0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
1K tayangan11 halaman
Farmakodinamik mempelajari efek obat terhadap fisisologi dan biokimia selular dan mekanisme kerja obat. Respon obat dapat menyebabkan efek fisiologis primer atau sekunder atau keduanya. Efek primer adalah efek yang diinginkan, dan efek sekunder bisa diinginkan atau tidak diinginkan. Salah satu obat dengan efek primer dan sekunder adalah difenhidramin (Benadryl), suatu histamin. Efek primer dari defin hidramin adalah untuk mengatasi gejala-gejala alergi dan efek sekundernya adalah penekanan susunan saraf pusat yang menyebabkan rasa kantuk. Efek sekunder ini tidak diinginkan jika sedang berkendara, tetapi saat tidur, dapat menjadi diinginkan karena menimbulkan sedasi ringan. Mula Kerja, Puncak Efek, dan Lama Kerja
Mula kerja dimulai ketika obat memasuki plasma dan berakhir sampai mencapai konsentrasi efektif minimum (MEC = Minimum Effective Concentration). Puncak kerja terjadi pada saat obat mencapai konsentrasi tinggi dalam darah atau plasma.
Lama kerja adalah lamanya obat memberikan efek farmakologis. Beberapa obat menghasilkan efek dalam beberapa menit, tetapi yang lain dapat memakan waktu beberapa hari atau jam.
Perlu untuk memahami hubungan antara respons waktu dengan pemberian obat. Jika kadar obat dalam plasma atau serum menurun di bawah ambang atau MEC, maka ini berarti dosis obat yang memadai tidak tercapai; kadar obat yang terlalu tinggi dapat menyebabkan toksitas.
Farmakodinamik mempelajari efek obat terhadap fisisologi dan biokimia selular dan mekanisme kerja obat. Respon obat dapat menyebabkan efek fisiologis primer atau sekunder atau keduanya. Efek primer adalah efek yang diinginkan, dan efek sekunder bisa diinginkan atau tidak diinginkan. Salah satu obat dengan efek primer dan sekunder adalah difenhidramin (Benadryl), suatu histamin. Efek primer dari defin hidramin adalah untuk mengatasi gejala-gejala alergi dan efek sekundernya adalah penekanan susunan saraf pusat yang menyebabkan rasa kantuk. Efek sekunder ini tidak diinginkan jika sedang berkendara, tetapi saat tidur, dapat menjadi diinginkan karena menimbulkan sedasi ringan. Mula Kerja, Puncak Efek, dan Lama Kerja
Mula kerja dimulai ketika obat memasuki plasma dan berakhir sampai mencapai konsentrasi efektif minimum (MEC = Minimum Effective Concentration). Puncak kerja terjadi pada saat obat mencapai konsentrasi tinggi dalam darah atau plasma.
Lama kerja adalah lamanya obat memberikan efek farmakologis. Beberapa obat menghasilkan efek dalam beberapa menit, tetapi yang lain dapat memakan waktu beberapa hari atau jam.
Perlu untuk memahami hubungan antara respons waktu dengan pemberian obat. Jika kadar obat dalam plasma atau serum menurun di bawah ambang atau MEC, maka ini berarti dosis obat yang memadai tidak tercapai; kadar obat yang terlalu tinggi dapat menyebabkan toksitas.
Farmakodinamik mempelajari efek obat terhadap fisisologi dan biokimia selular dan mekanisme kerja obat. Respon obat dapat menyebabkan efek fisiologis primer atau sekunder atau keduanya. Efek primer adalah efek yang diinginkan, dan efek sekunder bisa diinginkan atau tidak diinginkan. Salah satu obat dengan efek primer dan sekunder adalah difenhidramin (Benadryl), suatu histamin. Efek primer dari defin hidramin adalah untuk mengatasi gejala-gejala alergi dan efek sekundernya adalah penekanan susunan saraf pusat yang menyebabkan rasa kantuk. Efek sekunder ini tidak diinginkan jika sedang berkendara, tetapi saat tidur, dapat menjadi diinginkan karena menimbulkan sedasi ringan. Mula Kerja, Puncak Efek, dan Lama Kerja
Mula kerja dimulai ketika obat memasuki plasma dan berakhir sampai mencapai konsentrasi efektif minimum (MEC = Minimum Effective Concentration). Puncak kerja terjadi pada saat obat mencapai konsentrasi tinggi dalam darah atau plasma.
Lama kerja adalah lamanya obat memberikan efek farmakologis. Beberapa obat menghasilkan efek dalam beberapa menit, tetapi yang lain dapat memakan waktu beberapa hari atau jam.
Perlu untuk memahami hubungan antara respons waktu dengan pemberian obat. Jika kadar obat dalam plasma atau serum menurun di bawah ambang atau MEC, maka ini berarti dosis obat yang memadai tidak tercapai; kadar obat yang terlalu tinggi dapat menyebabkan toksitas.
ANALGETIK PADA PEMBERIAN PER ORAL DAN INTRAPERITONEAL
Oleh : KELOMPOK 6 MARETAH INDAH FITRIA 201110410311003 DIDIN LINGGA LUDIANA 201110410311009 DYAH RAHMASARI 201110410311014 ICHA FRANSISCA PUTRI LAIMAN 201110410311032 NORMAN TAKSIS ALI 201110410311051 FENNY YUNIHARTO 201110410311118 NOVA DWI FADHDHALANI 201110410311198 ARI TRI WAHYUNI 201110410311269
PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2013 KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim, Puji syukur ke hadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan taufik serta hidayah-Nya kepada kita semua sehingga penulisan makalah ini dapat terselesaikan, dengan judul Mula Kerja, Puncak Efek dan Lama Kerja Obat Analgetik pada Pemberian Per Oral dan Intraperitoneal. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ibu Nailis Syifa, S.Farm., Apt. selaku Dosen Mata Kuliah Praktikum Farmakologi yang telah memberikan dorongan moril untuk melakukan penulisan makalah. 2. Kakak-kakak asisten yang telah membimbing penyusun dalam menyelesaikan makalah ini. 3. Kedua orang tua penyusun yang telah memberikan dorongan moril dan material. 4. Semua pihak yang telah memberi semangat penyusun dalam menyelesaikan makalah ini yang tidak dapat penyusun sebutkan satu- persatu. Penyusun menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penyusun bersedia menerima kritik dan saran dari pembaca guna perbaikan penulisan makalah untuk di masa yang akan datang.
Malang, April 2013
Penyusun
Tujuan : Membedakan mula kerja (onset of action), puncak efek (peak effect), dan lama kerja obat (duration of action) analgetik pada pemberian per oral dan intraperitonial.
Pendahuluan : Farmakodinamik mempelajari efek obat terhadap fisisologi dan biokimia selular dan mekanisme kerja obat. Respon obat dapat menyebabkan efek fisiologis primer atau sekunder atau keduanya. Efek primer adalah efek yang diinginkan, dan efek sekunder bisa diinginkan atau tidak diinginkan. Salah satu obat dengan efek primer dan sekunder adalah difenhidramin (Benadryl), suatu histamin. Efek primer dari defin hidramin adalah untuk mengatasi gejala-gejala alergi dan efek sekundernya adalah penekanan susunan saraf pusat yang menyebabkan rasa kantuk. Efek sekunder ini tidak diinginkan jika sedang berkendara, tetapi saat tidur, dapat menjadi diinginkan karena menimbulkan sedasi ringan.
Mula Kerja, Puncak Efek, dan Lama Kerja Mula kerja dimulai ketika obat memasuki plasma dan berakhir sampai mencapai konsentrasi efektif minimum (MEC = Minimum Effective Concentration). Puncak kerja terjadi pada saat obat mencapai konsentrasi tinggi dalam darah atau plasma. Lama kerja adalah lamanya obat memberikan efek farmakologis. Beberapa obat menghasilkan efek dalam beberapa menit, tetapi yang lain dapat memakan waktu beberapa hari atau jam. Perlu untuk memahami hubungan antara respons waktu dengan pemberian obat. Jika kadar obat dalam plasma atau serum menurun di bawah ambang atau MEC, maka ini berarti dosis obat yang memadai tidak tercapai; kadar obat yang terlalu tinggi dapat menyebabkan toksitas.
Analgesik Sangat sulit untuk mengukur nyeri, karena derajat nyeri yang dialami seseorang tidak hanya bergantung pada stimulus dan persepsinya tetapi juga pada interpretasi yang bersangkutan. Penggunaan subtansi analgetik untuk menghilangkan rasa sakit. Analgesik dibagi menjadi dua kelompok utama yaitu analgesik lemah atau analgesik ringan dan analgesik kutan. Analgesik lemah mempengaruhi produksi subtansi penyebab nyeri pada tempat luka, dan meliputi aspirin dan salisilat, parasetamol, NSAID(Non Steroid Anti Inflamtion Drug), dan opiat lemah (kodein dan dekstropropoksifen).
Alat : Analgetic meter beban geser Hot plate Spuit 1ml Sonde Stop watch
Bahan : Tikus Obat analgetik : xylomidon (250 mg/ml metampiron) tiap tikus (200g) 50 mg/0,2cc Antalgin tablet (500mg/tab) dipuyer + CMC + air ad 20cc tiap tikus disonde 2ml
Prosedur Kerja : Prosedur pemeriksaan rasa nyeri 1) Rangsangan nyeri dengan tekanan : Persiapkan alat analgesimeter, terlebih dahulu dilakukan pengaturan dengan menentukan beban yang akan dipakai. Gunakan beban terkecil untuk menentukan nyeri tekanan normal pada semua tikus. Pegang tikus dengan posisi tangan kiri memegang daerah kulit punggung dan tangan kanan memposisikan salah satu kaki di alat penekan antar jari I dan II. Jalankan beban dengan jalan menggeser beban dengan kecepatan stabil sampai tikus merespon rasa sakit berupa jeritan atau menarik kaki yang ditekan. Usahakan begitu tikus menunjukkan respon nyeri, lepaskan beban dari sela ibu jari tersebut. Catat posisi beban dalam gram. Tikus perlakuan dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok analgetik per oral dan intraperitoneal. Setelah obat analgetik diberikan, ukur respon analgetik tiap 5 menit. Pengamatan dilakukan sampai menit ke-60. Catat hasil pengamatan tersebut pada tabel. Efek analgetik dikatakan (+) jika tikus dapat menahan beban 2x beban kontrol. Parameter pengukuran Onset of action diukur sejak analgetik diberikan sampai terjadi pengurangan rasa nyeri Puncak efek diukur sejak analgetik diberikan sampai terjadi pengurangan rasa nyeri terhadap rangsangan nyeri yang maksimal. Lama kerja obat diukur sejak mulai terjadi pengurangan rasa sampai pengurangan rasa nyeri menghilang.
Tabel Pengamatan : Cara / Kelompok Waktu Beban (g) 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 PER ORAL Kelompok I - - - + + + + + - - - - 10,36 Kelompok II - + + + - - - - - - - - 7,63 Kelompok III - - - + + + + + + + + + 17,2 Kelompok IV - - - - - - - - - - - - 18 Kelompok V - - - - - - - - - - - - 1,93 Kelompok VI - - - - - - - - + + - - 5,8 % Efek 0 16, 67 16, 67 50 33, 33 33, 33 33, 33 33, 33 33, 33 33, 33 16, 67 16, 67
INTRAPERITONEAL Kelompok I - + + + + + + + - - - - 13,4 Kelompok II - - - + + + - - - - - - 14,67 Kelompok III - + + + + + + + + - - - 9,8 Kelompok IV - + + + + - - - - - - - 24 Kelompok V - + + + + - - - - - - - 3,67 Kelompok VI - + - - - - - - - - - - 5,2 % Efek 0 83, 33 66, 67 83, 33 83, 33 50 33, 33 33, 33 16, 67 0 0 0
Dosis : Berat badan tikus BB I : 90 gram BB II : 95 gram Intraperitoneal : Dosis untuk tikus I =
Dosis yang digunakan =
Per Oral : Dosis untuk tikus II =
Dosis yang digunakan =
Bahan diskusi : 1. Mengapa pemberian obat per oral lebih lambat daripada intraperitoneal ? Jelaskan ! Dari data tabel percobaan di atas dapat diketahui mulai bekerja obat (onset of action) ditunjukan pada pemberian per oral lebih lamban. Hal ini dikarenakan pada pemberian per oral obat tidak langsung masuk ke sirkulasi darah, namun harus melalui siklus yang panjang melalui gastro intestinal, hepar dan kemudian ke sirkulasi darah dan itu berdampak pada lamanya obat bekerja (duration of action). Pada pemberiaan per oral obat memberikan onset lama sehingga lama juga durasi dari obat tersebut. Sedangkan pada pemberian intraperitoneal obat tidak mengalami proses absorbsi, disolusi di gastro intestinal sehingga tidak mempengaruhi bioavailabilitas obat, sehingga obat dapat langsung memberikan onset yang cepat karena langsung ke sirkulasi. Akan tetapi pemberian intraperitoneal memiliki durasi kerja yang lebih cepat, hal ini dikarenakan obat lebih cepat di metabolisme tubuh. Dari data tabel di atas juga dapat diketahui pada masing-masing cara pemberian obat memiliki puncak efek (peak effect) yang berbeda, pada pemberian intraperitoneal obat mencapai puncak efek lebih cepat terjadi dibandingkan per oral, sehingga dapat dipastikan pada pemberian intraperitoneal obat dapat memberikan/mencapai efek terapi maksimum dengan cepat.
2. Sebutkan cara pemberian parental selain intraperitoneal serta keuntungan dan kelebihan masing-masing ! Pemberian secara parenteral ini bisa melalui berbagi cara diantaranya, yaitu : a. Intravena (IV) Tidak ada fase absorpsi dalam pemberian obat secara intravena karena obat langsung masuk ke dalam vena, onset of action cepat, efisien, bioavailabilitas 100 %, baik untuk obat yang menyebabkan iritasi kalau diberikan dengan cara lain, biasanya berupa infus continue untuk obat yang waktu-paruhnya pendek (Joenoes, 2002). b. Intramuskular (IM) Onset of action pemberian obat secara intramuskular bervariasi, berupa larutan dalam air yang lebih cepat diabsorpsi daripada obat berupa larutan dalam minyak, dan juga obat dalam sediaan suspensi, kemudian memiliki kecepatan penyerapan obat yang sangat tergantung pada besar kecilnya partikel yang tersuspensi: semakin kecil partikel, semakin cepat proses absorpsi (Joenoes, 2002). c. Subkutan (SC) Onset of action lebih cepat daripada sediaan suspensi, determinan dari kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan dimana terjadi penyerapan, menyebabkan konstriksi pembuluh darah lokal sehingga difusi obat tertahan/diperlama, obat dapat dipercepat dengan menambahkan hyaluronidase, suatu enzim yang memecah mukopolisakarida dari matriks jaringan (Joenoes, 2002).
3. Buatlah kurva waktu vs % efek !
Pembahasan : Analgesik adalah obat yang menghilangkan nyeri atau mengurangi nyeri tanpa disertai hilangnya kesadaran atau fungsi sensorik lainnya. Cara pemberian obat pada percobaan kali ini terdapat dua cara yaitu secara per oral dan intraperitoneal. Proses absorbsi merupakan dasar yang penting dalam menentukan aktivitas farmakologis obat. Efek farmakologis obat merupakan fungsi dari konsentrasi obat di tempat kerja obat. Ada tiga fase yang didapatkan dari hubungan waktu dan efek obat, yaitu: mula kerja, puncak efek, dan lama kerja obat. Ketiga fase ini ditentukan oleh kecepatan absorbsi, distribusi, metabolisme, dan eksresi obat. Untuk menghasilkan efek farmakologi atau efek terapi, obat harus mencapai tempat aksinya dalam konsentrasi yang cukup untuk menimbulkan respon. Tercapainya konsentrasi obat tergantung dari jumlah obat yang diberikan, tergantung pada keadaan dan kecepatan obat diabsorbsi dari tempat pemberian dan distribusinya oleh aliran darah ke bagian lain dari tubuh. Setiap rute pemberian obat memiliki keuntungan dan kerugian tersendiri serta memiliki persamaan, yaitu mencapai reseptor kerja yang diinginkan setelah diberikan melalui rute tertentu yang aman dan nyaman. Obat seringkali digunakan secara oral. Kebanyakan obat ditelan, dan jarang yang harus larut dalam mulut. Tujuan penggunaan obat melalui oral terutama untuk memperoleh efek sistemik, yaitu obat masuk ke dalam pembuluh darah dan beredar ke seluruh tubuh setelah terjadi absorbsi obat dari bermacam-macam permukaan sepanjang saluran gastro intestinal. Hal ini disebabkan karena pemberian per oral melalui rute yang sangat panjang, mulai dari kerongkongan, lambung, usus halus, lalu diabsorbsi ke usus halus, karena mesenterika lalu ke vena porta, masuk ke hati lalu setelah itu baru ke sistemik melalui vena porta hepatika, sehingga pemberian per oral memberikan mula kerja yang lama dan juga karena mengalami first pass metabolism juga dipengaruhi oleh absorbsi obat. Tetapi ada obat yang ditelan yang memberikan efek lokal dalam usus atau lambung karena obat tidak larut atau tidak dapat diabsorbsi dalam rute ini. Dibanding melalui tipe lain penggunaan obat melalui oral adalah yang paling menyenangkan, murah dan paling aman. Kerugian melalui oral adalah memberi respon yang lambat dibandingkan dengan per injeksi dan kemungkinan terjadi absorbsi obat yang tidak teratur karena bergantung beberapa faktor, misal : a. Jumlah dan jenis makanan yang ada di sel lambung b. Kemungkinan obat dirusak oleh reaksi asam di perut Sedangkan pada pemberian intraperitoneal, obat diinjeksi pada rongga perut tanpa melewati GIT dan hepar, sehingga obat tidak mengalami absorbsi dan metabolisme. Obat akan langsung lewat sirkulasi darah dan sistemik. Efek yang timbul juga lebih cepat dan teratur dibandingkan per oral, dapat diberikan pada penderita yang tidak kooperatif, tidak sadar, vomit, dan sangat berguna pada saat darurat. Kerugiannya adalah menyebabkan rasa nyeri, sulit dilakukan oleh pasien sendiri dan kurang ekonomis. Namun dapat menyebabkan onset of action yang lebih cepat begitu pula dengan duration of action juga lebih cepat. Praktikum ini mempelajari tentang pengaruh cara pemberian obat terhadap absorpsi obat dalam tubuh (dalam hal ini pada tubuh hewan uji). Mencit dipilih sebagai hewan uji karena proses metabolisme dalam tubuhnya berlangsung cepat sehingga sangat cocok untuk dijadikan sebagai objek pengamatan. Sekedar informasi, selanjutnya mencit hanya disebut sebagai hewan uji. Pemberian obat pada hewan uji yaitu pertama melalui cara oral dan intraperitoneal. Dengan cara oral (pemberian obat melalui mulut masuk ke saluran intestinal) digunakan sonde untuk memasukan obat pada hewan uji. Kedua, pemberian obat dilakukan dengan cara intraperitoneal yaitu dengan menyuntikkan obat pada daerah abdomen (di mukosa rongga perut yang penyerapannya besar sehingga dapat membuat obat langsung masuk ke pembuluh darah).
Kesimpulan : 1. Pemberian obat intraperitoneal lebih cepat memberikan efek terapi dibandingkan per oral sehingga puncak efeknya juga lebih cepat tercapai. 2. Jika diberikan dalam dosis yang sama, obat melalui intraperitoneal memiliki mula kerja yang cepat dan durasi yang lebih lama dibandingkan dengan per oral.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Farmakologi dan Terapeutik FKUI. 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Badan Penerbit FKUI.
Tim Laboratorium Farmakologi FKUMM. 2013. Buku Petunjuk Praktikum Farmakologi I Program Studi Farmasi. Malang : FK UMM.