Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

PENGUJIAN AKTIVITAS OBAT ANALGETIKA

Golongan :P
Kelompok :3
Hari : Senin, 6 Maret 2023
Jam Praktikum : 13.00 - 15.00 WIB

Anggota kelompok pembuat laporan:


1. Angeline Marshianda (2443020014)
2. Angela Monica (2443020045)
3. Anggraeni Clarita J. P. S. (2443020218)
4. Athaya Salsabila F. (2443020223)
5. Sofiatun (2443020271)

Asisten Pemeriksa Laporan : Ibu apt. Dr. Monica Widyawati S., M.Sc.

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA

2023
DAFTAR ISI

BAB I
1.1. Latar Belakang 3

1.2. Rumusan Masalah 4

1.3. Tujuan Praktikum 4


1.4. Hipotesis Penelitian 4
1.5. Manfaat Penelitian
BAB II Tinjauan pustaka 5
2.1 Penggolongan obat 5
2.2 Tinjauan tentang codein 6
2.3 Tinjauan tentang antalgin 7
2.4 Efek samping obat 8

BAB III 9

METODE PENELITIAN 10
3.1 Jenis Penelitian 11
3.2 Alat dan Bahan Penelitian 11
3.3 Metode Penelitian 11
3.4 Hewan Percobaan 11
3.6 Tahapan Penelitian 12
BAB IV 15
HASIL PRAKTIKUM DAN PEMBAHASAN 15
4.1 Hasil Penelitian 15
BAB V 16
KESIMPULAN DAN SARAN 16
BAB VI 17
DAFTAR PUSTAKA 18
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Obat analgesik adalah obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan rasa
nyeri dan akhirnya akan memberikan rasa nyaman pada orang yang menderita. Nyeri adalah
perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman,berkaitan dengan ancaman kerusakan
jaringan. Rasa nyeri dalam kebanyakan halnya merupakan suatu gejala yang berfungsi
sebagai isyarat bahaya tentang adanya gangguan di jaringan seperti peradangan, rematik,
encok atau kejang otot (Tjay, 2007). Reseptor nyeri (nociceptor) merupakan ujung saraf
bebas, yang tersebar di kulit, otot, tulang,dan sendi. Impuls nyeri disalurkan ke susunan saraf
pusat melalui dua jalur, yaitu jaras nyeri cepat dengan neurotransmiternya glutamat dan jaras
nyeri lambat dengan neurotransmiternya substansi P (Guyton & Hall, 1997;Ganong, 2003).
Semua senyawa nyeri (mediator nyeri) seperti histamine, bradikinin, leukotrien dan
prostaglandin merangsang reseptor nyeri (nociceptor) di ujung-ujung saraf bebas kulit,
mukosa serta jaringan lain dan demikian menimbulkan antara lain reaksi radang dan
kejang-kejang. Nociceptor ini juga terdapat di seluruh jaringan dan organ tubuh, terkecuali di
SSP. Dari tempat ini rangsangan disalurkan ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk
neuron dengan sangat banyak sinaps via sumsum- belakang, sumsum-lanjutan dan
otak-tengah. Dari thalamus impuls kemudian diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana
impuls dirasakan sebagai nyeri (Tjaydan Rahardja, 2007). Rasa nyeri dalam kebanyakan hal
hanya merupakan suatu gejala yang berfungsi melindungi tubuh. Nyeri harus dianggap
sebagai isyarat bahaya tentang adanya gangguan di jaringan, seperti peradangan, infeksi jasad
renik, atau kejang otot. Nyeri yang disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis
dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan.
Rangsangan tersebut memicu pelepasan zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri.
Mediator nyeri antara lain dapat mengakibatkan reaksi radang dan kejang-kejang yang
mengaktivasi reseptor nyeri di ujung saraf bebas di kulit, mukosa dan jaringan lain.
Nosiseptor ini terdapat diseluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali di SSP. Dari sini
rangsangan disalurkan ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron dengan amat
banyak sinaps via sumsum tulang belakang, sumsum lanjutan, dan otak tengah. Dari thalamus
impuls kemudian diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai
nyeri (Tjay, 2007).
Berdasarkan aksinya, obat-obat analgetik dibagi menjadi 2 golongan yaitu:

a. Analgesik Nonopioid/Perifer ( Non-Opioid Analgesics)

Secara farmakologis praktis dibedakan atas kelompok salisilat (asetosal, diflunisal) dan non
salisilat. Sebagian besar sediaan – sediaan golongan non salisilat termasuk derivat as.
Arilalkanoat (Gilang, 2010).

b. Analgesik Opioid/Analgesik Narkotika.

Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium atau
morfin. Golongan obat ini terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa
nyeri. Tetap semua analgesik opioid menimbulkan adiksi/ketergantungan. Ada 3 golongan
obat ini yaitu (Medicastore,2006):

1. Obat yang berasal dari opium-morfin


2. Senyawa semisintetik morfin
3. Senyawa sintetik yang berefek seperti morfin.
1.2. Rumusan Masalah
Yang menjadi rumusan masalah dalam percobaan ini adalah :
1. Apa yang terjadi pada tikus pada saat tikus diberikan obat Analgesik dengan dosis
yang berbeda?
2. Dosis berapakah yang membuat tikus dapat bertahan di atas plat panas?
1.3. Tujuan Praktikum

1. Mengetahui mekanisme kerja obat Analgetik


2. Mengetahui efek obat Analgetik
3. Mengetahui % proteksi Analgetik
1.4. Hipotesis Penelitian
1. Ada penggunaan obat Analgetik terlihat mampu meningkatkan ketahanan tikus di atas
plat panas.
2. Adanya perbedaan mencit ketika diberikan dosis yang berbeda.
1.5. Manfaat Penelitian
Manfaat dari pemberian obat Analgetik pada tikus ini adalah untuk memberi informasi
kepada pembaca atau memberikan tambahan ilmu farmakologi mengenai obat Analgetik
sebagai penghilang rasa nyeri.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penggolongan Obat
Obat analgetika merupakan obat yang dapat menghilangkan atau mengurangi rasa
sakit tetapi tidak mempunyai atau sedikit pengaruhnya terhadap sensasi yang lain selain rasa
sakit. nyeri terjadi karena adanya rangsangan mekanis, kimiawi, listrik, dan panas yang
menimbulkan kerusakan jaringan dan pelepasan mediator nyeri. Prostaglandin, histamin,
serotonin, dan bradikinin merupakan contoh dari mediator nyeri yang dapat merangsang
reseptor nosiseptor yang dapat menyebabkan nyeri. Analgetika digolongkan ke dalam 2
golongan besar yakni analgetika opioid dan analgetika non opioid.
Analgetika opioid adalah senyawa yang menekan fungsi SSP secara selektif.
Analgesik opioid memiliki aktivitas yang lebih besar dibanding analgesik non opioid
sehingga disebut analgetik kuat. Tetapi, pemberian secara terus menerus dapat menyebabkan
ketergantungan fisik & mental (Siswandono & Sukardjo, 2000). Obat yang termasuk kedalam
golongan ini adalah:
● alkaloid alam : Morfin, codein
● derivat semi sintetik : Heroin
● derivat sintetik : Fentanil
● Antagonis morfin : Nalorfin, Nalokson, Pentasozin
Analgetika non opioid adalah obat yang menghambat langsung dan selektif terhadap
enzim-enzim pada SSP yang mengkatalisis biosintesis prostanoid seperti cyclooxygenase
(COX) sehingga mencegah sensitivitas reseptor nyeri oleh mediator nyeri yang dapat
merangsang sakit secara mekanis atau kimiawi (Siswandono & Sukardjo, 2000).

2.2 Tinjauan Tentang Codein


Codein termasuk golongan obat analgesik opioid. Analgesik opioid merupakan
kelompok obat yang memiliki sifat seperti opium. Opium yang berasal dari getah Papaver
somniferum mengandung banyak alkaloid salah satunya kodein. Analgesik opioid terutama
digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri, meskipun memperlihatkan
berbagai efek farmakodinamik yang lain. Berdasarkan kerjanya pada reseptor, kodein
termasuk obat golongan opioid agonis lemah sampai sedang (Dewoto. 2016).

2.2.1 Farmakokinetika Kodein


Kodein dan garamnya diserap pada saluran pencernaan. Kodein fosfat dilaporkan
diserap melalui ginjal. Ketika dicerna kodein fosfat mencapai konsentrasi-plasma puncak
sekitar satu jam. Kodein dimetabolisme di hati melalui proses demetilasi O- dan N- menjadi
morfin, norcodein dan metabolit lainnya seperti morfin dan hydrocodone. Metabolisme
kodein dimediasi oleh sitokrom P450 isoenzim CYP2D6, yang menunjukkan genetik
polimorfisme. Kodein dan metabolitnya sebagian besar diekskresikan oleh ginjal, terutama
yang terkonjugasi dengan asam glukoronat. Waktu paruh plasma codein dilaporkan sekitar 3
hingga 4 jam sesudah pemberian secara oral atau intramuskular. Kodein dapat menembus
plasenta dan juga didistribusikan melalui ASI. (Sweetman. 2009). Menurut (Anderson,2002)
kodein memiliki Onset and Duration of Action 15-30 menit. Efek analgesik puncak melalui
IM terjadi dalam waktu 0.5-1 jam dengan durasi (semua rute pemberian) adalah 4-6 jam.
2.2.2 Farmakodinamika Kodein
Analgesia oleh morfin dan opioid lain sudah timbul sebelum pasien tidur dan
seringkali analgesia terjadi tanpa disertai tidur. Efek analgetik yang ditimbulkan oleh opioid
terutama terjadi sebagai akibat kerja opioid pada reseptor mu. Reseptor delta dan kappa juga
dapat ikut berperan dalam menimbulkan analgesia terutama pada tingkat spinal. Opioid
menimbulkan analgesia dengan cara berikatan dengan reseptor opioid yang terutama
didapatkan di SSP dan medula spinalis yang berperan pada transmisi dan modulasi nyeri.
Ketiga jenis reseptor utama yaitu reseptor mu, kappa, delta banyak didapatkan pada kornu
dorsalis medula spinalis. Reseptor didapatkan baik pada saraf yang mentransmisi nyeri di
medula spinalis maupun pada aferen primer yang merelai nyeri. Agonis opioid melalui
reseptor mu, kappa, dan delta pada ujung presinaps aferen primer nosiseptif mengurangi
pelepasan transmiter, dan selanjutnya menghambat saraf yang mentransmisi nyeri dikomu
dorsalis medula spinalis. Dengan demikian opioid memiliki efek analgesik yang kuat melalui
pengaruh pada medula spinalis. Selain itu juga menimbulkan efek inhibisi pascasinaps
melalui reseptor mu di otak.
2.3 Tinjauan tentang Antalgin
Menurut Rahardja & Tjay. 2015, Antalgin termasuk golongan metamizole yang
merupakan derivat sulfonat dari aminofenazon yang larut air. Antalgin berfungsi sebagai
analgetika perifer atau co-analgetika yang khasiat dan indikasi utamanya bukan
menghilangkan perasaan nyeri. Obat analgetika perifer digunakan tunggal atau terkombinasi
dengan analgesik lain pada keadaan tertentu, seperti pada nyeri neuropatik.

2.3.1 Farmakokinetik Antalgin


Setelah dosis oral antalgin terhidrolisis di dalam saluran cerna menjadi metabolit aktif
4-metil-amino-antipirin, dimana setelah diabsorpsi mengalami metabolisme menjadi
4-formil-amino-antipirin dan metabolit-metabolit lain. Antalgin juga secara cepat tidak
terdeteksi dalam plasma setelah pemberian intravena. Tidak ada metabolit antalgin yang
terikat pada protein plasma. Kebanyakan dari obat akan diekskresikan dalam urin sebagai
metabolit.

2.3.2 Farmakodinamika Antalgin


Mekanisme aksi NSAID yang paling penting adalah menghambat cyclooxygenase
(COXs), enzim yang terlibat dalam sintesis prekursor prostaglandin (PG). Setidaknya
beberapa NSAID memiliki tindakan antinosiseptif yang independen kemampuan mereka
untuk menghambat COX. Salah satu komponen non-COX mediated efek antinociceptive
adalah konsekuensi langsung tindakan pada elemen aferen nosiseptif di pinggiran. Di Selain
aksi pada jaringan perifer, NSAID mengerahkan efek antinociceptive mereka dengan
bertindak berdasarkan SSP, khusus pada sumsum tulang belakang dan abu-abu
periaqueductal materi (PAG), yang memicu penghambatan tulang belakang nociception.
Penghambatan sintesis prostaglandin juga menyisakan lebih banyak asam arakidonat untuk
sintesis endocannabinoid, yang memiliki aksi antinosiseptif pada sumsum tulang belakang.
(Nikolova. 2012).
2.3.4 Struktur Obat
2.3.4.1 Kodein

BM: 406,37 g/mol


Pemerian: Hablur berbentuk jarum, halus; putih atau serbuk hablur putih; tidak berbau, peka
terhadap cahaya; larutannya bersifat asam terhadap lakmus.
2.3.4.2 Antalgin

BM: 351,57 g/mol


Pemerian: Serbuk hablur; putih atau putih kekuningan

2.4 Efek Samping Obat


2.4.1 Kodein
Efek samping kodein jarang terjadi pada dosis biasa dan terbatas pada obstipasi, mual
dan muntah, pusing dan termangu-mangu. Pada anak kecil dapat terjadi konvulsi dan depresi
pernapasan. Dosis tinggi dapat menimbulkan efek sentral tersebut. Walaupun kurang hebat
dan lebih jarang dari morfin, obat ini dapat pula mengakibatkan ketagihan. (Rahardja & Tjay.
2015).
2.4.2 Antalgin
Antalgin dapat secara mendadak dan tidak terduga menimbulkan kelainan darah yang
adakalanya fatal. Karena bahaya agranulositosis, obat ini sudah lama dilarang peredarannya
di banyak negara (Rahardja & Tjay. 2015).

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian Eksperimental

3.1.1 Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas Variabel bebas pada penelitian ini adalah hasil pengamatan dari efek
Analgetika yang dihasilkan oleh pengaruh obat antalgin.
2. Variabel Terikat Variabel terikat pada penelitian ini adalah perlakuan tikus setelah
pemberian obat Antalgin.
3. Variabel Terkendali Variabel terkendali pada penelitian ini adalah waktu
pengamatan dan metode pengujian yang dilakukan terhadap tikus.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian


3.2.1 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
● Timbangan
● Plantar
● Jarum suntik
● Spuit 1 mL
● Vial 5 mL
● Alkohol swab
● Plastik ukuran 90 cm x 200 cm

3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
● Tikus jantan (hewan coba)
● Antalgin 1,5%
● Water for Injection (WFI)
● Alkohol swab
3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan memberikan beberapa perlakuan kepada hewan percobaan,
dalam hal ini yakni tikus jantan. Pada penelitian ini, tikus jantan akan diamati efek Analgetika
berdasarkan aktivitas, menarik kaki, menjilat kaki, atau meloncat. Baik sebelum maupun
setelah diberi suntikan Water for injection. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya, tikus
jantan akan dibandingkan dengan tikus lainnya yang diberikan obat Analgetika.
3.4 Hewan Percobaan
Hewan percobaan yang digunakan yakni tikus jantan Galur wistar, dengan berat 202
gram. Tikus yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kondisi dimana mencit dalam
kondisi bersih tidak memiliki luka, bulu mencit berwarna putih, sering melakukan groom,
cenderung diam, dan stress ditandai dengan adanya pengeluaran urin serta feses.

3.5 Tahapan Penelitian


3.5.1 Pengujian stimulansia dengan Metode
Pada metode plantar, sebelum mencit yang disuntik, diletakkan di dalam plantar selama
sambil dilakukan pengamatan terhadap aktivitas, sikap tubuh, jumlah jengukan dan
kecepatan nafas dari mencit. Pengamatan terhadap sikap tubuh mencit ditinjau berdasarkan
sikap tubuh mencit ketika menarik kaki, menjilat kaki, atau meloncat. Juga ditinjau setiap
lima menit dan dicatat hasil pengamatan dari masing-masing tinjauan tikus.

3.6 Skema kerja


Kelompok perlakuan: kontrol
BAB IV

HASIL PRAKTIKUM DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Respon menit
ke- (setelah obat)
Pre
Kelompok 15’

Kanan Kiri Mean Kanan Kiri Mean

Kelompok 3: Kontrol 5,7 detik 5,9 detik 5,8 detik 6 detik 4 detik 5 detik

Kelompok 1: 6,4 detik 4,4 detik 5,4 detik 4,3 detik 6,5 detik 5,4 detik
Antalgin 500 mg/70
kgBB

Kelompok 2: Kodein 3 detik 7,5 detik 5,25 detik 5,1 detik 6 detik 5,55 detik
30 mg/70 kgBB

Kelompok 4: Kodein 4,8 detik 5,2 detik 5 detik 1,9 detik 3,5 detik 2,7 detik
50 mg/70 kgBB
4.2 Pembahasan
Pada praktikum pengujian aktivitas sifat analgetika, kami menggunakan tikus
sebagai hewan uji. Tikus-tikus yang digunakan akan diberi beberapa perlakuan
dengan menggunakan obat-obatan analgetika, dalam hal ini yakni Antalgin dan
Codein dengan dosis yang berbeda. Metode yang digunakan untuk pengujian aktivitas
sifat analgetika ini yaitu dengan menggunakan metode plantar test. Metode plantar
test yang digunakan bertujuan untuk meninjau respon dari tikus seperti menarik kaki,
menjilat kaki, atau meloncat saat diberi sumber panas. Sumber panas yang muncul
berasal dari sinar infra merah yang diberikan pada telapak kaki tikus bagian kanan
dan kiri belakang secara bergantian. Oleh karena itu, obat-obatan analgetika yang
digunakan diharapkan mampu untuk memberikan efek yang dapat memperpanjang
selang waktu antara pemberian stimulus nyeri dan terjadinya respon (waktu reaksi).

Berdasarkan hasil praktikum yang diperoleh, kelompok 3 yakni kelompok


kontrol memperoleh hasil dimana saat sebelum diberikan injeksi water for injection
secara intraperitoneal, tikus memberikan respon yakni mengangkat kaki dan menjilat
kaki kurang lebih selama 5,8 detik. Selanjutnya, tikus diinjeksikan dengan water for
injection secara intraperitoneal dan didiamkan selama 15 menit setelah diinjeksi. Hal
tersebut bertujuan untuk meninjau perbandingan respon tikus sebelum dan setelah
diinjeksikan dengan water for injection secara intraperitoneal. Hasil yang diharapkan
dari kelompok kontrol ini adalah tikus akan memberikan selang waktu yang kurang
lebih sama atau mendekati hasil sebelum diinjeksikan dengan water for injection,
antara pemberian stimulus nyeri dan terjadinya respon (waktu reaksi) akibat tidak
adanya pemberian obat–obatan analgesik. Setelah tikus didiamkan selama 15 menit
setelah diinjeksi, hasil yang diperoleh yakni tikus memberikan respon yakni
mengangkat kaki kurang lebih selama 5 detik, sehingga dapat dikatakan bahwa hasil
yang diharapkan sesuai, yakni tikus akan tetap merasa nyeri sebelum dan setelah
diinjeksikan dengan water for injection secara intraperitoneal akibat tidak adanya efek
analgesik dari water for injection.

Selanjutnya, berdasarkan hasil praktikum yang diperoleh, kelompok 1 yakni


kelompok obat Antalgin 500 mg, memperoleh hasil dimana saat sebelum diberikan
injeksi Antalgin 500 mg secara intraperitoneal, tikus memberikan respon kurang lebih
selama 5,4 detik. Selanjutnya, tikus diinjeksikan dengan Antalgin 500 mg secara
intraperitoneal dan didiamkan selama 15 menit setelah diinjeksi. Hal tersebut
bertujuan untuk meninjau perbandingan respon tikus sebelum dan setelah diinjeksikan
dengan Antalgin 500 mg secara intraperitoneal. Hasil yang diharapkan dari kelompok
Antalgin 500 mg ini adalah tikus akan memberikan selang waktu yang lebih lama
dibandingkan dengan sebelum diinjeksikan dengan Antalgin 500 mg, antara
pemberian stimulus nyeri dan terjadinya respon (waktu reaksi) akibat adanya
pemberian obat analgesik yang memiliki mekanisme kerja adalah menghambat
cyclooxygenase (COXs), enzim yang terlibat dalam sintesis prekursor prostaglandin
(PG) secara non-selektif, sehingga mengerahkan efek antinociceptive dengan
bertindak berdasarkan SSP, khususnya pada sumsum tulang belakang dan
Periaqueductal Gray (PAG), yang memicu penghambatan tulang belakang
nociception. Selain itu, penghambatan sintesis prostaglandin juga menyisakan lebih
banyak asam arakidonat untuk sintesis endocannabinoid, yang memiliki aksi
antinosiseptif pada sumsum tulang belakang. Setelah tikus didiamkan selama 15
menit setelah diinjeksi, hasil yang diperoleh yakni tikus memberikan respon yakni
mengangkat kaki kurang lebih selama 5,4 detik, sehingga dapat dikatakan bahwa hasil
yang diharapkan tidak sesuai, yakni tikus tetap merasa nyeri sebelum dan setelah
diinjeksikan dengan Antalgin 500 mg secara intraperitoneal, sehingga dengan
pemberian Antalgin 500 mg tidak memberikan efek analgesik.

Selanjutnya, berdasarkan hasil praktikum yang diperoleh, kelompok 2 yakni


kelompok obat Codein 30 mg, memperoleh hasil dimana saat sebelum diberikan
injeksi Codein 30 mg secara intraperitoneal, tikus memberikan respon kurang lebih
selama 5,25 detik. Selanjutnya, tikus diinjeksikan dengan Codein 30 mg secara
intraperitoneal dan didiamkan selama 15 menit setelah diinjeksi. Hal tersebut
bertujuan untuk meninjau perbandingan respon tikus sebelum dan setelah diinjeksikan
dengan Codein 30 mg secara intraperitoneal. Hasil yang diharapkan dari kelompok
Codein 30 mg ini adalah tikus akan memberikan selang waktu yang lebih lama
dibandingkan dengan sebelum diinjeksikan dengan Codein 30 mg, antara pemberian
stimulus nyeri dan terjadinya respon (waktu reaksi) akibat adanya pemberian obat
analgesik yang memiliki mekanisme kerja dengan cara berikatan dengan reseptor
opioid yang terutama didapatkan di SSP dan medula spinalis yang berperan pada
transmisi dan modulasi nyeri melalui reseptor mu, kappa, dan delta pada ujung
presinaps aferen primer nosiseptif mengurangi pelepasan transmiter, dan selanjutnya
menghambat saraf yang mentransmisi nyeri di kornu dorsalis medula spinalis.
Sehingga, memiliki efek analgesik yang kuat melalui pengaruh pada medula spinalis.
Selain itu mu agonis juga menimbulkan efek inhibisi post-sinaps melalui reseptor mu
di otak, dengan onset of action selama 15-30 menit .Setelah tikus didiamkan selama
15 menit setelah diinjeksi, hasil yang diperoleh yakni tikus memberikan respon yakni
mengangkat kaki kurang lebih selama 5,55 detik, sehingga dapat dikatakan bahwa
hasil yang diharapkan tidak sesuai, yakni tikus lebih merasa nyeri setelah diinjeksikan
dengan Codein 30 mg secara intraperitoneal, sehingga dengan pemberian Codein 30
mg tidak memberikan efek analgesik.

Selanjutnya, berdasarkan hasil praktikum yang diperoleh, kelompok 2 yakni


kelompok obat Codein 50 mg, memperoleh hasil dimana saat sebelum diberikan
injeksi Codein 50 mg secara intraperitoneal, tikus memberikan respon kurang lebih
selama 5 detik. Selanjutnya, tikus diinjeksikan dengan Codein 50 mg secara
intraperitoneal dan didiamkan selama 15 menit setelah diinjeksi. Hal tersebut
bertujuan untuk meninjau perbandingan respon tikus sebelum dan setelah diinjeksikan
dengan Codein 50 mg secara intraperitoneal. Hasil yang diharapkan dari kelompok
Codein 50 mg ini adalah tikus akan memberikan selang waktu yang lebih lama
dibandingkan dengan sebelum diinjeksikan dengan Codein 50 mg, antara pemberian
stimulus nyeri dan terjadinya respon (waktu reaksi) akibat adanya pemberian obat
analgesik yang memiliki mekanisme kerja dengan cara berikatan dengan reseptor
opioid yang terutama didapatkan di SSP dan medula spinalis yang berperan pada
transmisi dan modulasi nyeri melalui reseptor mu, kappa dan delta pada ujung
presinaps aferen primer nosiseptif mengurangi pelepasan transmiter, dan selanjutnya
menghambat saraf yang mentransmisi nyeri di kornu dorsalis medula spinalis.
Sehingga, memiliki efek analgesik yang kuat melalui pengaruh pada medula spinalis.
Selain itu mu agonis juga menimbulkan efek inhibisi post-sinaps melalui reseptor mu
di otak, dengan onset of action selama 15-30 menit. Setelah tikus didiamkan selama
15 menit setelah diinjeksi, hasil yang diperoleh yakni tikus memberikan respon yakni
mengangkat kaki kurang lebih selama 2,7 detik, sehingga dapat dikatakan bahwa hasil
yang diharapkan tidak sesuai, yakni tikus lebih merasa nyeri setelah diinjeksikan
dengan Codein 50 mg secara intraperitoneal, sehingga dengan pemberian Codein 50
mg tidak memberikan efek analgesik.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi ketidaksesuaian efek yang
diharapkan dari masing-masing percobaan menggunakan obat-obatan yang berbeda
serta dosis yang berbeda adalah adanya kemungkinan kondisi tikus yang stres. Selain
itu, adanya kemungkinan ketidaktelitian dalam pengambilan volume penyuntikan
sehingga tidak sesuai dengan efek yang diharapkan ataupun bahkan tidak
menimbulkan efek sama sekali. Faktor lain yang dapat mempengaruhi yakni adanya
kemungkinan bahwa lokasi penyuntikan tidak sesuai yakni secara intraperitoneal,
sehingga dapat mempengaruhi waktu kerja obat dan menyebabkan efek analgesik
yang muncul tidak sesuai dengan onset of action dari obat yang diinjeksikan.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini yakni bahwa:
1. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk pengujian obat analgetika adalah
metode plantar dengan menggunakan alat Ugo Basile Plantar Test.
2. Obat analgetika dibagi kedalam dua golongan, yaitu opioid dan non opioid.
3. Apabila pemberian dosis obat analgetika ditingkatkan, maka efek analgetika yang
dihasilkan akan berbanding lurus dengan meningkatnya waktu respon yang juga
semakin lama.

5.2 Saran
Saran dari asisten untuk penelitian ini yakni:
1. Perlunya memperhatikan teknik penyuntikan ke hewan coba agar dapat
memberikan efek yang sesuai pada mencit.
2. Pengambilan data sebaiknya bisa dilakukan pada beberapa interval waktu agar
dapat membandingkan data hasil saat obat mulai bekerja dengan data dari
kelompok kontrol.
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, P.O., Knoben, J.E., & Troutman, W.G. 2002. Handbook of Clinical Drug Data
(10th edition). USA: McGRAW-HILL Medical Publishing Division.

Dewoto, H. R., Louisa, M. 2016. Farmakologi dan Terapi Edisi 6 .“Perangsang Susunan

Saraf Pusat”. Jakarta: Universitas Indonesia.

Nikolova, I. et al, 2012. Metamizole: A review profile of A well-known “forgotten” drug.


Part I: Pharmaceutical and nonclinical profile . Bulgaria: Pharmaceutical
Boitechnology.

Siswandono dan Soekardjo, B., 2000, Kimia Medisinal, Edisi 2, Airlangga University
Press, Surabaya.

Sweetman, Sean C. 2009. Martindale: The Complete Drug Reference Thirty-sixth


edition. London: the Pharmaceutical Press.

Anda mungkin juga menyukai