Anda di halaman 1dari 12

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang mana berkat

melimpahkan rahmat dan hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

makalah teknik rehabilitasi hutan mangrove ini tepat pada waktunya.

Makalah ini berjudul “Dampak Dari Kerusakan Magrove”. Dalam

menyusun makalah ini penulis sangat berterima kasih kepada seluruh pihak yang

telah membantu. Terutama untuk dosen pembimbing yang telah banyak

memberikan bimbingan.

Dalam penyelesaian makalah ini penulis sudah berusaha semaksimal

mungkin dan penulis menyadari bahwa laporan ini masih sangat jauh dari

kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua

pihak yang bersifat membangun untuk laporan selanjutnya.

Pekanbaru, 12 September 2018

Penulis
DAFTAR ISI

Isi Halaman

KATA PENGANTAR ............................................................................... i

DAFTAR ISI .............................................................................................. ii

I.PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ...............................................................................
1.2. Tujuan dan Manfaat .......................................................................

II. DAMPAK DARI KERUSAKAN HUTAN MAGROVE


2.1. Pendapatan Nelayan Kepiting Bakau Sebelum dan Sesudah
Kerusakan Mangrove di Kelurahan Bagan
Deli…………………………………… 5
2.2. Pengalihan fungsi lahan mangrove menjadi
tambak…………………………… 5
2.3. Kondisi air sumur warga
………………………………………………………………………
6
2.4. Jumlah Tangkapan Ikan dan Keanekaragaman
Hewan……………………….. 6
2.5. Kondisi di perairan
pesisir…………………………………………………………………….
7
2.6. Abrasi
Pantai………………………………………………………………………
……………….. 8
2.7. Kehilangan Vegetasi
Magrove…………………………………………………………….
8

III. KESIMPULAN DAN SARAN


3.1. Kesimpulan .................................................................................... 10
3.2. Saran ............................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Wilayah peisir merupakan salah satu sumberdaya alam yang mempunyai

sifat yang kompleks, dinamis, dan unik karena pengaruh dari dua ekosistem, yaitu

ekosistem lautan dan daratan. Di lain pihak wilayah pesisir merupakan wilayah

tempat berbagai kegiatan sosial dan ekonomi, antara lain, pemukiman, industri,

perhubungan, dan areal produksi pertambkan (Nadia dan Suning, 2014).

Mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis yang khas, tumbuh dan

berkembang pada daerah pasang surut, terutama didekat muara, sungai, laguna

dan pantai yang terlindung dengan substrat lumpur atau lumpur berpasir.

Ekosistem mangrove adalah kesatuan antara mangrove, hewan dan organisme lain

yang saling berinteraksi antara sesamanya dengan lingkungannya (Peraturan

Menteri Kehutanan No.P35 Tahun 2010).

Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di

sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai yang terpengaruh oleh

pasang surut air laut dengan variasi lingkungan yang besar. Ekosistem ini selain
berfungsi sebagai sumber energi, juga sebagai tempat berpijah (spawning ground),

mencari makan (feeding ground), pembesaran (nursery ground) dan tempat

perlindungan berbagai jenis biota laut seperti, ikan, udang, kerang, dan kepiting

(Santoso, 2000).

Ekosistem hutan mangrove merupakan sumberdaya alami kaya akan fungsi

dan manfaat, salah satunya sebagai peredam dan pelindung dari gempuran

gelombang yang timbul. Namun karena ulah manusia yang berbuat kerusakan di

muka bumi ini, hutan mangrove yang seharusnya dapat diambil manfaatnya oleh

manusia, berubah menjadi rusak. Baik itu disebabkan eksploitasi hutan mangrove

menjadi lahan komersial atau kerusakan karena pencemaran, sehingga

kelestariannya tidak terjaga lagi.


II. DAMPAK DARI KERUSAKAN HUTAN MAGROVE

Mangrove sebagai salah satu komponen ekosistem pesisir memegang

peranan penting, baik di dalam memelihara produktivitas perairan pesisir maupun

di dalam menunjang kehidupan penduduk di wilayah tersebut. Bagi wilayah

pesisir, keberadaan hutan mangrove, terutama sebagai jalur hijau di sepanjang

pantai/muara sungai sangatlah penting untuk mensuplai kayu bakar, nener/ikan

dan udang serta mempertahankan kualitas kawasan pertanian, perikanan dan

pemukiman yang berada di belakangnya dari gangguan abrasi, intrusi dan angin

laut yang kencang. Oleh karena itu, dalam beberapa keadaan sumberdaya

mangrove harus dikonservasi dan dilindungi sejalan dengan sejumlah pilihan-

pilihan pengelolaan lestari yang layak (Oeliem, 2016).

Berikut beberapa Dampak dari kerusakan hutan Mangrove :

2.1. Pendapatan Nelayan Kepiting Bakau Sebelum dan Sesudah Kerusakan

Mangrove di Kelurahan Bagan Deli.

Rata – rata pendapatan nelayan sebelum kerusakan mangrove adalah Rp

3.103.044,44 dan setelah kerusakan mangrove pendapatan nelayan mengalami


penurunan menjadi Rp 1.400.825,00. Hal ini disebabkan karena menurunnya

hasil tangkapan kepiting bakau yang diperoleh di Kelurahan Bagan Deli.

2.2. Pengalihan fungsi lahan mangrove menjadi tambak

masyarakat maupun menjadi kawasan pariwisata dan pemukiman penduduk,

telah menyebabkan proses abrasi dan sedimentasi yang cukup parah, sehingga

diduga dampak Pengalihan Lahan Mangrove Terhadap Keanekaragaman

Benthos di Kecamatan Jaya Baru menyebabkan kontaminasi terhadap

keberadaan biota pada lahan tersebut salah satunya yaitu benthos [Wijayanti,

H. M. 2007 dalam Fitria Ulfa et.al. 2016]. Selain itu pengalihan lahan

mangrove juga dapat menyebabkan perubahan fungsi lahan baik dari segi

ekologis seperti pada rantai makanan, rantai energi dan siklus biogeokimianya

maupun dari segi struktur kimia dan fisikanya.

2.3. Kondisi Air Sumur Masyarakat

Kondisi air sumur warga memiliki tingkat salinitas yang tidak begitu tinggi

pada kondisi normal (tidak hujan dan pasang purnama) namun pada saat

kondisi hujan, airnya berbau dan berwarna, bahkan tak jarang pada saat hujan

bukan hanya ikan – ikan yang terdapat diperairan ditemukan mati

mengambang, tetapi kandungan air sumur warga tersebut mengandung

minyak sehingga tidak dapat dimanfaatkan warga untuk kebutuhan sehari–

hari, sehingga masyarakt harus membeli air untuk kebutuhan memasak (Hasri

Khairini, H B,I. 2014.)

2.4. Jumlah Tangkapan Ikan dan Keanekaragaman Hewan

Dari beberapa sumber disebutkan juga bahwa sekitar tahun 70-an s/d 90-an

untuk kebutuhan perikanan, masyarakat disepanjang pesisir tidak perlu


membeli, bisa diperoleh di air yang tergenang di akar tumbuhan mangrove.

Kini, udang-udang dan ikan yang dulunya diperoleh dalam jumlah banyak

baik yang kecilkecil maupun yang agak besar kini mulai sulit diperoleh, bila

dijala juga sudah sulit dan sedikit diperoleh, kondisi ini telah jauh berbeda

seperti dahulu yang menyimpan banyak jenis ikan dan udang. Kondisi

perikanan pada saat ini, sangat berkurang diakibatkan berkurangnya hutan

mangrove. Seperti dijelaskan di atas bahwa salah satu fungsi hutan mangrove

adalah sebagai biodiversity. Keberadaan mangrove sebagai penghasil serasah

dan akarnya yang unik serta selalu tergenang merupakan tempat berlindung,

mencari makan dan daerah asuhan bagi ikan-ikan kecil dari predator. Bila

daerah asuhan bagi ikan-ikan kecil hilang dan sudah tidak nyaman lagi, maka

spesies ikan-ikan ini akan berpindah dan berupaya untuk mencari lokasi lain

yang lebih baik. Jenis-jenis ikan komersil yang hilang di sekitar perairan

tersebut adalah ikan hiu kapak, ikan pari, ikan lumba-lumba, ikan kerapu dan

lain sebagainya. Bukan hanya dari jenis ikan saja, bahkan dari jenis kepiting,

udang dan kerangpun menjadi sangat sulit di temukan. Selain itu akibat

pembukaan lahan mangrove, menyebabkan berkurang bahkan hilangnya

beberapa spesies hutan dan juga burung-burung yang merupakan bahagian

dari ekosistem hutan mangrove. Binatang seperti ular, babi hutan, harimau,

rusa dan banyak jenis-jenis burung tak lagi pernah dijumpai bahkan hilang

sama sekali (Hasri Khairini, H B,I. 2014.)

2.5. Kondisi di perairan pesisir

Tampaknya banyak pelaku bisnis yang sulit menerima bahwa keberadaan hutan

mangrove dapat berfungsi mengurangi tingkat pencemaran logam berat di


perairan. Dalam banyak penelitian menunjukkan bahwa pohon bakau (Rhizophora

mucronata) dapat mengakumulasi tembaga (Cu), mangan (Mn), dan seng (Zn)

(Banus, 1977). Selain itu hipokotil pohon bakau dapat mengakumulasi tembaga

(Cu), besi (Fe), dan seng (Zn). Kemampuan vegetasi mangrove dalam

mengakumulasi logam berat dapat dijadikan alternatif perlindungan perairan

terhadap pencemaran logam berat (Onrizal dan Kusmana, 2002). Sebagaimana

dalam Onrizal (2000) ekosistem mangrove di Jawa Barat dan Banten umumnya

bukan disebabkan oleh pencemaran air dan tanah di habitat mangrove. Hal ini

dapat dilihat dari kualitas air maupun kandungan dan kedalaman pirit yang relatif

baik bagi ekosistem mangrove. Kerusakan yang terjadi sebagian besar disebabkan

oleh pengalihfungsian kawasan mangrove menjadi lahan tambak, pertanian,

permukiman dan reklamasi pantai untuk kawasan wisata.

2.6. Abrasi Pantai

Disaster Reseacrh Nexus (DRN) dari Universiti Sains Malaysia mempublikasikan

bahwa hutan mangrove dapat mengurangi dampak abrasi bahkan tsunami. Mereka

menggunakan pemodelan yang disebut TUNA, menganalisis resiko gempa pada

tsunami di Upper Padas Dam di Sabah. Adanya hutan mangrove memacu

amplifikasi tinggi gelombang sebesar 2,5 meter di muka mangrove karena

pengurangan kecepatan, tapi dengan gelombang yang jauh lebih rendah

berikutnya (Kompas, 2012). Sebagaimana Nybakken (1986) menjelaskan bahwa

tumbuhan tingkat tinggi menghasilkan habitat untuk perlindungan bagi hewan-

hewan muda dan permukaannya bermanfaat sebagai substrat perlekatan dan

pertumbuhan dari banyak organisme epifit.

2.7. Kehilangan Vegetasi Mangrove


Di daerah hilir sungai yang ditumbuhi mangrove, bahan pencemar yang umum

dijumpai yaitu, bahan kimia industri, kayu kecil yang berserakan dari potongan

cabang mangrove yang tidak dipakai, sampah domestik seperti lembaran plastik,

kantong plastik, sisasisa tali dan jaring, botol, kaleng dan lainnya. Bila luasan

tumbuhan mangrove semakin kecil, pengaruh gelombang laut pada musim angin

timur dan musim kemarau dapat memperburuk kondisi tumbuhan mangrove untuk

tumbuh. bila tidak dilakukan perawatan sesegera mungkin pada umur 0,5-1,5

tahun, akar dan batangnya akan ditumbuhi tritip yang dapat menyebabkan kerdil

bahkan kematian. Alih Fungsi Lahan terhadap Nilai Ekonomi Dalam penelitian

ini, nilai ekonomi hutan mangrove yang dihitung meliputi nilai manfaat langsung

(NML), nilai manfaat tidak langsung (NMTL), nilai pilihan (NP) dan nilai

keberadaan (NK).
III. PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Kerusakan ekosistem pesisir tersebut berimplikasi langsung terhadap

penurunan kualitas habitat perikanan dan mengurangi stok ikan untuk

berkembang serta mengurangi fungsi estetika lingkungan pesisir. Kerusakan fisik

lingkungan pesisir ini dipicu oleh faktor-faktor sosial-ekonomi, khususnya

masalah pertumbuhan penduduk dan kemiskinan. Salah satu ekosisitem yang

mengalami perubahan yakni ekosistem mangrove.

Ekosistem hutan mangrove merupakan sumberdaya alami kaya akan fungsi

dan manfaat, salah satunya sebagai peredam dan pelindung dari gempuran

gelombang yang timbul. Namun karena ulah manusia yang berbuat kerusakan di

muka bumi ini, hutan mangrove yang seharusnya dapat diambil manfaatnya oleh

manusia, berubah menjadi rusak. Baik itu disebabkan eksploitasi hutan mangrove

menjadi lahan komersial atau kerusakan karena pencemaran, sehingga

kelestariannya tidak terjaga lagi.

3.2. Saran
Demi menjaga ekosistem hutan mangrove tetap utuh dan tidak

mengganggu keseimbangannya maka masyarakat pesisir mempunyai peranan

penting terhadap wilayah pesisir serta menanamkan pendidikan sejak dini

mengenai pentingnya hutan mangrove serta melestarikan hutan mangrove.

DAFTAR PUSTAKA

Khairini Hasri, Hairul Basri & Indra. 2014. Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap
Nilai Ekosistem Mangrove di Kecamatan Seruway Kabupaten Aceh
Tamiang. Jurnal Manajemen Sumberdaya Lahan. Vol. 3 No. 1 hal. 396 -
405.

Nadia, Dhini dan Suning. 2014. Studi Penataan Prasarana Temapat Pelelangan
Ikan (TPI) Juanda Berbasis Cluster. Jurnal Teknik Waktu Vol 12 No. 2
Nybakken, J.W. 1988. Biologi Laut; Suatu pendekatan ekologis. PT. Gramedia
Jakarta

Oeliem, T.M.H. 2016. Studi Pengelolaan Hutang Mangrove sebagai Suaka


Margastwa; Studi Kasus di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat
Timur Laut

Onrizal. 2000. Evaluasi kerusakan kawasan mangrove dan alternatif rehabilitasi


di jawa barat dan banten. Fakultas Pertanian Program Ilmu Kehutanan
Universitas Sumatera Utara. Medan.

Onrizal dan Kusmana, C. 2002. Komposisi dan jenis struktur hutan Mangrove di
Suaka Margasatwa Pulau Rambut, Teluk Jakarta. Jurnal. Departemen
Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara dan Departemen
Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.35/MENHUT-


II/(2010) tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan
dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTKRHL-DAS)
Santoso, N. 2000. “Pola Pengawasan Ekosistem Mangrove”, Jakarta: Makalah
disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengembangan Sistem Pengawasan
Ekosistem Laut. hal 58

Sitompul, R.H., Kharijion, Siti, F. 2014. Produksi Serasah Berdasarkan Zonasi di


Kawasan Mangrove Bandar Bakau, Kota-Dumai. Jurnal FMIPA Vo. 1 No.2

Ulfa Fitria, M. Ali S, Abdullah. 2016. Dampak Pengalihan Lahan Mangrove


Terhadap Keanekaragaman Benthos di Kecamatan Jaya Baru Kota Banda
Aceh. Jurnal Biotik, ISSN: 2337-9812, Vol. 4, No. 1, Hal. 41-46

Anda mungkin juga menyukai