Anda di halaman 1dari 1585

GEOWEEK 2019

Connecting Geoscience for The Future

PROSIDING

kebumian ke-12
Peran Ilmu Kebumian dalam Pengembangan
Geowisata, Geokonservasi, dan Geoheritage
& Memperingati 35 Tahun Stasiun Lapangan Geologi
“Prof. R. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten

Yogyakarta, 5 - 6 September 2019


GEOWEEK 2019
Connecting Geoscience for The Future

AMA BHAK
UT

TI
U
RANTA

SU
RUBS

MATRA
AGINCOURT

PT.
RESOURCES
MARTABE GOLD MINE

KaGeoGama
PT KALTIM PRIMA COAL

EP

Y
OG A
YA K A R T
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12

EDITOR

Fahmi Hakim, S.T., M.Sc.RWTH

Tim Seminar Nasional Kebumian ke-12

REVIEWER
Nugroho Imam Setiawan, S.T., M.T., D.Sc. Ir. Anastasia Dewi Titisari, M.T., Ph.D.

Dr. Akmaluddin, S.T. M.T. Dr. Agung Setianto, S.T., M.Si.

Fahmi Hakim, S.T., M.Sc.RWTH Dr. Didit Hadi Barianto, S.T., M.Si.

Dr. Wahyu Wilopo, S.T., M.Eng. Salahuddin Husein, S.T., M.Sc., Ph.D.

Dr. Sugeng Sapto Surjono, S.T., M.T. Dr. Ferian Anggara, S.T., M.Eng.

Gayatri Indah Marliyani, S.T., M.Sc., Ph.D. Dr. Haryo Edi Wibowo, S.T., M.Sc.

Indra Arifianto, S.T., M.Eng. Moch. Indra Novian, S.T., M.Eng.

I Gde Budi Indrawan, S.T., M.Eng., Ph.D. Dr. Ir. I Wayan Warmada

Dr. Agung Harijoko, S.T., M.Eng. Dr. Wawan Budianta, S.T., M.Sc.

Saptono Budi Samodra, S.T., M.Sc. Dr. Donatus Hendra Amijaya, S.T., M.T.

Ir. Pri Utami, M.Sc., Ph.D. Agus Hendratno, S.T., M.T.

UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS TEKNIK


DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI YOGYAKARTA,
SEPTEMBER 2019
Jl. Grafika 2, UGM, Yogyakarta 55281

ISSN : 2477-0248

ii
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

SAMBUTAN KETUA DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI

Seminar Nasional Kebumian ke-12 merupakan salah satu rangkaian acara Geoweek 2019 yang dilaksanakan di
Hotel Alana pada tanggal 5-6 September 2019. Pada tahun ini Seminar Nasional Kebumian mengangkat tema
Peran Ilmu Kebumian dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi, dan Geoheritage & Memperingati 35
Tahun Stasiun Lapangan Geologi “Prof. R. Soeroso Notohadiprawiro”, Bayat, Klaten.

Kegiatan ini kami harapkan dapat menjadi wadah bagi para ahli kebumian, pemerintah khususnya dalam bidang
ilmu kebumian dan penanganan bencana geologi serta pihak industri dan masyarakat untuk saling berinteraksi
dan membangun kerjasama dalam hal mitigasi maupun penanganan bencana geologi di Indonesia.

Seminar Nasional Kebumian pertama kali diselenggarakan pada tahun 2008 yang mempunyai tujuan utama
adalah untuk :

a. Menghimpun hasil penelitian bidang kebumian terbaru dari berbagai institusi, baik institusi Pendidikan
maupun lembaga penelitian kebumian nasional.

b. Diseminasi tahunan hasil penelitian di lingkup Departemen Teknik Geologi FT UGM, baik hasil penelitian
dosen maupun mahasiswa.

Dalam seminar kebumian nasional kali ini terdapat 150 abstrak yang terpilih untuk dipresentasikan baik oral
maupun poster dari total 429 abstrak yang telah diterima oleh panitia. Makalah ilmiah yang akan dipresentasikan
terbagi menjadi 11 kategori topik bidang kebumian, yaitu (1) Engineering Geology and Hydrogeology; (2)
Environmental Geology and Geohazard Mitigation; (3) Geology of Bayat and Surrounding Area; (4) Geology of Oil & Gas
and Coal Geology; (5) Geophysics and Seismology; (6) Geotourism and Education Geology; (7) Mineralogy, Petrology, and
Economic Mineral Resources; (8) Sedimentology, Stratigraphy, and Paleontology; (9) Structural Geology, Geomorphology
and Tectonic; (10) Unconventional Energy, Resources, and Technology; and (11) Vulcanology and Geothermal.

Atas nama Departemen Teknik Geologi FT-UGM, kami menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan
kepada seluruh peneliti yang telah menyumbang makalahnya, para eksibitor, sponsor yang telah memberikan
bantuan, serta peserta dan tamu undangan yang telah berkenan hadir dalam acara ini. Demikian juga ucapan
terima kasih kepada rekan- rekan panitia, baik staf dosen dan tendik maupun mahasiswa Departemen Teknik
Geologi FT-UGM atas kerja kerasnya, sehingga seluruh rangkaian acara ini dapat terlaksana dengan lancar.
Semoga kegiatan ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Aamiin.

Yogyakarta, September 2019

Ketua Departemen Teknik Geologi FT-UGM

Dr.rer.nat. Ir. Heru Hendrayana

iii
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

SAMBUTAN KETUA GEOWEEK 2019

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, sehingga kami dapat menyelenggarakan Seminar Nasional
Kebumian ke-12 yang dilaksanakan pada tanggal 5-6 September 2019 di Hotel Alana, Yogyakarta.

Kegiatan Seminar Nasional Kebumian (Semnas) merupakan salah satu pertemuan ilmiah rutin tahunan yang
diselenggarakan oleh Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada yang dimulai pertama
kali pada tahun 2008. Seminar Nasional Kebumian ke-12 kali ini mengangkat tema Peran Ilmu Kebumian dalam
Pengembangan Geowisata, Geokonservasi, dan Geoheritage & Memperingati 35 Tahun Stasiun Lapangan
Geologi “Prof. R. Soeroso Notohadiprawiro”, Bayat, Klaten.

Pada tahun ini, kegiatan Seminar Nasional Kebumian ke-12 juga merupakan salah satu acara yang termasuk dalam
rangkaian acara besarbernama Geoweek 2019 yang dilaksanakan pada tanggal 1-7 September 2019. Geoweek 2019 ini
merupakan acara rutin tahunan yang dimulai sejak tahun 2015, kerjasama antara Departemen Teknik Geologi dan
Himpunan Mahasiswa Teknik Geologi (HMTG). Rangkaian kegiatan Geoweek 2019 yang bertemakan Connecting
Geoscience for the Future ini dimulai dengan kegiatan “Entrepreneur Talk” pada yang dilaksanakan di Jogja Expo
Center (JEC) pada tanggal 1 September 2019, kegiatan “Lomba Cerdas Cermat Kebumian 2019” untuk siswa
SMA/Sederajat yang dilaksanakan di UGM pada tanggal 2-3 September 2019, kegiatan Seminar Nasional Kebumian
ke-12 pada tanggal 5-6 September 2019, dan ditutup oleh kegiatan Professional Fieldtrip di Bayat, Klaten pada tanggal
7 September 2019.

Atas nama panitia Geoweek 2019 dan juga koordinator Seminar Nasional Kebumian ke-12, kami menyampaikan
terimakasih kepada Departemen Teknik Geologi FT-UGM yang telah mendukung acara ini, dan juga kepada rekan-
rekan panitia baik dari staf Departemen Teknik Geologi maupun dari mahasiswa Teknik Geologi UGM yang
tergabung dalam HMTG FT-UGM. Ucapan terimakasih tak lupa kami haturkan kepada pihak-pihak sponsorship dari
berbagai institusi dan perusahaan yang telah mendukung seluruh rangkaian kegiatan Geoweek 2019 sehingga dapat
berjalan dengan lancar.

Akhir kata, semoga kegiatan Seminar Nasional Kebumian ke-12 dan juga seluruh kegiatan Geoweek 2019 ini
bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

Yogyakarta, September 2019 Ketua Pelaksana

Nugroho Imam Setiawan, S.T.,M.T., D.Sc.


Fahmi Hakim, S.T., M.Sc.RWTH

iv
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

DAFTAR PANITIA SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12

Penasihat : Dr.rer.nat. Ir. Heru Hendrayana


Ketua Panitia : Nugroho Imam Setiawan, S.T., M.T., D.Sc.
Wakil Ketua Panitia : Fahmi Hakim, S.T., M.Sc.RWTH
Panitia Departemen : Antonius Chandra Widihermawan, A.Md.
Muslikhah Kurniawati, S.E.
Suci Dandi Pertiwi, S.Fil.
Wita Dyaswati, A.Md.
Monika Anggraeni Pamungkassari, A.Md.
Koord. Panitia Mahasiswa : Fauzi Setyadi
Muhamad Nur Fadlinnas
Sekretaris 1 : Laila Dzaikra H.
Sekretaris 2 : Kamila Nuril Izza
Bendahara 1 : Alya Safitri
Bendahara 2 : Fenta Dhia Ayu P.
Tim Seminar Nasional : Satriya Maulana
Afra Ghaida F.
Aprilia Damayanti
Berliana Nur Indah
Fatima Azzahra A.
Febiolla Aulia M. Y.
Habil Abdillah
Hariro Zahra
Kuni Sholikah
Luthfi Aryani
Melchior Raka D.
M. Rifqi Naufal
M. Satria Danuningrat
Meiliawati Nurbaiti
Rachmat Adi Susilo
Rafi Hidayat
Sherinna Mega Cahyani
Shola Aulia W.
Taufik Adi Raharjo
T. Amrul Mahdi
Tsabita Hanun M.
Divisi Humas Perizinan : Jafar Muhammad Arief
Rizka Dwi Desiana
Presidita Putri
Bryan Gray Edghard B.
Divisi Sponsorship : Aulia Agus Patria
Arsha Maulana
Iqbal
Risky Tri Nurani
Krisna Indra
Aldi Hendra H.
Divisi Media Partner : Ayu Dwi Hardiyanti
M. Feby Eka N.
Baiquni Rachmansyah
Divisi Publikasi : Afghan Bagas I.
Rocky Tirajean S.
Bunga Fitri Sartika
Dina Mustika S.
Divisi Dokumentasi : Irvan F. Lubis
Pieter Chandra A. W.

vi
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Divisi Desain : Bagus W.


M. Iqbal Syah N.
Ghiffary Riza R.
Vania Dhianisya P.
Iqbal Haikal M.
Divisi Perlengkapan : Vika Risqi R.
Transportasi Lorian Aldi F.
Manggala Aji K.
Kevin Arya B.
M. Rafi Dwigana
Divisi Konsumsi : Lia Nazmi
Hatfan Aufar K.

vii
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

DAFTAR ISI

Halaman Judul ................................................................................................................................................................ i


Lembar Editorial ............................................................................................................................................................. ii
Sambutan Kepala Departemen Teknik Geologi .......................................................................................................... iii
Sambutan Ketua Geoweek 2019 .................................................................................................................................... iv
Daftar Panitia Seminar Nasional Kebumian Ke-12 ..................................................................................................... vi
Daftar Isi .......................................................................................................................................................................... viii

GEOLOGY OF OIL & GAS, AND COAL GEOLOGY

[A010UNO] The Coal Characteristics of the Muara Enim Formation: Preliminary Assessment of Gas Content
for CBM Exploration in Mangunjaya Region, South Sumatra Basin

Aprilia ,Y., Maulana, A.Y., Alvera, C ............................................................................................................................... 1

[A015UNO] Identifikasi Fasies Karbonat Formasi Baturaja, Cekungan Sumatera Selatan, berdasarkan data
Core, Wireline Log, dan Petrografi

Bajry, F.F., Shidqi, M.F ..................................................................................................................................................... 12

[A022UNO] Mikrofasies dan Rekonstruksi Paleomire Batubara Sawahlunto, Cekungan Ombilin

Anggara, F., Patria, A.A.................................................................................................................................................... 3

[A024UNP] Pengaruh Intrusi Terhadap Kandungan Grafit di Batubara Tambang Air Laya Wilayah
Pertambangan PTBA Tanjung Enim, Sumatra Selatan

Patria, A.A., Maulana, A., Anggara, F.............................................................................................................................. 47

[A025UNE] Penentuan Zona Potensi Hidrokarbon pada Formasi Sembakung, Tabalar, dan Birang Cekungan
Tarakan, Kalimantan Timur

Fadhila, R., Setyowiyoto, J., Fattah, A.A., Atmoko, W. ..................................................................................................... 56

[A026UNO] Geochemical Method for Source Rock Analysis in JT-1 Well, Central Sumatra Basin

Datu, C.J.P., Adventino ..................................................................................................................................................... 88

[A027UNE] How Far The Rock Type and Limestone Facies are Interrelated: A Case Study in Oilfield,
Banggai Basin, Central Sulawesi

Benyamin, Muhammad, F., Herdiansyah, F.,Widyasari, A ............................................................................................... 97

[A030UNO] Mineralogi Batubara Formasi Tanjung di Daerah Sekako, Kalimantan Tengah Berdasarkan X-Ray
Diffraction

Isnadiyati, O.F., Perdana, A.R., Amijaya, D.H., Wiranata, B., Tanggara, D.N.S.P ......................................................... 110

[A032UNO] Pore Pressure Prediction Using Eaton Method with Sonic Log on Field "X", Jambi Sub Basin,
South Sumatra Basin

Mustadh’afin, R., Fattah, A.A., Ardana, B.N .................................................................................................................... 124

viii
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

SEDIMENTOLOGY, STRATIGRAPHY, AND PALEONTOLOGY

[B001UNP] Pemodelan Braided River Formasi Sawahtambang Daerah Lubuk Tarok, Kabupaten Sijunjung,
Sumatera Barat

Putri, R.A.S., Susilo, B.K .................................................................................................................................................. 136

[B007UNP] Sedimentologi dan Provenance Konglomerat Formasi Brani Daerah Tanjung Gadang, Sijunjung,
Sumatera Barat

Perdana, O.A., Susilo, B.K ................................................................................................................................................ 153

[B009UNP] Prospecting Miocene Carbonate Hardground as Caprock, Case Study in Oyo Formation,
Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta

Ramadhan, I., Fillah, A.A., Mandiri, A.R.P., Barianto, D.H ............................................................................................ 178

[B011UNO] Interpretation of Depositional Environment and Age Determination of Tapak and Kalibiuk
Formations Based on Fossils Evidence in Bentarsari Area, Brebes, Central Java Province

Pratama, M.F., Milliyanti, A., Husna, D.A.S., Asupyani, H............................................................................................ 186

[B016UNO] Analisis Fasies dan Elemen Arsitektur Batupasir Formasi Sawahtambang Daerah Kampung
Dalam, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat

Wellyan, E.P., Susilo, B.K ................................................................................................................................................. 200

[B018UNP] Biostratigrafi Foraminifera Plangtonik pada Cekungan Kutai, Kalimantan Timur

Carangritti, C., Akmaluddin.............................................................................................................................................. 218

[B032POO] Dinamika Sedimentasi Formasi Wonosari, Jalur Sambiroto, Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten
Wonogiri, Jawa Tengah
Novian, M.I., Patria, A.A., Maulana, A ............................................................................................................................ 228

[B034UNE] Studi Paleogeografi pada Formasi Talang Akar, Blok X, Cekungan Jawa Barat Utara

Arismara, M.F., Setyowiyoto, J., Saputra, A.B .................................................................................................................. 240

[B035UNE] Microfacies and Model of Deposition Environment of Pliocene Carbonate Rocks on Klitik
Member of Kalibeng Formation, Ngawi District, East Java Province

Afifah, D.M.N., Lazuardi, H., Lazuardi, O., Sasongko, W. .................................................................................................... 264

[B036UNO] Variasi Litotipe pada Batubara Mengokas Formasi Tanjung di Daerah Murung Raya,
Kalimantan Tengah

Farhan, M.L.,Amijaya, D.H .............................................................................................................................................. 279

[B046UNO] Analisa Arus Purba Formasi Pucangan – Kabuh di Trinil, Kabupaten Ngawi, Provinsi Jawa Timur

Barianto, D.H., Saputra, I.S., ............................................................................................................................................ 286

ix
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

VOLCANOLOGY AND GEOTHERMAL

[C012UNO] Analisis Transverse Electric dan Transverse Magnetic pada Data Magnetotelurik Daerah Panas
Bumi Arjuno-Welirang

Luckytasari, N.P., Cancerio, C.R., Fitri, W.N ................................................................................................................... 295

[C030UNO] Parent Fluid and Fluid Flow Study of Songa-Wayaua, South Halmahera Geothermal Reservoir
Based on Water Geochemistry

Kencana, A.Y., Herdianita, N.R ........................................................................................................................................ 313

[C031UNP] Karakteristik dan Evolusi Magma Syn-Kaldera dan Post-Kaldera Batur, Kabupaten Bangli, Bali

Nadirah, Z., Warmada, I.W ............................................................................................................................................... 325

[C032UNO] Evolusi Magma Gunung Lasem dan Gunung Senjong, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah

Moktikanana, M.L.A., Harijoko, A., Wibowo, H.E ............................................................................................................ 340

[C034UNO] Karakteristik Endapan Aliran Piroklastik Gunung Lasem, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa
Tengah

Abdillah, M.Y., Harijoko, A., Wibowo, H.E ...................................................................................................................... 362

[C036UNO] Distribusi Ukuran Kristal Lava Slamet Muda Berkaitan dengan Waktu Pergerakan Magma di
dalam Pipa Gunungapi

Nababan, A.S., Hamzah, W.N., Prasetya, Y.A., Nabil, M.I., Aeni, D.N., Putri, M.U...................................................... 375

[C037UNO] Bonjol Geothermal Tentative Model by Using 3G (Geology, Geochemistry and Geophysics)
Analysis

Helen, A.S., Joni, W., Wibowo, P.F.P., Pratama, A.W. ..................................................................................................... 388

[C041UNP] Reinterpretasi Geokimia Manifestasi Airpanas Gunung Pandan

Lekatompessy, K., Arhananta, S.D.S. Rengganis, S., Marbun, A ..................................................................................... 401

ENVIRONMENTAL GEOLOGY AND GEOHAZARD MITIGATION

[D004POO] Kontaminasi Merkuri pada Air Tanah di Dusun Sangon II, Kalirejo, Kokap, Kulonprogo, Daerah
Istimewa Yogyakarta

Sumarjono, E., Aryanto, R ................................................................................................................................................ 412

[D005POO] Erupsi Gunung Namasalah : Proses Geologi Pemutus Siklus Budaya di Dataran Tinggi Gayo –
Aceh Tengah

Lismawaty, Wiradnyana, K., Setiawan, T. ........................................................................................................................ 425

[D006UNP] Tinjauan Daerah Terdampak Banjir Lahar Dingin; Implikasi Pembuatan Sabo Dam Terhadap
Aspek Sosial dan Ekonomi Pasca Erupsi Merapi 2010 di Kali Putih, Kabupaten Magelang

x
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Saputra, A.F., Widodo, A.T., Geoxactana, T.A.................................................................................................................. 442

[D008UNO] Kajian Kerusakan Lahan pada Kawasan Penambangan Kaolin dengan Menggunakan Metode
Analytical Hierarchy Process (AHP) di Desa Karangsari dan Sekitarnya, Kecamatan Semin, Kabupaten
Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta

Wicaksono, R.A.A., Budianta, W ...................................................................................................................................... 459

[D010UNP] Kajian Hidrokimia Bukit Pajangan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta

Rohman, K.H.N., Putra, D.P.E ......................................................................................................................................... 479

[D030UNP] Penentuan Zonasi Wilayah Risiko Air Tanah terhadap Pemompaan Berlebih di Cekungan Air
Tanah Yogyakarta-Sleman, DIY

Hendrayana, H., Wicaksono, Y.R.A.S ............................................................................................................................... 495

[D051UNP] Penerapan Metode Regresi Logistik untuk Zonasi Kerentanan Gerakan Massa, Studi Kasus di
Daerah Bugelan dan Sekitarnya, Kismantoro, Wonogiri, Jawa Tengah

Putra, D.P.E., Putri, R.R.D.N .......................................................................................................................................... 514

[D024UNE] Mikrozonasi Bahaya Gempabumi Menggunakan Analisis Mikrotremor Metode HVSR di


Kawasan Wisata Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat

Buana, L.A.T.A., Samodra, S.B., Arifianto, I..................................................................................................................... 532

[D025POO] Pengaruh Perubahan Sifat Keteknikan Breksi Lapuk terhadap Terbentuknya Bidang Gelincir
Longsoran dengan Metode Klaster (Studi Kasus di Longsoran Gunung Pawinihan, Banjarnegara, Jawa
Tengah)

Zakaria, Z., Permanajati, I., Hadian, S.D., Iswahyudi, S. ................................................................................................. 546

[D026UNO] Analisis Faktor Penyebab Banjir Rob dan Strategi Penanggulangannya dengan Pembangunan
Breakwater di Wilayah Semarang Utara, Jawa Tengah, Indonesia

Shidik, A.N., Utari, D., Atmika, M ................................................................................................................................... 559

[D027POP] Impact Analysis of Slope Failure at Perbukitan Batugamping Bukit Kaliwadas Karangsambung,
Kebumen, Jawa Tengah

Aryanto, R., Sumarjono, E ................................................................................................................................................ 576

[D042UNE] Bio Engineering Technique as Landslide Mitigation Measures at Cibeusi Village and Its
Surroundings, Ciater, Subang District West Java province

Isanjarini, V., Aulia, F ....................................................................................................................................................... 592

[D053UNP] Identifikasi Struktur Bawah Permukaan Menggunakan Metode Gaya Berat Analisis First
Horizontal Derivative (FHD) dan Second Vertical Derivative (SVD), Guna Upaya Mitigasi Bencana
Gempabumi di Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah

Fitriastuti, A., Aristo, Putri, F.F ....................................................................................................................................... 604

[D054POP] The Role of Geomorphology for Analysis of Landscape Ecology in the Loning Watershed,
Karangsambung-Karangbolong National Geopark

xi
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Raharjo, P.D., Widiyanto, K., Winduhutomo, S., Yudaputra, A ....................................................................................... 615

[D057UNP] Pengaruh Alterasi Hidrotermal Terhadap Kejadian Longsor di Daerah Pasirpanjang, Kecamatan
Salem, Kabupaten Brebes, Jawa Barat

Alfaiz, M.N., Wilopo, W. ................................................................................................................................................... 629

[D059UNE] Pemodelan Persebaran Material PAF dan NAF pada Pit Tidal, East Block, Wilayah Pertambangan
Batubara PT. Indominco Mandiri di Wilayah Teluk Pandan, Kutai Timur, Kalimantan Timur

Widyatmaji, B.N., Pradana, M.I.F., Athian, J ................................................................................................................... 651

[D078UNO] Pemetaan Zona Kerentanan Gerakan Tanah dengan Metode Weights of Evidence (WoE) di
Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulom Progo

Wilopo, W., Faris, N., ........................................................................................................................................................ 664

[D079UNO] Remediasi Cd dengan Menggunakan Tufa Zeolitik Nengahan, Desa Tegalrejo, Kecamatan
Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta

Ardiana, A., Budianta, W .................................................................................................................................................. 683

ENGINEERING GEOLOGY AND HYDROGEOLOGY

[E003PRO] Penentuan Daerah Resapan Mata Air di Pulau Yamdena dengan Metode Isotop Stabil

Seizarwati, W..................................................................................................................................................................... 703

[E008UNO] Kajian Hidrologi pada Lubang Bukaan Bekas Penambangan Bijih Mangan di Dusun Kliripan
Desa Hargorejo Kecamatan Kokap Kabupaten Kulonprogo

Diah, H.T., Suyono, Cahyadi, T.A..................................................................................................................................... 723

[E010UNP] Prioritas Pengelolaan Zona Konservasi Air Tanah di Mata Air Bismo, Kabupaten Batang, Jawa
Tengah

Umami, A., Zain, A., Fadhil .............................................................................................................................................. 737

[E014UNO] Penentuan Model Atenuasi Percepatan Tanah untuk Wilayah Sumatra Barat berdasarkan
Sumber Gempa Bumi Subduksi Interface

Pandadaran, S.H., Wibawa, A.S.W., Kurniawan, S.E., Fauzi, A.A., Widiarso, A. ........................................................... 750

[E022POO] Tingkat Kestabilan Lereng pada Peristiwa Gerakan Tanah di Sepanjang Jalan Wilayah Konservasi
Karangsambung

Widiyanto, K., Winduhutomo, S., Raharjo, P.D ................................................................................................................ 767

[E024UNO] Pengaruh Litologi dan Geomorfologi Terhadap Kualitas Airtanah untuk Kesehatan Masyarakat,
Kelurahan Gonoharjo, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah

Gau, M.R., Qonita, H.N., Hanifah, N ............................................................................................................................... 778

[E026UNO] Karakteristik Geologi Teknik Massa Batuan di Lokasi Konstruksi Bendungan Tukul, Pacitan,

xii
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Provinsi Jawa Timur

Primanta, R., Indrawan, I.G.B., Kuncoro, D.A ................................................................................................................. 793

[E028UNP] Pengurangan Kesadahan Ca dan Mg dengan Karbon Aktif dan Pengaruhnya Terhadap
Kelayakan Konsumsi pada Airtanah di Dusun Sambirejo, Kelurahan Talakbroto, Kecamatan Simo,
Kabupaten Boyolali

Qonita, H.N., Izah, M., Harahap, N.A.H., Pakpahan, I.S ................................................................................................. 808

[E033UNO] Penentuan Zona Perlindungan Air Tanah Dangkal: Studi Kasus Sumber Air Sistem Pengelolaan
Air Minum (SPAM) Toya Gama

Putra, D.P.E., Haq, F ........................................................................................................................................................ 815

[E037UNO] Analisis Stabilitas dan Probabilitas Keruntuhan Lereng Saluran Pengarah Bendungan Ladongi,
Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara

Prasetyo, B.H.E., Nuraga, P.B., Permana, A ..................................................................................................................... 833

[E038UNE] Karakteristik Geologi Teknik Massa Batuan Trase Jalan Lingkar Timur Jatigede KM 08+150 -
17+500, Kecamatan Jatigede, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat

Indrawan, I.G.B.,Azizi, R.R .............................................................................................................................................. 847

[E041UNO] Penentuan Titik Bor Eksplorasi Air Tanah Berdasarkan Data Geolistrik di Daerah Karst

Putranto, I.W., Arti, C., Utami, L.T., Purwanta, Kurniawati, R., Pangestu, W.A ........................................................... 862

MINERALOGY, PETROLOGY AND ECONOMIC MINERAL RESOURCES

[F005POO] Application of Principle Component Analysis in the Mapping of Hydrothermal Alteration using
Landsat 8 Image in Kokap, Kulon Progo

Raharja, B., Setianto, A., Titisari, A.D .............................................................................................................................. 873

[F007UNO] Integrasi Metode Pemetaan Geologi Permukaan dan Data Geomagnetik pada Studi Analisa Zona
Alterasi dan Struktur Pengontrol Mineralisasi Endapan Emas Primer Tipe Sulfida Rendah di Daerah
Plampang,Kalirejo, Kokap, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta

Sulistyo, F., Assidhiqie, A.I., Maulana, A.D ..................................................................................................................... 894

[F012UNP] Characteristics and Environment of Formation of Au-Ag High-Sulfidation Epithermal Deposit in


Bakan Area, North Sulawesi

Widodo, I.J., Wicaksono, C.W., Cahya, A.D ...................................................................................................................... 939

[F017POO] Studi Pendahuluan Penaksiran Sumberdaya Endapan Bijih Skarn Besi-Logam Dasar
Menggunakan Metode Ordinary Kriging di Blok A Kabupaten Lamandau Provinsi Kalimantan Tengah

Riyadi, H., Idrus, A., Warmada, I.W. ................................................................................................................................ 953

[F018UNP] Studi Pendahuluan Karakteristik Lempung Gunung Gedang, Kecamatan Seyegan, Kabupaten
Sleman, DIY

xiii
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Prabawa, A., Titisari, A.D ................................................................................................................................................. 962

[F019UNO] Studi Pendahuluan Karakteristik Lempung Terhadap Kerusakan Jalan Raya Kemusu-Juwangi,
Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah

Sutikno, A., Titisari, A.D .................................................................................................................................................. 976

[F020UNP] Petrologi Batuan Vulkanik Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur

Hendratno,A., Khoir,F.D ................................................................................................................................................... 994

[F023UNP] Studi Pendahuluan Batuan Mafik dan Ultramafik Sekuen Ofiolit Jalur Sungai Medana dan Jalur
Sungai Lokidang-Parakansubah, Karangsambung, Kebumen, Jawa Tengah

Setiawan, N.I., Adiyatma, F., Ansori, C., Silitonga, K.P.R., ............................................................................................. 1007

[F029UNP] Studi Karakteristik, Petrogenesis dan Tingkat Pelapukan Intrusi serta Kontrol Struktur pada
Gunung Gajah Daerah Jatirejo, Kecamatan Grimulyo, Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta

Padjeko, M.A., Yanto, G.T., Siswomiharjo, Y.R., Muslim, Wicaksana, N.A.,Setiawan, A., Galena, T. ........................... 1021

[F032UNO] Pongkor Reveals : Characterization of Late Tertiary Au – Ag Ephitermal Low Sulphidation


Deposits

Hady, M.H.M., Aulia, F., Pratama, A.W. ......................................................................................................................... 1027

[F038UNP] Karakteristik Mineral Lempung di Dusun Biting, Desa Pelem, Kecamatan Pringkuku, Kabupaten
Pacitan, Jawa Timur

Warmada, I.W., Sirait, H.R ............................................................................................................................................... 1042

[F040POO] Mineralogi dan Kimia Mineral Alterasi Prograde dan Retrograde Endapan Skarn Pb-Zn-Cu-(Ag)
Ruwai, Kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah, Indonesia

Idrus, A., Wardhani, R. ..................................................................................................................................................... 1059

[F041UNE] Geologi, Alterasi dan Mineralisasi Endapan Epitermal Sulfidasi Tinggi di Daerah Wonotirto dan
Sekitarnya, Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur, Indonesia

Masti, S.D., Idrus, A. ........................................................................................................................................................ 1078

[F044POO] Karakteristik Petrologidan Geokimia Batuan Granitoid Mamasa di Daerah Hahangan dan
Sekitarnya, Sulawesi Barat, Indonesia

Kurniady, A.B., Hakim, F., Idrus, A., Warmada, I.W., Raharjanti, N.A........................................................................... 1096

[F045PRP] Alterasi Hidrotermal di Daerah Tinggian Karangbolong, Kebumen, Jawa Tengah

Wardhani, F.A., Isyqi, Puswanto,E., Ansori,C .................................................................................................................. 1115

[F050UNE] Fenomena Kehadiran Urat Biotit Hijau pada Banded Skarn Fe-Sn di Daerah Batubesi, Belitung
Timur

Burhanudin, M., Hakim, F., Setijadji, L.D., Nabawi, N.R ................................................................................................ 1131

[F051UNP] Konsep Litostruktural untuk Penentuan Trend Mineralisasi Epithermal dengan Aplikasi Analisa

xiv
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Lineament Density di Kabupaten Trenggalek, Provinsi Jawa Timur

Nugraha, A., Taftazani, M.A., Azhim, M.F., Pratama, Y ................................................................................................. 1142

[F054UNO] Geologi, Alterasi Hidrotermal dan Minerlaisasi Bijih Endapam Emas Epitermal Sulfidasi Tinggi
Pit Ramba Joring, Desa Aek Pining, Kecamatan Batangtoru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatra
Utara

Idrus, A., Manurung, S.Y., Pulungan, B.A.A................................................................................................................... 1153

[F056UNE] Studi Petrogenesa Batuan Vulkanik Gunung Batur, Daerah Pantai Wediombo, Gunungkidul,
Yogyakarta

Hakim, F., Nugroho, Y.S., Dana, C.D.P., Titisari, A.D .................................................................................................... 1171

GEOPHYSICS AND SEISMOLOGY

[G007UNO] Identifikasi Cekungan dan Struktur Geologi Berdasarkan Data Passive Seismic Tomography
pada Lapangan “X” Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah

Jatmiko, G.S., Setyawan, J., Suprobo, A., Ramadhan, A., Aldama, G., Retno, I., Marjiyono............................................. 1183

[G013UNO] Identifikasi Zona Mineralisasi dan Struktur Pengontrol yang Berkembang Menggunakan Data
Magnetik pada Area Prospek Emas Tipe Endapan Epitermal Sulfidasi Tinggi Daerah Gunung Gupit,
Magelang, Jawa Tengah

Pujiyati, M.R., Naibaho, B.C., Farrah, F., de Fayyadh, M.E., Prasetyo, F.P.K.................................................................. 1195

[G018UNE] Identifikasi Bawah Permukaan di Area Sekitar Episenter Gempabumi Solok Selatan 28 Februari
2019 Menggunakan Data Anomali Gravitasi

Kurniawan, S.E., Sania, I.R............................................................................................................................................... 1207

[G023UNO] Analisis Indeks Kerentanan Seismik dan Percepatan Tanah Maksimum Berdasarkan Model Vs30
USGS di Kabupaten Kulonprogo

Kiswanti, S., Maulana, A.R., Arwa, F.Y., Purwanta, Wibowo, N.B ................................................................................. 1220

[G024UNP] Analisis Gempa Bumi Susulan (Aftershock) dan Kaitannya Terhadap Sesar Aktif pada Kota
Mataram Studi Kasus Gempa Lombok Agustus 2018

Wiyuda, M.A., Manurung, L., Samodra, S.B .................................................................................................................... 1234

[G026UNO] Aplikasi Metode Geomagnetik untuk Mengidentifikasi Struktur Geologi Bawah Permukaan
Sebagai Pengontrol Adanya Mineralisasi pada Desa Kaligono, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo,
Jawa Tengah

Muhammad, A., Rumahorbo, G., Setiaji, T.W. .................................................................................................................. 1247

GEOTOURISM AND EDUCATION GEOLOGY

[H024POP] Kolaborasi Pengembangan Geotourism dan Potensi Lokal: Studi Kasus Desa Sadang Sebagai

xv
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Bagian Geopark Nasional Karangsambung-Karangbolong

Al 'Afif, M., Puswanto, E., Wardhani, F.A ....................................................................................................................... 1262

[H027UNO] Wisata Gunung Sangeang Api: Upaya Pengintegrasian Aspek Geowisata dan Geokultur
Gunung Sangeang Api, Pulau Sangeang, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, Indonesia

Wisda, D.G., Adiwinata, G.A., Firmansyah, D.N., Paripurno, E.T .................................................................................. 1275

[H039POO] Roles of Cave Maps as Geoinformation in Supporting Geotourism: Practice in Gunung Sewu
UNESCO Global Geopark

Reinhart, H., Ristiawan, A.W............................................................................................................................................ 1299

[H043PRO] Role of Earth Science in Developing Ijen Volcano Complex Towards UGG

Wirakusumah, A.D ............................................................................................................................................................ 1312

[H047UNE] Kajian Geowisata Pantai Botorubuh dalam Aspek Geosite dan Geomorphosite pada Kawasan
Subzona Gunung Sewu

Fillah, A.A., Widyatmaji, B.N., Sutikno, A., Hendratno, A .............................................................................................. 1327

[H051PRO] Potensi Pegunungan Meratus dan Cempaka, Kalimantan Selatan Sebagai Kompleks Geowisata
dan Lapangan Edukasi Kebumian

Ramadhan, T., Sucipto, E.F.N ........................................................................................................................................... 1341

STRUCTURAL GEOLOGY, GEOMORPHOLOGY AND TECTONICS

[I003UNO] Aplikasi Metode Structure from Motion dalam Penentuan Kedudukan Bidang Gelincir di Desa
Ngoro-oro, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Hafiz, A., Setianto, A......................................................................................................................................................... 1362

[I005POP] Tatanan Tektonik Batuan Vulkanik Formasi Lonsio Daerah Ampana Sulawesi Tengah
Berdasarkan Pola Geokimia

Sunan, H.L., Saragih, Y.N., Iskandar, D., Sidik, A.R.F., Brilliantona, F.A ...................................................................... 1376

[I006UNP] Analisis Perkembangan Fault Related Fold di Daerah Batuajung, Kabupaten Sijunjung, Provinsi
Sumatera Barat

Briliantoro, T.A., Kuswansusilo, B. ................................................................................................................................... 1391

[I008UNO] Structural-induced Speleogenesis at Karakal-Japyryk Natural Reserve, Kyrgyzstan

Haryono, E., Barianto, D.H., Reinhart, H., Ristiawan, A.W., Putra, R.D., Rabbani, D.I.,
Sufi’atun, D.M., Saputra, A., Lutviah, H., Kulsum, F.A.I ................................................................................................ 1405

[I009POO] The Structural Geology Constellation of Western Boundary of Yogyakarta Basin

Widagdo,A., Pramumijoyo,S., Harijoko,A ......................................................................................................................... 1421

xvi
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

[I017POP] Hubungan Sesar Turun-Sesar Geser dan Struktur Deformasi Sedimen Halus Formasi Penosogan,
Kebumen, Jawa Tengah

Al Afif, M., Puswanto, E., Hidayat, E. .............................................................................................................................. 1433

[I020UNP] Pemetaan Geomorfologi Detail dengan Data Topografi dari Fotogrametri untuk Memahami
Dinamika Teras Sungai Progo di Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, D.I. Yogyakarta

Marliyani, G.I.,Adani, A.N ............................................................................................................................................... 1444

[I023UNO] Penentuan Sempadan Sungai Cimanuk, Desa Sukakarya, Kecamatan Garut, Kabupaten Garut,
Jawa Barat Menggunakan Pemodelan Geomorfologi Berdasarkan Data dari Metode Structure from Motion

Syahraini, N.,Setianto, A. .................................................................................................................................................. 1456

UNCONVENTIONAL ENERGY, RESOURCES, AND TECHNOLOGY

[J003UNP] Analisis Potensi Batuan Daerah Tembalang dan Sekitarnya, Semarang : Studi Awal Pemanfaatan
Batuan Sebagai Pembangkit Listrik Berbasis TEG (Thermoelectric Generator)

Iqbal, D.M., Barala, I., Wicaksono, K.C ............................................................................................................................. 1474

[J004UNP] Potensi Sumberdaya Energi Pembangkit Listrik Tenaga Mikro-Hidro (PLTMH) Sungai Kedung
Pedut Guna Memenuhi Kebutuhan Listrik dan Pengembangan Wisata Air Terjun Kedung Pedut, Kabupaten
Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta

Erwandi, Pangestu, A.A., Husein, M.O.H., Galena, T., Arung, B.T ................................................................................ 1485

[J005UNO] Identifikasi Kaolin Berdasarkan Analisis Citra Aster di Daerah Kelabat, Kabupaten Bangka Barat,
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

Setianto, A., Abdan, A., Titisari, A.D ...................................................................................................................................... 1501

GEOLOGY OF BAYAT AND SURROUNDING AREA

[K005UNP] Studi Provenan, Iklim Purba, dan Lingkungan Pengendapan Formasi Kebo Butak Daerah
Tegalrejo, Gedang Sari, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta

Cintya, R.,A., Rukya, M., Disastra, D.A., Surya, P., Nugroho, M.O.B............................................................................ 1525

[K006POO] Identifikasi Singkapan Batuan Metamorf Segar di Lereng Utara Gunung Konang, Sebagai
Analog Jenis dan Tipe Batuan Metamorf di Bayat, Klaten, Jawa Tengah

Setiawan, N.I., Husein, S., Nukman, M., Novian, M.I ..................................................................................................... 1549

[K007UNP] Paleogeografi dan Mekanisme Sedimentasi pada Paleo-kaldera di Prambanan

Nugraha, A., Setyoputro, M.B., Patanduk, A. ................................................................................................................. 1560

xvii
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A010UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

THE COAL CHARACTERISTICS OF THE MUARA ENIM FORMATION:


PRELIMINARY ASSESSMENT OF GAS CONTENT FOR CBM
EXPLORATION IN MANGUNJAYA REGION, SOUTH SUMATRA BASIN
Yoga Aprilian1*, Achmad Yusqi Maulana1, Corinna Alvera1
1Faculty of Geological Engineering, Padjadjaran University, Jl. Raya Bandung Sumedang KM 21,
Jatinangor,Hegarmanah, Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat 45363
*Corresponding Author: yogaaprilian1998@gmail.com

ABSTRAK. Coal B`ed Methane (CBM) is one of unconventional resource that shows great promise
for future energy needs, especially in Indonesia, which has a quite large potential. However, one of
the most important things from CBM research is the gas content. Gas content used to determine
the potential and reserves of CBM. In addition, the characteristics of coal are an important factor in
understanding the quality and quantity of gas content. According to these explanations, the
research area that located in Mangunjaya, Musi Banyuasin Regency, South Sumatra was conducted
to prove the relationship between gas content and coal characteristics. In this study, log data,
proximate aanalysis data, ultimate analysis data, petrographic analysis data, and gas content
analysis data were used. The method in this research used a statistical approach to find the
relationship between gas content and coal characteristics. The sample used in the study consists of
43 core samples from 2 wells that had been analyzed in the laboratory. Statistically, the research
area obtained trends from several factors of coal characteristics that influence the high of gas
content, such as low moisture content, high volatile matter, high caloric value, high carbon, and
hydrogen content, low oxygen content, and high liptinite content. All these things affected the
quality and quantity of gas content in Mangunjaya area which has good gas potential to be
developed for CBM.

Kata kunci: Mangunjaya, South Sumatra Basin, Characteristics of Coal, Gas Content, Coal Bed
Methane

I. INTRODUCTION

In Indonesia, energy demand is very high and it’s always increasing every year.
However, dependence of oil and gas as the primary energy source used for industrial and
household scales is still high. This problem caused the increasing energy needs to reduce
national oil and gas reserves. Indonesia has high CBM potential if adequately developed,
it will have an impact on the nation's economy and the environment (ESDM, 2003).

The potential of natural resources in Indonesia is very abundant, and from the
energy sector too. Potential resources in the energy sector which are abundant, for
example, are coal and coal bed methane. Indonesia has great potential coal resources from
several countries in the world. The number of proven coal reserves in Indonesia
according to the Geology Agency of the Ministry of Energy and Mineral Resources based
on 2015 calculations was 8.236 billion tons. Coal can store adsorbed gas in the matrix.
Most of the gas stored in coal is methane gas, so it is also called coal bed methane. Based

1
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A010UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

on (Steven and Hadiyanto, 2005), Indonesia has 11 basins with CBM potential of 453.3 Tcf
with a concentration of 15.0 Bcf / mi2 (more than double its natural gas reserves). The
biggest CBM potential is in the South Sumatra basin with a potential of 183 Tcf with a
concentration of 24.9 Bcf / mi2. However, it has not been processed optimally.

According to Susilawati (2015), there are several advantages of CBM compared to


other energy, such as combustion does not produce toxins, do not produce ash and
release a little CO2 per unit of energy compared to other energy such as coal, oil or wood.
CBM can store 6-7 times more gas than conventional gas reservoirs. According to Triyono
(2015), CBM has the lowest calorie content compared to other natural gas, so CBM
produced exhaust gas that is more environmentally friendly than other natural gas.

Coal Bed Methane is related to gas content. Gas content is used to determine the
potential and spare parts of CBM. Besides, the characteristics of coal affect the quality and
quantity of CBM. So that is the background of the writer to do this research. The research
location is in South Sumatra Province. At coordinates 2º 00 '- 3º 00' South and 103º 00 '-
104º 00' East, zone 48 S (Figure 1). The exact research location is at two drill points in one
region, namely Mangunjaya area (MJ-01 and MJ-02) located in Sekayu sub-district, Musi
Banyuasin Regency.

II. LITERATURE REVIEW

1. Geology of the South Sumatra Basin

The geology of the southern Sumatra basin (Figure 2) is the result of tectonic
activities related to the subduction of the Indo-Australian plate. The subduction occurs in
the western part of the island of Sumatra and south of Java. The inclusion of the Indo-
Australian plate can affect rock conditions, morphology, tectonics, and structure in South
Sumatra. Plate tectonic collisions on Sumatra Island produce front arc, magmatic, and
back-arc pathways (Bishop, 2000). The southern Sumatra basin, including the back-arc
(Back Arc Basin), was formed due to the interaction between the Indo-Australian Plate
and the micro-Sunda plate.

2. Stratigraphy of the South Sumatra Basin

The South Sumatra Basin can be recognized as one megacycle, which consists of a
transition and is followed by regression. Transgression phase includes Talang Akar
Formation, Baturaja Formation, and Gumai or Telisa Formation. The Regression Phase
includes the Palembang group, which includes the Airbenakat Formation (Lower
Palembang), Muaraenim Formation (Central Palembang), and the Kasai Formation
(Upper Palembang)

2
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A010UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Formations related to the research area are muaraenim formation. This formation
consists of sandstone, claystone and coal seams. This formation has a thickness between
1500-2500 feet (about 450-750 m). According to De Coster (1974), The estimating that the
muaraenim formation has the age of the late Miocene to the Pliocene, judging from its
stratigraphic position. This formation was deposited in shallow marine environments up
to brackish (at the bottom), delta plain and non-marine environments.

The Muaraenim Formation is the leading coal carrier formation in the South
Sumatra Basin. Shell Mijnbouw (1978) divides the Muaraenim Formation into 4 (four)
members, namely M1, M2, M3, and M4 members. At each layer, these layers have specific
characteristics and the division of specific layers to each of these members.

3. Coal Characteristics

The data used in this research is coal analysis data in the laboratory. Laboratory
analysis data is used to determine the characteristics of coal and its relation to the quality
and quantity of gas content.

Analysis of coal data in the laboratory includes several analyzes, namely


proximate, ultimate, and organic petrographic analysis. To determine the class (rank) of
coal used proximate analysis, there are several main parameters of this analysis, namely:

1. Moisture content, which is the water content found in coal.


2. Ash content, which is the content of inorganic material left or unburned when coal is
burned at 815o C.
3. Volatile matter the components in coal that can be released or evaporated when
heated in a vacuum at a temperature of 900oC.
4. Carbon fixed (fixed carbon), is carbon that is tethered to coal after the contents of
water, ash, and flying substances are removed.
5. Total sulfur is sulfur content.
6. Calorific value is the number of heat units released per unit of fuel burned.

In addition to proximate analysis, there is an ultimate analysis which includes


simple analysis. An ultimate analysis is used to determine the coal forming elements such
as Carbon, Hydrogen, Oxygen, Nitrogen, and Sulfur.

As well as the final analysis, namely organic petrographic analysis consisting of


mass analysis and vitrinite reflectance analysis.

4. Correlation Coefficient

The statistical measurement used in this research is the correlation coefficient,


which is a statistical measurement of covariance or association between two variables.
Correlation Coefficient is used to facilitate the interpretation of the strength of the

3
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A010UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

relationship between two variables. According to Sarwono (2006), the division of criteria
Correlation Coefficients is as follows:

• 0 : There is no correlation between the two variables

• >0 – 0,25 : Correlation is very weak

• >0,25 – 0,5 : Correlation is enough

• >0,5 – 0,75 : Strong Correlation

• >0,75 – 0,99 : Very Strong Correlation

• 1 : Perfect Correlation

III. METHODOLOGY

In this research, data were obtained from PSDMBP, which included (drill data,
chemical analysis, and organic petrography) and gas data (gas content) from 2 wells with
43 core samples with various depth. Chemical analysis data and organic petrographic
analysis are associated with gas content data (as a fixed variable). Coal characteristics
data with gas data are correlated using a statistical approach to find the relationship
between gas content and coal characteristics.

IV. RESULTS AND DISCUSSION

From Proximate analysis, ultimate, and petrographic analysis show the correlation
coefficient number is 0.5 - 0.8, which means a very strong correlation (Sarwono, 2006). It
can be concluded that based on the characteristics of coal from the analysis of Proximate,
ultimate, and petrographic affect gas content.

1. The Correlation Between Volatile Matter and Gas Content

Based on Volatile Matter graph with gas content in the Mangunjaya area (Figure
3), a trend with correlation coefficient is 0.5234 - 0.5219 which has a strong correlation
coefficient (Sarwono, 2006) which shows that the higher the volatile matter, the higher the
gas content (directly proportional). In Sunarli (2016) it is because, at the time of the
formation of coal carbohydrate and water, methane gas was the first volatile produced. In
line with (Meisner, 1984) that the amount of methane gas formed can be identified from
the content of Volatile matter obtained from the coal proximate analysis.

2. The Correlation Between Moisture And Gas Content

According to moisture graph with gas content in the Mangunjaya area (Figure 4).
Obtained a trend with coefficient values ranging from 0.5146 - 0.5295 which has a strong

4
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A010UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

correlation coefficient (Sarwono, 2006) which shows that the lower the moisture, the
higher the gas content (inversely proportional). According to Zhongping Cui (2015) The
more moisture content, the smaller the quantity of desorption of gas, and the longer the
time needed for coal to deselect methane gas.

3. The Correlation Between Calorific Value and Gas Content

From Calorific value and gas content graph in the Mangunjaya area (Figure 5),
there is a trend with coefficients ranging from 0.5108 - 0.6857, which has a strong
correlation coefficient (Sarwono, 2006) which shows that the higher the Calorific Value,
the higher the gas content (directly proportional). This is consistent with the theory that
the better the quality of coal, the higher the gas produced (ASTM, 2011).

4. The Correlation Between Carbon and Gas Content

Based on carbon graph with gas content in the Mangunjaya area (Figure 6), a
trend with coefficients ranging from 0.529 - 0.5648 is found that has a strong correlation
coefficient (Sarwono, 2006) which shows that the higher the carbon, the higher the gas
content (directly proportional). According to Sunarli (2016), this is because coal is
composed of high organic matter so that the gas content of the coal is high.

5. The Correlation Between Hydrogen and Gas Content

According to hydrogen graph with gas content in the Mangunjaya area (Figure 7),
there is a trend with coefficient values ranging from 0.6987 - 0.7909 which has a strong
correlation coefficient - very strong (Sarwono, 2006) which shows that the higher the
hydrogen, the higher the gas content ( directly proportional). This can be caused by high
hydrogen content because hydrogen is a food source and volatile in the formation of coal
methane gas (methanogens) (Mares, 2009).

6. The Correlation Between Oxygen and Gas Content

From Oxygen and gas content graph in the Mangunjaya area (Figure 8), there is a
trend with coefficient values ranging from 0.5237 to 0.5441 which has a strong correlation
coefficient (Sarwono, 2006) which shows that the lower the oxygen, the higher the gas
content (inversely proportional).

7. The Correlation Between Liptinite and Gas Content

Based on liptinite graph with gas content in the Mangunjaya area (Figure 9), a
trend with coefficients ranging from 0.7043 - 0.8052 has a very strong correlation
coefficient (Sarwono, 2006) which shows that the higher the liptinite, the higher the gas
content (directly proportional).

5
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A010UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

V. CONCLUSION

Based on the research shows a trend that the higher: the volatile matter, calorific
value, carbon, hydrogen, and liptinite; the higher the gas content (directly proportional).
However, the lower Moisture content and oxygen content, the higher gas content
(inversely proportional). All of these parameters affect gas content in Mangunjaya,
especially in Muaraenim formation that has a good gas potential to be developed for
CBM.

ACKNOWLEDGMENT

Thank you to PSDMBP, who facilitated the data used by the author in this research and
allowed to publish the results of this research. Thank you also to Corinna Alvera who
always guides the author in completing this research and all those who have helped in
this research.

REFERENCES

Alvera, Corinna. (2019). Pengaruh Karakteristik Batubara terhadap Gas Content pada
Formasi Muara Enim di Cekungan Sumatra Selatan. Skripsi Sarjana, Universitas
Padjadjaran, Jatinangor: tidak diterbitkan.

ASTM. (2011). Classification of coals by rank (ASTM D388), Annual Book of ASTM
Standards, Section 05.05. American Society for Testing and Materials, Wes
Conshohocken, PA.

Bishop, dan Michele, G. 2000. South Sumatera Basin Province, Indonesia. USGS Open-file
Report 99-50-S.

De Coster, G, L. 1974. The Geology of the Central Sumatera and South Sumatera Basins.
Proceeding Indonesia Petroleum Association 4th Annual Convention.

Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. 2003. Rekaman Kegiatan dan
Pengembangan Geologi 2002. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi. Hal. 282 – 284.

Ibrahim, M. Abdurachman, dkk. (2017). Laporan Evaluasi Potensi CBM dan Batubara
Bawah Permukaan Daerah Mangunjaya dan Sekitarnya Kabupaten Musi
Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan. Bandung: Pusat Sumber Daya Mineral
Batubara dan Panas Bumi.

Jonathan, Sarwono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta:Graha


Ilmu

6
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A010UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Shell Mijnbow. (1978). Explanatory notes to the Geological Map of the South Sumatra
Coal Province.

Sunarli, Ardi. (2016). Hubungan antara Gas Content Dengan Karakteristik Batubara dan
Implikasinya Terhadap Kualitas Reservoar Gas Metana Batubara, Formasi
Warukin Atas LApangan Tanjung II, Kalimantan Selatan. Tesis, UGM, tidak
diterbitkan

Susilawati, Rita, dkk. (2015). Potensi Coal Bed Methane (CBM) di Indonesia. Bandung:
Pusat Sumber Daya Geologi.

Stevens, S.H., dan Hadiyanto. (2004). Indonesia: Coalbed Methane Indicators and Basin
Evaluation, SPE Asia Pacific Oil and Gas Conference and Exhibition, Perth,
Australia

Taufiq. (2015).Metode Time-Lapse Microgravity Untuk Monitoring Dinamika Fluida Pada


Reservoar Lapangan “Tfq”, Cekungan Sumatera Selatan. Fakultas Teknik,
Universitas Lampung.

Table 1. Detailed Stratigraphy of Muara Enim Formation (Shell, 1978)

7
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A010UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 1. Map of research area location (without scale)

Figure 2. Basin maps in the Sumatra Region (Bishop, 2000)

Figure 3. Graph of Correlation of Volatile Matter with Gas Content in Mangunjaya Region

8
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A010UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 4. Graph of Correlation of Moisture with Gas Content in Mangunjaya Region

Figure 5. Graph of the Correlation of Calorific Value with Gas Content in the Mangunjaya Region

Figure 6. Graph of the Correlation of Carbon with Gas Content in the Mangunjaya Region

9
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A010UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 7. Graph of the Correlation of Hydrogen with Gas Content in the Mangunjaya Region

Figure 8. Graph of the Correlation of Oxygen with Gas Content in the Mangunjaya Region

Figure 9. Graph of the Correlation of Liptinite with Gas Content in the Mangunjaya Region.

10
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A015UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

IDENTIFIKASI FASIES KARBONAT FORMASI BATURAJA, CEKUNGAN


SUMATERA SELATAN, BERDASARKAN DATA SUMUR
Muhammad Farhan Shidqi F1*, Fahmi Bajry2
1Geological Engineering Department of UPN”Veteran” Yogyakarta/SWK Street 104, Depok, Sleman,
DIY
2PT. Pertamina EP,Gedung Standart Chartered lt 23, Kuningan, Jakarta Selatan

*Corresponding Author: shidqi.farhan@yahoo.com

ABSTRAK. Daerah Telitian secara geografis terletak di Desa Ramba, Babat Jaya, Kecamatan Babat
Supat, Kabupaten Musi Banyu Asin, Sumatra Selatan yang termasuk kedalam Sub Cekungan
Palembang Utara, Cekungan Sumatra Selatan yang merupakan salah satu cekungan yang
ekonomis di Indonesia. Salah satu lapangan yang masih produksi yaitu Lapangan Halim yang
memiliki reservoir berupa batugamping dan terdiri atas lima sumur berupa satu sumur injeksi dan
empat sumur produksi dengan ketebalan rata-rata 52 m. Batugamping tersebut merupakan
batugamping Formasi Baturaja yang memiliki tingkat heterogenitas yang tinggi. Tujuan dari
penelitian ini yaitu untuk mengetahui jenis litofasies, asosiasi fasies, lingkungan diagenesa, dan
lingkungan pengendapan batugamping Formasi Baturaja. Untuk mengidentifikasinya dapat
mengintegrasikan data sumur berupa data core, mud log, wireline log, dan sayatan petrografi.
Berdasarkan hasil analisis, terdapat empat asosias fasies yaitu Asosiasi Fasies Mixed Coral Skeletal
Packestone-Rudstone yang terdiri atas litofasies Neomorphosed Bioclastic Packestone, Dolomotised
Bioclastic Wackestone-Packestone, Dolomitised Coral Floatstone-Rudstone, Dolomitised Intraclast
Floatstone. Asosiasi Fasies Platy Coral Floatstone-Rudstone yang terdiri atas litofasies Argillaceous
Platy Coral Floatstone, Argillaceous Platy Coral Rudstone, Neomorphosed intraclast Rudstone,
Neomorphosed intraclast Floatstone-Rudstone, Algal Bindstone, dan Dolomitised Coral Framestone.
Asosiasi Fasies Massive Coral Rudstone yang terdiri atas litofasies Neomorphosed Coralline Rudstone,
Bioclastic Coralline Rudstone, dan Bioclastic Coralline Inraclast Rudstone. Asosiasi Fasies Mudstone
yang terdiri atas litofasies Mudstone. Dari keempat asosiasi fasies tersebut dapat dinterpretasikan
lingkungan pengendapan Formasi Baturaja yaitu Back Reef dengan terdapatnya Asosiasi Fasies
Mixed Coral-Skeletal Packestone-Rudstone dan Fasies Mudstone yang diendapkan dengan energi
sedang - rendah. Endapan Reef Front memiliki ciri endapan yaitu Asosiasi Fasies Platy Coral
Floatstone-Rudstone yang diendapkan dengan energi tinggi dan terendapkan pada bidang miring
(slope) hingga 15 0 dan sistem pengendapan berupa gravitasional. Endapan Fore Reef memiliki ciri
endapan yaitu Asosiasi Fasies Massive Coral Rudstone. Lingkungan diagenesis diinterpretasikan
berdasarkan porositas terbentuk dan terubah yaitu Meteoric Zone, Marine Zone, dan Subsurface Zone
(Burial Diagenesis).
Kata kunci: Litofasies, Asosiasi Fasies, Formasi Baturaja, Lingkungan Pengendapan, Lingkungan
Diagenesis

I. PENDAHULUAN

Batugamping adalah batuan sedimen yang umum dan tersebar luas yang
terbentuk di lingkungan laut dangkal. Sebagian besar kalsium karbonat yang membentuk
batugamping berasal dari sumber biologis seperti intvertebrata, moluska, hingga partikel
kalsit yang sangat halus dan aragonite yang terbentuk oleh alga. Akumulasi sedimen di
lingkungan pembentuk karbonat sebagian besar dikendalikan oleh faktor-faktor yang

11
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A015UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

mempengaruhi kelimpahan organisme di dalamnya seperti salinitas air, kedalaman,


suhu, ketersediaan nutrisi, dan pasokan bahan klastik terrigenous (Nichols, 2009).
Batugamping merupakan salah satu reservoir yang bernilai ekonomis. Lapangan “Halim”
merupakan salah satu lapangan yang termasuk kedalam wilayah kerja PT Pertamina EP
yang memiliki cadangan hidrokarbon yang besar dan ekonomis di Cekungan Sumatra
Selatan. Salah satu reservoir tersebut yaitu Formasi Baturaja. Formasi Baturaja memiliki
litologi berupa Batugamping dengan kandungan carbonate bank local yang tersingkap
ditinggian diatas basement. Terbagi kedalam dua fasies yaitu Platform yang
mengandung glauconitic packstone-wackestone dan lapisan tipis shale. Fasies Reef bulid-
ups yang mengandung skeletal packstones dan coral-algal boundstone (Barber dkk,
2005). Karakteristik batugamping yang berada di daerah telitian termasuk unik dengan
tingkat heterogenitas yang tinggi seiring dengan perubahan lingkungan pengendapan
secara signifikan dalam rentang waktu yang relatif cepat.

II. GEOLOGI REGIONAL

1. Fisiografi Cekungan Sumatra Selatan

Secara fisiografis Cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan Tersier


berarah barat laut– tenggara, yang dibatasi Sesar Semangko dan Bukit Barisan di sebelah
barat daya, Paparan Sunda di sebelah timur laut, Tinggian Lampung di sebelah tenggara
yang memisahkan cekungan tersebut dengan Cekungan Sunda, serta Pegunungan Dua
Belas dan Pegunungan Tiga Puluh di sebelah barat laut yang memisahkan Cekungan
Sumatra Selatan dengan Cekungan Sumatra Tengah (Blake 1989). Pada umumnya,
Cekungan Sumatra Selatan ini terbagi menjadi Sub- Cekungan Jambi dan Sub-Cekungan
Palembang (Gambar 3.1) . Sub-Cekungan Palembang dibagi menjadi Sub-Cekungan
Palembang Utara, Sub-Cekungan Palembang Tengah, dan Sub-Cekungan Palembang
Selatan. Sub-Cekungan Jambi memiliki arah timurlaut (NE)-barat baratdaya (SW),
sedangkan Sub-Cekungan Palembang berarah baratlaut (NNW)-tenggara (SSE). Sub-sub
cekungan tersebut sebagian besar dibatasi oleh sesar-sesar utama yang memiliki akar
yang dalam dan berhubungan langsung dengan batuan dasar. Sesar yang paling
menonjol adalah Sesar Lematang dan Sesar Muaratembesi.

2. Stratigrafi Cekungan Sumatra Selatan

Pada dasarnya stratigrafi Cekungan Sumatra Selatan terdiri dari satu siklus besar
sedimentasi yang dimulai dari fase transgresi pada awal siklus dan fase regresi pada
akhir siklusnya. (Gambar 3.2.)

12
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A015UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

a. Batuan Dasar

Batuan dasar (pra tersier) terdiri dari batuan kompleks paleozoikum dan batuan
Mesozoikum, batuan metamorf, batuan beku, dan batuan karbonat. Batuan dasar yang
paling tua, terdeformasi paling lemah, dianggap bagian dari lempeng-mikro Malaka,
mendasari bagian utara dan timur cekungan. Morfologi batuan dasar ini dianggap
mempengaruhi morfologi rift pada Eosen-Oligosen, lokasi dan luasnya gejala
inversi/pensesaran mendatar pada Plio-Pleistosen, karbondioksida lokal yang tinggi yang
mengandung hidrokarbon gas, serta rekahan-rekahan yang terbentuk di batuan dasar
(Ginger & Fielding, 2005).

b. Formasi Lahat

Formasi Lahat diperkirakan berumur Oligosen Awal (Sardjito dkk, 1991). Formasi
ini merupakan batuan sedimen pertama yang diendapkan pada cekungan Sumatra
Selatan. Pembentukannya hanya terdapat pada bagian terdalam dari cekungan dan
diendapkan secara tidak selaras. Pengendapannya terdapat dalam lingkungan
darat/aluvial-fluvial sampai dengan lacustrine.

c. Formasi Talangakar

Formasi Talang Akar diperkirakan berumur Oligosen Akhir sampai Miosen Awal.
Formasi ini terbentuk secara tidak selaras dan kemungkinan paraconformable di atas
Formasi Lahat dan selaras di bawah Formasi Gumai atau anggota Basal Telisa/Formasi
Baturaja. Formasi Talang Akar pada Cekungan Sumatra Selatan terdiri dari batulanau,
batupasir dan sisipan batubara yang diendapkan pada lingkungan laut dangkal hingga
transisi.

d. Formasi Baturaja

Formasi Baturaja diendapkan secara selaras di atas Formasi Talang Akar pada
kala Miosen Awal. Formasi ini tersebar luas terdiri dari karbonat platforms dengan
ketebalan 20-75 m dan tambahan berupa karbonat build-up dan reef dengan ketebalan
60-120 m. Didalam batuan karbonatnya terdapat shale dan calcareous shale yang
diendapkan pada laut dalam dan berkembang di daerah platform dan tinggian (Bishop,
2001).

e. Formasi Gumai

Formasi Gumai diendapkan secara selaras di atas Formasi Baturaja pada kala
Oligosen sampai dengan tengah Miosen. Formasi ini tersusun oleh fosilliferous marine
shale dan lapisan batugamping yang mengandung glauconitic (Bishop, 2001). Bagian
bawah formasi ini terdiri dari serpih yang mengandung calcareous shale dengan sisipan
batugamping, napal dan batulanau. Sedangkan di bagian atasnya berupa perselingan
antara batupasir dan shale. Ketebalan Formasi Gumai ini diperkirakan 2700 m di tengah-

13
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A015UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

tengah cekungan. Sedangkan pada batas cekungan dan pada saat melewati tinggian
ketebalannya cenderung tipis.

f. Formasi Air Benakat

Formasi Air Benakat diendapkan selama fase regresi dan akhir dari pengendapan
Formasi Gumai pada kala tengah miosen (Bishop, 2001). Pengendapan pada fase regresi
ini terjadi pada lingkungan neritik hingga shallow marine, yang berubah menjadi
lingkungan delta plain dan coastal swamp pada akhir dari siklus regresi pertama.
Formasi ini terdiri dari batulempung putih kelabu dengan sisipan batupasir halus,
batupasir abu-abu hitam kebiruan, glaukonitan setempat mengandung lignit dan di
bagian atas mengandung tufaan sedangkan bagian tengah kaya akan fosil foraminifera.
Ketebalan formasi ini diperkirakan antara 1000-1500 m.

g. Formasi Muara Enim

Formasi ini diendapkan pada kala akhir Miosen sampai Pliosen dan merupakan
siklus regresi kedua sebagai pengendapan laut dangkal sampai continental sands, delta
dan batu lempung. Siklus regresi kedua dapat dibedakan dari pengendapan siklus
pertama (Formasi Air Benakat) dengan ketidakhadirannya batupasir glaukonit dan
akumulasi lapisan batubara yang tebal.

h. Formasi Kasai

Formasi ini diendapkan pada kala Pliosen sampai dengan Pleistosen.


Pengendapannya merupakan hasil dari erosi dari pengangkatan Bukit Barisan dan
pegunungan Tigapuluh, serta akibat adanya pengangkatan pelipatan yang terjadi di
cekungan. Pengendapan dimulai setelah tanda-tanda awal dari pengangkatan terakhir
Pegunungan Barisan yang dimulai pada miosen akhir. Kontak formasi ini dengan
Formasi Muara Enim ditandai dengan kemunculan pertama dari batupasir tufaan.
Karakteristik utama dari endapan siklus regresi ketiga ini adalah adanya kenampakan
produk volkanik. Formasi Kasai tersusun oleh batupasir kontinental dan lempung serta
material piroklastik.

III. METODE PENELITIAN


Metodologi penelitian yang dilakukan yaitu menggunakan data sumur berupa
data wireline log, data core, data mud log, dan data sayatan petrografi. Hasil integrasi data
tersebut dibagi kedalam tiga tahap, yaitu tahap pendahuluan, tahap analisis, dan tahap
akhir penyelesaian. Metodologi penelitian dapat dilihat pada (Gambar 2.1)

14
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A015UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

IV. HASIL

1. Geologi Daerah Telitian

Stratigrafi daerah penelitian (Gambar 4.1) ditentukan berdasarkan hasil Analisis


Mud Log pada Sumur HLM 138 serta data core pada Sumur HLM 053. Umur ditentukan
berdasarkan penulis terdahulu karena pada Sumur HLM 053 tidak memiliki data
Biostratigrafi. Daerah penelitian terdiri dari Satuan Batupasir, Satuan Batugamping , dan
Satuan Batulempung jika diurutkan dari tua hingga muda. Formasi tertua pada daerah
telitian yaitu Formasi Talang Akar (Oligosen Akhir-Miosen Awal) yang memiliki Satuan
Batupasir yang terdiri dari Batupasir, Batulempung, dan Batulanau. Didominasi oleh
batupasir berwarna abu-abu terang – abu-abu, ukuran butir pasir sangat halus - pasir
halus, sub angular - sub-rounded, mengandung karbonatan. Batulempung berwarna
cokelat-cokelat terang, dan batulanau berwarna abu-abu terang – abu-abu dan sedikit
mengandung material pasiran. Diatasnya terendapkan Formasi Baturaja (Miosen Awal)
yang memiliki satuan batugamping terdiri dari Batugamping Autocthonous berupa
Wackestone, Packestone, Wakcstone-Packestone, Floatstone, Rudstone, dan Floatstone-
Rudstone. Memiliki porositas berupa vuggy, fracture, intercrystalline, mouldic, dan
Intragranular. Pada bagian bawah Formasi ini terdapat litologi berupa Bioclastic
Mudstone yang lebih banyak mengandung lempung didalamnya. Formasi termuda pada
daerah telitian yaitu Formasi Gumai (Miosen Awal-Miosen Tengah) terdiri satuan batuan
batulempung tebal yang terdiri dari litologi berupa Batulempung berwarna abu-abu
terang – abu-abu, mengandung glaukonit, dan tidak karbonatan. Batupasir berwarna
terang, ukuran butir pasir sangat halus – pasir halus, sub-rounded – sub-angular,
mengandung karbonatan, dan fosil foram. Batulanau berwarna abu-abu terang – abu-abu,
mengandung glaukonit, dan tidak karbonatan.

2. Analisis Litofasies

a. Litofasies Bioclastic Wackestone

Berdasarkan sayatan petrografi (Gambar 4.2.) pada Sumur HLM-043 di kedalaman


846.68 m. Litofasies bioclastic mudstone memiliki ukuran butir 0.6 mm – 0.7 mm , terpilah
buruk, mud supported, tingkat abrasi sedang-tinggi, komposisi : semen 6%, replacement
68% (Foto A, F-H 4-6), visible porosity 1.25%, partikel 21.5%, lempung 3.5%, tipe porositas
berupa disolusi dan fracture (Foto B, A-F 5, J-K 4-5)

b. Litofasies Neomorphosed Bioclastic Packestone

Berdasarkan sayatan Petrografi (Gambar 4.3.) pada Sumur HLM-043 di kedalaman


812.36 m. Litofasies bioclastic packestone memiliki ukuran butir 0.7 mm – 0.8 mm,
terpilah buruk, grain supported, tingkat abrasi sedang-tinggi, komposisi : semen 14%,
replacement 44% (Foto A, A-D 2-7), visible porosity 17%, partikel 25%, tipe porositas

15
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A015UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

berupa disolusi, intragranular, vugs (Foto A, J-K 4-5, K-M 2-3), mouldic, intercrystalline,
dan fracture (Foto B, A-F 4, H-M 4-7)

c. Litofasies Dolomitised Bioclastic Wackestone-Packestone

Berdasarkan sayatan petrografi (Gambar 4.4.) pada Sumur HLM-043 di kedalaman


820.41 m. Litofasies ini memiliki ukuran butir 2.8 mm, terpilah buruk, mud-grain
supported, tingkat abrasi tinggi, komposisi : semen 3.75%, replacement 58.5%(Foto B, A-D
1-10), lempung 2.25%, visible porosity 1.76%, partikel 33.75% (Foto A, C-J 4-7), tipe
porositas berupa disolusi dan fracture.

d. Litofasies Dolomitised Intraclast Floatstone

Berdasarkan sayatan petrografi (Gambar 4.5.) pada Sumur HLM-053 di kedalaman


825 m. Litofasies ini memiliki ukuran butir 7.5 mm, terpilah buruk, mud-grain supported,
tingkat abrasi menengah-tinggi, komposisi : semen 3%, matriks 5%, replacement 33.25%,
visible porosity 18.5%, partikel 37.25% (Foto A, E-P 2-9), lempung 3%, tipe porositas
berupa vugs (Foto B, A-J 7-9), micro-intercrystalline, fracture, intragranular, mouldic.

e. Litofasies Argillaceous Platy Coral Floatstone

Berdasarkan sayatan petrografi (Gambar 4.6.) pada Sumur HLM-059 di kedalaman


813.05 m. Litofasies ini memiliki matriks berupa wackestone-packestone, mud supported,
tingkat abrasi menengah-tinggi, komposisi : matriks 25%, semen 9%, replacement 22.75%,
visible porosity 5.5%, partikel 35.75% (Foto A, D-F 3, Foto B, A-K 1-5), lempung 4%, tipe
porositas berupa micro fractures, mouldic, framework.

f. Litofasies Neomorphosed Intraclast Rudstone

Berdasarkan sayatan petrografi (Gambar 4.7.) pada Sumur HLM-043 di kedalaman


831.8 m. Litofasies ini memiliki ukuran butir 8 mm, terpilah buruk, grain supported,
tingkat abrasi menengah-tinggi, komposisi : semen 4%, replacement 24% (Foto A, F-K 2-
4), visible porosity 9%, partikel 59.5%, lempung 3.5%, tipe porositas berupa disolusi (Foto
B, D 4-5), intragranular, intercrystalline, fracture.

g. Litofasies Argillaceous Platy Coral Rudstone

Berdasarkan sayatan petrografi (Gambar 4.8.) pada Sumur HLM-059 di kedalaman


838.4 m. Litofasies ini memiliki matriks berupa wackestone-packestone, grain supported,
sortasi buruk, tingkat abrasi kecil-menengah, komposisi : matriks 20.5%, semen 12.75%
(Foto B, A-P, 4-8), replacement 6.25%, visible porosity 4.5%, partikel 53% (Foto A, A-P 4-
10), lempung 3%, tipe porositas berupa cug, fracture, mold, micro-intercrystalline.

h. Litofasies Neomorphosed Coralline Rudstone

Berdasarkan sayatan petrografi (Gambar 4.9.) pada Sumur HLM-043 di kedalaman


826.7 m. Litofasies ini memiliki ukuran butir 12 mm, terpilah buruk, grain supported,

16
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A015UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

tingkat abrasi menengah-tinggi, komposisi : semen 4.5%, replacement 32.5%, visible


porosity 2%, partikel 56.75% (Foto B, A-G 3-10, H-P, 1-8), lempung 4.25%, tipe porositas
berupa disolusi, intercrystalline, vugs, intragranular, fracture, dan terdapat struktur
stylolite (Foto A, A-F 3-5)

i. Litofasies Bioclastic Coralline Rudstone

Berdasarkan sayatan petrografi (Gambar 4.10.) pada Sumur HLM-059 di


kedalaman 832.41 m. Litofasies ini memiliki matriks berupa packestone, grain supported,
terpilah buruk, tingkat abrasi menengah-tinggi, komposisi : matriks 11%, semen 3.5%,
replacement 19.75% (Foto A, A-M, 1-8), visible porosity 19.5%, partikel 46.25%, lempung
0%, tipe porositas berupa vugs, fracture (Foto B, J-L 1-10) , mouldic, micro-
intercrystalline.

j. Litofasies Bioclastic Coralline Intraclast Rudstone

Berdasarkan sayatan petrografi (Gambar 4.11.) pada Sumur HLM-059 di


kedalaman 827.19 m. Litofasies ini memiliki matriks berupa packestone, grain supported,
terpilah buruk, tingkat abrasi menengah-tinggi, komposisi : matriks 14.75%, semen 4.75%,
replacement 19.75%, visible porosity 11.75%, partikel 49% (Foto B, A-D 3-8), lempung 0%,
tipe porositas berupa fracture (Foto A, A-K 6-10), mouldic, intraparticle, vug.

k. Litofasies Neomorphosed Intraclast Floatstone-Rudstone

Berdasarkan sayatan petrografi (Gambar 4.12.) pada Sumur HLM-053 di


kedalaman 817.15 m. Litofasies ini memiliki ukuran butir 15 mm, terpilah buruk, mud-
grain supported, tingkat abrasi menengah-tinggi, komposisi : matriks 10%, semen 4.75%,
replacement 30.25% (Foto A, Garis Merah), visible porosity 5.25%, partikel 48.75% (Foto
A, Garis Kuning), lempung 1%, terdapat struktur stylolite, tipe porositas berupa fracture
(Foto B), micro-intercrystalline, intragranular.

l. Litofasies Dolomitised Coral Floatstone-Rudstone

Berdasarkan sayatan petrografi (Gambar 4.13.) pada Sumur HLM-053 di


kedalaman 828.5 m. Litofasies ini memiliki ukuran butir 3.2 mm, terpilah buruk,
mud>grain supported, tingkat abrasi menengah-tinggi, komposisi : matriks 5%, semen
4.75%, replacement 25.25%, visible porosity 22.25%, partikel 39.5% (Foto A, A-F 1-10),
lempung 3.25%, terdapat struktur stylolite, tipe porositas berupa intragranular, vug (Foto
B), micro-intercrystalline, fracture, mouldic.

m. Litofasies Algal Bindstone

Berdasarkan sayatan petrografi (Gambar 4.14.) pada Sumur HLM-053 di


kedalaman 819.74 m. Litofasies ini memiliki ukuran butir 6 mm, terpilah buruk, mud-
grain supported, tingkat abrasi rendah-menengah, komposisi : matriks 25%, semen

17
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A015UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

15.75%, replacement 18% (Foto B), visible porosity 6%, partikel 35.25% (Foto A), lempung
0%, tipe porositas berupa micro-intercrystalline, fracture, vug, mouldic.

n. Litofasies Dolomitised Coral Framestone

Berdasarkan sayatan petrografi (Gambar 4.15.) pada Sumur HLM-053 di


kedalaman 823.12 m. Litofasies ini memiliki matriks berupa neomorphosed wackestone,
ukuran butir 15 mm, sortasi buruk, mud supported, tingkat abrasi menengah-tinggi,
komposisi : matriks 5%, semen 5%, replacement 23.5%, visible porosity 19.75%, partikel
44.75%, lempung 2%, tipe porositas berupa intragranular, micro-intercrystalline, vug,
fracture (Foto A)

o. Litofasies Mudstone

Berdasarkan deskripsi core didapatkan litofasies mudstone pada sumur HLM-053.


Terlihat kenampakan litologi mudstone, mud supported, terpilah buruk, visible porosity
kecil, tipe porositas berupa fracture yang tertutup.

3. Analisis Asosiasi Fasies

Penentuan asosiasi fasies didasarkan atas kesamaan ciri litologi yang berkembang
pada Formasi Baturaja ini. Asosiasi Fasies tersebut dibagi menjadi kedalam empat
asosiasi fasies yaitu : Mixed Coral-Skeletal Packestone-Rudstone, Platy Coral Floatstone-
Rudstone, Massive Coral Rudstone, dan Mudstone.

a. Asosiasi Fasies Mixed Coral-Skeletal Packestone-Rudstone

Pada asosiasi fasies ini dicirikan oleh beberapa litofasies, antara lain litofasies
Neomorphosed Bioclastic Packestone, Dolomotised Bioclastic Wackestone-Packestone, Dolomitised
Coral Floatstone-Rudstone, Dolomitised Intraclast Floatstone.

b. Asosiasi Fasies Platy Coral Floatstone-Rudstone

Pada asosiasi fasies ini dicirikan oleh beberapa litofasies, antara lain Argillaceous
Platy Coral Floatstone, Argillaceous Platy Coral Rudstone, Neomorphosed intraclast Rudstone,
Neomorphosed intraclast Floatstone-Rudstone, Algal Bindstone, dan Dolomitised Coral
Framestone.

c. Asosiasi Fasies Massive Coral Rudstone

Pada asosiasi fasies ini dicirkan oleh beberapa litofasies, antara lain Neomorphosed
Coralline Rudstone, Bioclastic Coralline Rudstone, dan Bioclastic Coralline Inraclast Rudstone.

d. Asosiasi Fasies Mudstone

Dicirikan dengan litofasies Mudstone

18
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A015UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

4. Analisis Lingkungan Pengendapan

Lingkungan pengendapan dari Formasi Baturaja ini dapat diinterpretasikan


berdasarkan asosiasi fasies yang ada yaitu berupa lingkungan Back Reef, Reef Front, dan
Fore Reef . Ketiga lingkungan pengendapan ini berdasarkan model James, 1983. Ciri
endapan lingkungan Back Reef yaitu terdapatnya Asosiasi Fasies Mixed Coral-Skeletal
Packestone-Rudstone dan Fasies Mudstone yang diendapkan dengan energi sedang -
rendah. Endapan Reef Front memiliki ciri endapan yaitu Asosiasi Fasies Platy Coral
Floatstone-Rudstone yang diendapkan dengan energi tinggi dan terendapkan pada
bidang miring (slope) hingga 15 derajat dan sistem pengendapan berupa gravitasional.
Endapan Fore Reef memiliki ciri endapan yaitu Asosiasi Fasies Massive Coral Rudstone.
(Gambar 4.16)

5. Analisis Lingkungan Diagenesis

Berdasarkan data sayatan petrografi Formasi Baturaja pada lima sumur telitian,
lingkungan diagenesis dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Analisis Lingkungan Diagenesis Karbonat Baturaja pada Sumur HLM-043

Berdasarkan parameter pengamatan sayatan tipis. Sumur HLM-043 termasuk kedalam


lingkungan Meteoric Zone pada bagian atas dan lingkungan Subsurface Zone pada bagian
bawah.

Lingkungan Diagenesis berupa Meteoric Zone dicirikan dengan banyaknya


kenampakkan disolusi seperti laminasi micrite dan porositas sekunder berupa vuggy.
Pada zona ini menunjukkan kenampakkan porositas berupa intragranular dan vuggy
dengan intensitas yang tinggi. Proses presipitasi yang tinggi menghasilkan dominan
neomorfisme pada bagian atas dan tengah. Pada sumur HLM-043, Meteoric Zone
terdapat pada kedalaman 809.379 – 845 mMD.

Lingkungan Diagenesis berupa Subsurface Zone dicirikan dengan adanya proses


kompaksi yang mengakibatkan terbentuknya stylolite-stylolite akibat pressure
overburden. Terbentuknya porositas berupa Intercrystalline diakibatkan adanya interaksi
yang tinggi antara fluida meteoric dengan fluida marine sehingga terjadi proses
rekristalisasi dari mineral-mineral karbonat. Akibat terbentuknya rekristalisasi dari
mineral-mineral karbonat yang tidak stabil berupa aragonite berubah menjadi mineral
yang stabil seperti dolomite. Subsurface Zone ini terdapat pada kedalaman 845 – 856
mMD.

b. Analisis Lingkungan Diagenesis Karbonat Baturaja pada Sumur HLM-053

Berdasarkan parameter pengamatan sayatan tipis, Sumur HLM-053 termasuk kedalam


lingkungan Meteoric Zone pada bagian atas dan lingkungan Subsurface Zone pada
bagian tengah dan bawah.

19
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A015UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Lingkungan Diagenesis berupa Meteoric Zone dicirikan dengan banyaknya


kenampakkan disolusi seperti laminasi micrite dan porositas sekunder berupa vuggy.
Pada zona ini diisi oleh mineral-mineral karbonat yag belum terubah seperti kalsit. Proses
disolusi yang tinggi mengakibatkan terbentuknya porositas sekunder. Meteoric Zone
terdapat pada kedalaman 809.379 – 823 mMD.

Lingkungan Diagenesis berupa Subsurface Zone dicirikan dengan adanya proses


kompaksi yang mengakibatkan terbentuknya stylolite-stylolite akibat pressure
overburden. Terbentuknya porositas berupa Intercrystalline diakibatkan adanya interaksi
yang tinggi antara fluida meteoric dengan fluida marine sehingga terjadi proses
rekristalisasi dari mineral-mineral karbonat. Proses yang paling mendominasi untuk
terbentuknya lingkungan Subsurface Zone pada Sumur HLM-053 ialah proses
penggantian mineral karbonat utama berupa kalsit menjadi dolomit, proses ini dapat
disebut dolomitisasi. Subsurface Zone ini terdapat pada kedalaman 823 – 855.5 mMD.

c. Analisis Lingkungan Diagenesis Karbonat Baturaja pada Sumur HLM-059

Berdasarkan parameter pengamatan sayatan tipis, Sumur HLM-059 termasuk kedalam


lingkungan Meteoric Zone pada kesuluruhan interval. Penciri lingkungan Meteoric Zone
banyak terdapat porositas sekunder akibat proses disolusi atau pelarutan yang mayoritas
membentuk porositas seperti vuggy, mouldic, intragranular, dan micro-fracture.
Pelarutan tersebut kemungkinan besar berasal dari mineral utama karbonat berupa kalsit.
Meteoric Zone terdapat pada kedalaman 804.894 – 854.5 mMD.

V. KESIMPULAN

1. Hasil Analisis Asosiasi Fasies, Formasi Baturaja Terbagi atas empat Asosiasi Fasies,
yaitu : Asosiasi Fasies Mixed Coral-Skeletal Packestone-Rudstone , dicirikan oleh
beberapa litofasies, antara lain litofasies Neomorphosed Bioclastic Packestone,
Dolomotised Bioclastic Wackestone-Packestone, Dolomitised Coral Floatstone-
Rudstone, Dolomitised Intraclast Floatstone. Asosiasi Fasies Platy Coral Floatstone-
Rudstone dicirikan oleh beberapa litofasies, antara lain Argillaceous Platy Coral
Floatstone, Argillaceous Platy Coral Rudstone, Neomorphosed intraclast Rudstone,
Neomorphosed intraclast Floatstone-Rudstone, Algal Bindstone, dan Dolomitised
Coral Framestone. Asosiasi Fasies Massive Coral Rudstone dicirkan oleh beberapa
litofasies, antara lain Neomorphosed Coralline Rudstone, Bioclastic Coralline
Rudstone, dan Bioclastic Coralline Inraclast Rudstone. Asosiasi Fasies Mudstone
dicirikan dengan litofasies Mudstone

2. Hasil Analisis Lingkungan Pengendapan Formasi Baturaja berupa Back Reef yaitu
terdapatnya Asosiasi Fasies Mixed Coral-Skeletal Packestone-Rudstone dan Fasies
Mudstone yang diendapkan dengan energi sedang - rendah. Endapan Reef Front

20
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A015UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

memiliki ciri endapan yaitu Asosiasi Fasies Platy Coral Floatstone-Rudstone yang
diendapkan dengan energi tinggi dan terendapkan pada bidang miring (slope) hingga
15 derajat dan sistem pengendapan berupa gravitasional. Endapan Fore Reef memiliki
ciri endapan yaitu Asosiasi Fasies Massive Coral Rudstone.

3. Hasil Analisis Lingkungan Diagenesis Formasi Baturaja berupa Lingkungan Meteoric


Zone , Marine Zone, dan Subsurface Zone

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan
nikmat sehat walafiat sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. PT
Pertamina EP sebagai lembaga yang menyediakan tempat bernaung dalam menjalankan
karya ilmiah ini. Mas Fahmi sebagai pembimbing saya di PT Pertamina EP dan Bapak Ir
Teguh Jatmiko, MT serta Bapak Ir. Bambang Triwibowo, MT selaku pembimbing saya di
kampus yang telah memberikan waktu dan tenaga sehingga karya ilmiah ini dapat
terselesaikan

DAFTAR PUSTAKA

Barber, A.J., Crow, M.J., dan Milsom, J.S. 2005. Sumatra : Geology, Resources and Tectonic

Evolution. Geology Society Memoir No.31, London: The Geological Society

Bishop, Michele G. 2000. South Sumatra Basin Province, Indonesia : The Lahat/Talangakar

Cenozoic Total Petroleum System: Colorado, U.S. Geological Survey, 22p.

de Coster, G. L., 1974, The geology of the Central and South Sumatra Basins: Proceedings
Indonesian Petroleum Association Third Annual Convention, June, 1974, p. 77-
110.

Dunham, R.J., 1962., Classification of Carbonate Rocks According To Depositional


Texture. Prosiding Association and the Society of Economic Paleotologists and
Mineralogists, hal. 108-121, Denver, Colorado.

Ginger, D. dan Fielding, K., 2005, The Petroleum Systems and Future Potential of South
Sumatra Basin, Proceeding, Indonesian Petroleum Assciation, Thirtieth Annual
Conventional & Exhibition

Heidrik, T.L., Aulia, K. 1993. A Structural and Tectonic Model of The Coastal Plains Block,
Central Sumatra Basin, Indonesia. Proceedings Indonesian Petroleum Association,
Twenty Second Annual Convention

21
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A015UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

James, P. A., et al., 1983, Reef Environtment. In: Carbonate Depositional Environtment,
The American Association of Petroleum Geologist Memoir 33, Tulsa, p. 345 – 462.

Koesoemadinata, R.P. 1978, Geologi Minyak dan Gas Bumi, Bandung:ITB

Nichols, Gary. 2009. Sedimentology and Stratigraphy 2nd Edition. UK: Willey-Blackwell

22
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A015UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3.1. Pembagian Cekungan Sumatra Selatan (Bishop et al, 2001)

23
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A015UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2.1. Diagram Alir Penelitian

24
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A015UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3.2. Stratigrafi Cekungan Sumatra Selatan (Ginger and FIeldings, 2005)

Gambar 4.1. Stratigrafi Daerah Penelitian (Penulis, 2019)

25
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A015UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4.2. Litofasies Bioclastic Wackestone

Gambar 4.3. Litofasies Neomorphosed Bioclastic Packestone

Gambar 4.4. litofasies Dolomitised Boclastic Wackestone-Packestone

26
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A015UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4.5. litofasies Dolomitised Intraclast Floatstone

Gambar 4.6. litofasies Argillaceous Platy Coral Floatstone

Gambar 4.7. litofasies Neomorphosed Intraclast Rudstone

27
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A015UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4.8. litofasies Argill. Platy Coral Rudstone

Gambar 4.9. litofasies Neomorphosed Coralline Rudstone

Gambar 4.10. litofasies Bioclastic Coralline Rudstone

28
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A015UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4.11. litofasies Bioclastic Coralline Intraclast Rudstone

Gambar 4.12. litofasies Neomorphosed Intraclast Floatstone-Rudstone

Gambar 4.13. litofasies Dolomitised Coral Floatstone-Rudstone

29
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A015UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4.14. litofasies Algal Bindstone

Gambar 4.15. litofasies Dolomitised Coral Framestone

Gambar 4.16. Interpretasi Lingkungan Pengendapan

30
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A022UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

MIKROFASIES DAN REKONSTRUKSI PALEOMIRE BATUBARA


SAWAHLUNTO, CEKUNGAN OMBILIN
Aulia Agus Patria1*, Ferian Anggara1
1Jalan Grafika No.2, Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada
*Corresponding Author: aulia.agus.patria@mail.ugm.ac.id

ABSTRAK. Cekungan Ombilin merupakan salah satu cekungan yang berada di Pulau Sumatera,
tepatnya di Provinsi Sumatera Barat. Cekungan Ombilin merupakan graben yang terletak di antara
Pegunungan Bukit Barisan bagian barat dan timur. Cekungan Ombilin dikenal sebagai salah satu
cekungan penghasil batubara di Sumatera, dengan formasi pembawa batubara di Cekungan
Ombilin adalah Formasi Sawahlunto yang berumur Eosen. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui mikrofasies dan merekonstruksi paleomire batubara menggunakan pendekatan
karakteristik maseral batubara. Daerah penelitian berada di dua titik yaitu Sawahluwung dan
Tahiti, Sawahlunto, Sumatera Barat. Pengambilan data menggunakan pengukuran stratigrafi
terukur (measured section) dengan pengambilan sampel batubara menggunakan sistem ply-by-ply,
sejumlah 14 ply dari dua seam batubara, yang digunakan untuk analisis petrografi organik dan
kandungan abu. Litotipe batubara pada daerah penelitian terdiri atas bright banded coal dan bright
coal. Dari analisis petrografi organik didapatkan kelimpahan maseral vitrinit (45,02%-62,18%),
maseral liptinite (20,91%-42,54%), maseral inertinit (11,62%-25,81%) dan mineral (0,8%-1%).
Dengan kadar abu (% wt dry basis) berkisar dari rentang 0,36%-11%. Berdasarkan hasil analisis
data, didapatkan bahwa batubara daerah penelitian tersusun atas tiga mikrofasies yaitu liptinite-
rich group pada bagian bawah, telovitrinite-rich group dan inertinite-rich group pada bagian atas. Tipe
mire yang berkembang ialah wet forest swamp pada lingkungan limnic dengan kondisi lingkungan
yang basah dan lembab dengan tingkat gelifikasi yang sedang hingga tinggi. Perkembangan mire
diawali dengan topogeneous mire, kemudian berubah menjadi ombrogeneous mire dan kembali
menjadi topogeneous mire.

Kata kunci: Batubara, Mikrofasies, Paleomire, Formasi Sawahlunto

I. PENDAHULUAN

Batubara merupakan salah satu sumber daya energi yang masih menjadi
komoditas utama Indonesia (Perpres RI No. 22 Tahun 2017). Indonesia memiliki
cadangan batubara sebesar 24.239,66 juta ton (Handbook of Energy & Economic Statistic
of Indonesia, 2018). Sebagian besar pemanfaatan batubara digunakan sebagai pembangkit
listrik tenaga uap, industri semen dan industri pengecoran logam.

Besarnya cadangan batubara yang dimiliki oleh Indonesia serta pemenuhan


kebutuhan akan sumberdaya batubara perlu diimbangi dengan adanya peningkaytan
kegiatan eksplorasi batubara di Indonesia. Dalam melakukan kegiatan eksplorasi dan
eksploitasi batubara dibutuhkan parameter mengenai kualitas dan karakteristik batubara
itu sendiri. Penelitian mengenai hubungan antara kualitas dan karakteristik batubara di

31
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A022UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Indonesia perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengingat luasnya cekungan penghasil
batubara di Indonesia dengan keragaman kondisi geologinya.

Karakteristik batubara dipengaruhi oleh perbedaan material tumbuhan asal,


peringkat batubara dan kadar pengotor (Ward, 1984). Kualitas batubara merupakan
parameter kimiawi dan fisika yang berpengaruh terhadap pemanfaatan batubara itu
sendiri (Thomas, 2013). Kedua hal tersebut sangat dipengaruhi oleh proses pembentukan
batubara, yang meliputi kondisi lingkungan pengendapan, mire, tipe vegetasi penyusun
dan lain-lain

Studi yang dapat menunjang dalam mengkaji karakteristik dan kualitas batubara
ialah studi mikrofasies dan rekonstruksi paleomire. Studi mikrofasies merupakan studi
mengenai pengelompokkan kelimpahan maseral dan mineral pada batubara, untuk dapat
mengetahui kondisi mire, tipe vegetasi dan lingkungan mire. Rekonstruksi paleomire
dapat digunakan untuk menginterpretasikan tipe gambut asal, perkembangan keadaan
mire dahulu saat batubara terbentuk (Esterle dan Ferm, 1994).

Cekungan Ombilin merupakan salah satu cekungan penghasil batubara dengan


cadangan 555,80 juta ton (Handbook of Energy & Economic Statistic of Indonesia, 2018).
Aktivitas pertambangan batubara di Cekungan Ombilin dimulai sejak akhir Abad ke-19
hingga sekarang. Penelitian lebih lanjut mengenai mikrofasies dan rekonstruksi
paleomire untuk mengetahui karakteristik tipe material tumbuhan asal dan kondisi
geologi saat pembentukan batubara pada Cekungan Ombilin perlu untuk dilakukan.

II. GEOLOGI REGIONAL

Cekungan Ombilin terletak pada busur magmatik, busur magmatik ini


didominasi juga oleh Zona Sesar Semangko atau Sumatra Strike-Slip Fault Zone (Gambar
1a). Geometri Cekungan Ombilin memanjang dengan arah NW-SE, dengan batas sesar
Sitangkai yang berarah NW-SE di bagian utara dan sesar Silungkang dengan arah NW-SE
di bagian selatan, yang keduanya sama dengan keadaan tektonik saat ini. Husein (2018),
pembentukan Cekungan Ombilin diduga terkait dengan tektonika sesar geser Oroklin
Sunda selama Paleogen akibat adanya rotasi Paparan Sunda searah jarum jam didalam
merespon kolisi India terhadap Eurasia (Gambar 1b).

Batubara pada Cekungan Ombilin dibawa oleh Formasi Sawahlunto. Formasi ini
ditambang dan tersingkap di bagian barat cekungan, tepatnya di daerah Sawahlunto dan
Parambahan. Formasi Sawahlunto berumur Eosen Akhir hingga Oligosen Awal dan
terendapkan secara tidak selaras dengan Formasi Sangkarewang dan batuan
dibawahnya. Pengeboran yang dilakukan oleh JICA (1979) mendapatkan umur formasi
ini berumur Paleosen berdasarkan fosil Proxapertitea operculatus. Whateley dan Jordan
(1987), formasi ini berupa sikuen yang bersifat menghalus keatas pada lingkunga dataran

32
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A022UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

banjir yang membentuk mire. Noeradi, dkk (2005) menyatakan bahwa Formasi
Sawahlunto terendapkan pada lingkungan rawa hingga sungai berkelok (meandering),
secara tidak selaras oleh Formasi Brani pada stratigrafi yang lebih tua, dan Formasi
Sawahtambang pada unit yang lebih muda (Gambar 2).

III. METODE PENELITIAN

Pengambilan data lapangan dilakukan di daerah Sawahlunto, tepatnya pada PT.


Bukit Asam Unit Pertambangan Ombilin untuk seam A dan CV. Tahiti Coal untuk seam
B. Dilakukan pengukuran stratigrafi pada tiap titik penelitian dan dihasilkan 14 sampel
batubara yang diambil menggunakan metode ply by ply sampling. Sampel kemudian
dipreparasi untuk dilakukan analisis sayatan poles dan analisis proksimat.

Petrografi batubara dilakukan menggunakan standar ASTM D2799-05a, 2005 dan


klasifikasi maseral menggunakan ICCP System 1994 (ICCP, 2001; Syrokova dkk., 2005;
Pickel dkk., 2017). Analisis proksimat dilakukan menggunakan standar ASTM D3174
(2005) untuk kadar abu.

IV. HASIL

1. Litotipe Batubara

Secara umum litotipe penyusun batubara Cekungan Ombilin didominasi oleh


bright banded coal, dijumpai pula bright coal dengan ketebalan yang bervariasi (Gambar
2b). Pada batubara seam A terpisahkan oleh dua lapisan parting dengan tebal 5-10 cm,
sedangkan pada seam B terdapat tiga parting dengan ketebalan yang bervariasi dari
30cm-100cm.

Pada seam A di daerah Sawahluwung, pada bagian bawa seam tersusun atas
bright coal dan secara vertikal berubah menjadi bright banded coal dengan sisipan bright
coal diantara parting. Secara megaskopis batubara pada seam A terdapat mineral oksida
besi (Fe-Ox) berwarna merah membentuk nodul-nodul dan kaya akan sulfur di bagian
atas seam.

Pada seam B, didominasi oleh bright banded coal, dan umum dijumpai bright coal
diatas floor batubara. Secara megaskopis batubara pada seam B mengandung banyak
mineral lempung dari pada seam A, karena pada seam B merupakan open cut mining
sehingga sudah terekspos secara intensif, sedangkan pada seam A merupakan
underground mining.

2. Komposisi Maseral

33
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A022UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Dari analisis petrografi organik didapatkan kelimpahan maseral vitrinit (45,02%-


62,18%), maseral liptinite (20,91%-42,54%), maseral inertinit (11,62%-25,81%) dan mineral
(0,8%-1%). Mineral penyusun batubara pada daerah penelitian didominasi oleh mineral
lempung, pirit dan dijumpai dalam kandungan minor berupa Fe-Ox (Gambar 3.). Tabel 1
menunjukkan komposisi maseral pada tiap seam.

Kelompok maseral vitrinite, didominasi oleh subkelompok telovitrinite. Pada


seam A memiliki rata-rata telovitrinite 34,5%, rata-rata lebih tinggi ditunjukkan oleh seam
B dengan 39,2%. Komposisi antara detrovitrinite pada kedua seam memiliki nilai rerata
yang relatif sama yaitu 9,12% pada seam A, 9,06% pada seam B. Hal yang sama juga
didapatkan pada maseral subkelompok gelovitrinite dengan rata-rata 5,47% pada seam A
dan 5,75% pada seam B.

Kelompok maseral liptinite lebih banyak dijumpai pada seam A (32,46%) dan
seam B (30,72%). Maseral liptinite umumnya hadir didominasi oleh cutinite, sporinite,
suberinite, resinite, liptodetrinite dan exsudatinite. Pada beberapa sampel juga dijumpai
alginite secara minor.

Kelompok maseral inertinit memiliki komposisi yang lebih sedikit didandingkan


dengan dua kelompok maseral lainnya. Dengan rerata pada seam A (17,20%) dan pada
seam B (15,25%). Maseral inertinit umum dijumpai dalam bentuk funginite, semifusinite
dan fusinite.

3. Komposisi Mineral dan Kadar Abu

Komposisi mineral penyusun batubara relatif rendah, dengan kandungan


tertinggi pada sampel TB-6 dengan 2 vol.% dari rata-rata 0,75% pada seam A dan 1,51%
pada seam B, yang didominasi oleh mineral pirit dan mineral lempung. Mineral pirit
hadir dalam bentuk kristal euhedral dan juga framboidal pyrite yang berbentuk seperti
konkresi yang biasa berasosiasi dengan liptinite atau telovitrinite.

Kadar abu pada batubara daerah penelitian memiliki kadar yang bervariasi
namun secara umum memiliki kadar yang kurang dari 5%, pada sampel TB-1 kadar abu
mencapai 11,56%. Kadar abu yang tinggi umum dijumpai pada batubara yang terletak
pada bagian bawah atau pada bagian atas seam.

4. Mikrofasies Batubara

Komposisi hasil analisis petrografi organik kemudian digunakan untuk


mengklasifikasikan mikrofasies guna menginterpretasikan kondisi lingkungan saat prose
pembatubaraan berlangsung. Persentase dari tiga kelompok maseral yaitu vitrinite,
liptinite dan inertinite diplot ke dalam ternary diagrams untuk kedua seam (gambar 4
dan 5), dan didapatkan tiga mikrofasies yang berkembang di daerah penelitian.

34
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A022UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Mikrofasies (I) merupakan kelompok maseral dengan kelimpahan maseral vitrinit


lebih dari 55% vol, liptinite kurang dari 25% dan inertinit kurang dari 20%. Sampel yang
termasuk kedalam mikrofasies ini adalah SA-5 dan SA-6

Mikrofasies (II) dengan kelimpahan maseral inertinit lebih dari 25%, maseral
vitrinite kurang dari 55% dan maseral liptinite kurang dari 25%. Sampel yang tergolong
kedalam kelompok ini adalah TB-8.

Mikrofasies (III) dengan ketentuan kelimpahan maseral liptinite lebih dari 25%,
maseral inertinit kurang dari 25% dan maseral vitrinite kurang dari 55%. Sampel yang
termasuk dalam kelompok ini adalah SA-1, SA-2, SA-3, SA-4, TB-1, TB-2, TB-3, TB-4, TB-
5, TB-6 dan TB-7.

Berdasarkan asosiasi kelimpahan maseral penyusun baubara bukan dalam bentuk


basis mmf (mineral matter free), dari pembagian mikrofasies dapat digolongkan lagi
menhadi beberapa kelompok. Pada batubara daerah penelitian didapatkan tiga
kelompok. Hal ini didasarkan pada kecenderungan kelimpahan suatu kelompok ataupun
subkelompok maseral tertentu.

Pertama, telovitrinite-rich group, memiliki kelimpahan maseral telovitrinite lebih


dari 45% vol, detrovitrinit tidak lebih dari 7%, liptinite kurang dari 25% dan inertinite
kurang dari 25%. Kedua yaitu inertinite-rich group, memiliki kelimpahan inertinit lebih
dari 25%, liptinite kurang dari 25%, telovitrinite kurang dari 45%, detrovitrinite tidak
lebih dari 10%.

Ketiga yaitu liptinite-rich group, dengan kelimpahan maseral liptinite lebih dari
25%, inertinite kurang dari 20%, telovitrinite kurang dari 45% dan detrovitrinite tidak
kurang dari 5%. Pembagian kelompok ini dapat dilihat pada Tabel 2.

5. Data TPI vs GI

Perhitungan nilai TPI dan GI menggunakan perhitungan milik Amijaya dan Littke
(2005) karena batubara pada daerah penelitian merupakan batubara tersier. Perhitungan
juga dimodifikasi mengingat maseral yang digunakan merupakan kelompok maseral
vitrinite.

Dari hasil perhitungan kemudian di plot dalam grafik yang dimodifikasi oleh
Lamberson dkk., (1991) dan didapatkan hasil nilai TPI berkisar antara 2,48-3,30 pada
seam A dan 2,11-3,30 pada seam B, nilai GI antara 2,00-2,59 untuk seam A dan 3,09-3,93
pada seam B.

35
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A022UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

V. DISKUSI

1. Mikrofasies Batubara pada Perkembangan Paleomire

Berdasarkan data hasil analisis serta peneliti terdahulu oleh Esterle dan Ferm
(1994) dan Amijaya dan Littke (2005) didapatkan hasil bahwa rekonstruksi paleomire
batubara daerah penelitian dapat dibagi menjadi dua bagian secara umum, yaitu bagian
bawah dan bagian atas. Pembagian ini didasarkan pada lelimpahan kelompok atau
subkelompok maseral tertentu pada tiap lapisan pada seam A dan seam B.
penggambaran lebih detail secara suksesi vertikal yang dilengkapi dengan kelimpahan
maseral, mineral kadar abu dan perkembangan paleomire dapat dilihat pada profile
section (Gambar 7.).

- Bagian Bawah Seam

Bagian bawah seam daerah penelitian secara umum didominasi oleh liptinite-rich
group, dimana memiliki karakteristik maseral liptinite lebih dari 25%, inertinite kurang
dari 20%, telovitrinite kurang dari 45%. Kandungan maseral liptinit yang dominan
dibandingkan dengan lapisan yang lain mengindikasikan vegetasi yang dominan masih
tumbuhan berkayu, namun dominasi tumbuhan perdu paling banyak saat di bagian ini.
Hal ini dilihat dari kelimpahan maseral kutinit, suberinit, sporinite, resinite dan
exsudatinit paling besar pada bagian bawah seam.

Berdasarkan nilai kadar abunya pada bagian bawah seam yang mengalami kontak
dengan floor, didapatkan nilai kadar abu yang tinggi, sehingga diinterpretasikan tipe
mire yang berkembang ialah topogeneous mire. Bagian ini menyusun semua seam pada
bagian bawah (basal section) dan secara gradual vertikal berkurang mengindikasikan
perubahan tipe mire menjadi ombrogeneous mire.

- Bagian Atas

Bagian atas seam batubara daerah penelitian didominasi oleh inertinite-rich group
dan telovitrinite-rich group. Inertinite-rich group, memiliki karakteristik kelimpahan
inertinit lebih dari 25%, liptinite kurang dari 25%, telovitrinite kurang dari 45%.
Mikrofasies ini hanya berkembang pada seam A saja. Tingginya kelimpahan maseral
inertinit mengindikasikan kondisi mire yang mengalami pembakaran pada jaringan
tumbuhan (charrified tissue) akibat perubahan kondisi lembab menjadi kondisi yang
lebih kering.

Telovitrinite-rich group, memiliki kelimpahan maseral telovitrinite lebih dari 45%


vol, liptinite kurang dari 25% dan inertinite kurang dari 25%. Kelompok ini
mengindikasikan jenis vegetasi yang paling dominan adalah tumbuhan berkayu. Selain
tipe vegetasinya, tingkat preservasi jaringan tumbuhan pada kelompok ini sangat tinggi
sehingga menghasilkan lebih banyak structured vitrinite daripada degraded vitrinite.

36
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A022UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Mikrofasies ini hanya berkembang pada seam B saja. Proses yang terjadi ialah penebalan
gambut secara cepat sehingga terhindar dari proses microbial attack.

Kondisi lingkungan yang lembab diiringi dengan muka air naik secara perlahan
dan konstan mengikuti posisi permukaan deposit gambut. Rendahnya nilai kadar abu
pada TB-5 mengindikasikan perubahan mire menjadi ombrogeneous mire sehingga
nutrisi tidak hanya berasal dari air tanah tetapi juga oleh air hujan, sedangkan pada TB-6
terdapat parting yang memisahkan antar lapisan yang membuat kadar abu semakin
tinggi dapat diinterpretasikan perubahan mire menjadi topogeneous mire akibat
masuknya material sedimen ke dalam mire.

2. Analisis TPI dan GI

Rekonstruksi paleomire batubara pada suksesi vertikal dapat dilihat pada


(Gambar 7.). Rekonstruksi paleomire dibangun berdasarkan integrasi data mikrofasies
batubara, kadar abu, serta analisis TPI dan GI. Dari data nilai TPI dan GI kemudian diplot
dalam diagram TPI vs GI, sehingga dapat diketahui hubungan untuk menginterpretasi
kondisi mire (Gambar 8.)

Nilai TPI batubara daerah penelitian secara umum menggambarkan nilai yang
cukup tinggi. Hal ini mengindikasikan tipe vegetasi yang dominan adalah tumbuhan
berkayu dengan tingkat preservasi yang baik, sehingga didominasi oleh subkelompok
maseral telovitrinite. Kondisi ini mencerminkan penebalan gambut secara cepat dengan
kondisi basah dan lembab sehingga mendukung preservasi jaringan tumbuhan secara
baik.

Nilai GI batubara daerah penelitian memiliki nilai yang sedang, sehingga secara
umum kondisi lingkungannya berada pada kondisi lembab dan basah.proses gelifikasi
membutuhkan kondisi lembab dan basah serta deposit gambut tergenang secara
kontinyu, sehingga terhindar dari proses oksidasi maupun pembakaran pada kondisi
yang kering. Terdapat anomali pada SA-8, dimana nilai GI yang rendah daripada sampel
lain yaitu 2,00%. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan nilai maseral semifusinite dan
funginite. Implikasi dari rendahnya nilai GI mengindikasikan proses penggambutan yang
mengalami oksidasi yang lebih intensif daripada batubara maupun seam lainnya.

Hubungan antara nilai TPI dan GI menggambarkan tipe endapan gambut daerah
penlitian pada daerah wet forest swamp dengan lingkungan gambut pada daerah limnic.
Wet forest swamp adalah mire yang memiliki karakteristik kondisi basah dan lembab,
muka airnya selalu tergenang dan tumbuhan penusunnya berupa tumbuhan berkayu
(McCabe, 1987; dalam Diessel, 1992).

37
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A022UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

3. Rekonstruksi Paleomire

Dari integrasi data-data diatas dapat digunakan untuk merekonstruksi paleomire


batubara daerah penelitian. Secara umum, perkembangan paleomire pada kedua seam
memiliki tahapan yang serupa, namun pada seam A terdapat tahap oksidasi yang lebih
intensif daripada seam B. Ilustrasi rekonstruksi paleomire dapat dilihat pada Gambar 9.
dan Gambar 10.

Pembentukan seam A secara keseluruhan berda pada kondisi gambut wet forest
swamp. Proses ini diawali dengan inisiasi mire dengan tipe topogeneous mire, dengan
tipe vegetasi dominan tumbuhan berkayu dengan tumbuhan perdu yang cukup dominan
juga, tahap ini diilustrasikan pada bagian A. selanjutnya topogeneous mire berubah
menjadi ombrogeneous mire, dapat dilihat dari nilai kadar abu yang rendah (bagian B).
Kemudian, terjadi perubahan kembali domed peat menjadi sedikit ke arah yang lebih
planar peat (bagian C). Tahap berikutnya planar peat berubah kembali menjadi sedikit
lebih domed peat, akibat berkurangnya kadar abu (bagian D). Tahap terakhir
pembentukan mire pada seam A mengalami oksidasi yang intensif sehingga terdapat
pengayaan maseral inertinit, disertai perubahan perubahan tipe mire dari ombrogeneous
mire menjadi topogeneous mire. Ilustrasi lengkap mengenai rekonstruksi paleomire pada
seam A dapat dilihat pada (Gambar 9.).

Awal pembentukan seam B diawali dengan keadaan inisiasi mire dengan tipe
topogeneous mire dengan kondisi wet forest swamp, dengan tipe vegetasi yang dominan
tumbuhan berkayu dengan kandungan tumbuhan perdu yang dominan daripada bagian
atas (bagian A). Tahap berikutnya terjadi perubahan topogeneous mire menjadi
ombrogeneous mire, dilihat dari menurunnya kadar abu (bagian B). Tahap akhir
perubahan yang terjadi perubahan dari ombrogeneous mire menjadi topogeneous mire.
Kelimpahan maseral telovitrinite penyusun bagian atas seam menunjukkan dominasi
vegetasi tersusun atas tumbuhan berkayu dan berkurangnya material tumbuhan perdu
(bagian C). Ilustrasi lengkap mengenai rekonstruksi paleomire pada seam A dapat dilihat
pada (Gambar 10.).

VI. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada batubara daerah


penelitian, dapat disimpulkan bahwa :

1. Karakteristik batubara daerah penelitian menunjukkan dominasi kelompok vitrinite


dengan mikrofasies berupa liptinite-rich group pada bagian bawah, inertinite-rich
group dan telovitrinite-rich group pada bagian atas.

38
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A022UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

2. Paleomire batubara daerah penelitian terendapkan pada tipe wet forest swamp pada
lingkungan limnic dengan kondisi lingkungan yang basah, tingkat gelifikasi sedang,
dengan tingkat preservasi tumbuhan yang baik. Perkembangan paleomire secara
umum pada kedua seam memiliki tahapan yang serupa, yaitu diawali oleh
topogeneous mire menjadi ombrogeneos mire dan kembali lagi menjadi topogeneous
mire, namun pada seam A terdapat tahap oksidasi yang lebih intensif dan tidak terjadi
pada seam B.

ACKNOWLEDGEMENT

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu


dalam proses penyelesaian riset ini. Kami ucapkan terima kasih penulis haturkan kepada
Departemen Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada yang telah memberikan bantuan
Dana Hibah Penelitian dan sarana prasarana untuk menyelesaikan penelitian ini. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada Agung Rizki Perdana dan Aya Shika Bangun
yang telah membantu selama penulisan penelitian ini. Tidak lupa kami juga
mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu penyelesaian
penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Amijaya, H., dan Littke, R., 2005. Microfacies and depositional environment of Tertiary
Tanjung Enim low rank batubara, South Sumatra Basin, Indonesia. International
Journal of Coal Geology, 61(3–4), 197–221.

Darman, H., Sidi, F.H., 2000. An outline of the geology of Indonesia.Indonesian


Association of Geologists, Jakarta. 254 pp.

Diessel, C.F.K., 1986, On the correlation between coal facies and depositional
environments: Proceeding of 20th Symposium of Department of Geology,
University Newcastle, NSW, p. 19– 22.

Diessel, C.F.K., 1992. Coal-bearing Depositional Systems. Springer Verlag, Berlin. 721 pp.
Esterle, J.S., Ferm, J.C., 1994. Spatial variability in modern tropical peat deposits
from Sarawak, Malaysia and Sumatra, Indonesia: analogues for coal.
International Journal of Coal Geology 26, 1 –41.

Esterle, J.S., Ferm, J.C., Yiu-Liong, T., 1989. A test for the analogy of tropical domed peat
deposits to dulling up sequences in coal beds—preliminary results. Organic
Geochemistry 14, 333– 342.

39
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A022UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

International Committee for Coal and Organic Petrology, 2001. The new inertinite
classification (ICCP System 1994). Fuel 80, 459– 471.

Husein, S. dkk (2018). Perspektif Baru Dalam Evolusi Cekungan Ombilin Sumatera Barat
Proceedings Pekan Ilmiah Tahunan IAGI 2018, 4 pp (in press).

Lamberson, M. N., Bustin, R.M., Kalkreuth, W., 1991. Lithotype (maceral) composition
and variation as correlated with paleowetland environments, Gates Formations,
Northeastern British Columbia, Canada. International Journal of Coal Geology
87–124.

Noeradi, D., Djuhaeni, and Simanjuntak, B. (2005) Rift Play in Ombilin Basin Outcrop,
West Sumatra. Proceedings of the 30th Annual Convention Indonesian
Petroleum Association, IPA05-G-160, 39-51.

Peraturan Mentri Energi Dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 19 Tahun
2017 Tentang Pemanfaatan Batubara Untuk Pembangkit Listrik Dan Pembelian
Kelebihan Tenaga Listrik (Excess Power). Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2017 Tentang Rencana Umum Energi Nasional.

Situmorang, B., Yulihanto, B., Guntur, A., Himawan, R., Jacob, T.G. (1991) Structural
Development of the Ombilin Basin West Sumatra. Proceedings of the 20th
Annual Convention Indonesian Petroleum Association, 1-15.

Speight, J. G., 2012. The Chemistry and Technology of Coal, Third Edition. CRC Press.

Stach, E., M. Th Mackowsy., M Teichmuller, dkk., 1982. Coal Petrology 3rd ed: Gebruder
Borntaeger, Berlin.

Sykorova, I., Pickel, W., Christanis, K., Wolf, M., Taylor, G.H., and Flores, D., 2005,
Classification of Huminitee-ICCP System 1994, International Journal of Coal
Geology 62 (2005), p. 85– 106.

Thomas, I., 2002. Coal Geology. John Wiley dan & Sons, LTD, England.

Taylor, G.H., Teichmuller, M., Davis, A., dan Diessel, C.F.K., 1998. Organic Petrology A
new hanbook Incorporating Some Revised Parts of Stach’s Textbook Of Coal
Petrology, Berlin: Grebuder Borntraeger. P. 685

van Krevelen, D. W., 1993. Batubara: Typology - Chemistry - Physics - Constitution, 3rd
ed. Elsevier, The Netherlands. Walker, R.G. 1984. Facies Model 2nd Edition.
Geological Society of Canada. Geoscience Canada, Reprint Series 1,317p.

Ward, C. R., 1984. Coal geology and Coal technology. Blackwell Scientific Publications.
Whateley, M.K.G. and G. R. Jordan, G.R. (1989) Fan-delta-lacustrine
sedimentation and coal development in the Tertiary Ombilin Basin, W Sumatra,

40
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A022UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Indonesia. In: Whateley, M. K. G. and Pickering, K. T. (eds), Deltas: Sites and


Traps for Fossil Fuels, Geological Society Special Publication, 41, 317-332.

TABEL

Tabel 1. Komposisi hasil analisis petrograsi, kadar abu, nilai TPI dan GI pada Batubara
Cekungan Ombilin.

Tabel 2. Pembagian mikrofasies batubara dan kelimpahan maseral batubara daerah


penelitian

Mikrofasies* Kelimpahan maseral**

Fasies (I), maseral vitrinit lebih dari 55% Telovitrinite-rich group : memiliki

vol, liptinite kurang dari 25% dan inertinit kelimpahan maseral telovitrinite lebih dari

kurang dari 20% 45% vol, liptinite kurang dari 25% dan

inertinite kurang dari 25%.

Fasies (II), maseral inertinit lebih dari 25%, Inertinite-rich group : memiliki kelimpahan

maseral vitrinite kurang dari 55% dan inertinit lebih dari 25%, liptinite kurang dari

maseral liptinite kurang dari 25%. 25%, telovitrinite kurang dari 45%.

Fasies (III), maseral liptinite lebih dari 25%, Liptinite-rich group : dengan kelimpahan

41
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A022UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

maseral inertinit kurang dari 25% dan maseral liptinite lebih dari 25%, inertinite

maseral vitrinite kurang dari 55%. kurang dari 20%, telovitrinite kurang dari

45%

GAMBAR

Gambar 1. (A) Tatanan tektonik regional Pulau Sumatera, serta lokasi Cekungan Ombilin sebagai
daerah penelitian (Darman dan Sidi, 2000) dan (B) Mekanisme pembentukan Cekungan Ombilin
serta hubungan struktural antara struktur Oroklin Sunda (garis merah putus-putus) dan Sistem
Sesar Sumatra (garis kuning tegas) (Husein, 2018)

Gambar 2. (A) Kolom stratigrafi regional Cekungan Ombilin, kotak merah merupakan formasi
yang menjadi fokus penelitian (Noeradi dkk, 2005 dengan modifikasi) (B) Kolom pengukuran
stratigrafi terukur daerah penelitian Seam A dengan kode sampel SA, dan Seam B dengan kode
sampel TB

42
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A022UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Kenampakan maseral pada batubara di daerah penelitian (A-E) white light, (F-I)
fluoroescence

43
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A022UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Mikrofasies pada seam A berdasarkan kelimpahan kelompok maseral (mmf).

Gambar 5. Mikrofasies pada seam B berdasarkan kelimpahan kelompok maseral (mmf)

44
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A022UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 6. Rumus Perhitungan TPI dan GI (Diessel, 1965; Lamberson, 1991; Amijaya dan Littke,
2005; dengan modifikasi)

Gambar 7. Profile sectionbatubara yang memperlihatkan kelimpahan maseral, mineral, kadar abu
dan perkembangan paleomire batubara daerah penelitian

45
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A022UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

46
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A024UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

PENGARUH INSTRUSI TERHADAP KANDUNGAN GRAFIT DI BATUBARA


TAMBANG AIR LAYA WILAYAH PERTAMBANGAN PTBA TANJUNG
ENIM, SUMATRA SELATAN
Arsha Maulana1*, Aulia Agus Patria1, Ferian Anggara2
1Program Studi S1 Teknik Geologi, Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
2Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
*Corresponding Author: arsha.maulana@mail.ugm.ac.id

ABSTRAK. Grafit dapat diaplikasikan dalam berbagai macam kegunaan misal sebagai material
tahan panas, baterai, elektroda dan pelumas sehingga pemenuhan material grafit sangat penting.
Grafit dapat berbentuk (1) microcrystalline; (2) vein graphite; maupun (3) crystalline flake
graphite. Grafit alami dapat terbentuk melalui dua proses, yaitu: (1) metamorfisme insitu dari
suatu material organik melalui proses grafitisasi (syngenetic graphite) dan (2) Presipitasi dari
fluida C-O-H (epigenetic graphite). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan grafit di
batubara Tambang Air Laya wilayah pertambangan PTBA Tanjung Enim. Sampel batubara yang
diambil pada penelitian ini mengalami peningkatan peringkat batubara sampai dengan
semiantrasit – antrasit yang disebabkan oleh adanya intrusi. Empat sampel batubara dari empat
seam dengan jarak berbeda-beda terhadap intrusi dianalisis dengan menggunakan X-Ray
Diffractometry (XRD) dan Total Organic Content (TOC), Residual Oxidizable Carbon (ROC) serta
Total Inorganic Carbon (TIC) dengan menggunakan Elementar Soli TOC® cube. Hasil penelitian
berupa pengaruh intrusi terhadap kandungan grafit pada batubara Tambang Air Laya akan
disampaikan lebih lanjut dalam makalah lengkap yang akan dimasukkan selanjutnya.

Kata kunci: Batubara, Intrusi, Kandungan Grafit, Tambang Air Laya, PTBA

I. PENDAHULUAN

Pengaruh intrusi batuan beku pada deposit batubara umum terjadi dan dapat
mengubah kenampakan atau sifat petrografi maupun komposisi kimia batubara secara
signifikan (Kisch and Taylor, 1966; Rimmer et al., 2009; 2015; Stewart et al., 2005, Amijaya
dan Littke, 2006). Selain mengubah karakteristik dan geokimia batubara, proses intrusi
batuan beku juga dapat menginisiasi proses grafitisasi.

Proses grafitisasi dalam batubara dimulai pada proses peringkat semi-antrasit dan
terus berlanjut hingga peringkat antrasit dan meta-antrasit, kemudian mengarah ke semi-
grafit hingga akhirnya menjadi grafit (Levine, 1993; Taylor et al., 1998).

Proses grafitisasi yang berasosiasi dengan intrusi batuan beku belum banyak
dilakukan penelitian sebelumnya. Hal ini terjadi karena proses grafitisasi dari batubara
menjadi grafit masih sulit untuk dipahami dan hanya terjadi pada deposit batubara
tertentu di seluruh dunia (Bustin et al., 1995). Salah satu keterdapatan grafit pada

47
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A024UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

tambang batubara terintrusi yang komersial berada di Provinsi Hunan dan Jilin, China
(Shen et al.,2015; Zheng et al., 1996).

Indonesia merupakan salah satu negara penghasil batubara dunia. Sebagian besar
deposit batubara berlokasi di Kalimantan Timur (35,5%) dan Sumatera Selatan (32,2%).
Peringkat batubara Indonesia didominasi oleh peringkat lignit-subbituminous (60%) dan
hanya 1% batubara Indonesia dengan peringkat antrasit (Dirjen ESDM, 2000).

Lapangan Tambang Air Laya memiiliki batubara dengan peringkat semi-antrasit


hingga antrasit. Kenaikan peringkat batubara pada tambang ini diakibatkan oleh intrusi
batuan beku yang bersifat lokal (Amijaya dan Littke, 2006; Anggara, 2016).

Penelitian mengenai karakteristik serta hubungan antara intrusi batuan beku


dengan batubara di Cekungan Sumatera Selatan terhadap proses grafitisasi serta potensi
keterdapatan grafit belum pernah dilakukan sebelumnya. Hal tersebut menjadi menarik
untuk mengetahui potensi lain pada tambang batubara di Cekungan Sumatera Selatan.

II. GEOLOGI REGIONAL

Tambang Air Laya terletak pada cekungan Sumatera Selatan (Gambar 1) yang
terbentuk ketika berlangsungnya ekstensi yang berarah Timur-Barat pada Pre-Tersier dan
Tersier Awal (Daly, dkk., 1987). Tambang Air Laya memiliki tiga seam ekonomis yaitu
Mangus (A), Suban (B) dan Petai (C). Batubara pada penelitian ini terletak pada Formasi
Muara Enim yang terendapkan pada Miosen Akhir - Pliosen Awal. Formasi Muara Enim
tersusun atas batulempung dan batulanau dengan perlapisan batupasir dan perlapisan
batubara.

Intrusi pada Tambang Air Laya merupakan manifestasi vulkanisme yang diasumsikan
berumur Pleistosen – Resen (Gafoer dkk, 1986; Darman dan Sidi, 2000), menyebabkan
metamorfisme lokal sehingga terjadi peningkatan peringkat batubara sampai dengan
semiantrasit – antrasit. Terdapat tiga tubuh intrusi batuan beku pada daerah tambang
batubara yaitu Bukit Asam dyke, Suban sill dan kerucut parasitic di bagian barat Air
Laya dome (Pujobroto dan Hutton, 2000)

III. SAMPEL DAN METODOLOGI PENELITIAN

Pengambilan data lapangan dilakukan di daerah Tanjung Enim, tepatnya pada


Tambang Air Laya milik PT. Bukit Asam (Gambar 2) pada seam A1, A2, B1 dan B2.
Dilakukan pengambilan sampel secara grab sampling pada batubara yang kontak dengan

48
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A024UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

intrusi pada daerah Tambang Air Laya dan dihasilkan enam sampel batubara untuk
dianalisis lebih lanjut.

Enam sampel batubara kemudian dilakukan analisis petrografi organik, XRD dan
kandungan karbon. Petrografi batubara dilakukan menggunakan standar ASTM D2799-
05a, 2005 dan klasifikasi maseral menggunakan ICCP System 1994 (ICCP, 2001; Syrokova
dkk., 2005; Pickel dkk., 2017). Analisis XRD dilakukan dengan metode bulk mengacu
pada standar United States Geological Survey (USGS). Kandungan karbon pada batubara
dilakukan analisis TOC dan TIC menggunakan Elementar Soli TOC.

IV. HASIL PENELITIAN

1. Petrografi Organik

Dari analisis petrografi organik didapatkan kelimpahan maseral vitrinit (85,8%-93,3%%),


maseral liptinite (0,7-1,2%), maseral inertinit (1,9%-5,3%%) dan mineral (1,1-2,7%%).
Mineral penyusun batubara pada daerah penelitian didominasi oleh mineral lempung,
pirit dan dijumpai dalam kandungan minor berupa Fe-Ox (Gambar 3). Tabel 1
menunjukkan komposisi maseral pada tiap seam.

2. Data XRD

Sampel yang dianalisis dengan metode bulk menghasilkan mineralogi batubara yang
dianalisis (Gambar 3). Penentuan kandungan mineralogy pada batubara lebih bersifat
kualitatif, hal ini lebih dikarenakan kandungan mineral pada batubara sangat rendah,
dan mayoritas tidak dapat diidentifikasi oleh alat yang ada. Data yang ada kemudian
diintegrasikan dengan data petrografi dan kandungan material karbon organik-
inorganik.

Dari data XRD, mineral grafit hanya ditemukan pada sampel A1. Pada sampel A2
didominasi oleh mineral hematite, pirit Pada sampel B1 tersusun atas mineral pirit-
markasit, kalsit, kaolinit dan smektit. Serta sampel B2 menunjukkan peak yang (peak
inorganic tertutup oleh peak organik) sedikit acak, hal ini dapat terjadi dikarenakan
didominasi oleh material organik yang sangat tinggi.

3. Total Karbon

Dari analisis yang dilakukan oleh Elementar Soli TOC, dapat ditentukan kandungan
material organik pada batuan yang diuji, baik material inorganik (TIC) dan organik
(TOC) dapat dilihat pada Tabel 2.

Kandungan material inorganik karbon yang tertinggi terdapat pada sampel B1 dan B2,
berturut-turut A1.002, A1.001, A2.001 dan A1.003. Untuk kandungan material karbon

49
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A024UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

organik, berkebalikan dengan data karbon inorganik. Untuk kadar material selain
karbon, dalam hal ini diinterpretasi sebagai mineral matter, tertinggi dijumpai pada
sampel A1, A2, B1 dan B2. Hal tersebut juga berbanding lurus dengan hasil pengamatan
mineral matter pada metode petrografi.

V. DISKUSI

1. Mineralogi Batubara

Mineralogi batubara daerah penelitian terdiri mineral lempung seperti kaolinit dan
smektit, mineral silika (kuarsa), mineral karbonat seperti kalsit dan siderite serta grafit.

Dari data XRD, petrografi dan kandungan mineral matter, seam A1 memiliki pengayaan
mineral matter dibandingkan dengan seam yang lain yang diinterpretasikan sebagai hasil
dari intrusi batuan beku yang menerobos seam A1. Kandungan inorganik karbon yang
tinggi pada A1 diduga merupakan grafit, hal ini tercermin pada data XRD. Sedangkan
tingginya kandungan inorganik karbon pada seam B1 dan B2 berasal dari mineral
karbonat, yaitu kalsit.

2. Identifikasi Grafit

Selain dari data analisis laboratorium, kenampakan khusus yang mengindikasikan


adanya grafit dapat juga diamati secara megaskopis. Kenampakan seperti columnar
merupakan salah satu penciri adanya intrusi atau efek panas yang mengenai batubara.
Kenampakan ini hanya diamati pada seam A1 pada Lapangan Tambang Air Laya
(Gambar 4).

3. Keterdapatan Grafit pada Batubara

Grafit diidentifikasi dijumpai pada batubara seam A1, hal ini didasarkan pada data XRD
yang menunjukkan peak dari mineral grafit. Selain itu, dari data analisis TIC kandungan
karbon inorganik pada seam A1 cukup tinggi mendukung data XRD tersebut. Pengayaan
mineral matter pada seam A1, ditunjukkan dari data petrografi dan analisis TOC yang
menunjukkan pada seam A1 lebih kaya mineral matter daripada seam yang lain. Hal ini
dapat diinterpretasikan sebagai hasil dari intrusi batuan beku yang menyebabkan
pengayaan mineral matter.

50
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A024UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

VI. KESIMPULAN

Kandungan material inorganik karbon yang tinggi diidentifikasi berada pada


seam A1, B1 dan B2. Grafit diidentifikasi dijumpai pada seam A1. Material inorganik
karbon yang tinggi pada seam A1 diidentifikasi sebagai grafit, sedangkan pada seam B1
dan B2 sebagai kalsit. Identifikasi hadirnya grafit serta pengayaan mineral matter pada
seam A1 mengindikasi adanya intrusi batuan beku yang menerobos seam A1 sehingga,
seam tersebut mengalami proses grafitisasi karena pengaruh panas oleh intrusi.

ACKNOWLEDGEMENT

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sariyanto sebagai laboran


Laboratorium Geologi Optik dan Bapak Danang sebagai laboran Laboratorium Geokimia
atas izin yang diberikan untuk melakukan analisis pada riset ini.

DAFTAR PUSTAKA

Amijaya, H., Littke, R., 2005. Properties of thermally metamorphosed coal from Tanjung
Enim Area, South Sumatra Basin, Indonesia with special reference to the
coalification path of macerals. International Journal of Coal Geology. 46, hal 67–
82.

Daly, M.C., Hooper, B.G.D., Smith, D.G., 1987. Tertiary plate tectonics and basin
evolution in Indonesia. Proceedings of the 6th Regional Congress on Geology,
Mineral and Hydrocarbon Resources of Southeast Asia (GEOSEA VI), Jakarta,
pp.1-28.

Darman, H., Sidi, F.H., 2000. An Outline of the Geology of Indonesia. Indonesian
Association of Geologists, Jakarta. 254 hal.

Gafoer, S., Cobrie, T., Purnomo, J., 1986. Geologic Map of the Lahat Quadrangle, South
Sumatra. Geological Research and Development Centre. Directorate General of
Geology and Mineral Resources of Indonesia, Bandung.

Pujobroto, A., 1997. Organic petrology and geochemistry of Bukit Asam coal, South
Sumatra, Indonesia. Unpublished Ph.D. thesis, University of Wollongong,
Australia, 397 hal.

51
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A024UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

TABEL

Tabel 1. Data hasil analisis petrografi organik pada batubara daerah penelitian

Komposisi Tambang Air Laya


A1.001 A1.002 A1.003 A2.001 B1.001 B2.001
Maseral (vol%)
Telinite 23,9 27,4 27,6 27,4 23,2 25,2
Collotelinite 18,2 24,7 15,2 17,9 23,1 17
Tot. Telovitrinite 44,1 52,1 43,8 45,3 46,3 42,2
Vitrodetrinite 27 19 23,3 27,2 25,1 23,2
Collodetrinite 18,3 18,2 22,1 14,4 19,5 18,6
Tot. Detrovitrinite 45,3 37,2 45,4 41,6 44,6 41,8
Gelinite 1,8 1,7 1,4 1,6 1,9 1,4
Corpogelinite 0,9 1,4 0,8 1,2 0,5 0,4
Tot. Gelovitrinite 2,7 3,1 2,2 2,8 2,4 1,8
Tot. Vitrinite 92,1 92,4 91,4 89,7 93,3 85,8
Sporinite 0,7 0,6 0,7 0,4 0,3 0,3
Cutinite 1,4 2,0 1,7 2,2 1,1 2,6
Suberinite 0,5 0,2 0,4 0,4 0,2 0,8
Resinite 0,5 0,3 0,5 0,4 0,3 0,6
Exsudatinite 0,1 0,2 0,2 0,4 0,2 0,5
Alginite - - - 0,2 - 0,3
Liptodetrinite 0,2 0,2 0,7 1,2 1,4 0,8
Total Liptinite 3,4 3,5 4,3 5,3 2,5 7,0
Semifusinite 0,6 0,7 1,1 1,4 0,9 2,0
Fusinite 0,5 0,6 0,7 1,2 0,7 1,6
Funginite 0,5 0,3 0,4 0,7 0,4 1,6
Inertodetrinite 0,2 0,2 0,4 0,5 0,3 0,8
Total Inertinite 1,8 1,8 2,6 3,8 2,3 6,0
Mineral Matter 2,7 2,3 1,7 1,1 1,5 1,2

Tabel 2. Hasil analisis kandungan material karbon oleh Elementar Soli TOC

Sampel TIC (%) TOC (%) TC (%)


A1.001 3,338 73,973 77,311
A1.002 4,662 69,652 74,274
A1.003 2,292 82,551 84,803
A2.001 2,85 80,416 83,266
B1.001 5,573 75,854 81,427
B2.001 6,005 84,619 90,624

52
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A024UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

GAMBAR

Gambar 1. Tatanan tektonik regional Sumatera dan Stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan
(Darman dan Sidi, 2000, dalam Amijaya dan Littke, 2006)

Gambar 2. Struktur geologi Tambang Air Laya (PT. Bukit Asam, 2009) dan stratigrafi daerah
penelitian berada pada M2 (Gafoer dkk., 1986)

53
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A024UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Hasil analisis XRD pada tiap sampel batubara yang diuji

54
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A024UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Kenampakan batubara terpengaruh intrusi yang mengalami grafitisasi

55
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A025UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

PENENTUAN ZONA POTENSI HIDROKARBON PADA FORMASI


SEMBAKUNG, TABALAR, DAN BIRANG CEKUNGAN TARAKAN,
KALIMANTAN TIMUR
Jarot Setyowiyoto 1*, Rizkia Fadhila1, Widi Atmoko1
1*Departemen Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada Jalan Grafika No. 2, Kampus UGM, Yogyakarta
*Corresponding Author: jsetyowiyoto@gmail.com

ABSTRAK. Cekungan Tarakan merupakan salah satu cekungan di Indonesia yang telah terbukti
menghasilkan hidrokarbon baik berupa minyak bumi ataupun gas bumi. Pada daerah penelitian,
terdapat interval yang diperkirakan berpotensi sebagai zona potensi hidrokarbon yang terletak
pada litologi batupasir Formasi Birang dan Sembakung dan litologi batugamping Formasi Tabalar.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan fasies dan lingkungan pengendapan,
menghitung nilai petrofisika, dan menentukan zona potensi hidrokarbon pada interval-interval
tersebut. Perbedaan fasies batuan dan lingkungan pengendapan yang ada pada daerah penelitian
menyebabkan karakteristik fisik batuan (volume serpih, porositas, saturasi air, dan permeabilitas)
juga berbeda pada tiap batuan reservoarnya. Pendekatan petrofisik digunakan sebagai cara untuk
menentukan zona potensi hidrokarbon di daerah penelitian. Selain itu, dilakukan juga analisis
terhadap fasies batuan, lingkungan pengendapan, dan stratigrafi sekuen pada interval yang
diteliti. Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data utama berupa wireline log
dari kelima sumur (D-1, D-2, D-3, D-4, dan D-5), data Special Core Analysis (SCAL), data Drill Stem
Test (DST), dan data biostratigrafi. Berdasarkan hasil analisis fasies batuan, interval penelitian
tersusun atas fasies batupasir gampingan, fasies batupasir gampingan perselingan batulanau,
fasies grainstone perselingan batulanau, fasies wackestone perselingan packstone dan batulanau,
fasies grainstone, dan fasies batugamping terumbu. Sedangkan hasil dari analisis lingkungan
pengendapan adalah lower middle bathyal, inner sublittoral, middle sublittoral, outer sublittoral, dan
organic build-up carbonates. Adapun batuan reservoar pada interval penelitian yang dapat menjadi
zona potensi hidrokarbon memiliki karakteristik fisik batuan berupa volume serpih < 50%,
porositas > 5%, saturasi air < 80%, dan permeabilitas > 1 mD.

Kata kunci: Formasi Tabalar, Formasi Birang, Formasi Sembakung, Cekungan Tarakan, Zona
Potensi Hidrokarbon

I. PENDAHULUAN
Produksi minyak dan gas bumi di Cekungan Tarakan semakin menurun dari
tahun ke tahun. Karenanya, pada penelitian ini penulis akan membahas mengenai zona-
zona yang berpotensi mengandung hidrokarbon pada Formasi Sembakung, Formasi
Tabalar, Formasi Birang Subcekungan Berau dan Muara Cekungan Tarakan, Kalimantan
Timur guna menentukan interpretasi interval-interval yang dapat menghasilkan
hidrokarbon. Analisis dilakukan dengan melakukan analisis terhadap data log baik secara
kualitatif maupun kuantitatif guna mengetahui kualitas reservoar di daerah penelitian

56
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A025UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

yang kemudian divalidasi dengan data-data lain untuk mendukung proses interpretasi
semakin akurat.

Interval reservoar yang akan menjadi objek analisis pada penelitian ini adalah
Interval-A, B, dan C. Interval-A merupakan suatu suksesi batuan yang terdapat pada
Formasi Sembakung dengan litologi penyusun berupa batupasir yang dianggap
representatif sebagai batuan reservoar. Interval-B merupakan suatu suksesi batuan yang
terdapat pada Formasi Tabalar dengan litologi penyusun berupa batugamping yang
dianggap representatif sebagai batuan reservoar. Interval-C adalah suatu suksesi batuan
dengan litologi penyusun batupasir yang juga dianggap representatif sebagai reservoar.
Interval-A, B, dan C dianggap representatif sebagai reservoar yang baik karena memiliki
properti batuan yang bagus dan tebal. Interval ini akan diteliti pada aspek litofasies,
lingkungan pengendapan, dan nilai petrofisika. Parameter-parameter petrofisika yang
akan dihitung dalam penelitian ini, yaitu berupa volume serpih (Vsh), porositas (Φ),
saturasi air (Sw), dan permeabilitas (k). Setelah dilakukan perhitungan terhadap
parameter petrofisika, maka selanjutnya ditentukan nilai cut off dari masing-masing
parameter untuk mendapatkan karakteristik sifat fisik batuan, kedalaman, dan ketebalan
dari zona-zona yang ada di dalam interval-interval penelitian yang berpotensi
menyimpan hidrokarbon. Zona tersebut kemudian dilakukan korelasi dengan sumur-
sumur lainnya melalui metode stratigrafi sekuen, sehingga persebaran dari zona tersebut
dapat diketahui. Hal ini diharapkan akan berguna untuk mengetahui daerah yang
memiliki properti batuan paling bagus (porositas dan saturasi air), sehingga diharapkan
akan menjadi bahan pertimbangan tersendiri dalam menyusun langkah-langkah di dalam
penentuan lokasi perforasi selanjutnya untuk meningkatkan produksi dari sumur-sumur
yang telah ada.

II. GEOLOGI REGIONAL

1. Tinjauan Umum Cekungan Tarakan

Cekungan Tarakan merupakan salah satu dari 3 Cekungan Tersier utama di


bagian Timur dari Pulau Kalimantan yang dicirikan oleh adanya batuan sedimen klastik
sebagai penyusun dominan, berukuran butir halus hingga kasar, dan beberapa endapan
karbonat. Secara fisiografi, Cekungan Tarakan meliputi kawasan daratan dan sebagian
berada di kawasan lepas pantai. Cekungan ini dibatasi oleh Tinggian Semporna di bagian
Utara, Tinggian Kuching di bagian Barat, Tinggian Mangkalihat di bagian Selatan, dan ke
arah Timur batas cekungannya melewati kawasan paparan benua dari Laut Sulawesi.

57
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A025UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

2. Stratigrafi Regional Cekungan Tarakan

Stratigrafi regional Cekungan Tarakan dapat dibagi menjadi batuan Tersier dan
Kuarter. Batuan Tersier yang berumur paling tua adalah Formasi Danau. Formasi ini
tersusun atas batuan yang mengalami tektonik kuat dan batuan metamorf dengan
ketebalan yang signifikan.

Formasi Sembakung

Formasi Danau dan Sembakung merupakan batuan dasar dari Cekungan Tarakan.
Formasi Sembakung terendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Danau. Formasi ini
berumur Eosen Tengah. Pada bagian bawah tersusun oleh batupasir merah dan
konglomerat, sedangkan bagian atas tersusun oleh mudstone yang kaya akan karbon dan
fosil serta miskin mika yang dinamakan malio mudstone (Achmad dan Samuel, 1984).
Formasi ini tersusun atas perselingan batupasir, batugamping, batulanau, batulempung,
serpih, dan batugamping foraminifera. Batupasir berstruktur perlapisan silang silur.
Tebal formasi ini >1000 meter.

Menurut Achmad dan Samuel (1984), Cekungan Tarakan telah melewati 5 siklus
pengendapan di atas batuan dasar (Gambar 1). Kelima siklus pengendapan dari
Cekungan Tarakan, yaitu :

a. Siklus 1 (Eosen Akhir – Oligosen Awal)

Formasi Sujau

Formasi ini tersusun atas batuan klastik kasar, seperti konglomerat, batupasir,
material vulkanik di bagian bawah, batugamping interkalasi dengan napal di bagian atas,
dan serpih dengan sisipan batubara. Formasi ini diendapkan secara tidak selaras di atas
Formasi Sembakung dengan ketebalan >100 meter.

Sedimen klastik dari Formasi Sujau bagian bawah diindikasikan merupakan hasil
dari pengisian sedimen pada tahap awal yang mengisi palung hasil pemekaran Selat
Makassar pada Eosen Awal (Lentini dan Darman, 1996). Produk erosi dari Lempeng
Sunda di bagian Barat terakumulasi bersama dengan material vulkanik-piroklastik
membentuk basal clastic. Adanya lapisan batubara dan interkalasi napal pada bagian yang
lebih muda menginterpretasikan lingkungan pengendapan yang terisolasi yakni fasies
lakustrin yang menandakan adanya pendalaman menjadi lingkungan laut. Ukuran butir
yang menghalus ke atas dengan lapisan serpih dan batugamping mengindikasikan
adanya pengaruh sedimentasi laut meningkat. Proses pengendapan berlangsung dari
Eosen Akhir – Oligosen Awal (Lentini dan Darman, 1996).

58
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A025UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Formasi Seilor

Formasi Seilor diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Sujau dengan
ketebalan sekitar 100 – 150 meter. Formasi ini terdiri dari batugamping mikritik dengan
pertumbuhan terumbu secara lokal. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut
(Achmad dan Samuel, 1984).

Formasi Mangkabua

Serpih laut dan napal dari Formasi Mangkabua diendapkan secara berangsur ke
arah cekungan secara selaras di atas Formasi Seilor. Formasi ini memiliki ketebalan
hingga 150 meter. Singkapan napal sebagian besar berada di bagian atas dari Delta
Bulungan dan terletak di sebelah Barat dari Subcekungan Tarakan. Formasi Mangkabua
diendapkan pada Oligosen Awal – Oligosen Akhir.

Sedimen siklus 1 diakhiri oleh adanya peristiwa pengangkatan, tersingkap, dan


tererosi sebagian di bagian batas Barat cekungan karena adanya aktivitas volkanik
sepanjang batas cekungan pada Oligosen Akhir.

b. Siklus 2 (Miosen Awal – Miosen Tengah)

Sedimen-sedimen siklus 2 yang berupa transgressive sequence terendapkan secara


tidak selaras di atas sedimen siklus 1 dan lebih sedikit terkena proses tektonik. Endapan-
endapan dari siklus ini antara lain :

Formasi Tempilan

Formasi ini terdiri dari basal clastic yang dicirikan oleh adanya perlapisan
batupasir, tuf, serpih, dan sisipan batubara yang terbentuk bersamaan dengan transgresi
regional. Formasi ini diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Mangkabua dengan
ketebalan mencapai 100 meter dan berumur Miosen Awal.

Formasi Tabalar

Pengendapan formasi ini diikuti dengan diendapkannya micritic limestone. Formasi


Tabalar secara selaras berkembang sebagai sekuen platform carbonate dengan
perkembangan terumbu secara lokal yang menghasilkan ketidakselarasan lokal di atas
Formasi Seilor selama umur Oligosen Akhir – Miosen Awal di sekitar daerah
Mangkalihat. Pada bagian Utara dan mengarah ke cekungan, fasiesnya berubah secara
gradual menjari dengan napal Formasi Mesalai.

Formasi Tabalar terdiri dari batugamping terumbu depan, batugamping koral,


dan batugamping terumbu belakang dengan ketebalan formasi ± 300 meter. Formasi ini
merupakan suksesi yang terbentuk di lingkungan platform carbonate. Menurut Adhitiya
59
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A025UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

(2013), formasi ini terdiri dari fasies packestone dan wackestone dengan tipe porositas
moldik dan vuggy. Porositas formasi ini cukup baik mencapai 14% dan didominasi oleh
moldik, interkristalin, dan vuggy serta permeabilitasnya 3,985 – 7,278 mD.

Formasi Birang atau Naintupo

Pada akhir Miosen Awal, diendapkan perselingan batupasir-serpih dan napal


dengan lapisan batugamping dari Formasi Birang di Selatan cekungan (Subcekungan
Berau dan Muara) yang ekuivalen dengan Formasi Naintupo di Utara cekungan
(Subcekungan Tarakan dan Tidung). Formasi yang diendapkan pada fase transgresi ini
merupakan hasil perubahan fasies dari Formasi Tabalar. Serpih yang berumur Miosen
Awal – Tengah ini menunjukkan adanya peningkatan pengaruh lingkungan laut terbuka
Ketebalan formasi ini meningkat dari 200 m menjadi sekitar 800 m ke arah cekungan.

c. Siklus 3 (Miosen Tengah – Akhir)

Sedimen siklus 3 terdiri dari sekuen regressive deltaic yang dimulai dari proses
tektonisme yang berlangsung pada akhir Miosen Awal. Siklus sedimentasi pada siklus ini
dibagi menjadi 3 formasi, yaitu Formasi Meliat, Formasi Tabul, dan Formasi Santul.
Sekuen deltaik dari ketiga formasi tersebut sulit dibedakan karena kurangnya fosil yang
dapat didiagnosa dan litologinya yang memiliki kemiripan.

Formasi Latih atau Meliat

Formasi ini diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Birang diikuti dengan
pengendapan Formasi Menumbar yang terdiri dari batulempung karbonatan, napal, dan
batugamping secara selaras. Formasi ini berumur Miosen Tengah dan memiliki ketebalan
50 – 100 meter. Pada daerah Mangkalihat atau pada Subcekungan Berau dan Muara,
diendapkan Formasi Latih yang tersusun dari batupasir kasar dengan struktur silang siur
dan terdapat batuan serpih karbonan berumur awal Miosen Tengah.

Satuan litologi yang ekuivalen dengan Formasi Latih di Subcekungan Tarakan dan
Tidung adalah Formasi Meliat yang telah tererosi sebagian selama Miosen Akhir. Formasi
Meliat terdiri dari batupasir kasar, serpih karbonatan, dan gamping tipis yang tidak
selaras di atas Formasi Naintupo.

Formasi Tabul dan Santul atau Menumbar

Formasi ini terdiri dari batupasir, batulanau, dan serpih dengan kehadiran sedikit
batugamping dan batubara. Formasi ini memiliki ketebalan sekitar 1500 meter di sebelah
Barat dari Subcekungan Tarakan dan ke arah Timur menjadi semakin tebal. Bagian atas
dari formasi ini mengalami perubahan litologi secara berangsur menjadi batupasir,
batulanau dan batulempung yang berinterkalasi dengan batubara yang disebut sebagai
60
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A025UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Formasi Santul. Formasi ini diendapkan secara selaras pada Miosen Akhir pada
lingkungan delta plain – proximal delta front.

Pada bagian Selatan, Formasi Tabul dan Formasi Santul ekuivalen dengan Formasi
Menumbar yang tersusun atas serpih, batulempung karbonatan, napal, dan batugamping
yang menjari dalam formasi ini. Sedimen semakin berkurang ke arah atas batas cekungan,
sementara ke arah cekungan siklus ini menghasilkan endapan yang semakin menebal
karena adanya syngenetically growth faulting.

d. Siklus 4 (Pliosen)

Formasi Tarakan atau Sajau

Formasi Tarakan adalah seri deltaik berumur Pliosen yang berkembang di Utara
pada Subcekungan Tarakan. Formasi ini terdiri dari batupasir, serpih, dan sisipan
batulempung serta lapisan batubara yang merupakan bagian dari fasies delta plain –
fluvial. Ketebalan formasi ini berkisar 500 – 600 meter. Pada beberapa wilayah, Formasi
Tarakan hadir secara tidak selaras. Pada arah Timur, fasies ini berubah menjadi
batulempung dan batulanau dari fasies pro delta.

Pada arah Selatan, formasi ini berkembang ke dalam Subcekungan Muara dan
Berau sebagai Formasi Sajau yang berangsur mengalami perubahan menjadi
batugamping. Formasi ini disebut sebagai Formasi Domaring yang berkembang di
sebelah Selatan cekungan bagian Barat (Subcekungan Muara).

Formasi Domaring

Formasi Domaring terdiri dari platform batugamping yang semakin ke arah Timur
berubah menjadi napal dan serpih dari fasies neritik luar. Umur dari formasi ini adalah
Pliosen dengan ketebalan hingga 700 meter.

e. Siklus 5 (Kuarter)

Formasi Bunyu

Formasi ini diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Tarakan selama fase
transgresi pada Pleistosen di lingkungan delta plain – fluvial. Litologinya terdiri dari
batupasir sedang hingga kasar dan kadang bersifat konglomeratan dengan interbeded
serpih dan batubara dengan tingkatan lignit (Achmad dan Samuel, 1984). Batupasir
Formasi Bunyu umumnya tebal, lebih kasar, dan kurang kompak apabila dibandingkan
dengan batupasir Formasi Tarakan. Ketebalan formasi ini berkisar 100 – 200 meter.

61
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A025UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Formasi Waru

Semakin ke arah Selatan, Formasi Bunyu berkembang sebagai Formasi Waru.


Formasi ini tersusun atas napal laut dangkal dan batugamping yang secara lokal berlapis
dengan batupasir. Formasi ini berkembang dalam fase transgresi dengan lingkungan non
deltaic. Formasi ini teramati dengan baik di Subcekungan Berau atau Muara. Formasi ini
memiliki ketebalan 50 – 100 meter.

2.3. Struktur Regional Cekungan Tarakan

Struktur utama di Cekungan Tarakan merupakan struktur lipatan dan sesar yang
umumnya berarah Barat Laut-Tenggara dan Timur Laut-Barat Daya. Struktur-struktur di
Subcekungan Muara dan Berau mengalami sedikit deformasi, sementara di Subcekungan
Tarakan dan Tidung lebih intensif terdeformasi (Achmad dan Samuel, 1984).
Subcekungan Berau dan Muara didominasi oleh struktur regangan yang terbentuk oleh
aktivitas tektonik pada kala Paleogen, sedangkan intensitas struktur di Subcekungan
Tarakan dan Tidung berkembang oleh pengaruh berhentinya peregangan di Laut
Sulawesi yang diikuti oleh aktivitas sesar-sesar mendatar pada fase akhir tektonik
Tarakan (Fraser dan Ichram, 1999). Pada sebelah Timur dari Pulau Tarakan, terdapat trend
sesar tumbuh yang berarah Utara-Selatan dan semakin ke Timur terdapat zona shale
diapiric dan thrusting. Cekungan Tarakan memiliki 3 sinistral wrench fault yang saling
sejajar dan berarah Barat Laut-Tenggara. Sesar-sesar tersebut antara lain: Sesar Sempurna,
Sesar Maratua, dan Sesar Mangkalihat Peninsula.

2.4. Petroleum System Cekungan Tarakan

a. Batuan Sumber

Menurut Sasongko (2006, dalam Indonesia Basins Summaries 2006), formasi yang
berpotensi sebagai batuan sumber pada cekungan ini adalah Formasi Sembakung, Meliat,
dan Tabul. Formasi Meliat memiliki batuan dengan kandungan material organik yang
cukup dengan sebagian temperatur formasinya cukup tinggi, sehingga mampu
mematangkan hidrokarbon. Batuan dari Formasi Tabul merupakan batuan sumber
terbaik karena memiliki material organik tinggi dan nilai HI >300, sehingga hidrokarbon
telah matang. Ketebalan formasi ini juga mencapai 1700 meter, sehingga mampu
menyediakan hidrokarbon yang melimpah.

Menurut L. J. Polito (1978, dalam Indonesia Basins Summaries 2006), batuan


penghasil hidrokarbon di Cekungan Tarakan melampar pada Formasi Tabul, Meliat,
Santul, Tarakan, dan Naintupo. Netherwood dan Wight (1992) memberikan argumen
bahwa batuan sumber berasal dari fasies fluvio-lacustrine. Samuel (1980) menyebutkan
bahwa dari kematangan termal dan geokimia, hanya gas yang bisa didapatkan di Formasi
62
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A025UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabul, Santul, dan Tarakan. Migrasi bekerja pada formasi-formasi yang terbentuk pada
Miosen – Pliosen.

b. Reservoar

Karakteristik batuan yang terdapat pada Formasi Sembakung, Meliat/Latih, Tabul,


Tarakan/Sajau, dan Tabalar menunjukkan formasi-formasi tersebut berpotensi sebagai
reservoar. Batuannya mempunyai klastika kasar dengan geometri sedimen deltaik yang
penyebarannya terbatas. Berdasarkan Indonesia Basins Summaries (2006), Formasi Meliat,
Tabul, Santul, dan Tarakan merupakan seri delta dengan batupasir berbentuk channel dan
bar. Formasi Meliat berisi batupasir dan shale dengan lapisan tipis batubara. Kualitas
reservoar yang ada termasuk sedang – bagus dengan pelamparan yang cukup luas.
Formasi Tabul berisi batupasir, batulanau, shale dengan lapisan tipis batubara. Tebal
formasi mencapai 400 – 1500 m dan menebal ke arah Timur. Formasi Santul merupakan
fasies delta plain – delta front proximal. Formasi ini didominasi oleh batupasir dan shale
dengan lapisan tipis batubara. Batupasirnya mempunyai ketebalan 40 – 60 m. Pada
beberapa titik, terdapat channel batupasir dengan tebal hingga 115 m. Formasi Tarakan
yang berumur Pliosen adalah seri delta dengan dominasi litologi berupa pasir, lempung,
dan batubara yang menunjukkan fasies delta plain – fluvial.

c. Batuan Penudung

Batuan yang menjadi penudung adalah batuan penyusun Formasi Sembakung,


Mangkabua, dan Birang yang merupakan batuan sedimen klastik dengan ukuran butir
halus. Formasi Meliat/Latih, Tabul, dan Tarakan tersusun oleh batulempung hasil
endapan delta intraformational yang berfungsi pula sebagai batuan penudung.

d. Jebakan

Sistem jebakan hidrokarbon yang terdapat di Cekungan Tarakan adalah jebakan


stratigrafi karena adanya asosiasi litologi batuan sedimen halus dengan lingkungan
pengendapannya delta. Namun, pada umur Pliosen – Pleistosen terjadi tektonik yang
memungkinkan terbentuknya struktur geologi dan dapat terbentuk perangkap
hidrokarbon yang berhubungan dengan syngenetic fault dan struktur antiklin.

e. Migrasi

Model migrasi yang terjadi di Cekungan Tarakan disebabkan oleh adanya sesar
normal dan sesar naik serta perbedaan elevasi. Samuel (1980) menyebutkan bahwa
migrasi hidrokarbon bekerja pada formasi-formasi yang terbentuk Miosen – Pliosen. Hal
itu juga didukung dengan waktu yang tepat proses pematangan hidrokarbon pada

63
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A025UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Miosen Akhir dari Formasi Tabul dan Tarakan akibat intrusi batuan beku. Pematangan
terjadi pada kedalaman 4300 meter.

III. METODOLOGI

Secara umum, tahapan penelitian terbagi menjadi 5 tahapan utama, yakni tahap
studi pustaka, tahap pengumpulan data, tahap analisis data, tahap interpretasi, dan tahap
integrasi data. Tahapan studi pustaka dilakukan dengan mengumpulkan terlebih dahulu
informasi sekunder mengenai daerah penelitian seperti pemahaman kondisi geologi
regional Cekungan Tarakan serta geologi daerah penelitian (didapatkan dari laporan
internal perusahaan dan beberapa textbook). Kajian pustaka tetap dilakukan hingga tahap
akhir penelitian untuk melengkapi data yang telah ada. Tahap pengumpulan data
dilakukan dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder yang berupa data
SCAL (Special Core Analysis) dan data DST (Drill Stem Test), data wireline log, dan data
biostratigrafi. Keseluruhan data yang digunakan di dalam penelitian dapat dilihat pada
Tabel 1. Tahap analisis data terbagi menjadi beberapa tahapan, yaitu analisis fasies dan
lingkungan pengendapan, analisis stratigrafi sekuen, korelasi antar sumur, analisis
petrofisik, penentuan cut off, dan penentuan zona potensi hidrokarbon. Tahap interpretasi
dilakukan dengan menginterpretasi zona-zona yang berpotensi mengandung
hidrokarbon di daerah penelitian setelah sebelumnya dilakukan analisis terhadap data-
data primer ataupun sekunder. Tahap integrasi dilakukan dengan saling
mengintegrasikan semua data, sehingga diharapkan hasil dari penelitian ini dapat
meningkatkan dan memaksimalkan produksi minyak daerah penelitian.

IV. ANALISIS DATA

1. Identifikasi Reservoar

Identifikasi reservoar pada tiap sumur penelitian dilakukan dengan cara melihat
litologi penyusun dan kandungan fluidanya. Penentuan litologi dilakukan dengan
menggabungkan 2 data yakni data sidewall core dan data log sumur. Sedangkan informasi
kandungan fluida diketahui dari laporan internal perusahaan yang menunjukkan
hydrocarbon show pada beberapa interval di sumur penelitian. Setelah dilakukan
penentuan litologi, didapatkan 2 jenis litologi yang berpotensi sebagai reservoar, yaitu
litologi batupasir dan batugamping. Berdasarkan hasil analisis log secara kualitatif
tersebut, maka pada daerah penelitian didapatkan 3 interval reservoar yang akan diteliti,
yaitu :

64
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A025UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

1. Interval-A dan Interval-C (batupasir)

Batupasir pada daerah penelitian dicirikan oleh nilai gamma ray yang rendah yaitu
berkisar antara 40 – 70 GAPI (Gambar 2). Hal ini karena pada batupasir memiliki
kandungan radioaktif yang rendah. Nilai resistivitas yang dimiliki cukup bervariasi
bergantung pada jenis fluida di dalamnya. Batupasir pada interval ini termasuk ke dalam
jenis batupasir serpihan (shaly sandstone). Interval-A ada di Sumur D-2 yang termasuk ke
dalam Formasi Sembakung dan Interval-C terdapat di Sumur D-1 yang termasuk ke
dalam Formasi Birang. Ketebalan batupasir di tiap sumur penelitian berkisar dari 120 –
130 meter. Berdasarkan data SCAL pada Sumur D-2, Interval-A memiliki hydrocarbon
shows berupa gas.

2. Interval-B (batugamping)

Batugamping pada daerah penelitian dicirikan oleh nilai gamma ray yang sangat
rendah yaitu berkisar antara 15 – 50 GAPI (Gambar 2). Hal ini karena pada lapisan
batugamping memiliki kandungan radioaktif yang sangat rendah. Nilai resistivitas yang
dimiliki pun cukup bervariasi bergantung pada jenis fluida di dalamnya. Batugamping
pada interval ini termasuk ke dalam jenis batugamping serpihan (shaly limestone).
Ketebalan batugamping di kelima sumur cukup bervariasi berkisar dari 124 – 1171 meter.
Interval ini ada di kelima sumur penelitian dan termasuk ke dalam Formasi Tabalar.
Berdasarkan data SCAL pada Sumur D-2 dan D-5, Interval-B juga memiliki hydrocarbon
shows berupa gas.

2. Analisis Fasies dan Lingkungan Pengendapan

Analisis fasies dan lingkungan pengendapan pada penelitian ini dilakukan


berdasarkan beberapa data, seperti data sidewall core berupa jenis litologi, data log sumur,
dan data biostratigrafi. Data litologi dari sidewall core dikorelasikan dengan data log
gamma ray di tiap sumur dengan memperhatikan kedalaman dan perubahan pola dari
kurva log GR. Analisis fasies data log sumur berguna untuk mengetahui perubahan
lingkungan pengendapan secara vertikal dimana penyebaran litofasies adalah kontrol
dari perubahan lingkungan pengendapan.

Langkah pertama yang dilakukan dalam analisis fasies adalah mengidentifikasi


litologi berdasarkan data sidewall core dan data log sumur. Langkah selanjutnya yaitu
menentukan penyebaran fasies secara vertikal dengan melihat perubahan pola kurva log
GR. Setelah itu, untuk menentukan lingkungan pengendapan pada reservoar batupasir
Interval-A dan Interval C dan reservoar batugamping Interval-B. Analisis lingkungan
pengendapan dilakukan dengan menggunakan data biostratigrafi. Pada penelitian ini,
klasifikasi batuan karbonat yang digunakan adalah klasifikasi Embry dan Klovan (1971)

65
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A025UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

serta klasifikasi lingkungan pengendapan menurut Hedgpeth (1957) dan Wilson (1975).
Berikut adalah hasil analisis fasies dan lingkungan pengendapan dari kedua interval.

3. Sumur D-1
 Interval-C
Interval ini tersusun atas fasies batupasir gampingan. Berdasarkan deskripsi dari
data sidewall core, fasies ini terdiri dari litologi batupasir yang berwarna cokelat terang,
berukuran butir pasir halus (1/8 – 1/4 mm), sortasi sedang, bersifat lembut dan lunak,
berbentuk butir angular – subangular, dan memiliki komposisi yang teridentifikasi yakni
calcareous, argillaceous, dan carbonaceous. Fasies ini terletak pada Formasi Birang bagian
tengah dan menjangkau kedalaman 774 – 905 meter. Berdasarkan data biostratigrafi,
fasies ini merupakan hasil dari lingkungan pengendapan lower middle bathyal yang
dicirikan oleh hadirnya mikrofosil bentonik, seperti Oridorsalis umbonatus, Pullenia sp.,
Eggerella bradyi, dan Karreriella bradyi. Fasies ini memiliki variasi nilai GR 52 – 62 GAPI.

• Interval-B

Interval ini tersusun atas fasies grainstone perselingan dengan batulanau.


Berdasarkan deskripsi dari data sidewall core, fasies ini terdiri atas 2 litologi, yaitu
batugamping dan batulanau. Litologi batugamping memiliki warna abu-abu hingga abu-
abu terang, bersifat rapuh dan keras, berbentuk butir angular, dan memiliki komposisi
yang teridentifikasi berupa mineral kalsit dan material sedimen berukuran lempung.
Sedangkan litologi batulanau memiliki warna abu-abu, bersifat rapuh hingga keras, dan
memiliki komposisi yang teridentifikasi berupa material sedimen berukuran lempung
dan kalsit.

Penamaan grainstone diambil berdasarkan interpretasi terhadap pola log GR dan


komposisi batuannya. Berdasarkan deskripsi data sidewall core yang didapat dari
perusahaan, dalam litologi batugamping ini tidak ditemukan adanya fragmen-fragmen
fosil. Selain itu, secara umum nilai gamma ray yang dimiliki cenderung rendah dengan
pola berbentuk cylindrical atau blocky. Hal itu mengindikasikan rendahnya kandungan
mud di dalam batuan yang membuat penamaan grainstone dapat diambil. Fasies ini secara
keseluruhan terletak pada Formasi Tabalar dengan kedalaman berkisar dari 1840 – 1985
meter. Berdasarkan data biostratigrafi, fasies ini merupakan hasil dari lingkungan inner
sublittoral yang dicirikan oleh hadirnya mikrofosil bentonik, seperti Cellanthus craticulatus
dan Elphidium crispum. Fasies ini diinterpretasikan sebagai keep up carbonates. Kondisi keep
up terjadi saat puncak karbonat yang hidup terjaga di dekat permukaan air laut dangkal
(Walker, 1992).

4. Sumur D-2

66
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A025UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

 Interval-A
Interval ini tersusun atas fasies batupasir gampingan perselingan dengan
batulanau (Gambar 3). Berdasarkan deskripsi dari data sidewall core, fasies ini terdiri dari
litologi batupasir gampingan dan batulanau. Litologi batupasir memiliki warna yang
bermacam-macam yakni abu-abu gelap, abu-abu terang, dan cokelat terang, berukuran
butir pasir halus (1/8 – 1/4 mm), sortasi buruk hingga sedang, berbentuk butir subangular
– subrounded, bersifat keras, dan memiliki komposisi yang teridentifikasi berupa
argillaceous, calcareous, dan batubara di beberapa interval. Sedangkan litologi batulanau
berwarna abu-abu gelap, komposisinya berupa material sedimen berukuran lanau dan
calcareous. Fasies ini terletak pada Formasi Sembakung bagian atas dan menjangkau
kedalaman 1624 – 1748 meter. Berdasarkan data biostratigrafi, fasies ini adalah hasil dari
lingkungan middle sublittoral yang dicirikan oleh mikrofosil bentonik, seperti Nonion dan
Heterolepa praecincta.

 Interval-B

Interval ini tersusun atas fasies wackestone perselingan dengan packstone dan
batulanau (Gambar 4). Berdasarkan deskripsi dari data sidewall core, fasies ini terdiri dari
litologi batugamping dan batulanau. Litologi batugamping memiliki warna abu-abu dan
abu-abu gelap, ukuran kristal kriptokristalin, bersifat keras, dan komposisinya terdiri dari
mineral kalsit, argillaceous, dan material sedimen berukuran pasir. Sedangkan litologi
batulanau memiliki warna abu-abu dan abu-abu gelap, bersifat keras, dan tersusun atas
komposisi yang teridentifikasi berupa material sedimen berukuran lanau dan pasir serta
mineral kalsit.

Penamaan litologi wackestone dan packstone dilakukan berdasarkan interpretasi


terhadap pola log GR dan komposisi batuannya. Berdasarkan deskripsi sidewall core yang
didapat dari perusahaan, dalam litologi packstone dan wackestone ini tidak ditemukan
adanya fragmen fosil yang dapat diidentifikasi. Selain itu, packstone memiliki pola log
gamma ray yang cenderung mengkasar ke atas dengan nilai gamma ray tidak telalu rendah
yang mengindikasikan adanya kandungan mud di dalam batuan tersebut. Sedangkan
pada litologi wackstone, pola log gamma ray cenderung menghalus ke atas dengan nilai
gamma ray yang juga tidak terlalu rendah, namun masih lebih tinggi daripada packstone.
Hal tersebut mengindikasikan hadirnya kandungan mud di dalam batuan. Tekstur
batugamping yang menghalus ke atas diinterpretasikan sebagai give up carbonate yang
terbentuk saat TST. Fasies ini terletak pada Formasi Tabalar dengan kedalaman 1120 –
1362 meter. Berdasarkan data biostratigrafi, fasies ini merupakan hasil dari lingkungan
middle sublittoral yang dicirikan oleh mikrofosil bentonik, seperti Nonion dan Heterolepa
praecincta.

67
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A025UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

5. Sumur D-3
 Interval-B
Interval ini tersusun atas fasies grainstone (Gambar 5). Berdasarkan deskripsi dari
data sidewall core, fasies ini terdiri dari litologi batugamping yang memiliki warna cokelat
gelap, ukuran kristal kriptokristalin, dan komposisi yang teridentifikasi terdiri dari
mineral kalsit dan material sedimen berukuran lempung. Penamaan litologi grainstone
dilakukan berdasarkan interpretasi terhadap pola log GR dan komposisi batuan. Pada
deskripsi sidewall core, di dalam litologi ini tidak ditemukan adanya fragmen fosil yang
dapat diidentifikasi. Selain itu, secara umum nilai gamma ray dari litologi ini cenderung
rendah dengan pola log berbentuk cylindrical atau blocky. Hal itu mengindikasikan
rendahnya kandungan mud dalam batuan yang membuat penamaan grainstone dapat
diambil. Fasies ini diinterpretasikan sebagai keep up carbonates. Fasies ini termasuk ke
dalam Formasi Tabalar dan terletak di kedalaman 2800 – 2925 m. Berdasarkan data
biostratigrafi, fasies ini merupakan lingkungan outer sublittoral yang dicirikan oleh
mikrofosil bentonik, seperti Pseudorotalia spp. dan Amphistegina.

6. Sumur D-4
 Interval-B
Interval ini tersusun atas fasies batugamping sisipan batupasir. Fasies ini berada
pada Formasi Tabalar dengan kedalaman 2234 – 2788 meter. Berdasarkan data
biostratigrafi, fasies ini merupakan hasil dari lingkungan organic build up carbonates yang
dicirikan oleh hadirnya mikrofosil bentonik, seperti Ammonia, Amphistegina, Elphidium,
dan Pseudorotalia. Karena keterbatasan data di Sumur D-4, maka penentuan litofasies dari
interval ini hanya dilakukan berdasarkan interpretasi log sumur, sehingga tidak dapat
dilakukan secara rinci. Berdasarkan pola gamma ray-nya, litologi batugamping di interval
ini termasuk ke dalam batugamping autochthonous. Hal itu dilihat dari sangat rendahnya
kandungan mud dalam batuan dari pola log GR yang berbentuk blocky atau cylindrical
dengan variasi nilai GR 16 – 90 GAPI.

7. Sumur D-5
 Interval-B
Interval ini tersusun atas fasies batugamping terumbu. Fasies ini terletak pada
Formasi Tabalar dengan kedalaman 2235 – 2788 meter. Berdasarkan data biostratigrafi,
fasies ini merupakan hasil dari lingkungan organic build up carbonates yang dicirikan oleh
hadirnya mikrofosil bentonik dan ostrakoda, seperti Bairdia, Cytherelloidea, Cytherella,
Krithe, dan Xestoleberis sp. Karena keterbatasan data di Sumur D-5, maka penentuan
68
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A025UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

litofasies dari interval ini hanya dilakukan berdasarkan interpretasi log sumur, sehingga
tidak dapat dilakukan secara rinci. Berdasarkan pola gamma ray-nya, litologi batugamping
di interval ini termasuk ke dalam batugamping autochthonous. Hal itu dilihat dari sangat
rendahnya kandungan mud di dalam batuan dan pola log GR yang berbentuk blocky atau
cylindrical dengan variasi nilai GR 5 – 42 GAPI.

3. Analisis Stratigrafi Sekuen

Stratigrafi sekuen adalah studi mengenai hubungan antara batuan dengan


kerangka waktu sratigrafi yang berulang dan secara genetis sama serta dibatasi oleh
permukaan erosi, non deposisi atau keselarasan korelatif (Van Wagoner dkk., 1990). Unit
dasar stratigrafi sekuen adalah sekuen. Konsep stratigrafi sekuen pada dasarnya
didukung oleh proses dinamika sedimentasi. Berdasarkan proses dinamika sedimentasi
inilah dapat dikenali batas-batas bidang stratigrafi dan system tract.

Data utama yang digunakan dalam analisis stratigrafi sekuen ini adalah data log
dan data biostratigrafi. Penentuan stratigrafi sekuen berdasarkan data log dan data
biostratigrafi adalah salah satu cara untuk dapat melakukan korelasi secara
kronostratigrafi antar satu sumur dengan sumur yang lain. Hal yang dilakukan pertama
kali adalah menentukan litologi di tiap sumur penelitian. Penentuan litologi dilakukan
dengan memperhatikan kurva log gamma ray dan divalidasi dengan data core, sidewall
core, ataupun cutting. Setelah itu, data litologi ditambahkan dengan data umur dan data
lingkungan pengendapan yang didapat dari data biostratigrafi. Selanjutnya, penentuan
parasekuen dapat dilakukan. Berdasarkan pola parasekuen tersebut, maka dapat
ditentukan jenis system tract yang dimiliki setiap sumur yakni transgressive system tract
(TST), highstand system tract (HST), atau lowstand system tract (LST). Tiap system tract
dibatasi oleh sequence boundary (SB), transgressive surface (TS), ataupun maximum flooding
surface (MFS) yang juga digunakan sebagai datum dalam melakukan korelasi antarsumur.
Penentuan batas-batas sekuen stratigrafi stratigrafi ditentukan berdasarkan konfigurasi
antara data litologi, umur, dan lingkungan pengendapan.

Sumur D-1 menembus Formasi Birang dan Formasi Tabalar. Analisis stratigrafi
sekuen pada Sumur D-1 menunjukkan bahwa terdapat 4 batas sekuen stratigrafi yang
dapat diidentifikasi yaitu SB-1, MFS-1, SB-2, dan TS-2. Sumur D-2 menembus Formasi
Latih, Formasi Birang, Formasi Tabalar, dan Formasi Sembakung. Analisis stratigrafi
sekuen pada Sumur D-2 menunjukkan terdapat 2 batas sekuen stratigrafi yang dapat
diidentifikasi yaitu SB-1 dan MFS-

1. Sumur D-3 menembus Formasi Sajau, Formasi Domaring, Formasi Latih, Formasi
Birang, Formasi Tabalar, dan Formasi Sembakung. Analisis stratigrafi sekuen pada

69
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A025UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

2. Sumur D-3 menunjukkan bahwa terdapat 3 batas sekuen stratigrafi yang dapat
diidentifikasi yaitu SB-1, MFS-1, dan SB-2. Sumur D-4 menembus Formasi Sajau,
Formasi Menumbar, Formasi Latih, dan Formasi Tabalar. Analisis stratigrafi sekuen
pada Sumur D-4 menunjukkan bahwa terdapat 4 batas sekuen stratigrafi yang dapat
diidentifikasi yaitu SB-1, MFS-1, SB-2, dan TS-2. Sumur D-5 menembus Formasi
Sajau, Formasi Domaring, Formasi Latih, Formasi Birang, dan Formasi Tabalar.
Analisis stratigrafi sekuen pada Sumur D-5 menunjukkan bahwa terdapat 4 batas
sekuen stratigrafi yang dapat diidentifikasi yaitu SB-1, MFS-1, SB-2, dan TS-1.
Pembagian system tract Sumur D-2 dapat dilihat pada Gambar 6.

4. Analisis Petrofisik

Analisis log kuantitatif atau analisis petrofisik dilakukan dengan cara


menganalisis wireline log yang kemudian divalidasi dengan data-data lain, seperti data
SCAL (special core analysis) dan data sidewall core untuk didapatkan hasil yang lebih
akurat. Nilai parameter petrofisik reservoar yang akan didapatkan melalui perhitungan
petrofisik ini, yaitu volume serpih (Vsh), porositas (Φ), saturasi air (Sw), dan
permeabilitas (k). Namun, sebelum melakukan analisis terhadap data wireline log, terlebih
dahulu dilakukan tahap prekalkulasi, koreksi lingkungan, evaluasi badhole pada lubang
bor, dan pembuatan log sintetik. Berikut adalah tahapan-tahapan koreksi kurva log dan
analisis log kuantitatif.

Langkah pertama dalam analisis petrofisika adalah melakukan perhitungan


volume serpih. Volume serpih dihitung dengan langkah awal menentukan nilai
maksimum (shale baseline) dan nilai minimum (sand baseline) dari log GR. Nilai maksimum
dan nilai minimum log GR dari masing-masing sumur ditentukan berdasarkan histogram
frekuensi distribusi gamma ray. Pada penelitian ini, penentuan nilai gamma ray maksimum
dan minimum dilakukan dengan menggunakan analisis distribusi statistik P5, P50, dan
P95. Nilai P5 didapatkan pada persentil 5% dari histogram frekuensi gamma ray, nilai P50
adalah persentil 50%, dan nilai P95 adalah persentil 95% (Gambar 7). Nilai gamma ray
pada daerah penelitian tidak dilakukan normalisasi gamma ray dikarenakan jarak antar
sumur yang cukup jauh satu dengan lainnya dan karakteristik nilai gamma ray yang
dimiliki di tiap sumur cukup khas bila dibandingkan satu dengan yang lain, sehingga
nilai gamma ray-nya pun tidak dapat dinormalisasi atau disamaratakan. Setelah
menentukan nilai maksimum dan nilai minimumnya, perhitungan volume serpih dapat
dilakukan dengan menggunakan fungsi linear. Perhitungan dilakukan pada masing-
masing sumur penelitian. Besar atau kecilnya nilai volume serpih akan berpengaruh pada
nilai porositas efektif. Semakin besar nilai volume serpih suatu reservoar, maka nilai
porositas efektifnya akan semakin kecil yang juga berpengaruh pada kualitas reservoar.

70
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A025UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Semakin kecil nilai porositas efektifnya, maka kualitas reservoar akan semakin buruk.
Pada Tabel 2, ditunjukkan hasil nilai volume serpih setelah dilakukan perhitungan yakni
termasuk kecil.

Langkah selanjutnya setelah menentukan volume serpih adalah menentukan


porositas. Pada penelitian ini, perhitungan porositas yang dihitung meliputi perhitungan
porositas total (Φt) dan porositas efektif (Φe). Namun, sebelum melakukan perhitungan
nilai porositas, terlebih dahulu dilakukan penentuan parameter-parameter yang
digunakan pada perhitungan porositas berupa nilai density porosity dan nilai neutron
density dari free fluid (FL), matrix (MA), dry clay (DC), dan wet clay (WC). Identifikasi nilai
parameter dilakukan dengan menggunakan crossplot antara log RHOB dengan log NPHI
dan ternary diagram antara titik MA, DC, dan FL. Pada Interval-B, nilai matriks yang
digunakan adalah nilai mineral kalsit (RHOB MA = 2710 kg/m3), volume serpih
diasumsikan sebagai volume dari mineral illit (RHOB DC = 2776 kg/m3), dan fluida air
tawar. Sedangkan pada Interval-A dengan litologi batupasir, nilai matriks yang
digunakan adalah mineral kuarsa (RHOB MA = 2650 kg/m3), volume serpih diasumsikan
sebagai volume mineral kaolinit (RHOB DC = 2640 kg/m3), dan fluida air tawar (Gambar
8).

Setelah didapatkan parameter yang dibutuhkan, perhitungan porositas dapat


dilakukan dengan menggunakan berbagai pilihan metode yakni log densitas, log neutron,
log sonik, log densitas-neutron, dan log neutron-sonik. Hasil perhitungan porositas dari
berbagai metode tersebut kemudian divalidasi dengan nilai porositas total dari data
SCAL. Berdasarkan perbandingan nilai antara porositas dari perhitungan log dengan
porositas dari data SCAL, maka didapatkan hasil yang paling mendekati nilai porositas
total dari data SCAL adalah metode log neutron-sonik (Tabel 3). Nilai porositas juga
menjadi salah satu penentu kualitas reservoar. Semakin tinggi nilai porositas efektif,
maka kualitas reservoar akan semakin baik.

Kemudian, setelah menghitung porositas dilakukanlah perhitungan saturasi air.


Perhitungan saturasi air ditentukan dengan menggunakan parameter-parameter, seperti
resistivitas air formasi (Rw), resistivitas formasi (Rt), konstanta tortuosity (a), faktor
sementasi (m), eksponen saturasi (n), dan porositas efektif (Φe). Rumus perhitungan
saturasi air terdiri dari berbagai macam persamaan yang diturunkan dari Persamaan
Archie (1941), yaitu Persamaan Indonesia, Persamaan Simandoux, Persamaan Waxman-
Smits, Persamaan Dual-Water, dan Persamaan Juhasz. Pada penelitian ini, peneliti
membandingkan hasil dari perhitungan antara 2 persamaan, yaitu Persamaan Indonesia
dan Persamaan Simandoux. Penggunaan persamaan tersebut dikarenakan reservoar yang
menjadi objek penelitian sifatnya adalah shaly. Hal ini dapat dilihat dari nilai volume

71
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A025UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

serpih yang jumlahnya melebihi 20%. Sebelum melakukan perhitungan saturasi air,
terlebih dahulu dilakukan perhitungan terhadap parameter-parameter yang diperlukan.
Pada penelitian ini, nilai konstanta tortuosity (a), faktor sementasi (m), dan eksponen
saturasi (n) yang digunakan adalah berdasarkan nilai umum yang digunakan pada
litologi batuan yakni a = 1, m = 2 untuk batugamping dan a = 1,45, m = 1,7 untuk batupasir
gampingan, serta n = 2. Nilai-nilai tersebut digunakan karena keterbatasan data dan tidak
adanya analisis lebih lanjut yang dimiliki terhadap data batuan inti. Berikut ini adalah
tabel yang menunjukkan nilai-nilai parameter a, m, dan n pada beberapa batuan menurut
Asquith (1980). Nilai RT didapatkan dari pembacaan log resistivitas formasi (ILD ataupun
LLD) yang sudah dikoreksi. Log RT memiliki fungsi membaca nilai resistivitas pada zona
yang tak terinvasi lumpur pemboran. Nilai RT dapat menunjukkan kandungan fluida
reservoar (fresh water, connate water, minyak, gas, ataupun kondensat). Pada penelitian ini,
dalam menentukan nilai Rw dilakukan dengan menggunakan metode pickett plot. Metode
ini menggunakan crossplot antara nilai porositas efektif pada sumbu Y dengan nilai RT
pada sumbu X. Pada metode ini, terlebih dahulu menentukan water bearing formation yang
merupakan lapisan permeabel yang mana di dalamnya terdapat air formasi. Lokasi water
bearing formation ditentukan berdasarkan data DST yakni pada perforasi yang
mengalirkan air formasi. Lalu, dari data tersebut dilihat log NPHI tinggi, gamma ray
rendah, dan resistivitas rendah di dalam reservoar. Kemudian, pada interval yang
diestimasi mengandung air formasi tersebut dilakukan penandaan (highlight) untuk
memudahkan analisis. Setelah dilakukan highlight, maka persebaran interval water bearing
formation akan tampak di pickett plot. Lalu, persentase Sw 100% pada garis Ro dihimpitkan
dengan titik plot highlight yang paling mendekati garis Ro (Gambar 9). Setelah didapatkan
nilai Rw, kemudian dilakukan konversi nilai Rw @77°F. Nilai Rw yang didapat dari
pickett plot adalah nilai pada salinitas dan suhu bawah permukaan (subsurface temperature).
Pada perhitungan nilai Sw, nilai Rw yang digunakan adalah pada kondisi suhu di atas
permukaan yaitu 77°F atau 25°C. Parameter saturasi air tak-terdesak (Swirr) juga
dibutuhkan untuk menghitung nilai saturasi air (Sw) yang didapat data SCAL yakni
sebesar 0,24. Swirr merupakan besaran volume air yang tidak dapat didesak lagi dari
dalam formasi karena adanya pengaruh tekanan kapiler pada batuan.

Saturasi air dihitung dengan menggunakan rumus Persamaan Indonesia (Poupon


dan Leveaux, 1971) dan Persamaan Simandoux (Simandoux, 1963). Hasil perhitungan
tersebut kemudian divalidasi dengan data SCAL. Berdasarkan perbandingan perhitungan
saturasi air dari kedua rumus persamaan dengan saturasi air dari data SCAL, maka
didapatkan nilai saturasi air yang dianggap paling mendekati kondisi lingkungan interval
penelitian ialah metode Persamaan Simandoux. Saturasi air menunjukkan banyaknya air
yang terkandung di dalam reservoar. Saturasi air adalah perbandingan antara volume free

72
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A025UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

water dengan porositas efektif. Hasil perhitungan dengan metode Simandoux dapat
dilihat pada Tabel 4.

Setelah mendapatkan nilai saturasi air, maka tahapan selanjutnya adalah


menghitung nilai permeabilitas. Permeabilitas merupakan kemampuan dari suatu batuan
untuk mengalirkan fluida hidrokarbon di dalam pori-pori batuan tersebut. Fungsi
permeabilitas dipengaruhi oleh gradien tekanan dan viskositas fluida. Pada penelitian ini,
perhitungan permeabilitas dilakukan dengan menggunakan metode Persamaan Wyllie
and Rose. Metode ini menggunakan persamaan yang mengacu pada nilai porositas efektif
dan nilai Swirr. Nilai porositas efektif batuan diperoleh dari proses perhitungan porositas
yang telah dilakukan sebelumnya, sedangkan nilai Swirr yang didapat dari analisis SCAL
adalah sebesar 24%.

5. Penentuan Cut Off

Penentuan cut off dilakukan dengan menggunakan beberapa data, yaitu data DST
dan data wireline log. Penentuan cut off yang dilakukan adalah dengan menggunakan
parameter petrofisik, seperti Vsh, porositas efektif, saturasi air, dan permeabilitas
(Gambar 10). Hasil penentuan cut off akan digunakan sebagai dasar penentuan net pay.

Cut off Vsh didasarkan pada nilai log gamma ray yang memiliki nilai sebesar 50%
(0,5 v/v). Hasil cut off ini digunakan untuk menentukan net sand dimana batuan dengan
nilai Vsh <50% merupakan batupasir atau batugamping, sedangkan batuan dengan nilai
Vsh >50% merupakan batuan yang tidak dianggap sebagai batupasir atau batugamping.

Cut off porositas dilakukan dengan tujuan untuk membedakan batuan yang
berpotensi sebagai reservoar dan yang tidak berpotensi sebagai reservoar. Nilai cut off
porositas pada penelitian ini adalah sebesar 5% (0,05 v/v). Hasil cut off ini digunakan
untuk menentukan net reservoir dimana batupasir dan batugamping dari hasil cut off sand
sebelumnya yang juga memiliki nilai porositas yang >5% dianggap sebagai batuan yang
berpotensi sebagai reservoar, sedangkan nilai porositas <5% dianggap tidak berpotensi
sebagai reservoar.

Cut off Sw dilakukan dengan tujuan untuk membedakan batuan yang berpotensi
mengandung hidrokarbon dan batuan yang tidak berpotensi mengandung hidrokarbon.
Nilai cut off Sw pada penelitian ini adalah sebesar 80% (0,8 v/v). Hasil cut off ini digunakan
untuk menentukan net pay dimana batuan dari hasil cut off reservoir sebelumnya yang juga
memiliki nilai Sw yang <80% dianggap sebagai batuan yang berpotensi mengandung
hidrokarbon, sedangkan batuan dengan nilai Sw <80% dianggap tidak berpotensi
mengandung hidrokarbon dan cut off permeabilitas adalah sebesar 1 mD.

73
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A025UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

6. Penentuan Zona Potensi Hidrokarbon

Setelah didapatkan nilai cut off dari masing-masing parameter petrofisik, maka
tahap terakhir adalah menentukan zona potensi hidrokarbon pada masing-masing
interval di sumur penelitian. Zona potensi hidrokarbon ini merupakan zona kedalaman
secara vertikal dengan nilai petrofisik batuan (porositas, volume serpih, saturasi air, dan
permeabilitas) yang dapat memproduksi hidrokarbon. Karakteristik fisik batuan pada
zona potensi hidrokarbon ini telah berada pada batas flow yang telah ditentukan pada
tahap cut off sebelumnya. Oleh karena itu, pada zona ini dapat dipastikan bahwa
hidrokarbon dapat diproduksi. Pada zona penentuan zona potensi hidrokarbon ini juga
telah dicocokkan dengan interpretasi kondisi kurva log gamma ray yang defleksi ke kiri,
log densitas defleksi ke kiri, log neutron defleksi ke kiri, dan defleksi antar log-log
resistivitas. Hasil layout dari penentuan zona potensi hidrokarbon dapat dilihat pada
Gambar 11 – 16.

V. KESIMPULAN

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan mengenai fasies, lingkungan


pengendapan, stratigrafi sekuen, petrofisik, dan penentuan zona potensi hidrokarbon
pada Subcekungan Berau dan Muara Cekungan Tarakan, maka didapatkan kesimpulan
sebagai berikut :

1. Fasies batuan pada Interval-A terdiri dari batupasir gampingan perselingan


batulanau. Fasiesn batuan pada Interval-C terdiri dari fasies batupasir gampingan.
Fasies batuan pada Interval-B terdiri dari fasies grainstone perselingan batulanau,
fasies wackestone perselingan packstone dan batulanau, fasies grainstone, fasies
batugamping sisipan batupasir, dan fasies batugamping terumbu. Sedangkan
lingkungan pengendapan pada Interval-A terdiri dari lower middle bathyal dan middle
sublittoral. Lingkungan pengendapan pada Interval-B terdiri dari inner sublittoral,
middle sublittoral, outer sublittoral, dan organic build-up carbonates.

2. Karakteristik batuan reservoar pada Interval-A, B, dan C Formasi Tabalar, Birang dan
Sembakung Subcekungan Berau dan Muara Cekungan Tarakan untuk dapat menjadi
zona potensi hidrokarbon adalah memiliki volume serpih (Vsh) < 50%, porositas
efektif (ϕe) > 5%, saturasi air (Sw) < 80%, dan permeabilitas (k) > 1 mD.

3. Zona potensi hidrokarbon pada Interval-A, B, dan C Formasi Tabalar, Birang, dan
Sembakung Cekungan Tarakan terdapat pada Gambar 11 – 16.

74
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A025UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Z., dan Samuel, L., 1984. Stratigraphy and Depositional Cycles in The N.E.
Kalimantan Basin. Proceedings, IPA 13th Annual Convention. Jakarta: Indonesian
Petroleum Association.

Adhitiya, R., Adeyosfi, M. M., Angkasa, S. S., dan Sihombing, F., 2013. Fasies dan
Diagenesis Formasi Tabalar dan Tendehantu di Tanjung Mangkalihat: Studi
Awal Berdasarkan Singkapan untuk Keprospekan Kandidat Reservoar Berumur
Oligosen – Miosen. Buletin Sumber Daya Geologi Volume 7 No. 2 Tahun 2012.

Archie, G. E., 1941. The Electrical Resistivity Log As An Aid in Determining Some
Reservoir Characteristics. Petroleum Transactions of AIME. Am. Inst. Min. Metall.
Eng.

Embry, A. F. dan Klovan, J. E., 1971. A Late Devonian Reef Tract on Northeastern Banks
Island Northwest Territories. Buletin Canadian Petroleum Geologists.

Fraser, T. H. dan Ichram, L. O., 1999. Significance of The Celebes Sea Spreading Center to
The Paleogene Petroleum System of The SE Sunda Margin, Central Indonesia.
Proceedings, IPA 27th Annual Convention. Jakarta: Indonesian Petroleum
Association.

Hedgpeth, J., 1957. Classification of Marine Environments and Concepts of Marine


Ecology. In: Hedgepeth, J., E., The Treatise on Marine Ecology and Paleoecology,
Vol. 1, Ecology. New York: Memoir No. 67 of The Geological Society of America.

Koesoemadinata, R.P., 1980. Geologi Minyak dan Gas Bumi Jilid 1 dan 2. Institut Teknologi
Bandung, Bandung.

Koesoemadinata, R.P., 1987. Reef Carbonate Exploration. Program IWPL – Migas, Institut
Teknologi Bandung.Lentini, M. R. dan H. Darman. 1996. Aspects of The Neogene
Tectonic History and Hydrocarbon Geology of The Tarakan Basin. Proceedings,
IPA 25th Annual Convention. Jakarta: Indonesian Petroleum Association.

Netherwood, R. dan Wight, A., 1992. Structurally Controlled Linear Reefs in A Pliocene
Delta-Front Setting, Tarakan Basin, Northeast Kalimantan, in Carbonate Rocks
and Reservoirs of Indonesia. Jakarta: IPA Core Workshop Notes.

75
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A025UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Poupon, A. dan Leveaux, J., 1971. Evaluation of Water Saturations in Shaly Formation.
SPWLA 12th Annual Logging Symposium, Paper O.

PT. Patra Nusa Data. 2006. Indonesia Basin Summaries: PT. Patra Nusa Data.

Samuel, L., 1980. Relation of Depth to Hydrocarbon Distribution in Bunyu Island, N. E.


Kalimantan. Proceedings, IPA 9th Annual Convention. Jakarta: Indonesian
Petroleum Association.

Satyana, A. H., Nugroho, D., dan Surantoko, I., 1999. Tectonic Controls on The
Hydrocarbon Habitats of The Barito, Kutai and Tarakan Basin. Eastern
Kalimantan, Indonesia: Major Dissimilarities. Journal of Asian Earth Sciences
Special Issue Vol.17, No.1-2. Oxford: Elsevier Science.

Simandoux, P., 1963. Dielectric Measurements on Porous Media Application to The


Measurement of Water Saturations: Study of The Behaviour of Argillaceous
Formations. Supplementary Issue: Revue de l’Institut Francais du Petrole 18.

Van Wagoner, J. C., Mitchum, R. M., Champion, K. M., dan Rahmanian, V. D., 1990.
Siliciclastic Sequence Stratigraphy in Well Logs, Cores, and Outcrops : Concepts for
High Resolution Correlation of Time dan Facies. Tulsa: American Association of
Petroleum Geologists.

Walker, R. dan James, N., 1992. Facies Model: Response to Sea Level Change (1st edition.).
Ottawa: Geological Association of Canada.

Wilson, J. L., 1975. Carbonate Facies in Geologic History. New York: Springer-Verlag.

TABEL
Tabel 1. Ketersediaan data pada setiap sumur penelitian

Wireline Log D-1 D-2 D-3 D-4 D-5

Gamma ray (GR) V V V V V

Neutron (NPHI) V V V V V

Densitas (RHOB) V V V V V

76
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A025UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Sonik (DT) V V V V V

Resistivitas Zona Transisi (LLS) V V - V V

Resistivitas Zona Tak Terinvansi V V - V V


(LLD)

Resistivitas Zona Terinvansi (MSFL) V V V V V

Bit Size (BS) V V V V V

Kaliper (CALI) V V V V V

Core V - - V V

Sidewall core V V V V V

Biostratigrafi V V V V V

Drill Stem Test - - V - V

Tabel 2. Hasil perhitungan volume serpih

Volume Serpih
(v/v)

Sumur Interval
Minimum Maksimum Rata-rata

A 0 1 0,4446

D-1

B 0 1 0,3882

A 0 1 0,4736

D-2
B 0 0,4679 0,0694

D-3 B 0 1 0,2534

D-4 B 0 1 0,5215

D-5 B 0 1 0,4291

77
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A025UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 3. Hasil perhitungan porositas efektif metode neutron-sonik

Porositas Efektif (v/v)

Sumur Interval
Minimum Maksimum Rata-rata

A 0 0,4805 0,3253

D-1

B 0 0,1905 0,894

A 0 0,2926 0,1421

D-2

B 0,0993 0,5983 0,2846

D-3 B 0 0,3331 0,2293

D-4 B 0 0,6824 0,0702

D-5 B 0 0,4462 0,0540

Tabel 4. Hasil perhitungan nilai saturasi air

Saturasi Air Efektif (v/v)

Sumur Interval

Minimum Maksimum Rata-rata

A 0,7427 1,1858 0,9995

D-1

B 0,0397 1 0,2179

A 0,0869 1,2483 0,5637

D-2

B 0,3579 1,0437 0,5548

D-3 B 0,2905 1,0375 0,4873

D-4 B 0,0089 2,1143 0,5131

D-5 B 0,0181 2,3207 0,6089

78
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A025UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

GAMBAR

Gambar 1. Generalized Stratigraphic Column N.E. Kalimantan (Achmad dan Samuel, 1984

Gambar 2. Interval-A, B, dan C pada sumur penelitian

79
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A025UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Lingkungan pengendapan fasies batupasir gampingan perselingan batulanau


Formasi Sembakung dengan deskripsi sidewall core

Gambar 4. Lingkungan pengendapan fasies wackestone perselingan packstone dan batulanau


Formasi Tabalar dengan deskripsi sidewall core

80
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A025UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. Lingkungan pengendapan fasies grainstone beserta dengan deskripsi


sidewall core

81
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A025UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 6. Pembagian lingkungan pengendapan dan system tract dari Sumur D-2

82
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A025UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 7. Penentuan nilai GRmaks dan GRmin pada Interval-B di sumur D-3 berdasarkan
histogram frekuensi gamma ray

Gambar 8. Hasil crossplot dari density porosity dengan neutron porosity dan ternary diagram.

Kiri : Interval-A, kanan : Interval-B.

83
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A025UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 9. Crossplot nilai porositas efektif dengan log RT di semua sumur pada Interval-A
(kiri) dan Interval-B (kanan). Titik-titik berwarna hijau merupakan highlight dari water bearing
zone.

Gambar 10. Penentuan cut off Vsh, porositas efektif, dan saturasi air pada Interval-B

84
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A025UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 11. Zona potensi hidrokarbon pada Interval-B di Sumur D-1

Gambar 12. Zona potensi hidrokarbon pada Interval-A di Sumur D-2

Gambar 13. Zona potensi hidrokarbon pada Interval-B di Sumur D-2

85
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A025UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 14. Zona potensi hidrokarbon pada Interval-B di Sumur D-3

Gambar 15. Zona potensi hidrokarbon pada Interval-B di Sumur D-4

86
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A025UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 16. Zona potensi hidrokarbon pada Interval-B di Sumur D-5

87
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

GEOCHEMICAL METHOD FOR SOURCE ROCK ANALYSIS IN


JT-1 WELL, CENTRAL SUMATERA BASIN
Cecilia Jatu Praba Datu1*, Adventino2
1Jl. Grafika No.2, Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
2Jalan Kyai Tapa, Fakultas Teknik Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Grogol, Jakarta

*Corresponding author: ceciliajatupd@gmail.com

ABSTRACT. The research is located in JT-1 well, Central Sumatra Basin. There are 3 formations at
JT-1 well, Sihapas Formation, Telisa Formation, and Petani Formation. The study is aimed to
determine the potential hydrocarbon sources of quality, quantity, maturity, and hydrocarbon
potential depth through geochemical method analysis. Rock-eval pyrolysis used to identify the
type and maturity of organic matter and petroleum potential in sediments. The depth of the
potential hydrocarbon source can be determined afterwards. The results of the analysis on
geochemical data show that the value of Total Organic Carbon (TOC) in the JT-1 well has poor to
good quality with kerogen II type (oil & gas prone), and kerogen III type (gas-prone). The Sihapas
Formation has high TOC value (0.5 – 1.5%) which is categorized as mature (436 – 443 oC). The
value of Hydrogen Index (HI) could show the kerogen type. Sihapas Formation has HI value of
117 - 724 mgHC/g TOC (gas to oil-prone). While some data of Telisa Formation and all of Petani
Formation categorized to be immature. The TOC value of the Telisa Formation ranges from 0.48 -
1.49% and Petani Formation 0.57 - 0.7%. Sihapas Formation (4150-4939 feet depth) in JT-1 well has
potential as a hydrocarbon source rock with poor to fair organic richness and mature maturity. It is
suitable with the lithology data that consists of organic-rich sandstone with a thin layer of coal.

Kata kunci: Geochemical Method, Source Rock, Sihapas Fm., Central Sumatera Basin

I. PENDAHULUAN

Batuan induk merupakan salah satu komponen atau syarat penting di dalam
petroleum system. Dapat di katakan sebagai batuan induk apabila memiliki nilai
kandungan tingkat organik serta kematangan yang cukup dan memiliki kapabilitas
sebagai sumber hidrokarbon (Waples, 1985). Oleh karena itu batuan induk merupakan
suatu kitchen atau tempat dimana asal sumber terbentuknya suatu hidrokarbon.

Tujuan dari penelitian ini untuk menganalisis serta mengevaluasi batuan induk di
Lapangan “Y” yang termasuk kedalam Cekungan Sumatera Tengah (Gambar.1
Cekungan Sumatera Tengah dan Lokasi Daerah Penelitian). Adapun objek penelitian di
fokuskan pada beberapa formasi seperti Formasi Sihapas, Formasi Telisa dan Formasi
Petani.

88
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

II. GEOLOGI REGIONAL


Cekungan Sumatera Tengah terletak di bagian belakang busur (back arc basin)
yang terbentuk akibat penunjaman lempeng Samudera Hindia bergerak kea rah Utara
yang mengalamin penyusupan ke bawah lempeng Benua Asia (Heidrick dan Aulia,
1993). Pada awal Tersier, Cekungan Sumatera Tengah terbentuk dan terjadi struktur -
horst-half graben akibat dari proses gaya ekstensional dengan arah Barat-Timur. Daerah
half-graben terisi sedimen clastic non-marine dan sedimen danau (Eubank dan Makki,
1981 dalam Heidrick dan Aulia, 1993).
Stratigrafi regional Cekungan Sumatera Tengah tersusun atas beberapa unit
formasi dan kelompok batuan. Diatas batuan dasar, secara tidak selaras terendapkan
suksesi batuan sedimen yang berumur Tersier. Adapun stratigrafi Cekungan Sumatera
Tengah dari tua-muda (Hedrick dan Aulia, 1993) yaitu Kelompok Pematang, Kelompok
Sihapas (Formasi Menggala, Formasi Bangko, Formasi Bekasap, Formasi Duri), Formasi
Telisa, Formasi Petani dan Formasi Minas Gambar 2.

III. METODE PENELITIAN


Metode yang di gunakan yaitu metode analisis geokimia berupa Total Organic
Carbon (TOC), Rock-eval pyrolysis, Potential Yield, Hydrogen Index dan Oxygen Index.
Analisis tersebut akan di hubungkan terhadap persamaan data geokimia yang akan
menghasilkan suatu diagram yang menggambarkan besar nilai suatu batuan induk. Nilai
yang dihasilkan akan menginterpretasikan hubungan analisis geokimia terhadap
pembentukan batuan induk yang ada di Cekungan Sumatera Tengah.

IV. HASIL

1. Analisis Kelimpahan Organik (TOC) terhadap Potential Yield

Berdasarkan klasifikasi (Waples, 1985) maka Formasi Telisa dan Formasi Sihapas
memiliki nilai TOC sebesar 0.5-1.5% dengan kapasitas sebagai batuan induk terbatas
sampai sedang dan besar nilai Potential Yield yang dihasilkan 0.5-3 mgHC/g batuan
(buruk sampai sedang). Hasil analisis dapat dilihat pada Gambar 3.

2. Analisis Rock Eval Pyrolysis

Dilakukan analisis ini bertujuan untuk memisahkan komponen organik bebas


(bitumen) dan organik yang masih terikat dalam batuan induk (Espitalie et al., 1977).
Berdasarkan analisis hubungan TOC terhadap Hydrogen Index (HI), maka Formasi
Petani, Formasi Telisa dan Formasi Sihapas memiliki nilai TOC sebesar 0.6-1.6% dengan
kapasitas sebagai batuan induk terbatas sampai sedang, produk utama berupa minyak
dan gas dengan jumlah relatif sedikit. Pada Formasi Petani, produk utama berupa gas

89
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

dengan jumlah relative sedikit (Waples, 1985). Hasil analisis dapat dilihat pada Gambar
4.

Hubungan Oxygen Index terhadap Hydrogen Index maka produk utama yang
dihasilkan pada Formasi Telisa berupa gas dengan jumlah relatif sedikit. Pada Formasi
Sihapas, produk utama yang di hasilkan berupa gas dengan jumpa relatif sedikit namun
juga di temukan produk utama berupa minyak dengan jumlah relatif banyak sampai
dengan sangat banyak Hasil analisis dapat dilihat pada Gambar 5.

Nilai Tmax terhadap Hydrogen Index bertujuan untuk mengetahui produk utama
yang dihasilkan terhadap nilai kematangan suatu hidrokarbon. Hasil analisis
menunjukkan bahwa Nilai Tmax 435oC-440oC yang mengindikasikan bahwa Formasi
Sihapas menunjukkan nilai kematangan belum matang sampai awal kematangan dengan
produk utama berupa minyak dengan relatif banyak sampai sangat banyak. Pada
Formasi Telisa nilai Tmax 420 oC -440 oC menunjukkan nilai kematangan belum matang
sampai awal kematangan dengan produk utama berapa minyak dan gas dengan jumlah
relatif sedikit (Waples, 1985). Hasil analisis dapat dilihat pada Gambar 6.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

Formasi Sihapas diduga sebagai batuan induk di Cekungan Sumatera Tengah


dengan memiliki produk utama berupa dominan minyak (relatif banyak-sangat banyak)
dan bercampur gas (relatif sedikit) yang dimana memiliki tingkat kematangan berupa
awal matang. Kemudian Formasi Telisa diduga juga sebagai batuan induk kedua dengan
memiliki produk utama berupa gas (relatif sedikit) yang dimana memiliki tingkat
kematangan berupa awal matang.

Untuk saran tentunya perlu dilakukan analisis geokimia dengan menambahkan


parameter geokimia lain agar hasil dapat menjadi lebih akurat.

DAFTAR PUSTAKA

Espitalie, J., Laporte, J.L., Madec, M., Marquis, F., Leplat, P. and Paulet, J. 1977. Methode
rapide de characterization des roches meres, de leur potential petrolier et de leur
degre d evolution. Rev. Inst. Fr. Petr., 32, 23-45.

Eubank, R.T. and Makki, A. C., 1981. Structural Geology of the Central Sumatra Basin
Proceeding IPA, 10th Annual Convention, p. 283-317.

Heidrick, T.L. dan Aulia, K., 1996. Regional Structural Geology of The Central Sumatera
Basin, Petroleum Geology of Indonesian Basins, Pertamina BPPKA Indonesia,
hal.13-156.

90
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Waples, DW, 1985. Geochemistry in Petroleum Exploration, the International Human


Reources Development Corporation, Boston.

91
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 1. Data Geokimia di Lapangan “Y”, Cekungan Sumatera Tengah

92
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Cekungan Sumatera Tengah dan Lokasi Daerah Penelitian (Sumber: HIS, 2019).

93
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Stratigrafi Cekungan Sumatera Tengah menurut Hedrick dan Aulia, 1993.

94
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Nilai TOC vs Potential Yield Pada Lapangan “Y” di Cekungan Sumatera Tengah.

Gambar 4. Nilai TOC vs Hydrogen Index Pada Lapangan “Y” di Cekungan Sumatera Tengah

95
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. Nilai Oxygen Index terhadap Hydrogen Index Pada Lapangan “Y” di Cekungan
Sumatera Tengah.

Gambar 6. Nilai Tmax terhadap Hydrogen Index Pada Lapangan “Y” di Cekungan Sumatera
Tengah.

96
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A027UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

HOW FAR THE ROCK TYPE AND LIMESTONE FACIES ARE INTERRELATED: A
CASE STUDY IN OILFIELD, BANGGAI BASIN, CENTRAL SULAWESI

Fachry Muhammad1*, Benyamin1, Firman Herdiansyah1, Andika Widyasari2


1Department of Geological Engineering, Trisakti University
2PT. Medco E&P Indonesia

*Corresponding Author: Fachrymuhammad@outlook.com

ABSTRAK Located in the Central Sulawesi, this study about relation between rock type and
limestone facies can be known using qualitative and quantitative analysis. Qualitative analysis consist
of facies analysis and quantitative analysis consist of quantify petrophysical property to performing
rock grouping based on Flow Zone Indicator. Qualitative analysis shows that the lithology
dominantly consists of limestone. Then based on facies analysis shows there are three reef system that
are back reef lagoon, core reef and fore reef. Reef system that arranged by lithofacies consists of
wackstone with very good vuggy, packstone, grainstone and mudstone. In the quantitative analysis
based on petrophysical value there are consist four rock type, wackstone with very good vuggy is
dominated with rock type 1 which has value of FZI > 1.32 micrometers, permeability 11.05 - 2233.98
md and porosity 16% - 42%. The packstone is dominated with rock type 2 which has value of FZI 1.31
- 0.66 micrometer, permeability 2.08 - 38.17 md, porosity 13% - 29%. The grainstone is dominated with
rock type 3 which has value of FZI 0.65 - 0.38 micrometers, permeability 0.1 - 8.89 md, porosity 8% -
24% and the mudstone is dominated with rock type 4 has a value of FZI < 0.37 micrometer,
permeability 0.01 - 0.16 md, porosity 6% - 12%. The relation between rock type and reef system facies
is unrelated, but the rock type with lithofacies has a bit related which consists of wackstone with very
good vuggy has an excellent rock type, packstone has a good rock type, grainstone has a fair rock type
and mudstone has a poor rock type, there are due to the presence of diagenetic control in carbonate
rocks.

Kata kunci: Central Sulawesi, Flow Zone Indicator, Lithofacies, Related, Rock type

I. INTRODUCTION
Banggai basin is one of the basin that has hydrocarbon potential which has not been
fully exploited. The basin is unique because it is have good potential hydrocarbon rather
than other basin like Pulau Seram and Buton. The phenomenon may be caused by Banggai-
Sula microcontinent after affect from tectonic activity deformation of surrounding area. This
study is located in Mentawa Member, Minahaki Formation which have carbonate rocks. The
carbonate rocks are indicated as good reservoir and have a complex feature that needs a
special treatment for knowing characterization of carbonate reservoir. The complex feature
such as high heterogeneity and solubility makes porosity develop to large size compare than
usual. Therefore, it has become a challenge for geologist to increase confidence and decrease
risk from exploration.

97
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A027UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

II. REGIONAL GEOLOGY


Banggai basin is located in the south of east arm Sulawesi and west from Banggai
island in Indonesia. The basin has dominantly in offshore position from north of Laut Banda
and shows only 18% on surface. Manui fault zone formed basin boundary at southwest
direction. The basin boundary in northwest formed by Batui fault zone and ophiolite belt
from east Sulawesi. It also had researched by Fletcher and Soeparjadi (1976), Banggai basin
as an inner arc basin. Banggai-Sula microcontinent was interpreted as proceed from
Gondwana separation in Mesozoikum age. Those separation has expansion to west side and
connecting with microplate in the edge. It is called West Sulawesi. Passive sedimentation
held in Cretaceous until Paleogen age. This sedimentation occurs because microcontinent
plate has expansion. Analog data such as outcrops existed in surface and supported by well
data that show diagenetic of carbonate rocks started in Eosen Epoch in south and west side,
whereas in east part the carbonate sedimentation looks unclear and on next diagenetic occur
in Miosen Epoch. Intensive carbonate setting which located in shelf environment grow patch
reef that around this area in Miosen Epoch. This basin was classified in thrust fold belt basin
because there is occur collusion from tectonic control. All geological structure feature become
play a role in Banggai Basin. The stratigraphy on Banggai basin is relatively simple
(Supandjono & Haryono 1993, Surono & Sukarna 1993, Garrard dkk. 1988). It is consisting of
Pre-Tertiary until Tertiary age. Basement of Pre-Tertiary Banggai Basin is formed by schist
mica, kwarsit and granite which have unconformity relation with Salodik Group that have
Tertiary age in Banggai-Sula microcontinent. Salodik Group has several Formations consist
of Tomori Formation, Matindok Formation, Minahaki Formation and Mentawa Member.
Afterward, there are no depositional sedimentation after thrust fault in Salodik Group. Schist
mica radiometric basement shows absolute age in Pre-Tertiary. The stratigraphy that
arranged the Banggai Basin is from the oldest to youngest. (Figure 1)

III. METHODS
The data source used in this study from Medco E&P Indonesia company. It is consist
of five wireline log to know reservoir zone, core data such as thin section and mudlog in this
study area. This analysis divided into two methods are qualitative analysis and quantitative
analysis. Qualitative analysis to determine lithology from gamma ray log combine with
resistivity log and quality c ontrol of reservoir marker. Quantitative analysis is calculating
petrophysical properties consist of volume shale, porosity, water saturation and permeability
so rocktype can be analyzed with flow zone indicator methods from each well.

98
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A027UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

IV. RESULT
Lithofacies that arranged in the reservoir zone is wackstone with very good vuggy
facies, packstone facies, grainstone facies and mudstone facies, that statement determine
based on mudlog and thin section data. Reef system facies that arranged in this area are back
reef lagoon, fore reef and core reef.
The relation between petrophysics property and facies due to Koesoemadinata
classification (1978) is backreef lagoon including very good reservoir and fore reef including
good reservoir. The heterogeneity in this carbonate reservoir is divided into 4 rocktype based
on the flow zone indicator analysis which have a character in rock type 1 with FZI > 1.32
micrometers, permeability: 11.05 - 2233.98 md and porosity: 16% - 42%. Then rocktype 2 with
FZI 1.31 - 0.66 micrometer, permeability: 2.08 - 38.17 md, porosity: 13% - 29%. In rock type 3
with FZI 0.65 - 0.38 micrometers, permeability: 0.1 - 8.89 md, porosity: 8% - 24% and rock
type 4 with FZI < 0.37 micrometer, permeability: 0.01 - 0.16 md, porosity: 6% - 12%.
The relation between rocktype with reef system facies is not related because each
facies has several rocktype in reservoir zone. The relation between rocktype with lithofacies
has a bit related because porosity and permeability in carbonate rocks controlled by
diagenetic process.

V. DISCUSSION
1. Lithofacies Analysis
Lithofacies analysis in the reservoir zone used several data consist of thin section and
mudlog descriptions in each well. Lithofacies divided into 4 (four) facies consist of:
1. Skeletal wackstone with very good vuggy facies
The skeletal wackstone with very good vuggy facies was determined by description
from thin section in FM-2ST well. This facies characterized by Lepidocyclina benthic
foraminifera, alga fragments, Mollusca, Elphidium, small benthic foraminifera, Echinoid,
Ostracoda and vuggy porosity (Dunham, 1962). (Figure 2)
2. Skeletal packstone facies
The skeletal packstone facies was determined by the description from thin section in
FM-4 well. It is consist of red algae, Ostracoda, some of matrix had been cemented by
dolomite and intergranular porosity presence (Dunham, 1962). (Figure 3)
3. Grainstone facies
This facies was determined by the description from thin section in FM-4 well. This
facies characterized by Globigerina abundant, larger and smaller benthic foraminifera, alga
fragments, Bryozoan fragments, small Mollusca fragments, Ostracod fragment, some
intraskeletal space cemented with calcite and exist of intergranular porosity. (Dunham,
1962). (Figure 4)

99
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A027UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

4. Mudstone facies
This facies was determined based on mudlog description from FM-4 well. It is consist
of light gray – medium gray color, soft- firm, solid, foraminfera trace, skeletal trace and
cemented by carbonate matter. (Figure 5)
2. Reef System Analysis
Reef system analysis used all the data that has been analyzed such as lithofacies and
depth maps. The depth map role as a control for the distribution of reef system in this study
area. This analysis refers to the reef system classification of carbonate rocks according to Luis
Pomar (2004).
The FM-2ST well based on thin section analysis which was dominated by skeletal
wackstone and skeletal packstone and also exist of Echinoid. Afterward, based on mudlog
description in FM-1, FM-5 and FM-7 which dominated by wackstone and mudstone that
according to reef system classification from Luis Pomar (2004) these facies was included in
back reef lagoon.
Then in FM-4 well based on the description of the thin section which was dominated
by coarse skeletal packstone and grainstone and also the presence of red algae, according to
Luis Pomar classification (2004) this facies was included in fore reef. Then its interpretation
supported by bioclastic debris because debris deposits can only form in slope due to the
influence of turbulent currents (Bouma, 1962). Afterward, among the back reef lagoon and
fore reef, there is a core reef interpretation was carried out so that the reef system facies in
the study area become complete. (Figure 6)
3. Rock Type Analysis
This analysis begins with a petrophysical analysis from each well. Reservoir property
is calculated consist of volume shale and porosity using Asquith and Gibson equation (1982),
saturation water using Archie equation (1942) and predict permeability using the
transformation method with static calculations. (Table 1)
The predict permeability approach is an artificial neural network (ANN) method
which consists of input, hidden layer and output layer from neurons (Haykin, 1999). This
concept uses a combination of several data that is used as a constraint which is sought the
equation of the component to find the prediction equation for the permeability value. This
rocktype analysis used a concept from Amaefule et al. (1993) with the FZI method (Flow
Zone Indicator). It is calculated with the Normalized Porosity Index and RQI (Reservoir
Quality Index) to obtain FZI value in all layers of the reservoir zone. The following is the FZI
method equation:
RQI = 0.0314 x (K/Øe)
NPI = ((1- Øe))/((Øe))
FZI = RQI/NPI

100
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A027UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Explanation:

K = Permeability

Øe = Effective Porosity

NPI = Normalized porosity index

RQI = Rock quality index

101
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A027UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

The cross plot between NPI and RQI in this study area show into four rock types.
In rocktype 1 has a value of FZI > 1.32 micrometers, rock type 2 has a value of FZI 1.31 -
0.66 micrometer, rock type 3 has a value of FZI 0.65 - 0.38 micrometers and rock type 4
has a value of FZI < 0.37 micrometer. Therefore, the best rock type is rocktype 1 because it
has the highest FZI value and the poor rock type is rock type 4 because it has the lowest
FZI value. This FZI analysis was distributed in each well using discrete log in each depth
interval. (Figure 7).
The difference value in this study was indicated by the diagenesis of carbonate
rocks of wackstone, packstone and grainstone. In wackstone with very good vuggy it is
indicated that the diagenetic environment in the vadose zone because the presence of
many vuggy porosity results from the dissolution of meteoric water. There is a lot of
secondary porosity formed to produce the best permeability transformation. Then, the
packstone and grainstone lithology were indicated in the phreatic zone because the thin
section of packstone shows cementation of calcite which is fills the existing pore cavities
and the presence of intergranular porosity resulting from the dissolution of meteoric
water from vadose zone. The difference between packstone and grainstone in the same
diagenetic environment are packstone has a good permeability transformation because
there are still intergranular porosity. Then for grainstone has fair permeability
transformation because in grainstone rocks there is no matrix present due to the entire
cementation so that geometry of grainstone is smaller than packstone (Longman, 1982).
Then, trend estimation in mudstone was affected by impermeable rock properties so that
the permeability in the reservoir have a poor value. (Figure 8)

V. CONCLUSION
The relation between facies and petrophysical analysis is back reef lagoon has very
good reservoir and fore reef has a good reservoir. Then, there are exist four rocktype
consist of wackstone with very good vuggy is dominated with rock type 1 which has
value of FZI > 1.32 micrometers, permeability 11.05 - 2233.98 md and porosity 16% - 42%.
The packstone is dominated with rock type 2 which has value of FZI 1.31 - 0.66
micrometer, permeability 2.08 - 38.17 md, porosity 13% - 29%. The grainstone is
dominated with rock type 3 which has value of FZI 0.65 - 0.38 micrometers, permeability
0.1 - 8.89 md, porosity 8% - 24% and mudstone is dominated with rock type 4 has a value
of FZI < 0.37 micrometer, permeability 0.01 - 0.16 md, porosity 6% - 12%. The relation
between rock type and reef system facies is unrelated, but the relation between rock type
with lithofacies has a bit related which consists of wackstone with very good vuggy has
an excellent rock type, packstone has a good rock type, grainstone has a fair rock type and
mudstone has a poor rock type, there are due to the presence of diagenetic control in
carbonate rocks.

102
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A027UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

ACKNOWLEDGEMENTS
The author would like to deliver our thank to Medco E&P Indonesia company who
provides the data and Joan Caroline Lumban Tobing and all colleagues who helped the
author in this study could work fluently.

REFRENCES
Amaefule, Jude., Mehmet Altunbay. 1993. Enhanced Reservoir Description: Using Core
and Log Data to Identify Hydraulic (Flow) Units and Predict Permeability in
Uncored Intervals/Wells. Texas: Society of Petroleum Engineers.
Archie, G.E. 1950. Introduction to Petrophysics of Reservoir Rocks. Bulletin of the
American Association of Petroleum Geologists.
Asquith., Gibson. 1982. Basic Well Log Analysis for Geologist. USA: The American
Association of Petroleum Geologists.
Bouma, A. H. 1962. Sedimentology of Some Flysch deposits: a graphic approach to facies
interpretation. Amsterdam: Elsevier
Dunham, R.J. 1962. Classification of carbonate rocks according to depositional texture.
AAPG Memoir 1.
G.L., Fletcher., R.A. Soeparjadi. 1976. Indonesia's Tertiary basins- the land of plenty.
Proc.Offshore South East Asia Conf. 1976, Singapore.
Garrard, R.A., Supandjono, J.B., and Surono, 1988. The geology of the Banggai-Sula
Microcontinent, Eastern Indonesia. Proceeding. 17th Annual Conference.
Indonesia Petroleum Association, Jakarta.
Haykin, S.S. 1999, Neural Networks: A Comprehensive Foundation, 2nd edition: Prentice
Hall. Upper Saddle River, New Jersey
Koesoemadinata, R.P., 1980, Geologi Minyak dan Gas Bumi Edisi Kedua Jilid I, ITB,
Bandung.
Laporan Internal IHS Energi Group. 2011. Banggai Basin Indonesia. Tidak
Dipublikasikan.
Laporan Internal JOB Pertamina-Medco Tomori. 2010. Banggai Basin Projects. Tidak
Dipublikasikan.
Longman, M.W. 1980. Carbonate Diagenetic Textures from Nearsurface Diagenetic
Environment. Buletin AAPG.
Pomar, Luis. 2004. The Late Miocene Reef Complex. Mallorca, Universitat Illes Balears.

103
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A027UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

TABEL
Table 1. The relation between petrophysics properties and reef system facies

Well Vshale PHIE SW K PHI% K Facies Explanation

Back

FM-

0.0268 0.2544 0.2671 228.647 24.7% 67.25 Reef Very Good


2ST
Lagoon

Back
FM-5 0.0712 0.2343 0.2737 11.3 24.7% 67.25 Reef Very Good
Lagoon

Back
FM-7 0.0328 0.2345 0.0806 50.82 24.7% 67.25 Reef Very Good
Lagoon

Back
FM-1 0.0579 0.2344 0.3231 59.016 24.7% 67.25 Reef Very Good
Lagoon

FM-4 0.173 0.161 0.9519 3 16.1% 3 Fore Reef Good

104
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A027UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

GAMBAR

Figure 1. Banggai Basin Stratigraphy of continental microplate (Pertamina-BPPKA, 1996)

105
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A027UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 2. Thin section of skeletal wackstone in FM-2ST well

Figure 3. Thin section of skeletal packstone in FM-4 well

106
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A027UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 4. Thin section of grainstone in FM-4 well

Figure 5. Mudlog in FM-4 well that shows mudstone facies

107
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A027UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 6. Reef system map in the study area

108
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A027UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 7. The vertical rocktype distribution in all wells

Figure 8. The relation between rocktype and lithofacies

109
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A030UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

MINERALOGI BATUBARA FORMASI TANJUNG DI DAERAH SEKAKO,


KALIMANTAN TENGAH BERDASARKAN X-RAY DIFFRACTION
Oyinta Fatma Isnadiyati1*, Agung Rizki Perdana1, Donatus Hendra Amijaya1, Beny Wiranata1,
Deddy Nan Setya Putra Tanggara1
Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, UGM
1*

*Corresponding Author: oyintaf@gmail.com

ABSTRAK. Batubara secara umum tersusun oleh material organik dan inorganik. Batubara
Formasi Tanjung di daerah Sekako, Kalimantan Tengah yang berumur Eosen terbentuk dari
setting tektonik berupa rezim ektensional, dan awal post-rift di Cekungan Barito. Batubara
Formasi Tanjung ini berperingkat bituminus. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui
komposisi mineral penyusun batubara di daerah penelitian dengan menggunakan metode X-Ray
Diffraction (XRD). Komponen organik (maseral) dan inorganik (mineral) dapat dipisahkan dengan
metode low temperature ashing selama satu jam dengan suhu 370°C, sehingga komponen organik
akan teroksidasi dan menghasilkan residu berupa mineral.Hasil menunjukkan pada batubara
daerah penelitian tersusun oleh mineral pirit, kuarsa, kaolinit, illit, dickit, halloysit, kalsit,
dolomit, korondum, magnetit, goethit, hematit, alunit, klorit, kamosit, paragonit, dan grafit.
Keterdapatan mineral- mineral tersebut dapat menjadi kunci untuk mengetahui proses yang
terjadi saat pembentukan mineral pada batubara. Mineral-mineral tersebut umumnya terbentuk
batu bara secara syngenetik (baik authigenik maupun detrital), serta secara epigenetik akibat
ubahan dan pengisian. Teridentifikasinya native elements berupa grafit disebabkan oleh peringkat
batubara yang telah memiliki kandungan C yang relatif tinggi.

Kata kunci: Batubara, Mineralogi, X-Ray Diffraction (XRD), Formasi Tanjung

I. PENDAHULUAN

Persebaran batubara di Indonesia paling banyak dijumpai di Pulau Sumatra dan


Kalimantan, dimana terdapat cekungan Kenozoikum yang luas tersusun atas deposit
batubara yang tebal (Friedrich dan van Leeuwen, 2017). Secara umum, batubara tersusun
oleh material organik berupa maseral dan material inorganik berupa mineral. Mineral
dalam batubara dibedakan menjadi dua, yaitu mineral discrete, yang dapat diidentifikasi
menggunakan pengamatan petrografi; dan mineral inherent yang terikat pada struktur
molekul batubara pada saat penggambutan serta tidak dapat diidentifikasi dengan
pengamatan petrografi (Taylor dkk., 1998).

Daerah penelitian berada di Sekako, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah


(Gambar 1 ), yaitu pada Formasi Tanjung. Isnadiyati (2019) menyatakan batubara
Formasi Tanjung di Daerah Sekako, Kalimantan Tengah merupakan high volatile
bituminous A dengan karakteristik makroskopis berwarna hitam, rapuh atau brittle,
memiliki kilap kaca, cerat berwarna hitam, pecahan berbentuk kubus, dan terdapat
mineral sulfur. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui komposisi mineral penyusun

110
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A030UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

batubara dimana data tersebut dapat digunakan untuk memperkirakan genesa batubara
di daerah penelitian.

II. GEOLOGI REGIONAL

Secara fisiografis daerah penelitian berada di dalam fisiografi Kalimantan. Daerah


penelitian berada pada bagian Utara - Baratlaut dari Cekungan Barito. Cekungan Barito
merupakan salah satu cekungan yang terbentuk pada Kenozoik Awal di Asia Tenggara
(Doust dan Sumner, 2007; Hall dan Morley, 2004; Hamilton, 1979; Hutchison, 1989 dalam
Witts dkk., 2012). Cekungan Barito merupakan salah satu cekungan Tersier di Indonesia
yang mempunyai potensi sumber daya energi cukup besar, salah satunya batubara
(Heryanto, 2010). Cekungan ini memiliki dimensi lateral yang cukup luas mulai dari
Kalimantan Selatan sampai Kalimantan Tengah. Akumulasi persebaran deposit batubara
yang ada di Kalimantan berada di dalam Cekungan Barito dan Cekungan Kutai.

Secara umum struktur yang berkembang pada Cekungan Barito dapat terbagi
menjadi dua rezim tektonik (Darman dan Sidi, 2000). Rezim pertama berupa rezim
transtensional yang menghasilkan sesar geser sinistral yang memiliki arah orientasi barat
laut – tenggara dan rezim yang kedua berupa rezim transpresional yang diikuti convergent
uplift, reaktivasi dan pembalikan struktur yang telah ada sebelumnya dan menghasilkan
wrenching, lipatan serta patahan.

Secara stratigrafi regional Cekungan Barito dapat dibagi menjadi 4 megasequences


yaitu prerift sequence, synrift sequence, postrift sequence dan syninversion sequence (Satyana
dan Silitonga, 1994). Secara stratigrafi regional daerah penelitian berada di dalam Formasi
Tanjung. Formasi Tanjung secara stratigrafi regional dengan umur Eosen – Oligosen
(Soetrisno dkk., 1994). Formasi Tanjung secara umum terbagi menjadi 2 yaitu bagian
bawah dan bagian atas. Formasi Tanjung bagian bawah tersusun atas perselingan antara
batupasir, serpih, batulanau dan konglomerat aneka bahan, sebagian bersifat gampingan.
Formasi Tanjung bagian atas tersusun atas perselingan antara batupasir kuarsa bermika,
batulanau, batugamping dan batubara. Formasi Tanjung merupakan bagian dari synrift
dan postrift sequence di dalam Cekungan Barito (Satyana dan Silitonga, 1994). Formasi
Tanjung merupakan formasi pembawa endapan batubara (Satyana dan Silitonga, 1994).

III. METODE PENELITIAN

Sampel batubara seam Gaharu dan seam Kasturi diambil dengan menggunakan
metode channel sampling dan diambil dari setiap ply (Thomas, 2002). Suksesi vertikal
litotipe batubara dilakukan dengan metode stratigrafi terukur. Litotipe batubara
didasarkan atas warna, kilap, dan fracture (Diessel, 1992; Diessel, 1965a dan Marchioni,
1980 dalam Lamberson dkk., 1991). Pengklasifikasian litotipe batubara mengacu pada

111
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A030UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

standar Australian yang sudah dimodifikasi. Metode yang dilakukan untuk mengetahui
komposisi mineralogi batubara adalah X-ray diffraction (XRD). Dipergunakan alat Rigaku
Multiflex 2kW untuk analisis tersebut. Komponen organik (maseral) dan inorganik
(mineral) pada batubara dipisahkan dengan metode low temperature ashing selama satu
jam dengan suhu 370°C, sehingga komponen organik akan teroksidasi dan menghasilkan
residu berupa mineral. Analisis XRD dengan metode bulk yang mengacu pada standar
United States Geological Survey (USGS) dilakukan pada batubara yang telah di ashing.

IV. DATA

Data diambil dari sampel batubara yang telah diambil pada seam Kasturi dan
Gaharu yang berada di daerah Sekako, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah.
Batubara seam Gaharu memiliki ketebalan 1,5 meter (Gambar 2), sedangkan seam Kasturi
memiliki ketebalan sekitar 3,2 meter (Gambar 3).

Suksesi vertikal seam batubara secara umum terdiri atas batubara dengan litotipe
banded bright coal, dan bright coal, dan setiap ply disisipi oleh parting atau clay band. Seam
Kasturi memiliki 6 ply batubara yang akan menjadi 6 sampel tiap ply, sedangkan seam
Gaharu memiliki 3 ply batubara yang akan menjadi 4 sampel batubara (batubara G PLY 1
dibagi menjadi 2, yaitu bulk atas dan bulk bawah). Secara umum untuk clay band, floor, dan
roof, berlitologi batulempung, dan yang berbeda hanya pada roof seam Kasturi yang
berlitologi batupasir dan batulempung yang tinggi akan sulfur dan pirit. Suksesi vertikal
litotipe batubara dapat dilihat pada Gambar 4.

Hasil analisis XRD menunjukkan pada total 10 sampel batubara pada kedua seam,
didapatan beberapa variasi mineral yang terdapat batubara daerah penelitian. Mineral-
mineral tersebut dapat digolongkan menjadi beberapa golongan mineral berdasarkan
penggolongan mineral di batubara menurut Taylor, dkk. (1998), yaitu mineral oksida &
hidroksida, karbonat, sulfida, mineral lempung, silikat (selain mineral lempung), dan
native elements. Tabel kelimpahan mineral secara detail per sampel dapat dilihat pada
Tabel 1.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Karakteristik Mineralogi Batubara Daerah Penelitian

Secara umum apabila dilihat secara makroskopis, batubara daerah di daerah


penelitian memiliki kelimpahan mineral yang sangat sedikit, kecuali pada batubara KPLY
1. Batubara sampel KPLY 1 menunjukkan kenampakan yang cukup signifikan berbeda
dengan batubara sampel lainnya, batubara ini melimpah akan mineral sulfur dan pirit.
Keberadaan parting atau clay band, roof, dan floor memberi kontribusi cukup besar, karena

112
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A030UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

itu merupakan hasil dari pengendapan litologi non batubara terendapkan di mire akibat
adanya penggenangan. Data tersebut cukup penting untuk mendukung keberadaan
mineral yang ada pada batubara yang diselingi oleh parting tersebut. Litologi clay band,
roof, dan floor pada batubara daerah penelitian secara umum merupakan batulempung,
yang merupakan batuan yang tersusun dari butiran-butiran fraksi sangat halus
berukuran lempung berwarna abu-abu, yang kemungkinan tersusun oleh mineral
lempung. Berbeda halnya dengan roof seam Kasturi, kenampakannya agak berbeda
dengan parting lainnya, roof tersebut berlitologi batupasir yang memiliki butiran
berukuran pasir halus – pasir sedang yang tersusun oleh kuarsa, mineral lempung, dan
kaya akan sulfur dan pirit.

Hasil analisis XRD pada 10 sampel batubara seam Gaharu dan seam Kasturi
menunjukkan beberapa variasi kandungan mineral. Mineral dalam batubara tersebut
dapat digolongkan menjadi beberapa golongan mineral menurut Taylor, dkk. (1998),
yaitu mineral oksida dan hidroksida, karbonat, sulfida, mineral lempung, sulfat, silikat
(selain mineral lempung), dan native elements. Grup mineral oksida dan hidroksida yang
ditemukan ialah hematit, korondum, magnetit, kuarsa dan goethit. Grup mineral
karbonat yang ditemukan ialah kalsit dan dolomit. Grup mineral sulfida yang ditemukan
ialah pirit. Grup mineral lempung yang ditemukan ialah kaolinit, illit, dickit, dan
halloysit, sedangkan alunit merupakan mineral dari grup sulfat. Grup mineral silikat
selain mineral lempung yang ditemukan ialah klorit, kamosit, dan paragonit, selain itu
juga teridentifikasi mineral native elements berupa grafit. Contoh hasil identifikasi mineral
dapat dilihat pada Gambar 5.

2. Genesa Mineral dalam Batubara Daerah Penelitian

Mineral oksida dan hidroksida yang terbaca pada analisis XRD pada batubara
daerah penelitian ialah mineral hematit, korondum, magnetit, kuarsa dan goethit. Mineral
kuarsa merupakan mineral oksida yang paling umum dijumpai, serta kuarsa memiliki
variasi yang besar. Mineral hematit, magnetit, korondum, dan goethit memiliki
kelimpahan yang sedikit pada batubara. Goethit adalah mineral yang terbentuk secara
epigenetik akibat proses oksidasi, hanya ditemukan pada batubara yang telah mengalami
oksidasi (Xiuyi, 2009).

Mineral hematit dan magnetit umumnya memiliki genesa detrital pada batubara.
Mineral magnetit sebagian dapat terbentuk akibat pelapukan pada batubara. Semakin
melimpahnya kandungan magnetit dan hematit pada batubara menunjukkan
karakteristik batubara yang memiliki peringkat lebih tinggi. Mineral korondum pada
batubara juga terbentuk sebagai detrital. Korondum merupakan mineral yang resisten
pada saat proses pelapukan maupun pada lingkungan swamp (Vassilev dkk., 2010).

113
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A030UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Mineral karbonat yang terbaca pada analisis XRD ialah mineral kalsit dan dolomit.
Mineral-mineral karbonat dapat terbentuk selama proses pengendapan maupun pada
proses pembatubaraan (Taylor, dkk., 1998). Mineral dolomit umum terbentuk pada fase
penggambutan atau masuk ke dalam mineral syngenetik. Mineral dolomit dapat
menginterpretasikan adanya pengaruh pembanjiran air laut pada saat proses
penggambutan berlangsung, sehingga air laut dapat mengendapkan mineral karbonat
seperti dolomit, pada lapisan batubara daerah penelitian. Mineral kalsit umum
terendapkan pada celah-celah cleat atau rekahan pada batubara. Mineral kasit biasanya
terbentuk pada fase epigenetik, dimana dapat terbentuk setelah batubara terbentuk.
Mineral ini diinterpretasikan terbentuk dari hasil pengendapan akibat prepitasi air hujan
yang mengandung karbonat, lalu masuk dalam rekahan atau sistem cleat batubara daerah
penelitian, selanjutnya bereaksi dengan kation kalsium pada batubara, sehingga
menghasilkan mineral kalsit.

Mineral sulfida yang terbaca pada analisis XRD pada batubara daerah penelitian
ialah mineral pirit. Mineral ini cukup melimpah dalam batubara pada umumnya. Mineral
pirit dapat terbentuk pada fase syngentik dan epigenetik. Pada fase syngenetik pirit
terbentuk dari proses penggambutan yang mengalami pengaruh trangresi air laut ke arah
darat, sehingga mengendapkan pirit syngenetik. Pirit syngenetik atau yang biasa dikenal
dengan pirit primer, terbentuk pada selama proses penggambutan, dimana pirit ini akan
hadir dalam bentuk kristal halus atau konkresi halus dengan bentuk framboidal. Pirit ini
dapat terbentuk dari adanya air laut yang kaya akan sulfat masuk dalam sistem gambut,
dimana bakteri yang ada di gambut akan mereduksi sulfat menjadi hidrogen sulfida,
polisulfida, dan sulfur. Reaksi dari hidrogen sulfida dengan kation kation besi akan
menghasilkan pirit berbutir halus (Chou, 2012). Framboidal pirit terbentuk selama proses
akumulasi gambut dan atau tahap awal humifikasi, yang ukurannya halus dan tersebar di
batubaranya. Framboidal pirit ini dapat dilihat pada pengamatan sayatan poles. Pirit
epigenetik atau pirit sekunder merupakan pirit yang terbentuk pada saat proses
diagenesis atau setelah proses kompaksi, yang secara umum bentuknya akan lebih kasar
dan dapat mengisi rekahan, cleat, atau lubang pada batubara (Renton dan Cecil, 1979;
Reyes-Navarro dan Davis, 1976; dalam Widodo dkk., 2009). Pembentukannya terjadi
akibat adanya presipitasi air ke dalam sistem cleat atau rekahan pada batubara, dimana
air yang mengisi rekahan tersebut mengandung kation kation besi yang setelahnya
mengalami reaksi dengan sulfur pada batubara, sehingga membentuk pirit.

Mineral lempung yang terbaca pada analisis XRD pada batubara daerah penelitian
ialah mineral kaolinit, illit, dickit, dan halloysit. Mineral lempung merupakan mineral
penyusun utama pada batubara. Kaolinit merupakan mineral lempung yang paling
umum dijumpai, kemudian mineral illit. Mineral lempung berasal dari material detritus
atau terbentuk secara syngenetik maupun epigenetik. Mineral lempung pada batubara

114
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A030UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

terutama terbentuk sebagai inklusi yang tersebar seperti butiran, massa nodular,
lentikuler, dan pita. Mineral lempung juga dapat terbentuk mengisi rongga dan cleats.
Pada batubara peringkat tinggi, dapat terbentuk lapisan campuran mineral lempung,
sehingga terdapat dickit dan klorit saat proses diagenesis (Xiuyi, 2009). Mineral lempung
yang terbentuk secara syngenetik terbentuk akibat proses transportasi dan pelapukan,
yaitu kaolinit (Murchison dan Westoll, 1968 dalam Speight, 2005). Mineral halloysit
merupakan mineral lempung yang memiliki karakteristik hampir mirip dengan kaolinit,
halloysit dan kaolinite terbentuk pada kondisi tanah dan pelapukan yang sama, yaitu
pada kondisi temperatur yang rendah (Lazaro, 2015). Mineral lempung yang terbentuk
akibat transformasi mineral syngenetik adalah mineral illit (Murchison dan westoll, 1968
dalam Speight, 2005).

Mineral sulfat yang terbaca dari analisis XRD adalah alunit. Mineral alunit
merupakan mineral yang keterdapatannya berasosiasi dengan mineral lempung seperti
kaolinit dan halloysit. Mineral alunit dan halloysit merupakan mineral pada batubara
yang terbentuk akibat deformasi plastis yang lebih lanjut dari kumpulan mineral
pembawa kaolinit dan smektit (Ece & Schroeder, 2007).

Mineral silikat selain mineral lempung yang terdeteksi olah analisis XRD meliputi
klorit, khamosit, dan paragonit pada batubara daerah penelitian. Mineral mineral tersebut
masuk dalam grup mineral klorit, dimana klorit pada batubara cukup umum, sedangkan
khamosit dan paragonit cukup jarang ditemukan. Pada batubara peringkat tinggi,
mineral klorit dapat terbentuk pada fase diagenesis (Xiuyi, 2009). Mineral ini merupakan
hasil transformasi dari mineral mineral primer (Bustin dkk., 1989; dalam Nursanto dkk.,
2011), akibat dari meningkatnya derajat diagenesis seiring dengan pembebanan atau
burial. Batubara peringkat menengah - tinggi tentunya telah mengalami proses
pembatubaraan yang cukup matang akibat pengaruh suhu dan tekanan seiring
bertambahnya kedalaman. Hal ini terkonfirmasi dari peringkat batubara penelitian yang
masuk dalam subbituminus, yang telah dilakukan penelitian oleh Perdana (2019),
menggunakan data reflektansi vitrinit.

Native elements pada batubara merupakan grup mineral yang jarang


dijumpai,beberapa terbentuk oleh proses geologi tertentu. Mineral native elements yang
terbaca pada analisis XRD pada batubara daerah penelitian ialah grafit. Grafit merupakan
native elements dengan komposisi karbon (C) yang terbentuk akibat proses metamorfisme
batubara dengan suhu dan tekanan yang tinggi (Schopf, 1966). Teridentifikasinya grafit
tidak berarti bahwa batubara tersebut telah berubah menjadi grafit, akan tetapi
dikarenakan bahwa batubara yang ada di daerah ini telah memiliki peringkat yang
menengah sehingga persentase C nya sudah relatif tinggi yaitu sekitar 0,29-1,53 (%wt)
(Isnadiyati, 2019).

115
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A030UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

VI. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis XRD, mineral yang hadir pada batubara Formasi
Tanjung seam Gaharu dan Kasturi yaitu mineral oksida dan hidroksida (hematit,
korondum, magnetit, kuarsa dan goethit), karbonat (kalsit dan dolomit), sulfida (pirit),
mineral lempung (kaolinit, illit, dickit, dan halloysit), sulfat (alunit), silikat selain mineral
lempung (ialah klorit, kamosit, dan paragonit) dan native elements (grafit). Mineral-
mineral tersebut umumnya terbentuk pada batubara secara syngenetik (baik authigenik
maupun detrital), serta secara epigenetik akibat ubahan dan pengisian. Teridentifikasinya
native elements disebabkan oleh peringkat batubara yang telah memiliki kandungan C
yang relatif tinggi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terimakasih kepada PT. Suprabari Mapanindo Mineral (SMM) di Sekako,


Kalimantan Tengah yang telah mengizinkan untuk melakukan pengambilan sampel serta
atas bantuan selama pekerjaan lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2009, Peta Pulau Kalimantan, Diakses dari
geospasial.bnpb.go.id pada Mei 2018.

Belkin, H.E., Tewalt, S.J., Hower, J.C., Stucker, J.D., O’Keefe, J.M.K., 2009, Geochemistry and
petrology of selected coal samples from Sumatra, Kalimantan, Sulawesi and Papua,
Indonesia: International Journal of Coal Geology, vol. 77 (2009), p. 260-268.

Chou, C.L., 2012, Sulfur in Coals: A Review of Geochemistry and Origins: International
Journal of Coal Geology, vol. 100 (2012), p. 1-13.

Darman, H., dan Sidi, F.H., (2000), An Outline of The Geology of Indonesia, Ikatan Ahli
Geologi Indonesia, 192 p.

Ece, O.I, dan Schroeder, P.A., 2007, Clay Mineralogy and Chemistry of Halloysite and Alunite
Deposits in the Turplu Area, Balikesir, Turkey, Clays and Clay Minerals, vol. 55(1), p.
8-35.

Friedrich, M.C., dan van Leeuwen, T., (2017), A Review of The History of Coal Exploration,
Discovery and Production in Indonesia: The Interplay of Legal Framework, Coal Geology

116
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A030UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

and Exploration Strategy, International Journal of Coal Geology 178, Elsevier, p. 56-
73.

Heryanto, R., (2010), Geologi Cekungan Barito, Badan Geologi, Kementerian Energi Dan
Sumber Daya Mineral, Bandung, 139 p.

Isnadiyati, O. F., 2019, Karakterisasi Batubara Coking Formasi Tanjung di Daerah Sekako,
Kalimantan Tengah, Skripsi, Yogyakarta: Departemen Teknik Geologi, Fakultas
Teknik Universitas Gadjah Mada [Tidak Dipublikasikan], 146 p.

Lamberson, M.N., Bustin, R.M., dan Kalkreuth, W., 1991, Lithotype (maceral) Composition
and Variation As Correlated With Paleo-Wetland Environments, Gates Formation,
Northeastern British Columbia, Canada,International Journal of Coal Geology 18,
Elsevier, p.87-124.

Lazaro, B.B., 2015, Halloysite and Kaolinite: Two Clay Minerals with Geological and
Technological importance, Rev. Real Academia de Ciencias, Zaragoza, vol. 70, p. 7-
38.

Nursanto, E., Idrus, A., Amijaya, H., Pramumijoyo, S., 2011, Keterdapatan dan Tipe Mineral
pada Batubara serta Metode Analisisnya: Jurnal Teknologi Technoscientia, vol. 4, no.
1, p. 1-10.

Perdana, A. R., 2019, Mikrofasies dan Rekonstruksi Paleomire Batubara Formasi Tanjung di
Daerah Sekako, Cekungan Barito, Kalimantan Tengah, Yogyakarta: Departemen
Teknik Geologi, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada [Tidak
Dipublikasikan], 196 p.

Satyana, A.H., dan Silitonga, P.D., (1994), Tectonic reversal in East Barito Basin, South
Kalimantan: consideration of the types of inversion structures and petroleum system
significance: in Proceedings of the IPA 23rd Annual Convention, p. 57-74.

Schopf, J.M., 1966, Definitions of Peat and Coal and Graphite that Terminates the Coal Series
(Graphocite), The Journal of Geology, vol. 74(5), p. 584-592.

Soetrisno, Supriatna, S., Rustandi, E., Sanyoto, P., dan Hasan, K., 1994, Peta Geologi Lembar
Buntok, Kalimantan, Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan

117
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A030UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Geologi.Speight, J., 2005, Handbook of Coal Analysis, London: John Wiley & Sons.
Ltd. 222 p.

Taylor, G.H., Teichmuller, M., Davis, A., Diessel, C.F.K., Littke, R., dan Robert, P. (1998),
Organic Petrology, Gebruder Borntraeger, Stuttgart, 704 p.

Thomas, I., 2002, Coal Geology, England:John Wiley dan & Sons, LTD. 384 p.

Vassilev, S.V., Vassileva, C.G., Baxter, D., dan Andersen, L.K., 2010, Relationship between
chemical and mineral composition of coal and their potential applications as genetic
indicators. Part 2. Mineral classses, groups, and species, Geologica Balcanica, vol.
39(3), p 43-67

Widodo, S., Oschmann, W., Bechtel, A., Saschenhofer, R. F., Anggayana, K., Puettman, W.,
2010, Distribution of Sulfur and Pyrite in Coal Seams from Kutai Basin (East
Kalimantan, Indonesia): Implications for Paleoenvironmental Conditions: International
Journal of Coal Geology, vol.81 (2010), p. 151-162.

Witts, D., Hall, R., Nichols, G., dan Morley, R., (2012), A New Depositional and Provenance
Model For The Tanjung Formation, Barito Basin, SE Kalimantan, Indonesia. Journal of
Asia Earth Science 56, p. 77-104.

Xiuyi, T., 2009, Mineral Matter in Coal: Encyclopedia of Life Support Systems (EOLSS), Coal,
Oil Shale, Natural Bitumen, Heavy Oil and Peat, vol.1., p. 1-10.

TABEL
Tabel 1. Kelimpahan mineral dalam batubara daerah penelitian per sampel

Coal Seam
Kasturi Gaharu
Minerals K K K K K K G G G G
PLY PLY PLY PLY PLY PLY PLY PLY PLY PLY
1 2 4 5 7 9 1A 1B 3 5
Hematite O O O O O O
Corundum O O O
Oxides &
Magnetite O
Hydroxides
Quartz O O
Goethite O
Calcite O
Carbonates
Dolomite O

118
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A030UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Sulphides Pyrite O
Kaolinite O O O O O O O
Clay Illite O O
minerals Dickite O
Halloysite O
Sulfate
Alunite O
minerals
Silicate Chlorite O O
minerals Chamosite O O
(other than
clay Paragonite O
minerals)
Native
Graphite O
elements

119
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A030UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

GAMBAR

Gambar 1. A. Daerah penelitian (daerah penelitian ditunjukkan dengan kotak berwarna merah)
terletak pada fisiografi Cekungan Barito (Witt, dkk., 2012) dan B. Lokasi daerah penelitian
ditunjukkan dengan warna merah (peta dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2010).

120
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A030UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. (A) Singkapan batubara seam Gaharu dengan ketebalan 1,5 m; (B) Kenampakan
singkapan bright coal; (C) Kenampakan singkapan perlapisan bright coal dengan 2 lapisan
inorganik parting berupa batulempung

Gambar 3. (A) Singkapan batubara seam Kasturi dengan ketebalan 3,2 m; (B) Kenampakan
singkapan bright coal; (C) Kenampakan singkapan perlapisan bright coal dengan lapisan
inorganik parting berupa batulempung

121
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A030UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Suksesi vertikal litotipe batubara seam Kasturi dan Gaharu

122
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A030UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. Hasil analisis XRD (A) Hasil XRD sampel GPLY1A dengan komposisi mineral Kln:
kaolinit, Chms: kamosit, Grt: grafit, dan Cor: korondum, (B) Hasil XRD sampel KPLY1 dengan
komposisi mineral Kln: kaolinit, Dct: dickit, Ilt: Illit, Hem: hematit, Cal: kalsit, Py: pirit, dan Dol:
dolomit.

123
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

PENENTUAN TOP OVERPRESSURE DAN MEKANISMENYA


MENGGUNAKAN METODE EATON DENGAN LOG SONIK PADA
LAPANGAN “X”, SUB CEKUNGAN JAMBI CEKUNGAN SUMATERA
SELATAN
Afif Abdul Fattah1 , Rois Mustadh’afin1, Bella Novia Ardhana1
1Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia
Jl.Grafika No.2 Bulaksumur Yogyakarta 55281
*Corresponding author: afifabdul89@yahoo.com

ABSTRAK. Penelitian dilakukan pada Lapangan “X”, Sub Cekungan Jambi, Cekungan Sumatra
Selatan. Penelitian mengenai penentuan top overpressure dan mekanisme overpressure. Nilai
tekanan pori dapat digunakan untuk menentukan kondisi overpressure. Overpressure merupakan
kondisi tekanan pori lebih besar dari tekanan normal. Overpressure dapat menyebabkan masalah
pemboran (stuck pipe, kick, dan blowout). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan top
overpressure dan mekanisme terjadinya overpressure. Data yang digunakan pada penelitian ini
adalah data sumur pemboran (wireline log, data tekanan formasi, dan data pemboran), batuan inti,
dan data mudlog. Data batuan inti berupa XRD dan data geokimia (analisis REP dan Tmax).
Perhitungan tekanan pori menggunakan Metode Eaton dengan log sonik menggunakan perangkat
lunak Interactive Petropysics 3.6. Kedalaman top overpressure berkisar 4147.395 ft TVD hingga
5147.751 ft TVD dengan nilai tekanan pori berkisar 2417 psi hingga 2967 psi. Top overpressure pada
daerah penelitian berkembang pada Formasi Talang Akar. Mekanisme overpressure yang terdapat
pada Formasi Talang Akar adalah mekanisme loading dan nonloading. Mekanisme loading
(disequilibrium compaction) ditandai dengan adanya nilai konstan tegangan efektif yang dilihat pada
perubahan tekanan pori terhadap tekanan overburden pada zona overpressure, sedangkan
mekanisme nonloading disebabkan oleh perubahan mineral lempung (smektit menjadi illit) dan
generasi hidrokarbon. Perubahan mineral lempung ditunjukkan oleh crossplot log densitas dan log
sonik pada tiap sumur mengindikasikan terjadi perubahan mineral smektit menjadi mineral illit.
Analisis batuan inti pada Sumur BNA 03 (XRD) menunjukkan bahwa terdapat banyak kandungan
mineral lempung illit pada Formasi Talang Akar. Generasi hidrokarbon diindikasikan dengan nilai
Tmax >435 (mature) dan nilai PI (S1/(S1+S2)) >0.1 melalui grafik Tmax terhadap PI pada Sumur
BNA 03.

Kata kunci: pore preassure, Jambi Sub Basin, Eaton method, wireline log

I. PENDAHULUAN
Masalah pemboran dapat berupa kick, blowout, stuckpipe, dan lostcirculation yang
disebabkan oleh keadaan tekanan pori dalam batuan yang tidak normal. Kondisi tekanan
pori yang lebih besar daripada tekanan normal disebut overpressure, sedangkan lebih kecil
daripada tekanan normal disebut underpressure. Perhitungan tekanan pori dapat

124
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

menggunakan salah satu metode yaitu Metode Eaton dengan menggunakan persamaan
log sonik (Ramdhan, 2010). Pada daerah penelitian yaitu Lapangan “X”, Sub Cekungan
Jambi, Cekungan Sumatera Selatan (Gambar 1) terjadi masalah pemboran berupa
stuckpipe yang kemungkinan diakibatkan oleh kondisi overpressure. Penelitian bertujuan
untuk menentukan top overpressure dan mekanismnya pada daerah penelitian. Kondisi
overpressure terjadi karena mekanisme tertentu, mekanisme yang cukup menambah
peningkatan pori yaitu mekanisme loading dan mekanisme nonloading. Penggunaan
Metode Eaton relevan dengan dua mekanisme yang terjadi pada kondisi overpressure.
Penentuan top overpressure dapat digunakan untuk mengantisipasi masalah pemboran
dan pembuatan program pemboran.

II. GEOLOGI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA SELATAN

Cekungan Sumatera Selatan memiliki beberapa sub cekungan seperti: Sub


Cekungan Jambi, Sub Cekungan Palembang Utara, Sub Cekungan Palembang Tengah,
dan Sub Cekungan Bandar Jaya (Bishop, 2001). Lapangan “X” berada pada Sub Cekungan
Jambi. Menurut Ginger dan Fielding (2005) kronostratigrafi Cekungan Sumatera Selatan
terbagi menjadi beberapa formasi batuan. Penelitian difokuskan pada beberapa formasi
seperti: Formasi Talang Akar, Formasi Batu Raja, dan Formasi Gumai (Gambar 2).

Formasi Talang Akar memiliki umur Oligosen akhir hingga Miosen awal yang
terendapkan tidak selaras. Lingkungan pengendapan berupa fluvial dan delta dengan
pengendapan fluvial pada umur Oligosen yang setara dengan Formasi Talang Akar
bawah (lower Talang Akar Formation) dan pengendapan lingkungan delta, laut dangkal
hingga laut dangkal secara trasngresif setara dengan Formasi Talang Akar atas (upper
Talang Akar Formation). Formasi Batu Raja diendapkan pada umur Miosen awal yang
tersusun oleh limestone dengan lingkungan pengendapan laut dangkal hingga laut
dalam. Formasi Gumai terendapkan pada umur Miosen awal hingga Miosen tengah yang
tersusun oleh batuserpih laut, batulanau, dan batupasir dengan lingkungan pengendapan
pada puncak transgersi menjadi laut.

III. DATA DAN METODE PENELITIAN

Penelitian menggunakan data seperti: data wireline log sumur, data tekanan
formasi, data mudlog, data pemboran dan data batuan inti (XRD dan geokimia). Data
wireline log digunakan untuk perhitungan tekanan pori, tekanan overburden, pembuatan
crossplot log densitas dengan log sonik. Data tekanan formasi digunakan untuk validasi
perhitungan tekanan pori. Data mudlog digunakan untuk mengetahui berat jenis lumpur
pada sumur pemboran. Data pemboran untuk mengetahui kejadian masalah pemboran.

125
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Data batuan inti digunakan untuk mengetahui adanya kandungan mineral lempung
berupa illit dan tingkat kematangan hidrokarbon.

Metode penelitian menggunakan Metode Eaton dengan persamaan log sonik.


Persamaan sebagai berikut:

digunakan untuk log sonik

Perhitungan tekanan pori menggunakan Metode Eaton menggunakan data


berupa tekanan overburden yang diperoleh melalui data log densitas, Normal Compaction
Trend (NCT) dari litologi homogen berupa litologi shale, dan data log sonik. Tekanan
hidrostatik menggunakan rumus P = ρ g h (ρ adalah densitas fluida, g adalah kecepatan
gravitasi yaitu 9,8 m/s2 dan h adalah tinggi kolom fluida atau kedalaman), dengan
gradien fluida sebesar 0.465 psi/ft (Amoco, 1999). Tekanan overburden menggunakan data
log densitas. Interval kedalaman yang tidak memiliki nilai log densitas menggunakan
nilai gradien densitas dengan persamaan Amoco Relationship.

 TOP OVERPRESSURE

Penentuan top overpressure dilakukan setelah nilai tekanan pori pada sumur
penelitian diperoleh. Perhitungan tekanan pori pada sumur pemboran dilakukan
menggunakan Metode Eaton dengan persamaan log sonik. Perhitungan tekanan pori
diperoleh melalui nilai log sonik pada litologi shale. Litologi shale memiliki nilai tren
kompaksi yang relatif konstan dan tidak memiliki kompleksitas seperti litologi lain
seperti limestone atau sandstone. Nilai kompaksi dari litologi shale akan memiliki tren nilai
kompaksi normal (NCT) yang dapat diidentifikasi melalui nilai log sonik. Nilai kompaksi
normal menunjukkan seiring bertambahnya kedalaman maka batuan semakin
mengalami kompaksi. Kondisi overpressure dapat ditandai dengan adanya nilai log sonik
yang tidak berkurang seiring bertambahnya kedalaman.

Perhitungan tekanan pori menggunakan data log sonik, data tekanan overburden,
dan nilai tren kompaksi normal yang diproses melalui persamaan Eaton menggunakan
perangkat lunak Interactive Petrophysics 3.6. Top overpresure ditandai adanya tekanan
pori pada batuan yang melebihi tekanan normal (tekanan hidrostatik). Penentuan top
overpressure menggunakan nilai perhitungan tekanan pori, data log sonik, dan data log
densitas. Top overpressure akan ditandai mulainya tekanan pori pada batuan yang relatif
lebih besar daripada tekanan normal. Log sonik dan log densitas digunakan untuk
korelasi kedalaman dimulainya kondisi overpressure. Nilai log sonik yang seharusnya
semakin rendah seiring bertambahnya kedalaman menjadi konstan atau bertambah pada
kondisi overpressure. Nilai log densitas akan semakin tinggi seiring bertambahnya
kedalaman menjadi konstan atau lebih rendah. Berdasarkan perhitungan tekanan pori
yang dikorelasikan dengan data log sonik dan log densitas diperoleh top overpressure tiap

126
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

sumur penelitian. Kedalaman overpressure pada Lapangan “X” bervariasi (Tabel 1) yang
berada pada Formasi Talang Akar.

 MEKANISME OVERPRESSURE

Mekanisme overpressure pada Lapangan “X” yaitu mekanisme loading dan


mekanisme nonloading. Mekanisme loading berupa disequilibrium compaction diidentifikasi
melalui nilai tegangan efektif pada sumur penelitian (Gambar 6 dan Gambar 7) yang
relatif konstan. Kondisi geologi yang mempengaruhi mekanisme disequilibrium compaction
adalah fluida dalam batuan yang tidak dapat keluar ketika terjadi penambahan beban
sedimen yang ada diatasnya (overburden). Fluida yang terperangkap di dalam batuan
menjadikan batuan tidak mengalami kompaksi dengan normal dan fluida tersebut akan
menambah tekanan pori dalam batuan.

Mekanisme nonloading berupa diagenesis mineral lempung dan generasi


hidrokarbon. Mekanisme nonloading menggunakan analisis batuan inti. Kedalaman
analisis batuan inti berupa XRD dan geokimia dapat dilihat pada Gambar 8. Diagenesis
mineral lempung diidentifikasi melalui crossplot antara log densitas dan log sonik (Dutta,
2002). Crossplot log densitas dan log sonik pada sumur penelitian divalidasi dengan data
batuan inti berupa data analisis XRD (Gambar 9). Berdasarkan hasil analisis XRD pada
Sumur BNA 03 (Tabel 2) menunjukkan terdapat banyak kandungan mineral lempung
berupa illit. Diagenesis mineral lempung berupa smektit menjadi illit dapat terjadi
dengan temperatur >800C (Boles dan Franks, 1979). Data temperatur gradien pada Sumur
BNA 03 (Gambar 10) menjukkan bahwa kandungan mineral illit pada analisis XRD
merupakan hasil dari diagenesis karena kedalaman analisis XRD berada pada temperatur
>800C. Generasi hidrokarbon diidentifikasi melalui data geokimia batuan inti berupa nilai
tingkat kematangan (Tmax). Terdapat 4 sampel yang menunjukkan tingkat kematangan
mature. Hal tersebut indikasi bahwa terjadi perubahan kerogen menjadi hidrokarbon
yang dapat menambah tekanan pori pada batuan.

Mekanisme overpressure pada daerah penelitian berupa mekanisme loading dan


nonloading. Kedua mekanisme overpressure tersebut dapat saling mempengaruhi
dimana mekanisme nonloading pada kondisi overpressure menambah nilai tekanan pori
(Hansom dan Lee, 2005).

IV. KESIMPULAN

Lapangan “Venus”, Sub Cekungan Jambi, Cekungan Sumatera Selatan memiliki


kondisi overpressure. Top overpressure pada daerah penelitian bervariasi pada kedalaman
4147.395 ft TVD hingga 5147.751 ft TVD. Kedalaman overpressure pada daerah penelitian
berada pada Formasi Talang Akar. Mekanisme yang terjadi pada kondisi overpressure

127
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

yaitu mekanisme loading berupa disequilibrium compaction yang disebabkan fluida dalam
batuan tidak dapat keluar sehingga tidak terjadi kompaksi secara normal. Mekanisme
nonloading berupa diagenesis mineral lempung yaitu terjadi perubahan mineral lempung
smektit menjadi mineral lempung illit dan generasi hidrokarbon dengan perubahan
kerogen menjadi hidrokarbon. Mekanisme loading maupun nonloading terjadi pada
kondisi overpressure dimana kedua mekanisme tersebut dapat saling mempengaruhi.

ACKNOWLEDGEMENT

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Departemen Teknik Geologi FT UGM


yang telah mendukung penelitian ini, PetroChina International Companies, Jabung Block
yang telah memberikan data penelitian, Reulina Lia Ketaren dan M Raldiarchi yang telah
membantu selama pengambilan data.

DAFTAR PUSTAKA

Amoco. 1999. Wellbore Stability Drilling, 4 Chapter, 11 hal. Drilling Handbook EPTC

Bishop, M.G. 2001. South Sumatra Basin Province, Indonesia : The Lahat/Talang Akar-Cenozoic
Total Petroleum system, 19 hal. U.S. Geological Survey. Colorado USA.

Boles, J.R. dan Franks, S.G., 1979. Clay Diagenesis in Wilcox Sandstones of Southweat
Texas ; Implications of Smectite Diagenesis on Sandstone Cementation. Jurnal of
Sedimentary Petrology, Vol. 49, hal 55-70. The Society of Economics Paleontologist
and Mineralogist.

Bowers, G.L. dan Katsube, T.J. 2002. The role of shale pore structure on the sensitivity of
wire-line logs to overpressure. In: Huffman, A.R. dan Bowers, G.L. eds. Pressure
Regimes in Sedimentary Basins and their Prediction. AAPG, Tulsa, Memoir 76, h 43-
60.

Dickinson, G. 1953. Geological Aspects of Abnormal Reseroir Pressure in Gulf Coast


Louisiana. Bulletin of The American Association of Petroleum Geologist, Vol. 37, No.
2, hal. 410-432. Houston, Texas.

Dutta, N.C. 2002. Deepwater Geohazard Prediction Using Pretack Inversion of Large
Offset P-wave Data and Rock Model. The Leading Edge. 21, hal. 193- 198. Houston,
Texas, U.S

Eaton, B.A. 1975. The Equation For Geopressure Prediction from Well Logs. Society of
Petroleum Engineers of AIME, No. 5544, 11 hal. Dallas, Texas.

Ginger, D. dan Fielding, K., 2005. The Petroleum systems And Future Potensial of The
South Sumatera Basin. Proceedings Indonesian Petroleum Assocation 30th Annual
Convention and Exhibition. Jakarta

128
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Hansom, J. dan Lee, M. 2005. Effects of Hydrocarbon Generation, Basal Heat Flow and
Sediment Compaction on Overpressure Development: A Numerical Study.
Petroleum Geoscience, Vol. 11, hal. 353-360. EAGE, Geological Society of London.

Peters, K.E. dan Cassa, M.R., 1994. Applied Source Rock Geochemistry in Magoon, L.B.
dan Dow, W.G.: The Petroleum system—From Source to Trap. The American
Association of Petroleum Geologists Memoir. Chapter 5, hal. 93–102. Dallas, Texas,
USA.

Ramdhan, A.M. 2010. Overpressure and Compaction in the lower Kutai Basin, Indonesia, 300
hal. UK: Durham University (thesis, tidak dipublikasikan).

Lapangan “X”

Gambar 1. Peta indeks Lapangan “X” dan struktur utama Cekungan Sumatera Selatan (modifikasi
dari Bishop, 2001). Cekungan Sumatera Selatan dibagi menjadi Sub Cekungan Jambi, Sub
Cekungan Palembang Utara, Sub Cekungan Palembang Tengah, dan Sub Cekungan Bandar Jaya

129
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Simplifikasi skema kronostatigrafi Cekungan Sumatera Selatan (modifikasi dari Ginger
dan Fielding, 2005). Penelitian dilakukan pada formasi yang berada di dalam kotak merah

Gambar 3. Grafik tekanan (psi) terhadap kedalaman (ft) pada sumur BNA 02 yang menunjukkan
garis tekanan normal (hidrostatik), tekanan pori, tekanan retak (fracture pressure), dan tekanan
overburden. Kedalaman top overpressure diidentifikasi melalui grafik yang dikorelasi dengan log
sonik dan log densitas

130
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Grafik tekanan (psi) terhadap kedalaman (ft) pada sumur BNA 02 yang menunjukkan
garis tekanan normal (hidrostatik), tekanan pori, tekanan retak (fracture pressure), dan tekanan
overburden. Kedalaman top overpressure diidentifikasi melalui grafik yang dikorelasi dengan log
sonik dan log densitas

Gambar 5. Grafik tekanan (psi) terhadap kedalaman (ft) pada sumur BNA 02 yang menunjukkan
garis tekanan normal (hidrostatik), tekanan pori, tekanan retak (fracture pressure), dan tekanan
overburden. Kedalaman top overpressure diidentifikasi melalui grafik yang dikorelasi dengan log
sonik dan log densitas

Tabel 1. Kedalaman top overpressure dan nilai tekanan pori

Kedalaman Kedalaman
Top Top Tekanan Pori Tekanan
No Sumur
Overpressure Overpressure (psi) Normal (psi)
(ft) MD (ft) TVD

1 BNA 01 5490 5147.75 2831.78 2255.41

131
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

2 BNA 02 5109 4831.04 2526.83 2246.43

3 BNA 03 5561.5 4487.77 2659.61 2086.81

4 BNA 04 5208 4147.39 2544.94 1925.79

5 BNA 05 5514 4424.38 2748.16 2057.34

6 BNA 06 5813 4803.95 2967.28 2233.83

7 BNA 07 5050 4809.69 2646.03 2236.50

8 BNA 08 4718 4520.21 2417.47 2101.89

9 BNA 09 5800 4490.92 2687.76 2088.28

Gambar 6. Grafik tekanan (psi) terhadap kedalaman (ft) pada Sumur BNA 01. Nilai tegangan
efektif pada zona overpressure cenderung konstan, sehingga mekanisme yang terjadi dapat berupa
mekanisme loading

132
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 7. Grafik tekanan (psi) terhadap kedalaman (ft) pada Sumur BNA 04. Nilai tegangan
efektif pada zona overpressure cenderung konstan, sehingga mekanisme yang terjadi dapat berupa
mekanisme loading

Gambar 8. Sumur BNA 03 dengan analisis batuan inti berupa analisis XRD dan analisis geokimia.
Analisis XRD untuk mengetahui kandungan mineral lempung terutama mineral illit dan analisis
geokimia untuk mengetahui tingkat kematangan

133
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 9. Crossplot log densitas dan log sonik pada Sumur BNA 03 menunjukkan perseberan titik
berubah dari smectite-trend menuju illite-trend. Perubahan tren smektit menjadi illit didominasi
pada Formasi Talang Akar. Titik sampel analisis XRD merupakan titik berwarna kuning

Tabel 2. Analisis batuan inti berupa XRD pada Sumur BNA 03

Clay Mineral
No Formasi Depth (ft)
Smektit Illit Kaolinit Klorit

1 TAF 6580 - 12 10 -

2 TAF 6694 - 18 7 -

3 TAF 6772 - 15 20 -

4 TAF 6804 - 4 11 -

5 TAF 6880 - 15 1 -

6 TAF 6900 - 2 6 -

7 TAF 6927 - 3 14 -

8 TAF 6939 - 3 5 -

9 TAF 6967 - 3 10 -

10 TAF 7050 - 2 43 -

134
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 A032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 10. Grafik temperatur terhadap kedalaman pada Sumur BNA 03. Pada temperatur >80 0C
(warna kuning) dapat terjadi diagenesis mineral lempung dari mineral illit ke mineral smektit

Gambar 11. Crossplot nilai Production Index (PI) dan Temperature Maximum (Tmax) pada data
geokimia Sumur BNA 03

135
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B001UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

PEMODELAN BRAIDED RIVER FORMASI SAWAHTAMBANG DAERAH


LUBUK TAROK, KABUPATEN SIJUNJUNG, SUMATERA BARAT

Rizki Amelia Sasqia Putri 1*, Budhi Kuswan Susilo1


1Universitas Sriwijaya Jl. Srijaya Negara Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia 30139
*Corresponding Author: rsasqia@gmail.com

ABSTRAK. Lokasi penelitian terletak di Daerah Lubuk Tarok, Kabupaten Sijunjung, Sumatera
Barat dan secara geologi merupakan bagian dari Cekungan Ombilin. Peneliti terdahulu mengkaji
Formasi Sawahtambang sebagai bagian dari stratigrafi Cekungan Ombilin secara regional, namun
yang khusus mempelajari Formasi Sawahtambang dari aspek litofasies dan elemen arsitektur
masih sangat terbatas. Adapun yang khusus melakukan kajian tentang lingkungan pengandapan
yaitu Fernando, dkk (2017) di Daerah Kayugadang, serta Gusti dan Susilo (2018) di Daerah Muaro
Kalaban. Keserupaan metode yang dilakukan pada penelitian ini bertujuan untuk
mengkarakterisasi pengendapan sedimen, menginterpretasi lingkungan pengendapan, dan
memodelkannya. Metode yang dilakukan dalam studi ini yaitu pembuatan profil stratigrafi
singkapan dengan pengamatan detail litofasies dan elemen arsitektur pada delapan lokasi
pengamatan di dua segmen berorientasi utara-selatan. Lokasi pengamatan diposisikan dalam
penampang geologi untuk mengetahui posisi stratigrafi terhadap ketidakselarasan dengan
Formasi Sangkarewang di bawahnya. Selanjutnya dilakukan interpretasi karakteristik litofasies
dan elemen arsitekturnya sehingga diketahui proses dan lingkungan pengendapannya. Tahap
akhir yaitu pemodelan komparatif merujuk pada Nichols (2009) untuk menunjukkan hubungan
vertikal dan lateral litofasies. Penelitian yang dilakukan pada dua segmen yakni segmen
Silalakkulik-Batuajung di sisi barat dan Segmen Sungai Jodi di sebelah timur daerah penelitian
menunjukkan adanya keserupaan jenis litofasies, yakni Scourfills (Ss), Sandy through crossbeds
(St), Sandy planar crossbeds (Sp) dan Sandy horizontal (Sh). Ss menunjukkan sandstone dengan
karakteristik pengisian pada permukaan gerusan. St terdapat pada bagian migrasi channel. Sp
ditemukan di atas migrasi channel, dan Sh merupakan endapan halus bagian atas dari hasil aliran
limpasan. Elemen arsitektur menggambarkan geometri endapan berupa perulangan dan
kombinasi antara channel dan sandy bedform. Perubahan litofasies menunjukkan perubahan
proses pengendapan oleh pengaruh channel yang saling memotong. Hasil endapan dari aktifitas
channel ini disebut dengan multistorey channels yang diinterpretasikan sebagai hasil endapan
lingkungan braided river dengan arah aliran ke barat. Karakteristik Formasi Sawahtambang
dengan batupasir yang sangat tebal bernilai signifikan untuk studi reservoir di Cekungan Ombilin.

Kata kunci: litofasies, elemen arsitektur, multistorey, amalgamated sandstones, braided river

I. PENDAHULUAN
Formasi Sawahtambang disusun oleh batupasir berukuran sedang hingga kerikil
dan memiliki hubungan stratigrafi secara vertikal dan lateral yang cukup variatif. Pada
formasi ini ditemukan banyak struktur sedimen crossbedding baik itu yang berupa through

136
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B001UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

maupun planar. Singkapan batupasir dari formasi ini memiliki beberapa bentukan channel
yang memotong endapan yang lebih halus di bawahnya. Formasi Sawahtambang
memiliki proporsi 70% dari keseluruhan daerah penelitian yang berukuran 5x5 km. Studi
yang membahas mengenai lingkungan sungai teranyam dari Formasi Sawahtambang
masih jarang dilakukan oleh peneliti terdahulu sehingga kondisi lapangan yang memiliki
beberapa singkapan yang ideal menjadi cukup menarik untuk diteliti. Penelitian ini
meiliki ttujuan untuk memodelkan lingkungan pengendapan Formasi Sawahtambang
yang diamati dari litofasies dan elemen arsitekturnya. Posisi stratigrafi dari setiap lokasi
penelitian menunjukkan hubungan elemen arsitektur setiap segmen yang
menggambarkan lingkungan sungai teranyam Formasi Sawahtambang.
Penelitian terhadap lingkungan pengendapan Formasi Sawahtambang dibagi
menjadi 2 (dua) segmen utama, yaitu Segmen Silalakkulik-Batuajung dan Segmen Sungai
Jodi. Segmen Silalakkulik-Batuajung berada di sebelah barat dan merupakan gabungan
dari Sub Segmen Silalakkulik yang terdiri dari LP 1, 2, dan 3 serta Sub Segmen Batuajung
yang ditunjukkan oleh LP 4, 5, dan 6. Segmen Sungai Jodi berada di bagian timur dan
diwakili oleh LP 7 dan 8 (Gambar 1).
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu dengan metode serupa yang dilakukan
oleh Gusti dan Susilo (2018) di Daerah Muaro Kalaban, Kota Sawahlunto, lingkungan
sungai teranyam Formasi Sawahtambang pada bagian timur merupakan amalgamated
deposit hasil dari kanal sungai yang tebal secara vertikal dan memiliki pelamparan lateral
yang bervariasi dan diendapkan sebagai bagian inti dari aliran Sungai Sawahtambang
Purba. Pada bagian barat daerah penelitiannya memiliki fine deposit yang diendapkan
pada dataran banjir yang tidak bersinggungan langsung dengan kanal sungai teranyam
dari milik Sungai Sawahtambang Purba yang mengalir pada bagian tenggaranya. Hal ini
sedikit berbeda dengan penelitian yang dilakukan penulis di Daerah Lubuk Tarok
memiliki arah arus purba relatif ke barat tidak menunjukkan adanya fine deposit. Jika
merujuk pada klasifikasi oleh Miall (2014), pola seperti yang ada di daerah ini merupakan
bagian dari major channel. Perbedaan ini diperkirakan karena daerah lokasi penelitian
yang cukup jauh sehingga data karakteristik singkapan yang ditemui relatif berbeda.

II. GEOLOGI REGIONAL


Secara morfologi, Cekungan Ombilin merupakan bagian dari Tinggian Padang
yang terletak di antara Pegunungan Bukit Barisan. Awal mula cekungan ini terbentuk di
kala Awal Tersier sebagai dampak dari proses konvergen oblique lempeng Indo Australia
terhadap batas bagian barat Lempeng Eurasia Selatan atau bagian dari Sundaland. Secara
umum, proses besar yang berperan terhadap evolusi Cekungan Ombilin terbagi menjadi
dua, yaitu proses magmatisme yang menghasilkan Bukit Barisan dan terjadinya
pembentukan Sistem Sesar Sumatera. Pada bagian batas Cekungan Ombilin bagian timur
laut dikontrol oleh sesar aktif berupa Sesar Takung dengan orientasi WNW-ESE dan di
bagian brat daya dipengaruhi oleh Sistem Sesar Barisan yang berorientasi NW-SE
(Noeradi, Djuhaeni, & Simanjuntak, 2005).
Cekungan Ombilin mengalami evolusi pada zaman Tersier yang terbagi menjadi 4
kejadian, yaitu dimulai dari Eosen Awal – Oligosen Awal, Oligosen Akhir – Miosen
Awal, Miosen Awal – Miosen Tengah, dan terakhir Miosen Tengah – Resen. Pada Eosen

137
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B001UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Awal hingga Oligosen Awal terbentuk zona lemah secara regional membentuk sesar
mendatar berupa Right Lateral Wrench Fault terhadap batas mikroplate Mergui dengan
Woyla. Selanjutnya pada Oligosen Akhir hingga Miosen Awal terjadi rotasi Pulau
Sumatera yang berlawanan dengan arah jarum jam. Pulau Sumatera berorientasi dari N
180˚ E menjadi N 160˚ E. Selanjutnya kejadian yang berlangsung pada Miosen Awal
hingga Miosen Tengah adalah awal mula terbukanya Laut Andaman sebagai akibat dari
upwelling thermal yang menyebabkan continental break diikuti dengan pengangkatan
secara regional di bagian batas antar microplate di Pulau Sumatera. Lalu yang terakhir
terjadi lagi rotasi tahap kedua di Kala Miosen Tengah hingga Resen yang ditandai oleh
terjadinya break up dan oceanic crust accretion terhadap Laut Andaman.
Stratigrafi regional Cekungan Ombilin berdasarkan Koesomadinata dan Matasak
(1981) berdasarkan tua ke muda dibagi menjadi stratigrafi pra-tersier dan tersier. Pada
stratigrafi pra-tersier batuan yang ditemukan adalah sebagai batuan yang mendasari
Cekungan Ombilin. Pada bagian barat cekungan tersingkap Formasi Silungkang dan
Formasi Tuhur. Litologi yang ditemukan secara umum yaitu batusabak, anggota serpih
dan anggota batugamping. Sedangkan pada stratigrafi tersier dibagi menjadi 6 formasi
yaitu Formasi Brani, Formasi Sangkarewang, Formasi Sawahlunto, Formasi Sawah
Tambang, Formasi Ombilin dan Formasi Ranau.
Pada Formasi Brani terdiri dari konglomerat, andesit, batugamping, batusabak,
granit dan kuarsit. Selanjutnya litologi yang ditemukan pada Formasi Sangkarewang
yaitu serpih berlapis tipis, gampingan mengandung material karbon. Sikuen serpih
selanjutnya masih ditemukan pada Formasi Sawahlunto, dengan serpih lanauan dan
batulanau yang bersisipan oleh batupasir kuarsa dan dicirikan dengan hadirnya batubara
yang tipis. Lalu pada Formasi Sawah Tambang dicirikan oleh batupasir berstruktur silang
siur, serpih, dan batulanau. Litologi serpih selanjutnya ditemukan lagi pada Formasi
Ombilin dengan ciri warna kelabu gelap, karbonan dan karbonatan. Selanjutnya pada
Formasi Ranau ditemukan batu tufaan yang disebut sebagai Tufa Ranau dan dianggap
merupakan hasil deposit volkanik yang berumur Pleistosen (Koesoemadinata & Matasak,
1981).

III. METODOLOGI
Penelitian ini mengunakan metode observasi singkapan, pembuatan profil
stratigrafi, analisis hubungan antar segmen, dan pembuatan model lingkungan
pengendapan dari kedua segmen di lokasi penelitian. Observasi atau pengamatan
terhadap singkapan menghasilkan data berupa karakteristik litologi secara detail yaitu
data struktur sedimen pada batuan, tekstur, dan geometri endapan yang dilihat dari
singkapan tersebut. Struktur sedimen dan tekstur batuan digunakan untuk penentuan
litofasies setiap singkapan, sedangkan geometri singkapan menggambarkan elemen
arsitekturnya. Pada struktur crossbeds dilakukan pengukuran azimuth paleocurrent. Data
paleocurrent penting digunakan untuk menginformasikan orientasi arah aliran struktur
sedimen dan dapat merefleksikan geometri lapisan dan lapisan lembaran pasir (Oplustil
dkk., 2005). Data dari observasi lapangan kemudian diwujudkan dalam pembuatan profil
singkapan dilakukan secara vertikal untuk mengetahui perubahan dan asosiasi fasiesnya.
Penamaan jenis litofasies menggunakan klasifikasi oleh Miall (1977, 1978) dalam Miall

138
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B001UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

(2014), sedangkan untuk elemen arsitektur menggunakan klasifikasi Miall (1985) dalam
Miall (2014). Penentuan litofasies dan elemen arsitektur ini menjadi dasar dalam
penentuan lingkungan pengendapan dari Formasi Sawahtambang pada lokasi penelitian.
Selanjutnya, dilakukan analisis hubungan antar segmen yang dilihat dari
posisinya. Analisis ini menggunakan data pada delapan lokasi penelitian yang terbagi
menjadi dua segmen. Penentuan posisi dari lokasi penelitian dan segmen dilihat dari
penampang geologi, sehingga diketahui kedudukannnya dalam kolom stratigrafi. Dilihat
dari kedudukannya, penelitian ini dibagi menjadi dua segmen kolom stratigrafi, yaitu
segmen barat dan segmen timur. Setiap segmen dibatasi oleh bidang ketidakselarasan
yang merupakan kontak antara Formasi Sawahtambang dan Formasi Sangkarewang di
bawahnya. Ketidakselarasan ini menjadi data untuk korelasi susunan paling bawah dari
Formasi Sawahtambang.
Tahap akhir dari metode yang dilakukan dalam studi ini yaitu dilakukan
generalisasi dari hubungan antar segmen digambarkan secara transversal dalam model 2
dimensi yang dikomparasikan dengan model braided river milik Nichols (2009) dan Miall
(2014) dan penambahan data paleocurrent yang divisualisasikan pada model 3 dimensi.
Pembuatan model ini dibangun atas gabungan data pengamatan singkapan, profil,
litofasies dan elemen arsitektur, serta data paleocurrent yang diukur di lokasi penelitian.

IV. HASIL PENELITIAN


Lingkungan pengendapan menggambarkan tempat terendapkannya batuan
sedimen yang diamati dari data litologi, strutur sedimen dan hasil pengukuran arah arus
purba (paleocurrent) pada batuan tersebut. Interpretasi lingkungan pengendapan
didahului dengan analisis litofasies dan elemen arsitektur singkapan yang diamati.
Analisis ini dimulai dari penentuan litofasies dan hubungan antar fasies tersebut pada
suatu singkapan, kemudian dari penentuan litofasies ini akan membantu dalam
pembagian elemen arsitekturnya.
1. Litofasies
Litofasies menjelaskan tahapan proses stratigrafi pada batuan sedimen yang
menggambarkan bagaimana proses pengendapan sedimen yang terjadi pada masa
lampau (Miall, 1996). Asosiasi fasies diamati pada ciri atau karakteristik litologi batuan
secara fisik, kimia, maupun biologi serta struktur sedimen yang terdapat pada setiap
lapisan batuan. Interpretasi penentuan litofasies ini menggunakan klasfikasi oleh Miall
(1977, 1978) dalam Miall (2014).
Pada Sub Segmen Batuajung didominasi oleh batuan sedimen berupa batupasir
dengan karakteristik fragmen berukuran gravel hingga pasir sedang, selain itu juga
terdapat batupasir halus yang tidak terlalu tebal. Berdasarkan pengamatan litofasiesnya,
dapat diketahui bahwa jenis litofasies yang ada berupa sandy horizontal (Sh), sandy planar
crossbed (Sp), sandy through crossbed (St), dan scour fill (Ss) (Gambar 2). Segmen Batuajung
memiliki total ketebalan sekitar 102 meter dengan masing-masing lokasi penelitian
memiliki tebal antara 6.8-10 meter. Pada segmen ini dilakukan pengukuran terhadap arah
arus purba pada struktur sedimen crossbed yang memiliki arah relatif barat.

139
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B001UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Sub Segmen Silalakkulik terdiri dari litologi batupasir dengan fragmen gravel
hingga batupasir berukuran sedang, selain itu juga terdapat batupasir halus yang tipis.
Karakteristik batupasir pada daerah ini cenderung lapuk dan dipengaruhi oleh oksidasi
besi yang cukup tinggi, sehingga batuannya cenderung rapuh dan berwarna coklat
kemerahan. Terdapat litofasies scour fills (Ss) pada salah satu lokasi penelitian, sedangkan
lokasi yang lain secara umum memiliki fasies sandy horizontal (Sh), sandy planar crossbed
(Sp) dan sandy through crossbed (St) (Gambar 3). Pengukuran arus purba pada daerah ini
memiliki arah relatif barat.
Segmen Sungai Jodi terletak pada bagian timur dari secara keseluruhan daerah
penelitian. Litologi penyusun lokasi penelitian pada segmen ini berupa pasir sangat kasar
dan pasir sedang hingga halus, yang dikelompokkan menjadi litofasies scour fills (Ss),
sandy horizontal (Sh), sandy planar crossbed (Sp) dan sandy through crossbed (St) (Gambar 4).
2. Elemen Arsitektur
Dalam menentukan elemen arsitektur didukung oleh analisis terhadap asosiasi
fasies yang terdapat pada lokasi penelitian, sehingga sebelum elemen arsitektur
ditentukan, perlu diawali dengan penentuan litofasiesnya terlebih dahulu. Pengamatan
litofasies yang menunjukkan terdapatnya perubahan ukuran butir yang signifikan dan
didukung oleh struktur sedimen yang ditemukan.
Elemen arsitektur Sub Segmen Batuajung diwakili oleh 3 titik lokasi pengamatan.
Elemen ditemukan berupa channel (CH) dan sandy bedform (SB) (Gambar 5). Pola yang
diamati menunjukkan fase amalgamated sandstone. Segmen ini memperlihatkan endapan
channel yang cukup tebal dan endapan channel yang juga cukup besar menggerus secara
lateral.
Elemen arsitektur Sub Segmen Silalakkulik diamati pada 3 titik lokasi yang
dianalisis dari hubungan antar fasies dari setiap singkapan. Dari ketiga titik lokasi
penelitian, geometri singkapannya menunjukkan elemen berupa channel (CH) dan sandy
bedform (SB) (Gambar 6). Salah satu lokasi penelitian pada segmen ini menunjukkan
adanya aktivitas channel yang kemudian digerus oleh channel lainnya, dan memiliki
litologi penggerus dengan ukuran butir pasir kasar hingga kerikil.
Pada Segmen Sungai Jodi dilakukan pengamatan pada 2 titik lokasi yang juga
dianalisis dari hubungan antar fasies dari setiap singkapan yang menjadi fokus
penelitian. Dari ketiga titik lokasi penelitian pada segmen selatan ini terdapat elemen
yang dijumpai berupa channel (CH) dan sandy bedform (SB) (Gambar 7). Salah satu lokasi
penelitian pada segmen ini menunjukkan adanya aktivitas channel yang kemudian
digerus oleh channel lainnya, dan memiliki litologi penggerus dengan ukuran butir yang
lebih kasar.
Secara keseluruhan, setiap segmen memiliki adanya kesamaan jenis elemen
arsitektur, yaitu channel (CH) dan sandy bedform (SB). Channel terbentuk oleh arus dan
kecepatan yang kuat pada saat pengendapan, sehingga pada bidang erosi terdapat
litologi fragmen kasar hingga kerikil yang dikategorikan sebagai litofasies scour fills.
Batupasir konglomeratik di dasar channel mewakili endapan channel-lag di dalam braided
river (Olusola & Arkande, 2012). Sandy bedform (SB) merupakan bagian dari channel fills
yang berada di atas endapan kasar. Arus yang bekerja pada saat pengendapannya lebih
tenang sehingga litologi yang penyusun dari sandy bedform adalah fraksi halus.

140
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B001UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

3. Model Braided River Formasi Sawahtambang


Hasil identifikasi pada tiga segmen diketahui bahwa hubungan antar segmen
dibantu dengan penyetaraan dari bottom Formasi Sawahtambang dan menunjukkan
bahwa segmen bagian barat yaitu Sub Segmen Sungai Silalakkulik berada di bawah Sub
Segmen Batuajung dengan jarak 835,28 meter. Sedangkan posisi Segmen Sungai Jodi
terhadap segmen barat jika dikorelasikan berada di antara kedua sub segmen di sebalah
barat. Posisi Segmen Sungai Jodi jika dihubungkan ke Sub Segmen Batuajung yaitu
berjarak 382,46 meter, dan dari Sub Segmen Silalakkulik memiliki jarak 402,02 meter
(Gambar 8).
Sub Segmen Batuajung yang berada di bagian barat daerah penelitian
menunjukkan adanya channel deposit yang semakin menghalus ke atas mendapat pegaruh
channel yang memotong secara lateral dan tebal secara vertikal dengan geometri yang
besar. Selanjutnya pada Sub Segmen Silalakkulik terendapkan multistorey channel yang
memotong secara lateral dan tebal secara vertikal dan tidak terdapat endapan dengan
jenis overbank fines atau berupa fraksi halus. Lalu di antara kedua sub segmen tersebut
pada bagian timur yaitu Segmen Sungai Jodi diendapkan fraksi sedang pada bagian
sandy bedform yang secara vertikal berada di paling bawah. Endapan ini kemudian
tergerus dan di bagian atasnya terendapkan channel deposit yang tersusun oleh material
kasar. Pada bagian atasnya, pemotongan oleh aktivitas channel ini terus berlanjut
sehingga pada akhirnya menghasilkan pola endapan amalgamated sandstone. Dari data
litofasies dan elemen arsitektur ketiga segmen ini, dibangun model lingkungan
pengendapan yang memperlihatkan urut-urutan pengendapan dari bawah hingga
berdasarkan posisi stratigrafi dan pengelompokkan elemen arsitekturnya.
Kolom stratigrafi menjadi acuan dalam pembuatan model lingkungan
pengendapan dengan mengadaptasi model braided river oleh Nichols (2009). Pemodelan
ini didahului susunan bentuk 2 dimensi, kemudian, arah arus purba menjadi komponen
tambahan untuk divisualisasikan dalam model 3 dimensi. Pada bagian terngah antara sisi
barat dan timur diinterpretasikan masih merupakan kemenerusan multistorey channel dari
segmen yang ada. Pemodelan ini bertujuan untuk menginformasikan interpretasi daerah
penelitian yang merupakan hasil dari pengendapan braided river dalam sistem sungai
fluvial (Gambar 9). Hasil pengukuran azimuth dari struktur sedimen crossbedding daerah
penelitian, arah arus purba adalah ke arah barat (Gambar 10).

V. DISKUSI DAN PEMBAHASAN


Seluruh segmen di daerah penelitian menunjukkan kesamaan yaitu memiliki
elemen arsitektur berupa endapan amalgamasi kanal sungai yang secara vertikal terukur
cukup tebal dan memiliki pelamparan lateral yang bervariasi dan diendapkan sebagai
bagian inti dari aliran Sungai Sawahtambang Purba. Hal ini juga hampir serupa dengan
penelitian Scherer (2015) pada Formasi Aptian Barbalha pada Cekungan Araripe di Brazil
yang digolongkannya sebagai elemen multi-storey, amalgamated fluvial channels dengan
lapisan tipis (>50 cm) dan disertai endapan overbank yang mengindikasikan deposisi
vertikal lebih dominan dibandingkan migrasi lateral akibat avulsi sehingga material
halus tidak sempat berkembang. Menurut Kifumbi (2017) yang melakukan penelitian
pada Formasi Serraria pada Cekungan Sergipe-Alagoas di Brazil, didapatkan suatu pola

141
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B001UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

pengendapan serupa dengan daerah Lubuk Tarok yaitu braided fluvial channel. Sementara
itu pada terminologi dan penelitian pada formasi yang sama dilakukan oleh Gusti dan
Susilo (2018) berlokasi di sebelah barat daerah penelitian tepatnya di daerah Muaro
Kalaban, Kota Sawahlunto, dengan karakteristik yaitu di bagian barat daerah
penelitiannya memiliki fine deposit yang diendapkan pada dataran banjir yang tidak
bersinggungan langsung dengan sungai teranyam dari milik Sungai Sawahtambang
Purba yang mengalir di tenggara. Penelitian ini memiliki keterkaitan dengan yang
dilakukan oleh Fernando, dkk. (2017) di daerah Kayugadang, Kota Sawahlunto yang
secara geografis berada di bagian utara daerah Muaro Kalaban. Pada Daerah
Kayugadang juga memiliki sisi yang diisi oleh endapan material halus atau elemen
overbank fines dengan lingkungan dataran banjir (floodplain). Berdasarkan model
lingkungan braided river oleh Nichols (2009), lingkungan pengedapan Formasi
Sawahtambang di Daerah Lubuk Tarok merupakan bagian inti atau core dari aktivitas
braided river.

VI. KESIMPULAN
Daerah penelitian memiliki delapan titik lokasi penelitian yang terbagi menjadi
dua segmen. Secara umum, lokasi penelitian disusun oleh batupasir berfragmen,
batupasir berukuran butir pasir kasar hingga sedang dan tidak banyak dijumpai litologi
dengan ukuran butir halus. Fasies batupasir yang terdiri dari batupasir konglomeratik
dan batupasir sedang hingga kasar diinterpretasikan sebagai endapan braided fluvial
dengan bentuk sungai low sinousity yang berasal dari fase arus yang kuat dan memotong
endapan fluvial (Mukhopadhyay, Mazumdar, & Loon, 2016). Berdasarkan profil
stratigrafi secara vertikal, dapat diamati adanya perubahan litofasies yang menunjukkan
perubahan proses selama waktu pengendapan. Litologi dengan fraksi kasar
diinterpretasikan sebagai hasil dari endapan channel, sedangkan batupasir sedang hingga
halus (sandy bedform) diinterpretasikan sebagai bagian channel fills yang mengisi bagian
atas endapan channel yang semakin menghalus. Berdasarkan metode yang dilakukan
untuk mengetahui posisi stratigrafi antar segmen, diketahui bahwa segmen Sungai Jodi
yang berada di sebelah timur berada di antara dua sub segmen yang ada di bagian barat.
Pola ini menunjukkan lingkungan pengendapan braided river yang menunjukkan
hubungan multistorey channel atau terdapat channel yang memotong channel deposit yang
lainnya. Struktur sedimen crossbedding yang ada di setiap lokasi pengukuran juga
memberikan informasi bahwa secara umum paleocurrent dari daerah penelitian relatif
mengarah ke barat.

ACKNOWLEDGEMENTS
Puji dan syukur kepada Allah SWT, karena dengan rahmat-Nya tulisan ini dapat
terselesaikan. Pendanaan penelitian menggunakan biaya mandiri oleh peneliti, karena
pengambilan data penelitian ini merupakan bagian dari rangkaian Tugas Akhir peneliti.
Data primer dan sekunder penelitian dapat diakses dengan menghubungi corresponding
author via e-mail yang telah tertera.

142
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B001UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

DAFTAR PUSTAKA
Fernando, R. E., Sari, M. N., & Susilo, B. K. (2017). Facies And Architectural Analysis Of Fluvial
Deposits Of Sawahtambang Formation Ombilin Basin, West Sumatera. Seminar Nasional
Kebumian (Geoweek) Ke-10. Yogyakarta.
Gusti, U. K., & Susilo, B. K. (2018). Facies and Architectural Element Analysis of Braided Fluvial
Succession: The Tertiary Sawahtambang Sandstone, Sawahlunto, Indonesia. PIT IAGI
2018. Pekanbaru.
Kifumbi, C., Scherer, C. d., Jones, F. H., & Kuchle, J. (2017). High resolution stratigraphy of initial
stages of rifting, Sergipe-Alagoas Basin, Brazil. Brazil Journal of Geology, 657-671.
Koesoemadinata, R., & Matasak, T. (1981). Stratigraphy and Sedimentation Ombilin Basin Central
Sumatra (West Sumatra Province). Indonesian Petroleum Association Annual Convention
10th, (hal. 217-249).
Miall, A. (1996). The Geology of Fluvial Deposits, Sedimentary facies, Basin Analysis, and Petroleum
Geology. Switzerland: Springer-Verlag.
Miall, Andrew D. (2014). The Geology of Fluvial Deposits. Switzerland: Springer-Verlag.
Monroe, J., & Wicander, R. (1997). Phsycal Geology: Exploring the Earth. Belmont: Wadsworth
Publishing Company.
Mukhopadhyay, A., Mazumdar, P., & Loon, A. (2016). A new 'superassemblage' model eplaining
proximal-to-distal and lateral facies changes in fluvial environment, based on the
Proterozoic Sanjauli Formation (lesser Himalaya, India). Journal of Paleography, 391-408.
Nichols, G. (2009). Sedimentology and Stratigraphy. London: Blackwell Science Ltd.
Noeradi, D., Djuhaeni, & Simanjuntak, B. (2005). Rift Play in Ombilin Basin Outcrop, West
Sumatra. Proceedings Indonesian Petroleum Association Annual Convention 30th, (hal. 39-51).
Olusola, J., & Arkande, O. (2012). Sedimentary facies relationship and depositional environments
of the Maastrichtian Enagi formation, northen Bida Basin, Nigeria. Journal of Geography
and Geology, 136-147.
Opluštil, S., Martínek, K., & Tasáryová, Z. (2005). Facies and architectural analysis of fluvial
deposits of the Nýřany Member and the Týnec Formation in the Kladno-Rakovník and
Pilsen basins. Bulletin of Geosciences, 45-66.
Scherer, C., Goldberg, K., & Bardola, T. (2015). Facies architecture and sequence stratigraphy of an
early post-rift fluvial succession, Aptian Barbalha Formation, Araripe Basin,
Northeastern Brazil. Sedimentary Geology, 43-62.

143
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B001UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Peta dan penampang persebaran singkapan Daerah Lubuk Tarok dan Sekitarnya.

144
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B001UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Profil dan litofasies Sub Segmen Batuajung pada tiga titik lokasi penelitian.

145
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B001UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Profil dan litofasies Sub Segmen Silalakkulik pada tiga titik lokasi penelitian.

146
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B001UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Profil dan litofasies Segmen Sungai Jodi pada dua titik lokasi penelitian.

147
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B001UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. Elemen arsitektur Sub Segmen Batuajung.

148
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B001UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 6. Elemen arsitektur Sub Segmen Silalakkulik.

149
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B001UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 7. Elemen arsitektur Segmen Sungai Jodi.

150
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B001UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 8. Kolom stratigrafi tiga segmen yang menunjukkan hubungan vertikal antar litofasies.

151
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B001UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 9. Model skematik 2D lingkungan pengendapan tergeneralisir daerah penelitian


berdasarkan rekonstruksi tiga profil segmen dan posisi stratigrafi.

Gambar 10. Model skematik 3D lingkungan pengendapan tergeneralisir daerah penelitian


berdasarkan rekonstruksi tiga profil segmen dan visualisasi paleocurrent Sungai Sawahtambang
Purba yang relatif mengarah ke barat.

152
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B007UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

SEDIMENTOLOGI DAN PROVENANCE KONGLOMERAT FORMASI


BRANI DAERAH TANJUNG GADANG, SIJUNJUNG, SUMATERA BARAT

Oza Artha Perdana 1*, Budhi Kuswan Susilo 1


Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya Jl. Srijaya Negara Bukit Besar,
1

Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia 30139


*Corresponding Author: oza.artha@gmail.com

ABSTRAK. Penelitian terdahulu yang membahas mengenai sedimentologi dan provenance


konglomerat Formasi Brani sangatlah terbatas, Yeni (2011) melakukan penelitian terhadap
konglomerat Formasi Brani, dan menyatakan bahwa Provenance nya berasal dari batuan karbonat
dan metamorf, sedangkan Nasution dan Susilo (2018) menyatakan bahwa provenance Formasi
Brani berasal dari batuan beku dan meta sedimen, perbedaan tersebut membuat penelitian tentang
provenance selalu menarik untuk dibahas. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
sedimentologi dan provenance konglomerat Formasi Brani Daerah Tanjung Gadang, terkait
keberadaan satuan andesit di sebelah timur daerah penelitian. Studi sedimentologi dilakukan
dengan membuat profil singkapan batuan dan deskripsi fasies, serta melakukan analisis
paleocurrent, sedangkan studi provenance menggunakan metode analisis clast counts, dan analisis
petrografi pada 25 sayatan tipis. Hasil analisis menunjukkan bahwa konglomerat Formasi Brani
terendapkan dengan proses debris flow, dengan arah paleocurrent menuju barat daya, sedangkan
analisis clast counts dan petrografi menunjukkan konglomerat Formasi Brani terdiri dari 3 jenis
material dengan dominasi fragmen andesit (90%), sehingga dapat diinterpretasi bahwa
provenance konglomerat Formasi Brani adalah satuan andesit yang tersebar di sisi timur daerah
penelitian. Hal tersebut berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yeni (2011) dan
Nasution dan Susilo (2018), perbedaan tersebut menunjukkan begitu beragamnya fragmen
konglomerat Formasi Brani, yang sangat dikontrol oleh jenis batuan sumbernya.

Kata kunci: Formasi Brani, konglomerat, arus purba, Sedimentologi, batuan asal

I. PENDAHULUAN
Formasi Brani merupakan bagian dari Cekungan Ombilin, yang disusun oleh
batupasir dan konglomerat, Konglomerat Formasi Brani merupakan konglomerat
oligomict, dan bersifat matrix supported fabric, yang menandakan proses pengendapan
debris flow. Menurut Anggraini et al., (2017) Formasi Brani memiliki hubungan menjemari
dengan Formasi Sangkarewang, selain itu menurut Mulyana dan Gani (2015), karakter
tekstural pada Anggota Selo Formasi Brani menunjukkan facies fan-head dari bagian
alluvial fans, Husein et al., (2018), menyatakan bahwa bagian ujung dari kipas alluvial
Brani sering berkembang menjadi fasies sungai teranyam, yang dinamakan sebagai
anggota kulampi. Formasi Brani pada daerah Tanjung Gadang tersebar ditengah daerah
penelitian dan menempati sekitar 25% dari luas daerah, dan berada di sebelah satuan
andesit.

153
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B007UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Penelitian terdahulu yang membahas mengenai sedimentologi dan provenance


konglomerat Formasi Brani sangatlah terbatas, Yeni (2011) melakukan penelitian
terhadap konglomerat Formasi Brani dan menyatakan bahwa Provenance nya berasal dari
batuan karbonat yaitu marbel dan batuan metamorf derajat rendah-tinggi, sedangkan
Nasution dan Susilo (2018) menyatakan bahwa provenance konglomerat Formasi Brani
berasal dari 2 sumber batuan yang berbeda, yaitu batuan beku (granit) dan batuan meta
sedimen (batugamping), perbedaan tersebut membuat penelitian tentang provenance
selalu menarik dan di kontrol oleh jenis batuan sumbernya. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi sedimentologi dan provenance konglomerat Formasi Brani Daerah
Tanjung Gadang.
Metode analisis yang dilakukan dalam studi ini ialah analisis paleocurrent, yang
dilakukan dengan melakukan pengamatan dan pengukuran arah pengendapan, pada
struktur sedimen imbrikasi yang terdapat pada lapisan konglomerat, untuk
mengidentifikas arah pengendapan, sedangkan analisis clast counts dan petrografi
dilakukan untuk mengidentifikasi komposisi asal fragmen dan persentasenya.
Berdasarkan hasil dari ketiga metode analisis tersebut, diketahui bahwa arah aliran
material sedimen pembentuk konglomerat Formasi Brani, mengarah ke barat daya, dan
fragmen konglomerat di dominasi oleh andesit, sehingga dapat diinterpretasi provenance
dari konglomerat Formasi Brani adalah andesit. Hal tersebut sesuai dengan keterdapatan
satuan andesit, yang berada di sebelah timur daerah penelitian.
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Yeni (2011),
provenance Formasi Brani adalah marmer, hal tersebut berbeda dengan hasil penelitian
yang penulis lakukan, yang menyatakan bahwa provenance konglomerat Formasi Brani
ialah andesit. Perbedaan tersebut diperkirakan dikarenakan lokasi daerah penelitian yang
berbeda, serta perbedaan dalam metode yang dilakukan, Yeni (2011) melakukan analisis
pada matriks konglomerat, sedangkan penulis melakukan analisis pada fragmen dan juga
matriks, serta melakukan perhitungan terhadap arah paleocurrent.

II. RUANG LINGKUP PENELITIAN


Daerah yang menjadi lokasi penelitian adalah daerah Tanjung Gadang. Terdapat 9
titik lokasi pengambilan sampel batuan, yaitu 3 titik terdapat pada Formasi Brani, dan 6
titik terdapat di satuan andesit. Lokasi pengambilan sampel batuan dapat dilihat pada
(Gambar 1). Selain itu juga dibuat penampang geologi yang digunakan untuk
memperlihatkan ketebalan Formasi Brani, dan untuk kepentingan pembuatan diagram
hasil metode clast counts (Gambar 2).
Sembilan lokasi tersebut di tentukan berdasarkan sebaran formasi batuan, dan
kondisi dari lokasi penelitian yang memenuhi syarat untuk dilakukannya studi
provenance. Lokasi penelitian tersebut adalah LP 1 dan LP 2, singkapan pada lokasi
pengamatan 1 (Gambar 3) terdiri dari litologi konglomerat dengan sisipan batupasir,
dengan tinggi kurang lebih 24 meter. Selain lokasi pengamatan 1, terdapat lokasi
pengamatan 2 yang menjadi lokasi penelitian studi khusus (gambar 4).

154
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B007UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

III. METODE PENELITIAN


Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis paleocurrent, clast
counts, dan analisis petrografi. Ketiga metode tersebut dinilai akan sangat membantu
dalam studi sedimentologi dan provenance konglomerat formasi Brani, daerah Tanjung
Gadang.
1. Analisis Paleocurrent
Analisis paleocurrent dilakukan dengan cara mengamati arah long axis dari seluruh
fragmen konglomerat yang ada pada setiap lapisan (Gambar 5), pengukuran tersebut di
lakukan pada 2 lokasi pengamatan, yaitu LP 1 dan LP 2, kedua LP tersebut dipilih
berdasarkan kondisi dari singkapan yang layak, serta keterdapatan komponen utama
dari penentuan paleocurrent, yaitu adanya imbrikasi.
Setelah proses pengukuran paleocurrent selesai dilakukan, selanjutnya hasil
pengukuran tersebut dimasukkan kedalam diagram arah paleocurrent yang disandingkan
dengan profil singkapan pada setiap lokasi pengamatan yang terkait, untuk
menunjukkan arah pengendapan pada setiap lapisannya. Boggs, (2006) menyatakan
bahwa analisis paleocurrent bertujuan untuk mengetahui arah aliran dari arus purba yang
mengindikasikan batuan asal atau sediment source area.
2. Observasi Megaskopik Dengan Perhitungan Jenis Klastika (Analisis Clast
Counts)
Metode analisis clast counts digunakan untuk mengetahui komposisi utama dari
konglomerat, metode ini dilakukan dengan cara menghitung setiap jenis fragmen yang
ada pada setiap lapisan konglomerat dalam cakupan 1m² pada setiap grid, dalam
beberapa kasus grid tersebut dapat dipindahkan atau digerakkan secara lateral, namun
masih tetap dalam lapisan yang sama, hal tersebut dilakukan agar perhitungan setiap
jenis fragmen dapat mencapai 100 perhitungan pada tiap posisi (Orme et al., 2015).
Ilustrasi metode clast counts dalam tiap lapisan konglomerat dapat dilihat pada (Gambar
6). Setelah hasil perhitungan di dapatkan, kemudian data tersebut akan dimasukkan
kedalam tabel hasil analisis, yang disajikan dalam bentuk persentase, tabel tersebut
menampilkan komposisi dari setiap lapisan konglomerat yang di analisis.
Gambar tersebut (Gambar 6) merupakan ilustrasi pengaplikasian metode clast
counts pada lapisan konglomerat, setiap fragmen yang masuk di dalam grid akan
dilakukan analisis jenis batuan dengan pengamatan megaskopik dan petrografi,
kemudian jumlahnya dihitung, dan dipisahkan menurut jenis batuannya, data hasil
perhitungan tersebut kemudian akan di masukkan kedalam tabel dan dibuat diagram
komposisi yang memperlihatkan komposisi konglomerat dari lower part-upper part, dan
ditentukan jenis litologi apa yang paling dominan, litologi yang dominan tersebut
merupakan batuan asalnya.
3. Analisis Petrografi
Analisis petrografi dilakukan dengan cara mengambil sampel pada seluruh
lapisan konglomerat yang di analisis, total sampel yang dianalisis adalah 25 sampel, yang
diambil dari 9 lokasi penelitian. Sampel yang diambil pada lapisan konglomerat adalah

155
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B007UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

sampel berupa fragmen, dan matriksnya. Analisis petrografi dilakukan dengan


menggunakan klasifikasi IUGS untuk batuan beku, dan klasifikasi menurut Pettijohn
(1975) untuk batuan sedimen.

IV. KARAKTERISTIK FORMASI BRANI


Karakteristik Formasi Brani dicirikan dengan warna fresh coklat violet dan coklat,
dan warna lapuk coklat violet, Formasi Brani terdiri atas 2 litologi, yaitu konglomerat dan
batupasir, dengan litologi konglomerat yang mendominasi, konglomerat Formasi Brani di
dominasi oleh fragmen yang berukuran pebble-cobble, yang terdiri atas fragmen batuan
beku, selain itu konglomerat Formasi Brani bersifat matrix supported fabric, dengan proses
pengendapan debris flow. Kenampakan litologi konglomerat Formasi Brani dapat dilihat
pada (Gambar 7).
Konglomerat Formasi Brani dicirikan dengan kenampakan megaskopik berupa
warna fresh coklat-violet dan warna lapuk violet, selain itu pada litologi konglomerat
ditemukan adanya struktur sedimen imbrikasi yang dapat dilihat pada (Gambar 8, 9, 10,
11). Berdasarkan hasil analisis petrografi dan observasi megaskopik, konglomerat
Formasi Brani merupakan konglomerat oligomict, hal tersebut dikarenakan fragmen
penyusun batuannya terdiri atas 3 jenis batuan, yaitu andesit, granit, dan dasit.
Selain fragmen, penulis juga melakukan analisis petrografi terhadap matriks dari
setiap lapisan konglomerat, analisis dilakukan pada 4 lapisan, yaitu lapisan A, B, C, dan
D, di lokasi penelitian 1 (LP 1) yang berdasarkan pengamatan megaskopik, seluruhnya
merupakan jenis batuan yang sama, berdasarkan analisis kenampakan sayatan
tipis/petrografi, batuan sedimen yang berperan sebagai matriks tersebut ialah litharenite.
Karakteristik batupasir Formasi Brani apabila dilihat secara megaskopik dicirikan
dengan warna fresh abu-abu, sedangkan untuk warna lapuknya dicirikan dengan warna
coklat violet dengan ukuran butir medium-coarse sand, dan tidak ditemukan adanya
struktur sedimen pada seluruh singkapan. Kenampakan batupasir Formasi Brani dapat
dilihat pada (Gambar 12). Analisis petrografi dilakukan pada 1 lokasi penelitian, yaitu
pada lokasi penelitian 1 (LP 1). Hasil dari analisis petrografi pada LP 1 menyatakan
bahwa batupasir Formasi Brani memiliki nama petrografi sub-arkose.

V. HASIL PENELITIAN
Studi sedimentologi dan provenance Formasi Brani dilakukan melalui 3 penelitian,
yaitu analisis paleocurrent, clast counts, dan petrografi. Analisis paleocurrent dilakukan
dengan mengamati struktur imbrikasi untuk mengetahui arah arus purba yang terdapat
pada batuan, analisis clast counts dilakukan dengan cara melakukan pengamatan
megaskopik, dan menghitung setiap jenis fragmen pada setiap lapisan konglomerat, dan
Analisis petrografi dilakukan dengan cara mengamati komposisi mineral penyusun
batuan.
1. Analisis Paleocurrent
Analisis paleocurrent dilakukan pada 2 lokasi pengamatan, yaitu LP 1 dan LP 2,
Imbrikasi pada LP 1 ditemukan pada 4 lapisan yang berbeda, yaitu pada lapisan A,B,C,

156
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B007UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

dan D, dari keempat lapisan tersebut diketahui bahwa terdapat perbedaan arah
pengendapan, namun perbedaan tersebut tidak begitu signifikan dan menunjukkan
kesamaan. Berdasarkan data hasil pengukuran, arah paleocurrent/arus purba pada LP 1
ialah N 250º E Pada lapisan A, N 205º E pada lapisan B, N 208º E pada lapisan C, dan N
245º E Pada lapisan D. Selanjutnya pengukuran imbrikasi pada LP 2 hanya dilakukan 1
kali pengukuran, hal tersebut dikarenakan struktur imbrikasi pada lokasi pengamatan ini
tidak terlihat dengan jelas karena adanya pengaruh dari aktifitas manusia, yaitu kegiatan
penambangan. Berdasarkan hasil pengukuran arah azimuth, diketahui bahwa arah
paleocurrent pada lapisan E LP 2 ialah N 240º E. Hasil pengukuran tersebut kemudian
disandingkan dengan profil singkapan yang dapat dilihat pada (Gambar 13, dan 14).
2. Analisis Clast Counts
Analisis clast counts dilakukan pada 4 lapisan di LP 1, dan 1 lapisan di LP 2.
Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa pada LP 1 lapisan A fragmen konglomerat
Formasi Brani disusun oleh batuan beku yang terdiri atas andesit, kemudian pada lapisan
B fragmen konglomerat terdiri atas andesit dan dasit, yang di dominasi oleh andesit,
pada lapisan C fragmen konglomerat terdiri atas andesit, sedangkan pada lapisan D
fragmen konglomerat terdiri atas andesit dan granit, yang di dominasi oleh fragmen
andesit (tabel 1). Sedangkan pada LP 2 fragmen konglomerat disusun oleh andesit.
Tabel tersebut (Tabel 1) menjelaskan bahwa provenance konglomerat dari setiap
lapisan menunjukkan jenis batuan beku, yaitu andesit. Komposisi konglomerat pada LP 1
yang berasal dari 4 lapisan, menunjukkan bahwa lapisan A dan C dibangun oleh fragmen
andesit (100%), adapun 2 lapisan lain terdapat perpaduan antara dominasi fragmen
andesit dan campuran dasit (5%) di lapisan B, dan campuran granit (10%) di lapisan D.
Selanjutnya untuk LP 2, dibangun oleh (100%) andesit. Berdasarkan data-data tersebut,
diinterpretasi bahwa material sedimen penyusun satuan konglomerat Formasi Brani
berasal dari satuan andesit yang berada di sebelah timur daerah penelitian.
3. Analisis Petrografi
Total sampel batuan yang digunakan dalam analisis petrografi adalah 25 sampel,
yang terdiri dari 6 sampel yang diambil dari satuan andesit (LP 4, 5, 6 7, 8, 9) serta
fragmen dan matriks konglomerat Formasi Brani, untuk LP 1 terdiri dari no 7-22 di tabel,
LP 2 terdiri dari no 23-24, dan LP 3 yang ditunjukkan pada no 25. Fragmen yang di
analisis merupakan fragmen yang memiliki kenampakan fisik yang berbeda, hal tersebut
dilakukan untuk mengetahui litologi penyusun dari konglomerat Formasi Brani, serta
mengidentifikasi apakah konglomerat Formasi Brani disusun oleh satuan andesit yang
berada di sebelah timur daerah penelitian. Hasil analisis petrografi dapat dilihat pada
(Tabel 2).
Hasil analisis petrografi menunjukkan bahwa konglomerat Formasi Brani disusun
oleh fragmen yang merupakan batuan beku, yang di dominasi oleh andesit, selain itu
terdapat litologi lainnya yaitu dasit, dan granit, kemudian matriks dari konglomerat
Formasi Brani merupakan litharenite yang disusun oleh fragmen berupa lithik dan
matriks berupa kuarsa, feldspar, opak, dan lempung. Selanjutnya untuk satuan andesit,
pada 3 titik menunjukkan litologi andesit, sedangkan 3 titik lainnya ialah granit.

157
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B007UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Selanjutnya dilakukan perbandingan komposisi mineral antara kedua satuan,


perbandingan dilakukan dengan cara melihat kandungan mineral antara 2 sayatan yang
memiliki jenis litologi yang sama, sayatan yang dipilih adalah yang mewakili masing-
masing satuan. Berdasarkan tabel hasil analisis petrografi, dapat dilihat terdapat
beberapa kesamaan antara litologi andesit kedua satuan, kesamaan tersebut terdapat
pada jenis mineralnya, mineral gelas hadir sebagai massa dasar yang terdapat pada
andesit kedua satuan, dengan persentase untuk gelas berkisar 4%-35%, kemudian diikuti
dengan mineral utama seperti plagioklas dan kuarsa, kemudian derajat kristalisasi antar
sampel menunjukkan suatu kesamaan, yaitu holokristalin. Kemudian untuk granit, juga
memiliki kesamaan, seperti derajat kristalisasi yang menunjukkan kesamaan antar
sampel kedua satuan, yang diidentifikasi merupakan holokristalin, dan juga kehadiran
mineral gelas yang berperan sebagai massa dasar granit kedua satuan dengan persentase
berkisar 13%-18%, tetapi pada sampel LP 8 dan LP 9, terlihat bahwa massa dasarnya
adalah lempung, hal tersebut dikarenakan kondisi sampel batuan tidak sepenuhnya
fresh/segar, sehingga mineral-mineralnya terubahkan menjadi lempung. Berdasarkan data
tersebut kemudian diinterpretasi bahwa fragmen andesit dan granit yang berperan
sebagai fragmen konglomerat Formasi Brani berasal dari satuan andesit yang terdapat di
sebelah timur daerah penelitian, dan untuk fragmen dasit, diperkirakan berasal dari luar
daerah penelitian.

VI. DISKUSI
Pembahasan hasil studi terhadap hasil penelitian terdahulu dilakukan untuk
mengetahui, apakah terdapat kesamaan atau perbedaan dalam hasil penelitian. Studi
yang dimaksud ialah yang memiliki kesamaan dalam hal judul (provenance) yang
berkaitan terhadap daerah penelitian, ataupun kesamaan dalam metode yang digunakan,
dalam hal ini penulis mencoba membandingkan dengan beberapa hasil penelitian lain,
yang diantaranya adalah Zhang et al., (2017) yang menggunakan metode clast counts dan
paleocurrent sebagai salah satu faktor penentu provenance, Orme et al., (2015) yang
menggunakan metode clast counts sebagai salah satu faktor penentu studi provenance,
Dickinson (2008) yang melakukan studi provenance batuan konglomerat dengan metode
analisis clast counts, paleocurrent trend, dan stratal succession, Nasution dan Susilo (2018)
yang melakukan penelitian mengenai petrofasies batuan Formasi Brani, dan Yeni (2011)
yang melakukan studi mengenai perkembangan sedimentasi Formasi Brani, Formasi
Sawahlunto dan Formasi Ombilin ditinjau dari provenance dan komposisi batupasir
Cekungan Ombilin.
Metode analisis clast counts dan paleocurrent yang dilakukan oleh Zhang et al.,
(2017), bertujuan untuk mengetahui komposisi utama dari konglomerat dan arah
pengendapannya, hal tersebut dilakukan untuk mengetahui provenance dari Qiuwu
Formation yang berada di selatan Tibet. Penelitian yang dilakukan oleh Zhang et al.,
(2017) memiliki satu kesamaan dengan yang dilakukan penulis, yaitu penggunaan data
paleocurrent untuk menentukan arah/asal dari provenance batuan, arah paleocurrent
tersebut didapatkan dari pengukuran struktur sedimen imbrikasi yang terdapat di
lapisan batuan konglomerat, kemudian hasil pengukuran tersebut diikat dengan data
hasil analisis clast counts yang saling disandingkan dalam sebuah gambar yang

158
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B007UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

mencerminkan profil stratigrafi (Gambar 15). Selain kesamaan, juga terdapat beberapa
perbedaan antara studi provenance yang dilakukan, Zhang et al., (2017) menggunakan
beberapa metode yaitu, conglomerate clast counts, paleocurrent analysis, modal sandstone
petrology, dan detrital zircon geochronology, sedangkan penulis menggunakan metode
analisis clast counts, paleocurrent, dan petrografi.
Zhang et al., (2017) menyatakan bahwa pada awal pengendapan, fragmen
konglomerat di dominasi oleh granit dengan ratio 0,67, kemudian semakin keatas,
fragmen granit mulai berkurang dan digantikan dengan silicate, basaltic, dan vein quartz
yang dominan. Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa pada lower part konglomerat
Formasi didominasi oleh granit yang berasal dari timur laut daerah penelitian, sedangkan
pada upper part di \dominasi oleh silicate, basaltic, dan vein quartz yang berasal dari
sebelah timur daerah penelitian. Kemudian hasil analisis yang dilakukan penulis
menyatakan bahwa komposisi konglomerat Formasi Brani di dominasi oleh andesit yang
berasal dari timur laut daerah penelitian, andesit mendominasi dengan ratio 0,9-0,8,
kemudian pada bagian upper part terdapat campuran jenis fragmen lainnya, seperti dasit
dan granit yang terendapkan dengan ratio 0,1 pada setiap jenis fragmen, hal tersebut
menandakan bahwa pada bagian upper part konglomerat Formasi Brani mulai masuk
material sedimen lain dari arah timur laut yang mempengaruhi pengendapan formasi.
Metode clast counts yang dilakukan oleh Orme et al., (2015), bertujuan untuk
mengetahui komposisi utama dari konglomerat Formasi, yang kemudian diikat dengan
modal sandstone analysis, dan detrical zircon analysis, hal tersebut bertujuan untuk
mengetahui provenance dari upper cretaceous-lower Eocene Western Xigaze forearc basin, yang
berada di selatan Tibet. Perbedaan penelitian Orme et al., (2015), terhadap penelitian yang
dilakukan penulis ialah dalam hal metode yang digunakan, penulis tidak melakukan
modal sandstone analysis dan detrical zircon analysis, karena penelitian di fokuskan terhadap
konglomerat, metode yang penulis gunakan ialah analisis petrografi, clast counts, dan
paleocurrent, yang hasil ketiganya saling mendukung satu sama lain. Kesamaan yang
dimiliki pada hasil analisis clast counts ialah, Orme et al., (2015) menggunakan hasil
metode ini sebagai salah satu faktor penentu provenance, begitu juga penulis yang
menggunakan metode tersebut sebagai salah satu faktor penentu provenance konglomerat.
Penelitian yang dilakukan Dickinson (2008), membahas mengenai provenance pada
litologi konglomerat dengan menggunakan analisis clast counts, paleocurrent trend, dan
strata succession, hal tersebut memiliki kesamaan dengan yang dilakukan penulis, yaitu
penggunaan metode clast counts, dan penggunaan data paleocurrent dengan mengukur
arah trend imbrikasi pada setiap lapisan konglomerat. Sedangkan perbedaan yang
dimiliki ialah, penulis tidak melakukan analisis strata succession, melainkan mencoba
melakukan analisis litofacies pada LP 1 dan 2 Formasi Brani.
Berdasarkan hasil penelitian Nasution dan Susilo (2018), menyatakan bahwa
batuan Formasi Brani berasal dari 2 sumber yang berbeda, yaitu berasal dari batuan beku
yaitu granit, dan batuan metasedimen yaitu batugamping, yang merupakan bagian dari
Formasi Silungkang. Hasil penelitian tersebut berbeda dengan apa yang dikemukakan
oleh penulis, yang menyatakan bahwa konglomerat Formasi Brani berasal dari batuan
vulkanik yaitu andesit yang berada di sebelah timur daerah penelitian, hal tersebut
dikarenakan perbedaan metode penelitian dan juga terdapat perbedaan pada litologi
yang di analisis, Nasution dan Susilo (2018), melakukan studi pada quartz arenite dan

159
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B007UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

lithic arenite, sedangkan penulis melakukan analisis pada konglomerat Formasi Brani.
Perbedaan lainnya adalah metode yang dilakukan, Nasution dan Susilo (2018),
melakukan penelitian dengan menggunakan metode analisis laboratorium (petrografi
dan megaskopik) dan analisis petrofasies, sedangkan penulis menggunakan metode yang
berbeda, yaitu analisis clast counts, petrografi, dan paleocurrent.
Berdasarkan hasil penelitian Yeni (2011), yang melakukan studi mengenai
perkembangan sedimentasi Formasi Brani, Formasi Sawahlunto dan Formasi Ombilin
ditinjau dari provenance dan komposisi batupasir Cekungan Ombilin, menyatakan bahwa
provenance dari konglomerat Formasi Brani ialah batuan karbonat (marbel), dan batuan
metamorf derajat rendah-batuan metamorf derajat tinggi, hal tersebut dikarenakan
keterdapatan fragmen yang mendominasi, seperti karbonat, batuan metamorf, dan
kuarsa monokristalin. Hasil penelitian tersebut berbeda dengan hasil penelitian yang
dilakukan penulis, yang menyatakan bahwa provenance konglomerat Formasi Brani
berasal dari batuan vulkanik, yaitu andesit, hal tersebut dikarenakan perbedaan daerah
tempat penelitian, Yeni (2011) melakukan penelitian di daerah sekitaran Kota
Sawahlunto, dan sebagian daerah Kabupaten Sijunjung, sedangkan penulis melakukan
penelitian di daerah Tanjung Gadang, yang berada di sebelah timur Kabupaten Sijunjung,
selain perbedaan lokasi tersebut, keterdapatan satuan batuan yang diperkirakan menjadi
batuan asal juga berbeda, dalam penelitian Yeni (2011), provenance diperkirakan berasal
dari tinggian yang terletak di sebelah baratlaut dari cekungan, sedangkan menurut hasil
penelitian yang dilakukan penulis, provenance diperkirakan berasal dari satuan andesit
yang berada di sebelah timur laut daerah penelitian. Perbedaan hasil penelitian tersebut
menunjukkan begitu beragamnya jenis fragmen yang menyusun konglomerat Formasi
Brani, yang sangat dikontrol oleh daerah tempat terendapkannya, serta jenis batuan
sumbernya.

VII. KESIMPULAN

1. Hasil analisis paleocurrent menunjukkan bahwa arah pengendapan material


sedimen dominan mengarah ke barat daya (Gambar 13), (Gambar 14), hal tersebut
menandakan material sedimen penyusun konglomerat Formasi Brani berasal dari
timur laut daerah penelitian, yang tertransportasi kearah barat daya.
2. Hasil analisis petrografi menunjukkan bahwa konglomerat Formasi Brani disusun
atas fragmen andesit, granit, dan dasit, serta di ikat oleh semen yang merupakan
litharenite, kemudian berdasarkan komposisi mineralnya, fragmen andesit yang
menyusun sebagian besar konglomerat Formasi Brani memiliki komposisi mineral
yang sama dengan satuan andesit yang berada di bagian timur daerah penelitian.
Analisis clast counts menunjukkan bahwa komposisi konglomerat Formasi Brani di
dominasi oleh andesit, dengan rata-rata nilai komposisi sekitar 90%, hal tersebut
menunjukkan bahwa provenance dari konglomerat Formasi Brani (Teb) adalah
Andesit (a).
3. Berdasarkan analisis paleocurrent, clast counts, dan petrografi, membuktikan bahwa
provenance konglomerat Formasi Brani (Teb), berasal dari satuan andesit (a), yang
berada di sebelah timur laut daerah penelitian.

160
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B007UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, M., Lismono, R. dan Susilo, B.K., 2017. Analisa model lingkungan pengendapan
Formasi Brani dan Formasi Sangkarewang berdasarkan litostratigrafi dan
tektonosedimentasi di Daerah Padangganting, Sumatera Barat. Proc. Seminar Nasional
Kebumian ke-10. Yogyakarta, Indonesia.
Boggs, S.J., 2006. Principles of Sedimentology and Stratigrafi, 4th edition. Merill Publishing
Company, Colombus: pp 1 - 655.
Dickinson, W.R., 2008. Conglomerate clast counts in Oligocene-Miocene strata north from the
Catalina Core Complex to the Gila River Valley, Southeastern Arizona. Arizona
Geological Survey Contributed Report CR-08-C, 34 p.
Husein, S., Barianto, D.H., Novian, M.I., Putra, A.F., Saputra, R., Rusdiyantara, M.A. dan Nugroho,
W., 2018. Perspektif baru dalam evolusi Cekungan Ombilin Sumatera Barat. Proc.
Seminar Nasional Kebumian ke-11. Yogyakarta, Indonesia.
Mulyana, B. dan Gani, R. M.G., 2015. Litostratigrafi Cekungan Ombilin dalam Kerangka Tectono-
Sedimentation Rift Basin. Bulletin of Scienctific Contribution, v. 13, No.2: 93-99.
Nasution, D.C. dan Susilo, B.K., 2018. Analisa petrofasies batuan Formasi Brani di Daerah
Talagogunung, Sumatera Barat. Prosiding Seminar Nasional AVoER ke-10. Palembang,
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya. Hal. 63-69.
Nichols, G., 2009. Sedimentology and stratigraphy, 2nd edition. Willey Blackwell, Ithaca, New
York: pp 1 - 398.
Orme, D.A., Carrapa, B. and Kapp, P., 2015. Sedimentology, provenance and geochronology of the
upper Cretaceous-lower Eocen western Xigaze forearc basin, southern Tibet. Basin
Research 27, 387-411.
Pettijohn, F.J., 1975. Sedimentary Rocks, 3rd ed. New York: Harper & Row Publishing Co.628h.
Yeni, Y. F., 2011. Perkembangan sedimentasi Formasi Brani, Formasi Sawahlunto dan Formasi
Ombilin ditinjau dari provenance dan komposisi batupasir Cekungan Ombilin. Proc.
36th ann. Conv. IPA, Makassar, Indonesia.
Zhang, J., Dai, J., Qian, X., Ge, Y. and Wang, C., 2017. Sedimentology, provenance and
geochronology of the Miocene Qiuwu Formation: Implication for the uplift history of
Southern Tibet. Geoscience Frontiers 8 (2017) 823-839.

161
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B007UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 1. Hasil analisis clast counts

LP Lapisan Andesit Granit Dasit

1 A 100% 0% 0%

B 95% 0% 5%

C 100% 0% 0%

D 90% 10% 0%

2 E 100% 0% 0%

Tabel 2. Hasil analisis Petrografi

No Kode Sample Nama Batuan Karakteristik

Massa Dasar: Gelas (18%)

1 LP 4 Granit
Kristalisasi: Holokristalin

Massa Dasar: Gelas (4%)

2 LP 5 Andesit
Kristalisasi: Holokristalin

Massa Dasar: Gelas (29%)

3 LP 6 Andesit
Kristalisasi: Holokristalin

Massa Dasar: Gelas (35%)

4 LP 7 Andesit
Kristalisasi: Holokristalin

162
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B007UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Massa Dasar: Lempung

5 LP 8 Granit
Kristalisasi: Holokristalin

Massa Dasar: Lempung


LP 9
6 Granit
Kristalisasi: Holokristalin

Massa Dasar: Gelas (38%)

7 1AF-1 Andesit
Kristalisasi: Holokristalin

Massa Dasar: Gelas (27%)

8 1AF-2 Andesit
Kristalisasi: Holokristalin

Massa Dasar: -

9 1AF-3 Andesit
Kristalisasi: Holokristalin

Semen: Oksida besi (19%)

10 1AM-1 Litharenite
Tekstur: Klastik

Massa Dasar: Gelas (15%)

11 1BF-1 Dasit
Kristalisasi: Holokristalin

Massa Dasar: Gelas (22%)

12 1BF-2 Andesit
Kristalisasi: Holokristalin

Massa Dasar: Gelas (19%)

13 1BF-3 Andesit
Kristalisasi: Holokristalin

163
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B007UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Semen: Oksida besi (3%)

14 1BM-1 Litharenite
Tekstur: Klastik

Massa Dasar: Gelas (12%)

15 1CF-1 Andesit
Kristalisasi: Holokristalin

Massa Dasar: Gelas (39%)

16 1CF-2 Andesit
Kristalisasi: Holokristalin

Massa Dasar: Gelas (7%)

17 1CF-3 Andesite
Kristalisasi: Holokristalin

Semen: Oksida besi (12%)

18 1CM-1 Litharenite
Tekstur: Klastik

Massa Dasar: Gelas (13%)

19 1DF-1 Granit
Kristalisasi: Holokristalin

Massa Dasar: Gelas (35%)

20 1DF-2 Andesit
Kristalisasi: Holokristalin

Massa Dasar: Gelas (21%)

21 1DF-3 Andesit
Kristalisasi: Holokristalin

Semen: Oksida besi (9%)

22 1DM-1 Litharenite
Tekstur: Klastik

164
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B007UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Massa Dasar: Gelas (34%)

23 2AF-1 Andesit
Kristalisasi: Holokristalin

Massa Dasar: Gelas (23%)

24 2AF-2 Andesit
Kristalisasi: Holokristalin

Massa Dasar: Gelas (36%)

25 3AF-1 Andesit
Kristalisasi: Holokristalin

165
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B007UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Peta lokasi pengambilan perconto untuk analisis petrografi

166
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B007UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Penampang geologi yang menunjukkan ketebalan, kemiringan formasi, dan data
litologi yang diambil dari setiap LP, penampang dibuat melintasi seluruh lokasi penelitian pada
Formasi Brani

Gambar 3. Kenampakan LP 1 yang merupakan singkapan batuan konglomerat dengan sisipan


batupasir

167
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B007UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Kenampakan LP 2 yang merupakan singkapan batuan konglomerat Formasi Brani.

Gambar 5. Hubungan flow direction dan clast imbrications (Nichols, 2009).

168
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B007UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 6. Ilustrasi metode clast counts pada lapisan konglomerat.

Gambar 7. konglomerat formasi Brani yang di dominasi fragmen berukuran pebble-cobble.

169
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B007UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 8. Imbrikasi pada lapisan A yang Menunjukkan arah pengendapan ke barat daya
(azimuth foto:N 335º E)

170
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B007UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 9. Imbrikasi pada lapisan B yang Menunjukkan arah pengendapan ke barat daya
(azimuth foto: N 139º E)

171
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B007UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 10. Imbrikasi pada lapisan C yang Menunjukkan arah pengendapan ke barat daya
(azimuth foto: N 143º E)

172
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B007UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 11. Imbrikasi pada lapisan D yang Menunjukkan arah pengendapan ke barat daya
(azimuth foto: N 140º E)

173
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B007UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 12. Kenampakan litologi batupasir Formasi Brani

174
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B007UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 13. Profil LP 1 yang menunjukkan data pengambilan 16 sampel batuan dan arah
paleocurrent

175
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B007UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 14. Profil LP 2 yang menunjukkan data pengambilan 2 sampel batuan dan arah
paleocurrent

176
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B007UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 15. Hasil analisis clast counts & paleocurrent Zhang et al., (2017) yang ditunjukkan pada
gambar A, dan hasil analisis yang dilakukan penulis, ditunjukkan pada gambar B.

177
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B009UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

PROSPECTING MIOCENE CARBONATE HARDGROUND AS CAPROCK,


CASE STUDY IN OYO FORMATION, GUNUNGKIDUL, DAERAH
ISTIMEWA YOGYAKARTA

Ichsan Ramadhan1*, Abi Asykari Fillah1, Asri Rachmawati Putri Mandiri1 , Didit Hadi Barianto1
1Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
*Corresponding Author: ichsan.ramadhan@mail.ugm.ac.id

ABSTRAK. Oyo Formation is located in Gading, Playen, Gunungkidul Regency, Province of


Daerah Istimewa Yogyakarta. It has stratigraphic record that representative for study about
carbonate hardground as caprocks in petroleum system because the hardground is well expose.
This research is focused on study of carbonate hardground role as caprocks in petroleum system
based on the characteristic of pore type, cement type and strength. The objective of the research is
to identify Miocene carbonate hardground ability to be a caprock. The methods used in this
research are measuring section to integrate stratigraphic record to reconstruct the sedimentation
and diagenetic model in the depositional environment, petrography to reconstruct diagenesis
model, and point load compressive strength test to assesses the maximum force of hardground can
take as a caprock before it breaks. Result shows there are many hardground beds formed
intercalated with limestones. Hardground is recrystallized and the pore and permeability are
reduced due to aragonitic cementation in low energy environment. Result shows the maximum
pressure hardground can hold is 2,737 MPa (UCS) and if situated as hydraulic seal, it will break in
the depth greater than 279,514 meters. In conclusion, Miocene carbonate hardground with case
study in Oyo Formation is not capable to be a good caprock in petroleum system.

Kata kunci: hardground, permeability, caprock, UCS, carbonate

I. INTRODUCTION

This research is conducted to study characteristic of limestone hardground


especially pore type, cement type, and strength. The study is also integrated with
stratigraphic record to reconstruct the sedimentation and diagenetic model in the
deposition environment. The research is set to analogously study limestone in term of
petroleum system. The objective of the research is to identify Miocene carbonate
hardground ability to be a caprock. Oyo Formation of regional stratigraphic Southern
Mountain Zone has carbonate lithology which aged Middle Miocene. Carbonate lithology
of that formation consist of muddy allochem limestone intercalated with tuffaceous
sandstone at lower and foraminiferal lime packstone and foraminiferal lime wackstone at
upper. Those lithology

II. DATA AND METHOD

178
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B009UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

The methods used in this research are study from past literature about field
observation, petrography, and point load compressive strength test. Field observation
conducted to observe hardground in the natural condition, petrography assesses
composition including cement to reconstruct diagenesis model. Compressive strength test
assesses the maximum force of hardground can take as a caprock before it breaks.
The methods of this research consist of 3 step, that is past literature study, field
sampling data and laboratory analysis. Past literature study encompasses geological
regional study of Oyo River in Surakarta - Giritontro Geologi Regional Map (Surono, dkk
1992) and reviewing past researches like Melati Mahardheany (2015) about stratigraphic
and sedimentation process mix carbonate - silisclastic rock also Rubiarto (2005) concern in
deposition environment of Oyo Formation in Widoro - Oyo - Giringsing River, Playen,
Gunungkidul Regency, Province of Daerah Istimewa Yogyakarta.
Field sampling data involve measuring section scale 1 : 10 where total thickness is
9,2 m. The average of dip bedding is 9 degree. For additional, petrology description,
observe of hardground bedding and trace fossil also do in this step. Furthermore,
hardground is selective sampling with width approximately 10 - 15 cm for laboratory
analysis. The last step is laboratorium analysis encompasses petrographic analysis
through plane polarization and cross polarization to know the composition and
diagenesis interpretation result. Point load compressive strength test took place in
Laboratorium Geologi Tata Lingkungan, Departemen Teknik Geologi, Universitas Gadjah
Mada as a way to get the value of uniaxial compressive strength (UCS).

III. RESULT AND DISCUSSION


1. Measured section
Measured stratigraphy in Oyo River geographically in 449888, 9127485 UTM until
449842, 9127421 UTM. This measuring is conducted by vertically stratigraphy. Based on
the measuring section which can be seen in figure 1, it can be divided into four lithofacies,
which is Tuffaceous packstone facies (TPF), Wackestone facies (WF), Rudstone facies (RF),
and Packstone facies (PF). The classification of the limestone based on Embry & Klovan
(1971), it has similar composition like mud, calcite, fragments, and other material
carbonate in different size.
2. Petrography Analysis
From the petrography observation, the composition of hardground are allochem
(skeletal fragments), micrite, and sparite. the percentage of each composition and porosity
can be seen in the table 1.
Cement type of all sample is blocky which composed by aragonite and it has
fibrous shape . Petrographic analysis is done by observing 4 main component which is
allochem, micrite, sparite, and porosity. Allochem consist of algae, planktonic, bentonic
and large foraminifera. The main issue of petrographic analysis is porosity. The porosity
can not be seen clearly because the sample is a hardground which is the main
composition of the rock had been transformed into mineral carbonate crystal. Type of the

179
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B009UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

porosity which dominated the rock is intercrystalline with some part of interparticle or
intraparticle. As hydrocarbon reservoir, especially in carbonate rock, this samples are
include in bad rock. This is because the crystalline rock conditions cause a reduction in
rock porosity due to cementation and compaction processes. The type of cement found in
the sample is mesh of needles, which composed of aragonite mineral. The form of cement
is fibrous or needle. The type of carbonate cement shows the diagenesis environment of
the rock sample is Phreatic Marine Zone (figure 3). In addition, the percentage between
the presence of micrite and cement also shows that samples include in the marine
phreatic diagenesis environment which associated with few water circulation.The
presence of micrite in the sample is very abundant in the foraminifera shell which means
it is a microbial micritization product.
3. Depositional Environment
Based on stratigraphy measurement and petrography analysis, there are four
facies which compose the study area. Four facies produce similar limestone with the grain
size from fine sand to pebble, thick limestone lamination, and also the lateral and vertical
distribution has large geometry. Deposition environment from Wilson Belt (1975)
modified by Flugel is used in this study as a model and given the conclusion that the
deposition environment is slope-toe of slope
4. Geological Reconstruction
The field observation shows there are many hardground beds intercalated with
limestone. Petrographic analysis shows hardground is recrystallized and the pore is
reduced due to cementation as well as the permeability. This hardground is interpreted to
be formed in the low energy environment. Rubiarto (2005) research in Oyo formation
shows that deposition occurs in bathymetry of bathyal (deeper marine). Bathyal zone has
range of 200 - 2000 in depth below sea level. Interpreting that Oyo Formation was formed
near the volcano flank which has the high slope in depositional environment. Assuming
the carbonate factory was located in the shallow marine (neritic, 0 - 200 m), the carbonate
materials transported to depositional environment through the volcano slope with
turbiditic mechanism.
Hardground was formed in the low energy time when sediment supply from the
carbonate factory is low. The water with carbonate ions circulated in the upper bed of
deposited limestone. The circulation of the water caused the cementation in the upper bed
with Aragonite in mineralogical composition of the cement. During this low energy time,
organisms lived in the upper part of the bed with the primary direction is lateral. When
another sediment package came, the trace of the organism is preserved and forming
ichnofossil with horizontal pattern recorded in the hardground. The presence of
horizontal ichnofossil strengthen the hypothesis of very low sedimentation rate or non
depositional phase when hardgorund was being formed
5. Compressive Strength Test
Five samples are tested under point load test and the result can be seen in table.
There are variations among the pressure test samples, ranging from 2kN - 6 kN. Based on
the test, HG 2 and HG 6 has the biggest result which is 6 kN, while the smallest result is

180
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B009UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

HG 4 with 2 kN. Sequentially HG 1, HG 7 has 3 kN and 5 kN. The result of point load test
then convert into uniaxial compressive strength (UCS), so the UCS value for HG 1 is 1,314
Mpa, HG 2 is 2,474 Mpa, HG 4 is 0,876 Mpa, HG 6 is 2,737 Mpa, and HG 7 is 2,230 Mpa.
Variation of UCS values are very on the composition, grain size, sorting, and
packing of the rock itself. Stronger the sample/rock, bigger stress that the rock can hold,
and weaker the sample/rock, less stress the rock can hold. Value of UCS could be
applicated in caprock (seal) analysis.
Caprock could fail in maintaining the accumulated hydrocarbon in reservoir. If it
happens, hydrocarbon could leak to surface as tertiary migration. Gluyas and Swarbrick
(2004) divided caprock into two groups based on how fluid could break through the
caprock: membrane seal and hydraulic seal. Limestone, as studied in this research
belongs to hydraulic seal, Limestone is rigid or less ductile. Fluid could pass through
fractures in the rock that caused by pore pressure that excess the strength of the rock
(Gluyas and Swarbrick, 2004). Pore pressure gradient of rock with freshwater fluid is
9,792 kPa/m (Schlumberger, online)
With simple calculation with data of pore pressure gradient and UCS value from
each sample, the maximum depth before caprock (limestone in this study) being fractured
by pore pressure calculated as follows (table 2):
H= UCS / Pore pressure Gradient
From the depth calculation in the table, depth range is 89,461 - 279,514 m.
Maximum depth from the test shows relatively shallow compared to caprock depth
which covers oil and gas reservoirs and may reach hundreds to thousands meters. Based
on this study, hardground could not be a good caprock.
If the hardground samples used in this study placed in the depth of several
thousand meters beneath surface, the pore pressure excesses UCS value. Hardground will
be fractured and forms secondary porosity
6. Prospecting Hardground as Caprock
Combining petrography analysis hardround has low porosity (making the
permeability values low) because of strong cementation, but. In UCS test the strength of
hardground is low. Low permeability conditions of the hardground fulfill the one
requirement of caprock. Even though low permeability condition is fulfilled, but the
strength of the rock could not hold the rising pore pressure with depth. This is caused by
rigidity of hardgorund because composed mainly of carbonate minerals and make the
hardground classified as hydraulic seal. From UCS value and conversion to depth shows
the maximum depth of the hardground before it breaks is 279,514 meters. This depth is
very shallow for petroleum accumulation. For comparison, petroleum (oil and gas)
accumulation commonly accumulates in the depth of hundreds to thousands of meter.

181
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B009UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

IV. CONCLUSION
Hardground can be a caprock (hydraulic seal) due to intensively reduced porosity
and permeability. Hardground strength (UCS) only shows maximum value of 2,737 MPa
or will break if depth greater than 279,514 meters which is very shallow for hydrocarbon
accumulation. Miocene carbonate hardground with case study in Oyo Formation is not
capable to be a good caprock in petroleum system.

REFERENCES
Gluyas, J., and R. Swarbrick, 2004, Petroleum Geoscience, 349 p
Longman, M. W.,1980, Carbonate Diagenetic Textures from Nearsurface Diagenetic
Environment, The American Association of Petroleum Geologists Bulletin, 64(4), p 461-487
Rahardheany, Melati, 2015, Stratigrafi dan Sedimentasi Batuan Campuran Karbonat dan
Silisiklastik Formasi Oyo, Jalur Oyo, Desa Bunder, Kecamatan Patuk, Kabupaten
Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta [unpublished Bachelor thesis]: Yogyakarta,
Universitas Gadjah Mada, 77 p. Schlumberger [online], Pore Pressure Gradient,
www,glossary.oilfiled.slb.com
Surono, B. Toha, and I. Sudarno, 1992, Geological Map of Surakarta - Giritontro, Jawa, Geological
Research and Development Centre
Wartono, R. and Rubiarto.2005. Lingkungan Pengendapan Formasi Oyo Jalur Kali Widoro - Oyo -
Giringsing, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul, DIY.[unpublished Bachelor
thesis]. Yogyakarta, UGM

182
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B009UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Table 1. Data result of petrographic analysis

Sample Width Allochem Micrite Sparite Porosity

HG 1 5 cm 61,2 % 14,5 % 17,3 % 7%

HG 2 10 cm 60,8% 13,8% 11,4% 14%

HG 4 20 cm 50,8% 15% 20,8% 13,4%

HG 6 15 cm 45,8% 24,2% 19,2% 10,8%

HG 7 10 cm 67,5% 10,5% 11,7% 10,3%

Table 2. Data result of compressive strength test

Sample UCS (MPa) Pore Pressure Gradient Depth (m)

(KPa/m)

HG 1 1,314 9,792 134,191

HG 2 2,474 9,792 252,655

HG 4 0,876 9,792 89,461

HG 6 2,737 9,792 279,514

HG 7 2,230 9,792 227,737

183
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B009UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 2. Microphotograph of HG 7 showing larger foraminifera in micrite and sparite (under


Plane Polarization)

184
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B009UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 3. Calcite fills void space in the sample in the process of cementation in sample HG 4 (under
Plane Polarization)

Figure 4. Diagenesis environment of carbonate rock (Tucker and Wright, 1990)

185
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B011UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

INTERPRETATION OF DEPOSITIONAL ENVIRONMENT AND AGE


DETERMINATION OF TAPAK AND KALIBIUK FORMATIONS BASED ON
FOSSILS EVIDENCE IN BENTARSARI AREA, BREBES, CENTRAL JAVA
PROVINCE

Muhammad Firman Pratama 1*, Anis Millayanti 2 , Dzaka Ali Syaiful Husna 3 , Hilyan
Asupyani4
1 Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjajaran
*Corresponding Author: muhammad15060@mail.unpad.ac.id

ABSTRACT. The research is located in Bentarsari Village, Salem, Brebes District, Central
Java Province. The regional stratigraphy in this region has devided into four part those
are from old to young Kumbang, Tapak, Kalibiuk and Linggopodo Formations. The aim
of this research is to re-interpret of Tapak and Kalibiuk Formations age, with the
condition of depostional environment both of it, from fossils evidence. Methodology of
this research it can be divided into two, first field orientation geological mapping with
1:12500 scale. Each points of location which has been found of outcrop should be plotted
on base map, and describe all of features must be recorded. After that, it was
reconstructed to be geological map. Then it was conducted in laboratory of paleontology
to describe microfossils. The results were found several macrofossils that could be well or
not described. In Claystone Unit (SBl) has been found molluscs which are Turitella
djadjariensis as a gastropod and Pecten sp as a pelecypod, they found at different points
of location. During observation it was found in Sandstone Carbonate Brownish Unit
(SBkk) pelecypod fossil namely Paphia sp. The microfossils were found in SBkk Unit are
planktonic foraminifera such as Globigerinoides ruber, Globigerinoides immaturus,
Hastigerina aequilateralis, Globorotalia multicamerata, and Globigerinoides trilobus.
Also, has been found bentonic foraminifera such as Valvulineria minuta and Pannellaina
earlandi. Meanwhile, in Claystone Unit bentonic foraminfera both are same before,unless
there was a different one namely Aphelophragmina pygmaea. According to the fossils
data it can be interpreted the age of SBkk Unit Late Miocene – Middle Pliocene and the
condition of depositional environment was Intertidal – Middle Neritic. While, the age of
SBl unit was Middle Pliocene – Late Pliocene and the depositional environment was
Middle Neritic – Transition through to be terrestrial.

Kata kunci : Bentarsari, Depositional Environment, Kalibiuk Formation, Tapak Formation

186
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B011UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

I. INTRODUCTION
Geological mapping on small scale it ‎is still lacking of data. Due to ‎accuracy
completeness data no more ‎detail or spesific, so it needs to be ‎remapped on a larger scale,
and to ‎know the boundaries and distribution ‎of lithology will be known as rock ‎units. In
addition to, the age of rocks ‎has not been studied using ‎plangktonik foraminifera
microfossils ‎and their depositional environment ‎from bentonic foraminifera especially ‎in
Bentarsari region. Therefore, the ‎purpose of this study is to re-interpret ‎the age and
depositional environment ‎of Tapak and Kalibiuk Formations ‎from fossils evidence.‎

The research area is ‎administratively located in Bentarsari ‎Village and its


surroundings, Sub-‎District Salem, Brebes, Central Java ‎Province. Geographically located
‎108°48'31.20" - 108°51'14.35" E dan ‎7°8'14.26" - 7°10'56.13" S.‎

II. LITERATURE STUDY


Regional physiography of the ‎research area is included in Bogor-‎Serayu North-
Kendeng Anticlinorium ‎Zone, which has a morphology ‎dominated by hill features. This
‎determination is viewed from ‎geographical position, rock ‎characteristics, and geological
‎structure (Van Bemmelen, 1949).‎

‎ ‎ Regional stratigraphy included ‎in Majenang Sheet of Map (Kastowo ‎and


Suwarna, 1996), from old to ‎young formations are Kumbang, ‎Tapak, Kalibiuk and
Linggopodo ‎Formations. ‎

The characteristics of Kumbang ‎Formation consists of andesitic to ‎basaltic


volcanic breccia, lava flows, ‎dykes and tuff, tuffaceous sandstone ‎and conglomerate,
maximum ‎thickness is about 2000 m, the age is ‎presumed to be Late Miocene – Early
‎Pliocene. ‎

Tapak Formation, greenish grey ‎coarse-grained sandstone in the lower ‎part,


gradually grading upwards into ‎finer grey sandstone with some grey ‎to yellowish sandy
and marl contains ‎brackish to marine molluscs, tending ‎to show an Early – Middle
Pliocene ‎age. Depositional environment is ‎assumed to be a tidal zone, thickness ‎is up to
500 m. ‎

Kalibiuk Formation, lower part ‎of the sequence consist of ‎fossiliferous blue
claystone and marl, ‎containing molluscs; middle part ‎contains green sandstone lenses, in
‎upper part thin sandstone ‎intercalations occur. Depositional ‎environment was
presumably tidal ‎condition. The age of this formation ‎is Early Pliocene – Late
Pliocene.The ‎thickness approximately 2500 m. ‎

187
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B011UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Linggopodo Formation ‎consists of breccia, tuff and andesitic ‎lahar deposits,


assumed to be derived ‎from older Slamet or Copet ‎Volcanoes. Unconformably the
‎Kalilgagah, Tapak and Kalibiuk ‎Formations. The age is presumed to ‎be Pleistocene.‎

Figure 1. Map of Regional Geology Bentarsari (Kastowo and Suwarna, 1996).‎

III. METHODOLOGY
The method by using field orientation of geological mapping, which conducted
create a free tracking to find out and observe each point of outcrops. It has many tools
should be brought during in the field such as: geological compass, GPS, base map, pen or
pencil, eraser, ruler, fieldnote book, camera, battery, HCl 0,1 N, sedimentary and igenous
rock comparators, loupe with magnification 10x, 20x, igneous and sediment hammers.

188
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B011UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

During in the field, it should be recorded all of features data on outcrops such as desrcibe
characteristic of rock and plot the point of observation coordinate from GPS into base
map. Then, create a reconstruction of lithological framework to form rock unit map,
according to follow of rule Indonesia Stratigrapic Code (SSI) (Martodjodjo, 1996). Before
considering to make geological map it should be determined whereas the youngest and
oldest position of strata by creating strike-pattern distribution map and it checked by
fossil analysis. Finally, geological map can be made.

At laboratorium stage by conducting microfossil analysis firstly, has taken of rock


samples from point location which has representatived of whole rock unit. Four samples
were taken to analysis which are: ST4-MF4 (Sandstone from SBtk Unit), ST6-MF2
(Sandstone from SBkk Unit), ST6-MF5 and ST6-MF6 (from SBl Units).

Secondly, those samples had been pounded untill smooth like a sand, then soaked
by hydrogen liquid and add three particles of NaOH. After that, stored and dried for one
day. Then, washed and shifted and put back into cup to oven for drying. When the
samples dry it is inserted into a transparent plastic and labeled. Finally, the samples are
ready to be analyzed under microscope.

IV. RESULTS AND DISCUSSION


Reconstruction of geological ‎framework map by using softwares ‎are Arc Map 10.4
and CorelDraw X8.

1. Stratigraphy
‎ Before dividing of whole rock ‎unit,it has to reconstruct and analyze ‎of strike-
pattern distribution map ‎which has a strike and dip strata to ‎know stratigraphy position
between ‎old and young of rock (Fig. 3). After ‎that, it can be grouped according to ‎physical
characteristics rock which ‎followed Indonesia Stratigraphic ‎Code (unformal rule). The
Rock ‎Units of research area has devided ‎into eight units (Fig. 4), based on ‎stratigraphy
position, it can be ‎arranged from old to young which ‎are: Breccia Polimic Unit (SBx),
‎Sandstone Carbonate Brownish ‎(SBkk), Limestone Unit (SBtg), ‎Claystone (SBl), Sandstone
Non ‎Carbonate (SBtk), Sandstone ‎Reddish Brown (SBck), ‎Conglomerate Unit (Sk), Tuff
Unit ‎(STf).‎

2. Macrofossils Data
From geological framework ‎map (Fig. 2), there are several points ‎or locations
which has found ‎macrofossil with characteristics : the ‎shell colour is white, relief of
bodies ‎relative tend to be hardered, it has ‎carbonate content (it was reacting ‎when HCl
testing in the field) these ‎features indicate it was shallow ‎marine environment in the past.

189
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B011UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

While ‎the one observation point it has found ‎pelecypoda freshwater (it can be ‎known by
morphological feature, its ‎different with shallow marine ‎pelecypoda) from ST2-MF2 (Fig.
5). ‎

Nevertheless, from several ‎many of samples and observation ‎points only ST7-MF1
is the sample ‎from Sandstone Carbonate Brownish ‎Unit (SBkk) which can be described
‎well till determine of name it is ‎Paphia sp. Besides, on Claystone ‎Unit (SBl) was found
Pecten sp ‎(ST6-MF5) and also Turitella ‎djadjariensis (ST1-MF5) ‎macrofossils. ‎

3. Microfossils Data and Interpretation of Depositional Environment and ‎Age


Both of Units
The results analysis under microscope which have been found fossils only two
‎samples from four samples totally, whether bentonic or planktonic foraminiferas are ‎ST6-
MF2 (SBkk Unit) this unit included in Tapak Formation, and ST6-MF5 ‎samples only have
been found of bentonic Foraminefera (SBl Unit), this unit ‎included in Kalibiuk Formation
in regional scale.‎

Existences Pecten sp and Turitella djadjariensis it can be interpreted as a ‎shallow


marine environment with bathymetry 30 – 300 (m.b.s.l) (Okutani, 2000) or ‎Middle Neritic
until Upper Bathyal (Tipsword et. al., 1996). Another data to support ‎this interpretation
also, has been found bentonic foraminifera which are: Pannellaina ‎earlandi , 23.76
(m.b.s.l), Valvulineria minuta 33.53 (m.b.s.l), and Aphelophragmia ‎pygmaea 33.53
(m.b.s.l) bathymetry zone. On the other hand, locally has found ‎brown coal the thickness
is about 2-4 m, on western side of research area map (Fig. ‎2). It can be concluded that the
environment of Claystone Unit (SBl) was Middle ‎Neritic – Transition Zone through to be
terrestrial. Age of this Unit is Middle ‎Pliocene – Late Pliocene (Unggul et, al., 2012). ‎

Sandstone sample of ST6-MF2 it contain planktonic foraminifera microfossils


‎which are:

Globigerinoides ruber, Globigerinoides immaturus, Hastigerina ‎aequilateralis,


Globorotalia multicamerata, and Globigerinoides trilobus (Fig. 7). ‎Interpretation of age
from this unit by using planktonic foraminifera range table. It ‎is obtained N18 – N20 or
Late Miocene untill Middle Pliocene (Postuma, 1971) ‎(Tabel. 2). Depositional environment
on SBkk unit based on of existence Paphia sp ‎which indicated Intertidal Environment
(Okutani, 2000). While, according to ‎bentonic foraminifera data which are Panellaina
earlandi and Valvulineria minuta it ‎can be interpreted as Middle – Inner Neritic (Tabel.
1). Some aspects of whole ‎parameters to interpret this unit, is considered was deposited
on Intertidal – Middle ‎Neritic environment in the past.‎

Whether SBkk or SBl units, the ‎depositional environment both of it ‎was shallow
marine. During time ‎passed away from Late Miocene still ‎shallow marine, it change

190
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B011UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

condition ‎from eastern to western side of ‎research area map to be shallowed ‎into
transition through to be ‎terrestrial. Coal brown outcrops and ‎freshwater mollusc (ST2-
MF2) which ‎existence on western side is a proofed ‎it had been changed into terrestrial
‎environment. Then, at Late Pliocene – ‎Late Pleistocene there is a gap time of ‎deposit
sediment materials which are ‎existences of material deposits from ‎Mt. Copet and Mt
Slamet (Kastowo ‎and Suwarna, 1996). The deposits ‎which has found as a Tuf, which
‎known as Tuff Unit (STf).‎

V. CONCLUSIONS
Stratigraphy in research area has ‎divided into eight units, from old to ‎young are :
Breccia Polimic Unit ‎(SBx), Sandstone Carbonate ‎Brownish Unit (SBkk), Limestone ‎Unit
(SBtg), Claystone Unit (SBl), ‎Sandstone Non-Carbonate Unit ‎(SBtk), Sandstone Reddish
Brown ‎Unit (SBck), Conglomerate Unit ‎(Sk), Tuff Unit (STf). Unconformity ‎had been
occuring since Late ‎Pleistocene was deposited Tuff Unit ‎(STf) due to eruption from Copet
and ‎Slamet Mountains. The depositional ‎environment of SBkk unit is ‎Intertidal – Middle
Neritic with it age ‎Late Miocene (N18) – Middle ‎Pliocene (N20), meanwhile, of SBl ‎unit
the depositional environment is ‎Middle Neritic – Transition Zone ‎through to be terrestrial
with it age ‎from Middle Pliocene – Late ‎Pliocene.

ACKNOWLEDGMENT

I would like to say thank you Mr. Ir. ‎Nurdrajat, M.T and Mr. Yusi ‎Firmansyah,
S.Si., M.T., as a lectures ‎in Faculty of Geology Engineering ‎who has given a transfer
knowledge ‎how to interpret geological mapping ‎based on record all of data and also
‎composing to make a good writer, ‎along with Dzaka Ali Saiful Husna ‎and Hilyan
Asupyani who had helped ‎during in the field mapping ‎observations.‎

REFERENCES

Alfred, R. L. Jr., and Helen T, 2010. ‎Foraminifera of The Sahul ‎Shelt And Timor Sea.
‎Cambridge: Cushman ‎Foundation for Foraminiferal ‎Research, Dept. of ‎Invertebrate
Paleontology, ‎Museum of Comparative ‎Zoology.‎

Aswan, Z. Y., Rizal, Y., and ‎Prasetyo, U, 2015. Molluscan ‎Evidence for Slow Subsidence in
‎the Bobotsari Basin during the ‎Plio-Pleistocene, and ‎Implications for Petroleum
‎Maturity. J. Math. Fund. Sci., ‎Vol. 47, No. 2, 2015, 185-204.‎

Bemmelen, R. W. V, 1949. The ‎Geology of Indonesia; The ‎Hague, Martinus Nijhoff, vol.
‎IA., p.103 – 111 , 604 – 614. ‎

191
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B011UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Kastowo and Suwarna, N, 1996. ‎Geological Map of Majenang, ‎Java. Pusat Penelitian dan
‎Pengembangan Geologi, 2nd ‎Edition, Bandung.‎

Okutani, T, 2000, Marine Mollusks in ‎Japan. Tokai University Press, ‎Tokyo.‎

Postuma, J. A., 1971. Manual Of ‎Planktonik Foraminifera. ‎London : Elsevier Publishing


‎Company.‎

Prasetyo, U., Aswan, Z. Y., and ‎Rizal, Y., 2012. Perubahan ‎Lingkungan Pengendapan
pada ‎Beberapa Daerah di Pulau Jawa ‎Selama Plio-Plistosen ‎Berdasarkan Kajian
Paleontologi ‎Moluska. Jurnal Teknologi ‎Mineral (JTM) Vol. XIX No. ‎4/2012. FTTM.
ITB, Bandung.‎

Tipsword, H. L., Setzer, F. M., dan ‎Smith, F. L. Jr., 1966. ‎Interpretation of Depositional
‎Environment in Gulf Coast ‎Petrolium Exploration from ‎Paleoecology and
Related ‎Stratigraphy. Transaction G. C. ‎Associate Geologi Society, 1, p ‎61-71

Table 1. Range of bathymetry zone from bentonic foraminifera

Tabel 2. Range index fossils age of planktonic foraminifera

192
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B011UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 1. Map of Regional Geology Bentarsari (Kastowo and Suwarna, 1996).

193
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B011UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 2. Map of distribution lithology and geological framework.‎

194
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B011UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 3. Strike-pattern Distribution Map.‎

195
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B011UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 4. Map Geology of Bentarsari.‎

196
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B011UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 5. (a) pelecypoda mollusc freshwater is interpreted as a terrestrial depositional


environment, ‎the description unrecognize of the name because there is only a part of
mollusc body can be viewed ‎(b) Paphia sp is interpreted as shallow marine environment
with associated (c) Pecten sp and (d) ‎Turitella djadjariensis.‎

197
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B011UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 6. Shows bentonic foraminifera under microscope, Pannellaina earlandi (b) and (c),
‎Valvulineria minuta (d) and (e), Aphelophragmina pygmaea (a). (a,c,d) microfossils had
found in ‎ST6-MF5 sample, (c and e) had found in ST6-MF2 sample.‎

198
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B011UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 7. Shows planktonic foraminifera under microscope in the sample of ST6-MF2


‎Globigerinodes trilobus (a), Globigerinoides immaturus (b), Globigerinoides ruber (c),
Globorotalia ‎multicamerata (d), Hastigerina aequilateralis (e). ‎

199
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B016UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

ANALISIS FASIES DAN ELEMEN ARSITEKTUR BATUPASIR FORMASI


SAWAHTAMBANG DAERAH KAMPUNG DALAM, KABUPATEN
SIJUNJUNG, SUMATERA BARAT

Eghar Prima Wellyan 1*, Budhi Kuswan Susilo1


1Universitas Sriwijaya Jl. Srijaya Negara Bukit Besar Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia
*Corresponding Author: egharprimawellyan@gmail.com

ABSTRAK Lokasi penelitian terletak pada daerah Kampung Dalam, Kabupaten Sijunjung,
Provinsi Sumatera Barat. Keberadaan Formasi Sawahtambang dengan litologi batupasir yang tebal
sangat menarik karena memiliki potensi sebagai reservoir minyak dan gas pada cekungan
Ombilin. Penelitian lebih mendalam mengenai asosiasi litofasies dan elemen arsitektur memberi
karakteristik dari formasi ini. Metode penelitian berbasis pada observasi empirik di lapangan
untuk menghasilkan profil stratigrafi singkapan; menghubungkannya 3 (tiga) segmen penelitian
melalui penampang geologi untuk mengetahui posisi top dan bottom terhadap ketidakselarasan;
hingga pembuatan model lingkungan pengendapan yang berdasarkan pada interpretasi atas data
litofasies dan paleocurrent. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga segmen, yakni segmen
Kampung Dalam, Latang dan Jambulipo memiliki karakteristik fasies dan elemen arsitektur yang
sama dimana menunjukkan pola pengendapan yang menghalus ke atas (finning-up succession)
dan kehadiran gerusan-gerusan dengan dijumpainya scour fills yang menunjukkan kehadiran
amalgamated channel sandstones yang khas pada lingkungan pengendapan braided river.
Namun, penumpukan batupasir yang tebal tidak selalu karena adanya gerusan yang tegas, walau
tetap dapat diinterpretasi sebagai proses lateral shifting dari channel. Hal ini dapat dijelaskan dari
perubahan energi yang teramati pada fasiesnya, seperti kehadiran litofasies through cross-bedded
sandstone di atas planar cross-bedded sandstone pada segmen Latang dan kehadiran litofasies
through cross- bedded sandstone di atas horizontal laminated sandstone pada segmen Jambulipo.
Dari keterdapatan fasiesnya, maka segmen Kampung Dalam dan Jambulipo menunjukkan
kehadiran 4 (empat) litofasies yang sama, yaitu sandstone with scour fills, through cross- bedded
sandstone, planar cross-bedded sandstone dan horizontal laminated sandstone yang terbangun di
dalam elemen arsitektur berupa channel dan sandy bedform. Adapun pada segmen Latang tidak
muncul litofasies horizontal laminated sandstone, walau elemen arsitekturnya adalah identik.
Model perkembangan braided river membentuk amalgamated channel sandstones menunjukkan
arah aliran pengendapan purba yang secara relatif menuju barat – barat daya.

Kata kunci: Litofasies, elemen arsitektur, amalgamated channel, braided river

I. PENDAHULUAN

Formasi Sawahtambang tersusun oleh litologi batupasir dengan variasi


karakteristik stratigrafi secara lateral dan vertikal yang beragam. Formasi Sawahtambang
memiliki porporsi berkisar 60% dari keseluruhan daerah penelitian yang memiliki luas
area 5x5 km. Pada Formasi Sawahtambang banyak ditemukan struktur sedimen seperti
cross-bedding dan banyak dijumpai gerusan channel yaitu material berukuran kasar yang

200
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B016UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

menggerus material berukuran halus di bawahnya. Keberadaan Formasi Sawahtambang


dengan litologi batupasir yang tebal sangat menarik untuk dilakukan kajian lebih
mendalam karena Formasi Sawahtambang memiliki potensi sebagai reservoir minyak
dan gas pada cekungan Ombilin. Penelitian rinci mengenai asosiasi litofasies dan elemen
arsitektur sangat berperan untuk mengetahui karakteristik formasi ini. Hal tersebut yang
menjadi latar belakang penulis untuk mengkaji lebih dalam mengenai karakteristik
litofasies dan elemen arsitektur pada Formasi Sawahtambang. Penelitian ini bertujuan
untuk membanngun model lingkungan pengendapan Formasi Sawahtambang pada
daerah penelitian yang ditinjau dari litofasies dan elemen arsitekturnya.
Penelitian terhadap litofasies dan elemen arsitektur Formasi Sawahtambang
terdiri dari 10 lokasi pengamatan yang terbagi menjadi tiga segmen yaitu segmen
Jambulipo, segmen Latang dan segmen Kampung Dalam. Segmen Jambulipo terdiri dari
empat titik lokasi pengamatan, yaitu lokasi pengamatan 24, lokasi pengamatan 25, lokasi
pengamatan 26 dan lokasi pengamatan 27. Segmen Latang terdiri dari tiga lokasi
pengamatan, yaitu lokasi pengamatan 46, lokasi pengamatan 45 dan lokasi pengamatan
54. Segmen Kampung Dalam terdiri dari tiga titik lokasi pengamatan, yaitu lokasi
pengamatan 48, lokasi pengamatan 47 dan lokasi pengamatan 55. (Gambar 1).

II. GEOLOGI REGIONAL

Cekungan Ombilin merupakan cekungan yang terletak di antara tinggian atau


disebut juga sebagai intramontane basin oleh van Bemmelen (1949). Cekungan Ombilin
secara morfologi termasuk pada bagian Tinggian Padang yang berada diantara Bukit
Barisan. Cekungan ini terbentuk pada Awal Tersier akibat proses konvergen oblique Indo
Australia plate terhadap batas barat lempeng Eurasia selatan atau Sundaland. Terdapat
dua proses besar yang berperan pada evolusi Cekungan Ombilin ini yaitu, magmatisme
yang menghasilkan Bukit Barisan dan terbentuknya Sistem Sesar Sumatera. Noeradi et al.
(2005) mengatakan bahwa secara tektonofisiografi Cekungan Ombilin terletak diantara
volcanic arc saat ini yaitu Pegunungan Barisan bagian barat meliputi Gunung Merapi,
Gunung Singgalang, serta Gunung Malintang berumur Kuarter dan Pegunungan Barisan
bagian Timur yang merupakan Non- Volcanic adalah outcrop batuan Pra-Tersier.
Cekungan Ombilin juga dikontrol oleh sesar aktif dibagian batas cekungan yaitu Sesar
Takung yang berorientasi WNW-ESE dibagian timurlaut dan Sistem Sesar Sumatera
dengan orientasi NW-SE dibagian baratdaya. Berdasarkan genesanya Cekungan Ombilin
merupakan pull apart basin, graben memanjang dari bagian selatan Solok hingga
baratlaut melintasi Payakumbuh dengan panjang sekitar 120 km dan pada bagian selatan
cekungan graben ditutupi oleh batuan vulkanik Kuarter hingga Resen dari Gunungapi
Malintang, Merapi, Maninjau, dan Singgalang (Yeni, 2011). Kompresi yang terjadi
merupakan produk dari subduksi lempeng Indian-Australian dibawah Sundaland,
subduksi dimulai pada Awal Eosen Tengah menurut Yeni (2011), dan menciptakan
regime tektonik ekstensional yang membentuk beberapa graben disepanjang back arc
tektonik setting. Graben asimetrik pertama pada Cekungan Ombilin terjadi sebagai hasil
dari strike-slip fault Tersier dari sistem sesar Sumatera yang kemudian dilanjutkan
pergerakan sesar secara dextral disepanjang arah NW-SE yang membentuk graben
berikutnya (Situmorang dkk., 1991).

201
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B016UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Strata batuan pada Cekungan Ombilin yang merupakan cekungan yang


dikelilingi oleh jajaran pegunungan memiliki keberagaman baik dari komposisi
materialnya yang bersal dari batuan basement yang mengelilinganya yang kemudian
tertransportasi dan terendapkan kembali ataupun pengaruh tektonik yang intens akibat
dari fisiografinya yang dekat dengan sesar besar Sumatera serta tingkat keekonomian
sumber daya berupa batubara dengan kualitas baik pada Cekungan Ombilin.
Berdasarkan peneliti terdahulu (Koesoemadinata dan Matasak, 1981, Koning 1985,
Situmorang et al., 1991, Silitonga dan Kastowo, 1995) stratigrafi Cekungan Ombilin terdiri
dari batuan Pra-Tersier, Formasi Brani, Formasi Sangkarewang, Formasi Sawahlunto,
Formasi Sawahtambang, Formasi Ombilin, dan Formasi Ranau.
Secara stratigrafi daerah penelitian terdiri atas dua formasi yaitu satuan granit
dan Formasi Sawahtambang. Satuan granit pada daerah penelitian termasuk
kedalambatuan pra-tersier. Batuan Pra-Tersier merupakan basement dari endapan Tersier
yang ada pada Cekungan Ombilin dan terdapat pada bagian Timur dan Barat tepi
cekungan. Menurut Koesoemadinata dan Matasak (1981) pada bagian timur Cekungan
Ombilin terdapat Formasi Silungkang yang merupakan batuan Pra-Tersier dengan
litologi andesit, lava basal, dan tuff yang merupakan batuan vulkanik serta batugamping
dan batusabak berumur Permian hingga Trias berdasarkan analisis fosil. Formasi
Silungkang memiliki hubungan menjari terhadap Kuarsit dan batusabak Formasi Tuhur.
Sedangkan pada bagian Timur Cekungan Ombilin terdapat batuan Pra-Tersier berupa
batugamping oolitik yang terkristalisasi dan secara lokal terubah menjadi marmer,
batusabak sampai filit, dan juga kuarsit yang merupakan bagian dari Formasi Kuantan
berumur Trias. Namun pada bagian utara Cekungan Ombilin juga terdapat batuan Pra-
Tersier berupa granit, diorit, dan granodiorit yang merupakan hasil dari intrusi pada Pra-
Tersier menurut Silitonga dan Kastowo (1995) kemudian mengalami proses uplifting.
Intrusi granit, diorite dan granidiorit inilah yang kemudian menjadi satuan granit sebagai
basement pada daerah penelitian.
Formasi Sawahtambang menurut Koesoemadinata dan Matasak (1981) terdiri dari
Anggota Poro pada bagian atas, Formasi Sawahtambang Utama dan Anggota Rasau pada
bagian bawah. Menurut Koesoemadinata dan Matasak (1981), Formasi Sawahtambang
memiliki karakteristik litologi berupa batupasir tebal berwarna abu muda hingga coklat,
berbutir halus hingga sangat kasar, dominan dijumpai conglomeratic dengan fragmen
quartz pebbles. Secara umum Formasi Sawahtmbang dicirikan dari kehadiran
konglomerat yang tidak dijumpai pada Formasi Sawahlunto di bawahnya dan dari warna
abu hingga coklat dengan struktur sedimen cross bedding, berbeda dari Formasi Brani
yang berwarna keunguan. Sekuen penciri Formasi Sawahtmabng terdiri dari siklus-
siklus, setiap siklus memiliki erosional surfaces pada bagian bawah dan diikuti oleh
fragmen pebbles, crossbedding dan parallel lamnination, dengan pola pengendapan
menghalus ke atas. Struktur sedimen cross bedding dijumpai dalam skala yang besar dan
didominasi bentuk through cross bedding. Formasi Sawahtambang memiliki perubahan
ketebalan yaitu semakin menebal dari utara ke selatan dengan ketebalan 625 meter
hingga 880 meter menurut Koesoemadinata dan Matasak (1981). Formasi
Sawahtambang berumur Oligosen berdasarkan dari analisis Palinologi yang menunjukan
rentang umur Eosen hingga Oligosen serta berdasarkan dari hubungannya terhadap

202
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B016UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Formasi Ombilin yang memiliki umur Miosen Awal (Koesoemadinata dan Matasak, 1981,
Koning, 1985, Situmorang et al., 1991).

III. METODOLOGI

Metode yang digunakan dalam penelitian ini berbasis pada observasi empirik di
lapangan untuk menghasilkan profil stratigrafi singkapan, melakukan interpretasi
hubungan secara vertikal serta lateral ketiga segmen melalui penampang geologi untuk
mengetahui posisi top dan bottom terhadap ketidakselarasan, hingga pembuatan model
lingkungan pengendapan yang berdasarkan pada interpretasi data litofasies elemen
arsitektur dan arah paleocurrent.
Observasi singkapan mencakup data mengenai karakteristik litologi secara detil
yaitu data struktur sedimen, tekstur batuan dan geometri singkapan . Struktur sedimen
dan tekstur batuan berperan dalam analisis litofasies singkapan, lalu asosiasi litofasies
tersebut dikorelasi dengan geometri singkapan untuk mengklasifikasikan elemen
arsitekturnya. Data hasil observasi lapangan kemudian dimodelkan dengan pembuatan
profil stratigrafi vertikal singkapan dan sketsa singkapan untuk mempermudah
pengamatan perubahan asosiasi fasies dan elemen arsitekturnya. Pengklasifikasian
litofasies dan elemen arsitektur merujuk pada klasifikasi yang dibuat oleh Miall (1996)
yang membahas mengenai karakteristik sungai teranyam.
Tahap selanjutnya adalah melakukan interpretasi hubungan vertikal dan lateral
antar segmen yang dilihat berdasarkan posisi stratigrafi masing-masing segmen.
Interpretasi hubungan vertikal dan lateral antar segmen dilakukan dengan leveling setiap
segmen dari batas ketidakselaran dengan satuan granit untuk mengetahui posisi top-
bottom setiap segmen. Aspek yang diamati dalam interpretasi hubungan antar segmen
antara lain perubahan asosiasi fasies, elemen arsitektur, perubahan ukuran butir, stacking
pattern hingga arah paleocurrent yang akan berperan dalam pembuatan model lingkungan
pengendapan.
Tahap akhir dari metode yang dilakukan dalam studi ini yaitu generalisasi dari
hubungan antar segmen digambarkan secara transversal dalam model 2 dimensi yang
merujuk pada model braided river milik Nichols (2009) (Gambar 9) dan dilakukan
modifikasi sesuai data hasil analisis penelitian. Model 3 dimensi dibuat berdasarkan
model 2 dimensi dengan data tambahan berupa arah paleocurrent sehingga ilustrasi
lingkungan pengendapan Formasi Sawahtambang daerah penelitian lebih mudah
dipahami.

IV. HASIL PENELITIAN

Interpretasi lingkungan pengendapan menggunakan data hasil analisis litofasies


dan elemen arsitektur pada daerah penelitian. Analisis ini dimulai dengan
pengklasifikasian litofasies berdasarkan struktur sedimen serta tekstur batuan. Elemen
arsitektur diklasifikasikan berdasarkan asosiasi litofasies dan geometri singkapan pada
setiap lokasi pengamatan.

1. Litofasies

203
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B016UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Litofasies merupakan suatu tahapan rekaman proses stratigrafi pada batuan


sedimen yang memperlihatkan proses pengendapan batuan sedimen pada masa lampau
(Miall, 1996).
Pengamatan terhadap asosiasi fasies dilakukan terhadap ciri atau karakteristik
litologi batuan yang mencakup struktur sedimen dan tekstur batuan yang terdapat pada
setiap singkapan. Klasifikasi yang digunakan dalam interpretasi penentuan litofasies ini
merujuk pada klasfikasi yang dibuat oleh Miall (1996).
Segmen Kampung Dalam disusun oleh litologi berupa pasir sangat kasar, pasir
sedang hingga halus. Fraksi berukuran butir halus pada segmen ini lebih banyak
diabandingkan dengan dua segmen lainnya. Karakteristik litofasies yang ditemukan pada
segmen ini berupa horizontal laminated sandstone (Sh), planar cross-bedded sandstone
(Sp), through cross-bedded sandstone (St) dan scour fill (Ss) (Gambar 2). Keterdapatan
batupasir berukuran butir halus pada segmen ini mengindikasikan adanya proses lateral
shifting yaitu pergeseran arus sungai purba utama secara lateral sehingga endapan
berukuran halus terendapkan di atas endapan berukuran kasar.
Segmen Latang disusun oleh litologi berupa pasir berukuran sangat kasar hingga
sedang dan tidak dijumpai adanya fraksi berukuran butir halus pada segmen ini.
Litofasies yang terdapat pada segmen ini antara lain fasies scour fills (Ss) planar cross-
bedded sandstone (Sp) dan through cross-bedded sandstone (St) (Gambar 3). Pada Segmen
Latang tidak ditemukan adanya karakteristik fasies horizontal laminated sandstone,
berbeda dengan dua segmen lainnya. Segmen ini memperlihatkan endapan dari
penggerusan vertikal secara berulang yang mengindikasikan bahwa pebentukan segmen
ini dipengaruhi oleh arus yang kuat.
Segmen Jambulipo merupakan segmen yang berada paling selatan pada lokasi
penelitian. Litologi yang menyusun Segmen Jambulipo antara lain berupa batupasir
dengan fragmen gravel hingga batupasir berukuran halus. Litofasies yang ditemukan
pada segmen ini antara lain fasies horizontal laminated sandstone (Sh), scour fills (Ss), planar
cross-bedded sandstone (Sp) dan through cross-bedded sandstone (St) (Gambar 4). Segmen
Jambulipo didominasi oleh batupasir yang berukuran kasar, sehingga diinterpretasikan
terjadi arus traksi yang membawa butir kasar, didukung pula dengan adanya perubahan
butir menghalus ke atas (fining upward). Keterdapatan litologi berbutir halus yang
ditemukan pada segmen ini menandakan terjadi perubahan arus yang lebih tenang
dalam rangkaian proses pembentukan batuan.
2. Elemen Arsitektur
Penentuan elemen arsitektur diklasifikasikan berdasarkan asosiasi litofasies dan
geometri pada setiap singkapan. Analisis elemen arsitektur berperan dalam melakukan
interpretasi vertic]kal serta lateral dan pembuatan model lingkungan pengendapan.
Elemen arsitektur yang ditemukan pada 3 titik lokasi pengamatan di Segmen
Kampung Dalam antara lain channel (CH) dan sandy bedform (SB) (Gambar 5).
Berdasarkan analisis litofasies dan elemen arsitektur diketahui bahwa pada segmen ini
memiliki batupasir kasar hingga halus dengan pola pengendapan menghalus keatas,
Pada Segmen Kampung Dalam terdapat 2 elemen sandy bedform tebal yang digerus oleh
elemen channel pada bagian bawah. Elemen sandy bedform pada segmen ini disusun oleh
litologi berukuran butir halus dengan struktur sedimen berupa horizontal lamination.

204
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B016UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Keterdapatan fraksi berukuran halus pada segmen ini mengindikasikan adanya proses
lateral shifting atau pergeseran kanal utama purba secara lateral, sehingga setelah
terendapkan channel deposit berfraksi kasar terjadi pengendapan material halus secara
suspensi, kemudian kembali terjadi migrasi atau pergeseran kanal utama sehingga
kembali terjadi gerusan channel diatas fraksi halus.
Analisis elemen arsitektur pada Segmen Latang dilakukan di 3 titik lokasi
pengamatan. Elemen arsitektur yang ditemukan berupa channel (CH) dan sandy
bedform (SB) (Gambar 6). Pada Segmen Latang terdapat 4 elemen channel dan 1 elemen
sandy bedform pada bagian bawah. Berdasarkan hasil analisis tersebut diketahui bahwa
elemen channel sangat dominan pada segmen ini dengan litologi berupa batupasir
berukuran kasar hingga sedang, fraksi berukuran halus tidak dijumpai pada segmen ini,
pola pengendapan memperlihatkan pola menghalus keatas. Elemen channel pada
segmen ini saling memotong secara vertikal dan berulang mengindikasikan pada segmen
ini merupakan bagian endapan sungai purba yang aktif menggerus.
Elemen arsitektur Segmen Jambulipo dilakukan pengamatan pada 4 lokasi
pengamatan. Ditemukan, elemen ditemukan berupa channel (CH) dan sandy bedform
(SB) (Gambar 7). Pola yang diamati menunjukkan pola pengendapan menghalus keatas
dan dijumpai gerusan channel dengan ukuran butir kasar yang menggerus material
berukuran halus di bawahnya.
3. Model Lingkungan Pengendapan Formasi Sawahtambang
Identifikasi hubungan vertikal dan lateral ketiga segmen dilakukan dengan
penyetaraan tiap segmen dari batas ketidakselaran dengan satuan granit sebagai batas
bawah masing-masing segmen. Berdasarkan penyetaraan tersebut diketahui bahwa
Segmen Kampung Dalam berjarak 650 meter dari ketidakselarasan granit, Segmen Latang
Berjarak 725 meter dari ketidakselarasan granit dan Segmen Jambulipo berjarak 775 meter
dari ketidakselarasan granit. (Gambar 8).
Segmen Kampung Dalam menunjukkan adanya endapan halus yang paling
banyak dijumpai jika dibandingkan dengan segmen lainnya. Segmen ini
diinterpretasikan dalam perkembangannya dipengaruhi proses lateral shifting dari
channel atau migrasi sungai purba, sehingga segmen ini diinterpretasikan sebagai bagian
abandoned channel dari lingkungan pengendapan braided river. Pengukuran arah arus
purba pada Segmen Kampung Dalam relatif mengarah ke barat-baratdaya.
Segmen Latang menunjukkan karakteristik multistorey amalgamated channel
tebal yang memotong secara vertikal. Keterdapatan fraksi berukuran halus pada segmen
ini sangat minim dan hampir tidak dijumpai. Hal tersebut mengindikasikan bahwa
segmen ini memiliki karakteristik endapan channel deposit pada lingkungan
pengendapan braided river yang memiliki aliran mengarah ke barat-barat daya
Segmen Jambulipo menunjukkan karakteristik keterdapatan endapan berkuran
kasar yang menggerus fraksi berukuran halus. Gerusan tersebut merupakan salah satu
penanda lingkungan braided river yang dipengaruhi oleh perubahan kekuatan arus.
Arah arus purba dari segmen ini relatif mengarah ke barat.
Berdasarkan hasil analisis litofasies dan elemen arsitektur maka diinterpretasikan
bahwa Formasi Sawahtambang pada daerah penelitian memiliki lingkungan
pengendapan berupa braided river, hal ini ditunjukkan dengan ditemukannya erosional

205
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B016UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

surface, karakteristik litofasies dominan through-crossbedded sandstones dan pola


pengendapan menghalus ke atas (fining-up succession). Data hasil analisis ini kemudian
disusun menjadi model lingkungan pengendapan yang dibangun oleh pengelompokkan
elemen arsitekturnya. Pembuatan model ini bertujuan untuk memberikan ilustrasi
mengenai lingkungan pengendapan daerah penelitian yang merupakan braided river
dalam fluvial river system dengan arah arus purba yang relatif barat – barat daya. Dari
data elemen arsitektur ketiga segmen ini kemudian divisualisasikan berdasarkan posisi
stratigrafi dan disusun menjadi model lingkungan pengendapan. (Gambar 10 dan
Gambar 11).

V. DISKUSI DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil analisis pada daerah penelitian, diketahui bahwa ketiga segmen
di daerah penelitian menunjukkan karakteristik yang serupa dengan penelitian yang
dilakukan pada formasi yang sama oleh Koesoemadinata dan Matasak (1981) berupa
endapan amalgamasi kanal sungai yang tebal secara vertikal dengan keterdapatan
erosional surface, fasies cross-bedded sandstones dan pola pengendapan menghalus
keatas (fining-up succession). Berdasarkan Koesoemadinata dan Matasak (1981),
karakteristik pada daerah penelitian merupakan ciri dari anggota utama Formasi
Sawahtambang dengan lingkugan pengendapan braided river. Hasil analisis penelitian
ini juga menunjukkan kesamaan dengan hasil penelitian Kifumbi (2017) di Brazil,
didapatkan suatu pola pengendapan seperti pada daerah Kampung Dalam yaitu braided
river. Sementara itu pada penelitian di formasi yang sama dilakukan oleh Gusti dan
Susilo (2018), yang berlokasi di sebelah barat daerah penelitian tepatnya di Kota
Sawahlunto menunjukkan adanya perbedaan dengan penelitian ini. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Gusti dan Susilo (2018) memperlihatkan adanya endapan amalgamasi
kanal sungai yang tebal secara vertikal, namun terdapat karakteristik endapan overbank
fines yang tidak ditemui pada penelitian ini. Perbedaan antara penelitian yang dilakukan
oleh Gusti dan Susilo (2018) dengan penelitian ini diperkirakan dipengaruhi oleh jarak
lokasi penelitian yang jauh, sehingga karakteristik Formasi Sawahtambang yang ditemui
juga berbeda. Penelitian Gusti dan Susilo (2018) memiliki keterkaitan dengan yang
dilakukan oleh Fernando, dkk (2017) di daerah Kayugadang, Kota Sawahlunto yang
berada di bagian utara daerah Muaro Kalaban. Daerah Kayugadang juga memiliki sisi
yang diisi oleh pengendapan material halus atau elemen overbank fines dengan
lingkungan dataran banjir (floodplain).

VI. KESIMPULAN

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada ketiga segmen, maka didapatkan
kesimpulan sebagai berikut:
1. Karakteristik litofasies yang terdapat pada ketiga segmen secara umum
menunjukkan kesamaan yaitu scour fills (Ss), through cross-bedded sandstone (St),
planar cross-bedded sandstone (Sp) dan horizontal laminated sandstone (Sh) namun
pada Segmen Latang tidak dijumpai litofasies horizontal laminated sandstone (Sh)

206
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B016UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

2. Elemen arsitektur yang terdapat pada ketiga segmen berupa channel (CH) dan
sandy bedform (SB)
3. Lingkungan pengendapan Formasi Sawahtambang pada daerah penelitian
diinterpretasikan merupakan lingkungan braided river dengan arah paleocurrent
relatif mengarah ke barat.

ACKNOWLEDGEMENTS

Puji dan syukur kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya
sehingga dapat menyelesaikan tulisan ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada kedua orang tua, saudara dan teman sejawat yang telah memberikan semangat
dalam penyelesaian tulisan ini. Pengambilan data penelitian ini merupakan bagian dari
rangkaian Tugas Akhir peneliti, sehingga pendanaan pelitian ini menggunakan biaya
mandiri. Akses data primer penelitian berupa data lapangan maupun data sekunder
berupa referensi yang digunakan dapat diakses dengan menghubungi corresponding
author via e-mail yang telah tertera.

DAFTAR PUSTAKA

Fernando, R.E., Sari, M.R.N., Susilo, B.K., 2017, Facies And Architectural Analysis Of Fluvial Deposits
Of Sawahtambang Formation Ombilin Basin, West Sumatera, Proceeding, Seminar Nasional
Kebumian (Geoweek)Ke-10.
Gusti, U.K., Susilo, B.K., 2018. Facies and Architectural Element Analysis of Braided Fluvial Succession:
The Tertiary Sawahtambang Sandstone, Sawahlunto, Indonesia. Proceeding, PIT IAGI 2018.
Kimfubi, C., Scherer, C., Jones, F.H., Kuchle, J., 2017. High resolution stratigraphy of initial stages of
rifting,Sergipe-AlagoasBasin,Brazil.BrazilJournalofGeology,47(4):657-671.
Koesoemadinata, R.P. dan Matasak, T.198l. Stratigraphy and Sedimentation Ombilin Basin Central
Sumatra (West Sumatra Province), Proceedings Indonesian Petroleum Association Annual
Convention 10th, pp 217-249.
Koning, T. 1985. Petroleum Geology of The Ombilin Intermontane Basin, West Sumatra, Proceedings
Indonesian Petroleum Association Annual Convention 14th, pp 117 – 137.
Miall, A. D., 1996. The Geology of Fluvial Deposits, Sedimentary facies, Basin Analysis, and Petroleum Geology.
Springer-Verlag, Germany.
Miall, A.D., 2014. The Geology of Fluvial Deposits. Springer-Verlag, Switzerland.
Nichols,G.2009. Sedimentology and Stratigraphy.Blackwell Science Ltd., London, 335 p.
Noeradi, D., Djuhaeni, dan Simanjutak, B. 2005. Rift Play in Ombilin Basin Outcrop, West Sumatra.
Proceedings Indonesian Petroleum Association Annual Convention 30th, pp 39-51.
Silitonga, P. H. dan Kastowo. 1995. Peta Geologi Lembar Solok, Sumatera Barat. Direktorat Geologi,
Bandung.
Situmorang, B., Yulihanto, B., Guntur, A., Himawan, R., dan Jacob, T.G. 1991. Structural
Development of The Ombilin Basin West Sumatra, Proceedings Indonesian Petroleum
Association Annual Convention 20th, pp 1 - 15.
Van Bemmelen, R. W. 1949. The Geology of Indonesia. Government Printing Office. Martinus
Nyhoff, The Hague, Vol 1 A, Netherlands
Yeni, Y. F. (2011). Perkembangan Sedimentasi Formasi Brani, Formasi Sawahlunto dan Formasi
Ombilin ditinjau dari Provenance dan Komposisi Batupasir Cekungan Ombilin.
Proceeding JCM Makassar. The 36th IAGI Annual Convention and Exhibition.

207
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B016UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Peta dan penampang persebaran singkapan Daerah Kampung Dalam dan Sekitarnya

208
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B016UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Profil dan litofasies Segmen Kampung Dalam pada tiga titik lokasi pengamatan

209
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B016UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Profil dan litofasies Segmen Latang pada tiga titik lokasi pengamatan

210
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B016UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Profil dan litofasies Segmen Jambulipo pada empat titik lokasi pengamatan

211
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B016UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. Elemen arsitektur Segmen Kampung Dalam

212
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B016UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 6. Elemen arsitektur Segmen Latang

213
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B016UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 7. Elemen arsitektur Segmen Jambulipo

214
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B016UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 8. Kolom stratigrafi tiga segmen yang menunjukkan hubungan vertikal dan lateral antar
segmen

215
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B016UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 9. Model lingkungan braided river oleh Nichols (2009) sebagai referensi pembuatan
model lingkungan braided river daerah penelitian.

Gambar 10. Model skematik 2D lingkungan pengendapan tergeneralisir daerah penelitin


berdasarkan rekonstruksi tiga segmen

216
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B016UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 11. Model skematik 3D lingkungan pengendapan tergeneralisir daerah penelitin


berdasarkan rekonstruksi tiga profil segmen dan visualisasi paleocurrent Sungai Sawahtambang
Purba yang relatif mengarah ke barat

217
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B018UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

BIOSTRATIGRAFI FORAMINIFERA PLANGTONIK PADA CEKUNGAN


KUTAI, KALIMANTAN TIMUR

Akmaluddin 1*, Canting Carangritti 2


Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada1*
Perum Puri Potorono Asri A-7, Jl. Wonosari km. 8 Banguntapan, Bantul, D.I. Yogyakarta. 2
*corresponding Author: akmaluddin@ugm.ac.id

ABSTRAK. Analisis biostratigrafi foraminifera plangtonik dilakukan pada 54 sampel cutting dan
4 sampel side wall core dari sumur pemboran “CC” pada Cekungan Kutai, di bagian on shore
daerah Kalimantan Timur. Stratigrafi litologi pada sumur tersebut menunjukkan bagian dari
formasi Batu Ayau dan Ujoh Bilang yang memiliki kelimpahan fosil foraminifera yang melimpah.
Biozonasi yang ditentukan berdasarkan batas-batas kemunculan awal dan akhir dari suatu spesies
penciri. Hasil pengamatan menunjukkan keragaman spesies foraminfera plangtonik sebanyak 27
spesies, serta kelimpahan foraminifera yang ditemukan berjumlah 8.656 fosil. Biozonasi sumur ini
dapat dibagi menjadi 5 zona selang dan 3 zona kisaran. Zonasi umur yang ditunjukkan pada
formasi Batu

Kata kunci : biostratigrafi, foraminifera, cekungan kutai, kalimantan timur

I. PENDAHULUAN
Sedimentasi batuan pada batas umur Eosen-Oligosen menunjukkan lingkungan
pengendapan laut dangkal hingga paparan terbuka (Atmawinata dkk, 1995). Proses
sedimentasi dari batuan tersebut memiliki mekanisme turbidit dengan sumber asal
sedimen dari daratan yang bersifat vulkanogenik (Sukardi dkk, 1995). Pada kala Oligosen
di daerah Cekungan Kutai memperlihatkan perubahan aktivitas vulkanik yang lebih
menurun sehingga produk batuan vulkanik lebih menurun dan disertai dengan
perubahan lingkungan yang lebih mendangkal dengan mulai berkembangnya batuan
karbonatan, (Darmawan,2015).
Penelitian biostratigrafi terdahulu pada umur Eosen-Oligosen di Cekungan Kutai
menunjukkan adanya lompatan umur yang mengindikasikan adanya ketidakselarasan
(Moss, 1997). Analisis biostratigrafi pada cekungan ini perlu diperbanyak untuk
meningkatkan tingkat kedetilan stratigrafi Cekungan Kutai.

II. GEOLOGI REGIONAL


Sumur penelitian termasuk ke dalam Cekungan Kutai bagian sub-cekungan Kutai
Atas, dengan sumur “CC” berada pada daerah Sangatta, Kalimantan Timur. Menurut
Bachtiar dkk (2013), Cekungan Kutai memiliki perkembangan tektonik yang kompleks
dari kurun waktu Paleosen hingga Pliosen dengan batuan basement berumur Jura-Kapur.
Cekungan Kutai dapat dibagi menjadi tiga sub-cekungan yaitu: sub-cekungan Kutai Atas,
Kutai Bawah dan Makassar Utara, dimana sub-cekungan Kutai Atas memiliki batuan

218
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B018UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

berumur lebih tua, pada zaman Paleogen, daripada Kutai Bawah yang berumur Neogen.
Sub-cekungan Kutai Atas berada pada daerah daratan pulau Kalimantan (Satyana, 1999).
Menurut Atmawinata dkk (1995), satuan batuan penyusun cekungan ini dapat
dibagi menjadi 17 formasi, dari paling tua berumur Jurasik hingga kuarter. Fokus
penelitian ini adalah pada formasi Batu Ayau dan Ujoh Bilang. Formasi Batu Ayau
tersusun atas litologi yang didominasi oleh batupasir, dan ditemukan pula batulumpur,
batulanau, serta sedikit batugamping. Umur dari formasi ini adalah Eosen Akhir dengan
lingkungan pengendapan laut dangkal hingga laut terbuka, memiliki ketebalan sekitar
500 – 900 m. Kemudian diatasnya, diendapkan secara tidak selaras Formasi Ujoh Bilang,
yang memiliki litologi penyusun berupa batulumpur, batugamping secara setempat, dan
batupasir dengan sifat karbonatan, tufan maupun karbonan. Formasi ini berumur sekitar
kala Oligosen dengan ketabalan mencapai 500m. Lingkungan pengendapan dari formasi
ini dari laut terbuka hingga paparan luar.

III. METODOLOGI
Analisis biostratigrafi pada penelitian ini menggunakan total 58 sampel, dengan 54
sampel cutting dan 4 sampel side wall core, yang didapat dari sumur pemboran “CC”.
Sampel tersebut kemudian dipreparasi untuk memisahkan lumpur batuan dengan fosil
yang dikandung pada batuan. Preparasi diawali dengan menggerus sampel batuan
hingga halus dengan palu dan penumbuk. Kemudian sampel diberi larutan hidrogen
peroksida (H2O2) dan dibiarkan selama beberapa jam hingga reaksi berhenti. Sampel
kemudian dibilas menggunakan air dan ditunggu hingga mengendap selama satu hari.
Kemudian sampel diayak menggunakan mesh ayakan berukuran 250 µm, 150 µm, dan 75
µm. Terakhir, sampel dimasukkan pada plastik klip kecil untuk di-picking dan diamati.
Proses picking menggunakan mikroskop binokuler dengan perbesaran total 45x,
proses ini bertujuan untuk memisahkan butiran fosil dari sampel batuan agar mudah
dalam determinasi spesies selanjutnya. Proses determinasi fosil dilakukan untuk
mengetahui jenis dan jumlah dari spesimen fosil yang ditemui pada tiap sampel cutting.
Hasil pengamatan kemudian disusun pada tabel, pada Tabel 1, untuk
merumuskan biozonasi umur pada sumur “CC”. Penamaan sampel batuan berdasarkan
nama sumur dan nilai kedalaman dari jarak ditemukannya sampel dengan permukaan
sumur dalam satuan meter (m). Contoh: CC 725, yang berarti sampel dari sumur “CC”
dengan nilai kedalaman 725 m.

IV. HASIL PENELITIAN


Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa ditemukan keragaman total 25 spesies
foraminifera plangtonik pada 58 sampel yang diamati. Kelimpahan spesimen fosil yang
ditemukan berjumlah total 8.686 butir fosil foraminifera plangtonik. Kelimpahan tersebut
tidak seragam pada setiap sampel yang diamati. Pada pengamatan terdapat satu sampel
batuan yang tidak memiliki fosil foraminifera plangtonik, yaitu pada sampel CC 713.
Biozonasi standar yang digunakan pada penelitian ini dirumuskan dari biozonasi
standar milik Blow (1969) pada Bolli dkk (1985) (liat Tabel 2). Penelitian ini membagi

219
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B018UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

sumur penelitian menjadi 8 zonasi dengan rincian 3 zona kisaran dan 5 zona selang.
Biodatum yang digunakan merupakan kemunculan awal (first appearance / FA) dan/atau
kemunculan akhir (last appearance / LA) dari suatu fosil yang memiliki rentang umur
tertentu. Proses penarikan umur tersebut didasarkan dari biozonasi standar yang
digunakan.
1. Zona Acarinina spinuloinflata (P14).
Zona ini merupakan zona tertua dan paling bawah, dicirikan adanya spesies
Acarinina spinuloinflata pada sampel CC 1206. Fosil tersebut memiliki LA pada P14.
Zona ini setara dengan zona P14 pada biozonasi standar Blow (1969) dengan fosil indeks
Truncorotaloides rohri.

Zona ini juga ditemukan spesies Globigerina hagni, Turborotalia pomeroli,


Turborotalia cocoaensis, Globorotaloides suteri, Globigerina tripartita, Globigerina
praeturitilina, Globigerina praebulloides, Globorotalia opima nana, Globigerina eocaena,
Globigerina cryptomphala, dan Globigerina ciperoensis.

2. Zona Acarinina spinuloinflata – Globigerina euapertura (P15).

Zona ini memiliki batas bawah dari kemunculan Acarinina spinuloinflata dan
batas atas yaitu FA dari Globigerina euapertura. Globigerina euapertura memiliki
rentang umur P16 – N7 sehingga membuat zona ini setara dengan zona P15 dari
biozonasi Blow (1969) yang memiliki fosil indeks Globigerinatheka semiinvoluta.

Keragaman spesies zona ini juga ditemukan spesies Globigerina hagni,


Turborotalia pomeroli, Globigerina venezuelana, Globigerina tripartita, Globigerina
praeturitilina, Globigerina praebulloides, Globigerina eocaena, Globigerina ciperoensis,
dan Catapsydrax dissimilis.

3. Zona Globigerina euapertura – Globigerina hagni (P16).

Zona ini memiliki batas bawah berupa FA Globigerina euapertura dengan batas
atas yaitu LA Globigerina hagni. Spesies Globigerina hagni memiliki rentang umur P9 –
P16. Zona ini setara dengan biozonasi standar Blow (1969) umur P16 pada kala Eosen
Akhir. Zona ini memiliki rentang sampel dari CC 960 hingga CC 910.

4. Zona Globigerina hagni – Globigerina eocaena (P17).

Zona ini memiliki batas bawah dengan LA Globigerina eocaena dan batas atas
yaitu LA Globigerina hagni Zona ini memiliki rentang sampel dari CC 750 hingga CC 855
dan setara dengan zona P17 dari biozonasi Blow (1969) dengan fosil indeks Turborotalia
cerroazulensis.

Asosiasi fosil pada zona ini adalah Catapsydrax dissimilis, Globigerina


ciperoensis, Globigerina angustiumbilicata, Globigerina praebulloides, Globigerina
eocaena, Globigerina cryptomphala, Globigerina ampliapertura, dan Globigerina
tripartita.

220
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B018UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

5. Zona Cassigerinella chipolensis – Globigerina tapuriensis (P19)

Zona ini memiliki batas bawah yaitu FA Cassigerinella chipolensis dan batas atas
berupa LA Globigerina tapuriensis. Zona ini setara dengan biozonasi Blow (1969) pada
zonasi umur P19 dengan fosil indeks yang sama yaitu, Cassigerinella chipolensis.
Rentang zona P19 ini berada pada sampel CC 590 hingga CC 725.

Keragaman spesies fosil zona ini adalah Catapsydrax dissimilis, Globigerina


ciperoensis, Globigerina angustiumbilicata, Cassigerinella chipolensis, Globigerina
ouiachitaensis, Globigerina praebulloides, Globigerina selli, Globigerina tripartita,
Globigerina opima nana, Globigerina yeguaensis, Globorotaloides suteri, Globigerina
euapertura, Globigerina tapuriensis, dan Globigerina ampliapertura.

6. Zona Globigerina tapuriensis – Globigerina ampliapertura (P20)

Zona ini memiliki batas bawah berupa LA Globigerina tapuriensis dan batas atas
yaitu LA Globigerina ampliapetura. Zona ini setara dengan zona P20/N1 dari biozonasi
Blow (1969) dengan fosil indeks yang sama yaitu Globigerina ampliapertura. Rentang
zona ini berada pada sampel CC 500 hingga CC 580.

Keragaman zona ini adalah ditemukannya spesies dari Catapsydrax dissimilis,


Globigerina ciperoensis, Globigerina angustiumbilicata, Cassigerinella chipolensis,
Globigerina ouiachitaensis, Globigerina praebulloides, Globigerina selli, Globigerina
tripartita, Globigerina opima nana, Globigerina yeguaensis, Globorotaloides suteri,
Globigerina euapertura, Globigerina venezuelana, dan Globigerina ampliapertura.

7. Zona Globorotalia opima opima (P21).

Zona ini merupakan zona kisaran utuh dari spesies Globorotalia opima opima
yang batas bawah dan atas dari zona ini dibatasi oleh FA dan LA dari spesies tersebut
berturut-turut. Zona ini pun setara dengan zona umur P21/N2 dari biozonasi Blow (1969)
yang memiliki spesies fosil indeks Globorotalia opima opima pula. Rentang zona ini ada
pada sampel CC 250 hingga CC 475.

8. Zona Globorotalia kugleri (P22).

Zona ini memiliki batas bawah yaitu LA dari Globorotalia opima opima dan zona
ini memiliki keterdapatan dari spesies fosil indeks yaitu Globorotalia kugleri. Fosil indeks
tersebut merupakan penciri dari zonasi umur P22/N3 pada biozonasi Blow (1969).
Asosiasi fosil pada zona ini adalah Catapsydrax dissimilis, Globigerina ciperoensis,
Globigerina angustiumbilicata, Cassigerinella chipolensis, Globigerina ouiachitaensis,
Globigerina praebulloides, Globigerina selli, Globigerina tripartita, Globigerina opima
nana, Globigerina yeguaensis, Globigerina euapertura, Globigerina venezuelana,
Globigerina angulisuturalis, dan Globorotalia kugleri.

V. PEMBAHASAN

221
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B018UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Data biostratigrafi yang dihasilkan dikorelasikan dengan data stratigrafi regional


dari Cekungan Kutai yang telah diteliti oleh Atmawinata dkk (1995), bahwa pada formasi
Ujoh Bilang yang diperkirakan memiliki umur Oligosen, setara dengan hasil biostratigrafi
pada penelitian ini yang mencirikan zonasi umur P19 hingga P22. Selain itu, formasi Batu
Ayau yang diperkirakan berumur Eosen Akhir memiliki hasil zonasi biostratigrafi
dengan umur P14 hingga P17 (liat Tabel 3). Fenomena ketidakselarasan terjadi pada batas
kedua formasi tersebut yang disebutkan oleh Atmawinata dkk (1995) yang kemudian
didetilkan oleh hasil penelitian ini yang memperlihatkan adanya lompatan umur pada
zona P18 di kala Oligosen Awal (Gambar 1).
Menurut Bachtiar dkk (2013), Cekungan Kutai mengalami proses sagging pada
batas kala Eosen Akhir menuju Oligosen Awal yang ditandai dengan perubahan
lingkungan pengendapan batuan lebih dalam. Hal tersebut disebabkan naiknya
permukaan air laut relatif pada daerah ini yang membuat ruang akomodasi bagi sedimen
menjadi bertambah. Akibat dari kenaikan muka air laut pun berimbas pada wilayah
daratan pada kala Oligosen Awal menyempit yang dapat mengakibatkan suplai sedimen
berkurang sehingga terjadi jeda pengendapan pada beberapa titik daerah yang
lingkungan pengendapannya berubah dari laut dangkal menjadi laut terbuka, seperti
yang terjadi pada Formasi Batu Ayau menuju Formasi Ujoh Bilang.

VI. KESIMPULAN
1. Sumur penelitian dapat dibagi menjadi 8 biozonasi, dari tua ke muda, yaitu:
- Zona Acarinina spinuloinflata
- Zona Acarinina spinuloinflata – Globigerina euapertura.
- Zona Globigerina euapertura – Globigerina hagni.
- Zona Globigerina hagni – Globigerina eocaena.
- Zona Cassigerinella chipolensis – Globigerina tapuriensis.
- Zona Globigerina tapuriensis – Globigerina ampliapertura.
- Zona Globorotalia opima opima.
- Zona Globorotalia kugleri.
2. Sumur penelitian termasuk ke dalam umur Eosen Tengah hingga Oligosen Akhir,
setara dengan zonasi umur P14 – P22 pada zonasi standar Blow (1969).
3. Terjadi lompatan umur pada zona umur P18 yang mengindikasikan adanya
ketidakselarasan.

ACKNOWLEDGEMENT

Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada Pusat Penelitian dan Pengembangan


Teknologi Minyak dan Gas Bumi Lemigas, yang telah memberikan data sampel batuan,
serta Bapak Abdul Kholiq yang telah membantu dalam proses pengerjaan di Lemigas.

DAFTAR PUSTAKA

Atmawinata, S., Ratman, N., Bahruddin, (1995). Peta Geologi Lembar Muara Ancalong,
Kalimantan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi

222
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B018UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Bachtiar, A., Heru, Dwi H., Azzaino, Z., Utomo, W., Krisyunianto, A., Sani, M., (2013). Surface
Data Re-Evaluation, Eocene Source Rock Potential and Hydrocarbon Seepage, and
Eocene Sand Reservoir Prospectivity in West Sangatta, Northern Kutai Basin,
Proceedings, Indonesian Petroleum Association 37th Annual Convention and Exhibition,
Jakarta, Indonesia.
Blow, Walter H. (1979). The Cainozoic Globigerinida A Study of the Morphology, Taxonomy,
Evolutionary Relationship and the Stratigraphical Distribution of Some Globigerinida
(Mainly Globigerinacea). England: BP Research Centre.
Bolli, H., B, J. S., & Perch-Nielsen, K. (1985). Plankton Stratigraphy. London: Cambridge University
Press.
Darmawan, W., Subekti, A., Guritno, E., Smart, J., Mustapha, H., Nugroho, B., Bachtiar, A. (2015).
Structural and Stratigraphic Evolution and Implications for Paleogene Syn-Rift
Exploration in North East Bangkanai, Upper Kutai Basin, Indonesia, Proceedings,
Indonesia Petroleum Association 39th Annual Convention and Exhibition, Jakarta,
Indonesia.
Moss, S.J., Chambers, J.L.(1999). Tertiary facies architecture in the Kutai Basin, Kalimantan,
Indonesia. J. Asian Earth Sci. 17, 157–181.
Satyana, A.H., Nugroho, D., Surantoko, I.(1999). Tectonic controls on the hydrocarbon habitats of
the Barito, Kutei, and Tarakan Basins, Eastern Kalimantan, Indonesia: major
dissimilarities in adjoining basins. J. Asian Earth Sci. 17, 99–122.
Sukardi, Sikumbang, N., Umar, I., Sunaryo, R., (1995) Peta Geologi Lembar Sangatta, Kalimantan.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.

223
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B018UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 1. Tabel Distribusi Foraminifera


Plangtonik

8 Globigerina ciperoensis angustiumbilicata


7 Globigerina ciperoensis angulisuturalis

25 Turborotalia cerroazulensis cocoaensis


6 Globigerina ciperoensis ciperoensis

26 T. cerroazulensis cerroazulensis

Total Spesimen

Blow (1969)
4 Globigerina ampliapertura

13 Globigerina ouiachitaensis

27 T. cerroazulensis pomeroli
23 Globorotalia opima opima
9 Globigerina cryptomphala

15 Globigerina praeturitillina
14 Globigerina praebulloides
2 Cassigerinella chipolensis

22 Globorotalia opima nana


19 Globigerina venezuelana
1 Acarinina spinuloinflata

10 Globigerina euapertura

20 Globigerina yeguaensis
17 Globigerina tapuriensis
Sampel Umur
5 Globigerina binaiensis

24 Globorotaloides suteri
3 Catapsydrax dissimilis

18 Globigerina tripartita
11 Globigerina eocaena

21 Globorotalia kugleri
12 Globigerina hagni

16 Globigerina selli
CC055 24 4 34 37 5 4 1 1 3 15 9 17 18 28 4 7 9 220
CC070 2 3 13 94 8 1 12 2 39 87 7 24 7 7 1 3 310
CC095 9 1 1 23 2 17 1 24 28 1 2 2 2 3 116
CC120 13 3 1 25 5 23 3 24 1 6 2 8 114
P22 Oligosen Akhir
CC145 14 3 7 11 2 11 5 53
CC175 9 4 1 6 2 1 23
CC200 1 15 3 9 5 3 1 37
CC225 8 6 1 6 3 3 3 3 1 34
CC250 10 1 1 7 1 1 3 2 26
CC270 1 15 1 4 4 2 27
CC300 5 6 14 1 6 3 35
CC325 9 5 32 2 5 6 36 4 4 5 34 5 147
CC355 1 18 4 6 16 1 3 3 25 14 91 P21
CC375 12 7 13 53 7 15 8 2 3 120
CC400 26 12 38 87 23 9 6 3 2 4 210
CC425 2 2 14 21 43 116 19 17 12 6 11 263
Oligosen Tengah
CC475 3 1 10 3 8 1 113 4 10 3 10 1 1 168
CC500 1 23 5 9 32 87 23 14 13 3 3 213
CC525 5 1 3 4 15 3 7 3 2 43
CC545 3 11 9 63 93 12 21 20 8 6 13 259
CC555 3 10 8 11 66 108 22 30 11 27 296 P20
CC560 12 10 13 27 96 37 28 9 8 240
CC570 25 14 6 31 93 46 17 6 23 261
CC580 4 22 19 1 17 44 82 63 22 2 14 290
CC590 4 15 27 2 43 61 32 8 11 4 16 223
CC600 17 26 29 72 31 14 13 7 22 231
CC610 6 23 36 11 31 142 47 22 28 8 11 365
CC618 7 3 17 8 2 5 3 2 47
CC620 1 28 26 9 33 77 21 17 5 2 3 7 229
CC630 42 11 8 46 37 17 24 12 6 11 214
CC640 2 56 18 7 41 67 26 21 14 12 264
CC655 3 83 13 18 12 34 134 47 47 23 6 420
CC660 18 8 5 65 47 22 14 14 4 197 P19 Oligosen Awal
CC665 2 11 7 6 24 17 9 4 6 86
CC670 4 23 11 7 3 49 63 41 10 36 8 255
CC680 2 5 13 2 13 5 43 74 28 21 44 12 262
CC690 3 5 45 9 10 45 32 31 27 41 6 5 259
CC700 2 43 6 47 45 17 13 24 4 3 204
CC710 3 12 23 10 6 3 4 61
CC713 0
CC725 3 16 6 2 5 65 121 3 20 3 18 23 285
CC750 3 1 2 2 3 11
CC755 1 2 1 1 2 2 2 11
CC760 2 1 3
CC765 1 1 1 2 3 1 1 10
CC800 1 2 1 2 6
P17
CC810 2 1 7 3 1 2 1 2 1 20
CC815 2 1 1 1 1 1 7
CC835 2 8 3 2 16 8 3 5 3 3 2 55
Eosen Akhir
CC840 4 5 4 4 4 34 6 2 3 8 7 1 1 83
CC855 10 11 6 2 2 43 2 2 4 23 7 2 114
CC910 3 13 2 4 27 8 34 6 18 7 7 2 6 137
CC930 7 18 3 5 4 4 5 6 3 7 35 7 1 105
P16
CC950 20 3 5 1 17 13 12 14 16 3 17 121
CC960 8 8 6 1 42 29 13 23 21 3 4 15 173
CC1000 5 11 34 43 23 31 18 8 10 183
P15
CC1050 12 13 49 56 46 20 29 6 24 255
CC1206 1 7 9 31 33 14 17 11 2 4 6 29 164 P14 Eosen Tengah

224
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B018UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 2. Perbandingan biodatum penelitian dengan biozonasi standar Blow (1969).

Biozonasi Standar Blow (1969)


Umur Penelitian ini
pada Bolli (1985)
Oligosen Akhir P22/N3
Globorotalia opima
Globorotalia kugleri*
opima^
P21/N2
Oligosen Globigerina ciperoensis Globorotalia opima
Tengah angulisuturalis* opima*
P20/N1
Pseudohastigerina Globigerina
barbadoensis^ ampliapertura^
P19
Cassigerinella
Oligosen Awal Globigerina selli* chipolensis*

P18
Globigerina
tapuriensis* Globigerina eocaena^
P17
Catapsydrax inflata^ Globigerina hagni^

Eosen Akhir P16

Catapsydrax inflata* Globigerina euapertura^


P15
Globigerinatheka
Eosen Tengah semiinvoluta^ P14 Acarinina spinuloinflata

* : Kemunculan awal (First Appearance / FA)

^ : Kemunculan akhir (Last Appearance / LA)

225
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B018UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 3. Kolom litologi dan pembagian biozonasi.

Zonasi Umur (Blow, 1969)


Sampel Kedalaman (m)

Formasi Litologi Umur Biodatum Biozonasi

55
70 Oligosen Akhir
95
120
P22 Zona Globorotalia kugleri
145
175
200
225 G. kugleri
250 G. opima opima
270
300
325
355 P21 Zona Globorotalia opima opima
375
Oligosen Tengah

400
425
475 G. opima opima
500 G. ampliapertura
Formasi Ujoh Bilang

525
545
Zona Globigerina ampliapertura -
555 P20
Globigerina tapuriensis
560
570
580
590 G. tapuriensis
600
610
618
620
630
640
Oligosen Awal

655
Zona Globigerina tapuriensis -
660 P19
Cassigerinella chipolensis
665
670
680
690
700
710
713
725 C. chipolensis
750 G. eocaena
755
760
765
800 Zona Globigerina eocaena -
P17 Globigerina hagni
810
815
Eosen Akhir
Formasi Batu Ayau

835
840
855
910 G. hagni
930 Zona Globigerina hagni -
P16
950 Globigerina euapertura
960 G. euapertura
1000 Zona Globigerina euapertura -
P15 Acarinina spinuloinflata
1050
Tengah

A. spinuloinflata
Eosen

1206 P14 Zona Acarinina spinuloinflata

226
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B018UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Korelasi Stratigrafi sumur penelitian dengan stratigrafi regional peneliti terdahulu.

227
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B032POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

DINAMIKA SEDIMENTASI FORMASI WONOSARI, JALUR SAMBIROTO,


KECAMATAN PRACIMANTORO, KABUPATEN WONOGIRI, JAWA
TENGAH
Moch. Indra Novian1*, Aulia Agus Patria1, Arsha Maulana1
1Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Jl. Grafika no. 2 Sinduadi, Mlati,
Sleman, D.I. Yogyakarta

*Corresponding Author: indra_novian@ugm.ac.id

ABSTRAK. Jalan baru lintas selatan Jawa di daerah Gunung Kidul - Pacitan banyak menghasilkan
singkapan-singkapan baru terutama singkapan batuan penyusun Formasi Wonosari yang secara
stratigrafi singkapan pada jalur ini merupakan bagian atas Formasi Wonosari. Berdasarkan
pengukuran stratigrafi 1:100 pada jalur ini didapatkan batuan penyusun singkapan setebal 15 m
yang terbagi atas lima paket pengendapan. Paket tersebut diawali oleh struktur sedimen berupa
scouring – channel. Dalam satu paket pengendapan dijumpai pola stratigrafi menghalus dan
mengkasar ke atas, namun secara keseluruhan singkapan menunjukkan pola yang menghalus ke
atas. Pada paket pertama - kedua batuan tersusun oleh foraminiferal grainstone-packestone
dengan sisipan wackestone. Pada paket pertama urutan stratigrafinya menunjukkan pola
menghalus disusul mengkasar ke atas, sementara paket kedua tersusun oleh pola stratigrafi
menghalus ke atas. Selanjutnya paket ketiga-kelima tersusun oleh perulangan foraminiferal
grainstone-packestone dengan wackestone dan pola stratigrafi menghalus ke atas. Foraminiferal
grainstone-packestone secara dominan tersusun oleh foraminifera bentik besar (lepidocyclina sp.),
foraminifera planktik berupa globigerinid dan cangkang moluska. Orientasi butir tidak dijumpai
pada cangkang fosil yang dijumpai pada batuan paket satu, dua, tiga dan empat. Pada paket
ketiga orientasi butir dari cangkanglepidocyclina dapat teramati dengan baik. Wackestone
didominasi oleh foraminifera planktik berupa globigerinid, sedikit foraminifera bentik dan
cangkang-cangkang moluska. Semakin ke atas kandungan material nonkarbonat semakin
bertambah. Hasil analisis fosil ayakan menunjukkan kumpulan fosil foraminifera planktik tersebut
mengindikasikan umur N17-N18 (Miosen Atas). Adapun foraminifera bentik yang teramati
mengindikasikan paleobatimetri neritik dalam (inner neritic) dan semakin ke atas
mengindikasikan perubahan menjadi neritik tengah (middle neritic). Berdasarkan stratigrafi yang
berkembang pada jalur ini maka Formasi Wonosari di daerah penelitian awalnya terendapkan
pada paleobatimetri neritik dalam kemudian semakin mendalam menuju neritik tengah. Awalnya
lingkungan pengendapan berupa channel pada suatu kipas laut yang saling berpotongan dengan
mekanisme pengendapan berupa fluid flow. Berikutnya semakin ke atas lingkungan berubah
menjadi semakin menuju basin plain dengan mekanisme pengendapan berupa suspensi.

Kata kunci: Stratigrafi, Formasi Wonosari, Dinamika Sedimentasi

228
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B032POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

I. PENDAHULUAN
Daerah Sambiroto, Pracimantoro berada di tepian barat daya Waduk
Gajahmungkur (Gambar 1). Daerah ini secara regional tersusun oleh Formasi Wonosari di
bagian barat dan di timur oleh endapan Formasi Baturetno. Formasi Wonosari di daerah
Pegunungan Selatan banyak tersingkap dengan baik akibat adanya penambangan
batugamping dan pembuatan jalan baru atau pelebaran jalan lama. Di daerah Sambiroto,
Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri, provinsi Jawa Tengah; formasi ini
tersingkap dengan baik akibat adanya pembangunan jalan Jalur Lintas Selatan Jawa yang
memotong daerah perbukitan. Akibat adanya pembangunan jalan tersebut maka di
daerah ini perubahan fasies secara lateral dan vertikal dari Formasi Wonosari dapat
teramati dengan baik.
Pengukuran stratigrafi dilakukan pada koordinat -8,070177; 110,818636 hingga -
8,068989; 110,816246. Pengukuran dilakukan pada singkapan yang memotong relatif
tegak lurus terhadap arah pengendapan batuan.

II. GEOLOGI REGIONAL


Daerah penelitian termasuk ke dalam Zona Fisiografi Pegunungan Selatan Jawa
Timur bagian barat (van Bemmelen, 1949). Secara geomorfologi daerah penelitian
memiliki morfologi perbukitan karst yang didominasi oleh kerucut karst dan terletak di
bagian paling selatan Zona Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat.
Husein, dkk. (2016) menyatakan secara tektonostratigrafi Cekungan Pegunungan Selatan
awalnya terbentuk akibat rifting yang terjadi pada Eosen Awal – Eosen Akhir (Gambar
2). Pada saat itu cekungan terisi oleh konglomerat kuarsa,breksi aneka bahan, batupasir
kuarsa, batupasir karbonatan, batulanau karbonatan dan sisipan batugamping
nummulites sebagai Anggota Wungkal yang menjari dengan Anggota Gamping di
bagian atas. Anggota Gamping sendiri tersusun oleh batugamping nummulites,
batugamping nummulites pasiran dan sisipan batupasir kuarsa serta batupasir
karbonatan. Kedua anggota satuan batuan tersebut menyusun Formasi Wungkalgamping
dan mempunyai lingkungan pengendapan berupa fore reef – fore slope.
Selanjutnya secara selaras di atas Formasi Wungkalgamping diendapkan Formasi
Kebobutak, Semilir, Nglanggeran dan Sambipitu pada fase post-rift dengan umur Eosen
Tengah – Miosen Awal. Mekanisme pengendapan gaya berat (gravity depositional
processes) mendominasi pembentukan batuan penyusun formasi-formasi tersebut.
Formasi Kebobutak tersusun oleh perselingan batupasir dengan batupasir kerikilan di
bagian bawah dan breksi polimik di bagian atas. Sisispan batulanau, batulempung, tuf
dan serpih sering dijumpai di seluruh bagian formasi ini (Surono, 2008), sementara
sisipan lava basalt dijumpai di bagian bawah formasi ini (Husein dan Sari, 2011). Formasi
Semilir menumpang secara selaras di atas Formasi Kebobutak (beberapa menjari) dan
tersusun atas batuan lapilli tuf, batupasir tufan, breksi autoklastik dan breksi aneka
bahan. Smyth (2005) mendapatkan umur pembentukan formasi ini skitar 20 juta tahun
lalu (Miosen Awal). Formasi Nglanggeran selanjutnya menutupi secara selaras Formasi
Semilir. Formasi Nglanggeran tersusun oleh breksi andesit, batupasir kerikilan, batupasir
tufan dengan sisipan tuf dan lava andesit. Formasi ini terbentuk di Miosen Awal dan

229
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B032POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

langsung tertutupi secara selaras oleh Formasi Sambipitu. Formasi Sambipitu awalnya
tersusun oleh perselingan tuf dan batupasir tufan. Ke atas batuan penyusun formasi ini di
dominasi oleh batupasir tufan- batupasir karbonatan dengan sisipan tuf, batugamping
dan konglomerat. Umur formasi ini Miosen Awal – Miosen Akhir.
Selanjutnya fase sag mengendapkan batuan-batuan penyusun Formasi Oyo,
Wonosari dan Kerek. Formasi Oyo berumur Miosen Awal – Tengah dan tersusun atas
batugamping tufan dengan pengaruh biota penyusun terumbu (Toha, dkk., 1994) serta
sisipan batupasir tufan. Berdasarkan data foraminifera bentik formasi ini terbentuk pada
lingkungan batial atas-bawah. Bersamaan dengan pembentukan Formasi Oyo di
beberapa tempat terbentuk Formasi Wonosari yang tersusun oleh batugamping berlapis
dan napal (Bothe, 1929) dengan sisipan batupasir-batulanau (Surono, dkk, 1994). Di
beberapa tempat juga dijumpai batugamping koral dan batugamping alga (Hehuwat dan
Siregar, 2004; Fadhilestari, 2011). Lingkungan pengendapan formasi ini bervariasi dari
shelf, reef hingga basinal/ toe of slope (Hehuwat dan Siregar, 2004) dengan umur
pengendapan Miosen Awal – Pliosen Awal. Formasi Kepek terendapkan menjari dengan
bagian akhir dari Formasi Wonosari. Formasi Kepek mempunyai sebaran yang terbatas
dan tersusun oleh perselingan packstone, grainstone, rudstone dengan sisipan floatstone,
napal pasiran dan batulanau karbonatan. Pengendapan formasi ini di lingkungan batial
tengah pada Miosen Akhir – Pliosen Awal.

III. METODE PENELITIAN


Singkapan Formasi Wonosari yang diamati dan dilakukan pengukuran berada di
tepi selatan jalan baru yang menjadi bagian Jalan Lintas Selatan Jawa daerah Sambiroto,
Pracimantoro. Pengukuran stratigrafi menggunakan tongkat Jacob dengan skala 1 : 100
dan memasukkan unsur-unsur identifikasi batuan berupa geometri, litologi, struktur
sedimen, fosil dan arus purba. Dari pengukuran dihasilkan kolom litologi setebal 15 m
yang terbagi atas lima kali paket pengendapan. Empat macam batugamping
teridentifikasi dari pengamatan lapangan. Lima belas conto batuan diambil untuk
kepentingan analisa petrografi dan paleontologi. Delapan conto batuan disayat tipis
untuk kepentingan analisis petrografi dan paleontology. Analisis petrografi
menggunakan klasifikasi Dunham (1962) dan Embry & Klovan (1971) untuk
batugamping. Tujuh conto batuan dipreparasi untuk menghasilkan ayakan fosil. Analisa
paleontologi menggunakan fosil foraminifera planktik dan bentik baik dari preparasi
batuan berupa ayakan maupun petrografi. Identifikasi fosil dilakukan dengan
membandingkan fosil-fosil yang telah teridentifikasi Cushman (1959), Blow (1969), Bolli
& Saunders (1985), Postuma (1971) dan Boudagher-Fadel (2008).

IV. DATA DAN ANALISIS


Litologi daerah penelitian dibagi atas 5 fasies batuan yaitu fasies grainstone-
rudstone, grainstone – packstone, packstone-wackestone, packstone dan wackestone.
Kelima fasies tersebut membentuk 5 asosiasi fasies yang juga menjadi paket
pengendapan. Awal paket pengendapan/ asosiasi fasies ditandai adanya struktur

230
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B032POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

sedimen channel/ scouring. Adapun kelima asosiasi fasies tersebut mempunyai


karakteristik seperti berikut:
1. Perulangan gradasi mengkasar grainstone-rudstone dengan sisipan grainstone-packstone
Asosiasi fasies pertama tersusun atas perulangan gradasi mengkasar grainstone-
rudstone dengan sisipan grainstone-packstone. Susunan batuan ini mempunyai tebal
lapisan 10-50 cm dan menyusun bagian dasar kolom litologi daerah ini hingga
ketebalan 3 m (Gambar 3). Grainstone-rudstone mempunyai tekstur grainsupported,
ukuran butir 2-4 mm, semen kalsit, dengan komposisi penyusun didominasi oleh
cangkang foraminifera bentik bioherm maupun bioklast berupa Amphistegina sp. dan
Cycloclypeus sp. Beberapa pecahan cangkang moluska dan foraminifera planktik
berupa globigerinid dan globorotalia dijumpai pada batuan ini. Grainstone-packstone
mempunyai tekstur grainsupported, ukuran butir 0,5-2 mm, di beberapa tempat masih
dijumpai mud, semen kalsit, cangkang foraminifera bentik seperti Amphistegina sp.
dan Cycloclypeus sp. masih dominan, namun foraminifera planktik prosentasenya
bertambah. Beberapa cangkang moluska dijumpai juga pada batuan ini.
Kandungan foraminifera planktik kecil dari conto ayakan P02 berupa Orbulina
universa, Globoquadrina altispira, Globigerinoides trilobus, Globigerinoides immaturus,
Globigerinoides sacculiferus, Globigerinoides obliqus, Globorotalia plesiotumida, Globorotalia
pseudomiocenica dan Sphaeroidinellopsis seminulina seminulina. Kumpulan foraminifera
planktik tersebut mengindikasikan umur N17-N18 (Miosen Atas). Kandungan
foraminifera bentik kecil dari conto P02 adalah Amphistegina lessonii, Ammonia
beccarii, Eponides antillarum, Elphidium advenum, Gavelinopsis turbinata, Anomalinoides
coliigerus, Gyroidina neosoldanii, Cassidulina subglobosa, Lagena sulcata, Nodosaria sp. dan
Bolivina striatula.Kumpulan foram bentik tersebut menunjukkan paleobathimetri
neritik dalam (dangkal).
2. Perulangan gradasi menghalus ke atas grainstone – packstone-wackestone
Asosiasi fasies kedua tersusun atas perulangan gradasi menghalus ke atas
grainstone – packstone-wackestone. Asosiasi fasies ini dipisahkan dengan satuan
pertama karena adanya struktur sedimen channel yang memotong lapisan batuan
yang menyusun satuan pertama. Tebal lapisan batuan pada satuan ini 10-70 cm
dengan ke arah atas lapisan semakin menipis. Tebal keseluruhan satuan ini 2,5m
(Gambar 3). Grainstone mempunyai tekstur grainsupported, ukuran butir 0,5-2 mm,
semen kalsit, dengan komposisi penyusun didominasi oleh cangkang foraminifera
bentik bioherm maupun bioklast berupa Amphistegina sp. dan Cycloclypeus sp.
Beberapa pecahan cangkang moluska dan foraminifera planktik berupa globigerinid
dan globorotalia dijumpai pada batuan ini. Packstone-wackstone mempunyai tekstur
grainsupported-mudsupported, ukuran butir 0,5-2 mm, di beberapa tempat masih
dijumpai mud, semen kalsit, foraminifera planktik dominan, sedangkan cangkang
foraminifera bentik jarang dijumpai; begitu pula dengan cangkang moluska.
Kandungan foraminifera planktik kecil dari conto ayakan P06 adalah Orbulina
universa, Globoquadrina altispira, Globigerinoides trilobus, Globigerinoides immaturus,
Globigerinoides sacculiferus, Globigerinoides obliqus, Orbulina bilobata, Globorotalia

231
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B032POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

plesiotumida, Globorotalia pseudomiocenica, Globorotalia menardii, Globorotalia humerosa


humerosa, Globorotalia pseudoopima, Hastigerina aequilateralis, Globigerina nepenthes dan
Sphaeroidinella subdehiscens. Kumpulan foraminifera planktik tersebut masih
mengindikasikan umur N17-N18 (Miosen Atas). Sementara kandungan foraminifera
bentik kecilnya berupa Amphistegina lessonii, Robulus sp., Gavelinopsis turbinata,
Siphonina pulchra, Cassidulina subglobosa, Planulina foveolata, Anomalinoides coliigerus,
dan Melonis pomoilioids. Kumpulan foram bentik tersebut menunjukkan
paleobathimetri neritik tengah.
3. Perselingan grainstone-rudstone – packstone
Seperti halnya batas antara asosiasi fasies pertama dengan kedua, batas asosiasi
fasies ini dengan asosiasi fasies sebelumnya ditandai dengan struktur sedimen
channel. Tebal satuan 1,5 m dengan masing-masing lapisan mempunyai tebal 10 cm
(Gambar 3). Grainstone-rudstone mempunyai tekstur grainsupported, ukuran butir 2-4
mm, semen kalsit, dengan komposisi penyusun didominasi oleh cangkang
foraminifera bentik bioherm maupun bioklast berupa Cycloclypeus sp. dan
Amphistegina sp. Beberapa pecahan cangkang moluska dijumpai pada batuan ini.
Cangkang foraminifera besar menunjukkan adanya penjajaran. Test foraminifera
planktik tidak dijumpai. Packstone mempunyai tekstur grainsupported, ukuran butir
0,5-2 mm, di beberapa tempat masih dijumpai mud, semen kalsit, foraminifera
planktik dominan, sedangkan cangkang foraminifera bentik jarang dijumpai, begitu
pula dengan cangkang moluska.
Kandungan foraminifera kecil dari conto ayakan P07 berupa Orbulina universa,
Globoquadrina altispira, Globigerinoides trilobus, Globigerinoides immaturus,
Globigerinoides sacculiferus, Globigerinoides obliqus, Globigerina nepenthes, Globorotalia
plesiotumida, Globorotalia pseudomiocenica dan Sphaeroidinella subdescens. Kumpulan
foraminifera planktik tersebut mengindikasikan umur N17-N18 (Miosen Atas).
Sementara kandungan foraminifera bentik kecilnya berupa Amphistegina lessonii,
Robulus sp., Eponides antilarum, Siphonina pulchra, Cassidulina subglobosa, Planulina
foveolata, Anomalinoides coliigerus, Eponides margaritiferus, Gavelinopsis turbinata,
Nodosaria sp., Uvigerina flintii, Bolivina striatula dan Melonis pomoilioids. Kumpulan
foram bentik tersebut menunjukkan paleobathimetri neritik tengah.
4. Perselingan wackestone – packestone
Asosiasi fasies ini diawali dengan pengendapan satu lapis grainstone di atas
struktur sedimen channel namun kemudian berkembang menjadi perselingan
wackestone – packestone. Tebal satuan 4 m dengan tebal masing-masing lapisan 10 – 30
cm (Gambar 3). Wackestone mempunyai tekstur mudsupported, ukuran butir 0,5-2 mm,
mud dominan, sebagian kecil terubah menjadi sparit, butiran 10 – 15 % terdiri atas
cangkang foraminifera planktik, beberapa cangkang foraminifera bentik dan
cangkang moluska. Packstone mempunyai tekstur grainsupported, ukuran butir 0,5-2
mm, di beberapa tempat masih dijumpai mud, semen kalsit, foraminifera planktik
dominan, sedangkan cangkang foraminifera bentik jarang dijumpai, begitu pula
dengan cangkang moluska.

232
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B032POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Dua conto batuan dipreparasi pada asosiasi fasies ini yaitu conto P09 dan P10.
Kandungan foraminifera kecil dari conto ayakan P09 berupa Orbulina universa,
Globoquadrina altispira, Globigerinoides trilobus, Globigerinoides immaturus,
Globigerinoides sacculiferus, Globigerinoides obliqus, Globigerinoides extremus, Globigerina
nepenthes, Globigerina venezuelana, Orbulina bilobata, Hastigerina aequilateralis,
Globorotalia plesiotumida, Globorotalia pseudomiocenica dan Sphaeroidinella subdehiscens.
Kumpulan foraminifera planktik tersebut mengindikasikan umur N17-N18 (Miosen
Atas). Sementara kandungan foraminifera bentik kecilnya berupa Amphistegina
lessonii, Cibicides sp. aff. C. floridanus, Robulus sp., Siphonina pulchra, Cassidulina
subglobosa, Brizalina acuminata, Elphidium advenum, Nodosaria sp., Anomalinoides
coliigerus, Bolivina striatula, dan Pleurostomella sp. Kumpulan foram bentik tersebut
menunjukkan paleobathimetri neritik tengah.
Kandungan foraminifera kecil dari conto ayakan P10 berupa Orbulina universa,
Globoquadrina altispira, Globigerinoides trilobus, Globigerinoides immaturus,
Globigerinoides sacculiferus, Globigerinoides obliqus, Globigerinoides extremus, Globorotalia
multicamerata, Globorotalia pseudomiocenica, Globorotalia pseudoopima, Globigerina
venezuelana, Globigerina praebulloides, Hastigerina aequilateralis dan Sphaeroidinella
subdehiscens. Kumpulan foraminifera planktik tersebut mengindikasikan umur N17-
N18 (Miosen Atas). Sementara kandungan foraminifera bentik kecilnya berupa
Amphistegina lessonii, Cibicides sp. aff. C. floridanus, Robulus sp., Pyrgo murhina,
Cassidulina subglobosa, Bolivina striatula, Nodosaria sp., dan Melonis pompilioids.
Kumpulan foram bentik tersebut menunjukkan paleobatimetri neritik tengah.
5. Perselingan packestone – wackestone
Asosiasi fasies terakhir mempunyai tebal 4 m dan mempunyai perbedaan dengan
asosiasi fasies sebelumnya dari dominasi batuannya (Gambar 3). Selain itu
perubahan kandungan material non karbonat berukuran mud dapat teramati.
Kandungan mud non karbonat secara lateral semakin bertambah ke arah barat dalam
satu lapis batuan yang sama. Awal asosiasi fasies diendapkan grainstone namun
kemudian menjadi perselingan packstone – wackestone. Awalnya packstone terbentuk
cukup dominan di bagian bawah, namun semakin ke atas tebal packstone dan
wackestone semakin berimbang. Packstone mempunyai tekstur grainsupported, ukuran
butir 0,5-2 mm, di beberapa tempat masih dijumpai mud, semen kalsit, foraminifera
planktik dominan, sedangkan cangkang foraminifera bentik jarang dijumpai, begitu
pula dengan cangkang moluska. Wackestone mempunyai tekstur mudsupported,
ukuran butir 0,5-2 mm, mud dominan, sebagian kecil terubah menjadi sparit, butiran
10 – 15 % terdiri atas cangkang foraminifera planktik yang dominan dan beberapa
cangkang moluska terutama pelecypoda.
Seperti asosiasi fasies sebelumnya 2 conto batuan dipreparasi pada asosiasi fasies
ini yaitu conto P11 dan P14. Kandungan foraminifera kecil dari conto ayakan P11
berupa Orbulina universa, Globoquadrina altispira, Globigerinoides trilobus,
Globigerinoides immaturus, Globigerinoides sacculiferus, Globigerinoides obliqus,
Globigerinoides extremus, Globorotalia plesiotumida, Globorotalia pseudomiocenica,
Globorotalia menardii, Globorotalia miocenica, Globorotalia humerosa humerosa, Globorotalia

233
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B032POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

pseudoopima, Sphaeroidinella subdehiscens, Hastigerina aequilateralis dan Globigerina


venezuelana. Kumpulan foraminifera planktik tersebut mengindikasikan umur N17-
N18 (Miosen Atas). Sementara kandungan foraminifera bentik kecilnya berupa
Amphistegina lessonii, Cibicides sp. aff. C. floridanus, Robulus sp., Siphonina pulchra,
Cassidulina subglobosa, Uvigerina flintii, Dentalina sp., Nodosaria sp., Anomalinoides
coliigerus, Bolivina striatula, Cibicides sp. dan Melonis pompilioids. Kumpulan foram
bentik tersebut menunjukkan paleobathimetri neritik tengah.
Kandungan foraminifera kecil dari conto ayakan P14 berupa Orbulina universa,
Globoquadrina altispira, Globigerinoides trilobus, Globigerinoides immaturus,
Globigerinoides sacculiferus, Globigerinoides obliqus, Globigerinoides extremus, Globorotalia
plesiotumida, Globorotalia pseudomiocenica, Globorotalia menardii, Hastigerina
aequilateralis, Globorotalia humerosa humerosa, Globorotalia pseudoopima, Sphaeroidinella
subdehiscens dan Globorotalia multicamerata. Kumpulan foraminifera planktik tersebut
mengindikasikan umur N17-N18 (Miosen Atas). Sementara kandungan foraminifera
bentik kecilnya berupa Amphistegina lessonii, Cibicides sp. aff. C. floridanus, Gavelinopsis
turbinata, Bulimina striata mexicana, Cassidulina subglobosa, Siphonina pulchra, Elphidium
advenum, Anomalinoides coliigerus, Robulus sp., Nodosaria sp., Bolivina striatula dan
Melonis pompilioids. Kumpulan foram bentik tersebut menunjukkan paleobathimetri
neritik tengah.

V. DISKUSI
Perubahan asosiasi fasies perulangan gradasi mengkasar grainstone-rudstone
dengan sisipan grainstone-packstone (asosiasi fasies tertua) hingga perselingan
packestone – wackestone sebagai asosiasi fasies termuda menunjukkan perubahan
lingkungan dan mekanisme pengendapan pada daerah penelitian. Kumpulan fosil
foraminifera planktik menunjukkan umur pengendapan batuan di daerah penelitian
pada N17-N18 (Miosen Atas).
Asosiasi fasies yang terbentuk menunjukkan lingkungan laut dangkal terbuka di
muka suatu reef (fore reef). Hal ini diinterpretasikan dari kumpulan fosil foraminifera.
Amphistegina sp. dan Cycloclypeus sp. hidup pada daerah fore reef , begitupula
kumpulan fosil bentik lainnya yang terdapat pada asosiasi fasies ini. Kehadiran fosil-fosil
foraminifera planktik yang cukup melimpah makin memperkuat interpretasi
lingkungannya berada di laut terbuka. Struktur channel, lapisan batuan yang menipis ke
tepi dan asosiasi fasies yang memotong asosiasi fasies sebelumnya menunjukkan
sublingkungan channel pada kipas laut yang saling berpotongan (Gambar 4). Awalnya
paleobathimetri daerah penelitian berada di neritik dalam (dangkal) namun kemudian
mendalam menjadi neritik tengah. Energi pengendapan awalnya besar dan didominasi
oleh mekanisme pengendapan fluid flow sehingga mampu mengendapakan asosiasi
fasies pertama yang berbutir kasar dan bertekstur grainsupported. Energi pengendapan
semakin berkurang ke arah atas dan mekanisme pengendapan menjadi suspensi sehingga
asosiasi fasies yang terbentuk mempunyai batuan yang berbutir lebih halus dan
mudsupported. Perubahan energi pengendapan ini dapat disebabkan oleh

234
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B032POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

paleobathimetri yang semakin mendalam atau karena lingkungan pengendapannya


semakin menjauh dari channel menuju ke basin plain.

DAFTAR PUSTAKA
Blow, W.H., 1969, Late Middle Eocene to Recent Planktonic Foraminiferal Biostratigraphy,
Bronnimann, P. and Renz, H.H. eds., Proceedings of The First International Conference on
Planktonic Microfossil, Geneva 1967, Leiden, E.J. Brill. Vol. I.
Bolli H.M. and Saunders J.B. , 1985, Planktonic Stratigraphy , Cambridge University Press,
Cambridge, 599p.
Bothe, A.Gh. D., 1929, The Geology of The Hilles Near Djiwo and the Sothern Range, 4th Pasific Science
Congress, Bandung.
Cushman, J. A., 1959, Foraminifera, Their Classification and Economic Use, Harvard University Press,
Cambridge, Massachusetts, 605 p.
Dunham, R.J., 1962, Classification Of Carbonate Rock According To Depositional Textures in
Classification Of Carbonates: AAPG Memoir No. 1., p. 60-80.
Embry, A.F. and Klovan, J.E, 1971, A Late Devonian Reef Tract On Northeastern Banks Island.
N.W.T.; Bull. Canadian Petrol. No. 19, p. 740-750.
Boudagher-Fadel,M.K., 2008, Evolution and Geological Significance of Larger Benthic Foraminifera, first
ed.,Elsevier, Amsterdam, 560 p.
Fadhilestari, I., 2011, Rekonstruksi Lingkungan Pengendapan dan Penentuan Umur Berdasarkan
Foraminifera Besar Pada Formasi Wonosari, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul,
Daerah Istimewa Yogyakarta, Skripsi, Jurusan Teknik Geologi FT UGM, 148h.
Hehuwat, F. dan Siregar, M.S., 2004, Geological Field Course : Nanggulan - Bayat Eocene And
Southern Mountains Miocene Carbonate Sedimentation Models From The Yogyakarta
Area; Possible Analogues For The Tertiary Of The North East Java Basin, Research
Centre for Geotechnology Indonesian Institutes of Sciences, Yogyakarta, 30 p.
Husein, S., Titisari, A.D., Freski, Y.R., dan Utama, P.P, 2016, Buku Panduan Ekskursi Geologi Regional
2016: Jawa Timur Bagian Barat, Indonesia, Departemen Teknik Geologi FT UGM,
Yogyakarta, 66 h.
Postuma, J.A., 1971, Manual of Planktonic Foraminifera, Elsevier Publishing Company, Netherlands.
Smyth, H., 2005, Eocene to Miocene Basin History and Volcanic Activity in East Java, Indonesia, PhD.
Thesis, University of London, 470p.
Surono, Sudarno, I., & Toha, B., 1992, Peta Geologi lembar Surakarta – Giritontro, Jawa, Skala 1:
100.000, Direktorat P3G, Bandung.
Surono, 2008, Sedimentasi Formasi Semilir di Desa Sendang, Wuryantoro, Wonogiri, Jawa Tengah,
Publikasi Khusus Geologi Pegunungan Selatan Bagian Timur 2012, Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral, Badan Geologi, Pusat Survei Geologi, Bandung, p. 39 – 51.
Toha, B. dan Staff Jurusan Teknik Geologi FT UGM, 1994, Geologi Daerah Pegunungan Selatan :
Suatu Konstribusi, Proceedings Geologi dan Geotektonik P. Jawa, Sejak Akhir Mesozoik Hingga
Kuarter, Jurusan Teknik Geologi FT UGM, Yogyakarta, h 19 – 30.

235
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B032POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Van Bemmelen, R.W., 1949, The Geology Of Indonesia, vol. IA, Martinus Nijhoff, The Hague,
Netherland.

Gambar 1. Lokasi Penelitian

236
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B032POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Tektonostratigrafi Jawa Timur (Husein, dkk., 2016)

237
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B032POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Gambar 3. Asosiasi Fasies Daerah Penelitian

238
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B032POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. (A-B) Dinamika Perubahan Lingkungan Pengendapan Daerah Penelitian

239
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B034UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

STUDI PALEOGEOGRAFI PADA FORMASI TALANG AKAR, BLOK X,


CEKUNGAN JAWA BARAT UTARA
Jarot Setyowiyoto 1*, Marcelinus Febbi Arismara 2, Alvian Bonar Saputra 3
1 Departemen Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada
*Corresponding Author: jsetyowiyoto@gmail.com

ABSTRAK Daerah penelitian termasuk ke dalam Blok X, Cekungan Jawa Barat Utara.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan litofasies dan stratigrafi sikuen pada
Formasi Talang Akar dan untuk menentukan kondisi paleogeografi dari daerah
penelitian menggunakan metode ABC. Metode ABC merupakan metode penentuan
paleogeografi menggunakan data seismik berdasarkan atas 3 komponen, yaitu A (batas
atas seismik), B (batas bawah seismik), dan C (pola internal refleksi). Data yang
digunakan dalam penelitian adalah data wireline log, mud log, conventional core, sidewall
core, dan seismik 2D. Data wireline log, mudlog, conventional core, dan sidewall core
digunakan dalam analisis litofasies dan stratigrafi sikuen daerah penelitian, sedangkan
data seismik 2D digunakan dalam analisis kondisi paleogeografi daerah penelitian.
Berdasarkan analisis data, didapatkan sebanyak 16 litofasies dan 4 fasies pengendapan
yang berkembang pada daerah penelitian dan dihasilkan peta paleogeografi daerah
penelitian pada tiap sequence boundary yang merepresentasikan sikuen pengendapan
dibawahnya. Formasi Talang Akar pada daerah penelitian terdiri atas fasies tidal platform,
lagoon – mud mounds, sand shoal – foreslope, dan toe of slope – open shelf. Fasies – fasies
tersebut menunjukkan bahwa Formasi Talang Akar terendapkan pada lingkungan laut
dangkal (shoal – rimmed platform).

Kata kunci: kondisi paleogeografi, Metode ABC, Stratigrafi Sikuen, Cekungan Jawa Barat
Utara, Formasi Talang Akar

I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara dengan salah satu pendapatannya berasal dari
sektor migas. Permintaan pasar yang besar memicu kegiatan eksplorasi dan eksploitasi
dilakukan secara terus menerus sehingga diperlukan kajian yang dapat membantu
optimalisasi kegiatan tersebut. Salah satu kajian yang dewasa ini dilakukan adalah kajian
mengenai paleogeografi dan stratigrafi sikuen yang dinilai dapat memberikan gambaran
mengenai persebaran fasies baik secara lateral maupun vertikal yang berimplikasi pada
arah eksplorasi.

240
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B034UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Daerah penelitian termasuk ke dalam Cekungan Jawa Barat Utara yang


merupakan salah satu cekungan tersier di Indonesia yang memiliki panjang 250 km dan
lebar 70 km dan difokuskan pada Blok X yang secara geografis terletak pada bagian utara
dari kota Cirebon (Gambar 1). Pada cekungan ini, lapisan utama yang berproduktif
hampir terdapat pada seluruh formasi mulai dari batuan vulkaniklastik pada Formasi
Jatibarang hingga batugamping pada Formasi Parigi. Tujuan dari penelitian, antara lain
menentukan litofasies dan lingkungan pengendapan dari daerah peneltiian dan
mendapatkan paleogeografi daerah penelitian saat pengendapan menggunakan metode
ABC. Metode ABC merupakan metode penentu paleogeografi menggunakan data
seismik yang pertama kali dipopulerkan oleh Ramsayer (1979) berdasarkan atas 3
komponen, yaitu A (batas atas seismik), B (batas bawah seismik), dan C (pola internal
refleksi).

Usaha dalam penentuan paleogeografi ini tentunya diawali dengan analisis


stratigrafi sikuen yang dapat memberikan gambaran mengenai persebaran fasies
berdasarkan kerangka waktu yang sama. Pemahaman stratigrafi sikuen yang dapat
menggunakan kronostratigrafi, biostratigrafi, maupun tektonostratigrafi tanpa
mengkesampingkan litologi yang ada diharapkan mampu menjelaskan kejadian,
pelamparan, dan geometri dari fasies pengendapan.

II. GEOLOGI REGIONAL


Secara geografis, Cekungan Jawa Barat Utara berada di Laut Jawa yang
memanjang dari bagian utara Jawa Barat hingga bagian utara Jawa Tengah. Pada bagian
selatan dibatasi oleh Paparan Sunda, di bagian Barat Laut dibatasi oleh Zona
Pengangkatan Karimun Jawa, dan di bagian Timur dibatasi oleh Paparan Pulau Seribu.

1. Tatanan Tektonik dan Struktur Geologi Regional


Cekungan Jawa Barat bagian Utara secara regional termasuk ke dalam sistem
busur belakang belakang (back – arc basin). Aktivitas tektonik menghasilkan sesar turun
dengan tren N-S hingga bagian utara dari cekungan yang mempengaruhi sedimentasi
pada Cekungan Jawa Barat Utara dan sesar naik pada bagian selatan dengan tren E-W.
Selain itu, Cekungan Jawa Barat yang dipengaruhi oleh sistem blok faulting berarah N-S
membagi Cekungan ini menjadi beberapa sub cekungan.

Menurut Gresko, dkk. (1995) perkembangan sedimentasi dan tektonik pada


Cekungan Jawa Barat Utara memiliki keterkaitan dengan 5 aktivitas tektonik besar pada
Indonesia bagian barat yang berlangsung pada akhir Cretaceous hingga Akhir Miosen,
yaitu:

241
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B034UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

- Akhir Cretaceous – Awal Eosen (100 – 56 Ma)

Metamorfisme regional yang dihasilkan oleh subduksi dan perkembangan Busur


Meratus. Deformasi, pengangkatan, erosi, dan pendinginan yang berlangsung pada
Paleocene

- Eosen (50 – 40 Ma)

Lempeng India mengalami kolisi dengan Lempeng Eurasia yang berdampak pada
pemekaran Kraton Sunda bagian selatan (phase I syn-rift)

- Oligosen (34 – 30 Ma)

Pemekaran (rifting) pada Laut Cina Selatan dan akresi pada bagian utara
Kalimantan. Lempeng Australia mengalami kolisi dengan beberapa busur kompleks
(phase II syn-rift)

-Pertengahan Miosen (17 – 10 Ma)

Berakhirnya pemekaran Laut Cina Selatan yang dilanjutkan dengan kolisi antara
bagian benua Gondwana (utara Australia / Irian Jaya) dengan batas timur Kraton Sunda

- Akhir Miosen (7 – 5 Ma)

Batas barat laut Australia mengalami kolisi dengan Palung Sunda

Peristiwa tektonik yang mempengaruhi perkembangan sedimentasi Cekungan


Jawa Barat Utara dapat terbagi menjadi tiga fase tektonik, yaitu: fase rifting, fase sagging,
dan fase inversion. Fase rifting sendiri oleh Gresko, dkk. (1995) dapat dibagi lagi menjadi
dua fase, yaitu: phase I syn-rift dan phase II syn-rift yang kemudian diakhiri dengan fase
post rift sag yang mengawali fase sagging dan dilanjutkan dengan fase inversion.

2. Stratigrafi Regional

Menurut Gresko, dkk. (1995) stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara tersusun atas
7 Formasi yang urutannya dari tua ke muda, yaitu: Batuan dasar (basement), Formasi
Jatibarang, Formasi Talang Akar, Formasi Baturaja, Formasi Cibulakan Atas, Formasi
Parigi, dan Formasi Cisubuh (Gambar 2). Penelitian pada Cekungan Jawa Barat Utara ini
difokuskan pada Formasi Talang Akar yang berdasarkan karakteristik litologinya dapat
terbagi menjadi 2, yaitu: Talang Akar bagian bawah dan Talang Akar bagian atas. Talang
Akar bagian bawah tersusun atas sedimen non – marine coarse grained, massive, pebbly
conglomerate, medium – coarse grained litharenite sandstone dengan porositas medium – poor
dan kandungan fosil yang jarang hingga fine lacustrine mudstone dengan kehadiran
mineral aksesoris berupa pyrite, glauconite, fosil fragmen, dan kehadiran batubara yang
minor. Sedangkan Talang Akar bagian atas tersusun atas medium – fine grained sandstone

242
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B034UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

(carbonaceous – calcareous, rare planktonic, small benthic foram, larger benthic), mudstone,
marine shale (poorly consolidated, carbonaceous, glauconitic), limestone (dolomitic) pada bagian
atas yang terbentuk pada lingkungan transgresif, hingga batubara (Gresko, dkk., 1995).
Talang Akar bagian atas terendapkan pada lingkungan laut dangkal (transitional – inner
neritic environment) dengan umur N4- N7 (Arpandi dan Patmosukismo, 1975).

III. METODE PENELITIAN


Metode penelitian dalam penelitian ini terbagi menjadi 4 tahapan, yaitu:

1. Tahapan Persiapan dan Studi Pustaka

Pada tahapan ini dilakukan pengumpulan dan pengkajian studi pustaka yang
terkait dengan tema penelitian. Sumber pustaka yang dikaji bersumber dari penelitian –
penelitian terdahulu, berupa buku, jurnal ilmiah, dan artikel ilmiah.

2. Tahapan Pengumpulan Data

Pada tahapan ini dilakukan pengumpulan data. Data yang digunakan berupa
data sekunder yang terdiri atas: data wireline log yang berasal dari 6 sumur dengan
persebaran yang merata pada daerah penelitian (Gambar 1), data seismik 2D berjumlah
22 line seismik, data batuan inti (conventional core & sidewall core), dan data mud log dengan
kesediaan data mengacu pada Tabel 1.

3. Tahapan Pengolahan dan Analisis Data

Pada tahapan ini dilakukan pengolahan data dengan menggunakan software Petrel
2015 dan Adobe Photoshop CC 2017. Mula – mula dilakukan penentuan batas tiap
formasi (top and bottom formation) yang didasarkan pada data pada well report ataupun
completion log. Penentuan litologi dilakukan secara kualitatif dan dilakukan validasi
terhadap interpretasi litologi menggunakan data sidewall core, conventional core, dan data
mud log. Setelah itu, analisis litofasies dan lingkungan pengendapan dan dilanjutkan
dengan analisis elektrofasies untuk penentuan batas stratigrafi sikuen dan picking horizon
pada bidang seismik menggunakan batas stratigrafi sikuen dari analisis sebelumnya.

4. Tahapan Interpretasi dan Sintesis Data

Pada tahapn ini dilakukan interpretasi lingkungan pengendapan yang didasarkan


pada model lingkungan pengendapan laut dangkal shoal – rimmed platform (Einsele, 1992),
korelasi kronostratigrafi sehingga didapatkan persebaran fasies secara lateral dan
vertikal, dan analisis paleogeografi daerah penelitian menggunakan metode ABC.
Metode ABC (Ramsayer, 1979) merupakan metode penentuan paleogeografi
menggunakan data seismik yang didasarkan pada 3 komponen, yaitu A (batas atas

243
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B034UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

seismik), B (batas bawah seismik), dan C (pola refleksi internal) yang didapatkan dari
analisis karakteristik seismik pada bidang seismik. Output yang dihasilkan dari metode
ABC ada 3, yaitu: Peta Kode ABC yang merupakan integrasi dari peta daerah penelitian
dengan seluruh kode ABC yang teridentifikasi pada daerah penelitian, Peta Sintesis ABC
yang merupakan peta hasil pengelompokan kode ABC yang sama sehingga membentuk
batas antar kode ABC yang berbeda, dan Peta Paleogeogafi yang pembuatannya
didasarkan pada batas antar kode ABC pada peta Sintesis ABC dan dijadikan sebagai
batas antar lingkungan pengendapan dengan kontrol dari data sumur.

IV. ANALISIS STRATIGRAFI SIKUEN DAERAH PENELITIAN


1. Lingkungan Pengendapan Daerah Penelitian

Langkah awal dalam analisis lingkungan pengendapan daerah penelitian adalah


dilakukan penentuan litologi yang dilakukan secara kualitatif berdasarkan defleksi pada
pola log batuan. Kemudian, dilakukan validasi terhadap interpretasi litologi awal
menggunakan data mud log, sidewall core, dan conventional core sehingga didapatkan
interpretasi litologi yang sesuai kondisi sebenarnya.

Langkah selanjutnya adalah penentuan litofasies dan elektrofasies. Penentuan


litofasies diawali dengan pembuatan tabel integrasi data mud log, sidewall core, dan
conventional core untuk mempermudah dalam penentuan litofasies. Berdasarkan hasil
analisis data, didapatkan sebanyak 16 litofasies yang berkembang pada daerah penelitian
(Tabel 2). Penentuan elektrofasies dilakukan dengan memperhatikan pola log gamma ray
pada masing – masing sumur yang mengindikasikan lingkungan pengendapan tertentu.

Langkah akhir dilakukan analisis fasies pengendapan yang mencirikan suatu


lingkungan pengendapan tertentu. Penentuan fasies pengendapan didasarkan pada
model lingkungan pengendapan laut dangkal shoal – rimmed platform (Einsele, 1992).
Berdasarkan hasil analisis, didapatkan sebanyak 4 fasies pengendapan pada daerah
penelitian (Tabel 3).

2. Stratigrafi Sikuen Daerah Penelitian

Analisis stratigrafi sikuen dilakukan untuk mengetahui perubahan dinamika


sedimentasi yang berpengaruh pada perubahan lingkungan pengendapan pada daerah
penelitian. Berdasarkan analisis yang dilakukan, daerah penelitian yang difokuskan pada
Formasi Talang Akar terbentuk selama dua kali sikuen pengendapan (Gambar 3 – 5).

3. Korelasi Penampang Stratigrafi

Korelasi yang dilakukan adalah korelasi kronostratigrafi yang diharapkan mampu


memberikan gambaran mengenai perubahan fasies baik secara lateral maupun vertikal

244
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B034UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

berdasarkan kerangka waktu yang sama. Korelasi dilakukan dengan datum pada
maximum flooding surface 2. Korelasi kronostratigrafi yang dilakukan mencakup 4 lintasan,
yaitu:

- Lintasan A - A’, mencakup sumur X-1, X-2, dan X-6 yang berarah barat laut –
tenggara (Gambar 6).
- Lintasan B - B’, mencakup sumur X-3, X-4, dan X-5 yang berarah barat laut –
tenggara (Gambar 7).
- Lintasan C - C’, mencakup sumur X-3 dan X-2 yang berarah timur laut – barat daya
(Gambar 8).
- Lintasan D-D’, mencakup sumur X-4, X-5, dan X-6 yang berarah timur laut – barat
daya (Gambar 9)

V. ANALISIS SEISMIK DAN PALEOGEOGRAFI DAERAH PENELITIAN


Data seismik yang digunakan dalam analisis data sebanyak 22 line seismik dengan
tahapan: well seismic tie, picking horizon SB-1 hingga SB-3 yang berperan sebagai marker
pada bidang seismik, penentuan karakteristik seismik tiap sikuen pengendapan, dan
pembuatan peta paleogeografi dengan menggunakan metode ABC. Tujuan dilakukannya
analisis seismik ini adalah untuk mengetahui perubahan pola refleksi seismik tiap sikuen
pengendapan secara lateral dan pengaruhnya terhadap perubahan lingkungan
pengendapan.

1. Analisis Data Seismik


Pada tahapan ini dilakukan penentuan karakteristik seismik tiap sikuen
pengendapan untuk mengetahui perubahannya secara lateral dan pengaruhnya terhadap
perubahan lingkungan pengendapan. Tahapn ini diawali oleh proses well seismic tie.
Formasi Talang Akar didominasi oleh pola refleksi internal berupa parallel – sigmoid.
Berdasarkan analisis seismik yang dilakukan, didapatkan karakteristik seismik tiap
sikuen sebagai berikut:

a. Sikuen pengendapan 1
Konfigurasi refleksi internal seismik yang mendominasi berupa parallel. Bagian
utara dan selatan didominasi oleh pola refleksi internal parallel, sedangkan pada daerah
tengah didominasi oleh pola refleksi internal sigmoid yang mengindikasikan daerah shelf
margin, hal tersebut didukung oleh perubahan litofasies penciri fasies pengendapan pada
bagian utara daerah penelitian yang didominasi oleh litologi mud – dominated yang
berangsur berubah ke arah selatan menjadi prograding sand dan menjadi mud – dominated
kembali. Sikuen 1 memiliki batas atas berupa concordant – toplap (khususnya pada daerah

245
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B034UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

shelf margin), sedangkan batas bawah berupa concordant, onlap, dan downlap (khususnya
pada daerah shelf margin) (Gambar 10).

b. Sikuen pengendapan 2
Konfigurasi refleksi internal seismik yang mendominasi sama seperti sikuen
pengendapan 1, yaitu berupa parallel. Bagian utara dan selatan didominasi oleh pola
refleksi internal parallel, sedangkan pada daerah tengah didominasi oleh pola refleksi
internal sigmoid yang mengindikasikan daerah shelf margin, hal tersebut didukung dengan
perubahan litofasies penciri fasies pengendapan. Sikuen 2 memiliki batas atas berupa
concordant – toplap (khususnya pada daerah shelf margin), sedangkan batas bawah berupa
concordant, onlap, dan downlap (khususnya pada daerah shelf margin) (Gambar 11).

2. Paleogeografi Daerah Penelitian


Studi paleogeografi pada daerah peneltian dilakukan menggunakan metode ABC
(Ramsayer, 1979). Output yang dihasilkan berupa, Peta Kode ABC, Peta Sintesis ABC,
dan Peta Paleogeografi yang dilakukan dengan time cut pada tiap sequence boundary yang
teridentifikasi. Berdasarkan hasil analisis, berikut merupakan penjelasan paleogeografi
pada tiap sequence boundary:

a. Sequence Boundary 2
Penentuan paleogeografi pada sequence boundary 2 ditentukan berdasarkan
karakteristik seismik dari pola sikuen di bawahnya (sikuen pengendapan 1). Berdasarkan
peta paleogeografi yang dihasilkan, terdapat 3 jenis fasies pengendapan yang
teridentifikasi, yaitu: lagoon – mud mounds, sand shoal – forelope, dan toe of slope – open shelf.
Berdasarkan fasies pengendapan yang teridentifikasi dan bentukan morfologi yang
teramati pada bidang seismik 2D, lingkungan pengendapan yang terbentuk pada saat SB-
2 termasuk ke dalam lingkungan pengendapan shoal – rimmed platform (Einsele, 1992)
(Gambar 12).

b. Sequence Boundary 3
Penentuan paleogeografi pada sequence boundary 3 ditentukan berdasarkan
karakteristik seismik dari pola sikuen di bawahnya (sikuen pengendapan 2).
Paleogeografi yang terbentuk pada SB-3 tidak jauh berbeda dengan SB-2, terdapat 3 jenis
fasies pengendapan yang teridentifikasi, yaitu: lagoon – mud mounds, sand shoal – foreslope,
dan toe of slope – open shelf

Berdasarkan fasies pengendapan yang teridentifikasi dan bentukan morfologi


yang teramati pada bidang seismik 2D, lingkungan pengendapan yang terbentuk pada
saat SB-3 termasuk ke dalam lingkungan pengendapan shoal – rimmed platform (Einsele,
1992) (Gambar 13).

246
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B034UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Berdasarkan hasil analisis paleogeografi, di seluruh peta paleogeografi


menunjukkan orientasi pengendapan yang sama yaitu dari arah utara (N) ke selatan (S).
Hal ini juga didasarkan pada perubahan fasies secara lateral yang ditunjukkan oleh data
sumur yang semakin ke arah selatan semakin menunjukkan fasies laut. Selain itu pula,
ditunjukkan dengan morfologi yang dapat teramati pada bidang seismik dan
disimbolkan pada Peta Kode ABC dengan simbol arah panah yang menunjukkan batas
atas berupa toplap pada bagian utara dari shelf margin dan batas bawah berupa downlap
pada bagian selatan dari shelf margin. Interpretasi arah pengendapan sedimen penyusun
Formasi Talang Akar dan Formasi Baturaja daerah peneltian juga didukung oleh kajian
pada peneliti terdahulu (Clement & Hall, 2007) yang meneliti tentang analisis stratigrafi
regional dan evolusi tektonik hingga rekonstruksi paleogeografi di Cekungan Jawa Barat
Utara pada Zaman Kapur – Akhir Miosen, yang menghasilkan paleogeografi pada kala
Oligosen – Akhir Oligosen, yang merupakan waktu terendapkannya Formasi Talang
Akar bagian atas dengan lingkungan pengendapan berupa lingkungan darat – transisi
pada bagian utara dan semakin ke arah selatan berubah menjadi lingkungan
pengendapan laut lepas.

Sedimen pembentuk Formasi Talang Akar merupakan produk dari fase transgresi
pertama dalam siklus sedimentasi Neogen (Gresko, dkk., 1995). Hal tersebut dibuktikan
pada daerah penelitian dengan perubahan litologi dari sedimen silisiklastik yang
ditunjukkan pada sikuen pengendapan 1 menjadi mixed sillisiclastic – carbonate pada
sikuen pengendapan 2. Melalui hal tersebut dapat terlihat bahwa terjadi kenaikan muka
air laut yang signifikan sehingga memungkinkannya karbonat untuk berkembang. Selain
itu, kondisi air laut yang cenderung transgresif (slow transgression), menghasilkan produk
sedimen mengkasar ke atas/ progradasi, sehingga lingkungan pengendapan daerah
penelitian termasuk ke dalam progradation shelf, dibuktikan dengan penampang seismik
2D (Gambar 11) yang memperlihatkan perkembangan shelf margin ke arah laut.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari penelitian dapat ditarik beberapa kesimpulan untuk
menjawab tujuan dari penelitian, yaitu:

- Litofasies yang berkembang pada daerah penelitian ada 17, yaitu: fasies argillaceous
packstone, fasies dolomitic packstone – grainstone, fasies siliceous packstone – grainstone,
fasies chalky – fossiliferous mudstone – packstone, fasies argillaceous mudstone – wackestone,
fasies dolomitic mudstone – wackestone, fasies argillaceous sandstone, fasies argillaceous –
carbonaceous sandstone, fasies calcareous sandstone, fasies carbonaceous sandstone, fasies

247
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B034UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

carbonaceous shale, fasies calcareous shale, fasies argillaceous shale, fasies limestone, fasies
shale, fasies coal dengan 4 fasies pengendapan, yaitu: fasies lagoon – mud mounds, fasies
tidal platform, fasies sand shal – foreslope, dan fasies toe of slope – open shelf yang
mencirikan lingkungan pengendapan laut dangkal shoal rimmed platform (Einsele,
1992).
- Kondisi paleogeografi berupa lingkungan laut dangkal shoal rimmed platform (Einsele,
1992) yang termasuk ke dalam prograding shelf dan tersusun atas sedimen produk fase
transgresi (slow transgression). Hal tersebut dibuktikan dengan data regional (Gresko,
dkk., 1995), perubahan litologi dari sedimen sillisiclastic menjadi sedimen mixed
silisiclastic - carbonate, dan morfologi yang terlihat pada seismik 2D yang
menunjukkan perkembangan fasies pengendapan ke arah laut dengan arah
sedimentasi pada saat pengendapan berarah utara – selatan (N – S).
2. Saran
Berikut beberapa saran dari peneliti terkait penelitian lanjutan yang mungkin
dapat dilaksanakan dengan tema yang serupa:

- Dapat disertakan deskripsi struktur sedimen dan petrografi batuan karbonat sehingga
mampu mengidentifikasi penentuan SB lebih rinci khususnya pada batuan karbonat
dan dapat melakukan identifikasi lingkungan pengendapan daerah penelitian secara
lebih baik;
- Dapat disertakan studi evolusi struktur dari daerah penelitian sehingga dapat
menceritakan sejarah perkembangan basin sehingga membentuk bentukan morfologi
saat ini.
- Perlunya dilakukan update atau pembaharuan terhadap informasi mengenai
paleogeografi regional berdasarkan penelitian – penelitian beru yang menggunakan
data dan metode masa kini.

DAFTAR PUSTAKA
Arpandi dan Patmosukismo, S., 1975, The Cibulakan Formation as One of the Most
Prospective Stratigraphic Units in The Northwest Java Basinal Area, Indonesian
Petroleum Association, 4th Annual Convention, Juni 1975, p. 181 – 210.

Bishop, M. G., 2000, Petroleum system of The Northwest Java Province, Java and Offshore
Southeast Sumatra, Indonesia, U.S. Department of the Interior U.S. Geological
Survey, Colorado, Open File Report 99-50R.

Boggs, S., 2006, Principles of Sedimentology and Stratigraphy, New Jersey: Pearson Prentice
Hall, 662 p.

Catuneau, O., 2006, Principles of Sequence Stratigraphy, Italy: Elsevier, 375 p.

248
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B034UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Clements, B., dan Hall, R., 2007, Cretaceous to Late Miocene Stratigraphic and Tectonic
Evolution of West Java, Indonesian Petroleum Association, 31st Annual Convention,
Mei 2007, IPA07-G-037, 18 p.

Einsele, G., 1992, Sedimentary Basin Evolution, Facies, and Sediment Budget, New York:
Springer – Verlag Berlin Heidelberg, 628 p.

Ghifarry, M. F., Syafri, I., Mohamad, F., dan Mualimin, 2017, Fasies dan Lingkungan
Pengendapan Formasi Talang Akar, Cekungan Jawa Barat Utara, Padjajaran
Geoscience Journal , V. 1, p. 183 – 191.

Gresko, M., Suria, C., dan Sinclair, S., 1995, Basin evolution of the Ardjuna rift system and
its implications for hydrocarbon exploration, offshore Northwest Java, Indonesia,
Indonesian Petroleum Association, 24th Annual Convention, Oktober 1995, IPA95-
1.1-078, 13 p.

Hancock, N.J., 1992, Quick – Look Lithology from Logs, in Morton – Thompson, D. dan Woods,
Arnold M., ed., ME 10: Development Geology Reference Manual, USA.

Maulana, A., 2017, Fasies dan Stratigrafi Sikuen Formasi Birang dan Formasi Talih untuk
Penentuan Paleogeografi Menggunakan Data Log Sumur dan Seismik 2D,
Lapangan Kesuma,

Daerah Cekungan Kalimantan Timur, (tidak dipublikasikan, skripsi S1): Yogyakarta:


Universitas Gadjah Mada.

Miall, A. D., 1997, The Geology of stratigraphyc Sequences, New York: Springer-Verlag Berlin
Heidelberg, 433 p.

Mitchum, R. M., 1977, Seismic Stratigraphy and Global Changes of Sea Level, Part 2: The
Depositional Sequence as a Basic Unit for Stratgraphic Analysis, in Payton, Charles E.,
Seismic Stratigraphy – Aplications to Hydrocarbon Exploration, Tulsa: American
Association of Petroleum Geologist, p. 53 – 62.

Ramsayer, G.R., 1979, Seismic Stratigraphy, A Fundamental Exploration Tool, Offshore


technology Conference 3568, Houston, Texas.

Selley, R. C., 1985. Ancient Sedimentary Environments and their sub – surface diagnosis,
London: Springer – Science and Business Media, 317 p.

SEPM, 1927, Sequence Stratigraphy: http://www.sepmstrata.org/page.aspx?&pageid=229&3


(Diakses pada Juli 2018).

Snedden, J.W. dan Sarg, J.F., 2008, Seismic Stratigraphy – A Primer on Methodology, Search
and Discovery Article #40270.

249
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B034UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Travis, R. B., 1955, Classification of Rocks; Quarterly of the Colorado School of Mines, Vol. 50,
No. 1: http://www.kgs.ku.edu/General/Class/sedimentary.html (diakses pada
Desember 2019)

Udgata, D., 2007, Glauconite As An Indicator of Sequence Stratigraphic Package In Lower


Paleocene Passive – Margin Shelf succession, Central Alabama (tidal diterbitkan,
tesis) : Alabama, Auburn University, Alabama.

Van Wagoner, J. C., Mitchum, R.M., Campion, K.M., dan Rahmanian, V.D., 1990,
Silisiclastic Sequences, Stratigraphy Sequences in Well Logs, Cores, and Outcrops,
Tulsa: The American Association of Petroleum Geologist, 55 p.

Veeken, P. C. H., dan Moerkerhen, B., 2013, Seismic Stratigraphy and Depositional Facies
Models, Netherlands: EAGE, 467 p.

Walker, R. G., dan James, N. P., 1992, Facies Models Response to Sea Level Change, Ontario:
Geological Association of Canada, 409 p.

250
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B034UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 1. Tabel ketersediaan data

Keterdapatan Data

Nama Wireline Log


Side- Conven
Sumur Mud Checks- Well Comple- Sam-
wall -tional
-log Gamma Resisti- Densi- hot Report tion Log pel
core core
Ray vity ty

X-1 v - V v v v v v v -

X-2 v - V v v v v v v -

X-3 v - - v v v v v - v

X-4 v v V v v v v v v -

X-5 v - - v v v v v v -

X-6 v v - v v v v - v -

Tabel 2. Tabel litofasies

No. Litofasies

1. Fasies argillaceous packstone

2. Fasies dolomitic packstone – grainstone

3. Fasies siliceous packstone – grainstone

4. Fasies chalky – fossiliferous mudstone – packstone

5. Fasies argillaceous mudstone – wackstone

6. Fasies dolomitic mudstone – wackestone

7. Fasies argillceous sandstone

8. Fasies argillaceous – carbonaceous sandstone

9. Fasies calcareous sandstone

10. Fasies carbonaceous sandstone

11. Fasies carbonaceous shale

12. Fasies calcareous shale

251
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B034UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

13. Fasies argillaceous shale

14. Fasies limestone

15. Fasies shale

16. Fasies coal

Tabel 3. Tabel fasies pengendapan yang berkembang pada daerah penelitian

No. Fasies Pengendapan

1. Lagoon – Mud Mounds

2. Sand Shoal – Foreslope

3. Tidal Platform

4. Toe of Slope – Open Shelf

252
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B034UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Persebaran sumur dan seismik pada lokasi penelitian

253
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B034UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Stratigrafi regional Cekungan Jawa Barat Utara (Gresko, 1995)

254
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B034UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Analisis stratigrafi sikuen sumur X-1 yang diintegrasikan dengan data
wireline log hingga lingkungan pengendapan yang teridentifikasiGambar 4. Analisis
stratigrafi sikuen sumur X-2 yang diintegrasikan dengan data wireline log hingga
lingkungan pengendapan yang teridentifikasi

Gambar 4. Analisis stratigrafi sikuen sumur X-2 yang diintegrasikan dengan data
wireline log hingga lingkungan pengendapan yang teridentifikasi

255
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B034UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. Analisis stratigrafi sikuen sumur X-3 yang diintegrasikan dengan data
wireline log hingga lingkungan pengendapan yang teridentifikasi

256
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B034UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 6. Korelasi kronostratigrafi lintasan A-A'

257
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B034UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 7. Korelasi kronostratigrafi lintasan B-B'

258
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B034UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 8. Korelasi kronostratigrafi lintasan C-C'


259
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B034UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 9. Korelasi kronostratigrafi lintasan D-D'

260
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B034UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 10. Pola refleksi internal pada sikuen pengendapan 1 beserta batas atas dan batas
bawah

Gambar 11. Pola refleksi internal pada sikuen pengendapan 2 beserta batas atas dan batas
bawah. Sedimen penyusun Formasi Talang Akar merupakan produk fase transgresi (slow
transgresion) yang dibuktikan dengan perkembangan shelf ke arah laut

261
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B034UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 12. Peta Kode ABC, Peta Sintesis ABC, dan Peta Paleogeografi pada SB-2

Gambar 13. Peta Kode ABC, Peta Sintesis ABC, dan Peta Paleogeografi pada SB-3

262
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B034UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 14. Sedimen penyusun Formasi Talang Akar merupakan produk fase transgresi
(slow transgression) yang dibuktikan dengan perkembangan shelf margin ke arah laut
(disimbolkan dengan segitiga berwarna kuning)

263
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B035UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

MICROFACIES DAN MODEL LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUAN


KARBONAT PLIOSEN DARI ANGGOTA KLITIK FORMASI KALIBENG,
KABUPATEN NGAWI, PROVINSI JAWA TIMUR.

Diah Morestika Nur Afifah1, Handika Lazuardi1*, Octavian Lazuardi1, Wahyu Sasongko1
1Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
*Corresponding Author: master.hakali@gmail.com

ABSTRAK. Anggota Klitik Formasi Kalibeng memiliki litologi penyusun yaitu batugamping.
Anggota Klitik Formasi Kalibeng tersingkap di antiklinorium zona Kendeng. Anggota Klitik
memiliki hubungan menjari dengan Formasi Kalibeng dan memiliki umur Pliosen. Penelitian
dilakukan pada Anggota Klitik Formasi Kalibeng untuk menentukan mikrofasies, zona fasies dan
model lingkungan pengendapan dari batuan karbonat Anggota Klitik Formasi Kalibeng.
Pengambilan sampel dilakukan pada tiga jalur singkapan permukaan. Sebanyak 15 sampel
dilakukan pengamatan petrografi untuk menentukan mikrofasies, analisis facies zone dan
lingkungan pengendapan mengacu pada Flugel (2010). Berdasarkan analisis microfasies dijumpai
enam standar microfacies (SMF), yaitu SMF-3: Pelagic lime mudstone and wackestones with abundant
pelagic microfossils, SMF-8: Wackestones and floatstones with whole fossils and well-preserved endo- and
epibiota, SMF-10: Bioclastic packstones and grainstones with coated and abraded skeletal grains, SMF-11:
Coated bioclastic grainstone, SMF-16: Non-laminated peloidal grainstone and packstone and laminated
peloidal bindstone dan SMF-18: Bioclastic grainstones and packstones with abundant benthic foraminifera
or calcareous green algae. Berdasarkan analisis standar mikrofacies tersebut diinterpretasikan zona
fasies yang mengacu pada Flugel (2010) perubahan dari bawah ke atas yaitu facies zone 3 – toe of
slope. facies zone 7 – open marine dan facies zone 6 – platform margin sand shoals. Perubahan lingkungan
pengendapan dari bawah ke atas pada Anggota Klitik Formasi Kalibeng yaitu lingkungan toe-of-
slope and slope berubah menjadi lingkungan open-marine platform dan berubah menjadi lingkungan
platform-edge and platform sand shoals.

Kata kunci: Anggota Klitik formasi Kalibeng, batugamping, standard microfasies, zona facies, model
lingkungan pengendapan.

I. PENDAHULUAN
Anggota Klitik Formasi Kalibeng merupakan salah satu formasi yang terdapat di
Zona Kendeng. Yang dimana litologi penyusun dari formasi ini adalah batugamping.
Pengamatan batugamping sendiri dapat dilakukan dengan pengamatan petrologi jika di
lapangan serta analisis petrografi untuk melakukan pengamatan detail pada suatu
litologi. Beberapa klasifikasi yang digunakan pada analisis petrografi terus berkembang
sepanjang waktu. Namun untuk membahas suatu standard microfacies belum sepenuhnya
digunakan hingga saat ini. Salah satu klasifikasi yang sering digunakan pada suatu
pembahasan microfacies yaitu klasifikasi menurut Wilson (1975). Tetapi seiring
berjalannya waktu, klasifikasi terus berkembang, dan klasifikasi yang membahas tentang
standard microfacies yang terbaru yaitu menurut Flugel tahun 2010. Klasifikasi ini
membahas kenampakan tekstur, struktur maupun komposisi batuan karbonat dari

264
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B035UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

kenampakan petrografi. Dengan menggunakan klasifikasi ini, suatu batuan dapat


diamati perubahan lingkungan pengendapan dari suatu pembentukan suatu litologi.

II. GEOLOGI REGIONAL


Anggota Klitik Formasi Kalibeng merupakan salah satu anggota bagian dari
Formasi Kalibeng. Anggota Klitik memiliki hubungan menjari dengan Formasi Kalibeng
(Gambar 2). Persebaran dari Formasi ini berada pada Zona Kendeng bagian barat
maupun ke bagian timur.

III. METODOLOGI
Metodologi yang digunakan adalah melakukan pengambilan sampel pada tiga
jalur singkapan permukaan didaerah Ngawi. Tiga jalur tersebut dibagi menjadi bagian
barat, tengah dan timur dari daerah pengamatan. Sebanyak 15 sampel batuan karbonat
yang ditemukan dilakukan pengamatan petrografi. Dari pengamatan petrografi yang
dilakukan akan ditentukan beberapa aspek yaitu microfasies, analisis facies zone dan
lingkungan pengendapan yang mengacu pada Flugel (2010).

IV. HASIL PENELITIAN


1. Pengamatan Petrografi Sampel Batuan Karbonat
15 sampel batuan karbonat diamati dengan metode petrografi. Berikut hasil
pengamatan sampel-sampel batuan karbonat tersebut dengan metode petrografi:

a. HLSTA1001

Sampel batuan sedimen arbonat dengan ukuran mineral penyusun <0,25-5 mm


berwarna colourless (//), coklat kehitam-hitaman (X), tekstur berdasarkan hubungan antar
butir adalah grain supported dengan tipe porositas adalah interpartikel, bentuk butir
bulat, kemas tertutup, sortasi sedang. bentuk semen karbonat adalah equant dengan
morfologi semen karbonat fibrous. Komposisi dalam batuan tersusun atas Nummulite,
Cyclocypeus, Assilina, Discocylina, Lepidocyclina, kuarsa

b. HLSTA30006

Sampel batuan sedimen arbonat dengan ukuran mineral penyusun <0,25-5 mm


berwarna colourless (//), coklat kehitam-hitaman (X), tekstur berdasarkan hubungan antar
butir adalah grain supported dengan tipe porositas adalah interpartikel, bentuk butir
bulat, kemas tertutup, sortasi sedang. bentuk semen karbonat adalah equant dengan
morfologi semen karbonat fibrous. Komposisi dalam batuan tersusun atas Nummulite,
Cyclocypeus, Assilina, Discocylina, Lepidocyclina, kuarsa

c. HLSTA43001

265
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B035UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Sampel batuan sedimen arbonat dengan ukuran mineral penyusun <0,25-5 mm


berwarna colourless (//), coklat kehitam-hitaman (X), tekstur berdasarkan hubungan antar
butir adalah grain supported dengan tipe porositas adalah interpartikel, bentuk butir
bulat, kemas tertutup, sortasi sedang. bentuk semen karbonat adalah equant dengan
morfologi semen karbonat fibrous. Komposisi dalam batuan tersusun atas Nummulite,
Cyclocypeus, Assilina, Discocylina, Lepidocyclina, kuarsa

d. HLSTA32005

Sampel batuan sedimen arbonat dengan ukuran mineral penyusun <0,25-5 mm


berwarna colourless (//), coklat kehitam-hitaman (X), tekstur berdasarkan hubungan antar
butir adalah grain supported dengan tipe porositas adalah interpartikel, bentuk butir
bulat, kemas tertutup, sortasi sedang. bentuk semen karbonat adalah equant dengan
morfologi semen karbonat fibrous. Komposisi dalam batuan tersusun atas Nummulite,
Cyclocypeus, Assilina, Discocylina, Lepidocyclina, kuarsa

e. HLSTA28004

Sampel batuan sedimen arbonat dengan ukuran mineral penyusun <0,25-5 mm


berwarna colourless (//), coklat kehitam-hitaman (X), tekstur berdasarkan hubungan antar
butir adalah grain supported dengan tipe porositas adalah interpartikel, bentuk butir
bulat, kemas tertutup, sortasi sedang. bentuk semen karbonat adalah equant dengan
morfologi semen karbonat fibrous. Komposisi dalam batuan tersusun atas Nummulite,
Cyclocypeus, Assilina, Discocylina, Lepidocyclina, kuarsa

f. HLSTA3004

Sampel batuan sedimen arbonat dengan ukuran mineral penyusun <0,25-5 mm


berwarna colourless (//), coklat kehitam-hitaman (X), tekstur berdasarkan hubungan antar
butir adalah grain supported dengan tipe porositas adalah interpartikel, bentuk butir
bulat, kemas tertutup, sortasi sedang. bentuk semen karbonat adalah equant dengan
morfologi semen karbonat fibrous. Komposisi dalam batuan tersusun atas Nummulite,
Cyclocypeus, Assilina, Discocylina, Lepidocyclina, kuarsa

g. DMNA_082

Sampel batuan sedimen arbonat dengan ukuran mineral penyusun <0,25-5 mm


berwarna colourless (//), coklat kehitam-hitaman (X), tekstur berdasarkan hubungan antar
butir adalah grain supported dengan tipe porositas adalah interpartikel, bentuk butir
bulat, kemas tertutup, sortasi sedang. bentuk semen karbonat adalah equant dengan
morfologi semen karbonat fibrous. Komposisi dalam batuan tersusun atas Nummulite,
Cyclocypeus, Assilina, Discocylina, Lepidocyclina, kuarsa

h. DMNA_077

266
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B035UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Sampel batuan sedimen arbonat dengan ukuran mineral penyusun <0,25-5 mm


berwarna colourless (//), coklat kehitam-hitaman (X), tekstur berdasarkan hubungan antar
butir adalah grain supported dengan tipe porositas adalah interpartikel, bentuk butir
bulat, kemas tertutup, sortasi sedang. bentuk semen karbonat adalah equant dengan
morfologi semen karbonat fibrous. Komposisi dalam batuan tersusun atas Nummulite,
Cyclocypeus, Assilina, Discocylina, Lepidocyclina, kuarsa

i. DMNA_073

Sampel batuan sedimen arbonat dengan ukuran mineral penyusun <0,25-5 mm


berwarna colourless (//), coklat kehitam-hitaman (X), tekstur berdasarkan hubungan antar
butir adalah grain supported dengan tipe porositas adalah interpartikel, bentuk butir
bulat, kemas tertutup, sortasi sedang. bentuk semen karbonat adalah equant dengan
morfologi semen karbonat fibrous. Komposisi dalam batuan tersusun atas Nummulite,
Cyclocypeus, Assilina, Discocylina, Lepidocyclina, kuarsa

j. DMNA_065

Sampel batuan sedimen arbonat dengan ukuran mineral penyusun <0,25-5 mm


berwarna colourless (//), coklat kehitam-hitaman (X), tekstur berdasarkan hubungan antar
butir adalah grain supported dengan tipe porositas adalah interpartikel, bentuk butir
bulat, kemas tertutup, sortasi sedang. bentuk semen karbonat adalah equant dengan
morfologi semen karbonat fibrous. Komposisi dalam batuan tersusun atas Nummulite,
Cyclocypeus, Assilina, Discocylina, Lepidocyclina, kuarsa

k. DMNA_068

Sampel batuan sedimen arbonat dengan ukuran mineral penyusun <0,25-5 mm


berwarna colourless (//), coklat kehitam-hitaman (X), tekstur berdasarkan hubungan antar
butir adalah grain supported dengan tipe porositas adalah interpartikel, bentuk butir
bulat, kemas tertutup, sortasi sedang. bentuk semen karbonat adalah equant dengan
morfologi semen karbonat fibrous. Komposisi dalam batuan tersusun atas Nummulite,
Cyclocypeus, Assilina, Discocylina, Lepidocyclina, kuarsa

l. OL_97

Sampel batuan sedimen arbonat dengan ukuran mineral penyusun <0,25-5 mm


berwarna colourless (//), coklat kehitam-hitaman (X), tekstur berdasarkan hubungan antar
butir adalah grain supported dengan tipe porositas adalah interpartikel, bentuk butir
bulat, kemas tertutup, sortasi sedang. bentuk semen karbonat adalah equant dengan
morfologi semen karbonat fibrous. Komposisi dalam batuan tersusun atas Nummulite,
Cyclocypeus, Assilina, Discocylina, Lepidocyclina, kuarsa

m. OL_20

267
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B035UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Sampel batuan sedimen arbonat dengan ukuran mineral penyusun <0,25-5 mm


berwarna colourless (//), coklat kehitam-hitaman (X), tekstur berdasarkan hubungan antar
butir adalah grain supported dengan tipe porositas adalah interpartikel, bentuk butir
bulat, kemas tertutup, sortasi sedang. bentuk semen karbonat adalah equant dengan
morfologi semen karbonat fibrous. Komposisi dalam batuan tersusun atas Nummulite,
Cyclocypeus, Assilina, Discocylina, Lepidocyclina, kuarsa

n. OL_6

Sampel batuan sedimen arbonat dengan ukuran mineral penyusun <0,25-5 mm


berwarna colourless (//), coklat kehitam-hitaman (X), tekstur berdasarkan hubungan antar
butir adalah grain supported dengan tipe porositas adalah interpartikel, bentuk butir
bulat, kemas tertutup, sortasi sedang. bentuk semen karbonat adalah equant dengan
morfologi semen karbonat fibrous. Komposisi dalam batuan tersusun atas Nummulite,
Cyclocypeus, Assilina, Discocylina, Lepidocyclina, kuarsa

o. OL_76

Sampel batuan sedimen arbonat dengan ukuran mineral penyusun <0,25-5 mm


berwarna colourless (//), coklat kehitam-hitaman (X), tekstur berdasarkan hubungan antar
butir adalah grain supported dengan tipe porositas adalah interpartikel, bentuk butir
bulat, kemas tertutup, sortasi sedang. bentuk semen karbonat adalah equant dengan
morfologi semen karbonat fibrous. Komposisi dalam batuan tersusun atas Nummulite,
Cyclocypeus, Assilina, Discocylina, Lepidocyclina, kuarsa

2. Standard Microfacies

Berdasarkan dari hasil pengamatan tekstur karakteristik allochem serta


orthochemical didapatkan 6 jenis standard microfacies menurut Flugel (2010), berikut
beberapa pembahasan dari 6 jenis standard microfacies yang ditemukan:

a. SMF-3: Pelagic lime mudstone and wackestones with abundant pelagic


microfossils.

Standard microfacies 3 ini memiliki tekstur, struktur maupun komposisi yang khas
dari pengamatan petrografi. Satuan ini memiliki kandungan fosil yang melimpah, yang
dimana terdapat fosil foraminifera kecil.
b. SMF-8: Wackestones and floatstones with whole fossils and well-preserved endo-
and epibiota.
Standard microfacies 8 ini memiliki tekstur, struktur maupun komposisi yang khas
dari pengamatan petrografi. Satuan ini memiliki kandungan fosil yang melimpah, yang
dimana terdapat fosil.
c. SMF-10: Bioclastic packstones and grainstones with coated and abraded skeletal
grains.

268
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B035UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Standard microfacies 10 ini memiliki tekstur, struktur maupun komposisi yang khas
dari pengamatan petrografi. Satuan ini memiliki kandungan fosil yang melimpah, yang
dimana terdapat fosil foraminifera kecil.
d. SMF-11: Coated bioclastic grainstone.
Standard microfacies 11 ini memiliki tekstur, struktur maupun komposisi yang khas
dari pengamatan petrografi. Satuan ini memiliki kandungan fosil dengan ukuran butir
yang lebih kasar daripada sampel batuan lainnya.
e. SMF-16: Non-laminated peloidal grainstone and packstone and laminated
peloidal bindstone.

Standard microfacies 16 ini memiliki tekstur, struktur maupun komposisi yang khas
dari pengamatan petrografi. Satuan ini memiliki struktur yang khas yaitu suatu batuan
yang memiliki laminasi disampel batuannya.
f. SMF-18: Bioclastic grainstones and packstones with abundant benthic
foraminifera or calcareous green algae.

Standard microfacies 18 ini memiliki tekstur, struktur maupun komposisi yang khas
dari pengamatan petrografi. Satuan ini memiliki kandungan fosil yang melimpah, yang
dimana terdapat fosil foraminifera Benton yang melimpah serta adanya fosil alga hijau.

V. DISKUSI DAN PEMBAHASAN

Pengamatan petrografi yang dilakukan pada sampel batuan dapat dilakukan


analisis facies zone pada sampel batuan tersebut. Analisis standard microfacies yang menjadi
dasar dalam menentukan dinamika dari lingkungan pengendapan pada daerah
penelitian. Facies zone yang didapatkan menurut klasifikasi Flugel 2010 yaitu facies zone 3
– toe of slope. facies zone 7 – open marine dan facies zone 6 – platform margin sand shoals.

VI. KESIMPULAN

Berdasarkan dari hasil analisis dan pembahasan didapatkan beberapa kesimpulan


yaitu sebagai berikut:
1. Dari pengamatan petrografi, standard microfacies menurut flugel (2010) yang
ditemukan pada daerah penelitian ada 6 standard microfacies yaitu SMF-3: Pelagic
lime mudstone and wackestones with abundant pelagic microfossils, SMF-8: Wackestones
and floatstones with whole fossils and well-preserved endo- and epibiota, SMF-10:
Bioclastic packstones and grainstones with coated and abraded skeletal grains, SMF-11:
Coated bioclastic grainstone, SMF-16: Non-laminated peloidal grainstone and packstone
and laminated peloidal bindstone dan SMF-18: Bioclastic grainstones and packstones with
abundant benthic foraminifera or calcareous green algae.

2. Dari Standard microfacies yang ditemukan, dapat diinterpretasikan facies zone


menurut Flugel (2010) yaitu zona fasies yang mengacu pada Flugel (2010)

269
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B035UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

perubahan dari bawah ke atas yaitu facies zone 3 – toe of slope. facies zone 7 – open
marine dan facies zone 6 – platform margin sand shoals. Perubahan lingkungan
pengendapan dari bawah ke atas pada Anggota Klitik Formasi Kalibeng yaitu
lingkungan toe-of-slope and slope berubah menjadi lingkungan open-marine platform
dan berubah menjadi lingkungan platform-edge and platform sand shoals.

ACKNOWLEDGEMENTS
Penulis berterima kasih kepada Universitas Gadjah Mada yang telah memberikan
izin untuk menggunakan alat selama melakukan analisis petrografi pada sampel batuan.
Penulis juga berterimakasih pada Bapak Wahyu Sasongko, S.T., M.T. yang telah
memberikan bimbingan pada penulisan pada publikasi ini.

DAFTAR PUSTAKA
Datun, M., Sukandarrumidi, B. Hermanto, dan N. Suwarna .1996. Peta Geologi Lembar Ngawi,
Jawa. Edisi ke-2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
De Genevraye, P. and L. Samuel. 1972. Geology of The Kendeng Zone (Central & East Java).
Proceedings of the Indonesian Petroleum Association 1st Annual Convention and Exhibition, p.
17 – 30.
Hall, R., and C.K. Morley.2004. Sundaland Basins. In P. Clift, P. Wang, W. Kuhnt, & H. (eds.)
Continent-Ocean Interactions within the East Asian Marginal Seas. Geophysical
Monograph, American Geophysical Union, 149, pp. 55-85.
Hamilton, W. 1979. Tectonics of the Indonesian Region, USGS Professional Paper, vol. 1078, 345 p.
Jones, Robert W. 1994. The Challenger Foraminifera. Oxford: Oxford University Press.
Kendall, G. C. St. C. and Schlager, W., 1981, Carbonates and Relative Changes in Sea Level: Mar.
Geol,V. 44, p. 181-212.
Maurer, F., F.S.P. van Buchem, G.P. Eberli, B.J. Pierson, M.J. Raven, P.-H. Larsen, M. I. Al-Husseini
and B. Vincent 2012. Late Aptian long-lived glacio-eustaticlowstand recorded on the
Arabian Plate. Terra Nova, doi: 10.1111/ter.12009.
Maurer, F., K. Al-Mehsin, B.J. Pierson, G.P. Eberli, G. Warrlich, D. Drysdale and H.J. Droste 2010.
Facies characteristics and architecture of Upper Aptian Shu’aiba clinoforms in Abu
Dhabi. In F.S.P. van Buchem, M.I. Al-Husseini, F. Maurer and H.J. Droste (Eds.),
Barremian–Aptian stratigraphy and Hydrocarbon Habitat of the Eastern Arabian Plate.
GeoArabia Special Publication 4, Gulf PetroLink, Bahrain, v. 2, p. 445-468.
McClay, Ken. 1987. The Mapping of Geological Structures. New York: John Wiley and Sons.
Mutti, Emiliano., et.al. 1992. Turbidite Sandstones. Parma: Agip.S.p.A in association with Instituto
di Geologia Universita di Parma.
Nichols, Gary. 2009. Sedimentology and Stratigraphy: Second Edition. Oxford: Wiley – Blackwell.
Hal. 62-3, 225 – 240, dan 250 – 8.
Pierson, B.J., G.P. Eberli, K. Al-Mehsin, S. Al-Menhali, G. Warrlich, H.J. Droste, F. Maurer, J.
Whitworth and D. Drysdale.2010. Seismic stratigraphy and depositional history of the
Upper Shu’aiba (Late Aptian) in the UAE and Oman. In F.S.P. van Buchem, M.I. Al-
Husseini, F. Maurer and H.J. Droste (Eds.), Barremian–Aptian stratigraphy and
Hydrocarbon Habitat of the Eastern Arabian Plate. GeoArabia Special Publication 4, Gulf
PetroLink, Bahrain, v. 2, p.411-444.
Postuma, J.A. 1971. Manual of Planktonic Foraminifera. Amsterdam: Elsevier Publishing Company.

270
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B035UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Ragan, Donal M. 2004. Structural Geology: An Introduction to Geometrical Techniques. Cambridge:


Cambridge University Press.
Ramsay, J. G.1967. Folding and Fracturing of Rocks. New York: McGraw-Hill
Rahardjo, W. 2004. Ekskursi Geologi Regional Pegunungan Selatan dan Kendeng. Teknik Geologi UGM,
Yogyakarta.
Satyana, Awang H. 2007. Central Java, Indonesia: A “Terra Incognita” in Petroleum Exploration.
Indonesian Petroleum Association, Proceedings of 31st annual convention.
Shanmugam, G & R.J. Moiola. 1988. Submarine Fans: Characteristics, Models, Classification, and
Reservoir Potential. Amsterdam: Elsevier Science Publishers.
Soeria-Atmadja, dkk. 1998. Magmatism in Western Indonesia, the Trapping of the Sumba Block
and the Gateways to the East of Sundaland. Journal of Asian Earth Sciences 16(1):1–12.
Soetoto. 2015. Penginderaan Jauh Untuk Geologi. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Sribudiyani, Muchsin, N., Ryacudu, R., Kunto, T., Astono, P., Prasetya, I., Sapiie, B., Asikin, S.,
Harsolumakso, A.H., dan Yulianto, I., 2003. The Collision of the East Java Microplate and
Its Implication for Hydrocarbon Occurences in the East Java Basin. Proceeding of Indonesia
Petroleum Association. Jakarta.
Surjono, Sugeng S. 2010. Analisis Sedimentologi. Yogyakarta: Pustaka Geo.
Thornbury, William D. Principles of Geomorphology. New York: John Wiley and Sons Inc.
Van Bemmelen. R.W.. 1949. The Geology of Indonesia. Vol.1A, Government Printing Office, The
Hauge, Amsterdam.
Vail, P. R.,et al. 1977. Seismic stratigraphy and Global Changes of Sea Level: p. 49-212 in C. E.
Payton (ed.). Seismic stratigraphy —Applications to Hydrocarbon Exploration. AAPG
Memoir 26. Tulsa.
Wilson, J. L., 1975. Carbonate Facies in Geologic History: Springer-Verlag. New York. p. 96-347.
Williams, Howel, dkk. 1982. Petrography: An Introduction to the Study of Rocks in Thin Sections. New
York: W.H. Freeman and Company.

271
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B035UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

272
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B035UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

273
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B035UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

136

137

138

139

140

141

142

143

144
Legenda :
145
146 : Zona kendeng

147

148 Gambar 1. Fisiografi Jawa Timur menurut Van Bemmelen (1949).

149
150
151
152
153
154
155
156
157
158
159
160
161
162
163

274
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B035UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

164
165

275
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B035UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

166 Gambar 2. Kolom Stratigrafi Zona Kendeng.

276
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B035UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

167 A B
168

169

170

171
C D
172
A

173

174

175

176
E F
177

178

179

180

181 G H

182

183

184

185

186 Gambar 3. (A-B) tekstur spherulite pada intrusi diorit. (C-D) mineral hornblenda dan plagioklas
187 sebagai fenokris pada intrusi diorit. (E-F) Fragmen xenolit pada intrusi diorit. (G-H) Tekstur
188 trakitik yang merupakan penciri dari lava andesit. (I-J) Matriks pada breksi autoklastik. (K-L)
189 Fragmen dari breksi autoklastik. Abreviasi: Hb: Hornblenda, Pl: Plagioklas, Qz: Kuarsa, Gls: Gelas
190 vulkanik, Mic.Pl: Mikrolit Plagioklas, Opq: Mineral Opak, Cly: Mineral Lempung.

191

192

193

194

277
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B035UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

195

196 Gambar 4. Model zona fasies pada zona penelitian dengan menggunakan model zona fasies
197 menurut Flugel,2010.

278
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B036UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

VARIASI LITOTIPE PADA BATUBARA MENGOKAS FORMASI BATU


AYAU DI DAERAH MURUNG RAYA, KALIMANTAN TENGAH

Hendra Amijaya 1*, M. Luthfi Farhan 1


1 Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Jalan Grafika 2,
Yogyakarta
*Corresponding Author: hamijaya@gadjahmada.edu

ABSTRAK Potensi batubara mengokas (coking coal) di Indonesia pada saat ini cukup
terbatas. Salah satu formasi pembawa batubara mengokas adalah batubara Formasi Batu
Ayau yang berumur Eosen di Kalimantan Tengah. Formasi Batu Ayau yang merupakan
bagian dari Cekungan Kutai tersusun atas sedimen batupasir, batulanau, serpih,
batugamping dan serta batubara. Studi ini bertujuan untuk melihat variasi litotipe pada
seam batubara mengokas di Daerah Murung Raya, Kalimantan Tengah serta
kemungkinan penyebabnya. Pengamatan singkapan untuk melakukan analisis
karakteristik litotipe pada batubara Formasi Batu Ayau dilakukan pada beberapa seam di
daerah penelitian. Suksesi vertikal litotipe batubara didominasi batubara bright coal dan
banded bright coal. Litotipe bright coal dan banded bright coal merupakan hasil
pembentukan gambut pada paleomire telmatic wet forest swamp. Terdapat kehadiran
beberapa kehadiran lapisan tipis pengotor. Hal ini menunjukkan bahwa seam-seam
tersebut terbentuk oleh multiple mire atau tubuh gambut yang berbeda yang kemudian
membentuk suatu stacked mire sequence.

Kata kunci : batubara mengokas, litbatubara mengokas, litotipe, Formasi Batu Ayau

I. PENDAHULUAN
Potensi batubara mengokas (coking coal) di Indonesia pada saat ini cukup terbatas.
Sumberdaya batubara mengokas umumnya terdapat di Kalimantan Bagian Tengah. Salah
satu formasi pembawa batubara mengokas adalah batubara Formasi Batu Ayau yang
berumur Eosen di Kalimantan Tengah. Penelitian ini untuk menginterpretasikan variasi
litotipe pada batubara coking di daerah tersebut dan menginterpretasi kemungkinan
pembentukan stacked mire sequencenya.

Mire adalah lahan basah (wetland) yang merupakan tempat terakumulasinya


gambut (peat). Semua ekosistem tempat terakumulasi atau terbentuknya gambut yang
meliputi swamp, bog, fen, moor, muskeg dan peatland merupakan bentuk mire (Taylor et al.,
1998). Penumpukan mire (multiple mire) pada saat pembentukan gambut disebut sebagai
stacked mire sequence. Batas antar paleomire atau paleopeat yang satu dengan yang lainnya

279
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B036UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

ditandai dangan adanya parting baik berupa inorganic parting (sedimen detrital) atau
organic parting (Shearer, et al., 1994).

II. GEOLOGI REGIONAL


Daerah penelitian yang berada di Daerah Murung Raya, Kalimantan Tengah
secara fisiografis berada pada bagian barat Cekungan Kutai bagian atas. Cekungan Kutai
dihasilkan oleh proses pemekaran (rift basin) yang terjadi pada Eosen Tengah yang
melibatkan pemekaran selat Makasar bagian Utara dan Laut Sulawesi (Moss dan
Chambers, 1999). Selama Kapur Tengah sampai Eosen Awal, pulau Kalimantan
merupakan tempat terjadinya kolisi dengan mikro-kontinen, busur kepulauan,
penjebakan lempeng samudera dan intrusi granit, membentuk batuan dasar yang
menjadi dasar dari Cekungan Kutai. Sedimentasi di Cekungan Kutai dapat dibagi
menjadi dua yaitu, sedimen Paleogen yang secara umum bersifat transgresif dan fase
sedimentasi Neogen yang secara umum bersifat regresif

Moss dan Chambers (1999), mengemukakan bahwa Cekungan Kutai dapat dibagi
dalam dua bagian atau sub Cekungan, yaitu Cekungan Kutai Atas dan Cekungan Kutai
Bawah. Cekungan Kutai bagian atas terdapat di bagian barat laut yang merupakan area
yang terangkat karena proses tektonik pada Miosen bawah, sedangkan Cekungan Kutai
bagian bawah terdapat di bagian timur dan lebih banyak dikenali pada endapan
Neogennya daripada endapan-endapan regangan selama Paleogen yang merupakan
deposenter di Cekungan Kutai bagian atas. Regangan-regangan yang terbentuk selama
Paleogen tersebut telah mengalami inversi dan tererosi selama Neogen.

Supriatna, dkk (1995) mengemukakan bahwa kegiatan tektonik di daerah ini


dimulai sejak Mesozoikum dengan munculnya batuan granit, granodiorit, diorit dan
gabro dalam kompleks busang yang kemudian diikuti oleh munculnya batuan
gunungapi Kasale dan pengendapan Kelompok Selangkai pada Kapur Akhir. Pada
Kapur Awal dan Kapur Tengah, terjadi kegiatan gunungapi yang menghasilkan batuan
gunungapi Nyaan. Pada Kala Eosen Akhir, di Cekungan Barito dan Hulu Mahakam,
terbentuk Formasi Haloq dan Batu Kelau yang tak terpisahkan, Formasi Batu Ayau dan
Tanjung. Formasi ini ditutupi secara selaras oleh Formasi Ujohbilang sejak Oligosen dan
waktu yang sama juga terbentuk Formasi Tuyu di Cekungan Kutai. Pada Kala Oligosen
Akhir hingga Miosen Awal, terbentuk Formasi Berai, Formasi Montalat, Formasi Jangkan,
Formasi Karamuan, Formasi Puruk cahu yang diikuti oleh kegiatan Gunungapi Malasan,
yang semuanya menindih secara tidak selaras Formasi Ujohbilang. Pada Kala yang sama
terjadi terobosan Sintang. Formasi yang menjadi formasi pembawa batubara yang diteliti
ini memiliki litologi penyusunnya terdiri dari batupasir, batulumpur, batulanau,
umumnya karbonan, setempat sisipan batubara dan lignit. Formasi ini berumur Eosen

280
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B036UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Akhir dan diendapkan pada lingkungan laut terbuka-dangkal. Geologi daerah penelitian
dapat dilihat pada Gambar 1.

Batubara Formasi Batu Ayau di daerah ini memiliki nilai abu yang rendah, yaitu
antara 5 hingga 7%, nilai sulfur 0,7%, volatile matter 26,5% dengan nilai CSN (Crucible
Swelling Number ) maksimal yaitu 9 dan tingkat fluiditas 450 ddpm serta kandungan
vitrinit sebesar 90% dan Romax 1,2%, dengan nilai kalori (adb) 8.300 cal/gr (Borneo
Lumbung Energi, 2013). Tanggara dkk (2019, in press) menyatakan bahwa batubara
Formasi Batu Ayau memiliki karakteristik (basis adb, rata-rata) inherent moisture 0,95%,
volatile matter 27,36%, fixed carbon 69,53% dan 2.08% kandungan abu.

III. METODE
Metode yang digunakan yaitu pengamatan singkapan permukaan di lapangan.
Analisis litotipe batubara didasarkan atas warna, kilap, dan rekahan (Diessel, 1992;
Diessel, 1965a dan Marchioni, 1980 dalam Lamberson et al., 1991). Pengklasifikasian
litotipe batubara mengacu pada standar Australia yang sudah dimodifikasi. Di lokasi ini
seam yang diamati yaitu seam K.41 yang relatif tebal yaitu sekitar 2,11m.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


Batubara seam K.41 secara dominan tersusun atas litotipe bright dan banded bright
coal serta terdapat batulempung sebagai roof dan floor (Gambar 2). Pada tubuh lapisan
batubara tersebut tidak ditemui inorganic parting.

Studi yang dilakukan oleh Diessel (1992) memperlihatkan bahwa litotipe bright
coal dan banded bright coal disusun utamanya oleh maseral vitrinit (telovitrinit dan sedikit
detrovitrinit) dan diikuti oleh maseral liptinit dan inertinit. Dull coal dan banded dull coal
memiliki dominasi kelompok maseral inertinit dan diikuti oleh maseral vitrinit dan
liptinit. Berdasarkan analisis mikrolitotipe diketahui bahwa litotipe bright coal dan banded
bright coal tersusun secara dominan oleh vitrit dan clarit, sedangkan dull coal dan banded
dull coal tersusun secara dominan oleh inertit dan vitrinertit. Diessel juga menyatakan
bahwa bright coal dan banded bright coal relatif mempunyai tissue preservation index (TPI)
dan gelification index (GI) yang tinggi. Fasies batubara dengan nilai TPI dan GI yang relatif
tinggi terbentuk pada paleomire telmatic wet forest swamp (Diessel, 1986).

Lamberson et al., (1991) menyatakan bahwa dengan adanya jumlah maseral


vitrinit yang menurun serta peningkatan komposisi maseral inertinit maka terdapat
perubahan litotipe dari bright coal ke dull coal. Perubahan litotipe tersebut menunjukan
bahwa terjadinya perubahan lingkungan pengendapan dari forest swamp menjadi lebih

281
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B036UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

kering. Litotipe bright coal dan banded bright coal umumnya memiliki komposisi tersusun
atas kelompok maseral vitrinit (≥ 77%) dan sedikit kelompok maseral inertinit dan
liptinit. Kelompok maseral vitrinit tersebut umumnya tersusun dominan atas maseral
vitrinit yang masih memperlihatkan struktur kayu (pseudovitrinit, tellinit, telocollinit)
dan sedikit maseral vitrinit yang terdegradasi (desmocolinit dan vitrodetrinit). Ditengarai
bahwa terdapat peningkatan komposisi maseral inertinit dan degraded vitrinit dan
sebaliknya terjadi penurunan komposisi maseral structured vitrinit dari litotipe bright coal
ke dull coal.

Batubara seam K.41 secara dominan tersusun atas perselingan litotipe bright coal
(ply 1,3,5 dan 7) dan litotipe banded bright coal (ply 2, 4, 6 dan 8). Kehadiran perselingan
litotipe tersebut menunjukkan adanya dinamika perkembangan gambut, terutama terkait
dengan kondisi airtanah gambut yang berubah-ubah. Seperti yang telah disampaikan
sebelumnya, terdapat kecenderungan terjadi kondisi gambut yang lebih kering pada saat
terbentuknya litotipe banded bright coal. Kondisi gambut yang sedikit lebih kering
menyebabkan kemungkinan terbentuknya maseral yang bersifat lebih terdegradasi akan
lebih banyak. Kemungkinan lain adalah terbentuknya maseral yang teroksidasi dari
vitrinit menjadi inertinit. Kondisi gambut yang lebih basah menyebabkan pengawetan
maseral akan lebih baik sehingga maseral-maseral berstruktur akan lebih banyak
dikenali.

Kondisi semacam ini sangat mungkin terjadi pada suatu paleomire berupa telmatic
wetforest swamp dimana perubahan muka air sangat memungkinkan terjadi secara
intensif. Lingkungan pengendapan gambut pada daerah transisi akan sangat
memungkinkan untuk terjadinya kondisi semacam ini. Hal ini sesuai dengan kondisi
pengendapan Formasi Batu Ayau yang secara umum pada lingkungan laut dangkal.
Pada posisi paleogeografis dekat daratan maka daerah transisi merupakan lingkungan
yang baik untuk pengendapan gambut.

V. KESIMPULAN
Batubara coking seam K.41 Formasi Batu Ayau di daerah penelitian dengan
ketebalan lebih kurang 2,11 meter secara dominan tersusun atas litotipe bright coal dan
banded bright coal. Batubara tersebut diinterpretasikan terbentuk pada paleomire
telmatic wet forest swamp dimana terjadi perubahan muka air selama perkembangan
gambut tersebut. Hal ini menyebabkan terjadinhya perubahan komposisi maseral yang
menyebabkan terjadinya perubahan litotipe secara megaskopis.

282
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B036UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

UCAPAN TERIMA KASIH

Terimakasih kami ucapkan kepada PT. Asmin Koalindo Tuhup (PT. AKT) yang
telah mengizinkan untuk pengambilan sampel. Pekerjaan lapangan dilaksanakan dengan
bantuan Sdr. Deddy Tanggara.

DAFTAR PUSTAKA

Borneo Lumbung Energi and Metal., 2013., Annual Report, PT. Borneo Lumbung Energi
and Metal, Tbk, 230 pp.

Diessel, C.F.K. (1986). On The Correlation Between Coal Facies and Depositional
Environments. in: Advances in the Study of the Sydney Basin, Proc. 20th
Symposium. University of Newcastle, Australia, p. 19–22.

Diessel, C.F.K. (1992). Coal-Bearing Depositional System. Thompson Press (India) Ltd.,
New Delhi, 679 p.

Lamberson, M.N., Bustin, R.M., Kalkreuth, W. (1991). Lithotype (maceral) Composition


and Variation As Correlated With Paleo-Wetland Environments, Gates
Formation, Northeastern British Columbia, Canada. International Journal of Coal
Geology 18, p. 87-124.

Shearer, J.C., Staub, J.R., Moore, T.A. (1994). The Conundrum of Coal Bed Thickness : A
Theory for Stacked Mire Sequence. The Journal of Geology 102, p. 611-617.

Supriatna, Sudrajat., Abidin, H. Z.., 1995., Peta Regional Lembar Muaratewe, Kalimantan,
Badan Geologi, Pusat sumber Daya Geologi, Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral.

Taylor, G.H, Teichmüller, M., Davis, A., Diessel, C.F.K., Littke, R., Robert, P., 1998.,
Organic Petrology, Gebruder Borntraeger, Berlin, 704 pp

Tanggara, D., Amijaya, D.H., Surjono, S.S., 2019, Assessment of Caking Characteristics
Batu Ayau Formation Coal Based on Free-Swelling Index, Proximate and
Ultimate Analysis Results, 2nd International Conference on Science, Engineering
and Technology (ICoSET), Universitas Islam Riau, (in prep.)

283
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B036UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Peta Geologi Regional Daerah Murung Raya (dimodifikasi dari Sutrisna, 1995)

284
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B036UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Variasi litotipe batubara di daerah penelitian serta perkembangan


paleomirenya.

285
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B046UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

ANALISA ARUS PURBA FORMASI PUCANGAN - KABUH DI TRINIL,


KABUPATEN NGAWI, PROPINSI JAWA TIMUR

Didit Hadi Barianto1*, Iqval Surya Saputra1


1Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Jalan Grafika 2,
Yogyakarta
*Corresponding Author: didithadibarianto@gmail.com

ABSTRAK. Sejak penemuan Pithecantropus Erectus (sekarang Homo Erectus) oleh Dubois (1891),
Formasi Pucangan- Kabuh di Trinil menjadi obyek yang wamai dibicarakan. Sebaran Formasi
Kabuh ini cukup luas meliputi sisi selatan dari Pegunungan Kendeng yang menyebar dari barat ke
timur. Formasi ini tersusun oleh konglomerat andesit, batupasir vulkanik, breksi – konglomerat
vulkanik (lahaar) dan setempat mengandung batujahe (caliche) dan calcrete. Banyaknya
penemuan arkeologis pada formasi ini ditafsirkan sebagai rumah dari Homo Erectus. Namun
melihat litologi dan banyaknya struktur silang siur, tampaknya fosil dan artefak yang ditemukan
merupakan thanatocoenosis reworked. Metode penelitian adalah melakukan pengukuran
stratigrafi (MS) dalam sekala 1:50 dan mengukur arah arus purba di lapangan sepanjang Sungai
Bengawan Solo di 4 lokasi. Keempat lokasi ini terletak di selatan Museum Trinil, timur Museum
Trinil, lokasi eskavasi Dubois dan di desa Gadjah. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa Sungai
Bengawan Solo Purba umumnya mengalir dari barat ke timur dan anak sungai yang mengalir dari
tenggara ke barat daya.
Kata kunci: arus purba, bengawan solo, pithecanthropus erectus, Pucangan Kabuh, Homo Erectus,
Trinil.

I. PENDAHULUAN

Formasi Pucangan dan Formasi Kabuh yang diperkenalkan oleh Dufyes (1933),
memiliki lokasi tipe di Desa Kabuh, utara Kota Mojokerto, Propinsi Jawa Timur. Formasi
ini Melampar luas dari Jawa Timur di baratdaya Kota Surabaya Jawa Timur hingga
mencapai Sangiran di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Formasi Kabuh ini berumur
Pleistosen dan terdiri endapan lahaar dan lempung hitan untuk Formasi Pucangan dan
konglomerat- batupasir volkanik untuk Formasi Kabuh. Setempat terdapat calcrete . Ahli
bioantropologi Belanda bernama Dubois yang menemukan Pithecantropus Erectus (1891)
di dasar Sungai Begawan Solo di Desa Trinil, menjadikan Formasi Pucangan dan Kabuh
menjadi popular. Dubois juga melakukan pengukuran arah arus purba pada kedua
formasi ini, namun hasilnya belum dipublikasikan dan menjadi catatan pribadinya yang
ditulis kepada Oppenoorth (Dubois, 1936).
Saat ini, lembah Bengawan Solo memiliki beberapa singkapan baru, yang belum
pernah diteliti arah arus purbanya. Beberapa singkapan disekitar Museum Trinil
dijadikan obyek penelitian ini. Pengkuran arah arus purba ini diharapakan dapat
memberikan gambaran paleogeografi Bengawan Solo purba yang sedimennya membawa
fosil Homo Erectus.

II. LOKASI DAN METODE

286
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B046UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Lokasi penelitian terletak di sepanjang Sungai Bengawan Solo disekitar Museum


Trinil, Kecamatan Trinil, Kabupaten Ngawi, Propinsi Jawa Timur. Lokasi Penelitian
terdiri dari empat titik pengamatan yaitu :
- Lokasi 1; Lembah barat Sungai Bengawan Solo di Sisi Timur Museum tepatnya
pada N 07° 22’ 31,1” dan E 111° 21’ 29,4”.
- Lokasi 2; Lembah timur Bengawan Solo kearah timur tepatnya di N 07° 22 20,9
dan E 111C21’ 48,6”
- Lokasi 3; Lembah timur Bengawan Solo tepatnya pada lokasi penggalian Dubois.
- Lokasi 4; di sisi selatan Museum Trinil tepatnya di N 07° 22’ 21,6” dan N 111° 21’
44,7”.
Methoda yang digunakan adalah pencatatan stratigrafi terukur di tiap lokasi
dalam sekala 1:50, disertai dengan pengukuran arah arus purba. Setiap lokasi pada
lapisan yang sama diukur sebanyak 30 pengukuran yang kemudian di statistik untuk
menentukan arah utama dari arusnya. Koreksi kemiringan lereng tidak dilakukan karena
pada lokasi ini perlapisan umumnya horizontal.

III. ANALISA DAN PEMBAHASAN

Lokasi 1 terdiri dari 2 formasi yaitu Formasi Pucangan pada bagian bawah dan
Formasi Kabuh pada bagian atas dengan kontak erosional (Gambar 1). Pada bidang
kontak dijumpai caliche (batujahe) yang mencirikan paleosoil hasil evaporasi tinggi pada
kala Pleistosen. Formasi Pucangan terdiri batulanau volkanik yang terlapukan dengan
fragmen berupa caliche. Kontak erosional dapat dilihat pada gambar 2, dimana Formasi
Kabuh mengerosi Formasi Pucangan. Formasi Kabuh terdiri dari perulangan batupasir
kasar – krikilan yang menghalus ke atas, dengan struktur melensa, terdapat struktur
perlapisan silang siur tipe channel yang bermigrasi kearah utara (Gambar 3). Hasil
pengukuran arah arus purba pada beberapa lapisan batupasir kasar menunjukkan arah
arus yang dominal dari barat menuju timur.
Lokasi 2 terdiri dari 1 formasi yaitu Formasi Kabuh. Pada lokasi ini dijumpai
perselingan batupasir kasar dengan konglomerat andesit. Pada batupasir kasar setempat
dijumpai perlapisan silang siur tipe palung. Batu pasir terkadang melensa dalam
konglomerat dan demikian juga sebaliknya konglomerat juga dijumpai melensa pada
batupasir (Gambar 4). Konglomerat andesit memiliki ukuran butir kerikil – kerakal
dengan bentuk butir yang sangat membulat. Hasil pengukuran arah arus purba pada
beberapa lapisan batupasir kasar menunjukkan arah arus yang dominal dari barat laut
menuju tengara.
Lokasi 3 terdiri dari 2 formasi yaitu Formasi Pucangan pada bagian bawah dan
Formasi Kabuh pada bagian atas (Gambar 5). Formasi Pucangan terdiri lahaar andesit
yaitu breksi andesit dengan kemas terbuka, mengandung banyak material volkanik, dan
Formasi Kabuh terdiri dari perulangan batupasir kasar – krikilan yang menghalus ke
atas, dengan struktur melensa. Hubungan antara kedua formasi tersebut adalah erosional
dan terdapat paleosoil. Pada Formasi Kabuh terdapat struktur perlapisan silang siur tipe
channel yang bermigrasi kearah utara . Hasil pengukuran arah arus purba pada beberapa
lapisan batupasir kasar menunjukkan arah arus yang dominal dari barat menuju timur.

287
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B046UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Lokasi 4 terdiri dari 2 formasi yaitu Formasi Pucangan dan Formasi Kabuh. Pada
lokasi ini dijumpai perselingan batupasir kasar dengan konglomerat andesit. Pada
batupasir kasar setempat dijumpai perlapisan silang siur tipe palung (Gambar 6).
Konglomerat andesit memiliki ukuran butir kerikil – kerakal dengan bentuk butir yang
sangat membulat. Hasil pengukuran arah arus purba pada beberapa lapisan batupasir
kasar menunjukkan arah arus yang dominal dari barat laut menuju tenggara.
Berdasarkan deskripsi hasil pengukuran stratigrafi dan arah arus purbanya, dapat
disimpulkan bahwa Sungai Bengawan Solo Purba umumnya mengalir dari barat ke
timur. Adanya kenampakan pergeseran simpul sungai dan arah arus yang tegak lurus
dari ripple current yang lebih kecil menunjukkan sungai teranyam yang mengalir dari
barat ke timur. Hubungan antara Formasi Pucangan dengan Formasi Kabuh di daerah
Trinil adalah erosional dan jeda pengendapan (adanya paleosoil).
Fosil Homo Erectus dan banyak vertebrata lainnya ditemukan dalam endapan
lahaar, yang menunjukkan bahwa fosil ini umumnya adalah reworked.

IV. KESIMPULAN

Sungai Bengawan Solo Purba di Daerah Trinil merupakan sungai teanyam yang
megalir dari barat ke timur. Keberadaan fosil Homo Erectus pada lapisan lahaar
menunjukkan bahwa fosil ini telah mengalami reworked. Lapisan caliche menunjukkan
keberadaan paleosoil yang terbentuk selama glasiasi Pleistocen.

DAFTAR PUSTAKA

Duyfjes, J., 1933, Javakaarteering. Maandverslag over Mei/ Juni 1933 een Tournee in Blad 93B Ngawi
[Java Mapping Program Monthly report for May/June 1933 a survey in Quadrangle 93B Ngawi].
(Ref. No. E33-79; 18 p., 1:25,000 geol. map). GRDC-G.
Dubois, M.E.F.T., 1936e. Letters to Oppenoorth, W.F.F., July 17, July 24, and Nov. 1. DA.
Dubois, M.E.F.T., 1937a. On the fossil human skulls recently discovered in Java and
Pithecanthropus erectus. Man XXXVII (January), 1e7.
Dubois, M.E.F.T., 1937b. Early man in Java and Pithecanthropus erectus. In: MacCurdy, G.G. (Ed.),
Early Man as Depicted by Leading Authorities at the International Symposium the
academy of Natural Sciences Philadelphia, March 1937. Lippinvott, London, pp. 315e322,
362 p.

288
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B046UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Hasil pengukuran stratigrafi lokasi 1. Bagian bawah berupa batulanau volkanik dari
Formasi Pucangan yang dierosi oleh batupasir konglomeratan dari Formasi Kabuh (unit ketebalan
dalam meter).

289
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B046UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Kontak erosional antara Formasi Pucangan (bawah) dengan Formasi Kabuh (atas) di
lokasi 1. Pada zona kontak terdapat fragmen caliche berupa bintik berwarna putih.

290
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B046UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Kenampakan silang siur pada batupasir Formasi Kabuh di lokasi 1. Arah panah
menunjukkan arah utara.

291
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B046UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Hasil pengukuran stratigrafi (tebal dalam meter) pada lokasi 2, tampak perselingan
batupasir dengan konglomerat. Setempat dijumpai jejak kayu yang cukup bear.

292
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B046UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. Hasil pengukuran stratigrafi pada bekas lubang eskavasi Dubois (1891). Endapan lahar
pada bagian bawah merupakan penciri Formasi Pucangan sedangkan batupasir silang siur
diatasnya adalah Formasi Kabuh. Ketebalan dalam meter.

293
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 B046UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 6. Lahar conglomerate dari Formasi Pucangan (bawah) ditindih oleh batupasir silangsiur
dari Formasi Kabuh (atas) dilokasi 4.

294
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C012UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

ANALISIS TRANSVERSE ELECTRIC DAN TRANSVERSE MAGNETIC


PADA DATA MAGNETOTELURIK DAERAH PANAS BUMI ARJUNO-
WELIRANG

Nadia Putri Luckytasari1*, Catur Rizkillah Cancerio1, Waindini Nur Fitri1


1Departement of Geophysics, Sepuluh Nopember Institute of Technology of Surabaya (ITS)

*Corresponding Author: nadiaputriluc@gmail.com

ABSTRAK. Metode Magnetotelurik adalah metode geofisika yang dapat digunakan untuk
mengetahui distribusi nilai resistivitas batuan di bawah permukaan bumi dengan menggunakan
prinsip dari persamaan Maxwell. Penelitian ini menggunakan data sekunder metode
magnetotelurik sebanyak 1 lintasan dengan 16 titik pengukuran yang membentang dari arah barat
– timur dan berada di daerah panas bumi Arjuno Welirang dengan tipe sistem panas bumi
vulkanik. Di daerah manifestasi panas bumi Arjuno Welirang dengan tipe sistem panas bumi
vulkanik. Hasil pengolahan dan analisis data magnetotelurik kemudian diinversi untuk
mengetahui pemodelan distribusi resistivitas bawah permukaan. Pada penelitian ini membahas
sensitivitas dari mode transverse electric (mode TE) dan mode transverse magnetic (mode TM) serta
identifikasi sistem panas bumi daerah penelitian. Hasil pengolahan data dengan menggunakan
mode TE memiliki sensitivitas yang baik dalam memetakan resistivitas rendah (konduktif) secara
lateral sedangkan pada mode TM memiliki sensitivitas yang baik dalam memetakan resistivitas
tinggi secara vertikal. Hasil inversi dengan mode TE tidak menunjukkan adanya struktur pada
daerah penelitian, sedangkan hasil inversi dengan mode TM menunjukkan adanya struktur yang
diperkirakan berupa sesar. Sistem panas bumi yang teridentifikasi berada pada Formasi Gunung
Api Arjuno – Welirang (Qvaw). Lapisan batuan penudung (cap rock) dengan nilai resistivitas 7 –
12 Ωm setebal 2000 m yang diperkirakan berasal dari Lava Muda Produk Welirang (Qlw) dan
Lava Arjuno (Qlar). Lapisan reservoir dengan nilai resistivitas 13 – 65 Ωm setebal 500 m yang
diperkirakan sebagai Aliran Piroklastik Arjuno Welirang (Qapaw). Lapisan heat source dengan
nilai resistivitas 70 – 300 Ωm setebal3000 m yang diperkirakan berasal dari Lava Pra Arjuno
Welirang (Qlaw). Kontras resistivitaspada resistivitas rendah yang diduga sebagai Sesar Padusan.

Kata kunci: inversi 1-D, inversi 2-D, magnetotelurik, mode TE, mode TM

I. PENDAHULUAN
Metode Magnetotelurik merupakan metode elektromagnetik pasif yang
melibatkan medan listrik dan medan magnet alami yang saling tegak lurus di permukaan
bumi dan digunakan untuk mengetahui nilai konduktivitas batuan di bawah permukaan
bumi hingga kedalaman beberapa puluh kilometer (Simpson dan Bahr, 2005). Parameter
yang diukur dari metode magnetotelurik adalah sinyal elektromagnetik alami, berupa
medan magnet bumi (Hx, Hy dan Hz) dan medan listrik bumi (Ex dan Ey). Data tersebut
kemudian diolah menggunakan prinsip fourier transform, robust processing dan seleksi
crosspower hingga diperoleh variasi impedansi (Hermance, 1973). Sementara itu,
parameter yang dianalisis adalah phase dan apparent resistivity. Berdasarkan data
295
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C012UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

tersebut kemudian dilakukan inversi untuk mengetahui resistivitas bawah permukaan.


Pemetaan resistivitas bawah permukaan dapat digunakan untuk mengetahui sistem
panas bumi dengan lebih akurat (Daud dan Iskandar, 2013).
Mode transverse electric (mode TE) adalah salah mode dalam magnetotelurik
dimana komponen medan listrik sejajar dengan arah struktur utama. Komponen yang
terdapat pada sumbu y dan z hanya komponen magnetiknya saja. Mode TM (transverse
magnetic) adalah komponen yang menunjukkan bahwa medan magnet sejajar dengan
arah struktur utamanya. Komponen yang terdapat pada sumbu y dan z hanya komponen
elektriknya saja (Simpson dan Bahr, 2005). Perbandingan mode TE dan mode TM
terhadap pemodelan 2-D data magnetotelurik telah dilakukan pada beberapa penelitian.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Kirana (2015), pengolahan data
magnetotelurik 2-D ini dilakukan menggunakan mode TE, mode TM dan mode TE-TM.
Hasil dari ketiga inversi ini menunjukkan penampang tahanan jenis yang berbeda. Pada
hasil inversi dengan mode TE, tidak terlihat adanya respon dari struktur. Sedangkan hasil
inversi dengan mode TM menunjukkan adanya struktur yang memisahkan sebaran
tahanan jenis tinggi dan lebih sesuai untuk menentukan arah strike struktur regional.
Sedangkan hasil inversi dengan mode TE-TM memberikan gabungan dari kedua mode
TE dan mode TM yang memberikan hasil paling lengkap. Berdasarkan hasil inversi
dengan mode TE, TM dan TE-TM, dapat diperkirakan arah strike struktur sesar yang
mengontrol sistem panasbumi di daerah penelitian. Penelitian yang telah dilakukan oleh
Nuraini (2017) didapatkan hasil bahwa data dengan mode TE memiliki sensitivitas yang
baik dalam memetakan nilai resistivitas dibawah permukaan secara lateral, sedangkan
untuk data dengan mode TM memiliki sensitivitas yang baik dalam memetakan nilai
resistivitas dibawah permukaan secara vertikal. Oleh karena pentingnya pemahaman
lebih lanjut mengenai hal tersebut, maka dalam penelitian ini akan dikaji lebih dalam
mengenai pengaruh mode TE (mode transverse electric) dan mode TM (mode transverse
magnetic) terhadap pemodelan data 2-D data magnetotelurik pada lapangan panasbumi
Arjuno Welirang.

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Geologi Regional
Kompleks Gunung Api Arjuno Welirang adalah salah satu dari rangkaian gunung
api aktif berumur Kuarter yang berada di Jawa Timur. Menurut Bemmelen (1949),
fisiografi Kompleks Gunung Api Arjuno Welirang termasuk dalam sabuk vulkanik
Kuarter Zona Solo yang terletak antara Zona Pegunungan Serayu Utara – Kendeng dan
Pegunungan Selatan dan terbentuk karena adanya pergerakan dari lempeng Indo-
Australia di Samudra Hindia yang mendorong kerak benua pada Jawa Timur bagian
selatan, sehingga terjadi penunjaman pada kerak Samudra yang diikuti dengan
pengangkatan kerak benua sehingga membentuk jalur-jalur magma. Menurut Peta
Geologi Lembar Malang, Jawa Santosa dan Suwarti (1992), daerah penelitian berada di
stratigrafi Arjuna Welirang Volcanics (Batuan gunungapi Arjuno Welirang). Pada daerah
penelitian terdapat sebaran manifestasi panasbumi berupa tiga kelompok air panas, yaitu
Air Panas Padusan, Air Panas coban dan Air Panas Cangar. Selain itu, terdapat
manifestasi panasbumi berupa fumarol yang berada di puncak kerucut Kompleks

296
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C012UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gunung Arjuno – Welirang dan sesar-sesar yang mengontrol daerah penelitian (gambar
1).

B. Konsep Metode Magnetotelurik


Metode Magnetotelurik merupakan salah satu metode geofisika yang penting dan
sering digunakan dalam investigasi sistem panas bumi. Hal tersebut dikarenakan
penetrasi gelombang magnetotelurik mampu mencapai ratusaan meter hingga puluhan
kilometer (Simpson dan Bahr, 2005). Metode magnetotelurik dapat digunakan untuk
mencari tahu kedalaman yang cocok untuk eksplorasi geotermal. Konsep yang mendasari
gelombang magnetotelurik pada gelombang elektromagnetik terdapat pada (gambar 2).
Sumber metode magnetotelurik yang berupa medan elektromagnetik alami (medan
elektromagnetik primer) sampai ke bumi dengan memiliki variasi terhadap waktu.
Medan elektromagnetik tersebut menginduksi ore body dibawah permukaan Bumi
sehingga timbul eddy current (arus telluric) yang menghasilkan medan elektromagnetik
sekunder. Receiver (RX) yang terdapat di permukaan menangkap total medan
elektromagnetik sebagai penjumlahan dari medan elektromagnetik primer dan medan
elektromagnetik sekunder (Unsworth, 2005).

C. Persamaan Maxwell
Persamaan Maxwell dapat dideskripsikan berdasarkan suatu persamaan yang
melibatkan medan listrik dan medan magnet. Secara umum, persamaan Maxwell yang
menjadi konsep dasar magnetotelurik terdiri atas 4 persamaan, yang terdiri dari Hukum
Faraday, Hukum Ampere, Hukum Gauss dan Hukum Gauss Magnetik. Dalam bentuk
diferensial, persamaan Maxwell dapat dituliskan sebagai berikut:

D. Mode Pengukuran Magnetotelurik

297
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C012UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Mode Transverse Electric (mode TE) adalah salah satu mode dalam eksplorasi
magnetotelurik dengan komponen medan listrik sejajar dengan arah struktur utama.
Komponen yang terdapat pada sumbu y dan z hanya komponen magnetiknya saja. Pada
mode TE, medan listrik yang melewati sumbu x (Ex) dapat berasosiasi (kontinyu) pada
sumbu x. Hal tersebut karena medan listrik sejajar dengan kontak vertikal (strike),
sehingga mode TE dapat memetakan lapisan konduktif secara lateral dengan baik.
Mode Transverse Magnetic (Mode TM) adalah komponen yang menunjukkan
bahwa medan magnet sejajar dengan arah struktur utamanya. Pada mode ini komponen
yang menunjukkan pada bidang arah sumbu y dan z hanya komponen medan listrik saja,
sedangkan komponen medan magnet sejajar dengan arah struktur utama. Pada mode
TM, medan listrik yang melewati sumbu y (Ey) mengalami diskontinyuitas, hal tersebut
disebabkan oleh perbedaan konduktivitas akibat kontak vertikal (strike) pada sumbu x).
Oleh karena itu, mode TM tidak baik dalam memetakan anomali atau lapisan secara
lateral. Medan listrik yang melewati sumbu z (Ez) dapat berasosiasi dengan baik
(kontinyu) dan tidak terpengaruh adanya perbedaan konduktivitas pada kontak vertikal
(strike), sehingga mode TM dapat memetakan anomali atau lapisan secara vertikal dengan
baik. Ilustrasi mode pengukuran magnetotelurik terdapat pada gambar 3 (Simpson dan
Bahr, 2005).

Persamaan mode TE dapat dituliskan sebagai berikut,

Persamaan mode TM, dapat dituliskan sebagai berikut,

E. Sistem Panas Bumi


Sumber panas bumi terbentuk dari dapur magma yang terdapat dibawah
permukaan bumi. Panas yang berasal dari magma akan berpindah melalui proses
konveksi maupun konduksi ke batuan sekitarnya dengan bantuan air. Proses transfer

298
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C012UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

panas pada fluida panas secara konveksi ke batuan disekitarnya terjadi hingga tercapai
kesetaraan temperatur. Volume dan tekanan akan meningkat seiring terjadinya
peningkatan temperatur (Rulia, 2012).
Manifestasi permukaan dapat digunakan sebagai petunjuk adanya potensi panas
bumi dibawah permukaan disekitar lokasi. Manifestasi permukaan adalah fluida yang
keluar dari permukaan akibat tekanan pada fluida. Manifestasi permukaan yang berupa
uap disebut dengan fumarol dan manifestasi permukaan yang berupa air panas disebut
sebagai hot spring.
Proses akumulasi panas terjadi apabila terdapat fluida yang terperangkap
dibawah batuan impermeable. Lokasi terjadi proses akumulasi panas disebut dengan
reservoir. Batuan alterasi adalah batuan impermeable yang mengalami perubahan struktur
dan sifat batuan akibat proses akumulasi panas. Bauan alterasi berfungsi sebagai batuan
penudung atau clay cap untuk menjaga akumulasi panas di reservoir (Dickson dan
Fanelli, 2004). Berdasarkan pernyataan diatas, terdapat tiga elemen penting pada sistem
geotermal: (1) batuan reservoir bersifat permeable, (2) air untuk menghantarkan panas
dari reservoir menuju permukaan, dan (3) sumber panas. (gambar 4) merupakan
penggambaran sederhana dari sistem panas bumi yang ideal. Berdasarkan kriteria
geologi, geofisika, hidrologi dan engineering, sistem panas bumi terdiri dari lima tipe
dasar: Young Igneous System, Tectonic System, Geopressure System, Hot Dry Rock System dan
Magma Tap System.

III. METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan 16 data magnetotelurik dalam format .EDI dan 16
data TDEM dalam format .USF di lapangan panas bumi Arjuno Welirang. Proses
pengolahan data magnetotelurik hingga interpretasi dapat terdapat pada diagram alir
dibawah ini (gambar 5). Penelitian dimulai dari pengolahan data magnetotelurik dengan
format .EDI. Data magnetotelurik dengan format .EDI didapatkan dari proses
pengolahan robust processing dan crosspower. Hal yang pertama kali dilakukan adalah
membuat database dan project serta import data .EDI. Data magnetotelurik dengan format
.EDI yang telah di import ke project kemudian dilakukan plotting koordinat, sehingga
menghasilkan peta elevasi pada wilayah pengukuran. Setelah itu dilakukan profiling atau
pembuatan lintasan pada peta sesuai titik pengukuran. Proses ini berguna sebagai
menentukan wilayah yang akan dilakukan permodelan. Peta elevasi tersebut
menggambarkan desain akuisisi dari data yang akan diolah.

A. TDEM (Time Domain Electromagnetic)


TDEM (Time Domain Electromagnetic) adalah metode elektromagnetik aktif yang
memanfaatkan difusi dari gelombang elektromagnetik untuk membedakan lapisan di
bawah permukaan berdasarkan perbedaan nilai konduktivitas atau resistivitas batuan.
Pengukuran TDEM dilakukan pada frekuensi diatas 100 Hz sehingga hasilnya akan lebih
akurat pada lapisan dangkal. Pengolahan inversi 1-D data TDEM menggunakan model
parameter sebanyak 8 layer sedangkan untuk detail model menggunakan layer sebanyak
20. Maksimal RMS yang digunakan sebesar 5% dengan iterasi 10 serta parameter
kedalaman maksimum 200 meter.

299
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C012UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

B. Koreksi static shift


Koreksi static shift dilakukan pada kurva TE (transverse electric) dan kurva TM
(transverse magnetic) untuk menghilangkan efek statik yang biasa terjadi di lapisan
dangkal pada data. Efek statik menyebabkan kurva TE dan kurva TM menjadi terpisah
yang idealnya dalam kondisi berhimpit. Pada penelitian ini koreksi static shift dilakukan
dengan menggunakan data Time Domain Elektromagnetic (TDEM). Hal tersebut
dikarenakan TDEM hanya melibatkan pengukuran medan magnet sekunder akibat
terjadinya induksi medan magnet primer sehingga data TDEM tidak mengalami efek
static shift. Pengolahan koreksi static shift dilakukan pada masing-masing titik
pengukuran, salah satu contoh titik MT sebelum dilakukan koreksi static shift dan
sesudah dilakukan koreksi static shift terdapat pada (gambar 6 dan 7).

C. Smoothing
Proses smoothing adalah proses penghalusan kurva magnetotelurik berdasarkan
pola kurva rho apparent terhadap pola kurva derajat fase magnetotelurik. Proses
smoothing pada penelitian ini menggunakan metode D+ yaitu metode smoothing untuk
membuat kurva smoothing berdasarkan nilai pada kurva TE-TM dan kurva fase dengan
batas error yang ditentukan pada masing-masing kurva. Hasil kurva MT yang telah
dilakukan proses smoothing terdapat pada (gambar 8).

D. Inversi 1-D
Algoritma yang digunakan pada pengolahan inversi 1-D adalah Occam.
Parameter inversi 1-D terdiri dari sejumlah 4 layer, nilai maksimum RMS yang ditentukan
secara default yaitu 5 dan dan maksimum iterasi yang ditentukan secara default yaitu 30.
Sedangkan parameter inversi Occam terdiri dari jumlah layer sejumlah 4, nilai maksimum
iterasi sebanyak 10 kali, start resistivity sebesar 100 Hz dan kedalaman minimum serta
kedalaman maksimum yang ditentukan secara default. Inversi 1-D dilakukan pada mode
TE dan mode TM yang dibuat berdasarkan kurva hasil smoothing. Setelah pengolahan
inversi 1-D, selanjutnya dilakukan pengolahan cross section.

Cross section merupakan hasil pemodelan inversi 1-D pada masing-masing titik
pengukuran dalam satu lintasan yang dikorelasikan dan ditampilkan dalam bentuk
penampang jarak dan elevasi. Parameter yang digunakan pada cross section adalah faktor
interpolasi. Titik sounding merupakan visualisasi titik pengukuran yang telah dilakukan
inversi 1-D.

E. Inversi 2-D
Setelah dilakukan inversi 1-D, pengolahan selanjutnya adalah membuat model
inversi 2-D. Analisis yang dilakukan dalam proses inversi ini adalah analisis data
lapangan dengan cara melakukan pencocokan antara model secara matematis dengan
data lapangan. Tujuan untuk membuat pemodelan 2-D adalah untuk mendapatkan
distribusi nilai resistivitas bawah permukaan terhadap kedalaman serta untuk estimasi
parameter fisis batuan yang tidak diketahui sebelumnya (unknown parameter). Seperti
halnya pengolahan pada inversi 1-D, pada pengolahan 2-D ini dilakukan dengan mode
300
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C012UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

TE dan TM. Hasil dari pemodelan 2-D nantinya akan diinterpretasi untuk mengetahui
kondisi bawah permukaan.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Inversi 1-D
Inversi 1-D menggunakan algoritma Occam. Data setiap titik pengukuran pada
setiap lintasan akan dimodelkan 1-D pada mode TE dan mode TM. Pada inversi 1-D
terdapat dua kurva yang terdiri dari kurva kalkulasi dan kurva observasi. Berikut adalah
hasil pemodelan inversi 1-D salah satu titik (MT15) pada lintasan 1 dengan menggunakan
mode TE (gambar 9) dan mode TM (gambar 10) .
Pemodelan inversi 1-D mode TE pada lintasan 1 dilakukan untuk seluruh titik
sounding dan diperoleh nilai RMS error maksimum dari masing-masing mode. RMS error
pada mode TE lintasan 1 sebesar 0.0811 dan pada mode TM sebesar 0.0897. Pada titik
MT15 ini dapat diketahui bahwa nilai resistivitas yang dihasilkan perkedalam diperoleh
dari proses mencocokkan kurva kalkulasi (kurva kanan) dengan kurva observasi (kurva
kiri), sehingga didapatkan bentuk kurva yang paling ideal dengan nilai error terkecil.
Perbedaan kurva yang dihasilkan dari data dengan mode TE (gambar 8) dan mode TM
(gambar 9) menyebabkan perbedaan nilai resistivitas yang dihasilkan dan juga perbedaan
kedalaman untuk setiap titik sounding. Perbedaan tersebut terjadi akibat perbedaan nilai
rho apparent dan phase dari setiap kurva TE dan TM. Perbedan bentuk hasil inversi
kurva kalkulasi dan kurva observasi dari masing-masing mode tidak begitu mencolok,
sehingga nilai resistivitas yang dihasilkan tidak begitu berbeda.

B. Cross Section
Cross section pada lintasan 1 terbagi atas beberapa zona resistivitas yaitu zona
resistivitas rendah, zona resistivitas sedang dan zona resistivitas tinggi. Berdasarkan
penampang cross section lintasan 1 yang membentang dari barat ke timur mode TE
(gambar 11), zona resistivitas rendah berada pada nilai resistivitas sebesar 7-12 Ωm
dengan tebal 2000 m yang menipis di bagian tengah dan menebal ke arah timur. Zona
resistivitas sedang dengan nilai resistivitas sebesar 13 – 65 Ωm memiliki ketebalan sebesar
3000 m yang menipis di bagian tengah. Zona resistivitas tinggi dengan nilai resistivitas
sebesar 70 – 300 Ωm setebal 3500 m pada jarak 4400 – 6200 m dari titik pertama pada
lintasan 2 atau diantara titik MT55 dan MT85.

Pada penampang cross section lintasan 2 mode TM (gambar 12), zona resistivitas
rendah berada pada nilai resistivitas sebesar 9-15 Ωm dengan tebal 1500 m yang menebal
ke arah timur. Zona resistivitas sedang dengan nilai resistivitas sebesar 16 – 65 Ωm
memiliki ketebalan sebesar 2500 m yang menipis pada bagian tengah. Zona resistivitas
tinggi dengan nilai resistivitas sebesar 70 – 300 Ωm setebal 3000 m pada jarak 3000 – 4200
m dari titik pertama pada lintasan 2 atau diantara titik MT22 dan MT55.

C. Interpretasi Inversi 2-D

301
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C012UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Lintasan penelitian berada di Formasi Gunung Api Arjuno – Welirang (Qvaw)


yang menghubungkan Air Panas Cangar dan Gunung Arjuno yang membetang dari arah
barat ke timur. Berdasarkan informasi geologi, lintasan ini melewati satu buah sesar yaitu
Sesar Padusan yang mengarah dari utara ke selatan. Interpretasi lintasan penelitian mode
TE terdapat pada gambar 13 dan mode TM terdapat pada (gambar 14).

Lapisan pada ketinggian 1500 - 2000 m diinterpretasikan sebagai lapisan


overburden dengan rentang resistivitas 105 – 200 Ωm. Lapisan resistivitas rendah dengan
nilai rentang 7 – 12 Ωm yang terbentang dari titik MT62 sampai titik MT98
diinterpretasikan sebagai lapisan batuan penudung yang diduga merupakan Lava Arjuno
(Qlar) yang masih masif dan belum terekahkan secara kuat. Rendahnya nilai resistivitas
batuan vulkanik tersebut mencerminkan batuan vulkanik dari Gunung Arjuno yang telah
mengalami proses alterasi. Pada data dengan mode TE lapisan batuan penudung tersebar
pada ketinggian 1700 hingga kedalaman 1000 m (setebal 2000 m), sedangkan pada data
mode TM tersebar pada ketinggian 1000 m hingga kedalaman 1000 (setebal 2000 m.
Dibawah lapisan batuan penudung, terdapat sebaran nilai resistivitas sedang dengan
rentang resistivitas 13 – 65 Ωm yang diinterpretasikan sebagai lapisan reservoir dan
diduga merupakan Aliran Piroklastik Arjuno (Qapaw) yang telah mengalami deformasi
pada masa kuarter tengah sehingga kemungkinan membentuk pola rekahan dan bersifat
permeabel. Pada data dengan mode TE dan mode TM lapisan batuan reservoir tersebar
pada kedalaman 0 – 3000 (setebal 500 m. Lapisan resistif dengan nilai rentang nilai
resistivitas sebesar 70 – 300 Ωm diinterpretasikan sebagai heat source atau sumber panas
yang mengontrol sistem panas bumi ini. Lapisan heat source diduga sebagai Lava Pra
Arjuno Welirang (Qlaw). Lapisan heat source pada mode TE dan mode TM d terdapat
pada kedalaman yang sama yaitu 0 – 3000 m pada jarak 2500 – 5500 m dari titik pertama
(MT62). Interpretasi Sesar Padusan berdasarkan pemodelan inversi 2-D pada lintasan
penelitian hanya terlihat pada mode TM.

V. KESIMPULAN
Kesimpulan yang didapatkan berdasarkan tujuan pengerjaan tugas akhir ini
adalah:
1. Pengaruh mode pengukuran dalam pemodelan data dapat mempengaruhi nilai
resistivitas yang dihasilkan baik dalam pemodelan inversi 1-D maupun pemodelan
inversi 2-D. Hasil pengolahan data dengan menggunakan mode TE (transverse electric)
memiliki sensitivitas yang baik dalam memetakan resistivitas rendah (konduktif) secara
lateral, seangkan hasil pengolahan data dengan mode TM (transverse magnetic) memiliki
sensitivitas yang baik dalam memetakan resistivitas tinggi secara vertikal. Hasil inversi
dengan mode TE tidak menunjukkan adanya struktur pada daerah penelitian, sedangkan
hasil inversi dengan mode TM dan menunjukkan adanya struktur yang diperkirakan
berupa sesar di daerah penelitian.

2. Sistem panas bumi yang teridentifikasi dalam penelitian adalah sistem panas
bumi vulkanik. Lapisan batuan penudung (cap rock) dengan nilai resistivitas 7 – 12 Ωm

302
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C012UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

setebal 1700 m. Lapisan reservoir dengan nilai resistivitas 13 – 65 Ωm setebal 500 m.


Lapisan heat source dengan nilai resistivitas 70 – 300 Ωm setebal 2500 m Terdapat kontras
resistivitas pada resistivitas rendah yang diduga sebagai Sesar Padusan.

ACKNOWLEDGEMENTS
Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Wien Lestari, S.T.,M.T selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan banyak
waktu untuk memberikan bimbingan, arahan, dan dukungan.

2. Deni Saputra, S.Si.,M.Si selaku pembimbing eksternal yang telah memberikan arahan
serta dukungan selama penyusunan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA
Bemmelen, V.R.. (1949), The Geology of Indonesia Vol. IA, Martinus Nijhoff, The Hague,
Netherland.
Daud, Y. dan Iskandar, C. (2013), Pemodelan dan Inversi 3-Dimensi Data Magnetotellurik untuk
Mendelineasi Sistem Geotermal, Depok.
Dickson, M.H. dan Fanelli, M. (2004), What is Geothermal Energy?, Instituto di Geoscienze e
Georisorse, Pisa.
Hermance, J.F. (1973), "Processing of Magnetotelluric Data", Physics of The Earth and Planetary
Interiors, North-Holland Publishing Company, Amsterdam, hal. 349–364,.
Kirana, K. (2015), Pemodelan Data MT 2-D dan Perbandingan Modus TE dan TM Studi kasus:
Lapangan Panasbumi Marana, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, Diambil dari
http://etd.repository.ugm.ac.id/.
Nuraini, F. (2017), Analisis Resistivitas Terhadap Pengaruh Mode Pada Pengolahan Data
Magnetotellurik (Studi Kasus Daerah Panasbumi ’Z’), Universitas Hasanuddin.
Rulia, C. (2012), Pengolahan Data Magnetotellurik 2-Dimensi Pada Lapangan Panasbumi Marana,
Sulawesi Tengah, Universitas Indonesia.
Santosa, S. dan Suwarti, T. (1992), Peta Geologi Lembar Malang, Jawa Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi, Bandung.
Simpson, F. dan Bahr, K. (2005), Practical Magnetotellurics, The Press Syndicate of the University
of Cambridge, Cambridge.
Unsworth, M. (2005), "New Developments in Conventional Hydrocarbon Exploration with
Electromagnetic Methods Focus Article Cont ’ d", Focus Article (Coordinated by Helen
Isaac), No.April, hal. 35–39.

303
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C012UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Peta Desain Akuisisi Daerah Panas Bumi Arjuno – Welirang

304
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C012UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Konsep Dasar Metode Magnetotelurik (Unsworth, 2005)

Gambar 3. Perbedaan mode TE dan mode TM (Simpson dan Bahr, 2005)

305
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C012UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Penggambaran skematik dari sebuah sistem panas bumi yang ideal (Dickson dan Fanelli,
2004)

306
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C012UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. Diagram Alir Penelitian

307
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C012UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 6. Titik MT09 sebelum dilakukan koreksi static shift

Gambar 7. Titik MT09 setelah dilakukan koreksi static shift

308
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C012UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 8. Titik MT09 setelah smoothing

309
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C012UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 9. Inversi 1-D dengan mode TE pada lintasan 1 titik MT15

Gambar 10. Inversi 1-D dengan mode TM pada lintasan 1 titik MT15

310
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C012UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 11. Penampang cross section lintasan 1 mode TE

Gambar 12. Penampang cross section lintasan 1 mode TM

311
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C012UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 13. Interpretasi pemodelan inversi 2-D mode TE

Gambar 14. Interpretasi pemodelan inversi 2-D mode TM

312
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C030UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

PARENT FLUID AND FLUID FLOW STUDY OF SONGA-WAYAUA, SOUTH


HALMAHERA GEOTHERMAL RESERVOIR BASED ON WATER
GEOCHEMISTRY
Aditya Yuda Kencana1*, Niniek Rina Herdianita2
1Geological Engineering Program, Faculty of Earth Science and Technology, Institute of Technology
Bandung, Bandung 40132, Indonesia,
2Volcanology, Geochemistry, and Geothermal Research Group, Faculty of Earth Science and

Technology,Institute of Technology Bandung, Bandung 40132, Indonesia


*Corresponding Author: Adityayudakencana@gmail.com

ABSTRAK. Geologically, Songa-Wayaua located on the Halmahera volcanic arc. The are several
volcanoes such as Lansa and Bibinoi, and geological structures such as Wayaua, Lapan, Pele and
Tawa faults. The presence of the geothermal system in the Songa-Wayaua field is characterized by
hot springs, fumaroles, and altered rocks. The manifestations of hot springs that present are Songa
hot springs (MAPS 1, MAPS 2, and MAPS 3) and Wayaua (MAPW). Fumarole was discharged at
the MAPS 1 and MAPS 2. This study aimed to determine the parent fluid chemistry, temperature,
and pH in the reservoir and hydrothermal fluid flow. The analysis was used anions and cations of
hotsprings. Based on the analysis results, the fluid that appears as a manifestation has boiled in
subsurface at 131˚C and 103.5˚C, then mixed with sea water. The mixed seawater fraction and the
fractions of water and steam when boiling were calculated using the heat balance and mass
balance. From the calculation, the results show that there are two Cl/B ratio clusters. The first
cluster consists of MAPS 1, MAPS 2, and MAPS 3. While the second cluster is MAPW. These are
interpreted that there are two different reservoirs. This is supported by the geological conditions of
the two spring zones separated by a normal fault located in Songa-Wayaua bay. Based on the
Giggenbach Na-K geothermometer, Songa reservoir temperature was 250 ± 10˚C and Wayaua
reservoir was 175 ± 10˚C. The results of H2CO3 and CaCO3 equilibrium analysis show the pH of the
two reservoirs included in the neutral to slightly basic fluid valued at 5.45 – 8.44. So that it is
interpreted that the MAPS 1 and MAPS 2 springs discharge in the upflow zone, which are also
indicated by fumarole discharge and Na/K ratio 15.

Kata kunci: geochemistry, Hg, Songa-Wayaua

I. INTRODUCTION
Fluids is the most importance component for heat transfer in geothermal system,
so the geothermal system also called as hydrothermal system. The hydrothermal fluids
that discharged in surfaces gives information about reservoir condition in subsurface,
such as temperature, pH, and hydrogeologic process (mixing, boiling, and fluid flow).
The chemical composition of hydrothermal fluids, like major, minor, trace elements, and
stable isotopes can be used for reservoir characterization.
This paper discusses about characteristic of parent fluid and fluid flow based on
geochemistry of hot springs in Songa-Wayaua geothermal field. The objectives of this
research are to know the reservoir fluid chemistry, temperature, pH reservoir, and
hydrogeology of geothermal fluids. The analysis applied on anion and cation data of hot
springs from Geology Survey of Indonesia (PSDG).

313
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C030UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

The research area is on Songa-Wayaua, South Halmahera, North Maluku


province, Indonesia. This area belongs to Halmahera volcanic arc. The subduction of
Molluca plate to Pacific plate produces a kind of volcanoes such as Lansa and Bibinoi, and
geologic structures like Wayaua, Lapan, Pele, and Tawa fault (Malaihollo and Hall, 1996).
This geology setting is an favor condition for geothermal system in Songa-Wayaua.
Based on geology map in (Figure 1), metamorphic rocks from Sibela Formation
(Ks) occupy the oldest rock. Volcanism periods in this area during Oligocene-Miocene,
has deposited volcanic breccia from Bacan Formation (Tomb). Then in Miocene, limestone
and sandy limestone from Ruta Formation (Tmr) were deposited. In Quaternary, there is
reef limestone (Ql), Holocene volcanic rock (Qhv), and alluvium (Qa) (Malaihollo and
Hall, 1996).

II. METHODS
The geothermal data from PSDG in Songa-Wayaua consist of chemical
composition of hot springs. The data was analyzed geochemically using excel program
Powell (2010). The chemical composition of hot springs was used to calculate the fluid
chemistry in reservoir condition, reservoir temperature, pH, and flow pattern. This
analysis include plotting in to Cl- HCO3-SO4, Cl-Li-B diagram, geothermometers, CaCO3
and H2CO3 equilibrium, heat balance, and mass balance. The heat balance equation was
used for calculate mixing ratio between reservoir fluids with another fluids. Those
analysis is used to build the conceptual model of Songa-Wayaua geothermal field.

III. RESULT AND DISCUSSION


3.1 Geothermal Manifestation
Based on PSDG (2009), geothermal manifestations in Songa-Wayaua are hot
springs, fumarole, and altered rocks. There are 4 hot springs (Figure 1) that divided into 2
clusters, in Songa cluster consist of MAPS 1, MAPS 2, and MAPS 3, in Wayaua cluster
consist of MAPW. Fumarole was discharge in MAPS 1 and MAPS 2 at 103.50C.
Sodium concentration in all manifestation range from 489.68 – 8558.40 mg/L,
chloride concentration range from 878.0 – 16933.5 mg/L. Based on Cl-HCO3-SO4 diagram
(Figure 2), all manifestations belong to chloride water. Beside that, the manifestations
located near the beach. Those are an indication that there is mixing between
hydrothermal fluids from reservoir with sea water. The mixing with meteoric water is
assumed not dominant compared to sea water. So for reservoir characterization, it needs
to calculate hydrothermal fluids and sea water fractions that are mixed. This calculation
was used heat balance, mass balance, and Cl-Enthalpy diagram.

3.2 Source of Hydrothermal Fluids and Reservoir


Based on Nicholson (1993), similarity of Cl/B ratio will show same reservoir. Cl-Li-
B diagram on Figure 3 shows ratio of Cl/B in 4 hot springs. The differences of the
reservoir between Songa and Wayaua caused by these two hot spring cluster separated
by a bay with normal fault. This morphology and structures act as a barrier that block
fluid flow between Songa and Wayaua system. So, Songa reservoir is the source of

314
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C030UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

hydrothermal fluids for MAPS 1, MAPS 2, and MAPS 3, while Wayaua reservoir is source
for MAPW.
The existence of Songa reservoir also indicated by discharged of fumarole. The
location where fumarole discharge will show upflow and permeabel zone in Songa
system. The absent of fumarole in Wayaua system possibly caused by thick caprock and
less permeable that in Songa system. This idea was strengthen by there is no other
manifestation, except MAPW.

3.3 Reservoir Temperature


Reservoir temperature estimation is done by using solute geothermometers Table
1. This estimation used chemical composition of hydrothermal fluids that already
separated with sea water mixing. The result of some geothermometers was also compared
by fumarole indication. The existence of fumarole in geothermal systems shows high
enthalpy system with temperature more than 2250C (Hochstein and Browne, 2000). Songa
reservoir has fumarole discharge, so it will has a high temperature.
Na-K geothermometer was chosen to estimate reservoir temperature in Songa-
Wayaua geothermal field. This geothermometer is favorable because the hot springs have
dominant cation as sodium and potassium. Hot spring which is used to estimate in Songa
system is MAPS 1 and in Wayaua system is MAPW, because it have the lowest Mg
concentration. Based on Nicholson (1993), the higher in Mg, will show the intense of
dilution process. Songa reservoir has temperature about 250 ± 100C, while Wayaua
reservoir has temperature about 170 ± 100C.

3.4 Mixing Ratio


Below the surfaces, the dominant process of fluids are mixing and boiling
(Nicholson, 1993). In Songa-Wayaua, there is mixing between hydrothermal fluids with
sea water near surface. The assumption of Cl concentration in sea water is 19.350 mg/L
and temperature 20oC (Nicholson, 1993).The assumed process shows in Figure 4.
The Songa reservoir fluids (2500C) was boiling first at K-Mg geothermometer
temperature (1310C), and the second phase at fumarole temperature (103.50C), then
mixing with sea water near surface. While in Wayaua system, reservoir fluids was being
conductive cooling until K-Mg geothermometer temperature (720C), then mixing with sea
water. The fraction of hydrothermal fluids and sea water that mixed was calculate using
heat balance that following equation (1) below (Nicholson, 1993).

where: H1 : water enthalpy of hotspring H2 : water enthalpy of sea water


H3 : water enthalpy of hydrothermal fluids x : fraction of sea water
y : fraction of hydrothermal fluids

3.5 Boiling Ratio


Boiling process in hydrothermal fluids was calculated using heat balance in
equation (1). From Cl-Enthalpy diagram in Figure 4, fluids from Songa reservoir was
boiled at 131oC (550.6 J/g), then flashing again at 103.50C (433.8 J/g), the condensate fluids

315
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C030UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

from this second boiling was mixed with sea water. While the reservoir fluid of Wayaua
system was cooling conductively until 720C (301.4 J/g), then mixed. The calculation of
water and steam fraction from boiling process using assumption heat balance following
the equation (1), with H1 is water enthalpy of reservoir fluid, H2 is water enthalpy of
boiling temperature, and H3 is steam enthalpy of boiling temperature.
From the calculation, water and steam fraction that resulted from boiling process
showed in Table 2. Then, chemical composition of reservoir fluids calculated using mass
balance. The calculation was applied on fluids before mixing. The assumption that was
used is all solute elements just exist in water phase. This is an equation of mass balance
(Nicholson, 1993). C_( reservoir )=x C_water+y C_steam (2) where C is concentration of
element.

3.6 pH Reservoir
Based on Nicholson (1993), one of the most important parameter to be identified
but can’t be measured directly at the surface is reservoir pH. There are several estimation
methods, but the methods that consider the existence of CO2 which is dominant in
geothermal system, are CaCO3 and H2CO3 equilibrium. The result of parent fluid
calculation both in Songa and Wayaua reservoir were applied in pH estimation equation
(Table 3).
From the calculation, pH in Songa reservoir based on H 2CO is 8.44 and based on
CaCO3 is 5.99, the neutral pH at reservoir temperature (2500C) is 5.60. So this reservoir
belongs to slightly basic pH. While the pH in Wayaua reservoir based on H 2CO3
equilibrium is 5.45 and from CaCO3 is 6.25. The neutral pH in Wayaua reservoir (1750C) is
5.72, so this reservoir belongs to neutral pH.
Because both reservoir categorized to neutral pH, the corrosion potency is very
low. This was strengthened by there is no magmatic elements in the hot springs fluid
such as fluorine, so the magmatic input isn’t dominant.

3.7 Conceptual Model


There are two geothermal system in Songa-Wayaua based on Cl/B ratio analysis
before. Fluid flow pattern (upflow and outflow) in Songa system can be identified by
using geoindicators, but not in Wayaua system, because the lack of manifestation that
discharged in Wayaua system. Table 4 shows geoindicators in hot springs.
In Songa system, Na/K ration in MAPS 1 and 2 show the value less than 15. Based
on Nicholson (1993), Na/K ratio less than 15 indicated an upflow zone. While the ratio of
Na/Mg and Na/Ca decrease from MAPS 1, MAPS 2, to MAPS 3. This pattern shows fluid
flow direction.The high in Mg and Ca content are result from mixing with meteoric water
or groundwater, and water-rock interaction. Those process occur simultaneously with
lateral flow. So, Na/Mg and Na/Ca decrease.
Beside that, the decrease of SO4/HCO3 ratio will show lateral flow. This condition
because of the solubility of H2S is higher than CO2. So during upflow and boiling process,
solute H2S in water phase is higher than in gaseous phase, and occur inverse in CO 2.
Solute H2S will form SO42-,, so the sulphate content much higher in hot spring in upflow

316
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C030UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

zone. Based on calculation, SO4/HCO3 ratio decrease from MAPS 1 to MAPS 3, so lateral
flow direction is from MAPS 1, MAPS 2, to MAPS 3.
From Na/K, Na/Mg, Na/Ca, and SO4/HCO3 geothermometers, it can be interpreted
that upflow zone located in MAPS 1 and MAPS 2 area, and hydrothermal fluid flow
laterally to MAPS 3. While in Wayaua system, Na/K ratio value is more than 15, this
condition interpreted that MAPW was discharged in outflow zone. The absence of
manifestation that can indicate the upflow zone in Wayaua system, possibly cause by
thick caprock and impermeable system. This was strengthened by the presence of fewer
fault than in Songa system.
The conceptual model of Songa-Wayaua geothermal system in NW-SE direction
showed in Figure 5.

IV. CONCLUSION
Hot springs that discharged in Songa-Wayaua geothermal field was mixed with
sea water and boiled. There are two reservoir in research area, that is Songa reservoir
which is being the source of MAPS 1, MAPS 2, and MAPS 3, and Wayaua reservoir that
being source of MAPW.
Based on Na-K geothermometer, Songa reservoir has temperature about 250 ± 100C
dan Wayaua reservoir about 170 ± 100C. Both reservoir have neutral to slightly basic pH
with value around 5.45 – 8.44. The upflow zone is located in MAPS 1 and MAPS 2 zone
that indicate by fumarole discharge.

REFERENCES
Hochstein, M.P. and Browne, P.R.L.: Surface Manifestation of Geothermal System with Volcanic
Heat Sources. In Encyclopedia of Volcanoes, H. Sigurdsson, B.F.Houghton, S.R. McNutt,
H. Rymer dan J. Stix (eds.), Academic Press, (2000).
Malaihollo, J. F. A. and Hall, R: The Geology and Tectonic Evolution of the Bacan Region, East
Indonesia, Geological Society, London, Special Publications (1996).
Nicholson, K.: Geothermal Fluids, Chemistry and Exploration Techniques, Springer-Verlag, Berlin
Heidelberg, (1993).
Survey Team: Geology, Geochemistry, and Geophysical Survey of Songa-Wwayaua Geothermal
Area, South Halmahera, North Maluku province, report, Geology Survey of Indonesia
(PSDG), Bandung (2009).

Table 1. The table below is solute geothermometers in Songa and Wayaua system. In Songa system, only
Na-K geothermometers that shows high temperature.
317
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C030UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Geothermometers (oC)

Hotspring Na/K K/Mg


Quartz
Giggenbach Na-K-Ca Giggenbach
conductive
1988 1986

MAPS 1 130 254 218 114


MAPS 2 72 236 202 103
MAPS 3 101 181 86 51
MAPW 37 175 149 72

Table 2. The table below is water and steam fraction in Songa reservoir as result of boiling process.

x y
Fluids
(water fraction) (steam fraction)

HF 2/first boiling 0.73 0.27

HF 1/second boiling 0.95 0.05

Table 3. The table below is pH calculation in Songa and Wayaua reservoir .

Parameters Songa Wayaua


Reservoir Reservoir
Log K (H2CO3) -7.75 -6.99
Log K (CaCO3) 6.44 6.78
ɤ HCO3 0.57 0.55
ɤ H2CO3 1 1
ɤ Ca 0.13 0.12
ɤ CO2 1 1
pH (H2CO3) 8.44 5.45
pH (CaCO3) 5.99 6.25

Table 4. The table below is geothermometers in Songa and Wayaua reservoir.

Na/K Na/Mg Na/Ca SO4/HCO3

318
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C030UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

MAPS 1 7.72 18.10 12.10 32.08

MAPS 2 9.53 15.70 11.52 21.55

MAPS 3 20.49 5.55 4.87 0.18

MAPW 22.35 8.76 5.11 20.03

319
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C030UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 1. The figure above is geology map of Songa-Wayaua, South Halmahera (modified from Malaihollo
and Hall,1996)

320
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C030UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 2. The figure above is Cl-HCO3-SO4 diagram that showed all manifestation belong to chloride
water.

321
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C030UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 3. Thefigure above is Cl-Li-B diagram that showed there is two Cl/Bcluster,the first one
consist of MAPS 1, MAPS 2, and MAPS 3, another cluster consist of MAPW. The existence of two Cl/B
cluster showed there is two different reservoir system in Songa-Wayaua geothermal field.

322
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C030UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 4. The figure above is Cl-Enthalpy diagram for Songa and Wayaua system that showed mixing line
(blue line) between sea water and hydrothermal fluids that produced MAPS 1 and MAPW,theredlineis
boilingline, andgreendashed lineisrepresentconductive cooling process. HF 2 is hydrothermal fluids
from boiling at 131oC, HF 1 is hydrothermal fluids from boiling at 103.5oC, and HF Wayaua is hydrothermal
fluids that result from conductive cooling in Wayaua system. (a) In Songa system, fraction of hydrothermal
fluid that mixed is 0.96, and seawater fractionis0.04. (b)InWayauasystem, thefractionofhydrothermal
fluidis0.95, while sea water fraction is 0.05.

323
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C030UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 5. The figure above is conceptual model of Songa-Wayaua geothermal field. There are two
geothermal system: Songa and Wayaua. The upflow zone in Songa system located in MAPS 1 and MAPS
2 zone, and outflow in MAPS 3, while in Wayaua system, only outflow zone that can be identified, that is
in MAPW zone. Fluid from Songa reservoir was boiled at 131oC and 103.5oC, then mixed with sea
water. While Wayaua reservoir fluid was cooling conductively until 72oC, then mixed with sea
water.

324
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C031UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

KARAKTERISTIK DAN EVOLUSI MAGMA SYN-KALDERA DAN POST-


KALDERA BATUR, KABUPATEN BANGLI, BALI
I Wayan Warmada1*, Zahratun Nadirah1
1Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik UGM. Jl. Grafika No. 2 Yogyakarta 55281

*Corresponding Author: warmada@gmail.com

ABSTRAK. Gunung Batur merupkan gunung api aktif yang terletak di Pulau Bali. Gunung ini
telah mengalami fase erupsi kompleks yang secara umum dibagi menjadi 3 tahapan yaitu tahapan
pre-kaldera, post-kaldera, dan syn-kaldera. Tahapan erupsi tersebut menghasilkan 2 kaldera dan 9
kerucut gunung api dalam. Kompleksitas aktifitas vulkanik yang membentuk Gunung Batur
merupakan suatu hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut. Namun, penelitian mengenai
karakteristik dan evolusi magma pembentuk kerucut intrakaldera sejak tahun 1849 hingga 1974
belum dikaji secara menyeluruh. Oleh karena itu penelitian ini difokuskan pada studi mengenai
karakteristik lava dan evolusi magma dari fase pembentukan kaldera (synkaldera) hingga post-
kaldera (lava hasil erupsi tahun 1849 hingga tahun 1974). Metode penelitian yang dilakukan
meliputi penelitian lapangan dan analisis laboratorium. Analisis laboratorium terdiri atas analisis
petrografi untuk karakteristik tekstur dan mineralogi, analisis geokimia XRF, dan analisis
SEM/EDX untuk penentuan kimia mineral. Berdasarkan analisis petrografi, fenokris batuan yang
tersusun atas plagioklas, orthopiroksen, dan klinopiroksen untuk batuan syn-kaldera dengan
tekstur porfiroafanitik dan microlithic flow. Sementara batuan post-kaldera tersusun atas fenokris
plagioklas, klinopiroksen, oilivin ± orthopiroksen dengan tekstur porfiroafanitik dan tekstur
mikrolitik. Tekstur plagioklas secara umum didominasi oleh tekstur sieve, glomerocryst, dan tekstur
zoning. Kehadiran tekstur sieve dan zoning dapat dihasilkan oleh proses pencampuran dengan
lelehan yang kaya Ca. Hasil perhitungan suhu dengan thermometer palgioklas menunjukkan suhu
pembentukan magma berkisar antara 600-700˚C. Analisis geokimia batuan menunjukkan bahwa
kandungan SiO2 pada batuan syn-kaldera memiliki persentase lebih tinggi dibandingkan dengan
batuan postkaldera yang menunjukkan bahwa magma syn-kaldera telah terdiferensiasi lebih lanjut
menghasilkan magma yang lebih felsik daripada magma parentalnya yang bersifat basaltik.

Kata kunci: Gunung Batur, petrografi, kimia mineral, Evolusi magma, geokimia

I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Gunung Batur merupakan salah satu gunung api aktif yang terletak di utara
Pulau Bali. Gunung api ini merupakan bagian dari busur Sunda yang berasosiasi dengan
penunjaman ke arah utara lempeng Indo-Australia yang berada di bawah lempeng
Eurasia (Reubi dan Nicholls, 2005). Gunung Batur terdiri dari 2 kaldera dan 9 kerucut
yang berada di dalam kaldera yang lebih kecil (Rubin dkk.,1989).

Menurut Reubi dan Nicholis (2005), terdapat enam periode aktifitas vulkanik
yang terjadi pada Gunung Batur. Periode pertama merupakan periode terbentuknya

325
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C031UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

gunung api strato yang dikenal sebagai Gunung Penulisan. Periode kedua merupakan
periode runtuhnya kaldera I. Periode selanjutnya merupakan periode pembentukan
kompleks kubah lava Bunbulan dan kerucut tuf Payang yang berada di dalam kaldera I.
Periode keempat merupakan periode runtuhnya kaldera II Batur dengan erupsi ignimbrit
andesitik-dasitik yang dikenal sebagai ignimbrit Gunung kawi. Periode kelima
merupakan periode erupsi eksplosif dengan komposisi dasitik-andesitik yang
menghasilkan endapan piroklastik jatuhan yang dikenal sebagai endapan piroklastik
jatuhan Penelokan dan Penulisan. Periode terakhir merupakan periode pembentukan
kerucut stratovulkano Batur dengan tinggi 1.700 meter. Kerucut yang dihasilkan pada
periode terakhir merupakan kerucut yang berada di dalam kaldera II dengan komposisi
basaltis (Rubin dkk., 1989). Berdasarkan rekaman sejarah erupsi Gunung Batur, erupsi
pembentuk kerucut intrakaldera ini dimulai pada tahun 1849, 1888, 1904, 1905, 1921, 1926,
1963, 1968, dan 1974 (Kusumadinata, 1979; dalam Reubi dan Nicholls, 2004).

Kompleksitas aktifitas vulkanik yang membentuk Gunung Batur merupakan


suatu hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut. Namun, penelitian mengenai
karakteristik dan evolusi magma pembentuk kerucut intrakaldera sejak tahun 1849
hingga 1974 belum dikaji secara menyeluruh. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk
melakukan studi mengenai karakteristik dan evolusi magma dari fase pembentukan
kaldera (syn-kaldera) hingga post-kaldera (lava hasil erupsi tahun 1849 sampai dengan
tahun 1974). Penelitian bertujuan untuk mengetahui komposisi mineralogi, geokimia, dan
menginterpretasikan evolusi magma Gunung Batur dari tahap syn-kaldera hingga post-
kaldera.

Geologi Lokasi Penelitian


Gunung Batur terletak di sebelah timur Pulau Bali (Gambar 1). Morfologi Gunung
Batur berbentuk stratovolkano yang berada di tengah dari dua kaldera. Puncak dari
gunung api strato ini mencapai 1.700 mdpl dan sekitar 700 meter di atas lantai kaldera.
Tepi dari kaldera luar berbentuk elips dengan ukuran 13 km x 10 km dengan tinggi
antara 300-700 meter dari danau intrakaldera (Danau Batur) yang menutupi hampir
sepertiga dari lantai kaldera. Kaldera dalam berbentuk setengah lingkaran dengan
diameter sekitar 7 km (Wheller dan Varne, 1986).

Menurut Purbo-Hadiwidjojo dkk. (1998) stratigrafi daerah penelitian dari tua ke


muda tersusun atas: (1) Batuan Gunung Api Kelompok Buyan-Bratan dan Batur Purba
(Qvbb) yang terdiri atas litologi breksi gunung api dan lava serta di beberapa tempat
dijumpai tuf yang berumur Pleistosen, (2) Batuan Gunung Api Kelompok Buyan-Bratan
dan Batur (Qpbb), terdiri atas tuf dan lahar yang berumur Holosen, dan (3) Batuan
Gunung Api Batur (Qhvb), terdiri atas aglomerat, lava, tuf, sedikit lahar dan ignimbrit
yang dihasilkan dari vulkanisme Gunung Batur yang masih aktif.

326
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C031UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

II. METODE PENELITIAN


Penelitian ini dilakukan dengan pengamatan lapangan dan analisis laboratorium.
Analisis lapangan dilakukan untuk mengamati kondisi gemorfologi dan geologi lokasi
penelitian. Pada pengamatan lapangan juga dilakukan pengambilan sampel pada lava
Gunung Batur meliputi sampel kubah Lava Bunbulan yang mewakili batuan syn-kaldera
dan lava erupsi tahun 1849, 1888, 1905, 1926, 1963, dan 1974 yang mewakili lava post-
kaldera.
Selanjutnya dilakukan analisis laboratorium meliputi analisis petrografi untuk
mengamati tekstur dan komposisi mineral, analisis geokimia XRF (X-Ray Fluoresence)
untuk mengetahui oksida utama dan unsur jejak, serta analisis SEM/EDX (Scanning
Electron Microscope/Energy Dispersive X-ray Flourescent) untuk mengetahui komposisi
kimia mineral plagioklas dan piroksen. Pengamatan petrografi sebanyak 9 sampel
dilakukan di Laboratorium Geologi Optik Departemen Teknik Geologi UGM. Analisis
XRF seanyak 9 sampel di lakukan di laboratorium Badan Tenaga Nuklir Nasional
(BATAN) Jakarta. Analisis SEM/EDX sebanyak 3 sampel dilakukan di laboratorium Pusat
Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara (Puslitbang Tekmira)
Bandung.

III. HASIL
Petrografi
Pengamatan sayatan tipis dua sampel Lava Bunbulan (Gambar 2) menunjukkan
ukuran kristal halus <0,1 – 1 mm, dengan bentuk kristal subhedral hingga anhedral,
tekstur umum berupa tekstur porfiritik dengan tekstur khusus mikrolitik flow/trakhitik
yang menunjukkan adanya orientasi mikrolit plagioklas dengan massa dasar gelasan.
Komposisi kedua batuan syn- kaldera batuan tersusun atas fenokris plagioklas (6,6–
12,4%), sanidin (6–7%), klinopiroksen (6%), orthopiroksen (1–4,2%), olivin (0–2%), dan
mineral opak (5,4–11,6%). Massa dasar terdiri atas material gelasan (35,8–40%) dan
mikrolit plagioklas (24–25,8%). Plagioklas yang diamati menunjukkan tekstur glomerocryst
dan zoning.

Sementara itu, batuan post-kaldera tersusun atas batuan basalt berwarna hitam
dengan struktur vesikuler. Ukuran kristal berkisar antara <0,1–2 mm. Batuan memiliki
tekstur umum berupa tekstur porfiritik dengan tekstur khusus mikrolitik, yaitu tekstur
dimana mikrolit plagioklas tertanam pada massa dasar gelasan tanpa adanya orientasi
mineral. Batuan ini tersusun dari fenokris yang terdiri atas plagioklas dengan kelimpahan
22,6–28%, orthopiroksen dengan kelimpahan 2,4–13,2%, klinopiroksen dengan
kelimpahan 3–10%, olivin dengan kelimpahan 5,14–10,3%, dan mineral opak dengan
kelimpahan <1–4,2%. Massa dasar tersusun atas material gelasan sebanyak 23–32% dan
mikrolit plagioklas dan piroksen sebanyak 16,4–40,4%. Pengamatan tekstur plagioklas
menunjukkan kehadiran tekstur sieve yang dominan pada semua sampel. Dijumpai pula
tekstur glomerocryst dan zoning yang bervariasi, seperti oscillatory zoning dan patchy zoning.

Geokimia
327
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C031UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Komposisi oksida utama dan unsur jejak batuan Gunung Batur disajikan pada
Tabel 1. Batuan di daerah penelitian menunjukkan jenis batuan berupa trachyte untuk
sampel lava Bunbulan dengan kadar SiO2 antara 51,84– 69,20%. Batuan post-kaldera
menunjukkan komposisi basaltic trachyandesite, basalt, serta batuan trachybasalt dengan
kadar SiO2 antara 51,84–53,54% (Gambar 3). Plot antara oksida utama dan unsur jejak
dilakukan menggunakan diagram Harker, dimana sumbu X merupakan nilai SiO 2
sebagai indeks diferensiasi magma ( Gambar 4). Perbandingan SiO dengan unsur seperti
Al2O3, CaO, Fe2O3 , MgO, V, dan Ni menunjukkan korelasi negatif, dimana kenaikan SiO2
dibarengi dengan penurunan unsur-unsur tersebut. Sementara itu, kenaikan SiO2 diiringi
oleh peningkatan kadar Na2O dan unsur Ba.

Plotting dengan diagram laba-laba (Gambar 5) menunjukkan karakteristik batuan


pada zona penunjaman. Hal ini ditunjukkan dengan karektristik kurva yang meruncing
dan adanya pengayaan serta deplesi unsur-unsur tertentu. Tejadi pengayaan unsur Ba,
Rb, K, Sr, Th dan La, serta terjadi pula deplesi unsur Nb, Zr, P,dan Ti.

Kimia Mineral
Analisis SEM/EDX plagioklas pada sampel L1888, L1926, dan L1974 dilakukan
dari core menuju rim. Penembakan pada mineral piroksen dilakukan di bagian tengah
mineral. Penembakan pada mineral plagioklas menunjukkan bahwa kandungan An pada
sampel memiliki rentang antara An74 – An93 dengan jenis plagioklas anorthit dan
bitownit, sementara piroksen terdiri dari mineral klinopiroksen jenis augit dan mineral
orthopiroksen berupa klinoenstatit. Perhitungan suhu pembentukan magma dilakukan
dengan thermometri plagioklas. Reubi dan Nicholls (2005) menyebutkan bahwa adanya
kumpulan mineral plagioklas+olivin+klinopiroksen pada batuan basalt di lokasi
penelitian menunjukkan bahwa batuan stabil pada tekanan 5 kbar dengan kadar H2O <1,5
wt. %. Berdasarkan tekanan tersebut maka dilakukan plotting data kandungan An-Ab-Or
pada plagioklas dan diperoleh temperatur pembentukan magma berkisar antara 600 0–
7000C (Gambar 6).

Evolusi Magma Gunung Batur


Evolusi Mineralogi
Hasil pengamatan petrografi batuan beku menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan komposisi mineralogi antara batuan syn-kaldera dan batuan post-kaldera.
Perbedaan komposisi batuan antara batuan syn-kaldera dan post-kaldera menunjukkan
bahwa batuan syn-kaldera telah terdiferensiasi lebih lanjut sehingga menghasilkan
mineral ferromagnesian seperti olivin yang lebih sedikit dari batuan post-kaldera. Hal ini
juga didukung oleh data geokimia batuan, dimana kandungan SiO2 pada batuan syn-
kaldera jauh lebih tinggi daripada batuan post-kaldera.

Kehadiran mineral plagioklas yang melimpah pada batuan menunjukkan


kehadiran tekstur khusus pada mineral tersebut. Pengamatan tekstur pada mineral
penyusun batuan, terutama pada plagioklas berguna untuk mengetahui proses

328
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C031UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

magmatisme. Menurut Renjith (2014), tekstur glomerocryst disebabkan oleh proses


disolusi yang menyebabkan batas antarkristal mengalami pelelehan yang kemudian
mendingin dan bersatu dengan fenokris lainnya. Kehadiran tekstur sieve menunjukkan
bahwa magma telah mengalami proses disolusi disebabkan oleh dekompresi yang terjadi
pada magma dalam kondisi tidak jenuh H2O.

Ketidakhadiran mineral hidrous seperti amfibol maupun biotit menandakan


bahwa magma dalam kondisi yang tidak jenuh air. Selain itu, tekstur ini juga dapat
terjadi akibat adanya proses disolusi karena adanya reaksi dengan lelehan magma yang
kaya Ca. Sampel batuan post-kaldera menunjukkan zoning pada plagioklas dengan jenis
yang bervariasi. Sampel L1849, L1888, L1905, L1926, L1963A, L1963B, dan L1974
menunjukkan kehadiran tekstur patchy zone, yaitu tekstur core yang terkorosi berbentuk
seperti sponge kemudian terisi dan dikelilingi oleh plagioklas yang utuh. Sampel L1888,
L1926, dan L1974 menunjukkan tekstur oscillatory zoning. Tekstur ini terbentuk akibat
perubahan secara siklik pada beberapa parameter di dalam dapur magma seperti emisi
uap dari volcanic vent yang dapat menyebabkan fluktuasi konsentrasi air pada magma
sehingga mengakibatkan perubahan kondisi kristalisasi. Pada sampel L1963B dan L1974
dijumpai tekstur resoprtion surface, yaitu suatu batas yang memisahkan antara dua
tekstur pada plagioklas. Menurut Renjith (2014), tekstur ini merepresentasikan proses
disolusi yang intensif yang diakibatkan oleh perubahan temperatur, tekanan, dan kadar
air dalam skala yang cukup besar, misalnya karena adanya magmatic recharge. Kehadiran
tekstur batuan yang bervariasi ini menunjukkan adanya proses magmatisme yang
beragam pada pembentukan batuan Gunung Batur. Kehadiran tekstur zoning,
glomerocryst, dan sieve menunjukkan bahwa magma telah mengalami percampuran
dengan magma baru yang lebih panas, umumnya adalah magma basaltik dengan
kandungan Ca lebih tinggi.

Evolusi Geokimia
Gunung Batur merupakan gunung api di timur Busur Sunda yang terbentuk pada
0,5 juta tahun lalu (Wheller dan Varne, 1986). Aktifitas vulkanisme pada Busur Sunda
diakibatkan oleh adanya proses subduksi antar kerak samudera yang menghasilkan
busur kepulauan. Proses subduksi mengakibatkan terbentuknya vulkanisme dengan
magma primer berkomposisi basaltik.

Afinitas magma batuan menunjukkan bahwa batuan termasuk ke dalam seri


medium-K. Hasil analisis geokimia menunjukkan unsur K2O pada batuan syn-kaldera
sedikit lebih tinggi, sejalan dengan analisis petrografi, dimana batuan memiliki fenokris
yang terdiri atas plagioklas, sanidin, piroksen, dan sedikit olivin. Hal ini menunjukkan
bahwa batuan syn- kaldera Batur telah mengalami proses diferensiasi lebih lanjut.
Diferensiasi magma yang lebih lanjut pada batuan syn-kaldera ini juga ditandai dengan
kehadiran batuan piroklastik yang bersifat felsik seperti dijumpainya kerucut pumis
Payang, Ignimbrit Ubud, dan Ignimbrit Gunung kawi yang merupakan produk syn-
kaldera lainnya dengan periode pembentukan tidak begitu jauh terpaut dengan
terbentuknya kubah lava Bunbulan (Reubi dan Nicholls, 2005).

329
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C031UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Sebaran oksida utama pada diagram Harker (Gambar 4) menunjukkan adanya


pola linear seiring penambahan kadar SiO2 meskipun terdapat gap atau pengelompokan
data antara batuan syn-kaldera dan batuan post-kaldera dengan jarak persentase unsur
cukup jauh. Adanya gap komposisi antara kedua kluster batuan dapat disebabkan karena
batuan tidak berasal dari sumber yang sama. Meskipun terdapat gap komposisi antar
klaster batuan, secara umum masih dapat dijumpai pola kenaikan dan penurunan unsur
tertentu seiring dengan kenaikan SiO2 . Diagram ini digunakan sebagai indeks
diferensiasi karena setiap unsur memiliki respon yang berbeda selama proses diferensiasi
magma. Unsur-unsur seperti MgO, CaO, Al2O3, Fe2O3, V, dan Ni cenderung akan
mengalami penurunan seiring dengan kenaikan SiO2. Data persebaran oksida utama ini
sesuai dengan kelimpahan mineral olivin dan piroksen pada pengamatan sayatan tipis,
dimana kelimpahan olivin dan piroksen banyak dijumpai pada batuan post-kaldera,
sementara pada batuan syn-kaldera kandungan piroksen dan olivin lebih sedikit.

Analisis unsur Ni dan Cr dilakukan untuk mengetahui apakah batuan memiliki


sumber mantel. Unsur Ni merupakan unsur yang kompatibel, dimana unsur ini akan
terkonsentrasi pada mineral olivin, sedangkan Cr umumnya terkonsentrasi pada mineral
spinel dan mineral klinopiroksen. Apabila konstentrasi kedua unsur tersebut tinggi pada
batuan maka dapat diinterpretasikan bahwa batuan berasal dari sumber mantel dan
belum mengalami proses fraksinasi (Winter, 2014). Sampel yang telah dianalisis
menunjukkan kandungan Ni dan Cr sangat rendah (Ni <22 ppm dan Cr <461 ppm).
Kadar ini masih dibawah kadar Ni=250–300 ppm dan Cr=500–600 ppm yang merupakan
kadar Ni dan Cr pada magma yang bersumber dari mantel periodit. Hal ini menunjukkan
bahwa magma pembentuk batuan telah mengalami proses diferensiasi dari magma
parentalnya.

Berdasarkan diagram laba-laba yang menyajikan data unsur jejak yang telah
dinormalisasi dengan NMORB, terlihat pola yang unsur jejak di zona subduksi (lihat
Gambar 5). Hal ini ditunjukkan dengan karektristik kurva yang meruncing dan adanya
pengayaan dan deplesi unsur-unsur tertentu. Tejadi pengayaan unsur Ba, Rb, K, Sr, Th
dan La, serta terjadi pula deplesi unsur Nb, Zr, P,dan Ti. Pola ini secara umum
nenunjukkan unsur yang kurang inkompatibel di sebelah kanan diagram kurang
terkayakan selama proses pelelehan sebagian. Selanjutnya, adanya proses fraksinasi
kristalisasi pada tahap evolusi magma juga dapat menghasilkan pola diagram yang tinggi
di sebelah kiri (Wilson, 1989). Tingginya unsur Ba, Rb, K, dan Sr, yang merupakan unsur
LILE (large ion lithopile element) dapat mengindikasikan terjadinya proses
metasomatisme karena LILE dapat dengan mudah diekstraksi dari mantel.

Erupsi Gunung Batur yang menghasilkan kubah lava Bunbulan diinterpretasikan


terbentuk oleh magma yang telah mengalami proses dieferensiasi dari magma asalnya
sehingga bersifat lebih felsik. Selanjutnya, magma tersebut mengalami proses evolusi
akibat proses kristalisasi fraksinasi yang dapat menghasilkan letusan eksplosif yang
menghasilkan kaldera II Batur serta menghasilkan produk lain berupa endapan ignimbrit

330
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C031UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

pada dinding kaldera Batur. Erupsi eksplosif tersebut diduga telah mengosongkan dapur
magma di bawah permukaan sehingga runtuh membentuk kaldera. Selanjutnya, proses
magmatisme Gunung Batur berlanjut dengan terisinya atau terbentuknya dapur-dapur
magma baru menggantikan dapur magma yang telah kosong akibat erupsi kaldera
sebelumnya.
IV. KESIMPULAN
Batuan syn-kaldera Batur tersusun atas batuan andesit dengan komposisi
plagioklas, K- feldspar, piroksen, sedikit olivin, gelas vulkanik dan mineral opak.
Sementara itu pada batuan post-kaldera tersusun atas batuan basalt dengan komposisi
plagioklas, piroksen, olivin yang lebih melimpah, gelas vulkanik, dan mineral opak.
Komposisi geokimia menunjukkan bahwa batuan syn-kaldera bersifat lebih felsik
dibandingkan batuan post-kaldera. Komposisi kedua kelompok batuan menujukkan
selisih cukup jauh pada unsur utama dan unsur jejak antara kedua batuan sehingga
diinterpretasikan bahwa kedua batuan memiliki sumber magma yang berbeda. Magma
Gunung Batur berasal dari magma parental yang bersifat basaltik yang mengalami
evolusi akibat adanya kristalisasi fraksinasi serta proses percampuran magma dengan
lelehan yang bersifat lebih mafik.

DAFTAR PUSTAKA
Hall, A. 1987. Igneous Petrology. London: Longman Scientific and Technical. 573p.
Kelemen, P.B., Hanghoj, K., & Greene, A.R. 2004. One View of the Geochemistry of Subduction-
related Magmatic Arcs, with an Emphasis on Primitive Andesite and Lower Crust.
Treatise on Geochemistry. V.3, p. 593-659.
Marschall, H.R., Kalt, A., & Hanel., M. 2003. P-T Evolution of Variscan Lower-Crustal Segment: a
Study of Granulites from the Schwarzwald, Germany. Journal of Petrology, V.44 (2), p.
227- 253.
Purbo-Hadiwidjojo, M., Samodra, H., & Amin, T.C. 1998. Peta Geologi Lembar Bali, Nusa
Tenggara, skala1:250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Reubi, O. & Nicholls, I.A. 2004. Magmatic evolution at Batur volcanic field, Bali, Indonesia:
petrological evidence for polybaric fractional crystallization and implications for caldera-
forming eruptions. Journal of Volcanology and Geothermal Research, V. 138, p. 345-369.
Reubi, O. & Nicholls, I.A. 2005. Structure and dynamics of a silicic magmatic system associated
with caldera-forming eruptions at Batur volcanic field, Bali, Indonesia. Journal of
Petrology, V. 46 (7), p. 1367-1391.
Rollinson, H. 1993. Using Geochemical Data: Evaluation, Presentation, Interpretation. London:
Pearson Prentice Hall. 352p.
Rubin, K.H., Wheller, G.E., Tanzer, M.O., MacDougall, J.D., Varne, R., & Finkel, R. 1989. 238U
decay series systematics of young lavas from Batur volcano, Sunda Arc. Journal of
Volcanology and Geothermal Research, V. 38, p. 215-226.
Tatsumi, Y., & Eggins, S. 1995. Subduction Zone Magmatism. Cambridge: Blackwell Science.

331
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C031UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Wheller, G.E.1986. Petrogenesis of Batur Caldera, Bali, and the geochemistry of Sunda-Banda arc
basalts. PhD Thesis. University of Tasmania.
Wheller, G.E., & Varne, R. 1986. Genesis of dacitic magmatism at Batur volcano, Bali, Indonesia:
Implication for the origins of stratovolcano calderas. Journal of Volcanology and
Geothermal Research, V.28, p. 363-378.
Wheller, G.E., Varne, R., Foden, J.D., & Abbott, M.J. 1987. Geochemistry of Quartenary Volcanism
in The Sunda-Banda Arc, Indonesia, and Three-Component Genesis of Island Arc
Basaltic Magma. Journal of Volcanology and Geothermal Research, V.32, p. 137-160.
Wilson, M. 1989. Igneous Petrogenesis: A Global Tectonic Approach. Netherland: Springer. 466p.
Winter, J. 2014. Principle of Igneous and Metamorphic Petrology. USA: Pearson.737p.

Tabel 1. Persentase oksida utama dan unsur jejak batuan Gunung Batur

Kode Sampel
Syn-kaldera Post-kaldera

332
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C031UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

B10A B02B L1849 L1888 L1905 L1926 L1963A L1963B L1974


SiO2 69,20 68,60 53,22 52,60 52,69 51,84 53,54 53,23 53,53
TiO2 0,48 0,53 0,67 0,71 0,72 0,77 0,72 0,74 0,68
Al2O3 13,58 13,83 22,45 21,20 20,16 20,66 21,59 21,23 21,02
MnO 0,16 0,15 0,11 0,13 0,14 0,14 0,12 0,12 0,13
MgO 0,40 0,41 1,84 2,47 2,55 2,65 1,98 1,98 2,12
CaO 2,00 2,10 8,64 8,22 8,62 8,63 8,29 8,50 8,20
Na2O 6,20 6,19 4,64 4,72 4,66 4,80 4,65 4,86 4,78
K2O 2,59 2,57 0,87 0,84 0,84 0,82 0,86 0,90 0,90
P2O5 0,26 0,29 0,24 0,23 0,26 0,24 0,27 0,26 0,27
Fe2O3 4,50 4,69 6,86 8,27 8,75 8,86 7,41 7,66 7,78
Total 99,36 99,35 99,53 99,39 99,40 99,40 99,42 99,48 99,41
LOI 0,64 0,65 0,47 0,61 0,60 0,60 0,58 0,52 0,59
Ba 476,58 449,8 223,02 212,2 224,9 225,3 180,65 212,27 199,37
Rb 47,641 49,195 16,825 14,81 16,19 15,91 15,819 17,008 16,459
Sr 180,37 186,12 438,19 406,7 414,7 435,3 395,48 412,4 392,86
Zr 170,2 166,27 62,778 60,71 66,04 66,18 58,855 63,963 60,705
Nb 9,1575 10,206 2,3068 2,447 1,748 2,586 2,6564 2,936 3,7049
Y 37,5 34,6 15,9 16,3 17,1 17,6 16,3 17,4 16,1
La 24,898 29,162 20,379 20,21 18,08 18,16 11,341 13,728 16,201
Ce 50,799 49,775 30,48 32,96 27,24 34,92 17,417 26,638 24,759
Nd 32,8 31,4 33,4 30 36,7 34,2 19,9 24 22,7
Sc 21,1 19,1 27 25 27 13 27 20 24
V 3,305 8,0104 175,89 208,6 226,3 240,1 211,52 215,89 197,12
Ni 8,2514 11,788 12,102 16,42 22,55 22,55 12,416 12,966 14,46
Cr 128,08 177,07 136,91 461,9 248,6 372,7 328,62 258,49 303,65

333
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C031UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Peta lokasi penelitian dan peta geologi Gunung Batur (Purbo-Hadiwidjojo dkk., 1998).

334
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C031UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. (a) Contoh setangan sampel kubah lava Bunbulan. (b) Contoh setangan sampel lava tahun
1992. (c-d) Sayatan tipis sampel lava Bunbulan dengan kehadiran mineral k-feldspar, plagioklas,
klinopiroksen, mineral opak dan sedikit olivin dengan massa dasar gelas. (e) Sampel lava 1849 dan (f)
sampel lava 1905 yang didominasi oleh plagioklas, piroksen, olivin, dan massa dasar gelas.

335
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C031UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Klasifikasi total alkali vs. silika (Le Maitre dkk., 1989 dalam Rollinson, 1993) menunjukkan
trachyandesite dan trachyte untuk sampel Kubah lava Bunbulan dan basalt, trachybasalt, dan basaltic
trachyandesite untuk sampel lava post-kaldera.

336
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C031UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Diagram harker SiO2 dan unsur-unsur lainnya. Korelasi positif ditunjukkan oleh SiO2 vs. Na2O
dan Ba, sedangkan korelasi negatif ditunjukkan oleh SiO2 dengan Fe2O3, MgO, Al2O3, CaO, V, dan Ni.

337
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C031UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. Diagram laba-laba untuk unsur jejak dalam sampel Gunung Batur dengan perbandingan
unsur jejak pada batuan MORB (Kelemen dkk, 2004), Sunda Arc (Wheller dkk, 1987), OIB dan IAB (Wilson,
1989). Semua data dinormalisasi dengan NMORB mengacu pada nilai Sun dan McDonough (1989)
dalam Rollinson (1993).

338
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C031UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 6. Diagram An-Ab-Or untuk estimasi temperatur pada tekanan 5 kbar (Marschall dkk,
2003).

339
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

EVOLUSI MAGMA GUNUNG LASEM DAN GUNUNG SENJONG,


KABUPATEN REMBANG PROVINSI JAWA TENGAH
Mradipta Lintang Alifcanta Moktikanana 1*, Agung Harijoko1, Haryo Edi Wibowo1
1Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Jalan Grafika 2, Kampus
UGM,Yogyakarta 55281

*Corresponding Author: mradipta.lintang.a@mail.ugm.ac.id

ABSTRAK. G. Lasem dan G. Senjong merupakan salah satu dari empat kompleks gunung api
Kuarter dengan magma potasium tinggi, yang terdapat di pantai utara Jawa bagian timur.
Keterdapatan gunung api tersebut menunjukkan tatanan geologi Jawa yang unik. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui evolusi magma pembentuk G. Lasem dan G. Senjong. Analisis data
Digital Elevation Model (DEM) dan pengamatan lapangan menunjukkan bahwa singkapan lava G.
Lasem terdistribusi di lereng barat daya – selatan – tenggara, melampar hingga 6 km dari puncak.
G. Lasem memiliki satu kubah lava dan satu sumbat lava di zona proksimal sebelah utara, serta
dua kubah lava di zona medial sebelah barat daya. G. Senjong tersusun atas satu aliran lava yang
mengalir ke barat, serta empat kubah lava di bagian utara, barat, selatan, dan tenggara.Komposisi
modal mineralogi dilakukan dengan menggunakan metode point counting sebanyak 1000 titik
untuk masing-masing sampel. Analisis geokimia dilakukan menggunakan metode ICP-MS-AES
Secara umum, komposisi mineralogi lava G. Lasem dan G. Senjong tersusun atas fenokris
plagioklas, K-feldspar, hornblenda, klinopiroksen, nefelin, dan mineral opak, yang tertanam
dalam massa dasar mikrolit plagioklas dan gelas vulkanik. Kubah lava mempunyai fenokris yang
lebih melimpah (~70 vol.%) dibandingkan aliran lava (~50 vol.%), berhubungan dengan viskositas
kubah lava yang relatif lebih tinggi daripada aliran lava. Secara mineralogi, semua sampel
mempunyai kandungan hornblenda mencapai ~19 vol.%. Pada umumnya, bagian tepi hornblenda
telah terubah menjadi mineral opak. Nefelin umumnya hadir dengan kelimpahan 1-4 vol.%.
Berdasarkan komposisi mineralogi, dapat dikatakan bahwa magma G. Lasem dan G. Senjong telah
mengalami proses diferensiasi lanjut, namun tidak terdapat perubahan komposisi mineralogi yang
signifikan secara temporal. Data geokimia menunjukkan lava G. Lasem dan G. Senjong memiliki
komposisi basaltik traki andesit hingga trakit, dalam seri magma subalkalin. Evolusi magma G.
Lasem dan G. Senjong dipengaruhi oleh kristalisasi fraksinasi, asimilasi, serta injeksi magma
basaltik secara berulang.

Kata kunci: Lasem, Senjong, lava, vulkanisme, evolusi magma

I. PENDAHULUAN
Gunung Lasem terletak di Pesisir Utara Jawa, dalam wilayah Kabupaten
Rembang, Provinsi Jawa Tengah. Leterrier dkk. (1990) menyatakan bahwa Gunung
Lasem merupakan salah satu dari 6 gunung api Kuarter di Pulau Jawa yang memiliki
karakteristik magmatisme potasium tinggi (high-K magmatism), selain Kompleks
Gunung Muria-Genuk-Patiayam, Pulau Bawean, serta Kompleks Ringgit-Beser-Lurus
(Gambar 1). Di Pulau Jawa, kemunculan gunung api dengan magmatisme potasium

340
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

tinggi hanya terdapat di pantai utara Jawa bagian timur (Leterrier dkk, 1990). Kompleks
Gunung Lasem terdiri dari Gunung Lasem serta tubuh gunung api lain di sebelah
selatan, yaitu Gunung Senjong (Gambar 1).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakter lava di Gunung Lasem dan
Gunung Senjong, mengkaji tentang perubahan karakteristik magma terhadap waktu,
beserta urutan pembentukan lava di Gunung Lasem dan Gunung Senjong. Lava
merupakan produk erupsi gunung api yang terbentuk langsung dari pembekuan magma.
Lava mewakili komposisi magma yang tidak mengalami perubahan akibat fragmentasi,
sehingga sampel lava baik digunakan untuk studi perubahan karakteristik magma.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu
dan riset kegunungapian di Indonesia, terutama mengenai magmatisme potasium tinggi
(high-K magmatism).
Secara administrasi, daerah penelitian meliputi beberapa kecamatan, antara lain
Kecamatan Lasem, Kecamatan Sluke, Kecamatan Pancur, Kecamatan Sedan, Kecamatan
Kragan, dan Kecamatan Pamotan, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah. Akses
menuju daerah penelitian dapat ditempuh dengan menggunakan sepeda motor, mobil,
dan kendaraan umum lainnya dengan jarak tempuh ±223 km dan waktu tempuh ±5 jam
dari Yogyakarta.
Penulis menetapkan beberapa batasan dalam penelitian ini: (1) penelitian ini
hanya akan mencakup pada batuan beku lava di Gunung Lasem dan Gunung Senjong;
(2) identifikasi batuan di lapangan dilakukan dengan deskripsi lapangan secara
megaskopis; (3) analisis laboratorium yang dilakukan berupa metode petrografi dan
metode geokimia batuan (ICP-MS- AES); (4) pengambilan sampel lava dilakukan dengan
spot sampling pada satuan lava yang berbeda; (5) dalam penelitian ini tidak dilakukan
penanggalan radiometrik, sehingga kajian mengenai perubahan komposisi magma
terhadap waktu dilakukan berdasarkan umur relatif dari analisis morfostratigrafi
menggunakan peta DEM; (6) peta geologi dalam penelitian ini hanya mendetailkan
Formasi Andesit Lasem dan Breksi Gunungapi, dalam Peta Geologi Regional Lembar
Jatirogo oleh Situmorang dkk. (1992) dan Lembar Rembang oleh Kadar dan Sudijono
(1993).

II. PENELITI TERDAHULU


Gunung Lasem merupakan gunung api yang terbentuk di atas busur Sunda, yaitu
busur magmatik yang terbentuk dari subduksi lempeng India-Australia dengan batas
selatan lempeng Eurasia (Setijadji dkk., 2006). Kompleks Gunung Lasem yang terletak di
pesisir utara Jawa termasuk ke dalam deretan gunung api belakang busur (back arc
volcano) (Setijadji, dkk., 2006). Berdasarkan penanggalan K-Ar, Leterrier dkk. (1990)
menyimpulkan bahwa batuan vulkanik Gunung Lasem berumur Pleistosen Bawah (1,6 –
1,1 Ma). Batuan vulkanik Gunung Lasem termasuk ke dalam batuan vulkanik potasik
jenuh silika (silica saturated) – sangat jenuh silica (silica oversaturated), dengan seri
magma shosonitic – potassic calc-alkaline. Produk vulkanisme Gunung Lasem berupa
piroklastik aliran (pyroclastic density current), kubah lava, dan aliran lava dengan
komposisi andesit potasik kalk-alkalin, andesit basaltik, dan dasit.

341
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Disando dan Abdurrachman (2017) menyatakan bahwa pembentukan Gunung


Lasem diawali oleh deposisi laut dangkal dengan produk berupa batugamping dan
batuan sedimen karbonatan. Aktivitas tektonik pada Plio-Pleistosen menjadi awal
terbentuknya vulkanisme Gunung Lasem di lingkungan darat. Produk-produk
vulkanisme Gunung Lasem antara lain endapan piroklastik aliran, aliran lava andesit,
serta produk erupsi parasitik seperti tubuh intrusi dan Kerucut Parasitik Gunung
Senjong. Ditemukan fragmen pumis pada endapan piroklastik aliran di Gunung Lasem,
sebagai bukti adanya aktivitas vulkanisme eksplosif dari produk andesitik – dasitik.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan oleh Calanchi dkk. (1983), Leterrier
dkk. (1990), serta Disando dan Abdurrachman (2017), diperoleh kesimpulan bahwa
batuan Gunung Lasem memiliki afinitas magma kalk-alkalin K-sedang – kalk-alkalin K-
tinggi. Komposisi magma Gunung Lasem adalah andesit basaltik – dasit, mencerminkan
karakter busur kepulauan. Pola oksida utama dan unsur jejak dari lava Gunung Lasem
dan Gunung Senjong dari data peneliti pendahulu menunjukkan pola komagmatik.

III. KONDISI GEOLOGI REGIONAL


Secara fisiografi, Gunung Lasem termasuk kedalam zona fisiografi Kompleks
Gunung Muria dan Gunung Lasem, yang merupakan bagian dari Kompleks Gunung Api
Kuarter menurut Van Bemmelen (1949). Dalam Peta Geologi Lembar Jatirogo skala
1:100.000 oleh Situmorang dkk. (1992) serta Peta Geologi Lembar Rembang skala
1:100.000 oleh Kadar dan Sudijono (1993), Gunung Lasem dan Gunung Senjong tersusun
atas Formasi Andesit Lasem (Qla) dan Breksi Gunungapi (Qvb), berupa lava andesit yang
menjari dengan breksi, konglomerat, batupasir tufan, tuf lapili, dan lahar berumur
Pleistosen.

IV. SAMPEL DAN METODE PENELITIAN


Pengamatan lapangan dilakukan di seluruh tubuh Gunung Lasem dan Gunung
Senjong, meliputi Kecamatan Lasem, Sluke, Kragan, Pancur, dan Sedan, Kabupaten
Rembang, Provinsi Jawa Tengah. Data-data lapangan yang dikumpulkan meliputi
pencatatan lokasi, pencatatan morfologi, pencatatan jenis litologi dan deskripsi batuan,
penggambaran sketsa yang representatif, pengambilan foto, serta pengambilan sampel.
Pengumpulan data lapangan dilakukan pada aliran lava, kubah lava, dan sumbat lava,
dengan stasiun titik amat sejumlah 22 titik (Gambar 2). Sampel batuan kemudian dipilih
untuk analisis petrografi dan geokimia menggunakan metode ICP-MS-AES.

1. Petrografi
Analisis petrografi dilakukan pada 20 sampel lava dengan tujuan untuk
mengetahui jenis-jenis mineral yang tidak tampak dengan mata telanjang, sehingga
penamaan batuan dapat dilakukan berdasarkan deskripsi secara mikroskopis. Penentuan
komposisi modal mineralogi dilakukan dengan menggunakan metode point counting
sebanyak 1000 titik untuk masing- masing sampel, dengan software J Microvision 1.2.7.

342
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Analisis petrografi juga digunakan untuk mengetahui tekstur yang ada pada
batuan beku. Dengan mengetahui komposisi batuan dan tekstur batuan beku, maka
proses pembentukan batuan dan proses diferensiasi magma dapat diketahui. Pembuatan
sayatan tipis dilakukan di Laboratorium Pusat Departemen Teknik Geologi UGM.
Pengamatan petrografi dilakukan dengan mikroskop polarisasi di Laboratorium Geologi
Optik Departemen Teknik Geologi UGM.

2. Geokimia (icp-ms-aes)
Analisis ICP-MS-AES dilakukan di Laboratorium ALS Chemex, Kanada.
Analisis ICP-MS-AES dilakukan untuk mengetahui geokimia batuan. Komposisi kimia
batuan dapat digunakan untuk mengetahui nama batuan, seri magma, serta perubahan
geokimia selama proses diferensiasi magma. Analisis geokimia dilakukan pada 18 sampel
batuan beku yang mewakili setiap unit lava. Hasil analisis geokimia dinormalisasikan
terlebih dahulu dengan menghilangkan nilai LOI sebelum diplotkan dalam beberapa
diagram yang menunjukkan karakteristik batuan.

V. DATA
V.1.ANALISIS MORFOSTRATIGRAFI
Daerah penelitian meliputi 2 kerucut gunung api, yaitu Gunung Lasem di
sebelah utara dan Gunung Senjong di sebelah selatan. Analisis geomorfologi,
morfostratigrafi, serta identifikasi satuan lava dan endapan piroklastik dilakukan
menggunakan peta DEM yang dihasilkan dari data DEMNAS, dengan resolusi 8 meter.
Berdasarkan analisis DEM, lereng utara Gunung Lasem didominasi oleh satuan aliran
piroklastik dan lahar, sedangkan lereng selatan Gunung Lasem didominasi oleh satuan
aliran lava. Aliran lava di Gunung Lasem melampar hingga hingga 6 km dari puncak.
Kubah lava dan sumbat lava Gunung Lasem tersebar baik di selatan maupun di utara.
Gunung Senjong tersusun atas aliran lava dan kubah lava. Erupsi efusif yang terjadi di
Gunung Lasem terjadi dalam beberapa periode, ditunjukkan oleh lobes lava yang saling
menindih.

V.2.STRATIGRAFI DAERAH PENELITIAN


Stratigrafi daerah penelitian disusun berdasarkan integrasi data lapangan
dengan hasil analisis laboratorium dan analisis DEM. Peta geologi dan sayatan geologi
Gunung Lasem dan Gunung Senjong disajikan dalam Gambar 2 dan Gambar 3. Peta
geologi dalam penelitian ini hanya mendetailkan Formasi Andesit Lasem dan Breksi
Gunungapi, dalam Peta Geologi Regional Lembar Jatirogo oleh Situmorang dkk. (1992)
dan Lembar Rembang oleh Kadar dan Sudijono (1993). Peta geologi dalam penelitian ini
memiliki kemiripan dengan penelitian oleh Abdillah dkk (2019), karena pengumpulan
data lapangan dan pembuatan peta geologi dilakukan bersama-sama.

a. Satuan aliran lava Senjong 1


Satuan aliran lava Senjong 1 (LS1) terdapat di bagian selatan daerah penelitian
dan merupakan produk dari aktivitas vulkanisme Gunung Senjong. Satuan ini berupa
aliran lava yang mengalir ke arah barat. Pengamatan sayatan tipis menunjukkan bahwa

343
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

sampel lava ini memiliki ukuran mineral mikrofenokris 0,03–0,3 mm, fenokris 0,4–5 mm
dan massa dasar <0,03 mm, dengan persentase fenokris 60% dan massa dasar 40%.
Tekstur batuan beku yang terdapat pada satuan ini meliputi tekstur porfiritik, trakitik,
dan glomeroporfiritik. Komposisi mineral penyusun satuan ini yaitu fenokris plagioklas,
tekstur oscillatory zoning dan sieve, kelimpahan 14%; hornblende, tekstur opacitic rim,
kelimpahan 10%; klinopiroksen (aegirin), warna hijau kuat, kelimpahan 5%; nefelin,
jernih, kelimpahan 1%; mineral opak 1%, dan mikrofenokris plagioklas 29%, yang
tertanam dalam massa dasar mikrolit plagioklas (7%) dan gelas vulkanik (33%). Nama
petrografi batuan ini adalah andesit hornblende.

b. Kubah lava Senjong 1


Kubah lava Senjong 1 (KLS1) merupakan produk dari aktivitas vulkanisme
Gunung Senjong. Pengamatan sayatan tipis menunjukkan bahwa sampel lava ini
memiliki ukuran mineral mikrofenokris 0,03–0,3 mm, fenokris 0,4–4 mm dan massa dasar
<0,03 mm, dengan persentase fenokris 63% dan massa dasar 37%. Tekstur batuan beku
yang terdapat pada satuan ini meliputi tekstur porfiritik, glomeroporfiritik, dan
pilotaksitik. Komposisi mineral penyusun satuan ini yaitu fenokris plagioklas, tekstur
oscillatory zoning dan sieve, kelimpahan 29%; K-feldspar (sanidin), jernih, kelimpahan
4%; nefelin, jernih, kelimpahan 3%; mineral opak 1%; dan mikrofenokris plagioklas 25%
yang tertanam dalam massa dasar mikrolit plagioklas (19%) dan gelas vulkanik (19%).

c. Kubah lava Senjong 2


Kubah lava Senjong 2 (KLS2) merupakan produk dari aktivitas vulkanisme
Gunung Senjong. Pengamatan sayatan tipis menunjukkan bahwa sampel lava ini
memiliki ukuran mikrofenokris 0,03–0,3 mm, fenokris 0,3–3 mm dan massa dasar <0,03
mm, dengan persentase fenokris 82% dan massa dasar 18%. Tekstur batuan beku yang
terdapat pada satuan ini meliputi tekstur porfiritik, dan trakitik. Komposisi mineral
penyusun satuan ini yaitu fenokris plagioklas, tekstur reverse zoning, kelimpahan 11%;
K-Feldspar (sanidin), jernih, kelimpahan 2%; hornblende, warna hijau, kelimpahan 17%;
klinopiroksen (aegirin), warna hijau kuat, kelimpahan 2%; nefelin, jernih, kelimpahan 3%;
mineral opak 3%; dan mikrofenokris plagioklas 44% yang tertanam dalam massa dasar
mikrolit plagioklas (5%) dan gelas vulkanik (13%). Nama petrografi batuan ini adalah
andesit hornblende.

d. Kubah lava Senjong 3


Kubah lava Senjong 3 (KLS3) merupakan produk dari aktivitas vulkanisme
Gunung Senjong. Pengamatan sayatan tipis menunjukkan bahwa sampel lava ini
memiliki ukuran mikrofenokris 0,03–0,3 mm, fenokris 0,3–4 mm dan massa dasar <0,03
mm, dengan persentase fenokris 76% dan massa dasar 24%. Tekstur batuan beku yang
terdapat pada satuan ini meliputi tekstur porfiritik dan pilotaksitik. Komposisi mineral
penyusun satuan ini yaitu fenokris plagioklas, tekstur reverse zoning, kelimpahan 10%;
K-Feldspar (sanidin), jernih, kelimpahan 2%; hornblende, warna hijau, kelimpahan 10%;
nefelin, jernih, kelimpahan 2%; mineral opak 1%; dan mikrofenokris plagioklas 51% yang

344
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

tertanam dalam massa dasar mikrolit plagioklas (4%) dan gelas vulkanik (20%). Nama
petrografi batuan ini adalah andesit hornblende..

e. Kubah lava Senjong 4


Kubah lava Senjong 4 (KLS4) merupakan produk dari aktivitas vulkanisme
Gunung Senjong. Pengamatan sayatan tipis menunjukkan bahwa sampel lava ini
memiliki ukuran mikrofenokris 0,03–0,3 mm, fenokris 0,3–4 mm dan massa dasar <0,03
mm, dengan persentase fenokris 61% dan massa dasar 39%. Tekstur batuan beku yang
terdapat pada satuan ini meliputi tekstur porfiritik, trakitik, dan glomeroporfiritik.
Komposisi mineral penyusun satuan ini yaitu fenokris plagioklas, tekstur normal zoning,
oscillatory zoning, sieve, kelimpahan 14%; hornblende, tekstur opacitic rim, kelimpahan
8%; klinopiroksen (aegirin), warna hijau kuat, kelimpahan 5%; nefelin, jernih, kelimpahan
2%; mineral opak 2%; dan mikrofenokris plagioklas 30% yang tertanam dalam massa
dasar mikrolit plagioklas (6%) dan gelas vulkanik (33%). Nama petrografi batuan ini
adalah andesit hornblende.

f. Aliran lava Lasem 1


Satuan aliran lava Lasem 1 (LL1) terdapat di bagian timur laut daerah penelitian
dan merupakan produk dari aktivitas vulkanisme Gunung Lasem. Satuan ini berupa
aliran lava yang mengalir ke timur laut. Pengamatan sayatan tipis menunjukkan bahwa
sampel lava ini memiliki ukuran fenokris 0,1 – 5 mm, massa dasar <0,1 mm, dengan
persentase fenokris 47% dan massa dasar 53%. Tekstur batuan beku yang terdapat pada
satuan ini meliputi tekstur vitrofirik dan trakitik. Komposisi mineral penyusun satuan ini
yaitu fenokris plagioklas, tekstur reverse zoning, oscillatory zoning, dan sieve,
kelimpahan 23%’ K-Feldspar (sanidin), jernih, kelimpahan 5%, hornblende, warna hijau
kecoklatan, kelimpahan 12%; nefelin, jernih, kelimpahan 5%; dan mineral opak 2% yang
tertanam dalam massa dasar mikrolit plagioklas (24%) dan gelas vulkanik (29%). Nama
petrografi batuan ini adalah andesit hornblende.

g. Aliran lava Lasem 2


Satuan aliran lava Lasem 2 (LL2) terdapat di bagian timur daerah penelitian dan
merupakan produk dari aktivitas vulkanisme Gunung Lasem. Satuan ini berupa aliran
lava yang mengarah ke tenggara. Pengamatan sayatan tipis menunjukkan bahwa sampel
lava ini memiliki ukuran fenokris 0,1 – 6 mm, massa dasar <0,1 mm, dengan persentase
fenokris 39% dan massa dasar 61%. Tekstur batuan beku yang terdapat pada satuan ini
meliputi tekstur porfiritik, glomeroporfiritik, dan trakitik. Komposisi mineral penyusun
satuan ini yaitu fenokris plagioklas, tektur oscillatory zoning, sieve, kelimpahan 19%;
hornblende, warna hijau kecoklatan, tekstur zoning, opacitic rim, kelimpahan 13%,
klinopiroksen (aegirin), warna hijau kuat, kelimpahan 2%; nefelin, jernih, kelimpahan 3%;
dan mineral opak 2% yang tertanam dalam massa dasar mikrolit plagioklas (34%) dan
gelas vulkanik (27%). Nama petrografi batuan ini adalah andesit hornblende.

h. Aliran lava Lasem 3

345
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Satuan aliran lava Lasem 3 (LL3) terdapat di bagian timur daerah penelitian dan
merupakan produk dari aktivitas vulkanisme Gunung Lasem. Satuan ini berupa aliran
lava yang mengarah ke timur dan tenggara. Pengamatan sayatan tipis menunjukkan
bahwa sampel lava ini memiliki ukuran fenokris 0,1 – 3 mm, massa dasar <0,1 mm,
dengan persentase fenokris 39% dan massa dasar 61%. Tekstur batuan beku yang
terdapat pada satuan ini meliputi tekstur porfiritik, glomeroporfiritik, dan trakitik.
Komposisi mineral penyusun satuan ini yaitu fenokris plagioklas, tekstur oscillatory
zoning, kelimpahan 21%; hornblende, warna hijau kecoklatan, tekstur opacitic rim,
kelimpahan 7%; klinopiroksen (aegirin), warna hijau kuat, kelimpahan 5%; nefelin, jernih,
3%; dan mineral opak 3% yang tertanam dalam massa dasar mikrolit plagioklas (35%)
dan gelas vulkanik (26%). Nama petrografi batuan ini adalah andesit hornblende.

i.
Aliran lava Lasem 4
Satuan aliran lava Lasem 4 (LL4) terdapat di bagian barat daya daerah
penelitian dan merupakan produk dari aktivitas vulkanisme Gunung Lasem. Satuan ini
berupa aliran lava yang mengarah ke barat daya. Pengamatan sayatan tipis menunjukkan
bahwa sampel lava ini memiliki ukuran fenokris 0,1 – 7 mm, massa dasar <0,1 mm,
dengan persentase fenokris 46% dan massa dasar 54%. Tekstur batuan beku yang
terdapat pada satuan ini meliputi tekstur vitrofirik, hyalopilitik, dan glomeroporfiritik.
Komposisi mineral penyusun satuan ini yaitu fenokris plagioklas, tekstur oscillatory
zoning dan sieve, kelimpahan 21%; K-Feldspar (sanidin), jernih, kelimpahan 1%;
hornblende, warna hijau kecoklatan, kelimpahan 14%, klinopiroksen (aegirin), warna
hijau kuat, kelimpahan 5%; nefelin, jernih, kelimpahan 3%; dan mineral opak 2% yang
tertanam dalam massa dasar mikrolit plagioklas (14%) dan gelas vulkanik (40%). Nama
petrografi batuan ini adalah andesit hornblende.

j. Aliran lava Lasem 5


Satuan aliran lava Lasem 5 (LL5) terdapat di bagian barat daya daerah
penelitian dan merupakan produk dari aktivitas vulkanisme Gunung Lasem. Satuan ini
berupa aliran lava yang mengarah ke barat daya. Pengamatan sayatan tipis menunjukkan
bahwa sampel lava ini memiliki ukuran fenokris 0,1–5 mm, massa dasar <0,1 mm, dengan
persentase fenokris 40% dan massa dasar 60%. Tekstur batuan beku yang terdapat pada
satuan ini meliputi tekstur porfiritik dan pilotaksitik. Komposisi mineral penyusun
satuan ini yaitu fenokris plagioklas, tekstur oscillatory zoning, sieve, kelimpahan 18%;
hornblende, warna coklat, tekstur opacitic rim, kelimpahan 15%; klinopiroksen (aegirin),
warna hijau kuat, kelimpahan 4 %; nefelin, jernih, kelimpahan 2%; dan mineral opak 1%
yang tertanam dalam massa dasar mikrolit plagioklas (33%) dan gelas vulkanik (27%).
Nama petrografi batuan ini adalah andesit hornblende.

k. Aliran lava Lasem 6


Satuan aliran lava Lasem 6 (LL6) terdapat di bagian barat daya daerah
penelitian dan merupakan produk dari aktivitas vulkanisme Gunung Lasem.
Pengamatan sayatan tipis menunjukkan bahwa sampel lava ini memiliki ukuran fenokris
fenokris 0,1–5 mm, massa dasar <0,1 mm, dengan persentase fenokris 60% dan massa

346
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

dasar 40%. Tekstur batuan beku yang terdapat pada satuan ini meliputi tekstur porfiritik
dan glomeroporfiritik. Komposisi mineral penyusun satuan ini yaitu fenokris plagioklas,
tekstur oscillatory zoning, sieve, kelimpahan 27%; K-Feldspar (sanidin); jernih,
kelimpahan 3%; hornblende, warna coklat, tekstur opacitic rim kelimpahan 4%;
klinopiroksen (aegirin), warna hijau kuat 16%, ortopiroksen, warna hijau, kelimpahan 6%;
nefelin, jernih, kelimpahan 2%, dan mineral opak 2% yang tertanam dalam massa dasar
mikrolit plagioklas (24%) dan gelas vulkanik (16%). Sebagian besar hornblende
tergantikan oleh mineral opak. Nama petrografi batuan ini adalah andesit piroksen.

l. Aliran lava Lasem 7


Satuan aliran lava Lasem 7 (LL7) terdapat di bagian selatan daerah penelitian
dan merupakan produk dari aktivitas vulkanisme Gunung Lasem. Satuan ini berupa
aliran lava yang mengarah ke selatan. Pengamatan sayatan tipis menunjukkan bahwa
sampel lava ini memiliki ukuran fenokris 0,1–3 mm, massa dasar <0,1 mm, dengan
persentase fenokris 66% dan massa dasar 34%. Tekstur batuan beku yang terdapat pada
satuan ini meliputi tekstur porfiritik dan glomeroporfiritik. Komposisi mineral penyusun
satuan ini yaitu fenokris plagioklas, tekstur oscillatory zoning, sieve, kelimpahan 37%; K-
Feldspar (sanidin), jernih, kelimpahan 1%; hornblende, warna coklat, tekstur opacitic rim,
kelimpahan 2%, klinopiroksen (aegirin), warna hijau kuat, kelimpahan 17%; ortopiroksen,
warna hijau, kelimpahan 4%; nefelin, jernih, kelimpahan 2%; dan mineral opak 3% yang
tertanam dalam massa dasar mikrolit plagioklas (22%) dan gelas vulkanik (12%). Nama
petrografi batuan ini adalah andesit hornblende. Secara petrografis, satuan aliran lava
Lasem 7 memiliki karakter yang mirip dengan satuan aliran lava Lasem 6.

m. Aliran lava Lasem 8


Satuan aliran lava Lasem 8 (LL8) terdapat di bagian selatan daerah penelitian
dan merupakan produk dari aktivitas vulkanisme Gunung Lasem. Satuan ini berupa
aliran lava yang mengarah ke selatan. Pengamatan sayatan tipis menunjukkan bahwa
sampel lava ini memiliki ukuran fenokris 0,1–6 mm, massa dasar <0,1 mm, dengan
persentase fenokris 42% dan massa dasar 58%. Tekstur batuan beku yang terdapat pada
satuan ini meliputi tekstur porfiritik, pilotaksitik, dan glomeroporfiritik. Komposisi
mineral penyusun satuan ini yaitu fenokris plagioklas, tekstur reverse zoning, oscillatory
zoning, sieve, kelimpahan 25%; K-Feldspar (sanidin), jernih, kelimpahan 3%; hornblende,
warna hijau kecoklatan, tekstur zoning dan opacitic rim, kelimpahan 6%; klinopiroksen
(aegirin), warna hijau kuat, kelimpahan 2%; nefelin, jernih, kelimpahan 3%; dan mineral
opak 3% yang tertanam dalam massa dasar mikrolit plagioklas (23%) dan gelas vulkanik
(35%). Nama petrografi batuan ini adalah andesit hornblende.

n. Aliran lava Lasem 9


Satuan aliran lava Lasem 9 (LL9) terdapat di zona sentral Gunung Lasem,
berupa aliran lava yang mengarah ke barat dan timur. Pengamatan sayatan tipis
menunjukkan bahwa sampel lava ini memiliki ukuran fenokris 0,1 – 10 mm, massa dasar
<0,1 mm, , dengan persentase fenokris 42% dan massa dasar 58%. Tekstur batuan beku
yang terdapat pada satuan ini meliputi tekstur porfiritik, hyalopilitik, glomeroporfiritik,

347
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

dan vitrofirik. Komposisi mineral penyusun satuan ini yaitu fenokris plagioklas, tekstur
oscillatory zoning, sieve, kelimpahan 20%; K-Feldspar (sanidin), jernih, kelimpahan 2%,
hornblende, warna hijau, kelimpahan 7%; klinopiroksen (aegirin), warna hijau kuat,
kelimpahan 8%; nefelin, jernih, kelimpahan 3%; dan mineral opak 2% yang tertanam
dalam massa dasar mikrolit plagioklas (14%) dan gelas vulkanik (44%). Nama petrografi
batuan ini adalah andesit hornblende.

o. Kubah lava Lasem 1


Kubah lava Lasem 1 (KLL1) merupakan produk dari aktivitas vulkanisme
Gunung Lasem, berupa Kubah lava di zona medial bagian barat daya Gunung Lasem.
Pengamatan sayatan tipis menunjukkan bahwa sampel lava ini memiliki ukuran mineral
fenokris 0,1 – 6 mm, massa dasar <0,1 mm, dengan persentase fenokris 42% dan massa
dasar 58%. Tekstur batuan beku yang terdapat pada satuan ini meliputi tekstur porfiritik,
trakitik, glomeroporfiritik. Komposisi mineral penyusun satuan ini yaitu fenokris
plagioklas, tekstur reverse zoning, oscillatory zoning, sieve, kelimpahan 13%; K-feldspar
(sanidin), jernih, kelimpahan 4%; hornblende, warna hijau kecoklatan, tekstur opacitic
rim, kelimpahan 13%; klinopiroksen (aegirin), warna hijau kuat, kelimpahan 4%; nefelin,
jernih, kelimpahan 3%; mineral opak 5%, dalam massa dasar mikrolit plagioklas (32%)
dan gelas vulkanik (26%). Nama petrografi batuan ini adalah andesit hornblende.

p. Kubah lava Lasem 2


Kubah lava Lasem 2 (KLL2) merupakan produk dari aktivitas vulkanisme
Gunung Lasem. Pengamatan sayatan tipis menunjukkan bahwa sampel lava ini memiliki
ukuran mineral mikrofenokris 0,03–0,3 mm, fenokris 0,3–2 mm dan massa dasar <0,03
mm, dengan persentase fenokris 80% dan massa dasar 20%. Tekstur batuan beku yang
terdapat pada satuan ini adalah porfiritik dan pilotaksitik. Komposisi mineral penyusun
satuan ini yaitu fenokris plagioklas, tekstur reverse zoning, kelimpahan 14%; K-feldspar
(sanidin), jernih, kelimpahan 2%; hornblende, tekstur opacitic rim, kelimpahan 11%;
nefelin, jernih, kelimpahan 2%; mineral opak 1%; dan mikrofenokris plagioklas 50% yang
tertanam dalam massa dasar mikrolit plagioklas (8%) dan gelas vulkanik (12%). Sebagian
plagioklas dan hornblende telah tergantikan oleh mineral lempung dan mineral opak.
Nama petrografi batuan ini adalah andesit hornblende.

q. Kubah lava Lasem 3


Kubah lava Lasem 3 (KLL3) merupakan produk dari aktivitas vulkanisme
Gunung Lasem. Pengamatan sayatan tipis menunjukkan bahwa sampel lava ini memiliki
ukuran mineral fenokris 0,1 – 6 mm, massa dasar <0,1 mm, dengan persentase fenokris
44% dan massa dasar 56%. Tekstur batuan beku yang terdapat pada satuan ini meliputi
tekstur porfiritik dan glomeroporfiritik. Komposisi mineral penyusun satuan ini yaitu
fenokris plagioklas, tekstur normal zoning, oscillatory zoning, kelimpahan 29%;
hornblende, warna hijau kecoklatan, tekstur zoning dan opacitic rim 6%, klinopiroksen
(aegirin), warna hijau kuat, kelimpahan 5%; nefelin, jernih, kelimpahan 2%; dan mineral
opak 2%, yang tertanam dalam massa dasar mikrolit plagioklas (33%) dan gelas vulkanik
(23%). Nama petrografi batuan ini adalah andesit hornblende.

348
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

r. Sumbat lava Lasem


Sumbat lava Lasem (SLL) merupakan produk dari aktivitas vulkanisme Gunung
Lasem. Pengamatan sayatan tipis menunjukkan bahwa sampel lava ini memiliki ukuran
mineral 0,3–3 mm, dengan tekstur faneritik inekuigranular. Komposisi mineral penyusun
satuan ini yaitu plagioklas, tekstur normal zoning, reverse zoning, kelimpahan 59%; K-
feldspar (sanidin), jernih, kelimpahan 7%; hornblende, warna hijau kecoklatan, tekstur
zoning dan opacitic rim, kelimpahan 20%; klinopiroksen (aegirin), warna hijau kuat,
kelimpahan 10%; ortopiroksen, warna hijau, kelimpahan 6%; nefelin, jernih, kelimpahan
2%; dan mineral opak 1%.

V.3.DATA GEOKIMIA
Data geokimia yang diperoleh meliputi oksida utama, unsur jejak, dan unsur
tanah jarang. Nilai LOI dalam sampel lava memiliki rentang 0,5–3%. Jenis batuan
diketahui dengan menggunakan diagram Total Alkali Silika oleh Le Bas dkk (1986).
Sampel lava Gunung Lasem dan Gunung Senjong mempunyai rentang nilai SiO2 51-63%,
dengan komposisi basaltik trakiandesit sampai trakit (Gambar 7). Garis batas seri magma
alkalin dengan subalkalin ditarik menurut Irvine dan Baragar (1971). Hasil plot data
geokimia menunjukkan bahwa lava Gunung Lasem dan Gunung Senjong termasuk ke
dalam seri magma subalkalin (Gambar 7)

VI. DISKUSI
VI.1.Diferensiasi Magma
Berdasarkan pengamatan lapangan dan analisis petrografi, diketahui bahwa lava
penyusun Gunung Lasem dan Gunung Senjong berupa lava andesit piroksen dan andesit
hornblende. Selain lava andesit juga terdapat batuan beku mikrodiorit sebagai sumbat
lava. Perbedaan jenis lava berkaitan dengan perbedaan komposisi mineralogi dan tekstur
yang teramati pada sampel setangan dan pengamatan sayatan tipis. (Gambar 4).
Berdasarkan plot pada diagram TAS oleh Le Bas dkk (1986), lava Gunung Lasem dan
Gunung Senjong memiliki komposisi basaltik trakiandesit hingga trakit, pada magma
subalkalin (Gambar 7).
Tekstur batuan beku pada lava Gunung Lasem dan Gunung Senjong meliputi
tekstur porfiritik, vitrofirik, trakitik, pilotaksitik, hyalopilitik, glomeroporfiritik. Mineral
plagioklas memiliki tekstur oscillatory zoning, normal zoning, dan reverse zoning,
sementara mineral hornblende memiliki tekstur zoning dan opacitic rim (Gambar 5).
Penentuan jenis zoning dilakukan berdasarkan publikasi oleh Phemister (1934). Menurut
Phemister (1934), tekstur normal zoning dicirikan oleh gelapan plagioklas dengan nilai
yang lebih tinggi di bagian inti mineral dan nilai gelapan yang lebih rendah di bagian tepi
mineral. Perbedaan nilai gelapan tersebut mengakibatkan gelapan “bergerak” dari tepi
mineral ke inti mineral secara unidireksional dan konsentris. Tekstur reverse zoning
berkebalikan dengan normal zoning, yaitu gelapan plagioklas bernilai lebih rendah di
bagian inti mineral dan lebih tinggi di bagian tepi mineral sehingga gelapan “bergerak”
dari inti mineral ke tepi mineral. Sementara tekstur oscillatory zoning dicirikan oleh

349
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

keterdapatan cincin-cincin konsentris dengan warna gelap-terang yang berselang-seling


pada mineral plagioklas.
Tekstur reverse zoning dan oscillatory zoning mengindikasikan adanya
perubahan komposisi magma secara berulang dalam dapur magma, akibat injeksi
magma dengan komposisi yang lebih basatik ke dalam magma yang sudah
terdiferensiasi. Tekstur sieve menunjukkan bahwa mineral plagioklas mengalami disolusi
menjadi lelehan karena adanya ketidaksetimbangan kimia. Ketidaksetimbangan tersebut
dapat terjadi ketika terdapat suplai magma baru ke dalam magma yang telah
terdiferensiasi. Tekstur opacitic rim terjadi ketika lava mengalami kontak dengan oksigen
setelah mencapai permukaan, sehingga menyebabkan biotit dan hornblende menjadi
tidak stabil (destabilisasi) dan tergantikan oleh oksida Fe-Ti di bagian tepi.
Komposisi mineralogi magma Gunung Lasem dan Gunung Senjong tersusun atas
fenokris plagioklas, K-feldspar, hornblende, klinopiroksen, ortopiroksen, nefelin, dan
mineral opak, yang tertanam pada massa dasar mikrolit plagioklas dan gelas vulkanik.
Diagram persentase mineral disajikan dan diagram perbandingan fenokris dan massa
dasar disajikan dalam (Gambar 6).
Secara umum, kubah lava mempunyai fenokris yang lebih melimpah (~70 vol.%)
dibandingkan aliran lava (~50 vol.%). Komponen mikrofenokris dominan terdapat dalam
kubah lava, sementara komponen mikrolit dominan terdapat dalam aliran lava. Hal ini
kemungkinan berhubungan dengan viskositas kubah lava yang relatif lebih tinggi
daripada aliran lava. Pendinginan magma yang terjadi dalam kubah lava berviskositas
tinggi berlangsung lebih lambat daripada aliran lava berviskositas lebih rendah, sehingga
kristalisasi mineral terjadi lebih intensif pada kubah lava.
Secara mineralogi, hampir semua sampel mempunyai kandungan hornblenda
yang dominan, yaitu mencapai ~19 vol.%. Pada umumnya, hornblenda menunjukkan
tekstur opacitic rim, yaitu bagian tepi hornblenda terubah menjadi mineral opak. Nefelin
umumnya hadir dengan kelimpahan 1-4 vol.%. Penambahan dan pengurangan mineral
piroksen berkorelasi dengan kandungan SiO2 . Piroksen melimpah pada lava dengan
SiO2 <59%, dan mulai berkurang pada lava dengan SiO2 >59%. Kehadiran mineral
ortopiroksen dan kelimpahan klinopiroksen terbanyak terdapat pada lava yang paling
basaltik (SiO2 52-53%).

Pengamatan komposisi modal mineralogi tidak menunjukkan adanya


pengkayaan atau deplesi mineral tertentu seiring pertambahan umur. Berdasarkan pola
komposisi mineralogi, dapat dikatakan bahwa magma G. Lasem dan G. Senjong telah
mengalami proses diferensiasi lanjut, namun tidak terdapat perubahan komposisi
mineralogi yang signifikan secara temporal.

VI.2. Evolusi Magma


Vulkanisme Gunung Lasem dan Gunung Senjong diawali oleh adanya subduksi
yang terjadi di selatan Pulau Jawa. Proses subduksi memicu peleburan sebagian baji
mantel yang menghasilkan magma sebagai sumber vulkanisme Gunung Lasem dan
Gunung Senjong. Seiring perjalanan magma ke permukaan bumi, magma mengalami

350
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

proses diferensiasi yang mengubah komposisi magma induk dari basaltik menjadi
andesitik – dasitik.
Selama proses diferensiasi magma, idealnya komposisi SiO2 dalam magma akan
terus meningkat seiring penurunan MgO. Kenaikan SiO2 dan penurunan MgO terjadi jika
proses diferensiasi magma dipengaruhi oleh mekanisme kristalisasi fraksinasi yang
dominan. Batuan beku Gunung Lasem dan Gunung Senjong menunjukkan pola
perubahan komposisi SiO2 secara bolak-balik seiring bertambahnya umur (Gambar 8).
Kandungan SiO2 yang terus berubah secara bolak-balik menunjukkan adanya proses
diferensiasi magma dengan mekanisme kristalisasi fraksinasi, diikuti oleh injeksi magma
baru dengan komposisi yang lebih basaltik secara terus-menerus dan masif. Suplai
magma basaltik ini mengakibatkan SiO2 mengalami penurunan dan MgO mengalami
kenaikan seiring bertambahnya umur, berkebalikan dengan pola SiO2 dan MgO ketika
terjadi diferensiasi normal dengan mekanisme kristalisasi fraksinasi.
Bukti lain bahwa proses diferensiasi magma Gunung Lasem dan Gunung Senjong
dipengaruhi oleh injeksi magma basaltik yang berulang ditunjukkan oleh tekstur batuan
beku berupa sieve, reverse zoning, dan oscillatory zoning (Gambar 5). Tekstur sieve
menunjukkan bahwa mineral plagioklas mengalami disolusi menjadi lelehan karena
adanya ketidaksetimbangan kimia akibat suplai magma baru ke dalam magma yang telah
terdiferensiasi. Tekstur reverse zoning dan oscillatory zoning mengindikasikan adanya
perubahan komposisi magma secara berulang dalam kantong magma, akibat injeksi
magma dengan komposisi yang lebih basatik ke dalam magma yang sudah
terdiferensiasi.

VII. KESIMPULAN
Gunung Senjong tersusun atas 1 aliran lava yang mengalir ke barat, dan 4 kubah
lava yang terletak di bagian utara, barat, selatan, dan tenggara. Sementara Gunung Lasem
memiliki 9 aliran lava, 1 kubah lava dan 1 sumbat lava di zona proksimal sebelah utara,
serta 2 kubah lava di zona medial sebelah barat daya. Singkapan aliran lava Gunung
Lasem terdistribusi di lereng barat daya – selatan – tenggara, melampar hingga 6 km dari
puncak. Urutan satuan lava Gunung Senjong dari tua ke muda meliputi Satuan aliran
lava Senjong 1, kubah lava Senjong 1, kubah lava Senjong 2, kubah lava Senjong 3, dan
kubah lava Senjong 4. Sementara urutan satuan lava Gunung Lasem dari tua ke muda
meliputi Satuan aliran lava Lasem 1 – 3 di lereng sebelah timur; Satuan aliran lava Lasem
4 – 6 di lereng sebelah barat; Satuan aliran lava Lasem 7 dan 8 di lereng sebelah selatan;
Satuan aliran lava Lasem 9 di zona sentral; kubah lava Lasem 1 dan 2 di zona medial
barat daya; serta kubah lava Lasem 3 dan sumbat lava Lasem di zona proksimal sebelah
utara.
Lava Gunung Lasem dan Gunung Senjong berupa andesit piroksen dan andesit
hornblende. Selain itu juga terdapat mikrodiorit sebagai sumbat lava. Komposisi
mineralogi batuan beku Gunung Lasem dan Gunung Senjong tersusun atas fenokris
plagioklas, K-feldspar, hornblende, klinopiroksen, nefelin, ortopiroksen, dan mineral
opak, yang tertanam pada massa dasar mikrolit plagioklas dan gelas vulkanik. Tekstur
batuan beku yang berkembang dalam lava Gunung Lasem dan Gunung Senjong meliputi
tekstur porfiritik, vitrofirik, trakitik, pilotaksitik, hyalopilitik, glomeroporfiritik.

351
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Sementara tekstur mineral dalam lava Gunung Lasem dan Gunung Senjong meliputi
tekstur sieve, oscillatory zoning, normal zoning, dan reverse zoning pada mineral plagioklas,
serta tekstur zoning dan opacitic rim pada mineral hornblende. Secara geokimia, sampel
lava Gunung Lasem dan Gunung Senjong mempunyai komposisi basaltik trakiandesit
sampai trakit dengan seri magma subalkalin.
Evolusi magma Gunung Lasem dan Gunung Senjong dipengaruhi oleh proses
kristalisasi fraksinasi serta injeksi magma basaltik secara berulang dan masif. Injeksi
magma baru dengan komposisi yang lebih basaltik secara berulang dan masif dibuktikan
oleh kandungan SiO2 yang terus berubah secara bolak-balik, serta tekstur batuan beku
berupa sieve, reverse zoning, dan oscillatory zoning.

VIII.ACKNOWLEDGEMENT
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
dalam proses penyelesaian riset ini. Ucapkan terima kasih penulis haturkan kepada
Departemen Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada yang telah memberikan bantuan
Dana Hibah Penelitian (nomor kontrak 2380/H1.17-TGL/PL/2019) dan sarana prasarana
untuk menyelesaikan penelitian ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Mundasir dan Bapak Rifa’i yang telah menyediakan tempat tinggal dan kendaraan
selama pengambilan data lapangan. Tidak lupa kami juga mengucapkan terima kasih
kepada seluruh pihak yang telah membantu penyelesaian penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Calanchi. N., Lucchini, F., Rossi, P. L. 1983. Considerations on the High-K Volcanic Rocks of the
Volcanoes Muriah And Lasem (Java). Mineral Petrogr. Acta 27, pg. 15-34
Disando, T dan Abdurrachman, M. 2017. Distinct Geochemical Features in a Magmatic Arc
System: A Comparison between Lasem and Muria Volcano. Prosiding Joint Convention
Malang 2017, HAGI – IAGI – IAFMI- IATMI (JCM 2017)
Gill, J. B. 1981. Orogenic Andesites and Plate Tectonics. Berlin: Springer-Verlag.
Irvine, T.N., dan Baragar, W.R.A. 1971. A Guide to The Chemical Classification of The Common
Rocks. Canadian Journal of Earth Science vol. 8 pg. 523-548.
Kadar, D dan Sudijono. 1993. Peta Geologi Lembar Rembang, Jawa. Bandung: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi
Le Bas, M.J., Le Maitre, R. W., Streckeisen, A., dan Zanettin, B. 1986. A Chemical Classification of
Volcanic Rocks Based on the Total Alkali Silica Diagram. Journal of Petrology 27(3), pg.
745- 750.
Leterrier, J., Yuwono, Y. S., Soeria-Atmadja, dan Maury, D.C. 1990. Potassic Volcanism in Central
Jawa and South Sulawesi, Indonesia. Journal of Southeast Asian Earth Sciences, vol. 4 no.
3 pg. 171 – 187
Lobeck, A.K. 1932. Geomorphology. An Introduction to the Study of Landscapes. New York and
London: McGraw Hill Book Company, Inc.

352
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Peccerillo, A. dan Taylor, S.R. 1976. Geochemistry of Eocene Calc-alkaline Volcanic Rocks from The
Kastamonu Area, Northern Turkey. Contributions to Mineralogy and Petrology no 58,
pg. 63–81.
Phemister, James. 1934. Zoning in Plagioclase Felspar. Mineralogical Magazine, vol. 23, issue 145,
pp. 541-555.
Setijadji, L.D., Kajino, S., Imai, A., Watanabe, K. 2006. Cenozoic Island Arc Magmatism in Java
Island (Sunda Arc, Indonesia): Clues on Relationships between Geodynamics of Volcanic
Center and Ore Mineralization. Journal of Resources Geology, vol. 56 no. 3 pg 257 – 292
Situmorang, R.L., Smit, R., dan Van Vessem, E.J. 1992. Peta Geologi Lembar Jatirogo, Jawa.
Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi
Sun, S.S dan McDonough, W.F. 1989. Chemical and Isotopic Systematics of Oceanic Basalts:
Implications for Mantle Composition and Processes, dalam Saunders, A.D. dan Norry,
M.J. (ed), Magmatism in the Ocean Basins, Geological Society of London, London, vol 42
pg 313- 345.
Tatsumi, Y dan Eggins, S. 1995. Subduction Zone Magmatism. Cambridge: Blackwell Science Inc.
Van Bemmelen, R.W. 1949 The Geology of Indonesia, Vol. 1A. Hague: Government Printing Office.
Wilson, M. 1989. Igneous Petrogenesis: A Global Tectonic Approach. London: Harper Collins
Academic.
Winter, J. D. 2013. Principle of Igneous and Metamorphic Petrology. London: Pearson Education
Limited

353
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar1.Peta lokasi penelitian. Daerah penelitian meliputi Kecamatan Lasem, Sluke, Pancur,
Kragan, danSedan, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah. Gunung Lasem terletak di sebelah
utara, sementara Gunung Senjong terletak di sebelah selatan. Citra diambil dari Google Maps
(2018).

354
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Peta geologi Gunung Lasem dan sekitarnya, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah.
Gunung Senjong tersusun dari 1 aliran lava dan 4 kubah lava. Singkapan lava Gunung Lasem
terdistribusi di bagian selatan, terdiri dari 9 aliran lava, 3 kubah lava, dan 1 sumbat lava.

355
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Profil geologi daerah penelitian

356
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Kenampakan sayatan tipis lava dari Gunung Lasem dan Gunung Senjong: (a) andesit
piroksen, dengan fenokris plagioklas (Pl), hornblende (Hb), klinopiroksen (Cpx), ortopiroksen
(Opx), dan mineral opak (Opq); (b) andesit hornblende, dengan fenokris plagioklas (Pl),
hornblende (Hb), nefelin (Ne), K-feldspar (Kfs), klinopiroksen (Cpx), dan mineral opak (Opq); (c)
mikrodiorit, dengan fenokris plagioklas (Pl), hornblende (Hb), K- feldspar (Kfs), nefelin (Ne),
klinopiroksen (Cpx), ortopiroksen (Opx), dan mineral opak (Opq)

357
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. Tekstur batuan beku dan tekstur mineral pada lava Gunung Lasem dan Gunung Senjong. (a)
porfiritik (hyalopilitik) pada andesit hornblende; (b) faneritik pada mikrodiorit; (c) normal zoning pada
plagioklas; (d) reverse zoning pada plagioklas; (e) oscillatory zoning pada plagioklas, (f) zoning pada
hornblende; (g) sieve pada plagioklas; dan (h) opacitic rim pada hornblende. Tekstur zoning dan sieve
menunjukkan perubahan komposisi magma dan ketidaksetimbangan kimia akibat suplai magma
baru ke dalam magma yang telah terdiferensiasi. Tekstur opacitic rim terjadi akibat destabilisasi
hornblende saat lava berkontak dengan oksigen.

358
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 6. Diagram perbandingan persentase mineral (kiri) serta perbandingan fenokris dan massa
dasar (kanan) dari lava Gunung Lasem dan Gunung Senjong. Secara umum, komposisi mineralogi
magma G. Lasem dan G. Senjong tersusun atas fenokris plagioklas, K-feldspar, hornblenda,
klinopiroksen, nefelin, dan mineral opak, dengan massa dasar mikrolit plagioklas dan gelas vulkanik.
Kubah lava mempunyai fenokris yang lebih melimpah (~70 vol.%) dibandingkan aliran lava (~50
vol.%).

359
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 7. Plot data geokimia Gunung Lasem dan Gunung Senjong dalam diagram Total Alkali- Silika
oleh Le Bas dkk (1986). Oksida dalam wt%. Sampel lava Gunung Lasem dan Gunung Senjongmempunyai
rentangnilaiSiO251-63%,dengan komposisibasaltik trakiandesit hingga trakit.

360
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 8. Pola perubahan SiO2 selama proses diferensiasi kedua jenis magma Gunung Lasem dan
Gunung Senjong, diurutkan dari tua (bawah) ke muda (atas). SiO2 menunjukkan pola perubahan
komposisi yang bolak-balik seiring bertambahnya umur. Kenaikan SiO2 dipengaruhi oleh proses
kristalisasi fraksinasi, sementara penurunan SiO2 disebabkan oleh injeksi magma baru yang lebih
basaltik

361
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C034UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

KARAKTERISTIK ENDAPAN ALIRAN PIROKLASTIK GUNUNG LASEM,


KABUPATEN REMBANG, PROVINSI JAWA TENGAH
Mohammad Yazid Abdillah1*, Agung Harijoko1, Haryo Edi Wibowo1
1Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada

*Corresponding Author: mohammad.yazid.a@mail.ugm.ac.id

ABSTRAK. Gunung Lasem termasuk gunung api dengan magmatisme kaya potasik di Jawa.
Gunung Lasem memiliki fase erupsi eksplosif yang terekam pada sekuen endapan piroklastiknya.
Pemahaman mengenai karakteristik endapan aliran piroklastik Gunung Lasem diperlukan untuk
mitigasi bencana gunung api pada tatanan identik. Analisis Digital Elevation Model (DEM) dan
pengamatan lapangan didapatkan 12 unit aliran piroklastik di Gunung Lasem yang terdistribusi
di lereng utara dan timur, sedikit di lereng selatan dan barat, melampar 0,7 – 6,7 km dari puncak.
Secara umum endapan aliran piroklastik di Gunung Lasem didominasi oleh endapan aliran blok
dan abu/ block and ash flow (BAF 1-9), sedikit ignimbrit/ pumice flow (PF 1-2) dan aliran abu/ ash flow
(AF). Kontak tiapunit aliran berupa endapan material rombakan, lava, dan bidang erosi unit yang
lain. Pengukuran stratigrafi pada 27 stasiun pengamatan. Analisis petrografi dan geokimia ICP
MS/AES pada masing-masing 19 dan 11 sampel representatif. Endapan BAF berwarna abu–abu,
masif, ketebalan 1–25 m, disusun fragmen andesit berukuran ~90 cm, matriks material vulkanik
berukuran abu hingga lapilli. Ignimbrit berwarna putih kemerah-merahan, masif, ketebalan 4,2-15
m, tersusun oleh litik andesit berukuran ~25 cm, pumis berukuran ~5 cm, matriks yaitu material
abu vulkanik. Fragmen andesit pada BAF dan ignimbrit tersusun olehfenokris plagioklas,
hornblenda, klinopiroksen, nefelin, mineral opak dan k-feldspar, massa dasar mikrolit dan gelas
vulkanik. Fenokris pada fragmen pumis berupa plagioklas, hornblenda, nefelin dan klinopiroksen,
massa dasar gelas vulkanik. Aliran abu berwarna abu –abu, berstruktur masif, ketebalan ~8m,
tersusun oleh kristal plagioklas, hornblenda, nefelin, klinopiroksen, mineral opak dan gelas
vulkanik. Data geokimia total alkali silica menunjukkan kisaran nilai SiO2 55–65 % termasuk traki-
andesit basal, traki-andesit, dan traki-dasit. Tekstur khusus dan penurunan SiO2 menunjukkan
adanya pengaruh magma mixing. Secara umum endapan aliran piroklastik terbentuk akibat
runtuhnya kubah lava dan aliran lava. Endapan aliran abu dan ignimbrit menunjukkan
vulkanisme yang lebih eksplosif di Gunung Lasem.

Kata kunci: endapan aliran piroklastik, Gunung Lasem, stratigrafi, petrografi, geokimia ICP MS/
AES

I. PENDAHULUAN
Gunung Lasem merupakan gunung api dengan magmatisme kaya potasik pada
deret gunung api belakang busur Sunda Banda (Letterier dkk., 1990; Tatsumi dan Egins,
1995; Setijadji dkk., 2007). Batuan vulkanik kaya potasik Gunung Lasem dan Gunung
Patiayam dikelompokkon berdasarkan tingkat jenuh dan tidaknya silika sebagai seri
batuan vulkanik silica-saturated or oversaturated potassic (SK). Kelompok batuan
vulkanik kaya potasik lain di Jawa Tengah yaitu potasik alkali (AK) pada produk
Gunung Muria Tua, dan ultra potasik (UK) pada produk Gunung Genuk, Gunung
362
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C034UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Ringgit-Beser-Lurus, dan Gunung Bawean (Letterier dkk., 1990). Ciri khas Gunung
Lasem diantara Gunung api kaya potasik lain di Jawa Tengah dan Timur adalah endapan
aliran blok dan abu atau lebih dikenal “nuee ardente” (Letterier dkk., 1990). Penelitian ini
membahas persebaran dan karakteristik endapan aliran piroklastik Gunung Lasem.

II. GEOLOGI REGIONAL


Lokasi penelitan di Gunung Lasem (Gambar 1) termasuk ke dalam fisiografi
Kompleks Gunungapi Muria – Lasem (Van Bemmelen, 1949). Lokasi penelitian pada
Geologi Regional Indonesia masuk ke dalam lembar Jatirogo (Situmorang dkk., 1992) dan
lembar Lasem (Kadar dkk., 1993). Batuan penyusun Gunung Lasem antara lain breksi,
konglomerat, batupasir tufan, lava andesit berumur plistosen yang menumpang di atas
batuan dasar sedimen laut dan transisi (Pringgoprawiro, 1983; Husein dkk., 2018).
Struktur geologi pada daerah penelitian berkaitan dengan pola kelurusan struktur
geologi yang berarah timur – barat (pola Sakala), dan pola timurlaut – baratdaya (pola
Meratus) (Katili, 1975, Hamilton, 1979, dan Sribudiyani dkk., 2003).

III. METODE PENELITIAN


Metodologi penelitian yang dilakukan yaitu analisis peta Digital Elevation Model
(DEM), stratigrafi berupa kombinasi morfostratigrafi dan litostratigrafi, petrografi, dan
geokimia ICP MS/ AES. Analisis peta DEM dilakukan untuk mengetahui persebaran
endapan aliran piroklastik. Pengukuran stratigrafi pada stasiun titik amat dilakukan
untuk penyusunan stratigrafi komposit endapan aliran piroklastik. Pengambilan sampel
batuan pada 19 sampel fragmen untuk analisis petrografi yang bertujuan untuk
mengetahui karakteristik sayatan tipis batuan. Analisis geokimia ICP MS/ AES pada 11
sampel representatif untuk mengetahui kimia batuan.

IV. HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS


Hasil penelitian menunjukkan bahwa endapan aliran piroklastik Gunung Lasem
dibagi menjadi tiga jenis yaitu endapan aliran blok dan abu/ block and ash flow (BAF),
ignimbrit/ pumice flow (PF), dan aliran abu/ ash flow (AF). Keberadaan endapan aliran
piroklastik secara umum di lereng timur dan utara, sedikit di selatan dan barat (Gambar
2).
Penentuan stratigrafi endapan aliran piroklastik menggunakan kombinasi
morfostratigrafi dan litostratigrafi. Endapan aliran piroklastik Gunung Lasem dibagi
menjadi 12 unit. Kontak tiap unit dipisahkan oleh kontak erosi unit aliran piroklastik
yang lain, endapan material rombakan, dan lava (Gambar 3).
Hasil analisis stratigrafi diidentifikasi menjadi 12 unit aliran piroklastik. Secara
umum, tipe endapan aliran piroklastik adalah endapan aliran blok dan abu sebanyak 9
unit (BAF 1, BAF 2, BAF 3, BAF 4, BAF 5, BAF 6, BAF 7, BAF 8, dan BAF 9), ignimbrit
kaya litik sebanyak 2 unit (PF 1 dan PF 2), dan satu unit endapan aliran abu(AF).
Endapan material rombakan ditemukan setempat di beberapa lokasi dan
mengalami kontak langsung dengan endapan primer sehingga dapat dijadikan batas
antar unit endapan piroklastik yaitu kontak antara unit AF-BAF 1, BAF 3-BAF 4, dan BAF
7 dan BAF 8. Unit lava di Gunung Lasem diidentifikasi oleh (Mradipta, 2019) dibedakan

363
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C034UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

menjadi 9 aliran lava, . lava dan aliran piroklastik memiliki hubungan stratigrafi saling
berseling (Gambar 9).

Endapan Aliran Blok dan Abu


Endapan aliran blok dan abu Gunung Lasem dibagi menjadi 9 unit yaitu aliran
blok dan abu (BAF 1 - BAF 9) yang tersebar merata. Pada pengamatan lapangan endapan
aliran blok dan abu berwarna abu – abu, sebagian berwarna abu – abu keputih-putihan,
struktur masif, welded, memiliki kisaran ketebalan 1 – 25 m, fragmen andesit masif
berukuran hingga 90 cm mendominasi fragmen, matriks endapan matriks material
vulkanik berukuran abu hingga lapilli. Struktur segregasi pipa gas hanya ditemukan
pada BAF 2.
Analisis sayatan tipis pada fragmen endapan blok dan abu menunjukkan bahwa
litologi penyusun fragmen endapan berupa andesit, dan andesit hornblenda. Analisis
komponen fenokris: Massadasar: vesicle menunjukkan secara umum massa dasar lebih
dominan dibandingkan fenokris dan vesicle Fenokris berukuran >0,1 mm, massa dasar
berukuran <0,1 mm. Fenokris disusun oleh plagioklas, hornblenda, klinopiroksen, nefelin,
mineral opak, dan k- feldspar. Massa dasar berupa material gelasan dan mikrolit
plagioklas (Gambar 4). Tekstur khusus yang dijumpai antara lain pilotrasitik, zoning,
sieve, hialofilitik, opacit rim, glomeroporfiritik, poikilitik, dan vitrofirik (Gambar 7).
Analisis data geokimia pada sampel fragmen endapan aliran blok dan abu menunjukkan
kisaran nilai SiO2 54-62 %, termasuk ke dalam sampel traki-andesit basal, traki-andesit,
dan andesit(Gambar 9).

Ignimbrit
Endapan Ignimbrit dibagi menjadi 2 unit Ignimbrit 1 (PF 1) memiliki persebaran
di lereng timur Gunung Lasem, ignimbrit 2 (PF2) berada pada lereng utara. Ketebalan
ignimbrit yang teramati yaitu 4,2 – 15 m. Ignimbrit memiliki kenampakan fisik berwarna
putih, sebagian berwarna merah muda, struktur masif, komponen utama fragmen litik
andesit masif, dengan ukuran rata – rata 0,2 m, sebagian mengandung xenolit andesit,
fragmen pumis berukuran ~5 cm, mengambang pada massa dasar material vulkanik
berukuran abu.
Pada pengamatan sayatan tipis pada litik ignimbrit disusun oleh vesicle <5%,
fenokris lebih sedikit dibandingkan massa dasar. Komposisi fenokris yaitu plagioklas,
hornblenda, klinopiroksen, k-feldspar dan nefelin. Komposisi massa dasar yaitu gelas
vulkanik dan mikrolit plagioklas. Plagioklas dan hornblenda secara umum memiliki
kelimpahan >10% dari total penyusun fenokris (Gambar 5). Tekstur khusus yang
dijumpai antara lain: trasitik, pilotasitik, hialofilitik, glomeroporfiritik, poikilitik,
vitrofirik, zoning, opacit rim, dan sieve. Zoning pada mineral plagioklas dijumpai pada
semua sampel. Analisis data geokimia pada sampel fragmen endapan ignimbrit
menunjukkan kisaran nilai SiO2 61-64 %, termasuk ke dalam sampel traki-andesit dan
traki-dasit (Gambar 9).

Endapan Aliran Abu


Endapan aliran abu Gunung Lasem yang diidentifikasi memiliki 1 unit, berada
pada lereng timur Gunung Lasem. Endapan aliran abu ditemukan pada STA 4 dan STA
364
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C034UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

9. Hanya ada satu unit deposisi pada STA 4 dan STA 9 dengan masing – masing tebal ~6,5
m dan ~ 8 m. Karakteristik endapan aliran abu di lapangan berwarna abu – abu, struktur
masif, komponen utama material vulkanik berukuran abu kasar, pumis berukuran ~0,2
cm, dan sedikit mineral prismatik berwarna hitam.
Pada pengamatan sayatan tipis didapatkan litologi crystal vitric (Cook, 1965)
dengan komposisi mineral plagioklas, hornblenda, klinopiroksen, nefelin, dan gelas
vulkanik. Tekstur khusus yang dijumpai yaitu zoning pada plagioklas dan opacit rim
pada hornblenda (Gambar 6). Analisis data geokimia pada sampel endapan ignimbrit
menunjukkan nilai SiO2 59 %, termasuk ke dalam sampel traki-andesit (Gambar 9).

V. DISKUSI DAN PEMBAHASAN


Distribusi Endapan Aliran Piroklastik
Persebaran endapan aliran piroklastik Gunung Lasem memiliki persebaran
merata. Secara umum, keterdapatan endapan aliran piroklastik terkonsentrasi pada
lereng Gunung Lasem bagian utara dan timur, sedikit di lereng barat dan selatan.
Persebaran endapan aliran piroklastik Gunung Lasem memiliki keterkaitan pola spasial
dan temporal. Seiring dengan umur relatif endapan aliran piroklastik yang semakin
muda terjadi perpindahan dari timur berubah ke barat lalu selatan, kemudian
terendapkan ke utara.

Karakteristik Endapan Aliran Piroklastik


Endapan aliran blok dan abu merupakan endapan aliran piroklastik Gunung
Lasem paling dominan. Struktur endapan masif disebabkan proses deposisi endapan
cepat. Tidak adanya segregasi pada fragmen/ non expanded menunjukkan peran fluida
sangat minim sehingga ekspansi gas selama proses deposisi endapan cenderung tidak
berkembang.
Endapan aliran blok dan abu Gunung Lasem pada kondisi welded. Hal ini jarang
ditemukan pada endapan blok dan abu pada umumnya. Welded/ struktur pengelasan
menunjukkan bahwa selama proses deposisi endapan memiliki temperatur yang tinggi.
Ketebalan endapan berkaitan dengan topografi. Topografi rendahan/ lembah akan terisi
endapan aliran blok dan abu lebih tebal dibandingkan pada daerah tinggian, seperti pada
singkapan di STA 24 yang memiliki ketebalan hingga 20 m pada satu unit deposisi.
Perbandingan antara fenokris lebih kecil di bandingkan dengan massa dasar yang
berupa mikrolit plagioklas dan gelasan (Gambar 8). Kehadiran vesicle secara umum
sangat minim (<5%), hal ini mengindikasikan kurang berkembangnya gelembung yang
terperangkap dan membentuk rongga subsperikal selama proses kenaikan magma yang
menyebabkan erupsi eksposif. Komposisi mineralogi penyusun endapan berkaitan
dengan magma asal yang sama.
Tekstur khusus berkembang pada mineral penyusun endapan aliran blok dan
abu. Zoning dan sieve hampir dijumpai pada seluruh unit endapan blok dan abu. Tekstur
zoning hampir dijumpai pada fenokris plagioklas baik bertipe patchy plagioklas maupun
osscilatory zoning yang berkaitan dengan percampuran magma. Tekstur sieve pada
klinopiroksen merupakan tekstur ketidakseimbangan pada batuan vulkanik akibat proses
diferensiasi. Tekstur khusus glomeroporfiritik dijumpai pada beberapa endapan yang

365
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C034UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

dicirikan adanya penggerombolan mineral plagioklas, klinopiroksen dan hornblenda.


Tekstur tersebut adalah tekstur khas aliran
lava (McPhie dkk., 1993). Tekstur hialopilitik menunjukkan tekstur pada batuan
vulkanik, mikrolit plagioklas hadir beserta material gelasan pada massa dasar. Tekstur
pilotaksitik dicirikan adanya kehadiran mikrolit yang mendominasi massa dasar. Tekstur
poikilitik dicirikan partikel mineral yang lebih kecil tertanam pada suatu mineral, pada
umumnya plagioklas berada pada mineral yang berukuran lebih besar yaitu plagioklas
dan hornblenda. Tekstur opacit rim hadir pada mineral hornblenda yang
mengindikasikan adanya proses oksidasi selama pengkristalan (Streckeisen, 1979). Hasil
analisis sayatan tipis menunjukkan material endapan blok dan abu berasal dari erupsi
efusif sebelumnya yang menghasilkan kubah lava atau aliran lava. Ciri khas aliran lava
dapat diidentifikasi dari kehadiran tekstur khusus glomeroporfiritik yaitu pada unit BAF
3 dan BAF 4.
Pada stratigrafi komposit yang dikombinasikan nilai SiO2, endapan ignimbrit di
bagian bawah dan tengah menunjukkan erupsi lebih eksplosif dipengaruhi oleh
kristalisasi fraksinasi (Gambar 9). Nilai SiO2 semakin bertambah dari unit AF menuju unit
BAF 1, dan PF 1. Kristalisasi fraksinasi yang menyebabkan pembentukan ignimbrit
didukung oleh data petrografi yang menunjukkan komponen fenokris semakin
meningkat dari BAF 1 ke PF 1. Selain itu, persentase nefelin pada PF 1 dan PF 2 memiliki
nilai 3-8 % dari total komposisi mineralogi, cenderung lebih tinggi dibandingkan unit
lain. Nilai SiO2 setelah unit endapan ignimbrit 1 dan 2 menunjukkan penurunan akibat
magma mixing dengan magma baru yang lebih mafik. Nilai SiO2 pada PF 1 sebesar 61%
turun 3% pada unit BAF 2 menjadi 58%, dan pada PF 2 sebesar 65% turun hingga 10%
pada unit BAF 7 menjadi 55%. Data petrografi menunjukkan penurunan komponen
fenokris, dan adanya tekstur zoning pada plagioklas. Terdapat tiga kali magma mixing
yaitu antara unit PF 1-BAF 2, unit BAF 4-BAF 5, dan unit PF 2- BAF 7 (Gambar 10).
Magma mixing didukung oleh data petrografi, komponen matriks berupa gelas vulkanik
cenderung meningkat. Persentase klinopiroksen semakin meningkat, nefelin cenderung
turun dan tidak adanya k-feldspar. Selain itu didukung oleh tekstur khusus zoning pada
mineral plagioklas dan sieve pada klinopiroksen.

VI. KESIMPULAN
Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:

1. Persebaran endapan aliran piroklastik dominan pada lereng timur dan utara,
sedikit di lereng selatan dan barat. Keberadaan endapan aliran piroklastik memiliki
hubungan pola spasial dan temporal.
2. Endapan aliran piroklastik Gunung Lasem dibagi menjadi tiga tipe yaitu endapan
aliran blok dan abu (BAF 1 – BAF 9), endapan ignimbrit (PF 1-2) dan satu unit endapan
aliran abu (AF). Komposisi mineralogi pada fragmen andesit pada BAF dan ignimbrit
tersusun oleh fenokris plagioklas, hornblenda, klinopiroksen, nefelin, mineral opak dan
k-feldspar, massa dasar mikrolit plagioklas dan gelas vulkanik. Fenokris pada fragmen
pumis berupa plagioklas, hornblenda, nefelin dan klinopiroksen, massa dasar gelas

366
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C034UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

vulkanik. Aliran abu disusun oleh kristal plagioklas, hornblenda, nefelin, klinopiroksen,
mineral opak dan gelas vulkanik.
Komposisi kimia batuan memiliki kisaran nilai SiO2 pada endapan aliran blok dan
abu yaitu 52-65 %, endapan ignimbrit 61-64%, dan endapan aliran abu 59%. Endapan
aliran piroklastik Gunung Lasem pada umumnya terbentuk dari runtuhan kubah lava
dan aliran lava. Diferensiasi yang memicu pembentukan aliran piroklastik yaitu
kristalisasi fraksinasi dan magma mixing.

VII. ACKNOWLEDGEMENT
Penelitian ini didanai oleh dana hibah Departemen Teknik Geologi FT- UGM a.n.
Agung Harijoko tahun 2019 dengan nomor kontrak 238t/H1.17-TGL/PL/2019.

DAFTAR PUSTAKA
Appleton, J. D. 1972, Petrogenesis of potassium-rich lava from Roccamonfina volcano, Roman
Region, Italy. Journal of Petrology Vol. 13(3), p. 425-456.
Disando, T., dan Abdurrachman, M., 2017, Distinct Geochemical Features in a Magmatic Arc
System: A Comparison between Lasem and Muria Volcano: Proceeding of Joint
Convention Malang 2017, HAGI – IAGI – IAFMI- IATMI (JCM 2017), p. 6
Hamilton, 1979, Tectonic of The Indonesian Region. ed State Geological Surveys. Professional
Paper, Washington, 345 p.
Husein, S., Didit H.B. dan Yan R.F., 2018, Buku Panduan Ekskursi Geologi Regional 2018:
Yogyakarta, Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, 62
p.
Hutchison, C. S., 1976, Indonesian active volcanic arc: K, Sr and Rb variations with depth of the
Benioff zone, Geology 4, p. 407-408.
Kadar, Darwin dan Sudijono,1993, Peta Geologi Lembar Rembang, Jawa: Bandung, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi, skala 1: 100.000, 1 lembar.
Katili, J.A.1975. “Volcanism and plate tectonics in the Indonesian island arcs.Tectonophysics, vol.
26, p. 165 - 188.
Leterrier, J., Yuwono, Y.S., Soeria-Atmadja, R., dan Maury, R.C., 1990, Potassic volcanism in
Central Java and South Sulawesi, Indonesia: Journal of Southeast Asian Earth Sciences, v.
4, p. 171–187, doi: 10.1016/S0743-9547(05)80011-X.
Lockwood, J.P. dan Hazlet, R.W., 2010. Volcanoes: Globlal Perspective, New York, Wiley-
Blackwell, 540p.
McPhie, J., Doyle, M., and Allen, R., 1993, Volcanic Textures: Tasmania, 196 p. Macdonald, G. A.
1972. Volcanoes, New Jersey, Prentice-Hall. 330 p.
Nḗmeth, K., Martin, U., 2007, Practical Volcanology: Budapest, Geological Institute of Hungaray.
221 p.
Schmincke, H. 2004. Volcanism. German: Springer, 324 p.
Setijadji, L.D., Kajino, S., Imai, A., dan Watanabe, K., 2006. Cenozoic Island Arc Magmatism in Java
Island (Sunda Arc, Indonesia): Clues on Reletionships between Geodynamic of Volcanic

367
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C034UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Centers and Ore Mineralization. Resource Geology, vol. 56, no.3, p. 267-292, doi:
10.1111/j.1751-3928.2006. tb00284.x.
Sigurdsson, H., 2000, Encyclopedia of Volcanoes: San Diego, Academic Press, 1442 p.
Situmorang, R.L., R. Smit dan E.J Van Vessem .1992. Peta Geologi Lembar Jatirogo, Jawa: Bandung,
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, skala 1: 100.000, 1 lembar.
Sribudiyani, 2003, The Collision of the East Java Microplate and Its Implication for Hydrocarbon
Occurrences in the East Java Basin. PROCEEDINGS, INDONESIAN PETROLEUM
ASSOCIATION 2013. 13 p.
Streckeisen, A., 1979. "Classification and nomenclature of volcanic rocks, lamprophyres,
carbonatites, melilitic rocks: Recommendations and suggestions of the IUGS
Subcommission on the Systematics of Igneous Rocks: Geology. vol. 7: p. 331-335.
Van Bemmelen, R.W., 1949. Geology of Indonesia Vol-IA General: Hague, 766 p.

Gambar 1. Peta DEM Gunung Lasem

368
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C034UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2.PetadistribusiunitlitologiGunungLasem(Litologinonvulkanikmengacupada geologiregional


lembarLasemdanJatirogoolehSitumorangdkk.,1992;Kadardkk.,1993)

369
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C034UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Kolom korelasi endapan aliran piroklastik Gunung Lasem

370
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C034UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Kenampakan sayatan tipis fragmen endapan aliran blok dan abu unit BAF 8.KeteranganPl:
Plagioklas,Cpx:Klinopiroksen,Hb:Hornblenda,Opq:Mineralopak,Gvl:Gelas vulkanik, Mic: Mikrolit.

Gambar 5. Kenampakan sayatan tipis litik endapan ignimbrit unit PF 2. Keterangan Pl: Plagioklas,Cpx:
Klinopiroksen,Hb:Hornblenda,Ne:Nefelin,Opq:Mineralopak,Gvl:Gelas vulkanik, Mic: Mikrolit.

371
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C034UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 6. Kenampakan sayatan tipis endapan aliran abu (AF) Keterangan Pl: Plagioklas, Hb: Hornblenda, Ne:
Nefelin, Opq: Mineral opak, Gvl: Gelas vulkanik

Gambar7.Tekstur khusus mineral pada fragmen endapan aliranpiroklastik Gunung Lasem dengan kenampakan
PlanePolarizedLight/PPL(A)Glomeroporfiritik,(B)Sieve,(C)Opacitrim, (D) Vitrofirik, (E) Zoning, (F)
Pilotasitik.

372
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C034UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar8. Perbandingan SiO2 vsKomponen batuanvsMineralogi endapan aliran piroklastik Gunung Lasem

Gambar9.Data geokimia total alkalisilica(TAS)tiapunit endapan aliranpiroklastik Gunung Lasem

373
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C034UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 10. Hubungan stratigrafi endapan aliran piroklastik dan proses diferensiasi pada lokasi penelitian

374
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C036UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

DISTRIBUSI UKURAN KRISTAL LAVA SLAMET MUDA BERKAITAN


DENGAN WAKTU PERGERAKAN MAGMA DI DALAM PIPA GUNUNGAPI
Agustini Suryati Nababan1*, Wildan Nur Hamzah2, Yogi Adi Prasetya3, Muhammad Ilham
Nabil4, Deventi Nur Aeni5, Mentari Utami Putri6
1Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Jenderal Soedirman, Jln. Mayjen Sungkono, Km 5,
Blater, Purbalingga, Jawa Tengah
2 Teknik Geologi Program Magister Institut Teknologi Bandung, Jawa Barat
3Magister Universitas Kyushu, Jepang

*Corresponding Author: nababanagustini@gmail.com

ABSTRAK. Gunung Slamet merupakan gunung api Strato yang terletak di Jawa Tengah. Gunung
ini melingkupi daerah Purwokerto, Purbalingga, Pemalang, Bumiayu, dan Tegal. Secara stratigrafi
terbagi menjadi Slamet Tua dan Slamet Muda, tersusun atas lava dan piroklastik. Produk Slamet
Tua memiliki komposisi basaltik andesitik hingga andesitik, sedangkan Slamet Muda basaltik
hingga basaltik andesitik. Berdasarkan catatan sejarah, periode erupsi Gunung Slamet terbagi
menjadi 1 tahunan, 3 – 5 tahunan, 10 – 15 tahunan dan terpanjang adalah 53 tahunan. Karakter
erupsi menghasilkan jatuhan skoria, lava pijar, dan kubah lava. Perbedaan periode dan karakter
erupsi mencerminkan dinamika magma. Penelitian bertujuan mempelajari dinamika magma
erupsi efusif Gunung Slamet dengan pendekatan distribusi ukuran kristal dan analisis tekstur
mineral plagioklas dari lava Slamet Muda. Studi distribusi ukuran kristal dan tekstur mineral
terbatas hanya pada pengamatan petrografi dan digitasi manual menggunakan software ImageJ,
CSDslice dan CSDcorrection. Produk lava slamet muda berwarna abu-abu kehitaman, struktur
kekar kolom, tekstur porfiritik, tersusun atas fenokris plagioklas, olivin, dan piroksen. Sebaran
lava slamet muda sejauh 9 – 16 km dari kawah dengan tebal 4 – 5 m. Secara petrografi
menunjukan tekstur seriate, glomerocrysts, zoning dan sieve pada mineral plagioklas. Tekstur
seriate mencerminkan perubahan ukuran kristal dari fenokris hingga mikrolit. Distribusi ukuran
kristal plagioklas terbagi menjadi fenokris, (>0,5 mm), mikro-fenokris (0,05 - 0,05 mm), dan
mikrolit (<0,05mm). Kurva distribusi ukuran kristal terbagi menjadi dua segmen yaitu
mikrofenokris dengan slope terjal -12,38 dan fenokris memiliki slope landai -3,35. Perubahan slope
mencerminkan perubahan kondisi lingkungan pembentukan kristal. Nilai slope untuk
menghitung magma residence time (T=(-1/G*slope)/3536000)), dengan asumsi G adalah 10-8 dan
10 – 9. Hasil perhitungan menunjukan magma residence time pada fenokris memiliki waktu 9,4
tahun dan mikrofenokris memiliki waktu 3 bulan. Hal ini sesuai dengan periode erupsi 10 tahunan
sedangkan 3 bulan adalah waktu magma tersimpan dan bergerak di dalam pipa gunung api
sebelum erupsi. Hal ini mirip dengan peningkatan status dari waspada (Mei 2014) menjadi siaga
(Agustus 2014).

Kata kunci: Gunung Slamet, Erupsi efusif Gunung Slamet, Lava Slamet Muda, Distribusi Ukuran
Kristal, Magma Residence Time

375
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C036UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

I. PENDAHULUAN
Gunung Slamet merupakan gunungapi tipe strato yang terletak di Jawa Tengah
(Gambar 1). Gunung ini melingkupi daerah Purwokerto, Purbalingga, Pemalang,
Bumiayu, dan Tegal. Secara stratigrafi gunung ini dibagi menjadi Slamet Tua dan Slamet
Muda, tersusun atas lava dan piroklastik (Sutawidjaja dkk, 1985). Produk Slamet Tua
memiliki komposisi basaltik andesitik hingga andesitik, sedangkan Slamet Muda
memiliki komposisi basaltik hingga basaltik andesitik (Vukadinovic dan Sutawidjaja,
1995; Reubi dkk., 2002). Karakter erupsi G. Slamet menghasilkan produk jatuhan skoria,
lava pijar, dan kubah lava. Perbedaan periode erupsi dan karakter erupsi tersebut
mencerminkan dinamika magma yang bekerja.
Studi mengenai petrogenesa batuan volkanik telah dilakukan oleh peneliti
terdahulu seperti Vukadinovic dan Sutawidjaja (1995), Reubi dkk, (2002), dan Prasetya
(2014; 2018), namun studi mengenai distribusi ukuran kristal kaitannya dengan dinamika
magma yang mengontrol karakteristik erupsi G. Slamet belum dilakukan. Studi dinamika
magma ini ditekankan pada proses yang bekerja di dalam dapur magma seperti proses
heating, konveksi, hingga kemungkinan adanya magma mixing melalui pendekatan
tekstur mineral plagioklas. Selain itu, studi ini juga mempelajari waktu kristalisasi
magma yang dikaitkan dengan pola periode erupsi G. Slamet.
Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk studi pendahuluan mengenai
waktu simpan magma/ waktu kristalisasi magma adalah dengan menggunakan
pendekatan distribusi ukuran kristal (CSD) dan analsisis tekstur mineral plagioklas dari
lava Slamet Muda. Metode CSD merupakan metode kuantitatif yang konsep dasarnya
diperkenalkan di teknik kimia oleh Randolph dan Larson (1971), namun teori mengenai
CSD yang dikaitkan dengan proses kristalisasi di batuan beku diperkenalkan oleh
Cashman dan Marsh (1988) dan Marsh (1988). Metode CSD ini umum dilakukan untuk
menjelaskan proses kinetika yang berkaitan dengan proses kristalisasi magma seperti
menghitung laju pendinginan (cooling rate), waktu simpan magma/ waktu kristalisasi
(residence time) dan laju pertumbuhan kristal. Beberapa studi telah dilakukan untu
menghitung laju pertumbuhan kristal (crystal growth rate) baik observasi langsung dari
lava lake ataupun percobaan laboratorium yang kemudian data tersebut digunakan
untuk menghitung waktu simpan magma (Cashman dan Marsh, 1988; Marsh, 1988;
Mangan, 1990; Higgins, 2000; 2006; Morgan dan Jerram; 2006; Vinet dan Higgins, 2010;
Melnik dkk., 2011).

II. GEOLOGI GUNUNG SLAMET DAN SEJARAAH ERUPSI GUNUNG SLAMET


Gunung Slamet merupakan gununapi yang muncul sejak Kwarter (Gambar 2).
Batuan dasar dari komplek G. Slamet ini berupa batuan sedimen berumur Tersier
(Sutawidjaja dkk, 1985). Secara morfologi, G. Slamet dapat dibagi menjadi Slamet Tua
dan Slamet Muda. Produk volkanisme Slamet Muda di dominasi oleh batuan
berkomposisi basaltik hingga basaltik andesitik (Vukadinovic dan Sutawidjaja, 1995;
Reubi dkk., 2002). Berdasarkan peta geologi G. Slamet, Produk volkanisme G. Slamet
terdiri dari produk volkanisme hasil erupsi pusat menghasilkan lava dan piroklastik,
sedangkan erupsi samping menghasilkan produk piroklastik jatuhan dan membentuk
kerucut-kerucut scoria di sekitar lereng G. Slamet (Sutawidjaja dan Sukhyar, 2009).
376
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C036UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Kemunculan kerucut-kerucut scoria tersebut di interpretasi berkaitan dengan keberadaan


struktur geologi berupa sesar-sesar yang konsentris dan membentuk pola radial. Secara
historis, G.Slamet memiliki catatan sejarah erupsi yang cukup intensif sejak tahun 1772
hingga tahun 2014. Produk yang dihasilkan berupa abu hasil erupsi eksplosif dan lava
sebagai hasil erupsi efusif. Dari catatan sejarah juga terlihat bahwa, periode erupsi G.
Slamet terdiri dari pola 1 tahunan, 3-5 tahunan, 10-15 tahunan dan terpanjang adalah 53
tahunan.

III. METODE PENELITIAN


Lima contoh batuan telah diambil dari lava slamet muda berupa ST1, ST2, ST3,
ST4 dan ST5. Sampel tersebut digunakan untuk keperluan analisis tekstur mineral dan
analisis CSD (Crystal size distribution). Metode yang digunakan mencoba memaksimalkan
penggunaan mikroskop polarisator dengan perbesaran 40x dan gambar diambil
menggunakan perangkat lunak optilab 2.2. Baik analisis tekstur mineral ataupun CSD,
studi ini di fokuskan hanya pada mineral plagioklas. Mineral tersebut merupakan
mineral yang paling melimpah dijumpai pada batuan volkanik dan juga paling mudah
bereaksi menyesuaikan dengan perubahan sistem. Metode CSD dengan menggunakan
hasil foto dari pengamatan menggunakan mikroskop polarisasi efektif untuk melihat
distribusi ukuran fenokris hingga mikro-fenokris, namun untuk mikrolit tidak cukup
efektif karena resolusi nya tidak bagus untuk mengidentifikasi mikrolit.
Metode CSD merupakan metode kuantitatif yang konsep dasarnya diperkenalkan
di teknik kimia oleh Randolph dan Larson (1971), namun teori mengenai CSD yang
dikaitkan dengan proses kristalisasi di batuan beku diperkenalkan oleh Cashman dan
Marsh (1988) dan Marsh (1988 Metode CSD ini umum dilakukan untuk menjelaskan
proses kinetika yang berkaitan dengan proses kristalisasi magma seperti menghitung laju
pendinginan (cooling rate), waktu simpan magma/ waktu kristalisasi (residence time).
Beberapa studi mencoba menghitung laju pertumbuhan kristal (crystal growth rate) baik
dari lava lake ataupun percobaan laboratorium yang kemudian data tersebut digunakan
untuk menghitung waktu simpan magma (Cashman dan Marsh, 1988; Marsh, 1988;
Mangan, 1990; Higgins, 2000; 2006; Morgan dan Jerram; 2006; Vinet dan Higgins, 2010;
Melnik dkk., 2011).
Tahapan yang dilakukan untuk analisis CSD adalah diawali dari proses digitasi
setiap ukuran kristal plagioklas. Proses digitasi kristal dilakukan menggunakan
perangkat lunak Image J. Hasil dari digitasi tersebut didapatkan gambaran ukuran 2D
mineral plagioklas berupa panjang dan lebar. Gambaran 3D ukuran kristal diperoleh
dengan memasukan nilai panjang dan lebar kedalam lembar kerja excel Morgan dan
Jerram (2006). Setelah didapatkan rasio 3D dari ukuran mineral plagioklas berupa sumbu
pendek (S):sumbu menengah (I): dan sumbu panjang (L), tahapan selanjutnya adalah
menghitung densitas setiap ukuran plagioklas dan menganalisis distribusi ukurannya
menggunakan perangkat lunak CSDcorrection 1.55 (Higgins, 2000). Diagram yang
digunakan dalam menggabambarkan distribusi ukuran kristal adalah diagram
population density berupa ln population density vs ukuran kristal dan diagram
histogram berupa total kristal per setiap ukuran (Cashman dan Marsh, 1988; Higgins,
2000; Higgins, 2006; Pourkhorsandi, 2015). Kurva CSD tersebut dapat digunakan untuk

377
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C036UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

interpretasi proses magmatisme yang bekerja baik itu proses yang berkaitan dengan
kinetika seperti increasing undercooling dan increasing growth rate or residence time, proses
mekanika seperti accumulation/fractinaton, dan proses yang berkaitan dengan
kesetimbangan sistem seperti coarsening dan magma mixing. Selain untuk interpretasi
proses, kurva CSD juga digunakan untuk menghitung waktu simpan magma dengan
asumsi pertumbuhan kristal itu linear. Perhitungan waktu simpan magma dilakukan
dengan menggunakan perhitungan Marsh (1988) berupa T=(-1/G*slope)/31536000. G
merupakan laju pertumbuhan kristal dengan nilai asumsi 10-9mm/s.

IV. HASIL DAN DISKUSI


Produk lava Slamet Muda dapat dijumpai di sekitar lereng selatan dan timur dari
G. Slamet, daerah Purwokerto, Purbalingga dan Pemalang. Karakteristik lava slamet
muda berwarna abu- abu gelap, tekstur porfiritk, dengan kelimpahan mineral yang
masih dapat teramati secara megaskopis berupa plagioklsa, piroksen, dan olivin.
Karakter lain yang dapat teramati adalah satu aliran penampang lava dapat dibagi
menjadi bagian tepi menunjukan kenampakan autobreksi dan bagian tengah dapat
berupa lava massif atau menunjukan kenampakan kekar kolom. Jarak sebaran lava bisa
mencapai 9-16 km dari pusat kawah dan dengan tebal 4-5 m. Sebaran lava sejauh 9-16 km
dapat dikontrol oleh viskositas yang relatif rendah atau juga volume yang di erupsikan
banyak.
Hasil analisis petrografi tekstur mineral yang dijumpai diantaranya adalah tekstur
seriate, glomerocryts, synneusis, zoning, fine sieve, coarse sieve, dan resorption. Kehadiran
tekstur seriate mencerminkan terdapat beberapa proses nukleousasi yang
mengindikasikan adanya perbedaan tempat kristalisasi. Tekstur glomerocryst
merupakan kumpulan mineral yang bersatu membentuk aggregate. Hal itu dapat
terjadi ketika proses fraksinasi sehingga kristal bergabung pada dasar dapur magma,
kemudian terbawa karena ada proses konveksi. Proses konveksi tersbut juga dapat
terindikasi dari keharidan tekstur synneusis, yaitu tekstur yang menunjukan kenampakan
berdampingan mineral plagioklas dengan orientasi sumbu yang sama. Proses lain nya
yang terjadi adalah adanya kemungkinan mineral yang terbawa dari dapur magma yang
dalam menuju dapur magma yang lebih dangkal dan masih terbawa hingga dierupsikan
adalah kehadira tekstur coarse sieve. Tekstur tersebut mencerminkan proses dekompresi
yang mungkin terbentuk ketika magma bergerak dari dapur magma yang dalam menuju
yang lebih dangkal. Proses lainnya yang dapat teramati adalah kemungkinan adanya
proses heating dan mungin magma mixing yang terindikasi oleh keberadaan tekstur fine
sieve dan resorption. Interpretasi tekstur tersebut didasarkan atas studi Renjith (2015).
Studi CSD menunjukan bahwa terdapat dua segmen yang dapat dipisahkan
secara ukuran yaitu segmen fenokris (>0.5 mm) dan segmen mikro fenokris (0.05-0.5 mm),
sedangkan mikrolit (<0.05 mm) tidak dapat diamati dengan baik distribusinya. Dari
kurva tersebut terlihat bahwa segmen fenokris memiliki slope yang relatif landai,
sedangkan mikro-fenokris relatif lebih terjal (Gambar4) . Hal itu dimungkinkan karena
ada perbedaan laju pendinginan (cooling rate). Berdasarkan karakter fenokris plagioklas
yang memiliki tekstur coarse sieve, distribusi ukuran fenokris yang memiliki slope landai
dimungkinkan terbentuk pada daerah yang lebih dalam, sedangkan mikrofenokris

378
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C036UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

terbentuk pada dapur magma yang dangkal. Dari nilai slope tersebut didapatkan
perbedaan waktu simpan magma/waktu kristalisasi antara fenokris dan mikro-
fenokris (Tabel 1). Waktu simpan magma tercepat adalah 1,8 untuk mikro-fenokris dan
2.7 untuk fenokris, sedangkan waktu terlama adalah 3.7 untuk mikrofenokris dan 9.8
untuk fenokris. Dari tabel tersebut didapatkan nilai rata-rata waktu simpan magma
untuk mikro fenokris adalah 3.7 dan fenokris adalah 9.8. Nilai tersebut mendekati
periode erupsi gunung slamet yaitu 3-5 tahunan dan 10-15 tahunan. relatif cepat dan
intensifnya kegiatan erupsi G. slamet dimungkinkan oleh cepatnya supply magma yang
dinjeksikan ke dalam dapur magma dangkal. Waktu simpan magma yang diinterpretasi
sebagai waktu supply dapur magma dangkal adalah waktu yang dihitung dari segmen
fenokris dan didukung oleh keberadaan tekstur coarse sieve, sedangkan waktu simpan
magma dari mikrofenokris adalah waktu yang dibutuhkan untuk erupsi setelah dapur
magma dangkal di injeksi dari dapur magma yang lebih dalam. Cepatnya supply magma
di bawah gunung slamet menyebabkan karakteristik batuan volkanik berada pada
kisaran basalt hingga basaltik andesit. Faktor lainnya yang mungkin mengontrol
karakteristik batuan volkanik Slamet Muda adalah tipisnya kerak yang dilewati atau
densitas keraknya berada pada kisaran densitas basalt.

V. KESIMPULAN
Lava Slamet muda memiliki karakteristik basalt-basaltik andesit dengan
komposisi mineral yang dijumpai berupa plagioklas, piroksen, olivin, dan mineral Fe-Ti.
Sebaran Lava Slamet Muda dapat mencapai 9-16 km dari pusat kawah. Hal itu
mengindikasikan bahwa viskositas lava slamet muda relatif rendah. Terdapat kemiripan
antara periode erupsi G. Slamet dengan waktu simpan magma yang didapatkan dari
kurva CSD dengan nilai growth rate 10-9 mm/s. Waktu simpan magma segmen fenokris
diinterpretasi merupakan waktu supply / waktu injeksi magma ke dapur magma yang
lebih dangkal sedangkan waktu simpan magma mikrofenokris dinterpretasi adalah
waktu yang dibutuhkan untuk pengisian dapur magma dangkal hingga magma mulai
bergerak kedalam conduit.

DAFTAR PUSTAKA
Bemmelen, R.S. Van. 1949. The Geology of Indonesia, Vol 1A, 1st Edition, Govt Printing Office:
The Hague.
Cashman K V and Marsh B D 1988 Contrib. Mineral Petrol 99 pp 292-305
Djuri, M., dkk. 1996. Peta Geologi Lembar Purwokerto dan Tegal, Jawa, skala 1:100.000. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Higgins M D 2000 American mineralogist 85 pp 1105-16
Higgins M D 2006 J. Volcanology and Geothermal Research 154 pp 8-16 Mangan M T 1990
J. Volcanology and Geothermal Research 44 pp 295-302
Marsh B D 1988 Contrib. Mineral petrol 99 pp 277-91 Reubi, O. dkk. 2002. Early mixing and
mingling in the evolution of basaltic magmas: evidence from phenocryst assemblages,

379
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C036UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Slamet Volcano, Java, Indonesia. Journal of Volcanology and Geothermal Research 119,
pp. 255-274
Melnik E, Blundy J D, Rust A C, and Muir D D 2011 Geology 39 pp 403-06
Morgan D J and Jerram D A 2006 J. Volcanology and Geothermal Research 154 pp 1-7
Sutawidjaja, Igan S., dkk. 1985. Peta Geologi Gunungapi Slamet, Jawa Tengah. Direktorat
Vulkanologi
Sutawidjaja, Igan S. dan R. Sukhyar. 2009. Cinder cones of Mount Slamet, Central Java, Indonesia.
Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 4 No.1, pp. 57-75
Syah, Kurniawan. 2017. Studi Geologi dan Fasies Gunungapi di Lereng Timur Gunungapi
Slamet, Karangreja, Purbalingga, Jawa Tengah. Skripsi S-1. Universitas Jenderal Soedirman.
(unpublished)
Vinet N and Higgins M D 2010 J. Petrology 51 pp 1297-1332
Vukadinovic, Danilo dan Igan Sutawidjaja. 1995. Geology, mineralogy and magma evolution of
Gunung Slamet Volcano, Java, Indonesia. Journal of Southeast Asian Earth Science, Vol
11, No.2, pp. 135-164
Website:
(http://www.vsi.esdm.go.id/index.php/gunungapi/data-dasar-gunungapi/529-g-slamet).

380
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C036UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Lokasi G. Slamet dan distribusi gunungapi di Pulau Jawa

381
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C036UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Peta geologi G. Slamet (Sutawidjaja dkk., 1985). Objek studi berupa lava produk erupsi Slamet
Muda

382
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C036UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Hubungan antara karakteristik bentuk kurvaCSDdengan proses magmatisme yang bekerja
(Higgins, 2006).

Gambar 4. Kurva distribusi ukuran kristal menunjukan pola distribusi ukuran mikrofenokris dan
fenokris.

383
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C036UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 1. Hasil digitasi kristal plagioklas, bentuk plagioklas dan waktu simpan magma lava Slamet
Muda

Lampiran 1: Sampel Petrografi ST 5

384
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C036UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Lampiran 1: Sampel Petrografi ST 3 dan ST 4

385
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C036UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Lampiran 1: Sampel Petrografi ST 1 dan ST 2

386
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C036UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Lampiran 2 : Histogram Hubungan Frekuensi vs Ukuran Kristal Plagioklas Lava Slamet Muda.

Lampiran 3 : Diagram Hubungan I/L vs S/I (Zingg, 1935)

387
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C037UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

BONJOL GEOTHERMAL TENTATIVE MODEL BY USING 3G (GEOLOGY,


GEOCHEMISTRY AND GEOPHYSICS) ANALYSIS
Aghi Savero Helen1*, Wiwid Joni2, Paulus Febrianto Pandu Wibowo1, Arisa Wahyu Pratama1
1Geological Engineering Department of UPN “Veteran”Yogyakarta/ SWK Street 104, Depok,Sleman, DIY
2Pusat Sumber Daya Mineral, Batubara, dan Panas Bumi, Jl. Soekarno-Hatta No.444, Bandung, Jawa Barat

*Corresponding Author: aghisavero@gmail.com

ABSTRAK. Geothermal exploration is rapidly done in Indonesia. One of Indonesia prospect is


Bonjol Geothermal area, West Sumatera. In order to develop geothermal indirect use (power plant
energy source) in this area, we need to understand its geothermal system by built a tentative
model from integrated 3G data. Geological analysis use Landsat 8 band thermal, alteration map
and geological map. Landsat 8 band thermal used to determine vegetation density (normalized
difference vegetation index transformation) and also surface temperature structure. Geological
map used to locate major structure and lithology distribution as boundary of geothermal system.
Fault and fracture density (FFD) map from DEM SRTM analysed using lineament pattern related
with fault and fracture. Alteration map using spectral value of mineral used to understand
geothermal system indication. Geochemical analysis use hot spring manifestation (neutral pH hot
springs with temperature ranging from 49.7˚C to 87.9˚C.) to characterize geothermal system type
and determine reservoir temperature. Chloride type of hot spring manifestation indicate a hot
water dominated system. Geophysics analysis use 13 sites of magnetotelluric (MT) time series
data. Processed by Fourier transform, robust processing, and crosspower selection. The MT data is
not rotated referring to its geoelectrical strike (0˚). Then the data inversed to become 2D MT
resistivity model. Subsurface condition imaged by magnetotelluric 2D resistivity model, it shows
Bonjol’s cap rock and reservoir distribution and geometry also indication of structure. The
subsurface alteration and structure distribution generated using surface structure and alteration
map. Subsurface isothermal model generated by using geochemistry model. We integrate geology,
geochemistry and geophysics data to build Bonjol tentative model.

Kata kunci: Geothermal, Landsat 8, Magnetotelluric, Tentative Model, Bonjol

I. INTRODUCTION
Geothermal energy is an energy generated from natural heat transfer, which is
from a heat source to the surface by free convection, involving meteoric fluids with or
without traces of magmatic fluids (Hochstein and Browne, 2000). This energy is
renewable and can be used in a relative long time. As the result, this energy can be an
alternative solution on facing of recent world energy crisis problem. In fact, this energy is
a clean and environmentally friendly. The exploration development of this energy is
reasonable considering the abundance of its occurrence in Indonesia. Bonjol area is one of
geothermal field are in Pasaman Regency, West Sumatera Province, which is lies along
volcanic mountain. Bonjol area has a promising geothermal potential, as indicated by
surface manifestation in the form of hot spring. This surface manifestation is showing

388
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C037UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

natural condition of the presence of geothermal resources. As the further studied is


necessary to know the potential energy of that area.

II. METHODOLOGY
II.1.Geology
Geological analysis generate 4 GIS (Geographic Information System) map which
are NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) map, LST (Land Surface
Temperature) map, LD (Lineament Density) map and alteration map. NDVI map, LST
map and LD map method refer to Hakim et. al., (2017) research on reconnaissance stage
at Bur Ni Telong volcano geothermal area. Vegetation index determined by NDVI
transformation using NIR wave (band 5) and red wave (band 4) from Landsat 8. Land
surface temperature map use band 10 from Landsat 8 by inversion of Planck’s function
algorithm. Density lineament map generated using DEM SRTM data with Fault and
Fracture Density method. This method assume any lineament as a fault and fracture as
hot fluid pathway. Lineament taken by compare it with regional structure (geological
map) to differ fault and fracture with other structure (anticline, river, etc.).
Alteration map conducted by referring to Knepper (2010) research on locating the
distribution of potential hydrothermally altered rocks in Central Colorado. It preparation
through two steps which are applying various image processing procedures designed
and filtering the result also convert it to ArcGIS vector shape files.
II.2.Geochemistry
The Bonjol geothermal geochemical study uses a literature study method. The
literature used is "Geologi dan Geokimia Daerah Panas Bumi Bonjol Kabupaten Pasaman,
Sumatera Barat" by Dedi Kusnadi, Dikdik Risdianto, and Sutoyo (2007). Geochemical
testing of hot springs is located in 4 places namely Takis hot spring, Sungai Limau hot
spring, Kambahan hot spring, and Padang Baru hot spring.
II.3.Geophysics
Geophysics analysis use 13 sites of magnetotelluric (MT) time series data, 6 sites
on line 1 and 7 sites on line 2. Line 1 across a hot spring and line 2 across two hot springs
(figure 1). Processed by Fourier transform, robust processing, and crosspower selection.
The MT data is not rotated referring to its geoelectrical strike (0o) according to Weaver
(2010) and Bahr (1988) directionality tools. Then the data inversed to become 2D MT
resistivity model using Non Linear Conjugate Gradient method by Rodi and Mackie
(2001).

389
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C037UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 1. Magnetotelluric design survey map

Start

Geochemistry Geological Geophysical


Analysis Analysis Analysis

NDVI LST LD Alteration


Map Map Map Map

Hot Spring Magnetotelluric


Geochemistry Data

Subsurface
Resistivity
Structure

Interpretation

Tentative
Model

Finish

Figure 2. Research Workflow

390
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C037UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

III. RESULT AND DISCUSION

3.1.Geology
Figure 3 show a classification of densely vegetated land, deforested land, mixed
and dense vegetation, and water-covered land. Land that has dense vegetation in the
figure is indicated by green with NDVI > 0.6. Mixed land of dense and bald vegetation is
shown in yellow which has a value of 0.2 ≤ NDVI ≤ 0.6. The bare land is shown in orange
in the image that has a value of 0 ≤ NDVI < 0.2. Water-covered land is indicated by red in
the image that has NDVI value < 0. Based on the NDVI value, most of the study area is
dense vegetation mixed vegetation land.

Figure 3. NDVI map of Bonjol geothermal area.

LST map (figure 4) of the study area will be determined after NDVI, which can be
obtained from Landsat 8 OLI thermal sensor image processing on January 17, 2019
(USGS). The surface temperature in the study area is processed using band 10 Landsat
OLI images because the band 10 is better compared to band 11. The results of the

391
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C037UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

calculation of soil surface temperature require the value of soil emissivity which obtained
with the help of NDVI.

Figure 4. LST map of Bonjol geothermal area.

Based on figure 4, LST values in the study area ranged between 20°C and 30°C.
Most of the study areas have LST 20°C-25°C indicated by blue areas. The distribution of
highest LST is in the south, east and center of the study area. The area has a relatively

392
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C037UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

high LST according to two faults on the geological map, so it is very likely that the hot
fluid is close to the surface, this is consistent with the statement that faults are associated
with high soil surface temperatures.

Figure 5. LD map of Bonjol geothermal area.

393
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C037UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Lineament density map (figure 5) values are classified into three classes, low class
(0–0.25 km/km2), medium class (0.25–0.50 km/km2) and high class (0.50–0.78 km/km2).
High-class lineament density value which is symbolized by dark blue. Geothermal
manifestations are traversed by faults or fractures in medium lineament density (bright
blue area). Thermal manifestations occurred in low gray lineament density in areas
without lineaments or faults Semangko Fault also affect the direction of lineament. NW–
SE lineament follow the pattern of Semangko Fault, but because of its remote location, the
direction of these lineament is not more dominant than the direction of the East-West
lineament which predicted to be local faults.
Alteration map (figure 6) differ color-ratio composite mosaic image based on three
classes of potentially hydrothermally altered rocks. (1) Clay – Carbonate – Sulfate / Red =
hue 0-30, (2) Clay – Carbonate – Sulfate - Ferric Iron / Yellow = hue 30-90, and (3) Ferric
Iron / green / cyan = hue 90 - 150, (4) Ferric Iron – Bare Rock - Soil / Blue = hue 150-210, (5)
Bare Rock - Soil / Dark Blue = hue 210-270, and (6) Clay – Carbonate - Sulfate - Bare Rock
- Soil / Purple = hue 270-330, (7) Clay Carbonate-Sulfate 2 RED 2 = hue 330-360.

394
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C037UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 6. Landsat Thematic Mapper (TM) potentially hydrothermally altered rocks of Bonjol
geothermal area.

3.2.Geochemistry
Table 1. Water Analysis Data, Bonjol Geothermal Prospect, Pasaman District, Sumatera Barat
Province

To know the characteristics and the type of hot water from data of chemical
composition, triangle diagram of Cl - SO4 - HCO3, Na-K-Mg, and Cl-Li-B was used
(Giggenbach, 1988).

395
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C037UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 7. Hot spring map


Based on Fig 8, the hot springs in Bonjol district are Takis hot springs, Limau river
hot springs, Kambahan hot springs, and Padang Baru hot springs which are located in
position of chloride. Concentration of chloride is higher than that of SO 4 and HCO3,
probably being derived from deep geothermal reservoir. The hot vapor fluid, related to
source of geothermic interaction with rock around it, happened blending with surface
water to form appearance of hot spring which had neutral pH (6.50-7.50).

Figure 8. Tiangular diagrams Cl-SO4-HCO3 (Dedi Kusnadi et. al., 2007)

In the triangle diagram of Na-K-Mg (Fig 9), the positions of Takis hot spring,
Sungai Limau hot spring, and Padang Baru hot spring lay in partial equilibrium, which
indicates that manifestation emerges to equiamplitude surface influenced by interaction

396
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C037UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

between fluids and rocks in a state of temperature before mixing with surface water
(meteoric water). Except that Kambahan thermal spring lays in immature water, from the
fourth position of hot spring in the diagram, there is a straight line to the temperature
around 100 – 160 °C (Na-K). If pulled line to parallel K-Mg, it will fall at different
temperatures, which shows that the temperature is smaller than the value from Na-K.

On Cl, Li, B (Fig 10) diagram fourth position of located thermal spring lead to
middle position of the diagram. Existence of interaction between hot fluids with
geothermic rock need to be supported by isotope analysis from hot and cold springs. Hot
spring sample lies position in the right side from meteoric water line ( 18O shift). Indication
of existence is Oxygen 18 from hot water spring mentioned above, result reaction
substitution O 18 from Oxygen 16 from thermal fluid when consist interaction thermal
fluid and rock before emerge surface like hot spring.

Figure 9. Tiangular diagrams Na-K-Mg (Dedi Kusnadi et. al., 2007)

Figure 10. Tiangular diagrams Cl-Li-B (Dedi Kusnadi et. al., 2007)

397
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C037UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

3.3.Geophysics
Magnetotelluric method which described subsurface resistivity structure could
use to determine Bonjol geothermal system components. Low resistivity zone (<10
Ohm.m) showed in red on the 2D magnetotelluric resistivity model interpreted as cap
rock caused by conductive alteration. Reservoir with moderate resistivity zone (10 – 120
Ohm.m) showed in green with high resistivity with permeable zone caused by alteration
and fluid accumulation. Heat source with high resisvity zone (>120 Ohm.m) showed in
blue caused by high resistivity hot igneous rock. The lateral discontinued resistivity
interpreted as fault, this could bound geothermal prospect area.

Line 1 (figure 11) show two faults (Alahan Mati and Bonjol) and two fault
indications (Padang Baru and unidentified fault), cap rock, reservoir and heat source.
Faults bound the cap rock alteration process which also bound geothermal prospect area
and also as discharge area such Padang Baru fault indication. Line 2 (figure 12) show
three faults (Alahan Mati, Padang Baru and Bonjol) and a unidentified fault indication.
The cap rock whose hold hydrothermal fluid only occur on the right side because of its
geometry.

Figure 11: Line 1 2D magnetotelluric resistivity model of Bonjol geothermal area

398
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C037UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 12. Line 2 2D magnetotelluric resistivity model of Bonjol geothermal area

3.4. Conceptual Model of Geothermal System


From the geothermal flow direction data, it can be compared with the geothermal
system model from the 2009 PSDG research in the Bonjol area. From this comparison, it
was found that Bonjol is located in a valley formed by fault activity.This zone allows the
emergence of hot springs as a manifestation of geothermal energy.

Figure 13. Conceptual Model of Bonjol Geothermal System

399
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C037UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

IV. CONCLUSSION
Based on the map observations and interpretation of the method used, the
researcher can conclude:
1. The hot spring manifestations in this area are controlled by lithological factor and
geological structure of the research area.
2. Hot spring manifestation at Bonjol geothermal system has type of chloride water with
temperature range on 100-160° C.
3. Structure on Bonjol dominated by NW-SE normal fault.
4. Hydrothermal alteration map differ color-ratio composite mosaic image based on three
classes of potentially hydrothermally altered rocks. (1) Clay – Carbonate – Sulfate (2)
Clay – Carbonate – Sulfate- Ferric Iron and (3) Ferric Iron (4) Ferric Iron – Bare Rock-
Soil (5) Bare Rock-Soil and (6) Clay – Carbonate- Sulfate – Bare Rock-Soil (7) Clay
Carbonate-Sulfate with hot spring area at zone (5)
5. Hot spring area has a high fracture density on FFD map, but not every high fracture
density show a manifestation.
6. Surface temperature distribution quite evenly ranging between 20°C to 30°C. So,
exploration stage suggested to focus on area with hot spring manifestation.
7. NDVI result show most area as a dense vegetation zone.
8. MT model show a geothermal system with cap rock, reservoir, heat source and also
fault on Bonjol geothermal prospect area.
9. Line 1 2D MT model indicate an ideal geothermal system geometry with a wide cap
rock area.
10. Bonjol area has the potential as a power plant with further study by relevant parties.

REFERENCES
Bahr, Karsten (1988), “Interpretation of The Magnetotelluric Impedance Tensor: Regional
Induction and Local Telluric Distortion”, Journal of Geophysics, 62, 119-127.
Hakim, L., Ismail, N. and Faisal (2017), “Kajian Awal Penentuan Daerah Prospek Panas Bumi di
Gunung Bur Ni Telong Berdasarkan Analisis Data DEM SRTM dan Citra Landsat 8”, Jurnal
Rekayasa Elektrika, 13, 125-132.
Knepper, D. H., Jr. (2010), “Distribution of Potentiala Hydrothermally Altered Rocks in Central
Colorado Derived From Landsat Thematic Mapper Data: A Geographic Information System
Data Set”, USGS Open File Report 2010, 1076, 14 p.
Kusnadi, D., Risdianto, D. and Sutoyo (2007), “Geologi dan Geokimia Daerah Panas Bumi Bonjol
Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat”, Proc. Pemaparan Hasil Kegiatan Lapangan dan Non
Lapangan Tahun 2007 Pusat Sumber Daya Geologi.
Munandar,a.,Suparman.,Robertus (2009),“Penyelidikan Landaian Suhu Daerah Panas Bumi Bonjol,
Kabupaten Pasaman, Provinsi Sumatera Barat” Proc. Hasil Kegiatan Lapangan Pusat Sumber
Daya Geologi
Rodi W. and Mackie R. L. (2001), “Nonlinear Conjugate Gradients Algorithm for 2-D
Magnetotelluric Inversion”, Geophysics, 66, 174-187.
Weaver, J. T., Agarwal, A. K. and Lilley, F. E. M. (2000), “Characterization of The Magnetotelluric
Tensor in Terms of Its Variants”, Geophyics Journal Int. 141,

400
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C041UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

REINTERPRETASI GEOKIMIA MANIFESTASI AIRPANAS GUNUNG


PANDAN
Kenny Lekatompessy1*, Arhananta2, Shandika Rengganis S.D.S3, Ardiansyah Marbun4
1Teknik Geologi UPN “Veteran” Yogyakarta

*Corresponding Author: kennyleka72@gmail.com

ABSTRAK. Pada tahun 2014 dan 2018 beberapa penelitian yang membahas mengenai manifestasi
air panas Gunung Pandan memiliki perbedaan dalam interpretasinya. Dalam paper kali ini
dilakukan reinterpretasi dengan penambahan titik baru pengambilan sampel air panas. Metode
geokimia dalam eksplorasi panas bumi, dimaksudkan untuk mengetahui jenis manifestasi, dan
karakteristik senyawa kimia dalam manifestasi dan distribusi anomali senyawa kimia tertentu
secara lateral yang diperkirakan berhubungan dengan temperatur, pH, dan debit. Berdasarkan
hasil pengeplotan pertama dihasilkan data kimia air ke dalam diagram terniary Cl-SO4-HCO3 tipe
fluida panas bumi pada pada daerah penelitian adalah immature waters dan peripheral waters.
Pada sampel Jari (SG), Selogajah (SG2), Banyukuning (PNC) masuk ke dalam zona immature
waters yang menandakan bahwa fluida pada daerah ini telah dipengaruhi dan didominasi oleh air
meteorik tetapi untuk sampel Jari (SG) jenis fluida berasal dari chloride water karena tingginya
presentase unsur Cl daripada presentase unsur HCO3, serta pada sampel Selogajah (SG2),
Banyukuning (PNC) jenis fluida adalah bicarbonate water karena presentase unsur HCO3 lebih
tinggi dari pada presentase unsur Cl. Pada sampel Banyukuning (SNG1), Banyukuning (SNG2),
Jarikasinan (JRK), Jarikasinan (JRK2), Banyukuning (BKN2), Lumpur Jari (LJ) masuk kedalam zona
peripheral waters yang diasumsikan sampel telah mengalami reaksi dengan CO2 dibawah
permukaan. Pada sampel yang masuk pada zona ini jenis fluida dikategorikan sebagai bicarbonate
water. Kemudian berdasarkan analisa data kimia dalam Terniary Diagram Na – K – Mg masuk
kedalam zona immature waters sehingga dapat diinterpretasikan fluida pada daerah penelitian
bukan berasal langsung dari reservoir melainkan fluida yang berinteraksi dengan air meteorik dan
diinterpretasikan sebagai zona outflow pada suatu sistem panas bumi daerah penelitian.
Kemudian, berdasarkan Terniary Diagram Cl-100/Li-25/B (Giggenbach, 1988 daerah penelitian
diinterpretasikan bahwa lingkungan pembentukan fluida daerah peneltian berasal dari
lingkungan vulkanik dengan jenis litologi seperti riolit atau andesit dan berasal dari area basaltik
yang ditandai oleh komposisi unsur Li < 0,1 mg/kg.

Kata kunci: Manifestasi, Gunung Pandan, Geokimia, Reinterpretasi

I. INTRODUCTION
1.1 Background
In 2014 and 2018 several studies that discussed the manifestations of Mount
Pandan hot water differed in their interpretation. In this paper a reinterpretation was
carried out by adding new hot water sampling points. Mount Pandan has a different
character in terms of giochemistry and age with volcanic rocks on the island of Java.
Different characters are accompanied by different geothermal systems. The presence of

401
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C041UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

geothermal potential, geochemical characteristics, different geothermal systems


encourage further research in Pandan mountain areas. This research focuses on geological
structural control system of Pandan geothermal manifestation and applied to prospective
potential areas for exploration.
1.2 Study Area
Study area located in Gondang Subdistrict, Bojonegoro district, East Java (Figure 1).
1.3 Methods
The method used is the study of previous research and then conducted surface
mapping on the area that is interpreted from google earth image, SRTM, then
geochemical methods in geothermal exploration are intended to determine the types of
manifestations, and characteristics of chemical compounds in the manifestation and
distribution of anomalies of certain chemical compounds laterally which are estimated to
be related to temperature, pH, and discharge.. After that analyzed by ArcGIS and Surfer
software to create prospect area through ordinary of kriging method. The prospect area is
obtained through data fracture and fault density by ordinary kriging method located in
hot springs.

II. REGIONAL GEOLOGY


2.1 Geological/Stratigraphical
Kendeng Zone is an East-West trending anticlinorium located in Central Java and
East Java, more specifically from the Mount Ungaran volcano in the West to the Brantas
River in the East (Figures 2 and 3). The length of the kendeng zone is 250 km, the average
width is 20 km, and the width is approximately 4,800 km2.
In the Kendeng Zone, there is a Pelang Formation in the west that contains
litology of Oligocene - Miocene marl and argilic marl. Then the Formation Kerek contains
argillic and limestone sequences where volcanic volcanic material is very abundant to
spread in the Central Miocene Kendeng Zone. Then there is the Banjak Formation in the
central and eastern areas of the Kendeng Zone containing Late Miocene andesitic deposits
in the marine environment: tuff, tuffaceous sandstone, tuffaceous calcareous sandstone,
limestone and volcanic breccia. Then the lower and upper Kalibeng Formation in Middle
Pliocene scattered in the central and eastern of Kendeng Zone and some of Kalibeng's top
formations are scattered towards the North-West of Kendeng Zone. Then deposited
Damar Formation in the late Pliocene to the Early Pleistocene containing black clay with
calcareous and tuff-sandstone (coarsening upwards) that containing marine molluscs.
Then the Pucangan Formation which is divided into two facies, the volcanic facies and
argilic facies. This formation is scattered from the West Kendeng Zone of the flank
southern to the eastern of Central Kendeng in Zone Pleistocene. Then Kabuh Formation
in middle Pleistocene in the Central Kendeng Zone. Then there is the Pleistocene
Notopuro Formation in the Southern flank of West Kendeng Zone and the Central
Kendeng Zone. Then the Pleistocene-Holocene Volcanic Products in the West of the
Kendeng Zone in the Ungaran area.

402
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C041UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

III. RESULT
3.1Geology
Geomorphology of the upper regions of the river is divided into 6 landform units
including Structural Slopes, Folded Hills, Structural Valleys, Folded Valleys, Structural
Hills and Isolated Hills
•Structural Slope landform units which are characterized by nearly flat slopes (4-16ᵒ)
with an elevation of 150-250 m forming the Northwest-Southeast slope straightness
orientation.
•The Folded Hills Unit is characterized by a rather steep slope - very steep (8-55ᵒ) at an
elevation of 250-387.5 m with a Northwest-Southeastern straightness orientation.
•Structural Valley Unit in the form of a valley with gentle slope (2-4ᵒ) at an elevation of
137.5 - 200 m. There is a meandering river indicating the influence of structure.
•Valley Unit Folds in the form of valleys with sloping-sloping slopes (2-8ᵒ) at an elevation
of 225-300 m forming the Northwest-Southeast valley orientation.
•Structural Hills Unit has steep slope slopes (4 - <55ᵒ) at an elevation of 225-475 m
showing the Northwest-Southeast orientation.
•The Isolated Hill Unit has a rather steep-steep slope (16 - 35ᵒ) showing the North-South
straightness.

Stratigraphy
Stratigraphy of the study area consists of volcanic rocks of Mt. Nangka, Mt.
Telogo, Mt. Lawang, and Mt. Pandan (Figure 4). The geological structure consists of
Bladogan right slip fault, Gedibal left slip fault, Prabu left slip fault, Tengaring Kidul
normal slip fault , Gandong River left slip fault, Gadong River reverse slip fault , Banjar
left slip fault, Jati right slip fault and Sambongrejo left slip fault. (Figure 5).
The development of the North-South relative Pandan Mountain was controlled by
the northwest-south-east trend fault which was shown on the SRTM DEM straightness
interpretation (Figure 6) and results of the SRTM DEM analysis showed that the left
horizontal fault pair trending southwest-northeast. For the age of Mount developing from
North to South due to Shortening of Java, especially in the Kendeng zone.

3.2 Reinterpretation Hot Water Geochemistry


Based on the results of the first plotting, water chemistry data was produced into a
Cl-SO4- HCO3 ternary diagram of the type of geothermal fluid in the study area, namely
immature waters and peripheral waters. In the Jari (SG), Selogajah (SG2), Banyukuning
(PNC) samples enter the immature waters zone which indicates that the fluid in this area
has been influenced and dominated by meteoric water but for the Jari (SG) sample the
fluid type comes from chloride water because the high percentage of Cl element than the
percentage of HCO3 elements, and in the sample Selogajah (SG2), Banyukuning (PNC)
type of fluid is bicarbonate water because the percentage of HCO3 elements is higher than
the percentage of Cl elements. In the samples of Banyukuning (SNG1), Banyukuning
(SNG2), Jarikasinan (JRK), Jarikasinan (JRK2), Banyukuning (BKN2), Finger Mud (LJ)
entered into the peripheral waters zone which assumed the samples had reacted with
CO2 below the surface. In the sample entering this zone the type of fluid is categorized as

403
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C041UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

bicarbonate water. Then based on the analysis of chemical data in the Na-K - Mg Ternary
Diagram enter the immature waters zone so that fluid can be interpreted in the study area
not directly from the reservoir but the fluid interacting with meteoric water and
interpreted as an outflow zone in a geothermal system in the study area. Then, based on
Ternary Diagram Cl-100 / Li-25 / B (Giggenbach, 1988 the research area is interpreted that
the fluid formation environment of the research area originates from a volcanic
environment with lithological types such as rhyolite or andesite and originates from the
basaltic area marked by the composition of Li elements < 0.1 mg / kg.

IV. CONCLUSSION
Based on reinterpretation suggests that on the area of Fingers (SG), Selogajah
(SG2), Banyukuning (PNC) type of geothermal fluid on the research area are immature
waters and peripheral waters. The sample enters into the immature waters zone which
signifies that the fluid in this area has been influenced and dominated by meteoric water
except for the finger sample (SG). In the sample Banyukuning (SNG1), Banyukuning
(SNG2), Jarikasinan (JRK), Jarikasinan (JRK2), Banyukuning (BKN2), Lumpur Jari (LJ)
entered into the peripheral waters zone that assumed the sample has undergone a
reaction with CO2 under the surface of the entry into Immature zone waters so that it can
be interpreted fluid in the research area instead of directly derived from the reservoir but
the fluid that interacts with meteoric water and interpreted as an outflow zone on a
region's geothermal system Research. The area of research is interpreted that the fluid
formation environment comes from a volcanic environment with the type of litology such
as Rhyolite or andesite and derived from the basaltic area characterized by Li element
composition < 0.1 mg/kg.

REFERENCES
D.F. Yudiantoro, et al . 2014. Geology and geothermal manifestations of mount pandan, east java.
Proceedings, 3rd International ITB Geothermal Workshop 2014
D.F. Yudiantoro, et all. 2014.Geochemistry Of Thermal Waters From Jarikasinan And Banyukuning
Hotsprings, Mount Pandan, East Java. Proceedings, 3rd International ITB Geothermal
Workshop 2014
Sella, S.A . 2014. Geologi Dan Identifikasi Manifestasi Panas Bumi di Daerah Gunung Pandan Dan
Sekitarnya
Santoso, D, dkk .2017. Subsurface Structure Interpretation Beneath of Mt. Pandan Based on Gravity
Data. Southeast Asian Conference on Geophysics
De Genevraye,P. and Samuel L., . 1972. Geology Of The Kendeng Zone (Central & East Java).
Proceedings Indonesian Petroleum Association First Annual Convention, June 1972.

404
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C041UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 1. Study Area

Figure 2. Correlation of lithostratigraphic units in the Kendeng zone and the Rembang zone

405
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C041UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 3. Geological sketch-map of the Kendeng zone

Figure4.GeologicalMapofStudy Area(Yudiantoro,2014)

406
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C041UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure5.StructuralMapofStudyArea(Yudiantoro,2014)

407
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C041UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 6. Mount Pandan Evolution

408
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C041UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 7. Cl -SO4- HCO3 Ternary Diagram

409
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C041UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 8. Na-K-Mg ternary diagram

410
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 C041UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 9. Cl-Li-B ternary diagram

411
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D004POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

KONTAMINASI MERKURI PADA AIR TANAH DI DUSUN SANGON II,


KALIREJO, KOKAP, KULONPROGO, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Erry Sumarjono1*, Reza Aryanto2
1Mining Engineering Department of Institut Teknologi Nasional Yogyakarta, Jl. Babarsari, Catur
Tunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta
2Mining Engineering Department of Trisakti University, Universitas Trisakti Kampus A, Gedung D,

Lantai 3, Jl. Kyai Tapa No.1, Grogol, Jakarta Barat


*corresponding author: erry.sumarjono@itny.ac.id

ABSTRAK. Mercury (Hg) is one of very dangerous heavy metal among the others that cause
serious negative effect to human’s healthy. The contamination of Mercury is founded in the
groundwater in Sangon II village. Mercury in Sangon II could be comes from two sources : 1. Gold
ore mined by artisanal and small scale gold miner (ASGM) that contained natural Mercury, 2. Ore
processing using amalgamation that result the waste had contained Mercury. The research is based
on the analysis from data that samples of groundwater, the gold ore and the waste of gold
processing are analyzed by Mercury Analyzer Lab 254, Laboratorium Penelitian Dan Pengujian
Terpadu (LPPT), Gadjah Mada University. The analysis method is compared with the result of the
same field research before and the geology research before in Sangon II to make analysis the
source of Mercury in the groundwater. The results of Mercury in the groundwater are 3 samples of
the groundwater had contained Mercury ( S1 = 0,00030 mg/L at 550 m distance from the ore
processing, S2 = 0,00087 mg/L at 200 m distance dan S3 = 0,00039 mg/L at 510 m distance) and
according to the result of the research before, the groundwater in this area had contained Mercury.
Two samples of the gold ore had contained Mercury (SBj = 0,28 mg/L dan SBj 2 = 0,14181 mg/Kg).
The sample of waste had contained Mercury (SLi = 0,99994 mg/L). The source of Mercury in
groundwater is greater dominated by Mercury in gold ore than one that resulted by amalgamation
waste, because the chemical reaction between Mercury in the ore and the sulfide mineral that
cause Mercury have been change from Mercury elemen (Hg(0)) become another forms such as
Hg(I) or Hg(II)) and the ore processing is fluctuating.The form of Mercury in groundwater is in
the ions formed.

Kata kunci: ASGM, Contamination, Groundwater, Mercury, Sangon

I. PENDAHULUAN
Merkuri adalah unsur kimia logam yang digolongkan sebagai salah satu logam
berat yang sangat beracun dan berbahaya bagi manusia dan lingkungan hidup. Merkuri
dalam bentuk senyawanya bersifat sangat toksik, dapat menimbulkan bahaya terhadap
kesehatan manusia, satwa dan ekosistem. Siklus hidrologi dapat menyebabkan Merkuri
masuk ke dalam air tanah (International Pops Elimination Network, 2009). Peningkatan
kandungan Merkuri dalam air tanah juga dapat menyebabkan penurunan kualitas air
tanah yang dapat mengakibatkan perubahan/penurunan kelas air (Peraturan Pemerintah
Nomor 82 Tahun 2001).
Merkuri merupakan jenis logam berat yang memiliki sifat sangat toksik, jika
dibandingkan dengan logam berat lainnya (Hellawel, 1986 dalam Effendi, 2003). Merkuri

412
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D004POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

memiliki sifat-sifat kimia dan fisika yaitu tidak mudah dioksidasi , tahan terhadap udara,
uapnya sangat beracun, dapat melarutkan semua logam kecuali Platina, Nikel dan Besi,
berat jenisnya 13,6 gr/cm3, tahanan jenisnya 0,95 ohm mm2/m, koefisien suhu tahanan
0,00027 (Sukandarrumidi, 2009). Pelarut-pelarut umum, misalnya air dan aseton sukar
untuk melarutkan Merkuri, pada suhu 400 °C kelarutan merkuri dalam air 0,002 ppm
(Hutagalung, 1985). Kadar Merkuri dalam perairan air tawar secara alami sangat kecil
berkisar antara 10–100 ng/L (Effendi, 2003).
Cinnabar (HgS) adalah salah satu bahan galian untuk mendapatkan Merkuri
(Sukandarrumidi, 2009), mineral tersebut memiliki sifat sukar larut dalam air, tetapi jika
pada suatu daerah terdapat proses secara alami yang terjadi misalnya pelapukan batuan
dan erosi tanah dapat menyebabkan Merkuri yang terdapat dalam Cinnabar tersebut
dapat terlepas ke dalam lingkungan air. Cinnabar (HgS) merupakan salah satu mineral di
alam sebagai sumber alami Merkuri yang paling banyak ditemukan (Effendi, 2003).
Merkuri juga dapat ditemukan bersama-sama dalam mineral-mineral sulfida misalnya;
Sphalerite (ZnS), Wurtzite (ZnS), Chalcopyrite (CuFeS) dan Galena (PbS) (Herman, 2006).
Keterdapatan kandungan Merkuri dalam air tanah di Dusun Sangon II, Kalirejo,
Kokap, Kulonprogo berasal dari dua sumber yaitu : 1. Bijih Emas, yang ditambang oleh
Penambang Emas Skala Kecil (PESK) yang mengandung Merkuri alamiah, 2. Proses
pengolahan bijih Emas (amalgamasi) yang menggunakan Merkuri untuk mengikat Emas
menjadi amalgam (Au-Hg) menghasilkan limbah/tailing yang masih mengandung
Merkuri. Penambang bijih Emas tradisional di Dusun Sangon II Kalirejo, Kokap, Daerah
Istimewa Yogyakarta, mengggunakan metode amalgamasi dari Tahun 1990-an sampai
dengan Tahun 2017-an, untuk mendapatkan Emas dari bijihnya. Air tanah yang terdapat
di Dusun Sangon II menurut keberadaanya termasuk ke dalam air tanah dalam sistem
akuifer bebas yang memiliki kedalaman 5-6 meter dari permukaan tanah, digunakan oleh
penduduk sekitar untuk keperluan konsumsi sehari- hari misalnya memasak, air minum,
mandi dan cuci.

II. GEOLOGI REGIONAL DAN TOPOGRAFI DAERAH PENELITIAN


Pegunungan Kulonprogo memiliki bentuk kubah atau dome persegi panjang
dengan sumbu panjang kubah (± 32 Km) berarah Selatan–Barat Daya–Utara–Timur Laut,
sedangkan sumbu pendek (± 20 Km) berarah Barat–Barat Laut–Timur Tenggara (Gambar
1.). Bagian atas kubah Pegunungan Kulonprogo yang berada pada ketinggian 859 m dpl
disebut Plato Jonggrangan. Pegunungan Kulonprogo merupakan bagian dari Kompleks
Pegunungan Serayu Selatan yang terletak di ujung bagian Timur, dengan arah hampir
Selatan–Utara atau Barat Daya–Timur Laut. Arah Pegunungan Kulonprogo tersebut
berbeda dengan arah umum Kompleks Pegunungan Serayu Selatan yang berarah Barat-
Timur (Anshori dan Hastria, 2013).
Secara fisiografis Pegunungan Kulonprogo termasuk ke dalam dome atau bagian
tengah zona depresi yang berada di bagian timur zona Pegunungan Serayu Selatan
dengan arah yang agak berbeda, mengarah Barat Daya–Timur Laut dari arah umum
Barat–Timur. Bentuk wilayah ini diakibatkan oleh proses periode tektonik yang berbeda
dengan melibatkan formasi-formasi batuan yang berlainan dan tektonik aktif yang
terlihat dari pola deformasinya (Anshori dan Hastria, 2013), sedangkan kondisi topografi

413
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D004POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

daerah penelitian adalah daerah perbukitan dengan ketinggian titik lokasi pengolahan
amalgamasi ± 150 m dpl dan titik pengambilan sampel air tanah berada pada ketinggian ±
110 m dpl dan ± 56 m-58 m dpl (Lihat Gambar 2.).

III. METODOLOGI
Metode penelitian dilakukan dengan mengambil sampel geokimia dari 3 sampel
air tanah yang didapatkan dari sumur yang digunakan untuk keperluan sehari hari oleh
penduduk setempat dan dilakukan uji laboratorium dengan menggunakan Mercury
Analyzer Lab 254 di Laboratorium Penelitian Dan Pengujian Terpadu (LPPT), Universitas
Gadjah Mada. Validasi pengambilan data dilakukan dengan berdasarkan ketentuan pada
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 01 Tahun 2010, mengenai prioritas lokasi tes
lapangan/pengambilan sampel untuk lokasi sumber tertentu (point sources). Kegiatan
validasi data dilakukan dengan tinjauan langsung ke lapangan untuk melakukan
pengamatan tentang kondisi topografi daerah dan kondisi geologi daerah penelitian.
Penelitian dibandingkan dengan penelitian- penelitian yang pernah dilakukan
sebelumnya pada daerah penelitian yang sama.

IV. HASIL PENELITIAN


1. Data Primer
Sampel air tanah pada penelitian ini diambil pada titik–titik di dekat aliran
sungai, penduduk sekitar aliran sungai membuat sumur–sumur pemboran di dekat
aliran sungai/ sumur gali yang berasal dari bekas lubang tambang/shaft penambangan
bijih emas yang telah ditinggalkan (Tabel 1.). Kandungan Merkuri pada air limbah hasil
pengolahan amalgamasi terdapat pada Tabel 2. dan kandungan Merkuri pada Bijih Emas
yang ditambang terdapat pada Tabel 3.

2. Data Sekunder
Penelitian air tanah di Dusun Sangon II juga dilakukan oleh Agus Suyono,
untuk menyelesaikan Skripsi di Jurusan Teknik Lingkungan, Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” Yogyakarta pada tahun 2010 (Tabel 4.). Kandungan Merkuri pada air
limbah dan Bijih Emas pada penelitian tahun 2005 oleh Bambang Tjahjono Setiabudi
(Tabel 5. dan Tabel 6.). Data yang didapatkan sebagai sumber data sekunder lainnya
adalah kandungan merkuri dalam bijih di Sangon adalah 14,15 ppm dan kandungan
merkuri dalam air limbah adalah 0,8 – 6,9 ppm (Suprapto, 2006).

V. DISKUSI DAN PEMBAHASAN


Bahan kimia yang paling efisien dan umum digunakan untuk pengolahan bijih
Emas adalah Merkuri, sehingga dapat menyebabkan meluasnya penyebaran Merkuri di
lingkungan (Sugianti, dkk., 2014). Kegiatan industri manusia dapat menyebabkan
peningkatan kadar Merkuri di lingkungan, merupakan faktor non-alamiah yang
mengontrol penyebaran Merkuri melebihi baku mutu lingkungan hidup (Fahmi, dkk.,
2014). Faktor alamiah yang mempengaruhi penyebaran Merkuri adalah proses geologi.
Proses geologi yang terjadi di alam dapat mengubah tatanan geokimia suatu daerah dan

414
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D004POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

siklus hidrologi dapat membantu mekanisme penyebaran zat pencemar. Merkuri masuk
ke dalam batuan dan air tanah dikontrol oleh penyebaran urat-urat kuarsa yang berasal
dari proses mineralisasi hidrotermal (Fahmi, dkk., 2014).
Air tanah pada suatu wilayah yang terdapat pengolahan amalgamasi dapat
mengalami pencemaran oleh Merkuri. Dampak minimum yang dapat terjadi pada daerah
tersebut adalah adanya kandungan Merkuri dalam batas-batas tertentu pada air
tanahnya. Hal tersebut dapat terjadi disebabkan proses penyebaran Merkuri dapat
terjadi, apabila Merkuri yang terdapat pada tanah, udara atau aliran permukaan masuk
ke dalam tanah. Air yang mengandung Merkuri meresap atau mengalir melalui pori-pori
batuan, bidang-bidang lemah berupa kekar, perlapisan dan sesar yang dapat menjadi
media masuknya Merkuri ke dalam tanah (Gambar 3.).
Kandungan Merkuri dalam air tanah pada penelitian ini didapatkan sampel S1
0,00030 mg/L (ppm), sampel S2 0,00087 mg/L (ppm) dan sampel S3 0,00039 mg/L (ppm).
Ditinjau dari baku mutu kelas air, air tanah ini digunakan untuk kebutuhan konsumsi
penduduk setempat, sehingga digunakan baku mutu air Kelas I, yaitu 0,001 mg/L.
Sampel S2 yang diambil dari jarak 200 m dari sumber pencemar dan < 20 m dari aliran
sungai memiliki kandungan Merkuri terbesar yaitu 0,00087 mg/L, sedangkan sampel S1
dan S3 diambil berdekatan lokasinya, dekat dengan titik pertemuan Sungai Sangon II
dan Sungai Plampang, berjarak ±500 m dari titik sumber pencemar dan < 5 m dari aliran
sungai, memilki kandungan yang hampir sama yaitu 0,00030 mg/L dan 0, 00039 mg/L.
Sampel S2 yang memiliki kandungan Merkuri 0,00087 mg/L mendekati baku mutu yang
ditetapkan
Ditinjau dari apakah air tanah di Dusun Sangon II telah tercemari polutan atau
tidak, Thornton et al., 1995 menyatakan bahwa terdapat perbedaan definisi antara polusi
dan kontaminasi, polusi adalah suatu proses yang menyebabkan keracunan, penurunan
kualitas lingkungan, kerusakan terhadap infrastruktur dan membahayakan bagi
kesehatan manusia, sedangkan kontaminasi adalah suatu proses yang tidak
menimbulkan akibat yang membahayakan lingkungan (Lottermoser, 2010). Berdasarkan
data-data primer dan data-data penelitian terdahulu yang didapatkan dalam penelitian
ini, maka dapat disimpulkan bahwa air tanah di dusun tersebut termasuk dalam kondisi
terkontaminasi, meskipun kandungan Merkuri di dalam air tanah masih jauh di bawah
ambang batas, tetapi terdapat kandungan Merkuri dalam air tanahnya.
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan peneliti-peneliti terdahulu menyatakan
bahwa sifat penyebaran Merkuri akibat adanya pengolahan bijih Emas di daerah Sangon
masih bersifat lokal. Denni Widhiyatna., dkk mengemukakan hal yang sama dengan
Bambang Thahjono Setiabudi, bahwa penyebaran Merkuri akibat usaha pertambangan
Emas rakyat di Daerah Sangon diperkirakan masih bersifat lokal, tetapi Denni
Widhiyatna., dkk. lebih menekankan bahwa sifat kelokalan penyebaran Merkuri tersebut
dipengaruhi oleh kemampuan dispersi Merkuri tersebut, selain itu dikemukakan juga
bahwa pengelompokkan konsentrasi Merkuri yang tinggi ditemukan pada daerah
pengolahan bijih Emas (Widhiyatna, dkk., 2006). Dalam penelitian Bambang Tjahjono
Setiabudi tahun 2005 juga mengemukakan bahwa, sifat penyebaran Merkuri akibat usaha
pertambangan Emas rakyat di daerah Sangon, Kalirejo diperkirakan masih dalam skala
lokal, tetapi untuk mencegah dampak negatif terhadap lingkungan yang lebih besar
maka hal tersebut perlu mendapatkan perhatian yang lebih besar. Penelitian-penelitian

415
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D004POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

untuk mengetahui mineral-mineral yang ada di batuan daerah Sangon dilakukan oleh
Agus Harjanto dari Teknik Geologi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Yogyakarta, selain itu penelitian terhadap sayatan petrografi batuan juga dilakukan oleh
Dwi Indah Purnamawati dan Stiwinder Renata Tapilatu dari Teknik Geologi Institut
Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta. Menurut peneliti, berdasarkan hasil penelitian
tersebut terdapat perbedaan-perbedaan hasil analisis petrografi dari kedua penelitian
tersebut terhadap batuan andesit di Daerah Sangon.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Agus Harjanto, andesit hornblena
pembentuk batuan di Daerah Sangon berwarna abu-abu, sebagian telah mengalami
ubahan lemah–kuat sehingga warnanya abu-abu kehijauan, memiliki struktur massif dan
sebagian sudah terkekarkan (lebar 1–2 mm). Mineral pirit, kalkopirit, kuarsa dan terdapat
sebagian mineralisasi mengisi kekar–kekar tersebut. Contoh batuan andesit hornblende
yang sebagian mengalami ubahan dan pada beberapa tempat dapat ditemukan urat-urat
kuarsa, menghasilkan himpunan mineral sekunder antara lain kuarsa, klorit, aktinolit,
kalsit dan karbonat. Mineral penyusun andesit tersebut adalah plagioklas, hornblende,
kuarsa, K–feldspar, biotit dan mineral opak. Hasil petrografi menyatakan bahwa mineral
opak yang mengisi urat-urat adalah hematit, pirit, kalkopirit, sfalerit , galena dan mineral
opak berasosiasi dengan klorit dan aktinolit (Harjanto, 2011).
Penelitian yang dilakukan oleh Dwi Indah Purnamawati dan Stiwinder Renata
Tapilatu, menyatakan hasil analisis petrografi terhadap batuan di Daerah Sangon
menunjukkan bahwa terdapat mineral–mineral kunci dalam batuan tersebut antara lain
klorit, epidot dan karbonat. Mineralisasi Emas dan asosiasinya pada batuan di Daerah
Sangon tersebut mengalami ubahan dan menghasilkan alterasi bertipe propilitik.
Menurut penelitian tersebut yang didasarkan pada pendapat Creasy., 1966 ; Lowel dan
Guilbert., 1970 ; Lindgren., 1933; Krauskoff dan Garlick., 1979 dalam Jensen dan Bateman,
1981, menyatakan bahwa mineral–mineral kunci tersebut menunjukkan alterasi bertipe
propilitik dan tipe propilitik tersebut masuk ke dalam sistem hidrotermal jenis
mesotermal (Purnamawati dan Tapilatu, 2012).
Penelitian yang dilakukan oleh Dwi Indah Purnamawati dan Stiwinder Renata
Tapilatu, menyatakan hasil analisis petrografi terhadap batuan di Daerah Sangon
menunjukkan bahwa terdapat mineral–mineral kunci dalam batuan tersebut antara lain
klorit, epidot dan karbonat. Mineralisasi Emas dan asosiasinya pada batuan di Daerah
Sangon tersebut mengalami ubahan dan menghasilkan alterasi bertipe propilitik.
Menurut penelitian tersebut yang didasarkan pada pendapat Creasy., 1966 ; Lowel dan
Guilbert., 1970 ; Lindgren., 1933; Krauskoff dan Garlick., 1979, Jensen dan Bateman., 1981,
menyatakan bahwa mineral–mineral kunci tersebut menunjukkan alterasi bertipe
propilitik dan tipe propilitik tersebut masuk ke dalam sistem hidrotermal jenis
mesotermal (Purnamawati dan Tapilatu, 2012).
Perbedaan dalam penelitian tersebut menurut peneliti adalah proses
pembentukan mineral–mineral yang terdapat dalam batuan di daerah penelitian tersebut.
Dibandingkan dengan penelitian–penelitian mengenai keterdapatan Merkuri dalam
bijih/batuan di daerah Sangon. Hasil uji laboratorium pada penelitian ini menyatakan
bahwa terdapat kandungan Merkuri dalam bijih yaitu 0,28 mg/Kg dan 0,14181 mg/Kg.
Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Bambang
Thahjono Setiabudi yang menyatakan bahwa terdapat kandungan Merkuri dalam batuan

416
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D004POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

di daerah Sangon yaitu 92 ppm dan 18 ppm. Makalah ilmiah yang lain oleh Sabtanto Joko
Suprapto juga terdapat Merkuri dalam batuan di daerah tersebut yaitu 14,15 ppm.
Keterdapatan Merkuri dalam batuan/dalam bijih di Sangon dapat ditinjau
berdasarkan teori yang dikemukakan Lindgren., 1933 (Isjudarto, 2009), bahwa Merkuri
dapat terbentuk pada proses diferensiasi magma pada tahapan epitermal atau tahapan
akhir proses hidrotermal. Penelitian yang dilakukan oleh Dwi Indah Purnamawati dan
Stiwinder Renata Tapilatu pada tahun 2012, menyatakan bahwa batuan tersebut
terbentuk pada tahapan mesotermal, sementara hasil uji laboratorium pada beberapa
penelitian menyatakan bahwa dalam bijih/batuan terdapat kandungan Merkuri dan
menurut klasifikasi yang dikemukakan Lindgren., 1933, kehadiran Merkuri terdapat
pada tahapan epitermal, pada tahapan mesotermal tidak didapati Merkuri, meskipun
pada penelitian tersebut dinyatakan bahwa terdapat mineral kunci yaitu klorit dan
karbonat sebagai tanda tahapan mesotermal, tetapi klorit dan karbonat juga dapat hadir
dalam tahapan epitermal.
Ditinjau dengan penelitian yang dilakukan oleh Agus Harjanto, hasil analisis
petrografi pada batuan Daerah Sangon terdapat mineral–mineral opak yang hadir
mengisi urat–urat antara lain hematit, pirit, kalkopirit, sfalerit dan galena. Kehadiran
sfalerit dan galena memang dapat terjadi pada dua tahapan sistem hidrotermal yaitu
mesotermal dan epitermal, tetapi pada tahapan mesotermal tidak akan didapati
kehadiran Merkuri. Menurut klasifikasi sistem hidrotermal dari Lindgren, 1933, Merkuri
hanya terbentuk pada proses epitermal. Hal tersebut juga sesuai dengan pendapat No-
votny dan Olem., 1994 (Effendi, Hefni., 2003), bahwa sumber Merkuri alami yang paling
umum adalah cinnabar (HgS), tetapi Merkuri juga dapat terdapat pada mineral–mineral
sulfida misalnya sfalerit (ZnS), wurtzite (ZnS), kalkopirit (CuFeS) dan galena (PbS).
Berdasarkan penelitian petrografi Agus Harjanto pada tahun 2011, memang tidak
dinyatakan adanya cinnabar dalam sayatan petrografi, tetapi terdapatnya sfalerit dan
galena (Harjanto, 2011), secara teori, dapat memperkuat adanya Merkuri di formasi
batuan di Daerah Sangon tersebut, karena Merkuri dapat muncul bersama dengan
keberadaan sfalerit dan galena.
Merkuri dalam air tanah dapat dianalisis berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki oleh
Merkuri. Merkuri memiliki potensial oksidasi yang rendah (0,799 volt), hal tersebut
menyebabkan Merkuri tidak dapat bereaksi dengan oksigen pada suhu kamar dan tahan
terhadap korosi. Merkuri tidak dapat bereaksi dengan air, uap, alkalis dan asam-asam
yang bukan oksidator kuat, tetapi merkuri dapat bereaksi dengan cepat jika bertemu
dengan gas-gas Cl2, S, Br2, J2 dan N2O. Pelarut-pelarut umum, misalnya air dan aseton
sukar untuk melarutkan Merkuri, pada suhu 400˚C kelarutan merkuri dalam air 0,002
ppm (Hutagalung, Horas, P., 1985). Dengan demikian, Merkuri yang terdapat dalam air
tanah tidak dalam bentuk logam, tetapi berbentuk ion., sedangkan Merkuri dalam bentuk
ion merupakan hasil Merkuri (CH3Hg+) adalah suatu proses biogeokimia yang kompleks,
proses perubahan tersebut sedikitnya membutuhkan dua langkah yaitu proses oksidasi
dari Hg0 menjadi Hg2+, diikuti dengan perubahan bentuk dari Hg2+ menjadi CH3Hg+.
Perubahan bentuk dari Hg2+ menjadi CH3Hg+ dinamakan methylation (Alpers dan
Hunerlach, 2000).
Air sukar melarutkan Merkuri, Merkuri dapat larut ke dalam air dengan suhu
400˚C dengan kelarutan sebesar 0,002 ppm, sedangkan suhu air tanah di daerah

417
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D004POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

penelitian tidak akan mencapai suhu tersebut, karena daerah tersebut tidak terdapat
aktivitas vulkanik yang dapat menyebabkan peningkatan suhu sampai 400˚C. Jika air
sukar melarutkan Merkuri, maka terdapat hal lain yang menyebabkan Merkuri terdapat
sebagai ion dalam air tanah. Merkuri dapat bereaksi dengan cepat jika bertemu dengan
unsur S (sulfida), sedangkan mineralisasi Emas di Sangon tersebar tidak merata dalam
urat kuarsa yang mengandung sulfida dan kadang-kadang berasosiasi dengan lempung
ubahan filik–argilik yang penyebarannya dikontrol oleh bidang–bidang rekahan
membentuk stockwork veins. Urat kuarsa dengan tebal bervariasi < 1 cm - 50 cm,
membentuk jalur mineralisasi umumnya berarah N 60˚ E – N 110˚ E dengan kemiringan
70˚ – 80˚ (Gunawan, dkk., 2001 dalam Setiabudi, 2005).
Hal tersebut menjelaskan bahwa di dalam urat-urat kuarsa terdapat kandungan
sulfida yang dapat bereaksi dengan Merkuri yang terdapat dalam bijih dan Merkuri
dapat berubah menjadi Merkuri dalam bentuk ion dalam air tanah. Hal tersebut dapat
memberikan kesimpulan bahwa Merkuri yang terdapat dalam air tanah dikontrol oleh
Merkuri yang terdapat dalam bijih melalui reaksi biogeokimia yang kompleks dan
tersebar melalui kekar- kekar dan urat-urat kuarsa ke dalam air tanah. Selain itu,
berdasarkan penelitian yang telah dilakukan menunjukkan, bahwa peningkatan
kandungan merkuri dalam air tanah selama kurun waktu 7 tahun (penelitian Tahun 2010
dan 2017), menunjukkan bahwa kandungan Merkuri dalam air tanah relatif sama,
meskipun terdapat sedikit peningkatan kandungan Merkuri. Hal tersebut menunjukkan,
bahwa proses amalgamasi yang terus menerus dilakukan selama kurun waktu tersebut,
dengan proses pembuangan limbah yang mengandung Merkuri tidak memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap perubahan kandungan Merkuri dalam air tanah di
daerah tersebut.

VI. KESIMPULAN
1. Air tanah yang terdapat di Dusun Sangon II dalam kondisi terkontaminasi Merkuri,
meskipun kondisi air tanah masih berada di bawah Baku Mutu Air Kelas I (untuk air
minum/konsumsi).
2. Sumber keterdapatan Merkuri dalam air tanah tersebut lebih didominasi oleh adanya
kandungan Merkuri yang terdapat dalam bijih Emas yang dapat bereaksi dengan
mineral- mineral sulfida yang terdapat dalam batuan dan bijih di daerah tersebut,
karena berdasarkan sifat kimia Merkuri yang sukar untuk larut dalam air dan
kondisi daerah tersebut tidak memungkinkan Merkuri yang terdapat dalam limbah
pengolahan amalgamasi (Merkuri elemen, Hg(0)) berubah menjadi ion Hg(I) atau
Hg(II).
3. Penyebaran Merkuri di daerah tersebut masih bersifat lokal, meskipun untuk air
tanah, kandungan Merkuri dalam limbah pengolahan amalgamasi tidak memiliki
pengaruh yang signifikan, tetapi Merkuri merupakan logam berat yang sangat
berbahaya bagi manusia dan lingkungan hidup, karena akibat negatif yang
ditimbulkan Merkuri tidak dapat dibatasi oleh batas suatu wilayah, maka
diharapkan dikembangkan pengolahan bijih Emas dengan metode lain yang lebih
ramah lingkungan.

418
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D004POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

ACKNOWLEDGEMENT
Data-data dalam penulisan ini sebagian diambil dari data Tesis sewaktu penulis
menyelesaikan Program Studi Magister Teknik Pertambangan di Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta, sehingga dalam kesempatan ini penulis
mengucapkan terimakasih kepada Ir. Gunawan Nusanto, M.T., Ir. Suyono, M.S., Prof. Ir.
D. Haryanto, M.Sc., Ph.D., Ir. Said Fadillah Alatas, M.Si. dan Ir. Untung Sukamto, M.T.,
serta Dr. Ir. Barlian Dwinagara, M.T., untuk saran dan masukannya sehingga mendukung
terselesaikannya tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA
Alpers, Charles N., Hunerlach, Michael P., 2000, Mercury Contamination from Historic Gold
Mining in California, USGS Fact Sheet FS-061-00, U.S. Geological Survey, Page 5.
Anshori, Chusni., Hastria, Defry., 2013, Studi Alterasi Dan Mineralisasi Di Sekitar Gunung Agung
Kabupaten Kulonprogo – Purworejo, Balai Informasi dan Konservasi Kebumian
Karangsambung LIPI – Kebumen, Buletin Sumber Daya Geologi Volume 8 Nomor 2 –
2013.
Effendi, Hefni., 2003, Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber daya Dan Lingkungan
Perairan, Penerbit P.T. Kanisius, Yogyakarta, Hal 42 – 47, 94 – 97, 179 – 182, 195 – 198.
Fahmi, Fraga Luzmi., Budianta, Wawan., Idrus, Arifudin., 2014, Dampak Pencemaran Merkuri
Terhadap Media Geologi Pada Pertambangan Rakyat di Banyumas, Jawa Tengah,
Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-7, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik,
Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014, Yogyakarta.
Harjanto, Agus., 2011, Petrologi Dan Geokimia Batuan Volkanik Di Daerah Kulonprogo Dan
Sekitarnya Daerah Istimewa Yogyakarta, Teknik Geologi Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” Yogyakarta, Jurnal Ilmiah MTG. Vol. 4, No. 1, Januari 2011.
Herman, Danny Zulkifli., 2006, Tinjauan Terhadap Tailing Mengandung Unsur Pencemar Arsen
(As), Merkuri (Hg), Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) Dari Sisa Pengolahan Bijih Logam,
Pusat Sumber Daya Geologi, Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1, No. 1, Maret 2006, Hal 31 –
36.
Hutagalung, Horas, P., 1985, Raksa (Hg), Oseana, Volume X, Nomor 3 : 93-105, Pusat Penelitian
Ekologi Laut, Lembaga Oseanologi Nasional, LIPI, Jakarta, Hal 93-105.
International Pops Elimination Network, 2009, Pandangan IPEN terhadap Perjanjian Global
tentang Merkuri, www.ipen.org, diakses tanggal 19 Mei 2016.
Isjudarto, A., 2009, Hubungan Tektonik Pembentukan Kubah Kulonprogo Dengan Terdapatnya
Endapan Mineral Logam Di Daerah Kokap Kulonprogo, Prosiding Seminar Nasional Ke-
4 Tahun 2009, Rekayasa Teknologi Dan Informasi, Sekolah Tinggi Teknologi Nasional,
Yogyakarta. Hal 205 – 211.
Lottermoser, Bernd G., 2010, Mine Waste Characterization, Treatment And Enviromental Impacts,
3rd Edition, Springer, Page 22.
Purnamawati, Dwi Endah., Tapilatu, Stiwinder Renata., 2012, Genesa Dan Kelimpahan Mineral
Logam Emas Dan Asosiasinya Berdasarkan Analisis Petrografi Dan Atomic Absorbsion
Spectrophotometry (AAS) Di Daerah Sangon Kabupaten Kulonprogo Propinsi DIY,
Jurnal Teknologi, Volume 5 Nomor 2, Desember 2012.

419
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D004POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Setiabudi, Bambang Tjahjono., 2005, Penyebaran Merkuri Akibat Usaha Pertambangan Emas di
Daerah Sangon, Kabupaten Kulon Progo, D.I. Yogyakarta, Subdit Konservasi, Kolokium
Hasil Lapangan-DIM, Pusat Sumber Daya Geologi, Bandung.
Sugianti, Titin., Sudjudi dan Syahri, 2014, Penyebaran Cemaran Merkuri pada Tanah Sawah
Dampak Pengolahan Emas Tradisional di Pulau Lombok NTB, Prosiding Seminar
Nasional Lahan Suboptimal, ISBN : 979-587-529-9, Palembang 26 – 27 September 2014
Sukandarrumidi, 2009, Geologi Mineral Logam, Gadjah Mada University Press,Yogyakarta.
Sumarjono, Erry., 2018, Kajian Penyebaran Merkuri Pada Sedimen Sungai Dan Air Tanah Akibat
Limbah Pengolahan Bijih Emas Dengan Amalgamasi Di Sungai Sangon II Dusun Sangon
II Kalirejo Kokap Daerah Istimewa Yogyakarta, Tesis, Program Studi Magister Teknik
Pertambangan, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta.
Suprapto, Sabtanto Joko., 2006, Sumber Daya Emas Primer Skala Kecil Untuk Pengembangan
Wilayah Pertambangan Rakyat Dengan Konsep Custom Mill, Buletin Sumber Daya
Geologi Volume 1 Nomor 3 – 2006, Pusat Sumber Daya Geologi, Bandung, Hal 5, 7 dan 8.
Suyono, Agus., 2011, Dampak Penggunaan Hg Pada Penambangan Emas Rakyat Terhadap
Lingkungan (Studi Kasus Di Desa Sangon Kelurahan Kalirejo Kecamatan Kokap
Kabupaten Kulonprogo Provinsi DIY), Skripsi, Program Studi Teknik Lingkungan,
Fakultas Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta,
Yogyakarta.
Widhiyatna, Denni., Tjahjono, Bambang., Gunrady, Rudy.,2005, Pendataan Sebaran Merkuri di
Daerah Cineam, Kab. Tasikmalaya dan Sangon, Kab. Kulonprogo, DI Yogyakarta, Subdit
Konservasi, Kolokium Hasil Lapangan – DIM 2005, Pusat Sumberdaya Geologi,
Bandung.
“-----------------“, 2001, Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001, tentang Pengelolaan Kualitas
Air dan Pengendalian Pencemaran Air, Sekretaris Negara Republik Indonesia, Lembaran
Negara Republik Indonesia 1461.
“----------------“, 2010, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 01 Tahun 2010, tentang
Tata Laksana Pengendalian Pencemaran Air, Deputi MENLH Bidang Penataan Lingkungan.

420
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D004POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 1. Kandungan merkuri pada air tanah

Kode Koordinat Kadar Hg Metode Uji


No
Sampel S E (mg/L) Laboratorium
1 S1 0 ’ 0 ’ ” 0,00030 Mercury Analyzer
07 50 18,6” 110 03 53,4

2 S2 0 ’ ” 0 ’ 0,00087 Mercury Analyzer


07 50 06,3 110 03 45,4”

3 S3 0 0 ’ ” 0,00039 Mercury Analyzer


07 50’ 17,1” 110 03 53,4

Tabel 2. Kandungan merkuri pada air limbah

Kode Koordinat Kadar Hg Metode Uji


No
Sampel S E (mg/L) Laboratorium

1 SLi 0 0 0,99994 Mercury Analyzer


07 50 ‘ 01,5” 110 03‘ 45,9”

Tabel 3. Kandungan merkuri pada bijih

Kode Koordinat Kadar Hg Metode Uji


No
Sampel S E (ppm) Laboratorium
1 SBj 0 0 0,28 Mercury Analyzer
07 50 ‘ 01,5” 110 03‘ 45,9”

2 SBj 2 0 0 0,14181 Mercury Analyzer


07 50 ‘ 01,5” 110 03‘ 45,9”

Tabel 4. Kandungan merkuri air tanah penelitian tahun 2010

No Sampel Kadar Hg (ppm) Metode Uji Laboratorium


1 I 0,00019 Mercury Analyzer
2 II 0,00018 Mercury Analyzer
3 III 0,00020 Mercury Analyzer
4 IV 0,00023 Mercury Analyzer
5 V 0,00029 Mercury Analyzer
Sumber : Suyono, Agus., 2011.

Tabel 5. Kandungan merkuri pada air limbah di Dusun Sangon II penelitian tahun 2005

Metode Uji
No Sampel Kadar Hg (ppm)
Laboratorium
1 Air Limbah 800 - 6900 AAS
Sumber : Setiabudi, Bambang Tjahjono., 2005.

421
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D004POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 6. Kandungan merkuri pada bijih di Dusun Sangon II penelitian tahun 2005

Metode Uji
No Sampel Kadar Hg (ppm)
Laboratorium
1 Bijih 1 92 AAS
2 Bijih 2 18 AAS
Sumber : Setiabudi, Bambang Tjahjono., 2005.

422
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D004POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Peta geologi Kubah Kulonprogo, berdasarkan Peta Geologi Lembar Yogyakarta,
Rahardjo dkk., 1977.

Gambar 2. Topografi daerah penelitian

423
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D004POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Kekar–kekar pada batuan dasar Sungai Sangon II

424
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D005POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

ERUPSI GUNUNG NAMASALAH : PROSES GEOLOGI PEMUTUS SIKLUS


BUDAYA DI DATARAN TINGGI GAYO – ACEH TENGAH
Lismawaty1* , Ketut Wiradnyana2, Taufiqurrahman Setiawan2
1Teknik Geologi Institut Teknologi Medan Jalan Gedung Arca No. 52 Medan (20217)
2Balai Arkeologi Symatera Utara
*corresponding author: lismawaty@itm.ac.id

ABSTRAK. Proses geologi yang mengakibatkan terbentuknya gua pada batugamping telah
dimanfaatkan sebagai tempat tumbuhnya budaya, baik sebagai tempat hunian maupun tempat
penguburan sejak zaman prasejarah, disisi lain proses-proses geologi juga dapat mengakibatkan
hilang atau berhentinya suatu kebudayaan. Salah satunya seperti yang dijumpai Loyang (Gua)
Mendale dan Loyang Ujung Karang di Dataran Tinggi Gayo Aceh Tengah. Penelitian arkeologi
oleh Balai Arkeologi Sumatera Utara menunjukkan adanya hunian (lapisan budaya) di situs
tersebut dengan kronostratigrafi dari lapisan muda sampai lapisan tua secara berurutan : lapisan
budaya sejarah/present (umur 1.2900 - sekarang bp) – lapisana lamiah – lapisan budaya
paleometalik (umur 2.245 – 1.740 bp) – lapisan alamiah – lapisan budaya neolitik (umur 5.040 -
3.115 bp)- lapisan alamiah – lapisan budaya mesolitik (umur 8.430 – 7.400 bp) – lapisan alamiah.
Penelitian ini dimaksudkan menganalisa lapisan alamiah (lapisan batuan) diantara lapisan budaya
dengan tujuan mengetetahi proses alam atau proses geologi penyebab berhentinya atau
terputusnya kebudayaan tersebut. Metode penelitian dilakukan dengan pemetaan geologi
(pemetaan di dalam dan diluar areal situs) dan metode analisa laboratorium (analisa petrografi
dan analisa granulometri). Hasil analisis menunjukkan bahwa lapisan alamiah diantara lapisan
budaya neolitik dan paleometalik adalah endapan piroklastik berupa tufa andesitik yang berasal
dari erupsi Gunung Nama Salah. Dalam kurun waktu 3.115 bp – 1.290 bp Gunung Nama Salah
mengalami erupsi tiga kali, erupsi pertama memutus budaya neolitik, erupsi kedua dan ketiga
mengakibatkan berhentinya budaya paleometalik di Loyang Mendale dan Loyang Ujung Karang.

Kata kunci: Erupsi G. Nama Salah, Geologi, Arkeologi, Budaya Gayo

I. PENDAHULUAN
Gua-gua pada topografi kars telah dimanfaatkan menjadi tempat tumbuhnya
budaya masa prasejarah, baik sebagai tempat hunian maupun tempat penguburan
(Samodra, 2005). Kebudayaan prasejarah di dataran tinggi Gayo terungkap dengan
ditemukannya situs arkeologi di gua-gua yang ada disekitar Danau Laut Tawar, terutama
di Loyang (gua) Mendale dan Loyang Ujung Karang yang berada di Kabupaten Aceh
Tengah Provinsi Aceh (Gambar 1).
Balai Arkeologi Sumatera Utara telah melakukan penelitian di kedua gua tersebut
sejak tahun 2009 bahkan sampai tulisan ini ditulis (2019) penelitian masih tetap
berlangsung. Salah satu hasil penelitiannya mengungkap bahwa situs Loyang Mendale
dan Loyang Ujung Karang telah dihuni sejak 8.800 sampai 1.290 bp yang ditunjukan oleh
adanya empat lapisan/fase budaya, yaitu lapisan budaya mesolitik- neolitik –
paleometalik dan lapisan budaya sejarah/present. Di antara lapisan budaya tersebut
terdapat lapisan hiatus yang menjadi pemisah dan pemutus antar lapisan budaya

425
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D005POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

tersebut. Lapisan hiatus ini berupa lapisan alamiah dan padanya tidak ditemukan data
arkeologis/kebudayaan. Di Loyang Ujung Karang hunian dimulai fase neolitik sampai
fase sejarah dan lebih dominan digunakan sebagai lokasi penguburan. Sedangkan di
Loyang Mendale lebih dahulu dijadikan tempat hunian dan penguburan atau dimulai
sejak fase mesolitik sampai fase sejarah. Lapisan hiatus antar lapisan budaya tersebut
oleh arkeolog Setiawan (2014 dan 2016) diduga sebagai endapan danau (endapan batuan
sedimen). Untuk memastikan dugaan tersebut pada tahun 2018 dan 2019 dilakukan
penelitian geologi di kedua situs tersebut dengan tujuan untuk mengetahui jenis lapisan
alamiah serta untuk mengetahui proses geologi penyebab terputusnya siklus budaya di
kedua situs tersebut.

II. METODE PENELITIAN


Penelitian dilakukan dengan metode survei lapangan dan metode analisa
laboratorium. Survei lapangan berupa pemetaan geologi di luar areal dan di dalam areal
Loyang Mendele dan Loyang Ujung Karang, pemetaan geologi di dalam areal loyang
berupa pengamatan kronostratigrafi, khususnya pengamatan dan identifikasi lapisan
alamiah berikut karakteristik dan sebarannya melalui bukaan ekskavasi. Pemetaan
geologi luar areal loyang hanya terbatas pada pemetaan sebaran batuan yang sama
jenisnya dengan lapisan alamiah yang ada di dalamloyang. Analisa laboratorium
dilakukan terhadap sampel lapisan alamiah yang diambil dari stratigrafi dalam areal
loyang dan sampel singkapan batuan dari luar areal loyang yang diduga sama jenisnya
dengan lapisan alamiah yang ada di dalam loyang, analisanya berupa analisa petrografi
dan analisa granulometri. Urutan pekerjaan dimulai dari pemetaan geologi pada lapisan
alamiah di dalam areal loyang yang dilakukan tahun 2018, dilanjutkan dengan pemetaan
geologi di luar areal loyang yang dilakukan di tahun 2019 dan pekerjaan analisa
laboratorium dilakukan di tahun 2018 dan 2019.

III. HASIL PENELITIAN


3. Hasil Pemetaan di Situs Loyang Mendale dan Loyang Ujung Karang
Loyang Mendale dan Loyang Ujung Karang berada di salah satu lereng
pegunungan tepi Danau Laut Tawar dengan ketinggian 1.260 mdpal, tepatnya berjarak
200 m dari Danau Laut Tawar dan berelevasi 12 m dari muka danau. Loyang Ujung
Karang berada di bagian Barat Loyang Mendale dengan jarak 1,3 km. Litologi penyusun
kedua loyang yang teridentifikasi sebagai situs arkeologi adalah batuan karbonat dari
satuan batugamping Formasi Tawar (MPt) yang berumur Perm Akhir sampai Trias Awal
(Cameron, N.R, dkk, 1983).
Loyang Mendale membentang sepanjang ± 250 m dengan arah Barat Laut –
Tenggara (Gambar 2). Kronostratigrafi situs Loyang Mendale disusun berdasarkan hasil
analisis dan korelasi 24 kotak ekskavasi, diperoleh delapan lapisan dengan susunan dari
atas ke bawah ditampilkan pada tabel 1 (Setiawan, 2016). Kedelapan lapisan di Loyang
Mendale yang dijumpai secara menerus terdapat dibagian tengah Loyang Mendale (titik
pengamatan ME-1) yang memiliki bukaan atau mulut gua paling lebar dan tinggi
dibanding lokasi ekskavasi lainnya hanya dijumpai 5 - 6 lapisan.

426
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D005POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Loyang Ujung Karang memiliki pintu menghadap ke Selatan dengan lebar 16


meter dan kedalamanan 8 meter. Setiawan (2014 dan 2016) menyusun kronostratigrafi
Loyang Ujung Karang berdasarkan hasil pengamatan di 13 kotak ekskavasi dan
diperoleh enam lapisan kronostratigrafi, dengan urutan kronostratigrafi ditampilkan
pada tabel 2.
Pemetaan geologi detail di dalam areal Loyang Mendale dan Loyang Ujung
Karang dilakukan tahun 2018, penelitian difokuskan pada lapisan alamiah (lapisan hiatus
I dan lapisan hiatus II) yang tersingkap pada dinding dan bukaan ekskavasi (7 titik
pengamatan). Hasil pengamatan diperoleh bahwa lapisan alamiah tersebut adalah
lapisan endapan piroklastik berupa satuan tufa. Sebelumnya lapisan alamiah tersebut
dinyatakan sebagai batuan sedimen endapan danau oleh Setiawan (2014 dan 2016).
Berdasarkan stratigrafi dan ukuran butirnya, lapisan endapan tufa di Loyang
Mendale terdiri tiga lapisan yang menghalus ke atas. Lapisan endapan tufa pertama
(paling tua) adalah lapisan hiatus II berukuran halus dengan tebal antara 30 – 60 cm,
berada diatas lapisan budaya neolitik (umur budaya 5.040—3.115 bp) selanjutnya disebut
lapisan tufa bawah. Lapisan endapan tufa kedua berada diatas lapisan budaya
paleometalik (umur budaya 2.245—1.740 bp), berukuran sedang (lebih kasar dari lapisan
endapan tufa pertama) dan selanjutnya disebut lapisan tufa tengah. Lapisan endapan tufa
ketiga menerus diatas lapisan endapan tufa kedua dengan ukuran butir lebih kasar dari
lapisan endapan tufa kedua, selanjutnya disebut lapisan tufa atas (Gambar 2c). Lapisan
tufa tengah dan atas dinyatakan sebagai lapisan hiatus I dan memiliki ketebal tipis
mencapai 10 cm. Pada areal gua yang mulut guanya sempit, ketiga lapisan endapan tufa
tersebut tersusun menerus (tanpa ada lapisan budaya diantaranya) dengan batas antar
lapisan tufa terlihat tegas sehingga memperlihatkan struktur perlapisan reverse graded
bedding (Gambar 2d).
Lapisan alamiah di Loyang Ujung Karang saat dilakukan pemetaan geologi detail
hanya dijumpai satu lapisan endapan tufa yang berukuran halus, berada diantara lapisan
budaya neolitik dan lapisan budaya paleometalik (Tabel 2). Berdasarkan ukuran butir
dan posisi stratigrafinya terhadap lapisan budaya, diinterpretasikan lapisan tufa di
Loyang Ujung Karang sebanding atau sama dengan lapisan tufa bawah yang ada di
Loyang Mendale (Gambar 3).

4. Hasil Pemetaan Geologi di Luar Areal Situs Loyang Mendale dan Loyang Ujung
Karang

Pemetaan geologi di luar areal situs Loyang Mendale dan Loyang Ujung Karang
dilakukan pada tahun 2019, pemetaan menggunakan peta dasar peta geologi lembar
Takengon oleh Cameron N.R, dkk (1983) dan pemetaan hanya dilakukan di wilayah
sebaran batuan piroklastik dengan tujuan untuk mengetahui endapan tufa yang ada
didalam situs berasal dari erupsi gunungapi yang mana. Pada peta geologi lembar
Takengon terlihat bahwa batuan piroklastik sekitar situs berada di sisi barat dan
menyebar berarah Utara Selatan berupa batuan hasil erupsi besar (pusat erupsi) Gunung
Geureudong (Qvg). Di areal erupsi Geuredong terdiri dari beberapa satuan erupsi, secara
berurutan dari umur paling tua keumur muda berupa erupsi Gunung Tuan (QTvtu),
erupsi Gunung Enang Enang (Qvee), erupsi Gunung Pepanji (Qvp), erupsi Gunung

427
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D005POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Nama Salah (Qvns), erupsi Gunung Lanpahan (Qvl) dan yang paling muda erupsi
Gunung Telong (Qvtg), keseluruhan erupsi tersebut berumur Pleistosen, kecuali erupsi
Gunung Telong berumur Holosen (Gambar 4).
Pemetaan singkapan piroklastik dilakukan di wilayah sebaran erupsi G. Nama
Salah (15 titik pengamatan) yang lokasinya berada dibagian barat situs dan paling dekat
dengan situs. Di wilayah sebaran erupsi G. Telong ada 4 titik pengamatan dan di wilayah
sebaran erupsi G. Geureundong satu 2 titik pengamatan. Litologi yang dijumpai
disingkapan utamanya adalah satuan tufa, sebagian kecil berupa lava yang dijumpai di
dinding kaldera G. Nama Salah (lokasi pengamatan 3 dan 4) serta lava dari erupsi G.
Geureundong (lokasi pengamatan 19). Keseluruhan lokasi pengamatan (21 titik
pengamatan) diplotkan kedalam peta geologi (Gambar 4) dan kondisi singkapan di
beberapa titik pengamatan ditampilkan pada Gambar 5.

5. Hasil Analisa Granulometri


Analisa granolometri dilakukan dari sampel lapisan tufa yang ada di situs Loyang
Mendale dan Loyang Ujung Karang dengan tujuan untuk mengetahui jenis tufa dikedua
situs berdasrkan ukuran butir dan untuk mengetahui hubungan antar lapisan tufa
diantara situs maupun dalam satu situs. Sampel analisa granolometri dari situs Loyang
Mendale diambil dari 3 titik pengamatan (7 sampel tufa) dan 1 titik pengamatan dari
situs Loyang Ujung Karang, hasil analisa granolometri (8 sampel) tufa ditampilkan pada
Tabel 3.
Wentworth dan Williams (1932) dalam Pettijhon (1969) mengklasifikasikan tufa
berdasarkan ukuran butirnya dan menyatakan tufa kasar bila butirannya berukuran 0,25
mm – 4mm dan tufa halus bila ukuran butir tufanya < 0,25 mm. Pada sampel ME-3 dan
sampel ME-7, lapisan tufa atasnyamemiliki ukuran butir yang didominasi oleh ukuran
0,25 mm – 4 mm, masing-masingnya sebanyak 71 % dan 51 % (Tabel 3). Berdasarkan hal
tersebut lapisan tufa atas di situs Loyang Mendale dapat digolongkan sebagai satuan tufa
kasar. Sedangkan lapisan tufa tengah dan lapisan tufa bawah pada kedua situs dapat
digolongkan sebagai satuan tufa halus, karena ukuran butirnya didominasi ukuran < 0,25
mm, yaitu antara 66 %– 81 % (Tabel 3 dan Gambar 6)
Hubungan ukuran butir antar lapisan tufa pada kedua situs atau antar situs
berdasarkan ukuran butir ditampilkan pada gambar 7. Lapisan tufa atas di situs Loyang
Mendale (ME-3 dan ME-7) sekalipun keduanya digolongkan dalam tufa kasar, namun
dari pola grafiknya terlihat lapisan tufa atas di ME-7 lebih kasar disbanding di ME-3
(Gambar 7a). Begitupun lapisan tufa tengah di ME-3 ukurannya lebih halus disbanding
di ME-7 sekalipun kedua lapisan tufa tengah tersebut sama-sama digolongkan dalam tufa
halus (Gambar 7b). Lapisan tufa bawah di titik pengamatan UK (Loyang Ujung Karang)
memiliki pola yang relatif sama dengan lapisan tufa bawah di Loyang Mendale (ME-1
dan ME7) dan tergolong dalam tufa halus, namun lapisan tufa bawah di ME-3 memiliki
ukuran butir yang lebih halus dibanding lapisan tufa bawah di ME1,ME-7 dan di UK
(Gambar 7c).

6. Hasil Analisa Petrografi


Analisa petrografi dilakukan dari sampel tufa yang berasal dari dalam areal situs
(7 sampel : 6 dari sampel Loyang Mendale dan 1 sampel dari Loyang Ujung Karang), dan

428
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D005POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

sampel dari singkapan di luar areal situs (6 sampel) atau total sampel untuk analisa
petrografi 13 sampel. Enam sampel sayatan di Loyang Mendale terdiri dari dua sayatan
untuk lapisan tufa bawah, 3 sayatan untuk lapisan tufa tengah dan 1 sayatan untuk
lapisan tufa atas. Satu sampel sayatan di Loyang Ujung Karang merupakan lapisan tufa
bawah.
Hasil analisa petrografi dari Loyang Mendale dan Loyang Ujung Karang
memperlihatkan tekstur klastik, dengan ukuran butir dominan berukuran < 1 mm,
bentuk butir sub angular-angular dengan tingkat keseragaman butir moderate sorted.
Komposisi satuan tufa secara berurutan dari yang hadir paling banyak sampai yang hadir
paling sedikit terdiri butiran mineral plagioklas jenis andesin (An32 – An50), hornblende,
fragmen batuan, ortoklas, sanidin, biotit, kuarsa, piroksen, fragmen pumis dan mineral
bersifat opak, keseluruhan butiran penyusun satuan tufa tersebut berada dalam masa
dasar gelas yang dominan dari jenis pecahan gelas (glass shards). Berdasarkan rasio
komposisi penyusunnya (glas-mineral- fragmen batuan), jenis satuan tufanya berupa
crystal tuff (Williams, dkk., 1982). Sedangkan berdasarkan komposisi mineralnya
(plagioklas jenis andesin), satuan tufanya dapat disebut sebagai tufa andesitik (Williams,
dkk., 1982). Perbedaan antar lapisan tufa dikedua situs secara petrografi terlihat dari
ukuran butir serta persentasi kehadiran beberapa fragmen/butiran penyusunnya.
Perbedaan dari ukuran butir, terlihat bahwa lapisan tufa bawah (Gambar 8c) ukuran
butirnya lebih halus dibanding lapisan tufa tengah (Gambar 8b) dan lapisan tufa atas
(Gambar 8a). Sedangkan perbedaan yang relatif signifikan terlihat dari fragmen pecahan
pumis (pumice shards) lebih dominan hadir di lapisan tufa bawah di banding lapisan tufa
tengah dan atas. Fragmen batuan (jenis batuan vulkanik) lebih dominan hadir di lapisan
tufa atas dibanding lapisan tufa tengah dan bawah.
Hasil analisa petrografi terhadap satuan tufa yang sampelnya berasal dari luar
areal situs memiliki tekstur dan komposisi yang relatif sama dengan satuan tufa yang ada
di situs Loyang Mendale dan Ujung Karang. Berdasarkan komposisinya tufa yang diluar
areal situs berasal dari magmatik yang bersifat intermedier atau andesitik. Petrografi tufa
yang sampelnya bersal dari wilayah sebaran erupsi G. Nama Salah (Gambar 4 : lokasi
pengamatan 6,7,8, dan 11, Gambar 9a) jenis tufanya sama dengan tufa dikedua situs,
yaitu crystal tuff (Gambar 8). Perbedaannya terlihat dari jenis material gelas yang hadir
sebagai masa dasar bukan berupa pecahan gelas tetapi sebagai masa gelas. Perbedaan
lain pada pecahan pumis yang hadirnya sangat sedikit, paling banyak di lokasi
pengamatan 11. Tufa yang berasal dari wilayah sebaran erupsi G.Telong (Gambar 4 :
lokasi pengamatan 17) dari jenis vitric tuff, dimana material penyusun utamanya berupa
pecahan gelas yang berperan sebagai masa dasar dengan mineral hornblende dan
plagioklas sebagai fragmen dengan jumlah < 20 %. Berdasarkan struktur pecahan
gelasnya yang terorientasi mengindikasikan tufanya tergolong terelaskan atau welded tuff
(Gambar 9d). Untuk tufa yang sampelnya dari wilayah sebaran erupsi G. Geurendong
(Gambar 4 : lokasi pengamatan 18), tufanya jenis crystal tuff dengan plagioklas hadir lebih
melimpah (ukuran lebih kasar) dalam masa dasar gelas berwarna kecoklatan saat pararel
nikol, gelas dari jenis pecahan gelas maupun pecahan pumis tidak hadir (Gambar 9b), di
tiga lokasi pengamatan lainnya pecahan pumis hadir sangat sedikit. Petrografi dari lokasi
pengamatan 17 tufanya berupa tufa andesitik yang terelaskan (welded tuff).

429
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D005POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

IV. DISKUSI DAN PEMBAHASAN


a. Jenis Magma dan Asal Endapan Tufa di Situs Loyang Mendale dan Loyang Ujung
Karang
Analisa jenis magmatik endapan tufa di situs Loyang Mendale dan Loyang Ujung
Karang didasarkan pada komposisi berikut persentasi kehadiran mineral penyusun
endapan tufanya. Hadirnya mineral plagioklas jenis andesin (An 32 – An 50) yang hadir
lebih dominan dibanding mineral kalium feldspar, berikut hadirnya mineral mafik
hornblende yang lebih dominan dibanding mineral mafik lainnya (biotit), serta
terbatasnya kehadiran mineral kuarsa, maka diinterpretasikan bahwa endapan tufa
dikedua situs berasal dari erupsi letusan gunung api yang jenis magmanya intermedier
atau dapat juga disebut sebagai tufa andesitik (William, dkk., 1982). Begitupun dengan
tufa yang ada di luar areal situs hasil erupsi beberapa gunungapi juga berasal dari erupsi
magmatik intermedier. Berdasarkan struktur endapan tufa dikedua situs yaitu reverse
graded bedding dan berdasarkan posisi stratigrafinya yang berada diantara lapisan
budaya, diinterpretasikan endapan tufanya terbentuk dari tiga kali proses erupsi.
Endapan tufa hasil tiga kali proses erupsian dikedua situs diinterpretasikan
berasal dari debu vulkanik erupsi G. Nama Salah. Hal tersebut ditafsirkan berdasarkan
kesamaan komposisi magmatiknya dan juga dengan memperhatikan hubungan antara
posisi bukaan atau mulut kedua gua yang menghadap selatan dan lokasi G. Nama Salah
yang berada di sisi barat situs. Sementara posisi gunungapi lainnya (G. Telong, G. Pepanji
dan G. Geurendong) berada dibelakang mutul Loyang Mendale dan Loyang Ujung
Karang (berada disisi utara kedua situs) sehingga secara topografi kurang
memungkinkan erupsi debu vulkaniknya masuk dan terendapkan kedalam Loyang
Mendale dan Loyang Ujung Karang. Penafsiran lain didasarkan pada hasil analisa
petrografi terhadap tufa erupsi G. Telong berupa welded vitric tuff, (Gambar 9c)
sedangkan tufa di dikedua situs berupa non welded crystal tuff (Gambar 8).
Indikasi erupsi G. Namasalah lebih dari satu kali proses erupsi juga ditafsirkan
dari singkapan di lereng G. Nama Salah (Gambar 4 : lokasi pengamatan 6 dan Gambar
11), dimana endapan piroklastiknya memiliki struktur perlapisan mengasar ke atas
(reverse graded bedding). Bagian bawah berupa endapan tufa hasil pengendapan debu
vulkanik (pyroclastic surge deposit) dengan struktur berlapis ditutupi endapan piroklastik
dominan berukuran kasar atau berukuran bom (>64 mm) dengan bentuk relatif
membulat atau disebut aglomerat (Wenworth dan Williams (1932) dalam Pettijhon (1969)
atau oleh Fisher (1966) disebut pyroclastic breccia.

b. Dampak Bencana Erupsi G. Nama Salah Terhadap Siklus Budaya di Dataran Tinggi
Gayo.
Berdasarkan kondisi topografi dinding kaldera berikut sebaran produk erupsi
G.Nama Salah serta berdasarkan keberadaan endapan tufa di Loyang Mendale dan
Loyang Ujung Karang, diilustrasikan peta zona bayaha erupsi Gunung Nama Salah masa
lampau (Gambar 10). Zona bahaya aliran lahar berada di alur-alur sungai yang bermuara
ke sungai utama yaitu Sungai Peusangon selanjutnya sungai atau lembah Peusangon
masa lampau menjadi aliran utama lahar erupsi G. Nama Salah. Keberadaan endapan

430
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D005POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

tufa di sekitar dan di dalam situs Loyang Mendale dan Loyang Ujung Karang
menunjukan bahwa saat terjadi erupsi G. Nama Salah arah angin juga bergerak ke arah
timur. Berdasarkan hal tersebut lokasi Loyang Mendale dan Loyang Ujung Karang
tergolong dalam wilayah atau zona yang terdampak bahaya debu vulkanik dengan jarak
atau radius bahaya berkisar 12 km dari pusat erupsi G. Nama Salah.
Berdasarkan kronostratigrafi di kedua situs (Tabel 1 dan 2) dan hasil analisa
petrografi, diinterpretasikan bahwa dalam kurun waktu antara 3.115 – 1,290 bp G. Nama
Salah telah meletus atau erupsi tiga kali. Sebelum terjadi erupsi, Loyang Mendale telah
dihuni selama 1.925 tahun oleh kebudayaan neolitik. Erupsi pertama yang terjadi antara
3.115 – 2.245 bp berdampak terputusnya atau berhentinya hunian budaya neolitik disitus
tersebut. Setelah tidak dijadikan tempat hunian selama 870 tahun, kemudian gua
dimanfaatkan dan dihuni lagi oleh kebudayaan yang berbeda, yaitu oleh kebudayaan
paleometalik. Selang waktu 1.375 tahun dari erupsi pertama, G. Nama Salah mengalami
erupsi kembali (erupsi kedua) yang ditunjukan adanya endapan lapisan tufa diatas
lapisan budaya paleometalik (lapisan tufa tengah). Setelah erupsi kedua, Loyang
Mendale tidak dihuni lagi hingga terjadi erupsi yang ketiga yang menghasilkan endapan
lapisan tufa atas yang diendapkan menerus diatas lapisan tufa tengah. Setelah tidak
berpenghuni selama 450 tahun, berikutnya Loyang Mendale dan Loyang Ujung Karang
kembali dimanfaatkan oleh kebudayaan sejarah sejak 1.290 tahun yang lalu. Artinya juga
erupsi G. Nama Salah berakhir setelah erupsi ketiga, yaitu sejak 1.290 tahun yang lalu
atau kira-kira sejak abad kedelapan masehi G. Nama Salah tidak erupsi lagi.

V. KESIMPULAN
a. Lapisan hiatus I dan lapisan hiatus II di situs Loyang Mendale dan Loyang Ujung
Karang adalah lapisan alamiah berupa endapan piroklastik, yaitu endapan tufa dari
jenis cryistal tuff hasil erupsi magma bersifat intermedier, yaitu dari erupsi G. Nama
Salah.
b. Dalam kurun waktu 1.825 tahun (sejak 3.115 sampai – 1.290 bp) G. Nama Salah
mengalami erupsi tiga kali dan endapan produk erupsinya mengakibatkan
terputusnya budaya neolitik dan budaya paleometalik di Loyang Mendale dan
Loyang Ujung Karang.

ACKNOWLEDGEMENT
Terima kasih sebesar-besarnya kami ucapkan kepada Dr, Ketut Wiradnyana, M.Si,
selaku Ketua Tim Penelitian “Austronesia di Indonesia bagian Barat (Kajian Budaya
Austronesia Prasejarah di Wilayah Budaya Gayo)” yang telah memberikan kesempatan
penelitian ini dilakukan dan telah mengizinkan penggunaan data penelitian arkeologi di
Loyang Mendale dan Loyang Ujung Karang untuk mendukung tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA
Cameron, N.R., Bennett, J.D., Bridge, M.C.G., Clarke., Djunaidi, A., Ghazali, S.A., Harahap, H.,
Jeffery, D.H., Keats, W., Ngabito, H., Rocks, N.M.S., Thompson, S.J. 1983. Peta Geologi
Lembar Takengon, Sumatera. Bandung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.

431
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D005POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Fisher, R.V., Schincke, H.U, 1984. Pyroclastic Rocks, Berlin Heldelberg New York Tokyo, Springer-
Verlag.
Lismawaty, 2018, Penelitian Geologi di Situs Loyang Mandale dan sekitarnya, Kecamatan Aceh
Tengah Provinsi Aceh. Laporan Penelitian Ke Balai Arkeologi Sumatera Utara. (tidak
diterbitkan)
Pettijhon, F.J. 1969. Sedimentary Rocks (secon Edition), New Delhi. Oxford & IBH Publishing Co.
Samodra, Hanang. 2005. Sumberdaya Alam Karst di Indonesia. Bandung: Puslitbang
Geologi
Setiawan, Taufiqurrahman. 2014. Analisis Stratigrafi Kronologi Hunian Situs Loyang Ujung
Karang, Aceh Tengah. Berkala Arkeologi (34) 1: 37-54
_________. 2016.Model Penguburan di Loyang Mendale Dan Loyang Ujung Karang, Aceh Tengah,
Provinsi Aceh.Tesis pada Program Pascasarjana S2-Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.(tidak diterbitkan).
Williams, Howel., Turner, Francis J., Gilbert, Charles M. Petrography An Introduction to the Study
of Rock in Thin Section (Secon Edition). San Francisco. W.H. Freeman and Company.
Wiradnyana, Ketut, 2014. Austronesia di Indonesia bagian Barat (Kajian Budaya Austronesia
Prasejarah di Wilayah Budaya Gayo). Laporan Penelitian Arkeologi(tidak diterbitkan).
Wiradnyana, Ketut, dan Taufiqurrahman Setiawan, 2011, Gayo Merangkai Identitas. Jakarta.
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

432
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D005POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 1. Kronsratigrafi Situs Loyang Mendale (Setiawan 2016)

No Nama Lapisan Indikasi Lapisan Pertanggalan*)

1 Lapisan Lapisan paling atas dengan ketebalan 1.290 bp—sekarang


Sejarah/Present <10 cm; resiko teraduk sangat besar.
2 Lapisan Hiatus I Lapisan alamiah berwarna putih 1740 - 1290 bp
berukuran pasir dengan tebal≤ 10 cm,
tidak ada data arkeologis
3 Lapisan Paleometalik Artefak, ekofak, fitur penguburan, 2.245 -1.740 bp
rangka manusia
4 Lapisan Hiatus II Lapisan alamiah berwarna putih 3115 - 2245 bp
dengan ukuran lebih halus dibanding
lapisan hiatus I, ketebalan antara 30 –
60 cm, tidak ada data arkeologis
5 Lapisan Neolitik Artefak, ekofak, fitur perapian, rangka 5.040 - 3.115 bp
manusia
6 Lapisan Hiatus III Satu layer tebal, bagian atas endapan 7400 - 5040 bp
ukuran pasir berwarna coklat
kekuningan dengan bongkah
runtuhan atap dan stalagtit dan bagian
bawah fragmental runtuhan atap,
tidak ada data arkeologi
7 Lapisan Mesolitik Artefak, ekofak, fitur penguburan, 8.430 – 7.400 bp
rangka manusia, sub-fosil gajah
8 Lapisan Hiatus IV Lapisan fragmental runtuhan atap, … - 8.430 bp
lapisan ini belum diekskavasi lebih
lanjut.
*)Pertanggalan lapisan budaya dengan radiokarbon, sampel berupa arang, sedimen, tulang manusia,
dan tulang binatang. Sumber: Wiradnyana dan Setiawan, 2011, Wiradnyana 2014. Pertanggalan lapisan
alamiah bersifat penafsiran berdasarkan umur lapisan budaya diantaranya.

Tabel 2. Kronostratigrafi Situs Loyang Ujung Karang (Setiawan, 2014; Setiawan 2016)
No Nama Lapisan Indikasi Lapisan Pertanggalan*)

1 Lapisan Lapisan paling atas dengan ketebalan 1.290 bp -


Sejarah/Present <10 cm; resiko teraduk sangat besar, sekarang
data arkeologis, penguburan, rangka
manusia
2 Lapisan Hiatus I Lapisan alamiah, tipis dan sebagian 1.740 – 1.290 bp
merupakan bagian permukaan lantai
gua.
3 Lapisan Paleometalik Artefak, ekofak, fitur penguburan, 2.590 - 1.740 bp
rangka manusia
4 Lapisan Hiatus II Lapisan alamiah berwarna putih
dengan ukuran lebih halus dibanding 4.400 – 2.590 bp
lapisan hiatus I, ketebalan mencapai
60 cm, tidak ada data arkeologis

433
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D005POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

5 Lapisan Neolitik Artefak, ekofak, fitur perapian, rangka 5.080 – 4.400 bp


manusia
6 Lapisan Hiatus III Satu layer tebal, bagian atas sedimen … - 5.080 bp
pasir warna coklat kekuningan. Tidak
ada data arkeologi.
*)Pertanggalan lapisan budaya dengan radiokarbon, sampel berupa arang, sedimen, tulang manusia,
dan tulang binatang. Sumber: Wiradnyana dan Setiawan, 2011, Wiradnyana 2014. Pertanggalan lapisan
alamiah bersifat penafsiran berdasarkan umur lapisan budaya diantaranya.

Tabel 3. Hasil analisa granolometri sampel lapisan tufa dari Loyang Ujung Karang dan Jenis tufa
berdasarkan ukuran butir

Kode Stratigrafi Ukuran Butir (Mesh dan Milimeter) Jenis


Sampel Lapisan Tufa 10 16 30 50 100 120 140 170 >200 Klas Ukuran Butir Tufa
2 1,19 0,595 0,297 0,149 0,125 0,105 0,09 0,07 Kasar Halus
ME-1 Tufa Bawah 0 3 23 3 10 4 5 2 50 29 71 Tufa Halus
Tufa Atas 5 17 27 2 5 3 7 2 32 51 49 Tufa Kasar
ME-3 Tufa Tengah 0 3 24 7 22 8 8 4 24 34 66 Tufa Halus
Tufa Bawah 3 3 12 1 2 0 6 6 67 19 81 Tufa Halus
Tufa Atas 5 10 28 28 6 3 5 3 12 71 29 Tufa Kasar
ME-7 Tufa Tengah 3 9 18 2 6 4 8 3 47 32 68 Tufa Halus
Tufa Bawah 0 4 19 0 10 4 8 3 52 23 77 Tufa Halus
UK Tufa Bawah 1 6 21 1 10 3 4 4 50 29 71 Tufa Halus
Keterangan : ME-1, ME-3, ME-7 : Sampel dari Loyang Ujung Karang; UK : Sampel Loyang Ujung Karang

ukuran butir satuan mesh; ukuran butir satuan milimeter

434
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D005POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Peta lokasi penelitian Loyang Mendale dan Loyang Ujung Karang (Kotak Merah) dan
gua-gua lain disekitar Danau Laut Tawar.

435
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D005POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

ME-2
ME-3
ME-6 ME-7
ME-4 ME-5

Lapisan tufa bawah


ME-1
b

Lapisan tufa tengah dan atas Lapisan tufa bawah


Lapisan tufa Atas

Lapisan tufa bawah

Lapisan tufa tengah

Lapisan tufa Atas

Lapisan tufa tengah

Lapisan tufa bawah


d
Gambar 2. Singkapan endapan tufa di dalam areal situs Loyang Mendale : a. overview Loyang
Mendale dan lokasi pengamatan lapisan tufa, b. kondisi Loyang Mendale bagian tengah dan
lapisan tufa bawah di ekskavasi (titik pengamatan ME-1), c. Pengamatan dinding dan di ekskavasi
pada lokasi ME-3, di terlitat 3 lapisan tufa; d. Pengamatan di dinding gua di lokasi ME-7) terlihat
ketiga lapisan tufa membentuk struktur menghalus keatas (reverse graded badding).

436
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D005POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Lapisan Endapan Tufa

a b Lapisan budaya neolitik

Gambar 3. Lokasi Loyang Ujung Karang : a. Posisi tampak depan Loyang Ujung Karang; b.
Lapisan tufa bawa (ukuran halus), tebal mencapai 60 cm, berada diatas lapisan budaya

Gambar 4. Peta Geologi daerah penelitian menurut Peta Geologi Lembar Takengon dan ploting
lokasi pengamatan disebaran batuan piroklastik (Camerron, N.R, dkk (1983), modifikasi
Lismawaty dan Setiawan 2019

437
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D005POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

a b c

d e f

Gambar 5. Lokasi singkapan endapan tufa : Tufa sekitar G. Nama Salah : a. Di lereng G.
Namasala (Pengamatan 6), b. Di Pengamatan 9, c. Bukit tufa di pengamatan 7, d. Bukit tufa di
pengamatan 11; Tufa sekitar G.Telong : e. Bukit di tepi jalan di pengamatan 17 (Tufa sekitar
erupsi G. Telong), f. singkapan tufa sekitar erupsi G. Geureundong di pengamatan 18.

Gambar 6. Stratigrafi dan hubungan ukuran antar butir lapisan tufa di Loyang
Mendale : a. di titik pengamatan ME-3 dan b. di titik pengamatan ME-7

438
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D005POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 7. Hubungan ukuran butir antar masing-masing lapisan tufa di inter Loyang Mendale
dan diantara Loyang Mendale dan Loyang Ujung Karang : a.Hubungan antara lapisan tufa atas
(hasil erupsi pertama) di ME-3 dan ME-7, b Hubungan antara lapisan tufa tengah (hasil erupsi
kedua) di ME-3dan ME-7

a c e

b d f
01 mm
439
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D005POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 8. Petrografi Lapisan tufa atas: a. sampel ME-7a disitus Loyang Mendale; Lapisan tufa
tengah : b. sampel ME-7b di situs Loyang Mendale; Lapisan tufa bawah : c. sampel ME-4 di situs
Loyang Mendale, d. sampel ME-1 di Loyang Mendale, e dan fsampel UK di situs Loyang Ujung
Karang.

a c d

b d f
01 mm

Gambar 9. Petrografi tufa dari luar situs :Tufa erupsi G. Nama Salah : a. sampel post 1.1,
b.sampel post 3.3, b.sampel post 6, d.sampel post 8; Tufa erupsi G. Geureundong : e. post 19;
Tufa erupsi G. Telong : f. post 17 (welded tuff)

Gambar 10. Peta zana rawan bahaya letusan G. Nama Salah masa pra sejarah, Lokasi Loyang
Mendale dan Loyang Ujung Karang berada pada zona bahaya debu vulkanik yang berjarak
berkisar 12 km daripusat erupsi G. Nama Salah.

440
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D005POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Lapisan Aglomerat

Lapisan tufa

a b
Gambar 10. Peta zana rawan bahaya letusan G. Nama Salah masa pra sejarah, Lokasi Loyang
Mendale dan Loyang Ujung Karang berada pada zona bahaya debu vulkanik yang berjarak
berkisar 12 km daripusat erupsi G. Nama Salah.

441
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D006UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

TINJAUAN DAERAH TERDAMPAK BANJIR LAHAR DINGIN; IMPLIKASI


PEMBUATAN SABODAM TERHADAP ASPEK SOSIAL DAN EKONOMI
PASCA ERUPSI MERAPI 2010 DI KALI PUTIH, KABUPATEN MAGELANG

Arif Tri Widodo1* ,Aldino Fadlie Saputra1, Taubi Arham Geoxactana1


1Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta
*Corresponding Author: ariftriwidodo7@gmail.com

ABSTRAK. Suatu rangkaian peristiwa erupsi gunung berapi terdiri dari terbentuknya kubah, guguran
lava, hujan abu, keluarnya awan panas, lava pijar, lahar panas dan banjir lahar dingin. Erupsi Gunung
Merapi 2010 menimbulkan dampak aliran lahar dingin yang besar dan memiliki daya rusak tinggi. Aliran
lahar dingin tersebut mengalir hampir ke seluruh sungai yang berada di lereng Gunung Merapi, salah
satunya yaitu Kali Putih yang berada tepat disisi barat daya. Kali Putih merupakan sungai yang memiliki
potensi bahaya cukup besar karena lokasinya terletak cukup dekat dengan permukiman penduduk. Untuk
mengurangi potensi bahaya tersebut, dilakukan upaya pencegahan berupa pembuatan bangunan
pengendali sedimen (sabodam). Tujuan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui daerah terdampak,
persepsi masyarakat dan melakukan penilaian ekonomi terkait dengan banjir lahar dingin, terutama
material- materialnya. Metode yang digunakan adalah metode geografis yang terkait dengan
penentuan daerah terdampak banjir lahar dingin dan metode ekonomi untuk menentukan valuasi
ekonomi pada lokasi penelitian. Banjir lahar dingin pasca erupsi Merapi 2010 membawa dampak baik
maupun buruk terhadap lingkungan maupun kehidupan sosial- ekonomi pada daerah yang
dilewatinya. Endapan lahar dingin yang terakumulasi pada sabodam dapat menjadi nilai ekonomi bagi
penduduk sekitar. Berdasarkan analisa, hasilny menunjukkan bahwa daerah terdampak banjir lahar dingin
meliputi enam desa, lima desa di Kecamatan Salam (Gulon, Jumoyo, Sucen, Seloboro dan Sirahan) juga
salah satu desa di Kecamatan Ngluwar, yaitu desa Blongkeng. Jumoyo adalah desa paling terdampak
akibat banjir lahar dingin Merapi 2010, dengan data 54 rumah roboh/hanyut, 36 rumah rusak berat, 5 rumah
rusak sedang dan pengungsi sejumlah 1005 orang. Jika material pasir dari banjir lahar dingin di
sabodam bagian hulu dan hilir dikonversi ke Rupiah setara dengan Rp42.814.500.000,- dalam
kurun 69 tahun dapat digunakan untuk membangun 475 rumah dengan biaya pembangunan
2
Rp90.000.000,-/m . Pada kasus ini, banjir lahar dingin tidak hanya menjadi bahaya tetapi juga dapat
menjadi sumber daya, tergantung pada manajemennya.

Kata kunci: Lahar Dingin, Merapi, Geografis, Sumber Daya, Nilai Ekonomi

442
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D006UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

I. PENDAHULUAN
G. Merapi (2986 m dpl) terletak di perbatasan empat kabupaten yaitu Kabupaten Sleman,
Propinsi DIY dan Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Klaten di Propinsi
Jawa Tengah. Posisi geografisnya terletak pada 7° 32'30" LS dan 110° 26'30" BT. Berdasarkan tatanan
tektoniknya, gunung ini terletak di zona subduksi, dimana Lempeng Indo-Australia
menunjam di bawah Lempeng Eurasia yang mengontrol vulkanisme di Sumatera, Jawa, Bali dan
Nusa Tenggara. (PVMBG, 2015).
Erupsi gunung api merupakan proses gerak keluarnya fluida magma multifase padat,
cair, dan gas. Apabila tekanan kantong magma hanya sedikit lebih besar dari tekanan litostatis
batuan di atasnya, fluida magma akan bergerak ke atas dan membentuk kubah lava dan/atau
lelehan lava cair. Pada saat fase gas mendominasi fluida magma dan pipa kepundan dalam
keadaan terbuka, akan terjadi hembusan gas. Apabila tekanan kantong magma jauh lebih besar
dari tekanan litostatis batuan di atasnya, maka akan terjadi erupsi yang eksplosif (Brotopuspito,
2012). Suatu rangkaian peristiwa erupsi gunung berapi terdiri dari terbentuknya kubah,
guguran lava, hujan abu, keluarnya awan panas, lava pijar, lahar panas dan banjir lahar dingin.
Lahar dingin dan awan panas tergolong bahaya gunung api yang paling mematikan. Keduanya
telah mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa, kerusakan infrastruktur, kerugian ekonomi,
dan kekacauan yang mengganggu kehidupan (Smith and Petley, 2009; Witham, 2005). Bahaya
gunung api yang terjadi diluar periode erupsi dapat mengancam masyarakat yang tinggal di
lereng gunung, karena waktu terjadinya yang tidak dapat diprediksikan. Lahar dingin adalah
salah satu bahaya gunung api yang dapat terjadi diluar periode erupsi dan terjadi ketika
bercampurnya material vulkanik dengan air hujan. Lahar dingin menjadi berbahaya pada saat
besarnya volume material yang terbawa air mengalir di sungai yang berhulu di gunung api dan
menerjang permukiman dan infrastruktur di wilayah hilir (Wood and Soulard, 2009).
Letusan Gunung Merapi tahun 2010 adalah letusan yang terbesar dalam 100 tahun
terakhir yang mengeluarkan banyak sedimen yang menjadi lahar dingin pada musim
penghujan. Lahar dingin terjadi sebanyak 280 kali selama bulan Oktober tahun 2010 hingga
Februari tahun 2011 (Surono, et al., 2012). Surono, et al., (2012) mencatat sekitar 10 juta kubik
material vulkanik yang bercampur dengan air hujan mengalir di 13 sungai yang berhulu di
Gunung Merapi.
Erupsi Gunung Merapi 2010 menimbulkan dampak aliran lahar dingin yang besar dan
memiliki daya rusak tinggi. Aliran lahar dingin tersebut mengalir hampir ke seluruh sungai
yang berada di lereng Gunung Merapi, salah satunya yaitu Kali Putih yang berada tepat disisi
barat daya. Kali Putih merupakan sungai yang terdampak paling parah karena lokasinya
terletak cukup dekat dengan permukiman penduduk. Untuk mengurangi potensi bahaya
tersebut, dilakukan upaya pencegahan berupa pembuatan bangunan pengendali sedimen (sabo
dam). Material lahar dingin yang tertahan di sabo dam mempunyai ukuran yang beragam
mulai dari pasir hingga bongkahan batu besar dapat digunakan sebagai material bahan
bangunan yang mampu menggerakkan roda perekonomian warga sekitar. Olah karena itu
pengelolaan pasca bencana sangat diperlukan untuk agar bencana dapat menjadi sumber daya.
Dalam penelitian sebelumnya disebutkan bahwa material banjir lahar dingin ketika
dikonversi dalam bentuk rupiah dapat digunakan untuk membuat rumah baru bagi warga
yang terkena dampak aliran banjir lahar dingin. Melalui pemahan mengenai bencana dengan
baik, diharapkan warga masyarakat lebih siap menghadapi dampak positif maupun negatif
bencana tersebut.
443
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D006UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

II. GEOLOGI REGIONAL


Gunung Merapi termasuk dalam jenis gunungapi tipe strato yang berada di atas zona
subduksi Jawa dengan komposisi sebagian besar berupa basalt-andesite, pyroclastic flow, lava,
dan endapan lahar (Surono, dkk., 2011). Berdasarkan peta geologi lembar Yogyakarta pada
Gambar 1. (Rahardjo, dkk., 1977, Surono, dkk., 1994, dan JICA, 1990) geologi daerah penelitian
tersusun atas Formasi Endapan Gunung Merapi Muda berupa lava dan piroklastik dengan
lapisan abu vulkanik. Daerah di sekitar Kali Putih juga tersusun atas lapisan abu yang
berukuran halus dengan warna yang bervariasi dari abu-abu terang sampai coklat terang
(Preece, 2014).
Letusan gunungapi mempunyai potensi bencana banjir lahar dingin. Banjir lahar dingin
terdiri dari dua macam, yaitu aliran debris dan aliran dengan konsentrasi yang tinggi. Aliran ini
mengandung sekitar 40-60% material berupa aliran massa yang non-kohesif dan bersifat lepas,
memiliki gradasi yang terbalik, dengan densitas yang rendah pada bagian dasar. Selain itu,
aliran debris memiliki sekitar 60-80% berupa konsentrasi material vulkanik (Scott, 1988 dalam
Surjono dan Yufianto, 2011).

III. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan dua metode yaitu Metode Geografis dan Metode Ekonomi
(Gambar 2). Untuk Metode Geografis dibagi menjadi Pengindraan Jauh dan Sistem Informasi
Geografis (SIG). Metode geografis adalah tata cara kerja atau pedoman yang sistematis untuk
memahami obyek penelitian geografi, dengan menggunakan alat dan melalui prosedur (tata
kerja) ilmiah geografi, untuk mencapai tujuan penelitian, di bidang ilmu geografi, dalam rangka
memperoleh pengetahuan yang benar (Widoyo Alfandi, 2001:108).
Pengindraan jauh merupakan variasi teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan
analisis informasi tentang bumi, informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik yang
dipantulkan dan dipancarkan dari permukaan bumi (Lindgren, 1985). Sistem Informasi
Geografis (SIG) adalah sistem komputer yang digunakan untuk akuisisi (perolehan) dan
verifikasi, kompilasi, penyimpanan, perubahan (updating) manajemen dan pertukaran,
manipulasi, pemanggilan dan presentasi, serta analisis data geografis (Bernharsen dalam
Rosana (2003:67)). Metode Ekonomi yang digunakan yaitu Contingent Valuation Method
(CVM) merupakan metode valuasi sumber daya alam dan lingkungan dengan cara
menanyakan secara langsung kepada konsumen tentang nilai manfaat sumber daya alam dan
lingkungan yang mereka rasakan. Nilai sumber daya alam dapat diperoleh dengan
menanyakan kesanggupan untuk membayar (Willingness To Pay) yang dapat dinyatakan
dalam bentuk uang (Nasir, 2009).

IV. HASIL PENELITIAN


a. Daerah Kerentanan Banjir Lahar Dingin
Dalam penelitian ini, dilakukan pengamatan di sabodam yang terdapat di bagian hulu
dan hilir Kali Putih, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Dari hasil pengamatan
didapatkan enam sabodam di bagian hulu dan empat sabodam di bagian hilir Kali Putih
(gambar 3).
Berdasarkan analisis lokasi terdampak banjir lahar dingin, hasilnya menunjukkan bahwa
444
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D006UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

daerah terdampak banjir lahar dingin meliputi enam desa, lima desa di Kecamatan Salam
(Gulon, Jumoyo, Sucen, Seloboro dan Sirahan) juga salah satu desa di Kecamatan Ngluwar,
yaitu desa Blongkeng. Berdasarkan data BNPB tahun 2011, Desa Gulon terdapat 4 rumah rusak
berat, 1005 pengungsi. Desa Jumoyo adalah desa paling terdampak akibat banjir lahar dingin
Merapi 2010, dengan data 54 rumah roboh/hanyut, 36 rumah rusak berat, 5 rumah rusak sedang
dan pengungsi sejumlah 1005 orang (gambar 4). Desa Sucen terdapat 4 rumah rusak berat dan
seorang pengungsi. Desa Seloboro terdapat 2 rumah rusak berat, 7 rumah rusak sedang, 2
rumah rusak ringan, pengungsi sejumlah 68 orang. Desa Sirahan terdapat 11 rumah
roboh/hanyut, 58 rumah rusak berat, sedangkan di Desa Blongkeng yang berada di Kecamatan
Ngluwar terdapat 6 rumah rusak berat. (gambar 5). Berdasarkan analisis kerentanan banjir lahar
dingin, didapatkan hasil berupa pembagian 3 zona kerentanan banjir lahar dingin, yaitu zona
high (tinggi), moderate (sedang), safe zone (zona aman) dari banjir lahar dingin. Enam sabodam di
bagian hulu berada pada zona tingkat kerentanan banjir lahar dingin tinggi (high), sedangkan
empat sabo di bagian hilir berada pada zona sedang (moderate) hingga zona aman (safe zone)
(gambar 6).

b. Persepsi Masyarakat Terhadap Bencana Lahar Dingin


Berdasarkan survei, didapatkan hasil berupa pengetahuan informasi terkait dengan
banjir lahar dingin dan alasan untuk mengungsi. Presentase warga masyarakat yang
mengetahui informasi terkait dengan lahar dingin 55% sudah berusaha mencari informasi
tentang lahar dingin dan 45% belum mencari informasi tentang lahar dingin (gambar 7).
Dari hasil survei pengetahuan informasi diatas, didapatkan data berupa alasan
masyarakat sekitar kali putih untuk mengungsi. Persentase warga yang mengungsi dan
mencari informasi terkait banjir lahar dingin lebih besar daripada yang tidak mencari
informasi. Sebesar 39% mengungsi ketika melihat tanda tanda alam, 32% mengungsi ketika ada
instruksi dari pemerintah, dan 4% mengungsi ketika mendapat peringatan “Warning System”.
Sisanya sebesar 25% tidak mengungsi (gambar 8).
c. Valuasi Ekonomi Material Banjirv Lahar Dingin
Bangunan Sabodam merupakan bangunan pengendali aliran debris atau lahar yang
dibangun melintang alur sungai (Gambar 9). Prinsip kerja bangunan sabodam adalah
mengendalikan sedimen dengan cara menahan, menampung dan mengalirkan material I pasir
yang terbawa oleh aliran dan meloloskan air ke hilir. Pada tubuh bangunan sabodam dapat
dibuat lubang- lubang alir sehingga air tidak tertahan di hulu. (Hassan, dkk., 2014).
Endapan lahar dingin yang terakumulasi pada sabodam dapat menjadi nilai ekonomi
bagi penduduk sekitar (Gambar 10). Jika material pasir dari banjir lahar dingin di sabodam
bagian hulu dikonversi ke Rupiah menghasilkan Rp37.850.500.000,- dengan volume sebesar
548620,4258 m3 dalam waktu penambangan 61 tahun (tabel 1), sedangkan pada sabosam bagian
hilir jika dikonversi ke Rupiah menghasilkan Rp4.964.000.000,- dengan volume sebesar
76221,91846 m3 dalam waktu penambangan 8 tahun (tabel 2). Berdasarkan data dari Direktorat
Jenderal Sumber Daya Air bahwa kondisi sabodam pada bagian hulu baik hingga rusak ringan
(tabel 3), sedangkan kondisi sabodam pada bagian hilir baik, rusak ringan, dan rusak berat.
(tabel 4). Jika ditotal jumlah dari material sabodam bagian hulu dan hilir setara dengan
Rp42.814.500.000,- dalam kurun 69 tahun dapat digunakan untuk membangun 475 rumah
dengan biaya pembangunan Rp90.000.000,-/m2.

445
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D006UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak / instansi yang turut andil dan
berkontribusi bagi penulis. Para penulis dan peneliti terdahulu yang menjadi referensi dalam
menghasilkan data yang sangat bermanfaat bagi mitigasi bencana di Indonesia, dalam hal ini
adalah untuk mengungkap potensi sumber daya pasca bencana. Pada bagian ini diutarakan
ucapan terima kasih kepada panitia Geoweek 2019 yang telah menyelenggarakan acara ini.

DAFTAR PUSTAKA

Alfandi, Widoyo. 2001,Epistemologi Geografi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

BNPB. 2011. Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana Erupsi Merapi di Provinsi DI
Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah tahun 2011- 2013, Jakarta: BNPB.

Chandra Hassan, dkk. 2014. Naskah Ilmiah Stabilitas Pondasi Mengambang Pada Bangunan Sabo. Jakarta:
Puslitbang Sumber Daya Air.

Kementrian ESDM, Badan Geologi, PVMBG, Juni 2011, Aktivitas Gunung Merapi dan Ancaman
Bahayanya.

Lindgren, D.T, 1985., Land Use Planning and Remote Sensing, Martinus Nijhoff Publishers, Doldrecht.

Nasir, Umar. 2009. Contingent Valuation Method Dalam Penaksiran Nilai Ekonomi Lokawisata
Baturaden di Purwokerto Kabupaten Banyumas- Jawa Tengah. Yogyakarta : Fakultas
Ekonomi Universitas Gajah Mada.

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), 2010, Peta Rawan Bencana Gunungapi
Merapi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta 2010. Bandung: Pusat Vulkanologi dan
Mitigasi Bencana Geologi.

PVMBG.Tahun2012. InfoGunungMerapi.PusatVulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi.

PVMBG.Tahun2015. InfoGunungMerapi.PusatVulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi.

Rahardjo, W., Sukandarrumidi, Rosidi, H. M. D., 1977, Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Direktorat
Geologi.

Ramanditya Wimbardana, dkk. 2013. Kesiapsiagaan Masyarakat Terhadap Bahaya Lahar Dingin Gunung
Merapi. Bandung; ITB.

Rosana. 2003 Sistem Informasi Geografi (Bahan Ajar). Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Smith, K. and D. Petley. 2009. Environmental Hazards. Routledge, New York.

Surono, Jousset, P., Pallister, J., Boichu, M., Buongiorno, M.F., Budisantoso, A., Costa, F., Andreastuti, S.,
Prata, F., Schneider, D., Clarisse, L., Humaida, H., Sumarti, S., Bignami, C.,

Griswold, J., Carn, S., Oppenheimer, C., Lavigne, F., 2012. The 2010 explosive eruption of Java’s Merapi
volcano – A ‘100-year’ event. Journal of Volcanology and Geothermal Research 241-242, 121-135.
Witham, C.S., 2005. “Volcanic Disasters and Incidents: A New Database”. Journal of Volcanology
and Geothermal Research, 148. 191-233.

Wood, N. and C. Soulard. 2009. “Variation in Population Exposure and Sensivity to Lahar Hazards from
Mount Rainer, Washington”. Journal of Volcanology and Geothermal Research, 188. 367-378.

446
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D006UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 1. Data Perhitungan Sabo Dam Bagian Hulu Kali Putih

Volume Truck (m3) : 8993,6


Harga Satu Truck : Rp.1.700.000,-

Harga Satu Truck Dalam Setahun : Rp620.500.000,00

Waktu Penambangan (Tahun) 61

Total Harga Rp37.850.500.000,-

Tabel 2. Data Perhitungan Sabo Dam Bagian Hilir Kali Putih

Volume Truck (m3) : 8993,6

Harga Satu Truck : Rp.1.700.000,-

Harga Satu
Rp.620.500.000
Truck Dalam
Setahun :

Waktu
8
Penambangan
(Tahun)
Rp4.964.000.000,-
Total Harga

447
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D006UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 3. Data Sabo Dam Bagian Hulu Kali Putih

Tabel 4. Data Sabo Dam Bagian Hilir Kali Putih

448
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D006UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Peta Geologi Regional Yogyakarta (Raharjo dkk, 1995, Surono dkk, 1994, JICA, 1990)

449
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D006UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Diagram Alir Penelitian

450
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D006UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian Sabodam di Kali Putih.

451
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D006UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Rumah Rusak Akibat Lahar Dingin di Bantaran Sungai Kali Putih (Ramanditya, dkk.,
2013).

452
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D006UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. Peta Lokasi Terdampak Banjir Lahar Dingin. (Modifikasi dari BNPB, 2011)

453
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D006UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 6. Peta Kerentanan Banjir Lahar Dingin di Kali Putih.

454
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D006UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 7. Pencarian Informasi Tentang Lahar Dingin.

455
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D006UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 8. Alasan Untuk Mengungsi.

456
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D006UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 9. Bangunan Sabodam Kali Putih.

457
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D006UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 10. Penambangan Material oleh Warga Masyarakat di Kali Putih.

458
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

KAJIAN KERUSAKAN LAHAN PADA KAWASAN PENAMBANGAN KAOLIN


DENGAN MENGGUNAKAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS
(AHP) DI DESA KARANGSARI DAN SEKITARNYA, KECAMATAN SEMIN,
KABUPATEN GUNUNGKIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Raden Aditya Aryo Wicaksono 1*, Wawan Budianta1


1Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada

*corresponding Author: radenaditya1997@gmail.com

ABSTRAK. Penambangan kaolin di Desa Karangsari, Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkidul


telah berlangsung sejak tahun 1988 dan dikelola oleh masyarakat sekitar secara tradisional. Penelitian
ini bertujuan untuk mengkaji tingkat kerusakan lahan akibat kegiatan penambangan tradisional
dengan menggunakan metode AHP. Parameter yang dipergunakan sebagai dasar pengukuran tingkat
kerusakan lahan adalah Keputusan Gubernur DIY Nomor 63 Tahun 2003 tentang Kriteria Baku
Kerusakan Lingkungan Bagi Usaha dan Kegiatan Penambangan Batuan ditentukan empat kriteria
utama, yaitu kriteria geologi, lingkungan, teknis tambang, dan tebing galian dimana tiap kriteria
memiliki subkriteria hingga tingkatan kelas. Hasil pengamatan geologi menunjukkan bahwa daerah
penelitian dapat dibagi menjadi dua satuan batuan yaitu satuan tuf feldspar dan satuan breksi pumis
dengan dijumpai struktur geologi yang intensif berupa kekar gerus dan kekar tiang serta kehadiran
intrusi mikrodiorit hornblenda yang menjadi faktor pengontrol terjadinya alterasi hidrotermal. Hasil
kajian tingkat kerusakan lahan menunjukkan rentang nilai tingkat kerusakan lahan ringan 1,00- 1,66,
tingkat kerusakan lahan sedang 1,67-2,33, dan tingkat kerusakan lahan tinggi 2,34-3,00. Berdasarkan
hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa tingkat kerusakan lahan akibat kegiatan penambangan
kaolin di daerah penelitian tergolong dalam tingkat kerusakan lahan sedang sejumlah 9 tambang
dan tingkat kerusakan lahan tinggi sejumlah 7 tambang.

Kata kunci: Karangsari, Kaolin, Semin, Tingkat kerusakan lahan, Pertambangan

459
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

I. PENDAHULUAN
Kabupaten Gunungkidul memiliki sumber daya alam batuan dan mineral khususnya
yang terdapat di Kecamatan Semin. Penambangan batuan yang banyak dijumpai berupa
batuan vulkanik dan batugamping, terkhusus di Desa Karangsari terdapat penambangan
mineral berupa penambangan kaolin. Potensi tersebut telah dan sedang dimanfaatkan oleh
masyarakat sekitar lokasi tambang kaolin secara tradisional.
Dilihat dari segi lama penambangan, penambangan kaolin di daerah ini sudah
berlangsung cukup lama yaitu pada tahun 1988. Lamanya proses penambangan tersebut,
kemungkinan akan menimbulkan kerusakan lahan di daerah penambangan. Pada umumnya
usaha penambangan tradisional tidak memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) dan
dilakukan tanpa menyusun perencanaan yang baik dari segi persiapan pertambangan,
teknik pertambangan, pelaksanaan pertambangan hingga akhir pengelolaan lahan
penambangan pasca pengambilan bahan galian tambang. Kegiatan pertambangan yang
tidak memperhatikan SOP dan tidak direncanakan dengan baik akan memberikan dampak
negatif, baik bagi lingkungan atau masyarakat di sekitar lokasi pertambangan. Untuk
mengetahui seberapa besar kerusakan lahan yang sudah terjadi, perlu dilakukan penelitian
tentang kerusakan lahan tambang yang mungkin sudah terjadi di daerah tersebut.
Penelitian dilakukan di tiga dusun pada Desa Karangsari, Kecamatan Semin yaitu Dusun
Jetak, Karang, dan Kuweni.

II. DASAR TEORI


Kerusakan lahan akibat penambangan dapat terjadi selama kegiatan penambangan
maupun pascapenambangan. Dampak yang ditimbulkan akan berbeda pada setiap jenis
pertambangan, tergantung pada metode dan teknologi yang digunakan (Direktorat Sumber
Daya Mineral dan Pertambangan, 2003). Kebanyakan kerusakan lahan yang terjadi
disebabkan oleh perusahaan tambang yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku dan
adanya penambangan tanpa izin (PETI) yang melakukan proses penambangan secara liar
dan tidak ramah lingkungan (Kementerian Lingkungan Hidup, 2002).
Menurut Dewa (2004), Secara umum terdapat dua faktor penting yang
mempengaruhi kondisi lahan pertambangan, yaitu teknik penambangan dan pelaku
penambangan. Dua faktor tersebut merupakan agen aktif yang terus bekerja mengubah
kondisi awal dari lahan tambang, yang dalam hal ini berperan sebagai agen pasif. Faktor
pertama adalah pemilihan teknik penambangan. Pemilihan teknik penambangan yang tepat
akan mendukung kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan, sebaliknya pemilihan
teknik penambangan yang tidak tepat akan cenderung merusak lahan penambangan.
Faktor kedua yaitu pelaku penambangan yang mempunyai peranan yang cukup
penting. Meskipun teknik penambangnnya sudah direncanakan dengan baik, tetapi bila
pengusaha tambang maupun masyarakat penambang tidak memiliki kesadaran yang cukup
tinggi dalam upaya mendukung kelestarian lingkungan di lokasi tambang, maka akan tidak
berpengaruh. Penambang yang tidak memperhatikan lingkungan akan mengakibatkan
semakin besar kerusakan kondisi lahan pada saat penambangan dihentikan.

460
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

III. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan beberapa tahapan yaitu tahapan pengukuran, analisa


dan pengolahan data serta penyusunan data.
1. Tahapan Persiapan
Tahapan ini terdiri dari beberapa langkah, yaitu: identifikasi masalah; studi pustaka
& reconnaissance; dan penyusunan hipotesis.

2. Tahapan Pengambilan Data


Tahap ini dilakukan pengambilan data primer. Data primer yang diambil antara lain:
pengukuran kedalaman muka air tanah, tata guna lahan, pengukuran kerusakan lahan
penambangan. Pengukuran kerusakan lahan penambangan dilakukan dengan menentukan
keberadaan lokasi tambang dan mengukur parameter kerusakan lahan baik. Parameter
tersebut meliputi kejadian tanah longsor, kondisi hidrogeologi, jenis komoditas, struktur
geologi, upaya reklamasi, tutupan vegetasi, jarak dari pemukiman, tingkat erosi, luas area
tambang, kecepatan penambangan, sifat batuan, relief dasar galian, batas kedalaman galian
dari m.a.t, kemiringan tebing galian, dan tinggi dinding galian.

3. Analisis dan Pengolahan Data


Dalam upaya studi kerusakan lahan penambangan di lokasi penelitian, metode AHP
digunakan untuk penghitungan kriteria penilaian kerusakan lingkungan lahan
penambangan yang didasarkan pada aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah dan
parameter berdasarkan keahlian. Aturan – aturan tersebut adalah :
• Kep Gub DIY No. 63 tahun 2003 Tentang Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Bagi
Usaha atau Kegiatan Penambangan Bahan Galian Golongan C di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta.
• Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertambangan.
• Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
• Undang–Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
• Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara.
• Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor KEP-43/MENLH/10/1996, tentang Kriteria
Kerusakan Lingkungan Bagi Usaha Atau Kegiatan Penambangan Bahan Galian Golongan
C Jenis Lepas Di dataran.
• Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) UGM dan BAPPEDA, 2000, Kajian
Kerusakan lahan akibat penambangan golongan C.
Setiap kriteria akan dibagi menjadi beberapa subkriteria dan setiap subkriteria akan
memiliki kelas yang nantinya akan diberikan skor. Setiap kriteria dan subkriteria dilakukan
pembobotan berdasarkan pengaruhnya terhadap kerusakan yang mungkin timbul (lihat
pada Tabel 1). Dari parameter tersebut ditentukan kisaran kerusakan lahan penambangan
dimana dibuat seperti Tabel 2.

461
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1. Geologi Daerah Penelitian


Menurut Surono (1992), geologi regional daerah penelitian termasuk ke dalam
Formasi Semilir yang berumur Miosen awal hingga Miosen tengah yang terwakili oleh
satuan breksi pumis dan satuan tuf feldspar (lihat Gambar 1).
IV.1.1. Satuan breksi pumis
Secara stratigrafi, satuan ini menjari terhadap satuan tufa feldspar pada daerah
penelitian, dengan ketebalan hampir mencapai ± 210 meter, dan melampar paling luas
40,05% di bagian Selatan daerah penelitian dan membentang dari Timur ke Barat. Anggota
dalam satuan ini, masih dijumpai litologi batupasir tufan sebagai perselingan dari litologi
breksi pumis. Namun penamaan satuan dibedakan berdasarkan dominasi litologi breksi
pumis (lihat Gambar 2).
IV.1.2. Satuan tuf feldspar
Satuan tuf feldspar tersingkap pada lokasi penambangan kaolin di Desa Karangsari
dan sekitarnya. Secara stratigrafi, satuan tuf feldspar dilihat dari geometrinya melensa
terhadap satuan batupasir tufan, dan melampar paling luas 59,95 % dibagian utara dan
tengah daerah penelitian. Perbandingan kuantitatif menunjukkan penyebaran lateral satuan
ini mendekati ketebalan maksimal satuan. Satuan ini mengalami ubahan menjadi kaolin
yang terbentuk akibat alterasi hidrotermal (lihat Gambar 3).

IV.2. Perhitungan Tingkat Kerusakan Lahan Penambangan Kaolin


Daerah penelitian terdapat 16 lokasi penambangan yang masih aktif, berdasarkan
pada tingkat kerusakan lahan akibat penambangan kaolin, maka tingkat kerusakan lahan di
daerah penelitian dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan kerusakan, yaitu tingkat
kerusakan lahan rendah, tingkat kerusakan lahan sedang, dan tingkat kerusakan lahan
tinggi (lihat Tabel 3).
Penilaian tingkat kerusakan lahan dilakukan dengan mengamati indikator penentu
kerusakan lahan penambangan yang dijumpai di lapangan dan diberi skor tertentu, dengan
ketentuan seperti pada Tabel 4. Hasil perkalian antara bobot tiap kriteria dengan bobot tiap
subkriteria menghasilkan nilai indikator kerusakan lahan, yang dapat dirumuskan sebagai
berikut:
Nilai indikator kerusakan lahan tiap subkriteria (NI) = K x S
Dimana :
NI = Nilai indikator kerusakan lahan tiap subkriteria (Total Ʃ NI = 1) K = Bobot tiap kriteria
S = Bobot tiap subkriteria
Hasil penjumlahan dari perkalian nilai indikator kerusakan lahan (NI) dengan skor
kerusakan lahan tiap subkriteria menghasilkan nilai tingkat kerusakan lahan akibat
penambangan, yang dapat dirumuskan sebagai berikut :
Nilai tingkat kerusakan lahan akibat penambangan = Ʃ (NI x Skor)

462
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

IV.3. Analisis Tingkat Kerusakan Lahan Penambangan Kaolin


Berdasarkan hasil perhitungan nilai indikator kerusakan lahan yang menunjukkan
persentase tiap subkriteria yang memiliki total 100% dari 14 subkriteria. Subkriteria kejadian
tanah longsor memiliki persentase nilai indikator kerusakan lahan tertinggi yaitu 32,17%,
subkriteria upaya reklamasi sebesar 16,79%, subkriteria struktur geologi 15,50%, subkriteria
tutupan vegetasi 6,93%, subkriteria tingkat erosi 6,48%, subkriteria hidrogeologi 6,06%,
subkriteria jenis komoditas 3,45%, subkriteria sifat batuan 3,10%, subkriteria jarak
pemukiman 2,93%, subkriteria luas area tambang 2.68%, subkriteria relief dasar galian
1,46%, subkriteria kecepatan penambangan 1,13%, subkriteria kemiringan tebing galian
0,67%, dan subkriteria tinggi dinding galian memiliki nilai indikator kerusakan lahan
terendah yaitu 0,34%.

1. Subkriteria kejadian tanah longsor


Subkriteria ini termasuk dalam kriteria geologi yang memiliki persentase nilai
indikator kerusakan lahan sebesar 32,17% terhadap 13 subkriteria lainnya. Subkriteria ini
memiliki 3 kelas yaitu sudah terjadi, mungkin terjadi, dan belum terjadi. Hasil pengamatan
di lapangan, subkriteria kejadian tanah longsor ini diukur dari tingkat potensi bencana yang
dapat terjadi pada stasiun pengamatan dan sekitarnya. Tanah longsor memiliki beberapa
faktor pengontrol seperti litologi dinding tebing tambang, kemiringan tebing tambang,
struktur geologi (sesar dan kekar), dan ketinggian dinding tebing serta faktor pemicu seperti
gempa, hujan, dan aktivitas penambangan. Semakin banyak kejadian tanah longsor yang
terjadi maka semakin tinggi tingkat kerusakan lahan. Sebaliknya, semakin sedikit kejadian
tanah longsor yang mungkin terjadi maka semakin rendah tingkat kerusakan lahannya.

2. Subkriteria struktur geologi


Subkriteria ini termasuk dalam kriteria geologi yang memiliki persentase nilai
indikator kerusakan lahan sebesar 15,50 % terhadap 13 subkriteria lainnya. Subkriteria ini
memiliki 3 kelas yaitu rapat, cukup rapat, dan renggang. Hasil pengamatan di lapangan,
subkriteria struktur geologi ini diukur dari karakteristik struktur geologi (sesar dan kekar)
pada dinding tebing tambang tiap satuan luas (1 x 1 m). Struktur geologi mengontrol
kekuatan massa batuan, respon batuan terhadap gaya yang diberikan baik regional maupun
lokal akan menghasilkan jenis struktur geologi yang berbeda. Pengaruh struktur geologi
terhadap tingkat kerusakan lahan dikontrol oleh karakteristik struktur geologi yaitu
intensitas, spacing, aperture, dan kemenerusan. Struktur geologi rapat mempengaruhi
tingkat kerusakan lahan yang tinggi, sedangkan struktur geologi renggang mempengaruhi
tingkat kerusakan lahan yang rendah sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin rapat
struktur geologi semakin tinggi pula tingkat kerusakan lahan dan sebaliknya.
Subkriteria ini termasuk dalam kriteria geologi yang memiliki persentase nilai
indikator kerusakan lahan sebesar 6,06 % terhadap 13 subkriteria lainnya. Subkriteria ini
memiliki 3 kelas yaitu kedalaman muka air tanah dangkal (m.a.t 240-260 mdpl), sedang
(m.a.t 210-240 mdpl) dan dalam (m.a.t 180-210 mdpl). Subkriteria hidrogeologi dilakukan
pengambilan data lapangan dengan mengukur kedalaman muka air tanah pada sumur
warga di daerah penelitian sebanyak 38 sumur. Hidrogeologi mengontrol tingkat
pencemaran air tanah, dimana tingkat pencemaran air tanah di kontrol oleh dua faktor
utama yaitu kedalaman muka air tanah dan aktivitas manusia. Kedua faktor tersebut saling
berkaitan dimana semakin dangkal muka air tanah dan semakin banyak aktivitas manusia

463
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

maka kemungkinan tingkat pencemaran air tanah semakin besar. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa semakin dangkal kedalaman muka air tanah maka tingkat kerusakan
lahan semakin tinggi, sedangkan semakin

3. Subkriteria hidrogeologi
Subkriteria ini termasuk dalam kriteria geologi yang memiliki persentase nilai
indikator kerusakan lahan sebesar 6,06 % terhadap 13 subkriteria lainnya. Subkriteria
ini memiliki 3 kelas yaitu kedalaman muka air tanah dangkal (m.a.t 240-260 mdpl),
sedang (m.a.t 210-240 mdpl) dan dalam (m.a.t 180-210 mdpl). Subkriteria
hidrogeologi dilakukan pengambilan data lapangan dengan mengukur kedalaman
muka air tanah pada sumur warga di daerah penelitian sebanyak 38 sumur.
Hidrogeologi mengontrol tingkat pencemaran air tanah, dimana tingkat
pencemaran air tanah di kontrol oleh dua faktor utama yaitu kedalaman muka air
tanah dan aktivitas manusia. Kedua faktor tersebut saling berkaitan dimana semakin
dangkal muka air tanah dan semakin banyak aktivitas manusia maka kemungkinan
tingkat pencemaran air tanah semakin besar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
semakin dangkal kedalaman muka air tanah maka tingkat kerusakan lahan semakin
tinggi, sedangkan semakin dalam kedalaman muka air tanah maka tingkat kerusakan
lahan semakin rendah.

4. Subkriteria jenis komoditas


Subkriteria ini termasuk dalam kriteria geologi yang memiliki persentase nilai
indikator kerusakan lahan sebesar 3,45% terhadap 13 subkriteria lainnya. Subkriteria ini
memiliki 2 kelas yaitu sirtu (pasir batu) dan batuan. Pengambilan data lapangan subkriteria
jenis komoditas dilakukan dengan pengamatan komoditas tambang pada daerah penelitian.
Jenis komoditas mengontrol tingkat kekuatan dinding tebing tambang, dimana tingkat
kekuatan dinding tebing tambang di kontrol oleh tingkat pelapukan batuan. Semakin tinggi
tingkat pelapukan batuan maka kekuatan dinding tebing tambang semakin rendah,
sedangkan semakin rendah tingkat pelapukan batuan maka kekuatan dinding tebing
tambang semakin tinggi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jenis komoditas berupa sirtu
akan memiliki kekuatan dinding tebing tambang yang rendah dan berpengaruh pada
tingkat kerusakan lahan yang tinggi dan sebaliknya jenis komoditas berupa batuan akan
memiliki kekuatan dinding tebing tambang yang tinggi berpengaruh pada tingkat
kerusakan lahan yang rendah.

5. Subkriteria upaya reklamasi


Subkriteria ini termasuk dalam kriteria lingkungan yang memiliki persentase nilai
indikator kerusakan lahan sebesar 16,79% terhadap 13 subkriteria lainnya. Subkriteria ini
memiliki 3 kelas yaitu upaya reklamasi belum diterapkan, mulai diterapkan, dan sudah
diterapkan. Pengambilan data lapangan subkriteria upaya reklamasi dilakukan dengan
pengamatan kondisi reklamasi tambang di daerah penelitian. Upaya reklamasi di daerah
penelitian rata- rata dilakukan pada tambang yang sudah tidak beroperasi baik yang mulai
diterapkan maupun sudah diterapkan seperti alih fungsi lahan tambang menjadi
persawahan dan kebun jati, namun ada beberapa lokasi tambang yang tidak dilakukan

464
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

upaya reklamasi meskipun tambang sudah tidak beroperasi. Upaya reklamasi mengontrol
tingkat pencemaran lingkungan, hal ini dikarenakan kegiatan penambangan selalu
menghasilkan limbah yang bersifat sebagai pencemar. Upaya reklamasi yang belum
diterapkan menyebabkan tingkat pencemaran lingkungan tinggi, sedangkan pada upaya
reklamasi yang mulai diterapkan atau sudah diterapkan akan mengurangi tingkat
pencemaran lingkungan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa upaya reklamasi yang belum
diterapkan akan memiliki tingkat kerusakan lahan yang tinggi dibandingkan dengan upaya
reklamasi yang mulai diterapkan atau sudah diterapkan akan memiliki tingkat kerusakan
lahan yang sedang atau rendah.

6. Subkriteria tutupan vegetasi


Subkriteria ini termasuk dalam kriteria lingkungan yang memiliki persentase nilai
indikator kerusakan lahan sebesar 6,93 % terhadap 13 subkriteria lainnya. Subkriteria ini
memiliki 3 kelas yaitu tutupan vegetasi kurang dari 25%, tutupan vegetasi 25% - 75%, dan
tutupan vegetasi lebih dari 75% terhadap luas area penambangan. Pengambilan data
lapangan subkriteria tutupan vegetasi dilakukan dengan pengamatan persebaran vegetasi
penutup di daerah penelitian. Persebaran vegetasi penutup ini difokuskan pada titik lokasi
penambangan baik yang masih beroperasi maupun yang sudah tidak beroperasi. Umumnya
upaya penanaman vegetasi penutup dilakukan pada lokasi tambang yang sudah tidak
beroperasi seperti alih fungsi lahan tambang menjadi sawah dan kebun jati. Tutupan
vegetasi mengontrol tingkat resapan air dimana akan berkaitan dengan aliran air
permukaan, hal ini dikarenakan kegiatan penambangan di daerah penelitian bersifat
tambang terbuka yang mempengaruhi tingkat resapan air hujan dan aliran air permukaan.
Tutupan vegetasi yang kurang dari 25% terhadap luas area penambangan menyebabkan
tingkat resapan air hujan semakin rendah dan aliran air permukaan semakin tinggi,
sedangkan pada Tutupan vegetasi 25% - 75% atau lebih terhadap luas area penambangan
menyebabkan tingkat resapan air hujan semakin tinggi dan aliran air permukaan semakin
rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tutupan vegetasi yang kurang dari 25% luas
area penambangan akan memiliki tingkat kerusakan lahan yang tinggi dibandingkan
dengan tutupan vegetasi 25% - 75% atau lebih akan memiliki tingkat kerusakan lahan yang
sedang atau rendah.

7. Subkriteria jarak pemukiman


Subkriteria ini termasuk dalam kriteria lingkungan yang memiliki persentase nilai
indikator kerusakan lahan sebesar 2,93 % terhadap 13 subkriteria lainnya. Subkriteria ini
memiliki 3 kelas yaitu jarak pemukiman kurang dari 100 m, jarang pemukiman 100 – 1000 m,
dan jarak pemukiman lebih dari 1000 m terhadap lokasi penambangan. Pengambilan data
lapangan subkriteria jarak pemukiman dilakukan dengan pengukuran jarak pemukiman
terhadap tambang di daerah penelitian. Jarak pemukiman mengontrol tingkat pencemaran
lingkungan kegiatan penambangan terhadap aktivitas penduduk sekitar penambangan, hal
ini dikarenakan kegiatan penambangan selalu menghasilkan limbah yang bersifat sebagai
pencemar. Jarak pemukiman yang dekat dengan lokasi penambangan menyebabkan
peluang terdampak pencemaran lingkungan tinggi, sedangkan jarak pemukiman yang jauh
dengan lokasi penambangan menyebabkan peluang terdampak pencemaran lingkungan
rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jarak pemukiman yang dekat dengan lokasi
penambangan akan memiliki tingkat kerusakan lahan yang tinggi dibandingkan dengan
jarak pemukiman yang sedang atau jauh akan memiliki tingkat kerusakan lahan yang

465
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

sedang atau rendah.

8. Subkriteria tingkat erosi


Subkriteria ini termasuk dalam kriteria teknis tambang yang memiliki persentase
nilai indikator kerusakan lahan sebesar 6,48% terhadap 13 subkriteria lainnya. Subkriteria
ini memiliki 3 kelas yaitu tingkat erosi kecil, tingkat erosi sedang, dan tingkat erosi besar.
Penambangan terbuka pada daerah pemukiman akan mempengaruhi tingkat erosi batuan
yang dikontrol oleh curah hujan. Pengambilan data lapangan subkriteria tingkat erosi
dilakukan dengan pengamatan sifat batuan. Pada sifat batuan lepas (loose) akan
mempengaruhi tingkat erosi batuan yang semakin tinggi, sedangkan pada sifat batuan
kompak akan mempengaruhi tingkat erosi batuan yang semakin rendah. Tingkat erosi yang
tinggi dapat memicu potensi bencana tanah longsor hal ini disebabkan oleh penurunan
kekuatan dinding tebing tambang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat erosi batuan
yang besar akan memiliki tingkat kerusakan lahan yang tinggi dibandingkan dengan tingkat
erosi batuan yang sedang – kecil akan memiliki tingkat kerusakan lahan yang sedang atau
rendah.

9. Subkriteria luas area panambangan


Subkriteria ini termasuk dalam kriteria teknis tambang yang memiliki persentase
nilai indikator kerusakan lahan sebesar 2,68% terhadap 13 subkriteria lainnya. Subkriteria
ini memiliki 3 kelas yaitu luas area penambangan > 0,5 Ha, luas area penambangan 0,1 – 0,5
Ha, dan luas area penambangan < 0,1 Ha. Pengambilan data lapangan subkriteria ini
dilakukan dengan pengukuran luas area penambangan dengan menggunakan meteran ukur
di daerah penelitian. Luas area penambangan mengontrol tingkat alih fungsi lahan, hal ini
dikarenakan kegiatan penambangan di daerah penelitian dilakukan dengan pembukaan
lahan pada bukit yang memiliki potensi tambang kaolin. Perubahan morfologi awal dari
bukit menjadi tambang terbuka menyebabkan kerusakan lahan di daerah penelitian.
Semakin luas area penambangan maka tingkat alih fungsi lahan semakin tinggi, sebaliknya
semakin kecil area penambangan maka semakin rendah pula tingkat alih fungsi lahan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa area penambangan yang luas akan memiliki tingkat
kerusakan lahan yang tinggi dibandingkan dengan area penambangan yang sedang atau
kecil akan memiliki tingkat kerusakan lahan yang sedang atau rendah.

10. Subkriteria kecepatan penambangan


Subkriteria ini termasuk dalam kriteria teknis tambang yang memiliki persentase
nilai indikator kerusakan lahan sebesar 1,13% terhadap 13 subkriteria lainnya. Subkriteria
ini memiliki 3 kelas yaitu kecepatan penambangan cepat (<5 tahun), kecepatan
penambangan sedang (5-10 tahun), dan kecepatan penambangan lambat (>10 tahun).
Pengambilan data lapangan subkriteria ini dilakukan wawancara dengan pekerja tambang
dan pemilik lahan tambang. Kecepatan penambangan mengontrol tingkat perubahan
morfologi, hal ini dikarenakan penambangan dengan durasi yang cepat akan mengubah
morfologi tambang secara drastis. Perubahan morfologi awal dari bukit menjadi tambang
terbuka menyebabkan kerusakan lahan di daerah penelitian. Semakin cepat durasi
penambangan maka tingkat perubahan morfologi semakin tinggi, sebaliknya semakin
lambat durasi penambangan semakin rendah pula tingkat perubahan morfologi. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa durasi penambangan yang cepat akan memiliki tingkat kerusakan

466
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

lahan yang tinggi dibandingkan dengan durasi penambangan yang sedang atau lambat akan
memiliki tingkat kerusakan lahan yang sedang atau rendah.

11. Subkriteria sifat batuan


Subkriteria ini termasuk dalam kriteria tebing galian yang memiliki persentase nilai
indikator kerusakan lahan sebesar 3,10% terhadap 13 subkriteria lainnya. Subkriteria ini
memiliki 3 kelas yaitu sifat batuan lepas/loose, sifat batuan agak kompak/moderate, dan
sifat batuan kompak. Hal ini berpengaruh pada perencanaan desain tambang dan sudut
lereng serta mempengaruhi kekuatan tebing galian dan tingkat erosi batuan. Pengambilan
data lapangan subkriteria sifat batuan dilakukan dengan pengamatan sifat batuan. Sifat
batuan loose memiliki karakteristik apabila dipegang fragmen/butiran batuan mudah
terurai, sifat batuan agak kompak/moderate memiliki karakteristik apabila ditekan dengan
tangan sukar terurai, dan sifat batuan kompak memiliki karakteristik apabila dipukul
dengan palu fragmen/butiran batuan sukar terurai.
Pada sifat batuan lepas (loose) akan mempengaruhi tingkat erosi batuan yang
semakin tinggi, sedangkan pada sifat batuan kompak akan mempengaruhi tingkat erosi
batuan yang semakin rendah. Tingkat erosi yang tinggi dapat memicu potensi bencana tanah
longsor hal ini disebabkan oleh penurunan kekuatan dinding tebing tambang. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa sifat batuan lepas/loose akan memiliki tingkat kerusakan lahan
yang tinggi dibandingkan dengan sifat batuan yang agak kompak/moderate – kompak akan
memiliki tingkat kerusakan lahan yang sedang atau rendah.

12. Subkriteria relief dasar galian


Subkriteria ini termasuk dalam kriteria tebing galian yang memiliki persentase nilai
indikator kerusakan lahan sebesar 1,46% terhadap 13 subkriteria lainnya. Subkriteria ini
memiliki 3 kelas yaitu relief dasar galian lebih rendah > 1 m dari topografi terendah
sekitarnya, lebih rendah 0 - 1 m dari topografi terendah sekitarnya dan sama atau lebih
tinggi dengan topografi terendah sekitarnya. Subkriteria relief dasar galian dilakukan
pengambilan data lapangan dengan mengukur jarak vertikal dari permukaan lahan hingga
ke dasar lubang galian. Permukaan disini adalah topografi terendah sekitar penambangan
atau garis lurus yang menghubungkan tepi galian sebelum ada galian, sedang dasar galian
adalah lubang galian yang terdalam.
Relief dasar galian mengontrol tingkat pencemaran air tanah, dimana tingkat
pencemaran air tanah di kontrol oleh dua faktor utama yaitu kedalaman muka air tanah dan
aktivitas manusia. Kedua faktor tersebut saling berkaitan dimana semakin dangkal muka air
tanah dan semakin dalam relief dasar galian maka kemungkinan tingkat pencemaran air
tanah semakin besar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin dalam relief dasar galian
maka tingkat kerusakan lahan semakin tinggi, sedangkan semakin dangkal relief dasar
galian atau sama dengan topografi sekitar maka tingkat kerusakan lahan semakin rendah.

13. Subkriteria kemiringan tebing galian


Subkriteria ini termasuk dalam kriteria tebing galian yang memiliki persentase nilai
indikator kerusakan lahan sebesar 0,67% terhadap 13 subkriteria lainnya. Subkriteria ini
memiliki 3 kelas yaitu kemiringan tebing galian curam (>50o), miring (>33,3o – 50o), dan
landai (<33,3o). Subkriteria kemiringan tebing galian dilakukan pengambilan data lapangan
dengan mengukur kemiringan tebing galian pada lokasi penambangan. Kemiringan tebing

467
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

galian berkaitan erat dengan tingkat potensi bencana yang dapat terjadi pada stasiun
pengamatan dan sekitarnya. Potensi bencana yang dimaksud yaitu tanah longsor, dimana
paling mungkin terjadi di daerah penelitian. Tanah longsor memiliki beberapa faktor
pengontrol seperti litologi dinding tebing tambang, kemiringan tebing tambang, struktur
geologi (sesar dan kekar), dan ketinggian dinding tebing serta faktor pemicu seperti gempa,
hujan, aktivitas penambangan, dll. Pada kemiringan tebing galian yang landai akan memiliki
potensi bencana longsor yang semakin rendah dimana dapat digunakan sebagai acuan
dalam desain tebing galian yang aman. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin curam
kemiringan tebing galian maka semakin tinggi pula tingkat kerusakan lahan. Sebaliknya,
semakin miring - landai kemiringan tebing galian maka semakin rendah.

14. Subkriteria tinggi dinding galian


Subkriteria ini termasuk dalam kriteria tebing galian yang memiliki persentase nilai
indikator kerusakan lahan sebesar 0,34% terhadap 13 subkriteria lainnya. Subkriteria ini
memiliki 3 kelas yaitu tinggi dinding galian tinggi (> 6 meter), sedang (3 – 6 meter), dan
rendah (< 3 meter). Subkriteria tinggi dinding galian dilakukan pengambilan data lapangan
dengan mengukur tinggi tebing galian pada lokasi penambangan. Tinggi tebing galian
berkaitan erat dengan tingkat potensi bencana yang dapat terjadi pada stasiun pengamatan
dan sekitarnya. Potensi bencana yang dimaksud yaitu tanah longsor, dimana paling
mungkin terjadi di daerah penelitian. Tanah longsor memiliki beberapa faktor pengontrol
seperti litologi dinding tebing tambang, kemiringan tebing tambang, struktur geologi (sesar
dan kekar), dan ketinggian dinding tebing serta faktor pemicu seperti gempa, hujan,
aktivitas penambangan, dll. Pada dinding tebing galian yang rendah akan memiliki potensi
bencana longsor yang semakin rendah dimana dapat digunakan sebagai acuan dalam desain
tebing galian yang aman. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi dinding tebing
galian maka semakin tinggi pula tingkat kerusakan lahan. Sebaliknya, semakin sedang –
rendah ketinggian dinding tebing galian maka semakin rendah pula tingkat kerusakan
lahannya.
Berdasarkan hasil perhitungan nilai tingkat kerusakan lahan yang diperoleh dari
pengukuran dan pengamatan lapangan di daerah penelitian menunjukkan bahwa tingkat
kerusakan lahan rendah tidak dijumpai di daerah penelitian karena memiliki rentang lebih
dari 1,00 - 1,66. Tingkat kerusakan lahan sedang dijumpai pada 9 lokasi penambangan
dimana memiliki rentang nilai 1,67 - 2,33. Tingkat kerusakan lahan tinggi dijumpai pada 7
lokasi penambangan dimana memiliki rentang nilai 2,34 - 3,00. Hal ini menunjukkan bahwa
pada daerah penelitian memiliki tingkat kerusakan lahan akibat penambangan kaolin
sedang - tinggi (lihat Gambar 4)

V. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil perhitungan nilai tingkat kerusakan lahan yang diperoleh, daerah
penelitian menunjukkan bahwa tingkat kerusakan lahan rendah tidak dijumpai di daerah
penelitian karena memiliki rentang lebih dari 1,00 - 1,66. Tingkat kerusakan lahan sedang
dijumpai pada 9 lokasi tambang dimana memiliki rentang nilai 1,67 – 2,33. Tingkat
kerusakan lahan tinggi dijumpai pada 7 lokasi tambang dimana memiliki rentang nilai 2,34 –
3,00. Hal ini disimpulkan bahwa pada daerah penelitian memiliki tingkat kerusakan lahan
akibat penambangan kaolin sedang - tinggi.
Tingkat kerusakan lahan yang cukup tinggi pada daerah penelitian menunjukkan
bahwa kegiatan penambangan tidak mengikuti Standard Operational Procedure (SOP) yang

468
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

telah ditetapkan. Kegiatan penambangan di daerah penelitian dilakukan tanpa menyusun


perencanaan yang baik dari segi persiapan penambangan, pelaksanaan penambangan
hingga akhir pengelolaan lahan pascapenambangan. Diperlukan perencanaan desain
tambang yang memperhatikan beberapa parameter seperti : jenis komoditas, sifat batuan,
jarak terhadap pemukiman, luas area tambang, relief dasar galian, kemiringan tebing galian,
dan tinggi dinding galian.

VI. SARAN

Pelaku penambangan disarankan melakukan penambangan dengan pengelolaan top


soil secara maksimal, memperhatikan kedalaman galian maksimum 4 meter, kemiringan
lubang galian <33,33%, dan melakukan reklamasi beriringan dengan penambangan.
Penelitian selanjutnya disarankan untuk menambahkan parameter geologi teknik dan
analisisnya untuk mengetahui sifat keteknikan material pada lereng dan batuan sehingga
berkaitan dengan daya dukung lahan.

DAFTAR PUSTAKA
Dewa, Y. I, 2016, Analisis Kestabilan Lereng pada Penambangan Rakyat Batu Kaolin di Desa
Karangsari, Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa
Yogyakarta. Other thesis, UPN "Veteran" Yogyakarta.

Dey, P. K., Ramcharan, E. K., 2007, Analytic hierarchy process helps select site for limestone
quarry expansion in Barbados, Journal of Environmental Management.

Direktorat Jenderal Pertambangan Umum, 2003, Himpunan Peraturan Perundangan-


Undangan Dibidang Pertambangan Umum, Departemen Pertambangan dan Energi
Republik Indonesia, Jakarta.

Kementerian Lingkungan Hidup, Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor KEP-


43/MENLH/10/1996, tentang Kriteria Kerusakan Lingkungan Bagi Usaha Atau
Kegiatan Penambangan Bahan Galian Golongan C Jenis Lepas Di dataran, Jakarta.

Pemerintah Daerah Provinsi DIY, Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Istimewa


Yogyakarta Nomor 63 Tahun 2003 tentang Kriteria baku Kerusakan Lingkungan
Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Penambangan Bahan Galian Golongan C di Wilayah
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta.

Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) UGM dan BAPPEDA, 2000, Kajian Kerusakan
lahan akibat penambangan golongan C di Kecamatan Ponjong Kabupaten Gunung
Kidul, Yogyakarta.

Sekretariat Negara RI, 1967, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pertambangan, Jakarta.

Sekretariat Negara RI, 1997, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Jakarta.

Sekretariat Negara RI, 2009, Undang–Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan

469
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Mineral dan Batubara, Jakarta.

Sekretariat Negara RI, 2010, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Jakarta.

Surono, B. T. dan Sudarno, 1992, Peta Geologi Regional Lembar Surakarta - Giritontro skala
1:100.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Departemen Pertambangan
dan Energi, Bandung.

470
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Kriteria Subkriteria Kelas Skor Bobot

Sudah terjadi 3

Mungkin terjadi (kejadian


Kejadian tanah
tanah longsor telah terjadi 2 0.56
longsor
dalam skala kecil)

Belum terjadi 1

Rapat/very blocky (GSI : 28 -


3
65)

Struktur geologi Cukup/blocky (GSI : 35 - 75) 2 0.27

Renggang/intact rock massive


Geologi 1
(GSI : 60 - 85)

Kedalaman m.a.t dangkal


3
(m.a.t 240 - 260 mdpl)

Kedalaman m.a.t sedang


Hidrogeologi 2 0.11
(m.a.t 210 - 240 mdpl)

Kedalaman m.a.t dalam


1
(m.a.t 180 - 210 mdpl)

Sirtu 3
Jenis komoditas 0.06
Batuan 2

Belum diterapkan (> 6 bulan


3
pasca penambangan)

Mulai diterapkan (< 6 bulan


2
Upaya reklamasi pasca penambangan) 0.63
Lingkungan Sudah diterapkan
(dilakukan bersamaan 1
dengan penambangan)

< 25% luas area


Tutupan vegetasi 3 0.26
penambangan

471
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

25% - 75% luas area


2
penambangan

> 75% luas area


1
penambangan

< 100 m 3

Jarak pemukiman 100 - 1000 m 2 0.11

> 1000 m 1

Besar (tebal tanah pucuk <


3
50 cm dan sifat batuan loose)

Sedang (tebal tanah pucuk


50 - 60 cm dan sifat batuan 2
Erosi 0.63
kompak-lepas)

Kecil (tebal tanah pucuk > 60


cm dan sifat batuan 1
Teknis kompak)
Tambang
> 0,5 ha 3
Luas Area
0,1 - 0,5 ha 2 0.26
Tambang
< 0,1 ha 1

Cepat (< 5 tahun) 3


Kecepatan
Sedang (5 - 10 tahun) 2 0.11
Penambangan
Lambat (> 10 tahun) 1

Lepas (bila dipegang,


fragmen/butiran mudah 3
terurai)

Agak kompak/moderate(bila
Tebing ditekan dengan tangan 2
Sifat Batuan 0.559
Galian sukar terurai)

Kompak (bila dipukul


dengan palu,
1
fragmen/butiran sukar
terurai)

472
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Lebih rendah > 1 m dari


topografi terendah 3
sekitarnya

Lebih rendah 0 - 1 m dari


Relief Dasar
topografi terendah 2 0.263
Galian
sekitarnya

Sama atau lebih tinggi


dengan topografi terendah 1
sekitarnya

Curam (> 50˚) 3


Kemiringan
Miring (> 33,3˚ - 50˚) 2 0.122
Tebing Galian
Landai (< 33,3˚) 1

Tinggi (> 6 m) 3
Tinggi Dinding
Sedang (3 - 6 m) 2 0.056
Galian
rendah (< 3 m) 1

473
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 2 . Nilai Tingkat kerusakan lahan penambangan

Nilai tingkat kerusakan lahan


akibat Keterangan
penambangan
1,00 - 1,66 Tingkat kerusakan lahan rendah
1,67 - 2,33 Tingkat kerusakan lahan sedang
2,34 - 3,00 Tingkat kerusakan lahan tinggi
Tabel 3. Tabel Perhitungan Tingkat Kerusakan Lahan Pada Kawasan Penambangan
Kaolin

Tabel 4. Skor kerusakan lahan tiap subkriteria

Skor Kriteria

Memiliki kecenderungan membentuk


1
lahan yang lebih baik

Memiliki kecenderungan membentuk


2
lahan menjadi kurang baik

Memiliki kecenderungan membentuk


3
lahan menjadi sangat buruk

474
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Peta Geologi Daerah Penelitian 1:10.000

475
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Kenampakan satuan breksi pumis berupa perselingan breksi pumis –


batupasir tufan pada lokasi pengamatan 89.

476
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. (a) Singkapan litologi tuf feldspar pada lokasi penambangan 14; (b) Singkapan terkekarkan
secara intensif berupa kekar tiang yang membentuk bidang belah tertentu; (c) Unsur Mangan yang
menunjukkan struktur dendritik penciri jenis pirolusit yang dijumpai pada tambang kaolin yang
merupakan hasil alterasi litologi tuf feldspar.

477
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Peta Tingkat Kerusakan Lahan Penambangan Kaolin

478
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D010UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

KAJIAN HIDROKIMIA BUKIT PAJANGAN, KABUPATEN BANTUL,


DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Khoirul Haq Nurul Rohman 1* ,Doni Prakasa Eka Putra 2

Departemen Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 1*


Departemen Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 2
*Corresponding Author: khoirul.haq.n@gmail.ugm.ac.id

ABSTRAK. Bukit Pajangan, Bantul, Yogyakarta, secara geologi dikenal tersusun atas perlapisan
batuan karbonat dan tersusun oleh batuan volkanik produk Merapi tua. Di wilayah ini, air tanah
cukup mudah dijumpai dan umumnya dangkal. Secara teori, perbedaan litologi penyusun akuifer
akan memberikan karakteristik kimia airtanah yang berbeda. Penelitian bertujuan untuk
mengetahui perbedaan karakteristik hidrokimia pada air tanah Bukit Pajangan dalam kaitannya
dengan litologi akuifer yang berbeda. Metode penelitian dilakukan dengan memetakan satuan
litologi dan kondisi hidrogeologi di lapangan. Kemudian dilakukan pengambilan sampel air tanah
sebanyak 24 sampel pada satuan litologi yang berbeda untuk diuji kandungan kimia ion utama-
nya airtanah. Hasil penelitian menemukan bahwa litologi di daerah penelitian dapat dibagi
menjadi 4 satuan batuan yaitu napal, batugamping fosil-batugamping tufan, tufkarbonatan-
batugamping tufan dan satuan breksi-lapili tuf. Sedangkan tipe kimia air tanah secara umum
adalah kalsium bikarbonat pada akuifer batuan karbonat-karbonatan dan kalsium alkali
bikarbonat pada batuan breksi-lapili tuf. Dapat dibuktikan bahwa kandungan mineral yang lebih
kaya akan unsur Na dan K pada breksi-lapili tuf memberikan implikasi karakteristik kimia air
tanah yang berbeda, dan terbukti litologi akuifer mempengaruhi karakteristik kimia air tanah.

I. PENDAHULUAN
Bukit Pajangan merupakan sebuah bukit yang terletak di daerah Bantul, Daerah Istimewa
Yogyakarta. Rahardjo (1995) dalam Peta Geologi Lembar Yogyakarta dengan skala
1:100.000 menunjukkan bahwa Bukit Pajangan tersusun atas Formasi Sentolo. Formasi
Sentolo tersusun atas litologi batugamping dan batupasir napalan, di lain pihak Mulyani,
dkk (2014) menemukan bahwa terdapat juga litologi volkanik pada Bukit Pajangan.
Secara administrasi, lokasi penelitian meliputi 4 kecamatan yaitu Kecamatan Kasihan,
Pajangan dan Sedayu, Kabupaten Bantul serta Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman.
Batas lokasi penelitian diambil berdasarkan morfologi dan formasi daerah penelitian
yaitu Formasi Sentolo. Letak daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui: 1) kondisi hidrogeologi daerah penelitian
yaitu aliran air tanah. 2) untuk mengetahui kandungan kimia air tanah yang terkandung
dalam tiap satuan litologi yang berbeda, Dan 3) untuk mengetahui apakah ada atau
tidaknya keterkaitan antara kondisi geologi dengan kandungan kimia air tanah pada
daerah penelitian, dengan adanya perbedaan litologi apakah kandungan kimia air tanah
memiliki perbedaan yang jelas pada kandungan unsur mayor air tanah yang berasal dari
litologi yang berbeda

479
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage

Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D010UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

II. METODE PENELITIAN


Data yang diperlukan pada penelitian ini antara lain data kondisi geologi dan kandungan
mineral dalam batuannya serta data hidrokimia sampel air tanah.
1. Pengumpulan Data
1.1 Kondisi geologi
Pengumpulan data kondisi geologi dilakukan dengan pemetaan geologi dalam skala
1:50.000. Data yang diambil pada pemetaan ini adalah data stasiun pengamatan dan data
litologi yang selanjutnya akan menghasilkan peta geologi daerah penelitian. Stasiun
pengamatan data geologi tersebar sejumlah 50 stasiun pengamatan geologi. Pengambilan
sampel batuan dilakukan dengan metode stratified random sampling method dengan
mempertimbangkan perbedaan luas persebaran litologi. Sampel batuan kemudian
dilakukan analisis petrografi untuk mengetahui kandungan mineral yang terkandung
didalamnya. Jumlah sampel yang dilakukan analisis petrografi adalah 12 sampel.
1.2 Data hidrogeologi dan hidrokimia air tanah
Data hidrogeologi dilakukan dengan pemetaan hidrogeologi sebanyak 50 sumur yang
tersebar di daerah penelitian. Data ini digunakan untuk mengetahui kondisi hidrgeologi
dan arah aliran air tanah. Kemudian dari 50 sumur tersebut diambil 24 sumur yang
diambil sampel air tanahnya untuk dilakukan analisis hidrokimia yang tersebar pada 4
satuan geologi (Gambar 3). Analisis konsentrasi ion mayor sampel air tanah dilakukan di
laboratorium Geokimia Teknik Geologi UGM dengan menggunakan alat Hanna HI 83200
multiparameter Photometer. Data yang diperoleh merupakan data ion-ion mayor yang
terkandung dalam sampel air tanah, yaitu kation seperti potasium (K+), magnesium
(Mg+2), dan kalsium (Ca+2) serta anion seperti sulfat (SO42-) dan alkalinitas. Kemudian ion
mayor lain seperti sodium (Na+) dan (Cl-) didapatkan dari hasil analisis laboratorium
Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP)
Yogyakarta. Nilai bikarbonat (HCO3-) didapatkan dari nilai alkalinitas hasil pengukuran
Hanna HI 83200 multiparameter Photometer dan pH dari hasil pengukuran dengan alat
Hanna instrument H19813-6N menggunakan rumus persamaan 1 (Deutsch, 1997).

HCO3- (mg/L) = alkalinitas/((1+(2 ×〖10〗^(-10.3))/〖10〗^(-pH) ) x 61/50 (Persamaan 1)

2. Pengolahan data dan interpretasi


Dari data kondisi geologi didapatkan peta persebaran satuan geologi beserta kandungan
mineral didalamnya. Kemudian data hidrokimia menghasilkan persebaran kandungan
konsentrasi ion mayor sampel air tanah daerah penelitian. Data ini akan digunakan
untuk interpretasi kandungan mineral yang memberikan kontribusi pada pengkayaan
konsentrasi ion mayor sampel air tanah pada satuan geologi.

480
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage

Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D010UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

III. DATA
1. Geologi
Data geologi didapatkan dengan pemetaan geologi dengan 50 stasiun amat. Kemudian
dihasilkan Peta Geologi dengan 4 satuan dari yang tertua yaitu satuan, napal, satuan
batugamping fosil-batugamping tufan, satuan batugamping tufan-tuf karbonatan dan
satuan breksi-lapili tuf. Struktur geologi pada daerah ini terdapat antiklin asimetri
Triwidadi dan sinklin asimetri menunjam Sendangsari serta Sesar naik diperkirakan
Bangunjiwo (Gambar 2).
Secara petrografi mineral satuan Napal memiliki komposisi hornblenda 5%, material
karbonat 50% ,plagioklas 5% serta material silisiklastik tidak teramati 40% (Gambar 4).
Sedangkan satuan batugamping fosil-batugamping tufan adalah material karbonat 65-
95% dan material vulkanik 5-20% berupa gelasan dan sisanya adalah material berukuran
lempung tidak teramati (Gambar 5). Mineral yang terkandung pada satuan tuf
karbonatan-batugamping tufan antara lain material karbonat 60-70%, tuf dan material
vulkanik 30-35% berupa mineral hornblenda serta plagioklas dan gelasan dan juga
sisanya mineral opak dan mineral lempung tidak dapat teramati dengan baik (Gambar 6).
Kandungan mineral pada matriks satuan breksi-lapili tuf secara petrografi adalah
hornblenda 5%, plagioklas 30%, klinopiroksen 20%, litik andesit 10% dan gelasan 35%
(Gambar 7). Mineral yang terkandung dalam tiap satuan terangkum pada Tabel 1.

2. Data Hidrogeologi dan Data Hidrokimia


Data hidrogeologi diukur dari 47 sumur yang tersebar dengan jarak 500-1000 m daerah
penelitian dan 3 sumur outlayer yaitu sumur diluar batas wilayah penelitian yang
digunakan untuk membandingkan hasil data. Dari data ini didapatkan peta aliran air
tanah daerah penelitian seperti yang ditunjukkan pada Gambar 8.
Data kimia sampel air tanah diperoleh dari 24 titik sumur amat dengan jumlah untuk tiap
satuan berbeda-beda antara lain satuan napal 2 sampel, satuan batugamping fosil-
batugamping tufan 10 sampel, satuan tuf karbonatan-batugamping tufan 5 sampel,
satuan breksi-lapili tuf 5 sampel dan outlayer 3 sampel. Data kimia air tanah ini kemudian
digunakan untuk menentukan fasies kimia air tanah menggunakan metode klasifikasi
(Kurlov) dan untuk membandingkan konsentrasi unsur mayor air tanah digunakan
diagram Schoeller dan diagram komposisi.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Mineral Penyusun Batuan dan Ion Mayor
Komposisi kimia air tanah bergantung pada batuan yang dilewatinya. Kandungan
mineral komposisi batuan berperan dalam pengkayaan ion-ion mayor yaitu Na+, Ca2+, K+,
Mg2+ sebagai kation dan Cl-, SO42-, HCO3- sebagai anion. Dalam hal ini mineral-mineral
yang terkandung dalam litologi daerah penelitian didapatkan dari pengamatan
petrografi sayatan tipis batuan. Daerah penelitian secara umum tersusun atas litologi
mixed-carbonate dan batuan vulkanik. Oleh karena itu mineral yang terkandung adalah
mineral karbonat dan mineral-mineral silikat. Mineral karbonat merupakan mineral yang
lebih mudah larut dibandingkan dengan mineral-mineral silikat. Mineral-mineral yang
diinterpretasikan berpengaruh terhadap pengkayaan ion mayor antara lain kalsit,
piroksen, hornblenda dan plagioklas.

481
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage

Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D010UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Berdasarkan mineral-mineral tersebut dan keterdapatannya dalam satuan litologi


dihubungkan dengan ion mayor dalam air tanah. Kandungan ion Na + dapat disebabkan
adanya mineral plagioklas, hornblenda dan piroksen, K+ oleh hornblenda, Ca2+ oleh kalsit,
piroksen, plagioklas dan hornblenda, Mg2+ oleh hornblenda dan piroksen, serta HCO3-
oleh kalsit. Cl- merupakan mineral yang tidak dapat bereaksi dengan unsur lainnya
sehingga keberadaan Cl- akan selalu bertambah karena adanya mineral yang
mengandung klorida dalam batuan yang ikut terlarut. Sedangkan SO42- kemungkinan
besar dipengaruhi oleh adanya mineral evaporit. Hubungan kandungan mineral dengan
ion mayor dapat dilihat pada Tabel 2.

2. Tipe Kimia Air tanah Berdasarkan Klasifikasi Kurlov


Berdasarkan hasil analisis laboratorium kandungan kimia air tanah, didapatkan hasil
yang bervariasi. Hasil analisis selanjutnya dilakukan analisis lanjutan yaitu penentuan
tipe air tanah berdasarkan kandungan ion menggunakan metode klasifikasi Kurlov.
Metode Kurlov digunakan untuk penamaan tipe air tanah dengan memperhatikan kation
dan anion yang dominan pada sampel air tanah. Konsentrasi ion yang digunakan antara
lain Na+, Ca2+, K+, Mg 2+ sebagai kation dan Cl-, SO42-, HCO3- sebagai anion. Konsentrasi
ion mayor yang digunakan dalam analisis ini menggunakan satuan meq/L. Nilai kation
dan anion kemudian dilakukan normalisasi terhadap masing-masing. Kemudian
penamaan tipe kimia air tanah menggunakan nama ion yang memiliki nilai persentase
konsentrasi lebih dari 25%. Nama diawali dengan kation dari konsentrasi terbesar
kemudian diikuti anion yang terbesar. Jika terdapat dua kation atau anion dengan
konsentrasi lebih dari 25% maka didahulukan kation atau anion dengan konsentrasi
terbesar baru kemudian diikuti oleh kation atau anion dengan persentase lebih kecil.
Penamaan tipe kimia air tanah berdasarkan klasifikasi Kurlov dapat dilihat pada Tabel 3.
Pada metode Kurlov, konsentrasi sodium dan potasium digabungkan menjadi satu dan
penamaannya menjadi alkali. Berdasarkan metode ini, tipe air tanah daearah penelitian
secara umum terdapat 3 tipe air tanah yaitu kalsium-bikarbonat (Ca-HCO3), kalsium-
alkali-bikarbonat (Ca-alkali-HCO3) dan kalsium-bikarbonat-sulfat (Ca-HCO3-SO4), yang
secara satuan litologi terbagi menjadi berikut:
- Satuan Batugamping fosil-batugamping tufan, memiliki tipe air tanah kasium-
bikarbonat dengan nilai kalsium 69.0%-91.2% dari total kation dan bikarbonat 76.9%-
95.9% dari total anion.
- Satuan Tuf karbonatan-batugamping tufan, memiliki 2 tipe air tanah yaitu kalsium-
bikarbonat dan kalsium-bikarbonat-sulfat
- Satuan Breksi-lapili-tuf-batupasir memiliki 2 tipe air tanah yaitu kalsium-bikarbonat
dan kalsium-alkali-bikarbonat

482
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage

Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D010UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

- Satuan napal memiliki 2 tipe air tanah yaitu kalsium-bikarbonat dan kalsium-alkali-
bikarbonat
- Sampel outlayer memiliki 2 macam tipe air tanah yaitu kalsium-bikarbonat dan kalsium-
alkali-bikarbonat.
Semua satuan geologi daerah penelitian memiliki kandungan mineral vulkanik yang
cukup melimpah. Kandungan persentase alkali (Na+ dan K+) yang tinggi pada daerah
penelitian terutama pada satuan breksi-lapili tuf diinterpretasikan karena adanya
kandungan mineral vulkanik seperti plagioklas dan kandungan Mg oleh mineral
vulkanik seperti hornblenda serta piroksen.

3. Perbandingan unsur mayor dengan diagram Scoeller


Analisis airtanah menggunakan Diagram Schoeller untuk mengetahui perbandingan
unsur-unsur mayor seperti Na+, K+, Ca2+, Mg2+, Cl-, SO42- dan HCO3-antar sampel airtanah.
Perbandingan nilai rata-rata komposisi kimia pada satuan geologi daerah penelitian
dapat dilihat pada Gambar 9. Kandungan kation alkali (Na+ dan K+) dan magnesium
(Mg2+) pada satuan napal dan breksi-lapili tuf lebih besar dari pada satuan batugamping
fosil-batugamping tufan dan tuf karbonatan-batugamping tufan. Sedangkan kandungan
kalsium (Ca2+) dan bikarbonat (HCO3-) pada satuan batugamping fosil-batugamping
tufan dan satuan tuf karbonatan-batugamping tufan lebih tinggi dari satuan napal dan
satuan breksi-lapili tuf. Secara umum kandungan sulfat (SO42-) pada daerah penelitian
kurang dari 1 meq/L, kandungan ini diinterpretasikan adanya mineral evaporit seperti
gipsum maupun anhidrit yang terkandung dalam batuan dengan jumlah yang sedikit.
Terdapat anomali pada kandungan kimia sampel air tanah sumur 11, dimana sumur 11
merupakan sumur yang berada di daerah imbuhan dan berada di elevasi muka air tanah
puncak, sehingga kandungan air tanah pada daerah ini harusnya memiliki konsentrasi
yang mirip dengan air hujan. Kandungan K+ dan Cl- yang tinggi pada sampel sumur ini
diinterpretasikan adanya pengaruh pupuk pertanian pada daerah sekitar sumur 11.

V. KESIMPULAN
1. Daerah penelitian memiliki tipe airtanah menurut klasifikasi Kurlov secara umum
pada batuan karbonat adalah kalsium bikarbonat (Ca-HCO3) dan pada batuan breksi-
lapili tuf adalah kalsium alkali bikarbonat (Ca-Alkali-HCO3).
2. Kondisi geologi daerah penelitian yang mengakibatkan perbedaan komposisi kimia
airtanahnya adalah perbedaan litologi dan arah aliran airtanah. Satuan batugamping
fosil-batugamping tufan dan satuan tuf karbonatan memiliki kandungan kalsium (Ca+2)
dan bikarbonat (HCO3-) lebih tinggi karena kandungan mineral kalsit. Kandungan unsur
alkali pada sampel airtanah satuan breksi-lapili tuf relatif lebih tinggi disebabkan adanya
mineral plagioklas (bitownit), hornblenda dan piroksen. Perbedaan kandungan SO4-2
dalam sampel airtanah diinterpretasikan karena adanya kandungan mineral evaporit
pada satuan tuf karbonatan-batugamping tufan.

483
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage

Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D010UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

DAFTAR PUSTAKA

Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL), 2001, Peta


Rupabumi Digital Indonesia Lembar 1408-221 Lembar Jumantoro, Badan Koordinasi
Survey dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL), Bogor.

Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL), 2001, Peta


Rupabumi Digital Indonesia Lembar 1408-223 Lembar Jumantoro, Badan Koordinasi
Survey dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL), Bogor.

Djaeni, A.,1982, Peta Hidrogeologi Indonesia Lembar Yogyakarta. Bandung: Direktorat


Geologi Tata Lingkungan, sekala 1:250.000, satu lembar MacDonald & Partners., 1984,
Greater Yogyakarta Groundwater Resources Study Volume 3 : Groundwater.

Mazor, E., 2004, Chemical and Isotopic Groundwater Hydrology Third Edition, New York:
Marcel Dekker,Inc.

Mulyani, S., Barianto, D. H., & Rahardjo, W., 2014, Hubungan Stratigrafi Antara Satuan
Batuan
Vulkanik Dengan Satuan Batuan Karbonat Di Daerah Bangunjiwo Dan Sekitarnya,
Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,
Yogyakarta: Departemen Teknik Geologi-Fakultas Teknik, UGM.

Rahardjo, W., Sukandarrumidi, & Rosidi, H., 1995, Peta Geologi Lembar Yogyakarta,
Jawa, Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geolog

484
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage

Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D010UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 1. Kandungan mineral pada tiap satuan geologi.

Satuan litologi Batugamping


Tuf karbonatan-
Breksi-Lapili tuf fosil- Napal
batugamping tufan
batugamping tufan

Klinopiroksen
Kalsit
Kalsit
Kalsit
Hornblenda
Kelompok Hornblenda
Hornblenda
mineral Plagioklas Plagioklas
(bitownit) Plagioklas
(bitownit dan Plagioklas (bitownit)
(bitownit)
labradorit)

Tabel 2. Kandungan mineral dalam batuan terhadap ion mayor.

Kelompok mineral penyusun

Satuan litologi

Na+ K+ Ca2+ Mg2+ HCO3- Cl- SO42-

485
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage

Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D010UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 3. Klasifikasi air tanah daerah penelitian menurut Kurlov.

+
Na +K
+ Mg
2+ Ca
2+ Cl
-
Satuan Sumur SO 2- HCO - Fasies air tanah
4 3

6 30.1% 6.5% 63.4% 5.9% 87.4% 6.6% Ca-alkali-HCO3

7 42.2% 16.9% 40.9% 11.1% 74.6% 14.3% Ca-alkali-HCO3

Breksi-Lapili
Tuf 22 4.9% 10.0% 85.1% 1.4% 92.1% 6.5% Ca-HCO3

25 14.1% 12.9% 73.0% 1.3% 89.0% 9.6% Ca-HCO3

47 38.3% 10.5% 51.1% 5.5% 92.1% 2.4% Ca-alkali-HCO3

486
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage

Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D010UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

8 9.5% 7.2% 83.3% 2.4% 93.7% 3.9% Ca-HCO3

2 7.5% 8.6% 83.9% 5.1% 83.7% 11.2% Ca-HCO3


Tuf
karbonatan-
Batugamping 5 11.8% 4.1% 84.1% 26.0% 69.9% 4.0% Ca-HCO3-SO4
Tufan
23 9.9% 3.0% 87.1% 4.9% 86.3% 8.8% Ca-HCO3

48 10.5% 3.9% 85.6% 8.1% 75.2% 16.7% Ca-HCO3

9 8.9% 4.5% 86.7% 1.5% 95.9% 2.6% Ca-HCO3

16 14.2% 8.5% 77.3% 1.2% 95.0% 3.8% Ca-HCO3

40 3.7% 5.0% 91.2% 1.9% 91.8% 6.4% Ca-HCO3

Batugamping
13 20.0% 4.4% 75.5% 5.8% 80.3% 14.0% Ca-HCO3
fosil-
Batugamping
Tufan 38 11.8% 7.0% 81.1% 1.2% 86.3% 12.6% Ca-HCO3

14 22.8% 8.1% 69.0% 4.8% 83.4% 11.8% Ca-HCO3

11 4.8% 4.0% 91.2% 2.4% 89.5% 8.1% Ca-HCO3

30 11.9% 11.8% 76.3% 4.9% 86.0% 9.0% Ca-HCO3

32 42.0% 9.9% 48.1% 19.3% 71.0% 9.8% Ca-alkali-HCO3


Napal
43 14.4% 14.6% 71.0% 4.7% 90.3% 5.0% Ca-HCO3

487
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage

Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D010UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Peta indeks lokasi penelitian

488
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage

Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D010UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Peta Geologi dan penampang geologi daerah penelitian.

489
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage

Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D010UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Peta pengambilan data hidrogeologi dan sampel air tanah

490
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage

Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D010UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Foto sayatan satuan napal pada mikroskop, fs = fosil, hb = hornblenda, cal = kalsit, plg =
plagioklas

Gambar 5. Foto sayatan petrografi satuan batugamping fosil-batugamping tufan. Cal = kalsit, fs =
fosil, qz = kuarsa, gls = gelasan.

491
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage

Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D010UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 6. Foto sayatan petrografi satuan tuf karbonatan-batugamping tufan. Ca = kalsit, hb =


hornblenda, fs = fosil, gls =gelasan

Gambar 7. Foto sayatan petrografi satuan breksi-lapili tuf STA 17, STA 20, STA 32, STA 34. hb =
hornblenda, plg = plagioklas, cpx = klinopiroksen, lith = litik, gls = gelasan.

492
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage

Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D010UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

493
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage

Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D010UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 9. Kandungan kimia air tanah secara rata-rata daerah penelitian pada diagram Schoeller.

494
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage

Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 DO30UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

PENENTUAN ZONASI WILAYAH RISIKO AIR TANAH TERHADAP


PEMOMPAAN BERLEBIH DI CEKUNGAN AIR TANAH YOGYAKARTA-
SLEMAN, DIY
Heru Hendrayana 1* ,Yohanes Rasul Amrih Setyo Wicaksono 2

Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 1*


Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 2

*Corresponding Author: heruha@ugm.ac.id

ABSTRAK. Pemanfaatan air tanah di wilayah CAT Yogyakarta-Sleman semakin meningkat akibat
perkembangan pesat pada sektor industri, sektor rumah tangga dan kebutuhan air sektor lainnya.
Peningkatan pemanfaatan air tanah yang tidak terkendali akan menimbulkan dampak terjadinya
degradasi air tanah, baik kuantitas maupun kualitasnya. Untuk menjaga keseimbangan dan
keberlanjutan pemanfaatan air tanah, serta untuk mengurangi dampak negatif khususnya
terhadap pemompaan air tanah, maka perlu dilakukan langkah sistematis dalam pengelolaan air
tanah. Salah satu program strategis kegiatan pengelolaan air tanah dengan melakukan zonasi
wilayah risiko air tanah terhadap pemompaan berlebih. Tujuan dari penelitian ini adalah analisis
dan evaluasi parameter penentu tingkat risiko air tanah terhadap pemompaan dan memetakan
tingkat risiko wilayah akibat pemompaan air tanah. Metode pengolahan dan analisis data
dilakukan secara deskriptif kualitatif dan semi kuantitatif, dengan menggunakan metode tumpang
susun dan penyelesaian evaluasi matriks. Metode tumpang susun akan diaplikasikan pada
parameter penentu zona kerentanan air tanah, sedangkan metode evaluasi matriks akan
digunakan pada parameter penentu tingkat bahaya dan tingkat risiko air tanah terhadap
pemompaan berlebih. Hasil pengolahan data ini ditampilkan secara spasial dalam peta-peta
tematik. Tingkat risiko air tanah terhadap pemompaan berlebih di CAT Yogyakarta-Sleman
mempunyai kisaran dari zona risiko rendah sampai dengan zona risiko tinggi. Tingkat risiko
wilayah air tanah terhadap pemompaan berlebih berkorelasi erat dengan karakteristik
hidrogeologi setempat, tingkat pemanfaatan air tanah dan nilai strategis air tanah. Hasil kajian ini
dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan langkah kebijakan yang bersifat regulatif dan
teknis agar tercipta efektivitas dan efisiensi pada pengawasan dan perlindungan air tanah secara
berkelanjutan.

Kata kunci: cekungan air tanah, pemompaan air tanah, kerentanan air tanah, bahaya air tanah,
risiko air tanah

I. PENDAHULUAN

Air tanah merupakan sumber terbesar dari air tawar yang dapat digunakan. Di
banyak tempat, terutama di mana persediaan air permukaan tidak tersedia, kebutuhan
air domestik, pertanian, dan industri hanya dapat dipenuhi dengan menggunakan air
tanah. Keberadaannya yang ada di dalam tanah membuat perlu dilakukan pemompaan
untuk dapat mengambil dan memanfaatkan air tanah tersebut. Namun terkadang
pemompaan dilakukan secara berlebihan dan melebihi batas safe yield dari suatu akuifer.
Istilah safe yield sendiri merupakan jumlah air yang dapat diambil dari suatu akuifer

495
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 DO30UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

tanpa menimbulkan dampak yang tidak diinginkan (Todd, 1959). Penelitian ini
mengambil lokasi di Cekungan Air Tanah Yogyakarta-Sleman untuk melihat apakah
daerah penelitian mengalami pemompaan yang berlebihan serta memetakan tingkat
potensi risiko yang timbul akibat proses tersebut.

Cekungan Air Tanah Yogyakarta-Sleman sebagai lokasi penelitian berada di


Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Gambar 1). Beberapa tahun terakhir, sektor
industri dan pemukiman berkembang dengan pesat dan membuat pengambilan air tanah
semakin meningkat dan cenderung berlebihan. Sekitar kurang dari 5% populasi di CAT
Yogyakarta-Sleman mendapat layanan saluran pembuangan dan kurang dari 30%
populasi perkotaan memiliki akses ke air bersih yang dipasok oleh PDAM sehingga
sebagian besar penduduk dan kegiatan bergantung pada air tanah. Akibatnya,
pemompaan air tanah meningkat dan dampak dari eksploitasi air tanah adalah degradasi
muka air tanah yang melebihi 0,3 m/tahun di beberapa daerah. Pemompaan air tanah
yang dilakukan pada daerah penelitian diperkirakan mencapai 150 juta m3/tahun pada
2015 dan mencapai 300 juta m3/tahun pada 2025 seiring dengan bertambahnya populasi
dan berkembangnya sektor ekonomi (Putra, 2003).

Untuk menjaga kelestarian, keseimbangan, dan mengurangi dampak negatif


terhadap pengambilan air tanah yang berlebihan maka perlu dilakukan langkah
sistematis dalam pengelolaan air tanah. Penentuan zona kerentanan, zona bahaya, dan
zona risiko air tanah merupakan salah satu implementasi pilar-pilar pengelolaan air
tanah dalam upaya pengendalian daya rusak air (Hendrayana, 2015).

1.1. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

- Menentukan dan memetakan parameter penentu kerentanan, bahaya, dan risiko


air tanah terhadap pemompaan berlebih di Cekungan Air Tanah Yogyakarta-Sleman.

- Menentukan dan memetakan zona tingkatan risiko air tanah terhadap


pemompaan berlebih di Cekungan Air Tanah Yogyakarta-Sleman

1.2. Tinjauan Pustaka

1.2.1. Geologi Regional

Secara geologi, mayoritas batuan yang menyusun Cekungan Air Tanah


Yogyakarta-Sleman merupakan batuan hasil rombakan gunung api, selain itu terdapat
pula batuan sedimen klastik tersier seperti batupasir, napal, batugamping, dan
batugamping terumbu. Formasi batuan yang menyusun CAT Yogyakarta-Sleman dari
tua ke muda menurut MacDonald & Partners (1984) adalah sebagai berikut: Formasi
Nanggulan, Formasi Andesit Tua, Formasi Sentolo, Formasi Vulkanik Merapi Tua,

496
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 DO30UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Formasi Sleman, Formasi Yogyakarta, Formasi Wates, Satuan Vulkanik Merapi Muda,
dan Satuan Gumuk Pasir.

Cekungan Air Tanah Yogyakarta-Sleman berada pada Formasi Sleman dan


Yogyakarta. Akuifer pada Cekungan Air Tanah Yogyakarta-Sleman dapat
diklasifikasikan menjadi 2 akuifer utama, dimana keduanya terdiri dari perselingan pasir
kasar hingga sedang, kerikil, lanau, lempung dan lensa-lensa breksi. Akuifer bagian atas
lebih didominasi pasir dan kerikil pada kedalaman 10-25 meter (MacDonald & Partners,
1984). Sedangkan akuifer bagian bawah lebih didominasi endapan yang lebih kasar
dibandingkan dengan akuifer bagian atas (Hendrayana, 1993)

1.2.2. Hidrogeologi Regional

Berdasarkan konsep satuan hidrostratigrafi, maka konfigurasi sistem akuifer di


Cekungan Air Tanah Yogyakarta – Sleman dapat dibedakan menjadi beberapa satuan
hidrostratigrafi (Hendrayana & Vicente, 2013). Satuan hidrostratigrafi di Cekungan Air
Tanah Yogyakarta – Sleman terdiri dari:

1. Akuifer Bagian Atas/Akuifer Bebas (Kelompok Akuifer 1).

2. Akuifer Bagian Bawah/Akuifer Semi Bebas (Kelompok Akuifer 2).

3. Dasar Akuifer/Kelompok Non Akuifer.

Ketebalan akuifer pada daerah penelitian sangatlah bervariasi dan memiliki


kisaran 20-120 meter, dimana bagian tengah cekungan merupakan yang memiliki
ketebalan paling besar dan seiring menipis pada pinggir cekungan (Putra, 2007). Rata-
rata nilai konduktivitas hidraulik pada sistem akuifer adalah 8,64 m/d (Hendrayana,
1993). Karakteristik hidraulik akuifer dapat dilihat pada Tabel 1.

1.2.3. Kerentanan, Bahaya, dan Risiko Air Tanah terhadap Pemompaan Berlebih

a. Kerentanan Air Tanah terhadap Pemompaan Berlebih

Kerentanan air tanah terhadap pemompaan dapat diartikan sebagai kemampuan


air tanah untuk menahan dampak abstraksi yang akan berpengaruh pada kuantitas air
tanah (Johansson & Hirata, 2002). Ada dua macam kerentanan air tanah, yaitu kerentanan
intrinsik (alamiah) yang merupakan fungsi dari faktor hidrogeologi seperti karakterisitik
akuifer, jenis tanah yang berada di atas akuifer, dan jenis material geologinya. Sedangkan
kerentanan spesifik (gabungan) merupakan potensi aktivitas manusia yang berpengaruh
terhadap potensi sumber air tanah dalam dimensi ruang dan waktu.

Foster (1992) dan Adams & MacDonald (1998) menyarankan beberapa parameter
yang dapat dipertimbangkan untuk menganalisis dampak kerentanan air tanah terhadap
pengambilan berlebihan. Pada Tabel 2. Foster (1992) telah mengklasifikasikan kelas

497
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 DO30UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

kerentanan pada setiap faktor yang digunakan untuk menganalisis kerentanan air tanah
terhadap pengambilan air tanah. Namun, karena akuifer pada daerah penelitian berupa
akuifer tidak tertekan, maka faktor kompresibilitas vertikal lapisan akuitar tidak
dipertimbangkan dalam penelitian ini.

b. Bahaya Air Tanah terhadap Pemompaan Berlebih

Bahaya air tanah terhadap pemompaan berlebih dapat diartikan sebagai kondisi
atau proses yang berpotensi merugikan, mengurangi, atau memberikan dampak pada
kuantitas air tanah. Dalam penelitian ini bahaya air tanah akan berkaitan dengan
pemompaan yang berlebihan sehingga akan berpengaruh pada kuantitas air tanah.

Dalam penentuannya, bahaya air tanah akan memperhitungkan kondisi alam dan
juga aktivitas manusia yang mempengaruhi kuantitas air tanah. Kondisi alam akan
direpresentasikan dari peta kerentanan air tanah, sedangkan aktivitas manusia akan
direpresentasikan oleh parameter tingkat pemanfaatan air tanah.

c. Risiko Air Tanah terhadap Pemompaan Berlebih

Risiko diukur berdasarkan nilai likelihood (kemungkinan munculnya sebuah


peristiwa) dan consequence (dampak yang ditimbulkan oleh peristiwa tersebut). Secara
sederhana, risiko dapat diartikan sebagai kemungkinan dampak merugikan yang
diakibatkan oleh adanya suatu proses yang terjadi. Sedangkan risiko air tanah dapat
didefinisikan sebagai kemungkinan dampak merugikan terhadap air tanah yang
diakibatkan oleh adanya suatu proses yang terjadi. Proses yang berkaitan dengan risiko
air tanah ini berasal dari pemompaan berlebihan atau bahaya air tanah yang sudah
dijelaskan sebelumnya.

Penentuan zona risiko air tanah terhadap pemompaan berlebih akan melibatkan
parameter bahaya air tanah terhadap pemompaan berlebih sebagai faktor likelihood atau
kemungkinan munculnya sebuah peristiwa, sedangkan parameter nilai strategis air tanah
akan berposisi sebagai faktor consequence yaitu dampak yang ditimbulkan oleh peristiwa
tersebut.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini terbagi dalam 3 tahapan, yaitu: penyusunan peta kerentanan,


bahaya, dan risiko air tanah terhadap pemompaan berlebih. Diagram alir dan tahapan
penyusunan penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.

Metode analisis penelitian ini dilakukan dengan cara deskriptif kualitatif dan
semi-kuantitatif dengan melakukan pengumpulan data sekunder instansional dan data
primer berupa peninjauan lapangan. Hasil analisis parameter penentu tingkat risiko air
tanah nantinya akan ditampilkan secara spasial dalam bentuk peta-peta tematik.

498
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 DO30UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Peta tematik parameter penentu tingkat risiko air tanah di wilayah Cekungan Air
Tanah Yogyakarta-Sleman dianalisis menggunakan metode tumpang susun dan metode
penyelesaian matriks untuk menghasilkan zona-zona risiko air tanah.

2.1. Penentuan Zona Kerentanan Air Tanah terhadap Pemompaan Berlebih

Penyusunan peta kerentanan air tanah akan menganalisis faktor-faktor alami


yang mempengaruhi kerentanan intrinsik air tanah. Dalam penyusunan peta kerentanan
air tanah terdapat 5 parameter yang digunakan sebagai faktor penentu kerentanan air
tanah. Parameter tersebut meliputi: (1) karakteristik respon akuifer, (2) karakteristik
penyimpanan akuifer, (3) ketebalan akuifer, (4) kedalaman muka air tanah, dan (5) jarak
dari garis pantai.

Kelima parameter di atas diklasifikasikan kembali menjadi 5 kelas dan diberikan


skor 1 – 5 (Tabel 3), nilai terendah mewakili kerentanan rendah sedangkan nilai tertinggi
mewakili tingkat kerentanan tinggi. Rentang nilai tersebut merupakan rentang nilai yang
disarankan oleh Foster (1992) dalam Morris, et al., 2003, dengan beberapa modifikasi
sesuai dengan kondisi akuifer daerah penelitian.

Metode skoring yang dikembangkan dalam penentuan zona kerentanan air tanah
ini merupakan salah satu metode pendekatan sederhana yang digunakan sebagai salah
satu tahapan untuk menentukan zona risiko air tanah. Dalam penilaian kerentanan air
tanah ini masing-masing parameter diasumsikan memiliki bobot yang sama atau sama
berat. Nilai akhir dari klasifikasi kerentanan seperti ditunjukkan pada Tabel 4 akan
menunjukkan kelas atau zona kerentanan suatu daerah terhadap dampak negatif
pengambilan air tanah.

2.2. Penentuan Zona Bahaya Air Tanah terhadap Pemompaan Berlebih

Penyusunan peta bahaya terhadap pemompaan air tanah berlebih akan


cenderung berkonsentrasi pada 2 hal yaitu keadaan alam dan aktivitas manusia yang
berpotensi merugikan atau mengurangi kuantitas air tanah. Parameter yang
merepresentasikan keadaan alam akan menggunakan peta kerentanan air tanah terhadap
pemompaan berlebih, sedangkan parameter yang mewakili aktivitas manusia adalah
tingkat pemanfaatan air tanah. Untuk menentukan tingkat bahaya air tanah terhadap
pemompaan berlebih digunakan metode penyelesaian matriks Putra & Indrawan (2014)
(Tabel 5) yang dimodifikasi sesuai dengan parameter yang digunakan. Penentuan tingkat
bahaya air tanah ditentukan berdasarkan perpotongan masing-masing kelas yang
terdapat pada kedua parameter.

Peta bahaya yang dihasilkan kemudian akan divalidasi dengan menggunakan


data perubahan muka air tanah dan data piezometrik. Validasi dilakukan dengan
mengeplotkan data perubahan muka air tanah dan data piezometrik pada peta bahaya air
tanah, kemudian mencari nilai koefisien determinasi antara data perubahan muka air
tanah dengan peta bahaya, dan data piezometrik dengan peta bahaya air tanah.

499
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 DO30UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

2.3. Penentuan Zona Risiko Air Tanah terhadap Pemompaan

Penyusunan peta risiko air tanah terhadap pemompaan berlebih akan didasarkan
pada nilai likelihood (kemungkinan munculnya sebuah peristiwa) dan consequence
(dampak yang ditimbulkan oleh peristiwa tersebut). Nilai likelihood akan
direpresentasikan oleh parameter nilai bahaya air tanah, sedangkan nilai consequence yang
digunakan adalah parameter nilai strategis air tanah. Penentuan peta zona risiko air
tanah akan melalui 2 tahap yaitu penentuan peta nilai strategis air tanah dengan
menggunakan metode overlay kemudian peta tersebut akan ditampalkan dengan peta
bahaya air tanah menggunakan metode penyelesaian matriks (Tabel 6) untuk
menentukan tingkatan zona risiko air tanah terhadap pemompaan berlebih.

Penentuan peta nilai strategis air tanah akan menggunakan beberapa peta seperti:
peta persebaran PDAM, peta persebaran mata air, peta rencana tata ruang dan wilayah,
peta kerapatan industri, dan peta tata guna lahan

III. HASIL PENELITIAN

4.1. Peta Kerentanan Air Tanah terhadap Pemompaan

Zonasi yang didapatkan pada peta kerentanan air tanah merupakan hasil dari
akumulasi skor tiap parameter penentu kerentanan air tanah. Skor yang didapatkan dari
hasil penampalan parameter penentu kerentanan air tanah memiliki rentang skor antara
12-18. Sesuai dengan klasifikasi nilai akhir pengelompokan tingkat kerentanan air tanah
Putra & Indrawan (2014), rentang nilai tersebut termasuk dalam 2 kelompok yaitu tingkat
kerentanan sedang dan tinggi (Gambar 3).

Zona kerentanan air tanah sedang terhadap pemompaan berlebih (nilai >10-15)
ditunjukkan oleh warna kuning. Zona ini meliputi hampir seluruh Kabupaten Sleman,
Kota Yogyakarta, dan sedikit Kabupaten Bantul. Sedangkan zona kerentanan air tanah
tinggi terhadap pemompaan berlebih (nilai >15-20) ditunjukkan oleh warna coklat dan
tersebar di sebagian besar daerah selatan cekungan yaitu Kabupaten Bantul.

Penentuan zonasi kerentanan air tanah dalam penelitian ini pada dasarnya
menunjukkan kemampuan akuifer secara intrinsik atau alamiah untuk menahan dampak
abstraksi atau pemompaan yang berlebih terhadap kuantitas air tanah. Dampak negatif
dari pemompaan berlebih yang paling terlihat adalah adanya penurunan muka air tanah.
Penurunan muka air tanah sebagai dampak adanya pemompaan berlebih dapat terjadi
secara cepat maupun lambat, sehingga penentuan tingkat kerentanan ini akan
menjelaskan seberapa cepat dampak negatif tersebut muncul dan mempengaruhi
kuantitas air tanah. Semakin tinggi tingkat kerentanan air tanah maka semakin cepat
dampak negatif tersebut muncul, sebaliknya apabila semakin rendah tingkat kerentanan
maka dampak yang ditimbulkan akan lebih lambat muncul.

4.2. Peta Bahaya Air Tanah terhadap Pemompaan

500
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 DO30UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Penentuan zona bahaya air tanah terhadap pemompaan berlebih menggunakan


metode matriks yang terdiri dari 2 sumbu, yaitu sumbu X yang mewakili tingkat
kerentanan air tanah dan sumbu Y mewakili tingkat pemanfaatan air tanah.

Berdasarkan hasil matriks yang diperoleh (Tabel 5), zona bahaya air tanah
terhadap pemompaan berlebih di daerah penelitian dapat dibagi menjadi 3 zona bahaya
(Gambar 4), yaitu: zona bahaya rendah (skor 3-4), zona bahaya sedang (skor 5-6), dan
zona bahaya tinggi (skor 7-8)

Zona bahaya air tanah rendah ditunjukkan oleh warna hijau, meliputi Kecamatan
Turi, Pakem, Ngaglik, Godean, Prambanan, Kalasan, Berbah, Sentolo, Nanggulan, dan
sebagian besar Kota Yogyakarta. Zona bahaya air tanah sedang ditunjukkan oleh warna
kuning, meliputi hampir seluruh daerah penelitian. Zona bahaya air tanah tinggi
ditunjukkan oleh warna oranye, meliputi sisi bagian selatan daerah penelitian pada
Kecamatan Sewon, Jetis, Bantul, Bambanglipuro, Sanden, Kretek, Banguntapan dan
Piyungan.

Zona bahaya yang ditunjukkan pada peta bahaya air tanah hasil analisis matriks
masih memuat kemungkinan dan potensi yang diakibatkan oleh abstraksi atau
pemompaan yang berlebihan. Oleh karena itu, supaya peta bahaya ini dapat dilihat
dampaknya secara langsung maka perlu dilakukan validasi. Validasi dilakukan dua kali
dengan parameter yang berbeda, yaitu: data perubahan muka air tanah dan data
piezometrik dari sumur pantau. Data perubahan muka air tanah akan merepresentasikan
dampak pemompaan air tanah berlebih terhadap akuifer dangkal, sedangkan data
piezometrik merepresentasikan dampak pemompaan air tanah berlebih terhadap akuifer
dalam.

a. Validasi 1

Validasi dilakukan antara peta bahaya air tanah dengan data perubahan muka air
tanah untuk melihat pengaruh fluktuasi kedalaman muka air tanah pada akuifer dangkal
terhadap zona bahaya air tanah. Hasil penghitungan koefisien determinasi antara peta
bahaya air tanah terhadap pemompaan berlebih dan data perubahan muka air tanah
menunjukkan nilai 0,0005. Nilai tersebut lebih mendekati nilai 0 dibandingkan nilai 1
yang berarti antara peta bahaya air tanah terhadap pemompaan berlebih dengan data
perubahan muka air tanah memiliki asosiasi yang lemah. Dapat dikatakan bahwa
fluktuasi kedalaman muka air tanah yang terjadi pada beberapa tahun ini tidak
mempengaruhi zona bahaya air tanah.

Validasi ini juga dapat menjelaskan bahwa fluktuasi kedalaman muka air tanah
pada akuifer dangkal tidak selalu terjadi karena adanya pemompaan berlebih. Pada
akuifer dangkal, fluktuasi muka air tanah dapat terjadi karena adanya perbedaan musim,
jumlah curah hujan yang berbeda, litologi yang berbeda, dan juga penambahan volume
air dari sungai, dll.

501
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 DO30UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

b. Validasi 2

Validasi yang kedua dilakukan antara peta bahaya air tanah terhadap
pemompaan berlebih dan data piezometrik. Penggunaan data piezometrik ini mewakili
kondisi akuifer dalam sekaligus untuk melihat dampak dari pemompaan air tanah
berlebih terhadap fluktuasi tinggi muka air tanah.

Hasil penghitungan menunjukkan nilai koefisien determinasi sebesar 0,64. Hasil


tersebut lebih mendekati nilai 1 daripada nilai 0, hal itu berarti bahwa terdapat asosiasi
yang cukup kuat antara peta bahaya air tanah terhadap pemompaan berlebih dan data
piezometrik. Asosiasi ini dapat berarti bahwa fluktuasi tinggi muka air tanah pada
akuifer dalam merupakan dampak dari adanya pemompaan air tanah secara berlebih.

4.3. Peta Risiko Air Tanah terhadap Pemompaan Berlebih

Penentuan zona risiko air tanah terhadap pemompaan berlebih masih


menggunakan metode matriks, dimana sumbu X mewakili tingkat bahaya air tanah
sedangkan sumbu Y mewakili parameter nilai strategis air tanah. Berdasarkan dari hasil
matriks yang diperoleh (Tabel 6), zona risiko air tanah terhadap pemompaan berlebih di
daerah penelitian dapat dibagi menjadi 3 kelas (Gambar 5), yaitu: zona risiko rendah
(skor 4-5), zona risiko sedang (skor 6-7), dan zona risiko tinggi (skor 8-9).

Tingkatan zonasi risiko yang diperoleh menunjukkan cepat atau lambatnya suatu
daerah mengalami dampak dari pemompaan yang berlebih yaitu penurunan muka air
tanah. Semakin tinggi risikonya maka semakin cepat dampak pemompaan terjadi,
sebaliknya semakin rendah tingkatan risikonya maka semakin lambat dampak
pemompaannya.

Penentuan zona risiko pada dasarnya merupakan kombinasi antara faktor


consequence dan likelihood. Faktor-faktor ini diwakili oleh parameter yang digunakan
seperti peta bahaya air tanah dan peta nilai strategis air tanah. Risiko dalam penelitian ini
terkait dengan waktu karena zona-zona ini dibentuk untuk memberikan gambaran
beberapa tahun ke depan.

Eksploitasi air tanah yang terus meningkat dari hari ke hari menuntut perlunya
persiapan dan langkah nyata untuk menanganinya, khususnya untuk memperkecil
dampak negatif yang ditimbulkan. Zonasi risiko air tanah yang dihasilkan dalam
penelitian ini merupakan suatu langkah preventif untuk menjaga keseimbangan dan
kelestarian air tanah di masa yang akan datang karena zonasi yang terbentuk akan
merepresentasikan potensi risiko yang terjadi dalam beberapa tahun ke depan.

IV. KESIMPULAN

1. Nilai faktor parameter penentu kerentanan air tanah terhadap pemompaan


berlebih yaitu:

502
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 DO30UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

• Karakteristik penyimpanan akuifer terbagi menjadi kelas klasifikasi


rendah

• Karakteristik respon akuifer terbagi menjadi kelas klasifikasi sangat


rendah hingga sangat tinggi

• Ketebalan akuifer terbagi menjadi kelas klasifikasi sangat rendah hingga


sedang

• Kedalaman muka air tanah terbagi menjadi kelas klasifikasi sangat tinggi
hingga sedang

• Jarak dari garis pantai terbagi menjadi kelas klasifikasi sangat tinggi
hingga rendah Nilai faktor parameter penentu bahaya air tanah terhadap
pemompaan berlebih yaitu:

• Tingkat pemanfaatan air tanah akuifer terbagi menjadi kelas sangat rendah
hingga sangat tinggi

• Kerentantan air tanah terhadap pemompaan berlebih terbagi menjadi kelas


sedang dan tinggi

Nilai faktor parameter penentu risiko air tanah terhadap pemompaan berlebih yaitu:

• Nilai strategis air tanah terbagi menjadi kelas sangat rendah hingga sangat
tinggi

• Bahaya air tanah terhadap pemompaan berlebih terbagi menjadi kelas


rendah hingga sangat tinggi

2. Tingkatan risiko air tanah terhadap pemompaan berlebih di Cekungan Air Tanah
Yogyakarta dapat dibedakan menjadi 3 kelas, yaitu: tingkat risiko rendah, tingkat risiko
sedang, dan tingkat risiko tinggi.

• Tingkat risiko rendah berada pada Kecamatan Seyegan, Prambanan,


Piyungan, dan Nanggulan.

• Tingkat risiko sedang tersebar hampir di seluruh Cekungan Air Tanah


Yogyakarta-Sleman

• Tingkat risiko tinggi berada pada Kecamatan Sleman, Gamping, Mlati,


Depok, Ngaglik, Ngemplak, Kalasan, Sewon, dan Bantul.

503
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 DO30UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

DAFTAR PUSTAKA

Adams, B. & MacDonald, A.M. 1998. “Aquifer susceptibility to side-effects of


groundwater exploitation”. In: Robins, N.S. (ed.), Groundwater Pollution, Aquifer
Recharge and Vulnerability , London: Geological Society v

Hendrayana, H., 1993, Hydrogeologie und Grundwassergerwinnung Im Yogyakarta


Becken Indonesien, Doctor Arbeit der RWTH, Aachen, Germany (tidak
dipublikasikan).

Hendrayana, H. 2011. Cekungan Air Tanah Yogyakarta-Sleman. Yogyakarta: Universitas


Gadjah Mada.

Hendrayana, H., Vicente, V.A.S., 2013, Cadangan Air Tanah Berdasarkan Geometri dan
Konfigurasi Sistem Akuifer Yogyakarta-Sleman, Prosiding Seminar Nasional
Kebumian Ke-6, Yogyakarta 349-365.

Hendrayana, H., & Wicaksono, Y.R.A.S., 2018. Zonasi Bahaya Air Tanah terhadap
Pemompaan di Cekungan Air Tanah Yogyakarta-Sleman. Yogyakarta. Prosiding
Seminar Nasional Kebumian ke-11.

Johansson, P.O., & Hirata, R. 2002. Groundwater Contaminant Inventory: Rating of


Contamination Source, Prepared for the International Hydrological Program,
UNESCO. 5:63-73.

MacDonald, M. & Partners. 1984. Greater Yogyakarta Groundwater Resources Study,


Volume 3 Groundwater. Indonesia: Directorate General of Water Resources
Development, Ministry of Public Works.

Morris, B.L., Lawrence, A.R., Chilton, P.J.C., Adams, B., Calow, R.C., and Klinck, B.A.,
2003, Groundwater and Its Susceptibility to Degradation: A Global Assesment of
the Problem and Options for Management. Early Warning and Assesment Report
Series, RS.03-3. United Nations Environment Programme, Nairobi, Kenya.

Putra, D. P. E. 2003. Integrated Water Resources Management in Merapi, Yogyakarta


Basin. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Putra, D. P. E. 2007. The Impact of Urbanization on Groundwater Quality: A Case Study


in Yogyakarta City – Indonesia. Jerman: Universitas Teknologi Rhein Westfalen
Aachen.

Putra, D.P.E., & Indrawan, I.G.B., 2014, Integrated Assessment of Aquifer Susceptibility
Due to Excessive Groundwater Abstraction; A Case Study of Yogyakarta-Sleman
Groundwater Basin, ASEAN Engineering Journal

Todd, D.K. 1959. Groundwater Hydrology. John Wily & Sons, Inc., New York.

504
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 DO30UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 1. Karakteristik hidraulik akufier Cekungan Yogyakarta-Sleman (Putra & Indrawan, 2014)

Karakteristik akuifer Satuan Kisaran nilai

Ketebalan akuifer meter 20 - 120

Konduktivitas hidrolik m/day 3-700

Rata-rata porositas efektif % 20

Rata-rata recharge mm/tahun 350 - 575

Transmisivitas m2/day 10 - 3000

Specific yield (akuifer bag. atas) - 0.1 – 0.3

Storativitas (akuifer bag.bawah) - 0.06 – 0.1

Tabel 2. Faktor-faktor kerentanan terhadap efek samping dari abstraksi air tanah yang berlebihan
(Foster, 1992 dalam Putra & Indrawan, 2014, dengan modifikasi)

Kerentanan terhadap efek samping


(intrusi air laut, penurunan muka
Faktor Simbol Unit air tanah, amblesan tanah, induced
pollution)

High  Moderate  Low

Respon akuifer T/S m2/day 100000 1000 100 10

Penyimpanan
S/R - 0.1 0.01 0.001 0.0001
akuifer

Kedalaman
h m 2 10 50 200
muka air tanah

Ketebalan
s m 10 20 50 100
akuifer

Jarak terhadap
interface air asin L km 0.1 1 10 100
dan air tawar

Kompresibilitas
vertikal lapisan ά m2/N 10-6 10-7 10-8 10-9
akuitar

505
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 DO30UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 3. Data dan penilaian faktor kerentanan air tanah terhadap dampak negatif
pemompaan air tanah (Putra & Indrawan, 2014)

Parameter Simbol Unit Kelas Skor

<10 1

10 - 100 2
Karakteristik respon
T/S m2/hari 100 - 1000 3
akuifer
1000 - 100.000 4

>100.000 5

<0.0001 1

0.0001 - 0.001 2
Karakteristik
S/R tahun/mm 0.001 - 0.01 3
penyimpanan akuifer
0.01 - 0.1 4

>0.1 5

>100 1

50 - 100 2

Ketebalan akuifer s m 20 - 50 3

10 - 20 4

<10 5

0-5 5

5 - 10 4
Kedalaman muka air
h m 10 - 20 3
tanah
20 - 50 2

>50 1

<0.1 5

0.1 - 1 4
Jarak dari garis pantai L km
1 - 10 3

10 - 100 2

506
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 DO30UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

>100 1

Tabel 4. Nilai akhir pengelompokan kerentanan akuifer terhadap dampak negatif


pemompaan air tanah (Putra & Indrawan, 2014)

Kelas kerentanan untuk pengambilan air


Nilai Akhir
tanah berlebih
Kerentanan sangat tinggi 20-25
Kerentanan tinggi 15-20
Kerentanan menengah 10-15
Kerentanan rendah 5-10

Tabel 5. Matrik tingkat spesifikasi objek yang digunakan untuk menentukan peta bahaya
air tanah terhadap pemompaan berlebih

Klasifikasi Zona Bahaya Air Tanah


terhadap Pemompaan Berlebih
Kelompok Bahaya = A + B

Sangat tinggi (5) Tinggi (7) Tinggi (8)

Tingkat Pemanfaatan Tinggi (4) Sedang (6) Tinggi (7)


Air Tanah Cekungan
Air
Sedang (3) Sedang (5) Sedang (6)
Tanah Yogyakarta-
Sleman (A) Rendah (2) Rendah (4) Sedang (5)

Sangat rendah (1) Rendah (3) Rendah (4)

Sedang (2) Tinggi (3)

Kerentanan Air Tanah terhadap


Pemompaan Berlebih (B)

Tabel 6. Matrik tingkat spesifikasi objek yang digunakan untuk menentukan peta risiko air
terhadapp pemompaan berlebih

507
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 DO30UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Klasifikasi Zona Risiko Air Tanah terhadap


Pemompaan
Berlebih
Kelompok Risiko = A + B

Sangat tinggi (5) Tinggi (7) Tinggi (8) Tinggi (9)

Tinggi (4) Sedang (6) Tinggi (7) Tinggi (8)

Nilai
Sedang (3) Rendah(5) Sedang (6) Tinggi (7)
Likelihoo
Strategis Air d
Tanah (A) Rendah (2) Rendah (4) Rendah(5) Sedang (6)

Sangat rendah
Rendah (3) Rendah (4) Rendah(5)
(1)

Rendah (2) Sedang (3) Tinggi (4)

Consequence

Bahaya Air Tanah terhadap Pemompaan


Berlebih (B)

508
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 DO30UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Lokasi Penelitian Cekungan Air Tanah Yogyakarta-Sleman

509
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 DO30UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Metode dan Tahapan Penelitian Penentuan Zona Risiko Air Tanah terhadap
Pemompaan Berlebih

510
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 DO30UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Peta Kerentanan Air Tanah terhadap Pemompaan Berlebih Cekungan Air Tanah
Yogyakarta-Sleman

511
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 DO30UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Peta Bahaya Air Tanah terhadap Pemompaan Berlebih Cekungan Air Tanah
Yogyakarta-Sleman

512
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 DO30UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. Peta Risiko Air Tanah terhadap Pemompaan Berlebih Cekungan Air Tanah

Yogyakarta-Sleman

513
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D051UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

PENERAPAN METODE REGRESI LOGISTIK UNTUK PEMETAAN


KERENTANAN GERAKAN MASSA. STUDI KASUS DI DAERAH BUGELAN
DAN SEKITARNYA, KISMANTORO, WONOGIRI, JAWA TENGAH

Raden Roro Diny Novia Putri1, Dr.rer.nat. Doni Prakasa Eka Putra, S.T., M.T.1
1Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada1
*corresponding author: fahmihakim@ugm.ac.id

ABSTRAK. Berdasarkan Peta Zona Kerentanan Gerakan Tanah Kabupaten Wonogiri yang dibuat
oleh DESDM (2009), Desa Bugelan dan sekitarnya, Kecamatan Kismantoro berada dalam zona
kerentanan gerakan tanah menengah hingga tinggi. Pemetaan kerentanan gerakan massa perlu
dilakukan untuk mengetahui pengaruh faktor pengontrol terhadap zonasi kerentanan gerakan
massa. Faktor yang digunakan meliputi nilai Geological Strenght Index (GSI), kemiringan lereng,
jarak dari sungai, dan jarak dari jalan. Data nilai GSI diperoleh dari identifikasi intensitas
diskontinuitas dan kondisi permukaan diskontinuitas pada massa batuan. Data kemiringan lereng
diperoleh dari pengolahan peta digital elevation model (DEM), dan data jarak dari sungai serta
jarak dari jalan diperoleh dari pengolahan Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI). Kemudian seluruh
faktor tersebut dianalisis dengan menggunakan metode statistik regresi logistik untuk mengetahui
pengaruh faktor tersebut terhadap kejadian gerakan massa dan menghitung nilai probabilitas
gerakan massa. Setelah dilakukan analisis, dapat diketahui bahwa parameter jarak terhadap jalan
dinyatakan tidak signifikan terhadap kejadian gerakan massa di daerah penelitian. Nilai
probabilitas gerakan massa kemudian dibagi menjadi 5 tingkat kerentanan gerakan massa. Maka,
Desa Bugelan dan sekitarnya seluas 43% berupa daerah dengan tingkat kerentanan gerakan massa
yang sangat rendah, sedangkan daerah dengan tingkat kerentanan gerakan massa sangat tinggi
hanya seluas 1%. Persentase prediksi kerentanan gerakan massa ini sebesar 75% yang berarti peta
kerentanan gerakan massa tersebut layak digunakan.

Kata Kunci : faktor pengontrol gerakan massa, metode regresi logistik, Geological Strength Index,
Kismantoro

I. LATAR BELAKANG

Salah satu bencana alam geologi yang kerap melanda Indonesia adalah tanah
longsor atau gerakan massa. Gerakan massa tanah atau batuan adalah proses pergerakan
material penyusun lereng meluncur atau jatuh ke arah kaki lereng karena kontrol
gravitasi bumi (Glade dan Crozier, 2004). Menurut Karnawati (2005), gerakan massa
merupakan bencana alam yang sering terjadi di Indonesia dengan rata-rata 92 kejadian
setiap tahunnya.

Gerakan massa sering terjadi di perbukitan dengan relief kasar hingga sedang,
dan pada batuan yang telah terlapukkan secara intensif. Daerah penelitian di Desa

514
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D051UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Bugelan dan sekitarnya, Kec. Kismantoro, Kab. Wonogiri, Jawa Tengah (lihat Gambar 1)
termasuk dalam zona kerentanan gerakan tanah menengah hingga tinggi (DESDM, 2009).
Menurut Zakaria (2010), kebencanaan geologi mengakibatkan korban jiwa maupun
kerusakan infrastruktur, sehingga aspek kebencanaan perlu diperhatikan. Aspek
kebencanaan yang menjadi topik pada penelitian ini adalah pemetaan kerentanan
gerakan massa di Daerah Bugelan dan sekitarnya, Kecamatan Kismantoro, Kabupaten
Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah. Untuk itu, diharapkan dengan dilakukannya pemetaan
kerentanan bencana, dapat diketahui pengaruh faktor pengontrol terhadap zonasi
kerentanan gerakan massa. Dasar pendekatan yang digunakan dalam pembuatan peta
kerentanan gerakan massa adalah metode kuantitatif dengan analisis statistik berupa
regresi logistik. Metode ini, saat ini yang paling kredibel (Ayalew dan Yamagishi, 2005;
Chau dan Chan, 2005; Lee dan Sambath, 2006; Lee dan Pradhan, 2007; Chen dan Wang,
2007). Oleh karena itu, analisis kerentanan gerakan massa pada penelitian ini
menggunakan metode regresi logistik.

II. KONDISI GEOLOGI

Daerah penelitian termasuk dalam zona fisiografis pegunungan selatan dengan


perbukitan yang terangkat dan termiringkan ke selatan yang dipengaruhi oleh struktur
geologi dan kondisi litologi. Setelah dilakukan pemetaan yang lebih detail, satuan
geomorfologi terbagi menjadi 4 berdasarkan aspek morfografi dan morfometri yaitu
satuan pegunungan berlereng sedang, satuan perbukitan berlereng sedang, satuan
perbukitan berlereng curam dan satuan berlereng landai. Pelamparan masing-masing
satuan dapat diliihat pada Gambar 2 dengan kolom geomorfologi pada Tabel 1. Struktur
geologi yang berkembang meliputi sesar normal dan sesar geser sinistral seperti pada
Gambar 3. Selain itu, daerah penelitian meliputi Formasi Dayakan, Formasi Semilir, dan
Formasi Nglanggeran (Sampurno dan Samodra, 1997) dengan satuan batuan yang terbagi
menjadi 3 satuan yaitu satuan batupasir tufan, satuan andesit, dan satuan breksi andesit
dengan pelamparan terluas. Kenampakan setiap satuan batuan dapat dilihat pada
Gambar 5 dan 6.

III. FAKTOR PENYEBAB GERAKAN MASSA

Menurut Karnawati (2005), faktor penyebab gerakan massa meliputi faktor


pengontrol dan faktor pemicu. Faktor pengontrol gerakan meliputi geomorfologi, tanah
dan batuan, geohidrologi, dan tata guna lahan, sedangkan faktor pemicu meliputi
infiltrasi air hujan, getaran, dan aktivitas manusia.

Faktor yang digunakan pada penelitian ini meliputi nilai GSI (Geological Streght
Index), kemiringan lereng, jarak terhadap sungai, dan jarak terhadap jalan. Nilai GSI
diperoleh berdasarkan pembacaan grafik nilai GSI dengan metode deskriptif intensitas
diskontinuitas, dan kondisi permukaan diskontinuitas yang telah merepresentasikan
kondisi geologi berupa kekuatan batuan, dan struktur geologi. Data kemiringan lereng
diperoleh dari pengolahan peta digitial elevation model (DEM) yang kemudian dilakukan

515
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D051UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

pengecekan di lapangan. Data jarak terhadap sungai dan jarak terhadap jalan diperoleh
dari pengolahan data peta RBI dan kemudian dilakukan pengecekan langsung di
lapangan.

IV. METODE REGRESI LOGISTIK

Regresi logistik adalah metode dengan pendekatan statistik yang melibatkan satu
atau lebih variabel bebas untuk memprediksi kemungkinan biner atau kategori
dikotomus dari variabel terikat (Hosmer dan Lemeshow, 2000). Metode ini membentuk
hubungan regresi multivariat diantara variabel terikat (dependent) dan variabel bebas
(independent) (Atkinson dan Massari, 1978). Tujuan dari analisis regresi logistik adalah
untuk mengidentifikasi model prediksi terbaik yang mendeskripsikan hubungan antara
variabel bebas dan variabel tidak bebas (Lee dan Sambath, 2006). Selain itu, regresi
logistik dapat mengestimasi probabilitas suatu kejadian tertentu yang akan terjadi
(Atkinson dan Massari, 1998; Dai dan Lee, 2002). Perhitungan probabilitas dengan
menggunakan rumus berikut :

dimana, P, probabilitas kejadian gerakan massa (0-1); , model intercept atau disebut
sebagai konstanta; jumlah variabel bebas; , koefisien dari model (i=1,2,3, ..., n); ,
variabel bebas

Dalam analisis kerentanan gerakan massa, metode ini diterapkan dengan


merepresentasikan ada tidaknya gerakan massa pada variabel biner yaitu variabel terikat,
dan faktor pengontrol gerakan massa yang direpresentasikan sebagai variabel bebas.
Kemudian dilakukan analisis kelayakan model dengan nilai signifikansi pada setiap
variabel bebas, dan pada hasil di setiap model yang dihasilkan. Pada penelitian ini
dilakukan dua tahap regresi logistik, tahap pertama menggunakan seluruh variabel
bebas, dan tahap kedua hanya melibatkan variabel bebas yang dinilai signifikan pada
tahap regresi pertama.

V. METODOLOGI PENELITIAN

Setiap variabel bebas terdiri atas beberapa kelas dengan pembagian kelas yang
berbeda-beda. Pembagian kelas nilai GSI berdasarkan pada kekuatan korelasi kelas
terhadap densitas gerakan massa yang telah diusulkan oleh Michael, dkk (2017).
Kenampakan massa batuan di setiap kelas nilai GSI dapat dilihat pada Gambar 8 hingga
10, dan peta nilai GSI pada Gambar 11. Pembagian kelas kemiringan lereng berdasarkan
klasifikasi kemiringan lereng sebagai faktor pengontrol gerakan massa oleh Karnawati
(2005) (lihat Gambar 12 dan 13). Jarak terhadap sungai dan jarak terhadap jalan memiliki
pembagian kelas yang sama. Kelas jarak terhadap sungai berdasarkan klasifikasi
pengaruh jarak dari sungai pada gerakan massa (Vernes, 1984), sedangkan jarak terhadap
jalan berdasarkan Pourghasemi dkk (2012) yang menyatakan bahwa pengaruh jarak

516
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D051UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

terhadap jalan sama dengan pengaruh jarak terhadap sungai. Kedua peta dapat dilihat
pada Gambar 14 dan 15,

Setiap kelas pada variabel bebas memiliki kode berdasarkan tingkat pengaruhnya
terhadap gerakan massa. Semakin tinggi kode semakin tinggi pula pengaruhnya
terhadap gerakan massa. Pengkodean ini dapat dilihat pada Tabel 2. Pengkodean
tersebut bertujuan untuk mengubah nilai nominal menjadi nilai numerik, karena regresi
logistik hanya menggunakan nilai numerik. Dan nilai kode tersebut akan digunakan
dalam perhitungan dalam analisis regresi logistik. Selain itu dilakukan pula pendataan
gerakan massa yang meliputi lokasi, luas dan tipe masing-masing gerakan massa.
Apabila pada suatu lokasi pengamatan terdapat gerakan massa, maka akan bernilai 1,
dan apabila tidak terdapat gerakan massa akan dinilai 0. Dengan demikian setiap data
akan terdiri atas variabel bebas dan variabel terikat seperti pada Tabel 3.

Kemudian 132 data tersebut diterapkan dalam analisis regresi logistik untuk
memperoleh model probabilitas gerakan massa yang terbaik dengan menerapkan faktor
pengontrol gerakan massa sebagai variabel bebas dan kejadian gerakan massa sebagai
variabel terikat. Nilai koefisien variabel bebas dan kostanta pada model terbaik
digunakan dalam perhitungan probabilitas di setiap titik interpolasi yang telah memiliki
nilai setiap variabel bebas dengan jarak 100 m.

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada penelitian ini, analisis regresi logistik dilakukan sebanyak 2 kali. Analisis
regresi logistik yang pertama melibatkan seluruh variabel bebas, yaitu nilai GSI,
kemiringan lereng, jarak terhadap sungai, dan jarak terhadap jalan. Berdasarkan analisis
yang pertama dapat diketahui terdapat variabel bebas yang tidak signifikan yaitu jarak
terhadap jalan dari nilai signifikansi pada Tabel 4 yang melebihi 0,05. Lalu pada analisis
regresi logistik kedua dilakukan dengan mengeliminasi variabel yang tidak signifikan
tersebut. Hasil analisis regresi logistik ini dipresentasikan pada Tabel 5. Nilai tertinggi
koefisien GSI pada Tabel 5 menunjukkan variabel bebas tersebut paling mempengaruhi
gerakan massa, kemudian jarak terhadap sungai dan yang terakhir adalah kemiringan
lereng dengan nilai koefisien terendah.

Uji kelayakan model regresi logistik dilakukan dengan mempertimbangkan nilai


Omnibus, nilai Pseudo R2, dan nilai Hosmer-Lemeshow, sedangkan penilaian ketepatan
prediksi dengan memperhatikan persentase keseluruhan model regresi logistik yang
dapat dilihat pada Tabel 6.

Berdasarkan pada Tabel 6, dapat diketahui bahwa nilai Df menunjukkan


penurunan nilai karena pada regresi logistik kedua menggunakan 3 variabel bebas. Nilai
signifikansi omnibus yang sangat rendah atau kurang dari 0,05 menunjukkan bahwa
variabel bebas mampu memprediksi kejadian gerakan massa dengan baik. Pada kedua
tahap regresi logistik nilai pada -2 Log likelihood pada Blok 0 dan Blok 1 mengalami
penurunan hal ini berarti model regresi logistik signifikan. Nilai Pseudo-R2 sebagai salah
satu indikator yang biasa digunakan untuk mengevaluasi efisiensi regresi logistik

517
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D051UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

(Sangchini, dkk., 2014), berdasarkan seberapa besar signifikansi variabel bebas terhadap
variabel terikat. Maka, nilai Nagelkerke R2 pada tahap kedua memiliki nilai 0,489 yang
berarti bahwa faktor pengontrol gerakan massa memprediksi gerakan massa dengan
persentase 48,9%, 51,1% sisanya merupakan faktor yang tidak terlibat dalam analisis ini.
Nilai Hosmer-Lemeshow merupakan uji yang digunakan untuk mengetahui seberapa
baik model dalam merepresentasikan kondisi lapangan. Pada tahap regresi logistik
kedua, nilai Hosmer dan Lemeshow mendekati 100%, maka ini merupakan model terbaik
untuk memodelkan probabilitas kejadian gerakan massa di daerah penelitian dengan
persentase prediksi 75% yang telah termasuk kedalam katergori layak untuk digunakan.

Perhitungan probabilitas untuk peta kerentanan gerakan massa menggunakan


rumus [1] dengan menerapkan nilai koefisien ( ) dan nilai konstanta pada Tabel 4,
dengan contoh perhitungan seperti berikut :
P=exp(-8,759+〈1,525×(Nilai Kode GSI)〉+〈1,053×(Nilai Kode Kemiringan
Lereng)〉+〈0,829×(Nilai Kode Jarak dari Sungai)〉 )/(1+exp(-8,759+〈1,525×(Nilai Kode
GSI)〉+〈1,053×(Nilai Kode Kemiringan Lereng)〉+〈0,829×(Nilai Kode Jarak dari Sungai)〉
))P=exp(-8,759+〈1,525×(1)〉+〈1,053×(1)〉+〈0,829×(3)〉)/(1+exp(8,759+〈1,525×(1)〉+〈1,053×(1)〉+
〈0,829×(3)〉))P=0,0242686949538258

Nilai probabilitas yang diperoleh memiliki rentang 0 hingga 1, semakin mendekati


1 potensi kejadian gerakan massa sangat tinggi. Kemudian titik interpolasi yang telah
dihitung nilai probabilitasnya tersebut diinterpolasi dengan metode inverse distance
weighted (IDW) untuk membuat peta probabilitas gerakan massa seperti pada Gambar 16.
Peta kerentanan gerakan massa dibuat dengan membuat klasifikasi berdasarkan nilai
probabilitas menjadi 5 kelas dengan metode equal interval 0,2. Dengan demikian,
diperoleh 5 tingkat kerentanan gerakan massa dengan karakteristik masing-masing
tingkat seperti pada Tabel 7.

Tingkat kerentanan sangat rendah memiliki pelamparan terluas yaitu 43%,


sedangkan tingkat kerentanan sangat tinggi hanya mencakup 1% daerah. Peta kerentanan
gerakan massa pada Gambar 17 menunjukkan bahwa, sebagian besar daerah tingkat
kerentanan sedang, tinggi hingga sangat tinggi berada pada bagian timur laut, timur dan
selatan. Daerah dengan kerentanan gerakan massa sangat rendah hingga rendah berada
di daerah barat daya. Dari sisi keberadaan titik gerakan massa, sebanyak 89% luas
gerakan massa berada di tingkat kerentanan gerakan massa yang sangat tinggi.

VII. KESIMPULAN

Dengan demikian, penelitian ini menyimpulkan bahwa:

1. Berdasarkan hasil analisis regresi logistik, variabel bebas yang mempengaruhi


kejadian gerakan massa secara signifikan adalah parameter nilai GSI, parameter
kemiringan lereng dan parameter jarak terhadap sungai. Parameter jarak terhadap
jalan dinyatakan tidak signifikan terhadap kejadian gerakan massa di daerah
penelitian.

518
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D051UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

2. Nilai probabilitas dikelompokkan dengan metode equal interval 0,2 menjadi 5 kelas,
yaitu tingkat kerentanan sangat rendah memiliki pelamparan terluas yaitu 43%,
kemudian tingkat kerentanan rendah seluas 25%, tingkat kerentanan menengah 21%,
tingkat kerentanan tinggi seluas 11%, dan yang paling kecil tingkat kerentanan sangat
tinggi yang hanya 1%.

VIII. SARAN

Nilai Negelkerke R2 pada penelitian ini menunjukkan bahwa faktor pengontrol


gerakan massa yang termasuk dalam penelitian ini 49% mempengaruhi kejadian gerakan
massa di daerah penelitian, 51% pengaruh faktor lain, sehingga pada penelitian gerakan
massa yang akan datang, perlu dilakukan penambahan faktor pengaruh gerakan massa
lain seperti faktor tataguna lahan serta memperhatikan faktor pemicu gerakan massa.
Selain itu, perlu dilakukan pula mitigasi bencana dengan mengatur pengembangan
wilayah dengan memperhatikan peta kerentanan gerakan massa yang ada dan
melakukan stabilisasi lereng – lereng yang berada di tingkat kerentanan gerakan massa
yang tinggi hingga sangat tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
Atkinson, P.M., Massari, R., 1998. Generalized linear modeling of susceptibility to landsliding in the
central Apennines, Italy. Computers and Geosciences 24, 373–385
Ayalew, L., dan Yamagishi H.. 2005. The application of GIS-based logistic regression for landslide
susceptibility mapping in the Kakuda-Yahiko Mountains, Centre Japan : Geomorphology, v.
65(1–2), p 15– 31, doi: 10.1016/j.geomorph.2004.06.010
Chau, K. T., dan Chan, J. E. 2005. Regional bias of landslide data in generating susceptibility maps using
logistic regression : case of Hongkong Island. Landslides, 2(4), pp 280-290
Chen, Z., dan Wang, J, 2007. Landslide hazard mapping using logistic regression model in Mackenzie
Valley, Canada. Natural Hazard, 42 (1). pp 75
Dai, F.C., dan Lee, C.F. 2002. Landslide characteristics and slope instability modeling using GIS, Lantau
Island, Hong Kong. Geomorphology, 42(3-4):213-228.
Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM). 2009. Peta Zona Kerentanan Gerakan Tanah
Kabupaten Wonogiri. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah : Semarang
Glade, T., dan Crozier, M.J., 2005. A review of scale dependency in landslide hazard and risk analysis. In:
Glade, T., Anderson, M., Crozier, M.J. (Eds.), Landslide Hazard and Risk. John Wiley &
Sons, Ltd., Chichester,West Sussex, England:pp. 75–138
Hosmer, D.W. dan Lemeshow, S. 2000. Applied Logistic Regression, Edisi ke-2. John Wiley and Sons,
Inc., New York, 375p
Karnawati, D. 2005, Bencana Alam Gerakan Massa Tanah di Indonesia dan Upaya Penanggulangannya,
Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Lee, S., and Pradhan, B. 2007. Landslide hazard mapping at Selangor, Malaysia using frequency ratio and
logistic regression models. Landslides, 4(1), pp 33-41

519
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D051UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Lee, S., dan Sambath, T. 2006. Landslide susceptibility mapping in the Damrei Romel area, Cambodia
using frequency ratio and logistic regression models. Environmental Geology, 50(6), pp 847-
855
Michael, V. F., Karnawati, D., Wilopo, W. 2017. Thesis : Landslide Susceptibility Prediction Using The
Analytic Hierarchy Process (AHP) In Karanganyar, Central Java, Indonesia. Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta
Pourghasemi, H.R., Pradhan, B., dan Gokceoglu, C., 2012. Remote sensing data derived param- eters
and its use in landslide susceptibility assessment using Shannons entropy and GIS. Appl. Mech.
Mater. 225, 486–491
Sampurno dan Samodra, H. 1997. Peta Geologi Lembar Ponorogo, Jawa. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi, Bandung
Sangchini, E.K., Nowjavan, M.R., dan Arami, A., 2015. Landslide susceptibility mapping using logistic
statistical regression in Babaheydar Watershed, Chaharmahal Va Bakhtiari Province, Iran.
Journal of the Faculty of Forestry Istanbul University 65(1): 30-40, doi:10.17099/jffiu.52751
Vernes, D.J. 1984. Landslide hazard zonation: a review of principles and practice 3. UNESCO, Paris. 63.
Zakaria, Z. 2010. Praktikum Geologi Teknik, Bahan Kuliah, Tugas, dan Latihan, Bandung : Laboratorium
Geologi Teknik, Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjajaran

520
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D051UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 1. Kolom geomorfologi daerah penelitian


Satuan Satuan
Satuan geomorfologi Satuan Satuan
pegunungan perbukitan
perbukitan perbukitan
Unsur geomorfologi rendah aliran aliran
aliran lava aliran lahar
lava piroklastik

Profil Geomorfologi
SV = 1,5 SH
1 : 25000

Pelamparan (%) 22 58 4 16
Titik tertinggi
1078 1084 588 1007
(m)
Relief

Titik terendah
882 567 407 545
(m)
Beda tinggi (m) 196 517 181 462
Kemiringan lereng (o) 0-38 15-58 0-35 0-25
Subparalel-
Subparalel-
Pola penyaluran Rektangular dendritik, Rektangular
dendritik,
Subdendritik
Vulkanisme, Vulkanisme, Vulkanisme, Vulkanisme,
Proses endogenik
Pensesaran Pensesaran Pensesaran Pensesaran
Pelapukan, Pelapukan, Pelapukan, Pelapukan,
Proses eksogenik Erosi, Erosi, Erosi, Erosi,
Tranportasi Tranportasi Tranportasi Tranportasi
Batupasir
Andesit dan Breksi andesit tufan, dan
Litologi Andesit
batupasir tufan dan Andesit Breksi
andesit
Perkebunan, Perkebunan, Pemukiman, Pemukiman,
Tataguna lahan
Pemukiman Pemukiman Persawahan Perkebunan
Tambang
Potensi positif Wisata Wisata -
andesit
Gerakan Gerakan
Potensi negatif Gerakan massa Gerakan massa
massa, Banjir massa

521
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D051UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 2. Pembagian kelas faktor pengontrol gerakan massa


Luas Kelas Luas Gerakan
Parameter Kelas Kode Kelas Kerentanan
km2 % Massa (m2)
>30 1 Sangat rendah 3,96 25 0
20 - 30 2 Rendah 2,67 17 110
Nilai GSI
10 - 20 3 Sedang 6,53 41 402,4
0 - 10 4 Tinggi 2,94 18 7706
0-20 1 Rendah 7,61 47 4153
Kemiringan
20-40 2 Sedang 6,93 43 3812
lereng (O)
>40 3 Tinggi 1,56 10 253,4
Jarak >100 1 Rendah 7,83 49 324
terhadap 50-100 2 Sedang 3,94 24 2317
sungai (m) 0-50 3 Tinggi 4,32 27 5577,4
Jarak >100 1 Rendah 4,70 29 191
terhadap 50-100 2 Sedang 5,88 36 44
jalan (m) 0-50 3 Tinggi 5,53 34 7983,4

Tabel 3. Pengkodean variabel bebas dan variabel terikat


Variabel
No. Variabel Bebas
Terikat
ST
Jarak dari Jarak dari
A GSI Kemiringan Lereng (O) Kejadian
Sungai (m) Jalan (m)
1 0 14,8 96,8 1,58 Tidak longsor
2 0 11 101 18,42 Longsor
3 0 14,3 265,8 5,5 Longsor
... ... ... ... ... ...
132 47 16,1 315,5 27,97 Tidak longsor
No.
Kode Kemiringan Kode Jarak dari Kode Jarak Kode
ST Kode GSI
Lereng Sungai dari Jalan Kejadian
A
1 4 1 2 3 0
2 4 1 1 3 1
3 4 1 1 3 1
... ... ... ... ... ...
132 1 1 1 1 0

Tabel 4. Rincian koefisien model analisis regresi logistik pertama


Parameter Standart Error Wald df Sig.
GSI 1,521 0,319 22,742 1 0,000
Kemiringan lereng 1,105 0,375 8,688 1 0,003
Jarak terhadap sungai 0,848 0,329 6,649 1 0,010
Jarak terhadap jalan 0,190 0,278 0,470 1 0,493
Kontanta -9.567 2,017 22,495 1 0,000

522
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D051UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 5. Rincian koefisien model analisis regresi logistik kedua


Parameter Standart Error Wald df Sig.
GSI 1,525 0,320 22,769 1 0,000
Kemiringan lereng 1,053 0,365 8,331 1 0,004
Jarak terhadap sungai 0,829 0,327 6,410 1 0,011
Kontanta -8,759 1,601 29,939 1 0,000

Tabel 6. Uji kelayakan model regresi logistik


Tahap Regresi Logistik 1 2
Df 4 3
Omnibus
Sig. 0,000 0,000
-2 Log likelihood (0/1) 177/117 177/117
2
Cox & Snell R 0,363 0,361
2
Pseudo R 2
Nagelkerke R 0,492 0,489
Hosmer-Lemeshow Sig. 0,884 0,970
Persentase prediksi 76,5% 75%

Tabel 7. Jumlah dan luasan kejadian gerakan massa di daerah penelitian pada setiap tingkat
kerentanan gerakan massa.
Gerakan Massa
Nilai Kelas
Kejadian Luas
Probabilitas
Tingkat km 2 % Jumlah % m 2 %
0 - 0,2 Sangat rendah 6,9 43 2 4 81 1
0,2 - 0,4 Rendah 4,0 25 11 21 237 3
0,4 - 0,6 Sedang 3,4 21 14 27 313 4
0,6 - 0,8 Tinggi 1,7 11 10 19 309,4 4
0,8 - 1 Sangat tinggi 0,1 1 15 29 7278 89
Jumlah 16,1 100 52 100 8218,4 100

523
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D051UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Lokasi penelitian

524
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D051UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Peta geomorfologi daerah penelitian

Gambar 3. Peta geologi daerah penelitian

Gambar 4. Lokasi pengamatan dan titik gerakan massa

525
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D051UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. (kanan) Singkapan breksi andesit di STA 95, (kiri) litologi andesit di STA 98

Gambar 6. Singkapan perlapisan batupasir kerikilan pada STA 92 (kiri), dan kenampakan dekat
penyusun batupasir kerikilan (kanan).

526
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D051UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 7. Kenampakan gerakan massa di STA 127 (kiri) dan kenampakan gerakan massa di STA
79 (kanan)

Gambar 8. Singkapan di STA 21 dengan nilai GSI 0

Gambar 9. Kenampakan batuan dengan kondisi diskontinuitas intensif dan kondisi permukaan
telah terlapisi mineral lempung nilai GSI 10 di STA 100 (kiri). Singkapan di STA 102 dengan nilai
GSI 18 (kanan).

Gambar 10. Singkapan di STA 78 dengan nilai GSI 28 (kiri) dan singkapan di STA 103 dengan nilai
GSI 65 (kanan)

527
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D051UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 11. Peta GSI daerah penelitian

Gambar 12. Kenampakan morfologi daerah penelitian dengan kemiringan lereng yang bervariasi
meliputi, kemiringan lereng lebih dari 40o (A), kemiringan lereng antara 20o hingga 40o (B), dan
kemiringan lereng kurang dari 20o (C)

528
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D051UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 13. Peta kemiringan lereng daerah penelitian

Gambar 14. Peta jarak dari sungai daerah penelitian

529
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D051UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 15. Peta jarak dari jalan daerah penelitian

Gambar 16. Peta probabilitas gerakan massa daerah penelitian

530
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D051UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 17. Peta kerentanan gerakan massa daerah penelitian

531
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D024UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

MIKROZONASI BAHAYA GEMPABUMI MENGGUNAKAN ANALISIS


MIKROTREMOR METODE HVSR DI KAWASAN WISATA SEMBALUN,
KABUPATEN LOMBOK TIMUR, PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

Lalu Aliyya Tirangga Aji Buana 1* ,Saptono Budi Samodra 2 ,Indra Arifianto3

Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Indonesia 1*


Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Indonesia 2
Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Indonesia 3

*Corresponding Author: aliyyatirangga03@gmail.com

ABSTRAK. Gempa Lombok tahun 2018 menjadi bencana alam yang tidak dilupakan oleh
masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Lombok. Salah satu kawasan strategis daerah
hingga berskala internasional yang mengalami kerusakan cukup parah adalah Kawasan Wisata
Sembalun, dimana kawasan ini ditargetkan sebagai kawasan strategis periode 2017-2023 oleh
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Mengingat pentingnya kawasan ini bagi provinsi NTB
maupun Indonesia, maka perlu dilakukannya penelitian mikrozonasi bahaya gempabumi di
kawasan ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memetakan mikrozonasi bahaya gempabumi
berdasarkan nilai kerentanan indeks seismik (Kg) dari hasil kombinasi parameter amplifikasi (Ao)
dan frekuensi resonansi (fo). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
Horizontal to Vertical Spectral Ratio (HVSR). Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai Kg yang
cenderung tinggi terkonsentrasi pada area dengan tingkat aktivitas manusia yang tinggi,
mencakup kawasan pemukiman Desa Sembalun Bumbung, zona perkantoran, dan zona
pelayanan umum untuk wisata. Peta hasil penelitian juga divalidasi dengan data kerusakan
bangunan berdasarkan wilayah pemukiman dan menunjukkan korelasi yang positif.

Kata kunci: Lombok, Gempa, Mikrozonasi, HVSR, Indeks Kerentanan Seismik

I. PENDAHULUAN

Gempa Lombok yang terjadi pada tanggal 5 Agustus dan 19 Agustus 2018 dengan
magnitudo 6.8 dan 7 SR merupakan gempa utama yang paling merusak sepanjang
sejarah catatan gempa di Pulau Lombok. Secara umum seluruh aktivitas gempa yang
terjadi bersumber dari struktur geologi sesar naik Flores, namun kedua gempa utama
tersebut memiliki bidang deformasi yang berbeda (Hidayati, et al., 2018). Total kerusakan
akibat gempa pada masing-masing sektor yakni sebagai berikut: sektor pemukiman (3.82
triliun rupiah), infrastruktur (7.5 milyar rupiah), ekonomi produktif (432.7 milyar rupiah),
sosial budaya (716.5 milyar rupiah), dan lintas sektor (61.9 milyar rupiah) (BNPB, 2018).
Berdasarkan data statistik tersebut, sektor ekonomi produktif di Pulau Lombok yakni
industri pariwisata menyumbang kerugian terbesar ke-3 dengan kerugian sebesar 432.7
milyar rupiah.

Penelitian mikrozonasi bahaya gempabumi di kawasan pariwisata Pulau Lombok


menjadi suatu urgensi guna meminimalisir risiko kerugian akibat bencana gempabumi
yang tidak dapat diprediksi kejadiannya. Dalam hal ini, fokus daerah penelitian adalah

532
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D024UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Kawasan Agrowisata Sembalun, Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur,


Provinsi Nusa Tenggara Barat. Kawasan tersebut mengalami dampak kerusakan cukup
parah akibat kejadian Gempa Lombok 2018 lalu. Kawasan tersebut dikategorikan sebagai
Kawasan Strategis Kabupaten (KSK) Agropolitan Sembalun yang tercantum dalam RTR-
KSK (Rencana Tata Ruang-Kawasan Strategis Kabupaten) Agropolitan Sembalun 2011-
2031 (Dinas PU Pemda Lombok Timur, 2014). Kawasan tersebut juga menjadi gerbang
pembuka menuju Kawasan Geopark Gunung Rinjani (UNESCO, 2018).

Dalam penelitian ini, digunakan metode Horizontal to Vertical Spectral Ratio


(HVSR) dalam mencari nilai indeks kerentanan seismik (Kg) daerah penelitian. Nilai Kg
digunakan untuk menilai potensi kerusakan akibat gempabumi di suatu lokasi
(Nakamura, 2000).

II. GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Peta Geologi Kawasan Wisata Sembalun dapat dilihat pada gambar 1. Secara
geologi, Kawasan Wisata Sembalun berada pada kaldera dari gunung api purba berumur
kuarter dan tersusun oleh produk vulkanik proksimal seperti lava dan produk (jatuhan
dan aliran) piroklastik kaya pumis serta endapan pasir lempungan hasil proses eksogenik
dari batuan yang lebih tua (Tim Survei Panas Bumi, 2006). Struktur geologi yang
dijumpai berupa struktur akibat tektonik (sesar turun, sesar geser, dan sesar oblik) serta
struktur akibat vulkanik (kaldera). Ditinjau dari geomorfologi, satuan lava yang kompak
dicirikan dengan morfologi perbukitan yang terjal sedangkan satuan pasir-lempungan,
satuan jatuhan dan satuan aliran piroklastik cenderung dicirikan dengan morfologi
dataran.

Profil geologi Kawasan Wisata Sembalun dari berbagai orientasi ditunjukkan


pada gambar 2. Dari profil vertikal tersebut, tampak adanya kontras litologi dan
ketebalan antara satuan endapan pasir lempungan dan satuan produk (jatuhan dan
aliran) piroklastik sebagai sedimen dengan satuan lava sebagai basement.

III. METODE

3.1. Peralatan dan Perangkat Lunak Penunjang Penelitian

Peralatan yang dibutuhkan untuk pengukuran gelombang mikrotremor di


lapangan menggunakan Portable Seismograph 3 komponen. Hasil pengukuran di
lapangan selanjutnya diolah menggunakan perangkat lunak Geopsy dan DataPro untuk
pengolahan data mikrotremor menggunakan metode HVSR. Visualisasi data
mikrotremor mencakup nilai amplifikasi (A), frekuensi resonansi (fo), dan indeks
kerentanan seismik (Kg) dalam bentuk peta menggunakan perangkat lunak ArcGIS 10.4.

3.2. Tahap Penelitian

Metode HVSR merupakan metode yang memanfaatkan keberadaan gelombang


mikrotremor dalam kajian local site effect dimana hasil pengolahan gelombang
mikrotremor tersebut akan memperoleh nilai amplifikasi (A) dan frekuensi resonansi (fo)

533
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D024UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

dalam bentuk kurva HVSR. Metode HVSR ini pertama kali dikembangkan oleh
Nakamura (1989). Nilai amplifikasi digunakan untuk menentukan seberapa besar
penguatan gelombang gempa oleh batuan maupun tanah akibat kontras impedansi yang
terjadi antara dua maupun lebih jenis batuan yang berbeda (Okuma, et al., 2000).
Sedangkan nilai frekuensi resonansi dapat digunakan untuk mengetahui kedalaman
basement secara kualitatif (Daryono, 2012).

Dalam penelitian ini, sejumlah 34 titik pengukuran mikrotremor dipasang


menggunakan teknik systematic sampling dan purposive sampling. Lokasi titik pengukuran
dipasang dengan mempertimbangkan interval titik pengukuran yang relatif sama (500 m
– 1 km) dan sebaran satuan batuan di Kawasan Wisata Sembalun sehingga masing-
masing satuan batuan memiliki perwakilan titik pengukuran.

Diagram alir metode HVSR dapat dilihat pada gambar 3. Proses pengolahan data
mikrotremor dimulai dari data spektrum 3 komponen (vertikal, U-S horizontal, dan B-T
horizontal) dalam fungsi waktu yang didapatkan dari hasil pengukuran di lapangan.
Selanjutnya, dilakukan transformasi fourier untuk mengubah spektrum dalam fungsi
waktu menjadi spektrum dalam fungsi frekuensi. Kemudian, dilakukan perbandingan
spektrum horizontal terhadap spektrum vertikal (H/V) sehingga didapatkan kurva
HVSR.

IV. PEMBAHASAN

4.1. Peta Amplifikasi Kawasan Wisata Sembalun

Pada peta amplifikasi di daerah penelitian (Gambar 4), dapat diketahui bahwa di
daerah penelitian dijumpai 2 kelas amplifikasi berdasarkan klasifikasi Ratdomopurbo
dan Suharna (2008), yakni kelas amplifikasi rendah (3≤A<6) dan kelas amplifikasi tinggi
(6≤A<9). Jika dikaitkan dengan Peta Geologi Kawasan Wisata Sembalun Skala 1:25.000
beserta profil geologinya (Gambar 1 dan Gambar 2), amplifikasi tinggi terkonsentrasi
pada satuan endapan pasir-lempungan. Sedangkan amplifikasi rendah mendominasi di
daerah penelitian dan terkonsentrasi pada satuan lava. Kelas amplifikasi tinggi terjadi
karena adanya kontras impedansi antara satuan endapan pasir-lempungan yang
menumpang di atas satuan lava. Kurva HVSR menunjukkan ‘clear peak’ atau puncak
tajam yang merepresentasikan kontras impedansi antara 2 litologi yang berbeda.
Sedangkan hasil pengukuran pada satuan lava menunjukkan kurva HVSR tipe ‘mulitple
peak’ dengan puncak rendah yang merepresentasikan tidak adanya kontras impedansi
yang signifikan, melainkan batuan yang homogen, kompak, dan masif.

4.2. Peta Frekuensi Resonansi Kawasan Wisata Sembalun

Pada peta frekuensi resonansi di daerah penelitian (Gambar 5), dapat diketahui bahwa di
daerah penelitian dijumpai 3 kelas berdasarkan klasifikasi Ratdomopurbo dan Suharna
(2008), yakni kelas fo tinggi (0.5 Hz<fo≤1 Hz), fo rendah (1 Hz<fo≤2 Hz), dan fo sangat
rendah (fo>2 Hz). Jika dikaitkan dengan Peta Geologi Kawasan Wisata Sembalun Skala
1:25.000 beserta profil geologinya (Gambar 1 dan Gambar 2), nilai frekuensi yang

534
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D024UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

cenderung lebih tinggi terkonsentrasi pada satuan endapan pasir-lempungan. Sedangkan


nilai frekuensi resonansi yang cenderung lebih rendah terkonsentrasi pada satuan lava.

Nilai frekuensi resonansi dapat digunakan untuk menentukan kedalaman


basement secara kualitatif, dimana semakin besar nilai frekuensi resonansi maka posisi
basement secara kualitatif lebih dalam. Posisi basement yang lebih dalam diiringi dengan
pembentukan cekungan memberikan kesempatan bagi sedimen untuk terakumulasi di
zona cekungan tersebut. Sedimen yang terakumulasi menjadi lebih tebal akan
memperbesar kecepatan gelombang geser saat gempabumi berlangsung. Kecepatan
gelombang geser yang semakin tinggi menyebabkan goncangan gempa yang semakin
besar.

4.3. Peta Indeks Kerentanan Seismik Kawasan Wisata Sembalun

Nilai indeks kerentanan seismik (Kg) didapatkan dari rasio kuadrat dari nilai
amplifikasi terhadap nilai frekuensi resonansi (Nakamura, 2008). Nilai Kg mencerminkan
tingkat kerentanan lapisan tanah permukaan terhadap deformasi saat gempabumi
berlangsung. Semakin unconsolidated suatu batuan/sedimen, maka nilai Kg semakin besar.

Peta indeks kerentanan seismik (Kg) di daerah penelitian ditunjukkan pada


gambar 6. Distribusi nilai Kg di daerah penelitian berkisar antara 0.654-218.005. Secara
umum, distribusi nilai-nilai yang relatif tinggi banyak dijumpai di sisi timur daerah
penelitian yang didominasi oleh dataran aluvial dengan litologi pasir-lempungan.
Selanjutnya, dilakukan perhitungan perhitungan rata-rata geometrik yang memberikan
informasi rata-rata nilai Kg dengan mempertimbangkan luasan masing-masing zona
yang mencakup pemukiman pada masing-masing desa. Hasil perhitungan rata-rata
geometrik nilai Kg untuk masing-masing pemukiman ditunjukkan pada tabel 1.
Berdasarkan tabel 1 tersebut, rata-rata nilai Kg di masing-masing pemukiman adalah
sebagai berikut: Sembalun Bumbung (52.3), Sembalun Lawang (51.1), Sembalun (42.3),
dan Sembalun Timbagading (37.3).

Peta distribusi nilai Kg di daerah penelitian selanjutnya divalidasi dengan data


lapangan yang merepresentasikan rasio kerusakan bangunan di 4 desa di Kawasan
Wisata Sembalun pasca gempa Lombok 2018. Data rasio kerusakan bangunan tersebut
dapat dilihat pada tabel 2. Selanjutnya, nilai Kg dikorelasikan dengan rasio kerusakan
bangunan di daerah penelitian dan divisualisasikan dalam bentuk grafik korelasi pada
gambar 7. Grafik tersebut menunjukkan trendline berbanding lurus yang
merepresentasikan bahwa hasil validasi terhadap nilai Kg di daerah penelitian dapat
diterima.

Interpretasi terhadap variasi nilai Kg di daerah penelitian erat kaitannya dengan


variasi satuan batuan yang berpengaruh terhadap kontras impedansi di daerah
penelitian. Berdasarkan profil geologi daerah penelitian pada gambar 2, tampak adanya
kontras litologi antara satuan endapan pasir-lempungan dan satuan produk piroklastik
(jatuhan maupun aliran) yang bertindak sebagai sedimen dengan satuan lava sebagai
basement (batuan kompak). Adanya perbedaan tingkat kekompakan dan ketebalan

535
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D024UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

sedimen berpengaruh terhadap kontras impedansi dan kecepatan gelombang beser.


Kontras impedansi yang semakin besar menyebabkan penguatan gelombang gempabumi
(amplifikasi) semakin besar. Sedangkan, sedimen yang semakin tebal akan memperbesar
kecepatan gelombang geser. Amplifikasi yang besar dan kecepatan gelombang geser
yang tinggi menyebabkan potensi kerusakan terhadap bahaya gempabumi semakin
besar. Oleh karena itu, beberapa pemukiman di daerah penelitian yang dibangun di atas
satuan endapan pasir lempungan dan satuan produk piroklastik menunjukkan nilai Kg
dan rasio kerusakan bangunan yang cenderung besar.

V. KESIMPULAN

Hasil analisis data mikrotremor menggunakan metode HVSR di Kawasan Wisata


Sembalun menunjukkan bahwa secara umum daerah penelitian penelitian memiliki nilai
Kg yang berkisar antara 0.654-218.005. Secara umum, distribusi nilai Kg yang relatif
tinggi, dicirikan dengan warna oranye-merah, banyak dijumpai di sisi timur daerah
penelitian meliputi pemukiman utara di Desa Sembalun Bumbung, Desa Sembalun
Lawang, Desa Sembalun Timbagading, dan pemukiman timur Desa Sembalun.
Sedangkan nilai Kg yang relatif rendah, dicirikan dengan warna hijau-kuning, umumnya
dijumpai pada sisi barat daerah penelitian dan beberapa daerah di sisi selatan dan timur
laut dimana tersusun atas satuan lava. Daerah tersebut merupakan daerah non-
pemukiman yang hanya dimanfaatkan sebagai kawasan hutan lindung, perkebunan, dan
pertanian.

DAFTAR PUSTAKA

BNPB. 2018. Dampak Gempa Lombok: 460 Orang Meninggal Dunia dan Kerugian Ekonomi 7,45 Trilyun
Rupiah. [ONLINE]. https://www.bnpb.go.id/dampak-gempa-lombok-460-orang-meninggal-
dunia460-dan-kerugian-ekonomi-745-trilyun-rupiah. Diakses pada 13 Oktober 2018.

Daryono. 2012. Teori dan Pengolahan Data Mikrotremor. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika.
Jakarta.

Dinas PU Pemda LOTIM. 2014. Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Kabupaten (KSK)
Agropolitan Sembalun. Pemerintah Kabupaten Lombok Timur Dinas Pekerjaan Umum Bidang
Tata Ruang. Kabupaten Lombok Timur.

Hidayati, N., Kaluku, A., Sativa, O., Budi, F., Sakti, A.P., Pramono, S., Permana, D., dan Prayitno, B.S.
2018. Ulasan Guncangan Tanah Akibat Gempa Lombok Timur 19 Agustus 2018. Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Jakarta.

Nakamura, Y. 1989. A Method for Dynamic Characteristic Estimation of Subsurface Using Microtremor
on the Ground Surface. QR of R.T.R. 30 (1): 25 – 33.

Nakamura Y. 2000. Clear Identification of Fundamental Idea of Nakamura’s Technique and Its
Applications. Proc. of the 12th World Conf. on Earth. Eng. 30 Januari – 4 Februari: 2656 – 2663.

Okuma, Y., Harada, T., Yamazaki, F., Matsuoka, M. 2000. Site Amplification Characteristic in Miyazaki
Prefecture, Japan Using Microtremor and Seismic

536
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D024UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Records.Tersediapada:http://ares.tu.chibau.jp/~papers/paper/ZONATION/00185Okuma.pdf.
Diakses pada 13 Oktober 2018.

Ratdomopurbo, A. dan Suharna. 2008. Pedoman Pemetaan Mikrozonasi. Badan Geologi Departemen
Energi dan Sumberdaya Mineral. Bandung.

SK Bupati Lombok Timur 188.45/SOS/2018 Data Kerusakan Rumah Pasca Gempa di Kecamatan
Sembalun. Desember 2018. Selong.

Susilanto, P., Ngadmanto, D., Daryono, Hardy, T., Pakpahan, S. 2016. Penerapan Metode Mikrotremor
HVSR untuk Penentuan Respons Dinamika Kegempaan di Kota Padang. Jurnal Lingkungan dan
Bencana Geologi 7(2): 79 – 88.

Tim Survei Panas Bumi. 2006. Laporan Survei Terpadu Daerah Panas Bumi Sembalun, Lombok Timur,
Nusa Tenggara Barat. Pusat Sumber Daya Geologi. Bandung.

UNESCO. 2018. Rinjani-Lombok UNESCO Global Geopark (Indonesia). [ONLINE].


http://www.unesco.org/new/en/natural-sciences/environment/earth-sciences/unesco-global-
geoparks/list-of-unesco-global-geoparks/indonesia/rinjani-lombok/. Diakses pada 28 November
2018.

537
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D024UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 1. Rata-rata geometrik nilai Kg pada masing-masing desa.

Luasan Rata-rata
Nilai Kg
Desa per zona geometrik nilai
per zona
(km2) Kg
125 0.07
Sembalun 60 0.17
52.3
Bumbung 30 0.09
15 0.3
Sembalun 60 0.15
51.1
Lawang 30 0.05
Sembalun 60 0.2
37.3
Timbagading 30 0.07
60 0.11
Sembalun 30 0.22 42.3
7.5 0.28

Tabel 2. Jumlah bangunan dan rasio kerusakan bangunan di 4 desa di Kawasan Wisata
Sembalun. Sumber: Pemerintah Kabupaten Lombok Timur, 2018.

Kondisi Kerusakan Rasio


No Desa/Dusun Jumlah Jumlah
Kerusakan
Bangunan
Ringan Sedang Berat (%)

Sembalun
1 1957 518 303 1034 1855 94.79
Bumbung

Sembalun
2 799 184 187 212 583 72.97
Lawang

Sembalun
3 1560 125 164 129 418 26.79
Timbagading

4 Sembalun 656 66 85 196 347 52.90

538
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D024UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Peta Geologi Kawasan Wisata Sembalun Skala 1:25.000.

539
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D024UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Profil Geologi Kawasan Wisata Sembalun

540
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D024UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Diagram alir metode HVSR.

541
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D024UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Peta Amplifikasi Kawasan Wisata Sembalun.

542
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D024UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. Peta Frekuensi Resonansi (Fo) Kawasan Wisata Sembalun

543
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D024UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 6. Peta Indeks Kerentanan Seismik (Kg) Kawasan Wisata Sembalun

544
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D024UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 7. Hubungan indeks kerentanan seismik (Kg) dengan rasio kerusakan bangunan (%).

545
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D025POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

PENGARUH PERUBAHAN SIFAT KETEKNIKAN BREKSI LAPUK


TERHADAP TERBENTUKNYA BIDANG GELINCIR LONGSORAN
DENGAN METODE KLASTER (STUDI KASUS DI LONGSORAN GUNUNG
PAWINIHAN, BANJARNEGARA, JAWA TENGAH)
Dr. Indra Permanajati, ST., MT 1*Dr. Zufialdi Zakaria 2Dr. Sapari Dwi Hadian 3Sachrul
Iswahyudi, ST., MT 4
1Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Jenderal Soedirman, Jln. Mayjen Sungkono, Km 5,
Blater, Purbalingga, Jawa Tengah
2Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran,Bandung

*Corresponding Author: indrapermanajatimt@yahoo.co.id

ABSTRAK.Longsoran adalah peristiwa turunnya material tanah, regolith, dan batuan ke bawah
lereng karena gravitasi. Peristiwa ini dapat memakan korban jika berinteraksi dengan kehidupan
manusia. Sehingga fenomena ini harus terus diwaspadai dan diteliti untuk dicarikan solusi
pencegahannya. Salah satu longsoran yang seringkali menimbulkan banyak korban adalah terjadi
pada litologi breksi, sehingga penelitian mengenai longsoran pada breksi terus untuk
ditingkatkan. Salah satu fokus yang terus dikaji adalah posisi bidang gelincir. Pada beberapa
lokasi longsoran yang terjadi pada breksi, bidang gelincir hampir mempunyai pola yang sama
terkait komposisi materialnya, sehingga diperlukan pengujian keteknikan pada bidang ini.
Komposisi material yang dimaksudkan adalah berdasarkan derajat pelapukannya. Hal tersebut
yang melatarbelakangi penelitian ini. Metode yang digunakan untuk mengidentifikasi tingkat
pelapukan adalah dengan metode British Standard BS EN ISO 14689-1 untuk material tidak
seragam. Kemudian setelah identifikasi tingkat pelapukan dilakukan pengambilan sampel untuk
pengujian sifat fisik dan mekanik secara sistematik berdasarkan tingkat pelapukannya.
Pengolahan data digunakan metode klaster. Hasil yang didapatkan kadar air mempunyai
kedekatan nilai antara 4,5,6 dan berbeda nilai dengan zona 3. Berat isi didapatkan kedekatan nilai
antara zona 4,5,6 dengan perbedaan nilai pada zona 3. Batas cair didapatkan kedekatan nilai
antara 3,4,5 dengan 5 dan 6. Partikel lempung didapatkan kedekatan nilai antara 3,4,5,6 ada
perbedaan beberapa nilai dari zona 5. Batas plastis didapatkan kedekatan nilai antara zone 3,4,5
dan berbeda dengan zona 5,6. Nilai kohesi didapatkan kedekatan nilai antara 4,5,6 dengan
perbedaan nilai dengan zona 3. Nilai sudut geser dalam didapatkan kedekatan nilai antara 4,5,6
dengan perbedaan nilai dengan zona 3. Sehingga keterdapatan bidang gelincir pada batas zona 3
dan 4 sangat memungkinkan dari penilaian sifat fisik dan mekanik.

Kata kunci: Bidang gelincir, British standard, Metode klaster, Sifat keteknikan, Zona pelapukan

I. PENDAHULUAN

Berdasarkan data tingkat kerawanan longsor Provinsi Jawa Tengah, daerah


Banjarnegara termasuk dalam zona merah yang merupakan daerah rawan longsor,
terutama di wilayah Banjarnegara bagian utara. Bencana longsoran di daerah ini tercatat
sebagai longsoran dengan jumlah korban cukup banyak (Permanajati, drr., 2006).
Beberapa longsoran tersebut terjadi pada litologi breksi. Sehingga penelitian pada

546
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D025POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

longsoran breksi ini dilakukan untuk mengidentifikasi posisi bidang gelincir. Salah satu
pendekatan yang tepat untuk mengidentifikasi posisi bidang gelincir adalah dengan
pemahaman tingkat pelapukan. Bidang yang teramati pada bidang gelincir adalah
material kedap. Yang menjadi permasalahan adalah mengenai material kedap tersebut
apakah material dalam bentuk batuan segar atau sudah mengalami pelapukan. Dari
beberapa penelitian yang membahas tentang bidang gelincir belum ada yang
menjelaskan tentang hubungan antara bidang gelincir dengan tingkat pelapukan,
terutama breksi. Sehingga dalam penelitian ini akan dibahas mengenai penjelasan bidang
gelincir dari tingkat pelapukan batuan. Perbedaan derajat pelapukan batuan juga
mempengaruhi sifat keteknikannya. Beberapa peneliti telah melakukan penelitian
mengenai keterkaitan sifat fisik mekanik dengan tingkat pelapukan, Hoek dan Brown
(1980) telah melihat adanya hubungan antara perubahan geomekanik terahadap derajat
pelapukan. Kossev (1970) menemukan adanya pengaruh sifat fisik dan mekanik berbagai
batuan akibat adanya pelapukan. Kemudian, Topal dan Sozmen (2001) telah menemukan
adanya perubahan sifat-sifat fisik tertentu terhadap perubahan profil kedalaman tufa.
Karpuz dan Pasamehmetoglu (1997) juga telah mempelajari karakteristik pelapukan
andesit Ankara dalam hubungannya dengan pengujian sifat keteknikan di lapangan.
Gupta dan Rao (2001) dalam usaha menyusun indeks pelapukan, telah menemukan
adanya perubahan sifat fisik dan kekuatan pada quarsit, granit dan basalt sebagai akibat
proses pelapukan. Moon dan Jayawardane (2004) telah menemukan adanya perubahan
sifat keteknikan terkait dengan derajat pelapukan pada basalt di Kramu, New Zeland.
Penelitian lain terhadap sifat-sifat fisik pada batuan lapuk pernah dilakukan oleh
Jworchan (2006) pada granit dan granit gneiss di Thailand bagian selatan. Pengujian
meliputi sifat-sifat fisik tanah yang meliputi kondisi kelembaban, berat jenis, fraksi butir,
batas-batas Atterberg, kadar lempung, berat isi, dan angka pori. Hasil yang didapatkan
menunjukkan adanya perbedaan sifat fisik pada tiap derajat pelapukannya Penelitian
mengenai perubahan sifat keteknikan pada batuan lapuk juga telah dilakukan oleh
Sadisun drr (2000) yang telah melakukan pengujian terhadap nilai porositas efektif (ne),
densitas, point load strength index (Is), kohesi (C), dan sudut geser dalam (Ф) untuk tiap
derajat pelapukan yang berbeda. Hasil yang didapatkan adalah adanya kecenderungan
perubahan naik secara geometrik pada nilai porositas efektif, terjadi penurunan secara
eksponensial pada nilai densitas, penurunan secara logaritmatik pada nilai point load
strength index, dan penurunan secara linier pada nilai kohesi dan sudut geser dalam
(Sadisun drr., 2000). Pelapukan secara mekanis dan kimia akan mengubah sifat kekuatan
tanah dan batuan hingga mengganggu kestabilan lereng (Soedarmo dan Purnomo, 1997).
Beberapa peneliti mengatakan pelapukan merupakan faktor penting untuk terjadinya
longsoran seperti Moghaddas dan Ghafoori (2007) dan Kim dan Chae (2005), bahkan
sebagai faktor pemicu catastropic landslide (Jaboyedoff, drr., 2003). Perubahan
karakteristik fisik dan mineralogi pada proses pelapukan akan berpengaruh terhadap
nilai UCS, TS (tensile strength), dan BPI (block punch strength index) (Arikan, drr., 2007).
Proses pelapukan juga akan berpengaruh terhadap penurunan nilai kohesi dan sudut
geser dalam seiring perubahan batuan menjadi tanah, seperti penelitian yang telah
dilakukan oleh Sadisun drr (2000) terhadap batulempung Formasi Subang yang sudah
mengalami pelapukan. Penelitian lain dilakukan Gartung (1986) yang menyatakan
penurunan kuat geser dapat terjadi secara cepat, ketika batuan tersebut menyerap air
547
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D025POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

selama proses pembebanan. Penelitian tersebut terdapat pada batulempung. Lebih lanjut,
Gartung (1986) membagi kekuatan geser batulempung berdasarkan empat zona, yaitu
zona I merupakan kekuatan geser pada batulempung yang belum lapuk sampai zona IV
yang merupakan kekuatan geser pada batulempung yang sudah mengalami pelapukan.
Tobe dan Chigira (2006) juga menyatakan terjadinya perubahan kekuatan geser pada
granit dan granodiorit karena proses pelapukan. Granit dan granodiorit akan mengalami
penurunan nilai sudut geser dalam seiring derajat pelapukan, tetapi kohesi pada
granodiorit akan meningkat. Penurunan nilai kohesi dan sudut geser dalam akan
berpengaruh langsung terhadap nilai kestabilan lereng pada lereng tertentu. Lokasi
penelitian di daerah longsoran gunung Pawinihan Banjarnegara (Gambar 1). Lokasi di
daerah penelitian tersusun oleh litologi breksi piroklastik yang merupakan produk
gunungapi kuarter Rogojombongan (Condon, drr., 1996). Gerakan tanah di daerah
penelitian termasuk dalam kategori longsoran cepat dan sangat cepat (Hansen, 1984
dalam Zakaria, 2009).

II. METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan untuk menentukan tingkat pelapukan adalah


menggunakan metode British Standard EN ISO 14689-1 untuk material tidak seragam
(Price dan Velbel, 2003) (Tabel 1). Setelah diketahui tingkat pelapukan, kemudian
dilakukan pengambilan sampel secara sistematik vertikal untuk pengujian keteknikan
material dari zona 6 ke bawah. Pengambilan sampel pada zona pelapukan dengan teknik
sumur uji vertikal. Kondisi di lapangan sudah terjadi longsoran, sehingga posisi bidang
gelincir dapat ditentukan dengan zona pelapukan, kemudian pengambilan sampel
dimaksudkan untuk mendapatkan nilai kuantitatif perubahan nilai fisik dan mekanik
terhadap bidang gelincir. Hasil yang didapatkan kemudian diolah secara statistik dengan
metode metode klaster. Pengujian sifat indeks dalam penelitian ini menggunakan contoh
tak terganggu (undisturb) batuan dan tanah berdasarkan derajat pelapukannya.
Pengujian sifat indeks dilakukan mengacu pada Standard Nasional Indonesia yang
berlaku seperti, kadar air (SNI M – 05 – 1989 – F), berat jenis (SNI M. – 04 – 1989 – F),
Pengujian ukuran butir dengan metode saringan (SNI 03 – 3423 - 1994), metode
hydrometer (SNI 03-3423-1994). Sedangkan untuk batas-batas Atterberg digunakan
berdasarkan SNI 03 - 1967 – 1990 untuk batas cair dan SNI 03- 1996 - 1990 untuk batas
plastis.

Penelitian di lapangan terdiri dari dua lokasi di bukit Pawinihan, yaitu lokasi
pertama untuk menentukan daerah ideal yang dapat teramati zona pelapukannya,
kemudian daerah pengambilan sampel adalah daerah longsoran gunung Pawinihan yang
sudah mengalamilongsor. Dua daerah ini masih dalam lokasi yang berdekatan dan masih
dalam litologi yang sama yaitu breksi piroklastik. Secara umum litologi di lokasi
penelitian adalah produk kuarter Jogo Jembangan (Qjo), disekitarnya terdapat satuan
yang lebih tua yaitu satuan lempung Formasi Halang (Condon, drr., 1996). Longsoran
terjadi pada litologi breksi yang termasuk dalam produk kuarter Rogojembangan (Qjo)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

548
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D025POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dengan menggunakan metode British


standard EN ISO 14689-1 untuk material heterogen didapatkan 6 zona pelapukan yang
terekspos di lapangan yaitu zona 1, zona 2, zona 3, zona 4, zona 5, dan zona 5. Zona 2 dan
zona 1 tidak terekspos di permukaan (Gambar 2). Lokasi model untuk zona pelapukan di
bukit bagian utara, yaitu di dekat jalur jalan desa Prendengan, kemudian tempat
pengambilan sampel adalah di bagian tengah gunung Pawinihan. Lokasi pengambilan
sampel adalah lokasi longsoran gunung Pawinihan yang terjadi sekitar bulan Januari
2006 dimana longsoran ini memakan korban lebih dari 80 orang meninggal dunia. Kedua
lokasi merupakan formasi yang sama yaitu Kuarter Rogojembangan (Qjo). Materialnya
tersusun atas litologi breksi piroklastik dan tersebar hampir disemua bukit gunung
Pawinihan. Berdasarkan korelasi perubahan sifat keteknikan dengan zona pelapukannya
didapatkan hasil yang berbeda pada tiap nilai keteknikan. Dengan analisis klaster
didapatkan kedekatan nilai antara zona 3,4,5,6 Kadar air Dengan analisis klaster
didapatkan kedekatan nilai antara 4,5,6 dan berbeda nilai dengan zona 3 Densitas dengan
analisis klaster didapatkan kedekatan nilai antara zona 4,5,6 dengan perbedaan nilai pada
zona 3. Batas cair. Dengan analisis klaster didapatkan kedekatan nilai antara 3,4,5 dengan
5 dan 6. Batas plastis Dengan analisis klaster didapatkan kedekatan nilai antara 3,4,5
dengan 5 dan 6. Indek plastisitas dengan analisis klaster didapatkan kedekatan nilai
antara 3,4,5 dengan 5 dan 6. Antara nilai batas cair, batas plastis, dan indek plastisitas
sulit untuk dibuat korelasinya karena ada kesamaan nilai terutama antara zona 5 dan 6,
sehingga diperlukan metode klaster untuk menyusun kedekatan nilai. Partikel lempung
dengan analisis klaster didapatkan kedekatan nilai antara 4,5,6 dengan perbedaan nilai
dengan zona 3. Sudut geser dalam mengalami Dengan analisis klaster didapatkan
kedekatan nilai antara 4,5,6 dengan perbedaan nilai dengan zona. (Gambar 4). Masing-
masing sifat keteknikan menunjukkan hasil yang berbeda dari korelasi dengan zona
pelapukannya, hal ini menunjukkan adanya pola sistem dalam pelapukan breksi yang
menyebabkan terjadinya perubahan pada nilai keteknikannya. Perubahan ini akan
mendukung terbentuknya zona lemah dalam internal tanah hasil pelapukan breksi. Dari
perubahan yang signifikan kohesi di zona 3 sampai zona 4 menunjukkan adanya zona
yang rawan di batas zona ini karena penurunan kohesi sangat significant di bagian ini.
Pada lokasi penelitian digunung pawinihan didapatkan bidang gelincir berhenti pada
zona 3 dan kemudian mengikuti zona 3. Kemudian dari hasil densitas menunjukkan nilai
yang significant di zona 3 sampai zona 4, dicirikan dilapangan dengan perubahan
karakter material yang dominan batu dan dominan tanah di bagian ini. Kemudian dari
pengujian atterberg limit ada perubahan linier naik di zona 4 sampai 5 dan zona 6, tetapi
ada kesamaan nilai batas plastis dan batas cair antara zona 5 dan zona 6 seperti pada
grafik klaster batas plastis dan cair. Hal ini membuktikan bahwa zona pelapukan 5 dan 6
dapat dibedakan di lapangan, tetapi sulit untuk dibedakan di laboratorium. Peningkatan
batas atterberg di zona 5 dan 6 dapat dijelaskan bahwa batuan semakin lapuk dan
terubah menjadi material tanah. Kemudian dominasi partikel lempung ada di zona 5, hal
ini dapat dijelaskan bahwa zona ini merupakan zona akumulasi mineral lempung. Yang
menjadi fokus penelitian adalah menjelaskan perubahan yang signifikan material batu
menjadi tanah di batas zona 3 dan 4 dimungkinkan karena adanya akumulasi air di zona
ini. Kemudian untuk mempertajam identifikasi zona pelapukan berdasarkan kedekatan

549
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D025POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

nilai digunakan metode klaster. Metode ini akan sangat membantu menjelaskan pola
distribusi nilai keteknikan pada zona pelapukan.

Kondisi di lapangan posisi bidang gelincir seperti gambar di atas berbentuk rotasi
yang melewati zona 6, 5, dan 4 kemudian translasional mengikuti zona 3. Sketsa di atas
merupakan kombinasi data geolistrik, sumur uji, pemetaan geologi lapangan, dan hasil
analisis laboratorium. Pada model di gunung Pawinihan satu sistem longsoran bisa
mengenai semua zona dan akan berhenti pada zona 3 dan mengikuti zona 3.

IV. KESIMPULAN

Terbentuknya bidang gelincir pada batas antara zona 3 dan 4 karena pada bagian
tersebut terjadi perubahan komposisi material batu menjadi dominasi tanah, pada bagian
ini diasumsikan sebagai tempat akumulasi air tanah atau muka air tanah sehingga proses
pelapukan sangat intensif di batas zona ini, yang berakibat terhadap penurunan nilai
kohesi yang signifikant di zona 3 ke 4. Dari hasil analisis klaster menunjukkan adanya
perbedaan kedekatan nilai kohesi pada zona 3 dengan kohesi di zona 4, 5, 6. Kohesi pada
zona 3 mempunyai nilai yang lebih besar dari nilai kohesi 4, 5, 6, Sehingga sangat
memungkinkan bidang gelincir akan berhenti pada zona 3. Kemudian dari hasil analisis
partikel lempung didapatkan nilai terbesar pada zona 5 dimana mempunyai berbedaan
nilai dengan zona lainnya. Hal ini dapat menjelaskan kemungkinan di zona 5 merupakan
akumulasi lempung dari proses leaching pada lapisan diatasnya. Kemudian nilai densitas
berbeda antara zona 3 dan tiga zona diatasnya, karena terkait dengan proporsi batuan
lebih besar di zona 3. Sehingga dari kedekatan nilai dan fakta di lapangan dapat
dijelaskan bahwa longsoran akan mengenai zona 6, 5, 4 dan akan berhenti di zona 3 dan
mengikuti zona 3.

DAFTAR PUSTAKA
Calcaterra, D. dan Parise, M., 2010. Weathering as a Predisposing Factor to Slope Movements an
Introduction, Engineering Geology Special Publications, Geological Society London, 23: 1-4.

Condon,W.H., Pardyanto, L., Ketner, K.B., Amin, Gafoer, S., dan Samodra, H., 1996. Peta Geologi
Lembar Banjarnegara dan Pekalongan, Jawa, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi,
Edisi ke-2.

Gupta, A.S. dan Rao, K.S. 2001. Weathering indices and their applicability for crystalline rocks,
Eng. Geol. Env., 60: 201-221.

Hoek, E. dan Brown, E.T., 1980. Empirical strength criterion for rock masses, J. Geotech. Eng.

Div., ASCE, 106: 1013-1035.

Jaboyedoff, M., Bardou, E., dan Baillifard, F., 2003. Incipient Weathering and Crushing as a
Potentially Important Mechanical Effect for Landslide Behaviors, Geophysical Research
Abstracts, European Geophysical Society, 5: 1-2.

Jworchan, I. 2006. Mineralogy and Chemical Properties of Residual Soils, Engineering Geology,
IAEG, The Geological Society of London, Paper Number 21: 1-7.

550
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D025POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Kossev, V.N., 1970. Corelation between the physical and mechanical properties of rocks and
degree of their weathering, Beigrade, Proc. 2nd Conf. Int. Soc. Rock Mech., I:1-67

Kim, W.Y and Chae, B.G. 2005. Landslide Characteristic on Differentially Weathered Rock Mass.
Korea, Geophysical Research Abstracts, European Geoscience Union, 7: 1-2.

Moon, V. and Jayawardena J., 2004. Geomechanical and geochemical changes during early stages
of weathering of Kramu Basalt, New Zeland, Eng. Geol., 74:57-72.

Permanajati, I., Waluyo,G., Suwardi., dan Setijadi, R., (2006): Longsoran Gunung Pawinihan, Desa
Sijeruk, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara, Prosiding Lokakarya DAS Serayu Hulu,
Unsoed, pp. 1-4.

Sadisun, I., Shimada, H., dan Matsui, K. 2000. Characterization of Weathered Claystone and Their
Engineering Signification, Indonesian Scientific Meeting, Fukuoka, Japan, pp. 1-8.

Moghaddas, N.H dan Ghafoori, M. 2007. Investigation of the Distribution and Causes of Landslide
in Central Alborz, Iran, World Applied Science Journal 2, 6: 652-657.

Zakaria, Z, (2009), Analisis Kestabilan Lereng Tanah, Teknik Geologi Universitas Padjadjaran,
Bandung, pp 5-6

Tabel 1

Zona Description Typical characteristic

551
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D025POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

1 100% grades I-III Behave as rock, apply rock

Mechanic principles to mass


assesment and
design
2 >90% grades I-III, 10% grades IV-VI Weak materials along Discontinuties, shear
strenght Stiffness
and permeability affected
3 50% to 90% grades I-III, 10 % to Rock framework still locked and
50% grades IV-VI control strenght, and Stiffnes, matrix
control
Permeability
4 30% to 50% grades I-III Rock framework contribute to Strnght
matrix or weathering Product control
stiffnes
5 <30% grades I-III, 70%-100% Weak grades will control

grade IV-VI Behaviour, corestone may be significant


for investigation and contruction
6 100% grades IV May Behave as soil although fabric may still
significan

552
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D025POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Lokasi Penelitian di desa Sijeruk, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara

553
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D025POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Gambar 3D daerah penelitin berdasarkan citra SRTM

Gambar 3. Pembagian zona pelapukan breksi berdasarkan metode British Standard ( foto
menghadap ke barat)

554
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D025POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Metode klaster untuk analisis specific gravity dan moisture content

555
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D025POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. Metode klaster untuk analisis density, liquid limits, plastic limits, dan index plasticity

556
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D025POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 6. Metode klaster untuk clay particle, cohesion, dan internal friction angle

557
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D025POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 7. Korelasi antara bidang gelincir dengan zona pelapukan

558
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

ANALISIS FAKTOR PENYEBAB BANJIR ROB DAN STRATEGI


PENANGGULANGANNYA DENGAN PEMBANGUNAN BREAKWATER DI
WILAYAH SEMARANG UTARA, JAWA TENGAH, INDONESIA
Agus Nur Shidik 1*,Dwi Utari 2,Meliana Atmika 3

Teknik Geologi Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia Jl. Prof.H.Soedarto S.H, Tembalang, Kec.
1

Tembalang, Kota Semarang, Jawa Tengah

*Corresponding Author: agusnurshidik@gmail.com

ABSTRAK. Wilayah Semarang Utara merupakan wilayah yang sering terkena dampak dari banjir
pasang surut atau lebih dikenal dengan istilah banjir rob. Banjir rob merupakan peristiwa naiknya
air laut sampai menggenangi daratan di sekitarnya, sehingga menimbulkan permasalahan
lingkungan. Permasalahan banjir rob di wilayah Semarang Utara merupakan masalah yang belum
teratasi dan menimbulkan berbagai kerugian. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis
berbagai faktor penyebab banjir rob dan upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi
permasalahan tersebut. Dalam penelitian ini digunakan metode analisis deskriptif dengan
melakukan observasi langsung dan mengkaji penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Pada
tahun 2010, luas genangan banjir rob di wilayah Semarang Utara sekitar 3.821 Ha, luas wilayah
yang terdampak akan terus bertambah dan diprediksi pada tahun 2030 meluas hingga 5.099 Ha
(Bakti, 2010). Hal tersebut dipicu oleh beberapa faktor seperti penurunan muka tanah (land
subsidence), pemanasan global, gelombang laut yang tinggi, tingkat abrasi yang intensif, dan
kerusakan drainase. Salah satu upaya yang dapat diterapkan untuk mengurangi permasalahan
banjir rob di wilayah tersebut adalah dengan membangun konstruksi Breakwater. Pasang tertinggi
di wilayah perairan Semarang dapat mencapai sekitar 1.93 m (Saputro dkk, 2015). Berdasarkan
perhitungan, permodelan Breakwater yang dibangun untuk kondisi pantai tersebut sebaiknya
memiliki tinggi dari dasar sebesar 4.33 m dengan panjang 200 m dan lebar 3.25 m. Peletakkan
Breakwater dibuat 180-400 m dari garis pantai dengan jarak antar Breakwater sejauh 75 m. Breakwater
dibangun sepanjang 2.75 km mengikuti kontur batimetri dengan jumlah sekitar 10 buah. Model
perlindungan pantai dengan bangunan Breakwater dinilai efektif berdasarkan kondisi pantai
terkait, karena mampu menahan laju sedimen dari pantai ke arah laut, sehingga dapat
mengendapkan sedimen di bibir pantai dan menambah luas daratan.

Kata kunci:Semarang Utara, Banjir rob, Breakwater

I. PENDAHULUAN

Latar belakang dari penelitian ini adalah adanya masalah terkait banjir pasang surut
atau banjir rob yang masih sering terjadi di wilayah Semarang Utara. Banjir rob
merupakan peristiwa naiknya air laut sampai menggenangi daratan di sekiatarnya,
sehingga menimbulkan permasalahan lingkungan. Oleh karena itu, di perlukan sebuah
strategi untuk mengurangi frekuensi dari banjir rob yang terjadi di Semarang Utara.
Wilayah Semarang Utara merupakan salah satu kecamatan di Kota Semarang. Wilayah
ini tumbuh sebagai kawasan perdagangan dan industri. Kemudian willayah Semarang
Utara memiliki letak yang strategis karena di lalui oleh jalur pantai utara (Pantura) yang
merupakan salah satu jalur transportasi utama yang menunjang perekonomian nasional.
Namun, jalur transportasi pantai utara di wilayah Semarang Utara sering mengalami

559
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

gangguan yang di sebabkan oleh banjir rob yang terjadi di wilayah tersebut. Banjir rob
tersebut menyebabkan kemacetan lalulintas dan di beberapa titik menyebabkan
kerusakan jalan.

Wilayah Semarang Utara memiliki topografi yang relatif rendah yakni dengan
kemiringan sekitar 0- 2 % dengan sebagian besar wilayahnya hampir sama tingginya
dengan permukaan laut bahkan di beberapa tempat berada dibawahnya (BAPPEDA,
2000). Kondisi tersebut menyebabkan frekuensi banjir rob di wilayah Semarang Utara
terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2010, luas genangan banjir rob di wilayah
Semarang Utara sekitar 3.821 Ha, luas wilayah yang terdampak akan terus bertambah
dan diprediksi pada tahun 2030 meluas hingga 5.099 Ha (Bakti, 2010). Oleh karena itu, di
perlukan sebuah metode yang tepat untuk mengurangi frekuensi banjir rob di Wilayah
Semarang Utara.

Breakwater atau bangunan pemecah gelombang merupakan salah satu metode


yang dapat di terapkan untuk mengatasi permasalahan banjir rob di suatu wilayah.
Bangunan tersebut berfungsi untuk meredam energi gelombang yang datang dari arah
laut, sehingga gelombang yang sampai di bibir pantai sudah relatif tenang. Kemudian
bangunan Breakwater akan membantu dalam proses sedimentasi yang terjadi di bibir
pantai sehingga akan menyebabkan terjadinya akresi.

II. GEOLOGI REGIONAL

Fisiografi

Menurut Bamelen (1970), berdasarkan kondisi fisiografis wilayah Jawa dapat


dibagi menjadi tujuh bagian yaitu Gunungapi Kuarter, dataran Alluvial pantai utara
Jawa, Antiklinorium Rembang - Madura, Antiklonorium Bogor - Serayu utara - Kendeng,
Pematang dan Dome pada pusat Depresi, Depresi Jawa dan Zona Randublatung, dan
Pegunungan Serayu Selatan.

Daerah penelitian yang terletak di Semarang Utara, Kota Semarang, Jawa Tengah
termasuk dalam bagian zona Dataran Aluvial Jawa Utara dengan morfologi daerah
dataran dan daerah pantai.

Geomorfologi

Menurut Nugroho dan Dwiyanto (1998), secara geomorfologi kota Semarang dan
sekitarnya dapat dikelompokkan menjadi beberapa satuan, antara lain :

2. Satuan Dataran Pantai

Satuan ini menyebar secara lateral mulai bagian timur sampai barat sepanjang
pantai dengan lebar 500m – 100m. Sebagian besar digunakan sebagai area tambak,
tanaman bakau dan jika tidak digunakan area ini akan berubah menjadi rawa yang
dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Satuan ini memiliki elevasi 0,5 m – 1,5 m dengan
kelerengan < 3%.

- Satuan Dataran Aluvial

560
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Satuan ini tersebar dari Timur Trimulya, Bangetayu, Pedurungan Tengah


kemudian ke arah Barat tengah kota di Mluyu Barat, Widoharjo, Karangturi, dan
Wonodri. Di bagian Barat melempar dari panggung Tambakharjo, Tugurejo, dan
Mangkang. Satuan ini memiliki elevasi 1 m – 4 m dengan kelerengan 3 – 4 %.

3. Satuan Dataran Limpasan Banjir

Satuan ini menyisip pada dataran pantai dan dataran aluvial yaitu sepanjang
aliran sungai di wilayah Semarang Timur, Semarang Utara, dan sebagian wilayah
Semarang Utara dan sebagian wilayah Semarang Barat. Di bagian tenggara dijumpai di
sekitar Kali Pengkol.

Stratigrafi

Menurut peta geologi lembar Magelang – Semarang (RE. Thaden, et al., 1996)
daerah penelitian memiliki stratigrafi secara regional daerah Semarang Utara tersusun
oleh Endapan Aluvial yang terdiri dari kerikil, pasir kerakal, dan lanau dengan tebal 1 – 3
m.

Kondisi Geologi Wilayah Semarang

Kota Semarang merupakan Ibukota Jawa Tengah yang secara garis besar memiliki
dua satuan, yakni dataran tinggi pada bagian selatan dan dataran rendah di bagian utara.
Wilayah Semarang bagian utara merupakan dataran rendah yang berada di pesisir pantai
utara Pulau Jawa. Daerah Semarang Utara sering kali mengalami penurunan muka tanah
yang cukup tinggi. Menurut Whittaker dan Reddish (1989), penurunan muka tanah dapat
disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

3. Penurunan muka tanah secara alami (natural subsidence) yang disebabkan oleh
proses-proses geologi seperti aktivitas vulkanik dan tektonik, siklus geologi, adanya
rongga di bawah permukaan tanah dan sebagainya.

4. Penurunan muka tanah yang disebabkan oleh pengambilan bahan cair dari dalam
tanah seperti air tanah atau minyak bumi.

5. Penurunan muka tanah yang disebabkan oleh adanya beban berat diatasnya
seperti struktur bangunan sehingga lapisan-lapisan tanah dibawahnya mengalami
kompaksi/konsolidasi. Penurunan muka tanah ini sering juga disebut dengan settlement.

6. Penurunan muka tanah akibat pengambilan bahan padat dari tanah.

Secara geologi, Semarang Utara khusunya wilayah pesisir merupakan paparan


endapan Holosen yang dicirikan oleh endapan pasang surut, endapan sungai dan
endapan pematang pantai, swamp dan alluvium yang terletak pada paparan dataran
Kuarter (Thaden, dkk., 1975). Geologi daerah paparan Semarang ini dicirikan oleh
perulangan satuan lempung – lanau yang cukup dominan dengan sisipan pasir
berukuran halus hingga kasar. Kedalaman endapan kuarter ini mencapai hingga
kedalaman > 150 meter berdasarkan hasil pemboran teknik dan pemboran air tanah (Eko,

561
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

dkk., 2014). Kota Semarang diketahui mengalami amblesan tanah yang intensif setiap
tahunnya dengan laju amblesan tanah yang bervariasi secara spasial antara 0.8 -13.5 cm
per tahun dengan laju semakin besar ke arah Utara. Peristiwa amblesan tanah tersebut
turut dipercepat dengan penurunan muka tanah oleh faktor kompaksi/konsolidasi
batuan, penurunan muka airtanah dan pengurugan lahan. Faktor kompaksi/konsolidasi
batuan salah satunya dipengaruhi oleh kondisi bawah permukaan dataran Semarang
Utara yang tersusun oleh endapan alluvium muda dengan sifat kompresibilitas tinggi,
sehingga pemampatan tanah secara alami masih terjadi sampai sekarang (Sarah dkk,
2012).

III METODOLOGI PENELITIAN

Dalam melakukan penelitian ini digunakan metode analisis deskriptif dan


menggunakan metode sekunder. Metode analisis deskrptif dengan melakukan observasi
langsung di lapangan. Metode analisis sekunder dengan mengkaji penelitian terdahulu
pada wilayah Semarang Utara. Serta melakukan perhitungan untuk perencanaan
pemasangan Breakwater.

IV HASIL PENELITIAN

Dari hasil penelitian di dapatkan berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya


banjir rob di Wilayah Semarang Utara.

A. Pemanasan Global

Kondisi meningkatnya temperatur atmosfir bumi memberikan dampak di semua


lini kehidupan. Kenaikan muka air laut (Sea Level Rise) menjadi salah satu dampak dari
pemanasan global yang berpengaruh pada kehidupan di pesisir. Kenaikan temperatur
atmosfir bumi meyebabkan terjadinya pencairan volume es di kutub, sehingga terjadi
kenaikan muka air laut. Hal tersebut dapat di buktikan dengan adanya kenaikan muka
air laut sekiatar 0.19 m antara tahun 1900 dan 2010 dengan nilai sekitar 1.7 milimeter per
tahun ( Church et al., 2013). Kemudian menurut laporan IPCC (Intergovernmental Panel of
Climate Change) di akhir abad ke-21 mungkin akan terjadi kenaikan muka air laut secara
global sebesar 0.52-0.98 m.

Kenaikan jumlah populasi manusia berbanding lurus dengan kenaikan


konsentrasi karbondioksida di atmosfir. Kenaikan karbondioksida tersebut menyebabkan
terjadinya kenaikan temperatur di permukaan bumi, sehingga temperatur yang tinggi
menyebabkan terjadinya pelelehan volume es di kutub (J.B Sukhla, et al., 2017).
Perbandingan antara populasi manusia, konsentrasi karbondioksida, temperatur
permukaan, dan kenaikan air laut dapat dilihat pada gambar 3. Pelelehan volume es di
kutub menyebabkan terjadinya penambahan volume air di bumi yang berdampak pada
kenaikan muka air laut secara global. Hal ini akan berdampak pada kehidupan di
wilayah pesisir seperti wilayah Semarang Utara. Kenaikan muka air laut tersebut
berpotensi untuk menyebabkan terjadinya bencana seperti banjir rob, abrasi, kontaminasi
air tanah, dan lain-lain.

B. Penurunan Muka Tanah (Land Subsidence)

562
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Penurunan muka tanah merupakan peristiwa alam yang terjadi secara perlahan-
lahan yang dapat disebabkan karena pembebanan. Ketika masa batuan yang menumpang
memiliki masa jenis yang lebih tinggi di bandingkan dengan masa jenis batuan yang
ditumpangi maka di daerah tersebut akan terjadi proses penurunan muka tanah.
Penurunan muka tanah di wilayah Semarang Utara secara kondisi geologinya dapat
disebabkan karena adanya batuan vulkanik dari Gunungapi Ungaran yang memiliki
masa jenis lebih berat yang menumpang di lapisan batuan sedimen. Kemudian selain
karena faktor pembebanan penurunan muka tanah juga dapat di sebabkan karena adanya
eksploitasi air tanah yang berlebihan (Prasetyo, 2009). Meningkatnya eksploitasi air tanah
di wilayah Semarang Utara menyebabkan penurunan muka air tanah yang berakibat
tekanan untuk menopang lapisan batuan yang diatasnya semakin berkurang.
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan di wilayah Semarang dengan penggunaan
data ERS 1/2 dengan teknik APS (Atmospheric Phase Screen) akan menghasilkan DEM
dengan nilai residu kuadrat kesalahan pengukuran sebesar 1.1 mm dengan nilai
penurunan muka tanah 2.8 cm/tahun (Prasetyo, 2009). Kemudian dengan metode lain
yakni dengan menggunakan pengukuran GPS Geodetik yang dilakukan oleh
Hasanuddin et al (2010), dihasilkan peta laju penurunan muka tanah di wilayah
Semarang seperti pada gambar 4.

Penurunan muka tanah yang berlangsung terus menerus di wilayah Semarang


Utara menyebabkan ketinggian topografi di wilayah Semarang Utara semakin rendah.
Kemudian letak wilayah Semarang Utara yang berbatasan dengan Laut Jawa
menyebabkan wilayah tersebut sering tergenang oleh banjir rob.

C. Ketinggian Gelombang Laut

Gelombang laut merupakan peristiwa naik turunya air laut yang dapat
disebabkan oleh beberapa faktor seperti angin dan topografi pantai. Gelombang pasang
surut merupakan salah satu bentuk gelombang yang terjadi akibat fluktuasi muka air laut
yang di pengaruhi oleh gaya gravitasi benda-benda luar angkasa seperti bulan dan
matahari. Gelombang pasang surut merupakan gelombang panjang yang memiliki durasi
berkisar 12 dan 24 jam. Ketika terjadi peristiwa pasang naik maka air laut membutuhkan
ruang yang lebih luas dari keadaan normal. Peristiwa tersebut dapat menyebabkan
daerah di sekitar pantai yang memiliki elevasi rendah tergenang oleh air laut.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, ketinggian gelombang laut pada saat
pasang tertinggi di perairan Semarang dapat mencapai 1.9347 m,dan Ketinggian muka air
laut rata-rata di wilayah perairan Semarang adalah 1.28913 m (Saputro, dkk., 2015). Hal
tersebut dapat dilihat pada tabel 1. Kondisi tersebut menyebabkan pada saat terjadi
peristiwa pasang naik banyak area di Semarang Utara yang terendam oleh air laut.

D. Intensitas Abrasi

Gelombang air laut yang tinggi dapat mengikis daratan secara signifikan.
Perubahan garis pantai di wilayah perairan Semarang dapat dilihat pada gambar 5.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Safitri (2019), di dapatkan hasil bahwa
luasan erosi terbesar di pesisir Kota Semarang terjadi pada tahun 2008 – 2013 dengan
luasan 337,986 hektar, sedangkan akresi terbesar terjadi pada tahun 2013-2018 dengan

563
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

luasan 195,338 hektar. Analisis kerentanan pantai dengan indeks kerentanan pantai atau
CVI di pesisir Kota Semarang termasuk dalam kategori kerentanan sangat tinggi, dengan
nilai setiap bobot kerentanan pada Kecamatan Tugu sebesar 32,27, Kecamatan Semarang
Barat dan Semarang Utara sebesar 14,43, serta Kecamatan Genuk sebesar 28,87. Proses
abrasi yang terjadi menyebabkan luas daratan di perairan Semarang semakin berkurang.
Hal tersebut menyebabkan wilayah Semarang yang memiliki elevasi yang rendah mudah
mengalami genangan rob.

E. Kerusakan Drainase

Ketika terjadi pasang naik di wilayah perairan Semarang, air laut akan memaksa
untuk menggenangi daratan di sekitar perairan karena kekurangan ruang akomodasi. Air
laut tersebut dapat masuk melalui kanal dan dapat menyebabkan sungai di wilayah
tersebut meluap. Ketika terjadi luapan air laut, maka air laut tersebut akan mengalir
melalui drainase menuju kembali ke laut. Akan tetapi, kerusakan drainase di beberapa
titik di wilayah Semarang Utara menyebabkan air laut tersebut sulit untuk mengalir
kembali menuju laut. Sehingga menyebabkan wilayah tersebut tergenang oleh air laut
dalam jangka waktu yang relatif lama.

V PEMBAHASAN

Banjir Rob merupakan peristiwa alam yang terjadi akibat adanya kenaikan muka
air laut yang menggenangi daratan di wilayah pesisir. Banjir Rob mengakibatkan banyak
terjadi permasalahan lingkungan di wilayah Semarang Utara. Peristiwa banjir rob dapat
menyebabkan beberapa dampak negatif seperti kekurangan air bersih, kerusakan fasilitas
umum, dan mengganggu mobilitas transportasi umum.

Banjir rob di wilayah Semarang Utara telah berlangsung sejak lama, dan
diprediksi akan terus bertambah luas apabila tidak ditangani dengan baik. Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan oleh Handoyo (2016), dengan membuat model genangan
banjir rob, hampir seluruh wilayah di Semarang Utara terkena dampak dari banjir rob.
Luas wilayah yang tergenang banjir rob di wilayah Semarang Utara dapat dilihat pada
tabel 2. Kemudian persebaran genangan banjir rob di wilayah Semarang Utara dapat
dilihat pada gambar 7.

Peristiwa banjir rob tidak hanya terjadi di wilayah Semarang Utara, tetapi hampir
di seluruh pesisir wilayah Semarang juga terdampak oleh peristiwa banjir rob. Menurut
hasil penelitian Bakti (2010), apabila tidak ada usaha untuk menanggulangi permasalahan
banjir rob, diprediksi genangan banjir rob di wilayah Semarang akan merendam daratan
sekitar 5.099 hektar dengan volume 59.110.917 m3. Prediksi tersebut berdasarkan dari
analisis data DEM pada tahun 2030, yang menghasilkan peta persebaran genangan banjir
rob di wilayah Semarang pada tahun 2030 (gambar 8).

Penelitian ini lebih memfokuskan untuk mengurangi frekuensi dari banjir rob
yang terjadi di wilayah Semarang Utara, yakni dengan strategi pembangunan Breakwater
di wilayah perairan Semarang Utara. Breakwater merupakan bangunan lepas pantai yang
berfungsi untuk meredam energi gelombang yang datang dari arah laut, sehingga
gelombang yang sampai ke wilayah pesisir telah berkurang energinya. Dengan

564
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

berkurangnya energi tersebut maka kecepatan gelombang untuk mengerosi pantai


semakin kecil dan proses sedimentasi di belakang bangunan Breakwater dapat
berlangsung dengan cepat. Proses sedimentasi yang terjadi di belakang bangunan
Breakwater menyebabkan terjadinya proses akresi, sehingga luas daratan di wilayah
tersebut bertambah.

Pemodelan Breakwater untuk mengurangi frekuensi banjir rob di wilayah


Semarang Utara dilakukan berdasarkan perhitungan berikut :

Pasang Tertinggi : 1,9347 m

Kedalaman Air Laut : 2,4 m

Tinggi Breakwater (H) :

H = Kedalaman + Pasang Tertinggi

= 2,4 m + 1,9347 m

= 4,3347 m

¾ H = ¾ 4,3347 m L = 3,251025 m

Panjang Breakwater :

P = jarak dari garis pantai x konstanta sub tombolo P = 400 m x 0,5

P = 200 m

Berikut merupakan kenampakan penampang memanjang dari Breakwater yang


direncanakan pada gambar 10. Breakwater yang tersusun dari batu alam direncanakan
memiliki panjang 200 m dengan jarak antar Breakwater sepanjang 75 m untuk area
Semarang Utara yakni seluas 2,75 km. Dibutuhkan sekitar 10 Breakwater yang relatif
mengikuti kontur.

Kemudian untuk kenampakan penampang melintang dari Breakwater (pada


gambar 12) direncanakan akan memiliki lebar sekitar 3,25 m dengan tinggi 4,33 m.
Breakwater ini dirancang mempertimbangkan garis kontur yang berkaitan dengan
kedalaman laut, garis pantai dari area yang dipengaruhi oleh air rob, serta morfologi
yang sudah ada dan morfologi yang akan terbentuk.

Menurut Suh dan Dalrymple (2006), perubahan garis pantai akibat multiple Breakwater
akan terjadi jika jika :

Ly/y< 2Ly/Lg = Membentuk Salient.

Ly/y> 2Ly/Lg = Membentuk Tombolo

Lgxy/(Ly^2) = 0.5 = Membentuk Tombolo

Ly = Panjang Breakwater

565
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

y = Jarak Breakwater dengan garis pantai

Lg = Jarak antar Breakwater

Pembangunan Breakwater di wilayah Semarang Utara dipilih karena


menyesuaikan morfologi pantai di wilayah tersebut dan menyesuaikan dengan pola
kehidupan dari penduduk wilayah Semarang Utara yang sebagian besar memiliki mata
pencaharian sebagai nelayan. Kemudian pembangunan breakwater dinilai lebih praktis
karena bahan yang digunakan mudah untuk di dapatkan seperti batu alam yang disusun
menyerupai tanggul. Dan bangunan Breakwater lebih efektif untuk meredam energi
gelombang serta mampu mendorong proses sedimentasi yang terjadi di bibir pantai
secara signifikan dibandingkan dengan model perlindungan pantai lainnya.

VI. KESIMPULAN

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat di ambil kesimpulan bahwa wilayah
Semarang Utara merupakan wilayah yang strategis, akan tetapi adanya peristiwa banjir
rob yang terjadi di Semarang Utara menyebabkan wilayah tersebut mengalami banyak
permasalahan lingkungan. Peristiwa banjir rob di wilayah Semarang Utara disebabkan
oleh beberapa faktor seperti pemanasan global, penurunan muka tanah, ketinggian
gelombang laut, tingkat abrasi yang intensif, dan kerusakan drainase di wilayah
Semarang Utara. Luas wilayah yang tergenang banjir rob sekitar 823,545 hektar
(Handoyo, 2016) yang mencakup beberapa kelurahan di Kecamatan Semarang Utara.
Oleh karena itu diperlukan sebuah usaha untuk mengurangi frekuensi genangan banjir
rob di wilayah tersebut yakni dengan membangun Breakwater. Permodelan Breakwater
yang dibangun untuk kondisi pantai tersebut sebaiknya memiliki tinggi dari dasar
sebesar 4.33 m dengan panjang 200 m dan lebar 3.25 m. Peletakkan Breakwater dibuat 180-
400 m dari garis pantai dengan jarak antar Breakwater sejauh 75 m. Breakwater dibangun
sepanjang 2.75 km mengikuti kontur batimetri dengan jumlah sekitar 10 buah. Bangunan
Breakwater dinilai lebih tepat karena dapat meredam energi gelombang air laut dan
mampu mempercepat proses sedimentasi di bibir pantai. Kemudian bangunan Breakwater
ini lebih ekonomis karena dapat menggunakan material seperti batu alam yang disusun
membentuk seperti tanggul.

DAFTAR PUSTAKA

J.B. Shukla, Maitri Verma, A.K. Misra, 2017.Effect of global warming on sea level rise: A
modeling study, Department of Mathematics, Institute of Science, Banaras Hindu
University, Varanasi 221 005, India.

L. M. Bakti, 2010. Kajian Sebaran Potensi Rob Kota Semarang Dan Usulan Penanganannya,
Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro, Semarang.

Nur Azhar Fahrian, Aris Ismanto, Siddhi Saputro, 2015. Studi Pemetaan Batimetri
untukPerencanaan Pembuatan Sabuk Pantai di Perairan Semarang Utara, Jurusan
Ilmu Kelautan,Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas
Diponegoro.

566
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gentur Handoyo, Agus A.D. Suryoputro, Petrus Subardjo, 2016. Genangan Banjir Rob
DiKecamatan Semarang Utara, Departement Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro.

Apriliawan Setiya Ramadhany, Agus Anugroho DS, Petrus Subardjo, 2012. Daerah Rawan
Genangan Rob di Wilayah Semarang, Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro.

Retno Hartati, Rudhi Pribai, Retno W. Astuti, Reny Yesiana, Itsna Yuni H, 2016. Kajian
Pengamanan Dan Perlindungan Pantai Di Wilayah Pesisir Kecamatan Tugu dan Genuk,
Kota Semarang, epartemen Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Universitas Diponegoro.

Fani Safitri, Suryanti, dan Sigit Febrianto, 2019. Analisis Perubahan Garis Pantai Akibat Erosi
Di Pesisir Kota Semarang, Departemen Sumberdaya Akuatik, Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro.

Bambang Darmo Yuwono, Hasanuddin Z.A., Muhammad Ilmi. 2013. Analisis


GeospasialPenyebab Penurunan Muka Tanah di Kota Semarang. Prosiding SNST
2013.

Eko Subowo, Dwi Sarah, Dodid Murdohardono, Taufiq Wirabuana. 2014. Geologi
BawahPermukaan Wilayah Amblesan Tanah di Kota Semarang. Prosiding
Pemaparan Hasil Penelitian Geoteknologi LIPI tahun 2014

Kyung-Duck Suh dan Robert Anthony Dalrymple, 1987. Offshore Breakwaters in


Laboratory and Field. Journal of Waterway Port Coastal and Ocean Engineering
113(2). https://media.neliti.com/media/publications/228664-kajian-perubahan-garis-
pantai-menggunaka-ea61fbcf.pdf

567
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 1. Nilai-nilai elevasi pada pasang surut (Saputro dkk, 2015)

Keterangan Elevasi (cm)

Pasang Tertinggi 193,470

Surut Terendah 69,005

Tinggi Muka Air Laut Rata-rata 128,913


Z 112,648
0

Pasang Air Paling Tinggi 178,991

Surut Air Paling Rendah 78,836

Tabel 2. Luas genangan banjir rob di tiap kelurahan semarang utara (Handoyo,2016)

No. Kelurahan Luas Banjir Rob (Ha)

1 Tanjung Mas 337,06

2 Panggung Lor 208,808

3 Bandarharjo 197,286

4 Kuningan 61,537

5 Panggung Kidul 18,462

6 Plombokan 0,392

Total 823,545

568
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Perbandingan antara model fit dan data aktual antara konsentrasi karbondioksida di
atmosfir, populasi manusia, rata-rata temperatur permukaan dan permukaan laut (J.B Sukhla, et
al., 2017)

569
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Peta laju penurunan muka tanah hasil pengukuran GPS Geodetik (Hasanuddin, et al.,
2010)

Gambar 5. Perubahan garis pantai perairan Semarang (Safitri, 2019)

570
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 6. Kerusakan Drainase di JL. Yos Sudarso Kec. Semarang Utara

571
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 7. Persebaran genangan banjir rob di Wilayah Semarang Utara (Handoyo, 2016).

Gambar 8. Peta genangan banjir rob di wilayah Semarang

572
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 9. Peta batimetri wilayah Semarang Utara (Sumber: Saputro, dkk., 2015)

Gambar 10. Kenampakan Memanjang Breakwater

573
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 11. Peta Rencana Pembangunan Breakwater

Gambar 12. Kenampakan Melintang Breakwater

574
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Peta Fisiografi Jawa Tengah - Jawa Timur (Van Bemmelen, 1970)

Gambar 2. Peta Geologi Regional Semarang (Thaden, et al., 1996)

575
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D027POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

IMPACT ANALYSIS OF SLOPE FAILURE AT PERBUKITAN


BATUGAMPING BUKIT KALIWADAS KARANGSAMBUNG, KEBUMEN,
JAWA TENGAH
Reza Aryanto 1* ,Erry Sumarjono 2
1Universitas Trisakti Kampus A Jl. Kyai Tapa no 1 Grogol Jakarta Barat Gedung D lantai 3 Prodi Teknik
Pertambangan Trisakti,
2Prodi Teknik Pertambangan STTNAS Jl. Babarsari, Tambak Bayan, Caturtunggal, Kec. Depok, Kabupaten

Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281 Prodi Teknik Pertambangan STTNAS

*Corresponding Author: reza.aryanto@trisakti.ac.id

ABSTRAK.Longsoran Bukit Kaliwadas terjadi pada tanggal 28 Oktober 2017 dimana longsoran ini
membuat rekahan yang telah ada semakin lebar dan dalam. Selama seminggu sebelum terjadinya
longsoran, hujan dengan intensitas tinggi mengguyur daerah Karangsambung dan sekitarnya.
Hujan terjadi setelah musim kemarau yang panjang pada daerah Karangsambung. Longsoran ini
berdampak pada kerugian yang diterima oleh penduduk setempat. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui seberapa besar pengaruh atau dampak yang ditimbulkan dari longsoran lereng
tersebut baik dampak yang telah terjadi seperti rusaknya infrastruktur umum maupun potensi
dampak yang mungkin terjadi seperti rusaknya lingkungan serta hilangnya mata pencaharian
terhadap masyarakat sekitar daearah longsoran. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif
dengan data kuantitatif. Longsoran mengakibatkan terlepasnya massa batuan dari lereng dengan
arah longsoran ke arah Barat Daya. Dari penelitian yang telah dilakukan kerugian dari rusaknya
infrastruktur sekitar 60 juta rupiah dan potensi kerugian bila terjadi kembali longsoran adalah
hilangnya mata pencaharian yang ditaksir sebesar 21 juta rupiah. Nilai pH yang didapat dalam
rentang 7.5 – 8 untuk menggunakan pH digital, 8 – 8.4 untuk hasil laboratorium, nilai TDS dalam
rentang 202 – 362 mg/l dan nilai TSS dalam rentang 3 – 42 mg/l. Semua hasil kualitas air ini masih
sesuai dengan baku mutu PP No 82 tahun 2000

Kata kunci: Longsoran, Dampak, Rusaknya Infrastruktur, Potensi Dampak, Rusaknya


Lingkungan, Hilangnya Mata Pencaharian

I. PENDAHULUAN

Perbukitan Batugamping merupakan perbukitan yang terdapat di Bukit Kaliwadas,


Desa Kedungwaru, Kecamatan Karangsambung, Kabupaten Kebumen Provinsi Jawa
Tengah. Lereng bukit tersebut longsor pada tanggal 27 Oktober 2017 dimana longsoran
membuat rekahan yang telah ada semakin lebar dan dalam. Selama seminggu sebelum
terjadinya longsoran, hujan dengan intensitas tinggi mengguyur daerah Karangsambung
dan sekitarnya. Hujan terjadi setelah musim kemarau yang panjang pada daerah
Karangsambung. Longsoran ini berdampak pada kerugian yang diterima oleh penduduk
setempat seperti hilangnya mata pencaharian, rusaknya infrakstruktur umum dan
rusaknya lingkungan.

576
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D027POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Longsoran dapat mengganggu aktivitas masyarakat yang berdomisili disekitar


daerah longsoran khususnya dibidang transportasi dikarenakan putusnya jalan
penghubung antar desa. Saat ini terdapat jalan baru yang berbatu sebagai penghubung
antar desa tersebut. Material longsoran lereng berpotensi mengganggu aliran sungai yang
berada di bagian kaki lereng serta mempengaruhi kualitas dari air sungai. Untuk
mendapatkan data kualitas air, diperlukannya uji sifat fisik air sungai untuk memperoleh
nilai TDS dan TSS serta uji sifat kimia air sungai untuk memperoleh nilai pH. Pengujian
kualitas air sungai dilakukan di laboratorium lingkungan. Hasil pengujian ini akan
dibandingkan dengan baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah. Sungai ini tidak
hanya dipergunakan untuk kebutuhan sehari – hari tapi juga digunakan sebagai sumber
irigasi sawah masyarakat sekitar. Apabila material longsoran menutupi seluruh bagian
sungai maka akan berpotensi menimbulkan dampak terhadap sumber irigasi sawah
masyarakat.

Analisis dampak longsoran lereng di perbukitan Batugamping ini dilakukan untuk


mengetahui seberapa besar pengaruh atau dampak yang ditimbulkan dari longsoran
lereng tersebut baik dampak yang telah terjadi seperti rusaknya infrastruktur umum
maupun potensi dampak yang mungkin terjadi seperti rusaknya lingkungan serta
hilangnya mata pencaharian terhadap masyarakat sekitar daearah longsoran.

II. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

Lokasi penelitian berada di desa Kedungwaru, bukit Kaliwadas, Kecamatan


Karangsambung, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah yang berbatasan lansung
disebelah utara dengan wilayah Banjarnegara, disebelah Timur berbatasan dengan
wilayah Wadaslintang, disebelah Selatan berbatasan dengan wilayah Kebumen dan
disebelah Barat berbatasan dengan daerah Gombong. Daerah Karangsambung
mempunyai koordinat 7O 34’ 00’’ ¬¬– 7O 36’ 30” LS dan 109O 37’ 00” BT – 109O 44’ 00”
BB dengan luas wilayah Karangsambung seluas 101.150 km2. Lokasi penelitian termasuk
dalam Cagar Alam Geologi Nasional yang dikelola oleh Balai Informasi Dan Konservasi
Kebumian Karangsambung – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.Lokasi penelitian
dapat dilihat pada gambar 1.

Daerah Karangsambung, Kebumen, Jawa Tengah termasuk dalam iklim tropis.


Dapat dilihat pada gambar 2 bahwa curah hujan yang cukup tinggi terjadi hampir
sepanjang tahun; hanya di bulan – bulan tertentu (Juni – September) saja terjadi musim
kemarau. Pada tahun 2017, suhu rata-rata di daerah ini adalah 26.2 °C, Curah hujan
tahunan rata-rata adalah 3211 mm.

Berdasarkan fisiografi, Provinsi Jawa Tengah dibagi menjadi 6 zona fisiografi yaitu (Van
Bemmelen, 1949):

a. Gunung Api Kuarter


577
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D027POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gunung api di Jawa Tengah yang termasuk gunung api kuarter adalah Gunung
Dieng, Gunung Slamet, Gunung Sumbing, Gunung Sundoro, Gunung Merapi, Gunung
Muria, Gunung Merbabu Dan Gunumg Unggaran.

b. Dataran Aluvial Jawa Utara

Dataran ini memiliki lebar maksimum 40 km kearah selatan. Semakin kearah


timur lebarnya menyempit hingga 20 km.

c. Pegunungan Selatan Jawa

Pegunungan Selatan Jawa membentuk morfologi pantai yang terjal disepanjang


pantai selatan Jawa. Namun di Jawa Tengah, zona ini terputus oleh Depresi Jawa
Tengah.

d. Zona Serayu Utara

Zona Serayu Utara mempunyai lebar sebesar 30 – 50 km. Pada daerah selatan
Tegal, zona ini tertutupi oleh produk gunung api kuarter dari Gunung Slamet. Dibagian
tengah ditutupi oleh produk gunung api kuarter Gunung Unggaran, Gunung
Rogojembangan, dan Gunung Dieng. Zona ini menerus ke Jawa Barat menjadi Zona
Bogor dengan batas antara keduanya terletak disekitar Prupuk, Ajibarang, dan Bumiayu,
persis disebelah barat Gunung Slamet. Sedangkan kearah timur membentuk Zona
Kendeng.

e. Zona Depresi Jawa Tengah

Sebagian dari zona ini merupakan dataran pantai dengan lebar 10 – 25 km dimana
membentuk morfologi pantai yang terjal.

f. Pegunungan Serayu Selatan

Pegunungan Serayu Selatan terletak di antara Zona Depresi Jawa Tengah yang
membentuk pegunungan dan kubah. Pada bagian barat Pegunungan Serayu Selatan
dicirikan oleh bentuk antiklinorium yang berarah dari barat ke timur dimana berakhir
pada suatu singkapan batuan tertua terbesar di Pulau Jawa yaitu daerah Luk Ulo,
Kebumen.

III. METODE PENELITIAN

Penelitian yang dilakukan menggunakan metode deskriptif denga menggunakan


analisis kuntitatif dan kualitatif. Penelitian ini menjelaskan mengenai dampak yang
ditimbulkan oleh suatu longsoran lereng serta potensi dampak yang mugkin terjadi
sehingga dapat diketahui kerugian yang ditimbulkannya

578
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D027POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

IV. DATA DAN ANALISIS DATA

Data yang dikumpulkan adalah data sekunder dan data primer yang relevan
dengan masalah yang ada. Data primer yang dikumpulkan adalah foto dari kondisi
lereng setelah terjadinya longsoran, data panjang jalan yang terkena dampak longsoran,
jumlah tiang listrik yang terkena dampak, biaya pembuatan jalan per meter, biaya
pemasangan tiang listrik, data pH, TSS, TDS air sungai dan kuisioner serta data sekunder
adalah arah longsoran sehingga dapat diketahui dampak longsor serta potensi dampak
yang mungkin ditimbulkan bila terjadi kembali longsor.

Dampak longsoran yang telah terjadi dapat dilihat lansung dilapangan yaitu
rusaknya infrastruktur umum yang terdiri dari rusaknya jalan penghubung antar desa
dan ambruknya tiang listrik. Untuk biaya pembuatan jalan didapatkan dari Kepala Desa
Kedung Waru sedangkan biaya pemasangan tiang listrik didapatkan dari PLN Kebumen.
Material longsoran yang menggantung ditepi sungai berpotensi mengubah kualitas air
sungai Kaliwadas, sehingga diambil sampel dari 12 titik sepanjang sungai untuk
mengetahui nilai pH, TSS dan TDS. Aliran sungai ini juga berfungsi sebagai sumber
irigasi persawahan masyarakat sekitar sehingga dapat diketahui potensi dampak yang
ditimbulkan apabila material longsoran menutup keseluruhan bagian sungai. Maka
dilakukan penyebaran kuisioner kepada masyarakat sekitar.

V DISKUSI

1. Kegiatan dilapangan

Kegiatan penelitian dilakukan dalam rentang bulan Januari sampai Juni 2018. Longsoran
yang terjadi membuat rekahan yang telah ada semakin lebar dan dalam. Longsoran ini
menimbulkan dampak lansung seperti rusaknya infastruktur umum dan menimbulkan
potensi dampak seperti rusaknya lingkungan dan hilangnya mata pencaharian
masyarakat sekitar. Potensi dampak longsoran lereng terjadi apabila sewaktu – waktu
lereng tersebut longsor kembali. Longsoran yang telah terjadi disebabkan oleh hujan
dengan intesitas tinggi mengguyur daerah Karang Sambung dan sekitarnya. Hujan
terjadi setelah beberapa bulan musim kemarau. Selengkapnya dapat dilihat pada gambar
3 dan gambar 4.

IV.2 Dampak yang Ditimbulkan Longsoran

IV.2.1Rusaknya Infrastruktur

Rusaknya infrastruktur dapat dilihat dari putusnya jalan penghubung antar desa.
Jalan desa dibangun padan tahun 2016 dengan biaya Rp 750.000 per m. Jalan ini
merupakan jalan utama menuju pemukiman masyarakat yang berada pada bagian atas
bukit. Jalan yang rusak sepanjang 46,12 m. Selengkapnya dapat dilihat pada gambar 5
dan tabel 1. Tiang listrik yang terkena dampak berjumlah dua. Satu tiang listrik telah
579
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D027POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

ambruk terbawa material longsoran sedangkan satu tiang listrik akan dipindahkan
karena berada persis di depan rekahan. Tiang listrik akan dipindahkan ketempat yang
lebih aman karena apabila terjadi longsoran kembali dikhawatirkan tiang listrik ini
ambruk. Selengkapnya dapat dilihat pada gambar 6. Tiang listrik yang digunakan
merupakan tipe C12-350 E + BC dengan harga pemasangan Rp 7.082.250 per unit. Jadi
dapat disimpulkan kerugian akibat ambruknya tiang listrik adalah Rp 14.164.500 (tabel
2).

IV.2.2Penanganan Material

Penanganan material longsoran segera dilakukan setelah terjadinya longsoran.


Longsoran yang terjadi didaerah penelitian merusak jalan lama yang telah dibangun
sehingga diibangun jalan baru. Penanganan material longsoran dan pembuatan jalan
dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD) Kebumen, Jawa Tengah serta dibantu oleh masyarakat Desa Kedungwaru Jalan
baru ini dibagun disebelah kiri jalan lama. Material ini dibersihkan oleh 2 alat excavator
yaitu PC 200 dan PC 45. Dimana biaya pembuatan jalan baru berasal dari gaji operator
dan relawan dan biaya belanja BBM. Penanganan material dan pembuatan jalan baru
dilakukan selama 8 hari. Biaya yang dikeluarkan untuk belanja BBM adalah Rp. 8.292.500
dan gaji operator dan relawan adalah Rp. 2.718.480. Jadi biaya total yang dikeluarkan
untuk penanganan material dan pembuatan jalan baru adalah Rp. 11.010.980. (Tabel 3).
Jalan baru yang dibangun masih belum di beton, pada badan jalan banyak ditemui
batuan berukuran kecil hingga sedang. Batuan ini sangat mengganggu baik bagi pejalan
kaki atau yang menggunakan kendaraan. Banyak diantara mereka yang tergilincir hingga
jatuh dari kendaraan. Hal ini sangat membahayakan warga sekitar apalagi saat musim
hujan. Selain jalan berbatu, bentuk jalan yang mendaki juga membuat masyarakat sekitar
tidak nyaman. Banyak dari mereka yang mengeluh karena memerlukan banyak tenaga
untuk melewatinya. Saat musim hujan material pada badan jalan terbawa oleh aliran air
yang berasal dari atas bukit. Air ini mengikis lapisan tanah pada jalan baru sehingga
membuat cekungan – cekungan pada jalan. Buruknya sistem drainase pada jalan baru ini
juga merupakan faktor yang mempengaruhi karena air yang berada pada bagian atas
bukit langsung ke jalan. Hal ini harus segera diperbaiki salah satunnya dengan membuat
sistem drainase pada bagian tepi jalan agar air hujan yang mengalir tidak ke bahu jalan.
Jalan baru ini tidak dapat lansung di beton karena jalan ini dibangun dari bagian bukit
yang diratakan. Jalan ini masih belum seimbang dan kuat sehingga harus menunggu
beberapa waktu untuk dibeton. Selain itu terbatasnya dana untuk pembangunan desa
juga menjadi kendala kenapa jalan baru ini belum dibeton. Hal ini disebabkan karena
kerusakan akibat bencana alam tidak hanya terjadi didesa Kedung Waru saja tetapi ada
di beberapa desa lainnya. Sehingga perbaikan dilakukan ditempat yang kerusakannya
lebih parah.

580
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D027POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

IV.3 Potensi Dampak Longsoran Lereng

Longsoran lereng yang terjadi di desa Kedungwaru bukit Kaliwadas bergerak


kearah Barat Daya atau kearah sungai yang berada tepat dikaki bukit. Material longsoran
menggantung sepanjang 60 m tepi sungai yang berdampak pada kualitas air sungai. Pada
penelitian ini parameter yang digunakan adalah parameter fisik yaitu TDS dan TSS
sementara parameter kimia yaitu pH. Pemilihan parameter ini karena adanya material
longsoran yang menggantung ditepi sungai. Material ini berjatuhan ke badan sungai
yang bisa mempengaruhi nilai pH, TDS dan TSS.

IV.3.1 Rusaknya Lingkungan

1. pH setiap titik sampel

Sampel diambil dari 12 titik sepanjang material longsoran berada. Adapun hasil
pengujian menggunakan alat pH digital dan hasil laboratorium, kadar pH air sungai
daerah penelitian ditampilkan pada tabel dibawah (Tabel 4) Derajat keasaman (pH)
mempengaruhi keberadaan logam dalam sungai. Hasil pengukuran keasaman air sungai
menunjukkan pH minimum 7,1 dan maksimum 7,6 yang artinya masih berada dalam
kisaran pH yang ditentukan 6 – 9, Menurut Palar (1994), pH air rendah akan
menyebabkan logam yang ada dalam perairan menjadi stabil, sedangkan apabila pH air
tinggi dapat menurunkan kelarutan logam dalam air, karena kenaikan pH dapat
mengubah kestabilan dari bentuk karbonat menjadi hidroksida yang membentuk ikatan
dengan partikel pada badan air, sehingga akan menguap membentuk lumpur. Mineral
utama penyusun material longsoran adalah CaO yaitu sebesar 89,74% dimana CaO
merupakan pembentuk CaCO3 atau batu gamping. Batu gamping bersifat basa sehingga
dapat menetralkan pH sungai. Dilihat dari tabel, adanya perbedaan antara nilai pH
digital dan hasil laboratorium. pH digital merupakan pH aktual yang langsung diambil
di lapangan sedangkan pH dari hasil laboratorium berasal dari sampel yang dibawa.
Perbedaan nilai pH dari pH digital dan laboratorium dapat disebabkan oleh perbedaan
suhu, kelembaban dan faktor lainnya. Material longsoran yang menggantung ditepi
sungai harus segera diatasi, tidak hanya dapat mempengaruhi pH sungai tetapi material
ini dapat menutup sebagian atau keseluruhan badan sungai. Hal ini berpengaruh kepada
sistem irigasi persawahan masyarakat sekitar yang berada di hilir sungai.

2. TSS

Total Suspendid Solid (TSS) adalah jumlah padatan tersuspensi (mg) dalam satu
liter air. TSS dapat dilihat dari padatan yang tidak larut dalam air sehingga mengedap
pada bagian bawah. Nilai TSS pada sungai Kaliwadas dapat dilihat ditabel dibawah
(Tabel 5). Dari hasil uji kualitas air sungai di 12 lokasi, nilai TSS untuk semua titik berada
dalam rentang 3,5 PPM – 41,7 PPM. Nilai TSS pada penelitian ini masih sesuai dengan
baku mutu menurut Baku Mutu Air Kelas I PP No. 82 tahun 2001.
581
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D027POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

3. TDS

Nilai TDS atau zat padat terlarut adalah jumlah padatan terlarut (mg) dalam satu
liter air. Alat yang digunakan untuk pengujian nilai TDS adalah TDS dan EC meter. Nilai
TDS sungai Kaliwadas adalah sebagai berikut (Tabel 6). Dari hasil uji kualitas air sungai
di 12 lokasi, nilai TDS untuk semua titik berada dalam rentang 209 PPM – 341 PPM. Nilai
TDS pada penelitian ini masih sesuai dengan baku mutu menurut Baku Mutu Air Kelas I
PP No. 82 tahun 2001. Hal ini menunjukan bahwa bahan anorganik yang terdapat di
sungai tersebut cukup rendah. Hal tersebut dipengaruhi oleh pelapukan batuan,
limpasan dari tanah, dan aktifitas manusia.Jika nilai TDS tinggi lebih dari nilai baku
mutu maka banyak kandungan organik pada larutan sampel.

IV.3.2 Hilangnya Mata Pencaharian

Dampak hilangnya mata pencaharian ini bersumber pada hilangnya sumber air
untuk irigasi sawah masyarakat sekitar. Hal ini terjadi apabila material longsoran
menutupi seluruh badan sungai. Persawahan ini berada dibagian hilir sungai. Untuk
mengetahui dampak hilangnya mata pencaharian dilakukan penyebaran kuisioner
kepada masyarakat yang berpotensi terkena dampak. Kuisioner yang telah disebar diuji
validitas dan keabsahan nya dengan menggunakan software SPSS. Sebelum memasukan
data ke SPSS dilakukan pemberian skor pada setiap pertanyaan pada kuisioner dengan
menggunakan skala Guttman. Kuisioner yang telah disebar untuk 32 responden pemilik
sawah dapat disimpulkan pada tabel 7. Tabel dibawah dapat dilihat jika kerugian yang
akan terjadi jika seluruh badan sungai tertutup adalah Rp 21.120.000. Sungai Kaliwadas
merupakan satu – satunya sumber air untuk irigasi persawahan masyarakat sekitar. Jenis
tanaman yang ditanam hanya padi dimana dalam setahun masyarakat hanya panen
sekali. Jumlah padi yang dipanen adalah 176 kantong dengan harga perkantong Rp
120.000. Hal ini dapat dicegah dengan cara menanggulangi material longsoran yang ada
di tepi sungai. Material ini dapat dipindahkan ke tempat yang lain yang lebih aman atau
membuat tembok penahan di tepi sungai. Akan tetapi longsoran susulan bisa terjadi
karena lereng tersebut masih mengalami pergerakan sampai sekarang. Material
penyusun lereng ini sudah tidak saling mengikat satu sama lain. Rekahan banyak
ditemukan pada lereng. Rekahan ini semakin hari semakin membesar dan dalam.

VI. KESIMPULAN

1. Nilai pH dalam rentang 7.5 – 8 untuk menggunakan pH digital, 8 – 8.4 untuk hasil
laboratorium, nilai TDS dalam rentang 202 – 362 mg/l dan nilai TSS dalam rentang 3 – 42
mg/l. Semua hasil kualitas air ini masih sesuai dengan baku mutu PP No 82 tahun 2001.

2. Potensi kerugian dari hilangnya mata pencaharian masyarakat sebesar Rp.


21.120.000

582
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D027POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

3. Kerusakan infrasruktur dari rusaknya jalan dan tiang listrik sebesar Rp. 38.250.000
dan Rp. 14.164.500

4. Biaya yang dikeluarkan untuk penanganan material dan pembuatan jalan baru
sebesar Rp. 11.014.500

VII. UCAPAN TERIMAKASIH

1. LIPI Karangsambung

2. Prodi Teknik Pertambangan Trisakti

3. Tim Karangsambung

DAFTAR PUSTAKA

Arif Irwandy. 2000. Analisa Kemantapan Lereng dan Falsafah Kemantapan Lereng, Jurusan
Teknik Pertambangan ITB, Bandung,.

Arsyad, Sinatala. 1989. Konservasi Tanah & Air. Jurusan Tanah Institut Pertanian Bogor, Bogor

Asikin, Sukendar, A Handoyo, H. Busono, Dan S Gafoer. 1992. Peta Geologi Kebumen Jawa
Tengah, Pusat Penelitian Dan Pengembangan Geologi Bandung

Anonim. 2014. Memahami prakiraan dampak kualitas air permukaan, Jurusan Tanah Institut
Pertanian Bogor, Bogor

Bakosurtanal. 2000. Peta Rupa Bumi Digital Indonesia, Jawa Tengah dari
https.//bakosurtanal.go.id

Bemmelen, Van. R. W. 1949. The Geology Of Indonesia, Vol 1a General Geology Of Indonesia And
Adjance Archipelagoes, The Hague,Martinus Nijhoff. Netherlands

Broothaerts, N dkk. Spatial Patterns, Causes And Consequences Of Landslides In The Gilgel Gibe
Catchment, SW Ethiopia. Journal Science, Volume 97, October 2012, Pages 127-136

Eddy sontang, karden, M, S. 2007. Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta.:


PerpustakaanNasional Katalog Dalam Terbitan

Enterprise, Jubille.Lancar Menggunakan SPSS, Jakarta : Elex Media ComputindoDavies,T.C. 1996.


Landslide Research In Kenya. Journal of aArican Earth Science. Vol. 23,No.4, pp. 541 -546,

Highland,L. And Johnson, M. 2004 . Landslide and Processes. U.S. Departement of the Interior,U.S.
Geological Survey

Hoek & Bray, J.W, Rock Slope Engeenering 3rd edition, The Institute of Mining and Metalurgy,
London, 1981.

Kusuma, Annete. 2007. Analisa Resiko Kestabilan Lereng Terhadap Faktor – Faktor Yang
Mempengaruhi Kestabilan Lereng. Tesis. Jurusan Keselamatan dan Kesehatan Kerja,
Universitas Indonesia

583
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D027POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

M. A, Morrison dkk. Metode Penelitian Survei, Jakarta: kencana hak cipta Peraturan Pemerintah
No 82 Tahun 2001

Selby, M.J. Landslide: Cause, Consequance And Environment. Jurnal of the royal socity of new
zealand. Volume 18,1988-issue 3

Suriadi, AB. M.Arsjad dan Bambang Riadi. 2013 . Potensi Risiko Bencana Alam Longsor Terkait
Cuaca Ekstrim Di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat”,Bogor:Badan Informasi Geospasial

Undang –Undang No 32 tahun 2009 pasal 22 kriteria dampak penting

Zebua, Breeford,TheoKarnova . 2017. .Analisa Pengaruh Rekahan Terhadap Kesabilan Lereng Di


Perbukitan Batu Gamping Buki Kaliwadas Karang Sambung Kebumen, Jawa Tengah.
SkripsiJurusanTeknikPertambangan,UniversitasTrisakti

584
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D027POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 1. Jalan rusak

No

Uraian Keterangan

1 Biaya Pembuatan Jalan Rp 750.000 Per m*

2 Jalan Lama Yang Rusak 46,12 m

3 Total Kerugian Rp. 38.250.000

Tabel 2. total kerugian untuk tiang listrik

No Uraian Keterangan

1 Jumlah Tiang Listrik Terdampak 2

2 No C12-350E+BC
Seri

3 Biaya Pemasangan Rp 7.082.250

4 Total Rp 14.164.500

Tabel 3. total biaya

No Uraian Keterangan

1 Belanja BBM Rp. 8.292.500.

2 Upah Operator Dan Relawan Rp. 2.718.480

3 Total Biaya Rp. 11.010.980

585
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D027POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

TSS Kriteria Mutu Air Kelas I


PP
No Titik
Sampel
(mg/l No.82 TH.2001
)

1 1 13.8

2 2 17.9

3 3 41.7

4 4 33.1

5 5 15.7

6 6 9.3

50 mg/l
7 7 43

8 8 3.5

9 9 16.1

10 10 7.5

11 11 36.8

12 12 13.6

1 1 351

2 2 224

3 3 305

586
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D027POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

4 4 209

5 5 341

6 6 238

7 7 241 1000 mg/l

8 8 235

9 9 244

10 10 361

11 11 231

12 12 345

13 13 245

Tabel 7. Hasil Data Kuisioner

No Pertanyaan Keterangan

1 Sumber mata air Sungai kaliwadas

2 Luas sawah terdampak 582 m2

3 Jenis tanaman Padi

4 Banyak padi yang dipanen pertahun 176 kantong

5 Harga perkantong padi Rp 120.000

6 Total harga keseluruhan Rp 21.120.000

587
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D027POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Lokasi Daerah Penelitian

Gambar 2. Iklim Dan Curah Hujan Daerah Penelitian

588
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D027POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Lokasi Daerah Penelitian Sebelum Longsoran

Gambar 4. Lokasi Daerah Penelitian Setelah Longsoran

589
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D027POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. Jalan penghubung desa yang rusak

Gambar 6. Tiang Listrik yang Terdampak

590
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D027POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 7. Excavator Untuk Penanganan Material dan Jalan Baru

Gambar 8. Jalan Baru

591
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D042UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

BIO ENGINEERING TECHNIQUE AS LANDSLIDE MITIGATION


MEASURES AT CIBEUSI VILLAGE AND ITS SURROUNDINGS, CIATER,
SUBANG DISTRICT WEST JAVA PROVINCE
Vismaia Isanjarini 1*,Fadhila Aulia 2
1Geological Engineering Padjadjaran University Jl. Raya Bandung-Sumedang KM.21, Hegarmanah,
Jatinangor, Sumedang Regency, West Java Province, 45363

*Corresponding Author: visanjarini@gmail.com

ABSTRAK. Landslides is one of the most common natural disasters in the world causing large
economic losses and casualties. Cibeusi is one of the areas that has a large risk of landslides
because it has slope ± 87°. This research area is an area that has many settlements, plantations and
rice fields. So, it will have a huge impact on the local population. There are many ways that can be
done as a landslide mitigation, but bio engineering technique is the best method that can be
applied because it will increase of slope stability by root reinforcement, and it can be agricultural
and recreational use. This method uses the combination of bush-mattress construction with wood
pegs, log brush barrier, and fascines (bush wattles). Bush-mattress construction with wood pegs
are built rectangular to the slope and in contour lines direction consistent of 15-20 or and 25-30
living branches of Salix, Eleagnus, Platanus e.t.c. Long brush barrier applied depends on pitch of a
slope. (Pitch 20% - 50% the distance between them is 8 m. And fascines (bush wattles) use chestnut
peggs (length 1.5-2,0 m diameter 4-5 cm) are driven into the soil (depth 0.7-1.2 m) every 30 cm
between them and 60 living brunches/ m of Salix Vitex. Based on the previous study, using this
combination method it can filter barrier to prevent landslide and scouring of the bank, immediate
protective cover for the bank, and reduces toe erosion. So, the potential of landslides can be
reduced.

Kata kunci: Slope, Landslide, Mitigation, Bio Engineering, Cibeusi

I. INTRODUCTION

Land in general is the top layer of the earth's crust which is composed of rocks,
minerals, and decaying organic matter in a long time. The type of weathering soil that is
often found in Indonesia is the result of volcanic eruptions. This land has a composition of
mostly clay with sand. Weathering soils that are above water-resistant rocks on medium
to steep slopes / ridges have the potential to cause landslides in the rainy season with
high quantity of rainfall. If these hills have no hard and deep rooted plants, then the area
is prone to landslides.

Landslides is one of the most common natural disasters in the world causing large
economic losses and casualties. Landslide as defined by Cruden (1991) is the movement
of masses of rock, debris or soil down a slope. The various types of landslides can be
differentiated by the kinds of material involved and the mode of movement. They are
falls, topples, slides, lateral spreads, flows, and complex. Although landslides are
primarily associated with mountainous regions, they can also occur in areas of generally

592
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D042UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

low relief. In low-relief areas, landslides occur as cut-and-fill failures (roadway and
building excavations), river bluff failures, lateral spreading landslides, collapse of mine-
waste piles (especially coal), and a wide variety of slope failures associated with quarries
and open-pit mines.

This research area is an area that has many settlements, plantations and rice fields.
If there is a landslide disaster, it will be able to have a huge loss of impact for the local
residents. One of the initial precautions that must be taken is to make swales in landslide-
prone areas that aim to hold material loads and plant trees that have strong roots to
support the load from landslide material.

II. REGIONAL GEOLOGY

Cibeusi is one of the areas that has a large risk of landslides because it has slope ±
45°. In this area of the research area, there are quarterly volcanic deposits. Regionally, the
rock stratigraphy order in this research area refers to the regional geological map (shown
on Picture 1).

a. Qvu, is a unit of unrefined old volcanic rock where there is volcanic breccia,
intermittent lava and lava.

b. Qc, is a collusion that originates from the ruins of mountains from old volcanoes, in the
form of igneous rocks between andesite-basal breccias, tufa sandstones and tufa clays.

c. Qvl, is the result of an old lava volcano. Lava shows the strength of the plate and the
burly of the pole. The basal arrangement and some are late in profitability.

d. Qyt, is a rocky tufa. There are tuffs, lapilli, bombs, hollow lava and solid andesite-
basalt pieces which are angled with lots of lumps and fragments of pumice. Derived from
G. Tangkuban Parahu (eruption "A", van Bemmelen 1934) and G. Tampomas.

In addition, based on the analysis of the slope of the slope map and the field data,
the area is categorized as having a slightly sloping slope. Based on Van Zuidam's
classification, 1983, there were 5 slope zones for the area of this research :

a. 00 - 20 or (0 - 2 %)

Flat or almost flat, no large erosion

b. 20 – 40 or (2 - 7 %)

The land has a sloping slope, if a landslide occurs at a low speed, erosion will leave a very
deep mark.

c. 40 – 80 or (7 - 15 %)

The land has a slope to steep slope, if a landslide occurs at a low speed, it is very prone to
erosion

593
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D042UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

d. 80 – 160 or (15 - 30 %)

Land has a steep slope, is prone to landslide hazards, surface erosion and groove erosion.

e. 160 – 350 or (30 - 70 %)

The land has a steep to steep slope, frequent erosion and ground movements at a slow
pace. Areas prone to erosion and landslides

f. 350 – 550 or (70 - 140 %)

Land has steep slopes, often found in rock outcrops, prone to erosion

III. METHOD

Using secondary data obtained from several references. This method uses the
combination of bush-mattress construction with wood pegs, log brush barrier, and
fascines (bush wattles) and also observed at landslide locations in the research area. The
map data collected is as follows:

a. Geological Map of Tangkuban Perahu Sheet, Sunda Volcano Complex, Soetoyo & R.D
Hadisantono, 1992

b. Slope map with a scale of 1: 15.000

IV. RESULT

Condition of Research Area

In the research area there were landslide prone areas in Cibeusi Village, Ciater
District, Subang Regency, West Java Province. The following is the documentation of the
research areas that are opposed to landslides :

Picture 3. Stasiun 1

594
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D042UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Picture 4. Stasiun 2

Picture 5. Stasiun 11

Picture 6. Stasiun 12

Based on the measurement at several stations, we obtained slope 20°-55°. And in


ST 11 we obtained slope 53°, which indicates that is the most vulnerable of landslide. In
this outcrop, there are 2 layers of soil, there are upper soil with a length of 0.04 m, and
CWZ with a length of 2.5 m. The soil is a blackish brown soil layer, clay particle size, very
plastic plasticity, slightly thick air content, CWZ weathering level, complementary
strength, homogeneous structure, and very thick coating scale.

Clay soil is a type of soil that has a lot of clay and a little sand, this type of soil is
an easy soil to absorb water in dry conditions. Clay has the potential for the occurrence of
landslides, especially when it rains. Types of soil that are clay, silt and sand have
properties that easily escape water. Soil properties such as clay, silt and sand will increase

595
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D042UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

the weight of the soil during rain and will facilitate landslides. If there is no deep rooted
tree and is resistant to wind, the landslide will easily occur. (Arsyad Usman, 2018 in
Karakteristik Tanah Longsor di Daerah Aliran Sungai Tangka).

Our research done in October which is rainy season. Rain triggers ground
movement is rain that has a certain bulk and lasts for a certain period of time, so that
falling water will infiltrate into the soil. Water that infiltrates into the soil will accumulate
along the landslide field to reduce the effective stress and reduce the shear strength of the
soil.

The type of heavy rain will only be effective in triggering landslides on slopes
whose soil is easy to absorb water (Premchit, 1995; Karnawati, 1996, 1997, in Karnawati,
2005), such as in permeable clay or sand. If the slope-forming soil is impermeable, heavy
rain is less effective to infiltrate into the soil and will only become runoff. So it can be
concluded that the rain that is not heavy still has a long duration, more effective
triggering landslides. (Fadly Achmad in Studi Identifikasi Penyebab Longsor di Botu).

V. DISCUSSION

There are many ways that can be done as a landslide mitigation, but bio
engineering technique is the best method that can be applied because it will increase of
slope stability by root reinforcement, and it can be agricultural and recreational use. This
method uses the combination of bush-mattress construction with wood pegs, log brush
barrier, and fascines (bush wattles).

Plant Selection for Each Method

1. bamboo trees for log brush barrier :

a. Overcoming land instability

b. Bamboo is resistant to soil moisture

Bamboo is resistant to soil moisture and also as a "warning system" if there is an


overload of ground support.

c. Bamboo stems are capillary

Bamboo stems are capillary, so they can suck water very well.

d. Bamboo roots can bind the soil surface

Bamboo is a type of fiber-rooted plant. Fiber roots can bind the surface of the soil,
thereby reducing the risk of landslides and erosion.

e. Stabilizing environmental conditions (microclimates)

Bamboo plants can stabilize environmental conditions or microclimates. Plant growth


and protection is easier to do.

596
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D042UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

f. Increasing groundwater reserves

Bamboo has deep roots. Bamboo roots can absorb rainwater. It can increase water
reserves in the soil.

2. Paspalum notatum for bush mattres

It has the characteristic to bind the soil to its growth, and has a fairly deep root. So it can
support 100% of the soil surface within 3 months.

3. Chrysopogon zizanioides for fascines (bush wattles)

It resistant to weather variations, such as: long drought, flooding, inundation and
temperatures of -14ºC to 55ºC; has a very wide adaptability to various soil conditions, is
able to penetrate hard layers to a depth of 15 cm, is very practical, inexpensive, easy to
maintain, and very effective in controlling soil erosion and sedimentation, water
conservation, and stabilization and rehabilitation of land.

VI. Application

1. Log brush barrier

This construction is predicated on treatment of flood control. Used to control the


surface soil, reduce the runoff speed with infiltration of flood water. (Georgi Julia, 2006).
The log brush barriers are wood parts of trees (diameter 20-25 cm length 6 m) (such as
Bamboo, e.t.c.) (Picture 7).

Picture 7. Log brush barrier for slope stabilization (construction pattern) (Hellenic Ministry of
environment and public works)

The distance between them depends on pitch of a slope. (Pitch 20% - 50% the
distance between them is 8 m.) The construction includes the below:

The right areas were the barriers will be placed chosen and lined on the surface
soil. Chosen the rights logs with right length. Cleaned all end products from placed line.
Cultivated slowly the soil and placed the log in contour lines and fastened exactly to the
soil. The logs are fixed with pegs with diameter 8-15 cm. These pegs are struck into the
soil in 30 cm depth. The upside formatted as groove form in order to one of its side cover

597
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D042UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

until the log top. In case not accurate touch with soil. (gaps between brunches and soil),
the gaps filled with brunches or rocks or soil from excavations of grooves. With this
technique controlled fine grained.

End of each line closed with rocks or woods to avoid the movement soil material
and on the other hand to avoid the movement soil material of other parts. Any stop of line
must be covered from the next. (Picture 7)

Advantages:

a. Prevents progressive erosion and promotes siltation

b. Aesthetically appealing

Disadvantages:

a. Higher labour costs

b. Large amounts of material.

2. Brush-mattress construction with wood pegs

Brush mattress construction with living brunches can be used (which will sprout)
for protection and slope stabilization. They are built rectangular to the slope and in
contour lines direction consistent of 15-20 or and 25-30 living branches of Paspalum
notatum, e.t.c. each with length 60 cm and diameter 6-40 mm. The sprout buds of
branches are bedded in the same direction and they tied up in fascines with 15-30 cm
length in length fascines direction with touching between them.

The above construction can have length from few meters to all width slope. The
fascines stabilized on slope surface with wood pegs each with length 1.0 meter and
diameter 4-7 cm. The wood pegs are driven into the soil through the mattress in ditches
(depth:60-70 cm).

The above construction can dublicated set of fascines every 2-3 meters in slope direction
according the cionditions of slope stabilization. The upside of slope and behind of the
fascine can filled with soil or planted (plants cuttings) or seeded. (Picture 8)

This construction stabilize the soil, reduce the movement speed of rainning water,
reduce the surface erosion and stabilize mass of soil especially if is combined with other
methods. (Georgi Julia, 2006)

Picture 8. Brush-mattress structures (Schiechtl and stern 1994)

598
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D042UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Advantages:

a. Immediately effective after installation

b. Dense root system and thicket developed

c. Flexibility in preparation and protection

d. Material easily available as structures also serve as a nursery for new plant material

Disadvantages:

a. High demand on material and labour

b. Occasionally thinning of thicket necessary

c. Labour intensive

3. Fascines (bush wattles)

Chrysopogon zizanioides (length 1.5-2,0 m diameter 4-5 cm) are driven into the
soil ( depth 0.7-1.2 m) every 30 cm between them. 60 living brunches/ m are driven into
the soil (length 1.0 m, diameter 1-5 cm) in two layers (they are built inclined) until to
touch the equable part of slope. 30 of them are driven into the soil from one direction and
30 of them are driven into the soil from the other direction. The lliving brunches. (Georgi
Julia, 2006)

This construction extended on needed parts of slope. The same construction can
be without use of chestnut pegs but the use with living brunches and their covered with
soil. (Picture 9)

Advantages:

a. Fast and simple construction

b. Little soil movement

c. Useful for wet slopes or zones

d. Little preparation

e. Promotes development towards climax

Disadvantages:

a. Flexible branches necessary

b. Susceptible to rockfall and shearing

c. Little securing of deeper soil layers

599
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D042UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

d. Labour intensive

Picture 9. Fascines for slope stabilization (construction pattern) (Schiechtl and stern 1992)

Combination of The Methods

This research combinate fascines method and bush-mattress method for more effective. In
the fascines method, Chrysopogon zizanioides grows vertically. However, planting
Chrysopogon zizanioides is only felt to be lacking because the distance between plants is
still open, so that it still associated with outside influences such as rainwater. Therefore, it
combined with brush-mattress method using Paspalum notatum which had horizontal
growth to the soil, so it could increase the surface of the soil before planting Chrysopogon
zizanioides to grow closely.

The log brush barrier method cannot be combined with other methods because the
application has been applied in a vertical and horizontal position.

VII. CONCLUCTION

Landslides are one of the geological disasters that occur due to the movement of rock and
soil with various types of movements. Cibeusi is one of the areas in Subang that has an
impact of landslides. In this case, efforts are needed to prevent or mitigate landslides in
the Cibeusi area by applying three methods, that are log brush barrier, fascines and bush-
mattress methods. Among the three methods, there are two methods that can be
combined, namely fascines and bush-mattress using Chrysopogon zizanioides and
Paspalum notatum. While the log brush barrier method with bamboo cannot be
combined with both methods.

REFERENCE
Fadly Achmad.2010. Studi Identifikasi Penyebab Longsor di Botu. Ejurnal UNG Vol. 5 No 3

Arsyad, dkk. 2018. Karakteristik Tanah Longsor di Daerah Aliran Sungai Tangka. Jurnal Hutan
dan Masyarakat. Vol. 10 (1)

600
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D042UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Dimas San.-. A Soil Bioengineering Guide for Streambank and Lakeshore Stabilization. U.S.
Department of Agriculture Forest Service Technology and Development Program, chapter 5

Julia Georgi, Stathakopoulos Loannis. 2006. Bioengineering Tecniques for Soil Erosion Protection
and Slope Stabilization. ResearchGate

Karnawati Dwikorita. 2005. Pengaruh Kondisi Vegetasi dan geologi Terhadap Gerakan Tanah
dengan Pemicu Hujan. Ejurnal UNG

Kusminingrum, Nanny. 2011. Pernanan Rumput Vertiver dan Bahia dalam Meminimasi
Terjadinya Erosi Lereng. Jurnal Jalan- Jembatan Volume 28 No 3 pp. 167-177

Lal, R. (1997). Biotechnical and Soil Bioengineering Slope Stabilization: A Practical Guide for
Erosion Control. Soil Science, 162(11), pp.850-852.

Riyanto, Heru Dwi. 2016. Rekayasa Vegetatif Untuk Mengurasi Risiko Longsor. Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

Susilawati. 2016. Kajian Rumput Vertiver Sebagai Pengaman Lereng Secara Berkelanjutan. Jurnal
Ilmu dan Terapan Teknik Sipil Volume 22 No 2

601
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D042UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Picture 1.Regional Geology in research area

602
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D042UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Picture 2. Morfometry in research area

603
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D053UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

IDENTIFIKASI STRUKTUR BAWAH PERMUKAAN MENGGUNAKAN METODE


GAYA BERAT ANALISIS FIRST HORIZONTAL DERIVATIVE (FHD) DAN
SECOND VERTICAL DERIVATIVE (SVD), GUNA UPAYA MITIGASI BENCANA
GEMPABUMI DI KABUPATEN WONOSOBO, PROVINSI JAWA TENGAH
Andini Fitriastuti 1, Aristo 1 dan Fadhila Friany Putri 1
1Program Studi Geofisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Indonesia Jalan Prof. Dr. Sudjono D Pusponegoro, Kampus UI Depok, 16424

*corresponding author : fitriastutiandini@gmail.com

ABSTRAK. Gempa berdampak besar di Wonosobo tercatat pernah terjadi pada 1877 dan 1924.
Aktivitas tektonik Wonosobo menunjukkan adanya sesar aktif yang masih tersembunyi dan
punya potensi mengancam wilayah Kabupaten Wonosobo dan sekitarnya berkaca dari adanya
sejarah gempa kuno yang cukup besar. Berdasarkan data BMKG, terjadi gempabumi berkekuatan
2,6 SR yang mengguncang dataran tinggi Dieng, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah
dengan episenter terletak di darat dengan jarak 25 kilometer arah timur laut (7.35 LS dan 109.92
BT) Kabupaten Wonosobo pada 25 Desember 2018 silam. Gempa berkedalaman 10 km tersebut
disebabkan oleh aktivitas sesar minor yang belum teridentifikasi pergerakannya dan titik episenter
gempanya terletak berdekatan dengan dua gunung api aktif yaitu Gunung Sumbing dan Gunung
Sindoro. Rangkaian gempa di tempat yang sama pernah tercatat yaitu 4.8 SR pada 19 April 2013
dan 3.1 SR pada 2 Januari 2016. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengidentifikasi
struktur bawah permukaan yang terdapat di kabupaten Wonosobo khususnya di sekitar Gunung
Sumbing dan Gunung Sindoro dengan melakukan pengolahan data gravitasi Airborne Survey dari
Topex. Pengolahan data dilakukan untuk mendapatkan kontras nilai medan gravitasi wilayah
Kabupaten Wonosobo dengan dugaan awal adanya patahan. Untuk mengindentifikasi jenis
patahan tersebut telah dilakukan pengolahan dengan menggunakan metode First Horizontal
Derivative (FHD) dan Second Vertical Derivative (SVD) dari Anomali Bouger. Hasil yang didapatkan
dari penelitian menunjukan sebaran Anomali Bouger sebesar 5 mGal – 120 mGal. Dari hasil
analisis SVD dan FHD, sesar yang berada di daerah penelitian merupakan patahan naik.

Keyword : gaya berat, First Horizontal Derivative, Second Vertical Dervative, patahan

I. PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang

Kabupaten Wonosobo terletak pada 7o11'20" sampai 7 o36'24" LS, serta 109o44'08"
sampai 110o04'32" BT, dengan luas wilayah 984,68 km2 setara dengan 3,03% luas Provinsi
Jawa Tengah. Daerah Kabupaten Wonosobo memiliki tatanan struktur dan litologi sangat
kompleks akibat aktivitas tektonik berupa pergerakan patahan dan aktivitas vulkanik
berupa erupsi Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing yang mengakibatkan daerah
Wonosobo rentan mengalami gempa bumi. Gempa bumi Wonosobo yang pertama kali
tercatat dalam sejarah terjadi pada tahun 1924 dengan lokasi sumber dan magnitudo
yang tidak diketahui namun menimbulkan kerusakan besar dengan durasi guncangan

604
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D053UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

yang cukup lama disertai suara gemuruh. (Indie, 1924 dalam Sasongko, 2018). Gempa
bumi besar baru terjadi kembali pada 19 April 2013 dengan magnitudo 4.8. Kemudian
pada bulan Desember 2018 setidaknya terjadi tiga kali gempa bumi pada tanggal 10, 14,
dan 25 Desember 2018 dengan magnitudo 2.6 – 2.8 (BMKG, 2018). Pola keterjadian gempa
ini, menandakan bahwa Wonosobo rentan mengalami gempa besar kembali sewaktu-
waktu karena energi gempa yang dihasilkan belum dikeluarkan seluruhnya seperti yang
terjadi pada tahun 1924. gempa bumi pada tanggal 10, 14, dan 25 Desember 2018 dengan
magnitudo 2.6 – 2.8 (BMKG, 2018). Pola keterjadian gempa ini, menandakan bahwa
Wonosobo rentan mengalami gempa besar kembali sewaktu-waktu karena energi gempa
yang dihasilkan belum dikeluarkan seluruhnya seperti yang terjadi pada tahun 1924.
Untuk mengetahui keberadaan sesar yang kemungkinan merupakan penyebab terjadinya
gempa bumi di Wonosobo, maka dilakukan pengolahan data gravitasi Airborne Survey
dari Topex.

Hasil pengolahan data tersebut menghasilkan Anomali Bouguer atau kontras nilai
medan gravitasi wilayah Kabupaten Wonosobo dengan dugaan awal adanya patahan.
Complete Anomali Bouger (CBA) merupakan penjumlahan dari anomali regional dan
anomali residual. Kedua anomali tersebut saling berinteraksi dan menimbulkan anomali
yang tumpangtindih. Oleh sebab itu, anomali-anomali tersebut harus saling dipisahkan
agar didapatkan anomali residual yang akurat untuk pemodelan geologi bawah
permukaan bumi. Untuk mengindentifikasi jenis patahan tersebut telah dilakukan
pengolahan dengan menggunakan metode First Horizontal Derivative (FHD) dan Second
Vertical Derivative (SVD) dari Complete Anomali Bouger (CBA).

I.2 Geologi Regional

Kabupaten Wonosobo dikelilingi oleh tiga gunung api aktif yaitu Dieng, Sundoro,
dan Sumbing yang merupakan produk aktivitas gunung api muda pada masa Holosen.
Ketiganya terletak pada jalur busur vulkanik periode Kuarter hasil subduksi yang telah
aktif sejak periode Kenozoikum Awal (gambar 1) (van Bemmelen, 1949; Hamilton, 1979;
Simanjuntak and Barber, 1996; Harijoko et al., 2016).

Proses pembentukan litologi Wonosobo dimulai pada masa Eosen hingga Miosen
berupa terbentuk endapan oliostostrom dan batu gamping terumbu, terbentuknya
endapan turbidit Formasi Waturanda, Formasi Penosogan, dan diikuti terbentuknya
intrusi Diorit. Peningkatan aktivitas tektonik pada masa Miosen Akhir hingga Pliosen
Awal menyebabkan terjadinya pengangkatan, pelipatan, dan penyeseran berarah barat
laut – tenggara yang disertai aktivitas vulkanik sehingga menghasilkan Formasi Peniron,
Tapak, dan Halang. (Condon et al, 1996).

605
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D053UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

II. METODE

Penelitian ini dilakukan dengan mengolah data gravitasi dan topografi dari satelit
TOPEX untuk mengetahui persebaran anomali percepatan gravitasi di Kabupaten
Wonosobo. Data gravitasi satelit yang sudah terkoreksi hingga koreksi Free Air kemudian
dikoreksi dengan koreksi Bouger dan koreksi Terrain. Koreksi Bouger dilakukan untuk
menghilangkan pengaruh massa yang bukan objek dari datum sampai ketinggian titik
pengukuran, sedangkan koreksi terrain dilakukan untuk menghilangkan pengaruh
undulasi berupa kelebihan atau kekurangan massa dari topografi daerah penelitian.

Hasil dari koreksi-koreksi tersebut kemudian diolah melalui proses gridding pada
software Oasis Montaj untuk menampilkan peta Complete Bouger Anomaly (CBA) yang
menggambarkan anomali percepatan gravitasi di lokasi penelitian. Peta CBA kemudian
dianalisis menggunakan metode First Horizontal Derivative (FHD) untuk mengetahui letak
keberadaan patahan dan Second Vertical Derivative (SVD) untuk mengonfirmasi
keberadaan patahan tersebut dan untuk mengetahui mekanisme pergerakannya dengan
didukung oleh data geologi. Langkah-langkah penelitian ini dapat dilihat di gambar 1.

First Horizontal Derivative (Turunan Pertama Horizontal) merupakan nilai laju


perubahan dari gravitasi secara horizontal (arah X dan Y) dan memiliki nilai mgal/m.
Perubahan anomali yang tajam pada kontak bodi akan memberikan karakter FHD yang
bernilai maksimum, sehingga dapat diaplikasikan dalam mengindikasikan batas struktur
geologi berdasarkan data gravitasi (Blakely, 1996). Nilai FHD dihitung berdasarkan
persamaan (1) :

Second Vertical Derivative (TurunanKedua Vertikal) merupakan teknik interpretasi yang


dapat membantu untuk menonjolkan sumber yang dangkal. SVD dapat digunakan
untukk menggambarkan batas dari tubuh batuan dengan menginterpretasikan nilai nol
sebagai garis besar tubuh batuan. Metode SVD dapat digunakan untuk mengindikasikan
tipe patahan dengan melihat nomali yang tertinggi dan terendah yang berdekatan satu
sama lain. Metode SVD dapat digunakan untuk melihat keberadaan patahan normal dan
reverse. Tipe patahan adalah normal jika | g’’maksimum | > | g’’minimum | sementara
patahan reverse diindikasikan dengan nilai | g’’maksimum | < | g’’minimum | (Bott,
1962). Nilai SVD dapat dihitung dengan menggunakan turunan negatif kedua horizontal
sebagai akibat dari persamaan Laplace yaitu :

606
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D053UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

III. HASIL PENGOLAHAN DATA

Analisa Bouger

Dari hasil koreksi gravitasi, didapatkan peta Complete Bouger Anomaly (CBA)
seperti yang terlihat pada Gambar 3.

Persebaran nilai anomaly bouger pada daerah Wonosobo berkisar antara 15


hingga 140 mgal. Perbedaan nilai anomaly diakibatkan oleh adanya kontras densitas
batuan yang ada di bawah permukaan. Zona dengan anomali tinggi pada peta
ditunjukan berwarna merah sedangkan nilai anomali rendah berwarna ungu. Zona
dengan nilai anomali tinggi berada pada zona dekat Gunung Sindoro dan Gunung
Sumbing hal tersebut kemungkinan disebabkan karena pada daerah kompleks gunung
api tersebut terdapat batuan beku atau vulkanik yang mana memiliki densitas tinggi.
Sedangkan anomali rendah berada di sekeliling Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing
diperkirakan merupakan daerah collapse sector, yaitu daerah yang berada disekitar
pegunungan, dengan adanya intrusi maka litologi batuan sekitar mengalami rekahan-
rekahan sehingga densitas batuan tersebut rendah. Peta Anomali Bouger ini merupakan
gabungan antara anomali nilai gravitasi regional (zona dalam) dan anomaly residual
(zona dangkal). Untuk memisahkan kedua anomaly tersebut dilakukan analisis spectrum.
Peta CBA ini menjadi awalan untuk menentukan zona interest/zona terindikasi struktur.

Analisa Derivative

Analisis FHD dan SVD dilakukan terhadap peta kontur Complete Bouger Anomaly
(CBA). Analisa FHD bertujuan untuk mencari batas kontras densitas dari data gayaberat
ditandai dengan nilai FHD yang tinggi. Jika nilai FHD rendah, maka menunjukan bahwa
zona tersebut stabil. Sedangkan analisis SVD diperlukan untuk memastikan adanya
struktur geologi berupa patahan. Patahan tersebut teridentifikasi jika terdapat perubahan
nilai anomaly SVD sangat kontras. Peta Anomali FHD dapat dilihat pada Gambar 5.

Garis putus-putus pada peta merupakan indikasi patahan yang muncul pada peta
SVD dan FHD, sedangkan garis hitam tegas merupakan arah slicing guna mengetahui
respon grafik antara SVD dan FHD nantinya, dan titik hitam merupakan titik hiposenter
gempa bumi yang pernah terjadi di Wonosobo. Dilakukan slicing sebanyak delapan garis
dari garis A hingga garis H, untuk mengetahui apakah terdapat patahan atau tidak. Dari
hasil slicing akan dilihat hubungan grafik nilai maksimum dan minimum antara grafik
FHD dan SVD. SVD untuk mengetahui jenis patahan sedangkan FHD untuk mengetahui
batas kontras anomaly. Apabila grafik SVD memiliki nilai maksimum lebih besar
daripada nilai mutlak minimum, maka patahan diperkirakan merupakan patahan turun
(normal fault). Jika nilai maksimum lebih kecil daripada nilai mutlak minimum maka
patahan tersebut terindikasi patahan naik (reverse fault).

607
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D053UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

IV. PEMBAHASAN

Dari delapan lintasan slice AA’ hingga HH’ pada peta SVD dan FHD, setelah
dilakukan analisa korelasi antara nilai maksimum grafik dapat diketahui bahwa lintasan
AA’, BB’, DD’, EE’, dan FF’ mengindikasikan keberadaan patahan sedangkan lintasan
CC’, GG’, dan HH’ tidak begitu kuat untuk dijadikan indikasi keberadaan patahan
karena nilai FHD yang kurang mencapai maksimum saat SVD bernilai nol.

Pada lintasan AA’ (Gambar 6) ditemukan dua patahan yaitu pada jarak 11000 m (line
1dan 14000 m (line 2). Patahan pada line 1 berupa patahan naik karena nilai minimum
kurva lebih besar daripada nilai maksimumnya sedangkan patahan pada line 2 berupa
patahan mendatar karena kurva maksimum dan minimum memiliki niai yang relatif
sama.

Pada lintasan BB’ (Gambar 7) juga ditemukan dua patahan pada jarak 4000 m (line 1)
dan 16100 m (line 2). Patahan pada line 1 tidak dapat ditentukan jenisnya karena titik
nilai maksimumnya tidak terlihat pada grafik, sedangkan pada line 2 patahan yang
teridentifikasi berupa patahan naik.

Pada lintasan DD’ (Gambar 8) ditemukan setidaknya empat patahan yaitu pada jarak
5300 m (line 1), 11800 m (line 2), 16000 m (line 3), dan 32900 m (line 4). Berdasarkan hasil
analisis, seluruh patahan diindikasikan sebagai patahan naik.

Pada lintasan EE’ (Gambar 9) ditemukan satu patahan pada jarak 8000 m dengan jenis
yang teridentifikasi berupa patahan patahan naik.

Pada lintasan FF’ (Gambar 10) ditemukan dua patahan pada jarak 5000 m (line 1) dan
13100 m (line 2) dengan jenis patahan yang teridentifikasi pada kedua patahan adalah
patahan naik.

Berdasarkan hasil analisis 8 lintasan slice, daerah Wonosobo mendapat gaya


compressional dengan durasi yang sangat lama karena patahan-patahan naik yang
ditemukan membentuk barisan menerus dengan orientasi didominasi oleh arah utara-
selatan. Hal ini sesuai dengan kondisi geologi regional Wonosobo yang terletak pada
volcanic arc, terbentuk akibat proses subduksi lempeng Indo-Australia yang menekan
lempeng Eurasia sehingga terbentuk barisan pegunungan.

Patahan-patahan ini diperkirakan terletak pada kedalaman dangkal yang menerus


hingga kedalaman menengah karena gambaran peta anomali residual yang dihasilkan
tidak jauh berbeda dengan peta CBA.

Berdasarkan proses geologi yang terjadi beserta lokasi kedalaman patahan-patahan


tersebut, gempa bumi yang terjadi di Wonosobo wajar terjadi dengan titik hiposenter
yang berbeda-beda karena di daerah tersebut terdapat banyak patahan lokal yang pada
bagian terbawah dari patahan tersebut masih rentan mengalami deformasi batuan.
Namun, karena jumlahnya yang sangat banyak dan tidak membentuk patahan panjang,
akumulasi energi yang dilepaskan hanya menghasilkan gempa-gempa kecil pada periode
608
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D053UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

yang singkat. Meskipun begitu, letak patahan-patahan yang tidak stabil ini dapat
menyebabkan gempa besar dalam periode jangka panjang.

V. KESIMPULAN

Berdasarkan proses pengolahan dan hasil interpretasi, dapat disimpulkan bahwa:

7. Hasil analisa SVD dan FHD menanakan kabupaten Wonosobo berada pada
daerah volcanic arc dengan gaya kompresional yang besar sehingga membentuk jajaran
patahan-patahan naik.

• Patahan yang terbentuk berupa patahan lokal dengan sebaran lokasi yang cukup
acak pada kedalaman 500 meter hingga 1 kilometer namun pada bagian dasarnya rentan
mengalami deformasi batuan hingga kedalaman 10 kilometer.

• Gempa bumi yang terjadi pada lokasi yang berbeda-beda disebabkan karena
banyaknya patahan yang tidak stabil akibat pengaruh gaya kompresional yang terjadi
pada lempeng Eurasia yang merupakan efek dari subduksi lempeng Indo-Australia
terhadap lempeng Eurasia.

• Di sisi timur Wonosobo terdapat anomali rendah yang dikelilingi anomali tinggi
tepat di bawah gunung Sumbing dan gunung Sundoro mengindikasikan adanya zona
lemah yang membentuk sector collapse.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. 2018. Katalog Gempabumi Signifikan dan
Merusak 1821 – 2017 per Tahun. ISSN 2477-0582

Daryono. 2019. Gempa Dahsyat Wonosobo 1924. Diakses pada 14 Juni 2019 melalui
https://kumparan.com/daryono-bmkg/gempa-dahsyat-wonosobo-1924-
1547296104746151372

Indie, Geillustreerd Tijdschrift Voor.Nederland En Kolonien N.V. Boekhandel En


Drukkerij G. Kolff & Co., Weltevreden, Nederlandsch Oost-Indie: No. 21 7 Januari
1925 PERTEMUAN ke-39. - 17 Desember 1924. 4.

Pemerintah Kabupaten Wonosobo. 2014. Geografis Kabupaten Wonosobo.

609
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D053UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Peta Geologi Regional Kabupaten Wonosobo

Gambar 2. Diagram Alir Penelitian

Gambar 3. Peta Kontur Anomali CB3

610
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D053UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Peta Kontur Anomali SVD

Gambar 5. Peta Kontur Anomali FHD

611
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D053UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 6. Grafik Lintasan A-A'

Gambar 7. Grafik Lintasan B-B'

612
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D053UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 8. Grafik Lintasan D-D'

Gambar 9. Grafik Lintasan E-E'

613
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D053UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 10. Grafik Lintasan F-F'

614
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D054POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

THE ROLE OF GEOMORPHOLOGY FOR ANALYSIS OF LANDSCAPE ECOLOGY


IN THE LONING WATERSHED, KARANGSAMBUNG-KARANGBOLONG
NATIONAL GEOPARK
Puguh Dwi Raharjo 1* ,Kristiawan Widiyanto 2 ,Sueno Winduhutomo 3 ,Angga Yudaputra 2
1 Research & Development Division for Earth Conservation and Information, Indonesian Institute of
Sciences (LIPI), JL. Karangsambung KM 19 Kebumen, Jawa Tengah, 54353
2 Research Center for Plant Conservation and Botanic Gardens, Indonesian Institute of Sciences
(LIPI),Bogor, Indonesia

*Corresponding Author: puguh.draharjo@karangsambung.lipi.go.id

ABSTRAK. This location is geologically located in the melange zone due to the subduction of the
Australian plate with the Eurasian plate, so that rocks have high diversity. Loning watershed is
one of the watersheds located in Karangsambung-Karangbolong National Geopark area. Geopark
is an integrated regional concept in protecting geological heritage in a sustainable manner for
human welfare. Geodiversity, biodiversity, and culturdiversity are regional elements that aim at
conservation, education and tourism. The complex geological process of loning watershed affects
geomorphological variation. Every last unit of geomorphological landforms has different
characteristics and functions. The purpose of this study was to analyze the geomorphological
aspects related to ecology, so that sensitivity to landscape ecology can be obtained for the carrying
capacity of the environment in the Geopark Region. The target to be achieved is the creation of
geodiversity and biodiversity conservation area management. The research method used uses a
laboratory and field approach. Study of laboratory approaches with digital image processing for
analysis of vegetation cover with NDVI formula, geomorphological interpretation, river
morphometry and other spatial data analysis. Field approach by identifying each altitude segment
on biodiversity and geodiversity parameters. The geomorphology in the Loning Watershed is used
as a unit of land for landscape ecology. The river order reaches 4 segments, with a level 1 river
order amounting to 150. Surface runoff based on the rate of flow density has a value of 4.71 with a
bifurcation ratio of 5.73. In the watershed Loning has the characteristics of the river flow through
the rock with soft resistance so that the sediment transported by the flow will be greater. The shape
of the longitudinal watershed with the peak discharge is long and the decline is also long.
Geomorphology is divided into 5 units from upstream to downstream which all have different.

I. INTRODUCTION

Karangsambung-Karangbolong National Geopark has the morphology of hills, plains,


karst, dan coastal. Karangsambung-Karangbolong National Geopark area is divided into
3 (three) segments, namely Karangsambung (North), Sempor (Central), and Ayah (South).
The Loning Watershed is one of the Upper Lukulo Watersheds located in the
Karangsambung Geological Reserve Area. In this region has a complex litology with
topography and various landforms.

615
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D054POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

The oldest rocks in Java which are Pre-Tertiary and are considered as the bedrock of
Java Island are exposed in the Melange Complex of Luk Ulo-Karangsambung (Asikin,
1974), these rocks consist of tectonic mixtures of metamorphic rocks, alkaline igneous
rocks and sedimentary rocks pelagik and hemipelagic (Prasetyadi, 2007). Rock outcrops
consist of rock accretion complexes known as Luk Ulo Melange Complex consisting of
phylite blocks, blue schist, eclogite, ultramafic, ofiolite, basalt, calcilutite and flanges
embedded in eroded shale matrix (Asikin, 1974).

Natural problems are not only caused by physical factors, but also by social factors
(Raharjo and Ansori, 2009). Damage to watersheds is often triggered by changes in land
use due to the high level of human life needs and weak law enforcement. The existence of
water resources in an area is generally determined by the physical condition of the
watershed, the wider the vegetation cover in the watershed area, the greater the ability of
the watershed to collect, store and flowing rainwater into runoff (Saefudin and Raharjo,
2009a).

Disrupted ecosystems due to natural imbalances will have an impact on the function
and existence of the environment (Raharjo, 2008). Land use changes often do not match
between the functions and conditions of the region, resulting in damage to natural
resources in the watershed that will have a broad impact on environmental sustainability
(Raharjo, 2009).

Geomorphological analysis is an approach that is carried out to find out the land
forms and processes that influence their formation and investigate the relationship
between forms and processes in their spatial order (Hardini, 2018). The development of
landforms is determined by the processes of weathering and soil development, erosion,
soil mass movements, flooding, sedimentation, and biology including humans (Raharjo
and Saefudin, 2008). The fluvial process in the Karangsambung area originates from the
origin of the structural process that has been exposed to exogenous energy and forms the
origin of the denudational process (Raharjo, 2013).

Natural disasters that occur in the Karangsambung Geological Reserve include floods
and landslide (Raharjo et al., 2011). The Lukulo Hulu watershed has a rounded watershed
where surface runoff can cause river overflow (Raharjo, 2010a). This watershed is also one
of the watersheds that has a high erosion rate, heavy erosion has an area of 5.87% with an
erosion of 180 to 480 tons/ha/year and very heavy erosion of 5.26% with an amount of 480
tons/ha/year (5.26%) (Raharjo and Saefudin, 2008). The daily sediment load in the Lukulo
Hulu watershed reaches 194.43 tons/ha/year (Saefudin and Raharjo, 2009b). The potential
for dryness in this watershed is also very high, as seen from the shallow aquifer and the
distribution of irrigated rice fields (Raharjo, 2010b).

The most extensive type of land use in the Karangsambung Geological Reserve Area
is mixed gardens and forests, while Settlements have a uniform distribution throughout

616
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D054POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

the region with regular patterns following the existence of river flows (Raharjo and
Ansori, 2009). The occurrence of landslide in the Karangsambung area was found 87
points of occurrence which included the type of subsidence, fall debris, avalanche, glide,
obstruction, creep, and rock fall. The vulnerability zone of high landslide is found in areas
that are generally composed of rock lithology breccia and sandstone Waturanda
Formation, rocks in the Melange Complex that have undergone intensive and advanced
weathering (Raharjo and Nur, 2013). Slope and rock are the main criteria in triggering
landslides in Karangsambung Area, while the physical criteria of land and land use also
have an influence but not too high (Raharjo, et al 2014).

The role of geomorphology is very important in controlling the ecological conditions


that exist in this region, especially geomorphology. This study aims to analyze the
geomorphological aspects related to ecology, so that sensitivity to ecology is obtained,
especially in the physical study of land for environmental carrying capacity in the
Geopark Region.

II. METHOD

This research was conducted in the Loning Watershed located in Karangsambung-


Karangbolong National Geopark Region in the northernmost part. Administratively, most
of them are in Kebumen Regency which includes Sadang District and some are in
Pagedongan District, Banjarnegara Regency.

Fig 1. Research area in Loning Watershed

In this study includes several stages, namely pre-field, field, and laboratory and
analysis. In the pre-field stage is preparation of sampling locations both land and
vegetation, interpretation of both digital satellite imagery for classification of vegetation
and visual density to determine land units. In the field stage, besides taking soil samples
and vegetation, it is also used to measure river segments for each of the ideas. Some
parameters needed in this determination are as below:

A Linier aspect
1 River Order: Strahler method (1964)
2 River segment length (∑ Nu)
3 Main river length (Lb)
4 Watershed perimeter (P)
5 Branching (Rb): Nu/Nu+1
6 Nisbah Percabangan terbobot (WRb): ∑ [(Nu/Nu+1)( Nu + Nu+1) ]/∑ Nu
7 Watershed wide (W): A / Lb
B Areal aspect
1 Watershed area (A):
2 Shape (Rc) : (4 π A) /P2
3 Drainage density (Dd): (∑ Nu) / A
4 Order frequency ratio (Fs): Nμ/A

617
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D054POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

5 Flow frequency: (∑ orde-1)/( ∑Orde-2-3-4)


6 Flow texture: (∑ orde-1)/P
7 Elongation Ratio: ( √([4A/π]) ) / Lb
8 Texture rasio (T): T=N1/P N1
9 Length of Overland Flow (Lof): ½ Dd
10 Constant Channel Maintenence (C): 1/Dd
In this land cover classification process uses vegetation index, namely NDVI
transformation (normalized difference vegetation index). The use of NDVI is very
effective for monitoring or differentiating vegetated areas from high density vegetation to
low density (Jensen, 2005; Mather, 2004; Apan et al., 2002 in Daniels 2006).
NDVI characterizes the spectral reflectance of vegetation by comparing high
reflectance in near infrared channels and low reflection on the red channel (Mather, 2004).
The ratio that involves the spectral difference of the band between the near infrared
channel (NIR) and the red channel (R) will be obtained by a vegetation index, NDVI.

NDVI : (ρnir - ρred )/(ρnir + ρred) ......................... (1)

Field stages for checking the type of landform and sampling of land. Whereas at the end
of the laboratory / studio stage it is used to justify the initial interpretation of the image of
the landform and fill in the properties of the permeability parameters and texture of the
land in each of landform unit.

Fig 2. Land unit characteristic processes

III. DISCUSSION

The Loning watershed has an area of around 25.92 km2 and the river segment length
is around 122 km. order-1 river numbered 150 pieces, order-2 rivers amounted to 37
pieces, order-3 rivers numbered 10, and 4th order river only 1 pieces. Surface runoff
based on the rate of drainage density (Dd) has a value of 4.71 with a weighted average
branching ratio of 5.73. The total value generated in the DAS priority calculation is 5, this
value is a moderate value for the whole in the Upper Lukulo Watershed. On the 4th order
the river surface material is in the form of rock with rough channel uniformity. Variations
in cross section often change with a high meandering potential. On river channels there
are moderate vegetation.
The type of land use around the river is mixed gardens of around 80% (dominant).
This location is on a hilly topography with soil conditions pH 4.8 and granular soil
structure. In measuring the flow velocity along 500 cm it is found that in d1 has a depth of
about 17 cm with time (v1) of about 6.2 seconds; in d2 has a depth of about 28 cm with
time (v2) of about 6.3 seconds; in d3 has a depth of about 35 cm with time (v3) around 5.9
seconds; on into d4 has a depth of about 43 cm with time (v4) around 5.3 seconds; and in
d5 it has a depth of about 28 cm with time (v5) around 6.2 seconds. This condition is on a
channel with a wet cross section of 500 cm and a cross section of 600 cm.
618
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D054POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Order-2 The Loning River has rock surface material with rough channel uniformity.
Cross-sectional variations show changes (sometimes) with vegetation around a high
location. The potential for meandering on the Loning river orde-2 is quite low. The types
of land use around the river include around 50% of the forest, around 40% of mixed
gardens, and around 10% of bushes. It is on a steep hilly topography with a soil pH of
around 4.4 and a granular soil structure. The Loning River which has the order of river 1
has an ephemeral river type on average.

Table 1. Loning morphometry

Bifurcation ratio is the ratio of river branching, bifurcation ratio, RB and the wieghted
bifurcation ratio, WRB is an important factor in knowing the flow conditions in the
watershed. Range values between 3.0 to 5.0 in a Watershed where the geological structure
does not change from the flow pattern, Strahler (1964, in Nag, 2011). The low branching
ratio means that the characteristics of the watershed are not much disturbed by the
presence of structures and also that the existing flow patterns are not controlled by the
presence of geological structure.
This branching ratio, if compared, also affects the shape of the watershed which will
give meaning of the time of flow concentration (Tc) quickly and slowly. Watershed
Loning is a river that has a rapid rise in flood water levels while the decline runs slowly.

Fig 3. Physical conditions in Loning Watershed (A. Vegetation cover; B. Topography)

The condition of 2 soil samples in the upstream section has a moisture content (%)
ranging from 58.37% and 49.34% with an average of about 53.86%. Porosity (%) has
almost the same value, namely 67.43% and 64.54% with an average of around 65.98%. But
the porous numbers give different values for the two samples, namely 2.07 and 1.82. The
average soil saturation level is around 75.32% with the highest value of 76.53% and the
lowest of 74.1%, this value is not much different. In general, the soil texture in the form of
clay is around 12.95%, silt is around 38.80, and sand is around 48.25%, so that in the
upper watershed the upper part of the Loning has a texture in the form of loam.
The Loning Watershed at the downstream has a sample of around 6 samples.
Water content (%) ranges from 23.12% to 60.82% with an average of around 39.03%. The
water level at the downstream is lower than the top. Porosity (%) from 62.41% to 98.38%
with an average of about 75.6% porosity higher than the top and an average pore number
of 1.19.
The average saturation level is around 72% with the lowest value of 31.25% and
the highest of 100.60%. The value of saturation of land at the downstream watershed
Loning has a value that is relatively the same as the upstream. In whole clay texture is
around 29.28%, silt is around 38.30, and sand is around 32.42%, so that in the downstream
Loning watershed it has a general soil texture in the form of clay loam.

619
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D054POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

In general, the whole of the upsteram Loning Watershed even has a high slope,
but the ability of water from the porosity side is smaller even though the saturation of the
soil is almost the same, so the surface water velocity at the downstream is higher than the
top (not considering the slope factor) .

Table 2. Physical condition of the soil in Loning Watershed

In the classification of land cover with Landsat-8 image data using the method of
maximum likelihood observed, it was obtained between the types of broadleaf vegetation
cover / low density needle; Broadleaf vegetation cover medium density needle; Broadleaf
vegetation cover/High density needle; The heterogeneous small vegetation field pattern
does not border with trees; The bermozaik vegetation mixes with open land; Open land
fluvial area, sandy area on the river bank; and Land is built not isolated, Heterogeneous
features are not regular, variations, surrounded by veg / open land.
The majority of the research area is an area with the type of use of land as a mixed
garden, even the residential environment sometimes many are disguised by mixed
gardens if detected by remote sensing data. These vegetations have a tendency to have
canopies that cover the surface of the land below so that houses that are not in groups are
very difficult to identify. The type of land cover which is a reflection of the type of land
use is one factor that is very dynamic surface conditions. Sometimes it does not depend
on the seasons that occur but, the interests of human intervention are very decisive for
non-production lands.
In addition, engineering on agricultural lands that continue to impose low and
high-yield crop production is also a consideration when patterns of change occur
inconsistency. Types of use of paddy fields both in the form of irrigation systems and
rainfed rice fields are widely distributed in the research locations. This distribution is not
only in the alluvial plain area, but the inter-hilly valley area also has a type of paddy field
use.

Table 3. Land cover in Loning Watershed

Fig. 4. Lanscapes profile in Loning Watershed

In the area above the soil texture in the form of Loam, this land has a relatively
balanced composition of sand, dust and clay. Ability in small bonding power in dry or
wet conditions and has sufficient nutrients and humus. Soil conditions are crumbly and
moist, and easy to bind water and nutrients making it ideal for use in agriculture.
The land cover in the upstream area is in the form of high density vegetation on
needle-leaved plants and several broad-leafed plants. Despite the steep slope, the water
storage is quite good. While the land cover in the middle area, there is vegetation cover
with needle leaves from medium to high density with lower plants in the form of bushes /
litter relatively high. In addition, in this central area there are also many settlements. This

620
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D054POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

indicates the availability of ground water used for daily needs. The soil texture in the
downstream area varies greatly, namely: loam, sandy loam, clay loam, clay, and silty clay.

IV. CONCLUSION

Landforms as a reflection of geomorphology greatly affect ecological conditions,


especially in physical characters which include density and distribution of plants,
physical properties of soil, and river morphometry. Loning watershed is a watershed that
is still maintained from the conservation side, it is seen from the side of water resources
(surface and groundwater), the percentage of vegetation cover that is still tight, relatively
small erosion.
The Loning Watershed is one of the best Lukulo Hulu sub-watersheds in terms of
environmental conservation, so environmental sustainability must be maintained for the
sustainability of Karangsambung-Karangbolong National Geopark as an "experimental
basin".

REFERENCE

621
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D054POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Asikin, S., 1974. Evolusi geologi Jawa Tengah dan sekitarnya ditinjau dari segi tektonik
dunia yang baru. Laporan tidak dipublikasikan, disertasi, Dept. Teknik Geologi
ITB, 103 hal.
Daniels, A.E., 2006. Incorporating domain knowledge and spatial relationships into land
cover classifications: a rule-based approach, International Journal of Remote
Sensing, Vol. 27 (14), Hal. 2949–2975
Danoedoro, P., 2009. Land-use Information From The Satellite Imagery, Versatility and
Contents for Local Physical Palnning. Lambert Academic Publishing AG & Co. KG,
Germany.
Hardini, A.S.P., 2018. Pemetaan Zona Ekologis Dan Identifikasi Geomorfologi Lanskap
Geo-Area Ciletuh Di Kabupaten Sukabumi. Jurnal Lanskap Indonesia, Vol 10 (2).
Hal 81-90
Jensen, J., 2005. Introduction Digital Image Processing, A Remote Sensing Perspective,
Third Edition, Pearson Prentice Hall, United States.
Mather, P.M., 2004. Computer Processing of Remotely-Sensed Images, Third Edition, John
Wiley & Sons Ltd, England
Prasetyadi, C., 2007. Evolusi Tektonik Paleogen Jawa Bagian Timur. Laporan tidak
dipublikasikan, disertasi, Dept. Teknik Geologi ITB, 311 hal.
Raharjo, P.D., dan Ansori, C. 2009. 2009. Kajian Penggunaan Lahan Pada Kawasan Cagar
Alam Geologi Karangsambung Dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis.
International Conference Earth Science and Technology, Yogyakarta 6-7 August
2009. Hal.1-8
Raharjo, P.D., 2008. Pemetaan Potensi Rawan Banjir Berdasarkan Kondisi Fisik Lahan
Secara Umum Pulau Jawa. Jurnal Kebencanaan Indonesia, Vol.1 (5). Hal. 383-400
Raharjo, P.D., 2009. Perubahan Penggunaan Lahan Das Kreo Terhadap Debit Puncak
dengan Aplikasi Penginderaan Jauh. Jurnal Riset Geologi dan Pertambangan Jilid
19 No. 2 (2009).69 - 84.
Raharjo, P.D., dan Saefudin., 2008. Pemetaan Erosi DAS Lukulo Hulu dengan
Menggunakan Data Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi. Jurnal Ilmu
Tanah dan Lingkungan Vol. 8, No. 2 (2008), Hal. 103-113
Raharjo, P.D., 2013. Penggunaan Data Penginderaan Jauh dalam Analisis Bentukan Lahan
Asal Proses Fluvial di Wilayah Karangsambung. Volume 7 No. 2. Hal. 146-15
Raharjo, P.D., dan Nur, A.M., 2013. Pemetaan Gerakan Tanah Kawasan Cagar Alam
Geologi Karangsambung dengan Menggunakan Data Penginderaan Jauh dan SIG.
Forum Geofrafi Vol. 27 (2), Hal. 99-114

Raharjo, P.D., Hidayat, E., Winduhutomo, S., Widiyanto, K., dan Puswanto, E., 2014.
Penggunaan Model Analytic Hierarchy Process untuk Penentuan Potensi Ancaman
Longsor Secara Spasial. Prosiding Pemaparan Hasil Penelitian Pusat Penelitian
Geoteknologi LIPI Tahun 2014, Hal. 514-525

Raharjo, P.D., Nur, A.M., Hidayat, E., 2011. Aplikasi Sistem Informasi Geografis dalam
Identifikasi Kerentanan Bencana Alam di Kawasan Cagar Alam Geologi

622
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D054POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Karangsambung. Buletin Geologi Tata Lingkungan (Bulletin of Environmental


Geology). Vol. 21 No. 1 April 2011, Hal 23 – 33

Raharjo, P.D., 2010a. Kajian Karakteristik Das Lukulo Hulu Dengan Menggunakan Data
Penginderaan Jauh. Jurnal Geografi, Universitas Indonesia. Vol. 3 No. 1 / Januari
2010. Hal 47-55

Raharjo, P.D., 2010b. Teknik Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Untuk
Identifikasi Potensi Kekeringan. Makara, Teknologi, Vol. 14, NO. 2, November 2010,
Hal. 97-105

Saefudin dan Raharjo, P.D., 2009a. Perencanaan DAS Welaran Sebagai Daerah Pengujian
Hidrologi. Prosiding Simposium Sains Geoinformasi – I : Meningkatkan Peran dan
Kualitas Data Spasial untuk Melayani Masyarakat, PUSPICS Fakultas Geografi
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 17-18 November 2009. Hal. 191-196

Saefudin dan Raharjo, P.D., 2009b. Potensi Endapan Sedimen Dalam Hubungannya
Dengan Tingkat Erosi di DAS Lukulo Hulu. Prosiding Pemaparan Hasil Penelitian
Puslit Geoteknologi – LIPI 2009: Peran Puslit Geoteknologi dalam Optimalisasi
Pemanfaatan Sumber Daya Alam dan Mitigasi Kebencanaan di Indonesia. Hal 205-
213

623
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D054POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Table 1. loning morphometry

Orde jumlah Nu/Nu+1 Nu + Nu+1 Ʃ WRB Fs T Lof C Dd

1 150 4,55 187 850 5,73 7,64 5,7781 2,35 0,21 4,71

2 37 3,70 47 173,9

3 10 10,00 11 110

4 1 0,00 1 0 0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 0,3

1133,9 1,43 1,53 0,87 0,24 0,01 1,41

5,48 ~ 5

Upstrea
m

Water
Soil Saturation Sand Pasir
X Y content Porosity (%) Clay Silt Sand medium fine
pores (%) rough
(%)

359798 9176846 58,37 67,43 2,07 74,1 16,8 36,7 11,8 9,2 6,3

360115 9176495 49,34 64,54 1,82 76,53 9,1 40,9 17,8 9,2 6,8

Clay Silt Sand

53,86 65,99 1,95 75,32 12,95 38,80 48,25

Downstream

624
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D054POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Table 2. Physical condition of the soil in Loning Watershed

Water
Soil Saturation Sand Pasir
X Y content Porosity (%) Clay Silt Sand medium fine
pores (%) rough
(%)

360552 9171272 23,12 95,85 0,78 42,57 17 32 36 15 0

360889 9172348 27,24 96,46 1,04 31,25 10 33 22 19 6

361279 9170474 46,44 62,41 1,66 75,90 26,8 40,7 27,9 4,5 0,1

360544 9171666 51,53 56,54 1,3 100,60 51 36 13 0 0

360291 9172134 25,03 44,28 0,79 81,96 23 41 36 0 0

359935 9171603 60,82 98,38 1,58 99,74 47,9 47,1 2,9 1,5 0,6

Clay Silt Sand

Table 3. Land cover in Loning Watershed (using Danoedoro, 2009 LULC classification)

Area
Code Land cover type

Ha %

C2(1/2)1 362,32 13,98


Low-density woodly broad leaves

C2(1/2)2 Medium-density woodly broad leaves 355,74 13,72

C2(1/2)3 High-density woodly broad leaves 1657,69 63,94

S2222 Heterogeneous vegetation without 0,45 0,02


tress border

S2311 102,97 3,97


Mosaic of mixed vegetation

S321 6,57 0,25


Riverside sandy area

S4112 Irregular with various size blocks, 106,67 4,11


interleaved by vegetation and/or
barren
625
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D054POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Land

2592,40 100

626
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D054POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Fig 1. Research area in Loning Watershed

Fig 2. Land unit characteristic processes

627
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D054POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Fig 3. Physical conditions in Loning Watershed

Fig. 4. Lanscapes profile in Loning Watershed

628
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D057UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

PENGARUH ALTERASI HIDROTERMAL TERHADAP KEJADIAN


LONGSOR DI DAERAH PASIRPANJANG, KECAMATAN SALEM,
KABUPATEN BREBES, PROVINSI JAWA TENGAH
M Naufal Alfaiz1, Wahyu Wilopo1
1Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada

*e-mail: nanaufal68@gmail.com

ABSTRAK. Bencana Longsor di daerah Pasir Panjang, Kabupaten Brebes merupakan salah satu
longsor debris terbesar di Jawa Tengah di tahun 2018 dengan jangkauan debris hingga 2,5 km.
Kejadian ini memakan banyak korban jiwa dan kerugian material lainnya. Longsor ini dipicu oleh
terjadinya hujan yang terjadi tiga hari berurutan kemudian faktor sktuktur geologi, pelapukan dan
proses alterasi batuan menjadi salah satu kunci utama terjadinya longsor ini. Pada Zona longsor
tersebut memiliki litologi batupasir tuffan, sisipan batulanau tuffan dan Breksi Andesit dimana
mengalami tingkat pelapukan yang relatif tinggi. Kemudian secara struktur geologi pada daeah
ini hanya ditemukan banyak kekarkekar gerus dengan orientasi barat laut-tenggara yang memicu
terjadinya proses alterasi hidrotermal pada daerah ini. Oleh karena itu proses pelapukan batuan
juga menjadi lebih intensif sehingga daerah ini memiliki lapisan tanah yang tebal. Metode
penelitian meliputi analisis petrografi, X-ray diffraction dan X-ray fluorescence untuk
mengidentifikasi jenis alterasi hidrotermal yang berpengaruh terhadap terjadinya longsor debris
ini, adalah Alterasi Argillik dengan mineral penciri montmorilonite, kaolinite dan illite yang
memiliki karakteristik tingkat swelling yang tinggi. Jadi dengan adanya zona struktur geologi
dengan pelapukan intensif dan mineral lempung tersebut secara signifikan dapat mengurangi
kekuatan batuan dan menyebabkan longsor debris di daerah penelitian.

Kata kunci : alterasi hidrotermal, longsor, brebes

I. Pendahuluan
Salah satu bahaya dan bencana yang umum terjadi di beberapa wilayah di
Indonesia adalah longsor, khususnya pada daerah yang berada pada bentang alam
vulkanik dan memiliki aktivitas tektonik yang aktif.
Frekeuensi tahun terjadinya gerakan tanah dari 1998 hingga 2017 adalah
sebanyak 246 kejadian setiap tahun (BNPB, 2018). Jumlah ini telah melampaui rata-rata
tahunan kejadian gerakan tanah di Indonesia. Salah satu kejadian gerakan tanah terjadi
di Desa Pasir Panjang, Kecamatan Salem, Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah. Desa
Pasir Panjang termasuk ke dalam zona kerentanan gerakan tanah tinggi (Kadarsetia,
2011).
Gerakan tanah terjadi pada hari Kamis, 22 Februari 2018 sekitar pukul 08.00 WIB,
terjadi setelah terjadi hujan lebat di hari sebelumnya. Beberapa dampak gerakan tanah
diantaranya terdapat 18 orang meninggal, 4 luka-luka, putusnya badan jalan provinsi
sepanjang 507 meter, putusnya sebuah jembatan, serta 225 meter jalan desa dan 8,5
hektar sawah terlanda material longsoran (PVMBG, 2018). Dengan adanya studi ini
diharapkan dapat menjadi acuan untuk upaya mitigasi di masa yang akan datang.

629
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D057UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Peristiwa tersebut diduga berasosiasi dengan aktivitas hidrotermal, sehingga


batuan mengalami alterasi yang menghasilkan mineral sekunder. Mineral alterasi
hidrotermal dalam bentuk mineral lempung umumnya hadir dan dapat membuat lereng
menjadi tidak stabil karena menurunnya sifat fisik dan mekanik batuan, seperti densitas,
dan porositas dari batuan.
Penelitian ini bertujuan untuk megetahui kondisi geologi, persebaran alterasi di
daerah penelitian dan mengetahui pengaruh keterdapatan mineral yang memicu
terjadinya longsor di daerah penelitian.

II. Geologi Regional


Berdasarkan Kastowo & Suwarna (1996), daerah bencana disusun oleh batuan
dari Formasi Tapak yang terdiri dari batupasir kasar abu-abu kehijauan yang ke arah
atas berangsur-angsur berubah menjadi batupasir lebih menghalus abu-abu kehijauan
dengan beberapa sisipan napal pasiran berwarna kelabu sampai kekuningan (Tpt).
Berada di sekitar lokasi ini terdapat beberapa formasi diantaranya Formasi Kaliglaga,
Formasi Tapak, Formasi Kalibiuk dan Formasi Kumbang.
Formasi paling tua pada sekitar lokasi ini adalah Formasi Kumbang yang terdiri
dari breksi gunungapi andesit, tuf, dan batupasir tuffan. Selanjutnya terendapkan
Formasi Tapak dan dilanjutkan terendapkannya Formasi Kalibiuk.

Dilihat dari peta geologi regional (Gambar 1), formasi dari lokasi penelitian tidak
dipengaruhi langsung oleh adanya struktur geologi. Namun pada formasi lebih muda
tepatnya Formasi Kaliglagah terdapat pengaruh struktur yang sangat intensif. Formasi
Kaliglagah cukup banyak dipenuhi oleh lipatan berupa antiklin dan sinklin serta terdapat
pula sesar geser. Struktur geologi yang cukup dekat dengan lokasi gerakan tanah berupa
sinklin yang berada pada daerah selatan, Hal ini mengindikasikan bahwa limpahan
material gerakan tanah akan cenderung berpindah ke arah selatan.

III. Landasan Teori

Proses terjadinya tanah longsor atau gerakan massa tanah/batuan erat kaitannya
dengan mass wasting yaitu proses bergeraknya tanah selubung permukaan lereng
ataupun tanah penyusun lereng, yang terjadi dalam beberapa tahapan gerakan tanah
yaitu tahap stabil, tahap rentan (siap bergerak), tahap kristis dan tahap benar-benar
bergerak (Gambar 2), proses terjadinya tanah longsor atau gerakan massa tanah/batuan
dapat dipicu oleh proses alamiah yaitu infiltrasi air ke dalam lereng yang paling sering
terjadi adalah infiltrasi oleh air hujan, non alamiah yang disebabkan oleh aktivitas
manusia seperti penggalian atau pemotongan lereng, pembebanan ataupun kombinasi
dari keduanya yaitu getaran yang dapat terjadi secara alami misalkan pada saat gempa

630
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D057UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

bumi atau non alamiah pada saat ada getaran akibat dari ledakan atau getaran lalu lintas
(Karnawati, 2005).
Berdasarkan mekanisme terjadinya, tanah longsor atau gerakan massa tanah
dibedakan dengan erosi tanah yang dikontrol oleh proses pengikisan (pelepasan dan
pengangkutan butir-butir tanah) pada permukaan lereng oleh media gerak, misalkan air
atau angin, hal tersebut terjadi karena terganggunya kestabilan didalam massa
tanah/batuan pada lereng yang dikontrol oleh gravitasi bumi (Karnawati, 2005).

Menurut kasifikasi Reyes (1990), penggolongan jenis alterasi secara umum didasari
oleh asosiasi mineral-mineral penyusun pada batuan hasil alterasi dan juga berdasarkan
sifat fluidanya. Dalam sifat fluida ini selain dikatagorikan berdasarkan kimiawi
penyusun fluida. Dimana alterasi pada kondisi fluida pH netral dan fluida ber-pH asam
akan menghasilkan produk alterasi yang berbeda.

Alterasi dengan pH, terbentuk akibat reaksi batuan dengan fluida bersuhu tinggi
dengan pH mendekati normal, berkisar 7 dengan fuida umumnya alkali klorida,
sedangkan alterasi yang bersifat asam dihasilkan oleh reaksi dengan fluida dengan pH
rendah dan kandungan sulfur tinggi. Pada (Gambar 3) menunjukkan keterbentukan
asosiasi mineral pada pH asam pH netral dan fluida alkalin terhadap suhu
lingkungannya.

Pada suatu sistem hidrotermal yang berkaitan dengan intrusi batuan beku (porfiri,
epitermal sulfidasi rendah, dan epitermal sulfidasi tinggi), dapat dijumpai beberapa
asosiasi mineral yang kemudian mencirikan zona alterasi tertentu. Zona alterasi ini
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti suhu dan pH dari lingkungan alterasinya
(gambar 4). Zona alterasi yang dapat dijumpai adalah zona alterasi Potassik, Filik/
Serisitik, Argillik, Argillik lanjut, Silisik, Propilitik, hingga Skarn (Thompson dan
Thompson, 1996; Corbett dan Leach, 1998).
3. Alterasi Potassik

Alterasi ini juga dikenalkan istilah alterasi biotit-ortoklas, ciri dari jenis alterasi ini
ialah dengan ditemukannya kandungan k-silikat. Terdapat pembentukan K-feldspar
bersama atau tanpa kandungan biotit dan serisit. Pada alterasi ini ditemukan adanya
penambahan kandungan potasium seperti yang terdapat pada K-feldspar.

Zona alterasi Potassik biasa dijumpai pada pusat suatu endapan porfiri yang
memiliki host dari intrusi bersifat mafik atau batuan vulkanik. Zona alterasi ini tersusun
atas mineral biotit, K-feldspar, magnetit, kuarsa sekunder, anhidrit, aktinolit, rutil, apatit,
serisit, klorit, dan epidot (Thompson dan Thompson, 1996; Corbett dan Leach, 1998).

631
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D057UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

- Alterasi Propilitik

Jenis alterasi ini merpuakan alterasi yang terjadi dengan menghasilkan kehadiran
mineral klorit disertai dengan kehadiran mineral epidot illit/serisit, kalsit, albit dan
anhidrit yang menggantikan komposisi mineral plagioklas serta hornblende-biotit (klorit,
montmorilonit dan epidot) pada batuan. Terkadangg dijumpai kehadiran K-feldspar
seperti albit.

Alterasi ini terbentuk pada temperature 200ºC-300ºC, pada PH mendekati netral,


dengan salinitas beragam, umumnya pada daerah dengan permeabilitas rendah.
Terdapat empat kecenderungan himpunan mineral yang hadir, yakni klorit-kalsit-
kaolinit, klorit-kalsit-talk, klorit-epidot-kalsit, klorit-epidot.

8. Alterasi Filik atau serisitik

ZonaalterasiFilik/Serisitik merupakan zona alterasi yang mengelilingi inti dari


endapan porfiri. Zona ini dapat memiliki tampalan dengan zona potassik sebelumnya.
Zona ini dicirikan oleh mineral serisit (muskovit-illit), kuarsa, pirit, khlorit, hematit, dan
anhidrit.

Dijumpai kehadiran mineral aksesori minor seperti pirit, klorit, rutil yang
terbentuk dari titanium biotit, serta sphene dan mineral aksesori lainnya. Tipe alterasi
tersebut dapat dijumpai dengan batuan asal seperti batuan mafik pada system porfiri.
Tebentuk pada suhu sedang-tinggi yakni 230ºC-400ºC, fluida asam hingga netral dengan
salinitas beragam, pada zona permeable dan pada batas dengan urat (Thompson dan
Thompson, 1996; Corbett dan Leach, 1998).

• Alterasi Argilik

Pada alterasi tipe argilik, terdapat dua kemungknan himpunan mineral yakni
muskovit-kaolinit-montmorilonit dan muskovit-klorit-montmorilonit. Himpunan mineral
pada tipe ini terbentuk pada suhu relatif rendah-sedang, yakni 100ºC-300ºC (Pirajno,
1992; dalam Corbett dan Leach, 1996), dengan kondisi fluida asam-netral. Zona alterasi
Argillik merupakan zona alterasi yang dijumpai merusak tekstur asli dari batuan asal dan
menghasilkan mineral lempung dalam persentase besar.

5. Alterasi Argilik Lanjut

Zona alterasi Argillik Lanjut merupakan zona alterasi yang dihasilkan dari
aktivitas fluida hidrotermal yang bersifat asam kaya akan kandungan H+ pada shu tinggi
berkisar 300ºC dan menghasilkan mineral lempung dalam persentase besar. Zona ini
dicirikan oleh mineral pirofilit, kuarsa, serisit, andalusit, diaspor, alunit, pirit, dan hematit
(Thompson dan Thompson, 1996; Corbett dan Leach, 1998).

6. Skarn

Alterasi ini merpuakan tipe yang terbentuk akibat kotak antara batuan sumber
dengan batuan karbonat. Pada kondisi yang kurang akan air, zona ini dicirikan oleh

632
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D057UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

pembentukan mineral garnet, klinopiroksen dan wollastonit, serta mineral magnetit


dalam jumlah yang cukup besar, sedangkan pada kondisi yang kaya akan air, zona ini
dicirikan oleh mineral klorit, tremolit-aktinolit dan kalsit dan larutan hidrotermal.

Garnet-piroksen-karbonat merupakan kumpulan yang paling umum dijumpai


pada batuan induk karbonat. Pelapukan yang diakibatkan oleh alterasi pun merupakan
faktor yang penting untuk terjadinya keruntuhan lereng akibat penurunan kekuatan
batuan. Mineral lempung terbentuk merupakan hasil pelapukan batuan yang memiliki
pengaruh besar untuk terjadinya keruntuhan lereng atau tanah longsor.

Hal ini langsung dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia dari mineral lempung
tersebut. Faktor hidrologi juga akan memberikan pengaruh pada perubahan sifat fisik
dan keteknikan batuan, misalnya pada saat terjadinya hujan yang tinggi hingga intensif
dalam jangka waktu yang relatif panjang. Maka kandungan air dalam kestabilan lereng
memberikan kontribusi terhadap penurunan nilai kuat geser yang dipengaruhi oleh
berubahnya nilai kohesi pada bidang gelincir seiring bertambahnya kandungan air yang
berperan sebagai beban pada lereng.

Sifat lempung yang menjadi produk alterasi pada umumnya, memiliki sifat plastis
dan memiliki permeabilitas yang cukup rendah, sehingga mampu menjadi salah satu
faktor yang menyebabkan keruntuhan lereng atau tanah longsor. Biasanya terjadi pada
lereng yang tersusun oleh tanah yang berukuran halus (Lanau-lempung) yang berasal
dari hasil pelapukan dan aktifitas alterasi hidrotermal memperlihatkan sifat plastisitas
dan kohesifitas dimana sejumlah tanah dapat mengalami perubahan bentuk. Sifat
tersebut bergantung pada mineralogi, kehadiran air, atau kandungan moisture
didalamnya.

Ketika kandungan moisture meningkat, maka tanah lanau-lempung tersebut akan


menjadi lebih lembut dan lengket sehingga dapat mempertahankan bentuknya, dengan
peningkatan kandungan moisture tersebut, maka interaksi antar partikel tanah dan
bentuk suspensinya akan semakin berkurang. Ketika kuat geser tanahnya berkurang,
maka akan terjadi pengurangan gaya penahan lereng, sehingga terjadilah keruntuhan
lereng (Slope failure) (Fadhila, 2016).

Seperti yang telah diketahui sebelumnya, air dan mineral lempung memiliki sifat
yang mempengaruhi, dengan sifat dua ion positif yang dimiliki oleh senyawa air, dengan
diimbangi oleh ion negatif dari oksigen, maka terciptalah senyawa setimbang senyawa
air (H2O), apabila terdapat masukan mineral lempung, mineral tersebut akan mengganti
posisi ion negatif, sebab permukaan mineral lempung tersusun atas muatan negatif. Air
yang terdapat pada mineral lempung akan mengalami proses penyerapan dan pelepasan
yang mengakibatkan berkurangnya kekuatan tanah.

Monmorilonit merupakan salah satu mineral lempung yang kas karena memiliki
kemampuan untuk mengembang ketika menyerap air, ia juga dapat mengikat beberapa
gugus H2O sekaligus. Jika bersentuhan dengan air, maka ruang diantara lapisan mineral
akan mengembang, yang menyebabkan volume tanah dapat bertambah secara signifikan.
Karena tingginya daya plastisitas, mengembang dan menyusutnya dari mineral

633
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D057UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

montmorilonit menyebabkan tanah menjadi plastis jika basah dan menjadi kering bila
dalam keadaan kering.

Perubahan kondisi yang terjadi secara konstan akan menyebabkan variasi


kekuatan dari mineral-mineral lempung dari waktu ke waktu. Sehingga dalam kurunw
waktu tertentu ketika suatu zona lereng yang tersusun atas mineral lempung mulai
melemah, maka dengan batuan gravitasi akan menyebabkan terjadinya keruntuhan
lereng atau tanah longsor.

Kemudian para peneliti terdahulu mengenai pengaruh alterasi telah dilakukan


oleh Shirahata dkk., (1987), Frolova dkk., (2014) Tamura dan Hasegawa (2015), Winarti
dkk., (2016), dan Wijaya (2017), di mana mengacu pada penelit. ukuran butir halus
(silt/clay) yang meningkat. Pada pengujian terhadap sifat indeks batuan, hubungan
antara intensitas alterasi dan sifat indeks batuan sulit tidak memiliki kecenderungan
tertentu, namun dapat disimpulkan bahwa intensitas alterasi mengubah sifat indeks pada
batuan, menjadi lebih lemah atau lebih kuat. Frolova dkk., (2014) juga meneliti hal yang
serupa, di mana pada alterasi yang memperlemah sifat fisik dan mekanik batuan, adanya
pembentukan porositas dan permeabilitas sekunder, pengurangan densitas dan
elastisitas, pelemahan serta kenaikan kelembapan pada batuan dijumpai terjadi (Frolova
dkk., 2014).

Pada beberapa kasus, terjadinya longsor dijumpai terjadi akibat alterasi


hidrotermal yang membentuk mineral lempung (Frolova dkk., 2014). Alterasi yang
membentuk mineral lempung dan menyebabkan longsor umumnya terjadi pada alterasi
yang berada di dekat permukaan dari suatu sistem hidrotermal. Mineral lempung,
terutama smektit/montmorillonit memiliki karakter yang dapat mengembang (swell)
pada kondisi basah sehingga keberadaan mineral lempung ini dapat merusak ikatan
yang ada pada batuan, sehingga pada kondisi tertentu dapat menyebabkan longsor
(Wijaya dkk., 2017; Tamura dan Hasegawa, 2015)

IV. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam empat tahap yang tediri dari tahap
pendahuluan, tahap pengambilan data, tahap uji laboratorium dan analisis data, dan
tahap pelaporan. Tahap pendahuluan meliputi penentuan topik, pengurusan izin
penelitian, pengumpulan informasi awal daerah penelitian, dan melakukan studi
pustaka.

Data penelitian yang perlu dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder.
Data primer dikumpulkan dengan cara pemetaan geologi, Pengukuran MS (Measuring
section), pemetaan tingkat pelapukan batuan, dan analisa laboratorium.

Data sekunder yang dikumpulkan berupa data geologi regional, laporan BPBD
dan peneliti-peneliti terdahulu di daaerah penelitian.

Tahap analisa laboratorium meliputi beberapa kegiatan yaitu pengujian sifat XRF,
petrografi, dan XRD. Analisa tersebut untuk mengetahui karakteristik mineralogy dan
geokimia sampel batuan.

634
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D057UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Setelah pengamatan lapangan dan uji laboratorium, dilakukan pembuatan peta


geologi, geologi alterasi secara lateral maupun vertikal dan peta morfologi, , analisis
struktur geologi, dan pembuatan profil daerah penelitian.

V. Pengutaraan dan Analisa Data

Analisis geomorfologi dilakukan untuk membandingkan morfologi sebelum


terjadinya gerakan tanah dan setelah terjadinya gerakan tanah. Analisis menggunakan
pengolahan citra satelit (Gambar 3) yang dilengkapi dengan pengamatan di lapangan.
Lokasi ini terdiri dari perbukitan terjal bergelombang, bukit-bukit terisolir, perbukitan
rendah bergelombang dan dataran berdasarkan geologi regional. Berdasarkan peta di
Gambar 4 dapat dilihat arah pergerakan material longsor debris tersebut memiliki arah
pergerakan relatif barat laut-tenggara mengikuti arah aliran utama sungai. Kemudian
peta tersebut dihasilkan dari hasil foto menggunakan drone.Pengambilan foto tersebut
dilakukan ketika melakukan reconaissan pada tanggal 20 Mei 2018.

Dari peta tersebut, bisa diketahui bahwa dalam suatu peristiwa longsor kita dapat
membagi menjadi 3 bagian daerah berdasarkan keberadaan material longsor yang
menunjukan distribusi material longsor di daerah tersebut yaitu diantaranya terdapat
daerah sumber material longsor, daerah jalur transportasi longsor dan daerah deposit
hasil rombakan material longsor.

Hasil pengamatan lapangan pada daerah longsor ini menunjukkan terdapat beberapa
kenampakan khas penciri adanya gerakan tanah atau longsor yaitu diantaranya
diantaranya mahkota, bidang gelincir dan daerah rombakan. Gerakan massa tanah terjadi
pada material yang dominan kasar pada keadaan basah.

Material ini mengalir dengan sangat cepat mengikuti aliran sungai yang berada
didekat mahkota longsor. Bidang gelincir cenderung memperlihatkan bentuk agak
lengkung, sehingga jenis gerakan tanah yang terjadi pada lokasi ini adalah nendatan
yang berkembang sebagai aliran/debris flow. Berikut adalah kenampakan-kenampakan
morfologi yang ditemukan di lapangan.

Penelitian mengenai kondisi stratigrafi atau litologi di daerah penelitian dilakukan


melalui pengamatan di lapangan dan diperkuat oleh analisis petrografi dan geokimia
yang dilakukan di laboratorium. Pada pemetaan di lapangan, batuan yang dijumpai
merupakan batuan beku dengan kondisi mengalami pelapukan dengan intensitas
rendah-tinggi yang terjadi diperkirakan berhubungan dengan aktivitas hidrotermal.

Pada analisis laboratorium, sebanyak 15 stasiun pengamatan ditentukan sebagai


tempat melakukan pengambilan sampel berupa batuan yang relatif segar dan teralterasi.
Peta STA dan Sampel dapat diamati pada Gambar 5 ditentukan sebagai tempat
melakukan pengambilan sampel berupa batuan yang relatif segar dan teralterasi. Peta
STA dan Sampel dapat diamati pada Gambar 5.

Berdasarkan hasil observasi di lapangan, daerah penelitian diketahui tersusun oleh 2


satuan batuan. Dalam penentuan satuan batuan tersebut antara lain:

635
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D057UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

1. Satuan Breksi Andesit

Satuan ini dicirikan oleh batuan berwarna abu-abu kehitam-hitaman pada kondisi
segera dan berwarna coklat pada kondisi lapuk pada pengamatan megaskopis. Pada
Satuan ini terjadi tiga tingkat pelapukan, kondisi segar, lapuk, sangat lapuk. Hal tersebut
dikarenakan Perbedaan tingkat alterasi pada daerah penelitian. Kemudian Pada
pengamatan petrografi,bagian fragmen batuan ini teramati memiliki tekstur
porfiroafanitik, dan memiliki komposisi penyusun batuan yang terdiri atas mineral
berupa Na-plagioklas sebagai mineral fenokris serta mineral intermediet/ mineral mafik
sebagai massa dasarnya dan memiliki persentase kuarsa. Pada pengamatan petrografi,
satuan ini teridentifikasi pada sampel MNA05 (Gambar 6)

2. Satuan batupasir tuffan

Satuan ini dicirikan oleh warna batuan kuning kecoklat-coklat pada pengamatan
megaskopis. Pada pengamatan petrografi, batuan teramati memiliki tekstur sortasi baik
ukuran butir 1/16 – 1/64 mm dan tersusun atas komposisi yang terdiri atas mineral
berupa plagioklas, litik, kuarsa, sedikit kemunculan dari mineral klorit. Pada pengamatan
petrografi, satuan ini teridentifikasi pada sampel MNA04.

Kemudian pada Penelitian ini mengenai kondisi struktur geologi di daerah


penelitian dilakukan melalui penginderaan jauh dan pengamatan langsung di lapangan.
Melalui pengamatan penginderaan jauh, dapat diidentifikasi beberapa kelurusan struktur
geologi di daerah penelitian. Kelurusan struktur ini didapat dari kelurusan di peta kontur
daerah penelitian dapat dinyatakan daerah penelitian memiliki orientasi kelurusan
berarah barat laut-tenggara, dan utara- selatan.

Pada pengamatan di lapangan, kelurusan ini dijumpai membentuk batuan beku


dan lereng yang mengalami pengkekaran intensif, yang semakin berkurang intensitas
kekarnya seiring jarak terhadap zona kelurusan tersebut. Selain itu, pengamatan di
lapangan juga menunjukkan bahwa daerah penelitian juga, yang di lapangan
teridentifikasi sebagai retakan atau pengkekaran yang memotong batuan beku dan
memiliki kenampakan sebagai jalur alterasi hidrotermal yang intensif.

Dari penelitian mengenai litologi dan struktur geologi. Berikut adalah hasil
analisa kekar gerus (Gambar 7) yang berjumlah 42 pasang yang maka didapat arah gaya
realatif dari barat laut – tenggara yang setalah dianalisis dengan diagram rose, diolah
menggunakan software georose untuk mengetahui arah relative struktur geologi secara
kuantitatif dengan cara melakukan pengeplotan data struktur di diagram rose tersebut.

Alterasi hidrotermal daerah penelitian

Alterasi hidrotermal di daerah penelitian telah diteliti melalui pengamatan lapangan,


dibantu oleh pengamatan laboratorium melalui pengamatan di lapangan, petrografi,
XRD, dan geokimia XRF. Pengamatan terhadap mineral sekunder yang dijumpai di
daerah penelitian dilakukan melalui pengamatan di lapangan dan analisis laboratorium.
Pengamatan dilapangan dilakukan dalam bentuk pengamatan awal dan memperkirakan
jenis mineral yang hadir padabatuan dengan pengamatan megaskopis. Analisis

636
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D057UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

laboratorium dilakukan menggunakan tiga metode, yaitu analisis petrografi, analisis


XRD, dan geokimia XRF, di mana ketiga metode tersebut digunakan untuk
mengidentifikasi jenis mineral sekunder dan intensitas alterasinya.

Hasil pengamatan yang dilakukan dirangkum pada lapangan dilakukan dalam


memperkirakan jenis mineral yang hadir pada batuan dengan pengamatan megaskopis.
Analisis laboratorium dilakukan menggunakan tiga metode, yaitu analisis petrografi,
analisis XRD, dan geokimia XRF, di mana ketiga metode tersebut digunakan untuk
mengidentifikasi jenis mineral sekunder dan intensitas alterasinya. Hasil pengamatan
yang dilakukan dirangkum pada.

VI. PEMBAHASAN

Dari penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa daerah penelitian (


lihat Gambar 11) memiliki kondisi geologi berupa litologi batuan Vulkaniklastik terdiri
dari satuan Breksi andesit dan batupasir tuffan . Struktur geologi di daerah penelitian
dijumpai sebagai kelurusan struktur geologi yang memiliki orientasi barat laut-tenggara .
Pada skala yang lebih detil, pengamatan terhadap lokasi kelurusan struktur di lapangan
menunjukkan adanya kehadiran bentuk pengamatan awal dan struktur bidang
diskontonuitas berupa berupa kekar-kekar gerus pada batuan dasar.

Pada kaitannya terhadap terjadinya bencana longsor, salah satu faktor pengontrol
dominan di daerah penelitian yaitu dipengaruhi oleh kondisi geologi daerah penelitian,
yang dikategorikan sebagai breksi andesit yang mengalami pelapukan dan alterasi
hidrotermal yang dijumpai hampir di sepanjang daerah penelitian dengan kondisi yang
berbanding lurus dengan intensitas alterasi hidrotermal, karena alterasi yang ada di
daerah penelitian berhubungan dengan proses hidrotermal.

Shirahata dkk., (1987) menjelaskan bahwa kondisi tersebut memiliki peranan


penting dalam memicu terjadinya bencana longsor di daerah penelitian , yaitu
mengontrol tipe dan distribusi dari longsor tersebut, yang apabila mengacu kepada
Anbalagan (1992), tingkat kerentanan longsor dipengaruhi oleh derajat pelapukan
batuan, yang makin meningkat seiring meningkatnya pelapukan batuan Selain dari
litologi, peristiwa longsor di daerah penelitian juga dipengaruhi oleh kondisi struktur
geologi, dimana kelurusan struktur geologi yang dijumpai di daerah penelitian
menghasilkan struktur lain berupa kekar gerus. kekar ini kemudian dijumpai makin
bertambah saat mendekati dari titik kelurusan struktur geologi yang terpetakan dengan
arah relatif barat laut-tenggara. Keberadaan struktur geologi ini menyebabka
mempercepatnya pelapukan fisik dan erosi material lempung lapukan batuan secara
vertical maupun lateral yang akan menyebabkan juga berkurangnya kestabilan lereng.

Struktur geologi juga menyebabkan pelemahan batuan akibat retakan-retakan


pada batuan yang memberikan celah bagi fluida untuk masuk pada batuan sehingga
mempercepat pelapukan. Kemudian juga struktur geologi tesebut berperan menjadi
pemicu terjadinya alterasi hidrotermal dengan adanya jalur bagi fluida hidrotermal dan
mengalterasi tubuh batuan.

637
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D057UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Kemudian dengan adanya kelurusan dan strktur geologi dengan arah barat laut –
tenggara dimana memiliki arah relatif sama dengan aliran sungai yang berstadia muda.
Sehingga pola tersebut menjadi alur erosi vetikal yang bersifat aktif. Setelah itu akan
menyebabkan berkurangnya kestabilan lereng bukit di daerah tersebut.

Melalui studi terdahulu terhadap tipe alterasi, intensitas, dan pengaruhnya


terhadap batuan dan kerentanan longsor (Pola dkk., 2012, Frolova dkk., 2014, Shirahata
dkk., 1987, Tamura dan Hasegawa, 2015, dan Wijaya, 2017), kondisi alterasi berupa tipe
alterasi dengan mineral sekunder utama berupa mineral lempung, terutama kehadiran
smektit sebagai mineral yang bersifat sweeling (mengembang) seperti argilik atau argilik
lanjut dengan intensitas alterasi kuat hingga total/ intensif dapat dikategorikan sebagai
daerah dengan sensitivitas potensi longsor tinggi.

Selanjutnya, tipe alterasi dengan mineral sekunder yang mengandung mineral


lempung sebagai mineral tambahan seperti tipe alterasi propilitik dan memiliki intensitas
alterasi sedang-kuat dapat dikategorikan sebagai daerah dengan sensitivitas potensi
longsor sedang, dan yang terakhir, lokasi tanpa alterasi hidrotermal atau teramati
memiliki intensitas alterasi yang rendah kemudian dapat dikategorikan sebagai daerah
sensitivitas potensi longsor rendah.

Dari penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa terdapat dua tipe
alterasi yang didasarkan pada asosiasi mineral utama dan mineral aksesori yang
dijumpai, yaitu zona alterasi argilik dan zona alterasi propilitik. Intensitas alterasi yang
ada di daerah penelitian dapat dikategorikan menjadi kuat-intensif.

Alterasi argilik dijumpai hadir di bagian utara daerah penelitian dan dicirikan
oleh intensitas alterasi yang meningkat menuju ke utara m daerah penelitian. Alterasi
propilitik dijumpai pada bagian selatan daerah penelitian dengan intensitas alterasi
sedang-kuat.

Melalui pengamatan petrografi dan XRD, dapat diketahui bahwa adanya


pergantian mineral primer secara selektif maupun pervasif terhadap mineral primer
mengubah tekstur batuan, dimana dari pengamatan petrografi dapat diamati terjadi
pertambahan porositas pada tubuh batuan, yang mana penambahan porositas inidapat
dihubungkan kepada penambahan kelembapan batuan (Frolova dkk., 2014). Selain itu
kehadiran mineral lempung yang teridentifikasi pada analisis XRD sebagai mineral
sekunder juga melemahkan kekuatan batuan yang mengacu kepada Winarti dkk., (2016)
karena sifatnya yang dapat mengembang (swelling) yang merusak ikatan pada batuan
sehingga menaikkan kerentanan longsor di daerah penelitian.

Melalui analisis yang dilakukan pada data geokimia yang dilakukan melalui
perhitungan beberapa nilai trend alterasi hidrotermal, seperti CIA, ACN, PIA, dan CIW
menunjukkan bahwa alterasi hidrotermal memiliki peranan dalam melemahkan batuan,
yang kemudian menyebabkan batuan dan tanah penyusun lereng rentan untuk bergerak.
Perhitungan nilai trend alterasi ditunjukkan pada Tabel 1.

638
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D057UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Menurut penelitian Pola dkk., (2012) mengungkapkan bahwa perhitungan


tersebut dapat menunjukkan tingkat pelapukan/ alterasi dari batuan di daerah penelitian.
Mengacu dari Pola dkk., (2012), nilai CIA, ACN, dan CIW yang berkisar 64-98, 0,67-0,99,
dan 67 - 98 dapat dihubungkan kepada hilangnya kation penyusun batuan yang bersifat
mobile atau adanya kenaikan senyawa Al2O3 yang terjadi karena pembentukan mineral
lempung yang tinggi melalui aktivitas alterasi hidrotermal pada sampel yang diteliti
Pada perhitungan PIA (Tabel 6.1) yang menghasilkan nilai berkisar 64- 98 dapat
dihubungkan dengan berkurangnya kandungan Na dan Ca pada batuan yang terjadi
karena tingginya mobilitas dari unsur tersebut yang hilang saat terjadi alterasi, terutama
melalui peristiwa disolusi pada mineral plagioklas sebagai mineral utama penyusun
batuan yang kemudian melemahkan batuan dan akan menghasilkan mineral-mineral
lempung.

Pada hubungannya terhadap intensitas alterasi, nilai CIA, ACN, PIA, dan ICW
memiliki hubungan yang berbanding lurus sehingga meningkatnya nilai alterasi dapat
dihubungkan kepada pelemahan batuan yang makin tinggi. Hilangnya kation penyusun
batuan yang bersifat mobile dan pembentukan mineral lempung yang tinggi ini
kemudian diperkirakan mempengaruhi tingkat kestabilan lereng di daerah penelitian
yang meningkat seiring kenaikan derajat intensitas alterasi.

Pada pengamatan terhadap data sekunder dari Adam (2018) kehadiran alterasi
hidrotermal dapat mengubah persentase dari ukutan butir penyusun batuan serta
mengubah sifat indeks dari batuan tersebut.

Pada pengamatan terhadap tipe alterasi, alterasi argilik dan propilitik menaikkan
persentase ukuran butir halus (silt/ clay). Peningkatan persentase mineral berukuran
halus (silt/ clay) ini dapat dihubungkan dengan penelitian terdahulu yang
mengungkapkan bahwa tipe alterasi dengan mineral sekunder mineral lempung
terutama smektit dan intensitas alterasi yang tinggi dapat meningkatkan kerentanan
longsor. Selain itu, intensitas alterasi yang tinggi dapat meningkatkan porositas batuan,
menurunkan densitas, menurunkan kekuatan batuan, dan meningkatkan kelembapan
batuan (Wijaya dkk., 2017; Tamura dan Hasegawa, 2015; Pola dkk., 2012; Shirahata dkk.,
1987).

VII. KESIMPULAN

1. Kondisi geologi daerah penelitian yang mempengaruhi kejadian longsor di daerah


ini secara kondisi litologi, geomorfologi dan struktur geologi diantaranya adalah:

a. Kondisi litologi daerah penelitian terdapat batuan vulkaniklastik terdiri dari


satuan Breksi andesit dan batupasir tuffan yang telah mengalami pelapukan dan
teralterasi kemudian juga memiliki lapisan tanah yang cukup tebal.

b. Kondisi geomorfologi daerah penelitian pada bagian mahkota longsornya


memiliki nilai kelerengan yang terjal sekitar 53º. Dengan nilai kelerengan tersebut daerah
tersebut sangat rawan terjadi peristiwa erosi hingga longsor. Kemudian pada bagian
selatan bukit terdapat sungai brestadia muda dengan arah aliran relatif Barat laut-

639
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D057UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tenggara yang menjadi salah satu pemicu terjadinya longsor debris di daerah tersebut
dimana material longsor tertransportasi mengikuti arah aliran sungai.

c. Struktur geologi di daerah penelitian dijumpai sebagai kelurusan struktur geologi


yang memiliki orientasi barat laut-tenggara. Pada skala yang lebih detil, pengamatan
terhadap lokasi kelurusan struktur di lapangan menunjukkan adanya kehadiran struktur
bidang diskontonuitas berupa berupa kekar-kekar gerus pada batuan dasar. Pelemahan
batuan akibat retakan-retakan pada batuan yang memberikan celah bagi fluida untuk
masuk pada batuan sehingga mempercepat pelapukan. Kemudian juga struktur geologi
tesebut berperan menjadi faktor yang mempengaruhi terjadinya alterasi hidrotermal.
Dengan adanya jalur bagi fluida hidrotermal untuk mengalterasi tubuh batuan.
Kemudian dipicu lagi dengan searahnya arah struktur dominan terhadap arah aliran
sungai yang berstadia muda. Sehingga pola tersebut menjadi alur erosi vetikal yang
bersifat aktif. Sehingga faktor tersebut akan menyebabkan berkurangnya kestabilan
lereng bukit.

2 Kondisi alterasi yang dijumpai di lapangan adalah secara umum daerah


penelitian mengalami alterasi hidrotermal. Terdapat dua macam tipe alterasi yang
dijumpai, yaitu tipe argilik pada bagian utara dan tipe alterasi propilitik pada bagian
selatan daerah penelitian. Terdapat 2 macam intensitas alterasi yang dijumpai, yaitu
teralterasi sedang-kuat yang mencakup bagian daerah tengah ke bagian hilir daerah
penelitian, intensitas kuat-intensif pada bagian utara pada bagian mahkota dan
sekitarnya .

3 Mineral lempung yang berperan penting dalam terjadinya peristiwa longsor ini
adalah mineral lempung smektit. Karena memiliki tingkat swelling dan permeabilitas
yang tinggi terutama mineral smektit sebab ketika terkena air akan mengembang dan
mengalami penambahan volume secara perlahan-lahan akibat bertambahnya juga
tekanan pori. Sehingga akan mengurangi kestabilan lereng akibat terjadinya penambahan
beban sendiri terhadap lereng di daerah tersebut.

SARAN

Saran untuk penelitian selanjutnya di daerah sekitar penelian adalah untuk


melakukan pemetaan alterasi hidrotermal dalam skala yang lebih luas agar dapat
mengetahui persebaran aktifitas alterasinya agar menjadi variable baru dalam melakukan
pemetaan zonasi kerentanan bencana longsor di daerah kecamatan Salem khsususnyaa
agar dapat meningkatkan upaya mitigasi bencana di daerah tersebut dan sekitarnya

DAFTAR PUSTAKA
Abbot, P. L., 2012, Natural Disasters, 8th edition, United States, McGraw Hill Book Company, 541p

Amalia, 2017, Pengaruh Alterasi Hidrotermal Terhadap Tingkat Kerentanan Longsor Di Daerah
Kalirejo Dan Sekitarnya, Kabupaten Kulon Progo Dan Purworejo, Skripsi, Departemen
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 183 hal

Anbalagan, R., 1992, Landslide Hazard Evaluation And Zonation Mapping In Mountainous
Terrain, Journal of Engineering Geology, Vol 32, pp. 269-277

640
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D057UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Balai Pengelolaan Das dan Hutan Lindung Pemali Jr. (2018). Analisis Kejadian Longsor di Sub
DAS Cigunung - DAS Pemali Desa Pasir Panjang Kecamatan Salem Kabupaten Brebes.
KLHK

Barianto, D. H., Harijoko, A., and Watanabe, K., 2009, The Tertiary Volcanic Rocks Distribution In
Yogyakarta And Its Vicinity,

Indonesia, Earth Science International Conference Journal, Manila, 5p.

Barker, A. J., 2014, A Key for Identification of Rock-forming Minerals in Thin- Section, United
Kingdom, CRC Press, 181p

BIG. (2018, Maret 5). Badan Informasi Geospasial. Dipetik April 18, 2018, dari Tinjauan Data
Spasial Bencana Tanah Longsor Desa Pasir Panjang: http://www.big.go.id

BMKG. (2018). Analisis Kejadian Longsor di Wilayah Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah.
Semarang: Stasiun Klimatologi Kelas I Semarang.

Browne, P.R.L., 1984, Lectures On Geothermal Geology And Petrology, Lecture note, Icelang UNU
GTP

Chen, Pei-Yuan., 1977, Table of Key Lines in X-ray Powder Diffraction Patterns of Minerals in
Clays and Associated Rocks, Indiana Geological Survey Occasional Paper, Vol. 21, 67p.

Corbett, G. J., and Leach, T.M,. 1998, Southwest Pacific rim gold-copper systems: Structure,
alteration and mineralisation, Economic Geology, Special Publication 6, p 238, Society of
Economic Geologist

Crozier, M. J. and Glade, T., 2015, Landslide Hazard and Risk: Issues, Concepts and Approach,
Landslide Hazard and Risk

Davies T., 2014, Landslide Hazards, Risks, and Disasters: Introduction, Landslide Hazards, Risks,
and Disasters, Amsterdam, Elsevier, 475p

Direktorat Jendral Penataaan Ruang, 2007, Pedoman Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana
Longsor, Departemen Pekerjaan Umum, 148p

Eksara, A.Raka, 2018, Mekanisme Gerakan Tanah Tanggal 22 Februari 2018, Desa Pasir
Panjang, Kecamatan Salem, Kabupaten Brebes,Provinsi Jawa Tengah, D.I.Yogyakarta,
Thesis: Teknik Geologi UGM.

Fadhila, Y . 2016, Kajian Tingkat Kerentanan Massa Batuan Volkanik di Daerah Kulon Progo, desa
argowilis, DIY, skripsi, Yogyakarta, UPN “Veteran” Yogyakarta

Frolova, J. V., Gvozdeva, I. P., and Kuznetsov, N. P., 2015, Effects of Hydrothermal Alterations on
Physical and Mechanical Properties of Rocks in the Geysers Valley (Kamchatka Peninsula)
in Connection with Landslide Development, proceeding of world geothermal congress 2015

Frolova, J. V., Vladimir, L., Sergey, R., and David, Z., 2014, Effects of hydrothermal alterations on
physical and mechanical properties of rocks in the Kuril–Kamchatka island arc, journal of
Engineering Geology, Vol 183, pp. 80– 95Geological Research and Development Centre,
Bandung.

641
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D057UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gifkins, C. and Allen, R. L., 2001, Textural and chemical characteristics of diagenetic and
hydrothermal alteration in glassy volcanic rocks: examples from the Mount Read Volcanics,
Tasmania. Journal of Economic Geology. Vol 96: 973-1002.

Gifkins, C., Herrmann, W., and Large, R., 2005, Altered Volcanic Rocks, A Guide to Description
and Interpretation, Centre for Ore Deposit Research University of Tasmania, Australia, 288p

Harjanto, A., 2010, Alterasi akibat proses hidrotermal di daerah Kulon Progo dan sekitarnya
Daerah Istimewa Yogyakarta, JIK TekMin, v. 23, (3)

Harjanto, A., 2011, Petrologi dan Geokimia Batuan Volkanik di Daerah Kulon Progo dan
Sekitarnya, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 4., No. 1, pp. 49 – 75.

Hartono, H. G., Sudrajat, A., and Verdiansyah, O., 2017, Caldera of Godean,Sleman, Yogyakarta: A
Volcanic Geomorphology Review, indonesian Journal of Spatial and Regional Analysis,
v.31, (1)

JCPDS (Joint Committee on Powder Diffraction Standards)-International Centre for Diffraction


Data, 1986, Mineral Powder Diffraction File: Data Book, The Centre, 1396p.Jornal of Math
Modelling, Vol. 9, No. 3-5, pp. 161-176

Kadarsetia, E. 2011. Zonasi Kerentanan Gerakan Tanah di Kabupaten Brebes bagian Selatan,
Provinsi Jawa Tengah. Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi Volume 6 Nomor 1, 39-51.

Karnawati, D. 2005. Bencana Alam Gerakan Massa Tanah di Indonesia dan


UpayaPenanggulangannya. Yogyakarta: Teknik Geologi UGM.

Karnawati, D. and Putra, D. P. E., 2008, Modul Geologi Pengembangan Wilayah, Departemen
Teknik Geologi UGM Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada

Kastowo, & Suwarna, N. 1996. Geological Map of The Majenang Quadrangle, Bandung: Geological
Research and Development Center

Kerr, P.F., 1959, Optical Mineralogy, McGraw-Hill Book Company, Inc., New York, 442p.

Large, R., Gemmel, J. B., Paulic H., and Houston, D. L., 2001, The Alteration Box Plot: A Simple
Approach to Understanding the Relationship between Alteration Mineralogy and
Lithogeochemistry Associated with Volcanic-Hosted Massive Sulfide Deposits, Journal of
Economic Geology, Vol 96, pp. 957 – 971

Ludovic, W. A. S., Kitagawa, R., Felix, T. M., Emmanuel, E. G., and Daniel, N., 2004, Clay
Mineralogy Of The Landslide In Lembo Area, Bana-Bangou District, West Province Of
Cameroon, Journal of Clay Science, Vol 2, pp 293

McColl, S. T., 2015, Landslide Causes and Triggers, Landslide Hazards, Risks, and Disasters,
Amsterdam, Elsevier, 475p

Pirajno, F., 2009, Hydrotermal Process andMineral System: Australia. Geological Survey
ofAustralia. P. 12-73

Pola, A., Crosta, G., Fusi, N., Barberini, V., and Norini, G., 2012, Influence of Alteration on Physical
Properties of Volcanic Rocks: Elseiver, Tectonophysics 566-567 (2012), p. 67–86, doi:
10.1016/j.tecto.2012.07.017.

642
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D057UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

PVMBG. (2018, Februari 26). Laporan Sementara Pemeriksaan Gerakan Tanah Di Desa
Pasirpanjang, Kecamatan Salem, Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah. Dipetik April 19,
2018, dari Pusat Vulkanologi dan MitigasiBencana Geologi - Badan
Geologi:http://www.vsi.esdm.go.id/

Rahardjo, W. (1995) Geological map of the Jogjakarta Sheet, Jawa. 2nd edition.

Rahardjo, W., Sukandarrumidi, and Rosidi, H.M.S. (1977) Peta Geologi Lembar Yogyakarta skala
1:100.000. Direktorat Geologi, Bandung

Reyes, A. G., 1998, Petrology and Mineral alteration in hydrothermal system: From Diagenesis to
volcanic catastrophes, Lecture notes, UNU GTP

Shirahata H., Hideyashu, A., and Oura, H., 1987, Relationship between Rock Alteration and
Landslides in the Noboribetsu District, Southwest Hokkaido, Journal of the Japan Society of
Engineering Geology, pp V 28, pp 47– 53

Shoder, J,F and Davies, T. 2015. LandslideHazard Risk and Disaster.


Amsterdam,Netherlands: Elsevier.

Soetoto and Setianto, A., 2005, Buku Ajar Geologi Citra Penginderaan Jauh, Jurusan Teknik
Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 171p.

Tamura E. and Hasegawa S., 2015, Verification of Swelling and Landslide of Smectite Bearing
Ground due to Hydrothermal Alteration in non-Volcanic region, proceeding of 10th asian
conference of IAEG

Thompson, A.J.B., and Thompson, J.F.H,1996, Atlas of Alteration,


A Field andPetrographic Guide to Hydrothermal AlterationMinerals, Mineral
Deposits Division – GAC(Geological Association of Canada), 101p.

Van Bemmelen, R.W., 1949, The Geology ofIndonesia, Vol. IA, General Geology
ofIndonesia and Adjacent Archipelagoes, SecondEdition, The Hague, Netherlands, 732p.

Velde, B. and Meunier, A., 2008, The Originof Clay Minerals in Soil and Weathered Rocks,Springer
Verlag Berlin Heidelberg, 426pVerstappen, 2010, Indonesian Landforms andPlate Tectonics,
Jurnal Geologi Indonesia, 5 (3),pp 197 – 207

Viklund, A. 2008. Teknik PemeriksaanMaterial Menggunakan XRF,XRD


danSEMEDS, Jurnal Sains, ITB, Bandung.

Waseda, Y., Matsubara, E., and Shinoda, K.,2011, X-Ray Diffraction


Crystallography,Springer, Heidelberg.

Whitney, D.L., and Evans, B., 2010,Abbreviations for Names of


Rock-FormingMinerals, American Mineralogist, Vol. 95, pp.185 – 187.

Wijaya I. P. K., Zangel, C., Straka, W., andOttner, F., 2017, Geological Aspects
of Landslides in Volcanic Rocks in a GeothermalArea (Kamojang Indonesia), Advancing
Cultureof Living with Landslides encyclopedia, pp 429- 437

Winarti, D., Karnawati D., Hardiyatmo, H.C., and Srijono, 2016, Mineralogical and
Geochemical Control of Altered Andesitic Tuff upon Debris Slide Occurences at Pelangan
Area, Southern Mountain of Lombok Island,Indonesia, journal
of Applied Geology, vol.1(1), 2016, pp. 19–28

643
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D057UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 1. Nilai perhitungan nilai trend alterasi

Jenis Intensitas
Sampel CIA AC PIA CIW
Alterasi Alterasi
N

MNA01 Argilik Rendah 98,23 0,99 98,74 98,75


F
Rendah
MNA02 Propiliti 69,76 0,7 2 71,84 72,05
F k

644
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D057UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

MNA03 Propiliit Rendah 72,74 0,75 74,36 7524


F k

MNA04
propilitik Rendah 76,21 0,79 78,01 78,74
F

MNA05 Argilik Rendah 64,65 0,67 65,88 67,26


F

MNA06 Argilik Rendah 74,86 0,78 76,82 77,70


F
Rendah
MNA07 Propiliti 74.34 71.23 70.24 71.14
F k
Kuat
MNA08 Argilik 95,48 0,96 96,08 96,10
F
Kuat
MNA09 Argilik 95,62 0,98 97,83 97,88
F
Kuat
MNA10 Argilik 97,84 0,98 98,40 98,39
F

645
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D057UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Geologi Regional Lokasi Penelitian (Kastowo & Suwarna, 1996), dengan
modifikasi oleh penulis.

Gambar 2. Proses Terjadinya Gerakan Massa (Karnawati, 2005)

Gambar 3. Peta daerah penelitian hasil foto drone (PVNBG,2018)

646
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D057UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Peta persebaran material longsor daerah penelitian.

Gambar 5. Peta lintasan daerah penelitian dengan skala 1 : 12500 (Eksara, 2018)

Gambar 6. Foto Sayatan sampel MNA05

647
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D057UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 7. Analisa struktur geologi kekar gerus dengan Diagram rose dengan menggunakan
software Georose.

Gambar 8. Hasil korelasi dari pengukuran stratigrafi di 3 titik lokasi yang mewakili daerah
peneitian yaitu diantaranya bagian hulu (A), tengah (B) dan bagian hilir (C). Pada gambar
tersebut terbagi menjadi 3 satuan yaitu breksi andesit, batupasir tuffan dan lapisan horizon tanah.

Gambar 9. Peta Geologi daerah penelitian Skala 1 : 12.500. Dimana terbagi menjadi 2 satuan
batuan dari tua ke muda yaitu satuan breksi andesit.(coklat) dan satuan batupasir tuffan (kuning)
yang berhubungan secara selaras.

648
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D057UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 10. Kenampakan sayatan geologi A-B tanpa dilakukan exagrasi (SV = SH)

Gambar 11. Peta Alterasi daerah penelitian yang terfokus pada daerah yang terkena longsor dimana terbagi
menjadi 2 satuan jenis alterasi yaitu Alterasi propilitik di bagian tengah.ke selatan dan alterasi argilik
dibagian tengah ke utara.

649
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D057UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 12. Hasil korelasi data Stratigrafi daerah penelitian dengan analisa XRD dan Petrografi yang telah
dilakukan untuk menentukan persebaran alterasi hidrotermal secara Lateral untuk mengetahui pengaruh
alterasi hidrotermal terhadap terjadinya kejadian longsor di daerah penelitian.

650
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D059UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

PEMODELAN PERSEBARAN MATERIAL PAF DAN NAF PADA PIT TIDAL,


EAST BLOCK, WILAYAH PERTAMBANGAN BATUBARA PT. INDOMINCO
MANDIRI DI WILAYAH TELUK PANDAN, KUTAI TIMUR, KALIMANTAN
TIMUR
Bima Nugraha Widyatmaji 1* ,Mohamad Irza Fandi Pradana 2 ,Jihan Athian 2
1 Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah MadaJl. Grafika No. 2, Kampus
UGM, Yogyakarta, 55281
2 Office Mine Geology 30 PT. Indominco Mandiri Site Bontang, Jl. Poros Samarinda-Bontang Km.

10, Teluk Pandan, Kutai Timur, Kalimantan Timur, 75311

*Corresponding Author: bima.nugraha.w@mail.ugm.ac.id

ABSTRAK.Salah satu dampak adanya aktivitas penambangan batubara tambang terbuka adalah
munculnya Air Asam Tambang (AAT) di sekitar lingkungan penambangan yang dapat
mempengaruhi kualitas air, makhluk hidup, serta kualitas tanah. Oleh karena itu, diperlukan
informasi awal sebagai suatu prediksi terhadap potensi pembentukan AAT untuk mengantisipasi
adanya dampak tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk membuat suatu prediksi terhadap
kemungkinan terbentuknya AAT melalui karakterisasi interburden dengan cara mengidentifikasi
keberadaan material yang berpotensi membentuk keasaman (PAF) dan yang tidak berpotensi
membentuk keasaman (NAF) serta bagaimana model persebarannya. Hasil karakterisasi batuan
dan model geologi akan menghasilkan model geokimia batuan yang menggambarkan sebaran tipe
geokimia batuan baik pada arah lateral maupun arah vertikal. Lokasi penelitian berada pada
wilayah pertambangan batubara PT. Indominco Mandiri calon Pit Tidal, East Block yang terletak
di Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur. Data yang
digunakan pada penelitian ini berupa data sumur pemboran (batuan inti) yang terdiri dari data
litologi dan data kualitas kimia batuan (pH NAG). Pada penelitian ini dilakukan pemodelan
persebaran material PAF dan NAF dari data sumur pemboran pada lokasi penelitian
menggunakan software Minescape 5.7. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa lokasi penelitian
secara keseluruhan memiliki perbandingan volume material PAF yang lebih dominan (54,31%)
dibandingkan dengan volume material NAF (44,69%) dengan persebaran material PAF yang
dominan berada pada batuan interburden C11-C12, C14-C15, C15-L15, L15-C16, C16-C17, C17-C18,
C18-U19 serta material NAF yang menyebar menempati daerah selain pada batuan yang dominan
ditemukan material PAF di dalamnya.

I. PENDAHULUAN

Melimpahnya cadangan batubara pada formasi batuan yang menyusun Daerah


Kalimantan Timur mengakibatkan banyaknya perusahaan yang melakukan aktivitas
penambangan batubara dengan menggunakan metode tambang terbuka
(Quamruzzaman dkk., 2014), salah satunya seperti yang dioperasikan oleh PT. Indominco
Mandiri yang terletak di Kutai Timur, Kalimantan Timur. Adanya proses penambangan
batubara dengan metode tambang terbuka ini dapat menyebabkan dampak negatif bagi
lingkungan di sekitar kawasan tambang, salah satunya adalah terbentuknya air asam
tambang (AAT) (Jamal dkk., 2015).

651
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D059UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Air Asam Tambang (AAT) merupakan air asam dengan tingkat keasaman yang
tinggi (ditandai dengan nilai pH<5) yang dapat berupa air lindian (leachate), rembesan
(seapage), atau aliran (drainage) yang terbentuk akibat dari reaksi oksidasi mineral sulfida,
seperti pirit (FeS2) yang terdapat pada batuan overburden dan batuan interburden yang
tersingkap dan terpapar selama proses penambangan meliputi penggalian dan
penimbunan. Mineral sulfida mengalami oksidasi disebabkan oleh kehadiran oksigen di
udara bebas ditambah dengan kehadiran air (air hujan) (Sigh, 2006; Sand dkk., 2007,
dalam Devy dkk., 2016).

Untuk mengatasi kemungkinan terbentuknya AAT pada kawasan tambang


batubara yang tidak terkendali, diperlukan suatu upaya prediksi dengan cara
mengidentifikasi keberadaan mineralogi yang berpotensi membentuk keasaman (Potential
Acid Forming, PAF) dan mineralogi yang tidak berpotensi membentuk keasaman (Non
Acid Forming, NAF) pada batuan overburden dan batuan interburden pada kawasan
tambang batubara yang nantinya dapat menggambarkan sebaran tipe batuan beserta
kandungan material PAF dan NAF-nya baik pada arah lateral maupun arah vertikal yang
dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam kegiatan tambang di daerah tersebut
(Scott et.al, 2000).

II. GEOLOGI REGIONAL

Daerah Teluk Pandan, Kutai Timur termasuk ke dalam Formasi Pulaubalang yang
secara fisiografi berada pada Cekungan Kutai (Van Bemmelen, 1949; Sukardi, dkk., 1995;
dan Sunardi, dkk., 2014) (Gambar 1 dan 2).

Daerah penelitian termasuk ke dalam zona fisiografi punggungan bergelombang


(Antiklinorium Samarinda) yang didominasi oleh lipatan antiklin sempit dan sinklin
lebar serta dataran yang memanjang dengan arah timur laut–barat daya (hasil proses
tektonik yang bekerja dengan arah tegasan utama barat laut–tenggara) (Darman dan Sidi,
2000).

Menurut Sukardi, dkk. (1995), Formasi Pulaubalang terdiri dari litologi berupa
perselingan batupasir dengan batulempung dan batulanau, setempat dengan lapisan tipis
lignit, batugamping atau batupasir gampingan. Berumur Miosen Awal bagian atas –
Miosen Tengah bagian bawah. Sedimentasinya diperkirakan terjadi di daerah Prodelta,
dengan tebaran terumbu di beberapa tempat.

Struktur geologi yang berkembang pada daerah penelitian antara lain lipatan dan
sesar. Batuan tua seperti pada Formasi Pulau Balang umumnya terlipat cukup kuat
dengan kemiringan sekitar 40°, tetapi ada juga yang mencapai 75°. Selain itu, pada
daerah penelitian terdapat 3 (tiga) jenis sesar, yaitu: sesar naik, sesar turun dan sesar
mendatar. Sesar naik diduga terjadi pada Miosen akhir yang kemudian terpotong oleh
sesar mendatar yang terjadi kemudian. Sedangkan sesar turun terjadi pada kala Pliosen
(Supriatna, dkk., 1995).

652
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D059UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

III. METODOLOGI

Waktu dan Lokasi

Waktu dan Lokasi Penelitian dilakukan pada tanggal 4 Februari 2019 hingga 5
April 2019. Lokasi penelitian terletak pada Pit Tidal, East Block PT. Indominco Mandiri di
Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur. Metode
yang diterapkan dalam pengambilan data kualitas kimia sampel batuan yaitu
menggunakan uji statik dengan metode Net Acid Producing Potential (NAPP) dan Net Acid
Generation (NAG).

Prosedur :
Deskripsi Litologi dan Pengambilan sampel

Sampel yang digunakan dalam analisis kualitas kimia batuan berasal dari hasil
pemboran full coring dari 4 proyek pengeboran AMD antara lain pemboran Geotech
2010, TDS 2013, AMD 2018 (6 titik bor) dan AMD 2019 (6 titik bor).

Pengambilan data dimulai dari pendeskripsian litologi pada tiap-tiap sumur


pemboran yang nantinya data tersebut akan dilakukan perekapan dalam Ms. Excel.
Setelah dilakukan pendeskripsian litologi kemudian dilakukan pengambilan sampel
batuan yang akan dilakukan uji kimia menggunakan uji NAPP dan NAG. Sampel
diambil rata-rata pada tiap interval kedalaman 0,2-5 m dari sumur pemboran yang
pemilihannya dipengaruhi oleh perbedaan jenis litologi, warna, dan ketebalan litologi.

Analisis kimia dengan uji NAG

Net Acid Generation (NAG) merupakan analisis jumlah potensi keasaman yang
terbentuk setelah terjadi oksidasi mineral sulfida khususnya pirit dalam batuan/tanah
pada wilayah tambang. Uji NAG dilakukan dengan mereaksikan sampel dengan
oksidator kuat (H2O2) yang dilakukan untuk mempercepat proses oksidasi berbagai
kandungan mineral sulfida reaktif pada sampel batuan.

Dalam analisis NAG, reaksi yang terjadi adalah reaksi keasaman dan penetralan
di mana hasil akhir dari tes NAG dinyatakan dalam dua nilai, yaitu NAG pH (nilai pH
larutan setelah reaksi dengan H2O2 berlebih selesai) dan keasaman NAG (hasil akhir dari
konsentrasi keasaman dalam larutan dinyatakan dalam kg H2SO4/ton).

Parameter acuan untuk mengetahui suatu material tergolong PAF atau NAF pada
suatu sampel batuan menggunakan metode uji NAG menurut PT. Indominco Mandiri
yaitu bilamana sampel batuan dapat disebut mengandung dominan material PAF apabila
memiliki nilai NAG pH ≤ 5 dan dapat disebut mengandung dominan material NAF
apabila memiliki nilai NAG pH > 5.

Pemodelan sebaran PAF dan NAF

Nilai NAPP pada tiap-tiap sampel batuan yang dihasilkan dari uji laboratorium
digunakan sebagai data masukan untuk pemodelan dengan metode stratmodel
menggunakan software Minescape 5.7.

653
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D059UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Selain itu, terdapat data-data pendukung yang digunakan dalam pemodelan,


antara lain data titik bor, data kualitas kimia batuan (NAPP), jenis litologi beserta
kedalaman, topografi permukaan dan bawah permukaan, serta desain rancangan pit.

Pemodelan sebaran material PAF dan NAF ini diawali dengan pembuatan skema
pemodelan, kemudian dilanjutkan dengan korelasi interval antar sumur berdasarkan
data sumur yang telah ada sebelumnya, lalu dilakukan ekspor data hasil korelasi tersebut
pada Ms. Excel. Setelah langkah tersebut selesai dilakukan, data expor tersebut
dikombinasikan dengan data kimia hasil uji laboratorium (litoqual), kemudian langkah
berikutnya adalah dilakukan impor data litoqual dan dilakukan proses pembuatan grid
dan table serta memasukkan data kualitas kimia batuan pada software yang kemudian
dilakukan pembuatan stratmodel (model vertikal) serta pembuatan kontur kualitas per
interval pemodelan (model horizontal). Langkah terakhir yaitu menghitung volume serta
massa PAF dan NAF pada tiap-tiap interval pemodelan.

Sebaran tiap nilai NAG pH dari tiap sampel diinterpolasi menggunakan software
sehingga didapatkan nilai pengaruh dengan variasi NAG pH yang berkorelasi dengan
jenis batuan. Lapisan bawah permukaan yang diwakili oleh satuan batuan geologi
Formasi Pulau Balang menjadi penentu sebaran nilai NAG pH dalam tiap batuan.

IV. HASIL PENELITIAN

Berdasarkan hasil pemodelan, secara vertikal (Gambar 3 dan Gambar 4) dapat


diketahui bahwa pada Pit Tidal ini secara kualitatif didominasi oleh material PAF dengan
pelamparan yang dominan di bagian tengah dari lapisan batuan (dominan pada C11-C12
dan C14-U19), sedangkan material NAF melampar secara dominan di bagian atas dan
bawah dari lapisan batuan yang ada. Sedangkan secara horizontal, persebaran material
PAF cukup merata pada daerah penelitian dengan kelimpahan material NAF yang
ditemukan cukup tebal pada bagian barat dan timur Pit Tidal, serta ditemukan cukup
tipis pada bagian tengah Pit.

Hasil perhitungan volume batuan PAF dan NAF (Tabel 1 dan Gambar 5),
menunjukkan bahwa secara keseluruhan pada Pit Tidal ini didominasi oleh batuan
interburden yang mengandung material PAF dengan jumlah persentase sebesar 55,75%
dibandingkan dengan batuan interburden yang mengandung material NAF dengan
jumlah persentase sebesar 44,25%. Berdasarkan rangkaian interval batuan dari roof seam
C11 hingga floor seam C19, batuan interburden pada Pit Tidal yang memiliki presentase
material PAF yang dominan terletak pada batuan interburden C11-C12 (60,07%), C14-C15
(64,59%), C15-L15 (79,87%), L15-C16 (53,11%), C16-C17 (79,13%), C17-C18 (82,72%), dan
C18-U19 (54,93%).

Batuan interburden yang mengandung volume material PAF yang paling besar
terdapat pada interburden seam C14-C15 dengan jumlah 22.804,1 x 103 m3 dan dengan
presentase 64.59% dari total penyusun keseluruhan interburden seam C14-C15.

V. DISKUSI DAN PEMBAHASAN

654
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D059UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Berdasarkan hasil deskripsi yang telah dilakukan, jenis litologi yang ditemukan
pada lokasi penelitian berupa batuan sedimen antara lain batulempung (CS),
batulempung karbonan (XM), batulumpur (MS), batulanau (SL), batupasir (SS), batubara
(CO), dan ditemukan batugamping secara setempat. Dari hasil uji kimia yang dilakukan
per sampel batuan yang diambil pada lokasi penelitian (Gambar 6), dapat diketahui
bahwa litologi yang paling dominan mengandung PAF secara berturut-turut antara lain
batulempung karbonan (97,35%), batulempung (59,98%), batupasir (59,46%), batulumpur
(56,25%), serta batulanau (49,82%). Sedangkan litologi yang paling dominan mengandung
NAF secara berturut-turut yaitu batulanau (50,18%), batulumpur (43,75%), batupasir
(40,54%), batulempung (40,02%), serta batulempung karbonan (2,65%).

Hasil pemodelan persebaran PAF pada lokasi penelitian menunjukkan bahwa


persebaran PAF dapat dijumpai pada batuan penutup (roof), lapisan batuan antar
batubara (batuan interburden), dan batuan floor lapisan batubara. Litologi pada daerah
penelitian yang secara dominan mengandung PAF secara keseluruhan terletak pada
batuan interburden C11-C12 (60,07%), C14-C15 (64,59%), C15-L15 (79,87%), L15-C16
(53,11%), C16-C17 (79,13%), C17-C18 (82,72%), dan C18-U19 (54,93%). Sedangkan sebaran
PAF berdasarkan sayatan horizontal (Gambar 7) diketahui mengikuti jalur lipatan sinklin
serta melampar searah dengan arah strike lapisan batuan dan juga diketahui
kelimpahannya mengikuti kehadiran singkapan batubara.

Dalam kegiatan penambangan khususnya penambangan batubara, prediksi


mengenai persebaran litologi yang mengandung material PAF sangat penting untuk
mengetahui bagaimana pelamparan litologi tersebut pada daerah yang akan dilakukan
aktivitas penambangan sehingga dapat dilakukan suatu tindakan khusus untuk
mengelola waste rock sehingga potensi pembentukan air asam tambang pada kawasan
tambang menjadi minim. Berdasarkan hasil pemodelan persebaran material PAF pada
lokasi penelitian dapat dibuat suatu rekomendasi terhadap aktivitas penambangan yang
memperhatikan aspek potensi pembentukan air asam tambang, salah satunya yaitu
dilakukannya teknik selective dumping yang merupakan upaya menimbun batuan yang
memiliki kandungan material PAF yang tinggi dengan batuan yang memiliki kandungan
NAF yang tinggi sehingga dapat meminimalisir kontak batuan yang berpotensi
menghasilkan AAT dengan oksigen dan air (Rude, 2012). Selain itu juga dapat dilakukan
teknik dry cover yaitu melapisi tailing atau waste rock dengan penghalang oksigen dengan
tujuan untuk membatasi dan menekan aliran dari oksigen (Rude, 2012). Contoh dari
penggunaan teknik dry cover antara lain pemakaian clay dan semen, material organik,
ataupun capillary barrier sebagai penghalang oksigen.

VI. KESIMPULAN

Hasil penilitian menunjukkan bahwa pada sayatan vertikal model kualitas,


kelimpahan PAF yang dominan tersebar pada batuan interburden C11-C12, C14-C15,
C15-L15, L15-C16, C16-C17, C17-C18, dan C18-U19. Sebaran PAF berdasarkan sayatan
horizontal diketahui mengikuti jalur lipatan sinklin (melampar searah dengan arah strike
lapisan batuan) dan mengikuti singkapan batubara. Sebaran terbesar dari lapisan PAF
655
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D059UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

berada pada Formasi Pulaubalang yang mayoritas dijumpai pada batulempung


karbonan, batulempung, batulumpur, kemudian diikuti oleh batulanau dan batupasir.
Sementara itu, material NAF diketahui memiliki persebaran yang hampir merata (secara
vertikal maupun horisontal) yang berturut-turut secara dominan terkandung pada
batulanau, batupasir, batulumpur, dan batulempung.

Secara umum litologi pada daerah penelitian di Kutai Timur didominasi oleh
PAF, kemudian disusul oleh NAF. Berdasarkan hasil pemodelan pada daerah penelitian
dapat dibuat suatu rekomendasi terhadap aktivitas penambangan yang memperhatikan
aspek potensi pembentukan air asam tambang, salah satunya yaitu dilakukannya teknik
selective dumping dan dry cover pada saat pengelolaan waste rock di wilayah tambang
yang ada.

VII. ACKNOWLEDGEMENTS

Penulis menyampaikan terima kasih kepada PT. Indominco Mandiri dengan


segenap staf dan karyawan daerah operasi penambangan di Kutai Timur terkhusus
Departemen Mine Geology, yang telah memberikan bantuan teknis, supervisi, dan non
teknis untuk operasional penelitian lapangan sehingga penelitian ini dapat diselesaikan
sesuai dengan target yang diharapkan

DAFTAR PUSTAKA
Devy, S. D., H. Hendrayana, D. P. E. Putra, E. Sugiharto, 2016, Pemodelan Penyebaran Batuan
Potensial Pembentuk Asam pada Kawasan Penambangan Batubara Tambang Terbuka di
Muara Lawa, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, Jurnal Manusia dan Lingkungan,
v. 23, no. 1, p. 29-33.

Jamal, A., H. L. Yadav, dan S. S. Pandey, 2015, Heavy Metal from Acid Mine Drainage in Coal
Mines-A Case Study, European Journal of Advances in Engineering and Technology,
2(8):16–20.

Marthen, M., 2013, Identifikasi Potensi Pembentukan Air Asam Tambang, NAPP VS NTAPP, Buku
Panduan, PT. Trubanindo Coal Mining, Kutai Barat.

Putra, D. P. E., W. Wilopo, R. R. S. Atmaja, 2017, Modul Pelatihan Air Asam Tambang:
Karakterisasi dan Penanganan, Yogyakarta: Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik
Universitas Gadjah Mada, tidak dipublikasikan.

Quamruzzaman, C., A.M. Mondol, M.T. Ahmed, dan M.Z. Ahmed, 2014, A Proposal of Open Pit
Coal Mine at the Northern Part of Barapukuria Coalfield, Dinajpur, Bangladesh,
International Journal of Emerging Technology and Advanced Engineering, 4(3):482–488.

Robertson, A., 2008, AMD Training Course for BANPU, RGS Environmental Pty Ltd.

Rude, T. R., 2012, Short Course Acid Mine Drainage: Causes and Management, Institute of
Hidrogeology RWTH Aachen, Aachen.

656
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D059UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Scott, P.A., G. Eastwood, G. Johnston, dan D. Carville, 2000, Early Exploration and Prefeasibility
Drilling Data for the Prediction of Acid Mine Drainage for Waste Rock, Proceedings of the
Third Australian Acid Mine Drainage Workshop, Townsville, Australian Centre for
Minerals Extension and Research, Brisbane.

Sukardi, N. Sikumbang, I. Umar, dan R. Sunaryo, 1995, Peta Geologi Lembar Sangatta,
Kalimantan, Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.

Supriatna, S., Sukardi, dan Rustandi, 1995, Peta Geologi Bersistem, Lembar Samarinda,
Kalimantan skala 1:250.000, Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.

657
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D059UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 1. Perhitungan volume, massa, dan pH tiap interval pemodelan yang mengandung Potential
Acid Forming (PAF) dan Non Acid Forming (NAF) pada Pit Tidal, East Block

658
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D059UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Peta Geologi lembar Sangatta, Kalimantan (Sukardi, dkk., 1995). Daerah yang
ditunjukkan oleh garis berwarna merah merupakan perkiraan lokasi penelitian pada peta

Gambar 2. Sayatan geologi pada Peta Geologi lembar Sangatta, Kalimantan (Sukardi, dkk., 1995).
Daerah yang ditunjukkan oleh garis berwarna merah merupakan perkiraan lokasi penelitian pada
peta

659
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D059UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Lokasi persebaran titik bor yang digunakan sebagai data dalam pemodelan dan
konfigurasi arah sayatan model pada Pit Tidal, East Block

660
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D059UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Sayatan hasil pemodelan yang menunjukkan sebaran Potential Acid Forming (PAF) dan Non Acid
Forming secara vertikal pada Pit Tidal, East Block

Gambar 5. Histogram perbandingan volume Potential Acid Forming (PAF) dengan Non Acid
Forming (NAF) pada tiap interval pemodelan pada Pit Tidal, East Block

661
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D059UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 6. Grafik perbandingan persentase potensi pembentukan asam masing-masing litologi


pada daerah penelitian.

662
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D059UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 7. Sayatan hasil pemodelan yang menunjukkan sebaran Potential Acid Forming (PAF) dan
Non Acid Forming secara horizontal pada Pit Tidal, East Block

663
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D078UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

PEMETAAN ZONA KERENTANAN GERAKAN TANAH DENGAN METODE


WEIGHTS OF EVIDENCE (WoE) DI KECAMATAN SAMIGALUH,
KABUPATEN KULON PROGO

Wahyu Wilopo1*
1 Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada

*corresponding author: wwilopo@gadjahmada.edu

ABSTRAK. Pada kurun waktu tahun 2011 sampai 2015 terjadi 2425 kejadian bencana
gerakan tanah di wilayah Indonesia Salah satu wilayah yang sering terdampak bencana
gerakan tanah di Indonesia adalah Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa
Yogyakarta. Sejak tahun 2015 hingga tahun 2018 terjadi lebih dari 200 longsor yang
merugikan. Kecamatan yang sering terdampak gerakan tanah adalah Kecamatan
Samigaluh. Maka dari itu diperlukan zonasi kerentanan gerakan tanah pada daerah
tersebut dengan skala detail 1:25.000. Metode penelitian yang digunakan adalah weights
of evidence, dengan parameter kemiringan lereng, batuan penyusun lereng, tata guna
lahan, tata air lereng, dan jarak dari struktur geologi. Semua parameter dibagi menjadi
kelas-kelas yang akan dihitung bobotnya. Bobot pada kelas masing masing parameter
terbagi menjadi bobot terjadinya gerakan tanah pada kelas (W+) dan bobot tidak
terjadinya longsor (W-). Kedua nilai bobot dikurangkan sehingga dihasilkan bobot akhir
(C). Dari 5 parameter yang digunakan, dihasilkan zona kerentanan gerakan tanah 4 kelas,
yaitu zona kerentanan sangat rendah, zona kerentanan rendah, zona kerentanan
menengah, dan zona kerentanan tinggi. Validasi terhadap model dan prediksi gerakan
tanah dengan perhitungan area under curve. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh
nilai area under curve pada model peta zonasi 0.92 tergolong baik, dan nilai 0.93 pada
prediksi gerakan tanah tergolong sangat baik. Berdasarkan penelitian desa yang paling
rawan terjadi gerakan tanah adalah Desa Kebonharjo dan desa yang memiliki
kerentanan paling rendah adalah Desa Purwoharjo.

Kata kunci : gerakan tanah, weights of evidence, zona kerentanan

I. Pendahuluan

Gerakan tanah merupakan salah satu bencana alam yang sering terjadi di Indonesia.
Gerakan tanah menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 22/PRT/M/2007 adalah
proses perpindahan massa tanah atau batuan dengan arah tegak, mendatar, miring dari
kedudukan semula, karena terpengaruh gravitasi, arus air, dan beban. Karnawati (2005)
menjelaskan bahwa longsoran merupakan proses pergerakan massa tanah ataupun
batuan ataupun bahan rombakan yang menuruni lereng. BNPB (2016) mencatat sebanyak
2425 kejadian bencana gerakan tanah sepanjang tahun 2011 hingga 2015, dengan lokasi
tersebar di wilayah Indonesia. Salah satu wilayah yang sering terdampak bencana

664
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D078UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

gerakan tanah adalah Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Sejak 2015 hingga 2018
tercatat ada lebih dari 200 titik longsor yang terjadi di Kabupaten Kulon Progo.

Keterbatasan peta zonasi kerentanan gerakan tanah yang tersedia dari PVMBG (Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi) pada tingkat Kabupaten Kulon Progo skala
1:50.000, masih kurang detail untuk tingkat kecamatan, dan mitigasi bencan gerakan
tanah, sehingga dibutuhkan peta zonasi kerentanan gerakan tanah dengan skala lebih
detail 1:25.000 untuk tingkat Kecamatan Samigaluh. Kebutuhan peta zonasi skala lebih
detail untuk mitigasi bencana geologi seperti gerakan tanah yang sering terjadi di
Kecamatan Samigaluh, sehingga dapat meminimalisir kerugian. Kecamatan Samigaluh
merupakan bagian dari Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kecamatan Samigaluh memiliki luas 10,77 km2 dengan koordinat UTM 402797-412940
dan 9146861-9154935 seperti yang terlihat pada Gambar 1. Kecamatan Samigaluh berjarak
kurang lebih 33 km kearah barat dari gedung kampus Departemen Teknik Geologi FT
UGM Yogyakarta (Gambar1).
Mengacu pada Rahardjo dkk., (1995) batuan paling tua di daerah penelitian adalah
Formasi Andesit berumur Oligosen Atas sampai Miosen Bawah. Formasi ini tersusun
oleh litologi breksi andesit, tuff, tuff lapilli, aglomerat dan sisipan aliran lava andesit.
Lavanya terdiri dari andesit augit-hornblenda. Kemudian diatasnya terdapat Formasi
Jonggrangan berumur Miosen Bawah, tersusun oleh konglomerat pada bagian bawah
dan diatasnya napal tufaan dan batupasir gampingan dengan sisipan lignit. Formasi ini
pada bagian bawah menjari dengan bagian bawah Formasi Sentolo, dan yang paling
muda dilokasi penelitian adalah Intrusi andesit diantara formasi lainnya.

II. Data dan Metodologi Penelitian


Weights of Evidence
Metode weights of evidence adalah metode kuantitatif data-driven yang digunakan
dalam mengkombinasikan himpunan data (Bonham-Carter, 1994; Carranza, 2004).
Metode ini digunakan untuk memprediksi terjadinya suatu kejadian tanah longsor
berdasarkan kombinasi dari faktor-faktor pada wilayah penelitian (Wang, dkk, 2002).

Model WoE (weights of evidence) merupakan teknik kuantitatif yang dimotori data,
menggunakan sejumlah kombinasi data untuk menghasilkan peta dari pembobobtan
data, baik yang berbentuk sinambung dan berkategori, berdasarkan probabilitas awal
dan akhir (sesudah kejadian) (Bonham-Carter 1994; Van Westen, dkk, 2003). Metode ini
memungkinkan penggabungan ketidakpastian dalam model kerentanan (jenis, kualitas,
dan perhitungan tiap data) dan secara eksplisit dengan mempertimbangkan pengetahuan
pakar ke dalam proses tersebut (Chung dan Fabbri, 2003). Formulasi WoE adalah sebagai
berikut (Bonham-Carter 1994):

W+ =ln ……………(I)

665
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D078UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

W- =ln …………..(II)

C = W+ - W- …………...(III)
Keterangan:
W+ : bobot banyaknya kejadian gerakan tanah
W- : bobot tidak terjadi gerakan tanah
C : nilai bobot akhir
Npix landslide area in class (x): luas gerakan tanah pada kelas
Npix landslide area outside class(y) : luas gerakan tanah diluar kelas
Npix total landslide(z) : luas gerakan tanah total
Npix stable area in class (a): luas area stabil pada kelas
Npix stable area outside class (b): luas area stabil diluar kelas
Npix total stable area (c): luas total area stabil
Rumus:
(y) =luas gerakan tanah total-luas longsor pada kelas
(a) = luas area dalam kelas - luas gerakan tanah dalam kelas
(b) = luas area stabil total - luas area stabil dalam kelas
(c) = luas area total - luas total gerakan tanah.

Pembuatan zona kerentanan gerakan tanah dilakukan dengan cara menampalkan


semua peta parameter dengan nilai bobot kelas parameter didalamnya. Pertampalan
tersebut menghasilkan satu peta baru yaitu peta zonasi kerentanan gerakan tanah. Setiap
titik pada peta tersebut mengandung nilai dari gabungan dari semua nilai bobot akhir
kelas parameter seperti pada Gambar 2.

Gambar 2 menunjukkan ilustrasi perhitungan bobot akhir dari pertampalan, salah


satu sudut kanan bawah masing-masing peta parameter dengan kelas parameter yang
memiliki nilai bobot masing-masing, dan gabungan dari ketiganya akan menghasilkan
bobot akhir. Nilai bobot tersebut kemudian dibagi menjadi empat interval, masing
masing interval mewakili satu zona kerentanan gerakan tanah. Pembagian intervalnya
bersifat natural breaks (jenks), sehingga dihasilkan peta zona kerentanan gerakan tanah
dengan empat zona kerentanan. Pembagian empat interval berdasarkan Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum No.22/PRT/M/2007 tentang pedoman penataan ruang kawasan
rawan bencana longsor.

Peta zona kerentanan gerakan tanah dievaluasi tingkat akurasinya dengan


membandingkan antara zonasi pada peta terhadap kejadian gerakan tanah yang terjadi.
Bousta dan Brahim (2018) melakukan pengujian dengan kurva SRC (success-rate curve)
dan RPC (prediction-rate curve). SRC digunakan untuk validasi model peta yang dibuat
terhadap data yang digunakan. RPC digunakan untuk validasi model terhadap prediksi
gerakan tanah yang belum terjadi. Kedua pengujian tersebut menggunakan perhitungan
Area Under Curve (AUC). Nilai AUC merupakan nilai indeks yang terbentuk dari grafik
perbandingan antara presentase total luasan area kelas parameter penyebab gerakan
tanah dengan presentase total jumlah gerakan tanah. Nilai AUC dari parameter

666
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D078UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

peneyebab gerakan tanah yang berpengaruh terhadap kejadian gerakan tanah adalah
>0.6, semakin tinggi nilai AUC suatu parameter maka semakin tinggi pengaruhnya
terhadap kejadian gerakan Tanah (Yesilnacar, 2005 dalam Pourghasemi, dkk, 2013)
seperti Tabel 1.

Zonasi kerentanan gerakan tanah merupakan suatu zona yang memiliki kerentanan
relatif untuk terjadi gerakan tanah. BSN (2016) mengklasifikasikan zona kerentanan
gerakan tanah menjadi 4 zona, yaitu zona kerentanan gerakan tanah tinggi, menengah,
rendah, dan sangat rendah.

DATA
Data yang digunakan penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer
meliputi pengambilan data lapangan yaitu, pengamatan litologi, pelapukan batuan, struktur
geologi, titik gerakan tanah, tata air lereng, dan tata guna lahan. Data sekunder meliputi peta
geologi regional, peneliti terdahulu, dan data longsor. Dari data primer dan sekunder diambil
berdasrkan parameter yang digunakan, yaitu:

Kemiringan Lereng
Data kemiringan lereng diperoleh dari data dasar berupa citra DEM, kemudian
diproses menggunakan ArcGIS sehingga diperoleh peta yang merupakan citra raster
yang menerus (continuous). Untuk analisis weights of evidence, diperlukan informasi luas
masing-masing kelas lereng. Peta kemiringan lereng yang dibuat dengan skala vertikal
1:12.500 dan skala horizotalnya 1:25.000 seperti yang terlihat pada gambar 3. Peta
kemiringan lereng dibagi menjadi 3 kelas lereng (karnawati, 2005), kemiringan lereng
rendah(<200) dengan luas 28,63% dari Kecamatan Samigaluh, kemiringan lereng
menengah(200-400) dengan luas 57,83% dari Kecamatan Samigaluh, kemiringan lereng
tinggi(>400) dengan luas 13,54% dari wilayah Kecamatan Samigaluh.

Batuan penyusun lereng


Batuan penyusun lereng pada daerah penelitian terbagi menjadi 3 dari tua ke
muda yaitu, satuan breksi andesit, satuan batugamping, dan intrusi andesit yang telah
mengalami pelapukan. Tingkat pelapukan batuan mengacu pada Derman (1991). Satuan
breksi andesit memiliki luas pelamparan 86,50% dari luas keseluruhan daerah penelitian
dengan tingkat pelapukan tinggi. Satuan batugamping memiliki luas 11,32% dari luas
keseluruhan daerah penelitian dengan tingkat pelapukan sedang. Intrusi andesit
memiliki luas pelamparan paling sedikit yaitu 2,18% dari luas keseluruhan daerah
penelitian dengan tingkat pelapukan rendah. Berdasarkan data tersebut maka daerah
dapat disusun peta geologi teknik daerah penelitian seperti pada Gambar 4.

Tata air lereng


Tata air lereng memiliki peranan dalam meningkatkan tekanan hidrosatis air,
sehingga kuat geser tanah/batuan akan berkurang dan gerakan tanah akan terjadi. Data
tata air lereng diperoleh dari peta kelurusan dibuat dengan melakukan delineasi pada

667
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D078UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

citra DEM, kemudian, peta densitas pola aliran air dibuat dengan menggunakan ArcGis.
Peta densitas dibuat dengan melakukan zonasi pada daerah area sekitar 1000 m2 dari
saluran air, karena pada jarak tersebut ada manifestasi mata air akan terlihat. Densitas
pola air dibuat dengan grid 1 km2 per unit dan unit yang diperoleh 1km/km2, kemudian
dibagi menjadi 3 kelas yaitu densitas tinggi, densitas sedang, dan densitas rendah
(Sungkono, 1999).

Densitas tinggi memiliki luas 6,46% dari luas keseluruhan daerah penelitian.
Densitas sedang 81,87% dari luas keseluruhan daerah penelitian. Densitas rendah
memiliki luas pelamparan 11,67% dari luas keseluruhan daerah penelitian seperti
Gambar 5.

Struktur geologi
Data struktur geologi daerah penelitian diperoleh dengan menarik kelurusan-
kelurusan pada citra DEM, data-data sekunder, dan data primer struktur-struktur
dilapangan. Data struktur geologi pada peta jarak terhadap struktur geologi diperoleh
dari analisis citra DEM, karena di lapangan tidak ditemukan bukti fisik adanya struktur.
struktur geologi pda lokasi penelitian terdapat sesar geser sinistral, sesar geser dekstral,
dan sesar diperkirakan. Jarak pada peta jarak dari struktur geologi dibuat berdasarkan
Kementrian ESDM, (2000). Zona jarak <100 meter memiliki luas pelamparan 5,42% dari
luas keseluruhan daerah penelitian. Zona jarak 100-200 meter memiliki luas pelamparan
5,52% dari luas keseluruhan daerah penelitian. Zona jarak 200-300 meter memiliki luas
pelamparan 5,61% dari luas keseluruhan daerah penelitian. Zona jarak 300-400 meter
memiliki luas pelamparan 5,64% dari luas keseluruhan daerah penelitian. Zona jarak >400
meter memiliki luas pelamparan 77,82% dari luas keseluruhan daerah penelitian (Gambar
6).

Tata guna lahan


Data tata guna lahan daerah penelitian diperoleh dari Dinas Tata Ruang
Kabupaten Kulon Progo. Tata guna lahan pada daerah ini dibagi menjadi 8 yaitu, semak
belukar, kebun, tegalan, sawah tadah hujan, sawah irigasi, air tawar, rumput, dan
pemukiman seperti yang terlihat pada gambar 28. Semak belukar memiliki luas
pelamparan 3,87% dari luas seluruh daerah penelitian. Kebun memiliki luas pelamparan
47,60% dari luas seluruh daerah penelitian. Tegalan memiliki luas pelamparan 23,65%
dari luas seluruh daerah penelitian. Sawah tadah hujan memiliki luas pelamparan 11,06%
dari luas seluruh daerah penelitian. Sawah irigasi memiliki luas pelamparan 0,88% dari
luas seluruh daerah penelitian. Air tawar memiliki luas pelamparan 0,34% dari luas
seluruh daerah penelitian. Rumput memiliki luas pelamparan 0,03% dari luas seluruh
daerah penelitian. Pemukiman memiliki luas pelamparan 12,57% dari luas seluruh
daerah penelitian (Gambar 7). Tabel 2 menunjukkan luas masing-masing kelas parameter
pada daerah penelitian.

668
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D078UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

III. Hasil dan Pembahasan


A. Gerakan tanah pada Peta Kemiringan Lereng
Peta kemiringan lereng Kecamatan Samigaluh terdiri dari tiga kelas dengan masing
masing kelas memiliki jumlah gerakan tanah yang berbeda-beda. Kelas <200 terdapat 29
titik gerakan tanah dengan luas 934,85 m2 atau 13,13% dari total luas gerakan tanah lokasi
penelitian. Kelas lereng 200-400 terdapat 105 titik kejadian gerakan tanah dengan total
luas gerakan tanah 5115 m2 atau 71,82% dari keseluruhan luas gerakan tanah lokasi
penelitian. Kelas lereng >400 terdapat 12 titik gerakan tanah dengan luas gerakan tanah
1072,5 m2 atau 15,06% dari total luas seluruh gerakan tanah daerah penelitian (Tabel 3).
Pada tabel diatas terlihat bahwa jumlah gerakan tanah paling banyak pada kemiringan
lereng 200-400. Luas gerakan tanah pada kelas <200 paling sedikit dibandingkan dengan
kelas lereng yang lainnya. Dari data diatas dapat diketahui bahwa kontrol kelerengan
secara regional tidak terlalu berpengaruh terhadap gerakan tanah. Kontrol kelerengan
secara langsung di lapangan sangat berpengaruh terhadap gerakan tanah yang terjadi,
hal ini berkebalikan dengan data diatas karena perbedaan skala pada dalam analisis
kelerengan.

B. Gerakan Tanah pada Peta Batuan Penyusun Lereng


Batuan penyusun lereng pada daerah penelitian tersusun dari satuan breksi andesit,
batugamping, dan intrusi andesit dengan masing masing jumlah gerakn tanah setiap
satuan berbeda-beda. Satuan breksi andesit lapuk tinggi terdapat 123 titik gerakan tanah
dengan luas 6765,25 m2 atau 94,99% dari total luas gerakan tanah. Satuan batugamping
lapuk sedang terdapat 16 titik gerakan tanah dengan luas 291,50 m2 atau 4,09% dari total
luas gerakan tanah. Intrusi andesit lapuk ringan terdapat 7 titik gerakan tanah dengan
luas 65,60 m2 atau 0,92% dari total luas gerakan tanah Tabel 4.

Dari tabel diatas, diketahui bahwa intrusi andesit lapuk ringan memiliki luas daerah,
jumlah gerakan tanah, dan luas gerakan tanah paling sedikit dibandingkan dengan
lainnya. Semakin besar luas area, maka semakin banyak jumlah gerakan tanah dan luas
gerakan tanah yang terjadi pada area tersebut. Dari semua litologi yang ada didapatkan
data pelapukan terbagi menjadi tiga tingkat pelapukan yaitu lapuk ringan, lapuk sedang,
dan lapuk tinggi. Dominasi pelapukan pada daerah penelitian adalah lapuk tinggi yang
terjadi pada breksi andesit.
Gerakan tanah pada Peta Jarak Struktur Geologi
Zonasi jarak dari struktur geologi terbagi menjadi lima zona. Jarak struktur <100 meter
terdapat titik gerakan tanah sangat sedikit yaitu 2 kejadian gerakan tanah dengan luas
0,53% dari luas keseluruhan gerakan tanah. Zona jarak struktur 100-200 meter terdapat 10
titik gerakan tanah dengan luas 3,23% dari luas keseluruhan gerakan tanah. Zona jarak
struktur 200-300 meter terdapat 20 titik kejadian gerakan tanah dengan luas 9,68% dari
luas keseluruhan gerakan tanah. Zona jarak struktur 300-400 meter terdapat 8 titik
kejadian gerakan tanah dengan luas 2,46% dari luas keseluruhan gerakan tanah. Zona
jarak struktur >400 meter merupakan zona paling jauh dari struktur geologi, dengan luas

669
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D078UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

pelamparan 77,82% dari luas keseluruhan daerah penelitian. Jumlah gerakan tanah pada
zona ini terdapat 106 kejadian gerakan tanah dengan luas 84,10% dari luas keseluruhan
gerakan tanah.

Tabel 5 menunjukkan bahwa sebagian besar gerakan tanah berada pada zona paling
jauh dari struktur geologi, sedangkan zona dekat struktur memiliki jumlah dan sebaran
gerakan tanah paling sedikit. Hal itu bertentangan dengan teori yang menjelaskan bahwa
gerakan tanah terjadi pada daerah dekat struktur geologi karena merupakan letak zona
lemah. Kondisi ini berbanding terbalik pada lokasi penelitian karena data sebaran
gerakan tanah sedikit pada zona paling dekat struktur geologi. Hal ini berbeda dengan
pengamatan secara regional dengan melihat citra DEM pola persebaran kejadian gerakan
tanah banyak tersebar pada daerah yang memiliki kelurusan, hal ini dapat disimpulkan
bahwa struktur pada daerah Samigaluh menjadi kontrol terhadap terjadinya gerakan
tanah.

Gerakan Tanah pada Peta Tata Air Lereng


Densitas pola aliran pada lokasi penelitian terbagi menjadi tiga kelas yaitu densitas
rendah, densitas sedang, dan densitas tinggi. Densitas rendah terdapat pada satuan
breksi andesit, satuan batugamping, dan intrusi andesit. Jumlah kejadian gerakan tanah
pada densitas rendah adalah 18 kejadian dengan luas 6,81% dari luas seluruh gerakan
tanah. Densitas sedang berada hampir pada semua daerah penlitian. Densitas ini terdapat
pada semua satuan batuan. Jumlah kejadian gerakan tanah yang terjadi pada daerah
kelurusan sedang adalah 120 kejadian dengan 86,49% dari luas seluruh gerakan tanah.
Densitas tinggi berada pada sisi tenggara daerah penelitian. Jumlah kejadian gerakan
tanah yang terjadi pada densitas tinggi adalah 8 kejadian dengan luas 6,70% dari luas
seluruh gerakan tanah (Tabel 6).

Tabel 6 menunjukkan bahwa semakin tinggi densitas pola aliran air akan semakin
banyak sungai pada daerah tersebut. Densitas tinggi biasanya memiliki mofologi berupa
sungai dengan banyak anak sungai. Densitas yang dominan pada tabel diatas adalah
densitas sedang, dengan jumlah gerakan masssa paling banyak. Umumnya semakin
tinggi tingkat densitas pola aliran airnya akan semakin rawan terhadap terjadinya
gerakan tanah, karena akan mempercepat proses masuknya air kedalam tanah sehingga
bisa menambah beban lereng dan akan semakin mudah terjadi gerakan tanah.

Gerakan tanah pada Peta Tata Guna Lahan


Kecamatan Samigaluh memiliki tata guna lahan yang didominasi oleh kebun dan
tegalan, gerakan tanah yang terjadi pada tata guna lahan di Kecamatan Samigaluh
memiliki luasan yang bervariasi (Tabel 8). Pada semak belukar ditemukan 1 titik kejadian
gerakan tanah dengan luas 0,03% dari total luas gerakan tanah. Kebun ditemukan 77 titik
kejadian gerakan tanah dengan luas 59,19% dari total luas gerakan tanah. Tegalan

670
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D078UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

ditemukan 41 titik kejadian gerakan tanah dengan luas 13,16% dari total luas gerakan
tanah. Sawah tadah hujan ditemukan 1 titik kejadian gerakan tanah dengan luas 0,39%
dari total luas gerakan tanah. Sawah irigasi tidak ditemukan titik kejadian gerakan tanah.
Pemukiman ditemukan 41 titik kejadian gerakan tanah dengan luas 27,23% dari total luas
gerakan tanah (Tabel 7).

Pembobotan Peta Parameter Zona Kerentanan


Analisis weights of evidence dimulai dengan perhitungan nilai W+ dan W- densitas pada
masing-masing kelas dari suatu parameter yang telah ditentukan, kemudian dilakukan
penampalan (overlay) peta parameter (misal peta kelas lereng) kemudian dilakukan
perhitungan luas tiap kelas parameter dan luas gerakan tanah yang terdapat pada
masing-masing kelas parameter. Data yang didapatkan dari hasil perhitungan yang
dihitung dengan formula weights of evidence seperti pada tabel yang merupakan kelas
lereng dapat dilihat pada Tabel 9.

Data luas longsor pada Tabel 8 digunakan dalaam perhitungan metode weigts of
evidence untuk menentukan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kejadian gerakan
tanah dengan melihat nilai bobot akhir (C) pada Tabel 9, sehingga dapat diketahui
parameter yang berpengaruh dan yang tidak berpengaruh terhadapat terjadinya gerakan
tanah.
Hasil perhitungan menunjukkan nilai bobot akhir (C) paling tinggi adalah breksi
andesit pada parameter batuan penyusun lereng. bobot paling rendah adalah semak
belukar pada parameter tata guna lahan. Kontrol geologi yang paling tidak berpengaruh
berdasarkan hasil perhitungan bobot akhir adalah jarak dari struktur geologi <100 meter.
Analisis Peta Zona Kerentanan Gerakan Tanah
Analisis weights of evidence didapakan hasil kelas kemiringan lereng 200-400 memiliki
nilai bobot paling tinggi dibandingkan dengan kelas lereng lainnya. Kelas 200-300 pada
parameter jarak dari struktur geologi memiliki bobot paling tinggi dibandingkan kelas
yang lainnya pada parameter jarak dari struktur geologi. Kelas pemukiman pada
paramter tata guna lahan memiliki nilai bobot paling tinggi dibandingkan kelas lain pada
parameter tata guna lahan. Pada parameter tata air lereng kelas sedang memiliki bobot
paling tinggi. Pada parameter batuan penyusun lereng, kelas bobot paling tinggi adalah
kelas breksi andesit. Kelima kelas parameter tersebut merupakan kelas parameter
dengan nilai bobot tertinggi yang berarti memiliki pengaruh paling tinggi terhadap
terjadinya gerakan tanah, sehingga pada peta hasil overlay terdapat daerah yang
merupakan gabungan dari kelima kelas parameter tersebut, maka daerah tersebut
merupakan daerah paling rentan terjadinya gerakan tanah dan sebaliknya apabila suatu
daerah pada peta merupakan gabungan dari kelima parameter dengan nilai bobot paling
kecil berarti daerah paling tidak berpengaruh terhadap terjadinya gerakan tanah dan
daerah tersebut merupakan daerah paling aman.
Analisis weights of evidence didapatkan hasil nilai bobot akhir paling rendah merupakan

671
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D078UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

hasil penjumlahan bobot kelas tinggi pada parameter tata air lereng kelas semak belukar
pada parameter tata guna lahan, kelas lereng <200 pada parameter kelas lereng, kelas 300-
400 pada parameter jarak dari struktur geologi, batugamping pada parameter batuan
penyusun lereng dengan nilai bobot akhir (-7,83158).
Nilai bobot akhir tertinggi merupakan hasil penjumlahan kelas sedang pada parameter
tata air lereng, kelas pemukiman pada parameter tata guna lahan, kelas breksi andesit
pada parameter batuan penyusun lereng, kelas lereng 200-400 pada parameter kelas
lereng, kelas 200-300 pada parameter jarak dari struktur geologi, dengan nilai bobot akhir
3,587191. Dari nilai bobot terendah dan tertinggi dibuat 4 interval dimana masing-masing
interval mewakili satu zona kerentanan gerakan tanah mulai dari zona kerentanan sangat
rendah pada interval paling rendah, hingga zona kerentanan tinggi pada interval
tertinggi, sehingga dihasilkan peta zona kerentanan gerakan tanah dari metode weights of
evidence.

Validasi
Menurut Deng, dkk., (2017) kesesuaian model peta kerentanan gerakan tanah
dievaluasi menggunakan data training (data yang digunakan untuk model). Perhitungan
validasi dengan metode perhitungan area under curve (AUC). Untuk validasi model
menggunakan SRC (success-rate curve) seperti pada Gambar 9. Untuk validasi prediksi
gerakan tanah yang belum terjadi menggunakan PRC ( prediction-rate curve) seperti
Gambar 10. Validasi dilakukan dengan membagi nilai bobot dari hasil overlay peta
menjadi 10 kelas sama rata. Perhitungan metode weights of evidence menghasilkan nilai
bobot total yang telah diperoleh dari overlay akan dibagi menjadi 10 kelas sama rata
(Tabel 10). Pada masing masing kelas dihitung jumlah kejadian gerakan tanah yang
ditemukan sebanyak 146 titik. Presentase kejadian gerakan tanah pada tiap kelas akan
dihitung secara kumulatif, kemudian dibuat kurva untuk mendapatkan nilai AUC. Nilai
tersebut didapatkan dari luas area yang ada dibawah kurva seperti Gambar 9. Nilai AUC
dari perhitungan Tabel 11 kurva tingkat kejadian pada peta kerentanan gerakan tanah
yang dihasilkan memiliki nilai sebesar 0,922. Peta kerentanan gerakan tanah pada daerah
penelitian memiliki tingkat akurasi termasuk dalam kategori sangat baik (Yesilnacar, 2005
dalam Pourghasemi, dkk., 2013).
Dengan metode yang sama prediction probability dihitung menggunakan validating
dataset (data yang tidak digunakan untuk pembuatan peta kerentanan gerakan tanah).
Rasio perhitungan validasi antara peta kerentanan gerakan tanah dengan prediksi
gerakan tanah adalah 7:3 dari data kejadian gerakan tanah (Deng, dkk., (2017). Jumlah
total kejadian longsor sebanyak 206 titik. Validasi prediksi gerakan tanah dari peta
kerentanan gerakan tanah yang dihasilkan menggunakan 63 data kejadian longsor yang
tidak dipakai pada waktu pembuatan peta kerentanan gerakan tanah seperti Tabel 12.
Enam puluh tiga data kejadian longsor untuk validasi diambil secara acak dari data
gerakan tanah yang tidak digunakan dalam pembuatan peta (Chung dan Fabbri, 2003).
Nilai AUC dari perhitungan luas kurva AUC validasi pada model peta kerentanan

672
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D078UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

gerakan tanah yang dihasilkan memiliki nilai sebesar 0,93 (total luas/1000) seperti yang
terlihat pada Tabel 13, memiliki tingkat akurasi termasuk dalam kategori model sangat
baik (Yesilnacar, 2005 dalam Pourghasemi, dkk., 2013). Model dapat digunakan sebagai
acuan untuk memprediksi gerakan tanah yang mungkin akan terjadi.

IV. Kesimpulan

Berdasarkan hasil zonasi kerentanan gerakan tanah di Kecamatan Samigaluh


Kabupaten Kulon Progo berdasarkan metode weights of evidence dapat ditarik kesimpulan
bahwa kontrol geologi yang paling berpengaruh terhadap gerakan tanah pada daerah
penelitian adalah batuan penyusun lereng (breksi andesit). Tingkat keakuratan dari peta
kerentanan adalah sebesar 0,922 (dengan data kejadian longsor dalam model) dan 0,93
(dengan data prediksi kejadian longsor di daerah penelitian) sehingga bisa dikategorikan
model sangat baik. Zonasi kerentanan gerakan tanah pada daerah penelitian
berdasarkan metode weights of evidence dibagi menjadi empat, yaitu zona kerentanan
sangat rendah, paling banyak tersebar disisi tenggara berada di Desa Purwoharjo. Zona
kerentanan rendah, tersebar di sisi tenggara, yaitu Desa Banjarsari dan Desa Purwoharjo
serta Desa Sidoharjo bagian timur dan sedikit pada sisi barat Desa Pagerharjo. Zona
kerentanan menengah tersebar pada sisi utara yaitu Desa Ngargosari dan Desa Gerbosari,
sisi barat Desa Sidoharjo dan sisi selatan Desa Banjarsari dan Purwoharjo. Zona
kerentanan tinggi tersebar hampir di seluruh desa dengan dominasi di Desa Kebonharjo.

Daftar Pustaka

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 2016, Risiko Bencana Indonesia (RBI), Jakarta,
218p.
Badan Standarisasi Nasional (BSN), 2016, SNI Penyusunan dan Penentuan Zona Kerentanan
Gerakan Tanah SNI 8291 – 2016
Bonham-Carter, G. F., 1994, Geographic information system for geoscientists: modelling with
GIS: Pergamon Press, Oxford, v. 13., 398 p
Bousta, M., dan Brahim, A. L. 2018. Weights of Evidence Method for Landslide Susceptibility
Mapping in Tangier, Morocco. MATEC Web of Conferences 149, 02042
Carranza E. J. M., 2004, Weights of evidence modeling of mineral potential: a case study using
small number of prospects, Abra, Philippines. Natural Resources Research 13(3):173–187.
Chung, C.J., dan Fabbri, A.G.,2003. Predicting Landslide for Risk Analysis-Spatial Model Tested
by a Cross-Validation Technique. Geomorphoplogy, 94, 438-452
Dearman, W.R., 1991, Enginnering Geological Mapping. Butterwort-Herinemam Ltd : Oxford
Deng, X., Li, L., Tan, Y., 2017. Validation of Spatial Prediction Models for Landslide Susceptibility
Mapping by Considering Structural Similarity. ISPRS International Journal of Geo-
Information,6,103.
Karnawati, D., 2005. Bencana Alam Gerakan Massa Tanah di Indonesia dan Upaya
Penanggulangannya, Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). 2000. Keputusan Menteri Energi dan

673
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D078UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Sumberdaya Mineral No. 1452.K/10/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan


Tugas Pemerintahan di Bidang Inventarisasi Sumber Daya Mineral dan Energi,
Penyusunan Peta Geologi, dan Pemetaan Zona Kerentanan Gerakan Tanah. Jakarta:
Kementerian
Nilai AUC Keterangan
Energi dan Sumber
Daya Mineral.
Peraturan Peraturan
Menteri
Pekerjaan
Umum
No.22/PRT/M/2007 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor.
Jakarta
Poli, S., dan Sterlacchini, S., 2007. Landslide Representation Strategies in Susceptibility Studies
Using Weight-of-Evidence Modeling Technique. Natural Resources Research 16 (2): 121-
34. DOI:10.1007/s1 1053-007-9043-8.
Pourghasemi, H. R., Moradi, H. R., dan Aghda, S. M. Fatemik., 2013 Landslide Susceptibility
Mapping by Binary Logistic Regression, Analytical Heirarchy Process, and Statistical Index
Models and Assessment of Their Performances.” Natural Hazards 69 (1): 749-79. DOI:
10.1007/s11069-013-0728-5.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), 2009, Peta Zona Kerentanan
Gerakan Tanah Kabupaten Kulon Progo, DIY :
http://vsi.esdm.go.id/gallery/picture.php?/262/category/18&mobile=false
Rahardjo, W., Sukandarrumidi, dan Rosidi, H.M.D., 1995, Peta Geologi Lembar Yogyakarta Skala
1:100.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung
Sungkono, S. 1999. Analysis of Digital Topographic Data for Exploration and Assesment of
Geothermal Systems, Procceding 21st New Zealand Geothermal Workshop
Van Westen C. J., Rengers N., Soeters R., 2003, Use of geomorphological information in indirect
landslide susceptibility assessment. Nat. Hazards 30(3):399–419
Wang, W.N., Nakamura, H., Tsuchiya, S., Chen, C.C., 2002. Distributions of landslides triggered
by the Chi-Chi earthquake in central Taiwan on September 21, 1999. Landslides (Journal of
the Japan Landslide Society) 38, 318-326.

Tabel 1. Nilai indeks AUC (Yesilnacar, 2005 dalam Pourghasemi et al., 2013)

674
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D078UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

>0,9 Model Sangat Baik


0,8 – 0,9 Model Baik
0,7 – 0,8 Model Sedang/Cukup Baik
< 0,6 Model Jelek

Tabel 2. Data masing-masing parameter

Tabel 3. Data sebaran gerakan tanah di peta kemiringan lereng

Tabel 4. Data sebaran gerakan tanah di peta geologi teknik

Tabel 5. Data sebaran gerakan masssa di peta jarak dari struktur geologi

675
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D078UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 6. Data sebaran gerakan masssa di peta tata air lereng

Tabel 7. Data sebaran gerakan masssa di peta tata guna lahan

Tabel 8. Data luas gerakan tanah masing-masing parameter

Tabel 9. Data perhitungan bobot akhir pada metode weights of evidence

676
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D078UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

No Parameter Kelas C Luas Kelas W+ W-


Semak Belukar -4.965052169 2618023.7 -4.9 0.04
Sawah Tadah Hujan -3.45058765 7484927.3 -3.3 0.11
Sawah Irigasi -0.008870074 597437.29 0 0.01
Tata guna Pemukiman 0.95702359 8502830.2 0.77 -0.2
1
lahan Kebun 0.468118698 32204829 0.22 -0.3
Tegalan -0.715097075 15998607 -0.6 0.13
Air Tawar -0.003455509 233373.55 0 0
Rumput -0.000303341 20518.968 0 0
Tinggi (3) 0.039106932 4368831.4 0.04 -0
Tata air
2 Sedang (2) 0.349135862 55394559 0.05 -0.3
lereng
Rendah (1) -0.592257077 7897156.6 -0.5 0.05
>40 0.124125026 9160296.7 0.11 -0
Kemiringan
3 20-40 0.619444447 39131052 0.22 -0.4
lereng
0-20 -0.976411837 19369198 -0.8 0.2
Batuan Intrusi andesit -0.873737045 1474011.8 -0.9 0.01
4 penyusun Batugamping -1.095654428 7658342.3 -1 0.08
lereng Breksi andesit 1.083930066 58528193 0.09 -1
<100 -2.368436661 3665916.1 -2.3 0.05
Jarak dari 100-200 -0.560481833 3732160.1 -0.5 0.02
5 struktur 200-300 0.590190824 3794210.4 0.55 -0
geologi 300-400 -0.860618021 3813836.8 -0.8 0.03
>400 0.410122691 52654423 0.08 -0.3

Tabel 10. Perhitungan kelas pada validasi model peta terhadap data

Tabel 11. Perhitungan luas area under curve pada kurva Succes-rate curve

Tabel 12. Perhitungan kelas pada validasi prediksi gerakan tanah

677
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D078UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 13. Perhitungan luas area under curve pada kurva Prediction-rate curve

678
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D078UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Peta lokasi penelitian

Gambar 2. Ilustrasi pembuatan peta zona kerentanan gerakan tanah

679
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D078UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Peta kemiringan lereng Kecamatan Samigaluh

PETA GEOLOGI TEKNIK

KECAMATAN SAMIGALUH

KULONPROGO

Lapuk seda

Gambar 4. Peta geologi teknik Kecamatan Samigaluh Lapuk ting


Lapuk ring

Gambar 5. Peta tata air lereng Kecamatan Samigaluh

680
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D078UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 6. Peta jarak dari struktur geologi Kecamatan Samigaluh

Gambar 7. Peta tata guna lahan Kecamatan Samigaluh

Gambar 8. Peta zonasi kerentanan gerakan tanah Kecamatan Samigaluh

681
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D078UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 10. Kurva prediction-rate curve (PRC) untuk 63 data longsor

Lapuk ring

682
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D079UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

REMEDIASI Cd DENGAN MENGGUNAKAN TUFA ZEOLITIK


NENGAHAN, DESA TEGALREJO, KECAMATAN GEDANGSARI,
KABUPATEN GUNUNGKIDUL, YOGYAKARTA
Adinda Ardiana 1* ,Wawan Budianta 1

Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Jl. Grafika 2 Kampus
UGM,Yogyakarta 1*

*Corresponding Author: adindaardiana1@gmail.com

ABSTRAK. Permasalahan lingkungan yang berkaitan dengan limbah air menghasilkan logam
berat, salah satunya adalah logam berat kadmium. Konsentrasi logam berat kadmium yang tinggi
dapat menyebabkan kualitas lingkungan perairan menjadi menurun. Tindakan remediasi dengan
memanfaatkan material zeolit sebagai adsorben dapat menjadi penjerap yang efektif dalam
mengurangi konsentrasi larutan logam. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kemampuan
tufa zeolitik dari sampel yang diambil di daerah Tegalrejo, Gunungkidul,Yogyakarta dalam
meremediasi larutan logam kadmium. Penelitian ini meliputi dua studi, yaitu karakterisasi fisik,
mineralogi dan kimia serta percobaan laboratorium tufa zeolitik dengan menggunakan metode uji
batch. Parameter percobaan laboratorium meliputi ukuran butir tufa zeolitik, berat tufa zeolitik,
pH larutan, dan konsentrasi awal. Hasil penelitian menunjukkan karakter fisik, mineralogi dan
kimia tufa zeolitik memiliki komponen penyusun yang bervariasi dan kapasitas pertukaran kation
yang cukup tinggi. Hasil uji batch menunjukkan perilaku adsorpsi tergantung pada berat tufa
zeolitik, makin banyak berat sampel yang digunakan akan meningkatkan kapasitas adsorpsi
karena semakin memperluas permukaan luar adsorben sehingga situs aktif pertukaran kationnya
makin banyak. Hasil juga menunjukkan pengurangan ukuran butir tidak meningkatkan kapasitas
adsorpsi. Pengaruh pH larutan menjadi parameter yang paling penting. Ketergantungan adsorpsi
pada nilai pH <4 meningkatan kompetisi awal logam Cd dengan H+. Hasil lain mengungkapkan
peningkatan konsentrasi awal Cd dalam sistem menyebabkan peningkatan kapasitas adsorpsi
menjadi sedikit dan menjadi konstan pada konsentrasi tinggi. Adsorpsi optimum yang didapatkan
dari keempat parameter yang digunakan selama waktu kontak 240 menit adalah sebesar antara 20
– 50 %. Dengan demikian tufa zeolitik di daerah penelitian mempunyai potensi yang cukup baik
sebagai material adsorben untuk logam berat.

I. PENDAHULUAN

Permasalahan lingkungan terutama berkaitan dengan limbah air yang


menghasilkan logam berat seperti logam Cd (kadmium) bersumber dari aktivitas
manusia yang besar seperti ekstraksi logam, pabrik logam, pengecetan dan pigment,
pabrik baterai, pemupukan, aktivitas bongkar muat kapal minyak maupun yang
dihasilkan dari AMD (air asam tambang) dalam bentuk cairan maupun padatan dapat
menyebabkan kualitas lingkungan perairan menjadi menurun (Ali dkk., 1997 dalam
Ibrahimi dkk., 2015). Tindakan aksi rehabilitasi dengan memanfaatkan material alami
yang sudah banyak diteliti yaitu dengan menggunakan material zeolit, hal ini
dikarenakan oleh keberadaanya yang mudah dijumpai, aman dan paling efektif dalam
menghilangkan logam didalam larutan (Bailey dkk., 1999 dalam Ibrahimi dkk., 2015).

683
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D079UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Proses penghilangan logam berat yang saat ini banyak dilakukan dalam dunia industri
adalah dengan melakukan proses adsorpi atau penjerapan kation logam yang ditukarkan
dengan kation dalam struktur zeolit seperti Na+,Ca2+, K+, dan Mg2+.

Tujuan utama dari penelitian ini adalah menginvestigasi karakteristik penjerapan


material alami tufa zeolitik di daerah penelitian untuk mengadsorpsi larutan larutan
logam Cd dengan uji batch menggunakan beberapa parameter yang dibatasi dalam
proses adsorpsi dengan perhitungan persentase kapasitas logam yang diserap oleh tufa
zeolitik. Penelitian yang akan dilakukan kali ini adalah meremediasi logam berat Cd
menggunakan tufa zeolitik yang diambil dari daerah Nengahan, Desa Tegalrejo,
Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta pada Gambar 1. Terbukti
dijumpai persebarannya cukup melimpah dan sudah banyak diteliti mengenai
karakteristiknya (Idrus dkk., 2008; Effendi, 2015; dan Thepgnothy, 2017).

II. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan pada penelitian adalah metode lapangan meliputi
pemetaan geologi skala 1:12.500 dan pengukuran stratigrafi dan pengujian laboratorium
terdiri dari dua tahap yaitu tahap analisis karakteristik tufa zeolitik meliputi tiga tahap
analisis yaitu analisis petrografi sebanyak lima sampel untuk penentuan karakteristik
zeolit dan penarikan satuan litologi, analisis XRD dan analisis KTK sebanyak satu sampel,
dan tahap analisis pengujian batch menggunakan parameter ukuran butir tufa zeolitik,
berat tufa zeolitik, pH larutan, dan konsentrasi awal larutan logam Cd dengan tiga
variasi yang dikontakkan dengan pengaduk magnetik selama 240 menit secara interval,
pada suhu 25° C dengan agitasi 300 rpm.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Geologi Daerah Penelitian

Daerah penelitian masuk ke dalam Formasi Kebo Butak, litologi yang menyusun
daerah penelitian terbagi menjadi dua satuan yaitu satuan perselingan batupasir tufan,
batulanau dan batupasir kerikilan yang ditunjukkan pada peta litologi daerah penelitian
pada Gambar 2, dengan kemiringan lapisan diantara <10° - 35° yang miring relatif kearah
tenggara ditunjukkan pada Gambar 3. Selanjutnya satuan yang paling muda didaerah
penelitian adalah satuan endapan kerikilan yang memiliki hubungan kontak dengan
satuan dibawahnya yaitu disconformity. Pembagian satuan dilapangan ini berdasarkan
pengamatan litologi secara langsung dilapangan dengan ditambah dari sayatan
petrografi untuk menentukan nama satuan batuan.

3.1.1. Satuan perselingan batupasir tufan, batulanau, dan batupasir kerikilan

Satuan ini terdiri atas batupasir dengan kandungan tufan, batupasir, batulanau dengan
kandungan tuf, serta batupasir kerikilan dengan fragmen berupa litik vulkanik dan
klastika lempung. Pada satuan ini dijumpai intrusi kecil andesit yang menerobos
batupasir tufan yang mengikuti perlapisan dari batupasir tufan dan lanau tufan dengan
kondisi sangat lapuk. Satuan perselingan batupasir tufan, batulanau, dan batupasir

684
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D079UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

kerikilan dijumpai di daerah penelitian berupa singkapan dengan kondisi segar dan di
beberapa STA dijumpai kondisi singkapan yang lapuk. Satuan perselingan batupasir
tufan, batulanau dan batupasir kerikilan didominasi oleh material vulkanik yaitu tuf dan
material silisiklastik berupa klastika lempung, kuarsa, dan litik batuan beku. Struktur
sedimen yang dijumpai pada satuan ini adalah struktur perlapisan dan gradasi normal.
Satuan pada bagian bawah didominasi oleh batupasir tufan dan bagian tengah terdapat
sisipan batu lanau tufa yang dapat dilihat pada Gambar 4.

Batupasir tufan yang dijumpai dilapangan memiliki warna bervariasi antara lain kuning
kecokelatan hingga cokelat dan sisipan batulanau yang bewarna abu-abu kecokelatan
hingga cokelat kehijauan (kandungan mineral zeolit dominan) dengan struktur sedimen
yang dijumpai adalah struktur perlapisan dan gradasi normal, dengan ketebalan
singkapan di lapangan sekitar 2 meter – 20 meter. Komposisi mineral pada batuan pasir
tufan yaitu mineral tuf berwarna putih, berukuran sangat halus <2 mm yang
kelimpahannya cukup dominan, mineral plagioklas bewarna putih, ukuran 2 – 5 mm,
mineral biotit bewarna hitam, ukuran 1 – 2 mm, struktur kristal tabular dan bentuk kristal
yaitu kristalin. Kemudian dijumpai mineral klastika yatu berupa mineral kuarsa,
bewarna putih, ukuran 1 – 2 mm, dan fragmen litik batuan vulkanik, bewarna abu-abu
dengan ukuran butir 1 – 2 mm. Batupasir tufan ini mengalami perubahan warna di
beberapa tempat karena adanya pengkayaan mineral sekunder yaitu mineral zeolit.
Kemudian pada batuan pasir ini dijumpai juga sisipan batulanau yang secara umum
bewarna abu – abu kecokelatan dan kadang dijumpai dengan warna hijau keabu-abuan
(kandungan zeolit), memiliki ukuran butir lanau hingga lempung, komposisinya
tersusun atas material sedimen berukuran lanau yang berasal dari abu vulkanik serta
mineral diagenesa atau ubahan yaitu mineral zeolit yang cukup melimpah pada Gambar
5.

Selanjutnya pada bagian tenggara ke selatan dijumpai batupasir kerikilan karena


tersusun atas batupasir yang memiliki ukuran pasir kasar dan kerikil dengan ukuran
butir 4 – 64 mm. Batupasir kerikilan secara umum yang dijumpai berwarna abu – abu dan
putih kehijauan. Struktur sedimen pada singkapan berupa struktur masif dengan
ketebalan sekitar 5 meter, batupasir kerikilan ini tersusun oleh fragmen berupa litik yang
berasal dari batuan beku andesit dengan ukuran 2 – 5 mm, klastika lempung dengan
ukuran 5 – 10 mm, arang dengan ukuran 5 – 10 mm, kemudian mineral penyusunnya
terdiri atas mineral plagioklas berwarna putih yang sangat melimpah dengan ukuran
kristal 1 – 2 mm, mineral biotit, berwarna hitam, ukuran kristal 1 – 2 mm, dan dijumpai
mineral sekunder yaitu zeolit, berwarna hijau muda, berukuran butir pasir kasar 1 – 2
mm. Batuan ini dapat dijumpai pada sta 9 yang ditunjukan pada Gambar 6.

3.1.2. Satuan endapan pasir kerikilan

Satuan endapan ini merupakan material lepas hasil transportasi yang belum mengalami
litifikasi dengan karakter fisiknya yaitu batuan berwarna cokelat, ukuran butir sedimen
yang dijumpai beragam mulai dari ukuran kerikilan hingga pasir. Satuan endapan ini
memiliki umur holosen atau kuarter. Satuan endapan pasir kerikilan memiliki ketebalan

685
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D079UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

10 – 30 meter. Kenampakan satuan endapan pasir kerikilan ini digambarkan dilapangan


pada Gambar 7.

3.2. Karakteristik Fisik dan Penyebaran Tufa Zeolitik di Daerah Penelitian

Pada sampel Tegalrejo, batupasir tufa zeolitik memiliki warna hijau muda dan
belum mengalami pelapukan yang lebih berarti. Struktur sedimen yang dijumpai
didaerah ini berupa struktur perlapisan, laminasi, gradasi normal dan masif. Ukuran
butir yang dijumpai berkisar antara ukuran lanau hingga pasir kasar dengan teksturnya
adalah grain supported.

Kenampakan zeolit dalam sampel setangan dan kenampakan di lapangan dapat


dilihat pada Gambar 8. Sampel yang diambil ini berada di dasar sungai dengan
kelimpahan zeolit yang melimpah pada batupasir berukuran halus. Batupasir tufa
zeolitik pada daerah Tegalrejo banyak dijumpai struktur laminasi dan berlapis dengan
ukuran butir yang beragam pada setiap lapisan. Warna batuan dari tufa zeolitik sampel
Tegalrejo terlihat lebih hijau dengan dijumpai corak putih, hitam dan cokelat yang
diduga berasal dari mineral lempung, mangan, dan mineral oksida.

Selanjutnya, untuk penyebaran tufa zeolitik di daerah penelitian tidaklah merata


di seluruh satuan dan hanya dijumpai melimpah pada bagian tengah satuan sehingga
semakin ke lapisan paling atas penyebarannya semakin sedikit. Pada hasil stratigrafi
terukur dapat dilihat pada Gambar 9 menunjukkan bahwa dari enam jalur MS yang telah
dilakukan tersebut tufa zeolitik banyak dijumpai pada fasies batupasir tufan yang
memiliki sisipan lanau dengan memiliki tebal rata – rata lebih dari 10 meter dan menerus
dengan warna hijau terang, komposisi mineral pada batupasir tuf zeolitik menunjukan
heterogenitas dengan dijumpai mineral ubahan seperti lempung dan mineral - mineral
pengotor seperti: feldspar, kuarsa, hematit, dan mineral oksida. Penyebaran batupasir
tufa zeolitik berukuran halus lebih melimpah jika dibandingkan dengan batupasir tufa
zeolitik berukuran kasar, pada peta persebaran Gambar 10 menunjukkan bahwa
persentase penyebaran batupasir tufa zeolitik berukuran halus lebih dominan dengan
persentase 92% dan pada batupasir tufa zeolitik yang berukuran kasar dengan persentase
8% yang penyebarannya berada dominan ke arah tenggara atau searah dengan dip
perlapisan. Penyebaran batupasir tufa zeolitik berukuran halus lebih melimpah
dibandingkan batupasir tufa zeolitik berukuran kasar, hal ini dikarenakan proses
pembentukan dari mineral zeolit ini yang cenderung mengalami diagenesis pada batuan
yang memiliki tingkat porositas yang besar seperti batupasir tufan sehingga ketika
terdapat rekahan pada kondisi batuan memiliki pori yang besar terjadi kontak dengan air
alkali maka lebih banyak terbentuk pada batuan dengan porositas tinggi.

Berdasarkan kondisi geologi daerah penelitian zeolit terbentuk secara umum


akibat dari pelapukan dari batupasir tufan yang mana kaya akan material gelasan dan
aluminosilikat. Zeolit yang dijumpai berasosiasi dengan mineral lempung yang mana
proses pembentukannya sama yaitu dari proses diagenesis akibat pembebanan sedimen
yang tebal. Hal ini dibuktikan dengan hasil dari measuring section, zeolit dijumpai
menyisip pada batuan yang berukuran halus yaitu diantara batupasir tufan dan

686
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D079UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

batulanau tufan. Proses pembebanan menyebabkan terjadinya perubahan suhu, pada


perubahan suhu akan meningkatkan reaksi dan jenis zeolit apa yang akan terbentuk,
pada suhu rendah mineral zeolit hidrous akan terbentuk dengan stabil, seperti
klinoptilolit yang dijumpai pada batuan tufa zeolitik.

Pernyataan lain yang mendukung terbentuknya zeolit adalah interaksi antara


batuan dengan air alkali. Hal ini dikarenakan di beberapa lokasi dijumpai batupasir tufan
yang terkekarkan, karena adanya celah sehingga air alkali mengisi rongga yang kosong
tersebut ditambah dengan kondisi fisik litologi yang memiliki porositas cukup besar
mengakibatkan air alkali berinteraksi dengan material yang terkandung pada batupasir
tufan dan menghasilkan mineral zeolit. Air alkali cenderung mengubah material
sebelumnya menjadi senyawa yang lebih hidrous karena penambahan H2O dan
aluminium. Sehingga semakin besar kontak antara air alkali dengan batuan, maka akan
cenderung lebih besar kemungkinan terbentuk mineral – mineral zeolit. Hal ini
tergantung pada aktivitas dari spesi terlarutnya seperti H+, alkali, alkali tanah, H4SiO4,
dan Al(OH4)-.

3.3. Analisis Mineralogi

Analisis mineralogi yang dilakukan pada penelitian ini meliputi analisis


petrografi dengan dua sampel batupasir tufan berukuran halus dan kasar dan analisis
XRD dalam satu sampel batupasir tufa zeolitik berukuran halus.

1. Analisis petrografi

Dari studi mikroskopis mengungkapkan bahwa pada batupasir tufan kerikilan


yang diteliti terdiri dari proporsi fragmen batuan dan kristal yang umumnya lebih dari
10% dari tufnya sedangkan pada sampel batupasir tufan dengan material zeolit yang
cukup melimpah terdiri dari proporsi fragmen gelas yang berlimpah, namun fragmen
kristal dan batuan yang dijumpai kurang dari 10% sehingga batupasir tufan ini
diklasifikasikan sebagai vitrik tuf. Fragmen batuan yang dijumpai yaitu berupa litik
vulkanik yang didalamnya terdiri atas mineral gelasan dan mikroplagioklas dan litik
sedimen yang tersusun atas material klastika sedimen seperti kuarsa, biotit, dan
mikroplagioklas pada Gambar 11 a–b. Berbagai jenis fragmen kristal yang terlihat di
sayatan tipis dengan kristal – kristal utama yaitu alkali feldspar, plagioklas dan kuarsa.
Fenokris alkali feldspar atau plagioklas ini dijumpai sebagian besar memiliki bentuk
kristal persegi panjang. Kristal kuarsa monokristalin dijumpai dengan kenampakan
bergelombang, klastik dan bentuk angular pada Gambar 11 c–d. Pada sayatan terkadang
juga dijumpai mineral seperti biotit pada bagian bawah sayatan tipis. Selanjutnya
dijumpai beberapa mineral lempung di beberapa bagian yang merupakan hasil dari
alterasi mineral plagioklas pada Gambar 11 e–f. Dari kehadiran mineral diatas
menunjukan bahwa mineral diatas menunjukkan komposisi felsik atau asam. Selanjutnya
pada sampel batupasir tufan menunjukkan komposisinya didominasi oleh gelasan
berupa glass shard. Bentuk gelasan ini terpreservasi dengan baik, dengan bentuk
memanjang dan pipih. Gelasan ini pasa nikol sejajar memiliki warna colorless dan pada
nikol bersilang memiliki warna hitam pada Gambar 11 g–h. Fragmen lain yang dijumpai

687
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D079UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

yaitu mineral klorit berwarna hijau baik nikol sejajar maupun nikol bersilang, mineral
lempung, mikroplagioklas dan sedikit kuarsa. Dari beberapa komponen penyusun
batupasir tufan ini yang menyebabkan terubahkan menjadi mineral zeolit adalah berasal
dari material gelasannya namun dari kondisi baik secara fisik maupun mikroskopis
menunjukkan bahwa material zeolit yang dikandung tidak murni terdiri dari zeolit alami
saja namun terdapat beberapa persen mineral pengotornya seperti mineral lempung,
plagioklas, dan kuarsa.

2. Analisis X-Ray Difraction

Analisis XRD batupasir tuf zeolitik dilakukan di satu lokasi yaitu sampel
Tegalrejo. analisis bulk powder digunakan untuk menentukan komposisi mineral dari
sampel zeolit awal. Hasil analisis XRD yang dilakukan pada sampel Tegalrejo terdiri dari
mineral- mineral seperti berikut: mordenit (22.22 %), klinoptilolit (9.63 %), smektit (12.39
%), illite (18.47 %), feldspar (24.17 %), dan kuarsa (13.09 %) pada Tabel 1 . Hasil XRD
berupa bulk powder dan air dried dapat dilihat pada Gambar 12 dan Gambar 13. Mineral
zeolit yang terkandung didalam sampel Tegalrejo adalah mordenit dan klinoptilolit, dari
keduanya yang lebih banyak dijumpai di daerah penelitian adalah jenis mordenit
(Na3KCa2(Al8Si40O96).28H2O) dengan kelimpahan unsurnya yaitu Na. Sedangkan pada
sampel Air dried – Ethylene Glycol diperoleh mineral zeolit mordenit, klinoptilolit, dan
mineral lempung antara lain smektit dan illite yang masih hadir. Mineral zeolit yang
dijumpai sangat umum terbentuk dari ubahan material gelasan vulkanik dan digantikan
selama diagenesis dan yang paling umum menghasilkan alterasi zeolit dan lempung.

Selain mineral zeolit dijumpai asosiasi mineral lainnya yang terdapat pada batuan
tufa zeolitik yaitu kelompok mineral lempung seperti smektit dan ilite selain itu mineral
k-feldspar juga mendominasi dengan kelimpahan paling besar. Mineral lempung tersebut
dapat terbentuk sebelum atau bersamaan dengan terbentuknya mineral zeolit. Mineral
kuarsa dijumpai sebagai komponen penyusun, hal ini menunjukan tingkat keresistensian
dari mineral tersebut. Selanjutnya kehadiran mineral feldspar yang tidak kalah melimpah
ini menjadi sumber terbentuknya mineral sekunder seperti mineral lempung , seperti
jenis smektit.

3. Pengujian Kapasitas Pertukaran Kation (KPK)

Analisis KPK merupakan salah satu parameter penting dalam menentukan


karakteristik zeolit untuk mengetahui bagaimana kualitas dari zeolit tersebut. Semakin
besar nilai KPK, maka semakin besar pula kemampuan zeolit dalam menyerap kation
logam yang hadir sebagai bahan pencemar. Hasil pengujian KPK menunjukkan bahwa
sampel Tegalrejo memiliki nilai KPK sebesar 102,80 meq/100 gram. Besarnya nilai KPK
dari batuan tufa zeolitik tergantung pada jenis dan kandungan dari zeolit, sebagai
mineral mikroporous yang paling khas. KPK yang tinggi pada sampel dipengaruhi oleh
mineral zeolit dan pada tingkat pertukaran yang rendah oleh mineral mikro yaitu pada
mineral lempung seperti smektit dan illite pada sampel. Material amorf lainnya seperti
kuarsa dan feldspar yang dijumpai di sampel dapat mempengaruhi nilai KPK tergantung
pada kimianya dan kristalinitas.

688
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D079UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

3.4. Uji Batch

Uji batch dilakukan untuk menentukan pengaruh dari faktor – faktor yang
dipertimbangkan, yang mana termasuk faktor dari ukuran butir, berat tufa zeolitik, pH
larutan, dan konsentrasi awal serta waktu kontaknya.

3.4.1. Pengaruh ukuran butir tufa zeolitik

Pengaruh ukuran butir ini dikontakan dengan menggunakan 3 ukuran butir tufa
zeolitik yang berbeda – beda yaitu < 0,15 mikron , 0,15 – 0,71 mm dan 0,701 – 1,98 mm
selama 240 menit. Dari data grafik yang ditunjukkan pada Gambar 14 digambarkan
bahwa kurva dengan ukuran butir paling halus (< 0,15 mikron) kapasitas penjerapannya
meningkat pada kontak waktu awal, namun pada pengadukan di waktu 45 menit,
konsentrasi logam yang terserap nilainya konstan yaitu sebesar 43% hingga kondisi
setimbang.

Pada sampel ukuran butir pasir sedang (0,15 – 0,701 mm) menunjukkan
peningkatan penjerapan pada waktu 45 menit, konsentrasi logam yang diserap sebesar
42% hingga kondisi setimbang dan pada ukuran butir pasir kasar terjadi peningkatan
penjerapan yang cukup signifikan hingga kondisi setimbang kapasitas ion logam yang
diserap sebesar 45%. Dapat disimpulkan bahwa ukuran partikel yang makin kecil
menghasilkan tingkat penjerapan logam yang lebih tinggi dan efisien. Namun seiring
dengan meningkatnya waktu kontak hingga kondisi setimbang, ukuran partikel adsorben
yang paling halus menunjukkan penurunan tingkat penjerapan ion logam.

Berdasarkan teori, tingkat penjerapan adalah sebanding dengan luas permukaan


spesifik, dimana partikel yang memiliki diameter lebih kecil maka ditandai dengan luas
permukaanya yang lebih besar dengan demikin tingkat adsorpsinya meningkat dan
hanya diperlukan waktu yang lebih singkat untuk mencapai kesetimbangan. Hal ini
dikarenakan pada partikel yang lebih kecil aksesibiltas ion logamnya memiliki difusi jalur
ion yang lebih pendek. Namun pada pengujian ini persentase logam yang terserap lebih
besar menggunakan ukuran butir yang kasar, walaupun ukuran butir dapat
mempengaruhi kapasitas penjerapan tetapi biasanya perbedaan antar ukuran butir
tidaklah kritis (Ibrahimi dkk., 2015). Ukuran butir memiliki pengaruh yang kecil pada
kapasitas adsorpsi, peningkatan kapasitas adsorpsi dapat dikaitkan dengan peningkatan
luas permukaan spesifik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan demikian
peningkatan luas permukaan spesifik bukan satu –satunya mekanisme yang
menyebabkan peningkatan kapasitas adsorpsi. Perbedaan antara persentase peningkatan
penjerapan pada peningkatan ukuran butir dapat dijelaskan sebagai partisipasi
pertukaran ion yang disertai dengan adsorpsi permukaan eksternal atau internal (Oren
dkk., 2006). Dalam hal ini material berpori, luas permukaan internal lebih banyak
berperan dibandingkan permukaan eksternal. Oleh karena itu dalam pengujian
menggunakan ukuran butir, peningkatan luas permukaan eksternal memiliki pengaruh
yang kecil pada kapasitas adsorpsi mineral.

3.4.2. Pengaruh berat tufa zeolitik

689
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D079UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Pengaruh berat tufa zeolitik pada percobaan kinetik menggunakan 3 berat tufa
zeolitik yang berbeda yaitu sebesar 3,7 g , 7,5 g dan 15 g yang dikontakkan dengan
konsentrasi logam awal tetap sebesar 400 ppm. Banyaknya persentase logam yang
terserap terhadap waktu ditunjukkan pada Gambar 15. Dari grafik tersebut menunjukkan
bahwa semakin banyak berat tufa zeolitik yang ditambahkan, maka semakin
meningkatkan persentase logam berat yang terserap dari larutan.Pada sampel dengan
berat 3,7 g menunjukkan persentase penjerapan pada kondisi setimbang sebesar 15%,
sampel dengan berat 7,5 g menunjukkan penjerapan logam berat pada kondisi setimbang
sebesar 20 % dan sampel dengan berat 15 g menunjukkan penjerapan logam berat pada
kondisi setimbang sebesar 43 %. Dari grafik menggunakan 3 berat tufa zeolitik yang
berbeda menunjukkan bahwa semakin besar berat tufa zeolitik yang ditambahkan maka
semakin besar pula tingkat kapasitas penjerapannya. Grafik pada data menunjukkan
bahwa pada berat tufa zeolitik 15 g kapasitas logam yang terserap sebanyak 43% dalam
kondisi setimbang. Hal ini dikarenakan hampir sebagian besar zeolit memiliki struktur
berupa kanal dan pori yang menyebabkan zeolit memiliki luas permukaan yang besar,
maka luas permukaan total zeolit adalah akumulasi dari luas permukaan pori dan kanal –
kanal penyusun zeolit. Sehingga dengan semakin banyaknya berat tufa zeolitik yang
ditambahkan maka situs pertukaran kationnya lebih banyak karena luas permukaannya
makin besar (Motsi, 2010).

3.4.3. Pengaruh pH larutan

Efek pH larutan pada adsorpsi ditentukan karena pH larutan merupakan


parameter penting yang berdampak pada proses adsorpsi. Hasil pengaruh pH larutan
pada adsorpsi ion Cd ditunjukkan dalam Gambar 16. Dari grafik menunjukan hubungan
antara persentase penjerapan Cd terhadap waktu kontak pada rentang pH larutan 2,5
hingga pH 4,5 dan hasilnya menunjukkan bahwa penghapusan maksimum terjadi pada
pH larutan pH 4,5 dengan nilai penjerapan sebesar 22% saat mencapai keadaan
setimbang pada waktu 240 menit. Pada kurva menunjukkan bahwa penjerapan kation
lebih banyak dilakukan oleh pH larutan yang memiliki nilai tinggi yaitu pada pH larutan
4,5. Penjerapan anion dilakukan oleh pH larutan yang memiliki nilai rendah yaitu pada
pH larutan 2,5 dengan penjerapan pada kondisi setimbang sebesar 15%.

pH larutan merupakan parameter penting yang berdampak pada proses adsorpsi.


Larutan pH memiliki dampak yang signifikan pada penghapusan logam berat oleh zeolit
yang dapat mempengaruhi spesiasi logam, integritas zeolit atau sifat permukaan mineral
dan juga ion H+ yang dianggap kompetitif dalam pertukaran ion. Dari ketiga pH larutan
yang berbeda menunjukkan bahwa semakin banyak pH larutan yang ditambahkan atau
pada pH larutan mencapai netral maka kompetisi dalam menyerap kation kapasitas yang
diserap lebih besar.

Dalam kondisi tingkat asamnya tinggi yaitu pada sampel dengan pH larutan 2,5
maka beberapa fungsional kelompok menjadi terprotonis dan bertindak secara positif
karena adanya penambahan muatan +1 mengakibatkan berkurangnya daya tarik antara
logam dan adsorben sehingga muatan H+ ini berkompetisi dengan ion Cd untuk mengisi
situs permukaan yang menyebabkan kapasitas adsorpsinya menjadi kecil, sedangkan

690
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D079UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

pada pH larutan 4,5 terjadi deprotonisasi kelompok fungsional dan bertindak secara
negatif menarik logam berat karena nilai konsentrasi ion H+ menurun dengan seiring
bertambahnya pH larutan sehingga semakin tinggi pH larutan yang ditambahkan maka
makin meningkatkan kapasitas adsorpsi dan menjadi lebih stabil (Ibrahimi dkk., 2015).

Kapasitas adsorpsi meningkat ketika larutan pH awal ditambahkan dari pH


larutan 3,5 menjadi 4,5, namun kinerja adsorpsi pada material zeolit hampir tidak
berubah atau hanya sedikit peningkatan persentasenya. Tingkat adsorpsi Cd terendah
diperoleh pada pH larutan 2,5 dan mungkin disebabkan oleh peningkatan kompetisi
awal untuk pengisian situs adsorpsi oleh H+ yang selanjutnya situs diisi oleh spesies Cd
tertentu (Shibata dkk., 1997, Trgo dkk., 2003 dalam Oren dkk., 2006).

3.4.4. Pengaruh konsentrasi awal

Pengaruh konsentrasi ion awal diteliti dengan mengkontakkan 3,7 gram dengan
ukuran partikel 0,15 – 0,71 mm pada material tufa zeolitik dengan konsentrasi yang
berbeda dari larutan komponen tunggal mulai dari 20 hingga 800 ppm dan hasilnya
ditunjukkan pada Gambar 17. Digambarkan bahwa terjadi penurunan dalam presentase
penghapusan ion Cd seiring dengan meningkatnya konsentrasi Cd yang diamati. Pada
konsentrasi awal ion larutan logam Cd 20 ppm dalam kondisi setimbang menunjukkan
persentase logam yang diserap sebesar 45% , kemudian pada konsentrasi awal ion
larutan logam Cd 400 ppm dalam kondisi setimbang menunjukkan persentase logam
yang diserap sebesar 42% dan pada konsentrasi awal ion larutan logam Cd 800 ppm
menunjukkan penurunan kapasitas penjerapan yaitu sebesar 25% dalam kondisi
setimbang.

Dari grafik parameter konsentrasi awal dengan 3 konsentrasi berbeda, maka


persentase yang paling maksimum terserap adalah pada konsentrasi yang lebih kecil atau
pada konsentrasi 20 ppm. Efisiensi penjerapan makin turun seiring dengan
meningkatnya konsentrasi logam awal. Konsentrasi logam awal yang tinggi menyatakan
bahwa lebih banyak logam yang terkandung didalam larutan dengan demikin lebih
banyak ion logam yang harus diadsorpsi untuk berat tufa zeolitik yang konstan.

Hal ini dapat diperhitungkan bahwa semua adsorben memiliki jumlah yang tetap
atau terbatas pada situs aktifnya dan pada konsentrasi logam tertentu situs aktif ini akan
menjadi habis dan jenuh. Hal ini menyiratkan bahwa peningkatan pada konsentrasi Cd
hanya akan menyebabkan penurunan presentase penghapusan yang kecil karena situs
aktifnya telah ditempati, maka lebih banyak ion logam yang akan tersisa dalam larutan
setelah dilakukan penjerapan. Peningkatan konsentrasi ion logam menyebabkan
peningkatan serapan Cd oleh zeolit pada titik tertentu hingga kondisi permukaan
adsorbennya menjadi jenuh (Oren dkk., 2006).

IV. KESIMPULAN

Batuan tufa zeolitik di daerah penelitian berupa vitric tuff terubah (Pettijohn, 1975
dengan modifikasi), didominasi oleh gelas vulkanik yang menanfakan mineral
pembentuk zeolit hasil alterasi dengan mineral zeolit yang paling dominan terkandung

691
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D079UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

dalam sampel adalah mordenit dan klinoptilolit. Selain itu dijumpai mineral pengotor
lainnya seperti mineral lempung ilit dan smektit, mineral plagioklas, dan mineral kuarsa
sehingga tufa zeolitik yang digunakan belum mampu mengadsorpsi logam Cd hingga
maksimal 100%. Parameter ukuran butir tufa zeolitik pada menit awal paling efektif
berada pada ukuran <0,15 mm namun setelah mencapai titik setimbang pada menit ke
240 paling efektif pada ukuran 0,15 – 0,7 mm. Berat tufa zeolitik yang paling efektif dalam
menurunkan kadar logam Cd adalah 15 g. pH awal larutan yang paling efektif pada pH
4,5 dan konsentrasi awal paling efektif adalah 20 ppm.

V. UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Departemen Teknik Geologi


Universitas Gadjah Mada yang telah membantu pendaaan penelitian. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Tokyo Institute of Technology, Japan, yang telah
memberikan fasilitas laboratorium untuk analisis sampel.

DAFTAR PUSTAKA
Beliles, R.P., 1978, The lesser metals, in: F.W. Oehme (Ed.), Toxicity of Heavy Metals in the
Environment, Part 2, p. 547- 616.

Chen, P.Y., 1977, Table of Key Lines In X-Ray Diffraction Patterns of Mineral in Clays and
Associated Rocks: Indiana, Department of Natural Resources, 67 p.

Ibrahimi, Muhammad Mahmood., Sayyadi, Azam Salih. 2015, Application of Natural and
Modified Zeolites in Removing Heavy Metal Cations From Aqueous Media: an Overview of
Including Parameters Affecting the Process: International Journal of Geology, Agriculture
and Environmental Sciences Kurdistan Institution fo Strategic Studies and Scientific
Research, V.3, p.1-7.

Motsi, T. 2010, Remidiation of Acid Mine Drainage Using Natural Zeolite.[ unpublished Doctor of
Philosophy. Thesis]: School of Chemical Engineering The University of Birmingham United
Kingdom, 215 p.

Oren, A. H., Kaya, A. 2006, Factors Affecting Adsorption Characteristics of Zn2+ on two natural
zeolites: Journal of Hazardous Materials B131 59 -65.

Surono, T.B., Sudarno, I., dan Wiryosujono, 1992, Peta Geologi Lembar Surakarta – Giritontro,
Jawa: Bandung, Pusat Pengembangan Geologi, sekala 1:100.000, 1 lembar.

Thepgnothy, M., Putra, D.P.E., Wilopo, W.2017, Removal of Selenium (Se) and Zinc (Zn) inWater
by Using Natural Zeolitic Tuff as Adsorbent from Tegalrejo Area, Gedangsari District,
Gunungkidul Regency, Special Province Yogyakarta, Indonesia: Journal of Applied
Geology, v. 2, no. 2, p. 70 – 77.

692
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D079UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 1. Hasil analisis XRD yang dilakukan pada sampel Tegalrejo terdiri dari mineral- mineral
yang terkandung pada tufa zeolitik, dengan persentase sebagai berikut

sampel mordenit klinoptilolit smektit illite feldspar kuarsa

Tufa zeolitik 22.22 9.63 12. 39 18.47 24.17 13.09

GAMBAR

Gambar 1. Peta lokasi pengambilan sampel.

693
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D079UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Peta Litologi Daerah Nengahan, Desa Tegalrejo.

Gambar 3. Profil sayatan litologi daerah penelitian.

694
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D079UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Batupasir tufan dan batulanau tufan pada daerah Tegalrejo STA 41.

Gambar 5. Batupasir tufa zeolitik di daerah Tegalrejo dengan struktur kekar gerus STA 45.

695
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D079UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 6. Batupasir kerikilan pada daerah Tancep STA 9.

Gambar 7. Endapan pasir kerikilan yang merupakan endapan material lepas ( alluvial ) STA 61.

696
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D079UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 8. (kiri) kenampakan sampel setangan batupasir tufa zeolitik dan (kanan) kenampakan
batupasir tufa zeolitik (berukuran pasir halus – lanau) dilapangan pada sampel daerah Tegalrejo
STA 21.

Gambar 9. Penyebaran fasies batuan yang mengandung mineral tufa zeolitik secara vertikal.

697
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D079UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 10. Peta Persebaran Tufa Zeolitik Daerah Nengahan, Desa Tegalrejo.

698
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D079UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 11. Kenampakan sayatan tipis petrografi dari variasi piroklastik dan tekstur batuan pasir
tuffan (a-f) dan batuan vitric tuff (g-h) . a) Litik vulkanik (nikol bersilang). b) Litik sedimen (nikol

699
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D079UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

bersilang). c dan d) kuarsa dan zoning plagioklas bersamaan dengan silika mikrokristalin. e) dan f)
mineral lempung yang hadir dalam matriks dengan penyebaran yang tidak beraturan. g dan h)
material gelasan dalam matriks (nikol sejajar dan nikol bersilang).

Gambar 12. Hasil pengujian XRD tufa zeolitik Tegalrejo sampel Bulk Powder.

Gambar 13. Hasil pengujian XRD tufa zeolitik Tegalrejo sampel Air dried- Ethylene glycol.

700
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D079UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 14. Pengaruh ukuran butir terhadap adsorpsi Cd pada tufa zeolitik.

Gambar 15. Pengaruh berat tufa zeolitik terhadap adsorpsi Cd pada tufa zeolitik.

701
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 D079UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 16. Pengaruh pH larutan terhadap adsorpsi Cd pada tufa zeolitik.

Gambar 17. Pengaruh konsentrasi awal terhadap adsorpsi Cd pada tufa zeolitik.

702
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E003PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

PENENTUAN DAERAH RESAPAN MATA AIR DI PULAU YAMDENA


DENGAN METODE ISOTOP STABIL

Wulan Seizarwati 1*
Pusat Litbang Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Jl.Ir. H. Juanda
No. 193 Bandung
*Corresponding Author: wulanseizarwati@gmail.com

SARI. Dalam rangka penyediaan air baku di wilayah Pulau Yamdena, Kabupaten Maluku
Tenggara Barat terdapat mata air yang potensial untuk dimanfaatkan, yaitu Mata Air Wemomolin
dan Mata Air Watemar. Debit kedua mata air tersebut masing – masing 40 L/det dan 19,5 L/det.
Kontinuitas sumber mata air tersebut perlu dijaga agar dapat terus memberikan pasokan air baku
bagi penduduk setempat, sehingga pemetaan daerah resapan mata air menjadi hal yang penting
untuk dilakukan. Penentuan daerah resapan dalam penelitian ini menerapkan metode pengujian
isotop stabil deuterium (δ2H) dan oksigen-18 (δ18O). Metode ini didasarkan atas hubungan antara
kandungan isotop dalam mata air dengan distribusi konsentrasi isotop air hujan yang turun pada
elevasi tertentu yang kemudian mengalami infiltrasi dan masuk ke dalam sistem air tanah.
Kandungan isotop berat dalam air hujan berkurang dengan bertambahnya elevasi. Konsep ini
diterapkan untuk menentukan kisaran elevasi dari suatu sumber air yang muncul di daerah
luahan, seperti mata air. Berdasarkan uji isotop stabil, diketahui kisaran elevasi daerah resapan
Mata Air Wemomolin antara 82 – 152 m di atas permukaan laut (mdpl), sedangkan Mata Air
Watemar berkisar antara 76 – 117 mdpl. Dengan memetakan daerah resapan, maka selanjutnya
dapat dilakukan upaya perlindungan maupun konservasi untuk menjaga keberlanjutan mata air
tersebut.

Kata Kunci: mata air, daerah resapan, isotop stabil, deuterium, oksigen-18

I. PENDAHULUAN

Mata air merupakan sumber air baku yang paling potensial untuk dimanfaatkan
karena kualitasnya yang relatif baik, sehingga tidak membutuhkan pengolahan dengan
biaya yang mahal. Sumber mata air banyak ditemukan di Indonesia, sebagian sudah
dimanfaatkan, sebagian lagi mengalir ke sungai secara alami, namun banyak pula mata
air yang mengalami penurunan debit bahkan mati atau tidak lagi mengalir. Sebagai
contoh di Klaten, Jawa Tengah, sekitar 31 titik dari 174 titik mata air telah mati yang
diduga akibat kerusakan daerah tangkapan air serta alih fungsi lahan di daerah hulu
(Media Indonesia, 2018). Begitu pula yang terjadi di Surakarta, sekitar 198 mata air hilang
dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Hal ini diduga lebih disebabkan oleh penanganan
distribusi mata air yang kurang efektif (Detik news, 2017).

703
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E003PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Hal yang perlu diantisipasi dalam menjaga keberlangsungan mata air adalah alih
fungsi lahan di daerah tangkapannya. Informasi mengenai lokasi daerah resapan
dibutuhkan dalam upaya konservasi sumber daya air tanah, khususnya mata air.
Pemetaan daerah resapan sumber air tanah dapat dilakukan dengan menerapkan metode
isotop stabil. Metode ini telah diterapkan di beberapa wilayah di Indonesia, seperti Kab.
Sabang, NAD; Sibolangit, Sumatera Utara; Gunung Wayang Windu, Jawa Barat; Bedugul,
Bali; Lembah Baliem, Irian Jaya; dan wilayah lainnya (Seizarwati, 2013).
Konsep dasar yang digunakan adalah kandungan isotop air hujan merupakan
fungsi dari elevasi. Selama masih dalam bentuk uap air yang berpotensi menjadi hujan,
kandungan isotop akan berkurang seiring dengan semakin tingginya elevasi. Akan tetapi,
pada saat air hujan mengimbuh ke dalam tanah dan tidak ada interaksi yang berarti
dengan kondisi atmosfer, maka nilai isotop stabil akan cenderung tetap. Konsep tersebut
kemudian diterapkan dalam menentukan kisaran elevasi daerah resapan dari sumber-
sumber air yang muncul di daerah luahan (discharge area).
Menurut Domenico dan Schwartz (1990), isotop adalah atom dari unsur yang
sama namun memiliki nomor massa yang berbeda. Ada dua jenis isotop, yaitu isotop
stabil dan isotop radioaktif (tidak stabil). Dalam isotop stabil tidak terjadi proses
peluruhan radioaktif secara alami, sedangkan dalam isotop radioaktif terjadi peluruhan
radioaktif secara spontan untuk membentuk isotop baru. Isotop stabil yang umum
digunakan untuk menyelidiki daerah resapan adalah deuterium (2H) dan oksigen-18
(18O), sedangkan untuk menentukan umur air tanah dapat menggunakan isotop
radioaktif seperti tritium (3H) dan karbon-14 (14C) (Fetter, 2001).
Lokasi mata air terletak di Pulau Yamdena, Kecamatan Tanimbar Selatan,
Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku. Mata Air Wemomolin terletak di
Desa Ilngei, sedangkan Mata Air Watemar terletak di Desa Bomaki (Gambar 1). Pulau
Yamdena merupakan pulau terbesar pada gugusan Kepulauan Tanimbar dengan luas
3.333 km yang membujur dari Utara ke Selatan. Pulau ini dibatasi oleh Laut Banda di
sebelah Utara, Laut Timor dan Samudera Pasifik di sebelah Selatan, Gugus Pulau Babar
Sermatang di sebelah Barat, dan Laut Arafura di sebelah Timur.
Penelitian ini bertujuan untuk dapat menentukan kisaran elevasi daerah resapan
Mata Air Wemomolin dan Watemar melalui pengujian komposisi isotop stabil yang
terkandung dalam sumber–sumber air tersebut. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
dijadikan acuan dalam menentukan langkah – langkah strategis dalam menjaga
kontinuitas sumber mata air tersebut agar dapat dimanfaatkan hingga masa mendatang.

704
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E003PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

II. GEOLOGI REGIONAL

Wilayah Kepulauan Tanimbar terdiri dari rangkaian pulau – pulau besar dan kecil
yang terletak cukup sejajar mengelilingi cekungan Laut Banda dan merupakan suatu
sistem orogenesa yang koheren (Supriyadi, 2008). Menurut Sandy (1985), Pulau Yamdena
yang merupakan bagian dari gugusan Kepulauan Tanimbar secara fisiografi dapat
dikategorikan ke dalam wilayah non-vulkanik. Pulau-pulau kecil di sekitar Pulau
Yamdena terjadi akibat proses pengangkatan yang luas dari dasar laut dan terletak di
bagian Timur busur Banda (van Bemmelen, 1949). Kondisi geomorfologis di wilayah
tersebut sangat dinamis dan diperkirakan proses geologi masih aktif terjadi hingga
sekarang. Proses geomorfologi yang terjadi di Pulau Yamdena diantaranya proses
pengangkatan dan penurunan akibat dari gaya tektonik. Sementara itu, menurut
Verstappen (2000) faktor lain yang mempengaruhi pembentukan morfologi Pulau
Yamdena adalah kondisi iklim. Keterpaduan antara dua proses ini membentuk
gemorfologi Pulau Yamdena hingga saat ini.
Ditinjau dari unit geomorfologinya, Pulau Yamdena terdiri dari satuan unit
geomorfologi bukit yang terdenudasi, satuan unit terumbu karang yang mengalami
pengangkatan, dan satuan unit morfologi dataran aluvial yang ditumbuhi oleh tanaman
mangrove. Bukit-bukit yang terdenudasi tersebut merupakan hasil dari proses endogen
maupun eksogen. Sementara itu, unit geomorfologi terumbu karang merupakan salah
satu bentukan akibat dari hasil pengangkatan yang ada. Hasil dari proses pengangkatan
ini akan membentuk level teras-teras terumbu karang.
Kerangka stratigrafi Kepulauan Tanimbar dimulai dari batuan Tersier sampai
dengan Kuarter. Batuan berumur Tersier terdiri dari Formasi Tangustabun, Formasi
Molu, dan Formasi Batimafudi, sedangkan batuan berumur Kuarter terdiri dari Formasi
Batilembuti, Formasi Saumlaki, dan alluvium. Peta geologi Pulau Yamdena disajikan
pada Gambar 2. Berikut ini penjelasan litologi batuan dari setiap formasi berdasarkan
Peta Geologi Lembar Kepulauan Tanimbar, Maluku (Sukardi Sukardi & Sutrisno, 1989).
1. Kompleks Molu terdiri dari batupasir kuarsa, batugamping napalan berfosil
belemnite dan moluska, batugamping kristal, batugamping oolit, batugamping
berfosil spiriferina, rijang, sekis, andesit piroksen, basal amigdal, diorit
hornblenda, trakit porfir, dan tufa.
2. Formasi Tangustabun tersusun oleh perselingan antara lempung coklat
kemerahan, tufa kaca, rijang, batupasir kuarsa dan batugamping, perarian sangat
umum, dan setempat gentel.

705
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E003PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

3. Formasi Batimafudi terdiri dari perselingan batugamping pasiran, napal, batupasir


gampingan struktur perarian, silang siur, dan gentel lempung.
4. Anggota Napal, Formasi Batimafudi terdiri dari napal bersisipkan batugamping
pasiran setempat struktur dan gentel lempung.
5. Formasi Batilembuti tersusun atas napal yang kaya akan fosil plangton dan bentos,
batugamping yang sangat repih, dan napal kapuran pewarna putih dan ringan.
6. Formasi Saumlaki terdiri dari batugamping koral, padat, setempat terbreksikan;
bagian bawah konglomerat dengan komponen batugamping dan cangkang fosil.
7. Aluvium tersusun atas lumpur, pasir, dan kerikil.
Struktur geologi di Pulau Yamdena berupa sesar naik berarah Timur Laut-
Barat Daya yang ditemukan di bagian tengah pulau serta beberapa lipatan
yang ditemukan di wilayah Timur Pulau Yamdena. Ditinjau dari kondisi
hidrogeologi, jenis akuifer di Pulau Yamdena berupa akuifer bercelah atau
rekahan. Sifat batuan karbonat mempunyai banyak rongga percelahan dan
mudah larut dalam air. Hal ini menyebabkan sistem drainase permukaan
tidak berkembang dan lebih didominasi oleh sistem drainase bawah
permukaan, sebagai contoh adalah sungai bawah tanah.

Berdasarkan peta hidrogeologi pada Gambar 3, wilayah Pulau Yamdena


umumnya berupa akuifer produktif kecil dan daerah air tanah langka yang terdapat di
bagian tengah pulau. Akuifer produktif kecil umumnya memiliki keterusan sedang, mata
air memiliki debit yang cukup kecil, air tanah dangkal dengan jumlah terbatas diperoleh
di lembah – lembah. Di sebagian kecil Pulau Yamdena, yaitu wilayah Utara, Selatan dan
sedikit wilayah Timur terdapat jenis akuifer produktif sedang dan setempat akuifer
produktif. Pada akuifer produktivitas sedang, aliran air tanah terbatas pada zona celahan,
rekahan, dan saluran pelarutan; muka air tanah umumnya dangkal kurang dari 3 m di
bawah muka tanah (m bmt); debit sumur dan mata air beragam; dan debit mata air
mencapai 15 L/det. Sementara itu, jenis akuifer setempat produktif memiliki karakteristik
muka air tanah umumnya dalam dan setempat air tanah dapat dimanfaatkan dengan
debit < 3 L/det. Berdasarkan kajian hidrogeologi di wilayah ini, dapat diketahui bahwa
akuifer Pulau Yamdena bersifat kurang produktif. Akan tetapi, di beberapa tempat masih
ada potensi – potensi sumber daya air tanah yang dapat dimanfaatkan, salah satunya
sumber mata air. Meskipun debit mata air di wilayah tersebut tidak begitu besar, tetapi
dengan pemanfaatan dan pengelolaan yang baik maka seluruh kebutuhan air baku
masyarakat akan dapat terpenuhi.

706
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E003PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

III. METODOLOGI

Menurut Fetter (2001), studi isotop stabil didasarkan pada kecenderungan


beberapa pasangan isotop untuk mengalami fraksinasi atau berpisah menjadi fraksi
ringan dan berat. Pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa komposisi isotop fluida air dalam
siklus hidrologi senantiasa mengalami perubahan pada saat berada di atmosfer. Proses ini
dimulai ketika lautan mengalami evaporasi, terjadi pengayaan isotop berat sebesar 1‰ di
lapisan permukaan. Selanjutnya fluida air berubah fasa menjadi uap dan bergerak
vertikal menuju atmosfer. Karena perbedaan tekanan dan kecepatan difusi uap air
dengan isotop air tidak sama, maka uap air yang terbentuk mengalami deplesi relatif
terhadap air permukaan menjadi -4‰. Uap air tersebut bergerak menuju lapisan
atmosfer yang lebih tinggi seiring dengan semakin turunnya kandungan isotop berat
dalam fluida menjadi -13‰. Demikian seterusnya, semakin bergerak menuju elevasi
tinggi komposisi isotop fluida air semakin mengalami deplesi.
Komposisi deuterium dan oksigen-18 dalam air diukur terhadap SMOW
(Standard Mean Oceanic Water) (Fritz dan Fontes, 1980 dalam Domenico dan Schwartz,
1990). Rasio isotop dinyatakan dengan notasi delta (δ), yaitu nilai deviasi dari SMOW.
Nilai δ positif menunjukan bahwa sampel mengalami pengayaan isotop berat relatif
terhadap standar, sedangkan nilai δ negatif menunjukan bahwa sampel mengalami
deplesi isotop berat relatif terhadap standar. δ=((R_sampel-R_SMOW))/R_SMOW x
1000‰ (1)
Keterangan:

δ = Rasio 18O/16O dan 2H/1H sampel terhadap SMOW (‰)


Rsampel = Rasio 18O/16O dan 2H/1H sampel yang diukur pada alat spektrometer massa
RSMOW = Rasio 18O/16O dan 2H/1H SMOW pada spektrometer massa
Analisis daerah resapan dengan metode pengujian isotop stabil membutuhkan 3
jenis grafik, yaitu grafik garis air meteorik lokal, grafik gradien deplesi oksigen-18 (δ18O)
terhadap elevasi, dan grafik gradien deplesi deuterium (δ2H) terhadap elevasi. Garis air
meteorik lokal (local meteoric water line) dibentuk dari sampel – sampel kejadian hujan
individu atau curah hujan rata – rata bulanan secara lokal pada suatu area yang tidak
terlalu luas. Garis ini menghubungkan nilai δ18O pada sumbu x dengan δ2H pada sumbu
y. Garis air meteorik pada dasarnya digunakan untuk mengetahui asal mula suatu
sumber air (daerah resapan) berdasarkan komposisi isotop yang dikandungnya.
Garis air meteorik lokal dapat menggambarkan karakteristik khusus dari isotop

707
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E003PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

curah hujan yang jatuh pada lokasi tertentu. Jika suatu sumber air dengan komposisi
isotop tertentu jatuh tepat pada garis air meteorik lokal maka diasumsikan air tersebut
berasal dari air hujan yang langsung mengimbuh ke lapisan air tanah tanpa dipengaruhi
oleh proses–proses isotopik. Namun pada kenyataannya perjalanan air ketika
mengimbuh di daerah resapan sampai masuk ke lapisan akifer cukup rentan terhadap
proses–proses isotopik, seperti fraksinasi maupun pertukaran ion dengan batuan yang
dilewati (Seizarwati, 2013). Hal ini mengakibatkan terjadinya deviasi nilai isotop yang
terkandung terhadap garis air meteoriknya (Gambar 5).
Plot sampel air yang dipengaruhi oleh evaporasi akan jatuh pada garis evaporasi
(evaporation from open surface). Kemiringan dari garis tersebut berkisar antara 4–6
(IAEA, 1983). Untuk mengetahui komposisi isotop curah hujan dari sumber air tersebut,
maka diambil titik potong (intercept) antara garis evaporasi dengan garis meteoriknya.
Proses lainnya yang juga berpengaruh besar adalah perubahan nilai isotop δ18O akibat
pertukaran dengan mineral batuan yang dilewati, yang mengakibatkan sampel–sampel
tersebut akan jatuh di sepanjang garis horizontal (oxygen shift).
Dalam penelitian ini dilakukan beberapa tahapan kegiatan sebagai berikut.
1. Pengumpulan data
Data yang digunakan terdiri dari data primer berupa data sampel mata air untuk
dimasukkan ke laboratorium. Sampel–sampel tersebut diambil langsung dari titik
keluaran mata air dan dimasukkan ke dalam botol berukuran 25 ml sedemikian rupa
hingga terisi penuh tanpa ada gelembung udara dan tertutup rapat untuk menghindari
fraksinasi. Selanjutnya sampel dimasukkan ke dalam coolbox untuk menghindari
penguapan. Data pendukung lainnya antara lain data isotop stabil δ18O dan δ2H air
hujan pada berbagai elevasi untuk disusun menjadi garis air meteorik local dan peta
topografi.
2. Pengujian laboratorium
Pengujian laboratorium dilakukan untuk mengetahui komposisi rasio relatif isotop
δ2H dan δ18O dari sampel-sampel yang diambil di lapangan. Pengujian dilakukan di
Laboratorium Hidrologi dan Panas Bumi, Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi
(PATIR), BATAN, Jakarta menggunakan alat spektrometer massa model SIRA-9, VG
ISOGAS. Nilai isotop dari sampel tersebut diolah dengan metode statistik untuk
menghasilkan nilai rata – rata pembobotan (weighted mean value) dengan persamaan
sebagai berikut.
δ_(H1,H2,H3,…)=((δ_1xM_1)+(δ_2xM_2)+(δ_3xM_3)+⋯)/(M_1+M_2+M_3 ) (2)

708
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E003PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Keterangan:
δH1, H2, H3… = Konsentrasi nilai rata–rata pembobotan isotop pada elevasi tertentu
δ1, δ2… = Konsentrasi isotop 2H dan 18O air hujan tiap bulan pada berbagai
elevasi
M1, M2… = Jumlah curah hujan yang turun setiap bulan pada berbagai elevasi
(mm)
3. Pengolahan data dan analisis
Berikut ini tahapan yang dilakukan dalam pengolahan data:
a. Penyusunan garis air meteorik lokal dan persamaannya berdasarkan data isotop stabil air
hujan yang diambil pada lokasi dan elevasi yang berbeda.

b. Penyusunan grafik deplesi kandungan deuterium (δ2H) dan oksigen-18 (δ18O) terhadap
elevasi. Grafik dan persamaan ini dibuat untuk mengetahui hubungan antara nilai isotop air
hujan terhadap elevasi yang akan digunakan sebagai acuan dalam menentukan kisaran
elevasi dari kedua mata air.
c. Penentuan kisaran elevasi daerah resapan. Komposisi isotop mata air yang diperoleh dari
hasil analisis laboratorium diplotkan pada grafik garis air meteorik lokal. Jika isotop jatuh
tepat pada garis tersebut, maka kisaran elevasi daerah resapannya dapat diketahui secara
langsung dengan cara mengeplotkan nilai δ2H dan δ18O pada masing–masing grafik
gradien deplesi. Akan tetapi, jika isotop tidak jatuh di luar garis, maka perlu diselidiki
terlebih dahulu proses isotopik yang mempengaruhinya.

IV. HASIL PENELITIAN

Garis Air Meteorik Lokal


Garis air meteorik lokal dihasilkan dengan cara mengeplotkan data isotop air
hujan ke dalam grafik yang menghubungkan isotop δ18O pada sumbu x dan isotop δ2H
pada sumbu y (Gambar 6). Dari garis linier tersebut diperoleh persamaan garis air
meteorik lokal sebagai berikut.

δ2H = 8δ18O + 20 (3)

Sementara itu, grafik dan persamaan garis air meteorik global diperoleh dari studi
isotop secara global yang dilakukan oleh Craig (1961). Garis ini berfungsi sebagai acuan
dasar bahwa garis air meteorik lokal yang akan digunakan memiliki pola garis yang
mirip dengan garis air meteorik global.
Persamaan garis air meteorik lokal merepresentasikan kedudukan titik – titik
komposisi isotop air hujan yang turun. Jika persamaan garis tersebut dibandingkan

709
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E003PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

dengan persamaan garis air meteorik global (Gambar 6), maka dapat dilihat bahwa
persamaan garis air meteorik lokal (garis biru) memiliki nilai Deuterium Excess (DE) 20,
lebih besar daripada nilai DE garis air meteorik global, yaitu 10. Pada dasarnya, nilai DE
di setiap lokasi sangat bervariasi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor fisis secara lokal
dan menunjukkan karakteristik isotopic yang khas dari masing – masing wilayah
(Dansgaard, 1964).
Grafik Deplesi δ18O dan δ2H Terhadap Elevasi
Data isotop air hujan dari stasiun pengamatan diplot terhadap elevasi seperti
terlihat pada Gambar 7 dan Gambar 8, untuk menghasilkan garis isotop δ18O dan isotop
δ2H terhadap elevasi (E). Grafik ini akan digunakan untuk menentukan estimasi kisaran
elevasi daerah resapan dari sampel mata air yang diambil.
Pengolahan Data Isotop Sampel Mata Air dan Identifikasi Daerah Resapan
Pengambilan sampel mata air Wemomolin sebanyak 3 kali, sedangkan mata air
Watemar sebanyak 2 kali, masing – masing pada waktu yang berbeda (Tabel 1). Hal ini
dilakukan untuk mengetahui variasi nilainya terhadap waktu. Variasi nilai ini dapat
dijadikan acuan dalam menentukan jenis mata air. Jika nilainya tidak berbeda jauh maka
dimungkinkan bahwa mata air tersebut berasal dari akuifer terkekang dengan kisaran
elevasi daerah resapan pada ketinggian tertentu. Akan tetapi jika nilainya bervariasi dan
meliputi wilayah yang luas, maka diduga mata air tersebut berasal dari akuifer bebas.
Hasil uji laboratorium untuk nilai isotop stabil deuterium dan oksigen-18 pada masing –
masing sampel disajikan pada Tabel 1.
Data tersebut kemudian diplot ke dalam grafik garis air meteorik lokal seperti
dapat dilihat pada Gambar 9. Pada grafik tersebut, komposisi isotop seluruh sampel jatuh
di bawah garis air meteorik dan mengikuti pola garis air yang dipengaruhi oleh proses
evaporasi (mengacu pada Gambar 5). Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa
berdasarkan laporan IAEA (1983), plot data isotop stabil pada garis air meteorik lokal
dapat mengalami deviasi akibat berbagai proses. Deviasi nilai isotop seperti ini dapat
terjadi karena dua faktor, yaitu proses evaporasi atau pertukaran ion dengan mineral
batuan. Proses yang paling memungkinkan mempengaruhi deviasi isotop di Pulau
Yamdena dan Selaru ini adalah proses evaporasi. Karena berdasarkan analisis
hidrogeologi setempat, diketahui bahwa akuifer di wilayah tersebut berupa sistem
conduit (saluran – saluran) yang relatif dangkal sehingga sangat dipengaruhi oleh proses
– proses atmosferik seperti evaporasi. Grafik ini dapat menjadi pendukung untuk
membuktikan bahwa akuifer daerah tersebut berupa akuifer bebas yang relatif dangkal.

710
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E003PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Sebelum menentukan kisaran elevasi daerah resapan dari keempat mata air
tersebut, perlu dicari terlebih dahulu titik potongnya (intercept) dengan garis air
meteorik lokal. Garis intercept diperoleh dengan cara membuat persamaan garis
berdasarkan nilai komposisi isotop dan masing – masing sampel di Pulau
Yamdena. Garis tersebut diperpanjang hingga memotong garis air meteorik lokal, sehingga
diperoleh titik intercept pada perpotongan tersebut. Titik intercept yang dihasilkan
dari masing – masing persamaan garis kemudian digunakan untuk menghasilkan kisaran
elevasinya. Titik intercept tersebut diasumsikan sebagai nilai komposisi isotop tanpa
dipengaruhi oleh pengayaan akibat evaporasi. Kisaran elevasi daerah resapan diperoleh
dengan memplotkan nilai intercept tersebut pada grafik deplesi yang ada pada Gambar 7
dan Gambar 8. Kisaran elevasi daerah resapan dari masing – masing mata air
diperlihatkan pada Tabel 2. Mata air Wemomolin memiliki kisaran elevasi antara 82,27 –
152,83 m dpl, sedangkan mata air Watemar berkisar antara 43,89 – 117,58 m dpl.
Berdasarkan analisis geologi-hidrogeologi, litologi setempat hampir seluruhnya
berupa batu batu gamping dengan bed rock berupa lanau. Akuifer di wilayah tersebut
umumnya berupa solution channel dengan aliran air tanah terbatas pada zona rekahan,
celah, dan saluran. Karakteristik akuifer jenis ini umumnya menyebabkan perilaku air
tanah yang terjadi mirip dengan air permukaan. Dengan adanya zona rekahan dan celah
di hampir seluruh bagian wilayah ini menyebabkan daerah resapan air tanah berada di
seluruh area DAS tersebut, dengan kata lain batas daerah tangkapan mata air sama
dengan batas DAS.

V. PEMBAHASAN
Informasi mengenai lokasi daerah resapan sangat berguna dalam upaya
konservasi sumber daya air tanah, khususnya mata air. Studi penentuan daerah resapan
telah mengalami perkembangan yang cukup baik. Ada lima tipe dasar indikator yang
dapat digunakan dalam memetakan daerah resapan (recharge area) dan daerah luahan
(discharge area), yaitu topografi, pola piezometri, kecenderungan hidrokimia, isotop
lingkungan, serta kenampakan permukaan tanah dan daratan (Meyboom & Toth, 1963
dalam Freeze & Cherry, 1979). Selama ini penggunaan metode konvensional sangat sulit
untuk dapat menentukan atau menginterpretasikan daerah resapan suatu sumber air,
hingga pada akhirnya berkembang suatu metode yang dinilai efektif untuk menentukan
daerah resapan, yaitu metode pengujian isotop stabil. Metode ini telah banyak diterapkan
di berbagai wilayah Indonesia seperti Kab. Sabang, DI NAD (Juanda dkk, 2004),

711
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E003PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Sibolangit, DKI Jakarta (Wandowo dkk, 1985; Setiawan dkk, 2017), CAT Bandung
(Hendrasto, 2005), Semarang (Sudaryanto & Lubis, 2011; Satrio dkk, 2016), Bedugul, Bali
(LAPI, 2007), Lembah Baliem, Irian Jaya (Hutasoit & Ashari, 1998), dan wilayah lainnya.
Pengambilan sampel pada Mata Air Wemomolin dan Mata Air Watemar
dilakukan beberapa kali untuk mengetahui variasi nilainya. Jika nilai isotop yang
dihasilkan tidak berbeda jauh, maka kemungkinan besar mata air tersebut berasal dari
akuifer terkekang dengan lokasi daerah resapan berada pada suatu elevasi tertentu.
Sementara itu, nilai isotop dari setiap sampel dari kedua mata air tersebut menunjukkan
nilai yang cukup jauh. Diduga kuat kedua mata air tersebut berasal dari akuifer bebas.
Berdasarkan hasil analisis isotop mata air di Pulau Yamdena dan Pulau Selaru
menunjukkan bahwa komposisi isotop yang terkandung dalam seluruh sampel
mengalami fraksinasi (perubahan kandungan isotop) akibat pengaruh evaporasi. Proses
evaporasi tentunya akan lebih mempengaruhi air tanah yang berada di zona dangkal
daripada air tanah dalam. Berdasarkan analisis geologi-hidrogeologi, litologi setempat
hampir seluruhnya berupa batu batu gamping dengan bed rock berupa lanau. Lapisan
pembawa air di wilayah tersebut umumnya berupa solution channel dengan aliran air
tanah terbatas pada zona rekahan, celah, dan saluran. Dengan adanya zona rekahan dan
celah di hampir seluruh bagian wilayah ini menyebabkan daerah resapan air tanah
berada di seluruh area DAS tersebut, dengan kata lain batas daerah tangkapan mata air
sama dengan batas DAS. Karakteristik lapisan pembawa air jenis ini umumnya
menyebabkan perilaku air tanah yang terjadi mirip dengan air permukaan.

VI. KESIMPULAN
Metode pengujian isotop stabil deuterium dan oksigen-18 diterapkan dalam
penelitian ini untuk mengestimasikan kisaran elevasi daerah resapan mata air
Wemomolin dan mata air Watemar. Berdasarkan uji laboratorium, nilai isotop dari setiap
sampel dari kedua mata air menunjukkan nilai yang berbeda cukup jauh, sehingga
diduga kedua mata air tersebut berasa dari akuifer bebas. Hal ini diperkuat dengan
komposisi isotop dari seluruh sampel mengalami fraksinasi (perubahan kandungan
isotop) akibat pengaruh evaporasi. Proses evaporasi tentunya akan lebih mempengaruhi
air tanah yang berada pada zona dangkal. Didukung dengan kondisi geologi setempat
yang berupa batugamping dengan lapisan pembawa air berupa rekahan, celah, dan
saluran, sehingga dapat disimpulkan bahwa mata air – mata air yang muncul di wilayah
ini berasal dari air tanah yang mengalir dalam sistem aliran bawah permukaan yang

712
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E003PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

relatif dangkal. Berdasarkan pengujian isotop, kisaran elevasi daerah resapan Mata air
Wemomolin antara 82,27 – 152,83 m dpl, sedangkan mata air Watemar berkisar antara
43,89 – 117,58 m dpl. Nilai kisaran ini menjadi patokan dasar dalam menentukan zona
resapan kedua mata air tersebut. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan
dalam menentukan langkah – langkah strategis dalam menjaga kontinuitas sumber mata
air tersebut agar dapat dimanfaatkan hingga masa mendatang.

DAFTAR PUSTAKA

Craig, H. & Gordon, L.I. (1956). Deuterium and Oxygen-18 Variations in the Ocean and the Marine
Atmosphere, Stable Isotopes in Oceanographic Studies and Paleotemperatures (Tongiorgi, E.,
Ed.), Consiglio Nazionale delle Ricerche, Laboratorio di Geologia Nucleare, Pisa, 9.
Craig, H. (1961). Isotopic Variations in Meteoric Waters. Sciences, 133, 1702-1703. Dansgaard, W.
(1964). Stable Isotope in Precipitation. Tellus, 16, 436.
Domenico, P.A & Schwartz, F.W. (1990). Physical and Chemical Hydrogeology. USA: John Wiley &
Sons, Inc.,14 – 16, 462, 465.
Fetter, C.W. (2001). Applied Hydrogeology Fourth Edition. USA: Prentice-Hall, Inc., 37 – 45, 368, 374.
Freeze, R.A. & Cherry, J.A. (1979). Groundwater. Prentice Hall, Inc., USA, 138, 194, 225 – 226.
Hendrasto, F & Sunarwan, B. (2013). Pemanfaatan Isotop Lingkungan di Daerah Cekungan Airtanah
Bandung. Jurnal Teknologi, Vol I (2), 2013, 1 – 11.
Hoefs, J. (1987). Stable Isotope Geochemistry, Edisi ke-3, Springer Verlag, Heidelberg, 117-130.
IAEA. (1983). Guidebook on Nuclear Techniques in Hydrology 1983 Edition. Technical Reports Series
No. 91, Austria.

Isnanto, B.A. (2017). Kritis, 198 Mata Air di Surakarta Mati dalam 10 Tahun Terakhir.
https://news.detik.com (diakses 7 Agustus 2019)
Juanda, D., Budidarma, D., Irawan, D.E., & Anggayana, K. (2004). Pendugaan Asal Mula dan Aliran
Air pada Akifer Bahan Volkanik Berdasarkan Perunutan Isotop Stabil (δ2H dan δ18O), Studi
Kasus: Aliran Air Danau Aneuk Laot ke Kompleks Mata Air Zweembat, Kabupaten Sabang, D.I.
Nanggroe Aceh Darussalam. Jurnal Teknologi Mineral, Volume XI No.2/2004, 88 – 101.
LAPI ITB. (2007). Kajian Hidrogeologi dan Kelestarian Keanekaragaman Hayati Terhadap Rencana
Pembangunan Listrik Tenaga Panas Bumi (Studi Kasus Bedugul – Bali).
Sandy, I.M. (1985). Geografi Regional Indonesia. Jurusan Geografi-FMIPA UI, Jakarta.
Sardjono, D. (2018). Puluhan Sumber Mata Air Mati di Klaten. https://mediaindonesia.com (diakses 7
Agustus 2019).
Satrio, Prasetio, R., Hadian, M.S.D., Syafri, I. (2016). Stable Isotopes and Hydrochemistry Approach for
Determining the Salinization Pattern of Shallow Groundwater in Alluvium Deposit Semarang,
Central Java. Indonesian Journal of Geoscience, Vol (4), No.1, April 2017: 1- 10.

713
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E003PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Seizarwati, W. (2013). Penentuan Daerah Resapan Mata Air Umbulan dan Mata Air – Mata Air di
Sekitarnya dengan Metode Pengujian Isotop Stabil Deuterium (δ2H) dan Oksigen-18 (δ18O).
Prosiding Kolokium Puslitbang Sumber Daya Air 2013.
Setiawan, T., Yermia, E., Joko, B.P., Tirtomiharjo, H. (2017). Intrusi Air Laut pada Sistem Akuifer
Tertekan Cekungan Air Tanah Jakarta Berdasarkan Analisis Hidrokimia dan Hidroisotop. Jurnal
Riset Geologi dan Pertambangan, Vol. 27, No. 1, Juni 2017: 1-14.
Sudaryanto & Fajar, L. (2011). Penentuan Lokasi Imbuhan Airtanah dengan Pelacak Isotop Stabil 18O dan
2H di Cekungan Airtanah Dataran Rendah Semarang, Jawa Tengah. Jurnal Riset Geologi dan
Pertambangan, Vol. 21, No. 2, 2011, 121 – 129.
Sukardi & Sutrisno. (1989). Peta Geologi Lembar Kepulauan Tanimbar, Maluku Skala 1:250.000. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Sukrisna, A & Haryadi, T. (2009). Peta Hidrogeologi Indonesia Lembar Pulau Selaru dan Pulau Yamdena.
Badan Geologi.
Supriyadi, I.H. (2013). Morfologi dan Karakteristik Sedimen Perairan Pantai P. Yamdena dan Sekitarnya
Kepulauan Tanimbar, Maluku Tenggara. Perairan Maluku dan Sekitarnya. Badan Penelitian
dan Pengembangan Sumberdaya Laut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi,
LIPI.
Van Bemmelen, R.W. (1949). The Geology of Indonesia. Governments Printing Office The Hagne.
Verstappen, H.T. (2000). Outline of the Geomorphology of Indonesia: a Case Study on Tropical
Geomorphology of a Tectogene Region: With a Geomorphological Map 1:5.000.000. ITC
Publication, No 79.
Wandowo, I., Manurung, S., Syafalni, & Abidin, Z. (1985). Groundwater Studies in Jakarta and
Vicinity. Centre for the Application of Isotopes and Radiation, National Atomic Energy
Agency, Jakarta.

714
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E003PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 1. Data isotop stabil δ18O dan δ2H sampel mata air

Koordinat Waktu
Nama Elevasi
No Lokasi Pengambilan d18(‰) d2H (‰)
Sampel (mdpl) 0
x y Sampel

MA
- Ds. Ilngei,
1 Wemomolin 131.30 73.87 5-Apr-14 -7.39 ± 0.30 -42.4 ±
7.87 Yamdena 2
1

MA
- Ds. Ilngei,
2 Wemomolin 131.30 73.87 7-Apr-14 -6.96 ± 0.26 -39.1 ±
7.87 Yamdena 0
2

MA
- Ds. Ilngei,
3 Wemomolin 131.30 73.87 8-Apr-14 -6.19 ± 0.15 -38.3 ±
7.87 Yamdena 0
3

MA - Ds. Bomaki,
4 131.27 49.85 29-Mar-14 -7.35 ± 0.22 -40.5 ±
Watemar 1 7.91 Yamdena

MA - Ds. Bomaki,
5 131.27 49.85 2-Apr-14 -6.56 ± 0.24 -40.4 ± 0
Watemar 2 7.91 Yamdena

Tabel 2 Perkiraan kisaran elevasi daerah resapan mata air

Interce Kisaran Elevasi


Eleva pt
No Nama Sampel
si
d18O (‰) d2H (‰) d18O (‰) d2H (‰)
(mdp
l)

1 MA Wemomolin 1 73.873 -8.21 -51.68 143.68 152.83

2 MA Wemomolin 2 73.873 -7.81 -49.52 82.27 85.42

3 MA Wemomolin 3 73.873 -7.88 -50.08 93.02 102.90

4 MA Watemar 1 49.849 -7.77 -49.4 76.13 81.67

5 MA Watemar 2 49.849 -8.04 -50.3 117.58 110.39

715
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E003PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

GAMBAR

Gambar 1. Lokasi mata air

716
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E003PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Peta geologi Pulau Yamdena

717
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E003PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Peta hidrogeologi Pulau Yamdena

718
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E003PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Deviasi komposisi isotop dari garis air meteorik akibat berbagai proses

719
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E003PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. Garis air meteorik global dan lokal

Gambar 6. Skema fraksionasi siklus air di atmosfer

720
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E003PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 7. Grafik deplesi oksigen-18 terhadap elevasi

Gambar 8. Grafik deplesi deuterium terhadap elevasi

721
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E003PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 9 .Plot data isotop pada garis air meteorik lokal

722
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

KAJIAN HIDROLOGI PADA LUBANG BUKAAN BEKAS PENAMBANGAN


BIJIH MANGAN DI DUSUN KLIRIPAN DESA HARGOREJO KECAMATAN
KOKAP KABUPATEN KULONPROGO

Halimah Tusak Diah1*, Suyono2, Tedy Agung Cahyadi2


1Sarjana Teknik Pertambangan UPN Veteran Yogyakarta,
2Dosen Jurusan Teknik Pertambangan UPN Veteran Yogyakarta
*Corresponding Author: Halimahtusakdiah3@gmail.com

SARI. Kegiatan penambangan bijih Mangan di Dusun Kliripan Kabupaten Kulonprogo sudah
berhenti sekitar tahun 1983. Sistem penambangan menggunakan Tambang Bawah Tanah
(underground mining system), sedangkan metode tambang bawah tanahnya menggunakan metode
Gophering atau Coyoting. Pada tambang Kliripan terdapat dua lubang bukaan utama, yaitu Vertikal
Shaft (PPTM) dengan sudut kemiringan 90° dan Inclined Shaft (Sunoto) dengan sudut kemiringan ±
23° . Saat ini kedua lubang bukaan tersebut dalam kondisi terendam air. Penelitian ini dilakukan
untuk mengetahui sumber air dan besarnya debit air yang masuk ke dalam lubang bukaan bekas
penambangan bijih mangan tersebut serta metode penirisannya ( drain hole methode). Sumber air
tambang pada dua terowongan tersebut hanya berasal dari infiltrasi dan rembesan airtanah. Hasil
pengukuran di lapangan dengan menggunakan double ring infiltrometer didapatkan kapasitas
infiltrasi daerah penelitian sebesar 0,16 cm/min atau 2439.44 mm/hari. Dan curah hujan
maksimum dari tahun 2007-2018 adalah sebesar 716 mm/hari. Debit air tanah dari infiltrasi yaitu
3
sebesar 1600 m /min. Sumber Air yang masuk kedalam lubang bukaan berasal dari rembesan air
tanah.

Kata Kunci: Vertical Shaft, Inclined Shaft, Curah Hujan, Infiltrasi, Rembesan Air Tanah

I. PENDAHULUAN

Kabupaten Kulonprogo merupakan daerah yang kaya akan potensi sumberdaya


mineral terutama bijih mangan, salah satunya di wilayah Dusun Kliripan Desa Hargorejo
Kecamatan Kokap. Mayoritas sistem penambangan yang digunakan pada jaman dahulu
ialah sistem tambang bawah tanah. Namun kegiatan penambangan bijih Mangan di area
tersebut sudah berhenti sekitar tahun 1983, sehingga meninggalkan banyak lubang bekas
tambang baik lubang bukaan sekunder maupun primer. Dua lubang bukaan primer yaitu
Vertikal Shaft (PPTM) dan Inclined Shaft (Sunoto) dengan sudut kemiringan ± 23°. Saat ini
kedua lubang bukaan tersebut dalam kondisi terendam air.
Lubang bukaan yang terbengkalai tentu menimbulkan sejumlah risiko seperti
kecelakaan dan tanah longsor, sehingga lubang bukaan tersebut perlu dimanfaatkan.
Lubang bukaan tersebut rencananya akan digunakan sebagai lokasi geowisata. Pada
penelitian ini akan membahas dari aspek hidrologi, yaitu kondisi iklim, topografi,
geologi, curah hujan, resapan air hujan (infiltrasi), dan potensi air tanah dari infiltrasi
serta jenis air tanahnya. Setelah mengkaji berbagai aspek tersebut maka perhitungan
sumber air dan besarnya debit air yang masuk melalui rembesan ke dalam lubang bukaan

723
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

bekas penambangan bijih mangan tersebut dapat ditentukan.

II. GEOLOGI REGIONAL


1. Stratigrafi Daerah Penelitian (Kliripan) tersusun atas 3 satuan litostratigrafi dan 1 satuan
litodemik, yang akan dijelaskan dari tua ke muda.
a. Satuan Breksi Vulkanik Kaligesing
Litologi Penyusunnya yaitu berupa tuff,lapilli, batupasir vulkanik,konglomerat,
breksi letusan dan breksi vulkanik sebagai litologi yang paling dominan pada
satuan ini. Sehingga, pada daerah penelitian (Kliripan) diasumsikan terdiri dari 2
litologi utama yaitu lempung pasiran dan breksi vulkanik paling dominan.
b. Litodem Vein Kalsedon
Litodem ini tersusun oleh mineral silica berwarna oren kecoklatan, memiliki
tekstur cavity dengan isian mineral kuarsa dan juga mangan. Selain itu juga
tersdapat tekstur saccharoidal atau sugarry texture yang mengisi cavity pada tubuh
kalsedon. Selain itu pada cavity juga dijumpai pula tekstur opal mendada yang
terlapisi juga oleh mineral mangan.
c. Satuan Napal Sentolo
Satuan napal Sentolo tersusun atas napal dengan warna krem keabuan hingga
krem kekuningan, dengan struktur masif, berukuran butir lempung dan
komposisi berupa material berukuran lempung dengan kandungan karbonat.
d. Satuan Batugamping Berlapis Sentolo
Satuan ini tersusun atas batugamping klastik berlapis yang memiliki warna krem
kekuningan hingga putih, dengan warna lapuk hitam, struktur berlapis, ukuran
butir arenit, butiran membundar hingga membundar tanggung dan kemas
tertutup, memiliki komposisi berupa skeletal, interklas sebagai allochem, kalsit
sebagai mikrit dan lime muda sebagai sparit.
2. Struktur Geologi Regional
Struktur ini dapat dikenali dengan adanya kenampakan pegunungan yang
dikelilingi oleh dataran alluvial. Kubah Lonjong adalah struktur yang berkerja pada
pegunungan Kulonprogo dengan diameter 20 km kearah SE-NW dan 32 km kearah NE-
SW. Puncak kubah lonjong ini berupa satu dataran yang luas disebut jonggrangan plateu.
Kubah ini memanjang dari utara ke selatan dan terpotong dibagian utaranya oleh sesar
yang berarah tenggara – barat laut dan tertimbun oleh dataran magelang, sehingga sering
disebut oblong dome (Van Bemellen, 1948).
Secara keseluruhan kompleks pegunungan Kulon Progo terkubahkan selama
pleistosen yang menyebabkan terbentuknya sesar radial yang memotong breksi gunung
ijo dan Formasi Sentolo, serta sesar yang memotong batu gamping Jonggrangan. Pada
bagian tenggara kubah terbentuk graben rendah. Peta Geologi daerah Kliripan dapat
dilihat pada Gambar 1.

724
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

III. METODOLOGI
Penelitian diawali dengan kegiatan pra analisa melalui studi literatur dan
dilanjutkan dengan observasi lapangan. Data yang didapatkan kemudian diolah dan
dilakukan analisis untuk mendapatkan kesimpulan. Gambar 2 menunjukkan metodologi
dari penelitian ini.

IV. HASIL PENELITIAN


A. Resapan Air Hujan
Kondisi air hujan di sekeliling bukaan tambang bawah tanah sangat penting untuk
diketahui agar dapat mengantisipasi dengan baik pengaruhnya pada bukaan tambang
tersebut. Berdasarkan data Badan Meteorologi,Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)
Kulonprogo, Curah hujan maksimum dari tahun 2008-2017 adalah sebesar 716 mm (Tabel
1).
Kehadiran air tanah di suatu lokasi/daerah sangat terkait dengan kondisi curah
hujan dan infiltrasi dari lapisan tanahnya. Dari nilai infiltrasi dapat diketahui laju resapan
air hujan yang akan meresap kedalam tanah. Selanjutnya resapan air hujan tersebut akan
mengalir dari zona tidak jenuh menuju zona jenuh, dan menyatu dengan air tanah yang
ada di akuifer (baik akuifer bebas maupun akuifer tertekan). Oleh karena itu, resapan air
hujan ini sangat berpengaruh terhadap proses pembentukan air tanah maupun
merupakan recharge air tanah yang utama.
Dari hasil pengukuran infiltrasi di lapangan (6 lokasi) dengan alat infiltrometer
double ring diperoleh nilai infiltrasinya sekitar = 0,16 cm/min = 2.439,44 mm/hari. Dari
nilai laju infiltrasi dan luas area permukaan tanah sebagai recharge area, diketahui bahwa
potensi resapan air hujan kedalam tanah adalah 1.600 m3/m Dari hasil pengukuran
infiltrasi di lapangan (6 lokasi) dengan alat infiltrometer double ring diperoleh nilai
infiltrasinya sekitar = 0,16 cm/min = 2.439,44 mm/hari. Dari nilai laju infiltrasi dan luas
area permukaan tanah daerah penelitian (Gambar 3) sebesar 1 km2 sebagai recharge area,
diketahui bahwa potensi resapan air hujan kedalam tanah adalah 1.600 m3/min.

B. Kondisi Sungai di sekitar daerah penelitian


Berdasarkan Peta Topografi (Lihat Gambar 3) di daerah Kliripan tidak terdapat
sungai yang sepanjang tahun mengalirkan air. Adanya sungai kecil yang akan
mengalirkan air jika terjadi hujan. Sungai terdekat dari daerah penelitian melintas di arah
barat daerah penelitian yaitu pada dusun Selo Barat dan Selo Timur. Jenis sungai ini
termasuk sungai intermitten yaitu sungai yang terdapat aliran air pada saat musim hujan,
dan kering pada saat musim kemarau.

C. Keadaan Air Tanah


Berdasarkan Peta Cekungan Air Tanah daerah Wates dan Menoreh daerah
Kliripan merupakan daerah lepasan air tanah yang artinya menjadi daerah keluaran air

725
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

tanah yang berlangsung secara alamiah pada cekungan air tanah. Secara umum air tanah
di daerah Kliripan dan sekelilingnya mengalir dari Timur Laut menuju Barat Daya.
Ditemukan mata air disekitar daerah penelitian ( Kliripan) yang oleh warga
setempat disebut Sendang. Hal ini disebabkan pada lokasi ini permukaan tanahnya
berupa lereng dan terdapat pertemuan litologi yang mempunyai perbedaan nilai
konduktivitas hidrolik yang sangat besar. Lokasi mata air tidak jauh dari Inclined Shaft
(PPTM), kira-kira 10 meter ke arah timur dengan koordinat 07°51'37.54" LS dan
110°07'06.42" BT di elevasi 75 mdpl .
Ketinggian muka air tanah di lokasi penelitian (Gambar 4) diketahui berada pada
elevasi (65 –90) mdpl yang memanjang dari arah Barat ke Timur. Pengukuran muka air
tanah dilakukan melalui sumur gali milik penduduk setempat, dan ada beberapa sumur
gali yang dibuat saat kegiatan penambangan untuk kepentingan proses pencucian bijih
Mangan hasil penambangan. Dari data tersebut kemudian dibuat peta sebaran kontur
muka air tanah dan arah aliran airtanah bebas di daerah Kliripan dan sekelilingnya.

D. Debit Rembesan Air Tanah


Daerah penelitian mampu memasukkan air dengan kecepatan aliran 2.439
mm/hari . Namun, kenyataan di lapangan air hujan maksimum yang terjadi selama kurun
waktu 10 tahun hanya 716 mm dan dalam kenyataannya curah hujan tersebut tidak
semuanya dapat meresap ke dalam tanah dikarenakan terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi seperti kondisi Topografi, Vegetasi pada permukaan tanah (cover crop)
dan tataguna lahan.
Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan dapat dilihat bahwa daerah
penelitian mempunyai laju infiltrasi yang cukup besar. Begitu juga kondisi curah hujan di
daerah penelitian cukup tinggi. Kedua faktor tersebut ternyata mampu mensuplai
imbuhan kedalam air tanah sepanjang tahun. Akibatnya dalam memperhitungkan
rembesan air tanah mestinya sepanjang waktu, baik pada musim penghujan maupun
kemarau.
Dalam perhitungan rembesan air tanah diasumsikan bahwa rembesan air tanah
terjadi pada seluruh dinding Inclined Shaft Sunoto (Gambar 5) dan seluruh dinding vertical
shaft PPTM (Gambar 6). Disamping itu, akuifer bebasnya terdiri dari lapisan breksi
vulkanik. Dari hasil perhitungan, debit rembesan air tanah dari satu sisi dinding lubang
bukaan Sunoto = 6,79 x 10-3 m3/det. Debit total rembesan air tanah dari dua sisi (dinding
kanan dan kiri) Inclined Shaft =1,35 x 10-2 m3/det.
Rembesan air tanah pada vertical shaft PPTM, dihitung dengan menggunakan
teori rembesan air tanah untuk akuifer bebas (teori darcy). Hal ini dilakukan mengingat
vertikal shaft berada pada akuifer bebas yang terdiri dari lapisan Breksi vulkanik. Bentuk
penampang horisontal dari PPTM yaitu bujur sangkar, dengan ukuran 4 x 4 m.
Perhitungan rembesan airtanah dilakukan dengan asumsi bahwa rembesan terjadi pada
seluruh dinding vertical shaft PPTM.
Hasil dari perhitungan, debit rembesan airtanah pada satu sisi dinding vertical
shaft = 1,89 x 10-4 m3/det. Total debit rembesan untuk seluruh dinding vertical shaft PPTM

726
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

(4 dinding) = 7,59 x 10-4 m3/det. Berdasarkan hasil perhitungan di atas, maka dapat
diketahui total debit rembesan airtanah pada Inclined Shaft Sunoto dan vertical shaft PPTM
adalah
= 1,35 x 10-2 m3/det + 7,59 x 10-4 m3/det
= 1,42 x 10-2 m3/det = 51,12 m3/jam.

V. DISKUSI DAN PEMBAHASAN


A. Infiltrasi Air Hujan
Dari hasil perhitungan diketahui kemampuan meresapkan air kedalam lapisan
tanah sebesar 0,16 cm/menit atau sebesar 2.439 mm/hari. Kenyataannya pada kondisi
curah hujan maksimum sebesar 716 mm, tidak semuanya meresap kedalam lapisan tanah,
maka tetap saja bahwa curah hujan maupun nilai laju infiltrasi, membuktikan bahwa
suplai air hujan kedalam air tanah di daerah penelitian mempunyai potensi cukup besar.
Hal ini menyebabkan ketersediaan air tanah dalam akuifer dapat berlangsung sepanjang
tahun, baik musim kemarau maupun musim penghujan.

B. Sumber – Sumber Air yang Masuk ke Lubang Bukaan


Sumber air yang akan masuk ke lubang bekas bukaan tambang pada Inclined
shaft Sunoto dan Vertical shaft PTPM berasal dari rembesan air tanah pada dinding-
dindingnya, dan sebagian kecil dari curah hujan yang langsung masuk melalui mulut
kedua lubang bukaan tersebut. Disamping itu, dari air limpasan dalam jumlah terbatas
dari permukaan tanah di sekeliling dua lubang bekas bukaan tambang tersebut.
Pada penelitian ini sumber air tambang pada kedua lubang bukaan diperkirakan
hanya berasal dari rembesan dan bocoran air tanah. Ini dilakukan karena sudah lama
tidak ada kegiatan penambangan bijih Mangan, dan bukaan tambang bawah tanah tidak
berhubungan langsung dengan udara luar. Setelah melakukan pengamatan langsung di
lapangan dan melakukan pengukuran, ternyata sumber air yang masuk kedua lubang
bukaan hanya berasal dari rembesan air tanah. Sementara untuk bocoran air tanah tidak
ada karena inclined shaf Sunoto berada pada satu lapisan yaitu breksi vulkanik. Dengan
demikian tidak ada lapisan akuifer dan lapisan pembatas di atas lubang bukaan Sunoto.
Dari hasil pengamatan dan perhitungan diketahui debit rembesan air tanah pada inclined
shaft Sunoto sebanyak 1.35 x 10-2 m3/det dan vertical shaft PTPM sebanyak 7.59 x 10-4
m3/det.

C. Jumlah Air pada Lubang Bukaan


Air yang berasal dari rembesan air tanah pada dinding lubang bekas bukaan
tambang, baik pada Inclined shaft Sunoto maupun Vertical shaft PTPM. Dari hasil
perhitungan diketahui jumlah air yang ada pada kolom kedua lubang bekas bukaan
tambang Inclined shaft Sunoto dengan bentuk penampang Trapesium jumlah airnya 1.575
m3, sedangkan Vertical shaft PTPM, dengan bentuk penampang Bujur sangkar berdimensi
(4 x 4) m mempunyai volume = 720 m3. Selanjutnya air yang berasal dari rembesan air

727
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

tanah. Berdasarkan perhitungan dengan rumus Darcy untuk rembesan dari akuifer bebas
dari dinding kiri maupun kanan, diperoleh debit rembesan air tanah 1,42 x 10-2 m3/det.

VI. KESIMPULAN
Kedua lubang bukaan berada pada lapisan Batuan Breksi Vulkanik dan Lapisan
Lempung Pasiran yang merupakan daerah lepasan air tanah yang artinya menjadi daerah
keluaran air tanah yang berlangsung secara alamiah pada cekungan air tanah. Infiltrasi
pada daerah penelitian cukup besar sehingga air tanah diperhitungkan sepanjang tahun.
Sumber air ynag masuk ke dalam lubang bukaan berasal dari rembesan air tanah.
Berdasarkan perhitungan didapatkan bahwa debit rembesan air tanah pada inclined shaft
Sunoto sebanyak 1.35 x 10-2 m3/det dan vertical shaft PPTM sebanyak 7.59 x 10-4 m3/det.
Berdasarkan perhitungan dengan rumus Darcy untuk rembesan dari akuifer bebas dari
dinding kiri maupun kanan, diperoleh debit rembesan air tanah 1,42 x 10-2 m3/det.
Untuk kepentingan penellitian lebih lanjut perlu dilakukan
penyelidikan/penelitian lebih detil mengenai kondisi geologi dan kondisi akuifer di
daerah Kliripan dan sekelilingnya

ACKNOWLEDGEMENTS

Penelitian ini dapat berjalan dengan baik karena dukungan dari para dosen
pembimbing Prodi Sarjana Teknik Pertambangan Fakultas Teknologi Mineral UPN
“Veteran” Yogyakarta dan pembimbing lapangan di lokasi penelitian. Serta tak lupa pula
ucapan terimakasih diberikan kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada
Masyarakat (LPPM) yang telah memberikan hibah penelitian ini Semoga penelitian ini
dapat menjadi referensi bagi perkembangan riset selanjutnya terutama penelitian
mengenai kajian hidrologi terhadap bekas penambangan.

728
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

DAFTAR PUSTAKA
C.W. Fetter, 1994, “Applied Hydrogeology”, McGraw-Hill, Inc, Tokyo. Halaman 108-110.

David Keith Todd, 2005, “Groundwater Hydrology”, Third Edition, 2005, John Wiley & Sons, Inc,
New York, Halaman 13-14

Darwis,2018. “ Pengelolaan Air Tanah”, Yogyakarta : Pustaka AQ Nyutran, Yogyakarta, Indonesia.


Halaman 99-146

Ersin Seyhan, 1977. “Dasar- Dasar Hidrologi”, Bulaksumur, Yogyakarta : GADJAH MADA
UNIVERSITY PRESS, Yogyakarta, Indonesia. Halaman 99-102.

Kensaku Takeda. 1980. Suyono Sosrodarsono,”Hidrologi untuk pengairan”. Jakarta: PT. Pradnya
Paramitha ,Jakarta, Halaman 2.

Lilik Eko Widodo, Gatot Hari Priowirjanto 1999, ”Aliran Bocoran Akuifer Melewati Lapisan
Semipermeabel Cukup Tebal”, Bandung, Indonesia.

Sudarto Notosiswoyo, Suyono, Lilik Eko Widodo, 2002, “Prediction of facture rock permeability in
Pasir Impun, Bandung, Indonesia”, Proceeding of Internasional Seminar at King Saud
University, Riyadh, Saudi Arabia.

Teknik Geologi UPNVYK, 2018,”Laporan Penyelidikan Geologi UPN “veteran” Yogyakarta”,


Yogyakarta, Indonesia.

729
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

TABEL

Tabel 1. Data Curah Hujan Daerah Kulonprogo Tahun 2008 - 2017

Bulan 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017

CH CH CH CH CH CH CH CH CH CH

Januari 305 263 246 300 306 490 301 372 199 310
Februari 335 258 151 343 209 245 251 178 408 381
Maret 257 138 242 262 229 222 174 345 292 329
April 182 190 189 228 112 142 195 362 180 344
Mei 14 92 315 195 70 183 55 47 129 95
Juni 0 67 67 2 0 138 57 2 318 25
Juli 0 17 26 1 0 89 301 0 114 17
Agustus 0 0 4 0 0 1 251 0 37 3
September 1 4 257 0 0 1 174 0 301 86
Oktober 160 52 271 12 60 45 301 0 357 239
November 457 190 183 278 291 220 251 134 552 716
Desember 295 138 331 310 493 335 174 394 270 171
Sumber : Kabupaten Kulon Progo Dalam Angka, BPS, 2018.

730
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

GAMBAR

Gambar 1. Peta Geologi Daerah Kliripan

731
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Metodologi Penelitian

732
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Peta Topografi Daerah Penelitian (Kliripan)

733
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Peta Kondisi Lubang Bukaan PPTM dan Sunoto

Gambar 5. Rembesan Pada Inclined Shaft Sunoto

734
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 6. Rembesan Pada Vertical Shaft PPTM

735
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E010UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

PRIORITAS PENGELOLAAN ZONA KONSERVASI AIR TANAH DI


MATAAIR BISMO, KABUPATEN BATANG, JAWA TENGAH

Alfath Zain1, Aulia Umami1, Fadhil2


1Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta
Jl. Kalisahak No. 28, Kompleks Balapan, Yogyakarta, D.I.Y. 55222,
2Teknik Geofisika, Fakultas Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional “VETERAN”

Yogyakarta Jl. SWK 104 (Ringroad Utara), Condong Catur, Depok, Sleman, D.I.Y. 55283 3
*Corresponding Author: alfathzain@gmail.com

ABSTRAK. Konservasi air tanah merupakan salah satu komponen penting dalam pengelolaan air
tanah sebagai upaya mencegah degradasi kuantitas dan kualitas air tanah. Mata air Bismo adalah
mata air dengan debit terbesar di Kabupaten Batang dan dimanfaatkan sebagai sumber mata air
bagi PDAM. Maksud dari penelitian ini adalah untuk menentukan langkah perlindungan air tanah
melalui tindakan konservasi air tanah, sehingga dapat digunakan sebagai acuan atau pedoman
dalam pelaksanaan program pengelolaan air tanah di mata air Bismo. Tujuan dari penelitian ini
adalah menentukan kondisi hidrogeologi mata air Bismo, menentukan nilai dari parameter yang
digunakan dalam penentuan zona konservasi, dan menentukan zona konservasi air tanah. Metode
yang digunakan untuk penentuan zona konservasi air tanah yaitu dengan menentukan nilai
parameter zona konservasi antara lain: tata guna lahan, kemiringan lereng dan kerapatan vegetasi.
Dengan teknik pembobotan dan penampalan dari setiap parameter dapat ditentukan zona
konservasi air tanah pada daerah penelitian. Kondisi hidrogeologi pada daerah penelitian yaitu
termasuk dalam tipe sistem akuifer endapan gunung api yang tersusun oleh perselingan breksi
dan lava andesit. Mata air Bismo mengeluarkan air tanah secara menerus, baik pada musim
penghujan maupun pada musim kemarau. Berdasarkan jenis akuifernya mata air Bismo masuk
kedalam mata air artesis yaitu mata air yang air tanahnya berasal dari akuifer tertekan.
Kemunculan mata air Bismo disebabkan oleh adanya Sesar Turun yang menyebabkan jalan bagi
air tanah untuk keluar kepermukaan, mata air seperti ini disebut dengan mata air fracture. Zona
konservasi air tanah didaerah penelitian terbagi menjadi 4 zona, yaitu Zona I (Rawan), Zona II
(Kurang Aman), Zona III (Cukup Aman) dan Zona IV (Aman).

Kata kunci: : Bismo, Sistem Akuifer, Zona Konservasi

I. PENDAHULUAN

Air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah
permukaan tanah. Air tanah merupakan sumber air utama bagi makhluk hidup,
khususnya bagi manusia. Akan tetapi dari tahun ke tahun persediaan air tanah yang ada
di bumi kian menipis bahkan dikatakan untuk masa mendatang pesediaan air tanah akan
habis jika manusia terus menerus mengeksploitasi air tanah dengan maksimal tanpa
memikirkan pengelolaannya, semua itu akan berdampak pada naik turunnya debit dan
terancamnya ketersedian air tanah. Tidak hanya secara kuantitas tetapi kualitas air tanah
pun bisa terancam dari lingkungan keberadaannya. Oleh karena itu diperlukannya
tindakan konservasi, sehingga pemanfaatannya dapat berkelanjutan bukan hanya untuk
kepentingan manusia namun juga untuk keseimbangan ekosistem yang bergantung

736
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E010UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

pada air tanah.


Konservasi air tanah adalah segala tindakan perlindungan air tanah, pelestarian
air tanah dan penghematan sumber daya air tanah. Tindakan melindungi, melestarikan
dan menghemat air tanah harus didasarkan pada hasil evaluasi kondisi sumber daya air
tanah dan kondisi pemanfaatan sumber daya lahan serta tata guna lahannya. Pada
dasarnya tindakan ini bertujuan untuk mengelola sumberdaya air tanah supaya dapat
dimanfaatkan secara berkesinambungan dan berkelanjutan (Hendrayana, H., dkk, 2008).

II. METODE PENELITIAN

Metode penelitian dilakukan dengan cara mengevaluasi penentuan zona kelas atau
tingkatan kepentingan (urgency) konservasi yang ditentukan berdasarkan peta dengan
metode overlay sederhana dan sistem rating. Standar metodologi evaluasi seperti overlay
sederhana dan rating tidak ditentukan, mengingat keberadaan data yang berbeda dari
satu daerah ke daerah yang lain. Serta perkembangan kebijakan lingkungan daerah
khususnya mengenai air tanah yang berlainan dari setiap wilayah ke wilayah yang lain.
Hal mendasar yang perlu diperhatikan untuk evaluasi penentuan zona kelas
atau tingkatan kepentingan (urgency) konservasi adalah pembobotan masing-masing
paramater. Setelah kelas atau tingkatan kepentingan (urgency) konservasi
terpetakan, langkah berikutnya adalah menentukan tindakan atau upaya konservasi
pada setiap zona kelas atau tingkatan urgency konservasi. Hal ini dilakukan dengan
melakukan overlay peta zona kelas atau tingkatan kepentingan (urgency) dengan
mempertimbangkan peta resiko lahan terhadap degradasi kuantitas dan kualitas air
tanah. Hasil overlay ini akan menunjukkan upaya-upaya apa saja dalam kerangka kegiatan
konservasi air tanah (perlindungan, pelestarian, pengawetan dan penghematan) yang
harus dilakukan berdasarkan informasi kebutuhan atau pemanfaatan air tanah.
Tindakan atau upaya konservasi pada setiap zona urgency akan dijelaskan pada tabel
yang termuat didalam peta zona kelas konservasi air tanah. Berikut merupakan peta-
peta parameter yang penulis gunakan untuk melakukan pembobotan dalam penentuan
zona kelas pada peta konservasi air tanah berdasarkan modifikasi dari Hendryana, H
dan Putra D.P.E, 2008.

a. Parameter zona konservasi air tanah


Parameter yang dalam penentuan zona kelas konservasi air tanah meliputi tata guna
lahan, kemiringan lereng dan kerapatan vegetasi yang akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Kelas resiko lahan terhadap degradasi kuantitas dan kualitas air tanah
Pemanfaatan air tanah akan sangat berkaitan dengan pemanfaatan lahan
yang berkembang pada suatu daerah. Tata guna lahan dalam kehidupan
manusia merupakan aspek yang tidak dapat dikesampingkan, karena dalam
upaya manusia memenuhi berbagai kebutuhan dan keperluan hidupnya
manusia memanfaatkan lahan untuk keperluan yang berbeda-beda. Perbedaan
pemanfaatan tersebut berdasarkan kebutuhan dari manusia itu sendiri dan

737
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E010UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

kemampuan, serta kecocokan lahan dalam penggunaanya. Tiap-tiap


pemanfaatan lahan memiliki nilai dan bobot terhadap pengaruhnya pada
prioritas konservasi, pembagian bobot pada tata guna lahan akan dijelaskan
pada (Tabel 1).
a. Kemiringan lereng
Kemiringan lereng merupakan tingkat kemiringan yang tercermin
dalam morfologi. Semakin besar tingkat kelerengan pada umumnya akan
semakin menambah kemungkinan terjadinya gerakan tanah pada suatu
daerah. Hal ini juga berhubungan dengan keberlangsungan air tanah terutama
pada daerah recharge. Terjadinya longsor akan mengakibatkan rusaknya
horizon pada soil, hal ini akan berpengaruh terhadap kestabilan sistem pada
daerah recharge sehingga air hujan tidak dapat terinfiltrasi secara maksimal.
Semakin tinggi tingkat kelerengan maka soil atau batuan akan semakin mudah
tertarik ke bawah sehingga mengakibatkan terjadinya gerakan tanah.
Pembagian bobot pada kemiringan lereng akan dijelaskan pada (Tabel 2).
b. Kerapatan vegetasi
Selain faktor-faktor berupa tata guna lahan dan kemiringan lereng
terdapat faktor lain yang berperan terhadap proses infiltrasi pada daerah
recharge yaitu kerapatan vegetasi atau yang biasa disebut dengan Normalized
Difference Vegetation Index (NDVI). Keterdapatan vegetasi sangat
berpengaruh terhadap kesediaan air tanah karena dengan adanya vegetasi air
dapat meresap optimal kedalam tanah dan batuan. Semakin lebatnya vegetasi
dengan akar tunggang maka akan semakin baik. Vegetasi juga berpengaruh
terhadap tingkat kestabilan lerang. Beberapa vegetasi dapat meningkatkan
kestabilan lereng karena akarnya dapat mengikat massa batuan sehingga lebih
kompak. Pembagian bobot pada kerapatan vegetasi akan dijelaskan pada
(Tabel 3).
c. Analisis data
Pada suatu proses overlay, bobot parameter merupakan salah satu
hal yang vital untuk ditentukan. Secara sederhana, dapat juga diasumsikan
bahwa setiap parameter memiliki bobot pengaruh yang sama, tetapi pada
kenyataannya suatu parameter akan lebih penting dibandingkan parameter
yang lain. Pada penentuan prioritas pengelolaan zona konservasi air tanah,
penentuan bobot menjadi sangat penting, karena satu parameter akan memiliki
prioritas lebih pada kerangka konservasi. Seperti contohnya adalah tata guna
lahan lebih penting dari pada kemiringan lereng, karena keberadaan tata guna
lahan dapat berpengaruh terhadap kualitas serta kuantitas air tanah.
Parameter-parameter yang digunakan adalah parameter yang utama dalam
konservasi untuk keberlanjutan pemanfaatan air tanah dan kelestariannya.
Pembobotan dilakukan dengan memberi nilai pada setiap parameter tersebut
dari skor 1 (sangat baik) hingga skor 4 (buruk), kemudian dilakukan
perhitungan skor dan pembobotan berdasarkan modifikasi dari (Respati, Y.S.,
dkk, 2010) adalah sebagai berikut:
Rumus :
H (Bobot) = (3xA) + (2xB) + (1xC)

738
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E010UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Keterangan :
A = Tata guna lahan
B = Vegetasi
C = Kemiringan lereng

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Karakteristik akuifer mata air Bismo

Kondisi geologi pada daerah penelitian terdiri dari satuan lava andesit yang
berasal dari Formasi Gunung Api Jembangan (Gambar 1). Mata air Bismo muncul pada
satuan lava andesit yang umumnya memiliki porositas dan permeabilitas yang sangat
kecil nilainya. Munculnya mata air pada satuan lava andesit ini disebabkan oleh adanya
struktur geologi berupa sesar dan kekar yang saling terkoneksi sehingga menimbulkan
jalan bagi fluida keluar ke permukaan. Jenis akuifer pada mata air Bismo adalah akuifer
tertekan yang ditandai oleh lapisan kedap air yang berupa lava andesit pada bagian atas
akuifer dan lapisan bawah berupa breksi andesit yang memiliki porositas dan
permeabilitas yang baik (Gambar 2). Keberadaan struktur menyebabkan air pada
permukaan pun akan dapat mudah masuk ke dalam akuifer, sehingga tindakan
konservasi yang dilakukan tetap dapat berjalan dengan optimal karena tipe mata air
Bismo adalah mata air rekahan (fracture). Tindakan konservasi ini hanya fokus pada satu
titik yaitu mata air Bismo dan zona resapannya.

b. Prioritas pengelolaan zona konservasi air tanah

Upaya konservasi air tanah dilaksanakan secara menyeluruh pada wilayah


sekitar mata air Bismo, mencakup daerah imbuhan serta daerah lepasan air tanah. Dalam
kegiatan konservasi keberadaan tata guna lahan harus dipertimbangkan dalam
perencanaan pendayagunaan air tanah dengan baik, sehingga penulis membuat peta tata
guna lahan yang dapat dilihat pada (Gambar 3). Berdasarkan peta tata guna lahan dan
analisis kondisi hidrogeologi, daerah recharge berada pada kawasan hutan hingga
perkebunan, hasil penentuan ini dilakukan dengan mempertimbangkan arah aliran air
tanah pada daerah penelitian yaitu mengalir dari daerah tinggian pada bagian selatan ke
daerah yang lebih rendah pada bagian utara.
Selain peta tata guna lahan, parameter penting dalam penentuan zona
konservasi air tanah yaitu kemiringan lereng dan kerapatan vegetasi. Kemiringan lereng
yang semakin curam jika diikuti dengan vegetasi yang jarang akan berpotensi terjadinya
longsor karena tanah yang tidak stabil dan jenuh air. Terjadinya longsor pada daerah
recharge akan berpengaruh terhadap proses infiltrasi air, kurangnya daya resap tanah dan
berdampak pada keberlangsungan suplai air tanah ke daerah discharge. Sebaliknya jika
lereng yang curam dengan vegetasi yang lebat maka akan stabil dan tidak berpotensi
longsor. Dari penjelasan tersebut, selanjutnya penulis membuat peta kemiringan lereng
(Gambar 4) dan peta kerapatan vegetasi (Gambar 5) sebagai parameter yang berkaitan
dengan proses infiltrasi yang optimal dalam pembagian zona konservasi air tanah.
Dari ketiga peta tersebut selanjutnya ditampalkan menjadi satu peta dan
dilakukan pembobotan skor pada setiap parameternya. Nilai dari kelas-kelas parameter

739
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E010UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

ditentukan berdasarkan aspek kerentanan terhadap proses pemanfaatan air tanah, dan
resiko terhadap kerusakan air tanah dari suatu parameter. Konsep yang digunakan pada
pembagian nilai ini adalah “semakin rentannya suatu parameter terhadap terjadinya
kerusakan kuantitas dan kualitas air tanah maka nilainya semakin besar dalam aspek
kepentingannya untuk dilakukan suatu tindakan konservasi”. Dalam hal ini, kelas
parameter dengan nilai kerentanan terendah untuk terjadinya kerusakan kuantitas dan
kualitas air tanah akibat kondisi alamiah maupun aspek pemanfaatan atau pencemaran air
tanah ditentukan bernilai memiliki skor 1 dan kelas kerentanan yang lebih tinggi
berturut-turut bernilai 2, 3 dan 4. Adapun hasil pembobotan skor setiap parameter yang
digunakan pada penentuan zona konservasi air tanah dibuat dalam bentuk peta konservasi
air tanah yang dapat dilihat pada (Gambar 6). Pada peta konservasi tersebut, terdapat 4
zona yang ditentukan berdasarkan tingkat kerawanannya. Zona 1 adalah zona yang
paling rawan dapat merusak dan mencemari air tanah, dikarenakan merupakan
pemukiman yang padat dan dekat dengan mata air Bismo. Zona 2 adalah zona kurang
aman dengan pemukiman yang tidak padat tetapi memiliki kerapatan vegetasi yang
jarang. Zona 3 merupakan zona yang cukup aman dengan pemanfaatan lahan berupa
perkebunan dan tidak adanya pemukiman. Sedangkan Zona 4 adalah zona yang aman
dikarenakan terdiri dari hutan dan sangat terbatas dari aktivitas manusia.
Pelaksanaan pendayagunaan air tanah serta kegiatan lain yang berpotensi
mengubah dan merusak kondisi lingkungan serta air tanah, wajib disertai dengan upaya
konservasi air tanah. Setiap upaya konservasi air tanah selalu mengikut sertakan peran
masyarakat di dalamnya. Tindakan pengelolaan zona konservasi air tanah yang perlu
dilakukan berdasarkan pembagian zona prioritas yang telah dibuat adalah sebagai
berikut:
a. Zona 1
1) Pembatasan aktivitas manusia yang dapat merusak lahan dan air tanah. 2)
Perawatan sistem irigasi. 3) Pembatasan aktivitas industri. 4) Pembatasan
penutupan impermeabilisasi permukaan. 5) Tidak diperbolehkan
mendirikan kawasan industri baru dan tidak melakukan pengambilan air
tanah secara berlebihan. 6) Menerapkan sistem pembuangan limbah dan
tidak melakukan pencemaran. 7) Pengaturan secara ketat luasan lahan
yang boleh dibangun atau pengaturan penutupan lahan yang bertujuan
untuk memberikan peluang peresapan air hujan ke dalam tanah, dapat
diterapkan pada wilayah atau kawasan padat hunian. 8) Pelarangan
membuat lokasi tempat pembuangan sampah akhir yang dekat dengan
mata air. 9) Pembuatan lubang biopori dan sumur resapan pada area
pemukiman.
b. Zona 2
1. Pembatasan pemakaian pestisida. 2) Perubahan terbatas tata guna lahan. 3)
Rehabilisasi lahan dengan vegetasi. 4) Reboisasi atau penghijauan pada lahan-
lahan daerah perbukitan berlereng curam. 5) Pengaturan dan pembuatan jaringan
sanitasi yang baik. 6) Pembuatan jalur hijau berupa penanaman tanaman keras pada
tepian jalan.

740
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E010UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

c. Zona 3
1. Pembatasan aktifitas manusia khususnya yang dapat menurunkan kualitas air
tanah. 2) Pelarangan menggunakan pestisida, pupuk yang berlebihan pada area
perkebunan. 3) Pelarangan melakukan penebangan pohon sembarangan.
d. Zona 4
1. Tidak ada aktivitas manusia. 2) Pelarangan melakukan penebangan pohon
sembarangan. 3) Terlindungi dan terkonservasi secara natural.

IV. KESIMPULAN

Kondisi hidrogeologi pada daerah penelitian yaitu termasuk dalam tipe sistem
akuifer endapan gunung api yang tersusun oleh perselingan breksi dan lava andesit.
Mata air Bismo mengeluarkan air tanah secara menerus, baik pada musim penghujan
maupun pada musim kemarau. Berdasarkan jenis akuifernya mata air Bismo masuk
kedalam mata air artesis yaitu mata air yang air tanahnya berasal dari akuifer tertekan.
Kemunculan mata air Bismo disebabkan oleh adanya Sesar Turun yang menyebabkan
jalan bagi air tanah untuk keluar ke permukaan, mata air seperti ini disebut dengan
mata air fracture. Zona konservasi air tanah di daerah penelitian terbagi menjadi 4 zona,
yaitu Zona I (Rawan), Zona II (Kurang Aman), Zona III (Cukup Aman) dan Zona IV
(Aman).

DAFTAR PUSTAKA

Bronto, S., 2010, Geologi Gunung Api Purba, Publikasi Khusus, Badan Geologi, Kementrian Energi
dan Sumber Daya Mineral, Bandung.
Condon, W.H., Ketner, L., Pardyanto, K.B., Amin T.C., Gafoer, S., Samodra, H., 1996, Peta Geologi
Lembar Banjarnegara dan Pekalongan, Jawa, Skala 1:100.000, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi, Bandung.
Hendrayana, H., Putra, D.P.E., 2008, Konservasi Air Tanah - Sebuah Pemikiran, Jurusan Teknik
Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Hendrayana, H., 2013, Hidrogeologi Mata Air, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Hendrayana, H., Ramadhika, R., 2016, Penentuan Zona Konservasi Cekungan Air Tanah Wates,
Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta, Proceedings, Seminar Nasional
Kebumian Ke-9, Yogyakarta.
Mulyaningsih, S., 2013, Vulkanologi, AKPRIND PRESS, Yogyakarta.
Puradimaja, D.J., 2006, Hidrogeologi Kawasan Gunung Api dan Karst di Indonesia, Buku Pidato
Ilmiah Guru Besar Institut Teknologi Bandung, Majelis Guru Besar Institut Teknologi
Bandung, Bandung.
Puradimaja, D.J., Irawan, D.E., Hutasoit, L.M., 2003, The Influence of Hydrogeological Factors on
Variations of Volcanic Spring Distribution, Spring Discharge, and Groundwater Flow
Pattern. BULETIN GEOLOGI, Vol. 35, No. 1.

741
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E010UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Respati, Y.S., Putranto, A.M., Suwardi, A., Fatkhiandari, I.A., Husein, S., 2010, GIS Analysis of
Mass Movement on Girimulyo District, Kulon Progo, DIY, and Study of Controlling
Factors, HAGI-SEG International Geoscience Conference and Exhibition, Bali.

742
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E010UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 1. Nilai kelas aspek resiko kerusakan air tanah akibat tata guna lahan
(Hendrayana, H., dkk, 2016)

Intensitas Kepentingan
Parameter Penggunaan Lahan
Keterangan Skor

Pemukiman Buruk 4

Persawahan Sedang 3

Perkebunan Baik 2

Kawasan Hutan Sangat Baik


1

Tabel 2. Nilai kelas kemiringan lereng (Respati, Y.S., dkk, 2010)

Parameter Kemiringan Lereng (...°) Intensitas Kepentingan


Keterangan Skor

29° - >53° Buruk 4

14° - 28° Sedang 3

9° - 13° Baik 2

0° - 8° Sangat Baik 1

743
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E010UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 3. Nilai kelas kerapatan vegetasi

Intensitas Kepentingan
Parameter Kerapatan Vegetasi Keterangan Skor

Tidak Ada Buruk 4

Jarang Sedang 3

Sedang Baik 2

Lebat Sangat Baik 1

744
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E010UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Peta Geologi daerah penelitian.

745
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E010UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Sistem akuifer rekahan (Puradimaja, D.J., dkk, 2003)

Gambar 3. Peta Tata Guna Lahan.

746
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E010UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Peta Kemiringan Lereng

747
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E010UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. Peta Kerapatan Vegetasi

748
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E010UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 6. Peta Zona Konservasi Air Tanah

749
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E014UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

PENENTUAN MODEL ATENUASI PERCEPATAN TANAH UNTUK


WILAYAH SUMATRA BARAT BERDASARKAN SUMBER GEMPA BUMI
SUBDUKSI INTERFACE

Sidiq Hargo Pandadaran1*, Aziz Widiarso1, Arif Alhazmi Fauzi1, Sigit Eko Kurniawan1, Adi
Surya Widya Wibawa2
1Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika / Jl. Angkasa I No.2 Kemayoran Jakarta Pusat, DKI Jakarta
10720,
2Sekolah Tinggi Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika / Jalan Perhubungan I No.5 Pondok

Betung,Bintaro, Kec. Pd. Aren, Kota Tangerang Selatan, Banten 15221


*Corresponding Author: sidiqargo@gmail.com

ABSTRAK. Dalam pengembangan peta percepatan tanah tentunya diperlukan model atenuasi percepatan
tanah yang baik guna mendapatkan hasil yang sesuai dengan keadaan di lapangan. Hasil yang baik
tersebut ditunjukkan dengan kedekatan antara hasil prediksi dari model atenuasi dengan hasil
observasi sensor akselerograf di lapangan. Pada penelitian ini akan dibahas mengenai pemilihan model
atenuasi percepatan tanah yang cocok untuk wilayah Sumatra Barat berdasarkan 9 model atenuasi. Data
percepatan tanah yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari rekaman 7 sensor akselerograf BMKG
yang terletak di provinsi Sumatra Barat dari tahun 2012 hingga tahun 2017 dengan jumlah 182 rekaman
yang berasal dari 57 kejadian gempa bumi, data parameter gempa bumi bersumber dari catalog gempa bumi
BMKG dengan rentang magnitudo 4.1-6.4 dan data mekanisme fokal bersumber dari Global Centroid
Moment Tensor (GCMT). Dari hasil yang didapat menunjukkan model atenuasi percepatan tanah dari C. B.
Crouse (1991) memiliki hasil paling baik dengan nilai RMSE sebesar 0.40.

Kata Kunci :Model atenuasi percepatan tanah, sumatra barat, subduksi interface

I. LATAR BELAKANG
Model atenuasi percepatan tanah merupakan salah satu bagian penting dalam
studi bahaya gempa bumi. Perannya dalam memprediksi nilai percepatan tanah sangatlah
diperlukan terutama di wilayah yang minim atau bahkan tidak ada sensor akselerograf.
Selain itu, model atenuasi percepatan tanah dibutuhkan dalam pembuatan peta probalistic
seismic hazard analysis (PSHA) yang di mana peta tersebut berguna untuk mengestimasi
nilai pga di suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu dan sebagai informasi tambahan
untuk pembangunan gedung tahan gempa bumi.
Penelitian awal mengenai model atenuasi percepatan tanah pada awalnya hanya
menitik beratkan pada faktor magnitudo dan faktor jarak, karena pada waktu itu para
peneliti berasumsi hanya kedua faktor tersebut yang mempengaruhi besar kecilnya suatu
getaran. Namun dalam perkembangannya, para peneliti banyak menemukan faktor-
faktor baru seperti faktor hanging wall, faktor jarak perambatan gelombang melalui

750
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E014UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

lapisan vulkanik, faktor geometric spreading, faktor jenis patahan dan lain sebagainya. Selain
itu, model atenuasi percepatan tanah dalam perkembangannya juga dibedakan menurut
sumber terjadinya gempa bumi, seperti bersumber dari lapisan shallow crustal, upper mantle,
subduksi interface, subduksi intraslab dan lain-lain.
Busur Andaman-Sumatra membentang lebih dari 3000 km yang merupakan hasil
pertemuan antara Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia. Dari aktivitas pertemuan
lempeng tersebut menciptakan zona subduksi di sebelah barat Pulau Sumatra dan
menyebabkan wilayah-wilayah di pulau tersebut, khususnya Sumatra Barat rawan terjadi
gempa bumi. Lempeng Indo-Australia yang menunjam memiliki kecepatan yang
bervariasi yaitu 44 mm/tahun di bagian Andaman dan 60 mm/tahun di selatan Sumatrra
(DeMetsk dkk., 2010).
Seismisitas yang berhubungan dengan zona subduksi dapat diketahui dari
wilayah permukaan dekat dengan palung hingga kedalaman 250 km (Fitch and Molnar,
1970) dan pada kedalaman lebih dari 100 km, sudut kemiringan slab yang terbentuk
berkisar 300 hingga 400 (Berggren et al. (1985).
Dalam kurun waktu 1821-2017 sedikitnya sudah terjadi 30 kali gempa bumi
merusak, di mana 6 diantaranya memicu tsunami. Keenam gempa bumi tersebut antara
lain gempa bumi 5 Juli 1904 (tidak ada informasi magnitudo), gempa bumi 10 April 2005
dengan magnitudo 6.7, gempa bumi 30 September 2009 dengan magnitudo 7.6, gempa
bumi 16 Agustus 2009 dengan magnitudo 6.9, gempa bumi 25 Oktober 2010 dengan
magnitudo 7.2, dan gempa bumi 2 Maret 2016 dengan magnitudo 7.8. Gempa bumi paling
merusak terjadi pada tanggal 30 September 2009, dirasakan VII MMI di kota Padang dan
ketinggian tsunami yang tercatat yaitu 20 cm. Walaupun ketinggian tsunami yang tercatat
rendah dan tergolong tidak berbahaya, namun menimbulkan 1115 korban jiwa akibat
reruntuhan bangunan.
Oleh karena itu, berdasarkan kajian di atas, penelitian mengenai model atenuasi
percepatan tanah sangatlah diperlukan. Pada penelitian ini akan dibahas mengenai
pemilihan model atenuasi percepatan tanah yang cocok untuk wilayah Sumatra Barat
berdasarkan 9 model atenuasi sumber gempa bumi subduksi interface. Dari 9 model
atenuasi tersebut kemudian dipilih model yang memiliki hasil prediksi mendekati nilai
percepatan tanah di lapangan. Diharapkan dengan ditemukannya model atenuasi
percepatan tanah yang baik, rumusan tersebut dapat digunakan sebagai informasi

751
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E014UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

tambahan untuk studi bahaya gempa bumi sehingga dampak yang ditimbulkan akibat
gempa bumi dapat diminimalisasi.

II. DATA
Data percepatan tanah yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari rekaman
sensor akselerograf milik Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang
terletak di Sumatra Barat dari tahun 2012-2017. Jumlah sensor yang digunakan pada
penelitian ini berjumlah 7 sensor, yaitu sensor PAGA, PAPA, PASC, PATA, PATU, PDSI,
dan SDSI (gambar 1). Dalam pengkliasifikasian kelas tanah atau site classification
meggunakan klasifikasi tanah dari National Earthquake Hazards Reduction Program (NEHRP)
(Building Seismic Safety Council, 2003) yang di mana pengklasifikasian tersebut
berdasarkan nilai rata-rata kecepatan gelombang geser pada kedalaman 30 meter (Vs30).
Untuk kondisi kelas tanah D yaitu PAGA yang terletak di Bukit Tinggi, PAPA yang
terletak di Padang Panjang, PASC yang terletak di Sicincin, PATA yang terletak di
Ketaping, PDSI yang terletak di Kota Padang, dan SDSI yang terletak di Sungai Dareh.
Lalu untuk kondisi kelas tanah E yaitu PATU yang terletak di Teluk Bayur. Data percepatan
tanah tersebut terdiri dari 182 rekaman yang berasal dari 57 kejadian gempa bumi
dengan jarak kurang dari 500 km dengan rentang magnitudo (Mw) 4.1-6.4. Sebaran data
magnitudo terhadap kedalaman dan jarak terhadap kedalaman dapat dilihat pada gambar
2 serta informasi mengenai mekanisme fokal didapat dari Global Centroid Moment Tensor
(GCMT).

III. METODE
Magnitudo
Telah banyak rumusan konversi magnitudo yang dipublikasikan, diantaranya
Scordilis dkk. (2006), Grunthal dkk. (2009), Akkar dkk. (2010) dan Pusat Studi Gempa
Nasional (2017). Karena Sumatra Barat merupakan salah satu wilayah Indonesia,
sehingga diasumsikan rumusan konversi magnitudo yang paling baik adalah dari Pusat
Studi Gempa Nasional (2017) di mana rumusan tersebut hasil publikasi dari Kementrian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Republik Indonesia. Rumus konvesi
magnitudo tersebut dapat dilihat pada rumus (1), (2), dan (3).
Mw = 1,0107 mb + 0.0801 (1)

Mw = 0.6016 Ms + 2.476 untuk 2.8 < Ms < 6.1 (2)

Mw = 0.9239 Ms + 0.5671 untuk 6.2 < Ms < 8.7 (3)

752
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E014UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Di mana Mw merupakan momen magnitudo, mb merupakan magnitudo


gelombang badan, dan Ms merupakan magnitudo gelombang permukaan. Tidak ada
rumus konversi untuk magnitudo lokal (ML) karena pada penelitian Pusat Studi
Gempa Nasional (2017) hasil antara Mw observasi dan ML mendekati sama, sehingga
diasumsikan bahwa ML mewakili Mw.
Jarak
Ada banyak tipe jarak yang digunakan dalam pembuatan model atenuasi
percepatan tanah. Diantaranya jarak terhadap pusat pelepasan energi (RE), jarak
episenter (Repi), jarak Joyner- Boore (Rjb), jarak hiposenter (Rhipo), jarak terhadap bidang
rupture (Rrup), dan lain-lain. Pemilihan model jarak yang dimaksud di atas juga
mempertimbangkan berbagai macam faktor, diantaranya sumber atau tipe gempa bumi,
rentang magnitudo yang digunakan, seberapa jauh pusat gempa bumi terhadap sensor
pencatat dan lain sebagainya. Pada penelitian ini, model yang menggunakan RE dan
Rrup dikonversikan menjadi Rhipo dikarenakan magnitudo yang digunakan pada
penelitian ini di bawah 7.5, sehingga RE dapat diasumsikan sama dengan Rhipo (Chen
dan Scawthron, 2002) dan tidak adanya model bidang rupture pada penelitian ini sehingga
Rrup diasumsikan sama dengan Rhipo.
Pemilihan model atenuasi
Pada penelitian ini, setidaknya telah dilakukan uji coba terhadap 15 model
atenuasi. Namun, dikarenakan keterbatasan tempat, dari 15 model tersebut disaring
menjadi 9 model yang dinilai memiliki rata-rata nilai eror paling kecil, model tersebut antara
lain Young dkk. (1988), Fukushima dan Tanaka (1990), C. B. Crouse (1991), Kanno dkk.
(2006), Zhao dkk. (2006), Lin dan Lee (2008), Bernal dkk. (2012), Mu dan Yuen (2016),
Shoushtari dkk. (2018). Ringkasan kesembilan model atenuasi tersebut dapat dilihat
pada tabel 2. Untuk membandingkan rata- rata nilai eror antar model, digunakan
metode root mean square error (RMSE). Metode RMSE dipilih karena dapat
menggambarkan rata-rata eror dari hasil prediksi terhadap nilai observasi, sehingga
dapat digunakan untuk membandingkan antara rumusan satu dengan rumusan yang
lainnya.

753
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E014UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pada pengaplikasiannya, model atenuasi percepatan tanah digunakan untuk
memprediksi nilai percepatan tanah di suatu wilayah yang minim atau bahkan tidak
ada sensor akselerograf, pembuatan peta PSHA, dan sebagai data tambahan dalam
pembuatan bangunan tahan gempa bumi.
Dari hasil penelitian ini, dipilih model yang paling mendekati dengan data
observasi atau catatan sensor akselerograf di wilayah Sumatra Barat. Distribusi nilai
residual dari tiap-tiap model terhadap data observasi dapat dilihat pada gambar 3, 4, dan
5. Gambar 3 menggambarkan distribusi residual untuk kelas tanah keseluruhan, gambar
4 menggambarkan distribusi residual untuk kelas tanah D, dan gambar 5
menggambarkan distribusi nilai residual untuk kelas tanah E. Seluruh model terbagi
menjadi 3 rentang magnitudo, garis lurus menggambarkan nilai rata-rata residual tiap
model dan garis putus- putus menggambarkan standar deviasi nilai residual dari tiap
model.
Untuk mengetahui model atenuasi terbaik dari kondisi kelas tanah keseluruhan,
maupun untuk kelas tanah D dan E, metode RMSE pun dipilih. Hasil nilai RMSE untuk
model kelas tanah keseluruhan, kelas tanah D, dan E dapat dilihat pada tabel 3. Untuk
kondisi kelas tanah keseluruhan, model terbaik adalah C. B. Crouse (1991) dengan nilai
RMSE sebesar 0.40, model terbaik untuk kondisi kelas tanah D adalah Kanno dkk.
(2006) dengan nilai RMSE sebesar 0.40, dan model terbaik untuk kondisi kelas tanah E
adalah C. B. Crouse (1991) dengan nilai RMSE sebesar 0.37.
Hasil terbaik pada tabel 3 kemudian digunakan untuk mensimulasikan nilai pga
dalam 3 rentang magnitudo dengan jarak kurang dari 500 km. Model yang digunakan
adalah C. B. Crouse (1991) untuk kondisi kelas tanah keseluruhan dan kondisi kelas
tanah E serta model kanno dkk. (2006) untuk kondisi kelas tanah D. Untuk skenario
terburuk apabila terjadi kerusakan akibat gempa bumi, gempa bumi dengan jarak
terdekat kemudian dipilih. Gambar 6 menyajikan grafik pga prediksi dari tiap model
terbaik untuk masing-masing kondisi kelas tanah. Untuk kondisi kelas tanah secara
keseluruhan, gempa bumi terdekat yaitu berjarak 54 km dari sensor pencatat, pga
prediksi untuk magnitudo 4 sebesar 0.007 g, magnitudo 5 sebesar 0.021 g, dan untuk
magnitudo 6.4 sebesar 0.082 g. Lalu kondisi kelas tanah D dengan gempa bumi terdekat
berjarak 75 km dengan nilai pga prediksi untuk magnitudo 4 sebesar 0.012 g,

754
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E014UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

magnitudo 5 sebesar 0.028 g, dan magnitudo 6.4 sebesar 0.106 g. Serta untuk model kondisi
kelas tanah E, gempa bumi terdekat yaitu berjadak 54 km dengan nilai pga prediksi untuk
magnitudo 4 sebesar 0.007 g, magnitudo 5 sebesar 0.021 g, dan magnitude 6 sebesar 0.082 g.
Berdasarkan gambar 6, nilai pga prediksi pada kelas tanah E selalu lebih besar daripada
kelas tanah D, hal tersebut dikarenakan adanya efek amplifikasi getaran tanah, sehingga
membuat getaran akan semakin besar pada lapisan tanah yang lebih lunak.

V. KESIMPULAN DAN SARAN


Fokus pada penelitian ini adalah mengenai pemilihan model atenuasi
percepatan tanah yang cocok untuk wilayah Sumatra Barat berdasarkan sumber gempa
bumi subduksi interface. Dari keseluruhan model yang ada, C. B. Crouse (1991) menjadi
model yang terbaik untuk kondisi kelas tanah total (keseluruhan) dan kondisi kelas
tanah E serta model Kanno dkk. (2006) menjadi model terbaik untuk kondisi kelas tanah
D. Model terbaik menurut penelitian ini hanya berlaku untuk rentang magnitudo 4.1-6.4
dan berjarak kurang dari 500 km, untuk studi kasus dengan kondisi magnitudo lebih
besar dan berjarak lebih dari 500 km, dimungkinkan akan memiliki hasil yang berbeda.
Untuk validasi terhadap rantang magnitudo dan jarak yang berbeda tidak disertakan,
mengingat hal tersebut bukan fokus dari penelitian ini. Penelitian ini hanya terbatas pada
pemilihan nilai pga, namun untuk menjaga konsistensi hasil yang didapat, penelitian
mengenai respon spektral juga perlu dilakukan. Apabila dikemudian hari terdapat
model yang lebih baru, maka penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk
memperbaharui penelitian ini agar hasil yang didapatkan lebih baik lagi.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Badan Meteorologi, Klimatologi, dan
Geofisika (BMKG) atas bantuan data yang telah diberikan.

755
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E014UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

DAFTAR PUSTAKA
Akkar, S., Cağnan, Z., Yenier, E., Erdoğan, O., Sandıkkaya, M. A., dan Gulkan, P. (2010). The recently
compiled Turkish strong motion database: preliminary investigation for seismological
parameters. Journal of Seismology, 14, 457-479.
Bernal, A. G., Lecea, M. A., dan García, H. J. (2012). Empirical attenuation relationship for Arias
intensity in Mexico and their relation with the damage potential. In Proceedings of
Twelfth World Conference on Earthquake Engineering, 3826.
Building Seismic Safety Council. (2003). NEHRP recommended seismic provisions for new buildings
and other structures. Washington: Federal Emergency Management Agency.
Chen, W. F., and C. Scawthron, (2002), Earthquake Engineering Handbook.
Crouse, C. B. (1991). Ground-motion attenuation equations for earthquakes on the Cascadia subduction
zones. Earthquake Spectra, 7, 201-236.
DeMets, C., Gordon, R. G., dan Argus, D. F. (2010). Geologically current plate motions.
Geophysical Journal International, 1, 1-80.
Fukushima, Y., dan Tanaka, T. (1990). A new attenuation relation for peak horizontal
acceleration of strong earthquake ground motion in Japan. Bulletin of the
Seismological Society of America, 80, 757-783.
Grünthal, G., Wahlstrom, R., dan Stromeyer, D. (2009). The unified catalogue of earthquakes in central,
northern, and northwestern (CENEC) - updated and expanded to the last
millennium. Journal of Seismology, 13, 517-541.
Kanno, T., Narita, A., Morikawa, N., Fujiwara, H., dan Fukushima, Y. (2006). A new attenuation relation
for strong ground motion in Japan based on recorded data. Bulletin of the
Seismological Society of America, 96, 879-897.
Kopp, H., D. Hindle, D. Klaeschen, O. Oncken, C. Reichert, dan Scholl, D. (2009). Anatomy of the
Western Java plate interface from depth-migrated seismic images. Earth and Planet
Science Letters, 288, 399–407.
Kumar, A., Mittal, H., Kumar, R., dan Ahluwalia, R. S. (2017). Empirical attenuation relationship
for peak ground horizontal acceleration for north-east Himalaya Vietnam. Journal
of Earth Sciences, 39, 47-57.
Lin, P. S, dan Lee, C. T. (2008). Ground-motion attenuation relationships for subduction-zone
earthquakes in northeastern Taiwan. Bulletin of the Seismological Society of America, 98, 220-
240.
Mu, H. Q. dan Yuen, K. V. (2016). Ground motion prediction equation development by
heterogeneous Bayesian learning. Computer Aided Civil and Infrastructure Engineering,
31, 761-776.
Pusat Gempabumi dan Tsunami. (2018). Katalog gempabumi signifikan dan merusak 1821- 2017.
Jakarta: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika.
Pusat Studi Gempa Nasional. (2017). Peta sumber dan bahaya gempa Indonesia tahun 2017. Jakarta:
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Scordilis, E. M. (2006). Empirical global relations converting Ms and mb to moment magnitude.
Journal of Seismology, 10, 225-236.

756
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E014UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Shoushtari, A. V., Adnan, A. B., dan Zare, M. (2016). On the selection of ground motion
attenuation relations for seismic hazard assessment of the Peninsular Malaysia region
due to distant Sumatran subduction intraslab earthquakes. Soil Dynamics and
Earthquake Engineering, 82, 123-137.
Shoushtari, A. V., Adnan, A. Z., dan Zare, M. (2018). Ground motion prediction equations for distant
subduction interface earthquakes based on empirical data in the Malay Peninsula and
Japan. Soil Dynamics and Earthquake Engineering, 109, 339-353.
Singh, S. C., Hananto, N., Mukti, M., Permana, H., Djajadihardja, Y., dan Harjono, H. (2011). Seismic
images of the megathrust rupture during the 25 October 2010 Pagai earthquake, SW
Sumatra: Frontal rupture and largetsunami. GeophysicalResearch Letters, 38, L16313.
Singh, S. C., R. Moeremans, J. Mcardle, dan Johansen, K. (2013). Seismic images of the sliver strike-slip
fault and back thrust in the Andaman-Nicobar region, Journal of Geophysical
Research Atmospheres., 118,1–17.
Youngs, R. R., Day, S. M., and Stevens, J. L. (1988). Near field ground motions on rock for large
subduction earthquakes. In Proceedings of Earthquake Engineering & Soil Dynamics II,
445- 462.
Zhao, J. X., Zhang, J., Asano, A., Ohno, Y., Oouchi, T., Takahashi, T., Ogawa, H., Irikura, K., Thio,
H. K., Somerville, P. G., Fukushima, Y., dan Fukushima, Y. (2006). Attenuation
relations of strong ground motion in Japan using site classification based on
predominant period. ulletin of the Seismological Society of America, 96, 898-913.

757
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E014UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 1. Klasifikasi tanah menurut NEHRP (Building Seismic Safety Council, 2003)

Jenis tanah Vs30 Site class / kelas tanah

Batuan 760 < Vs30 < 1500 B

Batuan lunak / tanah keras 360 < Vs30 < 760 C

Tanah 180 < Vs30 < 360 D

Tanah lunak Vs30 < 180 E

758
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E014UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Table 2. Ringkasan model atenuasi percepatan tanah

Site
Model Wilayah H V Yt Mr Mt Rr Rt
class

Young
Zona - 5.0- Rhip 1
dkk. 586 Mw 15-450
subduksi G 8.1 o,
(1988)
seluruh Rrup
(YEA88)
dunia

Fukushima
4.6- Rhip
dan Tanaka Jepang dan 686 - Ms 16-303 4
G 8.2 o,
(1990) USA
Rrup
(FNT90)

C. B.
Zona - 4.8-
Crouse 697 Mw 8-866 RE, 1
subduksi B 8.2
(1991) Rhipo
seluruh
(CBC91)
dunia
Kanno dkk. Jepang dan 5.0- Rrup
(2006) (KEA06) 11919 - R Mw 1-450 Vs30
beberapa 8.2 ,
daerah Rhip
o

759
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E014UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Zhao dkk. Jepang dan 5.0-


(2006) 4726 - G Mw 0 - 300 Rrup 5
beberapa 8.3
(ZEA06)
daerah

Taiwan dan 4.1-


Lin dan Lee 4383 - G Mw 15-630 Rhypo 2
beberapa 7.3
(2008)
daerah

6.0-
Bernal dkk. Meksiko 607 607 L Mw 20-600 Rrup 1
8.1
(2012)
Mu dan 4.0-
Cina 132 - U Mw 0-200 Rjb 1
Yuen 6.4
(2016)

Shoushtari dkk
Jepang 5.0- 120-
. (2018) 728 728 Mw Rhipo 4
dan G 9.1 1300
(SEA18)
Malaysia

H = Jumlah rekaman komponen horizontal.


V = Jumlah rekaman komponen vertikal.

Yt = Komponen horizontal : B, semua komponen; GM, geometric mean; L,


komponen horizontal dengan nilai tertinggi; M, rata-rata; R, acak.
Mr = Rentang magnitudo.
Mt = Tipe magnitudo : ML : magnitudo lokal; Ms : magnitudo

gelombang permukaan; Mw, magnitudo momen.


Rr = Rentang jarak.
Rt = Tipe jarak : RE, jarak ke pusat energi; Rhipo, jarak hiposenter ; Rjb, jarak
Joyner-boore ; Rrup, jarak terhadap bidang rupture.
Site class = Jumlah kelas tanah.

760
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E014UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 3. Nilai RMSE dari tiap-tiap model

Model atenuasi TOTAL NEHRP D NEHRP E

Young dkk. (1988) 0.74 0.76 0.66

Fukushima dan Tanaka (1990) 0.48 0.47 0.49

C. B. Crouse (1991) 0.40 0.41 0.37

Kanno dkk. (2006) 0.41 0.40 0.41

Zhao dkk. (2006) 0.41 0.42 0.40

Lin dan Lee (2008) 0.57 0.58 0.51

Bernal dkk. (2012) 0.54 0.57 0.46

Mu dan Yuen (2016) 0.60 0.61 0.55

Shoushtari dkk. (2018) 0.68 0.71 0.61

761
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E014UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

GAMBAR

Gambar 1. Sumatra Barat (zona berwarna hijau), sensor akselerograf (segitiga


berwarna hitam), dan episenter gempa bumi (lingkaran berwarna hijau, kuning, dan
merah).

Gambar 2. Sebaran data gempa bumi (a) magnitudo-kedalaman dan (b) jarak-
kedalaman

762
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E014UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Sebaran nilai residual untuk kondisi kelas tanah total atau keseluruhan

763
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E014UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Sebaran nilai residual untuk kondisi kelas tanah D.

764
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E014UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. Sebaran nilai residual untuk kondisi kelas tanah E

765
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E014UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 6. Pga prediksi dari model terbaik untuk masing-masing kelas tanah

766
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E022POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

TINGKAT KESTABILAN LERENG PADA PERISTIWA GERAKAN TANAH DI


SEPANJANG JALAN WILAYAH KONSERVASI KARANGSAMBUNG

Sueno Winduhutomo, Kristiawan Widiyanto, Puguh D Raharjo

Balai Informasi Konservasi Kebumian Karangsambung LIPI


*corresponding author: sueno.winduhutomo@lipi.go.id

ABSTRAK. Wilayah Kecamatan Karangsambung yang terletak di Kabupaten Kebumen, merupakan


daerah perbukitan dengan banyaknya penggunaan lahan perkebunan dan pinus milik Perhutani.
Perubahan bentuk lahan banyak mulai dilakukan seiring dengan meningkatnya populasi manusia.
Berawal dari konversi lahan perkebunan menjadi lahan pemukiman, serta banyak dilakaukan
pemotongan lereng guna memperlebar jalan sebagai akses penghubung antar desa. Perubahan
penggunaan lahan merupakan penyebab terjadinya bencana longsor di wilayah ini. Dengan
melakukan uji geoteknik diharapkan dapat mengetahui penyebab terjadinya longor dan mengetahui
proses penanggulangannya. Dari hasil uji laboratorium diketahui dibeberapa titik bencana jenis
tanahnya adalah lempung plastisitas tinggi (CH), lanau plastisitas tinggi (MH) dan lanau pasiran (ML)
dengan kandungan kadar air berkisar antara 30% – 70%. Dari tingkat keaktifan lempungnya tergolong
tidak aktif – normal dan tingkat pengembangan rendah – sedang. Berdasarkan hasil perhitungan
faktor keamanan (Fs) diperoleh nilai < 1 dengan artian bahwa lereng termasuk labil atau mudah
longsor. Dengan sistem pengaturan pola pengaliran dan mengubah lereng terjal menjadi berundak
diharapkan dapat mengurangi bencana gerakan tanah diwilayah ini.
Kata kunci: geoteknik, gerakan tanah, kestabilan lereng, konversi lahan.

I. PENDAHULUAN

Gerakan tanah merupakan suatu konsekuensi fenomena dinamis alam untuk


mencapai kondisi baru akibat gangguan keseimbangan lereng yang terjadi, baik secara
alamiah maupun ulah manusia. Gerakan tanah didefinisikan sebagai perpindahan material
pembentuk lereng, berupa batuan, bahan timbunan, tanah atau material campuran tersebut,
bergerak ke arah bawah dan keluar lereng (Cruden, 1991). Kemiringan dan beda tinggi relief
merupakan parameter topografi dari lereng. Pergerakan tanah pada lereng terjadi akibat
perubahan keseimbangan daya dukung tanah dan akan berhenti setelah mencapai
keseimbangan baru. Perubahan keseimbangan tersebut terjadi jika tanah sudah tidak mampu
menahan berat lapisan tanah di atasnya karena adanya penambahan beban pada permukaan
lereng dan berkurangnya daya ikat antara butiran tanah relief. Pada perinsipnya
terganggunya kestabilan lereng dikarenakan besarnya gaya penggerak lebih besar dari pada
gaya penahannya (Karnawati, 2005).
Wilayah konservasi Karangsambung yang terletak di Kabupaten Kebumen,
merupakan daerah perbukitan dengan banyaknya penggunaan lahan perkebunan dan pinus
milik Perhutani. Perubahan bentuk lahan mulai banyak dilakukan seiring dengan

767
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E022POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

meningkatnya populasi manusia dengan segala kebutuhannya. Berawal dari konversi lahan
perkebunan menjadi lahan pemukiman, serta banyak dilakaukan pemotongan lereng guna
memperlebar jalan sebagai akses penghubung antar desa.
Hujan deras yang sempat mengguyur sebagian besar di wilayah ini telah
mengakibatkan tebing di tepi ruas jalan mengalami kelongsoran dan mengikis sebagian bahu
jalan. Hal ini megakibatkan terputusnya jalur jalan penghubung desa serta makin sulitnya
para pengunjung baik umum maupun mahasiswa untuk menempuh perjalanan menuju
wilayah konservasi. Dibutuhkan suatu analisis stabilitas lereng agar terjadi kondisi
pendekatan dalam hasil analisis dan memudahkan dalam memodelkan penangganannya.

II. METODE PENELITIAN

Selama melakukan penelitian menggunakan metode survey yaitu pengamatan,


pengukuran, pencatatan di lapangan dan pengujian laboratorium. Berikut adalah alur
penelitian yang dilakukan, dapat dilihat pada Gambar 1.

PERSIAPAN

INTERPRETASI DATA

KEGIATAN LAPANGAN

Pengukuran

ANALISIS LABORATORIUM DAN STUDIO

Pengamatan Sampling
Peta Tematik Sifat Fisik Tanah Sifat Mekanik
Tanah

TINGKAT KESTABILAN

PENANGGULANGAN

Gambar 1. Diagram alir penelitian

Di wilayah penelitian lereng sangat panjang dimana lapisan tanah paling atas adalah

768
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E022POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

lempung dan di bawahnya adalah lapisan keras dengan permukaan sejajar dengan
permukaan tanah. Pada keadaan demikian, bidang geser biasanya terdapat pada batas kedua
lapisan tanah ini. Kelongsoran ini disebut kelongsoran translational seperti terlihat pada
Gambar 2. Untuk menentukan kestabilannya, lereng tersebut dianggap tak terhingga.
Dengan demikian, dapat dihitung keseimbangan statis satu segmen saja (Wesley, 1977 : 476).

Gambar 2. Analisis kemantapan lereng tak terhingga (Wesley, 1977 : 477).

Terdapat empat titik lokasi berbeda yang sering terjadi gerakan tanah yang diambil
sampelnya untuk diteliti. Sampel tanah yang diambil adalah sampel tanah bidang gelincir
dan tanah bahan rombakan, yang kemudian dilakukan uji sifat fisik tanah di laboratorium
dengan menggunakan standar American Society for Testing and Materials - ASTM, 1998
(Anonim a, 1998), yang meliputi: “basical properties”, “index properties” dan “engineering
properties’’. Kemudian parameter yang diperoleh dari hasil uji fisik digunakan dalam rumus
analisis stabilitas lereng dengan metode tak terhingga dengan meninjau kondisi lereng pada
saat kondisi tanah tak jenuh, tanah jenuh air (jenuh penuh), serta kondisi tanah jenuh
sebagian. Berikut ini merupakan rumus analisis yang dipakai untuk melakukan analisis
terhadap stabilitas lereng (Hardiyatmo, 2006 (c)) :
a. Kondisi tanah tak jenuh

F= + tan

2 tan
b. Kondisi tanah jenuh air (jenuh penuh)

F= + ′tan

2 tan tan

c. Kondisi tanah jenuh sebagian


F= + [( ℎ1+ ′ℎ2) 2 ]tan

( ℎ1+ ℎ2)cos sin

Dengan :

769
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E022POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

F = Faktor aman = Berat volume januh tanah (gr/cm3)


= Kohesi (kN/m2) = Berat volume kering tanah (gr/cm3)
= Suduk geser tanah (°) ’ = Berat volume efektif tanah (gr/cm3)
= Sudut kemiringan lereng (°)

Data hasil simulasi dan perhitungan akan disajikan dalam bentuk tabel, grafik
sehingga dapat memberikan informasi yang lebih mudah digunakan. Upaya mitigasi yang
dilakukan berupa rekayasa lereng. Rekayasa lereng stabil dapat melalui berbagai cara
terpadu dengan prosedur dimulai dari pemetaan wilayah rawan longsor, analisis kestabilan
lereng melalui kajian Faktor Keamanan (FK), stabilitas dan rancang bangun lereng terpadu
melalui simulasi lereng stabil, pengelolaan lingkungan, dan bio-engineering dengan
memanfaatkan tanaman sebagai bagian dari sistem rekayasa lereng stabil (Zulfiandi, 2013).
Rekayasa lereng yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan mengurangi massa
tanah sehingga kemiringan lereng berkurang.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Bencana gerakan tanah pada daerah penelitian lebih difokuskan pada daerah tertentu
yang mempunyai tingkat kerentanan yang sangat tinggi. Empat titik lokasi bencana tersebut,
yaitu : Desa Pucung Kerep, Desa Sadang Wetan dan Desa Karangsambung. Lokasi tersebut
berada di kawasan Konservasi Cagar Alam Geologi Karangsambung (Gambar 3).

Gambar 3. Lokasi daerah penelitian dan titik bencana gerakan tanah

770
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E022POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Berdasarkan hasil pengamatan dan pencatatan dilapangan ada beberapa faktor


pengontrol gerakan tanah daerah telitian :
a. Penggunaan Lahan

Pada area kejadian bencana gerakan tanah di daerah penelitian, terdapat tiga
tataguna lahan berupa penutupan vegetasi yang ditemukan, yaitu : kebun campuran,
semak belukar dan hutan industri (pinus).
b. Kelerengan

Daerah penelitian dilihat berdasarkan morfologi terdiri dari perbukitan, pada bagian
utara perbukitan memanjang kearah utara - selatan dengan kemiringan lereng yang terjal
dan curam. Kejadian gerakan tanah yang terjadi keseluruhannya merupakan gerakan
tanah dengan tipe longsoran, hal ini dikarenakan sebagian besar wilayahnya berada pada
wilayah dengan kemiringan curam sehingga memicu terjadinya longsoran.
c. Geologi / Batuan Induk

Kondisi geologi yang perlu diperhatikan meliputi susunan dan kedudukan batuan,
serta struktur geologi. Struktur geologi atau batuan merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan terjadinya longsor. Berdasarkan pengamatan langsung dilapangan hanya
dijumpai berdasarkan batuan yang tersingkap, yaitu ; Formasi Melange dengan dijumpai
pelapukan batuan rijang dengan ketebalan ± 4 meter dan pelapukan batuan fillit. Tanah
hasil pelapukan batuan merupakan salah satu parameter yang menentukan terjadinya
longsor (Gambar 4).

Gambar 4. Batuan Rijang dan Filit serta tanah hasil pelapukan

771
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E022POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Untuk faktor pemicu bencana gerakan tanah didaerah penelitian adalah curah hujan.
Dimana wilayah penelitian berada pada wilayah iklim basah contoh curah hujan tahun 2013
dengan curah hujan tahunan 2.500 – 3.000 mm/tahun. Bulan basah pada iklim basah terjadi 7-
9 bulan dengan bulan kering kurang dari 3 bulan. Dominannya bulan basah yang terjadi
menjadikan daerah penelitian sering mengalami hujan terutama pada bulan-bulan
November-April. Hal inilah yang memicu sering terjadinya peristiwa longsor di daerah
penelitian.

Uji Laboratorium

Berdasarkan hasil pengujian laboratorium dari beberapa sampel tanah diperoleh

hasil nilai seperti yang terlihat pada Tabel 1.


Tabel 1. Hasil uji laboratorium sifat fisik tanah

772
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E022POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

773
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E022POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Jika dilihat berdasarkan kadar airnya dibeberapa tempat, tanah jenuh akan air ini
menyebabkan derajat kejenuhan dan tekanan air pori meningkat. Hal tersebut berpengaruh
terhadap terganggunya kestabilan lereng. Berdasarkan nilai distribusi ukuran butir tingkat
pelapukan tanah menengah, dilihat dari butiran yang lolos saringan 200 (<0,0075 mm)
menunjukkan angka ± 35%, ukuran lempung ± 15% lainnya merupakan pasir halus. Selain
itu didukung dengan hasil uji berat jenis, di peroleh nilai berat jenis ± 2,7 kemungkinan tanah
masih berbutir kasar dan tingkat pelapukan belum sempurna.
Dari hasil uji batas Atterberg dengan menggunakan grafik plastisitas Casagrande
diperoleh, tanah termasuk dalam jenis lempung plastisitas tinggi (CH), lanau plastisitas
tinggi (MH), lanau pasiran (ML). Berdasarkan hasil perhitungan dan ploting data dengan
menggunakan klasifikasi Skemton (1953) dan Seed (1962) dalam menentukan tingkat
keaktifan dan potensi pengembangannya diperoleh bahwa, tanah di sepanjang jalan wilayah
konservasi merupakan tanah dengan tingkatan tidak aktif sampai dengan normal dan
potensi pengembangan rendah –tinggi (Tabel 2).
Tabel 2. Nilai keaktifan dan pengembangan
Indeks Nilai
Lokasi Fraksi
plastis Tingkat Keaktifan Pengembangan
Sampel Lempung (%)
(%) Keaktifan
RS 1 31.86 50.03 0.64 Tidak Aktif Sedang
RS 2 24.71 44.14 0.56 Tidak Aktif Sedang
RS 3 17.58 19.82 0.89 Normal Rendah
NR 1 35.90 41.42 0.87 Normal Tinggi
NR 2 21.91 30.12 0.73 Tidak Aktif Sedang
NR 3 7.09 17.06 0.42 Tidak Aktif Rendah
SK 1 50.79 66.20 0.77 Normal Tinggi
Sk 2 28.39 33.80 0.84 Normal Sedang
SK 3 39.87 64.53 0.62 Tidak Aktif Sedang
NW 1 31.94 69.24 0.46 Tidak Aktif Sedang
NW 2 13.99 18.85 0.74 Tidak Aktif Rendah
NW 3 9.43 15.87 0.59 Tidak Aktif Rendah

Dari hasil perhitungan nilai faktor aman di setiap sampel lokasi pengamatan,
diketahui bahwa hampir tiap lereng mempunyai nilai FK kurang dari 1,07 yang artinya
bahwa lereng tersebut merupakan jenis lereng yang labil dengan intensitas kejadian gerakan
tanah sering terjadi, dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

774
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E022POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 3. Nilai faktor keamanan

No
Sampel Kohesi Sudut Geser Lokasi Factor Safety
C (Desa) FS Sebelum
0.460 9,28 Karangsambun 0.69
RS 1 g
0.318 23,91 Karangsambun 0.64
RS 2 g
0.307 29,54 Karangsambun 0.90
RS 3 g
0.330 25,64 0.64
NR 1 Sadang Wetan
0.108 29,97 0.86
NR 2 Sadang Wetan
0.127 30,96 1.12
NR 3 Sadang Wetan
0.279 13,32 0.71
SK 1 Pucung Kerep
0.286 24,54 0.65
SK 2 Pucung Kerep
0.230 16,70 1.15
SK 3 Pucung Kerep
0.330 17,57 0.94
NW 1 Pucung Kerep
0.271 30,96 0.79
NW 2 Pucung Kerep
0.092 32,35 1.09
NW 3 Pucung Kerep

Metode keteknikan adalah suatu cara yang dilaksanakan untuk meningkatkan faktor
keamanan (FK) pada suatu lereng dan tanah timbunan. Menurut Highway Research Board
(1958 dalam Departemen Pekerjaan Umum 1986), dalam penanganan longsoran ada tiga tipe
pendekatan yang dapat diterapkan untuk menaikan faktor keamanan, yaitu :
1. Menaikan gaya-gaya penahan (resisting forces)

2. Mengurangi gaya-gaya pendorong (driving forces)

3. Menghindari atau menghilangkan longsoran

Berdasarkan pengamatan di lapangan dan identifikasi jenis longsoran maupun


penyebab gerakan tanah, maka tindakan pencegahan dan penanggulangan longsoran yang
paling sesuai adalah merubah geometri lereng. Berdasarkan hasil perhitungan stabilitas
lereng dengan merubah sudut kemiringan lereng lebih landai maka diperoleh nilai FK 1,25
dari semua jenis kondisi tanah yang artinya bahwa lereng tersebut merupakan jenis lereng
yang stabil dengan intensitas kejadian gerakan tanah jarang terjadi (Tabel 4).

775
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E022POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 4. Nilai faktor keamanan sebelum dan setelah pelandaian lereng

Kohesi Sudut Geser Lokasi Factor Safety


No FS Setelah
Sampel Pelandaian
C (Desa) FS Sebelum lereng
0.460 9,28 Karangsambun 0.69 2.04
RS 1 g
0.318 23,91 Karangsambun 0.64 1.35
RS 2 g
0.307 29,54 Karangsambun 0.90 1.27
RS 3 g
0.330 25,64 0.64 1.44
NR 1 Sadang Wetan
0.108 29,97 0.86 1.89
NR 2 Sadang Wetan
0.127 30,96 1.12 2.35
NR 3 Sadang Wetan
0.279 13,32 0.71 1.43
SK 1 Pucung Kerep
0.286 24,54 0.65 1.62
SK 2 Pucung Kerep
0.230 16,70 1.15 1.85
SK 3 Pucung Kerep
0.330 17,57 0.94 1.26
NW 1 Pucung Kerep
0.271 30,96 0.79 1.44
NW 2 Pucung Kerep
0.092 32,35 1.09 1.55
NW 3 Pucung Kerep

IV. KESIMPULAN

Penelitian kali ini lebih difokuskan pada 3 (tiga) desa karena merupakan daerah yang
paling rawan akan kerap terjadinya bencana gerakan tanah. Diantaranya yaitu Desa Pucung
Kerep, Desa Sadang dan Desa Karangsambung yang masih masuk kedalam cakupan
Wilayah Cagar Alam Geologi Karangsambung. Ketiga lokasi bencana gerakan tanah ini
mempunyai tipe kondisi secara geologi, morfologi dan pergerakan yang sama. Berada pada
hasil pelapukan tebal batuan rijang dan fillit dengan kondisi lereng yang terjal dan curam,
tipe pergerakannya masuk kedalam tipe longsoran.
Dilihat dari areal penutupan lahan vegetasinya, Desa Pucungkerep yang mengalami
bencana longsor lebih didominasi oleh perkebunan (pisang, salak) dan semak. Sedangkan
untuk Desa Sadang dan Karangsambung areal penutupan lahan vegetasi berupa hutan
industri seperti pinus dengan jarak tanam rapat yang tidak terawat sehingga ditutupi oleh
semak. Terdapat kegiatan aktivitas manusia berupa pemotongan lereng guna infrastruktur
776
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E022POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

perlebaran jalan yang menjadikan lereng semakin curam dan terjal. Berdasarkan hasil uji
laboratorium sifat fisik diperoleh bahwa jenis tanah daerah telitian merupakan jenis tanah
lempung dan lanau plastisitas tinggi (CH, MH dan ML). Dilihat dari data dari kondisi curah
hujan areal ini masuk kedalam wilayah iklim basah dengan intensitas hujan tahunan
mencapai ± 2500 mm/tahun. Hal tersebut diatas merupakan bagian dari faktor pengontrol
terjadinya bencana gerakan tanah.
Dalam perhitungan analisa kestabilan lereng dengan metode tak terhingga diperoleh
nilai kestabilan lereng daerah penelitian yaitu Fs < 1,07, dengan artian bahwa lereng tersebut
merupakan jenis lereng yang labil dengan intensitas kejadian gerakan tanah sering terjadi.
Dengan metode keteknikan mengubah geometri lereng diperoleh nilai Fk > 1,25 dengan
artian bahwa lereng tersebut menjadi jenis lereng yang lebih stabil.

DAFTAR PUSTAKA

Cruden, D.M., 1991, A simple definition of landslide, Buletin Int. Assoc. For Engineering Geology, 43, 27 -29.
Das, B. M. 1993. Mekanika Tanah (Prinsip-Prinsip Rekayasa Geoteknis). Diterjemahkan : Endah, N. M. Dan
I. B. M. Surya. Jakarta : Erlangga. irektorat Geologi Tata Lingkungan. 1981. Gerakan Tanah di
Indonesia.
Karnawati, Dwikorita. 2006. Wilayah yang Tak Pernah Luput Bencana oleh Madina Nusrat. Artikel
Internet. http://www.kompas.com/kompas- cetak/0601/14/Fokus/2360408.htm [13 Jul 2007]
Hardiyatmo, H.C. 2006, Penanganan Tanah Longsor dan Erosi, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Skempton, 1953, The Colloidal Activity of Clays, Procceding 3 th International Conference of Soil mecanic
and Fondation Engineering, London, Vol 1 Page 57-61.
Terzaghi, K., 1943., Theoritical Soil Mechanics, John Wiley and Sonds, New York, 510 h.
Wesley, L.D., 1977, Mekanika Tanah, Badan Penerbit Pekerjaan Umum, Cetakan ke VI, Jakarta Selatan.

777
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E024UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

PENGARUH LITOLOGI DAN GEOMORFOLOGI TERHADAP KUALITAS


AIRTANAH UNTUK KESEHATAN MASYARAKAT, KELURAHAN
GONOHARJO, KECAMATAN LIMBANGAN, KABUPATEN KENDAL,
PROVINSI JAWA TENGAH

Muhammad Rizqy Gau1*, Hulaima Nur Qonita1, Nur Hanifah1


Teknik Geologi Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia Jl. Prof.H.SoedartoS.H, Tembalang,
1

Kec.Tembalang, Kota Semarang, Jawa Tengah


*Corresponding Author: Muhammadrizqygau@gmail.com

ABSTRAK. Kualitas airtanah adalah suatu ukuran kondisi airtanah dilihat dari karakteristik
fisik, kimiawi, dan biologisnya. Kualitas airtanah dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor berupa
litologi, geomorfologi, iklim, waktu, dan aktivitas makhluk hidup, termasuk manusia seperti
pembuangan limbah industri atau limbah pertanian. Penentuan kualitas airtanah dapat
dilakukan dengan analisis beberapa faktor yang mempengaruhi. Pada Kelurahan Gonoharjo,
Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal masyarakat menggunakan airtanah sebagai sumber
air untuk konsumsi sehari-hari, baik untuk keperluan rumahtangga, makan, minum, dan untuk
kegiatan industri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh litologi dan geomorfologi
terhadap kualitas airtanah yang ada pada lokasi penelitian, sehingga diketahui kelayakan
airtanah tersebut. Metode yang dilakukan mencakup pemetaan geologi berupa pengambilan data
litologi, geomorfologi dan hidrogeologi. Kemudian analisis tipe hidrokimia airtanah, dan analisis
deskriptif. Penentuan kualitas airtanah berdasarkan baku mutu yang ditetapkan oleh WHO 2011,
dan PERMENKES No 492/IV/2010. Bentuklahan pada daerah penelitian yaitu bentuklahan
vulkanik berbukit bergelombang (Van Zuidam, 1985) dan vulkanik berbukit terjal (Van Zuidam,
1985). Litologi yang ditemukan berupa breksi vulkanik dengan fragmen andesit dan matriks tuff.
Hasil analisis hidrokimia menunjukkan pada daerah penelitian memiliki unsur Cl yang cukup
rendah, tetapi memiliki curah hujan sangat tinggi dimana diindikasikan dengan adanya
kandungan ion HCO3 yang melimpah. Berdasarkan hasil tersebut maka diinterpretasikan
kondisi air tanah berada pada fasies air tanah Alkaline Earth Water with Higher Alkaline Content
Predominantly hydrogencarbonate. Hasil perhitungan kualitas airtanah yaitu memiliki nilai WQI
11,72 menurut PERMENKES No 492/IV/2010 dan WQI 9.47 menurut WHO 2011 yanga dimana
keduanya diklasifikasikan ke dalam kualitas airyang sangat baik (Kualitas Air Berdasarkan
WQI).
Kata Kunci: Breksi, Kualitas Airtanah, Gonoharjo, Limbangan, Vulkanik

I. PENDAHULUAN
Kualitas airtanah adalah suatu ukuran kondisi air dilihat dari karakteristik fisik,
kimiawi, dan biologisnya. Kualitas air juga menunjukkan ukuran kondisi air relatif terhadap
kebutuhan biota air dan manusia. Kualitas airtanah seringkali menjadi ukuran standar
terhadap kesehatan manusia terhadap air minum. Oleh karena itu dilakukan penelitian
dengan maksud dan tujuan untuk mengetahui kualitas airtanah untuk kelayakan konsumsi
masyarakat berdasarkan dari faktor litologi, geomorfologi, dan kandungan usur kimia.

778
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E024UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Penelitian berada di Kelurahan Gonoharjo dan Kelurahan Limbangan, Kecamatan


Limbangan, Kabupaten Kendal.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Sifat Batuan Terhadap Airtanah
Berdasarkan sifat fisik batuan terhadap airtanah, jenis batuan dibagi menjadi 4,
yaitu:
1. Akuifer, yaitu batuan, formasi, grup atau bagian bawah permukaan yang mempunyai
susunan sedemikian rupa sehingga dapat menyimpan dan mengalirkan air dalam jumlah yang
signifikan.Tidakadalitologikhusus.Yang penting dapat menyimpan dan mengalirkan air.
2. Akuiklud, yaitu batuan yang dapat menyimpan air tetapi tidak dapat mengalirkannya dalam
jumlah yang berarti. Contoh : lempung, shale, tuff halus dan berbagai batuan yang berukuran
lempung
3. Akuifug, yaitu batuan yang tidak dapat menyimpan dan mengalirkan air. Contoh : granit,
batuan-batuan yang kompak, keras dan padat
4. A
kuitar, yaitu batuan yang mempunyai susunan sedemikian rupa sehingga dapat
menyimpan air tetapi hanya dapat mengalirkan air dalam jumlah yang terbatas. Contoh : pasir
lempungan,batupasir lempungan, lempung pasiran.
B. Jenis-jenis Akuifer
Berdasarkan litologi, akuifer dibedakan menjadi 4 Jenis (Gambar 1.) :
1. Akuifer Bebas (Unconfined aquifer)
Akuifer bebas atau akuifer tak tertekan merupakan akuifer jenuh air yang hanya dibatasi oleh
lapisan bawah berupa lapisan impermeable. Batas di bagian atas merupakan muka airtanah.
2. Akuifer Tertekan (Confined aquifer)
Akuifer tertekan adalah suatu akuifer dimana airtanah terletak di bawah lapisan kedap air
(impermeable) dan mempunyai tekanan lebih besar daripada tekanan atmosfer. Air yang
mengalir pada lapisan pembatasnya, karena confined aquifer merupakan akuifer yang jenuh
air yang dibatasi oleh lapisan atas dan bawahnya.
3. Akuifer Bocor (Leakage aquifer)
Akuifer bocor dapat didefinisikan suatu akuifer dimana airtanah terkekang di bawah lapisan
yang setengah kedap air sehingga akuifer disini terletak antara akuifer bebas dan akuifer
terkekang
4. Akuifer Menggantung/melayang (Perched aquifer)
Akuifer yang disebut akuifer melayang jika di dalam zona aerosi terbentuk sebuah akuifer
yang terbentuk di atas lapisan impermeable. Akuifer melayang ini tidak dapat dijadikan
sebagai suatu usaha pengembangan airtanah, karena mempunyai variasi permukaan air.
5. Kualitas Airtanah
Menurut Sudadi, tahun 2003 kualitas air tanah dipengaruhi oleh dua faktor,
yaitu;
a. Faktor Alami
Merupakan faktor yang dipengaruhi interaksi antara airtanah yang bersifat
pelarut unsur kimia yang ada dalam batuan penyimpan airtanah (akuifer); dan
besarnya kandungan unsur kimia bergantung pada lamanya interaksi, bentuk dan
ukuran butir dari akuifer.
b. Faktor Non Alami
Masuknya unsur kimia tertentu ke dalam airtanah disebabkan karena oleh kegiatan manusia,

779
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E024UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

baik itu pupuk, pestisida, limbah industri dsb. (kontaminasi).


6. Sifat Airtanah
Secara umum, sifat airtanah terdiri dari sifat fisik , sifat kimia, dan sifat biologi.
- Sifat Fisik
a.Warna: dipengaruhi oleh zat yangterkandung didalamnya, suspensi ataupunzat terlarut
b. Bau : dipengaruhi oleh zat/gas yang terdapat pada airtanah
c. Rasa : berasal dari garam/mineral yang tersuspensi/terlarut didalam airtanah
d. Kekentalan : dipengaruhi oleh zat/partikel yang terkandung didalamnya, semakin banyak
zat terlarut, maka akan semakin kental, begitupun sebaliknya.
e. Suhu : dipengaruhi oleh lingkungan sekitar airtanah.

- Sifat Kimia
1. Kesadahan : adanya kandungan Ca dan Mg didalam air.
2. Keasaman : dipengaruhi oleh lingkungan airtanah, namun juga bisa dipengaruhi oleh asal
airtanah. pH airtanah normal nya 6 – 8,5.
3. Daya Hantar Listrik : disebut juga dengan DHL, dipengaruhi oleh kandungan ion/elektrolit
yang terdapat dalam airtanah.
4. Total Dissolve Solid : disebut juga sebagai TDS, merupakan konsentrasi zat padat berupa
unsur mineral yangterlarut dalam air, terdiri dari karbonat, bikarbonat, klorida, sulfat, fospat,
nitrat, magnesium, natrium, kalsium, kalium dan beberapa unsur dalam jumlah kecil (besi,
mangan, serta unsur lain yang jarang dijumpai) (McKee dan Wolfe, 1963).
5. Kandungan Ion : berupa kation (Mg2+, Ca2+, Na+, danK+) dan Anion (SO42-, Cl-, danHCO3-)
- Sifat Biologi
Kandungan biologis di dalam air terutama Bakteri seperti keterdapatan bakteri
E.coli dsb.
7. Metode Analisis KAT
- Tabel Kurlov
Perhitungan dengan tabel kurlov awalnya dilakukan dengan mengkonversikan nilai
konstrasi kation dan anion yang terdapat pada airtanah yang semula dalam mg/l
ke meq/l menggunakan rumus;
Meq/l = {(kation/anion) x e. valensi } / Nomor Massa
Setelah mendapat nilai dalam meq/l, akan dipisah antara kation dan anion nya
untuk kemudian di normalisasi, dan selanjutnya diketahui %meq/l kation atau
anion nya, dimana nantinya dapat ditentukan penamaan sampel airtanah berdasarkan
%meq/l yang diatas 25% pada kation dan anion nya. Contoh pada Gambar 2.
- Diagram Stiff
Merupakan diagram yang dibentuk oleh pasangan kation dan anion utama air.
Digunakan untuk mendeteksi anomali yang terjadi di suatu wilayah (Gambar 3.).
- Diagram Piper
Merupakan analisis KAT untuk menentukan jenis fasies airtanah dengan cara
memplotkan nilai %meq/l kation dan anion pada airtanah (Gambar 4.).
8. Fasies Air Tanah
Pada Gambar 5. digambarkan mengenai pembagian fasies airtanah menurut Pipper
(1944).
• Fasies alkali tanah
Fasies menunjukan keberadaan air tanah berada di daerah recharge dengan

780
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E024UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

masih dipengaruhi pengaruh aktivitas vulkanisme.


a. Fasies alkali tanah dengan kandungan dominan bikarbonat : Kaya bikarbonat, berasal dari
air hujan melewati batuan beku kaya Mg namun minim SO4.
b. Fasies alkali tanah dengan kandungan dominan bikarbonat dan sulfat : Berada diantara
sistem up flow dan out flow dari sistem geothermal, berasal dari air hujan dan air
sulfat proses geothermal yang melewati batuan kaya Mg.
• Fasies campuran dengan alkali lebih dominan
Fasies campuran menunjukkan keberadaan airtanah yang mulai turun dari daerah
vulkanik ke daerah hilir, namun masih terpengaruh oleh air yang berasal dari daerah
vulkanik (recharge area).
1. Fasies campuran dengan dominan bikarbonat : berasal dari air hujan dengan kandungan
kation campuran antara magnesium, kalsium, namun dominan natrium dan kalium
(mineral lempung).
2. Faasies campuran dengan dominan sulfat atau klorida : Fasies campuran dengan dominan
sulfat muncul ketika asal airtanah adalah air sulfat yang berasal dari aktifitas
geothermal, sedangkan fasies campuran dengan dominan klorida muncul ketika kandungan
garam natrium klorida dalam konsentrasi banyak dimana menunjukkan asal airnya
adalah air laut.
• Fasies alkali
Fasies alkali menunjukkan keberadaan airtanah yang sudah mencapai daerah
hilir.
1. Fasies alkali bikarbonat : Tipe ini memiliki karbonat yang dominan. Fasies ini berasal dari air
hujan atau air meteorik yang masuk ke dalam batuan yang kaya mineral lempung sehingga
kationnya didominasi oleh unsur natrium dan kalium.
2. Fasies alkali dominan sulfat-klorida / klorida : Pada fasies tipe ini menunjukkan airtanah
berasal dari air sulfat (aktifitas vulkanisme) ataupun air yang kaya garam klorida (air laut). Air
tersebut tersimpan dalam batuan yang kaya mineral lempung, sehingga kandungan kation
berupa natrium dan kalium cukup dominan.
9. Standar Airtanah
Penentuan kualitas airtanah untuk air minum, industri, ataupun irigasi salah
satunya dideterminasi dengan perhitungan water quality index (WQI). WQI
merupakan indeks yang menggambarkan keseluruhan kualitas air pada suatu lokasi
berdasarkan parameter kualitas air.
Setelah dilakukan pembobotan, untuk memperoleh nilai WQI perlu dilakukan
beberapa langkah perhitungan, diantaranya perhitungan bobot relatif (Wi) pada
persamaan 1, quality rating scale (qi) dengan persamaan 2, nilai subindex (SI) dengan
persamaan 3, dan WQI.

781
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E024UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Jumlah nilai SI merupakan nilai akhir dari WQI. Nilai tersebut kemudian dimasukkan
ke dalam tabel untuk menentukan kualitas airtanah untuk air minum.

III. GEOLOGI REGIONAL


A. Statigrafi
Secara Geologi, Menurut Thanden drr. (1996) dalam peta geologi regional
semarang–magelang urutan stratigrafi Kabupaten Kendal dan sekitarnya dapat
dikelompokkan menjadi beberapa formasi yang secara umum berupa kelompok batuan
sedimen dan kelompok batuan vulkanik. Kelompok batuan yang dijumpai di daerah
Kabupaten Kendal dan sekitarnya terdiri dari beberapa formasi yaitu intrusi basalt, formasi
kerek, formasi penyatan, formasi kaligetas, formasi damar, dan endapan alluvium. Namun
berdasarkan hasil lapangan pada daerah penelitian terdapat formasi damar dan alluvium
yang menurut geologi regional penjelasannya sebagai berikut:
1. Formasi Damar Qtd
Formasi ini terletak tidak selaras diatas formasi Kaligetas dan tediri dari batu pasir
tufan, konglomerat, breksi vulkanik dan tufa. Batu pasir terdiri dan mineral feldspar dan
mineral mafik, sebagian tufan dan gampingan, sedangkan untuk breksi, fragmen umumnya
berupa batuan vulkanik basa dan singkapan dijumpai di kali Damar, Penjalin, Kaiwungu
dan Sidomukti. Umur formasi ini adalah Pliosen Akhir-Peistosen Awal.
2. Endapan Aluvium Qa
Terdiri dari kerikil, pasir kerakal dan lanau dengan tebal 1-3 meter yang merupakan
endapan sungai. Tersingkap di lembah kali Pengkol dan sekitarnya.
B. Geomorfologi
Kabupaten Kendal terletak pada 109°40′ – 110°18′ Bujur Timur dan 6°32′ – 7°24′
Lintang Selatan. Batas wilayah administrasi Kabupaten Kendal meliputi :
– Sebelah Utara : Laut Jawa
– Sebelah Timur : Kota Semarang
– Sebelah Selatan : Kabupaten Semarang dan Kabupaten Temanggung
– Sebelah Barat : Kabupaten Batang

Kabupaten Kendal mempunyai luas wilayah sebesar 1.002,23 km2 yang terbagi

782
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E024UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

menjadi 19 Kecamatan dengan 265 Desa dan 20 Kelurahan.


Secara umum kondisi topografi Kabupaten Kendal dapat dikategorikan dalam dua kelompok
yaitu wilayah selatan berupa daerah dataran tinggi dan kaki pegunungan, serta wilayah utara
berupa dataran rendah dan pesisir. Kabupaten Kendal di bagian selatan merupakan daerah
dataran tinggi yang terdiri dari, perbukitan dan kaki pegunungan dengan ketinggian antara 10-
2.579 meter dpl, meliputi Kecamatan Plantungan, Pageruyung, Sukorejo, Patean,
Boja, Limbangan dan sebagian Kaliwungu. Wilayah Kabupaten Kendal bagian utara
merupakan daerah dataran rendah dan pesisir dengan ketinggian antara 0 – 10 mdpl,
meliputi Kecamatan Weleri, Rowosari, Kangkung, Cepiring, Gemuh, Ringinarum,
Pegandon, Ngampel, Patebon, Kendal, Brangsong, dan Kaliwungu. Berdasarkan
kemiringan lerengnya, wilayah Kabupaten Kendal dapat dikelompokkan dalam
empat kategori, yaitu :
– Kemiringan 0 – 8 % , lahan datar, seluas + 53.976,91 Ha.
– Kemiringan 8 – 15 % , lahan landai, seluas + 12.246,56 Ha.
– Kemiringan 15 – 25 % , lahan curam, seluas + 7.370,85 Ha.
– Kemiringan > 40 % , lahan sangat curam, seluas + 16.249,31 Ha.
Morfologi Kendal dapat dikelompokkan menjadi dua satuan, yaitu satuan
perbukitan bergelombang dan satuan dataran alluvium Pembagian ini terutama didasarkan
pada kondisi bentang alamnya.
1. Satuan Dataran Aluvium
Satuan ini terdiri atas satuan dataran pantai, sungai, dan rawa. Kemiringan lereng
berkisar dari datar sampai agak landai dengan elevasi (0 – 5°), dengan ketinggian kurang
dari 1 m sampai lebih kurang 10 m. Satuan ini disusun oleh endapan rawa dan sungai
yang pada umumnya terdiri atas lempung, pasir, lanau, lumpur, dan gambut. Secara
umum, tumbuhannya didominasi oleh semak dan rawa.
Sungai utama yang mengalir di daerah ini adalah Kali Bodri, Kali Kunto, Kali Blukar,
dan Kali Cangkring yang hulu¬nya bersumber dari perbukitan sebelah selatan dan bermuara
di Pantai Utara Jawa. Material hasil erosi yang diangkut oleh sungai ini diendapkan di pantai
utara Jawa dan membentuk endapan delta aktif. Aliran yang berkembang di sebelah timur
lebih jarang bila dibandingkan dengan kerapatan pola aliran di sebelah barat. Di sebelah
timur berkembang pola aliran subparalel – paralel, sedangkan di sebelah barat dan di
sebelah selatan berkembang pola aliran subdendritik – dendritik (Gambar 6.)
2. Satuan Perbukitan Bergelombang
Morfologi satuan di perbukitan bergelombang mempunyai kemiringan lereng
berkisar dari agak landai sampai agak terjal (5 – 25°) dengan keting gian antara 50 m sampai 300
m di atas permukaan laut. Batuan yang menyusun satuan morfologi ini pada umumya
terdiri atas batupasir tufan, konglomerat, dan breksi vulkanik. Breksi vulkanik diendapkan
sebagi lahar (Thanden drr.,1996).

C. Kondisi Hidrogeologi Regional

783
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E024UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Berdasarkan Peta Hidrogeologi Lembar Pekalongan (Tabrani, et al.., 1985), maka


daerah Kendal dan sekitarnya mempunyai kondisi akuifer yang beragam dari akuifer
dengan produktivitas tinggi yang berupa akuifer dengan aliran melalui celah dan ruang
antar butir. Muka airtanah dangkal di daerah ini berkisar antara 2 – 3 m di bawah muka
tanah setempat dan airtanahnya kebanyakan mempunyai kesadahan yang tinggi. Air tanah
dangkal di dalam kondisi kering pada musim kemarau. Sedangkan akuifer dalam
(tertekan) mempunyai kedalaman sekitar 80 m di bawah muka tanah setempat.

IV. METODOLOGI
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu studi pustaka dan observasi
lapangan berupa pemetaan geologi, hidrogeologi, dan pengambilan dua sampel airtanah
(sampel A daerah Limbangan dan sampel B daerah Gonoharjo). Setelah itu dilakukan
analisis di laboratorium terhadap sampel airtanah yang kemudian datanya diolah
menggunakan tabel kurlov, diagram stiff, dan diagram piper untuk mengetahui jenis
airtanah dan tipe fasies airtanah pada daerah penelitian. Kemudian dilakukan
perhitungan kualitas airtanah berdasarkan PERMENKES No 492/IV/2010 dan WQI.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Kondisi Litologi
Pada kavling pemetaan yang berlokasi di daerah Gonoharjo memiliki litologi berupa
breksi volkanik (Gambar 7.). Pada batuan memiliki ciri fisik berwarna keabuan, porositas
berupa poorly sorted, kemas terbuka dan bentuk butir subangular. Komposisi breksi
terdiri dari matriks berukuran pasir sedang (Wentworth,1922) berupa tuff dan fragmen
berukuran kerikil hingga bongkah andesit porfir (Gambar 8.). Breksi Vulkanik sendiri
merupakan batuan piroklastik yang dapat diinterpretasikan terendapkan secara aliran
atau flow.
B. Kondisi Geomorfologi
Pada daerah pemetaan memiliki bentang alam yang didominasi oleh vulkanik atau
bentang alam yang dipengaruhi oleh aktivitas vulkanik (Gambar 9.). Pada daerah penelitian
gunung yang berpengaruh adalah Gunung Ungaran. Pada daerah pemetaan dibedakan
kembali berdasarkan kelerengannya (klasifikasi Van Zuidam) yang didapatkan vulkanik
berbukit terjal pada daerah Gonoharjo yang semakin mendekati puncak dari Gunung
Ungaran (Tabel 2.). Pada pola pengaliran daerah penelitian memiliki pola pengaliran radial
atau terpusat pada satu titik dapat menjadi penciri dari pola pengaliran pada daerah
vulkanik.

C. Kualitas Air Tanah


1. Hasil pH dan DHL
Berdasarkan analisis laboratorium pH dan DHL dari daerah penelitian, maka dapat
dilakukan interpolasi untuk mengetahui persebaran pH dan DHL daerah penelitian.
Dilihat dari peta kualitas air tanah pH dan DHL, terlihat bahwa pada daerah yang
tinggi memiliki DHL yang rendah dimana memusat di desa Gonoharjo dimana

784
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E024UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

trend kontur DHL dengan nilai yang semakin tinggi mengarah kea arah utara
Limbangan dan juga Barat Laut Gonoharjo. Sedangkan untuk pH Sendiri memiliki
arah trend yang semakin besar kea arah utara lokasi penelitian. DHL sendiri
dipengaruhi oleh salinitas dan juga ion-ion yang terlarut. Dilihat dari interpolasi
dimana DHL di Utara Limbangan semakin besar mengindikasikan semakin banyak ion
yang terlarut di daerah tersebut karena merupakan hilir dari daerah tersebut.
2. Hasil Analisis Diagram Stiff dan Piper
Berdasarkan hasil laboratorium dimana memiliki konsentrasi kation Ca 1.33 meq/l,
Mg 0.54 meq/l, Na 0.96 meq/l, K 0.38 meq/l serta anion HCO3 1.9 meq/l, SO4 0.33 meq/l,
dan Cl 0.07 meq/l untuk sampel A. Sedangkan untuk sampel B memiliki kation Ca
0.44 meq/l, Mg 0.31 meq/l, Na 0.43 meq/l, K 0.13 meq/l serta anion HCO3 1.1 meq/l, SO4
0.12 meq/l, dan Cl 0.02 meq/l. Dilihat dari komposisinya pada sampel A, yang
memiliki persentase kation dominan ialah Ca dan Na, sedangkan anion ialah HCO3
dimana masing-masing ion memiliki persentase di atas 25%. Kation Ca memiliki
kelimpahan 35.51%, sedangkan Na ialah 32.91%, serta anion HCO3 82.48%. Berdasarkan
kelimpahannya maka nama airtanahnya dinamakan calcium- natrium-bicarbonate.
Sama halnya dengan sampel A, komposisinya pada sampel B memiliki persentase
kation dominan juga ialah Ca dan Na, sedangkan anion ialah HCO3 dimana masing-
masing ion memiliki persentase di atas 25%. Kation Ca memiliki kelimpahan
35.47%, sedangkan Na ialah 33.41%, serta anion HCO3 88.58%. Berdasarkan
kelimpahannya maka nama airtanahnya dinamakan calcium-natrium-bicarbonate.
Berdasarkan hasil analisis diagram stiff pada sampel A dan B ditemukan anomali pada
anion yang dimana ditandai dengan adanya kelimpahan HCO3 yang melebihi anion
yang lain. Anion HCO3 yang melimpah ini diinterpretasikan diakibatkan oleh curah
hujan yang tinggi dimana membawa masa air yang melimpah kemudian terinfiltrasi ke
dalam batuan melalui porositas dan permeabilitas batuan baik primer maupun
sekunder, seperti adanya rekahan.
Tidak hanya untuk mencari anomali, namun dilakukan juga analisa fasies untuk
mengetahui fasies air tanah daerah penelitian yang memiliki litologi batuan vulkanik.
Berdasarkan hasil analisa menggunakan persentase konsentrasi kation dan anion pada
air, maka didapatkan fasies air tanahnya ialah Alkaline Earth Water with Higher
Alkaline Content Predominantly hydrogencarbonate. Fasies air tanah Alkaline Earth
Water with Higher Alkaline Content Predominantly hydrogencarbonate
diinterpretasikan merupakan fasies campuran yang dimana air tanah mulai turun
dari daerah vulkanik (Discharge) ke bagian hilir. Air tanah nya berasal dari air hujan
yang terinfiltrasi pada daerah vulkanik melalui porositas dan permeabilitas batuan
baik primer maupun sekunder.

D. Kualitas Air Tanah dan Hubungannya dengan Keadaan Geologi


Berdasarkan persentase komposisi unsur kation dan anion ini terdapat beberapa ion
yang kelimpahannya melebihi lebiih dari 25% yaitu Na, Ca, dan HCO3 (secara berurutan dari
besar ke kecil). Unsur kation dan anion yang mendominasi ialah ketiga unsur tersebut untuk
masing- masing sampel A dan sampel B. Berdasarkan kelimpahannya, maka sampel
airtanah yang dianalisis merupakan Natrium-Calsium-Bicarbonate. Berdasarkan

785
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E024UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

kelimpahan 3 ion tersebut dapat diinterpretasikan bahwa sampel airtanah A dan B berada
pada lingkungan vulkanik dimana didominasi oleh mineral yang kaya akan Na dan Ca,
sehingga litologinya merupakan batuan vulkanik dimana kaya akan mineral – mineral yang
bersifat intermediet. Kondisi pada daerah itu ialah cukup rendah akan unsur Cl namun
memiliki kondisi cuaca yang curah hujannya sangat tinggi dimana diindikasikan
dengan adanya kandungan ion HCO3 yang melimpah. Berdasarkan hasil tersebut maka
diinterpretasikan berada pada fasies air tanah Alkaline Earth Water with Higher Alkaline
Content Predominantly hydrogencarbonate.

E. Mutu Air Tanah untuk Air Minum


Parameter yang digunakan dalam penentuan kualitas air tanah untuk konsumsi
ialah konentrasi SO4, Fe, Cl, serta pH air tanah, kesadahan tanah, dan TDS. Air tanag pada
sampel A memiliki SO4 16 mg/l, Fe 0.072 mg/l, Cl 2.5 mg/l, serta pH (?), kesadahan 75.41mg/l,
dan TDS 97 mg/l. Air tanah pada sampel B memiliki SO4 6 mg/l, Fe 0.081 mg/l, Cl 0.6 mg/l,
serta pH (7.214), kesadahan 36.05 mg/l, dan TDS 45 mg/l.
Dengan parameter tersebut, kita dapat mengetahui mutu air tanah yang akan kita gunakan
untuk konsumsi dimana pada sampel A memiliki nilai WQI 11,72 menurut Permenkes
dan WQI 9.47 untuk WHO yanga dimana keduanya diklasifikasikan ke dalam kualitas air
yang sangat baik (Tabel 1.). Sampel airtanah B memiliki nilai WQI 27,29 menurut Permenkes
dan WQI 26.04 untuk WHO yanga dimana keduanya diklasifikasikan ke dalam kualitas air
yang sangat baik (Tabel 1 .).

VI. KESIMPULAN
1. Pada daerah pemetaan memiliki bentang alam yang didominasi oleh vulkanik atau bentang alam
yang dipengaruhi oleh aktivitas vulkanik dengan litologi berupa breksi vulkanik dimana kondisi
airtanah kaya akan unsur Na dan K dengan mineral yang bersifat intermediet.
2. Pada sampel A memiliki nilai WQI 11,72 menurut Permenkes dan WQI 9.47 untuk WHO
sehingga diklasifikasikan ke dalam kualitas air yang sangat baik (Tabel 1.). Sampel airtanah B
memiliki nilai WQI 27,29 menurut Permenkes dan WQI 26.04 untuk WHO sehingga
diklasifikasikan ke dalam kualitas air yang sangat baik (Tabel 1.).

DAFTAR PUSTAKA
M. Lumbanbatu, Ungkap. 2007. Evaluasi awal kerentanan pelulukan/likuefaksi daerah Kendal

786
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E024UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

dan sekitarnya, Jawa Tengah. Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 2 No. 3 September 2007:
159-176
Udin, M. Irfa’ (2015) : Sifat Fisik dan Kimia Airtanah dalam Analisis Asal Air dan Batuan Akuifer.
Refarat Teknik Geologi Undip
Peta Rupa bumi Indonesia lembar sumowono 1408-541

787
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E024UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

TABEL

Tabel 1. Contoh perhitungan WQI (Ramakrishnaiah dkk., 2009)

Skala WQI Kualitas

<50 Sangat baik

50-100 Baik

100-200 Buruk

200-300 Sangat Buruk

>3000 Tidak Layak minum

Tabel 2. Klasifikasi Van Zuidam 1985

GAMBAR

Gambar 1. Jenis Akuifer

788
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E024UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Analisi KAT dengan Tabel Kurlov

Gambar 3. Analisi KAT dengan Diagram Stiff

Gambar 4. Analisi KAT dengan Diagram Pipper

789
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E024UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. Fasies Air tanah

Gambar 6. Peta Geomorfologi Kendal

790
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E024UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 7. Peta Litologi Daerah Penelitian

Gambar 8. Singkapan Breksi Vulkanik di Daerah Penelitian

791
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E024UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 9. Peta Geomorfologi Daerah Penelitian

792
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

KARAKTERISTIK GEOLOGI TEKNIK MASSA BATUAN PADA LOKASI KONSTRUKSI


BENDUNGAN TUKUL, KABUPATEN PACITAN, PROVINSI JAWA TIMUR

I Gde Budi Indrawan 1* , Rizzy Primanta 2 , Dwi Agus Kuncoro 3


1*
Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik,
2 3
Universitas Gadjah Mada BBWS Bengawan Solo
*Corresponding Author: igbindrawan@ugm.ac.id

ABSTRAK. Makalah ini menampilkan hasil penyelidikan geologi teknik yang dilakukan untuk
mengkarakterisasi massa batuan di lokasi pembangunan Bendungan Tukul. Penyelidikan dilakukan
melalui pemetaan geologi dan pemetaan geologi teknik kualitas massa batuan permukaan
berdasarkan klasifikasi massa batuan Rock Mass Rating (RMR) dan Geological Strength Index (GSI) pada
singkapan batuan hasil penggalian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah penelitian terdiri dari
litologi berupa batupasir tufan, intrusi porfiri andesit,and breksi vulkanik. Massa batuan memiliki tingkat
pelapukan rendah hingga sangat tinggi. Batuan utuh memiliki nilai uniaxial compressive strength (UCS)
berkisar antara 1 hingga 250 MPa dan termasuk dalam kategori kekuatan ekstrem lemah hingga sangat
kuat. Massa batuan memiliki kualitas sangat buruk (nilai GSI <12 dan RMR <21), kualitas buruk (nilai GSI
12 – 30 dan RMR 21 – 40), kualitas sedang (nilai GSI 31 – 49 dan RMR 41 – 60), dan kualitas baik (nilai GSI 50 –
68 dan RMR 61 – 80). Tubuh bendungan bertumpu pada batupasir tufan kualitas sedang serta breksi
vulkanik dan intrusi porfiri andesit kualitas sedang dan baik. Beberapa lokasi keruntuhan lereng
batuan berasosiasi dengan kemiringan lereng relatif curam dan massa batuan dengan kualitas buruk
akibat pengaruh pelapukan tinggi hingga sangat tinggi.

I. PENDAHULUAN
Lokasi penelitian berada di lokasi konstruksi Bendungan (Waduk) Tukul. Secara
administratif, bendungan ini terletak di Desa Karanggede, Kecamatan Arjosari,
Kabupaten Pacitan, Provinsi Jawa Timur (Gambar 1). Bendungan Tukul dibangun untuk
penyediaan air irigasi 600 l/det, air baku RKI 300 l/det, PLT Mirkohidro 640 kW,
konservasi DAS, pengendalian banjir, dan pariwisata.
Daerah penelitian berada pada morfologi perbukitan dengan lembah terjal di Kali
Telu, cabang Sungai Grindulu, yang mengalir dari utara ke selatan. Batuan di daerah ini
telah mengalami ubahan akibat alterasi hidrotermal maupun pelapukan. Berdasarkan
Peta Prakiraan Wilayah Potensi Gerakan Tanah di Kabupaten Pacitan, Provinsi Jawa
Timur (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2017), daerah penelitian
termasuk kedalam zona potensi terjadi gerakan tanah menengah hingga tinggi dimana
potensi gerakan tanah dapat terjadi apabila ada gangguan pada lereng ketika dilakukan
penggalian.
Beberapa penyelidikan tapak telah dilakukan dalam tahap perancangan
konstruksi bendungan, namun penyelidikan yang dilakukan belum menyeluruh.
Karakterisasi massa batuan penyusun daerah penelitian belum dilakukan secara detil.
Karena kestabilan lereng dan pondasi bendungan diantaranya dipengaruhi oleh
karakteristik massa batuan, karakterisasi massa batuan secara detil perlu dilakukan demi

793
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

keamanan bendungan.

II. GEOLOGI REGIONAL


Peta Geologi Lembar Pacitan 1507-4 skala 1:100.000 yang disusun oleh Samodra
dkk. (1992) menunjukkan urutan stratigrafi dari tua ke muda di daerah penelitian dan
sekitarnya terdiri dari Batuan Terobosan (Tomi), Formasi Arjosari (Toma), Formasi
Mandalika (Tomm), dan Aluvium (Qa) (Gambar 2). Batuan Terobosan tersusun atas
andesit, dasit, basal, dan diorit. Formasi Arjosari tersusun atas konglomerat anekabahan,
batupasir, batulanau, sisipan breksi gunungapi, lava dan tuf. Formasi Mandalika tersusun
atas perselingan breksi gunungapi, lava, tuf, bersisipan batupasir tufan, batulanau, dan
batulempung. Aluvium tersusun atas kerakal, kerikil, lanau, lempung, dan lumpur.
Hubungan Formasi Arjosari dan Formasi Mandalika adalah menjari, kemudian diterobos
oleh Batuan Terobosan. Ketiga Formasi tersebut berumur Oligosen Akhir – Miosen
Awal, sedangkan Aluvium berumur Holosen.
Pada daerah di sekitar Bendungan Tukul terdapat sesar berarah timur laut – barat daya
dan barat laut – tenggara yang saling berpotongan. Sesar berarah barat laut – tenggara
merupakan sesar geser menganan dan sesar berarah timur laut – barat daya merupakan
sesar geser mengiri. Sesar – sesar tersebut terutama memotong Formasi Mandalika dan
Formasi Arjosari. Menurut Abdullah dkk. (2003), daerah Pacitan dan sekitarnya
merupakan zona peralihan antara jalur subduksi pada Zaman Kapur dengan Zaman Tersier.

III. METODE PENELITIAN


Penelitian dilakukan melalui pemetaan geologi dan pemetaan kualitas massa
batuan permukaan berskala 1:5000. Penamaan batuan vulkanik di daerah penelitian
dilakukan berdasarkan klasifikasi Fisher (1966) dan Scmidt (1981) (dalam McPhie et al.,
1993), sedangkan penamaan batuan intrusi dilakukan berdasarkan klasifikasi batuan yang
disusun oleh Travis (1955). Struktur geologi dianalisis berdasarkan analisis citra satelit
dan pengamatan lapangan.
Sebagian massa batuan di daerah penelitian tergolong massa batuan lemah akibat
pengaruh pelapukan dan intensitas retakan batuan yang tinggi. Sebagian lain massa batuan
terdiri dari batuan utuh yang tingkat kekuatannya tinggi. Untuk mengantisipasi
ketidakpastian penggunaan klasifikasi massa batuan yang paling sesuai diterapkan di
daerah penelitian, kualitas massa batuan ditentukan berdasarkan klasifikasi massa batuan GSI
(Marinos and Hoek, 2000) dan RMR (Bieniawski, 1989). Pemetaan kualitas massa batuan
dilakukan menggunakan metode window mapping pada singkapan batuan hasil penggalian.
Penentuan kualitas massa batuan dengan klasifikasi GSI dilakukan melalui pengamatan
struktur massa batuan dan kondisi permukaan diskontinuitas batuan. Penentuan kualitas
massa batuan dengan klasifikasi RMR meliputi penentuan nilai uniaxial compressive strength
(UCS) batuan utuh serta pengamatan rock quality designation (RQD), spasi dan kondisi
diskontinuitas batuan, dan kondisi airtanah. Tingkat pelapukan batuan ditentukan
berdasarkan klasifikasi tingkat pelapukan yang diusulkan oleh ISRM (1981), sedangkan
nilai UCS batuan utuh diperkirakan menggunakan indeks kekuatan batuan di lapangan
berdasarkan ISRM (1981).

794
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil pengamatan singkapan batuan dan analisis petrografi menunjukkan bahwa
daerah penelitian terdiri dari 3 satuan batuan dari tua ke muda yaitu: intrusi porfiri andesit,
satuan breksi vulkanik, dan satuan batupasir tufan (Gambar 3). Hubungan antara satuan
breksi vulkanik dan batupasir tufan saling menjari, kemudian diterobos oleh batuan beku
porfiri andesit kedalam satuan breksi vulkanik dan satuan batupasir tufan. Struktur geologi
yang berkembang berupa sesar turun dekstral, kekar gerus, dan bidang perlapisan. Batuan
di daerah penelitian secara umum memiliki bidang perlapisan miring ke arah barat – barat laut
dengan arah rata – rata N215.6°E/32.8°. Jenis kekar yang sering dijumpai berupa kekar gerus
yang umumnya memiliki arah rata – rata N129.7oE/72.1o dan N217.2oE/71.5o. Analisis data
pengukuran orientasi kekar gerus di lapangan menunjukkan gaya utama yang mengontrol
struktur geologi kekar pada batuan di lokasi penelitian memiliki arah barat laut – tenggara.
Sesar turun dekstral memiliki arah kelurusan berkisar N290-325°E/80-85° (Gambar 4).
Mengacu pada klasifikasi massa batuan GSI, massa batuan di daerah penelitian
memiliki struktur bervariasi, mulai dari disintegrated hingga very blocky, namun pada
umumnya menunjukkan struktur disintegrated – blocky/disturbed/seamy. Diskontinuitas
batuan memiliki tingkat pelapukan tinggi hingga sangat tinggi. Nilai GSI massa batuan di
darah penelitian berkisar antara 5 – 60 (Gambar 5), sedangkan nilai RMR berkisar antara 21
hingga 60. Hubungan antara nilai GSI dan RMR massa batuan di daerah penelitian dapat
dinyatakan dengan persamaan berikut (Gambar 6)

GSI = 0,95 RMR – 7,8 (1)

Persamaan (1) yang diperoleh dalam penelitian ini hampir sama dengan persamaan
empiris (Persamaan (2)) yang diusulkan oleh Hoek and Brown (1997):

GSI = RMR - 5 (2)

Berdasarkan konversi nilai GSI ke RMR menggunakan Persamaan (1), kualitas massa
batuan di daerah penelitian dapat dibagi menjadi kelas massa batuan berkualitas sangat buruk,
buruk, dan baik (Tabel 1). Gambar 7 menampilkan peta kualitas massa batuan di daerah
penelitian, sedangkan Gambar 8 memperlihatkan peta geologi teknik massa batuan yang
disusun berdasarkan sebaran jenis batuan, kualitas massa batuan, dan sifat – sifat
keteknikannya. Gambar 8 menunjukkan daerah penelitian terdiri dari 8 satuan geologi teknik
massa batuan, yaitu batupasir tufan kualitas sangat buruk hingga sedang, breksi vulkanik
kualitas buruk hingga baik, dan intrusi porfiri andesit kualitas sedang dan baik. Deskripsi
karakteristik masing- masing satuan geologi teknik massa batuan diperlihatkan dalam Tabel 2.
Contoh kenampakan masing-masing satuan diperlihatkan dalam Gambar 9 hingga Gambar
11. Secara umum, massa batuan di daerah penelitian memiliki tingkat pelapukan rendah
(slightly weathered) hingga sangat tinggi (very highly weathered). Batuan utuh memiliki nilai UCS
berkisar antara 1 hingga 250 MPa dan termasuk dalam kategori kekuatan ekstrem lemah
(extremely weak) hingga sangat kuat (very strong). Massa batuan memiliki kualitas sangat buruk
(nilai GSI <12, RMR <21), kualitas buruk (nilai GSI 12 – 30, RMR 21 – 40), kualitas sedang (nilai

795
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

GSI 31 – 49, RMR 41 – 60), dan kualitas baik (nilai GSI >49, RMR 61 – 80).
Gambar 8 memperlihatkan bahwa tubuh bendungan bertumpu pada batuan
pondasi berupa batupasir tufan kualitas sedang serta breksi vulkanik dan intrusi porfiri
andesit kualitas sedang dan baik. Menurut Bieniawski (1993), massa batuan dengan kualitas
sedang memiliki daya dukung izin sebesar 135-280 T/m2, sedangkan massa batuan dengan
kualitas baik memiliki daya dukung izin sebesar 280-440 T/m2. Gambar 8 juga
memperlihatkan beberapa lokasi keruntuhan lereng (longsor) di daerah penelitian. Contoh
lokasi keruntuhan lereng di daerah penelitian diperlihatkan pada Gambar 12. Secara umum,
lokasi keruntuhan lereng berasosiasi dengan kondisi kemiringan lereng yang relatif curam
dan massa batuan berkualitas buruk dengan tingkat pelapukan tinggi hingga sangat tinggi.

V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Daerah penelitian terdiri dari litologi berupa batupasir tufan, intrusi porfiri andesit,
and breksi vulkanik. Massa batuan memiliki tingkat pelapukan rendah hingga sangat tinggi.
Batuan utuh memiliki nilai UCS berkisar antara 1 hingga 250 MPa dan termasuk dalam kategori
kekuatan ekstrem lemah hingga sangat kuat. Massa batuan memiliki kualitas sangat buruk (nilai
GSI <12 dan RMR <21), kualitas buruk (nilai GSI 12 – 30 dan RMR 21 – 40), kualitas sedang (nilai GSI
31 – 49 dan RMR 41 – 60), dan kualitas baik (nilai GSI 50 - 68 dan RMR 61 – 80). Tubuh
bendungan bertumpu pada batupasir tufan kualitas sedang serta breksi vulkanik dan intrusi
porfiri andesit kualitas sedang dan baik. Beberapa lokasi keruntuhan lereng batuan
berasosiasi dengan kemiringan lereng relatif curam dan massa batuan dengan kualitas buruk
akibat pengaruh pelapukan tinggi hingga sangat tinggi.
Penelitian lanjutan diperlukan, diantaranya untuk menentukan kestabilan pondasi
bendungan dan lereng, di daerah penelitian secara lebih detil berdasarkan hasil
karakterisasi massa batuan penelitian ini. Keberadaan sesar-sesar yang memotong batuan di
daerah penelitian maupun sekitarnya memerlukan penelitian lebih lanjut terkait
kemungkinan pengaruhnya terhadap konstruksi bendungan dan infrastruktur pendukung.

UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Departemen Teknik Geologi UGM atas
dukungan dana penelitian dan kepada BBWS Bengawan Solo beserta Konsultan Supervisi dan
Kontraktor Pelaksana Proyek Pembangunan Bendungan Tukul atas izin melakukan penelitian.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sulis dan Bapak Beny dari PT. Brantas
Abipraya atas batuan selama kegiatan pemetaan di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, C.I., Magetsari, N.A., dan Purwanto, H.S. 2003. Analisis Dinamik Tegasan Purba pada Satuan
Batuan Paleogen – Neogen di Daerah Pacitan dan Sekitarnya, Provinsi Jawa Timur Ditinjau dari
Studi Sesar Minor dan Kekar Tektonik. Proceeding ITB Sains & Teknologi Vol. 35 A, No 2.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2017. Peta Prakiraan Wilayah Potensi Gerakan Tanah
di Kabupaten Pacitan. Badan Geologi [Tidak Diterbitkan]
Bieniawski, Z.T. 1989. Engineering Rock Mass Classification A Complete Manual for Engineers and Geologist in

796
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Mining, Civil and Petroleum Engineering, New York: John Wile & Sons.
Bieniawski, Z. T. 1993. In J. A. Hudson (Ed.), Classification of rock masses for engineering: The RMR system and
future trends, comprehensive rock engineering. Vol. 3, pp. 553–574. New York: Pergamon Press.
Hoek, E. and Brown, E.T. 1997. Practical estimates of rock mass strength. International Journal of Rock Mechanics
and Mining Sciences and Geomechanics Abstracts; 34(8), p. 1165-86.

ISRM. 1981. The Complete ISRM Suggested Methods for Rock Characterization, Testing and Monitoring, Ankara,
ISRM Turkish National Group.
Marinos, P. and Hoek, E. 2000. GSI: a geologically friendly tool for rock mass strength estimation. In:
Proceedings of the GeoEng2000 at the international conference on geotechnical and geological
engineering,Melbourne,Technomicpublishers,Lancaster.
McPhie, J., Doyle, M., and Allen, R. 1993. Volcanic Textures, Tasmania: Tasmanian Government
Printing Office.
Travis, R.B. 1955. Classification of Rocks. Quarterly of the Colorado School of Mines, v.50 No 1,
Golden, CO.
Samodra, H., Gafoer, S., dan Tjokrosapoetro, S. 1992. Peta Geologi Lembar Pacitan, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi, Bandung.

797
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 1 Kelas kualitas massa batuan berdasarkan hubungan linier antara nilai GSI dan RMR.
Klasifikasi Kualitas Massa Batuan
Massa Batuan Sangat Buruk Sedang Baik Sangat baik
buruk
RMR <21 21-40 41-60 61-80 81-100
GSI <12 12-30 31-49 50-68 69-87

Tabel 2 Karakteristik satuan geologi teknik massa batuan di daerah penelitian.


Satuan Karakteristik
Batupasir tufan Berwarna coklat tua kekuning-kuningan, tersusun oleh fragmen berukuran 0,1 -
kualitas sangat 0,2 mm, matriks berukuran pasir halus – sangat halus, sortasi baik, kemas
buruk tertutup, bentuk butir subangular-rounded, tingkat pelapukan tinggi – sangat
tinggi menyebabkan struktur batuan tidak terlihat. Satuan ini memiliki luas
pelamparan berkisar 2% dari total luas daerah penelitian, tingkat pelapukan
sangat tinggi, nilai GSI <12, nilai RMR <21, nilai UCS <1 MPa, kandungan air
4,8%, densitas kering 1,21 g/cm3, densitas total 1,27 g/cm3, specific gravity 2,70
g/cm3.
Batupasir tufan Berwarna coklat kekuning-kuningan, tersusun oleh fragmen berukuran 0,1 – 0,2
kualitas buruk mm, matriks berukuran pasir halus – sedang, sortasi baik, kemas tertutup,
bentuk butir subangular, struktur batuan berlapis. Satuan ini memiliki luas
pelamparan sebesar 39% dari total luas daerah penelitian, tingkat pelapukan
tinggi, nilai GSI 12 – 30, nilai RMR 21 – 40, nilai UCS berkisar 1 – 5 MPa UCS,
kemiliki kandungan air 3,53%, densitas kering 2,41 g/cm3, densitas total 2,503
g/cm3, specific gravity 2,86 g/cm3.
Batupasir tufan Berwarna coklat keabu-abuan, tersusun oleh fragmen berukuran 0,1 – 0,2 mm,
kualitas sedang matriks berukuran pasir sedang – kasar, sortasi baik, kemas tertutup, bentuk
butir subangular – angular, struktur batuan berlapis. Satuan ini memiliki luas
pelamparan 6% dari total luas daerah penelitian, tingkat pelapukan menengah,
nilai GSI 31 – 49, nilai RMR 41 – 60, nilai UCS berkisar 5 – 50 MPa, kandungan
air 2,06%, densitas kering 2,53 g/cm3, densitas total 2,59 g/cm3, specific gravity 2,77
g/cm3.
Breksi vulkanik Berwarna coklat, tersusun oleh fragmen berukuran kerikil – berangkal, matriks
kualitas buruk berukuran pasir halus – sangat halus, sortasi buruk, kemas terbuka, bentuk butir
subangular, struktur batuan masif. Satuan ini memiliki luas pelamparan sebesar
30% dari total luas daerah penelitian, tingkat pelapukan tinggi – sangat tinggi,
nilai GSI 12 – 30, nilai RMR 21 – 40, nilai UCS <25 MPa, kandungan air 5,28%,
densitas kering 1,12 g/cm3, densitas total 1,18 g/cm3, specific gravity 2,12 g/cm3.
Breksi vulkanik Berwarna abu kecoklat – coklatan, tersusun oleh fragmen berukuran kerikil –
kualitas sedang berangkal, matriks berukuran pasir halus – sedang, sortasi baruk, kemas terbuka,
bentuk butir angular, struktur masif. Satuan ini memiliki luas pelamparan sebesar
20% dari total luas daerah penelitian, tingkat pelapukan tinggi menengah –
tinggi, GSI 31 – 49, RMR 41 – 60, nilai UCS berkisar 25 – 50 MPa, kandungan air
2,65%, densitas kering 2,49 g/cm3, densitas total 2,56 g/cm3, specific gravity 2,69
g/cm3.
Breksi vulkanik Berwarna abu – abu, tersusun oleh fragmen berukuran kerikil – berangkal,
kualitas baik matriks berukuran pasir sedang – kasar, sortasi buruk, kemas terbuka, bentuk
butir angular, struktur batuan masif. Satuan ini memiliki luas pelamparan 1% dari
total luas daerah penelitian, tingkat pelapukan rendah – menengah, nilai GSI 50 –
68, nilai RMR 61 – 80, nilai UCS berkisar 50 – 100 MPa, kandungan air 1,88%,
densitas kering 2,61 g/cm3, densitas total 2,66 g/cm3, specific gravity 2,68-2,703
g/cm3.

798
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Intrusi porfiri Berwarna abu-abu kecoklatan, fenokris berukuran 0,1 – 0,3 mm, massa dasar
andesit kualitas berukuran <0,1 mm, tekstur holokristalin, porfiroafanitik, subhedral, struktur
sedang batuan masif. Satuan ini memiliki luas pelamparan 1% dari total luas daerah
penelitian, tingkat pelapukan menengah, nilai GSI 31 – 49, nilai RMR 41 – 60,
nilai UCS berkisar 50 – 100 MPa, kandungan air 2,82%, densitas kering 2,54
g/cm3, densitas total 2,62 g/cm3, specific gravity 2,78 g/cm3.

Intrusi porfiri Berwarna abu-abu, fenokris berukuran 0,1 – 0,3 mm, massa dasar berukuran <0,1
andesit kualitas mm, tekstur holokristalin, porfiroafanitik subhedral, struktur batuan masif.
baik Satuan ini memiliki luas pelamparan 1% dari total luas daerah penelitian, tingkat
pelapukan rendah, GSI 50 – 68, RMR 61 – 80, nilai UCS berkisar 100 – 250 MPa,
kandungan air 2,12%, densitas kering 2,24 g/cm3, densitas total 2,30 g/cm3, specific
gravity 2,82 g/cm3.

Gambar 1. Lokasi daerah penelitian.

Gambar 2. Bagian dari Peta Geologi Regional Lembar Pacitan (Samodra dkk, 1992).

799
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Peta dan sayatan geologi daerah penelitian.

800
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Kenampakan sesar turun dekstral dengan arah kelurusan N325°E/82°, gores garis
N46°E/28°, dan sudut pitch 36°.

801
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. Persebaran nilai GSI massa batuan di daerah penelitian.

802
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 6. Hubungan nilai GSI dan RMR massa batuan di daerah penelitian.

Gambar 7. Peta kualitas massa batuan pada daerah penelitian.

803
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 8. Peta geologi teknik massa batuan di daerah penelitian.

(a)

804
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

(b)

Gambar 9. Singkapan batupasir tufan: (a) kualitas sangat buruk; (b) kualitas buruk; (c) kualitas
sedang

(a)

805
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

(b)

Gambar 10 Singkapan breksi vulkanik: (a) kualitas buruk; (b) kualitas sedang; (c) kualitas baik

(a)

806
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 11 Singkapan intrusi porfiri andesit: (a) kualitas sedang; (b) kualitas baik (A) dan sedang
(B).

Gambar 12. Kenampakan keruntuhan lereng di daerah penelitian.

807
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E028UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

PENGURANGAN KESADAHAN Ca DAN Mg DENGAN KARBON AKTIF DAN


PENGARUHNYA TERHADAP KELAYAKAN KONSUMSI PADA AIRTANAH DI
DUSUN SAMBIREJO, KELURAHAN TALAKBROTO, KECAMATAN SIMO,
KABUPATEN BOYOLALI

Hulaima Nur Qonita 1* , Miratul Izah 2, Nabilah Afifah Habni Harahap 3, Irvan Sumantri
Pakpahan 4
1*
Jl. Kresno RT 009 RW 002 Banyumanik, Banyumanik, Semarang , Jl. Maerasari No. 16, Tembalang,
2 3
Semarang , Jl. Galang Sewu Raya No.63 Kost Graha Venna Cava Baskoro, Tembalang, Semarang , Jl.
4
Bulusan XI No.2, Tembalang, Semarang
*Corresponding Author: hulaimanurqonita@gmail.com

ABSTRAK. Kesadahan adalah salah satu sifat kimia yang dimiliki oleh air dimana definisi kesadahan
air yaitu sifat kimia air yang mengandung mineral tertentu yang umumnya terdiri dari kalsium (Ca)
dan magnesium (Mg). Menurut WHO dampak penggunaan yang timbul akibat penggunaan air
sadah terhadap kesehatan adalah penyumbatan pembuluh darah jantung dan batu ginjal. Airtanah yang
digunakan untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat Dusun Sambirejo, Kelurahan Talakbroto,
Kecamatan Simo, Kabupaten Boyolali diketahui mengandung unsur Ca, dan Mg yang cukup tinggi,
atau dapat termasuk ke dalam kategori air sadah. Menurut PERMENKES No 492/IV/2010, toleransi
kesahadan pada air yaitu 500 mg/l, sedangkan tingkat kesadahan pada airtanah di Desa Sambirejo
sebesar 224,68 mg/l. Walaupun masih tergolong tingkat menengah, apabila airtanah ini dikonsumsi
setiap hari dapat menimbulkan berbagai efek yang membahayakan bagi kesehatan. Salah satu cara
untuk menurunkan kesadahan adalah filtrasi dengan karbon aktif. Tujuan dari penelitian ini yaitu
untuk mengetahui seberapa besar tingkat pengurangan kesadahan air menggunakan karbon aktif dan
bagaimana pengaruhnya terhadap kelayakan kosumsi. Metode yang digunakan yaitu dengan
filtrasi air sadah sebanyak 1,5 liter menggunakan pasir kuarsa dan karbon aktif dengan ketebalan 6 cm
pasir kuarsa dan 30 cm karbon aktif, dengan kecepatan aliran 1 ml/s. Hasil dari pengujian laboratorium,
didapatkan bahwa tingkat kesadahan akhir 179,74 mg/l atau pengurangan sebesar 20%. Sehingga
pengurangan tingkat kesadahan air dengan menggunakan metode filter karbon aktif efektif
mengurangi 20% tingkat kesadahan air dan lebih layak digunakan sebagai konsumsi masyarakat.

I. PENDAHULUAN

Air merupakan kebutuhan yang sangat utama bagi kehidupan manusia, oleh karena itu
jika kebutuhan air belum terpenuhi baik secara kuantitas maupun kualitas, maka akan
menimbulkan dampak yang besar terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat.
Pengunaan air dibutuhkan bagi kehidupan sehari – hari yang berasal dari airtanah.
Persyaratan air yang layak digunakan meliputi persyaratan fisik, kimia dan bakteriologis,
ketiga persyaratan tersebut merupakan suatu kesatuan, sehingga apabila ada satu parameter
yang tidak memenuhi syarat, maka air tersebut tidak layak untuk digunakan. Standar
kesadahan air berdasarkan Permenkes No.492/MENKES/PER/IV/2010 tentang kualitas air
minum yaitu maksimum 500 mg/l. Air yang melebihi nilai ambang batas tersebut dapat
menyebabkan beberapa masalah kesehatan.
Salah satu parameter kimia dalam persyaratan kualitas air adalah jumlah kandungan unsur
Ca dan Mg2+ dalam air, yang keberadaannya biasa disebut dengan kesadahan air.
2+

808
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E028UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Kesadahan yang tinggi mengakibatkan kerak pada dinding peralatan rumah tangga. Dalam
pemakaian yang cukup lama, kesadahan dapat menimbulkan gangguan ginjal akibat
terakumulasinya endapan CaCO3 dan MgCO3 (Satrawijaya, 2002). Masalah ini dapat
mengakibatkan terganggunya kesehatan masyarakat, oleh karena itu persyaratan kesadahan
pada air yang dikonsumsi oleh masyarakat harus diperhatikan.
Berdasarkan permasalahan ini maka perlu dilakukan suatu pengkajian teknologi
untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan kesadahan dalam air. Agar teknologi ini
dapat diterapkan pada masyarakat, yaitu menggunkanan bahan yang relatif murah dan
mudah dilakukan, sehingga secara keseluruhan ditinjau dari segi teknis dan ekonomi
dapat terjangkau oleh masyarakat. Teknologi yang dilakukan dalam pengurangan kesadahan
air ini adalah menggunakan karbon aktif dari hasil penyaringan menggunakan arang dari
kelapa.
Karbon aktif dipilih karena memiliki sifat kimia dan fisika yang dapat menyerap zat
organik maupun anorganik, dan penukar kation. Dimana karbon aktif ini adalah zat
penyerap yang menyerap rasa, bau dari air, dan juga penghilang senyawa organik dalam air.
Karbon aktif ini juga mudah digunakan, dan harga yang relatif murah sehingga dapat mengurangi
kesadahan air yang dikonsumsi oleh masyarakat.

II. GEOLOGI REGIONAL

Berdasarkan Peta Geologi Lembar Salatiga yang disusun oleh Sukardi dan
Budhitrusna (1992) litologi di Boyolali terdiri dari beberapa satuan batuan yaitu :
1. Formasi Kerek (Tmk)
Formasi Kerek merupakan sedimen tipe flysh yang berselang-seling terdiri dari
perselang- selingan batu lanau, batu lempung, batu pasir gampingan, dan batu gamping
pasiran yang mengandung bahan vulkanik.
2. Formasi Kalibeng (Pliosen)
Formasi ini terdiri dari batu gamping koral, batu gamping globigerina, dan
napal pasiran dengan glaukonite dan foraminifera kecil.
3. Formasi Notopuro (Pleistosen)
Formasi ini terdiri dari batuan breksi andesit dan agglomerat dan secara lokal
terdapat endapan lahar.
4. Formasi Kabuh (Pleistosen)
Formasi ini terdiri dari batu pasir silang-siur, kerikil sisipan tuf andesit, dan konglomerat
basal.
5. Batuan Vulkanik Kuarter
Batuan vulkanik kuarter terdiri dari batuan Gunung Api Merbabu berupa breksi
gunung api, lava, tuf, dan breksi lahar. Batuan Gunung Api Merapi berupa breksi gunung api,
lava, tuf, dan breksi lahar.
6. Endapan alluvial.
Berupa lempung, lanau, pasir dan kerikil sampai bongkahan batuan beku yang bersifat
lepas.

III. METODOLOGI

809
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E028UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Adapun metodologi yang dilakukan untuk mendukung pembuatan paper ini ialah
sebagai berikut.
a. Studi pustaka mencari referensi/ sumber yang menunjang penelitian seperti literatur buku
maupun jurnal penelitian terdahulu.
b. Pengambilan data (sampel air). Sampel air diambil di Dusun Sambirejo RT 03, RW 01, Desa Talakbroto,
Kecamatan Simo, Kabupaten Boyolali dimana sampel dibedakan menjadi 2, yakni sampel yang
belum dilakukan perlakuan dan sampel setelah diberikan perlakuan.
c. Penyaringan. Sampel Air disaring di dalam pipa, dengan ketebalan pasir kuarsa 6cm dan karbon
aktif 30cm. Air sampel dialirkan secara manual pada pipa selama 3x hingga jernih. Selanjutnya
air sampel yang telah disaring dimasukkan ke dalam botol yang telah diberi label.
d. Uji laboratorium. Dua sampel air yang ada kemudian dilakukan uji laboratorium dan
dilakukan perbandingan diantara keduanya untuk melihat perbedaanya. Adapun parameter
yang digunakan untuk membandingkan dua sampel air ini ialah Magnesium (Mg), Kalsium
(Ca), TDS, pH, besi (Fe), Klorida (Cl), dan Sulfat (SO42-).

IV. HASIL PENELITIAN

Air yang diambil dari Dusun Sambirejo RT 03, RW 01, Desa Talakbroto, Kecamatan
Simo, Kabupaten Boyolali memiliki kandungan kesadahan yang cukup tinggi yaitu sebesar
224,68 mg/L. Air yang berasal dari Desa Talakbroto itu kemudian diberikan perlakuan
pemfilteran menggunakan karbon aktif yang kemudian akan dibandingkan air yang tidak
diberi perlakuan. Hal ini dilakukan agar tingkat kesadahan air tersebut dapat berkurang dan
layak dikonsumsi oleh masyarakat, serta tidak membahayakan bagi masyarakat untuk
dikonsumsi sehari-hari.

Perlakuan filterisasi menggunakan pasir kuarsa setebal 6 cm dan karbon aktif


setebal 30 cm. Volume air yang dimasukkan ke dalam tempat filterisasi air ialah sebanyak 1,5 L
dengan kecepatan aliran air ialah sebesar 1 mL/s. Berdasarkan hasil laboratorium fisika
kimia air dimana air yang diuji ialah air yang diberi perlakuan filterisasi menggunakan karbon
aktif dan air yang tidak diberi perlakuan, air yang tidak diberi perlakuan mengalami tingkat
kesadahan yang lebih tinggi dibandingkan air yang telah diberikan perlakuan. Berikut
merupakan hasil dari lab yang dianalisis.
Sesuai dengan rumus kesadahan yang dimana rumusnya ialah Kesadahan (CaCO3) mg/L
= (2,497) Ca + (4,115) Mg, maka pada air yang tidak diberikan perlakuan memiliki kesadahan
sebesar 224,68 mg/L dan yang sudah diberikan perlakuan ialah sebesar 179,74 mg/L.

V. DISKUSI DAN PEMBAHASAN

Kesadahan atau hardness adalah salah satu sifat kimia yang dimiliki oleh air. Penyebab
air menjadi sadah adalah karena adanya ion-ion Ca2+, Mg2+ dapat juga disebabkan karena
adanya ion-ion lain dari polyvalent metal (logam bervalensi banyak) seperti Al, Fe, Mn, Sr dan
Zn dalam bentuk garam sulfat, klorida dan bikarbonat dalam jumlah kecil.
Tingkat kesadahan yang berada di berbagai tempat mempunyai tingkat yang berbeda-
810
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E028UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

beda. Pada umumnya airtanah mempunyai tigkai kesadahan yang tinggi, hal ini
dikarenakan airtanah memiliki kontak langsung dengan batuan kapur yang ada pada lapisan
tanah yang dilalui air, ataupun akuifer pada daerah tersebut.
Dalam penelitian Satrawijaya tahun 2002 diketahui bahwa dalam pemakaian yang
cukup lama, kesadahan dapat menimbulkan gangguan ginjal akibat terakumulasinya endapan
CaCO3 dan MgCO3. Demikian pula dalam penelitian Patria tahun 2011 diketahui bahwa zat
atau bahan kimia yang terkandung dalam air misalnya adanya Ca2+, Mg2+ dan CaCO3
yang melebihi standar kualitas, tidak baik pada orang yang mempunyai fungsi ginjal kurang
baik, karena akan menyebabkan batu ginjal.
Kadar kesadahan dari sumber air di Dusun Sambirejo sebelum melewati karbon aktif
adalah 224,68 mg/L. Hal ini menunjukkan bahwa kesadahan air berada pada kategori keras
menurut International Standard of Drinking Water tahun 1971 dari WHO meskipun
menurut Permenkes No.492/MENKES/PER/IV/2010 tentang kualitas air minum, kadar
kesadahan ini masih berada dibawah standar yang dibolehkan. Kadar kesadahan air yang
digunakan masyarakat dipengaruhi oleh kondisi alam yaitu berada di sekitar pegunungan
yang memiliki litologi tuff karbonatan (Gambar 1).
Diperlukannya metode untuk mengurangi tingkat kesadahan pada airtanah, salah
satunya adalah metode filtrasi atau penyaringan. Filtrasi adalah suatu cara memisahkan padatan
atau endapan dari air. Dalam pelaksanaan penelitian ini, media yang digunakan untuk
penyaringan adalah karbon aktif dan pasir kuatsa. Karbon aktif dipilh karena memiliki
sejumah sifat fisika maupun kimia yang menarik, di antaranya mampu menyerap zat organic
maupun anorganik, dapat berlaku sebagai penukar kation, dan sebagai katalis untuk berbagai
reaksi. Ketebalan yang dipakai pada penelitian ini yaitu 6 cm pasir kuarsa dan 30 cm
karbon aktif dengan pengulangan sebanyak 3 kali.
Karbon aktif adalah karbon yang diproses sedemikian rupa sehingga pori - porinya
terbuka, dan dengan demikian akan mempunyai daya serap yang dapat menghilangkan
partikel – partikel dalam air dan menurunkan tingkat kesadahan. Karbon aktif yang
digunakan disini adalah tempurung kelapa.
Sifat fisik karbon aktif yang dihasilkan tergantung pada kekuatan daya tarik
molekul penjerap maka terjadi proses adsorpsi dari bahan yang digunakan, misalnya,
tempurung kelapa menghasilkan arang yang lunak dan cocok untuk menjernihkan air,
yaitu proses penyerapan zat - zat yang akan dihilangkan oleh permukaan arang aktif,
termasuk CaCO3 yang menyebabkan kesadahan.
Kemampuan karbon aktif menyerap secara kimia adalah tersuspensinya kedalam air
sampel sehingga karbon aktif yang tersuspensi berpengaruh terhadap pengikat ion Mg dan
Ca. Proses pertukaran ion Ca2+ dan Mg2+ sangat cepat antara ( 20 – 30 menit ), dengan
terbentuknya endapan CaCO3 atau MgCO3 berarti air tersebut telah bebas dari ion Ca2+ dan Mg2+
atau dengan kata lain air tersebut telah terbebas dari kesadahan (Ristiana, 2009).
Tingkat kesadahan air setelah melewati filter, didapatkan pengurangan kesadahan
air sebesar 20%, sehingga nilai kesadahan setelah disaring adalah 179,74 mg/L. Semakin rendah
nilai kesadahan airnya maka akan semakin layak air tersebut dikonsumsi masyarakat.

VI. KESIMPULAN
811
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E028UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Salah satu cara dalam mengurangi kesadahan air adalah dengan menggunakan karbon
aktif, yang dilakukan dengan cara menyaring air dengan metode karbon aktif. Tingkat kesadahan
air yang rendah merupakan air yang layak untuk dikonsumsi karena tidak banyak
mengandung CaCO3. Hasil dari penyaringan dengan metode karbon aktif ini adalah salah satu
solusi dalam mengatasi air yang memiliki kesadahan tinggi, yang dapat digunakan pada
daerah wilayah pesisir serta daerag karst yang airnya banyak mengandung CaCO3 yang
tinggi. Sehingga dengan metode ini masyarakat di daerah yang memiliki air dengan
kesadahan tinggi dapat mengkonsumsi air yang layak.

ACKNOWLEDGEMENTS

Terima kasih juga kepada Pak Ir. Wahyu Krisna Hidayat, MT. yang telah membimbing
kami dalam penulisan karya ilmiah ini dan juga mengucapkan terima kasih kepada orang lain
yang sudah berpartisipasi dalam pembuatan karya ilmiah ini.

DAFTAR PUSTAKA

I. A. Lustiningrum, “Pengaruh Lama Kontak Karbon Aktif Terhadap Penurunan Kadar Kesadahan
Air Sumur Di Desa Kismoyoso Kecamatan Ngemplak Kabupaten Boyolali,” Program Studi
Kesehatan Masyarakat, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2013.

B. Rahma, “Pengaruh Ketebalan Arang Tempurung Kelapa Terhadap Tingkat Kesadahan Air di
Wilayah Kerja Puskesmas Sudu Kabuaten Enrekang” Jurusan Kesehatan Masyarakat,
Uniersitas Islam Negeri Alauddin Makasar, 2013.

S. Arum, “Efektivitas Arang Aktif, Zeolit, Dan Bentonit Terhadap Penurunan Kadar Mg2+ Dan
Mn2+ Dalam Tiga Sumber Air,” Jurusan Teknologi Pangan, Universitas Pasundan, 2015.

812
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E028UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

TABEL
Tabel 1. Air Tanah sebelum Diberi Perlakuan

No Parameter Satuan Hasil Uji Metode Uji

1. Magnesium (Mg) mg/L 69,94 SNI 06-6989, 12-2004

2. + mg/L 12,16 SNI 06-6989, 12-2004


Kalsium (Ca)

3. TDS mg/L 250 In House Methode

4. + - 7,3 SNI 06-6989, 12-2004


pH

5. + mg/L <0,0162 SNI 6989, 4-2009


Besi (Fe)

6. - mg/L 18,9 SNI 6989, 19-2009


Klorida (Cl)

7. - mg/L 24 SNI 6989, 20-2009


SO4

Tabel 2. Air Tanah sesudah Diberi Perlakuan

No Parameter Satuan Hasil Metode


Uji Uji
1. Magnesium mg/L 53,48 SNI 06-
(Mg) 6989, 12-
2004
2. Kalsium mg/L 11,23 SNI 06-
(Ca)+ 6989, 12-
2004
3. TDS mg/L 237 In House
Methode
4. pH+ - 7,1 SNI 06-
6989, 12-
2004
5. Besi (Fe)+ mg/L <0,0162 SNI 6989,
4-2009
6. Klorida mg/L 17,5 SNI 6989,
(Cl)- 19-2009
7. SO4- mg/L 20 SNI 6989,
20-2009
813
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E028UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

GAMBAR

Gambar 1. Litologi di sekitar sumber air.

814
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E033UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

PENENTUAN ZONA PERLINDUNGAN AIR TANAH DANGKAL: STUDI KASUS


SUMBER AIR SISTEM PENGELOLAAN AIR MINUM (SPAM) TOYA GAMA

Fathidliyaul Haq1* ,Doni Prakasa Eka Putra2


1 Departemen Teknik Geologi UGM
*Corresponding Author: fathidliyaul.haq@mail.ugm.ac.id

SARI. Toya Gama merupakan lembaga Sistem Pengelolaan Air Minum (SPAM) di bawah
pengelolaan UGM Residence. SPAM Toya Gama dibentuk sebagai upaya penyediaan air
minum mandiri bagi civitas akademika di UGM dari aspek air baku dan pengelolaannya.
Sumber air SPAM Toya Gama yang berasal dari sumur dangkal rawan mengalami
pencemaran. Kemungkinan pencemaran tersebut karena adanya aktifitas penduduk yang
berada di utara sumber air tanah SPAM Toya Gama. Untuk menjaga kualitas air tanah dari
pencemaran tersebut, perlu dilakukan penentuan zona perlindungan air tanah yang
mempengaruhi sumber air tanah SPAM Toya Gama. Metode penelitian dilakukan dengan
meninjau tata guna lahan, geologi, dan hidrogeologi lokasi peneltian, kemudian
menentukan zona perlindungan air tanah sumber air Toya Gama dengan metode
hidrogeologi, manual sederhana, dan analitis. Zona perlindungan yang dihasilkan dari
ketiga metode tersebut dikombinasikan untuk menghasilkan zona perlindungan sumber
air tanah SPAM Toya Gama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Zona perlindungan air
tanah SPAM Toya Gama berada di sekitar sumur Toya Gama yang terbagi menjadi zona
perlindungan dalam, luar dan wilayah tangkapan. Geometri dari zona perlindungan air
tanah pada zona perlindugan dalam berbentuk elipsoidal yang memanjang ke arah barat
laut yang memiliki luas 20.713 m2. Zona perlindungan luar berbentuk elipsoidal yang
memanjang dari utara ke selatan dengan luas 429.298 m2. Zona perlindungan tangkapan
berbentuk elipsoidal yang memanjang dari utara ke selatan memiliki dengan luas 677.714
m2.
Kata Kunci: Hidrogeologi, SPAM, Toya Gama, Zona Perlindungan Air Tanah

I. PENDAHULUAN
Universitas Gadjah Mada (UGM) adalah perguruan tinggi yang berada di
Bulaksumur dan sekitarnya, Kab. Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. UGM
sebagai institusi pendidikan memiliki 4.468 staff universitas dan 47.081 mahasiswa (UGM,
2018). Untuk mencukupi kebutuhan air minum civitas akademikanya, UGM membuat
lembaga Sistem Pengelolaan Air Minum (SPAM) Toya Gama di bawah pengelolaan UGM
Residence. SPAM Toya Gama dibentuk sebagai upaya penyediaan air minum mandiri bagi
civitas akademika di Universitas dari aspek air baku dan pengelolaannya. Toya Gama memiliki
visi menjadi inisiator dalam menekan laju ekspansi produk air minum dalam kemasan
dengan menyediakan air minum berkualitas secara mandiri (toyagama.ugm.ac.id).

815
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E033UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Sumber air Toya Gama berasal dari sumur dangkal yang dibuat berdampingan dengan
Sumur Umbul Pace milik UGM. Sumur tersebut berada di utara FoodPark lembah UGM,
tepatnya berada di belakang gedung utama Toya Gama dan terlindungi dari cuaca luar. Air Toya
Gama telah diproses melalui beberapa tahapan proses hingga menghasilkan air minum
yang berkualitas dan diuji secara rutin oleh pengelola Toya Gama serta diujikan berkala ke
balai besar bersertifikat Komite Akreditasi Nasional (KAN) sehingga selalu terpantau dan
terjaga kualitasnya. Hingga saat ini unit layanan yang dimiliki Toya Gama adalah 50 Water
Fountain, 12 Water Dispenser dan 25 Sambungan Rumah yang tersebar di seluruh fakultas
serta bangunan yang ada di wilayah UGM (toyagama.ugm.ac.id).
Sumber air Toya Gama yang berasal dari sumur dangkal rawan mengalami
pencemaran. Kemungkinan pencemaran tersebut karena adanya aktifitas penduduk yang
berada di utara sumber air tanah SPAM Toya Gama. Untuk menjaga kualitas air tanah dari
pencemaran, tahap awal yang dilakukan adalan penentuan zona perlindungan air tanah,
kemudian dilakukan pemetaan kerentanan, pemetaan beban kontaminan air tanah, dan
pemetaan zona bahaya pencemaran air tanah (Morris dan Foster, 2000).
Zona perlindungan air tanah adalah wilayah di sekitar sumber air tanah yang
memberikan informasi mengenai potensi pencemaran pada sumber air tanah. Terdapat tiga
zona yang ditentukan menurut Carey et al. (2009) di sekitar sumber air tanah (Gambar 1),
yaitu Zona I (Zona Perlindungan Dalam), Zona II (Zona Perlindungan Luar), dan Zona III (Zona
Perlindungan Wilayah Tangkapan).
Zona I dibuat dengan tujuan untuk melindungi sumber dari kontaminasi patogen
dan zat kimia beracun yang dapat terdegradasi dengan cepat. Secara umum zona ini ditentukan
dari waktu transportasi selama 50 hari dari setiap titik dibawah muka air tanah ke sumber
dengan pertimbangan waktu hidup dari patogen (beberapa patogen, terutama protozoa dan
virus, kemungkinan dapat bertahan lebih dari 50 hari). Secara umum zona ini memiliki
radius minimal 50 meter dari sumber.
Zona II ditentukan dari waktu transportasi selama 400 hari dari setiap titik dibawah
muka air tanah ke sumber. Waktu transportasi 400 hari didasarkan pada pertimbangan waktu
minimal yang dibutuhkan untuk melakukan penundaan, dilusi, dan atenuasi dari polutan
yang tedegradasi secara berlahan. Zona ini biasanya memiliki radius minimal 250 atau 500 meter
di sekitar sumber tergantung oleh tingkat pemompaan.
Zona III ditentukan dari area yang semua air tanahnya mengalir ke sumber ketika
terjadi pemompaan. Pada kondisi stabil, zona ini sama dengan zona tangkapan total. Pada
akuifer tertekan, sumber tangkapan mungkin berpindah pada jarak tertentu dari sumber.
Zona perlindungan wilayah tangkapan digunakan sebagai dasar dalam mengontrol
kegiatan atau aktivitas manusia yang berada di dan dekat dari sumber air tanah untuk menjaga
kualitas dan kuantitas sumber air tesebut. Zona tersebut juga dapat menjadi batasan area
dalam melakukan pemetaan kerentanan dan beban kontaminan air tanah untuk menentukan
zona bahaya pencemaran air tanah (Carey et al., 2009).

II. LOKASI PENELITIAN

Penelitian dilakukan di wilayah Desa Caturtunggal, Condongcatur, dan Sinduadi, Kec.


Depok, Kab. Sleman, D.I. Yogyakarta dengan koordinat 431414-432792 dan 9142311-9140847
UTM. Luas area penelitian kurang lebih adalah 2 km2 (Gambar 2).

816
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E033UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

III. TATA GUNA LAHAN, GEMORFOLOGI, LITOLOGI, DAN HIDROGEOLOGI LOKASI


PENELTIAN

Secara regional, lokasi peneltian berada di Cekungan Air Tanah (CAT) Yogyakarta-
Sleman. Nama CAT Yogyakarta-Sleman ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden
Republik Indonesia nomor 26 tahun 2011 tentang penetapan cekungan air tanah. CAT
Yogyakarta- Sleman sama dengan Cekungan Yogyakarta yang dijelaskan oleh MacDonald (1984)
dan Putra (2007), serta Cekungan Merapi-Yogyakarta dalam Putra (2003). Secara geomorfologis
lokasi penelitian berada pada Satuan Kaki Gunungapi Merapi dan secara geologis lokasi
penetilan berada di Formasi Gunungapi Merapi Muda.
a. Tata guna lahan
Tata guna lahan pada lokasi penelitian diklasifikasikan menjadi 5 kategori (gambar 3), yaitu
Ruang Terbuka, Pemukiman, Universitas, Telaga UGM, dan Selokan. Ruang Terbuka meliputi 30
% dari lokasi penelitian yang dominan di sekitar wilayah Universitas dan tersebar secara acak
di utara pemukiman pada bagian tengah hingga utara lokasi penelitian. Pemukiman
merupakan tata guna lahan yang paling dominan dengan lingkupan 50% pada lokasi
penelitian. Universitas, Telaga UGM, dan Selokan yang berada dibagian selatan lokasi
penelitian melingkupi 15%, 3%, dan 2% dari lokasi penelitian.
b. Gemorfologi
Geomorfologi di lokasi penelitian dapat dibedakan berdasarkan kemiringan lereng
dari permukaan tanah di lokasi penelitian yang dihitung dari analisis spasial dari pengolahan
citra digital elevation model (DEM). Klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi kelerengan
yang dibuat oleh Van Zuidam pada tahun 1985. Berdasarkan pengukuran kemiringan lereng
dari kedua morfologi tersebut, geomorfologi lokasi penelitian dapat dibagi menjadi 2
satuan (Gambar 4 dan 5), yaitu Satuan Dataran begelombang dan Satuan Lembah berlereng
landai. Satuan Dataran bergelombang memiliki kelerengan 0-1,5% yang mencakup kurang lebih
80% dari seluruh lokasi penelitian. Satuan ini memiliki tata guna lahan yang sebagian
besar antropogenik, yaitu pemukiman, selokan mataram, dan ruang terbuka. Satuan
lembah berlereng landai memiliki kelerengan 2-6% yang mencakup kurang lebih 20% dari
seluruh lokasi penelitian. Morfologi yang berada pada satuan ini berupa lembah sungai perenial
yang sebagian sudah mengalami proses antropogenik seperti pembuatan tanggul dan jembatan.
c. Litologi
Penentuan litologi lokasi penelitian menggunakan data log sumur bor yang tersebar di
lokasi penelitian (Lampiran 1). Korelasi sumur bor yang telah dilakukan memberikan
informasi bahwa terdapat dua satuan litologi di lokasi penelitian, yaitu Satuan Pasir dan
Satuan Lempung pasiran (gambar 6 dan 7). Satuan Pasir secara horizontal berada pada bagian
tengah hingga selatan yang meliputi 60% dari seluruh lokasi penelitian dengan litologi berupa
pasir halus – sedang. Satuan Lempung pasiran secara horizontal berada pada bagian utara
lokasi penelitian, selain itu pada bagian selatan di sekitar Telaga UGM yang bersifat
setempat. Berdasarkan profil vertikal dari lokasi penelitian Satuan Lempung pasiran
berada diatas Satuan Pasir, hubungan antara satuan diperkirakan saling menjari.

817
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E033UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

d. Hidrogeologi
Sistem hidrogeologi yang dibentuk oleh Formasi Yogyakarta dan Formasi Sleman di dalam CAT
Yogyakarta-Sleman disebut sebagai Sistem Akuifer Merapi (SAM). SAM secara hidrogeologis
membentuk satu sistem akuifer, dan terdiri atas akuifer berlapis banyak (multilayer aquifer)
yang memiliki sifat-sifat hidraulika sama dan saling berhubungan antara satu akuifer dengan
akuifer lainnya. Berdasarkan karakteristik akuifer, jenis akuifer dari SAM didominasi akuifer
bebas dan sebagian kecil akuifer semi bebas (Putra, 2003).
Pengukuran kedalaman dan elevasi muka air tanah pada lokasi penelitian dilakukan pada
26 titik yang tersebar di daerah penelitian. Lokasi pengukuran tersebut dilakukan di sumur
gali dan Telaga yang berada di lokasi penelitian dengan 25 titik diukur pada sumur gali dan
satu titik diukur di Telaga UGM. Terdapat 3 umbul yang berada disekitar telaga UGM, yaitu
Umbul Pace, Umbul Telaga, dan Umbul Lanang. Berdasarkan pengukuran tersebut, elevasi
muka air tanah berkisar 144,5 – 127,45 meter di atas permukaan laut dan kedalaman muka air
tanah berkisar antara 0 – 9,46 meter dari permukaan tanah.
Pola aliran air tanah ditentukan dari interpolasi kedalaman muka air tanah yang telah
diukur secara langsung di lokasi penelitian, dari interpolasi tersebut menunjukkan terdapat tiga
pola aliran air tanah yang dibatasi oleh dua batas pembagi air tanah (Gambar 8). Pola
pertama mengalir dari utara ke barat daya, pola kedua mengalir dari utara ke selatan (Telaga
UGM), dan pola yang ketiga mengalir dari utara ke tenggara. Karakteristik akuifer lokasi
penelitian (Tabel 1) dapat diketahui dari data karakteristik sumur bor yang terdapat di lokasi
penelitian.

IV. METODOLOGI
Terdapat tiga zona yang ditentukan pada zona perlindungan air tanah menurut Carey
et al. (2009) di sekitar sumber air tanah (Gambar 7), yaitu zona I (zona perlindungan dalam), Zona
II (Zona perlindungan luar), dan Zona III (zona perlindungan tangkapan). Zona perlindungan
air tanah ditentukan dari kombinasi tiga metode, yaitu metode hidrogeologi, metode
manual, dan metode analitis.
a. Metode Pemetaan Hidrogeologi
Metode pemetaan hihdrogeologi merupakan hal yang penting dalam penetuan zona
perlindungan (khususnya zona perlindungan tangkapan) untuk memastikan batas
zona perlindungan sesuai dengan kondisi geologi dan hidrogeologi. Dalam melakukan
deliniasi, aspek-aspek geologi dan hidrogeologi diperhatikan dalam menentukan batas
wilayah tangkapan air tanahnya, biasanya wilayah tangkapan air tanah dibatasi oleh
pembagi air tanah/ groundwater divide (Gambar 9).
b. Metode Manual
Zona perlindungan wilayah tangkapan dengan metode manual disebut juga metode
aliran volumetrik. Metode ini hanya dapat digunakan sebagai panduan/ acuan karena
tidak merepresentasikan kondisi hidrogeologi lokal. Jika permukaan piezometrik horizontal,
wilayah tangkapan ke sumber abstaraksi dapat diasumsikan berbentuk lingkaran dan
radiusnya dapat dihitung (Gambar 10). Meskipun kondisi tersebut jarang dijumpai di
lapangan, metode ini berguna jika tidak terdapat data landaian hidrolika dan arah aliran

818
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E033UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

air tanah.
Luas dan radius zona perlindungan wilayah tangkapan dapat dihitung dengan
Persamaan berikut:
A = Q/U [Persamaan 1] R
r =√(A /π) [Persamaan 2] r

Di mana

Q = Perlindungan produksi/ tingkat pemompaanairtanah(m3/tahun)


U = Imbuhan tahunan (m/tahum)
r = radius dari batas zona tangkapan ke sumber (m)

Luas dan radius zona perlindungan 50 dan 400 hari dapat dihitung dengan Persamaan
berikut:

A =(Q.t )/(b.n) [Persamaan 3]


d d
r =√((Q.t )/(b.n.π)) [Persamaan 4]
d

Di mana:
td =waktuperjalanan airtanah
b = ketebalan akuifer (m)
n = porositas efektif

c. Metode Analitis
Metode solusi analitis digunakan ketika data hidrogeologi lokal diketahui, seperti peta
aliran muka air tanah, ketebalan akufer, konduktifitas hidraulika, dan sebagainya. Metode ini
lebih merepresentasikan kondisi hidrogeologi lokal dibandingkan metode manual dan bersifat
semi- kuantitatif. Zona perlindungan yang dihasilkan dari metode ini berbentuk elipsoidal
(Gambar 11).
Pada metode ini jarak antara sumber pemopaan dengan titik stagnasi dapat dihitung
dengan Persamaan berikut:
x =Q/(2.π.K.b.i )=Q/(2.π.T.i ) [Persamaan 5]
L 0 0
Lebar maksimal dari zona tangkapan yang tegak lurus dengan garis aliran dapat
dihitung dengan Persamaan berikut:
Y =Q/(K.b.i)=Q/(T.i ) [Persamaan 6]
L 0
Nilai graidien hidraulika dapat dihitung dengan Persamaan berikut: i =∆h/l [Persamaan 7]
0

Di mana:

Q = Abstraksi air tanah (m3/s)

T = Transmisivitas akuifer (m2/s) K = Konduktivitas hidraulika

819
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E033UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

B = Tebal akuifer
i0 = landaian hidraulika sebelum pemompaan Δh = perbedaan elevasi
l = jarak

Lokasi titik lebar maksimal (Dwr) berada di antara titik stagnasi dan batas atas dapat
dihitung dengan Persamaan:

D =(X 2+(b/2)2)/(2.X ) [Persamaan 8]


wr u u

Batas atas zona I (50 hari) dan zona II (400 hari) merupakan radius dari zona tersebut,
dapat dihitung dengan Persamaanberikut:

r =√((Q . t )/(π .b. n ))+ (K .i )/n .t


50 50 e o e 50

r = 8 .r
400 50

Di mana:

r50 = radius zona I

r400 = radius zona II

t50 = 50 hari = 4.32 x 106 s ne = porositas efektif akuifer

V. HASIL DAN PEMBAHASAN


a. Metode Hidrogeologi
Metode hidrogelogi menggunakan kondisi geologi dan hidrogeologi lokasi
penelitian sebagai dasar dalam menentukan zona perlindungan air tanah. Dalam
metode ini hanya zona perlindungan wilayah tangkapan (zona III) yang dapat
ditentukan. Dasar dalam menentukan perlindungan air tanah dengan metode
hidrogeologi adalah pembagi aliran air tanah (groundwater divide) dan pola aliran
muka air tanah pada lokasi penelitian.
Zona perlindungan wilayah tangkapan memliki geometri berbentuk elipsoid
yang semakin melebar dari selatan ke utara dengan lebar maksimal kurang lebih 650 m,
sedangkan panjang zona yang mengarah ke utara tidak dapat ditentukan dengan
metode ini (Gambar 10). Metode hidrogeologi perlu dikombinasikan dengan metode
lain untuk dapat menghasilkan zona perlindungan yang merepresentasikan lokasi
penelitian.

820
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E033UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

b. Metode Manual
Metode perhitungan manual dibuat sebagai acuan awal dari zonasi zona
perlindungan air tanah. Parameter yang digunakan dalam menentukan zona
perlindungan adalah tingkat pemompaan air tanah tahunan, imbuhan tahunan, dan
radius dari batas zona tangkapan ke sumur (Persamaan 1-4, Tabel 2).
Zona perlindungan tangkapan dengan metode manual memiliki geometri
berbentuk radial yang terbagi menjadi 3 zona (Gambar 11), zona perlindungan dalam
(zona 1) berwarna merah dengan luas area 20.242 m2 dan radius 80, 26 m, zona
perlindungan luar (zona 2) yang berwarna kuning dengan luas area 461.936 m2 dan
radius 343, 39 m, serta zona perlindungan tangkapan (zona III) yang berwarna biru dengan
luas area 485.760 m2 dan radius 393, 22 m.
c. Metode Analitis
Metode solusi analitis digunakan untuk mengetahui zona perlindungana air
tanah dengan mepertimbangkan karakteristik hidrogeologi lokasi peneltian. Pada
metode ini, zona perlindungan yang dapat ditentukan adalah zona perlindungan dalam
dan zona perlindungan luar (Gambar 12). Jarak antar titik ditentukan oleh
perhitungan matematis dengan mempertimbangkan karakteristik hidrogeologi
lokasi penelitian, namun metode ini belum mempertimbangkan pola airan air tanah
dalam menentukan bentuk zona tangkapan (Persamaan 5-10, Tabel 3).
Zona perlindungan tangkapan dengan metode analitis memiliki geometri yang
berbentuk elipsoidal yang semakin mengerucut ke utara. Zona perlinduungan dalam
memiliki radius 150,27 m, radius zona perlindungan luar 1.202,13 m, dan lebar
maksimal 289,14 m yang terletak 23 meter di utara sumur Toya Gama.
d. Zona Perlindungan Sumber Air SPAM Toya Gama
Zona perlindungan SPAM Toya Gama ditentukan dari kombinasi metode
hidrogeologi, manual, dan solusi analitis (Gambar 13). Geometri dari zona perlindungan
air tanah pada zona perlindugan dalam berbentuk elipsoidal yang memanjang ke arah
barat laut yang memiliki luas 20.713 m2. Zona perlindungan luar berbentuk elipsoidal
yang memanjang dari utara ke selatan dengan luas 429.298 m2. Zona perlindungan
tangkapan memiliki geometri yang berbentuk elipsoidal yang memanjang dari utara
ke selatan dengan luas 677.714 m2, zona tersebut berbentuk elipsoidal dengan batas jarak
dari sumur ke utara 1.210 meter, ke selatan 80 meter, dan lebar maksimal 650 meter.

821
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E033UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

VI. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, kesimpulan yang dapat diambil
antara lain:
• Zona perlindungan air tanah SPAM Toya Gama berada di sekitar sumur Toya Gama yang
terbagi menjadi tiga zona, yaitu zona perlindungan dalam, zona perlindungan luar, dan
zonaperlindungan wilayah tangkapan.
• Zona perlindugan dalam memiliki geometri berbentuk elipsoidal yang memanjang ke arah barat
2
laut yang memiliki luas 20.713 m . Zona ini digunakan sebagai acuan untuk melindungi sumber
air dari kontaminasi patogen dan zat kimia beracun yang dapat terdegradasi dengan cepat.
• Zona perlindungan luar memiliki geometri berbentuk elipsoidal yang memanjang dari utara ke
2
selatan dengan luas 629.298 m . Zona ini digunakan sebagai acuan untuk melindungi
sumber air dari kontaminasi polutan yang terdegradasi secara berlahan.
• Zona perlindungan tangkapan memiliki geometri yang berbentuk elipsoidal yang
2
memanjang dari utara ke selatan dengan luas 677.714 m , zona tersebut berbentuk elipsoidal
dengan batas jarak dari sumur ke utara 1.210 meter, ke selatan 80 meter, dan lebar maksimal 650
meter. Zona ini dapat digunakan sebagai dasar dalam mengontrol kegiatan atau aktivitas
manusia yang berada di dan dekat dari sumber air tanah untuk menjaga kualitas dan
kuantitas sumber air tesebut. Zona ini juga menjadi batasan area dalam melakukan pemetaan
kerentanan dan beban kontaminan air tanah untuk menetukan zona bahaya pencemaran air
tanah.

DAFTAR PUSTAKA

Carey, M., Hayes, P., and Renner, A., 2009, Groundwater Source Protection Zones – Review of Methods
protecting and improving the environment in England and Wales: Environment Agency.
MacDonald & Partners, 1984, Greater Yougyakarta Groundwater Resources Study: Yogyakarta,
Goverment of the Republic o Indonesia, Ministry of Public Works, Directorate General Water
Resources Developement, Ground Water Developement Project.
Morris, B., and Foster, S., 2000, Assessment of Groundwater Pollution Risk: v. 2000.
Putra, D.P.E., 2003, Integrated Water Resources Management in Merapi - Yogyakarta Basin (Project SEED-Net
No. UGM 0104).:
Putra, D.P.E., 2007, The Impact of Urbanization on Groundwater Quality: A Case Study in Yougyakarta City -
Indonesia: RWTH Aachen University, 148 p. Univeistas Gadjah Mada, 2018, UGM in
Number:, https://simpan.ugm.ac.id/s/h6E2UMHJbag5sYA/download.
Zuidam, R.A. Van, 1985, Aerial Photo-Interpretation in Terrain Analysis and Geomorphologic Mapping: Hague,
The Hague Netherland, 442 p.

TABEL

a Nilai
Karakteristik
822
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E033UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

9 – 12 meter
a
Ketebalan akuifer
a 2
Transmisivitas 84 – 375 m /hari
7-32 m/hari
a
Konduktivitas hidraulika
0.2
b
Specific yield/ porositas efektif
0.02
b
Gradien hidraulika sebelum pemompaan

a data sumur bor

b data sumur K1, K3, K5, dan K6 dalam Putra (2007)

Tabel 1 . Karakteristik akuifer pada lokasi penelitian

Tabel 2. Perhitungan metode manual

kode Imbuhan Q t
Ar 50 t4 (ta)
sumur x y 3 r (m)
(m /tahun) (m3/tahun) (m) (tahun)

TG 431866 9141122 0,73 354604,8 485760 393,22 0,137

Tabel 3. Perhitungan metode analitis

823
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E033UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Q
kode T
sumur x y 3 K 2 b (m) i n Xl (m)
(m /hari) (m /hari)

TG 431866 9141122 971,52 14 168 12 0 0,2 46,02

GAMBAR

Gambar 1. Ilustrasi zona perlindungan air tanah (Carey et al., 2009

824
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E033UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Peta lokasi penelitian

825
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E033UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Peta tata guna lahan pada lokasi penelitian

Gambar 5. Sayatan Geomorfologi lokasi penelitian

826
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E033UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Peta Geomorfologi lokasi peneltian

Gambar 7. Profil geologi A-B pada lokasi penelitian

827
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E033UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 6. Peta geologi lokasi penelitian

Gambar 8. Peta pola aliran air tanah di lokasi penelitian

828
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E033UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 9. Ilustrasi zona pengaruh dan zona tangkapan air tanah disekitar sumur bor (Carey et al., 2009)

829
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E033UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 10. Ilustrasi penentuan zona perlindugan air tanah dengan metode manual (Carey et al., 2009)

Gambar 11. Ilustrasi zona perlindungan dengan metode solusi analitis (Carey et al., 2009)

830
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E033UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 12. Peta zona perlindungan SPAM Toya Gama dengan metode hidrogeologi

Gambar 13. Zona perlindungan tangkapan SPAM Toya Gama dengan metode manual

831
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E033UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 14. Zona perlindungan air tanah SPAM Toya Gama dengan metode analitis

Gambar 15. Zona perlindungan air tanah SPAM toya Gama

832
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E037UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

ANALISIS STABILITAS DAN PROBABILITAS KERUNTUHAN LERENG


SALURAN PENGARAH BENDUNGAN LADONGI, KOLAKA TIMUR,
SULAWESI TENGGARA

Bambang Hambar Eko Prasetyo, S.T 1*, Panggah Bagaskara Nuraga, S.T 1, Agung Permana S.T.,
M.Eng 2
1Program Studi Teknik Geologi UNSOED, Purwokerto
2Balai Wilayah Sungai Sulawesi IV Kementerian PUPR, Sulawesi Tenggara
*corresponding author: bamshep24@gmail.com

ABSTRAK. Analisis kinematika dan stabilitas lereng merupakan salah satu studi untuk mengetahui
kestabilan suatu lereng melalui pendekatan geologi dan geoteknik. Fokus penelitian pada Lereng
Saluran Pengarah Bendungan Ladongi yang berada di Kelurahan Atula, Kecamatan Ladongi,
Kabupaten Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara. Daerah penelitian masuk kedalam peta geologi lembar
Kolaka dengan Formasi Mekongga (Pzm) penyusun utama batuan pada lokasi tersebut adalah sekis
mika. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui stabilitas, probabilitas keruntuhan lereng (slope
failure) serta jenis perkuatan lereng Saluran Pengarah Bendungan Ladongi. Metode penelitian pada
studi ini terdiri dari Rock Mass Rating (RMR), Slope Mass Rating (SMR), dan analisis jenis keruntuhan
lereng secara stereografis menggunakan program dips 6. Hasil studi menunjukkan bahwa nilai RMR
Basic 41 (fair), probabilitas jenis keruntuhan terbesar adalah keruntuhan baji (wedges failure) dan nilai
SMR 39,65 (bad). Berdasarkan bobot nilai RMR dan SMR diperoleh karakteristik massa batuan,
karakteristik lereng serta jenis perkuatan yang diperlukan untuk meningkatkan stabilitas lereng.
Karakteristik massa batuan menengah, kohesi batuan 0,2-0,3 MPa, sudut geser dalam 25-350, waktu
bertahan 1 minggu untuk rentang 5 m dan sudut aman 550. Karakteristik lereng buruk (kelas IV),
lereng relatif kurang stabil, jenis keruntuhan planar atau baji skala besar. Arah muka lereng paling
aman adalah N 200E dan paling rawan N 1200E. Perkuatan lereng yang diperlukan antara lain adalah
rock bolts (L=4 m, S=1,5-2 m, D=20 mm), shotcrete (T=30–100 mm). Dari hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa lereng dalam keadaan buruk atau sebagain besar kurang stabil, potensi
keruntuhan baji cukup besar sehingga perlu diberikan perkuatan untuk meningkatkan stabilitas
lereng. Namun secara kinematik, arah muka lereng terhadap arah bidang diskontinuitas
menguntungkan.
Kata kunci: Stabilitas, Kinematika, RMR, SMR, Stereografis, Saluran Pengarah.

I. PENDAHULUAN

Bendungan adalah sebuah bangunan penahan atau penimbun air untuk keperluan
irigasi, pembangkit listrik dan sebagainya. Salah satu bendungan yang dibangun adalah
Bendungan Ladongi yang terletak di Kelurahan Atula, Kecamatan Ladongi, Kabupaten
Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara (Gambar 1). Adapun bagian-bagian dalam pekerjaan.
Bendungan Ladongi meliputi pekerjaan bendungan utama, spillway, terowongan dan
sebagainya. Salah satu item yang terdapat pada Bendungan Ladongi adalah lereng saluran
pengarah yang berlokasi di dekat Inlet Diversion Tunnel. Lereng saluran pengarah memiliki
fungsi sebagai pengarah air masuk menuju terowongan pada saat pengelakan sungai. Oleh
karena fungsinya tersebut perlu dilakukan analisa potensi ketidakstabilan lereng saluran

833
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E037UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

pengarah.
II. GEOLOGI REGIONAL
Secara morfologi, daerah penelitian merupakan satuan pegunungan bagian tengah
(Surono, 2013). Satuan ini terdiri dari Pegunungan Mengkoka, Pegunungan Tangkelamboke,
dan Pegunungan Matarombeo (Gambar 2). Daerah penelitian berada di Pegunungan
Mengkoka yang mempunyai topografi kasar dengan kemiringan lereng tinggi. Kelurusan
satuan morfologi pegunungan yaitu barat laut – tenggara sejajar dengan pola struktur sesar
regional di kawasan ini. Pola tersebut mengindikasikan adanya hubungan pembentukan
morfologi dengan sesar regional.
Tatanan struktur dan tektonik daerah penelitian yang terdekat adalah kehadiran
sesar Kolaka (Simandjuntak. dkk, 1993). Sesar Kolaka memanjang sekitar 250 km dari pantai
barat Teluk Bone sampai ujung selatan Lengan Tenggara Sulawesi (Gambar 3). Sesar
tersebut relatif sejajar dengan Sesar Lawanopo dan Sesar Konaweha. Sesar Kolaka
mempunyai pergerakan relatif bergeser mengiri.
Tatanan stratigrafi daerah penelitian menurut Simandjuntak, dkk (1993) berada
dalam peta geologi lembar Kolaka (Gambar 4). Daerah penelitian sendiri berada diatas
Formasi Kompleks Mekongga (Pzm) yang berumur Karbon. Formasi tersebut merupakan
kompleks batuan malihan yang tersusun atas batuan sekis, gneiss dan kuarsit.

III. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian terdiri dari tahap studi literatur,
pengambilan data lapangan, dan analisis data lapangan. Tahap studi literatur untuk
mengetahui kondisi geologi regional dan metode kestabilan lereng yang digunakan. Tahap
pengambilan data lapangan berupa scanline pada lereng saluran pengarah disertai
pengukuran kedudukan bidang-bidang diskontinuitas dan deskripsi rinci. Tahap analisis
data meliputi analisis RMR (Rock Mass Rating), SMR (Slope Mass Rating) serta analisis
kinematik menggunakan proyeksi stereografis.

3.1. Klasifikasi Sistem RMR (Rock Mass Rating)

Klasifikasi geomekanik atau yang disebut Rock Mass Rating Basic (Bieniawski, 1979)
memiliki lima (5) parameter yang digunakan untuk mengklasifikasikan massa batuan.
Adapun 5 parameter tersebut terdiri dari :

a. Uniaxial Compressive Strength

b. Rock Quality Designation

c. Spacing of Discontinuities

d. Condition of Discontinuities

834
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E037UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

e. Groundwater Conditions

Setelah dilakukan pembobotan massa batuan terhadap 5 parameter tersebut maka


diperoleh nilai massa batuan dalam kategori baik atau buruk. Hal tersebut dikarenakan nilai
massa batuan memiliki sistem perkuatan tertentu untuk meningkatkan kestabilan
batuannya dari pergerakan.

3.2. Klasifikasi Sistem SMR (Slope Mass Rating)


Klasifikasi lereng menggunakan SMR (Romana, 1985) dapat digunakan untuk
menganalisis stabilitas lereng melalui data RMR Basic dan faktor bidang diskontinuitas,
lereng serta metode ekskavasi. Pembobotan kelas lereng dapat diperoleh berdasarkan
rumus berikut :

SMR = RMR Basic + (F1 x F2 x F3) + F4


Keterangan :

F1 = Faktor Perbedaan jurus bidang diskontinuitas dan lereng

F2 = Faktor Kemiringan bidang diskontinuitas

F3 = Faktor Kemiringan bidang diskontinuitas dan lereng

F4 = Faktor Metode ekskavasi

Faktor perbedaan orientasi bidang diskontinuitas terdapat 3 macam yakni F1, F2


dan F3. Penentuan nilai faktor bidang diskontinuitas didasarkan pada tipe keruntuhan
lereng (planar, wedges, dan/atau toppling) yang terjadi. Disamping itu, terdapat F4 yang
merupakan nilai yang didasarkan pada metode ekskavasi.

3.3. Analisis Kinematika Lereng

Analisis kinematika digunakan untuk mengetahui jenis keruntuhan lereng (slope


failure) yang ditentukan berdasarkan satu ataupun beberapa bidang diskontinuitas serta
data kelerengan (kemiringan lereng dan arah muka lereng). Data bidang diskontinuitas
diperoleh melalui scanline pada singkapan lereng atau tebing (Hudson dan Harrison,
1997). Scanline bertujuan untuk mengidentifikasi serta mengkarakteristikkan bidang
diskontinuitas secara rinci meliputi jarak, kondisi dan material pengisi bidang
diskontinuitas. Kemudian data bidang diskontinuitas dan kelerengan tersebut dianalisis
melalui proyeksi stereografis menggunakan aplikasi Dips 6 untuk memperoleh
probabilitas jenis keruntuhan lereng yang dominan terjadi (Gambar 5).

Ada empat (4) jenis keruntuhan lereng (slope failure) yang sering dijumpai di
lapangan, antara lain sebagai berikut :

a. Planar (Translational) Failure

835
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E037UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Blok batuan yang secara potensial mengalami ketidakstabilan jenis planar dibentuk
oleh kemiringan bidang planar lebih landai dari pada kemiringan muka lereng. Arah (dip
direction) bidang diskontinuitas akan berpengaruh juga terhadap stabilitas lereng.
Keruntuhan planar tidak akan terjadi jika dip direction dari diskontinuitas berbeda dengan
dip direction muka lereng lebih dari 200. Blok batuan akan stabil jika arah diskontinuitas dan
lereng lebih dari 200, karena dalam kondisi tersebut akan meningkatkan ketebalan keutuhan
batuan yang mana memiliki kekuatan yang cukup untuk menahan keruntuhan. Pada
batuan lunak, kemiringan bidang gelincir harus lebih besar dari pada sudut gesernya.
Sementara pada batuan keras, hanya dapat terjadi jika bidang diskontinuitas
melewati/melintas di atas puncak lereng melepaskan blok batuan samping oleh joints.

b. Wedges Failure

Analisis kinematik dari keruntuhan membaji dapat diketahui sama dengan cara
keruntuhan planar. Keruntuhan tipe membaji terjadi pada garis perpotongan antara dua
bidang diskontinuitas. Kemungkinan pergerakan terjadi jika perpotongan berada di depan
muka lereng atau kemiringan garis perpotongan lebih landai/kecil dari pada kemiringan
muka lereng. Keruntuhan tipe membaji tergantung pada kondisi dan perilaku bidang
diskontinuitas, serta lebih sering terjadi dari pada keruntuhan tipe planar. Faktor keamanan
dari keruntuhan tipe wedges untuk meluncur meningkat secara signifikan terhadap
penurunan sudut baji untuk berbagai kemiringan dari 2 bidang diskontinuitas (Hoek &
Bray, 1981).

c. Circular (Rotational) Failure

Keruntuhan tipe rotasional atau busur terjadi sepanjang permukaan yang muncul
hanya sebagian sepanjang bidang diskontinuitas, tetapi saling berpotongan. Keruntuhan ini
hanya dapat terjadi pada massa batuan yang sangat banyak bidang diskontinuitas dengan
ukuran blok yang sangat kecil dan/atau sangat lemah atau batuan yang lapuk sangat tinggi.
Hal terpenting bahwa seluruh bidang diskontinuitas yang arah orientasinya baik (favorably)
sehingga keruntuhan jenis planar, wedges atau toppling tidak mungkin terjadi.

d. Toppling Failure

Untuk terjadinya keruntuhan toppling, dip direction dari kemiringan bidang


diskontinuitas harus 100 terhadap kemiringan muka lereng. Selain itu, kemiringan
diskontinuitas harus lebih terjal dari pada muka lereng (Goodman & Bray, 1976).

0
( 90 - βf ) + ϕj < βj
Keterangan:
βf = kemiringan muka lereng

836
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E037UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

βj = kemiringan diskontinuitas
ϕj = sudut geser batuan diskontinuitas

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Analisis Kinematika

Dari hasil scanline pada Lereng Saluran Pengarah sepanjang 55 m diperoleh data
bidang diskontinuitas dan dimensi lereng yang kemudian dilakukan proyeksi stereografis
menggunakan aplikasi Dips 6. Hasil proyeksi stereografis didapatkan 2 joint set pada Lereng
Saluran Pengarah (Tabel 1).

Berdasarkan data diskontinuitas dan lereng diatas diperoleh pula jenis keruntuhan
secara stereografis (Gambar 6). Lereng daerah penelitian memiliki probabilitas rendah
untuk tipe keruntuhan membaji (wedges) yang pergerakannya N 2040E, serta persentase
10,16%.

Analisis kinematika Lereng Saluran Pengarah menunjukkan bahwa lereng dengan


arah awal lereng N 300E memiliki total prosentase keruntuhan sebesar 19,37%, terlihat dari
sebaran titik (pole) diskontinuitasnya. Maka dari itu, dibuat probabilitas arah muka lereng
mulai dari 00 – 3600 untuk mengetahui arah paling aman dan rawan dari lereng tersebut
(Tabel 2).

Berdasarkan data di atas maka arah paling aman adalah N 200E dengan persentase
18,36%, berkurang 1,01%. Sedangkan arah rawan N 1200E dengan persentase 156,74%,
bertambah 137,37%.

2. Analisis Rock Mass Rating

Analisis RMR Basic dilakukan pada 5 parameter menurut Bieniawski (1979)


dilakukan pada saat pengambilan data lapangan. Melalui pengamatan, deskripsi dan
pengujian langsung untuk mengidentifikasi diskontinuitas dan parameter RMR lainnya.

Pengujian kuat tekan UCS di lapangan (Hoek & Brown, 1980) menggunakan palu
geologi dan pisau untuk mengestimasi nilai UCS batuan. Hasil pengujian, didapatkan
batuan sekis mika dengan nilai kuat tekan UCS 25–50 Mpa. Berdasarkan parameter
Bieniawski (1979), rating UCS nya adalah 4.

Perhitungan RQD yang dilakukan di lapangan secara langsung dengan


menggunakan persamaan sebagai berikut :

-0,1λ
RQD = 100 e (0,1 λ + 1)

Dimana :
λ = banyaknya data kekar per meter
Bidang diskontinuitas lereng terdiri dari foliasi batuan metamorf, kekar terbuka dan
837
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E037UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

kekar terisi mineral. Oleh karena penyusun utamanya adalah sekis mika sehingga yang
mendominasi bidang diskontinuitas yaitu foliasi dengan spasi bidang diskontinuitas < 60
mm. Maka dari itu nilai RQD < 25%, rating 3.
Pengukuran jarak spasi kekar dilakukan secara langsung dengan membentang
meteran pada dua bidang diskontinuitas (Gambar 7). Hasil pengukuran jarak spasi kekar
rata-rata adalah < 60 mm dengan bobot RMR yaitu 5.

Kondisi diskontinuitas ditentukan secara langsung dengan mendeskripsikan secara


rinci setiap diskontinuitas (Gambar 8) meliputi panjang, bukaan (aperture), kekasaran
(roughness), material pengisi (infilling) dan tingkat pelapukan (weathering) bidang
diskontinuitas. Berdasarkan deskripsi maka daerah penelitian relatif memiliki panjang 1-3m;
bukaan > 5mm; agak kasar, material pengisi keras (kuarsa) dan sedikit lapuk. Hasil
deskripsi kondisi diskontinuitas diperoleh bobot RMR yaitu 14.
Kondisi air tanah berdasarkan pengamatan langsung pada lereng di sepanjang
lintasan adalah kering (dry). Rating untuk kondisi kering yaitu 15.
Berdasarkan nilai setiap parameter RMR Basic (Bieniawski, 1979) didapatkan nilai
RMR yaitu 41 dengan kelas batuan fair (Tabel 3). Disamping itu, nilai RMR berhubungan
terhadap stand-up time, kohesi, sudut geser dalam hingga sudut pemotongan kemiringan
lereng yang aman (Tabel 4).

Berdasarkan nilai RMR, sifat mekanik dan kekuatan massa batuan dari
pergerakan secara relatif telah diketahui. Peningkatan kekuatan massa batuan
memerlukan sebuah sistem perkuatan (reinforcement) yang spesifik untuk
meminimalisir terjadinya keruntuhan massa batuan. Dengan nilai RMR 41, sistem
perkuatan yang diperlukan sesuai dengan tabel dibawah (Tabel 5).
4.3. Analisis Slope Mass Rating
Analisis SMR menggunakan kombinasi antara hasil RMR Basic dan analisis
kinematika secara stereografis mengenai jenis keruntuhan lereng. Dalam perhitungannya
digunakan persamaan faktor diskontinuitas yang bergantung pada tipe keruntuhan yang
paling besar terjadi. Lereng daerah penelitian mempunyai nilai RMR 41 (Tabel 3) dan
probabilitas besar pada tipe membaji (Gambar 6), sehingga persamaan faktor
diskontinuitas yang digunakan menggunakan perhitungan diskontinuitas wedges.
Adapun hasil perhitungan SMR Lereng Saluran Pengarah adalah sebagai berikut (Tabel
6) :
SMR = RMR Basic + (F1 x F2 x F3) +
F4

= 41 + (0,15 x 0,15 x -60) + 0

SMR = 39,65
Nilai SMR diperoleh 39,65 termasuk kelas stabilitas IV. Kondisi massa batuan
relatif buruk dan tingkat kestabilan lerengnya relatif kurang stabil. Probabilitas
keruntuhannya 0.6 dengan jenis keruntuhan yang mungkin terjadi adalah planar atau baji

838
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E037UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

berskala besar (Tabel 7).


Berdasarkan nilai SMR dan tingkat kestabilan maupun kekuatan batuannya
maka Lereng Saluran Pengarah memerlukan sistem perkuatan yang dibuat oleh Romana
(1985). Nilai SMR 39,65 termasuk kelas Iva (rentang 31-40). Sistem perkuatan yang
disarankan dapat dilihat pada tabel dibawah ini (Tabel 8).
V. KESIMPULAN
a. Tipe keruntuhan daerah penelitian adalah membaji (wedges) yang pergerakannya
relatif mengarah ke N 2040E. Besar probabilitas kejadiannya sekitar 10,16%.

b. Nilai RMR batuan sekis mika daerah penelitian adalah 41 (fair rock) yang berarti
kekuatan batuannya medium. Sistem perkuatan massa batuan yang sesuai adalah
systematic bolt panjang 4m, spasi 1,5-2m disertai wiremesh, shotcrete ketebalan 30-
100mm dan tidak membutuhkan steel sets. Pemotongan lereng dengan massa batuan
ini direkomendasikan 550.

c. Nilai SMR lereng saluran pengarah adalah 39,65 atau termasuk kelas IV yang massa
batuannya kondisi buruk. Lereng relatif kurang stabil. Sistem perkuatan yang
disarankan berdasarkan nilai SMR termasuk kedalam kelas IVa antara lain anchor,
shotcrete, paritan pada kaki lereng atau beton atau penggalian ulang, serta drainase.

d. Analisis secara RMR dan SMR memberikan data mengenai karakteristik massa batuan
dan kelas lereng menengah hingga buruk. Namun secara kinematika, lereng dengan
arah N 300E (arah awal) aman dan akan semakin stabil dengan arah N 200E. Sementara
jika arah lereng N 1200E termasuk kedalam arah yang rawan terjadinya keruntuhan
lereng.

DAFTAR PUSTAKA
Astawa, Rai Made., dkk. 2014. Mekanika Batuan. ITB: Bandung
Bieniawski, Z.T. 1989. Engineering Rock Mass Classification. John Wiley & Sons: Canada
Goodman, Richard E. 1989. Introduction to Rock Mechanics 2 nd Edition. John Wiley & Sons: Canada
Simandjuntak, dkk. 1993. Peta Geologi Lembar Kolaka, Sulawesi. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi: Bandung
Singh, Bhawani & Goel, R, K. 2011. Engineering Rock Mass Classification. Elsevier: London
Surono. 2013. Geologi Lengan Tenggara Sulawesi. Badan Geologi: Bandung
Wylie, Duncan C & Mah, Christopher W. 2004. Rock Slope Engineering Civil and Mining 4th Edition.
Spon Press: USA & Canada

839
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E037UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 1. Data hasil proyeksi stereografis

No Data Strike Dip Dip Dir.

1 Joint Set 1 31 45 121

2 Joint Set 2 200 54 290

4 Slope - 60 30

5 Intersection - 6 204

Tabel 2. Probabilitas Arah Muka Lereng Saluran Pengarah

Arah Planar Wedge Flexural Direct Oblique Failures Arah Arah


Planar Topplin Topplin Topplin Paling Paling
Lereng NoLimit Sliding Percentage
g g g Aman Rawan
Arah
awal N20E N120E
30 0,00% 1,05% 10,16% 2,79% 4,69% 0,68% 19,37%
0 0,35% 1,05% 4,28% 5,57% 8,21% 0,52% 19,98%
10 0,00% 1,05% 5,87% 4,53% 6,97% 0,66% 19,08%
20 0,00% 1,39% 8,15% 2,44% 5,69% 0,69% 18,36%
40 0,00% 4,18% 12,21% 0,70% 4,38% 0,67% 22,14%
50 0,00% 10,80% 14,45% 0,00% 4,07% 0,63% 29,95%
60 1,05% 19,16% 17,15% 0,00% 3,67% 0,60% 41,63%
70 1,74% 27,18% 20,13% 0,70% 2,98% 0,56% 53,29%
80 2,09% 35,89% 24,03% 1,39% 2,33% 0,40% 66,13%
90 12,89% 41,11% 27,90% 3,14% 1,39% 0,33% 86,76%
100 24,04% 45,99% 35,41% 3,83% 0,75% 0,28% 110,30%
110 36,59% 49,48% 45,10% 5,92% 0,47% 0,24% 137,80%
120 44,60% 51,92% 52,34% 7,32% 0,34% 0,22% 156,74%
130 38,68% 50,87% 51,10% 6,62% 0,35% 0,21% 147,83%
140 26,83% 49,83% 42,62% 5,23% 0,39% 0,16% 125,06%
150 17,07% 48,43% 37,12% 2,79% 0,40% 0,17% 105,98%
160 9,41% 44,95% 34,22% 0,70% 0,43% 0,17% 89,88%
170 6,27% 37,98% 30,02% 0,35% 0,54% 0,22% 75,38%
180 4,53% 26,13% 26,11% 0,70% 0,63% 0,28% 58,38%
190 3,14% 17,77% 22,98% 0,70% 0,71% 0,32% 45,62%
200 2,44% 10,80% 21,36% 0,70% 0,87% 0,36% 36,53%
210 2,09% 8,36% 19,82% 0,70% 0,99% 0,35% 32,31%
220 2,79% 9,06% 18,17% 0,35% 1,23% 0,37% 31,97%
230 2,79% 8,01% 16,82% 0,70% 2,24% 0,43% 30,99%
240 3,83% 8,36% 15,98% 1,05% 4,46% 0,46% 34,14%
250 4,18% 8,71% 15,23% 1,74% 6,34% 0,54% 36,74%
260 4,18% 9,41% 13,66% 3,14% 8,13% 0,68% 39,20%
270 6,27% 9,06% 10,14% 5,57% 9,58% 0,70% 41,32%
280 5,23% 8,71% 8,23% 10,45% 10,10% 0,72% 43,44%
290 5,23% 9,41% 7,20% 13,59% 11,42% 0,70% 47,55%
300 4,53% 9,06% 4,48% 16,38% 12,34% 0,68% 47,47%
310 3,14% 7,32% 3,28% 17,77% 12,32% 0,65% 44,48%
320 1,74% 6,27% 2,35% 14,98% 11,93% 0,57% 37,84%
330 1,05% 3,14% 2,79% 10,45% 10,97% 0,42% 28,82%
340 0,70% 2,09% 2,80% 9,41% 10,22% 0,41% 25,63%
350 0,70% 1,39% 3,12% 5,57% 9,67% 0,43% 20,88%

840
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E037UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 3. Hasil Pembobotan Parameter RMR


ROCK MASS RATING LERENG SALURAN PENGARAH
RMR
NO PARAMETERS UNIT VALUE RATING
1 Strength of Intact Rock Mpa 25-50 4
2 Rock Quality Designation % < 25% 3
3 Spacing of Discontinuity m < 0,06 5
4 Condition of Discontinuity mm
a. Discontinuity Length m 1–3 4
b. Separation / Aperture mm >5 0
c. Roughness of Discontinuity Surface - Slightly Roughness 3
d. Infillings / Gouge mm Hard Filling > 5mm 2
e. Weathering Discontinuity Surface - Slightly Weathered 5
5 Groundwater Condition L/min 0 15
TOTAL RMR
RATING 41

Tabel 4. Hubungan Nilai RMR Terhadap Parameter Mekanik

Tabel 5. Hubungan Nilai RMR Terhadap Metode Ekskavasi dan Perkuatan

Tabel 6. Perhitungan Faktor Diskontinuitas Lereng Saluran Pengarah


PERHITUNGAN NILAI SMR LERENG SALURAN
PENGARAH
PARAMETE RATI
NO R FORMULA HASIL DESCRIPTION NG
1 F1 | αi – αs | 174 Very Favorable 0,15
2 F2 | βi | 6 Very Favorable 0,15
3 F3 | βi – βs | -54 Very Unfavorable -60
4 F4 - - Mechanical 0

841
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E037UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 7. Hubungan Nilai SMR dan Stabilitas Lereng

Tabel 8. Hubungan Nilai SMR dan Sistem Perkuatan

842
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E037UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian dari Citra Google Earth

Gambar 2. Morfologi Pegunungan Bagian Tengah (Surono, 2013 modifikasi)

843
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E037UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Tatanan Tektonik Lengan Tenggara


Sulawesi (Simandjuntak, dkk., 1993)

Gambar 4. Stratigrafi Daerah Penelitian Berada Pada Formasi Kompleks Mekongga


(Simandjuntak, dkk., 1993).

Gambar 5. Jenis Keruntuhan Lereng Menggunakan Proyeksi Stereografis (Hoek & Bray, 1981)

844
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E037UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

DATA FAKTOR DISKONTINUITAS LERENG


SALURAN
PENGARAH
NO DATA DESCRIPTION VALUE
1 αs Slope Dip Dir 30
2 αj 1 Joint 1 Dip Dir 121
3 αj 2 Joint 2 Dip Dir 290
4 αi Plunge Dir of Intersection 204
5 βs Slope Dip 60
6 βj 1 Joint 1 Dip 45
7 βj 2 Joint 2 Dip 36
8 βi Plunge of Intersection 6

Gambar 6. Keruntuhan Jenis Wedges (kiri atas), Data Faktor Diskontinuitas (kanan atas), Arah
Sliding Lereng Saluran Pengarah (bawah)

Gambar 7. Pengukuran jarak spasi kekar menggunakan meteran

845
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E037UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 8. Pengukuran bukaan diskontinuitas (kiri) dan material pengisi jenis hard filling
kuarsa (kanan).

846
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E038UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

KARAKTERISTIK GEOLOGI TEKNIK TRASE JALAN LINGKAR TIMUR


JATIGEDE KM 08+150 - 17+500, KECAMATAN JATIGEDE, KABUPATEN
SUMEDANG, JAWA BARAT
Rois Rohmanul Azizi1, I Gde Budi Indrawan1*, dan Dimas Permana1

Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada1


*corresponding author: igbindrawan@ugm.ac.id

ABSTRAK. Jalan Lingkar Timur Jatigede diproyeksikan sebagai jalan baru penghubung daerah
Wado-Tolengas yang terputus akibat penenggelaman oleh genangan waduk akibat pembangunan
Bendungan Jatigede. Beberapa penyelidikan tapak, antara lain pengeboran, telah dilakukan oleh
konsultan perencana proyek pembangunan Jalan Lingkar Timur Jatigede. Namun, penyelidikan
yang dilakukan belum menyeluruh. Makalah ini menampilkan hasil penelitian awal yang
dilakukan untuk mengevaluasi karakteristik geologi teknik trase Jalan Lingkar Timur Jatigede KM
08+150 hingga KM 17+500 dan sekitarnya. Penyelidikan karakteristik geologi teknik daerah
penelitian dilakukan melalui pemetaan geologi teknik berskala 1:25.000. Karakteristik geologi
teknik yang diteliti meliputi karakteristik morfologi beserta proses-proses geomorfik aktif, batuan
dan tanah, struktur geologi, dan airtanah di daerah penelitian. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa daerah penelitian terdiri dari satuan morfologi lembah homoklin Sarimekar, punggungan
homoklin Mekarasih, lembah homoklin Ciranggem, dan punggungan antiklin Ciranggem. Daerah
penelitian terdiri dari litologi batuserpih, breksi andesit, tuf, batupasir-batulempung, dan andesit
porfiri. Massa batuan sepanjang trase jalan lingkar umumnya telah mengalami tingkat pelapukan
tinggi hingga sempurna dan memiliki kualitas massa batuan buruk. Elevasi muka airtanah relatif
dalam. Airtanah umumnya muncul sebagai rembesan pada lereng akibat infiltrasi air hujan.
Longsor terjadi pada daerah dengan litologi tuf dan perselang-selingan batupasir-batulempung
dengan kualitas massa batuan buruk. Mempertimbangkan jenis dan kualitas massa batuan serta
orientasi perlapisan batuan, ketidakstabilan lereng dan konstruksi jalan juga berpotensi terjadi di
daerah lain sepanjang trase jalan lingkar. Perancangan geometri lereng dan konstruksi jalan di
sepanjang trase Jalan Lingkar Timur Jatigede KM 08+150 hingga KM 17+500 diharapkan mengacu
pada hasil penelitian ini.

Kata kunci: geological strength index, jalan lingkar timur Jatigede, karakteristik geologi teknik,
kestabilan lereng, kualitas massa batuan.

I. PENDAHULUAN

Bendungan Jatigede berada di Kecamatan Jatigede, Kabupaten Sumedang, Jawa


Barat dan dibangun dengan membendung Sungai Cimanuk. Kolam waduk yang
terbentuk menyebabkan terputusnya sebagian akses jalan daerah Wado - Tolengas akibat
penenggelaman oleh genangan air. Satuan Kerja (Satker) Perencanaan dan Pengawasan
Jalan Nasional (PPJN) merencanakan pembangunan Jalan Lingkar Timur Jatigede
(Gambar 1).
Trase Jalan Lingkar Timur Jatigede akan melalui daerah dengan morfologi
perbukitan, litologi berkekuatan relatif rendah, dan struktur geologi yang relatif intensif.

847
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E038UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Beberapa bagian trase jalan yang diekskavasi bahkan telah mengalami keruntuhan
lereng. Kompleksitas kondisi geologi akan mempengaruhi kelancaran proses
pembangunan dan keberlangsungan konstruksi jalan lingkar.
Beberapa penyelidikan tapak, antara lain pengeboran, telah dilakukan oleh
konsultan perencana proyek pembangunan Jalan Lingkar Timur Jatigede. Namun,
penyelidikan yang dilakukan belum menyeluruh. Evaluasi karakteristik geologi teknik
daerah sekitar trase jalan lingkar belum dilakukan. Makalah ini menampilkan hasil
penelitian awal yang dilakukan untuk mengevaluasi karakteristik geologi teknik trase
Jalan Lingkar Timur Jatigede KM 08+150 hingga KM 17+500 dan sekitarnya. Karakteristik
morfologi dan proses geomorfik aktif, batuan dan tanah, struktur geologi, dan airtanah di
daerah penelitian ditampilkan dan evaluasi karakteristik geologi teknik bagi kestabilan
trase jalan dan lereng di daerah penelitian didiskusikan.

II. GEOLOGI DAN GEOLOGI TEKNIK REGIONAL

Peta Geologi Regional Lembar Arjawinangun berskala 1:100.000 (Djuri, 1995)


menunjukkan urutan stratigrafi dari tua ke muda pada daerah penelitian terdiri dari
Formasi Cinambo, Formasi Halang, Formasi Kaliwangu, dan Hasil Gunungapi Tak
Teruraikan. Formasi Cinambo terdiri dari Anggota Batupasir berumur Oligosen Bawah
dan Anggota Serpih berumur Oligosen Atas. Formasi Halang terendapkan secara tidak
selaras di atas Formasi Cinambo dan terdiri dari Formasi Halang Anggota Bawah
berumur Miosen Bawah dan Formasi Halang Anggota Atas berumur Miosen Atas.
Formasi Kaliwangu terendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Subang dan
berumur Pliosen Bawah. Hasil Gunungapi Tak Teruraikan merupakan material produk
vulkanismenya Gunung Ceremai dan Gunung Tampomas dan berumur Pleistosen Atas
hingga Holosen Bawah.
Struktur geologi yang nampak pada Peta Geologi Regional Lembar Arjawinangun
berupa perlipatan antiklin dan sesar geser dekstral. Struktur perlipatan antiklin berarah
barat-timur terdapat pada sisi timur laut lokasi penelitian, sedangkan struktur sesar geser
dekstral berarah utara-selatan terdapat pada sisi utara-tengah dari lokasi penelitian. Peta
Zona Kerentanan Gerakan Tanah Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat yang
diterbitkan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (2018) menunjukkan bahwa lokasi
penelitian terdiri dari zona kerentanan gerakan tanah rendah dan zona kerentanan
gerakan tanah menengah.

III. METODE PENELITIAN

Penyelidikan karakteristik geologi teknik daerah penelitian dilakukan melalui


pemetaan geologi teknik berskala 1:25.000. Karakteristik geologi teknik yang diteliti
meliputi karakteristik morfologi beserta proses-proses geomorfik aktif, batuan dan tanah,
struktur geologi, dan airtanah di daerah penelitian. Dalam penyelidikan geologi teknik
batuan dan tanah, kandungan air pada sampel batuan dan tanah ditentukan berdasarkan
ASTM D 2216-98 (ASTM International, 1998), sedangkan densitas dan specific gravity
sampel batuan dan tanah ditentukan berdasarkan ASTM D7263-09 (ASTM International,
2009) and ASTM D 854-02 (ASTM International, 2002). Tingkat pelapukan batuan

848
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E038UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

ditentukan berdasarkan klasifikasi yang diusulkan oleh ISRM (1981), kuat tekan batuan
utuh ditentukan berdasarkan uji point load mengikuti ASTM D 5731–02 (ASTM
International, 2002), klasifikasi massa batuan ditentukan berdasarkan Geological Strength
Index (GSI) yang disusun oleh Marinos and Hoek (2001). Kualitas massa batuan
ditentukan berdasarkan klasifikasi Rock Mass Rating (RMR) (Bieniawski, 1989) dengan
mengkonversi nilai GSI ke RMR menggunakan persamaan empiris yang diusulkan oleh
Hoek and Brown (1997).

IV. HASIL
1. Karakteristik morfologi dan proses geomorfik

Berdasarkan klasifikasi Brahmantyo dan Bandono (2006) yang didasarkan atas


morfogenesanya, lokasi penelitian terdiri dari satuan morfologi lembah homoklin
Sarimekar, punggungan homoklin Mekarasih, lembah homoklin Ciranggem, dan
punggungan antiklin Ciranggem (

Gambar 2). Satuan Lembah Homoklin Sarimekar (S1) merupakan lembah yang
tersusun oleh perlapisan batuan yang memiliki kemiringan perlapisan batuan sebesar 20-
27˚. Satuan ini memiliki kemiringan lereng sekitar 3,7-7,4º. Proses endogenik yang
berkembang menyebabkan terbentuknya kekar pada batuan, sedangkan proses eksogenik
yang berkembang meliputi pelapukan, erosi, transportasi, dan sedimentasi material. Pola
penyaluran yang berkembang pada satuan ini berupa dendritik. Tataguna lahan pada
satuan ini berupa lahan persawahan. Trase Jalan Lingkar Timur Jatigede KM 14+210
sampai 15+450 dan KM 16+075 sampai KM 17+500 akan berada pada satuan geomorfologi
ini.
Satuan Punggungan Homoklin Mekarasih (S2) merupakan punggungan yang
tersusun oleh perlapisan batuan yang memiliki kemiringan perlapisan batuan sebesar 20-
25˚. Satuan ini memiliki kemiringan lereng sekitar 14,7-21,4º. Satuan ini berada pada
bagian tengah lokasi penelitian dengan pelamparan sekitar 50% dari luas daerah
penelitian. Proses endogenik yang berkembang menyebabkan terbentuknya kekar pada
batuan, sesar turun, dan sesar geser dekstral. Proses eksogenik yang berkembang
meliputi pelapukan, erosi dan transportasi material. Longsor teramati pada empat lokasi
di satuan ini. Pola penyaluran yang berkembang pada satuan ini berupa rectangular.
Tataguna lahan pada satuan ini berupa hutan serta perkebunan yang dimanfaatkan oleh
warga. Trase Jalan Lingkar Timur Jatigede KM 09+100 sampai KM 14+210 dan KM 15+450
sampai KM 16+075 akan berada pada satuan geomorfologi ini.
Satuan Lembah Homoklin Ciranggem (S3) merupakan lembah yang tersusun oleh
perlapisan batuan yang memiliki kemiringan perlapisan batuan sebesar 15-24˚. Satuan ini
memiliki kemiringan lereng sekitar 3,9-9,3º. Proses endogenik yang bekerja menyebabkan
terbentuknya kekar, sesar geser sinistral, dan sesar geser dekstral. Proses eksogenik yang
berkembang meliputi pelapukan, erosi, dan transportasi material. Pola penyaluran yang
berkembang pada satuan ini berupa dendritik. Tataguna lahan pada satuan ini berupa
persawahan dan genangan waduk. Trase Jalan Lingkar Timur Jatigede KM 07+400
sampai 07+850 dan KM 08+560 sampai KM 09+100 akan berada pada satuan ini.
Satuan Punggungan Antiklin Ciranggem (S4) merupakan punggungan yang

849
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E038UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

tersusun oleh antiklin. Satuan ini memiliki kemiringan lereng sekitar 7,5-9,9º. Proses
endogenik yang bekerja menyebabkan terbentuknya kekar dan lipatan antiklin,
sedangkan proses eksogenik yang berkembang meliputi pelapukan, erosi dan
transportasi. Pola penyaluran yang berkembang pada satuan ini berupa dendritik.
Tataguna lahan pada satuan ini berupa hutan dan perkebunan yang dimanfaatkan warga.
Trase Jalan Lingkar Timur Jatigede KM 07+850 sampai KM 08+560 akan berada pada
satuan geomorfologi ini.
a. Karakteristik batuan dan tanah
1) Litologi dan stratigrafi

Daerah penelitian tersusun atas 5 jenis litologi, yaitu batuserpih, breksi andesit,
tuf, perselang-selingan batupasir-batulempung, dan andesit porfiri (
Gambar 3). Satuan batuserpih termasuk Anggota Atas Formasi Cinambo. Satuan
breksi andesit terendapkan secara tidak selaras di atas satuan batuserpih dan termasuk
Anggota Bawah Formasi Halang. Satuan tuf terendapkan secara selaras di atas satuan
breksi andesit dan termasuk Anggota Bawah Formasi Halang. Satuan batupasir-
batulempung terendapkan secara selaras di atas satuan breksi andesit dan satuan tuf.
Satuan ini termasuk Anggota Atas Formasi Halang. Satuan andesit porfiri memiliki
hubungan tidak selaras di atas satuan batupasir-batulempung dan termasuk dalam Hasil
Gunungapi Muda Tak Teruraikan.
Secara umum, lapisan batuan di daerah penelitian miring ke arah barat daya.
Lapisan batuserpih memiliki dip berkisar antara 15 hingga 24°, sedangkan lapisan
batupasir-batulempung memiliki besar kemiringan berkisar antara 20 hingga 27°. Breksi
andesit cenderung menunjukkan struktur masif, namun kontak antara breksi andesit dan
batuserpih di bawahnya menunjukkan perlapisan dengan kemiringan sekitar 25°.
2) Tingkat pelapukan dan kualitas massa batuan

Peta tingkat pelapukan massa batuan di daerah penelitian diperlihatkan pada


Gambar 4. Massa batuan di daerah penelitian memiliki tingkat pelapukan rendah hingga
sempurna. Pelapukan menyebabkan beberapa bagian hingga keseluruhan bagian massa
batuan di daerah penelitian berubah menjadi tanah. Sifat-sifat indeks tanah dan kekuatan
batuan utuh tiap jenis batuan ditampilkan dalam Tabel 3. Batulempung, breksi andesit,
dan tuf memiliki kuat tekan yang relatif rendah dan tergolong weak rock hingga very weak
rock berdasarkan nilai UCS menurut ISRM (1981), sedangkan andesit porfiri dan
batuserpih cenderung memiliki kuat tekan yang relatif tinggi dan termasuk moderately
strong rock dan strong rock menurut klasifikasi batuan berdasarkan nilai UCS menurut
ISRM (1981). Batuan utuh andesit cenderung memiliki kekuatan yang lebih tinggi
dibandingkan batuan utuh batuserpih (González de Vallejo and Ferrer, 2011), namun
pengaruh pelapukan kemungkinan menjadi penyebab nilai kuat tekan batuan utuh
batuserpih cenderung lebih tinggi. ISRM (1981) mengklasfikasikan batuan dengan kuat
tekan <1 MPa sebagai tanah.
Peta kualitas massa batuan di daerah penelitian diperlihatkan pada Gambar 5.
Massa batuan di daerah penelitian dapat dikelompokkan menjadi 4 satuan kualitas massa
batuan. Contoh singkapan keempat kualitas massa batuan diperlihatkan dalam Gambar
6. Kualitas massa batuan baik (Gambar 6(a)) umumnya memiliki diskontinuitas yang
sedikit. Pada batuan dengan kualitas massa batuan sedang (Gambar 6(b)) umumnya

850
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E038UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

dijumpai pada daerah-daerah aliran sungai. Trase Jalan Lingkar Timur Jatigede sebagian
besar melalui massa batuan dengan kualitas buruk (Gambar 6(c)) dengan struktur massa
batuan disintegrated. Pada kualitas massa batuan sangat buruk (Gambar 6(d)), hampir
keseluruhan massa batuan telah berubah menjadi tanah. Kombinasi antara proses
pelapukan dan proses endogenik yang menghasilkan struktur geologi kekar, sesar, dan
perlipatan mengontrol kualitas massa batuan di daerah penelitian.
b. Karakteristik struktur geologi

Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian berupa kekar gerus, sesar
turun, sesar geser dekstral, sesar geser sinistral, dan lipatan antiklin (
Gambar 3). Kekar gerus terbentuk pada batuan breksi andesit, batuserpih dan
batupasir-batulempung. Hasil analisis kekar gerus menujukkan arah gaya utama
pembentuk adalah barat daya-timur laut. Sesar turun dengan jurus dan kemiringan
N210ºE/70º dan rake -155 memotong satuan breksi andesit dan tuf. Sesar ini membentuk
rekahan yang cukup besar pada litologi tuf. Dari hasil analisis menggunakan stereonet
dapat diketahui bahwa gaya utama pembentuk sesar turun di daerah penelitian berupa
gaya kompresi dengan arah relatif barat daya-timur laut.
Sesar geser sinistral membentuk kelurusan sungai pada sisi utara lokasi penelitian
dan memotong batuserpih. Sesar ini memiliki jurus dan kemiringan N225ºE/90º dan rake
14º. Dari hasil analisis menggunakan stereonet dapat diketahui bahwa gaya utama
pembentuk sesar geser sinistral di daerah penelitian berupa gaya kompresi dengan arah
gaya relatif utara-selatan.
Sesar geser dekstral memotong satuan breksi andesit dan batuserpih. Keberadaan
sesar geser dekstral ditandai dengan adanya kelurusan struktur serta adanya offset litologi
batuserpih. Sesar ini memiliki jurus dan kemiringan N150ºE/45º dan rake 176º. Dari hasil
analisis menggunakan stereonet dapat diketahui bahwa gaya utama pembentuk sesar
geser dekstral di daerah penelitian berupa gaya kompresi dengan arah gaya relatif barat
daya-timur laut.
Lipatan antiklin memiliki sumbu lipatan berarah barat laut-tenggara. Struktur
geologi ini diinpretasikan berdasarkan pembalikan arah jurus dan kemiringan perlapisan
batuserpih dimana pada sisi utara perbukitan arah jurus perlapisan batuan mengarah ke
timur laut sedangkan pada sisi selatan perbukitan ini jurus perlapisan batuan mengarah
ke barat daya.
c. Karakteristik air tanah

Laporan kajian yang disusun oleh PT Tri Mantra dan PT Prima Cipta Lestarindo.
(2014) menunjukkan bahwa muka airtanah berada pada kedalaman 7 hingga 9 m dengan
elevasi 290-295 m di atas permukaan air laut. Di beberapa lokasi, muka airtanah berada
jauh di bawah permukaan. Airtanah umumnya muncul sebagai rembesan pada lereng
akibat infiltrasi air hujan.

V. PEMBAHASAN

Konstruksi Jalan Lingkar Timur Jatigede KM 08+150 hingga KM 17+500

851
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E038UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

direncanakan berada daerah perbukitan dengan morfologi lembah dan punggungan dan
kemiringan lereng berkisar antara 3 hingga 21°. Konstruksi jalan lingkar direncanakan
berada pada litologi batuserpih, breksi andesit, tuf, perselang-selingan batupasir-
batulempung, dan andesit porfiri. Meskipun kemiringan lereng alami di sepanjang trase
jalan lingkar tidak curam, karakteristik batuan dan tanah dapat menjadi faktor
pengontrol ketidakstabilan lereng dan konstruksi jalan. Empat lokasi longsor pada

Gambar 2, satuan batuan pada


Gambar 3, dan zona kualitas massa batuan pada Gambar 5 menunjukkan trase
jalan lingkar pada daerah dengan litologi tuf dan perselang-selingan batupasir-
batulempung dengan kualitas massa batuan buruk rentan mengalami longsor.
Kestabilan lereng dan konstruksi jalan disepanjang trase jalan lingkar perlu
mendapat perhatian. Batuan utuh komponen massa batuan batupasir-batulempung,
breksi andesit, dan tuf di daerah penelitian memiliki kuat tekan yang relatif rendah,
sedangkan batuan utuh komponen massa batuan andesit porfiri dan batuserpih memiliki
kuat tekan yang relatif tinggi. Walaupun batuan utuh andesit porfiri dan batuserpih
tergolong moderately strong rock dan strong rock, namun karena andesit porfiri memiliki
kualitas massa batuan sangat buruk dan batuserpih memiliki kualitas massa batuan
buruk hingga sedang, kuat tekan dan kestabilan kedua massa batuan diperkirakan
rendah. Batuserpih juga rentan mengalami slaking jika berada dalam kondisi basah. Selain
jenis batuan, orientasi perlapisan batuan di daerah penelitian juga perlu mendapat
perhatian dalam konstruksi jalan lingkar. Pada daerah dengan litologi penyusun
batuserpih dan perselang-selingan batupasir-batulempung, lereng alami maupun lereng
galian dengan kemiringan ke arah barat daya dan besarnya > 27° rentan mengalami
ketidakstabilan karena kemiringan perlapisan kedua massa batuan akan searah dan
keluar lereng.
Kondisi kestabilan lereng dan konstruksi jalan di sepanjang trase jalan lingkar
akan diperburuk oleh infiltrasi air hujan ke dalam batuan yang telah mengalami
pelapukan intensif. Desain geometri lereng dalam pekerjaan konstruksi jalan lingkar
diharapkan mempertimbangkan orientasi perlapisan batuan, jenis dan kualitas massa
batuan, dan tekanan airtanah pada batuan dan tanah penyusun lereng akibat infiltrasi air
hujan.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

Daerah penelitian terdiri dari satuan morfologi lembah homoklin Sarimekar,


punggungan homoklin Mekarasih, lembah homoklin Ciranggem, dan punggungan
antiklin Ciranggem. Daerah penelitian terdiri dari litologi batuserpih, breksi andesit, tuf,
batupasir-batulempung, dan andesit porfiri. Massa batuan sepanjang trase jalan lingkar
umumnya telah mengalami tingkat pelapukan tinggi hingga sempurna dan memiliki
kualitas massa batuan buruk. Elevasi muka airtanah relatif dalam. Airtanah umumnya
muncul sebagai rembesan pada lereng akibat infiltrasi air hujan. Desain geometri lereng
dalam pekerjaan konstruksi jalan lingkar diharapkan mempertimbangkan orientasi
perlapisan batuan, jenis dan kualitas massa batuan, dan tekanan airtanah pada batuan

852
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E038UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

dan tanah penyusun lereng akibat infiltrasi air hujan.


Penelitian berikutnya pada beberapa titik rencana trase jalan yang belum
dilakukan ekskavasi perlu dilakukan. Demi kelancaran proses pembangunan dan
keberlangsungan konstruksi jalan, perancangan geometri lereng dan konstruksi jalan
beserta perkuatan yang dibutuhkan di sepanjang trase Jalan Lingkar Timur Jatigede KM
08+150 hingga KM 17+500 diharapkan mengacu pada hasil penelitian ini.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Satuan Kerja Perencanaan dan
Pengawasan Jalan Nasional (PPJN) Provinsi Jawa Barat dan PT Adhi Karya atas izin
melakukan penelitian. Penulis pertama juga mengucapkan terima kasih kepada Laily
Fidya dari Departemen Teknik Geologi UGM atas bantuan dalam melaksanakan
pemetaan.

DAFTAR PUSTAKA
ASTM International. 1998. ASTM D 2216-98: Standard Test Method for Laboratory Determination
of Water ( Moisture ) Content of Soil and Rock by Mass.
ASTM International. 2002. ASTM D 5731–02: Standard Test Method for Determination of the Point
Load Strength Index of Rock.
ASTM International. 2009. ASTM D7263-09: Standard Test Methods for Laboratory Determination
of Density (Unit Weight) of Soil Specimens. West Conshohocken, PA.
ASTM International. 2002. ASTM D 854-02: Standard Test Methods for Specific Gravity of Soil
Solids by Water Pycnometer.
Bieniawski, Z.T.1989. Engineering Rock Mass Classification.New York: John Wiley & Sons
Brahmantyo, B. dan Bandono. 2006. Klasifikasi Bentuk Muka Bumi (Landform) untuk Pemetaan
Geomorfologi pada Skala 1:25.000 dan Aplikasinya untuk Penataan Ruang. Jurnal
Geoaplika 1, 71–78.
Djuri. 1995. Peta Geologi Lembar Arjawinangun, Jawa. Bandung: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi.
González de Vallejo, L. I. and Ferrer, M. 2011. Geological Engineering. Leiden, Netherlands: CRC
Press/Balkema.
Hoek, E. and Brown, E.T. 1997. Practical estimates of rock mass strength. International Journal of
Rock Mechanics and Mining Sciences and Geomechanics Abstracts; 34(8), p. 1165-86.
ISRM. 1981. The Complete ISRM Suggested Methods for Rock Characterization, Testing and
Monitoring, Ankara, ISRM Turkish National Group.
Marinos, P. dan Hoek, E. 2001. Estimating the Geotechnical Properties of
Heterogenous Rock Masses such as Flysch, Bulletin of Engineering
Geology and Environment, no. 60, 85-92 p.
PT Tri Mantra dan PT Prima Cipta Lestarindo. 2014. Laporan Geologi/Geoteknik Pekerjaan Review
Desain Jalan Lingkar Timur. Cirebon: Balai Besar Wilayah Sungai Cimanuk-
Cisanggarung, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat

853
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E038UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2018. Peta Zona Gerakan Tanah Kabupaten
Sumedang, Provinsi Jawa Barat. Bandung: Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
Geologi

854
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E038UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel

Tabel 3. Karakteristik keteknikan batuan dan tanah di daerah penelitian.


Karakteristik
Tanah Batuan
Jenis Batuan
w ρb ρd Gs e n S (%) UCS Klasifikasi
(%) (gr/cm3) (gr/cm3) (%) (MPa)
Batuserpih 5,12 2,3 2,18 2,27 0,29 22,16 39,72 53,9 Strong rock
lapuk sedang
Batuserpih <1 Soil
lapuk
sempurna
Breksi 6 2,41 2,28 2,56 0,27 21,53 60,62 6,7 Weak rock
andesit lapuk
rendah
Breksi 3 Very weak
andesit lapuk rock
tinggi
Breksi <1 Soil
andesit lapuk
sempurna
Tuf lapuk 4,26 1,8 1,72 2,29 0,32 24,47 30,9 1,4 Very weak
sedang rock
Tuff lapuk <1 Soil
sempurna
Batupasir- 13,22 2,13 1,88 2,59 0,40 28,65 85,31 1,4 Very weak
batulempung rock
lapuk sedang
Batupasir- <1 Soil
batulempung
lapuk tinggi
Andesit 6 2,53 2,39 2,86 0,2 16,38 87,24 49,6 Moderately
porfiri lapuk strong rock
tinggi

Keterangan: w = kandungan air; ρb = densitas total (bulk); ρd = densitas kering; Gs = specific gravity;
e = rasio pori; n = porositas; S = tingkat kejenuhan; UCS = uniaxial compressive strength.

855
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E038UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar

Gambar 1. Lokasi daerah penelitian.

856
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E038UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Peta geomorfologi daerah penelitian.

857
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E038UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

858
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E038UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Peta geologi daerah penelitian.

Gambar 4. Peta tingkat pelapukan batuan di daerah penelitian.

859
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E038UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. Peta kualitas massa batuan di daerah penelitian.

860
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E038UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

(a) (b)

(c) (d)
Gambar 6. Singkapan kualitas massa batuan: (a) baik; (b) sedang; (c) buruk; (d) sangat buruk.

861
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E041UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

PENENTUAN TITIK BOR EKSPLORASI AIR TANAH BERDASARKAN DATA


GEOLISTRIK DI DAERAH KARST

Cici Arti 1*, Purwanto1, Ilham Widi Putranto1, Rani Kurniawati1, Lisna Tri Utami1, Wimbo Agung
Pangestu1
1 Teknik Geofisika, UPN “Veteran” Yogyakarta
* corresponding author :ciciarti@gmail.com

ABSTRAK. Penelitian ini dilakukan di Desa Girijati, Kecamatan Purwosari, Kabupaten Gunung
Kidul. Daerah tersebut berupa bentuk lahan karst, dimana cukup sulit untuk mendapatkan air di
permukaan. Oleh karena itu, dilakukan penelitian di daerah tersebut dengan tujuan untuk
mengetahui potensi keberadaan akuifer bawah permukaan. Penelitian dilakukan dengan
menggunakan Metode Geolistrik Resistivitas Konfigurasi Dipol-dipol. Akuisisi data dilakukan
sebanyak 7 lintasan dengan panjang lintasan 200 – 260 meter dengan jarak tiap lintasan 20 meter.
Berdasarkan data akuisisi, kemudian akan didapatkan penampang bawah permukaan dari hasil
pengolahan. Pada penampang 2D resistivitas, akuifer memiliki nilai resistivitas rendah, bernilai
antara 2,77 Ωm sampai 26,1 Ωm. Akuifer tersebut berada di batugamping yang mengalami pelarutan
oleh air sehingga memiliki porositas tinggi. Berdasarkan model 3D resistivitas, akuifer terdapat di
semua lintasan dengan kedalaman 10 – 15 meter. Sedangkan pada kedalaman sekitar 1 meter
terdapat nilai resistivitas rendah tetapi bukan merupakan akuifer melainkan air hujan atau air
meteorit yang hanya bersifat sementara. Akuifer pada lintasan 4, 5, 6 dan 7 memiliki pola menerus
(conduit) sedangkan lintasan 1, 2 dan 3 berpola spot-spot. Berdasarkan letak dan kedalamannya, maka
perkiraan dilakukannya pemboran berada pada titik di lintasan 4 dikarenakan memiliki keterdapatan
akuifer cukup banyak dan memiliki kedalaman kurang lebih 10 meter.

Kata kunci: Akuifer, Karst, Geolistrik,Resistivitas

I. PENDAHULUAN

Sumber daya air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya.
Air sendiri merupakan semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan
tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan dan air laut
(Saputra D,dkk.2016). Sedangkan air tanah merupakan air yang bergerak dalam tanah yang
terdapat di dalam ruang – ruang antara butir – butir tanah yang meresap ke dalam tanah
dan membentuk lapisan air tanah yang disebut akuifer (Mori dkk, 1999). Dalam kehidupan
sehari-hari, air sudah menjadi kebutuhan makhluk hidup yang tidak akan pernah bisa
digantikan, sedangkan cadangan air tersebut berada di bawah permukaan tanah atau
disebut akuifer. Pada daerah yang kekurangan air, keberadaan air tanah sangat dibutuhkan
sebagai sumber mata air dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Daerah penelitian berada di Desa Girijati, Kecamatan Purwosari, Kabupaten Gunung


Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah tersebut merupakan daerah karst
dimana cukup sulit untuk mendapatkan air di permukaan. Hal ini dikarenakan sistem dari
morfologi karst yang menyimpan air dalam bentuk sungai bawah permukaan yang menerus
sehingga sulit untuk naik ke permukaan. PBB memperkirakan persediaan air sekitar 25 %

862
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E041UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

penduduk dunia merupakan sumber air karst (Ko, 1984). Oleh karena itu eksplorasi
mengenai air tanah di daerah karst sangat penting untuk dilakukan guna membantu
masyarakat sekitar dalam mengetahui dan mengoptimalkan potensi keberadaan sumber air
di daerah penelitian. Eksplorasi air tanah dapat dilakukan dengan berbagai macam cara,
salah satunya adalah metode geolistrik.

Metode geolistrik adalah salah satu metode geofisika yang didasarkan pada
penerapan konsep kelistrikan pada masalah kebumian. Tujuannya adalah untuk
memperkirakan sifat kelistrikan medium atau formasi batuan bawah-permukaan terutama
kemampuannya untuk menghantarkan (konduktivitas) atau menghambat (resistivitas)
listrik. (Legget, 1962). Respon air tanah (akuifer) terhadap sifat kelistrikan tersebut akan
memberikan nilai konduktivitas tinggi atau resistivitas rendah. Hal tersebut dikarenakan air
merupakan medium yang mampu menghantarkan arus litrik dengan baik.

Sehingga, dari penelitian ini diharapkan dapat mengetahui potensi keberadaan air
tanah di daerah penelitian serta dapat menentuan titik bor eksplorasi air tanah. Pembuatan
sumur bor dimaksudkan untuk mengoptimalkan potensi keberadaan air tanah di daerah
penelitian. Sehingga masyarakat dapat memenuhi kebutuhan air untuk keperluan sehari-
hari dengan cukup.

II. GEOLOGI REGIONAL

Secara umum, fisiografi Jawa Tengah bagian tenggara meliputi kawasan G.


Merapi, Yogyakarta, Surakarta dan Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi 2 zona yaitu
Zona Solo dan Zona Pegunungan Selatan (Bemmelen,1949). Daerah Gunungkidul
merupakan wilayah yang berada pada daerah Pegunungan Selatan subzona Gunung Sewu.
Daerah ini terletak di bagian selatan dari Pegunungan Selatan, berupa rangkaian pebukitan
karst berbentuk kerucut dengan arah poros reltif barat-timur. Bukit-bukit tersebut memiliki
ketinggian antara 100-300 meter. Ditinjau dari struktur geologi, subzone Gunung Sewu ini
merupakan homoklin yang memiliki kemiringan relatif ke arah selatan. Di daerah
Gunungkidul, terdapat pola pelurusan sungai yang berarah timurlaut-bratdaya (Bengawan
Solo, Kali Opak, Kali Dengkeng), berarah barat laut-tenggara (Bengawan Solo) dan berarah
timur – barat (Kali Oyo, Kali Dengkeng).

Geomorfologi Daerah Gunungsewu, berdasarkan morfogenetik dan morfometriknya


dapat dikelompokkan menjadi tiga satuan, yaitu Satuan Geomorfologi Dataran Karst,
Satuan Geomorfologi Perbukitan Kerucut Karst, dan Satuan Geomorfologi Teras Pantai.
Secara umum karstifikasi di daerah ini sudah mencapai tahapan dewasa. Lapisan paling
bawah stratigafi daerah Gunungsewu berupa endapan vulkanik yang terdiri dari batupasir
tufaan, lava, dan breksi, yang dikenal sebagai Kelompok Besole. Di atas batuan basal
tersebut, secara setempat-setempat didapatkan napal Formasi Sambipitu, serta batugamping
tufaan dan batugamping lempungan Formasi Oyo. Di atasnya lagi dijumpai batugamping
Gunungsewu Formasi Wonosari yang dianggap merupakan lapisan pembawa air di daerah
penelitian. Di bagian paling atas, berturut-turut terdapat napal Formasi Kepek, endapan
aluvial dan endapan vulkanik Merapi (Kusumayudha, S.B. 2007).

863
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E041UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Berdasarkan litofasiesnya, batugamping Gunungsewu dapat dibedakan menjadi


batugamping bioklastik wackestone, dan batugamping terumbu yang terdiri dari
boundstone dan packstone. Di lapangan, sebagai singkapan, batugamping Gunungsewu
menunjukkan dua sifat fisik berbeda, yaitu karstik dan kapuran (chalky = kalice).
Batugamping karstik bersifat pejal dan keras, sedangkan batugamping kalice bersifat rapuh
dan lunak. Porositas sekunder berbentuk saluran (conduit) dan rongga-rongga, merupakan
porositas yang dominan pada batugamping karstik, sedangkan porositas intergranuler
(matriks) merupakan porositas yang terdapat pada batugamping kalice. Dengan demikian,
airtanah di dalam batugamping karstik akan mengalir secara conduit flow (aliran saluran)
sedangkan di dalam batugamping kalice akan bergerak secara diffuse flow (aliran
rembesan) (Kusumayudha, S.B. 2007)

III. METODOLOGI PENELITIAN

1. Metode Penelitian
Pengambilan data metode geolistrik dilakukan pada tanggal 9-11 November 2018.
Lokasi penelitian berada di daerah Girijati, Kecamatan Purwosari, Kabupaten Gunungkidul,
Daerah Istimewa Yogyakarta. Proses pengukuran metode Geolistrik ini menggunakan alat
Resitivity OYO Ohm meter, aki untuk sumber listrik untuk alat, lalu elektroda untuk
menginjeksi arus serta kabel untuk menghubungkan antar elektroda dan alat. Pengambilan
data dengan mengukur 7 lintasan dengan panjang masing-masing lintasan sepanjang 200-
260 meter. Konfigurasi yang dipakai dalam pengukuran metode geolistrik ini adalah
konfigurasi dipole dipole dengan jarak antar lintasannya yakni 20 m. Secara umum, arah
orientasi pengukuran tersebut barat-timur. Kondisi pada daerah penelitian yakni perbukitan
pada area sawah warga sekitar, dan pada penelitian ini juga mengacu pada geologi regional
daerah penelitian serta penelitian terdahulu pada daerah penelitian.

2. Metode Pengolahan Data


Pada penelitian ini digunakan metode Geolistrik Resisitivitas dengan konfigurasi dipole-
dipole. Metode geolistrik resistivitas atau tahanan jenis adalah salah satu dari kelompok
metode geolistrik yang digunakan untuk mempelajari keadaan bawah permukaan dengan
cara mempelajari sifat aliran listrik di dalam batuan di bawah permukaan bumi. Metode
resistivitas umumnya digunakan untuk eksplorasi dangkal, sekitar 300 – 500 m. Prinsip
dalam metode ini yaitu arus listrik diinjeksikan ke alam bumi melalui dua elektrode arus,
sedangkan beda potensial yang terjadi diukur melalui dua elektroda potensial. Dari hasil
pengukuran arus dan beda potensial listrik dapat diperoleh variasi harga resistivitas listrik
pada lapisan di bawah titik ukur.
Metode kelistrikan resistivitas dilakukan dengan cara menginjeksikan arus listrik
dengan frekuensi rendah ke permukaan bumi yang kemudian diukur beda potensial
diantara dua buah elektrode potensial. Pada keadaan tertentu, pengukuran bawah
permukaan dengan arus yang tetap akan diperoleh suatu variasi beda tegangan yang
berakibat akan terdapat variasi resistansi yang akan membawa suatu informasi tentang
struktur dan material yang dilewatinya. Prinsip ini sama halnya dengan menganggap
bahwa material bumi memiliki sifat resistif atau seperti perilaku resistor, dimana material-
materialnya memiliki derajat yang berbeda dalam menghantarkan arus listrik.

864
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E041UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Pada prinsipnya konfigurasi dipole-dipole menggunakan 4 buah elektroda, yaitu pasangan


elektroda arus yang disebut ‘current dipole AB’ dan pasangan elektroda potensial yang
disebut ‘potensial dipole MN’. Pada konfiguraasi dipole-dipole, elektroda arus dan
elektroda potensial bisa terletak tidak segaris dan tidak simetris.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada penelitian yang dilakukan didaerah Girijati, Kecamatan Purwosari, Kabupaten


Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta mendapatkan data sebanyak 7 lintasan. Melalui
pengukuran metode Geolistrik Resistivitas Konfigurasi Dipole-dipole memperoleh data
berupa nilai resistivitas batuan dibawah permukaan yang didapat dari data nilai I (arus)
dan V (potensial), R (hambatan), dan faktor konfigurasi. Selanjutnya dilakukan pengolahan
menggunakan software RES2DINV yang bertujuan untuk mendapatkan penampang
geolistrik 2D. Selanjutnya dari penampang tersebut dilakukan korelasi antar penampang
menggunakan software Mapinfo (Discover 3D) untuk mengetahui kemenerusan dari
respon nilai resistivitas pada data penelitian. Lalu untuk mengetahui persebaran dari nilai
resistivitas batuan bawah pengukuran daerah penelitian dilakukan pengolahan dengan
software Oasis Montaj, sehingga didapatkan gambar data 3D dari data resistivitas seluruh
lintasan pengukuran.

Pada gambar 5 merupakan korelasi penampang Resistivitas dari tiap-tiap lintasan


pada daerah penelitian yang berada di Desa Girijati, Kecamatan Purwosari, Kabupaten
Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Terdapat total 7 lintasan yang
dibentangkan di daerah penelitian seperti yang terlihat pada gambar, dimana penampang
yang terletak paling utara merupakan penampang Resistivitas lintasan 1 berturut-turut
hingga ke selatan sampai lintasan 7. Korelasi penampang resisitivitas ini berfungsi untuk
mencari kemenerusan indikasi akuifer pada daerah penelitian. Pada gambar tersebut dapat
dilihat bahwa daerah dengan warna merah merupakan daerah dengan nilai resistivitas
tinggi yaitu sebesar 755 Ωm sampai lebih dari 7119 Ωm. Nilai resistivitas tinggi tersebut
dapat disebabkan karena adanya batuan yang memiliki porositas yang tinggi. Sesuai
dengan geologi regional daerah penelitian, pada daerah tersebut litologinya yakni
batugamping. Maka didasarkan dengan geologi regional dan nilai resistivitasnya, daerah
tersebut diinterpretasikan terdapat batuan dengan litologi batugamping. Batugamping
memiliki nilai resistivitas tinggi karena batugamping memiliki porositas sekunder yang
relatif besar. Sedangkan daerah dengan warna biru seperti yang ditunjukkan pada gambar 5
diindikasikan sebagai akuifer dengan nilai resistivitas dari 2,77 Ωm sampai 26,1 Ωm pada
kedalaman yang dangkal yaitu 1 meter sampai 10 meter.

Nilai resistivitas rendah yang berada di dekat permukaan diinterepretasikan berupa


daerah resapan air hujan atau air meteorit dengan kedalaman dangkal sekitar 1 meter yang
bukan termasuk dalam akuifer karena resapan air hujan tersebut hanya bersifat sementara.
Sedangkan nilai resistivitas rendah yang berada di kedalaman sekitar 10 meter
diinterpretasikan berupa akuifer. Lapisan tersebut diindikasikan sebagai akuifer yang
tersimpan di batugamping. Bentuk dari akuifer ini diinterpretasikan berupa rekahan-
rekahan yang terjadi akibat pelarutan dari batugamping oleh air. Batugamping yang terlarut
oleh air akan membentuk rekahan-rekahan. Jika rekahan-rekahan tersebut semakin besar

865
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E041UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

maka kemungkinan terisi oleh air juga akan semakin besar. Air yang tersimpan di rekahan-
rekahan ini akan membentuk kemenerusan dari akuifer. Selain hal tersebut, lapisan yang
diindikasikan sebagai akuifer juga dikarenakan memiliki nilai resistivitas yang relatif lebih
rendah jika dibandingkan dengan lapisan-lapisan di sekitarnya. Berdasarkan bentuk
topografi permukaan dapat di interpretasikan bahwa di daerah yang memiliki nilai
resistivitas rendah tersebut berada pada topografi yang relatif rendah.

Gambar 6 merupakan gambar model 3D nilai resistivitas yang dibuat dengan tujuan
untuk mempermudah dalam melakukan interpretasi keberadaan akuifer bawah permukaan.
Pada model 3D terebut dapat dilihat bahwa nilai resistivitas rendah (warna biru) berada
pada lintasan 1, 2, 3 dan lintasan 7 dengan kedalaman dangkal sekitar 1 meter. Hal ini
dimungkinkan terjadi karena daerah tersebut berada pada topografi yang rendah jika
dibandingkan dengan daerah sekitarnnya atau berada pada daerah cekungan, sehingga
dapat diinterpretasikan bahwa daerah tersebut hanya berupa daerah resapan atau tempat
terakumulasinya air hujan atau air meteorit.

Gambar 6 tersebut menunjukkan keberadaan dari akuifer dengan kedalaman dalam


(lebih dalam dari gambar 5). Berdasarkan model 3D tersebut dapat ditentukan keberadaan
akuifer yang digambarkan dengan warna biru yaitu berada di semua lintasan. Pada lintasan
1, 2 dan 3 terdapat akuifer dengan pola spot-spot atau tidak mengalami kemenerusan.
Sedangkan pada lintasan 4, 5, 6 dan 7 terdapat akuifer yang membentuk pola menerus. Pola
menerus tersebut termasuk kedalam pola aliran akuifer conduit pada batugamping. Dimana
pola conduit tersebut berbentuk menerus seperti sungai dengan supply air dari atas.

Berdasarkan keberadaan akuifer tersebut, maka dapat dilakukan pemboran air tanah
berdasarkan posisi dan kedalaman akuifer pada penampang resistivitas. Titik pemboran
yang memiliki potensi didapatkannya air tanah yang cukup baik berada pada lintasan 4.
Hal tersebut dikarenakan pada lintasan 4 keterdapatan akuifer cukup banyak serta memiliki
kedalaman yang memungkinkan untuk dilakukannya pemboran (sekitar 10 meter).
Banyaknya akuifer tersebut disebabkan karena porositas batugamping yang besar sehingga
mudah terisi oleh air.

Kondisi hidrologi kawasan karst Gunungsewu secara umum tidak jauh berbeda
dengan kawasan karst umumnya. Sistem aliran air utama adalah melalui saluran yang
membentuk jaringan sungai bawah tanah. Akuifer kawasan karst ditandai oleh porositas
sekunder yang diatur oleh pembesaran lorong-lorong hasil proses pelarutan. Namun
demikian, variasi secara lokal masih dapat dibedakan berdasarkan pada struktur geologi
dan variasi litologi.

V. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengukuran metode geolistrik resistivitas konfigurasi dipole-


dipole yang dilakukan di daerah Desa Girijati, Kecamatan Purwosari, Kabupaten Gunung
Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat disimpulkan bahwa :
• Secara umum dari pengukuran yang dilakukan pada lintasan 1- 7 diketahui bahwa
litologi penyusun di lokasi pengukuran yakni dari litologi batugamping yang memiliki
porositas sekunder yang tinggi.
866
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E041UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

• Berdasarkan data pengukuran didapatkan daerah dengan nilai resistivitas tinggi


yaitu sebesar 755 Ωm sampai lebih dari 7119 Ωm. Dari nilai resistivitas tinggi tersebut dapat
diinterpretasikan bahwa batuan tersebut merupakan litologi batugamping. Selanjutnya
pada data didapatkan nilai resistivitas rendah yang diindikasikan sebagai akuifer dengan
nilai resistivitas dari 2,77 Ωm sampai 26,1 Ωm pada kedalaman yang dangkal yaitu 1 meter
sampai 10 meter.
• Nilai resistivitas rendah yang berada di dekat permukaan diinterepretasikan berupa
daerah resapan air hujan atau air meteorit dengan kedalaman dangkal sekitar 1 meter yang
bukan termasuk dalam akuifer karena resapan air hujan tersebut hanya bersifat sementara.
Sedangkan nilai resistivitas rendah yang berada di kedalaman sekitar 10 meter
diinterpretasikan berupa akuifer.
• Pada lintasan 1, 2 dan 3 terdapat akuifer dengan pola spot-spot atau tidak
mengalami kemenerusan. Sedangkan pada lintasan 4, 5, 6 dan 7 terdapat akuifer yang
membentuk pola menerus. Pola menerus tersebut termasuk kedalam pola aliran akuifer
conduit pada batugamping. Dimana pola conduit tersebut berbentuk menerus seperti
sungai dengan supply air dari atas.
• Pada penentuan titik pemboran air tanah ini disarankan berada pada lintasan 4,
karena memiliki potensi didapatkannya air tanah yang cukup baik. Hal tersebut
dikarenakan pada lintasan 4 keterdapatan akuifer cukup banyak serta memiliki kedalaman
yang memungkinkan untuk dilakukannya pemboran dengan kedalaman sekitar 8-10 m.

ACKNOWLEDGEMENT

Puji Syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena segala Rahmat dan
KaruniaNya sehingga dapat terselesaikannya penelitian ini yang berjudul “Penentuan Titik
Bor Eksplorasi Air Tanah Berdasarkan Data Geolistrik di Daerah Karst” pada daerah Desa
Girijati, Kecamatan Purwosari, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta.Sehingga penelitian ini dapat berguna dan bermanfaat bagi para pembacanya.
Tak luput dari sebuah kesalahan kami juga menerima kritik dan saran untuk penelitian
yang akan datang, serta kami ucapkan banyak terimakasih kepada seluruh pihak yang telah
membantu pengukuran data sehingga dapat terselesaikan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

BPBD Gunungkidul. 2014. Pembagian Zona Kabupaten Gunungkidul :


http://bpbdgunungkidul.blogspot.com/2014/01/pembagian-zona-kabupaten-gunungkidul.
html#.XBrdu1UzbDc. Diakses pada tanggal 8 Desember 2018.
Hidayat, Wahyu, dkk. 2013. Identifikasi Potensi Air Tanah dengan Menggunakan Metode Geolistrik di Desa
Girijati Kecamatan Purwosari Kabupaten Gunung Kidul,Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Prosiding Seminar Nasional Kebumian VIII-2013,Yogyakarta.
Ko, R.K.T., MD.DV., 1984. Peranan Ilmu Speleologi Dalam Penyelidikan Fenomena Karstik dan Sumberdaya
Tanah dan Air – Sebuah Informasi Soal Speleologi,.Ceramah Pada Pusat Penelitian Tanah –
Bogor, Bogor.

867
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E041UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Kusumayudha, S.B. 2005. Hidrogeologi Karst dan Geometri Fraktal Daerah Gunungsewu. Yogyakarta:
Adicita Karya Nusa.
Legget, Robert F. 1962. Geology and Engineering. New York : McGraw-Hill book company, inc.
Mori, Kiyotoka, 1999, Hidrologi untuk Pengairan, PT. Pradnya Paramita, Jakarta,Penerjemah : L. Taulu,
Editor : Ir. Suyono Sosrodarsono dan Kensaku Takeda.
Raharjo, Wartono, Sukandarrumidi, dan Rosidi. (1977). Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Jawa.
Direktorat Geologi ; Bandung.
Robinson, E., and Coruh, C., 1988, Basic Exploration Geophysics. Virginia Polytechnic Institute and State
University.
Saputra,D.,dkk.2016. Studi Air Tanah Berbasis Geographics Information System (GIS)di Kota Bandar
Lampung.Jurnal Rekayasa Sipil dan Desain. Vol. 4, No. 3,hal :469 – 480.
Telford, M W. Geldart, L P. Sheriff, R E. Keys, D A. 1976. Applied Geophysics. New York: Cambridge
University Press.
Van Bemmelen, R.W. 1949. The Geology of Indonesia, Vol. 1 A, Government Printing Office, The Hauge.

868
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E041UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Jawa (Raharjo, Wartono,


Sukandarrumidi, dan Rosidi., 1977)

Gambar 2. Konsep Geolistrik

869
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E041UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Konfigurasi Dipole – Dipole

Gambar 4. Rangkaian Electrode Konfigurasi Dipole - Dipole

870
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E041UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. Korelasi Penampang 2D Resistivitas Semua Lintasan

Gambar 6. Model 3D Resistivitas Semua Lintasan

871
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 E041UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

872
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F005POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

APPLICATION OF PRINCIPLE COMPONENT ANALYSIS IN THE MAPPING


OF HYDROTHERMAL ALTERATION USING LANDSAT 8 IMAGE IN
KOKAP, KULON PROGO
Bayu Raharja 1*, Agung Setianto 2, Anastasia Dewi Titisari 3
Directorate General of Mineral and Coal, Ministry of Energy and Mineral Resources 1*
Department of Geological Engineering, Gadjah Mada University 2
Department of Geological Engineering, Gadjah Mada University 3

*Corresponding Author: bayu.raharja@mail.ugm.ac.id

ABSTRACT. The presence of gold mineralization in Kokap, Kulon Progo as a result from
hydrothermal alteration has been proven by several researchers through geochemical analysis.
Alteration mapping with optical remote sensing images in the tropical areas is very difficult, due
to atmospheric conditions, dense vegetation cover, and rapid weathering. This study aims to
assess the ability of Landsat 8 images in mapping of hydrothermal alteration in Kokap, Kulon
Progo with the Principles Component Analysis (PCA) method. Multispectral classification with
the maximum likelihood algorithm is then performed to map the alteration types based on PC
images and observation data in the field. Two alteration zones were succeeded be mapped; argillic
zone and propylitic zone. The success of hydrothermal alteration mapping is then evaluated
statistically using confusion matrix. The acceptable level of accuracy is 85% with a kappa
coefficient greater than 0.8. The results showed that the best PCA were given by a combination of
band ratio images of 5:2 and 6:7 with an accuracy of 56.4% and kappa coefficient of 0.36 which is
below acceptance standard. The combination of Landsat 8 with ALOS Palsar DEM succeeded in
increasing accuracy to 59.5% with kappa coefficient of 0.4.

Keywords: hydrothermal alteration, Landsat 8, ALOS Palsar, principle component analysis,


multispectral classification

I. INTRODUCTION
The utility of remote sensed data in geological applications such as mineral
potential and hydrothermal alteration mapping have shown a great success especially in
the arid area with low vegetation cover. The Landsat-8 satellite of the Landsat Data
Continuity Mission was launched by the National Aeronautics and Space Administration
(NASA) in April 2013 as a part of the Landsat Data Continuity Mission (LDCM). It is
consists of two sensors: OLI (Operational and Imager) with spectral range from visible
(0.43-0.88 μm) to shortwave (1.57-2.29 μm) and TIRS (Thermal Infrared Sensor) with
thermal spectral range (10.6-12.51 μm). Bedell (2001) used remotely sensed data,
especially the visible band to map vegetation and identified ironoxide minerals, also
shortwave band to identified carbonate minerals and lithological types. Yamaguchi and
Naito (2003) used the thermal band to identified silicate rocks.
Some aspects must be considered due to the use of remote sensing data for
mineral identification and hydrothermal mapping. First, sensor interference while

873
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F005POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

recording the earth surface as the effect from the atmosphere, cloud, and vegetation
cover. Second, common methods such as band ratio and principle component do not
quantitatively measure the abundant of minerals but only showed the indication or
anomalies of the minerals. Hence, validation through field survey must be carried out.
Third, every location has its own characteristic so that a method that succeed to identified
mineral in Location A probably not succeed applied in Location B. It is important to
always support the remote sensing analysis with other data such as geological and
structure map, geochemistry, and geophysics data.
Several researchers prove that there was a potential gold mineralization as a
result from hydrothermal alteration through geochemical analysis in Kokap, Kulon
Progo. (Harjanto, 2008; Nugraha, 2015; Sulthoni, 2017; Pambudi, 2017; and Pramumijoyo,
2017). This gold mineralization areas are associated with silicification, argillic, and
propylitic hydrothermal alteration zone. Every alteration zone has their own spectral
signatures and can be identified through remote sensing analysis. The aims of this paper
are: (i) to perform principle analysis to map zones of hydrothermal alteration, (ii) validate
the results based on field data; and (iii) to find which combination performs best in
mapping the distribution of alteration based on accuracy.

II. GEOLOGICAL SETTING AND MINERALIZATION


The study area (E110,0383°-110.1511° and S7,78103°-7,8671°) is located in western
part of Kulon Progo Regency, Yogyakarta Special Region with area around 80 square
kilometres. Van Bemmelen (1949) named the Kulon Progo Mountain as an oblong dome
because of it is elliptical shape morphology. This oblong dome was formed due to the
uplift event which composed by Oligo-Miocene old andesitic volcanic materials from
Gajah, Ijo, and Menoreh Volcanoes. Gajah Volcano was firstly formed in the centre of
Oblong Dome and produce andesite augite basaltic followed by Ijo Volcano in southern
part of the dome that produce andesite pyroxene basaltic and dacite intrusion. Finally,
Menoreh Volcano formed in northern part of the dome and produce andesite augite
hornblende, dacite and andesite intrusion (Suroso, et al., 1986).
According to the Regional Geological Map number 1408-2 and 1407-5 from
Geological Agency of Republic Indonesia (Figure 1), the study area is located in the
Oligo-Miocene andesite intrusion (a). This intrusion breaks through Nanggulan
Formation (Teon) and Kebobutak Formation (Tmok). In addition, some geological
structures are identified as a result from volcanism and secondary processes (Widagdo,
et al., 2016). Hydrothermal fluid that carrying mineralization is then circulated through
this geological structure. These may be faults, joints, cracks or fissures or simply
boundaries of grains. (Pramumijoyo, 2017).
Hydrothermal alteration in the study area can be grouped into three alteration
zones with different mineral assembly character (Harjanto, 2008; Sulthoni, 2017; and
Pramumijoyo, 2017). Silicification zone (highly altered) located in the centre of alteration
is typically characterized by secondary minerals of quartz, illite, and muscovite. Argillic
zone (medium altered) typically characterized by alunite, dickite, montmorillonite and
kaolinite. Propylitic alteration the outermost zone formed in the lower temperature
typically contains chlorite, smectite and epidote as the secondary altered mineral.

874
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F005POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

III. METHODOLOGY
Digital image processing
The image used in this study is the Landsat 8 image (path 120 row 65) recorded
on September 18, 2015 with a 12-bit radiometric resolution. The visible near infrared
(VNIR) and shortwave infrared (SWIR) bands were combined to form seven bands at 30-
meter spatial resolution. Thermal infrared bands (TIR) were not used in this study. This
scene was georeferenced in the UTM zone 49S coordinate system with WGS-84 ellipsoid
but has not been systematically radiometric corrected. This mean, the pixel value (digital
number) needs to be calibrated. Furthermore, the value of the digital number (DN) is
converted to the spectral radiance sensor to calibrate the sensor based on the coefficient
in it is metadata (Wicaksono and Danoedoro, 2012).
This spectral radiance value is then converted to Top of Atmospheric (TOA)
reflectance and followed by atmospheric correction using FLAASH method (Fast Line-of-
sight Atmospheric Analysis of Hypercubes). Atmospheric correction aimed to eliminate
the influence of elements and molecules in the atmosphere, so radians or reflections
values close to their original values (Surface Reflectance) (Vermote, et al., 2002). Masking
processes is then performed to crop the image only at the research study area and
eliminate other objects such as the sea and clouds since it will interfere the PC processes.
The statistical value of the Landsat 8 image after masking process can be seen in Table 1.

Remote sensing for mineral identification


The approach used to map hydrothermal alterations from satellite imagery in this
study is by identify the mineral assembly of hydrothermal alteration such as quartz,
kaolinite, epidote, illite, chlorite, montmorillonite, alunite, muscovite (sericite) and other
clay minerals. Visible and shortwave band of Landsat 8 image are considered as bands
that can distinguish the type of mineral from its spectral reflection characteristics or
spectral signature. Based on this spectral characteristic, an algorithm can be arranged to
highlight target minerals and minimize the spectral response of other objects (Figure 2).
Some algorithms that are often used are band ratio and principle component analysis
(Abram, et al., 1977, Taranik and Crosta, 1996, Carranza, 2002).
For an example, chlorite has a high spectral reflectance on Landsat 8 band 7 and a
low spectral reflectance on band 2. Kaolinite has highest spectral response if it captured
using band 6 and has lower response on band 7. Common problems that encountered in
the mineral mapping in areas with dense vegetation are distinguished the responses of
these two elements. Vegetation and minerals have good respond in the infrared
wavelengths.

Principle component analysis (PCA)


PCA is a process of transforming spectral values on images with the aim of
reducing the data redundancy. The results of PCA transformation called PC bands that
contains of bands that do not correlate one with another. PC1 will contain data with the
largest percentage variance, PC2 contains the second largest percentage variance, and so
on until the last PC will only contain noise (Murti and Wicaksono 2014; Gasmi, et al.,

875
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F005POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

2016). Input of PCA is the statistical data from an image such as mean, standard
deviation, variance, covariance, and correlation from each band. These statistics will then
be arranged into a matrix that is used to get the eigenvector and eigenvalue values to
rotate the original data (Murti and Wicaksono, 2014; Smith, 2005).
This technique has been successfully applied by researchers in various locations
to map hydrothermal alteration (Bastianelli et al., 1993; Davidson et al., 1993; Ruiz-
Armenta and ProlLedesma 1998; Souza Filho and Drury 1998; Tangestani and Moore
2002; Carranza and Hale 2002; Crosta, et al., 2003). Two different input of Landsat 8
bands will be used as PC input in this study. First, combination of three or four Landsat 8
bands which has high and low spectral respond on target mineral and vegetation (also
known as PCA or Crósta method). Second, combination of two band ratio images (also
known as direct principle component or DPC or software defoliant technique). First band
ratio image should highlight the target mineral and the second band ratio should contain
information about another object that interfering the target mineral (i.e. vegetation)
(Carranza, 2002). When there are only two bands used as input to PC processes, the
spectral contrast is mapped into the second component. By limiting the number of PC
input it is expected that the result will be easier for visual interpretation.
Band selection as PC input was based on the spectral response of Landsat 8 bands
to each target minerals (Table 2). The matrix used in PC calculations is the covariance
matrix. The results of PCs that containing targeted mineral will have a high eigenvector
loading value. If the loading of the reflective band is positive in sign, the target area is
shown by bright pixels; if the loading of the reflective band is negative, the area is shown
by dark pixels. In contrast, if the loading of the absorptive band is positive in sign, the
target area is shown by dark pixels; if the loading of the absorptive band is negative, the
area is shown by bright pixels (Crosta & Moore, 1989).

Multispectral classification
One common way to group pixels or digital number from an image with similar
characteristic is to use the Per-Pixel Analysis (PPA) technique or often called Per-Pixel
Classification. This method assumes that each object on the surface of the earth has
different spectral reflectance, so that it can be grouped based on its spectral value. This
classification can be divided into supervised and unsupervised classifications (Richards,
1999; Danoedoro, 2012). This study used the supervised classification with the maximum-
likelihood algorithm. Maximum Likelihood is one of the techniques used in estimating a
data distribution parameter and remains dominantly used in the development of new
tests (Lehmann and Casella, 1998).

Confusion matrix
The most common method to quantitatively measure multispectral classification
accuracy is the preparation of a confusion matrix (or classification error matrix).
Confusion matrix contains statistical information such as overall accuracy, kappa
analysis, and the Z-statistic that useful to find out whether a classification is successful or
unsuccessful. Kappa analysis is a discrete multivariate technique used in the accuracy

876
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F005POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

assessment to statistically determine whether one error matrix is significantly different


from other matrices (Bishop et al., 1975). The results of the Kappa analysis are KHAT
statistics (also called K or kappa estimates), which is another measure of agreement or
accuracy (Cohen, 1960). This measurement is based on the different between the actual
agreement in the error matrix (i.e., the match between remote sensing classification and
reference data test) and the chance agreement. The minimum overall acceptable level of
accuracy is 85% (Anderson et al., 1976) with kappa values greater than 0.8 which is
means having a high level of conformity. Z-statistic is used to measure the level of
significance of the classification. (Congalton and Green, 1999; Carranza, 2002).

IV. RESULT
1. Landsat 8 principle component analysis
Several combinations of PC inputs were carried out to obtain the distribution of
the secondary altered minerals such as kaolinite, alunite, montmorillonite, illite, clay
alteration and limonitic alteration. The combination of Landsat 8 band 3-6-7 was used to
identify the abundant of kaolinite and montmorillonite. Both minerals have a high
spectral response on band 3 and band 6 and have low reflectance on band 7. The PC
results show that PC1 has positive loadings for all output band. PC2 has high and
opposite eigenvector loadings for band 3 (0.84) and band 7 (-0.50). The value of this
loadings is higher compared with the value of eigenvector loadings on PC3 for band 6 (-
0.20) and band 7 (0.86). Thus, the PC2 was chosen to display the abundance of kaolinite
and montmorillonite minerals which is containing 0.64% of the total variance in the
spectral data.
Combinations of Landsat 8 band 3-5-7 are used to map alunite and illite. Both of
alunite and illite have a high spectral response in Landsat 8 band 3 and band 5 and have
a low response on band 7. The PC results show that PC1 has positive eigenvector
loadings for all band. PC2 has high and negative eigenvector loadings on band 5 (-0.79)
and negative eigenvector loading on band 7 (-0.23). PC3 has the same positive loadings
value for band 3 and band 5 (0.58) and has negative loadings for band 7 (-0.57). Alunite
and illite are explained in PC3 as bright pixels which is containing 1.34% of the total
variance in the spectral data.
To targeting clay alteration, a combination of band 2-5-6-7 used as an input to the
PC. The result shows that PC1 has positive loadings for all band representing albedo and
topographic information. PC2 representing the vegetation response has a high and
negative loading on band 5 (-0.80). PC3 has a contrast loadings value between VNIR and
SWIR band, with value -0.77 on band 7 (SWIR) and 0.51 on band 2 (VNIR). PC4 was
chosen to display the clay alteration because it has a high and opposite eigenvector
loading on band 6 (-0.54) and band 7 (0.60) in the output PC image. Clay alteration will
be displayed in bright pixel because of the high positive eigenvector loadings value from
band 7. PC4 contains less than 1% of the total variance in the spectral data.
Limonitic alteration is mapped using a combination of bands 2-4-5-6 that sensitive
to map ferric ion elements. The best PC results are given by PC3 with the contrast
loadings value between band 2 (0.48) and band 4 (-0.78). The negative loadings value

877
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F005POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

from band 4 indicates that the abundance of limonitic alteration will be mapped as dark
pixel. To display limonitic alteration in bright pixel, PC3 must be negated. PC3 contains
0.96% of the total variance in the spectral data.
The selected PC results with loadings in bold indicates the target minerals (Table
3). PC images show that the abundance of kaolinite and montmorillonite (Figure 3-A),
alunite and illite(Figure 3-B), clay alteration (Figure 3-C), and limonitic alteration (Figure
3-D) are associated with sparse vegetation in NDVI images (Figure 3-E). On the other
hand, the known hydrothermal alteration zones that carrying mineralization (polygon
with magenta lines in Figure 3-F) is in the densely vegetation area in which PC images
failed to map this.

2. Landsat 8 directed principle component


Quartz is mapped using band ratio images 4:3 (sensitive to vegetation) and band
7:2 (to map quart). DPC analysis with band ratio images 3:4 and 6:2 is used to mapped
alunite based on the spectral characteristic of alunite (high reflectance in band 6 and low
reflectance in band 2). Illite has a high spectral response on band 7 and low spectral
response on band 2. The combination of ratio images 5:3 and 7: 2 is then chosen to map
the abundance of illite. Chlorite is best mapped with band ratio image 6:2 because they
have a high spectral response on band 6 and a low spectral response on band 2. To
separate vegetation from chlorite, combination of band ratio image 5:3 are selected. Thus,
chlorite is mapped with band ratio image of 6:2 and 5:3. Epidote is mapped using a
combination of band ratio 5:2 (good for vegetation identification) and band ratio image
6:7 (best to map epidote).
The results show that all DPC calculation have strong similarity based on
loadings value (both negative value) in DPC1 so that vegetation and target minerals
cannot be differentiated. DPC2 has opposite loadings value sign (positive and negative)
thus map zones containing target minerals. All target minerals in DPC2 will be displayed
as bright pixels. The DPC2 component for each alteration minerals were account less than
3% of total variance in the spectral data. Target minerals in the selected DPC are
characterized by eigenvector loadings in bold (Table 4) and mapped as bright pixels in
the DPC images (Figure 4 a-e). DPC image shows that the abundance of altered minerals
is associated with sparse vegetation in NDVI images (Figure 4 f). DPC seems to be failed
to map the known alteration zones since it is not overlapping with the abundance of
altered minerals (bright pixels).
According to PC results (Figure 3 and Figure 4), most of dense vegetation are
mapped as dark pixels in the PC images. This is probably because vegetation density
interfered spectral responses of target mineral, hence only digital number from
vegetation is processed by PC. Or, it is also possible that the presence of target minerals
are not in large abundance. Spatial resolution used in this study is 30 meters. This means,
if mineral present insufficient abundant, PC cannot map it. Since PC failed to map
hydrothermal alteration in the study area, other approach with multispectral
classification need to be done.

878
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F005POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

3. Multispectral classification
PC images generated from Landsat 8 band is then classified into hydrothermal
alteration zones by maximum likelihood classification based on the observation data.
This observation data (Figure 5 A) divided into two sets of pixels used for supervised
classification: (a) training pixels (classification sample) and (b) testing pixels (reference
sample). The selected observation sites obtained from each set were collected and
subjected to X-ray diffraction (XRD) analysis (Figure 5 B) and observations of thin
sections under a microscope (Figure 5 C). Some minerals such as quartz, kaolinite, illite,
muscovite, and montmorillonite was present (Table 5). Alteration zones are identified as
silicification, argillic, and propylitic based on the mineral assemblies. Although three
types of alteration zones have been identified, only two alteration zones can be mapped
in this study because of Landsat 8 spatial resolution limitation. These units are,
respectively, the argillic and propylitic zones. Silicification were exclude from the
computation, since silicification zone typically has small abundant and not captured by
Landsat 8 image. Training and testing pixels also contain information for water body and
unaltered area.
The maximum likelihood classification is performed to map the hydrothermal
alteration zone based on PC images and sample data. Highest DPC result showed by the
combination of Landsat 8 image ratios of 5:2 and 6:7 with overall accuracy of 56.64%,
kappa coefficient of 0.36 and Z-statistic value of 17.93 (Figure 6A). Z-statistic value is
exceeding the critical value at 99% confidence level, implies that this classification is
better than random classification. Carranza (2002) studied that application of DEM can
improve the multispectral classification result. ALOS Palsar DEM is then used together
with PC images to improve the accuracy of hydrothermal alteration classification. DEM
value which lay from 32 m to 622 m were stretched to 0 – 1 scale, similar with another
images range. This combination succeeded increasing the overall accuracy to 59.5% with
kappa coefficient of 0.4 and Z-statistic value of 20.35. Notice that the argillic zones is
decrease followed by the increasing of unaltered zones (Figure 6B). The best Landsat 8
band combination for multispectral classification is marked in bold text in Table 6.
Comparison hydrothermal alteration zone mapping between multispectral
classification and the known hydrothermal alteration zones (mapped as red polygon in
Figure 6) is presented in Figure 6C. This known alteration zones are mapped by
Pramumijoyo (2017) with field observation and followed by geochemistry analysis in the
area of 9 square kilometres. Basically, it is a comparison between geochemistry analysis
versus remote sensed method. Known alteration zones was delineated into eleven
hydrothermal alteration zone boundaries that consist of seven propylitic zones and four
argillic zones (Figure 6C). The result showed that multispectral classification tends to
succeed to map hydrothermal alteration in zones of Propylitic 1, Propylitic 3, Propylitic 4,
Propylitic 5, Argillic 1 and Argillic 4 and tend to be failed in zones of Propylitic 2,
Propylitic 6, Propylitic 7, Argillic 2 and Argillic 3. Overall accuracy from this extent is
about 50%, close to the overall accuracy for whole study area.

879
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F005POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

V. DISCUSSION
In general, hydrothermal alteration mapping in this study is unsuccessful due to
the value of overall accuracy and kappa coefficient that below acceptance standard. This
poor and unacceptable classification results occurred because of the misclassification
between argillic and propylitic zones. It is caused by some aspects, i.e. densely vegetation
and spatial and spectral resolution of Landsat 8 image. More than two decades
researchers agreed that mapping hydrothermal alteration zone in the densely vegetation
using optical remote sensed data is indeed difficult since the vegetation digital number
interfered minerals digital number. However, the DPC (or software defoliant technique)
is proven more succeed in the mineral detection mapping, compared to the PCA (or
Crósta method) in this study area.
Another factor that become very critical aspect is the spatial and spectral
resolution of Landsat 8 data. Landsat 8 has 30 meters spatial resolution which is
categorized as medium resolution satellite data. This means, in one-pixel Landsat 8 data
which is similar to 30 x 30 meters area, probably contain many objects on earth surface. It
is caused the digital number in one pixel of Landsat 8 image is not a purely digital
number of one object entirely but contain digital number of different materials. So,
basically the multispectral classification with Landsat 8 image only succeed if the
mapping target is in widely abundant, more than 30 x 30 meters. From spectral resolution
point of view, Landsat 8 only have two SWIR bands which lay from 1.57 to 1.65 μm and
from 2.11 to 2.29 μm. This spectral resolution availability make Landsat 8 have limitation
in the mineral and other geological objects mapping. As mentioned in the previous
Chapter, the best band combination to map mineral, lithology, and other geological
aspects is in the SWIR region. If SWIR band is available in many band ranges (for
instance six bands in ASTER images), then many combinations of PC images can be
created that may helpful in mineral detection and mapping.
However, despite the multispectral classification result is unacceptable, this study
provides information about detail hydrothermal alteration mapping accuracy that can be
achieved using Landsat 8 image and ALOS Palsar DEM. In the future this method needs
to be improved to increase the accuracy. It is true that remote sensing at high spatial and
spectral resolution is essential. But the method that can highlight minerals in the densely
vegetation is more important. From the exploration point of view, the utilization of
Landsat 8 images in the mapping of hydrothermal alteration is very worthwhile since it
is low cost processing and promising result.

VI. CONCLUSIONS
In this work, the potentials of principal component analysis (PCA) have been
studied for hydrothermal alteration mapping using Landsat 8 images, especially the
VNIR and SWIR bands. In the first place, image pre-processing including systematic
radiometric correction and masking have been applied on seven Landsat 8 bands. In the
second place, PCA is conducted to map the hydrothermal alteration with two different
band combination as input (also called PC and DPC). The analysis of PC images showed
that the densely vegetation cover in study area obstructed the sensor penetration to the
soil (or ground). It affects the unsuccessful result of mineral and hydrothermal alteration

880
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F005POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

mapping. In the third place, field observation and geochemistry analysis are conducted
to map the known hydrothermal alteration zones. This data will be used as training and
test sample in multispectral classification processes. Finally, the multispectral
classification was conducted to determine the hydrothermal alteration zones using PC
images and training and test data sample. The best overall accuracy is given by
combination of Landsat 8 images ratio of 5:2 and 6:7 with an accuracy of 56.64%, kappa
coefficient of 0.36 and Z-statistic of 17.93. Combination of ALOS Palsar DEM with PC
image increase the overall accuracy to 59.5% with kappa coefficient of 0.4 and Z-statistic
of 20.35.

ACKNOWLEDGMENTS
The author(s) would like to thank the Department of Geological Engineering,
Gadjah Mada University for their partly research funding, granted to the second author
and fellow academic colleagues for material assistance and guidance that provided for
the completion of this work.

REFERENCES
Abrams, M.J., Ashley, R.P., Rowan, L.C., Goetz, A.F.H. and Kahle, A.B., 1977. Mapping of
hydrothermal alteration in the Cuprite mining district, Nevada, using aircraft scanner images for
spectral region 0.46-2.36 mm. Geology, vol. 5, pp. 713-718.

Anderson, J.R., Hardy, E.E., Roach, J.T. and Witner, R.E., 1976. A land use and land cover
classification system for use with remote sensor data. USGS Professional Paper 964.

Bastianelli, L., Bela, G. D., and Tarsi, L., 1993, Alteration mapping: a case study in mid-south Bolivia.
Proceedings of the 9th Thematic Conference on Geologic Remote Sensing, Pasadena, CA (Ann
Arbor, MI: Environmental Research Institute of Michigan), pp. 1133–1144.

Bedell, R.L., 2001. Geological mapping with ASTER satellite: new global satellite data that is a significant
leap in remote sensing geologic and alteration mapping, Special Publication, vol. 33. Geo. Soc.
of Nevada, pp. 329–334.

Bishop, M.M., Feinberg, S.E. and Holland, P.W., 1975. Discrete Multivariate Analysis:Theory and
Practice. MIT Press, Cambridge, Massachusetts, 587 pp.

Carranza, E.J.M., 2002. Geologically- constrained Mineral Potential Mapping, PhD Thesis, Delft
University of Technology, The Netherlands, 480p

Carranza, E.J.M. and Hale, M., 2002. Mineral imaging with Landsat Thematic Mapper data for
hydrothermal alteration mapping in heavily vegetated terrane, International Journal of Remote
Sensing, 23, 4827-4852.

Cohen, J., 1960. A coefficient of agreement for nominal scales. Education and Psychological Measurement,
vol. 20, pp. 37-45.

Congalton, R.G. and Green, K., 1999. Assessing the Accuracy of Remotely Sensed Data: Principles and
Practices. Lewis Publishers, Boca Raton, FL, 137 pp.

881
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F005POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Crosta, A.P., Souza Filho, C.R., Azevedo, F. and Brodie, C., 2003. Targeting key alteration minerals in
epithermal deposits in Patagonia, Argentina, Using ASTER imagery and principal component
analysis, International Journal of Remote sensing, 24, PP. 4233-4240.

Danoedoro, P., 2012. Pengantar Penginderaan Jauh Digital, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Davidson, D., Bruce, B., dan Jones, D., 1993. Operational remote sensing mineral exploration in a semi-
arid environment: the Troodos Massif, Cyprus. Proceedings of the 9th Thematic Conference
on Remote Sensing for Exploration Geology, Pasadena, CA (Ann Arbor, MI:
Environmental Research Institute of Michigan), pp. 845–859.

Fraser, S.J. and Green, A.A., 1987. A software defoliant for geological analysis of band ratios,
International Journal of Remote Sensing, vol. 8, no. 3, pp. 525-532.

Gasmi, A., Gomez, C., Zouari, H., Masse, A., Ducrot, D., 2016. PCA and SVM as geocomputational
methods for geological mapping in the southern of Tunisia, using ASTER remote sensing data
set. Arabian Journal of Geoscience, vol 9:753

Harjanto, A., 2008. Magmatisme dan mineralisasi di daerah Kulon Progo dan sekitarnya Jawa Tengah.
Disertasi Doktor. Institut Teknologi Bandung. Bandung (unpublished).

Lehmann, E.L. and G. Casella, 1998. Theory of Point Estimation, 2nd Edition, New York: Springer.

Livo, K. E., Clarck, R. N. and Knepper, D. H., 1993. Spectral plot program for accessing the USGS
digital spectral library database with MS–DOS personal computers. USGS Open–file. Denver,
Colorado, Report No.93, 593p.

Murti SH, Wicaksono P. 2014. Analisis saluran spektral yang paling berpengaruh dalam identifikasi
kesehatan terumbu karang: studi kasus pulau Menjangan Besar dan Menjangan Kecil Kepulauan
Karimunjawa. Majalah Ilmiah Globe. 16 (2) : 117-224.

Nugraha, O. R., 2015. Geologi dan alterasi hidrotermal di daerah Sangon dan Plampang, Kecamatan
Kokap, Kabupaten Kulonprogo, DIY. Skripsi. Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta (unpublished).

Pambudi, D., 2017. Geologi dan mineralisasi logam daerah Sangon, Kokap, Kulon Progo, Yogyakarta,
Skripsi., Universitas Diponegoro., Semarang (unpublished).

Pramumijoyo, P., 2017. Geologi, geokimia, dan karakteristik fluida hidrotermal pada endapan epithermal
sulfidasi rendah di daerah Sangon, Kokap, DIY. Tesis. Teknik Geologi, Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta (unpublished).

Rahardjo, W., Sukandarrumidi, dan Rosidi, H.M.D., 1995. Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Jawa,
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.

Richards, J.A., 1999. Remote Sensing Digital Image Analysis, An Introduction, 3rd Ed.,. Springer-
Verlag, Berlin, 363 pp.

882
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F005POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Ruiz-Armenta, J. R., and Prol-Ledesma, R. M., 1998. Techniques for enhancing the spectral response of
hydrothermal alteration minerals in Thematic Mapper images of Central Mexico. International
Journal of Remote Sensing, 19, 1981–2000.

Smith, R.B., 2005. Outline of Principle Component Analysis, Site: http://www.yale.edu/ceo/


Documentation/PCA_Outline.pdf. Diakses pada 20 Agustus 2018.

Souza Filho, C. R., and Drury, S. A., 1998. Evaluation of JERS-1 (FUYO-1) OPS and Landsat TM
images for mapping of gneissic rocks in arid areas. International Journal of Remote Sensing,
19, 3569–3594.

Sulthoni, J.N., 2017. Geologi dan kontrol struktur terhadap mineralisasi epithermal berdasarkan analisis
tensor dan geokimia di Gunung Ijo dan sekitarnya, Pegunungan Kulonprogo, DIY. Skripsi.
Teknik Geologi, Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto (unpublished).

Suroso, Rodhi, A., dan Sutanto, 1986, Usulan Penyesuaian Tata Nama Litostratigrafi Kulon Progo,
Daerah Istimewa Yogyakarta, Proceeding of The 15th Annual Convention of The
Indonesian Association of Geologists, Vol. 1, 10p.

Tangestani, M. H., and Moore, F., 2002. Porphyry copper alteration mapping at the Meiduk area, Iran.
International Journal of Remote Sensing, 23, 4815–4826.

Taranik, J.V. and Crósta, A.P., 1996. Remote sensing for geological and mineral resources, an assessment
of tools for geoscientists in the future. International Archives of Photogrammetry and
Remote Sensing, vol. 31, B7, pp. 689-698.

Van Bemmelen, R.W., 1949. The Geology of Indonesia, The Hagu, Belanda.
Vermote, E.F., El Saleous, N.Z., Justice, C.O., 2002. Atmospheric Correction of MODIS data in Visible
to Middle infrared: First Result, Remote Sensing of Environment, Vol. 83 (97 – 111).

Wicaksono, P. dan Danoedoro, P., 2012. Multitemporal Vegetation Cover Mapping using ALOS
AVNIR-2: The Important of Atmospheric Effect Normalization on Multitemporal Analysis.
Report and Proceedings of ALOS Application and Verification Project in Indonesia.
Jakarta: JAXA dan LAPAN.

Yamaguchi, Y., Naito, C., 2003. Spectral indices for lithologic discrimination and mapping by using the
ASTER SWIR bands. International Journal of Remote Sensing 24 (22), 4311–4323

883
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F005POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Table 1. Landsat 8 band 1 - 7 statistic aster masking (digital number is in reflectance).


Band Min Max Mean Stdev
Band 1 0.0 0.559 0.027 0.036
Band 2 0.0 0.593 0.029 0.037
Band 3 0.0 0.650 0.042 0.045
Band 4 0.0 0.693 0.038 0.045
Band 5 0.0 0.810 0.163 0.139
Band 6 0.0 0.782 0.109 0.099
Band 7 0.0 0.628 0.058 0.059

Table 2. Landsat 8 bands combination for PC (modified from Crósta, et al., 2003).
Target PC combination DPC combination
Alunite 3-5-7 3/4; 6/2
Illite 3-5-7 5/3; 7/2
Kaolinite + montmorillonite 3-6-7 5/4; 6/7
Epidote - 5/2; 6/7
Chlorite - 5/3; 6/2
Quartz - 3/4; 7/2
Limonitic alteration zone 2-4-5-6 4/2; 5/4
Clay alteration zone 2-5-6-7 5/4; 6/7

884
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F005POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Table 3. Eigenvector loadings for Landsat 8 PCA combination.


PC 1 PC 2 PC 3 PC 4 Alteration minerals
Band 3 0.29 0.84 0.46 -
Band 6 0.95 -0.22 -0.20 - Kaolinite + montmorillonite
Band 7 0.06 -0.50 0.86 -
Eigen values (%) 98.90 0.64 0.46 -
Band 3 0.59 0.57 0.58 -
Band 5 0.19 -0.79 0.58 - Alunite + Illite
Band 7 0.79 0.23 -0.57 -
Eigen values (%) 93.76 4.90 1.34 -
Band 2 0.50 0.48 0.51 0.51
Band 5 0.52 -0.80 -0.03 0.29
Clay alteration
Band 6 0.70 0.27 -0.38 -0.54
Band 7 -0.04 0.23 -0.77 0.60
Eigen values (%) 93.38 4.89 1.66 0.07
Band 2 0.50 0.51 0.48 0.51
Band 4 0.47 0.39 -0.78 -0.11
Limonitic alteration
Band 5 0.56 -0.17 0.36 -0.72
Band 6 0.46 -0.75 -0.16 0.45
Eigen values (%) 93.31 5.50 0.96 0.24

885
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F005POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Table 4. Eigenvector loadings for Landsat 8 DPC combination.


DPC1 DPC2 Alteration minerals
Band 3 : Band 4 -0.42 -0.91
Band 7 : Band 2 -0.91 0.42 Quartz
Eigen values (%) 97.02 2.98
Band 3 : Band 4 -0.23 -0.97
Band 6 : Band 2 -0.97 0.23 Alunite
Eigen values (%) 99.15 0.85
Band 5 : Band 3 -0.90 -0.44
Band 7 : Band 2 -0.44 0.90 Illite
Eigen values (%) 97.67 2.33
Band 5 : Band 3 -0.70 -0.71
Band 6 : Band 2 -0.71 0.70 Chlorite
Eigen values (%) 98.36 1.64
Band 5 : Band 2 -0.98 -0.21
Band 6 : Band 7 -0.21 0.98 Epidote
Eigen values (%) 99.10 0.90

Table 5. Rock samples representing altered minerals.


Sample Number Analysis Altered minerals Alteration zone
Quartz Silicification
008; 011; 015 XRD Illite
Muscovite Argillic
Montmorillonite
020; 039 XRD Kaolinite
006; 012; 021; 025 Thin Section Chlorite Propylitic

886
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F005POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Table 6. Accuracy assessment of Landsat 8 multispectral classification.


Before ALOS Palsar DEM After ALOS Palsar DEM
Band combination
Overall accuracy Kappa Z Overall accuracy Kappa Z

PCA 3-5-7 51.57% 0.28 13.86 54.37% 0.32 16.11


PCA 3-6-7 51.41% 0.28 13.83 55.09% 0.33 16.68
PCA 2-5-6-7 54.55% 0.32 16.39 57.58% 0.37 18.70
PCA 2-4-5-6 52.61% 0.29 14.88 57.34% 0.37 18.49
DPC b3/b4-b7/b2 54.63% 0.33 16.50 57.10% 0.36 18.53
DPC b3/b4-b6/b2 53.26% 0.31 15.42 54.85% 0.33 16.86
DPC b5/b3-b7/b2 56.15% 0.35 17.73 58.94% 0.39 19.92
DPC b5/b3-b6/b2 54.87% 0.33 16.62 58.22% 0.38 19.35
DPC b5/b2-b6/b7 56.64% 0.36 17.93 59.50% 0.40 20.35
DPC b5/b4-b6/b7 53.10% 0.30 15.33 53.97% 0.32 16.11
DPC b4/b2-b5/b4 55.67% 0.34 17.21 58.62% 0.39 19.72

887
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F005POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 1. Geological map of Kokap and surrounding modified from Regional Geological Map created
by Geological Agency of Republic Indonesia (A). Index map of Yogyakarta Special Region. Study area
marked with polygon in light green color (B). Landsat 8 false color composite image (RGB: bands 4-3-
2) (C)

888
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F005POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 2. Laboratory reflectance spectra of some important alteration minerals (Livo, et al., 1993)

889
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F005POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 3. PCA images show abundance of kaolinite and montmorillonite (A), alunite and illite (B), clay
alteration (C) limonitic alteration (D) and NDVI (E). Abundant minerals with confidence treshold 95%
are displayed as different color and draped over Landsat 8 band 5 (F). Pixel brightness in mineral
images (A-D) indicates relative abundance of mineral considered. Pixel bright in NDVI images (E)
indicates densely vegetation. Polygon in magenta lines (F) are known alteration zone mapped by
Pramumijoyo (2017). The abundant of alteration minerals located outside of known alteration zones.

890
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F005POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 4. Abundant mineral images for quartz (a), alunite (b), epidote (c), illite (d), and chlorite (e)
produced using DPC of Landsat 8 bands. Pixel brightness in mineral images (a-e) indicates relative
abundance of mineral considered. Pixel bright in NDVI images (f) indicates densely vegetation.
Polygon in yellow lines are known alteration zone mapped by Pramumijoyo (2017).

891
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F005POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 5. Distribution of training pixels and testing pixels in study area. Yellow dot represents location
of XRD stations while brown diamond symbol represents thin section samples (A). Some alteration
minerals detected from sample 039 by XRD analysis which is contain quartz, kaolinite, and
montmorillonite. This location is experienced argillic alteration (B). Thin section analysis from sample
012 showed an altered rock. It is originally an igneous rock with porphyritic texture. Alteration
minerals consist of carbonate/Cb (40%), secondary quartz/Qz (10%), clay minerals/Cm (15%),
chlorite/Chl (30%) and opaque minerals/Opx (5%) and indicated as propylitic alteration (C).

892
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F005POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 6. Hydrothermal alteration classification map from ratio images of 5:2 and 6:7 before
combination with ALOS Palsar DEM (A) and after combination with ALOS Palsar DEM (B). DEM
was succeed decreasing the argillic zones and increasing unaltered zones proven by the increasing
value of overall accuracy and KHAT statistic which is have higher agreement. Comparison of
classified hydrothermal alteration zone derived from Landsat 8 image and field observation (done
by Pramumijoyo, 2017) showed poor agreement for both argillic and propylitic zones (C). Some
traditional mining also drawn in map to provide more information related to gold mineralization,
respectively.

893
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

INTEGRASI METODE PEMETAAN GEOLOGI PERMUKAAN DAN DATA


GEOMAGNETIK PADA STUDI ANALISA ZONA ALTERASI DAN
STRUKTUR PENGONTROL MINERALISASI ENDAPAN EMAS PRIMER TIPE
SULFIDA RENDAH DI DAERAH PLAMPANG,KALIREJO, KOKAP,
KABUPATEN KULONPROGO, YOGYAKARTA.

Fajar Sulistyo 1*, Angger Imas Assidhiqie 2, Aji Darma Maulana 3

Geophysics Engineering, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta SWK (104)


North Ring Road Street Condong Catur 55283, Yogyakarta, Indonesia
*corresponding author: fajar.tobbong@gmail.com, ajiedarma16@gmil.com

SARI. Potensi endapan mineralisasi bijih primer emas (Au) di daerah Plampang dan sekitarnya,
Kabupaten Kulonprogo merupakan hasil aktifitas magmatisme pada daerah post-vulkanik
Kulonprogo kala Oligosen-Misoen. Beberapa titik pengamatan di permukaan menunjukan adanya
alterasi dan potensi mineralisasi tipe endapan epitermal. Studi geofisika metode geomagnetik
bermaksud untuk mendeliniasi zona prospek mineralisasi bijih primer Au serta menyelidiki pola
persebaran dan model endapan pada daerah penelitian dengan mengacu pada data geologi
permukaan yang ada. Pengukuran metode geomagnetik dilakukan dengan 8 lintasan sepanjang
1,7 km, memotong arah umum struktur pengontrol mineralisasi, dengan jarak antar titik 50 m dan
jarak antar lintasan 143 m. Analisa terhadap peta Tilt-Derivative memperlihatkan daerah telitian
berkembang tiga arah umum struktur yaitu berorientasi tenggara-baratlaut, barat-timur dan
baratdaya-timurlaut. Sementara dari data geologi permukaan, pola mineralisasi di daerah
penelitian cenderung mengikuti 2 pola struktur utama yang berkembang yaitu sesar geser
mengiri regional Kali Plampang (timurlaut-baratdaya) dan sesar yang memotongnya (tenggara-
baratlaut), dengan persebaran urat termineralisasi kuat diperkirakan mengikuti pola struktur
regional Sesar Kali Plampang dengan arah umum berkisar N 51°E - N 76°E (timurlaut-baratdaya)
yang ditandai dengan kehadiran mineralmineral asosiasi emas (kalkopirit, kovelit, sphalerit,
Galena) yang melimpah. Sementara dari hasil anomali reduce to pole didapatkan bahwa semakin
ke utara relatif mendekati zona inti dari sistem epitermal yang ada dengan ditandai nilai anomali
kemagnetan rendah (130 – (500)nT) relatif dominan sebagai respon dari frekuensi kehadiran jenis
ubahan kuat yang lebih intensif. Hal tersebut dibuktikan dengan ditemukannya singkapan
alterasi silisik bertekstur masif-vuggy, serta hadirnya mineral barit di sekitar LP 6 sebagai penciri
pembentukan suhu tinggi. Dengan demikian diduga kuat potensi kandungan logam berharga
emas di daerah utara lebih tinggi seiring dengan meluasnya persebaran jenis alterasi kuat dengan
ditandai hadirnya zona demagnetisasi (mengikuti zona inti cebakan mineralisasi) dibandingkan
pada daerah selatan.
Kata kunci: epitermal sulfida rendah, emas, tilt-derivative, struktur, demagnetisasi

I. PENDAHULUAN
Potensi keberadaan mineralisasi bijih di daerah Kulonprogo sudah banyak
diketahui oleh masyarakat umum karena terdapaatnya eksistensi pertambangan yang
dilakukan oleh masyarakat lokal, terutama di Pedukuhan Plampang dan sekitarnya,

894
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Kelurahan Kalirejo, Kecamatan Kokap, Kulonprogo. Menurut beberapa penelitian yang


sudah dilakukan, daerah telitian termasuk dalam zona endapan epithermal sulfidasi
rendah (Ansori & Hastria, 2013 dan Harjanto, 2008). Dari segi keilmuan geofisika masih
sangat minim penelitian yang dilakukan untuk membuktikan keberadaan zona potensi
mineralisasi pada daerah telitian, sehingga peneliti bermaksud untuk melakukan survei
metode geofisika geomagnetik untuk identifikasi geologi bawah permukaan yang di
kombinasikan terhadap pemetaan geologi permukaan dengan tujuan agar didapatkan
kecocokan data yang saling bersesuaian sehingga dapat diketahui pola persebaran
endapan mineralisasi primer di daerah penelitian serta untuk mendeliniasi daerah
potensi cebakan mineralisasi pada lokasi telitian untuk kebutuhan mendatang.

Metode geomagnetik digunakan dalam penelitian ini dikarenakan instrumentasi


serta pengoperasiannya yang relatif sederhana dan mudah, biaya operasionalnya murah,
serta memiliki mobilitas yang tinggi. Selain itu metode ini sangat cocok digunakan untuk
pengukuran target dengan latar belakang batuan beku, khususnya dalam eksplorasi
mineral bijih. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan metode 2 alat base-rover.
Dalam pengaplikasiannya terhadap target pengukuran, metode magnetik akan merespon
variasi perbedaan nilai kemagnetan batuan yang memberikan gambaran tentang kondisi
bawah permukaan daerah telitian. Mengingat persebaran endapan mineralisasi emas
primer yang cenderung dikontrol oleh struktur sesar maupun kekar serta alterasi, maka
pola mineralisasi akan relatif mengikuti pola anomali kemagnetan lemah dari struktur
geologi dan alterasi yang berkembang. Selain itu di beberapa tipe endapan mineralisasi
hidrotermal memiliki kandungan mineral ferromagnetik yang tinggi seperti magnetite
dan pyrrotite sehingga akan menghasilkan respon anomali yang berbeda pula,
umumnya memiliki pola anomali kemagnetan yang lebih tinggi. Dari 2 kunci respon
diatas yang didukung dengan data geologi permukaan, maka diharapkan akan
dihasilkan model genetik zona endapan mineralisasi bijih yang interpretatif dan relevan.

II. GEOLOGI DAERAH PENELITIAN


2.1. Tektonik dan Struktur Regional Daerah Kulonprogo
Daerah pegunungan Kulonprogo digolongkan oleh Van Bemmelen (1949) ke
dalam deretan Pegunungan Serayu Selatan bagian paling timur yang berbatasan dengan
Pegunungan Selatan dengan batasnya yaitu dataran Yogyakarta. Pegunungan
Kulonprogo memiliki kondisi yang sangat unik yaitu memanjang dengan arah relatif
baratdaya-timurlaut dimana hal tersebut sangat berbeda dengan arah umum dari
Pegunungan Serayu Selatan yang memanjang barattimur (Gambar 1).
Kejadian dari Pegunungan Kulonprogo pada dasarnya tidak lepas dari hasil
fenomena tektonisme konvergen antara Lempeng Samudera Hindia-Australia dengan
Lempeng Benua Eurasia yang memicu timbulnya busur magmatik di Pulau Jawa.
Menurut Budiadi dkk. (2013), bentuk dari Pegunungan Kulonprogo yang menyimpang
895
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

ini dikarenakan oleh pengaruh dari Pola Meratus yang berarah baratdaya-timurlaut. Hal
tersebut dibuktikan dengan banyaknya kelurusan - kelurusan struktur yang saling
berpotongan yang menandakan bahwa daerah Pegunungan Kulonprogo telah
mengalami beberapa kali reaktifasi struktur (Ansori dan Hastria, 2013). Pegunungan
Kulonprogo sendiri berada pada zona peralihan antara jalur paleosubduksi pada zaman
Kapur yang berarah baratdaya-timurlaut (Pola Meratus) dan jalur subduksi Tersier –
Kuarter yang berarah barat-timur atau disebut Pola Jawa (Harjanto, 2008).

2.2. Vulkano-Stratigrafi Daerah Kulonprogo


Menurut Raharjo, dkk., (1995), daerah Kulonprogo terbagi menjadi 6 urutan
satuan formasi batuan dari tua hingga ke muda yaitu : Satuan Formasi Nanggulan,
Formasi Kebobutak (OAF), Formasi Jonggrangan, Formasi Sentolo, Endapan Gunung
Merapi (End. Kuarter/ Formasi Yogyakarta) dan endapan aluvial.
Harjanto (2008) membagi satuan Formasi Andesit Tua menjadi beberapa
subvulkanostratigrafi yaitu terdiri dari : tiga buah Khuluk utama yaitu Khuluk Ijo yang
merupakan Khuluk tertua di Lokasi telitian, Khuluk Jonggrangan dan Khuluk dari
aktivitas vulkanisme terahir yaitu Khuluk Sigabug, dan dua buah Gumuk gunungapi
yaitu Gumuk Kukusan dan Gumuk Pencu yang kemudian diikuti oleh trobosan Intrusi
Mikrodiorit Telu dan Intrusi Dasit Curug (Gambar 2). Menurut Harjanto (2011)
mineralisasi di daerah Kulonprogo umumnya dikontrol oleh pola ekstensional dari
tektonisme Oligosen Akhir – Miosen Awal. Sistem cebakan mineralisasi di daerah sekitar
Gunung Agung dikategorikan sebagai endapan epitermal sulfidasi rendah oleh Ansori
dan Hastria (2013) yang dikarenakan oleh munculnya asosiasi urat hidrotermal yang
umumnya cenderung berstruktur banded yang merupakan salah satu ciri dari
pembentukan suhu rendah. Pembentukan urat silika-kuarsa yang diikuti oleh
mineralisasi logam mulia (Au) pada daerah sekitar Gunung Agung rata-rata memiliki
arah Timurlaut – Baratdaya dengan kisaran arah antara N 360E – N 780E (Harjanto, 2008).

III. LANDASAN TEORI


3.1 Alterasi Hidrothermal

Larutan hidrotermal adalah cairan bertemperatur tinggi (100° – 500° C) sisa


pendinginan magma yang mampu dan membentuk mineral-mineral tertentu serta
membawa mineralmineral berharga di dalamnya. Secara umum cairan sisa kristalisasi
magma tersebut bersifat silika yang kaya alumina, alkali dan alkali tanah, mengandung
air dan unsur-unsur volatil (Bateman, 1981). Larutan hidrotermal terbentuk pada fase
akhir dari siklus pembekuan magma dan umumnya terakumulasi pada litologi dengan
permeabilitas tinggi atau pada zona lemah (rekahan). Interaksi antara fluida hidrotermal
dengan batuan yang dilaluinya (hostrock) akan menyebabkan terubahnya mineral
primer menjadi mineral sekunder (alteration minerals). Alterasi hidrotermal merupakan
proses yang kompleks karena melibatkan perubahan mineralogi, kimiawi dan tekstur

896
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

yang kesemuanya adalah hasil dari interaksi fluida hidrotermal dengan batuan yang
dilaluinya. Perubahan-perubahan tersebut tergantung pada beberapa faktor penting
yaitu : karakteristik dari batuan samping, sifat fluida (Eh dan pH), kondisi tekanan dan
temperatur pada saat reaksi berlangsung (Guilbert dan Park, 1986), konsentrasi dan lama
aktivitas hidrotermal (Browne, 1991). Pada kesetimbangan tertentu, proses hidrotermal
akan menghasilkan kumpulan mineral penciri khusus yang dikenal sebagai himpunan
mineral (mineral assemblage). Secara umum himpunan mineral tertentu akan
mencerminkan tipe alterasi hidrotermal yang terjadi pada sistem tersebut

3.2. Mineralisasi

Pengertian mineralisasi secara umum yaitu merupakan pembentukan dan


terakumulasi/terendapkannya mineral - mineral bijih dan mineral ekonomis yang berasal
dari proses metasomatisme, pegmatitik, pneumatolitik dan juga proses naiknya fluida
magmatik hidrotermal (Agus Harjanto, 2008). Mineralisasi hidrotermal adalah
merupakan endapan mineral logam berharga dan logam dasar yang dibawa oleh fluida
sisa magmatik yang kaya akan air dan gas dan mengisi zona rekahan pada batuan serta
memiliki karakteristik dan cirikhas tertentu. Keterdapatan suatu tubuh mineralisasi
sangat dipengaruhi oleh kejadian genetiknya yang meliputi tatanan tektonik, kondisi
keasaman dan salinitas fluida pembawanya serta tempat diendapkannya mineral logam
tersebut. Sedangkan Sumber dari mineral tersebut berasal dari unsur-unsur dalam kerak
bumi yang ikut terbawa oleh magma atau dapat juga terbentuk karena adanya proses
reaksi kimia selama diferensiasi magma berlangsung (Fyfe dkk., 1978). Menurut Bateman
dan Jansen (1980), dalam mineralisasi oleh kegiatan magmatisme ada hal-hal pokok yang
sangat mempengaruhi hasil mineralisasi yang diantaranya yaitu proses diferensiasi
magma yang beriringan dengan proses pelarutan kimiawi, proses hidrothermal yang
berlangsung dan adanya celah batuan sebagai jalan bagi larutan hidrotermal (porositas
batuan), adanya tempat bagi pengendapan mineral dan terjadinya reaksi kimia yang
dapat menyebabkan terjadinya pengendapan mineral. Larutan sisa magma akan
bergerak ke permukaan melalui celah ataupun pori batuan, bersamaan dengan proses
tersebut terjadi interaksi dengan batuan samping diikuti persebaran allterasi dan
pembekuan yang menghasilkan kristalisasi mineral-mineral logam.

3.3. Tipe Deposit Epitermal

Deposit Epitermal Deposit tipe ini merupakan deposit dangkal yang merupakan
hasil stadia paling akhir dari fase hidrothermal. Tipe endapan ini merupakan tipe
endapan lanjutan dari deposit porfiri yang tebentuk pada suhu < 300 0C serta telah
mengalami reaksi dengan air meteorik dan terjadi pada lingkungan pasca vulkanik kalk-
alkali ataupun pada batuan dasar sedimen (Corbett dan Leach, 1996). Kontaminasi air
meteorik terhadap fluida magmatik akan mengakibatkan keasaman (kandungan pH)
larutan hidrotemal menurun yang ditandai dengan semakin banyaknya kandungan

897
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

sulfur. Menurut White dan Hedenquist (1995), tipe deposit ini dibagi menjadi dua
berdasarkan pada tingkat keasaman fluida hidrothermal, yaitu epithermal sulfidasi
tinggi dengan pH tinggi yang dicirikan kandungan mineral logam pada urat lebih tinggi
dibanding kandungan sulfur dan ephithermal sulfidasi rendah dengan pH mendekati
netral yang berciri kandungan mineral logam cenderung sangat sedikit dibanding
kandungan sulfur.

3.4. Metode Geomagnetik

Metode Geomagnetik adalah metode geofisika yang bersifat pasif, yang


mengukur nilai sifat kemagnetan batuan dibawah permukaan bumi. Pada prinsipnya
sifat kemagnetan yang ada pada suatu benda memiliki dua karakteristik kemagnetan
yang khas yaitu benda tersebut memiliki sifat kemagnetan secara intrinsik (kemagnetan
yang dimiliki oleh suatu benda secara inheren) atau kemagnetan remanen yang dalam
kasus ini biasanya dimiliki oleh benda ferromagnetik serta kemagnetan yang timbul
pada suatu benda karena adanya induksi medan magnet lain seperti bumi (Dentith &
Mudge, 2014). . Bumi diasumsikan sebagai magnet raksasa dengan batuan yang diukur
berdekatan dengan medan magnet raksasa tersebut. Dari asumsi tersebut diketahui
bahwa Bumi bersifat dipole (kutub Utara dan Selatan magnetik) yang mempunyai
medan magnet yang tidak konstan, yang berarti besar medan magnet dapat berubah
setiap waktu. (Joko Santoso, 2012).

3.5. Gaya Magnetik

Teori pada kemagnetan dikenal dua jenis muatan, yaitu muatan positif dan
muatan negatif.

Kedua muatan ini memenuhi Hukum Coulomb.

Keterangan :

F = gaya Coulomb dalam Newton


m1 dan m2 = kuat kutub magnet dalam ampere magnet (positif &
negatif)
r = jarak kedua kutub (meter)
μ = permeabilitas magnetik (4π x 10^-7)
K = Konstanta (K = 1/4πμ0)
Menjelaskan bahwa Gaya Magnetik timbul dikarenakan adanya dua buah kutub
magnet yang terpisah dengan jarak r. Dimana besar dari gaya magnetik tersebut

898
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

sebanding dengan kuat kedua kutub dan berbanding terbaik dengan kuadrat jarak dari
kedua kutup magnet.

3.6. Kuat Medan Magnet (H)

Kemudian dari gaya magnet Hukum Coloumb dapat diketahui kuat medan
magnet (H). Kuat medan magnet adalah besarnya medan magnet pada suatu titik dalam
ruang yang timbul sebagai akibat dari sebuah kutub magnet (m) yang berada sejauh
jarak (r) dari titik tersebut. Dengan medan magnet itu sendiri adalah daerah di sekitar
magnet yang masih dapat di pengaruhi gaya magnet. Didefinisikan gaya persatuan
kutub magnet (Telford, 1990), dapat ditulis sebagai berikut :

3.7. Induksi Magnet (B) dan Intensitas Magnet (M)

Induksi Magnet merupakan suatu gaya yang menyebabkan benda mengalami


magnetisasi (penyearahan moment magnet) oleh medan magnet (H). Secara fisis induksi
magnet didefinisikan dengan persamaan sebagai berikut:

Keterangan :
B = Induksi Magnet
μ = Permeabilitas Magnet
μo = 4π x 10^-7
Intensitas kemagnetan (M) pada dasarnya dibagi menjadi dua yaitu intensitas
kemagnetan terinduksi dan intensitas remanensi kemagnetan atau kemagnetan
permanen (Hinze et al., 2012). Intensitas kemagnetan terinduksi merupakan kuat medan
magnet pada suatu bahan atau batuan yang muncul akibat proses magnetisasi karena
terinduksi oleh medan magnet bumi (H) terhadap batuan yang berada dalam medan
magnet bumi, sedangkan intensitas remanensi kemagnetan merupakan kemagnetan
yang dimiliki oleh suatu benda secara intrinsik pada saat batuan tersebut terbentuk
(Dentith & Mudge, 2014). Secara fisis intensitas kemagnetan didefinisikan dengan
persamaan sebagai berikut:

899
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Keterangan :

M = Intensitas Magnet
(A/m) k = Suceptibilitas

m= Momen Magnet (Am2)

Dalam vektor magnetik bumi dikenal tiga komponen vektor utama yang
dihasilkan oleh suatu peristiwa yang dikenal sebagai geodinamo magnetic, yaitu proses
terbentuknya medan magnet yang disimbolkan dengan “H”, proses magnetisasi yang
menghasilkan Intensitas Magnet suatu benda atau batuan yang disimbolkan dengan “M”
serta gabungan dari keduanya yang dinamakan sebagai proses Induksi Magnetik atau
medan magnet total dimana Induksi Magnetik ini dilakukan oleh medan magnet bumi
beserta batuan yang telah memiliki Intensitas Magnet. Persamaan dapat dituliskan
sebagai berikut :

Keterangan :

B = Induksi Magnet
H= Kuat Medan Magnet
μ = Permeabilitas Magnet
k = Suceptibilitas
μo = 4π x 10^-7
M = Intensitas Magnet
Persamaan (8) merupakan persamaan induksi gabungan yang akan terbaca saat
pengukuran metode magnetik dilakukan menggunakan Magnetometer.

3.8. Filter Reduce Pole

Lokasi pengukuran yang terpengaruh oleh sudut inklinasi dan deklinasi atau
sering disebut juga dengan efek dipole (dua kutub). Dimana efek dipole ini
menyebabkan pola anomaly kemagnetan tidak berada pada posisi yang sebenarnya atau
bergeser sesuai dengan sudut inklinasi dan deklinasi suatu daerah. Disarankan untuk
menggunakan jenis filter ini karena untuk menarik respon dipole dari peta TMI agar
berbentuk simetris dan berada pada posisi sebenarnya (sesuai kondisi lapangan)
(Gambar 3 ). Penarikan respon gelombang tersebut dimaksudkan untuk menyesuaikan
letak dari benda yang diukur sehingga berada tepat dibawah anomali kemagnatan serta
agar mempermudah dalam pengidentifikasiannya. Dengan diterapkannya filter RTP
900
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

maka efek dari sudut inklinasi dan deklinasi pada suatu pengukuran akan dihilangkan.
Gambar dibawah merupakan sketsa penerapan filter RTP pada peta anomaly magnetic
TMI (Gambar 4).

3.9. Continuation Filter (Filter Kontinuasi)


Filter kontinuasi termasuk kedalam jenis wavelenght filters. Filter ini memiliki
kegunaan yang sama dengan spectral filtering, hanya saja pada filter kontinuasi
mengasumsikan jarak ketinggian pandang dari atas. Semakin jarak memandang kita
kebawah maka akan semakin detail pula komponen suatu benda akan terlihat. Hal
tersebut diproyeksikan pada penglihatan peta anomali magnetik, semakin jarak pandang
ke bawah maka yang akan terlihat adalah anomali magnetik daengan frekuensi tinggi
(anomali residual) sehingga dinamakan filter downward-continuation. Filter downward-
continuation dan high-pass memiliki kegunaan yang sama yaitu meredam data dengan
frekuensi rendah (gelombang regional dari anomali dalam). Sedangkan upward-
continuation merupakan kebalikan dari downward-continuation. Filter upward-
continuation memiliki fungsi meninggikan jarak pandang kita pada suatu peta anomali
magnetik sehingga bentuk anomali regional maknetik akan tampak lebih mendominasi.
Seperti halnya filter low-pass, filter upward-continuation juga memiliki kegunaan yang sama
yaitu meminimalisir frekuensi gelombang tinggi/anomali residual (Gambar 5).

3.10. Filter Tilt Derivative

Filter tilt derivative digunakan untuk mempertegas batas anomali kemagnetan


yang dimana pada kasus ini sangat berguna untuk melakukan identifikasi struktur-
struktur yang berkembang didaerah penelitian, khususnya jenis struktur dangkal. Pada
filter ini akan membatasi frekuensi anomali residual yang masuk dengan menerapkan
fungsi tangensial. Dengan kata lain filter ini memasukan 2 keseimbangan efek
pemfilteran yaitu vertikal derivatif dan total horizontal derivatif. Whitehead &
Musselman (2007), menganjurkan penggunaan filter Tilt-Derivatives untuk pemetaan
struktur dangkal dan identifikasi target eksplorasi mineral bijih epitermal (Gambar 6).

3.11. Permodelan 2,5 D

Pembuatan model 2,5 D merujuk pada Talwani (1962) dimana pada


pembuatannya harus memenuhi :

a. Variasi Kedalaman Material/Batuan dari Permukaan


b. Variasi Strike (Kemenerusan Material/Batuan)
c. Variasi Lebar dan Luasan Horizontal Material/Batuan
901
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

d. Variasi Panjang Vertikal Material/Batuan


e. Kemiringan Material/Batuan (Dip/Slanted)
Serta harus bersesuaian dengan beberapa asumsi dasar yaitu :

a. Kurva magnetik menggambarkan bentuk fisis bawah permukaan secara 2 dimensi.


b. Metode ini menggambarkan bentuk fisis anomali secara general/regional, bentukan
fluktuatif anomali akibat dari kontras suseptibilitas bukan efek dari topografi.
c. Bentuk panjang vertikal akan menghasilkan kurva kemagnetan lebih tingi dibanding
pengaruh dari kedalamannya (burrial effect).
d. Magnetisasi dianggap seragam.
e. Remanen magnetisme yang ada/dimiliki oleh suatu benda diabaikan.

3.12. Pemetaan Geologi

Dilakukan beberapa tahapan yaitu :

1. Melakukan pemetaan litologi dan penentuan stratigrafi.


2. Melakukan pemetaan struktur geologi.
3. Melakukan pemetaan alterasi dan mineralisasi.
Sebagai dasar acuan dalam kegiatan penilitian digunakan tabel penciri daerah
endapan epitermal, mengingat sistem cebakan di daerah telitian bertipe epitermal
sulfidasi rendah. Sebagai pendekatan, peneliti menggunakan acuan Tabel 1 dan Gambar
7 dalam kegiatan pemetaan geologi lapangan.

IV. METODE PENELITIAN


Secara geografis letak lokasi tetitian dan tugas akhir adalah antara 110003‟28” -
110004‟20” BT dan 7049‟12”- 7050‟06” LS, sedangkan secara administratif berada di
Pedukuhan Plampang dan sekitarnya, Kelurahan Kalirejo, Kecamatan Kokap, Kabupaten
Kulonprogo, Provinsi DIY. Lokasi penelitian berada di kawasan lereng Gunung Agung
yang masih termasuk zona Khuluk Ijo (post-vulkanik Gunung Ijo) daerah pegunungan
Kulonprogo. Daerah telitian (Kulonprogo) memiliki besar sudut inklinasi -32.290 dan
deklinasi 0.870. Untuk mencakup daerah penelitian dengan luasan 1,2 x 1,7 km2
bertargetkan zona prospek mineralisasi, di gunakan 8 lintasan magnetik dengan jarak
antar lintasan 143 meter dan jarak spasi antar titiknya 50 meter. Kegiatan awal dilakukan
studi literatur terhadap segala macam refrensi penunjang untuk penelitian yang akan
dilakukan baik dalam segi geofisika, geologi muoun studi literasi medan daerah telitian
yang berguna sebagai acuan dalam penyelesaian penelitian, dilanjutkan dengan kegiatan
akuisisi data magnetik dan data geologi permukaan. Kegiatan pengambilan data
dilakukan secara 2 tahap yaitu pengambilan data geologi lapangan seperti struktur
geologi, zona ubahan hidrotermal serta pengambilan data mineralisasi disekitar lokasi
penelitian. Kemudian dilanjutkan pengambilan data metode geofisika yaitu ground
magnetic. Pada pengambilan data geofisika ini dilakukan proses quality control dengan

902
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

cara dalam setiap titik pengukuran dilakukan tiga hingga lima kali pengukuran dengan
jarak waktu pengukuran pertama dengan pengukuran berikutnya kurang lebih 30 detik
hingga satu menit. Hal tersebut dimaksudnya untuk menambah jumlah data
pengambilan data agar dapat dilakukan sortasi (Gambar 8).

Proses pengolahan data magnetik meliputi sortasi kestabilan data pengukuran


dari beberapa data yang telah diambil pada satu titik pengukuran, penghilangan efek
variasi harian (variasi diurnal dan variasi medan magnet eksternal lainnya) dan
penghilangan efek pengaruh medan manet bumi (IGRF). Penghilangan efek IGRF dapat
merupakan kegiatan optional apabila lingkup pengukurannya relatif kecil dan dilakukan
dalam satu kali periode pengukuran. Setelah koreksi atau penghilangan efek
kemagnetan yang tidak dibutuhkan selesai setelah itu dilakukan pembuatan peta
anomaly kemagnetan (peta HA) serta kemudian dilakukan pereduksian ke kutub (RTP)
kepada peta anomali hasil olahan (peta HA). Kemudian pada tahapan pengolahan juga
dilakukan pemfilteran Upward Continuation dan Tilt Derivatif. Tahapan ini merupakan
tahapan yang bersifat optional. Dilakukan berdasarkan target dan tujuan yang sesuai
dnegan fungsi filter tersebut (Gambar 9).

Proses selanjutnya adalah pengkorelasian antara hasil data geologi permukaan


dengan peta anomali geomagnetik hasil olahan untuk menganalisa kesesuaian respon data
geofisika terhadap anomali geologi yang dianggap penting. Setelah itu dilakukan
pembuatan model sayatan bawah permukaan terhadap peta anomali magnetik. Model
geofisika bawah permukaan dibuat dalam bentuk sayatan vertikal. Permodelan geofisika
bawah permukaan dilakukan dengan tujuan untuk analisa anomali bawah permukaan
pada lokasi penelitian, baik analisa kedalaman maupun bentuk dan dimensi anomali
kemagnetan bawah permukaan. Pembuatan model geofisika bawah permukaan dilakukan
dengan menggunakan bantuan software, sementara nilai estimasi kedalaman didapatkan
dengan rumus fft (first fourier transform) dengan menggunakan software mathlab. Model
geofisika bawah permukaan dibuat dengan acuan data geologi permukaan yang logis.
Meski demikian, data acuan hanya akan berfungsi apabila kondisi data geologi
permukaan menunjukkan respon yang kompeten terhadap data olahan hasil pengukuran
metode geomagnetik.
Tahap terakhir yaitu kegiatan Pembahasan dan interpretasi data serta pembuatan
kesimpulan untuk didapatkan beberapa point khusus dari hasil penelitian yang
dilakukan.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN


5.1. Pemetaan Geologi Permukaan
5.1.1. Stratigrafi Daerah Penelitian
Berdasarkan atas hasil pengamatan geologi lapangan yang telah dilakukan pada
paling sedikitnya 13 LP (lokasi pengamatan), stratigrafi daerah telitian berada tepat pada
903
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

satuan batuan andesitik (Rahardjo dkk, 1995) dan secara vulkanostratigrafi termasuk
kedalam zona Khuluk Gunung Ijo (Harjanto, 2008) yang memiliki komposisi utama lava
dan breksi piroklastik serta intrusi andesit. Hal tersebut bersesuaian dengan
ditemukannya singkapan-singkapan jenis lava andesitik yang cukup dominan di sekitar
lokasi penelitian. Singkapan lava andesit ditemukan hampir pada setiap lokasi
pengamatan. Singkapan lava andesit dapat dicirikan dengan kondisi batuan yang
didominasi oleh susunan mineral mikro (halus) dan cenderung bertekstur afanitik. Selain
itu, struktur sheeting joint yang dimiliki oleh batuan tersebut merupakan sebagai penciri
khusus dari lava. Singkapan breksi vulkanik dengan fragmen andesitik juga ditemukan
dibeberapa lokasi pengamatan yaitu LP 4 dan 13 yang dianulir masih termasuk dalam
anggota dari Khuluk Ijo. Dikatakan anggota khuluk ijo karena merupakan hasil produk
dari aktivitas vulkanik gunung api purba Ijo (Harjanto, 2008). antara N 36 0E – N 780E
(Harjanto, 2008) (Gambar 10).

5.1.2. Struktur Geologi Daerah Penelitian


Berdasarkan atas data lapangan yang didapatkan pada daerah penelitian
berkembang struktur geologi berupa sesar besar Sungai Plampang yang memiliki arah
orientasi relatif baratdaya-timurlaut (kedudukan N 32°E/ 69° - N 36°E/ 75°), dengan
dugaan sesar komplemennya adalah sesar berarah utara-selatan (kedudukan N
185°E/63°) (Gambar 11). Hal tersebut dibuktikan dengan kemenerusan struktur yang
sangat jelas terlihat disepanjang Sungai Plampang pada LP 1, LP 2 dan LP 13, serta pola
struktur yang dengan jelas memotong morfologi daerah telitian. Dua sesar besar
plampang ini dipotong oleh sesar yang yang kemungkinan mengalami reaktifasi
(Harjanto, 2008) berarah relatif tenggara-baratlaut dengan kedudukan N 138°E/77°.
Pemotongan sesar besar Kali Plampang ditunjukan dengan pola pembelokan morfologi
sungai yang tidak wajar disekitar LP 5. Kekar-kekar yang terisi mineral bijih seperti pirit,
kalkopirit, galena, dan sfalerit memiliki arah kedudukan yang relatif hampir sama
dengan sesar besar plampang, sehingga dari data tersebut dapat diinterpretasikan bahwa
pola mineralisasi di daerah penelitian cenderung dikontrol oleh sesar regional Kali
Plampang.

5.1.3. Alterasi dan Mineralisasi Daerah Penelitian


Fenomena alterasi dan mineralisasi pada daerah penelitian merupakan hasil dari
pengisian rekahan ataupun kekar oleh fluida hidrotermal yang naik melalui jalur sesar
utama pengontrolnya. Alterasi dan pola mineralisasi pada daerah penelitian cenderung
mengikuti 2 pola struktur utama yang berkembang di daerah tersebut yaitu sesar geser
mengiri regional Kali Plampang (timurlaut-baratdaya) dan sesar yang memotongnya
(tenggara-baratlaut). Hal tersebut ditunjukkan dengan pola dari kekar-kekar terisi urat
kuarsa yang termineralisasi dengan orientasi arah relatif hampir sama seperti pola
struktur yang ada, kemudian selanjutnya diikuti oleh pola persebaran alterasi
hidrotermalnya. Berdasarkan dari analisa dengan menggunakan diagram rose (Gambar
904
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

12), pola distribusi urat termineralisasi memiliki 2 arah umum yaitu trend baratdaya-
timurlaut (pola Sesar Kali Plampang) dengan kisaran kedudukan N 51°E - N 76°E dan
trend tenggara-baratlaut dengan kisaran kedudukan antara N 113°E - N 137°E. Dari
analisis kedua arah umum tersebut, urat termineralisasi dengan arah relatif baratdaya-
timurlaut cederung memiliki kandungan mineralisasi yang lebih banyak dan lebih
beragam seperti pirit, kalkopirit, galena, bornit dan kovelit dimana mineral-mineral
tersebut merupakan mineral-mineral bijih yang umumnya berasosiasi dengan emas
(White & Hedenquist, 1985) sehingga dapat digolongkan sebagai arah umum urat
termineralisasi baik/kuat (Harjanto, 2008). Sedangkan untuk arah urat termineralisasi
tenggara-baratlaut memiliki kadungan variasi mineral yang lebih sedikit (didominasi
pirit). Hal tersebut mendukung hasil penelitian terdahulu oleh Ansori dan Hastria (2013)
yang menyatakan bahwa arah mineralisasi logam mulia (Au) disekitar Gunung Agung
(Plampang I) berkisar N 212°E – N 230°E (Gambar 12).

Sementara dalam kasus persebaran alterasi, hasil pengamatan lapangan


menunjukkan sistem urat yang berasosiasi dengan tipe alterasi filik dicirikan oleh
mineral kuarsa dan pirit (Harjanto, 2008). Disekitar LP 6 yang terletak dibagian utara-
tengah lokasi penelitian ditemukan singkapan jenis alterasi silisik yang cukup luas
(sekitar 6 x 10 m2) dengan komposisi mineral kuarsa berstruktur silika masif –vuggy
yang kemudian diikuti dengan perkembangan jenis alterasi argilik disekitarnya
(Lampiran Gambar 5.9 & Lampiran Gambar 5.11), serta ditemukan beberapa singkapan
kekar yang terisi urat kuarsa yang berasosiasi dengan mineral pirit dan barit (Lampiran
Gambar 5.10). Selain itu silisifikasi dalam jumlah sedikit juga ditemukan disekitar LP 13
yang mengisi rekahan bidang struktur Sesar Besar Kali Plampang (Lampiran Gambar 4).
Untuk jenis alterasi argilik cenderung berisi himpunan mineral lempung dan berada
pada bagian luar dari alterasi filik dan urat kuarsa dengan ciri warna putih cerah ke abu-
abuan dan memiliki arah kemenerusan yang sama dengan pola struktur yang terisi urat.
Sedangkan alterasi propilitik yang berisi mineral ubahan klorit dan epidot dengan ciri
batuan memiliki warna kehijauan merupakan alterasi terluar. Alterasi propilitik dan
argilik merupakan jenis alterasi yang paling dominan ditemukan di daerah penelitian.
Hasil analisa persebaran alterasi secara keseluruhan umumnya relatif mengikuti arah
pola persebaran urat hidrotermal, sesuai dengan permodelan distribusi zona alterasi oleh
Lowell & Guilbert (1970).

5.2. Metode Geomagnetik

5.2.1. Analisa Struktur dari Filter Tilt Derivative Anomali Magnetik


Hasil perbandingan antara data struktur geologi hasil pengukuran lapangan, data
struktur geologi hasil rekonstruksi dari peta anomali Tilt-Derivatif relatif menunjukan
kecocokan. Selain itu dari peta anomali Tilt-Derivatif dapat terekam struktur geologi
yang tidak tersingkap di permukaan dan tidak mampu diambah oleh pemetaan struktur
permukaan. Sehingga penggunaan filter Tilt-Derivatif dapat dikatakan sangat membantu
905
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

dalam hal identifikasi struktur geologi, baik struktur regional maupun struktur dangkal
terutama dalam kegiatan eksplorasi endapan mineral bijih (Gambar 13).

5.2.2. Analisis Persebaran Mineralisasi Di Daerah Penelitian Melalui Hasil Rekaman


Anomali Magnetik
Berdasarkan hasil analisa pada peta tilt derivatif dengan pendeliniasiannya
dilakukan pada strukur yang memiliki arah yang sama dengan arah umum urat
temineralisasi (baratdayatimurlaut), didapatkan 8 dugaan daerah zona pengendapan
mineral bijih Au (oval kuning putus-putus). Dari 8 daerah tersebut, ada 3 zona yang
dimungkinkan memiliki kandungan mineral Au yaitu daerah 1, 7 dan 8 (oval merah
putus-putus), yang dibuktikan dengan data tersingkap/permukaan dengan penciri
terdapatnya kandungan mineral-mineral asosiasi emas seperti pirit, kalkopirit, galena,
bornit dan kovelit (White dan Hedequist, 1995). Sedangkan daerah lainnya masih belum
terbukti/tersingkap karena keterbatasan waktu dalam melakukan penelitian.

Respon dari peta anomali magnetik terhadap pola persebaran alterasi dapat
terlihat relatif mengikuti pola mineralisasi hidrotermal dan pola struktur yang
berkembang. P ola anomali kemagnetan rendah yang melebar di sekeliling struktur
geologi menandakan bahwa pada daerah tersebut mengalami alterasi yang lebih intens
dibanding daerah lainnya. sedangkan semakin tinggi anomali kemagnetan disekitar
struktur geologi maka dimungkinkan bahwa batuan pada daerah tersebut terubahkan
secara lemah atau tidak terubah sama sekali (Gambar 14).

Sementara dari segi anomali kemagnetan regional yang terekam pada peta
kontinyuasi ke atas dari peta RTP, daerah utara lokasi penelitian cenderung didominasi
oleh pola anomali rendah yang kemungkinan besar disebabkan oleh pengaruh dari
frekuensi perkembangan struktur yang tinggi serta disebabkan oleh proses ubahan
hidrotermal (alterasi) terhadap batuan samping yang lebih intens mengingat sifat
kemagnetan suatu batuan akan berkurang atau hilang apabila dipanaskan. Pada peta
RTP dan kontinyasi ke atas (upward-continuation) dapat diketahui pola anomali
kemagnetan rendah berkisar (-500) – 130 nT yang relatif konsentris ke arah timurlaut
yang diduga kuat daerah tersebut semakin mendekati sistem inti dari tipe endapan
epitermal sulfida rendah yang ada. Dugaan tersebut diperkuat dengan data pendukung
permukaan pada LP 6 yaitu ditemukannya singkapan alterasi silisik yang relatif cukup
luas dengan tekstur masif – vuggy, serta hadirnya mineral barit sebagai penciri
pembentukan suhu tinggi yang tumbuh pada rekahan-rekahan diksekitar LP 6 (White &
Hedequist, 1995). Untuk tiga pola kemagnetan tinggi (berkisar 520 – 900 nT) yang relatif
mebulat pada bagian utara diperkirakan merupakan respon dari intrusi dangkal yang
hadir relatif bersamaan dengan naiknya larutan sisa magma (Harjanto 2008). Analisa
lebih lanjutnya dilakukan pembuatan 4 buah sayatan C, D, E dan F terhadap peta
anomali RTP untuk memperjelas bentuk geometri geofisika bawah permukaan dari
daerah penelitian. Sayatan C dibuat melintang utara-selatan untuk mengetahui gradasi

906
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

persebaran zona alterasi ke arah utara sementara sayatan D, E dan F dibuat melintang
barat-timur untuk memperdetail kondisi bawah permukaan daerah telitian dari sayatan
C (Gambar 15).

5.3. Permodelan Geofisika Bawah Permukaan


Perkiraan persebaran zona alterasi pada model sayatan mengacu pada bentuk
model sistem endapan epitermal sulfida dari Buchanan (1981) dan Hedenquist (2000)
dimana fluida sisa magma akan naik melewati zona permeabel dan diikuti tipe ubahan
filik dan argilitik, sementara zona terluar yang relatif impermeabel disusun oleh tipe
ubahan propilitik. Berdasarkan atas data yang didapat dilapangan serta dari didukung
kesimpulan peneliti terdahulu, daerah telitian cenderung didominasi oleh pola
persebaran mineralisasi pada kotak merah putus-putus dari model Buchanan (1981) dan
Hedenquist (2000), dengan distribusi ubahan filik, argilik, propilitik dan mineral-mineral
penciri barit, galena, pirit, kalkopirit, sfalerit dan mineral kalsit yang umumnya dalam
bentuk urat berasosiasi dengan kuarsa pada zona alterasi propilitik serta hadirnya
bentuk endapan mineral logam emas dalam bentuk elektrum (Harjanto, 2008). Pada zona
tipe ubahan argilik dan filik akan dihasilkan respon anomali kemagnetan yang rendah
karena efek panas dari proses alterasi yang sangat intens (Currie Remanent Magnetisme)
serta asosiasi mineral sulfida yang cenderung bersifat paramagnetik (suseptibilitas positif
sangat rendah). Daerah ini juga disebut sebagai zona demagnetisasi (Mudge & Dentith,
2014). Pada tipe alterasi propilitik dengan komposisi himpunan mineral klorit-epidot
dengan respon kemagnetan lebih tinggi karena umumnya sifat asli dari batuan samping
masih bertahan (terubahkan lemah). Sementara perkiraan dalam penarikan kemiringan
struktur pada penampang sayatan dilakukan berdasarkan atas data kedudukan struktur
permukaan dan perkiraan pola persebaran struktur terhadap struktur besar plampang
yang dimana rata-rata kemiringan struktur mengarah timurlauttimur (Gambr 16).
Penentuan nilai parameter suseptibilitas kemagnetan batuan mengacu pada tabel
suseptibilitas mineral dan batuan Telford dkk., (1990), serta gradasi persebaran nilai
suseptibilitas magnetik dari tipe-tipe alterasi pada batuan vulkanik andesit oleh Mudge
& Dentith (2014). Golongan terubahkan kuat (highly altered) disusun oleh mineral
lempungan (tipe argilik) yang berasosiasi dengan urat-urat kuarsa dengan kandungan
mineral hydroxide/sulfida (tipe filik), golongan terubahkan menengah (altered)
berkomposisi oleh himpunan grup mineral klorit (propilitik intens), golongan
terubahkan lemah (intermidiate altered) berisi himpunan grup mineral epidot (propilitik
terluar) dan golongan tidak terubahkan (unaltered) berisi mineral-mineral dari batuan
samping yang belum terubahkan atau masih memiliki sifat asli (Mudge & Dentith, 2014).
Karena keterbatasan data acuan, nilai parameter suseptibilitas zona alterasi di daerah
penelitian (satuan andesitik) dilakukan pendekatan pada persebaran nilai suseptibilitas
magnetik dari tipe-tipe alterasi pada batuan vulkanik andesitik oleh Mudge & Dentith
(2014).
Berdasarkan atas pendekatan yang mengacu pada referensi terkait (Tabel 2 dan
Tabel 3) didapatkan beberapa parameter nilai suseptibilitas batuan/zona ubahan yang
907
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

ada pada daerah penelitian dengan unit satuan SI, yaitu : zona alterasi filik yang
cenderung jenuh silika = (0,006), zona alterasi propilitik = (0,075), zona tak terubahkan
(volkanik andesitik) = (0,1), zona alterasi argilik = (0,0125) dan intrusi andesitik = (0,16).
Sementara penampang hasil sayatan peta anomali RTP didapat total kedalaman regional
±950 meter dibawah permukaan berdasarkan atas hasil analisa FFT menggunakan
software mathlab.
Bentuk model sayatan dibuat menggunakan metode curva matching dengan trial
error masing-masingnya yaitu, model C = (56,093), model D = (64,873), model E = (38,895)
dan model F = (52,465). Dari analisa penampang sayatan 2,5 D yang dicocokan dengan
bentuk model endapan epitermal sulfida rendah Buchanan (1981) dan Hedenquist (2000)
menunjukkan hasil yang lebih menguat, dimana pada bawah permukaan daerah
penelitian diperkirakan memiliki pola persebaran alterasi yang cukup relevan. Pada
Sayatan C-C’ menunjukkan pola persebaran alterasi di daerah utara cenderung
didominasi oleh tipe ubahan filik dan argilik yang mengindikasikan bahwa bagian utara
lokasi penelitian relatif permeabel akibat kontrol stuktur yang kompleks. Tipe ubahan
filik dan argilik didaerah telitian merupakan penciri khusus ubahan kuat sehingga akan
menghasilkan nilai kemagnetan relatif lebih rendah, dimana pada penampang sayatan
memiliki kisaran antara (-500) – 200 nT. Hadirnya pola zona demagnetisasi pada daerah
tersebut dapat diartikan bahwa semakin ke utara kemungkinan besar akan semakin
mendekati daerah inti dari sistem epitermal sufidasi yang ada. Sementara apabila
merujuk pada referensi model terkait, semakin mendekati daerah inti sistem epitermal
maka kadar dari endapan logam emas akan semakin meningkat (Gambar 17).
Dari hasil sayatan D-D’ ditemukan beberapa pola anomali tinggi dengan kisaran
500 – 900 nT pada daerah utara penelitian (Gambar 18). Pola anomali tinggi tersebut
diduga respon dari intrusi-intrusi dangkal yang juga tidak menutup kemungkinan
berperan sebagai batuan induk dari mineralisasi yang hadir, mengingat potensi cebakan
mineralisasi logam didaerah telitian merupakan hasil dari aktivitas multiple intrusion
(Harjanto, 2008). Sedangkan pada daerah selatan cenderung didominasi oleh pola
anomali kemagnetan sedang – tinggi (250 – 600 nT) dimana hal tersebut merupakan
cerminan dari daerah yang terubahkan lemah seperti yang ditunjukkan oleh penampang
sayatan C-C’, E-E’ dan F-F’(Gambar 19). Tipe ubahan lemah (propilitik) pada sayatan E
dan F tampak dijumpai lebih dominan sementara jenis ubahan kuat (filik-argilik) terlihat
lebih sedikit yang menandakan bahwa pada daerah tersebut semakin menjauh dari zona
distribusi larutan hidrothermal hasil pembekuan magma yang juga membawa
mineralisasi Au di dalamnya (Gambar 20). Sementara pada ujung barat sayatan F
diketahui memiliki nilai kemagnetan yang cukup tinggi (±1000 nT) yang diperkirakan
sebagai respon dari batuan samping yang tidak terubahkan. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa pada daerah selatan dimungkinkan relatif bernilai ekonomis rendah
dibanding daerah utara. Rujukan terhadap hasil analisa kadar emas daerah sekitar
telitian oleh Harjanto (2008) turut mendukung, dimana daerah Plampang memiliki kadar
emas (Au) paling tinggi dibanding daerah Sangon (selatan lokasi penelitian) dan Bagelen
(barat lokasi penelitian). Untuk lebih memperjelas dugaan pola persebaran alterasi dan

908
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

struktur bawah permukaan didaerah penelitian, dilakukan penyatuan model sayatan


dalam bentuk korelasi sayatan. Model korelasi sayatan dibuat sesuai dengan keadaan
topografi yang ada pada daerah penelitian.
Pada gambar korelasi penampang syatan (Gambar 18) dapat diperjelas bahwa
pola persebaran zona alterasi didaerah telitian semakin ke selatan berangsur melemah
dengan dicirikan oleh dominasi jenis alterasi tipe propilitik. Disisi lain, untuk distribusi
dari tipe ubahan (alterasi) filik dan argililik relatif mengikuti pola struktur yang
berkembang di daerah penelitian. Hasil pergerakan struktur geologi di daerah telitian
akan diikuti oleh pembentukan anak-anak sesar serta kekar dan rekahan sehingga
menyebabkan permeabilitas batuan samping meningkat. Larutan sisa magma yang
membawa mineral-mineral logam dari dalam perut bumi akan cenderung melewati
zona-zona lemah yang ada, sedangkan batuan samping (host-rock) yang dilaluinya akan
terubahkan dalam berbagai macam kondisi tergantung radiusnya terhadap penyaluran
fluida magmatik. Sementara pengisian urat kaya mineralisasi cenderung mengikuti arah
struktur Sungai Plampang (baratdaya-timurlaut) sehingga dapat dimungkinkan bahwa
distribusi urat termineralisasi Au akan berangsur melimpah semakin ke arah utara-
timurlaut mengikuti perkembangan Sesar Sungai Plampang.
Mineral-mineral logam berharga emas (Au) di daerah penelitian umumnya hadir
pada jenis ubahan filik dalam bentuk elktrum (terkandung dalam mineral lain) yang
berasosiasi dengan pengisian urat kuarsa terhadap kekar dan rekahan (Harjanto, 2008),
sehingga dapat dikatakan bahwa pola struktur baratdaya-timurlaut pada daerah utara-
timurlaut lokasi penelitian memiliki potensi endapan emas yang lebih ekonomis ditandai
dengan dugaan frekuensi kenampakan jenis ubahan filik yang relatif berlimpah
dibanding pada daerah selatan. Sementara melihat pada bentuk sayatan “H - I” dari hasil
penelitian Harjanto (2008) yang mengarah relatif timurlaut-baratdaya, daerah telitian
merupakan bagian sistem hidrothermal dari pusat erupsi gunung ijo (±5 km ke arah
timurlaut dari lokasi penelitian) yang diperkirakan memiliki tipe endapan jenis sulfidasi
tinggi didalamnya (Gambar 21).
Apabila dikaitkan dengan pola persebaran nilai kemagnetan yang terekam serta
dari bentuk kenampakan penampang sayatan magnetik, maka diduga kuat pada daerah
utara merupakan daerah yang relatif mendekati dari zona inti sistem cebakan
hidrotermal yang ada, sehingga dengan semakin mendekati zona inti sistem cebakan
yang ada maka kadar logam berharga emas akan berangsur meningkat. Hal tersebut
dicerminkan oleh nilai kemagnetan yang semakin melemah dan cenderung konsentris ke
arah utara-timurlaut. Dugaan tersebut juga diperkuat ditemukannya singkapan alterasi
silisik bertekstur vuggy, serta hadirnya mineral barit di sekitar LP 6 sebagai penciri
pembentukan suhu tinggi yang berada di daerah utara kavling penelitian. Namun
demikian hasil akhir dari penelitian ini masih bersifat dugaan sementara dan belum
mutlak mengingat metode yang digunakan adalah metode geomagnetik, dimana metode
ini bersifat pasif yang sifatnya relatif regional. Selain itu juga karena waktu, biaya dan
pengetahuan penulis serta data acuan yang digunakan dalam pekerjaan penelitian
terbatas.

909
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

VI. KESIMPULAN
Dari hasil analisa geofisika bawah permukaan yang dikorelasikan dengan data
geologi permukaan dapat ditarik beberapa kesimpulan yang diantaranya yaitu : Pola
distribusi urat termineralisasi memiliki kisaran kedudukan N 51°E - N 76°E
(timurlautbaratdaya) cenderung mengikuti pola Sesar besar Kali Plampang. Dilakukan
hasil analisa terhadap peta Tilt-Derivative, daerah utara lokasi penelitian memiliki
kontrol struktur lebih kompleks serta didapatkan 3 dari 8 zona yang dimungkinkan
memiliki kandungan mineral Au yaitu daerah 1, 7 dan 8 (oval merah putus-putus), yang
dibuktikan dengan data tersingkap/permukaan dengan penciri terdapatnya kandungan
mineral-mineral asosiasi emas seperti pirit, kalkopirit, galena, bornit dan kovelit.

Sementara dari hasil analisa peta RTP dan sayatan C, D, E dan F diperkirakan
potensi kandungan mineral bijih primer emas di daerah utara-timurlaut akan berangsur
meningkat (mengikuti zona inti cebakan mineralisasi) seiring dengan meluasnya
persebaran alterasi jenis filik dan argilik yang digambarkan oleh hadirnya zona
demagnetisasi, dibandingkan pada daerah selatan lokasi penelitian. Dugaan diperkuat
dengan ditemukannya singkapan alterasi silisik bertekstur masif-vuggy, serta hadirnya
mineral barit di sekitar LP 6 sebagai penciri pembentukan suhu tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
Ansori, C. dan Hastria, D., 2013. Studi Alterasi dan Mineralisasi di Sekitar Gunung Agung, Kabupaten
Kulonprogo-Purworejo, LIPI-Kebumen, Kebumen, Buletin Sumberdaya Geologi Volume 8,
No. 2.
Arisoy, Muzaffer Özgü and Dikmen, Ünal, 2013. Edge Detection of Magnetic Sources Using Enhanced
Total Horizontal Derivative of the Tilt Angle, Bulletin of the Earth Sciences Application and
Research Centre of Hacettepe University. 34 (1), page 73-82.
Budiadi, E., Syafri, I., and Sudradjat A., 2013, Geotectonic Configuration of Kulon Progo Area,
Yogyakarta, Indonesian Journal of Geology, Vol.8 No.4.
Buchanan, L. J., 1981. Precious Metal Deposits Associated With Volcanic Environments In The Southwest,
Arizona Geology Soc. Digest, v. 14, p. 237-261.
Dentith, Michael and Mudge, Stephen T., 2014. Geophysics for the Mineral Exploration Geoscientist,
New York, Cambridge University Press.
Harjanto, A., 2008. Magmatisme dan Mineralisasi di Daerah Kulonprogo, Disertasi Doktor Teknik
Geologi, ITB, Bandung, tidak dipublikasikan.
Harjanto, A., 2011. Vulkanostratigrafi di Daerah Kulonprogo dan Sekitarnya, Yogyakarta, Jurnal Ilmiah
MTG Vol. 4, No. 2.
Harjanto, A., 2011. Petrologi dang Geokimia Batuan Volkanik di Daerah Kulonprogo dan Sekitarnya Daerah
Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta, Jurnal Ilmiah MTG Vol. 4, No. 1.

910
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Hartono, H.M.S., 1969. Globigerina marls and their planktonic foraminifera from the Eocene of Nanggulan,
Central Java, Foram. Res. Jour., v 5, 1, 1- 20.
Hedenquist, J.W., White, N.C., Izawa, E. and Arribas, A., 1996. Epithermal Gold Deposits : Styles,
Characteristics and Exploration, Japan, The Society of Resource Geology.
Hinze, William J., R. B., Ralph,. and Saad , Von Frese Afif H., Gravity and Magnetic Exploration, New
York, Cambrige University Press.
Hoschke, Terry., 2008. Geophysical signatures of copper-gold porphyry and epithermal gold deposits,
Tasmania, Arizona Geological Society Digest 22.
Lowell, J. D., and Guilbert, J. M., 1970. Lateral and Vertical Alteration-Mineralization Zoning In
Porphyry Ore Deposits, Society of Economic Geology vol. 65, pp. 373-408.
Lowrie, William. 2007. Fundamentals Of Geophysic second edition. New York, Cambrige University
Press.
Prastyadi, C., 2007. Evolusi Tektonik Paleogen Jawa Bagian Timur, Disertasi Doktor Teknik Geologi,
ITB, Bandung, tidak dipublikasikan.
Pringgopawiro, H., dan Riyanto, B., 1988. Formasi Andesit Tua Suatu Revisi, Bandung,
Dept.Geol.Contr 1-29, ITB.
Purnamaningsih, S., dan Pringgopawiro, H., 1981. Stratigraphy and Planktonic Foraminifera of the
Eocene - Oligocene Nanggulan Formation, Central Java. Palaeontology Series, 1, 9 – 28. Rahardjo,
W., Sukandarrumidi, dan Rosidi, H. M. S., 1995. Peta Geologi Lembar Yogyakarta skala 1:100.000
edisi 2, Bandung, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Roy, Kalyan K., 2007. Potential Theory in Applied Geophysics, India, Springer-Verlag Berlin
Heidelberg.
Sillitoe, Richard H., 2010. Porphyry Copper Systems, London, Society of Economic Geologists, Inc., v.
105, pp. 3–41.
Sismanto, Hartantyo, E., Sembiring, Adry S., dan Nukman, N., 2009. Interpretasi Keberadaan Urat
Sulfida Menggunakan Model Dua Lapis Kunezt Terhadap Data Elektromagnetik VLFResistivitas
Di Daerah Sangon, Kulon Progo, Yogyakarta.
Sutanto, 2000. Batuan Vulkanik Daerah Kulon Progo, Geokronologi dan Geokimia, Buletin Tekmira
Nomor 14.
Talwani, M., Heirtzler, J. R., Peter, G., and Zurflueh, E. G., 1962. Magnetic Anomalies Caused By Two-
Dimensional Structure : Their Computation By Digital Computers and Their Interpretation, New
York, Lamont Geological Observatory.
Telford, W.M., Geldart, L.P., dan Sheriff, R.E., 1990. Applied Geophysics second edition, London,
Cambridge University Press.
Van Bemmelen, R.W., 1949. Geology of Indonesia. Vol. IA, Government Printing Office, Nijhoff, The
Hague.
Whitehead, N., and Musselman, C., 2007. Oasis Montaj Filltering, Canada, Geosoft.inc.

911
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 1. Ciri-ciri endapan epitermal (White & Hedenquist, 1996).

Tabel 2. Tabel suseptibilitas kemagnetan mineral & batuan (kanan) (Telford dkk., 1990).

912
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 3. Tabel suseptibilitas kemagnetan mineral & batuan (Mudge & Dentith, 2014). Suseptibilitas
menggunakan satuan unit SI.

913
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 4. Tabel akuisisi data geologi lapangan

Tabel 5. Tabel akuisisi data geologi permukaan

914
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Peta geologi daerah Kulonprogo dan sekitarnya (Raharjo, 1995).

Gambar 2. Stratigrafi daerah Kulonprogo oleh beberapa peneliti (Harjanto, 2008).

915
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Penerapan filter RTP pada peta anomali TMI

916
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Ilustrasi respon anomali TMI dari benda magnetik yang diukur pada permukaan
horizontal. (1a & 2a) Disekitar kutub utara magnetik (inc +90o). (1b & 2b) Mid-latitude di belahan
utara (inc +45o). (1c & 2c) Didaerah ekuator magnetik (inc 0o). (1d & 2d) Mid-latitude di belahan
selatan (inc -45o). (1e) Benda magnetik dekat permukaan yang terinduksi medan magnet bumi
(Dentith & Mudge, 2014).

917
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. Sketsa hasil penerapan filter kontinuasi pada peta anomali TMI (gambar 4), dengan
interval kontur 10 nT (Xinzhu & Hinze, 1983).

Gambar 6. Penerapan filter derivatif pada anomali TMI (Arisoy and Dikmen, 2)

918
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 7. Penentuan zona alterasi dan mineral pencirinya dalam sistem hidrotermal, (Lowell
& Guilbert,1970)

Gambar 8. Diagram alir akuisisi data (kanan) dan diagram alir pengolahan data (kiri).

919
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 9. Desain survei pengukuran magnetik daerah Pedukuhan Plampang dan sekitarnya,
Kokap, Kulonprogo

Gambar 10. Peta geologi dan vulkano-stratigtafi daerah Kulonprogo (Harjanto, 2008), Ilp = lava
dan breksi piroklastik jatuhan ijo, ilh = breksi lahar ijo, ii = intrusi andesit basaltik ijo.

920
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 11. Peta geologi struktur daerah Plampang dan sekitarnya.

921
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 12. Peta alterasi dan mineralisasi beserta diagram roset di bawah kolom keterangan. Prt =
Pirit, Klkp = Kalkopirit, Kvl = Kovelit, Bor = Bornite, Gal = Galena, Sph = Sphalerit.

922
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 13. Perbandingan data struktur geologi permukaan (kiri) dengan data rekonstruksi
struktur geologi dari peta anomali magnetik tilt-derivatif (kanan).

923
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 14. Korelasi data geologi permukaan dengan peta anomali geomagnetik tilt-derivatif.

924
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 15. Korelasi peta upward-continuation dengan peta alterasi dan mineralisasi menunjukkan
pola anomali rendah konsentris ke arah utara-timurlaut. sayatan C, D, E dan F

925
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 16. Model cebakan epitermal sulfida rendah, atas (Buchanan, 1981), bawah (Hedenquist,
2000).

926
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 17. (Atas) Penampang blok C - C’ dari peta RTP dengan nilai suseptibilitas
kemagnetannya. (Bawah) Penampang Sayatan C - C’ dicocokan dengan model epitermal sulfida
rendah Hedenquist (2000).

927
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 18. (Atas) Penampang blok D - D’ dari peta RTP dengan nilai suseptibilitas
kemagnetannya. (Bawah) Penampang Sayatan D - D’ dicocokan dengan model epitermal

928
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 19. (Atas) Penampang blok E - E’ dari peta RTP dengan nilai suseptibilitas
kemagnetannya. (Bawah) Penampang Sayatan E - E’ dicocokan dengan model epitermal

929
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 20. (Atas) Penampang blok F - F’ dari peta RTP dengan nilai suseptibilitas
kemagnetannya. (Bawah) Penampang sayatan F - F’ dicocokan dengan model epitermal

930
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 21. Korelasi penampang 2,5 D.

931
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Lampiran Gambar 1. Struktur sheeting joint Lampiran Gambar 2. Foto singkapan bidang
pada outcrop lava andesit di Sungai Plampang, Sesar Kali Plampang (atas) dan Bidang sesar di
Lp 3. Sungai Sangon (bawah).

Lampiran Gambar 3. Singkapan sesar berarah tenggara-baratlaut (diperkirakan


memotong Sesar Kali Plampang) pada LP 5. (Kanan) tampak samping, (kiri)
tampak atas. Urat termineralisasi lemah (terisi pirit) terlihat mengisi kekar
disepanjang zona sesar.

932
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Lampiran Gambar 4. Singkapan Sesar Kali Plampang pada LP 13.


(kanan) sisi timur bidang sesar, (kiri) sisi barat bidang sesar. Silisifikasi
(alterasi silisik) mengisi rekahan bidang struktur.

Lampiran Gambar 5. Singkapan Sesar Kali Plampang pada LP 13. (Kanan) sisi timur
bidang sesar, (kiri) sisi barat bidang sesar. Silisifikasi (alterasi silisik) mengisi rekahan
bidang struktur.

933
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Lampiran Gambar 6. Urat termineralisasi kuat disepanjang zona bukaan sesar pada
LP 8, Sungai plampang (bekas tambang rakyat). Hadir asosiasi mineral bijih pirit,
kalkopirit, galena, bornit dan kovelit.

934
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Lampiran Gambar 7. Urat termineralisasi kuat mengisi kekar disepanjang zona sesar
pada LP 4, Plampang II (pada breksi vulkanik). Hadir asosiasi mineral bijih pirit, galena
dan bornit.

Lampiran Gambar 8. Urat termineralisasi lemah mengisi


kekar disepanjang zona sesar pada LP 5, Plampang II.
Mineral sulfida pirit ditemukan melimpah.

Lampiran Gambar 9. Silisifikasi dengan struktur vuggy sillica pada LP 6,


Plampang I. Ditemukan asosiasi mineral pirit dan galena pada vuggy structure.

935
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Lampiran Gambar 10. Singkapan alterasi silisik berstruktur silika masif pada LP 6, Plampang I.
Mineral barit dijumpai tumbuh pada rekahan dan berasosiasi dengan mineral pirit.

936
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Lampiran Gambar 11. Singkapan alterasi silisik cukup luas (sekitar 6 x 10 m2) berstruktur silika masif
dan vuggy sillica pada LP 6, Plampang I, dengan tipe alterasi propilit berada pada bagian terluarnya .

937
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Lampiran Gambar 12. Kompilasi foto mineral asosiasi emas di daerah penelitian (perbesaran lup).

938
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F012UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

CHARACTERISTICS AND ENVIRONMENT OF FORMATION OF AU-AG


HIGH-SULPHIDATION EPITHERMAL DEPOSIT IN BAKAN AREAN,
NORTH SULAWESI

Irsyad Jamaludin Widodo1, Cahya Wimar W1, Apit Dwi Cahya1


1Teknik Geologi UPN “Veteran” Yogyakarta
Jl. Padjajaran No.104 Ngropoh, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta 55283
*corresponding author: Irsyadjamaludinw@gmail.com

ABSTRAK. Sebagian besar karakteristik endapan hidrotermal yang terbentuk melalui proses
hidrotermal dipengaruhi oleh fluida asal . Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui
karakteristik dan lingkungan pembentukan endapan Epitermal Sulfidasi Tinggi Au-Ag melalui
mineralogi dan pendekatan karakteristik fluida asal. Beberapa parameter seperti batuan sumber,
karakteristik mineralisasi, kehadiran alterasi dan mineral sulfida, kedalaman, suhu dan salinitas
fluida asal. Metode yang dipakai adalah petrografi, mineragrafi, Atomic Absorption Spectroscopy
(AAS), Analytical Spectral Devices (ASD) dan analisis inklusi fluida yang menghasilkan informasi
tentang karakteristik dan lingkungan formasi. Daerah penelitian terletak di Bakan, Kabupaten
Bolaang Mongondow, Provinsi Sulawesi Utara, Indonesia. Pemetaan geologis menghasilkan
empat satuan batuan dari yang tertua yaitu lava andesit , tufa, breksi tufa, breksi diatrem dan
breksi hidrotermal, yang berevolusi dari fasies vulkanik medial ke pusat. Dua orientasi arah
dominan yang ditemukan adalah barat laut-tenggara dan timur laut-barat daya yang ditafsirkan
sebagai jalur pra-mineralisasi dan cairan hidrotermal. Terdapat empat zona alterasi hidrotermal
yaitu zona silisik (kuarsa, tridimit dan kristobalit), zona alunit-kaolin (halloisite, alunit, kaolinit,
pirofilit, kuarsa dan dickit), zona kaolin (kaolinit, illit, monmorillonit, halloisit, klorit, dan dickit),
dan zona klorit (klorit), dengan mineralisasi bijih ekonomi Au & Ag. Karakteristik endapan
adalah tipe sulfidasi tinggi kontrol litologi dengan mineralisasi Au dalam matriks breksi
hidrotermal, disseminasi pada breksi dan tuf diatrem. Proses alterasi dan mineralisasi terdiri dari
dua tahap: tahap volatile-rich dan liquid-rich. Analisis inklusi fluida menunjukkan pembentukan
mineralisasi pada kondisi salinitas fluida 0,36 - 1,08 Wt. % NaCl, berada pada kedalaman 305,5 -
1430,7 meter di bawah permukaan pada suhu mulai dari 230 0C - 3200C dengan tekanan 27,7 -
111,5 bar.

Kata Kunci : karakteristik ,high sulfidation,fluid inclusion.

I. PENDAHULUAN
Seiring berjalannya kegiatan eksploitasi bahan galian logam, maka berkurang pula
cadangan yang sudah ada sehingga menuntut kegiatan eksplorasi untuk menemukan
cadangan yang baru. Proses magmatisme-hidrothermal terbukti menghasilkan cebakan
mineral logam ekonomis, sehingga menjadi target utama kegiatan eksplorasi cebakan
mineral logam. Cebakan mineral yang dihasilkan oleh proses hidrothermal memiliki
karakteristik yang dipengaruhi oleh fluida hidrothermal pembentuknya (Pirajno, 2009).
Karakteristik fluida tersebut dapat dimanifestasikan salah satunya melalui mineral-
mineral yang dihasilkan. Sehingga pengamatan terhadap mineral-mineral hasil proses

939
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F012UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

hidrothermal dapat digunakan sebagai pendekatan dalam mengetahui karakteristik


fluida pembentuknya. Dalam kaitanya pada proses eksplorasi cebakan hidrothermal,
pemahaman mengenai fluida hidrothermal pembentuknya dapat dijadikan sebagai
informasi tentang genesa, proses dan lingkungan pembentukan cebakan. Genesa suatu
cebakan yang sedang di eksplorasi dijadikan sebagai acuan untuk pembuatan model
geologi dan cebakan yang berdampak pada penentuan model eksplorasinya. Penelitian
bertujuan untuk mengetahui karakteristik, lingkungan pembentukan dan genesa
mineralisasi Au-Ag pada tipe cebakan epithermal sulfidasi tinggi daerah Bakan melalui
pendekatan analisa inklusi fluida.

II. METODOLOGI
Penelitian dilakukan dengan melakukan pemetaan geologi dan alterasi-mineralisasi di
lapangan dan disertai pengambilan contoh batuan. Contoh batuan guna analisa
mikroskopis dibagi menjadi contoh batuan segar, batuan alterasi hydrothermal dan
contoh batuan bijih. Analisa petrografi dilakukan pada sayatan tipis 0.03 mm contoh
batuan segar untuk mengetahui ciri litologi penyusun mineraliasi, sedangkan analisa
pada contoh batuan alterasi hidrothermal untuk mengetahui ciri tipe alterasi yang
dihasilkan oleh proses hidrothermal. Sedangkan analisa mineragrafi dilakukan pada
sayatan poles contoh batuan bijih untuk mengetahui mineral opak dan sulfida. Analisa
ASD dilakukan untuk mengetahui jenis alterasi mineral lempung dan analisa AAS untuk
mengetahui kadar logam pada contoh batuan bijih. Analisa inklusi fluida dilakukan
pada 2 contoh batuan yang diambil pada zona pendidihan (boiling zone), untuk
mengetahui karakter fluida hidrothermal meliputi komposisi fluida, temperatur, tekanan
dan kedalaman proses pembentukan cebakan mineral. Selanjutnya hasil analisa
laboratorium pada contoh batuan diintegrasikan dengan peta geologi-alterasi-
mineralisasi permukaan untuk interpretasi karakteristik tipe cebakan dan genesa
pembentukanya.

III. LOKASI PENELITIAN


Daerah penelitian secara administratif terletak pada daerah Bakan, Kecamatan
Lolayan, Kabupaten Bolaang Mongondow, Provinsi Sulawesi Utara dan secara geografis
terletak pada UTM zona 51N .

Secara tatanan tektonik, daerah penelitian terletak pada zona megatektonik


lengan utara pulau Sulawesi .Lengan utara terdiri dari batuan busur vulkanik yang
berhubungan dengan subduksi Lempeng Laut Maluku ke arah barat pada Paleogen
Akhir sampai Neogen (Jezek dkk, 1981 dalam Coffield dkk, 1993).

Pola tektonik regional saat ini didominasi oleh sesar geser dan sesar anjak
(Gambar 1). Sesar Palu-Koro merupakan sesar geser mengiri, terbentang sejauh 750 km
(Tjia, 1978). Arah pergerakan dari sesar ini berhubungan dengan Sistem Sesar Sorong di
Irian Jaya melalui Sesar Balantak, Sesar Matano-Buru Selatan. Di selatan Sesar Palu-Koro
bergabung dengan Sesar Lawanopo, Sesar Kolaka, dan Sesar Kabanea (Simandjuntak,

940
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F012UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

1996). Sesar Anjak Batui terjadi akibat tumbukan antara Platform Banggai-Sula dengan
Jalur Ofiolit Sulawesi bagian Timur saat Neogen (Simandjuntak, 1993b). Sesar ini
membatasi jalur ofiolit pada hanging wall dari mikro-kontinen di foot wall. Sesar Anjak
Poso merupakan kontak struktur antara Busur Metamorf Sulawesi tengah dan Busur
Magmatik Sulawesi Barat (Bemmelen, 1949). Sesar ini mengangkat metamorf tekanan
tinggi dari kedalaman zona Benioff ke atas busur magmatik pada saat Neogen.

Daerah lengan utara Sulawesi ini merupakan busur gunung api yang terbentuk
karena adanya penunjaman ganda yang terdiri dari lajur penunjaman Sulawesi utara di
sebelah lengan utara Sulawesi dan lajur penunjaman Sangihe timur di sebelah timur dan
selatan lengan utara. Penunjaman ini mengakibatkan terjadinya kegiatan magmatisme
dan aktifitas vulkanisme yang menghasilkan batuan plutonik dan kerucut – kerucut
vulkanik muda (Simanjuntak, 1996).

Penunjaman tersebut mengakibatkan terjadinya kegiatan magmatisme dan


aktivitas gunung api yang menghasilkan batuan plutonik dan gunung api yang tersebar
luas. Pada peta geologi lembar Kotamobagu ini, penunjaman Sulawesi Utara diduga
mulai aktif sejak awal Tersier dan menghasilkan busur gunung api Tersier yang
terbentang dari Tolotoli - Gorontalo sampai dekat Manado yang merupakan lajur
vulkanik api tua. Pada lajur di sebelah timur dan selatan hingga Sangihe merupakan
jalur pemunculan gunung api aktif seperti gunung api Tjolo di Pulau Una - Una.
Gunung api Tjolo ini pernah aktif pada tahun 1961 dengan mengeluarkan material
gunung api yang terdiri dari abu dan tufa lapili, dan menyisakan kawah G. Tjolo di
pulau Una - Una, (Katili J.A, 1980).

Struktur geologi yang dapat diamati yaitu berupa sesar (Gambar 1). Sesar normal
arahnya kurang beraturan namun dibagian barat lembar Kotamobagu cenderung
dengan arah Timur – Barat. Sesar mendatar berpasangan dengan arah NW – SE (Sesar
menganan) dan NE – SW (Sesar mengiri). Sesar mendatar terbesar adalah sesar
Gorontalo yang berdasarkan analisa kekar penyertanya menunjukan arah pergeseran
menganan. Beberapa zona sesar naik bersudut sekitar 30º dan dapat diamati dibeberapa
tempat, khususnya pada Batuan Gunungapi Bilungala.

Kerangka tektonik berupa sesar normal berarah Timur – Barat dan sesar
mendatar dengan arah NW – SE dan NE – SW diperkirakan mempengaruhi struktur
yang ada di daerah penelitian berupa sesar dengan ukuran yang lebih kecil dan rekahan
– rekahan.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Geologi Daerah Penelitian
Stratigrafi
Daerah penelitian disusun lima satuan batuan dari tua ke muda, Lava Andesit
(Miosen khir), Tuf (Pliosen-Pistosen), Breksi Tuf (Pliosen-Plistosen), Breksi Diatrem, dan
Breksi Hidrotermal. Kemungkinan terbatasnya kandungan fosil dalam batuan yang ada
di lapangan, maka dalam penentuan umur satuan batuan yang ada di lapangan peneliti

941
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F012UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

mengacu pada penelitian terdahulu (Hardjana I., 2012), sedangkan untuk menentukan
posisi stratigrafi batuan peneliti melakukan pengamatan dari data lapangan.

Struktur Geologi
Terdapat struktur kekar dan sesar pada daerah penelitian, kekar gerus
menunjukkan arah umum N0630E/32o dan N191oE/760 dan didapatkan orientasi arah
tegasan NorthEast – SouthWest. Struktur sesar dapat menjadi faktor pengontrol proses
alterasi dan mineralisasi di daerah penelitian sebagai jalan (channel way) fluida
hidrotermal untuk berinteraksi dengan batuan samping. Terdapat lima sesar yang dibagi
menjadi Sesar Durian 1 dengan pergerakan naik (N2860E/850), Sesar Durian 2 dengan
pergerakan kiri (N2300E.650), Sesar Durian 3 dengan pergerakan kiri turun (N2300E/750),
Sesar Durian 4 dengan pergerakan kanan naik (N1250E/600), Sesar CS1 dengan
pergerakan kanan turun (N1900E.800)

2. Alterasi dan Mineralisasi


Alterasi
Alterasi hidrotermal merupakan suatu proses perubahan mineral - mineral terutama
pada batuan samping akibat proses hidrotermal. Zonasi perubahan mineral alterasi
mempunyai karakteristik dan pola yang unik sehingga dapat dikenali dan diidentifikasi.
Pola ini diawali dari zona yang terdekat dengan endapan bijihnya. Zonasi alterasi pada
daerah penelitian diawali dengan zona altersi Silisik, kemudian zona alterasi Alunite-
Kaolin, zonasi alterasi Kaolin, dan zona alterasi Chlorite. Hasil pengamatan megaskopis
dan analisa ASD (Analytical Spectral Devices) terhadap beberapa contoh batuan terubah di
lapangan menghasilkan 4 zonasi alterasi yaitu :

1. Tipe Silisik (ditandai dengan mineral kuarsa, ±tridimit dan ±kristobalit).

Tipe alterasi silisik ditandai dengan himpunan mineral silika (SiO2), seperti kuarsa,
±tridimit, dan ±kristobalit. Sebaran alterasi ini menempati area kecil dengan luasan 20%
dari luas daerah penelitian dan umum dijumpai pada sistem sulfidasi tinggi. Alterasi
silisik yang ditemukan di daerah penelitian telah mengalami alterasi kuat dan dapat
dijumpai pada litologi tuf, breksi diatrem dan juga breksi hidrotermal. Terbentuk paling
awal pada kondisi kaya volatil dan kemudian setelah fase kaya likuid alterasi ini
mengalami pelindian dan menjadi tekstur vuggy, bahkan bisa sampai terbreksikan,
sehingga membuka ruang pengendapan bagi logam - logam yang dibawa oleh larutan
hidrotermal. Pembentukan alterasi yaitu pada kondisi pH fluida larutan hidrotermal <2
dan suhu yang relatif tinggi 2000 – 3500 C (Corbett dan Leach, 1997). Pola sebaran alterasi
ini dipengaruhi oleh keberadaan struktur dan porositas batuan di daerah penelitian.

2. Tipe Alunite-Kaolin (ditandai dengan mineral halloisit, alunit, kaolinit, pirofilit,


kuarsa dan ±dickit).

Tipe alterasi alunite-kaolin ditandai dengan kehadiran himpunan mineral silika dan
lempung yang berdasarkan analisis ASD (Analytical Spectral Devices) didapatkan

942
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F012UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

himpunan halloisit, alunit, kaolinit, pirofilit, kuarsa dan ±dickit. Pengamatan megaskopis
terhadap alterasi alunite-kaolin dapat dijumpai pada litologi tuf, breksi tuf, dan breksi
diatrem. Alterasi alunite-kaolin merupakan alterasi yang khas pada sistem sulfidasi tinggi.
Terbentuk pada fase kaya volatil setelah alterasi Silisik dan sebelum kaolin pada pH <4
dan pada suhu relatif cukup tinggi 2000 – 3000 C (Corbett dan Leach,, 1997). Alterasi
alunite-kaolin ini di lapangan menempati 35% dari luas daerah penelitian melingkupi
alterasi tipe silisik.

3. Tipe Kaolin (ditandai dengan mineral kaolinit, illit, monmorillonit, ±halloisit, ±klorit,
dan ±dickit).

Alterasi Kaolin dicirikan dengan kehadiran kumpulan mineral lempung yang


berdasarkan analisis ASD (Analytical Spectral Devices) didapatkan himpunan kaolinit, illit,
monmorillonit, ±halloisit, ±klorit, dan ±dickit. Kenampakan lapangan alterasi ini adalah
umumnya berwarna putih keabuan. Alterasi Kaolin terbentuk pada fase akhir saat fluida
hidrotermal kaya volatil keluar melalui rekahan pada saat post-magmatic dengan pH 4 - 5
dan pada suhu relatif rendah 2000 – 2500 C (Corbett dan Leach, 1997). Pola dari sebaran
alterasi kaolin pada daerah penelitian dikontrol oleh struktur geologi yang berkembang
dan porositas batuan pada daerah penelitian. Sebaran alterasi kaolin sekitar 40% dari
cakupan luas daerah penelitian. Kehadirannya sebagai pelingkup dari alterasi yang lain.

4. Tipe Chlorite (ditandai dengan mineral klorit yang menggantikan sebagian piroksen).

Alterasi Chlorite dicirikan dengan kehadiran mineral chlorite yang menggantikan


sebagian mineral piroksen pada batuan andesit. Alterasi chlorite ini tergolong alterasi
lemah. Kenampakan lapangan alterasi ini umumnya masih menunjukkan tekstur batuan
aslinya namun mulai muncul mineral klorit berwarna hijau. Alterasi Chlorite terbentuk
pada fase akhir saat fluida hidrotermal kaya volatil keluar melalui rekahan pada saat
post-magmatic pada temperatur relatif rendah 1200 – 2500 C dan pH 5 - 6 (Corbett dan
Leach, 1997).
Pola dari sebaran alterasi chlorite pada daerah penelitian dikontrol oleh struktur
geologi yang berkembang dan porositas batuan pada daerah penelitian. Sebaran alterasi
chlorite sekitar 5% dari cakupan luas daerah penelitian. Ditemukan hanya pada bagian
barat daerah penelitian dikarenakan jauh dari sumber hidrotermal dan menggantikan
sebagian piroksen pada lava andesit.
Mineralisasi
Dari hasil analisa mineragrafi (Gambar 7) mineral sulfida yang terbentuk pada
daerah penelitian adalah pirit, kalkopirit, sfalerit dan galena. Mineralisasi tersebut
menghasilkan unsur logam yang umumnya terkonsentrasi pada matriks breksi
hidrotermal ( Tabel 1 ).
3. Fluida Pembentuk Cebakan Hdrothermal
Hasil analisa inklusi fluida menunjukan pembentukan mineralisasi pada daerah
penelitian pada kondisi salinitas fluida sebesar 0,36 – 1,08 Wt. % NaCl berada pada
kedalaman 305,5 – 1430,7 meter dibawah permukaan purba (paleo surface) pada

943
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F012UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

temperatur berkisar antara 2300– 3200 C dengan tekanan sebesar 27,7 – 111,5 bar (Tabel
2).

4. Karakteristik Tipe Cebakan


Mineralisasi di daerah penelitian merupakan tipe Au sulfidasi tinggi kontrol
litologi, dimana endapan bijih Au ekonomis terkumpul dalam matriks breksi
hidrotermal, pada tekstur vuggy dan disseminated pada batuan samping seperti breksi
diatrem dan juga tuf. Pada daerah penelitian, mineralisasi breksi hidrotermal jauh lebih
mendominasi dibandingkan mineralisasi pada batuan samping yang bertekstur vuggy.
Hal ini dapat dilihat pada data uji kadar dengan metode AAS.
Pada daerah penelitian, deposisi logam selain Au seperti Ag, Cu, Pb, Zn dan Hg
juga terbentuk tetapi jumlahnya tidak signifikan dan tidak ekonomis untuk ditambang.
Peneliti melakukan uji AAS (Atomic Absorption Spectrophotometry) untuk mendapatkan
data kadar logam Au dan beberapa unsur logam lain.
Dari hasil yang didapat dari pemetaan ataupun analisis laboratorium, Penentuan
karakteristik tipe endapan di daerah penelitian dilakukan penulis dengan cara
pendekatan terhadap parameter kunci yang mengarah pada tipe endapan tertentu
(Tabel 3). Penentuan tipe alterasi dan penentuan tipe endapan mengacu pada Corbett
dan Leach (1997) (Gambar 6).

Penentuan paragenesa mineralisasi di daerah penelitian dilakukan penulis


dengan cara pendekatan melalui identifikasi mineral ubahan yang terdapat pada daerah
penelitian bertujuan untuk mengetahui karakter fluida serta suhu pembentukan
mineralisasi, kemudian analisa mineragrafi untuk mengetahui keterdapatan mineral
bijih yang bertujuan untuk mengetahui fase pembentukan mineralisasi dengan
didukung data dari analisa inklusi fluida untuk mengetahui lingkungan pembentukan
mineralisasi secara detil.

Setelah dilakukan identifikasi mineral ubahan pada daerah penelitian, diketahui


beberapa mineral ubahan yang terdapat pada daerah penelitian diantaranya adalah
alunit, jarosit, haloisit, kaolin, dikit, piropilit, silika, pirit, ilit dan klorit. Mineral ubahan
tersebut kemudian di plot pada tabel stabilitas mineral (white & Hedenquist, 1995)
menunjukkan bahwa sebaran mineral ubahan di daerah penelitian (garis merah) dengan
karakter fluida yang bersifat Acid sampai Netral (garis kuning) dengan kisaran suhu
antara 2200 – 3200 C (Gambar 7).

5. Genesa
Berdasarkan keterdapatan mineral bijih melalui analisis mineragrafi (Gambar 8),
maka dapat diketahui bahwa pada daerah penelitian terdapat 3 Fase pembentukan
mineralisasi secara hipogen dan satu fase pembentukan mineralisasi secara supergen.
Fase pertama yang ditunjukan dengan pembentukan mineral bijih berupa kalkopirit.
Fase kedua ditunjukan dengan terdapatnya mineral bijih berupa sfalerit yang mulai
mengeksolusi kalkopirit. Fase ketiga ditunjukan dengan terdapatnya mineral bijih
berupa galena yang sebagian telah terinklusi pirit dan terbentuknya mineral bijih berupa

944
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F012UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

pirit. Mineralisasi hipogen tersebut yang terdapat pada daerah penelitian diikuti oleh
proses pengkayaan supergen (supergene enrichment) yang ditunjukan dengan terdapatnya
mineral hematit dan ghoetit.

Mineral bijih yang telah diketahui kemudian dikompilasi dengan hasil


pengukuran inklusi fluida supaya di dapatkan karakter dan kondisi pembentukan
mineralisasi pada daerah penelitian. Dari hasil analisa mineragrafi dengan analisa inklusi
fluida di dapatkan 3 fase pembentukan mineralisasi secara hipogen dan fase
pembentukan mineralisasi secara supergen (supergene enrichment) pada daerah penelitian.
Pembentukan mineralisasi secara hipogen pada fase pertama ditunjukan dengan
pembentukan mineral bijih berupa kalkopirit pada temperatur 3200 C pada kondisi
salinitas fluida sebesar 0,36 – 1,08 Wt. % NaCl berada pada kedalaman 1430.7 m dibawah
permukaan purba (paleo surface) dengan tekanan sebesar 111,5 bar. Fase kedua
ditunjukkan dengan terdapatnya mineral bijih berupa sfalerit yang mulai mengeksolusi
kalkopirit pada temperatur 2800 – 2900 C pada kondisi salinitas fluida sebesar 0,36 – 1,08
Wt. % NaCl berada pada kedalaman 758,7 – 894,3 m dibawah permukaan purba (paleo
surface) dengan tekanan sebesar 63,4 – 73,6 bar. Fase ketiga ditunjukan dengan
terdapatnya mineral bijih berupa galena yang sebagian telah terinklusi oleh mineral pirit
pada temperatur 2400 C pada kondisi salinitas fluida sebesar 0,54 Wt. % NaCl berada
pada kedalaman 371,7 m dibawah permukaan purba (paleo surface) dengan tekanan
sebesar 33,1 bar.

Pembentukan mineralisasi secara supergen (supergene enrichment) terjadi pada


temperatur <1000 C, terjadi karena mineral bijih yang terekspos di permukaan mengalami
erosi, maka mineral bijih tersebut akan mengalami proses pelapukan, kemudian air
permukaan akan mengoksidasi mineral bijih yang terekspos dan menghasilkan larutan,
larutan tersebut akan melarutkan mineral mineral lainnya, larutan hasil oksidasi yang
turun kebagian bawah permukaan ini akan membentuk suatu zona yang disebut zona
pengayaan atau disebut zona supergen (supergene enrichment zone) (Gambar 9).

V. KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian ini adalah :

- Litologi penyusun daerah penelitian dibagi menjadi lima satuan batuan. Berurutan
dari tua ke muda adalah Lava Andesit (Miosen Akhir), Satuan Tuf (Pliosen –
Plistosen), Satuan Breksi Tuf (Pliosen – Plistosen), Satuan Breksi Diatrem, dan Satuan
Breksi Hidrotermal.
- Arah Tegasan North East- South West yang didapatkan dari analisa kekar, bekerja
membentuk deformasi berupa kekar dan sesar pada daerah penelitian.
- Himpunan Mineral pada daerah penelitian dibagi menjadi empat zonasi alterasi
yaitu Zona Alterasi Silisik (kuarsa, tridimit, dan kristobalit), Zona Alterasi Alunite-
Kaolin (halloisit, alunit, kaolinit, pirofilit, kuarsa dan dickit), Zona Alterasi Kaolin
(kaolinit, illit, monmorillonit, halloisit, klorit, dan dickit), dan Zona Alterasi Chlorite
(klorit).

945
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F012UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

- Pola mineralisasi utama di daerah penelitian terdapat pada tekstur vuggy,


disseminated pada batuan samping dan breksi hidrotermal yang dikontrol oleh litologi
pada daerah penelitian. Mineralisasi logam pada daerah penelitian antara lain Au,
Ag, Cu, Pb, Zn dan Hg
- Terdapat 3 fase pembentukan mineralisasi secara hipogen dan fase pembentukan
mineralisasi secara supergen (supergene enrichment).

DAFTAR PUSTAKA

Arribas A., 1995, Characteristics Of High-Sulfidation Epithermal Deposits, And Their


Relation To Magma Tic Fluid. Magmas, Fluids, and Ore Deposits, Ed.: J.F H.
Thompson - Mineralogical Association of Canada Short Course Vol. 23 (1995)
Apandi, T. dan Bachri, S., 1997, Peta Geologi Lembar Kotamobagu, skala 1:250.000, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Corbett, G.J. dan Leach T.M., 1997, Southwest Paciific Rim Gold-Copper Systems:
Structure, Alteration, and Mineralization. Australasian Institute of Mining and
Metallurgy, 5/97
Corbett G.J., 2018, Epithermal Gold-Silver and Porphyry Copper Gold Exploration, Short Course
Manual, incomplete Draft Februari 2018 www.corbettgeology.com
Guilbert, J M. dan Park, C. F., 1986, The Geology of Ore Deposits, W.H. Freeman
Howard A. D., 1967, Drainage Analysis in Geologic Interpretation: A Summation.
American Association of Petroleum Geologist Bulletin, 51,2246-2259
Pirajno. F., 2009, Hydrothermal Processes and Mineral System, Perth, Springer
Satyana A. H.,2006, Post-Collisional Tectonics Escape in Indonesia: Fashioning the
Cenozoic History, Proceeding PIT IAGI Riau 2006. The 35th IAGI Annual Convention and
Exhibtion , Pekanbaru
Simanjuntak, T.O, 1996, Contrasting Tectonic Style in The Neogene orogenic Belt of
Indonesia, Tectonic Evolution of Southeast Asia, Geological Society Publication No.
106,pp. 185-201
Simanjuntak, T.O, 1993b. Neogene Tectonics anda Orogenesis of Indonesia, Journal of
Geologyand Mineral Resources, 20, 2-32
Tjia H.D., 1978. ActiveFault in Indonesia, Geological Society of Malaysia Bulletin, 10
Desember 1978;00. 73-92
Van Bemmelen, RW., 1949, The Geology of Indonesia, Vol 1A, Government Printing Office,
732 h.
White,N. C. dan Hedenquist,J. W., 1995, Epithermal Gold Deposit: Styles, Characteristic
and Exploration, SEG Newsletter, No 23,pp.1,9-13.

946
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F012UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 1. Hasil uji AAS logam Au, Ag, Cu, Pb, Zn dan Hg

Tabel 2. Hasil Pengukuran Dan Perhitungan Inklusi Fluida

Tabel 3. Karakteristik Tipe Endapan Daerah Penelitian

947
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F012UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Lokasi Penelitian

Gambar 1. Kerangka Tektonik Sulawesi (Satyana, 2006)

Gambar 2. Singakapan yang menunjukkan alterasi silisik (A) Alterasi Silisik bertekstur vuggy
pada litologi tuf, (B) Alterasi silisik bertekstur vuggy pada litologi tuf, (C) Alterasi silisik bertekstur
vuggy pada litologi breksi diatrem, (D) Alterasi silisik pada litologi breksi diatrem, (E) Alterasi
silisik bertekstur vuggy pada litologi breksi hidrotermal, (F) Alterasi silisik bertekstur vuggy pada
litologi breksi hidrotermal.

948
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F012UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Singkapan yang menunjukkan Alterasi Alunite-Kaolin. (A) Foto parameter alterasi
alunite-kaolin pada litologi tuf, (B) Foto parameter alterasi alunite-kaolin pada litologi tuf,(C) Foto
parameter alterasi alunite-kaolin pada litologi breksi tuf, (D) Foto parameter alterasi alunite-kaolin
pada litologi breksi tuf, (E) Foto parameter alterasi alunite-kaolin pada litologi breksi diatrem, (F)
Foto parameter alterasi alunite-kaolin pada litologi breksi diatrem.

Gambar 4. Singkapan yang menunjukkan Alterasi Kaolin. (A) Foto parameter alterasi kaolin, (B)
Foto parameter alterasi kaolin,(C) Foto parameter alterasi kaolin,(D) Foto parameter alterasi kaolin.

Gambar 5. Tipe Alterasi Chlorite di Daerah Penelitian. (A) Foto parameter alterasi chlorite, (B) Foto
sample alterasi chlorite.

949
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F012UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 6. Karakteristik zona Alterasi tipe Sulfidasi Tinggi (Arribas 1995)

Gambar 7. Ploting mineral ubahan pada tabel stabilitas mineral (White & Hedenquist,1995)
Keterangan gambar : -Garis merah menunjukan keterdapatan mineral ubahan pada daerah
penelitian -Garis kuning menunjukan keadaan suhu relatif pembentukan mineral ubahan pada
daerah penelitian.

950
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F012UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 8. Foto Mikrografi Sayatan Mineragrafi Pada Sampel Daerah Penelitian Keterangan
gambar : -A : Sampel pada LP39; B : Sampel pada LP83; C, D : Sampel pada LP224
-py : pirit; cpy : kalkopirit; spl : sfalerit, gal; galena.

Gambar 9. Ploting mineral bijih pada tabel paragenesa dikompilasi dengan suhu hasil analisa
inklusi fluid. Keterangan gambar : -garis hitam tebal menunjukan pembentukan mineral bijih pada
daerah penelitian -garis hijau menunjukan tahapan pembentukan fase mineralisasi pada daerah
penelitian.

951
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F012UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 10. Peta Geologi dan Alterasi 3D tanpa skala daerah penelitian

952
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F017POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

STUDI PENDAHULUAN PENAKSIRAN SUMBERDAYA ENDAPAN BIJIH


SKARN BESI-LOGAM DASAR MENGGUNAKAN METODE ORDINARY
KRINGING DI BLOK A KABUPATEN LAMANDAU PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH

Hasan Riyadi1*, Arifudin Idrus1, I Wayan Warmada1

1Departemen Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada, Jln. Grafika No. 2 Bulaksumur Yogyakarta

*Corresponding Author: hasan.riyadi@mail.ugm.ac.id

ABSTRAK. Model endapan dalam penelitian ini adalah endapan skarn besi-logam dasar.
Geostatistikmerupakan suatu jembatan antara statistika dan Geographic Information System
(GIS). Analisis geostatistik merupakan teknik geostatistik yang terfokus pada variabel spasial,
yaitu hubungan antara variabel yang diukur pada titik tertentu dengan variabel yang sama
diukur pada titik dengan jarak tertentu dari titik pertama. Namun seringkali masalah muncul
pada saat solusi dari permasalahan estimasi telah diketahui, untuk itu hadirlah suatu metode
yang akan mempermudah pengerjaan dalam menyelesaikan prediksi itu, yaitu metode kriging.
Dalam perkembangannya banyak metode kriging yang digunakan untu menyelesaikan berbagai
kasus yang ada dalam data geostatistik, misalnya terdapat kandungan mineral tersampel yang
tidak memiliki kecenderungan (trend) tertentu. Metode kriging yang sesuai untuk menyelesaikan
kasus ini adalah ordinary kriging karena metode ini dapat digunakan ketika rata-rata populasi
tidak diketahui.

Kata kunci: Studi Pendahuluan Penaksiran Sumberdaya Endapan Bijih Skarn Besi-Logam Dasar
Menggunakan Metode Ordinary Kriging di Blok A Kabupaten Lamandau Provinsi Kalimantan
Tengah

I. PENDAHULUAN

Pemodelan sumberdaya menjadi sangat penting karena model yang dihasilkan


digunakan untuk tahap perancangan dan perencanaan tambang. Dalam pemodelan
sumberdaya khususnya pada mineral bijih beberapa metode yang sering dipakai adalah
kriging. Permasalahan yang biasa muncul adalah bagaimana menentukan metode
penaksiran yang cocok (akurat) pada suatu endapan dengan sifat mineralisasi dan
kontrol geologi yang berbeda pada lokasi tertentu. Pada kasus ini endapan yang akan
dibahas ialah skarn besilogam dasar. Pada umumnya endapan ini memiliki sebaran
kadar yang tidak simetris dan koefisien variansi rendah. Penelitiaan ini memfokuskan
pada penggunaan metode ordinary Kriging.

II. Metode Ordinary Kriging

Metode Ordinary Kriging adalah estimasi stochastic dimana menggunakan kombinasi


linear dari weight untuk memperkirakan nilai diantara sampel data (Ctech Development
Corporation, 2004). Metode ini diketemukan oleh D.L. Krige untuk memperkirakan nilai
dari bahan tambang. Asumsi dari metode ini adalah jarak dan orientasi antara sampel

953
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F017POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

data menunjukkan korelasi spasial yang penting dalam hasil interpolasi (ESRI, 1996).
Metode Ordinary Kriging sangat banyak menggunakan sistem komputer dalam
perhitungan. Kecepatan perhitungan tergantung dari banyaknya sampel data yang
digunakan dan cakupan dari wilayah yang diperhitungkan.

Kriging memberikan ukuran error dan confidence. Metode ini menggunakan


semivariogram yang mempresentasikan perbedaan spasial dan nilai diantara semua
pasangan sampel data. Semivariogram juga menunjukkan boobt (weight) yang digunakan
dalam interpolasi. Semivariogram dihitung berdasarkan sampel semivariogram dengan
jarak h, beda tinggi z dan jumlah sampel data n diperlihatkan pada persamaan di gambar
1. Pada gambar ini juga ditunjukkan grafik dari sebuah semivariogram. Pada jarak yang
dekat (sumbu horisontal), semivariance bernilai kecil. Tetapi pada jarak yang lebih besar,
semi-variance bernilai tinggi yang menunjukkan bahwa variasi dari nilai z tidak lagi
berhubungan dengan jarak sampel point . Jenis Kriging yang bisa dilakukan adalah
dengan cara spherical, circular, exponential, gaussian dan linear (ESRI, 1999). Penjelasan
yang lebih lengkap tentang kelima jenis Kriging ini bisa dilihat pada McBratney &
Webster (1986).

Tahapan dalam menggunakan metode ini adalah: analisa statistik dari sampel data,
pemodelan variogram, membuat hasil interpolasi dan menganalisa nilai variance. Metode
ini sangat tepat digunakan bila kita mengetahui korelasi spasial jarak dan orientasi dari
data. Oleh sebab itu, metode ini sering digunakan dalam bidang pertambangan dan
geologi. Kelemahan dari metode ini adalah tidak dapat menampilkan puncak, lembah
atau nilai yang berubah drastis dalam jarak yang dekat. Untuk keterangan lebih lanjut
tentang penelitian metode Kriging bisa dilihat dalam tulisan Bancroft & Hobbs (1986)
atau Siska & Hung (2001).

III. GEOLOGI REGIONAL

Tektostratigrafi Pulau Kalimantan dibentuk oleh paparan sedimen Paleozoikum –


Mesozoikum, batuan gunung api yang diterobos oleh batuan granit Kapur yang
merupakan bagian dari lempeng benua/ paparan Sunda. Zona penunjaman telah
terbentuk, unsurunsurnya terdiri dari perlipatan dan pensesaran pada batuan sedimen
turbidit, ofiolit dan melange berumur Kapur-Eosen. Pada Oligosen Akhir - Miosen Awal
terjadi kegiatan magmatik di bagian barat, tengah dan timurlaut Kalimantan sedangkan
di bagian tengahnya terbentuk zona cebakan emas yang berasosiasi dengan batuan
gunung api atau terobosan batuan subvulkanik bersusunan andesitik.

Secara umum stratigrafi daerah pengamatan tersusun oleh kelompok batuan


berumur Trias Akhir-Kapur Tengah dari satuan batuan malihan (metasediment) dan
satuan batuan gunungapi andesitik-riolitik kedua satuan batuan tersebut diterobos oleh
granit, granodiorit dan gabro berumur Kapur Akhir yang kemudian ditutup oleh
kelompok batuan gunung api Tersier Awal (Widodo, 2006).

954
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F017POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

METODOLOGI
Alat dan Bahan

1. Software Micromine 2018 (64-bit)

2. Sistem komputer

3. Data survey permukaan (topografi), yang berisi informasi tntang titik X, Y dan Z
pada lokasi penelitian.

4. Data hasil pengeboran (Collar), berisi informasi tentang nama/kode titik bor (Hole
ID), koordinat XYZ titik bor, dan kedalaman titik bor.

5. Data hasil analisis kualitas (quality/Assay) laboratorium terhadap sampel dari hasil
pengeboran, berisi informasi tentang Hole ID, kedalaman: From-To, dan kadar ore.

6. Data mineralisasi bawah permukaan yang diperoleh dari kegiatan pengeboran,


berisi informasi tentang Hole ID, kedalaman: From-To, dan jenis mineralisasi pada
kedalaman tersebut (Litho).

7. Peta geologi daerah penenlitian.

Tahap Penelitian

1. Pemodelan Geologi

Model geologi dibuat untuk mengetahui kondisi geologi didaerah penelitian berupa
litologi, struktur geologi, serta kedalaman dan ketebalan perlapisan batuan. Pemodelan
geologi yang akan dibuat berupa model geologi permukaan dan geologi bawah
permukaan dalam bentuk dua dimensi dan tiga dimensi menggunakan program
Micromine 2018.

Tujuan pemodelan geologi adalah untuk menghitung sumberdaya skarn besi-


logam dasar. Data yang diperlukan dalam pembuatan model geologi antara lain yaitu:
peta topografi, peta geologi, data pemboran (log bor), dan koordinat lokais titik bor.
Korelasi akan dilakukan berdasarkan data log bor.

Pemodelan geologi dilakukan menggunakan perangkat lunak Micromine 2018 di


Laboratorium Bahan Galian, Departemen Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada.
Tujuan dari pemodelan geologi adalah untuk mengetahui kondisi geologi bawah
permukaan berdasarkan data dari masing-masing lubang bor. Tahapan yang dilakukan
didalam pemodelan geologi tersebut antara lain sebagai berikut:

a) Membangun database lubang bor

955
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F017POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tujuan dari pembuatan database lubang bor adalah untuk mengatur hubungan
antara data individu yang berisi komponen berbeda dari masing-masing data lubang bor.
Database lubang bor dapat terdiri dari tiga janis data bor yang akan digunakan untuk
membangun database lubang bor, yaitu collar, data ini berisi koordinat 3 dimensi
(koordinat X, Y, Z) dan totala kedalaman dari lubang bor. Kedua, data downhole survey
yang terdiri dari kedalaman dan azimuth atau inklinasi dari lubang bor. Data yang
terakhir adalah data interval (data litologi) yang menggambarkan data interval dari
satuan litologi pada setiap kedalaman tertentu. Ketiga data tersebut di import kedalam
software Micromine, kemudian dilakukan validasi untuk mengetahui kesalahan yang
mungkin terjadi.

b) Korelasi antar titik bor

Tahapan yang kedua didalam membuat model geologi adalah membuat


penampang vertika dari lubang bor. Kemudian dilakukan interpretasi dengan cara
mengkorelasikan satuan litologi pada satu lubang bor terhadap lubang bor lainnya.

c) Pembuatan solid model

Pada tahap yang ketigaa adalah pembuatan wireframe atau triangulasi


mengguanakan Software Micromine dengan menghubungkan setiap penampang vertikal
yang telah dibuat pada tahapan sebelumnya. Wireframe yang telah terbentuk inilah yang
disebut solid model atau model wireframe tertutup, selanjutnya dari solid model tersebut
dapat dihitung volume padatan dengan menggunakan blok model. Pengisian ini
dilakukan dengan menggunakan metode estimasi ordinary kriging, menggunakan
perangkat lunak Micromine. Untuk melakukan estimasi ordinary kriging terlebih dahulu
dilakukan analisis variogram agar didapatkan nilai range (a), sill (C) dan nugget effect (Co).
Dari nilai-nilai tersebut nantinya digunakan dalam melakukan metode estimasi. Langkah
selanjutnya yaitu melakukan estimasi sumberdaya. Kemudian akan didapatkan hasil
berupa model sumberdaya emas, kadar ratarata Pb dan tonase sumberdaya endapan
timbal.

2. Tahap Input dan Validasi Data

Tahap validasi data dilakukan dengan melakukan analisis statistik terhadap data
rekapitulasi lubang bor dan data analisis kualitas. Tujuannya adalah untuk mengetahui
parameter dan karakteristik sampel didaerah penelitian, sehingga data yang akan
diinput sudah memenuhi persyaratan yang disesuaikan dengan perangkat lunak yang
digunakan serta mengurangi dalam pemrosesan data.

Setelah itu, untuk mengetahui karakteristik data diperlukan adanya validasi data,
yaknik validasi data terhadap rekapitulasi lubang bor untuk melihat besarnya jumlah
tiitk bor, nilai maksimum dan minimum ketebalan bijih didaerah penelitian dan standard
deviasi lubang bor. Karakteristik yang pertama adalah besarnya jumlah tiitk bor. Hal ini
penting untuk dilihat, guna mengetahui apakah sampel tersebut layak untuk dibuat
pemodelan dan dapat dihitung besarnya volume serta sumberdaya bijih skarn. Apabila

956
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F017POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

sampel tersebt hanya memiliki titik bor yang tidak lebih dari dua titik bor, maka sampel
tersebut tidak layak untuk dilakukan pemodelan serta perhitungan volume sumberdaya
bijih skarn. Karakteristk yang terakhir adalah mengenai standar deviasi lubang bor.
Karakteristik ini diperlukan untuk menentukan perbandingan antara standar deviasi
lubang bor dengan standar deviasi hasil pemodelan, dimana pada perbandingan tersebut
nantinya akan dilihat besarnya perubahan nilai antara data lubang sebelum dan sesudah
dimodelkan.

3. Tahapan Pengolahan Data

Sebelum melakukan pengolahan data, terlebih dahulu dilakukan persiapan data


apa saja yang dibutuhkan dalam keiatan pengolahan data. Data tersebut berupa data
hasil kegiatan survei, data hasil pengeboran, data hasil analisis kualitas laboratorium
(quality), dan data lithology.

Penelitian ini menggunakan bantuan perangkat lunak Micromine. Dimana untuk


pengolahan data mulai tahap geostatistik sampai pemodelan dan estimasi sumberdaya
sepenuhnya menggunakan Micromine, setelah data yang diperlukan semua sudah
tersediamaka selanjutnya dilakukan pengolahan data dengan menggunakan microsoft
excel untuk menghasilkan data dengan format yang diharuskan agar dapat terbaca pada
software Micromine. Data yang ada disusun sedemikian rupa agar dapat terbaca benar
oleh software Micromine sehingga semua data dapat diolah dengan benar.

Selanjutnya data sudah sesuai format yang diharuskan oleh Micromine,


selanjutnya data tersebut diinput ke program agar dilakukan validasi dan verifikasi data
untuk mengethui apakah semua data yang ada telah diinput dengan benar atau tidak.
Jika data yang dimasukkan ada yang tidak susuai/error, akan muncul
pemberitahuan/warning dari program bahwa data yang tidak sesuai dengan format yang
seharusnya. Kesalahan yang paling sering terjadi adalah menggunakan simbol (.),
dimana seharusnya semua data herus menggunakan simbol (,). Jika data yang ada telah
benar, maka tahapan selanjutnya yatu menghitung korelasi spasial antar data dengan
menggunakan fitur Geostatistics pada Micromine. Ini merupakan langkah yang harus
dilakukan sebelum melakukan kegiatan estimasi sumberdaya. Pada tahapan ini, kita
lebih dahulu menetapkan model semivariogram mana yang akan digunakan dalam
proses perhitungan geostatistik. Model yang kita gunakan harus memberikan nilai
prediksi yang paling baik dengan nilai mendekati satu, sebagai syarat agar hasil prediksi
yang dilakukan dianggap tidak bias.

Selain menentukan model semivariogram mana yang akan digunaka, pada tahap
ini juga dilakukan perhitungan nilai semivariogram eksperimental untuk mendapatkan
nilai range (a), sill (C), dan nugget effect (Co) yang akan digunkan pada perhitugan
semivariogram teoritis.

Kemudian dilanjutkan ke tahap berikutmya yaitu membuat desain blok model


sebagai tahap awal dalam proses pembuatan model sebaran kadar bijih pada lokasi.
Setelah pembuatan blok model selesai, dilanjytkan dengan pembuatan atribut-atribut

957
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F017POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

yang akan digunakan sebagai parameter sebelum membuat model sebaran bijih. Setelah
tahapan tersebut, kemudian dilanjutkan dengan mebuat model sumberdaya dengan
menggunakan metode kriging. Berdasarkan model inilah yang kemudian digunakan
untuk mengestimasi sumberdaya yang terdapat pada lokasi penelitian. Langkah akhir
dari kegiatan estimasi yaitu membuat report yang berisi tentang hasil estimasi
sumberdaya.

4. Tahap Validasi Model

Tahapan berikutnya adalah melakukan validasi terhadap hasil pemodelan yang


dilakukan. Validasi model dilakukan dengan dua cara, yakni validasi secara ststistik dan
secara grafis. Validasi tersebut bertujuan untuk melihat perubahan karakteristik data
antar lubang bor dan model stratigrafi. Sedangkan validasi model secara grafis bertujuan
untuk melihat geometri bijih pada daerah penelitian. Validasi secara statistik ini akan
ditampilkan dalam satu tabel analisis statstik. Sedangkan validasi secara grafis akan
ditampilkan pada suatu penampang geologi berdasarkan syatan lubang bor. Validasi
model bertujuan untuk mengantisipasi error model yang dihasilkan dan juga melihat
apakah nilai field parameter pada tiap komponen unit, sudah terisi dengan baik dan
benar.

5. Block Model Report

Tahap selanjutnya dalam penelitian ini adalah pembuatan block model report, yang
berisi informasi jumlah hasil estimasi sumberdaya bijih skarn. Pada tahap ini dilakukan
pembahasan mengenai hasil metode blok, hasil estimasi sumberdaya dan melakukan
evaluasi dari hasil estimasi sumberdaya berdasarkan metode ordinary kriging, kemudian
dilakukan cross validation untuk mengetahui tingkat akurasi dari metode yang
digunakan.

IV. HASIL PENELITIAN


Pengolahan data meliputi data assay, validasi, basis data komposit, analisis
geostatistik, studi variografi, pemilihan parameter penaksiran. Penaksiran metode OK,
validasi hasil estimasi, analisis metode penaksiran. Hasil analisis statistik dapat
memberikan gambaran tentang karakteristik data seperti nilai rata-rata (mean), nilai
maksimum dan minimum, nilai tengah (median), standard deviation, skewness, kurtosis dan
coefficient of variation (CV). Analisis statistik dilakukan pada setiap lapisan badan bijih
timbal (Pb). Studi variografi dilakukan untuk mengkoreksi korelasi spasial antar contoh
pada arah yang berbeda dan untuk mengevaluasi jarak pengaruh suatu conto pada arah
tertentu.

V. DISKUSI DAN PEMBAHASAN


Pembahasan pada bagian ini meliputi analisis pada validasi data, analisis
parameter statistik blok model hasil estimasi dan analisis blok model terhadap data

958
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F017POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

komposit menggunakan validasi silang dan secara grafis (visual) antara blok model dan
komposit.

1. Validasi Data Assay dan Komposit

Dalam pemodelan suatu endapan bijih mineral, kualitas dari suatu data
merupakan fakor yang sangat penting. Kualitas data diharapkan seakurat mungkin
sebelum digunakan sebagai basis data untuk melakukan estimasi sumberdaya. Data
analisis kadar hanya hanya pada kadar Pb saja.

2. Analisis Parameter Statistik Blok Model Hasil Estimasi

Pengujian tingkat akurasi hasil estimasi dari metode OK yang pertama dilakukan
melalui hasil dari parameter statistiknya. Parameter statistik yang diamati. Dari semua
metode adalah nilai dari rata-rata, simpangan baku atau standar deviasi, koefisien varian
(CV) dan parameter pendukung lainnya.

3. Analisis Blok Model Hasil Estimasi Menggunakan Validasi Silang dan Secara Grafis

Pada pembahsan disini akan dibahas tentang hasil validasi dari semua metode
untuk mendapatkan metode mana yang lebih cocok digunakan pad estimasi bijih timbal
di lokasi penenlitian.

4. Analisis Penaksiran Sumberdaya

Dalam penelitian ini metode perhitungan sumberdaya berdasrkan pada jumlah


blok model yang dihasilkan pada masing-masing metode estimasi cut off grade (COG)
yang dipakai di lokasi pennelitian adalah kadar Pb dengan densitas biji timbal di lokasi
penenlitian jumlah tonase sumberdaya didapat dari perkalian seluruh volume
sumberdaya dengan densitas.

VI. KESIMPULAN
1. Estimasi sumberdaya dengan menggunakan metode ordinary kriging akan
menghasilkan estimator yang bersifat BLUE (Best Linear Unbiased Estimator).

2. Tahapan yang dilakukan untuk estimasi sumbedaya endapan bijih skarn besi-
logam dasar antara lain:

a. Pemodelan geologi terdiri dari membangun database lubang bor, korelasi


titik bor dan pembuatan solid model.

b. Tahap input dan validasi data

c. Tahapan pengolahan data

d. Tahap validasi model

959
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F017POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

e. Tahap block model report

ACKNOWLEDGEMENTS
Karya publikasi ini dapat diselesaikan karena izin dari manajemen PT. Kapuas
Prima Coal, Jakarta. Terimakasih banyak juga kepada Keke Steamy Electricia, S.T, M.T.
atas bimbingannya dalam pengolahan dan analisis data di Softawre Micromine dan untuk
pimpinan PT. Micromine Indonesia Perdana yang telah memberikan linsensi software
Micromine secara resmi.

DAFTAR PUSTAKA
Bancroft, B.A. & Hobbs, G.R. 1986. Distribution of Kriging Error and Stationarity of the Variogram in a
Coal Property. Mathematical Geology 8(7): 635-651.
ESRI. 1996. Using the ArcView Spatial Analyst. Redlands, Environmental Systems Research Institute,
Inc.
ESRI. 1999. ArcView Help. Redlands, Environmental Systems Research Institute, Inc.

McBratney, A.B. & Webster, R. 1986. Choosing Functions for Semivariograms of Soil Properties and
Fitting Them to Sampling Estimates. Journal of Soil Science 37:617- 639.
Pramono, G. 2005. Perbandingan Metode Trend dan Spline untuk Interpolasi Sebaran
Sedimen Tersuspensi Di Kabubaten Maros, Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmiah Geomatika 11(1): 20-32.
Watson, D.F. & Philip G.M. 1985. A Refinement of Inverse Distance Weighted Interpolation. Geo-
Processing 2:315- 327.
Widodo, W. 2006. Inventarisasi Endapan Besi Primer di Kabupaten Kotawaringin Barat dan kabupaten
Lamandau Prvinsi Kalimantan Tengah. Prosiding Pemaparan Hasil-Hasil Kegiatan
Lapangan dan Non Lapangan Tahun 2006. Pusat Sumberdaya geologi.

960
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F017POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1: Grafik dan persamaan semi-variogram (ESRI, 1999)

961
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F018UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

STUDI PENDAHULUAN KARAKTERISTIK LEMPUNG GUNUNG


GEDANG, KECAMATAN SEYEGAN, KABUPATEN SLEMAN, DIY

Agung Prabawa1, Anastasia Dewi Titisari1*,

Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Jl. Grafika No. 2 Bulaksumur,
1

Yogyakarta 55281

*Corresponding Author: adewititisari@ugm.ac.id

ABSTRAK. Lempung merupakan salah satu bahan galian industri yang sangat penting karena
dapat dimanfaatkan dalam berbagai bidang. Rekomendasi pemanfaatan lempung seharusnya
mendasarkan pada jenis lempung dan sifat fisik serta sifat kimiawinya. Selama ini lempung
Gunung Gedang yang terletak di Kecamatan Seyegan, Kabupaten Sleman, DIY hanya
dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar sebagai bahan baku pembuatan batu-bata dan genteng,
padahal jika dapat diketahui karakteristik lempung dengan lebih detil maka lempung dapat
direkomendasikan pemanfaatannya dengan lebih bervariasi pada berbagai bidang yang tentunya
akan dapat menambah nilai jualnya. Oleh karena itu, kajian ilmiah karakteristik lempung tersebut
perlu dilakukan. Penelitian ini merupakan studi pendahuluan karakteristik lempung yang berada
di Gunung Gedang untuk mengetahui jenis mineral lempung dan sifat fisiknya. Metode
pengambilan data dilakukan dengan pengamatan kondisi geologi di lapangan dan pengambilan
sampel batuan yang kemudian dianalisis menggunakan metode petrografi dan XRD (X-Ray
Diffraction). Pengamatan megaskopis batuan dan pengamatan petrografi digunakan untuk
mengetahui karakteristik batuan induk dari lempung, sedangkan analisis XRD digunakan untuk
mengetahui jenis mineral lempung penyusun batuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Gunung Gedang tersusun oleh litologi diorit. Singkapan di lapangan memperlihatkan adanya
urat-urat kuarsa dan horison-horison tanah. Dengan adanya data tersebut, lempung di Gunung
Gedang diinterpretasi sebagai hasil dari proses alterasi hidrotermal dan hasil proses pelapukan.
Lempung Gunung Gedang tersusun oleh mineral-mineral kaolinit, smektit, dan ilit. Lempung
tersebut berwarna kuning kecokelatan, memiliki ukuran butir halus yang dominan, dan
mempunyai plastisitas rendah sampai menengah.

Kata kunci: lempung,Gunung Gedang, kaolinit, smektit, ili

I. PENDAHULUAN
Indonesia memiliki banyak potensi kekayaan alam, termasuk di dalamnya adalah
sumber daya mineral yang salah satunya adalah bahan galian industri. Jumlah dan
variasi bahan galian industri di Indonesia cukup melimpah serta tersebar di berbagai
wilayah (Sukandarrumidi, 2009). Mineral lempung merupakan salah satu mineral
industri yang sangat penting yang telah dimanfaatkan dalam berbagai bidang, misalnya
konstruksi pembangunan, agrikultur, remediasi lingkungan, dan banyak aplikasi lainnya
(Murray, 2007). Dilihat dari ukuran butirnya, mineral lempung merupakan mineral yang
memiliki ukuran kurang dari 2µm dan dicirikan memiliki struktur tertentu, dimana
struktur ini merupakan manifestasi dari atom yang tersusun memanjang dan terhubung
antar bidangnya. Struktur ini disebut sebagai sheetsilicate atau phyllosilicates, dicirikan
oleh layer SiO yang saling berhubungan (Velde, 1992).

962
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F018UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Terdapat berbagai jenis mineral lempung yang dikelompokkan berdasarkan


perbedaan susunan kristal dan komposisinya. Perbedaan tersebut merupakan penyebab
utama dari perbedaan sifat fisik dan kimiawi pada berbagai jenis mineral lempung yang
mana akan mempengaruhi dalam hal pemanfaatannya. Beberapa sifat penting yang
berhubungan dengan aplikasi atau pemanfaatan mineral lempung adalah ukuran
partikel, luas permukaan, kapasitas pertukaran ion, viskositas, plastisitas, dan tingkat
adsorbsi (Murray, 2007). Menyadari pentingnya peran mineral lempung dalam bidang
industri dan masih diperlukannya informasi-informasi ilmiah dalam eksplorasi mineral
industri di Indonesia sementara penelitian ilmiah di daerah Gunung Gedang, Kecamatan
Seyegan, Kabupaten Sleman, DIY yang berpotensi mengandung deposit lempung belum
pernah dilakukan maka penelitian di daerah penelitian tersebut menjadi penting untuk
dilakukan. Lokasi daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

II. GEOLOGI
Secara fisiografis, Gunung Gedang merupakan bagian dari Perbukitan Godean.
Perbukitan Godean menurut Van Bemmelen (1949) termasuk ke dalam Pegunungan
Serayu Selatan bagian timur yang sering disebut sebagai Pegunungan Kulonprogo.
Hartono dkk. (2017) menyebutkan bahwa Perbukitan Godean merupakan perbukitan
terisolir yang terdiri dari beberapa gunung (bukit) yaitu Gunung So (173mdpl), Gunung
Siwareng (194mdpl), Gunung Gede (218mdpl), Gunung Wungkal (187mdpl), Gunung
Ngampon (222mdpl), Gunung Gedang (193mdpl), Gunung Patuk (231mdpl), Gunung
Butak (154mdpl), dan Gunung Berjo (175mdpl), yang kesemuanya dikelilingi oleh
dataran.

Pada Peta Geologi Lembar Yogyakarta (Rahardjo dkk., 1995) bagian tengah,
terlihat bahwa Perbukitan Godean berada di tengah-tengah struktur melingkar (Gambar
2). Pola struktur melingkar tersebut sesuai dengan pola bentuk tubuh Sungai Progo yang
terlihat mengikuti struktur tersebut. Kenampakan tersebut diinterpretasi sebagai
resistensi dari batuan vulkanik yang berada di sebelah baratnya sekaligus merefleksikan
bentuk dari gunungapi purba Godean (Hartono dkk.,2017). Pada bagian barat daya dan
selatan dari peta geologi tersebut juga terlihat bahwa struktur melingkar ikut mengontrol
distribusi batuan karbonat Formasi Sentolo, sedangkan pada bagian timur tidak terdapat
struktur melingkar yang dimungkinkan karena di bagian tersebut sudah tertutup oleh
material endapan dari Gunung Merapi. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa
Perbukitan Godean merupakan morfologi sisa proses vulkanisme lampau yang
menyisakan bentang alam kaldera (Hartono dkk., 2017).

Peta geologi regional bagian tengah dari Lembar Yogyakarta (Gambar 2),
memperlihatkan bahwa formasi-formasi batuan penyusun Perbukitan Godean dari tua
ke muda adalah Formasi Nanggulan, Formasi Kebobutak, Intrusi Diorit dan Andesit,
serta Endapan Gunungapi Merapi Muda. Dari beberapa formasi tersebut, Intrusi Diorit
merupakan formasi batuan yang menyusun Gunung Gedang sebagai daerah penelitian.

Pola struktur yang berkembang di Perbukitan Godean dibuktikan dengan


kemunculan batuan terobosan yang memiliki arah relatif utara-selatan serta

963
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F018UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

ditemukannya banyak kekar di beberapa gunung yang berdekatan dengan Gunung


Gedang seperti di Gunung Ngampon, Gede, Butak, dan Berjo dengan arah N170o – 180o
(Bronto dkk., 2014).

III. METODE PENELITIAN


Penelitian ini menggunakan 2 metode yaitu dengan melakukan pengambilan data
di lapangan dan analisis laboratorium. Pengambilan data di lapangan berupa
pengamatan kondisi geologi dan pengambilan sampel batuan serta sampel lempung di
beberapa titik lokasi. Analisis laboratorium dilakukan dengan metode petrografi, XRD
(X-ray Diffraction), uji keplastisan, dan uji ukuran fraksi butir. Pengamatan petrografi
dilakukan pada 2 sampel batuan segar untuk mengetahui karakteristik batuan induk dari
material lempung yang menyusun Gunung Gedang. Analisis XRD (X-ray Diffraction)
dilakukan pada 2 sampel lempung untuk mengetahui jenis mineral lempungnya.
Analisis petrografi dilakukan di Laboratorium Geologi Optik dan analisis XRD dilakukan
di Laboratorium Pusat. Untuk menentukan sifat fisik dari lempung dilakukan uji
keplastisan dan uji ukuran fraksi butir yang dikerjakan di Laboratorium Geologi Tata
Lingkungan. Ketiga laboratorium tersebut merupakan laboratorium di Departemen
Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1. Karakteristik Litologi

Litologi yang menyusun Gunung Gedang adalah diorit. Kondisi diorit yang
ditemui di lapangan sebagian besar sudah mengalami pelapukan dan sangat sulit
ditemukan dalam kondisi yang benar-benar segar. Secara megaskopis batuan diorit
tersebut memperlihatkan warna abu-abu dalam kondisi relatif segar dan berwarna
kuning kecoklatan dalam kondisi lapuk, struktur masif, tekstur porfiritik, holokristalin,
subhedral, memiliki ukuran kristal fenokris 1-10mm dan massa dasar <1mm, mineral
penyusun batuan berupa plagioklas, kuarsa, dan mineral mafik. Sampel setangan dari
batuan diorit dapat dilihat pada Gambar 3.

Pengamatan petrografi pada sayatan tipis diorit (Gambar 4) memperlihatkan


warna cokelat, warna interferensi abu-abu kehitam-hitaman, dengan ukuran kristal < 0,01
– 2 mm, derajat kristalinitas holokristalin, bentuk dan hubungan antar kristal subhedral,
dengan tekstur umum porfiritik. Komposisi mineral terdiri dari mineral plagioklas (88%),
kuarsa (5%), hornblenda (5%), dan mineral opak (2%) sebagai fenokris, serta mineral
mikrokristalin sebagai massa dasar. Pada tepi-tepi kristal plagioklas (sebagai fenokris)
terlihat telah mengalami ubahan menjadi mineral lempung, dan pada mineral
hornblende terlihat sebagian terubah menjadi klorit. Berdasarkan klasifikasi Streckeisen
(1978) yang mendasarkan pada komposisi penyusun batuan berupa kuarsa, alkali
feldspar, plagioklas dan felspatoit, sampel batuan tersebut dikategorikan sebagai diorit.

Singkapan pada tebing bukit Gunung Gedang memperlihatkan adanya horison-


horison tanah yang dapat dikelompokkan dari batuan yang relatif segar menuju ke atas

964
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F018UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

permukaan tanah yaitu horison C, horison B, horison A dan horison O (Gambar 5).
Horison C memperlihatkan bahwa batuan induk diorit masih bisa diidentifikasi dengan
baik tetapi telah mengalami pelapukan dan memperlihatkan pelapukan membola
(spheroidal weathering). Horison B dicirikan oleh hilangnya sebagian besar penciri batuan
induk diorit karena sudah terubah menjadi lempung. Horison A didominasi oleh
lempung sebagai penyusun utamanya dan berwarna agak kuning sampai kemerahan
karena adanya sebagian material lempung penyusun horison yang tercuci dan
membentuk mineral baru berupa limonit dan hematit. Horison O yang terletak sebagai
horison paling atas di permukaan tanah dicirikan sebagai lapisan yang didominasi oleh
bahan organik dengan terlihatnya banyak akar-akar tanaman. Dengan teridentifikasinya
horison-horison tanah pada daerah penelitian mengindikasikan bahwa lempung sebagai
penyusun Gunung Gedang merupakan hasil pelapukan dari litologi diorit. Selain
ditemukannya horizon-horison tanah tersebut, di daerah penelitian juga teridentifikasi
adanya rekahan-rekahan yang terisi oleh mineral sekunder (kalsit dan kuarsa) sebagai
urat-urat hidrothermal (Gambar 6). Hal tersebut mengindikasikan bahwa lempung
penyusun Gunung Gedang selain terbentuk karena proses pelapukan, dimungkinkan
juga terbentuk karena pengaruh dari proses alterasi hidrotermal.

4.2. Karakteristik Lempung

Untuk mengetahui jenis mineral lempung penyusun Gunung Gedang, dilakukan


analisis XRD pada 2 sampel lempung yaitu AP-28 dan AP-31 (Gambar 7). Hasil analisis
XRD pada sampel AP28 memperlihatkan jenis mineral lempung berupa smektit dan
kaolinit (Gambar 8), sedangkan sampel AP-31 tersusun oleh mineral lempung berupa
smektit, kaolinit, dan ilit (Gambar 9). Munculnya mineral ilit yang secara teori dikatakan
oleh Morrison (1997) merupakan penciri kondisi suhu relatif tinggi (>200°C) maka dapat
diinterpretasi bahwa pembentukan lempung di Gunung Gedang dipengaruhi oleh proses
alterasi hidrotermal.

Berdasarkan analisis ukuran butir (Tabel 1) yang dilakukan pada 2 sampel


lempung, secara umum kedua sampel memiliki ukuran butir yang halus. Sampel AP-28
memiliki komposisi ukuran butir lanau sebesar 66,20% dan ukuran butir lempung
sebesar 33,80%. Sedangkan untuk sampel AP-31 memiliki komposisi ukuran butir lanau
sebesar 66,36% dan ukuran butir lempung sebesar 33,64%. Mengacu pada klasifikasi
ASTM (2000), kedua sampel lempung tersebut dapat dikategorikan sebagai lempung
lanauan(silty clay).

Berdasarkan uji plastisitas menggunakan metode Atterberg Limits (Tabel 2),


sampel AP-28 memiliki indeks plastisitas sebesar 5,1%, sedangkan sampel AP-31
memiliki indeks plastisitas sebesar 14,1%. Menurut klasifikasi indeks plastisitas
(Bekkouche et al., 2000 dalam Kamtchueng, et al., 2015) bahwa plastisitas bernilai < 10
termasuk plastisitas kelas rendah dan plastisitas bernilai 10 – 20 termasuk plastisitas
kelas menengah, maka sampel hasil penelitian AP-28 dapat dikategorikan mempunyai
plastisitas rendah sedangkan sampel AP-31 mempunyai plastisitas sedang.

965
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F018UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

V. KESIMPULAN
Dari hasil studi pendahuluan karakteristik lempung Gunung Gedang, Kecamatan
Seyegan, Kabupaten Sleman DIY dapat disimpulkan bahwa:

1. Gunung Gedang tersusun oleh batuan diorit. Batuan tersebut telah mengalami proses
alterasi hidrotermal dan proses pelapukan yang menghasilkan material lempung.

2. Jenis mineral lempung penyusun Gunung Gedang berupa mineral smektit, kaolinit,
dan ilit.

3. Lempung Gunung Gedang memiliki komposisi ukuran butir lempung sebesar 33,64 –
33,80% sehingga dapat diklasifikasikan sebagai lempung lanauan (silty clay). Lempung
tersebut memiliki indeks plastisitas sebesar 5,1% - 14,1% yang mengindikasikan sifat
keplastisannya rendah sampai menengah.

ACKNOWLEDGEMENTS
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Departemen Teknik Geologi, Fakultas
Teknik, Universitas Gadjah Mada yang telah memberikan dana hibah untuk penelitian
ini dan telah menyediakan fasilitas laboratoium untuk analisis sampel.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2017. ASTM D4318 – 17e1: Standard Test Methods for Liquid Limit, Plastic Limit, and
Plasticity Index of Soils. West Conshohocken, Pennsylvania: ASTM International.
Bemmelen, R.W.V. 1949. The Geology of Indonesia: General Geology of Indonesia and Adjacent
Archipelagoes, Volume IA. The Hague: Government Printing Office.
Bronto, S., Ratdomopurbo, A., Asmoro, P., dan Adityarani, M. 2014. Longsoran Raksasa Gunung
Api Merapi, dimuat dalam Jurnal Geologi dan Sumberdaya Mineral, Volume 15. Bandung:
Pusat Survei Geologi.
Kamtchueng, B.T., Onana, V.L., Fantong, W.Y., Ueda, A., Ntouala, R.F.D., Michel HD Wongolo,
M.H.D., Ghislain B Ndongo, G.B., Ngo’o Ze, A., Kamgang, V.K.B., and Ondoa, J.M. 2015.
Geotechnical, chemical and mineralogical evaluation of lateritic soils in humid tropical
area (Mfou, Central-Cameroon): Implications for road construction. International Journal
of GeoEngineering, 21p. Open Access. DOI 10.1186/s40703-014-0001-0
Morrison, K., 1997, Important Hydrothermal Minerals and their Significance. Geothermal and
Minerals Service. Division Limited.
Murray, Haydin H. 2007. Applied Clay Mineralogy: Occurences, Processing, and Application of
Kaolinites, Bentonites, Palygorskytes-Sepiolite, and Common Clays. Amsterdam: Elsevier.
Rahardjo, W., Sukandarrumidi., Rosidi, H.M.D. 1995. Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Jawa.
Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Sukandarrumidi. 2009. Bahan Galian Industri. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Velde,
B. 1992. Introduction to Clay Minerals: Chemistry, Origins, Uses, and Enviromental
Significance. Berlin: Springer.

966
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F018UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Table 1. Hasil analisis Ukuran Butir Sampel Lempung.

Uji Fisik AP-28 AP-31


Coarse-grained particles (%) 0.00 0.00

Gravel (%) 0.00 0.00

Sand (%) 0.00 0.00


Fine-grained particles (%) 100.00 100.00

Silt (%) 66.20 66.36

Clay (%) 33.80 33.64

Tabel 2. Hasil analisis Plastisitas Sampel Lempung.

Uji Fisik AP-28 (%) AP-31 (%)

Batas Cair (Liquid Limit) LL Ketukan 25 13.570 22.115


w /3
Batas Plastis (Plastic Limit) PL PL 8.442 7.991
Indeks Plastisitas (Plasticity
Index) PI LL-PL 5.128 14.123

967
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F018UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Peta lokasi daerah penelitian dan lokasi titik pengambilan sampel (digambar ulang dari
softmoreavid.com, infojogja.blogspot.com, dan Google Maps)

968
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F018UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Peta geologi regional bagian tengah dari Lembar Yogyakarta (Rahardjo dkk, 1995) dan
interpretasi struktur melingkar oleh Hartono dkk. (2017), serta lokasi daerah penelitian.

969
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F018UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Sampel setangan batuan diorit

970
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F018UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Fotomikrograf diorit pada kenampakan PPL (atas) dan XPL (bawah).

971
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F018UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. Horison tanah yang terbentuk pada singkapan diorit yang telah lapuk.

972
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F018UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 6. Kenampakan urat hidrotermal pada singkapan diorit.

973
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F018UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 7. Sampel lempung AP-28 (kiri) dan AP-31 (kanan).

Gambar 8. Hasil analisis XRD sampel AP-28.

974
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F018UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 9. Hasil analisis XRD sampel AP-31.

975
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F019UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

STUDI PENDAHULUAN KARAKTERISTIK LEMPUNG TERHADAP


KERUSAKAN JALAN RAYA KEMUSU-JUWANGI, KABUPATEN BOYOLALI,
JAWA TENGAH

Anastasia Dewi Titisari 1*, Aris Sutikno 1

Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Jl. Grafika No. 2, Bulaksumur,
Yogyakarta 55281 1*

*Corresponding Author: adewititisari@ugm.ac.id

SARI. Penggunaan transportasi darat memiliki peranan yang sangat vital bagi kehidupan
bermasyarakat, akibatnya jumlah kendaraan bermotor pun meningkat. Peningkatan penggunaan
kendaraan bermotor itu tidak diimbangi oleh fasilitas jalan yang memadai. Banyak jalan-jalan
penghubung desa maupun kota yang mengalami kerusakan. Kerusakan jalan dapat dipengaruhi
oleh dua faktor, yaitu faktor kontruksi jalan maupun faktor alas penopang kontruksi jalan. Faktor
alas penopang kontruksi jalan berhubungan dengan batuan sebagai pondasi atau alas jalan yang
mengandung lempung yang mempunyai sifat ekspansif ( swelling). Sifat yang dimiliki lempung
tersebut menyebabkan lempung mengembang jika terkena fluida dan menyusut jika kehilangan
fluida, dicirikan dengan munculnya retakanretakan saat lempung dalam kondisi kering. Hal
tersebut memicu kerusakan kontruksi jalan diatasnya. Salah satu jalan yang merupakan jalan utama
penghubung Kemusu-Juwangi, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah memiliki ciri mudah rusak walau
sudah sering diperbaiki. Secara geologi, daerah tersebut disusun oleh Formasi Kerek dan Formasi
Kalibeng yang didominasi oleh material bersifat lempungan. Oleh karena itu, studi karakteristik
lempung daerah penelitian menjadi penting agar dapat diketahui faktor yang mempengaruhi
kerusakan jalan ditinjau dari aspek mineraloginya. Metode pengambilan data dilakukan secara
langsung berupa pengambilan sampel batuan yang kemudian dianalisis secara petrografi dan XRD
(X-Ray Diffraction). Pengamatan megaskopis batuan dan pengamatan petrografi digunakan untuk
mengetahui karakteristik batuannya, sedangkan analisis XRD digunakan untuk mengetahui jenis
mineral lempung penyusun batuan yang menjadi alas penopang konstruksi jalan. Berdasarkan
pengamatan petrografi, diketahui bahwa litologi penyusun daerah penelitian adalah sandy micrite
dan allochemic sandstone. Hasil analisis XRD menunjukan kehadiran mineral montmorilonit,
kaolinit, haloisit, klorit, feldspar, kuarsa, dan plagioklas. Kehadiran mineral lempung tersebut,
khususnya mineral montmorilonit yang merupakan mineral lempung dengan sifat swelling tinggi,
berpotensi merusak kontruksi jalan jalur Kemusu-Juwangi, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.

Kata kunci: lempung, swelling, petrografi, XRD, Boyolali

I. PENDAHULUAN
Transportasi darat merupakan transportasi yang dominan digunakan oleh
masyarakat dalam menunjang kegiatan ekonomi, sosial, dan budaya. Namun, penggunaan
transportasi darat tidak diimbangi oleh insfrastruktur dan fasilitas jalan yang memadai
karena banyak jalan penghubung antar daerah termasuk dalam kategori jalan yang kurang
layak (rusak). Pardoyo dkk (2017) mengungkapkan bahwa kerusakan jalan dapat

976
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F019UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

disebabkan oleh dua faktor, yaitu konstruksi jalan itu sendiri atau pun alas penopang
konstruksi jalan. Faktor alas penopang menjadi perhatian khusus karena batuan yang
menopang konstruksi jalan memiliki kandungan material yang beraneka ragam. Jika alas
penopang tersusun oleh batuan dengan dominasi penyusunnya berupa lempungan
dengan sifat swelling, maka lempung akan mudah mengembang dan menyusut ketika
terkena pengaruh oleh fluida. Hal itu dapat menjadi pemicu terhadap kerusakan jalan di
atasnya. Salah satu jalan yang mudah mengalami kerusakan dan dijadikan topik pada
penelitian ini yaitu jalan utama penghubung Kemusu – Juwangi, Kabupaten Boyolali,
Provinsi Jawa Tengah. Daerah penelitian meliputi 4 desa yaitu Desa Ngaren, Desa
Kedungmulyo, Desa Guwo, dan Desa Kemusu di Kecamatan Juwangi dan Kecamatan
Kemusu, Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah dengan koordinat UTM 470250-
472250 dan 9196750-9200250. Daerah penelitian berbatasan dengan Kecamatan Kedungjati
di bagian barat, Kecamatan Wonosegoro di bagian selatan, Kecamatan Geyer di bagian
timur, dan Kecamatan Karangrayung di bagian utara. Daerah penelitian berada di sebelah
timur laut Kota Yogyakarta yang berjarak kurang lebih 100 km dan dapat ditempuh
menggunakan kendaraan darat selama 3 jam perjalanan melalui jalan Raya Yogyakarta –
Surakarta, jalan Raya Surakarta – Kemusu, dan jalan Raya Kemusu – Ngaren (Gambar 1).

Secara geologi, daerah penelitian disusun oleh Formasi Kerek dan Formasi
Kalibeng yang didominasi oleh material bersifat lempungan. Lempung merupakan
material yang terbentuk secara alami dan tersusun oleh mineral yang berukuran halus, jika
berada pada kondisi dengan kandungan air yang cukup akan bersifat plastis, dan akan
mengeras ketika dikeringkan atau dipanaskan. Lempung biasanya mengandung material
filosilikat dan material lain yang memberi sifat plastis dan keras ketika
dikeringkan/dipanaskan. Secara sederhana, lempung tersusun oleh mineral lempung,
mineral lain, dan material organik (organic matter). Mineral lempung adalah mineral
filosilikat dan mineral lain yang memberi baik sifat plastis maupun sifat keras ketika
dipanaskan atau dikeringkan (Al-Ani dan Sarapaa, 2008). Lempung dibedakan menjadi
lempung non ekspansif dan lempung ekspansif (Reeves dkk, 2006). Lempung non
ekspansif adalah lempung yang tidak memiliki kemampuan kembang – susut yang tinggi.
Lempung ekspansif adalah mineral lempung dengan kemampuan kembang – susut yang
tinggi. Ketika kadar fluida dalam lempung tinggi, maka pori-pori lempung akan diisi oleh
fluida tersebut sehingga volume lempung meningkat (swell). Sebaliknya, ketika kadar
fluida rendah, maka perubahan volume lempung akan terjadi penyusutan (shrink).

Oleh karena itu, studi karakteristik lempung daerah penelitian menjadi penting agar dapat
diketahui faktor yang mempengaruhi kerusakan jalan ditinjau dari aspek mineraloginya.

II. GEOLOGI
Zona Kendeng dibedakan menjadi 3 sub zona berdasarkan jalur antiklinoriumnya
(de Genevrave dan Samuel, 1972) yaitu bagian barat, bagian tengah, dan bagian timur.

977
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F019UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Berdasarkan pada pembagian klasifikasi tersebut, daerah Kemusu – Juwangi, Kab. Boyolali
termasuk ke dalam Zona Kendeng bagian barat.

2.1. Stratigrafi Regional

Menurut de Genevrave dan Samuel (1972), stratigrafi utama penyusun Zona


Kendeng bagian bawah merupakan endapan laut dalam, semakin ke atas menjadi endapan
laut dangkal dan endapan nonlaut. Formasi yang menyusun Zona Kendeng bagian barat
adalah Formasi Pelang, Formasi Kerek, Formasi Kalibeng, dan Aluvium (Gambar 2).

1. Formasi Pelang (Tomp)

Formasi Pelang merupakan batuan tertua yang ada di Zona Kendeng. Formasi ini
tersusun oleh perulangan napal dan napal lempungan dengan lensa gamping bioklastik
yang mengandung fosil foraminifera besar berumur Miosen Awal. Lokasi formasi ini
berada di Desa Pelang, ke selatan dari Kecamatan Juwangi dan beberapa di Kecamatan
Juwangi. Formasi Pelang terendapkan di laut zona batial dengan kedalaman 1-2 km di
bawah muka air laut. Singkapan yang tersingkap dipermukaan berkisar 85-125 m dengan
batas bagian bawah dan atas tidak diketahui secara pasti karena dibatasi oleh suatu sesar
yang membatasi dengan Formasi Kerek diatasnya.

2. Formasi Kerek (Tmk)

Formasi Kerek merupakan batuan yang berbatasan langsung dengan Formasi


Pelang. Formasi ini tersusun oleh perulangan perselingan batupasir, batulanau,
batulempung, batupasir tuf karbonatan dan batupasir tufan serta kandungan bahan
gunungapi yang banyak. Perulangan batuan yang hadir merupakan struktur sedimen
berupa perlapisan bersusun (graded bedding). Lokasi Formasi Kerek berada di Desa
Kerek, bagian tepi sepanjang Sungai Bengawan Solo yang berjarak sekitar 8 km ke utara
dari Ngawi (de Genevrave dan Samuel, 1972) hingga ke Kecamatan Juwangi. Formasi ini
berumur Miosen Tengah-Akhir. Formasi Kerek terendapkan di zona lereng batial atas
dengan kedalaman 200-500 m hasil dari endapan turbidit distal.

3. Formasi Kalibeng (Tmpk)

Formasi Kalibeng dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu bagian bawah dan bagian atas.

a. Formasi Kalibeng bagian bawah

Formasi Kalibeng bagian bawah ini tersusun oleh napal masif yang berwarna putih
kekuningkuningan hingga abu-abu kebiru-biruan dengan ketebalan sekitar 600 m dengan
kandungan foraminifera planktonik. Di Zona Kendeng Tengah yaitu di sekitar daerah
Gunung Pandan, formasi ini menunjukan struktur turbidit hasil dari endapan vulkanik
laut. Formasi ini berumur Miosen Akhir – Pliosen.

978
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F019UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

b. Formasi Kalibeng bagian atas

Formasi Kalibeng bagian atas tersusun oleh kalkarenit berwarna putih kekuning-
kungan dengan kandungan baik foraminifera plangtonik maupun besar, moluska, koral,
algae dan mengandung perlapisan napalan atau pasiran. Semakin ke atas, satuan batuan
yang diendapkan berupa breksi dengan fragmen gamping dengan ukuran kerikil dan
semen karbonat, kemudian napal pasiran hingga napal lempungan, dan lempung
berwarna hijau kebiru-biruan. Ketebalan formasi ini berkisar antara 27 – 589 m. Formasi ini
berumur Pliosen dengan lingkungan pengendapan di laut dangkal.

4. Aluvium (Qa)

Aluvium merupakan endapan yang tersusun oleh kerakal, kerikil, pasir dan
lempung yang biasa ditemukan disepanjang Sungai Karangboyo, Sungai Serang dan
Sungai Klampisan. Endapan ini berumur holosen.

Berdasarkan peta geologi bagian tengah dari Lembar Salatiga (Gambar 2), formasi
yang berkaitan dengan daerah penelitian yaitu Formasi Kerek dan Formasi Kalibeng.

2.2. Struktur Geologi

Struktur geologi yang ditemukan di peta geologi regional bagian tengah Lembar
Salatiga yaitu sesar dan perlipatan. Sesar berupa sesar naik Kedunglo yang dijumpai di
sebelah timur laut dan sesar geser sinistral Cekelan di sebelah barat daya, sedangkan
perlipatan berupa lipatan sinklin, sinklin terbalik, dan antiklin terbalik yang terpusat
dibagian tengah. Struktur geologi regional yang kemungkinan mempengaruhi daerah
penelitian adalah sinklin Krobokan (Gambar 2) .

III. METODE PENELITIAN


Pengumpulan data, pengamatan lapangan, dan review peta geologi regional bagian
tengah Lembar Salatiga (Sukardi dan Budhitrisna, 1992) dilakukan sebagai dasar untuk
pembuatan peta geologi daerah penelitian (Gambar 3). Pembuatan peta geologi ini
bertujuan agar dapat memberikan gambaran umum terhadap kondisi geologi daerah
penelitian. Sampel batuan untuk analisis petrografi berjumlah 3 sampel dengan rincian 1
sampel mempresentasikan satuan batulempung sisipan batupasir dan 2 sampel lain
mewakili satuan batulanau. Sampel XRD berjumlah 2 sampel yang mewakili tiap satuan
batuan (Gambar 3). Sampel ini berguna untuk penentuan mineralogi lempung.
Pengambilan sampel ditentukan berdasarkan kondisi jalan yang rusak ringan dan rusak
berat sehingga dapat diketahui peran mineralogi lempung sebagai alas kontruksi jalan
terhadap kerusakan jalan. Langkah tersebut berguna dalam studi awal penentuan
karakteristik lempung terhadap kerusakan jalan tanpa harus melakukan pengujian lebih
detail, seperti uji keteknikan tanah dan batuan alas kontruksi jalan yang akan dilakukan
pada tahapan berikutnya dari penelitian ini. Untuk tingkat kerusakan jalan, penulis

979
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F019UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

menggunakan penilaian parameter jenis konstruksi jalan, luasan dimensi kerusakan jalan,
dan bahan kontruksi jalan secara subjektif.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1. Karakteristik Litologi

Penentuan satuan litologi didasarkan dari pengamatan makroskopik singkapan, dominasi


penyebaran litologi, dan pengamatan mikroskopik sampel batuan. Berdasarkan pekerjaan
tersebut, daerah penelitian tersusun oleh satuan batulempung sisipan batupasir yang
terdistribusi di bagian utara dan selatan, dan satuan batulanau tersebar di bagian tengah
daerah penelitian (Gambar 3). Deskripsi lebih detail terkait satuan ini adalah sebagai
berikut:

1. Satuan batulempung sisipan batupasir

Secara umum, terdapat 3 jenis litologi penyusun satuan batulempung sisipan


batupasir ini, yaitu litologi batulempung karbonatan, batulanau karbonatan dan batupasir
karbonatan. Perbedaan ketiganya terletak di dominasi batuan dalam singkapan, dimana
batulempung dan batulanau karbonatan memiliki persentase yang lebih banyak
dibandingkan batupasir karbonatan. Struktur sedimen yang ditemukan di kedua stasiun
pengamatan juga berbeda. Di stasiun pengamatan 1 ditemukan hancuran litologi
batulempung karbonatan (Gambar 4a), sedangkan di stasiun pengamatan 3 ditemukan
hancuran batulempung karbonatan dengan sisipan batupasir karbonatan (Gambar 4b).

Secara umum, berdasarkan klasifikasi penamaan batuan (Wentworth, 1992),


batupasir karbonatan perlapisan (Gambar 4b) memperlihatkan warna coklat, ukuran
pasir, sortasi baik, kemas tertutup, struktur perlapisan, komposisi mineral kuarsa,
plagioklas, tuf, dan material karbonat; batulempung karbonatan (Gambar 4b) berwarna
coklat, ukuran lempung, sortasi baik, struktur perlapisan, komposisi material berukuran
lempung, dan material karbonat. Secara umum, kedua batuan tersebut hampir memiliki
karakteristik yang sama, perbedaannya terletak pada ukuran butir penyusun batuan dan
strukturnya.

Selain pengamatan makroskopis, juga dilakukan pengamatan secara mikroskopis


menggunakan sayatan tipis (petrografi). Pengamatan petrografi hanya dilakukan terhadap
batupasir karbonatan, sedangkan batulempung karbonatan dilakukan pengujian XRD
karena ukurannya yang terlalu kecil bagi lensa-lensa mikroskop polarisasi. Berdasarkan
pengamatan petrografi, kenampakan sayatan tipis batupasir karbonatan (Gambar 4b)
memiliki warna colorless atau putih kecoklat-coklatan pada nikol sejajar (PPL) (Gambar 6a),
abu-abu kehitamhitaman pada nikol bersilang (XPL) (Gambar 6b), ukuran butir <0,025 –
0,5 mm, sortasi buruk, komposisi mineral; fragmen: skeletal fragmen 15%, plagioklas 15%,
kuarsa 10%, dan opak 5%. Matrik: gelas vulkanik 14%, mikrit 13%, dan sparit 11%.
Berdasarkan klasifikasi Mount (1985), batuan tersebut dinamakan allochemic sandstone .

980
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F019UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

2. Satuan batulanau

Satuan batulanau tersusun oleh 2 jenis litologi, yaitu batulanau karbonatan dan
batupasir karbonatan. Batulanau karbonatan memiliki dominasi kehadiran yang lebih
banyak dibandingkan kelimpahan batupasir karbonatan. Batupasir karbonatan hanya
bersifat perselingan batuan diantara perlapisan batulanau karbonatan. Singkapan batuan
di STA 2 merupakan singkapan yang tersusun oleh perselingan litologi batulanau
karbonatan dan batupasir karbonatan. Secara umum, berdasarkan klasifikasi penamaan
batuan (Wentworth, 1992), batulanau karbonatan (Gambar 5) berwarna abu-abu, ukuran
lanau, sortasi baik, struktur perlapisan, komposisi material berukuran lanau, tuf, dan
material karbonat; batupasir karbonatan (Gambar 5) memperlihatkan warna coklat,
ukuran pasir halus – sedang, sortasi baik, kemas tertutup, struktur perlapisan, komposisi
mineral kuarsa, plagioklas, tuf, dan material karbonat.

Berdasarkan pengamatan mikroskopis, sayatan tipis batulanau karbonatan


(Gambar 5) berwarna putih kecoklat-coklatan pada nikol sejajar (PPL) (Gambar 6c),
berwarna abu-abu kehitam-hitaman pada nikol bersilang (XPL) (Gambar 6d), ukuran
<0,025 – 0,1 mm, sortasi baik, komposisi mineral; fragmen: skeletral fragmen, plagioklas,
kuarsa, dan opak dengan matriks berupa material vulkanik, mikrit, dan sparit.
Berdasarkan klasifikasi Mount (1985), batuan tersebut dinamakan sandy micrite; sayatan
tipis batupasir karbonatan (Gambar 5) memiliki warna putih kecoklat-coklatan pada nikol
sejajar (PPL) (Gambar 6e), berwarna abuabu kehitam-hitaman pada nikol bersilang (XPL)
(Gambar 6f), ukuran <0,025 – 0,5 mm, sortasi baik, komposisi mineral; fragmen: skeletral
fragmen, plagioklas, kuarsa, dan opak dengan matriks berupa material vulkanik, mikrit,
dan sparit. Berdasarkan klasifikasi Mount (1985), batuan tersebut dinamakan allochemic
sandstone.

Berdasarkan pengamatan di lapangan dan di laboratorium, karakteristik batupasir


karbonatan di satuan batulanau hampir sama dengan batupasir karbonatan di satuan
batulempung sisipan batupasir. Perbedaan keduanya terletak di dominasi kehadiran,
dimana batupasir karbonatan lebih sedikit dijumpai di satuan batulanau. Karakteristik
batulanau karbonatan di satuan batulanau juga hampir sama dengan batulanau
karbonatan di satuan batulempung sisipan batupasir. Perbedaannya terletak didominasi
kehadiran, dimana batulanau karbonatan dijumpai lebih banyak di satuan batulanau.
Kemudian, batulanau karbonatan memiliki struktur perlapisan dan masif di satuan
batulanau, sedangkan di satuan batulempung sisipan batupasir hanya bersifat perlapisan.
Secara umum, perbedaan satuan hanya didasarkan pada ukuran butir penyusun batuan
dan kelimpahan batuan yang ada di lapangan.

4.2. Karakteristik Struktur Geologi

Berdasarkan peta geologi regional Lembar Salatiga bagian Tengah skala 1:100.000
(Gambar 2), diketahui bahwa struktur geologi di daerah penelitian dilalui oleh lipatan

981
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F019UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

sinklin Krobokan. Berdasarkan penelitian lapangan dengan skala 1:25.000,


penentuan/interpretasi struktur geologi berupa sinklin di daerah penelitian dihasilkan dari
rekonstruksi arah dan kedudukan perlapisan batuan pada stasiun-stasiun pengamatan
(Gambar 3). Singkapan yang mendukung interpretasi sinklin dapat dilihat pada gambar 7
yang menampilkan arah dan kemiringan lapisan singkapan yang saling berlawanan.
Singkapan pada STA 5 mewakili sayap utara dengan strike dip N105°E/30° dan singkapan
pada STA 3 mewakili sayap selatan dengan strike dip N262°E/47° (Gambar 7).

4.3. Karakteristik Lempung

Mineralogi lempung dapat diketahui dengan melakukan pengujian XRD (X-Ray


Diffraction). Analisis ini menggunakan radiasi gelombang elektromagnetik berukuran 10-8
– 10-12 m. Penggunaan analisis XRD digambarkan dalam bentuk gelombang refleksi dari
sinar X sehingga dapat diketahui karakteristik mineral lempung. Analisis XRD
menggunakan perlakuan clay treatment sehingga dapat diketahui nilai peak AD (air dried),
EG (ethylen glycol), dan heating 550°. Ethylon glycol berfungsi untuk mengetahui suatu
mineral kristalin yang memiliki sifat mengembang (swelling), sedangkan heating digunakan
untuk mengidentifikasi jenis mineral yang tidak tahan terhadap panas. Berdasarkan
pengujian XRD terhadap sampel AS.BL.STA2 yang mempresentasikan satuan batulanau
dijumpai kelimpahan mineral montmorilonit, sepiolit, dan klorit (Gambar 8). Pada sampel
AS.BL.STA3 yang mewakili satuan batulempung sisipan batupasir, dijumpai kehadiran
mineral montmorilonit, kaolinit, dan sepiolit (Gambar 9). Perbedaan kehadiran mineral
montmorilonit di STA 2 dan STA 3 berdasarkan hasil uji XRD tersebut terletak pada nilai
intensitasnya. Untuk sampel STA 3 pada kondisi air dried dengan nilai d (jarak bidang kisi
pemantul) adalah 15,6 Å atau nilai 2Ө=5,66 menunjukkan intensitas (±440) lebih tinggi
dibanding montmorilonit STA 2 pada kondisi yang sama dengan d adalah 15,9 Å (2Ө=5,54)
yang menunjukkan intensitas lebih rendah (±315). Hal tersebut mengindikasikan
kemungkinan bahwa kelimpahan montmorilonit di STA 3 lebih dominan daripada
montmorilonit di STA 2.
Mineral montmorilonit merupakan mineral lempung yang memiliki sifat swelling
yang lebih besar disbanding mineral lempung lain. Montmorilonit mampu untuk
mengembang (swell) ketika terjadi penambahan fluida dan menyusut ketika kehilangan
fluida (shrink) (Reeves dkk, 2006). Kedua proses tersebut sangat beresiko terhadap
konstruksi jalan diatasnya. Ketika musim hujan, maka montmorilonit akan mengembang
dengan kemampuan maksimal, dimana hal tersebut dapat membuat jalan mengalami
deformasi (perubahan bentuk) ke atas, dan ketika musim kemarau, maka montmorilonit
akan menyusut sehingga terjadi penuruan kontruksi jalan. Kedua proses swelling dan
shrinking itu dapat mengakibatkan kerusakan jalan seperti bergelombang, bergeser,
berlubang, dan retak – retak bagi kontruksi jalan diatas alas konstruksi zona lempung
montmorilonit. Dengan demikian, montmorilonit yang ditemukan hadir disemua sampel
di daerah penelitian dianggap sebagai mineral kunci yang menyebabkan kerusakan jalan
yang ada.

982
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F019UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

4.4. Hubungan Lempung terhadap Kerusakan Jalan

Tingkat kerusakan jalan di lapangan dibedakan berdasarkan kondisi jenis


kerusakan jalan, luasan area kerusakan jalan, dan jenis bahan kontruksi jalan. Ketiga
parameter kondisi kerusakan jalan tersebut ditinjau dari penilaian perspektif secara
subjektif (Tabel 1). Parameter jenis kerusakan jalan, secara berurutan dari yang terberat
hingga teringan, dapat dibedakan menjadi bergelombang, bergeser, berlubang, dan
retakan. Kerusakan jalan jenis bergelombang merupakan jenis kerusakan jalan terberat
dibandingkan jenis retakan karena dibutuhkan kemampuan swelling yang besar oleh
mineral lempung untuk dapat membuat jalan mengalami fase bergelombang. Parameter
kedua yaitu luasan kerusakan jalan. Semakin luas area jalan yang mengalami kerusakan
jalan mengindikasikan bahwa kehadiran mineral lempung yang mempunyai sifat swelling
tinggi semakin banyak. Dan parameter terakhir berupa jenis bahan kontruksi jalan. Bahan
konstruksi jalan hingga saat ini, khususnya di Indonesia, dibedakan menjadi dua bahan,
yaitu bahan aspal dan beton. Perbedaan kedua bahan ini terletak di bagian kekuatan dan
sifat bahannya. Bahan beton memiliki kekuatan bahan yang lebih besar dibandingkan
bahan aspal. Selain itu, beton memiliki sifat yang keras dibandingkan bahan aspal yang
memiliki sifat lentur. Oleh karena itu, jika suatu jalan yang mengalami kerusakan jalan
terbuat dari bahan beton menunjukan bahwa tingkat penyebab kerusakan jalan oleh alas
penopang cukup besar dibandingkan bahan aspal.

Berdasarkan kenampakan jalan di lapangan, diketahui bahwa kontruksi jalan di


STA 3 memiliki jenis kerusakan jalan berupa lubang dan retakan dengan luasan area yang
cukup besar, sedangkan STA 2 terdapat kerusakan jalan berupa retakan dengan luasan
area di beberapa titik (Tabel 1; Gambar 10). Hal itu dipengaruhi oleh kehadiran mineral
lempung sebagai alas kontruksi jalan. STA 3 yang tersusun oleh mineral montmorilonit,
kaolinit, dan sepiolit memiliki tingkat kerusakan jalan yang lebih besar dibandingkan STA
2 yang tersusun oleh kelompok mineral montmorilonit, sepiolit, dan klorit. Asosiasi
mineral ini menjadi penting karena pemakaian unsur bersama yang menjadikan mineral
lempung terbentuk. Kandungan unsur Mg pada montmorilonit
(Na,Ca)0.33(Al,Mg)2(Si4O10)(OH)2·12H2Ojuga digunakan juga oleh mineral lain, yaitu sepiolit
Mg4Si6O15(OH)2·6H2Odan klorit ((Mg,Al)(OH)8 AlSi3O8) sehingga persentase kelimpahan
montmorilonit menjadi berkurang di STA 2. Sedangkan di STA 3 unsur Mg hanya
digunakan oleh montmorilonit dan sepiolit tanpa diganggu oleh mineral kaolinit
(Al2Si2O5(OH)4) (Kraus dkk, 1951). Kondisi tersebut didukung oleh hasil karakteristik XRD
pada lempung yang sudah dijelaskan pada sub bab 4.3. bahwa montmorilonit pada
lempung di STA 3 menunjukkan nilai intensitas yang lihat lebih tinggi (Gambar 8)
dibanding dengan montmorilonit pada STA 2 (Gambar 9). Hal tersebut, memungkinkan
kelimpahan montmorilonit di STA 3 lebih besar dibandingkan kelimpahan montmorilonit
di STA 2. Oleh karenanya, di STA 3 yang mewakili satuan batulempung sisipan batupasir
yang dikarakteristikkan dengan kelimpahan montmorilonit yang lebih dominan, memiliki
potensi dan tingkat kerusakan jalan yang lebih besar dibanding dengan STA 2 yang
mewakili satuan batulanau.

983
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F019UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

V. KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian pendahuluan tentang karakteristik lempung terhadap kerusakan
jalan raya Kemusu – Juwangi, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah dapat disimpulkan
bahwa:

1. Daerah penelitian tersusun oleh satuan batulempung sisipan batupasir dan satuan
batulanau.

2. Mineral lempung yang hadir di daerah penelitian berupa montmorilonit, kaolinit,


sepiolit, dan klorit. Montmorilonit diinterpretasikan sebagai mineral lempung yang
berpotensi dapat merusak konstruksi jalan karena mempunyai sifat swelling yang besar.

3. Tingkat kerusakan jalan di STA 3 yang terletak pada satuan batulempung sisipan
batupasir lebih besar dibandingkan STA 2 yang terletak pada satuan batulanau karena
kehadiran mineral montmorilonit yang lebih mendominasi pada STA 3.

ACKNOWLEDGEMENTS
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik,
Universitas Gadjah Mada yang telah menyediakan dana hibah untuk penelitian ini dan
atas penyediaan fasilitas laboratoium untuk analisis sampel.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Ani, T., dan Sarapaa, O., 2008, Clay and Clay Mineralogy: Physical – Chemical Properties and Industrial
Uses: Geological Survey of Finland.
Chen, P.Y., 1977, Table of Key Lines in X-Ray Powder Diffraction Patterns of Minerals in Clays and
Associated Rocks: The State of Indiana, Bloomington.
De Genevraye, P., dan Samuel, L., 1972, Geology of The Kendeng Zone (Central & East Java), Proceedings of
the Indonesian Petroleum Association First Annual Convention and Exhibition: p. 17 – 30.
Kraus, E.H., Hunt, W.F., dan Ramsdell, L.S., 1951, Mineralogy: an introduction to the study of minerals and
crystals: New York, McGraw-Hill Book Company, Inc.
Mount, J.F., 1985, The Mixing of Silisiclastic and Carbonate Sediments in the Shallow Shelf Environment:
Geology, 12, p.432-435.
Pardoyo, B., Gunarso, A., Nuprayogi, R., dan Partono, W., 2017, Stabilisasi Tanah Lempung Ekspansif
dengan Campuran Larutan NaOH 7.5%: Jurnal Karya Teknik Sipil, vol. 6, p. 238-245.
Reeves, G.M., Sims, I., dan Cripps, J.C., 2006, Clay Materials Used in Construction: London, Engineering
Geology Special Publication.
Sukardi dan Budhitrisna, T., 1992, Peta Geologi Lembar Salatiga, Jawa: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi, skala 1:100.000, 1 lembar.

984
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F019UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Wentworth, C.K., 1922, A Scale of Grade and Class Terms for Clastic Sediments: The Journal of Geology,
vol.30, no.5, p.377-392 .

985
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F019UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 1. Tingkat kerusakan jalan STA 2 dan STA 3


Dimensi Jenis bahan Tingkat
STA Jenis kerusakan
kerusakan konstruksi kerusakan
STA 2 Retak – retak 25% Aspal Rendah
STA 3 Berlubang, retak – retak 60% Aspal Tinggi

Tabel 2. Rangkuman data lapangan dan laboratorium STA 2 dan STA 3


Keterangan STA 2 STA 3
Satuan batulempung sisipan
Satuan batuan Satuan batulanau batupasir
Hasil analisis Sandy micrite, allochemic
Allochemic sandstone
petrografi sandstone
Asosiasi
Montmorilonit, sepiolit, dan Montmorilonit, kaolinit, dan
mineral
klorit sepiolit
lempung
Tingkat
kerusakan Rendah Tinggi
jalan

986
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F019UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Lokasi daearah penelitian yang terletak di Desa Ngaren dan sekitarnya, Kec.
Kemusu – Juwangi, Kab. Boyolali, Jawa Tengah (Bakosurtanal, 1998)

987
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F019UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Peta geologi regional bagian tengah dari Lembar Salatiga (Sukardi dan Budhitrisna,
1992) dan lokasi daerah penelitian

988
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F019UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Peta geologi daerah penelitian

Gambar 4. Singkapan (a) batulempung karbonatan di STA 1 (kamera menghadap selatan) dan
(b) batulempung karbonatan sisipan batupasir karbonatan di STA 3 (kamera menghadap barat)

989
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F019UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. Singkapan perlapisan batulanau karbonatan dengan batupasir karbonatan di STA 2


(kamera menghadap barat)

990
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F019UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 6. Sayatan tipis allochemic sandstone (a) PPL STA 3 (b) XPL STA 3 (e) PPL STA 2 (f) XPL
STA 2; sandy micrite (c) PPL STA 2 (d) XPL STA 2

991
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F019UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 7. Singkapan (a) STA 5 berasal dari sayap utara dan (b) STA 3 berasal dari sayap selatan

Gambar 8. Hasil analisis XRD STA 2

992
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F019UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 9. Hasil analisis XRD STA 3

Gambar 10. Kerusakan jalan di (a) STA 2 dan (b) STA 3

993
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F020UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

PETROLOGI BATUAN VULKANIK PULAU BAWEAN, KABUPATEN


GRESIK, JAWA TIMUR

Agus Hendratno 1 , Farah Diba Khoir 1*


1 Jl. Grafika No.2 Bulaksumur, Yogyakarta Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM
*Corresponding Author: frhdibakhr@gmail.com

ABSTRAK. Pulau Bawean atau Gunung Bawean merupakan salah satu satu gunungapi belakang
busur yang ada di bagian utara Pulau Jawa (Laut Jawa) yang termasuk sebagai gunungapi
Kuarter. Gunung Bawean terletak pada posisi geografis 5°43' sampai 5°52' LS dan 112°34' sampai
112°44' BT. Secara administraif, Gunung Bawean merupakan bagian dari Kabupaten Gresik, Jawa
Timur dengan luas daerah sekitar 200 kilometer persegi. Lokasi penelitian berada di sekitar Pulau
Bawean, Kecamatan Sangkapura, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Batuan vulkanik tersebut
masuk ke dalam Formasi Batuan Gunungapi Balibak. Penelitian dilakukan dengan pengamatan
lapangan dan pengambilan data dilakukan secara setempat-setempat (spot sampling). Data yang
diperoleh kemudian dianalisis menggunakan petrografi dan ICP-AES-MS. Secara pengamatan
megaskopis di lapangan terdapat dua jenis yang dihasilkan berwarna abu-abu gelap dan abu-abu
kehijauan dengan tekstur afanitik dan porfiroafanitik. Secara petrografi, batuan memiliki tekstur
porfiritik, glomeroporfiritik, trakitik, dan pilotasitik. Batuan memiliki kandungan mineral nefelin
dan leusit yang mengindikasikan adanya nilai potasium yang tinggi. Pada batuan tidak dijumpai
adanya kuarsa sehingga dapat dikatakan bahwa batuan bersifat silica undersaturated. Data analisis
geokimia batuan menunjukkan nilai SiO2 yaitu 47,5-54,5% yang menunjukkan batuan bersifat
basa. Nama batuan yang ada yaitu trachy basalt, basaltic trachy andesite, phonolite, phono-tephrite,dan
tephri-phonolite. Secara geokimia, afinitas magma yaitu calc-alkaline dan seri magma pada batuan
yaitu high-K series dan shosonitic series.

Keyword : petrologi, pulau bawean, vulkanik, potasium tinggi

I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang

Pulau Bawean adalah salah satu pulau kecil yang terletak di utara Pulau Jawa.
Pulau ini memiliki banyak sumber daya, baik sumber daya alam maupun sumber daya
geologi. Pulau ini merupakan pulau vulkanik yang terbentuk sebagai hasil erupsi
gunung api dan didominasi oleh batuan vulkanik.
Secara geografis Pulau Bawean berada di 5°43' sampai 5°52' LS dan 112°34'
sampai 112°44' BT di laut Jawa 128 km di sebelah utara Paciran, Kabupaten Lamongan.
Secara administraif, Pulau Bawean merupakan bagian dari Kabupaten Gresik, Jawa
Timur dengan luas daerah sekitar 200 kilometer persegi. Lokasi penelitian berada di
kawasan Pulau Bawean.
Penelitian mengenai batuan dan geologi Pulau Bawean masih sangat jarang
dijumpai, sehingga Pulau ini sangat menarik sebagai objek penelitian. Penelitian
mengenai petrologi batuan vulkanik Pulau Bawean dapat digunakan sebagai acuan
untuk mempelajari karakteristik batuan pada gunungapi belakang busur.

994
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F020UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

2. Maksud dan Tujuan

Maksud : Untuk mempelajari batuan vulkanik Pulau Bawean dengan


menggunakan pendekatan petrografi dan geokimia.
Tujuan : Mengetahui karakteristik batuan vulkanik Pulau Bawean.

II. GEOLOGI REGIONAL


Secara regional, Gunung Bawean termasuk kedalam zona Cekungan Jawa Timur.
Menurut Usman (2012), Pulau Bawean terbentuk sebagai hasil dari aktifitas vulkanik
pada Busur Bawean yang memisahkan Cekungan Jawa Timur di bagian timur dan
Cekungan Pati di bagian barat. Gunung Bawean terdiri dari puncak-puncak kerucut
gunungapi. Bagian tengah Pulau Bawean terdapat danau vulkanik yaitu Danau Kastoba.
Menurut penelitian Aziz dkk. (1993), Secara stratigrafi berikut adalah formasi
penyusun Pulau Bawean dari yang tertua hingga yang termuda yaitu
1. Formasi Batugamping Gelam
Formasi ini merupakan formasi tertua yang tersusun atas batugamping terumbu,
batugamping klastika, dan setempat batugamping kristalin. Formasi ini berumur
Oligosen Akhir-Miosen Awal. Formasi ini setara dengan Formasi Kujung yang ada di
Cekungan Pati dan Cekungan Jawa Timur Utara.
2. Formasi Batupasir Kepongan
Formasi Batupasir Kepongan terendapkan secara tidak selaras diatas Formasi
Batugamping Gelam. Formasi ini tersusun atas batupasir kuarsa, sisipan
batulempung, dan gambut dengan umur Miosen Akhir-Pliosen Akhir. Pelamparan
dari formasi ini sangat sedikit apabila dibandingkan dengan formasi-formasi lainnya.
3. Formasi Batuan Gunungapi Balibak
Formasi Gunungapi Balibak merupakan formasi yang menumpang diatas batuan
yang lebih tua secara tidak selaras. Formasi ini tersusun material-material hasil
gunungapi, antara lain seperti perselingan lava, kubah tephrite, breksi gunung api,
dan tuff. Formasi ini berumur Pleistosen.
4. Aluvium
Endapan aluvium merupakan formasi termuda yang ada di Pulau Bawean. Endapan
tersusun dari endapan kerakal, kerikil, pasir, lumpur, dan lempung. Persebarannya
relatif di daerah pesisir pantai. Endapan ini berumur holosen.

Pembentukan Gunung Bawean diawali dengan adanya tektonik Pra-Paleogen.


Aktifitas magmatisme pada Busur Bawean dimulai dengan terbentuknya struktur graben
pada batuan dasar Pra-Paleogen yang menyebabkan terjadinya sobekan pada selubung
magma hingga memicu magma untuk naik ke permukaan. Magma yang naik ke
permukaan membentuk punggungan yang menjadi cikal bakal pembentukan Busur
995
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F020UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Bawean.
Menurut Setijadji dkk. (2006), Gunung Bawean merupakan salah satu produk dari
penunjaman lempeng samudra India-Australia pada batas selatan lempeng Eurasia.
Magmatisme Gunung Bawean termasuk dalam deretan gunungapi busur belakang yang
terjadi pada Miosen Atas-Kuarter. Lokasi magmatisme busur belakang di Pulau Jawa
yaitu di Gunung Muria-Gunung Lasem dan Gunung Bawean. Kedua lokasi memiliki
perbedaan kedalaman penunjaman, dimana Gunung Muria-Gunung Lasem memiliki
kedalaman penunjaman 320-350 km sedangkan Gunung Bawean memiliki kedalaman
penunjaman 600 km.

III. METODOLOGI
Lokasi penelitian berada di kawasan Pulau Bawean (Gambar 1). Penelitian
dilakukan dengan beberapa tahapan kegiatan antara lain : perumusan masalah,
persiapan, pengambilan data lapangan, pengolahan data, dan penyelesaian. Perumusan
masalah ditentukan dengan menimbang latar belakang yang ada. Persiapan dilakukan
dengan mengumpulkan data sekunder, dan mempelajari studi literatur. Selanjutnya,
dilakukan pengambilan data dengan metode spot sampling pada beberapa lokasi.
Data lapangan yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis secara petrografi
(pengamatan sayatan tipis batuan) dan geokimia (ICP-AES-MS). Analisis petrografi
dilakukan untuk mengetahui tekstur batuan, komposisi mineral batuan, dan
menentukan nama batuan. Sedangkan analisis geokimia dilakukan untuk mengetahui
karakteristik, kandungan, kelimpahan unsur pada batuan secara geokimia untuk
menentukan seri magma, afinitas magma, dan nama batuan.
Selanjutnya, dilakukan penarikan kesimpulan serta penyusunan hasil penelitian.

IV. HASIL PENELITIAN


Penelitian dilakukan dengan mengambil 8 sampel batuan vulkanik secara spot
sampling (Gambar 2). Batuan yang dijadikan sebagai sampel adalah batuan dengan
keadaan yang segar di lapangan. Sampel batuan berwarna abu-abu kehitaman dan abu-
abu kehijauan dengan tekstur batuan porfiroafanitik sampai afanitik. Singkapan FD 02
dijumpai memiliki struktur berupa kekar lembaran (Gambar 3). Sedangkan singkapan
lainnya dijumpai dalam keadaan masif dengan struktur kekar batuan yang cukup intens.
Secara petrografi, sampel FD01 sampai FD08 memiliki tekstur batuan porfiritik,
glomeroporfiritik, trakitik, dan pilotasitik dengan komposisi mineral yang bervariasi
mulai dari plagioklas, ortoklas, klinopiroksen, olivin, hornblende, leusit, nefelin, mineral
opak, dan gelasan.
Pada sampel FD01 memiliki komposisi mineral olivin 1,6%; klinopiroksen 18%;
gelasan 15,2%; nefelin 1,6%; mikrolit plagioklas 6,8%; mineral opak 1,2%; hornblende
1,6%; ortoklas 44%, dan vug 10%. Sampel FD02 memiliki komposisi batuan
klinopiroksen 13,6%; gelasan 21,2%; nefelin 4,8%; mikrolit plagioklas 1,6%; mineral opak
2,4%; hornblende 10,8%; dan ortoklas 45,6% . Sampel FD03 memiliki komposisi mineral
klinopiroksen 16,35%; gelasan 15,99%; leusit 8,72%; mikrolit plagiokals 52,82%; mineral
opak 0,76%; hornblende 5,36%. Sampel FD04 memiliki komposisi mineral klinopiroksen

996
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F020UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

7,7%; gelasan 17,5%; leusit 1,1%; nefelin 3,9%; mikrolit plagioklas 0,2%; mineral opak
0,3%; hornblende 4,8%; dan ortoklas 64,5%. Sampel FD05 memiliki komposisi mineral
olivin 3,2%; klinopiroksen 31,6%, gelasan 25,6%; mikrolit plagioklas 0,8%; mineral opak
2%; hornblende 4,4%; dan ortoklas 32,4%. Sampel FD06 memiliki komposisi olivin 3,2%;
klinopiroksen 16%; gelasan 9,8%; nefelin 4,8%; mikrolit plagioklas 28%; mineral opak
1,2%; hornblende 18%; dan ortoklas 19%. Sampel FD07 memiliki komposisi mineral
klinopiroksen 40%; gelasan 10,8%; leusit 5,6%; mikrolit plagioklas 26%; ortoklas 10%;
mineral opak 1,2%; dan hornblende 6,4%. Sampel FD08 memiliki komposisi mineral
plagioklas 5,84%; klinopiroksen 35,28%; gelasan 11,12%; leusit 9,68%; mikrolit plagioklas
32,72%; mineral opak 1,04%; dan hornblende 4,32% (Tabel 1).
Sedangkan pada analisis geokimia diperoleh hasil dari oksida unsur serta unsur
jejak seperti pada (Tabel 2) dimana memiliki presentase komposisi yang bervariasi.

V. DISKUSI DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan data yang telah dianalisis diketahui bahwa batuan vulkanik
Pulau Bawean memiliki tekstur porfiroafanitik sampai afanitik yang
menunjukkan bahwa batuan mengalami pendinginan secara cepat sehingga
mineral-mineral yang terbentuk berukuran relatif kecil. Pendinginan yang cepat
mengindikasikan bahwa batuan mendingin pada permukaan bumi sebagai
batuan vulkanik.
Selain itu, dari analisis petrografi batuan diketahui bahwa batuan memiliki
tekstur porfiritik, glomeroporfiritik, trakitik, dan pilotasitik. Tekstur porfiritik
ditunjukkan dengan fenokris yang tertanam pada masa dasar yang halus
mengindikasikan bahwa batuan mengalami dua tahap pendinginan yaitu
pendinginan secara lambat yang terjadi pada dapur magma sehingga
membentuk fenokris dan pendinginan secara cepat yang terjadi di dekat
permukaan bumi sehingga membentuk masa dasar. Tekstur batuan
glomeroporfiritik ditunjukkan dengan adanya akumulasi fenokris sebagai
indikasi adanya tegangan permukaan dari magma yang menyebabkan fenokris
berkumpul menjadi 1 kluster. Selain itu juga terdapat tekstur trakitik yang
menujukkan adanya orientasi massa dasar pada batuan sebagai indikasi dari
adanya proses aliran pada lava. Sedangkan teksur pilotasitik tidak menunjukkan
arah orientasi aliran dan mikrolit pada batuan tersusun secara acak.
Pada pengamatan petrografi menunjukkan adanya mineral nefelin dan
leusit pada batuan yang mengindikasikan adanya nilai potasium yang tinggi. Hal
ini terkonfirmasi pada data geokimia (Tabel 2). Pada batuan tidak dijumpai
adanya kuarsa sehingga dapat dikatakan bahwa batuan bersifat silica
undersaturated.
Data analisis geokimia batuan menunjukkan nilai SiO2 yaitu 47,5-54,5%
yang menunjukkan batuan bersifat basa. Selain itu analisis data geokimia
perbandingan nilai wt% SiO2 dengan Na2O+K2O menggunakan diagram TAS
997
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F020UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

(Total Alkali Silika) menunjukkan nama batuan yang ada yaitu trachy basalt,
basaltic trachy andesite, phonolite, phono-tephrite,dan tephri-phonolite (Gambar 4).
Berdasarkan data geokimia yang diplotkan dalam diagram AFM (A =
alkali, Na2O + K2O, F = FeO + Fe2O3, M = MgO) diketahui bahwa afinitas magma
yaitu calc-alkaline (Gambar 5). Selain itu juga diketahui bahwa seri magma pada
batuan yaitu high-K series dan shosonitic series berdasarkan plot data geokimia
pada diagram K2O vs SiO2 (Gambar 6).

VI. KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa


batuan vukanik Pulau Bawean memiliki karakteristik sebagai berikut :
1. Memiliki kenampakan megaskopis berwarna abu-abu kehitaman dan abu-abu
kehijauan, bertekstur porfiroafanitik sampai afanitik, beberapa menunjukkan
struktur kekar lembaran dan beberapa memiliki struktur masif dengan kekar-kekar
batuan.
2. Memiliki kenampakan mikroskopis bertekstur porfiritik, glomeroporfiritik, trakitik,
dan pilotasitik dengan komposisi mineral yang bervariasi mulai dari plagioklas,
ortoklas, klinopiroksen, olivin, hornblende, leusit, nefelin, mineral opak, dan gelasan.
3. Memiliki karakteristik geokimia yaitu bersifat silica undersaturated, afanitas magma
calc-alkaline, dan seri magma high-K series dan shosonitic series.

DAFTAR PUSTAKA

Aziz, S., Hardjoprawiro, S., dan Mangga, S. Andi. 1993. Peta Geologi Lembar Bawean dan Masalembo,
Jawa. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi
Best, M.G. 2003. Igneous and Metamorphic Petrology. Australia : Blackwell Science Ltd.
Bronto, S. 2010. Geologi Gunungapi Purba: Publikasi Khusus. Bandung: Badan Geologi.
Irvine, T.N. dan Baragar, W.R.A. 1971. A guide to the chemical classification of the common
volcanic rocks: Canadian Journal of Earth Sciences, v.8. pg. 523-548.
Le Maitre, R. W. 2002. Igneous Rocks: a Classification and Glossary of Terms. Recommendations of the
International Union of Geological Sciences Subcommission on the Systematics of Igneous Rocks,
2nd ed. Cambridge: Cambridge University Press
Leterrier, J., Yuwono, Y. S., Soeria-Atmadja, R., dan Maury, R.C. 1990. Potassic Volcanism in
Central Jawa and South Sulawesi, Indonesia. Journal of Southeast Asian Earth Sciences, vol.
4 no. 3 pg. 171 – 187
MacDonald, G. A., 1972. Volcanoes. New Jersey: Prentice-Hall.
Peccerillo, A. dan Taylor, S.R. 1976. Geochemistry of Eocene Calc-alkaline Volcanic Rocks from The
Kastamonu Area, Northern Turkey. Contributions to Mineralogy and Petrology no 58, pg.
63–81.
Rollinson, H. 1993. Using Geochemical Data: Evaluation, Presentation, Interpretation. Malaysia:
Pearson Prentice Hall.
998
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F020UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Setijadji, L.D., Kajino, S., Imai, A., dan Watanabe, K. 2006. Cenozoic Island Arc Magmatism in Java
Island (Sunda Arc, Indonesia): Clues on Relationships between Geodynamics of
Volcanic Center and Ore Mineralization. Journal of Resources Geology, vol. 56 no. 3 pg 257
– 292
Streckeisen, A.L. 1978. IUGS Submission on the Systematics of Igneous Rocks. Classification and
Nomenclature of Volcanis Rocks, Lamprophyres, Carbonatites, and Melilite Rocks.
Reccomendations and Suggestions. Neues Jahrbuch fur Mineralogie, Abhanlungen, vol.
141.
Tatsumi, Y. dan Eggins, S. 1995. Subduction Zone Magmatism. Cambridge: Blackwell Science Inc.
Usman, Ediar. 2012. Pulau Bawean Sebagai Tempat Wisata Geologi. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi Kelautan.
Williams, H. dan McBirney, A.R. 1979. Volcanology, San Fransisco: Freeman, Couper & Co.
Wilson, M. 1989. Igneous Petrogenesis: A Global Tectonic Approach. London: Harper Collins
Academic.
Winter, J. D. 2013. Principle of Igneous and Metamorphic Petrology. London: Pearson Education
Limited

999
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F020UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 1. Data komposisi mineral batuan Pulau Bawean

KOMPOSISI Cpx Ol Hb Nph Lct Pl Or Op Gls Vug Total


KODE
(%)
SAMPEL
FD01 18,00 1,60 1,60 1,60 0 6,80 44,00 1,20 15,20 10,00 100
FD02 13,60 0 10,80 4,80 0 1,60 45,60 2,40 21,20 0 100
FD03 16,35 0 5,36 0 8,72 52,82 0 0,76 15,99 0 100
FD04 7,70 0 4,80 3,90 1,10 0,20 64,50 0,30 17,50 0 100
FD05 31,60 3,20 4,40 0 0 0,80 32,40 2,00 25,60 0 100
FD06 16,00 3,20 18,00 4,80 0 28,00 19,00 1,20 9,80 0 100
FD07 40,00 0 6,40 0 5,60 26,00 10,80 1,20 10,00 0 100
FD08 35,28 0 4,32 0 9,68 38,56 0,00 1,04 11,12 0 100

Tabel 2. Data geokimia batuan Pulau Bawean

SAMPLE FD 01 FD 02 FD 03 FD 04 FD 05 FD 06 FD 07 FD 08
SiO2 % 47.5 49.7 50.0 54.5 48.8 52.3 48.4 50.6
Al2O3 % 15.70 16.65 17.80 22.5 17.95 21.5 16.35 18.75
Fe2O3 % 8.19 7.55 6.84 2.76 5.93 4.17 7.67 6.12
CaO % 10.95 9.55 8.82 1.67 6.95 4.25 9.38 7.31
MgO % 5.79 5.29 3.00 0.58 5.33 0.97 5.90 3.38
Na2O % 4.21 2.90 3.36 6.98 5.55 5.16 3.44 3.30
K2O % 1.38 4.11 2.74 7.82 3.08 5.49 5.01 6.16
Cr2O3 % 0.020 0.029 0.005 0.002 0.033 <0.002 0.034 0.013
TiO2 % 0.93 0.77 0.66 0.21 0.64 0.41 0.89 0.69
MnO % 0.19 0.16 0.17 0.14 0.16 0.14 0.15 0.16
P2O5 % 0.62 0.30 0.47 0.06 0.39 0.18 0.48 0.37
SrO % 0.11 0.12 0.31 0.11 0.16 0.19 0.13 0.22
BaO % 0.14 0.16 0.17 0.05 0.16 0.16 0.17 0.25
LOI % 3.94 1.93 4.97 2.14 3.26 3.91 0.68 1.90
Total % 99.67 99.22 99.32 99.52 98.39 98.83 98.68 99.22
SAMPLE FD 01 FD 02 FD 03 FD 04 FD 05 FD 06 FD 07 FD 08
pp
Ba 1305 1475 1665 485 1570 1505 1555 2300
m
pp
Ce 134.0 118.5 149.5 187.5 178.0 174.0 135.0 181.5
m
pp
Cr 140 200 30 10 240 10 230 80
m
pp
Cs 12.90 4.91 17.25 10.00 7.04 5.98 5.49 4.94
m
pp
Dy 4.68 3.67 5.05 3.25 5.24 4.66 3.60 5.67
m
pp
Er 2.61 2.43 2.92 2.40 2.78 2.36 2.30 3.04
m
pp
Eu 2.65 1.98 2.53 1.47 2.22 2.07 2.03 2.75
m

1000
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F020UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

pp
Ga 16.3 15.8 18.3 25.3 19.2 19.8 16.7 16.7
m
pp
Gd 7.78 5.15 7.08 4.19 6.22 5.58 5.61 7.96
m
pp
Hf 3.4 2.6 3.7 7.0 5.4 3.6 3.4 3.4
m
pp
Ho 1.01 0.75 1.02 0.61 1.04 0.89 0.77 0.94
m
pp
La 75.5 67.6 83.3 126.5 109.0 121.0 76.8 107.5
m
pp
Lu 0.28 0.30 0.38 0.39 0.39 0.36 0.26 0.44
m
pp
Nb 41.4 39.2 43.2 277 139.5 113.5 63.2 74.1
m
pp
Nd 54.2 45.3 55.0 43.1 58.6 53.9 50.2 62.8
m
pp
Pr 14.35 12.00 16.00 15.75 17.00 16.50 14.05 17.95
m
pp
Rb 97.5 183.0 1925 362 307 318 217 282
m
pp
Sm 10.10 7.47 9.65 5.26 9.35 7.31 8.59 11.75
m
pp
Sn 1 2 1 1 1 2 2 2
m
pp
Sr 915 1015 2730 877 1410 1670 1055 1805
m
pp
Ta 2.0 1.7 1.8 12.5 5.9 5.5 2.8 4.0
m
pp
Tb 0.96 0.76 0.94 0.56 0.96 0.64 0.82 0.99
m
pp
Th 18.50 14.70 20.4 53.2 28.5 25.1 17.80 19.85
m
pp
Tm 0.35 0.33 0.40 0.33 0.44 0.41 0.30 0.49
m
pp
U 4.59 3.42 5.94 9.15 6.70 3.19 3.61 4.36
m
pp
V 268 231 177 40 150 105 218 177
m
pp
W 1 1 1 1 3 2 2 3
m
pp
Y 24.6 20.2 26.2 20.3 26.6 23.0 21.0 27.1
m
pp
Yb 2.46 1.94 2.54 2.20 2.97 2.33 1.98 2.83
m
pp
Zr 170 134 177 479 296 225 176 181
m

1001
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F020UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Peta lokasi daerah penelitian

Gambar 2. Peta geologi dan titik pengambilan sampel

1002
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F020UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Singkapan batuan pada stasiun amat FD01 (kiri) dan FD02 (kanan)

Gambar 4. Plot data geokimia dalam diagram Total Alkali-Silika oleh Le Maitre (2002)

1003
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F020UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta
Peccerillo & Taylor 1976: Arc rock types
7
Shos:Basalt FD
Shos.
10 Latite Trachyte
6
Rest: Basalt BasAnd
FD 06Andesite Dacite Rhyolite
5 FD 09

4 Shoshonitic
FD 02 Series

K2O 3 FD 05 High-K Calc-Alkaline Series


FD 03

2 Calc-Alkaline Series
FD 01
1
Arc Tholeiite Series
0
45 50 55 60 65 70 75
SiO 2

Gambar 5. Plot data geokimia dalam diagram AFM oleh Irvine dan Baragar (1971)

FD01

FD02

FD03

1004
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F020UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

FD04

FD05

FD06

FD06

1005
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F020UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

FD07

FD08

Gambar 6. Plot data geokimia dalam diagram SiO2 vs K2O oleh Pecerillo dan Taylor (1976).

1006
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F023UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

STUDI PENDAHULUAN BATUAN MAFIK DAN ULTRAMAFIK SEKUEN


OFIOLIT JALUR SUNGAI MEDANA DAN JALUR SUNGAI LOKIDANG-
PARAKANSUBAH, KARANGSAMBUNG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

Fahmi Adiyatma M1*, Nugroho Imam Setiawan1, Chusni Ansori2, Kardo Polarman R. Silitonga1

Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Jln. Grafika No.2 Bulaksumur,
1

Yogyakarta
2Balai Informasi dan Konservasi Kebumian, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Karangsambung
Jln. Karangsambung Km.19, Kebumen
*Corresponding Author: adiyatmafahmi@gmail.com

ABSTRAK. Daerah penelitian merupakan hasil dari adanya aktifitas tektonik yang terjadi
sebanyak dua kali periode yaitu Oligosen awal - Miosen Awal dan Miosen Akhir - Kuarter yang
menghasilkan busur magmatik. Salah satu produk dari adanya aktifitas tektonik ini yaitu
munculnya intrusi di Gunung Gajah. Banyaknya batuan yang tersingkap pada daerah penelitian
sehingga memicu peneliti untuk melakukan penilitian dengan tujuan tahap yang lebih lanjut
untuk mengetahui karakteristik, petrogenesis dan proses pelapukan pada intrusi batuan basalt
Gunung Gajah serta struktur pengontrolnya. Peneliti menggunakan metode geological mapping
dengan luasan daerah 4 km² serta metode analisis petrografi. Berdasarkan hasil geological
mapping daerah penilitian terusun atas lava, intrusi andesit, batugamping kristalin Jongrangan
dan endapan vulkanik Gunung Gajah. Kehadiran intrusi membentuk karakteristik columnar joint
rebah dengan bentuk prisma dengan tingkat pelapukan sedang-kuat. Proses pelapukan dikontrol
oleh struktur geologi berarah Utara – Selatan berdasarkan data DEM-SRTM sehingga memicu air
permukaan menyusup kedalam batuan melalui bidang-bidang lemah, keadaan topografi yang
sangat curam dan keadaaan batuan yang banyak terkekarkan menjadi faktor utama pelapukan.
Sehingga tingkat pelapukan pada daerah penilitian secara keseluruhan adalah lemah – sedang.
Analisis petrografi menunjukan karakteristik batuan intrusi memiliki struktur skoria, tekstur
holokristalin, subhedral, inequigranural, forfiritik dengan masa dasar plagioklas, komposisi
terdiri dari plagioklas 40%, piroksen 45%, olivin 7%, opak 3% dan sisanya adalah rongga hasil
pelepasan gas sebesar 5% dengan penamaan batuan andesit-basaltis. Maka karakteristik intrusi
yang hadir merupakan bagian dari gunungapi purba Gajah yang berkomposisi basal-intermediet
dan keluar melalui rekahan pada leher vulkanik dengan membentuk struktur columnar joint rebah
dan mengintrusi lava di atasnya yang telah keluar lebih dahulu. Tingkat pelapukan yang lemah
sampai sedang, namun dibeberapa lokasi memiliki tingkat pelapukan yang kuat serta kontrol
struktur yang dominan sehingga dapat menjadi kajian dan pertimbangan jika dilakukannya
pembangunan pada daerah penilitian.

Kata kunci: Intrusi, Geological mapping, petrogafi, Gunung-Gajah.

I. PENDAHULUAN
Karangsambung merupakan salah satu dari dua daerah di pulau Jawa yang
memiliki daerah dengan keterdapatan zona melange (Asikin, 1974). Zona melange
Karangsambung merupakan zona yang terdiri dari batuan campur aduk yang berada
pada zona penunjaman lempeng purba (Asikin, 1974). Pada daerah Karangsambung

1007
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F023UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

juga ditemukan batuan sekuen ofiolit yang merupakan bagian dari zona melange
Karangsambung dan juga merupakan penyusun lantai samudra yang menunjam di
masa lalu (Suparka, 1988). Sekuen ofiolit di Karangsambung tersingkap di beberapa
tempat dengan kondisi yang cukup segar di beberapa lokasi dan mudah untuk diakses
seperti pada jalur Sungai Medana dan jalur Sungai Lokidang-Sungai Parakansubah
sehingga ketiga sungai tersebut dipilih menjadi lokasi penelitian (Gambar 1). Sekuen
ofiolit adalah sekuen batuan penyusun kerak samudra yang tersusun secara lengkap
dari bawah ke atas meliputi batuan ultramafik (dunit, peridotit, hazburgit), gabbro
berlapis, foliasi gabbro, gabbro, plagiogranit, komplek batuan dike, basalt berstruktur
lava bantal pada dibagian paling atas tersusun oleh sedimen laut dalam (Boudier dan
Nicolas, 1985 dalam Winter, 2013). Namun pada kenyataanya sekuen ofiolit dapat
ditemukan secara tidak lengkap, terpisah-pisah ataupun mengalami proses
metamorfisme (Penrose Field Conference, 1972 dalam Suparka, 1988). Pemahaman
mengenai karakteristik sekuen ofiolit daerah penelitian dapat digunakan untuk
membantu rekonstruksi sejarah geologi dan tatanan tektonik daerah penelitian pada
zaman Kapur.

II. GEOLOGI REGIONAL


Daerah Karangsambung secara fisiografis termasuk ke dalam Zona Pegunungan
Serayu Selatan (van Bemmelen, 1949). Secara stratigrafi batuan yang terdapat di
Karangsambung terdiri dari batuan dengan umur Kapur hingga Kuarter (Asikin, dkk.,
1992; Prasetyadi, 2007). Berdasarkan penyebaran batuan, daerah penelitian tersusun oleh
batuan yang termasuk dalam Komplek Melange Luk Ulo (Asikin, 1974). Berdasarkan
Prasetyadi (2007), Komplek Melange Luk Ulo terdiri dari blok-blok berbagai ukuran dari
batuan sedimen pelagishemipelagis, batuan beku basaltis, dan batuan metamorf yang
tercampur secara tektonik dalam matrik batuan pelitik. Pada bagian utara ditemukan
blok-blok batuan metamorf yang terdiri dari batuan metamorf yaitu filit, sekis kuarsa-
mika, marmer, eklogit dan sekis biru (sekis glaukofan). Pada bagian selatan dari batuan
metamorf ini, terdapat himpunan batuan mafik-ultramafik yang terdiri dari basal
berstruktur bantal, retas-retas diabas, gabro dan peridotit terserpentinkan.
Umur dari Komplek Melange Luk Ulo berdasarkan penelitian terhadap sampel
sekis mika dan filit yaitu berkisar 85–117 Jtl (Ketner dkk, 1976). Berdasarkan sampel
batuan metamorf tekanan tinggi/temperatur rendah yaitu epidot amfibolit dengan
metode penanggalan Rb/Sr diketahui bahwa batuan metamorf ini memiliki umur
berkisar 117–119 Jtl (Hoffmann dkk, 2019). Dari hasil penanggalan dengan metode K-Ar
terhadap sampel batuan ultramafik, didapatkan umur batuan yaitu berkisar 67–85 Jtl
(Suparka, 1988). Komponen batuan sedimen (rijang) dan massa dasar silikaan
berdasarkan fosil radiolarian menunjukkan kisaran umur Kapur Tengah - Akhir (Wakita
dkk, 1994).

III. METODE PENELITIAN


Penelitian dilakukan dengan melakukan studi literatur dari peneliti-peneliti
terdahulu dan dilakukan pengamatan metode lintasan secara sistematis pada jalur
sungai dengan memperhatikan keterjangkauan medan yang dihadapi di lapangan.

1008
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F023UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Pengambilan sampel batuan dilakukan dengan metode spot sampling sepanjang sungai
dengan dasar pertimbangan penentuan STA yaitu perubahan litologi dan pengambilan
sampel batuan berdasarkan tingkat kesegaran batuan serta kerapatan antar stasiun titik
amat dengan jarak maksimal yaitu 250 meter (Gambar 2). Pada jalur Sungai Medana
diambil 1 sampel rijang dan 3 sampel batuan mafik-ultramafik. Sementara pada jalur
Sungai Lokidang-Parakansubah diambil 1 sampel rijang, 1 sampel batuan metamorf dan
6 sampel batuan mafik-ultramafik.
Sampel-sampel yang diperoleh tersebut kemudian dilakukan analisis petrografi
untuk mengetahui komposisi, struktur dan tekstur batuan. Preparasi sampel sayatan
tipis dilakukan di Laboratorium Pusat Geologi Departemen Teknik Geologi Fakultas
Teknik UGM. Pengamatan petrografi dilakukan di Laboratorium Geologi Optik
Departemen Teknik Geologi UGM. Dari pengamatan tersebut akan diketahui
nomenklatur batuan berdasarkan komposisi mineral dalam batuan dengan
menggunakan standar penamaan IUGS untuk batuan beku dan diketahui petrogenesa
batuan yang dilihat dari struktur dan tekstur sayatan tipis batuan.

IV. DATA DAN ANALISIS


IV.1. Observasi Lapangan
Singkapan batuan yang diamati pada jalur Sungai Medana dari hilir ke hulu
terdiri dari batuan rijang, basalt, breksi polimik, diabas, gabbro, klinopiroksenit,
batulempung hitam dan batuan breksi termetamorf. Kontak antar batuan dapat dilihat
pada sayatan lintasan jalur sungai (Gambar 3.A). Rijang tersebar di bagian hilir (selatan)
sungai dan ditemukan dalam bentuk bongkahan yang berkondisi segar dengan geometri
tinggi ±3 meter dan lebar ±3 meter. Rijang berwarna merah kecoklatan dengan struktur
berlapis (Gambar 4.1). Basalt berwarna abu-abu kehitaman dengan struktur bantal dan
permukaan yang memiliki banyak rekahan (Gambar 4.2). Secara megaskopis basalt
memilki ukuran mineral ≤1 mm, tekstur holokristalin, porfiroafanitik, hipidiomorfik dan
terdiri dari fenokris plagioklas dan massa dasar mineral mafik. Diabas memiliki warna
abu-abu kehijauan dengan ukuran mineral 0.5 – 1 mm, struktur jointing dengan rekahan
yang telah terisi urat kalsit, tekstur faneritik, tekstur khusus subofitik, holokristalin dan
memiliki komposisi utama plagioklas dan piroksen serta terdapat mineral sekunder
berupa klorit dengan intensitas alterasi lemah-sedang. Gabbro memiliki warna abuabu
kehitaman dengan ukuran mineral 1–4 mm, struktur jointing dengan rekahan yang telah
terisi urat kuarsa dan kalsit, tekstur faneritik, holokristalin, hipidiomorfik. Komposisi
utama yaitu plagioklas, piroksen dan olivin (Gambar 4.3). Klinopiroksenit memiliki
warna hitam kehijauan dengan ukuran mineral 1–4 mm, struktur jointing dengan
rekahan yang telah terisi urat kuarsa. Tekstur holokristalin, faneritik, hipidiomorfik.
Komposisi utama yaitu piroksen, olivin dan plagioklas (Gambar 4.4). Batulempung
hitam berwarna hitam, struktur berlapis dan jointing dengan tingkat konsolidasi tinggi.
Breksi termetamorf berwarna abu-abu kehijauan dengan ukuran butir fragmen 2–4 cm
dan matriks 0.5–1 cm, fragmen dan matriks telah mengalami deformasi yang merubah
bentuk butir menjadi lebih pipih, komposisi fragmen yaitu kuarsa (Gambar 4.5).
Kehadiran batulempung dan breksi termetamorf di bagian utara kemudian dianggap
menjadi batas utara dari sekuen ofiolit pada Sungai Medana.

1009
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F023UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Pada jalur Sungai Lokidang dan Parakansubah dari hilir ke hulu terdiri dari
batuan breksi polemik, basalt, diabas, gabbro, klinopiroksenit, serpentinit, filit grafit dan
gneiss. Kontak antar litologi pada jalur lintasan sungai dapat dilihat pada Gambar 3B.
Breksi berwarna coklat kekuning-kuningan dengan struktur masif, ukuran fragmen
bongkah dan matriks kerikil hingga krakal, sortasi buruk, kemas terbuka, bentuk butir
subangular, komposisi fragmen antara lain basalt, diabas dan rijang, serta batulempung
yang tertanam kedalam matriks berupa lempung hitam. Berdasarkan genesanya, breksi
merupakan batuan sedimen yang dapat terbentuk pada lingkungan pengendapan
dengan arus yang kuat ataupun pada zona campur aduk pada zona subduksi atau
dikenal sebagai olisostrom. Selain itu, breksi juga dapat terbentuk akibat proses
vukanisme maupun hidrothermal. Dilihat dari kontak antar fragmen, tidak ditemukan
adanya imbrikasi sehingga breksi bukan merupakan produk sedimen fluvial. Matrik
merupakan lempung hitam dengan kondisi yang tidak mengalami alterasi hidrothermal
yang kuat, maka diinterpretasikan breksi bukan merupakan hasil aktivitas vulkanik.
Breksi tersebut kemudian diinterpretasikan sebagai hasil rombakan batuan (olistolith)
yang tertanam pada lempung hitam sebagai olisostrom. Sehingga batuan ini bukan
merupakan bagian dari sekuen ofiolit, melainkan bagian dari zona melange
Karangsambung. Basalt berwarna hitam dengan struktur pillow lava dan memiliki
banyak rekahan yang telah terisi urat kalsit maupun kuarsa, ukuran kristal ≤1 mm,
tekstur porfiroafanitik, holokristalin, fenokris terdiri dari plagioklas dan massa dasar
terdiri dari mineral mafik (Gambar 4.6). Diabas berwarna abu-abu, struktur jointing
dengan kalsit sebagai pengisi urat (Gambar 4.7). Ukuran kristal 1–2 mm, tekstur
porfiroafanitik, holokristalin, hipidiomorfik. Komposisi utama terdiri dari plagioklas dan
piroksen sebagai fenokris dan mineral mafik sebagai massa dasar. Gabbro berwarna abu-
abu kehijauan, dengan struktur masif, jointing, maupun membentuk perlapisan. Tekstur
faneritik dengan ukuran kristal 4–12 mm, holokristalin, hipidiomorfik, dengan komposisi
utama yaitu plagioklas, piroksen dan olivin (Gambar 4.8). Klinopiroksenit berwarna
hitam kehijauan, struktur masif, ukuran kristal 2–3 mm, holokristalin, hipidiomorfik
granular, dengan mineral penyusun berupa olivin, piroksen, plagioklas dan hornblende
sebagai mineral aksesori. Bersamaan dengan peridotit, hadir pula serpentinit yang
memiliki warna hijau dengan dengan komposisi mineral berupa serpentin dan klorit
(Gambar 4.9).
Struktur geologi yang ditemukan pada dua jalur sungai yaitu sesar geser sinistral
dengan arah relatif utara N15-20oW dengan kemiringan 80-85o dan N150E dengan
kemiringan 85o. Struktur-struktur ini merupakan kontak antara batuan sehingga batuan
mengalami breksiasi dan juga perulangan. Berdasarkan data persebaran batuan dan data
struktur geologi kemudian dibuat rekonstruksi sekuen ofiolit pada dua jalur sungai
(Gambar 4.10). Pada jalur Sungai Medana, batuan ultramafik dijumpai dalam geometri
yang tidak cukup tebal dan tidak mengalami serpentinisasi. Sedangkan pada jalur
Sungai Lokidang-Parakansubah, proses serpentinisasi telah mengubah batuan ultramafik
sehingga menghasilkan serpentinit dengan geometri yang tebal dan hampir menyeluruh
sehingga batuan ultramafik hanya ditemukan dibeberapa titik diantara batuan
serpentinit tersebut.
IV.2. Analisis Sayatan Tipis

1010
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F023UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Hasil sayatan tipis disajikan dalam Tabel 1. Secara mikroskopis rijang memiliki
ukuran butir halus ≤0.1 mm yang tersusun oleh cangkang silika radiolaria yang
berbentuk bundar dan urat kuarsa (Gambar 5a). Basalt memiliki ukuran mineral <0.1–1
mm (fenokris 1 mm) dengan tekstur porfiroafanitik, holokristalin, tekstur khusus yaitu
intergranular, komposisi mineral yang yaitu klinopiroksen (30%), labradorit (30%),
ortopiroksen (5%), olivin (5%), dan mineral sekunder klorit (20%) yang menggantikan
piroksen dan kuarsa (5%) sebagai pengisi urat. Dijumpai di kedua jalur sungai dengan
karakteristik yang serupa (Gambar 5b).
Diabas memiliki ukuran mineral <1–2 mm (fenokris 1–2 mm, massadasar <1 mm),
tekstur porfiroafanitik dengan tekstur khusus yaitu subofitik dimana plagioklas tumbuh
diatas piroksen dan keduanya memiliki ukuran relatif tidak jauh berbeda. Komposisi
mineral terdiri dari klinopiroksen (25%), bitownit (25%) dan labradorit (25%), olivin
(5%). Mineral sekunder antara lain kalsit (5%) sebagai pengisi urat, klorit menggantikan
piroksen (10%), dan mineral lempung (5%) menggantikan plagioklas. Dijumpai di kedua
jalur sungai dengan karakteristik yang serupa (Gambar 5c).
Gabbro memiliki ukuran mineral 1–12 mm, tekstur faneritik, holokristalin,
hipidioblastik. Komposisi bitownit (20%), labradorit (18%), klinopiroksen (22%),
ortopiroksen (7%) dan mineral sekunder berupa klorit (6%), kalsit sebagai pengisi urat
(3%), magnetit sebagai mineral aksesori (4%). Dijumpai di kedua jalur sungai dengan
karakteristik pada jalur Lokidang–Parakansubah dan memiliki perlapisan (Gambar 5d).
Klinopiroksenit terserpentinisasi, ukuran mineral 2–3 mm, tekstur berdasarkan
derajat kristalisasi holokristalin, faneritik, hipidioblastik. Komposisi mineral
klinopiroksen (75%), serpentin (22%), dan olivin (3%) (Gambar 4e).
Serpentinit memiliki ukuran kristal 0.1–0.4 mm, tekstur relict, tekstur
berdasarkan bentuk mineral nematoblastik. Tekstur berdasarkan hubungan antar
mineral xenoblastik. Tekstur khusus batuan mesh texture. Mineral penyusun terdiri dari
mineral grup serpentin (krisotil dan antigorit) sebanyak 90%, kromit (5%) dan
orthopiroksen (5%). Hanya dijumpai pada jalur Lokidang–Parakansubah (Gambar 5f).

V. HASIL DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan hasil observasi lapangan, ditinjau dari himpunan penyusun batuan
daerah penelitian. Himpunan batuan daerah penelitian termasuk kedalam kategori suatu
sekuen ofiolit dikarenakan memiliki setidaknya 4 batuan penyusun sekuen ofiolit yaitu
(1) rijang yang merupakan batuan sedimen laut dalam, (2) basalt dengan struktur lava
bantal yang merupakan batuan basaltik, (3) diabas dan gabbro yang termasuk kedalam
batuan gabbroik dan (4) klinopiroksenit yang termasuk kedalam batuan ultramafik
walaupun telah mengalami serpentinisasi sebagian dan seluruhnya. Walaupun termasuk
sebagai suatu sekuen ofiolit, jika dilihat dari struktur singkapan dapat dikategorikan
sebagai sekuen ofiolit yang tidak lengkap karena ketidakhadiran batuan dike berlapis
(sheeted dike) sebagaimana dibandingkan dengan sekuen ofiolit Semail, Oman yang
dikategorikan sebagai suatu sekuen ofiolit yang lengkap.
Berdasarkan hasil observasi lapangan dan sayatan tipis dapat dilihat adanya
kehadiran mineral sekunder pada batuan. Pada batuan basalt, diabas dan gabbro
dijumpai kehadiran klorit yang menggantikan piroksen. Pada batuan basalt dan diabas

1011
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F023UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

dijumpai kehadiran mineral lempung yang menggantikan plagioklas. Pada batuan


ultramafik dijumpai kehadiran serpentin pada batuan klinopiroksenit yang
menggantikan mineral olivin maupun piroksen. Selain itu, pada batuan serpentinit juga
dijumpai tekstur-tekstur sisa batuan sebelumnya. Sehingga dengan adanya kehadiran-
kehadiran mineral sekunder ini dapat diketahui bahwa sekuen ofiolit daerah penelitian
telah mengalami proses metamorfisme dan atau metasomatisme. Proses metamorfisme
diduga bertanggungjawab terhadap kehadiran mineral-mineral sekunder tersebut
dikarenakan kondisi batuan dilapangan yang cenderung segar dan kompak serta tidak
ditemukannya pelapukan membola yang menjadi ciri khas dari proses pelapukan.
Kehadiran diabas yang melimpah dan batuan breksi pada bagian hilir yang
kemudian dianggap sebagai bagian atas dari sekuen ofiolit berdasarkan Nicholas (1989)
dikategorikan kedalam sekuen ofiolit Tipe Lherzolit. Hal ini diperkuat oleh kehadiran
gabbro berlapis dengan geometri yang cukup tipis (15 meter). Sekuen ofiolit dengan Tipe
Lherzolit dapat terbentuk dengan kondisi pemekaran kerak samudra yang lambat
sehingga derajat pelelehan batuan akan semakin rendah. Selain itu sekuen ofiolit Tipe
Lherzolit ini memiliki afinitas magma thoelitik ataupun alkalin. Berdasarkan kehadiran
batuan ultramafik didaerah penelitian yaitu klinopiroksenit terserpentinisasi maka
diketahui bahwa magma asal yang membentuk sekuen ofiolit daerah penelitian memiliki
kandungan silika yang cukup banyak sehingga tidak ditemukan batuan peridotit
maupun dunit.
Kehadiran batuan metamorf ataupun metasedimen pada bagian utara jalur
sekuen ofiolit, menggambarkan bahwa batuan metamorf tersebut merupakan dasar bagi
sekuen ofiolit selama pengangkatan ke permukaan. Batuan metamorf yang memiliki
protolith batuan pelitik ini mengalami penambahan tekanan dan temperatur yang
signifikan sehingga mengalami kompaksi dan juga penjajaran mineral.

VI. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan beberapa hal mengenai batuan
daerah penelitian yaitu batuan daerah penelitian termasuk kedalam himpunan batuan
penyusun sekuen ofiolit dengan kondisi yang tidak lengkap dan telah mengalami
metamorfisme. Sekuen ofiolit daerah penelitian termasuk kedalam sekuen ofiolit Tipe
Lherzolit dan memiliki magma asal yang kaya akan silika. Penelitian ini merupakan
studi awal mengenai sekuen ofiolit dearah penelitian sehingga masih diperlukan analisis
tambahan seperti analisis geokimia terhadap unsur utama maupun unsur jejak agar
dapat menguatkan hasil penelitian tahap awal ini.

ACKNOWLEDGEMENT
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Nugroho Imam Setiawan, S.T., M.T.,
D.Sc. dan Ir. Chusni Ansori, M.T. selaku pembimbing penelitian ini. Penulis juga
berterimakasih kepada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Karangsambung yang
telah memberikan kesempatan untuk dapat bekerjasama dalam penelitian ini. Penulis
juga berterimakasih kepada Kardo Polarman selaku partner dalam penelitian ini serta
kepada Departemen Teknik Geologi UGM atas batuan dalam preparasi dan analisis
sampel yang telah dilakukan. Penelitian ini didanai dari hibah penelitian Dosen Teknik

1012
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F023UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Geologi UGM 2019 dengan nomor kontrak 238q/H1.17TGL/PL/2019 dan Rekonsiliasi


Tugas Akhir (RTA) UGM tahun 2019 dengan nomor kontrak 3365/UN1/DITLIT/DIT-
LIT/LT/2019.

DAFTAR PUSTAKA
Asikin S., Handono, A., Busono, H., dan Gafoer, S., 1992, Peta Geologi Lembar Kebumen, Jawa,
Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Badan Koordinasi Survey Dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL), 2001, Peta Rupabumi
Digital Indonesia Lembar 1408-134 Karangsambung: Badan Koordinasi Survey Dan
Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL), skala 1 : 25.000, 1 lembar.
Hoffmann, J., Brocker, M., Setiawan, N.I., Klemed, R., Berndt, J., Maulana, A., dan Baier, H., 2019,
Age constraints on high-pressure/low-temperature metamorphism and sedimentation in
the Luk Ulo Complex (Java, Indonesia). Lithos 324-325. hal.747-762 .
Ketner, K. B., Kastowo, S. M., Modjo, S., Naeser, C.W., Obradovich, J.D., Robinson, K., Suptandar,
T., dan Wikarno, 1976, Pre-Eocene Rocks of Java, Indonesia. Journal Research U.S
Geology Survey vol. 4, h.605-614.
Nicholas, A., 1989. Structures Of Ophiolites and Dynamics of Oceanic Lithosphere, Dordrecht:
Kluwer Academic Publishers.
Prasetyadi, C. 2007. Evolusi Tektonik Paleogen Jawa Bagian Timur [disertasi Doktor, tidak
terpublikasi]: Bandung, Institut Teknologi Bandung, hal.247-260 dan 309-311.
Suparka, M. A., 1988, Studi petrologi dan pola kimia komplek ofiolit Karangsambung utara Luh
Ulo, Jawa Tengah, Disertasi, Institut Teknologi Bandung, tidak dipublikasikan, 181 hal.
Wakita, K., Munasri., Bambang, W., 1994, Cretaceous Radiolarians from the Luk-Ulo Melange
Complex in the Karangsambung Area, Central Java, Indonesia, Journal of Southeast
Asian Earth Sciences vol. 9, no,1/2, hal 29-43.
Winter, J.D. 2014. Principles of Igneous and Metamorphic Petrology, Second Edition. London:
Pearson Education Ltd.
van Bemmelen, R.W., 1949. The Geology of Indonesia Vol 1A. Amsterdam: Government Printing
Office, The Hague.

1013
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F023UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 1. Komposisi mineral dan penamaan batuan di setiap lokasi berdasarkan kandungan
mineral.

1014
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F023UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian. Lokasi penelitian secara administratif terletak di Kabupaten
Kebumen dan Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah (BAKOSURTANAL, 2001)

1015
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F023UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Peta STA Sungai Lokidang dan Parakansubah

1016
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F023UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Penampang jalur stratigrafi Sungai Medana (A) dan Lokidan-Parakansubah (B).

1017
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F023UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Kenampakan singkapan daerah penelitian jalur Sungai Medana; (1) Batu rijang berlapis
STA 26, (2) Singkapan pillow lava STA 5, (3) Singkapan gabbro STA 18, (4) Singkapan
klinopiroksenit STA 19, (5) Singkapan breksi termetamorfisme STA 24.

1018
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F023UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4 (lanjutan). Kenampakan singkapan daerah penelitian jalur Sungai Lokidang –


Parakansubah; (6) Basalt STA 5 Sungai Lokidang, (7) Singkapan diabas STA 14 Sungai Lokidang, (8)
Singkapan gabbro berlapis STA 18 Sungai Lokidang, (9) Singkapan klinopiroksenit dan serpentinit
STA 19 pada sungai Parakansubah.

1019
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F023UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Kenampakan sayatan petrografi (polarisasi silang); a) STA 16 Rijang pada Sungai
Parakansubah dengan radiolaria dan urat kuarsa (Qz); b) STA 3 Intergranular basalt Sungai
Medana dengan mineral klinopiroksen(Cpx), labradorit(Lab), ortopiroksen(Opx), klorit(Chl), dan
kuarsa(Qz); c) STA 11 Diabas pada Sungai Parakansubah dengan mineral klinopiroksen(Cpx),
labradorit(Lab), ortopiroksen(Opx), klorit(Chl); d) STA 24 Gabbro pada Sungai Lokidang dengan
mineral klinopiroksen(Cpx), plagioklas(Plg), ortopiroksen(Opx), klorit(Chl), dan mineral
opak(Opq); e) STA 18A Klinopiroksenit terserpentinisasi pada Sungai Parakansubah dengan
minereal klinopiroksen(Cpx) dan antigorit(Atg); f) STA 18B Serpentinit pada Sungai Parakansubah
dengan mineral antigorit(Atg), krisotil(Ctl), dan kromit(Chr).

1020
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F029UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

STUDI KARAKTERISTIK, PETROGANESIS DAN TINGKAT PELAPUKAN


INTRUSI SERTA KONTROL STRUKTUR PADA GUNUNG GAJAH DAERAH
JATIREJO, KECAMATAN GRIMULYO, KABUPATEN KULONPROGO,
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Muhammad Aprischal Padjeko1*, Galuh Timur Yanto1, Yoyok Ragowo Siswomiharjo.S1,


Muslim1, Nicolaus Ario Wicaksana1, Agus Setiawan1 , Trias Galena1
Teknik Geologi, institut sains & teknologi AKPRIND Yogyakarta. jl. Kalisahakno28, kompleks Balapan
1

Tromol pos 45 Yogyakarta - 55222

*Corresponding Author: isalpadjeko85@gmail.com

ABSTRAK. Daerah penelitian merupakan hasil dari adanya aktivitas tektonik yang terjadi
sebanyak dua kali periode yaitu Oligosen awal - Miosen Awal dan Miosen Akhir - Kuarter yang
menghasilkan busur magmatik. Salah satu produk dari adanya aktivitas tektonik ini yaitu
munculnya intrusi di Gunung Gajah. Banyaknya batuan yang tersingkap pada daerah penelitian
sehingga memicu peneliti untuk melakukan penilitian dengan tujuan tahap yang lebih lanjut
untuk mengetahui karakteristik, petrogenesis dan proses pelapukan pada intrusi batuan basalt
Gunung Gajah serta struktur pengontrolnya. Peneliti menggunakan metode geological mapping
dengan luasan daerah 4 km² serta metode analisis petrografi. Berdasarkan hasil geological mapping
daerah penilitian terusun atas lava, intrusi andesit, batugamping kristalin Jongrangan dan
endapan vulkanik Gunung Gajah. Kehadiran intrusi membentuk karakteristik columnar joint
rebah dengan bentuk prisma dengan tingkat pelapukan sedang-kuat. Proses pelapukan dikontrol
oleh struktur geologi berarah Utara – Selatan berdasarkan data DEM-SRTM sehingga memicu air
permukaan menyusup kedalam batuan melalui bidang-bidang lemah, keadaan topografi yang
sangat curam dan keadaaan batuan yang banyak terkekarkan menjadi faktor utama pelapukan.
Sehingga tingkat pelapukan pada daerah penilitian secara keseluruhan adalah lemah – sedang.
Analisis petrografi menunjukan karakteristik batuan intrusi memiliki struktur skoria, tekstur
holokristalin, subhedral, inequigranural, forfiritik dengan masa dasar plagioklas, komposisi
terdiri dari plagioklas 40%, piroksen 45%, olivin 7%, opak 3% dan sisanya adalah rongga hasil
pelepasan gas sebesar 5% dengan penamaan batuan andesit-basaltis. Maka karakteristik intrusi
yang hadir merupakan bagian dari gunungapi purba Gajah yang berkomposisi basal-intermediet
dan keluar melalui rekahan pada leher vulkanik dengan membentuk struktur columnar joint rebah
dan mengintrusi lava di atasnya yang telah keluar lebih dahulu. Tingkat pelapukan yang lemah
sampai sedang, namun di beberapa lokasi memiliki tingkat pelapukan yang kuat serta kontrol
struktur yang dominan sehingga dapat menjadi kajian dan pertimbangan jika dilakukannya
pembangunan pada daerah penilitian.

Kata kunci: Intrusi, Geological mapping, petrogafi, Gunung-Gajah

I. PENDAHULUAN
Secara administratif daerah penelitian termasuk kedalam daerah Jatirejo,
Kecamatan Grimulyo. Secara geografis daerah penelitian terletak pada koordinat 110°
5’30’’ – 110° 6 ‘30’’ BT dan -07° 46’ 30’’- 07° 47’ 30’’ LS. Banyaknya batuan pada tinggian
Kulon progo yang dibentuk oleh adanya aktivitas tiga gunung purba menjadikan asal
utama batuan vulkanik, faktor morfostruktur dinamik, dan morfostruktur aktif yang

1021
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F029UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

berperan aktif sehingga membuat batuan yang awalnya sangak kompak menjadi lapuk
karena hasil dari adanya bidang-bidang lemah yang saling berhubungan.

II. GEOLOGI REGIONAL


Pegunungan Kulonprogo sendiri menempati satuan Pegunungan Serayu Selatan
dan dikenal sebagai jajaran bangunan tubuh gunung api tua. Pegunungan Kulon Progo
diduga terbentuk oleh deformasi paling sedikit dua kali periode fase tektonik yaitu,
pertama terjadi pada Oligosen Akhir - Miosen Awal dan kedua Miosen Akhir-Kuarter
yang menghasilkan busur magmatik. Van Bemmelen (1949) menyatakan bahwa batuan
gunung api daerah Kulonprogo berasal dari tiga gunung api purba G. Gadjah, G. Ijo, dan
G. Menoreh. Orientasi arah dominan tenggara-baratlaut (Gunungapi Gajah), tenggara-
baratlaut dan selatan-utara (Gunungapi Ijo) dan barat-timur (Gunungapi Menoreh)
dimana arah barat timur adalah yang memiliki umur paling muda (Barianto et al., 2009).
Rahardjo, dkk., (1977) menyebutkan bahwa Formasi Andesit Tua disusun oleh
material asal gunung api, baik yang bersifat hasil erupsi letusan maupun hasil erupsi
lelehan, atau sering dikenal sebagai perselingan antara batuan piroklastika dan lava
koheren. Urutan batuan berumur Eosen sampai Miosen, batuan dari umur paling tua
hingga umur paling muda adalah Formasi Nanggulan, Formasi Andesit Tua, Formasi
Jonggrangan, Formasi Sentolo dan Endapan Alluvial. Peneliti lain menamakan Formasi
Andesit Tua sebagai Formasi Kebo Butak (Rahardjo, et al. 1977, dalam Harjanto, 2011).
Miosen Awal terjadi kenaikan muka air laut yang mengakibatkan terjadi penggenangan
yang pada saat itu terendapkan Formasi Jonggrangan dan Formasi Sentolo yang saling
menjari. Semua daerah Kulonprogo mengalami pengangkatan pada Pleistosen Awal
sehingga terbentuk morfologi tinggian berupa dome. Proses pengangkatan ini
menyebabkan munculnya pola struktur utama barat-timur (B-T).

III. METODOLOGI
Dalam penelitian ini dilakukan beberapa tahapan antara lain, pengamatan lokasi
penelitian dengan melakukan pemetaan dengan luasan daerah 4 km² untuk mengetahui
kondisi di lapangan yang berupa penyebaran litologi penyusun yang telah mengalami
pelapukan serta analisis DEM SRTM untuk mengetahui pola tegasan utama yang
menjadikan bidang lemah pada batuan, analisis petrografi dilakukan pada sampel intrusi
yang telah dideskripsi secara megaskopis untuk mendapatkan struktur, tekstur,
komposisi, dan presentase mineral dalam batuan yang menjadi dasar dalam pembagian
tata nama dan klasifikasi batuan. Tekstur dalam batuan menjadi rekaman proses
pembentukan batuan. Analisis dilakuakan pada Laboratorium Sumber Daya Mineral IST
Akprind Yogyakarta. Selain itu digunakan data pendukung (Data Sekunder) lainya
untuk memudahkan dalam melakukan penelitian ini.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Litologi dan Pelapukan
Secara hand speciment batuan yang didapakan pada lokasi penelitian berupa
intrusi andesit dengan struktur columnar joint rebah, lava, batugamping kristalin,

1022
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F029UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

kenampakan lain yang ditemukan pada batuan ini berupa adanya pelapukan fisik
spheroidal wathering pada litologi lava, proses geomorfologi yang berkembang yaitu
morfostruktur dinamik dan morfostruktur aktif dimana sifat fisik batuan dan tanah
pelapukan yang gembur, menyebabkan air banyak meresap ke dalam lapisan tanah
pelapukan melalui pori-pori antar butir tanah, kemudian akan terakumulasi pada bidang
kontak antara tanah pelapukan dan batuan dasar. Kondisi demikian dapat menyebabkan
lapisan tanah pelapukan jenuh air serta dapat menyebabkan perubahan terhadap sifat
fisik tanah, Pelapukan yang terjadi pada batuan di lokasi penelitian yaitu lemah sampai
sedang akan tetapi dibeberapa tempat terjadi pelapukan yang kuat sehingga dapat
merubah komposisi mineralogi dan sifat mekanik batuan yang bersangkutan menjadikan
kekuatan batuan akan berkurang. Morfologi daerah terdiri dari pegunungan dan
perbukitan berlereng curam, proses eksogenik berupa pelapukan akibat air permukaan
(air hujan) mengindikasikan menjadi faktor utama yang mengubah warna batuan
penyusun.
2. Petrografi
Hasil analisis petrografi pada daerah Jatirejo berupa batuan intrusi yang
didapatkan struktur scoria, tekstur holokristalin, subhedral, inequgranular, porfiritik,
komposisi:
• Piroksen, relief kuat, Nm>Nk, non pleokroisme, belahan 2 arah, subhedral, sudut
sudut pemadaman parallel 74°, tanpa kembaran, length slow 75°, ukuran 0,35 mm,
birefrengance 0,032 (orde 3), piroksen hadir dalam bentuk fenokris yang dikelilingi oleh
masa dasar berwarna coklat dan jenis orthopiroksen kehadiran 45% pada sayatan.
• Olivin relief kuat, Nm>Nk, non pleokroisme, belahan acak, subhedral, tanpa
kembaran, sudut pemadaman parallel 60°, length slow 83°, ukuran 0,125 mm, birefringence
0,036 (orde 4), jenis forsterite hadir dalam bentuk fenokris yang dikelilingi oleh masa
dasar plagioklas hadir 7% pada sayatan.
• Plagioklas relief rendah, Nm<Nk, non pleokroisme, tanpa belahan, subhedral,
birefringence 0,006 orde 1, kembaran carlsbat-albit, sudut pemadaman simetri, length slow
82°, ukuran 0,07 mm, jenis andesine An 44° dan labradorit An 2°. Rongga berwarna hitam
pada nikol silang warna putih pada nikol sesajar kehadiran 3%.
• Mineral opak hitam pada nikol sejajar dan silang, bentuk tabular kehadiran 5%.
Kemudian dari kehadiran mineral dimasukan dalam table klasifikasi W.T.Huang, 1962
sehingga didapatkan nama batuan andesit-basaltis.
3. DEM
DEM SRTM yang digunakan untuk mengetahui struktur patahan, bentang alam
dan berbagai kenampakan di permukaan bumi dapat terbentuk akibat tektonik dan
vulkanik. Morfologi dan indikasi struktur patahan daerah penelitian dapat diidentifikasi
melalui DEM-SRTM. Patahan dapat diidentifikasi melalui kelurusan beda kontur pada
elevasi yang signifikan. Perbedaan kontur tersebut terlihat dari adanya efek bayangan
patahan tersebut. Keberadaan struktur patahan dapat diidentifikasi melalui indikasi
awal berupa kelurusan (lineament). Analisis kelurusan menujukan adanya tegasan utama
yang berarah utara – selatan dengan pegunungan memanjang di bagian utara hingga
selatan, sedangkan dataran di bagian tenggara. Pola struktur ini menunjukkan hubungan
yang erat dengan pola struktur sunda yang relatif berarah utara - selatan.

1023
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F029UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

4. Petrogenesis
Berdasarkan penelitian (Devy, dkk, 2015) batuan Andesit-basaltis pada daerah
penelitian terbentuk pada tatanan tektonik island arc. Awalnya magma terbentuk pada
tatanan tektonik yang mengalami pelelehan sebagian dari kerak samudera pada
subducted slab. Pelelehan ini disebabkan oleh adanya proses pelepasan air pada
kedalaman sekitar 110 km. Sewaktu proses pelelehan berlangsung, terjadi proses
pengkayaan unsur jejak low field strength. Hal ini yang menjadi salah satu ciri
magmatisme di zona subduksi. Magma yang dihasilkan pada proses ini adalah magma
basalt olivin toleitik (Winter, 2001). Proses percampuran magma ini ditunjukkan oleh
adanya tekstur oscillatory zoning dan spongy cellular pada plagioklas. Proses fraksinasi
kristalisasi ditandai oleh peningkatan kandungan oksida Na2O, K2O dan unsur jejak
incompatible serta penurunan oksida TiO2, Fe2O3 total, MgO, CaO dan unsur jejak
compatible. Proses diferensiasi ini menghasilkan batuan andesit basaltik dengan seri
magma kalk-alkali. Magma tersebut mencapai ke permukaan dan membentuk busur
gunungapi (volcanic arc).

V. KESIMPULAN
• Batuan yang tersingkap pada lokasi penelitian dengan luasan 4 km² secara hand
speciment berupa intrusi andesit, lava, dan batugamping kristalin, hasil dari
morfostruktur dinamik berupa pelapukan lemah sampai sedang dan kuat dibeberapa
tempat.
• Analisis petrografi menunjukan batuan intrusi andesit-basaltis.
• Analisis DEM SRTM menujukan adanya kelurusan dengan tegasan utama yang
berarah utara – selatan.
• Batuan Andesit-basaltis pada daerah penelitian terbentuk pada tatanan tektonik island
arc, pengkayaan unsur jejak low field strength ciri magmatisme di zona subduksi,
magma yang dihasilkan pada proses ini adalah magma basalt olivin toleitik.
ACKNOWLEDGEMENTS
Terima kasih penulis ucapkan kepada Himpunan Mahasiswa Teknik Geologi
“GAIA” yang telah mengadakan program GAIA Ekspedisi sehingga peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian yang berada daerah kulonprogo tak lupa juga untuk para
Dosen-dosen Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknologi Mineral Institut Sains &
Teknologi AKPRIND Yogyakarta yang selalu memberi dukungan dalam segi keilmuan.

DAFTAR PUSTAKA
Bemmelen, R. W. van. 1949. The Geology of Indonesia, Vol. IA. General Geology. Martinus
Nijnhoff, The Hague. Netherlands.
Budiadi, Ev., 2008. Peranan Tektonik Dalam Mengontrol Geomorfologi Daerah Pegunungan
Kulon Progo, Yogyakarta, Disertasi Doktor, UNPAD, Bandung, 204 hal. Tidak diterbitkan.
Devy Risky dan Agus Hedrawan, 2016, studi petrogenesis andesit basalt di daerah kali wander
dan sekitarnya kecamatan bener, kabupaten purworejo provinsi jawa tengah,
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage,
Departemen Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada.

1024
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F029UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Hibbard, M. J., 1995, Petrography to Petrogenesis, Prentice Hall, Inc., New Jersey
Johannsen, A., 1939, A Descriptive Petrography of the Igneous Rocks, Volume I : Introduction,
Texture Classifications and Glossary, 2nd ed., The University of Chicago Press, Chicago.
Pringgoprawiro, H. dan Riyanto, B. 1988, Formasi Andesit Tua suatu Revisi, Bandung
Inst.Technologi, Dept.Geol.Contr., 1-29.
Rahardjo, Wartono, dkk., 1995, Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Jawa, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi, Bandung.

1025
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F029UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Petrografi andesit-basaltis kanan nikol sejajar dan kiri nikol silang

Gambar 2. Peta kelurusan morfologi daerah penelitian

1026
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

PONGKOR REVEALS: CHARACTERIZATION OF LATE TERTIARY Au – Ag


EPHITERMAL LOW SULPHIDATION DEPOSITS

Muhammad Husein Mubarak Hady1*, Fahmi Aulia1, Arisa Wahyu Pratama1

Geological Engineering Department of UPN "Veteran" Yogyakarta/SWK Street 104, Depok, Sleman,
1

D.I.Yogyakarta
*Corresponding Author: muhammadhussenn@ymail.com

ABSTRACT. Pongkor Ancient Volcano is one of tertiary volcano in Java which has been proven
producing commodity of 98 tons Au and 1026 tons Ag (Milesi, 1999). The Au-Ag deposit in
Pongkor is an interesting object for explorationist that needs to be studied and published in order
to developing knowledge. The research was in one of the active mining areas in Bantar Karet
Village, Nanggung, Bogor, West Java in the UTM 48S zone with coordinates X: 672972mE-
673373mE and 9263348mN-9262533mN. The purpose of this study was to determine the
characteristics of Au-Ag deposits including geological settings, alteration distribution, and vein
infilling. The research methods included surface mapping, face mapping in underground mining,
and laboratory analysis such as petrography and geochemistry (XRD and Fire Assay). Based on
surface mapping, there were 3 units of rock from old to young in the form of lapilli-tuff Pongkor
unit, andesite volcanic Pongkor unit, and tuff Pongkor unit. All of them have miocene age. The
structure that controls mineralization is right slip fault with NW-SE orientation. Based on XRD
analysis, alteration that is present in the study area are phylic type (silica-chlorite-pyrite),
propylitic type (chlorite-calcite-silica), and argillic type (kaolinit-ilitsmectite-chlorite-silica).
Mineralization at Mount Pongkor has four stages infilling veins (Milesi, 1999), but in the study
area only two stages of infilling are found, namely CQ facies and MOQ facies. CQ facies has
content of 1.96 ppm for Au and 13.5 ppm for Ag, while the MOQ facies has 15.41 ppm for Au and
73.96 ppm for Ag. The vein textures are found in the form of primary growth texture (Colloform
Band, Comb, Crustiform Band, Vuggy Quartz, and Massive Chalcedonic) and replacement texture
(lattice bladed, parallel bladed, and saccharoidal). Based on these characteristics, it can be
concluded that the type of deposit is low sulfidation epithermal deposit.

Kata kunci: Epithermal Low Sulphidation, Gold, Mineralization, Pongkor, Silver

I. INTRODUCTION
Pongkor Ancient Volcano is one of tertiary volcano in Java which has been proven
producing commodity of 98 tons Au and 1026 tons Ag (Milesi et al., 1999). The Au-Ag
deposit in Pongkor is an interesting object for explorationist that needs to be studied and
published in order to developing knowledge.
Research area located in Bantar Karet Village, Nanggung, Bogor, West Java in the
UTM 48S zone with coordinates X: 672972mE - 673373mE and 9263348mN - 9262533mN.
Bantar Karet Village has many mineral resources like Au, Ag and Mn. Recently, Bantar
Karet Village is an active mining.
The purpose of this study was to determine the characteristics of Au-Ag deposits
including geological settings, alteration distribution, and vein infilling. The research
methods included surface mapping, face mapping in underground mining, and
laboratory analysis such as petrography and geochemistry (XRD and Fire Assay).
Hopefully this research can be useful later.

1027
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

II. REGIONAL GEOLOGY


Java Island forms part of the Sunda arc, which is consists of a volcanic belt, active
calc-alkaline which forms on older volcanic and volcaniclastic rocks which intercalated
with the distribution of Paleogene and Neogen sediments and intruded by plutonic
igneous rock. The basement rock consists of melange from the Late Cretaceous or
Paleocene Period (Basuki et al., 1993).
Subduction of the Indian Ocean plate under the Sunda arc has been active since
the Eocene period (Hamilton, 1979; Rangin et al., 1990 in Basuki et al., 1993). K/Ar dates
shows that magmatism associated with this subduction occurred in two different periods:
Late Eocene to Early Miocene and Late Miocene to Pliocene. Then early volcanic forms
are called "Old Andesitic", which were mostly distributed along the southern coast of
Java and mostly tholeiitic. The Neogen Event then raises the alkali calc from low to
medium of the volcanic product that forms a magmatic arc, whose axis has shifted about
60 km to the north (Soeria Atmadja et al., 1991 in Basuki et al., 1993). This arc coincides
with recent volcanic arc. Gold mineralization in Java is related to Neogene magmatic
events. Age determination with the latest K / Ar dating on adularia (Milesi et al, 1999)
shows Pongkor mineralization formed at 89 Ma. Based on regional geology map (Fig.1),
there are four units of lithology: tuff breccia unit, lapilli-tuff unit, andesite volcanic unit,
and breccia unit.

III. RESEARCH METHOD


In general, research is conducted in 3 stages, namely pre-observation, observation,
and post-observation (Fig.2). In the pre-observation stage, a desk study is carried out by
studying regional geology, track plans, and lineament drawings from aerial image. At the
observation stage, it is carried out by mapping the surface and face mapping in the front
tunnel to obtain lithology, structure, alteration, and mineralization data. Structural
analysis uses stereonet to analyze fault data. The samples of each vein facies obtained
were analyzed by petrography to determine further mineral content and fire assay to
determine the content of Au and Ag. Whereas XRD was done by clay-oriented to
determine the clay mineral content only. From all data, the authors then concluded the
characteristics of the deposit type in Pongkor.

IV. RESULT AND DISCUSSION


Geology
a. Stratigraphy
Based on surface mapping, there were 3 units of rock from old to young in the
form of lapilli-tuff Pongkor unit, andesite volcanic Pongkor unit, and tuff Pongkor unit
(Fig.3). All of them have miocene age. The dip directions are relative to the SSE
orientation where according to Milesi et al. (1999) deposited in a subaerial environment.
Based on the volcanic facies according to Boogie & MacKenzie (1998), the study area

1028
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

belongs to the proximal-distal facies. The outcrops conditions are mostly weathered
(Fig.4).
b. Structure
The structure present at research area is Right Slip Fault (Fig.5) which has Strike
N345 E and Dip 83o. This fault has striation with Plunge 8o, Bearing N346oE, and Rake
o

10o. This fault reaches from top to bottom research area and controls the mineralization.

Alteration
Based on surface mapping, altered rocks can be identified as phyllic type with
silica-cloritepyrite minerals, prophyllitic with clorite-calcite-silica minerals and clay-silica
minerals. The collecting XRD data (SM-CGH LP-4) was located in eastern part of research
area (Fig. 6) It showed that clay minerals consist of rich kaolinite, illite, low smectite and
clorite, which can be identified as argilic type alteration (Fig. 7). The distribution of
phyllic type is spotted in a the northern of area. The argillic type is almost found in whole
study areas except along the river valley, which is dominated by propyllitic alteration
types.
In determining the temperature range of each alteration type classification was
used by Hedenquist (1990). The phyllic type has high temperature, in range of 200o –
300oC and the argillic type has a short temperature range of 200o – 220oC while the
prophyllitic type has a wide temperature range between 150o – 300o C (Fig.8). Alteration
occurs at Pliocene age (Milesi, 1999).
Mineralization
a. Vein Infilling
Vein infilling study based on Milesi et al. (1999). The four main mineralized veins
of the Pongkor show similar reflection a single four-stage metallogenic event in a
dilational context (Fig.9).

Stage 1: Carbonate quartz facies (CQ)


Stage 2: Manganesse Oxide facies (MOQ)
Stage 3: Banded opaline quartz facies (BOQ)
Stage 4: Grey sulphide quartz facies (GSQ)

b. Face Mapping
Face Mapping method is used to determining vein textures and collecting
geological data. Face Mapping was done at XY and XYZ tunnels. Primary growth texture
(Colloform Band, Comb, Crustiform Band, Vuggy Quartz, and Massive Chalcedonic) and
replacement texture (lattice bladed, parallel bladed, and saccharoidal) were found at XY
and XYZ tunnels. Mineralization occur at Pliocene (Milesi et al. 1999).
a. XY Tunnel
Based on Face Mapping in XY Tunnel (Fig.10), Block Ramp Down – North, Vein
A, Level 474 were found Lapilli-Tuff lithology. There were 2 vein filling stages in this
tunnel. The stages were CQ Facies (N193oE/83o) and MOQ Facies (N180oE/80o).
Propyllithic alteration was altered the Lapilli – Tuff.

1029
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

b. XYZ Tunnel
Based on Face Mapping In XYZ Tunnel (Fig.11), Block Ramp Down, Vein CGS,
Level 475 were found Lapilli Tuff lithology. There were 2 vein filling stages in this tunnel.
The stages were CQ Facies (N353oE/73o) and MOQ Facies (N150oE/76o). Propyllithic
alteration was altered the Lapilli – Tuff.
c. Petrography
Petrography analysis used to identify further information about mineral content.
Petrography analysis using 2 samples from Bantar Karet Village. The petrography
samples from CQ Facies and MOQ Facies (Fig.12).
From Petrography Analysis, CQ Facies sample has crustiorm and comb quartz
texture. CQ Facies sample contain Quartz (88%), Calcite (10%), and Fine Sulphide (2%).
MOQ Facies sample has vuggy quartz and Mn-pocket texture. MOQ Facies sample
contain Quartz (85%), Manganese (8%), Rhodocrosite (5%), and Fine Sulphide (2%).
d. Fire Assay
Fire Assay analysis used to identify the amount of gold and silver content in vein.
Fire Assay Analysis using 2 samples from CQ Facies in XY Tunnel and MOQ Facies in
XYZ Tunnel (Table 1). The results of the analysis can be seen in the table below. Based on
Fire Assay Analysis, the veins in XY and XYZ Tunnels have a good Au and Ag Prospect.

V. CONCLUSION
Based on the research, The Authors can conclude:
1. There were 3 units of rock from old to young in the form of lapilli-tuff Pongkor unit,
andesite volcanic Pongkor unit, and tuff Pongkor unit.
2. The structure that controls mineralization is right strike-slip fault with NW-SE
orientation.
3. Alteration present in the study area are phylic type (silica-chlorite-pyrite), propylitic
type (chlorite-calcite-silica), and argillic type (kaolinit-ilit-smectite-chlorite-silica).
4. Mineralization at Mount Pongkor has four stages infilling veins (Milesi et al., 1999).
Meanwhile in XY and XYZ Tunnels have 2 stages of vein filling (CQ Facies and MOQ
Facies).
5. Mineralization occur at Pliocene (Milesi et al., 1999).
6. The vein textures are found in the form of primary growth texture (Colloform Band,
Comb, Crustiform Band, Vuggy Quartz, and Massive Chalcedonic) and replacement
texture (lattice bladed, parallel bladed, and saccharoidal).
7. CQ facies in XY Tunnel has content of 1.96 ppm for Au and 13.5 ppm for Ag, while the
MOQ facies in XYZ Tunnel has 15.41 ppm for Au and 73.96 ppm for Ag.
8. The type of deposit is low sulfidation epithermal deposit.

ACKNOWLEDGEMENT
The Authors gratefully acknowledge permission from PT Antam Tbk UPBE
Pongkor to work on collecting data. The paper by Milesi et al., Basuki et al., Boogie &
MacKenzie are also gratefully acknowledge for the secondary data as our references. The
Authors also thanks to the lecturers for guidance so this paper can be finished.

1030
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

REFERENCES
Basuki, Agung et al. 1994. The Gunung Pongkor gold-silver deposit, West Java, Indonesia.
Journal of Geochemical Exploration, 50, 371-391.
Boogie, I and Mackenzie, K.M. 1998. The Application of a Volcanic Facies Model to An Andesitic
Stratovolcano Hosted Geothermal System at Wayang Windu, Java, Indonesia. Proceedings 20th
NZ Geothermal Workshop. 265-270.
Milesi, J.P et al. 1999. Pongkor (West Java, Indonesia): a Pliocene supergene-enriched epithermal Au-
Ag-(Mn) deposit. Mineralium Deposita, 34, 131-149.

1031
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Table 1. Fire Assay Data

Sample Au (ppm) Ag (ppm)

XY-CQ 1.96 13.5

XYZ-MOQ 15.41 73.96

1032
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 1. Rocks Unit, and Alteration based on Regional Geology (Basuki, et al., 1993)

1033
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 2. Research flow diagram

1034
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 3. Geological Map of XY and XYZ area

1035
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 4. Outcrop conditions: (a) tuff-lapilli altered argillic, (b) andesite altered prophyllitic, (c)
tuff altered argillic

Figure 5. Fault analysis

1036
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 6. Alteration Map of XY and XYZ Area, Bantar Karet, Nanggung, Bogor, West Java

1037
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 7. Clay-Oriented XRD analysis (SM-CGH LP-4) consist of kaolinite-illite-chlorite-smectite


minerals

1038
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 8. Temperature analysis result of each alteration type based on Hedenquist (1996)
classification

1039
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 9. Multistage Vein Filling in Pongkor (Milesi et al., 1999)

Figure 10. XY Tunnel Face Mapping

1040
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F032UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 11. XYZ Tunnel Face Mapping

Figure 12. CQ Facies Parallel Nicol, B. CQ Facies Cross Nicol, C. MOQ Facies Parallel Nicol, D.
MOQ Facies Cross Nicol

1041
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F038UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

KARAKTERISTIK MINERAL LEMPUNG DI DUSUN BITING, DESA PELEM,


KECAMATAN PRINGKUKU, KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR

I Wayan Warmada1, Hasma Rodiah Sirait1*

Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Jl. Grafika No. 2,
1

Bulaksumur, Yogyakarta 55281

*Corresponding Author: hasma.rodiah.s@mail.ugm.ac.id

ABSTRAK. Persebaran bentonit di Dusun Biting, Desa Pelem, Kecamatan Pringkuku, Kabupaten
Pacitan, Jawa Timur cukup luas dan mudah dijangkau. Sebagian besar bentonit ditambang oleh
warga dan dijual kepada kontraktor dengan nilai jual yang rendah. Penelitian ini bertujuan
mempelajari karakteristik dan pemanfaatan bentonit untuk meningkatkan nilai jual. Terdapat 21
titik pengambilan sampel di lokasi penelitian dan 6 dari 21 titik pengambilan sampel dipilih
berdasarkan variasi litologi dan ketebalan singkapan. Lokasi pengambilan sampel termasuk ke
dalam Formasi Jaten dan Formasi Wuni. Batuan yang tersingkap di lokasi penelitian adalah
batulempung, batulempung lanauan, batulanau tufan, dan batulempung tufan dalam satuan
batulempung. Analisis petrografi menunjukkan bahwa batuan-batuan tersebut mengandung
mineral lempung, feldspar, kuarsa, oksida besi, dan gelas vulkanik. Mineral lempung
diinterpretasikan sebagai hasil ubahan gelas vulkanik. Analisis XRD menunjukkan bahwa
batulempung mengandung smektit, kaolinit, klorit, kristobalit, kuarsa, pirit, plagioklas, K-
feldspar, dan hematit dengan kandungan smektit yang dominan. Smektit memiliki kapasitas
pertukaran ion yang rendah sebesar ±22,33 meq/100gr dan standar deviasi sebesar 1,84.
Komposisi kimia smektit yaitu Na2O <0,01-0,53%, MgO 1,02-7,16%, Al2O3 9,52-34,77%, SiO2 18,47-
64,17%, P2O5 0,08-0,25%, K2O 0,15-2,99%, CaO 0,15-2,97%, TiO2 0,02-1,39%, Fe2O3 4,32-63,43%, dan
MnO 0,01-0,2%. Komposisi kimia bentonit yang paling tinggi adalah silika (SiO 2) dan aluminium
(Al2O3). Berdasarkan analisis XRF dan EDX, Bentonit Biting termasuk ke dalam kelompok Ca-
bentonit seri beidelit. Bentonit Biting menunjukkan tekstur cornflake berupa lembaran-lembaran
pada analisis SEM. Berdasarkan mineralogi, karakteristik kimia, dan karakteristik fisik,
montmorilonit berasal dari devitrifikasi dan alterasi hidrotermal. Montmorilonit dapat
dimanfaatkan dalam industri pembuatan anggur, minyak kelapa sawit, dan keramik dengan
pengujian sifat fisik yang lebih lanjut.

Kata kunci: bentonit, Biting, montmorilonit, devitrifikasi, dan alterasi hidrotermal

I. PENDAHULUAN
Indonesia memiliki cadangan bentonit yang cukup melimpah dan tidak akan
habis dalam waktu 50 tahun ke depan (Panjaitan, 2010). Salah satu daerah tambang
bentonit di Indonesia terdapat di Pelem, Jawa Timur. Penelitian terdahulu oleh Winarno
(2004) menyatakan bahwa endapan bentonit di Desa Pelem merupakan endapan
smektit-montmorilonit yang dapat dimanfaatkan dalam bidang industri. Bentonit di
Dusun Biting telah ditambang sejak tahun 1900-an hingga saat ini, namun aktivitas
penambangan ini mulai berkurang. Oleh karena itu, pengetahuan tentang karakteristik
bentonit dapat menjadi dasar pengoptimalan penambangan dan penggunaan bentonit
sehingga dapat meningkatkan nilai jual bentonit khususnya di Dusun Biting

1042
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F038UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Bentonit adalah batuan dengan komposisi lempung kristalin (seperti mineral


lempung) yang terbentuk melalui proses devitrifikasi dan perubahan komposisi kimia
material gelasan berupa tuf atau debu vulkanik (Murray, 1997). Mineral lempung adalah
salah satu jenis mineral yang berukuran mikroskopis yang tidak dapat diamati langsung
tanpa menggunakan alat (Murray, 2007). Mineral lempung pada umumnya terdiri atas
empat grup yaitu kaolinit, smektit-montmorilonit, ilit, dan klorit (Uddin, 2014). Bentonit
termasuk ke dalam grup smektit-montmorilonit dimana nama montmorilonit berasal
dari jenis lempung plastis yang ditemukan di montmorilonit, Perancis pada tahun 1847
(Labaik, 2006). Berdasarkan Grim (1968), montmorilonit memiliki rumus
[(Mg,Ca)·Al2O3·5SiO2·nH2O]. Smektit-montmorilonit memiliki spesifikasi berdasarkan
bentuk strukturnya dan juga komposisi kimia. Menurut Christidis dan Dunham (1993)
tipe-tipe smektit berdasarkan ion tersubtitusi dapat diklasifikasikan menjadi: (1) Mg-
smektit dan Fe-smektit; (2) Al-smektit dan Menurut Guven (1991), montmorilonit
sendiri dapat diklasifikasikan berdasarkan kation dominan dan genesa montmorilonit
seperti: (1) Mg-smektit dengan substitui ion Li+; (2) Logam transisisi smektit (Ni, Co, Zn,
Mn, Fe, dan lain-lain); dan (3) Fe-Mg smektit (saponit) yang dijumpai di alam sebagai
mineral lempung autigenik yang terbentuk oleh alterasi batuan vulkanik. Montmorilonit
biasanya ditemukan bersama dengan mineral beidelit, nontronit, dan sapronit.
Montmorilonit terbentuk melalui pelapukan batuan, proses mineralisasi, proses
hidrotermal, proses alterasi abu vulkanik, endapan sedimenter, diagenesis burial dan
metamorfisme derajat rendah.

II. GEOLOGI
Menurut van Bemmelen (1949), geomorfologi regional Biting terletak di
Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat sub zona bagian utara. Sub zona bagian
utara merupakan zona lajur pegunungan yang membangun mandala morfologi bagian
utara dan menjadi batas fisiografi sebelah utara Pegunungan Selatan dengan Zona
Depresi Solo yang berkembang dengan pola yang kompleks. Pada bagian paling timur
zona bagian utara terdapat lajur-lajur Kambengan dan Plopoh yang memanjang dengan
arah BL-Tg. Kedua lajur tersebut terpisah di selatan Wonogiri oleh lembah aliran Sungai
Bengawan Solo yang berarah UTL-SBD. Batuan penyusun lajur-lajur Kambengan dan
Plopoh adalah sekuen batuan beku dan volkaniklastik berumur Oligo-Miosen.
Berdasarkan susunan stratigrafi yang terdapat pada peta geologi regional lembar
Pacitan Jawa Timur (Samodra et al., 1992) maka Biting termasuk ke dalam Formasi
Wuni dan Formasi Jaten. Formasi Wuni tersusun atas breksi agglomerat berselingan
dengan batupasir tufan berbutir kasar dan batulanau, dan batugamping terumbu koral
pada bagian atas (Gambar 1). Umur formasi berdasarkan fauna koral adalah Miosen
bawah. Formasi Jaten terdiri atas litologi batupasir kuarsa, batulempung, betulempung
karbonatan, batubara dan sisipan tipis batupasir gampingan. Formasi Jaten terbentuk
pada Miosen tengah.
Berdasarkan peta geologi regional lembar Pacitan Samodra et al. (1992), secara
umum struktur geologi yang terbentuk adalah sesar geser. Sesar yang melewati Biting
adalah Sesar Buyutan diperkirakan dengan arah relatif Baratdaya-Timurlaut, Sesar
Rohtawu merupakan sesar geser yang relatif berarah Tenggara-Baratlaut, Sesar Punung

1043
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F038UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

yang terdapat di sisi Baratdaya lokasi penelitian dengan arah relatif Tenggara-
Baratlaut, dan Sesar Pucunglangan yang merupakan sesar geser dengan arah relatif
Tenggara- Baratlaut. Struktur geologi tersebut merupakan hasil dari deformasi tektonik
dalam kurun waktu Tersier hingga Kuarter.

III. METODOLOGI
Analisis pada bentonit bertujuan untuk mengetahui karakteristik mineralogi,
fisik, dan kimia. Karakterisasi mineralogi menggunakan analisis petrografi dimana
preparasi dilakukan di OBSIDIAN Geo Laboratory Service dan pengamatan dilakukan di
Laboratorium Geologi Optik Departemen Teknik Geologi UGM dan analisis XRD
dengan metode clay treatment dilakukan di Laboratorium Geologi Pusat Departemen
Teknik Geologi UGM. Karakterisasi sifat kimia mineral menggunakan analisis XRF yang
dilakukan di Badan Tenaga Nuklir Nasional Pusat Teknologi Bahan Galian Nuklir
Jakarta dan analisis SEM/EDX yang dilakukan di Tekmira Bandung, serta karakterisasi
sifat fisik mineral dengan analisis KPK yang dilakukan di UPT Laboratorium INSTIPER
Yogyakarta.

IV. HASIL
1. Lokasi pengambilan sampel
Sampel yang dianalisis berjumlah sepuluh sampel. Titik pengambilan sampel
tersebar dari timur hingga barat lokasi penelitian seperti pada Gambar 2.
2. Mineralogi, kimia, dan fisik mineral
Batulempung secara megaskropis memiliki warna yang bervariasi yaitu warna
abu-abu gelap, abu-abu keungu-unguan, warna hijau, warna coklat, dan warna kuning
kecoklat-coklatan. Tekstur memiliki ukuran butir lempung, hasil petrografi
menunjukkan komposisi batulempung adalah plagioklas, k-feldspar, kuarsa, mineral
opak, dan mineral oksida, gelas vulkanik (Gambar 3) dengan kandungan mineral pada
Tabel 1. Mineral dominan pada sampel adalah mineral lempung dengan kelimpahan
sebesar 43,81%. Mineral berikutnya adalah kuarsa dengan persentase sebesar 17,15%,
mineral feldspar memiliki kelimpahan sebesar 11,60%, mineral opak dengan
kelimpahan sebesar 14,47%, dan mineral oksida memiliki kelimpahan sebesar 12,98%
seperti pada (Tabel 2).
Hasil analisis XRD menunjukkan bentonit Biting terdiri dari mineral utama dan
mineral aksesori. Mineral utama adalah mineral yang memiliki kelimpahan lebih besar
dibandingkan dengan mineral yang lain. Mineral utama dengan kelimpahan yang
paling besar adalah mineral smektit dengan persentase sebesar 74,34%, kaolinit
memiliki kelimpahan sebesar 5,01%, klorit memiliki kelimpahan 12,13%, kristobalit
memiliki kelimpahan 6,72%. Mineral aksesori yang muncul adalah mineral pirit dengan
kelimpahan sebesar 0,80%, kuarsa memiliki kelimpahan 0,65%, plagioklas memiliki
kelimpahan 0,16%, k-feldspar memiliki kelimpahan 0,14% dan hematit memiliki
kelimpahan 0,07%.
Smektit mineral dominan pada bentonit Biting. Smektit diidentifikasi melalui
peak pada d 16,11 Å (2θ 5.48°); d 16,17 Å (2θ 5,46°); d 16,17 Å (2θ 5.46°); Pada analisis

1044
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F038UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

difraksi sinar-X, kaolinit diidentifikasi melalui peak dengan nilai d 7,96 Å (2θ 11,10); 7,67
Å (2θ 11,54); 7,33 Å (2θ 12,06); 3,66 Å (2θ 24,29); 3,59 Å (2θ 24,77); Klorit pada analisis
difraksi sinar-X, diidentifikasi melalui peak dengan nilai d 4,52 Å (2θ 19,64); 7,25 Å (2θ
12,2); 4,73 Å (2θ 18,76); Kristobalit pada analisis sinar-X, diidentifikasi melalui peak
dengan nilai d 4,04 Å (2θ 21,96); 3,53 Å (2θ 25,24); 3,53 Å (2θ 25,22).
Mineral aksesori diantaranya adalah kuarsa, plagioklas, pirit, K-feldspar, dan
hematit. Pirit dapat diidentifikasi melalui peak d 3,09 Å (2θ 28,86) dan 3,09 Å (2θ28,83);
Kuarsa diidentifikasi melalui peak dengan nilai d 4,29 Å (2θ 20,7); 4,27 Å (2θ 20,80); 4,29
Å (2θ 20,68); 4,29 Å (2θ 20,7) pada sampel; Plagioklas diidentifikasi melalui peak dengan
nilai d 2,91 Å (2θ 30,69); 2,93 Å (2θ 30,48); 3,79 Å (2θ 23,48) pada sampel; K-feldspar
dapat diidentifikasi melalui peak d 3,47 Å (2θ 25,65); 3,26 Å (2θ 27,55); dan 3,14 Å (2θ
28,38); dan Hematit dapat diidentifikasi melalui peak d 3,62 Å (2θ 24,57). Grafik XRD
dapat dilihat pada Gambar 4.
Karakteristik kimia montmorilonit dapat diketahui melalui hasil analisis XRF
dan SEM/EDX.
Hasil analisis XRF menunjukkan bahwa sampel memiliki kandungan oksida
mayor seperti Na2 O, MgO, Al2O3, SiO2, P2O5, K2O, CaO, K2O, TiO2, Fe2O3, MnO, dengan
nilai LOI berkisar antara 0,15-9,34%. Nilai oksida sampel dapat dilihat pada Tabel 3.
Hasil analisis SEM menunjukkan bahwa montmorilonit memiliki struktur berupa
cornflake (Gambar 5) dengan komposisi montmorionit dominan mengandung unsur
Aluminium (Al) dan Ferum (Fe). Kandungan aluminium pada montmorilonit berkisar
antara 20-30% dan kandungan Fe berkisar antara 18-26% (Tabel 4).
Karakteristik fisik montmorilonit dapat diketahui melalui hasil analisis KPK.
Analisis KPK dilakukan untuk mengetahui variasi pertukaran kation pada sampel. Nilai
KPK sampel berada pada rentang nilai 20-24 meq/100 gr. Nilai KPK sampel diantaranya
adalah 23,58; 20,18; 24,11; dan 21,43 (meq/100 gr).

V. DISKUSI DAN PEMBAHASAN


A. Karakteristik mineral lempung
1. Karakteristik mineralogi
Komposisi batuan pada pengamatan megaskropis adalah material berukuran
halus, material vulkanik bewarna keputih-putihan dan sulfur yang berasosiasi dengan
mineral lain. Berdasarkan hasil pengamatan sayatan tipis komposisi batulempung adalah
mineral lempung, feldspar, kuarsa, mineral opak, oksida besi, dan gelas vulkanik.
Apabila pada bentonit masih ditemukan gelas vulkanik hal tersebut mengindikasikan
bahwa alterasi belum berjalan dengan sempurna (Weaver, 1989). Pada batuan masih
terdapat mineral lain yang belum terubah menjadi mineral lempung. Kelimpahan mineral
yang paling dominan adalah mineral lempung ±43,8% sehingga diinterpretasikan bahwa
sebagian besar batuan telah mengalami ubahan dan menunjukkan tekstur cornflake pada
SEM. Menurut Keller et al. (1986) batuan bertekstur cornflake terbentuk dari gelas vulkanik
yang sudah mengalami pergantian tekstur pseudomorphic.
Sebagian mineral lempung pada batuan berdampingan dengan mineral
nonmineral lempung dengan ukuran yang halus. Sementara nonmineral lempung hadir
sebagai inklusi atau mineral aksesori pada batulempung dan oksida besi. Mineral pada

1045
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F038UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

batulempung diklasifikasikan menjadi mineral primer dan mineral sekunder. Mineral


primer yang terdapat pada batuan yaitu feldspar, kuarsa, dan mineral opak sedangkan
mineral sekunder adalah mineral lempung dan oksida besi. Pada pengamatan
petrografi, kehadiran mineral sekunder menjadi parameter keberadaan mineral
lempung. Mineral lempung berasal dari ubahan mineral-mineral primer pada batuan.
Komposisi mineral batulempung melalui analisis XRD (metode clay treatment)
menunjukkan bahwa kehadiran mineral lempung memiliki intensitas yang signifikan
dibandingkan dengan mineral nonlempung. Mineral lempung yaitu mineral smektit
dan kaolinit. Mineral nonlempung yaitu feldspar, kuarsa, klorit, kritobalit, pirit, hematit.
Mineral nonlempung yang dominan hadir pada batulempung adalah mineral silika
seperti kuarsa dan kristobalit.
Berdasarkan penelitian Morad et al. (2010), keterdapatan smektit pada
batulempung disebabkan oleh diagenesis feldspar. Smektit terbentuk pada temperatur
dibawah 140o-150oC. Proses diagenesis tersebut berlangsung hingga mineral smektit
mengalami perubahan. Mineral smektit dapat berubah menjadi mineral lain sesuai
dengan suhu yang sesuai untuk pembentukan suatu mineral. Kehadiran klorit pada
sampel menjadi salah satu penciri alterasi hidrotemal. Klorit terbentuk pada hidrotermal
lemah yang didukung oleh unsur alkali dan alkali tanah. Batuan yang kaya akan
montmorilonit dan klorit adalah batuan yang mengalami alterasi propilitik. Menurut
Christidis (2009), bentonit yang terbentuk sebagai hasil alterasi material gelasan oleh
fase fluida terbentuk di lingkungan aqueos seperti laut dangkal atau danau.
2. Karakteristik fisik
Nilai KPK keempat sampel yang diuji relatif sama yaitu berkisar antara 20-24
meq/100gr. Besar nilai rata-rata KPK bentonit Biting yaitu ±22,33 meq/100gr dengan
standar deviasi sebesar 1,84. Grim (1978) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
bentonit memiliki nilai KPK berkisar antara 70-130 meq/100gr. Berdasarkan persentase
mineral smektit pada semua sampel, maka nilai KPK tersebut tergolong sangat rendah.
Terdapat beberapa faktor yang dapat mengalami kemampuan pertukaran kation. Faktor
pertama yang dapat memengaruhi pertukaran kation berdasarkan adalah reaksi batuan
dengan air. Pertukaran kation dominan terjadi pada ion Ca, Mg, K, dan Na. Smektit
yang telah bereaksi dengan air (meteorik atau alkalin) mengakibatkan sampel
mengalami pertukaran kation.
Faktor kedua yang memengaruhi nilai KPK adalah campuran mineral. Velde
(1992) mengemukakan bahwa tinggi rendahnya nilai KPK pada bentonit dipengaruhi
oleh heterogenitas mineral yang terdapat pada sampel. Campuran mineral yaitu
kontaminan yang terbawa sebagai material pengotor. Peristiwa tersebut dapat terjadi
karena bentonit memiliki karakter yang mudah retak sehingga dapat terisi oleh
kontaminan melalui media air dan masuk ke dalam tubuh bentonit. Bentonit Biting
tidak memiliki kontaminan organik. Mineral pengotor yang dimaksudkan seperti
kristobalit, pirit, dan kuarsa. Kehadiran mineral-mineral tersebut akan menurunkan
nilai KPK. Berdasarkan Rabaute et al. (2003) menyatakan bahwa besar KPK campuran
adalah hasil penjumlahan nilai KPK mineral. Maka, nilai KPK sampel yang telah
dianalisis merupakan nilai penggabungan. Ketidaksesuaian ini dapat terjadi karena

1046
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F038UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

sampel yang diuji hanya mewakili 4 dari 10 sampel yang terpilih dan hanya mewakili
100 gram sampel pada satu lokasi pengambilan sampel.
Faktor ketiga yang memengaruhi nilai KPK yaitu hilangnya banyak kation-
kation pada interlayer struktur smektit. Berkurangnya spasi interlayer yang
memengaruhi kapasitas pertukaran kation yaitu diagenesis. Diagenesis telah
memengaruhi antar lapisan batulempung sehingga kemampuan mineral smektit untuk
melakukan pertukaran kation berkurang hingga 60% dibawah kemampuan rata-rata.
Diagenesis pada batulempung akan mengakibatkan perubahan pada mineral smektit
dan kehadiran mineral tertentu yang dapat berkembang menjadi semen pada celah
antar lapisan.
3. Karakteristik kimia
Mineral lempung memiliki lapisan-lapisan yang tersusun oleh unsur-unsur
oksida utama yang berikatan pada setiap layer. Unsur-unsur oksida mayor pada
struktur smektit menurut Grim (1978) adalah SiO2, Al2O3, Fe2O3, CaO, MgO, Na2O, K2O,
MnO, LiO2, sedangkan TiO2 belum dapat dipastikan. Pada hasil analisis XRF dapat
diketahui bahwa kandungan SiO2 sampel berada pada kisaran 18,47-64,17%. Kandungan
Si yang tinggi mengindikasikan bahwa Si yang telah dilepaskan selama alterasi tidak
berpindah dari endapan bentonit. Selama proses alterasi, larutan silika amorf yang larut
di dalam tanah pergerakannya akan terhalangi (Zielinski, 1982). Peristiwa tersebut
mendukung kehadiran silika polymorph. Kehadiran silika yang tinggi pada bentonit
menunjukkan bahwa bentonit berasal dari batuan yang bersifat riolitik.
Karakteristik kimia bentonit yang dominan seperti Al2O3 dengan persentase 9,52-
34,77%. Namun terdapat anomali pada sampel HRS270219-4 yaitu bahwa keterdapatan
SiO2 pada sampel ini adalah yang paling kecil yaitu 18,47% dan kandungan Fe yang
tinggi yaitu 63,43%. Hal tersebut disebabkan karena batuan mengandung lebih banyak
tuf dibandingkan dengan sampel yang lain. Sampel tersebut berada pada bagian paling
atas endapan singkapan bentonit pada lokasi penelitian dan merupakan batuan
vulkanik.
Kation yang ditemukan pada bentonit Biting adalah kation Ca dengan
persentase 0,15-3,28% sedangkan persentase Na berkisar 0,00%. Ketidakhadiran Na
pada sampel bentonit Biting digantikan oleh kahadiran K. Kehadiran TiO2 pada sampel
dapat diplot antara SiO2 dan TiO2 yang menunjukkan bahwa batuan vulkanik bersifat
riolitik, riolitik-dasitik, andesitik. Namun diagram tersebut digunakan apabila
dilakukan penelitian trace element. Kandungan MgO berkisar antara 1,02-7,16% dan
kandungan FeO berkisar antara 4,32-63,43%. Berdasarkan Yildiz dan Kuscu (2004),
batulempung yang kaya akan MgO, CaO, dan FeO terbentuk dari alterasi hidrotermal
gelas vulkanik.
Berdasarkan hasil EDX juga diperoleh bahwa kation interlayer pada bentonit
adalah unsur Ca. Kandungan Ca pada bentonit berkisar antara 1,57-3,73% sedangkan
kandungan Na tidak ditemukan sama sekali. Bentonit Biting didominasi oleh unsur Al
dan Fe. Al memiliki persentase sebesar 11,35-16,72% dan Fe memiliki persentase sebesar
2,6-11,36%. Menurut Murray (2007), komposisi kimia montmorilonit yang didominasi
oleh Al adalah montmorilonit kelompok beidelit (Al-montmorilonit) dan apabila
kandungan unsur yang dominan Fe maka termasuk ke dalam kelompok saponit (Fe-

1047
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F038UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

montmorilonit). Namun pada daerah penelitian, Al memiliki persentase yang lebih


besar jika dibandingkan dengan Fe pada setiap sampel sehingga Guven (1991)
menyebutkan apabila unsur Al mendominasi dibandingkan Fe maka montmorilonit
tersebut digolongkan pada kelompok smektit dioktahedral seri montmorilonitbeidelit.
Oleh karena itu, bentonit Biting termasuk tipe Ca-bentonit kelompok smektit
subkelompok dioktahedral seri montmorilonit-beidelit.
B. Rekomendasi penggunaan
Berdasarkan karakteristik mineralogi, fisik, dan kimia mineral, maka bentonit Biting
dapat dimanfaatkan dalam industri pembuatan anggur, industri minyak kelapa sawit dan
industri keramik dengan pengujian sifat fisik yang lebih lanjut dengan spesifikasi sifat
fisik dan kimia mineral seperti tabel pada Gambar 6.

VI. KESIMPULAN
Karakteristik mineral lempung di Dusun Biting, Desa Pelem, Kecamatan
Pringkuku, Kabupaten Pacitan, Provinsi Jawa Timur dibedakan berdasarkan
karaktersitik mineralogi, fisik, dan kimia mineral. Mineral pembentuk batulempung
adalah mineral lempung, feldspar, kuarsa, mineral opak, dan oksida besi. Pada beberapa
sampel batulempung ditemukan produk vulkanik yaitu gelas vulkanik. Jenis mineral
lempung di lokasi penelitian adalah mineral smektit, kaolinit, klorit, kristobalit,
plagioklas, kuarsa, pirit, K-feldspar, dan hematit. Jenis mineral lempung yang dominan
adalah mineral smektit. Komposisi kimia smektit yaitu Na2O <0,01-0,53%, MgO 1,02-
7,16%, Al2O3 9,52-34,77%, SiO2 18,47-64,17%, P2O5 0,08-0,25%, K2O 0,15-2,99%, CaO 0,15-
2,97%, TiO2 0,02-1,39%, Fe2O3 4,32-63,43%, dan MnO 0,01-0,2%. Montmorilonit Biting
adalah seri beidelit-montmorilonit dengan kandungan Al yang tinggi. Kapasitas
pertukaran ion montmorilonit yaitu ±22,33 meq/100 gr. KPK montmorilonit rendah
dipengaruhi 3 faktor yaitu: (1) reaksi batuan dengan air; (2) campuran mineral dan (3)
hilangnya banyak kationkation pada interlayer struktur smektit. Berdasarkan
karakteristik tersebut maka genesa bentonit di Dusun Biting yaitu hasil ubahan dari
produk vulkanik dan alterasi. Berdasarkan spesifikasi industri, bentonit yang berada di
Dusun Biting dapat digunakan dalam industri pembuatan anggur, industri minyak
kelapa dan industri keramik dengan pengujian sifat fisik yang lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA
Chatterjee, K.K., 2009, Uses of Industrial Minerals, Rocks and Freshwater, Nova Science, Newyork.
Christidis, G., Dunham, A.C., 1993, Compotional Variations in Smectites: Part I. Alteration of
Intermediate Volcanic Rocks: A Case Study from Milos Island, Greece: Clay Minerals, v.
28, p. 255-273, doi:10.1180/claymin.1993.028.2.07.
Guven, N., 1991, On a Definition of Illite/Smectite Mixed-Layer, Clays and Clay Mineral, v. 39, p.
661-662.
Grim, R. E., annd Guven, N., 1978, Developments in Sedimentology: Bentonites. Geology,
Mineralogy, Properties and Uses: Elsevier Scientific Publishing Company. 6, 109, 119,
139-140p.

1048
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F038UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Labaik, G., 2006, Kajian Bentonit di Kabupaten Tasikmalaya, Jurnal Kajian Terhadap Bentonit di
Kabupaten Tasikmalaya dan Kemungkinannya Dijadikan Bahan Pembersih Minyak
Sawit (CPO), Bandung, vol. 1: http://buletinsdg.geologi.esdm.go.id (accessed January
2019).
Murray, H. H., 1999, Applied Clay Mineralogy Today and Tomorrow: Clay Mineral, v.34, p.3949.
Murray, H. H., 2007, Applied Clay Mineralogy, Amsterdam: Elsevier Science Publisher, 14 p.
Notodarmojo, S., 2005, Pencemaran tanah dan air tanah, ITB: Bandung.
Panjaitan, R. R., 2010, Kajian Penggunaan Bentonit dalam Industri, v. XLV, p.22-28.
Putnis, A., 1992, Introduction to Mineral Science: University of Cambridge, Cambridge University
Press, 173, 181 p.
Rabaute, A., Revil, A., and Brosse, E., 2003, In situ mineralogy and perme- ability logs from
downhole measurements: Application to a case study in chlorite-coatedsandstones,
J.Geophys. Res., 108(B9), 2414, doi:10.1029/2002JB002178
Samodra, H., Gafoer, S., and Tjokrosapoetro, S., 1992, Peta Geologi Lembar Pacitan, Jawa, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi, sekala 1:100.000, 1 lembar.
Uddin, F., 2008, Clays, Nanoclays, and Montmorillonite Minerals: The Minerals, Metals &
Materials Society and ASM International 2008,v. 38, p. 2084-2014, doi: 10.1007/s11661-
0089603-5.
Van Bemmelen, R.W., 1949, The Geology of Indonesia, Vol.I: General Geology of indonesia and
Adjacent Archipelagoes, (second edition 1970- reprint), Amsterdam, Goverment Printing
Office The Hauge.
Velde, B., 1992, chemistry, origins, uses and environmental significance. introduction to Clay
Minerals, vol 1, Director of Research, National Centre for Scientific Research, France.
Weaver, C.E., 1989, Clays, Muds, and Shales, Developments in Sedimentology 44, Elsevier,
Amsterdam, 819 pp.
Winarno, T., 2004, Geologi dan Karakteristik Endapan Bentonit di Desa Pelem dan Sekitarnya,
Kecamatan Pringkuku, Kabupaten Pacitan, Provinsi Jawa Timur [unpublished
undergraduate thesis]: Department of Geologycal Engineering University of Gadjah
Mada.
Zielinski R.A., 1982, The mobility of uranium and other elements during alteration of rhyolite ash
to montmorillonite: a case study in the Troublesome Formation, Colorado, U.S.A.
Chemical Geology, 35, 185204

1049
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F038UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 1. Persentase komposisi mineral pada sayatan tipis dan hasil normalisasi dengan
kandungan nonmineral batuan berdasarkan kelimpahan masing-masing mineral

Komposisi mineral Persentase (%)


Mineral lempung 43.81
Kuarsa 17.15
Feldspar 11.60
Mineral opak 14.47
Oksida besi 12.98

1050
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F038UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 2. Persentase mineral pada batulempung

No Persentase (%) sampel


Komposisi ke-
mineral
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1 Mineral 60 60 50 10 49 20 30 70 53 40

Lempung

2 Feldspar 20 - 38 - - 79 - - - -

3 Kuarsa - 30 - 40 16 - 23 13 18 33

4 Mineral 20 10 12 25 14 - 7 13 18 27

Opak

5 Mineral - - - 25 21 21 40 13 11 -
oksida

1051
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F038UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 3. Kandungan unsur oksida utama pada bentonit Biting

Kode NaO2 MgO Al2O3 SiO2 P2O5 K2O CaO TiO2 Fe2O3 MnO LOI Total
sampel % % % % % % % % % % % %

HRS2602-1 < 0.01 2,01 22,04 62,54 0,15 0,86 1,54 0,58 5,81 0,2 4,26 100
HRS2602-2 < 0.13 3,16 18,97 58,85 0,12 0,41 2,97 0,47 5,60 0,1 9,34 100
HRS2702-3 < 0.01 3,22 21,39 59,78 0,25 0,46 2,44 0,63 5,98 0,03 5,82 100
HRS2702-4 0,53 7,16 9,52 18,47 0,18 0,13 0,15 0,25 63,43 0,03 0,15 100
HRS2702-5 < 0.14 1,71 34,77 50,58 0,09 0,16 0,25 1,39 10,49 0,03 0,53 100
HRS2702-6 < 0.01 2,08 27,25 56,35 0,14 0,15 0,98 0,79 5,62 0,03 6,60 100
HRS2702-7 < 0.01 1,02 22,5 61,39 0,10 0,22 1,58 1,02 5,39 0,04 6,74 100
HRS2702-8 < 0.01 1,28 23,14 59,97 0,08 2,99 0,09 1,06 5,23 0,02 6,14 100
HRS2702-9 0,42 2,56 24,96 64,17 0,14 1,15 1,29 0,60 4,32 0,01 0,37 100
HRS2702-10 < 0.01 2,97 23,57 63,57 0,10 0,32 2,23 0,82 6,01 0,02 0,39 100

1052
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F038UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 4. Hasil analisis kuantitatif dan kualitatif EDX pada bentonit Biting

Kandungan
Kode Sampel

HRS260219-1 HRS260219-2 HRS270219-9


(%) (%) HRS270219-5 (%) (%)

O 46,04 46,56 47,9 49,23

Mg 1,6 2,27 - 1,5

Al 13,03 11,35 14,25 16,72

Si 25,38 27,18 27,93 28,35

Ca 1,85 3,73 1,57 -

Ti 0,75 - 1,02 -

Fe 11,36 8,42 7,34 2,6

K - 0,5 - 1,6

1053
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F038UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Peta geologi regional bagian Barat dari Lembar Pacitan (Samodra, et al., 1992) dan letak
lokasi penelitian

Gambar 2. Peta geologi daerah penelitian dan lokasi pengambilan sampel

1054
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F038UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. (kiri) Kenampakan PPL dan (kanan) kenampakan XPL. Sayatan tipis batulempung
dengan keterdapatan mineral seperti (Qz) kuarsa, (Opq) opak, (Oxd) mineral oksida, (Fls)
feldspar, (Cly) mineral lempung, dan (Gv) gelas vulkanik

1055
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F038UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Grafik air dried XRD bentonit Biting

1056
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F038UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. Kenampakan SEM batulempung yang menunjukkan tekstur montmorilonit berupa


cornflake

1057
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F038UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 6. Tabel kesesuaian mutu bentonit Biting berdasarkan spesifikasi industri

1058
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F040POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

MINERALOGI DAN KIMIA MINERAL ALTERASI PROGRADE DAN


RETROGRADE ENDAPAN SKARN Pb-Zn-Cu-(Ag) RUWAI, KABUPATEN
LAMANDAU, PROVINSI KALIMANTAN TENGAH, INDONESIA

Arifudin Idrus1, Rima Wardhani1*


Departemen Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada, Jln. Grafika No.2 Bulaksumur
1

Yogyakarta

*Corresponding Author: Rimawardhani11@gmail.com

ABSTRAK. Studi ini bertujuan untuk mengkaji mineralogi dan kimia mineral alterasi
prograde dan retrograde endapan skarn Pb-Zn-Cu-(Ag) Ruwai di Kabupaten Lamandau,
Kalimantan Tengah. Intrusi granodiorit dan batuan dinding berupa batuan sedimen
(batulanau dan batupasir) dan batuan vulkanik (batuan vulkanik aliran dan tufa)
mengalami alterasi skarnisasi pada tahap prograde dan retrograde. Studi mineralogi
skarn dilakukan dengan analisis petrografi, sedangkan analisis EPMA (electron probe
micro analyser) untuk mengetahui kimia mineral dan variasi komposisinya. Hasil studi
menunjukan bahwa mineral skarn prograde terdiri dari garnet, klinopiroksen dan
mungkin anortit, sedangkan mineral skarn retrograde meliputi klorit, epidot, kalsit dan
zeolit. Garnet memperlihatkan tekstur zoning. Garnet memiliki kadar Fe 2O3 15,30
sampai 31,57wt.% (rerata 27,37wt.%; N = 10), sedangkan CaO 31,72 -34,47 wt.% (rerata
33,37wt.%; N = 10), diklasifikasi sebagai andradit. Elemental mapping garnet
menunjukan peningkatan komposisi Al dan pengurangan komposisi Fe dari center,
proximal ke distal. Klinopiroksen memperlihatkan tekstur kristal halus dan shreddy
dan kadang-kadang zoning. Komposisi CaO dan XFe (Fe/(Fe+Mg) klinoproksen rerata
berturut-turut 23,24 wt.% dan 0,08, yang menunjukan klinopiroksen sebagai diopsid
(CaMgSi2O6). Mineral retrograde berupa epidot dikategori sebagai klinozoisit, klorit
diklasifikasi sebagai klinoklor dan kamosit, serta zeolit merupakan chabazite (calcium-
rich zeolite). Secara umum, baik mineral prograde maupun retrograde secara konsisten
termasuk calc-silicate minerals yang merupakan mineral silikat yang kaya kalsium yang
terbentuk melalui proses reaksi kimia antara silicious hydrothermal fluid dengan calcium-
enriched wallrocks. Mineralisasi bijih terbentuk saat retrograde pada temperatur 210-250
°C, log sulphur fugacities -11,78 sampai -14,68 dan log oxygen fugacities -37,56 sampai -

41,25.

Kata kunci: Mineralogi, kimia mineral, skarn, prograde, retrograde, Ruwai Selatan,
Indonesia

I. PENDAHULUAN
Indonesia dikenal dengan kekayaan sumberdaya mineralnya yang melimpah.

1059
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F040POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Kekayaan sumberdaya alam ini mampu menyumbang Rp. 90 milyar untuk pendapatan
Negara Indonesia menurut (Hartriani, 2017 dalam Badaruddin, 2018). Hal ini mampu
penopang perekonomian negara dari sektor pertambangan. Oleh karena itu,
pemerintah sangat gencar melakukan eksplorasi, guna meningkatkan sumberdaya
mineral yang terukur agar dapat tambang, diolah dan dimanfaatkan. Prospek Ruwai
Selatan, Kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah merupakan salah satu
daerah yang menghasilkan sumberdaya logam dasar (Pb-Zn-Cu) Ag dan bijih besi (Fe)
di Indonesia. Bijih besi dan logam dasar ini dihasilkan oleh proses skarnisasi atau lebih
dikenal dengan endapan skarn (Setidjadi dkk., 2010; Idrus dkk., 2011). Endapan skarn
itu sendiri merupakan batuan kalk-silikat yang relatif berbutir kasar yang berasosiasi
dengan bijih besi (Geijer and Magnusson, 1952 dalam Meinert, 1992). Aspek geologi
yang mengontrol terbentuknya endapan skarn di daerah Ruwai Selatan, yaitu adanya
kontak batuan beku granit yang mengitrusi batuan sedimen dan batuan vulkanik
diatasnya, serta struktur yang berarah South West -North East (Idrus dkk., 2011).
Kedua faktor tersebut (litologi dan struktur) yang mengakibatkan terbentuknya
mineralisasi skarn dan alterasi skarn i.e. skarn prograde dan retrograde. Penelitian ini
bertujuan untuk melalukan karakterisasi mineralogi skarn dan menganalisis kimia
mineral dari mineral-mineral skarn tersebut.

II. GEOLOGI REGIONAL


Daerah Ruwai Selatan secara regional termasuk kedalam Formasi Granit
Sukadana (kus) dan Formasi Gunungapi Kerabai dalam Peta Geologi Regional
Tumbangmanjul (Kulk) (Margoni dkk, 1995). Formasi Granit Sukadana (kus) itu sendiri
terdiri dari litologi monzonit, kuarsa, monzogranit, sienigranit, granit alkali feldspar,
sedikit sienit kuarsa, monzodiorit kuarsa dan diorite kuarsa. Formasi tersebut juga
memiliki umur berkisar Kapur atau 86,3-103 juta tahun lalu berdasarkan penanggalan
K-Ar (Margono dkk., 1995). Formasi satuan Gunungapi Kerabai (kulk) terditi dari
batuan lava andesit, lava dasit dan riolit , serta tuf brrkso, aglomerat. Formasi satuan
gunungapi Kerabai ini memiliki umur yang sama dengan Formasi Granit Suakdana
yaitu Kapur (Margono dkk., 1995). Peta lokasi penelitian dan peta geologi regional
daerah pen litian terlihat pada Gambar 1.
Carlile and Mitchell, 1994 berpendapat bahwa secara
regional daerah Ruwai dan sekitarnya tersusun dari litologi batuan beku granit, batuan
sedimen dan vulkanik yang berasosiasi dengan busur magmatik Kalimantan Tengah
(Kapur Akhir – Tersier Tengah). Adapun struktur geologi yang terdapat di daerah
Ruwai Selatan secara umum memiliki arah Timurlaut-Baratdaya (Idrus dkk., 2011).

III. METODE PENELITIAN


Metode penelitian yang dilakukan adalah analisis petrografi dan kimia mineral
EPMA (electron probe micro analyser). Metode ini tujukan untuk mengetahui komposisi
1060
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F040POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

mineralogi dari alterasi yang terjadi pada saat proses pembentukkan endapan skarn di
daerah Ruwai Selatan. Sampel yang dianalisi dalam metode ini terdiri dari sampel
skarn prograde dan retrograde. Pada prograde terdiri dari mineral garnet dan
klinopiroksen. Sedangkan pada retrograde terdiri dari mineral klorit, epidot dan zeolit.
Analisis petrografi dan microprobe tersebut dilakukan di Institut Mineralogi dan
Geologi Ekonomi, RWTH Aachen University, Jerman.

IV. HASIL PENELITIAN


Berdasarkan analisis petrografi dan EPMA, jenis mineral dan komposisi kimia
mineral skarn prograde dan retrograde dapat diidentifikasi/ditentukan. Peningkatan atau
pengurangan unsur-unsur kimia tertentu dari analisa elemental mapping pada bagian
tengah hingga luar mineral juiga dapat diketahui. Proses ini ditujukan untuk mineral-
mineral yang memiliki zonasi atau zoning seperti garnet dan klinopiroksen pada skarn
prograde. Pada Proses alterasi prograde mineral yang hadir diantaranya mineral garnet
dan klinopiroksen. Sedangkan pada proses alterasi Retograde, terdiri dari mineral klorit,
epidot dan zeolit. Ketiga mineral terakhir tersebut terbentuk akibat adanya penurunan
suhu (Corbett and Leach,1997).
1. Mineralogi dan Kimia Mineral Skarn Prograde
a. Garnet
Mineral garnet di daerah penelitian memperlihatkan kadar dari unsur Fe 2O3
bernilai 15,30 sampai 31,57wt.% (rerata 27,37wt.%), CaO 31,72 -34,47 wt.% (rerata
33,37wt.%) dan unsur MnO, MgO relatif rendah (Table 1). Berdasarkan
perhitungan mol fraksi Fe/(Fe+Al) (cf. Baghban dkk., 2014) menggambarkan
mineral garnet di daerah penelitian ini terklasifikasikan kedalam jenis andradite
(Gambar 2). Secara umum mineral garnet memperlihatkan pembagian zona-zona
dari bagian terkecil hingga terbesar atau lebih dikenal dengan zoning. Zona-zona
dari mineral garnet ini terbentuk pada kondisi yang berbeda (Hollister, 1966 dalam
Bollen, 2015). Untuk itu peneliti melakukan analisis mapping mineral dengan
menggunakan metode backscatter image EPMA (Gambar 3) dengan tujuan
mengetahui perubahan komposisi kimia garnet dari center-proximal-distal dari
sampel yang representatif (Gambar 4).

b. Klinopiroksen
Klinopiroksen terbentuk pada tahap isokimia dan prograde pada endapan
skarn. Klinopiroksen sering dijumpai bersamaan dengan mineral garnet (Meinert,
1992). Data kimia mineral klinopiroksen terlihat pada Tabel 2. Berdasarkan
perhitungan nilai Ca (afu) terhadap nilai dari mol fraksi Fe/(Fe+Mg) klinopiroksen
didaerah penelitian diklasifikasikan kedalam diopside (Papike, 1998 dalam Baghban
dkk, 2014). Hal ini sependapat dengan (Einaudi, 1982 dalam Baghban dkk, 2014)
yang membagi jenis klinopiroksen, berdasarkan perhitungan mol fakrsi yang
menyatakan bahwa, mineral klinopiroksen di daerah penelitian teridentifikasi
sebagai diopside (Gambar 5). Sebagian besar klinopiroksen didaerah penelitian
1061
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F040POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

berasal dari batuan beku dan sebagian kecil berasal dari batuan metamorf, hal ini
ditunjukkan dari perhingan nilai (Ti+Cr+Na) (Berger dkk, 2005 dalam Baghban
dkk, 2014) (Gambar 7). Secara umum mineral klinopiroksen memperlihatkan
tekstur Kristal yang halus, sheddy dan sedikit zoning. Tekstur ini digambarkan
secara megaskopis dan mikroskopis. Secara mikroskopis ditampilkan dari hasil
pemetaan unsur menggunakan backscatter image EPMA (Gambar 8). Selain
memperlihatkan tekstur dari mineral klinopiroksen, pemetaan unsur juga
ditujukan untuk mengetahui perubahan komposisi unsur dari mineral
klinopiroksen.

2. Mineralogi dan Kimia Mineral Skarn Retrograde


a. Klorit
Kimia mineral klorit di daerah penelitian ditunjukan dengan nilai FeO
(37,08-39,87 wt %), Al 2O3 (6,704-7,428 wt%), dan SiO2 (6,737-7,14 wt%) (Table 3).
Struktur formula mineral klorit ini dihitung menggunakan oksigen 36. Berdasarkan
nilai dari Fe2+/sum of octahedral cations vs Si, mineral klorit didaerah penelitian
terklasifikasikan ke dalam jenis chamosite (Fe+2,Mg,Al,Fe+3)6 (Si,Al)4 O10(OH,O)8 pada
(Gambar 8) (cf. Strunz dkk., 2001). Secara umum, mineral klorit di daerah
penelitian mengalami perubahan komposisi, hal ini ditunjukkan dengan
perbandingan antara nilai FeO terhadap nilai mol fraksi Mg/(Mg+Fe+2).

b. Termometer Klorit
Termometer klorit merupakan perhitungan yang dilakukan untuk
mengetahui temperatur pembentukkan alterasi retrograde dari analisis mineral
klorit. Analisis mineral klorit ini dilakukan dengan menggunakan software
Chlorite dari Harrold and Walshe (1988). Selain mengidentifikasi temperatur,
aplikasi tersebut juga mampu menghitung nilai dari activity, log oxygen fugacity dan
log sulphur fugacity. Data kimia klorit terlihat pada Tabel 3, sedangkan Tabel 4
merupakan hasil perhitungan thermometer klorit menunjukan temperatur 210-250
°C), log sulphur fugacity antara -11,78) sampai -14,68, log oxygen fugacity antara -37,56

sampai -41,25, dan activity dari mineral clinochlore dan chamosite. Berdasarkan nilai
temperatur dan log sulphur fugacity, larutan hidrotermal yang membentuk alterasi
retrograde skarn South Ruwai berada pada kondisi intermediate sulfidation stage (cf.
Einuadi dkk, 2003; Piercey, 2017) (Gambar 9).

c. Epidot
Mineral epidot didaerah penelitian terbagi menjadi 2 jenis diantaranya,
epidote dan clinozoisite. Mineral epidot itu sendiri merupakan mineral monoklin
dengan rumus kimia Ca2Al2Fe3+ [Si2O7][SiO4]O(OH) (Haüy,1801 dalam Armbruster
dkk, 2006). Clinozoisite merupakan mineral polymorphism dengan zoisite
Ca2Al3[Si2O7][SiO4]O(OH) (Weinschenk, 1896 dalam Armbruster dkk, 2006) atau
lebih dikenal dengan mineral epidot dengan komposisi Fe yang rendah. Secara
umum mineral epidot ini berasosiasi dengan alterasi retrograde (Baghban dkk, 2014)
1062
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F040POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

hal ini dikarenakan mineral epidot termasuk kedalam secondary mineral


(Armbruster dkk, 2006). Mineral epidot didaerah penelitian didominasi dengan
komposisi FeO rerata (12,475-14,485wt%) (Tabel 5). Berdasarakan nilai fraksi mol
yang didapat dari perhitngan Fe/(Fe+Al) bekisar (0,24-0,35) menunjukkan
terjadinya peningkatan pada unsur besi (Gambar 10). Selain itu jenis mineral epidot
didaerah penelitian memiliki porsi yang lebih besar dibandingkan jenis clinozoisite.
Perbedaan porsi ini digambarkan dengan perhitungan masing-masing fraksi mol.
Pada fraksi mol epidot (XEp) dihitung dengan menggunakan rumus
Fe+3/Fe+3+Al+Cr+3-2, sedangkan pada fraksi mol clinozosite (XCzo) dihitung dengan
rumus (Al-2)/(Fe+3+Al-Cr+3-2) (Franz and Liebscher, 2004), dimana hasilnya
menunjukan didominasi mol fraksi epidot sekitar 0,9.

d. Zeolit
Endapan skarn yang berasosiasi dengan mineral zeolite, cenderung
dipengaruhi temperatur sedang-menengah (Burt, 1977 dalam Ray dan Webster,
1997). Zeolite itu sendiri terbagi menjadi 3 bagian yaitu, zeolite yang didominasi
dengan komposisi sodium (NaO) disebut dengan zeolit mordenite, zeolite yang kaya
akan kalsium (CaO) disebut dengan zeolite chabazite, dan zeolite yang kaya akan
potassium (K) disebut dengan zeolite klipnoptilolite (Grim, 1968). Zeolit di daerah
penelitian terklasifikasi kedalam jenis chabazite, hal ini ditunjukkan dari komposisi
CaO rerata (12,81-24,91 wt%) (Tabel 7).

V. DISKUSI DAN PEMBAHASAN


Skarn di prospek Ruwai Selatan ini terbagi menjadi 2 jenis alterasi dalam proses
pembentukan endapan skarn, yaitu alterasi skarn prograde dan skarn retrograde. Asosiasi
mineral seperti pada alterasi prograde terdiri dari kelompok mineral garnet dan
klinopiroksen, sedangkan alterasi skarn retrograde terdiri dari kelompok mineral klorit,
epidot, kalsit dan zeolite. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Meinert (1992) dan
Idrus dkk. (2009). Berdasarkan studi petrografi dan BSE EPMA, paragenesa dari
pembentukkan endapan skarn terlihat pada Gambar 11.
Termometer klorit dari alterasi skarn retrograde di daerah penelitian berkisar 210
sampai 250 °C. Meinert (1987) menyatakan bahwa pada umumnya pembentukkan
alterasi skarn prograde berkisar 300 sampi 690 °C dengan salinitas (50 wt.%NaCl eq),
Sedangkan pada alterasi retrograde temperatur pembentukkannya berkisar 245-250 °C)
dan salinitas 25 wt.% NaCl eq. Hal ini sejalant dengan penelitian yang dilakukan oleh
Idrus dkk. (2011) dengan menggunakan mikrotermometri inklusi fluida menyatakan
bahwa temperatur pembentukkan alterasi retrograde skarn didaerah Ruwai dan
sekitarnya terbagi menjadi 2 jenis yaitu, fase alterasi retrograde dan fase late retrograde.
Pada fase retrograde terbentuk pada suhu berkisar 250-266 °C dengan salinitas 0,3-0,5
w.t% NaCl eq, sedangkan pada fase late retrograde berkisar 190 sampai 220 °C.
Adapun log sulphur fugacity larutan hidrotermal yang membentuk pada alterasi
retrograde di daerah penelitian terbentuk pada kisaran -11,78) – (-14,68) dan log oxygen
fugacity kisaran antara -37,56 sampai -41,25. Berdasarkan perbandingan antara nilai

1063
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F040POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

dari log sulphur fugacity terhadap temperatur, disimpulkan bahwa larutan hidrotermal
yang membentuk skarn logam dasar (Pb-Zn-Cu) Ruwai Selatan memiliki intermediate
sulfidation state. Hal ini didukung oleh studi megaskopik dan mikroskopi bijih yang
dilakukan menunjukan bahwa asosiasi mineral bijih yang hadir seperti galena, sfalerit,
kalkopirit, tennantit, pirit, pyrrhotit dan asenopirit (Einuadi dkk, 2003; Piercey, 2017).

VI. KESIMPULAN
1. Pada alterasi skarn prograde terdiri dari 2 jenis mineral meliputi garnet dan klinopiroksen.
Jenis garnet yang paling dominan berupa andradite. Klinopiroksen memiliki komposisi
CaO dan MgO yang tinggi, sehingga diklasifikasikan kedalam mineral diopside.
Pada alterasi skarn retrograde meliputi 3 jenis mineral yaitu klorit, epidot dan zeolit.
Mineral klorit diklasifikasi ke dalam chamosite, dikarenakan memiliki komposisi
FeO yang tinggi. Pada mineral epidot teridentifikasi ke jenis epidote-end member
ketimbang clinozosite. Zeolit diklasifikasi ke dalam jenis chabazite, hal ini
dikarenakan komposisi CaO yang sangat dominan.
2. Paragenesa pembentukkan alterasi skarn diawali dari mineral garnet,
klinopiroksen pada alterasi skarn prograde pada temperatur tinggi, yang diikuti
pembentukan klorit, epidot dan zeolit pada tahap alterasi skarn retrograde.
Mineralisasi bijih logam dasar Pb-Zn-Cu-(Ag) co-genetic dengan tahap alterasi skarn
retrograde. Berdasarkan termometer klorit memperlihatkan fluida hidrotermal
yang membentuk skarn retrograde memiliki kisaran temperatur 210-250 °C, log
sulphur fugacity antara -11,78) sampai -14,68, log oxygen fugacity antara -37,56 sampai
-41,25. Pemplotan temperatur dengan log sulphur fugacity dari thermometer klorit
menunjukan bahwa fluida hidrotermal yang membawa mineralisasi logam dasar di
daerah penelitian (Ruwai Selatan) berada pada kondisi intermediate sulfidation state.

ACKNOWLEDGEMENT
Penelitian ini sebagian dibiayai melalui Hibah Penelitian Tesis S2 Departemen
Teknik Geologi FT-UGM 2019 dan Hibah Program RTA (Rekognisi Tugas Akhir) 2019
dari Universitas Gadjah Mada yang diberikan kepada penulis kedua dengan Nomor
Kontrak 3339/UN1/DITLIT/DIT-LIT/LT/2019. Penelitian lapangan dilakukan di lokasi
IUP Operasi Produksi PT. Kapuas Prima Coal (PT. KPC) Tbk. Terima kasih atas
bantuan dana penelitian dan dukungan semua pihak.

REFERENSI
Armbruster, T., Bonazzi, P,m Akasaka, M., Bermanec, V., Chopin, C., Giere, R., Heuss
Assbichler, S., Liebscher, A., Menchetti, S., Pan,Y., Pasero, M., 2006. Recommended
Nomenclature of Epidote-group Mineral. Eur.J.Mineral, vol 18, p. 551-657.
Badaruddin, M., 2018. Dinamika Industri Migas dan Petambangan di Indonesia. Laporan
penelitian (online). Diakses pada 20 juli 2019

1064
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F040POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Baghban, S., Reza., M., Moayyed,m., Asghar, M.,A., Gregory., D., 2014. Geology Mineral
Chemistry and Formation Conditions of Calc-Silicate mineral of Astamal Fe-LREE
distal Skarn Deposit, Eastern Azarbaijan Province NW Iran. Ore Geology Review, vol
68 pp 79-96
Bollen, E., M., 2015. Explaining Discontinuous Garnet Zoning Using
Reaction History P-T Models: An Example From The Salmon
River Suture Zone, West-Central Idaho. Thesis, Alabama University.
Carlile, J.C., dan Mitchell, A.H.G., 1994, Magmatic Arcs and Associated Gold and Copper
Mineralization in Indonesia: in van Leeuwen, T.M., Hedenquist, J.W., James, L.P., and
Dow, J.A.S., eds., Mineral Deposit of Indonesia, Discoveries of the Past 25 Years:
Journal of Geochemical Exploration, v. 50, p. 91-142.
Corbett. G. J dan Leach. T.M.,1996, Southwest Pasific Rim Gold-Copper Systems Structure,
Alteration, Mineralization, New Zealand.
Einaudi, M.T., 1982a, Descriptions of skarns associated with porphyry copper plutons,
|southwestern North America, in Titley, S.R. (Ed.), Advances in Geology of the
Porphyry Copper Deposits, Southwestern North America: University Arizona Press, p.
139-184.
Einaudi, M.T., 1982b, General features and origin of skarns associated with porphyry copper
plutons, southwestern North America, in Titley, S.R. (Ed.), Advances in Geology of the
Porphyry Copper Deposits, Southwestern North America: University of Arizona Press,
p.185-210.
Einaudi, M.T., Hedenquist J.W., and Inan E.E., 2003, Sulfidation State of Fluids in Active and
Extinct Hydrothermal Systems: Transitions from Porphyry to Epithermal
Environments: Society of Economic Geologists Special Publication No. 10, p. 285-314.
Google Inc. 2016. Google Maps: Peta Lokasi KP Ruwai, Kalimantan Tengah dalam
http://maps.google.com/
Grim, R., 1968. Clay Mineralogy, 2nd Ed. McGraw-Hill Book Co.: New York
Harrold, B.P., Walshe, J.L., 1988, Implementation of the CHLORITE and supporting programs on
Vax 11 series computer.
Idrus, A., Kolb., J., Meyer., F.,M., Aried., J., Setyandhaka., D., Kepli., S., 2009. A Preliminary Study On
Skarn-Related Calc-Silicate Rock Associated with the Batu Hijau
Porphyry Copper-Gold Deposit, Sumbawa Island, Indonesia. Resource Geology, Vol 3, pp 295-
306

Margono, U., Soejitno, T., dan Santosa, T., 1995, Peta Geologi Lembar Tumbangmanjul Kalimantan, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.

Meinert, Lawrence D, 1992. Skarn and Skarn Deposits. Researchgate Publication.

Meinert, L.D., 1987, Skarn zonation and fluid evolution in the Groundhog Mine, Central Mining

District, New Mexico, Economic Geology, v. 82, p. 523-545.

Meinert, L.D., 1983, Variability of skarn deposits - Guides to exploration: in Boardman, S.J., ed., Revolution
in the Earth Sciences, Kendall-Hunt Publishing Co., p. 301-316.

Ray, G.,E., and Webster., I.,C.,L.,1997. Skarn in British Columbia. Bulletin 101

1065
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F040POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Setijadji, L, D., Idrus, A., dan Thamba, F., 2010, Geology of the Ruwai Iron and Zn-Pb-Ag Skarn Deposits
Lamandau District, Central Kalimantan, 81 Proceeding Book – Kalimantan Coal and Mineral
Resources, pp.175- 186.

Strunz, Nickel, H., Ernest, H., 2001, Strunz mineralogical tables: Chemical structural mineral classification
systems: 9th eds., Schweizerbart'sche Verlagsbuchhandlung, 870 p.

Piercey, S. J. 2017. Gold Deposits. Online course slide presentation


(http://docplayer.net/43633510-Es-gold-deposits-stephen-j-piercey.html)

1066
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F040POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 1. Kimia mineral dari garnet

Major oxides, weight percent


SiO2 34,704 35,358 34,813 37,256 35,075 36,698 34,37 34,614 34,482 35,317
Na2O 0,004 0 0 0 0,016 0,01 0 0,014 0 0,01
TiO2 0 0 0 0,011 0 0,017 0,005 0 0,019 0
K2O 0,007 0,007 0 0,005 0 0 0 0,003 0 0
Fe2O3 30,538 27,355 30,59 15,298 28,719 17,592 31,567 30,905 31,234 29,924
Al2O3 0,414 2,665 0,447 11,44 1,728 10,072 0,024 0,412 0,151 1,054
CaO 33,323 33,569 33,217 34,467 33,644 33,878 31,723 33,151 33,155 33,593
MnO 1,156 1,188 1,187 1,93 1,064 2,235 2,581 0,966 0,936 0,775
MgO 0,052 0,045 0,103 0,024 0,044 0,019 0,101 0,006 0,021 0,004
Cr2O3 0 0 0,009 0 0,014 0 0,044 0 0 0
Total 100,2 100,187 100,366 100,431 100,304 100,521 100,415 100,071 99,998 100,677

Number of ions on the basis of 32 oxygen


Si 7,8548 7,8928 7,8614 7,9148 7,8669 7,8647 7,8112 7,8441 7,8332 7,9063
Na 0,0018 0 0 0 0,0071 0,0041 0 0,0061 0 0,0041
Ti 0 0 0 0,0017 0 0,0028 0,0008 0 0,0032 0
K 0,0019 0,0019 0 0,0013 0 0 0 0,001 0 0
Fe 5,2014 4,5953 5,1984 2,4457 4,8473 2,8371 5,3989 5,2705 5,3394 5,0412
Al 0,1106 0,7011 0,119 2,8647 0,4569 2,5442 0,0065 0,1101 0,0405 0,278
Ca 8,0814 8,0293 8,0372 7,8459 8,0856 7,7794 7,7251 8,0499 8,0703 8,0581
Mn 0,2215 0,2246 0,2271 0,3474 0,2021 0,4057 0,4968 0,1854 0,1801 0,1471
Mg 0,0176 0,0151 0,0345 0,0075 0,0148 0,0059 0,0341 0,002 0,007 0,0013
Cr 0 0 0,0015 0 0,0025 0 0,0079 0 0 0
Total 21,491 21,4601 21,4791 21,4291 21,4832 21,4439 21,4813 21,4692 21,4737 21,4362
Fe/(Fe + Al) 0,9792 0,86763 0,977621 0,460549 0,91386 0,527215 0,9988 0,97954 0,99247 0,947737

1067
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F040POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 2. Kimia mineral dari klinopiroksen

Major oxides, weight percent


Al2O3 0,01 0,003 0 53,952 5,619 5,081 5,24 4,729 4,866 5,537
Na2O 0 0,004 0 0 0,324 0,291 0,316 0,34 0,255 0,322
TiO2 0 0 0,029 0,055 0,192 0,184 0,158 0,178 0,113 0,151
K2O 0 0,025 0 0,011 0 0,009 0,007 0,006 0,028 0,001
NiO 0,364 0,392 0,39 0,303 0,062 0,051 0,058 0,073 0,055 0,086
SiO2 40,894 40,824 40,532 0,011 50,706 50,911 50,894 50,921 51,315 50,532
CaO 0,032 0,018 0,002 0 24,003 24,299 24,332 24,234 18,469 24,091
MnO 0,158 0,123 0,134 0,14 0,087 0,097 0,122 0,09 0,089 0,103
MgO 48,862 49,359 49,655 19,054 15,55 15,46 15,399 15,795 18,867 15,753
FeO 9,436 9,527 9,525 12,504 2,518 2,486 2,498 2,426 3,491 2,406
Cr2O3 0 0,005 0 14,168 1,15 0,926 0,936 0,939 0,904 1,017
Total 99,756 100,28 100,267 100,198 100,211 99,795 99,96 99,731 98,452 99,999
Number of ions on the basis of 6 oxygen
Si 1,5053 1,4966 1,4872 0,0004 1,8501 1,8654 1,8622 1,8676 1,8809 1,848
Na 0 0,0003 0 0 0,0229 0,0207 0,0224 0,0242 0,0181 0,0228
Ti 0 0 0,0008 0,0016 0,0053 0,0051 0,0044 0,0049 0,0031 0,0042
K 0 0,0012 0 0,0005 0 0,0004 0,0003 0,0003 0,0013 0,0001
Fe 0,2905 0,2921 0,2923 0,4141 0,0768 0,0762 0,0765 0,0744 0,107 0,0736
Al 0,0004 0,0001 0 2,5181 0,2417 0,2195 0,226 0,2044 0,2102 0,2387
Ca 0,0012 0,0007 0,0001 0 0,9384 0,954 0,954 0,9524 0,7254 0,944
Mn 0,0049 0,0038 0,0042 0,0047 0,0027 0,003 0,0038 0,0028 0,0027 0,0032
Mg 2,6812 2,6975 2,716 1,1247 0,8458 0,84444 0,8399 0,8636 1,0309 0,8588
Cr 0 0,0002 0 0,4436 0,0332 0,0268 0,0271 0,0272 0,0262 0,0294
Total 4,4944 4,5041 4,5122 4,5175 4,0188 4,017 4,0184 4,0241 4,0075 4,0254
Fe/(Fe + Mg) 0,09775549 0,097705 0,09716451 0,269106 0,083243 0,082769 0,083479 0,079318 0,094033 0,078936
Mn/Fe 0,01686747 0,013009 0,0143688 0,01135 0,035156 0,03937 0,049673 0,037634 0,025234 0,043478
Ti+Cr+Na 0 0,0005 0,0008 0,4452 0,0614 0,0526 0,0539 0,0563 0,0474 0,0564

1068
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F040POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 3. Kimia mineral dari klorit

Major oxides, weight percent


Al2O3 21,25 20,67 20,78 20,81 20,49 20,68 21,08 20,61 19,74 20,11
Na2O 0,02 0,02 0,04 0,01 0,02 0,00 0,00 0,01 0,00 0,02
TiO2 0,08 0,04 0,05 0,00 0,01 0,02 0,01 0,02 0,04 0,06
K2O 0,00 0,01 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,01 0,00
MnO 5,13 3,83 5,08 4,95 4,83 4,84 4,63 5,28 3,68 3,34
SiO2 22,77 23,17 23,15 22,58 22,52 22,81 22,84 22,47 24,80 23,32
CaO 0,01 0,11 0,01 0,00 0,01 0,03 0,00 0,01 0,01 0,00
FeO 37,72 37,08 37,57 39,84 39,87 39,76 39,83 38,84 34,83 39,54
MgO 1,52 2,45 1,23 1,00 0,97 0,99 1,25 1,17 5,46 1,52
Total 88,50 87,37 87,90 89,18 88,70 89,12 89,65 88,40 88,56 87,92

Number of ions on the basis of 36 oxygen


Si 6,75 6,89 6,91 6,72 6,75 6,78 6,74 6,73 7,15 6,97
Na 0,01 0,01 0,02 0,00 0,01 0,00 0,00 0,00 0,00 0,01
Ti 0,00 0,03 0,00 0,00 0,00 0,01 0,00 0,00 0,00 0,00
K 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Fe 9,36 9,23 9,37 9,92 9,99 9,89 9,82 9,73 8,39 9,88
Al 7,43 7,25 7,31 7,30 7,23 7,25 7,33 7,28 6,70 6,70
Ca 0,03 0,01 0,01 0,00 0,00 0,00 0,00 0,01 0,01 0,02
Mn 1,29 0,96 1,28 1,25 1,23 1,22 1,16 1,34 0,90 0,84
Mg 0,67 1,08 0,55 0,44 0,43 0,44 0,55 0,52 2,35 0,68
Total 25,54 25,46 25,45 25,63 25,64 25,59 25,60 25,62 25,50 25,49
Fe2+/Sum Octahedral 1,00 0,99 1,03 1,10 1,12 1,11 1,09 1,06 0,84 1,20
XFe = Fe+2/(Fe+2+Mg) 0,93 0,89 0,94 0,96 0,96 0,96 0,95 0,95 0,78 0,94
XMg=(Mg/(Mg+Fe+2)). 0,07 0,11 0,06 0,04 0,04 0,04 0,05 0,05 0,22 0,06

1069
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F040POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 4. Kimia mineral untuk perhitungan termobarometer klorit

NO RW1 RW2 RW3 RW4 RW5 RW6 RW7

SiO2 26,86 27,02 27,13 27,87 27,85 27,98 27,96

Al2O3 20,33 20,11 20,16 19,80 19,29 19,46 19,83

FeO 21,27 20,19 17,82 17,04 17,60 18,70 17,34

MnO 2,41 3,22 2,98 2,05 1,30 1,48 2,07

MgO 16,38 16,63 18,72 19,87 19,93 18,61 19,42

Na2O 0,00 0,01 0,01 0,01 0,01 0,02 0,00

K2O 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,03

TiO2 0,00 0,00 0,08 0,00 0,03 0,00 0,00

Cr2O3 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

CaO 0,00 0,05 0,00 0,03 0,01 0,03 0,03

Total 87,239 87,242 86,904 86,652 86,012 86,275 86,675

Tabel 5. Hasil perhitungan fraksi mol dan termodinamika mineral klorit


No T X2 X3 Log Activity2 Log activity 3 Log fO2 Log FS2
1 243 0,905 0,111 -12,338 -25,366 -37,563 -12,860
2 238 0,908 0,103 -1,151 -2,659 -37,839 -12,982
3 250 0,964 0,086 -0,964 -2,983 -35,447 -11,710
4 230 0,922 0,081 -0,910 -3,091 -37,901 -12,942
5 223 0,085 0,123 -0,938 -3,007 -38,988 -13,511
6 210 0,853 0,091 -1,049 -2,846 -41,258 -14,689
7 222 0,903 0,082 -0,945 -3,039 -39,035 -13,526

1070
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F040POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 6. Kimia mineral epidot dan perhitungan fraksi mol

Major oxides, weight percent


Al2O3 22,667 24,913 22,621 22,438 23,938 23,708 22,831 23,256 22,391
Na2O 0 0,001 0,008 0,015 0,016 0,016 0,022 0 0,01
TiO2 0,051 0,171 0,047 0,017 0,011 0,036 0,019 0,269 0
K2O 0 0 0,021 0,011 0,011 0 0 0,016 0,008
MnO 0,615 0,274 0,072 0,069 0,247 0,163 0,511 0,994 1,262
SiO2 37,994 38,279 37,933 37,685 37,578 38,013 37,583 38,063 37,565
CaO 23,27 23,705 23,743 23,764 23,758 23,85 23,396 23,086 22,324
FeO 14,091 11,257 14,485 14,569 12,475 13,26 13,615 13,233 14,369
MgO 0,043 0,006 0 0,007 0,072 0,024 0,019 0,069 0,008
Total 98,731 98,606 98,93 98,575 98,106 99,07 97,996 98,986 97,937

Number of ions on the basis of 6 oxygen


Si 1,4857 1,473 1,4821 1,4797 1,4667 1,4731 1,4787 1,4791 1,4853
Na 0 0,0001 0,0006 0,0012 0,0012 0,0012 0,0017 - 0,0007
Ti 0,0015 0,0049 0,0014 0,0005 0,0003 0,001 0,0006 0,0079 -
K 0 0 0,001 0,0006 0,0005 - - 0,0008 0,0004
Fe 0,4608 0,3623 0,4733 0,4784 0,4072 0,4297 0,448 0,4301 0,4752
Al 1,0447 1,13 1,0417 1,0385 1,1013 1,0829 1,0588 1,0652 1,0435
Ca 0,975 0,9774 0,994 0,9998 0,9936 0,9903 0,9863 0,9612 0,9458
Mn 0,0204 0,0089 0,0024 0,0023 0,0082 0,0054 0,017 0,0327 0,0423
Mg 0,0025 0,0003 0 0,0004 0,0042 0,0014 0,0011 0,004 0,0005
Total 3,9906 3,9569 3,9966 4,0015 3,9832 3,985 3,9922 3,9811 3,9937
Fe/(Fe + Al) 0,30608 0,24278 0,31241 0,31538 0,269937 0,28408 0,297319 0,28763 0,312899
XEp = Fe+3/(Fe+3 + Al + Cr+3 - 2) -0,9319 -0,71361 -0,9759 -0,99027 -0,828484 -0,88162 -0,90835 -0,85219 -0,98733

Tabel 7. Kimia mineral zeolit


Unsur RW 01 RW 02 RW 03 RW 04 RW 05 RW 06 RW 07 RW 08
Al2O3 1,76 2,31 2,06 2,13 1,17 1,48 2,88 3,43
Na2O 0,23 0,30 0,28 0,27 0,19 0,10 0,29 0,24
TiO2 0,11 0,01 0,15 0,10 0,15 0,01 0,13 0,11
K2O 0,01 0,00 0,00 - - 0,09 0,09 0,12
MnO 0,05 0,08 0,08 0,07 0,10 0,08 0,08 0,07
SiO2 52,59 52,53 52,89 52,73 52,89 56,07 54,17 53,78
CaO 24,53 24,70 24,88 24,91 24,90 13,51 12,81 13,45
FeO 8,13 7,83 7,43 7,67 8,76 9,31 9,82 10,95
MgO 12,80 12,46 12,94 12,82 12,67 18,11 17,63 16,27
Total 100,20 100,20 100,70 100,60 100,80 98,75 97,90 98,42

1071
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F040POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Peta lokasi penelitian yang


diplot pada peta geologi regional Lembar
Tumbangmanjul, Kab. Lamandau,
Kalimantan Tengah (cf. Margono dkk.,
1995)

Gambar 2. Klasifikasi garnet berdasarkan nilai dari mole fraction Fe/(Fe+Al) sebagian besar
menunjukkan jenis andradite

1072
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F040POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Backscatter image EPMA dari pemetaan unsur kimia (Al, Si, Ca, Mn dan Fe) dari
garnet.

Gambar 4. Perubahan komposisi kimia mineral garnet dari metode backscatter image EPMA

1073
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F040POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. Pembagian jenis klinopiroksen didaerah penelitian berdasarkan nilai mole fraction
Fe/(Fe+Mg) yang termasuk kedalam jenis andradit

Gambar 6. Batuan asal dari mineral klinopiroksen didaerah penelitian (Berger dkk, 2005)

1074
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F040POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 7. Backscatter image EPMA pemetaan unsur kimia (Al, Si, Ca, Mn dan Fe) dari
klinopiroksen

Chamosite

Clinochlore

Gambar 8. Grafik klasifikasi jenis mineral klorit didaerah penelitian yang termasuk kedalam
jenis chamosite.

1075
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F040POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 9. Skarnisasi dan mineralisasi logam dasar di daerah penelitian terbentuk pada kondisi
intermediate sulfidation state yang dihitung dari kimia klorit.

Gambar 10. Peningkatan komposisi Fe pada mineral epidot didaerah penelitian

1076
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F040POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Prograde Retrograde
Assosiasi Mineral
(>300 °C) (210-250 °C)

Garnet

Klinopiroksen

Epidot

Klorit

Zeolit

Gambar 11. Paragenesa alterasi prograde dan retrograde dari asosiasi mineralnya di daerah
penelitian

1077
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F041UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

GEOLOGI, ALTERASI DAN MINERALISASI ENDAPAN EPITERMAL


SULFIDASI TINGGI DI DAERAH WONOTIRTO DAN SEKITARNYA,
KABUPATEN BLITAR, PROVINSI JAWA TIMUR, INDONESIA

Salma Difa Masti1, Arifudin Idrus1*,


1Departemen Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada, Jln. Grafika No.2 Bulaksumur Yogyakarta
*Corresponding Author: arifidrus@ugm.ac.id

ABSTRAK. Secara fisiografi daerah penelitian termasuk ke dalam Zona Pegunungan Selatan.
Penelitian ini bertujuan untuk memahami aspek geologi dan karakteristik endapan mineral di
daerah penelitian yang difokuskan pada aspek tipe alterasi dan mineralisasi bijih. Metode
penelitian yang digunakan adalah pemetaan geologi yang meliputi data litologi dan struktur
geologi, serta pemetaan alterasi dan mineralisasi bijih. Analisis petrografi, XRD, mikroskopi
bijih, dan FA-AAS dilakukan untuk mengkarakterisasi mineralogi alterasi, mineral bijih, dan
kadar logam. Daerah penelitian disusun oleh litologi berupa andesit porfiri, tuf, breksi
monomik, breksi polimik, dan batugamping (grainstone). Andesit porfiri, tuf, breksi monomik,
dan breksi polimik merupakan satuan batuan bagian dari Formasi Mandalika (Oligosen akhir -
Miosen Awal). Intrusi yang berumur Miosen Awal menyebabkan batuan samping (Formasi
Mandalika) mengalami alterasi hidrotermal. Tipe alterasi hidrotermal yang berkembang
meliputi alterasi kuarsa-alunit-pirofilit-diaspor, alterasi kuarsa-paragonit-ilit, alterasi smektit-
kuarsa, alterasi epidot-klorit, dan alterasi klorit-kalsit/kalsedon. Alterasi kuarsa-alunit-pirofilit-
diaspor terbentuk pada satuan andesit porfiri dan tuf. Alterasi kuarsa-paragonit-ilit terbentuk
pada satuan andesit porfiri, tuf, dan breksi monomik, alterasi smektit-kuarsa dan alterasi
epidot-klorit terbentuk pada satuan andesit porfiri. Alterasi klorit-kalsit/kalsedon terbentuk
pada satuan breksi polimik dan tuf. Struktur geologi yang mengontrol mineralisasi berupa sesar
geser dekstral turun berarah tenggara – barat laut dan silisifikasi yang berarah timur laut –
barat daya. Mineralisasi dominan terjadi secara diseminasi pada tipe alterasi kuarsa-alunit-
diaspor (mengisi vug), pada breksi monomik dan polimik, serta pada urat kuarsa dengan
ketebalan 1 cm. Mineralisasi bijih yang dijumpai adalah pirit (FeS 2) dan pada beberapa sampel
mengandung emas (Au) sebesar 0.01 ppm. Umumnya mineral logam yang hadir telah
mengalami oksidasi sangat kuat. Adapun mineral oksida yang hadir meliputi hematit drussy
dan powdery (Fe2O3) serta jarosit powdery (KFe3+3(OH)6(SO4)2). Berdasarkan tipe alterasi dan
mineral bijih yang hadir, disimpulkan bahwa tipe endapan daerah penelitian merupakan
endapan epitermal sulfidasi tinggi yang bersifat dangkal. Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi dalam eksplorasi endapan mineral di Zona Pegunungan Selatan Jawa
Timur.

Kata kunci: Geologi, Alterasi, Mineralisasi, Epitermal Sulfidasi Tinggi, Zona Pegunungan
Selatan Jawa Timur

1078
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F041UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

I. PENDAHULUAN
Pulau Jawa bagian timur saat ini sedang menarik perhatian para geologis
tambang untuk dikaji mengenai potensi endapan mineralnya. Pulau Jawa bagian timur
termasuk ke dalam zona Pegunungan Selatan dimana beberapa formasi penyusunnya
telah mengalami alterasi hidrotermal karena terobosan magma yang lebih muda
(Bemmelen, 1949; Smyth dkk., 2008; Widodo dan Simanjuntak, 2002).
Daerah penelitian berada di Desa Wonotirto, Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa
Timur. Peneliti terdahulu, Widodo (2018), melakukan penelitian menggunakan metode
TerraSpec High Resolution dan menyimpulkan bahwa tipe endapan daerah Wonotirto
adalah endapan epitermal sulfidasi tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk memahami
aspek geologi dan karakteristik endapan mineral di daerah penelitian yang difokuskan
pada aspek tipe alterasi dan mineralisasi bijih dengan menggunakan metode yang
berbeda dari penelitian sebelumnya.

II. GEOLOGI REGIONAL


Secara fisiografis daerah Wonotirto, Kabupaten Blitar, termasuk ke dalam zona
Pegunungan Selatan Jawa bagian timur (van Bemmelen, 1949). Secara stratigrafi
menurut Syarifudin dan Hamidi (1992) daerah penelitian tersusun oleh formasi
Mandalika Formasi mandalika (Oligosen akhir – Miosen awal) yang tersusun atas lava
andesit-basal, latit porfiri, riolit, dan dasit. Kemudian terendapkan anggota tuf formasi
mandalika (Oligosen akhir – Miosen awal) yang tersusun atas tuf kaca, tuf kristal, tuf
breksi dan pumis. Formasi ini terbentuk saling menjari dengan formasi Mandalika.
Kedua formasi ini kemudian diterobos oleh intrusi dasit yang diperkirakan berumur
Miosen awal. Di atas formasi tersebut diendapkan secara tidak selaras formasi
campurdarat (Miosen awal) yang tersusun atas batugamping kristalin dengan sisipan
batulempung. Formasi wonosari (Miosen tengah – Miosen akhir) tersusun atas
batugamping koral, batugamping lempungan-tufan-pasiran, napal, batulempung hitam
bergambut. Adapun struktur geologi yang berkembang di daerah Wonotirto dan
sekitarnya berupa kelurusan-kelurusan yang berarah relatif utara timur laut – selatan
barat daya. Blok-blok sesar berkembang di bagian tenggara lokasi penelitian (Syafrudin
dan Hamidi, 1992).

III. METODOLOGI
Untuk mencapai tujuan penelitian, penulis melakukan metode penelitian berupa
pemetaan geologi pada skala 1:25000 dan analisis laboratorium. Metode analisis
laboratorium yang dilakukan berupa analisis petrografi, analisis mikroskopi bijih,
analisis X-Ray Diffraction (XRD), dan analisis Fire Assay – Atomic Absorption
Spectrophotometry (FA-AAS). Analisis petrografi, mikroskopi bijih dan XRD dilakukan
di Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada sedangkan
analisis FA-AAS dilakukan di PT. Intertek Indonesia.

1079
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F041UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

IV. HASIL DAN PENELITIAN


1. Geologi Daerah Penelitian
Morfologi daerah penelitian terbagi menjadi dua yaitu satuan perbukitan intrusi
berlereng curam dan satuan perbukitan karst berlereng sedang (lihat Gambar 1.). Pola
penyaluran yang berkembang di daerah penelitian yaitu pola penyaluran sub paralel
dan pola penyaluran dendritik. Penulis mengelompokan struktur geologi daerah
penelitian berdasarkan hubungannya dengan proses mineralisasi. Penamaan struktur
geologi dibuat berdasarkan klasifikasi jenis struktur oleh Rickard (1972). Struktur
geologi syn mineralisasi daerah penelitian berupa sesar geser dekstral turun yang
berarah tenggara – barat laut dan urat/silisifikasi yang berarah timur laut – barat daya
sedangkan struktur post mineralisasi berupa sesar geser sinistral turun berarah timur
laut – barat daya, sesar geser sinistral naik yang berarah timur laut – barat daya, dan
sesar geser sinistral yang berarah tenggara – barat laut. Litologi penyusun daerah
penelitian adalah satuan andesit porfiri kemudian secara tidak selaras terbentuk satuan
tuf, satuan breksi monomik dan breksi polimik. Kemudian diendapkan secara tidak
selaras satuan batugamping. Satuan andesit porfiri, tuf, breksi monomik, dan breksi
polimik mengalami alterasi hidrotermal sedangkan batugamping tidak mengalami
alterasi hidrotermal (lihat Gambar 2.).

2. Alterasi Hidrotermal
Berdasarkan hasil pengamatan petrografi dan data XRD, tipe alterasi
hidrotermal yang berkembang di daerah penelitian terbagi menjadi 5 (lihat Gambar 3.)
yaitu alterasi kuarsa-alunit-pirofilit, alterasi kuarsa-paragonit-ilit, alterasi smektit-
kuarsa, alterasi epidot-klorit, dan alterasi klorit-kalsit/kalsedon.
Pelamparan alterasi kuarsa-alunit-pirofilit-diaspor hanya dijumpai secara
setempat. Kenampakan di lapangan (lihat Gambar 5.), batuan alterasi ini memiliki
tekstur masif atau berlubang (vuggy). Adapun mineral penciri alterasi ini adalah kuarsa
sekunder, alunit, dan pirofilit (lihat Gambar 8.). Mineral lain yang hadir berupa diaspor.
Berdasarkan hasil XRD, jenis alunit yang hadir adalah natroalunit (lihat Gambar 11.).
Intensitas alterasi terjadi secara total sehingga batuan induk (host rock) tidak dapat
diketahui.
Zona tipe alterasi kuarsa-paragonit-ilit melampar paling luas hampir sekitar
30% daerah penelitian. Di lapangan (lihat Gambar 5.) kenampakan batuan alterasi ini
masih mengandung kuarsa yang dominan namun mineral lempung mulai hadir
menyusun batuan alterasi. Paragonit dan ilit merupakan penciri tipe alterasi ini.
Adapun berdasarkan data XRD, mineral lain yang muncul berupa alunit dan diaspor
(lihat Gambar 8. dan Gambar 12.). Satuan andesit porfiri, satuan tuf, dan satuan breksi
monomik mengalami tipe alterasi ini.
Tipe alterasi smektit-kuarsa dapat ditemukan di bagian utara dan bagian tengah
daerah penelitian yang secara lateral berdampingan dengan zona alterasi kuarsa-
paragonit-ilit. Di lapangan (lihat Gambar 6.), mineral lempung mendominasi penyusun
batuan alterasi ini. Adapun mineral penciri alterasi ini adalah interlayering smektit-ilit
1080
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F041UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

(lihat Gambar 9. dan Gambar 13.). Batuan induk dari tipe alterasi ini adalah andesit
porfiri dan tuf.
Tipe alterasi epidot-klorit memiliki pelamparan yang sempit dan terbatas pada
bagian barat daerah penelitian. Di lapangan (lihat Gambar 6.) batuan alterasi ini tampak
masih segar. Hal ini disebabkan karena alterasi hidrotermal terjadi secara selektif
dimana plagioklas dan klinopiroksen masih dapat diidentifikasi dengan jelas dan
mengalami penggantian menjadi epidot atau klorit (lihat Gambar 9.). Mineral penciri
alterasi ini adalah epidot. Adapun batuan induk tipe alterasi ini adalah andesit porfiri.
Tipe alterasi klorit-kalsit/kalsedon dapat di temukan di utara dan selatan bagian
barat daerah penelitian. Mineral penciri alterasi ini berupa interlayering klorit-ilit, kalsit,
dan atau kalsedon (lihat Gambar 10. dan Gambar 14.). Batuan alterasi yang
mengandung kalsit dijumpai di bagian selatan pada satuan tuf sedangkan yang
mengandung kalsedon hadir di bagian utara pada satuan breksi polimik (lihat Gambar
7.).

3. Mineralisasi
Tidak banyak mineral logam yang dijumpai di daerah penelitian. Pirit adalah
satu-satunya mineral logam yang hadir di daerah penelitian (lihat Gambar 11.). Pirit
hadir secara diseminasi pada breksi polimik, mengisi vug pada batuan alterasi kuarsa-
alunit-diaspor dan hadir dalam bentuk urat berukuran 1 cm. Berdasarkan hasil data
FA-AAS (lihat Tabel 1.) pada batuan yang mengalami mineralisasi, menunjukan bahwa
terdapat kandungan emas (Au) sebesar 0.01 ppm. Keterdapatan mineral logam sulit
ditemukan di lokasi penelitian karena mineral logam telah mengalami proses oksidasi
membentuk mineral-mineral oksida seperti jarosit (dominan) dan hematit. Di lapangan,
kenampakan jarosit memiliki tekstur powdery sedangkan hematit memiliki tekstur
drussy dan powdery (tekstur dominan). Adapun peta sebaran mineral oksida daerah
penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

V. DISKUSI
1. Tipe Endapan
Berdasarkan hasil kompilasi mengenai karakteristik tipe endapan menurut
Corbett dan Leach (1997), dan Sillitoe (1999), bahwa tipe endapan daerah penelitian
adalah endapan epitermal sulfidasi tinggi yang bersifat dangkal (lihat Tabel 1.). Salah
satu aspek karakteristik endapan pada daerah penelitian yaitu tipe alterasi,
menunjukan kesamaan dengan pola tipe alterasi endapan epitermal sulfidasi tinggi
yang diajukan oleh Arribas (1995). Dalam model endapan Arribas (1995), alterasi
kuarsa atau silisifikasi menjadi pusat alterasi sekaligus sebagai jalur utama fluida
hidrotermal bereaksi dengan batuan dinding. Kemudian ke arah lateral, tipe alterasi
berubah secara gradual membentuk alterasi argilik lanjut, alterasi argilik, dan alterasi
propilitik. Corbett dan Leach (1997) menyebutkan bahwa alterasi argilik lanjut
tersusun oleh kelompok mineral kaolin, alterasi argilik diwakili oleh kelompok mineral
ilit, dan alterasi propilitik diwakili oleh kehadiran klorit atau epidot. Kedua pola ini
terlihat pada tipe alterasi yang berkembang di daerah penelitian yaitu (urutan dari
1081
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F041UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

pusat ke tepi) alterasi kuarsa-alunit-pirofilit-diaspor, alterasi kuarsa-paragonit-ilit,


alterasi smektit-kuarsa, alterasi epidot-klorit, alterasi klorit-kalsit/kalsedon.
Keterdapatan pirit di daerah penelitian bukan menjadi penciri suatu tipe
endapan karena pirit dapat terbentuk pada berbagai kedalaman (Corbett dan Leach,
1997). Tetapi umumnya markasit dan melnikovit-pirit hadir pada kedalaman yang
dangkal (Corbett dan Leach, 1997). Mineralisasi di daerah penelitian dapat dijumpai
pada tipe alterasi kuarsa-alunit-pirofilit-diaspor, sebagai pengisi kekar (urat), dan pada
breksi polimik. Umumnya pirit hadir secara diseminasi. Adapun berdasarkan analisis
FA-AAS, daerah penelitian mengandung emas sebesar 0.01 ppm.

2. Kontrol Geologi
Proses alterasi dan mineralisasi daerah penelitian dikontrol oleh struktur
geologi dan litologi. Kontrol struktur geologi tampak sangat memengaruhi proses
alterasi dan mineralisasi daerah penelitian sebab host rock yang dominan hadir yaitu
andesit porfiri merupakan batuan yang impermeable. Struktur geologi syn mineralisasi
diidentifikasi melalui struktur yang terisi mineral logam dapat berupa kekar terisi
(urat) atau sesar, dan orientasi alterasi kuarsa-alunit-pirofilit-diaspor (diasumsikan
sebagai pusat alterasi utama). Adapun struktur syn mineralisasi daerah penelitian
berupa sesar geser dekstral turun berarah tenggara – barat laut dan urat/silisifikasi yang
berarah timur laut – barat daya.
Keterdapatan breksi monomik dan polimik di daerah penelitian menambah
permeabilitas batuan sehingga kehadiran keduanya mengontrol proses alterasi dan
mineralisasi. Hal ini ditunjukan adanya pirit yang terbentuk secara diseminasi pada
tubuh breksi polimik dan hematit drussy yang terbentuk pada tubuh breksi monomik.

VI. KESIMPULAN
Morfologi daerah penelitian terbagi menjadi dua yaitu satuan perbukitan intrusi
dan satuan perbukitan karst. Adapun litologi penyusun dari tua ke muda adalah satuan
andesit porfiri, satuan tuf, satuan breksi monomik, satuan breksi polimik dan satuan
batugamping. Adapun struktur geologi yang mengontrol alterasi hidrotermal dan
mineralisasi berupa silisifikasi berarah timur laut – barat daya dan sesar geser dekstral
turun berarah tenggara – barat laut. Tipe alterasi hidrotermal yang berkembang yaitu
alterasi kuarsa-alunit-pirofilit-diaspor, alterasi kuarsa-paragonit-ilit, alterasi smektit-
kuarsa, alterasi epidot-klorit, dan alterasi klorit-kalsit/kalsedon. Mineralisasi daerah
penelitian terjadi secara diseminasi pada breksi polimik, mengisi vug pada batuan
alterasi kuarsa-alunit-pirofilit-diaspor, dan pada urat kuarsa. Mineral logam yang hadir
adalah pirit, dan selebihnya mineral logam telah teroksidasi membentuk jarosit
bertekstur powdery (dominan) dan hematit bertekstur powdery dan drussy (minor).
Adapun kandungan emas (Au) di daerah penelitian sebesar 0.01 ppm. Berdasarkan
karakteristik alterasi dan mineralisasi disimpulkan bahwa tipe endapan daerah
penelitian adalah endapan epitermal sulfidasi tinggi yang bersifat dangkal.

1082
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F041UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

ACKNOWLEDGEMENT
Penelitian ini sebagian dibiayai melalui Hibah Penelitian Skripsi S1 Departemen
Teknik Geologi FT-UGM 2019 dan Hibah Program RTA (Rekognisi Tugas Akhir) 2019
dari Universitas Gadjah Mada yang diberikan kepada penulis pertama dengan Nomor
Kontrak 3339/UN1/DITLIT/DIT-LIT/LT/2019. Terima kasih atas bantuan dana
penelitian dan dukungan semua pihak.

REFERENSI
Arribas Jr., A., 1995, Characteristics of High-Sulfidation Epithermal Deposits, and Their Relation to
Magmatic Fluid dalam Thompson, J.F.H., 1995, Magmas, Fluids, and Ore Deposits,
Mineralogical Association of Canada Short Course Vol. 23.
Corbett, G., Terry, L., 1997, Southwest Pacific Rim Gold-Copper Systems: Structure, Alteration, and
Mineralization, Short Course Manual.
Hall, R., 2002, Cenozoic Geological and Plate Tectonic Evolution of SE Asia and the SW Pacific:
computer-based reconstructions, model, and animations, Journal of Asian Earth Sciences 20
p. 353-431, Elsevier Science Ltd.
Rickard, M.J., 1972, Fault Classification – Discussion, Geological Society of America Bulletin, v. 83,
p.2545-2546.
Sillitoe, R.H., 1999, Styles of High Sulfidation Gold, Silver and Copper Mineralisation in Porphyry and
Epithermal Environments, Pacrim, Bali.
Sjarifudin, M.Z., Hamidi, S., 1992, Peta Geologi Lembar Blitar, Jawa, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi, Bandung.
Smyth, H.R., Robert, H., Gary, J.N., 2008, Cenozoic Volcanic Arc History of East Java, Indonesia: The
Stratigraphic Record of Eruptions on an Active Continental Margin, Special Paper, The
Geological Society of America.
Widodo, B., Akhmad, S., Andi, K., 2018, Studi Alterasi Hidrotermal dengan Analisis Spektral Daerah
Wonotirto dan Sekitarnya, Kecamatan Wonotirto, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, Program
Studi Teknik Geologi FT Universitas Pakuan, Bogor (Tidak diterbitkan).
Widodo, W., Sahat, S., 2002, Hasil Kegiatan Eksplorasi Mineral Logam Kerjasama Teknik Asing
Daerah Pegunungan Selatan Jawa Timur (JICA/MMAJ – Jepang) dan Cianjur (KIGAM –
Korea), Kolokium Hasil Inventarisasi Sumber Daya Mineral, Direktorat Inventarisasi
Sumber Daya Mineral (DIM).

1083
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F041UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 1. Hasil analisis kadar emas (FA-AAS) di daerah penelitian dalam satuan ppm.
Pengukuran
Au1 Au2 Au3
Batas Deteksi 0,01 0,01 0,01
FA51/AA FA51/AA FA51/AA
Kode Sampel
SDM 10 0,01 0,01
SDM/24/1 <0.01
SDM/24/2 0,01

Tabel 2. Perbandingan karakteristik tipe endapan epitermal sulfidasi tinggi daerah penelitian
dengan karakteristik endapan menurut Corbett dan Leach (1997) dan Sillitoe (1999).

Karakteristi Corbett dan Leach


Sillitoe (1999) Lokasi Penelitian
k Endapan (1997)

Kedalaman
Dangkal Dangkal Dangkal
paleosurface

Kuarsa-alunit,
kelompok mineral
kaolin (pirofilit- Alterasi kuarsa-alunit-
Silisifikasi
dickite-kaolinit), pirofilit-diaspor,
Tipe alterasi (mayoritas) atau
kelompok mineral ilit kuarsa-paragonit-ilit,
(dari pusat vuggy quartz,
(serisit, ilit, smektit), smektit-kuarsa, klorit-
ke tepi) kuarsa-alunit,
klorit-karbonat atau kalsit/kalsedon, epidot-
dickite-pirofilit
epidot/aktinolit-albit- klorit
klorit-karbonat pada
kondisi lebih dalam

Markasit, Melnikovit- Kovelit, Tellurides


Mineral bijih pirit Pirit

Jenis logam As, Sb, Au, Te Ag, Hg, Au Au

Mengisi vug, mengisi Mengisi vug pada


Style kekar (sebagai urat), alterasi kuarsa-alunit-
Diseminasi/veinlet pirofilit-diaspor,
mineralisasi dan pada tubuh
breksi mengisi kekar (sebagai
urat), dan pada breksi
polimik

1084
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F041UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Peta geomorfologi daerah penelitian

1085
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F041UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Peta geologi daerah penelitian.

1086
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F041UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Peta alterasi daerah penelitian.

1087
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F041UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Peta sebaran mineral oksida beserta tekstur mineral.

Gambar 5. Singkapan batuan alterasi kuarsa-alunit-pirofilit (kiri) dan batuan alterasi kuarsa-
paragonit-ilit (kanan).

1088
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F041UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 6. Singkapan batan alterasi smektit-kuarsa (kiri) dan batuan alterasi epidot-klorit
(kanan).

Gambar 7. Singkapan batuan alterasi klorit-kalsit/kalsedon.

1089
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F041UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 8. Fotomikrograf dari batuan alterasi kuarsa-alunit-pirofilit-diaspor (atas) dan batuan


alterasi kuarsa-paragonit-ilit (bawah).

Gambar 9. Fotomikrograf dari batuan alterasi smektit-kuarsa dan batuan alterasi epidot-klorit.

1090
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F041UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 10. Fotomikrograf dari batuan alterasi klorit-kalsit/kalsedon.

Gambar 11. Hasil pengamatan mikroskopi bijih menunjukan keterdapatan pirit dan hematit
(kiri: nikol sejajar, kanan: nikol bersilang).

1091
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F041UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 11. Hasil analisis XRD pada sampel batuan alterasi kuarsa-alunit-pirofilit-diaspor.

1092
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F041UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 12. Hasil analisis XRD pada sampel batuan alterasi kuarsa-paragonit-ilit.

1093
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F041UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 13. Hasil analisis XRD pada sampel batuan alterasi smektit-kuarsa.

1094
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F041UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 14. Hasil analisis XRD pada sampel batuan alterasi klorit-kalsit/kalsedon.

1095
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F044POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

KARAKTERISTIK PETROLOGI DAN GEOKIMIA BATUAN GRANITOID


MAMASA DI DAERAH HAHANGAN DAN SEKITARNYA, SULAWESI
BARAT, INDONESIA
Arik Bagus Kurniady1, Fahmi Hakim1*, Arifudin Idrus1, I Wayan Warmada1, Ni'matul Azizah
Raharjanti1
Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Jl. Grafika No. 2, Bulaksumur,
1

Yogyakarta 55281
*Corresponding Author: fahmihakim@ugm.ac.id

ABSTRAK. Daerah penelitian berada di Desa Hahangan dan sekitarnya, Kecamatan Aralle,
Kabupaten Mamasa, Provinsi Sulawesi Barat. Secara regional daerah tersebut tersusun oleh
Batuan Terobosan Neogen (Granitoid Mamasa) yang pembentukannya berkaitan erat dengan
peristiwa subduksi-kolisi pada kala Miosen hingga Pliosen. Untuk mengetahui karakteristik
petrologi dan geokimia dari batuan granitoid di daerah tersebut, maka dilakukan pemetaan
geologi yang mendetail dan pengambilan sampel batuan yang representatif yang disertai
dengan analisis laboratorium seperti analisis petrografi, X-Ray Diffraction (XRD) dan geokimia
(ICP-AES). Berdasarkan hasil analisis, jenis granitoid di daerah penelitian merupakan
granodiorit porfiri dengan komposisi mineral plagioklas (andesin dan oligoklas), kuarsa, K-
feldspar, biotit, hornblenda dan mineral opak. Granodiorit di daerah penelitian memiliki sifat
asam dengan kandungan SiO2 berkisar 63-68% dan saturasi alumina berjenis peralumina,
sehingga dapat digolongkan sebagai granitoid tipe – I. Granodiorit di lokasi penelitian memiliki
afinitas magma berjenis shosonitik, yang dicirikan oleh perbandingan K 2O/Na2O yang
tinggi.Berdasarkan hasil analisis unsur jejak (trace elements) yaitu Sr/(Rb+Ba+Sr) dan
Rb/(Rb+Ba+Sr) pada granitoid di daerah penelitian, terlihat bahwa terjadi tingkatan fraksinasi
yang rendah ( weakly fractionated) dan juga proses diferensiasi yang rendah. Ditemukannya
xenolith ( mafic microgranular enclaves) berupa piroksenit pada batuan granitoid membuktikan
bahwa granitoid dan xenolit secara umum terkristalisasi dari sumber magma yang berbeda.
Tatanan tektonik granitoid di daerah penelitian merupakan Volcanic Arc Granitoids (VAG) yang
menghasilkan kelompok granitoid yang berhubungan dengan proses subduksi. Sementara itu,
berdasarkan data-data hasil analisis petrologi, mineralogi dan geokimia, granitoid di daerah
penelitian merupakan tipe K-rich Calc-alkaline Granitoids (KCG) yang terbentuk pada rezim
transisi subduksi-kolisi yang terjadi pada Kala Miosen Akhir-Pliosen.

Kata kunci: Granitoid Mamasa, Hahangan, Mafic Microgranular Enclaves, Volcanic Arc
Granitoids, K-rich Calc-alkaline Granitoids

I. PENDAHULUAN
Aktivitas tektonik Lempeng Indo-Australia, Lempeng Pasifik dan Lempeng
Eurasia di sekitar Pulau Sulawesi telah berperan besar terhadap perkembangan
tektonik di Sulawesi dan sekitarnya. Sejarah tektonik Sulawesi (Gambar 1) berkaitan
erat dengan peristiwa tektonik ekstensi Mesozoikum, tunjaman Kapur, tunjaman
Paleogen, tumbukan Neogen dan tunjaman ganda Kuarter, hingga menghasilkan
berbagai macam mandala geologi (Zakaria & Sidarto, 2015).
1096
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F044POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Menurut Sompotan (2012), Stratigrafi Sulawesi Bagian Barat termasuk di


daerah Mamasa didominasi oleh batuan Neogen yang terdiri dari batuan beku,
metasedimen dan metamorf. Batuan beku yang menyusun merupakan Batuan
Terobosan (Tmpi) terdiri dari batolit intrusi granitik yang tersusun oleh granit,
granodiorit, diorit dan aplit berumur Miosen Akhir-Pliosen, dengan tatanan tektonik
berada di zona subduksi (Ratman & Atmawinata, 1993 dalam Harahap dkk., 2003).
Batuan Terobosan Neogen di daerah tersebut dikenal dengan nama Granitoid Mamasa,
yang mana menjadi objek utama pada penelitian ini.
Granitoid merupakan istilah untuk kelompok batuan beku plutonik dengan
tekstur faneritik dan komposisi asam hingga intermediet (Gill, 2010). Mineral
penyusun yang terbentuk pada fase awal adalah plagioklas, sedangkan kuarsa dan
alkali feldspar terbentuk pada fase akhir (Winter, 2001). Granitoid umumnya memiliki
derajat kristalisasi holokristalin, karena proses kristalisasi magma yang berlangsung
secara perlahan.
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis karakteristik petrologi dan
geokimia dari granitoid pada daerah penelitian dengan menentukan afinitas magma,
saturasi alumina, jenis batuan, tatanan tektonik dan petrogenesa granitoid. Minimnya
data petrologi dan geokimia batuan beku di Sulawesi Bagian Barat, menjadi dasar
perlunya penelitian ini dilakukan. Data petrologi dan geokimia dari penelitian ini
diharapkan mampu memberikan informasi tambahan mengenai magmatisme yang
berkaitan dengan tektonisme di Sulawesi Bagian Barat.

II. METODOLOGI PENELITIAN


Metode yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi beberapa
tahapan, diantaranya tahapan pekerjaan lapangan dan pengambilan sampel batuan,
analisis laboratorium, serta integrasi data dan interpretasi. Adapun analisis
laboratorium yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis petrografi, analisis
X-Ray Diffraction (XRD), dan analisis geokimia (ICP-AES).
Analisis petrografi di daerah penelitian dilakukan pada 8 sampel terpilih dan
dilakukan pengamatan di Laboratorium Geologi Optik, Departemen Teknik Geologi,
Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada. Sedangakan untuk analisis X-Ray
Diffraction (XRD) dan analisis geokimia (ICP-AES) dilakukan pada 8 sampel terpilih
yang berasal dari 2 lokasi pengambilan sampel yang berbeda di daerah penelitian.
Analisis sampel X-Ray Diffraction dilakukan di Laboratorium Pusat Teknik Geologi
FT-UGM, sedangkan untuk analisis sampel geokimia (ICP-AES) dilakukan di ALS
Laboratory yang berada di Kanada.

III. GEOLOGI REGIONAL


Aktivitas tektonik Lempeng Indo-Australia, Lempeng Pasifik dan Lempeng
Eurasia di sekitar Pulau Sulawesi berperan besar terhadap perkembangan tektonik di
Sulawesi dan sekitarnya. Sejarah tektonik Sulawesi berkaitan erat dengan peristiwa

1097
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F044POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

tektonik yaitu: tunjaman Kapur, Tunjaman Paleogen, tumbukan Neogen dan tunjaman
ganda Kuarter, hingga menghasilkan berbagai macam mandala geologi. Terdapat 2
peristiwa penting yang terjadi dalam evolusi tektonik dari Pulau Sulawesi:
a. Di Sulawesi bagian barat selama Paleogen-Neogen terjadi pemekaran lantai
samudra di Selat Makassar, membentuk ruang pengendapan material klastik
yang berasal dari Kalimantan.
b. Peristiwa kompresional yang dimulai sejak Miosen, kompresi ini dipengaruhi
oleh tumbukan kontinen di arah barat dan ofiolit serta fragmen busur kepulauan
di arah timur. (Calvert, 2003 dalam Sompotan 2012).
Stratigrafi di daerah penelitian (Gambar 2), terdiri dari Batuan Terobosan (Tmpi)
yang merupakan batolit intrusi granitik yang tersusun oleh granit, granodiorit, diorit
dan aplit. Batuan Terobosan (Tmpi) ini berumur Miosen Akhir-Pliosen, dengan tatanan
tektonik berupa kolisi. Batuan Terobosan (Tmpi) memiliki hubungan stratigrafi
memotong (intrusif) Formasi Latimojong (Kls) dan batuan Gunungapi Talaya (Tmtv)
(Ratman & Atmawinata, 1993 dalam Harahap, dkk., 2003).

IV. HASIL & PEMBAHASAN


Deskripsi Petrologi
Lokasi pengambilan sampel batuan terletak pada koordinat UTM 739992 E dan
9680649 N. Pada lokasi ini dijumpai singkapan batuan beku plutonik yang berwarna
segar (fresh) abu-abu dan warna lapuk coklat kehijauan (Gambar 3). Ketebalan
singkapan mencapai 4,3 m dengan struktur batuan segar yang masif. Berdasarkan
pengamatan megaskopis diketahui jenis batuan ini adalah batuan kelompok granitoid,
dengan struktur masif. Tekstur batuan ini adalah fanero-porfiritik dengan ukuran
sedang-kasar 1-7 mm, hipidiomorfik granular dengan derajat kristalisasi holokristalin.
Komposisi batuan terdiri dari mineral kuarsa, K-feldspar, plagioklas, hornblenda,
biotit, dan sedikit mineral opak, sehingga diperoleh nama batuan ini adalah
granodiorit porfiri (Travis, 1955). Pada beberapa bagian tubuh batuan mengalami
alterasi kloritisasi dan oksidasi secara setempat. Granitoid di daerah penelitian
memiliki kandungan xenolith (mafic microgranular enclaves) berupa piroksenit di
beberapa tempat (Gambar 4).

Analisis Petrografi
Pengamatan petrografi yang dilakukan pada sampel batuan di daerah
penelitian didapatkan komposisi mineral penyusun batuan berupa plagioklas, kuarsa,
K-feldspar, hornblenda, biotit dan mineral opak serta klorit sebagai mineral ubahan.
Berdasarkan hasil deskripsi tersebut, penamaan batuan ini dinamakan granodiorit
berdasarkan klasifikasi IUGS oleh Streckeisen (1974). Gambar 5 menunjukkan
kenampakkan petrografi batuan granodiorit di daerah penelitian. Sedangkan
rangkuman hasil analisis petrografi dapat dilihat pada Tabel 1.

1098
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F044POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Analisis X-Ray Diffraction


Analisis X-Ray Diffraction (XRD) dilakukan pada 8 sampel yang berasal dari 2
lokasi yang berbeda. Jenis analisis XRD yang dilakukan adalah analisis bulk dan clay
yang meliputi metode air dried, ethylene glycol, heated 550oC. bulk analysis, memberikan
informasi mengenai terkait mineral-mineral penyusun batuan meliputi mineral primer
dan sekunder. Sedangkan clay analysis dilakukan dengan 3 jenis tahapan analisis tahap
identifikasinya guna mengetahui jenis lempung dan sifat fisis lempung. Hasil analisis
menunjukkan mineral primer yang teridentifikasi yaitu hornblende, biotit, plagioklas,
K-Feldspar, dan kuarsa. Mineral sekunder yang teridentifikasi yaitu palygorskite,
haloysit, kaolinit, epidot, pirit, klorit, vermikulit, dan mika (Gambar 6). Rangkuman
hasil analisis XRD dapat dilihat pada Tabel 2.

Geokimia Batuan Granitoid


Dalam tahapan analisis ini dilakukan analisis oksida mayor, unsur minor dan
trace dengan menggunakan ICP-AES. Dari analisis ini didapatkan konsentrasi unsur-
unsur tertentu yang dapat digunakan untuk penentuan saturasi alumina, afinitas
magma, dan jenis batuan dari granitoid yang mana digunakan sebagai dasar
interpretasi tatanan tektonik dan petrogenesa pembentukan granitoid. Hasil analisis
geokimia dari 8 sampel batuan dilokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 3. Secara
umum karakteristik geokimia granitoid di daerah penelitian adalah sebagai berikut:
1. Saturasi alumina
Saturasi alumina ditentukan oleh kandungan Al2O3/Na2O+K2O dan
Al2O3/CaO+K2O+Na2O. Berdasarkan hasil plot saturasi alumina tersebut (Gambar 7),
diperoleh hasil bahwa granitoid daerah penelitian memiliki saturasi peralumina
(Shand, 1947 dalam Rollinson, 1993). Hal ini menandakan bahwa kandungan Al2O3
lebih banyak jika dibandingakan dengan CaO, K2O dan Na2O. Berdasarkan saturasi
alumina tersebut, batuan di daerah penelitian dapat dikategorikan sebagai granitoid
tipe – I (Anderson dan Thomas, 1985 dalam Frost, dkk., 2001).
2. Afinitas magma
Afinitas magma ditentukan oleh kandungan SiO2 dan K2O. Berdasarkan data
afinitas magma dari plot SiO2 terhadap K2O (Peccerilo dan Taylor, 1976 dalam
Rollinson, 1993), batuan di daerah penelitian menunjukan tingkat afinitas magma seri
shosonitik dengan komposisi kimia bersifat asam dimana SiO2 > 63% (Gambar 8).
3. Jenis Batuan
Penamaan batuan beku menggunakan diagram TAS (Total Alkali Silica) antara
SiO2 terhadap Na2O + K2O (Cox, dkk., 1979 dalam Rollinson, 1993), yang merupakan
klasifikasi awal di dalam penentuan batuan beku plutonik. Berdasarkan hasil
pengeplotan (Gambar 9), diperoleh nama batuan berupa Quartz Diorite (Granodiorite).
Penamaan secara kimiawi ini juga didukung oleh penamaan batuan di lapangan
(megaskopis) dan petrografi yaitu granodiorit porfiri.

1099
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F044POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

TATANAN TEKTONIK DAN PETROGENESA GRANITOID


Karakteristik unsur jejak (Trace Elements) digunakan untuk menentukan tatanan
tektonik granitoid di daerah penelitian. Penentuan tatanan tektonik dilakukan dengan
melakukan pengeplotan antara unsur Y+Nb dan Rb (Gambar 10) menurut klasifikasi
(Pearce, dkk., 1984). Berdasarkan analisis tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa
granitoid di daerah penelitian berada pada daerah Volcanic Arc Granitoids (VAG).
Volcanic arc granitoids (VAG) dapat terbentuk pada tatanan kerak samudera
maupun benua dan dari komposisi tholeitik, kalk-alkali hingga shosonitik (Peccerillo
& Taylor, 1976). Menurut Pitcher (1993) dalam Winter (2001), Volcanic Arc Granitoids
(VAG) menghasilkan kelompok granitoid yang berhubungan dengan proses subduksi.
Magma naik menuju permukaan melalui celah (zona lemah) yang dibentuk oleh
struktur geologi sebagai akibat dari proses subduksi yang terjadi pada kala Miosen-
Pliosen.
Berdasarkan hasil analisis unsur jejak (trace elements) yaitu Sr/(Rb+Ba+Sr) dan
Rb/(Rb+Ba+Sr) pada granitoid di daerah penelitian (Gambar 11), terlihat bahwa terjadi
tingkatan fraksinasi yang rendah (weakly fractionated) (Hutton, 2004). Hal ini
mencerminkan bahwa magma asal mengalami proses diferensiasi yang rendah,
sehingga dalam proses naiknya magma menuju permukaan, tidak signifikan
mengubah sifat asli dan komposisi magma. Batuan granitoid dengan tingkatan
fraksinasi rendah mencerminkan waktu kristalisasi yang relatif lebih cepat. Hal ini
juga dapat menjelaskan bahwa proses naiknya magma menuju kedalaman yang lebih
dangkal berlangsung cukup cepat, sehingga tidak cukup waktu untuk terjadinya
kontaminasi dari batuan dinding yang diterobos.
Secara umum, tingkatan fraksinasi batuan granitoid dapat menjadi tanda
penting yang menunjukkan kematangan komposisi dari kerak benua, dimana semakin
tinggi tingkatan fraksinasi suatu batuan granitoid maka mineralisasi unsur-unsur
(logam) langka seperti W, Sn, Nb, Ta, Li, Be, Rb, Cs, REE,dan lain-lain akan semakin
melimpah (Wu, dkk., 2017).
Hasil analisis geokimia yang menunjukkan batuan di daerah penelitian
cenderung memiliki nilai K yang tinggi dan Ca yang rendah, menandakan jenis
granitoid di daerah penelitian adalah tipe K-rich Calc-alkaline Granitoids (KCG)
(Barbarin, 1999). Granitoid tipe KCG menandakan peristiwa transisi dari proses
subduksi menuju proses kolisi (Transitional Regimes) seperti yang ditunjukkan pada
Tabel 4 di bawah.
Ditemukannya xenolith (mafic microgranular enclaves) berupa piroksenit pada
batuan granitoid di daerah penelitian (Gambar 4) membuktikan bahwa granitoid dan
xenolith secara umum terkristalisasi dari sumber magma yang berbeda, yang dapat
mengindikasikan adanya proses pencampuan (mixing) antara sumber magma yang
bersifat basa dan asam (Liu, dkk., 2013).

V. KESIMPULAN
Berdasarkan beberapa hasil analisis diatas, diketahui bahwa granitoid di daerah
penelitian berjenis granodiorit yang memiliki sifat asam dengan kandungan SiO2
1100
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F044POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

berkisar 63-68% dan saturasi alumina berjenis peralumina, sehingga dapat digolongkan
sebagai granitoid tipe – I. Granodiorit di lokasi penelitian memiliki afinitas magma
berjenis shosonitik, yang dicirikan oleh perbandingan K2O/Na2O yang tinggi.
Kandungan Rb yang rendah menunjukkan bahwa magma mengalami proses
diferensiasi yang rendah, sedangkan diagram plot antara Rb dan Sr menunjukkan
tingkatan fraksinasi rendah (weakly fractionated). Ditemukannya xenolith (mafic
microgranular enclaves) berupa piroksenit pada batuan granitoid membuktikan bahwa
granitoid dan xenolith secara umum terkristalisasi dari sumber magma yang berbeda,
yang dapat mengindikasikan adanya proses pencampuan (mixing) antara sumber
magma yang bersifat basa dan asam.
Berdasarkan plot diagram dari beberapa unsur jejak seperti Rb, Nb dan Y,
tatanan tektonik granitoid di daerah penelitian merupakan Volcanic Arc Granitoids
(VAG) yang menghasilkan kelompok granitoid yang berhubungan dengan proses
subduksi. Sementara itu, berdasarkan data-data hasil analisis petrologi, mineralogi dan
geokimia, granitoid di daerah penelitian merupakan tipe K-rich Calc-alkaline
Granitoids (KCG) yang terbentuk pada rezim transisi subduksi-kolisi yang terjadi pada
Kala Miosen Akhir-Pliosen.

DAFTAR PUSTAKA
Barbarin, B., 1999. A Review of The Relationship Between Granitoid Types, their Origins and
their Geodynamic Environments: Lithos 46. France. Elsevier. p: 605-626.
Barbieri, M., 2016. The Importance of Enrichment Factor (EF) and Geoaccumulation Index (Igeo)
to Evaluate the Soil Contamination. Jurnal Geol Geophys. Sapienza University of
Rome.
Frost, B. R., Barnes, C. G., Collins, W. J., Arculus, R. J., Ellis, D. J., & Frost, C. D., 2001. A
geochemical classification for granitic rocks. Journal of petrology, 42(11), 2033-2048.
Gill, R., 2010. Igneous Rock and Processes: Practical Guide: Wiley-Blackwell. West Sussex.
Harahap, B. H., Bachri, S., Baharuddin, Suwarna, N., Panggabean, H., & Simanjuntak, T. O.,
2003. Stratigraphic Lexicon of Indonesia. Geological Research and Development
Centre.
Hutton, L. J., 2004. Petrogenesis of I- and S- type Granites in The Cape River-Lolworth area,
Northeastern Queensland-Their Contribution to an Understanding of the Early
Paleozoic Geological History of Northeastern Queensland, The Queensland
University of Technology.
Liu, L., Qiu, J. S., & Li, Z., 2013. Origin of mafic microgranular enclaves (MMEs) and their host
quartz monzonites from the Muchen pluton in Zhejiang Province, Southeast China:
implications for magma mixing and crust–mantle interaction. Lithos, 160, 145-163.
Pearce, J. A., Harris, N. B. W., & Tindle, A. G., 1984. Trace Element Discriminating Diagrams for
the Tectonic Interpretation of Granitic Rocks. Journal of Petrology, Vol. 25, Part 4,
pp.956-983.

1101
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F044POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Peccerillo, A., & Taylor, S. R., 1976. Geochemistry of Eocene calc-alkaline volcanic rocks from
the Kastamonu area, Northern Turkey. Contr. Miner. Petrol. 58, 63-81.
Ratman, N., & Atmawinata, S., 1993. Peta Geologi Lembar Mamuju, Sulawesi. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Rollinson, H. R., 1993. Using Geochemical Data: Evaluation, Presentation, Interpretation:
Longman Singapore Publisher (Pte) Ltd. Singapore.
Sompotan, F. S., 2012. Struktur Geologi Sulawesi. Perpustakaan Sains Kebumian, Institut
Teknologi Bandung. Bandung
Streckeisen, A., 1974. Classification and nomenclature of plutonic rocks recommendations of the
IUGS subcommission on the systematics of igneous rocks. Geologische Rundschau,
63(2), 773-786.
Travis, R. B., 1955. Classification of Igneous Rocks. Colorado School of Mines Vol, 50.
Winter, J. D., 2001. Introduction to Igneous and Metamorphic Petrology; Prentice-Hall Inc.,
Upper Saddle river. New Jersey.
Wu, F., Liu, X., Ji, W., Wang, J., & Yang, L., 2017. Highly fractionated granites: Recognition and
research. Science China Earth Sciences, 60(7), 1201-1219.
Zakaria, Z. & Sidarto., 2015. Aktifitas Tektonik di Sulawesi dan Sekitarnya Sejak Mesozoikum
Hingga Kini Sebagai Akibat Interaksi Aktifitas Tektonik Lempeng Tektonik Utama di
Sekitarnya. Jurnal Geologi Sumber Daya Mineral. v16 (3). h: 115-127.

1102
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F044POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 1. Rangkuman komposisi mineral pada sampel granitoid, yang terdiri dari mineral
primer dan sekunder.

1103
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F044POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 2. Rangkuman hasil identifikasi mineral menggunakan analisis X-Ray Diffraction (XRD),
menunjukkan mineral-mineral yang terdiri dari mineral primer dan mineral sekunder.

1104
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F044POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 3. Data geokimia unsur mayor dan unsur jejak pada granitoid, dengan jumlah 8 sampel.
Analisis geokimia menggunakan ICP-AES.

1105
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F044POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 4. Tatanan tektonik pembentukan granitoid berdasarkan karakteristik geokimia granitoid


(Barbarin, 1999). Granitoid Hahangan terbentuk pada tatanan tektonik rezim transisi antara
subduksi dan kolisi.

1106
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F044POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Ilustrasi evolusi tektonik Pulau Sulawesi (Parkinson, 1997 dalam Sompotan 2012).

1107
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F044POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Stratigrafi regional daerah penelitian. Kotak hijau menunjukkan stratigrafi granitoid
Mamasa. (Ratman & Atmawinata, 1993 dengan modifikasi)

1108
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F044POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. (A) Singkapan granitoid di daerah penelitian dengan struktur masif, (B)
kenampakan megaskopis granitoid Mamasa.

1109
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F044POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. (A). Foto parameter singkapan piroksenit sebagai xenolit pada granitoid Mamasa.
(B) Kenampakan petrografi piroksenit daerah penelitian pada nikol sejajar, (C) nikol bersilang.

1110
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F044POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. Kenampakan petrografi granitoid Mamasa, (atas) nikol silang (bawah) nikol sejajar.
Sampel granitoid tersebut dinamakan granodiorit berdasarkan klasifikasi IUGS oleh Streckeisen
(1974).

1111
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F044POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 6. Analisis sampel granitoid menggunakan metode X-Ray Diffraction (XRD)


menunjukkan komposisi mineral primer dan sekunder pada samp

Gambar 7. Saturasi Alumina sampel granitoid Mamasa yaitu peralumina berdasarkan (Shand,
1947 dalam Rollinson 1993).

1112
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F044POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 8. Afinitas magma granitoid Mamasa yang menunjukkan afinitas magma sub-alkaline
seri shosonitik (Peccerilo dan Taylor, 1976, dalam Rollinson, 1993).

Gambar 9. Plot jenis batuan berdasarkan TAS (Total Alkali Silica) antara SiO 2 terhadap Na2O +
K2O (Cox, dkk., 1979 dalam Rollinson, 1993) menunjukkan batuan granodiorite (quartz-diorite).

1113
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F044POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 10. Plot tatanan tektonik berdasarkan unsur jejak Rb dan Y+Nb (Pearce, 1984 dalam
Rollinson, 1993) menunjukkan hasil Volcanic Arc Granitoid (VAG).

Gambar 11. Analisis tingkat fraksinasi granitoid berdasarkan Hutton (2004) dimana plot unsur
jejak Rb/(Rb+Ba+Sr) vs Sr/(Rb+Ba+Sr), menunjukkan sampel mengalami tingkat fraksinasi yang
rendah

1114
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F045PRP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

ALTERASI HIDROTERMAL DI DAERAH TINGGIAN KARANGBOLONG,


KEBUMEN, JAWA TENGAH
Fitriany Amalia Wardhani 1* Isyqi 1 Eko Puswanto 1 Chusni Ansori 1
Balai Informasi dan Konservasi Kebumian, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jln.
1

Karangsambung KM.19, Kec. Karangsambung, Kab. Kebumen, 54353

*Corresponding Author: f.amaliawardhani@gmail.com

SARI.Daerah penelitian merupakan Kawasan Tinggian Karangbolong yang berada di Kabupaten


Kebumen. Morfologi yang terdapat di daerah penelitian berupa morfologi perbukitan karst, perbukitan
struktural, dan morfologi pantai. Stratigrafi daerah penelitian terdiri dari Endapan Aluvial, Formasi
Halang, Formasi Kalipucang, Formasi Gabon, dan Intrusi Andesit. Struktur geologi yang terdapat di
daerah penelitian berupa sesar dengan arah barat laut – tenggara, timur laut – barat daya, dan barat –
timur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses alterasi hidrotermal di daerah penelitian pada
Formasi Gabon serta kaitannya dengan aktivitas vulkanisme dan struktur geologi yang berpengaruh di
sekitar intrusi dan Formasi Gabon.Penelitian ini dilakukan dengan metode observasi lapangan dan
analisis laboratorium. Observasi lapangan meliputi pengamatan geomorfologi, deskripsi singkapan
batuan dan petrologi, pengukuran struktur geologi, dan pengambilan sampel batuan. Analisis
laboratorium berupa analisis petrografi dan analisis XRD dari sampel batuan yang telah diambil.
Berdasarkan mineral alterasi yang muncul pada batuan dari analisis data lapangan dan laboratorium,
diketahui bahwa daerah penelitian dapat dibagi menjadi delapan zona alterasi yaitu zona
serisit±klorit±kuarsa dan zona smektit+klorit±kuarsa, zona smektit+kuarsa, zona smektit+klorit±kuarsa,
zona klorit+kuarsa+albit+kalsit, zona serisit± kuarsa+klorit±kalsit, zona serisit±kuarsa dan zona
kaolinit+smektit+kuarsa. Delapan zona alterasi tersebut berada di tiga desa, yaitu Desa Argopeni, Desa
Srati, dan Desa Jladri. Secara umum, berdasarkan karakteristik mineral alterasi, tipe alterasi hidrotermal
di daerah dapat dibagi menjadi tiga zona yaitu zona alterasi filik, zona alterasi subpropilitik, dan zona
alterasi argilik. Zona alterasi di Desa Srati berada dekat dengan sesar berarah barat laut – tenggara dan
zona alterasi yang berada di Desa Jladri berada dekat dengan sesar dengan arah barat – timur. Hal ini
menunjukkan kemungkinan keterkaitan antara struktur geologi dengan proses alterasi yang terjadi di
daerah penelitian.

Kata kunci: alterasi, alterasi hidrotermal, Karangbolong, Formasi Gabon, Intrusi Andesit

I. PENDAHULUAN
Daerah penelitian merupakan Kawasan Tinggian Karangbolong yang berada di
Kabupaten Kebumen dan terdiri dari tiga Kecamatan yaitu Kecamatan Gombong, Kecamatan
Buayan, dan Kecamatan Ayah Kawasan ini di dominasi oleh Formasi Kalipucang dan Formasi
Gabon. Formasi Gabon terdiri dari batuan beku intrusif, batuan beku ekstrusif, dan breksi
vulkanik yang terbentuk dari aktivitas gunung api purba.

1115
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F045PRP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Di daerah ini juga terdapat beberapa intrusi batuan beku andesit yang mengintrusi Formasi
Gabon. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses alterasi hidrotermal di daerah
penelitian pada Formasi Gabon serta kaitannya dengan aktivitas vulkanisme dan struktur
geologi yang berpengaruh di sekitar intrusi dan Formasi Gabon.

II. GEOLOGI REGIONAL


Kawasan Tinggian Karangbolong termasuk ke dalam zona fsisiografi Pegunungan Serayu
Selatan (Van Bemmelen, 1949). Morfologi yang terdapat di daerah penelitian berupa morfologi
perbukitan karst, perbukitan struktural, dan morfologi pantai. Stratigrafi daerah penelitian
terdiri dari dan Intrusi Andesit, Formasi Gabon, Formasi Kalipucang, Formasi Halang, dan
Endapan Aluvial. Formasi Gabon tersusun atas litologi batuan sedimen berupa breksi dengan
fragmen andesit, bermasa dasar tuf dan batupasir kasar, lapili, lava, dan endapan lahar,
berumur Oligosen Akhir – Miosen Awal. Retas Andesit mengintrusi Formasi Gabon pada
Miosen Awal – Miosen Tengah. Formasi Kalipucang yang terdiri dari batugamping terumbu,
batugamping klastik, dan serpih bitumen di bagian bawah diendapkan pada Miosen Tengah.
Formasi Halang yang dipengaruhi oleh arus turbid dan pelengseran bawah air laut,terdiri
dari perselingan batupasir, batulempung, napal dan tuf dengan sisipan breksi, diendapkan pada
Miosen Tengah – Pliosen (Asikin, dkk, 1992). Struktur geologi yang terdapat di daerah
penelitian berupa sesar mendatar dengan arah barat laut – tenggara, timur laut – barat daya,
dan barat – timur yang memotong Formasi Gabon dan Formasi Kalipucang (Asikin, dkk, 1992).

III. METODOLOGI
Penelitian di Kawasan Tinggian Karangbolong dilakukan dengan studi literatur, metode
observasi lapangan dan analisis laboratorium. Studi literatur dilakukan di daerah ini untuk
mengetahui kondisi geologi regional dan penelitian sebelumnya di daerah penelitian. Beberapa
penelitian sebelumnya yang membahas mengenai alterasi dan mineralisasi di daerah ini antara
lain Maskuri (2003), Sumantri (2005), dan Ansori, dkk (2011), Observasi lapangan meliputi
pengamatan geomorfologi, deskripsi singkapan batuan dan petrologi, pengukuran struktur
geologi, dan pengambilan sampel batuan. Analisis laboratorium berupa analisis petrografi dan
analisis XRD dari sampel batuan yang telah diambil. Sampel batuan yang di analisis berjumlah 4
sampel batuan untuk analisis XRD dan 3 sampel batuan untuk analisis petrografi. Hasil
observasi lapangan dan analisis laboratorium kemudian diolah dan disajikan dalam bentuk
tabel, grafik, dan peta.

1116
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F045PRP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

IV. HASIL PENELITIAN


Berdasarkan mineral alterasi yang muncul pada batuan dari analisis data lapangan dan
laboratorium, diketahui bahwa daerah penelitian dapat dibagi menjadi delapan zona alterasi
yaitu zona serisit ± klorit ± kuarsa dan zona smektit+klorit±kuarsa, zona smektit+kuarsa, zona
smektit+klorit±kuarsa, zona klorit + kuarsa + albit + kalsit, zona serisit ± kuarsa + klorit ± kalsit,
zona serisit ± kuarsa dan zona kaolinit + smektit + kuarsa. Delapan zona alterasi tersebut berada
di tiga desa, yaitu Desa Argopeni, Desa Srati, dan Desa Jladri.
Zona alterasi hidrotermal yang berada di Desa Argopeni adalah zona serisit±klorit±kuarsa dan
zona smektit+klorit±kuarsa. Kedua zona ini mengubah batuan beku andesit Formasi Gabon.
Lokasi singkapan berupa batuan breksi andesit yang teralterasi berada di pinggir sungai.
Singkapan batuan berwarna kekuningan sampai abu – abu. Di beberapa lokasi ditemukan
struktur vuggy dengan mineral anhidrit? yang bertekstur menjarum (Gambar 2). Alterasi
semakin melemah kearah selatan. Mineral sulfida yang dijumpai berupa pirit yang dijumpai di
dalam veinlet silika dengan arah N 180º E/62° dan N 65º E/60°. Selain itu juga ditemukan mineral
mangaan yang diperoleh dari hasil analisa XRD.

• Zona Serisit±Klorit±Kuarsa

Zona serisit+klorit+kuarsa yang berada di Desa Argopeni mengubah batuan beku andesit di
Formasi Gabon, dicirikan oleh kehadiran mineral serisit pada sayatan tipis. Mineral serisit
menggantikan massa dasar pada andesit. Berdasarkan suhu kestabilan mineral (Reyes, 2000)
pada Gambar 4 maka zona ini terbentuk pada temperatur sekitar 280°C - 320ºC. Zona alterasi
ini dapat disetarakan dengan zona filik yang terbentuk pada pH antara 4 – 5 (Corbett dan
Leach, 1997).

• Zona Smektit±Klorit±Kuarsa

Zona smektit±klorit±kuarsa yang berada di Desa Argopeni mengubah batuan beku andesit di
Formasi Gabon, dicirikan oleh kehadiran mineral lempung berupa smektit yang diketahui dari
hasil analisa XRD. Berdasarkan suhu kestabilan mineral (Reyes, 2000) pada Gambar 5 maka
zona ini terbentuk pada temperatur sekitar 120°C - 180ºC. Zona alterasi smektit±klorit±kuarsa
dapat disetarakan dengan zona subpropilitik yang terbentuk pada pH 5 – 6 (Corbett dan
Leach, 1997).

Desa Srati

Zona alterasi hidrotermal yang berada di Desa Srati adalah zona smektit+kuarsa, zona
smektit+klorit±kuarsa, zona klorit+kuarsa+albit+kalsit, dan zona serisit± kuarsa+klorit±kalsit.
Ketiga zona ini mengubah batuan beku andesit Formasi Gabon. Lokasi singkapan batuan

1117
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F045PRP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

andesit berada di tepi jalan. Singkapan berupa batuan beku terubah sedang berwarna abu –
abu yang longsor di beberapa bagian (Gambar 6). Terdapat urat – urat kalsit di beberapa
bagian singkapan. Zona ubahan di daerah ini berada dekat dengan zona sesar dengan arah
barat laut – tenggara. Alterasi di daerah ini dipengaruhi oleh fluida dengan pH netral yang
diketahui dari kehadiran mineral ubahannya. Hasil XRD pada mineral lempung di daerah ini
ditunjukkan pada gambar 7.

• Zona Smektit+Kuarsa

Zona smektit+kuarsa mengubah batuan beku andesit di Formasi Gabon, dicirikan oleh
kehadiran mineral lempung berupa smektit yang diketahui dari hasil analisa XRD.
Berdasarkan suhu kestabilan mineral (Reyes, 2000) pada Gambar 8 maka zona ini terbentuk
pada temperatur sekitar 120°C - 180ºC. Zona alterasi ini dapat disetarakan dengan zona argilik
yang terbentuk pada pH 4 – 5 (Corbett dan Leach, 1997).

• Zona Klorit+Smektit+Kuarsa+Kalsit

Zona klorit+smektit+kuarsa+kalsit mengubah batuan beku andesit di Formasi Gabon, dicirikan


oleh kehadiran mineral lempung berupa smektit yang diketahui dari hasil analisa XRD.
Berdasarkan suhu kestabilan mineral (Reyes, 2000) pada Gambar 9 maka zona ini terbentuk
pada temperatur sekitar 120°C - 180ºC. Zona alterasi smektit±klorit±kuarsa dapat disetarakan
dengan zona subpropilitik yang terbentuk pada pH 5 – 6 (Corbett dan Leach, 1997).

• Zona Klorit+Kuarsa±Albit+Kalsit

Zona klorit+kuarsa+albit+kalsit mengubah batuan beku andesit di Formasi Gabon, dicirikan


oleh kehadiran albit dan klorit yang diketahui dari hasil analisa XRD dan petrografi.
Berdasarkan suhu kestabilan mineral (Reyes, 2000) pada Gambar 10 maka zona ini terbentuk
pada temperatur sekitar 170°C - 320ºC. Zona alterasi smektit±klorit±kuarsa dapat disetarakan
dengan zona subpropilitik yang terbentuk pada pH 5 – 6 (Corbett dan Leach, 1997). Mineral
albit umum dijumpai di beberapa daerah alterasi yang berhubungan dengan intrusi. Albit
dapat ditemukan di zona paling luar, di zona tengah, atau berasosiasi dengan alkaline
porfiri (atlas alterasi, 1996).

• Zona Serisit±Kuarsa+Klorit±Kalsit

Zona serisit±kuarsa+klorit±kalsit mengubah batuan beku andesit di Formasi Gabon, dicirikan


oleh kehadiran mineral serisit pada sayatan tipis. Zona alterasi ini memiliki temperatur
pembentukan 280-320 oC (Gambar 11) dapat disetarakan dengan zona filik yang terbentuk
pada pH antara 4 – 5 (Corbett dan Leach, 1997).

1118
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F045PRP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Desa Jladri

Zona alterasi hidrotermal yang berada di Desa Jladri adalah zona serisit±kuarsa dan zona
kaolinit+smektit+kuarsa. Kedua zona ini mengubah batuan breksi di Formasi Gabon. Batuan
breksi terlaterasi kuat, batuan berwarna abu – abu terang. Terdapat mineral sulfida berupa
galena dan pirit di sekitar urat. Ditemukan urat silika dengan arah N 16° E/80 dan N 310° E/69.
Singkapan batuan pada zona ini dapat dilihat pada Gambar 12.

• Zona Serisit±Kuarsa

Zona serisit±kuarsa mengubah batuan breksi di Formasi Gabon, dicirikan oleh kehadiran
mineral serisit pada sayatan tipis. Zona alterasi ini dapat disetarakan dengan zona filik yang
terbentuk pada pH antara 4 – 5 (Corbett dan Leach, 1997), dengan temperatur pembentukan
280 – 320oC (Gambar 13).

• Zona Kaolinit+Smektit+Kuarsa

Zona kaolinit+smektit+kuarsa mengubah batuan breksi di Formasi Gabon, dicirikan oleh


kehadiran mineral lempung berupa kaolinit yang diketahui dari hasil analisa XRD (Gambar
14). Berdasarkan suhu kestabilan mineral (Reyes, 2000) pada maka zona ini terbentuk pada
temperatur sekitar 120°C - 180ºC (Gambar 15). Zona alterasi ini dapat disetarakan dengan
zona argilik yang terbentuk pada pH 4 – 5 (Corbett dan Leach, 1997).

V. DISKUSI DAN PEMBAHASAN


Zona alterasi di daerah Tinggian Karangbolong dapat dilihat pada Gambar 16. Secara
umum, berdasarkan karakteristik mineral alterasi, tipe alterasi hidrotermal di daerah dapat
dibagi menjadi tiga zona yaitu zona alterasi filik, zona alterasi subpropilitik, dan zona alterasi
argilik (Corbett dan Leach, 1997). Zona alterasi filik atau serisitic memiliki pH fluida
pembentukan yang sama dengan alterasi argilik (4-5) dengan temperatur yang lebih tinggi
(Corbett dan Leach, 1997). Zona filik dicirikan dengan kehadiran mineral kuarsa-serisit-pirit
(Pirajno, 1992). Pada daerah penelitian, kehadiran mineral kuarsa-serisit-pirit muncul di Desa
Argopeni. Proses alterasi serisitic disebabkan oleh ketidakstabilan mineral k-feldspar akibat
kehadiran H+, OH-, K, dan S untuk membentuk kuarsa, mika, pirit, dan sebagian kalkopirit
(Pirajno, 1992). Zona propilitik di daerah penelitian dicirikan oleh kehadiran mineral klorit. Di
Desa Srati, zona propilitik ditandai dengan munculnya mineral albit sekunder. Zona alterasi
propilitik ditandai dengan penambahan H2O and CO2 , dan S secara lokal dengan sedikit
metasomatisme H+ (Pirajno, 1992). Zona ini terbentuk pada temperatur <200-250°C dengan pH
5-6 (Corbett dan Leach, 1997). Zona alterasi argilik di daerah penelitian berada di Desa Srati
dan Desa Jladri. Zona alterasi argilik di daerah penelitian ditandai dengan kehadiran mineral
lempung smektit di Desa Srati dan mineral lempung kaolinit di Desa Jladri. Zona ini memiliki
pembentukan pH fluida 4-5 (Corbett dan Leach, 1997). Mineral lempung pada zona ini

1119
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F045PRP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

terbentuk akibat proses metasomatisme yang kaya akan H+ dan acid leaching pada temperatur
100ºC - 300°C. Metasomatisme H+ yang lebih tinggi pada zona ini disebabkan oleh
penambahan air meteorik ke dalam sistem hidrotermal (Pirajno, 1992). Mineral lempung
berupa kaolinit dan smektit yang terdapat di daerah penelitian diduga menggantikan mineral
plagioklas.

VI. KESIMPULAN
Stratigrafi di daerah penelitian tersusun atas, Formasi Gabon, Formasi Kalipucang,
Intrusi Andesit, dan Endapan Aluvial. Daerah penelitian memiliki delapan zona alterasi yang
tersebar di tiga desa, yaitu zona serisit+klorit+kuarsa dan zona smektit±klorit±kuarsa di Desa
Argopeni, zona smektit+kuarsa, zona smektit+klorit±kuarsa, zona klorit+kuarsa+albit+kalsit di
Desa Srati, dan zona serisit±kuarsa dan zona kaolinit+smektit+kuarsa di Desa Jladri.
Berdasarkan zona alterasi menurut Corbet dan Leach, 1997, alterasi hidrotermal yang terjadi di
daerah penelitian dapat dibagi menjadi tiga jenis zona alterasi yaitu, zona alterasi argilik,
propilitik, dan filik. Zona alterasi yang berada dekat dengan struktur sesar mengindikasikan
adanya pengaruh struktur geologi yaitu sesar mendatar dengan arah barat laut – tenggara,
timur laut – barat daya, dan barat – timur terhadap alterasi batuan di sekitarnya.

ACKNOWLEDGEMENTS

Ucapan terima kasih diberikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Kebumen, serta
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang telah membantu dan memberikan fasilitas dalam
menyelesaikan tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ansori,C. dan Puswanto, E. 2011. Alterasi dan Mineralisasi di Kawasan Kars Gombong Selatan,
Kabupaten Kebumen. Prosiding Pemaparan Hasil Penelitian Puslit Geoteknologi –
LIPI 2011. Hal : 21 – 28.
Asikin,S. Handoyo, A. Busono, H. Gafoer, S. 1992. Peta Geologi Lembar Kebumen, Jawa
(Geologic Map of The Kebumen Quadrangle, Jawa), Lembar (Qudrangle) 1401- 1, Skala
(Scale) 1:100.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Departemen
Pertambangan dan Energi.
Bakosurtanal. 2000. Peta Rupa Bumi Digital Indonesia Lembar WadasLintang, Lembar 1408-143.
Skala 1:25.000. Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional.
Corbett, G.J. dan Leach, T.M., 1997, Southwest Pacific Rim Gold-Copper Systems: Structure,
Alteration, and Mineralization: SEG Special Publication No. 6
Maskuri, F.,2003. Studi alterasi hidrotermal daerah Karangbolong, Kabupaten Kebumen,Jawa
Tengah. Jurnal Ilmu Kebumian Teknologi Mineral. 16 (2): 68 – 73.
Pirajno, F., 1992, Hydrothermal Mineral deposits, Principles and Fundamental Concepts for the

1120
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F045PRP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Exploration Geologist, Springer-Verlag, Berlin, Heidelberg, New York, London, Paris,


709 p.
Reyes, A. G. 2000. Petrology and Mineral Alteration in Hydrotermal Systems: From Diagenesis
to Volcanic Catastrophes. New Zealand: United Natoins University.
Sumantri, T.A.F. 2005. Hydrothermal Mineralization At Gombong Area Kebumen Regency -
Central Java. Jurnal RISET – Geologi dan Pertambangan. 15 (2):11 – 17.

1121
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F045PRP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Peta Geologi daerah penelitian (Asikin, dkk, 1992).

1122
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F045PRP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Struktur vuggy pada singkapan batuan dan kenampakan munculnya mineral berserabut yang
diduga berupa anhidrit.

1123
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F045PRP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Hasil analisis XRD pada sampel batuan di Desa Argopeni.

Gambar 4. Suhu kestabilan mineral zona seris it+klorit+kuarsa (Reyes, 2000).

1124
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F045PRP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. Suhu kestabilan mineral zona smektit±klorit±kuarsa (Reyes, 2000).

Gambar 6. Singkapan batuan terubah di Desa Srati.

1125
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F045PRP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 7. Smektit pada hasil analisa XRD sampel Desa Srati.

Gambar 8. Suhu kestabilan mineral zona smektit+kuarsa (Reyes, 2000).

1126
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F045PRP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 9. Suhu kestabilan mineral zona klorit+smektit+kuarsa+kalsit (Reyes, 2000).

Gambar 10. Suhu kestabilan mineral zona klorit+kuarsa+albit+kalsit (Reyes, 2000).

1127
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F045PRP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 11. Suhu kestabilan mineral zona serisit± kuarsa+klorit±kalsit (Reyes, 2000).

Gambar 12. Singkapan batuan terubah di Desa Jladri.

1128
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F045PRP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 13. Suhu kestabilan mineral zona serisit±kuarsa (Reyes, 2000).

Gambar 14. Hasil XRD berupa Kaolinit pada sampel batuan di Desa Jladri

1129
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F045PRP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 15. Suhu kestabilan mineral zona kaolinit+smektit+kuarsa (Reyes, 2000).

Gambar 16. Peta Alterasi Hidrotermal di daerah penelitian

1130
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F050UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

FENOMENA KEHADIRAN URAT BIOTIT HIJAU PADA BANDED SKARN


FE-SN DI DAERAH BATUBESI, BELITUNG TIMUR

Muhammad Burhanudin1*, Fahmi Hakim1, Lucas Donny Setijadji1, Nur Rochman Nabawi2
1Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Jl.Grafika No.2,
Yogyakarta, Indonesia
2PT Timah TBK. Jl. Jenderal Sudirman No.51, Pangkal Pinang, Bangka, Indonesia

*corresponding author : crazhwater@gmail.com

ABSTRACT. Mineral biotit merupakan mineral filosilikat (mika) yang umumnya memiliki warna
coklat hingga hitam. Akan tetapi di daerah penelitian dijumpai fenomena kehadiran biotit
berwarna hijau sebagai pengisi urat yang memotong batuan skarn Fe-Sn bertekstur banded.
Fenomena kehadiran biotit hijau ini dapat dijelaskan dengan mengetahui karakteristik mineralogi
dan geokimia batuan serta pengaruh interaksi antara fluida hidrotermal dengan batuan samping.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini berupa pengamatan lapangan dari singkapan
batuan, pengambilan sampel setangan serta pengamatan petrologi, petrografi, mineragrafi dan
geokimia pada batuan dan urat biotit hijau yang memotong batuan tersebut. Urat biotit hijau
yang memotong batuan banded skarn Fe-Sn memiliki dimensi lebar 2 – 5 cm. Pada pengamatan
dibawah mikroskop polarisasi, biotit hijau memiliki sifat optik yang khas seperti pleokroisme
kuat yang berwarna hijau tua, sehingga warna hijau tersebut sering menutupi warna intereferensi
biotit yang sesungguhnya (orde 3 hingga 4). Mineral biotit hijau pada urat ini hadir bersama
dengan mineral kaolin, dan mineral logam yang kaya akan besi (Fe) seperti pirit, kalkopirit, dan
arsenopirit. Sedangkan batuan samping memiliki tekstur banded yang tersusun atas mineral-
mineral penciri endapan skarn seperti zoisit, klinopiroksen dan epidot, serta mineral logam kaya
besi (Fe) seperti magnetit dan goetit. Mineral logam lain yang dijumpai adalah burtite dengan
formula Ca(Sn(OH6)). Urat biotit hijau ini termasuk kedalam urat direct-infilling karena adanya
rekahan yang terisi fluida hidrotermal kaya alumunium (Al). Interaksi antara fluida hidrotermal
dengan batuan samping berupa batuan skarn yang kaya besi (Fe) merupakan proses utama
pengkayaan unsur Fe pada urat. Data kimia mineral pada biotit juga menunjukkan kelimpahan
konten Fe2O3 dan (FeO+MgO) serta sedikitnya konten Al2O3 yang mana merupakan penyebab
utama warna hijau dari mineral biotit.

Kata Kunci : Biotit hijau, Batubesi, Banded skarn Fe-Sn, Pengkayaan Fe, Belitung timur

I. PENDAHULUAN

Mineral biotit merupakan mineral filosilikat (mika) yang umumnya memiliki warna
coklat hingga hitam. Akan tetapi di daerah penelitian dijumpai fenomena kehadiran
biotit berwarna hijau sebagai pengisi urat yang memotong batuan skarn Fe-Sn bertekstur
banded. Menurut Benard (1993) warna yang terdapat pada mineral biotit sangat
tergantung pada tatanan asal tektonik dan batuan samping, hal ini terjadi pada
fenomena perbedaan warna biotit dari intrusi pada tatanan orogenik berumur
Proterozoic di Wopmay, Northwest Teritorial. Biotit dengan warna merah cerah akan
berasosiasi dengan batuan granit peraluminus hasil kolisi sebagai hasil dari rendahnya
Fe3+/(Fe2++Fe3+) dan adanya kehadiran Ti3+. Sementara itu biotit hijau dan biotit cokelat

1131
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F050UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

akan berasosiasi dengan batuan granit busur vulkanik yang kaya akan Mg2+ dan Fe3+
(Benard, 1993). Hadirnya variasi warna dari biotit juga terjadi di komplek metamorfisme
Sanbagawa, pegunungan Kanto, Jepang. Pada area tersebut ditemukan variasi warna
pada biotit yaitu hijau dan coklat. Biotit cokelat di Sanbagawa berasosiasi pada area
metamorfisme schist dengan suhu dan tekanan yang lebih tinggi daripada biotit hijau.
Secara geokimia biotit hijau merupakan implikasi dari tingginya nilai Fe 3+/(Fe2++Fe3+) dan
rendahnya Al2O3 (Sakai, 1981). Biotit hijau yang hadir di daerah penelitian
termanifestasikan sebagai urat yang memotong batuan calc sillicate dengan struktur
banded. Asosiasi batuan yang hadir yaitu metabatulempung dan batuan granit tekstur
sedang sebagai batuan pluton.

II. GEOLOGI REGIONAL

Daerah penelitian termasuk dalam peta geologi regional Pulau Belitung (Baharuddin
dan Sidarto, 1995). Daerah penelitian berada pada pertemuan antara Formasi
Klapakampit dan intrusi diorit kuarsa Batubesi (Gambar 1). Formasi Klapakampit ini
tersusun dari batuan sedimen flysh (sedimen laut) yang terlipat lemah hingga sedang.
Batuan sedimen tersebut terdiri atas batupasir malih berseling dengan batusabak,
batulumpur, serpih, batulanau tufan, dan rijang. Batupasir malih memiliki warna putih
hingga abu-abu muda, bersifat kompak, memiliki ukuran butir halus hingga kasar,
bentuk butir menyudut tanggung hingga membundar. Tebal perlapisan batupasir malih
tersebut antara 5 hingga 20 cm. Batulumpur memiliki warna hitam, struktur berlembar,
tebal perlapisan antara 4-6 m. Batulanau tufan berwarna abu-abu muda, bersifat
kompak, memiliki tebal perlapisan 1-4 m. Rijang berwarna abu-abu muda kemerah-
merahan, mengandung radiolaria, memiliki tebal perlapisan 10-20 cm. Formasi
Kelapakampit ini mengandung fosil Agathiceras sundaicum HAN; Moscovicrinus
(Hosking dkk., 1977, dalam Baharuddin dan Sidarto, 1995), Fusulina schwargerina dan
Cathaysia (Gigantopteris) JONGMANS (Van Overeem, 1960, dalam Baharuddin dan
Sidarto, 1995). Dari fosil- fosil yang ditemukan oleh peneliti terdahulu tersebut, dapat
diketahui umur dari formasi ini Permo-Karbon. Formasi Kelapakampit ini terendapkan
dalam lingkungan laut dengan ketebalan yang tersingkap di permukaan Pulau Belitung
lebih dari 500 m (Baharuddin dan Sidarto, 1995). Satuan lain penyusun area penelitian
secara stratigrafi regional yaitu satuan Diorit kuarsa Batubesi. Intrusi ini hanya terdapat
di sisi timur dari pulau Belitung dan hanya memiliki persebaran yang sempit. Intrusi ini
tersusun oleh diorit kuarsa yang memiliki warna hijau hingga abu-abu muda,
holokristalin, memiliki ukuran butir kristal sedang, hipidiomorfik granular, tersusun atas
mineral kuarsa, plagioklas, k-feldspar, biotit, hornblenda, klorit, dan oksida besi. Umur
mutlak dari batuan ini yaitu 115-160 juta tahun lalu (Priem dkk., 1975, dalam Baharuddin
dan Sidarto, 1995).

Baharudin dan Sidarto (1995) mengatakan bahwa struktur geologi yang terdapat di
pulau Belitung ini antara lain: lipatan, sesar, kekar dan kelurusan. Arah sumbu lipatan
umumnya barat laut-tenggara, sedangkan sesar berarah timur laut – Barat Daya.
Kegiatan tektonik dimulai pada masa Permo-Karbon yang menghasilkan endapan
sedimen “flysch” Formasi Kelapakampit, bersamaan dengan ini terjadi tumbukan yang

1132
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F050UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

membentuk Formasi Siantu. Aktivitas tektonik berlanjut pada masa Trias terjadi
aktivitas magmatik dan menghasilkan tubuh intrusi granit Tanjung Pandan. Pada awal
Jura aktivitas magmatik terus berlanjut dan menghasilkan penerobosan batuan Admelit
Baginda, kegiatan magmatik berakhir pada Kapur dengan batuan terobosan diorit dan
granodiorit (Gambar 1).

III. METODOLOGI
Metode yang digunakan dalam penelitian ini berupa pengamatan lapangan dari
singkapan batuan, pengambilan sampel setangan serta pengamatan petrologi, petrografi,
mineragrafi dan geokimia pada batuan dan urat biotit hijau yang memotong batuan
tersebut. Pemetaan geologi dan alterasi bertujuan untuk mengetahui secara menyeluruh
asosiasi mineral green biotite ini secara lateral permukaan, sehingga diketahui kondisi
tatanan geologi dan batuan samping. Penamatan petrologi digunakan untuk melihat
tekstur, struktur dan komposisi batuan secara makroskopis. Analisa petrografi ini
dilakukan dengan pembuatan sayatan tipis batuan untuk diamati di bawah mikroskop
polarisasi. Tujuan adanya analisa ini adalah untuk mengidentifikasi mineral penyusun
batuan secara mikroskopi dengan melihat sifat optis polarisasinya. Selain itu analisa ini
dapat untuk melihat tekstur dan hubungan antar mineral. Dari sampel yang diambil
dipilih 4 sampel yang akan disayat dan diamati di bawah mikroskop polarisasi.
Pelaksanaan pengamatan petrografi ini sayatan tipis diamati di bawah mikroskop
polarisasi Brunel 75 SP dan Olympus. Pengamatan sayatan tipis dilaksanakan di
Laboratorium Geologi Optik Departemen Teknik Geologi UGM. Metode analisa
mineragrafi dilakukan dengan pembuatan sayatan poles batuan untuk diamati di bawah
mikroskop pantul. Tujuan adanya analisa ini adalah untuk mengidentifikasi mineral
penyusun batuan secara mikroskopi dengan melihat sifat optis pantulnya terutama untuk
mineral mineral logam. Selain itu analisa ini dapat untuk melihat tekstur dan hubungan
antar mineral. Dalam metode ini dibuat 9 sayatan poles yang dipilih berdasarkan
keberadaan mineral – mineral logam yang hadir di lokasi penelitian. Pelaksanaan
pengamatan mineragrafi ini sayatan poles diamati di bawah mikroskop pantul Brunel 75
SP dan Olympus. Pengamatan sayatan tipis dilaksanakan di Laboratorium Geologi Optik
Departemen Teknik Geologi UGM. Analisa geokimia yang digunakan yaitu metode XRF.
Penelitian ini menggunakan metode tersebut untuk mengidentifikasi kelimpahan unsur-
unsur penyusun batuan terutama unsur logam yang terkandung dalam batuan. Metode
ini menggunakan konsep pelepasan energi sinar X dari X-Ray tube, kemudian sinar ini
akan mengenai sampel batuan dan akan berinteraksi dengan elektron dari atom
penyusun batuan. Akibatnya beberapa elektron akan tereksitasi sekaligus melepaskan
energi berupa sinar X yang akan teridentifikasi oleh detektor alat XRF. Terdapat 2 jenis
alat yang digunakan yaitu XRF portable dan scanning micro XRF. Penggunaan XRF
portable untuk mengetahui kadar unsur logam secara total / bulk dari sebuah sampel
batuan. Sementara untuk micro scanning XRF digunakan untuk mengetahui persebaran
unsur logam secara utuh tanpa menghancurkan sampel batuan dan mengkalkulasi nama
mineral berdasarkan konsentrasi unsur yang diketahui setiap titik penembakan.
Penelitian ini mengambil 48 sampel batuan untuk identifikasi unsur penyusun batuan
terutama untuk mengetahui konsentrasi unsur logam yang hadir dalam batuan.

1133
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F050UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Pengambilan sampel tersebut didasarkan pada perbedaan litologi, alterasi, intensitas


alterasi, dan persebaran. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui secara detail lokasi
prospek yang hadir unsur logam terutama Sn di area penelitian. Dalam penelitian ini
digunakan alat Olympus Delta XRF Analyzers dan dilakukan analisa di laboratorium
eksplorasi PT. Timah,Tbk.

IV. HASIL PENELITIAN

Pemetaan geologi (Gambar 2) membagi lokasi penelitian menjadi 4 satuan batuan.


Satuan batuan dari tertua ke muda pada lokasi penelitian yaitu satuan batulempung
sisipan batupasir, satuan metabatulempung, satuan granit kristal sedang dan satuan
granit kristal halus.

Pemetaan alterasi (Gambar 3) membagi lokasi penelitian menjadi 5 satuan alterasi.


Satuan alterasi pada lokasi penelitian yaitu satuan alterasi greisen low, satuan alterasi
skarn (calc sillicate) sebagai batuan yang berasosiasi dengan urat biotit, satuan alterasi
argilik post greisen, satuan alterasi albitisasi post greisen dan satuan alterasi argilik
(Gambar 4).

V. DISKUSI DAN PEMBAHASAN

Pembahasan kehadiran hijau biotit ini berasosiasi dengan satuan batun metabatu
lempung dan granit kristal sedang. Sementara biotit hijau berasosiasi dengan alterasi
skarn (calc sillicate). Hal tersebut akan dibahas secara detail dalam pembahasan karya
tulis ini.

1. Satuan Alterasi Skarn

Zona keterdapatan alterasi ini ditemukan hanya di dekat kotak antara pluton
granit kristal sedang dengan batuan metabatulempung. Zona ini melampar 3% dari total
area pemetaan. Pada zona alterasi ini memiliki batuan asal berupa metabatulempung.
Batuan yang teralterasi memiliki ciri berwarna abu-abu kemerahan, bersifat lepas karena
teralterasi secara menyeluruh (Gambar 5).

Deskripsi sampel setangan teridentifikasi mineral pada skarn berupa piroksen,


magnetit dengan struktur banded bersama dengan klorit, dan terpotong oleh urat biotit
dan urat lempung kaolin. Dalam identifikasi secara petrografi ditemukan klinopiroksen,
epidot, klorit, zoesit, magnetit yang dipotong oleh urat biotit. Dari hasil analisa XRD
teridentifikasi mineral lempung berupa illit, kaolinit dan klorit dan mineral non lempung
berupa mika, biotit, zoesit, grosular, kordierit, gutit, dan rodokrosit (Gambar 6 dan 7).

Biotit hijau sebagai urat direct infilling hadir mengisi celah diantara batuan
banded skarn Fe-rich. Urutan pembentukan mineral pada singkapan skarn diawali
dengan adanya deposisi skarn yang terkena gaya tektonik sehingga membentuk
rekahan-rekahan membuka. Fluida Al-rich berperan mengisi rekahan tersebut dan

1134
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F050UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

menjadikan adanya presipitasi mineral biotit beserta beberapa mineral logam seperti
kalkopirit, pirit, dan arseno pirit. Tekstur intergrowth merupakan hasil dari
pertumbuhan mineral ore secara bersamaan. Tekstur ini dicirikan oleh batas kontak
antar mineral yang relatif datar serta tegas (Craig dan Vaughan, 1994). Tekstur ini
ditemukan secara jelas pada urat biotit yang memotong batuan skarn dengan deposisi
mineral logam berupa pirit dan arsenopirit.

Biotit teridentifikasi dari 3 analisa yaitu petrografi, mineragrafi dan scan XRF.
Biotit memiki warna hijau tua, baik pada handspacimen maupun sayatan tipis. Warna
biotit ini mencerminkan adanya pengaruh dari unsur Fe3+ yang hadir karena adanya
kontak dengan batuan skarn Fe-rich. Biotit hijau terentuk oleh adanya proses
kesetimbangan yang terjadi antara batuan host rock yaitu skarn Fe-rich dengan fluida
sisa magmatisme akhir granit yang kaya akan Al. Proses tersebut terjadi setelah adanya
ruangan kosong akibat rekahan tektonik yang dilewati fluida hidrotermal Al rich
pembawa mineral sulfida logam.

VI. KESIMPULAN

Biotit hijau yang terdapat di lokasi penelitian yaitu di Batubesi, Belitung Timur
merupakan biotit sekunder yang terbentuk sebagai hasil proses direct infilling dari fluida
hidrotermal yang terpresipitasi pada rekahan tektonik yang memotong batuan banded
skarn. Biotit hijau ini terdeposisi bersama dengan mineral sulfida logam. Warna hijau
biotit disebabkan adanya penambahan Fe2+ pada mineral biotit hasl interaksi fluida
dengan batuan samping.

ACKNOWLEDGEMENTS

Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada


semua pihak yang telah mendukung pembuatan karya ini. Ucapan terima kasih penulis
ucapkan kepada :

1.Bapak Dr. Lucas Donny Setijadji, S.T., M.Sc. selaku dosen pembimbing paper.

2. Bapak Fahmi Hakim, S.T.,M.Sc. selaku dosn pembimbing paper.

3. Bapak Nur Rochman Nabawi selaku pembimbing lapangan dari PT. Timah Tbk yang
telah memberikan pembimbingan dan pengarahan dalam pengambilan data lapangan di
Belitung.

4. Brucker Company yang telah memberikan data scan XRF guna data pendukung
penelitian.

1135
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F050UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

DAFTAR PUSTAKA

Baharuddin dan Sidarto. 1995. Peta Geologi Lembar Belitung, Sumatera. Bandung: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi.

Barber, AJ., Crow, M.j & Milsom, J.S. 2015. Sumatra Geology, Resources and Tectonic Evolution.
London : The Geology Society.

Guy, Bernard. 2010. Banded skarns, an example of geochemical dissipative structure. Saint-
Etienne cedex 2, France. Ecole Nationale Supérieure des Mines de Saint-Etienne.

Lalonde, Andre E. 1993. Composition and Color Biotite From Granites : Two Usefull Properties In
The Characteristic Plutonic Suites From The Hepburn Internal Zone Of Wopmay Orogen,
Northwest Territories. Ontario. Canadian Mineralogist.

Kwak, T.A.P dan Abeysinghe, P.B. 1987. Rare Earth and Uranium Minerals Present as Daughter
Crystals in Fluid Inclusions, Mary Kathleen U-REE skarn, Queensland, Australia : Mineralogical
Magazine, v. 51, p. 665–670.

Sakai, Chihiro. 1981. Notes on Petrography and Rock-Forming Mineralogy Green Biotite in
Sanbagawa Basic Schist in The Kanto Mountains, Japan. Kanazawa. Japan Association
Mineralogist.

Schwartz, M.O., Rajah.S.S., Askury.A.K., Putthapiban.P. dan Djaswadi.S. 1995. The Southeast Asian
Tin Belt. Earth Science Reviews. 38.

Sutphin, D.M., Reed, D.M., dan Sabin, B.L. 1992. Tin – International Strategic Minerburhamals
Inventory Summary Report.

Taylor, R.G. 1979. Geology of Tin Deposits. Oxford: Elsevier Scientific Publishing Company.

PT Timah Tbk. 2015. Rincian 112 IUP milik PT Timah di 3 Provinsi. Jakarta : Kontan.

Vigneresse, J.L. 2007. The Role of Discontinous Magma Inputs in Felsic Magma and Ore Generation. Ore
Geology Reviews 30.

Winter, J. D. 2014. Principles of Igneous and Metamorphic Petrology 2 nd Edition. Pearson Education
Limited, Skotlandia.

1136
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F050UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Bagian dari Peta Geologi Regional Lembar Belitung (Baharuddin & Sidarto, 1995)

1137
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F050UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Peta geologi daerah penelitian

1138
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F050UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Peta alterasi daerah penelitian.

Gambar 4. Sayatan alterasi lokasi penelitian

1139
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F050UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. A&B Kenampakan singkapan metabatulempung teralterasi skarn STA 187. C :


Kenampakan sampel setangan metabatulempung teralterasi skarn

Gambar 6. A&B: Kenampakan sayatan tipis di bawah mikroskop polarisasi dari


metabatulempung teralterasi skarn STA 187 A (PPL), B (XPL). C : Difaktogram XRD
metabatulempung teralterasi skarn.

1140
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F050UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 7. Kenampakan sayatan poles di bawah mikroskop pantul dari urat biotit pada skarn
STA 187 metode (PPL).

Gambar 8. Kenampakan hasil scan XRF pada slab batuan skarn yang terpotong urat biotit pada
STA 187.

1141
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F051UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

KONSEP LITOSTRUKTURAL UNTUK PENENTUAN TREND


MINERALISASIEPITHERMAL DENGAN APLIKASI ANALISA LINEAMENT DENSITY
DI KABUPATEN TRENGGALEK, PROVINSI JAWA TIMUR
Andhika Nugraha 1, Maulana Abror Taftazani1, Muhammad Fauzil Azhim1, Yogy
Pratama 1
1Undergraduated Student, Geological Engineering, UPN "Veteran" Yogyakarta
*Corresponding Author: andhika.nugraha97@gmail.com

SARI.Eksplorasi adalah kegiatan yang membutuhkan waktu lama, dana besar dan juga dilakukan di
wilayah yang luas, sehingga dibutuhkan metode yang lebih cepat dan lebih tepat. Penerapan Lineament
Density Analysis (LDA) dengan menggunakan perangkat lunak pada komputer, dapat digunakan untuk
mempercepat pencarian mineralisasi pada tahap regional bahkan ke semi-detail. Konsep penerapan
LDA adalah pendekatan terhadap konsep mineralisasi litokstruktural, sebagai faktor keberadaan
mineralisasi di area tertentu. Peneliti menerapkan metode ini untuk daerah Trenggalek, Jawa Timur
yang merupakan bagian dari segmen pegunungan selatan yang didominasi oleh gunung berapi Oligo-
Miosen. Dalam studi ini metode yang penulis gunakan adalah studi literatur, membuat garis kelurusan
dan peta kerapatan kelurusan dalam 12 grid berukuran 5x5 km dengan membagi tingkat kerapatan
kelurusan menjadi lima kelas menggunakan perangkat lunak GIS, serta menentukan arah umum dengan
perangkat lunak RockWork. Kemudian, hasil analisis adalah arah urat dan jenis sedimen yang ada. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara kelurusan yang ada dan mineralisasi yang terkait
dengan intrusi dan dipengaruhi oleh struktur regional,terutama untuk jenis epitermal. Kepadatan
tertinggi relatif terhadap persimpangan struktur, yaitu kelas 4-5. Arah umum dalam penyelarasan setiap
grid menunjukkan arah relatif utara-selatan, timur laut-barat daya, barat laut-tenggara, dan barat-timur.
Arah umum menunjukkan kesamaan dengan sesar yang ada di wilayah tersebut, seperti Sesar Puger,
Sesar Kambengan, Sesar Ngajaran dan Sesar Normal. Karakteristik yang berbeda dari masing-masing
kotak dapat berupa dua kategori yang ditunjukkan di blok utara dan selatan. Karakteristik ini
didasarkan pada hasil pencocokan, ada korelasi positif antara arah dan kerapatan kelurusan dengan
geologi, data urat, ekspresi permukaan seperti flat tops;bukit kerucut;silica caps;breksi silika;dimensi
luas atau sempit, dan jenis endapan seperti Epithermal IS; HSE; PCD; Jasperoid/Skarn. Blok Utara
diwakili oleh prospek Jombok;Dalangturu;Suruh;Gregah;Kojan;Sumber Bening;Timahan;Bogoran;
sedangkan Blok Selatan diwakili oleh wilayah prospek Bulutoro;Setul;Singgahan;Jerambah. Beberapa
daerah juga diharapkan memiliki karakteristik yang sama dengan salah satu blok yang ada, seperti
Munjungan dan Sambit.

Kata kunci: Aplikasi Lineament Density, epitermal, Trenggalek, urat

I. PENDAHULUAN

Trenggalek merupakan bagian dari Pegunungan Selatan Jawa dan dibatasi oleh
Quartenary Volcano di bagian utara dan fore-arc basin di bagian selatan (Gambar 1.1.).
Pegunungan selatan tersusun oleh endapan vulkanik Miosen yang telah mengalami

1142
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F051UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

pengangkatan dan proses erosi. Geologi daerah telitian telah dijelaskan oleh Samodra dkk.
(1992). Secara umum, daerah ini tersusun oleh dua formasi yang saling menjemari yaitu
Formasi Mandalika dan Formasi Arjosari. Kedua formasi tersebut tersusun oleh lava andesit,
breksi vulkanik, breksi aliran lava dan berbagai jenis batuan sedimen. Di atas dari formasi ini
terendapkan batugamping dan batuan vulkanik seperti batupasir, tuff, batulempung dan
batulanau. Tuff tersebut menjemari dengan batugamping dan terubah menjadi silisik pada
beberapa daerah, seperti di daerah prospek Dalangturu, Suruh dan Jati. Intrusi andesit
menerobos batuan yang lebih tua dalam bentuk sill dan dike. Beberapa intrusi memiliki
membentuk silindris dengan diameter sekitar 1-3 km dan diindikasikan dari perbukitan yang
memiliki tinggi sekitar 100 m. Keberadaan intrusi tersebut diperkirakan sebagai heat source
yang membawa mineralisasi di daerah ini. Pada beberapa daerah juga ditemukan tambang
kaolin yang merupakan manifestasi dari alterasi di daerah ini, seperti di daerah prospek Jati.
Di 3 tempat lain juga ikut ditemukan tambang feldspar yang terletak di sekitar tubuh intrusi
riodasit dimana daerah tersebut terletak 2 km dari daerah prospek Gregah. Umur dari
mineralisasi logam di daerah ini diperkirakan dari Oligosen-Miosen. Intrusi yang membawa
mineralisasi adalah andesit, dasit dan diorit. Sementara batuan terintrusi yang menjadi host
rock merupakan batuan vulkanik yang merupakan bagian dari Formasi Mandalika dan
Formasi Arjosari.

II. METODOLOGI
Data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah kompilasi dari data geologi,
geomorfologi, struktur geologi, alterasi, mineralisasi dan pola urat yang ditemukan dengan
SRTM 30-S yang dapat diakses di earthexplorer.usgs.com. SRTM yang dipakai merupakan
basis data DEM yang akan diolah dalam penelitian. DEM diolah menjadi hillshade dengan
directional filtering operation menggunakan image analysis Arc Gis yang menggunakan
kombinasi sun angle 0,45,90, 135,180,225,270 dan 315 pada altitude 45. DEM yang telah diolah
akan digunakan untuk basis data penarikan kelurusan otomatis dengan perangkat lunak
Geomatica yang dilakukan dengan input parameter dengan menggunakan persamaan dalam
tabel. Setelah itu, data diolah kembali dalam Arc Gis untuk menentukan arah kelurusan
dengan field calculator dan kelas kelurusan dengan line density. Data yang telah diolah dalam
perangkat lunak Arc Gis dibagi menjadi beberapa blok yang merupakan poligon dalam Arc
Gis. Arah dari kelurusan masing-masing blok diolah dengan perangkat lunak Rock Work agar
dapat disajikan dalam bentuk diagram roset. Hasil analisis keseluruhan dicocokkan dengan
data-data yang telah dikumpulkan.

III. HASIL PENELITIAN


Hasil dari penelitian ini yakni menunjukkan dari mineralisasi dan area prospek baru
berdasarkan analisa densitas kelurusan yang ada pada daerah telitian secara regional.

1143
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F051UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

1. Peta Kelurusan

Peta kelurusan (Gambar 3.1.) dihasilkan dari software Geomatica dengan menganalisis
data DEM daerah Trenggalek. Aplikasi tersebut mendeteksi kelurusan-kelurusan seluruhnya
yang ada pada DEM tersebut. Data kelurusan tersebut dibagi menjadi 9 grid dengan luasan
10x10 km yang kemudian dianalisis arah umum kelurusan masing-masing grid pada Gambar
3.2. Kemudian plot urat hasil lapangan sesungguhnya pada peta tersebut dan dihitung arah
umum urat tersebut pada masing-masing grid. Hal ini difungsikan untuk mengetahui kemana
pola urat yang ada pada masing-masing grid tersebut. Berdasarkan data lapangan, didapatkan
data sejumlah urat yang masuk ke dalam 4 grid dari 9 grid yang ada. Pola urat masing-masing
grid tersebut memiliki arah yang sama dengan arah umum kelurusan pada masing-masing
grid. Sehingga untuk mengetahui arah pola urat yang ada pada grid lainnya hanya perlu
menganalisis arah umum kelurusan pada grid tersebut.

2. Peta Lineament Density Analysis

Peta LDA (Gambar 3.3.) dihasilkan dari software ArcGIS dengan menganalisis kerapatan
dari kelurusan yang dihasilkan pada software Geomatica tersebut. Berdasarkan interpretasi
intensitas kerapatan kelurusan tersebut, area yang memiliki nilai lebih dari 3 merupakan area
prospek mineralisasi akibat rapatnya kelurusan pada daerah tersebut. Hal ini diasumsi
kelurusan tersebut merupakan struktur geologi yang memicu munculnya mineralisasi pada
daerah tersebut sehingga memiliki kelurusan yang rapat densitasnya.

3. Peta Bukti Mineralisasi dari Peneliti Terdahulu

Peta prospek mineralisasi (Gambar 3.4.) didapatkan melalui hasil lapangan Ediwana
(2017). Zona dari peta tersebut dibagi menjadi 4 yakni Chlorite-Epidote, Clay-Silica, Silica-Clay,
dan Silica. Sementara untuk bagian tengah peta merupakan data prospek dari Arc Exploration
(2014) (Tabel 3.1.). Data ini memiliki korelasi positif dengan peta LDA yang dibuat
menggunakan software. Pada zona LDA yang kerapatannya tinggi terdapat area prospek yang
dibuktikan dengan data lapangan.

IV. DISKUSI DAN PEMBAHASAN


Hubungan antara peta LDA dengan peta bukti mineralisasi memungkinkan
dijumpainya area prospek yang belum terdeteksi pada data lapangan. Terdapat 3 area yang
memiliki kerapatan kelurusan tinggi akan tetapi belum dibuktikan data lapangannya. Ketiga
area ini tergambar pada peta prospek mineralisasi baru (Gambar 4.1.). Area tersebut dapat
dipelajari lebih lanjut lagi dengan pengecekan lapangan langsung pada daerah tersebut.

1144
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F051UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Berdasarkan peta LDA (Gambar 3.1.), didapatkan trend berarah tenggara-baratlaut


berdasarkan area-area yang memiliki kerapatan lebih dari 3. Hal ini juga dapat digunakan
sebagai acuan kegiatan eksplorasi dengan mengikuti trend tersebut untuk mendapatkan
area-area prospek mineralisasi baru.

V. KESIMPULAN

Penerapan Lineament Density Analysis (LDA) dengan menggunakan perangkat


lunak pada komputer dapat mempercepat prospeksi mineralisasi dari tahap regional sampai
tahap semi-detail. Hasil penelitian memperlihatkan adanya hubungan erat antara kelurusan
yang ada dengan mineralisasi yang berasosiasi dengan intrusi dan hal tersebut dipengaruhi
oleh struktur regional, khususnya untuk tipe endapan epitermal. Kerapatan tertinggi relatif
berada pada perpotongan struktur dan tergolong dalam kelas 4-5. Arah umum dari
kelurusan pada masing-masing grid memiliki arah relatif utara-selatan, timurlaut-baratdaya,
baratlaut-tenggara dan barat-timur. Penerapan LDA sebagai prospeksi mineralisasi mineral
logam telah terbukti dan dapat digunakan untuk mempercepat kegiatan eksplorasi atau
dapat digunakan untuk penelitian di daerah lainnya.

ACKNOWLEGMENTS

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ahmad Betras Ediwana atas dukungan
dan izinya kami boleh menggunakan data penelitian beliau atas dasarr dalam pembuatan
poster ini, danjuga kepada Muhammad Gazali Rachman atas ide dan masukkan beliau
sehingga materi poster ini dapat dikembangkan dengan lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Arc Exploration. 2014. Annual General Meeting Presentation..Asrafil, dkk. 2017. Hydrothermal
Deposit Exploration in Kasihan Area, Pacitan East Java. J ournal of Geology and Mineral Resources,
Vol. 18, No. 4, hal. 191-200.

Dyah Hastuti, E.W., 2016. The Study of Ore Minerals Parageneses in Ponorogo Area, East Java.SICEST
2016, MATEC Web of Conferences 101 04018.

Ediwana, Ahmad Betras. 2017. Alterasi Hidrotermal dan Mineralisasi Daerah Kecamatan
Watulimo Kabupaten Trenggalek Provinsi Jawa Timur. Thesis Master UPN “Veteran”
Yogyakarta. Tidak dipublikasikan.

Intrepid Mines Ltd. 2012. The Geology of the Tujuh Bukit Copper-Gold of East Java, Indonesia
Presentation.

1145
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F051UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Maryono, Adi, dkk. 2014. Gold, Silver, and Copper Metallogeny of the Eastern Sunda
Magmatic Arc Indonesia. Majalah Geologi Indonesia. Vol. 29, No. 2 Agustus 2014: 85-99.

Samodra dkk. 1992. Peta Geologi Lembar Pacitan. Bandung: Puslitbang Geologi Bandung.

Takahasi, Ryohei, dkk. Aplikasi Lineanment Density Analysis untuk Prospeksi Mineral
Ekonomis: Studi Kasus Pada Daerah Cikotok Pongkor dan Lebong Tandai.

Widodo, Wahyu, dkk. 2002. Inventarisasi dan Evaluasi Mineral Logam di Pegunungan Selatan
Jawa Timur (Kabupaten Pacitan, dll), Jawa Timur. Kolokium Direktorat Inventarisasi
Sumber Daya Mineral (DIM) TA. 2002.

Widodo, Wahyu dan Sahat Simanjuntak. 2002. Hasil Kegiatan Eksplorasi Eksplorasi Mineral
Logam Kerjasama Teknik Asing Daerah Pegunungan Selatan Jawa Timur (JICA/MMAJ-
Jepang)dan CIANJUR (KIGAM-Korea). Kolokium Direktorat Inventarisasi Sumber Daya
Mineral (DIM) TA.2002.

Yanuar, Iksal, dan Yatif Suwarno. 2017. Integrasi Data Inderaja dan Data Geologi Untuk
Mendukung Eksplorasi Tambang Emas Studi Kasus Kabupaten Paniai Provinsi Papua.
Majalah Ilmiah Globe. Volume 19, No. 1 April 2017: 75-82.

1146
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F051UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 3.1. Prospek mineralisasi pada bagian tengah peta (Arc Exploration, 2014).

Nomor Distrik Tipe Endapan Komoditas

1. Jombok, Jati Epitermal Au-As-Sb

Epithermal
Sulfidasi
2. Kojan Au-Ag
Menengah (IS)

Epitermal
Sulfidasi Tinggi
3. Sumber Bening Cu-Bi-Mo-As
(HS) dan Porfiri

Epitermal dan
4. Anomali Pola Aliran Au-As
Porfiri

HS, Jasperoid, dan


5. Jerambah Cu-Au-Mo
Porfiri

Jasperoid, Skarn,
6. Singgahan Cu-Au-Mo
Porfiri

Au-Ag-As-base
7. Sentul, Buluroto IS
metal

8. Timahan, Bogoran Jasperoid Au-As-Sb-Mo

Dalangturu, Suruh, Au-As-Sb-base


9. IS
Gregah metal

1147
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F051UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1.1. Lokasi penelitian pada Pegunungan Selatan Jawa Timur (Intrepid Mines, 2012)

Gambar 3.1. Peta kelurusan daerah penelitian

1148
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F051UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3.2. Diagram roset kelurusan tiap karvak (A-C dari barat ke timur, 1-3 dari utara ke
selatan)

1149
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F051UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3.3. Peta Lineament Density Analysis (LDA) daerah penelitian.

1150
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F051UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3.4. Peta bukti mineralisasi dari penelitian lapangan (Modifikasi Arc Exploration, 2014 dan
Ediwana, 2017).

1151
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F051UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4.1. Peta rekomendasi area prospek mineralisasi baru.

1152
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 FO54UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

GEOLOGI, ALTERASI HIDROTERMAL DAN MINERALISASI BIJIH


ENDAPAN EMAS EPITERMAL SULFIDASI TINGGI PIT RAMBA JORING,
DESA AEK PINING, KECAMATAN BATANGTORU, KABUPATEN TAPANULI
SELATAN, PROVINSI SUMATRA UTARA

Syilvia Y. Manurung1*, Arifudin Idrus1,Benny A. A. Pulungan2*


1Departemen Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada, Jl. Grafika No. 2 Yogyakarta
2PT Agincourt Resources, Batangtoru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara
*Corresponding author: syilviamanurung28@gmail.com

ABSTRAK. Pit Ramba Joring di Desa Aek Pining, Kecamatan Batangtoru, Kabupaten Tapanuli
Selatan, Provinsi Sumatera Utara memiliki zonasi kadar Au yang berasosiasi dengan urat dan batuan
samping yang mengalami alterasi dan oksidasi tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
kondisi geologi yang mengontrol alterasi dan mineralisasi, karakteristik alterasi dan mineralisasi
bijih, asosiasi unsur Au terhadap Cu dan genesa endapan emas epitermal sulfidasi tinggi di daerah
penelitian. Pengambilan sampel dilakukan secara sistematis menggunakan metode grid soil sampling
dan anaconda mapping. Identifikasi batuan dilakukan dengan mengintegrasikan hasil analisis
laboratorium yang terdiri dari petrografi, mineralogi bijih, ASD, dan FA-AAS. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa geologi daerah penelitian berupa kubah intrusi yang tersusun oleh litologi
berupa satuan andesit hornblenda, breksi matriks pasiran dan breksi multi fase lempung dengan
struktur geologi terdiri dari kekar (pre-mineralisasi), sesar geser sinistral (syn-mineralisasi) dan sesar
normal diperkirakan (post-mineralisasi) berarah timur laut-barat daya. Tipe alterasi yang
berkembang terdiri dari zona argilik (ilit-smektit+kaolinit+ilit), argilik lanjut
(silika+dikit+alunit+kaolinit) dan silika vuggy-masif. Mineral bijih yang dijumpai berupa emas,
enagrit, kovelit, pirit, goetit, hematit dan jarosit sementara mineral gangue yang dijumpai berupa
kuarsa, kaolinit, ilit dan smektit. Kadar Au diperoleh 4 golongan, yaitu waste rock (<0,8 ppm), low
grade (0,8-1,5 ppm), medium grade (1,6-2,5 ppm), dan high grade (>2,5 ppm). Keterdapatan emas
umumnya berasosiasi dengan mineral enargit sebab dijumpai kadar unsur Au dengan kadar high
grade ( 61,05 ppm) dan unsur Cu dengan kadar 0,675 % pada bagian timur daerah penelitian.
Berdasarkan karakteristik tersebut dapat diketahui bahwa daerah penelitian termasuk endapan
epitermal sulfidasi tinggi dengan proses pembentukan kedalaman paleosurface dangkal-intermediet.

Kata Kunci: Pit Ramba Joring, anaconda mapping, epitermal sulfidasi tinggi

I. PENDAHULUAN
Daerah penelitian secara administratif berada pada Desa Aek Pining,
KecamatanBatangtoru, Kabupaten Tapanulis Selatan Provinsi Sumatera Utara (Gambar 1).
Menurut Sutopo (2013) daerah penelitian berada di Pulau Sumatera yang merupakan salah
satu daerah prospek mineralisasi emas dengan tipe endapan epitermal sulfidasi tinggi.
Potensi endapan epitermal di daerah ini sudah dilakukan pada tahap penambangan akan
tetapi pada saat ini masih belum banyak penjelasan mengenai karakteristik endapan
tersebut yang sifatnya lebih rinci baik dari segi alterasi hidrotermal dan mineralisasi bijih.
Nilai kadar emas yang ditemukan di daerah penelitian sulit untuk diidentifikasi zonasi
persebaran kadarnya, sehingga belum diketahui genesa pembawa emas pada daerah
penelitian.

1153
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 FO54UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

II. GEOLOGI REGIONAL


Menurut Sutopo (2013), daerah penelitian secara lebih detail membagi stratigrafi
regional Tambang Emas Martabe kedalam tujuh satuan dan daerah penelitian termasuk
kedalam Doma/Intrusi Martabe Akhir Tersier dan Breksi Freatik dan Freatomagmatik Akhir
Tersier. Pembentukan kompleks intrusi/doma Martabe terletak sepanjang zona sesar
dengan tren yang mengarah ke utara pada bagian paling barat dari kompleks granit
Uluhalagodang (Mpi). Satuan ini dapat dibedakan menjadi dua litologi utama, yaitu dasit
(Tpid) kuarsa dan andesit hornblenda (Tpia). Satuan breksi freatik dan freatomagmatik
sebagai breksi hipogen memiliki beberapa grup yang dibedakan dari kelimpahan
fragmen/matriks dan jenis alterasi pada semen/matriks. Secara keseluruhan, breksi-breksi
ini digolongkan sebagai breksi diatrema, dengan variasi pada tekstur dan komposisi.

III. METODE PENELITIAN


Penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahap dan memiliki alur penelitian yaitu
tahap studi pustaka, tahap pekerjaan lapangan, tahap analisa, tahap pembahasan dan
intepretasi, dan tahap penarikan kesimpulan. Pada tahap studi pustaka dilakukan studi
literatur mengenai tema peneltian sebelum melakukan pekerjaan lapangan. Pada tahap
pekerjaan lapangan, dilakukan pemetaan geologi dan alterasi pada daerah penelitian
dengan skala 1:1000. Pada tahap ini juga dilakukan pengambilan sampel batuan dan data
struktur geologi seperti sesar dan kekar. Pada tahap analisa, dilakukan data lapangan yang
diperoleh dan analisa laboratorium. Analisa laboratorium yang dilakukan adalah
petrografi, mikroskopi bijih, Analytical Spectral Devices (ASD) dan Fire Assay-Atomic
Absorption Spectroscopy (FA-AAS). Pada tahap pembahasan dan intepretasi, data yang
diperoleh yaitu data primer, data sekunder, dan data hasil analisa laboratorium
dikorelasikan. Hasil dari pekerjaan tersebut kemudian dikorelasikan dengan dasar teori
mengenai tema penelitian. Pada tahap terakhir, dilakukan penarikan intepretasi dan
kesimpulan dari tahap sebelumnya.

IV. GEOLOGI DAERAH PENELITIAN


Berdasarkan ciri litologi yang teramati di lapangan dan hasil analisis petrografi,
singkapan batuan di daerah penelitian dapat dibagi menjadi tiga satuan tidak resmi,
yaitu Satuan Andesit Hornblenda, Satuan Breksi Matriks Pasiran atau Breksi
Freatomagmatik I dan Satuan Breksi Multi Fase Lempung atau Breksi Freatomagmatik II
(Gambar 2).
Deskripsi umum satuan andesit hornblenda (Gambar 5) pada daerah penelitian,
yaitu: warna coklat kemerah-merahan/abu-abu keputih-putihan, tekstur porfiroafanitik.
Batuan tersusun oleh fenokris berupa mineral plagioklas yang sudah terubah menjadi
mineral lempung setempat berwarna putih/putih kecoklatan, mineral hornblenda yang
sudah mengalami leaching dan tertransport atau mobile meninggalkan morfologi
berbentuk euhedral-subhedral, setempat terdapat mineral pirit terdiseminasi. Massa
dasar satuan ini terdiri atas mineral berukuran sangat halus <0,01 mm (70-80%) yang
telah terubah sepenuhnya. Beberapa lokasi ditemukan rekahan mineral lempung
berwarna putih, ukuran mineral sangat halus <0,01 mm, dimensi panjang rekahan 20 cm-

1154
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 FO54UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

3,5 m dan lebar 1-1,5 cm, dengan orientasi Timur Laut-Barat Daya. Batuan teralterasi
umumnya secara pervasif menjadi tiga jenis alterasi, yaitu asosiasi mineral ilit-
smektit±kaolinit±ilit / silika±dikit±alunit±kaolinit / silika vuggy-masif. Deskripsi umum
Satuan Breksi Matriks Pasiran atau Breksi Freatomagmatik I, yaitu: Breksi matriks pasiran
memiliki matriks pasiran berwarna merah kecoklatan/abu-abu/merah, setempat matriks
mengalami penambahan silika, fragmen berupa berupa material volkanik, setempat
terdapat tekstur wispy, ukuran 0,5 – 5 cm, teroksidasi lemah-kuat, porositas baik – buruk
dipengaruhi oleh alterasi dengan intensitas lemah – kuat, tingkat kebundaran
subrounded - angular, setempat terdapat material silika dalam bentuk fragmen maupun
urat silika dengan dimensi panjang 13 – 32 cm, lebar 1-1,5 cm. Deskripsi umum Satuan
Breksi Multi Fase Lempung atau Breksi Freatomagmatik II, yaitu: Secara megaskopis
satuan breksi multi fase lempung memiliki warna abu-abu keputih-putihan/coklat keabu-
abuan, fragmennya berukuran 3 – 2 cm, setempat monomik dan polimik, tingkat
kebundaran subrounded-rouded, sortasi baik, kemas tertutup, didominasi oleh matriks
(matrix supported). Fragmen tersusun oleh batulanau, batulempung, andesit, mineral
kuarsa, mineral pirit membentuk vein let pada batuan dan matriksnya berukuran
lempung, teroksidasi lemah, teralterasi mineral lempung menyebabkan porositas batuan
ini buruk. Setempat vein let pirit memiliki dimensi panjang 3 – 5 cm, lebar 5 mm bersifat
saling memotong. Batuan teralterasi umumnya secara pervasif oleh asosiasi mineral ilit-
smektit±kaolinit±ilit.

V. ALTERASI DAN MINERALISASI


V.1. Alterasi Hidrotermal
Berdasarkan jenis mineral sekunder yang terdapat pada batuan samping, secara
umum alterasi hidrotermal yang berkembang di daerah penelitian dapat dibedakan
menjadi 3 jenis, diantaranya alterasi argilik, argilik lanjut dan silisifikasi (Gambar 3).
Alterasi argilik dicirikan dengan kehadiran mineral ilit-smektit±kaolinit±ilit (Gambar 7).
Secara makroskopis, zona alterasi ini dicirikan oleh batuan berwarna putih kecoklatan,
teralterasi secara pervasif, memiliki kekerasan rendah dan tersusun oleh mineral ilit,
smektit, kaolinit, kuarsa, dan pirit. Mineral lempung intensif mengganti seluruh fragmen,
matriks, dan semen. Zona ini diinterpretasikan terbentuk pada suhu 180oC-200oC (Tabel
suhu 1) dan pH 4-5 dengan tipe ubahan disetarakan dengan zona argilik (Corbett dan
Leach, 1998). Alterasi argilik lanjut dicirikan dengan kehadiran mineral
silika±dikit±alunit±kaolinit. Secara makroskopis zona alterasi ini dicirikan oleh batuan
yang berwarna abu-abu kemerahan / putih kecoklatan, kekerasan cukup tinggi,
teralterasi pervasif, dan tersusun atas mineral alunit, kuarsa, dikit, setempat terdapat
mineral oksida besi, pirit, enargit, dan mineral kaolinit. Pada zona ini mineral alunit hadir
sebagai pseudomorf yang menggantikan mineral plagioklas dan mineral hornblenda dan
juga bertindak sebagai massa dasar. Zona ini diinterpretasi terbentuk pada suhu 180°C -
220°C (Tabel suhu 2) dan pH ≤ 4 dengan tipe ubahan disetarakan dengan zona argilik
lanjut (Corbett dan Leach, 1998). Alterasi silisifikasi dicirikan dengan kehadiran mineral
kuarsa. Secara makroskopis, batuan pada zona alterasi ini memiliki karakteristik batuan
berwarna putih kemerahan, teralterasi secara pervasif, kekerasan yang tinggi, tersusun
atas mineral silika >90%, mineral enargit, kovelit, pirit, setempat terdapat mineral oksida
besi yang mengisi vug atau rekahan. Pada zona ini juga dijumpai kenampakan tekstur
1155
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 FO54UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

vuggy dan tekstur relict yang merupakan sisa pelarutan dari fenokris plagioklas dan
hornblenda.

V.2. Mineralisasi
Berdasarkan pengamatan mikroskopi bijih yang dilakukan ditemukan beberapa
mineral bijih, yaitu mineral pirit, enargit, kovelit, emas, hematit, goetit dan jarosit
(Gambar 6). Diketahui bahwa urutan pembentukan mineral pada daerah penelitian dari
tertua hingga termuda ialah mineral pirit, mineral enargit, kemudian mineral kovelit
(Tabel 3). Berdasarkan paragenesis mineral yang telah ditunjukkan pada Tabel 3 daerah
penelitian terdiri dari satu sistem mineralisasi, yaitu sistem epitermal sulfidasi tinggi.
Mineralisasi juga terjadi berupa pengayaan mineral sulfida dan mineral bijih dengan cara
hipogen dan supergen.

V.3. Geostatistik korelasi unsur Au dan Cu


Pada penelitian ini digunakan metode geostatistik korelasi dengan tujuan untuk
mengetahui hubungan antar kandungan unsur yang ditemukan pada daerah penelitian.
Korelasi antara unsur Au-Ag yang bernilai 0,759 merupakan korelasi positif yang kuat
dimungkinkan terjadi karena kehadiran emas dan perak sebagai mineral elektrum.
Korelasi antara unsur Cu-Ag dengan nilai 0,261 menunjukkan korelasi positif yang lemah
dimungkinkan terjadi karena adanya asosiasi antara unsur Ag dengan mineral yang
mengandung tembaga pada daerah penelitian (enargit dan kovelit). Dengan demikian
korelasi positif sangat kuat antara unsur Au-Cu (0,965), dapat disimpulkan bahwa
keberadaan emas pada daerah penelitian dimungkinkan berasosiasi dengan mineral yang
mengandung unsur Cu yang merupakan mineral enargit (Cu3AsS4) dan mineral kovelit
(CuS) sebagai mineral yang mengandung tembaga.

VI. DISKUSI DAN PEMBAHASAN


VI.1. Kontrol Geologi Terhadap Alterasi dan Mineralisasi
Daerah penelitian termasuk daerah Martabe yang memiliki batuan host rock
berupa breksi fretaomagmatik dan breksi freatik yang terbentuk pada Miosen hingga
Pliosen yang berhubungan dengan sesar lokal yang memiliki arah relatif sama dengan
Sesar Sumatera yaitu Barat Laut-Tenggara.
Zona lemah di daerah penelitian terbentuk akibat adanya zona sesar. Sesar dan
rekahan- rekahan tersebut menjadi jalan bagi fluida hidrotermal dan terbentuk sebelum
dan bersamaan dengan terjadinya mineralisasi. Ketika fluida hidrotermal semakin dekat
dengan permukaan, maka fluida hidrotermal akan didominasi oleh air meteorik. Pada
saat itu terbentuk zona alterasi silika±dikit±alunit±kaolinit yang dicirikan dengan pH
asam, yaitu <4 dengan kisaran temperatur 1800C-220oC dan zona alterasi ilit-
smektit±kaolinit±ilit dengan temperatur 180oC -200oC dan pH 4-5. Pola penyebaran
alterasi (Gambar 8) dan mineralisasi juga di kontrol oleh keberadaan struktur di daerah
penelitian yang berarah Utara Timur Laut – Selatan Barat Daya. Keberadaan struktur
berupa rekahan dan sesar menjadi penting karena rekahan ini memberikan kontribusi
terhadap permeabilitas dan porositas pada batuan untuk dapat terbentuknya alterasi dan
mineralisasi.
1156
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 FO54UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

VI.2. Hubungan Antara Alterasi dan Litologi


Satuan breksi freatomagmatik I dan breksi freatomagmatik II memiliki tipe
alterasi yang berbeda karena pada satuan breksi freatomagmatik I dominan dikontrol
oleh struktur yang ada di daerah penelitian sedangkan pada satuan breksi
fretaomagmatik II dimungkinkan satuan tersebut jauh dari struktur yang merupakan
jalur bagi fluida hidrotermal untuk naik ke atas menuju permukaan dan mengubah
batuan yang dilewatinya. Hal ini dapat dilihat pada matriks dan fragmen kedua satuan
tersebut berbeda, dimana satuan breksi freatomagmatik I memiliki matriks dan fragmen
yang sudah mengalami proses silisifikasi. Sedangkan pada satuan breksi freatomagmatik
memiliki matriks berupa lempung dengan fragmen berupa litik batuan yang teralterasi
secara argilik. Secara mineralisasi breksi freatomagmatik memiliki variasi komposisi
mineralogi bijih yang terdiri dari mineral enargit, pirit, dan kovelit, sedangkan breksi
freatomagmatik II memiliki mineralogi bijih berupa mineral pirit disaminasi.

VI.3. Ringkasan Karakteristik Endapan Epitermal Sulfidasi Tinggi


Pada daerah penelitian terdapat 3 jenis, diantaranya alterasi argilik, argilik lanjut
dan silisifikasi. Alterasi argilik dicirikan dengan kehadiran mineral ilit-
smektit±kaolinit±ilit. Alterasi argilik lanjut dicirikan dengan kehadiran mineral
silika±dikit±alunit±kaolinit. Alterasi silisifikasi dicirikan dengan kehadiran mineral
kuarsa. Mineralogi bijih yang ditemukan di daerah penelitian berupa mineral enargit,
emas, kovelit, pirit denga mineral oksida berupa mineral hematit, goetit dan jarosit.
Kandungan mineral pada masing-masing tipe alterasi tersebut dibandingkan terhadap
tabel mineral yang dikandung pada masing-masing endapan epitermal. Berdasarkan hal
tersebut didapatkan bahwa daerah ini memiliki ciri tipe endapan epitermal sulfidasi
tinggi (Tabel 4).

VI.4. Genesa Pembentukan Endapan Pit Ramba Joring


Peristiwa geologi yang terjadi pada daerah penelitian diawali oleh aktivitas
volkanisme pada Miosen Akhir hingga Pliosen Awal. Aktivitas volkanisme ini
membentuk satuan batuan andesit hornblenda yang merupakan bagian dari kompleks
doma atau intrusi Martabe. Struktur geologi yang hadir pada daerah penelitian
kemudian menjadi zona permeabel yang menjadi saluran naiknya fluida hidrotermal
yang mengalterasi batuan andesit hornblenda. Fluida hidrotermal yang mengalterasi
batuan diinterpretasi memiliki pH asam dan temperatur yang relatif tinggi. Pada tahap
ini diperkirakan terbentuk zona alterasi silika vuggy-masif, silika±dikit±alunit±kaolinit,
dan ilit-smektit±kaolinit±ilit. Pada kedalaman tertentu diperkirakan terjadi akumulasi
tekanan akibat interaksi langsung antara air meteorik dengan magma. Akumulasi
tekanan yang melampaui kekuatan batuan kemudian menyebabkan terjadinya letusan
kuat yang membentuk satuan batuan breksi matriks pasiran. Letusan tersebut
diperkirakan terjadi pada struktur-struktur geologi yang telah hadir dan bertindak
sebagai zona lemah. Dimungkinkan terjadinya beberapa kali letusan freatomagmatik
pada daerah penelitian.Satuan batuan breksi matriks pasiran yang terbentuk pada zona-
zona struktur terdahulu kemudian menjadi saluran untuk kembali naiknya fluida
hidrotermal dengan temperatur relatif tinggi dan pH asam. Selain itu, terbentuk juga

1157
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 FO54UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

alterasi argilik lanjut yang dicirikan dengan hadirnya asosiasi mineral


silika±dikit±alunit±kaolinit.
Intrusi terakhir ialah batuan breksi freatomagmatik multi fase lempung yang
dicirikan dengan alterasi yang terjadi pada satuan batuan ini ialah alterasi ilit-
smektit±kaolinit±ilit. Pada batuan ini matriks berupa mineral lempung yang tidak
mengalami tingkat oksidasi yang tinggi dibandingkan dengan batuan lainnya, sehingga
terjadinya intrusi batuan ini merupakan intrusi terakhir pada daerah penelitian.
Setelah terjadi proses alterasi pada ke tiga batuan tersebut, terjadi proses
mineralisasi emas dan mineral-mineral sulfida lainnya berupa mineral pirit, enargit, dan
kovelit. Setelah mineralisasi, terjadi proses pensesaran oleh sesar dengan pola yang
menyerupai sesar-sesar terdahulu (Utara Timur Laut-Barat Daya) pada daerah penelitian.
Pensesaran ini kemudian mengakibatkan terbentuknya sesar-sesar minor pada daerah
penelitian dengan jenis pergerakan dan tren yang serupa dengan sesar utama.

VII. KESIMPULAN
Berdasarkan pebahasan mengenai geologi, alterasi, dan mineralisasi pada daerah
penelitian, maka dapat disimpulkan:
1. Daerah penelitian tersusun oleh satu satuan geomorfologi, yaitu satuan kubah
intrusi. Terdapat tiga satuan litologi yang ditemukan, yaitu satuan andesit hornblenda,
satuan breksi matriks pasiran, dan satuan breksi multi fase lempung. Ketiga satuan
tersebut memiliki karakteristik alterasi dan mineralisasi berbeda-beda yang dipengaruhi
oleh tingkat permeabilitas dan jarak dari pusat sistem hidrotermal. Struktur geologi yang
berkembang terdiri dari sesar normal, sesar geser sinistral diperkirakan, kekar tarik dan
kekar tarik yang diinterpretasikan sebagai struktur pre-syn mineralisasi, sedangkan urat
sebagai struktur post-mineralisasi
2. Zona alterasi yang berkembang di daerah penelitian dapat dibagi menjadi tiga
zona, yaitu zona ilit-smektit±kaolinit±ilit, zona silika±dikit±alunit±kaolinit, dan zona
silika vuggy-masif. Seluruh daerah penelitian telah teralterasi sedang – kuat dan
penyebarannya dikontrol oleh struktur yang membentuk permeabilitas sekunder dan
litologi yang memiliki porositas yang baik dengan bentuk yang relatif membundar
sehingga fluida hidrotermal terdistribusi. Struktur yang berkembang membuat jalur
fluida hidrotermal termobilisasi melalui rekahan dan mempengaruhi zona alterasi dan
mineralisasi dimana terjadi supergen dan hipogen pada daerah penelitian. Sistem ini
dicirikan dengan kehadiran pirit, kovelit dan enargit. Mineralisasi terbentuk setelah
alterasi dimana terjadi pengkayaan mineralisasi melalui oksidasi dan kemudian
mengalami remobilisasi mineralisasi yang ditunjukkan dengan kehadiran kehadiran pirit
yang melimpah yang menggantikan mineral logam bijih sebelumnya. Maka dari itu
diperoleh urutan paragenesis mineralisasi bijih dari tua hingga muda, yaitu mineral pirit,
enargit, kemudian mineral kovelit.
3. Berdasarkan nilai koefisien korelasi kandungan unsur Au dan Cu sebesar 0,965
menunjukkan korelasi positif dan nilai R2 sebesar 0,9307 diketahui bahwa kehadiran
emas berasosiasi dengan kehadiran mineral enargit. Hal tersebut ditunjukkan dengan
ketika unsur Au memiliki kadar high grade (61,05 ppm) maka unsur Cu memiliki kadar
0,675% pada bagian timur daerah penelitian.

1158
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 FO54UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

4. Proses pembentukan endapan epitermal sulfidasi tinggi diawali dengan adanya


struktur berarah Timur Laut – Barat Daya yang memotong satuan batuan andesit
hornblenda dan berfungsi sebagai jalur fluida mengalterasi batuan sehingga terbentuk
zonasi alterasi dengan zona pusat alterasi dan mineralisasi berada di zona alterasi
silifikasi. Pengaruh supergen dicirikan dengan kehadiran mineral enargit dan kovelit
yang menunjukkan tekstur penggantian mineral hipogen pada zona pengkayaan
supergen, serta mineral hematit, goetit, dan jarosit yang mencirikan zona oksidasi. Emas
terdapat pada alterasi silisifikasi dan berasosiasi dengan mineral sulfida maupun mineral
oksida.

ACKNOWLEDGEMENTS
Penelitian ini terlaksana atas dukungan PT Agincourt Resources. Peneliti
mengucapkan terimakasih kepada Bapak Janjan Hertrijana, atas dukungan dan
kesempatan yang diberikan sehingga dapat melaksanakan penelitian di PT Agincourt
Resources, Martabe Gold Project, Ibu Monalisa dan Ibu Aya yang telah memberi bantuan
dan dukungan selama analisis ASD di departemen eksplorasi PT Agincourt Resources,
serta semua geologist yang ada di PT Agincourt Resources, Martabe Gold Project.

DAFTAR PUSTAKA

Alderton. C., 2017, Description and Comparison of the Martabe Deposits, PT Agincourt Resources.
Arribas, Jr. A., 1995, Characteristics of High-Sulphidation Epithermal Deposits, and Their Relation
to Magmatic Fluid, Mineralogical Association of Canada Short Course Vo. 23.
Aspden, J.A., Kartawa, W., Aldis, D.T., Djunuddin, A., Whandoyo, R., Diatma, D., Clarke, M.C.G.
dan Harahap, H., 1982, Geologi Lembar Padangsidempuan dan Sibolga, Sumatera, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung.
Barber, A.J., Crow, M.J., dan Milsom, J.S., 2005, Sumatera: Geology, Resources and Tectonic
Evolution. Geological Society Memoirs, No. 31, London, hal.234-255.
Billings, M. P., 1986, Structural Geology, Prentice Hall of India Privated Limited, third edition New
Delhi.
Brojomusti, J., Idrus, A., 2017, Geologi, Alterasi Hidrotermal, dan Mineralisasi Bijih Pada Endapan
Emas Epitermal Sulfidasi Tinggi di Daerah “SHS”, Kalimantan Utara, Indonesia,
Yogyakarta: Proceeding, Seminar Nasional Kebumian ke-10.
Cameron, N. R., Clarke, M. C. G., Aldiss, D. T., Aspden, J. A. dan Djunuddin, A., 1980, The
Geological Evolution of Northern Sumatra, Jakarta: Proceedings. 9th Annual Conference
Indonesian Petroleum Association.
Chang, Z., Hedequist, J. W., White, N. C, Cooke, D. R., Deyell, C. C., dan Joey G, Jr., 2009, New
tools for exploring lithocaps: Example from the Mankayan intrusion-centered Cu-Au
district, Philippines, Proceedings of the Tenth Biennial SGA Meeting, Townsville.
Cooke, D. R., 2000, Characteristics and Genesis of Epithermal Gold Deposits, Society of Economic
Geologists.

1159
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 FO54UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Corbett, G. J., Leach, T.M., 1997, Southwest Pacific Rim Gold-Copper Systems: Structure,
Alteration, and Mineralization, A workshop presented for the Society of Exploration
Geochemists at Townville.
Corbett, G., 2002, Epithermal Gold for Explorationists, AIG Journal-Applied Geoscientific Practice
and Research in Australia.
Corbett, G., 2013, World Gold Pacific Rim Epithermal Au-Ag, World Gold Conference, Brisbane:
Australian Institute of Mining and Metallurgy Publication No. 9/2013, p. 5-13.
Craig, J. R. dan Vaughan, D. J., 1994, Ore Microscopy and Ore Petrography 2nd Edition, John
Wiley and Sons, USA, 434 p.
Craw, D., dan Kerr, G., 2017, Geochemistry and Mineralogy of Contrasting Supergene Alteration
zone, Southern New Zealand, Southern New Zealand: Applied Geochemistry Journal of
the International Association of Geochemistry, Elsevier Publishing.
Davies, B., 2002, Report on the structural review of the Martabe project, Newmont Horas Nauli,
internal memorandum, 5 p.
Einaudi, M. T., 1997, Mapping Altered and Mineralized Rocks an Introduction to The “Anaconda
Method”, Standford University.
Einaudi, M.T., Hedenquist, J.W., dan Inan, E.E., 2003, Sulfidation state of fluids in active and
extinct hydrothermal sytems: Transitions form porphyry to epithermal environments in
Society of Economic Geologists Special Publication 10, p. 285-312.
Evans, A. M., 1993, Ore Geology and Industrial Minerals, 3rd Edition,
Blackwell Scientific Publications, Oxford.
Evans, A. M., 1997, An Introduction to Economic Geology and Its Environmental Impact.
University of Leicester: Honorary Research Fellow in Geology, Blackwell Science.
Hamilton, W.B., 1979, Tectonics of the Indonesia region, USGS Professional Paper 1078, p. 1-345.
Hauff, P., 2008, An Overview of VIS-NIR-SWIR Field Spectroscopy as Applied to Precious Metals
Exploration, Spectral International Inc., 80001, 303–403.
Hedenquist, J. W., White, N. C., 1995, Epithermal Gold Deposits: Style, Characteristics, and
Exploration, the Society of Resources Geology: Society of Resources Geology.

Hedenquist, J.W., Arribas. A. Jr., dan Reynolds, T.J., 1998, Evolution of an intrusion-centered
hydrothermal system; Far Southeast-Lepanto porphyry and epithermal Cu-Au deposits,
Philippines, Economic Geology; July 1998; v. 93; no. 4; p. 373-404 Large et al, 2009)
Hedenquist, J. W., Arribas, A., Gonzalez-Urien, E, 2000, Exploration for Epithermal Gold Deposits,
Society of Economic Geologists.
King, J., Williams-Jones, A.E., van Hinsberg, V., Williams-Jones, G., 2014. High-sulfidation
epithermal pyritehosted Au (Ag-Cu) ore formation by condensed magmatic vapors on
Sangihe Island, Indonesia, Economic Geology 109, 1705-1733.
McPhie, J., Doyle, M., Allen, R., 1993, Volcanic Textures “A guide to the interpretation of textures
in volcanic rocks”, University of Tasmania, Centre for Ore Deposit and Exploration
Studies, 196 p.
Pracejus, B., 2008, The Ore Minerals Under The Microscope, An Optical Guide, Elsevier B.V.,
Amsterdam, 875p.

1160
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 FO54UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

PT Agincourt Resources, 2017, Martabe Geological Package. Tapanuli Selatan: PT Agincourt


Resources.
Saing, O. S., 2016, Ore Genesis of the Southeastern Martabe Gold-Silver High Sulfidation
Epithermal Deposit, North Sumatra, Indonesia: Purnama, Barani and Horas Ore Bodies,
Akita University Institutional Repository System.
Sieh, K., dan Natawidjaja, D., 2000, Neotectonics of the Sumatran fault, Indonesia, Journal of
Geophysical Research Solid Earth
Silitoe, R.H., 1999, Styles of High-Sulphidation Gold, Silver and Copper Mineralisation in
Porphyry and Epithermal Environments, Pacific Rim Conference, Bali.
Sillitoe, R. C., Hedenquist, J. W., 2003, Linkages Between Volcanotectonic Settings, Ore-Fluid
Compositions, and Epithermal Precious Metal Deposits, Society of Economic Geologists.
Sutopo, B., Jones, M.L., dan Levet, B.K., 2003, The Martabe gold discovery: A high sulphidation
epithermal gold-silver deposit, North Sumatra, Indonesia in Proc. NewGenGold 2003
Conference, Louthen Media, Perth, Australia.
Sutopo, Bronto, 2013, The Martabe Au-Ag High-Sulfidation Epithermal Deposits, Sumatra,
Indonesia: Implications For Ore Genesis And Exploration: University of Tasmania.
Australia.
TǍ mas, C. G., Milési, J. P., 2002, Hydrovolcanic Breccia Pipe Structures-General Features and
Genetic Criteria-I. Phreatomagmatic Breccias, Studia Universitatis Babes Bolyai,
Geologia.
Thompson, A.J.B., & Thompson, J.F.H, 1996, Atlas of Alteration, A Field and Petrographic Guide to
Hydrothermal Alteration Minerals, Mineral Deposits Division – GAC (Geological
Association of Canada), 101p.
U. S. Geological Survey, 2019, Mineral commodity summaries 2019: U.S. Geological Survey, 200 p.
White, N. C., dan Hedenquist, J. W., 1995, Epithermal Gold Deposits: Styles,
Characteristics, and Exploration, SEG Newsletter, No. 23.

1161
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 FO54UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 1. Kisaran temperatur ubahan zona ilit-smektit±kaolinit±ilit (Reyes, 1990; dalam Hedenquist, 1998)

Tabel 2. Kisaran Temperatur ubahan pada zona silika±dikit±alunit±kaolinit (Reyes, 1990; dalam
Hedenquist, 1998)

Tabel 3. Paragenesa alterasi dan mineralisasi di daerah penelitian

1162
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 FO54UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 4. Perbandingan karakteristik endapan epitermal sulfidasi tinggi daerah penelitian dengan model
karakteristik endapan epitermal sulfidasi tinggi oleh Hedenquist, dkk., (2000)

Endapan epitermal sulfidasi tinggi


Daerah
(Hedenquist, dkk., 2000)
penelitian
Dangkal Intermediet Dalam
Kedalaman < 500 m 500 - 1000 m > 1000 m
Dome -diatrem,
porfiri, volkanik,
Dome, piroklastik, Dome, diatrem,
Host rock batuan Andesit hornblenda
batuan sedimen batuan volkanik
volkaniklastik

Disseminated, Disseminated, veinlet,


Disseminated, Urat sulfida masif,
Bentuk endapan veinlet, urat sulfida termineralisasi
breksi, veinlet breksi, veinlet
breksi secara diseminasi
Sulfida masif, Vuggy silika, breksi,
Tekstur bijih Vuggy kuarsa Replacement
vein/ breksi replacement

Silika (vuggy ), kuarsa- silika vuggy - masif,


Silika (vuggy ), Pirofilit-serisit,
Alterasi alunit, ilit-smektit±kaolin±ilit,
kuarsa-alunit kuarsa-serisit
pirofilit-dickite -serisit silika±dikit±alunit±kaolinit

Anhidrit, kaolin, Alunit, smektit, ilit,


Mineral gangue Alunit, barit, kaolinit Serisit, pirofilit
dickite kaolin, dikit
Enargit/luzonit,
Enargit/luzonit, kalkopirit, Bornit, digenit,
Mineral sulfida Pirit, enargit, kovelit
kovelit, pirit tetrahidrit, sfalerit, kalkosit, pirit
kovelit, pirit

1163
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 FO54UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Lokasi tambang emas PT Agincourt Resources (Sumber: Google Earth)

1164
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 FO54UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Peta geologi dan sayatan geologi daerah penelitian

1165
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 FO54UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Peta alterasi dan sayatan alterasi daerah penelitian

1166
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 FO54UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Peta kadar Cu-Au

1167
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 FO54UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. Litologi daerah penelitian

Gambar 6. Mineralogi bijih pada sayatan poles

1168
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 FO54UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 7. Hasil analisis ASD

1169
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 FO54UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 8. Zoning alterasi pada daerah penelitian dibandingkan dengan modifikasi


model epitermal sufidasi tinggi milik Steven dan Ratte (1960) dalam Arribas (1995). A-B
merupakan sayatan pada peta alterasi daerah penelitian

1170
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F056UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

STUDI PETROGENESA BATUAN VULKANIK GUNUNG BATUR, DAERAH


PANTAI WEDIOMBO, GUNUNGKIDUL, YOGYAKARTA

Fahmi Hakim1*, Yanuardi Satrio Nugroho1, Cendi Diar Permata Dana1, Anastasia Dewi Titisari1
1Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
*corresponding author: fahmihakim@ugm.ac.id

ABSTRAK. Gunung Batur yang berada di daerah Pantai Wediombo, Gunungkidul, merupakan
kompleks gunung api purba yang tersusun oleh batuan vulkanik yang termasuk kedalam
Formasi Wuni. Batuan vulkanik yang ditemukan berupa batuan beku lava yang berasosiasi
dengan batuan terobosan berkomposisi andesitik. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
petrogenesa batuan vulkanik di Gunung Batur berdasarkan data petrologi, mineralogi dan
geokimia oksida mayor. Pekerjaan yang dilakukan dalam penelitian ini berupa pemetaan geologi
mendetail dengan skala 1:12.500 serta pengambilan beberapa sampel batuan untuk dilakukan
analisis laboratorium. Analisis laboratorium yang dilakukan antara lain analisis petrografi
sebanyak 8 sampel serta analisis geokimia dengan metode ICP – AES (Inductively Coupled Plasma
Atomic Emission Spectrometry) sebanyak 5 sampel untuk mengetahui unsur oksida utama/mayor.
Analisis petrografi menunjukkan batuan-batuan vulkanik pada daerah penelitian dapat
digolongkan menjadi 2, yaitu lava andesit dan intrusi diorit dengan tekstur pofiritik bagi
keduanya. Berdasar hasil analisis geokimia (oksida utama), batuan memiliki kandungan silika
menengah dengan kandungan alkali yang rendah. Batuan tersebut berasal dari magma seri kalk-
alkali dan beberapa sampel berasal dari magma seri toleitik. Berdasarkan komposisi mineralogi,
tekstur, dan variasi kandungan oksida utama, maka batuan vulkanik di daerah penelitian
menunjukkan adanya proses diferensiasi magma yaitu dengan mekanisme fraksinasi kristalisasi.
Pada fase awal, terbentuk lava andesit pada tatanan tektonik Island Arc Tholeiitic (IAT), sedangkan
intrusi diorit terbentuk pada fase berikutnya dengan tatanan tektonik yang berubah menjadi Calc-
Alkaline Basalt (CAB).

Kata kunci: Batuan vulkanik, Gunung Batur, Wediombo, Petrogenesa, Calc-Alkaline Basalt.

I. PENDAHULUAN
Gunung Batur yang berada di daerah Pantai Wediombo, Gunungkidul,
merupakan kompleks gunung api purba yang tersusun oleh batuan vulkanik yang
termasuk kedalam Formasi Wuni (Surono, dkk., 1992). Batuan vulkanik yang dapat
dijumpai berupa batuan beku lava yang berasosiasi dengan batuan terobosan
berkomposisi andesitik. Studi petrogenesa batuan vulkanik Gunung Batur telah
dilakukan sebelumnya oleh Hartono dan Bronto (2007) dengan pendekatan
vulkanostratigrafi dan geokimia oksida utama. Akan tetapi, hanya ada 3 sampel yang di
lakukan analisis geokimia pada studi tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan maksud
untuk memperkaya data petrologi dan geokimia pada batuan beku di daerah tersebut,
dengan melakukan pengambilan jumlah sampel yang lebih memadai dan sistematis
untuk dilakukan analisis petrografi dan geokimia oksida utama. Sehingga petrogenesa
Gunung Batur dapat dijelaskan dengan lebih baik dalam skala yang lebih rinci dan
sistematis.

1171
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F056UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

II. GEOLOGI REGIONAL


Gunungkidul terkenal dengan adanya Pegunungan Seribu yang tersusun atas
jajaran pegunungan karst yang membentang mulai dari bagian barat hingga bagian
timurnya. Pegunungan karst yang tersusun atas batugamping dari Formasi Wonosari –
Punung dan Formasi Kepek, sebagian diantaranya menumpang secara tidak selaras
pada batuan gunungapi Miosen (Surono dkk., 1992). Batuan gunungapi ini antara lain
tergabung dalam Formasi Nglanggran, Formasi Wuni dan Formasi Mandalika. Pada peta
geologi regional lembar Surakarta - Giritontro (Surono dkk., 1992) Formasi Wuni tidak
hanya terletak di daerah Giritontro, Wonogiri yang berada di timur Kabupaten
Gunungkidul, akan tetapi Formasi Wuni juga muncul secara setempat dan terisolasi
pada bagian tenggara Kabupaten Gunungkidul (daerah Girisubo) dengan luasan yang
relatif sempit dan dikelilingi oleh batugamping Formasi Wonosari – Punung (Gambar 1).
Formasi Wuni pada bagian tenggara Kabupaten Gunungkidul tersebut terletak di daerah
Pantai Wediombo, Kabupaten Gunungkidul diinterpetasikan sebagai Gunungapi Purba
Batur (Hartono dan Bronto, 2007).
Menurut Hartono dan Bronto (2007) daerah Gunung Batur tersusun atas batuan
vulkanik berupa batuan beku lava dan breksi gunungapi yang berasosiasi dengan
batuan terobosan Gunung Batur yang seluruhnya berkomposisi andesitik. Satuan lava
andesit menempati fasies proksimal tersusun oleh batuan beku ekstrusif lelehan yaitu
aliran lava andesit. Satuan breksi andesit berada pada fasies proksimal dan umumnya
berseling dengan breksi gunungapi, aliran lava, dan tuf. Satuan intrusi mikrodiorit
menjadi fasies pusat (central) tersusun oleh batuan beku intrusi dangkal berupa andesit –
mikrodiorit. Satuan batugamping tersusun secara umum oleh batugamping klastika dan
batugamping terumbu. Satuan ini terendapkan secara tidak selaras diatas Satuan lava
andesit.
Berdasarkan data geokimia unsur mayor Hartono dan Bronto (2007), batuan
intrusi Gunung Batur memilki komposisi andesitik hingga dasitik seperti yang
ditunjukkan oleh kandungan SiO2 yang telah dinormalisasi antara 60,38-64,53%.
Diagram plot K2O terhadap SiO2 menggambarkan adanya kumpulan batuan gunung api
berafinitas toleitik dengan kandungan K2O yang rendah yakni berkisar di 0,63-0,85%

III. METODE PENELITIAN


Pemetaan geologi secara mendetail dilakukan dengan skala 1:12.500 untuk
mengetahui persebaran batuan dan kondisi geologi pada daerah penelitian. Pengambilan
sampel batuan dilakukan pada beberapa titik yang representatif dan mencakup seluruh
aspek litologi di daerah penelitian. Analisis laboratorium yang di lakukan adalah
pengamatan petrografi dan juga analisis geokimia. Pengamatan petrografi dengan
menggunakan metode point counting pada 8 sampel batuan dilakukan di Laboratorium
Geologi Optik, Departemen Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada. Analisa geokimia
oksida utama pada sampel batuan representatif dengan menggunakan metode ICP –
AES (Inductively Coupled Plasma-Atomic Emission Spectrometry) dilakukan di ALS Minerals
Laboratory, Vancouver, Kanada. Data geokimia batuan beku dari hasil penelitian dari
Hendrawan (2017) ditambahkan pada penelitian ini, untuk menambah variasi data

1172
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F056UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

geokimia yang berguna sebagai acuan interpretasi petrogenesa batuan beku di daerah
penelitian.

IV. HASIL
1. Geologi Daerah Penelitian
Litologi pada daerah penelitian dibagi menjadi empat satuan batuan. Urutan
stratigrafi daerah penelitian dari yang tertua hingga yang termuda adalah Satuan lava
andesit, Satuan intrusi diorit, Satuan batugamping dan Endapan koluvial krakal –
lempung. Secara umum peta geologi daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
Penelitian ini lebih difokuskan pada dua satuan batuan yaitu satuan lava andesit
dan satuan intrusi diorit. Kedua batuan sama-sama bersifat porfiritik, namun diorit
mudah dibedakan dari andesit terutama dari ukuran kristal yang realtif lebih besar
dengan tekstur holokristalin. Satuan lava andesit menempati luasan area sekitar 1,7 km 2
dengan kondisi batuan yang lapuk berat hingga lapuk ringan dan beberapa masih segar
(Gambar 3 A-D). Satuan intrusi diorit menempati luasan area sekitar 0,75 km2 dengan
kondisi batuan yang relatif lebih segar daripada lava andesit (Gambar 3 E-H). Kedua
batuan beku ini membentuk morfologi perbukitan terisolasi dimana diorit dikelilingi
oleh lava andesit.
Struktur kekar dan sesar dapat diidentifikasi dengan jelas didaerah penelitian.
Kekar tiang sering dijumpai pada intrusi diorit, sedangkan kekar gerus lebih sering
dijumpai pada lava andesit. Berdasarkan analisis arah gaya pembentuk kekar gerus,
maka didapatkan gaya utama dengan arah realtif utara-selatan. Striasi berarah
N115oE/55o and N128oE/43o dapat diidentifikasi pada kontak antara lava dengan intrusi.
Berdasarkan analisis stereonet, sesar turun di daerah penelitian merupakan hasil dari
gaya ekstensi berarah timur-barat yang disebabkan oleh gaya kompresi utama berarah
utara-selatan yang mungkin terbentuk pada saat proses naiknya Pegunungan Selatan.

2. Karakteristik Petrografi
Pengamatan petrografi menunjukkan batuan intrusi didominasi oleh kehadiran mineral
plagioklas, hornblenda, kuarsa, dan mineral opak dengan ukuran kristal <0,01-0,6 mm.
Kelimpahan mineral didominasi oleh plagioklas dengan jenis oligoklas dan andesin
dengan bentuk subhedral baik sebagai fenokris maupun masa dasar. Tekstur yang
dijumpai antara lain, oscillatory zoning dijumpai pada mineral plagioklas dan tekstur
sperulitik yang ditunjukkn pada Gambar 4 A-B. Hornblenda dan mineral opak juga
sering dijumpai sebagai fenokris, sedangkan masa dasar didominasi oleh mikrolit
plagioklas (Gambar 4 C-D). Mineral lempung dan kalsit dijumpai sebagai mineral
sekunder yang dihasilkan oleh proses pelapukan. Secara umum intrusi diorit memiliki
tekstur holokristalin dan porfiritik. Pada batuan ini terkadang dijumpai xenolit dengan
komposisi mineral yang sama dengan batuan diorit namun dengan tekstur yang lebih
kasar.
Lava andesit berwarna warna abu-abu kecoklatan dengan tekstur hipokristalin memiliki
ukuran kristal berkisar <0,01-0,8 mm yang didominasi oleh plagioklas sebagai fenokris
dan masa dasar, sedangkan horblenda dan mineral opak dijumpai secara minor pada
batuan. Tekstur oscillatory zoning juga sering dijumpai dalam kristal plagioklas. Batuan

1173
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F056UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

ini dapat dengan mudah dibedakan dari intrusi karena adanya tekstur khas trakitik yang
dihasilkan akibat adanya aliran lava. Secara umum lava andesit cukup umum dijumpai
dilapangan dalam bentuk breksi autoklastik (Gambar 4 I-L). Mineral lempung dan klorit
umumnya ditemukan sebagai mineral sekunder yang menggantikan plagioklas atau
gelas vulkanik. Secara umum kelimpahan mineral pada batuan beku Gunung Batur
dengan menggunakan point counting dapat dilihat pada Tabel 1.

3. Geokimia oksida utama


Secara umum batuan beku dari Gunung Batur memiliki komposisi intermediet
berdasarkan klasifikasi total alkali silica (TAS) (after Cox, dkk., 1979). Berdasarkan data
geokimia oksida utama, sampel lava dapat diklasifikasikan sebagai andesit (Gambar 5 A),
sedangkan sampel batuan intrusi dinamakan sebagai diorit (Gambar 5B). Kandungan
silika pada batuan berkisar 59-63,16% sedangkan total alkali (Na2O + K2O) berkisar 3,59-
4,51%. Hasil analisis geokimia menunjukkan hasil yang konsisten (relatif serupa) dengan
peneliti terdahulu seperti Hendrawan (2017) dan Hartono & Bronto (2007). Namun, ada
satu sampel batuan beku hasil penelitian dari Idrus, dkk. (2014) memiliki konten silika
yang lebih tinggi, sehingga dapat digolongkan sebagai dasit.
Diagram harker pada Gambar 6 menunjukan adanya tren hubungan positif
antara SiO2 dengan Na2O dan K2O yang menunjukkan adanya kristalisasi feldspar yang
normal (Ca-rich menuju Na-rich). Sedangkan hubungan negatif yang muncul pada SiO2
dengan TiO2, MgO, CaO dan P2O5 (Gambar 6) menunjukkan hubungan fraksinasi
kristalisasi olivin, klinopiroksen, dan magnetit. Sedangkan hubungan acak terdapat pada
SiO2 dengan MnO, Al2O3 dikarenakan kurangnya jumlah data sampel geokimia yang ada
dan nilai LOI dari sampel AH yang relatif besar sehingga menghasilkan diagram yang
cenderung acak.
Berdasarkan diagram AFM (after Kuno, 1968) menunjukkan bahwa semua sampel
batuan berasal dari magma dengan seri kalk-alkali (Gambar 7 A). Berdasarkan diagram
binary SiO2 vs K2O (after Peccerillo dan Taylor, 1976) menunjukkan bahwa sebagian besar
sampel diklasifikasikan sebagai seri toleitik, akan tetapi ada sampel dengan kode AH-18
yang termasuk dalam seri kalk-alkali (Gambar 7 B). Ploting diagram FeOtotal/MgO vs SiO2
(after Miyashiro, 1974) menunjukkan bahwa sebagian besar sampel berada pada seri
kalk-alkali kecuali 2 lava andesit (sampel SAT41 dan AH43) berada pada seri toleitik
(Gambar 7 D). Secara umum, kelimpahan oksida utama pada batuan beku Gunung Batur
dapat dilihat pada Tabel 2.

V. DISKUSI
Pada analisis petrografi menunjukkan bahwa intrusi dan lava memiliki tekstur
porfiritik yang menunjukkan dua fase proses kristalisasi. Fase pertama terbentuk pada
bagian yang lebih dalam sedangkan fase kedua dihasilkan oleh pendinginan cepat selama
aktivitas vulkanisme saat magma berjalan naik. Diferensiasi magma ditunjukkan oleh
adanya tekstur mineral plagioklas berupa oscillatory zoning. Tekstur zoning ini terbentuk
karena perubahan tekanan dan suhu selama pergerakan magma dan pelepasan volatil
selama erupsi magmatik yang menyebabkan diferensiasi komposisi plagioklas (Fenner,
1926 dalam Johannsen, 1939). Tekstur spherulitic seperti yang ditunjukkan dalam sampel

1174
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F056UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

SAT-49IN (Gambar 4 A-B) menunjukkan proses devitrifikasi dalam kondisi suhu tinggi
(McPhie dkk., 1993).
Berdasarkan diagram ternary Mullen (1983) yang menggunakan TiO2, MnOx10
dan P2O5x10 (Gambar 7 C), menunjukkan bahwa batuan beku Gunung Batur terbentuk
pada tatanan tektonik Calc-Alkaline Basalt (CAB) yang mana konsisten dengan hasil plot
diagram ternary AFM. Magma kalk-alkali adalah magma khas yang dihasilkan dari zona
subduksi (Wilson, 1989). Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh diagram biner
FeOtotal/MgO vs diagram biner SiO2 (after Miyashiro, 1974). Namun, hasil yang berbeda
ditunjukkan oleh diagram biner K2O vs SiO2 (after Peccerillo dan Taylor, 1976) yang
menunjukkan magma dengan seri toleitik. Seri toleitik adalah tipikal magma yang
dihasilkan dari tahap awal pembentukan busur kepulauan. Jika dibandingkan dari
beberapa hasil analisis pada beberapa sampel diatas, bahwa sampel lava dapat
dikategorikan sebagai seri toleitik yang terbentuk pada tahap awal pembentukan
Gunung Batur sedangkan intrusi dapat dikategorikan sebagai seri kalk-alkali yang
terbentuk pada tahap selanjutnya sebagai hasil proses diferensiasi dari sumber magma
yang sama.
Proses diferensiasi magma didominasi oleh proses fraksinasi kristal seperti yang
ditunjukkan oleh variasi diagram harker dan juga ditandai dengan tekstur oscillatory
zoning pada plagioklas. Proses asimilasi juga terjadi yang ditunjukkan oleh adanya
xenolit di dalam tubuh intrusi diorit. Namun, xenolit ini memiliki komposisi yang sama
dengan batuan yang menerobos, yaitu bersifat andesitik (intermediet). Sehingga
disimpulkan memiliki signifikansi yang rendah dalam merubah komposisi magma
utamanya.
Secara umum lava andesit di daerah penelitian terbentuk pada tatanan tektonik
Island Arc Tholeiitic (IAT), sedangkan intrusi diorit terbentuk pada fase berikutnya
dengan tatanan tektonik yang berubah menjadi Calc-Alkaline Basalt (CAB).

VI. KESIMPULAN
Gunungapi purba Batur dicirikan oleh hadirnya batuan beku lava dan intrusi
yang terbentuk pada tatanan tektonik Island Arc Tholeiitic (IAT) dan Calc-Alkaline Basalts
(CAB). Secara umum, batuan lava berjenis andesit terbentuk pada tahap awal dengan seri
magma toleitik yang kemudian diterobos oleh intrusi diorit yang bersifat kalk-alkali,
sebagai hasil diferensiasi magma yang disebabkan oleh proses fraksinasi kristal.

DAFTAR PUSTAKA
Cox, K.G., Bell, J.S., and Pankhurst, R.J. (1979). The Interpretation of Igneous Rocks: Allen and
Unwin, London, 450 p.
Hartono, G., dan Bronto, S. (2007). Asal-usul Pembentukan Gunung Batur di daerah Wediombo,
Gunungkidul, Yogyakarta, Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 2 (3), hal. 143 – 158.
Hendrawan, A. (2017). Genesa Batugamping Merah Di Daerah Siung Dan Sekitarnya, Kecamatan
Tepus Dan Girisubo, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, Skripsi, Jurusan Teknik
Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada.
Idrus, A., Setiadji, L.D., dan Warmada, I.W., Mustakim, W.Y. (2014). Geologi dan Alterasi
Hidrotermal di Gunung Batur, Wediombo, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi DI

1175
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F056UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Yogyakarta, Prosiding Seminar Nasional Kebumian ke7, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas
Teknik, Universitas Gadjah Mada, pp. 657 – 664.
Johannsen, A. (1939). A Descriptive Petrography of the Igneous Rocks, University of Chicago.
Kuno, H. (1966). Lateral variation of basalt magma type across continental margins and island
arcs. Bulletin volcanologique, 29(1), 195-222.
McPhie, J., Doyle, L., and Allen, R. (1993). Volcanic Texture, CODES Key Centre, 211p.
Miyashiro, A. (1974). Volcanic rock series in island arcs and active continental margins. American
journal of science, 274(4), 321-355.
Mullen, E. D. (1983). MnO/TiO2/P2O5: a minor element discriminant for basaltic rocks of oceanic
environments and its implications for petrogenesis. Earth and Planetary Science Letters,
62(1), 53-62.
Peccerillo, A. and Taylor, S. R. (1976). Geochemistry of Eocene calc-alkaline volcanic rocks from
the Kastamonu area, northern Turkey. Contributions to mineralogy and petrology, 58(1),
63-81.
Surono, Toha, B., dan Sudarno, I. (1992). Peta Geologi Lembar Surakarta-Giritontro skala
1:100.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Wilson, M. (1989). Igneous Petrogenesis, Springer, Netherlands, 480p.

1176
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F056UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 1. Tabel kelimpahan mineral pada batuan beku di Gunung Batur dengan menggunakan
metode point counting

Tabel 2. Kelimpahan oksida utama pada batuan beberapa sampel batuan beku di Gunung Batur

1177
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F056UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Peta geologi regional pegunungan selatan dimana Gunung Batur termasuk didalamnya
terletak pada bagian paling selatan dan berbatasan dengan samudera hindia. (Modifikasi dari
Surono dkk., 1992; peta indeks modifikasi dari Bemmelen, 1949)

1178
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F056UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Peta geologi, profil geologi dan lokasi pengambilan sampel batuan untuk di analisis
pada daerah penelitian.

1179
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F056UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Sampel batuan Lava Andesit (A-D) menunjukkan telah mengalami proses pelapukan,
sedangkan sampel batuan Intrusi Diorit (E-H) menunjukkan sampel yang relatif lebih segar
dengan tekstur porfiritik.

Gambar 4. (A-B) tekstur spherulite pada intrusi diorit. (C-D) mineral hornblenda dan plagioklas
sebagai fenokris pada intrusi diorit. (E-F) Fragmen xenolit pada intrusi diorit. (G-H) Tekstur
trakitik yang merupakan penciri dari lava andesit. (I-J) Matriks pada breksi autoklastik. (K-L)
Fragmen dari breksi autoklastik. Abreviasi: Hb: Hornblenda, Pl: Plagioklas, Qz: Kuarsa, Gls: Gelas
vulkanik, Mic.Pl: Mikrolit Plagioklas, Opq: Mineral Opak, Cly: Mineral Lempung.

1180
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F056UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. (A) Klasifikasi batuan beku berdasarkan Total Alkali Silika (TAS) menunjukkan batuan
beku ekstrusif dengan jenis andesit. (B) Intrusi diklasifikasikan sebagai Diorit (After Cox
dkk.,1979).

Gambar 6. Variasi diagram harker menunjukan proses diferensiasi magma berdasarkan tren
positif SiO2 terhadap Na2O dan K2O, serta tren negatif SiO2 terhadap MgO, CaO, P2O5 dan TiO2.

1181
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 F056UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 7. Penentuan seri magma berdasarkan A: Diagram AFM oleh Kuno (1968) berdasarkan
kandungan total alkali, Fe2O, dan MgO; B: Diagram binari Peccerillo dan Taylor (1976)
berdasarkan kandungan K2O dan SiO2. C: Diagram tatanan tektonik TiO2, MnOx10, P2O5x10
(Mullen,1983) D. FeOtot/MgO vs SiO2 (after Miyashiro, 1974) menunjukkan batuan berada pada
seri kalk-alkali.

1182
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

IDENTIFIKASI CEKUNGAN DAN STRUKTUR GEOLOGI BERDASARKAN


DATA PASSIVE SEISMIC TOMOGRAPHY PADA LAPANGAN “X”
KABUPATEN CILACAP, PROVINSI JAWA TENGAH

Jatmiko Setyawan 1*, Gunadi Suryo Jatmiko 1, Agung Suprobo 1, Atqiya Ramadhan1, Goldison
Aldama 1, Indriati Retno P 1, Marjiyono 2
1 Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta
2Pusat Survey Geologi Bandung
*corresponding author: gunadisuryojatmiko08@gmail.com

ABSTRAK. Munculnya beberapa rembesan minyak dan gas di permukaan menjadikan Sub-
Cekungan Banyumas merupakan cekungan yang sangat menarik untuk dilakukan penelitian guna
mengetahui potensi keberadaan hidrokarbon yang ekonomis. Berbagai penelitian sudah dilakukan
untuk mengkaji cadangan hidrokarbon yang ekonomis dan sistem petroleum yang berkembang di
Sub-Cekungan Banyumas. Salah satu penelitian yang digunakan adalah dengan metode Passive
Seismic Tomography. Penelitian dimaksudkan untuk mengetahui batas cekungan dan struktur
geologi yang ada pada lapangan “X”. Penelitian dilakukan di lapangan “X” yang terletak pada
Kabupaten Cilacap. Luas lapangan “X” adalah 625 km2. Waktu akuisisi berlangsung selama ± 6
bulan terhitung dari tanggal 15 Maret 2018 – 10 September 2018. Instrumen yang digunakan berupa
seismometer sebanyak 70 stasiun dengan sensor C-100 wide band dan jarak antar stasiun ± 5 km.
Penentuan relokasi hiposenter menggunakan software GAD. Inversi tomografi menggunakan
software SIMULPS14. Berdasarkan hasil interpretasi dari peta dan penampang 2-D analisa Vp, Sub-
Cekungan Banyumas memiliki orientasi Barat laut – Tenggara dengan nilai Vp 4,25 km/s – 5,55 km/s.
Kedalaman cekungan adalah 5 km – 6 km. Sisi Utara dan Selatan cekungan dibatasi oleh sesar
normal dengan arah Barat laut - Tenggara. Terdapat sebuah antiklin yang berpotensi sebagai
jebakan hidrokarbon yang berada pada tengah cekungan dengan arah kemenerusan Barat laut –
Tenggara dengan sisi Utara dari antiklin terpotong oleh sesar naik yang berpotensi sebagai jalur
migrasi hidrokarbon.

Kata kunci: Banyumas Sub-Basin, Vp Analysis, Passive Seismic Tomography, Relocation


Hypocenter, Tomographic Inversion

I. PENDAHULUAN
Cekungan minyak bumi merupakan cekungan yang didalamnya terdapat petroleum
system. Menurut Magoon & Dow (1994) sistem petroleum terdiri dari batuan induk yang
matang, batuan reservoir, lapisan penutup (seal), perangkap (trap), serta proses migrasi
minyak bumi yang diperlukan untuk adanya akumulasi minyak dan gas. Sub-Cekungan
Banyumas merupakan cekungan yang menarik untuk di eksplorasi karena sudah
ditemukan beberapa rembesan minyak dan gas dipermukaannya. Perlu dilakukan
eksplorasi geofisika untuk mengetahui batas cekungan dan struktur geologi yang

1183
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

berkembang di dalam Sub-Cekungan Banyumas yang dapat berfungsi sebagai jalur


migrasi hidrokarbon ataupun sebagai jebakan struktural minyak bumi.
Metode geofisika yang biasa dimanfaatkan dalam eksplorasi hidrokarbon adalah
metode seismik konvensional. Namun pada daerah dengan dominasi batuan vulkanik,
metode seismik memiliki resolusi yang tidak terlalu baik. Oleh karena itu, metode yang
dapat diandalkan dalam eksplorasi hidrokarbon pada lingkungan yang didominasi oleh
batuan vulkanik adalah metode Passive Seismic Tomography.
Metode Passive Seismic Tomography dapat memberikan informasi mengenai
gambaran geologi bawah permukaan dengan memanfaatkan gelombang gempa yang
merambat. Berdasarkan analisa Vp menggunakan metode Passive Seismic Tomography
diharapkan mendapatkan hasil berupa peta dan penampang 2-D distribusi kecepatan
gelombang P sehingga dapat menggambarkan batas cekungan dan struktur geologi yang
berkembang pada Sub-Cekungan Banyumas.
Gambar 1 adalah peta geologi daerah penelitian. Formasi batuan yang mengisi Sub-
Cekungan Banyumas adalah: Endapan Aluvium, Formasi Tapak, Formasi Kumbang,
Formasi Halang, Formasi Kalipucang, Formasi Pamutuan, Formasi Rambatan, Formasi
Pemali, Formasi Nusa Kambangan dan Formasi Jampang. Pada daerah penelitian terdapat
beberapa struktur sesar naik di timur laut Majenang yang sebagian besar berarah Barat –
Timur. Struktur antiklin dan sinklin juga banyak berkembang di Utara hingga Tenggara
Sidareja. Antiklin dan sinklin tersebut memiliki arah barat – timur.

II. GEOLOGI REGIONAL


Gelombang Seismik
Gelombang seismik adalah gelombang mekanik yang menjalar ke segala arah
didalam maupun permukaan bumi. Gelombang ini muncul sebagai akibat dari adanya
proses deformasi struktur, tekanan, maupun tarikan medium oleh karena sifat elastis kerak
bumi. Selama merambat, gelombang seismik membawa energi akustik berfrekuensi
rendah (Siswowidjoyo, 1995).
Gelombang primer atau pressure wave (P-wave) merupakan gelombang yang
umumnya tiba pertama kali pada rekaman gempa. Gelombang P dapat merambat di media
padat dan cair. Semakin keras media padat yang dilewati, maka semakin cepat pula
rambatannya. Perambatan gelombang P adalah getaran partikel batuan yang merambat
dengan cara pemampatan dan peregangan media yang dilewati, searah dengan
perambatan gelombang. Cepat rambat gelombang jenis ini paling cepat diantara jenis
gelombang lainnya (Triyoso, 1991). Gelombang primer merupakan gelombang
longitudinal, yang dicirikan dengan arah pergerakan partikel secara maju dan mundur,
searah dengan arah penjalaran gelombang.

Penentuan Lokasi Hiposenter


Hiposenter adalah titik awal terjadinya gempabumi. Dalam menentukan lokasi
hiposenter metode yang digunakan adalah metode Geiger. Metode Geiger menggunakan
data waktu tiba gelombang P dan atau gelombang S. Anggapan yang digunakan adalah
bahwa bumi terdiri dari lapisan datar yang homogen isotropik, sehingga waktu tiba

1184
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

gelombang gempa yang karena pemantulan dan pembiasan untuk setiap lapisan dapat
dihitung.
Pada penentuan hiposenter dibutuhkan hasil rekaman gempa, yaitu waktu tiba
gelombang P (Tp), waktu tiba gelombang S (Ts) pada tiap stasiun. Juga selisih waktu tiba
kedua gelombang (S-P) akan terus bertambah sebanding dengan bertambahnya jarak
tempuh (D) kedua gelombang tersebut.
Jarak tempuh gelombang P dan S dari pusat gempa (S) ke stasiun (R) adalah D:
D = Vp (Tp-T0) ; D = Vs (Ts-T0)
Secara matematis hubungan antara jarak tempuh (D) dan S-P adalah:
D = k (Ts-Tp)
Dimana:
k = (Vp x Vs)/(Vp-Vs)
Dimana k merupakan koefisien jarak dan nilai tetapan dari konstanta Omori, Vp,
Vs dan Vp/Vs adalah kecepatan gelombang primer dan sekunder, t0 adalah waktu
terjadinya gempa bumi, sedangkan tp dan ts adalah waktu tiba gelombang primer dan
sekuder.

Model Kecepatan 1-D


Tomografi seismik 3 dimensi yang dilakukan dengan inversi pendekatan linier
suatu fungsi nonlinier, sangat bergantung pada kualitas model referensi awal 1 dimensi
(Kissling dkk., 1994). Istilah model kecepatan 1 dimensi diperkenalkan oleh Kissling (1988).
Model kecepatan 1 dimensi dapat digunakan sebagai model kecepatan awal untuk inversi
tomografi 3 dimensi. Model kecepatan 1 dimensi tersebut merupakan hasil inversi
simultan parameter hiposenter, kecepatan kecepatan lapisan, dan koreksi stasiun. Inversi
dari model kecepatan 1 dimensi ini memiliki dua fungsi yaitu untuk menentukan model
awal pada inversi tomografi dan melakukan relokasi hiposenter terhadap data gempa
bumi (Wahyuningtyas, 2017).

Inversi Tomografi Seismik

Tomografi seismik merupakan metode geofisika yang diaplikasikan untuk


merekonstruksi struktur bawah permukaan bumi berdasarkan distribusi kecepatan
gelombang seismik (Sasmi, 2017). Teknik tomografi seismik dapat dilakukan, baik dengan
menggunakan data bentuk gelombang (waveform), maupun waktu tempuh gelombang
seismik (travel time). Hasil dari proses ini adalah gambaran tiga dimensi dari anomali
kecepatan gelombang seismik maupun sebaran porositas di bawah permukaan bumi, yang
pada umumnya dapat berasosiasi dengan struktur, suhu bawah permukaan, maupun fase
medium (Sismanto, 1996).

Penentuan Ray Tracing Metode Pseudo Bending

Ray Tracing adalah suatu metode untuk menggambarkan jejak sinar gelombang
seismik dari sumber getaran menuju stasiun penerima. Teknik ini merupakan teknik yang
biasa digunakan untuk memecahkan masalah forward dan inversi model seismologi.
Terdapat beberapa jenis metode dalam penentuan ray tracing yaitu straight, shooting dan
pseudo bending. Perbedaan dari ketiga metode tersebut adalah prinsip gelombang yang

1185
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

digunakan. Metode shooting menggunakan hukum Snellius sedangkan metode pseudo


bending menggunakan asas fermat. Tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 3 menjelaskan tentang tahapan pengolahan dari penelitian yang dilakukan


dengan menggunakan metode Passive Seismic Tomography, Tahapan pengolahan sebagai
berikut :

1. Penelitian dimulai dengan mendapatkan data gempabumi dalam format miniseed. Data
tesebut kemudian dilakukan picking untuk menentukan waktu tiba gelombang P dan S
menggunakan software SeisGram2K80.

2. Selanjutnya dilakukan perhitungan lokasi hiposenter menggunakan software GAD


dengan memasukkan beberapa parameter yaitu koordinat stasiun, data gempa bumi dan
data model kecepatan 1-D. Model kecepatan 1-D yang digunakan dalam penelitian ini
adalah model kecepatan 1-D dari penelitian terdahulu pada regional yang sama (Wagner,
2007).

3. Setelah mendapatkan lokasi hiposenter, langkah selanjutnya adalah melakukan


perhitungan inversi tomografi. Proses inversi tomografi dilakukan dengan menggunakan
software SIMULPS14. Input yang dimasukan dalam software SIMULPS14 berupa empat
folder, yaitu EQKS, STNS, CNTL dan MOD. Output dari software SIMULPS14 adalah nilai
Vp berupa numerik pada tiap grid yang telah diatur. Nilai Vp tersebut kemudian diolah
dalam software Microsoft Excel.

4. Setelah melakukan pengolahan output dari Simulps14 menggunakan software Microsoft


Excel, langkah selanjutnya adalah membuat peta dan penampang 2-D nilai Vp
menggunakan software Surfer. Selanjutnya dilakukan identifikasi cekungan dan struktur
geologi berdasarkan korelasi persebaran nilai Vp dan informasi geologi. Selanjutnya
penampang 2-D yang telah diinterpretasi dikorelasikan satu sama lain mengunakan
software Leapfrog.

III. METODE PENELITIAN


Pemetaan geologi secara mendetail dilakukan dengan skala 1:12.500 untuk
mengetahui persebaran batuan dan kondisi geologi pada daerah penelitian. Pengambilan
sampel batuan dilakukan pada beberapa titik yang representatif dan mencakup seluruh
aspek litologi di daerah penelitian. Analisis laboratorium yang di lakukan adalah
pengamatan petrografi dan juga analisis geokimia. Pengamatan petrografi dengan
menggunakan metode point counting pada 8 sampel batuan dilakukan di Laboratorium
Geologi Optik, Departemen Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada. Analisa geokimia
oksida utama pada sampel batuan representatif dengan menggunakan metode ICP – AES
(Inductively Coupled Plasma-Atomic Emission Spectrometry) dilakukan di ALS Minerals
Laboratory, Vancouver, Kanada. Data geokimia batuan beku dari hasil penelitian dari
Hendrawan (2017) ditambahkan pada penelitian ini, untuk menambah variasi data
geokimia yang berguna sebagai acuan interpretasi petrogenesa batuan beku di daerah
penelitian.

1186
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

IV. HASIL PENELITIAN


Hasil penelitian dari pengambilan data didapatkan persebaran episenter pada 112
event gempa yang terekam di sekitar area penelitian terlihat pada Gambar 4. Dari data
gempa tersebut dapat terlihat bahwa persebaran titik gempa cukup merata, baik yang
berada di darat maupun di lepas pantai. Tercatat jumlah gempa yang tedapat di darat
adalah 45 gempa, sedangkan yang berada di lepas pantai sebanyak 67 gempa. Rata-rata
kedalaman gempa adalah 30 km.
Gempa bumi yang terjadi dominan berada di daerah laut sebelah selatan pulau
jawa karena dekat dengan daerah subduksi antara lempeng Eurasia dengan lempeng Indo-
Australia. dari titik gempa yang didapatkan kemudian dilakukan Inversi Tomografi
dengan menggunakan Ray Tracing Pseudo Bending dengan hanya menggunakan gelombang
Primer untuk melihat bentuk geologi bawah permukaan. Hasil Inversi Tomografi
didapatkan peda 2 D seperti terlihat pada Gambar 5 berikut.
Dari peta diatas dapat diamati bahwa semakin bertambahnya kedalaman, maka
dominasi nilai Vp semakin tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin
bertambahnya kedalaman maka kekompakan batuan semakin kompak. Dari peta diatas
pula, dapat terlihat bahwa kedalaman 0 km sampai 6 km dominasi nilai Vp rendah terdapat
di tengah, Timur, dan Tenggara daerah penelitian. Sedangkan pada kedalaman 8 km nilai
Vp pada bagian tengah penelitian memiliki nilai tinggi jika dibandingkan dengan bagian
Utara, Timur dan Selatan lokasi penelitian. Sedangkan pada kedalaman 0 km sampai 6 km
nilai Vp tinggi terlihat pada sebelah Timur laut, Barat daya, dan Barat laut. Jika diamati
lebih dalam, respon rendah nilai Vp pada kedalaman 0 km hingga 6 km menunjukan lokasi
keberadaan Sub-Cekungan Banyumas yang pada peta ditandai dengan garis putus-putus
berwarna merah.
Daerah yang diinterpreasikan sebagai Sub-Cekungan Banyumas tersebut memiliki
orientasi relatif Barat laut – Tenggara. Pada kedalaman 8 km respon rendah yang
menunjukkan keberadaan cekungan sudah tidak terlihat. Hal tersebut menunjukkan
bahwa kedalaman Sub-Cekungan Banyumas sekitar 6 km. Nilai Vp yang diinterpretasikan
sebagai Sub-Cekungan Banyumas adalah 4,25 km/s sampai 5,55 km/s.

V. DISKUSI DAN PEMBAHASAN


Pembahasan tentang bentuk geologi yang berkembang pada daerah penelitian
dilakukan secara 3 dimensi sehingga didapatkan peta sebagai berikut.
Pada sayatan A – A’ dapat terlihat beberapa struktur geologi yang berkembang
disekitar Sub-Cekungan Banyumas. Bagian utara dan Selatan cekungan dibatasi oleh
sebuah sesar normal. Sesar normal yang membatasi Sub-Cekungan Banyumas ini
diperkirakan berumur Miosen akhir – Awal Pliosen yang terbentuk akibat aktivitas
tektonik yang memunculkan beberapa tinggian dan membentuk Sub-Cekungan
Banyumas. Di tengah cekungan pada sayatan A – A’ terdapat antiklin yang pada bagian
utaranya terpotong oleh sesar naik. Antiklin tersebut memiliki arah relatif timur laut –
barat daya. Jika dilihat dari peta geologi, antiklin tersebut menerus dari barat laut hingga
tenggara. Di sebelah utara sayatan A – A’ terdapat sesar naik yang membentuk antikin.
Sayatan B – B’ dapat terlihat beberapa struktur geologi yang berkembang di dalam
Sub-Cekungan Banyumas. Bagian utara – selatan cekungan dibatasi oleh sebuah sesar

1187
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

normal yang masih menerus dari penampang A – A’ yang diperkirakan berumur Miosen
akhir – Awal Pliosen yang mengakibatkan terbentuknya Sub-Cekungan Banyumas. Di
tengah cekungan terdapat sebuah antiklin yang membagi sub-cekungan menjadi dua yang
masih menerus dari sayatan A – A’ dengan kemenerusan relatif barat laut ke tenggara. Di
sebelah utara antiklin tersebut terpotong oleh sesar naik dengan orientasi barat daya –
timur laut. Di utara cekungan terdapat tinggian yang membatasi Sub-Cekungan
Banyumas.
Penampang C – C’ membentang dari arah barat ke timur. Panjang bentangan sayatan
adalah 50 km dengan kedalaman 10 km.. Sayatan C – C’ dapat terlihat beberapa struktur
geologi yang berkembang di dalam Sub-Cekungan Banyumas. Bagian barat cekungan
dibatasi oleh sebuah sesar normal yang diperkirakan berumur Miosen akhir – Pliosen awal
yang mengakibatkan terbentuknya Sub-Cekungan Banyumas. Sesar tersebut memiliki arah
barat laut – tenggara. Sebelah timur sayatan C – C’ terdapat antiklin yang terpotong oleh
sesar naik. Antiklin tersebut merupakan antiklin yang sama dengan antiklin pada
penampang A – A’ dan B – B’.
Penampang D – D’ membentang dari arah barat ke timur. Panjang bentangan sayatan
adalah 50 km dengan kedalaman 10 km. Penampang D – D’ terdapat pada 15 km sebelah
Utara penampang C – C’. Dari penampang Vp sayatan D – D’ Sub-Cekungan Banyumas
memiliki kedalaman sekitar 5 km. Bagian timur cekungan dibatasi oleh sebuah sesar
normal yang diperkirakan berumur Miosen akhir – Pliosen awal. Sedangkan bagian barat
cekungan hanya dibatasi oleh sebuah tinggian.

VI. KESIMPULAN
Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Berdasarkan interpretasi dari peta Vp, Sub-Cekungan Banyumas memiliki nilai Vp
sebesar 4,25 km/s sampai 5,55 km/s. Sub-Cekungan Banyumas memiliki orientasi relatif
Barat laut – Tenggara dengan kedalaman hingga 6 km.
2. Berdasarkan interpretasi dari penampang 2-D Vp, Sebelah utara dan selatan Sub-
Cekungan Banyumas dibatasi oleh sesar turun dengan orientasi barat laut – tenggara.
Pada bagian tengah dari cekungan, terdapat struktur geologi berupa antiklin yang
berpotensi sebagai jebakan struktural hidrokarbon. Antiklin tersebut dipotong oleh
sesar naik dengan orientasi barat laut – tenggara yang dapat berpotensi sebagai jalur
migrasi hidrokarbon.

ACKNOWLEDGEMENTS
Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan paper
ini, terutama untuk lembaga Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, ESDM Bandung yang
telah memberikan izin untuk menggunakan data.

DAFTAR PUSTAKA
Armandita C., Mukti, M.M. dan Satyana, A.H. 2009. “Intra – arc trans-tension duplex of Majalengka to
Banyumas area: prolific petroleum seeps and opportunities in west central java border”,

1188
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Proceedings Indonesian Petroleum Association, 33rd annual convention Jakarta, Volume.


IPA09-G-173.
Asikin, S. 1992. Diktat Geologi Struktur Indonesia. Jurusan Teknik Geologi. Institut Teknologi
Bandung.
Asikin, Handoyo, B. Prastistho dan S. Gafoer. 1992. Peta Geologi Lembar Banyumas, Jawa. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi. Bandung, Indonesia.
Bemmelen, Van. 1949. The Geology of Indonesia. Martinus Nyhoff, The Haque: Nederland.
Condon, W.H., L. Pardyanto, K.B. Ketner, T.C. Amin, S. Gafoer, dan H. Samodra. 1996. Peta Geologi
Lembar Banjarnegara dan Pekalongan, edisi ke-2. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi.
Djuri, M., H. Samodra, T.C. Amin, dan S. Gafoer. 1996. Peta Geologi Lembar Purwokerto dan Tegal, edisi
ke-2.Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Eberhart-Phillips, D., 1986. Three-Dimensional Velocity Structure in Northern California Coast Ranges
from Inversion Of Local Earthquake Arrival Times. Bull. Seism. Soc. Am. 76: 1025-1052.
Elnashai, S.A. dan Sarno, D.L., 2008, Fundamental of Earthquake Engineering. Wiley. Hongkong.
Hall, R. 2012. Late Jurassic–Cenozoic reconstructions of the Indonesian region and the Indian
Ocean.Tectonophysics, 570–571, pp. 1–41.
Husen, S., Kissling, E., dan Fluch, E. R., 2000, Local Earthquake Tomography of Shallow Subduction in
North Chile : A Combined Onshore and Offshore Study, Journal of Geophysical Research, 105,
28183-28198.
Inoue, H. dan Fukao, Y., Tanabe, K., Ogata, Y. 1990. Whole Mantle P-Wave Traveltime Tomography.
Phys. Earth Planet Interior., 59, 294-328.
Karastathis, V., Tsampas, A., Papoulia, J., Makris, J., Fasoulaka, Di Fiore, B., Stampolidis A., Polyzoi,
Karmis, P., dan Papadopoulos, G. 2009. 3D Seismic Velocity Model from Microseismic Data of
the North Evoikos Gulf. Relation with the Local Geothermal Fields. Orfeus Workshop on Seismic
Tomography, Utrecht University, The Netherlands, At Utrecht, Netherlands.
Kastowo. 1975. Peta Geologi Lembar Majenang Jawa. Direktorat Geologi. Bandung, Indonesia.
Kennett, B.L.N., Engdahl, E.R., dan Buland, R. 1995. Constraint on Seismic Velocities in the Earth from
Traveltimes. Geophysics Journal International. Vol. 122, Issue 1, 108-124.
Kissling, E., Ellsworth, W. L., Eberhart-Phillips, D. dan Kradolfer, U., 1994, Initial Reference Models in
Local Earthquake Tomography, Journal of Geophysical Research, 99, 19635-19646.
Koulakov, I.Y., Bohm. M., Asch. G., Luehr. B. G., dkk. 2007. P and S velocity structure of the crust and
the upper mantle beneath central Java from Local Tomography Inversion. Journal of Geophysical
Research Atmospheres, DOI: 10.1029/2006JB004712.
Krauss, F., Giese, R., Alexandrakis C., dan Buske, S. 2014. Seismic Travel-Time and Attenuation
Tomography to Characterize The Excavation Damaged Zone and The Surrounding Rock Mass of
A Newly Excavated Ramp and Chamber. International Journal of Rock Mechanics and Mining
Sciences. No. 70, 524-532.
Lemigas, Summary On Petroleum Geology of Indonesia’s Sedimentary Basins, Prepared for Patra Nusa
Data, Jakarta, Indonesia, 2005.

1189
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Leveque, J., Rivera, L., dan Wittlinger, G. 1993. On the Use of the Checkerboard Test to Assess the
Resolution of Tomographic Inversion. Geophysics Journal International. Nomor 115, halaman
313-318.
Lunt, P., G. Burgon, A. Baky .2009. The Pemali Formation of Central Java and equivalents: Indicators of
sedimentation on an active plate margin, Journal of Asian Earth Sciences, 34, pp.100-113.
Magoon, L.B., dan Dow, W.G., 1994. The Petroleum System form Source to Trap, AAPG Memoir 60:
USA.
Monalia, Poetri. 2011. Analisis Model Kecepatan Berdasarkan Tomografi Refleksi Waktu Tempuh (Travel-
Time Tomography Reflection). Tesis Program Studi Magister Fisika, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia.
Nishi, K. 2005. Hypocenter calculation Software (Geiger’s Method with Adaptive Damping) Manual. JICA
Indonesia.
Nishimura, T., dan Iguchi, M., 2011. Volcanic Earthquakes and Tremor in Japan. Kyoto University Press.
Kyoto.
Nugraha, M. F., 2015, Identifikasi Pola Tektonik Daerah Bali – Nusa Tenggara Timur Berdasarkan
Tomografi Kecepatan Gelombang P, Skripsi, Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika,
Tangerang.
Pulunggono dan Martodjojo. 1994. Perubahan Tektonik Paleogen – Neogen merupakan Peristiwa Penting
di Jawa. Kumpulan Makalah Seminar Geologi dan Geotektonik Pulau Jawa sejak Akhir Mesozoik
hingga Kuarter. Geology Department University of Gadjah Mada Yogyakarta. P. 1-14.
Purnomo J., dan Purwoko, 1994. Kerangka Tektonik dan Stratigrafi Pulau Jawa Secara Regional dan
kaitannya dengan potensi hidrokarbon. Prosiding Geology and Geoteknik Pulau Jawa,
Seminar Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM, Yogyakarta.
Purwasatriya, Eko, B., dan Gentur W. 2012. Studi Potensi Minyak Dangkal dengan Pendekatan Metode
Statistik Berdasar Data geologi Permukaan di Cekungan Banyumas. Paper: Dinamika Rekayasa
Volume 8 No 2, Agustus 2012. ISSN 1858-3075.
Purwasatriya, Eko, B. 2014. Tinjauan Kembali Potensi Hidrokarbon Cekungan Banyumas Berdasarkan
Data Geologi dan Data Geofisika. Universitas Jenderal Sudirman.
Rawlinson, N. dan Sambridge, M. 2003. Seismic Traveltime Tomography of the Crust And Lithosphere.
Advance in Geophysics. Nomor 46, halaman 81-197.
Rawlinson, N., Pozgay, S., dan Fishwick, S. 2009. Seismic Tomography: A Window into Deep Earth.
Physics of The Earth and Planetary Interiors, no. 178 (2010). Halaman 101-135.
Santoso, B., Zeiza, A.D., and Nugroho, F.P., 2007. Neogene Tectonic and Sedimentary Control to
Hydrocarbon generation in Banyumas subbasin, South of Central Java. Proceeding Indonesian
Petroleum Association, Thirty-First Annual Convention and Exhibition.
Sasmi, Annisa, T. 2017. Citra Tomografi Waktu Tempuh Gunungapi Sinabung Dan Sekitarnya Pada
Periode Erupsi 2010-2017. Skripsi Program Studi Geofisika FMIPA UGM. Yogyakarta.
Setiadi, Imam. 2017. Basement Configuration and Delineation of Banyumas Subbasin Based On Gravity
Data Analysis. Jurnal Geologi dan Sumber Daya Mineral. Bandung.
Simanjuntak dan Surono. 1992. Peta Geologi Lembar Pangandaran. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi. Bandung, Indonesia.

1190
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Sismanto. 1996. Interpretasi Seismik. Laboratorium Geofisika Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Gadjah Mada.
Siswowidjojo, S. 1995. Seismologi Gunungapi: Analisis Gempa dan Hubungannya dengan Tingkat Kegiatan
Gunungapi. Direktorat Vulkanologi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi.
Spakman, W., 1988, Upper Mantle Delay Time Tomography: with An Application to the Collision Zone of
the Eurasian, African, and Arabian Plates, Tesis, University of Utrecht.
Sujanto F.X. dan Sumantri Y. 1977. Preliminary Study On The Tertiary Depositional Patterns Of Java.
Proceedings Indonesia Petroleum Association 6th Annual Convention and Exhibition, p.
183 - 213.
Suparman, Yasa,. dkk. 2010. Simulasi Perhitungan Waktu Tempuh Gelombang Dengan Metoda Eikonal :
Suatu Contoh Aplikasi Dalam Estimasi Ketelitian Hiposenter Gempa. Pusat Vulkanologi dan
Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi. Bandung.
Syahputra, A., Nugraha, D. 2012. Pemrograman Ray Tracing Metode Pseudo-Bending Medium 3D Untuk
Menghitung Waktu Tempuh Antara Sumber Dan Penerima. Jurnal Geofisika Vol 13 No.1/2012,
1-6.
Thurber, C. H. 1983. Earthquake Locations and Three Dimensional Crustal Velocity Structure In The Coyote
Lake Area, Central California. J. Geophys. Res. 88: 8226-8236.
Triyoso, Kaswandhi. 2007. Migrasi Pre-Stack Domain Kedalaman (PSDM) dengan Metode Kirchoff dan
Pembangunan Model Kecepatan dengan Tomografi. Skripsi, Program Studi Fisika FMIPA
Institut Teknologi Bandung.
Um, J. dan Thurber, C.H. 1987. A Fast Algorithm for Two-Point Seismic Ray Tracing. Bull. Seism. Soc.
Am.
Virireux, J., 1991. Fast and Accurate Ray Tracing by Hamiltonian Perturbation. J. Geophys. Res. 96: 579-
594.
Wagner, D., I. Koulakov, W. Rabbel, B.-G. Luehr, A. Wittwer, H. Kopp, M. Bohm, and G. Asch (2007),
Joint inversion of active and passive seismic data in central Java, Geophys. J. Int.
Wahyuningtyas, Lucia, D,. 2017. Analisis Tomografi Seismik Di Daerah Bali Untuk Identifikasi Pola
Tektonik Dan Pemodelan Patahan Naik Busur Belakang. Skripsi Program Studi Geofisika
FMIPA UGM. Yogyakarta.
Wittwer, A., Kopp, H.,Wagner, D., Flueh, E.R. & Rabbel,W., 2007. Crustal and upper mantle structure
of the central Java subduction zone from marine wide-angle seismics, in preparation.

1191
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar

Gambar 1. Peta Geologi Daerah Penelitian (Kastowo, 1977 dan Simandjuntak & Surono, 1992)

Gambar 2. Model Inversi Tomografi Ray Tracing Pseudo Bending

1192
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Tahapan penelitian

Gambar 4. Peta Episenter

1193
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G007UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. Peta Variasi Kecepatan Gelombang Primer ( Vp )

Gambar 6. Korelasi Penampang 2 Dimensi

1194
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G013UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

IDENTIFIKASI ZONA MINERALISASI DAN STRUKTUR PENGONTROL


YANG BERKEMBANG MENGGUNAKAN DATA MAGNETIK PADA AREA
PROSPEK EMAS TIPE ENDAPAN EPITERMAL SULFIDASI TINGGI
DAERAH GUNUNG GUPIT, MAGELANG, JAWA TENGAH

Meida Riski Pujiyati 1*, Benni Carli Naibaho1, Fazriah Farrah1, Muhammad Eldwin de Fayyadh 1,
Fergi Putri Krismi Prasetyo1
1Teknik Geofisika, Fakultas Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta
Jalan SWK 104, Condongcatur, Yogyakarta 1*
*corresponding author: meida.riski@gmail.com

ABSTRAK. Studi geofisika merupakan ilmu yang mempelajari ranah geologi di bawah permukaan
bumi, salah satu cabang dari studi ini adalah metode geomagnetik. Penelitian ini didasarkan sebagai
tindak lanjut analisis zona dan deliniasi persebaran di bawah permukaan pada penelitian geologi
sebelumnya yang menemukan penemuan baru mineralisasi emas endapan epitermal sulfidasi
tinggi di daerah Gunung Gupit, Magelang, Jawa Tengah. Area penelitian berada di Rangkaian
Pegunungan Kulon Progo-Menoreh. Untuk itu, dilakukan pengukuran magnetic menggunakan alat
PPM (Proton Precession Magnetometer) untuk mendapatkan nilai anomali magnetik area
pengukuran. Dari hasil pengolahan data tersebut didapatkan bahwa zona mineralisasi tersebar di
area utara dan selatan daerah penelitian dengan ditunjukkan oleh respon anomali magnet yang
rendah mengikuti kontrol struktur berupa sesar. Nilai anomali rendah tersebut memiliki intensitas
magnetik antara -134.3 nT sampai dengan -566.3 nT dengan dasar peta Reduce to Pole. Kontrol
struktur diperkuat dengan pengolahan data menggunakan filter Analytic Signal yang menunjukkan
adanya struktur berarah barat daya – timur laut. Adanya zona mineralisasi ditunjukkan dengan
bukti lapangan saat pengukuran yaitu ditemukannya alterasi silisifikasi, argilik lanjut, argilik dan
propilitik. Kemudian berdasarkan data dan bukti lapangan tersebut dilakukan perkiraan
pemodelan bawah permukaan dan pembagian zona alterasi yang ditinjau dari nilai respon
magnetiknya, dimana nilai anomali magnetik paling rendah menunjukkan adanya alterasi
silisifikasi dan argilik lanjut.

Kata kunci: geomagnetik, mineralisasi emas, struktur, alterasi

I. PENDAHULUAN
Mineral logam dasar berharga (precious base metals) tidak semata-mata muncul
begitu saja. Mineral-mineral ini terbentuk melalui proses yang cukup panjang dan lama
yang melibatkan suatu proses berskala besar dalam bumi. Mineral-mineral asli (native
minerals) dapat ditemukan di dekat permukaan bumi setelah terbawa oleh larutan magma
yang menuju permukaan bersamaan dengan intrusi. Larutan magma ini kemudian akan
terus naik melalui zona lemah berupa rekahan-rekahan yang terbentuk baik akibat intrusi
maupun struktur yang sudah terbentuk sebelumnya (Lindgren, 1993).
Larutan magma dengan segala kandungannya kemudian akan mengubah batuan
di sekitarnya (host rocks) yang dilalui ketika menuju atas hingga terjebak pada suatu kondisi

1195
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G013UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

tertentu. Endapan yang terbentuk memiliki tipe berbeda-beda tergantung oleh kandungan
larutan magma, kondisi host rocks, struktur geologi, dan hadirnya pengaruh luar seperti
penurunan suhu yang cepat oleh air meteorik (White and Hedenquist, 1990). Parameter
geologi yang berbeda akan membentuk tipe endapan yang berbeda di antaranya adalah
endapan porfiri, greisen, skarn, epitermal sulfidasi tinggi, dan epitermal sulfidasi rendah.
Setiap benda memiliki sifat kemagnetannya sendiri, sifat kemagnetan benda secara
umum dibagi menajdi 3, yaitu Ferromagnetik, Paramagnetik, dan Diamagnetik. Ketiga
sifat tersebut memiliki karakter yang berbeda-beda, secara singkat dapat dijelaskan,
ferromagnetik merupakan benda-benda yang kuat ditarik oleh magnet, paramagnetik
merupakan benda-benda yang lemah ditarik oleh magnet, dan piamagnetik adalah benda-
benda yang tidak dapat ditarik oleh magnet.
Geomagnetik merupakan suatu metode dalam geofisika yang memanfaatkan
supeptibilitas (kerentanan magnetik) batuan untuk mengetahui informasi bawah
permukaan. Contoh penggunaan geomagnetik adalah untuk menentukan persebaran
mineralisasi pada suatu daerah yang diidentifikasikan terdapat zona mineralisasi dari tipe
alterasi dan struktur. Oleh karena itu dilakukan pengukuran geomagnetik di daerah
Gunung Gupit karena diperkirakan memiliki prospek emas dengan mineralisasi tipe
epitermal.

II. GEOLOGI REGIONAL


Geologi Regional Gunung Gupit
Daerah Gunung Gupit merupakan bagian dari Perbukitan Menoreh yang termasuk
kedalam bagian utara Pegunungan Kulonprogo, tepatnya pada kaki Perbukitan Menoreh.
Perbukitan Menoreh ini merupakan hasil vulkanisme dari masa lampau. Beberapa formasi
batuan yang membentuk daerah penelitian ini yaitu Formasi Kebobutak yang terdiri dari
lava dasit, lava andesit, breksi gunungapi berupa breksi autoklastik, serta endapan
Gunungapi Sumbing Muda berupa breksi andesit.
Terdapat tiga fase tektonik yang mempengaruhi pembentukan daerah Kulonprogo,
yaitu pengangkatan pada Oligosen Awal-Akhir yang mengaktifkan vulkanisme,
kemudian penurunan pada Miosen Awal-Tengah, dan pengangkatan kembali pada
Pliosen-Pleistosen. Terdapat struktur yang berperan dalam pembentukan geologi daerah
penelitian, yaitu sesar geser yang berarah baratlaut-tenggara berjenis dekstral, dan
timurlaut-barat daya berjenis sinistral. Gaya pembentuk struktur tersebut relatif berarah
utara-selatan.

Mineralisasi dan Alterasi Gunung Gupit


Pada daerah Gunung Gupit ini ditemukan indikasi adanya mineralisasi yang
berkaitan dengan kegiatan proses hidrothermal. Adanya butiran emas pertama ditemukan
melalui pendulangan disebuah anak sungai didaerah Gunung Gupit oleh penambang
rakyat. Berdasarkan survei singkat, hasil analisa kimia, beberapa batuan, urat dan sedimen,
menunjukkan adanya kehadiran emas dengan kadar yang bervariasi. Salah satunya yaitu
ditemukan kadar tertinggi sebesar 42,4 g/t Au dan 112 g/t Ag pada sampel urat. Namun

1196
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G013UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

hal ini dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai keberadaan adanya mineralisasi emas
serta karakteristik dari mineralisasi tersebut.
Stratigrafi daerah penelitian tersusun oleh satuan lava andesit, satuan breksi
autoklastik dan satuan breksi andesit dengan struktur geologi berupa kekar dan tiga sesar
geser diperkirakan. Sesar berarah relatif timurlaut - baratdaya Semunut Kulon merupakan
faktor pengontrol proses pembentukan alterasi hidrotermal dan mineralisasi bijih. Alterasi
yang berasosiasi dengan endapan epitermal sulfidasi tinggi tersebut yaitu silisifikasi,
argilik lanjut, argilik, dan propilitik. Mineral penciri alterasi yaitu klorit, epidot, mineral
lempung (illit, smektit, dikit, dan alunit, jarosit, enargit, silika serta terdapat stockwork
yang melimpah. Mineralisasi bijih yang terbentuk yaitu magnetit (Fe2O3) – enargit (CuAsS)
– kalkopirit (CuFeS2) – galena (PbS) - pirit (FeS2) – emas (Au) – digenit (Cu9S5) – hematit
(Fe2O3). Pada daerah ini, kandungan emas tertinggi yaitu terdapat pada urat di Gunung
Gupit dengan kadar emas 42.4 g/t and Ag 112 g/t.
Berdasarkan data pemetaan dan karakteristik endapan, tipe alterasi, dan sifat fluida
hidrotermal di atas, dapat disimpulkan bahwa tipe endapan emas hidrotermal di daerah
penelitian berupa endapan epitermal tipe sulfidasi tinggi. Penelitian ini sangat awal
sehingga direkomendasikan untuk melakukan penelitian detail beberapa aspek genetik
endapan dan/atau kegiatan eksplorasi lanjut (Gambar 1).

III. METODE PENELITIAN


Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan menggunakan metode magnetik dan diukur secara langsung,


Pengambilan data pada hari Minggu tanggal 29 April 2018 yang berlokasi di Gunung
Gupit, Ngadiharjo, Borobudur, Magelang, Jawa tengah. Pengambilan data di lapangan
dimulai pada pukul 16.00 hingga pukul 19.00 WIB, dimana cuaca pada saat itu cerah
berawan. Azimuth lintasan N 1800 E. Total semua lintasan yang ada sebanyak 8 lintasan.
Luas daerah pengukuran yaitu sebesar 1.5 km x 1 km. Dalam akuisisi lapangannya,
mendapatkan data lebih kurang 27 titik pengukuran tiap lintasan dengan spasi antar titik
45 meter dan spasi antar lintasan 150 meter (Gambar 3).

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


Peta Reduce to Pole

Warna warna yang terdapat pada Gambar 6 dapat dijadikan suatu acuan bahwa
persebaran magnetic yang terdapat pada peta ini terdapat pada warna merah. Nilai merah
memiliki intensitas magnetik yang besar dikarenakan berkisar antara 548 hingga 130 nT.
Sementara warna lainnya yaitu warna ungu sampai hijau menunjukkan densitas yang kecil
atau biasa saja. Memiliki intensitas magnetik antara 5.5 nT. sampai dengan -55.6 nT.
Apabila respon pada peta RTP (Reduce to Pole) diatas dikaitkan dengan gologi maka
dapat dilihat dari genesa mineralisasinya. Dimana alterasi yang terbentuk adalah
silisifikasi, argilik lanjut, argilik, dan propilitik. Silisifikasi merupakan alterasi yang paling
asam dan terpengaruh oleh fluida hidrotermal karena pebentukannya dekat dengan
sumber keluarnya fluida hidrotermal dengan sedikit dijumpai mineral lempung. Alterasi
ini berada di sekitar sesar geser sinistral Semunut Kulon yang diduga mineralisasi (Idrus,

1197
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G013UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Arifudin dkk, 2013 : 2). Mineralisasi tersebut diikuti oleh alterasi argilik lanjut dan argilik
disekitarnya, sedangkan pada andesit, alterasinya berkontak langsung dengan propilitik
(Gambar 8). Di lapangan ditemukan batuan dengan menandakan adanya mineral klorit
yang berwarna hijau. Mineral klorit ini merupakan penunjuk bahwa mineral tersebut
terdapat pada alterasi propilitik. Serta banyak ditemukan batuan dengan ciri alterasi
argilik lanjut di lapangan dengan dicirikan adanya kehadiran mineral sulfida dan oksida
seperti hematit, mangaan, mineral sulfat, mineral lempung silica dan lain sebagainya.
Berdasarkan tipe endapan dan tipe alterasi, maka mineralisasi di area penelitian
dikategorikan ke dalam mineralisai tipe epitermal sulfidasi tinggi. Berikut adalah peta
alterasi daerah penelitian (Gambar 7).
Karena mineralisasi menghancurkan mineral mineral ferromagnetic seperti
magnetit dan lain sebagainya, maka dapat diketahui respon geofisikanya. Respon
geomagnetic pada daerah mineralisasi merupakan respon dengan nilai rendah.
Ditunjukkan pada gambar peta RTP respon rendah berada di area utara dan area selatan.

Peta Analytic Signal

Peta Analytic Signal diperoleh melalui perhitungan kombinasi horizontal dan


vertical derivative, namun dalam perhitungannya akan sangat mudah dengan
menggunakan FFT (Fast Fourier Transfrom) atau Hilbert Transform. Untuk data di Perairan
Selat Sunda ini akan dilakukan dengan penerapan FFT. Dari prinsip perhitungan tersebut
dapat diketahui kemenerusan struktur dilihat dari nilai rendah diantara nilai yang tinggi.
Maka dari itu, pada Gambar 9 diinterpretasikan adanya dua struktur. Dua struktur
tersebut saling memotong berarah barat daya – timur laut serta berarah relatif utara
selatan.
Apabila dianalisa dengan peta RTP, zona mineralisasi dan alterasi mengisi dan
mengikuti struktur berupa sesar yang berarah barat daya – timur laut.

Pemodelan 3D

Gambar 10 merupakan hasil dari pemodelan 3D berdasar peta RTP dan peta elevasi
atau topografi dimana terlihat pemodelan tersebut menggambarkan prakiraan bawah
permukaan pada daerah telitian. Gambar tersebut menunjukkan kemenerusan dari yang
terlihat di permukaan.
Jadi, peta di atas menunjukkan kondisi bawah permukaan dengan berbagai filter
range nilai geomagnetik yang berbeda. Disini nantinya dapat dipilih respon mana yang
sesuai dengan target (Gambar 10).
Pemodelan Gambar 11 merupakan pemodelan 3 dimensi dengan anomali magnetik
yang rendah. Target dalam penelitian kali ini adalah zona mineralisasi tipe epitermal
sulfidasi tinggi, dimana tipe alterasi tersebut memiliki respon yang rendah. Hal tersebut
diakibatkan karena adanya intrusi yang terkena intrusi kembali sehingga mengakibatkan
alterasi, alterasi tersebut menyebabkan mineral terubah menjadi lebih asam.
Maka dari itu, respon dalam anomali magnetik setiap alterasi berbeda. Dimana tipe
alterasi silisifikasi memiliki respon paling rendah dibanding yang lain, karena tipe
silisifikasi menyebabkan mineral terubah menjadi sangat asam dibanding tipe alterasi lain
dan menyebabkan mineral yang bersifat menarik magnet (Fe) hancur. Sebaliknya untuk
propilitik memiliki respon yang lebih tinggi karena masih terdapat kandungan besi dalam

1198
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G013UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

mineral hasil alterasi propilitik tersebut. Pemodelan 3D target penelitian menerus hingga
bawah permukaan yang ditunjukkan oleh nilai anomali magnetik yang rendah hingga
kedalaman 100 meter lebih.

V. KESIMPULAN
Dari penelitian yang dilakukan didapatkan beberapa kesimpulan, diantaranya :
• Pada peta reduce to pole, nilai rendah tersebut memiliki anomali magnetik antara -134.3
nT sampai dengan -566.3 nT yang menunjukkan adanya zona mineralisasi mineralisasi
tipe epitermal sulfidasi tinggi dengan alterasi pada bagian utara dan selatan area
penelitian. Respon pada target penelitian merupakan respon yang rendah dikarenakan
target penelitian merupakan suatu alterasi yang mengubah mineral mineral magnetit
menjadi hancur.
• Berdasarkan peta analytic signal, zona mineralisasi dan alterasi mengikuti kontrol
struktur berupa sesar dengan arah timur laut barat daya.
• Pemodelan 3D target penelitian menerus hingga bawah permukaan yang ditunjukkan
oleh nilai anomali magnetik yang rendah hingga kedalaman 100 meter lebih.

ACKNOWLEDGEMENTS
Tim penulis mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dan kontribusinya
dalam pengambilan dan pengolahan data untuk warga rakyat Nanotesla Teknik Geofisika
UPN “Veteran” Yogyakarta beserta asisten laboratorium yang telah membimbing dan
mengampu selama proses tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Bemmelen, van, R.W., 1949, The Geology of Indonesia. Martinus Nyhoff, The Haque, Nederland.
Blakely, R.J. 1995. Potential Theory in Gravity and Magnetic Applications. New York : Cambridge
University Press.
Briyantara, Seftyand dan Yulianto, Tony. 2015. Aplikasi Metode Magnetik untuk Melokalisasi Target
Zona Mineralisasi Emas di Daerah “X”. Youngster Physics Journal Vol. 4 No. 1.
Hamilton W. 1979. Tectonic of the Indonesian Regions. Washington : US Geological Survey,
Proffesional paper No.1078.
Idrus, Arifudin dan Putri Resty Intan. Penemuan Baru Mineralisasi Emas Tipe Epitermal Sulfidasi Tinggi
Di Gunung Gupit, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik,
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Annual Engineering Seminar 2013.
Lindgren, W. 1993. Mineral Deposit. McGraw-Hill Book Company, Inc, USA
Sillitoe, Richard H. 2010. Phorphyry Copper Systems. Society of Economic Geologist Inc. Economic
Geologu. V. 105. Pp. 3-41.
Sujanto, 1975. The Geology of Central and East Java Based on Earth 1 Image. National Institution of
Geology and Mineral, Jakarta.
Telford. 1990. Applied Geophysics Second Edition. Cambridge, New York, Port Chester, Melbourne,
Sydney : Cambridge University Press

1199
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G013UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Van Zuidam R.A. 1983. Guide to Geomorphic Areal Potographic Interpretation and Mapping. Netherlands
: ITC, Enschede.
White, N.C., and Hedenquist, J.W. 1993. Epithermal Gold Deposits: Styles, Characteristics and
Exploration. Society of Economic Geologist. Denver

1200
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G013UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

GAMBAR

Gambar 1. Model konsep mineralisasi Cu-Au (Sillitoe, 2010).

Gambar 2. Komponen medan magnet bumi

Gambar 3. Sebuah anomali magnetik


sebelum dan b. setelah reduksi ke kutub
(Blakely, 1996).

1201
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G013UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Bentuk perbandingan kurva TMI,


RTP dan analytic signal (Fashihullisan1, 2014).

Gambar 4. Desain survei awal pengambilan data geomagnetik Gunung Gupit, Magelang, Jawa
Tengah

1202
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G013UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. Diagram alir akuisisi dan pengolahan data

1203
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G013UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 6. Peta reduce to pole area penelitian gunung Gupit, Magelang, Jawa Tengah

Gambar 7. Peta persebara alterasi (Affandi dkk, 2013)

1204
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G013UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 8. Batuan dengan mineral penciri alterasi propilitik yang


ditemukan di lapangan daerah prospek endapan emas Gunung
Gupit, Magelang, Jawa Tengah

Gambar 9. Peta analytic signal

1205
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G013UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 10. Pemodelan 3D isosurface dari peta reduce to pole Gunung Gupit, Magelang,
Jawa Tengah

Gambar 11. Pemodelan target dengan anomali rendah untuk mengetahui kemenerusan
zona alterasi

1206
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G018UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

IDENTIFIKASI BAWAH PERMUKAAN DI AREA SEKITAR EPISENTER


GEMPABUMI SOLOK SELATAN 28 FEBRUARI 2019 MENGGUNAKAN
DATA ANOMALI GRAVITASI

Sigit Eko Kurniawan1,a), Ismi Rohmatus Sania1)


1
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jl. Angkasa No. 5, Kemayoran, Jakarta Pusat, Kode Pos
15221
*corresponding author: a) sigit.kurniawan@bmkg.go.id

ABSTRAK. Solok Selatan diguncang gempabumi merusak pada 28 Februari 2019. Gempabumi
terkuat terjadi dengan magnitudo Mw5,3 dengan episenter pada koordinat 1,4 LS dan 101,53 BT dan
kedalaman 10 km. Gempabumi diakibatkan sesar mendatar menganan (dextral-strike slip fault) dan
dipicu oleh aktivitas sesar aktif yang belum terpetakan serta belum diketahui namanya. Pada
penelitian ini dilakukan identifikasi bawah permukaan pada lokasi 101,475 BT ‒ 101,875 BT dan
1,675 LS ‒ 1,300 LS menggunakan data medan gravitasi bumi. Data medan gravitasi bumi diperoleh
dari satelit Global Gravity Model plus (GGMplus) dari Western Australian Geodesy Group di Curtin
University dan diolah menggunakan metode First Horizontal Derivative (FHD) dan Second Vertical
Derivative (SVD). Kedua metode tersebut digunakan untuk menunjukkan batas struktur geologi
penyebab anomali dan memunculkan efek dangkal anomali dari pengaruh regionalnya. Setelah itu
dilakukan interpretasi terhadap pemodelan inversi 3-D bawah permukaan di sekitar episenter
gempabumi. Hasil pemodelan dibandingkan menggunakan data ditribusi episenter gempabumi
dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan peta geologi. Hasil pemodelan
gravitasi menunjukan adanya kelurusan sesar di sekitar episenter gempabumi Solok Selatan dengan
jurus sesar Barat laut-Tenggara yang bersesuaian dengan sebaran epicenter gempabumi dan data
geologi Solok Selatan.

Kata kunci: Gempabumi, anomali gravitasi, sebaran episenter, pemodelan bawah permukaan.

I. PENDAHULUAN
Sebagian besar wilayah Indonesia merupakan wilayah rawan bahaya gempabumi
tektonik. Hal tersebut dikarenakan Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng
tektonik utama, yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, lempeng Pasifik dan
lempeng mikro Filiphina. Selain itu, sebagian besar wilayah Indonesia dilalui banyak
patahan yang terdapat di darat mau pun di lautan.
Pemetaan keberaadaan sesar di Indonesia terus dilakukan dari tahun ke tahun.
Dalam membuat analisis kemungkinan bahaya seismik atau probability seismic hazard
analysis (PSHA) Indonesia pada tahun 2010, sebanyak 81 sesar digunakan sebagai masukan
dalam pembuatan analisis. Pembaruan PSHA Indonesia dilakukan pada tahun 2017. Pada
tahun tersebut terjadi peningkatan jumlah sesar yang digunakan dalam pembuatan
analisis. Jumlah sesar yang digunakan Tim Pusat Studi Gempa Nasional meningkat
menjadi 251 sesar. Peningkatan tersebut terjadi karena beberapa sesar yang awalnya belum
terpetakan sekarang sudah terpetakan.
Pada Kamis, 28 Februari 2019, pukul 06:27:05 WIB, wilayah Kabupaten Solok
Selatan diguncang gempabumi tektonik magnitudo Mw5,3. Berdasarkan analisis BMKG,
hiposenter gempabumi terletak pada koordinat 1,4 LS dan 101,53 BT pada kedalaman 10

1207
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G018UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

kilometer. Episenter gempabumi berada pada Kecamatan Sangir Balai Janggo dengan jarak
36 kilometer arah timur laut Padang Aro. Gempa Solok Selatan ini, merupakan jenis gempa
tektonik kerak dangkal (shallow crustal earthquake) yang dipicu oleh sesar dengan
mekanisme sumber pergerakan mendatar menganan (dextral strike-slip). Gempabumi Solok
Selatan disebabkan aktivitas sesar aktif yang belum terpetakan dan belum diketahui
namanya (Gambar 1).
Guncangan gempa ini dirasakan di Solok Selatan dengan skala intensitas V-VI
MMI, Kota Padang III-IV MMI, Painan dan Padang Panjang II-III MMI, Payakumbuh
Limapuluh Kota II MMI, Kepahiang I MMI. Berdasarkan laporan Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) Solok Selatan, lebih dari 343 bangunan rumah rusak dan
sedikitnya 48 orang terluka akibat gempa.
Penelitian tentang bencana gempabumi yang terjadi di kecamatan Sangir Balai
Janggo, Solok Selatan ini masih sangat jarang. Penelitian umumnya dilakukan pada sesar
Sumatera segmen Suliti yang melintasi Solok Selatan. Penelitian lebih lanjut perlu
dilakukan untuk memahami sumber gempabumi Solok Selatan secara lebih baik. Pada
penelitian ini dilakukan identifikasi pemodelan bawah permukaan di daerah episenter
gempabumi tersebut. Identifikasi dilakukan menggunakan data gayaberat dan hiposenter
gempabumi Solok Selatan. Dengan adanya penelitian ini diharapkan penelitian tentang
sesar di Solok Selatan dapat ditingkatkan sehingga dapat dgunakan untuk mitigasi
bencana khususnya gempabumi.

II. DATA DAN METODE PENELITIAN


Penelitian dilakukan pada koordinat 101,475 ‒ 101,875 BT dan -1.675 ‒ 1.3 LS
menggunakan data medan gravitasi bumi yang didapat dari satelit Global Gravity Model
plus (GGMplus) dari Western Australian Geodesy Group di Curtin University. Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data elevasi dan anomali udara bebas (free air
anomaly) yang telah mengalami koreksi pasang surut bumi, koreksi lintang, dan koreksi
udara bebas.
Data anomali udara bebas akan dikoreksi dengan koreksi bouguer dengan bantuan
aplikasi pengolah angka. Koreksi bouguer dilakukan karena adanya kelebihan massa
antara tempat pengukuran dengan bidang referensi. Besar koreksi bouguer dapat dihitung
menggunakan persamaan berikut
BC = 0.0419 x 𝜌 x h (1)
Di mana BC adalah koreksi bouguer, ρ adalah estimasi densitas batuan bawah
permukaan, dan h adalah elevasi. Estimasi densitas batuan dapat diperoleh dengan
menggunakan perhitungan metode parasnis. Anomali udara bebas yang dikoreksi
menggunakan koreksi Bouguer akan menghasilkan nilai simple bouguer anomaly(SBA).
Tahap selanjutnya adalah melakukan pemisahan anomali regional dan residual
menggunakan Second Vertical Derivative (SVD) dan First Horizontal Derivative (FHD). Kedua
metode tersebut digunakan untuk menunjukkan batas struktur geologi penyebab anomali.
SVD bersifat sebagai highpass filter sehingga dapat meloloskan data anomali frekuensi
tinggi yang menggambarkan anomali residual yang berasosiasi dengan struktur dangkal
yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi patahan turun atau patahan naik. FHD
bersifat tidak rentan terhadap noise karena hanya memerlukan perhitungan turunan

1208
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G018UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

horizontal pertama yang dikuadratkan dari data(Salem. A., 2005). O SVD dapat dihitung
berdasarkan turunan kedua horizontalnya, hal ini karena medan potensial gayaberat
memenuhi persamaan Laplace :

(2)

Di mana adalah nilai anomali gayaberat, adalah turunan kedua medan


potensial gaya berat pada arah x, adalah turunan kedua medan potensial gaya berat

pada arah y, dan adalah turunan kedua medan potensial gaya berat pada arah z.
Anomali SVD dapat diturunkan melalui proses filtering. Pada penelitian ini, SVD dilakukan
menggunakan filter Elkins(1951). Menurut Reynolds (1997) menyatakan bahwa kriteria
untuk menentukan jenis struktur sesar adalah sebagai berikut:

1. Untuk sesar normal (turun)

(3)

2. Untuk sesar naik

(4)

Amplitudo dari first horizontal gradient ditunjukkan sebagai berikut (Cordell and
Grauch, 1985) :

(5)

Di mana dan adalah turunan horizontal gayaberat pada arah x dan y, setelah

dilakukan filtering, dilakukan inversi menggunakan pemodelan kebelakang untuk


menggambarkan struktur bawah permukaan. Dalam penelitian ini penulis menggunakan
perangkat lunak Geosoft Oasis Montaj v8.4. Pemodelan inversi dilakukan dengan
menggambarkan suatu benda di bawah permukaan yang dianggap berupa bola padat
yang memiliki nilai densitas dengan kedalaman tertentu. Kemudian dilakukan
pengukuran gayaberat untuk mendapatkan nilai gayaberat dalam bentuk suatu grafik.
Nilai gaya berat ini yang disebut sebagai data, bola padat adalah sebagai model, grafik
hasil pengolahan data adalah sebagai respon model, dan parameter modelnya adalah nilai
densitas. Jika fungsi yang menghubungkan data dengan parameter model merupakan
suatu fungsi linier maka dapat dinyatakan oleh persamaan berupa perkalian matriks
(Menke, 1984) :

d=Gm (6)

1209
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G018UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Di mana d adalah Data observasi, G adalah Matriks kernel, dan m adalah


Parameter model linier. Solusi inversi liniernya berupa :

(7)

Hasil pemodelan dibandingkan menggunakan data distribusi hiposenter


gempabumi dari BMKG dan peta geologi dari Badan Geologi.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil perhitungan nilai anomali gravitasi lokasi penelitian yang berupa nilai SBA
dipetakan dengan Surfer 12. Pemetaan nilai anomali gravitasi di sekitar lokasi gempabumi
pada Gambar 3 (a) menunjukkan nilai anomali bouguer tinggi yang dicirikan dengan
warna merah, dengan nilai tertinggi mecapai 50 mgal yang tersebar di bagian timur,
sedangkan nilai anomali bouguer rendah berada di selatan bagian barat yang ditunjukan
dengan warna hijau hingga ungu, dengan nilai terendahnya mencapai -70 mgal. Di antara
anomali tinggi dan rendah terdapat anomali sedang dengan warna kuning-jingga, yang
membentang sejajar dengan pola Sesar Besar Sumatera yaitu Barat laut- Tenggara.
Dari Gambar 3 (b) dapat dilihat dari sebaran gempabumi utama dan susulan di
Solok Selatan ini, terlihat gempabumi utama berada pada nilai anomali sedang, dan
gempabumi susulan berada di sekitar gempabumi utama pada daerah dengan nilai
anomali bouguer sedang, terdapat satu lokasi gempabumi susulan yang berada pada
daerah anomali tinggi.
Anomali bouguer pada Gambar 3 selanjutnya ditapis dengan filter Elkins untuk
menghasilkan nilai turunan kedua atau SVD. Nilai SVD bersama FHD akan digunakan
untuk identifikasi struktur geologi. FHD akan memberikan informasi batas struktur
geologi serta SVD akan memunculkan efek dangkal dari pengaruh regional sehingga dapat
mendeteksi anomali yang disebabkan oleh struktur geologi tertentu, dalam hal ini adalah
sesar. Peta SVD memperlihatkan nilai SVD teringgi adalah 12 dan nilai terendah adalah -
34.
Identifikasi bawah permukaan dilakukan untuk mengetahui penyebab gempabumi
Solok Selatan yang terjadi 28 Februari 2019, yang mana diduga berasal dari aktivitas sesar
local di sekitar wilayah Solok Selatan. Sesar yang menjadi penyebab gempabumi tersebut
belum terpetakan sehingga data anomali gravitasi ini cukup memberikan informasi
keberadaan sesar penyebab gempabumi tersebut. Gambar 4 menunjukan lokasi lintasan
irisan yang digunakan untuk menentukan kurva FHD dan SVD, serta lokasi pemodelan 3d
bawah bermukaan.
Identifikasi dilakukan dengan menggunakan metode FHD dan SVD yang hasilnya
seperti ditampilkan pada Gambar 6. Dari sembilan lintasan A-A’ hingga I-I’
memperlihatkan adanya nilai minimum maupun maksimum dari kurva FHD yang
berhimpit dengan nilai 0 kurva SVD yang ditunjukkan dengan garis putus‒putus. Hasilnya
menunjukan karakteristik FHD dalam estimasi letak bidang struktur geologi bersesuaian
dengan karakteristik SVD dalam menunjukkan adanya bidang dengan anomali yang
disebabkan oleh struktur geologi, yang mana kesesuaian ini ditunjukkan dengan nilai

1210
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G018UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

maksimum atau minimum pada kurva FHD dan dibatasi nilai 0 (nol) atau mendekati 0
(nol) pada grafik SVD.

Gambar 6 menyajikan gambar dugaan lintasan sesar pada peta SBA disekitar lokasi
gempabumi. Lintasan sesar terlihat membentuk pola Barat laut-Tenggara. Hasil ini
menunjukan bahwa lintasan sesar tidak tepat berada pada epicenter-epicenter gempabumi
utama maupun susulan, namun letaknya berada pada nilai anomali bouguer yang
menengah.
Dari 9 lintasan yang telah di buat kurva FHD dan SVD, selanjutnya dapat dibuat
perkiraan lintasan sesar di wilayah tersebut. Hasilnya terdapat dalam Gambar 7 dimana
dugaan lintasan sesar ditandai dengan garis berwarna putih.
Kriteria jenis sesar dari hasil analisis 9 lintasan, kesemuanya memberikan nilai
absolut minimum yang lebih besar dari pada nilai absolut maksimum, sehingga kesemua
lintasan memiliki kriteria sesar naik seperti dalam tabel 1.1. Namun mengingat pergerakan
utama dari Sesar Besar Sumatera adalah sesar geser, maka kemungkinan sesar ini memiliki
pergerakan yang dipengaruhi pergerakan utama Sesar Besar Sumatera menjadi bergeser-
naik.
Hasil pemodelan 3D bawah permukaan Gambar 5 (b) dapat dilihat pada Gambar
8. Kontras densitas berkisar antara -1,008 hingga 0,064 gram/cm3. Adanya zona dengan
kontras densitas yang lebih rendah di wilayah gempabumi Solok Selatan dicirikan dengan
warna kuning, menunjukan pola barat laut-tenggara sesuai dengan pola strike Sesar Besar
Sumatera. Batuan dengan kontras densitas tinggi berada di barat, yang menjadi sumber
batuan yang menekan terhadap batuan dengan densitas rendah di timur.
Secara vertical juga dapat dilihat batas kontras densitas yang jelas yang
mengindikasikan terdapat sesar di sekitar lokasi kejadian gempabumi, dan terlihat mulai
di kedalaman 2000 meter atau 2 km. namun kedalaman ini bukan menentukan kedalaman
lokasi sesar, hanya menjadi indikasi keberadaan lintasan sesar tersebut.
Dari hasil identifikasi menggunakan data anomali gravitasi dapat dicocokan
dengan data geologi wilayah penelitian. Daerah pusat gempabumi merupakan daerah
geologi di sekitar keberadaan sesar-sesar lokal di Sumatera Barat. Dengan adanya
gempabumi di Solok selatan, dapat menjadi acuan bahwa sesar-sesar lokal di wilayah
tersebut pada dasarnya memiliki kemenerusan hingga dimungkinkan saling menyambung
satu sama lain yang di barat laut dengan yang berada di Tenggara. Gambar 8 menunjukan
peta geologi wilayah penelitian yang menunjukan adanya sesar di Barat laut dan Tenggara,
yang di perkirakan memiliki kelurusan seperti gambar 9 (b) sehingga menjadi sumber
gempabumi Solok Selatan.

1211
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G018UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

IV. KESIMPULAN
Hasil identifikasi anomali gravitasi pada sekitar lokasi gempabumi Solok Selatan
menunjukkan nilai maksimum/minimum kurva FHD bersesuaian dengan nilai 0 pada
kurva SVD pada 9 lintasan slicing yang menunjukkan adanya dugaan sesar di lokasi
tersebut. Hal tersebut diperkuat dengan hasil pemodelan 3d anomali gravitasi yang
menunjukan adanya kontras densitas tinggi di Barat dan kontras densitas rendah di Timur
yang jelas batasnya, sehingga menjadi indikasi terdapat sesar dengan arah Barat laut –
Tenggara. Dengan didukung data informasi geologi juga dapat diperkirakan bahwa
lintasan sesar memiliki kelurusan dari Barat laut ke Tenggara sesuai sebaran gempabumi
Solok Selatan 28 Februari 2019.

DAFTAR PUSTAKA
Cordell, L., 1979, Gravimetric Expression of Graben Faulting in Santa Fe Country and Espanola Basin, New
Mexico. New Mexico. Geol. Sot. Guidebook, 30th Field Conf., 59-64.

Menke, William, 1984, Geophysical Data Analysis: Discrete Inverse Theory, Revised Edition, Academic
Press Inc., California.

Reynolds, J. M. 2011. An Introduction to Applied and Environmental Geophysics second edition. John
Wiley & Sons, Ltd:United Kingdom
Salem, A., 2005, Subsurface Structural Mapping Using Gravity Data of Hohi Geothermal Area, Central
Kyushu, Japan, Proceedings World Geothermal Congress, Turkey.

T. A. Elkins, Geophisycs. pp 16-50

Tim Pusat Studi Gempa Nasional. 2017. Peta Sumber Dan Bahaya Gempa Indonesia tahun 2017.
Bandung: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Tim Revisi Peta Gempa Indonesia. 2010. Ringkasan Hasil Studi Tim Revisi Peta Gempa Indonesia.
Bandung: 2010.

1212
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G018UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

TABEL

Tabel 1.1 Kriteria sesar di wilayah gempabumi Solok Selatan

Max Min Kriteria


Lintasan
(∂²Δg/∂z²) (∂²Δg/∂z²) Sesar
A-A’ 0.1253 -0.4757 Naik

B-B’ 0.2363 -0.3495 Naik


C-C’ 0.1386 -1.0389 Naik
D-D’ 0.2517 -0.2558 Naik

E-E’ 0.16729 -0.7760 Naik


F-F’ 0.4478 -1.1035 Naik
G-G’ 0.1608 -0.2627 Naik

H-H’ 0.6074 -0.6355 Naik


I-I’ 0.1354 -0.1464 Naik

GAMBAR

Gambar 1. Peta Distribusi gempabumi Solok Selatan. Lingkaran merah adalah episenter
gempabumi, garis merah adalah sesar sumatera, dan garis hitam adalah batas provinsi

1213
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G018UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. (a) Diagram alir penelitian.

(a) (b)
Gambar 3. (a) Peta Anomali Bouguer di sekitar wilayah gempabumi (b) Sebaran gempabumi utama
dan susulan pada Peta Anomali Bouguer Solok Selatan.

1214
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G018UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

(a) (b)
Gambar 4. (a) Peta SVD di sekitar wilayah gempabumi (b) Sebaran gempabumi utama dan susulan
pada Peta SVD Solok Selatan.

(a) (b)
Gambar 5. (a) Lintasan irisan pada anomali bouguer untuk FHD dan SVD (b) Lokasi pemodelan 3d
bawah permukaan

1215
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G018UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 6. Kurva hasil FHD dan SVD lintasan slice A-A’ hingga I-I’

1216
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G018UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 7. Dugaan lintasan sesar sesuai hasil FHD dan SVD

1217
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G018UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

(b)

(c)

(a) (d)

Gambar 8. Hasil pemodelan 3d bawah permukaan wilayah gempabumi Solok Selatan (a)
Penampang vertikal kedalaman (b) Batas kontras densitas secara horizontal (c) dan (d) Batas kontras
densitas dilihat vertical

1218
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G018UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

(a) (b)
Gambar 9. (a) Peta geologi wilayah penelitian (b) Overlay peta geologi dengan anomali gravitasi
wilayah gempabumi Solok Selatan

1219
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G023UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

ANALISIS INDEKS KERENTANAN SEISMIK DAN PERCEPATAN TANAH


MAKSIMUM BERDASARKAN MODEL VS30 USGS DI KABUPATEN
KULONPROGO

Arief Rachman Maulana1, Faricha Yuna Arwa1, Nugroho Budi Wibowo2, Purwanta1, Sri
Kiswanti1
1
Teknik Geofisika UPN “Veteran” Yogyakarta Jl. SWK No.104, Ngropoh, Condongcatur, Kec. Depok,
Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55283 2Badan Meterologi Klimatologi Dan Geofisika
Stasiun Geofisika Kelas 1 Daerah Istimewa Yogayakarta Jl. Wates Km. 8, Dusun Jitengan, Kel. Balecatur,
Kec. Gamping, Pereng Kembang, Balecatur, Sleman, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta
55294
*corresponding author: rachmanarief97@gmail.com

ABSTRAK. Kulonprogo merupakan wilayah di kawasan perbukitan Menoreh yang memiliki


potensi bencana yang cukup kompleks. Efek sekunder dari gempabumi tektonik yang terjadi di
selatan Yogyakarta merupakan salah satu potensi bencana tersebut. Faktor geologi Kulonprogo
yang tersusun atas Dataran Alluvium di wilayah selatan berpotensi memperbesar efek gelombang
seismik yang terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pemodelan Indeks Kerentanan
Seismik (Kg) dan Percepatan Tanah Maksimum (PGA) di Kulonprogo berdasarkan data Vs30 USGS
dan persamaan empiris Amplitudo. Pemodelan tersebut menggunakan sampel grid data Vs30 USGS
sebanyak 5.490 grid dan input parameter Gempabumi Yogyakarta 2006. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa nilai Indeks Kerentanan Seismik di Kulonprogo bervariasi antara 3,06 – 7,29
dan Percepatan Tanah Maksimum antara 25,63 – 49,31 gal. Potensi risiko tertinggi berdasarkan
Indeks Kerentanan Seismik dan Percepatan Tanah Maksimum meliputi wilayah Kecamatan Temon,
Wates, Panjatan, Galur, dengan Formasi yang mendominasi adalah Dataran Alluvium. Sedangkan
wilayah dengan potensi terendah berada di wilayah Kecamatan Kokap, Girimulyo, Samigaluh, dan
Kalibawang dengan Formasi Kebo Butak, dan Andesit.

Kata kunci: Kerentanan Tanah, Kulonprogo, PGA, Vs30

I. PENDAHULUAN
Sebagai wilayah yang memiliki aktivitas tektonik yang cukup besar, Indonesia
merupakan salah satu negara paling rawan terhadap bencana alam. Salah satu potensi
bencana alam tersebut yaitu gempabumi. Gempabumi merupakan bencana alam yang
belum dapat diprediksi kapan waktu dan parameter kejadiannya. Efek sekunder dari
gempabumi diantaranya, rusaknya infrastruktur bangunan, fasilitas umum, hingga
timbulnya korban jiwa. Kulonprogo merupakan wilayah di kawasan perbukitan Menoreh
yang memiliki potensi bencana yang cukup kompleks. Aktivitas gempabumi tektonik yang
terjadi dibagian Selatan Yogyakarta inilah yang dapat memicu timbulnya efek sekunder
tersebut dan menjadi salah satu potensi bencana tersebut. Geologi Kulonprogo yang
tersusun atas Dataran Alluvium di wilayah Selatan juga menjadi faktor besarnya efek
sekunder dari gempabumi tektonik tersebut.

1220
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G023UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Melihat besarnya efek sekunder yang diberikan, maka diperlukan suatu analisa
pada daerah tersebut sebagai langkah upaya mitigasi, salah satunya melalui analisis nilai
frekuensi dominan, amplifikasi, Vs30, indeks kerentanan seismik dan percepatan tanah
maksimum pada daerah penelitian. Analisis ini dimaksudkan untuk mengetahui
karakteristik jenis tanah, sehingga mampu menjelaskan nilai kerawanan pada daerah
penelitian. Karakteristik jenis tanah dapat diketahui melalui nilai frekuensi dominan yang
diperoleh dari hasil pengukuran mikroseismik berdasarkan kecepatan gelombang geser
dari permukaan tanah hingga kedalaman 30 meter (Vs30) sebagai acuan (Kanli, dkk, 2006,
SNI 1726:2012), nilai kecepatan gelombang S pada kedalaman 30 meter, nilai amplifikasi
yang dihitung melalui persamaan empiris Amplitudo, nilai indeks kerentanan seismik
yang diperoleh dari faktor frekuensi dominan dan faktor amplifikasi, dan nilai percepatan
tanah maksimum yang didapatkan melalui persamaan dengan menggunakan metode
Kanai, kemudian mampu memetakan kawasan rawan bencana gempabumi pada daerah
penelitian. Vs30 merupakan parameter penting untuk mengetahui respon tanah atau untuk
mengklasifikasikan jenis tanah, dan umumnya digunakan dalam perhitungan kaitannya
dengan mitigasi bencana.
Penelitian ini dilakukan pada seluruh wilayah Kulonprogo menggunakan sampel
grid data Vs30 USGS sebanyak 5.490 grid dan input parameter Gempabumi Yogyakarta
pada tahun 2006. Tujuan dari dilakukannya penelitian ini untuk mengetahui pemodelan
Indeks Kerentanan Seismik (Kg) dan Percepatan Tanah Maksimum (PGA) di Kulonprogo
berdasarkan data Vs30 USGS dan persamaan empiris Amplitudo. Sehingga dapat
dihasilkan peta persebaran nilai indeks kerentanan seismik dan percepatan tanah
maksimum kaitannya untuk memberikan informasi mengenai daerah-daerah rawan
terhadap bahaya gempabumi dan sebagai langkah awal untuk mengurangi efek sekunder
dari gempabumi tektonik di Kabupaten Kulonprogo.

II. GEOLOGI REGIONAL


Tatanan stratigrafi daerah Pegunungan Kulonprogo dapat dibedakan dalam
kelompok batuan sedimen dan kelompok batuan gunungapi. Batuan sedimen sebagai
dasar tersusun oleh dominasi batulempung-batupasir kuarsa dan batugamping yang
disebut Formasi Nanggulan. Batuan sedimen Formasi Nanggulan sebagai dasar batuan
volkanik Formasi Kebobutak. Formasi Nanggulan dan Kebobutak tersebut diintrusi oleh
batuan intrusi dangkal yang berupa mikrodiorit, andesit dan dasit yang pada umumnya
telah mengalami ubahan. Kelompok gunungapi ini ditutupi secara tidak selaras oleh
endapan laut dangkal Formasi Jonggrangan dan Formasi Sentolo.
Pada bagian Utara pegunungan Kulonprogo, didaerah Kali Duren-Kali Sileng
Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, dijumpai keterdapatan batuan metamorf
sebagai fragmen penyusun dari breksi volkanik Formasi Kebobutak. Formasi Nanggulan
berada di lokasi daerah Kalisongo, Nanggulan. Menurut Van Bemmelen, 1949,
menjelaskan bahwa formasi ini merupakan batuan tertua di Pegunungan Kulonprogo
dengan lingkungan pengendapannya adalah litoral pada fase genang laut. Litologi
penyusunnya terdiri-dari batupasir dengan sisipan lignit, napal pasiran, batulempung
dengan konkresi limonit, sisipan napal dan batugamping, batupasir, tuf kaya akan
foraminifera dan moluska, diperkirakan ketebalannya 350 m. Berdasarkan atas studi

1221
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G023UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

foraminifera planktonik, maka Formasi Nanggulan ini mempunyai kisaran umur antara
Eosen Tengah sampai Oligosen. Formasi ini dijumpai terutama pada sisi timur Gunung
Gajah dan sisi timur Gunung Ijo, kemudian diendapkan secara tidak selaras diatas Formasi
Nanggulan terdapat Formasi Kebo Butak dengan litologi berupa breksi volkanik dengan
fragmen andesit, lapilli tuf, tuf, lapili breksi, sisipan aliran lava andesit, aglomerat, serta
batupasir volkanik yang tersingkap di banyak lokasi di daerah Kulonprogo. Formasi ini
tersingkap baik di bagian tengah, utara, dan barat daya daerah Pegunungan Kulonprogo
yang membentuk morfologi pegunungan bergelombang sedang hingga terjal. Ketebalan
formasi ini kira-kira mencapai 600 m. Berdasarkan fosil foraminifera planktonik yang
dijumpai dalam napal dapat ditentukan umur Formasi Andesit Tua yaitu Oligosen Atas.
(Widagdo, 2016)
Kemudian diendapkan secara tidak selaras Formasi Jonggrangan diatas Formasi
Andesit Tua. Formasi ini secara umum, bagian bawah terdiri dari konglomerat, napal
tufan, dan batupasir gampingan dengan kandungan moluska serta batulempung dengan
sisipan lignit. Di bagian atas, komposisi formasi ini berupa batugamping berlapis dan
batugamping koral. Morfologi yang terbentuk dari batuan penyusun formasi ini berupa
pegunungan dan perbukitan kerucut dan tersebar di bagian tengah dan utara Pegunungan
Kulonprogo.(Widagdo,2016) Berumur Miosen Bawah-Miosen Tengah. Formasi ini di
bagian bawah menjemari dengan bagian bawah Formasi Sentolo.
Di atas Formasi Andesit Tua, selain Formasi Jonggrangan, diendapkan juga secara
tidak selaras Formasi Sentolo. Hubungan Formasi Sentolo dengan Formasi Jonggrangan
adalah menjari. Foramasi Sentolo terdiri dari batugamping dan batupasir napalan. Bagian
bawah terdiri atas konglomerat yang ditumpuki oleh napal tufan dengan sisipan tuf.
(Widagdo, 2016).

III. DASAR TEORI


Kecepatan Gelombang Geser Pada Kedalaman 30 meter (Vs30)
Vs30 adalah kecepatan gelombang geser hingga pada kedalaman 30 meter dari
permukaan tanah. Nilai Vs30 dipergunakan dalam menentukan standar bangunan tahan
gempa dan digunakan untuk penentuan klasifikasi batuan berdasarkan kekuatan getaran
dari gempabumi akibat efek lokal. Hal tersebut karena lapisan-lapisan batuan sampai
kedalaman 30 meter saja yang menentukan pembesaran gelombang gempa
(Wangsadinata, 2006).
Frekuensi Dominan
Frekuensi dominan merupakan nilai frekuensi yang kerap muncul sehingga
dianggap sebagai nilai frekuensi dari lapisan batuan didaerah penelitian tersebut (Lantu,
dkk., 2018). Nilai frekuensi dominan dapat menunjukkan jenis serta karakteristik dari
batuan tersebut. Nilai frekuensi ini diperoleh berdasarkan persamaan sebagai berikut :
f = (1.1)
Dengan Vs merupakan kecepatan gelombang geser (m/s), dan H merupakan
ketebalan sedimen (m).
Amplifikasi

1222
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G023UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Amplifikasi merupakan penguatan amplitudo gelombang seismik akibat adanya


perbedaan yang signifikan antar lapisan. Gelombang seismik akan mengalami penguatan
(amplifikasi) apabila merambat pada suatu medium ke medium lain yang lebih lunak
(Lantu, dkk., 2018). Nilai amplifikasi juga dapat dipengaruhi oleh adanya kontras
impedansi lapisan permukaan dengan lapisan dibawahnya. Apabila perbandingan kontras
impedansi kedua lapisan tersebut tinggi, maka nilai faktor penguatan juga akan tinggi, dan
begitu pula sebaliknya (Nakamura, 2000). Besarnya nilai amplifikasi dapat dihitung
dengan persamaan empiris sebagai berikut: (Wakamatsu, 2006).
(1.2)
Dengan Amp merupakan nilai amplifikasi dan Vs30 merupakan kecepatan
gelombang S sampai kedalaman 30 meter.
Indeks Kerentanan Seismik (Kg)
Sedangkan Indeks Kerentanan Seismik (Kg) menurut Nakamura (1989) dan Huang
dan Tseng (2002) bahwa Indeks Kerentanan Tanah (Kg) mengindentifikasikan tingkat
kerentanan suatu lapisan tanah yang mengalami deformasi akibat gempa bumi dengan
persamaan sebagai berikut:
Kg = (1.3)
Dengan Am dan f0 adalah amplitude (faktor amplifikasi) dan frekuensi dominan.
Nilai Kg yang tinggi umumnya ditemukan pada tanah dengan litologi batuan sedimen
yang lunak. Nilai yang tinggi ini menggambarkan bahwa daerah tersebut rentan terhadap
gempa dan jika terjadi gempa dapat mengalami goncangan yang kuat. Sebaliknya, nilai Kg
yang kecil umumnya ditemukan pada tanah dengan litologi batuan penyusun yang kokoh
sehingga saat terjadi gempa tidak mengalami banyak goncangan.
Peak Ground Acceleration (PGA)
PGA merupakan pengukuran suatu parameter yang merepresentasikan percepatan
getaran gempa di tanah. PGA juga dikenal sebagai Design Basis Earthquake Ground Motion
(DBEGM). Nilai PGA suatu daerah bukanlah termasuk ke dalam pengukuran terhadap
besar energi suatu gempa bumi. PGA merupakan pengukuran kuat goncangan tanah suatu
daerah.
PGA = (1.4)

Dimana, PGA merupakan Percepatan Tanah Maksimum (gal), M merupakan


Magnitudo gempabumi dalam skala Richter, R merupakan Jarak hiposenter (km), 𝑇
merupakan Periode Dominan (sekon).

IV. METODE PENELITIAN


Lokasi penelitian berada di Kabupaten Kulonprogo dengan koordinat 388458.29 -
421626.13 mE dan 9111897.22 - 9157296.27 mN atau 109.98 - 110.28 BT dan 7.62 - 8.03 LS.
Data yang digunakan ialah data Vs30 USGS sebanyak 5.490 grid dengan rentang nilai 200-
740 m/s dan data gempa Yogyakarta yang berasal dari BMKG, yang terjadi pada tanggal

1223
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G023UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

27 Mei 2006 pukul 5:54:00.4 WIB, dengan magnitude 5,9 SR, kedalaman 11,8 km pada
koordinat episenter 425068.3 mE dan 9112323.48 mN atau 110.32 BT - 8.03 LS.
Pengolahan metode mikroseismik untuk menentukan Indeks Kerentanan Tanah
(Kg) dan Peak Ground Acceleration (PGA) dimulai dengan mempersiapkan data lapangan
serta mempelajari geologi daerah penelitian. Data lapangan berupa data parameter gempa
bumi dan Vs30 USGS. Pengolahan data Vs30 USGS dilakukan dengan cara memasukkan
rumus pada Microsoft Excel untuk mendapatkan nilai faktor amplifikasi dan frekuensi
dominan. Kemudian, membuat peta f0 untuk melihat persebaran nilai frekuensi dominan
dan peta Am untuk melihat persebaran nilai amplifikasi di daerah penelitian. Dengan
melihat nilai f0 dan Am tersebut dilakukan perhitungan untuk mendapatkan nilai Indeks
Kerentanan Tanah (Kg). Peta Kg yang telah dibuat menggambarkan persebaran nilai
indeks kerentanan tanah di daerah penelitian.
Selanjutnya, untuk mendapatkan nilai Peak Ground Acceleration, pengolahan yang
dilakukan ialah menggunakan metode Kanai. Pengolahan menggunakan metode Kanai
memperhitungankan parameter-parameter gempa serta frekuensi dominannya. Peta PGA
menggambarkan persebaran nilai Peak Ground Acceleration di wilayah penelitian.
Kemudian, melakukan analisis terhadap peta yang telah dibuat dengan melihat geologi
daerah penelitiannya. Lalu, menyimpulkan hasil analisis yang telah dibuat.

V. PEMBAHASAN
Dengan menggunakan persamaan (1.1) pada setiap titik pengukuran data
mikroseismik, diperoleh peta persebaran nilai frekuensi dominan berdasarkan kecepatan
gelombang geser pada kedalaman 30 meter daerah Kulonprogo. Nilai frekuensi dominan
pada daerah penelitian dapat dilihat seperti pada Gambar 4. Daerah yang memiliki nilai
frekuensi rendah ditunjukkan dengan warna biru hingga ungu sebesar 1,6 Hz – 2,6 Hz
berada disebelah Selatan melingkupi Kecamatan Temon, Wates, Panjatan, dan Galur.
Dimana susunan batuan pada daerah ini merupakan Alluvium (terdiri atas endapan-
endapan kerakal, pasir, lanau, dan lempung sepanjang sungai yang besar dan dataran
pantai) yang memiliki ketebalan sedimen yang sangat tebal. Nilai frekuensi dominan
sedang ditandai dengan warna hijau hingga kuning dengan rentang nilai 2,83 Hz hingga
4,83 Hz berada disebelah Timur yang melingkupi Kecamatan Nanggulan, Pengasih,
Sentolo, dan Lendah. Susunan batuan pada klasifikasi ini yaitu berupa batuan Alluvium
dan endapan gunungapi merapi muda dengan kategori ketebalan sedimen permukaannya
masuk ke dalam kategori tebal. Sedangkan nilai frekuensi dominan yang tinggi berada di
sebelah Barat dan Utara berkisar 5 Hz hingga 6,16 Hz yang mencangkup Kecamatan
Kokap, Girimulyo, Samigaluh, dan Kalibawang dengan Nilai tinggi ini disebabkan karena
adanya ketebalan sedimen yang tipis hingga menengah dan umumnya didominasi oleh
batuan yang keras. Hal ini sesuai dengan geologi pada daerah tersebut, dimana masuk ke
dalam batuan terobosan yang tersusun atas batuan andesit dan Endapan Gunungapi
Merapi Muda (Tuf, abu, breksi, aglomerat, dan lava flows).
Frekuensi dominan merupakan frekuensi alami yang terdapat di suatu daerah.
Besarnya nilai frekuensi dominan dapat menunjukkan jenis, karakteristik, serta tapak lokal
suatu daerah. Besarnya nilai frekuensi dominan pada setiap batuan atau lapisan akan

1224
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G023UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

berbeda-beda, dikarenakan komposisi, ukuran, serta bentuk dari setiap benda atau lapisan
tersebut juga berbeda-beda.
Amplifikasi berkaitan dengan penguatan gelombang seismik, hal ini terjadi
diakibatkan adanya perbedaan yang signifikan antar lapisan atau adanya perbandingan
kontras impedansi lapisan permukaan dengan lapisan dibawahnya (Nakamura, 2000).
Daerah yang memiliki nilai amplifikasi yang tinggi disebabkan karena adanya lapisan
sedimen yang cukup tebal, Nilai amplifikasi yang tinggi juga disebabkan oleh adanya
deformasi (pelapukan, pensesaran, dan pelipatan) sehingga mengubah sifat fisik batuan
tersebut. Walaupun batuan penyusunnya sama, nilai amplifikasi dapat berbeda tergantung
dengan tingkat deformasi pada batuan tersebut.
Dengan menggunakan persamaan (1.2) pada setiap titik pengukuran, maka akan
didapatkan peta persebaran nilai amplifikasi pada daerah penelitian dengan berdasarkan
kecepatan gelombang S pada kedalaman 30 meter seperti pada Gambar 5. Daerah
penelitian memiliki nilai amplifikasi antara rentang 3,65 sampai 4,51 berada diseluruh
wilayah Kabupaten Kulonprogo, yang melingkupi Kecamatan Temon, Wates, Panjatan,
Galur, Nanggulan, Pengasih, Sentolo, Lendah, Kokap, Girimulyo, Samigaluh, dan
Kalibawang. Dimana susunan batuan daerah ini merupakan Alluvium (terdiri atas
endapan-endapan kerakal, pasir, lanau, dan lempung sepanjang sungai yang besar dan
dataran pantai), Endapan Gunungapi Merapi Muda, dan batuan terobosan yang tersusun
atas batuan andesit. Nilai amplifikasi pada Kabupaten Kulonprogo ini masuk kedalam
kategori tanah kaku/batuan lunak pada bagian Selatan hingga tanah sedang yang berada
pada bagian Barat-Utara.
Selanjutnya dengan menggunakan persamaan (1.3) maka akan diperoleh
persebaran nilai indeks kerentanan seismik berdasarkan kecepatan gelombang geser pada
kedalaman 30 meter pada wilayah Kulonprogo seperti pada Gambar 6. Daerah yang
memiliki nilai kerentanan seismik rendah ditunjukkan dengan warna biru hingga ungu
sebesar 3,064 – 4,4 berada disebelah Barat dan Utara melingkupi Kecamatan Kokap,
Girimulyo, Samigaluh, dan Kalibawang. Dimana susunan batuan pada daerah ini
umumnya didominasi oleh batuan yang keras. Hal ini sesuai dengan geologi pada daerah
tersebut, dimana masuk ke dalam batuan terobosan yang tersusun atas batuan andesit dan
Endapan Gunungapi Merapi Muda (Tuf, abu, breksi, aglomerat, dan lava flows). Nilai
indeks kerentanan seismik sedang ditandai dengan warna hijau hingga kuning dengan
rentang nilai 4,66 hingga 6 berada disebelah Timur yang melingkupi Kecamatan
Nanggulan, Pengasih, Sentolo, dan Lendah. Susunan batuan pada klasifikasi ini yaitu
berupa batuan Alluvium dan endapan gunungapi merapi muda dengan kategori ketebalan
sedimen permukaannya masuk ke dalam kategori tebal, sedangkan nilai indeks
kerentanan seismik yang tinggi berada di sebelah Selatan berkisar 6,8 hingga 7,29 yang
mencangkup Kecamatan Temon, Wates, Panjatan, dan Galur. Nilai tinggi ini disebabkan
karena adanya susunan batuan berupa Alluvium (terdiri atas endapan-endapan kerakal,
pasir, lanau, dan lempung sepanjang sungai yang besar dan dataran pantai) yang memiliki
ketebalan sedimen yang sangat tebal.
Kerentanan tanah dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor frekuensi natural dan
faktor amplifikasi. Nilai frekuensi natural akan menggambarkan jenis atau karakteristik
suatu batuan melalui frekuensi alami yang diperoleh pada daerah penelitian. Sedangkan
nilai amplifikasi akan memperlihatkan respon lapisan batuan saat dilewati gelombang

1225
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G023UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

seismik. Nilai amplifikasi akan meningkat apabila melewati medium yang lunak. Nilai
kerentanan tanah mengidentifikasi tingkat kerentanan suatu lapisan tanah yang
mengalami deformasi akibat gempabumi (Nakamura., 1989 dan Huang & Tseng., 2002).
Apabila nilai kerentanan tanah tinggi, menjelaskan bahwa pada daerah tersebut rentan
terhadap goncangan, dan begitupun sebaliknya. Kemudian, dengan menggunakan
persamaan (1.4), maka akan diperoleh persebaran nilai percepatan tanah maksimum
berdasarkan kecepatan gelombang geser pada kedalaman 30 meter seperti pada Gambar
7. Peak Ground Acceleration (PGA) merupakan nilai percepatan tanah terbesar yang dapat
terjadi pada suatu wilayah akibat adanya gelombang gempabumi dalam periode waktu
tertentu. Perhitungan nilai PGA pada wilayah tersebut dilakukan dengan menggunakan
metode Kanai. Daerah yang memiliki nilai percepatan tanah maksimum rendah
ditunjukkan dengan warna biru hingga ungu sebesar 25,63 gal – 30,33 gal berada disebelah
Selatan melingkupi Kecamatan Temon, Wates, Panjatan, dan Galur. Dimana susunan
batuan pada daerah ini merupakan Alluvium (terdiri atas endapan-endapan kerakal, pasir,
lanau, dan lempung sepanjang sungai yang besar dan dataran pantai) yang memiliki
ketebalan sedimen yang sangat tebal. Nilai percepatan tanah maksimum sedang ditandai
dengan warna hijau hingga kuning dengan rentang nilai 31,39 gal hingga 40,53 gal berada
disebelah Timur yang melingkupi Kecamatan Nanggulan, Pengasih, Sentolo, dan Lendah.
Susunan batuan pada klasifikasi ini yaitu berupa batuan Alluvium dan endapan gunungapi
merapi muda dengan kategori ketebalan sedimen permukaannya masuk ke dalam kategori
tebal. Sedangkan nilai percepatan tanah maksimum yang tinggi berada di sebelah Barat
dan Utara berkisar 41,33 gal hingga 49,31 gal yang mencangkup Kecamatan Kokap,
Girimulyo, Samigaluh, dan Kalibawang dengan umumnya didominasi oleh batuan yang
keras. Hal ini sesuai dengan geologi pada daerah tersebut, dimana masuk ke dalam batuan
terobosan yang tersusun atas batuan andesit dan Endapan Gunungapi Merapi Muda (Tuf,
abu, breksi, aglomerat, dan lava flows).
Berdasarkan Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Jawa (1995), litologi pada daerah
penelitian bagian Barat dan Utara didominasi oleh batuan yang relatif lebih keras
dibandingkan dengan daerah pada bagian Selatan dan Timur. Untuk nilai persebaran
indeks kerentanan seismik dan percepatan tanah maksimum dari setiap titik pengukuran
akan diinterpolasikan untuk mendapatkan kontur persebaran nilai tersebut. Rentang
persebaran nilai Vs30 yang diambil melalui USGS pada wilayah Kulonprogo yaitu 200 m/s
hingga 740 m/s. Berdasarkan Standar SNI 1726:2012 mengenai klasifikasi jenis tanah
berdasarkan nilai Vs30 untuk wilayah Kulonprogo ini tergolong kedalam klasifikasi jenis
tanah sedang (SD) hingga tanah keras (SC).
Dalam kepentingan mitigasi bencana gempabumi, informasi mengenai frekuensi
dominan, amplifikasi, indeks kerentanan seismik, dan percepatan tanah maksimum
menjadi salah satu hal yang sangat penting, dimana hal ini digunakan dalam perancangan
bangunan tahan gempa. Pada daerah penelitian dapat diklasifikasikan bahwa daerah yang
memiliki nilai kerentanan tanah paling tinggi yaitu pada Kecamatan Temon, Wates,
Panjatan, dan Galur, dengan posisi wilayah berada dibagian selatan (pesisir pantai).
Besarnya nilai kerentanan tanah pada daerah ini dikarenakan adanya ketebalan sedimen
yang tinggi dan kekompakan batuan yang buruk. Hal ini sesuai dengan yang ditunjukkan
pada peta geologi lembar Yogyakarta pada daerah penelitian. Berdasarkan peta geologi,
daerah penelitian tersusun atas endapan-endapan Alluvium berupa kerakal, pasir, lanau,

1226
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G023UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

dan lempung sepanjang sungai yang besar dan dataran pantai. Kemudian berdasarkan
nilai frekuensi dominan dan amplifikasi pada daerah ini juga memperkuat bahwa daerah
ini merupakan daerah yang rentan terhadap bencana gempabumi. Nilai frekuensi dominan
pada daerah ini masuk kedalam kategori yang rendah dan memiliki nilai amplifikasi yang
tinggi, sehingga batuan pada daerah ini merupakan batuan yang relatif lunak. Untuk
Kecamatan Lendah, Sentolo, Pengasih, dan Nanggulan tingkat kerentanan tanah pada
daerah tersebut relatif tidak begitu rentan, untuk Kecamatan Kokap, Girimulyo,
Samigaluh, dan Kalibawang merupakan daerah yang tergolong memiliki tingkat
kerentanan yang sangat kecil, dan dapat dikatakan aman terhadap goncangan.
Disarankan apabila ingin mendirikan bangunan harus memperhatikan mengenai
bagaimana material-material campuran yang digunakan dalam pembangunan suatu
bangunan tersebut. Apabila hal tersebut tidak diperhatikan, maka berdasarkan skala
intensitas internasional dapat dimungkinkan apabila terjadi getaran gempabumi pada
daerah tersebut, bangunan yang memiliki material yang kurang tepat akan dapat
mengakibatkan kerusakan ringan pada bangunan tersebut. Kemudian disarankan juga
untuk tidak membangun gedung-gedung bertingkat, karena akan dikhawatirkan apabila
terjadi getaran dibawah permukaan maka fondasi bangunan tersebut tidak akan kuat
untuk menahan getaran tersebut. Dan untuk wilayah dengan resiko rendah, boleh untuk
membangun bangunan tidak bertingkat maupun bertingkat, namun harus tetap
memperhatikan bahan campuran bangunan tersebut agar dapat kuat menahan getaran
gempabumi dan mengurangi resiko jatuhnya korban jiwa lebih banyak.

VI. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi data pada daerah penelitian, maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Nilai frekuensi dominan pada daerah penelitian berkisar 1,6 Hz – 6,16 Hz. Untuk nilai
amplifikasi gelombang berada pada rentang 3,65 sampai 4,51, dimana memiliki arti
bahwa pada daerah penelitian apabila mengalami gempabumi, maka penguatan
gempanya sebanyak 3,65 sampai 4,51 kali. Nilai indeks kerentanan seismik pada daerah
penelitian berkisar 3,064 – 7,29 dan nilai percepatan tanah maksimum berkisar 25,63 gal
– 49,31 gal.
2. Potensi risiko tertinggi berdasarkan peta persebaran nilai Indeks Kerentanan Seismik
dan Percepatan Tanah Maksimum meliputi wilayah Kecamatan Temon, Wates,
Panjatan, Galur, dengan Formasi yang mendominasi adalah Dataran Alluvium.
Sedangkan wilayah dengan potensi terendah berada di wilayah Kecamatan Kokap,
Girimulyo, Samigaluh, dan Kalibawang dengan Formasi Kebo Butak, dan Andesit.

DAFTAR PUSTAKA
Huang, H., and Tseng, Y., 2002, Characteristics of Soil Liquefaction Using H/V of Microtremor in Yuan-
Lin Area, Taiwan. TAO, Vol. 13, No. 3, 325- 338.
Kanli, A.I., Tildy, P., Pronay, Z., Pinar, A., Hermann, L. (2006). Vs30 Mapping and Soil Classification
for Seismic Site Effect Evaluation in Dinar Region, SW Turkey. Geophysical Journal International
165, 223–235.

1227
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G023UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Lantu., Aswad, S., Fitriani., dan Marjiyono. 2018. Pemetaan Wilayah Rawan Bencana Gempabumi
Berdasarkan Data Mikrotremor dan Data Bor.Jurnal. Geocelebes Vol. 2 No 1.ISSN:2579-5546.
Nakamura, Y. 2000. Clear Identification of Fundamental Idea of Nakamura's Technique and Its Applications.
Proc XII World Conf. Earthquake Engineering, New Zealand,2656.
Nakamura, Y., 1989, A Method for Dynamic Characteristics Estimation of Subsurface Using Microtremor
on the Ground Surface, Quarterly Report of the Railway Technology Institute, Jepang, 30
(1):25-33.
Pringgoprawiro, H., dan Riyanto, B., 1988. Formasi Andesit Tua Suatu Revisi. Bandung: Institut
Teknologi Bandung Departemen Geologi.
Rahardjo, W., Sukandarrumidi, & Rosid, H.M.D., 1995, Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Jawa,
Direktorat Geologi, Bandung.
Rahardjo, W., Sukandarrumidi, Rosidi, H.M., 1977. Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Jawa, skala
1:100.000. Direktorat Geologi, Bandung.
SNI 1726:2012. (2012). Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung Dan
Non Gedung. http://www.slideshare.net/MiraPemayun/sni-17262012-tata-cara-
perencanaan-ketahanan-gempa-untuk-struktur-bangunan-gedung-dan-non-gedung)
(diakses 9 Agustus 2019).
Utama, H.W., Sutanto, 2013, Arti Penting Fragmen Breksi sebagai Identifikasi Basement Perbukitan
Menoreh Daerah Kaliduren serta Kesebandingannya terhadap Fragmen Batuan Metamorf di Daerah
Selogiri, Jawa Tengah, Proseiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6, T. Geologi UGM,
Yogyakarta.
Van Bemmelen, R.W., 1949, The Geology of Indonesia Vol. IA, General Geology of Indonesia and Adjacent
Archipelago, Government Printing Office, The Hague.
Wakamatsu, K., and M. Matsuoka.2006.Development Of The 7.5-Arc-Second Engineering
Geomorphologic Classification Database and its Application to Seismic Microzoning, Bulletin of.
Wangsadinata, W., 2006. Perencanaan Bangunan Tahan Gempa Berdasarkan SNI 1726-2002. Shortcourse
HAKI 2006. Jakarta.
Widagdo, A., Pramunijoyo, S., Harijoko, A., Setiawan A., 2016. Kajian Pendahuluan Kontrol Struktur
Geologi terhadap Sebaran Batuan-Batuan di Daerah Pegunungan Kulonprogo-Yogyakarta,
Proceeeding, Seminar Nasional Kebumian ke-9, T. Geologi UGM, Yogyakarta

1228
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G023UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 1. Stratigrafi Regional Pegunungan Kulon Progo, menurut tiga ahli yaitu Wartono Rahardjo,
dkk (1977), Suroso, dkk (1986), dan Pringgoprawiro, dkk (1988)

Gambar 1. Peta geologi daerah Kulonprogo (Rahardjo, Wartono dkk., 1995)

1229
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G023UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Peta administrasi Kabupaten Kulonprogo

Gambar 3. Diagram alir pengolahan data

1230
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G023UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Peta persebaran nilai frekuensi predominan Kabupaten Kulonprogo

1231
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G023UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. Peta persebaran nilai amplifikasi gelombang Kabupaten Kulonprogo

Gambar 6. Peta indeks kerentanan seismik Kabupaten Kulonprogo

1232
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G023UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 7. Peta persebaran peak ground acceleration Kabupaten Kulonprogo

1233
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G024UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

ANALISIS GEMPA BUMI SUSULAN (AFTERSHOCK) DAN KAITANNYA


TERHADAP SESAR AKTIF PADA KOTA MATARAM STUDI KASUS
GEMPA LOMBOK AGUSTUS

1Muhammad Aji Wiyuda 1*, Leonardo Manurung 1, Saptono Budi Samodra 1


Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Jalan Grafika Nomor 2
Bulaksumur Yogyakarta 55281 Indonesia 1
*corresponding author: mawajiwiyuda@gmail.com

ABSTRAK. Gempabumi merupakan kejadian geologi yang dihasilkan dari pergerakan lempeng
tektonik. Dalam peristiwanya setelah gempabumi utama (mainshock) akan diikuti oleh peristiwa
gempabumi susulan (aftershock) dalam kurun waktu tertentu. Penelitian ini akan membahas analisis
gempabumi susulan (aftershock) yang terjadi pada gempa Lombok 2018 dengan menggunakan data
gempa-micro (microsesimicity). Penelitian ini menjadi menarik karena perlu adanya peta yang
menujukkan sesar yang aktif pada daerah sekitar Kota Mataram, dengan menggunakan data
gempa-micro (microsesimicity) maka dapat membantu memberikan informasi struktur bawah
permukaan yang mengindikasi struktur aktif. Metode penelitian menggunakan data 992
gempabumi susulan (aftershock) dari tanggal 5 Agustus hingga 27 September 2018 dengan
magnitudo 1 sampai 4 Skala Richter, kemudian menggunakan Digital Elevation Model (DEM) dan
peta geologi regional lembar Lombok. Analisis keruangan dilakukan pada daerah morfologi yang
strukturnya terlihat jelas dan menerapkan pada daerah tutupan endapan pada Kota Mataram.
Berdasarkan hasil analisis data ditemukan bahwa terdapat konsentrasi titik gempa yang intensif,
hal ini mengindikasikan bahwa terdapat struktur aktif yang mengontrolnya, yaitu terjadi pada
bagian utara Gunung Rinjani dan bagian Kota Mataram. Hasil pola kelurusan (lineament) yang
dibuat menunjukkan bahwa sesar aktif naik berarah NNW-SSE dan sesar geser dekstral berarah E-
W.

Kata kunci: Aftershock, Lombok, microseismicity

I. PENDAHULUAN
Bencana gempabumi merupakan salah satu bencana alam yang sering terjadi di
Indonesia, terutama di Pulau Lombok yang mempunyai frekuensi kejadian gempabumi
yang sangat tinggi dan hampir setiap tahun mengalami peningkatan yang dipicu dengan
kondisi tektonik yang berupa Zona Subduksi Sunda-Banda. Gempabumi memiliki
intensitas kerusakan dan kekuatan yang bermacam-macam. Bencana gempabumi
merupakan salah satu diantara bencana alam yang menimbulkan korban jiwa dan material
yang sangat besar karena menyebabkan kerusakan pemukiman, fasilitas umum, dan lain-
lain.
Pada hari Minggu, 5 Agustus 2018 jam 18:46:37 WIB terjadi gempabumi yang
dengan magnitude 7.0. Pusat gempa berada di kedalaman 15 km dan berada di darat 18
km arah barat laut Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat (Yudi et al., 2018).
Selanjutnya, gempabumi dengan magnitude 7.0 yang dimutakhirkan menjadi magnitude

1234
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G024UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

6.9 terjadi pada hari Minggu,19 Agustus 2018 jam 21:56:27 WIB. Pusat gempa berada di
kedalaman 10 km dan berada di laut 30 km arah timur laut Lombok Timur, Provinsi Nusa
Tenggara Barat (Nur Hidayati et al., 2018). Gempa ini merupakan gempa utama baru yang
berbeda dari gempa utama yang terjadi pada 05 Agustus 2018 dengan magnitude 7.0 dan
bukan merupakan gempabumi susulan dari gempa tersebut.
Gempa-gempa utama (mainshock) tersebut diikuti oleh gempa-gempa susulan
(aftershock) yang tersebar pada beberapa titik dalam kurun waktu tertentu. Penelitian ini
akan membahas analisis gempa bumi susulan (aftershock) yang terjadi pada gempa Lombok
2018 dengan menggunakan data gempa-micro (microsesimicity). Penelitian ini menjadi
menarik karena perlu adanya peta yang menujukkan sesar yang aktif pada daerah sekitar
Kota Mataram, dengan menggunakan data gempa-micro (microsesimicity) maka dapat
membantu memberikan informasi struktur bawah permukaan yang mengindikasi struktur
aktif.

II. GEOLOGI REGIONAL


Untuk mengetahui geologi regional daerah penelitian maka kita harus mengacu
pada lembar peta geologi yaitu Peta Geologi Lembar Lombok (Mangga et al., 1994).
Adapun stratigrafi lembar peta geologi tersebut adalah sebagai berikut:
Stratigrafi Peta Geologi Lembar Lombok dari muda ke tua (Gambar 2.1):
• Aluvium tersusun oleh kerakal, kerikil, pasir, lempung, gambut dan pecahan koral.
• Batuan Gunungapi Tak Teruraikan tersusun oleh lava, breksi dan tuf Gunung Pusuk,
Nangi dan Rinjani.
• Formasi Lekopiko tersusun oleh tuf berbatuapung, breksi lahar dan lava.
• Formasi Kalibabak tersusun oleh Breksi dan lava.
• Formasi Kalipalung tersusun oleh perselingan breksi gampingan dan lava.
Menurut (Widhiyatna et al., n.d.), geologi daerah Lombok dimulai dengan
terbentuknya batuan gunung api Tersier yaitu Miosen Awal yang terdiri dari Formasi
Kawangan dan Formasi Pengulung yang saling menjemari. Kedua formasi ini diterobos
oleh dasit, diorit, tonalit dan basal berumur Miosen Tengah yang ditafsirkan menyebabkan
mineralisasi di beberapa tempat. Di atasnya diendapkan Formasi Ekas yang terdiri dari
batugamping yang berumur Miosen Atas. Kemudian pada Pliosen Atas hingga Plistosen
diendapkan batupasir tufaan, batulempung tufaan dengan sisipan tipis karbon yang
tergolong kedalam Anggota Selayar Formasi Kalipalung, lalu Formasi Kalipalung yang
terdiri dari perselingan breksi gampingan dan lava kemudian Formasi Kalibabak yang
terdiri dari breksi dan lava serta Formasi Lekopiko (tuf berbatuapung, breksi lahar dan
lava). Formasi Kalipalung dan Formasi Kalibabak saling menjemari. Pada waktu Holosen
Bawah diendapkan lava, breksi dan tuf yang termasuk kedalam Batuan Gunungapi Tak
Terpisahkan tersebar sangat luas di utara yang dikelilingi oleh Formasi Lekopiko dan
Formasi Kalibabak, sedangkan di Holosen Atas terhampar endapan permukaan aluvium.
Secara fisiografis, kepulauan Nusa Tenggara dibatasi oleh bagian barat Jawa, di
bagian timur oleh Busur Banda, di bagian utara oleh Laut Flores dan di bagian selatan oleh
Samudera Hindia. Secara geologi kepulaun ini terletak di pusat Busur Banda, yang
terbentuk oleh rangkaian kepulauan gunung api muda. Secara tektonik, rangkaian gunung
ini akibat subduksi lempeng Indo-Australia terhadap busur banda (Yudi et al., 2018).

1235
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G024UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Sebagian besar busur dari kepulauan Nusa Tenggara dibentuk oleh zona subduksi
dari lempeng Indo-australia yang berada tepat dibawah busur Sunda-Banda selama di atas
kurun waktu tertier yang mana subduksi ini dibentuk di dalam busur volkanik kepulauan
Nusa Tenggara. Bagian timur Nusa Tenggara mulai dari Alor-Kambing-Wetar-Romang,
disebut orogen timor dengan pusat undasi di L. Flores. Evolusi orogenik daerah Nusa
Tenggara bagian timur ini agak kompleks karena pada masa Mesozoikum muda terjadi
penggelombangan yang termasuk sirkum Australia menghasilkan:
a. Busur Luar, busur luar melalui P. Sawu ke timur laut.
b. Busur Dalam, busur dalam dari P. Sumba kearah timur laut.
Namun memasuki periode tersier daerah ini mengalami penggelombangan dengan
pusat undasi di Laut Flores sebagai bagian dari sistem Pegunungan Sunda. Selain
kerawanan seismik akibat aktivitas pertemuan lempeng, Nusa Tenggara Timur juga sangat
rawan karena adanya sebuah struktur tektonik sesar naik belakang busur kepulauan yang
populer dikenal sebagai back arc thrust. Struktur ini terbentuk akibat tunjaman balik
lempeng Eurasia terhadap lempeng Samudra Indo-Australia. Fenomena tumbukan busur
benua (arc-continent collision) diduga sebagai pengendali mekanisme deformasi sesar naik
ini. Back arc thrust membujur di Laut Flores sejajar dengan busur Kepulauan Bali dan Nusa
Tenggara dalam bentuk segmen-segmen, terdapat segmen utama maupun segmen minor.
Fenomena sesar naik belakang busur kepulauan ini sangat menarik untuk diteliti dan dikaji
mengingat sangat aktifnya dalam membangkitkan gempa- gempa tektonik di kawasan
tersebut.
Sesar ini sudah terbukti nyata beberapa kali menjadi penyebab gempa mematikan
karena ciri gempanya yang dangkal dengan magnitudo besar. Berdasarkan data, sebagian
besar gempa terasa hingga gempa merusak yang mengguncang Bali, Nusa Tenggara Barat,
dan NTT disebabkan oleh aktivitas back arc thrust ini, dan hanya sebagian kecil saja
disebabkan oleh aktivitas penyusupan lempeng. Sesar segmen barat dikenal sebagai Sesar
Naik Flores (Flores Thrust) yang membujur dari timur laut Bali sampai dengan utara Flores.
Flores Thrust dikenal sebagai generator gempa-gempa merusak yang akan terus-menerus
mengancam untuk mengguncang busur kepulauan.

III. METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan data 992 gempabumi susulan (aftershock) dari tanggal
5 Agustus hingga 27 September 2018 dengan magnitudo 1 sampai 4 Skala Richter yang
memiliki kategori gempa dengan kedalaman dangkal (<70 km), sumber data diambil dari
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) lihat Tabel 3.1, kemudian
menggunakan data Digital Elevation Model (DEM) dan Peta Geologi Lembar Lombok.
Analisis keruangan dilakukan pada daerah morfologi yang strukturnya terlihat jelas dan
menerapkan pada daerah tutupan endapan pada Kota Mataram.
Data gempa susulan tersebut kemudian di analisis secara spasial melalui aplikasi
GIS dan dilakukan penarikan pola kelurusan (lineament) pada titik-titik gempa yang
tersebar sehingga dapat terlihat pola persebarannya secara spasial pada daerah penelitian.
Sebelum melakukan interpretasi daerah penelitian dilakukan analisis daerah uji,
daerah uji digunakan sebagai acuan untuk menentukan patahan aktif yang terdapat pada
Kota Mataram dan sekitarnya. Pada daerah uji dilakukan pengujuan patahana aktf melalui

1236
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G024UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

zonasi episentrum berdasarkan Allen, dkk. 1965, kemudian dilakukan perhitunngan


jumlah episentrum, dan dilakukan uji keyakinan terhadap hasil analisis patahan,
selanjutnya jika tingkat keyakinan diatas 60% maka dapat diterima dan jika kurang maka
analisis dinyatakan kurang meyakinkan. Interpretasi patahan geologi dapat dilakukan dari
pengamatan DEM, data gempa, pola kelurusan dan data sekunder dari peta geologi
regional.

IV. HASIL PENELITIAN


Berdasarkan hasil analisis struktur patahan pada daerah uji yang terdapat pada
wilyah utara Kota Mataram, pada perbukitan Pangsit dan Pamenang, dengan luas wilayah
25 km x 25 km, dengan jumlah data gempa dangkal 101 titik episentrum, menghasilkan
struktur patahan yang berarah NNE-SSW, NE-SW, N-S, dan NW (Gambar 4.1). Hasil ini
didapatkan berdasarkan zonasi jarak 1 km episentrum dari patahan struktur yang
menunjukkan bahwa episentrum tersebut berasosiasi dengan suatu patahan (Allen, dkk.
1965), berdasarkan hasil analisis daerah uji, didapatkan bahwa terdapat 13 struktur
patahan aktif. Berdasarkan total 101 titik episentrum yang berada dilokasi uji, terdapat 71
titik episentrum yang berada dalam zonasi, kemudian, dilakukan perhitungan tingkat
keyakinan terhadap hasil analisis struktur patahan, dan menghasilkan tingkat keyakinan
70,3% (meyakinkan), sehingga daerah uji cenderung memiliki struktur berarah NNE-SSW,
NE-SW, NNW-SSE, dan NW-SE. Kemudian, selanjutnya dilakukan pengujian patahan
aktif pada daerah uji 2, pada Lombok Timur. Daerah ini memiliki 127 titik episentrum
dengan luas daerah 22 km x 24 km, yang kemudian dilakukan anlisis zonasi 1 km
episentrum dari patahan struktur yang menunjukkan bahwa episentrum tersebut
berasosiasi dengan suatu patahan (Allen, dkk. 1965) pemprosesan data ini mendapatkan
hasil patahan berarah NE-SW, E-W, NW-SE (Gambar 4.2), terdapat 107 titik episentrum
yang berada dalam zonasi. Kemudian, dilakukan perhitungan tingkat keyakinan terhadap
hasil analisis struktur patahan, dan menghasilkan tingkat keyakinan 83,4% (meyakinkan),
sehingga selanjutnya dapat diterapkan pada daerah penelitian, yaitu Kota Mataram.
Pengujian pada daerah penelitian yaitu, pada Kota Mataram dengan luasan 22 km
x 16 km, dengan jumlah data gempa 82 titik episentrum, menghasilkan struktur patahan
yang berarah NE-SW, N-S, dan NW-SE (Gambar 4.3). Hasil ini didapatkan berdasarkan
zonasi jarak 1 km episentrum terhadap patahan struktur yang dianalisis, berdasaran hasil
analisis episentrum didapatkan bahwa terdapat 64 titik episentrum yang berada pada
zonasi patahan, hal ini menunjukkan bahwa 6 patahan ini adalah patahan yang aktif, tetapi
akibat tertimbun oleh material gunungapi dan sedimen yang belum terkonsolidasi, maka
tidak terlihat lagi morfologi yang dihasilkannya, adanya titik episentrum pada zona
tertentu seperti yang dilakukan pada analiais ini dapat membantu menentukan adanya
struktur patahan atau tidak. Berdasarkan hasil pengujian tingkat keyakinan, maka
didapatkan nilai 78% (meyakinkan), sehingga daerah penelitian diinterpretasikan
memiliki struktur berarah NE-SW, N-S, dan NW-SE yang terpendam.

V. DISKUSI DAN PEMBAHASAN


Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis patahan aktif yang tertimbun oleh
material sedimen lepas yang berada pada Kota Mataram. Penelitian dilakukan dengan

1237
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G024UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

melakukan analisis daerah uji terlebih dahulu, yang secara morfologi memiliki kelurusan-
kelurusan yang dapat dianalisis, kemudian tahapan dan hasil analisis daerah uji akan
digunakan sebagai acuan untuk melakukan analisis daerah penelitian.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa struktur berarah NE-SW, N-S, dan
NW-SE yang terpendam di Kota Mataram dan sekitarnya. Terdapat hal yang menarik
untuk didiskusikan pada patahan Kota Mataram dan sekitarnya, yaitu bahwa pada daerah
ini juga kelurusan episentrum berarah E-W yang cukup dominan (Gambar 5.1), tetapi pola
tersebut tidak ditemukan pada daerah lainnya, hal ini bisa terjadi akibat patahan ikutan
yang bersamaan bersamaan dengan patahan utama. Sehingga perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut dengan menggunakan InSAR pada daerah Kota Mataram untuk menentukan
patahan yang lebih detil.

VI. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data gempa, DEM dan analisis pola patahan ditemukan
bahwa daerah Kota Mataram dan sekitarnya memiliki struktur berarah NE-SW, N-S, dan
NW-SE yang terpendam, patahan aktif ini bisa menjadi acuan pembuatan peta struktur
pada daerah tersebut.

ACKNOWLEDGEMENTS
Ucapan terima kasih kami tujukan kepada Badan Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika (BMKG) yang telah menyediakan data rekaman gempabumi Lombok 2018.

DAFTAR PUSTAKA
Allen C.R, P. St. Amand, C. F. Richter, And J. Iv. Nordquis. 1965. Relationship Between Seismicity And
Geologic Structure In The Southern California Region. Bulletin of the Seismological Society of
America. Vol. 55, No. 4, pp. 753-797.
Caneva, A. Smirnov, V. 2005. Using the fractal dimension of earthquake distributions and the slope of the
recurrence curve to forecast earthquakes in Colombia. Earth Sciences Research Journal 8(1):3-9
· January 2005.
Mangga, S.A., S. Atmawinata, B. Hermanto, B. Styogroho, T. C. Amin, 1994. Peta Geologi Lembar
Lombok, Nusatenggara Barat Skala 1:250.000. Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi.
Nur Hidayati, Audia Kaluku, Oriza Sativa, Fajar Budi, Artadi Pria Sakti, Sigit Pramono, Dadang
Permana, Bambang Setiyo Prayitno, 2018. Ulasan Guncangan Gempa Lombok Utara 19
Agustus 2018. Jakarta: BMKG.
Widhiyatna, D., Kamal, S., Soleh, A., Pohan, M., N.D. Penyelidikan Geokimia Regional Sistematik Lembar
Lombok, Kab.Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur Dan Sumbawa, Provinsi Nusa
Tenggara Barat 21.
Yudi, A., Edy Santoso, Audia Kaluku, Furqon Dawwam, Artadi Pria Sakti, Sigit Pramono, Dadang
Permana, 2018. Ulasan Guncangan Gempa Lombok Timur 05 Agustus 2018. Jakarta: BMKG.

1238
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G024UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel

Tabel 3.1 Data gempa Lombok 2018 (data hanya sebagian, sumber data dari BMKG)

Tanggal (GMT) Lintang (°) Bujur (°) Kedalaman (km) Magnitudo (SR)

2018-08-15
-8.23 116.087 10 2.06
23:38:19

2018-08-15
-8.3 116.0075 10 2.12
23:26:57

2018-08-15
-8.33 116.2281 10 2.26
23:02:03

2018-08-15
-8.14 116.1293 10 2.03
21:48:04

2018-08-15
-8.4 116.5692 12.5 2.71
21:14:24

2018-08-15
-8.43 116.4354 18.1 2.09
20:28:34

2018-08-15
-8.31 116.0993 10 2.09
19:56:55

1239
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G024UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

2018-08-15
-8.25 116.6333 10 3.97
19:48:23

2018-08-15
-8.71 116.4264 13.3 2.54
19:35:48

1240
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G024UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2.1 (a) Peta geologi lembar Lombok (Mangga et al., 1994), (b) gambar bawah merupakan
keadaan struktur di sekitar Kota Mataram (tidak terdapat stuktur geologi)

1241
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G024UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4.1 Pola struktur patahan daerah uji 1

1242
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G024UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4.2 Pola struktur patahan daerah uji 1

1243
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G024UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4.3 Pola struktur patahan daerah penelitian Kota Mataram dan sekitarnya

1244
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G024UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4.4 Pola struktur patahan Kota Mataram dan sekitarnya (tanpa zonasi sktruktur)

1245
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G024UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5.1 Pola struktur ikutan Kota Mataran dan sekitaranya

1246
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

APLIKASI METODE GEOMAGNETIK UNTUK MENGIDENTIFIKASI


STRUKTUR GEOLOGI BAWAH PERMUKAAN SEBAGAI PENGONTROL
ADANYA MINERALISASI PADA DESA KALIGONO, KECAMATAN
KALIGESING, KABUPATEN PURWOREJO, JAWA TENGAH

Gilvandro Rumahorbo 1*, Amrupranadi Muhammad 2, Tedy Wiku Setiaji 3


Teknik Geofisika Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta Jl. SWK 104 Condongcatur,
Yogyakarta 1* Teknik Geofisika Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta Jl. SWK 104
Condongcatur, Yogyakarta 2 Teknik Geofisika Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta Jl.
SWK 104 Condongcatur, Yogyakarta 3

*corresponding author: rumahorbo72@gmail.com

ABSTRAK. Telah dilakukan penelitian geofisika menggunakan metode geomagnetik di Desa


Kaligono, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Daerah ini berada pada
bagian tengah pegunungan Kulon Progo yang tersusun atas Formasi Kebobutak yang ditindih
secara tidak selaras oleh Formasi Jonggrangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
struktur sesar sebagai pengontrol adanya mineralisasi logam dengan tipe epithermal sulfidasi
rendah. Model akuisisi yang digunakan pada penelitian ini yaitu base-rover pada kavling 1500
meter x 1200 meter, dengan waktu pengukuran selama 2 hari. Pengolahan data pada penelitian ini
menggunakan software Microsoft Excel dan Geosoft Oasis Montaj menggunakan filter Reduce to
Pole, Upward Continuation, serta Tilt Derivative. Berdasarkan hasil interpretasi didapatkan pola
persebaran nilai intensitas magnetik dengan anomali tinggi memiliki interval 204,7 nT sampai
dengan 516, 6 nT tersebar disebelah utara dan beberapa bagian membentuk pola memanjang arah
barat laut – tenggara, diinterpretasikan sebagai daerah yang tidak mengalami alterasi. Sedangkan
nilai yang lebih rendah pada interval -306, 2 nT sampai dengan 204, 7 nT tersebar disekitar anomali
tinggi dan mendominasi sisi tenggara daerah telitian diinterpretasikan sebagai daerah mineralisasi
dengan alterasi yang bersifat magnetik destruktif. Berdasarkan pola struktur pada peta Tilt
Derivative dan pengukuran vein dilapangan maka didapatkan persebaran dari kekar dengan arah
relative barat laut-tenggara sebagai pembawa mineralisasi ini berada disebelah barat laut dan timur
laut daerah telitian.

Kata kunci: Kaligono, Mineralisasi, Geomagnetik,Tilt Derivative

I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan daerah yang berada di antara pertemuan lempeng eurasia
dan indo-australia, yang menyebabkan Indonesia memiliki kondisi geologi yang menarik
dari sabang sampai merauke untuk diteliti, salah satunya yaitu pulau jawa, tepatnya
berada di kaligono, purworejo, jawa tengah. Daerah kaligono merupakan daerah yang
berada pada bagian tengah pegunungan kulonprogo yang tersusun atas formasi
kebobutak, formasi jonggranganw serta intrusi diorit. Secara struktur geologi daerah ini
memiliki 3 sesar dengan tipe dekstral dan sinistral yang berorientasi barat laut-tenggara

1247
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

dan barat-timur. Pada desa kaligono terdapat rekam jejak aktivitas vulkanisme yang
memungkinkan terjadinya proses mineralisasi pada daerah tersebut akibat teralterasinya
batuan penyusun formasi oleh larutan hidrotermal yang menerobos keatas melalu rekahan
akibat struktur geologi yang berkembang. Adanya indikasi mineralisasi hidrotermal pada
daerah kaligono membuat daerah ini menarik untuk dilakukan penelitian lebih lanjut
untuk mengetahui struktur geologi pengontrol mineralisasi. Untuk mengetahui struktur
geologi sebagai pengontrol mineralisasi dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan,
salah satunya yaitu pendekatan geofisika, dimana pada penelitian kali ini menggunakan
metode geomagnetik untuk melihat respon anomali bawah permukaan dari variasi
suseptibilitas batuan.

II. TINJAUAN PENELITIAN


1. Geologi Daerah Penelitian
Indonesia merupakan daerah yang berada di antara pertemuan lempeng eurasia
dan indo-australia, yang menyebabkan Indonesia memiliki kondisi geologi yang menarik
dari sabang sampai merauke untuk diteliti, salah satunya yaitu pulau jawa, tepatnya
berada di kaligono, purworejo, jawa tengah. Daerah kaligono merupakan daerah yang
berada pada bagian tengah pegunungan kulonprogo yang tersusun atas formasi
kebobutak, formasi jonggranganw serta intrusi diorit. Secara struktur geologi daerah ini
memiliki 3 sesar dengan tipe dekstral dan sinistral yang berorientasi barat laut-tenggara
dan barat-timur. Pada desa kaligono terdapat rekam jejak aktivitas vulkanisme yang
memungkinkan terjadinya proses mineralisasi pada daerah tersebut akibat teralterasinya
batuan penyusun formasi oleh larutan hidrotermal yang menerobos keatas melalu rekahan
akibat struktur geologi yang berkembang. Adanya indikasi mineralisasi hidrotermal pada
daerah kaligono membuat daerah ini menarik untuk dilakukan penelitian lebih lanjut
untuk mengetahui struktur geologi pengontrol mineralisasi. Untuk mengetahui struktur
geologi sebagai pengontrol mineralisasi dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan,
salah satunya yaitu pendekatan geofisika, dimana pada penelitian kali ini menggunakan
metode geomagnetik untuk melihat respon anomali bawah permukaan dari variasi
suseptibilitas batuan.

2. Teori Dasar
A. Metode Magnetik
Metode magnetik merupakan salah satu metode geofisika yang tergolong sebagai
metode pasif. Pada metode ini, investigasi struktur bawah permukaan dilakukan
berdasarkan anomali magnetik bumi yang dihasilkan dari variasi suseptibilitas magnetik
batuan. Secara umum, suseptibilitas magnetik dari batuan merupakan variabel yang
terikat dengan jenis batuan dan faktor lingkungan. Penyebab anomali magnetik pada
umumnya berupa bidang miring, sesar, dan aliran lava. Selain jenis batuan, suseptibilitas
magnetik juga dipengaruhi oleh variasi temperatur. Pada lingkungan panas seperti
gunung api, akibat temperatur yang tinggi maka harga suseptibilitas batuannya menurun
(Mariita, N. O., 2007).

1248
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

B. Gaya Magnetik
Gaya magnetik menurut hukum Coloumb, bila terdapat muatan atau kutub (m1
dan m2) yang berada pada jarak r maka kedua muatan atau kutub tersebut, bila sejenis
akan tolak menolak sedangkan kalau berlawanan jenis akan tarik menarik dengan gaya (F)
sebesar:
F = m1m2/µ0r
C. Induksi Magnetik
Induksi magnetik (B) merupakan medan magnet total ketika sebuah material
berada pada medan magnetisasi (H) sehingga memiliki polarisasi magnetik (H) yang
arahnya sama dengan medan magnetisasi (Telford et al, 1990). Magnitudo dan arah induksi
magnetik dinyatakan sebagai berikut:
B = µ0 (H+M) = µ0(1+k)H = µµ0H
Satuan yang umum digunakan dalam alat pengukuran metode magnetik adalah
nanotesla (nT). Variabel yang terukur pada survey magnetik adalah induksi magnetik (B),
namun parameter sebenarnya yang ingin diperoleh adalah kuat medan magnetik (H).
Dengan meninjau persamaan sebelumnya yang menyatakan bahwa induksi magnetik (B)
dan kuat medan magnetik (H) berkorelasi secara linier serta pada umumnya permeabilitas
medium memiliki harga di sekitar 1, maka kita dapat menganggap pemetaan induksi
magnetik sebagai pemetaan kuat medan magnetik (H) (Telford et al, 1990).

D. Suseptibilitas
Suseptibilitas magnetik batuan merupakan harga magnet suatu bahan terhadap
pengaruh magnet yang erat kaitannya dengan kandungan mineral dan oksida besi.
Semakin besar kandungan mineral magnetit dalam batuan, semakin besar harga
suseptibilitasnya. Tingkan suatu benda magnetik mampu dimagnetisasi ditentukan oleh
suseptibilitas kemangnetan (disimbolkan dengan k) sehingga intensitas magnetisasi (M)
sangat tergantung pada kerentanan magnetik batuannya (suseptibilitas batuannya), yang
ditulis dalam persamaan berikut:
M=kH
Nilai suseptibilitas magnetik dalam ruang hampa sama dengan nol karena hanya
benda berwujud yang dapat termagnetisasi. Harga pada batuan semakin besar apabila
dalam batuan tersebut semakin banyak dijumpai mineral-mineral yang bersifat magnetik
(Burger et al., 2006).

E. Koreksi Harian
Koreksi harian (diurnal correction) merupakan penyimpangan nilai medan magnetik
bumi akibat adanya perbedaan waktu dan efek radiasi matahari dalam satu hari. Waktu
yang dimaksudkan harus mengacu atau sesuai dengan waktu pengukuran data medan
magnetik di setiap titik lokasi (stasiun pengukuran) yang akan dikoreksi. Apabila nilai
variasi harian negatif, maka koreksi harian dilakukan dengan cara menambahkan nilai
variasi harian yang terekan pada waktu tertentu terhadap data medan magnetik yang akan
dikoreksi. Sebaliknya apabila variasi harian bernilai positif, maka koreksinya dilakukan
dengan cara mengurangkan nilai variasi harian yang terekan pada waktu tertentu terhadap

1249
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

data medan magnetic yang akan dikoreksi, datap dituliskan dalam persamaan
(Santosa,10:2012).
ΔH=Htotal ±Δhharian

F. Koreksi IRGF
Data hasil pengukuran medan magnetik pada dasarnya adalah konstribusi dari tiga
komponen dasar, yaitu medan magnetik utama bumi, medan magnetik luar dan medan
anomali. Nilai medan magnetik utama tidak lain adalah nilai IGRF. Jika nilai medan
magnetik utama dihilangkan dengan koreksi harian, maka kontribusi medan magnetik
utama dihilangkan dengan koreksi IGRF. Koreksi IGRF dapat dilakukan dengan cara
mengurangkan nilai IGRF terhadap nilai medan magnetik total yang telah terkoreksi
harian pada setiap titik pengukuran pada posisi geografis yang sesuai. Persamaan
koreksinya (setelah dikoreksi harian) dapat dituliskan sebagai berikut: (Santosa,10:2012)
ΔH=Htotal± ΔHharian±H_0

III. METODOLOGI PENELITIAN


1. Desain Survei Penelitian Litologi
Dalam melakukan penelitan dilakukan pembuatan peta desain survey yang
bertujuan untuk memudahkan dalam melakukan akuisisi data. Peta design survey
(Gambar 3.1) dibuat untuk mendapatkan hasil akuisisi yang maksimal, disamping itu juga
bertujuan untuk menghemat biaya yang dibutuhkan serta waktu yang seminimal
mungkin. Pada Peta diatas merupakan peta desain survey penelitian metode geomagnetic
menggunakan base rover dengan skala 1 cm : 10.000 m dengan luas kavling 1.500 meter x
1.200 meter. Pada peta terdapat dua orientasi lintasan yaitu berarah barat laut – tenggara
dan timur laut – barat daya dengan masing masing orientasi lintasan berjumlah 5 lintasan
dan 2 lintasan dengan medan berupa perbukitan dan sungai. Pada masing masing lintasan
memiliki panjang 1 Km dengan total titk pengukuran sebanyak 20 titik, sednagkan jarak
antar titik sebesar 50 meter dengan spasi masing masing lintasan 160 meter. Pada penelitian
ini menggunakan alat Proton Precission Magnetometer seri G-856 dan waktu pengukuran
selama 2 hari.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Peta Reduce to Pole
Reduce to pole (RTP) merupakan suatu filter transformasi dari nilai total anomali
untuk menghilangkan ketidaktepatan posisi anomali sehingga didapatkan persebaran nilai
anomali tepat diatas medan magnetiknya yang hanya dipengaruhi oleh kutup positif saja
(monopole). Persebaran nilai anomali yang didapatkan yaitu pada interval -306,2 nT
sampai dengan 516,6 nT, nilai yang relative tinggi mendominasi daerah telitian yaitu pada
interval 204,7 nT sampai dengan 516,6 nT tersebar disebelah utara dan beberapa bagian
membentuk pola memanjang arah barat laut – tenggara. Sedangkan nilai yang lebih rendah

1250
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

pada interval -306,2 nT sampai dengan 204,7 nT tersebar disekitar anomali tinggi dan
daerah paling rendah mendominasi sisi tenggara daerah telitian.
Berdasarkan penelitian mengenai zona mineralisasi oleh Sangaji, dkk. tahun 2017
pada daerah ini terbentuk mineralisasi epithermal low sulfidation. Hostrock mineralisasi ini
berupa batuan andesite dan lava andesite dengan alterasi silisifikasi, argilik dan propilitik
yang dikontrol oleh kekar dan tiga sesar geser dekstral diperkirakan. Sedangkan
mineralisasi bijih yang terbentuk yaitu magnetit-kalkopirit-pirit-hematit. Hasil interpretasi
peta reduksi ke kutup ini (Gambar 4.1) diperkirakan bahwa daerah dengan nilai anomali
yang relative tinggi (bersifat magnetik) merupakan batuan yang tidak mengalami alterasi
dan mineralisasi yaitu batuan beku andesite dan lava andesite. Dari pola anomalinya
batuan ini dipekirakan tersebar memanjang arah barat daya – timur laut disisi utara daerah
telitian. Dan juga membentuk pola memanjang dibagian tengah daerah telitian dengan
arah barat laut-tenggara. Menurut Hoschke tahun 2008, secara khas endapan emas pada
sulfidasi rendah berada pada urat tipis kuarsa yang berasosiasi dengan struktur mayor.
Alterasi yang berasosiasi dengan urat ini bersifat magnetite destructive, sehingga daerah ini
akan terbaca dengan respon anomali yang rendah. sehingga daerah dengan nilai relative
rendah disekitar anomali tinggi diperkirakan sebagai zona struktur kekar dan sesar yang
membawa mineral mineral logam.

2. Peta Upward Continuation


Filter ini merupakan suatu perhitungan medan potensial pada suatu elevasi yang
lebih tinggi dari pada medan yang telah diketahui. Filter ini dilakukan dari peta reduce to
pole dengan nilai ketinggian 20 meter dan 40 meter, tujuannya untuk memperhalus
medan potensial yang disebabkan oleh efek permukaan dan semakin menampilkan efek
regional. Hasil dari filter ini (Gambar 4.2) didapatkan peta persebaran nilai anomali tidak
jauh berbeda dari peta reduksi kutubnya, hal ini menunjukkan bahwa efek magnetik yang
berada dipermukaan tidak terlalu berpengaruh terhadap medan anomali yang berada
didaerah yang lebih dalam dibawahnya.

3. Peta Tilt Derivative


Filter Tilt Derivative (TDR) merupakan suatu metode analisa derivatif untuk
memperjelas batas batas dan bentuk anomali target, dalam hal ini untuk mencari batas
struktur yang ada dilapangan. Peta TDR ini (Gambar 4.3) menghasilkan rentang nilai -1,4
rad sampai dengan 1,3 rad. Persebaran batas batas anomali yang ditunjukan oleh peta TDR
ini dominan berada didaerah yang diinterpretasikan sebagai zona sesar. Batas yang
ditampilkan ini diinterpretasikan sebagai pola pola struktur kekar dan sesar yang
berkembang didaerah tersebut. Berdasarkan penarikan arah batas struktur pada peta TDR
ini menggunakan diagram rose didapatkan arah dominan struktur yaitu N 10 0 E sampai
N 250 E atau relative utara selatan. Selain penarikan arah struktur pada peta TDR juga
dilakukan pengukuran vein di lapangan , tujuannya untuk mengetahui arah dominan vein
yang berisi mineralisasi dan vein yang barren (tidak membawa mineralisasi). Arah
dominan vein yang membawa mineralisasi yaitu dominan N 3100 E sampai N 3200 E,
sedangkan vein barren memiliki arah dominan N 400 E sampai N 500 E. Dengan arah
struktur pembawa mineralisasi relative barat laut-tenggara maka dapat dinterpretasikan

1251
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

pada pola struktur peta TDR ini bahwa persebaran mineralisasi berada disebelah barat
laut dan timur laut daerah telitian.

V. KESIMPULAN
Mineralisasi epithermal sulfidasi rendah yang berada di daerah Kaligono,
Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah dikontrol oleh struktur kekar
dan sesar dekstral. Persebaran nilai anomali pada peta Reduce To Pole (RTP) menunjukan
bahwa daerah dengan nilai anomali tinggi diperkirakan sebagai batuan yang tidak
terlaterasi secara keseluruhan yaitu pada batuan andesite dan lava andesite. Daerah
dengan nilai anomali rendah merupakan daerah struktur yang telah teralterasi sehingga
memberi respon magnetite destruktif berdasarkan ciri khas endapan epithermal sulfidasi
rendah. Pada daerah dengan magnetite destruktif ini pada peta Tilt Derivative (TDR)
memiliki persebaran urat dengan arah dominan N 100 E sampai N 250 E, dan berdasar hasil
pengukuran vein dilapangan didapatkan vein yang membawa mineralisasi memiliki
orientasi dominan N 3100 E sampai N 3200 E, sedangkan vein barren memiliki orientasi N
400 E sampai N 500 E. Persebaran dari kekar dengan arah relative barat laut-tenggara
sebagai pembawa mineralisasi ini diperkirakan berada disebelah barat laut dan timur laut
daerah telitian.

ACKNOWLEDGEMENTS
Ucapan Terimakasih kepada teman-teman "Spectrum" Teknik Geofisika Angkatan
2017 UPN "Veteran" Yogyakarta, serta semua orang baik secara langsung maupun tidak
langsung terlibat dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Ansori, C., dan Hastria, D. 2013. Studi Alterasi dan Mineralisasi Disekitar Gunung Agung, Kabupaten
Kulonprogo–Purworejo. Kebumen : LIPI Kebumen.
Burger, H.R., Sheehan, Anne, Jones & Craig. 2006. Introduction to Applied Geophysics. New York :
W.W. Norton & Company,
Hoschke, T. 2008. Geophysical Signature Of Copper-Gold Porphyry And Epithermal Gold Deposite.
Tasmania : Center For Ore Research, University Of Tasmania.
Mariita, N.O., 2007, November 2-17, The Gravity Method: Short Course II on Surface Exploration for
Geothermal Resources.
Ravat, D. 2007. Reduction To Pole Encyclopedia Of Geomagnetism And Paleomagnetism. Springer.
Sangaji, F., dkk. 2017. Identifikasi Awal Mineralisasi Logam Tipe Epithermal Berdasarkan Studi Ubahan
Hidrothermal Dan Tekstur Urat Daerah Kaligono, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo,
jawa Tengah. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada.
Santosa, B.J. 2012. Interpretasi Metode Magnetik untuk Penentuan Struktur Bawah Permukaan di Sekitar
Gunung Kelud Kabupaten Kediri. Surabaya : Institut Teknologi Sepuluh November.
Telford, W.M., L.P. Geldart, & R.E. Sheriff. 1990. Aplied Geophysics, Second Edition. Cambridge :
University Press, London.

1252
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3.1. Desain survei daerah penelitian

1253
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4.1. Peta reduce to pole dengan persebaran struktur sesar

Gambar 4.2. Perbandingan peta reduce to pole dan peta upward continuation

1254
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4.3. Peta Tilt Derivative (TDR) dengan persebaran vein pembawa mineralisasi dan vein
barren

Gambar 5. Peta alterasi daerah Kaligono oleh Sangaji, dkk tahun 2017

1255
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 6. Diagram rose penarikan struktur pada peta TDR

1256
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 7. Diagram rose vein pembawa mineralisasi

1257
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 8. Diagram rose vein barren

1258
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 9. Diagram alir pengolahan data

1259
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 10. Vein pembawa mineralisasi

1260
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 G026UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 11. Kekar yang tidak terisi mineralisasi

1261
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H024POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

KOLABORASI PENGEMBANGAN GEOTOURISM DAN POTENSI LOKAL:


STUDI KASUS DESA SADANG SEBAGAI BAGIAN GEOPARK NASIONAL
KARANGSAMBUNG-KARANGBOLONG

Mohammad Al 'Afif 1*, Eko Puswanto 2, Fitriany Amalia Wardhani 3


Balai Informasi dan Konservasi Kebumian, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Karangsambung Jln.
1

Karangsambung Km.19, Kebumen


*corresponding author: muhammadalafif@gmail.com

ABSTRAK. Sadang dengan keistimewaan kompleks mélangenya, menyuguhkan beberapa pontesi


geosite yang bisa dikembangkan sebagai geotourism. Penelitian ini bertujuan untuk mensinergikan
geosite yang telah ada, dengan memaksimalkan pemberdayaan masyarakat lokal melalui adventure
tourism, view-point, cultural tourism dan produk lokal. Metode penilaian geosite dan geomorphosite
digunakan sebagai dasar penilaian kelayakan pengembangan geotourism dan potensi lokal. Penilaian ini
meliputi nilai kelayakan konservasi, ekonomi, pendidikan, pendekatan ilmiah dan instrisik. Daerah
Sadang mempunyai potensi geotourism yang dapat digabungkan menjadi satu kesatuan berupa geosite
watukelir, geo-tubing Dasar Samudera sebagai bagian adventure tourism, pesona Embung Cangkring
dengan produk buah lokal sebagai view point dan ecotourism dan Maqom Sunan Gesang sebagai bagian
cultural tourism. Secara keseluruhan nilai geosite dan geomorphosite geotourism Sadang hasil
penggambungan menujukkan nilai kelayakan konservasi, pendekatan ilmiah instrisik dan pendidikan
paling tinggi. Penataan geotourism yang menggambungkan geosite dan potensi lokal ini diharapkan
menjadi acuan pengelolaan wisata inovatif yang menumbuhkan tanggung jawab lingkungan dan sosial.

Kata kunci: geotourism, geosite geomorphosite, Sadang

I. PENDAHULUAN
Kecamatan Sadang terletak di bagian ujung utara Kabupaten Kebumen dan berbatasan
langsung dengan Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo (gambar 1). Secara
geologi dan morfologi daerah Sadang disusun oleh perbukitan dan lembah Sungai Luk Ulo
yang merupakan bagian dari Pegunungan Serayu Selatan. Daerah Sadang sendiri termasuk
dalam Kawasan Geopark Nasional Karangsambung - Karangbolong dan memiliki
keaneragaman jenis batuan berumur Kapur Akhir – Miosen Tengah (121 – 16.2 jt tahun yang
lalu) yang terbentuk dari subduksi purba antara lempeng benua Eurasia dan Indo-Australia
sehingga memiliki potensi geologi yang menarik untuk diketahui dan dipelajari.
Geotourism yang lebih dikenal sebagai geowisata merupakan pariwisata berkelanjutan
dengan fokus utama geologi dan panorama yang menumbuhkan pemahaman lingkungan,
apresiasi budaya, konservasi, dan bermanfaat secara lokal (Dowling, 2011). Perkembangan
geosite yang berada di Geopark Karangsambung – Karangbolong dalam satu daerah belum
memiliki konsep geowisata yang saling terkait, hal ini menyebabkan tidak tercapainya

1262
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H024POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

hubungan antara lingkungan, budaya dan kebermanfaatan secara sosial antara masyarakat dan
wisatawan,
padahal geowisata dianggap mampu menarik perhatian yang lebih besar dengan bentuk
pariwisata inovatif yang menumbuhkan tanggung jawab lingkungan dan sosial (Pásková,
2012).
Pengembangan geowisata Daerah Sadang dapat lebih dioptimalkan dengan
menggabungkan antara masing-masing geosite menjadi adventure tourism, ecotourism dan
cultural tourism sebagai acuan pengeloaan wisata inovatif berkelanjutan yang diharapkan
mampu mendorong peningkatan ekonomi masyarakat lokal serta kepuasan dari wisatawan.

II. GEOLOGI REGIONAL


Daerah penelitian termasuk dalam kawasan mélange komplek Luk Ulo yang tersusun
dari berbagai macam campuran tektonik bongkah-bongkah dan keratan batuan metamorf,
batuan beku basa dan ultrabasa, batuan sedimen pelagik dan hemipelagik yang tertanam dalam
masadasar batulempung yang tergerus kuat. (Asikin, 1974). Bagian atas secara tidak selaras
diendapkan batuan sedimen Tersier berurutan dari bawah ke atas Formasi Karangsambung,
Formasi Totogan dan Formasi Waturanda.
Formasi Karangsambung dan Formasi Totogan umumnya terdiri dari percampuran
sedimenter fragmen-fragmen dan blok-blok (olistolit) seperti batupasir, batulanau,
konglomerat, batugamping Nummulites dalam masadasar lempung dan diinterpretasikan
sebagai endapan olistostrom (Asikin, 1974). Di beberapa tempat di bagian atas Formasi Totogan
secara berangsur menjadi endapan aliran gravitasi yang berupa batulempung kerakalan serta
terdapatnya endapan turbidit dengan struktur sedimen lapisan bersusun dan penggerusan
sehingga kedua formasi ini diinterpretasikan memiliki kontak lateral yang berangsur.
Menumpang secara selaras di atas Formasi Totogan adalah Formasi Waturanda yang terdiri
dari batupasir dan breksi volkanik (Asikin dkk., 1992) (gambar 2).
Secara umum struktur geologi daerah penelitian terdiri dari tiga arah struktur utama.
Arah struktur yang pertama adalah arah timurlaut-baratdaya, yang ditunjukkan oleh arah
umum sumbu panjang struktur boudin, berkembang di kelompok batuan Pra-Tersier
(Harsolumakso dkk, 1995), dan struktur lain berarah timur-barat, ditunjukkan oleh arah umum
struktur lipatan dan sesar naik yang berkembang di batuan Tersier, dan berarah utara-selatan
berupa sesar-sesar yang memotong batuan Pra-Tersier dan Tersier (Asikin dkk., 1992).

III. METODOLOGI
Penelitian dilakukan dengan dengan tiga tahapan. Tahap pertama mengumpulkan
sumber informasi melalui studi pustaka dan kajian literatur Peta Geologi Lembar Kebumen dan
Banjarnegara, konsep geowisata dan konsep penilaian geosite serta geomorphosite. Tahap kedua
dilakukan dengan pengambilan data lapangan secara langsung dan pengolahan data sekunder
(Citra DEM). Tahap ketiga analisis geosite dan geomorphosite berdasarkan metode Kubalikova
(2013) serta analisis konsep geotourism di Sadang berdasarkan Downling (2011).

1263
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H024POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

IV. HASIL PENELITIAN


1. Geosite Watu Kelir
Secara kesampaian lokasi terletak di Kali Muncar, Desa Seboro, Kabupaten Kebumen
pada koordinat UTM 357397, 9169342 dan ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 500 dari
lokasi jalan raya. Hasil analisis geosite dan geomorphosite yang didapatkan nilai pendekatan
ilmiah dan instrisik sebesar 100%, nilai edukasi 100%, nilai ekonomi 66,67%, nilai konservasi
87,5% dan nilai tambahan 50%. Secara keseluruhan Watu Kelir memiliki tingkat kelayakan
sebesar 80% sebagai lokasi geowisata.
Geosite Watu kelir terbentuk dari batuan sedimen laut dalam berupa rijang dan
batugamping merah serta menindih diatasnya batuan beku lava berstuktur bantal )Gambar 3).
Umumnya lava dengan struktur bantal terbentuk akibat erupsi atau lelehan lava yang
bersentuhan langsung dengan media air laut, proses pembekuan secara tiba-tiba serta tekanan
hidrostatis dari air laut menyebabkan geometri tubuh lava mirip bantal sehingga disebut lava
bantal. Diatas batuan lava ini diendapkan sedimen laut berwarna merah yang terdiri atas
batuan rijang dan batuan lempung merah karbonatan. Batuan sedimen berwarna merah ini
diendapkan selaras namun telah mengalami kompresi tektonik kuat sehingga terangkat
membentuk dinding tegak di tepi Kali Muncar menyerupai layar pertunjukan (kelir). Fenomena
ilmiah yang pernah terjadi pada zaman Pra-Tersier kaya nilai pendidikan dapat dijadikan
obyek pengenalan sejarah subduksi Pulau Jawa.
Geosite Watu Kelir dapat dijadikan rujukan sebagai geowisata ecotourism karena
keberadaanya berpengaruh terhadap lingkungan biotik disekitarnya, salah satunya adalah
produk lokal yang terus dikembangkan disekitar kawasan Watu Kelir berupa buah kelengkeng.

2. Geo-Tubing Dasar Samudera

Geo-Tubing Dasar Samudera adalah kegiatan menyusuri Sungai Loning sampai Sungai
Luk Ulo menggunakan ban/pelampung yang telah dimodifkasi sehingga wisatawan tetap
merasa aman meski melewati arus yang deras. Kegiatan ini memiliki titik mulai yang berada di
daerah Kedung Sige (UTM 361140, 9171006) dan selesai di belakang Kantor Kecamatan Sadang
(UTM 359616, 9168996) dengan panjang lintasan 4 km. Kesampaian lokasi sekitar 25 km dari
pusat Kota Kebumen kearah utara yang dapat ditempuh menggunakan kendaraan roda empat.
Analisis kuantifikasi geosite dan geomorphosite sepanjang sungai berupa nilai pendekatan
ilmiah dan intrisik sebesar 100%, nilai edukasi 75%, nilai ekonomi 83,3%, nilai konservasi 87,5%
dan nilai tambah 50%. Secara keseluruhan memiliki tingkat kelayakan 79%.
Kondisi geologi sepanjang lintasan bagian hulu terdiri atas batuan beku basal, sekis dan
filit yang termasuk dalam kepungan tektonik komplek mélange Luk Ulo (Condon et al, 1996)
sebagai bagian dari subduksi palung laut yang telah terangkat. Bagian tengah sampai hilir pada
dinding sungai didominasi oleh breksi dengan komponen batulempung yang diakibatkan oleh
pelongsoran gaya berat pada Eosen akhir - Oligosen awal.

1264
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H024POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Hamparan batuan dasar samudera yang tersingkap memiliki tingkat kelangkaan dan
keunikan serta kondisi air yang jernih telah dikembangkan menjadi salah satu site adventure
tourism, pemerintah setempat juga telah memfasilitasi para wisatawan yang hendak melakukan
kegiatan geo tubing dengan kesiapan perlengkapan keselamatan serta paket makanan lokal
yang menarik. Hanya saja proses penambangan pasir di sekitar sungai masih terus terjadi dan
mengancam longsoran pada tebing-tebing sungai.

3. Embung Cangkring

Embung atau cekungan penampung pada awalnya hanya digunakan untuk mengatur
dan menampung suplai air hujan hingga proses pengairan lahan di musim kemarau, berbeda
dengan Embung Cangkring yang terletak 30 km dari pusat Kota Kebumen kearah utara menuju
Banjarnegara Wonosobo melewati Karangsambung dengan koordinat UTM 363542, 9170239
digunakan sebagai titik wisata buatan untuk melihat pemandangan sekitar (gambar 5). Akses
menuju lokasi dapat ditempuh menggunakan kendaraan beroda empat melewati perkebunan
durian dan tebu disisi kanan dan kirinya sebagai bagian dari produk lokal yang dikembangkan.
Hasil analisis geosite dan geomorphosite yang didapatkan nilai pendekatan ilmiah dan
instrisik sebesar 75%, nilai edukasi 50%, nilai ekonomi 66,67%, nilai konservasi 75% dan nilai
tambahan 50%. Secara keseluruhan Embung Cakring memiliki tingkat kelayakan sebesar 63%.
Ketinggian Embung Cangkring sekitar 300 mdpl dan berada di puncak bukit sehingga
dapat diajadikan sebagain view point untuk melihat lanskap perbukitan hasil dari proses
tektonik komplek mélange Luk Ulo, selain itu dapat melihat panorama perbukitan dari Formasi
Waturanda yang berumur lebih muda (Miosen Awal). Kawasan sekitar memiliki produk lokal
berupa durian sadang dan madu asli yang dipanen dari hutan sekitar embung (Gambar 6).

4. Maqam Sunan Geseng


Maqam Ki Ageng (Sunan) Geseng berada di bawah Embung Cangkring sekitar 2 km
kearah selatan dengan akses melewati perkampungan warga dan hanya bisa menggunakan
kendaraan roda dua dilanjutkan dengan berjalan kaki sekitar 300 m melewati persawahan.
Sebelum memasuki maqam terdapat makam dari pendiri Desa Cangkring yaitu Calegsana dan
Gunapraya (Gambar 7) yang merupakan murid dari Sunan Geseng.
Sunan Geseng merupakan salah satu murid dari Sunan Kalijaga yang bernama asli
Raden Mas Cokrojoyo dan keturunan dari Prabu Brawijaya dan Dewi Rengganis yang
merupakan Raja Majahapit. Keberadaan Sunan Geseng di Sadang dipercaya untuk melakukan
syiar Islam ke daerah-daerah terpencil sekaligus bersembunyi dari kejaran penjajah.
Maqam Sunan Geseng terletak pada batulempung sangat kompak dengan perlapisan
tegak yang merupakan bagian dari Formasi Totogan. Pada lokasi ini ditemukan juga
peninggalan sejarah berupa batu-batu berbentuk cekung yang diduga sebagai petilasan
Pangeran Diponegoro (gambar 8), hanya saja keberadaan batu-batu tersebut telah banyak dicuri
orang.

1265
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H024POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Analisis kuantifikasi geosite dan geomorphosite berupa nilai pendekatan ilmiah dan
intrisik sebesar 50%, nilai edukasi 12,5%, nilai ekonomi 33,3%, nilai konservasi 50% dan nilai
tambah 40%. Secara keseluruhan memiliki tingkat kelayakan 31%. Wisatawan yang berkunjung
biasanya memiliki tujuan-tujuan tertentu dan hanya ramai saat jum’at kliwon serta selasa
kliwon. Tidak adanya informasi yang lebih jelas dan kurangnya fasilitas pendukung lainnya
membuat cultural tourism ini minim dikunjungi.

V. PEMBAHASAN
Salah satu peran geowisata adalah pariwisata berkelanjutan, bersifat konservasi dan
mampu mengembangkan wawasan pemahaman mengenai proses yang terjadi di alam.
Pembangunan dan kemajuan geowisata tidak terlepas dari peran masyarakat dan pemerintah
setempat agar tujuan dan prinsip geowisata dapat tercapai.
Hasil analisis Daerah Sadang dengan menggambungkan antara geotourism, ecotourism,
adventure tourism serta cultural tourism (gambar 9) memiliki potensi kuat untuk memenuhi
konsep geowisata, yaitu:

1. Berbasis Geologi
Geotourism didasarkan pada warisan bumi (geoheritage) dengan fokus pada bentukan
geologi baik secara fisik dan / atau memahami prosesnya. Batuan Komplek Melange Luk Ulo
(situs watu kelir) memiliki sejarah dan pembentukan yang unik serta meninggalkan
pemandangan lanskap yang dapat diamati di view point Embung Cangkring.

2. Berkelanjutan
Hadirnya ecotourism di situs Watu Kelir dan Embung Cangkring yang berkolaborasi
dengan produk buah lokal mampu mendorong kelayakan ekonomi, peningkatan masyarakat
dan pelestarian konservasi.

3. Informatif secara Geologi


Pembelajaran mengenai proses-proses geologi yang ada adalah alat penting dalam
menciptakan pengalaman geo-wisata yang menyenangkan dan bermakna. Adanya papan
informasi yang berada di titik geosite menarik orang-orang yang ingin berinteraksi dengan
lingkungan untuk mengembangkan pengetahuan, kesadaran dan idealnya mengarah pada
tindakan positif bagi lingkungan dengan menumbuhkan kesadaran konservasi.

4. Bermanfaat secara Lokal


Keterlibatan masyarakat lokal dalam hal ini Pokdwaris Sadang tidak hanya bermanfaat
bagi masyarakat dan lingkungan tetapi juga meningkatkan kualitas pengalaman wisata.
Masyarakat telah terlibat dalam peran geowisata dan dalam penyediaan pengetahuan, layanan,
fasilitas, dan produk.

5. Kepuasan Wisatawan

1266
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H024POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Hal ini dapat terpenuhi dengan mengoptimalkan masing-masing geosite serta minat
dari wisatawan. Membagi jenis-jenis aktivitas seperti adventure tourism dan cultural tourism di
Daerah Sadang dirasa cukup mampu meningkatkan kepuasan wisatawan.

VI. KESIMPULAN
Daerah Sadang memiliki potensi untuk tercapainya konsep geowisata dengan
menggabungkan antara ecotourism, adventure tourism serta cultural tourism. Nilai kelayakan
secara berurutan dari Situs Watu Kelir (80,8%), Geo-Tubing Dasar Samudera (79,1%), Embung
Cangkring (63,3%) dan Maqam Sunan Geseng (37,1%), nilai keseluruhan geosite 65,1% potensi
ini disesusaikan dengan konsep geowisata learning pembelajaran berupa bentang alam, geologi,
jenis batuan serta sejarah masyarakat lokal yang dapat dipelajari dan diteliti sebagai nilai
edukasi bagi wisatawan, rewarding aktifitas tour yang ditawarkan adalah wisata yang mampu
menumbuhkan kesadaran untuk lebih mencintai alam, menjaga kelestarian dan kepedulian,
suistanable untuk mendukung kelayakan ekonomi dari produk lokal, konservasi sumber daya
alam sehingga menumbukan kesadaran akan pentingnya lingkungan bagi keberlangsungan
makhluk hidup, enriching yaitu pengkayaan pengetahuan antara wisatawan dan masyarakat,
sekitar Daerah Sadang untuk memiliki pengetahuan terhadap kondisi lingkungan serta
adventuring, wisata petualangan yang cukup menantang seperti Geo-Tubing dengan
menyaksikan fenomena geologi yang akan menumbuhkan kesan baru dari wisatawan.

DAFTAR PUSTAKA
Asikin, S. (1974) : Evolusi geologi Jawa Tengah dan sekitarnya ditinjau dari segi tektonik dunia yang
baru. Laporan tidak dipublikasikan, disertasi, Dept.Teknik Geologi ITB, 103 hal.

Asikin, S., Handoyo, A., Hendrobusono, dan Gafoer, S. (1992) : Geologic map of Kebumen quadrangle,
Java, scale 1: 100.000, Geological Research and Development Center, Bandung.

Condon, W.H., Pardyanto, L., Ketner, K.B., Amin, T.C, Gafoer, S., dan Samodra, H. (1996) : Geological
map of the Banjarnegara and Pekalongan sheet Java, Geol. Res. And Development center (P3G),
Bandung.

Dowling RK, Newsome D (eds) (2010) Global geotourism perspectives. Goodfellow Publishers, Oxford.

Dowling, R. K. (2011). Geotourism’s Global Growth. Geoheritage, 3(1), 1–13.

Pásková, M. (2012). Environmentalistika cestovního ruchu. Czech Journal of Tourism, 1(2), 77–113.

1267
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H024POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Peta lokasi penelitian (google maps, 2019)

1268
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H024POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Peta geologi lokasi penelitian

Diagram 1. Hubungan geowisata dengan bentuk pariwisata lainnya. Garis tebal dan putus-putus
mewakili jalur yang saling berhubungan. Hubungan antara ekowisata dan geowisata diwakili sebagai
hubungan yang sangat kuat (Newsome dan Dowling, 2010)

1269
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H024POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Geosite Watu Kelir Seboro, bagian bawah berwarna merah berupa sedimen laut dalam
menindih diatasnya lava bantal berwana hitam

Gambar 4. Kegiatan geotubing dengan menempatkan spot foto pada titik-titik geosite
1270
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H024POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. Embung Cangkring dengan perbukitan mélange sebagai lanskap

Gambar 6. Lebah hutan yang dipanen di kawasan sekitar Embung Cangkring

1271
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H024POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 7. A) Maqom Sunan Geseng, B) makam pendiri Desa Cangkring sekaligus murid dari Sunan
Geseng

Gambar 8. Lokasi yang diduga merupakan petilasan Pangeran Diponegoro dan peninggalanya

Gambar 9. Lokasi Geosite dan trek yang menghubungkan antar geowisata

1272
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H024POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

1273
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H024POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

1274
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H027UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

WISATA GUNUNG SANGEANG API: UPAYA PENGINTEGRASIAN ASPEK


GEOWISATA DAN GEOKULTUR GUNUNG SANGEANG API, PULAU
SANGEANG, KABUPATEN BIMA, NUSA TENGGARA BARAT, INDONESIA

Danendra Garuda Wisda 1*, Gian Adrhyana Adiwinata 1, Dendy Nur Firmansyah 1, Eko Teguh
Paripurno 1
Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta 1
*corresponding author: rafaelgaru@my.smccd.edu

ABSTRAK. Gunung Sangeang Api secara administratif terletak di Pulau Sangeang, Kecamatan Wera,
Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Daerah studi terletak di pulau vulkanik yang belum
terjamah setelah letusan terbesar pada tahun 1985. Stratigrafi Gunung Sangeang Api terdiri oleh 9 unit
batuan vulkanik berumur Holosen dan endapan aluvial pantai. Morfologi yang dikembangkan di daerah
tersebut terutama dikendalikan oleh aktivitas gunung berapi seperti baranko, lereng gunung api bagian
bawah, lereng gunung berapi tengah, lembah vulkanik, sungai laharik, dan dataran pantai. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengintegrasikan potensi geowisata dan geokultural di daerah tersebut.
Potensi baru yang ditemukan sebagai situs geowisata adalah Aliran Lava, Teluk Toro Amandaha,
Barranco, Lembah Sori Solah, Air Terjun Sori Solah, Pantai Kerakal, Terumbu Melibe Mountains, Mata
Air Tawar, dan Sunset Point. Daerah ini juga didukung oleh potensi geokultural lokal yang unik seperti
tenun tangan Tembe Nggoli dan Tembe Me'e, tarian kipas tradisional, pakaian Rimpu Mpida, dan
pembuatan perahu tradisional. Penelitian ini menggunakan deskripsi kualitatif dan kuantitatif yang
meliputi data geologi, data geomorfologi, geowisata dan pendataan geokultural, juga didukung oleh
analisis petrografi, analisis struktur geologi, analisis SWOT, visualisasi, dan publikasi media. Hasil
menunjukkan bahwa kedua aspek, geowisata dan geokultur tidak dapat berdiri sendiri dan berfungsi
melengkapi satu dengan yang lainnya. Dengan pengemasan dan integrasi yang baik, wisata gunung api
Sangeang Api sangat mungkin menjadi wisata unggulan Nusa Tenggara Barat.

Kata kunci: Sangeang Api, Volcano, Geotourism, Geocultural, SWOT Analysis

I. PENDAHULUAN
Indonesia terdiri dari gunung berapi yang tersebar di seluruh Indonesia. Sekitar 80%
dari gunung berapi di wilayah ini terletak di Busur Sunda, membentang dari Barat Laut
Sumatra ke Laut Banda, Timur Papua New Guinea. Busur ini merupakan hasil dari subduksi
Lempeng Indo-Australia di bawah Lempeng Eurasia (Satyana, 2005). Proses tersebut
menyebabkan banyaknya terbentuk morfologi yang unik dan menarik di sepanjang pulau jawa
tersebut. Morfologi unik dan menarik ini dapat dijadikan sebagai sarana tempat pembelajaran
geologi ataupun dapat dijadikan sebagai sarana untuk geowisata. Geowisata sendiri
merupakan suatu aktivitas wisata yang secara spesifik fokus terhadap aspek panorama dan
geologi (Downling, 2011 dalam Kubalikova, 2013). Gunung Sangeang Api merupakan gunung
api aktif yang letaknya terpisah dari Pulau Sumbawa dan membentuk pulau gunung api
tersendiri. Pulau yang tidak memiliki penghuni tetap ini telah lama menjadi bahan
1275
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H027UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

perbincangan baik di kalangan penggiat alam maupun ahli kebumian. Hall (2000)
menyebutkan bahwa meskipun perencanaan bukanlah solusi untuk mengatasi semuanya,
namun setidaknya dapat meminimalkan dampak negatif, memaksimalkan perekonomian dan
berkontribusi pada tanggapan positif masyarakat lokal. Untuk mengangkat popularitas itu
maka perlu dilakukan penelitian yang lebih spesifik, salah satunya di bidang pariwisata
berbasis geologi. Perencanaan yang tepat dapat membantu menghindari dampak yang tidak
diinginkan dan kehilangan peluang di masa depan. Selanjutnya, Hall (2000) menunjukkan
bahwa perencanaan untuk pariwisata dapat terbagi dalam beberapa bentuk, misalnya
pengembangan infrastruktur, penggunaan lahan dan sumber daya, organisasi, sumber daya
manusia, promosi dan pemasaran; struktur dan skala (internasional, nasional, lokal, dan
sektoral).
Secara administratif daerah penelitian terletak di Pulau Sangeang, Kecamatan
Wera, Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat (Gambar 1). Daerah penelitian ini
memiliki beberapa kriteria untuk dijadikan sebagai objek geosite yang baru, diantaranya
memiliki 9 objek geowisata dan 4 objek kebudayaan. Jika kedua objek tersebut dapat
dipadukan, maka akan terbentuk suatu lokasi geowisata dan geokultural yang dapat
memajukan roda perekonomian masyarakat setempat.

II. METODE PENELITIAN


Penelitian ini dilakukan dengan dua metode yaitu penelitian geologi dengan survei
langsung dalam pengumpulan data deskriptif dan kuantitatif serta metode promosi. Metode
penelitian geologi dibagi menjadi empat tahap yaitu pra-pemetaan, pengambilan data, analisis
data, dan sintesis. Tahap pra-pemetaan berupa kajian pustaka dan penghimpunan data
sekunder berupa Peta Geologi Lembar Komodo (Nana Ratman & Aswan Yasin, 1978). Tahap
pengambilan data berupa data litologi, data lokasi prospek untuk wisata yang berbasis geologi,
bentang alam, profil, dan foto lapangan. Tahap analisis dilakukan dengan menentukan pola
pengaliran, membagi satuan bentuklahan, membagi satuan batuan, mengklasifikasikan situs
geowisata, dan melakukan penilaian terhadap situs geowisata yang diajukan. Tahap analisis
data dilakukan di laboratorium dan studio. Terakhir tahap sintesis merupakan penggabungan
dari data primer dan sekunder. Metode promosi dilakukan dengan publikasi ke pemerintah
dan media sosial.

III. DATA
1. Kondisi Morfologi Daerah Penelitian
Gunung Sangeang Api sektor barat berdasarkan klasifikasi Van Zuidam (1983)
dibagi menjadi 6 satuan bentuklahan, yaitu Baranko (V1), Lereng Gunung Api Bawah (V2),
Lereng Gunung Api Tengah (V3), Lembah Gunung Api (V4), Tubuh Sungai (F1), dan Dataran
Pantai (M1). (Gambar 2).

2. Kondisi Stratigrafi Daerah Penelitian

1276
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H027UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Daerah penelitian disusun oleh batuan hasil gunung api muda Sangeang Api (Ratman &
Yasin, 1978). Stratigrafi daerah penelitian terdiri dari 10 satuan batuan dengan urutan dari tua
ke muda adalah sebagai berikut :

a. Satuan Aliran Piroklastika Sangeangapi 1 (Sa1) : Disusun oleh endapan aliran


piroklastika berwarna abu-abu, ukuran butir 2-10 cm, agak menyudut-agak membundar,
terpilah buruk, kemas terbuka, fragmen andesit skoria dengan komposisi mineral piroksen,
kuarsa, plagioklas dengan semen silika, memiliki struktur masif.
b. Satuan Lava Basal Piroksen Sangeangapi 1 (Sl1) : Disusun oleh aliran lava basal piroksen
berwarna abu-abu tua, bertekstur porfiritik, menunjukkan struktur vesikuler, fenokris
terdiri atas piroksen dan plagioklas berbutir halus-sedang diantara massa dasar afanitik.
c. Satuan Aliran Piroklastika Sangeangapi 2 (Sa2) : Disusun oleh endapan aliran
piroklastika berwarna abu-abu kecoklatan, ukuran butir 5 mm-17 cm, derajat pembundaran
agak menyudut, terpilah buruk, kemas terbuka, tersusun atas fragmen tuff, piroksenit,
basal dengan komposisi mineral piroksen, plagioklas, mineral opak, dan massa dasar,
dengan semen silika, memiliki struktur masif.
d. Satuan Lava Basal Piroksen Sangeangapi 2 (Sl2) : Disusun oleh aliran lava basal piroksen
berwarna abu-abu tua, bertekstur porfiritik, menunjukkan struktur aliran, fenokris terdiri
atas piroksen dan plagioklas berbutir halus-sedang diantara massa dasar afanitik.
e. Satuan Lava Basal Piroksen Sangeangapi 3 (Sl3) : Disusun oleh aliran lava basal piroksen
berwarna abu-abu tua, bertekstur porfiritik, masif, fenokris terdiri atas piroksen dan
plagioklas berbutir sedang-kasar diantara massa dasar afanitik.
f. Satuan Lahar Sangeangapi 1 (Slh1) : Disusun oleh endapan lahar berwarna coklat, ukuran
butir 2 mm-20 cm dengan komponen raksasa mencapai 1,2 m agak membundar, terpilah
buruk, kemas terbuka, tersusun atas fragmen andesit skoria, basal dan litik mengambang
pada matriks lumpur.
g. Satuan Aliran Piroklastika Sangeangapi 3 (Sa3) : Disusun oleh endapan aliran
piroklastika berwarna abu-abu kecoklatan, ukuran butir 2-4 cm, derajat pembundaran agak
menyudut-agak membundar, terpilah buruk, kemas terbuka, tersusun atas fragmen skoria,
andesit, basal dengan komposisi mineral piroksen, plagioklas, mineral opak, dan massa
dasar, dengan semen silika, memiliki struktur masif.
h. Satuan Lava Basal Piroksen Sangeangapi 4 (Sl4) : Disusun oleh aliran lava basal piroksen
berwarna abu-abu tua, bertekstur porfiritik, menunjukkan struktur aliran, berlubang halus
dan pada permukaan terbentuk kekar-kekar.
i. Satuan Lahar Sangeangapi 2 (Slh2) : Disusun oleh lahar berwarna coklat, ukuran butir
2mm-20 cm dengan komponen raksasa 21-35 cm, membundar, terpilah buruk, kemas
tertutup, tersusun atas fragmen andesit skoria, basal, litik, dan lumpur. Secara umum
berstruktur masif namun juga dijumpai gradasi normal secara setempat.
j. Satuan Aluvium Pantai (al) : Disusun oleh endapan pantai berupa material lepas dengan
derajat pembundaran yang tinggi, berukuran pasir hingga kerakal, tersusun atas batuan
beku andesit skoria, basal, dan litik.

3. Kondisi Struktur Daerah Penelitian


1277
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H027UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Sesar aktif merupakan struktur yang berkembang pada daerah penelitian. Sesar
Mendatar Solah berada di air terjun Sori Solah. Karena tidak ditemukan cermin sesar, bidang
sesar maupun kekar gerus dan kekar tarik maka arah pergerakan dan penamaan sesar ini
hanya dapat diperkirakan. Sesar Mendatar Balumbe berada di baranko Sori Balumbe.
Berdasarkan klasifikasi Rickard (1972) termasuk Left Slip Fault. Tingkat keaktifan sesar mengacu
klasifikasi California State Mining and Geology Board Classification (1973) yang menyatakan bahwa
sesar yang memotong batuan berumur Holosen dapat digolongkan kedalam sesar aktif,
didukung dengan adanya aktivitas kegempaan berupa tektonik lokal Gunung Sangeang Api
saat erupsi 2014.

4. Sejarah Geologi Daerah Penelitian


Sejarah geologi daerah penelitian dimulai dari (1) Erupsi eksplosif dan efusif Gunung
Sangeang Api pada Kala Holosen yang menghasilkan Endapan Aliran Piroklastika
Sangeangapi 1 dan Lava Basal Piroksen Sangeangapi 1. Letusan kembali terjadi dengan jumlah
material yang lebih besar menghasilkan Aliran Piroklastika Sangeangapi 2 hingga menutup
seluruh area daerah penelitian dan mencapai batas pantai atau sejauh kurang lebih 7 km dari
pusat erupsi, membentuk tanjung di bagian Barat daerah penelitian. Kemudian setelahnya
terjadi letusan efusif yang menghasilkan Satuan Lava Basal Piroksen Sangeangapi 2 yang
mengalir sejauh kurang lebih 3 km dari pusat erupsi. (2) Setelah erupsi eksplosif pertama
berakhir, terjadi lagi letusan efusif yang menghasilkan Satuan Lava Basal Piroksen Sangeangapi
3 sejauh kurang lebih 5 km dari pusat erupsi. (3) Kegiatan gunung api berhenti, namun proses
erosional terus berlanjut sehingga terendapkan Satuan Lahar Sangeangapi 1 berupa material
hasil pengerjaan ulang dari endapan yang telah ada sebelumnya. Berhentinya kegiatan gunung
api dan pendangkalan air laut akibat material gunung api menjadi lingkungan yang ideal
sebagai tempat bertumbuh kembangnya terumbu karang. (4) Kegiatan gunung api kembali
aktif dan terjadi erupsi eksplosif yang menghasilkan Endapan Aliran Piroklastika Sangeangapi
3 sejauh kurang lebih 5 km dari pusat erupsi. Disisi lain lingkungan laut tidak terganggu
sehingga pertumbuhan terumbu karang tetap berlanjut. (5) Terjadi letusan efusif yang
menghasilkan Satuan Lava Basal Piroksen Sangeangapi 4 yang mengalir sejauh kurang lebih 7
km dari pusat erupsi. Pada bagian Utara daerah penelitian juga diendapkan Satuan Lahar
Sangeangapi 2 yang merupakan pengerjaan ulang dari endapan yang telah ada sebelumnya. (6)
Akibat proses tektonik yang aktif hingga sekarang, terjadi reaktifasi Sesar Solah dan Sesar
Balumbe yang terus memotong satuan batuan pada zona sesar tersebut. Terbentuknya Endapan
Aluvium di pesisir pantai merupakan akibat dari proses abrasi oleh gelombang dan arus laut
destruktif. (Gambar 3).

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


Sebagai upaya pengintegrasian antara aspek geowisata dan geokultur, peneliti
melakukan pendataan terhadap objek wisata di sekitar daerah penelitian guna menciptakan
pariwisata yang berkelanjutan dan pengenalan budaya setempat sebagai daya tarik tambahan.
Geodiversitas di Kabupaten Bima terjadi sebagian besar dalam berbagai kenampakan alam
berupa pantai berbatu dan tebing, gunung, dan air terjun (Tabel 1).

1278
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H027UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

1. Lokasi dan Transportasi Penunjang


Transportasi umum dan transportasi pribadi adalah transportasi yang menunjang
wisatawan menuju daerah wisata. Untuk menuju wisata pada daerah penelitian, wisatawan
hanya dapat menggunakan transportasi darat.
a. Bima-Sangeang
Perjalanan dari Kota Bima ditempuh melalui Jl. Datuk Dibanta - Jl. Lintas Bima-Wera
menuju Kota Tawali dengan waktu tempuh sekitar 1 jam 30 menit. Dari Kota Tawali
mengambil rute ke Utara menuju Desa Sangiang Darat dengan waktu tempuh sekitar 30 menit.
Setelah sampai di Desa Sangiang Darat, perjalanan dilanjutkan dengan boat atau perahu menuju
Pulau Sangeang dengan waktu tempuh sekitar 1 jam.
b. Sape-Sangeang
Perjalanan dari Kota Sape ditempuh melalui Jl. Lapangan Putih - Jl. Lintas Sape-Wera
menuju Kota Tawali dengan waktu tempuh sekitar 1 jam 45 menit. Dari Kota Tawali
mengambil rute ke Utara menuju Desa Sangiang Darat dengan waktu tempuh sekitar 30 menit.
Setelah sampai di Desa Sangiang Darat, perjalanan dilanjutkan dengan boat atau perahu
menuju Pulau Sangeang dengan waktu tempuh sekitar 1 jam.

2. Situs Geowisata Gunung Sangeang Api


a. Aliran Lava
Aliran Lava berada di lembah Sori Balumbe daerah penelitian dengan koordinat X
720800 Y 9095200 (Gambar 4). Kenampakan geologi berupa singkapan lava yang
merepresentasikan kontur lava yang menggambarkan seperti lidah pada peta lintasan. Penulis
menggolongkan Aliran Lava kedalam pariwisata lansekap dari proses geologi endogen (Chen,
2015). Lava ini termasuk dalam satuan Lava Basal Piroksen Sangeangapi 4 yang mengalir
sejauh kurang lebih 7 km dari pusat erupsi. Menurut penulis lava ini merupakan batuan hasil
erupsi termuda pada daerah penelitian. Destinasi wisata Aliran Lava merupakan destinasi yang
membuktikan adanya erupsi gunung Sangeang Api.
Produk Dan Daya Tarik Wisata
 Tebing yang curam sebagai objek pembelajaran geologi dan sebagai objek foto.
 Pohon-pohon hijau yang rindang yang dapat dijadikan sebagai tempat untuk rekreasi
dan relaxsasi.

b. Toro Amandaha
Toro dalam bahasa Bima berarti tanjung adalah daratan yang menjorok ke laut. Toro
Amandaha berada di Barat Daya daerah penelitian dengan koordinat X 720400 Y 9095380
1279
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H027UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

(Gambar 5). Tanjung yang merupakan muara dari Sungai Sori Balumbe ini membentang
sepanjang 1 km dengan arah Utara-Selatan. Penulis menggolongkan Toro Amandaha kedalam
pariwisata lansekap dari proses geologi eksogen (Chen, 2015). Tanjung ini terbentuk karena
suplai sedimen berupa material hasil erupsi Sangeang Api dalam jumlah besar yang
tertransportasi melalui Lembah Sori Balumbe. Destinasi wisata Toro Amandaha merupakan
destinasi yang membuktikan bahwa hasil erupsi gunung Sangeang Api yang tertransport
hingga laut dengan jumlah yang besar dapat membentuk sebuah tanjung kecil.
Produk Dan Daya Tarik Wisata
 Pemandangan pantai yang indah dapat dijadikan sebagai objek foto.
 Objek pantai yang dapat dijadikan sebagai sarana wisata keluarga untuk berenang dan
sekedar bersantai dipinggir pantai.
 Tempat yang sejuk dapat dijadikan sebagai sarana untuk relaxsasi.

c. Lembah Sori Solah


Sori dalam bahasa Bima berarti sungai. Lembah Sori Solah adalah lembah besar yang
dialiri sungai Sori Solah. Lembah Sori Solah berada di Utara daerah penelitian dengan
koordinat X 723100 Y 9096800 (Gambar 6). Lembah ini membentang dengan arah Barat-Timur
dan memiliki arah dominan N270°E. Penulis menggolongkan Lembah Sori Solah kedalam
pariwisata lansekap tektonik erosif (Chen, 2015). Lembah ini terbentuk karena proses erosi yang
kuat oleh Sungai Sori Solah. Dinding dari lembah ini memiliki beda tinggi yang cukup besar,
yaitu sekitar 200 m. Hal ini dikarenakan batuan yang tererosi berupa lava basal piroksen dan
aliran piroklastika dengan tingkat resistensi yang kuat.
Produk Dan Daya Tarik Wisata
 Pemandangan lembah yang diapit oleh lereng yang curam, yang dapat digunakan
sebagai tempat relaksasi, dan didukung juga dengan kondisi yang sejuk karena banyak
ditumbuhi pohon-pohon disekitar sungai.
 Terdapat kolam genangan yang dapat dijadikan sebagai tempat berendam.
 Pemandangan yang indah dapat dijadikan sebagai objek fotografi.

d. Baranko
Baranko merupakan istilah dalam Bahasa Spanyol untuk merepresentasikan morfologi
gunung api berupa jurang yang dalam dan sempit. Baranko di daerah penelitian terdapat pada
bagian Utara dengan koordinat X 721909 Y 9096464 dan pada bagian Selatan dengan koordinat
X 722473 Y 9093977 (Gambar 7). Penulis menggolongkan Baranko kedalam pariwisata lansekap
tektonik erosif (Chen, 2015). Baranko terbentuk karena proses geomorfik yang menjadi faktor
utama (Fu'ster et al., 1968; Aran˜a & Carracedo, 1980) dengan longsoran yang menjadi proses
paling nyata yang dapat diamati pada cekungan atas (Balcells et al., 1990; Lomoschitz &
Corominas, 1992).
Produk Dan Daya Tarik Wisata
Pemandangan lembah atau jurang yang sempit dapat dijadikan sebagai objek foto dan
sebagai objek pembelajaran geologi.

1280
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H027UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

e. Pantai Kerakal
Pantai Kerakal berada di sepanjang pesisir pantai pada daerah penelitian (Gambar 8).
Dataran pantai ini terdiri dari material lepas dengan derajat pembundaran yang tinggi,
berukuran pasir hingga kerakal, tersusun atas batuan beku andesit skoria, basal, dan litik.
Penulis menggolongkan Pantai Kerakal kedalam pariwisata lansekap pantai (Chen, 2015).
Pantai Kerakal merupakan hasil pengerjaan kembali sedimen disekitar pantai melalui proses
abrasi.
Produk Dan Daya Tarik Wisata
 Pemandangan pantai yang indah dapat dijadikan sebagai objek foto.
 Objek pantai yang dapat dijadikan sebagai sarana wisata keluarga untuk berenang dan
sekedar bersantai dipinggir pantai.
 Tempat yang sejuk dapat dijadikan sebagai sarana untuk relaxsasi.

f. Melibe Mountains
Melibe Mountains adalah 1 dari 8 situs selam yang terdapat di Pulau Sangeang dengan
spesialisasi Muck Diving (Kalimaya, 2016). Spesies yang ditemukan di situs ini diantaranya
Berthellina delicata (Pease, 1861) dan Bursatella leachii (Blainville, 1817) (Gambar 9). Tempat ini
juga menjadi habitat bagi Carcharhinus limbatus atau lebih dikenal dengan hiu sirip hitam.
Situs ini terletak di Toro Amandaha, sebuah tanjung di bagian Barat Daya daerah penelitian
dengan koordinat X 720050 Y 9095000 (Gambar 10). Kedalaman laut di situs ini berkisar antara
5-20 meter. Penulis menggolongkan Melibe Mountains kedalam pariwisata lansekap terumbu
karang (Chen, 2015). Terumbu karang di Melibe Mountains terbentuk karena berhentinya
kegiatan gunung api dan pendangkalan air laut akibat material gunung api yang terendapkan
di Toro Amandaha. Kondisi ini menjadi lingkungan yang ideal sebagai tempat bertumbuh
kembangnya terumbu karang pada daerah penelitian. Melibe Mountains merupakan
merupakan destinasi yang membuktikan bahwa di daerah gunung api dengan kondisi
lingkungan yang ideal, terumbu karang dapat tumbuh dan berkembang.
Produk Dan Daya Tarik Wisata
 Pemandangan laut yang indah dapat dijadikan sarana untuk diving atau snorkeling.
 Wisata spot fotografi bawah laut sebagai daya tarik utama yang dapat dinikmati
wisatawan domestik maupun mancanegara.
 Tempat yang dapat dijadikan sebagai pembelajaran geologi dan geomorfologi bawah
laut serta pembelajaran biodiversitas dan paleontologi.

g. Air Terjun Sori Solah


Air terjun Sori Solah berada di Utara daerah penelitian tepatnya di LP 15 dekat hulu
Sungai Sori Solah dengan koordinat X 723850 Y 9096800 (Gambar 11). Air terjun Sori Solah
memiliki litologi lava basal piroksen. Penulis menggolongkan Air Terjun Sori Solah kedalam
lansekap pariwisata air terjun (Chen, 2015). Menurut penulis, air terjun ini dibentuk oleh
adanya sesar yang memotong Sungai Sori Solah. Interpretasi tersebut didasari oleh terdapatnya

1281
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H027UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

zona hancuran di sepanjang sungai. Pada bidang patahan dan zona hancuran tidak dapat
dilakukan pengukuran karena telah tererosi oleh sungai. Destinasi ini menunjukkan bahwa
proses geologi yang berkembang berupa kenampakan struktur geologi, litologi dan morfologi
penyusun sangat berpengaruh terhadap pembentukan Air Terjun Sori Solah.

Produk Dan Daya Tarik Wisata


 Pemandangan indah dengan latar air terjun dan perbukitan Susukan yang dapat
dijadikan sebagai spot geofotografi.
 Wisata Air terjun terjun yang dapat dijadikan sebagai tempat untuk rekreasi dan
berenang.

h. Mata Air Luahan


Mata Air Luahan terdapat pada LP 16 bagian Barat Laut daerah penelitian dengan
koordinat X 721400 Y 9096950 dan X 721450 Y 9097000 (Gambar 12). Mata air ini hanya muncul
di permukaan pada sore hari saat air laut sedang surut. Penulis menggolongkan Mata Air
Luahan kedalam pariwisata lansekap mata air (Chen, 2015). Litologi penyusunnya berupa
endapan pantai berukuran pasir hingga kerakal. Kemunculan mata air ini dikarenakan daerah
ini merupakan daerah tangkapan air atau catchment area pada zona luahan dalam siklus air
tanah dan dekat dengan zona interface sehingga untuk mendapatkannya hanya diperlukan
penggalian sedalam ± 15 cm.
Produk Dan Daya Tarik Wisata
Pemandangan pantai dan mata air luahan dapat dijadikan sebagai objek foto dan
sebagai objek pembelajaran geologi.

i. Sunset Point
Sunset Point merupakan tempat dimana wisatawan dapat menikmati suasana
tenggelamanya matahari pada daerah penelitian (Gambar 13). Situs ini terdapat di sepanjang
pantai pada daerah penelitian. Penulis menggolongkan Sunset Point kedalam pariwisata
lansekap awan senja (Chen, 2015). Posisi geografis Pulau Sangeang yang berada di paling Utara
Provinsi Nusa Tenggara Barat dan letak daerah penelitian yang berada di bagian Barat pulau
menjadikan lokasi ini tempat yang paling ideal untuk mendapatkan momen matahari
tenggelam. Lansekap Gunung Tambora juga tampak dengan jelas karena letaknya yang berada
di Utara Pulau Sumbawa dan masih merupakan 1 kelurusan busur gunung api dengan Gunung
Sangeang Api.
Produk Dan Daya Tarik Wisata
Pemandangan pantai yang indah pada sore hari dapat dijadikan sebagai objek foto saat
menunggu matahari tenggelam.

1282
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H027UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

3. Geokultural Dan Kebudayaan Daerah


a. Rimpu Mpida
Rimpu merupakan busana adat harian tradisional yang berkembang pada masa
kesultanan, sebagai identitas bagi wanita muslim di Bima. Rimpu terbuat dari dua lembar
sarung yang bertujuan untuk menutup seluruh bagian tubuh.Pedagang Islam yang datang ke
Bima terutama wanita Arab menjadi inspirasi kuat bagi wanita Bima untuk mengidentikkan
pakaian mereka dengan menggunakan Rimpu.
Menurut Sejarawan Bima, Hilir Ismil keberadaan Rimpu Mpida juga tak lepas dari
upaya pemerintahan pada masa Sultan Nuruddin untuk memanfaatkan kain sarung yang
sudah dikenal dunia, sebab pada masa itu dou mbojo memenfaatkan melimpahnya tanaman
kapas untuk dijadikan kain tenun yang menjadi komoditi hingga dijual ke negeri China.
(Gambar 14A).
b. Tembe Nggoli dan Tembe Me’e
Tembe Nggoli merupakan tenun khas Bima yang memiliki motif sederhana. Tembe
Me’e merupakan tenun khas Sangiang yang dibuat dari benang dengan teknik pewarnaan
menggunakan bahan alami tumbuh-tumbuhan. Tembe Me’e yang berwarna hitam polos pada
awalnya dibuat khusus untuk upacara sakral. Di Desa Sangiang Darat, mayoritas wanita
mengerjakan tenun. Tiap tenun membutuhkan waktu sekitar 1-2 minggu pengerjaan secara
manual hingga menjadi selembar kain tenun. Tembe Nggoli dan Tembe Me’e merupakan salah
satu upaya untuk menjaga kebudayaan lokal. (Gambar 14B).
c. Tarian Adat
Tarian adat seperti Tari Kipas, Wura Bongi Monca, dan Tari Lenggo merupakan
beberapa tarian yang dapat disaksikan di Desa Sangiang Darat. Wura artinya menabur, Bongi
artinya beras dan Monca artinya kuning, jadi Wura Bongi Monca adalah tarian menabur beras
kuning yang merupakan lambing dari kesejahteraan, kejayaan keluarga yang berkaitan dengan
rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. (Gambar 14C).
d. Pembuatan Kapal
Sangeang Api merupakan salah satu tempat lalulintas pelayaran dan perdagangan dari
Malaka ke Maluku atau sebaliknya menjadi penting artinya baik sebagai tempat singgah
(istirahat) maupun sebagai tempat aktivitas perdagangan. Dampak perdagangan ini sangat
besar bagi pertumbuhan dan perkembangan negara (kerajaan) atau kota-kota di daerah pantai.
Dalam perdagangan penguasa akan memperoleh pendapatan dari pajak (pajak pelabuhan dan
pajak perdagangan) yang dapat digunakan untuk membangun kerajaan (Haris, 1997:51).
Selain perdagangan, masyarakat Sangeang juga berprofesi sebagai nelayan menjadikan
masyarakat Sangeang memiliki ketrampilan membuat kapal secara tradisional. Teknologi
pembuatan kapal sudah dimiliki masyarakat Sangeang sudah sejak lampau dan masih dibuat
secara sederhana. Pemimpin pembuatan kapal disebut Panggita, yang memiliki keahlian dalam
penentuan luas perahu, bentuk, ukuran, dan keseimbangan perahu.

1283
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H027UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Masyarakat Sangeang telah lama dikenal sebagai pelaut yang handal. Keahlian mereka
dalam membuat kapal dalam berbagai model sudah tidak diragukan lagi. Hal itu dapat
dibuktikan di acara Festival Sangeang Api, dimana 100% kapal yang dilombakan adalah buatan
masyarakat asli Sangeang. Kemampuan masyarakat Sangeang dalam membuat kapal
dipengaruhi oleh kondisi geografis dari Pulau Sangeang Api yang terletak disebelah utara Bima
dan sebelah barat laut Flores yang terkenal dengan gelombang laut yang tinggi, hal ini
membuat leluhur masyarakat Sangeang tertempa di lautan yang ganas sehingga sampa saat ini
masyarakat sekitar mampu meneruskan tradisi para leluhur sebagai pelaut dan pembuat kapal
yang handal. (Gambar 14D).

4. Analisis SWOT
Dari data yang ada, diperlukan suatu metode analisis dan perencanaan untuk
mengevaluasi daerah penelitian agar berpotensi menjadi geosite yang dapat dikembangkan di
masa depan. Analisis dan perencanaan ini dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan
SWOT ( Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Treats). Analisis ini diharapkan dapat
menghasilkan suatu strategi manajemen yang baik dan tepat. Berikut adalah hasil dari analisis
SWOT :
a. Strengths
Adanya aspek geowisata dan geokultur yang saling melengkapi yaitu dengan
ditemukannya tempat wisata yang melimpah baik di dalam daerah penelitian maupun
disekitar tempat penelitian, adanya sejarah geologi yang terekam dan dapat divisualisasikan
dengan baik, adanya budaya lokal sebagai daya tarik tambahan, dan dukungan kuat dari
masyarakat setempat.
b. Weaknesses
Objek wisata belum banyak yang diketahui, kurangnya promosi, belum munculnya
kesadaran masyarakat akan pengelolaan wisata yang baik, kurangnya fasilitas yang memadai
diantaranya seperti jalan yang masih buruk serta tidak adanya penunjuk arah yang jelas.
Melindungi aset budaya merupakan masalah kesadaran, dan perlunya melibatkan lebih banyak
pemangku kepentingan dalam pengembangan sinergi antara pariwisata dan budaya.
Masyarakat lokal merupakan elemen penting dalam hal ini, meskipun juga merupakan
pemangku kepentingan yang paling sulit untuk didefinisikan dan dilibatkan. Keterlibatan
masyarakat dalam pariwisata memiliki banyak potensi manfaat termasuk peningkatan
keberlanjutan, peningkatan kapasitas, mendukung identitas lokal dan merangsang
pengembangan lokal.
c. Opportunities
Tersirat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010, tentang
Cagar Budaya. Selain itu, seiring dengan konsep wisata edukasi, wisata budaya tidak lagi
menjadi minat minoritas, melainkan sektor andalan di dunia pariwisata. Empat prinsip yang
dapat diaplikasikan ketika merencanakan wisata budaya menurut Montenegro Ministry of
Tourism and Environment (2008) yaitu :

1284
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H027UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

 Produk harus dirancang untuk penduduk setempat dan wisatawan. Hal ini membuat
produk yang ditawarkan kepada wisatawan lebih otentik, tetapi juga meningkatkan
pemanfaatan kapasitas mereka.
 Wisata budaya harus memberikan pengalaman lokal yang khas, asli - budaya harus
menjadi acara langsung di lokasi liburan.
 Untuk melestarikan sumber daya budaya dalam jangka panjang, mereka harus
dimanfaatkan secara berkelanjutan tetapi mereka juga harus diorganisir untuk
memenuhi standar lingkungan dan sosial.
 Produk dalam pariwisata budaya harus menonjol karena tingkat keahlian, ketelitian dan
imajinasinya yang tinggi.
d. Threats
Kurangnya perhatian terhadap kondisi alam Pulau Sangeang yang dapat menyebabkan
terbenamnya potensi wisata akibat kerusakan alam oleh maraknya pembalakan liar dan
pemboman terumbu karang di sekitar Pulau Sangeang.

V. KESIMPULAN
Potensi geowisata yang terdapat di lokasi telitian adalah Aliran Lava, Toro Amandaha,
Lembah Sori Solah, Baranko, Pantai Kerakal, Melibe Mountains, Air Terjun Sori Solah, Mata Air
Luahan, Sunset Point serta potensi geokultur yang ada yaitu Rimpu Mpida, Tembe Nggoli dan
Tembe Me’e, Tarian Adat, dan Tradisi Pembuatan Kapal. Kedua aspek tersebut tidak dapat
berdiri sendiri dan berfungsi melengkapi satu dengan yang lainnya.
Adanya potensi Geowisata dan Geokultur tersebut diharapkan mampu
mengembangkan perekonomian masyarakat setempat. Diperlukan koordinasi dengan pihak
pemerintah ataupun Dinas Pariwisata Kabupaten Setempat untuk dilakukan pembenahan dari
sarana prasarana terhadap setiap situs geowisata agar tercipta tempat wisata yang nyaman.
Berikut adalah beberapa pengembangan yang diperlukan berdasarkan analisis SWOT yaitu:
pengembangan infrastruktur seperti jalan, petunjuk arah, serta perlu diadakan sosialisasi
kepada masyarakat setempat mengenai bagaimana mengelola wisata yang baik, agar dapat
dipromosikan secara lebih luas lagi. Penelitian lebih lanjut mengenai Gunung Sangeang Api
maupun budaya dan cerita lokal. Terakhir, perlunya partisipasi nyata pemerintah untuk mulai
serius mengangkat potensi yang ada. Dengan pengemasan dan integrasi yang baik, wisata
Gunung Sangeang Api sangat mungkin menjadi wisata unggulan Nusa Tenggara Barat.

ACKNOWLEDGEMENTS
Kami mengucapkan terima kasih kepada komite penyelenggara Seminar Nasional
Kebumian ke-12 karena telah menerima abstrak makalah ini untuk dipublikasikan dan
dipresentasikan dalam Seminar Nasional Kebumian ke-12 Geoweek 2019 di Universitas Gadjah
Mada dan telah memberikan waktu yang panjang untuk menyelesaikan keseluruhan makalah
ini. Kami juga ucapkan terima kasih kepada Pemerintah Kabupaten Setempat.

1285
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H027UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Jim. 2015. Indonesia Nudibranchs & Sea Slugs.
http://www.nudibranch.org/Indonesia%20Sea%20Slugs/html/nudibranchs.html. Diakses 8 Agustus
2018.
Bermana, I. 2006. Klasifikasi Geomorfologi untuk Pemetaan Geologi yang Telah Dibakukan. Bulletin of
Scientific Contribution, Volume 4, Nomor 2, Agustus 2006, 161-173.
Bird, Deanne K., Gisladottir, Gurdun., Dominey-Howes, Dale. 2010. Volcanic risk and tourism in
southern Iceland: Implications for hazard, risk and emergency response education and training.
Journal of Volcanology and Geothermal Research 189 (2010) 33-48.
Bronto, S. 2010. Geologi Gunung Api Purba. Badan Geologi Kementrian ESDM, Publikasi Khusus.
Chen, A., Lu, Y., and Ng, Y. 2015. The Principles of Geoutourism. Science press, Beijing.
Hall, C.M. 2000. Tourism Planning. Policies, Processes and Relationships (Singapore: Prentice Hall).
Haris, Tawalinuddin dkk. 1997. Kerajaan Tradisional di Indonesia: Bima. Jakarta: Proyek Inventarisasi
dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Kalimaya. 2016. Sangeang Volcano. http://kalimayadiveresort.com/dive/sangean-volcano/. Diakses 8
Agustus 2018
Kubalikova, L., 2013, Geomorphosite assessment for geotourism purposes. Czech Journal of Tourism
02/2013, p. 80-103.
Mao, Iris., Robinson, Angus M., Dowling, Ross. 2009. Potential Geotourists: An Australian Case Study. Edith
Cowan University, Australia.
McPhie J., Doyle M., Allen R. 1993. Volcanic Textures: A Guide to The Interpretation of Textures in Volcanic
Rocks. University of Tasmania, Hobart.
Montenegro Ministry of Tourism and Environment. 2008. Montenegro Tourism Development Strategy to
2020 (online), available at: tourismandculture.org (11-08-2016).
Newsome, David., Dowling, Ross. 2010. Setting an Agenda for Geotourism. Research Gate.
Ratman, Nana dan Yasin, Aswan. 1978. Peta Geologi Lembar Komodo, Nusa Tenggara.
Satyana, A.H. (2005). Structural indentation of Central Java: a regional wrench segmentation. Proceedings
of the Joint Convention Surabaya 2005 – HAGI-IAGI-PERHAPI. The 30th HAGI, The 34th IAGI, and The
14th PERHAPI Annual Conference and Exhibition, p. 1-5.
Van Bemmelen, R, W. 1970. The Geology of Indonesia: Second Edition. Martinus Nijhoff, The Hague.

1286
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H027UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

World Tourism Organization .2018. Tourism and Culture Synergies. UNWTO: Madrid. DOI:
https://doi.org/10.18111/9789284418978.
Yetti Erli. Tradisi Kalondo Lopi.
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/2488/tradisi-kalondo-lopi-di-bima. diakses
10 Juli 2019

Tabel 1. Objek Wisata Alam Kabupaten Bima

Jarak dari

No. Objek Wisata Lokasi

Kota Bima

1. Pantai Lawata 1 km Kota Bima

2. Pantai Wane 49 km Tolotangga, Kec. Monta

3. Pantai Pasir Putih 30,5 km Nipa, Kec. Ambalawi

4. Pantai Oi Fanda 33,6 km Nipa, Kec. Ambalawi

5. Air Terjun Oi Nca 67,2 km Ntoke, Kec. Wera

Jalan Lintas Lelamase, Kota


5. Air Terjun Maronci 40 km Bima

Jalan Lintas Bima-Sape, Kec.


7. Air Terjun Sari 55 km Sape

8. Pantai Rontu 50 km Tangga Baru, Kec. Monta

9. Pantai Lariti 48 km Kec. Sape

10. Pantai Bajo 49 km Kec. Sape

1287
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H027UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

11. Tanjung Meriam 85 km Kec. Lambu

12. Pantai Lawoli 71,5 km Nggelu, Kec. Lambu

13. Taman Nasional Tambora 134 km Kab. Bima

14. Pulau Ular 45 km Kec. Sape

15. Pantai Pink 60 km Kec. Sape

15. Pulau Kelapa 60 km Kec. Sape

17. Diving Spot 55 km Pulau Sangeang, Kec. Wera

18. Gunung Sangeang Api 55 km Pulau Sangeang, Kec. Wera

1288
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H027UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Lokasi Penelitian melalui peta Rupa Bumi Indonesia, Badan Informasi Geospasial

1289
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H027UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Peta Geomorfologi Daerah Penelitian

Gambar 3. Sejarah Geologi daerah penelitian

1290
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H027UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Situs Geowisata Aliran Lava pada LP 31 dengan koordinat X 720800 Y 9095200, arah kamera
N350°E.

Gambar 5. Situs Geowisata Toro Amandaha dengan koordinat X 720400 Y 9095380, arah kamera N340°E.

1291
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H027UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 6. Lembah Sori Solah dengan koordinat X 723100 Y 9096800, arah kamera N268°E.

Gambar 7. (A) Baranko bagian Utara daerah penelitian dengan koordinat X 721909 Y 9096464, arah
kamera N120°E dan (B) Baranko bagian Selatan daerah penelitian dengan koordinat X 722473 Y 9093977,
arah kamera N110°E.

1292
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H027UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 8. Pantai Kerakal yang berada di sepanjang pesisir pantai daerah penelitian, arah kamera
N185°E.

Gambar 9. (A) Terumbu Karang dan (B) Carcharhinus limbatus yang dijumpai di Melibe Mountains
dengan koordinat X 720050 Y 9095000.

1293
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H027UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 10. (A) Berthellina delicata (Pease, 1861) dan (B) Bursatella leachii (Blainville, 1817) yang
dijumpai di Melibe Mountains. Foto direproduksi dengan izin dari Jim Anderson (2015).

1294
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H027UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 11. (A) Air Terjun Sori Solah 1 dengan arah kamera N091°E, (B) Air Terjun Sori Solah 2 dengan
arah kamera N105°E, dan (C) Air Terjun Sori Solah 3 dengan arah kamera N078°E. Koordinat lokasi X
723850 Y 9096800.

Gambar 12. (A) Proses penggalian untuk mendapatkan air tawar dan (B) 2 menit setelah dilakukan
penggalian. Koordinat lokasi X 721400 Y 9096950 dan X 721450 Y 9097000 dengan arah kamera N020°E.

1295
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H027UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 13. Sunset Point yang berlokasi di sepanjang pantai daerah penelitian dengan panorama
matahari terbenam dan Gunung Tambora pada bagian Selatannya, diambil di depan flying camp pada
pukul 17.18 WITA dengan arah kamera N260°E.

1296
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H027UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 14. Budaya lokal Desa Sangiang Darat, (A) Rimpu Mpida yang dipakai saat upacara adat, (B)
Tembe Nggoli dalam proses pengerjaan (C) Tari Kipas yang dibawakan saat upacara adat, (D)
Pembuatan sampan layar dalam menyambut Festival Sangiang Api 2018

Gambar 15. Peta Geologi Daerah Penelitian

1297
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H027UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 16. Peta Geowisata Daerah Penelitian.

1298
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H039POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

ROLES OF CAVE MAPS AS GEOINFORMATION IN SUPPORTING


GEOTOURISM: PRACTICE IN GUNUNG SEWU UNESCO GLOBAL GEOPARK

Angga Wahyu Ristiawan 1*, Hilary Reinhart 2


Department of Geological Engineering, Faculty of Engineering, Universitas Gadjah Mada, Jl. Grafika II1
Mapala SATU BUMI, Faculty of Engineering, Universitas Gadjah Mada Jl. Grafika No. 2 2
*corresponding author: anggawahyuristiawan@gmail.com

ABSTRAK. Cave map is a projection of a cavity or speleological phenomena in a certain media. It is


categorized as one of the geoinformation because it represents and is related with caves as the geological
features. Projection of caves has a considerably important role in comprehending several characteristics of
the caves themselves. Through the visualization and modeling, scientists are able to reconstruct the
process of speleogenesis, ecology of the cave, or hydrological aspects in order to develop a firm
management strategy e.g. engineering, conservation, or the emerging tourism.This paper aims to describe
how cave maps hold crucial roles in providing geoinformation which can be used to explain various
features and information on scientific and tourism activity aspects. Using qualitative method, it uses
perspective from tourist and study of cave cartography to enact the understandingof cave maps and its
roles in geoinformation, geotourism, and geoconservation. Cave tourism as the part of the geotourism,
currently is having significant role in increasing income, strengthening people’s economy, and raising
awareness to the tourist about how a geological process craving and shaping such as aesthetically and
breath-taking features like the ornament and cave’s passage. Aside from the scientific information, cave
maps are openly used to show about the risk and danger inside the cave and how to mitigate the hazard.
Furthermore, it also has role to develop a zoning to regulate the tourist behavior and attraction inside the
cave which is crucial to preserve and maintain the cave.

Kata kunci: Cave Maps, Geoinformation, Geotourism, Speleology

I. INTRODUCTION
Cavity phenomenon is a geological and geographical object because it occurs in the
surface of the earth and mostly happens in karst area (Ford & Williams, 2007). Regarding to that
statement, the science of the cavity phenomenon, especially on the physical aspect, is classified
and included in earth sciences such as geology and geography science. Thus, all the data &
information related with the cave and the cavity phenomenon supposed to be a geo-information
or geo-knowledge. Cave maps and cave cartography as the product and the result of those data
is a geo-information as well.
Cave maps and/or cave cartography develop along with the speleological science as the
complementary and supporting tools for storing and visualizing the knowledge, invention, and
understanding on cavity phenomena. It amalgamates multi-layer information in order to build
a holistic understanding on speleology (Szukalski, 2002) and proved to be very fruitful utensils
in a broad spectrum of science from ecological (Reinhart, 2017a, 2017b), cave management
(Pellegrini & Ferreira, 2012; Lobo et al., 2013), biological, archeological (Wibisono, 2017), and

1299
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H039POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

physical geology such as speleogenesis (Palmer, 2011) and hydrology. Henceforth, cave
cartography can be considered as a fundament in the speleology.
The development of cave maps cannot be attached from the advancement of the
infrastructure and the measurement tools. From the manual measurement only using compass
and tapes, cave maps nowadays are built at scanning device (Idrees & Pradhan, 2016) and
become more realistic as the 3-Dimensionals projection exists (Gallay, Kanuk, Hochmut et al.,
2015). This transformation is imperative since it increases the data to be obtained and enhancing
the understanding of the unknown phenomena beforehand. (Figure 1)
Caves contain a very high value since it is actively grow and develop with the
surrounding environment thus sub-surface ecosystem within the cave is inevitably related with
everything happens in the surface. This extraordinary relation leads to the fact that cave reflects
and preserve all the information from the upper world and can be imagined as a big and safe
locker. Apart from that, the process of dissolution as the primary activity that originates the
cave frequently yields a spectacular and breathtaking features within the cave such as cave
ornament or the cave passages. All of those derived into scientific, social, and ultimately
economic value of a cave (Samodra, 2001).
All of those values are an elementary investment on developing a certain caves. For the
last century, many caves were opened to public to visit hence becoming a fascinating tourism
site. Not merely offering a recreational experience for the visitors, caves are also providing
geological knowledge as the foundation of the appreciation towards geological process and
expected to add more participants in conservation efforts. Apart from that, applying a cave into
a tourism destination absolutely will boost economic sector for the people around it (Lee &
Chang, 2008). In order to ensure a responsible development and the sustainability of the cave’s
environment, the geo-information about the characteristics of certain cave has to be provided.
Indonesia, with the abundance of geological uniqueness, also has tons of numbers of
extraordinary caves. Its vast area of karst area scattered on its main and small island (Balasz,
1968) is a huge potential to be developed into tourism destination. Several highlighted karst
areas in Indonesia are Gunung Sewu Karst, Sangkulirang-Mangkalihat Karst in Kalimantan,
and Maros Karst in Sulawesi Island. Karst of Gunung Sewu is the most famous karst,
profoundly known for its typical tropical-karst and had been noticed by the western traveller of
Junghuhn (1845) and even opened new understanding on tropical karst by the study of Lehman
(1936). The pinnacle of this recognition came on 2015 when Karst of Gunung Sewu was
officially joined the Global Geopark Network as the second Global Geopark in Indonesia
following Mount Batur Geopark. As the consequences, all of those recognitions require a good
practice of management and conservation based on exact and appropriate data and information.
This paper examines how the cave maps are originally a geo-information and highly necessary
for the development of caves into various applications, mainly to be tourism destination it aims
to elaborate the significance and the important application on the tourism activity whether for
visitors, guide, and the manager. As the outcome, it is expected that this study strengthen the
role and importance of cave maps as geo-information and widening the awareness and public
education of the geo-information in managing caves with sustainability (Azman, Halim, Liu, et
al., 2010).

1300
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H039POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

II. REGIONAL GEOLOGY


Gunung Sewu UNESCO Global Geopark area is mostly composed by Karst of Gunung
Sewu which stretches 120 km in the southern of the Java Island. This geopark comprised by
three regencies at three provinces which are Gunung Kidul Districts in Yogyakarta Special
Region Province, Wonogiri District in Central Java District, and Pacitan District in East Java
District. Each district becomes geoarea. It is bounded by Indian Ocean in the south hence the
suthern part of the Karst of Gunung Sewu mostly controlled by oceanic. (Figure 2)
Karst of Gunung Sewu underwent uplifting on Neogen because of the subduction of
Australian Plate on the south with Eurasian Plate on the north. The uplifting process is still
ongoing until now with the compression comes from the south. This process influences the
characteristics of the limestone where in the southern part of Gunung Sewu, the limestone is
dominantly massive coral with more chalky limestone in the northern part (Waltham, 1983).
There are two limestone formations in the Karst of Gunung Sewu. It is mostly covered with
Wonosari Formation, a middle Miocene-upper Pliocene limestone with limestone, tuff
limestone, conglomerate limestone, tuff sandstone (Surono et al., 1992) and Oyo Formation. Van
Bemmelen (1949) categorized Gunung Sewu as southern mountain part of Java Island and
divided into two zones, Northern Part and Southern Part. The later consists of two basins, the
Wonosari and Baturetno Basin and conical topographic which was identified by Lehmann
(1936). The Northern Part is structural mountain ridges. In terms of geomorphological aspects,
there are three different types of karst geomorphology at Karst of Gunung Sewu which are
labyrinth karst, polygonal karst, and residual karst (Haryono and Day, 2004).
Limestone will develop to karst thus, because of the process of dissolution, yields cavity
phenomena. Because of the abundance of rainfall of the tropic area, there are hundreds of caves
and underground rivers in Karst of Gunung Sewu, acting as reservoir and containing
breathtaking scenery. Cavity phenomenon is the boldest geological and geomorphological
process occurring in karst area. From all of those caves, several caves are established as tourism
destination such as: Kalisuci Cave, Jomblang Cave, and Pindul Cave.

III. METHODS
This paper uses qualitative method and categorized as desk study. Data are obtained by
tracing the concept and studying how cave maps and cave cartography related with geo-
information. In order to do so, this paper scrutinizes products of cave maps and how they are
applied in various practices and how they work for the stakeholders involved in tourism
activity in certain caves. All the secondary data gathered from previous research and travel
report. For the discussion, this paper evaluates how the cave maps have been applied in the
cave geosite at Gunung Sewu UNESCO Global Geopark and how it basically supports the
concept of the geopark and all the concept derived from it

1301
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H039POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

IV. RESULTS
Cave maps are developed along with the speleology as the science of cave. The first cave
maps ever draw was tha maps of Labyrinth of Gortyne by C. Buondelmonti on 1456 (Chirol,
2017). Afterwards, through more systematic and scientific investigation, cave maps developed
with addition to detail and the standardization (Mattes, 2015). What remains unchanged is the
element of cave maps: features of the morphology and shape of passage. The shape and
morphology of the passage have an essential value for the characteristic of the cave as whole
system. They reflect the main process of shaping the passage whether it is water, geological
structure and how they interact. This underlying knowledge then developed into
speleomorphology, a sciences dedicatedly dealing with the morphology of the cave (Bogli,
1980). In addition, all features of a cave supposed to be put on the space-time dimension to
make it contextual. Cave maps provide all of that information and furthermore, help the
audience to visualize it, making it a lot easier to be comprehended.
For the managerial purposes, cave maps support the limitation on the number and
visitors activity (Reinhart, 2017c). This should help cave manager in designing and maintaining
the attraction and the environment inside the cave. Apart from the function of tourism site,
caves might have tons of benefit for the ecosystem around it. For an example, caves are home of
bats which act as a pollinator and insect eater. In many cases, caves which are roosting site for
the bats are then used for the tourism and may affect the bats colony (Biswas, Shrotiya, et al.,
2011; Sari, Andriyani, Hasanah, et al., 2015). Hence, spatially, the tourism activity must be
limited to ensure the bats are kept intact. It also prevails with the micro-climate and the
ornament as well. (Figure 3)
Knowing all of this kind of information is obligatory to ensure responsible tourism.
Nevertheless, many caves of geosite in Gunung Sewu UNESCO Global Geopark haven’t
installed a proper cave maps and the geoinformation to inform the visitor about the uniqueness,
value, and even the hazard and limitation of the cave. This makes visitors barely obtain
information about scientific value from the graphic and the cave maps (Reinhart, 2017c). (Figure
4)
A proper cave maps supposed to satisfy minimum cartography guideline with
requirements such as: legend, scale, date of created, and the grade of the maps (Laksmana,
2016). All of those are quite a standard to assure adequate information are contained in a cave
maps and will be much easier to be communicated.

V. DISCUSSION
1. From Geo-information into Application
Under the Act Number 4 Years 2011 Concerning Geospatial Information, cave maps are
genuinely a geospatial information and following its classification, cave maps are categorized as
thematic geospatial information because they contain thematic content such as cave passage
and can be projected into the basic geospatial information (Reinhart, 2017d).

1302
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H039POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Continuing this, cave maps, by their application and their scientific value are also a geo-
information. This concept is then implemented through the idea of geopark.
Geopark is an area dedicated for promotion on geological value and geological heritage
(UNESCO, Global Geopark Network, 2006). This exquisite concept is manifested through three
main pillars of conservation, education, and involvement of local community and
reincorporated in the tourism aspect. Tourism is considered as the most relevant sector to
encompass all of the geopark operationalization. Throughout tourism activity, education can be
easily delivered by the interaction of visitors and the interpreter or the visitors with the site
itself. After going through educational process and gaining knowledge, the visitors are expected
to have more knowledge hence cultivating awareness and appreciation about conservation of
the site. Conservation aspect not solely intended for the visitors yet to the local community as
well.
Generally, cave maps are required for all of those purposes because it complements the
spatial information needed to enhance the understanding especially in tourism activity.
Nevertheless, with the numerous stakeholders are contained in the geopark system, the role of
cave maps are different for each stakeholders depending on their intention and the function in
the geopark arena.

2. Role of Cave Maps to Various Stakeholders


The role of cave maps as geo-information depends on the target. At a tourism site, there
are at least visitors or the tourist, manager, local people, and cave guide or interpreter. For each
of the actors, role of cave map may be different. Visitor needs cave maps for the basic
knowledge and brief information about the recreational activity they would do. By having the
basic knowledge, they are basically involved into education which is one of the fundament of
the geo-tourism in geopark. Ultimately through the educational activity in the geosite, their
awareness on preserving the nature will raise (Oertel, Fach, Fuchs, 2011), In addition, with the
information of the recreational activity, visitors are expected to aware on the hazard and the
prevention they must do inside the cave not only for them but for the environment inside the
cave as well. Visitors are the main target and have to gain the most benefit from the presence of
cave maps.
As for the managers, cave maps will help them in monitoring how their caves alter
through disturbance the visitor bring. This monitoring is conducted at the component which
has rapid changes such as the climate (Lang, Faimon, Ek, 2015; Smith, Wynn, Barker, 2016;
Danardono, Putra, Haryono, 2018) or the biotic components such as habitat. Using the cave
maps, manager will also be able to calculate and approximate the physical carrying capacity of
the cave.
Cave guides or the interpreters on the cave have certain task to give explanation about
the geological process and the feature inside the cave to the visitors. They surely need cave
maps to give a glimpse of cave images into their guests and therefore make it easier for them to
give explanation before entering the cave. For the safety issues, cave maps will support
evacuation when emergency circumstances occur since the cave guides are the firsthand in
responsibility to rescue the visitors. Hence they are urgently required to know the shortest and
safest route.

1303
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H039POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

The local community is the core of the geopark. One of the foundation and ultimate
purpose of geopark is to increase awareness on the geological heritage and the involvement and
empowerment of local community. Those aspects can be achieved through proper education for
the local community (Azman, Halim, Liu, 2010). An efficient method in executing those
purposes is through media such as poster (Nurlinda, Nori, Ambaraji et al., 2011). This media
should be including cave maps inside for the spatial information. The roles of cave maps for
each stakeholders can be seen at Table 1.

VI. CONCLUSSION
From the elaboration and discussion before, it can be concluded that cave maps are
categorized as goe-information because it contains geological information on the feature and
process occur within the cave. Cave maps are also required for the geopark because it can be
functioned as media for education and satisfy the purpose of geopark. The role of cave maps
varies depends on the stakeholders addressed.

BIBLIOGRAPHY
Azman, N. Halim, S. A., Liu, O. P., Saidin, S., Komoo, I. 2010. Public Education in Heritage Conservation
for Geopark Community, Procedia Social and Behavioral Sciences vol 7(C) pp 504–511
Balazs, D., 1968, Karst Regions in Indonesia: Karszt-Es Barlangkutatas, Volume V. Budapest, Globus
nyomda, 61
Biswas, J. Shrotriya, S., Rajput, Y., Sasmal, S. 2011. Impacts of Ecotourism on Bat Habitats in Caves of
Kanger Valley National Park, India. Research Journal of Environmental Sciences 5: 752-762.
Bogli, A. 1980. Karst Hidrology and Phycical Speleology. Berlin Heidelberg New York. Springer-Verlag.
Chirol, B. 2017 The oldest cave maps in the world. in Moore K., White S. (Eds), 2017. Proceedings of the
17th International Congress of Speleology, July 22–28, Sydney, NSW Australia pp 417
Ford D. & Williams P. 2007. Karst Hydrogeology and Geomorphology. England: British library
Gallay M., Kaňuk J., Hochmuth Z., Meneely J.D., Hofierka J. and Sedlák V., 2015. Largescale and high-
resolution 3-D cave mapping by terrestrial laser scanning: a case study of the Domica Cave,
Slovakia. International Journal of Speleology 44, 3: 277-291. Tampa, FL (USA) ISSN 0392-6672
http://dx.doi.org/10.5038/1827-806X.44.3.6
Haryono E. & Day M. 2004. Landform differentiation within the Gunung Kidul Kegelkarst, Java,
Indonesia. Journal of Cave and Karst Studies 66, no. 2: 62-69.
Junghuhn, F. 1845. Topographische und naturwissenschaftliche Reisen durch Java. Magdeburg:
Rotterdam
Laksmana, E. 2016. Stasiun Nol Edisi 2. Acintyacunyata Speleological Club. Yogyakarta
Lang M., Faimon J. and Ek C., 2015. The relationship between carbon dioxide concentration and visitor
numbers in the homothermic zone of the Balcarka Cave (Moravian Karst) during a period of
limited ventilation. International Journal of Speleology 44, no 2: 167-176. Tampa, FL (USA) ISSN
0392-6672 http://dx.doi.org/10.5038/1827-806X.44.2.6

1304
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H039POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Lee, C & Chang, C. 2008. Tourism Development and Economic Growth: A Closer Look at Panels. Tourism
Management 29, no 1: 180-192
Lobo, H. A. S., Trajano E., Marinho, M. A., Bichuette, M. E., Scaleante, J. A. B., Scaleante, O. A. F., Rocha,
B. N., Laterza, F. V. 2013. Projection of tourist scenarios onto fragility maps: Framework for
determination of provisional tourist carrying capacity in a Brazilian show cave. Tourism
Management 35: 234-243
Mattes J., 2015. Underground fieldwork – A cultural and social history of cave cartography and surveying
instruments in the 19th and at the beginning of the 20th century. International Journal of
Speleology 44, no 3: 251-266. Tampa, FL (USA) ISSN 0392-6672 http://dx.doi.org/10.5038/1827-
806X.44.3.4
Nurlinda, R., Nori, D., Ambaraji, H., Mansyur, F. I., Joni, A. 2011. Use of Interpretative Media (Poster and
Film) As Education Materials for Tourism Development of Gua Putih in Gunung Walat
International Education Forest in in Haryono, E., Adji, T. N., Suratman (ed.) Proceeding Asian
Trans-Disciplinary Karst Conference pp. 366 – 373
Oertel, M., Fach, S., Fuchs, S. 2011. Education As Tool to Raise Awareness and Vice Versa, Example of
Gunungkidul, Java in Haryono, E., Adji, T. N., Suratman (ed.) Proceeding Asian Trans-
Disciplinary Karst Conference pp. 357 – 365
Oludare Idrees M. and Pradhan B., 2016. A decade of modern cave surveying with terrestrial laser
scanning: A review of sensors, method and application development. International Journal of
Speleology 45, no 1: 71-88. Tampa, FL (USA) ISSN 0392-6672 http://dx.doi.org/10.5038/1827-
806X.45.1.1923
Palmer, A. 2011. Distinction between epigenic and hypogenic caves. Geomorphology 134, no 1:9-22
Pellegrini T.G. and Ferreira R.L. 2012. Management in a neotropical show cave: planning for invertebrates
conservation. International Journal of Speleology 41, no. 2: 359-366. Tampa, FL (USA). ISSN
0392-6672. http://dx.doi.org/10.5038/1827-806X.41.2.19
Reinhart, Hilary. 2017d. Contextualizing Cave Maps as Geospatial Information: Case Study of Indonesia.
IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science 98. doi :10.1088/1755-1315/98/1/012031
Reinhart, 2017c. Kajian Kerusakan Lingkungan Gua Akibat Kegiatan Pengembangan Pariwisata Di
Gunung Sewu Unesco Global Geopark: Kasus Pada Geosite Gua Ngingrong, Kalisuci, Jomblang
(Semanu), Cokro (Ponjong), dan Pindul (Karangmojo). Tesis. Sekolah Pascasarjana Universitas
Gadjah Mada. Unpublished
Reinhart H. 2017a. Sustainable Cave Tourism Environment Using Cave Ecosystem Profile: Case Study Of
Cokro Cave, Geopark Gunung Sewu. The 9th International Graduate Students and Scholars’
Conference in Indonesia (IGSSCI) SUSTAINING THE PLANET: A CALL FOR
INTERDISCIPLINARY APPROACHES AND ENGAGEMENT pp. 87 – 99
Reinhart H, Fathur F, Erviana A, Arifta Y, Trias Y, Harahap R, Tamimi S, Mattoreang E, Rahmawan R,
Hakiki N, Mashlikhah Y E, Kuncoro W, Fauzan R. 2017. The Application of a Cave Ecosystem
Profile to Anjani Cave in Karst Jonggrangan, Central Java, Indonesia in Moore K., White S. (Eds)
Proceedings of the 17th International Congress of Speleology 1 July 22–28, Sydney, NSW
Australia pp 179-183
Samodra, H. 2001. Nilai Strategis Kawasan Karst di Indonesia: Pengelolaan dan Perlindungan. Bandung:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi

1305
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H039POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Sari, D. N., Andreyani, A. Khasanah, I. U., Wijayanti, A. Pratama, I. A. 2015. Studi Respon Hematologi
Kelelawar terhadap Frekuensi Wisatawan pada Gua Wisata Guna Menjaga Kelestarian
Kelelawar di Gua Kawasan Karst Gunung Kidul. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan
Biologi dan Biologi UNY. 73-81.
Smith A.C., Wynn P.M., Barker P.A., Leng M.J., Noble S.R. and Stott A., 2016. Cave monitoring and the
potential for palaeoclimate reconstruction from Cueva de Asiul, Cantabria (N. Spain).
International Journal of Speleology 45, no 1: 1-9. Tampa, FL (USA) ISSN 0392-6672
http://dx.doi.org/10.5038/1827-806X.45.1.1928
Surono, Toha et al., 1992 Peta Geologi Lembar Surakarta-Giritontro. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi
Szukalski B. 2002. Introduction to cave and karst GIS. Journal of Cave and Karst Studies 64, no. 1:3–5
UNESCO. Global Geoparks Network. 2006. Published by Division of Ecological and Earth Sciences.
UNESCO Paris.
Van Bemmelen, R.W, 1970, The Geology of Indonesia, Volume 1A, General Geology: The Hague,
Martinus Nijhoff
Waltham A.C., Smart P.L., Friederich, H., Eavis, A…J & Atkinson T.C. 1983, The caves of Gunung Sewu,
Java. Cave Science 10, no 2: 55–96.
Wibisino, M. W. 2017. A Speleo-Archaeology Study Of Kali Banjar Underground River: Approach On The
Research Of Site Formation Procces in Moore K., White S. (Eds). Proceedings of the 17th
International Congress of Speleology 1, July 22–28, Sydney, NSW Australia pp 30-32

1306
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H039POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Table 1. Roles of Cave Maps for every Stakeholders

Stakeholders in Cave
Tourism Roles of Cave Maps

Scientific as Geo-information Safety

Brief self-
Visitors Basic knowledge on geological evacuation

features

Safety
Environmental alteration infrastructure
Managers 1. monitoring inside the cave

2. Cave’s scientific value

Evacuation
Cave Guide Materials for briefing route

Participation
Local community Value of the cave on cave rescue

operation in
exceptionally

Circumstances

1307
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H039POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 1. Examples of Cave Modeling and Cave Maps. Source: ACY (2016) & (Macdonald (1984)

Figure 2. SRTM of Java Island and Location of Study Area

1308
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H039POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 3. Example of Application of Cave Maps in Ecology

1309
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H039POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 4. Information Board at Kalisuci Geosite

1310
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H039POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 5. Examples of Cave Modeling and Cave Maps. Source: ACY (2016) & (Macdonald (1984)

1311
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H043PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

STUDI ROLE OF EARTH SCIENCEIN DEVELOPING IJEN VOLCANO COMPLEX


TOWARDS UGG
Achmad Djumarma Wirakusumah1*
1Geological Engineering Padjajaran University Jl. Raya Bandung-Sumedang KM.21, Hegarmanah, Jatinagor,
Sumedang Regency, West Java Province, 45363
*corresponding author: ade.wirakusumah@gmail.com

ABSTRACT. Ijen volcanic complex is located at the most eastern part of East Java Province, Indonesia,
which is including into three regencies namely Regency of Banyuwangi, Situbondo, and Bondowoso
respectively. The complex has been declared as one of the currently 15 existing National Geoparks in
Indonesia. Their outstanding views, morphology, and geological processes were strong asset to classify
that Ijen complex in to a National Geopark in Indonesia. This can be developed to be an International
Geopark such as Unesco Global Geopark (UGG). One thing that should be concerned, which is the active
its volcano child so-called Ijen Crater produced an extremely acid volcanic gasses so that the lake water in
the crater shows pH between 0.5 and 1. The acid water effects a worse environment along the Catchment
Area of the Banyu-putih especially Asembagus Subdistrict, Situbondo District at the north flank of Ijen
volcano. This condition is included into a medical geology, can be well explained scientifically through
geology especially volcanology. While talking about geopark, it should be supported by “zero-risky”. An
effort to make the Catchment Area free from the acid water can be conducted through separating normal
water and acid water that should be concerned by Indonesian government. Treatment to the fresh and
the acid water will be significantly changing the environment of the subdistrict from the worse environ
condition to be a welfare environment through developing the fresh water such as for micro-hydro
electric power, drinking water, tourist area etc. This condition will support Indonesia in completely
developing Ijen volcano complex to be the UGG, as Unesco will appreciate the rarely such effort in the
world.

Key words: Ijen volcano, National Geopark, zero-risky, separating water, UGG.

I. INTRODUCTION
Geopark is a tool for preservation of geo-diversity, bio-diversity, and cultural diversity
by combination of equitable and sustainable conservation. Geopark is a tool for educational
propagation to people and tourist in introducing diversities of natural resources and motivating
people to care to everlasting of the nature. Geopark is a tool for enhancing local economic by
people initiatives benefit fully from tourism industries (Rahim, et. al, 2011). Based on a level of
uniqueness and rareness, a geopark can be classified into national and international geoparks
such as the Unesco Global Geopark (UGG).
In 2018 Indonesian government declared that Indonesia has 15 National Geoparks, and
another 4 International Geoparks. One of the fifteen national geoparks is Banyuwangi Geopark
including part of Ijen volcano complex.

1312
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H043PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Indonesia is tectonically a complex area, as it is located among three active mega plates
so called Eurasian Continental plate, Indian-Australian Oceanic Plate, and Pacific Oceanic Plate
respectively (Figure 1). Geologically, Indonesia has about 500 volcanoes which 127 of them are
active, that means 13 % of the world’s active volcanoes are located at along the extended 7000
km tectonics belt of Indonesian archipelago (Wirakusumah et al, 2017). Mt. Ijen volcano is one
of the 127 active volcanoes which has a lot of beautiful landscapes and a lot of explanations
related to those beautiful landscapes can be made (Figure 2).
Mt. Ijen is a giant volcano that has been erupted catastrophically producing a large bowl
so-called a 14 x 16 km2 caldera. This condition is compatible as geologically, The Old giant
volcano erupted many times producing lavas, pyroclastic rocks and also lahar breccias (Sitorus,
1990), and then the volcano lavas and especially a lot of pyroclastic rocks with propagated large
horizontally towards all direction especially to the south (Sitorus, 1990 and Sujanto et. al., 1988).
Post Ijen Caldera forming was followed by 17 small volcanoes development within the caldera,
and 5 small volcanoes development beyond the caldera (Minarto et.al, 2016 and Wirakusumah
et al, 2017). The most active volcano currently is the Young Ijen crater (Ratdomopurbo et.al.,
2006) with the crater dimension of 600 to 700 m in diameters consisting of 30 million m3 of water
in the crater lake. The youngest active volcano child so-called the young Ijen crater shows a
great landscape, producing a lot of great natural phenomena in Indonesia even all over the
world (Figure 3). These phenomena support that the Ijen complex was proposed to be a
National Geopark in Indonesia.
However, on the other hand, the Youngest active crater (Ijen crater) produces a lot of
volcanic gases such as H2S all the time, consequently the crater lake water is extremely acid
water (pH = 0.5 – 1). This condition effects to the only one river so-called Banyupait /
Banyuputih River, where river water pH at the distance of 4-15 km from the Ijen Crater lake is 1
- 2,5. And the river water pH is 3 – 4 at the distance of 15 to 55 km from the crater especially
along the Banyupait / Banyuputih Catchment Area. Generally, inhabitant who live at along the
Catchment Area have worst environment i.e they have never got fresh water from Banyupait
river etc. In International Geopark, a safety condition as one of conditions is highly concerned.
According to this background, the Banyuwangi National Geopark can make a difficulty
for Unesco to release a declaration that the Mt. Ijen complex as Unesco Global Geopark (UGG).
The problem in this research is what is the strategy to increase the Banyuwangi Geopark from
national level to international level that including Mt. Ijen complex?
The aim of this research is finding out efforts through earth sciences for losing the
negative effect of extremely acid water to the environment especially at along the Banyupait /
Banyuputih Catchment Area on Ijen volcanic body. The Catchment Area should be changed to
make the life along the Catchment Area can get a lot of welfare comprehensively. Finding some
efforts to complete objects of Geo-tourism at Ijen complex is another aim of this study. The
outcome and benefit of this study is that the Ijen Complex will able to be accepted by Unesco as
the UGG if the segregation program between acid and fresh water is realized.

1313
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H043PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

II. METHODOLOGY
Geoscientific research mechanism in this case study has been done. They consist of:
 Geological study on Ijen volcano.
 Trying to find geo-tourism places for installing some warning especially for tourists at
the tourist areas to avoid crisis in dangerous areas including the extremely acid water.
 Studying to segregate between the extremely acid water which come from the Ijen crater
lake (pH = 1 – 1.5), and the fresh water which come from springs out side of the Ijen
crater along the Banyupait / Banyuputih Catchment Area (pH = 6 - 8).
 Proposing a tracking tour to the summit of the Young Ijen crater and its adjacent to
explain the areas and installing geo-sites.
 Inventory of supremacy and unique geo-tourism objects and preparing geological
explanations popularly were conducted in this research.
 Inventory and proposing areas to be human made geo-tourism destination.
 Inventory and proposing areas to build facilities for building fresh water to make higher
daily life welfare especially at the down-stream area of the Banyuputih Catchment Area.

III. RESULT OF RESEARCH


1. Geo-tourism at Mt Ijen complex.
A Concept of geological conservation in Indonesia has been developed since the last
1980-s by applying Geo-tourism. Applied Level of Geo-tourism in Indonesia was started from a
very simple basic level so-called “geodiversity”, followed by medium level so-called “geo-
heritage”, and the top level which is the most complex geo-tourism so-called “geopark”
(Geological Agency, 2012). Geological conservation to an outstanding geological phenomenon is
the first step to utilize continuously through a well program for conserve their existences.
Geodiversity is a diversity of a substance, form, and process of which produce a part of or the
hole of the Earth. The Substances mean things include mineral, rocks, sedimentation, fossil, soil,
and water. The form means things include a geological fold, a geological fault, natural view,
and other morphologies, or relation between or among those forms (Geological Agency, 2012).
Banyuwangi which is including part of Mt. Ijen complex area was registered as a
National Geopark in Indonesia in 2018. A lot of efforts toward the International Geopark must
be conducted. Geological Agency of Indonesia surveys to unique, outstanding, rareness of
geological phenomenon are needed to be conducted to realize the Mt Ijen complex as an
International Geopark. The results of geological research in this study are being hoped that an
International Geopark of Mt. Ijen can be realized. Mt. Ijen area has an unique rocks, mineral,
and geological processes such as natural gypsum, solfataras, blue fire, good landscapes such as
volcanic crater, caldera, active fault, waterfalls, etc. That is why there are some areas are needed
to be conserved. Developing those objects mentioned above (such as giving some explanation in
adjacent each object through posters in order tourists can be understood concerning what, why,
how, where, and when it happened) is required very much for building geo-tourism. Part of
them have been well done. An effort to make Banyuwangi (including part of Ijen complex) as a
National Geopark become an International Geopark through UGG (Unesco Global Geopark) is
1314
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H043PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

now being processed. Addition figures, videos, diorama, making a building for small museum
Ijen Geopark, etc is important, and it is also very important to minimize or to lose the
dangerous as the effect from the extremely acid water along the Banyupait / Banyuputih
Catchment Area.

2. Geological Data of Mt.Ijen complex.


Coral-limestone outcrops were found on around Ijen volcano complex, such as on the
east flank (close to Ketapang harbour), north flank, north-west flank, and south-east flank of
the Old Ijen volcano. The rocks were covered by volcanic rocks produced by the Old Ijen
volcano. Wirakusumah et. al (2015) interpreted that the Old Ijen volcano was developed on the
shallow marine environment (Figure 4).
The volcanism of the Old Ijen was starting from about 700,000 years ago up to 294,000
years ago. This volcanic phase produced lava flows and pyroclastic deposits with basaltic to
dacitic in composition (Sujanto et. al, 1988 and Sitorus, 1990). The volcanism persisted for a long
time (during about 400,000 years). This period at Mt. Ijen complex is called Pre-caldera of Ijen.
After volcanism at Ijen went on for about 400,000 years, a great scale Plinian eruption
through the old Ijen summit area as the volcanic vent occurred along a short time (days), but
unfortunately the exact time has not been obtained. Iit was happened between 294,000 and
50,000 years ago producing a giant caldera of 14 to 16 km in diameters, so called Ijen caldera
(Sitorus, 1990). Sujanto et. all (1988) reconstructed the elevation of the Old Mt Ijen summit was
about 4000 meter above sea level. The products of the great eruption were pyroclastic flow
deposits (ignimbrite) and pyroclastic fall deposits. The out crops are found at all direction of the
flank such as about 50 m thick in the bottom of the caldera, and about 15 m thick at Liwung
village, Asembagus District, north flank of the Old Ijen volcano. Sitorus (1990) judged, that the
Ijen caldera was formed by the catastrophic eruptions followed by subsidence of the summit
area.
During the Post caldera forming, volcanism processes were continued since the last
about 50,000 years ago by forming 17 small to large young volcanoes within the Ijen caldera,
and those (5 volcanoes) beyond the caldera. From the 22 young volcanoes, 12 of them can be
classified into monogenetic volcanoes and the rest are polygenetic type. The products of young
volcanoes especially within the caldera consist of lava flows and pyroclastic deposit and also
Lahar deposit. On the other side the volcanism activity was decrease unless process of
reworked of loos material from steep caldera wall producing lahar deposit. The deposit became
consolidate, and consequently water could not infiltrate. Blawan at the north part of the caldera
located closed to the north caldera wall as the lowest place within the caldera became a lake so-
called Blawan lake. However, erosion and sedimentation went on within and beyond the
caldera continuously. This was supported by geological structure especially Blawan fault
striking north-south direction and finally the north hard caldera wall especially at Blawan was
cut by the fault and consequently, the lake became empty and the water flows through
Banyuputih River towards the north up to Java Sea at Asembagus Sub-district.
One of the 17 young vocano within the Ijen caldera is Young Ijen which has crater lake,
that’s why the volcano is called “Ijen crater”. This volcano is the youngest (since the last 6000
years ago) and the most active among the 22 post caldera young volcanoes at the Ijen complex.
1315
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H043PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

The crater lake water is extremely acid (pH <1 in the crater). The only river which flows the
water exit from the lake is Banyupait River flowing towards Blawan and continues to pass the
north caldera wall at Blawan and afterword the name of the river becomes Banyuputih River.
From those data, Wirakusumah (2015) proposed that the geological history of Ijen
volcanic complex as shown in a sketch (Figure 4).

3. Field Chemical Condition of the Banyupait/Banyuputih Catchment Area.


According to the analysed data of volcanic gas content such as CO2, SO2, H2S, HCl, and
HF in the solfatara fields at around Ijen Crater lake for several times which were done by
Sumarti (2016) show relatively high (Table 1).
The high content of volcanic gas in the solfatara and in the bottom of Ijen Crater Lake
produced the water lake became extremely acid (pH < 1) with the colour of the water is green.
One of the high chemical contents is H2SO4. The current dimension of the Ijen Crater Is 1,160 x
1,160 m at the elevation of between 2,386 and 2,148 m asl. The dimension of the lake itself is
910m x 600 m at the elevation of 2,148 with the maximum depth is 200 m, and the volume is
about 30 million m3 (Takkano at.al., 1996).
Infiltration of the acid water toward the only one river so-called Banyupait River
continued to Banyuputih River (after passing the north caldera wall). The positive effect of the
infiltration is that a reaction between some limestone (CaSO4) with H2SO4 produces beautiful
natural gypsum at areas relatively short distance from the Ijen Crater Lake (0.5 – 1 km). 0
However the negative effect of the infiltration is that the acidity of the Banyupait / Banyuputih
River water is high. According to the water quality of Banyupait / Banyuputih River which was
analysed by Geological Agency (Sutaningsih, et.al., 2006), the acidity of the river water is
relatively high. Table 2 and Figure 5 show the relationship between the river water quality and
the distance from the Ijen Crater Lake. Another negative effect of the infiltration is high toxic
elements content in the river water of Banyuputih and in the excavation well such as Fluoride
(F), Sulphate (SO4), and Chloride (Cl) were recorded by Aminuddin dan Andiani (2015). High
Fluoride content at Asembagus area (about 50 km from the Ijen Crater Lake were recorded in
the Banyuputih River water and in the tertiary canal, and in the excavation well (over 1.5 mg/lt
as the standard value) as shown in Table 3.
Inhabitants at Asembagus especially at Bantal Village where the location close to
irrigation water canals coming from Banyuputih River have a lot of problem to get fresh water.
They utilize the water from Banyupait for daily bathing and washing although the water
quality is under the standard value of health. In the long term a lot of inhabitants got fluorotic,
dermatitis, and diarrhoea. In 2014, about 260 persons got fluorotic, 672 persons got dermatitis,
and 295 got diarrhoea were recorded by Aminuddin dan Andiani (2015).

4. Overcoming the Acid Water Along the Banyuputih Catchment Area.


Although The acid water in Banyupait River (pH ≤ 1.5) has been diluted with fresh
water comes from many springs along the Banyupait Catchment Area (pH = 6 – 8), but the
Banyuputih river water still shows pH = 3 – 4 at Asembagus. To much water is required
through dilute process for increasing the acid water from pH = 1 to pH = 5. That is why the

1316
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H043PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

daily water quality along the Banyuputih Catchment Area is worst. This case is one of examples
of the Medical Geology effect in the world. Consequently, this condition is very important to be
repaired in order the inhabitant, flora, and fauna can utilize the environment especially the
water normally.
Raharjo et.al (2017) studied concerning method to segregate the acid water from the
fresh water at along the Banyupait / Banyuputih Catchment Area, and studied concerning a
plan for building facility for Clean Water to up grade welfare of inhabitant at down stream of
the Banyuputih Catchment Area. It is very rare case in the world that repairing a bad
environment which injure inhabitant in an area caused by the effect of a Medical Geology
become well environment to make good welfare for inhabitant daily life.
The fresh water can be utilized for Micro Hydro Electricity Power and Clean Water for
drinking purposes for welfare of the inhabitant along the Banyuputih Catchment Area
especially at Asembagus subdistrict area, Situbondo District (Figure 6). Murdohardono et. el
(2015) in Wirakusumah et. al (2018) studied this area in planning to build Micro Hydro Electric
Power concerning location selection, its potential, and method. The potential of MHEP for
Banyupait / Banyuputih is < 5 MWe. The fresh water (after utilizing it for the above functions)
and the acid water respectively are flowed to the sea at the North Java Sea (towards the north
from Asembagus), and the acid water will be diluted by sea water.
On the other side, the efforts to furnish the Ijen Geopark should be conducted
consistently such as planning to build a small museum of Ijen Geopark, installing some
explanations at geo-site areas in the field, continue to plan in developing some wonderful
waterfall (infrastructure), continue to plan in building the Micro Hydro Electric Power, dam,
Clean Water for drinking etc, Inventory of supremacy and unique geo-tourism objects of Mt.
Ijen complex, Planning to develop tracking tour to the summit of the Young Ijen crater and its
adjacent to explain the areas and installing geo-sites, Plan to complete geological explanations
popularly were conducted in this research such as: Geological and morphological information
about Mt. Ijen complex, Sulphur mining, Blue fire, Natural gypsum forming, etc, Inventory and
proposing areas to be human made geo-tourism destination such as: Complementing Buildings
for Geo-tourism, Rafting tourism, Dam tourism, etc. Wirakusumah et.al (2018) studied geo-
tourism concerning form mechanism of geo-tourism study according to geological research
such as inventory of supremacy and unique geo-tourism objects, inventory and proposing areas
to be human made geo-tourism destination, planning of some educative geo-tourism objects,
trying to find some geo-tourism places for installing some warning in some dangerous areas.

IV. DISCUSSION
Chemical condition in Banyuputih River along the Banyuputih Catchment Area looks
very bad as the acidity of the river water are extremely high. Water source at this area is very
difficult to find. Consequently, inhabitant at Asembagus Sub-district utilize the river water for
bathing and washing. In the long run, inhabitant got health disturbances on tooth, skin, and
stomach. This condition should be repaired by the government otherwise Unesco will difficult
to agree our proposal when our government ask Unesco to upgrade the Ijen complex to be an
International Geopark such as UGG, as an International Geopark should free from any
dangerous to people except a mitigation for it is conducted. On the contrary, if Indonesian
1317
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H043PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

government repaired the Banyuputih Catchment Area environment condition, then Unesco will
concern to fulfil easily our future prospect. After studying the situation and condition at this
area (Raharjo, et.al, 2016), some alternatives can be proposed as follow.
Firstly, the acid water come from Ijen Crater Lake should be segregated from the
fresh water. The acid water can be flowed through a new opened canal or plastic pipe, and the
fresh water is flowed through original river / channel since Paltuding (5 km from the Crater) or
Watuceper (8 km from the Crater). Dilution process with the sea will involve in the area of 200-
300 meter radius with the estuary of Banyuputih River and the Sea as the centre.
Secondly, similar as the first alternative but at the end the fresh water (after utilizing
it for the above functions) and the acid water are mixed again after passing Asembagus before
reaching the sea at the North Java coast. Dilution process with the sea will involve in the area of
100 meter radius with the estuary as the centre.
Thirdly, similar as the second alternative, however, at the end before mixing between
the fresh water (after utilizing it for the above functions) and the acid water, then the acid water
will be neutralised from pH < 1 become pH = 5 by reacting with limes (CaOH). By doing this
process, another positive utilization that artificial gypsum would be formed. By assuming the
debit of the acid water from the Ijen Crater lake is 0.075m3/sec, this process will require 419,3
ton/day of CaOH, and will produce 546 ton/day of artificial gypsum (Rahardjo et. al, 2016). The
gypsum is a commodity material that can be utilized in industrial side. However, unfortunately
the market price of CaOH is much more expensive than that of gypsum.
According to the three alternatives, the second alternative is probably the best choice
in segregating effort between the acid water and the fresh water in this case.

V. CONCLUSION
Mt Ijen complex has many wonderful natural views or landscapes. Banyuwangi which is
included part of Mt Ijen was declared as one of 15 National Geopark in Indonesia. However,
Mt. Ijen complex has a dangerous area at Ijen Crater Lake as the water is an extremely acid
water (pH < 1). However, there is a bad environment at along Banyupait / Banyuputih River
which caused by infiltration of the extremely acid lake water and it appear on the river. This
condition produces a bad environment at along the Banyupait / Banyuputih Catchment Area.
Accordingly, the inhabitant at down stream of Banyuputih Catchment Area especially at
Asembagus sub district, Situbondo District have a negative welfare as many of them got
disturbance on their skin, stomach, and fluorotic. Consequently, it can make Unesco get
difficulty to decide if Mt Ijen Geopark can be up-graded to be an International Geopark such as
UGG. The UGG concern very much that UGG should save from dangerous. That is why a
reparation of the environment condition at along Banyupait / Banyuputih Catchment Area is
required very much. The reparation can be done by segregation between the acid water and the
fresh water. The fresh water and the acid water will be mixed again before reaching to the Sea,
after utilizing the fresh water for MHEP, Clean water, and geo-tourism purposes. The
utilization of this will have 2 functions which is firstly, the inhabitant will get changing from
negative welfare to be positive welfare, and secondly, Unesco can agreed easily if Indonesian
government propose to Unesco to up-grade Banyuwangi National Geopark to be Mt. Ijen
1318
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H043PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

International Geopark as UGG. Efforts to make segregation the acid water and fresh water
must be proposed continuously in order to realize it. Effort to process this case is recommended
to be done by the central government.

ACKNOWLEDGEMENTS
The studies reported in this paper began in 2015 through research opportunity in
Polytechnic of Energy and Mineral (PEM) which were consisted of several workers working at
Mt. Ijen complex for three years. We are grateful to the Director of PEM Mr Toegas and Prof.
Perry Burhan and the Head of Research Unit in PEM, Dr. Pusparatu for facilitating and
financial supporting our research. The study started from geology that followed by several
scientific branches such as environment, infrastructure, and geo-tourism that had been done up
to 2017. I thank all colleagues who took parts in these projects especially Mr. Dodid
Murdihardono, Dr. Maran Gultom, Mr Minarto S Raharjo, and Dr. Hanik Humaida. I also thank
to all colleagues in BPPTK (Volcanological Survey of Indonesia in Yogyakarta) especially Euis
Sutaningsih and Sri Sumarti for useful discussions concerning this study. Finally, a great
appreciation is directed to the committee of Geo-week University of Gajah Mada of 2019 for
publishing this paper.

REFERENCES
Aminuddin dan Andiani, 2015 , “Sekilas Geologi Medis di Indonesia” , Geomagz Majalah Geologi
Populer, Vol V , No. 3 , September 2015 , p. 44 – 47.
Aminuddin dan Andiani, 2015 , “Ancaman Air Asam Kawah Ijen” , Geomagz Majalah Geologi Populer,
Vol V , No. 3 , September 2015 , p. 48 – 51.
Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian , 2010 ,”Interaksi Geokimia Gunung
Ijen”, Yogyakarta , 190 p.
Ratdomopurbo, A., Sumarti, S., Subandriyo, 2006, Gunung Ijen, Departemen Energi dan Sumber Daya
Mineral, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Yogyakarta
Raharjo, M. H., Wirakusumah, A. D., and Humaida, H., 2016, Dampak Keaktifan Gunung api Ijen, Jawa
Timur terhadap DAS Banyuputih dan Penangannya , J. ESDM, Vol. 8, No.1.
Rahim F., Achyaruddin, Wirakusumah A. D., and Samodra H., 2011 , Indonesia towards The global
geopark network ; Unesco , Proceeding of the Annual Meeting the Global Geopark Network ;
Unesco Member Countries, in Hanoi, Vietnam.
Sitorus, K., 1990, Volcanic Stratigraphy and geochemistry of the Ijen Caldera Complex, Thesis, Victoria
University of Wellington, New Zealand, 114 p.
Sujanto, Syarifudin, M. Z., and Sitorus, K., 1988, Peta Geologi Gunung api Kompleks Kaldera Ijen, Jawa
Timur, Dit Vulkanologi, Bandung.
Sumarti, S., Sutaningsih, N.E., Purwanto, B. H., Suparjan, 2016, Belerang dan Eksotisme Blue Fire Kawah
Ijen Jawa Timur, A Poster, Geological Agency.
Sutaningsih, N. E., Sumarti, S., Zaennudin, A., et. Al., 2016 , Interaksi Geokimia Gunung Ijen, Balai
Penyeldikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian, Yogyakarta, 190 p.
Takkano, B., 2000 , Bathimetric and Chemical Study on Kawah Ijen Crater Lake, Java, Indonesia,
Volcanological Survey of Indonesia.

1319
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H043PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Wirakusumah, A.D., Mordohardono, D., Gultom, M., Rahardjo, M. S., and Humaida, H, 2016, Laporan
Pemanfaatan Sumber Daya Air,di DAS Banyuputih, G. Ijen, Situbondo, Jawa Timur,
unpublished, STEM Akamigas, Cepu, 45 p.
Wirakusumah, A. D., Murdohardono, D., Rosiani, D., 2017 , Laporan Penelitian Geologi Untuk
Mewujudkan Geowisata di G. Ijen , Jawa Timur , unpublished , STEM – Akamigas.
Wirakusumah, A. D., Murdohardono, D., Rosiani, D., 2018 , Geo-tourism Of Banyuputih Catchment
Area, Mount Ijen, East Java, Indonesia , Proceeding of Annual Meeting of Indonesian Geologist
Association , Pekanbaru, Riau, Indonesia, 9 p.

1320
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H043PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Table 1. Volcanic gasses content rises from solfataras at summit area of Ijen Crater lake (Sumarti, 2016)

Table 2. Water quality at along the Banyupait / Banyuputih Catchment Area.


RIVER NAME DISTANCE OF DEBET pH Temp ( °C)
LOCATION FROM (m/sec)
CRTER (km)
Banyupait Blawan (11) 980 1.53 -
Sat Blawan (12) 2313-3600 7.9 21
Sengon Blawan (13) 1450-1600 8.0 23
Banyupait after Blawan (14) 6180 2.5 -
mixing with Sat &
Sengon
Banyuputih Asembagus (50) - 3.5 -

1321
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H043PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Table 3. Some analysed toxic elements at along Banyuputih River were done by Aminuddin dan Andiani
(2015).

BANYUPUTIH RIVER ELEMENTS UNIT (mg/lt) STANDARD VALUE


(mg/lt)

In the river at Asembagus. F 1.31 – 2.04 1.5

Ground water in agriculture F 1.55 – 1.93 1.5


well at 150 m depth at
Asembagus.

In the river at Asembagus SO4 309.2 – 30,889. 250 (for drinking water)

In the Excavation well SO4 32.79 – 34.70 250 (for drinking water)
adjacent the river.

In the river at Asembagus Cl 8.69 – 3,928.43 250 (for drinking water)

In the Excavation well Cl 2.47 – 12.43 250 (for drinking water)


adjacent the river.

1322
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H043PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 1. Tectonics Map of Indonesia and its adjacent.

Figure 2. Volcanic Ditribution Map in Indonesia.

1323
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H043PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 3. Situation map of Ijen Caldera and its adjacent.

Figure 4. 3-D Geological Sketch of Mt. Ijen complex formation history (A.D. Wirakusumah et.al, 2015).

1324
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H043PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 5. Map of water quality at along Banyupait / Banyuputih Catchmen Area. (Modified from
Sutaningsih, 2006).

1325
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H043PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 6. Sketch of Recommendation for Overcoming Banyuputih acid River on Mt Ijen, East Java
(Modified from Murdohardono, 2016).

1326
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H047UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

STUDI KAJIAN GEOWISATA PANTAI BOTORUBUH DALAM ASPEK GEOSITE


DAN GEOMORPHOSITE PADA KAWASAN SUBZONA GUNUNG SEWU

Abi Asykari Fillah 1*, Bima Nugraha Widyatmaji 1, Aris Sutikno 1, Agus Hendratno 1
Departemen Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada, Jl. Grafika No.2, Kampus UGM, Yogyakarta 1
*corresponding author: asykari.asykari.abi@gmail.com

ABSTRAK. Indonesia memiliki potensi warisan geologi yang sangat besar. Potensi ini dapat
berperan dalam pengembangan sektor pariwisata melalui konsep geowisata. Salah satunya adalah
Kawasan Geowisata Subzona Gunung Sewu. Subzona ini memiliki batuan penyusun utama berupa
Formasi Wonosari yaitu batugamping dengan ketebalan lebih dari 200 m, namun khusus di daerah
Pantai Botorubuh dan sekitarnya terdapat batuan gunungapi yang termasuk dalam Formasi Wuni.
Batuan Gunungapi ini terdiri dari breksi andesit dan lava autoklastik dengan struktur kekar tiang.
Keunikan dari struktur ini memiliki potensi menjadi warisan geologi yang perlu dikonservasi dan
dikembangkan dalam sektor pariwisata. Penelitian ini dilakukan melalui empat tahap yaitu tahap studi
pustaka, tahap pengambilan data, tahap analisis laboratorium dan tahap analisis geosite. Tahap analisis
laboratorium dilakukan secara petrografi untuk mengetahui petrogenesa dari Pantai Botorubuh,
sedangkan analisis geosite menggunakan klasifikasi geosite dan geomorphosite menurut Kubalikova
(2013). Berdasarkan hasil analisis petrografi, satuan litologi penyusun Pantai Botorubuh dan sekitarnya
berupa lava andesit autoklastik dengan tekstur khusus trachytic dan breksi andesit dengan tekstur
fragmen berupa porfiroafanitik. Kedua satuan litologi tersebut terbentuk akibat pengaruh dari letusan
magmatik dari Gunung Api Purba Batur dan menempati fasies proksimal. Dalam penilaian geosite dan
geomorphosite, Pantai Botorubuh mempunyai nilai kelayakan 49,5% yang tediri dari nilai scientific and
intrinsic 50%, edukasi 62,5%, ekonomi 50%, konservasi 25% dan nilai tambahan (budaya, ekologi, dan
estetik) 60%. Oleh karena itu, Pantai Botorubuh dapat menjadi objek geosite yang layak untuk
dikembangkan dalam sektor pariwisata dengan beberapa peningkatan di sektor infrastruktur dan
edukasi kepada masyarakat.

Kata kunci: geosite, geowisata, Pantai Botorubuh, kekar tiang, gunungapi purba

I. PENDAHULUAN
Indonesia memiliki berbagai potensi warisan geologi yang sangat indah yang tersebar di
setiap penjuru negeri dan memiliki daya tarik tersendiri. Potensi ini dapat memiliki peranan
yang sangat penting dalam pengembangan sektor pariwisata di Indonesia jika dapat dikelola
dengan baik, salah satunya melalui konsep geowisata. Geowisata sendiri merupakan suatu
aktivitas wisata yang secara spesifik fokus terhadap aspek panorama dan geologi (Downling,
2011 dalam Kubalikova, 2013). Sedangkan menurut Rosana, dkk. (2016), geowisata merupakan
konsep pengelolaan yang berkelanjutan dimana terdiri atas tiga pilar utama, antara lain
geodiversity, biodiversity, dan culturediversity terhadap fungsi konservasi dan rencana
pengelolaan ruang pada wilayah tersebut.

1327
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H047UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Salah satu potensi warisan geologi yang ada di Indonesia yang dapat dikelola melalui
geowisata antara lain Pantai Botorubuh yang termasuk ke dalam komplek taman wisata
Wediombo yang terletak di Kecamatan Rongkop, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa
Yogyakarta (Gambar 1). Pantai Botorubuh memiliki keunikan tersendiri dari segi geologi
berupa kenampakan batuan penyusun daerah tersebut yang terdapat fenomena alam berupa
struktur geologi di dalamnya. Dengan kenampakan yang cukup menarik tersebut, menjadikan
Pantai Botorubuh ini memiliki potensi menjadi warisan geologi yang perlu dikonservasi dan
dikembangkan dalam sektor pariwisata.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis aspek-aspek kelayakan Pantai Botorubuh
untuk dikembangkan sebagai site geowisata. Selain pemanfaatan Pantai Botorubuh sebagai
sarana pariwisata melalui konsep geowisata, diharapkan juga pengembangan Pantai Botorubuh
dapat berperan sebagai sarana konservasi warisan geologi yang ada di daerah tersebut,
sehingga situs ini dapat lebih diperhatikan dan dijaga keberadaannya, serta nantinya juga
dapat dijadikan sebagai sarana edukasi mengenai pengetahuan kegeologian.

II. GEOLOGI REGIONAL


Zona Pegunungan Selatan Yogyakarta dan Surakarta pada dasarnya terbagi ke dalam
Subzona Baturagung, Subzona Wonosari, dan Subzona Gunung Sewu (Van Bemmelen, 1949).
Pantai Botorubuh secara geologi regional menempati Subzona Gunung Sewu. Subzona Gunung
Sewu terdiri dari bentang alam perbukitan kars yang termasuk ke dalam Formasi Wonosari
yang umumnya memiliki batuan penyusun utama berupa batugamping dengan ketebalan lebih
dari 200 meter. Akan tetapi khusus pada daerah Pantai Botorubuh dan sekitarnya ditemukan
batuan gunungapi yang termasuk dalam Formasi Wuni. Batuan Gunungapi ini terdiri dari
breksi andesit dan lava andesit. Pada daerah penelitian struktur geologi berupa kekar banyak
dijumpai sepanjang Pantai Botorubuh pada aliran lava dengan orientasi arah utara–selatan. Hal
ini kemungkinan berhubungan dengan pola-pola kelurusan yang berkembang pada daerah
sebelah utara dari daerah penelitian (Hartono dan Bronto, 2007).

III. DATA DAN METODE PENELITIAN


Data yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari peta geologi, sampel batuan
handspeciment, sampel petrografi dan pengamatan secara langsung di lapangan. Peta geologi,
sampel batuan dan data petrografi digunakan untuk mengetahui petrogenesis dari Pantai
Botorubuh, sedangkan pengamatan langsung di Pantai Botorubuh digunakan untuk
menganalisis geosite dan geomorphosite berdasarkan Kubalikova (2013).
Pantai Botorubuh terletak pada daerah yang cukup terpencil dan memiliki kesampaian
daerah yang sulit. Perjalanan untuk menuju pantai ini harus menempuh waktu sekitar 3 jam
dari Yogyakarta menggunakan transportasi darat, setelah itu berjalan sekitar 15 menit. Pantai
ini terletak sekitar 750 m dari pemukiman terdekat atau akses transportasi. Batas akses
transportasi untuk menuju pantai ini adalah Pantai Jungwook yang terletak di dekat pantai
Botorubuh. Pantai ini dapat dengan mudah dikenali dikarenakan memiliki struktur yang khas
yaitu kekar tiang yang terdapat dari satuan lava. Ukuran kekar tiang ini bervariasi tetapi

1328
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H047UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

umumnya memiliki lebar lebih dari 1 m dan panjang/tinggi 15 m. Pantai Botorubuh langsung
berbatasan dengan laut sehingga tidak memiliki pesisir pantai.
Secara geomorfologis, pantai Botorubuh memanjang dengan orientasi barat laut-
tenggara dan di barat daya berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Selain itu, di
sebelah timur laut pantai ini berbatasan dengan daratan yang lebih tinggi yang digunakan
sebagai perkebunan. Batuan pada pantai Botorubuh ini tersingkap dengan segar tanpa tertutup
oleh vegetasi lahan. Batuan ini mengalami proses eksogenik berupa abrasi dari ombak laut
terus menerus.
Litologi yang ditemukan pada daerah penelitian adalah batuan vulkanik yang terdiri
dari breksi andesit dan lava. Litologi tersebut ditemukan berdasarkan analisis petrografi dan
analisis sampel batuan handspeciment. Analisis sampel batuan handspeciment menunjukkan
breksi andesit memiliki warna oren hingga coklat karena memiliki tingkat pelapukan yang
tinggi. Tekstur yang ditemukan berupa sortasi yang buruk dan kemas terbuka. Komposisi
fragmen batuan terdiri dari andesit porfiri yang memiliki ukuran 50 - 400 mm dan matriks
berupa material hasil pelapukan dengan ukuran pasir sedang (1/2 - 1 mm). Roundness batuan
angular dan memiliki struktur masif. Deskripsi fragmen menunjukkan batuan berwarna hitam
ke abu-abuan, fenokris berukuran 1 - 5 mm dan massa dasar <1 mm, holocrystalline,
porfiroafanitik, subidioblastik dan struktur masif. Komposisi mineral dari fenokris terdiri
plagioklas (10%), piroksen (55%), kuarsa (10%), hornblenda (3%) sedangkan massa dasar terdiri
dari mineral mafik (22%). Litologi lainnya yang ditemukan berupa lava yang memiliki kondisi
segar dan berwarna abu-abu hingga hitam, ukuran fenokris sekitar 1 - 3 mm dan massa dasar
<1 mm, holocrystalline, granularitas porfiroafanitik, subidioblastik dan struktur kekar tiang.
Komposisi dari fenokris berupa plagioklas (20%), piroksen (10%), kuarsa (20%), hornblenda
(40%) dan massa dasar berupa mineral mafik (10%).
Penelitian ini terdiri dari beberapa analisis yaitu analisis petrografi dan analisis geosite.
Analisis petrografi dilakukan dengan mengamati sayatan tipis pada beberapa sampel. Terdapat
dua sampel petrografi yang digunakan pada penelitian ini. Sampel-sampel ini diambil dari
setiap unit geologi yaitu lava dan breksi andesit (Gambar 2). Analisis petrografi digunakan
sebagai pedoman untuk menentukan petrogenesa Pantai Botorubuh. Petrogenesa ini akan
menjadi nilai tambah edukasi bagi masyarakat yang tinggal di sekitar pantai tersebut. Selain
itu, interpretasi mengenai petrogenesa ini akan menambah nilai dalam penilaian scientific dan
edukasi. Oleh karena itu, analisis petrografi memiliki hubungan dengan analisis geosite.
Sementara itu, analisis geosite dilakukan dengan mengamati wilayah penelitian khususnya
Pantai Botorubuh secara langsung di lapangan. Kondisi secara langsung wilayah penelitian ini
akan dicocokkan dengan parameter – parameter penilaian geosite menurut Kubalikova (2013).

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pantai Botorubuh dan sekitarnya secara geologi tersusun atas dua litologi utama yaitu
breksi andesit dan lava (Gambar 2) yang pembentukannya erat kaitannya dengan pembentukan
khuluk gunung api yang menyusun komplek situs Gunung Api Purba Batur yang terletak di
sebelah barat daerah penelitian dan diperkirakan terjadi pada awal Miosen Tengah (Hartono
dan Bronto, 2007).

1329
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H047UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Batuan breksi andesit pada daerah penelitian terbentuk karena adanya erupsi Gunung
Batur. Fragmen batuan andesit yang dihasilkan oleh erupsi Gunung Batur kemudian
bercampur dengan material erupsi yang lainnya yang lebih halus yang berperan sebagai
matriks sehingga ketika material-material tersebut tercampur maka terbentuklah batuan breksi
andesit.
Sampel petrografi fragmen breksi andesit menunjukkan struktur porfiritik dengan
ukuran fenokris 0,85 - 1 mm dan massa dasar <0,01 mm. Komposisi mineral dari sampel ini
terdiri dari andesin (30%), oligoklas (25%), kuarsa (5%), mineral opak (3%) sebagai fenokris dan
gelas vulkanik (15%) dan mikrolit plagioklas (22%) sebagai massa dasar ( Gambar 5).
Sedangkan satuan lava terbentuk akibat adanya erupsi dari Gunung Batur yang
memiliki tipe efusif sehingga magma yang muncul ke permukaan bumi bersifat encer dan
berbentuk lava. Lava yang dikeluarkan oleh Gunung Batur ini bersifat andesitik sehingga
ketika telah mencapai di permukaan bumi lalu mengalami proses pendinginan dan
pembekuan. Proses pendinginan terjadi secara tidak berimbang pada satu tubuh lava sehingga
terdapat material lava yang dapat membeku terlebih dahulu dan membentuk fragmen
sedangkan material lava yang mebeku setelahnya berperan sebagai matriks yang
menghubungkan antar fragmen.
Analisis petrografi menunjukkan bahwa lava ditunjukkan oleh tekstur trachytic pada
massa dasar. Massa dasar dari sampel ini berukuran <0,1 mm sedangkan fenokris berukuran 0,5
– 1 mm. Komposisi mineral dari sampel ini adalah andesin (35%), hornblende (25%), piroksen
(10%), mineral opak (3%) sebagai fenokris dan gelas vulkanik (15%) dan mikrolit plagioklas,
(12%) sebagai massa dasar (Gambar 4).
Setelah proses pembentukan batuan yang menyusun Pantai Botorubuh selesai,
kemudian terjadilah proses tektonik yang menyebabkan terbentuknya kekar-kekar pada batuan
pada daerah penelitian dan lalu dilanjutkan dengan penyingkapan batuan pada daerah tersebut
karena adanya proses erosi yang salah satunya berasal dari air laut sehingga terbentuklah
pantai seperti saat ini.
Penilaian geosite dilakukan pada litologi lava karena litologi tersebut memiliki keunikan
yaitu struktur kekar tiang yang besar (Gambar 2). Struktur tersebut akan menjadi hal yang
menarik untuk dilakukan penilaian. Berdasarkan pedoman teknis penilaian geosite dari
Kubalikova (2013), terdapat lima penilaian minimum yang penting untuk geowisata yaitu
ilmiah dan intrinsik, pendidikan, ekonomi, konservasi dan nilai tambah (Tabel 1). Pertama,
penilaian ilmiah dan intrinsik yang diukur dari integritas, kelangkaan, keragaman geologi, dan
pengetahuan saintifik. Pada penilaian pertama ini daerah penelitian memiliki persentase rata –
rata sekitar 50%.
Kedua, penilaian pendidikan yang diukur dari tingkat representatifnya fitur geologi
secara fisik, fungsi pendidikan yang tercermin dari bentuk dan proses geologi, keterdapatan
fasilitas pendidikan yang sudah ada dan ketergunaan geosite dalam hal wisata pendidikan.
Penilaian kedua dengan masing – masing parameternya menghasilkan nilai rata – rata pada
Pantai Botorubuh yaitu 62,5% (Tabel 2). Kemudian, yang ketiga adalah penilaian geosite Pantai
Botorubuh yang dilakukan dengan melihat parameter nilai ekonomi. Penilaian ini melihat
aspek – aspek seperti, aksesibilitas, kehadiran infrastruktur wisata dan kehadiran produk lokal.
Hasil penilaian dari ketiga parameter tersebut dan dihitung rata – rata menghasilkan nilai 50% .

1330
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H047UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Penilaian yang selanjutnya dilakukan adalah penilaian parameter konservasi dari Pantai
Botorubuh. Parameter ini terdiri dari pengukuran ancaman dan resiko aktual yang dapat
dialamai geosite, potensi ancaman dan resiko, status kerusakan pada geosite, dan perlindungan
hukum terhadap geosite. Hasil penilaian tersebut menghasilkan nilai rata – rata sekitar 25%.
Penilaian yang terakhir adalah penilaian tambahan yang diukur dari nilai budaya. ekologi,
keindahan warna, keindahan tata ruang dan keindahan pemandangan. Hasil perhitungan dari
penilaian tersebut adalah 50%. Daerah Pantai Botorubuh memiliki nilai rata– rata penilaian
yang telah dinilai dari semua parameter yaitu 49,5% (Tabel 2). Hal ini berarti daerah Pantai
Botorubuh masih dikategorikan baik untuk geowisata, namun masih harus dilakukan
perbaikan – perbaikan dalam segi akses, infrastruktur, dan pendidikan.

ACKNOWLEDGEMENTS
Penulis menyampaikan terimakasih kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Gunung
Kidul, Jawa Tengah, atas izin melakukan penelitian. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada yang
menyediakan fasilitas laboratorium untuk analisis sampel.

DAFTAR PUSTAKA
Bogie, I dan Mackenzie, K.M., 1998. The Aplication of a volcanic facies models to an andesitic
stratovolcano hosted geothermal system at wayang windu, Java, Indonesia.Prceedings 20th NZ
Geothermal Workshop, p. 265 – 270.
Bronto, S,. 2013. Geologi Gunung Api Purba. Bandung : Penerbit Badan Geologi
Bronto, S., 2006. Fasies Gunung Api dan Aplikasinya. Jurnal Geologi Indonesia, 2(1), p. 59 – 71
Cas, R.A.F., dan Wright, J.V., 1987. Volcaninc Succession : Modern and Ancient, Allen & Unein, London
534 p.
Fisher, Richard V, et al. 1991. Sedimentation in Volcanic Settings. Oklahoma: Society for Sedimentary
Geology
Geology Agency, 2017, Petunjuk Teknik Asesmen Sumberdaya Warisan Geologi: Bandung.
Hartono, G., 2000. Studi Gunung Api Tersier : sebaran Pusat Erupsi dan Petrografi di Pegunungan
Selatan Yogyakarta,Tesis Magister, ITB, p. 168
Hartono, G. dan S. Bronto, 2007, Asal-usul pembentukan Gunung Batur di daerah Wediombo,
Gunungkidul, Yogyakarta, Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 2 No. 3 September 2007: 143-158
Kubalikova, L., 2013, Geomorphosite assesment for geotourism purposes, Czech Journal of Tourism
02/2013, p. 80-103.
Macdonald, G.A., (1972). Volcanoes. Prentice-Hall, Englewood Cliffs, 550 p.
McPhie, J., Doyle, M., Allen R. 1993. Volcanic Texture: A Guide to The Interpretation of Texture in
Volcanic Rocks. Tasmania: Tasmanian Goverment Printing Office.
Rosana, M.F., Hardiyono, A., Yuningsih, E.T., Syafrie, I., Ikhram, R., Agusta, R., 2016, Exploring
Geodiversity of Southwest Sukabumi for Ciletuh-Palabuhanratu Geopark, in: Proceedings
Geosea XIV and 45th IAGI Annual Convention 2016, Bandung p. 151154

1331
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H047UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Schmincke, H. U., (2004). Volcanism: Berlin, Springer, 324 p.


Surono, Toha, B., and Sudarno, I., (1992), Peta Geologi Lembar Surakarta – Giritontro, Jawa Skala 1 :
100.000, P3G, Bandung.
Sutikno, B. and Hartono, G., 2007, Asal-usul pembentukan Gunung Batur di daerah Wediombo,
Gunungkidul, Yogyakarta: Indonesian Journal of Geology, vol. 2, no. 3, p. 143-158.
Syafri, Ildrem, dkk. 2010.The Evolution of Gajahmungkur Paleovolcano, Wonogiri, Central Java, as A
Reference to Revize the Terminology of “Old Andesite Formation”.Jurnal Geologi Indonesia, Vol.
5 No. 4 p. 263 – 268
Van Bemmelen, R.W. 1949. The Geology of Indonesia, Vol. 1A. Belanda: The Hague

1332
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H047UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 1. Parameter penilaian analisis geosite Pantai Botorubuh

Scientific and intrinsic values Site’s


0 – totally destroyed site,
Integrity 0.5 - disturbed site, but with visible abiotic 1
features,
1 - site without any destruction
0 - more than 5 sites,
Rarity (number of similar 0.5 - 2-5 similar sites, 0.5
sites) 1 - the only site within the area of interest

Diversity (number of 0 - only one visible feature/processes,


different partial features 0.5 - 2-4 visible features/processes, 0.5
and processes within the 1 - more than 5 visible features/processes
geosite or geomorphosite)
0 - unknown site,
Scientific knowledge 0.5 - scientific papers on national level, 0
1 - high knowledge of the site, monographic
studies about the site
Educational values Site’s
0 - low representativeness/clarity of the form
Representativeness and and process,
visibility/clarity of the 0.5 - medium representativeness, especially for 1
features/ processes scientists,
1 - high representativeness of the form and
process, also for the laic public
Exemplarity, pedagogical 0 - very low exemplarity and pedagogical use
use of the form and process, 0.5 - existing
exemplarity, but with limited pedagogical use, 0.5
1 - high exemplarity and high potential for
pedagogical use, goedidactics and geotourism
Existing educational 0 - no products,
products 0.5 - leaflets, maps, web pages, 0
1 - info panel, information at the site
Actual use of a site for 0 - no educative use of the site,
educational purposes 0.5 - site as a part of specialized excursions 1
(excursions, guided tours) (students),
1 - guided tours for public

1333
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H047UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Economical values Site’s


0 - more than 1000 m from the parking place,
Accessibility 0.5 - less than 1000 m from the parking place, 0.5
1 - more than 1000 m from the stop of public
transport
0 - more than 10 km from the site existing
Presence of tourist tourist facilities, 1
infrastructure 0.5 - 5 – 10 km tourist facilities,
1 - less than 5 km tourist facilities
0 - no local products related to a site,
Local products 0.5 - some products, 0
1 - emblematic site for some local products
Conservation values Sites’s
0 - high both natural and atrophic risks,
Actual threats and risks 0.5 - existing risks that can disturb the site, 0.5
1 - low risks and almost no threats
0 - high both natural and athrophic risks,
Potential threats and risks 0.5 - existing risks that can disturb the site, 0.5
1- low risks and almost no threats
0 - continuing destruction of the site,
0.5 - the site destroyed, but now with
Current status of a site management measures for avoid the 0
destruction,
1 - no destruction
0 - no legislative protection,
0.5 - existing proposal for legislative
Legislative protection protection, 0
1 - existing legislative protection (Natural
monument, Natural reservation…)
Added values Site’s
Cultural values: presence of 0 - no cultural features,
historical/archaeological/ 0.5 - existing cultural features but without
religious aspects related to strong relation to abiotic features, 1
the site 1 - existing cultural features with the strong
relations to abiotic features
0 - not important,
Ecological values 0.5 - existing influence but not so important, 1
1 - important influence of the geomorphologic
feature on the ecologic feature
0 - one color,
0.25 - 2-3 colors, 0.25
0.5 - more than 3 colors;

1334
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H047UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

0 - only one pattern,


Aesthetic values: number of 0.25 - two or three patterns clearly 0.25
colours; structure of the distinguishable,
space, viewpoints 0.5 - more than 3 patterns;
0 - none,
0.25 - 1-2, 0.5
0.5 - 3 and more

Tabel 2. Hasil penilaian analisis geosite Pantai Botorubuh

Aspec Average

Scientific and Intrinsic Values 0.5

Educational Values 0.625

Economical values 0.5

Conservation values 0.25

Added Values 0.6

Total average 0.495

1335
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H047UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Peta indeks daerah penelitian

1336
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H047UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Peta geologi daerah penelitian

Gambar 3. Kenampakan singkapan satuan lava di Pantai Botorubuh yang berpotensi menjadi geowisata

1337
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H047UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

1338
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H047UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Sampel petrografi dari satuan lava

1339
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H047UNE
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. Sampel petrografi dari satuan breksi andesit

1340
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H051PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

POTENSI PEGUNUNGAN MERATUS DAN CEMPAKA, KALIMANTAN


SELATAN SEBAGAI KOMPLEKS GEOWISATA DAN LAPANGAN EDUKASI
KEBUMIAN

Topan Ramadhan1*, Eka Fajar Nugraha Sucipto2


1Forum Geosaintis Muda Indonesia
2Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
*corresponding author: topanramadhanms@gmail.com

ABSTRAK. Pegunungan Meratus membentang sepanjang kurang lebih 250 km berarah baratdaya-timur
laut di Kalimantan Selatan. Pegunungan ini memisahkan Provinsi Kalimantan Selatan menjadi dua
bagian. Pegunungan Meratus juga menyimpan sumberdaya alam yang melimpah yang menghasilkan
bahan galian batubara yang saat ini menjadi komoditi andalan di daerah tersebut. Perlu adanya kawasan
yang di jaga kelestariannya sebagai upaya konservasi dan edukasi untuk kepentingan ilmu kebumian.
Kawasan Meratus dan sekitarnya khususnya daerah Kota Banjarbaru, Kabupaten Banjar dan Tanah Laut,
Kalimantan Selatan cukup memiliki beberapa titik representatif untuk kegiatan geowisata baik
keberagaman jenis batuan mewakili satuan resmi penyusun geologi regional Meratus serta keunikan
alamnya. Selain itu akses yang cukup mudah di jangkau hanya 20 km dari Bandara Internasional
Syamsudin Noor serta tersedia beberapa akomodasi penginapan di Kota Banjarbaru maupun Kota
Banjarmasin sehingga daerah ini cukup mudah dan nyaman untuk di jelajahi. Kawasan pertambangan
tradisional intan Cempaka menjadi salah satu titik yang menjadi representatif edukasi teknik
penambangan tradisional serta proses keberedaan intan tersebut yang berada pada endapan Kwarter.
Kemudian, melanjutkan perjalanan ke timur menuju Pegunungan Meratus untuk meninjau perubahan
morfologi dan geologi berupa batuan penyusun yang banyak mengendapkan batubara yang di kenal
sebagai komoditi andalan Kalsel, hingga ke kawasan Taman Hutan Raya (TAHURA) Sultan Adam yang
tersusun oleh batuan tertua di Pegunungan Meratus sebagai representatif variasi kondisi bebatuan dan
morfologi yang dihasilkan. Sebagai pengetahuan dasar kepada masyarakat, kawasan ini menjadi cukup
representatif menjelaskan beberapa jenis batuan yang di kenal mulai dari batuan beku, sedimen, batuan
sedimen hingga batuan metamorf. Selain dalam kepentingan geologi wisata, aspek edukatif daerah ini
cukup baik, terbukti sering di jadikan laboratoium lapangan untuk kegiatan praktik lapangan beberapa
Sekolah/Perguruan Tinggi yang memiliki program studi kebumian sehingga perlu adanya pemetaan titik
upaya konservasi dan pengelolaan kawasan taman alam Pegunungan Meratus hingga adanya pusat
penelitian ilmu pengetahuan kebumian di kawasan ini.

Kata kunci: Geowisata Meratus, Tambang Intan Cempaka, Kalimantan Selatan, Konservasi Meratus

1341
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H051PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

I. PENDAHULUAN
Pulau Kalimantan khususnya Provinsi Kalimantan Selatan memiliki bentukan alam
hasil proses geologi yang luar biasa berupa Pegunungan Meratus yang membentang lebih
kurang 250 km dengan arah Baratdaya-Timurlaut hingga mencapai Provinsi Kalimantan Timur
bagian Selatan dan Provinsi Kalimantan Tengah di bagian Timur (gambar 1). Kalimantan
Selatan terkenal sebagai daerah dengan banyak perairan (sungai, danau, rawa) yang cukup
mendominasi interaksi langsung dengan kehidupan masyarakatnya. Tetapi, peran Pegunungan
Meratus sebagai daerah Tinggian berupa pegunungan menjadi sisi lain anugerah alam yang
dimiliki Kalimantan Selatan. Pegunungan Meratus selain memiliki pemandangan alam yang
indah, Meratus juga mengandung sumberdaya alam yang banyak memberikan manfaat untuk
manusia. Bahan galian Batubara, Minyak dan Gas Bumi merupakan sedikit contoh bahan galian
ekonomis yang terkandung dalam bagian Pegunungan Meratus. Sumberdaya alam nya kini
sudah menjadi komoditi andalan serta sebagai sumber pendapatan dan lapangan pekerjaan
masyarakat khususnya Kalimantan Selatan dan Indonesia pada umumnya. Di kaki
pegunungan Meratus tepatnya di Kecamatan Cempaka, Kota Banjarbaru, terdapat kegiatan
pertambangan Intan tradisional oleh warga sekitar dimulai sejak dahulu hingga sekarang dan
menjadi salah satu aspek wisata di Kalimantan Selatan. Dalam Sumberdaya alam nya saja
Pegunungan Meratus sudah sangat menarik didatangi para pencari sumberdaya alam, belum
lagi mencakup aspek ke ilmuan dimana Pegunungan Meratus memiliki kondisi geologi cukup
kompleks dari proses keterdapatan Intan di Campaka hingga keberadaan manifestasi
panasbumi di Hulu Sungai Selatan pada lingkungan non-gunungapi yang secara
keseluruhan geologi nya sudah cukup banyak diteliti oleh ahli kebumian Indonesia maupun
mancanegara sejak dahulu kala. Proses alami yang terjadi banyak menghasilkan kenampakan
alam yang cukup menarik seperti daerah tinggi, air terjun memberikan daerah ini memiliki
obyek wisata yang berbeda dari biasanya di Kalimantan Selatan seperti wisata sungai (Pasar
Terapung di Lok Baintan) yang sudah sangat terkenal.
Akibat adanya kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam yang di kandung Pegunungan
Meratus, saat ini sudah banyak ijin Usaha Pertambangan (IUP) hingga Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) membentang dari bagian selatan hingga utara
Pegunungan Meratus. Hal tersebut dapat mengancam kelestarian alam dan beberapa situs
geologi yang cukup sering di jadikan sebagai lokasi penelitian dan pembelajaran kebumian.
Selain kegiatan pertambangan, industri kelapa sawit yang cukup melimpah di Kalimantan juga
salah satu ancaman perubahan bentang alam yang dapat mengganggu kelestarian alam
Pegunungan Meratus. Berkaitan dengan geosite yang banyak di jadikan obyek pebelajaran
kebumian, khusus di Kalimantan Selatan saja beberapa instansi sekolah hingga perguruan
tinggi yang memiliki program studi berkaitan dengan kebumian dan aplikasinya. Hal tersebut
menunjukan cukup banyak program studi yang struktur dan kompetensi nya mencakup ilmu
kebumian dimana diperlukan proses belajar mengajar yang memerlukan praktik/kuliah
lapangan. Bersamaan dengan kondisi tersebut, perlu adanya pengembangan dan

1342
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H051PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

pemberdayaan potensi geologi wisata yang terdapat di Pegunungan Meratus dan sekitarnya
agar menjadi sumber pendapatan bagi daerah dan masyarakat sekitar pada khususnya.
Belakangan ini, wisata alam mulai cukup diminati oleh masyarakat dimana hal tersebut juga
harus dengan infrastruktur yang memadai. Terlebih untuk mendukung menjadikan
Pegunungan Meratus sebagai Geopark Nasional. Berdasarkan letaknya, Pegunungan Meratus
cukup terjangkau untuk disambangi dengan akses yang cukup mudah baik dari dalam dan luar
Kalimantan Selatan. Sebagai contoh geosite Taman Hutan Rakyat (TAHURA) Sultan Adam
berjarak lebih kurang 30 kilometer dari Bandara Internasional Syamsudin Noor. Kemudian,
ketersediaan akomodasi cukup banyak di sekitar Kota Banjarmasin, Banjarbaru hingga
Martapura. Cakupan fokus penelitian ini meliputi Kawasan Meratus dan sekitarnya
khususnya daerah Kota Banjarbaru, Kabupaten Banjar dan Tanah Laut, Kalimantan Selatan
cukup memiliki beberapa titik representatif untuk kegiatan geowisata baik keberagaman jenis
batuan mewakili satuan resmi penyusun geologi regional Meratus serta keunikan alamnya.

II. GEOLOGI REGIONAL


Pegunungan Meratus merupakan tinggian dan pembatas sebelah timur dari Cekungan
Barito dan sebelah barat cekungan Asam-asam (gambar 2). Pegunungan Meratus juga
merupakan pembatas antara cekungan Barito (sebelah Barat) dan Cekungan Asam-asam
(sebelah Timur). Pegunungan Meratus juga sering disebut sebagai pegunungan ofiolit karena
banyak menyingkap batuan kerak samudera di sekitarnya. Pegunungan Meratus terbentuk
pada Kala Miosen Akhir dan terangkat pada Plio-Plistosen memisahkan cekungan Barito dan
cekungan Asam-asam. Secara umum stratigrafi penyusun geologi Pegunungan Meratus dan
sekitarnya menurut Sikumbang dan Heryanto (1994) terdiri dari Batuan Alas berupa Sekis, filit,
ultramafik yang berumur Jura (- 152 juta tahun) serta beberapa satuan batuan beku Gabro,
Diorit, Granit dan Formasi Batununggal yang berumur Kapur Awal dan Kelompok Alino dan
Pitanak yang berumur Kapur Akhir (- 95 juta tahun). Kemudian, stratigrafi penyusun
Pegunungan Meratus diisi oleh sedimen Tersier dimulai Kala Eosen (- 53 juta tahun) disusun
Formasi Tanjung terdiri dari batupasir, batulempung dengan sisipan batubara. Kemudian
formasi Berai terdiri dari Batugamping dengan bersisipkan napal dan batulempung, Formasi
Berai terbentuk pada Kala Oligosen. Diatas Formasi Berai terendapkan Formasi Warukin
dterdiri dari perselingan batupasir kuarsa setempat konglomeratan dan batulempung, dengan
sisipan batubara dengan umur pengendapan formasi kisaran Miosen Awal-Miosen Tengah.
Terjadi ketidakselarasan antara Formasi Warukin akibat pengangkatan Pegunungan Meratus
pada Kala Plio-Plistosen (-5,3 juta tahun lalu) bersamaan pengendapan Formasi Dahor yang
terdiri dari konglomerat, batupasir. Selanjutnya hingga saat ini terendapkan proses fluviatil
yang terdiri dari endapan lumpur, pasir, kerikil, kerakal dan bongkah yang berumur Kuarter.

III. METODE PENELITIAN


Penelitian dengan pembahasan ini dilakukan dengan pengamatan langsung di lapangan
dengan cara melakukan penelusuran beberapa obyek wisata di sekitar Pegunungan Meratus.
Area cakupan daerah penelitian secara geologi termasuk dalam area Pegunungan Meratus dan
1343
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H051PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Cekungan Barito. Cakupan administrasi dari daerah penelitian ini meliputi wilayah
administrasi Kota Banjarbaru, Kabupaten Banjar dan Kabupaten Tanah Laut Provinsi
Kalimantan Selatan (gambar 3). Kemudian, peneliti juga melakukan wawancara dengan
beberapa orang dari pemerhati wisata dan pelajar/mahasiswa ilmu kebumian di Kalimantan
Selatan untuk kepentingan sumber informasi, serta beberapa analisis permasalahan yang
dilakukan sendiri oleh peneliti. Selain itu, untuk mendukung penelitian didukung juga
berbagai referensi (data sekunder) yang berkaitan dengan pembahasan.

IV. HASIL
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan beberapa poin utama dalam upaya
menjadikan Pegunungan Meratus sebagai kawasan geowisata dan lapangan edukasi kebumian.
Kemudian pada fokus daerah penelitian pada pembahasan ini di daerah sekitar Kota
Banjarbaru, Kabupaten Banjar dan Tanah Laut didapatkan hasil sebagai berikut.
1. Kawasan Geowisata/Geopark Meratus
Memiliki aneka ragam jenis batuan serta kenampakan geologi yang mencerminkan
rumitnya proses geologi yang berlangsung hingga membentuk bentukan alam seperti saat ini,
Pegunungan Meratus sangat berpotensi untuk di jadikan sebuah kawasan geowisata hingga
taman alam atau Geopark. Dalam hal tersebut, peneliti mendapati beberapa titik ataupun
geosite yang menarik untuk dijadikan titik geowisata dan dilakukan upaya konservasi serta
pengelolaan untuk kepentingan geowisata. Berikut beberapa lokasi tersebut:
a. Geosite Pumpung, Cempaka
Titik ini adalah lokasi penambangan tradisional intan di Desa Pumpung, Kecamatan
Cempaka, Kota Banjarbaru sebagai titik informasi adanya penambangan intan tradisional
(gambar 4), selain itu kepada wisatawan bisa menyaksikan tahapan penambangan intan
mencakup sejarah penambangan serta informasi proses keterdapatan secara geologi maupun
berdasarkan cerita rakyat. Tidak jauh dari titik ini juga terdapat Monumen penemuan Intan
Trisakti (gambar 5) yang merupakan tanda pernah ditemukan pada tahun 1960-an tepatnya
pada tanggal 26 Agustus 1965 dengan berat 168,75 karat. Kemudian pengunjung bisa
mengabadikan metode dan peralatan yang digunakan dalam penambangan. Terdapat beberapa
titik galian penambangan intan tradisional yang dikelola oleh beberapa kelompok warga
(gambar 6) yang dapat pengunjung kunjungi.

b. Geosite Danau Biru Desa Tiung


Keberadaan danau biru bekas penambangan batubara yang menghasilkan kenampakan
danau berwarna biru dengan tebing danau menyingkap singkapan geologi berupa batuan
sedimen batulempung dan batupasir (gambar 7). Selain itu sebagai sarana informasi adanya
potensi bahan galian yang di kandung pada daerah sekitar juga sisi pemandangan danau bekas
tambang yang berwarna biru dan pemadangan pegunungan Meratus yang cukup indah

1344
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H051PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

(gambar 8). Pada lokasi ini sebagai lokasi cukup representatif untuk melakukan pengukuran
stratigrafi pada singkapan batuan untuk mempelajari sediomentologi batuan tersebut.
c. Geosite Kiram
Kiram Parks merupakan sebuah kawasan wisata yang memiliki fasilitas penginapan,
lapangan terbuka untuk kegiatan pertunjukan, dan hiburan serta terdapat bukit untuk
pengamatan morfologi Pegunungan Meratus (gambar 9). Disekitar lokasi ini terdapat
singkapan batuan sekis dan filit yang merupakan anggota kelompok Batuan Malihan (Mm)
(gambar 10). Lokasi ini nyaman untuk wisata serta untuk penjelasan tentang sejarah geologi
dari Pegunungan Meratus yang merupakan pernah menjadi bagian lantai samudera serta
beberapa penjelasan tektonik menarik lainnya.
d. Geosite TAHURA Sultan Adam
Kawasan geosite ini sudah lama dilindungi dan merupakan Taman Hutan yang di
kelola pemerintah Kalimantan Selatan (gambar 11). Lokasi ini termasuk ke dalam 2 wilayah
administrasi yaitu Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar dan Kecamatan Cempaka, Kota
Banjarbaru. Pada kawasan ini terdapat obyek geologi yang cukup baik representatif untuk
dinikmati diantaranya keberadaan singkapan filit tersingkap di pinggir jalan dekat gerbang
masuk kawasan TAHURA Sultan Adam (gambar 12) yang merupakan anggota dari batuan
malihan sebagai batuan tertua atau basement dari Cekungan Barito. Masuk ke kawasan
TAHURA dengan moroflogi perbukitan terdapat singkapan batuan gunung api berupa lava
(gambar 13) anggota dari kelompok Formasi Pitanak (Kvpi) yang menjadi bukti bahwa pernah
terjadi kegiatan vulkanisme di daerah ini pada masa lampau yaitu berkisar 65-95 juta tahun
lalu.
Objek pengamatan pada kawasan ini terdapat air terjun dan juga bukit dengan gardu
pandang untuk mengamati geomorfologi sekitar. Pada gardu pandang ini dapat mengamati
variasi dan perubahan bentukan alam yang juga di pengaruhi oleh litologi serta proses geologi
yang meliputinya sehingga selain nikmat untuk dipandang, juga sejuk untuk dinikmati udara
di atas ketinggian sehingga lokasi ini tepat dijadikan lokasi rehat atau istirahat. Kemudian pada
daerah ini memiliki potensi wisata sejarah peninggalan kolonial berupa kolam pemandian
Belanda dan lapangan tenis Belanda (gambar 14).

e. Geosite Sungai Kembang

Pada titik geosite ini merupakan sebuah sungai dengan dasar berupa batuan beku basalt
(gambar 15). lokasi ini memiliki dimensi yang cukup luas dan kondisi singkapan batuan cukup
segar karena berada di tubuh sungai sehingga menjadi informasi adanya bukti kegiatan
vulkanisme di daerah ini pada jutaan tahun lalu.

f. Geosite Waduk Riam Kanan

Pada lokasi ini merupakan salah satu titik informasi mengenai aplikasi dari ilmu
kebumian untuk kepentingan keteknikan/sipil yaitu pembangunan Waduk Riam Kanan

1345
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H051PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

(gambar 16) dan adanya fasilitas Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Ir. P. M. Noor (gambar
17). Aspek ilmu kebumian dalam kepentingan keteknikan seperti ilmu Geologi Teknik,
Hidrogeologi, Geomorfologi dan lain-lain. Sehingga titik ini menjadi edukasi dan informasi
kepada pengunjung Geopark Pegunungan Meratus bahwa ilmu kebumian bukan hanya
berkaitan dengan kegiatan pertambangan seperti hal yang umum ada di Kalimantan Selatan.
2. Pembangunan Pusat Laboratorium Alam & Kebumian Kalimantan

Memiliki kondisi geologi yang kompleks dan unik, Pegunungan Meratus sudah banyak
di datangi oleh para peneliti kebumian dan alam. Degan kondisi kesampaian daerah yang
cukup mudah di jangkau, Pegunungan Meratus perlu memiliki pusat penelitian dan
pembelajaran dalam bentuk laboratorium alam dan kebumian di Kalimantan. Hal ini bisa
dalam bentuk pembangunan fasilitas pusat laboratorium riset, asrama untuk peneliti serta
kegiatan praktik maupun kuliah lapangan serta pusat informasi Geopark Meratus yang
menampilkan kekayaan yang dimiliki Pegunungan Meratus lewat pameran hingga diorama.
Hal ini dirasa cukup mendesak karena ada lembaga pendidikan seperti sekolah hingga
perguruan tinggi yang sudah memiliki program studi kebumian dan rumpunnya (tabel 1) yang
memerlukan fasilitas terpadu untuk melakukan kegiatan praktik atau kuliah lapangan di
sekitar Pegunungan Meratus.

V. DISKUSI DAN PEMBAHASAN


Penilitan ini sudah ada dan menjadi buah pemikiran peneliti sejak 2010 mengharapkan
Pegunungan Meratus sebagai kawasan geowisata dan pusat penelitian dan pembelajaran
geosains di Kalimantan. Seiring berjalannya waktu, pada tanggal 24 Februari 2019, Pemerintah
Provinsi Kalimantan Selatan telah melakukan deklarasi Meratus sebagai Geopark Nasional.
Berdasarkan kondisi yang ada, Pegunungan Meratus sangat unik dan kaya akan potensi bila
dikelola dengan maksimal lagi mendukung sebagai Geopark baik dengan adanya upaya
promosi, peningkatan fasilitas serta manajemen kelompok masyarakat di sekitar kawasan.
Pemanfaatan dan upaya memaksimalkan potensi yang ada, dapat melibatkan berbagai pihak
baik pemerintah, perguruan tinggi, swasta hingga masyarakat desa terdampak kegiatan dalam
kawasan Geopark Pegunungan Meratus.

1. Pengelolaan Geowisata
Kesempatan baik pihak pengelola Geopark maupun swasta melalui pengadaan jasa
guide trip dalam rangka kunjungan titik-titik dalam kawasan Geopark Meratus baik dalam
bentuk kegiatan tour sehari hingga beberapa hari. Sebagai alternatif, dalam hal ini dilakukan
upaya mengelola kunjungan dengan waktu singkat dengan beberapa titik (geosite) menarik
dan mewakili (representatif) di sekitar Pegunungan Meratus. Metode ini bisa menjadi salah
satu alternatif kunjungan ke Geopark Meratus dengan durasi sehari (gambar 18). Titik awal
perjalanan di mulai dari Kota Banjarmasin, Banjarbaru atau Martapura kemudian megunjungi
geosite-geosite diantaranya:
1. Geosite Pumpung (Tambang Intan) Cempaka
1346
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H051PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

2. Geosite Danau Biru Desa Tiung


3. Geosite Kiram
4. Geosite TAHURA Sultan Adam
5. Geosite Sungai Bakar
6. Geosite Waduk Riam Kanan

Selain pengadaan jasa guide trip geowisata, perlu pembinaan dan pengelolaan
masyarakat desa dalam pengadaan seperti Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) tiap desa-desa
terdampak kegiatan geowisata di kawasan Geopark Meratus dalam hal manajemen seperti
tempat wisata, moda transportasi angkutan wisata ataupun peneliti/kelompok praktik
lapangan, serta pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) untuk peningkatan
perekonomian dan kesejahteraan masyarakat desa.

2. Pengelolaan Pusat Penelitian dan Pembelajaran Kebumian


Dengan promosi dan kerjasama berbagai pihak, Geopark Meratus bisa menjadi pusat
penelitian dan pembelajaran kebumian (geosains) di Kalimantan, di dukung dengan adanya
fasilitas seperti infrastruktur jalan, laboratorium riset, wisma atau asrama untuk kegiatan
menginap para peneliti maupun akademisi untuk kegiatan praktik dan kuliah lapangan
berbagai sekolah maupun perguruan tinggi baik khususnya yang ada di Kalimantan Selatan
maupun seluruh Kalimantan. Kemudian, didukung adanya pusat informasi Geopark Meratus
dalam bentuk museum yang memamerkan kekayaan dan keberagaman geologi baik bebatuan
maupun sumberdaya alam Pegunungan Meratus dilengkapi dengan diorama. Adanya fasilitas
tersebut bisa menjadi objek tambahan dan daya tarik Geopark Pegunungan Meratus.
Saat ini, sekolah dan perguraan tinggi dalam kegiatan praktik dan kuliah lapangan
sebagai pendukung kegiatan kurikulum belajar mengajar banyak dilakukan di Pegunungan
Meratus dan apabila dibutuhkan untuk menginap, masih banyak menggunakan fasilitas umum
atau menginap di rumah warga. Dengan kondisi saat ini sudah cukup banyak sasaran
pengguna fasilitas tersebut baik dari sekolah dan perguruan tinggi di Kalimantan Selatan,
maupun dari provinsi tetangga terdekat seperti Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
Beberapa kasus dan pengalaman beberapa pelajar/mahasiswa yang ada di Kalimantan Selatan
berdasarkan pengalaman yang didapatkan cukup sering kegiatan praktik lapangan di lakukan
di sekitar Pegunungan Meratus, bahkan ada perguruan tinggi melakukan kegiatan praktik atau
kuliah lapangan hingga keluar Kalimantan. Selain itu, fasilitas tersebut bisa digunakan dalam
kegiatan rekreasi oleh berbagai instansi yang ada baik pemerintah maupun swasta dalam
kegiatan pelatihan atau workshop maupun gathering.

VI. KESIMPULAN
Pegunungan Meratus bisa disebut sebagai permata Kalimantan karena selain memang
di sekitar pegunungan ini ditemukan Intan placer, tetapi sebagai anugerah kekayaan alam
untuk Pulau Kalimantan terutama Provinsi Kalimantan Selatan karena berkah lahan yang
sudah menjadi penghidupan masyarakatnya, kandungan sumberdaya alam yang ada

1347
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H051PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

didalamnya sudah banyak memberikan manfaat untuk manusia seperti air, batubara, minyak
dan gas dan beberapa komoditi lainnya. Pegunungan Meratus yang saat ini sudah di
deklarasikan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan Sebagai Geopark Nasional
diharapkan bisa menjadi upaya konkret melakukan konservasi dan menjaga kelestarian
Pegunungan Meratus dari kerusakan serta eksploitasi berlebihan atas sumberdaya alam yang
dikandungnya. Selain itu dalam kepentingan penelitian dan pembelajaran ilmu pengetahuan
alam khususnya ilmu kebumian, Pegunungan Meratus cukup representatif sebagai
laboratorium alam di Kalimantan dan dapat memberikan kontribusi untuk perkembangan
dan kemajuan ilmu pengetahuan alam di Kalimantan bahkan untuk Indonesia. Hal tersebut
perlu komitmen dari seluruh pemegang kepentingan untuk kelestarian dan menjaga kekayaan
dan mewujudkannya.
Selain itu masih banyak potensi lain dan perlu perluasan cakupan daerah penelitian,
mengingat luasnya kawasan Pegunungan Meratus agar semakin banyak sektor yang bisa
ditonjolkan pada tiap daerah di kawasan Geopark Meratus, seperti daerah Hulu Sungai
Tengah dan Hulu Sungai Selatan yang banyak memiliki morfologi karst dan sumber mataair
panas. Berdasarkan sisi lain, perlu upaya dan melibatkan masyarakat umum dan pihak lain
dalam memaksimalkan Pegunungan Meratus sebagai Geopark Nasional, seperti memeberikan
pelatihan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan dari sumberdaya
manusia yang ada. Dengan upaya tersebut di harapkan Geopark Meratus bisa menjadi sektor
wisata baru dan andalan di Kalimantan Selatan selain wisata perairan sudah terkenal.

ACKNOWLEDGEMENT
Peneliti mengucapkan terimakasih atas kesempatan yang telah diberikan oleh Panitia
Seminar Nasional Kebumian Universitas Gadjah Mada, Departemen Teknik Geologi-Fakultas
Teknik untuk mempublikasikan penelitian ini yang merupakan buah hasil pemikiran peneliti
sejak 2010 atas potensi Pegunungan Meratus sebagai kawasan geowisata dan edukasi kebumian
di Kalimantan pada Tahun 2019 ini. Kemudian kepada Forum Geosaintis Muda Indonesia
(FGMI) dan Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), serta peneliti juga mengucapkan kepada
beberapa pihak seperti Jainudin, S.Hut (Duta Pariwisata Kota Banjarbaru), Dwi Endah Purnama
(Alumni Teknik Pertambangan-Akademi Teknik Pembangunan Nasional) yang telah
membantu penelitian, serta beberapa pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu dalam
tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA
Heryanto, R., 2010. Geologi Cekungan Barito. Bandung: Badan Geologi Kementrian Energi Sumber Daya
Mineral.
Satyana, A.H., 2000, Kalimantan, An Outline of The Geology of Indonesia, Indonesian Association of
Geologists, h.69-89.
Satyana, A.H., and Silitonga, P.D., 1993, Thin-skinned tectonics and fault-propagation folds: new insights
to the tectonic origin of Barito folds, South Kalimantan. Proceedings of the IAGI 22nd Annual
Convention, 589-606.
1348
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H051PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Satyana, A.H., and Silitonga, P.D., 1994, Tectonic reversal in East Barito Basin, South Kalimantan:
consideration of the types of inversion structures and petroleum system significance. Proceedings
rd
of the IPA 23 Annual Convention, p 57-74.
Satyana, A.H., 1994, The northern massifs of the Meratus Mountains, South Kalimantan: nature,
evolution, and tectonic implications to the Barito structures. Proceedings of the IAGI 23rd Annual
Convention.
Sikumbang, N., & Heryanto, R., 1994. Peta Geologi Lembar Banjarmasin, Kalimantan. Bandung, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi.

1349
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H051PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 1. Data Institusi Pendidikan Dengan Program Studi/Rumpun Ilmu Kebumian di Kalimantan

No Nama Tempat SMA/SMK/ D1/D2/D3/D4/ Program Studi


Institusi Sederajat S1/S2/S3
SMK Geologi
1 Banjarbaru SMK -
Sabumi Pertambangan
Banjarbaru
SMK Negeri Binuang Geologi
2 SMK (4 -
1 Binuang , Tapin Pertambangan
Tahun)
SMK Negeri
Tanah Geologi
1 Simpang
3 Bumb SMK - Pertambangan
Empat
u

Akademi
Teknik
Teknik
4 Pembangun Banjarbaru - D3 Pertambangan
an Nasional
(ATPN)
Politeknik
Teknik
Negeri
5 Banjarmasin - D3 Pertambangan
Banjarmasin

Politeknik
Teknik Geodesi
Negeri
6 Banjarmasin - D3
Banjarmasin

1350
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H051PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Universitas
Teknik
Lambung
7 Banjarbaru - S1 Pertambangan
Mangkurat
Fisika
(Konsentrasi
8 Universitas Banjarbaru - S1 minat geofisika)
Lambung
Mangkurat
*Data dihimpun dari berbagai sumber

Gambar 1. Letak Pegunungan Meratus di Pulau Kalimantan

1351
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H051PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Letak dari Tinggian Meratus (Meratus High) secara geologi Pulau Kalimantan secara umum
(Modifikasi: Satyana, et al., 1994 dan berbagai sumber)

1352
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H051PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Daerah Penelitian yang berada di sekitar Kota Banjarbaru, Kabupaten Banjar dan Kabupaten
Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan

1353
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H051PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Gerbang masuk kawasan wisata pertambangan tradisional Pumpung, Kecamatan Cempaka,
Kota Banjarbaru, Provinsi Kalimantan Selatan

Gambar 5. Monumen Tugu Intan Trisakti di Desa Pumpung, Kecamatan Cempaka, Kota Banjarbaru,
Provinsi Kalimantan Selatan

1354
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H051PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 6. Salah satu lubang galian tambang tradisional di Desa Pumpung, Kecamatan Cempaka, Kota
Banjarbaru, Provinsi Kalimantan Selatan

Gambar 7. Danau biru yang sudah di berwarna biru lagi, tetapi masih cukup banyak masyarakat yang
mengunjunginya.

1355
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H051PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 8. Pemandangan Pegunungan Meratus dari Geosite Danau Biru

Gambar 9. Informasi Kawasan Wisata Kiram

1356
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H051PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 10. Singkapan batuan di sekitar Kawasan Wisata Kiram

Gambar 11. Gerbang masuk kawasan geosite TAHURA Sultan Adam

1357
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H051PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 12. Singkapan batuan di dekat pintu masuk kawasan TAHURA Sultan Adam

Gambar 13. Kenampakan singkapan batuan gunung api di kawasan TAHURA Sultan Adam

1358
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H051PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 14. Papan informasi adanya fasilitas bersejarah berupa lapangan tenis

1359
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H051PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 15. Singkapan batuan di dasar Sungai Bakar

Gambar 16. Waduk Riam Kanan dari atas Bukit Tiwingan dimana selain di manfaatkan untuk
kepentingan pengairan, di waduk ini juga terdapat pemanfaatan sebagai PLTA

1360
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 H051PRO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 17. Gerbang PLTA Ir. P. M. Noor.

Gambar 18. Peta Rute wisata di Geopark Meratus bagian Cempaka, TAHURA Sultan Adam dan
Sekitarnya

1361
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I003UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

APLIKASI METODE STRUCTURE FROM MOTION DALAM PENENTUAN


KEDUDUKAN BIDANG GELINCIR DI DESA NGORO-ORO, KECAMATAN
PATUK, KABUPATEN GUNUNGKIDUL, PROVINSI DAERAH ISTIMEWA
YOGYAKARTA

Abdel Hafiz 1* Agung Setianto 2


Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada 1* Departemen Teknik
Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada 2

*Corresponding Author: abdel.hafiz@mail.ugm.ac.id

ABSTRAK. Bidang diskontinuitas seperti batas perlapisan, bidang sesar, ataupun kekar
merupakan parameter penting yang dapat digunakan untuk mengetahui kestabilan lereng
dari suatu singkapan. Umumnya, pengukuran kedudukan bidang diskontinuitas ini
dilakukan menggunakan kompas geologi. Namun, pengukuran menggunakan kompas
geologi membutuhkan waktu yang lama dan seringkali tidak memungkinkan pada bidang
diskontinuitas dengan kedudukan menggantung. Visualisasi singkapan geologi dalam
bentuk model 3D dapat menjadi solusi bagi permasalahan tersebut. Salah satu metode
yang dapat digunakan untuk memodelkan suatu singkapan adalah metode Structure from
Motion (SfM). Dengan menggunakan metode SfM, suatu singkapan geologi dapat
ditransformasi menjadi model 3D hanya dengan menggunakan kamera saku biasa. Hal ini
dicapai dengan melakukan pemotretan singkapan dari berbagai sudut yang berbeda,
kemudian diproses menggunakan Agisoft Photoscan untuk membentuk dense point cloud,
yang nantinya dianalisis lebih lanjut menggunakan CloudCompare untuk memperoleh
kedudukan bidang diskontinuitas. Pada penelitian ini, metode SfM digunakan untuk
membuat model 3D dari satu ruas tebing di Desa Ngoro-oro, Kecamatan Patuk, Kabupaten
Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogayakarta, yang nantinya digunakan untuk
menentukan kedudukan bidang gelincir pada tebing tersebut melalui analisis kinematika
lereng. Lokasi ini dipilih karena tingginya potensi longsor di Desa Ngoro-oro. Berdasarkan
hasil penelitian, terlihat adanya perbedaan kedudukan bidang diskontinuitas antara model
3D dengan singkapan geologi di lapangan. Walaupun demikian, perbedaan ini masih
berada dalam kisaran yang cukup rendah, yakni <15O dari kedudukan aslinya, sehingga
secara umum, orientasi keruntuhan yang terjadi masih relatif sama yakni berada pada arah
timur laut dengan tipe keruntuhan membaji.

Kata Kunci: penginderaan jauh, fotogrametri, sfm, analisis kinematika, geologi teknik

I. PENDAHULUAN

Pendekatan geomorfologis untuk akuisisi data spasial berbasis topografis


mengalami kemajuan pesat pada beberapa tahun terakhir. Hal ini tidak hanya disebabkan

1362
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I003UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

oleh pesatnya perkembangan teknologi, sehingga memungkinkan akuisisi data spasial


yang lebih sering, namun juga karena berkembangnya metode-metode baru yang mampu
mengiringi perkembangan teknologi. Umumnya, riset-riset geomorfologi berbasis
topografis hanya terfokus pada konstruksi digital elevation models (DEMs) menggunakan
data fotogrammetri dan differential global positioning system (dGPS) (Micheletti dkk., 2015).
Beberapa tahun belakangan juga muncul beberapa metode alternatif seperti airborne radar
dan terrestrial laser scanner (TLS) yang marak digunakan untuk memperoleh data topografis
berkualitas tinggi dengan resolusi yang tinggi pula (Heritage dan Hetherington, 2007
dalam Micheletti dkk., 2015).

Namun, metode-metode di atas masih tergolong mahal dan membutuhkan tenaga


ahli yang berpengalaman untuk memproses dan meningkatkan kualitas datanya.
Sebaliknya, perkembangan metode Structure from Motion (SfM) menyebabkan akuisisi data
topografis resolusi tinggi dapat dilakukan dengan lebih murah dan lebih mudah
(Micheletti dkk., 2015). SfM memungkinkan akuisisi data topografis resolusi tinggi
menggunakan kamera digital biasa yang bisa dilakukan sendirian sehingga mengurangi
secara signifikan jumlah tenaga ahli yang dibutuhkan untuk konstruksi model topografis
menggunakan metode ini (Micheletti dkk., 2015).

Walaupun memiliki potensi yang besar, penggunaan metode SfM untuk riset-riset
berbasis geologi masih sangat jarang dijumpai, terutama di Indonesia. Pada penelitian kali
ini, metode SfM digunakan untuk membuat model tiga dimensi dari satu ruas tebing di
Dusun Sepat, Desa Ngoro-oro, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul, Provinsi
Daerah Istimewa Yogayakarta, yang nantinya digunakan untuk menentukan kedudukan
bidang gelincir pada tebing tersebut melalui analisis kinematika lereng. Lokasi ini dipilih
karena tingginya potensi longsor di Desa Ngoro-oro, sebagaimana yang telah diteliti
sebelumnya oleh Prasetyo dan Dibyosaputro (2014) dan Priangga, dkk (2018), serta belum
adanya riset terkait kedudukan bidang gelincir pada daerah penelitian. Hal ini disebabkan
karena ruas jalan yang memotong tebing ini baru beroperasi sejak tahun 2018, sehingga
belum ada riset terkait kedudukan bidang gelincir di daerah penelitian hingga penelitian
ini dilakukan.

Analisis kinematika lereng yang nantinya menghasilkan kedudukan bidang


gelincir pada ruas tebing yang diteliti memiliki beragam manfaat, terutama pada
manajemen bencana daerah penelitian. Kedudukan bidang gelincir ini dapat menjadi
pedoman bagi pembuat kebijakan untuk menentukan metode yang tepat untuk
mengurangi risiko bencana yang dapat dihasilkan dari daerah penelitian. Selain itu,
informasi yang dihasilkan dari penelitian ini dapat menjadi referensi untuk menentukan
safety factor (Fs) pada tebing di daerah penelitian bagi peneliti-peneliti di masa yang akan
datang.

II. KONDISI GEOLOGI

1363
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I003UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Secara umum, daerah penelitian tersusun oleh blok batuan vulkanik yang
terangkat sejak Miosen Tengah dan tetap menjadi tinggian hingga kemudian terangkat
kembali pada Pleistosen Tengah dan Pleistosen Akhir membentuk pola-pola kelurusan
yang memanjang BL-Tg dan BBL-TTg (Husein dan Srijono, 2007). Blok batuan vulkanik ini
terbentuk pada kala Miosen Awal dan dibedakan menjadi dua formasi batuan. Kedua
formasi batuan ini dibedakan dari karakteristik batuan penyusunnya yang merupakan
implikasi dari sumber erupsi yang berbeda pula.

Bagian bawah formasi Semilir didominasi oleh tuf lapili dengan sisipan tuf dan
lempung tufan, batupasir tufan, dan breksi batuapung, sedangkan bagian atas dari formasi
ini didominasi oleh tuf dengan sisipan tuf lapili, batupasir tufan, dan batupasir kerikilan
(Surono, 2009). Formasi Semilir merupakan penyusun utama litologi daerah penelitian
(Gambar 1.). Formasi Semilir kemudian ditindih oleh Formasi Nglanggeran yang
terbentuk dari hasil erupsi gunungapi purba Nglanggeran dengan litologi dominan breksi
gunungapi dan aglomerat serta sisipan tuf dan lava andesit. Berdasarkan penemuan
foraminifera oleh Rahardjo (2007, dalam Surono, 2009), Formasi Nglanggeran memiliki
umur berkisar N5 – N6, atau setara dengan Miosen Awal.

III. METODE PENELITIAN


Penelitian dilakukan dalam beberapa tahapan, yakni pendahuluan, pengumpulan
dan analisis data, serta penyusunan laporan (Gambar 2.)

IV. HASIL PENELITIAN


A. Pengumpulan data
Pada tahap ini, foto singkapan dikumpulkan menggunakan kamera Canon EOS
M3. Pemotretan dilakukan pada tanggal 23 Desember 2018, dengan total foto yang
diperoleh berjumlah 152 foto. Lintasan yang digunakan dalam pemotretan dapat dilihat
pada Gambar 3. Selain melakukan pemotretan singkapan, dilakukan juga perekaman
posisi titik ikat menggunakan GPS Garmin Etrex 10. Titik ikat yang digunakan merupakan
pembatas jalan yang tersebar di sekitar singkapan. Titik ikat ini nantinya digunakan untuk
mengubah koordinat lokal pada model 3D menjadi koordinat global.

B. Pemrosesan Data
Pemrosesan data metode SfM terdiri dari beberapan tahapan utama, yakni
penjajaran foto, pembentukan dense point cloud, registrasi titik ikat, dan pembentukan
model 3D. Perangkat lunak yang digunakan dalam pemrosesan data ini adalah Agisoft
Photoscan Profesional. Spesifikasi komputer yang digunakan untuk memproses data pada
penelitian ini antara lain, prosesor Intel Core i5-4200U dengan RAM 8GB serta SSD 256GB.

1364
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I003UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tahapan pertama, yakni penjajaran foto, menghasilkan sparse point cloud


sebanyak 51.159 titik, dengan waktu pemrosesan selama 1 jam 56 menit. Sparse point cloud
ini kemudian diproses lebih lanjut menjadi dense point cloud kualitas tinggi, yang
menghasilkan 34.084.234 titik dengan waktu pemrosesan selama 2 hari 18 jam 20 menit.

Setelah dense point cloud terbentuk, dilakukan registrasi titik ikat (marker) yang telah
direkam sebelumnya di lapangan. Hal ini bertujuan agar dense point cloud yang akan
dianalisis lebih lanjut nantinya memiliki koordinat global. Pada penelitian ini, koordinat
yang digunakan pada titik ikat yang akan diregistrasi adalah UTM Zona 49S.

Setelah titik ikat diregistrasi, dense point cloud dapat diproses lebih lanjut menjadi
model 3D melalui proses meshing, ataupun langsung di ekspor dalam ekstensi *.las untuk
dianalisis lebih lanjut menggunakan CloudCompare. Model yang dihasilkan pada masing-
masing tahapan yang telah diuraikan sebelumnya dapat dilihat pada Gambar 4.

C. Perhitungan Strike dan Dip

Pada tahapan ini, dense point cloud yang telah memiliki koordinat global, dianalisis
lebih lanjut menggunakan perangkat lunak CloudCompare untuk menghitung strike dan dip
dari bidang diskontinuitas yang ada pada singkapan. Sebelum dilakukan perhitungan
strike dan dip, dense point cloud yang telah diekspor sebelumnya dihitung bidang
normalnya. Kemudian, barulah perhitungan strike dan dip ini dapat dilakukan
menggunakan program yang telah terintegrasi pada CloudCompare, yakni Compass. Tabel
1 menunjukkan kedudukan bidang diskontinuitas yang diperoleh menggunakan Compass.

D. Analisis Kinematika Lereng Model SfM


Keruntuhan membaji, seperti yang terlihat pada Gambar 5, terjadi pada 57 titik
perpotongan bidang diskontinuitas, dengan signifikansi sebesar 9,05% dari total titik
perpotongan bidang diskontinuitas. Daerah berwarna merah muda pada stereonet
menunjukkan daerah kritis terjadinya keruntuhan membaji, sedangkan daerah berwarna
kuning menunjukkan daerah semi kritis keruntuhan membaji. Keruntuhan rebah langsung
(direct toppling), seperti yang terlihat pada Gambar 6, terjadi pada 21 titik perpotongan
bidang diskontinuitas, dengan signifikansi sebesar 3,33% dari total titik perpotongan
bidang diskontinuitas. Daerah berwarna merah muda pada stereonet menunjukkan daerah
kritis terjadinya keruntuhan rebah langsung, sedangkan daerah berwarna kuning
menunjukkan daerah semi kritis keruntuhan rebah miring (oblique toppling). Keruntuhan
rebah miring ini memiliki signifikansi yang kecil, yakni 2,22% dari total titik perpotongan
bidang diskontinuitas. Selain itu, keruntuhan rebah miring ini juga memiliki kemungkinan

1365
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I003UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

terjadi yang lebih kecil daripada keruntuhan rebah langsung karena berada pada daerah
semi kritis.

E. Analisis Kinematika Lereng Model Lapangan


Keruntuhan membaji, seperti yang terlihat pada Gambar 7, terjadi pada 33 titik
perpotongan bidang diskontinuitas, dengan signifikansi sebesar 5,25% dari total titik
perpotongan bidang diskontinuitas. Daerah berwarna merah muda pada stereonet
menunjukkan daerah kritis terjadinya keruntuhan membaji, sedangkan daerah berwarna
kuning menunjukkan daerah semi kritis keruntuhan membaji. Keruntuhan rebah langsung
(direct toppling), seperti yang terlihat pada Gambar 8, terjadi pada 51 titik perpotongan
bidang diskontinuitas, dengan signifikansi sebesar 8,11% dari total titik perpotongan
bidang diskontinuitas. Daerah berwarna merah muda pada stereonet menunjukkan daerah
kritis terjadinya keruntuhan rebah langsung, sedangkan daerah berwarna kuning
menunjukkan daerah semi kritis keruntuhan rebah miring (oblique toppling). Keruntuhan
rebah miring ini memiliki signifikansi sebesar 2,54% dari total titik perpotongan bidang
diskontinuitas. Selain itu, keruntuhan rebah miring ini juga memiliki kemungkinan terjadi
yang lebih kecil daripada keruntuhan rebah langsung karena berada pada daerah semi
kritis.

V. PEMBAHASAN

A. Perbandingan Hasil Analisis Kinematika Lereng


Pada penelitian ini, terdapat dua analisis kinematika lereng yang masing-
masingnya dilakukan pada model bidang diskontinuitas yang berbeda. Model bidang
diskontinuitas tersebut antara lain model Compass dan model hasil observasi lapangan.
Kedua model bidang diskontinuitas ini menghasilkan tiga tipe keruntuhan yang sama
yakni tipe keruntuhan membaji, tipe keruntuhan rebah langsung, dan tipe keruntuhan
rebah miring. Walaupun demikian, terdapat perbedaan signifikansi tipe keruntuhan pada
masing-masing model.

B. Perbandingan Kedudukan Bidang Diskontinuitas

Berdasarkan Tabel 3, diperoleh perbedaan strike rata-rata sebesar 5,51o dan


perbedaan dip rata-rata sebesar 3,90o antara model SfM dengan model lapangan. Baik strike
maupun dip dengan perbedaan maksimum berada pada bidang diskontinuitas set 2, yang
sebagian besar merupakan bidang perlapisan. Hal ini disebabkan karena luas permukaan
beberapa bidang diskontinuitas di set ini sangat kecil serta kurang tegasnya batas pada
beberapa bidang perlapisan. Selain itu, pengambilan data model SfM yang hanya
berdasarkan tampak depan singkapan juga menyebabkan tidak akuratnya depth maps yang

1366
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I003UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

dihasilkan dikarenakan adanya efek bayangan pada bidang yang tidak secara langsung
direkam kamera seperti bidang perlapisan bagian bawah. Secara keseluruhan, bidang
diskontinuitas model SfM dengan model lapangan berkorelasi cukup baik.

VI. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah dipaparkan
sebelumnya, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Pendekatan Compass cocok digunakan pada singkapan dengan skala kecil seperti pada
singkapan di daerah penelitian dikarenakan keleluasaannya dalam delineasi bidang
diskontinuitas.
2. Daerah penelitian memiliki tiga kelompok bidang diskontinuitas dengan orientasi
rerata N11oE/74o pada set 1, N119oE/21o pada set 2, dan N200oE/77o pada set 3.
Terdapat perbedaan kedudukan bidang diskontinuitas antara model SfM dengan
lapangan, dengan perbedaan maksimum sebesar 14o.
3. Tebing di daerah penelitian memiliki tiga tipe keruntuhan yang mungkin terjadi, yakni
keruntuhan membaji, keruntuhan rebah langsung, dan keruntuhan rebah miring.
Masing-masing tipe keruntuhan memiliki kedudukan bidang gelincir yang berbeda-
beda. Kedudukan bidang gelincir pada tipe keruntuhan membaji berkisar pada trend
N355oE-68oE dengan plunge 29o-70o. Selain itu, pada keruntuhan tipe rebah langsung
dan rebah miring, diperoleh kedudukan bidang gelincir pada kisaran trend 165o-305o
dan plunge 11o-80o. Terdapat perbedaan kedudukan bidang gelincir antara hasil analisis
dari model SfM dengan hasil analisis dari data lapangan.

DAFTAR PUSTAKA
Assali, P., Grussenmeyer, P., Villenim, T., Pollet, N., & Viguier, F. (2014). Surveying and modeling
of rock discontinuities by terrestrial laser scanning and photogrammetry: Semi-automatic
approaches for linear outcrop inspection. Journal of Structural Geology, v.66, 102-114.
doi:10.1016/j.jsg.2014.05.014

Cawood, A., Bond, C., Howell, J., Butler, R., & Totake, Y. (2017). LiDAR, UAV or compass-
clinometer? Accuracy, coverage and the effects on structural models. Journal of Structural
Geology, v.98, 67-82. doi:10.1016/j.jsg.2017.04.004

Dewez, T., Girardeau-Montaut, D., Allanic, C., & Rohmer, J. (2016). FACETS : A CloudCompare
Plugin To Extract Geological Planes From Unstructured 3D Point Clouds. Int. Arch.
Photogramm. Remote Sens. Spatial Inf. Sci. (hal. 799-804). ISPRS. doi:10.5194/isprs-
archives-XLI-B5-799-2016

Haneberg, W. (2008). Using close range terrestrial digital photogrammetry for 3-D rock slope
modeling and discontinuity mapping in the United States. Bulletin of Engineering Geology
and the Environment, v.67(4), 457-469. doi:10.1007/s10064-008-0157-y

1367
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I003UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Hoek, E. (2000). Practical Rock Engineering. Kraków: AGH University of Science and Technology.
Diambil kembali dari http://home.agh.edu.pl/~cala/hoek/Chapter11.pdf

Hoek, E., & Bray, J. (1981). Rock Slope Engineering. London: The Institute of Mining and Metallurgy.

Husein, S., & Srijono. (2007). Tinjauan Geomorfologi Pegunungan Selatan DIY/Jawa Tengah:

peran faktor endogenik dan eksogenik dalam proses pembentukan pegunungan.Seminar


Potensi Geologi Pegunungan Selatan dalam Pengembangan Wilayah. Yogyakarta.

Husein, S., & Srijono. (2010). Peta Geomorfologi Daerah Istimewa Yogyakarta. Simposium Geologi
Yogyakarta. Yogyakarta.

Kissi, J. (2016). Automatic Fracture Orientation Extraction from SfM Point Clouds. London: The
University of Western Ontario. Diambil kembali dari https://ir.lib.uwo.ca/etd/4243

Luhmann, T., Robson, S., Kyle, S., & Harley, I. (2006). Close Range Photogrammetry: Principles,
techniques and applications. Caithness: Whittles Publishing.

Micheletti, N., Chandler, J., & Lane, S. (2015). Structure from motion (SfM) photogrametry. Dalam
L. Clarke, & J. Nield, Geomorphological Techniques (Online Edition). London: British
Society for Geomorphology.

Norrish, N., & Wyllie, D. (1996). Rock Slope Stability Analysis. Dalam A. Turner, & R. Schuster,
Landslides: Investigation and Mitigation. United States of America: National Academy
Press.

Prasetyo, D., & Dibyosaputro, S. (2014). Kajian Kerawanan Longsorlahan Menggunakan Metode
Analytical Hierarchy Process Dan Sistem Informasi Geografis di Das Ijo Daerah Istimewa
Yogyakarta. Jurnal Bumi Indonesia, v.3(3). Diambil kembali dari http://lib.geo.ugm.ac.id

Priangga, E., Pramumidjojo, S., & Satyarno, I. (2018). Risiko Kestabilan Lereng Akibat Gempabumi
(Studi Area di Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul). Semesta Teknika, v.21(1), 93-
105. doi:10.18196/st.211215

Rocscience. (2016). Dips 7.0 Tutorial. Tutorial 4 : Toppling, Planar Sliding, Wedge Sliding. Diambil
kembali dari https://www.rocscience.com/

Saputra, A., Rahardianto, T., & Gomez, C. (2016). Application of Structure from Motion (SfM) for
Physical Geography and Natural Hazard. Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 2016,
(hal. 577-587). Surakarta.

Shervais, K. (2015). Structure from Motion Introductory Guide. Diambil kembali dari UNAVCO:
http://www.unavco.org

Shervais, K. (2016). Structure from Motion (SfM) Photogrammetry Field Methods Manual for
Students. Diambil kembali dari UNAVCO: http://www.unavco.org

Shervais, K., & Dietrich, J. (2016). Structure from Motion (SfM) Photogrammetry Data Exploration
and Processing Manual. Diambil kembali dari UNAVCO: http://www.unavco.org

Strang, D. (2010). Engineering Geological Characterisation and Slope Stability Assesment of


Whitehall Quarry, Waikato. Christchurch: University of Canterbury.

1368
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I003UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Surono. (2009). Litostratigrafi Pegunungan Selatan Bagian Timur Daerah Istimewa Yogyakarta.
JSDG, v.19(3), 209-221.

Surono, Toha, B., & Sudarno, I. (1992). Peta geologi lembar Surakarta-Giritontro, Jawa, skala
1:100.000. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.

van Bemmelen, R. W. (1949). The Geology of Indonesia vol. 1A: General Geology of Indonesia and
Adjacent Archipelagoes. The Hague.

van Zuidam, R. A. (1985). Aerial Photo-Interpretation in Terrain Analysis and Geomorphologic


Mapping. The Netherlands: Enschede.

Vasuki, Y., Holden, E., Kovesi, P., & Micklethwaite, S. (2014). Semi-automatic mapping of geological
Structures using UAV-based photogrammetric data: An image analysis approach.
Computers & Geosciences, 69, 22-32. doi:10.1016/j.cageo.2014.04.012

Westoby, M., Brasington, J., Glasser, N., Hambrey, M., & Reynolds, J. (2012). ‘Structure-from-
Motion’ photogrammetry: A low-cost, effective tool for geoscience applications.
Geomorphology, 179, 300-314. doi:10.1016/j.geomorph.2012.08.021

1369
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I003UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 1. Kedudukan bidang diskontinuitas model SfM

Posisi (m) SET Strike Dip


0.15 2 143 27
0.35 3 208 77
2 2 82 16
2.5 1 13 76
5.85 1 5 60
7.5 2 129 33
8 2 125 26
10.9 2 122 30
13 1 11 78
16.4 2 128 28
16.7 2 92 21
16.9 2 105 22
17.5 2 121 29
18 3 192 76
19.5 1 0 71
19.65 1 3 70
20.9 2 134 34
21.4 3 195 73
21.5 2 134 38
22.4 3 198 71
22.8 3 197 83
23.4 1 7 80
24.3 3 211 83
26.8 3 193 79
27.3 3 211 78
28 2 118 29
28.5 2 87 17
32.4 2 112 25
34.25 2 117 31
35.2 3 203 85
35.45 3 192 76
35.9 2 97 19
36 2 103 19
36.5 2 117 35
38.3 1 3 72
38.8 1 7 80

1370
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I003UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 2. Signifikansi masing-masing tipe keruntuhan untuk tiap mode


Tipe Keruntuhan Model SfM Model Lapangan

Membaji 9,05% 5,25%

Rebah Langsung 3,33% 8,11%

Rebah Miring 2,22% 2,54%

1371
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I003UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 3. Perbedaan kedudukan bidang diskontinuitas model SfM dengan model lapangan

Model SfM Model Lapangan Perbedaan


Posisi (m) SET
Strike Dip Strike Dip Strike Dip
0.15 2 143 27 140 28 3 -1
0.35 3 208 77 210 81 -2 -4
2 2 82 16 96 14 -14 2
2.5 1 13 76 10 80 3 -4
5.85 1 5 60 18 63 -13 -3
7.5 2 129 33 135 23 -6 10
8 2 125 26 130 20 -5 6
10.9 2 122 30 130 22 -8 8
13 1 11 78 18 77 -7 1
16.4 2 128 28 127 18 1 10
16.7 2 92 21 103 13 -11 8
16.9 2 105 22 111 16 -6 6
17.5 2 121 29 110 19 -11 10
18 3 192 76 198 80 -6 -4
19.5 1 0 71 3 75 -3 -4
19.65 1 3 70 10 68 -7 2
20.9 2 134 34 125 30 9 4
21.4 3 195 73 190 70 5 3
21.5 2 134 38 128 35 6 3
22.4 3 198 71 195 70 3 1
22.8 3 197 83 200 80 -3 3
23.4 1 7 80 10 78 -3 2
24.3 3 211 83 210 81 1 2
26.8 3 193 79 185 76 8 3
27.3 3 211 78 205 80 6 -2
28 2 118 29 117 29 1 0
28.5 2 87 17 93 15 -6 2
32.4 2 112 25 113 19 -1 6
34.25 2 117 31 115 28 2 3
35.2 3 203 85 200 80 3 5
35.45 3 192 76 185 75 7 1
35.9 2 97 19 105 15 -8 4
36 2 103 19 107 15 -4 4
36.5 2 117 35 110 30 7 5
38.3 1 3 72 10 70 -7 2
38.8 1 7 80 8 79 -1 1

1372
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I003UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Kondisi geologi daerah penelitian. Daerah penelitian ditunjukkan oleh tanda
bintang (modifikasi dari Surono, dkk., 1992

Gambar 2. Diagram alir penelitian.

1373
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I003UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Konfigurasi pemotretan pada daerah penelitian. Lintasan ditunjukkan oleh


garis biru, sedangkan titik ikat ditunjukkan oleh simbol bendera

Gambar 4. Model yang dihasilkan pada masing-masing tahap. Model (b) dense point cloud
telah mengalami proses cleaning, sehingga vegetasi serta objek-objek artifisial seperti tiang
listrik hilang.

1374
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I003UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. Konfigurasi keruntuhan membaji pada model SfM

Gambar 6. Konfigurasi keruntuhan rebah langsung dan rebah miring pada model SfM

1375
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I005POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

TATANAN TEKTONIK BATUAN VULKANIK FORMASI LONSIO DAERAH


AMPANA SULAWESI TENGAH BERDASARKAN POLA GEOKIMIA
Huzaely Latief Sunan1*, Rahmat Yantono Saragih2, Dadang Iskandar1, Ade Rofik Fajar Sidik2, Fikri
Adry Brilliantona1
1Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED), Jl. Mayjend Sungkono KM
05, Blater, Kalimanah, Purbalingga Jawa Tengah, Indonesia, 53371,
2Pusat Survey Geologi (PSG), Jl. Diponegoro No.57, Citarum, Bandung Wetan, Kota Bandung, Jawa Barat 40115,

*Corresponding Author: huzaely@gmail.com

ABSTRAK. Daerah Ampana meliputi Kepulauan Togean terletak di Sulawesi Tengah merupakan wilayah
dengan litologi yang tersusun oleh batuan vulkanik, secara tatanan tektonik berada di Lengan Timur
Sulawesi. Secara geologi formasi Lonsio didominasi oleh batuan vulkaniklastik dan lava yang bersifat
andesitik - basaltik yang berumur miosen. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui tatanan tektonik
batuan vulkanik daerah Ampana dan sekitarnya serta pola geokimia unsur batuan vulkanik daerah
penelitian. Metode yang digunakan berupa analisis petrografi dan geokimia unsur menggunakan XRF (X
- Ray Fluoroscence) dan ICP - MS (Inductively Coupled Plasma Mass Spectrometry) dari 8 sampel batuan
vulkanik Formasi Lonsio. Litologi yang teramati pada batuan vulkanik melalui analisis petrografi yaitu
berupa andesit dan tuf. Hasil pemrosesan data geokimia batuan dari data XRF terdiri dari unsur utama,
unsur jejak, dan unsur tanah jarang. Berdasarkan hasil ploting unsur utama pada diagram AFM (FeO, K2O
+ Na2O, MgO) batuan vulkanik berafinitas toleit diinterpretasikan ketika magma mendingin, terjadi
presipitasi yang kuat pada alumunium dan magnesium dibanding besi, sehingga menyebabkan magma
bergerak kearah toleit. Diagram K2O + Na2O terhadap SiO2 pada batuan vulkanik memperlihatkan evolusi
magma berkomposisi dari andesit hingga dasit. Data unsur tanah jarang batuan vulkanik disajikan dalam
diagram normalisasi terhadap kondrit menunjukkan pola fraksinasi REE yang semakin menurun dari
unsur tanah jarang ringan (LREE) sampai unsur tanah jarang berat (HREE). Batuan vulkanik Formasi
Lonsio terbentuk pada lingkungan tektonik busur kepulauan diusulkan terdapat kontaminasi dari kerak
benua bagian atas yang terkait dengan proses subduksi.

Kata kunci: tektonik, geokimia, busur kepulauan, lonsio

I. PENDAHULUAN
Daerah Ampana dan Kepulauan Togean terletak di Sulawesi Tengah, secara tatanan
tektonik berada di Lengan Timur Sulawesi. Di kepulauan Togean terdapat Gunung Api Colo
yang berada di Pulau Una-Una. Daerah Ampana meliputi Kepulauan Togean merupakan
wilayah dengan litologi yang tersusun oleh batuan vulkanik. Secara geologi formasi Lonsio
didominasi oleh batuan vulkaniklastik dan lava yang bersifat andesitik - basaltik yang berumur
miosen.

II. GEOLOGI REGIONAL


Sulawesi memiliki tektonik yang rumit, yang dihasilkan dari gabungan beberapa terrane
geologi yang saling bertumbukan. Bentuk Pulau Sulawesi yang menyerupai huruf K juga

1376
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I005POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

mencerminkan empat sabuk litotektonik yang berbeda, yang dibatasi dislokasi tektonik dan sesar
– sesar naik berskala besar (Katili, 1978; Hall & Wilson, 2000).
Menurut Polbud dkk., 2012 (Gambar 1) tektonik regional Sulawesi dibagi menjadi lima
sabuk tektonik yang terdiri dari : (1) Sulawesi Barat, terdiri dari plutonikvulkanik; (2) Sabuk
metamorfik Sulawesi Tengah; (3) Lajur Ofiolit Sulawesi Timur; (4) Sulawesi Utara dengan batuan
vulkaniknya dan Pecahan – pecahan mikrokontinen yang terakresi, terdiri dari mikrokontinen
Banggai – Sula dan mikrokontinen Buton – Tukang Besi. Daerah penelitian masuk ke dalam
tektonik Lengan Timur Sulawesi, bagian timur Sulawesi Tengah.
Berdasarkan sejarah tektonik regional, tektonik Pulau Sulawesi dapat dibagi menjadi lima
masa, yaitu :
(1) Masa ekstensional Mesozoikum;
(2) Masa tunjaman Kapur;
(3) Masa tunjaman Paleogen;
(4) Masa tumbukan Neogen; dan
(5) Masa tunjaman ganda Kuarter

III. HASIL DAN ANALISIS


Petrografi dan Geokimia Batuan Vulkanik Analisis petrografi batuan vulkanik daerah
Ampana dan sekitarnya dilakukan terhadap 8 sampel batuan vulkanik dengan mengamati
komposisi mineraloginya. Bentuk tubuh batuan vulkanik yang diamati berupa lava andesit dan
piroklastik. Litologi lava andesit terdiri dari andesit hornblende dan andesit biotit. Litologi
batuan piroklatik terdiri dari tuf kristal, litik tuf dan tuf gelas.
3.1. PETROGRAFI BATUAN VULKANIK
a. Tuf Kristal
Sayatan batuan tuf kristal, fragmen disusun oleh butiran berupa kuarsa, fragmen basalt
bertekstur porfiritik yang tersusun oleh plagioklas, kuarsa, klinopiroksen, mineral opak, gelas,
fragmen litik, pumis, dan terdapat struktur vesikuler yang teroksidasi (Gambar 2A). Kuarsa
(20%) dijumpai retakan pada beberapa mineral, berwarna jernih, mempunyai bias rangkap dan
relief rendah, menunjukan pemadaman bergelombang, berbentuk menyudut-membundar
tanggung, dengan ukuran 0.05mm-1.5mm. Plagioklas (25%) keruh dengan ukuran 0.075mm-
1.2mm, terdapat tekstur sieve zoning dan inklusi mineral opak, tidak berwarna dengan relief
rendah, mempunyai bias rangkap rendah, memiliki kembaran karlsbad, albit dan karlsbad-albit,
bentuk tidak utuh dan menyudut, dijumpai retakan. Klinopiroksen (25%) berwarna coklat-
kehijauan, relief tinggi, bentuk membundar tanggung sampai menyudut, beberapa dengan
bentuk pecah-pecah dan djumpai retakan, terdapat inklusi mineral opak, terkorosi pada tepi
mineral, berukuran 0.075mm-0.2mm. Fragmen litik (17%) berjenis basalt, bentuk membundar
tanggung menyudut, berukuran 0.05 mm 0.15 mm, terdapat mineral opak, pada sayatan dicirikan
oleh adanya orientasi dari mikrilit plagioklas, butiran dan fragmen tersebut tertanam di pecahan
gelas. Gelas (5%) berwarna coklat keruh, isotrop menunjukan tekstur pelitik, bias rangkap nil,
tersebar dalam sayatan sebagai agregat halus.

1377
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I005POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Pada pumice tersusun oleh pecahan gelas, banyak dijumpai rongga, bentuk membundar
tanggung - menyudut, berukuran <0.15 mm. Sedangkan pada mineral opak berwarna gelap baik
dalam posisi nikol silang maupun nikol sejajar,isotrop, tersebar didalam sayatan, bentuk
anhedral, dan berukuran <0.05 – 1 mm.
b. Tuf Gelas
Sayatan batuan tuf gelas disusun oleh butiran berupa kristal kuarsa, fragmen basalt
bertekstur porfiritik yang tersusun oleh plagioklas, kuarsa, piroksen, mineral opak, pecahan
gelas, fragmen litik, pumice dan struktur vesikuler teroksidasi. Mineral sekunder berupa mineral
lempung (Gambar 2B). Plagioklas (25%) berwarna keruh, berukuran 0.02 mm- 0.5 mm, relief
rendah, bias rangkap rendah, memiliki kembaran kalsbard-albit dan albit, bentuk tidak utuh dan
menyudut, dijumpai retakan. Ortopiroksen (5%) berwarna coklat-kehijauan dengan relief tinggi,
berbentuk mebundar tanggung sampai menyudut, beberapa pecah-pecah djumpai retakan,
terdapat inklusi min opak, menunjukkan kembaran polisintetik terkorosi pada tepi mineral,
ukuran 0.01mm-0.3mm. Kuarsa (3%) berwarna jernih, bias rangkap rendah, relief rendah,
dijumpai retakan, berbentuk menyudut sampai membundar,tanggung, berukuran 0.01mm-0.2
mm. Mineral Opak (10%) isotrop, berwarna gelap baik dalam posisi nikol silang maupun nikol
sejajar, tersebar didalam sayatan, berbentuk anhedral, berukuran 0.03 – 1 mm. Pecahan Gelas
(40%) berwarna coklat keruh, isotrop, menunjukan tekstur pelitik, bias rangkap nil, tersebar
dalam sayatan sebagai agregat halus. Fragmen litik (5%) berupa batuan beku bertekstur porfiritik
basalt, bentuk membundar tanggung-menyudut, berukuran 0.1mm-0.3mm, terdapat mineral
opak, pada sayatan dicirikan oleh adanya orientasi dari fenokris plagioklas, fenokris yang
tertanam di mikrilit plagioklas dan pecahan gelas. Pumice (5%) tersusun oleh pecahan gelas,
banyak dijumpai rongga, bentuk membundar tanggung-menyudut, dan berukuran 0.15-1 mm.
Mineral lempung (5%) hadir sebagai agregat halus berwarna kekuningan di sekitar rongga
vesiculer maupun pada matriks.
c. Tuf Litik
Sayatan batuan tuf litik yang disusun oleh kristal plagioklas, kuarsa, ortopiroksen, dan
fragmen yang terdiri dari fragmen pumice, fragmen basalt, mineral opak dan pecahan gelas
(Gambar 2C). Plagioklas (10%) memiliki bentuk subhedral-euhedral, terdapat kembaran
karlsbad- albit, terdapat retakan, ada inklusi min opak, tidak berwarna, relief rendah, bias
rangkap rendah, berukuran 0.025mm-0.125mm. Kuarsa (10%) bentuk subhedral, memiliki
retakan, terdapat inklusi mineral opak, relief rendah, pleokroik rendah, pemadaman
bergelombang, berukuran 0.075mm-0.125mm. Gelas (20%) berwarna warna coklat keruh, tidak
berbentuk, tersebar dalam sayatan sebagai agregat halus. Fragmen pumice (20%) berbentuk
rounded, terdapat rongga, dan berukuran <0.1mm. Piroksen (10%) terdiri dari ortopiroksen dan
klinopiroksen berbentuk subhedral-euhedral, relief tiggi, pemadaman parallel, berwarna coklat-
kehijauan, terdapat retakan, berukuran 0.025mm-0.15mm. Mineral opak (10%) isotrop, berwarna
gelap pada posisi nikol sejajar dan nikol bersilang, hadir merata pada sayatan, berukuran
<0.15mm.
d. Andesit Hornblende

1378
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I005POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Sayatan batuan beku holokristalin, bertekstur porfiritik, terdiri dari mineral


klinopiroksen, hornblende, kuarsa, plagioklas, mineral opak, biotit, gelas, dan dijumpai rongga
(Gambar 2D).
Plagioklas (10%) bentuk anhedral, terdapat zoning, terdapat inklusi mineral opak,
terdapat retakan menunjukan bias rangkap rendah serta relief rendah, hadir sebagai mikrolit,
memiliki kembaran karlsbad-albit, dan berukuran <0.05mm. Hornblende (20%) mempunyai
bentuk subhedral, terdapat retakan di beberapa tempat, berwarna hijau gelap dengan pleokroik
kuat, berbentuk prismatik panjang serta relief tinggi, dan berukuran 0.025mm-0.125mm. Piroksen
(30%) mempunyai bentuk subhedral, jenisnya berupa ortopiroksen dan klinopiroksen terdapat
retakan, mempunyai warna kehijauan dengan relief tinggi, dan berukuran 0.025mm-0.55mm.
Biotit (25%) bentuk subhedral-anhedral, terdapat inklusi mineral opak, pleokroik sangat tinggi,
kecoklatan, berlembar dengan mempunyai bird eye struktur, berukuran 0.05mm-0.175mm.
Kuarsa (7%) mempunyai warna jernih dengan bentuk subhedral, pemadaman
bergelombang dengan relief rendah dan bias rangkap rendah, berukuran <0.025mm. Mineral
opak (3%) berwarna gelap pada posisi nikol sejajar dan nikol bersilang, isotrop, mempunyai
bentuk anhedral dan berukuran 0.02-0.2mm. Masa gelas (5%) berwarna coklat keruh, bentuk
amorf, hadir tersebar dalam sayatan, mengalami defitrifikasi menjadi min lempung, bias rangkap
nil, berukuran halus.

e. Andesit Biotit
Sayatan batuan beku hipokristalin porfiritik tersusun oleh mineral plagioklas, kuarsa,
biotit, klinopiroksen, hornblende, min opak terdapat vein lets kuarsa, terdapat tekstur pilotaksitik
(Gambar 2E). Plagioklas (30%) tidak berwarna, berbentuk euhedral-subhedral, memiliki orientasi
(aliran), memiliki kembaran karlsbad, mempunyai bias rangkap rendah dengan relief rendah,
berukuran 0.025mm-0.5cm. Biotit (25%) berwarna hijau kecoklatan, memiliki bird eye struktur,
pleokroik sangat tinggi, terdapat reaksi rim pada tepi mineral, terkorosi di bagian tepi mineral,
beberapa djumpai pelengkungan lemah, berbentuk anhedral, dan berukuran 0.05mm-0.25mm.
Kuarsa (20%) berwarna jernih, berbentuk subhedral (membundar tanggung), terdapat
retakan, terdapat strktur embayment, terdapat inklusi mineral opak, relief rendah, dan berukuran
<0.175mm. Klinopiroksen (10%) berwarna hijau dengan bentuk subhedral-anhedral, dijumpai
retakan, mempunyai relief sedang dengan bias rangkap tinggi, berukuran 0.075mm-0.2mm.
Hornblende (5%) berwarna hijau gelap, dijumpai retakan, pada bagian samping ada reaksi rim,
relief tinggi serta pleokroik kuat, terdapat inklusi min opak, berukuran 0.025mm-0.125mm.
Mineral opak (5%) bentuk subhedral, isotrop, berwarna gelap pada posisi nikol sejajar dan nikol
bersilang, berukuran 0.025mm-0.075mm.

3.2. GEOKIMIA BATUAN VULKANIK


Data XRF dan ICP-MS yang digunakan meliputi kandungan unsur utama, unsur jejak,
dan unsur tanah jarang dari geokimia batuan. Contoh batuan volkanik yang dianalisis berasal
dari singkapan batuan yang tersebar di daerah ampana dan kepulauan togean. Contoh yang di
analisis terdiri dari 8 material vulkanik (lava dan tuf).
a. Analisis Unsur Utama

1379
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I005POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Data geokimia batuan vulkanik di daerah Ampana menunjukkan kandungan unsur


utama SiO2 berkisar antara 53,45 – 63,67 wt.%, TiO2 berkisar antara 0,47 – 0.79 wt.%, Al2O3 berkisar
antara 10,93 – 21,60 wt.%, Fe2O3 berkisar antara 5,90 – 16,90 wt.%, CaO berkisar antara 0,06 – 5,99
wt.%, MgO berkisar antara 1,39 – 3,61 wt.%, Na2O berkisar antara 1,07 – 2,01 wt.%, K2O berkisar
antara 0,71 – 1,57 wt.%, MnO berkisar antara 0,06 – 0,12 wt.%, dan P2O5 berkisar antara 0,01 – 0,25
wt.%. Hasil analisis geokimia disajikan pada Gambar Tabel 1. Untuk mempelajari gambaran
evolusi magma dan diskriminasi geokimia dari batuan akan di plot pada serangkaian diagram
variasi unsur utama terhadap SiO2 sebagai parameter diferensiasinya, seperti pada Gambar 3 di
bawah ini. Hasil analisis pada Diagram Harker, secara umum unsur alkali Na 2O dan K2O
memperlihatkan korelasi positif seiring dengan bertambahnya SiO2. Sedangkan variasi unsur
utama TiO2, P2O5, Fe2O3, MgO, Al2O3, dan CaO memperlihatkan korelasi negatif seiring dengan
bertambahnya SiO2. Pada unsur oksida besi Fe2O3 memperlihatkan penurunan terhadap
peningkatan kadar SiO2, yang mencirikan bahwa afinitas magma pada daerah penelitian berseri
kalk-alkali. Diagram Harker jika diinterpretasi berdasarkan masing-masing satuan, maka tidak
memperlihatkan adanya pola yang dapat terbaca dengan jelas dan baik. Hal ini dimungkinkan
batuan vulkanik di daerah penelitian mineral penyusunnya telah mengalami ubahan. Sehingga
Diagram Harker tidak dapat digunakan dalam menginterpretasikan evolusi magma di daerah
penelitian.
Pada diagram AFM (Na2O + K2O, FeO dan MgO) dikelompokan menjadi seri toleitik dan
seri kalk-alkalin, semua batuan vulkanik menunjukan ke dalam seri toleit (Gambar 4). Berbeda
yang ditunjukan pada diagram afinitas batuan menurut (Peccerillo dan Taylor, 1976) beberapa
contoh batuan menunjukan afinitas yang bersifat toleit dan kalk alkali. Perbedaan ini
dimungkinkan karena unsur besi dan silika yang mudah terubah (Gambar 5).
Dari hasil perajahan SiO2 terhadap Na2O+K2O untuk klasifikasi batuan beku vulkanik
berdasarkan klasifikasi Middlemost 1974, terlihat bahwa contoh batuan beku berupa lava dan
piroklastik termasuk ke dalam andesit dan dasit (Gambar 6).

b. Analisis Unsur Jejak dan Tanah Jarang

Hasil analisis unsur jejak dan tanah jarang batuan vulkanik di daerah penelitian disajikan
pada Gambar Tabel 2. Unsur jejak dan tanah jarang dapat digunakan untuk menentukan
lingkungan tektonik, komponen yang mempengaruhi pembentukan magma, serta dapat
mengetahui adanya fraksionasi mineral pada saat proses diferensiasi magma. Hal ini dapat
diketahui dengan melihat pengayaan pada unsur jejak dan tanah jarang yang dinormalisasikan
terhadap nilai kondrit dari Sun dan McDonough, 1989 (dalam Rollinson, 1993) dengan
konsen¬trasi unsur yang sama.
Pada diagram normalisasi unsur tanah jarang batuan vulkanik (Gambar 7 A & B) terhadap
kondrit memperlihatkan adanya kesamaan pola antara batuan piroklastik dan andesit. Pola yang
terlihat pada kedua diagram pada Gambar 7 pola yang semakin menurun dari unsur tanah jarang
ringan (LREE) sampai unsur tanah jarang berat (HREE). Pola yang menurun dari unsur tanah
jarang ringan ke unsur tanah jarang berat pada diagram normalisasi terhadap kondrit
diinterpretasikan bahwa pembentukan magma di daerah penelitian berada di lingkungan
tektonik busur kepulauan. Mengikuti pada batuan andesit pada unsur tanah jarang
memperlihatkan pola yang sama dengan batuan piroklastik.

1380
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I005POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Pada diagram normalisasi unsur jejak terhadap kondrit memperlihatkan bahwa sampel
batuan vulkanik di daerah penelitian memperlihatkan pola yang relative sama antara piroklastik
dan andesit (Gambar 8 A & B). Selain itu memperlihatkan adanya anomali negatif pada unsur Nb
merupakan penciri magma yang berhubungan dengan proses subduksi. Selain unsur Nb yang
memperlihatkan anomaly negative, terlihat pada unsur Th dan Ta yang mengalami peningkatan.
Unsur Th dan Ta yang mengalami peningkatan diinterpretasikan bahwa adanya kontaminasi
dari kerak benua bagian atas (Wilson, 1989; Rollinson, 1993).

IV. DISKUSI

Berdasarkan analisis petrografi dan geokimia (unsur-unsur utama, jejak, dan tanah jarang)
menunjukan bahwa batuan vulkanik berasal dari magma yang berkomposisi kalk-alkali. Batuan
vulkanik memperlihatkan kandungan K2O dan P2O5 rendah, berturut-turut antara 0.26-1.57%
dan 0.01-0.25%, TiO2 sekitar 0.47-0.79%. Dengan pola fraksinasi REE batuan piroklastik dan
andesit mempunyai kesamaan dengan pola fraksinasi REE serupa yang dimiliki oleh busur
kepulauan dari Wilson, 1995.
Umur batuan vulkanik berdasarkan Rusmana dkk., 1993 adalah Miosen karena masuk ke
dalam formasi Lonsio. Melihat kepada data-data tersebut dan dikaitkan dengan kedudukan
sekarang dimana batuan vulkanik terpisah oleh Sub Cekungan Ampana dengan terletak di Pulau
Togian dan Timur Kepala Poh. Dengan melihat model tektonik pada Kadarusman, 2004 pada
umur miosen sangat tepat apabila terdapat subduksi antara lempeng samudera dengan
samudera, karena hal ini yang paling mendekati untuk menghasilkan busur kepulauan lebih
khususnya Formasi Lonsio yang berumur miosen (Rusmana dkk., 1993).

V. KESIMPULAN
4. Batuan vulkanik daerah Ampana berasal dari magma yang berkomposisi toleit;
5. Dari analisis kimia pola fraksinasi REE batuan piroklastik dan andesit mempunyai
kesamaan dengan pola fraksinasi REE serupa yang dimiliki oleh busur kepulauan, oleh
karena itu batuan ini terbentuk pada lingkungan busur kepulauan

DAFTAR PUSTAKA
Ali, J.R., dan Hall, R. 1995. Evolution of the boundary between the Philippine Sea Plate and Australia :
paleomagnetic evidence from Eastern Indonesia. Tectonophysics 251: 251-275.
Artadana, I.E. dan Purwanto, H.S., 2011. Geologi, alterasi, dan mineralisasi Daerah Nyrengseng dan
sekitarnya, Kecamatan Cisewu, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Jurusan Teknik Geologi FTM UPN
Veteran Yogyakarta.
Bergman, S.C., Coffield, D.Q., Talbot, J.P., dan Garrard, R.a., 1996. Tertiary tectonic and magmatic evolution
of Western Sulawesi and the Makassar Strait, Indonesia : evidence for a Miocene continent-
continent collision. In : Hall, R., and Blundell, D. (Eds), Tectonic evolution of Southeast Asia. Geol.
Soc. Of London, 106: 391-429.

1381
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I005POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Coffield, D.Q., Bergman, S.C., Garrard, R.A., Guritno, N., Robinson, N.M., dan Talbot, J. 1993. Tectonic and
stratigraphic evolution of the Kalosi PSC area and asociated development of a Tertiary petroleum
systems, South Sulawesi, Indonesia. Proc. of the 22nd Ann. Con. of the Indonesia Petroleum
Assoc., Jakarta, 679-706.
Garrard, R.A., Supandjono, J.B., dan Surono. 1988. The geology of the Banggai-Sula microcontinent, Eastern
Indonesia. Proc. of the 17th Ann. Con. of the Indonesia Petroleum Assoc., Jakarta.
Hall, R. 1996. Reconstructing Cenozoic SE Asia. In : Hall, R., and Blundell, D. (Eds), Tectonic evolution of
Southeast Asia. Geol. Soc. of London, 153-184.
Hall, R. 2009. Southeast Asia’s changing paleogeography. Nationaal Herbarium Nederland. Blumea 54. 148-
161.
Hall, R., dan Wilson, M.E.J. 2000. Neogene sutures in Eastern Indonesia. Journal of Asian Earth Science,
18:781-808
Hamilton, W., 1979. Tectonic of the Indonesian region. Geological Survey Professional Paper 1078, US.
Govern. Printing Office, Washington. USGS Professional Paper. 1078: 345.
Irvine, T.N., dan Baragar, W.R.A., 1971. A guide to the chemical classification of the common volcanic rocks:
Canadian Journal of Earth Sciences, v. 8, p. 523-548.
Kadarusman, A., Miyashita, S., Maruyama, S., Parkinson, C.D., dan Ishikawa, A. 2004. Petrology,
geochemistry and paleogeographic reconstruction of the East Sulawesi Ophiolite, Indonesia.
Tectonophysic. 392: 55-83.
Katili, J.A., 1975. Volcanism and plate tectonics in the Indonesian island arcs, Tectonophysics, 25, hal. 165 –
188.
Kavalieris, I., van Leeuwen, T.M., dan Wilson, M. 1992. Geological setting and styles of mineralization,
north arm of Sulawesi. J. SE Asian Earth Science. 7, 2/3: 113-129.
Mullen, E. D., 1983. MnO/TiO2/P2O5 a minor element discrimination for basaltic rocks of oceanic
environments and its implication for petrogenesis. Earth planetary science letters, 62, 53 – 62.
Parkinson, C.D. 1991. The petrology, structure and geologic history of the metamorphic rocksof Central
Sulawesi, Indonesia. PhD Thesis. University of london. 336p. Unpublished.
Pearce T. H. Gorman, B. E. dan Burkett T. C., 1977. The Relationship between major element chemistry and
tectonic environment of basic and intermediate volcanic rocks. Earth planetary science letter, 36,
121 – 132.
Peccerillo, A. dan Taylor, S.R., 1976. Geochemistry of eocene calc-alkaline volcanic rocks from the
Kastamonu area, northern Turkey. Contributions to Mineralogy and Petrology, v. 58, p. 63-81.
Pettijohn, F.J., 1975. Sedimentary Rocks. 2nd Edition, Harper and Row Publishers, New York,628 p.
Pigram, C.J. and Panggabean, H., 1984. Rifting of the northern margin of the Australian continent and the
origin of some microcontinents in Eastern Indonesia. Tectonophysics. 107: 331-353.
Pholbud, P., Hall, R., Advokaat, E.L., Burgess, P., dan Rudyawan, A., 2012. A new interpretation of
Gorontalo Bay, Indonesia,Indonesian Petroleum Association, Proceedings 36th Annual
Convention, IPA12-G-029.

1382
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I005POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Ringwood, A.E.: Composition of the upper mantle (Chapter 3). The pyrolite model (Chapter 5). In:
Composition and petrology of the earth's mantle (Summersgill and Bradley, eds.) 618 p. 431,
McGraw Hill 1975.
Rollinson, H., 1993. Using geochemical data: evaluation, presentation, interpretation, Pearson Prentice Hall,
Longman Group, UK.
Rusmana, E., Koswara, A. dan Simandjuntak, T.O. 1993. Peta Geologi Lembar Luwuk, Sulawesi, skala 1 :
250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Satyana, A.H. dan Purwaningsih, M.E.M. 2011. Collision of micro-continents with Eastern Sulawesi :
records from uplifted reef terraces and proven-potential petroleum plays. Proc. 35th Ann. Conv.
Indonesian Petro. Assoc.
Simandjuntak, T.O., 1986. Sedimentology and tectonics of the collision complex in the East arm of Sulawesi,
Indonesia. Ph.D. Thesis RHBNC University of London, UK, 374p. unpublish.
Spakman, W. dan Hall, R. 2010. Surface deformation and slab-mantle interaction during Banda arc
subduction rollback. Nature Geoscience, 3. 562-566.
Strahler A.H. dan Strahler A. H., 1992. Modern Physical Geography, John Willey & Sons, Inc. USA, hal 638.
Sukamto, R., 1975. The structure of Sulawesi in the light of plate tectonics. Paper presented at the Regional
Conference on the Geology and Mineral Resources of SE Asia, Jakarta, August 4-7: 1-25.
Suparka, M.E., 1988. Studi petrologi dan pola kimia komplek ofiolit Karangsambung Utara, Luh Ulo, Jawa
Tengah. Disertasi Doktor ITB, 181 hal.
Surono, 1996. Asal mintakat-mintakat benua di bagian timur Sulawesi. Suatu tinjauan berdasarkan
stratigrafi, sedimentologi, dan paleomagnetik. Kumpulan makalah seminar nasional, Peran
sumber Daya Geologi dalam PJP II, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah
Mada, 123-138.
Surono., dan Hartono, U., eds., 2013. Geologi Sulawesi: LIPI Press, Jakarta, hal 1- 10.Whitford, D. J., 1975.
Strontium isotopic studies of the volcanic rocks of the Sunda Arc, Indonesia, and their
petrogenetic implications. Geochimica et Cosmochimica Acta 39, 1287–1302.
Williams H., Turner, F. J., dan Gilbert, C. M., 1982. Petrography—An introduction to the study of rocks in
thin sections . 2nd ed., W. H. Freeman and Company, San Francisco, 626 pp.
Wilson, M., 1991. Igneous petrogenesis, a global tectonic approach. London, Harper Collins.
Wilson, M., 1989. Igneous Petrogenesis: A Global Tectonic Approach, Harper Collins Academic, London.
466 p.
Winter, J., 2001. An Introduction to Igneous and Metamorphyc Petrology, Prentice Hall, New Netherland,
hal 73

1383
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I005POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 1. Hasil analisis unsur utama batuan vulkanik

Tabel.2 Hasil analisis unsur jejak dan tanah jarang batuan vulkanik

1384
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I005POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

1385
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I005POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Tektonik di Sulawesi Timur, yang terbagi menjadi 5 mandala. (Polbhud dkk., 2012)

Gambar 2. (A) Sayatan 15 NV 08 mewakili sayatan batuan tuf kristal, (B) Sayatan 15 NV 12Amewakili
sayatan batuan tuf gelas, (C) Sayatan 15 NV 14 mewakili sayatan batuan tuf litik, (D) Sayatan 15 NV 30
mewakili sayatan batuan andesit hornblende, (E) Sayatan 15 NV 31 mewakili sayatan batuan andesit biotit.
Pada gambar memperlihatkan mineral biotit dan hornblende dan juga terdapat masadasar plagioklas serta
kuarsa

1386
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I005POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Diagram variasi unsur utama terhadap SiO2, dengan dibedakan jenis contoh batuan ( merah )
andesit, dan ( biru ) piroklastik

Gambar 4. Diskriminasi afinitas batuan vulkanik daerah Ampana (Irvine dan Baragar, 1971)

1387
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I005POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. Diskriminasi afinitas batuan vulkanik daerah Ampana dengan dibedakan berdasarkan jenis
contoh batuan. (Peccerillo dan Taylor, 1976)

Gambar 6. Diagram diskriminasi perajahan batuan vulkanik daerah Ampana dengan dibedakan
berdasarkan jenis contoh batuan. (Middlemost, 1976 dalam Rollinson, 1993)

1388
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I005POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 7. A dan B menunjukan diagram normalisasi unsur tanah jarang batuan vulkanik di Ampana dan
Sekitarnya yang dinormaslisasi terhadap kondrit dari Sun dan McDonough, 1989

1389
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I005POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 8. A dan B diagram normalisasi unsur jejak batuan vulkanik di Ampana dan sekitarnya yang
dinormalisasi terhadap kondrit dari Sun dan McDonough, 1989 (dalam Rollinson, 1993)

1390
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I006UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

ANALISIS PERKEMBANGAN FAULT RELATED FOLD DI DAERAH BATUAJANG,


KABUPATEN SIJUNJUNG, PROVINSI SUMATERA BARAT

Tito Adha Briliantoro1*, Budhi Kuswansusilo1


1Universitas Sriwijaya, Jl. Raya Palembang-unsri KM 32 Inderalaya, Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Indonesia

*Corresponding Author: titoadha130496@gmail.com

ABSTRAK. Berbagai penelitian mengenai struktur geologi Cekungan Ombilin telah banyak dilakukan
guna mengetahui konfigurasi tektonik cekungan ini. Akan tetapi belum ada yang membahas tentang
struktur geologi secara detail terkhusus pada skala kecil. Penelitian ini menjelaskan hubungan sesar naik
terhadap lipatan yang merupakan implikasi dari sesar-sesar mendatar regional pembentuk Cekungan
Ombilin dalam konsep fault related fold. Lokasi penelitian berada di daerah Batuajung, Kabupaten
Sijunjung, Provinsi Sumatera Barat. Metode yang digunakan bermula dari pemetaan geologi permukaan
yang selanjutnya dilakukan analisis studio dengan membuat peta simplifikasi sesar naik dan lipatan.
Kemudian melakukan balanced cross section guna merestorasi batuan terdeformasi disertai kalkulasi
trigonometri untuk menentukan kedalaman bidang detachment. Output-nya berupa pemodelan atas
interpretasi mekanisme pembentukan serta perkembangan fault related fold yang ada. Hasilnya
menjelaskan bahwa struktur geologi daerah penelitian bermula dari adanya pembentukan Antiklin
Lubuktarok dengan mekanisme fault bend fold. Perkembangan slip sepanjang upper flat menyebabkan
lapisan batuan membentuk lipatan baru yang selanjutnya mengalami pensesaran (breakthrough) dengan
mekanisme fault propagation fold.

Kata kunci: Geologi Struktur, Fold Retaled Fold, Fault Propagation Fold, Fault Bend Fold

I. PENDAHULUAN
Cekungan ombilin di kontrol penuh pembentukan serta perkembangannya oleh Sistem
Sesar Sumatera atau biasa di kenal sebagai Sesar Semangko (Putra dan Husein, 2016). Sesar
Semangko merupakan wrench fault yang memiliki mekanisme tarik pisah sehingga
menghasilkan bukaan di tengahnya (pull apart basin). Selain itu cekungan ini dikenal memiliki
aktivitas tektonik yang sangat kompleks. Interaksi sesar-sesar mendatar yang menjadi pondasi
pembentukan cekungan ini memiliki implikasi terhadap pembentukan sesar naik dan lipatan
karena kompresi lokal. Oleh karenanya telah banyak kajian struktur geologi Cekungan Ombilin
yang dilakukan guna mengetahui konfigurasi tektonik yang bekerja selama pembentukan
cekungan berlangsung (Hastuti, 2001; Situmorang, 1991; Zaim, 2012; Putra dan Husein, 2016).
Akan tetapi belum adanya publikasi ilmiah mengenai penelitian struktur geologi secara detail
yang memiliki skala lokal di cekungan ini. Penelitian ini didesain untuk mengetahui kondisi
struktur geologi secara lokal terkhusus hubungan dari perkembangan sesar naik dan lipatan
dalam mekanisme fault related fold.

1391
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I006UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Ilmu struktur geologi mengenai fault related fold telah banyak dipelajari dan
dikembangkan untuk penelitian pada zona fold and thrust belt (Suppe, 1983 dalam Deng, 2013;
Jamison, 1987; Suppe dan Medwedeff, 1990 dalam TorresCarbonell, 2008; Mercier, 1997;
Allmendinger, 1998; Pique, 2002; Jabbour, 2012). Berdasarkan teoritis yang ada sejatinya
mekanisme fault related fold ini dapat menjelaskan pembentukan hingga perkembangan struktur
geologi yang ada di daerah penelitian. Secara garis besar fault related fold sendiri terbagi menjadi
tiga, yaitu fault propagation fold, fault bend fold, detachment fold (Jamison, 1987). Pembagian ini
didasari berdasarkan geometri lipatan yang terbentuk terhadap thrust fault yang ada sebagai
pengontrolnya. Lipatan ini didefinisikan sebagai bentuk dari adanya perpindahan volume
batuan yang termampatkan sepanjang bidang detachment. Terlebih pada lipatan tersebut akan
terjadi penebalan maupun penipisan (Bernard, 2007). Terlebih dari hasil geometri fault related
fold dimana terdapat interaksi lipatan terhadap sesar yang dapat memberikan wadah dari
jebakan minyak (trap). Lapisan impermeable yang ada di puncak lipatan dapat menjadi seal selain
dari kemungkinan perbedaan litologi yang terdapat di sepanjang bidang sesar. Semenjak
adanya metode balanced cross section (Mitra dan Namson, 1989 dalam Jabbour 2012), banyak
peneliti yang memodelkan geometri dari fault related fold. Bukan hanya sekedar sebagai metode
restorasi saja, melainkan sebagai metode yang selanjutnyadikembangkan untuk menentukan
nilai kedalaman detachment. Nilai kedalaman detachment didapatkan dari perhitungan luasan
area yang volumenya berpindah di bagi dengan panjang shortening. Sedangkan Jabbour (2012)
membuat kalkulasi trigonemetri untuk penentuan kedalaman detachment berdasarkan
parameter interlimb angle (Gambar 1). Lebih tepatnya perhitungan berdasarkan dari berbagai
parameter anatomi lipatan yang terbentuk. Backlimb lipatan umumnya parallel dengan sudut
ramp yang diasumsikan juga sama dengan besaran sudut dari dipping lapisan. Sedangkan sudut
antara forelimb dan backlimb sebagai parameter yang dapat menentukan nilai interlimb angle (γ).

Di Kecamatan Batuajung, Kabupaten Batuajung, Provinsi Sumatera Barat terdapat


sebuah area bekas tambang dengan kondisi singkapan yang baik dan jelas. Di tambang tersebut
ditemukan banyak struktur sesar yang memotong tiga satuan batuan yang mewakili tiap
formasi. Terlebih struktur sesar yang ada saling memotong satu sama lain yang
menyebabkannya memiliki kompleksitas struktur cukup tinggi. Satuan batuan yang terdapat
pada daerah penelitian antara lain satuan batuserpih Formasi Sangkarewang, satuan batupasir
Formasi Sawahtambang, satuan batuserpih Formasi Ombilin. Secara fisiografis lokasi penelitian
terdiri dari perbukitan bergelombang yang dikontrol oleh sistem perlipatan. Sistem perlipatan
tersebut terdiri dari Antiklin Lubuktarok, Sinklin Batuajung, Antiklin Poro. Kehadiran sistem
perlipatan ini membentuk morfologi perbukitan (punggungan) dan rendahan (lembah)
berorientasikan baratlaut – tenggara (Gambar 2). Sesuai dengan tujuan awal, penelitian ini
hanya difokuskan kepada pembentukan dan perkembangan dari hubungan sistem perlipatan
dan sesar naik (Sesar Poro dan Sesar Zamhur) yang tercakup kedalam luasan 4,4x2 km2.

1392
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I006UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

II. GEOLOGI REGIONAL


Pembentukan serta perkembangan Cekungan Ombilin sendiri di kontrol oleh zona sesar
mendatar sumatera yang biasa disebut dengan sesar semangko. Hastuti, dkk. (2001)
mengemukakan bahwa terdapat lima fase tektonik yang membentuk pola struktur regional
Cekungan Ombilin. Pertama terjadi pada awal Tersier dimana tektonik kala itu bersifat ekstensif
bersamaan dengan terbentuknya sistem tarik pisah berorientasi baratlaut – tenggara yang
menjadi framework dari Cekungan Ombilin itu sendiri. Selain itu terbentuk sesar Silungkang dan
SesarTakung yang merupakan batas dari cekungan. Fase kedua terjadi pada Eosen berupa fase
kompresif yang menghasilkan sesar berarah utara – selatan. Di lain sisi terjadi fase ekstensif yang
menyebabkan penurunan cekungan menghasilkan suatu tinggian dan rendahan. Pada
sedimentasinya sendiri kala Paleosen hingga Eosen ini terbentuk Formasi Brani di kaki-kaki
escarpment dari sesar tersebut. Sementara itu pada bagian tengah cekungan terendapkan
Formasi Sangkarewang secara menjemari dengan Formasi Brani pada sistem lingkungan alluvial
fan – danau (Zaim, 2012). Fase ketiga terjadi pada akhir Eosen yang mengakibatkan
pengangkatan karena gaya kompresi menghasilkan beberapa sesar naik minor dan juga
menjadikan lingkungan sedimentasi berubah menjadi sungai berkelok Formasi Sawahlunto.
Selanjutnya terjadi fase keempat berupa gaya kompresi selama Oligosen yang ditandai dengan
reaktifasi sesar-sesar berarah utara-selatan. Sesar-sesar tersebut bereaktifasi menjadi sesar naik
dan sesar mendatar (Sesar Silungkang dan Sesar Takung) serta merubah lingkungan sedimentasi
menjadi sungai braided Formasi Sawahtambang. Fase kelima terjadi gaya ektensif yang
berlangsung sejak Miosen akhir menyebabkan penurunan dasar cekungan diiringi dengan
kenaikan muka air laut (transgresi) menghasilkan endapan Formasi Ombilin. Selain itu terbentuk
sesar tanjungampalu berarah utara – selatan yang menjadi pembatas antara kedua sub cekungan
(Talawi dan Sinamar). Fase terakhir terjadi pada akhir Miosen dan memiliki tegasan utama barat
– timur yang menyebabkan reaktifasi sesar lama serta membentuk sesar baru berarah timur laut
– baratdaya. Pada fase ini sedimentasi bersifat pasif diiringi dengan kontrol erosional yang
sangat aktif. Oleh karena itu banyak yang mengatakan sedimen Kuarter terendapkan diatas
sedimen Tersier secara tidak selaras. Proses sedimentasi pada cekungan ini diakhiri pada kala
Kuarter dengan terendapkannya Formasi Ranau yang didominasi oleh material gunung api.

III METODE

Pada penelitian kali ini hal pertama yang dilakukan adalah pengamatan citra dari data
Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) menggunakan Global Mapper dan ArcGIS untuk
pengamatan morfologi. Pengamatan ini juga bertujuan untuk memperkirakan titik-titik lokasi
keterdapatan struktur geologi berupa sesar maupun puncak lipatan yang menjadi bahan dasar
penelitian. Selanjutnya dilakukan pemetaan geologi lapangan yang berfokuskan kepada struktur
geologi di permukaan. Dari data yang dihimpun tersebut kemudian dilakukan analisis studio
untuk mengetahui dinamika serta kinematikanya. Serangkaian analisis studio tersebut terdiri

1393
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I006UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

dari analisis sterogafis dan ortografis menggunakan software Dips serta Win Tensor. Hal ini
berfungsi untuk mengetahui arah tegasan utama yang bertanggung jawab dalam pembentukan
struktur geologi di daerah penelitian. Setelah mengetahui dinamika dan kinematikanya
dilakukan balanced cross section yang berguna untuk merestorasi batuan yang telah terdeformasi
serta kalkulasi trigonometri untuk penentuan nilai kedalaman detachment. Hasil dari penelitian
ini berupa pemodelan atas interpretasi pembentukan dan perkembangan fault related fold yang
hadir pada lokasi penelitian.

IV. HASIL PENELITIAN


Data yang digunakan pada penelitian kali ini hanya sebatas sesar naik dan lipatan yang
tersebar di lokasi penelitian. Sesar naik (thrust fault) hanya ditemui pada lokasi bekas tambang
yang berada di perbukitan Batuajung. Kedua sesar naik tersebut (Sesar Zamhur dan Sesar Poro)
saling parallel dan kedudukan bidang sesarnya yang telah terdeformasi akibat pergeseran sesar
mendatar kanan yang memotongnya. Sesar Poro memiliki kedudukan N 258° E/35° dengan nilai
striasinya 70°. Sedangkan Sesar Zamhur memiliki kedudukan N 264° E/40° dengan nilai
striasinya 60°. Sementara lipatan baik itu antiklin maupun sinklin didapatkan dari adanya
pembalikan dipping lapisan batuan (Tabel 1).

Lipatan pada lokasi peneliti juga telah mengalami deformasi akibat dari pemotongan oleh
sesar mendatar kanan yang ada. Sama halnya dengan kedudukan bidang sesar naik, Antiklin
Poro yang terletak diantaranya ikut terkena rotasi akibat deformasi sesar mendatar kanan. Oleh
karena itu sebelum melakukan interpretasi pembentukannya dilakukan terlebih dahulu
simplifikasi struktur geologi (Gambar 3). Simplifikasi ini merupakan upaya restorasi dalam
penyederhanaan struktur geologi menjadi bentukan semula sebelum terjadinya deformasi yang
mengubah orientasinya.

Selanjutnya dibuat penampang pada peta yang telah disimplifikasi agar tampak terlihat
geometri dari lipatan maupun sesar naiknya. Dari penampang tersebut juga dapat diketahui
berbagai nilai suatu parameter yang diperlukan untuk penentuan kedalaman bidang detachment
(Tabel 2).

Hal ini berguna untuk penggambaran slip sesar di bagian detachment yang merupakan
komponen penting dalam permbentukan serta perkembangan fault related fold. Setelah
mendapatkan seluruh gambaran dari geometri struktur tersebut dilakukan perekonstruksian atas
interpretasi pembentukan sistem lipatan dan sesar naik (Gambar 4).

Semula perekonstruksian diawali dari gaya kompresi baratdaya – timurlaut yang


membentuk slip detachment. Gaya kompresi yang berkelanjutan terus mendesak mengakibatkan
slip terus berkembang dan membentuk ramp di incipient point yang tidak sampai kepermukaan
(McClay, 1992). Di bagian atasnya Formasi Sawahtambang dan Formasi Ombilin terlipatkan
menjadi antiklin upright karena perpindahan volume batuan yang bergerak. Slip yang telah
1394
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I006UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

terbentuk terus merambat sepanjang bidang upper flat membentuk mekanisme fault bend fold
mode 1 dan mengalami penebalan di bagian forelimb-nya (Mercier, 1997). Gaya yang terus
mendesak mengakibatkan pembentukan slip yang berada di upper flat dan terus bergerak menuju
permukaan pada bidang ramp di bagian incipient point membentuk mekanisme fault propagation
fold. Sebelum terjadi pensesaran (breakthrough), slip sepenuhnya akan membentuk suatu Antiklin
Poro dengan axial plane miring (steep).

Proses pensesaran akan terjadi di bagian forelimb setelah pembentukan lipatan berakhir
(Thompson, 1981; Erslev dan Mayborn, 1997; Masini, 2010; Allmendinger, 1998; Jamison, 1987;
Suppe & Medwedeff, 1990 dalam TorresCarbonell 2008; Suppe, 1983 dalam Deng 2013). Menurut
Jabbour (2012) perkembangan lipatan mungkin berhenti sesaat setelah pembentukan sesar
terjadi. Oleh sebab itu lipatan akan mengalami pensesaran secara blok tanpa disertai perubahan
geometrinya lagi.

Gaya kompresi yang bekerja tertahan dan tidak sanggup lagi menggerakan blok batuan
di sepanjang ramp Sesar Poro. Hal tersebut dikarenakan derajat kemiringan dipping bidang sesar
yang terus bertambah seiring dengan penebalan yang terjadi di bagian forelimb-nya membuat
blok ini semakin berat dan membutuhkan lebih banyak gaya untuk dapat menggerakkannya.
Dengan begitu muncul slip baru sebagai ruang akomodasi dari respon batuan terhadap gaya.
Gaya yang terus mendesak menyebabkan slip terus berkembang menuju permukaan dan
terjadilah pensesaran menghasilkan Sesar naik Zamhur dengan sistem imbrikasi (Dahlstrom,
1969).

Serangkaian proses faults propagation folds (FPF) tersebut menyebabkan Formasi


Sawahtambang membentuk suatu perbukitan Batuajung (Antiklin Poro) dan perbukitan
Lubuktarok (Antiklin Lubuktarok) diikuti dengan pembentukan suatu lembah Sinklin Batuajung
yang melindungi Formasi Ombilin dari erosi. Oleh sebab itu morfologi di bagian barat daya dan
utara yang didominasi oleh batupasir Formasi Sawahtambang lebih tinggi dari pada
disekitarnya. Hal tersebut selain dikarenakan proses faults propagation folds dan fault bend fold juga
dikarenakan resistensi batuannya yang tinggi.

V. DISKUSI

Fault related fold telah banyak di bahas oleh penelitian terdahulu sebagai teori dasar
mekanisme pembentukan struktur. Mekanisme ini telah dipakai dalam penentuan geometri pada
zona Antiklin Pegunungan Bertha di Kanada (Jamison,1987), lipatan dan thrust Cantabrian di
baratlaut Iberian Peninsula (Masini, 2010), Antiklin Alima di Tunisia (Jabbour, 2012), dan lain
lain. Seiring berjalannya waktu berbagai penelitian tersebut banyak memberikan pemikiran baru
dalam pemodelan geometri dan kinematika dari mekanisme ini.

Pemodelan dari perkembangan struktur geologi dilakukan secara manual dengan


membandingkan nilai kedalaman detachment dan perpindahan masa batuan. Model yang di buat
1395
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I006UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

peneliti menjelaskan fault propagation fold biasa berasosisasi dengan fault bend fold di bagian
belakangnya. Penelitian yang dilakukan Pique (2002) yaitu memodelkan geometri fault related fold
pada zona Atlas Belt di Afrika Utara. Pada model yang disampaikannya tersebut menjelaskan
suatu mekanisme fault related fold dimana antiklin fault propagation fold akan terbentuk
berbatasan langsung dengan sesar naik. Dibagian belakangnya akan berasosiasi dengan fault
bend fold mode 1 (Gambar 5). Fault bend fold ini juga membuat bentukan punggungan antiklin
akibat penebalan di bagian forelimb dari berpindahnya volume batuan yang tertransportasi
sepanjang bidang detachment. Dari penelitian inilah membuktikan adanya kesamaan konsep
tentang fault related fold yang berada di lokasi penelitian.

Penafsiran terhadap keterkaitan antara fault propagation fold dan fault bend fold tidak
selamanya disetujui. Mercier (1997) menjelaskan karakteristik fault propagation fold memiliki
kesamaan dengan kedua jenis 2 fault bend fold jika dilihat dari grafik perbandingan nilai interlimb
angle (γ) dan ramp (α). Menurut Mercier (1997) pengertian fault bend fold merupakan geometri
dari fault propagation fold yang memiliki karakteristik berbeda dari yang biasanya. Oleh karena
itu proses yang terjadi pada mekanisme fault related fold sejatinya akan menghasilkan fault
propagation fold bertingkat tanpa adanya mekanisme fault bend fold.

Mercier (1997) menjelaskan mekanisme terbentuknya fault related diawali dari slip yang
terbentuk pada bidang detachment. Slip tersebut menuju keatas dan membentuk fault propagation
bagian 1 dan menghasilkan antiklin asimetri. Selanjutnya slip bergerak (transportasi) sepanjang
bidang upper flat menuju ramp hingga terjadinya breakthrough. Akhirnya pada masa
breakthrough tersebut terbentuklah fault propagation fold 2. Secara keseluruhan mekanisme
yang dijelaskan oleh kedua peneliti memiliki kesamaan konsep dengan apa yang dilakukan
peneliti pada lokasi penelitian ini. Hanya saja perbedaan pendapat dari masing-masing peneliti
mengenai geometri fault related fold yang berbeda dan menghasilkan pemikiran yang berbeda
pula.

VI. KESIMPULAN

Mekanisme pembentukan struktur geologi yang berada di Kecamatan Batuajung,


Kabupaten Batuajung, Provinsi Sumatera Barat dapat dijelaskan dengan teori fault related fold.
Penelitian diawali dari pengamatan citra satelit yang diikuti dengan observasi lapangan guna
mencari lokasi struktur geologi. Pemodelan dilakukan menggunakan penampang yang
dipadukan dengan kalkulasi trigonometri untuk mengetahui kedalaman detachment. Pada
skematik pembentukannya lokasi penelitian diawali dari terbentuknya Antiklin Lubuktarok
dengan mekanisme fault bend fold mode 1. Slip yang terus bergerak (transportasi) sepanjang
upper flat menyebabkan penebalan di bagian forelimb dan membuat Antiklin Lubuktarok
semakin membesar. Setelah itu blok batuan yang terkompresi dari baratdaya – timurlaut ini terus
mengalami pemampatan dan menghasilkan ramp di incipient point membuat bentukan Antiklin

1396
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I006UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Poro diatasnya. Selanjutnya slip pada ramp tersebut mengalami pensesaran (breakthrough)
(Sesar Poro) pada bagian forelimb Antiklin Poro. Gaya kompresi yang terus mengontrol batuan
tidak dapat lagi menggerakan blok akibat pemiringan slip dan penebalan. Akhirnya terbentuk
slip baru yang menjadi ruang akomodasi respon batuan terhadap gaya dan membentuk Sesar
Zamhur.

DAFTAR PUSTAKA

Allmendinger, R. W. (1998). Inverse and forward numerical modelling of trishear fault-propagation folds.
Tectonics 17 , 640-656.

Bernard, S., Avouac, J.-P., Dominguez, S., and Simoes, M. (2007). Kinematics of fault-related folding derived
from a sandbox experiment. JOURNAL OF GEOPHYSICAL RESEARCH, 1-24.

Dahlstrom, C. (1969). Balanced cross section. Canadian Journal of Earth Science, 743-757.

Deng, H., Zhang, C., and Koyi, H. A. (2013). Identifying the characteristic signatures of fold-accommodation
faults. Journal of Structural Geology, 1-19.

Erslev, E. A., and Mayborn, K. R. (1997). Multiple geometries and modes of fault propagation folding in the
Canadian thrust belt. Journal of Structural Geology, 321-335.

Hastuti, S., Sukandarrumidi, and Pramumijoyo, S. (2001). Kendali Tektonik Terhadap Perkembangan
Cekungan Ekonomi Tersier Ombilin, Sumatra Barat. Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya
Geologi. Yogyakarta.

Jabbour, M., Dhont, D., Hervouet, Y., and Deroin, J. (2012). Geometry and kinematics of fault-propagation
folds with variable interlimb angle. Journal of Structural Geology, 212-226.

Jamison, R. W. (1987). Geometric analysis of fold development in overthrust terranes. Journal os Structural
Geology, 207-219.

Masini, M., Bulnes, M., and Poblet, J. (2010). Cross-section restoration: A tool to simulate deformation.
Aplication to a fault-propagation from the Cantabrian fold and thrust belt, NW Iberian Peninsula.
Journal of Structural Geology, 172-183.

McClay, K. R. (1992). Glossary of thrust tectonics terms. In K. R. McClay, In thrust tectonics (pp. 419-433).
Chapman and Hall.

Mercier, E., Outtani , F., and Frizon de Lamotte, D. (1997). Late-stage evolution of fault propagation folds:
principles and example. Journal of Structural Geology, 185-193.

Pique, A., Tricart, P., Guiraud, R., Laville, E., Bouaziz, S., and Amrhar, M. (2002). The Mesozoice Cenozoic
Atlas belt (North Africa): an overview. Geodinamica Acta 15 (3), 185-208.

Putra, A. F., and Husein, S. (2016). Pull-Apart Basin of Sumatran Fault: Previous Works And Current
Perspective. Seminar Nasional Kebumian Ke-9, (pp. 42-59). Yogyakarta.

1397
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I006UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Thompson, R. I. (1981). The nature and significance of large "blind" thrusts within the northern Rocky
Mountain, British Columbia, Canada, in McClay, K, R., and Price, N, J., eds., Thrust and nappe
tectonics. Geological Society of London, 449-462.

TorresCarbonell, P. J., Olivero, E. B., and Dimieri, L. V. (2008). Structure and evolution of the Fuegian Andes
foreland thrust-fold belt, Tierra del Fuego, Argentina: Paleogeographic implications. Journal of
South American Earth Sciences, 417-439.

Zaim, Y., Habrianta, L., Abdullah, C. I., Aswan, Rizal, Y., and Basuki, N. I. (2012). Depositional History and
Petroleum Potential of Ombilin Basin, West Sumatra - Indonesia, Based on Surface Geological
Data. AAPG International Convention and Exhibition. Singapore.

1398
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I006UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 1. Data lipatan di daerah penelitian

Nama Struktur Limb Hinge Surface Hinge Line σ1

133/24

Sinklin Batuajung
318/84 02, 137 02, 227

325/21

135/24

Antiklin Lubuktarok 304/87 02, 133 03, 224

315/21

82/50

17, 168
Antiklin Poro 259/73 02, 259

254/21

1399
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I006UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 2. Perhitungan kedalaman detachment fault propagation fold

Gambar 1. Penentuan kedalaman detachment berdasarkan parameter interlimb angle (γ) (Jabbour, 2012).

1400
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I006UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Fisiografi lokasi penelitian dengan kenampakan perbukitan dan lembah berorientasikan
tenggara – baratlaut.

1401
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I006UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3.Simplifikasi peta geologi daerah penelitian beserta rekonstruksi penampang

1402
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I006UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Skematik pembentukan fault related fold pada daerah penelitian

1403
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I006UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. Model fault related fold menurut Mercier (1997) dan Pique (2002).

1404
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

STRUCTURAL-INDUCED SPELEOGENESIS AT KARAKAL-JAPYRYK NATURAL


RESERVE, KYRGYZSTAN
Eko Haryono1, Didit Hadi Barianto2, Hillary Reinhart1*, Angga Wahyu Ristiawan2, Rakhmat Dwi
Putra3, Dimas Irham Rabbani4, Dita Marfuah Sufi'atun5, Aan Saputra2, Hajar Lutviah6, Farah Aida
Ilmiatul Kulsum7
1Department of Environmental Geography, Faculty of Geography, Universitas Gadjah Mada
2Department of Geological Engineering, Faculty of Engineering, Universitas Gadjah Mada
3Department of Geographic Information Science, Faculty of Geography, Universitas Gadjah Mada

4Department of Regional Development, Faculty of Geography, Universitas Gadjah Mada


5Faculty of Psychology, Universitas Gadjah Mada,

6Faculty of Forestry, Universitas Gadjah Mada,

7Department of Tourism Science, Faculty of Cultural Science, Universitas Gadjah Mada

*Corresponding Author: reinharthilary@gmail.com

ABSTRAK. Speleogenesis is one of the most essential studies at speleological science. It examines how
caves are formed and developed as the fundamental knowledge to comprehend cavity phenomena. These
phenomena occasionally occur in karstic landscape where Karakal-Japyryk Natural Reserve, as part of
carboniferous limestone in Tien-Shan Mountain is located. Several factors such as climatic, geologic, and
biologic factors hold a certain role in speleogenetic process. One of the key roles from geological factor is
the presence of geological structures e.g. bedding plane and joint which initiates cavity development.This
paper tends to examine the speleogenetic process happens at Karakal- Japyryk Reserve. The speleogenetic
process can be described using speleomorphological approach combined with measured stratigraphy and
structural study to reconstruct the process happening. Measurement and drawing of cave dimension was
also conducted to obtain a visualization of the cave. This study was particularly done at KG-4 and KG-5
cave in Karakal-Japyryk Reserve.From the measurement and analysis, it is known how the geological
structures had a strong role in the speleogenetic process. It opened and triggered initial dissolution in
limestone which developed into cave. The evidence can be seen through the direction and form of the cave
passage which indicates structural influences by its linearity and its correlation with the structure like
bedding plane and vertical joints presence at the surface.

Kata kunci: geological structure, Karakal-Japyryk Reserve, cave, speleogenetic

I. INTRODUCTION

Cave and cavity are a common yet unique phenomenon in the earth. The term ‘cave’ itself
popularly refers to every void or space beneath or underground. That references, nevertheless, is

1405
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

inadequate for scientific purposes (Klimchouk, 2004a) because, in geological and earth science, an
earthly phenomenon should be comprised by the distinction of form or process or
geomorphologically referred by the certain terminology. As in the ‘cave”, various classifications
have been derived from the shape and the process of a particular cave even thought, generally,
cave is formed by the erosion from a medium in a host. The erosion either in a dissolution which
chemical reaction takes place or only physical force prevails and the host may be varied from icy
host, gypsum, to limestone where limestone caves attract most attention because of their numbers
and complexity. Limestone caves originate from the interaction of water and the limestone since
limestone is highly soluble. Both process and the shape of a cave are strongly correlated.

Caves in limestone dominate the percentage of the number of the cave because the
limestone covers vast area in the globe where it is estimated around 25% of the land is limestone
(Ford & Williams, 2007). Climatic and geologic factors hold a critical role in determining karst
characteristics and the cave inside it hence produces several types of karst like dinaric and tropical
karst. One of the notable karst in the earth is located in Tien Shan Mountain as the part of Central
Asia region (Klimchouk, 2004b). This area contains uniqueness influenced by the presence of
volcanism and tectonic movement along the area. the Tian Shan Mountain extends through nine
countries where the western tip of this mountain lays in Kyrgyzstan. The presence of the caves in
the Kyrgyzstan area had been discovered through several explorations and expeditions hosted
by the Federation and Preservation of the Caves (FPEC), and organization authorized in
managing and conducting research in Kyrgyzstan. In 2018, an Indonesian team visited and
explored a part of this Tian Shan Mountain where the exact location is at Karakal-Japyryk Reserve,
Naryn, Kyrgyzstan.

Information of a process occurs within a cave is important since it provides a life of the
cave, ecosystem, hydrological properties, and can be developed for a practical and economical
value like tourism. The science which deals with the process and the cavity phenomena is
speleology and, specifically elaborates the development and the origin of the cave is
speleogenesis. The origin and development of the caves, especially in limestone host, consists of
three differences modes which are: epigenetic, hypogenetic, and coastal process. Those three
process differentiate in the source of water as the agent of dissolution and there are meteoric water
as the source of epigenetic, hydrothermal water as the source of hypogenetic and the ocean water
in coastal process. Many approaches and methods are used to explain certain speleogenesis
process from the application of mathematical modeling (Romanov, Gabrovsek, Dreydbort, 2004),
hydrology (Worthington, 2003), isotope dating (Audra, Lauritzen, Rochette, 2011), GIS (Jacoby,
Peterson, Dogwiler, 2011) and the morphology (Taborosi, Jenson, Mylroie, 2003). The discussion
of speleogenesis then becomes very broad and various according to the method which is used.

This paper is an elaboration of how caves found in the study area influenced by geological
structure whence it can be clearly seen from the shape of the caves and the presence of geological
structure.
1406
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

II. REGIONAL GEOLOGY


The Tien Shan Mountains are mountains that emerged as a result of Hercynian orogenesis
during the late Paleozoic. The Tien Shan mountains were formed as a result of collisions between
the continental plates of Karakum-Tarim in the southern part and the plate of the Paleo-
Kazakhstan continent in the north (Figure 1). This mountain range stretches from east to west to
3000 km in the Central Asian, covers Uzbekistan, Tajikistan, Kyrgyzstan, Kazakhstan, and China.

In Kyrgyzstan, the Tien Shan Mountains are divided into 3 major structural units: the
Northern Tien Shan (NTS), the Middle Tien Shan (MTS), and the Southern Tien Shan (STS) (Figure
2). Based on this, the research area is included in Middle Tien Shan (MTS). Most parts of MTS are
characterized by the presence of passive margin sediment and lack of magmatism (granitoid
magmatism) that occurs during late Neoproterozoic to late Carboniferous (Figure 3).

Major geological structures found In Tien Shan Mountains, mostly extend from E-W in
the form of strike-slip faults and normal fault in the southern part (Figure 3). The presence of this
normal fault as a result of Karakum-Tarim continental plate and the Paleo-Kazakhstan continental
plate collisions during Late Paleozoic, where the Karakum-Tarim continental plate subdues the
Paleo-Kazakhstan continental plate (S-N).

While the broad strike-slip faults extended E-W denotes suture zone on the Paleo-
Kazakhstan continental plate. Besides that, MTS and NTS unit separated by a suture zone in the
form of strike-slip fault segments extends broadly from E-W, this suture zone is given the name
as “Nikolaev Line” (Figure 4).

In the western part of Kyrgyzstan, found a suture zone in the form of a dextral strike-slip
fault extends NW-SE, Talas-Farghona suture zone (Figure 3). The STS in the region of Uzbekistan
to Kyrgyzstan divided into 3 segments based on the geological structure: Kyzylkum segment in
the western part (Uzbekistan), Alay segment in the western region of Kyrgyzstan, and Kokshaal
segment in the eastern region of Kyrgyzstan (Figure 2). Talas-Farghona suture zone separated the
Alay segment in the western part and the Kokshaal segment in the eastern part.

III. METHODS
To determine the influence of the structure, this paper uses speleomorphological
approach as the tools because speleomorphology deals with the shape and form in a cave. From
the shape and form in a cave the process can be explained. This approach is amalgamated with
the measurement of geological structure like bedding plane, faults, and joins. To support the
analysis, remote sensing and cave cartography are used. Cave maps are created by using cave
mapping software of Survex. The primary data of dimension and direction of the passages are

1407
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

accused by measuring the passage by Leica Laser Disto and Suunto Tandem Compass-Clino
meter.

Cave’s morphology, as it is related with the development process of cave can be used to
explain the speleogenesis process (Haryono, Reinhart, Mattoreang, 2017; Labib, 2016; Surawan,
2010; Pardo-Iguzquiza; Klimchouk, 2006). Speleomorphology is a study of the various forms that
exist in the cave as a process of erosion, corrosion, and incasion (Bogli, 1980). In the context of
speleogenesis, speleo morphology is one of the approaches that can be used to perform
recontruction process of cave formation (Surawan, 2010: Labib, 2016, Bahadorinia, Hejazi, et al.,
2016; Klimchouk, Tymhokina et al., 2012). The study of the morphological formation is expressed
in the form-which occurs as a result of the process in the limestone. The formation occurs due to
the sedimentation process studied in the cave sedimentology. Many factors influencing the
formations present in the cave like join, beeding plan, or fracture (Gillieson, 1996).

Qualitatively, speleogenesis and the factor determine it can be discovered by comparing


the form of a particular passage with the typology of passage’s shape. The typology can be seen
on these following figures at Figure 5.

IV. RESULTS
In the study area, 8 caves were discovered and inventoried. Genetically, all of those caves
were formed and developed in a various setting. Nevertheless, by general, the speleogenesis can
be discovered into two main processes: epigenetic & hypogenetic (Ristiawan, et al., 2019). List of
the observed can be seen at Table 1. Figure 6. Spatial Distribution of Cave’s Entrance.

The cave entrances are mostly found in two geological formation which are: Miocene-
Pliocene Formation and the Karinskaya Formation from Lower Visean Stage and Sonkul
Formation from Lower Tournasian Stage. Both later are carboniferous limestone. From all of those
caves, only 2 epigenic caves exhibit bold influence of geological structure which are KG-4 and
KG-5. Maps and the passage of the caves can be seen at Figure 7 below.

V. DISCUSSIONS
In Kyrgyzstan region, caves are formed and developed by natural and anthropological
process. One of the anthropological caves is the Kan-i-Gut Caves and until recent time is the
longest cave in Kyrgyzstan area with length over 3000 m and used to be mining cave from 2nd
century (Tsibanov & Filippov, 2012). For the natural process, most of the caves observed are the
hypogenic or hydrothermal cave (Dudashvili & Dudashvili, 2012; Dreybrodt, 2017; Dublyansky
et al.,, 2017). Those hydrothermal caves are the result of the ore process activity. Several caves are

1408
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

indicated as hydrothermal caves with the presence of the clay-silt sediment and crystal deposition
at vein in the cave wall (Klimchouk, 2007).

From the caves we inventoried, three caves are considered and indicated as structural-
dominant or epigenetic caves. The epigenetic caves are inevitably related with the presence of the
geological structures because only through the fissure and crack, meteoric water can penetrate
the impermeable rock thus solving the limestone (Palmer, 2009). As the distinctive features,
epigenetic caves can be seen regarding to their properties on: (i) morphology, (ii) entrance’s
position, (iii) sediment, (iv) cave’s ornament, and the (v) speleogen. Hence, the influence of the
structure on cave’s passage is easily observed.

From the morphology, two caves of KG-4, and KG-5 resemble the typology of structural
dominance. There are lineament patterns shown on their plan section and the front section of each
passage also indicating the structure. For example, at KG-5, the direction of the passage is N-S as
the complement direction from major faults which tend to have E-W direction. Lineament pattern
at KG-5 is boldly seen with high inclination angle. The front section of KG-5 shows the water
conduit. Based on those descriptions, speleogenesis of KG-5 is initiated by geological structure of
bedding plane and then complemented by the presence of vertical joint in the passage. The
evidence can be seen from the front section shape.

From the Figure 9, it can be seen how the cave passage has the lineament with mostly
directed N-S. the development of the passage was begun with meteoric water from rain
infiltrating through crack and fissure and collected to the vertical joint as the conduit and then
went into the bedding plan while dissolving the limestone henceforth widening the passage.
Meteoric water continues to flow on the bedding plane and craved oval-shaped passage as the
master passage. Water infiltration through the vertical joint can be seen from the presence of
flowstone at the vertical passage because flowstone is the ornament originated from the flowing
water in the cave’s walls.

The bedding plane was also found in the entrance surrounding area and has significant
role in the inclination angle and generally to the caves (Audra & Palmer, 2015). There is a strong
correlation between the bedding plane dip and the inclination of KG-5 inclination which on the
same about 40o angle.

Another structural-induced cave is the KG-4 caves. This cave, from the plane section
resembles same pattern on network cave where there are multiple passages in nearly
perpendicular direction. In addition, the front section shows rectangular shape and indicates
strong hydrological control. The process of the development of the passages is relatively similar
with the KG-5 where fracture like joint torn the rock apart and became a conduit for the water to
infiltrate hence solving the rock and widening the cave along its path. Apart from the passage,
the entrance of KG-4 is also controlled by bedding plane.

1409
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Plan section of KG-4 appears to resemble with the network cave. Lineaments at the master
passage are seen with direction of N-S and the E-W for the branch passage. Measurement of the
bedding plane on the KG-4 cave is resulting N106E/33 and has similar number of inclination at
KG-5. Bedding plane in this case, becomes the primary structure that controlled the master
passage and from the KG-4, functions as the connecting structure amongst another joints (Jose &
Stanka, 1998). From cave passage direction of KG 4 cave, KG 5 cave, lineaments and geological
structure in research area, it can be interpreted that cave passage controlled by minor geological
structure. This minor geological structure showed by lineaments that perpendicular to major
geological structure in Tien Shan Mountains area. From KG 4 cave passage direction which is
perpendicular each other, can be interpreted that it’s formed due to the joints. The appearance of
this joints formed secondary porosity which appear as cave passage due to the meteoric water
infiltration in the rocks.

VI. CONCLUSION
From the analysis and discussion above, it can be concluded that geological structure has
a critical influence for the development of the passage in caves at Karakal-Japyryk Natural
Reserve, Kyrgyzstan and comprises by fault, joint, and bedding plane. Each geological structure
holds certain role on the cave passage development and yield specific shape.

REFERENCES

Anthony Jourdon Laetitia le pourhiet Carole Petit Yann Rolland 2017 The deep structure and
reactivation of the Kyrgyz Tien Shan: Modelling the past to better constrain the present
Tectonophysics
Audra, P. & Palmer, A. 2015. Research frontiers in speleogenesis. Dominant processes,
hydrogeological conditions and resulting cave patterns. Acta Carsologica 44, no. 3: 315–
348, POSTOJNA
Bahadorinia S., Hejazi S.H., Nadimi A., Ford D.C. and Wainer K., 2016. The morphology and
development of Kalahroud Cave, Iran. International Journal of Speleology 45, no. 3: 243-
257.
Car jose & sebela stanka. 1998. Bedding planes, moved bedding planes, connective fissures and
horizontal cave passages (examples from postojnska jama cave). Acta carsologica 27, no
2
Dreybrodt, 2017; KYRGYZSTAN SPELEOLOGICAL EXPEDITION 2017: Technical Report

1410
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Dudashvili C and Dudashvili A .2012. Caves in the Region of Osh. Bishkek: Speleothem
Association Publishing Group, 188 pp.
Filippov, A.G. & Tsibanov V.V. 2012 KAN-I-GUT CAVE MINE IN KYRGYZSTAN Mine Caves /
Grotte di Miniera Memorie Istituto Italiano di Speleologia s. II, 28, 2013, pp. 79-95
Ford D. & Williams P.2007. Karst Hydrogeology and Geomophology. England: British library

Klimchouk A. Caves in Gunn, J (eds) 2004 Encyclopedia of Karst and Caves (Taylor & Francis) p
417.
Gabrovsek, F., Romanov D., Dreybrodt W. 2004. Early karstification in a dual-fracture aquifer: the
role of exchange flow between prominent fractures and a dense net of fissures. Journal
of Hydrology. 299, no.1:45 – 66

Gillieson, D. 1996. Caves: Processes, Development, and Management. British: Blacwell Publishers.
Haryono E., Reinhart H., Mattoreang E., 2017. Speleogenesis Sistem Perguaan Kalisuci Kecamatan
Semanu Kabupaten Gunung Kidul. Laporan Akhir Hibah Penelitian. Not Published
Labib, M. A. 2016. Speleogeomorfologi Karst Di Kecamatan Donomulyo Kabupaten
Malang. Tesis. Pascasarjana Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada
Jacoby, B.S., Peterson, E.W., Dogwiler T., Kostelnick J C. 2011. Estimating the Timing of Cave
Level Development with GIS. Speleogenesis & Evolution of Karst Aquifers. 11: 52-61
(http://www.speleogenesis.info/content/)

Klimchouk A. 2005. Unconfined versus confined speleogenetic settings: variations of solution


porosity. International Journal of Speleology 35, no. 1: 19-24. Bologna (Italy). ISSN 0392-
6672. Bogli, A. 1980. Karst Hidrology and Phycical Speleology. Berlin Heidelberg New
York. Springer-Verlag.
Klimchouk, A., Elizaveta, T., and Gennadiy, A. 2012. Speleogenetic effects of interaction between
deeply derived fracture-conduit flow and intrastratal matrix flow in hypogene karst
settings. International Journal of Speleology 41, no 2: 61-179

Klimchouk, A. B. 2007. Hypogene Speleogenesis: Hydrogeological and Morphogenetic


Perspective. Special Paper no. 1, National Cave and Karst Research Institute, Carlsbad,
NM, 106 pp.
Palmer, A. 2011. Distinction between epigenic and hypogenic maze caves. Geomorphology 134:
9–22
Taborosi, John W. Jenson, John E. Mylroie, 2003. Zones of enhanced dissolution and associated
cave morphology in an uplifted carbonate island karst aquifer, northern Guam, Mariana
Islands. Speleogenesis & Evolution of Karst Aquifers.
Tampa, FL (USA) ISSN 0392-6672 http://dx.doi.org/10.5038/1827-806X.45.3.2008

1411
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

White, B, W.1988. Geomorphology and Hydrology of Karst Terrains. New York. Oxford
University Press
Worthington, S.R.H. 2003. comprehensive strategy for understanding flow in carbonate aquifer.
Speleogenesis and Evolution of Karst Aquifers 1, no. 1. www.speleogenesis.info Audra,
P., Lauritzen, S. E., Rochette, P. 2011. Speleogenesis in the hyperkarst of the Nakanai
Mountains (New Britain, Papua New Guinea). Evolution model of a juvenile system
(Muruk Cave) inferred from U/Th and paleomagnetic dating. Speleogenesis and
Evolution of Karst Aquifers, 10, no. 1. www.speleogenesis.info

Yuri Dublyansky, Wasili Michajljow, Katalin Bolner-Takács, Jaroslav Hromas, Kinga Székely,
Attila Hevesi, and Sandor Kraus. 2017 Hypogene Karst in the Tyuya-Muyun and the
Kara-Tash Massifs (Kyrgyzstan)in Klimchouk, Alexander; N. Palmer, Arthur; De Waele,
Jo; S. Auler, (ed.) Hypogene Karst Regions and Caves of the World (Cave and Karst
Systems of the World. Springer
Zabelina, I.V., Koulakov, I., Buslov, M.M. 2013 Deep mechanisms in the Kyrgyz Tien Shan orogen
(from results of seismic tomography). Russian Geology and Geophysics 54, no7:695–706

1412
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Table 1. Observed Caves at Study Area

Cave X Y

KG-1 545437 4609078

KG-2 539684 4613273

KG-3 541014 4614156

KG-4 545082 4611431

KG-5 545045 4611370

KG-6 545836 4607943

KG-7 545806 4607835

KG-8 545007 4608627

1413
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 12. Lineament and Control of Bedding Plane at KG-4

Figure 11. Bedding Plane in The Surface Near KG-5 Entrance

1414
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 9. Lineament and Rose Diagram of KG-5

Figure 8. Passage Development at KG-5

1415
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 10. Speleothem as Indication of Water Flow.

Figure 7. Cave Maps of KG-4 and KG-5

1416
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 6. Spatial Distribution of Cave’s Entrance

1417
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 5. Topology of Cave Passage’s Form (compiled from Palmer, 2009 and White, 1988)

1418
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 2. Tectonic sketch map of Central Asia (Zabelina et al., 2013 modified after (Buslov et al.,
2004; Dobretsov et al., 1996)

Figure 1. Geological Formation at Study Area

1419
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I008UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 3. Distribution map of structural unit, magmatism areas and structural lineaments in Tien
Shan Mountains, Kyrgyzstan (Seltmann et al., 2010)

Figure 4. Geological structure map of Thien Shan Mountains. 1. Talas-Farghona Fault; 2. Nikolaev
Line (reworking the Terskey suture); 3.At-Bashi-Inylshek Fault (reworking the Turkestan Ocean
suture); 4.Narat Fault; 5.North Tien Shan Fault; 6. Baluntai Fault; 7. Main Tien Shan Shear Zone;
8. North Tarim Fault. (Jourdon et al., 2017 modified after (Charvet et al., 2011; Xiao et al., 2013)

1420
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I009POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

THE STRUCTURAL GEOLOGY CONSTELLATION OF WESTERN BOUNDARY OF


YOGYAKARTA BASIN

Asmoro Widagdo 1*Subagyo Pramumijoyo 2 Agung Harijoko 3


Program s-3 Teknik Geologi UGM 1*Teknik Geologi UGM 2Teknik Geologi UGM 3
*Corresponding Author: asmoro.geologi@gmail.com

ABSTRAK. The Yogyakarta Basin is located on the south-side of the central part of Java Island which is
located on the active tectonic boundary from the Tertiary to Quaternary periods. Kulonprogo volcanic
mountains and South Serayu folds are in the west of the Yogyakarta basin. To the east of the Yogyakarta
basin is found the Southern Mountains of eastern Java. The western boundary of the Yogyakarta Basin has
typical types of geological structures. This research was conducted to study the type of geological structure
that is the western boundary of the Yogyakarta Basin. The study was conducted through a series of field
work to collect geological structure data such as bedding-plane of sedimentary rocks, joint planes, fault
planes, fault types, folds, and then field data analysis was performed using stereographic methods. The
main geological structure, which is the western boundary of the Yogyakarta Basin, is the synistral fault
with the type of left-stepping left lateral fault associated with subduction in the south of Java. This structure
of the major synistral fault produces companion faults in the form of dextral faults, synistral faults, normal
faults, shear joints and extension joints. The other geological structures, originating from different sources,
are related to the influence of forces from the east of the Yogyakarta Basin. This structure forms thrust fault,
fold, dextral fault, synistral fault, shear joints and extension joints.

Kata kunci: structure, folds, fault, joint, stereographic

I. INTRODUCTION

Yogyakarta Basin is located in the southern part of Central Java-Indonesia and bordered
by Progo River on the West side, Opak River on the East, Mount Merapi on the north and Indian
Ocean on the south side as a place for sedimentation of Merapi fluvio-volcanic deposits during
the Quaternary Period. Yogyakata Basin is considered as a system where the geological
phenomena distinctively dominate all the natural processes. Continued subduction of the Indo-
Australia Oceanic Plate from the South direction below the Eurasia Continental Plate not only
resulted in the formation of the active Merapi volcano (in the north), but also brought about the
formation of mountainous morphology of volcanic and carbonate rocks (in the east and west)
(Karnawati, et al., 2006).
To the west, andesitic breccia and lava flows of Tertiary Gajah, Ijo and Menoreh Tertiary
volcano (van Bemmelen, 1949; Smyth et al., 2005) with the intensive fault formation occurred
(Rahardjo, 1995, Budiadi, 2008, Barianto et al., 2009). Meanwhile at the eastern of the basin,
carbonaceous-volcanic rocks as well as limestone with karst landscape are exposed. Location of
the Yogyakarta basin is illustrated in Figure 1.
The Yogyakarta Basin to the east is limited by a fault structure namely Opak Fault
(Nurwidyanto et al., 2007, Sugiyanti et al., 2015, Abidin et al., 2009, Tsuji et al., 2009) on to the

1421
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I009POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

west is limited by Kulon Progo fault (Smyth et al., 2005, Widagdo et al., 2017, Widagdo et al.,
2018) on the west side. Barianto et al. (2009), studied the pattern of straightness in the Kulon Progo
Mountains, which resulted in a structure interpretation with a high structural density in the
Kulon Progo Mountains. Kulon Progo Mountains are the western boundary of Yogyakarta
Graben, according to Barianto et al. (2010), however, the position of the fault as this limit has not
yet been described.

II. REGIONAL GEOLOGY

Subsurface data according to Barianto, et al., 2009, Winardi, et al., 2013; Widiyanto, 2009
in Syafri, et al., 2013 and surface data on regional geological maps according to Rahardjo, 1995
(Figure 2) show that the Yogyakarta basin has 3 types of lithology, namely: (1) Tertiary rocks of
Nanggulan and Sentolo Formation (2). Igneous rock, which can be found in Godean, (3).
Quarternary deposit of Old and Young Merapi Volcano.
Stratigraphic order of the western boundary of the Yogyakarta Basin can be distinguished
in sedimentary rock and volcanic rock groups. Sedimentary rocks as a base are composed of
predominantly claystones, quartz sandstones and limestones called the Nanggulan Formation.
Sedimentary rocks of the Nanggulan Formation are the basis of the volcanic rocks of the
Kebobutak Formation (Rahardjo, 1995) or Old Andesite Formation (Van Bemmelen, 1949). The
Nanggulan and Kebobutak Formations are intruded by shallow intrusive rocks in the form of
microdiorite, andesite and dacite which generally undergo alteration. This group of volcanoes is
covered unconformity by shallow marine deposits, Jonggrangan and Sentolo Formations.

III. METHOD

This study combines the results of field research with several other previous research
results by several authors. The research method used is by observing the image / map of the
Yogyakarta Basin, field observations and measurement of elements of the fault structure.
Through observation and image analysis, some lineaments could be described, which makes it
easier to find fault data in the field and to describe fault lineaments. The field data used in this
study is striations on fault planes, which are found in rock outcrops on fault planes. In fault data,
data is measured and recorded directly in the field. Fault measurements include strike, dip, pitch
angle and direction of fault movement.

IV. DATA AND ANALYSIS


Kulon Progo left lateral strike-slip fault (Figure 3) develops cutting off the Kulon Progo
Mountains from the south to the north. This left lateral strike-slip fault is directed towards the
relative North Northeast - South Southwest (NNE-SSW). This direction is in line with the
direction of the Kulon Progo Mountains straightness which is composed of Mount Gajahh, Mount
Ijo and Mount Menoreh. The Kulon Progo left lateral strike-slip fault crosses the center of the Ijo
and Menoreh volcanic centers, so that this fault splits in half on Ijo Volcano and Menoreh Volcano.
At the Gajah Volcano body, this fault crossed the proximal-medial volcanic facies of West-Gajah
Volcano and the central facies and the East-Gajah Volcano proximal, in the Jonggrangan
highlands to Samigaluh in the north. This fault data is in the form of strike, dip, pitch angle and

1422
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I009POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

direction of pitch opening in the fault field with lines drawn along with the results of the analysis
in Figure 3.
The results of the striations data analysis on this fault lineament show that there is a
horizontal North-South compressional stress direction (the main stress / 1) that has worked
(Figure 3). The least stress ( 3) resulting from this analysis is horizontal. Such conditions of 1 and
3 create NNE-SSW left lateral strike-slip faults (Figure 3).
The second group of structures is the result of compression from southeast-northwest
direction (NW-SE). This direction is a compressional source that gives birth to a compressive and
extensive structure in the Kulon Progo Mountains. This group of structures consists of Bantul left
lateral strike-slip fault, Sleman right lateral strike-slip fault, Kayangan thrust fault, Samigaluh
normal fault, Suroloyo left lateral strike-slip fault, Sendangsono normal fault, Nanggulan fold
and Banyuroto fold (Figure 3).
The results analysis of southeast compressional fault striations data in the eastern Kulon
Progo Mountains are shown in Figure 3. Data striations were measured in sinistral, dextral,
normal and thrust faults. This fault data originates from the western side of the Yogyakarta basin
which includes the Kalibawang, Nanggulan and Girimulyo regions. The results of analysis of the
left lateral and right lateral strike-slip fault show the main stress / compression area (1)
horizontally with the area in the West-East to Southeast-Northwest direction. Fault plane and
helping plane form intersections (2) in the vertical direction. The least stress (3) formed has a
horizontal direction.
The analysis of the thrust fault shows the main stress / compression area (1) horizontal
with the area in the southeast-northwest direction. Least Stress (3) formed has a vertical direction.
The fault plane and the auxiliary plane form intersections (2) in a relatively horizontal direction.
Kalibawang, Kali Serang and Kayangan thrust fault are formed with a dipping to the southeast
facing the direction of the main stress (1). Nanggulan and Banyuroto folds are formed relatively
parallel to the thrust fault, formed by the main stress (1) trending southeast-northwest.
Normal faults in the northwest are formed by least stress (3) from West-East to North-
South. The results of the analysis above (3) are on the edge of a large circle or horizontal. With
the main vertical stress and the weakest horizontal main force, normal faults are formed or are
strain tectonic regions.

V. DISCUSSIONS
In the Kulon Progo Mountains, regional north-south compressional direction produces a
sinistral fault known as the Progo-Muria fault according to Smyth et al. (2005), Hall et al. (2007),
Smyth et al. (2008) and Husein and Nukman (2015). Widagdo et al. (2017) and Widagdo et al.
(2018) mention this fault as the Kulon Progo fault with the movement is left lateral strike- slip
fault / sinistral fault. This compression stress comes from the movement of the Indian Ocean plate
to the north to infiltrate the southern part of Java Island (Situmorang et al., 1976). According to
Syafri et al. (2013) at least the youngest tectonic since Eocene controls the structure that works in
the Kulon Progo Mountains. In observing remote sensing imagery, this fault cut across the entire
Kulon Progo Mountains starting from Mount Ijo (Early Miocene), Mount Gajah (Oligocene) to
Mount Menoreh which is Late Miocene (12.4 ± 0.7 Million years ago) according to Akmaludin et
al, 2005.
1423
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I009POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 4. illustrates the condition of the strike-slip faults which in addition to controlling
the birth of the Kulon Progo Mountains, also influences the volcanic morphology produced. This
is especially true of Mount Ijo in the south and Menoreh on the northern side of the Kulon Progo
Mountains. There are openings of morphology on the south side of the two edges of this volcano.
This shows the active faults before and after the formation of volcanoes in the Kulon Progo
Mountains.
The Riedel Shear concept in Mc Clay, 2007 (Figure 3), explains that the North-South
tectonic direction will form a left-sided (Sinistral) fault structure with northeast-southwest
direction. In the Kulon Progo Mountains, the Kulon Progo left-wing fault is a series of synthetic
faults (R1). On this fault line also found minor normal faults with a North-South direction.
Figure 5. explains how the sinistral fault zones that are not straight but winding, to
experience segmentation according to Christie-Blick and Biddle (1985) in Dooley and Schreurs
(2012). In nature, horizontal faults generally form a straight lineament and a continuous fault
system. Segmentation along the fault zone results in a zone of extension / tension or zone of
contraction / transpression. Bends or sidesteps (jogs) on the main fault displacement zone (PDZ)
will produce an extension (pull-apart basins) zone when the direction of the fault shift is equal to
the main fault movement on the principal displacement zone (PDZ). The western boundary of
the Yogyakarta Basin forms the left lateral strike-slip fault lineament, with the left-stepping
properties forming a transition zone which then becomes the location of Mount Gajah, Ijo and
Menoreh to growth (Figures 4 and 5).
Barianto, et al., 2009 suggested the possibility that faults in the western part of Yogyakarta
are subsurface faults or have been covered by younger deposits (Merapi deposits). Efforts to
express this structure have been carried out by several studies in the Naggulan area by Saputra
and Akmaluddin (2015), Pambudi and Sujono (2016), and Hartono and Sudradjat (2017) in their
studies.
Saputra and Akmaluddin (2015) describes the distribution of the Nanggulan Formation
in the west of the Yogyakarta Basin. An anticline depicted with a North-Northeast (NNE) fold
axis. The anticline core is composed of quartz sandstones, in the direction of younger rocks found
in groups of clay-tuff, carbonates and marl rock facies.
Pambudi and Sujono (2016) mentions that the Nanggulan Formation has been deformed
due to compression. He stated that the results of compressive deformation in the form of a fold
structure with the type of anticline and syncline. His research has not yet mentioned the direction
of compressive stress that forms it. This study has not mentioned the direction of the axis formed
and other analyzes of anticline and syncline generated. Astuti et al., 2016 mentioned the presence
of folds, normal faults and strike-slip structures in the Nanggulan area.
Hartono and Sudradjat (2017) suggested the presence of fault and fold structures in the
Clumprit and Watu Puru Rivers at Nanggulan Formation in the Girimulyo and Kalibawang
areas. He mentioned, folding that occurs produces syncline and anticline, dextral fault and thrust
fault. On the Songgo River, anticline and fault locations were found in the Nanggulan Formation
area. Intrusion rocks fill the weak zone formed by the fault. The folds formed have Northeast -
Southwest axis (NE-SW). This supports finding Nanggulan folds.
The tip of the movement of the Yogyakarta-Godean-Nanggulan rock block, forming a
thrust fault and Nanggulan fold. The tip of this structure reveals the Naggulan Formation in the

1424
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I009POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

western part of the Yogyakarta basin. To the northwest of this thrust fault structure, normal faults
develop in the Kulon Progo Mountains. There are at least 7 normal faults in this section. These
faults cut the middle to the west of the Kulon Progo Mountains.
The genesis of various structures in the western boundary of the Yogyakarta basin, due
to southeast-oriented stress, can be explained by the Reidel Shear concept in Mc Clay 2007.
According to this concept the main stress from the southeast (Figure 3) will produce a left lateral
strike-slip fault (sinistral) with northwest-southeast direction (Bantul fault) and right lateral
strike-slip fault (dextral) with relatively east-southeast direction (Sleman fault). The folds and
thrust faults formed by this stress will be Northeast-Southwest direction as developed in the
study area. Normal faults formed by stress from the southeast of Yogyakarta will be Northwest-
Southeast or perpendicular to the weakest main stress (3).
At he outsite of the Yogyakarta-Godean-Nanggulan block area, which is in the southwest
and northeast of Yogyakarta basin, it is also subjected to stress deformation from southeast of the
Yogyakarta basin. This is indicated by the presence of dipping of rock bedding which leads to the
southeast and the Banyuroto fold (NE-SW directed axis), Kaliserang thrust fault (NE-SW) and
Kalibawang thrust fault (NE-SW).
In Figure 6 illustrated the emergence of the Ijo-Gajah-Menoreh stratovulkano, which was
formed in a North-South compressive tectonic regime. This N-S stress forms a sinistral fault
trending North Northeast - South Southwest (NNE-SSW) and various other accompanying
structures. Magmatism is associated with North-South trending tensional joints (NS striking
tension joint) due to the northeast sinistral fault. This structure is formed by 1 and 3 horizontally
to create vertical channels for the rise of magma forming Ijo-Gajah-Menoreh Volcano and dyke
intrusions in the western boundary of the Yogyakarta Basin. This linkage of volcanism and
tectonism also occurs in Chile-South America as stated by Cembrano et al (2008) and Cembrano
and Lara (2009).
In Figure 6, it is also illustrated the mechanism for the formation of magmatism in
theNanggulan-Godean area by local compression from Southeast to Northwest (SE-NW).
Maximum compressional stress (1) has southeast trending and minimum stress (3) shown vertical
direction. This creates horizontal / sub-horizontal thrust fault and tensional joints. Magma flows
up and moves horizontally through a combined system of sub-horizontal tension fractures and
thrust fault planes.

VI. CONCLUSIONS
1. The western boundary of the Yogyakarta Basin which limits it with the South Serayu basin
is in the form of Kulon Progo left lateral strike slip fault due to North-South (N-S)
horizontal compressional stress.
2. The Kulon Progo Sinistral fault as the western boundary of the Yogyakarta Basin has
given birth to the Gajah-Ijo-Menoreh Tertiary volcanic bodies.
3. Southeast-Northwest horizontal compressional stress creates dextral, sinistral, thrust and
fold structures in the western part of the Yogyakarta Basin.

ACKNOWLEDGEMENT

1425
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I009POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Thank you very much to the Ministry of Higher Education, Ministry of Education and Culture of
the Republic of Indonesia, for providing funding for the study of the author, regarding the
geological structure in the Kulonprogo Mountains. Many thanks are conveyed to friends in the
Doctoral Program, Department of Geological Engineering-Gadjah Mada University, for the
discussions that have been conducted in this paper.

DAFTAR PUSTAKA
Akmaluddin, Setijadji, D.L., Watanabe, K., and Itaya, T., 2005. New Interpretation on Magmatic Belts
Evolution During the Neogene-Quarternary Periods as Revealed from Newly Collected K-Ar
Ages from Central-East Java, Indonesia. Proceedings Joint Convention Surabaya-HAGI-IAGI-
PERHAPI, The 30th HAGI, The 34th IAGI, and The 14th PERHAPI Annual Conference and
Exhibition, Surabaya.

Astuti, B.S., Humantoro, R., Hidayat, M., Kusuma, H.D., 2016, Identifikasi Struktur Geologi
Jalur Kali Watupuru dan Kali Songgo daerah Degan Kulonprogo, dan Implikasinya
terhadap penyebaran batupasir kuarsa Formasi Nanggulan yang berpotensi sebagai
reservoar, Seminar Nasional, Universitas Padjadjaran, Bandung.

Barianto, D.H., Abboud, E. and Setijadji, L.D., 2009. Structural Analysis using Landsat TM, Gravity Data,
and Paleontological Data from Tertiary Rocks in Yogyakarta, Indonesia. Memoirs of the Faculty
of Engineering, Kyushu University, Vol.69, No.2.

Barianto, D.H., Kuncoro, P., Watanabe, K., 2010. The Use of Foraminifera Fossils for Reconstructing the
Yogyakarta Graben, Yogyakarta, Indonesia. Journal of South East Asian Applied Geology, May-
August 2010, Vol 2(2), pp 138-143.

Budiadi, E., 2008. Peranan Tektonik Dalam Mengontrol Geomorfologi Daerah Pegunungan Kulon Progo,
Yogyakarta. Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung (Tidak
dipublikasikan).

Cembrano, J., Gonzalez, G., Lara, L., Veloso, E., Medina, E., Aron, F., Basso, M., Ortega, V., Perez, P. and
Sielfed, G., 2008. The Interplay Between Crustal Tectonics And Volcanism In The Central And
Southern Volcanic Zones Of The Chilean Andes. 7th International Symposium on Andean
Geodynamics (ISAG 2008, Nice), Extended Abstracts: 116-119

Cembrano, J. and Lara, L., 2009. The Link Between Volcanism and Tectonics In The Southern Volcanic
Zone of the Chilean Andes: A review. Tectonophysics 471 (2009) 96–113.

Chow, J.D., Lai, T.D., Liu, C.S. and Yu, H.S., 1996. Flower Structures and Strike-Slip Deformation Of
Southwestern Taiwan. TAO, Vol. 7, No. 4, p. 523-533.

Clements, B., Hall, R., Smyth, H.R. and Cottam, M.A., 2009. Thrusting of a volcanic arc: a new structural
model for Java, Petroleum Geoscience, Vol. 15, pp. 159–174.

Concha-Dimas, A., Cerca, M.,Rodriguez, S.R. and Watters, R.J., 2005. Geomorphological evidence of the
influence of pre-volcanic basement structure on emplacement and deformation of volcanic
edifices at the Cofre de Perote–Pico de Orizaba chain and implications for avalanche generation.
Geomorphology 72 (2005) 19–39.

1426
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I009POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Dooley, T.P. and Schreurs, G., 2012. Analogue Modelling of Intraplate Strike-Slip Tectonics: A Review and
New Experimental Results. Tectonophysics 574–575 (2012) 1–71.

Gurbuz, A., 2010. Geometric Characteristics Of Pull-Apart Basins. Lithosphere, Vol. 6 No. 3, p.199-206.

Hall, R., Clements, B., Smyth, H.R., Cottam, M. A., 2007. A New Interpretation Of Java’s Structure.
Proceedings, Indonesian Petroleum Association, May, 2007.

Hartono, H.G. and Sudradjat, A., 2017. Nanggulan Formation and Its Problem As a Basement in Kulon
Progo Basin, Yogyakarta, Indonesian Journal On Geoscience, Vol 4 No 2, p 71-80. Husein, S., dan
Nukman, M., 2015. Rekonstruksi Tektonik Mikrokontinen Pegunungan Selatan Jawa Timur:
Sebuah Hipotesis berdasarkan Analisis Kemagnetan Purba. Proseding Seminar Nasional
Kebumian Ke-8, FT-UGM.

Karnawati,D., Pramumijoyo, S. dan Hendrayana, H., 2006. Geology of Yogyakarta, Java: The Dynamic
Volcanic Arc City. IAEG2006, The Geological Society of London.

Mc Clay, K.R., 2007. The Mapping of Geological Structures. John Wiley and Sons, London. Nurwidyanto
MI, Indriana RD, Darwis ZT, 2007, Pemodelan Zona Sesar Opak di Daerah Pleret Bantul
Yogyakarta dengan Metode Gravitasi, Berkala Fisika ISSN : 1410 – 9662, Vol 10. , No.1, April 2007,
hal 65-70.

Pambudi, S. dan Sujono, 2016. Konfigurasi Cekungan Purba Formasi Nanggulan Di daerah Nanggulan
Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Prosiding Seminar Nasional XI “Rekayasa Teknologi
Industri dan Informasi, Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta.

Rahardjo, W., Sukandarrumidi, Rosidi, HMD., 1995. Peta Geologi Lembar Yogyakarta. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi, Bandung.

Saputra, R. dan Akmaluddin, 2015. Biostratigrafi Nannofosil Gampingan Formasi Nanggulan Bagian
Bawah Berdasarkan Batuan Inti dari Kec. Girimulyo dan Kec. Nanggulan, Kab. Kulon Progo, D.I.
Yogyakarta. Proseding Seminar Nasional Kebumian Ke-8, FT-UGM.

Situmorang, B., Siswoyo, Thajib, E., and Paltrinieri, F. 1976. Wrench Fault Tectonics and Aspects Of
Hydrocarbon Accumulation In Java. Proceedings Indonesian Petroleum Association, 5th Annual
Convention.

Smyth, H., Hall, R., Hamilton, J., Kinny, P., 2005. East Java: Cenozoic Basins, Volcanoes And Ancient
Basement. Proceedings Indonesian Petroleum Association, Thirtieth Annual Convention and
Exhibition.

Syafri, I., Budiadi, E. dan Sudrajad, A., 2013. Geotectonic Configuration of Kulon Progo Area, Yogyakarta.
Indonesian Journal of Geology, Vol. 8 No. 4.

Sylvester, A.G., 1988. Strike-slip Fault. Geological Society of America Bulletin, v.100, p. 1666-1703.

Van Bemmelen, R.W., 1949. The Geology of Indonesia. Vol. IA, General Geology of Indonesia and Adjacent
Archipelago, Government Printing Office, The Hague.

Widagdo, A., Pramumijoyo, S.P., Harijoko, A., 2017, Rekontruksi Struktur Geologi Daerah Gunung Ijo Di
Pegunungan Kulon Progo-Yogyakarta Berdasarkan Sebaran Kekar, Sesar dan Urat Kuarsa,

1427
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I009POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Proceeding, Seminar Nasional Kebumian Ke-10, Peran Penelitian Ilmu Kebumian dalam
Pembangunan Infrastruktur di Indonesia, TG FT-UGM, Yogyakarta.

Widagdo, A., Pramumijoyo, S.P. and Harijoko, A., 2018. Morphotectono-Volcanic of Tertiary Volcanic Rock
In Kulon Progo Mountains Area, Yogyakarta-Indonesia, International Conference On Earth
Science, Mineral and Energy (ICEMINE), Harmonizing on Exploration, Extraction and
Conservation, UPNV Yogyakarta.

Winardi, S., Toha, B., Imron, M., Amijaya, D.H., 2013. The Potential of Eocene Shale of Nanggulan
Formation as a Hydrocarbon Source Rock, Indonesian Journal of Geology, Vol. 8 No. 1 March
2013: 13-23.

1428
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I009POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 1. Location of the Yogyakarta Basin.

1429
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I009POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 2. Regional Geology Map of Yogyakarta Basin and its western boundary (Rahardjo et al, 1995)

1430
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I009POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 3. Structural analysis of western Yogyakarta Basin boundary.

Figure 4. Block diagram of the effect of horizontal faults as the western boundary of Yogyakarta Basin.

1431
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I009POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Figure 5. Various types of structures along the sinistral fault zone. a) Model according to Christie-Blick and
Biddle (1985) in Dooley and Schreurs (2012); b) Volcanic structure in Kulon Progo.

Figure 6. The western boundary of the Yogyakarta Basin becomes the birthplace of magmatism and
volcanism.

1432
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I017POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

HUBUNGAN SESAR TURUN-SESAR GESER DAN STRUKTUR DEFORMASI


SEDIMEN HALUS FORMASI PENOSOGAN, KEBUMEN, JAWA TENGAH
Eko Puswanto1*, Muhammad Al Afif1, Edi Hidayat1
1Balai Informasi dan Konservasi Kebumian - LIPI Karangsambung, Jl Karangsambung, Km 19,
Karangsambung, Kebumen

*Corresponding Author: epuswanto@gmail.com

ABSTRAK. Indikasi struktur deformasi sedimen halus atau dikenal sebagai soft-sediment deformation
structures (SSDS) tersingkap dengan baik pada batupasir tufan Formasi Penosogan di daerah
Kaligending. Struktur deformasi sedimen halus ini berhubungan dengan struktur longsoran (slump
structure) pada bagian bawah, dan struktur lidah api (flame structure), serta ball and pillow structure
pada bagian atas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme pembentukan struktur
deformasi sedimen halus Formasi Penosogan. Mekanisme deformasi pada Formasi Penosogan
bagian bawah diperkirakan berhubungan dengan aktivitas tektonik Miosen Tengah yang
merupakan deformasi simple shear melibatkan tegasan gaya tarik (extension) berarah timurlaut –
baratdaya menghasilkan sesar turun dan tegasan gaya kompresi menghasilkan sesar geser sinistral
sebagai sesar sintetik dengan gaya tegasan utama berarah utara – selatan. Aktivitas tektonik Miosen
Tengah diperkirakan mempengaruhi mekanisme pengendapan Formasi Penosogan yang dinamis.
Aktivitas tektonik ini mengkontrol pembentukan morfologi, aktivitas vulkanisme, dan perubahan
lingkungan pengendapan. Aktivitas tektonik Miosen Tengah diperkirakan berkaitan dengan
peristiwa gempa bumi, gejala likuifaksi dan tektonik gravitasi (gravity sliding)

Kata kunci: struktur, deformasi, sesar, tektonik, Penosogan

I. PENDAHULUAN
Stratigrafi dan lingkungan pengendapan Formasi Penosogan telah banyak dibahas
secara detil oleh peneliti terdahulu. Secara umum, Formasi Penosogan tersusun oleh
perselingan batupasir, batulempung, tuf, napal dan kalkarenit yang diendapkan di
lingkungan submarine fan pada Miosen Tengah (Asikin dkk., 1992; Widianto dkk., 2015;
Pamungkas dkk., 2017). Mekanisme pengendapan litologi Formasi Penosogan terutama
yang belum terkonsolidasi dengan baik menunjukkan terpengaruh oleh proses deformasi
yang menghasilkan gangguan-gangguan sedimentasi. Struktur deformasi yang
berhubungan dengan gangguan sedimentasi material sedimen halus atau dikenal sebagai
soft-sediment deformation structures (SSDS) yang tersingkap dengan baik di daerah
penelitian.

Gangguan sedimentasi pada material sedimen yang belum terkonsolidasi dengan


baik dapat berhubungan dengan beberapa hal, salah satunya dipicu oleh adanya
mekanisme luncuran gravitasi yang terjadi pada lereng cekungan. Alsop et al., 2011
menyebutkan bahwa gangguan sedimentasi tersebut dapat berhubungan dengan adanya
deformasi lipatan dan sesar yang intensif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

1433
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I017POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

pengaruh aktivitas tektonik atau deformasi lokal terhadap pembentukan struktur sedimen
halus Formasi Penosogan.

II. GEOLOGI REGIONAL


Secara fisiografi, Van Bemmelen (1949) membagi tinggian Jawa Tengah menjadi
dua jalur pegunungan utama, yaitu jalur Pegunungan Serayu Utara dan Serayu Selatan.
Pegunungan Serayu Selatan merupakan zona dengan tatanan stratigrafi dan struktur yang
kompleks. Tinggian Karangsambung merupakan bagian dari rangkaian Pegunungan
Serayu Selatan yang memanjang relatif barat-timur, dimana bagian tengah tersingkap
batuan dasar Kompleks Melange Luk Ulo berumur Kapur Akhir (Asikin, 1974). Tinggian
Karangsambung tersusun oleh batuan Paleogen Formasi Karangsambung dan Totogan
hasil proses longsoran laut dalam pasca kolisi antara mikro kontinen Jawa Timur dan
Sundaland, diendapkan secara tidak selaras diatas batuan-batuan pra-Tersier (Hall, 2012;
Asikin dkk., 1992).

Aktivitas vulkanisme yang diperkirakan telah dimulai sejak Eosen Tengah


mempengaruhi pengendapan sedimen laut dalam Formasi Waturanda, Penosogan, dan
Halang hingga Miosen Awal (Hall, 2012). Endapan turbidit Formasi Waturanda pada
bagian bawah didominasi oleh batupasir vulkanik, dan ke arah atas berubah menjadi
breksi andesit (Asikin dkk.,1992). Batuan Neogen Formasi Penosogan yang didominasi
oleh batulempung – batupasir karbonatan mengindikasikan bahwa aktivitas vulkanisme
pada busur vulkanik Serayu Selatan mulai berkurang intensitasnya (Husein dkk., 2013;
Pamungkas dkk., 2017).

Pegunungan Serayu Selatan telah mengalami beberapa periode perubahan


segmentasi tektonik, yang sebelumnya diperkirakan dipengaruhi oleh adanya tumbukan
Mikro Kontinen Jawa Timur dengan bagian timur daratan Sunda pada Eosen Awal hingga
Oligosen Awal (Sribudiyani dkk., 2003). Periode tektonik ini diikuti dengan pembentukan
busur vulkanik Pegunungan Serayu Selatan pada Oligosen – Miosen Awal. Pada Miosen
Awal, busur vulkanik Serayu Selatan mengalami pengangkatan disebabkan oleh adanya
aktivitas magmatisme Andesit Tua yang berumur Oligo-Miosen (Husein dkk., 2013). Pada
Miosen Tengah, pengendapan Formasi Penosogan terbentuk bersamaan dengan
intensitas vulkanisme Pegunungan Serayu Selatan yang berkurang (Husein dkk., 2013).

III. METODOLOGI

Lokasi penelitian berada di Desa Kaligending, Kecamatan Karangsambung,


Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah (Gambar 1). Litologi Formasi Penosogan bagian bawah
tersingkap dengan baik di daerah ini, terutama di Sungai Luk Ulo dan Kali Jaya. Metoda
penelitian yang dilakukan dengan melakukan observasi detail dan pengukuran struktur
geologi meliputi data kekar, bidang sesar dan cermin sesar yang terawetkan dengan baik.
Sintesis data primer dan sekunder dilakukan untuk memperoleh gambaran pengaruh

1434
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I017POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

aktivitas tektonik dan mekanisme deformasi terhadap pembentukan struktur sedimen


halus Formasi Penosogan.

IV. HASIL PENELITIAN

Observasi dan Pengukuran Data Struktur Geologi, Litologi Formasi Penosogan


bagian bawah didominasi oleh perulangan batupasir dan batulempung mengandung
tuf karbonatan. Secara umum, batas transisi Formasi Waturanda dan Penosogan di sekitar
daerah Kaligending ditunjukkan dengan adanya perubahan penyusun material vulkanik
menjadi dominasi material tuf karbonatan. Material sedimen tuf karbonatan Formasi
Penosogan secara umum menunjukkan belum terkonsolidasi dengan baik dan berasosiasi
dengan struktur endapan turbidit; misalnya laminasi pararel dan laminasi konvolut.
Secara regional, jurus-kemiringan bidang perlapisan litologi Formasi Penosogan berarah
barat-timur N92°E dengan kemiringan 40° – 50° ke arah selatan. Kemiringan bidang
perlapisan ke arah selatan semakin landai (sekitar 10° – 25°).

Gejala struktur deformasi yang berhubungan dengan gangguan sedimentasi


material sedimen halus berupa struktur lidah api (flame structure) dan ball and pillow
structure tersingkap dengan baik. Struktur lidah api dijumpai dibagian tengah, sementara
struktur ball and pillow structure terawetkan dengan baik di bagian bawah dan atas
(Gambar 2). Pada beberapa bagian struktur lidah api berasosiasi dengan struktur load cast
dan slump dengan arah kemiringan yang berubah-ubah. Struktur slump berkembang
diantara lapisan atas dan lapisan bawah yang tidak terganggu. Pada beberapa bagian,
struktur slump memberikan kenampakan lipatan intraformasi (intraformational folds)
berukuran beberapa centimeter. Struktur Lipatan diinterpretasikan melibatkan seluruh
Formasi Penosogan secara regional. Indikasi deformasi lipatan antiklin dijumpai pada
hulu Kali Jaya dengan kedudukan sayap utara N306°E/26° dan sayap selatan N81°E/20°.
Hasil analisis tegasan purba mengindikasikan bahwa sumbu lipatan berarah baratlaut –
tenggara dengan arah tegasan utara – selatan (Gambar 3).

Struktur sesar turun dan sesar geser merupakan salah satu struktur dominan pada
beberapa lapisan batuan Formasi Penosogan. Zona pensesaran turun di hulu Kali Jaya
memperlihatkan pergeseran (offset) lapisan batuan dalam skala beberapa sentimeter,
mempunyai bidang sesar yang umumnya melengkung dengan kemiringan landai hingga
sedang, tidak terisi oleh urat kalsit (clean faults). Pengukuran unsur-unsur struktur sesar
turun menunjukkan bahwa segmen bidang sesar berarah baratlaut – tenggara,
N138°E/68°, pitch 80°. Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4 (a), pergerakan
pensesaran normal dari timurlaut ke baratdaya. Hal ini menunjukkan bahwa arah
pergerakan pensesaran normal searah dengan sumbu lipatan.

Struktur sesar geser yang dijumpai di hulu Kali Jaya merupakan sesar geser
sinistral, terisi oleh urat kalsit dan membentuk geometri en-echelon, sebagaimana tampak

1435
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I017POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

pada Gambar 4 (b). Sesar geser ini diperkirakan melibatkan seluruh Formasi Penosogan.
Pengukuran unsur-unsur struktur sesar geser menunjukkan bidang sesar berarah utara -
selatan, N40°E/60°, pitch 10° dengan indikasi pergeseran lapisan batuan dalam skala
sentimeter. Pada beberapa titik pengamatan sesar geser ini berpasangan membentuk sesar
geser konjugat.

Pembentukan sesar turun dan sesar geser di daerah penelitian mempunyai


hubungan geometri yang signifikan berkaitan dengan deformasi simple shear yang bekerja
pada zona sesar tersebut. Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4 (c) dalam model
sistem Riedel shear, 2 tegasan utama tersebut menghasilkan komponen gaya tarik
(extension) dan komponen gaya tekan (compression). Sesar geser dengan arah tegasan
utama kurang lebih utara – selatan menghasilkan tegasan gaya tarik (extension) berarah
timurlaut – baratdaya membentuk sesar turun. Tegasan kompresional menghasilkan sesar
geser berpasangan, yaitu sesar geser sinistral sebagai sesar sintetik dan sesar geser
dekstral sebagai sesar antitetik.

V. DISKUSI DAN PEMBAHASAN

Struktur geologi utama di daerah penelitian melibatkan sesar turun dan sesar geser
yang mempengaruhi seluruh Formasi Penosogan secara regional. Berdasarkan hukum
potong-memotong mengindikasikan bahwa sesar turun yang berkembang di daerah
penelitian berkaitan dengan sistem sesar geser dengan arah gaya kompresi utara – selatan.
Model sistem Riedel shear memberikan gambaran bahwa deformasi simple shear di
daerah penelitian dipengaruhi oleh 2 tegasan utama yang melibatkan komponen gaya
tarik (extension) dan komponen gaya tekan (compression). Tegasan gaya tarik (extension)
berarah timurlaut – baratdaya menghasilkan sesar turun dan tegasan gaya kompresi
menghasilkan sesar geser sinistral sebagai sesar sintetik. Sesar geser ini merupakan sesar
utama, yang kemudian pada periode tektonik selanjutnya diperkirakan mengalami
reaktivasi menjadi struktur termuda.

Mekanisme deformasi ini secara tidak langsung diperkirakan berhubungan


dengan perubahan segmentasi tektonik busur volkanik yang telah dimulai sejak Eosen
Tengah (Hall, 2012). Perubahan segmentasi tektonik busur volkanik diperkirakan
mempengaruhi aktivitas vulkanisme dan peristiwa pengangkatan yang berulang. Rizal
dkk. (2018) menyebutkan bahwa Formasi Penosogan pada bagian bawah mengalami
perubahan fasies lingkungan pengendapan kipas laut dalam (deep marine fan) yang
dinamis. Perubahan dinamis ini diperkirakan dipengaruhi oleh aktivitas tektonik Miosen
Tengah yang mengkontrol pembentukan morfologi dan aktivitas vulkanisme.
Pengendapan Formasi Penosogan pada Miosen Tengah terjadi saat intensitas vulkanisme
Pegunungan Serayu Selatan mulai berkurang. Hal ini diperkirakan dipengaruhi oleh
adanya efek rotasi proses subduksi Sundaland yang bergerak berlawanan arah jarum jam
(Husein dkk., 2013).

1436
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I017POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Pergerakan rotasi berlawanan arah jarum jam ini secara tidak langsung
diperkirakan menghasilkan deformasi simple shear di daerah penelitian. Aktivitas
deformasi simple shear ini menghasilkan gangguan-gangguan sedimentasi material
sedimen halus (soft-sediment deformation structures) yang berasosiasi dengan struktur load
cast, struktur lidah api (flame structure), ball and pillow structure, dan struktur slump dengan
arah kemiringan yang berubah-ubah. Struktur deformasi material sedimen halus yang
terbentuk bersamaan dengan proses pengendapan sering digunakan sebagai indikator
aktivitas seismik yang berhubungan dengan peristiwa gempa bumi (Rossetti et al., 2017).
Gejala struktur deformasi sedimen halus atau sering disebut sebagai seismite sering
ditemukan pada lapisan batuan yang belum terkonsolidasi. Mekanisme deformasi ini
berhubungan dengan berkurangnya kekuatan geser memicu gejala likuifaksi serta
sedimentasi hasil luncuran gravitasi (Moretti et al., 2011; Brogi et al., 2018). Brogi et al.
(2018) membuat model konseptual mekanisme deformasi sedimen halus sebagaimana
ditunjukkan pada Gambar 5

Aktivitas gempabumi dapat memicu berkurangnya kekuatan geser / ikatan antar


butiran terutama pada material sedimen yang belum terkonsolidasi menjadi horizon-
horizon overpressure / tekanan pori tinggi (high pore pressure). Horison ini dapat
berasosiasi dengan gejala breksiasi pada bagian bawah dan paket-paket struktur slump,
struktur lidah api, serta struktur seismite lain pada bagian atas hasil pengendapan secara
cepat. Aktivitas tektonik Miosen Tengah diperkirakan berkaitan dengan peristiwa gempa
bumi dan tektonik gravitasi (gravity sliding) yang mengkontrol pembentukan struktur
deformasi sedimen halus.

VI. KESIMPULAN

1. Aktivitas tektonik Miosen Tengah diperkirakan mempengaruhi mekanisme


pengendapan Formasi Penosogan yang dinamis. Aktivitas tektonik ini mengkontrol
pembentukan morfologi, aktivitas vulkanisme, dan perubahan lingkungan
pengendapan.
2. Tektonik Miosen tengah berhubungan dengan deformasi simple shear yang melibatkan
tegasan gaya tarik (extension) berarah timurlaut – baratdaya menghasilkan sesar turun
dan tegasan gaya kompresi menghasilkan sesar geser sinistral sebagai sesar sintetik
dengan tegasan utama utara – selatan.
3. Aktivitas deformasi simple shear ini menghasilkan gangguan-gangguan sedimentasi
material sedimen halus (soft-sediment deformation structures) yang berasosiasi dengan
struktur load cast, struktur lidah api (flame structure), ball and pillow structure, dan
struktur slump.
4. Aktivitas tektonik Miosen Tengah diperkirakan berkaitan dengan peristiwa gempa
bumi dan tektonik gravitasi (gravity sliding)

UCAPAN TERIMA KASIH

1437
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I017POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Edi Hidayat, S.T. M.T. selaku
Kepala Balai Informasi dan Konservasi Kebumian - LIPI atas pemberian izin, dukungan
dan pendanaan dalam kegiatan penelitian ini. Terima kasih juga kami sampaikan kepada
rekan-rekan teknisi Balai Informasi dan Konservasi Kebumian - LIPI yang telah membantu
dalam pekerjaan di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

Alsop, G. I., Marco, S. (2011). Soft-sediment deformation within seismogenic slumps of the Dead Sea
Basin, Journal of Structural Geology. 433 – 457.

Asikin, S. (1974). Evolusi geologi Jawa Tengah dan sekitarnya ditinjau dari segi teori tektonik dunia
yang baru, disertasi, Departemen Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung tidak
dipublikasikan, 103 hal.

Asikin, S., Handoyono, A., Busono, H., Gafoer, S. (1992). Peta Geologi Lembar Kebumen, Jawa,
Skala 1:100.000. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Geologi.

Brogi, A., Capezzuoli, E., Moretti, M., García, E. O., Matera, P. F., Monroy, V. H. G., Mancini, A.
(2018). Earthquake-triggered soft-sediment deformation structures (seismites) in
travertine deposits, Tectonophysics, 349 – 365.

Hall, R. (2012). Late Jurasic-Cenozoic reconstructions of the Indonesian region and the Indian
Ocean. Tectonophysics, 570-571, pp.1-41

Husein, S., Jyalita, J., Nursecha, M.A.Q. (2013). Kendali stratigrafi dan struktur gravitasi pada
rembesan hidrokarbon Sijenggung, Cekungan Serayu Utara, Proceeding Seminar
Nasional Kebumian ke-6. Yogyakarta : Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada.

Moretti, M., Ronchi, A. (2011). Liquefaction features interpreted as seismites in the Pleistocene
fluvio-lacustrine deposits of the Neuquén Basin (Northern Patagonia), Sedimentary
Geology, 200 – 209.

Pamungkas, D., Fikri, I. Z., Herawan, T. H. (2017). Analisis fasies sekuen stratigrafi untuk
menentukan lingkungan pengendapan dari Formasi Penosogan Zona Serayu Selatan
Jawa Tengah, Proceeding Seminar Nasional Kebumian ke-10. Yogyakarta : Teknik
Geologi Universitas Gadjah Mada.

Rossetti, D.F., Alves, F.C., Valeriano, M.M. (2017). A tectonically-triggered late Holocene seismite
in the southern Amazonian lowlands, Brazil, Sedimentary Geology, 70 – 83. Sribudiyani,
Muchsin, M., Ryacudu, R., Kunto, T., Astono, P., Prasetya, I., Sapiie, B., Asikin, S.,
Harsolumakso, A.H., dan Yulianto, I., (2003). The collision of the East Java microplate and
implication for hydrocarbon occurrences in the East Java Basin, 29th Annual Convention,
Jakarta, Indonesian Petroleoum Association Proceedings, IPA03-G-085.

Van Bemmelen, R. W. (1949). The Geology of Indonesia, Vol. 1 A, Government Printing Office,
Nijhoff, The Hague, 732 p

1438
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I017POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Widianto, Vicky dan Ari Wibowo. 2015. Sedimentological Significants od Deep-Water Sediments of
Penosogan Formation in Kebumen Area, Central Java. Procedings Seminar Nasional
Kebumian Ke-8. Yogyakarta : Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada.

1439
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I017POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Peta geologi daerah penelitian. Kotak merah adalah lokasi penelitian Desa Kaligending,
Kecamatan Karangsambung, Kabupaten Kebumen.

1440
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I017POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. (a) Singkapan Formasi Penosogan bagian bawah di Sungai Luk Ulo, Kaligending.
Struktur deformasi yang berhubungan dengan gangguan sedimentasi material sedimen halus
berupa (b) ball and pillow structure pada bagian atas dan bawah, (c) struktur lidah api (flame
structure) pada bagian tengah.

1441
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I017POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Struktur lipatan dengan sumbu lipatan berarah baratlaut – tenggara di hulu Kali Jaya.
Kedudukan sayap utara N306oE/26o dan sayap selatan N 81oE/20o

Gambar 4. Struktur sesar turun dan sesar geser pada beberapa lapisan Formasi Penosogan. (a)
segmen bidang sesar turun berarah baratlaut – tenggara, N1380E/680, pitch 800. (b) sesar geser
sinistral sebagai sesar geser sintetik dengan arah tegasan utama kurang lebih utara-selatan. (c)
hubungan geometri sesar turun dan sesar geser dalam sistem Riedel shear.

1442
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I017POP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. Model konseptual mekanisme deformasi sedimen halus yang berhubungan dengan
aktivitas seismik gempa bumi (Brogi et al., 2018).

1443
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I020UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

PEMANFAATAN METODE FOTOGRAMETRI DALAM PEMETAAN


GEOMORFOLOGI DETAIL UNTUK MEMAHAMI DINAMIKA TERAS
SUNGAI PROGO DI KECAMATAN SENTOLO, KABUPATEN KULON
PROGO, D.I. YOGYAKARTA

Annisa' Nurina Adani1*, Gayatri Indah Marliyani1


1Departemen Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada, Jl. Grafika No.2, Senolowo, Sinduadi, Mlati,
Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55284

*Corresponding Author: a.nurina.adani@mail.ugm.ac.id

ABSTRAK. Bukti adanya aktifitas tektonik aktif seringkali bisa kita amati dengan adanya morfologi
yang khas. Untuk daerah beriklim tropis seperti Indonesia, bentukan morfologi umumnya
didominasi oleh proses fluviatil sehingga sungai umum dijumpai. Berbagai peristiwa tektonik dapat
tercermin dalam morfologi sungai yang khas. Salah satu keunikan morfologi sungai dapat dijumpai
pada sepanjang aliran Sungai Progo di wilayah Sentolo, DIY. Pada lokasi ini dijumpai teras – teras
sungai berundak yang terpisah dari sungai Progo yang aktif. Undakan teras ini hanya terbentuk
pada sisi bagian barat sungai,dan tidak dijumpai di sisi timurnya, membentuk non-paired terraces.
Kenampakan morfologi ini terlihat pada citra dan foto udara daerah tersebut. Sungai Progo pada
lokasi ini merupakan bedrock channel dengan arah aliran sungai tidak mengikuti bidang perlapisan.
Hal ini menandakan Sungai Progo memiliki stream power yang cukup besar sehingga diperlukan
gangguan yang cukup besar untuk bisa merubah aliran sungai. Dalam penelitian ini, kami
melakukan pemetaan geomorfologi detil yang membutuhkan data topografi beresolusi tinggi untuk
mengetahui geometri teras-teras sungai di daerah ini. Untuk pengambilan data tersebut,kami
menggunakan metode fotogrametri dengan prosedur Structure from motion. Prosedur ini
diterapkan pada data foto udara yang diambil dengan menggunakan unmanned aerial vehicle
(UAV) berupa drone. Dengan menggunakan metode ini, kami berhasil membuat data Digital
Elevation Model (DEM) beresolusi ~0.5 m yang digunakan sebagai peta dasar untuk pemetaan
geomorfologi detail. Kami mengidentifikasi setidaknya terdapat 3 teras Sungai Progo. Kami
menginterpretasikan bahwa terbentuknya teras-teras sungai ini kemungkinan besar dikontrol oleh
proses tektonik berupa pengangkatan. Aktifitas tektonik pengangkatan dapat mengubah base level
sungai sehingga proses erosi vertikal menjadi dominan. Lebih lanjut lagi, keberadaan teras-teras
sungai ini hanya dijumpai pada lokasi ini dan tidak di bagian Sungai Progo yang lain, sehingga
kemungkinan besar pembentukan teras-teras ini akibat pensesaran lokal di daerah ini. Untuk
mengetahui keberadaan sesar yang mengontrol dinamika sungai Progo di daerah ini diperlukan
penyelidikan lebih lanjut.

Kata kunci: teras sungai, Structure from Motion, morfologi, Sungai Progo

I. PENDAHULUAN
Sungai merupakan bagian dari bentang alam fluvial yang menarik untuk dipelajari, sebab
keunikan suatu sungai dapat mengindikasikan peristiwa – peristiwa geologi yang khas pada daerah

1444
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I020UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

tersebut. Contohnya sungai dengan pola pengaliran rektangular, dimana sungai memiliki pola -
pola beraturan tegak lurus dapat mengindikasikan adanya struktur geologi berupa kekar pada
batuan masif berlapis atau berfoliasi pada daerah batuan malihan (Sapiie dkk, 2014).
Sungai Progo yang berada di Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi D.I.
Yogyakarta memiliki kenampakan morfologi yang khas berupa hadirnya teras – teras sungai pada
area meander sungai yang tampak pada citra dan foto udara. Kenampakan ini telihat jelas pada citra
Google Earth (Gambar 1). Ciri khas tersebut menunjukkan bahwa Sungai Progo mengalami
perubahan bentuk morfologi dan kemungkinan besar akibat adanya suatu proses geologi. Pemetaan
detail diperlukan untuk mengetahui proses yang mengontrol perubahan tersebut.
Pemetaan morfologi sungai dapat dilakukan dengan dua cara yakni pemetaan langsung di
lapangan dan menggunakan penginderaan jauh. Pola penyaluran sungai biasanya tidak akan
teramati dengan baik ketika dilihat secara langsung di lapangan karena bentangannya yang luas.
Oleh karena itu diperlukan pengamatan yang lebih luas dengan metode penginderaan jauh.
Penginderaan jauh ada berbagai macam, salah satunya yaitu teknik fotogrametri yang dilakukan
dengan menggunakan stereoskop.
Penelitian ini bertujuan untuk membuat peta geomorfologi detail Sungai Progo pada daerah
yang sudah ditentukan (Gambar 2). Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk
memahami dinamika morfologi teras Sungai Progo.

II. GEOLOGI REGIONAL

Menurut Husein dan Srijono (2010), bentang alam fluvial pada Pegunungan Kulon
Progo hadir secara luas pada kaki selatan perbukitan Sentolo, dimana batas selatannya
berbatasan dengan bentang alam eolian yang membentuk pesisir selatan Yogyakarta.
Sungai Opak dan Sungai Progo yang merupakan dua sungai besar terletak di Dataran
Rendah Yogyakarta membatasi Pegunungan Selatan dan Kulon Progo. Di sepanjang dua
sungai besar ini berkembang morfologi dataran banjir, dataran banjir antar pegunungan,
dan tubuh sungai.
Menurut Nugrahaeni (2017), Sungai Progo memiliki pola aliran berbentuk
dendritik yang terlihat dari percabangan anak – anak sungainya. Sungai Progo ini mengalir
dari utara ke selatan. Daerah penelitian berada pada bagian hilir, sehingga alur Sungai
Progo berkelok - kelok dan membentuk meander. Pada area di sekitar muara Sungai Progo
terbentuklah delta karena banyaknya sedimen yang terendapkan.
Menurut peta geologi regional (Gambar 3) yang dibuat oleh Rahardjo dkk (1995),
stratigrafi pada daerah penelitian (dari tua ke muda) tersusun atas Formasi Sentolo,
Endapan Merapi Muda, dan Endapan Aluvial. Formasi Sentolo terdiri atas batugamping
dan batupasir napalan. Bagian bawah dari Formasi Sentolo terdiri atas konglomerat yang
ditumpangi oleh napal tufan dengan sisipan tuf, semakin ke atas berangsur-angsur
berubah menjadi batugamping berlapis yang kaya akan foraminifera. (Widagdo dkk, 2016).
Pada daerah penelitian endapan Merapi Muda telah bercampur dengan material endapan
aluvial sehingga jenis batuan yang ditemukan berupa kerakal, pasir, lanau, dan lempung
(Rahardjo dkk, 1995).
Menurut Widagdo dkk (2016), kelurusan struktur sesar yang berkembang di
Pegunungan Kulonprogo didominasi oleh kelurusan berarah barat laut-tenggara yang
terlihat pada bagian tengah dan selatan Pegunungan Kulon Progo. Barianto dkk (2010)
menyebutkan bahwa kelurusan berarah barat laut-tenggara ini dijumpai pada tubuh

1445
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I020UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

gunung api Ijo yang merupakan gunung api purba. Kelurusan ini membentuk kurva
sehingga pada bagian barat laut gunung Ijo berubah arah menjadi barat-timur. Kelurusan
barat laut-tenggara ini diperkirakan sebagai kelurusan sesar normal di bagian barat laut
Gunung Ijo atau di daerah Kaligesing Purworejo. Sesar-sesar normal ini memiliki
kemiringan ke arah barat daya. Barianto, dkk (2010) juga membuat peta struktur geologi
(Gambar 4) pada daerah tersebut menggunakan data yang diidentifikasi oleh peneliti ini
dari peta yang sudah dipublikasikan dan ditampalkan dengan data gravitasi Yogyakarta.

III. METODOLOGI

Kami menggunakan metode pemetaan berbasis morfometri dari Savigear (1965)


dalam melakukan pemetaan geomorfologi detail. Piranti yang digunakan untuk
mengamati model 3D morfologi Sungai Progo di daerah penelitian adalah stereoskop. Data
penelitian adalah foto udara dari BAKOSURTANAL dengan nomor foto VII/203/X-9 dan
VII/203/X-11 yang diambil tahun 1993 yang kemudian ditampalkan dan dilakukan
deliniasi. Proses selanjutnya yaitu pengubahan menjadi data digital menggunakan software
ArcGIS 10.4 dan corel draw 2019.

IV. HASIL PENELITIAN

Berdasarkan peta geomorfologi yang telah diolah (Gambar 5) terdapat morfologi


yang menyerupai meander sungai berada pada sebelah barat Sungai Progo yang aktif saat
ini (sungai utama). Dataran pada bagian barat bentukan meander sungai diperkirakan
sebagai teras Sungai Progo pada masa lampau. Pada daerah tersebut juga ditemui sungai
intermiten yang sampai sekarang masih mengalir airnya.
Kami mengamati bahwa endapan penyusun teras Sungai Progo aktif dan teras
yang berada pada posisi lebih tinggi dari sungai aktif (Gambar 6a dan b) berbeda. Pada
teras Sungai Progo yang aktif (Gambar 6b) terdapat endapan sungai berukuran mulai pasir
kasar hingga bongkah, berbentuk membulat dan terdapat imbrikasi searah dengan aliran
sungai yakni dari utara ke selatan. Endapan teras sungai didominasi oleh konglomerat
dengan fragmen batuan andesit di bagian bawah, pada bagian atas menumpang endapan
lepas berupa pasir kasar.
Litologi yang menyusun teras sungai purba berbeda dengan litologi pada sungai
aktif. Batuan yang ditemui berupa batupasir lapuk. Batuan berukuran pasir halus hingga
sedang berbentuk membulat, dan arah perlapisan cenderung ke tenggara. Batuan
penyusun teras – teras tersebut merupakan batupasir non-karbonatan (Gambar 6a).

V. DISKUSI DAN PEMBAHASAN

Menurut Thornburry (1954), teras sungai merupakan bagian dari topografi


permukaan yang menjadi penanda hadirnya suatu lembah atau ngarai. Teras sungai dibagi
menjadi dua jenis berdasarkan genesanya (Cotton, 1940 dalam Thornburry, 1954). Jenis
pertama adalah cyclic terraces yang merupakan bentukan teras berpasangan yang
berlawanan arah dengan ketinggian yang hampir sama. Teras yang berpasangan ini

1446
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I020UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

disebut Thornburry (1954) sebagai paired terraces. Jenis yang kedua yaitu noncyclic terraces
dimana bentukan topografi penciri dari proses ini yaitu nonpaired terraces. Teras ini
terbentuk ketika proses erosi lateral terjadi bersamaan dengan proses erosi vertikal.
Kondisi ini menyebabkan sabuk meander dari arus sungai akan bergerak dari satu sisi ke
sisi yang lain dan lantai lembah akan lebih rendah. Lantai lembah yang berada di seberang
sungai (tidak dilewati oleh arus sungai) akan menghasilkan teras yang berbeda
ketinggiannya. Nonpaired terraces ini bukan hanya produk dari arus sungai, namun bisa jadi
juga karena proses pengangkatan atau uplift yang lambat di area tersebut (Thornburry,
1954).
Pada daerah penelitian ini dijumpai kondisi morfologi sungai berupa teras – teras
sungai yang berada lebih tinggi dari sungai aktif. Kehadiran teras – teras ini dapat dilihat
pada sebelah barat dari bentukan dataran yang menyerupai sungai di peta geomorfologi
detail (Gambar 5). Bentukan teras – teras ini akan tetapi hanya ditemui pada salah satu sisi
sungai utama saja apabila melihat dari citra Google Earth (Gambar 1). Berdasarkan
kehadiran bentukan non-paired terraces, teras Sungai Progo dapat diklasifikasikan ke dalam
noncyclic terraces menurut Thornburry (1954).

Pada peta geomorfologi detail terlihat pula gambaran yang menyerupai area
meander sungai di area yang datar. Bentukan dataran yang menyerupai meander sungai
tersebut berkembang pada daerah di sebelah barat Sungai Progo yang aktif saat ini. Hal ini
mengindikasikan terdapat dua teras Sungai Progo. Teras di sebelah barat terbentuk
bersamaan dengan area dataran yang menyerupai meander sungai, sedangkan satunya
terbentuk seiring dengan proses fluviatil yang berlangsung pada Sungai Progo yang aktif
saat ini. Berdasarkan hal ini terlihat pula bahwa proses meandering sungai bergeser dari
arah barat ke arah timur, sehingga berkembanglah teras Sungai Progo yang aktif saat ini
pada sebelah timur dari dua teras yang sudah ada sebelumnya.

Teras sungai menurut batuan penyusunnya dapat dibagi menjadi dua yaitu
bedrock terraces dan alluvial terraces. Bedrock terraces merupakan teras sungai yang
penyusunnya adalah batuan dasar dengan sedikit bahkan hampir tidak ditemukan
alluvium sebagai penyusunnya. Kondisi ini berbeda dengan alluvial terraces yang tersusun
oleh kerikil, pasir dan alluvium yang lebih halus (Thornburry, 1954). Sungai Progo pada
daerah penelitian ini merupakan bedrock terraces, apabila mengacu dari litologi penyusun
teras yang elevasinya lebih tinggi dari teras Sungai Progo aktif (Gambar 6a). Bentukan teras
ini disebut bedrock terraces karena batuan dasar berupa batupasir dari Formasi Sentolo yang
ditemui sebagai litologi penyusun di lokasi ini. Berbeda dengan yang ditemui pada teras
Sungai Progo yang aktif saat ini, penyusunnya lebih banyak terdiri dari material kerikil,
pasir, dan alluvium yang lebih halus sehingga teras yang sekarang dapat dikategorikan
sebagai alluvial terraces (Gambar 6b). Hal ini wajar terjadi sebab pada daerah penelitian
merupakan pertemuan dari dua formasi batuan yaitu Formasi Sentolo dan Endapan
Merapi Muda.
Menurut Schanz dkk (2018), teras sungai bisa digunakan untuk identifikasi suatu
kejadian tektonik dalam ilmu geomorfologi. Kehadiran teras sungai dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya: iklim, tektonik, pasokan sedimen, dan aktivitas manusia.

1447
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I020UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Keempat faktor tersebut saling berhubungan satu sama lain dan bisa terjadi bersama - sama
sehingga nantinya akan menghasilkan teras yang beragam dan kompleks.
Keempat faktor di atas yang saling berhubungan mengakibatkan munculnya
beberapa skenario yang dapat terjadi dalam pembentukan teras Sungai Progo di daerah
penelitian. Skenario pertama yaitu adanya perbedaan resistensi batuan. Apabila terdapat
dua batuan yang berbeda resistensinya, batuan yang kurang resisten akan terkikis dan
menghilang sebagai penyusun teras. Hal ini mengakibatkan batuan penyusun teras hanya
terdiri atas batuan dasar akibat sifatnya yang lebih resisten sehingga terbentuklah bedrock
terraces. Skenario kedua yaitu letak Sungai Progo yang berada pada daerah beriklim tropis
dimana curah hujan yang tinggi akan membawa debit air yang besar sehingga stream power
Sungai Progo cukup besar untuk mengikis perlapisan batuan dan membuat kenampakan
bedrock terraces. Skenario ketiga yaitu pengangkatan batuan setelah teras terbentuk yang
bisa menjadikan kenampakan Sungai Progo purba menjadi bedrock terraces akibat batuan
dasar yang tersingkap.
Berdasarkan hasil pengamatan dan data yang kami punya, skenario pertama
kurang memungkinkan sebab menurut peta geologi regional (Rahardjo dkk, 1995) batuan
penyusun yang berusia pra-Kuarter pada daerah penelitian berasal dari Formasi Sentolo
saja. Hal ini membuktikan bahwa ada keseragaman dalam resistensi batuan sehingga
seharusnya bedrock terraces tidak dapat terbentuk jika hanya disebabkan oleh faktor ini.
Batuan yang digunakan hanya batuan pra-Kuarter sebab teras Sungai Progo diasumsikan
sudah terbentuk lebih dulu dibanding endapan yang terbentuk di Kala Kuarter, untuk
membuktikan skenario ini benar diperlukan data stratigrafi yang terkorelasi antara teras –
teras Sungai Progo sehingga dapat mengetahui waktu proses erosi vertikal dan horizontal
pada sungai. Pembuatan data korelasi stratigrafi untuk membuktikan skenario ini berada
di luar bahasan kami.
Skenario kedua mengenai stream power Sungai Progo yang besar dan dapat
mengikis lapisan batuan dasar. Apabila skenario ini terjadi, perlapisan batuan selayaknya
mengikuti aliran sungai. Akan tetapi arah aliran Sungai Progo cenderung ke arah selatan,
kurang selaras dengan arah kemiringan perlapisan batuan yang cenderung ke tenggara.
Kami menginterpretasikan bahwa skenario ketiga yang paling memungkinkan terjadi di
daerah penelitian. Skenario ketiga yaitu pengangkatan batuan yang merupakan salah satu
bukti dari adanya aktifitas tektonik. Pengangkatan (uplift) batuan ini didasarkan pada
keberadaan non-paired terraces yang tampak di peta geomorfologi detail dan citra Google
Earth. Kenampakan non-paired terraces ini dapat mengindikasikan adanya kontrol
endogenik berupa uplift atau pengangkatan, sebagaimana yang diungkapkan oleh
Thornburry (1954). Berdasarkan keberadaan non-paired terraces ini, kami
menginterpretasikan bahwa kemungkinan besar terbentuknya teras-teras sungai ini
dikontrol oleh proses tektonik berupa pengangkatan lokal. Base level sungai dapat terubah
akibat aktifitas tektonik pengangkatan, sehingga proses erosi vertikal menjadi dominan.
Berdasarkan peta struktur geologi yang dibuat oleh Barianto, dkk (2010) ditemukan
beberapa kelurusan berarah barat laut – tenggara yang dapat mendukung adanya aktifitas
pensesaran di daerah ini. Penelitian lebih lanjut berupa pemetaan geologi dan pengambilan

1448
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I020UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

data geofisika bawah permukaan diperlukan untuk mengetahui keberadaan sesar yang
mengontrol dinamika Sungai Progo di daerah ini.

VI. KESIMPULAN

Berdasarkan pemetaan geomorfologi detail, kami mengidentifikasi terdapat dua


teras pada Sungai Progo yang berada di Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, D.I.
Yogyakarta. Teras – teras ini diidentifikasi dari kehadiran morfologi dataran luas yang
berada di sebelah area yang menyerupai meander sungai pada peta geomorfologi detail
dan citra Google Earth. Teras Sungai Progo pada daerah penelitian tersusun atas endapan
aluvial (alluvial terraces) di teras sungai aktif dan batupasir non-karbonatan (bedrock terraces)
pada teras yang berada di posisi lebih tinggi dari teras sungai aktif. Keempat faktor
pembentuk teras sungai yang saling berhubungan mengakibatkan munculnya beberapa
skenario yang dapat terjadi dalam pembentukan teras di daerah penelitian. Skenario yang
paling memungkinkan adalah aktifitas tektonik berupa pengangkatan lokal yang
didukung dengan kehadiran non-paired terraces dan kelurusan pada peta geologi regional.
Penelitian lebih mendalam seperti pemetaan geologi detail dan pengambilan data geofisika
bawah permukaan dibutuhkan untuk mengetahui keberadaan sesar yang menjadi salah
satu indikasi adanya aktifitas tektonik di daerah penelitian.

ACKNOWLEDGEMENTS
Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh perangkat Desa Kaliagung dan
Desa Sentolo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo dan perangkat Desa Argodadi,
Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul atas penerimaannya yang ramah saat kami
melakukan pengambilan data untuk melakukan pemetaan geomorfologi detail Sungai
Progo. Terima kasih disampaikan pula kepada Departemen Teknik Geologi UGM yang
membantu dalam pembiayaan bagi pelancaran studi kami dalam memahami dinamika
morfologi Sungai Progo.

DAFTAR PUSTAKA
Barianto, D.H., Kuncoro, P., Watanabe, K. 2010. The Use of Foraminifera Fossils for Reconstructing
the Yogyakarta Graben, Yogyakarta, Indonesia. Journal of South East Asian Applied
Geology. May-August 2010. Vol 2(2), pp 138-143.
Husein, S. dan Srijono. 2010. Peta Geomorfologi Daerah Istimewa Yogyakarta. Simposium Geologi
Yogyakarta 23 Maret 2010
Nugrahaeni, L. 2017. Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Sedimen di DAS Progo Hilir
Yogyakarta. [Thesis tidak dipublikasikan]: Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada
Prabowo, Ignatius Adi dan Dianto Isnawan. 2017. Integrasi Data Penginderaan Jauh LANDSAT 8
dan SRTM untuk Identifikasi Bentu Lahan Dome Kulon Progo. Jurnal Ilmiah Bidang
Teknologi Angkasa vol. IX No.2, November 2017

1449
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I020UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Rahardjo, W., Sukandarrumidi, dan Rosidi H.M.D. 1995. Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Jawa.
Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi
Sapiie, B., Magetsari, N.A., Harsolumakso, A.H., Abdullah, C.I. 2014. Geologi Fisik. Bandung: FITB
ITB
Savigear, R.A.G., A Technique of Morphological Mapping. Annals of the Association of American
Geographers Vol.55 No.3, pp. 514-538
Schanz, S.A., Montgomery, D.R., Collins, B.D., dan Duvall, A.R. 2018. Multiple Paths to Sraths: A
Review and Reassessment of Terrace Genesis. Journal of Geomorphology, March 2018
Widagdo, A., Pramumijoyo, S., Harijoko, A., dan Setiawan, A. 2016. Kajian Kontrol Struktur Geologi
Terhadap Sebaran Batuan – Batuan di Daerah Pegunungan Kulonprogo, Yogyakarta.
Proceeding Seminar Nasional Kebumian ke-9, Yogyakarta

1450
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I020UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Citra daerah penelitian diambil dari Google Earth pada tahun 2019 yang menunjukkan
adanya teras – teras Sungai Progo.

Gambar 2. Peta daerah penelitian (kotak merah) pada peta Digital Elevation Model (DEM) yang
dibuat dari ASTER DEM dengan resolusi 30 m (diambil dari usgs.gov tahun 2019). Garis hitam pada
peta menggambarkan batas wilayah.

1451
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I020UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Peta Geologi Lembar Yogyakarta (Rahardjo dkk, 1995). Kotak merah menunjukkan lokasi
penelitian.

1452
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I020UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Peta Kelurusan Geologi di daerah penelitian. Terdapat dua pola kelurusan yang
kekmungkinan dikontrol oleh struktur geologi. Kelurusan yang berwarna hitam didelineasi oleh
Barianto, dkk (2010) dari peta yang sudah dipublikasikan dan data gravitasi di Yogyakarta
ditampalkan dengan peta DEM dari DEMNAS. Kelurusan berwarna merah merupakan hasil
pengamatan kami. Kotak biru menunjukkan lokasi penelitian

1453
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I020UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. Peta geomorfologi detail daerah penelitian yang didapat dari analisa foto udara dengan
nomor foto VII/203/X-9 dan VII/203/X-11 yang diambil tahun 1993 (atas peta geomorfologi detail).
Peta menggambarkan letak teras Sungai Progo pada posisi lebih tinggi dengan sungai yang aktif
saat ini.

1454
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I020UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 6. a. Foto batuan yang ditemukan pada lokasi teras Sungai Progo dengan elevasi yang lebih
tinggi dari teras sungai aktif saat ini (singkapan menghadap timur laut). b. Foto batuan yang
dijumpai di lokasi teras Sungai Progo aktif berjarak ± 5 meter dari tepi sungai, dengan posisi ± 1,5
meter lebih tinggi dari sungai aktif (singkapan menghadap barat).

1455
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I023UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

PENENTUAN SEMPADAN SUNGAI CIMANUK, DESA SUKAKARYA,


KECAMATAN GARUT, KABUPATEN GARUT, JAWA BARAT
MENGGUNAKAN PEMODELAN GEOMORFOLOGI BERDASARKAN DATA
DARI METODE STRUCTURE FROM MOTION
Agung Setianto1*, Nur Syahraini1
1Departemen Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada, Jl. Grafika No.2, Senolowo, Sinduadi, Mlati,
Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55284

*Corresponding Author: agung.setianto@gmail.com

ABSTRAK. Banjir bandang yang terjadi di Garut disebabkan oleh kerusakan daerah aliran sungai
(DAS), salah satunya karena kesalahan penggunaan lahan sempadan sungai yang digunakan untuk
pembangunan rumah sehingga menyebabkan penyempitan badan sungai. Hal ini perlu adanya
penetapan garis sempadan sungai yang baru sebagai upaya perlindungan permukiman masyarakat
di sekitar sungai. Ada beberapa pendekatan yang digunakan, salah satunya adalah pendekatan
morfologi. Morfologi berfungsi untuk mengetahui topografi daerah penelitian, kemiringan dan
kelandaian lereng serta mengetahui arah aliran dan kecepatan banjir berdasaran geometri sungai.
Hal tersebut penting untuk mengetahui jarak penarikan sempadan sungai. Oleh karena itu, perlu
membuat peta geomorfologi yang dibuat berdasarkan pemetaan di lapangan dan Digital Elevation
Model (DEM). DEM dibuat dengan metode Structure from Motion (SfM), dimana metode ini memiliki
akuisisi data topografi dengan resolusi tinggi, penggunaan lebih mudah dan murah. Analisis yang
dilakukan, yaitu penyusunan peta geomorfologi. Sempadan sungai berdasarkan geomorfologi
ditarik dari tebing tertinggi sungai. Sempadan sungai yang berada di dalam perkotaan dan bertalud
ditarik 15 meter, sedangkan sungai yang berada diluar perkotaan dan tidak bertanggul ditarik 100
meter.

Kata kunci: sempadan sungai, geomorfologi, Structure from Motion

I. PENDAHULUAN
Banjir bandang yang terjadi pada tahun 2016 di Sungai Cimanuk disebabkan oleh
kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS), salah satunya karena kesalahan pemanfaatan
sempadan sungai. Hal ini memerlukan adanya evaluasi pembuatan garis sempadan sungai
baru. Penetapan garis sempadan sungai memiliki beberapa pendekatan yang dapat
digunakan. Pendekatan-pendekatan tersebut adalah pendekatan geomorfologi dan
pendekatan foto udara. Penggunaan geomorfologi penting untuk menentukan relief,
kemiringan lereng, arah dan kecepatan aliran daerah penelitian. Hal ini berhubungan
dengan penentuan jarak sempadan sungai, sehingga perlu dilakukan pembuatan model
geomorfologi dengan melakukan pemetaan geomorfologi dan pembuatan Digital Elevation
Model (DEM). DEM dibuat menggunakan metode Structure from Motion (SfM), dimana
metode ini memiliki akuisisi data topografi dengan resolusi tinggi, penggunaan lebih
mudah, dan murah (Micheletti, 2015). Metode ini memiliki beberapa wahana, salah
satunya Unmanned Aerial Vehicle (UAV) atau pesawat tanpa awak yang dikendalikan secara
jarak jauh, dalam hal ini alat yang digunakan adalah drone (Micheletti, 2015). Tujuan

1456
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I023UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

penelitian ini yaitu untuk menentukan sempadan sungai dari parameter geomorfologi
menggunakan pemodelan geomorfologi berdasarkan data dari metode SfM.

II. DAERAH PENELITIAN


Daerah penelitian berlokasi di Desa Sukajaya, Desa Paminggir, Desa Regol, Desa
Sukakarya, Desa Muarasanding, Desa Kota Kulon, Desa Sukabakti, Desa Ngampangsari,
Kecamatan Garut dan Kecamatan Karangpawitan, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat.
Daerah penelitian memiliki luas 1,8 km x 1,4 km. Daerah penelitian berada pada zona
Universal Transverse Mercator (UTM) 48S dengan koordinat 818760-821865 mT dan 9200561-
9202882 mU. Peta daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Bentang alam daerah penelitian menunjukkan relief datar dan beberapa landai
dengan kemiringan lereng <2%, beberapa lebih dari 15%. Morfologinya menunjukan
kontur sangat jarang hingga jarang, ketinggian Dataran Garut berkisar antara 700 hingga
800 meter di atas permukaan laut. Aliran sungai umumnya dendritik dan sebagian
anastomatik (Alzwar dkk., 1992).

III. METODE PENELITIAN


Dalam penelitian ini digunakan metode SfM meliputi data foto udara yang didapat
dengan melakukan pemotretan foto udara sepanjang Sungai Cimanuk daerah penelitian
menggunakan Fix Wing UAV tipe AvesX8 dan metode lapangan meliputi, pengukuran
lereng sungai, geometri sungai dan pemetaan geomorfologi. Analisis data yang dilakukan
adalah analisis foto udara, meliputi pembuatan DEM dan ortofoto. Pembuatan peta
geomorfologi, meliputi pembuatan satuan morfologi berdasarkan data lapangan dan
tekstur dan pola dari DEM dan ortofoto.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1. Jalur Pemotretan Foto Udara

Jalur pemotretan foto udara ditampilan dalam sebuah blok area dimana panah
kuning menujukkan arah terbang Fix Wing UAV tipe AvesX8. Hasil dari kalkulasi pada
sofware mission planner blok yang dibuat memiliki luasan area 6.377.299 m2 atau 6,377299
km2.
Waktu Fix Wing UAV tipe AvesX8 untuk memotret adalah 25,44 menit, foto udara
yang akan diambil sebanyak 517 yang menghasilkan resolusi piksel sebesar 12,92 cm.
Ketinggian pemotretan Fix Wing UAV tipe AvesX8 adalah 400 m diatas permukaan laut
dengan arah pemotretan sebesar 30o. Kecepatan terbang Fix Wing UAV tipe AvesX8 adalah
30 m/s dengan overlap sebesar 85% dan sidelap sebesar 55%. Parameter kamera yaitu focus
lenght 16 mm menunjukkan jangkauan pengambilan foto yang bagus untuk pemotretan
jarak jauh. Ringkasan parameternya dapat dilihat pada Gambar 4.1.
4.2. Proses Analisis Foto Udara

4.2.1 Align photo

Proses align photo atau pensejajaran foto berhasil menjajarkan 511 foto dimana
kotak berwarna biru menunjukkan arah dan gambar foto yang diambil (lihat Gambar

1457
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I023UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

4.2 (a)). parameter yang terdapat pada proses ini align photos, yaitu akurasi dan pair
preselection. Akurasi menunjukkan perkiraan ketepatan pendefinisian posisi kamera.
Akurasi yang dipilih pada proses foto ini adalah akurasi tinggi yang akan memproses
foto dengan ukuran sebenarnya. Pair preselection merupakan proses penggabungan foto
dengan mencocokkan objek-objek sama pada setiap foto, pilihan yang pilih adalah
reference yang digunakan untuk menampalkan foto yang posisi kameranya terukur. Key
point limit atau jumlah maksimum titik yang diperhitungkan dari objek-objek pada
setiap foto adalah 40.000 sedangkan tie point limit atau jumlah maksimum titik yang
bertampalan pada setiap foto adalah 4000. Hasil dari proses align photos adalah
terbentuknya sparse point cloud dan posisi kamera Foto yang disejajarkan dapat dilihat
pada Gambar 4.2 (b).

4.2.2 Sparse point cloud

Pensejajaran foto dilakukan bersamaan dengan pembuatan sparse point cloud yang
menghasilkan 531.389 titik pada keseluruhan foto yang telah disejajarkan (Lihat Gambar
4.3 (a)). Titik-titik jika diliat secara dekat memiliki jarak yang renggang seperti pada
Gambar 4.3 (b).

4.2.3 Penetapan Ground Control Points

Penetapan Ground Control Points (GCPs) ditetapkan menjadi 3 (tiga) titik yaitu G08,
G09 dan G46 (lihat Gambar 4.4). Penetapan satu titik GCPs melibatkan beberapa foto
seperti pada G46 melibatkan 12 foto, G08 melibatkan 11 foto, G09 melibatkan 10 foto
yang saling bertampalan dimana disemua foto dipasang titik GCPs yang sama.GCPs
yang dipasang berupa tanda silang (x) berwarna jingga (Lihat Gambar 4.5). Titik-titik
GCPs yang dipasang akan menghitung total error secara horizontal dan error pada tiap
pikselnya (pix) yang ditampilkan dalam Tabel 3.1. Akurasi menunjukkan ketelitian
pengukuran di lapangan, sedangkan error menunjukkan tingkat kesesuaian pemasukan
data GCPs ke software Agisoft.

4.2.4 Dense point cloud

Dense point cloud yang dibentuk dari sparse point cloud menghasilkan titik-titik
yang lebih padat yang berjumlah 18.293.744 (Lihat Gambar 4.6 (a)). Kenampakan dense
point cloud lebih jelas dibandingkan sparse point cloud. Parameter yang dipilih dalam
pembentukan dense point cloud terdapat dua, yaitu kualitas dan depth filtering mode.
Kualitas yang dipilih dalam pembentukan adalah medium. Depth filtering mode
menunjukkan cara perlakuan terhadap titik tinggi karena tekstur yang jelek, adanya
noise dan foto tidak fokus. Pemilihan depth filtering mode adalah medium membuat hasil
yang terpilih tidak begitu kompleks dan detail tapi tidak begitu sederhana juga. Titik-
titik jika diliat secara dekat memiliki jarak yang renggang seperti pada Gambar 4.6 (b)

4.2.5 Mesh

Dense point cloud yang dihasilkan digunakan untuk membuat triangular face
dengan menghubungkan tiga poin yang berdekatan yang mereprentasikan permukaan
objek atau disebut mesh (Lihat Gambar 4.7 (a)). Mesh diolah dengan perhitungan face

1458
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I023UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

yang tinggi dan menghasilkan 3,658,747 face. Terdapat lima pameter yang
mempengaruhi pembentukan mesh, yaitu surface type, resouce data, polygon count,
interpolation, dan point classes. Surface type yang dipilih adalah height field untuk
pemodelan permukaan bumi seperti terrain. Resource data merupakan sumber data
yang digunakan untuk membuat 3D mesh. Sumber data yang dipilih adalah dense point
cloud yang dapat memberikan hasil yang lebih baik. Polygon count merupakan jumlah
maksimum poligon yang akan dibentuk. Pilihan yang dipilih adalah tinggi yang
menghasilkan poligon yang halus. Interpolation adalah proses menghubungkan titik dan
pilihan yang dipilih adalah disabled, dimana yang hanya menginterpolasi secara akurat
berdasarkan data dense point cloud yang ada saja. Point classes yaitu menentukan kelas
dari dense point cloud yang telah diklasifikasikan sebelumnya, seperti ground point class
untuk pembentukan Digital Terain Model (DTM). Klasifikasi poin dilakukan berdasarkan
objek difoto udara, seperti vegetasi, bangunan dan lainnya. Mesh jika diliat secara dekat
seperti pada Gambar 4.7 (b)

4.2.6 Tiled model

Tiled model yang dihasilkan bersumber dari dense point cloud (Lihat Gambar 4.8 (a)).
Tile size yang merupakan ukuran dari tekstur yang terbentuk dalam satuan piksel dan
menentukan ukuran file dari tekstur yang akan dikeluar kan (export) senilai 256 dan
perhitungan face count yang tinggi juga menggunakan ghosting filter yang menghapus
bayangan. Tiled model jika diliat secara dekat seperti pada Gambar 4.8 (b).

4.2.7 Orthophoto

Orthophoto yang dihasilkan melalui blending mode yaitu mosaic yang memberikan
kualitas lebih untuk orthophoto dan tekstur jika dibandingkan dengan average mode yang
menggunakan nilai rata-rata dari semua piksel foto dengan permukaannya dibuat dari
mesh. Pada proses analisis juga menggunakan parameter hole filling. (Lihat Gambar 4.9)

4.2.8 Digital Elevation Model (DEM)

DEM yang dibentuk memiliki resolusi spasial 9,88 cm. DEM dibentuk dari tiled
model. DEM menunjukkan rentang elevasi 700 meter sampai 833 meter (Lihat Gambar
4.10). Pada bagian tepi DEM interpolasinya buruk karena kurangnya tampalan pada
foto udara.

4.3 Peta Geomorfologi

Penentuan satuan geomorfologi didasarkan berdasarkan pengamatan DEM dan


bentukan morfologi yang berkembang dari pengamatan langsung pada lapangan (Lihat
Gambar 4.11). Berikut hasil dari pemetaan lapangan dan penggabungan DEM yang
menghasilkan peta geomorfologi yang memiliki lima (5) satuan, yaitu channel bar, dataran
aluvial, dataran teras sungai, dataran kaki gunung api dan sungai. Satuan-satuan morfologi
tersebut punya karakteristik morfologi yang berbeda yang membentuk kenampakan
geomorfologi sebuah satuan. Karakteristik masing-masing satuan akan dijabarkan dalam
subbab selanjutnya.

4.3.1 Satuan Dataran Kaki Gunung api

1459
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I023UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Satuan ini melampar setengah dari luas daerah pemetaan dimana satuan ini
memiliki luas pelamparan wilayah sebesar 54% atau 1,4 km2 dari luas daerah pemetaan.
Satuan ini memiliki kelerengan sebesar 4°-31° dengan beda tinggi 40 m pada peta
topografi dengan elevasi terendah 740 m dan elevasi tertinggi 780 m. Litologi penyusun
satuan ini adalah batuan volkanik muda. Genesa bentukan morfologi merupakan
pegunungan gunung api maka satuan ini diberi nama satuan dataran kaki gunung api
(Lihat Foto 4.1).

4.3.2 Dataran teras sungai

Satuan ini memiliki luas pelamparan wilayah sebesar 19% atau 0,5 km2 dari luas
daerah pemetaan. Satuan ini memiliki kelerengan sebesar 2°-6° dengan beda tinggi 10 m
pada peta topografi dengan elevasi terendah 730 m dan elevasi tertinggi 740 m.. Litologi
penyusun satuan ini adalah endapan volkanik muda. Genesa bentukan morfologi
merupakan dataran yang membentuk teras di sekitar sungai maka satuan ini diberi
nama Dataran teras sungai (Lihat Foto 4.2).

4.3.3 Dataran aluvial

Satuan ini memiliki luas pelamparan wilayah sebesar 21% atau 0,55 km2 dari luas
daerah pemetaan. Satuan ini memiliki kelerengan sebesar 0°-2° dengan beda tinggi < 5
m pada peta topografi dengan elevasi terendah 740 m dan elevasi tertinggi 745 m.
Litologi penyusun satuan ini adalah endapan aluvial. Genesa bentukan morfologi
merupakan dataran yang berisi endapan aluvial maka satuan ini diberi nama Dataran
aluvial (Lihat Foto 4.3).

4.3.4 Sungai

Satuan ini memiliki luas pelamparan wilayah sebesar 5% atau 0,1 km2 dari luas
daerah pemetaan. Satuan ini memiliki kelerengan sebesar 0°-2° dengan berada pada
elevasi terendah 725 m dan elevasi tertinggi 735 m. Genesa bentukan morfologi
merupakan sungai (Lihat Foto 4.4). Sungai mengalir secara umum dari selatan ke utara.
Pola penyaluran yang berkembang adalah dendritik, dimana kelerengan daerah sangat
landai, sungai berbentuk daun, kurang dipengaruhi struktur geologi dan terkontrol oleh
bentuk lahan yang membentuk aliran sungai. Proses eksogenik yang bekerja pada
satuan ini adalah erosi dan transportasi yang terjadi cukup intensif ditandai dengan
banyaknya endapan material lepas dan tebing sungai yang cukup terjal. Wilayah pada
satuan ini dimanfaatkan antara lain untuk perairan. Daerah penelitian memiliki stadia
sungai yang dewasa yang dicirikan oleh sungai yang meander dan terdapat
keseimbangan laju erosi vertikal dan erosi lateral.

4.3.5 Channel bar

Satuan ini memiliki luas pelamparan wilayah sebesar 1% atau 0,01 km2 dari luas
daerah pemetaan. Satuan ini memiliki kelerengan sebesar 0° berada pada elevasi 725 m,
735 m, 740 m. Litologi penyusun satuan ini adalah fragmen batuan volkanik. Proses
eksogenik yang bekerja pada satuan ini adalah sedimentasi yang terjadi cukup intensif
ditandai dengan banyaknya endapan material lepas (Lihat Foto 4.5).

1460
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I023UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

4.4 Penarikan sempadan sungai berdasarkan geomorfologi

Penarikan sempadan sungai secara geomorfologi berdasarkan lampiran peraturan


menteri PUPR (2015), Sungai Cimanuk masuk pada ruas sungai yang memiliki karakter
spesifik yaitu meandering dengan tebing tinggi, dimana penarikan sempadan sungai ditarik
dari puncak tebing tertinggi sungai.
Hasil dari penarikan sempadan sungai dapat dilihat di peta sempadan sungai
berdasarkan geomorfologi pada Gambar 4.12, dimana penarikan sempadan Sungai
Cimanuk dan anak Sungai Cimanuk yang memiliki talud dan berada diperkotaan
sesungguhnya belum mempunyai ketentuan penarikan. Oleh karena itu, penarikan ditarik
dari pendekatan historis tebing sungai sebelum dibangun talud dengan kedalaman sungai
4 meter ditarik dari tepi puncak tertinggi talud sungai yaitu 15 m, terlihat pada sayatan e-
e’ (Lihat Gambar 4.13). Sungai Cimanuk dan anak Sungai Cimanuk yang berada di luar
perkotaan dan ditidak diberi tanggul penarikan sempadan sungai yang memiliki luas
daerah aliran sungai yang lebih besar dari 500 km2 ditarik dari tepi tebing sungai berjarak
100 m, terlihat pada sayatan a-a’(Lihat Gambar 4.14).
Hasil menunjukkan bahwa area sempadan sungai pada sungai yang bertalud dan
berada diperkotaan menutupi dataran teras banjir dan sedikit dataran aluvial. Sempadan
sungai yang tidak memiliki tanggul dan berada di luar perkotaan menutupi daerah dataran
banjir dan sedikit dataran kaki gunung api. Bentukan geomorfologi menentukan jarak
penarikan sempadan sungai, semakin landai morfologinya semakin pendek jarak
penarikan sempadannya karena ditarik dari tepi channel sungai, sedangkan morfologi
dengan tebing curam mempunyai puncak tebing yang tinggi sehingga jarak penarikan
sempadan sungainya lebih jauh.

V. KESIMPULAN
Penarikan untuk Sungai Cimanuk dibagi dua, yaitu sungai bertalud dengan
kedalaman sungai 4 meter di dalam kawasan perkotaan ditarik 15 meter dan sungai tidak
bertanggul diluar kawasan perkotaan ditarik 100 meter. Sempadan sungai berdasarkan
geomorfologi ditarik dari puncak tertinggi tepi tebing sungai.

DAFTAR PUSTAKA
Alzwar, M., Akbar, N., Bachri, S. 1992. Peta Geologi Lembar Garut dan Jawa Skala1 : 100.000. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Anonim. 2015. Lampiran I Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Nomor
28/PRT/M/2015. Tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau , Hal 1-
14
Anonim. 2015. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Nomor
28/PRT/M/2015. Tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau, Hal 5-7

1461
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I023UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 3.1 Tabel perhitungan error GCPs

Marker X Y Ketinggian Akurasi Error (m) Error (pix)

(m) (m)

G08 820801.68 9200536.628 745.94 0.005 0.211506 0.698

G09 819290.57 9200999.05 753.07 0.005 0.200749 0.603

G46 819841.65 9200019.17 772.68 0.005 0.277500 0.800

Total 0.232408 0.711

Foto 4.1 Satuan dataran kaki gunung api daerah penelitian

1462
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I023UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Foto 4.2 Dataran teras sungai daerah penelitian

Foto 4.3 Dataran aluvial daerah penelitian

Foto 4.4 Kenampakan Sungai Cimanuk

1463
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I023UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Foto 4.5 Kenampakan channel bar pada Sungai Cimanuk

1464
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I023UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2.1 Lokasi administratif daerah penelitian

Gambar 4.1 Jalur pemotretan foto udara daerah pemotretan beserta parameternya

Gambar 4.2 (a) Proses pensejajaran foto daerah pemotretan, (b) pensejajaran foto daerah pemotretan
secara detail

1465
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I023UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4.3 (a) Kenampakan sparse point cloud daerah pemotretan (b) Kenampakan sparse point
cloud daerah pemotretan secara detail

Gambar 4.4 Kenampakan tiga titik Ground Control Point (GCPs) yaitu G08, G09, G46 pada daerah
pemotretan

1466
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I023UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4.5 Kenampakan Ground Control Point (GCPs) titik G46

Gambar 4.6 (a) Kenampakan dense point cloud daerah pemotretan (b) Kenampakan dense point
cloud daerah pemotretan secara detail

1467
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I023UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4.7 (a) kenampakan mesh daerah penelitian (b) kenampakan mesh secara detail

Gambar 4.8 (a) kenampakan tiled model daerah penelitian (b) kenampakan tiled model secara detail

1468
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I023UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4.9 Kenampakan ortofoto daerah pemotretan

1469
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I023UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4.10 kenampakan DEM daerah pemotretan

1470
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I023UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4.11 Peta geomorfologi daerah penelitian

1471
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I023UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4.12 Peta sempadan Sungai Cimanuk berdasarkan morfologi

1472
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 I023UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4.13 Sayatan a-a’ penarikan sempadan sungai berdasarkan kondisi geomorfologi

Gambar 4.14 Sayatan e-e’ penarikan sempadan sungai berdasarkan kondisi geomorfologi

1473
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J003UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

ANALISIS POTENSI BATUAN DAERAH TEMBALANG DAN SEKITARNYA,


SEMARANG : STUDI AWAL PEMANFAATAN BATUAN SEBAGAI
PEMBANGKIT LISTRIK BERBASIS TEG (THERMOELECTRIC GENERATOR)

Kodrat Cahyo Wicaksono , Dani Muhamad Iqbal 1, Ivandilardo Barala 1, Kodrat Cahyo
1*

Wicaksono 1
Teknik Geologi Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia Jl.Prof.H.Soedarto S.H, Tembalang,
1

Kec.Tembalang, Kota Semarang, Jawa Tengah


*Corresponding Author: kodratcahyo@gmail.com

ABSTRAK. Indonesia diapit oleh 2 benua dan juga 2 samudera dimana hal tersebut menyebabkan
Indonesia memiliki keberagaman jenis batuan yang tersebar diseluruh kepulauan yang ada di
Indonesia. Keberagaman jenis batuan yang terdapat di Indonesia tersebut dapat dimanfaatkan
sebagai energi terbarukan yang dapat menyediakan energi listrik yang berguna untuk pembangkit
listrik pada suatu daerah. Cepatnya pertumbuhan ekonomi membuat kebutuhan listrik menjadi
meningkat, sehingga meningkatnya penggunaan akan listrik tersebut membuat pemerintah
Indonesia untuk mengembangkan energi terbarukan. Lokasi yang dapat dimanfaatakan sebagai
daerah penelitian studi ini dilakukan di Tembalang, Semarang, Jawa Tengah. Maksud dan tujuan
disusunnya paper ini adalah untuk mengetahui pemanfaatan potensi batuan yang terdapat pada
daerah Tembalang, Semarang, Jawa Tengah, yang dapat dimanfaatkan sebagai suatu potensi untuk
pengembangan sumber energi terbarukan (renewable energy). Analisis suhu relatif batuan yang
terdapat pada daerah penelitian tersebut menjadi hal penting yang dilakukan untuk mengetahui
pengoptimalan alat TEC (Thermoeletric Cooler) yang digunakan sebagai alat konverter energi panas
menjadi energi listrik yang terdapat pada daerah penelitian. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini dilakukan dengan dua cara yaitu pertama dengan melakukan tinjauan pustaka dan
jurnal untuk mengetahui tentang daerah penelitian dan nilai konduktivitas dari setiap jenis batuan
yang akan dilakukan pengukuran energi, kemudian yang kedua yaitu melakukan pembuatan
model alat TEG (Thermoeletric Generator) sebagai alat yang dapat digunakan untuk mengonversikan
energi panas yang terdapat pada jenis batuan menjadi energi listrik yang dapat digunakan oleh
masyarakat sekitar. Berdasarkan data yang telah diperoleh dari pengukuran lapangan didapatkan
nilai kuat arus dari batuan beku berupa andesit yaitu berkisaran 0.23 v dan untuk batuan sedimen
berupa batugamping yaitu berkisaran 0.13 v. Alat tersebut dapat mengonversikan suhu berkisaran
30 - 49 oC sebagai energi listrik.

Kata kunci: TEG (Thermoelectric Generator), Batuan Andesit, Semarang

I. PENDAHULUAN
Indonesia diapit oleh 2 benua dan juga 2 samudera dimana hal tersebut
menyebabkan Indonesia memiliki keberagaman jenis batuan yang tersebar diseluruh
kepulauan yang ada di Indonesia. Keberagaman jenis batuan yang terdapat di Indonesia
tersebut dapat dimanfaatkan sebagai energi terbarukan yang dapat menyediakan energi
listrik yang berguna untuk pembangkit listrik pada suatu daerah. Cepatnya pertumbuhan
ekonomi membuat kebutuhan listrik menjadi meningkat, sehingga meningkatnya

1474
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J003UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

penggunaan akan listrik tersebut membuat pemerintah Indonesia untuk mengembangkan


energi terbarukan.
Ada banyak energi yang ada di bumi, salah satunya adalah energi fosil. Energi fosil
merupakan salah satu sumber energi yang berasal dari makhluk hidup yang mana jumlah
dari energi ini sangat terbatas, oleh karena itu perlu adanya solusi untuk mencapai
ketahanan energi nasional. Salah satu energi baru dan terbarukan yang sesuai dengan
kondisi geografi Indonesia adalah pemanfaatan teknologi Thermoelectric Cooler (TEC).
Pembangkit listrik TEC menggunakan manifestasi panas dari batuan yang berbeda.
Pompa kalor yang dihasilkan dari sisi panas dan sisi dingin pada alat TEC ini akan
menghasilkan energi listrik. Pada rangkaian alat TEC terdapat dua heatsink untuk
menghasilkan energi listrik.
Setiap daerah umumnya memiliki jenis litologi yang berbeda-beda, hal itu
disebabkan karena adanya pengaruh komposisi mineral yang terdapat didalam batu. Salah
satu daerah di Semarang yang berpotensi untuk dimanfaatkan dalam analisis
pengembangan teknologi TEC yaitu daerah Banyumeneng dan juga Kendalisodo yang
mana kedua daerah ini akan dianalisis jenis batuan serta energi panas yang dapat disimpan
oleh batuan tersebut.
Tujuan penulisan paper ini adalah untuk memberikan informasi terkait
perbandingan energi panas yang dapat dihasilkan antara batugamping yang berada di
Banyumeneng dengan Andesit yang berada di Kendali Sodo berdasarkan energi listrik
yang dihasilkan oleh TEC sehingga dapat dilakukan analisis potensi dari kedua batuan
tersebut.
Manfaat yang bisa didapat setelah membaca paper ini, pembaca dapat mengetahui
solusi yang tepat untuk menangani krisis energi nasional yang akan tejadi di masa
mendatang, melalui inovasi-inovasi dari energi baru dan terbarukan dengan salah satunya
adalah pemanfaatan dengan teknologi TEC. Dimana pemanfaatan dengan teknologi TEC
ini, memiliki banyak kelebihan jika dibandingkan dengan energi konvensional yang telah
ada.

II. GEOLOGI REGIONAL


Secara fisiografis, daerah Jawa Tengah oleh Van Bemmelen (1949) dibagi menjadi 6
zona fisiografi, yaitu : Dataran Aluvial Jawa Utara, Gunungapi Kuarter, Antiklinorium
Bogor – Serayu Utara – Kendeng, Deperesi Jawa Tengah, Pegunungan Serayu Selatan, dan
Pegunungan Selatan Jawa.

1475
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J003UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Fisiografi Jawa Tengah (Van Bemmelen, 1949)

Sungai yang terletak pada lokasi penelitian merupakan bagian sungai yang
mengalir dari Gunung Ungaran. Gunung Ungaran merupakan gunung api kuarter yang
menjadi bagian paling timur dari Pegunung Serayu Utara. Daerah Gunung Ungaran ini
disebelah utara berbatasan dengan dataran aluvial Jawa bagian utara, di bagian selatan
merupakan jalur gunung api Kuarter (Sindoro, Sumbing, Telomoyo, Merbabu), sedangkan
pada bagian timur berbatasan dengan Pegunungan Kendeng. Bagian utara Pulau Jawa ini
merupakan geosinklin yang memanjang dari bagian barat ke timur (Bemmelen,1970).
Adapun daerah Semarang bagian selatan atau daerah Tembalang memiliki
morfologi dataran tinggi mulai dari kaki Gunung Ungaran. Lalu susunan stratigrafi yang
dapat ditemukan pada daerah ini yaitu Formasi Kaligetas, Kalibeng, Formasi Kerek, serta
endapan recent.

III. METODOLOGI
1. Teknik Pengumpulan Informasi
Paper ini ditulis berdasarkan data yang diperoleh secara observasi langsung di
lapangan. Dari data yang diperoleh, dilakukan pembuatan model alat TEC (Thermoeletric
Cooler) untuk memperoleh hasil penelitian yang komprehensif.

2. Teknik Pengolahan Data


Data yang telah dikumpulkan masih merupakan bahan mentah atau data kasar yang
perlu diolah terlebih dahulu supaya dapat dimanfaatkan secara lebih. Agar analisis
penelelitian dapat menghasilkan karya yang dapat dimanfaatkan secara luas diperlukan
tahapan pengolahan data antara lain :

a. Pemeriksaan data
Data yang telah dikumpulkan kemudian diperiksa apakah sudah lengkap agar dapat
menguatkan pendapat yang akan disampaikan pada paper ini.

b. Analis data
Data yang telah didapatkan kemudian dianalisis secara kuantitatif atau secara matematis
sehingga mendapatkan hasil yang objektif yang kemudian dilanjutkan dengan analisis
kualitatif atau menyampaikan pendapat pribadi berdasarkan data-data yang telah
didapatkan.

c. Penarikan kesimpulan
Data yang telah dianalis kemudian ditarik kesimpulan sehingga dapat menghasilkan suatu
inovasi baru yang kemungkinan dapat diterapkan atau diteliti lebih jauh.

1476
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J003UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Diagram Alir Metodologi Penelitian

IV. HASIL DAN DISKUSI


TEC (Thermoelectric Cooler) dapat berkerja secara optimal dan menghasilkan energi
listrik apabila terdapat perbedaan suhu antara sisi panas dan sisi dingin pada bagian
penyusun alat tersebut.
Setelah dilakukan pengujian langsung dilapangan, maka didapatkan hasil nilai
tegangan listrik dari batugamping dan andesit seperti yang ada di tabel berikut ini:

Gambar 3. Pengujian pada Batu Andesit

1477
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J003UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Pengujian pada Batugamping

Pengukuran dilakukan untuk mengetahui nilai tegangan listrik yang dihasilkan


oleh alat berupa TEC (Thermoelectric Cooler) pada tiap batuan. Pengukuran pertama
dilakukan di daerah Banyumeneng dimana litologi yang diukur berupa litologi
batugamping klastik. Hasil pengukuran yang didapat dari batugamping ini adalah 0.07V.
Kemudian, dilakukan pengukuran di daerah Jabungan dimana litologi yang ditemui
adalah Andesit. Hasil pengukuran yang didapat dari litologi Andesit ini adalah 0.10V.

Gambar 5. Sayatan Andesit

Analisis Petrografi terhadap sample batuan memperlihatkan tekstur faneritik –


porfiritik dengan hipidiomorf, hipokristalin. Massa dasar (31-46%) bertekstur halus agak
kasar, hipidiomorf, hipokristalin berukuran 0,1 – 2 mm terdiri dari mikrolit plagioklas,
mikrolit piroksen, mikrolit amfibol dan mikrolit mineral opak. Fenokris berukuran antara
3 – 6 mm terdiri dari plagioklas, piroksen, amfibol dan mineral opak. Mineral opak selain
sebagai fenokris juga sebagai mineral ubahan dari piroksen dan amfibol.
• Plagioklas (30-45%), tidak berwarna, warna interferensi putih, berukuran 3 – 6 mm,
sebagai fenokris berbentuk subhedral, indeks bias nmineral > nmedium, belahan 1
arah, kembar albit, karlsbad, dan albit-karlsbad, sudut kembaran 21o, jenis
plagioklas Andesin (An41).
• Piroksen (4-7 %), tidak berwarna sampai kekuningan, subhedral, warna intererensi
kuning dan hijau, belahan 1 arah, dan memiliki pecahan.
• Amfibol (2-4 %), berwarna hijau kecoklatan, pleokroisme kuat, subhedral, warna
intererensi hijau kekuningan, belahan 1 arah.

1478
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J003UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

• Mineral opak (3-6 %), berwarna hitam, isotrop, berukuran 0,2 – 0,5 mm, hadir
sebagai fenokris, inklusi pada plagioklas dan sebagai hasil ubahan dari piroksen
dan amfibol, yang berukuran halus tersebar sebagai massa dasar.

Gambar 6. Sayatan Batugamping

Analisis petrografi dari batu gamping ini memperlihatkan tekstur berupa ukuran
butirnya adalah 4mm dengan derajat kebundaran yang terlihat pada batuan adalah tidak
memiliki sudut sehingga kebundarannya adalah rounded. Sayatan ini memiliki pemilahan
yang tidak terlalu baik terlihat dari keseragaman antar butiran yang tidak seragam atau
poorly sorted. Untuk hubungan antar butiran satu dengan lainnya atau disebut kemas
batuan ini memiliki butiran yang memiliki kontak hanya pada sisi – sisi ujung dari butiran
tersebut atau disebut long. Komposisi dari sayatan ini adalah:
• allochem (80%): Allochem pada sayatan ini memiliki kenampakan berwarna hitam
dan juga kecoklatan yang mana memiliki bentukan seperti suatu organisme
foraminifera yang disayat secara horizontal yang menyusun sekitar 75-80% dari
seluruh sayatan
• ortochem(15%) : Matriks pada batuan ini tersusun atas 2 jenis yaitu yang pertama
memiliki warna colourless pada saat dilakukan pengamatan xpl dan memiliki
gelapan bergelombang hal tersebut menunjukkan matriks ini adalah kuarsa.
•Semen(5%) : semen dengan bentukan seperti bladed pada sayatan tersebut dan juga
memiliki pada saat menggunakan xpl dan baji kuarsa tidak menunjukkan
perubahan warna sehingga semennya adalah kalsit.

Batuan atau mineral bersifat dielektrik terhadap aliran arus listrik, artinya batuan
atau mineral tersebut mempunyai elektron bebas sedikit, bahkan tidak sama sekali.
Dikarenakan kandungan dan komposisi mineral pada andesit yang merupakan batuan
beku yang terdiri dari mineral plagioklas, piroksen, amphibol memiliki kandungan
mineral yang merupakan terdiri dari unsur besi, magnesium, kalsium yang merupakan
konduktor yang baik sehingga berdasarkan kandungan mineral tersebut batuan andesit
yang terkena panas dari cahaya matahari dapat dimanfaatkan daya serap batuannya dan
dialih sumberkan ke dalam TEC, sedangkan pada kandungan komposisi batuan sedimen
yang merupakan batuan sedimen karbonat tidak memiliki kandungan komposisi yang
dapat menyerap dan menghantarkan listrik dengan baik ke teknologi TEC.

1479
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J003UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Dari hasil riset yang telah dilakukan maka dapat diketahui bahwa sistem kerja dari
TEC yaitu dengan menggunakan efek peltier yaitu jika dua logam yang berbeda
disambungkan kemudian dialirakan kalor pada sambungan tersebut, maka akan terjadi
fenomena pompa kalor. Prinsip inilah yang digunakan thermoelectric sebagai
pendingin/pompa kalor. Dari fenomena pompa kalor tersebut dapat menghasilkan energi
listrik dari alat tersebut. Listrik tersebut dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan
energi listrik penduduk sekitar Daerah Jabungan dan juga Banyumeneng. Perbedaan hasil
tegangan listrik ini dihasilkan akibat adanya perbedaan suhu yang terdapat pada batuan
sehingga menyebabkan terjadinya pompa kalor yang kemudian dikonversikan menjadi
tegangan listrik oleh alat ini.

Gambar 7. Efek Peltier

Ada beberapa persyaratan untuk suatu teknologi pembangkit listrik layak untuk
diterapkan di Indonesia. Syarat tersebut diantaranya adalah accessibility, availability,
acceptability dan juga marketability. Keseluruhan syarat tersebut mutlak dipenuhi agar
teknologi TEC dapat bersaing dengan sumber energi konvensional lainnya yang suatu saat
akan habis bila terus dieksplorasi. Upaya untuk memenuhi kriteria tersebut bukanlah
suatu hal yang mustahil, tetapi hal yang dapat dipelajari dan disesuaikan agar
penggunaannya tepat guna. Alat ini dapat dikembangkan secara optimal apabila
dilakukan studi secara lanjut dan melakukan pengoptimalan alat secara maksimal untuk
dapat melakukan konversi secara maksimal.

V. KESIMPULAN
Indonesia memiliki potensi yang cukup besar untuk mengembangkan teknologi
TEC karena Indonesia memiliki potensi banyaknya batuan yang dapat menjadi penyerap
panas yang baik. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa batuan andesit dapat
dimanfaatkan sebagai media untuk menyimpan panas dengan baik dibandingkan dengan
batugamping, sehingga TEC dapat menghasilkan energi listrik dengan baik. Tegangan
listrik yang dihasilkan dari batugamping sekitar 0.06-0.07 v, sedangkan untuk andesit
tegangan listrik yang dihasilkan sekitar 0.10 – 0.13 v.

1480
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J003UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

ACKNOWLEDGEMENTS
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Departemen Teknik Geologi,
Universitas Diponegoro khususnya Bapak Najib, ST., M.Eng., Ph.D selaku Kepala
Departemen Teknik Geologi Universitas Diponegoro dan North East Java Research Section
yang telah memberikan pengetahuan dan sumber daya manusia untuk penelitian ini, serta
Seminar Nasional Kebumian Ke-12 tahun 2019 sebagai penyelenggara kompetisi ini.

DAFTAR PUSTAKA
Budi Santosa, Nurhadi. 2015. Mengenal Thermo-Electric (PELTIER). Malang: Widyaiswara PTK
BOE Malang.
Intan, Dwi Nur Ramdini, dkk. 2014. Thermoelectric Generator. Fisika-FST UIN Sunan Gunung Jati:
Bandung.
M. Sugeng Riyadi, Ary Akbar N, dkk. 2016. Analisis Pembangkit Listrik Sederhana Berbasis
Thermoelectric Cooler Dengan Media Batu Andesit. Universitas Negeri Jakarta:
Jurnal RISENOLOGI KPM UNJ Vol. I Edisi 2.
Poetro. E. J., dan Handoko. R. C. 2013. Analisis Kinerja Sistem Pendingin Arus Searah Yang
Menggunakan Heatsink Jenis Extruded Dibandingkan Dengan Heatsink Jenis Slot. Jurnal
Teknik Mesin, Vol. 2, pp 178-188.

1481
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J003UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 1. Nilai Tegangan Listrik pada Batuan

No Batugamping Andesit

1. 0.07 V 0.10 V

2. 0.06 V 0.13V

Gambar 1. Fisiografi Jawa Tengah (Van Bemmelen, 1949)

Gambar 2. Diagram Alir Metodologi Penelitian

1482
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J003UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Pengujian pada Batu Andesit

Gambar 4. Pengujian pada Batugamping

Gambar 5. Sayatan Andesit

1483
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J003UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 6. Sayatan Batugamping

Gambar 7. Efek Peltier

1484
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J004UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

POTENSI SUMBERDAYA ENERGI PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA


MIKRO-HIDRO (PLTMH) SUNGAI KEDUNG PEDUT GUNA MEMENUHI
KEBUTUHAN LISTRIK DAN PENGEMBANGAN WISATA AIR TERJUN
KEDUNG PEDUT, KABUPATEN KULON PROGO, DAERAH ISTIMEWA
YOGYAKARTA.

Erwandi 1*, Aaf Aji Pangestu 1, M. Ofal H. Husein 1, Trias Galena 1, Baso Tandi Arung 1
Teknik Geologi, Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta. Jl. Kalisahakno28, Kompleks Balapan
1

Tromol pos 45 Yogyakarta - 55222, telp. (0274) 563029, Fax (0274) 563847.
*Corresponding Author: erwandiari@gmail.com

ABSTRAK. Pembangkit Listrik Tenaga Mikro-Hidro (PLTMH) merupakan salah satu potensi
energiterbarukan yang belum banyak dimanfaatkan di Indonesia. Sungai Kedung Pedut memiliki
potensi pada bentuk tubuh sungai yang berbuku – buku atau air terjun skala kecil maupun skala
besar yang merupakan salah satu komponen yang dibutuhkan dalam kontruksi PLTMH. namun
perlu adanya penelitian mengenai sumber air dan debit aliran sungai Kedung Pedut untuk dapat
mengetahui potensi daya listrik yang dihasilkan dengan sistem PLTMH. Daerahpenelitian terletak
pada desa Jatiomulyo, Kabupaten Kulon Progo, Daerah IstimewaYogyakarta. Luas daerah
penelitian 4km² secara geografis terletak pada koordinat 07° 45’ 30” - 07° 46’ 30” LS dan 110° 06’ 53”
- 110° 07’ 53” BT. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan pengamatan langsung
di lapangan yaitu dengan melakukanpemetaan geomorfologi, geologi, hidrogeologi. Kemudian
dilakukan analisis struktur geologi, geomorfologi, debit aliran sungai, sifat batuan terhadap air dan
analisis daya listrik yang dihasilkan. Hasil analisis pada penelitian ini didapatkan 5 sumber mata
air pada bagian hulu sungai Kedung Pedut yaitu mata air Sigembor, Kucung Mas, Mudal, Bangki,
dan Sepunggal. Didapatkan debit aliran sungai Kedung Pedut 1,43 m³/d dengan luas penampang
sungai 3,575 m² dan kecepatan arus sungai 0,4 m/d pada musim hujan dan 0,07 m³/d dengan luas
penampang sungai 2,315 m² dan kecepatan arus sungai 0,03 m/d pada musim kemarau. Berdasarkan
tata letak komponen pembangkit listrik, daya pembangkit listrik yang dihasilkan pada musim
penghujan sebesar 168,18 kW dan pada musim kemarau sebesar 8,24 kW. Pada wisata air terjun
Kedung Pedut penggunaan daya listrik dalam sebulan mencapai 146 – 366 kWh, bila menggunakan
PLTMH dengan daya pembangkit listrik sebesar 8,24 kW maka listrik yang dihasilkan dalam satu
bulan sebesar 5904 kWh. dengan demikian pembangunan PLTMH sudah dapat memenuhi
kebutuhan listrik pada wisata air terjun Kedung Pedut dan dapat digunakan dalam pengembangan
wisata kedepannya.

Kata kunci: PLTMH, hidrogeologi, wisata alam, Sungai Kedung Pedut, Kulon Progo

1485
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J004UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Energi merupakan salah satu kebutuhan utama yang sangat dibutuhkan manusia,
dapat dilihat dari semakin maju suatu wilayah, semakin besar energi yang dibutuhkan.
Ditinjau dari pengadaan energi dunia saat ini, sumber energi tidak terbarukan seperti
migas, batubara, masih menjadi sumber utama. Penggunaan sumber energi tidak
terbarukan ini memiliki keterbatasan dan pada suatu saat akan habis. Oleh sebab itu perlu
adanya penelitian untuk menemukan sumber energi alternatif yang dapat dimanfaatkan
sebagai pengganti atau penunjang kebutuhan energi suatu wilayah. Desa Jatimulyo
merupakan wilayah yang memiliki potensi dalam pengembangan kawasan pariwisata
salah satunya wisata air terjun Kedung Pedut yang berada pada aliran sungai Kedung
Pedut. Pasokan air yang cukup melimpah pada Sungai Kedung Pedut juga memiliki
potensi dalam pengembangan pembangkit listrik tenaga air dengan skala mikro yang
dikenal dengan nama Pembangkit Listrik Tenaga Mikro-Hidro (PLTMH). Pembangunan
PLTMH tidak banyak mempengaruhi lingkungan atau mengurangi air, sehingga tidak
merusak keindahan alam wisata Air Terjun Kedung Pedut, selain itu tidak memerlukan
bahan bakar apapun. Penggunaan PLTMH ini nantinya dapat memenuhi kebutuhan
energi listrik dalam pengembangan wisata air terjun Kedung Pedut.
2. Maksud dan Tujuan
Maksud dari penelitian ini adalah mengidentifikasi potensi energi air yang ada pada
daerah penelitian berdasarkan kondisi geomorfologi, geologi, dan hidrogeologi daerah
tersebut. dengan tujuan untuk membangun Pembankit Listrik Tenaga Mikro-Hidro
(PLTMH) yang nantinya dapat dimanfaatkan dalam pengembangan wisata alam air terjun
Kedung Pedut.
3. Batasan Masalah
Batasan masalah dalam penelitian ini adalah penulis hanya membatasi pembahasan
pada kondisi geomorfologi mulai dari aspek morfologi, morfogenesa, kondisi geologi yaitu
satuan batuan penyusun pada daerah penelitian, struktur geologi yang terbentuk, dan
kondisi hidrogeologi mulai dari aspek curah hujan, sumber air sungai Kedung Pedut,
pengukuran debit aliran sungai, jenis sungai yang dilakukan melalui pengamatan di
lapangan dan melakukan analisis data lapangan yang nantinya dapat mempengaruhi
potensi PLTMH di air terjun Kedung Pedut.

II. GEOLOGI REGIONAL


Peninjauan dari fisiografi Jawa daerah penelitian merupakan termasuk dalam zona
Pegunungan Selatan Jawa Tengah ( Bemellen , 1949). Berdasarkan letaknya, Kulon Progo
merupakan bagian dari zona Jawa Tengah bagian selatan yaitu salah satu plato yang sangat
luas yang terkenal dengan nama Plato Jonggrangan ( Bemellen, 1949). Geologi daerah
penelitian termasuk pada Formasi Kebo-Butak bagian bawah yang didominasi oleh breksi
1486
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J004UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

andesit, tuf lapili, sisipan aliran lava andesit (Wartono Rahardjo dkk, 1995). serta
keterdapatannya struktur geologi yaitu Struktur Dome merupakan kubah lonjong yang
mempunyai diameter 32 km mengarah NE – SW dan 20 km mengarah SE – NW (
Bemmelen, 1949). Puncak kubah lonjong ini berupa satu dataran yang luas disebut
Jonggrangan Plateu. Adapun lokasi penelitian ini telah dipetakan semi detil masuk
kedalam peta geologi lembar Yogyakarta oleh Wartono Rahardjo dkk, (1995).

III. METODELOGI PENELITIAN

Metode yang digunakan pada penelitian ini terangkum dalam (Gambar 1) data
yang diperlukan dalam penelitian ini berupa geologi, geomorfologi, dan hidrogeologi.
1. Pengumpulan data
a. Kondisi Geomorfologi
Pengumpilan data geomorfologi berupa morfologi dan morfogenesa untuk dapat
menentukan bentuk lahan yang dapat mempengaruhi distribusi air pada daerah penelitian
dan penentuan tata letak komponen PLTMH serta mengetahui proses pembentukan lahan
pada daerah tersebut. Penentuan tata letak komponen PLTMH ini mempengaruhi nilai
beda tinggi head yang digunakan dalam menghitung daya pembangkit listrik.
b. Kondisi Geologi
Pengumpulan data geologi dalam penelitian ini berupa satuan batuan penyusun
daerah penelitian, struktur geologi yang berkembang. Penentuan satuan batuan ini
bertujuan untuk mengetahui stratigrafi pada daerah penelitian. Analisis struktur geologi
digunakan untuk mengetahui zona lemah yang menjadi jalur pergerakan air maupun
menjadi jalur resapan air ke bawah permukaan.
c. Kondisi Hidrogeologi
Pengumpulan data hidrogeologi dimulai dari data curah hujan, pengukuran debit
aliran sungai, pendeskripsian sungai, mengelompokkan tipe batuan berdasarkan sifatnya
terhadap air, pemetaan sumber air pada sungai Kedung Pedut. Data curah hujan
digunakan untuk mengetahui intensitas air meteorik yang berada pada daerah penelitian
dengan melakukan pengamatan data curah hujan 10 tahun terakhir. Selain itu dapat juga
sebagai acuan dalam penentuan pengambilan data debit aliran sungai musim penguhujan
dan musim kemarau berdasarkan intensitas curah hujan tersebut. Debit aliran sungai
merupakan komponen utama dalam PLTMH, dimana air adalah media penggerak dari
turbin sehingga perlu diketahui debit air pada tubuh sungai Kedung Pedut. Teknik
pengukuran debit aliran sungai dengan melakukan pengukuran luas penampang basah
tubuh sungai dan pengukuran kecepatan arus sungai dengan metode 3 titik ( Soewarno,
1991). Pengukuran kecepatan arus sungai dibagi menjadi tiga titik berdasarkan kedalaman
tubuh sungai yaitu pada kedalaman 20%, 60%, dan 80% dan pengukuran arus ini
dilakukan pada sisi bagian kiri, tengah dan kanan dari tubuh sungai. Pendeskripsian
1487
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J004UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

sungai berdasarkan kestabilan debit aliran sungainya dan bentuk tubuh sungai untuk
mengetaui jenis sungai. Penglompokkan sifat batuan terhadap air bertujuan untuk
mengetahui pengaruhnya terhadap keberadaan air di atas permukaan maupun di bawah
permukaan tanah. Pemetaan sumber air yang berasal dari bawah permukaan untuk
mengetahui suplai air yang mengalir pada sungai Kedung Pedut.

2. Penentuan Tata Letak Komoponen PLTMH dan Perhitungan Daya Pembangkit


listrik
Penentuan tata letak komponen PLTMH meliputi bendungan, saluran intake, bak
penenang, pipa pesat dan rumah turbin. Penentuan tata letak ini akan mempengaruhi nilai
daya bangkit yang dihasilkan karena adanya beda tinggi antara bak penenang dan rumah
turbin yang berguna menambah daya pembangkit listrik tersebut, serta mempengaruhi
tata ruang kawasan wisata Kedung Pedut agar tetap terlihat indah. Prinsip PLTMH
menurut (Rompas, 2011) yaitu pertama energi yang digunakan untuk menggerakkan
turbin didapatkan dari dua cara dengan head; memanfaatkan beda ketinggian permukaan
air (energi potensial sungai) maupun tanpa head; memanfaatkan aliran sungai (energi
kinetik sungai) yaitu debit air sungai. head adalah Jarak vertikal/besarnya ketinggian
jatuhnya air semakin besar head umumnya akan semakin baik karena air yang dibutuhkan
semakin sedikit dan peralatan semakin kecil, dan turbin bergerak dengan kecepatan tinggi.
Kedua debit aliran sungai (Q) merupakan komponen utama pada PLTMH yang kemudian
dikalikan dengan gaya gravitasi (9.8 m/s). Ketiga koefisien konversi pada generator
mempengaruhi daya listrik yang akan dihasilkan dimana dalam proses perubahan energi
kinetik ke energi listrik terdapat energi yang terbuang melalui getaran maupun bunyi.
Menurut (Nugroho, 2015) tingkat koefisiensi konversi dipengaruhi oleh desain turbin.
persamaan dasar dari pembangkit listrik yaitu (Pnet = Q x g x ƞ x h) Dimana Pnet = Potensi
daya pembangkitan (kW), Q = Debit sungai (m3/s), H = Head (m), g = Gaya gravitasi bumi
(9.8 m/s), η = Koefisien konversi

IV. HASIL PENELITIAN


Penelitian dilakukan pada Desa Jatimulyo dengan luasan daerah penelitian 2 Km²
didapatkan dua puluh lokasi pengamatan litologi, dua lokasi pengambilan data struktur
geologi, dua lokasi pengamatan morfologi, lima titik sumber mataair, data curah hujan
selama 10 tahun terakhir (2009 – 2018), dan satu lokasi pengukuran debit aliran sungai yang
dilakukan sebanyak dua kali pengukuran pada musim penghujan dan pada musim
kemarau.
Dua puluh lokasi pengamatan litologi didapatkan dua jenis batuan pertama batuan
beku berupa lava andesit, intrusi andesit, dan breksi vulkanik. Kedua batuan sedimen
berupa batugamping terumbu dan kalkarenit dapat dilihat pada (Gambar 2). Lokasi
pengambilan data struktur geologi dilakukan pada dua lokasi, yaitu lokasi pertama berada
1488
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J004UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

pada koordinat 07°46’01” LS dan 110°07’11” BT, dari pengamatan lapangan dijumpai
adanya bidang sesar dengan arah timur laut – barat daya ( N60°E / 77° ) seperti pada
(Gambar 3), dan lokasi kedua berada pada koordinat 07°45’37” LS dan 110°07’17” BT, dari
pengamatan lapangan dijumpai adanya tebing dan air terjun seperti pada (Gambar 4)
dengan arah kelurusan N 65°E dan kemiringan lereng 70°.
Morfologi pada lokasi pengamatan pertama didapatkan morfografi triangular
faced dengan kemiringan lereng 30° - 65° dapat dilihat pada (Gambar 5). pada lokasi pada
pengamatan kedua didapatkan morfografi lereng bukit yang memiliki kemiringan lereng
70° dapat dilihat pada (Gambar 6).
Sumber air yang terakumulasi pada tubuh sungai Kedung Pedut berasal dari lima
titik mata air yang berada pada bagian hulu sungai Kedung Pedut. Sumber mata air
tersebut terdiri dari mata air Sigembor, mata air Kucung Mas, mata air mudal, mata air
bangki, dan mata air sepunggal. Kemunculan mata air ini berada pada zona – zona lemah
yaitu berupa rongga - rongga batugamping terumbu. Curah hujan merupakan salah satu
sumber air yang berasal dari atmosfer.
Curah hujan pada daerah penelitian memiliki intensitas yang beragam, intensitas
curah hujan yang tinggi berada pada bulan November – Februari, dan curah hujan
terendah pada Juni – Agustus. Curah hujan pada daerah penelitian memiliki dua fungsi
yaitu sebagai penambah nilai debit air aliran sungai ketika musim hujan dan sebagai
sumber air tanah yang tersimpan di bawah permukaan yang nantinya juga mengalir
melalui jalur mata air baik ketika musim hujan maupun musim kemarau pada daerah
penelitian, hal ini menyebabkan sungai Kedung Pedut selalu memiliki air yang mengalir
namun mengalami perubahan nilai debit air aliran sungai pada musim kemarau maupun
musim penghujan. Data curah yang didapatkan yaitu data curah hujan bulanan dalam
kurun waktu 10 tahun terakhir, mulai dari 2009 – 2018 dapat dilihat pada (Gambar 7).
Pengambilan data debit aliran sungai berada pada sungai Kedung Pedut tepatnya
berada pada aliran bagian atas dari air terjun Kedung Pedut. Pengambilan data debit aliran
sungai ini dilakukan sebanyak dua kali yaitu pengambilan data debit pertama dilakukan
pada tanggal 19 Februari 2019, pada pukul 10.15 WIB, dengan cuaca yang cerah dan
dilakukan pada saat musim penghujan dapat dilihat pada (Gambar 8). didapat data
pengukuruan luas penampang basah 3,575 m² dapat dilihat pada (Gambar 9) dan
kecepatan arus sungai 0,4m/d dapat dilihat pada (Tabel 1) . Pengambilan data kedua
dilakukan pada tanggal 18 Juli 2019 pada pukul 11.00 WIB, dengan cuaca cerah dan
dilakukan pada musim kemarau dapat dilihat pada (Gambar 10). pada pengukuran kedua
ini terjadi penurunan muka air pada tubuh sungai serta kecepatan arus sungai. didapatkan
data pengukuruan luas penampang basah 2,315 m² dapat dilihat pada (Gambar 11) dan
kecepatan arus sungai 0,03m/d dapat dilihat pada (Tabel 2).

V. DISKUSI DAN PEMBAHASAN


1489
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J004UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

1. Kondisi Geomorfologi
Geomorfologi daerah penelitian terbagi menjadi dua bentuk lahan yaitu sturktural
dan karst. Pada satuan bentuk lahan struktural didapatkan subsatuan geomorfik berupa
gawir sesar dan pada satuan bentuk lahan karst didapatkan subsatuan geomorfik berupa
lereng dan perbukitan karstik terkikis berdasarkan klasifikasi Verstapen (1983). dari
pengamatan morfologi di lapangan berdasarkan subsatuan geomorfik yang ada, dapat
diinterpretasikan ekspresi morfologi pada daerah penelitian cenderung lebih dikontrol
oleh faktor endogen yang menyebabkan pembentukan gawir – gawir sesar dan faktor
resistensi dari batuan serta terdapat pula proses eksogenik yang terjadi dengan intensitas
sedang dapat dilihat pada (Gambar 12).
Subsatuan geomorfik gawir sesar, memiliki morfologi yang curam hingga terjal
dengan kemiringan lereng mencapai 30° – 65° subsatuan ini didominasi oleh litologi lava
andesit, dan breksi vulkanik, dengan persebaran mencapai 84,3% dan membentuk
morfologi perbukitan – perbukitan dengan ketinggian antara 250 – 684 mdpl. Pada
subsatuan ini di dominasi oleh faktor endogen salah satunya sesar kedung pedut. Tingkat
pelapukan dan erosi pada subsatuan ini cukup intensif.
Subsatuan geomorfik lereng karst dan perbukitan karstik terkikis memiliki
morfologi yang landai hingga terjal dengan kemiringan lereng mencapai 20° – 70°,
subsatuan ini didominasi oleh litologi batugamping terumbu, dengan persebaran
mencapai 15,7% dari luas daerah penelitian dan membentuk morfologi dengan ketinggian
anatara 684 – 781 mdpl. Pada subsatuan ini di dominasi oleh faktor endogen salah satunya
sesar sigembor. Tingkat pelapukan dan erosi serta pelarutan pada subsatuan ini cukup
intensif.
Satuan karst pada sisi bagian barat memiliki kelerengan yang mencapai 20° – 70°.
Nilai kelerengan ini mempengaruhi distribusi air yang berada pada satuan batugamping
terumbu, air dapat mengalir lebih cepat akibat kemiringan tersebut. Pada satuan
bentuklahan gawir sesar memiliki kelerengan yang mencapai 35° – 65°, memiliki bukit –
bukit triangular faced. Bukit – bukit ini mempunyai beda tinggi yang cukup baik dan dapat
dimanfaatkan untuk beda tinggi jatuh air (head) yang merupakan salah satu komponen
dalam PLTMH.

2. Kondisi Geologi
Pada daerah penelitian didapatkan lima litologi yang berbeda yang kemudian
dikelompokkan menjadi dua satuan batuan dari tua ke muda yaitu satuan lava andesit
yang beranggotakan intrusi andesit dan breksi vulkanik. Satuan batuan ini dijumpai pada
daerah penelitian didominasi sebagai lava dengan ciri-ciri fisik antara lain warna segar
hitam keabuan, warna lapuk abu – abu kecoklatan, struktur masif tekstur afanitik, relasi
antar mineral inequigranular, bentuk kristal subhedral, hipokristalin. Satuan batuan ini
dominan tersusun atas mineral-mineral mafik, plagioklas dan gelas. Satuan kedua berupa
1490
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J004UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

satuan batugamping terumbu yang beranggotakan kalkarenit. Satuan batuan ini


didominasi oleh batugamping terumbu yang memiliki ciri fisik atara lain warna segar
coklat kekuningan, warna lapuk coklat keabu – abuan, struktur masif, tekstur amorf,
satuan ini memiliki komposisi mineral kalsit dan terdapat fragmen terumbu.
Berdasarkan kesebandingan satuan lava andesit termasuk kedalam formasi Kebo –
Butak berumur Oligosen Akhir hingga Miosen Tengah, sedangkan satuan batuan
batugamping terumbu termasuk kedalam Formasi Jonggrangan berumur Miosen Tengah
hingga Pliosen Awal menurut Wartono Rahardjo dkk, (1995).
Struktur yang berkembang pada daerah penelitian yang di jumpai beberapa sesar
yakni sesar kanan turun Kedung Pedut diperkirakan dan sesar turun Sigembor
berdasarkan klasifikasi (rickard, 1972). Pada sesar kanan turun Kedung Pedut berada pada
koordinat 07°46’01” LS dan 110°07’11” BT, berdasarkan analisis memiliki arah tegasan
utama ( 27°, N55°E ). sesar Kedung Pedut ini merupakan zona lemah yang menjadi jalur
pergerakan pada air pada sungai Kedung Pedut dan juga yang mempengaruhi
pembentukan air terjun Kedung Pedut. Pada sesar turun Sigembor berada pada koordinat
07°45’37” LS dan 110°07’17” BT, penentuan sesar turun Sigembor hanya berdasarkan
interpertasi keberadaan air terjun dan memiliki kelurusan tebing. Berdasarkan
kelurusannya sesar Sigembor mempengaruhi kemunculan mataair – mataair yang berada
pada daerah penelitian. Peta geologi dapat dilihat pada (Gambar 13).

3. Kondisi Hidrogeologi
Berdasarkan hasil pengukuran luas penampang basah sungai (A) dan kecepatan
arus sungai (V), dilakukan pengkalian dari kedua data pengukuran tersebut maka
didapatkan nilai debit aliran sungai Kedung Pedut sebesar 1,43 m³/d pada musim
penghujan dan 0,07 m³/d pada musim kemarau.
Sifat batuan pada daerah penelitian dikelompokkan menjadi dua yaitu pada satuan
lava andesit memiliki sifat akuifug yaitu ketidakmampuan batuan untuk menyimpan air
dan meloloskaskan air yang disebabkan komposisi mineral batuan yang interlocking
sedangkan pada satuan batugamping terumbu memilki sifat akuifer yaitu kemampuan
batuan untuk menyimpan dan meloloskan air dengan baik yang disebabkan oleh
batugamping yang mengalami pelarutan sehingga membentuk rongga – rongga pada
batugamping. Kedua sifat batuan ini memiliki keuntungan dalam pergerakan air pada
daerah penelitian. Batugamping terumbu yang terbentuk menumpang di atas batuan
gunungapi salah satunya lava andesit menyebabkan air hujan yang tertampung pada
batugamping terumbu tidak dapat mengalir jauh kebawah permukaan karena tertahan
oleh batuan beku dibawah nya yang memiliki sifat akuifug dan menyebabkan air keluar
melalui celah – celah sebagai sumber mataair yang terakumulasi pada sungai Kedung
Pedut. dan keterdapatan batugamping terumbu ini menjadi akuifer yang menyuplai air
pada sungai Kedung Pedut ketika musim kemarau. Sehingga sungai Kedung Pedut tetap
1491
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J004UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

memiliki suplai air hanya saja mengalami penurunan debit aliran sungai. Jenis sungai
Kedung Pedut merupakan jenis sungai effluent yaitu sungai yang airnya juga disuplai dari
air tanah dilihat dari banyak rembesan – rembesan pada dinding sungai Kedung Pedut.
4. Penentuan Tata Letak Komoponen PLTMH dan Perhitungan Daya Pembangkit
listrik
Perhitungan daya listrik yang dihasilkan pada PLTMH, selain nilai debit aliran
sungai diperlukan pula penentuan tata letak rangkaian PLTMH untuk mengetahui nilai
beda tinggi bak penampung dengan rumah pembangkit head agar mendapatkan daya
listrik yang maksimal. Dalam penetuan tata letak ini perlu pendekatan dengan meninjau
kondisi morfologi. Tata letak dapat dilihat pada peta indeks seperti pada (Gambar 14).
a. Bendungan dan Saluran Intake
Pembangunan bendungan dan saluaran intake berada pada koordinat 07° 46’01” LS
dan 110° 07’13” BT dengan elevasi 460 mdpl. Titik ini di pilih berdasarkan pada kondisi
aliran sungai dan jalur pemanfaatan sungai sebagai wisata alam agar tidak mengganggu
dan mengurangi nilai objek wisata pada sungai tersebut.. pada saluran intake dibangun
sepanjang 50 meter menuju bak penenang. Penempatan komponen dapat dilihat pada
(Gambar 15).
b. Bak Penenang
Bak penenang merupakan bak penampungan air Dimana air mengalir dari sungai
dan dibawa melalui saluran intake menuju satu titik akumulasi sebelum dialirkan menuju
rumah pembangkit melewati pipa pesat. Tujuan pembuatan bak penenang ini agar dapat
membuat volume air tetap stabil atau air yang masuk dan air yang keluar seimbang. Selain
itu bak penenang dimanfaatkan sebagai bak penyaringan akhir. Agar tidak adanya sampah
yang masuk kedalam pipa pesat dan dapat mengganggu putaran turbin. Bak penenang
dibagun pada koordinat 07° 46’02” LS dan 110° 07’13” BT Dengan elevasi 459 mdpl.
Penempatan komponen dapat dilihat pada (Gambar 16).
c. Pipa Pesat
Pipa pesat atau saluran tertutup merupakan saluran penghubung dari bak penenang
menuju rumah pembangkit. Tujuan menggunakan pipa pesat ini agar dapat mengalirkan
volume yang stabil menuju rumah turbin. Pada umumnya saluran tertutup ini berbentuk
tabung dan terbuat dari besi maupun paralon. Panjang pipa pesat ini di sesuaikan dengan
beda tinggi dari bak penenang menuju rumah pembangkit. Penempatan komponen dapat
dilihat pada (Gambar 17).
d. Rumah pembangkit
Rumah pembangkit merupakan tempat perubahan energi mekanik menjadi energi
listrik. Terdapat tiga komponen pentng dalam rumah pembangkit ini yaitu turbi,
generator, dan transformator. Pada daerah penelitian rumah pembangkit dibangun pada
koordinat 07° 46’02” LS dan 110° 07’15” BT dengan elevasi 438 mdpl. Penempatan
komponen dapat dilihat pada (Gambar 17).
1492
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J004UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

e. Perhitungan Daya Pembangkit Listrik


Berdasarkan tata letak komponen pembangkit listrik, daya pembangkit listrik yang
dihasilkan pada musim penghujan sebesar 168,18 kW dan pada musim kemarau sebesar
8,24 kW seperti pada (Tabel 3). Pada wisata air terjun Kedung Pedut penggunaan daya
listrik dalam sebulan mencapai 146 – 366 kWh, bila menggunakan PLTMH dengan daya
pembangkit listrik sebesar 8,24 kW maka listrik yang dihasilkan dalam satu bulan sebesar
5904 kWh.

VI. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan pendekatan geologi,
geomorfologi, dan hidrogelogi pada air terjun Kedung Pedut daerah Jatimulyo Kabupaten
Kulon Progo, daerah penelitian memiliki daya pembangkit listrik pada musim penghujan
sebesar 168,18 kW dan pada musim kemarau sebesar 8,24 kW. dengan menggunakan daya
pembangkit terkecil yaitu 8,24 kW dapat menghasilkan 5.904 kWh perbulan sudah dapat
memenuhi kebutuhan listrik pada wisata air terjun Kedung Pedut dan dapat digunakan
dalam pengembangan wisata kedepannya.

VII. SARAN

Hasil perhitungan daya pembangkit didapatkan berdasarkan perhitungan nilai


debit aliran sungai dan tata letak komponen PLTMH secara umum. Perlu adanya penelitian
lebih lanjut mengenai kontruksi bangunan yang lebih detail, pemilihan tipe turbin dan
generator dengan tingkat efesien yang tinggi sehingga menghasilkan daya listrik yang lebih
besar.

DAFTAR PUSTAKA
Bakosurtanal. 2001. Peta Rupa Bumi (RBI) Lembar Wates skala 1:25.000. BAKOSURTANAL. Bogor.
Bemmelen, R. W. van. 1949. The Geology of Indonesia, Vol. IA. General Geology. Martinus Nijnhoff,
The Hague. Netherlands.
Nugroho 2015. Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro Panduan Lengkap Membuat Sumber Energi
Terbarukan Secara Swadaya. Bogor: ANDI.
Rompas 2011. Analisis Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) Pada Aliran Sungai
Ongkak Mongondow Di Desa Muntoi Kabupaten Bolaang Mongondow. Jurnal penelitian
saintek, vol. 16 nomor 2, oktober 2011: 160 – 17
Soewarno 1991. Hidrologi Pengukuran dan pengolahan data aliran sungai Bandung: NOVA
Sukandarrumidi, Rahardjo W, Rosidi, H.M.D, 1995 Peta Geologi lembar Yogyakarta. Jawa
Geological map of the Yogyakarta sheet, Jawa. Bandung: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi

1493
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J004UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Verstappen., H Th. 1983. Applied Geomorfology Geomorfological Sureys for Environmental


Management. Amsterdam: Elvisier
Wilson E. M. 1989. Hidrologi Teknik. Bandung: ITB Bandung.

1494
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J004UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1 Bagan alir penelitian

Gambar 2 Peta lintasan dan lokasi pengamatan pada daerah penelitian

1495
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J004UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4 Kelurusan tebing air terjun pada


Gambar 3 bidang sesar pada air terjun kedung
mataair Sigembor
Pedut, garis merah menunjukkan bidang sesar.

Gambar 5 Tebing gawir sesar yang Gambar 6 Tebing karst dan perbukitan
membentuk triangular faced kartstik terkikis

Gambar 7 Pengambilan data debit aliran Gambar 8 Pengambilan data debit aliran
sungai pada musim penghujan sungai pada musim kemarau

1496
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J004UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 9 Luas penampang pada musim Gambar 10 Luas penampang pada musim
penghujan. kemarau.

Gambar 11 Peta geomorfologi pada daerah penelitian

1497
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J004UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 12 Peta geologi pada daerah penelitian

SKALA PETA 1: 3000

Gambar 13 Indeks peta lokasi pembangunan tata letak komponen (PLTMH).

1498
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J004UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 14 letak bangunan bendungan dan Gambar 15 garis merah jalur saluran intake
pada garis merah jalur saluran intake. menuju bak penenang.

Gambar 16 garis merah jalur pipa pesat dari bagian atas kiri letak bak penenang menuju kanan
bawah letak rumah turbin.

Tabel 1 Hasil pengukuran kecepatan arus Tabel 2 Hasil pengukuran kecepatan arus
sungai Kedung Pedut pada musim hujan. sungai Kedung Pedut pada musim kemarau.
Kedalama Titik pengukuran Kedalama Titik pengukuran
n n
sisi sisi sisi sisi sisi
pengukura sisi kanan pengukur
kiri tengah kiri tengah kanan
n an
0.7 0.0
20% 0.6 m/s 0.3 m/s 20% 0.1 m/s 0.0 m/s
m/s m/s
0.4 Rata - rata 0.03 m/s
60% 0.3 m/s 0.2 m/s
m/s
0.3
80% 0.3 m/s 0.2 m/s
m/s
Rata - rata 0.4 m/s

1499
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J004UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 3 Perhitungan potensi daya listrik pada air terjun Kedung Pedut
Perhitungan daya pada musim hujan Perhitungan daya pada musim kemarau
Pnet =Qxgxƞxh Pnet =Qxgxƞxh
Pnet = 1,43 x 9,8 x 0,6 x 20 Pnet = 0,07 x 9,8 x 0,6 x 20
Hasil Pnet = 168.16 kW Hasil Pnet = 8,24 kW

1500
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J005UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

IDENTIFIKASI KAOLIN BERDASARKAN ANALISIS CITRA ASTER DI


DAERAH KELABAT, KABUPATEN BANGKA BARAT, PROVINSI
KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
Abyan Abdan1*, Agung Setianto1, Anastasia Dewi Titisari 1
Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Jl. Grafika No. 2
1

Bulaksumur,Yogyakarta, 55281
*Corresponding Author: abyan_ab@yahoo.co.id

ABSTRAK. Daerah Kelabat, Kabupaten Bangka Barat di Pulau Bangka memiliki potensi sumber
daya mineral kaolin yang cukup besar. Material kaolin tersebut merupakan hasil alterasi dari batuan
granit sebagai penyusun Daerah Kelabat. Oleh karena itu, Daerah Kelabat dipilih sebagai daerah
penelitian untuk menerapkan metode analisis citra Advanced Spaceborne Thermal Emission and
Reflection Radiometer (ASTER). Analisis ASTER dipercaya dapat mengidentifikasi kaolin dengan
baik. Tujuan dari studi ini adalah untuk mengetahui luas persebaran kaolin melalui citra ASTER.
Citra ASTER digunakan untuk meneliti pola spektral mineral. Kehadiran kaolin pada piksel citra
ASTER ditunjukkan dengan adanya absorpsi di panjang gelombang 2,205 μm (band 6) dan
reflektansi di panjang gelombang 0,56 μm (band 1), 1,65 μm (band 4), dan 2,26 μm (band 7). Setelah
melalui tahap pra-pemrosesan, dilakukan tahap spectral resampling untuk mengetahui titik-titik
yang memiliki kecenderungan pola spektral yang sesuai dengan Spectral Library. Kemudian, citra
ASTER dianalisis menggunakan metode Principal Component Analysis (PCA) band 1467. PC3
dipilih sebagai acuan karena dapat merepresentasikan kehadiran kaolin berdasarkan pola
spektralnya untuk kemudian diseleksi dengan threshold maksimal sebesar 1% dan 5% dan
dipetakan menggunakan Supervised Classification. Anomali yang ditunjukkan dari hasil
pemrosesan tersebut dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk pengambilan sampel di
lapangan, yaitu sebanyak tujuh stasiun titik amat. Hasil analisis citra ASTER menunjukkan bahwa
lempung kaolin di Daerah Kelabat tersebar di wilayah tertentu sesuai dengan hasil klasifikasi
Minimum Distance dengantingkat keakuratan sebesar 71,4%.

Kata kunci: Kaolinit, Reflektansi spektral, Citra ASTER, Kelabat

I. PENDAHULUAN

Dalam rangka meningkatkan optimalisasi kegiatan eksplorasi sumber daya mineral


diperlukan teknik eksplorasi yang efektif dan efisien untuk menekan biaya, tenaga serta
waktu bekerja. Salah satu cara untuk menjawab tantangan tersebut adalah dengan
mengaplikasikan metode penginderaan jauh dalam kegiatan eksplorasi. Penginderaan
jauh digunakan untuk mengidentifikasi objek di permukaan bumi dengan memanfaatkan
interaksi objek tersebut terhadap gelombang elektromagnetik yang direkam oleh suatu
sensor (Gupta, 1991). Melalui prinsip tersebut, sebagai salah satu produk penginderaan
jauh, citra ASTER digunakan untuk mengetahui persebaran kaolin yang terdapat di
permukaan bumi.

1501
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J005UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

ASTER merupakan instrumen pemindai optis yang terpasang pada Satelit Terra
yang diluncurkan pada 18 Desember 1999 untuk mengorbit bumi sekaligus memantaunya
secara berkala. Terra mengorbit bumi di ketinggian 705 km untuk dapat memindai
permukaan bumi dengan cakupan sesuai dengan wilayah yang disinari matahari (sun-
synchronous) dan akan kembali merekam di daerah yang sama setiap 16 hari. ASTER adalah
hasil proyek kerja sama antara NASA (The National Aeronautics and Space Administration)
milik Amerika Serikat dan Pemerintah Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri
Jepang yang dipercaya lebih unggul dari generasi sebelumnya yaitu Landsat dan JERS-1.
Instrumen ASTER tersusun atas tiga subsistem (Tabel 1) yang masing-masing memiliki
komponen yang berbeda dan dapat bekerja secara mandiri (Abrams dkk., 2007). Analisis
spektral menggunakan citra ASTER dapat mengidentifikasi mineral tertentu. Dalam hal
mengidentifikasi mineral lempung, citra ASTER hanya dapat mendeteksi beberapa
kelompok mineral karena keterbatasan jumlah band yang dimiliki (Cudahy dkk., 2008).
Kelebihan ASTER adalah mudah didapat dan mendukung penelitian geologi pendahuluan
skala regional untuk mengevaluasi kegiatan eksplorasi sumber daya mineral (Yajima,
2014).
Secara administratif, lokasi penelitian terletak di sekitar wilayah Kelabat,
Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Daerah penelitian
mencakup area sekitar 3 x 3,5 km2. Secara geografis, menempati koordinat 556185-559785E
dan 9818395-9821365S UTM 48S (Gambar 1).

II. GEOLOGI REGIONAL

Fisiografi Pulau Bangka termasuk dalam Paparan Sunda (van Bemmelen, 1949).
Pulau-pulau di Paparan Sunda pada mulanya merupakan bagian yang menjulang tinggi
di antara Sunda Peneplain hingga akhirnya terjadi periode interglasiasi. Daerah dengan
elevasi rendah tergenang oleh air laut sehingga hanya tersisa daerah tinggian yang berada
di atas permukaan laut yang kemudian menjadi kepulauan. Kenaikan permukaan laut
pada Zaman Kuarter mengakibatkan munculnya pulau-pulau kecil yang pada dasarnya
masih berhubungan dengan pulau yang lebih besar, termasuk di dalamnya Pulau Bangka.
Dalam Peta Geologi Lembar Bangka Utara, Sumatera dengan skala 1:250.000
(Mangga dan Djamal, 1994) (Gambar 2), stratigrafi daerah Kelabat dan sekitarnya terdiri
dari tiga formasi batuan, dari paling tua hingga paling muda, yaitu Granit Klabat (TRJkg),
Formasi Tanjunggenting (TRt), dan Formasi Ranggam (TQr). Granit Klabat terbentuk
antara Zaman Trias dan Jura yang tersusun atas granit, granodiorit, adamalit, diorit, dan
diorit kuarsa; di beberapa tempat dijumpai retas (dike) aplit dan pegmatit. Formasi
Tanjunggenting (TRt) diterobos oleh Granit Klabat, formasi ini tersusun atas perselingan
batupasir malih, batupasir, batupasir lempungan, dan batulempung dengan lensa
batugamping; di beberapa tempat dijumpai oksida besi. Formasi Ranggam (TQr) tersusun
atas perselingan batupasir, batulempung, dan batulempung tufan dengan sisipan tipis

1502
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J005UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

batulanau dan bahan organik. Mengacu pada peta tersebut daerah penelitian secara
keseluruhan hanya menempati Granit Klabat yang diduga sebagai sumber dari kaolin dan
sedikit sebaran Formasi Tanjunggenting di bagian tenggara.
Berdasarkan peta geologi regional tersebut, struktur geologi yang ditemukan di
sekitar Kelabat berupa lipatan sinklin, sesar diperkirakan, dan kelurusan (Mangga dan
Djamal, 1994). Franto (2015) juga menginterpretasi struktur geologi regional yang dominan
di Pulau Bangka dengan kecenderungan arah umum jurus perlapisan berarah barat laut-
tenggara, kelurusan berarah timur laut-barat daya, serta patahan berarah utara-selatan.
Akan tetapi, berdasarkan fakta tersebut lokasi penelitian tidak dipengaruhi oleh struktur
geologi regional, namun salah satu alasan hadirnya mineral lempung di suatu tempat
merupakan hasil dari proses alterasi yang tentunya membutuhkan proses geologi yang
dinamis, sehingga kemungkinan terdapat struktur geologi lokal yang tidak dapat
terpetakan secara regional.

III. METODE PENELITIAN

Metode penelitian dilakukan ini dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu pra-
lapangan berupa penentuan topik penelitian hingga penentuan cakupan daerah penelitian
yang dipertimbangkan melalui studi pustaka serta kondisi geologi regional, setelah itu
dilakukan tahap pengumpulan data yang terdiri dari data primer berupa citra ASTER dan
sampel batuan yang diambil langsung di lokasi penelitian serta data sekunder berupa data
yang diperoleh dari tinjauan pustaka. Data citra ASTER yang digunakan diakuisisi pada
tanggal 18 September 2002 dengan pertimbangan sensor SWIR yang masih aktif dan
tutupan awan yang minim. Sampel batuan yang diambil di lokasi penelitian sebanyak
enam sampel dari tujuh stasiun titik amat. Kemudian dilakukan tahap analisis data dengan
mengolah data citra menggunakan perangkat lunak ENVI 5.1. yang di antaranya dilakukan
prosedur Pra-pemrosesan, Pemrosesan, Ekstraksi Informasi, dan Visualisasi (Jensen, 1996).

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut:
1. Tahap pra-pemrosesan merupakan langkah awal menganalisis citra yang bertujuan
untuk mendapatkan data citra yang memadai dan layak untuk dijadikan sebagai
bahan dasar penelitian, meliputi Kalibrasi Radiometrik, Koreksi Atmosferik
FLAASH, dan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI).
Kalibrasi Radiometrik dilakukan untuk mengolah citra menjadi data
radiance guna menyiapkan data yang sesuai untuk melakukan koreksi atmosferik
FLAASH (Fast Line-of-sight Atmospheric Analysis of Hypercubes). Koreksi Atmosferik
FLAASH (Gambar 3a) akan mengubahnya menjadi data reflectance dan berguna

1503
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J005UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

untuk meminimalisir efek atmosferik. Hasil yang telah terkoreksi tersebut


digunakan sebagai data dasar untuk tahap pemrosesan citra selanjutnya.
NDVI diterapkan untuk mendiskriminasi vegetasi, air, awan, dan
tanah/batuan berupa gambar grayscale dengan rentang nilai antara -1 hingga +1
(Gambar 3b). Piksel dengan nilai < 0 merepresentasikan tubuh air, piksel ini di-mask
dan warnanya diubah menjadi biru. Nilai piksel yang berada pada rentang 0 hingga
sekitar 0,1 merepresentasikan daerah lahan terbuka yang dapat berupa tanah,
batuan, bangunan, dan jalan. Semakin menuju ke arah nilai 0,1 (berwarna abu-abu)
maka pengaruh keberadaan vegetasi semakin besar, meskipun kehadirannya tidak
terlalu lebat. Terakhir, nilai piksel 0,1-1,0 merepresentasikan vegetasi; semakin
tinggi nilainya maka kehadiran vegetasi yang terdapat dalam piksel tersebut
semakin lebat dan rapat.
2. Tahap pemrosesan bertujuan untuk menginterpretasi dan mengidentifikasi objek
yang ada di lapangan guna mencapai hasil yang diinginkan, meliputi Spectral
Resampling dan Principal Component Analysis (PCA).
a. Spectral Resampling digunakan untuk mendapatkan profil spektral di setiap titik
yang diduga memiliki kandungan kaolin. Kemudian, profil yang telah di-
resample akan dicocokkan dengan kaolin yang didapat dari ASTER Spectral
Library (Gambar 4). Sebanyak tujuh titik profil spektral diambil dan diekspor
menjadi data ASCII (American Standard Code for Information Interchange)
sehingga dapat dibuat kembali dalam bentuk grafik. Secara umum, profil
spektral mineral kaolinit, dickit, dan montmorilonit dari ASTER Spectral Library
sangat mirip, akan tetapi jika dilihat secara lebih detail dapat terlihat
perbedaannya. Kaolinit memiliki intensitas pantulan sangat tinggi mulai dari
band 1 hingga band 4 namun setelah itu semakin melemah, kemudian terdapat
fitur yang unik yaitu double absorption di sekitar 1,4 µm dan 2,165 µm (band 5)
dengan 2,205 µm (band 6), serta absorpsi pada 2,39 µm (band 9).
Perbedaan antara kaolinit dengan dickit terletak pada intensitas pantulannya,
secara umum dickit memiliki intensitas yang lebih rendah daripada kaolinit,
kemungkinan penyebabnya adalah adanya perbedaan dalam skala molekuler
karena keduanya termasuk dalam satu spesies kaolin. Perbedaan antara kaolinit
dan montmorilonit sedikit lebih jelas, yaitu pada panjang gelombang 1,65 µm
(band 4) montmorilonit memiliki intensitas reflektansi lebih rendah daripada
kaolinit dan pada daerah 1,9 µm montmorilonit mengalami absorpsi sementara
kaolinit dan dickit tidak sama sekali, akan tetapi fitur ini tidak teridentifikasi
oleh citra ASTER sebab tidak terdapat sensor yang mendeteksi wilayah
tersebut. Oleh karena itu, perlu kehati-hatian dalam menentukan jenis mineral
karena ini adalah salah satu kekurangan dari citra ASTER, sehingga integrasi

1504
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J005UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

dengan metode analisis lain sangat diperlukan untuk mengetahui jenis mineral
yang lebih akurat.
Secara umum, dari STA 1 hingga STA 7 pola spektral yang dimiliki oleh masing-
masing titik sangat mirip baik dari band 1 sampai band 9. Pola tersebut secara
umum mengikuti pola spektral dari kaolinit dan dickit, maka dapat
diinterpretasikan bahwa kehadiran kaolinit dan/atau dickit cukup melimpah di
daerah penelitian ini (Gambar 5). Akan tetapi, dari pola tersebut terlihat sedikit
variasi pada intensitas band 4 terutama pada STA 1, STA 3, dan STA 7. Pola
kenaikan intensitas pantulan dari band 1 hingga band 4 di STA 1 mengikuti pola
ilit, namun perubahan intensitas tidak terlalu tajam di band 4 lalu kembali
menurun di band 5; seterusnya, profil mengikuti kaolinit dan/atau dickit, maka
di STA 1 diinterpretasikan mengandung kaolinit dan/atau dickit dengan
kemungkinan mengandung campuran ilit. STA 1 yang memiliki intensitas
maksimum yang cukup rendah, hal ini kemungkinan disebabkan oleh kurang
memadainya lahan terbuka sehingga vegetasi dan tubuh air dapat hadir dan
mempengaruhi pembacaan piksel. STA 2, STA 4, STA 5, dan STA 6 dapat
digabung menjadi satu kelompok sebab secara keseluruhan memiliki pola
seragam dengan arah kecenderungan yang sama namun hanya berbeda
intensitas secara umum. Pola keempat titik tersebut dengan sangat jelas
mengikuti pola kaolinit dan/atau dickit. STA 3 secara umum juga mengikuti
pola kaolinit dan/atau dickit, akan tetapi terlihat adanya sedikit penurunan
intensitas pada band 4, hal ini kemungkinan menandakan bahwa terjadi
campuran dengan mineral lain. Begitu pula dengan STA 7, secara keseluruhan
pola spektral cenderung mengikuti pola kaolinit dan/atau dickit, akan tetapi
terdapat penurunan yang cukup drastis pada band 4 yang mengindikasikan
pengaruh mineral campuran yang cukup besar.
b. PCA berguna untuk meminimalisir korelasi antar-band serta memperbaiki
piksel dari noise dengan cara mentransformasi data asli menjadi data baru yang
pada awalnya memiliki variabilitas tinggi menjadi tidak berkorelasi satu sama
lain. Secara umum, mineral kaolin memiliki intensitas yang cukup tinggi
terhadap gelombang VNIR dan SWIR, meskipun terdapat beberapa absorpsi,
fitur tersebut dapat mencirikan kaolin dengan mineral lain. Berdasarkan pola
spektral kaolin, band 1 dan band 4 digunakan untuk memastikan bahwa terjadi
kenaikan intensitas pantulan, sementara band 6 dan band 7 dipakai untuk
mengetahui absorpsi di band 6 dan kemudian secara drastis terjadi pantulan di
band 7, sehingga kombinasi yang digunakan adalah band 1467 (Gambar 6a).
Parameter yang digunakan sebagai pertimbangan kehadiran dan kelimpahan
objek dari PCA adalah (1) eigenvalue yang merupakan perbandingan seberapa
besar pengaruh Principal Component (PC) yang dihasilkan dapat

1505
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J005UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

mempertahankan informasi aslinya dan (2) eigenvector adalah perbandingan


seberapa besar kontribusi band yang diinput terhadap band PC yang dihasilkan.
Dalam Tabel 2 terlihat bahwa eigenvalue dari band 1 adalah sebesar 87,41%, band
4 sebesar 11,59%, band 6 dan band 7 adalah sisanya yang besarnya < 1%. Dari
data tersebut dapat diasumsikan bahwa pengaruh band 1 dan band 4 masih
sangat besar terhadap PC yang ditampilkan, sementara band 6 dan band 7 relatif
lebih sedikit pengaruhnya terhadap PC yang ditampilkan.
Dalam Tabel 3 bagian kolom adalah band asli yang dijadikan sebagai input dan
bagian kolom sebagai band PC yang telah ditransformasi. Di samping band input
diberikan tanda ↑ (naik) dan ↓ (turun) untuk menginformasikan bagaimana
pola spektral dari kaolin yang ditangkap oleh band tersebut. Pertimbangan
pemilihan band PC yang sesuai untuk kaolin adalah seberapa besar nilai
eigenvector terhadap band aslinya. Tanda positif dan negatif dari nilai eigenvector
tersebut menunjukkan besarnya kontribusi band aslinya terhadap band PC yang
dihasilkan dan secara tidak langsung mengindikasikan sifat spektral
(reflektansi atau absorpsi). PC3 digunakan sebagai bahan penentuan piksel
mana saja yang menunjukkan objek mineral kaolin, sebab pada eigenvector
apabila semakin menjauhi nilai nol (0) maka pengaruh band akan semakin besar
dan sebaliknya semakin mendekati nol pengaruhnya semakin kecil. Terlihat
pada Tabel 3 bahwa PC1 dan PC2 pengaruh band 1 terlalu besar, ini menjadikan
citra terlalu cenderung menampilkan apa yang tampak pada band 1. Walaupun
pada dasarnya kaolin memiliki reflektansi yang besar di band 1 akan tetapi objek
lain yang memiliki reflektansi tinggi di band 1 juga termasuk dalam
perhitungan, sehingga menjadi sulit untuk mendiskriminasi kaolin dengan
objek lain. Sementara itu dalam PC4, band 6 dan band 7 memiliki kontribusi yang
terlalu signifikan dibandingkan dengan band 1 dan band 4. Hal ini menyebabkan
semakin besar noise yang ditampilkan. Dengan demikian PC3 dipilih karena
memiliki pengaruh besar dari band 4, band 6 dan band 7, meskipun pengaruh
band 1 tidak terlalu signifikan hal ini tidak menjadi menghambat dalam
mengidentifikasi kaolin.
PCA yang telah di-inversed juga dapat menampilkan informasi yang cukup
penting, dapat dilihat pada Gambar 6b meskipun kombinasi warna PCA
Inversed merupakan false-color, secara kasat mata kita dapat melihat dan
membedakan antara objek satu dengan objek lainnya hanya melalui citra.
Misalnya, warna hijau merupakan vegetasi yang lebat, warna hitam kebiru-
biruan merupakan tubuh air, warna putih merupakan kaolin yang terdapat
pada permukaan, sementara biru cerah dapat diinterpretasikan sebagai
campuran antara air dan kaolin.

1506
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J005UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Hasil PC3 ditampilkan dalam grayscale pada Gambar 6c. Semakin cerah piksel
yang terdapat di PC3 mengindikasikan bahwa piksel tersebut tersusun atas
tubuh air, semakin gelap pikselnya maka kehadiran kaolin semakin tinggi. Hal
ini sesuai dengan nilai statistik eigenvector PC3 pada band 1 dan 4 dengan tanda
negatif serta band 6 dan 7 dengan tanda positif. Meskipun band 1 negatif (-
0,01105) akan tetapi pengaruhnya terhadap PC lebih sedikit, selanjutnya band 4
(-0,71302) yang seharusnya memperlihatkan sifat reflektansi akan tetapi dalam
eigenvector menunjukkan tanda negatif, dan sebaliknya band 6 (0,479917)
menunjukkan tanda positif yang seharusnya memiliki sifat absorpsi dan band 7
(0,511036) menunjukkan tanda positif yang sesuai dengan sifat reflektansi
kaolin. Band 4 dan band 6 yang menunjukkan tanda yang terbalik tersebut
mengakibatkan indikator kehadiran kaolin ditunjukkan oleh piksel berwarna
gelap. Warna abu-abu dapat diinterpretasikan sebagai vegetasi.
Langkah selanjutnya adalah mengestimasi piksel yang dipercaya mengandung
kaolin dengan tingkat keyakinan statistik paling tinggi, yaitu dengan cara
mengekstraksi piksel-piksel yang memiliki intensitas tinggi pada histogram.
Threshold berfungsi untuk mengetahui seberapa besar tingkat kepercayaan
bahwa di titik tersebut mendekati nilai sebenarnya dari seluruh populasi. Oleh
karena piksel yang diambil adalah piksel gelap, maka threshold yang digunakan
adalah 1% dan 5%, pertimbangannya adalah untuk membandingkan secara
statistik seberapa yakin peluang terpilihnya wilayah tersebut memiliki
kandungan kaolin di permukaan tanpa memasukkan parameter campuran
(mixed minerals) ke dalam perhitungan. Threshold ≤ 1% setara dengan -0,016,
begitu pula dengan threshold ≤ 5% atau sebesar -0,032. Meskipun wilayahnya
telah terpetakan dengan baik, persebaran piksel yang telah di-threshold tidak
menempati seluruh STA (Gambar 6d).
3. Tahap ekstraksi informasi adalah tahap mendeterminasi jenis data terpilih
berdasarkan formulasi statistik tertentu yang bertujuan untuk mendeteksi anomali
yang menunjukkan kelimpahan objek yang diteliti, meliputi Region of Interest (ROI)
dan Supervised Classification.
a. ROI merupakan poligon yang secara sengaja dibuat yang mengacu pada
parameter tertentu untuk memberi perhatian khusus terhadap objek yang
ingin ditinjau lebih lanjut. Untuk membatasi agar tidak melenceng jauh dari
persebaran populasi mineral lempung maka ROI yang dibuat adalah
berdasarkan piksel yang merupakan hasil pengaplikasian PCA yang memiliki
tingkat keyakinan kaolin yang cukup tinggi yaitu berdasarkan persebaran
threshold 1% dan 5% (Gambar 7a).
b. Supervised classification dilakukan untuk memberikan alternatif persebaran
objek di permukaan serta mendukung dan memvalidasi hasil PCA. Klasifikasi

1507
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J005UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

yang digunakan adalah Parallelepiped, Minimum Distance, dan Maximum


Likelihood. Dalam klasifikasi Parallelepiped, parameter yang dipakai adalah nilai
maksimal standar deviasi terhadap rata-rata dari keseluruhan nilai ROI. Nilai
maksimal standar deviasi yang digunakan adalah sebesar 1,00. Maka, piksel
yang berada pada kisaran +1,00 dan -1,00 dari nilai rata-rata ROI masuk ke
dalam kelas ini. Persebaran kaolin yang didapat berdasarkan klasifikasi
Parallelepiped ditampilkan dengan warna merah. Dari perhitungan tersebut
tidak ada stasiun titik amat yang menempati hasil perhitungan klasifikasi
Parallelepiped (Gambar 7b). Dalam klasifikasi Minimum Distance, parameter
yang diperhitungkan adalah vektor jarak dari rata-rata nilai ROI. Nilai jarak
yang dipakai untuk klasifikasi Minimum Distance adalah sebesar 0,
memperlihatkan objek mineral kaolinit yang ditampilkan berwarna merah
yang didapat berdasarkan klasifikasi Minimum Distance. Hasilnya, persebaran
piksel kaolin yang dibuat berdasarkan klasifikasi Minimum Distance
menempati 5 dari 7 titik yang diambil sampelnya (Gambar 7c). Perhitungan
klasifikasi Maximum Likelihood adalah probabilitas. Probabilitas yang dipakai
untuk klasifikasi Maximum Likelihood adalah sebesar 0 atau 0%. Warna merah
memperlihatkan kaolin yang ditampilkan yang didapat berdasarkan klasifikasi
Maximum Likelihood. Hasilnya, persebaran piksel kaolin yang dibuat
berdasarkan klasifikasi Maximum Likelihood mencakup wilayah yang sangat
luas, selain itu kecocokan dengan titik pengambilan sampel adalah sebanyak 6
dari 7 stasiun titik amat (Gambar 7d). Meskipun demikian, persebarannya
tidak masuk akal sebab sebagian besar wilayah permukaan seharusnya
ditempati oleh vegetasi. Secara umum, jika dibandingkan ketiga hasil
klasifikasi di atas, klasifikasi Minimum Distance adalah klasifikasi yang paling
baik merepresentasikan keadaan di lapangan, dinilai dari keakuratan
mengklasifikasikan objek kaolin sebanyak 5 dari 7 titik (71,4%) yang sesuai
dengan stasiun titik amat saat observasi lapangan serta persebarannya yang
cukup baik secara spasial. Dua dari tujuh titik tersebut diduga terjadi atas
faktor percampuran sifat spektral pada satu piksel yang berisi dua objek yang
berbeda dan atas faktor waktu akuisisi citra yang berbeda jauh dengan tanggal
pengambilan data lapangan, sementara perubahan bentuk lahan di sana terjadi
secara dinamis sehingga daerah yang sebelumnya belum terekspos menjadi
tersingkap oleh aktivitas pertambangan.
4. Visualisasi dilakukan melalui ArcGIS untuk overlay data dan layout agar hasil akhir
ditampilkan sebagai gambar ataupun peta. Berdasarkan data lapangan, sampel
kaolin yang diambil sebanyak enam buah sampel yang diambil atas dasar
pertimbangan analisis citra. Walaupun demikian, setelah dilakukan pengambilan

1508
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J005UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

sampel dan observasi lapangan dibutuhkan pengecekan kembali dengan hasil


analisis citra untuk kemudian diverifikasi dengan data lapangan.

V. KESIMPULAN

Klasifikasi Minimum Distance adalah hasil klasifikasi terbaik dalam memaparkan


persebaran kaolin di lapangan dengan tingkat keakuratan sebanyak lima dari tujuh stasiun
titik amat (71,4%). Dua dari tujuh titik tidak teridentifikasi sebagai kaolin oleh Minimum
Distance, hal ini diduga terjadi atas faktor percampuran sifat spektral dan atas faktor waktu
akuisisi citra sementara perubahan bentuk lahan terjadi secara dinamis sehingga daerah
yang sebelumnya tidak terekspos ke permukaan menjadi tersingkap oleh aktivitas
pertambangan.

ACKNOWLEDGEMENTS

Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Departemen Teknik Geologi


Universitas Gadjah Mada yang telah memberi bantuan dana dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M., Hook, S., dan Ramachandran, B. (2007). ASTER User Handbook - Version 2. Pasadena: Jet
Propulsion Laboratory California Institute of Technology - National Aeronautics and Space
Administration.
Baldridge, A.M., Hook, S.J., Grove, C.I., dan Rivera, G. (2008). The ASTER Spectral Library Version
2.0. Remote Sensing of Environment, 711-715.
Cudahy, T., Jones, M., Thomas, M., Laukamp, C., Caccetta, M., Hewson, R., Rodger, A., dan Verrall,
M. (2008). Next Generation Mineral Mapping: Queensland Airborne HyMap and Satellite ASTER
Surveys 2006-2008. Kensington: CSIRO Exploration & Mining.
Elsaid, M., Aboelkhair, H., Dardier, A., Hermas, E., dan Minoru, U. (2014). Processing of
Multispectral ASTER Data for Mapping Alteration Minerals Zones: As an Aid for Uranium
Exploration in Elmissikat-Eleridiya Granites, Central Eastern Desert, Egypt. The Open
Geology Journal, 69-83.
Franto. (2015). Interpretasi Struktur Geologi Regional Pulau Bangka Berdasarkan Citra Shuttle Radar
Topography Mission (SRTM). Jurnal Promine, 10-20.
Gupta, R. (1991). Remote Sensing Geology. Hong Kong: Springer-Verlag.
Jensen, J. (1996). Introductory Digital Image Processing: A Remote Sensing Perspective. NewJersey:
Prentice Hall, Inc.
Mangga, S.A., dan Djamal, B. (1994). Peta Geologi Lembar Bangka Utara, Sumatera. Bandung: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi.
NASA. (2018). EARTH DATA. https://search.earthdata.nasa.gov (diakses pada September 2018).

1509
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J005UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Van Bemmelen, R. (1949). The Geology of Indonesia Vol. IA - General Geology of Indonesia and Adjacent
Archipelagoes. The Hague: Government Printing Office. Yajima, T. (2014). ASTER Data
Analysis Applied to Mineral Resource Exploration and Geological Mapping. Nagoya: Nagoya
University.

1510
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J005UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 1. Subsistem instrumen ASTER dan karakteristiknya (Elsaid dkk., 2014)


Instrume Subsiste Ban Jangkauan Scene Resolusi Derajat
Keterangan
n m d Spektrum Size Spasial Kuantisasi
Hijau /
1 0,52 - 0,60 μm
Kuning
VNIR 2 0,63 - 0,69 μm Merah
(Visible 0,76 - 0,86 μm 15
3N Near-IR 8 bits
Near Nadir Looking meter
Infrared) 0,76 - 0,86 μm
3B Backward Near-IR
Looking
1,600 - 1,700 Shortwave
4
μm IR
2,145 - 2,185 Shortwave
5
μm IR
SWIR 2,185 - 2,225 Shortwave
6
(Shortwav μm IR 30
60 x 8 bits
e 2,235 - 2,285 Shortwave meter
ASTER 7 60
Infrared) μm IR km2
2,295 - 2,365 Shortwave
8
μm IR
2,360 - 2,430 Shortwave
9
μm IR
8,125 - 8,475
10 Thermal IR
μm
8,475 - 8,825
11 Thermal IR
LWIR μm
(Longwav 8,925 - 9,275 90
12 Thermal IR 12 bits
e μm meter
Infrared) 10,25 - 10,95
13 Thermal IR
μm
10,95 - 11,65
14 Thermal IR
μm
Informasi Orbit Instrumen
Orbit Ketinggian Inklinasi Siklus Perulangan Periode Orbit
700-737 km
Sun-synchronous
(705 km di 98,2˚±0,15˚ 16 hari 98,9 menit
Descending
khatulistiwa)

Tabel 2. Statistik PCA band 1467


Min Max Mean Stdev* Eigenvalue % Total variance
Band 1 0 0,5376 0,079266 0,0999 0,017003 87,41
Band 4 0,0697 0,5865 0,214315 0,067501 0,002255 11,59
Band 6 0,0514 0,379 0,109959 0,045452 0,000165 0,85
Band 7 0,0456 0,4607 0,108106 0,053366 0,000028 0,14

1511
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J005UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 3. Statistik Eigenvector PCA band 1467

Band 1 Band 4 Band 6 Band 7


PC 1 -0,72379 -0,47763 -0,31988 -0,38166
PC 2 -0,68968 0,51308 0,348001 0,374154
PC 3 -0,01105 -0,71302 0,479917 0,511036
PC 4 -0,01865 -0,01468 -0,73909 0,673192

Gambar 1. Peta lokasi penelitian berada di wilayah Kabupaten Bangka Barat. Persebaran mineral
lempung ditandai oleh daerah berwarna putih/cerah (USGS, 2018)

1512
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J005UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Peta geologi regional lembar Bangka Utara di sekitar Kelabat dan lokasi penelitian
(Mangga dan Djamal, 1994)

1513
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J005UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3a. Citra ASTER daerah penelitian setelah koreksi atmosferik FLAASH (RGB 231)

1514
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J005UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3b. NDVI di daerah penelitian

1515
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J005UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Pola spektral pantulan beberapa mineral lempung yang ada di ASTER Spectral Library

Gambar 5. Pola spektral pantulan piksel di setiap stasiun titik amat

1516
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J005UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 6a. Citra ASTER yang telah diaplikasikan PCA band 1467

1517
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J005UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 6b. Citra ASTER yang telah diaplikasikan PCA Inversed band 1467

1518
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J005UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 6c. PC3 monokrom yang menunjukkan kaolin sebagai piksel gelap dan tubuh air sebagai
piksel cerah

1519
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J005UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 6d. Threshold kaolin dengan latar PC3 dalam grayscale

1520
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J005UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 7a. Region of Interest (ROI) Air, Kaolin dan Vegetasi dengan latar FLAASH

1521
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J005UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 7b. Persebaran kaolin berdasarkan klasifikasi Parallelepiped

1522
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J005UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 7c. Persebaran kaolin berdasarkan klasifikasi Minimum Distance

1523
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 J005UNO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 7d. Persebaran kaolin berdasarkan klasifikasi Maximum Likelihood

1524
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K005UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

STUDI PROVENAN, IKLIM PURBA, DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN


FORMASI KEBO BUTAK DAERAH TEGALREJO, GEDANG SARI,
KABUPATEN GUNUNG KIDUL, YOGYAKARTA
Amanda Cintya R1*, Maulani Rukya1, Dwi Aji Disastra1, Panji Surya1, Muchamad Ocky Bayu
Nugroho1
1Teknik Geologi, UPN “Veteran” Yogyakarta

*Corresponding Author: amandacintyar@gmail.com

ABSTRAK. Daerah Penelitian terletak di Tegalrejo, Gedang Sari, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah
Istimewa Yogyakarta. Penelitian dilakukan pada Formasi Kebo Butak yang berumur Oligosen
Akhir. Litologi penyusun yang ditemukan berupa batupasir, batupasir krikilan, breksi polimik,
perselingan batulempung-batulanau, tuff, dan serpih. Penelitian ini bertujuan untuk megetahui
provenan, iklim purba, dan lingkungan pengendapan Formasi Kebo Butak. Metodologi yang
dilakukan berupa survey lapangan, analisis stratigrafi terukur, pengamatan litologi secara
megaskopis dan mikroskopis, penentuan fasies berdasarkan model Walker dan Mutti (1973) dan
Bouma (1962), serta pengamatan petrografis batupasir. Dari hasil penelitiandidapatkan fasies C.T
(Clasical Turbidite), M.S (Massive Sandstone), S.L (Slump), C.G.L (Conglomerate) dan P.S (Pebbly
Sandstone). Struktur sedimen yang berkembang pada daerah penelitian berupa graded bedding,
reverse graded bedding, lamination,dan convolute. Jika dilihat dari fasiesnya daerah telitian berada di
Alluvial fanchanneled - smooth (Walker, 1973). Dari hasil Plot diagram QFL dan QmFLt, batupasir
Formasi Kebo Butak termasuk dalam tatanan tektonik continental block, subzona transitional
continental & magmatic arc, subzona dissected arc, dan diendapkan pada iklim purba humid (diagram
QFL, Nelson 2007).

Kata kunci: Kebo-Butak, provenan, fasies, iklim purba, lingkungan pengendapan.

I. PENDAHULUAN
Zona Pegunungan Selatan merupakan area geologi yang sangat kompleks dan
menarik untuk diteliti. Salah satu formasi di Zona Pegunungan Selatan yang masih
menarik untuk diteliti adalah Formasi Kebo Butak dikarenakan singkapannya yang
tersebar cukup luas dan baik. Salah satu daerah yang terdapat singkapan Formasi Kebo
Butak dengan baik adalah daerah Tegalrejo, Kecamatan Gedangsari, Gunungkidul.
Pada formasi ini terjadi pembagian satuan, yang lebih rinci lagi dibagi menjadi
Kebo Beds dan Butak Beds. Pada dasarnya pemisahan tersebut berdasarkan batuan yang
mendominasi kedua satuan yang bersangkutan. Pada bagian Kebo Beds didominasi oleh
batuan klastika yang terdiri atas serpih, batupasir, konglomerat halus, dengan sisipan
retas-lempeng (sill) diabas. Sedangkan diatasnya menindih secara selaras Butak Beds, yang
didominasi oleh batuan gunung api yang terdiri atas aglomerat dengan selingan batupasir
dan serpih. Pendugaan umur dari formasi Kebo Butak diperkirakan berumur N2 –N5 atau
mulai dari Oligosen akhir – Miosen Awal (Sumarso dan Ismoyowati; 1975).

1525
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K005UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Untuk mengetahui proses terbentuknya batuan sedimen pada suatu formasi dapat
diketahui dengan melakukan analisis lingkungan pengendapan serta asal material
sedimennya (provenan). Untuk melihat sumber suplai sedimen yang diendapakan pada
daerah tersebut dapat didekati dengan melihat kandungan mineral penyusun litologi
sebagai komposisi material sedimennya (Boggs, 2006 dalam Masy’al Bafas, 2018).
Identifikasi provenan ini bertujuan untuk mengetahui sumber endapan tertentu baik dari
benua, dalam busur vulkanik yang terkait dengan zona subduksi, atau dalam seting
tektonik lainnya diantaranya : continental block provenance, recycled orogen, dan magmatic arc
(Sam Boggs, 1987).
Pettijohn dkk (1987) mengemukakan bahwa studi provenan merupakan studi
mengenai asal-usul atau kemunculan sedimen yang menggunakan hubungan dari
beberapa mineral seperti kuarsa, feldspar, dan fragmen batuan (litik). Persentase ketiga
parameter tersebut dapat menunjukan seting tektonik batuan sedimen tersebut
diendapkan. Studi provenan dibagi menjadi subzona berdasarkan asal detritus yang
dihasilkan serta tempat cekungan detritus diendapkan seperti hal nya basement uplift, craton
interior, transitional continental, dissected arc, undissected arc, dan transitional arc (Dickinson &
Suczek, 1979). Dickinson (1979) juga mengemukakan sebuah konsep mengenai korelasi
antar batuan sumber dan cekungan yang dikontrol oleh seting tektonik yang mengontrol
persebaran jenis batupasir. Dalam analisa provenan dibutuhkan beberapa komponen
butiran QFL yang dimasukkan ke dalam diagram QFL dan QmFLt (Dickinson dan Suczek,
1979).
Beberapa hasil penelitian sebelumnya menunjukan bahwa Formasi Kebo-Butak
diendapkan di lingkungan laut dalam yang dipengaruhi oleh arus turbidit dan kegiatan
vulkanisme yang terjadi di magmatic arc. Walker dan Mutti (1973) merinci pembagian fasies
turbidit dari Mutti dan Ricci Lucci (1972) dengan mengemukakan suatu model, yaitu
model kipas laut dalam dan hubungannya dengan fasies turbidit. Menurut Walker (1978)
model kipas ini terdiri dari fedder channel, slope, kipas atas (upper fan), kipas tengah (middle
fan) yang terdiri dari channeled portion of suprafan lobes, kipas bawah (lower fan) dan dasar
cekungan (basin pain). Walker (1978) kemudian menyederhanakan kembali klasifikasi
tersebut menjadi 5 fasies yaitu fasies Classical Turbidite (C.T), M.S.(Massive Sandstone), S.L
(Slump), C.G.L ( Conglomerate) dan P.S (Pebbly Sandstone).

II. GEOLOGI REGIONAL


Daerah penelitian termasuk ke dalam wilayah Gunungkidul, Yogyakarta. Secara
fisiografis termasuk ke dalam fisiografi Jawa Tengah Zona Selatan Bagian Timur
(berdasarkan sketsa peta fisiografi Van Bammelen, 1949). Disekitar daerah penelitian
terdapat perbukitan yaitu perbukitan Jiwo Timur dan perbukitan Jiwo Barat, yang
dipisahkan oleh Kali Dengkeng. Perbukitan Jiwo Barat terdiri dari Bukit Kampak, Bukit
Sari, Bukit Tugu, Bukit Kebo, Bukit Cakaran dan Bukit Jabalkat. Sedangkan Perbukitan
Jiwo Timur terdiri dari Bukit Konang, Bukit Semangu, Bukit Pendul, Bukit Temas, Bukit
Jeto dan Bukit Lanang. (Lihat gambar 1)

2.1 Formasi Kebo-Butak

Formasi Kebo dan Formasi Butak tersebar di bagian lereng utara Pegunungan
Baturagung, memanjang barat-timur sepanjang sekitar 20 km utara – selatan 0,2-5 km.

1526
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K005UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Formasi ini menyebar mulai dari kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah ke
barat sampai Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, DIY.

a. Formasi Kebo

Formasi Kebo merupakan perselingan antara batupasir dan batupasir kerikilan,


dengan sisipan batulanau, batulempung, tuf, dan serpih. Sebagian dari batupasir dan
batulempung bersifat gampingan dan setempat ditemukan konglomerat dan breksi aneka
bahan (polimik). Bagian tengah formasi ini didominasi oleh batupasir kerikilan (Surono,
2008).
Struktur sedimen yang ditemukan dalam Formasi Kebo adalah perlapisan
bersusunan normal, perarian sejajar, perarian bergelombang, permukaan erosi, tikas suling
dan penendatan (slump). Bioturbasi, foraminifera, kepingan koral, dan kepingan arang
ditemukan di beberapa tempat (Surono, 2008).

b. Formasi Butak

Formasi Butak diendapkan selaras di atas Formasi Kebo terdiri atas breksi polimik
dengan selingan batupasir, batupasir kerikilan, batulempung, dan batulanau/serpih. Breksi
polimik mempunyai fragmen yang berukuran kerikil sampai bongkah, berupa andesit,
basal, batuan sedimen karbonan, dan kuarsa.
Struktur sedimen yang ditemukan pada formasi ini adalah perlapisan bersusunan
normal, permukaan erosi, perarian sejajar, pergentengan (imbrikasi) fragmen, dan burrow.
Butiran arang banyak ditemukan terutama pada bagian atas formasi ini, sedangkan fosil
foraminifera banyak dijumpai pada klastika halus, terutama di bagian atas formasi
(Surono, 2008).

2.2 Umur dan Stratigrafi

Penelitian terakhir oleh Surono (2008) menyebutkan Bothe (1929) menduga Formasi
Kebo dan Formasi Butak berumur Miosen Awal (?) – Miosen Tengah. Sumarso dan
Ismoyowati (1975) menganalisis foraminifera dalam Formasi Kebo dan Butak dan
mendapatkan umur N2 – N5 atau Oligosen Akhir – Miosen Awal. Kemudian Rahardjo
(2007) mengulangi melakukan analisis foraminifera pada tiga percontoh dari Gunung
Pegat, Watugajah dan Pututputri, dan menemukan Globigerina cipero-ensis, Catapsydrax
dissimilis dan Globigerinoides primordius, yang menunjukkan umur P22 - N4 (Oligosen Akhir
– Miosen Awal). Surono drr. (2006) menganalisis kandungan fosil nano dalam contoh dari
Perbukitan Jiwo Timur, yang diduga merupakan bagian Formasi Kebo atau Formasi Butak.
Fosil nano tersebut terdiri atas Sphenolithus moriformis, S. heteromorphus, S. conicus, S.
belemnos, Coccolithus miopelagicus, Helicosphaera carteri dan H. euphratis. Himpunan spesies
nanno tersebut menunjukkan umur Miosen Awal (NN3).
Penarikan umur mutlak Formasi Kebo telah dilakukan oleh beberapa penulis, di
antaranya Soeria-Atmadja drr. (1994), Sutanto drr. (1994), Soesilo (2003), Sutanto (2003),
dan Smyth (2005) semuanya dalam Surono (2008). Dengan metode KAr, Soeria-Atmadja
drr. (1994) melakukan penarikhan satu contoh retas-lempeng basal di Bayat serta dua
contoh retas (dyke) dari Parangtritis yang semuanya dalam Formasi Kebo dan Butak.
Perhatikan gambar 2 dan gambar 3.

1527
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K005UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

2.3 Struktur Regional

Aktivitas tektonik yang terjadi di Pulau Jawa akan mengakibatkan pola-pola


struktur utama sebagai pencerminan dari pola tegasan utama Pulau Jawa memiliki
sejumlah pola struktur utama. Struktur utama Pulau Jawa terdiri dari struktur Meratus
yang berarah timurlaut - baratdaya, Struktur Sumatra berarah baratlaut - tenggara, dan
struktur Sunda berarah utara - sselatan dan struktur Jawa yang berarah barat - timur.
(Pulonggono dan Martodjoyo, 1994 pada Gambar 4). Struktur yang berkembang di daerah
telitian berupa struktur Meratus yang memiliki arah barat daya-timurlaut.

III. METODOLOGI
Metode penelitian yang digunakan di antaranya:

3.1. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data berupa studi pustaka beberapa referensi yang terkait
dengan bahasan telitian, seperti studi geologi regional dan kaitannya dengan studi
provenan, lingkungan pengendapan, dan fasies Formasi Kebo Butak.

3.2. Metode Pengambilan Sampel Batuan

Pengambilan sampel batuan dilakukan di daerah telitian yang terletak di Sungai


Tegalrejo, Gedangsari. Sampel diambil untuk analisa megaskopis, sayatan petrografi.
Pengambilan sampel dilakukan berdasarkan litologi dan posisi stratigrafi

3.3. Metode Analisa Petrografi (Sayatan Tipis)

Analisa petrografi menggunakan sayatan tipis batuan yang dilakukan point


counting pada komposisi batuan yang bertujuan untuk mengetahui jenis batupasir dan
provenan serta lingkungan pengendapannya.
Pada deskripsi dan penamaan batuan sedimen klastik secara petrografi
menggunakan klasifikasi menurut Pettijohn (1975) dan Nichols (2009) berdasarkan
persentase tiga komponen dan komposisi batupasir yang digabungkan dengan persentase
matriksnya. Ketiga komponen tersebut adalah Kuarsa (Q), Feldspar (F), dan Rock / Lithic
Fragmen (L).

3.4. Metode Measuring Section (Pengamatan stratigrafi terukur)

Metode M.S (Measuring Section) dilakukan pada lapisan batuan Formasi Kebo-
Butak pada Sungai Tegalrejo, Gedangsari dengan mengukur ketebalan pasti setiap litologi,
tekstur dan struktur sedimen yang bertujuan untuk mengetahui perubahan
fasies/lingkungan pengendapan.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Analisis Fasies dan Lingkungan Pengendapan
Pengamatan stratigrafi terukur/measuring section dilakukan pada 2 lintasan yang
berada di Sungai Tegarejo, dengan panjang masing-masing lintasan adalah 100 m. Dari
kedua lintasan didapatkan litologi berupa batulempung, batulanau, batupasir, batupasir
kerikilan , dan breksi ddengan struktur sedimen berupa perlapisan, laminasi, convolute,

1528
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K005UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

graded bedding, reverse graded bedding, dish and pillar, dll. Hasil dari pengamatan stratigrafi
terukur pada Lintasan 1 dan Lintasan 2 dapat dilihat pada Gambar 5, Gambar 6. Gambar
7.
Pembagian fasies turbidit Formasi Kebo-Butak dilakukan berdasarkan data yang
didapatkan dari pengamatan stratigrafi terukur/measuring section pada Lintasan 1 dan
Lintasan 2. Klasifikasi fasies turbidit yang digunakan dalam penelitian ini adalah
klasifikasi Walker (1978). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Formasi Kebo-Butak di
Sungai Tegalrejo, Kecamatan Gedangsari ini dapat dibagi menjadi beberapa fasies.

1. Classical Turbidite (C.T)


Fasies ini tersusun atas litologi berupa perselingan batulempung, batulanau serta
batupasir. Struktur sedimen yang ditemukan berupa perlapisan sejajar, convolute, dan
laminasi, terkadang juga ditemukan rip up clasts (gambar 9). Convolute merupakan hasil
dari pengendapan suspensi (Walker, 1978). Pada fasies ini juga ditemukan sikuen bouma
(1962) baik lengkap maupun tidak (gambar 8). Fasies ini terbentuk dari hasil pengendapan
yang bersifat suspensi. Fasies C.T dapat ditemukan pada kedua lintasan.

2. Massive Sandstone (M.S)


Pada fasies ini ditemukan batupasir dengan ukuran butir sedang hingga
kasar/sangat kasar serta ditemukan litologi berupa batupasir karbonatan. Umumnya
batupasir pada fasies ini memiliki tebal > 0,5 m. Struktur sedimen yang ditemukan berupa
struktur masif (gambar 11), graded bedding, serta dish structure (gambar 10). Fasies M.S
hanya ditemukan pada Lintasan 2 yang litologinya lebih muda dibandingkan dengan
litologi pada Lintasan 1.

3. Pebbly Sandstone (P.S)


Fasies ini dicirikan dengan hadirnya batupasir krikilan dengan ukuran butir
mencapai krakal dengan struktur masif dan bergradasi buruk. Pada fasies ini sikuen
bouma sudah tidak lagi berlaku, serta endapannya menyerupai endapan channel dengan
penyebaran yang tidak luas. Pada batupasir kerikilan (gambar 12) fragmen yang
ditemukan cukup beragam seperti batuan beku andesit, tuff, batulempung, dan rijang.
Fasies pebbly sandstone ini dapat ditemukan pada kedua lintasan.

4. Conglomerates (CGL)
Fasies conglomerates dicirikan dengan kehadiran breksi atau konglomerat dengan
derajat pembundaran angular-subrounded, pemilahan buruk dan butirannya relatif
menghalus ke atas. Struktur yang ditemukan berupa struktur masif, serta adanya slump
pada bagian bawah formasi CGL. Litologi breksi yang ditemukan berupa breksi polimik
dengan fragmen andesit, batulempung, rijang, tuff, serta pecahan terumbu (gambar 13).
Breksi yang ditemukan pada fasies ini memiliki sifat karbonatan.
Sebagian litologi di Sungai Tegalrejo didapatkan litologi mengandung material
berupa percampuran antara material klastik dan vulkaniklastik. Hal tersebut menandakan
bahwa batuan penyusun Formasi Kebo-Butak terbentuk karena adanya letusan gunung
api yang cukup intensif yang kemudian materialnya tercampur dengan endapan darat.
Sumber erupsi gunung api bisa terjadi di beberapa tempat.
Struktur sedimen yang ditemukan pada lokasi pengamatan berupa perlapisan
sejajar, masif, graded bedding, laminasi, convolute, dish and pillar, rip up clasts, dan load cast.

1529
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K005UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Beberapa struktur sedimen seperti rip up clast dan convolute mencirikan adanya aktivitas
turbidit dalam pengendapan litologi Formasi Kebo-Butak. Sedangkan struktur sedimen
seperti dish and pillar, load cast, serta adanya bidang erosi hasil penggerusan material yang
lebih kasar mencirikan bahwa transportasi yang berlangsung dipengaruhi oleh adanya
gaya berat. Ditemukannya bioturbasi, fragmen terumbu, serta batuan yang memiliki sifat
karbonatan, menandakan bahwa formasi ini diendapkan di laut. Sehingga dapat diketahui
bahwa lingkungan pengendapan formasi ini adalah lingkungan laut (marine) yang dekat
dengan aktivitas gunung api, mulai dari laut dangkal dimana terbentuk bioturbasi hingga
laut dalam.
Berdasarkan klasifikasi Walker (1978), Lintasan 1 (di sebelah utara) didominasi oleh
Fasies Classical Turbidite (C.T) dengan litologi berupa perselingan batupasir, batulanau dan
batulempung, serta hadirnya sikuen bouma. Selain itu pada Lintasan 1 juga ditemukan
fasies Pebbly Sandstone (P.S) dan Conglomerates (CGL) dengan jumlah yang lebih sedikit.
Pada Lintasan 2 (di selatan) didominasi oleh Fasies Classical Turbidite (C.T) dan Massive
Sandstone (M.S). Fasies Pebbly Sandstone dan Conglomerates juga ditemukan pada Lintasan 2
dengan jumlah yang sedikit.
Berdasarkan data-data tersebut, dilihat dari fasies yang ditemukan pada kedua
lintasan serta dari struktur sedimen yang berkembang, daerah telitian didominasi oleh
fasies C.T (Classical Turbidites) yang banyak terdapat di bagian smooth, selain itu juga sudah
muncul fasies M.S ( Massive sandstone) dan P.S. (Pebbly Sandstone) yang berada pada
channeled, maka lokasi penelitian berada pada mekanisme arus turbid pada kipas bawah
laut tepatnya terletak pada Channeled - Smooth Suprafan Lobes on Mid Fan (Walker, 1978).
Perhatikan gambar (14, 15, 16, 17, dan 18).

4.2 Analisis Petrografi

Batupasir Formasi Kebo-Butak tersusun atas kuarsa, feldspar, litik, mineral opak,
dan mineral mafik seperti hornblende dan piroksen dalam jumlah yang sedikit. Dari hasil
pengamatan stratigrafi terukur diketahui bahwa daerah telitian dpengaruhi oleh arus
turbidit dengan tekstur berukuran pasir halus-kasar dengan bentuk butir angular-
subrounded. Material kuarsa, feldspar, dan lithik terdistribusi dlam jumlah yang bervariasi
dalam setiap sayatan (Tabel 1). Hasil analisa petrografi dapat dilihat pada Gambar 18.
Dari hasil perhitungan komposisi mineral pada tabel 1 didapatkan batupasir
memiliki matriks dengan presentase 2% dan 22%-36%. Berdasarkan klasifikasi Pettijohn
(1975) (Gambar 19), sampel batupasir di daerah telitian termasuk dalam kelompok arenite
dan kelompok wacke. Hasil perhitungan presentase QFL didapatkan presentase kuarsa
sebesar 41,3%-69,7%, feldspar sebesar 26,4%-41,8%, serta lithik sebesar 3,9%-23,6%.
Presentase QFL pada sayatan batuan dapat dilihat pada Tabel 2, yang kemudian
presentase tersebut diplotkan pada ternary diagram Pettijohn (1975) untuk mendapatkan
nama batuan. Dari hasil pengeplotan didapatkan hasil sampel batuan No.1-4 merupakan
Feldsphatic wacke, sedangkan sampel No.5 merupakan Lithic arkose.

4.3 Analisis Provenan Berdasarkan Tatanan Tektonik

Untuk melakukan analisis provenan digunakan dua diagram yaitu diagram QFL
dan diagram QmFLt. Pada diagram QFL parameter yang digunakan adalah total kuarsa,

1530
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K005UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Feldspar (Plagioklas+K feldspar) serta Lithik. Sedangkan untuk diagram QmFLt parameter
yang digunakan adalah kuarsa monokristalin, feldspar (plagioklas+K feldspar), dan lithik
( lithik+kuarsa polikristalin). Parameter tersebut kemudian diplotkan pada diagram QFL
dan QmFLt Dickinson dan Suczek (1979).
Hasil point counting pada lima sampel batuan didapatkan presentase kuarsa sebesar
41,3%-69,7%, feldspar sebesar 26,4%-41,8%, lithik sebesar 3,9%-23,6%, dan kuarsa
monokristalin sebesar 28,5%-69,7%. Presentase QFL dan QmFLt seluruh sampel dapat
dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3, kemudian hasil presentase tersebut diplotkan pada
diagram QFL dan QmFLt, hasilnya menunjukkan bahwa empat sampel batuan (sampel
No.2-5) berasal dari magmatic arc sub zona dissected arc, sedangkan 1 sampel batuan (sampel
No.1) berasal dari continental block sub zona transitional continental (Gambar 20).
Batupasir yang berasal dari continental block sub zona transitional continental memiliki
presentase kuarsa yang lebih tinggi dari komponen lainnya. Sedangkan batupasir yang
berasal dari magmatic arc sub zona dissected arc dicirikan dengan kehadiran fragmen litik
yang lebih sedikit dari rombakan material vulkanik (Dickinson dan Suczek, 1949) seperti
feldspar, dimana feldspar terdiri atas plagioklas dan kalium feldspar yang jumlahnya
hampir sama.

4.4 Analisis Iklim Purba

Analisis iklim purba dilakukan dengan melakukan plotting persentase kuarsa,


feldspar, dan lithik pada diagram paleo climate menurut Nelson (2007). Berdasarkan hasil
ploting (Gambar 21) seluruh sampel batupasir diendapkan pada iklim humid. Iklim humid
menurut Kloppen (1918) adalah iklim sedang yang terbagi menjadi 3 yaitu, iklim sedang
panas (Cs), iklim sedang dingin (Cw) dan iklim sedang lembab (Cf). Posisi iklim sedang
yang berada pada lintang sub-tropis tentu akan memberikan dampak pelapukan yang
cukup intensif (Gambar 22). Hal tersebut yang menyebabkan mineral kuarsa pada batuan
menjadi cukup dominan mengingat kuarsa adalah mineral yang cukup resisten
dibandingkan feldspar. Berdasarkan analisa tersebut menunjukan bahwa Zona
Pegunungan Selatan pada saat umur Oligosen - Miosen hingga sekarang mengalami
pergeseran dari lintang sub-tropis menjadi tropis.

V. KESIMPULAN
• Berdasarkan klasifikasi Walker (1978), Lintasan 1 didominasi oleh Fasies Classical
Turbidite (C.T), Pebbly Sandstone (P.S) dan Conglomerates (CGL) dengan jumlah yang lebih
sedikit. Pada Lintasan 2 (di selatan) didominasi oleh Fasies Classical Turbidite (C.T) dan
Massive Sandstone (M.S). Fasies Pebbly Sandstone dan Conglomerates juga ditemukan
dengan jumlah yang sedikit.

• Daerah telitian didominasi oleh fasies C.T (Classical Turbidites) yang banyak terdapat di
bagian Smooth, selain itu juga sudah muncul fasies M.S (Massive sandstone) dan P.S.
(Pebbly Sandstone) yang berada pada Channeled, maka lokasi penelitian berada pada
mekanisme arus turbid pada kipas bawah laut (subaqueous fan) tepatnya terletak pada
Channeled - Smooth Suprafan Lobes on Mid Fan (Walker, 1978).

1531
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K005UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

• Presentase QFL dan QmFLt hasilnya menunjukkan bahwa empat sampel batuan
(sampel No.2-5) berasal dari magmatic arc sub zona dissected arc, dan 1 sampel batuan
(sampel No.1) berasal dari continental block sub zona transitional continental.

• Iklim purba pada daerah telitian berdasarkan pengeplotan QFL pada diagram Nelson,
2007 didapatkan iklim humid. Pelapukan yang intensif dapat terlihat dari presentase
kuarsa yang lebih banyak dibandingkan presentase komponen lainnya, hal ini
dikarenakan mineral kuarsa merupakan mineral yang lebih resisten dibandingkan
dengan material penyusun lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
Balfas, M & Abdurrokhim. Provenance Batupasir Lintasan Sungai Cilutung, Formasi Halang,
Majalengka Jawa Barat. Padjadjaran Geoscience Journal. Vol. 2, No.1, Februari 2018.
Boggs, Sam. 1987. Principles of Sedimentology and Stratigraphy 4th-ed. United States of America.
Pearson Education, Inc. Upper Saddle River, NJ 07458.
Dandy, Muhammad., Budianta, Wawan., Imam Setiawan, Nugroho. 2015. Petrologi Dan Sifat
Keteknikan Breksi Dan Batupasir Di Gedangsari, Gunung Kidul, Daerah Istimewa
Yogyakarta. PROCEEDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8, Departemen Teknik
Geologi Universitas Gadjah Mada
Dickinson WR., 1970. Interpreting Detrital Modes of Greywacke and Arkose, Journal of Sedimentary
Petrography, Vol. 40, pp. 695- 707.
Dickinson, W.R., &, Suczek, C.,. 1979. Plate Tectonic and Sandstone Compositions. America : The
American Association of Petroleum Geologists, V. 63., No. 12, pp. 2164-2182.
Mulyaningsih, S. 2016. Volcanostratigraphic Sequences of Kebo-Butak Formation at Bayat
Geological Field Complex, Central Java Province and Yogyakarta Special Province,
Indonesia, Indonesian Journal on Geoscience, Vol. 3 No. 2 August 2016: 77-94
Nelson, S.A. 2007. Petrology: Sandstone
http://www.tulane.edu/~sanelson/eens212/sandst&cong.htm, and download
Conglomerate. pada 20 Juli 2019
Pettijohn FJ. (1975). Sedimentary Rocks, 3rd ed. New York: Harper & Row. 1975:165.
Pulunggono dan Martodjojo, S. (1994), Perubahan Tektonik Paleogen-Neogen merupakan Peristiwa
Tektonik terpenting di Jawa, Prosiding Geologi dan Geotektonik Pulau Jawa, NAFIRI,
Yogyakarta
Surono. 2008. Litostratigrafi dan sedimentasi Formasi Kebo dan Formasi Butak di Pegunungan
Baturagung, Jawa Tengah Bagian Selatan. Bandung. Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 3 No. 4
Desember 2008: 183-193
Van Bemmelen, R.W., (1949). The Geology of Indonesia, Vol 1A. General Geology of Indonesia and Adjacent
Archipelago. Martinus Nijjhoff: The Hague.
Widyastuti, Sari., Abdurrokhim., Sendjaja, Yoga A. 2016. Asal Sedimen Batupasir Formasi Jatiluhur
Dan Formasi Cantayan Daerah, Tanjungsari Dan Sekitarnya, Kecamatan Cariu, Kabupaten
Bogor, Provinsi Jawa Barat. Bandung. Bulletin of Scientific Contribution, Volume 14, Nomor
1, April 2016 : 25 – 32

1532
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K005UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 1. Presentase Komposisi Batupasir

No.
Q F L Opak Hb Px M Total
Sampel

83 32 4 31 36 0 114 300
1
(27,7%) (10,7%) (1,3%) (10%) (12%) (0%) (38%) (100%)

91 66 16 51 6 2 68 300
2
(30%) (22%) (5%) (17%) (2%) (1%) (23%) (100%)

68 69 28 54 7 0 74 300
3
(23%) (23%) (9%) (18%) (2%) (0%) (25%) (100%)

300
58 43 15 69 6 2 107
4 (100%)
(19%) (14%) (5%) (23%) (2%) (1%) (36%)

123 97 68 5 0 0 7 300
5
(41%) (32%) (23%) (2%) (0%) (0%) (2%) (100%)

Tabel 2. Presentase QFL Batupasir

No. Sampel Q (%) F (%) L (%) Total (%)

1 69,7 26,8 3,5 100

2 52,6 38,1 9,3 100

3 41,3 41,8 16,9 100

4 50 37,1 12,9 100

5 42,7 33,7 23,6 100

1533
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K005UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 3. Presentase QmFLt batupasir

No. Sampel Qm (%) F (%) L t(%) Total (%)

1 69,7 26,4 3,9 100

2 43,9 38,2 17,9 100

3 28,5 41,8 29,7 100

4 31,9 37,1 31 100

5 42,7 33,7 23,6 100

1534
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K005UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 1. Sketsa peta fisiografi Pulau Jawa (Van Bemmelen, 1949) dan lokasi daerah telitian
(Kotak Merah)

Gambar 2. Peta geologi Pegunungan Baturagung dan Perbukitan Jiwo (Surono, 2008)

1535
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K005UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Stratigrafi Pegunungan Selatan, Jawa Tengah (Sudarno, 1997, dalam Surono, 2008.)

1536
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K005UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Pola Struktur Utama Pulau Jawa (Martodjojo dan Pulinggono, 1994)

1537
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K005UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5 . Penampang Stratigrafi Lintasan 1 Sungai Tegalrejo, Kecamatan Gedangsari Fasies


Endapan Turbidit disebandingkan dengan Model Kipas Bawah Laut Walker (1978). Keterangan
struktur lihat gambar (8,9,10,11 )

1538
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K005UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 6 . Penampang Stratigrafi Lintasan 2 Sungai Tegalrejo, Kecamatan Gedangsari Fasies


Endapan Turbidit disebandingkan dengan Model Kipas Bawah Laut Walker (1978). Keterangan
struktur lihat gambar (8,9,10,11)

1539
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K005UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 7 . Simbol Struktur Sedimen

Gambar 8 . Sikuen Bouma Ta-Te pada fasies Classical Turbidite

1540
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K005UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 9 . Rip Up Clast pada Litologi Batupasir

Gambar 10. Struktur Dish and Pillar pada Fasies Massive Sandstone

1541
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K005UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 11. Struktur Masif pada Fasies Massive Sandstone

Gambar 12. Litologi Batupasir kerikilan

1542
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K005UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 13 . Breksi polimik pada Fasies Conglomerates

Gambar 14. Model Pengendapan Kipas Bawah Laut (Walker, 1978)

1543
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K005UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 15 . Sikuen Progradasi Kipas Bawah Laut (Walker, 1978) CT = Classical Turbidite, MS =
Massive Sandstone, PS = Pebble Sandstone, CGL = Conglomerates, DF = Debris Flow, SL = Slump

Gambar 16. Hasil Interpretasi Lingkungan Pengendapan Formasi Kebo-Butak pada Rekonstruksi
Kipas Bawah Laut (Walker, 1978)

1544
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K005UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 17. Model Pengendapan subaqueous fan Formasi Kebo-Butak pada Rekonstruksi Kipas
Bawah Laut pada MS lintasan 2 (Walker, 1978)

1545
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K005UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 18. Sayatan Batupasir Formasi Kebo-Butak Nikol Silang ((a) Sampel No.1, (b) Sampel No.2,
(c) Sampel No.3, (d) Sampel No.4, (e) Sampel No.5)

1546
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K005UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 19. Klasifikasi Batupasir menurut Pettijohn (1975)

Gambar 20. Diagram Provenan Batupasir (Dickinson dan Suczek (1979).

1547
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K005UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 21. Diagram Analisa Iklim Purba pada Batupasir, Nelson (2007)

Gambar 22. Pembagian Iklim menurut W Kloppen (1918)

1548
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K006POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

IDENTIFIKASI SINGKAPAN BATUAN METAMORF SEGAR DI LERENG


UTARA GUNUNG KONANG, SEBAGAI ANALOG JENIS DAN TIPE BATUAN
METAMORF DI BAYAT, KLATEN, JAWA TENGAH
Nugroho Imam Setiawan1*, Salahuddin Husein1, Mochammad Nukman2, Moch Indra Novian1
1Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Jl. Grafika No. 2, UGM,
DIYogyakarta,

2Program Studi Geofisika, Departemen Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Gadjah Mada Sekip
Utara Bls 21 Bulaksumur, UGM, DI Yogyakarta,
*Corresponding Author: nugroho.setiawan@ugm.ac.id

ABSTRAK. Batuan metamorf derajat rendah mendominasi dan tersingkap di Perbukitan Jiwo,
Bayat, Klaten, Jawa Tengah. Sebagian besar dari singkapan tersebut dalam kondisi lapuk sehingga
sulit untuk diidentifikasi secara jelas komposisi mineralnya. Di Desa Kebon, lereng utara Gunung
Konang, Perbukitan Jiwo Timur, tersingkap batuan metamorf yang terdiri dari marmer, kuarsit dan
filit klorit dalam kondisi segar. Setempat juga dijumpai sisipan grafit diantaranya. Kehadiran batuan
metamorf marmer, kuarsit dan filit klorit yang segar di daerah tersebut dapat digunakan sebagai
analog pada singkapan batuan metamorf lainnya yang tersebar di Perbukitan Jiwo, Bayat.
Perbedaan kompetensi antara marmer, kuarsit, dan filit klorit memperlihatkan struktur boudin
pada saat mengalami gaya ekstensi selama proses metamorfisme. Marmer dan kuarsit memiliki sifat
brittle sehingga terbagi menjadi beberapa segmen sedangkan filit klorit cenderung memiliki sifat
ductile sehingga terdeformasi dan mengisi ruang diantara boudin marmer dan kuarsit. Marmer
memiliki warna abu-abu gelap, granoblastik dengan komposisi kalsit dengan sedikit kuarsa dan
sangat sedikit klorit. Kuarsit berwarna putih keruh, granoblastik dengan komposisi kuarsa yang
memiliki kontak antar butir suture dan umumnya diisi oleh kalsit sekunder. Filit klorit berwarna
abu-abu kehijauan, berfoliasi filitik dari lepidoblastik klorit. Mineral lain yang dijumpai adalah
porfiroblastik kuarsa dan kalsit, minor epidot, dan kadangkala dijumpai muskovit dan grafit.
Kehadiran batuan metamorf berupa marmer, kuarsit, filit klorit dan filit grafit dominan dijumpai di
Perbukitan Jiwo Barat maupun Timur. Pada beberapa lokasi porsi dari masing-masing tipe batuan
bervariasi dan seringpula dijumpai produk metasomatisme diantara ketiga batuan tersebut yaitu
filit klorit karbonatan. Kehadiran tipe batuan metamorf tersebut mengindikasikan bahwa batuan
metamorf tersebut terbentuk karena proses metamorfisme regional dengan protolith berupa batuan
sedimen. Tipe batuan sedimen yang mungkin menjadi protolith adalah batulempung, batupasir
kuarsa, batugamping, dan batuan sedimen organik yang kaya dengan karbon. Hal ini
mengindikasikan bahwa lingkungan pengendapan Perbukitan Jiwo pra- metamorfisme pada umur
Kapur kemungkinan adalah zona transisi antara darat dan laut.

Kata kunci: Perbukitan Jiwo, batuan metamorf, protolith, Bayat, boudin

1549
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K006POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

VI. PENDAHULUAN
Batuan metamorf yang tersingkap di Pulau Jawa terbatas dijumpai di daerah
Ciletuh (Jawa Barat), Karangsambung dan Bayat (Jawa Tengah). Diantara ketiga daerah
tersebut, Kompleks Luk Ulo di Karangsambung adalah daerah yang paling baik dijumpai
batuan metamorf dalam kondisi segar. Dua daerah lainnya sebagian besar dijumpai dalam
kondisi lapuk. Pelapukan batuan metamorf yang sangat intensif selain disebabkan oleh
iklim tropis di Indonesia juga kehadirannya yang merupakan batuan dasar tertua di Pulau
Jawa (98 Jtl; Prasetyadi, 2007). Batuan metamorf sebagai batuan dasar tertua di Pulau Jawa
memiliki sejarah geologi dan tektonik yang kompleks.

Batuan metamorf yang dijumpai di daerah Bayat tersingkap di Perbukitan Jiwo


Barat dan Timur (Gambar 1). Setiawan dkk. (2013) dan Alfyan dan Setiawan (2014)
mendeskripsi kehadirannya pada singkapan-singkapan dalam kondisi yang tidak terlalu
segar. Walau demikian, mineral primer masih dapat diamati di bagian inti yang belum
terubah menjadi mineral lempung. Lapukan batuan metamorf di daerah Bayat juga
dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan gerabah.

Batuan metamorf dalam kondisi segar yang masih memperlihatkan struktur dan
warna asli batuan tersingkap di lereng utara Gunung Konang, Perbukitan Jiwo Timur atau
tepatnya di Desa Kebon. Singkapan tersebut muncul akibat kegiatan penambangan yang
dilakukan oleh warga sekitar. Singkapan batuan metamorf segar tersebut menjadi sangat
penting karena dapat digunakan sebagai analog dari kondisi batuan metamorf yang lebih
lapuk yang hadir di Perbukitan Jiwo, Bayat mengingat kehadiran batuan metamorf secara
keseluruhan menempati luasan sekitar 70% dari perbukitan ini. Makalah ini akan
menjelaskan detil kehadiran batuan metamorf segar di lereng utara Gunung Konang mulai
dari deskripsi singkapan, contoh setangan dan analisis petrografi. Hasil deskripsi tersebut
dapat digunakan sebagai analogi kondisi batuan metamorf yang dijumpai di Perbukitan
Jiwo, Bayat.

VII. GEOLOGI BATUAN METAMORF DI DAERAH PERBUKITAN JIWO


Daerah Bayat terletak sekitar 45 km tenggara dari Kota Yogyakarta. Batuan dasar
berumur Kapur berupa batuan metamorf tersingkap di Perbukitan Jiwo, Bayat. Perbukitan
Jiwo terbagi menjadi 2 yaitu Jiwo Timur dan Barat yang dipisahkan oleh Sungai Dengkeng
(Gambar 1) dengan luas area sekitar 35 km2. Batuan metamorf yang tersingkap di daerah
Perbukitan Jiwo secara umum berupa sekis/filit pelitik, marmer, filit grafit, kuarsit,
serpentinit, dan hornfels/skarn (Setiawan dkk., 2013; Alfyan dan Setiawan 2014).

Sekis/filit pelitik mendominasi dari kehadiran batuan metamorf di Perbukitan Jiwo


dengan arah foliasi secara umum Timur Laut – Barat Daya dengan kemiringan ke arah
Tenggara. Variasi dari batuan pelitik tersebut diantaranya adalah sekis albit-mika, filit
klorit-mika, dan sekis epidot-glaukofan. Setempat dijumpai filit grafit di daerah Gunung

1550
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K006POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gajah. Sebagian besar batuan metamorf menunjukkan fasies sekis hijau kecuali sekis
epidot-glaukofan (fasies sekis biru) yang sejauh ini hanya dijumpai di daerah Pagerjurang
hadir bersama dengan serpentinit (Setiawan dkk., 2013). Umur batuan metamorf dari sekis
mika dengan metode penanggalan K-Ar menunjukkan 98.049 ± 2.1 dan 98.542 ± 1.45 Jtl atau
Kapur Akhir (Prasetyadi, 2007). Kehadiran sekis epidot-glaukofan bersama dengan
serpentinit mencirikan proses metamorfisme tekanan tinggi yang terbentuk di zona
subduksi. Berdasarkan bukti tersebut, Setiawan dkk. (2014) menempatkan Bayat sebagai
bagian dari subduksi berumur Kapur di Indonesia bagian tengah bersama dengan
Kompleks Luk Ulo, Karangsambung.

Marmer dan kuarsit sering dijumpai hadir bersama dengan sekis/filit pelitik.
Singkapan marmer yang cukup signifikan dijumpai di daerah Pagerjurang, Jiwo Barat dan
Joko Tuo, Jiwo Timur. Singkapan marmer di daerah Joko Tuo berada diantara filit klorit-
mika sehingga proses pembentukannya diperkirakan menjadi bagian dari proses
metamorfisme regional bersama dengan filit klorit-mika (Hardyan dkk., 2015). Kontras
antara kedua batuan tersebut disebabkan oleh perbedaan protolithnya.

Selain variasi dari metamorfisme regional, tipe metamorfisme kontak berupa


hornfels dan skarn juga dijumpai di daerah Bayat. Hornfels dijumpai sangat lokal di sekitar
intrusi diabas yang tersebar di Jiwo Timur dan Barat (Setiawan dkk., 2013). Intrusi batuan
beku yang mengalami kontak dengan batuan karbonat juga dimungkinan terjadi proses
metasomatisme yang menghasilkan endapan skarn. Endapan skarn yang signifikan
dijumpai di daerah Pagerjurang dan Gunung Cakaran, Jiwo Barat ditandai dengan
kehadiran mineral hedenbergit, grossular, dan zoisite (Setiawan dkk. 2013; Dharmawan,
2014). Batuan metamorf di Perbukitan Jiwo secara tidak selaras ditindih oleh batuan
sedimen Formasi Wungkal – Gamping yang berumur Eosen dan diintrusi oleh batuan beku
diabas yang berumur Miosen (Barianto dkk., 2017).

VIII. METODOLOGI
Sampel batuan diambil dari singkapan batuan metamorf di lereng utara Gunung
Konang. Sampel representatif kemudian dipotong melintang dan dilakukan deskripsi fisik
meliputi struktur, tekstur dan komposisi batuan. Analisis petrografi dilakukan pada 3 buah
sayatan tipis hasil dari identifikasi fisik sampel batuan. Sayatan tipis batuan dipreparasi di
Laboratorium Pusat Departemen Teknik Geologi, FT. UGM mengikuti standar dari
Setiawan dkk. (2016). Analisis ini dilakukan di Laboratorium Geologi Optik, Departemen
Teknik Geologi, FT. UGM menggunakan mikroskop polarisasi Olympus CX-31 yang
dipasangkan dengan kamera Canon EOS 700D untuk mendapatkan fotomikrograf.

IX. DESKRIPSI SINGKAPAN DAN SAMPEL BATUAN

1551
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K006POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Batuan metamorf yang tersingkap di lereng utara Gunung Konang berada di Desa
Kebon, Bayat, Klaten (Gambar 1). Batuan metamorf memperlihatkan warna segar abu-abu
kehijauan dengan struktur foliasi bertipe filitik (Gambar 2). Batuan metamorf terlipat lokal
tetapi secara umum menunjukkan arah foliasi N63°E/22°. Struktur boudin teramati pada
singkapan tetapi lebih jelas strukturnya ketika diamati pada potongan sampel batuan
(Gambar 3). Struktur boudin merupakan struktur batuan yang berbentuk seperti sosis.
Boudin terbentuk akibat gaya ekstensi pada saat proses metamorfisme yang terjadi pada
batuan yang memiliki perbedaan kompetensi. Perbedaan kompetensi ini bisa diakibatkan
karena perbedaan protolith batuan.

Sayatan melintang boudin batuan metamorf (Gambar 3) memperlihatkan bagian


tengah merupakan marmer berwarna abu-abu (Gambar 3A) diselimuti oleh filit klorit-
mika berwarna kehijauan (Gambar 3B). Filit klorit-mika mengalami proses deformasi
ductile sedangkan marmer mengalami deformasi brittle pada saat gaya ekstensional
berlangsung selama proses metamorfisme. Batas deformasi ductile dan brittle pada batuan
tambah jelas dan tegas (Gambar 3). Perbedaan jenis deformasi ini disebabkan oleh
perbedaan kompetensi batuan. Kompetensi batuan dikontrol oleh komposisi asal batuan
(protolith) sebelum mengalami proses metamorfisme. Marmer yang lebih kompeten
mengalami deformasi brittle karena protolithnya berasal dari batuan karbonat. Filit klorit-
mika mengalami deformasi ductile karena protolithnya berasal dari batulempung yang
dengan mudah bisa menyesuaikan ruangan yang tersedia pada saat suhu dan tekanan
berubah akibat proses metamorfisme. Pada ujung dari boudin, ditempati oleh kuarsit
berwarna putih (Gambar 3C). Kuarsit ini membatasi antar marmer yang brittle dalam
struktur boudinage. Kuarsit terbentuk akibat migrasi fluida metamorfisme kaya silika yang
mengisi ruang antar boudin.

X. ANALISIS PETROGRAFI
Rangkuman hasil analisis petrografi dari ketiga sampel batuan dapat dilihat pada
Tabel 1. Filit klorit-mika (Gambar 3A) memperlihatkan tekstur lepidoblastik yang dibentuk
oleh mineral klorit, muskovit dan grafit (Gambar 4A dan B). Klorit berwarna kehijauan
dijumpai hadir bersama muskovit dan grafit membentuk lapisan yang dibatasi oleh kalsit
dan kuarsa yang berukuran halus (0.01 mm). Aggregate kuarsa berukuran halus (< 0.01mm)
berbentuk pita (ribbon texture) paralel dengan foliasi klorit juga dijumpai pada area ini
(Gambar 4C dan D). Epidot dan albit hadir dalam jumlah yang sedikit pada jenis batuan
ini (Gambar 4B). Urat pirolusit juga hadir pada batuan mengindikasikan proses sekunder.

Marmer (Gambar 3B) memperlihatkan tekstur granoblastik yang dibentuk oleh


mineral kalsit yang berukuran 0.5–1 mm (Gambar 4E). Kalsit pada marmer dibedakan
dengan aggregate kalsit di bagian filit klorit-mika berdasarkan ukuran kristalnya. Mineral
kuarsa dan kalsit berukuran halus (0.01 mm) sebagai individu dan aggregate dijumpai
diantara mineral kalsit yang berukuran kasar (Gambar 4E dan F). Di antara granoblastik

1552
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K006POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

kalsit juga dijumpai sisipan lepidoblastik klorit, muskovit dan grafit (Gambar 4G) terutama
disekitar batas deformasi brittle dan ductile (Gambar 3). Kehadiran mineral kuarsa, klorit,
muskovit dan grafit diantara kalsit ini menyebabkan marmer memiliki impuritas rendah
dan berwarna abu-abu.

Kuarsit (Gambar 3C) memperlihatkan tekstur granoblastik dengan ukuran 1–4 mm


(Gambar 4H). Mineral kuarsa penyusun kuarsit dibedakan dengan aggregate kuarsa
penyusun filit klorit-mika berdasarkan ukuran kristalnya. Kontak tipe suture terlihat
diantara butir kuarsa. Kalsit berukuran halus juga terlihat hadir diantara kontak butiran
kuarsa.

XI. ANALOG BATUAN METAMORF DI PERBUKITAN JIWO


Penyebaran batuan metamorf di Perbukitan Jiwo menempati sekitar 70% dari
daerah ini yang sebagian besar diantaranya dalam kondisi lapuk. Singkapan batuan
metamorf segar di lereng utara Gunung Konang, Perbukitan Jiwo Barat dapat dijadikan
analog dari batuan metamorf di Perbukitan Jiwo lainnya yang tersingkap dalam kondisi
lapuk. Singkapan tersebut menunjukkan adanya struktur boudin dengan marmer yang
lebih kompeten menunjukkan deformasi brittle diantara filit klorit yang kurang kompeten
menunjukkan deformasi ductile. Kondisi ini dapat digunakan untuk menjelaskan
kehadiran marmer di daerah Joko Tuo, Jiwo Timur yang berada di antara filit klorit.
Sehingga kehadiran marmer tersebut tidak berafiliasi dengan proses metamorfisme kontak
melainkan bagian dari metamorfisme regional yang sama dengan filit klorit di sekitarnya.
Kontras antara keduanya disebabkan karena perbedaan protolith. Kehadiran marmer
lainnya diantara filit/sekis pelitik juga dijumpai di lereng selatan Gunung Sari dan
singkapan di daerah Watuprahu.

Singkapan batuan metamorf yang dijumpai di lereng utara Gunung Konang juga
memperkuat bahwa protolith dari batuan metamorf di Perbukitan Jiwo didominasi berasal
dari batuan sedimen seperti yang telah dijelaskan oleh Setiawan dkk. (2013). Filit klorit-
mika berasal dari batuan pelitik atau batulempung, marmer berasal dari batu gamping atau
batuan karbonat, sedangkan kuarsit yang dijumpai dengan struktur pita (ribbon structure;
Gambar 4D) kemungkinan berasal dari batupasir kuarsa. Kuarsit masif dengan tekstur
granoblastik yang utamanya terbentuk di bagian batas boudin dimungkinkan berasal dari
migrasi fluida metamorfisme yang kaya dengan silika saat proses metamorfisme
berlangsung (Gambar 3 dan 4H). Dalam batuan metamorf tersebut juga dijumpai sedikit
grafit dengan tekstur lepidoblastik (Gambar 4A dan B). Hal ini menandakan bahwa hadir
pula protolith dari batuan sedimen organik yang kaya dengan karbon. Porsi dari masing-
masing protolith tersebut berbeda-beda dari satu singkapan ke singkapan lainnya di
Perbukitan Jiwo. Sebagai contoh singkapan marmer di daerah Joko Tuo memiliki impuritas
lebih tinggi dibandingkan dengan marmer di daerah penelitian yang ditunjukkan dengan
warna yang lebih terang. Contoh lainnya adalah singkapan di daerah Gunung Gajah

1553
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K006POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

didominasi oleh 1 jenis batuan metamorf yaitu filit grafit. Metasomatisme lokal dapat
terjadi pada bagian kontak antara 2 jenis protolith yang berbeda. Lebih lanjut lagi, variasi
protolith tersebut mengindikasikan bahwa lingkungan pengendapan Perbukitan Jiwo pra-
metamorfisme pada umur Kapur kemungkinan adalah zona transisi antara darat dan laut.

Fasies batuan metamorf ditentukan dari protolith yang paling heterogen yaitu
batuan pelitik dengan batuan metamorf berupa filit klorit-mika. Kehadiran mineral indeks
seperti klorit dan muskovit yang melimpah ditambah dengan epidot dan albit sebagai
mineral accessory (Tabel 1) memberikan indikasi bahwa batuan tersebut mengalami
proses metamorfisme pada fasies sekis hijau. Dengan asumsi mengalami proses
metamorfisme secara bersama; marmer, kuarsit, dan filit grafit juga termetamorfisme
secara regional pada fasies sekis hijau.

Kehadiran sekis epidot-glaukofan, serpentinit dan variasi hornfels/skarn di


Perbukitan Jiwo perlu mendapatkan penelitian khusus, terutama kemungkinan terjadinya
jenis fasies metamorfisme lain di Perbukitan Jiwo. Perbedaan fasies ini dapat dihasilkan
karena posisi tektonik yang berbeda saat proses metamorfisme yang relatif seumur atau
perbedaan generasi metamorfisme.

XII. KESIMPULAN
Hasil analisis singkapan, sampel batuan dan petrografi pada batuan metamorf
segar di lereng utara Gunung Konang menghasilkan beberapa kesimpulan yaitu:

1. Singkapan batuan metamorf memiliki struktur boudin yang menunjukkan


perbedaan kompetensi batuan akibat perbedaan protolith.
2. Variasi litologi yang dijumpai berupa filit klorit-mika, marmer dan kuarsit. Filit
klorit-mika menunjukkan deformasi ductile sedangkan marmer dan kuarsit
menunjukkan deformasi brittle.
3. Protolith batuan metamorf merupakan batuan sedimen. Filit klorit-mika berasal
dari batuan pelitik atau batulempung, marmer berasal dari batu gamping atau
batuan karbonat, sedangkan kuarsit yang dijumpai dengan struktur pita berasal
dari batupasir kuarsa. Kuarsit masif dengan tekstur granoblastik yang utamanya
terbentuk di bagian batas boudin dimungkinkan berasal dari migrasi fluida
metamorfisme yang kaya dengan silika saat proses metamorfisme berlangsung.
Grafit yang hadir pada batuan metamorf menandakan bahwa hadir pula protolith
dari batuan sedimen organik yang kaya dengan karbon. Porsi dari masing-masing
protolith tersebut berbeda-beda dari satu singkapan ke singkapan lainnya di
Perbukitan Jiwo. Variasi protolith tersebut mengindikasikan bahwa lingkungan
pengendapan Perbukitan Jiwo pra-metamorfisme pada umur Kapur kemungkinan
adalah zona transisi antara darat dan laut.
4. Komposisi mineral indeks pada batuan metamorf dengan protolith heterogen (filit
klorit-mika) mengindikasikan proses metamorfisme terjadi pada fasies sekis hijau.

1554
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K006POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Dengan asumsi mengalami proses metamorfisme secara bersama; marmer, kuarsit,


dan filit grafit juga termetamorfisme secara regional pada fasies sekis hijau.

DAFTAR PUSTAKA
Alfyan, M.F. dan Setiawan, N.I., 2014, Petrogenesis Batuan Metamorf di Daerah Perbukitan Jiwo,
Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah, Prosiding Seminar Nasional
Kebumian ke-7, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, UGM, hal. 562–567.

Barianto, D.H., Margono, U., Husein, H. dan Novian, M.I., 2017, Peta Geologi Lembar Wonosari
(1408-31), Jawa, Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral, Bandung.

Dharmawan, A.G., 2014, Studi Ubahan Batuan Tipe Skarn Di Desa Pagerjurang, Kecamatan Bayat,
Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah, Skripsi, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas
Teknik, UGM.

Hadyan, A., Setiawan, N.I., Budianta, W.B. dan Alfyan, M.F., 2015, Petrogenesis dan Sifat
Keteknikan Marmer Jokotuo, Prosiding Seminar Nasional Kebumian ke-8, Jurusan Teknik
Geologi, Fakultas Teknik, UGM, hal. 616–628.

Hollocher, K., 2014, A Pictorial Guide to Metamorphic Rocks in the Field, Taylor & Francis Group,
London, UK.

Prasetyadi, C., 2007, Evolusi Tektonik Jawa Bagian Timur, Disertasi (Dr.), Institut Teknologi
Bandung, Bandung.

Setiawan, N.I., Sariyanto, Saputro, A.A., 2016, Teknik Pembuatan Sayatan Tipis Batuan di
Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Prosiding
Seminar Nasional Kebumian ke-9, Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, UGM,
hal. 378–388.

Setiawan, N.I., Osanai, Y. dan Prasetyadi, C., 2013, A Preliminary View and Importance of
Metamorphic Geology from Jiwo Hills in Central Java, Prosiding Seminar Nasional
Kebumian ke-6, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, UGM, hal. 11–23.

1555
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K006POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Tabel 1. Kompilasi deskripsi petrografi sampel batuan metamorf di lereng utara Gunung Konang,
Jiwo Timur, Bayat.

Gambar 1. Peta geologi Perbukitan Jiwo, Bayat dan sekitarnya beserta lokasi singkapan (Barianto
dkk., 2017)

1556
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K006POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 2. Singkapan batuan metamorf segar di lereng utara Gunung Konang. (A dan B) Batuan
metamorf menunjukkan struktur foliasi filitik berwarna abu-abu kehijauan. (C) Lipatan dijumpai
pada tubuh batuan metamorf.

1557
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K006POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Foto penampang sampel batuan yang menunjukkan struktur boudin (modifikasi dari
Hollocher, 2014). (A) Marmer, (B) Filit klorit-mika, (C) Kuarsit.

1558
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K006POO
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 4. Foto sayatan tipis batuan. (A dan B) Lepidoblastik klorit hadir bersama dengan muskovit
dan grafit. (C dan D) Mikrokristalin kuarsa bertekstur pita (ribbon) hadir pada area filit klorit-mika.
(E) Marmer berkomposisi kalsit dengan ukuran kasar (1–2 mm) dengan kuarsa yang hadir dalam
bentuk individu maupun aggregat (F). (G) Lepidoblastik klorit dan grafit juga dijumpai pada area
marmer. (H) Kuarsit memiliki komposisi kuarsa berukuran kasar (1–4 mm) dengan kontak antar
butir suture. Kalsit sekunder juga dijumpai pada kontak tersebut.

1559
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K007UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

PALEOGEOGRAFI DAN MEKANISME SEDIMENTASI PADA PALEO-


KALDERA DI DAERAH PRAMBANAN
Andika Nugraha1*, Muhammad Budi Setyoputro1, Ardani Patanduk1
1Undergraduated Student, Geological Engineering, UPN "Veteran" Yogyakarta

*Corresponding Author: andhika.nugraha97@gmail.com

ABSTRAK. Daerah Prambanan dan sekitarnya yang merupakan bagian dari Formasi Semilir
tersusun oleh batuan gunungapi yang melimpah sebagai produk vulkanisme yang secara intensif
telah terjadi di masa lampau. Keberadaan batuan gunungapi tersebut perlu dikaji dengan
pendekatan vulkanostratigrafi. Oleh karena itu dilakukan penelitian untuk mengkaji sejarah
vulkanisme purba di daerah ini. Metode penelitian bersifat kualitatif dengan tahapan studi literatur,
interpretasi morfologi dengan citra Google Earth dan DEMNAS, observasi lapangan serta analisis
data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat indikasi kaldera di daerah Prambanan dan
sekitarnya yang diperlihatkan dari kenampakan morfologi semi radial yang terpotong oleh sesar
turun dan tertimbun aluvial di bagian utara dengan kedudukan lapisan batuan yang semi radial
dengan dip yang berubah secara berangsur ke arah selatan. Litologi yang ditemukan tersusun oleh
kelompok piroklastik (flow, surge, fall) seperti pumiceous breccia, co-ignimbrite breccia, lapillistone, tuff
dan kelompok resedimented syn-eruptive seperti volcanic sandstone, claystone dan volcanic breccia. Pada
beberapa tempat ditemukan tekstur welded, jigsaw fit, acretionary lapilli dan fragmen arang.
Struktur sedimen yang ditemukan adalah masive, normal graded bedding, reverse graded bedding, cross
bedding, cross lamination, parallel lamination, slump, load cast dan flame structure dengan arah arus purba
berasal dari bagian timurlaut. Pada beberapa tempat ditemukan indikasi aktifitas hidrotermal yang
diperlihatkan dari ubahan chloritic, clay-oxide dan bongkah silisic. Susunan litologi tersebut
diendapkan dengan mekanisme mass flow, traction dan suspension. Fasies proksimal yang terletak
relatif di daerah utara dan umumnya tersusun oleh kelompok piroklastik terendapkan di
lingkungan darat, sedangkan fasies distal yang terletak relatif di daerah selatan dan umumnya
tersusun oleh resedimented syn-eruptive terendapkan di lingkungan laut. Hal ini mengimplikasikan
paleogeografi berupa pulau gunungapi aktif dengan fasies sentral yang diduga berada di bagian
timurlaut dan tertimbun oleh alluvial.

Kata kunci: Prambanan, vulkanostratigrafi, paleo-kaldera, paleogeografi, sedimentasi

I. PENDAHULUAN
Indonesia terletak di jalur ring of fire sehingga banyak gunung api yang terbentuk
di daerah ini. Gunung api di Indonesia terbentuk mulai dari Zaman Pra-tersier sampai
Kuarter yang hasil kegiatannya terendapkan baik di darat maupun di laut. Pada zaman
tersebut telah terbentuk gunung api yang saat ini sudah tidak aktif. Gunung api tidak aktif
ini meninggalkan jejak hasil dari pembentukkannya berupa sisa morfologi yang dapat
terlihat salah satunya di daerah prambanan dan sekitarnya. Gunung api di daerah
Prambanan dan sekitarnya sudah tidak menunjukkan morfologi yang jelas dibandingkan
gunung api aktif masa kini akibat tererosi lebih lanjut.
Daerah telitian ini berada di fisiografi Pegunungan Selatan dan termasuk ke dalam
Formasi Semilir. Satuan batuan tersusun oleh produk vulkanisme yang sangat melimpah
dan mengindikasikan bahwa terdapatnya kegiatan vulkanisme pada masa lampau.

1560
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K007UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Secara administratif, lokasi penelitian ini berada di wilayah Prambanan, Kabupaten


Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta dengan koordinat 445800 - 9134600 dan 458000 -
9139100. Daerah Prambanan dan sekitarnya menarik dibahas untuk mengidentifikasi
keberadaan gunung api purba berdasarkan pemahaman konsep vulkanologi dengan
pengukuran stratigrafi dan pengamatan batuan. Kemudian, dengan pendekatan konsep
tersebut dapat menentukan proses magmatisme, sedimentasi untuk mengetahui sejarah
geologi dan paleogeografi gunung api purba. Lokasi dapat dilihat pada peta sebagai
berikut (Gambar.1):

Gambar 1. Lokasi penelitian diambil melalui Google Earth.

II. GEOLOGI REGIONAL


Penamaan satuan litostratigrafi Pegunungan Selatan telah banyak dikemukakan
oleh beberapa peneliti yang membedakan stratigrafi wilayah bagian barat (Parangtritis –
Wonosari) dan wilayah bagian timur (Wonosari – Pacitan). Urutan stratigrafi Pegunungan
Selatan bagian barat telah diteliti antara lain oleh Bothe (1929), van Bemmelen (1949),
Sumarso dan Ismoyowati (1975), Sartono (1964), Nahrowi, dkk (1978) dan Suyoto (1992)
serta Wartono dan Surono dengan perubahan (1994). Secara stratigrafi, urutan satuan
batuan dari tua ke muda menurut penamaan litostratifrafi menurut Wartono dan Surono
dengan perubahan (1994) terdiri atas Formasi Wungkal-Gamping, Formasi Kebo-Butak,
Formasi Semilir, Formasi Nglanggran, Formasi Sambipitu, Formasi Oyo, Formasi
Wonosari, Formasi Kepek, dan Endapan Permukaan.
Daerah telitian ini termasuk ke dalam Formasi Semilir. Formasi Semilir disusun
oleh hasil endapan piroklastik jatuhan, surge, dan aliran dengan struktur dune dan
antidune, lapisan kristal, laminasi butiran dengan sortasi baik, lapisan diffuse, breksi (blok
pumis yang tebal), material ukuran debu dan melimpahnya fragmen arang. Secara
setempat dijumpai hasil dari endapan pada lingkungan lereng marine, dibuktikan dengan
struktur scouring, flame, endapan traksi, suspensi dan lipatan slump yang diindikasikan
kelerengan yang tidak stabil di marine. Pada saat meletus Formasi Semilir ini menunjukkan
aliran piroklastik melintasi vegetasi sehingga menghasilkan arang dengan beberapa aliran
memasuki laut (Smyth dkk, 2011). Lingkungan pengendapan formasi ini terendapkan pada
bagian laut dan juga berada di darat.

1561
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K007UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

III. METODE PENELITIAN

Metode penelitian bersifat kualitatif dengan tahapan studi literatur, interpretasi


morfologi dengan citra Google Earth dan DEMNAS, pengambilan data lapangan serta
analisis data. Pengambilan data lapangan berupa pengambilan data kedudukan batuan,
struktur sedimen, dan deskripsi litologi. Data kedudukan batuan diplotkan pada peta
untuk memperoleh arah umum. Keseluruhan hasil analisis data diintegrasikan untuk
mendapatkan kesimpulan yang komprehensif mengenai vulkanisme purba di Prambanan.

Gambar 2. Diagram alir penelitian.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan hasil pengamatan morfologi dengan citra SRTM (Gambar.3), daerah
telitian menunjukkan sebaran lateral yang berelief kasar membentuk morfologi relatif
semi-radial. Semakin ke arah kaki gunung api membentuk relief yang semakin menghalus.
Pada citra SRTM tersebut membentuk gawir relatif setengah lingkaran. Penarikan
kelurusan lembah menunjukkan gawir melingkar terpotong oleh sesar turun yang
tertimbun aluvial di bagian utara.
Hasil interpretasi struktur geologi menunjukkan bahwa terdapat dua arah umum
kelurusan, yaitu utara-selatan dan timur laut-barat daya. Pada daerah telitian rim
menunjukkan arah relatif barat laut - tenggara dan timur laut-barat daya berdasarkan
punggungan yang memanjang.

1562
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K007UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 3. Peta kelurusan struktur lokasi penelitian.

Hasil analisis kedudukan lapisan batuan dari pengambilan data lapangan


menunjukkan bahwa perlapisan batuan gunung api mempunyai jurus yang terpusat
(konsentris) mengelilingi fasies sentral gunungapi purba ini (Gambar. 4 & 5). Kemiringan
perlapisan menunjukkan perubahan semakin besar secara berangsur dari fasies proksimal
sampai fasies distal. Lereng pada daerah telitian dari kaki gunung api menuju arah puncak
semakin terjal. Berdasarkan data tersebut, dapat diinterpretasikan bahwa pembentukan
morfologi daerah telitian terbentuk akibat aktivitas vulkanisme pada masa lampau.

Gambar 4. Peta persebaran kedudukan batuan lokasi penelitian.

1563
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K007UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Gambar 5. Analisa persebaran kedudukan.

Litologi yang ditemukan di bagian utara daerah telitian tersusun oleh kelompok
piroklastik (flow, surge, fall) seperti pumiceous breccia, co-ignimbrite breccia, lapillistone, tuff.
Hasil dari erupsi eksplosif gunung api ini menghasilkan material fragmental yang
merupakan penyebaran di fasies proksimal. Struktur sedimennya meliputi masive, ,reverse
graded bedding, cross lamination, parallel lamination. Dengan didukung oleh susunan
litologinya di bagian utara telitian yang didominasi oleh material gunung api dengan
breksi yang tebal dan struktur sedimennya yang bersifat non gampingan menunjukkan
daerah tersebut dekat dengan pusat erupsi dan di lingkungan darat (Gambar.6).

Gambar 6. Kolom litologi/profil endapan darat.

1564
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K007UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

Pada lapilli dan fragmen arang. Struktur sedimen yang ditemukan adalah massive,
normal graded bedding, reverse graded bedding, cross bedding, cross lamination, parallel
lamination, slump, load cast dan flame structure. Pada kelompok ini terendapkan di
lingkungan laut (Gambar.7)

Gambar 7. Kolom litologi/profil endapan laut.

Analisis arus purba pada daerah telitian untuk mengetahui arah aliran dahulu dan
dengan arah arus purba dan menentukan asal material tersebut. Berdasarkan hasil
pengukuran didapatkan arah umumnya yaitu N 24o E Timurlaut – Baratdaya. Dari hasil
pengukuran tersebut fasies sentral berada di bagian timur laut dan telah tertimbun aluvial.
Dengan didukung oleh susunan litologinya yang didominasi oleh material gunung
api berupa batuan beku intrusi dangkal, breksi koignimbrit, breksi piroklastika (fragmen

1565
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K007UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

andesit) dan tuff/pumis yang bersifat non gampingan menunjukkan endapan tersebut
berada dekat dengan pusat erupsi dan di lingkungan darat pada daerah utara.

Gambar 8. Peta persebaran fasies dan penampang.

Pada bagian selatan menunjukkan litologi berupa batupasir vulkanik, breksi


piroklastik, lempung, lanau dengan terdapatnya arang. Pada bagian selatan menunjukkan
litologinya bersifat gampingan. Hal ini menunjukkan endapan ini berada di lingkungan
laut. Pembagian zona lingkungan pengendapan menunjukkan bahwa pada bagian utara
menunjukkan lingkungan darat yaitu pada fasies proksimal dan ke selatan menunjukkan
lingkungan laut.

Gambar 9. Foto lapangan pada batuan tuff dan breksi.

Di daerah telitian terdapatnya batuan terubah akibat alterasi. Di bagian utara


ditemukan alterasi chloritic, clay oxide dan bongkah silisik. Susunan litologi tersebut
diendapkan dengan mekanisme mass flow, traction dan suspension. Fasies proksimal yang

1566
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K007UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

terletak relatif di daerah utara dan umumnya tersusun oleh kelompok piroklastik
terendapkan di lingkungan darat, sedangkan fasies distal yang terletak relatif di daerah
selatan dan umumnya tersusun oleh resedimented syn - eruptive terendapkan di lingkungan
laut. Hal ini mengimplikasikan paleogeografi berupa pulau gunungapi aktif dengan fasies
sentral yang diduga berada di bagian timurlaut dan tertimbun oleh alluvial.
Berdasarkan analisis pengukuran penampang stratigrafi ditermukan bahwa
susunan litologi menunjukkan perselingan antara batuan vulkanik berupa batuan
piroklastik dengan batuan epiklatik yang diendapkan di lingkungan darat. Berdasarkan
model dari McPhie 1993, susunan litologi diendapkan di lingkungan shoreline dan
menurut model Allen 1991 dalam Walker 1992 susunan litologi diendapkan di lingkungan
estuarine bagian tidal bar. Material arang dan acretionary lapilli menunjukkan sumber
material berasal dari lingkungan darat. Komposisi karbonatan dan material berukuran
halus dengan struktur flaser menunjukkan material tersebut di endapkan di transisi.
Adanya tekstur welding menunjukkan litologi diendapkan pada keadaan panas.
Variasi komposisi litologi cenderung homofen, material relatif membundar
merupakan resedimented syn eruptive deposit. Lapisan yang tebal dengan struktur
reverse graded bedding dan kontak top yang datar merupakan valley-pond deposit aspect
ratio. Litologi tersebut berasosiasi dengan ash-cloud surge deposit yang merupakan bukti
suksesi dalam satu erupsi. Lapisan dengan komposisi pumice tebal dengna kondisi
welding meunjukkan erupsi tipe plinian dari suatu kaldera pada fase destruktif.

V. KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan terdapat indikasi kaldera di daerah Prambanan dan
sekitarnya yang diperlihatkan dari kenampakan morfologi semi-radial yang terpotong
oleh sesar turun dan tertimbun aluvial di bagian utara dengan kedudukan lapisan batuan
dengan dip yang berubah secara berangsur ke arah selatan. Litologi yang ditemukan
tersusun oleh kelompok piroklastik seperti pumiceous breccia, co-ignimbrite breccia,
lapillistone, tuff dan kelompok resedimented syn-eruptive seperti volcanic sandstone, claystone
dan volcanic breccia. Pada beberapa tempat ditemukan tekstur welded, jigsaw fit, acretionary
lapilli dan fragmen arang. Struktur sedimen yang ditemukan adalah masive, normal graded-
bedding, reverse graded-bedding, cross-bedding, cross-lamination, parallel-lamination, slump, load
cast dan flame structure dengan arah arus purba berasal dari bagian timurlaut. Pada
beberapa tempat ditemukan indikasi aktifitas hidrotermal yang diperlihatkan dari ubahan
chloritic, clay-oxide dan bongkah silisic. Susunan litologi tersebut diendapkan dengan
mekanisme mass flow, traction dan suspension. Fasies proksimal terletak di daerah utara dan
umumnya tersusun oleh kelompok piroklastik terendapkan di lingkungan darat,
sedangkan fasies distal terletak di daerah selatan dan umumnya tersusun oleh resedimented
syn-eruptive terendapkan di lingkungan laut. Hal ini mengimplikasikan paleogeografi
berupa pulau gunungapi aktif dengan fasies sentral yang diduga berada di bagian
timurlaut dan tertimbun alluvial.

1567
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-12 K007UNP
TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA
5-6 September 2019; Hotel Alana Yogyakarta

DAFTAR PUSTAKA
McPhie, J., Doyle, M. dan Allen, R. 1993. Volcanic Textures: A Guide to The Interpretation of Textures in
Volcanic Rocks. Centre for Ore Deposit and Explotarion Studies, University of Tasmania.
Mulyaningsih, S., Husadani, Y.T., Umboro, P.A., Sanjoto, S., Purnamawati, D.I. 2011. Aktivitas
Vulkanisme Eksplosif Penghasil Formasi Semilir Bagian Bawah di Daerah Jetis Imogiri. Dalam
Jurnal Teknologi Technoscientia, 4 (1).
Smyth, H., Crowley, Q., Hall, R., Kinny, P., Hamilton, J., dan Schmidt, D. 2011. A Toba-scale eruption
in the Early Miocene: The Semilir eruption, East Java, Indonesia. Dalam Science Direct, Lithos,
p. 198-211.
Verdiansyah, Okki. 2018. Bayat Sebagai Kaldera Purba: Sebuah Gagasan Konsep untuk Mencari
Mineralisasi Daerah Pegunungan Selatan. Dalam Prosiding Seminar Nasional ReTII (pp. 1-
8). Yogyakarta, Indonesia: Sekolah Tinggi Teknologi Nasional
Walker, Roger G. dan James, Noel P. 1992. Facies Model: Response to Sea Level Change. Canada:
Geological Association of Canada

1568
Peran Ilmu Kebumian Dalam Pengembangan Geowisata, Geokonservasi & Geoheritage
Serta Memperingati 35 Tahun Kampus Lapangan Geologi UGM “Prof. Soeroso Notohadiprawiro” Bayat, Klaten

Anda mungkin juga menyukai