Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH ANALISIS MENGENAI RESTORASI EKOSISTEM PESISIR

Efektivitas Program Restorasi Ekosistem Pesisir di Provinsi Bali

Disusun Oleh:

Yang Yang Ilalang Syabana 205080600111006


Ayu Miranda Riski 205080600111039
Abhiseka Putra Mahatma 205080601111001
Meyliana Gabriella Sudiro 205080601111016
Nadien Ayu Meishandra 205080601111027
Ahmad Farhan Nur Irsyady 205080607111006
Risfan Pandapotan 205080607111013

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN


DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERAIRAN DAN KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2023
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI.......................................................................................................... i

DAFTAR GAMBAR..............................................................................................ii

BAB 1. PENDAHULUAN.....................................................................................1

1.1. Latar Belakang.......................................................................................1


1.2. Rumusan Masalah..................................................................................2
1.3. Tujuan....................................................................................................2
1.4. Manfaat..................................................................................................2
BAB 2. PEMBAHASAN.......................................................................................3

2.1. Pengertian Ekosistem Pesisir.................................................................3


2.2. Letak Geografis......................................................................................4
2.3. Program Ekosistem Pesisir di Provinsi Bali............................................4
2.3.1. Ekosistem Mangrove................................................................4
2.3.2. Ekosistem Terumbu Karang.....................................................7
2.3.3. Ekositem Lamun.......................................................................9
2.4. Permasalahan Ekosistem Pesisir di Provinsi Bali.................................11
2.4.1. Ekosistem Mangrove..............................................................11
2.4.2. Ekosistem Terumbu Karang...................................................13
2.4.3. Ekositem Lamun.....................................................................14
2.5. Analisis Efektivitas Program Ekosistem Pesisir di Provinsi Bali............15
BAB 3. PENUTUPAN.........................................................................................17

3.1. Kesimpulan...........................................................................................17
3.2. Saran....................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................19

i
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Peta Pulau Bali...........................................................................4


Gambar 2. Pembuatan Artificial Reefs.........................................................8
Gambar 3. Restorasi mangrove, dataran pasang surut dan padang lamun
memiliki potensi penyimpanan karbon yang sangat besar..........................9
Gambar 4. Data kerapatan lamun pada beberapa lokasi di wilayah Pulau
Bali dan Lombok........................................................................................10
Gambar 5. Pembuatan Ponton Yang Merusak Terumbu Karang.............14

ii
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Menurut Rudianto (2018), ekosistem pesisir adalah pertemuan


antara sistem daratan dengan sistem perairan laut yang memiliki
keragaman ekologi dan sangat rentan terhadap perubahan yang
disebabkan oleh berbagai proses. Proses yang menyebabkan perubahan
ekosistem yaitu proses internal alam seperti: sedimentasi, erosi, abrasi,
atau karena kekuatan eksternal alam seperti: badai, tsunami, maupun
yang disebabkan oleh faktor antropogenic baik langsung maupun tidak
langsung. Fungsi kawasan pesisir sangat strategis yaitu menyimpan
sumberdaya hayati yang tinggi dan pada ekosistem buatan, mampu
menyediakan berbagai jasa lingkungan, seperti kawasan untuk
pelabuhan, kawasan untuk jalur transportasi, kawasan untuk industri,
kawasan untuk pariwisata dan rekreasi, kawasan untuk permukiman,
kawasan untuk tambak dan kawasan tempat pembuangan akhir limbah,
baik limbah padat maupun limbah cair.
Menurut Sugiyanti (2020), Pulau Bali merupakan provinsi dengan
sektor pariwisata yang banyak diminati di Indonesia sendiri bahkan di
dunia. Salah satu sektor pariwisata yang banyak dimiliki di Pulau Bali
adalah pariwisata pesisir. Pesisir Pulau Bali memiliki daya tarik tersendiri
bagi turis asing. Pulau Bali memiliki ekosistem pesisir yang sangat banyak
sehingga perlu dijaga kelestariannya agar dapat menjalankan fungsinya
dengan baik. Beberapa program restorasi pesisir di Pulau Bali juga
dilakukan untuk menjaga kelestarian ekosistem pesisir.
Pada makalah ini, akan membahas keefektifan program dari
restorasi ekosistem pesisir yang dijalankan di Pulau Bali. Beberapa contoh
studi kasus yang diambil dari beberapa sumber menjadi bahan acuan
kami dalam menganalisa tingkat kefektifan dari program rehabilitasi yang
dijalankan. Kelompok kami memilih Pulau Bali sebagai objek studi kasus

1
dari makalah kami karena Pulau Bali memiliki kawasan pesisir yang
banyak digunakan juga sebagai objek pariwisata. Penggunaan objek
pariwisata pada kawasan pesisir menjadi alasan harus dilakukannya
program restorasi karena efek antropogenik yang mengkesplor kawasan
tersebut secara terus menerus.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang kami rancang di makalah ini adalah sebagai


berikut.
1. Apa saja program restorasi ekosistem pesisir di Pulau Bali?
2. Bagaimana tingkat kefektifan program restorasi ekosistem pesisir
yang telah dijalankan?
3. Apa saja permasalahan yang terjadi pada ekosistem pesisir di Pulau
Bali?

1.3. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan penulisan


makalah ini yaitu.
1. Mengetahui program restorasi ekosistem pesisir apa saja yang
dijalankan di Pulau Bali.
2. Mengetahui permasalahan yang terjadi pada ekosistem pesisir di
Pulau Bali serta menawarkan solusi terkait permasalahan yang
dihadapi.
3. Mengetahui tingkat kefektifan program restorasi ekosistem pesisir
yang telah berjalan di Pulau Bali.

2
1.4. Manfaat

Penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi


pembaca. Manfaat yang bisa didapat di antaranya, pembaca dapat
memahami restorasi ekosistem pesisir di Provinsi Bali, pembaca dapat
mengetahui keefektifan restorasi ekosistem pesisir yang ada di Provinsi
Bali, dan penulis sangat berharap pembaca bisa mengembangkan ilmu
pengetahuan di bidang restorasi ekosistem pesisir.

BAB 2. PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Ekosistem Pesisir

Menurut Rudianto (2014), restorasi ekosistem pesisir merupakan


upaya memperbaiki wilayah pesisir yang sudah rusak. Wilayah pesisir
yang sudah rusak tersebut diakibatkan dari tindakan manusia yang tidak
rasional dan karena perubahan drastis dari proses alam akibat global
warming. Upaya dari restorasi diupayakan agar kembali menjadi semula,
saat kembali pada kondisi semula masih memerlukan penelitian yang
lebih lanjut. Wilayah pesisir wilayah yang sangat dinamis dengan
perubahan-perubahannya. Perubahan tersebut seperti perubahan
biologis, kimiawi, dan geologis yang cepat. Wilayah ekosistem pesisir
terdiri dari mangrove, terumbu karang, pantai dan pasir, estuari, dan
lamun.
Restorasi ekosistem pesisir adalah upaya untuk memulihkan kembali
fungsi dan keanekaragaman ekosistem pesisir yang telah rusak atau
terdegradasi. Ekosistem pesisir merupakan kawasan yang berperan
penting bagi manusia dan keanekaragaman hayati, namun seringkali
mengalami kerusakan akibat aktivitas manusia seperti pembangunan
pesisir, pertambangan, atau penggunaan sumber daya alam secara
berlebihan.

3
Menurut Kim dan Khangaonkar (2016), restorasi ekosistem pesisir
dapat dilakukan dengan berbagai metode seperti restocking, replanting,
atau menggunakan struktur buatan untuk mengembalikan kondisi asli
ekosistem pesisir. Selain itu, penelitian yang dipublikasikan di jurnal
Marine Pollution Bulletin menunjukkan bahwa restorasi ekosistem pesisir
juga dapat dilakukan dengan mengoptimalkan alih fungsi lahan,
pengurangan polusi, dan perbaikan kualitas air.

2.2. Letak Geografis

Gambar 1. Peta Pulau Bali


(Geografi, 2023)

Menurut Adi dan Darmawan (2019), Pulau Bali adalah sebuah pulau
yang terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok di Indonesia. Pulau
Bali berada di sebelah barat dari Pulau Lombok dan sebelah timur dari
Pulau Jawa. Pulau Bali memiliki luas sekitar 5.780,06 km² dan dikelilingi
oleh perairan laut Bali, Selat Badung, Selat Bali dan Samudera Hindia di
sebelah selatan. Letak koordinat pulau bali pada 08°03'40" - 08°50'48"LS
dan 114°25'53" - 115°42'40"BT.

2.3. Program Ekosistem Pesisir di Provinsi Bali

Restorasi ekosistem pesisir di provinsi Bali dilaksakan pada bebapa


ekosistem. Berikut beberapa ekosistem yang dilakukan restorasi di
Provinsi Bali.

4
2.3.1. Ekosistem Mangrove

Menurut Andika et al (2019), Indonesia merupakan negara yang


dikelilingi oleh lautan sehingga memiliki luasan wilayah pesisir yang cukup
besar. Wilayah Pesisir sendiri adalah daerah peralihan antara ekosistem
darat dan laut yang saling mempengaruhi, dengan mangrove sebagai
komponen utamanya. Wilayah pesisir ini tersebar di seluruh Indonesia,
contohnya pada Provinsi Bali. Salah satu ekosistem mangrove nya
terdapat di wilayah perairan Teluk Benoa Bali. Berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Kehutanan (Kepmenhut) No. 544/Kpts-II/1993,
sebanyak 1373,50 ha ekosistem mangrove Teluk Benoa Bali dijadikan
Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai pada tanggal 25 September
1993. Ekosistem mangrove yang berada di kawasan pariwisata strategis
di Bali memberikan tekanan yang sangat besar terhadap ekosistem
mangrove Teluk Benoa. Tahura Ngurah Rai berada di kawasan yang
sangat strategis karena terletak di antara tiga pusat wisata Bali, Nusa
Dua, Kuta dan Sanur. Selain itu, ekosistem mangrove Teluk Benoa, Bali
juga terletak di dua pendekatan menuju Pulau Bali, yaitu Bandara
Internasional Ngurah Rai dan Pelabuhan Benoa. 
Pada wilayah ini jenis mangrove yang mendominasi adalah R.
apiculata. Hal ini disebabkan oleh restorasi mangrove yang dilakukan di
wilayah tersebut. Pada tahun 1980 sampai 1990-an wilayah sekitar teluk
Benoa mengalami deforestasi secara besar - besaran akibat
pembangunan tambak oleh masyarakat sekitar yang mengakibatkan
banyak pohon mangrove ditebang. Deforestasi mangrove menyebabkan
hilangnya fungsi ekosistem khususnya mangrove pada wilayah tersebut.
Pada tahun 1992 terjadi kerjasama Pemerintah Indonesia dengan Japan
Internasional Cooperation Agency (JICA) yaitu melakukan restorasi
mangrove di wilayah tersebut untuk mengembalikan fungsi ekosistem
mangrove.Jenis mangrove yang ditanam pada wilayah ini adalah jenis R.
apiculata dan R. mucronata.
Seiring dengan berkembangnya pariwisata di Bali, kebutuhan
terhadap infrastruktur pembangunan pariwisata juga semakin meningkat.

5
Melihat letak Tahura Ngurah Rai yang berada pada kawasan pariwisata
yang strategis, maka pembangunan di sekitarnya pun berkembang sangat
pesat. telah terjadi pengalihan fungsi hutan mangrove seperti reklamasi
Pulau Serangan, pembangunan estuari dam di muara Sungai Badung,
pembangunan fasilitas air bersih, tempat pembuangan limbah, alih fungsi
menjadi pabrik, dan perbengkelan, pembuatan jalan tol, serta perluasan
pacu bandara dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Selain permasalahan
di atas, pada tahun 2012 Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Bali.
melakukan pembangunan Jalan Tol Bali Mandara. Jalan tol tersebut adala
jalan tol pertama di Bali, dan merupakan jalan tol atas laut pertama di
Indonesia. Pembangunan jalan tol yang berada di wilayah perairan Teluk
Benoa Bali tersebut dikhawatirkan dapat merusak ekosistem mangrove
yang berada di Tahura Ngurah Rai, baik saat proses pembangunan
maupun setelah Jalan Tol Bali Mandara beroperasi.
Menurut Yunanto et al (2021), Salah satu ekosistem utama
pendukung kehidupan pada wilayah pesisir dan kelautan adalah
ekosistem hutan mangrove yang mempunyai fungsi ekologis dan fungsi
ekonomis, salah satunya yaitu sebagai penyerap limbah. Salah satu lokasi
ekosistem mangrove yang ada di Bali adalah Hutan mangrove Perancak,
Jembrana Bali yang terdiri dari hutan alami dan hutan yang mengalami
restorasi karena sebelumnya adalah areal tambak. Saat ini, hutan tersebut
juga menjadi salah satu stasiun monitoring permanen untuk mengetahui
kemampuan mangrove dalam beradaptasi terhadap kenaikan muka laut.
Sebagai daerah yang dinamis dan dipengaruhi oleh pasang surut,
keberadaan sampah plastik akan tersebar ke seluruh areal hutan
mangrove. Akar mangrove dan proses – proses alami lainnya akan
meningkatkan mekanisme terperangkapnya plastik dalam sedimen.
Proses tersebut juga akan mendegradasi plastik menjadi berukuran lebih
kecil, hingga berukuran mikro atau biasa disebut dengan mikroplastik.
Dengan demikian perlu dilakukan penelitian berkelanjutan mengenai
tingkat pencemaran, potensi dan dampak limbah mikroplastik serta upaya-
upaya yang dapat dilakukan untuk kualitas lingkungan hidup.

6
Desa Perancak merupakan salah satu dari 22 desa di Kecamatan
Negara, Kabupaten Daerah Tingkat II, Jembrana. Desa tersebut
terbentang di pesisir Samudra Indonesia. Hutan mangrove Perancak,
Jembrana Bali terdiri dari mangrove yang tumbuh secara alami dan hasil
program penanaman mangrove (restorasi). Restorasi tersebut dilakukan
dengan beralihnya kawasan lahan budidaya tambak menjadi suatu
kawasan riset terapan dan observasi kelautan. Karakteristik kedua
kawasan tersebut memiliki perbedaan. Berdasarkan hasil riset yang telah
dilakukan, terdapat 20 spesies mangrove sejati (true mangrove) di
kawasan hutan mangrove Perancak Bali. Pada hutan mangrove alami (F)
didominasi oleh jenis Avicennia sp. dan Sonneratia alba. Sedangkan pada
mangrove bekas tambak (P) didominasi oleh Rhizophora sp. Secara fisik,
kawasan hutan mangrove alami terletak lebih dekat dengan aliran sungai
yang dekat dengan muara, sedangkan areal mangrove bekas tambak
lebih tertutup dan agak jauh dari sungai.

2.3.2. Ekosistem Terumbu Karang

Menurut Restu (2016), ekosistem terumbu karang merupakan


komponen lingkungan pantai yang mempunyai keterkaitan fungsi-fungsi
ekologis dan fungsi fisik sebagai habitat. Migrasi fauna pada berbagai fase
hidupnya berlangsung dari satu ekosistem ke ekosistem lainnya untuk
pencarian makanan dan tempat perlindungan. Ekosistem terumbu karang
juga berperan dalam proses-proses transpor nutrien, baik organik dan
anorganik di antara dua ekosistem pantai tersebut.
Menurut Putra et al (2022), jenis dan tutupan karang yang ada di
perairan bali adalah sebagai berikut. Hasil persentase tutupan terumbu
karang tertinggi diperoleh pada kedalaman 7m dengan jenis karang Non
acropora branching (CB) sebesar 21,15% dan Jenis Acropora Branching
(ACB) dengan persentase sebesar 18,01%. Persentase tutupan Terumbu
karang dengan persentase sedang terdapat pada kedalaman 10m Jenis
Acropora Digitate (ACD) dengan persentase sebesar 15,76% dan jenis
karang non acropora branching (CB) sebesar 13,90% pada kedalaman

7
3m. Persentase tutupan Terumbu karang terendah di peroleh pada
kedalaman 7m dengan jenis Non acropora millepora(CME),
Helliopora(CHL) dan Sponge(SP) dengan persentase sebesar 0,00%.

Gambar 2. Pembuatan Artificial Reefs


(North Bali Reef Conservation, 2022)
Menurut Restu (2016), upaya-upaya pelestarian ekosistem terumbu
karang merupakan sesuatu hal yang mendesak. Prinsip-prinsip
pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu dipandang sangat
relevan diterapkan dalam pengelolaan sumberdaya terumbu karang
mengingat kompleksitas permasalahannya. Salah satu aspek penting
dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang yang mengalami degradasi
adalah melakukan penanggulangan, pemulihan, dan rehabilitasi terhadap
kerusakan ekoistem terumbu karang, agar sumberdaya ini dapat
dimanfaatkan secara berkelanjutan. Dalam kerangka tersebut di atas
kegiatan uji coba. Rehabilitasi Ekosistem Terumbu Karang dengan
Pengembangan Perdaduan Terumbu Buatan (Artificial Reefs) dan
Transplantasi Karang” sangat strategis dilakukan. Dengan telah
berkembangnya teknologi budidaya karang dengan teknik propagasi maka
upaya rehabilitasi karang dapat dilakukan dengan lebih efektif dan efisien.
Budidaya karang dengan teknik propagasi yang telah diakui ramah
lingkungan dan berkelanjutan oleh management authority (Departemen

8
Kehutanan) dan scientific authority (LIPI), dan dapat membantu
menyediakan bibit-bibit karang untuk menunjang rehabilitasi karang
secara cepat dan memadai.
2.3.3. Ekositem Lamun

Menurut PEMSEA (2023), Indonesia terletak di kawasan segitiga


lamun yang menjadikan Indonesia sebagai pusat keanekaragaman hayati
lamun. Luas ekosistem lamun Indonesia diperkirakan mencapai 293.464
ha (berdasarkan kajian LIPI, 2018). Nilai tersebut hanya menggambarkan
16% - 35% luas lamun Indonesia dari potensi wilayah yang ada. Lamun
yang dikenal sebagai “paru-paru laut” memiliki peran yang sangat penting
bagi kelestarian ekosistem laut. Lautan merupakan penyimpan karbon
terbesar, yaitu ekosistem karbon biru. Mereka adalah hutan bakau,
padang lamun, dan rawa-rawa garam. Ekosistem ini dapat menyimpan
karbon 5-10 kali lebih besar dari ekosistem terestrial. Ekosistem
mangrove, padang lamun, dan terumbu karang memiliki hubungan
sinergis yang mengarah pada stabilitas lingkungan pesisir.

Gambar 3. Restorasi mangrove, dataran pasang surut dan padang lamun


memiliki potensi penyimpanan karbon yang sangat besar.
(PEMSEA, 2023)
Ekosistem pesisir mangrove, karang, dan padang lamun sangat
penting untuk mengatasi perubahan iklim sebagai fungsi dekarbonisasi,
juga melindungi wilayah pesisir dari badai dan kenaikan permukaan laut,
mencegah erosi garis pantai, melindungi habitat perikanan penting secara

9
komersial dan spesies laut yang terancam punah, serta ketahanan
pangan bagi banyak masyarakat pesisir.
Menurut Atmaja dan Laharjana (2022), ditemukan bahwa terdapat
total 9 jenis lamun dari 2 famili yang memiliki distribusi dan kondisi yang
berbeda-beda pada tiap lokasi di Pulau Bali dan Lombok. Dari famili
Hydrocharitaceae, jenis lamun yang ditemukan adalah Enhalus acoroides,
Thalassia hemprichii, Halophila minor, dan Halophila ovalis. Sedangkan
dari famili Potamogetonaceae adalah Cymodocea rotundata, Cymodocea
serrulata, Halodule uninervis, Halodule pinifolia, dan Syringodium
isoetifolium. Data kerapatan jenis lamun yang ditemukan pada masing-
masing lokasi di Pulau Bali dan Lombok dapat dilihat pada tabel.
Berdasarkan tabel tersebut, kerapatan yang dimiliki pada setiap jenis
lamun berbeda satu sama lainnya di setiap lokasinya. Sebagai
perbandingan, SMH yang memiliki jenis lamun paling banyak, didominasi
oleh jenis H. uninervis (109,1 ± 32,25 ind/m2) dan S. isoetifolium (124 ±
82,41 ind/m2), sedangkan TTR yang tergolong daerah konservasi
didominasi oleh jenis lamun C. rotundata (30,2 ± 13,41 ind/m2).

Gambar 4. Data kerapatan lamun pada beberapa lokasi di wilayah Pulau


Bali dan Lombok.
(Atmaja dan Laharjana, 2022)
Menurut Putra et al. (2021), kawasan Teluk Benoa dan sekitarnya
adalah pusat keanekaragaman hayati pada tingkatan ekosistem di wilayah
pesisir Bali Selatan. Pada kawasan ini juga terdapat keanekaragaman
ekosistem yang tinggi dan lengkap yaitu; Ekosistem Mangrove, Terumbu

10
Karang (Coral Reefs), Padang Lamun (Seagrass Beds), dan Dataran
Pasang Surut (Tidal Flats) (Suardana et al., 2020). PT. Tirta Wahana Bali
Internasional (PT. TWBI) selaku pemegang izin Pemanfaatan dan
Pengembangan Teluk Benoa akan melakukan pengembangan kawasan
Teluk Benoa diantaranya (1) Restorasi Pulau Pudut; (2) Firsherman’s
Cove; (3) Botanical Garden, sementara itu kawasan Teluk Benoa
merupakan pusat keanekaragaman hayati dan terdapat keanekaragaman
ekosistem yang tinggi dan lengkap yaitu; Ekosistem Mangrove, Terumbu
Karang (Coral Reefs), Padang Lamun (Seagrass Beds), dan Dataran
Pasang Surut (Tidal Flats).

2.4. Permasalahan Ekosistem Pesisir di Provinsi Bali

Program restorasi ekosistem pesisir yang dilaksanakan di Provinsi


Bali dilakukan karena permasalahan-permasalahan yang terjadi, berikut
beberapa permasalahan yang terjadi pada tiap ekosistem.

2.4.1. Ekosistem Mangrove

Menurut Lugina et al (2017), ekosistem mangrove di Tahura Ngurah


Rai memiliki peran sosial, ekonomi, budaya dan ekologi bagi masyarakat
yang tinggal di wilayah pesisir dan masyarakat Pulau Bali pada umumnya.
Masyarakat di sekitar Tahura Ngurah Rai memanfaatkan mangrove baik
secara individu maupun berkelompok yang umumnya berupa kelompok
nelayan berada di bawah lembaga adat di masing masing desa.Tidak
dapat dipungkiri bahwa lokasi Tahura Ngurah Rai yang berada di kawasan
yang sangat strategis yaitu di pusat bisnis dan pariwisata Bali,
menimbulkan banyak tekanan dari berbagai kepentingan. Tekanan
terhadap kawasan Tahura berpotensi menjadi penyebab kerusakan
tanaman mangrove yang akhirnya akan menyebabkan perubahan
ekosistem. Sementara ekosistem mangrove merupakan salah satu
sumber daya penting yang memiliki fungsi fisik, biologi dan ekonomi. Di
sisi lain, pengelolaan kawasan Tahura Ngurah Rai sampai saat ini belum
berjalan secara optimal karena adanya berbagai permasalahan yaitu

11
perambahan, pencemaran, aktivitas penduduk di sekitar kawasan, seperti
pembuangan sampah, pembuangan material urugan, penebangan,
adanya sampah kiriman akibat pembuangan sampah ke badan sungai
yang bermuara di kawasan mangrove terutama sampah plastik.
Permasalahan sampah merupakan permasalahan yang telah lama
dihadapi dikarenakan kawasan Tahura Ngurah Rai merupakan muara dari
dua sungai besar yaitu Tukad Badung Cemengon dan Tukad Mati.
Mengingat pentingnya fungsi ekosistem mangrove dan adanya
konflik kepentingan penggunaan kawasan Tahura, maka diperlukan
pengelolaan hutan yang berkelanjutan dengan memerhatikan kondisi
sosial ekonomi masyarakat, fungsi Tahura dan kepentingan para pihak
yang ada di sekitar Tahura. Hutan mangrove merupakan salah satu
sumber daya alam yang mempunyai nilai dan arti yang sangat penting
baik dari segi fisik, biologi maupun sosial ekonomi. Akibat meningkatnya
kebutuhan hidup sebagian manusia telah mengintervensi ekosistem
tersebut. Hal ini dapat terlihat dari adanya alih fungsi lahan mangrove
menjadi tambak, permukiman, areal industri dan sebagainya.Salah satu
kawasan hutan mangrove di Bali adalah Teluk Benoa. 
Menurut Wiyanto & Faiqoh (2015), hutan mangrove merupakan
salah satu sumber daya alam yang mempunyai nilai dan arti yang sangat
penting baik dari segi fisik, biologi maupun sosial ekonomi. Akibat
meningkatnya kebutuhan hidup sebagian manusia telah mengintervensi
ekosistem tersebut. Hal ini dapat terlihat dari adanya alih fungsi lahan
mangrove menjadi tambak, permukiman, areal industri dan
sebagainya.Salah satu kawasan hutan mangrove di Bali adalah Teluk
Benoa. Vegetasi mangrove yang ditemukan yaitu 11 spesies mangrove
sejati dan 1 jenis mangrove ikutan yaitu Waru Laut (Thespesia
popunema). Pada stasiun I, vegetasi mangrove tingkat pohon didominasi
oleh Sonneratia alba (INP) sebesar 130.61, tingkat anakan didominasi
oleh Rhizophora mucronata (INP) sebesar 246.11. Pada stasiun II,
vegetasi mangrove tingkat pohon didominasi oleh Rhizophora mucronata
(INP) sebesar 109.59, sedangkan tingkat anakan didominasi oleh

12
Rhizophora stylosa (INP) sebesar 91.60. Pada stasiun III, vegetasi
mangrove tingkat pohon didominasi oleh Rhizophora apiculata (INP)
sebesar 92.26, sedangkan tingkat anakan didominasi oleh Rhizophora
apiculata (INP) sebesar 82.89. Pada stasiun IV, vegetasi mangrove tingkat
pohon didominasi oleh Sonneratia alba (INP) sebesar 93.77, sedangkan
tingkat anakan didominasi oleh Avicennia marina (INP) sebesar 103.04.
Pada stasiun V, vegetasi mangrove tingkat pohon didominasi oleh
Bruguira gymnorrhyiza (INP) sebesar 115.31, sedangkan tingkat anakan
didominasi oleh Rhizophora stylosa (INP) sebesar 136.62
Salah satu kawasan hutan mangrove di Bali adalah Teluk Benoa.
Kawasan hutan mangrove mengalami tekanan yang sangat besar setelah
adanya pembangunan tol, sehingga perlu untuk mengetahui vegetasi dan
struktur komunitas hutan mangrove di Teluk Benoa-Bali. Pembangunan
wilayah pesisir di Provinsi Bali saat ini menghadapi permasalahan dasar,
yaitu: alih fungsi lahan mangrove menjadi area tambak, permukiman, area
industri dan sebagainya; dan perencanaan wilayah pesisir yang belum
didasari oleh informasi tentang tingkat kondisi ekosistem wilayah pesisir
yang akurat. Permasalahan tersebut disebabkan oleh beberapa hal,
antara lain: belum lengkapnya data atau informasi tentang sebaran dan
kerapatan hutan mangrovedi wilayah pesisir untuk semua wilayah; dan
belum adanya data kondisi hutan mangrove di Provinsi Bali yang akurat.
Hal ini penting untuk mengetahui daerah mana yang kondisi ekosistem
mangrove tersebut masih bagus dan daerah mana yang mengalami
kerusakan.

2.4.2. Ekosistem Terumbu Karang

Menurut Restu (2016), ekosistem terumbu karang di Provinsi Bali


menghadapi permasalahan yaitu tingginya tekanan dari pencemaran yang
mendorong eutrofikasi di perairan pesisir. Eutrofikasi menyebabkan
melimpahnya pertumbuhan alga terutama alga hijau yang dapat menutupi
terumbu karang. Permasalahan lain yang mengganggu kelestarian
terumbu karang di kawasan tersebut adalah kerusakan karang yang

13
disebabkan oleh praktek-praktek penjangkaran, pembuatan ponton, dan
gangguan oleh penyelam. Kerusakan terumbu karang mempunyai
implikasi dampak yang luas, seperti merosotnya keanekaragaman hayati,
berkurangnya sistem perlindungan alamiah daratan pantai oleh bahaya
erosi dan abrasi, memburuknya kualitas obyek dan daya tarik wisata, dan
lain sebagainya.

Gambar 5. Pembuatan Ponton Yang Merusak Terumbu Karang


(Mongabay, 2022)
2.4.3. Ekositem Lamun

Menurut Nadiarti et al. (2012), lamun jarang diberi perhatian atau


perlindungan yang layak mereka dapatkan. Penurunan dan kehancuran
padang lamun telah banyak dialami oleh banyak negara, termasuk
Indonesia. Gangguan lamun tersebut berasal dari penyebab alami dan
paling banyak disebabkan oleh tekanan antropogenik. Selain itu, berbagai
ancaman (termasuk perusakan fisik, reklamasi, pengerukan,
penangkapan ikan demersal, penambangan pasir, pembuangan limbah,
limpasan permukaan tanah, eutrofikasi, kejernihan air dan bangunan
hotel) yang diidentifikasi berpotensi merusak lamun di Indonesia,
disarankan untuk diwaspadai dengan cara yang lebih efektif oleh legislasi
atas perencanaan pendidikan dan manajemen. Oleh karena itu,

14
pengelolaan lamun harus menjadi bagian dari PTT (Pengelolaan Pesisir
Terpadu) atau ICM (Integrated Coastal Management).
Menurut PEMSEA (2023), pulau Serangan adalah pulau kecil di Bali
yang terletak di depan Teluk Benoa, dekat dengan tiga tujuan wisata
terkenal di Bali—Sanur, Kuta, dan Nusa Dua. Keanekaragaman ekosistem
pesisir yang tinggi termasuk padang lamun, mangrove, terumbu karang,
rumput laut, dan dataran pasang surut, ekosistem pulau mendukung
sumber daya laut yang melimpah. Proyek reklamasi dari tahun 1994
hingga 1997 memperluas ukuran Pulau Serangan dari 101 ha menjadi
481 ha dan menghubungkannya ke daratan melalui jembatan sepanjang
110 m. Proyek reklamasi menjanjikan perkembangan dari pariwisata, yang
sayangnya tidak pernah datang. Sebaliknya, habitat alami kehidupan laut
dan sumber daya di pulau itu dihancurkan dan erosi pantai meluas ke
sekitar pulau yang menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah.
Setelah proyek reklamasi, lebih dari 75 persen padang lamun dan 50
persen mangrove menghilang.
Secara global, lamun menghilang dengan kecepatan yang menyaingi
terumbu karang dan hutan hujan tropis, kehilangan sebanyak 7%
wilayahnya setiap tahun, menurut IUCN. Ancaman terhadap padang
lamun berasal dari perubahan iklim, polusi, pembangunan pesisir, dan
penyebaran spesies invasif. Padang lamun menjadi tambal sulam,
sementara semak bakau perlahan menipis. Inisiatif restorasi lamun secara
luas dianggap bermanfaat bagi ekosistem dan masyarakat pesisir,
terutama dalam menghadapi peningkatan frekuensi suhu ekstrem dan
kejadian badai yang diperkirakan akan memperburuk kematian lamun.

2.5. Analisis Efektivitas Program Ekosistem Pesisir di Provinsi Bali

Pendekatan restorasi ekosistem pesisr menggunakan pendekatan


pragmatisme. Pragmartisme adalah pendekatan yang mengabungkan antara
pengetahuan dengan bentuk bukan nilai atau positivisme dan juga pengetahuan
yang berupa nilai atau normatisme. (Rudianto, 2017).
Provinsi Bali sendiri sudah memiliki konsep pemuligan ekosistem yang
diterapkan pada 3 ekosistem pesisir utama, yaitu: mangrove, lamun, dan

15
terumbu karang. Program yang diterapkan ini merupakan program yang
langsung dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan, LIPI, pemerintahan provinsi
dan daerah, serta hasil kerja sama pemerintahan dengan organisasi
internasional. Program pada ketiga ekosistem ini sudah mendapatkan peran dari
kelembagaan setempat sehingga bisa dibilang sudah dilaksanakan dengan
cukup baik. Sayangnya, dalam pelaksanaan program restorasi ini masih kurang
adanya pengawasan serta dari pemerintah maupun masyarakat sekitar. Tak
hanya itu, kegiatan pariwisata dan tambak di area perairan Bali yang
menyebabkan bertambahnya kerusakan. Hal ini menyebabkan, terumbu karang,
lamun, dan mangrove yang telah mengikuti program restorasi, tidak sepenuhnya
bisa tumbuh dewasa dan juga bertambahkan kerusakan pada individu yang
sebelumnya telah tumbuh.

16
BAB 3. PENUTUPAN

3.1. Kesimpulan
Restorasi Ekosistem Pesisir merupakan upaya untuk memulihkan
kembali fungsi dan keanekaragaman ekosistem pesisir yang telah rusak
atau terdegradasi. Upaya dari restorasi diupayakan agar kembali menjadi
semula, saat kembali pada kondisi semula masih memerlukan penelitian
yang lebih lanjut. PT. Tirta Wahana Bali Internasional (PT. TWBI) selaku
pemegang izin Pemanfaatan dan Pengembangan Teluk Benoa akan
melakukan pengembangan kawasan Teluk Benoa diantaranya (1)
Restorasi Pulau Pudut; (2) Firsherman’s Cove; (3) Botanical Garden,
sementara itu kawasan Teluk Benoa merupakan pusat keanekaragaman
hayati dan terdapat keanekaragaman ekosistem yang tinggi dan lengkap
yaitu; Ekosistem Mangrove, Terumbu Karang (Coral Reefs), Padang
Lamun (Seagrass Beds), dan Dataran Pasang Surut (Tidal Flats).
Program restorasi ekosistem pesisir dilaksanakan karena
permasalah yang terjadi pada daerah pesisir Provinsi Bali. Ekosistem
pesisir pada Provinsi Bali terjadi deforestasi secara besar - besaran akibat
pembangunan tambak oleh masyarakat sekitar yang mengakibatkan
banyak pohon mangrove ditebang. Deforestasi mangrove menyebabkan
hilangnya fungsi ekosistem khususnya mangrove. Ekosistem terumbu
karang di Provinsi Bali menghadapi permasalahan yaitu tingginya tekanan
dari pencemaran yang mendorong eutrofikasi di perairan pesisir.
Permasalahan lain yang mengganggu kelestarian terumbu karang
disebabkan oleh praktek-praktek penjangkaran, pembuatan ponton, dan
gangguan oleh penyelam. Proyek reklamasi menjanjikan perkembangan
dari pariwisata, menyebabkan lebih dari 75 persen padang lamun dan 50
persen mangrove menghilang.
Kefektifan program restorasi ekosistem pesisir di Provinsi Bali
terbilang sangat efektif. Program yang dilaksakan tersebut dapat
memperbaiki kerusakan pada daerah tersebut yang diakibat

17
permasalahan yang terjadi seperti antropogenik, deforetasi, pencemaran,
dan proyek reklamasi yang terjadi pada daerah pesisir provinsi Bali.
3.2. Saran
Untuk para peneliti maupun pembaca lain yang ingin mengambil
topik atau bahasan yang sama dengan makalah yang kami buat ini,
diharapkan dapat lebih banyak mencari sumber referensi dan lebih
memperbaharui publikasi-publikasi yang dijadikan sebagai referensi.
Selain itu, diharapkan juga bisa melakukan survei secara langsung
kepada daerah yang terdapat restorasi ekosistem pesisir agar data yang
didapatkan lebih valid.

18
DAFTAR PUSTAKA

Adi, I. W., Suarsana, I. M., & Darmawan, M. D. (2019). Spatial planning of


Bali Province, Indonesia. IOP Conference Series: Earth and
Environmental Science, 261(1), 012020.
Andika, I. B. M. B., Kusmana, C., & Nurjaya, I. W. (2019). Dampak
pembangunan jalan tol Bali Mandara terhadap ekosistem mangrove
di Teluk Benoa Bali. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan (Journal of Natural Resources and Environmental
Management), 9(3), 641-657.
Atmaja, P. S. P., & Laharjana, I. K. A. K. (2022). Komposisi dan
biodiversitas padang lamun pada daerah konservasi dan non-
konservasi di kawasan Sunda Kecil, Indonesia. Journal of Marine
and Aquatic Sciences, 8(1), 1-8.
Geografi. 2023. https://www.geografi.org/2020/08/geografi-provinsi-
bali.html. Diakses pada 21 Februari 2023 pukul 12.16 WIB.
Kim, C. K., dan Khangaonkar, T. (2016). Application of integrated
modeling and management approaches for coastal ecosystems
restoration. Ecological Engineering, 90, 343-354.
Lugina, M., Alviya, I., Indartik, I., & Pribadi, M. A. (2017). Strategi
keberlanjutan pengelolaan hutan mangrove di Tahura Ngurah Rai
Bali. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 14(1), 61-77.
Mongabay. https://news.mongabay.com/. Diakses Pada Tanggal 20
Februari 2023 Pukul 11.29 WIB.
Nadiarti., Riani, E., Djuwita, I., Budiharsono, S., Purbayanto, A., dan
Asmus, H. (2012). Challenging for seagrass management in
Indonesia. Journal of Coastal Development, 15(3), 234-242.
North Bali Reef Conservation. https://northbalireefconservation.com/.
Diakses Pada Tanggal 20 Februari 2023 Pukul 11.31 WIB.
Pemsea. (2023). ICM Solutions: Coral Restoration and Conservation in
Serangan Island, Denpasar City, Bali, Indonesia: Turning Coral

19
Miners into Conservation Advocates.
http://pemsea.org/sites/default/files/KP %205.pdf. Diakses pada
tanggal 21 Februari 2023 pukul 11.59 WIB.
Putra, K. J. P., Arthana, I. W., & Pratiwi, M. A. (2022). Komposisi Jenis
Dan Tutupan Terumbu Karang Di Pantai Samuh, Nusa Dua, Bali.
Putra, R. W., Firmansyah, R. M., Wagianto., Gunansyah., dan Kamal, E.
(2021). Kajian pengelolaan wilayah pesisir dan laut Indonesia
(Review: reklamasi Teluk Benoa). Acta Aquatica: Aquatic Sciences
Journal, 8(3), 175-180.
Restu, I. W. (2016). Rehabilitasi Ekosistem Terumbu Karang Dengan
Perpaduan Terumbu Buatan Dan Transplantasi Karang Di Pantai
Sanur Dan Serangan, Kota Denpasar, Provinsi Bali. Artikel.
Rudianto, R. (2018). Restorasi Ekosistem Mangrove Desa Pesisir
Berbasis Co-Management. Jurnal Perikanan Universitas Gadjah
Mada. 20(1), 1-12.
Rudianto. (2014). Analisis restorasi ekosistem wilayah pesisir terpadu
berbasis Co-Management: Studi Kasus di Kecamatan Ujung
Pangkah dan Kecamatan Bungah, Kabupaten Gresik. Research of
Journal of Life Science, 1(1), 54-67.
Rudianto. (2017). Restorasi Ekosistem Pesisir. UB Press :Malang.
Suardana, K., Putra, I. G. A., Kardinal, Ni G. A. D. A. (2020). Evaluasi
implementasi tata guna lahan berkelanjutan di wilayah pesisir Teluk
Benoa, Bali. Pranatacara Bhumandala: Jurnal Riset Planologi, 1(1),
14-25.
Sugiyanti, Y. (2020). Pelestarian Ekosistem Mangrove Di Taman Hutan
Raya (Tahura) Ngurah Rai, Desa Suwung, Denpasar, Bali. Jurnal
Green Growth dan Manajemen Lingkungan, 9(1), 26-33.
Wiyanto, D. B., & Faiqoh, E. (2015). Analisis vegetasi dan struktur
komunitas mangrove di Teluk Benoa, Bali. Journal of Marine and
Aquatic Sciences, 1(1), 1-7.

20
Yunanto, A., Fitriah, N., & Widagti, N. (2021). Karakteristik Mikroplastik
Pada Ekosistem Pesisir Di Kawasan Mangrove Perancak, Bali.
JFMR (Journal of Fisheries and Marine Research), 5(2), 436-444.

21
Adhiyaksa, M., & Sukmawati, A. M. A. (2021). Dampak Wisata Bahari Bagi
Kondisi Ekonomi Masyarakat Desa Kolorai, Kecamatan Morotai
Selatan, Kabupaten Pulau Morotai. Uniplan: Journal of Urban and
Regional Planning, 2(2), 7-18.
Altab. M., Faida. L. R. W., & Fandeli. C. (2018). Pengembangan
Ekowisata Bahari Di Kecamatan Padang Cermin Kabupaten
Pesawaran Provinsi Lampung. Jurnal Manusia & Lingkungan, 25(1),
53-59.
Amal, A., & Baharuddin, I. I. (2016). Persepsi dan partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat di
Kecamatan Suppa Kabupaten Pinrang. Indonesian Journal of
Fundamental Sciences, 2(1), 1-2. DOI:
https://doi.org/10.26858/ijfs.v2i1.2125
Dristato, A., & Anggraeni, A. A. 2013. Analisis Dampak Ekonomi Wisata
Bahari Terhadap Pendapatan Masyarakat Di Pulau Tidung. Jurnal
Online Institut Teknologi Nasional, 20(5),1-8.
Eddy, S., Iskandar, I., Ridho, M. R., & Mulyana, A. (2017). Dampak
aktivitas antropogenik terhadap degradasi hutan mangrove di
Indonesia. Jurnal Lingkungan Pembangunan, 1(3).
Ely, A. J., Tuhumena, L., Sopaheluwakan, J., & Pattinaja, Y. (2021).
Strategi Pengelolaan Ekosistem Hutan Mangrove Di Negeri Amahai.
TRITON: Jurnal Manajemen Sumberdaya Perairan, 17(1), 57-67.
Ernawati, N. M. (2013). Pengaruh pariwisata terhadap kehidupan sosial
budaya pesisir di Kawasan Taman Nasional Bali Barat dan Taman
Wisata Pulau Menjangan. Jurnal Kajian Kebudayaan, 6(1), 69-74.
Fandeli. C. (2002). Perencanaan Kepariwisataan Alam. Gadjah Mada
University Press: Yogyakarta.
Fandeli. C., & Nurdin. M., (2005). Pengembangan Ekowisata berbasis
Konservasi di Taman Nasional. Fakultas Kehutanan dan Pusat Studi
Pariwisata. Universitas Gadjah Mada Press: Yogyakarta.
Ferdian, K. J., DM, I. A. I., & Tondo, S. (2020). Dampak ekowisata bahari
dalam perspektif kesejahteraan masyarakat dan kelestarian
lingkungan pesisir. JIPAGS (Journal of Indonesian Public
Administration and Governance Studies), 3(1), 481-499.
Gumilar, I. (2012). Partisipasi masyarakat pesisir dalam pengelolaan
ekosistem hutan mangrove berkelanjutan di Kabupaten Indramayu.
Jurnal Akuatika, 3(2).
Harahab. N., Riniwati. H., Utami. T. N., Abidin. Z., & Wati. L. A. (2021).
Sustainability Analysis of Marine Ecotourism Management for
Preserving Natural Resources and Coastal Ecosystem Functions.
Journal of Environmental Research, Engineering and Management,
77(2), 71–86. DOI: 10.5755/10.5755/j01.erem.77.2.28670.

22
KKP BP3 Ambon. (2013). Program ekowisata bahari solusi pemberdayaan
masyarakat serta konservasi pesisir dan laut. Diambil dari
https://www.bp3ambon-kkp.org/2013/02/03/program-ekowisata-
bahari-solusi-pemberdayaan-masyarakat-serta-konservasi-pesisir-
dan-laut/. Diakses pada 20 Februari 2023, pukul 14.00 WIB.
KKP. (2022). Pengelolaan Ekowisata Melalui Desa Wisata Bahari. Diambil
dari https://kkp.go.id/djprl/artikel/40707-pengelolaan-ekowisata-
melalui-desa-wisata-bahari. Diakses pada 21 Februari 2023 pukul
06:00 WIB.
Laksono, A. N., & Mussadun, M. (2014). Dampak aktivitas ekowisata di
Pulau Karimunjawa berdasarkan persepsi masyarakat. Teknik PWK
(Perencanaan Wilayah Kota), 3(2), 262-273.
Lelloltery, H., Pujiatmoko S., Fandelli C., dan Baiquni M. (2018). The
Development Of Community-Based Marine Ecotourism And The
Role Of Stakeholder In Natural Resource Management In Marsegu
Island Nature Tourism Park, West Seram District, Maluku Province.
Jurnal Hutan Tropis, 6(3), 302-314.
Rudianto. (2017). Restorasi Ekosistem Pesisir. UB Press :Malang.
Sadik, M., Muhiddin, A. H., & Ukkas, M. (2017). Kesesuaian ekowisata
mangrove ditinjau dari aspek biogeofisik kawasan pantai Gonda di
Desa Laliko Kecamatan Campalagian Kabupaten Polewali Mandar.
Jurnal Ilmu Kelautan SPERMONDE, 3(2).
Setyowati, L., Sukowiyono, G., Susanti, D. B. (2020). Pengembangan
fasilitas ekowisata bahari Pantai Sendang Biru Malang Selatan tema:
arsitektur ekologi. Jurnal PENGILON, 2(4), 135-148.
Setyowati. L., Sukowiyono. G., dan Susanti. D. B. (2020). Pengembangan
fasilitas ekowisata bahari pantai sendang biru malang selatan. Jurnal
Pengilon, 2(4), 135-148.
Triyanti, R., Muawanah, U., Kurniasari, N., Soejarwo, P. A., & Febrian, T.
(2020). Potensi pengembangan ekowisata bahari berbasis
masyarakat adat sebagai kegiatan ekonomi kreatif di kampung
Malaumkarta, Papua Barat. Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan
Perikanan, 15(1), 93-105.
Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 10 Tahun 2009, tentang
Kepariwisataan.
Vatria, B. (2013). Berbagai kegiatan manusia yang dapat menyebabkan
terjadinya degradasi ekosistem pantai serta dampak yang
ditimbulkannya. Disertasi. Pontianak: Politeknik Negeri Pontianak.
Yudasmara, G. A. (2010). Model pengelolaan ekowisata bahari di
Kawasan Pulau Menjangan Bali Barat. Disertasi. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.

23

Anda mungkin juga menyukai