Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

PRODUKTIVITAS PERAIRAN
”TENTANG PRODUKTIVITAS PRIMER DAN KELIMPAHAN FITOPLANKTON”
Dosen Pengampuh (Yudi Ahdiyansyah, S.Pi.,Mp)

Disusun oleh:
Susilawati

PROGRAM STUDI MENAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


PAKULTAS PETERNAKAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS SAMAWA ( UNSA )
SUMBAWA BESAR
2020
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul [Produktivitas Primer] ini tepat pada
waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas [Bapak Yudi
Ahdiansyah] pada [mata kuliah Produktivitas Perairan]. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang [Produktivitas Primer] bagi para pembaca dan
juga bagi penulis.

Sumbawa, 24 Maret 2020

Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Laut merupakan ekosistem dan habitat terbesar bagi berbagai jenis mahluk hidup di bumi.
Lebih dari 70% bagian bumi dikelilingi oleh lautan, sehingga terdapat asumsi bahwa kehidupan
di bumi bermula dari laut. Laut memiliki peranan penting dalam kehidupan sehari-hari, salah
satunya yaitu sebagai reservoir atau penampung panas radiasi sinar matahari ke bumi, karena
fungsinya ini sehingga laut dapat mempertahankan iklim baik secara lokal maupun global.
Sumber energy primer bagi ekosistem laut adalah cahaya matahari. Energi cahaya matahari
hanya dapat diserap oleh organisme tumbuhan  hijau dan organisme fotosintetik. Energi cahaya
digunakan untuk mensintesis molekul anorganik menjadi molekul organik yang kaya energy.
Molekul tersebut selanjutnya disimpan dalam bentuk makanan dalam tubuhnya dan menjadi
sumber bahan organic bagi organisme lain yang heterotrof. Organisme yang memiliki
kemampuan untuk mengikat energy dari lingkungan disebut produsen. Di lingkungan perairan
Indonesia produksi bagi ekosistem merupakan proses pemasukan dan penyimpanan energy dalam
ekosistem. Pemasukan energy dalam ekosistem yang dimaksud adalah pemindahan energy cahaya
menjadi energy kimia oleh produsen. Sedangkan penyimpanan energy yang dimaksudkan adalah
penggunaan energy oleh konsumen dan mikroorganisme. Laju produksi makhluk hidup dalam
ekosistem disebut sebagai produktivitas.
Produktivitas primer merupakan laju pembentukan senyawa-senyawa organik yang kaya
energi dari senyawa-senyawa anorganik (penambatan energi yang dilakukan oleh produsen). 
Menurut Campbell (2002), Produktivitas primer menunjukkan Jumlah energy cahaya yang diubah
menjadi energy kimia oleh autotrof suatu ekosistem selama suatu periode waktu tertentu.
Fitoplankton adalah komponen autotrof plankton. Autotrof adalah organisme yang mampu
menyediakan/mensintesis makanan sendiri yang berupa bahan organik dari bahan anorganik
dengan bantuan energi seperti matahari dan kimia. Komponen autotrof berfungsi sebagai
produsen.
Nama fitoplankton diambil dari istilah Yunani, phyton atau "tanaman" dan πλαγκτος
("planktos"), berarti "pengembara" atau "penghanyut".[1] Sebagian besar fitoplankton berukuran
terlalu kecil untuk dapat dilihat dengan mata telanjang. Akan tetapi, ketika berada dalam jumlah
yang besar, mereka dapat tampak sebagai warna hijau di air karena mereka mengandung klorofil
dalam sel-selnya.

1.2.   Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka terdapat permasalahan yang akan coba dibahas
dalam makalah, yaitu
1. Apa yang dimaksud produktivitas primer laut ?
2. Apa faktor – faktor yang mempengaruhi produktivitas primer laut ?
3. Bagaimana peran dan pengaruh fitoplankton terhadap terhadap produktivitas primer
laut ?

1.3.   Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu :
1. Untuk mengetahui pengertian dari produktivitas primer laut.
2. Untuk mengetahui faktor - faktor apa saja yang berpengaruh dalam produktivitas primer
di laut.
3. Untuk mengetahui peran dan pengaruh fitoplankton terhadap produktivitas primer laut.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Produktivitas Primer Laut
Produksi bagi ekosistem merupakan proses pemasukan dan penyimpanan energy dalam
ekosistem. Pemasukan energy dalam ekosistem yang dimaksud adalah pemindahan energy
cahaya menjadi energy kimia oleh produsen. Sedangkan penyimpanan energy yang dimaksudkan
adalah penggunaan energy oleh konsumen dan mikroorganisme. Laju produksi makhluk hidup
dalam ekosistem disebut sebagai produktivitas.
Produktivitas primer merupakan laju penambatan energy yang dilakukan oleh produsen. 
Menurut Campbell (2002), Produktivitas primer menunjukkan Jumlah energy cahaya yang
diubah menjadi energy kimia oleh autotrof suatu ekosistem selama suatu periode waktu tertentu.
Total produktivitas primer dikenal sebagai produktivitas primer kotor (gross primary
productivity, GPP). Tidak semua hasil produktivitas ini disimpan sebagai bahan organik pada
tubuh organisme produsen atau pada tumbuhan yang sedang tumbuh, karena organisme tersebut
menggunakan sebagian molekul tersebut sebagai bahan bakar organic dalam respirasinya.
Dengan demikian, Produktivitas primer bersih (net primary productivity, NPP) sama dengan
produktivitas primer kotor dikurangi energy yang digunakan oleh produsen untuk respirasi (Rs)
Dalam sebuah ekosistem, produktivitas primer menunjukkan simpanan energy kimia
yang tersedia bagi konsumen. Pada sebagian besar produsen primer, produktivitas primer bersih
dapat mencapai 50% – 90% dari produktivitas primer kotor. Produktivitas primer dapat
dinyatakan dalam energy persatuan luas persatuan waktu (J/m2/tahun), atau sebagai biomassa
(berat kering organik) vegetasi yang ditambahkan ke ekosistem persatuan luasan per satuan
waktu (g/m2/tahun). Namun demikian, produktivitas primer suatu ekosistem hendaknya tidak
dikelirukan dengan total biomassa dari autotrof fotosintetik yang terdapat pada suatu waktu
tertentu, yang disebut biomassa tanaman tegakan (standing crop biomass). Produktivitas primer
menunjukkan laju di mana organisme-organisme mensintesis biomassa baru. Meskipun sebuah
hutan memiliki biomassa tanaman tegakan yang sangat besar, produktivitas primernya mungkin
sesungguhnya kurang dari produktivitas primer beberapa padang rumput yang tidak
mengakumulasi vegetasi (Campbell et al., 2002). Produktivitas di laut umumnya terdapat paling
besar diperairan dangkal dekat benua dan disepanjang terumbu karang, di mana cahaya dan
nutrient melimpah. Produktivitas primer persatuan luas laut terbuka relative rendah karena
nutrient anorganic khusunya nitrogen dan fosfor terbatas ketersediaannya dipermukaan. Di
tempat yang dalam di mana nutrient melimpah, namun cahaya tidak mencukupi untuk
fotosintesis. Sehingga fitoplankton, berada pada kondisi paling produktif ketika arus yang naik
ke atas membawa nitrogen dan fosfor kepermukaan.

2.2. Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Primer Laut


Menurut Jordan (1985) dalam Wiharto (2007), Jika produktivitas suatu ekosistem hanya
berubah sedikit dalam jangka waktu yang lama maka hal itu menandakan kondisi lingkungan
yang stabil, tetapi jika perubahan yang dramatis maka menunjukkan telah terjadi perubahan
lingkungan yang nyata atau terjadi perubahan yang penting dalam interaksi di antara organisme
penyusun eksosistem. Menurut Campbell (2002), terjadinya perbedaan produktivitas pada
berbagai ekosistem dalam biosfer disebabkan oleh adanya faktor pembatas dalam setiap
ekosistem. Faktor yang berperan dalam produktivitas primer laut adalah sebagai berikut :
a.Cahaya
Cahaya merupakan salah satu faktor yang menentukan distribusi klorofil-a di laut. Di laut
lepas, pada lapisan permukaan tercampur tersedia cukup banyak cahaya matahari untuk proses
fotosintesa.  Sedangkan di lapisan yang lebih dalam, cahaya matahari tersedia dalam jumlah
yang sedikit bahkan tidak ada sama sekali. Ini memungkinkan klorofil-a lebih banyak terdapat
pada bagian bawah lapisan permukaan tercampur atau pada bagian atas dari permukaan lapisan
termoklin jika dibandingkan dengan bagian pertengahan atau bawah lapisan termoklin.  Hal ini
juga dikemukakan oleh Matsuura et al. (1997) berdasarkan hasil pengamatan di timur laut Lautan
Hindia, dimana diperoleh bahwa sebaran konsentrasi klorofil-a pada bagian atas lapisan
permukaan tercampur sangat sedikit dan mulai meningkat menuju bagian bawah dari lapisan
permukaan tercampur dan menurun secara drastis pada lapisan termoklin hingga tidak ada
klorofil-a lagi pada lapisan di bawah lapisan termoklin.
Dengan adanya perbedaan kandungan pigmen pada setiap jenis plankton, maka jumlah
cahaya matahari yang diabsorbsi oleh setiap plankton akan berbeda pula.  Keadaan ini
berpengaruh terhadap tingkat efisiensi fotosintesa. Fujita (1970) dalam Parsons et al. (1984)
mengklasifikasi alga laut berdasarkan efisiensi fotosintesa oleh pigmen kedalam tipe klorofil-a
dan b untuk alga hijau dan euglenoid; tipe klorofil-a, c, dan caratenoid untuk diatom,
dinoflagelata, dan alga coklat; dan tipe klorofil-a dan ficobilin untuk alga merah dan alga hijau
biru.
A. Nutrien
Nutrien adalah semua unsur dan senjawa yang dibutuhkan oleh tumbuhan-
tumbuhan dan berada dalam bentuk material organik (misalnya amonia, nitrat) dan
anorganik terlarut (asam amino). Elemen-elemen nutrien utama yang dibutuhkan dalam
jumlah besar adalah karbon, nitrogen, fosfor, oksigen, silikon, magnesium, potassium,
dan kalsium, sedangkan nutrien trace element dibutuhkan dalam konsentrasi sangat kecil,
yakni besi, copper, dam vanadium (Levinton, 1982). Menurut Parsons et al. (1984), alga
membutuhkan elemen nutrien untuk pertumbuhan.  Beberapa elemen seperti C, H, O, N,
Si, P, Mg, K, dan Ca dibutuhkan dalam jumlah besar dan disebut makronutrien,
sedangkan elemen-elemen lain dibutuhkan dalam jumlah sangat sedikit dan biasanya
disebut mikronutrien atau trace element.
Sebaran klorofil-a di dalam kolom perairan sangat tergantung pada konsentrasi
nutrien.  Konsentrasi nutrien di lapisan permukaan sangat sedikit dan akan meningkat
pada lapisan termoklin dan lapisan di bawahnya.  Hal mana juga dikemukakan oleh
Brown et al. (1989), nutrien memiliki konsentrasi rendah dan berubah-ubah pada
permukaan laut dan konsentrasinya akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman
serta akan mencapai konsentrsi maksimum pada kedalaman antara 500 – 1500 m.
B. Suhu
Suhu dapat mempengaruhi fotosintesa di laut baik secara langsung maupun tidak
langsung.  Pengaruh secara langsung yakni suhu berperan untuk mengontrol reaksi kimia
enzimatik dalam proses fotosintesa.  Tinggi suhu dapat menaikkan laju maksimum
fotosintesa (Pmax), sedangkan pengaruh secara tidak langsung yakni dalam merubah
struktur hidrologi kolom perairan yang dapat mempengaruhi distribusi fitoplankton
(Tomascik et al., 1997 b).
Secara umum, laju fotosintesa fitoplankton meningkat dengan meningkatnya suhu
perairan, tetapi akan menurun secara drastis setelah mencapai suatu titik suhu tertentu.
Hal ini disebabkan karena setiap spesies fitoplankton selalu berdaptasi terhadap suatu
kisaran suhu tertentu.
Perairan Indonesia yang merupakan bagian dari laut tropik dicirikan oleh cukup
tersedia cahaya matahari namun memiliki konsentrasi nutrien rendah. Keadaan ini
mengakibatkan produktivitasnya sangat rendah.  Seperti halnya produktivitas yang
rendah bila dibandingkan dengan lingkungan laut lainnya, misalnya dengan laut tropik,
laut lepas merupakan bagian dari badan perairan bahari yang memiliki laju produktivitas
rendah.  Menurut Valiela (1984), laut terbuka yang luasnya 90 % dari laut dunia memiliki
laju perairan pantai, dimana produktivitasnya melebihi 60 % dari produktivitas yang ada
di laut.Laju produksi primer di lingkungan laut ditentukan oleh berbagai faktor fisika
antara lain:
 Upwelling
Tingginya produktivitas di laut terbuka yang mengalami upwelling disebabkan
karena adanya pengkayaan nutrien pada lapisan permukaan tercampur yang dihasilkan
melalui proses pengangkatan massa air dalam. Seperti yang dikemukakan oleh Cullen et
al. (1992) bahwa konsentrasi klorofil-a dan laju produktivitas primer meningkat di sekitar
ekuator, dimana terjadi aliran nutrien secara vertikal akibat adanya upwelling di daerah
divergensi ekuator.
Beberapa daerah-daerah perairan Indonesia yang mengalami upwelling akibat
pengaruh pola angin muson adalah Laut Banda, dan Laut Arafura (Wyrtki, 1961 dan
Schalk, 1987), Selatan Jawa  dan  Bali ( Hendiarti dkk, 1995 dan Bakti, 1998), dan Laut
Timor (Tubalawony, 2000).
Dari pengamatan sebaran konsentrasi klorofil-a di Laut Banda dan Laut Aru
diperoleh bahwa konsentrasi klorofil-a tertinggi dijumpai pada Musim Timur, dimana
pada saat tersebut terjadi upwelling di Laut Banda, sedangkan klorofil-a terendah
dijumpai pada Musim Barat.  Pada saat ini di Laut Banda tidak terjadi upwelling dalam
skala yang besar sehingga nilai konsentrasi nutrien di perairan lebih kecil.  Di perairan
Banda (Vosjan and Nieuwland, 1987) pada Musim Timur terdapat 2 (dua) periode
“bloom” fitoplankton, pertama pada bulan Juni dan kedua di bulan Agustus/September. 
Selanjutnya Nontji (1975), dari hasil studi distribusi klorofil-a di Laut Banda pada fase
akhir di bulan September diperoleh bahwa konsentrasi klorofil tertinggi di bagian timur
Laut Banda, khususnya di sekitar Pulau Kei dan Tanimbar. Juga dikatakan bahwa 60%
dari klorofil-a tersebut berada pada kedalaman 25 m. Hendiarti dkk. (1995) mendapatkan
bahwa pada Musim Timur di perairan selatan Pulau Jawa-Bali dimana terjadi upwelling,
rata-rata konsentrasi klorofil-a sebesar 0,39 mm/l dan pada Musim Barat sekitar 0,18
mm/l.
 Percampuran Vertikal Massa Air
Percampuran vertikal massa air sangat berperan di dalam menyuburkan kolom
perairan yaitu dengan cara mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan.
Dengan meningkatnya nutrien pada lapisan permukaan dan dibantu dengan penetrasi cahaya
matahari yang cukup di dalam kolom perairan dapat meningkatkan laju produktivitas primer
melalui aktivitas fotosintesa fitoplankton. Chaves and Barber (1987) mengatakan bahwa
masukan nutrien terutama untuk mengoptimalkan konsentrasi NO3 pada lapisan permukaan
dan secara relatif meningkatkan produksi baru.
Percampuran massa air secara vertikal dipengaruhi oleh tiupan angin.  Pada saat
Musim Timur di perairan Indonesia bertiup angin Muson Tenggara yang mengakibatkan
sebagian besar perairan Indonesia Timur mengalami pergolakan yang mengakibatkan
terjadinya percampuran massa air secara vertikal.  Tubalawony (2000) berdasarkan data
ekspedisi Baruna Jaya pada musim timur tahun 1991 mendapatkan adanya percampuran
vertikal massa air di  perairan lepas pantai Laut Timor yang umumnya lebih dangkal. 
Akibatnya kandungan klorofil-a di dalam kolom perairan  umumnya lebih tinggi bila
dibandingkan dengan bagian lain dari perairan Laut Timor.
 Percampuran Massa Air secara Horisontal
Sistem angin muson dan arlindo juga mempengaruhi pola sirkulasi massa air di
Perairan Indonesia.  Sistem ini mengakibatkan terjadinya percampuran antara dua massa
air yang berbeda di suatu perairan.  Misalnya pada saat Musim Timur, massa air dari
Lautan Pasifik akan bertemu dengan massa air Laut Banda yang mengalami upwelling
atau pada saat bertiup angin muson tenggara terjadi penyebaran massa air perairan
Indonesia Timur ke perairan Indonesia bagian barat dan sebaliknya terjadi pada saat
bertiup angin muson barat laut. Dengan demikian sirkulasi massa air dan percampuran
massa air akan mempengaruhi produktivitas primer suatu perairan.  Tingginya
produktivitas suatu perairan akan berhubungan dengan daerah asal dimana massa air di
peroleh.  Nontji (1974) dalam Monk et al. (1997) mengatakan bahwa rata-rata konsentrasi
klorofil-a di perairan Indonesia kira-kira 0,19 mg/m3 dan 0,16 mg/m3 selama Musim
Barat, dan 0,21 mg/m3 selama Musim Timur.
Selain beberapa faktor fisik di atas, keberadaan lapisan termoklin sangat
mendukung tingginya laju produktivitas produksi primer. Bagian bawah dari lapisan
tercampur atau bagian atas dari lapisan termoklin merupakan daerah yang memiliki
konsentrasi nutrien yang cukup tinggi sehingga dapat merangsang meningkatnya
produktivitas primer.  Lapisan termoklin yang dangkal lebih berperan dalam menunjang
produktivitas perairan.  Karena pada saat terjadinya proses percampuran vertikal, nutrien
pada lapisan termoklin lebih mudah mencapai lapisan permukaan tercampur jika
dibandingkan dengan lapisan termoklin yang lebih dalam.  Beberapa penelitian tentang
produktivitas primer dalam kaitannya dengan keberadaan massa air menyimpulkan
bahwa kedalaman dimana konsentrasi klorofil-a maksimum adalah pada bagian batas atas
lapisan termoklin.  Matsuura et al. (1997) dari hasil pengamatannya di timur laut Lautan
Hindia mendapatkan bahwa konsentrasi klorofil-a pada lapisan permukaan tercampur
sangat sedikit dan mulai meningkat menuju bagian bawah dari lapisan permukaan
tercampur dengan konsentrasi maksimum terdapat pada kedalaman kira-kira 75 – 100 m.
Sedangkan Hendiarti dkk. (1995) mengatakan bahwa konsentrasi maksimum klorofil-a di
perairan selatan Pulau Jawa – Bali berada pada kedalaman 20 m pada Musim Timur dan
80 m pada Musim Barat. Umumnya kedalaman tersebut merupakan batas atas lapisan
termoklin.

2.3 Fitoplankton Sebagai Produktivitas Primer Laut


Fitoplakton  menurut Arinardi, dkk (1997) merupakan nama untuk plankton tumbuhan
atau plankton nabati. Menurut Boney (1989) biota fitoplankton adalah tanaman yang
diklasifikasikan ke dalam  kelas alga. Ukurannya sangat kecil, tak dapat dilihat dengan mata
telanjang. Ukuran yang paling umum berkisar antara 2 – 200 mikro meter (1 mikro meter =
0,001 mm). Fitoplankton umumnya berupa individu bersel tunggal, tetapi ada juga yang
membentuk rantai.
Meskipun fitoplankton membentuk sejumlah besar biomassa di laut, kelompok ini hanya
diwakili oleh beberapa filum saja. Sebagian besar bersel satu dan mikroskopik, dan mereka
termasuk filum Chrysophyta, yakni alga kuning-hijau yang meliputi diatom dan kokolifotor.
Selain ini terdapat beberapa jenis alga hijau-biru (Cyanophyta), alga coklat (Phaeophyta) dan
satu kelompok besar dari Dinoflagellata (Pyrophyta).
Anggota fitoplankton yang merupakan minoritas adalah berbagai alga hijau biru
(Cyanophyceae), kokolitofor (Coccolithophoridae, Haptophyceae), dan silicoflagellata
(Dictyochaceae, Chrysophyceae). Cyanophyceae laut hanya terdapat di laut tropik dan sering
sekali membentuk “permadani” filamen yang padat dan dapat mewarnai air (Nybakken, 1992).
Fitoplankton ada yang berukuran besar dan kecil dan biasanya yang besar tertangkap oleh
jaringan plankton yang terdiri dari dua kelompok besar, yaitu diatom dan dinoflagellata. Diatom
mudah dibedakan dari dinoflagellata karena bentuknya seperti kotak gelas yang unik dan tidak
memiliki alat gerak. Pada proses reproduksi tiap diatom akan membelah dirinya menjadi dua.
Satu belahan dari bagian hidup diatom akan menempati katup atas (epiteka) dan belahan yang
kedua akan menempati katup bawah (hipoteka). Sedangkan kelompok utama kedua yaitu
dinoflagellata yang dicirikan dengan sepasang flagella yang digunakan untuk bergerak dalam air.
Beberapa dinoflagellata seperti Nocticula yang mampu menghasilkan cahaya melalui proses
bioluminesens (Nybakken, 1992).
Fitoplankton hanya dapat dijumpai pada lapisan permukaan saja karena mereka hanya
dapat hidup di tempat-tempat yang mempunyai sinar matahari yang cukup untuk melakukan
fotosintesis. Mereka akan lebih banyak dijumpai pada tempat yang terletak di daerah continental
shelf dan di sepanjang pantai dimana terdapat proses upwelling. Daerah ini biasanya merupakan
suatu daerah yang cukup kaya akan bahan-bahan organik (Hutabarat dan Evans, 1985).
Keberadaan fitoplankton di suatu perairan memberikan kontribusi terbesar terhadap
produktivitas primer di satu perairan.  Menurut Steeman-Nielsen (1952), kurang lebih 95%
produktivitas primer di laut disumbangkan oleh fitoplankton. Namun ternyata tidak selamanya
populasi fitoplankton yang padat dapat memberikan dampak positif pada kesuburan perairan. 
Pada beberapa kasus, ledakan populasi fitoplankton justru menjadi bencana bagi kehidupan biota
lainnya.  Hal inilah yang kemudian disebut blooming atau ledakan populasi.  Pada umumnya,
fenomena blooming ditandai dengan berubahnya warna air laut yang dikenal dengan sebutan red
tide atau pasang merah.  Namun pada perkembangannya, istilah ini sering menyesatkan karena
ledakan fitoplankton ternyata tidak selalu dicirikan dengan warna merah (red).  Blooming
fitoplankton juga dapat menyebabkan air laut berubah warna dari biru-hijau menjadi merah
kecoklatan, hijau, atau kuning-hijau, bergantung pada pigmen yang dikandungnya (Nontji,
2006).  Bahkan dalam beberapa kasus, ledakan fitoplankton tidak menimbulkan warna apa-apa di
permukaan laut.
Istilah yang saat ini mulai sering digunakan di dunia internasional adalah HAB atau
harmful algal bloom.  HAB merupakan istilah untuk menyatakan ledakan populasi fitoplankton
yang berbahaya karena spesies-spesies penyebab HAB menyebabkan racun atau toksik. Spesies
HAB sendiri dibagi ke dalam dua kelompok, yakni penghasil racun dan penghasil biomassa
tinggi. Fenomena ini sering terjadi begitu saja tanpa diketahui faktor-faktor yang
menyebabkannya dan tanpa dapat diprediksi waktu terjadinya.  Secara umum, penyebab
terjadinya HAB juga berasal dari aktivitas manusia sehingga dapat meningkatkan pemasukan
bahan organik ke perairan, transportasi dan pembuangan air ballast atau bekas pencucian kapal.
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari isi makalah ini sebagai berikut :
1. Produktivitas primer merupakan laju penambatan energy yang dilakukan oleh produsen. 
Menurut Campbell (2002), Produktivitas primer menunjukkan Jumlah energy cahaya yang
diubah menjadi energy kimia oleh autotrof suatu ekosistem selama suatu periode waktu
tertentu.
2. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi produktivitas pimer di laut diantaranya cahaya,
nutrien dan suhu. Selain itu terdapat pula beberapa faktor fisika diantaranya upwelling,
pencampuran vertikal masa air dan pencampuran masa air secara horisontal.
3. Fitoplankton merupakan organisme kecil yang hanya hidup di permukaan dan banyak
terdapat di laut dan pitoplankton merupakan produsen yang berperan penting dalam
ekosistem laut. Akan tetapi apa bila terjadi penumpukan fitoplankton akan menyebabkan
kerusakan pada ekosistem laut itu sendiri.
3.2     Saran
Sebagai saran dari kesimpulan yang diambil mengenai ” Pengaruh Fitoplankton terhadap
Produktifitas Primer Laut” agar isi makalah ini dapat di pahami secara menyeluruh dan dapat
bermanfaat sebagai bahan referensi untuk mahasiswa/mahasiswi mempelajari mata kuliah
Biologi Laut..

Anda mungkin juga menyukai