABSTRAC
This study aims to determine the respiratory system in mice and the effect of drug
administration on respiratory rate as well as pharmacological screening in
determining the pharmacological activity of a compound, interpreting the
symptoms that appear during observations according to the pharmacological
effects given by a drug and the factors that play a role in screening a compound.
new In the respiratory system using the method of measuring the respiratory rate
of mice from 10 minutes to 60 minutes. The evaluation of the pharmacological
screening used is the blind screening test which includes observation of attitude,
observation of neurology and motor function. The test animals used were white
mice weighing 20-30 grams divided into 3 respiratory system groups and 1
pharmacological screening group. In the experiment, the results obtained were
that the respiratory system had the highest respiratory rate, namely epinephrine
for 793.6 seconds, diazepam 724.3 seconds and caffeine 687.83 seconds. On
pharmacological screening using drug B showed analgesic activity so that the
appropriate drug was paracetamol. The results showed that the drugs
epinephrine, caffeine and diazepam affected the respiratory rate of mice and
observations of attitude, neurology and motor function which had analgesic
pharmacological effects showed paracetamol.
Keywords: respiratory system, respiratory rate, pharmacological screening, blind
screening
PENDAHULUAN
Respirasi pertukaran gas adalah pertukaran oksigen dan karbon dioksida antara sel-sel yang
aktif dengan lingkungan luarnya atau antara cairan tubuh hewan dengan lingkungan tempat
hidupnya. Definisi respirasi juga meliputi proses biokimia yang berlangsung di dalam sel
berupa perombakan molekul molekul makanan dan transfer energi yang dihasilkan
(respirasiseluler). Proses respirasi erat kaitannya dengan laju metabolisme (metabolit rate)
yang didefinisikan sebagai unit energi yang dilepaskan per unit waktu. Laju respires ipada
hewan tergantung pada aktivitas metabolisme total dari organism tersebut. Fungsi utama
respirasi adalah dalam rangka memproduksi energy melalui metabolism aerobic dan hal
tersebut terkait dengan konsumsi oksigen (Astrina,dkk 2022).
Sistem respirasi memilki fungsi utama untuk memasok oksigen kedalam tubuh serta
membuang karbon doksida dari dalam tubuh. Pada dasarnya, system respirasi dibedakan
menjadi dua, respirasi eksternal dan respiarsi internal. Respirasi eksternal sama dengan
bernapas sedangkan respirasi internal atau respirasi seluler ialah proses penggunaan oksigen
oleh sel tubuh dan pembuangan zat sisa metabolism sel berupa karbon dioksida. oksigen yang
didapatkan dari lingkungan ini kemudian digunakan dalam proses fosforilasi oksidatif untuk
menghasilkan ATP. Fungsi lain dari respirasi adalah untuk menjaga keseimbangan pH dan
keseimbangan elekrik dalam cairan tubuh. Difusi gas antara organ respirasi dengan
lingkungan dapat terjadi karena adanya perbedaan tekanan gas (Astrina,dkk 2022).
Respirasi mencakup pengambilan oksigen, mengedarkannya ke sel-sel dan melepaskan
karbondioksida. Proses respirasi melibatkan medium respires, membrane respirasi, dan organ
pernapasan. Organ respirasi pada setiap individu berbeda tergantung pada habitat dan cara
hidupnya. Hewan akuatik memilki organ pernapasan yang khusus yang disebut dengan
insang.Organ respirasipada terrestrial berbedadenganhewanakuatik.Organ tersebut
diantaranya paru-paru dan difusi, paru-paru buku, trakea, paru-paru alveolar, dan paru-paru
sempura (Astrina,dkk 2022).
Mekanisme respirasi pada serangga, contohnya kecoa dan belalang, meliputi tiga fase, yaitu
fase inspirasi, pertukaran gas, dan fase ekspirasi. Fase inspirasi memerlukan waktu
seperempat detik, spirakel pada bagian dada terbuka, udara masuk. Fase pertukaran gas
memerlukan waktu sekitar satu detik, spirakel daerah perut atau dada tertutup.Fase ekspirasi
memerlukan waktu sekitar satudetik, spirakel daerah perut terbuka selama kurang lebih
sepertiga detik. Setelah masuk kedalam trakea, oksigen menuju trakea kemudian masuk
kedalam sel-sel tubuh secara difusi.Karbndioksida yang merupakan sisa pernapasan
dikeluarkan juga melalui sistem trakea yang bermuara pada spirakel (Astrina,dkk 2022).
Skrining farmakologi terhadap suatu obat atau senyawa obat baru ditujukan untuk
memperoleh gambaran yang jelas mengenai aktivitas farmakologi dari obat atau senyawa
tersebut. Terdapat tiga macam prosedur skrining aktivitas biologi yaitu skrining sederhana
(simple screening) atau skrining umum (general screening), skriningbuta (blind screening),
dan skrining terprogram (programmed screening) atau skrining spesifik (spesific screening)
(Turner, 1965)
Skrining sederhana adalah suatu prosedur pengujian obat dasar yang meliputi satu atau dua
pengujian yang sama untuk mendeteksi apakah suatu senyawa memiliki aktivitas
farmakologi. Prosedurnya sederhana dan tidak memerlukan pengujian yang interpretasi hasil
suatu pengujiannya tergantung kepada pengujian lain. Misalkan, jika injeksi suatu senyawa
uji menyebabkan hewan percobaan kehilangan kesadaran, kemungkinan senyawa tersebut
bersifat depresan sistem saraf pusat. Kadang-kadang pendekatan ini disebut juga skrining
awal (preliminary or initial screening) (Turner, 1965)
Skrining buta adalah pengujian sederhana terhadap senyawa yang tidak diketahui aktivitas
farmakologinya yang bertujuan untuk mendapatkan petunjuk aktivitas potensial senyawa
tersebut. Skrining buta biasanya diterapkan untuk senyawa yang tidak memiliki kriteria
spesifik untuk aktivitas farmakologi yang telah diterapkan. Beberapa prosedur dapat
membandingkan potensi suatu senyawa dengan senyawalain yang telah diketahui aktivitas
farmakologinya. Terdapat banyak kegunaan skrining ini (Turner, 1965)
Pada skrining terprogram, tujuan metode pengujian konvensional adalah untuk mendapatkan
informasi tipe aktivitas farmakologi yang spesifik. Suatu senyawa dapat diteliti secara
spesifik untuk aktivitas potensialnya misalnya aktivitas antihipertensi (berdasarkan
kemampuan untuk menurunkan tekanan darah). Tujuan skrining ini lebih terbatas dari pada
skrining buta yaitu untuk menemukan aktivitas yang spesifik dan dapat mencakup metode
pengujian kuantitatif untuk senyawa yang potensial. Desain penelitian harus meliputi
beberapa indikasi efek samping yang potensial yang dapat diperoleh dengan menentukan
profil dosis – respons suatu senyawa uji. Jadi, skrining terprogram harus
menjawabpertanyaan yang berkaitan dengan bagaimana potensi suatu senyawa berdasarkan
pada aktivitas farmakologinya ( Turner,1965 )
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pengaruh yang diberikan obat - obatan yang digunakan dalam percobaan
tehada plaju pernafasan?
2. Bagaimana hubungan parameter-parameter yang diamati dengan jelas aktifitas -
aktifitas yang ditentukan?
TUJUAN DAN MANFAAT
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sistem pernapasan pada mencit dan pengaruh
pemberian obat terhadap laju pernapasan serta skrining farmakologi dalam menentukan
aktivitas farmakologi suatu senyawa, menginterpretasikan gejala yang muncul selama
pengamatan sesuai dengan efek farmakologi yang diberikan suatu obat dan faktor - faktor
yang berperan dalam skrining suatu senyawa baru.
Manfaat
Manfaat penelitian ini adalah untuk meningkatkan pemahaman kita. Penelitian memberikan
informasi dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah dan membuat
keputusan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental di Laboratorium Biologi Program Studi
S1 Farmasi Universitas Adiwangsa Jambi.
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu gelas beaker, batang pengaduk, gelas
bejana, timbangan hewan, spuit, sonde oral, stopwatch.
Bahan
Obat yang digunakan dalam penelitian ini adalah diazepam, caffeine, ephineprin
,paracetamol, furosemide,glibenclamide,
Pengelompokan Hewan Uji
Sistem Respirasi
Hewan Uji yang digunakan yaitu Mencit putih dengan bobot 20 – 25 gram yang berjumlah 15
ekor terbagi 3 ekor dalam 1 kelompok. Jadi kelompok berjumlah 5 dengan masing-masing 3
ekor.
Sebelum perlakuan masing – masing kelompok mendapatkan dosis :
Kelompok I : Diazepam 0,295 ml; Coffein 0,399 ml; Epinefrin 0,31 ml.
Kelompok II : Diazepam 0,18 ml; Coffein 0,235 ml; Epinefrin 0,185 ml.
Kelompok III : Diazepam 0,235 ml; Coffein 0,225 ml; Epinefrin 0,215 ml.
Kelompok IV : Diazepam 0,315 ml; Coffein 0,2 ml; Epinefrin 0,19 ml.
Kelompok V : Diazepam 0,265 ml; Coffein 0,305 ml; Epinefrin 0,3 ml.
Skrining Farmakologi
Hewan uji yang digunakan yaitu Mencit putih 1 ekor dengan bobot 20 – 30 gram.
PROSEDUR KERJA
Uji Sistem Respirasi
Timbang berat hewan uji. Buat larutan sediaan uji dengan dosis sesuai untuk hewan uji.
Hewan uji dibagi atas beberapa kelompok uji. Setelah 15 menit pemberian sediaan uji amati
laju pernafasan mencit secara manual dengan bantuan bejana pengamatan. Tabelkan hasil
pengamatan. Buat diskusi dan pembahasan mengenai data yang didapat.
Sistem Respirasi
1400
1200
1000
800
600
400
200
0
Kelompok Rata - Rata
1 2 3 4 5
Diazepam 1151 1217296,7710,8724,3819,9
Coffein 687,81275298,3546,7 562 674
Epinefrin 901,21139342,5 503 860,3749,2
Pada percobaan ini bertujuan untuk mengetahui sistem pernapasan pada mencit serta
megetahui pengaruh pemberian obat Diazepam, Coffein dan Epinefrin pada laju perapasan
mencit. Coffein dan Epinefrin mempunyai efek farmakologi sama yang bermanfaat secara
klinis. Obat – obatan ini dapat menyebabkan relaksasi otot polos, terutama otot polos
bronkus, merangsang Sistem Saraf Pusat, otot jantung dan meningkatkan diuresis.
Penggunaan dosis berlebihan dapat menyebabkan muntah dan kejag. Gejala awal berupa
sukar tidur, gelisah, dan eksitasi yang dapat berkembang menjadi delirium. Gangguan
sensoris berupa tinitus dan kilatan cahaya. Otot rangka menjadi tegang dan gemetar serta
sering ditemukan takikardia dan ekstrasitol, sedangkan pernapasan menjadi lebih cepat
(Theodore, dkk, 2018).
Diazepam mempengaruhi penurunan frekuensi napas dan volume tidal, depresi pusat napas
mungkin dapat terjadi pada pasien dengan penyakit paru atau pasien dengan retardasi mental
(Phillipus, 2017).
Aktivitas agonis reseptor -adrenergik bertindak untuk melebarkan saluran udara bronkial,
meningkatkan kekuatan kontraksi otot miokard (inotropi) dan detak jantung (kronotropi)
yang menigkatkan curah jantung dan melemahka keparahan reaksi yang dimediasi IgE
melalui reseptor pada sel mast (Joseph, P. dkk, 2014).
Pada hasil pengamatan, Diazepam memiliki laju pernapasan tertinggi yaitu 819.9 detik;
Coffein 673.966667 detik; Epinefrin 749,2 detik. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut,
Diazepam dapat menigkatkan laju pernapasan lebih cepat.
Skrinning Farmakologi
Tabel 2. Pengamatan Terhadap Sikap
Pengamatan Sikap 5 10 15 30 60
waspada 0 4 4 4 4
LAMPIRAN
Perhitungan Dosis pada Sistem Respirasi
1. Kelompok 1
2. Kelompok 2
3. Kelompok 3
4. Kelompok 4
ABSTRAK
Rimpang jahe mengandung antioksidan dan bersifat kemoprotektif, oleh karena itu
kami menduga dapat menurunkan laju penuaan pada sistem reproduksi. Tujuan penelitian ini,
untuk mengetahui pengaruh ekstrak jahe (Zingiber officinale) terhadap penuaan reproduksi
mencit jantan (Mus musculus). Penelitian ini, menggunakan 36 ekor mencit jantan (Mus
musculus) berumur 12-14 bulan, dibagi tiga kelompok masingmasing 12 ekor. Kelompok 1
sebagai kontrol, kelompok 2 dan 3 diberikan 50 mg dan 100 mg ekstrak jahe/kg pelet. Pelet
diberikan selama 70 hari secara ad libitum. Selanjutnya, diamati jumlah sel-sel
spermatogenik, serta jumlah dan kualitas spermatozoa. Hasil penelitian menunjukan, bahwa
pemberian ekstrak jahe berpengaruh terhadap sel-sel spermatogenik dan spermatozoa
(P<0,01) mencit. Hasil penghitungan spermatosit preleptoten, pakhiten, dan sel spermatid
lebih tinggi, demikian juga pada jumlah spermatozoa, persentase viabilitas dan motilitas,
serta morfologi normal spermatozoa lebih banyak pada kelompok yang diberi ekstrak jahe
dibanding kontrol (P<0,01). Disimpulkan bahwa ekstrak rimpang jahe yang diberikan pada
mencit yang sedang memasuki masa penuaan dapat menghambat laju penurunan fungsi
repruduksi.
Kata Kunci : Ekstrak Jahe, Fungsi Rproduksi, mencit jantan, anti penuaan, antioksidan
ABSTRACT
Kini orang mulai menyadari bahwa proses menua sesungguhnya harus dianggap
sebagai penyakit dan bukanlah sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Ini merupakan penyakit
degeneratif dan berjalan progresif dengan merusak setiap sel, jaringan dan organ tubuh
manusia, yang selanjutnya berakhir fatal. Sebagai antisipasi, dunia kedokteran mulai
menerima konsep aging dapat dicegah dan diobati(Sutyarso, 2017). Dengan demikian
berbagai upaya pencegahan dan pengobatan bisa dilakukan untuk mengatasi gangguan
defisiensi nutrisi, suplemen, hormon, imunitas, anti-oksidan, gaya hidup, seksualitas, obesitas
sampai terapi stemcells dan terapi gen telah diteliti untuk menghentikan, menghambat bahkan
Aging Reversal atau membalikan proses menua (Mitchell et al., 2015). Namun, faktor-faktor
yang dapat melindungi atau menghambat proses penuaan reproduksi pada pria sebagian besar
tidak diketahui.
Secara umum, penuaan adalah proses perubahan secara reguler yang meliputi
genetik, biokimia, morfologi, dan fisiologis. Perubahan menyimpang, melanggar dan
menyederhanakan struktur dan fungsi sistem kehidupan, sehingga terjadi peningkatan
gangguan dan kematian. Singkatnya, penuaan harus dipahami sebagai perubahan komplek
yang berkaitan dengan usia organisme, yang menyebabkan peningkatan probabilitas
kematiannya, demikian juga spermatogensis selama penuaan (Zahidov et al.,2010; Mitchell et
al., 2015).
Telah banyak pembuktian bahwa faktor makanan dapat digunakan sendiri atau
kombinasinya dengan agen kemoterapi tradisional, ternyata dapat bermanfaat baik untuk
pencegahan maupun untuk mengobati berbagai penyakit. Jahe (Zingiber officinale) adalah
contoh tanaman obat yang mendapatkan popularitas di kalangan masyarakat modern, dan
rimpang bawah tanah ini berguna dalam bidang medik. Banyak studi dilakukan pada jahe dan
konstituen yang menyengat dan segar dari rimpang kering (Mascolo et al, 1989).
Ekstrak jahe barubaru ini telah terbukti memiliki berbagai aktivitas biologis,
termasuk antikanker, antioksidan, antiinflamasi dan sifat antimikroba (Morakinyo et al.,
2011). Jahe ditemukan memiliki efek hypocholesterolemik dan menyebabkan penurunan
berat badan, glukosa dalam darah, kolesterol total serum dan serum alkali fosfatase pada tikus
jantan dewasa. Kajian terbaru, menyimpulkan bahwa pemberian ekstrak jahe pada tikus yang
diinduksi fungisida-metiram dapat memperbaiki kerusakan histologis dan mengurangi
apoptosis. Hal ini mungkin karena sifat antioksidan dari ekstrak jahe (Mascolo et al, 1989;
Bhandari et al., 2005; Kamtchouing et al., 2002; Khaki et al., 2014).Proses penuaan akan
terjadi secara alamiah dan akan dialami oleh semua organisme hidup. Pada mamalia jantan
termasuk manusia, sistem reproduksi juga akan mengalami penurunan fungsi sebanding
dengan bertambahnya umur. Jahe merupakan salah satu tanaman yang bersifat antioksidan,
efek kemoprotektif, dan kami menduga dapat menghambat laju penuaan pada sistem
reproduksi. Dengan demikan, tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh ekstrak jahe
(Zingiber officinale) terhadap hambatan penuaan reproduksi mencit jantan (Mus musculus).
RUMUSAN MASALAH
METODOLOGI PENELITIAN
Dalam penelitian ini menggunakan Alat seperti Alat suntik, Cawan petri, Gelas objek, Kaca
preparat, Mikroskop Cahaya, Pinset, Pipet, Pisau bedah, Saringan, Tabung
Reaksi,Timbangan. Adapun bahan yang digunakan pada penelitian ini Air hangat, Alkohol,
Aquades , Ekstrak Jahe, Eter, Larutan hanks, Makanan mencit, Metanol, Pelet.
PROSEDUR KERJA
Pemberian ekstrak jahe pada mencit mempunyai pengaruh baik terhadap berat
badan, nampak bahwa beratnya bertambah, meskipun tidak berbeda nyata (P>0,05) antar
kelompok, juga terhadap berat testis dan epidimis (Tabel 1).
Tabel 1. Parameter berat badan, testis, dan epididimis mencit setelah diberi ekstrak jahe
(Zingiber officinale) yang dicampurkan dalam pelet
Tabel 2. Parameter jumlah dan kualitas spermatozoa mencit umur setelah diberi ekstrak jahe
(Zingiber officinale) yang dicampurkan dalam pellet.
Variabel K1 K2 K3 One-way
ANOVA
(kontrol ) (50 mg (100 mg
(p-value)
ekstrak jahe / ekstrak jahe
1k g pelet) /1kg pellet)
Keterangan: Hasil uji lanjut LSD, angka yang diikuti oleh huruf sama pada satu variabel yang
sama tidak berbeda nyata (P>0,05), dan sebaliknya berbeda nyata (P<0,05)
Meskipun berat testis dan epididimis tidak berbeda antar kelompok (P>0,05), akan tetapi
pemberian ekstrak jahe ini berpengaruh nyata (P<0,01) terhadap diameter tubulus
seminiferus. Selanjutnya, hasil penghitungan populasi sel-sel spermatogenik disajikan pada
Tabel 3. Hasil uji ANOVA data tersebut memberikan petunjuk bahwa ekstrak jahe yang
diberikan pada mencit berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap spermatosit preleptoten,
spermatosit pakhiten, dan sel-sel spermatid. Sebaliknya tidak berpengaruh terhadap sel-sel
spermatogonia ( P>0,05). Dengan uji perbedaan rata-rata (post-hoc LSD-test) untuk
mengetahui pengaruh antar kelompok, kembali diperlihatkan pola yang sama yaitu pemberian
ekstrak jahe 50 mg/kg pelet tidak berbeda dengan 100 mg/kg pelet, meskipun berbeda sangat
nyata (P<0,01) dibandingkan dengan kontrol (Tabel 3).
Tabel 3. Parameter histologi tubulus seminiferus testis mencit setelah diberi ekstrak jahe
(Zingiber of
Variabel K1 K2 K3 One-way
ANOVA
(Kontrol) (50 ekstrak jahe (100 mg ekstrak
(p-value)
/1kg pelet jahe/ 1 kg
pellet)
Keterangan: Hasil uji lanjut LSD, angka yang diikuti oleh huruf sama pada satu variabel yang
sama tidak berbeda nyata (P>0,05), dan sebaliknya berbeda nyata (P<0,05)
PEMBAHASAN
Penelitian ini menggunakan mencit jantan umur 12-14 bulan, yaitu umur dimana
mencit memasuki masa penurunan atau kemunduran fungsi reproduksi, dan pada tikus. Ini
sebagai model penelitian mencari bahan alam sebagai suplemen, yang berguna
mempertahankan kesehatan reproduksi dan hambatan laju penurunan spermatogenesis karena
penuaan. Salah satu teori penuaan adalah meningkatnya radikal bebas yang sebanding dengan
bertambahnya umur, dan ROS (reactive oxygen species ) merupakan penanda (biomarkers)
terbentuknya radikal bebas
Penuaan juga terkait dengan penurunan kualitas parameter semen atau air mani
menunjukkan penurunan signifikan dalam kualitas parameter semen dari pria yang lebih tua
(> 50 tahun; n = 66) dibandingkan dengan laki-laki yang lebih muda (21-25 tahun; n = 134).
Mereka menunjukkan bahwa motilitas progresif spermatozoa menurun 27% pada pria yang
lebih tua. Disamping itu, Telah dibuktikan bahwa persentase sperma abnormal pada mencit
umur 12 dan 18 bulan lebih tinggi dari mencit umur 2 dan 6 bulan. Penelitian kami
menyajikan hasil bahwa pemberian ekstrak jahe pada mencit yang sedang dalam proses
menua, maka jumlah dan kualitas sperma yang meliputi viabilitas, motilitas, dan morfologi;
menjadi lebih baik dibandingkan dengan yang tidak diberi ekstrak.
Testis dan epididimis merupakan bagian sistem organ reproduksi yang sel-selnya
memiliki aktivitas tinggi, dan ini cenderung mehasilkan ROS yang berlebih. Akibatnya, akan
mengganggu proses baik spermatositogenesis maupun spermiogenesis di testis, dan
pematangan sperma pada epididimis (Fabricant and Parkening, 1982; Franks and Payne,
1970). Sementara itu, ada hubungan antara penuaan dengan meningkatnya apoptosis pada
spermatositogenesis. Apoptosis seluler adalah salah satu proses menyolok yang diamati
dalam perkembangan testis dan spermatogenesis normal. Terbukti pemberian suplemen
ekstrak jahe pada mencit jantan dewasa meningkatkan kualitas parameter reproduksi dan
spermatogenesis (Morakino et al 2011; Khaki et al., 2014).
Hal itu penting karena spermatogenesis mamalia merupakan proses yang kompleks yang
memerlukan homeostasis yang tepat dari jenis sel yang berbeda. Sel Sertoli berperan
mengatur proliferasi dan diferensiasi sel germinal, yang berarti terlibat dalam pengendalian
apoptosis sel germinal, mungkin ekstrak jahe berfungsi memaksimalkan mekanisme
pengendalian poros hipotamaus-hipofisis-testis (Vermeulen and Kaufman, 1995; Paul et al.,
2009). Faktor lain selain penuaan, apoptosis juga terjadi karena faktor endokrin, eksokrin,
racun, obat-obatan, metabolit dan peptida yang memicu aktivasi gen spesifik (Kuhnert and
Nieschlag, 2004). Pada sel-sel germinal baik faktor fisik misal radiasi gelombang
elektromagentik dan panas lokal pada testis, maupun faktor induksi bahan kimia misal zat
toksik dan antiandrogen.
Jahe mengandung zat yang memiliki kemampuan sebagai antioksidan, yang dapat
melindungi pengaruh buruk radikal bebas. Bahan yang paling aktif dan mendasar adalah
gingerol dan shogaol, yang telah menunjukkan efek perlindungan pada diabetes karena fungsi
hati, ginjal, mata, dan komplikasi sistem saraf. Selanjutnya, studi dengan hewan model
menunjukkan bahwa jahe umumnya berguna sebagai antioksidan, efek androgenik dan efek
hipoglikemik. Bahan aktif dari akar jahe dan daun seperti zingerone, gingerdiol, zingibrene,
gingerol dan shogaols diproduksi dan memiliki aktivitas antioksidan. Mencit yang diinduksi
fungisida-metiram dan bersama-sama dengan itu diberikan jahe, terbukti dapat mengurangi
apoptosis sel-sel germinal testis. Hasil penelitian ini, kami telah membuktikan pemberian
ekstrak jahe dalam pakan pelet selama dua siklus spermatogenesis, memperlihatkan bahwa
jumlah sel-sel spermatosit dan spermatid lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Hal ini
diduga ekrtrak jahe berfungsi sebagai antioksidan, yang dapat melindungi pengaruh buruk
ROS akibat penuaan.
Antioksidan alami dapat melindungi molekul dari kerusakan sel yang disebabkan oleh
oksidasi dan dapat meningkatkan kualitas sperma dan meningkatkan efisiensi reproduksi pria.
Jahe juga ditemukan memiliki efek perlindungan terhadap kerusakan DNA yang disebabkan
oleh induktor H2O2 dan meningkatkan kualitas parameter sperma pada tikus . Penelitian lain
merekomendasikan bahwa asupan akar jahe sebagai minuman mungkin bermanfaat bagi
pasien diabetes yang mengalami disfungsi seksual, dan ekstrak jahe juga memiliki aktivitas
antidiabetes dan meningkatkan fertilitas pada tikus jantan diabetes. Hasil penelitian
sebelumnya, menunjukkan bahwa ekstrak jahe memiliki pengaruh profertilitas pada tikus
jantan yang berfungsi sebagai antioksidan kuat, antitoksisitas, dan meningkatkan
steroidogenesis testis. Di samping itu ekstrak jahe juga emiliki efek kemopreventif terhadap
efek toksik fungisida-aspartame pada testis tikus. Ekstrak jahe juga bekerja meningkatkan
aktivitas enzim oksidase SOD (superoxide dismutase) dan katalase, ini sebagai indikasi
bahwa ekstrak jahe berperan sebagai antioksidan.
Penelitian kami ini, telah berhasil membuktikan bahwa pemberian ekstrak jahe yang
dicampur dalam pakan pelet selama dua siklus spermatogenesis pada mencit yang sedang
memasuki masa penuaan, dapat menghambat laju penurunan fungsi testis. Antara lain jumlah
spermatosit preleptoten, pakhiten, dan spermatid lebih tinggi dibandingkan yang tidak diberi
ekstrak jahe (kontrol). Selanjutnya, jumlah sepermatozoa, viabilitas, motilitas, dan morfologi
normal spermatozoa lebih baik dibandingkan kontrol. Hal ini diduga karena ekstrak jahe
berfungsi sebagai antioksidan, bersifat androgenik dan protektif terhadap kerusakan testis
mencit akibat penuaan.
KESIMPULAN
Ekstrak rimpang jahe (Zingiber officinale) yang diberikan pada mencit yang sedang
memasuki masa penuaan dapat menurunkan laju penurunan fungsi testis.
DAFTAR PUSTAKA
Billig H, Furuta I, Rivier C, Tapanainen J, Parvinen M, Hsueh AJ. 1995. Apoptosis in testis
germ cells: developmental changes in gonadotropin dependence and
localization to selective tubule stages. Endocrinology;136:5-12
Hozayen WG, Soliman HA, Abou-Seif HS. 2014. Study of the chemopreventive effects of
Zingiber officinale roots against aspartame induced testicular toxicity in rat
model. J Phys Pharm Adv;4:360-67
Mitchell SJ., Longo DL., Scheibye-Knudsen M, and de Cabo R. 2015. Animal Models of
Aging Research: Implications for Human Aging and Age-Related Diseases.
Ann Rev Anim BioSci;3:283–303
Sutyarso. 2017. Penuaan dan Fungsi Seksual. Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.
UJI ANTI DIARE PADA MENCIT JANTAN DENGAN MENGGUNAKAN
BERBAGAI OBAT ANTI DIARE
Apriliya Trifolina, Nazifa Oktavia, Natasya Nurul Nisa, Anggi Putri Rahayu,
Budi Jannatul Ilham.
Abstrak
Diare adalah suatu gejala klinik gangguan pada saluran pencernaan dimana konsistensi tinja
berbentuk cairan atau setengah cairan dan frekuensi terjadinya defekasi lebih sering dari
keadaan normal sekitar empat sampai lima kali sehari, dengan demikian kandungan air pada
tinja lebih banyak dan normal yaitu 200 g/hari. Penelitian ini, menggunakan 10 ekor mencit
jantan (Mus musculus), dibagi lima kelompok masing masing 2 ekor. Kelompok 1
menggunakan obat diapet , kelompok 2 menggunakan obat norit, kelompok 3 menggunakan
obat entrostop, kelompok 4 menggunakan obat loperamid dan terakhir kelompok 5
menggunakan obat kontrol. Selanjutnya, diamati waktu BAB, bentuk feses, berat feses,
frekuensi BAB, kapan terakhir BAB.Adapun hal nya perbandingan setiap obat yg di gunakan
pada pemberian mencit, semakin cepat rentang waktu diare, maka semakin kuat efek
antidiare. di sebabkan karena jumlah dosis yg di berikan berbeda-beda sehingga
mempengaruhi kekuatan bahan uji dalam menekan diare. semakin tinggi dosis yg di berikan
maka semakin besar efek antidiare yang di hasilkan oleh dosis ekstrak tersebut.menujukkan
hasil yg sebanding dengan kontrol dan loperamid. sedangkan memiliki efek yang lebih
rendah di bandingkan dengan kontrol obat, akan tetapi masih terlihat efeknya jika di
bandingkan dengan kontrol positif. di duga karena senyawa Tanin yg terdapat masih kurang
bisa memaksimalkan kerja usus. kontrol positif menunjukkan diare dengan waktu yang paling
lama karena pada saat diare usus mengalami kehilangan banyak elektrolit sehingga air yang
berada pada usus tidak mampu terserap oleh usus, kelompok perilakuan maupun kontrol obat
mempunyai efek dalam mempersingkat waktu diare.Empat obat antidiare yang digunakan
dalam penelitian ini adalah diapet, norit, entrostop, dan loperamid, yang memiliki mekanisme
kerja yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin cepat rentang waktu diare,
semakin kuat efek antidiare yang dihasilkan. Selain itu, dosis obat antidiare juga berpengaruh
terhadap kekuatan dalam menekan diare. Semakin tinggi dosis obat yang diberikan, semakin
besar efek antidiare yang dihasilkan oleh dosis ekstrak tersebut.
ABSTRACT
Diarrhea is a clinical symptom of disorders of the digestive tract where the consistency of the
stool is in the form of liquid or semi-liquid and the frequency of defecation is more frequent
than normal, around four to five times a day, thus the water content in the stool is more and
normal, namely 200 g/day. This study used 10 male mice (Mus musculus), divided into five
groups of 2 each. Group 1 used diapet, group 2 used norit, group 3 used entrostop, group 4
used loperamide and finally group 5 used control. Next, the time of defecation, the form of
the stool, the weight of the stool, the frequency of the bowel movements, when the last bowel
movement was observed. As for the comparison of each drug used in mice, the faster the
duration of diarrhea, the stronger the anti-diarrheal effect. This is because the number of
doses given is different so that it affects the strength of the test material in suppressing
diarrhea. the higher the dose given, the greater the antidiarrheal effect produced by the extract
dose. the results were comparable to the control and loperamide. while having a lower effect
compared to the drug control, the effect is still visible when compared to the positive control.
Allegedly because the tannin compounds that are still lacking can maximize the work of the
intestines. the positive control showed the longest duration of diarrhea because during
diarrhea the intestine lost a lot of electrolytes so that the water in the intestine was not able to
be absorbed by the intestine, the behavior group and the drug control had an effect in
shortening the time of diarrhea. The four antidiarrheal drugs used in this study are diapet,
norit, entrostop, and loperamide, which have different mechanisms of action. The results
showed that the faster the duration of diarrhea, the stronger the anti-diarrheal effect produced.
In addition, the dose of anti-diarrheal drugs also affects the strength in suppressing diarrhea.
The higher the dose of the drug given, the greater the antidiarrheal effect produced by the
dose of the extract.
PENDAHULUAN
Diare adalah suatu gejala klinik gangguan pada saluran pencernaan dimana
konsistensi tinja berbentuk cairan atau setengah cairan dan frekuensi terjadinya defekasi lebih
sering dari keadaan normal sekitar empat sampai lima kali sehari, dengan demikian
kandungan air pada tinja lebih banyak dan normal yaitu 200 g/hari. Karena berat feses
sebagian besar ditentukan aleh air feses, kebanyakan kasus diare disebabkan oleh gangguan
air dan elektrolit di usus. Penyebab diare adalah peningkatan tekanan osmotik di dalam usus
sehingga menyebabkan retensi air didalam lumen, sekresi elektrolit dan air yang berlebihan
ke dalam lumen usus, eksudasi protein dan cairan dari mukosa peningkatan motilitas usus
sehingga mempercepat transit (Sukmawati dkk., 2017).
Diare adalah buang air besar (BAB) dengan konsistensi feses lebih cair dengan
frekuensi lebih dari tiga kali sehari, kecuali pada neonatus (bayi 1 bulan) yang mendapatkan
ASI biasanya buang air besar dengan frekuensi lebih sering (5-6 kali sehari) dengan
konsistensi baik dianggap normal. Empat mekanisme patofisiologis terjadinya diare secara
umum karena adanya gangguan keseimbangan air dan elektrolit, yaitu: 1. adanya perubahan
transpor aktif ion dengan penurunan penyerapan natriumatau peningkatan sekresi klorida, 2.
perubahan motilitas usus, 3. peningkatan osmolaritas luminal, dan 4. peningkatan tekanan
hidrostatik jaringan. Mekanisme tersebut dikaitkan dengan empat kelompok diare secara luas:
sekretori, osmotik, eksudatif, dan transit usus yang berubah. Diare akut merupakan penyebab
utama kematian anak di negara berkembang. Tujuan pengobatan utama pada diare adalah
mencegah dehidrasi dan mengurangi durasi serta tingkat keparahan diare. Regimen terapi
yang direkomendasikan adalah rehidrasi oral, karena cukup efektif untuk meringankan diare.
Diare juga merupakan penyebab dari malnutrisi, terutama bila berkepanjangan. Pengobatan
diare dengan terapi rehidrasi oral mengurangi kematian akibat dehidrasi. Pada beberapa kasus
penggunaan rehidrasi oral kurang berpengaruh terhadap diare, sehingga diperlukan terapi
tambahan (Fauzi dkk., 2020).
Diare merupakan suatu penyakit dimana penderita mengalami rangsangan buang air
besar secara terus-menerus dan feses yang tidak terbentuk atau cair yang memiliki frekuensi
lebih dari 3 kali dalam 24 jam (Zulkoni, 2010). Diare dapat disebabkan oleh bakteri yang
mengkontaminasi makanan dan minuman atau oleh racun yang dihasilkan oleh bakteri-
bakteri tersebut yang berhubungan erat dengan sanitasi dan higienis individu maupun
masyarakat, juga dapat disebabkan oleh kelainan psikosomatik, alergi terhadap makanan atau
obat-obatan tertentu, kelainan pada sistem endokrin dan metabolisme, kekurangan vitamin.
Diare yang hebat dapat menyebabkan dehidrasi karena tubuh kekurangan cairan, kekurangan
kalium, dan elektrolit dalam jumlah yang banyak. Dehidrasi berat akan menimbulkan
kelemahan, shock bahkan kematian terutama pada anak-anak dan bayi (Lina dan Rahmawaty,
2021).
Diare sangat erat kaitannya dengan adanya infeksi mikro- organisme yang memiliki
pengaruh terhadap sistem pencernaan. Beberapa bakteri penyehah diare di antaranya
Escherichia coli, Shigella sp,dan Salmonello sp. Penanganan diare biasanya dilakukan
dengan beberapa langkah (WHO 20096). Salah satu langkahnya yaitu dengan pemberian
antibiotika (terutama disentri) baik yang berupa chat-obat sintetile atau obat-obat alternatif
yang berasal dari alam. Secara umum, penanganan diare di daerah dengan fasilitas kesehatan
yang lengkap dilakukan secara modis, sedangkan di daerah dengan fasilitas kesehatan yang
minim dilakukan cara empiris. Saat ini pengobatan secara empiris atau dengan menggunakan
bahan alam semakin meningkat. Selain tanpa mengeluarkan biaya, efek samping yang
ditimbulkan dari penggunaan obat bahan alam secara tepat ralatif kecil ( Nugrahani, dkk.
2021).
Bila usus tidak berfungsi normal. motilitas dapat meningkat baik atau menurun dan
keduanya menyebabkan diare, hal ini dapat yang menyebabkan meningkatnya motilitas usus
yang menghasilkan transportasi lebih cepat dari feses melalui usus sehingga hanya ada sedikit
kesempatan untuk menyerap cairan dari usus besar. Penyebab diare dapat dibagi atas: Faktor
Infeksi (infeksi bakteri), faktor malabsorbsi(malabsorbsi karbohidrat). faktor makanan
(makanan basi,heracun), faktor psikologis (rasa takut dan cemas). Motilitas usus
menghasilkan diare dan menyebabkan tiga mekanisme yaitu pengurangan waktu kontak
dalam usus kecil, pengosongan usus besar yang terlalu cepat, dan pertumbuhan bakteri yang
berlebihan. Air didalam perut yang berfungsi menghancurkan makanan harus terkena epitel
usus untuk jangku waktu yang cukup untuk memungkinkan penyerapan normal dan proses
sekresi terjadi. Jika kontak ini waktu menurun akan menghasilkan diare ( Larasati, dkk.
2015).
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana dapat mengetahui antidiare pada mencit?
2. Bagaimana dapat mengetahui pengaruh pemberian obat antidiare terhadap feses
mencit
TUJUAN DAN MANFAAT
6. Dapat mengetahui bagaimana antidiare pada mencit
7. Dapat mengetahui pengaruh pemberian obat antidiare terhadap feses mencit
METODOLOGI PENELITIAN
6. Alat dan Bahan
Alat suntik 1 ml, gunting, jam, jarum suntik yang sesuai untuk pemberian
intraperitoneal, kertas saring, penggaris, pinset, pipa lambung untuk mencit,
timbangan hewan, 6 bejana transparan dengan tutup
7. Prosedur Kerja
e. Timbang dan tandai hewan uji
f. Sonde oleum ricini 0.75 ml
g. Diamkan selama 30 menit dan timbang fases hewan uji
h. Gerus obat dan buat larutan (Na CMC 2%)
i. Sonde obat 0.5 ml
j. Diamkan 30 menit
k. Dislokasi kan 2 mencit
l. Bedah usus dan letakkan pada bejana berisi alkohol untuk dapat diukur
panjangnya menggunakan penggaris
m. Lalu hitung perbandingan usus yang di lalui tinta dan panjang usus seluruhnya
n. Tabelkan hasil pengamatan
Kelompok 1
kelompok 2
Kelompok 3
Kelompok 4
Mencit 1 Entrsosto - - - - 47 cm 7 cm 27 cm
Kelompok 5
PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini praktikan melakukan percobaan antidare menggunakan obat
diapet, norit, entrostop, loperamid, dan kontrol yang akan diuji dengan mencit jantan sesuai
dengn tujuan praktikum pada hari ini yaitu dapat mengetahui bagaimana antidiare pada
mencit dan dapat mengetahui pengaruh pemberian obat antidiare terhadap feses mencit.
Berdasarkan praktikum beberapa hal yang perlu diketahui yaitu mekanisme kerja dari
masing masing obat yang digunakan seperti pertama yaitu obat diapet adalah kombinasi obat
yang umumnya mengandung loperamid dan simetikon. Loperamid adalah bahan aktif yang
bekerja dengan mengikat reseptor opioid pada dinding usus. Ketika loperamid terikat pada
reseptor ini, hal itu menghambat peristaltik usus atau kontraksi otot usus. Dengan demikian,
gerakan tinja melalui usus melambat, dan penyerapan air dan elektrolit dari tinja kembali ke
tubuh meningkat. Akibatnya, tinja menjadi lebih padat dan frekuensi buang air besar
berkurang. Simetikon, yang juga terdapat dalam diapet, adalah agen defoaming yang
membantu meredakan kembung dan perut kembung yang dapat menyertai diare dengan
mengurangi gas dalam saluran pencernaan. Selanjutnya obat norit adalah merek dagang dari
karbon aktif atau arang aktif. Mekanisme kerjanya adalah melalui proses adsorpsi. Karbon
aktif memiliki pori-pori yang sangat kecil dan luas permukaan yang besar, sehingga mampu
menarik dan menahan toksin, patogen, atau zat-zat beracun lainnya yang mungkin ada dalam
saluran pencernaan. Ketika norit dikonsumsi, ia bertindak sebagai "spons" untuk menyerap
dan mengikat bahan-bahan berbahaya ini, mengurangi iritasi dan kerusakan pada usus, serta
membantu mengatasi diare. Ketiga ada obat entrostop umumnya mengandung loperamid
sebagai bahan aktifnya, yang memiliki mekanisme kerja seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya. Loperamid mengurangi peristaltik usus, sehingga mengurangi kontraksi otot
usus dan memperlambat gerakan tinja melalui saluran pencernaan. Ini membantu mengurangi
frekuensi buang air besar dan meningkatkan konsistensi tinja. Terakhir yaitu obat loperamid,
sebagai obat antidiare mandiri, bekerja sama seperti pada diapet dan entrostop. Dengan
mengikat reseptor opioid di usus, loperamid mengurangi peristaltik usus dan
memperlambat gerakan tinja.
Hewan percobaan yang digunakan dalam percobaan kali ini adalah mencit. Selain
karena anatomi fisiologinya sama dengan manusia, juga karena mencit mudah ditangani,
ukuran tubuhnya kecil sehingga waktu penelitian dapat berlangsung lebih cepat, sebelum
digunakan untuk percobaan, mencit dipuasakan terlebih dahulu sebelum percobaan tetapi
tetap diberikan minum. Hal ini dilakukan karena makanan dalam usus akan berpengaruh
terhadap kecepatan peristaltic.
Adapun hal nya perbandingan setiap obat yg di gunakan pada pemberian mencit,
semakin cepat rentang waktu diare, maka semakin kuat efek antidiare. di sebabkan karena
jumlah dosis yg di berikan berbeda-beda sehingga mempengaruhi kekuatan bahan uji dalam
menekan diare. semakin tinggi dosis yg di berikan maka semakin besar efek antidiare yang di
hasilkan oleh dosis ekstrak tersebut.menujukkan hasil yg sebanding dengan kontrol dan
loperamid.
Sedangkan memiliki efek yang lebih rendah di bandingkan dengan kontrol obat, akan
tetapi masih terlihat efeknya jika di bandingkan dengan kontrol positif. di duga karena
senyawa Tanin yg terdapat masih kurang bisa memaksimalkan kerja usus. kontrol positif
menunjukkan diare dengan waktu yang paling lama karena pada saat diare usus mengalami
kehilangan banyak elektrolit sehingga air yang berada pada usus tidak mampu terserap oleh
usus, kelompok perilakuan maupun kontrol obat mempunyai efek dalam mempersingkat
waktu diare.
KESIMPULAN
Fauzi Rizal, dkk. 2020. Efek Anti diare Ekstrak Etanol Daun Kelor (Moringa oleifera L.)
Pada Mencit Putih Jantan. Pharmaceutical Journal Of Indonesia. Vol 6.
No (1): Hal 35-39.
Larasati.K.E, dkk. 2015. Efek Antidiare Ekstrak Daun Sembung (Blumea Balsamifera L.)
Terhadap Mencit Putih. Jurnal Sains Dan Kesehatan. Vol 1. No 2.
Lina. N. R dan Rahmawaty. A. 2021. Uji Efek Antidiare Kombinasi Ekstrak Etanol Biji
Pepaya (Carica Papaya L.) Dan Rumput Teki (Cyperus Rotundus L.) Pada
Mencit Jantan. Cendekia Journal of Pharmacy. Vol. 5, No 1.
Nugrahani. W. A, dkk. 2021. Aktivitas Antidiare Ekstrak Etanol Daun Jarak Merah
(Jatropha gossypifolia) pada Mencit yang Diinduksi Bakteri Escherichia coli.
Jurnal Veteriner. Vol. 22 No. 3.
Sukmawati. K. I, dkk. 2017. Aktivitas Antidiare Ekstrak Etanol Daun Suji (Dracaena
angustifolia Roxb). Journal Pharmacy. Vol 14 No 02.