Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

MODEL PENGEMBANGAN WILAYAH KEPULAUAN


MENDASAR PADA TIPOLOGI FISIK PULAU-PULAU KECIL

Di susun Oleh :
Dimas Sustanugraha

A. Latar Belakang

Keterbelakangan wilayah pulau-pulau kecil di Indonesia terjadi akibat


bekerjanya faktor-faktor fisik alamiah yang menurunkan berbagai kendala
untuk pengembangan wilayah. Pengembangan wilayah pulau-pulau kecil di
Indonesia masih dilakukan dengan pendekatan yang sama dengan wilayahwilayah kontinen sebagai akibat sentralisasi pembuatan keputusan dalam
pembangunan di masa lalu. Otonomi daerah telah membuka jalan untuk
penerapan model pengembangan wilayah yang khas bagi pulau-pulau kecil,
namun sampai saat ini belum tersedia model pengembangan wilayah pulaupulau kecil di Indonesia.
Pengembangan kawasan pulau-pulau kecil merupakan suatu proses
yang akan membawa suatu perubahan pada ekosistemnya. Perubahanperubahan tersebut akan membawa pengaruh pada lingkungan. Semakin
tinggi intensitas pengelolaan dan pembangunan yang dilaksanakan berarti
semakin tinggi tingkat pemanfaatan sumberdaya, maka semakin tinggi pula
perubahan-perubahan lingkungan yang akan terjadi di kawasan pulau- pulau
kecil.
Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena
didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan
keamanan serta adanya ekosistem khas tropis dengan produktivitas hayati
tinggi yaitu terumbu karang (coral reef), padang lamun (seagrass), dan hutan
bakau (mangrove). Ketiga ekosistem tersebut saling berinteraksi baik secara
fisik, maupun dalam bentuk bahan organik terlarut, bahan organik partikel,
migrasi fauna, dan aktivitas manusia. Selain potensi terbarukan pulaupulau kecil juga memiliki potensi yang tak terbarukan seperti pertambangan
dan energi kelautan serta jasa-jasa lingkungan yang tinggi nilai ekonomisnya
yaitu sebagai kawasan berlangsungnya kegiatan kepariwisataan, media
komunikasi, kawasan rekreasi, konservasi dan jenis pemanfaatan lainnya.
Berdasarkan tipenya, pulau-pulau kecil dibedakan menjadi pulau benua,
pulau vulkanik dan pulau karang. Masing-masing tipe pulau tersebut
memiliki kondisi lingkungan biofisik yang khas, sehingga perlu menjadi
pertimbangan

dalam

kajian

dan

penentuan

pengelolaannya

agar

berkelanjutan. Hal ini akan berpengaruh pula terhadap pola permukiman yang
berkembang di pulau-pulau kecil berdasarkan aktivitas yang sesuai dengan
kondisi lingkungan biofisik tersebut. Misalnya tipologi pulau kecil lebih
dominan ke arah pengembangan budidaya perikanan, maka kemungkinan
besar pola permukiman yang berkembang adalah masyarakat nelayan.
B. Pengertian Pulau Kecil
Pengertian pulau kecil menurut Undang-Undang 27 Tahun 2007 adalah
pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 Km2 (dua ribu
kilometer persegi) beserta kesatuan ekosistemnya. Di samping kriteria utama
tersebut, beberapa karakteristik

pulau-pulau kecil adalah secara ekologis

terpisah dari pulau induknya (mainland island), memiliki batas fisik yang
jelas dan terpencil dari habitat pulau induk, sehingga bersifat insular;
mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman yang tipikal
dan bernilai tinggi; tidak mampu mempengaruhi

hidroklimat; memiliki

daerah tangkapan air (catchment area) relatif kecil sehingga sebagian besar
aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut serta dari segi sosial,
ekonomi dan budaya masyarakat

pulau-pulau

kecil bersifat khas

dibandingkan dengan pulau induknya.


Pulau-pulau kecil didefinisikan berdasarkan dua kriteria utama yaitu
luasan pulau dan jumlah penduduk yang menghuninya. Definisi pulau-pulau
kecil yang dianut secara nasional sesuai dengan Kep. Menteri Kelautan dan
Perikanan No. 41/2000 Jo Kep. Menteri Kelautan dan Perikanan No. 67/2002
adalah pulau yang berukuran kurang atau sama dengan 10.000 km 2 , dengan
jumlah penduduk kurang atau sama dengan 200.000 jiwa. Di samping kriteria
utama tersebut, beberapa karakteristik pulau-pulau kecil adalah secara
ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland island), memiliki batas fisik
yang jelas dan terpencil dari habitat pulau induk, sehingga bersifat insular;
mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman yang tipikal
dan bernilai tinggi; tidak mampu mempengaruhi hidroklimat; memiliki
daerah tangkapan air (catchment area) relatif kecil sehingga sebagian besar
aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut serta dari segi sosial,

ekonomi

dan

budaya

masyarakat

pulau-pulau

kecil

bersifat

khas

dibandingkan dengan pulau induknya.


C. Tipologi Fisik Pulau-Pulau Kecil
Berdasarkan tipenya, pulau-pulau kecil dibedakan menjadi pulau benua,
pulau vulkanik dan pulau karang, berikut ini adalah tipologi pulau yang
lainnya.
1. Berdasarkan ketinggian pulau di atas permukaan laut, pulau kecil dibagi
atas:
a. Pulau Datar
Pulau dimana ketinggian daratannya dari muka laut rendah. Pulau ini
berasal dari pulau vulkanik maupun non-vulkanik. Jenis-jenis pulau
datar adalah sebagai berikut:
Pulau Atol
Pulau atol adalah pulau karang yang berbentuk cincin. Umumnya
pulau ini adalah pulau vulkanik yang ditumbuhi oleh terumbu karang
membentuk fringing reef, kemudian berubah menjadi barrier reef
dan terakhir berubah menjadi pulau atol. Contoh : gugus pulau di
Takabone Rate
Pulau Karang
Pulau yang terbentuk oleh sedimen klastik berumur kuarter. Banyak
pulau-pulau di Indonesia yang memiliki ekosistem terumbu karang.
Pulau koral/karang atau pulau teras terangkat umumnya sangat subur
dan hijau, karena mempunyai daya kapilaritas yang tinggi, sehingga
memiliki sumber air tawar yang banyak bagi kehidupan habitat dan
manusia. Contoh-contoh pulau karang terdapat di wilayah Maluku.
Pulau Aluvium
Pulau aluvium terbentuk karena proses pengendapan yang biasanya
terjadi di sekitar muara sungai besar, dimana laju pengendapan lebih
tinggi dibandingkan intensitas erosi oleh arus dan gelombang laut.
Pulau-pulau di pantai timur Sumatera dan pulau-pulau di delta-delta
di Kalimantan merupakan tipe pulau endapan atau pulau Aluvium
b. Pulau Berbukit

Pulau dataran tinggi yang memiliki ketinggian di atas muka laut yang
relatif tinggi. Umumnya pulau ini memiliki ketinggian lebih dari 10 m
di atas pemukaan laut.
Pulau Tektonik
Pulau yang pembentukannya berkaitan dengan proses tektonik,
terutama pada zona tumbukan antar lempeng, misalnya Pulau Nias,
Pulau Siberut dan Pulau Enggano. Sumberdaya air di pulau tektonik
lebih banyak dijumpai sebagai aliran sungai, dan sangat sedikit air
tanah.
Pulau Vulkanik
Pulau yang sepenuhnya terbentuk dari kegiatan gunung berapi, yang
timbul secara perlahan-lahan dari dasar laut ke permukaan. Tipe
batuan dari pulau ini adalah basalt, silica (kadar rendah). Ada pula
pulau vulkanik yang membentuk untaian pulau-pulau dan titik
gunung api dan terdapat di bagian tengah lempeng benua
(continental plate).
Pulau Karang Timbul
Pulau yang terbentuk oleh terumbu karang yang terangkat ke atas
permukaan laut, karena adanya gerakan ke atas (uplift) dan gerakan
ke bawah (subsidence) dari dasar laut karena proses geologi. Pada
saat dasar laut berada dekat permukaan, terumbu karang mempunyai
kesempatan untuk tumbuh dan berkembang di dasar laut yang naik.
Setelah berada di atas permukaan air laut, terumbu karang akan mati
dan menyisakan terumbu dan terbentuk pulau karang timbul. Jika
proses ini berlangsung terus, maka akan terbentuk pulau karang
timbul. Pulau karang timbul ini banyak dijumpai di perairan timur
Indonesia, seperti di Laut Seram, Sulu, Banda.
Pulau Petabah
Pulau yang terbentuk di daerah yang stabil secara tektonik. Pulau
seperti ini antara lain dijumpai di Paparan Sunda. Litologi
pembentukan pulau petabah sering terdiri atas batuan ubahan,

intrusi, dan sedimen yang terlipat dan berumur tua, seperti Pulau
Batam, Pulau Bintan dan Pulau Belitung
Pulau Genesis campuran
Pulau yang terbentuk dari gabungan dua atau lebih genesis pulaupulau tersebut di atas. Potensi air di pulau genesis campuran
tergantung pada genesis pulau yang bergabung, dan dapat berupa
sumber air yang mengalir sepanjang tahun maupun aliran air
permukaan dengan jumlah yang biasanya terbatas. Pulau-pulau
seperti Pulau Haruku, Pulau Nusa Laut, Pulau Kisar dan Pulau Rote
adalah contoh pulau genesis campuran.
2. Tipologi Menurut Salm
Karakteristik Pulau Oseanik, Pulau Kontinental, dan Daratan Kontinen
N

Characteristic

Oceanic Island

Continent Island

Continent

o
1

Geographical

Remote from

Close to

Very large areas

continent Bounded

continents,

Ofeten very large

by wide Seas,

Bounded in part by

seasonal and or

Equable air

narrow areas, Less

diurnal

temperatures

equable air

temperatures

Volcanic or

temperatures
Sedimentary or

ranges
Sedimentary or

corolline Few

metamorphic

metamorphic or

valuable minerals

Some minerals

igneous

Permeable soil

Various soils

Minerals

Impoverished

Less impoverished

Various soils
Full range of

overall biotic

overall biotic

biotic variety

variety

variety

Usually low

High turnover of

Lower species

species turnover

species

turnover

Few marine

Mass breeding of

Often mass

vertebrates

marine vertebrates

breending of

breeding ashore

Late discovery by

marine vertebrates
Often early

Often early

humans

discovery

discovery

Recent settlement

Early or late

Settlement by

settlement

humans

Geological

Biological

Historical

Economic

Few terrestrial

Wide range of

Wide range of

resourches

terrestrial

terrestrial

Marine resources

resources

resources

important

Marine resources

Often marine

Distant from

important

resources

major market

Neaner large

unimportant

market

Market relatively
Accessible

Sumber: Dimodifikasi dari Salm, 1984 (dalam Lutfhi Mutaali 2010)


D. POTENSI PULAU-PULAU KECIL
Kawasan pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang
cukup besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek
ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem khas tropis
dengan produktivitas hayati tinggi yaitu terumbu karang (coral reef), padang
lamun (seagrass), dan hutan bakau (mangrove). Ketiga ekosistem tersebut
saling berinteraksi baik secara fisik, maupun dalam bentuk bahan organik
terlarut, bahan organik partikel, migrasi fauna, dan aktivitas manusia.
1. Potensi Sumberdaya Hayati Pulau-pulau Kecil
a. Terumbu karang
Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan massif kalsium
karbonat (CaCO3), yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk
terumbu (karang hermatipik) dari filum Cnidaria, Ordo Scleractinia
yang hidup bersimbiose dengan alga bersel satu Zooxanthellae, dan
sedikit tambahan dari algae berkapur serta organisme lain yang
mensekresi kalsium karbonat.
Manfaat yang terkandung dalam terumbu karang sangat besar
dan beragam. Menurut Sawyer (1993) dan Cesar (1996) jenis manfaat
yang terkandung dalam terumbu karang dapat diidentifikasi menjadi
dua, yaitu manfaat langsung yaitu sebagai habitat bagi sumberdaya
ikan (tempat mencari makan, memijah dan asuhan), batu karang,
pariwisata, wahana penelitian dan pemanfaatan biota perairan lainnya
dan manfaat tidak langsung seperti fungsi terumbu karang sebagai
penahan abrasi pantai, keanekaragaman hayati dan lain sebagainya.

Terumbu karang dapat menjadi sumber devisa yang diperoleh


dari penyelam dan kegiatan wisata bahari lainnya. Bahkan dewasa ini
berbagai jenis biota yang hidup pada ekosistem terumbu karang
ternyata banyak mengandung senyawa bioaktif sebagai bahan obatobatan, makanan dan kosmetika. Selain itu terumbu karang juga
menjadi daya tarik tersendiri dan menjadi perhatian bagi para ahli,
mahasiswa, perusahaan farmasi sebagai obyek penelitian.
Ekosistem terumbu karang banyak menyumbangkan berbagai
biota laut seperti ikan, karang, moluska dan krustasea bagi masyarakat
di

kawasan

pesisir,

dan

bersama

ekosistem

pantai

lainnya

menyediakan makanan dan menjadi tempat berpijah bagi berbagai


jenis biota laut yang bernilai ekonomi tinggi.
Di kawasan pulau-pulau kecil, banyak dijumpai karang dari
berbagai jenis yang terdapat pada rataan terumbu tepi (fringing reef),
sedangkan di kawasan Indonesia bagian timur sering dijumpai
terumbu karang dengan tipe terumbu cincin (atoll).
b. Padang Lamun (Seagrass)
Padang Lamun merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga
(Angiospermae) yang memiliki rhizoma, daun dan akar sejati yang
hidup terendam di dalam laut. Lamun mengkolonisasi suatu daerah
melalui penyebaran buah (propagule) yang dihasilkan secara sexual
(dioecious). Lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas di
dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari untuk
mendukung pertumbuhannya, biasanya hidup diperairan yang dangkal
dan jernih pada kedalaman berkisar antara 2-12 meter, dengan
sirkulasi air yang baik. Substrat lumpur-berpasir merupakan substrat
yang paling disukai oleh lamun dan berada diantara ekosistem
mangrove dan terumbu karang.
Secara ekologis, padang lamun mempunyai beberapa fungsi
penting bagi wilayah pulau-pulau kecil yaitu sebagai produsen detritus
dan zat hara; mengikat sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak

dengan sistem perakaran yang padat dan saling menyilang; sebagai


tempat berlindung, mencari makan, tumbuh besar, dan memijah bagi
beberapa jenis biota laut, terutama yang melewati masa dewasanya di
lingkungan ini; serta sebagai tudung pelindung yang melindungi
penghuni padang lamun dari sengatan matahari. Di samping itu,
padang lamun juga dapat dimanfaatkan

sebagai tempat kegiatan

budidaya berbagai jenis ikan, kerang-kerangan dan tiram, tempat


rekreasi dan sumber pupuk hijau.
Di kawasan pulau-pulau kecil banyak dijumpai lamun dari jenis
Enhalus dan Thalassia, karena di kawasan ini kandungan sedimen
organiknya relatif rendah dan didominasi oleh substrat pasir.
c. Hutan Mangrove
Hutan mangrove mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia
nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi
berbagai macam biota, penahan abrasi, amukan angin, taufan dan
tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, dan lain
sebagainya. Sedangkan secara ekonomis berfungsi sebagai penyedia
kayu, bahan baku obat-obatan dan lain-lain. Disamping itu, ekosistem
hutan mangrove juga memberikan manfaat tidak langsung, terutama
sebagai habitat bagi bermacam-macam binatang seperti binatang laut
(udang, kepiting, dan beberapa jenis ikan), dan binatang melata
lainnya.
Di kawasan pulau-pulau kecil jenis mangrove yang banyak
ditemukan adalah jenis Avicennia, karena wilayah pulau-pulau kecil
merupakan daerah yang ketersediaan air tawarnya terbatas, pasokan
sedimen (bahan organiknya) relatif rendah dan memiliki substrat pasir.
d. Sumberdaya Perikanan
Secara ekologis, pulau-pulau kecil di daerah tropis dan subtropis berasosiasi dengan terumbu karang.
kawasan ini memiliki

Dengan demikian di

spesies-spesies yang menggunakan karang

sebagai habitatnya yaitu ikan ekonomis penting seperti kerapu,

napoleon, kima raksasa (Tridacna gigas), teripang dan lain-lain


sehingga komoditas seperti ini dapat dikatakan sebagai komoditas
spesifik pulau kecil. Ciri utama komoditas tersebut adalah memiliki
sifat penyebaran yang bergantung pada terumbu karang sehingga
keberlanjutan stoknya dipengaruhi oleh kesehatan karang.
2. Potensi Sumberdaya Non Hayati
a. Pertambangan
Aktivitas pertambangan banyak dilakukan di negara-negara
pulau kecil di dunia maupun di Indonesia pada propinsi-propinsi
tertentu. Dalam pemanfaatan potensi mineral di kawasan pulau-pulau
kecil harus dilakukan dengan perencanaan yang ketat dan dilakukan
secara berkelanjutan sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
Struktur batuan dan geologi pulau-pulau kecil di Indonesia adalah
struktur batuan tua yang diperkirakan mengandung deposit bahanbahan tambang/mineral penting seperti emas, mangan, nikel dan lainlain.
Beberapa aktivitas pertambangan baik pada tahap penyelidikan
umum, eksplorasi maupun eksploitasi di pulau-pulau kecil antara lain :
timah di P. Kundur, P. Karimun (Riau); nikel di P. Gag (Papua), P.
Gebe (Maluku Utara), P. Pakal (Maluku); batubara di P. Laut, P.
Sebuku (Kalsel); emas di P. Wetar, P. Haruku (Maluku) dan migas di
P. Natuna (Riau).
b. Energi Kelautan
Dengan luas wilayah laut yang lebih besar dibandingkan darat
maka potensi energi kelautan memiliki prospek yang baik sebagai
energi alternatif untuk mengantisipasi berkurangnya minyak bumi,
LNG, batubara, dan lain-lain sepanjang kemampuan negara diarahkan
untuk

pemanfaatannya.

Sumberdaya

kelautan

yang

mungkin

digunakan untuk pengelolaan pulau-pulau kecil adalah Konversi

Energi Panas Samudera/Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC),


Panas Bumi (Geothermal), Ombak dan Pasang Surut.
3. Jasa-jasa Lingkungan
Pulau-pulau kecil memberikan jasa-jasa lingkungan yang tinggi
nilai ekonomisnya yaitu sebagai kawasan berlangsungnya kegiatan
kepariwisataan, media komunikasi, kawasan rekreasi, konservasi dan
jenis

pemanfaatan

lainnya.

Jenis-jenis

pariwisata

yang

dapat

dikembangkan di kawasan pulau-pulau kecil adalah :


a. Wisata Bahari
Kawasan pulau-pulau kecil merupakan aset wisata bahari yang
sangat besar yang didukung oleh potensi geologis dan karaktersistik
yang mempunyai hubungan sangat dekat dengan terumbu karang
(Coral Reef), khususnya hard corals. Disamping itu, kondisi pulaupulau kecil yang tidak berpenghuni, secara logika akan memberikan
kualitas keindahan dan keaslian dari bio-diversity yang dimilikinya.
Berdasarkan rating yang dilakukan oleh lembaga kepariwisataan
internasional, beberapa kawasan di Indonesia dengan sumberdaya
yang dimilikinya mempunyai rating tertinggi bila ditinjau dari segi
daya tarik wisata bahari dibandingkan dengan kawasan-kawasan lain
di dunia. Beberapa kawasan wisata bahari yang sangat sukses di dunia
antara lain adalah kawasan Great Barrier Reef, kawasan negaranegara di Karibia, seperti Bahama, Kawasan Pasifik seperti Hawai,
serta Kawasan Meditterranean. Belajar dari pengalaman di kawasan
tersebut, ternyata negara-negara tersebut merupakan Negara Pulaupulau Kecil (Small Islands State), kecuali di Great Barrier Reef dan
Meditterranea.
Sebagian besar pulau-pulau kecil di Indonesia memiliki potensi
wisata bahari yang cukup potensial. Beberapa diantaranya telah
dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata bahari seperti Taman

Nasional (TN) Taka Bone Rate (Sulsel), TN Teluk Cendrawasih, TN


Kep. Wakatobi (Sultra), Taman Wisata Alam (TWA) Kep. Kapoposang
(Sulsel), TWA Tujuh Belas Pulau (NTT), TWA Gili Meno, Ayer,
Trawangan (NTB), TWA P. Sangiang (Jabar), dan lain-lain.
b. Wisata Terestrial
Pulau-pulau kecil mempunyai potensi wisata terestrial yaitu
wisata yang merupakan satu kesatuan dengan potensi wisata perairan
laut. Wisata terestrial di pulau-pulau kecil misalnya TN Komodo
(NTT), sebagai lokasi Situs Warisan Dunia (World Herritage Site)
merupakan kawasan yang memiliki potensi darat sebagai habitat
komodo, serta potensi keindahan perairan lautnya di P. Rinca dan P.
Komodo. Contoh lain adalah Pulau Moyo yang terletak di NTB
sebagai Taman Buru (TB), dengan kawasan hutan yang masih asri
untuk wisata berburu dan wisata bahari (diving). Kondisi Pulau Moyo
tersebut dimanfaatkan oleh para pengusaha pariwisata sebagai
kawasan Ekowisata Terestrial. Dikawasan tersebut terdapat resort
yang tarifnya relatif mahal, dengan fasilitas yang ditawarkan berupa
tenda-tenda, sehingga merupakan wisata camping yang dikemas
secara mewah. Paket wisata di Kawasan Pulau Moyo ini sudah sangat
terkenal di mancanegara sehingga dapat memberikan devisa bagi
negara.
c. Wisata Kultural
Pulau-pulau kecil merupakan suatu prototipe konkrit dari suatu
unit kesatuan utuh dari sebuah ekosistem yang terkecil. Salahsatu
komponennya yang sangat signifikan adalah komponen masyarakat
lokal. Masyarakat ini sudah lama sekali berinteraksi dengan ekosistem
pulau kecil, sehingga secara realitas di lapangan, masyarakat pulaupulau kecil

tentunya mempunyai budaya dan kearifan tradisional

(local wisdom) tersendiri yang merupakan nilai komoditas wisata yang


tinggi.

Kawasan yang dapat dijadikan sebagai obyek wisata kultural,


misalnya, di Pulau Lembata. Masyarakat suku Lamalera di Pulau
Lembata mempunyai budaya heroik Berburu Paus secara tradisional
(traditional whales hunter). Kegiatan berburu paus secara tradisional
tersebut dilakukan setelah melalui ritual-ritual budaya yang sangat
khas, yang hanya di miliki oleh suku Lamalera tersebut. Keunikan
budaya dan kearifan tradisional tersebut, menjadi daya tarik bagi para
wisatawan.
E. Kendala Pengembangan Wilayah Di Pulau-Pulau Kecil
1. Ukuran yang kecil dan terisolasi (keterasingan) menyebabkan penyediaan
prasarana dan sarana menjadi sangat mahal. Luas pulau kecil itu bukan
suatu kelemahan jika barang dan jasa yang diproduksi dan dikonsumsi oleh
penghuninya tersedia di pulau yang dimaksud. Akan tetapi, begitu jumlah
penduduk meningkat secara drastis, diperlukan barang dan jasa dari pasar
yang jauh dari pulau itu. Ini berarti mahal.
2. Kesukaran atau ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi yang
optimal dan menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi, dan
transportasi. Hal ini turut menghambat pembangunan hampir semua pulau
kecil di dunia.
3. Ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan, seperti air tawar,
vegetasi, tanah, ekosistem pesisir, dan satwa liar yang pada gilirannya
menentukan daya dukung (carrying capacity) sistem pulau kecil dan
menopang

kehidupan

manusia,

pembangunan.
4. Produktivitas sumberdaya

alam

penghuni
dan

serta

jasa-jasa

segenap

kegiatan

lingkungan

(seperti

pengendalian erosi) yang terdapat di setiap unit ruang (lokasi) di dalam


pulau dan yang terdapat di sekitar pulau (seperti ekosistem terumbu karang
dan perairan pesisir) saling terkait satu sama lain secara erat. Oleh karena
itu, keberhasilan usaha pertanian, perkebunan dan kehutanan di lahan darat
suatu pulau, jika tidak dikelola menurut prinsip-prinsip ekologis, dapat
merusak/mematikan industri perikanan pantai dan pariwisata bahari di
sekitar pulau tersebut.

5. Budaya lokal kepulauan kadang kala bertentangan dengan kegiatan


pembangunan. Contohnya, di beberapa pulau kecil budaya yang dibawa
oleh wisatawan (asing) dianggap tidak sesuai dengan adat atau agama
setempat. Ini menjadi kendala tersendiri.
F. Model Pengembangan Wilayah Kepulauan Mendasar Pada Tipologi Fisik
Pulau
Berikut ini tabel pengembangan berdasarkan tipologi fisik pulau-pulau
kecil:

Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa dalam UU No 27


Tahun 2007 yang juga sudah diubah ke UU No 1 Tahun 2014 tentang
pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil disebutkan bahwa Pulau Kecil
dengan tipologi fisik atol dan gugusan karang yang ditetapkan sebagai titik
pangkal pengukuran. Hal ini tentu membuat pulau-pulau kecil dengan tipologi
fisik tersebut mempunyai nilai strategis sebagai daerah pertahanan dan
keamanan nasional. Berdasarkan UU No 27 Tahun 2007 juga disebutkan pulau
kecil yang mempunyai nilai strategis pertahanan dan keamanan nasional juga
merupakan daerah konservasi.
Selain berfungsi mempunyai nilai strategis dan konservasi pemanfaatan
pulau kecil selanjutnya untuk penelitian dan pengembangan, pendidikan,
wisata, budidaya laut, pertanian organik, usaha pertanian, dan peternakan harus

memperhatikan kemampuan sistem tata air setempat sebagai salah satu syarat
wilayah tersebut dapat dikelola.
Seperti pulau alluvial atau pulau yang terjadi akibat sedimentasi memiliki
Bentuklahan sebagian besar berupa hutan lahan basah dengan tumbuhan
mangrove. Fungsi unit lahan ini sebagai penahan abrasi dan intrusi air laut dan
tempat perkembangbiakan berbagai fauna bernilai ekonomis. Mengingat fungsi
lahan ini, penentuan sebagai kawasan lindung akan menjaga ekologi lahan ini.
Bentuk lahan perbukitan sisa terbentuk pada perbukitan yang mengalami
proses denudasi lanjut.
G. Penutup
1. Kesimpulan
Sebagian besar pulau-pulau kecil merupakan kawasan tertinggal
dilihat dari faktor-faktor geografis, ketersediaan sumberdaya alam dan
,keterbatasan sumberdaya manusia yang terbatas baik jumlah maupun
kualitasnya. Oleh karena itu penting untuk pengembangan pulau kecil
berdasarkan tipologi fisiknya.
Namun demikan, perlu diingat bahwa pendekatan dalam pengelolaan
dan pembangunan kepulauan kecil di Indonesia tidak boleh digeneralisasi
untuk semua pulau, baik dengan wilayah daratan induknya maupun antar
pulau kecil itu sendiri. Pendekatan yang berbeda ini memerlukan pula
sistem dan pola pikir tata kelola yang berbeda pula.
2. Saran
a. pembangunan di kepulauan kecil harus mengedepankan prinsip kehatihatian (precautionary approach) sesuai dengan daya dukung pulau dalam
menciptakan

pembangunan

kepulauan

kecil

yang

berkelanjutan.

Mengingat, kepulauan kecil memiliki keterbatasan secara geografis


(smallnes), keanekaragaman yang terbatas, dan secara ekologis dan
ekonomis rentan terhadap faktor eksternal. Selain itu, kegiatan ekonomi
yang terspesialisasi sesuai dengan potensi sumberdaya pulau harus
menjadi pemikiran bersama agar menciptakan ketahanan ekonomi pulau
dari pengaruh eksternal.

b. Hal lain yang tidak kalah penting adalah, terciptanya kesejajaran


pembangunan wilayah kepulauan terpencil atau terluar atau paling tidak
tidak terlalu ketinggalan dengan wilayah daratan induk lainnya, sehingga
pendapatan per kapita penduduk pulau harus setara dengan penduduk di
daratan induk atau paling tidak tidak terlalu jauh perbedaannya.

Sumber Pustaka
Luthfi Mutaali, 2010, Perencanaan Pengembangan Wilayah, Yogyakarta
UNCLOS 1982
Undang-Undang 27 Tahun 2007
Kep. Menteri Kelautan dan Perikanan No. 41/2000
Kep. Menteri Kelautan dan Perikanan No. 67/2002
www.bappenas.go.id
www.ppk-kp3k.kkp.go.id

Anda mungkin juga menyukai