Anda di halaman 1dari 11

LABORATORIUM FARMAKOLOGI-TOKSIKOLOGI

PROGRAM STUDI FARMASI F-MIPA


UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

PERCOBAAN VI
ABSORPSI PERKUTAN SECARA IN VIVO

Oleh:
Nama : Andy Raryono
NIM : J1E106013
Kelompok : I
Asisten : Riskan Noor

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2008
PERCOBAAN VI
ABSORPSI OBAT SECARA IN VIVO

I. PENDAHULUAN
I.1 Tujuan Percobaan
Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui proses absorpsi perkutan
dan fungsi startum korneum sebagai penghalang fisik dalam absorpsi
obat secara perkutan melalui uji in vivo yang dilakukan pada hewan uji.

I.2 Dasar Teori


Bioavailability (BA) adalah persentase obat yang diresorpsi tubuh
dari suatu dosis yang diberikan dan tersedia, untuk melakukan efek
terapeutisnya. Di beberapa negara (AS, Jerman), BA mencakup pula
kecepatan dengan mana obat muncul di sirkulasi darah. Biasanya efek
obat baru mulai nmpak sesudah obat melalui sistem, pembuluh porta
serta hati dan kemudian tiba di peredaran darah besar yang
mendistribusikannya ke seluruh jaringan (Tjay & Rahardja, 2002).
Untuk produk-produk obat tertentu bioavailbilitas dapat
ditunjukkan dengan fakta yang diperoleh secara in vitro yang dilakukan
dalam lingkungan seperti in vivo. Obat-obat ini bioavailbilitasnya
terutama bergantung pada obat yang berada dalam keadaan terlarut. Laju
pelarutan obat dari produk obat tersebut diukur in vitro. Uji pelarutan
yang resmi diuraikan dalam United States Pharmacopeia (USP). Data
laju pelarutan in vitro harus berhubungan dengan data bioavailbilitas in
vivo untuk obat tersebut. Ada beberapa pendekatan untuk menetapkan
suatu hubungan antara bioavailbilitas in vivo dan pelarutan produk obat
in vitro. Hubungan in vitro – in vivo meliputi : (1) hubungan antara
persen kandungan obat yang tertera dalam label yang terlarut dan persen
obat yang terabsorpsi sistemik; (2) hubungan antara laju dan jumlah obat
terlarut dan parameter farmakokinetik seperti tmaks, AUC, Cmaks; Ka; (3)
hubungan antara laju atau jumlah obat terlarut dan efek farmakologik
akut dan rata-rata waktu tinggal obat in vivo. Ada beberapa kejadian di
mana laju pelarutan tidak cukup untuk meyakinkan bioekivalensi in vivo.
Oleh karena itu, persyaratan bioekivalensi in vivo harus dipenuhi
(Shargel & Yu, 1988).
Obat-obat diberikan secara topikal, atau digunakan pada kulit,
terutama untuk bekerja pada tempat pemakaian atau untuk efek sistemik
dari obat. Umumnya, absorpsi obat melalui kulit ditingkatkan apabila zat
obat ada dalam larutan, apabila obat mempunyai koefisien partisi lipid/air
yang baik dan bila berupa nonelektrolit. Obat yang diabsorpsi masuk ke
dalam kulit melalui pori-pori, kelenjar keringat, kantung-kantung rambut,
kelenjar minyak dan struktur lainnya dari permukaan kulit. Karena
kapiler-kapiler darah terdapat tepat di bawah sel-sel epidermis, obat yang
menembus kulit dan pat melintasi dinding kapiler menemukan jalan yang
tersedia untuk masuk ke dalam sirkulasi umum (Ansel, 1989).
Pengangkutan ke dalam kulit berlangsung melalui penetrasi
transdermal, artinya melalui lapisan tanduk, dan melalui penetrasi
transfolikuler, artinya sepanjang batang rambut. Sebaliknya masih belum
jelas, apakah bahan obat juga diambil melalui kelenjar keringat. Setelah
melintasi epidermis bahan obat mencapai ke dalam daerah kulit yang
tervaskularisasi. Beberapa bahan, seperti kortikosteroid dan iod,
tertimbun pada lapisan sel sebelah bawah dari stratum corneum dan
membentuk suatu cadangan, yang tetap tinggal selama beberapa hari
(Voigt, 1994).
Pada pemberian salep di kulit, langkah-langkah berikut dapat
berjalan berurutan,
- difusi bahan aktif pada lapisan batas antara pembawa dengan kulit
(pelepasan)
- penetrasi melalui stratum corneum
- permeasi bahan obat ke dalam korium
- resorpsi ke dalam peredaran darah
- pengangkutan dan distribusi dalam organisme
(Voigt, 1994).
Faktor fisiologik yang mempengaruhi penyerapan perkutan
diantaranya :
a. Keadaan dan umur kulit
b. Aliran darah
Perubahan debit darah ke dalam kulit secara nyata akan mengubah
kecepatan penembusan molekul. Pada sebagian besar obat-obatan,
lapisan tanduk merupakan faktor penentu pada proses penyerapan dan
debit darah selalui cukup untuk menyebabkan senyawa menyetarakan
diri dalam perjalanan.
c. Tempat pengolesan
Jumlah yang diserap suatu molekul yang sama, akan berbeda dan
tergantung pada susunan anatomi dari tempat pengolesan : kulit dada,
punggung, tangan atau lengan. Sesuai dengan hukum Fiks, maka
ketebalan membran yang bermacam-macam akan menyebabkan
peningkatan waktu laten yang diperlukan untuk mencapai
keseimbangan konsentrasi pada lapisan tanduk dan di sisi lain akan
menyebabkan pengurangan aliran darah.

Dimana : Km adalah koefisien partisi senyawa terhadap kulit dan


pembawa.
d. Kelembaban dan temperatur
Pada keadaaan normal, kandungan air dalam lapisan tanduk rendah,
yaitu 5-15% namun dapat ditingkatkan sampai 50% dengan cara
pengolesan pada permukaan kulit suatu bahan pembawa yang dapat
menyumbat : vaselin, minyak tanah atau suatu pembalut impermeable.
Secara in vivo suhu kulit yang diukur pada keadaan normal relatif
tetap dan tidak berpengaruh pada peristiwa penyerapan
(Simanjuntak, 2005).
II. CARA PERCOBAAN
II.1 Alat dan Bahan
II.1.1 Alat
Alat yang digunakan pada percobaan ini adalah:
a. Alat-alat gelas
b. Alat pengambil sampel darah
c. Sentrifuge
d. Spektrometer UV
e. Stopwatch
f. Timbangan analitik

II.1.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini yaitu:
a. Asam salisilat
b. Aquadest
c. EDTA
d. Hewan uji (kelinci)
e. Larutan dapar fosfat pH 5,8
f. TCA
g. Vaselin

II.2 Cara Kerja


a. Pembuatan Larutan Dapar Fosfat pH 5,8

250 ml KH2PO4 0,2M + 18 ml NaOH 0,2 N

- Dimasukkan ke dalam labu ukur 1000 ml


+ aquadest sampai tanda batas
- Dikocok hingga homogen
- Dipindahkan ke gelas beker 1000 ml
- Dicek dengan pH tester, sambil dipanaskan pada suhu 37ºC
- Bila pH <5,8, ditambahkan larutan NaOH pekat sedikit demi
sedikit hingga mencapai pH 5,8

1000 ml larutan dapar fosfat pH 5,8


b. Penentuan panjang gelombang maksimal asam salisilat dalam air

Asam salisilat dalam air

- Ditentukan panjang gelombang


maksimalnya

Hasil

c. Mencari kurva baku secara in vitro


d. Pengambilan sampel darah

Darah
- Diambil dari bagian vena marginalis di
bagian telinga kelinci sebanyak 2 ml
dengan melukainya

- Ditampung darah yang menetes


tersebut didalam tabung yang telah
diisi dengan EDTA atau 1 tetes
heparin
- Digoyang tabung tersebut agar
tercampur rata dan darah tidak
menjedal
- Disentrifuge dengan kecepatan
medium selama 15 menit.

Plasma Darah
- Diambil bagian yang jernih
- Ditempatkan dalam suatu tabung dan
ditambah dengan 1 ml larutan TCA
1%
- Disentrifuge selama 15 menit
- Diambil bagian yang bening dari
campuran tersebut sebanyak 1 ml dan
ditambahkan air sebanyak 3 ml
- Ditentukan konsentrasi obat dalam
campuran tersebu dengan
menggunakan spektrofotometer
Hasil
e. Penentuan “recovery” asam salisilat dalam darah

Sampel plasma yang telah diambil (1


ml)
- Ditambah larutan asam salisilat
300 µg/ml sebanyak 0,2 ml
- Diperlakukan seperti pada
langkah (c)
- Ditentukan persentase asam
salisilat yang diperoleh

Hasil

f. Perlakuan pada kelinci


Kelinci
- Dicukur bulunya pada daerah
punggung kira-kira seluas 20 cm2
dengan panjang 5 cm dan lebar 4
cm
- Dioleskan salep asam salisilat
sebanyak 3 gram pada bagian yang
dicukur
- Ditutup bagian yang telah dioles
dengan salep tadi dengan
menggunakan aluminium foil dan
dibalut dengan kain kasa

Sampel
darah
- Diambil
- Dilakukan pengambilan pada jam
0,5; 1; 2; 3; 4; 5 dan 6
- Ditentukan konsentrasi asam salisilat
dalam plasma seperti pada bagian
(c)
Hasil

NB : Untuk percobaan yang lain, straum korneum dikurangi jumlah lapisan dengan
jalan “stripping”. Stratum korneum diambil dengan cara kertas isolasi
ditempelkan pada kulit yang telah dicukur rambutnya beberapa kali. Lakukan
stripping sebanyak 5; 10; 15; 20 dan 25 kali
III. DATA DAN HASIL PERHITUNGAN
III.1 Hasil Percobaan
Tabel 1 Hasil Pengukuran Absorbansi Kadar Salisilat dalam Darah

Jumlah Striping
t (menit)
0 kali 5 kali 10 kali 15 kali 20 kali
15 0,5630 0,5820 0,3150 0,2840 0,4970
30 1,2230 2,0910 1,3470 0,2440 0,9060
60 0,6910 2,0280 0,7450 0,8410 0,5970
90 0,9940 0,8450 1,0000 0,3130 0,6720

Salep yang digunakan mengandung asam salisilat


Absorbansi recovery = 0,0110
Panjang gelombang 525 nm
Persamaan kurva baku = y = 0,128x + 0,04
Hewan uji yang digunakan adalah kelinci.

III.2 Analisa Data dan Metode Perhitungan


Contoh perhitungan
Tanpa striping t = 15
Diketahui : y = 0,128x + 0,04
absorbansi recovery = 0,0110
absorbansi saat t15 = 0,5630
Ditanya : Kadar obat dalam darah = ?
y = (absorbansi saat t) – (absorbansi recovery)
y = 0,5630 – 0,0110
y = 0,5520
disubtitusikan ke dalam persamaan kurva baku
y = 0,128x + 0,04
0,5520 = 0,128x + 0,04
x = 4 ppm
Jadi, kadar salisilat dalam darah t = 15 menit adalah 4 ppm
Tabel 2 Hasil Pengurangan antara Absorbansi saat t dengan Absorbansi
Recovery

Jumlah Striping
t (menit)
0 kali 5 kali 10 kali 15 kali 20 kali
15 0,5520 0,5710 0,3040 0,2730 0,4860
30 1,2120 2,0800 1,3360 0,2330 0,8950
60 0,6800 2,0170 0,7340 0,8300 0,5860
90 0,9830 0,8340 0,9890 0,3020 0,6610

Tabel 3 Hasil Perhitungan Kadar Salisilat dalam Darah

Jumlah Striping
t (menit)
0 kali 5 kali 10 kali 15 kali 20 kali
15 4,0000 4,1484 2,0625 1,8203 3,4844
30 9,1563 15,9375 10,1250 1,5078 6,6797
60 5,0000 15,4453 5,4219 6,1719 4,2656
90 7,3672 6,2031 7,4141 2,0469 4,8516
*) kadar dalam ppm
III.3 Grafik

Grafik 1 Hubungan antara Kadar Obat (Salisilat) dalam Darah terhadap


Waktu
DAFTAR PUSTAKA

Ansel, Howard C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. UI Press. Jakarta.


Shargel, Leon & Andrew B. C. Yu. 1988. Biofarmasetika dan Farmakokinetika
Terapan. Airlangga University Press. Surabaya.
Simanjuntak, M. T. 2005. Biofarmasi Sediaan yang Diberikan Melalui Kulit.
Diakses tanggal 25 Oktober 2008.
www.google.com
Tjay, T. H., & Rahardja K. 2002. Obat-obat Penting. Gramedia. Jakarta.
Voigt, Rudolf. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai