Oleh :
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
ii
Oleh :
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
iii
Oleh :
2018
Menyetujui, Menyetujui,
UCAPAN TERIMAKASIH
kepada:
1. Bapak Dr. Sc. Asep Awaludin P., S.Pi, MP selaku Pembina Lembaga Kajian
Profesi.
Tulungagung.
4. Bapak Misbahul Munir selaku Staff divisi Kelompok Sadar Wisata Dinas
Pariwisata Tulungagung.
5. Bapak Eko Puryanto selaku sekretaris jendral Kelompok Sadar Wisata desa
Jengglungharjo.
Jengglungharjo.
7. Seluruh Peneliti dan Badan yang menerbitkan kajian keilmuan yang terkait.
Penulis
iv
RINGKASAN
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut Nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
alasan pentingnya menjaga satwa yang terancam punah yakni penyu, struktur
magang ini meskipun sekecil apapun itu, pasti akan jauh lebih bermanfaat jika
Penulis
iv
DAFTAR ISI
RINGKASAN ...................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Tujuan ........................................................................................................ 2
1.3 Kegunaan ................................................................................................... 3
1.3.1 Bagi Mahasiswa ................................................................................... 3
1.3.2 Bagi Pengusaha .................................................................................. 3
1.3.3 Bagi Perguruan Tinggi ......................................................................... 3
1.4 Tempat, Waktu/Jadwal Pelasanaan ........................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................... 4
2.1 Konservasi ................................................................................................. 4
2.1.1 Model Biologi Konservasi Penyu Laut .................................................. 5
2.2 Penyu laut .................................................................................................. 6
2.2.1 Jenis-jenis Penyu ............................................................................... 10
2.2.2 Teknis Pemeliharaan Konservasi ....................................................... 16
2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Reproduksi Penyu ................................. 19
2.2.3 Habitat Penyu .................................................................................... 22
2.2.3 Ancaman ........................................................................................... 24
2.2.4 Dasar Hukum ..................................................................................... 25
BAB III METODE PENULISAN .......................................................................... 28
3.1 Sumber dan Jenis Data ............................................................................ 28
3.2 Pengumpulan Data................................................................................... 28
3.3 Analisis Data ............................................................................................ 28
3.4 Penarikan Kesimpulan ............................................................................. 28
BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI/TEMPAT PRAKTEK MAGANG .................. 29
4.1 Peta Lokasi Magang................................................................................. 29
v
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Waktu Peneluran Penyu Hijau .............................................................. 15
Tabel 2 Alat Kegiatan Konservasi Penyu ........................................................... 34
Tabel 3 Bahan Kegiatan Konservasi Penyu ....................................................... 34
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Penyu................................................................................................. 7
Gambar 2 Morfometri Penyu ............................................................................... 8
Gambar 3 Spesies Identifikasi Penyu ................................................................. 9
Gambar 4 Penyu Belimbing .............................................................................. 11
Gambar 5 Penyu Hijau...................................................................................... 12
Gambar 6 Kopulasi Penyu ................................................................................ 14
Gambar 7 Peta Desa Jengglungharjo ............................................................... 29
Gambar 8 Zonasi Wisata dan Konservasi Pantai Desa Jengglungharjo ............ 29
viii
DAFTAR SKEMA
Skema 1 Struktur Organisasi dan Tenaga Kerja Pokdarwis ............................... 31
Skema 2 Struktur Organisasi dan Tenaga Kerja Pokmaswas ............................ 32
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Logbook Kegiatan .......................................................................... 40
Lampiran 2 Data Sekunder "Buku Laporan Konservasi Penyu 2016-2017" ....... 43
Lampiran 3 Hasil Wawancara Dinas Terkait ...................................................... 46
Lampiran 4 Dokumentasi ................................................................................... 47
Lampiran 5 Biodata Penulis ............................................................................... 56
BAB I PENDAHULUAN
1.3 Kegunaan
Kegunaan dari praktek kerja magang ini adalah untuk memberikan informasi
mengenai segala aktifitas Konservasi di Balai Konservasi Penyu di Pantai Pathok
Gebang dan Ujung Pakis Tulungagung bagi pembaca untuk menambah referensi
tempat penelitian, bagi mahasiswa yang membutuhkan referensi tempat
penelitian, bagi pengusaha yang bersentuhan langsung dengan aktifitas
konservasi, bagi perguruan tinggi yang memiliki tanggungjawab terhadap
1.3.1 Bagi Mahasiswa
Mahasiswa mendapatkan pembelajaran langsung dari pihak yang
melaksanakannya langsung. Menjadi ajang belajar mahasiswa untuk
kepenulisan yang baik. Menjadi Sumber judul penelitian yang dapat
dikembangkan.
2.1 Konservasi
Menurut Rachman (2012), Secara umum, konservasi, mempunyai arti
pelestarian yaitu melestarikan/ mengawetkan daya dukung, mutu, fungsi, dan
kemampuan lingkungan secara seimbang (MIPL, 2010; Anugrah, 2008; Wahyudi
dan DYP Sugiharto (ed), 2010). Adapun tujuan konservasi (1) mewujudkan
kelestarian sumberdaya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya,
sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan dan mutu
kehidupan manusia, (2) melestarikan kemampuan dan pemanfaatan sumberdaya
alam hayati dan ekosistemnya secara serasi dan seimbang. Selain itu,
konservasi meruapakan salah satu upaya untuk mempertahankan kelestarian
satwa. Tanpa konservasi akan menyebabkan rusaknya habitat alami satwa.
Rusaknya habitat alami ini telah menyebabkan konflik manusia dan satwa.
Konflik antara manusia dan satwa akan merugikan kedua belah pihak; manusia
rugi karena kehilangan satwa bahkan nyawa sedangkan satwa rugi karena akan
menjadi sasaran balas dendan manusia (Siregar, 2009). Konservasi lahir akibat
adanya semacam kebutuhan untuk melestarikan sumber daya alam yang
diketahui mengalami degradasi mutu secara tajam. Dampak degradasi tersebut,
menimbulkan kekhawatiran dan kalau tidak diantisipasi akan membahayakan
umat manusia, terutama berimbas pada kehidupan generasi mendatang pewaris
alam ini. Sisi lain, batasan konservasi dapat dilihat berdasarkan pendekatan
tahapan wilayah, yang dicirikan oleh: (1) pergerakan konservasi, ide-ide yang
berkembang pada akhir abad ke-19, yaitu yang hanya menekankan keaslian
bahan dan nilai dokumentasi, (2) teori konservasi modern, didasarkan pada
penilaian kritis pada bangunan bersejarah yang berhubungan dengan keaslian,
keindahan, sejarah, dan penggunaan nilainilai lainnya (Jokilehto, dalam
Anatriksa, 2009). Sementara itu, Piagam Burra menyatakan bahwa pengertian
konservasi dapat meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan dan sesuai dengan
situasi dan kondisi setempat. Oleh karena itu, kegiatan konservasi dapat pula
mencakupi ruang lingkup preservasi, restorasi, rekonstruksi, adaptasi dan
revitalisasi (Marquis-Kyle & Walker, 1996; Alvares, 2006).
Di suatu perjamuan makan malam di tahun 1978, saat campuran dari
akademisi, penjaga kebun binatang, dan pelestari satwa liar berkumpul di San
Diego Wild Animal Park, seorang ahli biologi dari Universitas California, Michael
5
dapat melakukan identifikasi dengan baik. Tubuh penyu terdiri dari bagian-
bagian:
1) Karapas, yaitu bagian tubuh yang dilapisi zat tanduk, terdapat di bagian
punggung dan berfungsi
sebagai pelindung.
2) Plastron, yaitu penutup pada bagian dada dan perut.
3) Infra Marginal, yaitu keping penghubung antara bagian pinggir karapas
dengan plastron. Bagian
ini dapat digunakan sebagai alat identifikasi.
4) Tungkai depan, yaitu kaki berenang di dalam air, berfungsi sebagai alat
dayung.
5) Tungkai belakang, yaitu kaki bagian belakang (pore fliffer), berfungsi sebagai
alat penggali.
Gambar 1 Penyu
(Sumber : Stranding From Modified After Georgia DNR dalam Pedoman Teknis
Konvservasi Penyu, 2009)
10
Seluruh spesies penyu memiliki siklus hidup yang sama dengan penyu
lainnya. Secara umum siklus hidup penyu terbagi atas pantai peneluran, ruaya
pakan dan ruaya kawin. Dalam mencapai dewasa kelamin penyu mempunyai
pertumbuhan yang sangat lambat dan memerlukan waktu berpuluh-puluh tahun
untuk mencapai usia produktifnya. Penyu dewasa hidup bertahun-tahun di satu
tempat sebelum bermigrasi untuk kawin dengan menempuh jarak yang jauh,
yaitu bisa mencapai hingga 3000 km dari ruaya pakan ke pantai peneluran. Pada
umur sekitar 20-50 tahun, penyu jantan dan betina bermigrasi ke daerah
peneluran di sekitar daerah kelahirannya. Perkawinan penyu dewasa terjadi di
lepas pantai satu atau dua bulan sebelum peneluran pertama di musim tersebut
(Pedoman Teknis Konservasi Penyu, 2009).
2.2.1 Jenis-jenis Penyu
Dari total 7 jenis penyu laut di dunia, ada 6 jenis yang dilindungi di
Indonesia sesuai dengan perundangan pemerintah (Peraturan Pemerintah no.7
tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, serta Undang-
Undang no.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati). Lima dari
keenam jenis tersebut diketahui hidup dan bertelur di Indonesia. Berikut daftar
nama lokal dan nama ilmiah (Kot et. al., 2015 dalam Rachman, 2017):
1. penyu belimbing (Dermochelys coriacea)
2. penyu hijau (Chelonia mydas)
3. penyu sisik (Eretmochelys imbricata)
4. penyu tempayan (Caretta caretta)
5. penyu lekang (Lepidochelys olivacae)
Jenis penyu yang berada pada Desa Jengglungharjo adalah penyu
belimbing, penyu hijau dan penyu sisik. Berdasarkan World Wide Fund (WWF),
2017 dalam Wiyandhita dan Koswara, 2017). menyatakan bahwa 3 jenis penyu
tersebut tergolong dalam kategori kritis tingkat kepunahannya. Sehingga
diperlukan upaya perlindungan yang khusus dalam melindungi populasi penyu
tersebut. Salah satu bentuk usaha menyelamatkan penyu laut di Indonesia
khususnya adalah meningkatkan kesadaran masyarakat pada perlindungan
penyu (Kurniarum dan Prihatna, 2015 dalam Wiyandhita dan Koswara, 2017).
Upaya pelestarian dan penyelamatan penyu yang sejalan dengan pembangunan
perekonomian masyarakat dapat dilakukan melalui pengembangan ekowisata.
11
Kingdom: Animalia
Phylum: Chordata
Class: Reptilia
Order: Testudines
Family: Dermochelyidae Gambar 4 Penyu Belimbing
Genus: Dermochelys (Sumber : Google Image,
Species: coriacea (Wikipedia, 2018) 2018)
Menurut Wiyandhita dan Koswara (2017),
Menyatakan penyu Belimbing memiliki nama ilmiah Dermochelys coriacea.
Penyu belimbing memiliki ciri punggung memanjang berbentuk buah belimbing,
memiliki kepala sedang serta membundar, serta memiliki kaki depan yang
panjang dengan punggung berwarna hitam hampir seluruhnya disertai bitnik –
bitnik putih. Tempat bertelur dari penyu belimbing pada pantai yang luas dan
panjang serta pada daerah tropis. Sarang dari telur penyu belimbing memiliki
kedalaman > 100 cm serta memiliki diameter 30 – 35 cm. Waktu bertelur penyu
belimbing adalah malam hari yaitu pada pukul 20.00 – 03.00 dan selang bertelur
dari penyu belimbing hampir 2 tahun. Karakter habitat lokasi peneluran penyu
belimbing memiliki kesamaan seperti penyu hijau yatu pada pantai yang terdapat
pohon waru, pohon ketapang dan pohon pandan duri dengan jenis pasir pantai
yang terdapat kurasa (mineral quartz).
Menurut Tapilatu et al. (2013), cara konservasi yang dapat dilakukan
untuk mengurangi laju kepuanahan adalah dengan membatasi
tingkat eksploitasi langsung telur dan betina yang mengakibatkan kepunahan
serta mencegah perkembangan wilayah di sekitar pantai tempat bersarang, yang
memiliki dampak merusak habitat. WWF (2013) menambahkan bahwa cara yang
dapat dilakukan untuk menyelamatkan penyu belimbing adalah mempromosikan
dan memfasilitasi pembentukan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) berbasis
Penyu Laut, pembentukan Kebijakan “Konsesi Penolakan Telur”, pembentukan
kesepakatan dengan masyarakat terhadap perburuan Penyu Belimbing,
peningkatan kepedulian terhadap status konservasi Penyu Belimbing di Pantai
Jamursba Medi, implementasi alat tangkap ramah Penyu Laut serta penanganan
terhadap Penyu Laut sebagai bycatch langsung di atas kapal nelayan, serta
penandatanganan sejumlah nota kesepahaman dalam rangka perlindungan dan
12
komitmen dari berbagai pihak terkait untuk kelangsungan hidup Penyu Laut di
Indonesia.
ketapang dan pohon pandan duri dengan jenis pasir pantai yang terdapat kurasa
(mineral quartz).
akan menetas setelah kurang lebih 55 hari (Nuitja, 1992). Interval waktu antar
musim peneluran adalah 2-3 tahun dan penyu bertelur lebih dari satu kali dalam
satu musim (2-3 kali), sedangkan interval waktu untuk mengeluarkan telur di
pantai adalah 2-3 minggu (Ridla, 2007 dalam Apriyandini, 2017).
Secara alami telur yang ditinggalkan induk penyu dalam gundukan pasir
pantai akan menetas. Oleh Nuitja, N.S (1981) dilaporkan bahwa prosentase
penetasan telur penyu x,90 %. Setelah menjadi anakan (tukik) maka secara
naluriah akan pergi ke arah laut. Mula-mula sesaat tukik akan berada di perairan
laut dekat pantai kemudian berkelana ke laut lepas. Perjalanan tukik di laut tidak
diketahui lagi. Para ahli menyebut sebagai "tahun yang hilang" (Carr, A. 1967;
Frick, 1976 dalam Apriyandini, 2017).
Ketika akan bertelur penyu akan naik ke pantai. Hanya penyu betina yang
datang ke daerah peneluran, sedangkan penyu jantan berada di daerah sub-
tidal. Penyu bertelur dengan tingkah laku yang berbeda sesuai dengan spesies
masing-masing. penyu hijau memiliki waktu (timing) seperti yang tersebut pada
Tabel 2.1 Waktu (Timing) Peneluran Penyu Hijau
dan malam hari, dan selang bertelur dari penyu sisik hampir 2 tahun. Karakter
habitat lokasi peneluran penyu sisik berada pada lokasi pantai yang memiliki
karakter butiran pasir koral hasil dari hempasan ombak / gelombang, serta
memiliki warna pasir putih atau kekuningan.
2.2.2 Teknis Pemeliharaan Konservasi
Dalam Konservasi Penyu tidak hanya dilakukan pencarian lokasi telur
penyu dan ditandai saja namun telur penyu juga pemeliharaan telur penyu
hingga menjadi tukik yang siap dilepaskan ke alam.
2. Membran atau selaput embrio telur penyu sangat mudah robek jika telur penyu
dirotasi atau mengalami guncangan. Oleh karena itu sebelum pemindahan telur
penyu, pastikan bagian atas telur ditandai kecuali pemindahan telur penyu
tersebut dilakukan sebelum 2 jam setelah induk penyu bertelur.
4. Telur penyu tidak boleh dicuci dan harus ditempatkan atau ditanam segera
dengan kedalaman yang sama dengan kondisi sarang aslinya, biasanya sekitar
60-100 cm.
5. Ukuran dan bentuk lubang juga harus dibuat menyerupai ukuran dan bentuk
sarang aslinya.Ukuran diameter mulut sarang penyu biasanya sekitar 20 cm.
setelah penetasan. Nafsu makan tukik sangat besar pada umur lebih dari 1 tahun,
akan tetapi jangan terus diberi makan.
c) Pakan diberikan 2 kali sehari sebanyak 10-20% dari berat tubuh tukik
dengan cara menyebarkan ebi secara merata.
d) Waktu pemberian pakan adalah pagi dan sore hari.
4) Kondisi air dalam bak pemeliharaan harus diperhatikan, baik kuantitas
maupun kualitasnya.
a) Air dalam bak pemeliharaan dapat kotor akibat dari sisa-sisa makanan
atau kotoran tukik. Air yang kotor dapat menimbulkan berbagai penyakit yang
biasa menyerang bagian mata dan kulit tukik
b) Lakukan pergantian air sebanyak 2 kali dalam sehari sesudah waktu
makan. Air dalam bak pemeliharaan harus selalu mengalir atau gunakan alat
penyaring ke dalam pipa air bak pemeliharaan.
c) Standar kualitas air mengacu pada Kepmen LH No. 51 Tahun 2004
tentang Baku Mutu Kualitas Air untuk Biota laut.
5) Perawatan tukik
Tukik-tukik di dalam bak pemeliharaan seringkali saling gigit sehingga terluka.
Pisahkan dan pindahkan segera tukik yang terluka dari bak pemeliharaan,
bersihkan lukanya dengan larutan KMnO4 (kalium permanganat) di bak tersendiri.
Selain penetasan telur penyu secara semi alami di lokasi terbuka seperti di atas,
penetasan telur penyu secara semi alami dapat juga dilakukan dalam suatu
wadah.
wadah tersebut. Uap yang timbul di dalam kotak berfungsi untuk menjaga
kelebaban
5) Wadah berisi telur penyu harus memiliki lubang pembuangan air. Telur penyu
yang tergenang air akan mati karena udara tidak dapat diserap oleh telur penyu.
Hal yang perlu diperhatikan bahwa penetasan telur penyu secara semi alami
dalam suatu wadah buatan juga mempunyai kelemahan, yaitu apabila dilakukan
secara terus-menerus dapat menimbulkan ketidakseimbangan populasi di alam,
karena perlakuan suhu dalam proses penetasan telur penyu dalam wadah
buatan tersebut dapat mempengaruhi jenis kelamin tukik. Sebutir telur yang
menetas secara alami semestinya jantan, akan tetapi karena perlakukan suhu
dalam proses penetasan telur penyu dalam wadah buatan justru menjadi betina
dan sebaliknya. Gambar 45 berikut ini menyajikan bahan dan media untuk
proses penetasan telur penyu dalam wadah buatan.
laju tetas yang baik dan waktu pengeraman yang relative singkat Ewart (1979)
dalam Richayasa (2015) sedangkan Limpus ( 1995) dalam Richayasa (2015)
menambahkan bahwa kisaran suhu antara 22-23ºC merupakan batas normal
untuk perkembangan embrionik. Suhu yang diperlukan agar embrio berkembang
dengan baik adalah antara 24-33 C. Bila suhu di dalam sarang diluar batas suhu
tersebut maka embrio tidak akan tumbuh dan mati, disamping itu suhu penetasan
juga mempengaruhi jenis kelamin tukik yang akan menetas.
Menurut Yusuf (2000) dalam Apriyandini (2017), Bila suhu kurang dari
29C, maka sebagian besar adalah tukik jantan, sebaliknya bila suhu lebih dari
29C, maka yang akan menetas adalah sebagian besar tukik betina
Menurut Apriyandini (2017), Suhu sangat mempengaruhi kesuksesan
penetasan telur penyu Herrera (2010) dalam Yustisia Wayan (2017) Suhu ideal
masing – masing jenis penyu dalam menentukan keberhasilan penetasan telur
berbeda – beda Runemark, 2006 dalam Yustisia Wayan, 2017. Both et al. (2004)
dalam Yustisia Wayan (2017) menyatakan bahwa suhu mempengaruhi jenis
kelamin, ukuran setelah lahir, massa kuning telur, dan kemampuan untuk
berenang. Pada Penyu Hijau suhu 26°C hingga 28°C menghasilkan penyu
jantan, sedangkan suhu 28°C hingga 30°C menghasilkan penyu betina. Suhu
yang lebih rendah juga menunjukkan penambahan periode inkubasi.
2.2.3.3 Kelembapan
Kelembapan adalah faktor utama dalam keberhasilan dan kegagalan
dalam membuat sarang, pada musim kemaau pasir menjadi kering sehingga
21
2.2.3.8 Cahaya
Keadaan pantai peneluran harus dalam keadaan tenang, tidak ada badai
ataupun angin yang kencang dan dalam keadaan gelap. Widiastuti (1998) dalam
Apriyandini (2017), intensitas cahaya yang diukur pada malam hari berkisar 0-1
lux, yang berarti bahwa kondisi ini dikatakan gelap. Kondisi tersebut sangat
aman untuk penyu naik ke darat dan membuat sarang telur.
2.2.3 Habitat Penyu
Menurut Hirth, H.F (1971) sebagian besar kehidupan penyu dihabiskan di
laut untuk mencari makan, beruaya dan kawin. Setelah tiba saatnya bertelur
penyu betina akan mencari pantai berpasir untuk bertelur. Halliday et al. (1986)
menyatakan bahwa daerah peneluran penyu ini biasanya tidak jauh dari perairan
laut yang menyediakan rumput laut. Rata-rata penyu hijau bertelur sebanyak 106
butir setiap kali mendarat ke pantai (Sub Balai KSDA Jatim ll. 1990).
hijau ini hidup di perairan tropis dan sub-tropis di sekitar pesisir benua dan
kepulauan. Penyu hijau juga diketahui sering terdapat di antara terumbu karang
pada daerah laut lepas. Kemampuan migrasi Penyu hijau pada beberapa
populasi dapat mencapai jarak 2.094 kilometer dari habitat peneluran menuju
habitat mencari makan. Meskipun daya jelajahnya sampai ribuan kilometer,
uniknya Penyu hijau hanya bereproduksi di tempat yang sama berdasarkan
navigasi medan magnet bumi. Di Indonesia, jenis penyu ini tersebar di sekitar
perairan tropika, laut seluruh Indonesia dan Papua Nugini. Hewan ini baru bisa
mencapai usia dewasa sekitar 30-50 tahun. Jadi, Penyu hijau memiliki siklus
kehidupan yang panjang, namun tingkat kehidupannya rendah (Ali, 2004 dalam
Zakyah 2016). Beberapa wilayah yang dikenal karena penyu laut yang melimpah
adalah Teluk Thailand, Malaysia (Serawak, Sabah), Filifina, Indonesia (Sumatera,
Kepulauan Riau, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Madura, Sumbawa, Flores, Irian
Jaya, Kepulauan Obi, Ambon, Banda, Maluku), Papua Nugini, Australia (Northern
Territory, Queensland), Wake Island, Guam, Northern Mariana Islands, Palau,
Micronesia, Masr-shall Island, Line Island (Jervis), Kiribati, Tuvalu, Samoa, Cook
Island, Solomon Island, Vanuatu, New Caledonia, Fiji, Tonga, Franch Polynesia
(Society Islands, Tuamotu Archipelego, dan Marquesas)
2.2.3 Ancaman
Ancaman terhadap telur penyu adalah pemungutan telur di lokasi
peneluran dan pemangsaan predator seperti biawak, babi hutan, macan tutul,
elang, ikan besar pada tingkat telur hingga anakan (tukik) (Triwibowo. 1990).
Hanya 1 s/d 3 % anakan yang mampu mencapai tingkat dewasa (Enrenfeld,
D.W. 1974). Tingkat kematian anakan penyu menuju dewasa sangat tinggi,
diasumsikan hanya sebutir sampai dengan tiga butir telur yang bertahan hidup
dari 100 butir yang dihasilkan seekor induk penyu. Sedangkan ancaman yang
tbaling utama adalah penangkapan oleh manusia. Penangkapan baik yang
disengaja maupun yang tidak dapat mengancam kelangsungan populasi penyu
di dunia (Sumardja, 1991).
Telur penyu yang berada dalam pasir sarang mengalami masa inkubasi
yang panjang dan sangat rentan terhadap serangan mikroba. Menurut Clusella
dan Paladino (2007), penyebaran jamur ditemukan didalam pasir sarang telur
penyu. Phillott dan Parmenter (2001) dan Sarmiento-Ramirez et al. (2010)
menyatakan bahwa jamur berkembang baik dalam sarang dengan kondisi
sarang pasir yang padat sehingga menyebabkan telurtelur banyak yang
25
Indonesia memiliki enam dari tujuh jenis penyu yang berada di dunia,
yaitu Penyu Hijau (Chelonia mydas), Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata),
Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea), Penyu Belimbing (Dermochelys
coriacea), Penyu Pipih (Natator depressus) dan Penyu Tempayan (Caretta
caretta) (Suharso, 2009). Semua jenis penyu di Indonesia diberi status dilindungi
oleh negara sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 7 tahun 1999 tentang
Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Diberikanya status dilindungi oleh
pemerintah dikarenakan untuk meminimalisir dari adanya tangan jail dari
manusia yang ingin mengambil telur penyu atau penyu untuk di perjual belikan
atau di konsumsi pribadi. Diberikannya status perlindungan bagi penyu masih
kurang cukup untuk memulihkan atau setidaknya mempertahankan populasi
penyu yang ada, dibutuhkan sikap dan tindakan nyata dalam melakukan
27
b. Sejarah Pokmaswas
Pembina
Dinas Pariwisata
Kabupaten
Tulungagung
Penasihat
SUMARI
Ketua
LEGO RYANTO
Wakil Ketua
ANDIK
KRISFIAN
Bendahara Sekretaris
EKO PURYANTO SUPRYONO
b) Pokmaswas
Kepala Dinas
Perikanan dan
Kelautan Provinsi
Koordinator
Kelompok
Masyarakat
Pengawas
No Alat Fungsi
No Bahan Fungsi
makanan harus terbuat dari bahan alami atau un organic apabila terbuat dari
bahan kimia akan membuat penyu mati. Selanjutnya perlu dilakukan penggantian
air sesering mungkin untuk menghindari terserang penyakit pada tukik. Suhu
ideal dalam perkembangan tukik yaitu berkisar antara 34 – 35 °C.
tidak diberikan subsidi serta kelompok masyarakat yang terkait belum memahami
penyakit yang teridentifikasi hingga saat ini meliputi fisik berupa jamur dan
bakteri yang hanya disembuhkan dengan metode sederhana serta psikis tukik
memiliki bak penangkaran, mereka meminjam bak dari para nelayan yang
sedang tidak menggunakannya sebagai wadah ikan serta tidak adanya pondok
akses jalur menuju daerah konservasi yang sulit dan jauh sehingga
meningkatkan tingkat stress telur saat dibawa ke tempat penangkaran yang jauh.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Kesimpulan Hasil Praktik Magang di Konservasi penyu Desa
Jenis penyu yang ditemukan di Tulungagung ialah penyu hijau, penyu sisik,
6.2 Saran
Pemerintah lebih mensosialisasikan mengenai alur pendanaan terhadap
Enrenfeld, D.W. 1 974. Conseruasing The Edible Sea Tuftle. Can Marineculture
help?. America Scientific Journal.
Hirth, H.F. 1971. Synopsis of Biological Data on Green Turtle (Chelonia mydas .
L.) FAO Fiesheries Synopsis. Rome.
Marluka, dan M. Yuwana. 2007. Valuasi Ekonomi dengan Travel Cost Method
pada Obyek Ekowisata Pulau – pulau Kecil (Kasus Kawasan Kepulauan
Seribu). Universitas Parahyangan. Volume 11, Nomor 2, Agustus 2007.
39
Sumardja, E. 1991. Pembahasan Strategi Nasional dan Action Plan ' Konservasi
dan Pengelolaan Penyu. KLH, Departemen Kehutanan, Jakarta,
LAMPIRAN
1. 31 Di Pantai Sanggar :
mengikuti agenda
desa Jengglungharjo
3 2 Januari Di Sekretariat
2018 Pokdarwis :
1. Mencari
Informasi
mengenai
lembaga
Penangkaran Telur :
1. Wawancara
dengan pak
41
marli
4 3 Januari Di Sekretariat
2018 Pokdarwis :
1. Mencari
rakapan data
sekunder
1. Wawancara
secara teknis
pelaksanaan
konservasi
1. Wawancara
secara teknis
pelaksanaan
penangkaran
penyu
1. Wawancara
mengenai
lembaga
Pokmaswas
42
2018 1. Menanam
cemara jenis
“Cemara
Udang” di
pantai ngalur
bersama
Pokmaswas
2018 1. Mencari
rumput laut
sebagai bahan
pakan tukik.
Di Pantai Pathok
Gebang :
1. Mencari habitat
asli penyu
2. Observasi
Nursery
Ground penyu
3. Mencari telur
penyu
menggunakan
teknik manual
43
1. Observasi
Kondisi pantai
target sampah
kiriman
2018 1. Mencari
informasi
mengenai
system kerja
Pokdarwis
Di Dinas Lingkungan
Hidup :
1. Mencari
informasi
teknis system
kerja, sebagai
rujukan
informasi dari
dinas
pariwisata
4 23/3/2016 - 93 - - - - Belum
menetas
Jumlah Semua yang mati 24 ekor, yang premature 20 ekor, pelepasan tukik di pantai sidem
50 ekor
6 9/6/2016 - - - - - - Penyisiran di
lokasi
7 18/6/2016 - - - - - - Memantau
lokasi
8 1/7/2016 - - - - - - Menemukan
jejak kaki
penyu di meter
150. Dicari
telur belum
ketemu waktu
itu gelombang
besar
sebab
gelombag
besar
13 1/10/2016 - - - - - - Tidak
menemukan
14 16/11/ - - - - - - Gelombang
besar
2016
20 5/3/2017 - - - - - - Kosong
24 5/5/2017 Penyu
46
hijau
Selain dari ketiga dinas tersebut juga terdapat beberapa LSM yang ikut
turun tangan di konservasi penyu ini, mereka bertugas memberi penyuluhan
tentang sampah kepada masyarakat Tulungagung. Pembuangan sampah akhir
ke lautan memberikan imbas negative untuk habitat penyu itu sendiri
Lampiran 4 Dokumentasi