Kata Pengantar
Pada tahun 2013 Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
menyelenggarakan Seminar Nasional Kebumian ke-6 dalam rangka menyambut 30
tahun Stasiun Lapangan Geologi (SLG) ‘Professor Soeroso Notohadiprawiro’ Bayat
dengan tema ‘Penguatan Pendidikan dan Riset Geologi dalam Rangka Optimalisasi
Eksplorasi dn Pemanfaatan Sumberdaya Geologi untuk Kemajuan Bangsa’. Seminar
ini diselenggarakan di Hotel Royal Ambarrukmo, Yogyakarta pada tanggal 11-12
Desember 2013.
Keseluruhan kegiatan yang diselenggarakan bertujuan sebagai wadah atau forum bagi
seluruh para geosaintis dan stakeholders untuk berbagi pengalaman dan pemikiran
ilmu kebumian, serta untuk mendiskusikan pendidikan ilmu Teknik Geologi ke
depannya untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan.
Editor :
Akmaluddin
Arifudin Idrus
ii
Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, sehingga kita sukses
menyelenggarakan Seminar Nasional Kebumian ke-6 dalam rangka menyambut 30
tahun Stasiun Lapangan Geologi (SLG) ‘Professor Soeroso Notohadiprawiro’ Bayat
dengan tema ‘Penguatan Pendidikan dan Riset Geologi dalam Rangka Optimalisasi
Eksplorasi dn Pemanfaatan Sumberdaya Geologi untuk Kemajuan Bangsa’. Seminar
ini diselenggarakan di Hotel Royal Ambarrukmo, Yogyakarta pada tanggal 11-12
Desember 2013. Atas nama seluruh panitia pelaksana, kami menyampaikan terima
kasih kepada seluruh peserta yang telah ambil bagian pada acara ilmiah tersebut.
Sebagai informasi, 6 topik umum yang disajikan dan diskusikan selama seminar
nasional ini terkait dengan Teknik Geologi, meliputi sumberdaya bumi, eksplorasi
sumberdaya bumi, geologi lingkungan, hidrogeologi, kestabilan lereng, mekanika
batuan, tanah longsor, mineral bijih dan industri, dan topik-topik lain yang masih
berkaitan dengan aspek geo-resources dan geo-engineering. Makalah-makalah yang
disajikan dan didiskusika berasal lebih dari 10 insitusi yang berbeda di Indonesia.
Paper-paper tersebut kami sajikan dalam bentuk publikasi prosiding yang ada
dihadapan Bapak/Ibu ini.
iii
Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Kebutuhan akan peran serta ilmu Geologi dewasa ini di dalam pembangunan nasional
semakin meningkat. Di satu sisi, kebutuhan akan pemanfaatan sumberdaya alam
menuntut teknik dan metode eksplorasi yang semakin maju dan sanggup menjangkau
daerah-daerah yang kompleks secara geologi. Sementara itu isu-isu lingkungan
membuat kegiatan eksplorasi/eksploitasi pertambangan harus peka terhadap berbagai
proses geologi yang mungkin akan muncul sebagai dampak negative bagi manusia.
Isu-isu tersebut membutuhkan sumberdaya manusia yang handal dan mampu
merespon berbagai kebutuhan akan sumberdaya alam dan penanganan bencana alam
secara cepat dan bijak. Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah
Mada merasa perlu untuk menyelenggarakan suatu seminar nasional untuk
menampung ide-ide dan membahas tantangan serta strategi dalam bidang geosains.
Semoga pembaca pembaca yang budiman bisa mendapatkan suatu yang bermanfaat
yang terkandung dalam kumpulan makalah ini. Selamat menjalankan seminar,
berdiskusi, berbagi ilmu dan menelaah kembali hasil penelitian tersebut melalui
kumpulan makalan ini.
iv
Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
DAFTAR ISI
BPS03 Studi Ubahan Batuan Tipe Skarn di Desa Pagerjurang, Kecamatan Bayat,
Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah
Dharmawan, A.G., Setijadji, L.D., Warmada, I.W., .................................. 24
vi
Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
vii
Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
viii
Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
ix
Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
L04 Analisis Kondisi Zona Cavity Layer Terhadap Kekuatan Batuan Pada
Tambang Kuari Batugamping di Daerah Sale Kabupaten Rembang
Wijaya,R.A.E., Karnawati,D., Srijono., Wilopo,W.,.................................. 376
x
Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
L06 Evaluasi Kualitas Massa Batuan Pada Lokasi Studi Tapak PLTN
Menggunakan Metode Geological Strength Index, di Kabupaten Bangka
Barat, Propinsi Kepulauan Bangka Belitung
Irvani., Wilopo,W., Karnawati,D., ............................................................ 393
xi
Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
xii
BPS01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
ABSTRACT
A geophysical investigation has been done in Jokotuwo, East Jiwo, Bayat at September 6th-15th
2013. This investigation to knew conductivity response in fault area. This investigation used
electromagnetic method using conductivity meter CMD – 4 instrument with 6 meters depth
penetration to subsurface and very low frequency instrument with 40 meters effective depth
penetration. Processing data using Ms. Excel and surfer 10 to get conductivity map and using
matlab to process VLF data and get RAE section. From the interpretation data
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian geofisika di daerah Jokotuwo, Jiwo Timur, Bayat pada tanggal 6-15
September 2013. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui respon nilai konduktivitas terhadap
adanya pengaruh struktur. Penelitian ini menggunakan metode elektromagnetik instrumentasi
Conductivity Meter tipe CMD - 4 dengan penetrasi kedalaman hingga 6 meter serta instrumentasi
VLF dengan kedalaman efektif yang didapat adalah 40 meter. Pengolahan data menggunakan
Ms.Excel dan surfer 10 untuk mendapatkan peta konduktivitas serta software matlab untuk
mengolah data VLF dan mendapatkan penampang rapat arus ekuivalen. Dari hasil interpretasi
dapat diketahui bawha zona sesar diidentifikasi memiliki nilai konduktivitas berkisar 80 – 130
ms/m. Sedangkan identifikasi arah sesar adalah 160⁰ NE dilihat dari kisaran nilai konduktivitas
tersebut. Hal ini juga didukung dengan penampang rapat arus ekuivalen yang didapat dari
pengukuran instrumentasi VLF yang menunjukkan pola sesar ketika dilakukan korelasi antar
penampang dengan nilai konduktivitas yang tinggi yang digambarkan dengan warna merah.
1
BPS01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
I. Pendahuluan
Bayat merupakan wilayah yang terletak di provinsi Jawa Tengah yang tersusun atas
kondisi geologi yang kompleks. Daerah Bayat tersingkap basement pulau Jawa, serta juga
terdapat batuan termuda yang muncul di pulau Jawa. Daerah bayat juga terkena aktifitas
tektonik yang menyebabkan daerah Bayat memiliki beberapa struktur kompleks seperti
halnya struktur sesar.
Metode elektromagnetik adalah metode geofisika yang memanfaatkan gelombang
elektromagnetik guna mengukur nilai konduktivitas bawah permukaan sehingga kondisi
bawah permukaan dapat diketahui dengan menganalisa nilai konduktivitas yang didapat.
Instrumentasi Very Low Frequency (VLF-EM) merupakan salah satu instrumentasi dalam
metode elektromagnetik. Alat yang digunakkan adalah Scintrex envy VLF. Instrumentasi
ini menggunakan prinsip induksi gelombang elektromagnetik akibat adanya suatu benda
yang konduktif di bawah permukaan bumi. Oleh karena itu, insturmen ini dianggap cocok
untuk digunakan dalam penelitian ini dikarenakan parameter yang diukur adalah nilai
konduktivitas. Sedangkangkan untuk instrument Conductivity Measuremen Direct adalah
tipe CMD-4 dengan penetrasi kedalaman 6 meter. CMD -4 juga merupakan instrumentasi
metode elektromagnetik yang memanfaatkan gelombang elektromagnetik untuk mengukur
nilai konduktivitas material di bawah permukaan bumi.
Penelititan ini bertujuan untuk mengidentifikasi sesar Jokotuwo berdasarkan respon nilai
konduktivitas dengan menggunakan metode elektromagnetik instrumentasi CMD dan
VLF. Diharapkan hasil yang didapat merupakan hasil yang memiliki tingkat keakurasian
yang baik sehingga dapat dijadikan sebagai acuan dalam kegiatan pendidikan maupun
studi geologi dan geofisika lanjutan di daerah Bayat khususnya daerah Jokotuwo.
2
BPS01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
∂B
∇×E = −
∂t
∂D
∇×H = i +
∂t
∇⋅B = 0
∇ ⋅ D = ρc
Keterangan:
E = intensitas medan listrik (V/m),
H = intensitas medan magnetisasi
B = induksi magnetik, atau rapat fluks (Wb/m2 atau tesla)
D = pergeseran listrik (C/m2)
terdiri dari Gunung Konang, Gunung Pendul, Gunung Semangu, Di lereng selatan Gunung
Pendul hingga mencapai bagian puncak, terutama mulai dari sebelah utara Desa Dowo
dijumpai batu pasir berlapis, kadang kala terdapat fragmen sekis mika ada di dalamnya.
Sedangkan di bagian timur Gunung Pendul tersingkap batu lempung abu-abu berlapis,
keras, mengalami deformasi lokal secara kuat hingga terhancurkan.
Daerah perbukitan Jiwo Timur mempunyai puncak-puncak bukit berarah barat-timur yang
diwakili oleh puncak-puncak Konang, Pendul dan Temas, Gunung Jokotuo dan Gunung
Temas. Gunung Konang dan Gunung Semangu merupakan tubuh batuan sekis-mika,
berfoliasi cukup baik, sedangkan Gunung Pendul merupakan tubuh intrusi mikrodiorit.
Gunung Jokotuo merupakan batuan metasedimen (marmer) dimana pada tempat tersebut
dijumpai tanda-tanda struktur pensesaran yang kemudian dijadikan target penelitian ini.
Sedangkan Gunung Temas merupakan tubuh batu gamping berlapis.
Di sebelah utara Gunung Pendul dijumpai singkapan batu gamping nummulites, berwarna
abu-abu dan sangat kompak, disekitar batu gamping nummulites tersebut terdapat batu
pasir berlapis.Penyebaran batugamping nummulites dijumpai secara setempat-setempat
terutam di sekitar desa Padasan, dengan percabangan ke arah utara yang diwakili oleh
puncak Jokotuo dan Bawak. Di bagian utara dan tenggara Perbukitan Jiwo timur terdapat
bukit terisolir yang menonjol dan dataran aluvial yang ada di sekitamya. Inlier (isolited
hill) ini adalah bukit Jeto di utara dan bukit Lanang di tenggara. Bukit Jeto secara umum
tersusun oleh batu gamping Neogen yang bertumpu secara tidak selaras di atas batuan
metamorf, sedangkan bukit Lanang secara keseluruhan tersusun oleh batu gamping
Neogen.
Proses pengambilan data diawali dengan melakukan studi literatur serta menggali
informasi geologi daerah penelitian. Kemudian dari informasi tersebut dilakukan
penentuan lintasan dengan arah lintasan Barat-Timur sepanjang 1 kilometer dengan jarak
antar titik pengukuran 20 meter untuk pengukuran menggunakan instrumentasi VLF dan
25 meter untuk pengukuran menggunakan instrumentasi CMD.
4
BPS01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Nilai yang didapat dari pengukuran dengan menggunakan instrumentasi CMD adalah nilai
konduktivitas dan nilai
in phase. Nilai yang didapat dari pengukuran menggunakan VLF ialah nilai tilt, elipt,
quadrature, dan t field. Setelah dilakukan pengambilan data di lapangan, langkah
selanjutnya ialah melakukan proses pengolahan data yang dilakukan di basecamp.
Dalam melakukan proses pengolahan data yang pertama kali dilakukan adalah melakukan
perhitungan data yang berupa data lapangan nilai konduktivitas dan nilai inphase. Data
diolah di Microsofft Excel untuk didapatkan nilai MA Conductivity dan MA Inphase.
Setelah itu buat grafik MA Conductivity vs MA Inphase dan buat peta MA Conductivity
dan MA Inphase di Software Surfer. Setelah grafik dan peta selesai dibuat maka dapat
dianalisa dan diinterpretasikan. Kemudian buat kesimpulan dari hasil pembahasan. Selesai.
Pengolahan data dengan metode elektromagnetik (VLF) dimulai dengan pengolahan data
di Excel dengan menghitung nilai Ma Tilt, Ma Elipt, dan DF. Setelah kita menghitung
nilai-nilai tersebut, kita buat garfik Tilt vs Ma tilt, Elips vs Ma elipt, dan Ma Tilt vs DF.
Kemudian kita buat penampang rapat arus dengan menggunakan software Matlab. Setelah
itu kita analisa grafik dan penampang rapat arus dan buat kesimpulan untuk penelitian ini
6
BPS01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Berdasarkan peta konduktivitas diatas dapat terlihat batas-batas litologi pada daerah
pengukuran. Pada peta konduktivitas memiliki range nilai sebesar 0 – 140 ms/m. Dimana
pada daerah yang sangat rendah pada sisi barat dapat diinterpretasikan daerah dengan
litologi batu metamorf. Hal ini dikarenakan pada batuan metamorf memiliki kekompakan
yang tinggi yang menyebakan arus listrik terhambat. Berdasarkan table nilai konduktivitas
nilai batuan metamorf sebesar 4x10-6 m/ms -10-2 m/ms, pada peta ditunjukkan dengan
warna ungu muda.
Sedangkan daerah diinterpretasikan sebagai daerah dengan litologi batu beku adalah
daerah yang memiliki nilai konduktivitas yang juga rendah dikarenakan batuan beku
merupakan batuan yang memiliki tingkat kekompakan yang hampir sama seperti batuan
metamorf berdasarkan Loke 1997 nilai konduktivitas batuan beku adalah 10-6 ms/m –
2x10-4 ms/m. Namun terlihat bahwa pada daerah tersebut juga memiliki nilai konduktivitas
yang tinggi bahkan nilai konduktivitas tertinggi yaitu lebih besar dari 100ms/m terdapat
pada daerah yang memiliki litologi batuan beku yang semestinya memiliki nilai
konduktivitas yang rendah. Tingginya nilai konduktivitas ini dikarenakan pada daerah
tersebut diduga sebagai bidang sesar, dugaan ini dikuatkan oleh kenampakan di lapangan
serta data dari peta geologi yang dijadikan landasan penentuan desain survey. Seperti yang
kita ketahui bahwa bidang sesar merupakan bidang hancuran yang menjadikan material
7
BPS01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
pada daerah sekitar bidang sesar memiliki porositas yang tinggi. Porositas yang tinggi
inilah yang kemudian meningkatkan nilai konduktivitas tersebut. Oleh karena itulah pada
daerah ini terdapat nilai konduktivitas yang tinggi.Pada daerah yang tidak dilingkari, kami
interpretasikan sebagai daerah dengan litologi batuan sedimen. Hal ini dikarenakan pada
daerah tersebut cenderung menunjukkan nilai konduktivitas yang tinggi.
1. Line 1
Dari penampang rapat arus yang didapat dari line 1 kelompok 1, dapat terlihat beberapa
litologi yang terdapat di line 1 ini. Dari titik pengukuran 4-14 merupakan daerah dengan
litologi batuan metamorf. Titik pengukuran 14-18 merupakan daerah dengan litologi
batugamping formasi wungkal, dan titik pengukuran 18-22 merupakan daerah dengan
litologi batu beku gabro, serta titik pengukuran 22-30 merupakan batu gamping formasi
oyo. Dapat terlihat bahwa terdapat nilai rapat arus yang paling tinggi yang terukur pada
titik pengukuran 14-16. Nilai rapat arus yang tinggi berkisar ini diinterpretasikan sebagai
bidang sesar yang dilewati oleh line 1 kelompok 1. Interpretasi ini didukung juga oleh
kenampakan dilapangan yang menunjukkan bukti bahwa pada titik pengukuran tersebut
merupakan bidang sesar. Bukti-bukti tersebut antara lain terdapatnya breksiasi pada batuan
yang dilewati, adanya efek bakar pada batuan metamorf yang tersingkap di lapangan.
Bukti-bukti itulah yang menguatkan interpretasi bahwa pada titik pengukuran tersebut
merupakan bidang sesar. Pada bidang sesar merupakan suatu bidang yang menyebabkan
bidang hancuran yang meningkatkan porositas material pada wilayah tersebut.
Meningkatnya porositas itulah yang akan meningkatkan nilai konduktivitas yang kemudian
meningkatkan nilai rapat arus pada titik tersebut. Selain itu, interpretasi ini juga ditunjang
dengan peta Ma konduktivitas hasil dari pengukuran dengan menggunakan instrumentasi
CMD. Dimana pada peta tersebut juga terlihat bahwa pada titik pengukuran ini memiliki
nilai konduktivitas yang tinggi.
8
BPS01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
2. Line 2
Pada penampang rapat arus line 2 kelompok 1 juga terlihat bahwa terdapat nilai rapat arus
yang tinggi yang terletak pada titik pengukuran 14-16. Hal yang sama yang juga terdapat
pada line 1 kelompok 1. Jarak antar line 1 dengan line 2 adalah 50 meter. Sehingga dari
kedua line ini dapat dilakukan korelasi karena kedua line ini menunjukkan nilai dan
kenampakan warna yang sama dan dapat diinterpretasikan sebagai litologi yang sama
dengan line 1 kelompok 1.
Gambar 10. Penampakan sesar dengan litologi gamping dan metamorf di lapangan
VI. Kesimpulan
Dari hasil pengolahan data lapangan baik instrument CMD maupun VLF maka didapatkan
kecenderungan nilai konduktivitas yang meninggi pada daerah yang merupakkan sesar.
Nilai tinggi lebih besar dari 80 ms/m berbeda dengan nilai konduktivitas berdasarkan tabel
konduktivitas batuan (Loke,1997) dikarenakan pada daerah sifat fisik batuan berubah
karena pengaruh pergerakan sesar tersebut. Akibat pergerakan sesar adanya banyak zona
hancuran yang meningkatkan porositas batuan begitu juga dengan nilai konduktivitas dan
rapat arus meningkat sesuai dengan perubahan porositas tersebut
9
BPS01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Daftar Pustaka
[1] Palacky,After, “Terrain EM Conductivity”, Hayleys Geoscience Surveys Ltd.1988.
[2] Yatini,Modul Kuliah Lapangan Geofisika, Prodi Teknik Geofisika, UPN”Veteran”,
Yogyakarta, 2010.
[3] Telford W.M, L.P. Geldart dan R.E. Sherrif, “Applied Geophysics Second Edition
Cambridge University Press, New York,1998.
10
BPS02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
1
Geological Engineering Department, Faculty of Engineering, Gadjah Mada University, Jl. Grafika 2,
Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Indonesia. Email: nusetiawan@gmail.com
2
Division of Earth Sciences, Faculty of Social and Cultural Studies, Kyushu University, 744 Motooka,
Nishi-ku, Fukuoka 819-0395, Japan
3
Geological Engineering Department, Faculty of Mineral Technology, National Development University
“Veteran”, Jl. SKW 104, Condongcatur, Sleman, Yogyakarta 55281, Indonesia
Abstract
Jiwo Hills is an isolated hill with approximately occupied 30 km2 in Bayat area of Central Java.
The Jiwo Hills has been considered to be composed of very low-grade metamorphic rocks. This
contribution explains a preliminary view of the metamorphic rocks from collected rocks sample in
the Jiwo Hills.
Common metamorphic rocks found in this area are phyllite, mica schist, calc-silicate schist, and
marble with the foliation trend of NE-SW. Most of the metamorphic rock exposures are strongly
weathered. Rarely epidote-glaucophane schist crop out near the exposure of serpentinite in western
part of this complex. Several carbonate sedimentary rocks are converted to garnet-wollastonite
skarn under the contact metamorphism probably caused by diabase intrusion.
Garnet-wollastonite skarn mainly consists of garnet and wollastonite embed in the quartz matrix.
The garnets are rich of grossular composition, range from Adr13–19Grs81–85Sps0–2. Those show
anisotropic, with sectorial twinning zonings. The skarn deposits might give important information
for economic resources in this area.
Epidote-glaucophane schist mainly consists of glaucophane, epidote, quartz, phengite, titanite, and
hematite. By the present of this blueschist facies of high-pressure metamorphic rock in this area, it
confirms that Jiwo Hills is one of the high-pressure metamorphic terranes together with Luk Ulo
Complex of Central Java, Meratus Complex of South Kalimantan, and Bantimala Complex of
South Sulawesi. The serpentinites might facilitate exhumation of the blueschist in the Jiwo Hills.
Detailed study of the distribution of metamorphic rocks in this area is needed in order to
understanding tectonic evolution as well as economic geology.
Keywords: Jiwo Hills, Bayat, blueschist, high-pressure metamorphic rocks, skarn
Introduction
Significantly regional metamorphic rocks scattered expose throughout Java Island. Those
are exposed in Ciletuh Complex of West Java, Luk Ulo Complex of Central Java, and Jiwo
Hills area of Central Java (Fig. 1a). Among those complexes in Java island, Luk Ulo
Complex is well-known to be worldwide outcrop of high-pressure metamorphic rocks
(eclogite, blueschist) [1, 2, 3, 4], whereas the other complexes (Ciletuh and Jiwo Hills) still
lack of publication about the metamorphic rocks and the occurrence of high-pressure
metamorphic rocks.
11
BPS02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
This contribution explains the occurrence of various metamorphic rocks in the Jiwo
Hills. Previously, [5] has reported the metamorphic facies study in western part of this
complex (West Jiwo). This paper explains detailed petrographical observation and mineral
chemistry analyses on garnet-wollastonite skarn and epidote-glaucophane schist.
Furthermore, those results are synthesized to emphasize the contribution of Jiwo Hills
metamorphic terrane on the tectonic evolution of Indonesia region. Mineral abbreviations
in this paper follow [6].
Geological Outline
Jiwo Hills located in Bayat area, which is 45 km NE of Yogyakarta (Figs. 1a, b). In this
isolated hills, which approximately has 30 km2, regional metamorphic rocks were expose
[5, 7, 8] (Fig. 1b). The Jiwo Hills have been previously considered to be composed of the
very low-grade metamorphic rocks [2, 8]. Common metamorphic lithologies in the Jiwo
Hills are phyllite, mica schist, calc-silicate schist, and marble. [5] reported the occurrence
of amphibolite, blueschist, phyllite and serpentinite in this area. Foliations of the
metamorphic rocks are reported to have a trend of NE-SW [8]. No reliable P-T conditions
of the metamorphic rocks were reported from this area.
Figure 1. Simplified geological map of Jiwo Hills in Central Java. Modified after [7, 8].
12
BPS02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
The regional metamorphic rocks are considered to be the oldest rocks crop out in this
complex. [8] reported K-Ar from quartz-mica schist yielded 98 Ma. Those are
unconformably overlain by Paleogene and Neogene sedimentary rocks [7] (Fig. 1b). A
diabase, which yields K-Ar age of 39.8–31.3 Ma [10], intruded older rocks in this area
(Fig. 1b).
Modes of Occurrence
Field investigation in the Jiwo Hills confirms that very low-grade metamorphic rocks are
abundant in this area. However, most of the exposures are strongly weathered. The most
predominant rock types are phyllites. Rarely blueschist-facies assemblage of epidote-
glaucophane schist was found near the exposure of serpentinite in the western part of this
complex (West Jiwo) with the foliation trend varies from N62–63°E dipping 55–70° to the
south (Figs. 1b, 2a, b). Garnet-wollastonite skarn and clinopyroxene-epidote skarn were
also found in the western part (Fig. 1b). Furthermore, the occurrence of marbles were
reported by [5] also found in the western part. Whereas in the eastern part of this complex
are dominated by calc-silicate schist and phyllite (Figs. 1b, 2b, c). The calc-silicate schist
has a trend of N60°E dipping 34° to the south. The other variations of low-grade schists
found in this area are albite-muscovite schist, graphite phyllite, and quartz phyllite.
Figure 2. Modes of occurrence of the metamorphic rocks in Jiwo Hills. (a) Outcrop of
serpentinite and (b) epidote-glaucophane schist in West Jiwo. (c) Outcrop of phyllite and
(d) calc-silicate schist in East Jiwo.
13
BPS02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Phyllites
Phyllites represent the lowest grade of metamorphic rocks in the Jiwo Hills. These rocks
contain detrital grains of quartz with fine grain matrix of chlorite, muscovite, and graphite
(Fig. 3a). Those have thin layers, in which contains two regions of detrital quartz-rich and
chlorite-rich regions. Fine-grained apatite is commonly framed by graphite and chlorite.
Calc-silicate schists
Calc-silicate schists mainly consist of calcite, quartz, muscovite, and iron-oxide grain
minerals (Fig. 3b). Weak schistosity is developed by calcite and muscovite grains. Calcite,
quartz, iron-oxide grains are having size of 0.1–0.5 mm in length, whereas muscovite is
~0.2 mm in length. Several calcite veins are cross-cutting this rocks, which is regarded as
secondary phases.
Albite-muscovite schists
These rocks show strong schistosity and mainly consist of albite, chlorite, quartz,
muscovite, and graphite (Fig. 3c). Porphyroblastic albites are abundant in this rock type.
The strong parallel schistocity is defined by chlorite, muscovite, and graphite. Chlorite and
albite might be pseudomorph after garnet (Fig. 3c). Although original garnet grains were
not identified in the collected-rock samples.
Serpentinites
Serpentinite are composed mostly of serpentine together with spinel (Fig. 3d). Spinel is
having size of 0.5–2 mm in diameter. Relict grains of protolith rocks were not recognized
due to the highly serpentinization and highly weathering condition.
Garnet-wollastonite skarn
This rock mainly consists of garnet and wollastonite, embed in the quartz matrix. The
garnets having size of 0.5–1 mm in diameter, which obviously show sectorial twinning
zoning (Figs. 3e, f). Those are rich in grossular composition with the range of Adr13–
19Grs81–85Sps0–2 (Fig 4a). Representative chemical composition analysis of garnet is shown
in Table 2. Rim to rim analysis of garnet (A to A’; Fig 3f) shows that the garnet has
slightly zone in composition with slightly lower grossular content in the rim than core
portions (Fig. 4b). The andradite composition shows opposite pattern (Fig. 4b) with
14
BPS02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
15
BPS02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
16
BPS02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
spessartine relatively flat (Fig. 4b). All of the fine-grained clinopyroxenes in this rock are
plotted in the wollastonite area of ternary diagram of clinoestatite-clinoferrosilite-
wollastonite suggested from [15] (Fig. 4c). Representative chemical composition analysis
of clinopyroxene is shown in Table 2.
Epidote-glaucophane schist
Epidote-glaucophane schist mainly consists of glaucophane, epidote, quartz, phengite,
titanite, and hematite (Figs. 3g, h). Excluding quartz, glaucophane and epidote are
ubiquitous in matrix, which having size of ~0.2 mm in diameter and show random
orientation. Actinolite occupy in the rim of the glaucophane (Figs. 3h, 4d) as secondary
phases of this rock. Chlorite and albite replace other minerals, which also regarded as
secondary phases. Representative chemical composition analysis of amphibole is shown in
Table 2.
Discussion
Metamorphic rocks crop out in the Jiwo Hills having grade variation of greenschist,
blueschist, hornfels (skarn), and serpentinite (Table 1). Based on their occurrence in the
geological map, West Jiwo has more variation of metamorphic rocks than East Jiwo. The
metamorphic grades found in the West Jiwo are greenschist, blueschist, hornfels (skarn),
18
BPS02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
and serpentinite (Fig. 1). Furthermore, [5] reported the occurrence of marble in the West
Jiwo. Whereas in the East Jiwo, so far, only greenschist was found in there (Fig. 1).
19
BPS02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
20
BPS02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Figure 5. Bulk rock compositions of metamorphic rocks from Jiwo Hills compared to the
other high-pressure metamorphic terranes in central Indonesia are plotted on the ACF
diagram from [26].
Conclusion
1. Various metamorphic rocks crop out in the Jiwo Hills area include greenschist,
blueschist, serpentinite, and skarn.
2. The occurrence of skarn in the Jiwo Hills might give prospect information of economic
mineral deposits.
3. The occurrence of blueschist-facies in the Jiwo Hills might be correlated with other
high-pressure metamorphic terranes in central Indonesia region, which considered as
Cretaceous subduction complex.
Acknowledgments
We would like to thank to staff members of Geological Engineering Gadjah Mada
University for their assistance during the field survey in the Jiwo Hills and valuable
discussions. This work is a part of the PhD study supported by JICA AUN/SEED-Net
scholarship, and was supported by Grants-in-Aid for Scientific Research (No. 21253008
and 22244063 to Y. Osanai) from the Ministry of Education, Culture, Sports, Science and
Technology, Japan.
21
BPS02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
References
[1] K. Miyazaki, J. Sopaheluwakan, I. Zulkarnain, and K. Wakita, “Jadeite-quartz-
glaucophane rock from Karangsambung, Central java, Indonesia and its tectonic
implications”, The Island Arc, Vol. 7, pp. 223–230, 1998.
[2] C.D. Parkinson, K. Miyazaki, K. Wakita, A.J. Barber and A. Carswell, “An overview
and tectonic synthesis of the pre-Tertiary very-high-pressure metamorphic and
associated rocks of Java, Sulawesi and Kalimantan, Indonesia”, The Island Arc, Vol. 7,
pp. 184–200, 1998.
[3] A. Kadarusman, H.J. Massonne, V.H. Roermund, H. Permana, and Munasri, “P-T
evolution of eclogites and blueschists from the Luk Ulo Complex of Central Java,
Indonesia”, International Geology Review, Vol. 49, pp. 329–356, 2007.
[4] N.I. Setiawan, “Metamorphic evolution of central Indonesia”, PhD thesis, Kyushu
University, Japan, pp. 318, 2013.
[5] I.W. Warmada, I. Sudarno, D. Wijanarko, “Geologi dan facies batuan metamorf daerah
Jiwo Barat, Bayat, Klaten, Jawa Tengah”, Media Teknik,Vol. 2, pp. 113–118, 2008.
[6] D.L. Whitney and B.W. Evans, “Abbreviations for names of rock-forming minerals”,
American Mineralogist, Vol. 95, pp. 185-187, 2010.
[7] Surono, B. Toha and I. Sudarno, “Geological map of the Surakarta-Giritontro
Quadrangle, Jawa, Scale 1:100,000”, Geological Research and Development Centre of
Indonesia, 1994.
[8] C. Prasetyadi, “Evolusi tektonik Paleogen Jawa bagian Timur”, Doctoral thesis,
Bandung Institute of Technology, Bandung, Indonesia, 2007.
[9] W. Hamilton, “Tectonics of the Indonesia region”, U.S. Geological Survey
Professional Paper, Vol. 1078, pp. 345, 1979.
[10] Sutanto, R.C. Maury, H. Bellon and R. Soeria Atmadja, “Geochronology of Tertiary
volcanism in Java”, Proceeding geologi dan geotektonik Pulau Jawa sejak akhir
Mesozoic hingga Kuarter, pp. 73–76, 1994.
[11] G.T.R. Droop, “A general equation for estimating Fe3+ concentrations in
ferromagnesian silicates and oxides from microprobe analyses, using stoichiometric
criteria”, Mineralogical Magazine, Vol. 51, pp. 431–435, 1987.
[12] K. Okamoto, J.G. Liou and Ogaswara, “Petrology of the diamond-grade eclogite in
the Kokchetav Massif, northern Kazakhstand”, The Island Arc,Vol. 9, pp. 379–399,
2000.
[13] R.J. Ryburn, A. Raheim and D.H. Green, “Determination of the P,T paths of natural
eclogites during metamorphism-record of subduction”, Lithos, Vol. 9, pp. 161–164,
1976.
[14] B.E. Leake, A.R. Woolley, C.E.S. Arps, W.D. Birch, M.C. Gilbert, J.D. Grice, F.C.
Hawthorne, A. Kato, H.J. Kisch, V.G. Krivovichev, K. Linthout, J. Laird, J.A.
Mandarino, W.V. Maresch, E.H. Nickel, N.M.S. Rock, J.C. Schumacher, D.C. Smith,
N.C.N. Stephenson, L. Ungaretti, E.J.W. Whittaker and G. Youzhi, “Nomenclature of
amphiboles: report of the subcommittee on amphiboles of the International
Mineralogical Association, Commission on New Minerals and Mineral Names”, The
Canadian Mineralogist, Vol. 35, pp. 219–246, 1997.
[15] N. Morimoto, “Nomenclature of pyroxenes”, Mineral Magazines, Vol. 52, pp. 535–
550, 1988.
[16] M. Gaspar, C. Knaack, L.D. Meinert and R. Moretti, “REE in skarn systems: A
LA-ICP-MS study of garnets from the Crown Jewel gold deposit”, Geochimica et
Cosmochimica Acta, Vol. 72, pp. 185–205, 2008.
[17] K. Wakita, Munasri, J. Sopaheluwakan, I. Zulkarnain and K. Miyazaki, “Early
Cretaceous tectonic events implied in the time-lag between the age of radiolarian chert
22
BPS02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
and its metamorphic basement in the Bantimala area, South Sulawesi, Indonesia”, The
Island Arc, Vol. 3, pp. 90–102, 1994.
[18] K. Wakita, J. Sopaheluwakan, K. Miyazaki, I. Zulkarnain, and Munasri, “Tectonic
evolution of the Bantimala Complex, South Sulawesi, Indonesia”, in: R. Hall and D.J.
Blundell, eds.: Tectonic Evolution of Southeast Asia, Geological Society of London
Special Publication, Vol. 106, pp. 353-364, 1996.
[19] K.B. Ketner, S. Kastowo, C.W. Modjo, H.D. Naeser, K. Obradovich, T. Robinson,
Suptanda and Wikarno, “Pre-Eocene rocks of Java, Indonesia”, Journal of Research
United States Geological Survey, Vol. 4, pp. 605–614, 1976.
[20] N. Sikumbang and R. Heryanto, Geological map of the Banjarmasin Quadrangle,
Kalimantan, Scale 1: 250.000, Geological Research and Development Centre,
Indonesia, 2009.
[21] K. Wakita, K. Miyazaki, I. Zulkarnain, J. Sopaheluwakan and P. Sanyoto, “Tectonic
implications of new age data for the Meratus Complex of south Kalimantan,
Indonesia”, The Island Arc, Vol. 7, 202–222, 1998.
[22] N.I. Setiawan, Y. Osanai, N. Nakano, T. Adachi, K. Yonemura, A. Yoshimoto, J.
Wahyudiono and K. Mamma, “An overview of metamorphic geology from central
Indonesia: Importance of South Sulawesi, Central Java and South–West Kalimantan
metamorphic terranes”, Bulletin of the Graduate School of Social and Cultural Studies,
Kyushu University, Vol. 19, pp. 39–55, 2013.
[23] J.P. Platt, “Exhumation of high-pressure rocks: A review of concepts and
processes”. Terra Nova, Vol. 5, pp. 119–133, 1993.
[24] J. Hermann, O. Müntener and M. Scambelluri, “The importance of serpentinite
mylonites for subduction and exhumation of oceanic crust”, Tectonophysics, Vol. 327,
pp. 225–238, 2000.
[25] W.G. Ernst, “Subduction-zone metamorphism, calc-alkaline magmatism, and
convergent-margin crustal evolution”. Gondwana Research, Vol. 18, pp. 8–16, 2010.
[26] H.G.F. Winkler, Petrogenesis of metamorphic rocks, Springer-Verlag, New York, pp.
344, 1979.
[27] N.I. Setiawan, Y. Osanai, N. Nakano, T. Adachi, K. Yonemura, A. Yoshimoto,
L.D. Setiadji, K. Mamma and J. Wahyudiono, “Geochemical characteristics of
metamorphic rocks from South Sulawesi, Central Java, and South–West Kalimantan in
Indonesia”, Asean Engineering Journal, Vol. 2, 2013 (in press).
23
BPS03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Abstract
Jiwo Hills area, in the Bayat District, Klaten Regency, Central Java Province is a relatively small
area but with a complex geological condition. Some of the oldest rocks in Java, that consist of
metamorphic rocks and Paleogene sedimentary rocks, are exposed in this area. Metamorphism is
generally a regional metamorphism style characterized by the presence of mica schist. However, at
Pagerjurang village we find contact metamorphism as indicated by the occurence of skarn rocks.
Skarn is likely to be formed by contact metamorphism and metasomatism by hydrothermal
solutions derived from magma (intrusion) that cuts through limestone and sandstone.
Characteristics of mineralogy and mineral paragenesis of the skarn are studied by petrography,
mineragraphy, and XRD analysis on rock samples representing different zone of prograde and
retrograde skarn. Skarn system in the research area is characterized by Fe-Cu-Pb-Zn skarn system.
Skarn alteration and mineralization focus at the bedding contact of limestone and vulcaniclastic
sandstone, that has been altered to hornfels and marble. Mineralization is controlled by the NW-SE
trending geological structures. The skarn can be divided into three zones, namely 1) proximal
prograde exoskarn zone characterized by the presence of garnet (grossular) more than
clinopyroxene (wollastonite-augite-diopside-hedenbergite); 2) distal prograde exoskarn zone
characterized by the presence of garnet which is less than clinopyroxene; and 3) retrograde
exoskarn zone, that is characterized by the presence of epidote, kaolin, chlorite, and goethite.
Keywords: contact metamorphism, hydrothermal solutions, Fe-Cu-Pb-Zn skarn, Bayat
Pendahuluan
Di sekitar Desa Pagerjurang, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah,
batuan yang dijumpai didominasi oleh batuan metamorf, batuan sedimen Eosen, dan intrusi
batuan beku. Batuan sedimen berumur Eosen yang dijumpai berupa batupasir dengan
sisipan batugamping yang kaya akan foraminifera besar (Samodra dan Sutisna, 1997).
Batuan tersebut diterobos oleh tubuh batuan beku yang terutama terdiri dari mikrodiorit
anggota dari Diorit Pendul (Surono dkk., 2006). Penerobosan ini diduga terjadi pada
Oligosen Awal (Soeria-Atmadja dkk., 1991), yang menjadi fokus penelitian akan
keterdapatan batuan skarn yang ada di daerah penelitian.
Pada penelitian ini dilakukan pemetaan penyebaran alterasi tipe skarn serta analisis
geokimia dan mineralisasi pada endapan skarn yang terdapat pada daerah penelitian. Hal
ini penting dilakukan untuk memahami karakteristik dan genesa atau asal mula
terbentuknya skarn yang terdapat pada daerah penelitian serta penentuan batuan asal dari
endapan skarn serta batuan penorobos.
24
BPS03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Hasil dari penelitian mengenai Studi Alterasi Tipe Skarn di Desa Pagerjurang,
Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah ini, diharapkan dapat
memberikan gambaran mengenai genesa terbentuknya endapan skarn, tipe batuan skarn,
karakteristik mineralisasi endapan skarn. Selain berguna untuk keperluan ilmu
pengetahuan, harapannya hasil dari penelitian ini dapat memberikan informasi tambahan
dan bahan pembelajaran dalam Kuliah Lapangan Geologi Bayat yang diselenggarakan oleh
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, maupun
penyelenggara dari institusi lain.
Tinjauan Pustaka
Geologi Regional
Perbukitan Jiwo adalah merupakan rangkaian perbukitan rendah yang terletak di sebelah
selatan Kota Klaten. Perbukitan ini merupakan perbukitan terisolir, yang mencuat pada
dataran rendah di sebelah utara dari perbukitan Baturagung dan merupakan bagian dari
Pegunungan Selatan di Jawa Tengah (Gambar 2). Dataran rendah yang mengelilinginya
terutama tersusun oleh endapan limpahan dari Sungai Dengkeng dan bercampur dengan
endapan fluvio-volcanic dari Gunung Merapi.
Secara morfologis dan geografis, Perbukitan Jiwo terbagi menjadi dua bagian, masing-
masing perbukitan Jiwo Barat dan Jiwo Timur. Kedua bagian ini terpisah oleh aliran
Sungai Dengkeng dari desa Bayat ke utara. Perbukitan Jiwo Barat merupakan perbukitan
yang mempunyai arah memanjang selatan ke utara kemudian membelok ke arah barat di
sekitar Gunung Tugu, mengelilingi bagian selatan, timur, dan timur laut Rawa Jombor.
Pada bagian utara Rawa Jombor terdapat keterlanjutan dari pebukitan tersebut yang
menpunyai arah memanjang timur-barat yaitu Perbukitan Gunung Kapak dan sekitarnya.
Sedangkan perbukitannya sendiri tersusun dari komplek batuan metamorf yang di
perkirakan terbentuk pada Pra-Tersier, batuan sedimen baik klastik non karbonat maupun
25
BPS03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
batuan karbonat. Batuan sedimen yang ada umumya berkisar antara Eosen hingga Miosen
Atas kemudian di atasnya diendapkan secara tidak selaras oleh batuan karbonat yang
berumur Eosen (Rahardjo, 2004).
Adanya berbagai jenis batuan yang komplek ditambah dengan adanya struktur akibat
gaya endogen yang bekerja di daerah Bayat serta gaya eksogen yang kemudian
mengenainya membentuk bentang alam yang beraneka ragam yang terwujudkan dalam
kenampakan yang dapat terlihat sekarang.
Metamorfosa
Metamorfosa diartikan sebagai suatu proses di mana batuan dan mineral berubah sebagai
respon dari perubahan temperatur, tekanan serta kondisi lingkungan yang lain (Winter,
2001).
Metamorfosa kontak berlangsung pada daerah intrusi batuan beku sebagai akibat dari
panas dari magma yang mengintrusi batuan dingin yang berada di tempat yang lebih
dangkal. Metamorfosa kontak dapat berlangsung pada semua tempat di mana terdapat
aktivitas magma dan tidak hanya dibatasi oleh lokasi pada seting tektonik tertentu, seperti
26
BPS03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
hanya pada batas plate dikarenakan magma dapat naik dan mentransfer panas sampai pada
kedalaman yang dangkal (epizone). Pada jenis metarmorfosa ini berlangsung pada kisaran
tekanan yang luas bahkan dapat terjadi pada tekanan mendekati permukaan.
Skarn
Skarn merupakan suatu istilah untuk menyebut suatu batuan alterasi kalk-silikat yang kaya
akan silikat Ca, Fe, Mg, dan Al, terbentuk akibat dari penggantian batuan yang kaya
karbonat hasil dari proses metasomatisme (Einaudi et al. 1981 dalam Best, 2006). Proses
tersebut merupakan hasil respon batuan dari intrusi batuan beku. Proses metasomatisme
sendiri adalah suatu proses perubahan semua komposisi kimia batuan akibat dari masuknya
(perkolasi) larutan hidrotermal ke dalam batuan saat proses metamorfisme terjadi (Best,
2006). Masuknya larutan hidrotermal ini dapat melalui rekahan atau pori – pori yang ada
dari batuan tersebut, sedangkan terminologi dari skarnoid dapat dijelaskan sebagai batuan
dengan kenampakan seperti skarn tetapi memiliki genesa yang sangat komplek (Einuadi
dan Burt, 1982). Batuan ini dapat terbentuk sebagai hasil proses metasomatisme pada
batuan karbonat yang memiliki banyak pengotor atau juga dapat merupakan hasil
overprinting dari skarn menjadi hornfels atau reaction skarn. Sedangkan Winter (2001)
berpendapat bahwa skarn adalah batuan yang didominasi oleh Ca-Fe-Mg-Si yang terbentuk
karena proses replacement batuan karbonat selama proses metamorfisme regional atau
metamorfisme kontak. Skarn sebagian besar terbentuk karena proses metasomatisme, baik
itu bimetasomatisme antara kontak dua litologi maupun infiltrasi fluida silika ke dalam
batuan karbonat.
Metodologi
Masalah utama yang akan dibahas dalam penelitian ini terfokus pada penyebaran alterasi
skarn dan karakteristiknya, serta genesa atau asal mula terbentuknya alterasi skarn di
daerah penelitian. Batasan masalah pada penelitian ini yaitu pemetaan penyebaran alterasi
skarn di daerah penelitian dan penggunaan analisis laboratorium berupa petrografi,
mineragrafi, dan analisis geokimia. Sebanyak 18 conto yang diambil dari beberapa lokasi
pengamatan dipreparasi sebagai sayatan tipis untuk analisis petrografi, 7 conto dipreparasi
sebagai sayatan poles untuk analisa mineragrafi, dan 16 conto digunakan untuk analisis
geokimia menggunakan metode X-Ray Diffraction (XRD). Kemudian, untuk penentuan
umur batuan yang terdapat pada daerah penelitian, digunakan data sekunder yaitu geologi
regional Perbukitan Jiwo dan Pegunungan Selatan.
Pembahasan
Geologi Daerah Penelitian
Daerah penelitian meliputi sebagian daerah perbukitan Jiwo Barat yaitu Gunung Jabalkat,
Gunung Kebo, Gunung Cakaran, dan Gunung Merak. Daerah ini sebagian besar tersusun
oleh batuan metamorf meliputi filit dan terdapat serpentinit yang tidak terlalu dominan
keterdapatannya. Pada beberapa lokasi di daerah penelitian juga dapat dijumpai adanya
terobosan diorit yang ditunjukkan dengan adanya bongkah-bongkah batuan beku pada
puncak-puncak gunung.
Sebagian besar batuan yang tersusun pada daerah penelitian telah lapuk dan membentuk
tanah hasil pelapukan berupa lempung pasiran yang bersifat rapuh dan mudah tererosi.
Hadirnya struktur yang mengenai batuan berupa kekar dan sesar mengakibatkan adanya
aliran permukaan yang berkembang relatif baik berupa alur-alur dan sungai kecil.
27
BPS03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Berkembangnya aliran permukaan ini berakibat terbentuknya relief yang nyata pada
Perbukitan Jiwo Barat ini berupa puncak-puncak yang membulat dan meruncing seperti
yang terlihat pada Gunung Jabalkat. Pembentukan relief ini masih terus terjadi,
terwujudkan dalam proses longsoran tanah yang banyak dijumpai di lembah dan kaki
gunung. Lereng perbukitan ini memiliki kemiringan sedang hingga landai dengan elevasi
tertinggi 250 m dan terendah ± 100 m.
Stratigrafi pada daerah penelitian diawali dengan kehadiran satuan batuan metamorf
berupa filit yang merupakan batuan tertua pada daerah penelitian yang menjadi penyusun
sebagian besar daerah penelitian. Batuan ini merupakan basement dari sedimentasi yang
terjadi pada zaman Tersier dan termetamorfosakan pada akhir zaman Kapur (Wijanarko,
2008). Pada satuan batuan metamorf ini sering menunjukkan foliasi yang baik. Pada
beberapa lokasi dapat dijumpai urat kuarsa baik dalam kondisi sejajar maupun memotong
bidang foliasi yang merupakan produk alterasi hidrotermal yang disebabkan oleh aktivitas
magmatisme terobosan batuan beku.
Pada lereng Gunung Jabalkat sisi barat laut dapat dijumpai kehadiran satuan batuan
metamorf serpentinit yang tidak terlalu melimpah keterdapatannya. Batuan ini hanya hadir
dalam spot kecil diduga terbawa oleh batuan di sekitarnya dari mantel atas menuju ke
permukaan. Selain serpentinit, terdapat kehadiran satuan batuan metamorf lain pada lereng
Gunung Jabalkat sisi barat daya berupa satuan hornfels dan marmer yang merupakan
produk dari metamorfisme kontak. Pada singkapan yang sama juga ditemukan
keterdapatan ubahan batuan bertipe skarn yang akan dibahas lebih lanjut baik mengenai
karakteristik endapan, pembagian zona, dan genesa pembentukannya.
Satuan batuan beku pada daerah penelitian hanya dijumpai berupa bongkah-bongkah
seperti pada puncak Gunung Merak dan Gunung Kebo serta dalam bentuk tubuh intrusi
dalam skala kecil. Batuan beku yang dijumpai yaitu mikrodiorit yang sebagian besar
tersingkap dalam keadaan lapuk.
Satuan termuda pada daerah penelitian adalah satuan endapan aluvial. Satuan ini berada
pada lokasi dengan ketinggian rendah serta membentuk pola morfologi dataran seperti
pada sebelah barat Jiwo Barat. Datarn rendah tersebut terisi oleh endapan fluvio vulcanic
dari Merapi.
Struktur geologi yang berkembang pada daerah penelitian adalah kekar dan sesar.
Bidang-bidang sesar pada daerah penelitian sangatlah sulit untuk ditemukan dikarenakan
bidang sesar telah banyak terkubur oleh endapan sedimen lepas maupun material lepas dari
hasil pelapukan batuan di sekitarnya. Analisa sesar hanya dapat dilakukan dari interpretasi
pola-pola kelurusan yang ada pada daerah penelitian dan dapat diketahui bahwa pola-pola
kelurusan tersebut dominan berarah barat laut-tenggara. Analisa tersebut diperkuat dengan
adanya kekar-kekar berpasangan yang dapat terukur pada daerah penelitian mempunyai
arah gaya yang relatif sama dengan pola-pola kelurusan yang ada berikut perkiraan arah
gayanya.
28
BPS03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
fluida yang berasal dari intrusi diorit anggota dari Formasi Diorit Pendul tepatnya di
Gunung Merak. Batuan yang diterobos diduga kuat adalah batuan sedimen vulkaniklastik
dan batugamping anggota dari Formasi Wungkal Gamping. Pada sekitar zona skarn ini
terdapat batuan metamorf yang dihasilkan dari proses metamorfisme kontak yaitu hornfels
dan marmer (Gambar 3).
Pembagian zonasi skarn pada daerah penelitian mengacu pada kehadiran mineral utama
berupa garnet dan klinopiroksen berdasarkan data analisis geokimia menggunakan metode
X-Ray Diffraction (XRD) dan juga data pengamatan petrografi maupun mineragrafi (Tabel
1). Zonasi skarn pada daerah penelitian berturut-turut dari batas marmer ke arah hornfels
adalah proksimal prograde eksoskarn (garnet>klinopiroksen), distal prograde eksoskarn
(garnet<klinopiroksen), dan retrograde eksoskarn. Mineral garnet hadir melimpah di
sekitar marmer dan secara bertahap berkurang ke arah hornfels. Sebaliknya, klinopiroksen
hadir bertambah bertahap ke arah hornfels. Perkembangan zonasi skarn ini mulai dari
proksimal hingga distal nampak jelas pada singkapan yang berada di lereng Gunung
Jabalkat sisi barat daya.
29
BPS03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 3. (A) Peta zonasi skarn pada Desa Pagerjurang, (B) Pembagian zonasi skarn pada
lapangan dan titik pengambilan sampel X-Ray Diffraction (kamera menghadap timur laut)
Mineralisasi Bijih
Mineralisasi bijih yang terjadi di Desa Pagerjurang merupakan tipe endapan skarn yang
dikontrol oleh alterasi hidrotermal, kontrol struktur dan litologi yang ada. Kehadiran
mineral bijih pada daerah penelitian dapat diketahui secara megaskopis, analisis
mineragrafi ataupun analisis kimia. Pembentukan sebagian besar mineral sulfida dan
oksida diantaranya pirit, kalkopirit, sfalerit, galena, hematit dikontrol oleh struktur utama
berarah NW-SE. Tren ini terkait dengan pembentukan zonasi skarn garnet-klinopiroksen
pada daerah penelitian. Kalkopirit dan pirit merupakan mineral-mineral sulfida dan oksida
30
BPS03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
utama yang hadir cukup melimpah. Kalkopirit dan pirit umumnya hadir dalam jumlah yang
cukup melimpah pada batas proksimal prograde eksoskarn dengan marmer (Gambar 4).
Berdasarkan mineral-mineral yang hadir seperti pirit (FeS2), kalkopirit (CuFeS2), sfalerit
(Zn,Fe)S, galena (PbS), hematit (Fe2O3), dan goethite (FeOOH), maka sistem endapan
skarn pada daerah penelitian dapat disimpulkan yaitu system skarn Fe-Cu-Pb-Zn.
A B
C D
E F
Gambar 4. (A) Singakapan distal prograde eksoskarn di lapangan yang mengarah ke zona
retrograde eksoskarn, (B) Singkapan proksimal prograde eksoskarn di lapangan, (C)&(D)
Penampakan secara mineragrafi mineral-mineral sulfida dan oksida, (E) Penampakan mineral
garnet (grosular) dan hedenbergit secara petrografi sebagai penciri zona proksimal prograde
eksokarn, (F) Penampakan mineral-mineral klinopiroksen (wolastonit-hedenbergit) dengan tekstur
yang khas.
31
BPS03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Tabel 1. Data hasil analisis geokimia menggunakan metode X-Ray Diffraction (XRD) pada zonasi
skarn daerah penelitian
Sekuen Paragenesa
Secara umum, kronologi pembentukan endapan skarn di daerah Desa Pagerjurang,
Kecamatan Bayat adalah sebagai berikut:
Metamorfisme Kontak
Pada tahap proses metamorfisme ini, produk yang dihasilkan adalah batuan metamorf
hornfels dan marmer. Batuan-batuan tersebut diduga kuat berasal dari jenis batuan sedimen
volkanoklastik berperan sebagai batuan dinding dan termetamorfosis menjadi hornfels.
Dugaan ini diperkuat dengan keterdapatan mineral plagioklas berupa albit dengan
prosentase yang cukup melimpah. Keterdapatan hornfels pada daerah penelitian cukup
melimpah.
Batuan asal marmer juga diduga kuat berasal dari batuan sedimen karbonatan tepatnya
batugamping yang juga berperan sebagai batuan dinding yang termetamorfosis. Marmer
yang ada pada daerah penelitian tidak terlalu banyak keterdapatannya dan memiliki tekstur
khas berupa triple junction pada pengamtan petrografi. Kedua batuan tersebut diperkirakan
merupakan anggota dari Formasi Wungkal Gamping yang tersingkap pada lereng Gunung
Jabalkat.
Prograde Skarn
Pada fase akhir magmatisme, fluida hidrotermal yang didominasi oleh fase gas akan
bergerak dari tubuh intrusi ke arah batuan samping bagian atas. Proses interaksi fluida
hidrotermal dengan batuan samping dan bagian tepi intrusi menghasilkan prograde skarn.
32
BPS03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Prograde skarn Desa Pagerjurang dicirikan oleh hadirnya mineral garnet (grosular) dan
klinopiroksen (wolastonit-augit-diopsid-hedenbergit) disertai epidot, kalsit, kuarsa, dan
klorit.
Retrograde Skarn
Seiring penurunan temperatur, fuida hidrotermal akan lebih didominasi oleh uap air dan
bertanggung jawab terhadap pembentukan retograde skarn. Fluida pada fase retrograde ini
mempunyai salinitas yang rendah, temperatur 370o-380o C, terkait dengan zona pendidihan
pada tekanan 20 Mpa, di bawah kondisi hidrostatik (Meinert et al. 2003). Alterasi pada
fase retrograde ini, diyakini masih merupakan evolusi dari satu sistem hidrotermal
magmatik pada fase prograde, dikarenakan tidak ada bukti-bukti yang signifikan
bercampurnya komponen fluida meteorik (Meinert et al. 2003). Fase ini dicirikan oleh
hadirnya mineral aktinolit dalam jumlah yang banyak, disertai mineral-mineral kalsit,
epidot, garnet, kalkopirit, dan pirit.
33
BPS03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
KESIMPULAN
1. Zonasi skarn pada Desa Pagerjurang, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Provinsi
Jawa Tengah (lereng Gunung Jabalkat sisi barat daya) dicirikan oleh kehadiran
mineral garnet (grosular) yang hadir melimpah pada batas marmer dan secara gradual
menghilang kearah hornfels. Sebaliknya untuk mineral klino-piroksen secara
berangsur semakin banyak kearah batas hornfels.
2. Zonasi skarn pada daerah penelitian berturut-turut dari batas marmer ke arah hornfels
adalah proksimal prograde eksoskarn (garnet>klinopiroksen), distal prograde
eksoskarn (garnet<klinopiroksen), dan retrograde eksoskarn. Perkembangan zonasi
skarn mulai proksimal hingga distal nampak jelas di lapangan.
3. Alterasi pada daerah penelitian dikontrol oleh adanya struktur utama sesar yang dapat
dilihat dari pola-pola kelurusan berarah NW-SE, dan menjadi jalur injeksi fluida yang
berasal dari intrusi diorit anggota dari Formasi Diorit Pendul tepatnya di Gunung
Merak. Batuan yang diterobos diduga kuat adalah batuan sedimen vulkaniklastik dan
batugamping anggota dari Formasi Wungkal Gamping.
4. Kalkopirit dan pirit merupakan mineral-mineral sulfida dan oksida utama yang hadir
cukup melimpah. Kalkopirit dan pirit umumnya hadir dalam jumlah yang cukup
melimpah pada batas proksimal prograde eksoskarn dengan marmer.
5. Sistem endapan skarn yang berkembang pada daerah penelitian yaitu system skarn Fe-
Cu-Pb-Zn dengan kehadiran mineral-mineral pirit (FeS2), kalkopirit (CuFeS2), sfalerit
(Zn,Fe)S, galena (PbS), hematit (Fe2O3), dan goethite (FeOOH), maka sistem endapan
skarn pada daerah penelitian dapat disimpulkan yaitu system skarn Fe-Cu-Pb-Zn.
6. Sikuen paragenesa mineral pada endapan skarn Desa Pagerjurang dimulai dari proses
metamorfisme, prograde skarn, dan retrograde skarn.
DAFTAR PUSTAKA
Beach, A., 1979, Pressure solution as a metamorphic process in deformed terrigenous sedimentary
rocks, Lithos12, p. 51–58.
Best, G., 2003, Igneous Rocks and Metamorphic Petrology 2nd ed, Blackwell Science Ltd,
Australia, p. 424-465.
Blatt, H., and Robert J., 1996, Petrology 2nd ed, W. H. Freeman, p. 355.
Bronto, S., Hartono, G., dan Astuti, B., 2004, Hubungan genesa antara batuan beku intrusi dan
ekstrusi di Perbukitan Jiwo, Kecamatan Bayat, Klaten, Jawa Tengah, Majalah Geologi
Indonesia, h. 147-163.
Coombs, D. S., and Whetten, J., 1967, Composition of Analcime from Sedimentary and Burial
Metamorphic Rocks, Department of Oceanography, University of Washington.
Einaudi, M. T., and Burt, D. M., 1982, Classification, and Composition of Skarn Deposit, Bulletin
of The Society of Economics Geologists, 77: 745 – 754.
Einaudi, M. T., Meinert, L. D., and Newberry R. J., 1981, Skarn Deposits, Economic Geology, 75th
Anniversary, p. 317 -391.
Evans, A. M., 1993, Ore Geology and Industrial Mineral (3rd), Blackwell Scientific Publication,
London, 350 p.
Lawless, J. V., White, P. J., and Bogie, I. 1996, Epigenetic Magmatic Related Mineral Deposit :
Exploration based on Mineralisation Model, Notes to Accompany Lecture Course, Jakarta.
34
BPS03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Meinert, L. D., 1992, Skarns and Skarns Deposits, Geoscience Canada, 19: 145 – 162.
Rahardjo, W., 2007., Forminiferal biostratigraphy of Southern Mountains Tertiary rocks,
Yogyakarta Special Province, Prosiding “Potensi geologi Pegunungan Selatan dalam
pengembangan wilayah”, Yogyakarta, 27-29 November 2007.
Rahardjo, W., 2004, Geologi Daerah Perbukitan Jiwo, Bayat, Klaten, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Rahardjo, W., 1994, Geologic map of Jiwo Hills, Bayat Region, Geological Engineering, Univ. of
Gadjah Mada, Yogyakarta (unpubl.).
Ray, G. E., and Webster, I. C. L., 1991a, An Overview of Skarn Deposits, in Ore Deposits,
Tectonics and Metallogeny in the Canadian Cordillera; British Columbia Ministry of Energy,
Mines and Petroleum Resources, Paper 1991-4, p. 213-252.
Robb, L., 2005, Introducing to Ore-Forming Processes; Blackwell Science Ltd, UK.
Samodra, H., dan Sutisna, K., 1997, Peta Geologi Lembar Klaten (Bayat), Jawa, skala 1:50.000.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Soeria-Atmaja, R., Maury, R C., Bellon, H., and Pringgoprawiro., 1991, The Tertiary Magmatic
Belts in Java. Symposium on the Dynamics of Subduction and Its Products, The Silver Jubilee-
Indonesian Institute of Science (LIPI), Bandung, Indonesia, p. 99-119.
Soeria-Atmadja, R., Maury, R.C., Bellon, H., Pringgopawiro, H., Polve, M., and Priadi, B., 1994,
Tertiary magmatic belts in Java. Journal of SE Asian Earth Sciences, 9: 13-27.
Sudarno, I., 1997, Kendali tektonik terhadap pembentukan struktur pada batuan Paleogen dan
Neogen di Pegunungan Selatan, Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya, Thesis Magister
Teknik, Institut Teknologi Bandung, Bandung, 167 h. (tidak diterbitkan).
Sudarno, I., 1997, Petunjuk Adanya Reaktifasi Sesar di Sekitar Aliran Sungai Opak, Perbukitan
Jiwo dan Sisi Utara Kaki Pegunungan Selatan. Media Teknik, no. 1, Tahun XIX.
Sumarso., and Ismoyowati, T., 1975, A contribution to the stratigraphy of the Jiwo and their
southern surroundings, IVth IPA Conv., Jakarta.
Surono., Hartono, U., dan Permanadewi, P., 2006, Posisi stratigrafi dan petrogénesis intrusi Pendul,
Perbukitan Jiwo, Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Jurnal Sumber Daya Geologi, XVI
(5): 302-311.
Surono., Toha, B., dan Sudarno, I., 1992, Peta Geologi Lembar Surakarta-Giritontro, Jawa, Skala
1:100.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Surono, 2008, Sedimentasi Formasi Semilir di Desa Sendang, Wuryantoro, Wonogiri, Jawa
Tengah, Jurnal Sumber Daya Geologi, XVIII (1): 29-41.
Turner, F. J., and Verhoogen, J., 1960, Igneous and Metamorpbic Petrotrogy, Mc Graw Hill
Book Co., New York.
Van Bemmelen, R.W., 1970, The Geology of Indonesia, vol. 1A, General Geology of Indonesia
and Adjacent Archipelagoes, ed. 2nd, Martinus Nijhoff, The Hague, Netherlands.
Winkler H.G.F. 1974, Petrogenesis of Metamorphic Rocks. (3rd edition), Springer-Verlag, New
York.
Winter, J. D, 2001, An Introduction to Igneous and Metamorphic Petrology, Prentice Hill Inc, New
Jersey, p.417-634
35
BPS04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Abstrak
Geologi daerah Bayat, Klaten dikenal sangat kompleks dan lengkap. Susunan litostratigrafi mulai
tertua sampai termuda di Pulau Jawa dengan struktur geologi yang kompleks menjadikan daerah ini
belum tuntas dipelajari hingga kini. Penelitian yang diarahkan pada aspek geologi terapan termasuk
geologi ekonomi seperti mineralisasi bijih belum pernah dilakukan. Penelitian ini bertujuan: 1)
mengungkap adanya proses mineralisasi dan alterasi hidrotermal pada intrusi diorit, dan 2) mengetahui
karakteristik mineralogi, geokimia batuan dan kimia mineral bijih yang berasosiasi dengan intrusi
diorit di daerah penelitian. Dua metoda penelitian yang dilakukan yaitu penelitian lapangan untuk
mengamati aspek geologi terutama litologi serta fenomena mineralisasi dan alterasi pada singkapan-
singkapan, dan analisis sampel di laboratorium dengan menggunakan mikroskop transmisi dan refleksi
untuk mengetahui tekstur dan mineralogi batuan alterasi dan mineral logam/bijih, XRF (X-Ray
Fluorescence) untuk mendapatkan data geokimia batuan, serta EMPA (Electron Microprobe Analyser)
untuk mengetahui komposisi kimia mineral terpilih. Hasil penelitian menunjukan bahwa mineralisasi
bijih hadir pada intrusi diorit di Gunung Pendul dan sekitarnya dengan tingkat intensitas alterasi
hidrotermal yang bervariasi dari lemah (weak) sampai menengah (moderate). Hal ini didukung oleh
komposisi kimia batuan. Mineralisasi dicirikan dengan kehadiran pirit (FeS2) dan kalkopirit (CuFeS2)
yang diperkuat dengan data kimia mineral dengan menggunakan EMPA. Sfalerit (ZnS) mungkin juga
hadir. Alterasi hidrotermal dicirikan oleh mineral klorit, karbonat (kalsit), epidot dan serisit.
Keberadaan alterasi dan mineralisasi di daerah penelitian menarik untuk dipelajari lebih lanjut untuk
mengungkap peran intrusi dan fluida yang dilepaskannya terkait mineralisasi serta melihat
kemungkinan hadirnya mineral-mineral bijih bernilai ekonomis di daerah penelitian.
Kata kunci: mineralisasi, alterasi hidrotermal, Gunung Pendul, intensitas alterasi, mineral bijih.
Pendahuluan
Geologi daerah Bayat, Klaten dikenal sangat kompleks dan lengkap. Susunan litostratigrafi
yang lengkap mulai yang tertua sampai termuda di Pulau Jawa dengan struktur geologi yang
kompleks menjadikan daerah ini belum juga tuntas dipelajari hingga kini. Penelitian-penelitian
yang diarahkan pada aspek geologi terapan termasuk geologi ekonomi seperti mineralisasi
bijih belum pernah dilakukan dengan serius. Penelitian ini bertujuan: 1) mengungkap adanya
proses mineralisasi dan alterasi hidrotermal pada intrusi diorit di Gunung Pendul dan
sekitarnya, dan 2) mengetahui karakteristik mineralogi, geokimia batuan dan kimia mineral
bijih yang berasosiasi dengan intrusi diorit di Gunung Pendul dan sekitarnya.
36
BPS04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Geologi Regional
Batuan paling tua yang tersingkap di bayat adalah batuan metamorf (komplek batuan
metamofik) yang berumur Cretaceous-Early Paleocene. Formasi ini tersusun oleh skis,
marmer, metavolcanics, metasedimen dan slate. Secara tidak selaras di atas formasi ini
diendapkan batupasir, napal pasiran, batulempung, batugamping melensa pada formasi
Wungkal Gamping yang berumur Middle-Late Eocene.
Formasi Kebo tersusun oleh perselingan antara batupasir jenis greywacke, batupasir
konglomeratan, konglomerat polimik dan batulanau. Di samping itu terdapat pula batulanau
tuffan yang terkloritkan berwarna kehijauan. Di antara perselingan batupasir pada formasi ini,
dijumpai dua buah sill andesit piroksen.
Formasi Butak tersusun dari konglomerat, breksi, batupasir tuffan, batulanau, dan batupasir.
Kemudian menumpang secara selaras diatasnya Formasi Butak yang secara litologis, formasi
ini tersusun terutama dari perselingan antara batupasir tuffan, breksi dengan fragmen tuff dan
batuapung, serpih tuffan, dan sisipan tuff halus.
Formasi Oyo tersusun dari perulangan kalkarenit tuffan, batupasir tuffan, napal tuffan,
kalsirudit dengan fragmen koral dan algae serta sisipan tuff gelas. Formasi ini tercirikan
dengan kenampakan perlapisan yang baik dan terdapat gradasi butir.
Formasi Wonosari terendapkan secara selaras di atas formasi oyo, Formasi ini bercirikan
litologi yang berupa batugamping terumbu yang masif berseling dengan kalkarenit dan
kalsirudit yang tersusun oleh hancuran koral dan algae. Sifat tufaannya lebih rendah
dibandingkan Formasi Oyo.
Breksi Kedungkiruk tersusun atas litologi berupa breksi dengan matriks batupasir tuffan dan
fragmen andesit. Berdasarkan atas kemasnya, breksi ini ditafsirkan berasal dari lahar. Diduga
breksi ini sepadan dengan breksi Notopuro yang tersingkap di sebelah utara Kota Surakarta,
yang terbentuk pada kala Pleistosen Atas. Breksi ini menempati daerah dengan morfologi
bergelombang ringan hampir datar (Rahardjo, 2004).
Kelompok Batuan Beku di perbukitan jiwo mempunyai komposisi menengah berupa andesit,
diorit, mikrodiorit dan diabas yang tersingkap dalam keadaan agak segar sampai lapuk.
Singkapan segar hanya dijumpai pada dasar-dasar lembah yang curam.
Geologi Lokal
Pengaruh aktifitas tektonik di perbukitan jiwo terwujud dalam bentuk kekar dan sesar. Foliasi
pada batuan metamorf di perbukitan Jiwo Barat bagian selatan dan Jiwo Timur bagian barat
menunjukkan perlipatan pada foliasi tersebut yang umumnya menunjam ke arah selatan dan
barat daya dengan sudut penunjaman 18° hingga 26°. Kekar banyak dijumpai pada batuan
beku dan kekar ini umumnya bersifat terbuka. Sebagai akibatnya, air mudah masuk dan batuan
tersebut menjadi lapuk dan membentuk gejala pelapukan membola (speroidal weathering.) Di
samping itu kekar-kekar yang ada terisi oleh mineral sekunder yang umumnya adalah kalsit.
Batuan beku di perbukitan jiwo komposisinya berupa andesit, diorit, mikrodiorit dan
diabas yang termasuk dalam batuan beku intermediet, batuan beku yang masih segar di
37
BPS04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
perbukitan jiwo sangat sulit di temui sebagian besar yang tersingkap dalam keadaan lapuk.
Singkapan segar hanya dijumpai pada dasar-dasar lembah yang curam. batuan beku tersebut
telah mengalami ubahan mineral karena adanya proses eksolusi fluida yang terjadi di daerah
perbukitan jiwo. Di samping itu pada batuan beku tersebut banyak dijumpai terobosan yang
berupa retas dari batuan yang kemungkinan bersifat basa. Umumnya retas-retas ini sudah
lapuk lanjut sehingga komposisi aslinya sudah sukar dikenal (Bronto dkk., 2000).
Table 1. Hasil rata-rata analisa X-Ray Flourescence batuan pada perbukitan jiwo
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
sample code Java 01 Java 02 Java 02-2 Java 03 A-1 Java 03 B Java 04 A-1 Java 04 A-2 Java 04 B-1 Java 04 B-2 Java 05-1 Java 06-1 Java 06-1
Location Watu Gajah G Pendul G Pendul Joko Tua Joko Tua Krakitan Krakitan Krakitan Krakitan Krakitan G Kebo G Kebo
SiO2 (wt.%) 65.21 51.07 51.75 38.7 43.7 50.67 51.04 50.43 50.71 48.86 47.88 48.11
TiO2 0.76 2.08 2.04 2.49 1.86 1.95 1.97 1.47 1.48 1.4 1.09 1.09
Al203 16.24 14.06 14.43 18.18 15.46 13.36 13.49 14.48 14.63 14.26 16.01 16.02
FeO 5.17 11 10.67 8.58 11.56 10.93 10.77 9.04 8.97 8.97 7.84 7.82
MnO 0.08 0.15 0.15 0.09 0.1 0.19 0.19 0.16 0.16 0.17 0.14 0.14
MgO 3.45 6.33 6.01 5.38 4.29 7.21 7.03 8.6 8.4 7.83 9.07 8.94
CaO 0.88 7.69 7.5 10.78 9 8.07 7.98 9.99 9.89 8.98 8.53 8.94
Na2O 1.85 4.01 3.86 1.72 0.29 2.84 2.76 2.72 2.65 3.13 3.86 3.83
K2O 2.1 0.45 0.43 1.58 3.34 1.18 1.17 0.41 0.41 0.87 0.62 0.62
H2O 4 2.85 2.85 11.45 10.06 3.17 3.17 2.38 2.38 5.19 4.68 4.68
Total 99.74 99.69 99.69 98.95 99.66 99.57 99.57 99.68 99.68 99.66 99.72 100.19
s(ppm) 0.0013 0.0216 0.0285 0.0022 0.0029 0.1043 0.1045 0.0663 0.0676 0.096 0.0533 0.0553
v 123 384 380 237 146 338 351 244 265 276 200 201
Cr 55 35 37 223 48 27 32 176 179 93 222 186
Co 0 15 8 0 9 6 28 19 25 35 37 22
Ni 29 14 15 113 97 18 16 48 50 35 74 75
Cu 21 45 40 3 1 39 38 54 55 59 16 15
Zn 106 127 121 89 110 107 113 98 95 87 71 80
Pb 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
As 7 3 4 2 4 3 2 2 3 3 1 3
Mo 2 0 0 3 0 0 0 0 0 0 2 0
Rb 81 6 5 34 70 28 27 10 9 23 9 8
Sr 92 165 159 324 94 149 144 141 138 154 392 388
Ba 275 54 37 528 301 288 288 96 88 190 121 73
Y 25 38 36 29 17 44 43 31 31 29 23 23
Zr 138 122 118 229 157 132 134 97 96 82 67 69
Nb 7 5 3 63 42 5 4 4 4 4 3 4
1.Skis mika, 2. Intrusi diorit, 3-4. Diorite, 5-8. Andesit, 10. Fine-grained andesit, 11-12. Diorit
38
BPS04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 1. Lokasi Penelitian dan titik pengambilan sampel pada perbukitan Jiwo
39
BPS04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Mineralisasi merupakan hasil dari interaksi antara fluida magmatik yang membawa
unsur-unsur logam dengan batuan samping (wall rock) selama pergerakan fluida hidrotermal
kepermukaan bumi melalui rekahan-rekahan yang telah terbentuk oleh deformasi kerak bumi
(Henley, 1996).
Sejauh ini diketahui perubahan mineral yang ada pada perbukitan jiwo berupa perubahan atau
digantikannya komposisi mineral plagioklas dengan epidot, klorit, dan karbonat yang di
ketahui melalui pengamatan petrografi. Seperti yang ditunjukan pada gambar 3 berdasarkan
40
BPS04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
pengamatan sayatan tipis mineral pada batuan beku diorit berwarna abu -abu gelap pada nikol
bersilang dan abu – abu kecoklatan pada nikol sejajar. Ukuran mineral antara 0,1mm – 1mm.
Komposisi sayatan berupa mineral orthopiroksen (10%), mineral opak (5%), klinopiroksen
(20%), klorit (5%), albit (50%), dan kalsit (25%). Berdasarkan deskripsi petrografi terdapat
mineral kalsit dan klorit yang merupakan perubahan dari mineral plagioklas, mineral-mineral
tersebut merupakan mineral penciri adanya alterasi hidrotermal yaitu berupa alterasi propilitik.
(Nikol Bersilang)
(Nikol Sejajar)
Gambar 3. Pengamatan petrografi pada batuan beku diorit yang telah ubahan hidrotermal,
seperti ubahan plagioklas menjadi klorit.
Pada perbukitan jiwo juga diidentifikasi terdapat proses mineralisasi yang dicirikan oleh
kehadiran mineral-mineral pirit, kalkopirit dan sfalerit yang di temukan pada batuan beku
diorit. Hal tersebut diperoleh dari pengamatan sayatan poles dan diperkuat dengan metode
EPMA (Electron Probe Micro Analyzer). Gambar 4 yang menunjukkan adanya kehadiran
mineral sfalerit hadir terlebih dahulu karena berdasarkan kenampakannya mineral sfalerit
mempunyai bentuk yang euhedra, sedangkan mineral pirit diidentifikasikan hadir lebih akhir
dibandingkan sfalerit hal tersebut dapat dilihat dari kenampakannya yang anhedra.
41
BPS04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 4. Sayatan poles yang menunjukan kehadiran mineral pirit dan sfalerit.
Gambar 5 merupakan sayatan poles dari batuan beku diorit pada perbukitan jiwo, sampel
berwarna abu-abu kecoklatan tersusun oleh mineral sulfida berupa pirit (45%), sfalerit (10%),
mineral opak (45%). Berdasarkan deskripsi sayatan poles, keberadaan mineral sulfida dapat
dikatakan melimpah dengan begitu dapat diketahui terdapat proses mineralisasi pada batuan
beku diorit di perbukitan Jiwo.
42
BPS04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
2mm
Gambar 6. Sayatan petrografi batuan Andesit pada bagian selatan perbukitan jiwo
Analisis petrografi pada penelitian ini juga dilakukan pada bagian selatan perbukitan Jiwo. Hal
tersebut dilakukan guna membandingkan tingkat alterasi dan kemungkinan adanya
mineralisasi pada bagian selatan perbukitan Jiwo. Gambar 6 merupakan sayatan petrografi
pada batuan andesit yang diambil di bagian selatan perbukitan Jiwo. Berdasarkan deskripsi
sayatan tipis mineral pada batuan andesit berwarna abu-abu gelap pada pada nikol bersilang
dan berwarna abu-abu kecoklatan pada nikol sejajar. Ukuran mineral antara 0,1mm – 1mm.
Komposisi sayatan berupa mineral plagioklas (andesine) (50%), kuarsa (15%),
klinopiroksen(30%), Mineral opak (5%), berdasarkan deskripsi sayatan tipis tidak terkandung
mineral penciri alterasi dan tidak terdapat mineral-mineral yang mengalami perubahan seperti
yang terjadi pada perbukitan Jiwo bagian utara. Sehingga dengan begitu dapat diketahui
bahwa proses alterasi dan mineralisasi pada perbukitan Jiwo bagian selatan tidak berlangsung
seperti yang terjadi pada perbukitan Jiwo bagian utara.
43
BPS04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Ag 0. 006 0. 053 0. 005 0. 006 0. 017 - - - 0. 005 - 0. 027 0. 001 0. 049 0. 002 0. 010
S 52. 581 52. 654 53. 280 52. 887 52. 845 51. 950 52. 223 52. 527 52. 469 53. 171 34. 415 34. 181 34. 230 33. 689 37. 761
Ni 0. 014 - - - - 0. 006 - - 0. 001 - 0. 004 0. 002 - - -
Cu - 0. 009 - 0. 002 - - - - - 0. 001 34. 337 34. 056 34. 378 34. 234 33. 966
Bi 0. 104 0. 126 0. 078 0. 110 0. 143 0. 062 0. 078 0. 094 0. 120 0. 049 0. 029 0. 231 0. 048 0. 077 0. 077
Au - 0. 045 0. 038 - 0. 016 - 0. 029 - - - 0. 029 0. 033 - - 0. 005
Fe 46. 688 46. 198 46. 572 46. 662 46. 613 46. 463 46. 507 46. 445 46. 351 46. 752 29. 915 29. 901 30. 031 29. 891 29. 848
Zn 0. 004 - - 0. 013 - 0. 014 - 0. 010 0. 017 0. 021 0. 165 0. 465 0. 197 0. 187 0. 355
Mn - 0. 006 0. 012 0. 010 0. 003 0. 005 0. 016 - - 0. 008 0. 002 - 0. 008 - -
Co 0. 072 0. 064 0. 069 0. 068 0. 076 0. 068 0. 078 0. 087 0. 064 0. 068 0. 048 0. 039 0. 052 0. 056 0. 042
Total 99. 469 99. 155 100.054 99. 758 99. 713 98. 568 98. 931 99. 163 99. 027 100.070 98. 971 98. 891 98. 993 98. 136 98. 064
16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Total 34. 371 34. 028 34. 441 34. 359 34. 24 99. 393 99. 744 99. 534 99. 723 99. 996 99. 612 99. 889 99. 212 34. 402 34. 584
31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45
Total 50. 912 100.765 52. 376 34. 135 33. 984 33. 999 34. 171 34. 063 99. 513 34. 385 34. 439 34. 239 34. 293 34. 336 34. 298
Tabel 1. Hasil analisa Epma (Electron Probe Micro Analyses) dari batuan beku diorite di perbukitan jiwo yang
menunjukan jumlah pirit dan kalkopirit yang melimpah
BPS04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Dari hasil analisis EPMA pada batuan beku diorit diperbukitan Jiwo diketahui adanya proses
mineralisasi. Hal tersebut dapat diketahui dari kandungan pirit dan kalkopirit pada batuan
beku sangat melimpah dimana dapat dilihat dari nilai unsur kimia S dan Fe pada Tabel 1
mempunyai nilai yang tinggi dan kandungan kalkopirit pada batuan beku diorit juga bernilai
tinggi dapat dilihat dari nilai unsur kimia Cu, Fe dan S.
Berdasarkan dari analisis sayatan tipis, petrografi dan EPMA mineralisasi yang terjadi
pada perbukitan Jiwo menunjukkan ciri adanya alterasi hidrotermal yaitu alterasi propilitik,
alterasi propilitik merupakan alterasi yang terbentuk pada temperatur <200-260° C. Alterasi
propilitik dicirikan oleh adanya kehadiran mineral klorit, epidot dan karbonat yang merupakan
ubahan dari mineral plagioklas yang berkonsentrasi dengan larutan hidrotermal, alterasi
propilitik juga berasosiasi dengan mineral bijih yaitu pirit, kalkopirit dan sfalerit yang dimana
dari hasil analisis EPMA dan sayatan poles ditemukan adanya kehadiran pirit, kalkopirit dan
sphalerit.
Genesa
Terjadi proses eksolusi fluida hidrotermal pada perbukitan jiwo karena terdapat intrusi
dan intrusi tersebut mengandung unsur-unsur mineral bijih atau incompatible elements dan
pada saat intrusi tersebut akan mengkristal intrusi yang mengandung unsur-unsur mineral bijih
dan incompatible elements masih terlarut di fluida. Fuida itu mempunyai tekanan namun
tekanan tersebut tidak cukup kuat untuk membentuk hydrofracturing. Sehingga unsur-unsur
pembentuk mineral bijih atau incompatible elements tersebut terbawa oleh fluida yang
merupakan larutan sisa magma kemudian terendapkan pada pori-pori batuan sehingga
kenampakannya terlihat dispers.
Kesimpulan
1. Alterasi yang terjadi pada daerah penelitian berupa alterasi propilitik yaitu alterasi
yang terjadi pada suhu <200-2600 C dan ditandai dengan adanya mineral penciri
berupa klorit, epidot dan karbonat, alterasi propilitik juga berasosiasi dengan mineral
bijih berupa pirit, kalkopirit dan sphalerit.
2. Mineralisasi pada daerah penelitian berupa kalkopirit, pirit dan sphalerit yang
terbentuk karena adanya unsur logam (Cu, Fe, Zn) yang dibawa oleh fluida
hidrotermal berdasarkan sayatan poles dan diperkuat dengan data EPMA.
3. Proses eksolusi fluida hidrotermal yang menyebabkan adanya mineralisasi dan alterasi
hidrotermal pada perbukitan jiwo.
Ucapan terimakasih
Penelitian ini dapat dilaksanakan berdasarkan hibah penelitian Jurusan Teknik Geologi Nomor
332/H1.17-TGL/PG/2013. Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Jurusan Teknik Geologi
atas hibah penelitian yang diberikan dan kepada beberapa pihak yang telah membantu
pelaksanaan penelitian, seperti RWTH-Aachen dan Kyushu University masing-masing untuk
analisis EPMA dan XRF.
BPS04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Referensi
Beach, A., 1979, Pressure solution as a metamorphic process in deformed terrigenous
sedimentary rocks, Lithos12, p. 51–58.
Best, G., 2003, Igneous Rocks and Metamorphic Petrology 2nd ed, Blackwell Science Ltd,
Australia, p. 424-465.
Blatt, H., and Robert J., 1996, Petrology 2nd ed, W. H. Freeman, p. 355.
Bronto, S., Hartono, G., dan Astuti, B., 2004, Hubungan genesa antara batuan beku intrusi dan
ekstrusi di Perbukitan Jiwo, Kecamatan Bayat, Klaten, Jawa Tengah, Majalah Geologi
Indonesia, h. 147-163.
Coombs, D. S., and Whetten, J., 1967, Composition of Analcime from Sedimentary and Burial
Metamorphic Rocks, Department of Oceanography, University of Washington.
Einaudi, M. T., and Burt, D. M., 1982, Classification, and Composition of Skarn Deposit,
Bulletin of The Society of Economics Geologists, 77: 745 – 754.
Einaudi, M. T., Meinert, L. D., and Newberry R. J., 1981, Skarn Deposits, Economic Geology,
75th Anniversary, p. 317 -391.
Evans, A. M., 1993, Ore Geology and Industrial Mineral (3rd), Blackwell Scientific
Publication, London, 350 p.
Lawless, J. V., White, P. J., and Bogie, I. 1996, Epigenetic Magmatic Related Mineral Deposit
: Exploration based on Mineralisation Model, Notes to Accompany Lecture Course,
Jakarta.
Meinert, L. D., 1992, Skarns and Skarns Deposits, Geoscience Canada, 19: 145 – 162.
Rahardjo, W., 1994, Geologic map of Jiwo Hills, Bayat Region, Geological Engineering,
Univ. of Gadjah Mada, Yogyakarta (unpubl.).
Ray, G. E., and Webster, I. C. L., 1991a, An Overview of Skarn Deposits, in Ore Deposits,
Tectonics and Metallogeny in the Canadian Cordillera; British Columbia Ministry of
Energy, Mines and Petroleum Resources, Paper 1991-4, p. 213-252.
Robb, L., 2005, Introducing to Ore-Forming Processes; Blackwell Science Ltd, UK.
Samodra, H., dan Sutisna, K., 1997, Peta Geologi Lembar Klaten (Bayat), Jawa, skala
1:50.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Soeria-Atmadja, R., Maury, R.C., Bellon, H., Pringgopawiro, H., Polve, M., and Priadi, B.,
1994, Tertiary magmatic belts in Java. Journal of SE Asian Earth Sciences, 9: 13-27.
Sudarno, I., 1997, Kendali tektonik terhadap pembentukan struktur pada batuan Paleogen dan
Neogen di Pegunungan Selatan, Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya, Thesis
Magister Teknik, Institut Teknologi Bandung, Bandung, 167 h. (tidak diterbitkan).
Surono., Toha, B., dan Sudarno, I., 1992, Peta Geologi Lembar Surakarta-Giritontro, Jawa,
Skala 1:100.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Turner, F. J., and Verhoogen, J., 1960, Igneous and Metamorpbic Petrotrogy, Mc Graw Hill
Book Co., New York.
Van Bemmelen, R.W., 1970, The Geology of Indonesia, vol. 1A, General Geology of
Indonesia and Adjacent Archipelagoes, ed. 2nd, Martinus Nijhoff, The Hague,
Netherlands.
BPS05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
ABSTRAK
Daerah Bayat, Klaten, Jawa Tengah memiliki fenomena geologi yang sangat menarik
dengan tersingkapnya batuan berumur Kapur Akhir hingga batuan berumur Miosen. Kajian ini
dilakukan untuk mengetahui lingkungan pengendapan batuan karbonat daerah Gunung Tugu dan
perkembangan fasiesnya secara detail serta hubungannya dengan batuan metamorf disekitarnya.
Kajian dilakukan dengan pemetaan geologi, pengukuran stratigrafi detail, analisis petrografi dan
kandungan karbonat pada batuan. Hasil kajian menunjukkan hubungan stratigrafi antara batuan
karbonat dan batuan metamorf di daerah ini adalah ketidakselarasan (non conformity), sedangkan
secara lateral di daerah Gunung Tugu Bagian Barat laut dan Selatan dibatasi oleh zona sesar.
Batuan karbonat di daerah ini memiliki ketebalan 174 meter, terdiri dari 15 fasies, antara lain: a)
red-bed dengan kandungan karbonat rendah, berukuran pasir halus, laminasi paralel dan
mengandung oksida besi, b) batulanau karbonatan, kandungan karbonat rendah, mengandung
material volkanik, dengan laminasi silang siur, c) brown clay berukuran sangat halus, mengandung
oksida besi dalam bentuk konkresi, d) napal gampingan dengan laminasi paralel dan kandungan
karbonat tinggi, berukuran lanau-pasir halus, e) batugamping calcisiltite-calcarenite dengan ukuran
butir lanau-pasir halus, kompang dan keras, f) batugamping kalkarenit, g) tuff (batupasir volkanik
halus non karbonat), h) batulempung volkanik non karbonatan, i) batugamping kristalin, j)
batugamping terumbu (boundstone), k) batupasir karbonatan, dengan ukuran pasir halus-sedang, l)
bioklastik rudstone-floatstone dengan fragmen tersusun atas foraminifera besar dan koral dan
beberapa bagian berupa algal-foraminiferal-floatstone dan ongkolith, m) paleosoil, n) batugamping
pasiran dengan klastika lempung, o) batugamping pasiran dengan gradasi terbalik dan bagian atas
terdiri dari batugamping kristalin. Fasies-fasies tersebut terendapkan secara berulang yang
membentuk 6 (enam) asosiasi fasies, dan seluruh batugamping di daerah ini terdiri dari 9
(sembilan) tumpukan fasies berdasarkan karakter lingkungan pengendapannya. Lingkungan
pengendapan batuan karbonat daerah Gunung Tugu adalah daerah shelf yaitu inter-reef
lagoon/back reef, growing reef rock – reef flat.
PENDAHULUAN
Bayat merupakan lokasi yang yang memiliki tatanan geologi yang kompleks dengan
tersingkapnya batuan yang berumur Pra-Tersier hingga Tersier, yang terdiri dari batuan
malihan, batuan beku dan batuan sedimen. Daerah ini umumnya di kenal dengan sebutan
perbukitan Djiwo. Studi batuan sedimen yang ditekankan pada stratigrafi dan sedimentasi
merupakan salah satu studi yang penting dalam geologi. Setelah dilakukan studi tersebut
akan dapat diketahui proses-proses apa saja yang terjadi pada masa lalu terutama pada saat
47
BPS05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
batuan sedimen tersebut terbentuk, baik berupa proses yang sudah berhenti seperti proses
pengendapan sedimen tersebut maupun proses yang sampai saat ini masih terus
berlangsung misalnya proses pelapukan, erosi, dan diagenesis.
Salah satu gejala geologi yang menarik untuk dikaji dari segi litostratigrafi di daerah
Gunung Tugu dan sekitarnya adalah keterdapatan batuan sedimen karbonat yang berumur
Miosen, yang terletak di atas batuan metamorf dan di bawah batuan sedimen volkanik yang
belum pernah diteliti secara detail. Dengan demikian sangat diperlukan penelitian yang
bersifat khusus yang membahas tentang hubungan batuan karbonat tersebut dengan batuan
di sekitarnya, perkembangan fasies pengendapan serta korelasinya dengan batuan karbonat
di daerah lain.
Beberapa hal yang mendasari pentingnya dilakukan penelitian tentang stratigrafi detail
yang membahas perkembangan fasies di daerah ini adalah adanya keragaman fasies
penyusun batuan karbonat Daerah Gunung Tugu, pelamparan lateral dan ketebalan setiap
litologi penyusun batuan karbonat daerah Gunung Tugu belum diketahui secara detail,
serta perkembangan fasies batuan karbonat yang menunjukkan perubahan yang terjadi
pada lingkungan pengendapannya serta faktor lain yang mempengaruhi pembentukan
batuan karbonat tersebut belum diketahui secara pasti. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui keragaman fasies penyusun batuan karbonat daerah Gunung Tugu dengan
menggunakan pendekatan standard fasies[1], penyebaran dan perkembangan fasies batuan
karbonat secara vertikal, proses geologi yang terjadi selama proses pengendapan batuan
karbonat dan kisaran lingkungan pengendapan batuan karbonat yang berumur Miosen di
Daerah Gunung Tugu dengan menggunakan model model batuan karbonat[2].
Daerah penelitian terletak di Gunung Tugu yang mencakup sebagian Desa Wiro dan Desa
Krakitan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah. Secara geografis
daerah penelitian tenletak pada posisi lintang 07° 38’00” LS - 70 39’30” LS dan posisi
bujur 110º44’30” BT dan 110°45’30” BT. Daerah ini di pilih karena pada posisi im dapat
mencakup lokasi daerah dengan litologi yang sangat kompleks dan penyebaran batuan
karbonat yang merupakan obyek penelitian memiliki penyebanin yang cukup mewakili.
Pada posisi im juga terdapat kontak antara batuan metamorf dan batuan karbonat, kontak
antara batuan metamorf dengan batuan beku, kontak antara batuan beku dengan batuan
karbonat, kontak antara batuan karbonat dengan endapan aluvial dan kontak antara batuan
karbonat dengan endapan lahar. Letak daerah penelitian adalah seperti gambar 1.
Gambar 1. Lokasi Penelitian, Daerah Gunung Tugu, Bayat, Klaten, Jawa Tengah
48
BPS05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Metode Penelitian
DASAR TEORI
Batuan karbonat adalah semua batuan yang tersusun atas garam karbonat, dalam
prakteknya sering dijurnpai di permukaan bumi terutama gamping dan dolomit[3].
Pengertian lain menyebutkan batuan karbonat adalah batuan yang dihasilkan dan
sedimentasi yang berupa proses-proses kimia dan biokimia yang terjadi dalam lingkungan
laut, terutama laut yang tenang (jernih), hangat dan dangkal[1].
Dan definisi tersebut, batuan kanbonat dapat terbentuk dan proses sedimentasi sebagai
benkut:
a. Sedimentasi Mekanis
Sedimentasi mekanis adalah sedimentasi yang melalui beberapa proses yaitu pelapukan,
transportasi dan deposisi (pengendapan kembali). Proses transportasi dan deposisi batuan
karbonat reiatif dekat karena rentan terhadap proses pelarulan, sehingga bila tenlalu jauh
maka material karbonat dan batuan ini akan terurai dan tidak dapat membentuk batuan
karbonat kembali. Contoh batuan karbonat hasil sedimentasi ini adalah batugamping
kaikarenit (batugamping berukuran pasir), juga yang berukuran halus seperti napal,
batulempung karbonatan, dll.
b. Sedimentasi Kimiawi
Sedimentasi kimiawi adalah sedimentasi yang terjadi karena reaksi kimia tanpa
mengalami proses mekanis. Contoh proses ini adalah proses rekristalisasi yang
menghasilkan batugamping kristalin. Bila batuan yang dihasilkan dari proses kimia
mengalaini proses sedimentasi mekanis maka akan dihasilkan komponen batuan seperti
oolit, pisolit dan lain-lain. Bila proses ini berjalan lebih laujut, maka akan menghasilkan
batuan yang berbutir halus, hiagga menyerupai hasil evaporasi.
c. Sedimentasi Organis
akan terbentuk batuan bioklastik. Batuan lain yang dapat dihasilkan oleh proses ini adalah
batuan yang banyak mengandung material organik seperti: tanah diatomai dan radiolaria.
lstilah yang umum digunakan pada batuan karbonat adalah batugamping dan dolomit.
Umumnya istilah batugamping digunakan untuk batuan yang mernpunyai material
karbonat terutama kalsit[4]. Sedangkan istilah dolomit biasanya digunakan untuk menyebut
batuan karbonat dengan komposisi utama dolomit. Dalam perkembangannya batuan
karbonat dapat terbentuk dari berbagai macam proses (polygenetic), yakni bisa berasal dari
rombakan yang terbentuk secara mekanis dengan deposisi pada jarak yang dekat. Batuan
ini dapat juga terbentuk secara kimia atau biokimia yang diendapkan di sekitar batuan
induk (insitu) [4].
Sedimen karbonat terbentuk di dalam laut melalui proses presipitasi kimia dan sekresi
organik dan bukan berasal dari hasil erosi batuan dasar di daratan seperti halnya pada
sedimen silikiastik, melainkan terbentuk pada cekungan dimana dia diendapkan atau
dikenal dengan istilah intra basinal [5].
Sedimen karbonat terbentuk pada self platform; yaitu pada lingkungan batas antara laut
dan darat (pantai), lagoon dan tidal flats [6]. Platform yang dimaksud disini adalah platform
karbonat yaitu suatu bentukan/bangunan yang besar, terbentuk akibat akumulasi sedimen
pada daerah subsidence. Sebagian besar platform ini pada bagian atasnya mempunyai
struktur yang datar dan bagian tepinya berstruktur terjal. Ketebalan platform dapat
mencapai beberapa kilometer dengan luas hamparan bisa mencapai ratusan kilometer
persegi [7]. Platform batuan karbonat dapat terdiri dari tiga
bagian yaitu carbonate ramps, carbonate shelves dan isolated platform (bank). Organisme
pemnyusun batuan karbonat tumbuh dalam bentuk reef dan bank, dengan lingkungan
pengendapan secara umum dapat di bagi menjadi empat unit geomorfologi yaitu back reef
shelf/lagoon, reef flat, reef front dan fore reef seperti pada gambar 2[2].
Gambar 2. Reef yang menunjukkan sebaran tipe sedimen dan hubungannya dengan ekologi
serta lingkungan pengendapan[2]
50
BPS05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Model fasies batuan karbonat banyak dipublikasikan, seara umum fasies karbonat di bagi
menjadi 9 fasies berdasarkan posisi tektoniknya (zecionic selling) yaitu fasies cekungan
(basin facies), fasies paparan terbuka (open shelf facies), fasies kaki lereng terumbu (toe of
slope facies), fasies foreslope, fasies organic reef, fasies pasir tepi ambang (sand on edge
of platform facies), fasies ambang terbuka (open platform facies), fasies platform evaporite
dan fasies ambang tertutup (restricted platform facies), seperti pada gambar 3.
Daerah Bayat adalah daerah yang sangat kompleks. Pada daerah ini terdapat perbukitan
Djiwo yang merupakan satu daerah yang unik di Jawa, yang serupa dengan daerah
Lokuloh Jawa Tengah dan Ciletuh Jawa Barat, dimana batuan metamorf tersingkap sebagai
batuan dasar. Lebih dari itu perbukitan ini juga merupakan tipe lokal dari batuan yang
tersusun oleh foraminifera besar yang berumur Eosen. Pada pegunungan Djiwo juga teijadi
intrusi diorit - basalt yang berupa stock yang merupakan bagian basalt volcano. Produk
erupsinya adalah yang terdapat pada bagian bawah batuan Neogen yakni Kebo dan Butak
beds. Pada daerah bagian barat pegunungan Djiwo ini dijurnpai batuan sedimen, yaitu
batuan karbonat yang diperkirakan berumur Miosen Tengah (N12 hingga N13). Analisis
morfologi dan struktur geologi Pegunungan Selatan menunjukkan bahwa pada Pleistosen
tengah geantiklin Jawa mengalami pengangkatan yang mengakibatkan puncak geantiklin
patah dan runtuh kebawah, sedang sayap selatan tetap tinggal pada posisi semula.
Runtuhnya sayap utara ini dapat dilihat pada pegunungan Baturagung yang merupakan
sesar bertingkat miring ke arah utara. Pada kala Pleistosen Atas geantiklin Jawa masih
mengalami pensesaran dan terjadi sesar-sesar normal sehingga terbentuk blok-blok
patahan[8]. Pola struktur di Jawa dan Sumatra dipengaruhi adanya tumbukan lempeng
benua Indo-Australia yang bergerak relatif ke utara dengan lempeng Eurasia yang bergerak
relatif ke selalan. Pola sesar pulau Jawa dihasilkan dan tumbukan lempeng yang arahnya
tegak lurus terhadap arah memanjangnya pulau Jawa, sehingga arah gaya berasal dan
utara-selatan.
51
BPS05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Pada daerah penelitian kondisi geologi yang akan dijumpai tidak sama dengan daerah
pegunungan Djiwo secara regional. Kondisi geologi daerah Gunung Tugu sangat kompleks
baik dari segi struktur maupun stratigrafinya.
Struktur geologi yang ada di daerah ini sangat kompleks. Beberapa sesar yang memiliki
arah dengan orientasi hampir seragam dijumpai di beberapa tempat di Gunung Tugu. Arah
dominan dari struktur di daerah ini adalah barat-timur dan tenggara-barat laut. Struktur-
struktur tersebut antara lain: sesar normal Batilan yang memotong dua bukit yang ada di
daerah batilan, membentuk tebing yang curam dan offset litologi dengan arah N 285°E/72°.
Sesar normal Jentrek yang terletak pada daerah bagian barat dekat Dusun Jentrek
membentuk gawir yang sangat tinggi dan cukup panjang dan membentuk tebing tenggara
Gunung Tugu, memotong lapisan batuan dari yang paling tua hingga batugamping paling
atas di daerah tersebut, struktur ini terpotong oleh struktur sesar geser Ngruweng. Sesar
normal Kayen merupakan batas antara batugamping dan batuan metamorf yang ada di
52
BPS05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
bagian selatan memotong satuan batuan intrusi diorit yang ada di bagian timur berarah
N295°E/42° dengan panjang sesar hampir mencapai 1 km, jalur sesar ini diketahui dari
keberadaan offset yang cukup jauh dan breksiasi yang ada pada zona sesar, sesar ini
dipotong oleh sesar geser Ngruweng. Sesar geser Ngruweng, cukup besar hingga mencapai
500 m, dengan posisi N 320°E /85° dengan arah gerak dekstral yang dapat dilihat dari
offset litologi. Hasil pemetaan geologi yang dilakukan adalah seperti gambar 5.
Pada daerah penelitian tersingkap batuan yang sangat kompleks, dari batuan metamorf
sampai batuan sedimen yang belum mengalami litifikasi (sedimen lepas). Urutan stratigrafi
daerah ini secara umum adalah sebagai benkut (gambar 6):
a. Satuan batuan metamorf (sekis-filit)
Batuan ini tersingkap di Daerah Gunung Tugu bagian selatan yang berbatasan
dengan daerah Gunung Sari. Batuan ini tersusun oleh skis mika dan filit Penyebaran batuan
im cukup luas pada bagian selatan batuan ini berbatasan langsung dengan satuan
batugamping ongkolit sisipan batunapal gampingan, batunapal sisipan batugamping,
perselingan batunapal-batugamping dan satuan batugamping (rudstone-frame stone). Batas
kontak antara batuan metamorf dengan batuan diatasnya pada bagian barat tampak dibalasi
oleh sesar normal, sedangkan pada bagian timur berupa ketidakselarasan (nonconformity).
Pada bagian barat batuan metamorf diterobos oleh intrusi diorit yang memiliki penyebaran
yang cukup luas. Pada batas Barat dan Timur batuan metamorf ini tertimbun oleh endapan
lempung kerikilan-kerakalan.
53
BPS05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
diketahui bahwa di daerah Bayat terjadi tiga kali magmatisme yaitu magmatisme Eosen
Tengah-Oligosen Awal menghasilkan batuan andesit, diabas dan gabro, pada Oligosen
Akhir - Miosen Awal gabro-basalt menghasilkan intrusi diorit, dan pada Miosen Awal –
Miosen Tengah menghasilkan intrusi diorit[11].
54
BPS05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Stratigrafi detil daerah ini diilustrasikan dengan cara detailed stratigraphic log[12] dengan
disesuaikan pada daerah penelitian. Pengukuran dilakukan pada 3 (tiga) jalur pengukuran
yang disesuaikan dengan struktur geologi yang ada serta penyebaran fasies batuan hasil
pemetaan geologi yang dilakukan sebelumnya. Dari composit log yang dihasilkan akan
dibahas secara detail masing-masing fasies penyusun stratigrafi tersebut.
55
BPS05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Pembagian Fasies
56
BPS05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Dari fasies-fasies hasil pengamatan lapangan dan laboratorium diatas, maka akan
dilakukan pengelompokan fasies menjadi beberapa asosiasi fasies. Pengelompokkan
tersebut dilakukan berdasarkan sifat fisik, kandungan karbonat dan sifat yang khas
terutama dari perulangan setiap fasies pada composite log.
Asosiasi fasies (facies association) pada penelitian ini adalah suatu kelompok fasies yang
saling berhubungan secara genetik dan dapat diketahui memiliki persamaan lingkungan
pengendapan yang saling berhubugan satu dengan yang lain[7]. Suatu asosiasi fasies dapat
terdiri dari suatu komponen faies lengkap, atau hanya terdiri dari perulangan beberapa
fasies penyusun suatu asosiasi fasies. Perbedaan lingkungan pengendapan itu akan dilihat
juga dan suksesi fasiesnya. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan suksesi fasies
adalah karakteristik fasies - secara vertikal dilihat dari perubaban progresinya atau
beberapa karaktenslik antara lain variasi ukuran butir dan struktur sedimennya.
Berikut ini adalah uraian pengelompokkan asosiasi fasies dari ciri khas masing--
masing fasies yang dijumpai di daerah ini.
Asosiasi Fasies 1 (AF. 1): asosiasi fasies ini tersusun secara lengkap oleh fasies d.
fasies e dan fasies f, tetapi pada log komposit diketahui bahwa setiap perulangan
asosiasi fasies ini tidak selalu lengkap sesuai dengan susunan fasies itu secara lengkap.
Asosiasi Fasies 2 (AF. 2): red-bed, batulempung karbonatan, batulempung, tersusun
oleh fasies a, b, dan c. Asosiasi fasies ini memiliki ciri khas yang sangat berbeda
dengan asosiasi fasies lainnya, yaitu kandungan karbonat dari fasies penyusunnya
sangat rendah, bahkan pada fasies a dan c tidak mengandung karbonat. Selain itu
asosiasi fasies inimemiliki kandungan oksida besi yang sangat tinggi baik yang
berbentuk nodul maupun yang berupa lapisan teroksidasi.
Asosiasi Fasies 3 (AF 3): tersusun oleh fasies d, k, e. Secara lengkap fasies ini tersusun
oleh fasies d yang berupa batulanau karbonatan, yang memiliki struktur laminasi
paralel yang tidak menerus, fasies k yang merupakan batupasir gampingan dan fasies e
yang merupakan batunapal pasiran. Kenampakan di lapangan rnenunjukkan bahwa
fasies ini mengandung karbonat yang tinggi dengan ukuran butir lanau hingga pasir
sedang.
Asosiasi fasies 4 (AF.4): tersusun oleh fasies d dan f. Asosiasi fasies ini juga
merupakan anggota assosiasi fasies 1, tetapi pada asosiasi fasies ini, fasies yang
berasosiasi adalah fasies f dan fasies d, tanpa fasies e. Dengan dernikian pada komposit
log yang kebanyakan disusun oleh assosiasi fasies ini terbentuk sebuah perselangan,
antara fasies d dan fasies f. Fasies d yang lebih banyak material berukuran halus dan
fasies f dengan komponen penyusun berbutir pasir sedang hingga kasar dan lebih
57
BPS05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Selain enam fasies di atas, terdapat pula fasies penyusun stratigrafi yang tidak memiliki
asosiasi. Litologi ini terbentuk akibat proses geologi yang terjadi sewaktu-waktu dan
banyak dipengaruhi oleh faktor luar lingkungan pengendapan, sehingga tidak terjadi
perulangan yang tetap. Dari asosiasi fasies tersebut akan dilakukan pengelompokkan
tumpukan fasies untuk melakukan interpretasi lingkungan pengendapannya.
Proses pengendapan batuan karbonat di daerah Gunung Tugu dipengaruhi oleh beberapa
hal antara lain accomodation space (euctacy dan subsidence rate), serta suplai sedimen,
baik silisiklastik/rombakan, volkanik ataupun pertumbuhan organisme. Interpretasi
dilakukan dengan mengilustrasikan proses pengendapan batuan karbonat menggunakan
pendekatan tumpukan fasies serta lingkungan pengendapannya dengan menggunakan
modivikasi model lingkungan pengendapan [2].
Secara detail stratigrafi daerah Gunung Tugu dibagi menjadi 9 (sembilan) tumpukan fasies
yang diurutkan dan tumpukan fasies yang paling tua sampai yang paling muda Berikut
adalah uraian masing - masing tumpukan fasies tersebut serta interpretasi lingkungan
pengendapannya.
Tumpukan Fasies I: merupakan penyusun stratigrafi yang paling bawah dari batuan
karbonat penyusun daerah Gunung Tugu (Gambar 7). Tumpukan fasies ini tersusun
oleh asosiasi fasies 1 (AF 1), dan banyak terdapat sisipan fasies l yang merupakan
fasies basil endapan badai. Fasies l yang merupakan batugamping dengan fragmen
besar memiliki lapisan batuan yang tebal, memberikan ciri tersendiri terhadap
perubahan lingkungan pengendapan yang terjadi. Pada bagian bawah tumpukan fasies
ini dibatasi oleh zona ketidakselarasan yang merupakan kontak antara batuan karbonat
dan batuan metamorf yang ada di bawahnya. Pada zona tersebut terdapat kalice yang
sangat melimpah, rombakan batugamping dengan fragmen yang besar-besar yang
membentuk suatu zona yang tebal (berkisar antara 10-15 m). Dengan onkoid dan red
algae. Pada bagian tertentu fasies ini berupa floatstone dan rudstone. Lingkungan
pengendapan batuan ini adalah back-reef crest sampai reef -flat [2] atau winnowed edge
sand [1]. Kemudian pada bagian atasnya diendapkan batuan yang merupakan asosiasi
Fasies I, yang berulang. Asosiasi fasies ini diendapkan pada inner shelf yang
berhubungan dengan lagoonal inter-reef yang berhubungan dengan laut terbuka.
Perubahan yang sangat signifikant terjadi pada bagian atas tumpukan fasies ini, yaitu
58
BPS05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
tersusun oleh lapisan paleosoil. Lapisan ini tidak mengandung karbonat. Dengan
demikian penulis menginterpretasikan lapisan ini sebagai lapisan penciri zona
ketidakselarasan. Dan diendapkan pada lingkungan darat.
Tumpukan Fasies II: pada bagian bawahnya dibatasi oleh ketidakselarasan dengan
tumpukan fasies 1. Tumpukan fasies II memiliki penyusun utama yang sama dengan
tumpukan fasies I, yaitu assosiasi fasies 1. Tetapi pada tumpukan fasies II ini
penyusunya Iebih lengkap dan lebih di dominasi oleh fasies e. Ketebalan tumpukan
fasies II mencapai ketebalan 21 m, dengan penyusun dan perubaban lingkungan pada
bagian bawah tepat di atas lapisan paleosoil diendapkan kembali fasies d dan
kemudian di endapkan fasies f, e, dan d, serta semakin keatas sesuai dengan
perulangannya. Meskipun fasies penyusun tumpukan ini tidak selalu sesuai dengan
urutan fasies penyusun assosiasi fasies 1, tapi penyusunya tetap sama. Pada bagian
tengah terdapat lapisan tuff dengan kandungan karbonat sangat rendah dan memiliki
struktur gradasi terbalik. Lapisan ini memiliki ketebalan 70 cm. Dengan adanya
lapisan ini diketahui adanya aktivitas gunung api yang sangat intensif. Pengendapan
ini terjadi pada lingkungan yang berhubungan dengan laut terbuka, karena masih
mengandung foraminifera plangtonik.
Tumpukan Fasies III: tersusun oleh assosiasi flisies 1 (garnbar 7), yaitu fasies d, e dan
f, dengan ketebalan mencapai 39 m. Pada bagian paling bawah dan tumpukan fasies
ini berbatasan dengan lapisan paleosoil yang merupakan batas ketidakselarasan
dengan tumpukan fasies yang ada di bawahnya. Semakin ke atas ketebalan fasies d
yang memiliki ukuran butir paling halus dan struktur laminasi paralel semakin tebal.
Dari kondisi tersebut di interpretasikan lingkungan pengendapannya berupa lagoon
yang mengalami penambahan accommodation space sehingga terjadi penumpukan
endapan yang sangat tebal. Penambahan accommodation space ini dapat terjadi karena
sea level rise atau terjadi penurunan cekungan. Dari bagian paling bawah tampak
fasies penyusun tumpukan fasies ini memiliki struktur sedimen yang hampir sama
hanya pada fasies f yang tipis terdapat sedikit lapisan silang siur akibat terjadinya
penambahan energi pengendapan.
Tumpukan Fasies IV: dari tumpukan Fasies III yang tersusun oleh asosiasi fasies 1,
terjadi perubahan yang cukup besar pada lapisan yang ada diatasnya yaitu lapisan yang
berwama merah dan memiliki tingkat oksidasi yang tinggi. Lapisan inimemiliki
ukuran butir pasir halus-sedang. Pada gambar 7, tampak bahwa terjadi pengendapan
batuan yang memiliki ukuran butir yang sangat halus. Hal im dapat terjadi apabila
pada saat terjadi pengendapan batuan tersebut dipengaruhi oleh aktivitas organisme
dengan energi pengendapan lemah, suplai sedimen sangat rendah. Dengan demikian
batuan terbentuk pada lingkungan lagoon yang berhubungan dengan laut terbuka di
bagian bawah. Akibat terjadinya kondisi yang stagnan dan tidak banyak mendapat
suplai sedimen dan asal karbonat, maka pada lingkungan inibersifat oksidasi yang
niembentuk lapisan batupasir halus berwarna merah.
Tumpukan fasies V: tersusun atas asosiasi fasies 3 yaitu dengan penyusun utama fasies
d, k, dan e dengan ketebalan 18 m. Dari asosiasi fasiesnya, maka tumpukan fasies
tersebut masih mendapat pengaruh material karbonat dari reef dan suplai sedimen
silisiklastik. Sehingga tumpukan fasies ini diinterpretasikan terbentuk pada slope
lagoon/back reef.
59
BPS05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Tumpukan fasies VI: tersusun oleh asosiasi fasies 4 yang terdiri dari perselingan fasies
d dan fasies f, dengan ketebalan 18 m. Pada tumpukan ini dijumpai fasies e dan fasies i
yang sudah mengalami diagenesis. Dari rekaman tupukan fasies ini diketahui
terjadinya penurunan muka air laut yang signifikan dan lingkungan pengendapannya
diinterpretasikan terbentuk pada laut terbuka yang masih berhubungan dengan reef.
60
BPS05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
KESIMPULAN
Susunan stratigrafi daerah Gunung Tugu secara berurutan dari yang paling tua sampai
yang paling muda adalah batuan metamorf, satuan intrusi diorit, satuan batugamping
ongkolith, satuan batunapal sisipan batugamping, satuan perselingan batunapal-
batuganiping, satuan batugamping rudstone-framestone, di atasnya diendapkan secara
tidak selaras endapan lahar, dan satuan yang paling muda dengan hubungan stratigrafi
tidak selaras adalah satuan lempung krikilan-krakalan.
Berdasarkan pembagian fasies dan melihat ciri khas perulangan pengendapan masing-
masing fasies dapat dikelompokkan ke dalam 6 assosiasi fasies yaitu : assosiasi fasies 1
(tersusun secara lengkap oleh fasies d, fasies e, dan fasies f), assosiasi fasies 2 (red-bed,
batulempung karbonatan, batulempung tersusun oleh fasies a, b, dan c), assosiasi fasies 3
(tersusun oleh fasies d, k, e), assosiasi fasies 4 (tersusun oleh fasies d dan f), assosiasi
fasies 5 (tersusun oleh fasies i dan fasies o), dan assosiasi fasies 6 (tersusun oleh fasies f
dan fasies n). Sedangkan beberapa fàsies hanya berupa sisipan. Faktor yang paling
berpengaruh pada pengendapan batuan karbonat daerah Gunung Tugu adalah sea level
canges, pasokan sedimen asal reef dan pasokan sedimen silisiklastik, sedangkan faktor
tektonik juga mempengruhi pembentukan sedimen karbonat bagian bawah dengan
lingkungan pengendapan di sekitar daerah shelf yaitu pada inter-reef lagoon/ back reef -
growing reef rock - reef flat.
Daftar Pustaka
[1] J.L. Wilson, “Carbonate Facies in Geologic History”, Swinger Verlag, Berlin
Hedelberg, New York, 470 p. 1974.
[2] R.C. SeIley,. 1985, “Ancient Sedimentary Environment”, 3rded, Cornell University
Press, New York, 317 p.
[3] H.R.P. Koesoemadinata, ”Reef Carbonate Exploration”, Jurusan Geologi, Institut
Teknologi Bandung, Bandung, 1987.
[4] F.J. Pettijohn, “Sedimentary Rock”, 2nded, Oxford Publication Co., Calcuta, India.
1969
[5] T.P. Scoffin, ”An Jntroduction to Carbonate Sediment and Rocks” ; Blackie & Sons
Ltd, Glasgow, 266p, 1987.
[6] S. Jr. Boggs, “Principles of Sedimentology and Stratigraphy”, Merril Publishing
Company, 1987.
61
BPS05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
[7] R.G. Walker, and N.P. James, “Facies Models: response to sea level change”.
Geologic Assiciation of Canada, Canada, 408 p. 1992.
[8] R.W. Van Bemmelen, “The Geology of Indonesia”, Vol Ia, Martinus Nijhott, The
Haque Netherlami, 1949.
[9] A. Ch.D. Bothe, ” The Geology of Djiwo Hills near Djiwo and The Southern Range”,
Fourth Pacific Science Conggress, Bandung. 1929.
[10] Jurusan Tekuik Geologi UGM, “Reef Facies Model of The Wonosari Limestone in
Accordance with The Diagenetic Processes and Secondary Porosity, Wonosari Area,
Yogyakarta”, Litbang EP-PERTAMINA Dinas Evaluasi dan Pengembangan Geologi,
Yogyakarta, 95p. 1986.
[11] Sorono, Udi Hartono & Sam Permanadewi, Posisi stratigrafi dan Petrogenesis
Intrusi Pendul Perbukitan Djiwo, Bayat, Klaten, Jawa Tengah, Journal Sumberdaya
Geologi, Vol. XVI No.5 September 2006:302-311, 2006.
[12] A.H. Bouma, 1962., Sedimentology of Some Flysch Deposits: A Graphic approach to
facies interpretation, Elsevier Publishing Company, Amsterdam/Newyork, 168 p.
[13] Sumarso & T. lsmoyowati, “A Contribution to The Geology of the Eastern Jiwo
Hills and the Southern Sorounding (Central Java)”, Proc. 4th WA Annual
Convention., p.19-26. 1975.
62
BPS06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Abstrak
Rekaman gaya tektonik terekam pada batuan dalam bentuk kekar-kekar ekstensi maupun
gerus. Secara kuantitatif, respon batuan terhadap deformasi dapat didekati dari aspek
densitas kekar, yang dikontrol oleh sifat kompetensi batuan. Kompetensi batuan
dipengaruhi oleh ukuran butir, komposisi, dan tingkat sementasi batuan. Penelitian ini
bermaksud menyajikan hubungan antara densitas kekar dan faktor-faktor geologi yang
mempengaruhi kompetensi suatu batuan, dengan studi kasus pada batuan volkaniklastik
Formasi Semilir yang tersingkap di Piyungan, Bantul, D.I. Yogyakarta.
Area kajian berupa singkapan tebing setinggi 7 meter dan lebar 30 meter. Pada
singkapan tersebut, Formasi Semilir yang berumur Miosen Tengah tersusun atas
perselingan batupasir bergradasi normal dan batulanau. Ketebalan masing-masing lapisan
bervariasi dari 5 cm hingga 400 centimeter. Struktur kekar dijumpai hampir di setiap
lapisan dengan kerapatan yang berbeda-beda.
Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pengukuran distribusi kekar secara
kuantitatif pada setiap lapisan dengan lebar singkapan 5 meter. Data diolah secara statistik
dan diplot ke dalam grafik versus antar aspek yang mempengaruhi kompetensi batuan.
Batuan yang memiliki ukuran butir kasar dan tebal mempunyai tingkat kompetensi
tinggi sehingga hanya sedikit merekam kekar. Batuan yang memiliki ukuran butir halus
dan tipis mempunyai tingkat kompetensi rendah sehingga dapat merekam kekar dengan
rapat. Komposisi volkanik pada Formasi Semilir mempunyai peran dalam tingkat
pengelasan antar fragmen (welded structure) yang dapat menambah tingkat kompetensi
batuan.
Pendahuluan
Latar Belakang
Lokasi penelitian berada di sebuah bukit, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul,
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Gambar 1). Lokasi dapat diakses melalui Jalan
Raya Piyungan – Prambanan.Di daerah tersebut terdapat singkapan batuan piroklastik
dengan dimensi 20 meter x 30 meter dengan ketebalan lapisan sekitar 7 meter yang
memiliki ekspresi kekar yang cukup beragam di setiap lapisannya.
Kekar merupakan rekahan dengan bentukan bidang planar atau lengkung yang tidak
terisi dan terbentuk secara alami akibat tarikan yang disebabkan oleh pembebanan (Van
63
BPS06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
der Pluijm dan Marshak, 2004). Kekar yang terdapat pada singkapan daerah penelitian
terdiri atas kekar tektonik dan kekar non-tektonik. Kekar yang diperhitungkan dalam
penelitian ini adalah kekar tektonik.
Gaya tektonik yang mempengaruhi suatu daerah akan terekam dalam batuan. Batuan
merekam gaya tektonik tersebut berdasarkan beberapa variabel yaitu arah gaya, ketebalan
lapisan batuan, dan tingkat kompetensi batuan. Uji kompetensi batuan tersebut dilakukan
dengan mengukur kerapatan kekar yang terbentuk pada masing-masing lapisan batuan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kompetensi batuan pada singkapan dan
efeknya terhadap densitas kekar tektonik yang terekam pada masing-masing lapisan
batuan.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan cara melakukan pengukuran
stratigrafi satu jalur dan menghitung jumlah kekar tektonikyang terekam pada setiap
lapisan. Penghitungan jumlah kekar dibatasi dalam jalur pengukuran selebar 5 meter.
Kekar tektonik yang dianalisis meliputi kekar yang memotong lapisan batuan dengan
ketebalan minimal 5 cm; kekar menerussecara vertikal; dan mengikuti pola kekar secara
umum di sekitarnya. Hasil dari observasi dan tabulasi data di lapangan dilanjutkan dengan
analisis laboratorium terhadap karakteristik dan tekstur batuan untuk mengetahui hubungan
antara mineralogi dengan tingkat kompetensi batuan terhadap densitas kekar yang
terbentuk. Analisis petrografi menggunakan mikroskop polarisasi dengan perbesaran 4x,
kecuali pada pengamatan kandungan organik yang menggunakan perbesaran 60x.
Hasil Penelitian
Singkapan batuan pada lokasi penelitian (Gambar 2) memiliki total ketebalan 7,07 meter.
Litologi penyusunnya terdiri atas lapilli tuff, tuff, dan pyroclastic breccia (Fisher, 1966).
Lapilli tuff berada pada lapisan 1 (100 centimeter), lapisan 10 (10 centimeter), dan lapisan
13 (20 centimeter). Lapilli tuff memiliki ciri-ciri warna putih, ukuran butir ash, mud
supported, komposisi lapilli dan tuf kasar. Pyroclastic breccia berada di lapisan paling atas
yaitu lapisan 17 dengan ketebalan 400 centimeter. Pyroclastic breccia memiliki ciri-ciri
warna putih keabu-abuan, ukuran butir fragmen kerikil-kerakal, ukuran matriks pasir,
sortasi buruk, grain supported, struktur welded, komposisi fragmen tuf dan litik andesit,
komposisi matriks tuf. Sisanya, terdiri dari lapisan tuff yang berlapis dan tebalnya berkisar
antara 5-20 centimeter. Ciri-ciri tuff warnanya putih hingga abu-abu, terkadang ada yang
berwarna merah akibat oksidasi, berukuran butir ash, mud supported, dan komposisinya
berupa abu vulkanik.
Tabulasi data kekar pada setiap lapisan dapat dilihat pada Tabel 1. Jumlah kekar yang
terbentuk di lapisan-lapisan lapilli tuff yaitu berjumlah 11 (di lapisan 1, tebal 100
centimeter), 32 (di lapisan 10, tebal 10 centimeter), dan 29 (di lapisan 13, 20 centimeter).
Kekar yang terbentuk di pyroclastic breccia berjumlah 9 ( di lapisan 17, tebal 400
centimeter). Jumlah kekar di tuff berkisar antara 24 – 73 dengan kisaran ketebalan lapisan
5-20 centimeter.
Hasil dari tabulasi data kekar dilanjutkan dengan analisis petrografi untuk melihat
hubungan data kekar yang terbentuk dengan karakteristik mineralogi dan tekstur batuan.
Analisis petrografi dilakukan pada tiga lapisan yang berbeda, yaitu lapisan 1 (lapilli tuff,
100 cm), lapisan 16 (tuff, 20 cm), dan lapisan 17 (pyroclastic breccia, 400 cm).
64
BPS06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Lapisan 1 (lapilli tuff) memiliki porositas tipe vuggy yang persebarannya cukup melimpah
dan terdapat struktur welded (lihat Gambar 5). Komposisi batuan terdiri dari kuarsa,
plagioklas, dan gelas vulkanik. Lapisan 16(tuff) memiliki ciri porositas tipe fracture,
terlihat kenampakan bedding fissility, terdapat fracture yang terisi oleh kuarsa, komposisi
antara lain; gelas vulkanik, material organik, dan material berukuran abu. Lapisan 17
(Pyroclastic breccia) memiliki ciri grain supported, porositas intergranular dan kurang
melimpah, struktur welded, komposisi; kuarsa, plagioklas, ortoklas, dan gelas vulkanik.
Pembahasan
Kekar dapat terbentuk pada batuan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekuatan
batuan terhadap tekanan, tekanan pori, retakan akibat tarikan, dan retakan akibat gaya
kompresi (Mandl, 2005). Menurut Van der Pluijm dan Marshak (2004), kekar dapat
terbentuk dipengaruhi oleh beberapa parameter, yaitu; ketebalan lapisan, litologi (modulus
elastisitas batuan), kuat tarikan, tegangan. Faktor ketebalan lapisan dan litologi lebih
mudah dianalisis karena terlihat secara kasat mata.
Kesimpulan
Dari analisis data yang dilakukan dapat disimpulkan
• Kerapatan kekar dipengaruhi oleh parameter ukuran butir batuan dan tingkat
pengelasannya, khususnya pada batuan piroklastik.
• Kerapatan kekar dipengaruhi oleh ketebalan lapisan, semakin tebal lapisan maka
stress shadow akan semakin lebar.
65
BPS06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Ucapan Terimakasih
Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada
• Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada selaku
penyelenggara seminar nasional
• Anggota-anggota AAPG UGM-SC yang turut membantu dalam diskusi selama
penelitian berlangsung
Daftar Pustaka
Fisher, R.V., dan Schmincke, H-U., Pyroclastic Rocks. Springer-Verlag, Berlin, 1984.
McPhie, J., Doyle, M., dan Allen, R., Volcanic Textures : A guide to the interpretation
of textures in volcanic rocks. Codes Key Centre, Tasmania, 1993.
Van der Pluijm, B. A., dan Marshak, S., Earth Structure: An Introduction to Structural
Geology and Tectonics Second Edition, W. W. Norton and Company, New York. 2004
Williams, H., Turner, F.J., dan Gilbert, C.M., Petrography : an introduction to the
study of rocks in thin sections. W.H. Freeman and Company, New York, 1982
Gambar 1. Lokasi Penelitian (dari Google Maps, diakses 13 November 2013 jam 23:55)
66
BPS06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
67
BPS06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Tabel 1. Kolom Litologi dan hasil tabulasi jumlah kekar pada setiap lapisan
BPS06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
//
TRO
SARI
Formasi Wungkal – Gamping merupakan formasi batuan sedimen tertua yang tersingkap di
Pegunungan Selatan tepatnya di daerah Bayat. Informasi geologi mengenai formasi ini tidak terlalu
banyak karena penyebaran singkapannya yang terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
fasies batuan yang dihasilkan dari pengukuran stratigrafi pada jalur penelitian terutama pada
singkapan baru sebagai hasil penggalian lahan di Dusun Gunung Gajah. Pada penelitian ini
dilakukan pengukuran stratigrafi dengan metode tongkat jacob untuk merekam karakteristik fasies
meliputi geometri, litologi, struktur sedimen dan fosil di daerah penelitian. Hasilnya digambarkan
dalam kolom litologi dengan skala 1:10 berdasarkan pembagian fasies batuan, sampel batuan
petrografi dan paleontologi untuk menentukan lingkungan, umur, mekanisme dan dinamika
sedimentasi daerah penelitian. Lokasi penelitian berada pada 3 jalur pengukuran di Desa Gunung
Gajah tepatnya pada koordinat 9141627 mU dan 0464029 mT (bagian utara) hingga koordinat
9141546 mU dan 0463988 mT (bagian selatan), Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa
Tengah. Pada jalur penelitian tersebut, terdapat 9 fasies, diantaranya fasies A, B, C, D, E, F, G, H,
dan I. Berdasarkan 9 fasies kemudian dikelompokkan menjadi 5 asosiasi fasies, yaitu asosiasi fasies 1
pada lingkungan pengendapan proksimal slope-type fan delta, asosiasi fasies 2, 3, 4, dan 5 pada
lingkungan pengendapan tidal flat. Umur pengendapan dimulai pada Eosen Awal (P8) hingga Eosen
Tengah (P13). Batuan berumur Eosen Tengah (P10) menumpang di atas batuan Eosen Awal (P8)
secara tidak selaras. Mekanisme sedimentasi pada bagian bawah Formasi Wungkal-Gamping yaitu
debris flow dilanjutkan arus suspensi, lalu arus traksi yang dipengaruhi pasang surut dan gelombang
air laut. Secara umum dinamika sedimentasinya dipengaruhi oleh ruang akomodasi yang bertambah
besar karena naiknya muka air laut relatif diikuti dengan penambahan suplai sedimen. Pada bagian
bawah Formasi Wungkal-Gamping terjadi proses pendangkalan lalu sempat mendalam pada akhir
P10. Selanjutnya, mendangkal kembali mulai dari P11 hingga P13.
ABSTRACT
Wungkal-Gamping formation is the oldest sedimentary rock which exposes in the Southern
Mountains precisely in the area of Bayat. There is only geological information about this formation
because the limited outcrop deployment. This study aims to determine facies rocks based on the
stratigraphy measurements on this latest line as result of the excavation on Gunung Gajah village. In
this research, stratigraphy measurements is done by jacob stick method to record the facies
characteristic include geometry, lithology, sedimentary structures, and fossils in study area. The
71
BPS07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada , 11-12 Desember 2013
results are described in measured stratigraphy coloumn with 1:10 scale, the dividing of facies rocks,
petrography and paleontology samples to determine the environment, age, mechanism and dynamics
of sedimentation area of research. Research area is located at the 3 line in Gunung Gajah village
precisely at coordinates 9141627 mU and 0464029 mT (North part) to 9141546 mU and 0463988 mT
(South part). There are 9 facies in the section of research which are A, B, C, D, E, F, G, H, and I.
These 9 facies are divided into 5 different facies associations, which are facies association 1 in
proximal of slope-type fan delta, facies associations 2, 3, 4 and 5 in tidal flat. The age deposition
begins in Early Eocene (P8) to Middle Eocene (P13). There is an erosional unconformity boundary
between Early Eocene (P8) to Middle Eocene (P10). Mechanism of sedimentation on the lower part of
Wungkal-Gamping formation is debris flow continued with suspension currents, and traction currents
influenced by tides and waves of sea water. In general, the dynamics of sedimentation is influenced by
an addition of accommodation space because of the sea level rise and the addition of sediment supply.
At the lower part of Wungkal-Gamping Formation occur the shallowing process then deepening at the
end of P10. Furthermore, shallowing process starts again from P11 to P13.
PENDAHULUAN
Bayat merupakan suatu kecamatan yang letaknya berada di Provinsi Jawa Tengah.
Daerah ini merupakan laboratorium geologi yang menggambarkan litologi secara lengkap di
Pulau Jawa. Mulai dari batuan tertua hingga muda tersingkap baik di daerah ini, sehingga
banyak penelitian yang dilakukan di daerah ini untuk mengetahui informasi geologi baik
sejarah stratigrafi maupun tektonik dari Pulau Jawa. Formasi Wungkal-Gamping adalah
batuan sedimen tertua penyusun zona Pegunungan Selatan bagian barat yang tersingkap di
daerah Bayat (Bothe, 1929). Pada Desa Gunung Gajah, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten,
Provinsi Jawa Tengah, terdapat singkapan baru sebagai hasil penggalian lahan tepatnya pada
pada koordinat 9141627 mU dan 0464029 mT (bagian utara) hingga koordinat 9141546 mU
dan 0463988 mT (bagian selatan) yang termasuk dalam Formasi Wungkal-Gamping (Gambar
1). Diskusi dari sejarah sedimentasi pada singkapan di daerah ini diharapkan dapat
menambah informasi geologi mengenai Formasi Wungkal-Gamping yang memiliki
penyebaran secara terbatas.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan untuk mengetahui secara rinci informasi geologi berupa
susunan batuan dan posisi stratigrafi Formasi Wungkal-Gamping dengan tujuan mengetahui
umur, lingkungan pengendapan, mekanisme dan dinamika sedimentasi yang terjadi. Metode
penelitian yang digunakan adalah pembuatan penampang stratigrafi terukur dengan tongkat
Jacob berskala 1:10 dan analisis petrografi maupun analisis paleontologi.
FORMASI WUNGKAL-GAMPING
Formasi Wungkal-Gamping diendapkan sebagai unit sedimen tertua terbentuk di atas
batuan malihan secara tidak selaras. Bothe (1929) mengelompokkan batuan yang berumur
Eocene di Perbukitan Jiwo menjadi dua kelompok. Batuan tersebut terdiri dari batugamping
dan napal. Di bagian barat Perbukitan Jiwo, yaitu lereng Gunung Cakaran tersingkap
batupasir kuarsa dan konglomerat kuarsa yang dianggap sebagai bagian bawah dari lapisan
berumur Eocene. Selanjutnya, dua kelompok batuan berumur Eocene itu dinamakan Gunung
Wungkal dan Gunung Gamping. Kelompok Gunung Wungkal dicirikan oleh yellowish
sandstone serta batuan karbonat yaitu batugamping dan napal yang mengadung foraminifera
besar berupa Assilina spira, Nummulites javanus, Orthophragmina sowerbyi, dan
72
BPS07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada , 11-12 Desember 2013
Nummulites bagelensis. Kelompok lapisan Wungkal merupakan bagian awal hingga tengah
dari Middle Eocene menurut Bothe (1933) dalam Sumarso dan Ismoyowati (1975). Pada
bagian atasnya kelompok Gunung Gamping melapisi kelompok Gunung Wungkal yang
dicirikan oleh napal kebiru – biruan dan batugamping yang tersingkap hanya di sisi tenggara
dan utara Dowo. Kelompok ini mengandung foraminifera besar berupa Orthophragmina
javana, O. dispansa, O. omphalus, Nummulites bagelensis, dan N. pengaronensis sehingga
dinyatakan memiliki umur akhir Middle Eocene hingga Late Eocene. Selain itu juga terdapat
batupasir, napal pasiran, batulempung, dan lensa batugamping pada formasi ini. Karakteristik
batuan yang banyak mengandung foraminifera besar menunjukkan lingkungan pengendapan
berupa laut dangkal.
Sumarso dan Ismoyowati (1975) menyebutkan formasi ini memiliki ketebalan 120 m
yang tersingkap di sekitar Dusun Padasan. Sekuen batuan pada formasi ini memiliki pola
bergradasi ke atas dengan kehadiran foraminifera plangtonik yang semakin melimpah di
bagian atas. Berdasarkan hal ini maka disimpulkan bahwa formasi Eocene ini memiliki
kondisi transgresi.
Gambar 1. Peta RBI daerah penelitian berada pada lembar Cawas (Bakosurtanal, 2000)
dengan modifikasi. Garis biru adalah jalur penelitian.
Asosiasi fasies 1 terdiri dari Fasies A dengan ketebalan 1,6 meter. Asosiasi ini
merupakan breksi polimik yang tersusun atas fragmen sekis mika, batugamping, dan
foraminifera besar. Pada asosiasi fasies ini diambil contoh batuan untuk analisa paleontologi
pada matriks breksi di jalur 1 dengan nomor GB 38 dan pada fragmen batugamping dengan
nomor GB 56 di jalur 2. Berdasarkan fosil foraminifera plangtonik contoh GB 56 diketahui
umurnya adalah Eosen Awal (P8) (Blow, 1969) dengan lingkungan yang ditunjukkan
kehadiran foraminifera bentonik pada neritik tengah-neritik luar (20-200 m). Lingkungan
pengendapan dari asosiasi fasies 1 adalah lingkungan proximal slope-type fan delta (Basset,
2004).
Asosiasi fasies 2 terdiri dari Fasies B dan G dengan tebal keseluruhan adalah 2,5 meter.
Struktur sedimen lentikuler mengindikasikan arus suspensi yang terjadi dipengaruhi oleh
pasang surut air laut dan gelombang. Struktur laminasi pada batulanau karbonatan terbentuk
akibat arus traksi. Berdasarkan tekstur sedimen, struktur sedimen, data paleontologi, serta
mekanisme sedimentasi yang ada diinterpretasikan lingkungan pengendapan dari asosiasi
fasies 1 ini adalah pada lingkungan upper tidal flat (after Klein, 1997 dalam Boggs, 2006).
Asosiasi fasies 3 terdiri dari Fasies C, Fasies D, Fasies E, dan Fasies H dengan tebal
keseluruhan adalah 22,6 meter. Asosiasi fasies 3 didominasi oleh sedimen berukuran butir
pasir dengan selingan sedimen berukuran butir lanau hingga lempung. Secara umum struktur
sedimen keempat fasies pada asosiasi ini antara lain laminasi, lentikuler, flaser, gradasi
normal, load cast, ripple mark, silang siur planar. Hal ini mengindikasikan bahwa proses
sedimentasi yang bekerja pada asosiasi fasies ini yaitu arus traksi dengan periode
pengendapan cepat terutama pada Fasies C. Arus traksi ini dipengaruhi oleh pasang surut dan
gelombang air laut. Asosiasi fasies ini terbentuk pada lingkungan pengendapan middle tidal
flat (after Klein, 1997 dalam Boggs, 2006).
Asosiasi fasies 4 terdiri dari Fasies F dengan tebal keseluruhan adalah 6,7 meter.
Asosiasi fasies ini tersusun atas material sedimen berukuran pasir halus secara dominan.
Struktur sedimen yang tampak pada fasies ini antara lain berlapis, laminasi, flaser, silang siur
planar. Struktur berlapis dan laminasi pada batupasir karbonatan terbentuk akibat arus traksi
dengan energi pengendapan tinggi berdasarkan kandungan foraminifera besar seperti Assilina
dan Nummulites. Asosiasi fasies ini terbentuk pada lingkungan pengendapan lower tidal flat
(after Klein, 1997 dalam Boggs, 2006).
Asosiasi fasies 5 terdiri dari Fasies I dengan tebal keseluruhan adalah 9,7 meter.
Asosiasi fasies 5 didominasi oleh sedimen berukuran butir pasir sangat halus dengan selingan
lempung. Secara umum struktur sedimen pada asosiasi fasies ini antara lain laminasi,
lentikuler, flaser, gradasi normal, load cast, ripple mark, silang siur planar. Hal ini
mengindikasikan bahwa proses sedimentasi yang bekerja pada asosiasi fasies ini yaitu arus
traksi dengan periode pengendapan cepat dan dipengaruhi pasang surut dan gelombang air
laut. Asosiasi fasies ini terbentuk pada lingkungan pengendapan middle tidal flat (after Klein,
1997 dalam Boggs, 2006).
Umur pengendapan batuan di daerah penelitian ditentukan berdasarkan keterdapatan
foraminifera kecil yang disusun dalam biozonasi di 3 jalur pengukuran stratigrafi. Dari ketiga
jalur tersebut diperoleh pembagian zonasi foraminifera kecil sebagai berikut:
1. Jalur 1 (tebing barat bagian utara)
Jalur ini terbagi menjadi 4 biozonasi (Tabel 1) meliputi zona kisaran Turborotalia
pseudomayeri – Globigerinatheka subconglobata subconglobata, zona selang
Globigerinatheka subconglobata subconglobata – Truncorotaloides cerroazulensis
pomeroli, zona selang Truncorotaloides cerroazulensis pomeroli – Truncorotaloides
cerroazulensis cerroazulensis, dan zona kisaran Truncorotaloides cerroazulensis
cerroazulensis. Dari pembagian zona yang disebandingkan dengan biozonasi yang disusun
74
BPS07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada , 11-12 Desember 2013
oleh Blow menghasilkan kisaran umur antara P10 (zona Subbotina frontosa frontosa /
Globorotalia (Turborotalia) pseudomayeri) hingga P13 (zona Globigerapsis beckmanni).
2. Jalur 2 (tebing barat bagian selatan)
Jalur ini terbagi menjadi 4 biozonasi (Tabel 2) meliputi zona kisaran Morozovella formosa
formosa, Zona kisaran Globigerinatheka subconglobata subconglobata – Turborotalia
cerroazulensis pomeroli, Zona selang Turborotalia cerroazulensis pomeroli –
Turborotalia cerroazulensis cerroazulensis, dan Zona kisaran Turborotalia cerroazulensis
cerroazulensis. Dari pembagian zona yang disebandingkan dengan biozonasi yang disusun
oleh Blow menghasilkan kisaran umur antara P8 (zona Globorotalia (Morozovella)
aragonensis/ Globorotalia (Morozovella) formosa) hingga P13 (zona Globigerapsis
beckmanni). Fosil-fosil yang terdapat pada jalur pengukuran ini tidak ada yang mencirikan
zona P9 dan P10 sehingga terdapat perloncatan umur dari P8 hingga P11 (nonconformity).
3. Jalur 3 (tebing timur)
Keterdapatan foraminifera kecil hanya melimpah di batuan bagian bawah (tua) pada jalur
ini sehingga hanya terdapat 1 biozonasi (Tabel 3) yaitu zona kisaran Turborotalia
cerroazulensis cerroazulensis. Zona ini dapat disebandingkan dengan dengan biozonasi
yang disusun oleh Blow pada kisaran umur P13 (zona Globigerapsis beckmanni).
75
BPS07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada , 11-12 Desember 2013
DISKUSI
Sejarah geologi daerah penelitian dimulai dari terjadinya proses tektonik yang
menyebabkan basement di daerah penelitian terangkat sebelum Eosen Awal kemudian
mengalami erosi. Ekspresi struktur geologi akibat tektonik ini tidak ditemukan di daerah
penelitian. Hasil erosi berupa breksi yang mengandung fragmen batuan metamorf dibawa
oleh aliran sungai dan diendapkan di lingkungan transisi. Pada kala Eosen Awal (sebelum P8)
terjadi fase rifting diikuti dengan pembentukan batugamping di lingkungan laut dangkal
(Gambar 3a). Breksi dan batugamping tersebut tidak tersingkap di daerah penelitian. Pada P8
muka air laut relatif turun menyebabkan breksi dan batugamping tersebut tererosi. Hasil
erosinya membentuk endapan slope-type fan delta dimana daerah penelitian berada pada
bagian proksimal (Gambar 3b). Batuan yang terendapkan pertama kali di daerah penelitian
yaitu breksi polimik (FA) termasuk asosiasi fasies 1 (AF 1). Breksi polimik tersebut
mengandung fragmen sekis mika, batugamping, foraminifera besar berupa Nummulites, dan
matriks berupa batulanau karbonatan yang menumpang tidak selaras di atas basement.
Mekanisme pembentukan breksi polimik yaitu debris flow dengan batimetri berada pada
neritik tengah.
Pada kala Eosen Tengah (P9) asosiasi fasies 1 terangkat akibat penurunan muka air laut
relatif di daerah penelitian sehingga breksi polimik tersingkap ke permukaan dan tererosi.
Pada kala Eosen Tengah (P10) muka air laut relatif naik menciptakan ruang akomodasi
kembali sehingga terendapkan AF 2 lalu AF 3 (Gambar 3c). Perubahan eustasi menyebabkan
adanya bidang erosional menyudut (angular unconformity) antara AF 1 dengan AF 2. AF 2
yang terbentuk pada kala ini dimulai dengan pengendapan batulanau lentikuler (FB) pada
sublingkungan lower tidal flat. Suplai sedimen pada saat pembentukan FB kurang melimpah
dalam kondisi ruang akomodasi yang cukup besar. Mekanisme sedimentasi yang terjadi yaitu
arus suspensi dan mendapat pengaruh dari pasang surut dan gelombang air laut. Sumber
material fasies ini berasal dari campuran sedimen asal darat hasil erosi pada batuan metamorf
dan batuan beku plutonik yang telah tertransport jauh dari sumbernya berdasarkan ukuran
butirnya serta komponen karbonat insitu. Pada pertengahan P10 ruang akomodasi yang tetap
mengalami pertambahan suplai sedimen sehingga terbentuk AF 3 pada lingkungan
pengendapan middle tidal flat dimulai dengan pengendapan perselingan batupasir karbonatan
berbentuk lensa dengan batulanau karbonatan (FC). Pada awalnya suplai sedimen mengalami
pertambahan terus menerus sehingga terbentuk pola mengkasar ke atas (coarsening upward),
namun menjelang akhir P10 terjadi pengurangan menghasilkan pola menghalus ke atas
(fining upward). Mekanisme sedimentasi pada saat itu berupa arus traksi dengan energi
pengendapan yang tinggi. Sumber material pada asosiasi fasies ini yaitu campuran antara
hasil erosi pada batuan metamorf, batuan beku plutonik dengan material karbonatan insitu
pada cekungan ini.
76
BPS07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada , 11-12 Desember 2013
Gambar 3. Sejarah sedimentasi daerah penelitian. Kotak merah adalah daerah penelitian.
Pada kala Eosen Tengah (P11) jumlah suplai sedimen kembali melimpah diikuti dengan
penambahan ruang akomodasi akibat naiknya muka air laut relatif. Hal ini menyebabkan
pembentukan perselingan batupasir karbonatan laminasi dengan batulanau karbonatan (FD)
dengan lingkungan pengendapan yang sama yaitu middle tidal flat (Gambar 3d). FD
terendapkan di bagian utara daerah penelitian sedangkan pada bagian selatan terendapkan FC.
Berdasarkan tekstur batuan pada kedua fasies tersebut dapat disimpulkan bahwa bagian utara
merupakan bagian ke arah laut sedangkan bagian selatan ke arah darat. Suplai sedimen terus
menerus mengalami pertambahan jumlah menghasilkan suksesi fasies coarsening upward.
Mekanisme sedimentasi yang bekerja berupa arus traksi dipengaruhi oleh pasang surut dan
gelombang air laut. Sumber material pada Fasies C dan D tidak berbeda dengan fasies
sebelumnya. Pada akhir P11 terendapkan berupa perselingan batupasir karbonatan laminasi
dengan batulanau karbonatan lentikuler (FE) dengan komposisi yang sedikit berbeda dengan
fasies sebelumnya di bagian utara daerah penelitian. FE memiliki kandungan kuarsa vulkanik
sehingga dapat disimpulkan bahwa sumber material silisiklastik pembentuk FE tidak hanya
hasil erosi pada batuan metamorf dan batuan beku plutonik melainkan terdapat batuan
vulkanik. Hal ini mengindikasikan adanya pembentukan batuan vulkanik sebelum akhir P11.
Ruang akomodasi semakin besar akibat kenaikan muka air laut relatif diikuti dengan
jumlah suplai sedimen yang bertambah (Gambar 3e) sehingga pada kala Eosen Tengah (P12)
terendapkan AF 4 pada lingkungan upper tidal flat di bagian utara daerah penelitian. Fasies
yang terbentuk pada kondisi ini yaitu batupasir karbonatan flaser (FF). Mekanisme
sedimentasi pada fasies ini berupa arus traksi dengan energi pengendapan yang tinggi
berdasarkan kandungan genus foraminifera besarnya yaitu Assilina, Nummulites,
Discocyclina, dan Pellatispira. Komposisi pada FF lebih didominasi oleh material karbonatan
insitu daripada komponen silisiklastik. Material silisiklastik pada fasies ini berasal dari
77
BPS07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada , 11-12 Desember 2013
rombakan batuan metamorf, batuan beku plutonik yang mengandung plagioklas dan batuan
vulkanik yang mengandung kuarsa vulkanik. Kelimpahan kuarsa plutonik lebih dominan
daripada kuarsa vulkanik. Pada bagian selatan daerah penelitian semakin dekat dengan darat
sehingga terbentuk AF 2 pada lingkungan upper tidal flat. Fasies yang terbentuk yaitu
batulanau karbonatan laminasi (FG). Material silisiklastik pada Fasies G lebih dominan
daripada material karbonatannya. Lingkungannya yang dipengaruhi arus pasang surut tinggi
menghasilkan butiran sedimen berukuran lanau-lempung. Selanjutnya penambahan ruang
akomodasi dan jumlah suplai sedimen pada akhir P12 menghasilkan perulangan gradasi
batupasir karbonatan, batulanau karbonatan, dan batulempung karbonatan (FH) pada
lingkungan middle tidal flat. Mekanisme sedimentasi Fasies H dibentuk oleh arus traksi
dengan pengaruh pasang surut dan gelombang air laut serta energi pengendapan yang tinggi
menyebabkan fasies ini tersusun atas butiran-butiran clean sand.
Pada kala P13 jumlah suplai sedimen meningkat pada ruang akomodasi bertambah
besar akibat kenaikan muka air laut relatif (Gambar 3f). Hal ini menyebabkan pembentukan
FG di lingkungan lower tidal flat pada bagian utara dan FD di lingkungan middle tidal flat
pada bagian selatan. Lalu, muka air laut relatif mengalami puncak dengan suplai sedimen
yang melimpah menghasilkan FF pada lingkungan upper tidal flat di bagian selatan. Sumber
material pada fasies-fasies ini memiliki provenance yang sama dengan fasies sebelumnya,
namun kelimpahan kuarsa vulkanik lebih banyak daripada kuarsa plutonik pada fasies
sebelumnya. Berdasarkan tekstur fasies yang terbentuk diketahui bahwa pada kala ini daerah
penelitian bagian utara lebih dekat dengan darat sedangkan daerah penelitian bagian selatan
lebih dekat dengan laut.
Pada pertengahan P13 ruang akomodasi menjadi lebih kecil akibat penurunan muka air
laut relatif (Gambar 3g). Hal ini diikuti dengan penurunan jumlah suplai sedimen sehingga
terbentuk FH kembali di bagian barat daerah penelitian. Selanjutnya terjadi perubahan
sumber material sedimen menghasilkan pengendapan perulangan gradasi batupasir dan
batulempung (FI) pada lingkungan pengendapan middle tidal flat di atas FH (Gambar 3h). FI
diduga menumpang di atas fasies-fasies sebelumnya secara tidak selaras. Hal ini dapat
disimpulkan berdasarkan sumber material penyusun FI seluruhnya berasal dari rombakan
batuan asal darat yang sangat melimpah yaitu batuan metamorf, batuan beku plutonik, dan
batuan vulkanik yang sangat berbeda dengan fasies sebelumnya. Komposisi kuarsa vulkanik
semakin melimpah pada FI bagian atas. Mekanisme yang terbentuk pada fasies ini berupa
arus traksi dengan energi tinggi serta dipengaruhi oleh pasang surut dan gelombang air laut.
Berdasarkan fasies-fasies yang terbentuk di daerah penelitian dapat disimpulkan bahwa garis
pantai di sekitar daerah penelitian memanjang barat-timur dan melengkung ke arah utara di
bagian timur sehingga material sedimen di bagian timur lebih didominasi oleh material
silisiklastik.
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis keseluruhan data pada daerah penelitian didapatkan beberapa
kesimpulan diantaranya yaitu:
1. Daerah penelitian terbagi menjadi 9 fasies yang dapat dikelompokkan menjadi 5 asosiasi
fasies, yaitu asosiasi fasies 1 (FA) pada lingkungan proximal slope-type fan delta, asosiasi
fasies 2 (FB dan FG) dengan lingkungan pengendapan lower tidal flat, asosiasi fasies 3
(FC, FD, FE, FG, FH) pada lingkungan middle tidal flat, asosiasi fasies 4 (FF) pada
lingkungan upper tidal flat, dan asosiasi fasies 5 (FI) pada lingkungan middle tidal flat.
2. Fasies yang terbentuk di daerah penelitian termasuk dalam Formasi Wungkal-Gamping
dengan kisaran umur Eosen Awal (P8) hingga Eosen Tengah (P13).
78
BPS07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada , 11-12 Desember 2013
3. Secara umum batuan yang terbentuk di daerah peneltian berada pada lingkungan
pengendapan transisi atau tidal flat dengan pengaruh pasang surut dan gelombang air laut.
Batuan tertuanya terendapkan pada lingkungan fan delta.
4. Mekanisme sedimentasi pembentuk fasies di daerah penelitian pada bagian tertua
terbentuk oleh debris flow kemudian dilanjutkan dengan arus suspensi lalu semakin muda
berubah menjadi arus traksi yang dipengaruhi oleh pasang surut dan gelombang air laut.
5. Dinamika sedimentasi daerah penelitian diawali dengan proses pendangkalan ketika ruang
akomodasi bertambah besar sebagai akibat naiknya muka air laut relatif diikuti dengan
jumlah suplai sedimen yang semakin melimpah pada kala P8. Proses pendangkalan terjadi
kembali mulai dari P10 hingga P13. Proses pendalaman hanya terjadi 1 fase pada akhir
P10 disebabkan jumlah suplai sedimen yang berkurang ketika ruang akomodasi bertambah
besar.
DAFTAR PUSTAKA
Bakosurtanal, 2000, Peta Rupa Bumi Digital Indonesia Lembar Cawas, Skala 1:25.000,
Bogor
Bassett, K.N., Orlowski, R., 2004, New Zealand Journal of Geology & Geophysics, Pahau
Terrane Type Locality: Fan delta in an accretionary prism trench-slope basin, Vol. 47,
University of Canterbury Private Bag, New Zealand, p. 603–623
Bolli, H.M., Saunders, J. B., Perch-Nielsen, K., 1985, Plankton Stratigraphy, Cambridge
University Press, Cambridge, 596 p.
Bothe, A, Ch, D., 1929, Djiwo Hills and Southern Range, 4th Pacific Science Congress,
Bandung, 14p.
Boggs, Sam, Jr., 2006, Principles of Sedimentology and Stratigrafi, 4th Ed., Merill Publishing
Company, Colombus, 662 p.
Brasier, M. D., 1980, Microfossils, George Allen & Unwin Ltd, London, 168 p.
Folk, 1968, Petrology of Sedimentary Rocks, Hempill’s Drawer M. University Station, Austin,
Texas, 170 p.
Klein, G. deV, 1980, Sandstones depositional Models For Exploration For Fossil Fuels,
CEPCO Division Burgess Publishing Company, New York,149 p.
Nichols, Gary, 2009, Sedimentology and Stratigraphy, Wiley-BlackWell, United Kingdom,
397 p.
Pettijohn, F. J., 1975, Sedimentary Rocks, Harper&Row Publishers, New York, 718p.
Postuma, J. A., 1971, Manual of Planktonic Foraminifera, Elsevier Publishing Company,
Amsterdam, London, New York, 420 p.
Pringgoprawiro, H., Kapid, R., 2000, Seri Mikrofosil; Foraminifera, ITB press, Bandung, 98
p.
Selley, R. C., 1985, Ancient Sedimentary Environtment, Cornell University Press, New York,
317 p.
Sumarso, dan Ismoyowati, T., 1975, Contribution to The Stratigraphy of The Jiwo Hills and
Their Southern Surroundings (Central Java), Proceedings IPA 4th Annual Convention,
Jakarta, pp. 19 – 26
79
BPS07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada , 11-12 Desember 2013
Sumosusastro, S., 1956, A Contribution to the Geology of the Eastern Djiwo Hills and The
Southern Range in Central Java, Majalah Pengetahuan Alam Indonesia, Bandung, pp.
115 – 133
Toha, B., Purtyasti, R., Sriyono, Soetoto, Rahardjo, W., Subagyo, P., 1994, Geologi Daerah
Pegunungan Selatan, Suatu Kontribusi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, pp.
19 – 37
Tucker, M. E., 1991, Sedimentary Petrology – An Introduction to The Origin of Sedimentary
Rocks, 2nd ed., Blackwell Scientific Publication, Oxford, 260 p.
Walker, R. G., James, N. P., 1992, Facies Model Response to Sea Level Change, Geological
Association of Canada 454 p.
80
BPS07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada , 11-12 Desember 2013
Gambar 4. Peta Fasies daerah penelitian berdasarkan pengukuran stratigrafi pada 3 jalur.
81
BPS08 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Abstrak
Gunung Temas berada di daerah Bayat, Klaten, Propinsi Jawa Tengah yang merupakan perbukitan
dengan litologi berupa batuan sedimen karbonat, dan intrusi batuan beku. Perbukitan tersebut terletak
di bagian paling timur dari Perbukitan Jiwo, Bayat dan jajaran bagian paling utara dari Pegunungan
Selatan. Penelitian bertujuan untuk menghasilkan zonasi biostratigrafi, dimana sejauh ini belum ada
penelitian detil mengenai biostratigrafi khususnya nannofosil di daerah tersebut. Hasil penelitian akan
dikorelasikan dengan biostratigrafi Formasi Oyo di Pegunungan Selatan pada jalur yang berbeda.
Metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan zonasi biostratigrafi yaitu metode zona selang
dengan melihat awal kemunculan dan atau akhir kemunculan spesies fosil indeks. Daerah penelitian
dapat dibagi menjadi tujuh satuan batuan yaitu Satuan diorit, packstone, perselingan wackestone
dengan napal, Intrusi diabas, packstone dengan sisipan napal, pasir lempungan, dan Satuan lempung
pasiran. Hasil pengamatan nannofossil di daerah penelitian menunjukkan kelimpahan nannofosil yang
beragam mulai sangat jarang sampai melimpah. Dari tiga belas (13) sampel yang diamati, pemunculan
awal (First Occurence) dari Discoaster quenqueramus dijadikan biodatum untuk memisahkan zona di
daerah penelitian. Berdasarkan biodatum yang ada, biostratigafi nannofosil gampingan pada Gunung
Temas dapat dibagi menjadi 2 zona yaitu zona NN10 (Zona Discoaster calcaris), dan zona NN 11
(Zona Discoaster quenqueramus). Biostratigrafi nannofossil pada jalur Gunung Temas berumur
Miosen Atas atau ekuivalen dengan 9-8Jtl. Hasil biostratigrafi nannofosil memperlihatkan bahwa
umur yang dihasilkan relatif lebih muda dari umur Formasi Oyo yang berdasarkan biostratigrafi
foraminifera yang sudah dikenal sebelumnya yaitu N8-N14/Miosen Tengah atau ekuivalen dengan
15-12Jtl .
Pendahuluan
Penelitian ini dilakukan di daerah Bayat, Klaten, Jawa Tengah. Lokasi ini dipilih karena
secara geologi lokasi ini sangat menarik. Pada lokasi ini banyak dijumpainya jenis litologi yang
tersingkap secara cukup komplek. Selain itu, pada lokasi penelitian tersingkap batuan karbonat
yang terletak di bagian paling utara dari jajaran batuan karbonat di pegunungan selatan, yaitu
pada Gunung Temas (Gambar 1). Berdasarkan ulasan dari peneliti pendahulu pada daerah
tersebut belum pernah dilakukan pembahasan mengenai umur atau biostratigrafi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui umur batuan dengan menyusun zona
biostratigrafi nannofosil, kemudian membandingkan dengan biostratigrafi dari formasi yang
sama.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dan melengkapi data biostratigrafi
nannofossil di Pegunungan Selatan pada daerah Bayat, Klaten, Jawa Tengah tepatnya pada
daerah Gunung Temas dan Gunung Lanang yang hingga saat ini belum dilakukan.
82
BPS08 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Geologi Regional
Geomorfologi daerah penelitian termasuk ke dalam Zona depresi tengah.Tepatnya berada
di daerah paling timur dari perbukitan Jiwo Timur, Bayat [1]. Morfologi daerah penelitian terdiri
dari dataran alluvial dan perbukitan struktural. Penamaan ini mempertimbangkan dari keadaan
daerah penelitian sebenarnya yang merupakan daerah morfologi positif akibat pengangkatan.
Berdasarkan ulasan dari beberapa peneliti pendahulu, Stratigrafi daerah penelitian
termasuk kedalam Formasi Oyo. Pada Formasi tersebut batuan penyusun yang dominan meliputi
perselingan Batugamping dengan Napal.
Berdasarkan struktur geologinya daerah penelitian masih termasuk rangkaian struktur
geologi Pegunungan Selatan. Menurut Sudarno dalam Hakimi [2] ada 4 pola struktur yang
berkembang Kompleks Pegunungan Selatan diantaranya arah Timur laut – Barat daya, arah Utara
– Selatan, arah Barat laut – Tenggara, arah Timur – Barat. Pada daerah penelitian memang tidak
nampak jelas terdapat data struktur primer, namun ketika dilakukan pemetaan, ditemukan
beberapa data struktur yang sesuai dengan pola Timur Laut – Barat Daya.
Dari hasil pemetaan detil di daerah penelitian (Gambar 2), dapat dibagi menjadi tujuh
satuan litologi yaitu Satuan diorit, Satuan packstone, Satuan perselingan wackestone dengan
napal, Intrusi diabas, Satuan packstone dengan sisipan napal, Satuan pasir lempungan, dan Satuan
lempung pasiran. Selain itu dilakukan juga pengukuran lintasan stratigrafi untuk mendapatkan
conto batuan pada setiap lintasan (Gambar 3 dan 4). Tiga belas (13) conto batuan telah dipilih dan
diambil pada dua lintasan Gunung Temas. Conto batuan tersebut dipreparasi dengan metode
smear slide kemudian diamati dibawah mikroskop polarisasi yang menggunakan minyak imersi
pada lensa objektifnya dengan perbesaran 1000x. Pengamatan setiap slide dilakukan sebanyak
200 medan pandang. Dari hasil pengamatan, memperlihat kelimpahan nannofosil yang beragam
mulai jarang sampai melimpah, yang tersusun dalam tabel distribusi nannofosil. Dalam penentuan
83
BPS08 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
biozonasi, penulis menggunakan metode zona selang, dimana zona tersebut menekankan pada
awal kemunculan dan atau akhir kemunculan dari spesies indeks nannofosil.
a. Satuan diorit
Satuan Diorit ini berada di daerah Gunung Temas tepatnya pada lokasi sekitar
penambangan, dengan koordinat 464398 9141438 zona 49S. Satuan ini berupa Intrusi Diorit
berwarna hitam dengan kristal yang berukuran cukup halus (<0,5 mm – 1,5 mm), tekstur
porfiroafanitik, terlihat kenampakan plagioklas yang tabular pada batu ini. Komposisi berupa
hornblende, plagioklas dan mineral opak lain. Keadaan batuan pada satuan ini tidak begitu baik,
karena sebagian besar sudah mengalami pelapukan jenis membola. Satuan ini juga kontak
langsung dengan batuan sedimen diatasnya tanpa adanya efek bakar, namun terdapat bidang erosi
dan pembajian lapisan sedimen diatasnya (Gambar 5). Hal ini diinterpretasikan sebagai intrusi
karena teksturnya porfiroafanitik dan tidak memiliki struktur vesikuler, selain itu diperkirakan
berumur tua karena terdapat bukti bidang erosi yang menunjukkan bahwa batuan tersebut telah
tersingkap terlebih dahulu.
84
BPS08 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 3. Kolom stratigrafi G. Temas 1 (lintasan 1), bagian selatan daerah penelitian.
85
BPS08 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 4. Kolom stratigrafi Gunung Temas 2 (lintasan 2), utara daerah penelitian.
86
BPS08 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Packstone
Diorit
Gambar 5.
Kontak packstone dengan diorit yang memperlihat pembajian
b. Satuan packstone
Satuan ini berada di kawasan Gunung Temas tepatnya pada koordinat 464395 mT dan
9141444 mU. Satuan ini pada bagian bawah langsung kontak dengan batuan beku dengan jenis
Diorit dengan jenis kontak non-conformity (Gambar 5). Satuan ini berada pada penambangan
batugamping oleh warga. Karakter batuan pada Gunung Temas memiliki kandungan Packstone
lebih melimpah dari segi ketebalannya, ketebalan Packstone rata – rata berkisar antara 20 cm – 40
cm, sedangkan untuk napal hanya memiliki ketebalan rata –rata sekitar 5 cm – 10 cm saja, dan
pada beberapa lapisan napal tidak terlalu bersifat karbonatan. Hal tersebut terjadi akibat proses
diagenesis dengan tipe pelarutan sudah berkembang dengan baik. Pemerian batuan secara
makroskopisnya adalah Packstone berwarna putih kekuning – kuningan, dengan ukuran butir
pasir halus – pasir kasar (1 mm – 2 mm), sortasi baik, grain supported dengan sedikit kandungan
mud karbonat, struktur sedimen yang dominan pada lokasi ini adalah slump, flaser, laminasi,
gradasi normal, dan load cast. Komposisi dari batuan ini adalah foram bentonik besar pada bagian
dekat kontak dengan batuan beku, kemudian foram planktonik, kalsit dan sedikit kandungan mud
karbonat. Sedangkan Napal berwarna putih kecoklat – coklatan, dengan ukuran butir lempung –
lanau (<1/256 mm – 1/16 mm), mud supported, dengan struktur sedimen berupa laminasi, dan
gradasi normal dari packstone. Komposisinya adalah material sedimen berukuran lempung –
lanau, terkadang terlihat kandungan foram planktonik.
87
BPS08 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
komposisinya terdiri dari mineral karbonat berukuran lempung – lanau, banyak mengandung mud
karbonat, di beberapa lapisan ada yang cukup melimpah fosil foram kecilnya.
d. Satuan diabas
Satuan Batuan ini terdapat disebelah utara dari lokasi penambangan utama pada Gunung
Temas, tepatnya pada 464466mT dan 9141645 mU. Berdasarkan kenampakan lapangan, Satuan
ini menembus satuan perselingan wackestone dengan napal (Gambar 6). Batuan pada satuan ini
berwarna abu – abu kecoklat – coklatan, ukuran kristalnya sedang tekstur porfiroafanitik.
Komposisi mineralnya adalah plagioklas, hornblenda, biotit dan mineral opak lain sebagai massa
dasar, kenampakan plagioklasnya menjarum dan saling menyusun seperti jari - jari.
Gambar 6. Intrusi diabas (A) yang memotong satuan packstone dengan sisipan
napal (B), serta dijumpainya inklusi (C).
88
BPS08 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Biostratigrafi
Dari data tabel distribusi yang telah disusun berdasarkan hasil pengamatan setiap lintasan,
dengan didasari metode zona selang, maka dibuatlah biostratigrafi pada lintasan Gunung Temas
(Tabel 1).
Penelitian ini mengaku pada Zonasi standar Martini [3]. Sehingga didapatkan zona
pertama yaitu Zona NN10 yang dibatasi pada bagian atas oleh kemunculan awal Discoaster
quenqueramus. Kemudian zona selanjutnya adalah Zona NN11. Spesies penciri setiap zona dapat
dilihat pada lampiran Plate 1 dan Plate 2. Penjelasan mengenai zonasi pada lintasan Gunung
Temas adalah sebagai berikut:
89
BPS08 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Batas akhir zona ini (NN10) diwakili oleh conto batuan dengan nomor GT 5 kemudian
batas awal dari zona setelahnya (NN11) diwakili oleh conto batuan GT 6. Batas ketebalan antara
conto batuan GT 5 dengan GT 6 adalah 165 cm, sehingga batas antara zona NN10 dengan Zona
NN11 kemungkinan hanya bisa bergeser antara 165 cm tersebut. Oleh karena itu, nilai ketepatan
biozonasinya dapat dinilai cukup baik.
(FORAMINIFERA
(FORAMINIFERA
(FORAMINIFERA
MARTINI, 1971
PENULIS, 2013
(NANNOFOSIL
(NANNOFOSIL
(NANNOFOSIL
GAMPINGAN)
GAMPINGAN)
GAMPINGAN)
SUSILO, 2002
PARAMITHA,
BLOW, 1969
PLANKTON)
PLANKTON)
HAQ, 1984
ZONASI
ZONASI
UMUR
1986
NN11 N 17
AKHIR
8.1
NN10 N16
9.2
NN9 N15
12 N14
NN8
MIOSEN
TENGAH
14.2 NN5 N8
15.6 NN4 N7
Diskusi
Korelasi Biostratigrafi Pegunungan Selatan
Penyebandingan atau korelasi biostratigrafi dilakukan terhadap beberapa peneliti
pendahulu (Tabel 2). Peneliti pendahulu yang telah melakukan penelitian biostratigrafi pada
Formasi Oyo adalah [7] yang menggunakan data nannofosil untuk menyusun biostratigrafinya
serta penelitian dilakukan dengan cara MS dan pengambilan sampel secara sistemastis dengan
daerah penelitian di Kali Ngalang. Penilitian tersebut menghasilkan umur Formasi Oyo antara
NN8 – NN10. Sedangkan telitian penulis memiliki kisaran umur antara NN7 – NN10.
Berdasarkan hasil perbandingan biostratigrafi pegunungan selatan antara telitian penulis
dengan telitian peneliti pendahulu [7][8][9][10][11], maka dibandingkan secara stratigrafi dengan
hasil yang paling dekat yaitu telitian di Kali Ngalang [7]. Hasil perbandingan tersebut
menunjukkan bahwa adanya perbedaan fasies yang terdapat di lokasi penelitian dengan lokasi
penelitian [7]. Hal ini dapat terjadi karena adanya perubahan fasies antara lokasi penelitian
dengan lokasi penelitian terdahulu akibat lokasi pengendapannya yang berbeda. Selain itu,
berdasarkan korelasi secara umur, penelitian [7] mencakup umur Formasi Oyo yang lebih tua.
Hal ini menunjukkan bahwa lokasi penelitian penulis merupakan bagian dari formasi oyo yang
lebih muda dengan umur yang berada diatas hasil telitian dari [7]. Pada lokasi penelitian [7],
terjadi perbedaan umur antara nannofosil dengan mikrofossil yang cukup signifikan dengan hasil
umur mikrofosil lebih tua daripada nannofosil [7][8], hal ini juga diperkirakan terjadi di lokasi
BPS08 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
penelitian Penulis. Hal ini terjadi diperkirakan karena fosil foraminifera kecil mengalami rework.
Hal ini disimpulkan dari karakter litologi daerah penelitian yang memiliki banyak struktur
pengendapan berupa struktur nendatan, yang berarti terjadi runtuhan pada saat pengendapan.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari pengamatan data, serta pembahasan didapatkan kesimpulan
terhadap penelitian yang dilakukan oleh penulis yang lokasinya berada di Gunung Temas dan
sekitarnya. Kesimpulan tersebut antara lain:
b. Dari kemunculan zona – zona yang ada di daerah penelitian diperoleh umur dari lokasi
penelitian, yaitu mulai dari Miosen Atas bagian tengah hingga akhir. Berdasarkan umur
absolut oleh Haq [6] adalah 9,2 juta tahun yang lalu – 5.4 juta tahun yang lalu.
Ucapan Terimakasih
Selanjutnya penulis ingin mengucapkan terimakasih pada Bapak Wartono Rahardjo, Indra
Novian dan Sugeng Wijono yang telah memberikan saran dan masukan dalam pembuatan
makalah ini.
Daftar Pustaka
[1] Bemmelen, R.W. Van, The Geology of Indonesia, Martinus Nijhoff, The Hague: 1-732,
1949.
[2] Hakimi, D.A., Husein, S., Srijono, “Indeks Geomorfik Sebagai Morfoindikator Geologi
Das. Gobeh, Kabupaten Gunungkidul – DIY” In: Seminar Nasional Aplikasi Sains dan
Teknologi – IST Akprind, Yogyakarta, Pp. 38 – 48.
[3] Martini, E., “Standard tertiary and quartenary calcareous nannoplankton biozonation”. In :
FARRINACCI A. Ed., Proc. 2nd Plank. Conf. Roma, 1970, vol. 2 technoscienza, Roma,
739-785. 1971.
[4] Okada, H. & Bukry, D., “Suplementary modification and introduction of code numbers to
the low latitude coccolith biostratigraphic zonation (Bukry, 1973 ; 1975)”. Mar. Micropal.,
Elsevier Sci. Publ. Co., Amsterdam, 321 -325. 1980.
[5] Backman, J., dkk., Biozonation and biochronology of Miocene through Pleistocene
calcareous nannofossils from low and middle latitudes, In: Newslettes on Stratigraphy Vol.
45 Number 3, pp. 221 – 224, Germany: Schweizerbart Science Publishers, 2012.
BPS08 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
[6] Haq, B. U., Nannofossil biostratigraphy. Benchmark Paper in Geology 78, 386pp. 1984
[7] Akmaluddin, Nannofosils Biostratigraphy of Miocene Sequences in Southern Mountains,
Central Java, Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Kebumian ke-5, Jurusan Teknik
Geologi UGM, Yogyakarta, 2012.
[8] Paramita, E., Geologi Daerah Nglipar Dan Sekitarnya, Kabupatern Gunung Kidul,
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Skripsi (S.T.), Jurusan Teknik Geologi UGM,
Yogyakarta, 1996.
[9] Kadar, D., 1986, Neogene Planktonic Foraminiferal Biostratigraphy of The South Central
Java Area Indonesia. Geological Research and Development Centre, Special Publication,
No. 5, h. 1 – 103.
[10] Kadar, A.P., “Biostratigrafi Nannofosil Miosen Bawah – Miosen Tengah Formasi
Sambipitu Serta Korelasinya dengan Biostratigrafi Foraminifera Plangton”. Proceedings
PIT XIX IAGI, Bandung, pp 201 – 214, 1990.
[11] Priyanto, A. W., Biostratigrafi dan Penentuan Umur Formasi Ngglanggran dan Formasi
Oyo Berdasarkan Kandungan Fosil Foraminifera Planktonik Daerah Kali Ngalang,
Kecamatan Nglipar, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Skripsi
(S.T.), Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta, 1986.
[12] Blow, W.H., Late Middle Eocene to Recent planktonic foraminiferal biostratigraphy. In:
Intemational Conference on Planktonic Microfossils, No. 1, 1967, Proceedings, Vol. 1, p.
199-422, Genoa, 1969.
BPS08 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
PLATE 1
BPS08 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
PLATE 2
E01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
ABSTRACT
The rapid development of shale gas resources in the past few years has already dramatically
affected Indonesia’s energy markets lowering energy prices and carbon dioxide emissions and
could offer an affordable source of low carbon energy to reduce dependence on coal and oil.
However, the development of shale gas has been linked to a range of local environmental
problems, generating a public backflash that threatens to bring production to a halt in some regions.
While hydraulic fracturing in particular has been the focus of match controversy, our analysis
indicates that the most significant environmental risks associated with the development of shale gas
are similar to those associated with conventional onshore gas, including gas migration and
groundwater contamination due to faulty well construction, blowouts, and above-ground leaks and
spill of waste water and chemicals used during drilling and hydraulic fracturing.
Many technologies and best practices that can minimize the risks associated with shale gas
development are already being used by some companies, and more are being developed. The
natural gas industry should work with government agencies, environmental organizations, and local
communities to develop innovative technologies and practices that can reduce the environmental
risks and impacts associated with shale gas development. In addition, continued study and
improved communication of the environmental risks associated with both individual wells and
large scale shale gas development are essential for society to make well-informed decisions about
its energy future.
This briefing paper, part of an on-going series on the role of natural gas in the future energy
economy, provides an overviewon how horizontal drilling and hydraulic fracturing are used to
extract shale gas, examines the environmental risks, and deals with shale gas development.
Pendahuluan
Untuk meningkatkan produksi minyak dalam negeri, beberapa perusahaan minyak nasional
maupun asing yang melakukan eksplorasi di Indonesia sedang berusaha mencari cara agar
program tersebut segera terealisasi. Seperti yang tertulis pada harian Jawa Pos edisi 1
Maret 2013, ada rencana untuk memulai produksi shale gas dengan metode hydraulic
fracturing. Walaupun masih menjadi wacana dan hingga saat ini belum terealisasi, tetapi
hingga saat ini belum ada lembaga lingkungan atau pengamat lingkungan yang peduli
dengan masalah ini. Hal ini karena banyak orang yang belum mengetahui dengan baik
mengenai shale gas dan hydraulic fracturing. Kita menyadari bahwa tiap tahun kebutuhan
energi kita semakin meningkat, akan tetapi produksi energi dalam negeri cenderung tetap
dan bahkan semakin turun. Berdasarkan data Kementerian ESDM terbaru produksi minyak
dalam negeri pada tahun 2012 hanya 839 ribu barel/ hari, sedangkan kebutuhan energi
97
E01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
minyak bumi kita mencapai 1,5 juta barel/hari . Akibatnya sekitar 661 ribu barel/hari kita
harus mengimpor dari berbagai negara penghasil minyak seperti Saudi Arabia, Qatar, atau
Kuwait. Kita semua mengetahui jika kita terus mengandalkan impor, maka gejolak harga
minyak yang sekarang sering terjadi di Indonesia akan terus terjadi. Hal ini karena harga
minyak impor mengikuti harga pasar minyak dunia yang cenderung fluktuatif karena
berbagai faktor misalnya perang teluk, terhambatnya distribusi karena cuaca dan
sebagainya. Jika kita tinjau saat ini, maka pemerintah indonesia bersama perusahaan energi
BUMN dan swasta sedang mengembangkan beberapa unconventional energy seperti
halnya shale gas ini. Dan salah satu metode yang akan digunakan pada pengembangan
shale gas ini adalah dengan hydraulic fracturing, yang ternyata justru akan membawa
dampak negatif yang besar terhadap masalah lingkungan.
Maksud dan tujuan dari kajian adalah ingin menjelaskan tentang prospek shale gas
di Indonesia dan rencana penggunaan metode hydraulic fracturing dan horizontal drilling
dalam ekstraksi shale gas, serta menjelaskan dampak lingkungan yang akan terjadi jika
teknologi hydraulic fracturing dan horizontal drilling benar-benar diterapkan dalam
pengembangan shale gas.
Metode yang digunakan dalam kajian ini seluruhnya adalah kajian pustaka dari
berbagai sumber referensi diantaranya beberapa paper terdahulu mengenai shale gas,
buku-buku tentang shale gas, sumber bacaan tentang teknik pemboran terutama horizontal
drilling, dan buku-buku tentang hydraulic fracturing termasuk dampaknya terhadap
lingkungan.
Metodologi
Metode yang digunakan dalam kajian ini seluruhnya menggunakan kajian pustaka. Kajian
pustaka yang diambil adalah yang berkaitan dengan shale gas secara umum, teknik
pemboran dalam shale gas terutama tentang horizontal drilling dan hydraulic fracturing,
dan dampak lingkungan yang ditimbulkan dengan diterapkannya metode hydraulic
fracturing pada pengembangan shale gas. Dari hasil berbagai referensi tersebut dilakukan
analisis untuk dapat ditarik suatu kesimpulan.
Pembahasan
Berdasarkan data Kementerian ESDM pada tanggal 4 Januari 2012 potensi shale gas di
Indonesia mencapai 574 TCF dan angka ini lebih besar dibandingkan dengan potensi
unconventional energy yang lain seperti CBM yang hanya 453,3 TCF serta gas bumi yang
juga hanya 334,5 TCF. Berdasarkan hasil identifikasi pemerintah seperti yang telah
dipublikasikan pada sumber dan waktu yang sama hingga saat ini terdapat 7 cekungan di
Indonesia yang mengandung shale gas dan sati berbentuk klasafet formation. Cekungan
terbanyak berada di Sumatera yaitu berjumlah 3 cekungan, seperti Baong Shale, Telisa
Shale dan Gumai Shale. Sedangkan di Pulau Jawa dan Kalimantan, shale gas masing-
masing berada di 2 cekungan. Di Papua, berbentuk klasafet formation.
Shale gas adalah gas yang diperoleh dari serpihan batuan shale atau tempat
terbentuknya gas bumi. Proses yang diperlukan untuk mengubah batuan shale menjadi
gas, sekitar 5 tahun. Pemerintah saat ini tengah menyusun aturan hukum pengembangan
shale gas.
Ahli geologi telah lama menyadari bahwa sejumlah besar gas alam terperangkap
dalam beberapa formasi serpih. Batuan sedimen terbentuk dari endapan mud, silt, clay, dan
98
E01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
bahan organik. Dengan berjalannya waktu geologi, bahwa bahan organik kemudian
mengalami perombakan sehingga terbentuk molekul metana yang dikenal sebagai shale
gas. Sementara beberapa gas alam ini bermigrasi ke formasi lain selama jutaan tahun,
sebagian besar masih terjebak dalam batuan shale-nya.
Produksi shale gas pertama kali dilakukan oleh Amerika Serikat dalam formasi
shale di New York pada tahun 1821. Pengeboran yang paling komersial selama abad 19
dan 20 menargetkan terdapatnya gas yang bermigrasi keluar dari batuan sumbernya dan
terakumulasi pada lapisan batuan yang permeabel seperti Formasi Batupasir. Adanya
lapisan batuan yang permeabel ini memungkinkan operator pengeboran dapat mengekstrak
gas menggunakan sumur vertikal. Sementara pada batuserpih yang jauh lebih kompak
serta kurang permeabel menyebabkan molekul metana tidak bisa mengalir dengan mudah
melalui serpih dan hanya mampu mengalirkan gas dalam volume yang kecil sehingga
untuk mengekstrak perlu dengan metode khusus yaitu salah satunya hydraulic fracturing.
Pengeboran minyak dan gas biasanya dimulai dengan cara yang sama di kedua
sumur vertikal dan horizontal. Operator menyisipkan panjang awal pipa baja , sebagai
casing yang disebut konduktor, kemudian membuat lubang sumur vertikal setelah
pengeboran dimulai yang bertujuan untuk menstabilkan serta melewati zona dangkal, pada
zona yang dangkal sedimen seringkali tidak terkonsolidasi dengan baik karena letaknya
yang cenderung masih dekat permukaan bumi sehingga belum ada pembebanan. kemudian,
operator terus melakukan pengeboran vertikal dan memasukkan permukaan casing, serta
perlu memperpanjangnya dari permukaan tanah hingga dapat melewati kedalaman semua
sumber air bawah tanah. Operator kemudian memompa semen ke casing , diikuti dengan
air , untuk mendorong semen keluar melalui bagian bawah casing dan kembali ke dalam
ruang antara permukaan casing dan sumur bor ( disebut anulus ) sampai sepenuhnya terisi.
Hampir semua bagian memerlukan permukaan casing yang sepenuhnya disemen sebelum
pengeboran dilanjutkan. Setelah permukaan casing disemen, regulator mungkin
memerlukan operator untuk memasang peralatan pencegahan ledakan ( BOPE ) di
permukaan untuk mencegah cairan bertekanan ada selama pengeboran dan dapat bergerak
dengan baik melalui ruang antara pipa bor dan permukaan casing.
Setelah memungkinkan semen di belakang casing terpasang, operator melanjutkan
pengeboran untuk jarak pendek, biasanya 10 sampai 20 kaki, dan menguji integritas semen
dengan melakukan penekanan, kemudian melanjutkan pengeboran vertical. Kadang
diperlukan penyisipan casing tengah, yang dapat digunakan untuk membantu menstabilkan
sumur dalam dan antara pangkal permukaan casing dan target gas formasi shale agar
sumur bor dapat melewati ribuan kaki formasi batuan. Formasi ini mungkin berisi
hidrokarbon, termasuk gas alam, atau air asin yang mengandung garam sangat tinggi
konsentrasi dan kontaminan lainnya. Casing tengah dirancang untuk mengisolasi formasi
tersebut dari formasi lain dan sumur bor, serta mencegah kontaminasi gas yang akan
diproduksi dan air tawar akuifer dekat permukaan bumi.
99
E01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Rekah hidrolik pertama kali digunakan pada 1940-an, dan sejak itu menjadi teknik umum
untuk meningkatkan produksi formasi permeabilitas rendah, terutama reservoir
konvensional seperti pasir yang ketat, reservoir batubara, dan dalam shales. rekah hidrolik
adalah proses teknis yang kompleks. Sebuah lubang sumur yang memanjang 5.000 kaki
secara horizontal dalam lapisan shale, misalnya, mungkin akan retak dengan rekah
hidrolik sebesar 10 sampai 15 kali dengan interval beberapa ratus meter. Setiap interval
100
E01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
perforasi terisolasi secara berurutan sehingga hanya satu bagian dari sumur yang retak
dengan rekah hidrolik pada waktu tertentu.
Selama operasi rekah hidrolik, operator memompa cairan rekah pada tekanan tinggi
melalui perforasi di bagian casing. Komposisi kimia dari cairan rekah, serta tingkat dan
tekanan di mana ia dipompa ke shale, disesuaikan dengan sifat khusus dari setiap
pembentukan serpih dan, sampai batas tertentu, masing-masing dengan baik. Ketika
tekanan meningkat ke tingkat yang memadai, menyebabkan rekah hidrolik atau-
hydrofracture untuk membuka di batu, menyebar sepanjang bidangkurang lebih tegak
lurus terhadap sumur bor.
Salah satu penemuan paling baru dalam Barnett Shale adalah kemungkinan
menggunakan-slickwater sebagai cairan rekah dalam formasi shale. Berbeda dengan gel
yang sangat kental dan telah digunakan sebelumnya untuk rekah formasi konvensional,
slickwater bersifat lebih encer, viskositas fluida rendah dan berbasis air yang dirancang
untuk membawa sejumlah kecil pasir ke rekahan untuk menopang agar shale tetap terbuka
setelah berhenti memompa, dan memungkinkan gas untuk tidak keluar dari shale.
Slickwater meningkatkan tekanan air di microfractures ini, mendorong slip-geser,
atau kejadian mikro seismik yang umumnya memiliki magnitude kurang dari -1.5 pada
skala Richter. Karena peristiwa ini memiliki besaran kecil yang merupakan mikro-gempa
bumi sekitar satu juta ukuran tremor yang yang memungkinkan penduduk dapat merasakan
getarannya.
Shale gas telah mendapat banyak perhatian baru-baru ini terhadap dampak negatif pada
lingkungan dan masyarakat di mana dilakukan pengeboran. Contoh pencemaran air, polusi
udara, dan gempa bumi merupakan dampak negatif pada kegiatan ekstraksi gas. Sebuah
pemahaman menyeluruh tentang teknik yang digunakan untuk mengekstrak gas dari
formasi shale dan pengamanan yang ada sangat penting untuk mencegah terjadinya
kerusakan lingkungan di sekitar lokasi pemboran.
Dengan perekahan hidrolik terdapat zat aditif kimia yang cukup berbahaya saat
diinjeksikan ke dalam tanah. Tentu saja ia akan bercampur ddengan airtanah yang
dimanfaatkan oleh penduduk setempat. Dan jika air yang telah tercemar tersebut
dikonsumsi maka akan merugikan kesehatan masyarakat sekitar.
Selain itu adanya gempa bumi kecil saat dilakukan perkahan juga akan cukup
mengganggu kenyamanan masyarakat setempat.
Kemudian polusi tanah juga dapat terjadi karena zat aditif kimia yang diinjeksikan
ke dalam tanah. Tentu saja ini akan mengganggu ekosistem daerah eksplorasi. Karena saat
tanah tercemar maka tumbuh-tumbuhan dan binatang yang hidup di atasnya juga akan ikut
terkontaminasi. Apabila hal ini dikonsumsi oleh penduduk setempat maka ini akan
membahayakan kesehatan penduduk di sekitarnya.
101
E01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Referensi
[1] Hermanto, A Edi, “Opportunities, Challenges And Strategies In Monetizing
Indonesia’s Shalegas”, Ministry Of Energy And Mineral Resources Directorate
General Of Oil And Gas : Indonesia, 2011.
[2] Marino, Darsono, “Peningkatan Perolehan dengan Metoda Perekahan Hidrolik
(Hydraulic Fracturing) pada Reservoir Gas”. ITB : Bandung. Thesis . 46. 9-13, 23,
1993.
[3] ___________. 2011. “Balancing the Opportunities and Risks of Shale Gas
Exploration”. Zurich Help Point : North America. 216. 45-51
[4] ___________, An Introduction to Shale Gas”, 3 LEGS Resources : USA.56. 32-41,
2011.
[5] http://esdm.go.id (14 Juli 2013 Pukul 09.35 WIB)
[6] http://skspmigas-esdm.go.id (14 Juli 2013 Pukul 14.15 WIB)
102
E01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Penutup
Dampak yang sangat signifikan dari pengembangan shale gas adalah lapangan yang
berada di onshore, termasuk kontaminasi dari migrasi gas dan air tanah yang disebabkan
dari pelaksanaan kontruksi, blowouts dan kontaminasi kimia serta air yang dihasilkan
sepanjang pengeboran oleh hydraulic fracturing.
Untuk mengatasi, idustri gas harus bekerjasama dengan pemerintah, organisasi pecinta
lingkungan dan komunitas lokal untuk mengembangkan teknologi inovatif yang dapat
mengurangi dampak lingkungan dari pengembangan shale gas.
103
E02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
ABSTRACT
Electricity needs of Semarang and Ungaran city as a district of industrial manufacturing centers in
Central Java is definitely huge. One potential alternative energy source that has not been optimized
is potential of geothermal energy in the Mount Ungaran. This study aims to discover geothermal
energy potential of Mount Ungaran area so that potential could be maximized well.
In this study, the authors used field observation, satellite imagery processing and literature studies
including an analysis using satellite imaginary, that are Landsat Enhance Thematic Mapper plus
(ETM+) and Shuttle Radar Topography Mission (SRTM). The results of this study shows an
anomalies data of surface thermal in Mount Ungaran area that can be discovered through landsat
imagery. These landsat imagery shows a differences in surface thermal between Mount Ungaran
and surrounding area. SRTM imagenary show some lineament that indicates the existence of major
fault/fracture with pattern northwest-southeast.
These lineament pattern is related to the existence of geological structure of Ungaran that is
controlled by collapse structure extending from west to southeast (Budiardjo et al. 1997). In
addition, the results of field observation, it was found geothermal manifestations such as hot spring
and fumarole that indicates the geothermal potential in Mount Ungaran.
Keyword : Geothermal, Landsat, SRTM, Ungaran
Pendahuluan
Gunung Ungaran merupakan gunung api kuarter yang menjadi bagian paling timur dari
Pegunungan Serayu Utara. Daerah Gunung Ungaran ini di sebelah utara berbatasan dengan
dataran aluvial Jawa bagian utara, di bagian selatan merupakan jalur gunung api Kuarter
(Sindoro, Sumbing, Telomoyo, Merbabu), sedangkan pada bagian timur berbatasan dengan
Pegunungan Kendeng. Bagian utara Pulau Jawa ini merupakan geosinklin yang
memanjang dari barat ke timur (Bemmelen, 1970).
Menurut Budiardjo et. al. (1997), stratigrafi daerah Ungaran dari yang tua ke yang muda
adalah sebagai berikut: Batugamping volkanik, Breksi volkanik III, Batupasir volkanik,
Batulempung volkanik, Lava andesitik, Andesit porfiritik, Breksi volkanik II, Breksi
volkanik I, Andesit porfiritik, Lava andesit dan Aluvium.
Struktur geologi yang ada di pulau Jawa memiliki pola-pola yang teratur. Secara umum,
ada tiga arah pola umum struktur yaitu arah Timur Laut –Barat Daya (NE-SW) yang
disebut pola Meratus, arah Utara – Selatan (N-S) atau pola Sunda dan arah Timur – Barat
104
E02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
(E-W). Perubahan jalur penunjaman berumur kapur yang berarah Timur Laut – Barat Daya
(NE-SW) menjadi relatif Timur – Barat (E-W) sejak kala Oligosen sampai sekarang telah
menghasilkan tatanan geologi Tersier di Pulau Jawa yang sangat rumit disamping
mengundang pertanyaan bagaimanakah mekanisme perubahan tersebut. Kerumitan
tersebut dapat terlihat pada unsur struktur Pulau Jawa dan daerah sekitarnya.
Tumbukkan antara lempeng Asia dengan lempeng Australia menghasilkan gaya utama
kompresi utara-selatan. Gaya ini membentuk pola sesar geser (oblique wrench fault)
dengan arah baratlaut-tenggara, yang kurang lebih searah dengan pola pegunungan akhir
Cretasisus.
Pada periode Pliosen-Pleistosen arah tegasan utama masih sama, utara-selatan. Aktifitas
tektonik periode ini menghasillkan pola struktur naik dan lipatan dengan arah timur-barat
yang dapat dikenali di Zona Kendeng.
Metodologi
Metodologi yang digunakan dalam paper ilmiah ini adalah dengan pengamatan lapangan
untuk mengetahui manifestasi panas bumi di sekitar Gunung Ungaran, pengamatan citra
landsat ETM+ untuk mengetahui anomaly temperature permukaan yang ditangkap oleh
citra serta studi literature penelitian ilmiah yang telah dilakukan sebelumnya untuk
mendukung data yang ada.
andesit. Estimasi potensi energi panas bumi gunung Ungaran dapat diperkirakan
berdasarkan metode Perbandingan (Wahyudi, 2010). Berdasarkan hasil geothermometri
diperoleh suhu reservoir gunung Ungaran sebesar 230°C, dengan daya persatuan luas
diperkirakan sebesar 15 MWe/km2. Apabila dikonversikan menjadi energy listrik sebesar
15% maka daya listrik per satuan luas adalah 2,25 MWe/km2. Apabila dikonversikan
secara menyeluruh dengan luas Gunung Ungaran sebesar 5 km2, maka daya listrik yang
dapat dimanfaatkan sebesar 11,25 MWe. Sebagian fluida muncul ke permukaan sebagai
manifestasi panas bumi yang berlokasi di daerah Gedongsongo, seperti fumarol, air panas
dan daerah alterasi.
Fumarol
Mata air panas yang muncul lewat rekahan di Gedongsongo menunjukkan pH asam hingga
netral. Kandungan gas CO dan H S tinggi disertai hembusan uap air dengan temperature
hembusan mencapai 90ºC. Kondisi ini menunjukkan bahwa daerah Gedongsongo berada di
zone upflow pada suatu sistem reservoir dominasi air (water dominated), terutama
ditunjang oleh keberadaan manifestasi fumarol. Sedangkan suplai fluida yang mengontrol
mata air panas Nglimut berjenis bikarbonat yang mengindikasikan penciri zona outflow
dari sistem panas bumi Ungaran. (Yuano et al, 2012)
Hasil Pengolahan Citra
Citra Landsat band 1, band 2 dan band 3 digunakan untuk mengahasilkan citra true color.
band 1 merupakan citra yang merespon sinar cahaya tampak berwarna biru dengan panjang
gelombang 0.45-0.52 µm. band 2 merupakan citra yang merespon sinar cahaya tampak
berwarna hijau dengan panjang gelombang 0.52-0.60 µm . sedangkan band 3 merupakan
citra yang merespon sinar cahaya tampak dengan panjang gelombang 0.63-0.69 µm. ketiga
band tersebut dikombinasikan untuk menghasilkan citra true color. Citra true color yang
dihasilkan kemudian dilakukan contrast enhancement untuk menghasilkan warna yang
lebih tajam. Citra true color yang telah dilakukan contrast enhancement ditunjukkan pada
Gambar 2.
106
E02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
aktifitas fluida hydrothermal di permukaan yag berwujud manisfestasi Geothermal. Hal ini
dibuktikan dengan adanya fumarole di daerah Gedongsongo.
Untuk mengetahui morfologi dari gunung ungaran digunakan single band yaitu band 4
dengan panjang gelombang 0,772-0,898 m sehingga dihasilkan citra Grayscale. proses
filtering dilakukan untuk mendapat gambaran pola kelurusan. Pola keurusan yang
dihasilkan bukan merupakan hasil interpretasi pengamatan mata melainkan hasil dari
proses filtering dengan konfolusi Laplace pada band 4 untuk mempertajamtepi dari suatu
relif, missal punggungan, lembah, gawir sesar dan sebaginya. Kelurusan ditunjukkan
dengan adanya garis putih atau abu-abu yang merupakan susunan dari pixel-pixel pada
citra. Hasil dari pola kelurusan ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Citra Landsat 4 yang telah dilakukan pemfilteran konfolusi Laplace untuk
mengetahui pola pelurusan
Selain dilakukan pengolahan citra Landsat band 4, juga dilakukan interprtasi pola
kelurusan berdasarkan pada citra DEM. Citra DEM dapat memberikan gambaran
morfologi secara 3D mendekati nyata sehingga sangat membantu dalam interpretasi
morfologi. Citra DEM Gunung Ungaran serta interpretasi pola peluusannya ditunjukkan
pada Gambar 4.
107
E02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Geologi pada Sistem Geothermal sangat dibutuhkan oleh fluida permukaan untuk bergerak
menuju reservoir pada system Geothermal yang berfungsi untuk menjaga kelangsungan
system Geothermal.
Kesimpulan
Hasil dari studi memperlihatkan sebuah anomaly data suhu permukaan Gunung Ungaran
yang dapat diketahui melalui landsat. Landsat ini memperlihatkan beberapa perbedaan
antara Gunung Ungaran dan are di sekitar. SRTM memperlihatkan beberapa pelurusan
yang menunjukkan keberadaan struktur mayor berupa sesar maupun kekar yang berpola
northwest-southeast. Hasil dari penyelidikan lapangan ditemukan juga manifestasi
geothermal seperti air anas dan fumarole yang mengindikasikan potensi geothermal di
Gunung Ungaran.
Referensi
[1] Ulumiyah, Supriyadi, Agus Yulianto “Analisis Kelembaban dan Temperatur
Permukaan Dangkal di Daerah Gonoharjo”, Unnes Physics Journal, 2013
[2] Wahyudi, “Kajian Potensi Panas Bumi dan Rekomendasi Pemanfaatannya pada
Daerah Prospek Gunungapi Ungaran Jawa Tengah”, Berkala MIPA, 16(1), 2006
[3] Yuanno Rezky, Ahmad Zarkasyi, Dikdik Risdianto, “Sistem Panas Bumi dan
Model Daerah Panas Bumi Gunung Ungaran, Jawa Tengah Konseptual“,Buletin
Sumber Daya Geologi Volume 7 Nomor 3, 2012
108
E03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
ABSTRAK
Blok Y merupakan blok eksplorasi coalbed methane (CBM). Blok ini bertampalan dengan blok
pengembangan minyak conventional yang terlebih dahulu ada. Untuk mendapatkan gambaran yang
utuh mengenai kondisi reservoar CBM dalam blok yang memiliki luas 142.714,5 acre atau sekitar
577,54 kilometer persegi (km2) ini, diperlukan adanya integrasi antara data yang berasal dari sumur
eksplorasi CBM dengan data yang berasal dari sumur minyak conventional. Integrasi data tersebut
seringkali tidak berjalan dengan mudah. Kualitas dan resolusi data yang berbeda, berasal dari hasil
pengukuran berbeda, menjadi penghalang utama. Adapun tujuan dari integrasi data tersebut dalam
penelitian ini adalah untuk melakukan analisis penentuan penyebaran dan perhitungan sumberdaya
reservoar coalbed methane yang terletak di dalam empat zona prospek reservoar coalbed methane pada
Formasi Muara Enim, Blok Y, Cekungan Sumatera Selatan. Hasil dari penentuan penyebaran
menunjukkan penyebaran reservoar coalbed methane berkembang pada lingkungan pengendapan delta
plain, dengan sifat menerus, dengan arah orientasi sikuen pengendapan Timur Laut-Barat Daya serta
ketebalan maksimal (35-55 ft) dijumpai pada slope cekungan dalam blok penelitian ini. Sementara,
hasil perhitungan sumberdaya coalbed methane-nya menunjukkan besaran sumberdaya gas pada blok
ini mencapai 2,1 TCF.
Kata kunci: Penyebaran dan perhitungan sumberdaya reservoar coalbed methane.
Pendahuluan
Blok Y merupakan blok eksplorasi coalbed methane (CBM) yang dioperasikan oleh PT
Medco CBM Sekayu, anak perusahaan dari PT Medco E&P Indonesia yang bergerak di
bidang CBM. Blok eksplorasi CBM ini bertampalan dengan blok pengembangan minyak
conventional yang terlebih dahulu ada. Dengan menyandang status sebagai blok eksplorasi,
dapat dipastikan ketersediaan data sangat terbatas. Baru terdapat tiga sumur eksplorasi CBM
dan tujuh sumur minyak conventional dalam blok yang memiliki luas 142.714,5 acre atau
sekitar 577,54 kilometer persegi (km2) ini. Berdasarkan kondisi tersebut, dipastikan sulit untuk
mendapatkan gambaran kondisi reservoar CBM sesungguhnya. Terutama apabila hanya
menggunakan data yang berasal dari sumur eksplorasi CBM. Oleh karena itu, untuk
mendapatkan gambaran yang utuh mengenai kondisi reservoar CBM, diperlukan adanya
integrasi antara data yang berasal dari sumur eksplorasi CBM dengan data yang berasal dari
sumur minyak conventional. Namun, integrasi tersebut seringkali tidak berjalan dengan
mudah. Kualitas dan resolusi data yang berbeda, berasal dari hasil pengukuran berbeda,
menjadi penghalang utama. Selain itu, informasi pengukuran data yang ada juga sering
dijumpai dalam skala yang berbeda.
109
E03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Hasil integrasi data nantinya dapat digunakan untuk mengembangkan berbagai macam
pendekatan model reservoar. Tujuan pengembangan model reservoar tersebut dalam
penelitian ini adalah untuk membantu dalam melakukan analisis penyebaran dan perhitungan
sumberdaya reservoar coalbed methane yang terletak di dalam empat zona prospek reservoar
coalbed methane pada Formasi Muara Enim, Blok Y, Cekungan Sumatera Selatan.
Metode Penelitian
Beberapa metode penelitian digunakan untuk mendukung keberhasilan penelitian ini, antara
lain:
1.Metode analisis log kualitatif dan elektrofasies untuk penentuan litologi dan analisis
fasies
2.Metode korelasi stratigrafi sikuen dan litostratigrafi untuk korelasi
3. Metode volumetrik untuk melakukan perhitungan sumberdaya
Geologi Regional
Daerah penelitian termasuk dalam Cekungan Sumatera Selatan. Cekungan ini merupakan
rangkaian cekungan back-arc berumur Tersier yang terbentuk selama Eosen-Oligosen dan
terletak pada sisi Tenggara Pulau Sumatera (Kamal et al., 2008). Konfigurasi cekungan
berbentuk asimetris (Gambar 1), terbentuk ketika graben dengan arah trend Utara berkembang
akibat adanya pergerakan intra-plate secara ekstensional ke arah Timur-Barat.
Batas Barat Daya dan Barat cekungan ini dipisahkan oleh zona sesar dan pengangkatan
Pegunungan Barisan, batas Barat Laut dan Utara berbatasan dengan Cekungan Sumatera
Tengah yang dipisahkan oleh basement kristalin dan meta sedimen pra-Tersier dari tinggian
Pegunungan Tigapuluh, batas Timur Laut dipisahkan oleh sedimen pada batas pengendapan
Paparan Sunda, dan pada bagian Timur dan Selatan dibatasi oleh Pulau Bangka dan
pengangkatan basement dari Paparan Sunda yang dikenal dengan Tinggian Lampung (Sapiie
dkk., 2005).
Basement pada cekungan ini berumur pra-Tersier dan merupakan hasil amalgamasi yang
kompleks dari beberapa microplate yang tersusun atas interkalasi batuan beku, metamorf, dan
sedimen yang memiliki orientasi Barat Laut-Tenggara (Pertamina BPPKA, 1997). Selain itu,
granite yang terdeformasi secara kuat, batuan volkanik, dan batuan metamorf yang berumur
Cretaceous dan Tersier juga ikut menyusun basement pada cekungan ini.
Pada penelitian ini, fokus studi reservoar coalbed methane (CBM) berada pada Formasi Muara
Enim, dikarenakan adanya beberapa beberapa lapisan batubara sebagai reservoar CBM yang
diendapkan pada lingkungan fluvial hingga laut dangkal pada formasi tersebut. Adapun rezim
tektonik pada saat pengendapan Formasi tersebut berupa rezim transpression yang
berlangsung saat terjadi inversi. Kondisi seperti itu menghasilkan interpretasi awal adanya
palegeografi pengendapan Formasi Muara Enim yang dikontrol oleh kehadiran slope di sekitar
cekungan dalam blok penelitian ini. Berikutnya untuk mempertegas interpretasi adanya
kontrol slope pada saat pengendapan Formasi Muara Enim tersebut, diperlukan pemahaman
mengenai perkembangan paleogeografi dan stratigrafi dari formasi-formasi yang terbentuk
lebih tua dan muda pada saat sebelum dan sesudah keterbentukan Formasi Muara Enim. Selain
110
E03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
itu, hal tersebut nantinya juga dapat ditujukan untuk membangun pemahaman mengenai arah
pengendapan dan sedimentasi Formasi Muara Enim.
111
E03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
112
E03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
113
E03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
If( RHOB>=1.92,1,2 ))”. Arti dari perintah tersebut adalah apabila densitas lebih kecil atau
sama dengan 1,75 maka dia merupakan fasies coal (kode 0), apabila densitas lebih besar sama
dengan 1,92 maka dia merupakan fasies sand (kode 1), selain dari keduanya maka fasiesnya
adalah fasies shale (kode 2). Tujuan untuk memasukkan perintah tersebut pada software
adalah untuk melakukan pengelompokkan litologi berdasarkan nilai log RHOB ke dalam
kelompok litologi tertentu seperti shale, sand, atau coal. Hal tersebut dapat dilakukan, karena
sifat dari litologi adalah discrete, yaitu mempunyai nilai tertentu.
Setelah itu, hasil analisis log kualitatif tersebut divalidasi dengan menggunakan data mud log.
Namun sebelum menggunakan data mud log, sebaiknya kita mengetahui keterbatasan dari
penggunaan data tersebut. Keterbatasan tersebut berupa keakuratan pengamatan kedalaman
yang mempunyai nilai koreksi ± 15 ft. Oleh karena itu, informasi litologi dalam data mud log
tidak sepenuhnya benar terletak pada kedalaman tertentu. Hal tersebut dikarenakan, cutting
sering tercampur ketika mencapai permukaan akibat rugousity pada lubang bor sewaktu
dilakukan pemboran, sehingga menyebabkan suatu data mud log tidak menunjukkan informasi
litologi suatu formasi sesungguhnya pada kedalaman tertentu. Sebagai contoh, cutting dari
litologi sand yang mempunyai densitas yang lebih besar akan menuju permukaan dengan lag
time yang lebih lama, meskipun dilakukan pemboran pada kedalaman yang lebih dangkal.
Sementara cutting dari litologi shale, dengan densitas yang lebih kecil, akan menuju
permukaan dengan lag time yang lebih cepat, padahal dilakukan pemboran pada kedalaman
yang lebih dalam, sehingga hal tersebut mengakibatkan ketidakakuratan informasi litologi
suatu formasi sesungguhnya pada kedalaman tertentu dengan menggunakan data mud log.
Selanjutnya setelah penentuan litologi selesai dilakukan, maka diteruskan dengan analisis
elektrofasies guna interpretasi awal adanya perbedaan fasies pengendapan. Analisis
elektrofasies dalam penelitian ini dilakukan hanya pada interval zona prospek reservoar CBM
Formasi Muara Enim, berdasarkan PT Medco CBM Sekayu, pada daerah penelitian ini. Hasil
dari analisis elektrofasies tersebut menunjukkan terdapat tiga karakteristik pola defleksi kurva
log GR yang berupa funnel shaped, bell shaped, dan serrated yang terjadi berulang kali
dengan pola tertentu. Gambar 4 menunjukkan perkembangan suksesi sikuen pengendapan
sumur U2, stratotype log, dan hasil analisis elektrofasiesnya.
Sementara, hasil dari analisis fasies pada penelitian ini, menghasilkan pengelompokkan fasies
ke dalam empat kelompok fasies berdasarkan kesamaan sifat fisik batuan, yaitu fasies
interdistributary bay shale, fasies delta channel sand, fasies mouthbar sand, dan fasies delta
slope sand. Berikut merupakan penjelasan ke empat kelompok fasies tersebut:
1. Fasies Interdistributary Bay Shale
Fasies ini tersusun oleh perselingan antara litologi sand, shale, dan coal dalam pola
sikuen pengendapan tertentu dengan ketebalan berkisar antara 28 hingga 95 feet (ft).
Namun, pada sikuen pengendapan fasies ini lebih cenderung didominasi oleh
kehadiran litologi shale dan coal. Hal tersebut tercermin pada hasil analisis
elektrofasies yang menunjukkan pola defleksi kurva log GR yang berupa pola serrated.
Pola tersebut menunjukkan adanya perselingan antara nilai API log GR tinggi yang
menunjukkan litologi shale dengan nilai API log GR rendah yang menunjukkan
litologi sand dan coal.
2. Fasies Delta Channel Sand
114
E03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Fasies ini tersusun oleh litologi sand pada bagian yang tua kemudian bergradasi
menuju litologi shale pada bagian yang lebih muda dengan ketebalan berkisar antara
20 hingga 40 ft. Hal tersebut tercermin pada hasil analisis elektrofasies yang
menunjukkan pola defleksi kurva log GR yang berupa pola bell shaped. Pola tersebut
menunjukkan terjadi perubahan nilai API log GR rendah yang menunjukkan litologi
sand bergradasi menuju nilai API log GR tinggi yang menunjukkan litologi shale.
3. Fasies Mouthbar Sand
Fasies ini didominasi oleh sikuen pengendapan litologi sand yang masif dan tebal
dengan ketebalan berkisar antara 20 hingga 30 ft. Hal tersebut tercermin pada hasil
analisis elektrofasies yang menunjukkan pola defleksi kurva log GR yang tergabung
dalam rangkaian pola funnel shaped, lebih khusus hanya pada bagian atas pola
tersebut. Pola tersebut menunjukkan nilai API log GR rendah dan konsisten yang
menunjukkan pengendapan litologi sand yang tebal.
4. Fasies Delta Slope Sand
Fasies ini tersusun oleh litologi shale pada bagian yang tua kemudian bergradasi
menuju litologi sand pada bagian yang lebih muda dengan ketebalan berkisar antara 30
hingga 35 ft. Hal tersebut tercermin pada hasil analisis elektrofasies yang menunjukkan
pola defleksi kurva log GR yang berupa pola funnel shaped. Pola tersebut
menunjukkan terjadi perubahan nilai API log GR tinggi yang menunjukkan litologi
shale bergradasi menuju nilai API log GR rendah yang menunjukkan litologi sand.
Selanjutnya, hasil penentuan litologi dan analisis fasies tersebut digunakan sebagai bahan
dasar penentuan lingkungan pengendapan untuk penentuan bidang kunci stratigrafi yang
berikutnya akan digunakan untuk melakukan korelasi stratigrafi sikuen, dan hasil penentuan
reservoar CBM digunakan untuk melakukan korelasi litostratigrafi terhadap litologi coal
sebagai reservoar CBM. Dalam penentuan suatu lingkungan pengendapan, langkah yang harus
dilakukan adalah melakukan integrasi antara hasil analisis data sekunder dan fasies tersebut.
Hasil integrasi tersebut menghasilkan kesimpulan jika terdapat dua suksesi lingkungan
pengendapan yang berkembang pada daerah penelitian ini, yaitu lingkungan pengendapan
delta plain dan delta front.
Berikutnya setelah proses diatas telah selesai dilakukan, maka dilanjutkan dengan pengikatan
antara bidang kunci stratigrafi dengan data seismik 2-D melalui proses well seismic tie.
Kemudian diteruskan dengan horizon dan fault interpretation. Horizon interpretation
diperlukan untuk mengetahui penyebaran lateral bidang kunci stratigrafi pada penampang
seismik, sedangkan fault interpretation diperlukan untuk mengetahui perkembangan struktur
geologi berupa patahan dan orientasi arahnya pada daerah penelitian ini.
Hasil dari horizon interpretation seismik, seperti pada Gambar 5, menunjukkan penyebaran
marker maximum flooding surface (MFS) 2 hingga 6 menerus dalam blok penelitian.
Penyebaran marker MFS yang paling dalam ditemukan pada bagian tengah blok penelitian
dan menerus ke arah Barat Daya, sedangkan pada arah Timur Laut, Barat Laut, Utara, dan
Tenggara pada blok penelitian ini terjadi pendangkalan. Pendangkalan tersebut diduga
disebabkan karena pada arah-arah tersebut merupakan suatu morfologi tinggian. Selanjutnya,
dengan mengamati ketebalan antara bidang marker satu dengan marker lainnya yang relatif
sama mengindikasikan pengendapan material sedimen dalam cekungan pada blok penelitian
115
E03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
ini relatif mempunyai energi yang sama dengan lingkungan pengendapan tertentu yang terjadi
berulang kali.
Hasil dari fault interpretation, seperti pada Gambar 6, menunjukkan keterdapatan fault dalam
penelitian ini terbagi kedalam enam kelompok dengan arah orientasi Timur Laut-Barat Daya
yang dihasilkan dari interpretasi pada seismic line yang mempunyai arah tegak lurus terhadap
fault tersebut.
Berdasarkan rangkaian tahapan analisis diatas, meliputi penentuan litologi hingga interpretasi
seismik, menunjukkan litologi coal pada blok penelitian ini berkembang pada saat terjadinya
transgresi, TST, dengan lingkungan pengendapan delta plain dan orientasi arah mengikuti
arah orientasi pengendapan sedimen dalam suatu cekungan dalam blok penelitian ini, Timur
Laut-Barat Daya. Adapun untuk ketebalan reservoar CBM dalam blok penelitian yang paling
tebal (35-55 ft) berada di sekitar slope cekungan.
Hal tersebut dikarenakan pada saat transgresi cekungan berlangsung, tersedia ruang
akomodasi yang besar hingga sangat besar, dikarenakan adanya kenaikan base level changes
dan rates of base-level change yang tinggi serta subsidence cekungan yang konstan. Selain itu,
pada saat transgresi cekungan berlangsung juga dipengaruhi oleh sedimentation rate yang
konstan. Keseluruhan kondisi tersebut memungkinkan suatu material sedimen silisiklastik dan
material organik untuk diendapkan pada ruang akomodasi tersebut. Adapun pada saat
lowstand system tract tidak terbentuk coal, dikarenakan terjadi penurunan base level changes
dan rate of base level change-nya yang tingkatnya masih dibawah sedimentation rate-nya,
sehingga rentan terjadi erosi terhadap material sedimen silisikastik dan organik yang
diendapkan. Sementara pada highstand system tract tidak terbentuk coal, dikarenakan
sedimentation rate-nya melampaui rate of base level change-nya. Kondisi tersebut
menyebabkan adanya gangguan pada saat pengendapan material organik oleh kehadiran
material sedimen silisiklastik dalam kondisi melimpah yang masuk kedalam cekungan.
Secara detail, prediksi geometri dan ketebalan litologi coal yang berlangsung selama
transgressive system tract dapat dibedakan menjadi tiga bagian, antara lain: awal hingga
pertengahan transgressive system tract, pertengahan transgressive system tract, dan
pertengahan transgressive system tract hingga awal highstand system tract.
Pada awal hingga pertengahan transgressive system tract diendapkan coal dengan geometri
tipis dan tidak menerus pada saat ruang akomodasi yang tersedia besar, yang dipengaruhi oleh
kenaikan base level changes dan rates of base-level change-nya melampaui sedimentation
rate-nya. Oleh karena itu, peat dapat terakumulasi pada kapasitas maksimalnya dalam suatu
tempat membentuk endapan coal yang tipis, sehingga pada arah lateralnya tidak dijumpai
pengendapan coal yang menerus.
Lalu pada pertengahan transgressive system tract diendapkan coal dengan geometri yang
relatif tebal, dibandingkan pada awal transgressive system tract dan tidak menerus. Hal
tersebut dikarenakan adanya pengaruh sedimentation rate yang konstan dan keterbentukan
ruang akomodasi yang sangat besar. Terutama dikontrol oleh adanya subsidence cekungan
yang beriringan dengan rate of base level change-nya yang telah mencapai titik tertinggi,
sehingga peat dapat terakumulasi pada kapasitas maksimalnya dalam suatu tempat akomodasi
yang sangat besar, membentuk endapan coal yang tebal dan tidak menerus untuk diendapkan.
Kemudian pada pertengahan transgressive system tract hingga awal highstand system tract,
diendapkan coal dengan geometri yang relatif tebal dan menerus dibandingkan pada awal
116
E03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
transgressive system tract yang terutama dipengaruhi oleh berkurangnya ruang akomodasi
akibat penurunan pada rate of base level change-nya yang beriringan dengan sedimentation
rate yang konstan, sehingga memungkinkan material sedimen silisiklastik dan organik untuk
terendapkan dengan pelamparan yang luas dan menerus. Adapun model penyebaran coal pada
blok ini digambarkan seperti pada Gambar 7, sedangkan model prediksi geometri dan
ketebalan coal digambarkan seperti pada Gambar 8.
Hasil perhitungan tersebut menunjukkan besaran sumberdaya CBM dalam blok penelitian
secara keseluruhan mencapai 2,1 TCF. Adapun untuk detail perhitungan sumberdaya CBM
Blok Y dalam penelitian ini ditunjukkan seperti pada Tabel 1, sedangkan gambaran peta
isopach tiap seam ditunjukkan seperti pada Gambar 9.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi data, penulis mengambil beberapa kesimpulan
antara lain:
1. Penyebaran reservoar CBM pada zona Palembang A, B, C, dan D berkembang pada
lingkungan pengendapan delta plain yang didominasi oleh fasies interdistributary bay
shale dengan sifat menerus, dengan arah orientasi sikuen pengendapan Timur Laut-Barat
Daya. Analisis elektrofasies dari fasies tersebut menunjukkan pola defleksi kurva log GR
berupa pola serrated. Pola tersebut mengindikasikan adanya dominasi antara litologi
coal dan sand dengan nilai API log GR rendah berselingan dengan litologi shale dengan
nilai API log GR tinggi. Adapun ketebalan maksimal (35-55 ft) dari reservoar CBM
dalam lingkungan pengendapan tersebut dapat dijumpai disekitar slope cekungan dalam
blok penelitian ini.
Perhitungan sumberdaya CBM dengan melakukan perhitungan volume tiap seam yang
dihasilkan dari ekstraksi seam pada zona prospek reservoar CBM, menunjukkan jumlah
117
E03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
sumberdaya gas yang terdapat pada reservoar CBM pada zona Palembang A, B, C, dan D pada
blok ini secara keseluruhan mencapai 2,1 TCF.
Saran
Berdasarkan hasil analisis penyebaran log litologi secara kualitatif dengan melihat pola
penyebaran litologi coal dalam area tertentu, penulis memberikan saran agar “sweet”
exploration spots untuk nantinya dijadikan lokasi pemboran eksplorasi sumur CBM
berikutnya di arahkan pada daerah slope cekungan, khususnya yang berada pada arah Timur
Laut-Barat Daya blok penelitian ini, dikarenakan pada daerah tersebut terjadi penebalan
litologi coal yang dominan.
Daftar Pustaka
Aitken, J.F., 1995. Utility of coal seams as genetic stratigraphic sequence boundaries in non-
marine basins: an example from Gunedah Basin, Australia. AAPG Bulletin 79 1179–1181.
Aminian, K., 2006. Evaluation of Coalbed Methane Reservoirs. Petroleum & Natural Gas
Engineering Department 7.
Arditto, P.A., 1991. A sequence stratigraphic analysis of the Late Permian succession in the
Southern coalfield, Sydney Basin, New South Wales. Australian Journal of Earth Science
38 125–137.
Argakoesoemah, R.M., Kamal, A., 2004. Ancient Talangakar Deepwater Sediments in South
Sumatra Basin: A New Exploration Play. Proc. of an International Geoscience Conference
on Deepwater and Frontier Exploration in Asia and Australasia, (eds.) Ron A. Noble,
Antonio Argenton and Charles A. Caughey, IPA 251–267.
Bohacs, K., Suter, J., 1997. Sequence stratigraphic distribution of coaly rocks: fundamental
controls and paralic examples. AAPG Bulletin 81 1612–1639.
Diessel, C.F.K., Boyd, R., Wadsworth, J., Chalmers, G., 2000. The identification of
accomodation trends in coal seams.
Diessel, C.F.K., Boyd, R., Wadsworth, J., Leckie, D., Chalmers, G., 2000. On balanced and
unbalanced accomodation/peat accumulation ratios in the Cretaceous coals from Gates
Formation, Western Canada and their sequence-stratigraphic significance. International
Journal of Coal Geology 43 143–186.
Galloway, W., 1989. Genetic stratigraphic sequences in basin analysis: architecture and
genesis of flooding surfaces bounded depositional units. AAPG Bulletin 73 125–142.
Ginger, D., Fielding, K., 2005. The Petroleum Systems and Future Potential of The South
Sumatra Basin. Proceedings Indonesian Petroleum Association 30th Annual Convention
& Exhibition 67-76.
Hall, R., 1995. Plate Tectonic Reconstructions of the Indonesian Region. Proceedings
Indonesian Petroleum Association 24th Annual Convention & Exhibition 71–84.
Hamilton, D.S., Tadros, N.Z., 1994. Utility of coal seams as genetic stratigraphic sequence
boundaries in non-marine basins: An example from Gunnedah Basin, Australia. AAPG
Bulletin 78 267–286.
Holz, M., Wolfgang, K., Banerjee, I., 2002. Sequence stratigraphy of paralic coal-bearing
strata: an overview. International Journal of Coal Geology 48 147–179.
Holmes, M., 2000. LESA Coalbed methane log analysis. Digital Formation 3.
118
E03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Horne, J.C., Ferm, J.C., Caruccio, F.T., Baganz, B.P., 1979. Depositional models in coal
exploration and mine planning in Apalachian Region. In: Carboniferous Depositional
Environments in the Appalachian Region 544–575.
Kamal, A., Argakoesoemah, R.M.., Solichin, 2008. A Proposed Basin-Scale Lithostratigraphy
For South Sumatra Basin. Sumatra Stratigraphy Workshop Indonesia Association Of
Geologist.
Michaelsen, P., Henderson, R., 2000. Facies relationships and cyclicity of high-latitude, Late
Permian coal measures, Bowen Basin, Australia.
Pashin, J.C., 2000. Using flooding surface in coal-bearing strata to model accomodation space:
example from the Black Warior basin, Alabama. American Association of Petroleum
Geologists Annual Meeting.
PERTAMINA BPPKA, 1997. Petroleum Geology of Indonesia Basins Principles, Methods
and Application. Internal Pertamina BPPKA
PT Medco CBM Sekayu, 2011. Proposal usulan pemboran eksplorasi CBM SE-07. Internal
PT Medco CBM Sekayu 35.
Sapiie, B., Hadiana, M., Nugraha, I., Sayentika, 2005. Analogue Modeling of Rift Mechanism
in The Paleogene Graben System of Western Indonesia. Proceedings Indonesian
Petroleum Association 30th Annual Convention & Exhibition 593-597.
Shearer, J.C., Staub, J.R., Moore, T.A., 1994. The conundrum of coalbed thickness: a theory
for stacked mire sequence. The Journal of Geology 102 611–617.
119
E03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Tabel 1. Perhitungan sumberdaya coalbed methane Blok Y pada zona Palembang A-D
ABSTRACT
Talang Akar Formation is one of the formation that act as source rock of South Sumatera Basin
which is known as a prominent oil producing basin in Indonesia. This study discuss the
geochemical characteristics by means of Rock Eval Pyrolysis method and organic petrography
of shale taken from outcrops of Talang Akar Formation in Lahat and Pangkalan Balai.
The result of Rock Eval Pyrolysis analysis show that TOC values range from 0.94 %-4.33 %,
the value of HI range from 45 -235 mgHC /g TOC , OI 4-97 mgCO2 / g TOC , vitrinite
reflectance ( Ro ) 0.2%-0.48 % , and Tmax 4260C -440 0C. Geochemistry data from Pangkalan
Balai area show that this shale is still immature but has good potential to be source rock, with
expected dominant product of gas. Whereas Lahat geochemistry data show fair potential to be
source rock, oil as dominant product with level of maturity is mature. Meanwhile, based on
organic petrography analysis show that both in Pangkalan Balai and Lahat area are dominated
by liptinit maceral.
PENDAHULUAN
Cekungan Sumatera Selatan merupakan salah satu cekungan mature di Indonesia.
Menurut Ginger & Fielding (2005) lebih dari 60 lapangan masih berproduksi hingga
saat ini.Hal tersebut membuktikan bahwa masih banyak potensi yang terdapat pada
cekungan ini.
Formasi Talang Akar merupakan salah satu formasi di Cekungan Sumatera
Selatan yang berperan sebagai batuan induk.Oleh karena itu penelitian ini dilakukan
sebagai salah satu langkah untuk menambah informasi mengenai daerah yang terkait
dan diharapkan dapat bermanfaat dalam hal pengembangan cekungan Sumatera
Selatan.
Objek dari penelitian ini ialah sampel singkapan serpih dari Formasi Talang
Akar yang di ambil dari daerah Pangkalan Balai dan Lahat, sedangkan tujuan dari
penelitian ini ialah untuk mengetahui karakteristik dari serpih di Formasi Talang
Akar baik secara geokimia maupun petrografi organik.
Geologi Regional
Cekungan Sumetera Selatan terletak di pulau Sumatra dan termasuk cekungan busur
belakang (back arc basin) yang terbentuk selama pra Tersier hingga Tersier
awal.Cekungan ini merupakan hasil kegiatan tektonik akibat adanya subduksi
125
E04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
lempeng Indian-Australia terhadap lempeng Eurasia dengan arah subduksi timur
laut-barat daya (Sarjono & Sardjito, 1989; De Coster, 1974).
Cekungan Sumatera selatan memiliki tiga fase tektonik, yang pertama terjadi
pada akhir Paleosen hingga Miosen awal yang membentuk graben dengan arah
relatif utara-selatan.Fase kedua terjadi pada Miosen awal hingga Pliosen awal.Pada
akhir fase ini terbentuk adanya sesar-sesar normal.Fase ketiga terjadi mulai Pliosen
hingga saat ini yang menyebabkan basin inversion dari sesar normal yang telah
terbentuk sebelumnya menjadi antiklin yang berfungsi sebagai jebakan utama pada
cekungan ini(Bishop, 2001).
Formasi Talang Akar berumur Oligosen hingga Miosen Awal dengan
ketebalan berkisar antara 460 m – 610 m. Formasi ini diendapkan secara tidak
selaras (paraconformity) diatas Formasi Lahat. Formasi Talang Akar terdiri dari
batulanau, batupasir, serpih dan terdapat sisipan batubara yang diendapkan pada
lingkungan transisi hingga laut dangkal(Adiwidjaja & De Coster 1973).
Batuan induk dari formasi ini diyakini sebagai formasi yang dominan
menghasilkan hidrokarbon pada cekungan Sumatera Selatan.Litologi yang berperan
sebagai batuan induk ialah serpih, dimana kualitas yang baik dari batuan induk
tersebut dapat ditemukan di tengah sub cekungan Palembang dan Benakat Gully
(Sarjono & Sarjito, 1989).
METODE PENELITIAN
Persiapan Sampel
Lima belas sampel yang diambil berukuranhand specimen yang diperoleh dari
singkapan pada daerah Pangkalan Balai dan Lahat.Batuan yang dipilih merupakan
serpih yang berwarna gelap karena karakteristik pada serpih baik sebagai batuan
induk.Saat sampel diambil dari lapangan dipilih kualitas baik dan masih segar
tujuannya agar terhindar sedikit mungkin dari proses oksidasi. Namun, sulit untuk
mendapatkan sampel batuan yang secara keseluruhan masih segar. Setelah itu
sampel dibersihkan dan dibungkus dengan aluminium foil dan dimasukkan dalam
plastik sampel. Hal tersebut bertujuan agar hidrokarbon bebas pada batuan tidak
hilang
Selanjutnya perlakuan pada sampel dibedakanmenjadi dua cara, yaitu untuk
analisa pirolisis dan TOC (Total Organic Carbon) sampel dihaluskan terlebih
dahulu agar menjadi bubuk sampel batuan sedangkan untuk analisa petrografi
organik dan reflektansi vitrinit, sampel batuan dipotong kecil untuk kemudiandibuat
menjadi sayatan poles. Sampel tersebut kemudian dianalisis geokimia dan petrografi
organic sesuai dengai standar analisa yang ada (Stach, dkk., 1982; Taylor, dkk.,
1998; Waples, 1985).
Petrografi Organik
Pada sayatan poles yang telah siap dilakukan dua jenis pengamatan, yaitu
pengamatan Dispersed Organic Matter (DOM) dan reflektansi vitrinit (Ro). Nilai
reflektansi vitrinitditentukan dengan menggunakan pengamatan terhadap maseral
vitrinit dengan menggunakan mikroskop untuk melihat intensitas sinar pantul dari
maseral tersebut. Hal tersebut dilakukan dengan cara mengukur tigapuluh partikel
vitrinit yang dapat dianggap baik.
126
E04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Sedangkan pengamatan DOMdilakukan terhadap jenis maseral pada
kelompok vitrinit, liptinit dan inertinit serta kelimpahan dari masing-masing maseral
tersebut. Identifikasi maseral tersebut menggunakan beberapa parameter dasar yaitu
reflektansi, relief, bentuk maseral, dan warna dimana setiap maseral memiliki
karakteristik khusus sesuai dengan proses dan material asalnya sesuai dengan
karakteristik yang telah ditentukan dan dijelaskan dalam ICCP.
Pengamatan DOM dilakukan melalui dua tahapan, yaitu menggunakan
mikroscop white light dan pada flouresence light. Kemudian hasil dari kedua
pengamatan tersebut dikombinasikan berdasarkan kombinasi analisa maseral pada
white/blue light maseral oleh Taylor, et al (1998).
HASIL PENELITIAN
Petrografi DOM (Dispersed Organic Matter)
Komposisi dominan dari serpih ialah bahan mineral, untuk serpih dari Pangkalan
Balai rata-rata mengandung mineral sebesar 91.8%, sedangkan serpih dari Lahat
mengandung 89.2% bahan mineral. Kandungan mineral yang umum dijumpai ialah
pirit, dan mineral oksida.Pirit dijumpai dalam bentuk framboidal dan autigenik.
Secara umum serpih yang berasal dari daerah Pangkalan Balai di dominasi
oleh maseral liptinit dengan persentase berkisar dari 1.2% - 14.2 % (lihat Tabel 1),
kecuali pada sampel TGL/22/1/STA4/SH1dimana maseral liptinit tidak dijumpai
pada titik perhitungan, namun terdapat pada sampel ini. Sedangkan pada sampel
TGL/1/23/STA5lebih didominasi oleh maseral vitrinit (collodetrinit) sebanyak
9%.Kehadiran maseral vitrinit dijumpai pada dua sampel lain yaitu
TGL/1/22/STA3/SH/1, danTGL/22/1/STA4/SH1.Namun dalam jumlah yang kecil,
berkisar dari 0.8%-2.2%.Total DOM pada serpih di daerah ini berkisar dari 0.8%-
16.4%.
Hal yang sama juga dijumpai pada serpih dari Lahat dimana didominasi oleh
kelompok maseral liptinit. Maseral liptinit yang hadir berupa alginit dan
liptodetrinit.Liptodetrinit juga hampir dijumpai pada semua sampel batuan.
Kelompok maseral vitrinit memiliki total sebesar 27.6%. sedangkan untuk kelompok
maseral inertinit kandungannya sangat sedikit yaitu sebesar 0.4%.
127
E04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Analisa Geokimia
Analisa ini dilakukan terhadap delapan contoh serpih, tiga berasal dari daerah
Pangkalan Balai dan lima berasal dari daerah Lahat. Serpih dari Pangkalan Balai
memiliki nilai Tmax berkisar dari 364oC -393oC, sedangkan nilai S1, S2, dan S3
secara umum lebih besar jika dibandingkan dengan nilai dari parameter yang sama
pada serpih yang berasal dari Lahat. Sedangkan Nilai Tmax dari sampel Lahat
berkisar dari 428oC - 440oC yang menunjukkan bahwa nilai tersebut lebih besar dari
pada sampel di Pangkalan Balai.
Nilai TOC pada daerah Pangkalan Balai berkisar dari 1.5%-4.33% yang
berarti memiliki kategori berkisar dari cukup berpotensi hingga berpotensi sangat
baik sebagai batuan induk menurut Waples, 1985. Sedangkan pada daerah Lahat,
kandungan TOC berkisar dari 0.82% -3.21%.Hal tersebut menunjukkan bahwa
serpih dari daerah Lahat memiliki kategori berkisar dari sedikit berpotensi hingga
berpotensi sangatbaik.
Diskusi
Kuantitas Material Organik
Untuk menentukan kuantitas material organik menggunakan parameter
kandungan TOC (Total Organic Carbon) dimana hal tersebut digunakan sebagai
implikasi batuan induk.Data yang didapatkan dari daerah penelitian menunjukkan
bahwa memiliki potensi dengan kategori sedikit hingga sangat baik (lihat Tabel
4).Secara umum sampel di serpih di Pangkalan Balai memiliki potensi yang lebih
baik dibandingkan sampel serpih dari Lahat.Nilai TOC pada daerah Pangkalan Balai
berkisar dari 1.5%-4.33%, sedangkan kisaran nilai TOC untuk daerah Lahat sebesar
0.82%-3.21%.
128
E04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
KESIMPULAN
Daftar Pustaka
129
E04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
130
E04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Collotelinit 0 0 0 0.8 0
Vitrinit
Vitrodetrinit 0 0 0 0 0
Collodetrinit 2.2 0 0 0 9
Corpogelinit 0 0 0 0 0
Gelinit 0 0 0 0 0
Sporinit 0 0 0.4 0 0
Cutinit 0 0 0 0 0
Suberinit 0 0 0 0 0
Flourinit 0 0 0 0 0
Liptinit
Resinit 5 3 1 0 0
Alginit 2.2 0 0 0 0
Eksudatinit 0 0 1.6 0 0
Fusinit 0 0 0 0 0
Semifusinit 0 0 0 0 0
Funginit 0 0 0 0 0
Inertinit
Secrinit 0 0 0 0 0
Makrinit 0 0 0 0 0
Mikrinit 0 0 0 0 0
Inertodetrinit 0 0 0 0 0
Total Inertinit 0 0 0 0 0
Mineral
81.4 86.4 80.22 86.4 88.4
lainnya
Karbonat 1.4 0 10 11.4 0
131
E04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Telinit 0 0 0 0 7 0 0 0 0
Vitrodetrinit 0.6 0 0 0 0 0 0 0 0
Collodetrinit 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Corpogelinit 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Gelinit 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Cutinit 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Suberinit 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Flourinit
Liptinit
0 0 0 0 0 0 0 0 0
Bituminit 0 0 0 0 0 0 0.4 0 0
Eksudatinit 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Fusinit 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Semifusinit 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Funginit
Inertinit
0 0 0 0 0 0 0 0 0.4
Secrinit 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Makrinit 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Mikrinit 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Inertodetrinit 0 0 0 0 0 0 0 0 0
132
E04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Rvmean/R T S2 /
No Sample ID S1 S2 S3 S1 + S2 PI* PC HI* OI*
vmax (%) Max S3
Pangkalan Balai
1 TGL/1/22/3/SH1 0.23/0.24 364 3.43 1.98 0.52 5.41 3.81 0.63 0.45 132 35
2 TGL/1/22/3.3/SH4 0.21/0.22 385 5.37 2.73 1.13 8.1 2.42 0.66 0.67 235 97
Lahat
4 TGL/1/24/6/SH1 0.2/0.21 440 0.74 1.96 0.09 2.7 21.78 0.27 0.22 200 9
5 TGL/1/24/7/SH2 0.36/0.38 426 0.79 1.21 0.08 2 15.13 0.4 0.17 148 10
6 TGL/1/24/9/SH2 0.41/0.44 439 1.03 1.74 0.06 2.77 29 0.37 0.23 185 6
7 TGL/1/24/10/SH1 0.36/0.38 434 0.57 0.57 0.05 1.14 11.4 0.5 0.09 45 4
8 TGL/1/25/17/SH1 0.48/0.51 428 0.82 7.3 0.43 8.12 16.98 0.1 0.67 227 13
133
E04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
A B
C D
E F
134
E04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 2. Plot nilai HI dan OI pada diagram pseudo Van Krevelen menunjukkan
tipe kerogen I pada serpih Lahat dan tipe kerogen III pada serpih Pangkalan Balai.
135
E04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
136
E05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Abstract
Coalbed Methane (CBM) is a significant source of energy for Indonesia. Where Indonesia has
about 453 TCF of potential reserves. In any beginning CBM production activities of each well is
always initialy by dewatering process that is the production of water within the formation in
significant amounts. The produced water must be disposed, because it can cause negative impact
for environment and human health. Subsurface disposal is expensive, disposal to surface drainages,
wherever possible, carries a strong economic incentive.
An alternative solution to treatment CBM produced water by using zeolite. Important properties of
zeolite minerals such as crystal structure, adsorption and ion exchange capacity. Zeolite has
vacuum volume that is reach 50A while the diameter of vacuum space is ranging from 2A to more
than 8A. Therefore, zeolite is belonging to nanomaterials and can be used as a nanotechnology. In
this research, zeolite was taken from Klaten and done petrographic analysis and sieve analysis
before it’s utilized as a nanotechnology in form of the prototype.
Based on the test result of chemistry analysis, the prototype can reduced Sodium Adsorption Ratio
(SAR) of 49.268% from the initial SAR level of produced water. And from the test result of
hydrology and water quality analysis, the prototype can reduce Total Dissolved Solid (TDS) and
Total Suspended Solid (TSS) respectively of 63.657% and 75.6% from the initial TDS and TSS
levels of produced water. Therefore, those results have passed water quality standard from
Environment Minister Regulation no.02 of 2011 and the filtered water can be used for community
needs and industry.
Key words: Dewatering process, Produced water, Zeolite, Nanotechnology, The prototype
I. INTRODUCTION
Advanced Resources International, Inc. (ARI, 2003) estimates that coal deposits in
Indonesia and the potential to generate and store Coalbed Methane (CBM), which is
estimated at 453.30 TCF and one of country that has the largest potential CBM in the
world (Table 1). Figure 1 shows the potential of CBM in Indonesia, where there are large
reserves in South Sumatra 183 TCF, TCF 101.6 Barito, Kutai 80.4 TCF, and 52.5 TCF in
Central Sumatra.
CBM has a dual porosity system, the micro pores and macro pores (Figure 2). Fractures
are macropores that referred to as cleats. Consists of face cleat cleats which are continuous
along the fracture line coating and butt cleats which are not continuous fracture path.
Saturated and undersaturated conditions on CBM reservoir is also a parameter that
distinguishes CBM reservoir behavior with conventional gas reservoir. Illustrative plot
graphs CBM reservoir saturation conditions can be illustrated by Langmuir Isotherm curve
137
E05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
(Figure 3). If the result of desorption analysis below on Langmuir curve, so CBM
reservoir is in undersaturated condition, that is adsorption gas capacity is not maximum
because the gas is mixed with water as product of coalification. In undersaturated
condition need to reducing pressure to make desorption mechanism on gas from matrix
area to cleats, and producing to the well. Reducing pressure is done by doing dewatering,
that is drainage of water on CBM reservoir flowing to surface (Figure 4).
Based on Minister of Environment Regulation No. 02 of 2011, produced water is water
brought up from the coal strata during the exploration and exploitation of coal methane gas
formations including water and chemicals are added for the well completion process
(completion) and or for the production of methane gas. If produced water management is
improperly can pollute surrounding creeks and rivers when discharged on to the
surrounding landscape. In addition to the impacts from the discharge of produced water,
other issues including saline water and suspended solid content. Thereby produced water
from CBM activities that because a large amount then it should be managed. Key aspects
of determining produced water disposal is the management of non-destructive receiving
environment.
1.2. Zeolite
Zeolite comes from the word "zeinlithos" which means rock bubbly. Zeolite is crystalline
alumina silicate with the empirical formula Mx/n.(AlO2)x. (SiO2)y.xH2O. Zeolite mineral
is a naturally mineral which often found in Indonesia. One of the zeolite mineral deposits is
Bayat, Klaten, Central Java. Zeolite is a silicate alumina which is having a three-
dimensional framework structure with cavities filled in by the ions of alkali and alkaline
soil and water molecules (H2O) are able to move freely (Breck, 1974) (Figure 5). Natural
zeolite has the levels of Si / Al low, tend to be polar, according to Hamdan (1992) high
content of aluminum in the natural zeolite framework causes high concentrations of
cationic charge balancing zeolite framework so that its structure is hydrophilic.
Important properties of zeolite minerals such as crystal structure, absorption and ion
exchange capacity. The volume of a vacuum within the zeolite structure is quite large,
138
E05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
sometimes reaching 50A, while the diameter of the vacuum manifold, ranging from 2A to
more than 8A, depending on the type of zeolite minerals are concerned. Volume and size of
the diameter of a vacuum in the crystal lattice is the basis for the use of mineral zeolite as a
molecular filter or molecular sieving (Porterfield, 1993). Molecular substances screened a
size smaller than the diameter of the mineral zeolite vacuum to pass through, while the
larger size will be retained or rejected. Capacity or ability filter of mineral zeolite
depending on the volume and the amount of emptiness. The greater the amount of empty
space, the greater the ability filter of the natural zeolite.
1.3. Nanotechnology
Technology has enabled scientists to work in a field so small that even cannot be identified
with the help of microscopes, called Nanotechnology. It is also known as nanotech and
deals in developing small sized devices or materials between 1 to 100 nanometres in at
least one dimension. Nanotechnology is defined as the ability to visualize, analyze, and
manipulate materials on molecular scales of approximately 0.1 to 100 nm (Clark A.Miller,
2008)
Nanotechnology is very diverse, ranging from extensions of conventional device physics to
completely new approaches based upon molecular self-assembly, from developing new
materials with dimensions on the nanoscale to direct control of matter on the atomic scale.
Nanotechnology entails the application of fields of science as diverse as surface science,
organic chemistry, molecular biology, semiconductor physics, microfabrication,etc.
Nanotechnology may be able to create many new materials and devices with a vast range
of applications, such as in medicine, electronics, biomaterials and energy production.
II. OBJECTIVES
• To know the characteristics of Klaten natural zeolite to be used as a nanomaterials.
• To design and create a environmentally friendly technology (prototype) for
management of produced water from dewatering process of CBM wells using zeolite as
by a nanotechnology
• To prove that the zeolite as a nanotechnology can be used to filter out the produced
water from dewatering process of CBM wells for obtaining water suitable with
environmental quality standards.
III. METHODOLOGY
3.1. Equipment and Materials
The equipment that is used in this study, namely:
• Polarization Microscope
• Mortar and pastle
• Tyler sieve ASTM
• Measuring cup
Materials that are used in this study, namely:
139
E05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
140
E05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
• Percentage the minerals contained in the rock were observed at three different points
of view and record the average value of the appearance of the mineral.
3.3. Prototype
3.3.1. Shape and Dimension
Prototype is design based on laboratory scale which is shaped like a cylinder and the inside
is filled by some kind of material as a filter CBM produced water (Figure 9).
3.3.2. Materials
There are 3 types of materials are filled in the prototype, namely:
a. Zeolite
Zeolite is used in powder form, by first crushed and sieved using Tyler sieve ASTM with
mesh size 20. Following the use of laboratory procedures Tyler sieve ASTM:
• Taking rock zeolite is dry and free of water
• Break down rock into small fragments and then put it into a mortar and then grind the
grains of sand.
• Check with a binocular, whether the grains are actually mutually separate.
• Provide sieve analysis that has been cleaned in the bottom
• Develop sieve analysis which has been cleared in the top of the bowl to shake the
sieve while the essence of the most refined set over the bowl and the loudest at the top
• Take carefully into the sand sieve zeolite rocks at the top, and then fitted lid, and
turned the amplifier.
• Shook for 30 minutes
• Take the contents of the sieve into the bowl.
Figure 10 shows the procedure of crushed and sieved of zeolite using Tyler sieve ASTM.
b. Sand “Merapi”
Silica sand is sand “Merapi” that is taken in Mount Merapi, first as well use the same
filtered by Tyler sieve ASTM with mesh size 20.
c. Gravel
Research diagram is shown in Figure 11.
141
E05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
and 2. Incision between 1 and 2 is not much different because it is still in the same
formation, zeolite has a relatively high polar or hydrophilic.
Zeolites are used as samples in this study had a ratio of Si / Al is relatively low. Based on
the results of measurements with atomic absorption spectroscopy is known that the natural
zeolite has a ratio of Si / Al = 2.852 (Sriatun , Dimas Buntarto and Adi Darmawan) . High
levels mean alumina zeolite has a relatively high polar or hydrophilic. According
Inglezakis 2005, mordenite type has cation exchange capacity (CEC) by 2.29 meq/g (Table
4).
Based on the test result of chemistry analysis, the level of sodium adsorption ratio (SAR)
of cbm produced water after filtered by prototype, SAR levels obtained in sample 1 and 2
are respectively of 27.805 and 22.927, when the average SAR levels obtained of 25.366.
This means that a decline in the level of SAR cbm produced water after filtering using a
prototype is 49.268% of the initial SAR (Figure 13). Based on Permen LH No.02 of 2011,
so the level SAR that’s obtained has passed the standart level of SAR of <35. Material
which contributes to reduce the SAR level is zeolite, because zeolite is a anionic
compound that can bind particles or elements that have positive ions (cationic),namely
sodium (Na+), calcium (Ca+2) and magnesium (Mg+2). High sodium concentrations will
absorp in the soil is high, so it will cause the soil structure to be compressed, low
permeability and aeration will be reduced. The amount of absorption is influenced by the
ratio of the concentration of sodium cations Na by Ca and Mg. In addition, excess sodium
also impact negatively on the human health, it can cause disease hyponatremia.
Hyponatremia usually occurs in adult and can cause hormonal disruption. Although it has
no direct effect, hyponatremia can cause brain swelling and death. Thus, the reduction of
sodium level in cbm produced water is very important to reduce negative impacts on the
environment and humans. Table 5 shows the characteristics of artificial produced water
after treatment or filtered by prototype.
From the test results the degree of acidity (pH) obtained at pH of sample 1 is 7.48 and
sample 2 is 7.59. Potential hydrogen (pH) is not too powerful or have a negative effect on
the environment, because both of before and after filtration using the prototype still
relatively neutral pH. Because basically, CBM produced water has a neutral pH level.
Based on the test result of hydrology and water quality, the level of Total Dissolved Solid
(TDS) cbm produced water after filtered with the prototype on samples 1 and 2 are
obtained respectively 720 mg/L and 552 mg/L, when the average TDS level is obtained of
636 mg/L. This means that a decline in the level of TDS cbm produced water after filtering
using prototype is 63.657% of the initial TDS (Figure 14). Based on Permen LH No.02 of
2011, so the level TDS that’s obtained has passed the standart level of TDS of 4000 mg/L.
While the test result of Total Suspended Solid (TSS) cbm produced water after filtering,
TSS levels obtained on sample 1 of 27.6 mg/L and sample 2 of 26.1 mg/L, when the
average of TSS level is 26.85 mg/L. This means that a decline in the level of TSS cbm
produced water after filtering using prototype is 75.6% of the initial TSS (Figure 15).
Based on Permen LH No.02 of 2011, the level that’s obtained has passed the standard level
of TSS is 100 mg/L. From the test results TDS and TSS can be seen that a decrease in the
levels of TDS and TSS are proportional result after filtering. Since both of TDS and TSS
are associated with the total solids contained in the water, the difference is that TDS is the
total dissolved solids or minerals in the produced water, while TSS total suspended solids
in produced water. Reduction of these levels can occur due to solids or particles can be
filtered by the sand (silica sand) which is about 1/16 to 2 mm. So that the particle size is
greater than the size of the sand will be detained or filtered. While the smaller size would
142
E05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
qualify, but will be screened by the zeolite. Thus, it can reduce the levels of solids
contained in the cbm produced water. By reducing levels of TDS and TSS can make
clearer cbm produced water (Figure 16 and 17), as well as the role of gravel in water
purification.
By obtaining filtered cbm produced water suitable with environmental quality standart, it
can be used for various purposes, such as for fishing or production materials, coal washing,
watering dust, industrial process water, irrigation, livestock, and other purposes. Therefore,
the potential for a sizeable deposit of zeolite in Indonesia is about 16.6 million tons, the use
of zeolite as nanotechnology is very prospect for management of cbm produced water,
because in addition to reducing the negative impact on the environment, the filtered water
can be used for various public purposes and the industry.
V. CONCLUSION
1. CBM produced water treatment is very important to do, because produced water can
cause negative effects for environment and human health.
2. Natural zeolite from Klaten is belong to mordenite type which is containing 90% clay
minerals (montmorillonite), 5% quartz, and 5% plagioclase mikrolit.
3. Based on the test result of chemistry laboratory, the prototype can reduce Sodium
Adsorption Ratio (SAR) of 49.268% from the initial SAR level of produced water.
4. Based on the test result of hydrology and water quality laboratory, the prototype can
reduce Total Dissolved Solid (TDS) and Total Suspended Solid (TSS) respectively of
63.657% and 75.6% from the initial TDS and TSS levels of produced water.
5. The utilization of zeolite as a nanotechnology is very prospect for management of cbm
produced water, because it can reduce negative effect for environment and human
health, and the filtered water can be used for various public purposes and industry.
VI. RECOMMENDATION
1. From the results, Zeolite as nanotechnology could be applied to filter or purify coalbed
methane produced water, because this technology is effective and efficient to decrease
the percentage some of constituent in coalbed methane produced water which potential
to bother environment, such as SAR, TDS, and SS
2. Need advanced study to develop this technology, specially to determine the life time of
zeolite.
ACKNOWLEDGMENTS
On this occasion we thank the lecturer UPN, Bpk. Ir. Suharwanto, M.T, the lecturer
UGM, Bpk. Dr. Yateman Arryanto, Reservoir Fluid and Petrographic Analysis Laboratories
of UPN “Veteran” Yogyakarta, and Geological, Chemistry and Geography Laboratories of
Gadjah Mada University.
143
E05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
REFERENCES
Abdassah, D., Purba, R.T., Irawan, D. 2010. Predicting the Production Profile of Gas and
Water of Coal Bed Methane Field Using Material Balance of Modified GR King’s
Iteration Procedure, Proceeding IPA 2010 Coal Bed Methane Recovery using GEM,
CMG Compositional Simulator Presentation, 2010.
A.Miller Clark. 2008. “Nanotechnology: Environment, Health, and Safety”. Arizona State
University.
F.Vance George, C.Surdam Ron, Ganjegunte Girisha, Zhao Hongting, Gregory Robert.
“Innovative Technology Development to Maximize Beneficial Use of Produced Water
from Coalbed Natural Gas Operation in The Powder River Basin, Wyoming”.
Department of Renewable Resource – University of Wyoming.
Saputra Rodhie. 2006. “Pemanfaatan Zeolit Sintetis sebagai Alternatif Pengolah Limbah
Industri”.
Steven, S.H. 2006. Indonesia’s Rich CBM Resources and Development Potential: Indo
CBM 2006 Symposium, Jakarta.
U.S. Department of Energy. 2002. “Powder River Basin Coalbed Methane Development
and Produced Water Management Study”.
144
E05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
APPENDIX
CBM Resources
(Advanced Resources International, Inc (ARI)
tahun 2003)
145
E05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Constituent Contains
SAR (Sodium adsorption Ratio) 50
TDS (Total Dissolved Solid) 1750 mg/L
SS (Suspended Solid) 110 mg/L
pH 6.5
Table 4. Ideal cation exchange capacity (CEC) of some natural zeolite : data calculated
using the unit cell formula (Inglezakis, 2005)
Contains Contains
Constituent
Sample 1 Sample 2 Mean
SAR (Sodium adsorption Ratio) 27.805 22.927 25.366
TDS (Total Dissolved Solid) 720 mg/L 552 mg/L 636 mg/L
SS (Suspended Solid) 27.6 mg/L 26.1 mg/L 26.85 mg/L
pH 7.48 7.59 7.53
146
E05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Figure 2. Porosity System in Coalbed Methane (Abdassah, D., Purba, R.T., Irawan, D.,
2010)
147
E05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Figure 3. Langmuir Isotherm Curve explains desorbtion concept and recovery in Coalbed
Methane (Abdassah, D., Purba, R.T., Irawan, D., 2010)
Figure 5. Zeolite framework composed of 4 atoms O bond with 1 atom Si (Bell, 2001)
149
E05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Figure 7. Zeolite was taken from the western Jiwo, Curug sewu, gedang sari, Bayat
Klaten, Central Java
Figure 9. Prototype
151
E05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Figure 10. Procedure of crushed and sieved of zeolite using Tyler sieve ASTM
Start
Making
Artificial Zeolite Sand “Merapi” Prototype SAR report
Produced Water
TDS
Petrographic Heating and Guidance
Chemical Analysis Screening
Analysis
SS
Sieve
Analysis Presentation
pH
Finish
152
E05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Clay
Clay
Quartz
Quartz
MikrolitePlagioclase
Mikrolite Plagioclase
Thin section of sedimentary rocks, gray, clastic texture, grain size from clay- silt , well rounded,
well sorted, compact closed, composed by Clay, Quartz, and relict of Volcanic glass.
Clay (90%) : brownies, Irregular sides, Grain size clay, spread evenly in
the rock, an alteration of volcanic glass (devitrification).
Quartz (5%) : White, very low relief, Regular sides, Grain Size 0, 1 mm,
spotlit, present in the incision as fragment.
Mikrolite Plagioclase (5%) : Greenish Gray, irregular sides, Grain size 0,1 mm uneven
present in the incision as a fragment.
Clay
Quartz
Mikrolite Plagioclase
Thin section of sedimentary rocks, gray, clastic texture, grain size from clay- silt , well rounded,
well sorted, compact closed, composed by Clay, Quartz, and relict of Volcanic glass.
Clay (90%) : brownies, Irregular sides, Grain size clay, spread evenly in
the rock, an alteration of volcanic glass (devitrification).
Quartz (5%) : White, very low relief, Regular sides, Grain Size 0, 1 mm,
spotlit, present in the incision as fragment.
Mikrolite Plagioclase (5%) : Greenish Gray, irregular sides, Grain size 0,1 mm uneven
present in the incision as a fragment.
153
E05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
60
50
40
30
49.268%
20
10
0
Produced Water
Figure 13. Comparison of SAR level of CBM Produced Water before and after treatment
2000
1800
1600
1400
1200
1000 63.657%
800
600
400
200
0
Produced Water
Figure 14. Comparison of TDS level of CBM Produced Water before and after treatment
154
E05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
120
100
80
60
75.6%
40
20
0
Produced Water
Figure 15. Comparison of TSS level of CBM Produced Water before and after treatment
Figure 16. Artificial Produced Water after treatment or filtered by using Prototype
155
E05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
After Before
Figure 17. Comparison of Artificial Produced Water before and after treatment or filtered
by using Prototype
156
E06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
ABSTRAK
Densitas dari log densitas batubara dapat dicari dengan menghitung nilai densitas batubara (ρb) yang di
baca dari log density yang kemudian dikonversi dari satuan CPS ke satuan gr/cm3. Data nilai densitas
batubara yang telah dikonversi dikaitkan dengan hasil analisa kimia kualitas batubara sehingga dapat
diketahui hubungan antar variabelnya. Nilai densitas suatu batubara tergantung pada peringkat mineralnya
dan derajat dari kandungan mineral pengotornya. Batubara dengan peringkat yang sama dan tipe yang
sama memiliki nilai densitas yang sebanding dengan nilai abunya. Penelitian ini diawali dengan
mengetahui hubungan antara densitas batubara dengan kandungan abunya, kemudian aspek abu dikaitkan
dengan hasil uji kimia kualitas batubara yang lain. Dari hasil penelitian terhadap nilai densitas batubara
seam C Formasi Muara Enim diperoleh hubungan antara densitas batubara dari log densitas dan ash
mempunyai hubungan antar variabel positif dengan nilai R2=0.6039. Hubungan antara ash dan calorific
value mempunyai hubungan antar variabel positif dengan nilai R2= 0.6078. Hubungan antara ash dan fixed
carbon mempunyai hubungan antar variabel positif dengan nilai R2= 0.6204. Hubungan antara ash dan
volatile matter mempunyai hubungan antar variabel positif dengan nilai R2=0.7211. Dari hasil
menghubungkan antara nilai densitas dengan aspek-aspek uji kimia kualitas batubara tersebut, dapat
disimpulkan bahwa semakin tinggi nilai densitas batubara seam C formasi Muara Enim maka kualitas
batubaranya akan semakin baik pula, begitu juga sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa seiring
meningkatnya nilai densitas batubara, maka rank batubara akan semakin tinggi.
Pendahuluan
Secara administratif daerah telitian terletak di daerah Tambang Air Laya, Kecamatan
Lawang Kidul, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan. Daerah ini terletak di barat
daya kota Palembang (Gambar 1).
Penelitian ini bertujuan untuk menghimpun data densitas batubara pada seam yang sama
(seam C formasi Muara Enim) dari hasil logging geofisika di Tambang Air Laya yang akan
dihubungkan dengan hasil uji kimia kualitas batubara (Ash, CV, FC, VM). Dari hasil
157
E06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
menghubungkan data tersebut dapat diketahui pengaruh densitas batubara dari log densitas
terhadap kualitas batubara seam C Formasi Muara Enim.
Metode penelitian yang dilakukan dalam penulisan makalah ini dengan melakukan kajian
pustaka, analisis data logging, dan analisis statistik.
Densitas Batubara
Log density adalah suatu kurva yang memanfaatkan sumber sinar radioaktif untuk
mengetahui densitas batuan (Reeves, D.R. 1986). Dengan demikian nilai densitas dari setiap
jenis batuan dapat diketahui karena masing-masing batuan memiliki karakteristik yang berbeda.
Densitas dari log densitas batubara dapat dicari dengan mengitung nilai densitas batubara
(ρb) yang di baca dari log density yang kemudian dikonversi dari satuan CPS ke satuan gr/cm3.
Nilai yang diperoleh dari hasil konversi tersebut yang akan dikaitkan dengan hasil uji kimia
kualitas batubara.
158
E06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
159
E06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Berdasarkan nilai densitas batubara dari log densitas pada seam C yang selanjutnya
dihubungkan dengan hasil uji kualitas ash (Tabel 6.1), maka dapat diketahui nilai hubungan dari
kedua variabel tersebut.
Dari hasil cross plot data densitas dan data ash batubara seam C pada diagram scatter
(Gambar 6.2) diperoleh hubungan antar variabel tersebut positif. Hal ini menunjukkan bahwa
nilai densitas berbanding lurus dengan nilai ash, artinya semakin tinggi nilai densitas, maka nilai
ash akan semakin tinggi juga, begitu pula sebaliknya. Pada grafik tersebut dapat diketahui bahwa
hubungan antara kedua variabel memiliki besaran nilai R2=0.6039.
Gambar 6.2 Grafik hubungan densitas dari log densitas dan ash Batubara
Seam C Formasi Muara Enim.
160
E06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
161
E06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 6.3 Grafik hubungan ash dan calorific value Batubara Seam C Formasi Muara Enim.
162
E06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Tabel 6.3 Data Ash dan Fixed Carbon Batubara Seam C Formasi Muara Enim
Berdasarkan nilai ash pada seam C yang selanjutnya dihubungkan dengan hasil uji
kualitas fixed carbon (Tabel 6.3), maka dapat diketahui nilai hubungan dari kedua variabel
tersebut.
Dari hasil cross plot ash dan data fixed carbon (FC) batubara seam C pada diagram
scatter (Gambar 6.4) diperoleh hubungan antar variabel tersebut positif. Hal ini menunjukkan
bahwa nilai ash berbanding lurus dengan nilai fixed carbon (FC), artinya semakin tinggi nilai
163
E06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
ash, maka nilai fixed carbon (FC) akan semakin tinggi juga, begitu pula sebaliknya. Pada grafik
tersebut dapat diketahui bahwa hubungan antara kedua variabel memiliki besaran nilai
R2=0.6204.
Gambar 6.4 Grafik hubungan ash dan fixed carbon Batubara Seam C Formasi Muara Enim.
menunjukkan bahwa nilai ash berbanding lurus dengan nilai volatile matter (VM), artinya
semakin tinggi nilai ash, maka nilai volatile matter (VM) akan semakin tinggi juga, begitu pula
sebaliknya. Pada grafik tersebut dapat diketahui bahwa hubungan antara kedua variabel memiliki
besaran nilai R2=0.7211.
Tabel 6.4 Data Ash dan Volatile Matter Batubara Seam C Formasi Muara Enim
165
E06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 6.5 Grafik hubungan ash dan volatile matter Batubara Seam C Formasi Muara Enim.
Dari hasil menghubungkan antara nilai densitas dengan aspek-aspek uji kimia kualitas
batubara tersebut, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi nilai densitas batubara seam C
formasi Muara Enim maka kualitas batubaranya akan semakin baik pula, begitu juga sebaliknya.
Hal ini menunjukkan bahwa seiring meningkatnya nilai densitas batubara, maka rank batubara
akan semakin tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Peter, J.Mc Cabe., 1984, ”Depositional Environments of Coal and Coal Bearing Strata”, Special
publication of the international association of sedimentologist published, p. 13-42.
Reeves, D.R. 1986. Coal Interpretation Manual. BPB Instruments Limited. England.
Trinovita, Elin (2013), Geologi dan Pengaruh Densitas Terhadap Kualitas Batubara
Berdasarkan Data Well Logging Formasi Muara Enim Daerah Tambang Air Laya, Town Site,
dan Sekitarnya, Kecamatan Lawang Kidul, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan,
Jurusan Teknik Geologi UPN “Veteran” Yogyakarta. Tidak dipublikasikan.
Ward, R Collin et al, 1983, Coal Geology and Coal Technology, Blacwell Scientific Publication.
167
ER07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Abstract
West Java is one of the areas that have a high geothermal potential which is about 22% of the total
Indonesian geothermal potential. One that has not been developed yet is Galunggung area. This study
aimed to assess the condition of the temperature of this area. Based on density of fault and fracture,
showed that there is anomalous area with high structure density up to 4500 m/km2 , this area located
surround pasir bentang, pasir linggajati and pasir malang, spread along 2 km towards north to north
east, however hot springs found to be located on the south of pasir bentang which is the transition
zone between high density to low density structure, this indicate that the occurrence of surface
manifestation is more controlled by regional hydrology cycle than intensity of fault and fracture. This
hot springs have temperature abour 47-60o C. The presence of travertine along the occurrence of hot
springs indicate that high carbonate and sulphate ion contents of the hot springs, Based on these
parameters, geothermal system of Galunggung area inferred low to moderate temperature. This result
is also supported by location Galunggung area on low seismicity zone and regional heat flow which
is only about 76.7-74.6 mW/sq.m.
Keyword : Galunggung, temperature, hot spring.
Sari
Jawa Barat merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi panas bumi yang tinggi yaitu sekitar
22 % dari potensi panas bumi Indonesia secara total. Salah satu yang belum dikembangkan adalah
area Galunggung. Makalah ini bertujuan untuk menilai kondisi suhu daerah ini . Berdasarkan data
densitas struktur , menunjukkan bahwa ada daerah anomali dengan densitas struktur tinggi > 4500
m/km2 , daerah ini terletak di sekitar Pasir Bentang , Pasir Malang dan Pasir Linggajati , tersebar di
sepanjang 2 km ke arah utara –timur laut , namun mata air panas ditemukan terletak di selatan Pasir
Bentang yang merupakan zona transisi antara kepadatan struktur tinggi ke rendah , ini menunjukkan
bahwa terjadinya manifestasi permukaan lebih terkontrol oleh siklus hidrologi daerah daripada
intensitas struktur . Mata air panas memiliki suhu 60o – 47o C . Kehadiran travertine sepanjang
terjadinya air panas menunjukkan bahwa kandungan karbonat tinggi dan ion sulfat dari mata air
panas. Berdasarkan parameter tersebut , sistem panas bumi daerah Galunggung disimpulkan besuhu
rendah sampai sedang. Hasil ini juga dikonfirmasi oleh lokasi Galunggung area pada zona kegempaan
rendah dan daerah aliran panas yang hanya sekitar 76,7-74,6 mW / sq.m
168
ER07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Introduction
A large part of Indonesia archipelago is occupied by volcano product, with some young
volcanoes that form active volcanic belts. Tectonic movements in the past were usually
followed by inner and intense external volcanism, causing the ascent of magma to shallow
depths. The presence of shallow magma, abundant precipitation (about 3000-4000 mm/yearin
the western region) and volcanic rocks that could act as cap and reservoir rocks, have created
ideal conditions for the development of geothermal systems (Alzwar,1986).
Geothermal energy has become an alternative energy that has been used extensively in the
Java Island. West Java is the province with the largest geothermal potential which is about
6101 MW or about 22% of the 29 GW of total geothermal potential in Indonesia (Faddilah,
2013).The western part of Java has the highest population of identified geothermal fields in
this island as well as the whole Indonesian regions, i.e., forty prospects
Geothermal manifestations are very much scattered around the peaks of Quaternary
volcanoes (Figure 1). However, large and producing fields are only located in two
clustering regions, i.e., the Salak zone (Awi Bengkok) and the Galunggung-Tangkuban
Perahu zone (Kamojang, Darajat, and Wayang Windu) (Setiadji,2010).
Galunggung mountain area is one of the non-existing category geothermal in West Java.
However this area is included in the one of potential geothermal areas which no further
investigation (Faddilah, 2013). Therefore, this study was to review the conditions of
geothermal prospects of this area, which is expected to be a consideration for further
development.
Geological Setting
Java is dominated by products of an E-W oriented, early Tertiary arc magmatism, continuous
with that of Sumatra, and generated by subduction of the Indian-Australian Plate below the
Eurasian Plate to the south of Java (Figure 2). The magmatic belt consists of a foreland
basin in the north and an outer -arc basin in the south of Java, separated by an intervolcanic
basin with a series of Quaternary volcanoes (Hamilton, 1979)
Stratigraphy of the Galungung area divided into three main formations which is Older
Formations / Pre caldera, Tasikmalaya Formation/ syn caldera, and the last Cibanjaran
Formation / post caldera ( Bronto , 1989) . Old Galunggung formation is a formation that
169
ER07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
formed around 50000-10000 years ago , the lithology consists of lava flows , pyroclastic
deposits in the form of stream and dropping , dike, cryptodome and lava . The Formation well
exposed in the caldera wall that is assumed to be the formation that forms stratovolcano
morphology . Tasikmalaya Formation or syn caldera formed during the period of 4200 + / -
150 years ago , during this period the morphology of the horseshoe caldera formed as a result
of the eruption at that time . Formation lithology is composed of a pyroclastic flow , lava and
debris avalanche . Cibanjaran or Post caldera formation is the result of eruptions that formed
during eruptions in 1822 until 1983 , a constituent lithology is pyroclastic deposits and lava
flows.
Surface Manifestation
Field study result, found the surface manifestations form of hot springs that have
temperatures 47 - 60 ° C. The hot springs went out from flanks of volcanic breccia with flow
rate 0.6 l / s, in addition to the hot springs, around the appearance of this hot springs there is
Travertin rocks that form stalactites structure which is represent characteristic of carbonate
rocks (Figure 3).
Fault and Fracture Density Map (FFD) shown anomaly areas that have a value of FFD> 4500
m/km2. (Figure 5). This area is shown by the blue contour patterns that spread towards the
north - northeast of the crater Galunggung along 2 km. This area is in the Pasir Bentang and
Pasir Linggajati landscape. Anomaly area is associated with tuff and volcanic breccia
lithology and young volcano deposit. Areas of high density anomaly is located in the area of
high altitude with the intention structure as a result of tectonic activity. This area is located
around the graben fault structures (Horse-shoe like) so that the high density value is
influenced by this graben structure.
However, the location of the surface manifestations are not on the high density anomaly zone
but are in the transition zone from high FFD zone to low FFD zone which is on the slopes or
the edges of the rocks. This shows that the appearance of the surface manifestation is more
influenced by regional hydrology rather than the intensity of the structure. This indicate that
the hot springs formed from mixing between meteoric water and thermal fluid that comes
170
ER07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
from a deeper reservoir. Mixing water derived from meteoric water that goes through the
catchment area then mixed with the thermal fluid, then went out through the faults and
fissures in the rock slopes or edges (outflow zone) as the hot springs. This type of water tend
to be immature and represent low to moderate temperature of geothermal reservoir. The
occurance of Travertine along this hot spring indicate that high contain of bicarbonate and
sulfate ion of the water, Water geochemistry analysis by ESDM (2010) shown that,
characterictics of water chemistry type as seen from water sulfate content of SO4 higher
content of HCL and HCO3 , water sulfate is atype derived from the condensation of water
vapour mixed with meteoric water and associated with upflow region (zone output).
prospecting with the level of seismic activity , where high seismic activity and high crustal
heat flow associated with the most prospective geothermal potential . In the case of
Galunggung can be assumed that this region has the moderate potential , due to be located in
areas of moderate seismicity .
Regional heat flow data ( Setiadji , 2005) showed that the area of geothermal potential
Galunggung mountain is in the region with heat flow range 76.7-82.3 mW / sq.m (Figure 6) .
This value includes into the moderate range . ESDM research results , proving that the area
Galunggung geothermal have potential of 100 MW , so it can be assumed that Galunggung
area is medium -temperature type geothermal system.
Based on the classification scheme (Table 1) by Sanyal (2005), the type of moderate
temperature geothermal is the type that has a production mechanism with self-flowing wells,
the well productivity is highly variable and strongly dependent on reservoir flow capacity.
Power conversion technology that is suitable for this type of single-stage or two-stage flash
flash and could be a hybrid from both types. Unusual developtment problem that could be
happen is calcite scaling in production wells, Ellis and Mahon (1977) described potential
problems with well-scaling travertine deposits that may represent.
Earthquake data (Figure 8) shown that Galunggung area have low activity in recent year and
tend to be lower. Frequency dominantly on deep tectonic earthquake which is exhibit fifty
activity in a month, followed by shallow tectoic earthquake that reach ten activity in a month.
171
ER07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Shallow and deep volcanic earthquake tend to be lower than tectonic earthquake, and reach
only about 1-8 activity in a month.
Conclusions
Galunggung area has a dominant lineament pattern trending to the N 315-320o/ E or N 135-
140o / E, this pattern is associated with the tectonic development which also trending north
west – south east,
Hot spring occurance located the transition zone from high fault and fracture density to low
fault and fracture density, this associated with low to moderate temperature geothermal
system. This result confirmed by the low seismicity activity and moderate heat flow.
Unusual developtment problem that could be happen is calcite scaling in production wells
due to Travertine deposit from the water contained bicarbonate ion.
Long period eruptions tend to be more dangerous for developing geothermal production site.
However low earthquake activity can be considered for development.
Refrence
Alzwar, M., 1986, Geothermal Energy Potential Related to Active Volcanism inIndonesia.
Geothermics,15 (5-6): 601-607
Bujung, C.A.N., Singarimbun, A., Muslim, D., Hirnawan, F., dan Sudradjat A., 2010,
Identifikasi prospek panas bumi berdasarkan Fault and Fracture Densiry (FFD) :Studi
Kasus Gunung Patuha, Jawa Barat., Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi 2, 67-75,
2011
Ellis and Malion, 1977, Chemistry and Geothermal System, Academic Press, New York.
Fadillah, Achmad dkk, 2013, West Java Geothermal Update, Proceeding of 38th Workshop
on Geothermal Reservoir Engineering.
Hamilton, W.B.: Tectonics of the Indonesian Region, Professional Paper1078, U.S. Geol.
Surv., Washington, DC, (1979), 345 p.
Hernawan, Dedy dan Yuano Rezky, Delineasi Daerah Prospek Panas Bumi Berdasarkan
analisis Kelurusan Citra Landsat Di Candi Umbul- Telomoyo, Jawa Tengah. Buletin
Sumber Daya Geologi, 6,2011.
172
ER07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Soengkono, S. Te Kopia geothermal system (New Zealand) - The relationship between its
structure and extent. Geothermics, Vol. 28, no. 6, pp. 767-784 (1999).
Sribudiyani, Nanang Muchsin, Rudy Ryacudu, Triwidiyo Kunto, Puji Astono, Indra Prasetya,
Benyamin Sapiie, Sukendar Asikin, Agus H. Harsolumakso, Ivan Yulianto. The
Collision of The East Java Microplate and Its Implication for Hydrocarbon Occurrences
in East Java Basin. Proceeding Indonesian Petroleum Association, Twenty-Nine. Annual
Convention and Exibition. (2003)
Suryantini and Wibowo, H. H., Application of Fault and Fracture Density (FFD) Method for
Geothermal Exploration in Non-Volcanic Geo-thermal System; a Case Study in
Sulawesi-Indonesia. Jurnal Geoaplika 5, 027-037 (2010)
Figure 1 West Java Volcanoes Map and Galunggung Location. Modified from Hamilton 1979 and
Moore et al 2004
173
ER07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Figure 3 Surface Manifestation Form as Hot Spring through Lava (Above) and Travertine deposit
(Below). Located at Cipanas
174
ER07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
175
ER07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Figure 7 Shallow Earthquake Deep Less Than 10 km (Left) and Prosvectivity Map (Right)
(Wibowo,2006). Black Square represent Galunggung Area Location
176
ER07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
177
M01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Abstract
This study reports the geodynamic significance of the South Sulawesi basement rocks complexes
constraints from petrochemical data, particularly from the metamorphic rocks. The pre-Tertiary
basement rocks complexes in South Sulawesi consist of two separated blocks, Bantimala and Barru
Blocks. The metamorphic rocks assemblages from these two blocks show quite different
characteristic and different metamorphic history. Whole rock geochemistry indicates that both the
Bantimala and Barru Blocks were accreted slices from a wide range of tectonic environments. Five
different tectonic settings for protolith have been recognised in the Bantimala block, mid oceanic
ridge basalt, oceanic island basalt, island arc volcanics, cumulates and continental granodiorities or
sediments, and is dominated by the oceanic basalt types. Conversely, the quartzofeldspathic gneisses
that make up much of Barru are more felsic and show a consistent arc affinity. The Barru block also
shows intrusion of late dacites cutting through the ultramafics, which is not known from Bantimala.
Both blocks are heterogeneous and have complex accretion histories. Although roughly the same age
(Cretaceous) and probably both situated at the southeast margin of Sundaland, they may not have
been geographically as close as they are now. The Bantimala block records deep subduction of cold
ocean floor including MORB, arc-related lavas and seamounts, and exhumation of deeply subducted
material, prior to collision with microcontinents to the East and obduction of the ultramafics.
Conversely, the Barru block is interpreted to preserve the roots of an old island arc, subduction of
some ocean floor with seamounts, and obduction of quite different ocean floor material from the
North, and was evidently too warm to preserve blueschist or eclogites. Therefore, these two blocks
probably have derived from different sources or at least different tectonic setting.
Introduction
The distinctive multi-armed shape of Sulawesi Island suggests that the island is a complex
assemblage of tectonic terranes, which are still not fully understood [1]. This region shows
evidence of plate convergence involving subduction of oceanic plate [2,3] and exhumation
of high pressure metamorphic rocks [4,5,6]. Based on the overall geological framework that
has emerged from these studies, lithotectonic Sulawesi can be divided into four (4) tectonic
provinces, namely (1) the Western and North Sulawesi Pluto-Volcanic Arc, (2) the Central
Sulawesi Metamorphic Belt, (3) the East Sulawesi Ophiolite Belt and (4) the Banggai-Sula
and Tukang Besi continental fragments (Fig.1).
The Tertiary collision(s) have disrupted or buried much of the Mesozoic continental
margin, but fragments of pre-Tertiary basement are preserved in the Western Sulawesi
volcanic arc province, two examples being those in the Bantimala and Barru areas [5,7,8].
These two isolated blocks, about 30 km apart, formed the South Sulawesi basement rocks
which have historically been referred to collectively as the Bantimala Basement Complex.
178
M01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
The basement complexes in these two areas consist of wide variety of lithologies of various
ages [3, 9].
These basement rocks are of particular interest since they provide an insight into the
geological processes that were operating at the eastern margin of Sundaland in the Late
Mesozoic. However, there are only small amount of study on petrology from these two
blocks have been reported to date, despite the fact that they can provide important insights
into the Mesozoic evolution of the Indonesian region. This study is primarily concerned with
the geodynamic evolution of the South east Sulawesi basement rock complexes based on
petrochemical characteristic
Method
Optical petrography was undertaken manually by using a Nikon petrographic microscope
with 10× eyepieces and 5×, 10×, 20× and 40× objective lenses, equipped with a Nikon
E4500 camera attached to the trinocular port for micrography. In order to obtain quantitative
compositional data for the minerals, these thin sections were examined using a JEOL 6400
scanning electron microscope, equipped with an Oxford Instruments light element
dispersive spectrometer (EDS) detector and Link ISIS analytical software. SEM analyses
and carbon coating were carried out at the Electron Microscopy Unit, RSBS, at The ANU.
Whole-rock major elements were analysed by X ray fluorescence analyses (XRF),
and whole-rock and individual mineral trace element analyses by laser ablation inductively
coupled plasma mass spectrometry (LA ICP MS). Trace elements analyses were obtained by
LA ICP MS at the Research School of Earth Sciences, ANU. Loss-on-ignition (LOI) values
179
M01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
were calculated from the mass differences in approximately 2 grams of powdered sample
after heating to 1010°C in the furnace for one hour.
a. b
Unlike the Bantimala block, the metabasic rocks in the Barru block does not have
blueschist- or eclogite-facies rocks, but is made up of very weakly metamorphosed
sediments, greenschist- and amphibolite facies metabasic and quartzofeldspathic gneiss
rocks, and peridotite. We only report the greenschist, gneiss and amphibolite facies rocks in
this paper. They were found in the Dengenge River section, and show a north to
north-westward increase in metamorphic grade.
180
M01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Figure.3. Photomicrograph of the metabasic rocks from the Barru block a. Photomicrograph
of quartz mica schist (DNG03) with crossed polars light. Garnet (Grt) occurs as grains in the
matrix of phengite (Phn) and chlorite (Chl) layers which define the foliation. b.
Photomicrograph of amphibolite (AM14) with crossed polars light. It consists of hornblende
(Hbl) with calcite (Cal) and plagioclase (Pl) grains.
Geochemistry
Whole rock and trace element data for samples from both the Bantimala and the Barru blocks
are presented in Table 1 and 2. Samples from the Bantimala block include; 7 eclogites and 6
blueschists. Those from the the Barru block include 1 greenschist and 3 amphibolites. Spider
diagram for trace element and REE were reported in [8].
Bantimala Block
SiO2 content of the eclogite was 45.3 - 49.6 wt%, K2O was 0.03 - 1.36 wt%, and Na2O was 2.6
- 3.9 wt%. In the Total Alkali vs Silica (TAS) diagram, all of the samples fall in basalt field
[13], suggesting that they have not undergone strong secondary enriched in Na, K or Si.
Trace elements for the eclogites were normalised against primitive mantle (PM) using the data
of [11]. All the glaucophane-rich eclogites are enriched in the mobile LILE such as Rb and Ba
(20 – 50 x PM except for BM15B, which is lower). Similarly, all show a positive Sr anomaly
except for BM15B, which has a negative anomaly. Chondrite-normalised REE patterns for the
glaucophane eclogites form three distinct groups. The first (BM 11 and BM15B) show
enrichment in LREE (LaN/YbN = 1.4 – 3.1) without noticeable Eu anomalies (Eu/Eu* = 0.9 –
1.0) and flat HREE, resembles an evolved (fractionated) E-MORB, in which removal of olivine
has increased the concentration of REE. The second group is BP 04 with showing relatively
depleted LREE (LaN/YbN = 0.3) and almost flat HREE, which is quite similar to N-MORB
pattern. The last group is CP03E, showing depletion in LREE (LaN/YbN = 0.6) with positive Eu
anomaly (Eu/Eu* = 3.6) and nearly flat HREE, indicating the cumulate sources. The positive
Eu anomaly further suggests the fractionation of plagioclase in the magma chamber. These data
support the idea that these eclogites are derived from MORB, but suggest that they had more
than one source (evolved E-MORB as well as N-MORB).
The glaucophane-free samples have moderate enrichment of mobile LILE (Rb and Ba) (5 – 15
x PM), but a very large positive Sr anomaly in the primitive mantle-normalised trace element
diagrams. Chondrite-normalised REE patterns show LREE depletion (LaN/YbN = 0.54 – 0.52)
similar to N-MORB, but systematically depleted in concentration by a factor of 2-3. There is a
181
M01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
distinctive positive Eu anomaly (Eu/Eu* = 1.6 – 1.7) (Fig 7). Both the Sr and Eu anomalies
suggest accumulation of plagioclase during genesis of these rocks. A very small negative Ce
anomaly may imply slight alteration of these rock [12,13] or contamination by continental crust.
Based on the whole rock and trace element patterns, the glaucophane-free eclogites are
interpreted to be derived from cumulate gabbros.
The analysed blueschists are characterised by high variation in SiO2 and total alkali
concentrations (Table 1), showing a strong relationship with the mineral assemblage and
possible protolith sources.
The primitive mantle-normalised trace element patterns of the albite-epidote-glaucophane
schists show a wide range of affinities. They were classified into three types. The first type
(BM04 and BML04A) is less enriched in the more mobile LILE and relatively enriched in
HFSE. Overall, BM04 looks E-MORB-like while BML04A resembles N-MORB.
Chondrite-normalised REE of BML04A show slight LREE-enrichment (LaN/YbN = 0.95), no
Eu anomaly and flat HREE, again similar to N-MORB. Sample BM04 has more LREE
enrichment (LaN/YbN = 1.2) which again demonstrates its fractionated E-MORB affinity. The
second type (BML01A) is characterised by greater enrichment of LILE and HFSE than the
N-MORB pattern. It also has a positive Nb anomaly and negative slope for Sm – Yb, typical of
oceanic island tholeiitic basalt. Chondrite-normalised REE show strong LREE enrichment
(LaN/YbN = 16) without significant anomaly of Eu (Eu/Eu* = 1.4), and also resemble the
oceanic island pattern from [11]. The last type (sample BM03) is distinguished by strong
enrichment of LILE and depletion in Nb and Ta. Chondrite-normalised REE show enrichment
of LREE (LaN/YbN = 2.3) without significant Eu anomaly (Eu/Eu* = 1.05), suggesting island
arc basalt.
Primitive mantle-normalised trace elements from the quartz-glaucophane schists show
relatively uniform patterns. They show enrichment of LILE (Rb, Ba, Th, and U) relative to
LREE. While enrichment of the mobile Rb and Ba might just be a sign of alteration in itself,
high contents of the less mobile Th and U and depletion in HFSE, particularly Ta and Nb all
indicate arc-related provenance. Chondrite-normalised trace elements show enrichment in
LREE (LaN/YbN = 2.6 - 3.5) with slight negative Eu anomalies (Eu/Eu* = 0.7 – 0.9) except in
BM03 and relatively flat HREE. This pattern is similar to the island arc calc-alkaline data in
[14] and the basaltic andesite calc-alkaline series from the Sunda Arc, suggesting loss of
plagioclase by fractionation. From the whole rock and trace element data, BM03 and the
slightly more fractionated quartz-glaucophane schists appear to have originated as island-arc
basalts and andesites.
Barru block
The whole rock and trace element composition of all analysed rocks from the Barru Block is
listed in Table 2. Compared to the Bantimala Block, the analysed samples from the Barru Block
are more silicic and calk-alkaline rather than tholeiitic, except for the greenschist (DNG04).
The PM-normalised trace element patterns of the greenschist shows enrichment in LILE and
HFSE, particularly Nb, but depletion in Sr, and negative trending Sm – Yb, suggesting oceanic
island basalt affinity. This is further supported by the chondrite-normalised REE pattern which
is enriched in LREE (LaN/YbN = 8.2) without noticeable Eu anomaly.
The amphibolite-facies rocks in the Barru Block fall into two groups, consistent with their
mineralogy: quartzofeldspathic gneisses and amphibolites.
The SiO2 for quartzofeldsphatic gneissic rock samples range from 66.7 – 71.7 wt%, and for
amphibolite sensu stricto is 46.9 wt%. Based on the TAS diagram, the amphibolite (AM14) is
of basaltic affinity whereas the gneiss samples (AM08, AM06 and AM09SC) plot in the dacite
field .
182
M01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Primitive-normalised trace element and chondrite-normalised REE patterns show that the
amphibolite AM14 shows a similar overall pattern to N-MORB of [13]. The negative Eu
anomaly (Eu/Eu* = 0.88) is due to plagioclase fractionation during melt evolution in the
magma chamber, a feature typical of plutonic tholeiites. In contrast to the amphibolite, the
gneisses are strongly enriched in LILE and depleted in HFSE, particularly Nb and Ta, typical of
an arc-related environment. The chondrite-normalised REE patterns of the gneisses show
enrichment in LREE (LaN/YbN = 4.2 to 5.9) with negative Eu anomalies (Eu/Eu* = 0.64 to
0.72) and depletion of HREE. The negative Eu pattern suggests plagioclase fractionation from
the parent magma during the formation of the granodioritic precursor.
183
M01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Geodynamic Implication
The Bantimala Block shows a strong tectonic fabric striking NNW-SSE, and most major
geological boundaries within the block strike in this direction [8]. The ultramafics are at the
eastern margin of the block, and are thrusted over the metamorphic rocks lying to the west.
Therefore, the overall scenario is one of subduction of other rocks and obduction of ultramafics,
in a westward direction, with rapid uplift of parts of subducted slab, metamorphosed to
184
M01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
blueschist or eclogite facies. However, the detailed picture is more complex. The geochemical
analyses of this study show that the metabasites are derived from products of five different
tectonic settings: cumulates, mid oceanic ridge, oceanic island basalt, volcanic island arc, and
continental rocks.
Trace element data show that the MORB basalts were of both normal and enriched
types, which may imply two distinct episodes of ocean floor subduction. Seamounts were
present on the ocean floor, bringing in basalt with an oceanic island signature. Some of these
were subducted to eclogite-facies depths (BM15B), while others, perhaps due to their thickened
crust, were barely subducted or deformed, and retain pseudomorphs after the original igneous
texture (CP02D). The glaucophane-free eclogites have cumulate signatures, and many of the
blueschists and greenschists are derived from island arc volcanics spanning a composition
range from picrobasalt to dacite. Hence, there has been back-arc spreading and arc development
in the Bantimala Block, followed by later closure of the basin.
Each of the tectonic settings was represented in two or three of the river sections of this
study, implying that small tectonic slices have been intimately mixed in this accretionary
complex. In additional to the meta-igneous rocks, there are bedded cherts in Bantimala which
represent pelagic sediments. The presence of continental-derived clastic rocks (meta-breccia,
sandstone and mudstone) suggests that continental terrigenous sources got close to the trench as
the ocean basin closed. Close proximity to a continent is also supported by
quartz-epidote-chlorite schist BML03A with its continental affinity [8]. It is noteworthy that
marble is rare in this block and was not found in this study, which may indicate that the seafloor
was deeper than the carbonate compensation depth for most of subduction. Despite this, the
large proportion of OIB-derived material indicates that topographically high seamounts were
frequent.
Although geographically only about 30 km to the north of the Bantimala Block, the
Barru Block shows significant differences, as has been made apparent through this study. The
main structural grain in the Barru Block is ENE-WSW, almost perpendicular to that in the
Bantimala Block [8]. Nevertheless, the Barru rocks represent a range of tectonic environments
which is similarly diverse to that of the Bantimala Block and overall, they are more felsic rocks.
Thus, the Barru Block also shows evidence of subducted MORB with seamounts and
arc related sources. However, there has been no exhumation of deeply subducted slabs in the
Barru Block, and the OIB-derived rocks are more felsic than in the Bantimala Block. The
amphibolite-facies gneisses structurally underlie the ultramafics which have been thrust over
them from the North, and may have been metamorphosed during emplacement of the
ultramafics. However, the dacitic AM15 and BR04 intrude the ultamafics, and hence represent
a second, later volcanic arc [8]. Note that the Barru ultramafics are relatively undepleted
lherzolite, quite different from the cumulate of Bantimala ultramafic [8]. Again, pelagic cherts
and breccias containing terrigenous clasts are associated with these meta-igneous rocks,
suggesting subduction of deep ocean floor at sometimes, and proximity of continental masses at
others. The absence of the high-pressure and low-temperature metamorphic facies implies that
the currently exposed rocks in this block were only subducted to shallow depths, probably not
more than 30 km. This may imply either that the subduction angle was shallower than in the
Bantimala Block, and/or that the subducted ocean crust in Barru was younger, warmer and
more buoyant.
Conclusions
The "South Sulawesi Basement Complexes" consists of two separate massifs about 30 km
apart, the Bantimala and Barru blocks.
The metamorphic suites in the two blocks are different. The Bantimala Block contains
exhumed portions of subducted slab, which have undergone metamorphism at high pressure
185
M01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
and low to moderate temperatures (blueschist to eclogite facies). These have been partially
retrogressed to greenschist facies on uplift, and are tectonically interlayered with greenschists
which do not show evidence of deep subduction. In contrast, the Barru block has no blueschists
or eclogites exposed, but shows predominantly greenschists and some higher-temperature
amphibolite-facies metamorphics.
Both blocks are composed of tectonic slices from a wide variety of environments, but
the two suites are different in detail. Using this evidence, tectonic histories have been
reconstructed for the Bantimala and Barru blocks that are complex, involving subduction of
both back-arc basins and larger oceans, amalgamation of island arcs and microcontinents, and
obduction of oceanic lithosphere. Although the two blocks accreted at about the same time
(Early Cretaceous), the differences in these histories implies that they were not geographically
close together at that time, but have been tectonically juxtaposed since then.
Acknowledgements
Our sincere thanks to Frank Brink and Geof. Hunter (EMU ANU) for their help with the
laboratory work. Zhang Gui Bin is also appreciated for their constructive advisement, which
helps make a better presentation of the final product. We are grateful to Dr. Ulrike T. for her
critical and constructive review on the manuscript.
References
[1] T.M. van Leeuwen, A. Kadarusman, C. Allen, M.A. Elburg, M. Palin, M and Muhardjo.
“Petrologic, isotopic and radiometric age dating constraints on the origin and tectonic
history of the Malino Metamorphic Complex, NW Sulawesi, Indonesia”, Journal of Asian
Earth Sciences Vol. 29, pp.751 -777, 2007.
[2] W. Hamilton, “Tectonics of the Indonesian Region”. U.S. Geological Survey Professional
Paper, p.1078. 1979
[3] K. Wakita, J. Sopaheluwakan, K. Miyazaki, and Munasri, “Tectonic evolution of the
Bantimala Complex, South Sulawesi, Indonesia”. In: Tectonic Evolution of Southeast Asia,
R. Hall and D.J Blundell, eds. Geological Society Special Publication, London, Vol. 106,
pp. 353-364, 1996.
[4] C.D. Parkinson, K. Miyazaki, K. Wakita, A.J. Barber, and D.A. Carswell, “An overview
and tectonic synthesis of the very high pressure and associated rocks of Sulawesi, Java and
Kalimantan, Indonesia”. The Island Arc, special volume on UHP metamorphism from IGC
special symposium, Beijing, 1996, Vol. 7(1), pp.184-200, 1998
[5] K. Wakita, “Cretaceous acretionary-collision complexes in Central Indonesia”, Journal of
Asia Earth Sciences Vol. 18, pp. 739-749, 2000.
[6] A. Maulana, A. Christy, D. Ellis, A. Imai, K. Watanabe, “Petrology and geochemistry of
the eclogite and bluseschist facies rocks from Bantimala Complex, South Sulawesi”,
Indonesia, Island Arc, Vol. 22:4, 2013
[7] C. D. Parkinson, “The origin and significance of metamorphosed tectonic block in
mélanges: evidence from Sulawesi, Indonesia”. Terra Nova, Vol. 8, pp.312-323, 1996.
[8] A. Maulana. Petrology, Geochemistry and Metamorphic Evolution of South Sulawesi
Basement Rock Complexes, Indonesia. Thesis (M.Phil.), Australian National University,
Australia, 2009.
[9] K. Miyazaki, I. Zulkarnain, J. Sopaheluwakan and K. Wakita, “Pressure-temperature
conditions and retrograde paths of eclogites, garnet-glaucophane rocks and schists from
South Sulawesi, Indonesia”. Journal of Metamorphic Geology, Vol. 14, pp. 59 - 563,
1996.
186
M01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
187
M02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
ABSTRAK
Pegunungan Selatan merupakan salah satu wilayah yang sangat menarik untuk menjadi objek
penelitian geologi, mengingat terdapatnya batuan metamorf berumur Pra-Tersier, yang dipercaya
sebagai basement Pulau Jawa dan batuan Tersier yang tersingkap dipermukaan. Di Jawa Tengah
Bagian Barat, batuan metamorf Pra-Tersier tersingkap hanya dibeberapa tempat, yakni; daerah
Karangsambung, Kebumen dan Perbukitan Jiwo, Bayat, Klaten, sedangkan untuk Jawa Tengah
Bagian Timur sampai saat ini belum pernah ditemukan adanya singkapan batuan metamorf Pra-
Tersier. Didorong oleh pentingnya mendapatkan informasi tentang batuan dasar di daerah
Pegunungan Selatan Bagian Timur maka penelitian ini dilakukan. Daerah Selogiri, Wonogiri
merupakan salah satu tempat yang cocok untuk penelitian ini karena disini banyak tersingkap
kelompok batuan gunung api purba, salah satunya adalah kelompok Gunung Gajahmungkur dan
batuan intrusi yang kemungkinan besar dapat membawa fragmen batuan asing (xenolith) ke
permukaan. Aktifitas vulkanisme Oligo-Miosen memberikan dampak yang berarti dalam hal ini.
Pembangunan suatu kerucut gunung api melibatkan fase konstruktif dan fase destruktif atau dikenal
dengan siklus vulkanisme. Pembentukan batuan luar yang berselingan dengan breksi andesit
piroklastika dan tuf andesit mengidikasikan tahap kegiatan vulkanisme yang bersifat membangun
(konstruktif) kerucut gunung api strato, sedangkan tahap kegiatan vulkanisme bersifat merusak
(destruktif) ditandai oleh melimpahnya breksi pumis, lapili pumis dan tuf berkomposisi andesit –
dasit. Sehingga fase terakhir dari Gunung Gajahmungkur bersifat merusak (destruktif) karena
tekanan gas magma yang cukup besar dan dapat membawa fragmen batuan tua dari dasar gunung
api, lalu melontarkannya keluar permukaan dan diendapkan bersamaan dengan breksi koignimbrit
yang terdiri dari bermacam-macam fragmen atau disebut breksi aneka bahan dengan massa dasar
pumis dan tuf lapili. Fragmen-fragmen batuan tua ini memiliki kesamaan/kemiripan dengan batuan
– batuan yang terdapat di Perbukitan Jiwo, Bayat.Dengan ditemukannya fragmen tersebut, kita
dapat menginterpretasikan, bahwa batuan tua ini melampar kearah timur Pegunungan Selatan.Akan
tetapi sampai saat ini, peneliti belum menemukan adanya singkapan tersebut dipermukaan.Fragmen
batuan tua ini dapat dijadikan gambaran untuk merunut kembali stratigrafi Pegunungan Selatan
Bagian Timur, dimana alas dari Formasi Mandalika mirip dengan di daerah Bayat berupa Formasi
Gamping Wungkal yang berumur Eosen Tengah dan batuan dasarnya berupa kompleks batuan
metamorf kontinental berumur Pra-Tersier.
188
M02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada zaman Kapur Akhir (65-80 juta tahun) terjadi peristiwa tektonik penting yang
menentukan perkembangan geologi Pulau Jawa hingga saat ini.Pada saat itu terjadi
peristiwa tumbukan (collision) oleh mikrokontinen Jawa Timur yang bergerak ke utara di
Palung Meratus – Karangsambung – Ciletuh.Tumbukan ini menandai bersatunya
mikrokontinen Jawa Timur dengan Dataran Sunda (Sundaland) (Budiyani et al., 2003,
Prasetyadi 2007, & Smyth et al., 2007).Bukti terdapatnya mikrokontinen Jawa Timur
sejauh ini hanya ditunjukkan oleh singkapan komplek batuan metamorf Pra-Tersier Bayat
di Daerah Klaten dan dari analisis mineral zirkon (Smyth et al., 2005).Agar interpretasi
keberadaan mikrokontinen ini semakin meyakinkan maka masih dibutuhkan bukti atau
petunjuk langsung terdapatnya batuan tertua atau batuandasar di suatu wilayah.
Pegunungan Selatan merupakan salah satu wilayah yang sangat menarik untuk menjadi
objek penelitian geologi, mengingat terdapatnya batuan metamorf berumur Pra-Tersier,
yang dipercaya sebagai basement Pulau Jawa dan batuan Tersier yang tersingkap
dipermukaan.Di Jawa Tengah Bagian Barat, batuan metamorf Pra-Tersier tersingkap hanya
dibeberapa tempat, yakni; daerah Karangsambung, Kebumen dan Perbukitan Jiwo, Bayat,
Klaten, sedangkan untuk Jawa Tengah BagianTimur sampai saat ini belum pernah
ditemukan adanya singkapan batuan metamorf Pra-Tersier. Didorong oleh pentingnya
mendapatkan informasi tentang batuandasar di daerah Pegunungan Selatan Bagian Timur
maka penelitian ini dilakukan. Daerah Selogiri, Wonogiri merupakan salah satu tempat
yang cocok untuk penelitian ini karena disini banyak tersingkap kelompok batuan
gunungapi purba, salah satunya adalah kelompok Gunung Gajahmungkur (Bronto, 2007)
dan batuan intrusi yang kemungkinan besar dapat membawa fragmen batuan asing
(xenolith) ke permukaan.
A
Gunung Gajahmungkur S. Begawan Solo B
Gambar 1.(A) Peta administratif pembagian wilayah Jawa Tengah (B) Kenampakan citra
SRTM Perbukitan Gunung Gajahmungkur.Kotak ungu menunjukan lokasi penelitian.
189
M02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Stratigrafi Regional Perbukitan Jiwo Bayat (Pra-Tersier – Paleogen)
Singkapan Komplek batuan Pra-Tersier, Perbukitan Jiwo, Bayat, didominasi oleh batuan
metamorf yang umumnya berderajat rendah-menengah (ditandai dengan terdapatnya filit
kuarsa-serisit-grafit sampai sekis kuarsa-muskovit-garnet).Filit dan sekis Komplek Bayat
ada yang komposisinya mengandung kalsit 15-60 % (calc phyllite dan calc schist),
disamping kuarsa dan mika.Berdasarkan kandungan calc phyllite dan calc schist tersebut
menunjukan batuan asal (protolit) Komplek Bayat adalah batuan sedimen yang
mengandung karbonat seperti napal, batulempung gampingan, ataupun batupasir
gampingan.Protolit semacam ini menunjukan batuan metamorf Bayat lebih berasosiasi
dengan batuan sedimen terigen (asal darat) yang berasosiasi dengan lingkungan kontinen.
Hasil penanggalan dua sampel sekis kuarsa-mika ini menunjukan umur 98,049±2,10 jtl dan
98,542±1.45 jtl, kedua umur absolut ini menunjukan umur Cenomanian atau Kapur Akhir
(Prasetyadi, 2007).Sementara itu, Bothe (1929) menemukan Orbitulina dalam kepingan
batuan yang diduga berasal dari sekis, di Desa Santren, Bayat, sehingga komplek metamorf
ini diduga berumur Kapur Akhir – Paleosen.
Komplek batuan Pra-Tersier ini hanya tersingkap di Perbukitan Jiwo, Bayat, tertindih
secara tidak selaras oleh batuan Eosen dari Formasi Gamping-Wungkal.Formasi ini terdiri
dari batupasir, napal pasiran, batulempung, dan lensa batugamping. Bagian bawah
mengandung fosil Assilina sp., Nummulites javanus VERBEEK, N. bagelensis
VERBEEK,Discocyclina javana VERBEEK, yang menunjukan umur Eosen Tengah
bagian bawah sampai tengah. Bagian atasnya berfosil pellatispira madarazi HANTKEN,
Nummulites Semiglobulus DOORNINK.Kumpulan fosil itu menunjukan umur Eosen
Akhir (Sumarso dan Ismoyowati, 1975 dalam Surono drr., 1992).
Di daerah Jiwo Timur, Batuan Eosen tersingkap di Desa Padasan-Watuprau dan di
daerah sebelah selatanya, di Desa Gamping, di lereng tenggara Gunung Pendul.Di Desa
Padasan dijumpai singkapan penting yang menunjukan kontak antara satuan filit dengan
batugamping foram.Kontak ketidakselarasan antara dua jenis batuan ini ditandai dengan
terdapatnya lapisan tipis konglomerat yang terdiri dari fragmen filit, sekis dan kuarsit di
bawah lapisan batugamping foram (Prasetyadi, 2007).
turbidit.Sebaran formasi ini menerus hingga di bagian tenggara Peta Geologi Lembar
Giritontro, terutama di hulu Bengawan Solo, dan tertindih secara tidak selaras oleh
Formasi Jaten.Ketebalannya diduga lebih dari 300 m dan menebal ke timur.
Qvm
Qa
Qvl
KTm Qa
Tpdi Tew
Tomk
Tms
Tomm
Tmwl
Tmng Tmo
Gambar 2. Peta Geologi daerah Perbukitan Jiwo Bayat dan daerah Perbukitan Gunung
Gajahmungkur (disederhanakan dari Surono drr., 1992). Kotak hitam menunjukan lokasi
penelitian. Keterangan: KTm= Kapur Tersier Malihan; Endapan Tersier: Tomm= Tersier
Oligo-Miosen Mandalika; Tomk= Tersier Oligo-Miosen Kebobutak; Tew= Tersier Eosen
Wungkal; Tms= Tersier Miosen Semilir; Tmo= Tersier Miosen Oyo; Tmwl= Tersier
Miosen Wonosari Limestone; Tmng= Tersier Miosen Nglanggran; Tpdi= Tersier Pliosen
Diorit. Endapan Kuarter: Qa= Quartenary Aluvium; Qvl= Quartenary Volcanic Lawu;
Qvm= Quartenary Volcanic Merapi.
191
M02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
A B
192
M02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 4.Foto singkapan dan foto mikrograf (nikol silang) sayatan tipis; (A-B) kuarsit,
(C-D) meta-batupasir, (E-F) slate, (G-H) filit, yang merupakan fragmen penyusun breksi
koignimbrit di sungai Keron Kidul (Lokasi Desa Pare) (Danny drr., 2013).
193
M02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
juga litik yang memiliki tekstur grafit, diduga berasal dari batuan beku asam granit,
semennya berupa karbonat.
Gambar 5.Foto singkapan dan foto mikrograf (nikol silang) sayatan tipis; (A-B)
batugamping foram besar, (C-D) konglomerat, yang merupakan fragmen penyusun breksi
koignimbrit di sungai Keron Kidul (Lokasi Desa Pare) (Danny drr., 2013).
194
M02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
dari dasar tubuh gunung api, lalu diendapkan bersamaan dengan bahan piroklastika yang
ikut keluar dari gunung api saat terjadi letusan tersebut (Gambar-6).
Gambar 6. Model letusan gunung api yang membawa fragmen batuan tua dan
terendapkan bersamaan dengan breksi koignimbrit (Bronto drr., 2009).
4. Diskusi
Berdasarkan hasil analisis petrografi, fragmen batuan metamorf yang terdapat dalam breksi
koignimbrit Formasi Mandalika di Sungai Keron Kidul, Desa Pare memiliki derajat
metamorfisme yang rendah.Batuan asal (protolit) dapat diinterpretasikan berupa batupasir
yang memiliki ukuran butir dari pasir halus – pasir kasar dan lempung yang banyak
kandungan karbonat (CaCO3).Banyaknya kandungan kuarsa dan kalsit pada batuan
metamorf tersebut, dapat dilakukan pendekatan bahwasanya batuan metamorf tersebut
lebih berasosiasi dengan lingkungan kontinen yang mirip dengan batuan metamorf Pra-
Tersier di daerah Perbukitan Jiwo, Bayat.Sedangkan batugamping foram besar yang
mengadung fosil Nummulites sp. danDiscocyclinasp., diyakini berumur Eosen
Tengahcenderung memiliki kesamaan dengan Formasi Gamping Wungkal di daerah
Perbukitan Jiwo, Bayat.Hubungan kedua satuan ini tidakselaras dengan ditandai oleh
konglomerat yang banyak mengandung butiran rijang dan kuarsit hasil pelapukan dari
batuan metamorf.
Aktifitas vulkanisme Oligo-Miosen memberikan dampak yang berarti dalam hal ini.
Menurut (Hartono dan Bronto, 2009) pembangunan suatu kerucut gunung api melibatkan
fase konstruktif dan fase destruktif ataudikenal dengan siklus vulkanisme. Pembentukan
batuan luar yang berselingan dengan breksi andesit piroklastika dan tuf andesit
mengidikasikan tahap kegiatan vulkanisme yang bersifat membangun (konstruktif) kerucut
gunung api strato, sedangkan tahap kegiatan vulkanisme bersifat merusak (destruktif)
ditandai oleh melimpahnya breksi pumis, lapili pumis dan tuf berkomposisi andesit – dasit.
Sehingga fase terakhir dari Gunung Gajahmungkur bersifat merusak (destruktif) karena
195
M02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
tekanan gas magma yang cukup besar dan dapat membawa fragmen batuan tua dari dasar
gunung api, lalu melontarkannya keluar permukaan dan diendapkan bersamaan dengan
breksi koignimbrit yang terdiri dari bermacam-macam fragmen atau disebut breksi aneka
bahan dengan massa dasar pumis dan tuf lapili.
5. Kesimpulan
• Fragmen-fragmen batuan tua ini memiliki kesamaan/kemiripan dengan batuan –
batuan yang terdapat di Perbukitan Jiwo, Bayat. Dengan ditemukannya fragmen
tersebut, kita dapat menginterpretasikan, bahwa batuan tua ini melampar kearah
timur Pegunungan Selatan. Akan tetapi sampai saat ini, peneliti belum menemukan
adanya singkapan tersebut dipermukaan. Fragmen batuan tua ini dapat dijadikan
gambaran untuk merunut kembali stratigrafi Pegunungan Selatan Bagian Timur,
dimana alas dari Formasi Mandalika mirip dengan di daerah Bayat berupa Formasi
Gamping Wungkal yang berumur Eosen Tengah dan batuan dasarnya berupa
kompleks batuan metamorf kontinental berumur Pra-Tersier.
• Fragmen batuan tua tersebut dibawa oleh aktifitas vulkanisme Gunung
Gajahmungkur yang berumur Oligosen – Miosen dan terendapkan bersamaan dengan
breksi koignimbrit.
• Agar mendapatkan informasi yang lebih meyakinkan disarankanuntuk dilakukan
penanggalan radiometrik K-Ar untuk mendapatkan umur absolut fragmen batuan tua
tersebut.
6. Referensi
Bothe, A.Ch.D., 1929.Jiwo Hill and Southern Range. Excurtion Fourth Guide, Pacific
Science Congress, Bandung.
Bronto, S., Mulyaningsih, S., Hartono, G., dan Astuti, B., 2009. Waduk Parangjoho
dan Songputri: Alternatif Sumber Erupsi Formasi Semilir di Daerah Eromoko,
Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 4 No. 2 Juni
2009: 77-92 h.
Bronto, S., 2007. Fosil Gunung Api di Pegunungan Selatan Jawa Tengah. Prosiding
Workshop Geologi Pegunungan Selatan, hal 171-194.
Danny, R., Sutarto.,Prasetyadi, C., Putranto, S., 2013. Arti Penting Fragmen Formasi
Mandalika di Daerah Selogiri, Wonogiri, Jawa Tengah. Prosiding Seminar
Nasional Kebumian VIII-2013, FTM, UPN “Veteran” Yogyakarta.
Hartono, G., dan Bronto, S., 2009. Analisis stratigrafi awal kegiatan Gunung Api
Gajahdangak di daerah Bulu, Sukoharjo; Implikasinya terhadap stratigrafi
batuan gunung api di Pegunungan Selatan, Jawa Tengah. Jurnal Geologi
Indonesia, Vol. 4 No. 3 September 2009: 157-165 h.
Prasetyadi, C., 2007. Evolusi Tektonik Paleogen Jawa Bagian Timur, disertasi ITB,
tidak dipublikasikan.
Smyth et al., 2005.East Java: Cenozoic Basins, Volcanoes and Ancient Basement,
Indonesian Petroleum Association, Proceeding Ann.Conv. 30th
196
M02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Smyth, R.H., Hall, R., and Nichols, J.G., 2007. Cenozoic volcanic arc history of East
Java, Indonesia: The stratigraphic record of eruptions on an active continental
margin, The Geological Society America Special Paper 436.
Sribudiyani, Muchsin, N., Ryacudu, R., Kunto, T., Astono, P., Prasetya, I., Sapiie, B.,
Asikin, S., Harsolumakso, A.H., dan Yulianto, I., 2003. The collision of the East
Java Microplate and its implicationforhydrocarbonoccurrences in the East Java
Basin, ProceedingsIndonesian Petroleum Association, 29th Annual Convention
and Exhibition.
Surono, Toha, B., dan Sudarno, I., 1992. Peta Geologi Lembar Surakarta-Giritontro,
Jawa, Skala 1:100.000. Pusat Penelitian danPengembangan Geologi, Bandung.
197
M03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Abstract
Mount Ungaran are currently experiencing a period of dormancy, the eruption had once erupted
with very great impact so that it could destroy two-thirds of its original body parts, the current body
of mount ungaran is only one-third part of the Ungaran ancient volcano. This strato type volcano
makes an effusive and explosive eruption that produces lava and pyroclastic material. Distribution
of pyroclastic material can be found on the slopes and foothills, one of them was revealed in
Bandungan, Semarang. Paleosol with 4-10 cm in thickness is inserted between two pyroclastic
deposits (tuff) with characteristic burnt brown colour and contained charcoal. A gap time between
one eruption to another, resulted the formation of soil on the top of first deposits then to be
followed by the deposition of more recent pyroclastic material so that paleosol are exposed
between two deposits material of pyroclastic. Paleosol indicates a gap between one eruption to
another, bottom pyroclastic deposits was product of earlier eruption than the deposits pyroclasic on
the top of it.
Introduction
Pyroclastic deposit is a result of the explotion of volcanic eruption. This deposit material
has special characteristics because they were made through a unique process. Material
were thrown from the crater of the volcano when it erupted explosively, in this case is the
eruption of Ungaran ancient volcano. By studying volcanic deposit then we can reconstruct
how the volcanic eruptions occurred, one of them by discovering a paleosol or ancient
land. An ancient land that was once exposed on land surface, but due to the deposition of
new rock on top of the soil ended up trapped in a body of rock that has a unique texture.
Paleosol outcrops identified in this study, lies in coordinates at 110.39109oE Longitude and
07.19881oS Latitude, with elevation of 704 above sea level is administratively located in
the area Bandungan, Ungaran, Semarang regency.
Method
The problems and discussed of this paper are raised from study of outcrop in the field,
petrology analysis and by gathering literature from several books and internet media
concern on pyroclastic, Ungaran mount, Ungaran ancient volcano, and paleosol.
198
M03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
199
M03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Conclusion
At the study site, there are two pyroclastic deposits with constituent composition of the
tuff, andesite fragments, and charcoal. Those pyroclastic deposits have different ages and
separated by a paleosol baked inserts with 4-10 cm in thickness. Bottom sediment has an
older age, whereas the sediment above it is younger, it is accordance with the principle of
superposition, those statement is valid if there are no tectonic disturbance in the pyroclastic
deposits. The existence of the paleosol indicates that first mountain ungaran experienced
periodic eruption and the eruption had pause long enough so that the soil was formed on
the first pyroclastic deposits.
Reference
Bronto, S., 2006. Fasies gunung api dan aplikasinya, PSG : Bandung
Tim Asisten Petrologi. 2011. Panduan Praktikum Petrologi 2011. UNDIP : Semarang, Not
Publish
“Geologi Gunung Ungaran”, Avaliable : http://ptbudie.wordpress.com/2009/01/25/21/
[Accessed: Oct, 2013].
Attachment
1. Study Area and Pyroclastic Deposit Outcrop
200
M03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Layer 2
Layer 1
Paleosol
201
M04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Abstract
Daerah Morowali – Sulawesi Tengah merupakan wilayah dengan litologi yang tersusun atas batuan
beku ultra basa dan batugamping. Di permukaan, batuan ultra basa tersebut sebagian besar telah
lapuk membentuk nikel laterit dengan penyebaran yang luas. Keberadaan batuan beku ultra basa
memiliki arti sebagai asal batuan ofiolit, yang secara genesis merupakan batuan gunung api
punggungan tengah samudera (MORB). Hasil analisis data permukaan dan bawah permukaan
mengindikasikan bahwa sebaran batuan ultra basa dan sedimen yang menutupinya tersebut sangat
luas dan tebal, mencapai belasan hingga beberapa puluh meter. Secara stratigrafi, litologi yang
menyusunnya adalah batuan metamorf serpentinit, batuan beku peridotit, beberapa gabro, dan dunit
yang sebagian tertutup sedimen asal laut yaitu batugamping terumbu, batugamping klastika dan
batulempung. Beberapa sesar mendatar dan sesar naik juga dijumpai di wilayah ini. Meskipun
litologi tersebut telah banyak mengalami deformasi, namun diinterpretasi peridotit dan gabro yang
sebagian telah mengalami serpentinisasi terbentuk tidak jauh dari lokasi awalnya. Hal itu dapat
diinterpretasi bahwa daerah penelitian merupakan zona gunung api purba bagian dari gugusan
punggungan tengah samudera (MORB).
Kata kunci: batuan ultra basa, gunung api, purba, dan MORB
Abstract
Morowali area - Central Sulawesi is a region with the lithology is composed by ultra mafic
igneous rocks and limestones. On the surface, the ultra-mafic rocks are deeply weathered
forming nickel laterite with a wide spread. The existence of ultra mafic igneous rocks is
meaning as ophiolite rocks, which is a volcanic rock origin that formed within mid oceanic
ridge (MORB). Surface and subsurface data analysis indicate wide distributions of ultra-
mafic and sediment rocks that cover the very broad and thick sequences, reaching dozens
to several hundred meters. Stratigraphically, this area is composed by metamorphic rocks
of serpentinite; igneous rocks of peridotites, some gabbros, and dunites; and are partially
covered by marine sedimentary origin of reefs, clastical limestones and claystones. Some
horizontal faults and reverse faults are also found in this region. Although the lithology has
been deformed, the presence of peridotites and gabbros which are some of them have
getting serpentinized, can be interpreted formed not far from its original location. It can be
interpreted that the research area is ancient volcanic zone part of the cluster of the oceanic
ridge volcanism (MORB).
Key words: ultra mafic rocks, volcano, ancient and MORB
PENDAHULUAN
Daerah penelitian terletak di desa Lalemo (-3,14662214oN dan 122,4272843°E) dan desa
Lamontoli (-3,1424075°N dan 122,4015481°E) Kecamatan Kaleroang dan Kecamatan
Bungku Selatan, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah di batas timur dan Desa
Culambatu (Lamonae I), Kecamatan Wiwirano, Kabupaten Konawe Utara (-3.1657181°N
202
M04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
203
M04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
204
M04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Lawanopo
Fault
Kolaka
Fault
Gambar 2. Peta geologi regional Sulawesi menurut van Leuwen et. al (1994), daerah
penelitian terletak pada sayap utara Mandala Timur, litologinya merupakan bagian dari
sabuk metamorfik Sulawesi Tengah
Pemboran dangkal (hingga kedalaman 30 meter) telah selesai dilaksanakan, dan
mendapatkan data sebaran litologi, yaitu dunit dan peridotit yang sangat luas hingga
kedalaman di bawah 30 m. Peridotit dicirikan oleh warna hitam keabu-abuan, masif,
fanerik halus, tersusun atas mineral olivin, piroksen klino dan plagioklas anorthit (Gambar
3).
205
M04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 3. Peridotit di
daerah penelitian yang
didapatkan dari inti bor pada
kedalaman 15 m; dicirikan
oleh warna abu-abu gelap
kehitaman, fanerik, tersusun
atas olivin, piroksen klino
dan anorthit, beberapa
garnaerit
Sebagian dari peridotit ini mengalami alterasi dan dijumpai urat-urat kuarsa selebar 1-3
mm. Di beberapa lokasi secara lokal, juga dijumpai peridotit yang telah mengalami
metamorfisme membentuk serpentinit (Gambar 4). Serpentinit dicirikan oleh warna abu-
abu gelap kehijauan, terfoliasi, tersusun atas mineral serpentin warna hijau gelap. Di atas
batuan ofolit secara stratigrafi adalah batugamping klastik dan non klastik, serta batupasir
dan konglomerat. Beberapa batugamping non klastik telah mengalami dolomitisasi
sedangkan batugamping klastik tersusun atas boundstone dan packstone, dengan struktur
berlapis tebal perlapisan 40-60 cm. Di atas batugamping adalah batupasir, yang dicirikan
oleh warna coklat hingga abu-abu gelap, kondisi lapuk sampai sangat lapuk dan secara
setempat dijumpai fragmen batuan beku (peridotit dan serpentinit). Secara setempat
dijumpai konglomerat, yang dicirikan oleh struktur masif-berlapis (15-40 cm), sortasi
sedang-baik, kemas tertutup, tersusun atas fragmen peridotit, dunit, dan batugamping
dengan bentuk butir membulat tanggung. Di beberapa tempat secara lokal juga dijumpai
perlapisan basalt dan basalt dengan struktur bantal, dengan luas sebaran secara lokal-likal.
Sebaran litologi di daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.
206
M04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Tabel 1. Data hasil analisis XRF contoh inti bor di daerah penelitian (dalam %)
Analyte : Ni Co Al2O3 CaO Cr2O3 Fe2O3 K2O MgO MnO Na2O P2O5 SiO2 TiO2 Zn SUM
DH/3/02 0,58 0,036 14,95 0,27 0,71 25 0,29 4,19 0,38 0,18 0,04 40,4 0,82 0,03 99,13
DH/3/03 0,76 0,029 13,51 0,46 0,69 22,06 0,27 5,58 0,45 0,13 0,03 43,66 0,72 0,04 99,22
DH/6/04 0,37 0,048 16,37 0,52 1,04 21,5 0,17 4,66 0,86 0,13 0,03 42,04 1,03 0,02 99,52
DH/3/02 UP 0,58 0,036 15,02 0,3 0,7 25,06 0,29 4,23 0,38 0,13 0,04 40,57 0,82 0,03 99,49
DH/9/06 0,56 0,032 14,34 0,32 0,76 24,35 0,24 5,64 0,46 0,10 0,03 41,04 0,84 0,04 99,46
DH/9/06 EP 0,55 0,032 14,27 0,33 0,77 24,16 0,24 5,60 0,46 0,10 0,03 40,77 0,85 0,04 99,01
C72 - 01 0,46 0,043 11,86 0,74 0,94 26,66 0,06 4,82 0,63 0,15 0,04 39,98 0,64 0,02 99,48
C73 - 05 0,48 0,027 14,60 0,45 0,68 24,10 0,20 4,87 0,35 0,06 0,03 40,77 0,82 0,02 98,47
C73 - 06 0,59 0,026 12,90 0,59 0,88 26,04 0,18 5,85 0,33 0,07 0,03 40,58 0,65 0,02 99,41
C/2/010/1 0,47 0,026 13,06 2,59 0,80 21,39 0,16 7,64 0,41 0,33 0,03 43,22 0,81 0,01 99,72
C/2/010/10 0,50 0,019 10,33 3,88 0,94 22,53 0,12 8,32 0,22 0,32 0,05 43,61 0,56 0,02 99,17
C/3/3/0/1 0,46 0,038 11,26 0,96 0,92 25,47 0,04 5,84 0,54 0,14 0,03 41,80 0,64 0,01 98,13
C/3/1/0/2 0,88 0,026 8,20 1,17 1,05 25,60 0,03 6,93 0,36 0,15 0,02 40,75 0,34 0,02 98,44
C/3/1/0/3 0,90 0,033 9,57 1,01 1,04 26,81 0,03 7,17 0,41 0,15 0,01 40,69 0,35 0,02 98,86
C/3/1/0/11 0,32 0,002 13,37 11,14 0,37 10,79 0,35 8,95 0,29 0,23 0,10 40,96 0,98 0,01 98,57
C/2/7/0/2 0,40 0,015 16,76 1,68 0,37 20,24 0,30 4,84 0,46 0,21 0,03 40,59 1,27 0,01 98,14
C/3/1/11 EP 0,29 <0,001 13,28 1,19 0,23 10,76 0,35 8,93 0,29 0,24 0,10 40,79 0,96 0,01 98,18
207
M04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
208
M04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
PEMBAHASAN
Mengacu pada deskripsi gunung api, magma yang keluar melalui suatu rekahan (celah)
yang menjangkau hingga ke permukaan bumi membentuk lava, maka dapat digunakan
sebagai petunjuk adanya gunung api (Decker & Decker, 1997; Schminche, 2004).
Runtunan batuan ofiolit secara stratigrafi, umumnya dari bawah ke atas tersusun atas gabro,
peridotit dan harsburgit, dunit dan basalt. Batuan-batuan tersebut selanjutnya ditumpangi
oleh batuan sedimen asal laut dalam, seperti batugamping merah dan rijang. Namun, secara
geomorfologi tidak semua runtunan endapan tersebut dapat dibentuk. Jika lingkungan
geologi gunung api yang membentuknya terletak di darat, maka runtunan yang mungkin
terbentuk adalah batuan intrusi ultrabasa yang kaya olivin dan basalt berstruktur Aa dan
Pahoehoe, sedangkan jika lingkungan pengendapannya berada pada lingkungan laut
dangkal maka runtunan batuan ultra basa tersebut ditumpangi oleh batuan sedimen klastik
dan karbonat laut dangkal. Begitu juga yang dijumpai di daerah penelitian.
Batuan beku ultrabasa, seperti basalt yang juga berasosiasi dengan batuan intrusi
dangkal seperti dunit dan peridotit, dihasilkan oleh aktivitas gunung api yang berasosiasi
dengan gunung api gugusan punggungan tengah samudera (mid oceanic ridge basalt),
yang sering membentuk tipe gunung api perisai. Di daerah penelitian dijumpai batuan-
batuan beku ultrabasa, yaitu basalt, yang berasasiasi dengan dunit, peridotit dan gabro serta
batuan metamorf serpentinit. Hasil analisis geokimia plot SiO2 dan K2O+Na2O pada
beberapa contoh peridotit (◊) yang diambil dalam contoh inti bor di daerah penelitian,
menunjukkan bahwa peridotit tersebut kebanyakan merupakan seri batuan subalkalin
(mengacu pada MacDonald, 1968). Batuan subalkalin dihasilkan dari magma primitif asal
astenosfer; sedangkan batuan alkalin merupakan batuan yang berasal dari magma yang
telah mengalami differensiasi dengan batuan dinding / batuan di sepanjang yang dilaluinya.
Gambar 6. Plot SiO2 dan K2O+Na2O pada contoh peridotit inti bor di daerah penelitian (◊);
sebagai perbandingan bulat biru dan bulat merah adalah contoh batuan MORB di Hawaii
(setelah MacDonald, 1968)
Mengacu pada Peccerillo & Taylor (1976), peridotit di daerah penelitian termasuk ke
dalam seri batuan tholeiit K rendah (Gambar 7). Hal itu mengindikasikan bahwa peridotit
di daerah penelitian berasosiasi dengan batuan vulkanik tengah samudera. Proses
pengangkatan yang berlangsung secara berulang-ulang, menyebabkan wilayah ini memiliki
geomorfologi yang sangat curam, serta asosiasi batuan vulkanik di atasnya, yang tersusun
atas basalt dan endapan asal laut dalam tererosi, menyisakan batuan intrusi yang lebih
209
M04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 7. Plot SiO2 dan K2O pada contoh peridotit inti bor di daerah penelitian (setelah
Peccerillo & Taylor, 1976)
KESIMPULAN
Batuan ofiolit yang dijumpai di daerah penelitian merupakan batuan seri tholiit, yang
keberadaannya berasosiasi dengan batuan vulkanik laut dalam. Secara tektonik, batuan-
batuan tersebut dibentuk oleh kemunculan magma ke permukaan bumi, melalui rekahan
punggungan tengah samudera (zona pemekaran). Proses tektonik yang berlangsung secara
berulang-ulang, menyebabkan runtunan batuan ofiolit tersebut terangkat menjadi daratan
yang selanjutnya tererosi, menyisakan batuan intrusif yang ada di bawahnya.
References:
[1] Decker, R., & Decker, B., Volcanous, W.H. Freeman & Co: 322 pp.1997.
[2] Hamilton, W. Tectonic map of the Indonesian region. U.S. Geological Survey,
Miss. Inv. Ser. Map, 1-875-D. , 1978.
[3] Hamilton, W. Tectonics of the Indonesian Region. U.S. Geol. Survey Prof. Paper,
pp. 1078, 1979.
[4] Hamilton, W. Plate tectonics and island arcs. Geological Society of America
Bulletin 100, 1503-1527, 1988.
[5] Kadarusman, A., Miyashita, S., Maruyama, S., Parkinson, C.D. and Ishikawa, A.
Petrology, geochemistry and paleogeographic reconstruction of the East Sulawesi
Ophiolite, Indonesia. Tectonophysic, 392: 55-83, 2004.
[6] Katili, J. Past and present geotectonic position of Sulawesi, Indonesia.
Tectonophysics 45, 289-322, 1978.
[7] Katili, J. Evolution of the southeast Asian Arc complex. Indonesian Geology 12,
113-143, 1989.
[8] Van Leeuwen, T., The geology of southwest Sulawesi with special reference to
the Biru area. In: A.J. Barber & S. Wiryosayono (eds.) The geology and tectonics
of Eastern Indonesia. Geol. Res. Dev. Centre, Bandung, Spec. Publ. 2, p. 277,
1981.
210
M04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
[9] Van Leuwen, T., M., Taylor, R., Coote, A., Longstaffe, F.J., Porphyry
molybdenum mineralization in a continental collision setting at Malala, northwest
Sulawesi, Indonesia, Journal of Geochemical Exploration, Volume 50, Issues 1–3,
pp 279–315, 1994.
[10] Macdonald, G. A., Volcanoes, Prentice-Hall, Englewood Cliffs, New Jersey, 510,
1972
[11] Peccerillo, A. & Taylor, S. R, Geochemistry of Eocene calc-alkaline volcanic
rocks from the Kastamonu area, Northern Turkey. Contributions to Mineralogy
and Petrology 58, 63–81, 1976.
[12] Schminche, H.U., Volcanism, Springer-Verlag, 333 pages, 2004.
[13] Surono and Sukarna, D. The Eastern Sulawesi Ophiolite Belt, Eastern Indonesia.
A review of it's origin with special reference to the Kendari area. Journal of
Geology and Mineral Resources 46, 8-16, 1995.
[14] Surono, Tektono-Stratigrafi bagian timur Sulawesi, Prosiding PIT IAGI 2011,
Joint Convention IAGI ke 40 dan HAGI ke 36, Makasar, abstract, 2011.
211
M05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
ABSTRAK
Perbukitan Menoreh merupakan salah satu bagian dari vulkanik Kulon Progo. Daerah penelitian
yang termasuk kedalam Formasi Kaligesing yang merupakan bagian dari Formasi Kebo Butak.
Formasi Kaligesing atau Formasi Andesit Tua yang kita ketahui merupakan produk vulkanik darat
yang memiliki litologi breksi dengan fragmen batuan beku basalt, andesit, diorit, batuapasir dan
tuf. Pada daerah Kaliduren terdapatnya batuan metamorf sebagai fragmen penyusun dari breksi
volkanik Formasi Kaligesing. Ditemukannya batuan metamorf sebagai fragmen pada breksi
volkanik ini dapat menjadi petunjuk yang menarik bagi informasi geologi daerah Perbukitan
Menoreh. Hadirnya batuan metamorf ini sebagai fragmen memunculkan pertanyaan dari mana
batuan itu berasal, sedangkan batuan metamorf tidak pernah menjadi litologi penyusun stratigrafi
daerah tersebut. Formasi Nanggulan hingga saat ini menjadi formasi paling tua yang berumur
Eosen sebagai penyusun stratigrafi Kulonprogo. Hal dapat menjadi petunjuk bahwa terjadinya
erupsi besar dari suatu gunungapi yang membawa fragmen batuan berumur Pra Tersier. Batuan
metamorf terbawa sebagai fragmen bersama batuan beku intermediet dalam breksi volkanik
Formasi Kaligesing. Hal ini tidak menutup kemungkinan batuan metamorf sebagai batuan dasar
atau basement di daerah Perbukitan Menoreh. Berdasarkan asosiasi mineralnya batuan metamorf
ini termasuk kedalam fasies sekis hijau dan fasies amfibolit. Didaerah Selogiri, kabupaten
Wonogiri pada Formasi Mandalika sebagai formasi tertua penyusun stratigrafi Pegunungan Selatan
Bagian Timur yang kita ketahui disusun oleh breksi polimik memiliki fragmen batuan berumur Pra
Tersier dan Eosen, seperti batuan metamorf filit, slate, kuarsit, batugamping Nummulites dan
konglomerat. Analisis berdasarkan asosiasi mineral pada batuan metamorf filit didapatkan bahwa,
fragmen batuan metamorf pada Formasi Mandalika termasuk kedalam fasies sekis hijau.
Berdasarkan hasil analisis dari fragmen batuan metamorf pada Formasi Kaligesing dan Formasi
Mandalika didapatkan memiliki kesamaan fasies metamorf, yaitu sekis hijau.
Kata Kunci : Fragmen Breksi, Batuan Metamorf, Perbukitan Menoreh, Formasi Kaligesing,
Formasi Mandalika.
212
M05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Pendahuluan
Daerah penelitian terletak di daerah Kaliduren tepatnya di Kali Sileng, kecamatan
Borobudur, kabupaten Magelang dan desa Pare, kecamatan Selogiri, kabupaten Wonogiri,
provinsi Jawa Tengah. Letaknya pada bagian barat laut dan timur Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta (Gambar 1).
Daerah perbukitan Menoreh merupakan rangkaian volkanik dari Kulon Progo yang
menarik untuk dikaji, karena ditemukannya fragmen batuan metamorf pada batuan breksi
volkanik Formasi Kaligesing. Dalam stratigrafi daerah Kulon Progo menurut beberapa
peneliti terdahulu tidak terdapat batuan metamorf, sehingga kehadiran batuan metamorf di
daerah penelitian menjadi sebuah pertanyaan mengenai asal usulnya. Didaerah Selogiri
keberadaan fragmen batuan metamorf juga ditemukan pada breksi polimik Formasi
Mandalika yang merupakan bagian dari Pegunungan Selatan Bagian Timur.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui asal-usul batuan metamorf di daerah
telitian yang diinterpretasikan sebagai batuan dasar (basement) Perbukitan Menoreh serta
kesebandingannya terhadap batuan metamorf di daerah Selogiri, sampai mengetahui
derajat metamorfisme batuan metamorf dari formasi yang berbeda.
Gambar 1. A. Peta lokasi daerah penelitian Kulonprogo, Yogyakarta dan Wonogiri, Jawa
Tengah, B. Peta Digital Elevation Model (DEM) daerah penelitian, C. Peta kesampaian (indeks)
lokasi daerah penelitian
Metodologi
Observasi Geologi
Pada kegiatan observasi geologi ini meliputi kajian pustaka, pengambilan data
lapangan berupa sampling batuan untuk keperluan analisis lebih lanjut.
Analisis Petrografi
Analisis petrografi ini dilakukan setelah observasi geologi dari sampling batuan
yang ada. Analisis ini dilakukan secaa megaskopis dan mikroskopis dengan menggnakan
213
M05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
mikroskop polarisasi. sehingga dapat menentukan jenis dan nama batuan serta diagenesa
batuan.
Kerangka Geologi
Geologi Regional
Menurut Van Bemmelen (1949), pegunungan Kulon dilukiskan sebagai dome besar
dengan bagian puncak datar dan sayap-sayap curam, dikenal sebagai “Oblong Dome”.
Dome ini mempunyai arah utara timur laut – selatan barat daya, dan diameter pendek 15-
20 km, dengan arah barat laut – timur tenggara. Di bagian utara dan timur, komplek
pegunungan ini dibatasi oleh lembah progo, dibagian selatan barat dibatasi oleh dataran
pantai Jawa Tengah. Sedangkan di bagian barat laut pegunungan ini berhubungan dengan
deretan Pegunungan Serayu. Inti dari dome ini terdiri dari 3 gunung api Andesit Tua yang
sekarang telah tererosi cukup dalam, sehingga di beberapa bagian bekas dapur magmanya
telah tersingkap. Setelah kegiatan gunung gajah berhenti dan mengalami denudasi, di
bagian utara mulai terbentuk gunung Menoreh, yang merupakan gunung terakhir pada
komplek pegunungan Kulonprogo. Kegiatan gunung Menoreh mula-mula menghasilkan
Andesit Augit Hornblende, kemudian dihasilkan dasit dan yang terakhir yaitu Andesit.
Zona Pegunungan Selatan merupakan cekungan yang menunjang dengan arah
relatif barat – timur mulai dari Parangtritis di bagian barat sampai Ujung Purwo di bagian
Jawa Timur. Perkembangan tektoniknya tidak lepas dari interaksi konvergen antara
Lempeng Hindia – Australia dengan Lempeng Micro Sunda. Mengutip dari pernyataan
C.Prasetyadi (2007) secara lisan mengenai Evolusi Tektonik Tersier Pulau Jawa ,dijelaskan
bahwa Pulau Jawa merupakan salah satu pulau di Busur Sunda yang mempunyai sejarah
geodinamik aktif, yang jika dirunut perkembangannya dapat dikelompokkan menjadi
beberapa fase tektonik dimulai dari Kapur Akhir hingga Resen.
Gambar 2. Peta geologi regional A. Lembar Yogyakarta, kotak berwarna ungu daerah penelitian
desa Candirejo, Borobudur, Magelang yang merupakan bagian dari volkanik Kulonprogo pada
Formasi Kaligesing, B. Lembar Surakarta, kotak berwarna ungu daerah penelitian desa Pare,
Selogiri, Wonogiri yang merupakan bagian dari volkanik Pegunungan Selatan Bagian Timur pada
Formasi Mandalika
214
M05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 3. Kolom stratigrafi regional daerah Karangsambung, Nanggulan Kulon Progo, Bayat
Pegunungan Selatan yang memperlihatkan kronostratigrafi antar formasi
Geologi Lokal
Daerah penelitian termasuk kedalam bagian dari rangkaian volkanik Kulon Progo
dan Pegunungan Selatan yang berumur Oligosen Akhir-Miosen Awal. Perbukitan Menoreh
yang merupakan bagian dari volkanik Kulonprogo termasuk kedalam Formasi Kebo
Butak/Formasi Kaligesing, sedangkan daerah penelitian yang berada di daerah Selogiri
termasuk kedalam rangkaian Pegunungan Selatan Bagian Timur yang merupakan Formasi
Mandalika. Kedua formasi daerah penelitian ini merupakan jajaran gunungapi Tersier yang
berumur Oligo-Miosen, kedua formasi ini merupakan Formasi Andesit Tua (Old Andesite
Formastion).
a. Formasi Kebo Butak (Kaligesing)
Formasi Kebo Butak diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Nanggulan.
Formasi ini oleh van Bemmelen (1949) dibagi atas breksi andesit, tuf, lapili, aglomerat dan
sisipan aliran lava andesit yang lebih dikenal dengan Formasi Andesit Tua. Sejumlah
215
M05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
terobosan dasit, andesit porfir dan diorit porfir juga termasuk dalam formasi ini (Rahardjo
dkk., 1977).
Di kompleks Pegunungan Kulonprogo dapat dijumpai beberapa pusat erupsi yang
terdiri atas perselingan lava dan breksi andesit (Soeria-Atmadja dkk., 1994). Pada bagian
tengahnya terdapat leher-leher volkanik, kubah lava dan breksi piroklastik dimana bagian
tepinya terdiri dari breksi laharik. Batuannya berkomposisi antara basaltik sampai andesit.
Berdasarkan penentuan umur absolut batuan dengan menggunakan metoda K-Ar oleh
Soeria Atmadja, dkk. (1994) didapatkan bahwa batuan volkanik di daerah Kulon Progo
berkisar antara 29.63 ± 2.26 sampai 22.64 ± 1.13 juta tahun yang lalu (Oligosen Akhir–
Miosen Awal).
b. Formasi Besole (Mandalika)
Sartono (1964), pencetus nama Formasi Besole menyebutkan bahwa satuan ini
tersusun oleh dasit, tonalit, tuf dasitan, serta andesit, dimana satuan ini diendapkan di
lingkungan darat. Nahrowi dkk (1978), dengan menggunakan satuan batuan bernama
Formasi Besole, menyebutkan bahwa formasi ini tersusun oleh perulangan breksi volkanik,
batupasir, tuff, dan lava bantal, diendapkan dengan mekanisme turbidit, pada lingkungan
laut dalam.
Samodaria dkk (1989 & 1991) membagi satuan yang bernama Formasi Besole ini
menjadi dua satuan yaitu Formasi Arjosari yang terdiri dari perselingan batupasir dan
breksi, yang diendapkan pada lingkungan laut dangkal, dan Formasi Mandalika yang
tersusun oleh perselingan breksi, batupasir, serta lava bantal diendapkan pada lingkungan
laut dalam. Terlepas dari perbedaan litologi, dan lingkungan pengendapan pada satuan
yang bernama Formasi Besole ini, mempunyai penyebaran menempati morfologi terjal,
dan berbukit-bukit. Oleh Sartono (1964), satuan ini merupakan bagian dari kelompok
batuan Old Andesit (van Bemmelen, 1949), seperti halnya yang terdapat di Kulon Progo.
Jadi secara umum Formasi Besole tersusun oleh satuan batuan volkanik (intrusi), lava dan
volkanoklastik (breksi, sisipan batupasir tufan).
Hasil Penelitian
Batuan Metamorf Formasi Kaligesing
Breksi yang tersingkap di Kali Sileng daerah Kaliduren termasuk dalam Formasi
Kaligesing, tersingkap di bagian timur laut Perbukitan Menoreh. Singkapan breksi
dijumpai di pinggir Kali Sileng dengan penyebaran setempat. Litologi ini berbatasan
dengan lempung hitam yang terendapkan secara tidak selaras di atasnya.Breksi ini
merupakan breksi vulkanik dengan ukuran fragmen bervariasi 1-2 cm, yang berupa batuan
beku dan batuan metamorf.
Batuan metamorf tersebut memiliki presentasi 5-10% dari seluruh fragmen yang
ada. Dari beberapa fragmen breksi tersebut, dilakukan pengambilan conto dan dilakukan
analisa petrografi sebanyak tiga conto batuan.Hasil dari analisis ketiga conto fragmen dari
breksi menunjukkan bahwa fragmen-fragmen tersebut adalah dua conto batuan metamorf
dan satu conto batuan metamorf sebagai xenolith andesit.
216
M05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Conto 1
Deskripsi Megaskopis
Jenis Batuan : Batuan metamorf foliasi, dengan warna hitam kecoklatan,struktur
foliasi - skistosa, tekstur kristaloblastik - lepidoblastik, komposisi mineral: mineral stress
(biotit, muskovit, hornblende), mineral antistress (kuarsa, plagioklas). Nama Batuan: Sekis.
Deskripsi Mikroskropis
Batuan metamorf foliasi, dengan komposisi: biotit 52 % dengan warna coklat
kekuningan, relief rendah, belahan 1 arah, ukuran kristal 0,5-0,8 mm, tersebar merata pada
sayatan sebagai mineral stress, muskovit 22 % dengan warna tidak bewarna hingga hijau
muda, relief sangat rendah,tersebar merata pada sayatan; kuarsa 21 % dengan warna tidak
bewarna, tersebar hanya pada tempat tertentu, ukuran halus; mineral opaq 5 % warna
hitam, ukuran halus, tersebar tidak merata dalam sayatan.
Batuan ini merupakan batuan metamorf foliasi dengan menunjukkan struktur foliasi
skistosa, ukuran kristal 0,1 – 1,5 mm, tekstur kasar, dengan kondisi batuan sudah
mengalami pelapukan sedang. Tipe metamorf ini merupakan batuan metamorf yang
terbentuk dibawah kondisi tekanan yang besar dengan pengaruh suhu yang cukup. Nama
Batuan: Sekis Biotit (Foto 1 dan 2).
Conto 2
Deskripsi Megaskopis
Jenis Batuan: Batuan metamorf foliasi, dengan warna hitam, struktur foliasi –
skistosa, tekstur kristaloblastik – lepidoblastik, komposisi mineral: mineral stress (biotit,
muskovit, hornblende), mineral antistress (kuarsa, kalium feldspar).Nama Batuan: Sekis
Deskripsi Mikroskropis
Batuan beku intermediet vulkanik, dengan komposisi:hornblende17 %warna coklat,
relief sedang, belahan dua arah tidak tegak lurus, tidak merata pada sayatan; piroksen13
%warna coklat – biru, belahan satusampai dua arah tegak lurus, ukuran sedang, relief
tinggi, terletak menyebar pada sayatan; plagioklas 38 %tidak bewarna, kembaran kalsbat,
terdapat struktur zoning, ukuran halus – sedang, mengalami pelapukan sedang, tersebar
merata dalam sayatan; mineral opaq 5 %warna hitam, tersebar tidak merata dalam sayatan;
tridimit 8 %warna tidak bewarna, tersebar tidak merata dalam sayatan; gelas 19 % ukuran
sangat halus, tersebar dalam merata dalam sayatan.Batuan beku ini mempunyai ukuran
mineral halus – sedang, dengan struktur porfiro afanitik, dengan tekstur halus, mengalami
pelapukan sedang pada plagioklas, hornblende, dan piroksen. Perbukitan Menoreh.Nama
Batuan: Andesit ( (Foto 1 dan 2).
Xenolith pada sayatan conto B: Batuan metamorf foliasi, dengan komposisi:
hornblende 30%, piroksen 25 %, biotit15%, muskovit 3%, kuarsa 17 %, mineral opak 10
%.
Batuan metamorf foliasi dengan struktur skistosa, bertekstur kasar, terdapat
pelapukan pada mineralnya. Merupakan batuan metamorf derajat sedang. Nama batuan:
sekis hornblende-piroksen.
217
M05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Conto 3
Deskripsi Megaskopis
Jenis Batuan: Batuan metamorf foliasi, dengan warna hitam, struktur foliasi -
skistosa, tekstur kristaloblastik - lepidoblastik,komposisi mineral: mineral stress (biotit),
mineral antistress (kuarsa, epidot).Nama Batuan: Sekis
Deskripsi Mikroskropis
Batuan metamorf foliasi sekistosa dengan komposisi: biotit 45 %dengan warna
coklat - tidak bewarna, ukuran kasar, sudah mengalami pelapukan, tersebar merata pada
sayatan; muskovit 25 %dengan warna tidak bewarna, relief rendah, ukuran halus – sedang,
sudah mengalami pelapukan, tersebar merata pada sayatan; kuarsa 25 % dengan warna
tidak bewarna, tersebar hanya pada tempat tertentu, ukuran halus; mineral opaq 5 %warna
hitam, ukuran halus, tersebar tidak merata dalam sayatan.
Batuan ini merupakan batuan metamorf foliasi dengan menunjukkan struktur foliasi
skistosa, ukuran kristal 0,1 – 1,5 mm, tekstur kristaloblastik-lepidoblastik, dengan kondisi
batuan sudah mengalami pelapukan sedang.Tipe metamorf ini merupakn batuan metamorf
yang terbentuk dibawah kondisi tekanan yang besar dengan pengaruh suhu yang cukup.
Nama batuan: Sekis biotit.(Foto 1 dan 2).
Diskusi
Dari semua data diatas dapat menujukan bahwa fragmen batuan breksi vulkanik
terdapat diantaranya batuan metamorf. Setelah dianalisa secara megaskopis dan
mikroskopis didapatkan bahwa batuan metamorf tersebut adalah sekis bedasarkan derajad
foliasinya. Dimana komposisi mineralnya yaitu biotit, mika, dan kuarsa. Dengan demikian
dapat diinterpretasikan bahwa batuan metamorf yang terbentuk dipengaruhi oleh suhu dan
tekanan yang tinggi, tetapi tekanan lebih dominan daripada suhu.
218
M05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Batuan metamorf yang menjadi fragmen pada breksi vulkanik ini diinterpretasikan
berasal dari batuan dasar. Batuan metamorf ini terbawa ke permukaan pada vulkanisme
yang terjadi selama Oligo - Miosen (Foto 1 dan 2).Hal ini dapat menjadi penjelasan
bagaimana batuan metamorf tersebut dapat terbawasebagai fragmen dalam batuan breksi
vulkanik.
Fragmen breksi Kaligesing
Pada conto 1 dan conto 3, asosiasi mineralnya berupa Biotit, Mika, Kuarsa,
Opaq.Maka menurut Winkler (1974) termasuk ke dalam fasies greenschist atau sekis
hijau.Kandungan Kuarsa yang melimpah menunjukan batuan asalnya berupa pelitic rock.
Pada conto 2 asosiasi mineralnya yaitu Hornblende, Piroksen, Mika, mineral opaq,
dan Kuarsa.Asosiasi mineral seperti ini menurut Winkler (1974) termasuk ke dalam fasies
Amphibolite dengan batuan asalnya berupa mafic rock. Kehadiran Piroksen menunjukan
pembentukan batuan metamorf pada tempereatur tinggi.
Fragmen breksi Mandalika
Pada conto fragmen breksi Mandalika, asosiasi mineralnya berupa kuars, kalsit,
serisit, biotit, dan mineral opak. Maka menurut Winkler (1974) termasuk ke dalam fasies
greenschist atau sekis hijau.Kandungan Kuarsa yang melimpah menunjukan batuan
asalnya berupa pelitic rock.
Bila dibandingkan dengan batuan metamorf yang ada di Bayat dan Karang
sambung, batuan metamorf Kaligesing dan batuan metamorf Mandalika tidak memiliki
kesamaan dengan keduanya. Batuan metamorf di Bayat terdiri dari batuan metamorf
berderajad rendah sampai sedang, dan batuan metamorf di Karangsambung terdiri dari
batuan metamorf berderajad rendah sampai tinggi. Sedangkan batuan metamorf di
Kaliduren termasuk batuan metamorf derajad sedang.
219
M05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Foto 2. A, B, C. Conto petrografi fragmen breksi Formasi Kaligesing dan D. Contoh petrografi
fragmen breksi Formasi Mandalika
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian lapangan, analisis data dan pembahasan dari dua lokasi
daerah penelitian pada dua formasi yang berbeda, maka penulis menyimpulkan :
Batuan metamorf terdapat sebagai sebagian fragmen dalam breksi vulkanik Formasi
Kaligesing dan Formasi Mandalika.
Dari komposisi mineral yang ada maka batuan metamorf pada daerah penelitian adalah
Sekis biotit, Sekis hornblende-piroksen Formasi Kaligesing dan Filit kuarsa pada Formasi
220
M05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Mandalika. Fasiesnya Sekis hijau dan Amphibolite, termasuk derajat metamorf sedang.
Material asal (protolith) dari batuan metamorf ini adalah pelitic rock dan mafic rock.
Vulkanisme Oligo-Miosen membawa batuan-bauan tua, seperti batuan metamorf yang
tersingkap sebagai fragmen breksi pada Formasi Kaligesing dan Formasi Mandalika.
Tersingkapnya fragmen batuan metamorf sebagai fragmen breksi ini merupakan basement
dari perbukitan Menoreh sebagai bagian dari vulakanik Kulon Progo dan basement
Pegunungan Selatan Bagian Timur sebagai bagian vulkanik Pegunungan Selatan.
Kehadiran fragmen metamorf pada kedua formasi ini, menambahkan data mengenai
basement pulau Jawa.
Daftar Pustaka
Bayu A., Indra. 2002. Geologi Daerah Prangkokan dan Sekitarnya, Kecamatan
Kalibawang, Kabupaten Kulonprogo.(tidak dipublikasikan).
Harjanto, A. 2008. Magmatisme dan Mineralisasi Di Daerah Kulon Progo dan Sekitarnya.
Bandung: Disertasi Doktor ITB. (tidak dipublikasikan).
Murwanto, H, dkk. 2004. Borobudur Temple (Java, Indonesia) Stood by a Natural Lake:
Chronostratigraphic Evidence and Historical Implications. Yogyakarta.
Prasetyadi, C. 2007. Evolusi Tektonik Paleogen Jawa Bagian Timur.Bandung: Disertasi
Doktor ITB (tidak dipublikasikan).
Prasetyo, H. 1999.Geologi Daerah Sermo dan Sekitarnya, Kecamatan Koakap, Kabupaten
Kulon Progo, Jawa Tengah. (tidak dipublikasikan).
Raharjo, W., Sukandarrumidi, Rosidi, H.M.D., 1995, Peta Geologi Lembar Yogyakarta,
Jawa, skala 1 : 100.000, Puslitbang Geologi. Laporan Terbuka.
Danny, R, dkk. 2013. Arti Penting Fragmen Breksi Mandalika Daerah Selogiri, Wonogiri,
Jawa Tengah. Yogyakarta : Seminar Nasional UPN VIII-2013.
Utama, W.H, dkk. 2012. Batuan Metamorf Sebagai Basement Perbukitan Menoreh,
Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Yogyakarta : Forum IAGI 41st Annual
Convention and Exhibition 2012.
van Bemmelen, R.W., 1949, The Geology of Indonesia, Vol. IA: General Geology of
Indonesia and Adjacent Archipelagoes, The Hague
Warmada, dkk. 2008. Geologi dan Fasies Batuan Metamorf Daerah Jiwo Barat, Bayat,
Klaten, Jawa Tengah. Yogyakarta: Media Teknik No.2 Tahun XXX Edisi Mei
2008.
Winkler, G. F., 1974.Petrogenesis of Metamorphic Rock. New York: Springer-Verlag New
York Inc.
221
M06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Abstrak
Batubara Kemuning terletak di Kecamatan Taba Penanjung, Kabupaten Bengkulu Tengah, Propinsi
Bengkulu terdapat singkapan batubara utama (main seam) dari Formasi Lemau yang berumur
Miosen Tengah ini adalah bagian dari Cekungan Bengkulu di Fore Arc Basin. Geologi daerah
Kemuning terdiri dari litologi batupasir, batulempung sisipan batubara yang diendapkan pada delta
plain serta batuan vulkanik (ignimbrite) dan intrusi andesit yang berupa sill dan dike. Batubara
Kemuning memiliki kandungan vitrinite yang kaya, dari 3 (tiga) conto batubara yang diambil dari
singkapan main seam maka nilai reflektan vitrinite untuk kode conto SBB AIR MANGGU/SP-
54KI nilai Rv mean:0,54%; SBB-PA nilai Rv mean:0,94% dan kode conto SBB-TSJ nilai Rv
mean:0,77%. Umumnya peringkat batubara Kemuning adalah Sub-Bituminus, namun demikian
sebagian besar main seam batubara telah terpengaruh secara langsung dari beberapa intrusi andesit,
sehingga akan menghasilkan beberapa batubara hingga mencapai rank Bituminus (Rv mean antara
0,77 – 0,94%). Dengan demikian sebagian besar variasi rank Batubara Kemuning adalah high rank
yang dihasilkan dari gangguan intrusi-intrusi andesit yang berupa sill maupun dike. Pada conto
SBB AIR MANGGU/SP-54KI terjadi peningkatan inertinite sebesar 20,6 % dengan kandungan
sclerotinite 11,4%.
Kata kunci: Intrusi, Reflektan vitrinite, Rank, Sub-Bituminus, Bituminus, Inertinite, Sclerotinite.
222
M06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Penelitian ini akan membahas tentang komposisi mikroskopi dari komponen organik
pembentuk batubara (maseral) yaitu vitrinite, liptinite, dan inertinite serta perubahan
kematangan batubara berdasarkan Reflektan Vitrinite (Rv) untuk menentukan rank
batubara yang disebabkan oleh pengaruh intrusi andesit pada Batubara Kemuning,
Kecamatan Taba Penanjung, Kabupaten Bengkulu Tengah, Propinsi Bengkulu (Gambar
1).Salah satu parameter untuk mengetahui komposisi mikroskopi batubara adalah dari
aspek coal type dimana berhubungan dengan jenis tumbuhan pembentuk batubara dan
dalam perkembangannya akan dipengaruhi oleh proses biokimia selama proses
penggambutan.
Petunjuk tingkat kematangan batubara atau disebut sebagai coal rank (Ward, 1984),
merupakan refleksi derajat/tahapan yang telah dicapai bahan organik selama metamorfisme
atau pembatubaraan terhadap material asal sisa-sisa rombakan tumbuhan (peat) yang telah
terjadi selama sejarah penimbunan yang akan berimplikasi pada tingkat pematangan
(maturity).
Batubara tersusun oleh unsur organik (maseral) khususnya maseral vitrinite merupakan
komponen terpenting untuk mengukur tingkat kematangan rank batubara berdasarkan
metode mikroskopis yaitu dari petrografi batubara. Komposisi vitrinite dalam batubara
umumnya sangat dominan (> 80 % Vol.) dan sensitivitas vitrinite terhadap reflektan
adalah sangat kuat dan akan naik secara teratur selama proses pembatubaraan (Stach, 1982;
Teichmuller, 1987, 1989).
Secara konvensional, batubara digunakan dalam proses seperti pembakaran, gasifikasi, dan
pencairan batubara serta dalam karbonisasi untuk manufaktur kokas. Oleh karena itu harus
diketahui bagaimana karakteristik batubara sebelum digunakan, apakah sebagai single coal
atau blended coal. Karakterisasi batubara merupakan performa dalam rangka menemukan
properti batubara, terutama untuk menentukan kualitas batubara, serta untuk memprediksi
perlakuan teknologi pemanfaatannya. Pada dasarnya terdapat 2 (dua) karakteristik
pengaruh penggunaan batubara seperti: komposisi batubara dan rank batubara. Komposisi
batubara direpresentasikan oleh 2 faktor utama (Ward, 1984) yaitu: coal type (komponen
organik aslinya) dan coal grade (secara umum dipengaruhi oleh mineral matter khususnya
ash yield).
Dalam Suarez-Ruiz dan Crelling (2008) dijelaskan bahwa faktor mendasar dalam kontrol
kualitas batubara adalah komponen organik pembentuk batubara (maseral), dimana
kandungan komponen organik dari tumbuhan asal pembentuk batubara yang bersifat
heterogen, sehingga pendekatan evaluasinya dapat dilakukan dengan mengetahui coal type
(jenis batubara) yaitu melalui pengamatan mikroskopi.
Secara mikroskopi batubara terdiri dari beragam komponen organik (maseral).
Pembentukan maseral dari sisa-sisa tumbuhan selama tahap awal akumulasi gambut
tergantung pada tipe dari komunitas tumbuhan, iklim, dan kontrol ekologi serta kondisi
lingkungan pengendapan (Stach et al., 1982). Maseral batubara terbagi menjadi 3 grup
maseral vitrinite, liptinite, dan inertinite berdasarkan nilai reflektansi, kehadiran struktur
cellular, tingkat gelifikasi, dan kenampakan morfologi. Ketiga grup maseral tersebut
berbeda komposisi kimia dan sifat fisik (serta sifat optisnya).
TUJUAN
Pada dasarnya penulisan karya tulis ini dilakukan untuk mengetahui perubahan komposisi
mikroskopis batubara berdasarkan komposisi maseral dan perubahan kematangan (coal
rank) akibat pengaruh intrusi andesit, sehingga dengan mikroskopi dapat diketahui
223
M06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
komponen organik penyusun batubara sebagai tambahan data yang akan menunjang dalam
pemanfaatan batubara.
TATANAN GEOLOGI
Secara regional daerah Kemuning merupakan bagian dari Cekungan Bengkulu yang secara
ekonomis merupakan salah satu cekungan sedimen di Indonesia yang terletak di Cekungan
Muka Busur.
Batubara Kemuning termasuk dalam Formasi Lemau yang berumur Miosen Tengah
(Gafoer dkk.,1992), dimana pengendapannya selama fase regresi bersamaan dengan proses
orogenesa yang disebut sebagai Syn-Orogenic Regressive Phase Deposition, endapan
batubaranya berhubungan dengan lingkungan floodplain deltaic dari progradasi delta
selama Miosen, batubaranya berkembang di lingkungan progradasi delta menuju ke arah
barat (Koesoemadinata, 2002).
Geologi daerah telitian disusun berdasarkan pengelompokan litologi dominan yang dapat
diamati di lapangan (Gambar 2A dan 2B). Penamaan satuan batuan mengikuti tata nama
satuan lithostatigrafi tidak resmi menurut Sandi Stratigrafi Indonesia (SSI, 1996).
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka daerah telitian dapat dikelompokkan dalam 5 (lima)
satuan batuan tidak resmi, dengan urutan dari tua sampai muda, sebagai berikut (Gambar
3):
a. Batupasir - kuarsa Lemau.
b. Batulempung Lemau.
c. Intrusi Andesit
d. Ignimbrit Bintunan
e. Endapan alluvial
Lapisan batubara main seam berada pada satuan batupasir kuarsa lemau dan batulempung
lemau ketebalan 0,6m- 2,1m.
HASIL ANALISIS
Berdasarkan mikroskopi, maka komposisi maseral batubara Kemuning untuk kode contoh:
SBB AIR MANGGU/SP-54KI nilai vitrinite (73% vol.), liptinite (4% vol.), inertinite
(20,6% vol.) dengan nilai Rv mean: 0,54% (Tabel 1); Kode conto SBB-PA nilai vitrinite
(87,4% vol.), liptinite (…% vol.), inertinite (…% vol.) dengan nilai Rv mean: 0,94%
(Tabel 2), dan kode conto SBB-TSJ nilai vitrinite (91,6% vol.), liptinite (0,4% vol.),
inertinite (4% vol.) nilai Rv mean: 0,77% (Tabel 3).
DISKUSI
Hasil analisis terhadap reflektansi vitrinite memperlihatkan hasil rank batubara yang
berbeda yaitu untuk kode conto SBB AIR MANGGU/SP-54KI nilai Rv mean:0,54% yaitu
pada rank batubara sub-bituminus, sedangkan SBB-PA nilai Rv mean:0,94% dan kode
conto SBB-TSJ nilai Rv mean:0,77% termasuk rank high volatile bituminous. Berdasarkan
analisis reflektan vitrinite terhadap rank batubara maka (coal rank) lapisan batubara main
seam conto SBB-PA memiliki nilai Rv mean paling tinggi (0,94%), kondisi ini disebabkan
oleh meningkatnya temperature hasil dari intrusi andesit (sill) terhadap main seam batubara
conto SBB-PA. Sedangkan conto SBB AIR MANGGU/SP-54KI nilai Rv mean paling
rendah (0,54%), tidak ada peningkatan temperature akibat intrusi andesit (dike). Dengan
demikian dapat diyakini bahwa perubahan maseral/nilai Reflektan Vitrinite disebabkan
224
M06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
225
M06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
tinggi, kandungan hidrogen rendah, dan ratio O/C lebih tinggi dari pada grup vitrinite dan
liptinite.
Inertinite berasal dari kata “inert” mengandung unsur-unsur pokok yang tidak reaktif dan
berkontribusi dalam blending batubara kokas seperti maseral fusinite, semifusinite dan
sclerotinite. Inertinite berasal dari selulose dan lignin dari dinding sel tumbuhan. Unsur-
unsur pokok tersebut mengalami fusinitisasi selama pembatubaraan (Taylor et al., 1998).
Sifat khas inertinite adalah reflektifitas tinggi, sedikit atau tanpa flouresense, kandungan
karbon tinggi dan sedikit kandungan hidrogen, aromatis kuat karena beberapa penyebab,
seperti pembakaran (charring), mouldering, dan penghancuran oleh jamur, gelifikasi
biokimia dan oksidasi serat tumbuhan.
Sifat fisik grup maseral, seperti vitrinite yang mempunyai berat jenis 1,3 – 1,8 dan
kandungan oksigen yang tinggi serta kandungan volatille matter sekitar 35,75 %. Liptinit
mempunyai berat jenis 1,0 – 1,3 dan kandungan hidrogen yang paling tinggi dibanding
dengan maseral lain, sedang kandungan volatille matter sekitar 66 %. Inertinit mempunyai
berat jenis 1,5 – 2,0 dan kandungan karbon yang paling tinggi dibanding maseral lain serta
kandungan volattile matter sekitar 22,9 %.
Berdasar hasil analisis komposisi maseral diatas, batubara yang berasal dari Tanjung Enim
didominasi oleh grup maseral vitrinite. Komposisi grup maseral liptinite terbanyak ada
pada conto batubara yang berasal dari Berau. Namun terdapat hal yang menarik pada conto
batubara yang berasal dari Muara Wahau yang memiliki kecenderungan berlimpahnya
komponen grup maseral inertinit.
Analisis petrografi yang dilakukan memperlihatkan kehadiran mineral matter dalam
batubara yang didominasi oleh mineral lempung, pirit, dan karbonat. Dominasi mineral
lempung tampak pada hampir semua conto batubara Kaolinit, illit, serisit sebagai mineral
lempung hadir dalam batubara yang diindikasikan sebagai akibat partikel yang terbawa
oleh arus air atau angin (felspar dan mika yang terlapukkan) kemudian memasuki rawa dan
terendapkan bersama-sama. Umumnya menyebar pada komponen maseral vitrinite dan
sebagian mengisi rongga inertinit. Secara genesa dan keterdapatan mineral lempung dalam
batubara dimana asosiasi mineral lempung pada lapisan batubara berupa inklusi halus yang
tersebar dan sebagai pita-pita lempung (tonstein). Selain itu, mineral lempung masuk ke
dalam gambut sudah dalam bentuk mineral lempung atau sebagai detrital (Ward, 1988).
Mineral sulfida contohnya pirit hadir dalam bentuk framboidal, sedangkan kelas pirit yang
lain terdapat dalam bentuk kristal pirit yang terdapat sebagai inklusi dalam maseral vitrinit,
nodul/konkresi, bentuk tidak teratur (anhedral), dan juga pirit epigenetik sebagai pengisi
rekahan (cleat filling).
Sebagai material yang cukup kompleks, batubara terdiri atas zat organik dan anorganik.
Proporsi dan asosiasi antara komponen organik dan anorganik tersebut akan menentukan
sifat fisik dan kimia batubara sehingga dapat mempengaruhi karakteristik penggunaannya.
Karakteristik batubara perlu dilakukan menyeluruh guna optimalisasi dalam
pemanfaatannya.
Variasi komposisi mikroskopis (maseral) batubara Kemuning ini dapat dimanfaatkan
sebagai pencampur (blending) jenis batubara yang mempunyai kualitas dan komposisi
mikroskopi lain, misalnya dalam hal komposisi maseral Rv tinggi dan inertinite yang
tinggi pada batubara Kemuning dengan sifat khas inertinite yaitu kaya akan karbon,
merupakan maseral yang tidak mudah bereaksi (inert) untuk diversifikasi pemanfaatan
batubara selain sebagai bahan bakar (PLTU) seperti pemanfaatan saat ini.
226
M06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Aditya, D.P., 2013, Geologi dan Pola Sebaran Batubara Daerah Taba Penanjung,
Berdasarkan Data Permukaan dan Data Bawah Permukaan, Skripsi Prodi.teknik
Geologi, UPN “Veteran” Yogyakarta (tidak dipublikasikan)
Ardianto, F., 2013, Geologi dan Pola Sebaran Batubara Daerah Daerah Taba Penanjung,
Berdasarkan Data Permukaan dan Data Bawah Permukaan, Skripsi Prodi.teknik
Geologi, UPN “Veteran” Yogyakarta (tidak dipublikasikan)
Bustin, R.M., Cameron, A.R., Grieve, D.A., Kalkreuth, W., 1983. Coal Petrology Its
Principles, Methods, and Applications, Geological Association of Canada. Short
Course Notes, vol.3 248p.
Gafoer, dan Pardede (1992), Peta geologi Regional Lembar Bengkulu, Sumatra, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi (P3G),Bandung.
Hunt,J.W., Smyth, M., 1989. Origin of inertinite-rich coals Australian cratonic basins.
International Journal of Coal Geology., 11: 23-46
Kalkreuth, W., 1987. Introduction to Organic Petrology. Institute of Sedimentary and
Petroleum Geology Canada.121p.
Koesoemadinata, R.P., 2002. Outline of Tertiary Coal Basins of Indonesia.
Sedimentology Newsletter. Number 17/I/2002. Published by The Indonesian
Sedimentologist Forum, the sedimentology commission of the Indonesian Association
of Geologist. p.2-13.
Stach, E., Mackowsky, M., Th., Teichmuller, M., Tailor, G.H., Chandra, D. &
Techmuller,R., 1982. Stach’s Textbook of Coal Petrology 3th edition. Gebr.
Borntraeger, Berlin-Stutgart. p.38-47.
Suarez-Ruiz,I., Crelling,J.C., 2008. Applied Coal . Petrology. The Role of Petrology in
Coal Utilization. Elsevier Ltd All rights reserved.
Taylor, G.H., Teichmuller, M., Davis, A., Diessel, C.F.K., Littke, R. & Robert, P.,
1998. Organic Petrology, Gebruder Borntraeger . Berlin . Stutgart. p. 227-237.
Ward,C.R., 1984. Coal Geology and Coal Technology, Blackwell Scientific Publications,
Singapore, p.40 – 73.
www.elsevier.com/locate/fuel,2001. The New Inertinite Classification (ICCP System
1994), Fuel80(2001), p.459-47
227
M06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
PETA INDEKS
Daerah Penelitian
SBB-TSJ
SBB-PA
B’ A’
Gambar 2 A. Peta Geologi daerah penelitian dan lokasi pengambilan conto batubara
(Aditya, 2013; Ardianto, 2013)
228
M06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
229
M06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 4. Klasifikasi batubara. (Sumber: United Nation Economic Commission for Europe, 1998,
reprinted from International Journal of Coal Geology 50, by Alpern dan M.J. Lemos de Sousa,
“Documented international enquiry on solid sedimentary fossil fuels; coal: definitions, classifications,
reserves-resources, and energy potential,” 3-41, copyright 2002, with permission from Elsevier dalam
Suarez-Ruiz dan Crelling, 2008)
Pyrite Detrovitrinite Detrovitrinite
SBB-TSJ
Telovitrinite Sclerotinite
Sclerotinite
Detrovitrinite
Suberinite
Sclerotinite
SBB-AIR MANGGU
Fusinite (SP-54KI)
Resinite
Detrovitrinite
Telovitrinite
Semifusinite
SBB-PA
230
M06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
(Tabel 1)
ANALISI MASERAL
MACERAL ANALYSIS
Textinite -
Telovitrinite
Texto-ulminite -
(Humotelinite)
E-ulminite -
9.6
Telocollinite 9.6
VITRINITE Detrovitrinite Attrinite -
73.0
(HUMINITE) (Humodetrinite) Densinite 0.6
59.0 Desmocollinite 58.4
Gelovitrinite Corpogelinite 4.4
(Humocolinite) Porigelinite -
4.4 Eugelinite -
Sporinite -
Cutinite -
Resinite 4.0
Liptodetrinite -
LIPTINITE
4.0 Alginite -
(EXINITE)
Suberinite -
Fluorinite -
Exsudatinite -
Bituminite -
Fusinite 0.2
Telo-inertinite Semifusinite 1.4
Sclerotinite 11.4
INERTINITE 20.6
Inertodetrinite 7.6
Detro-inertinite
Micrinite -
Gelo-inertinite Macrinite -
Oksida -
MINERALS
2.4 Pyrite 1.4
MATTER
Clay 1.0
TOTAL 100
231
M06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
(Tabel 2)
ANALISIS MASERAL
MACERAL ANALYSIS
VO VOL
MACERAL % %
L SUB MACERAL MACERAL (mfb
GROUP VOL VOL
mfb )
Textinite -
Telovitrinite
Texto-ulminite -
(Humotelinite)
E-ulminite -
37.0
Telocollinite 37.0
VITRINITE Detrovitrinite Attrinite -
(HUMINIT 87.4 (Humodetrinite Densinite 9.4
E) )
50.0 Desmocollinite 40.6
Gelovitrinite Corpogelinite 0.4
(Humocolinite) Porigelinite -
0.4 Eugelinite -
Sporinite -
Cutinite -
Resinite 0.4
Liptodetrinite -
LIPTINITE
0.6 Alginite -
(EXINITE)
Suberinite 0.2
Fluorinite -
Exsudatinite -
Bituminite -
Fusinite 1
Telo-inertinite Semifusinite 2
INERTINIT Sclerotinite 2
4
E Inertodetrinite
Detro-inertinite
Micrinite -
Gelo-inertinite Macrinite -
Oksida -
MINERALS
7 Pyrite 2.4
MATTER
Clay 4.6
TOTAL 100
232
M06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
(Tabel 3)
ANALISIS MASERAL
Nama Sampel : SBB TSJ
Nomor Sampel: 2190/2013
MACERAL ANALYSIS
V
O
MACERAL % VOL %
SUB MACERAL MACERAL L
GROUP VOL mfb VOL
(m
fb)
Textinite -
Telovitrinite
Texto-ulminite -
(Humotelinite)
E-ulminite -
3.6
Telocollinite 3.6
VITRINITE Detrovitrinite Attrinite -
91.6
(HUMINITE) (Humodetrinite) Densinite -
85.0 Desmocollinite 85.0
Gelovitrinite Corpogelinite 3.0
(Humocolinite) Porigelinite -
3.0 Eugelinite -
Sporinite -
Cutinite -
Resinite 0.4
Liptodetrinite -
LIPTINITE Alginite -
0.4
(EXINITE) Suberinite -
Fluorinite -
Exsudatinite -
Bituminite -
Fusinite -
Telo-inertinite Semifusinite 0.4
Sclerotinite 3.6
INERTINITE 4.0
Inertodetrinite -
Detro-inertinite
Micrinite -
Gelo-inertinite Macrinite -
Oksida -
MINERALS
4.0 Pyrite 1.6
MATTER
Clay 2.4
TOTAL 100
233
M06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
234
M07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Abstrak
Kekar tiang merupakan salah satu bentukan morfologi yang sangat berkaitan dengan aktifitas vulkanik
maupun intrusi.Bentukan kekar tiang ini merupakan hasil dari pendinginan yang cepat dari suatu
batuan yang bersifat panas seperti lava, intrusi, maupun batuan piroklastik. Daerah penelitian terletak
di daerah Randubang,Wonogiri, Jawa Tengah yang termasuk dalam Formasi Mandalika yang berumur
Oligosen Akhir – Miosen Awal. Batuan yang terdapat pada daerah penelitian adalah lava andesit dan
aglomerat. Struktur geologi yang ada di daerah penelitian berupa sesar geser mengiri dengan bidang
sesar berarah N35oE/76o dan sesar turun dengan bidang sesar berarah N150oE/80o. Kekar tiang di
daerah penelitian terbentuk dari suatu tubuh lava andesit bervolume besar yang terbentuk secara
bertahap dan berulang-ulang. Secara umum, kekar tiang memiliki kemiringan yang tegak lurus (90o)
dengan bidang pendinginan. Pada daerah penelitian ditemukan bahwa kekar tiang memiliki orientasi
kemiringan yang tidak vertikal yaitu berkisarantara 5-75o dengan arah yang bervariasi. Kekar tiang di
daerah penelitian memiliki morfologi yang khas berjenis colonnade dengan bentukan segi 3, 4, 5 dan 6
dengan diameter antara 15 sentimeter hingga 1 meter. Kekar tiang di daerah penelitian memiliki
dimensi panjang kolom berkisar antara 4 meter hingga 25 meter. Berdasarkan kenampakan di
lapangan, struktur geologi tersebut tidak berpengaruh dominan terhadap morfologi kekar tiang
tersebut. Peneliti menyimpulkan bahwa kekar tiang di daerah penelitian merupakan kekar tiang hasil
pendinginan suatu masa lava andesit bervolume besar yang terbentuk secara bertahap pada paleoslope
yang cukup curam. Kemiringan yang beragam dari kekar tiang pada daerah penelitian lebih dikontrol
oleh aspek paleoslope. Berdasarkan interpretasi arah aliran lava dan paleslope, diperkirakan daerah
penelitian merupakan pusat erupsi dari suatu gunungapi purba berbentuk dome dengan paleoslope yang
curam.
Pendahuluan
Kekar tiang atau sering disebut collumnar joint merupakan salah satu bentukan morfologi
yang sangat berkaitan dengan aktifitas vulkanik maupun intrusi. Kekar tiang adalah kekar
yang berbentuk paralel, kolom prismatik, pada aliran lava atau kadang-kadang pada batuan
lain, yang terbentuk akibat hasil dari pendinginan (Bates & Jackson, 1987). Bentukan kekar
tiang ini merupakan hasil dari pendinginan yang cepat dari suatu tubuh batuan yang bersifat
panas seperti lava, intrusi, maupun batuan piroklastik. Kolom-kolom kekar tiang akan
235
M07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
memiliki arah yang paralel searah dengan pendinginannya. Pada aliran lava (dianggap tanpa
memiliki paleoslope), kekar secara umum akan terbentuk secara vertikal karena lava akan
kehilangan panas dari dalam ke udara dan ke tanah. Pada dike, kolom-kolom kekar tiang dapat
berbentuk horizontal. Hal tersebut terjadi karena pendinginannya berasal dari batuan host yang
diterobosnya.
Kekar tiang yang terletak di dusun Randubang, Desa Pare, Kecamatan Selogiri,
Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah, memiliki keunikan yang membuat peneliti ingin
mengetahui karakteristik dan kontrol pembentukannya berdasarkan data-data geologi yang
ada. Keunikan tersebut adalah bentukannya yang tidak vertikal lagi. Jika dilihat secara sekilas
kekar tiang tersebut memiliki bentuk yang hampir horizontal. Peneliti ingin mengetahui
kontrol geologi yang berpengaruh pada pembentukan kekar tiang di daerah penelitian. Daerah
penelitian merupakan areal pertambangan lokal batu andesit yang belum pernah diteliti di
dalam suatu riset sebelumnya. Luasan objek penelitian berkisar 250m x 400m. Peta lokasi
penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Daerah Penelitian
236
M07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Landasan Teori
Berdasarkan morfologi, kekar tiang dibagi menjadi 2 yaitu tipe colonnade dan tipe entablature
(Hamada dan Toramaru, 2012). Tipe colonnade memiliki bentuk kekar yang lurus dan
sistematik dengan arah vertikal. Pembentukan kekar tiang ini akan tegak lurus dengan
permukaan alirannya. Ketika lava meluncur pada suatu masa air, maka bagian atas dan bawah
akan mengalami pendinginan maksimal sehingga akan terbentuk colonnade pada bagian atas
dan bawah lava. Pada entablature, karena bagian tengah dari masa lava masih bersifat panas
akan membentuk kekar-kekar yang tidak beraturan (Gambar 2) (Spry, 1962).
Perkembangan yang berulang-ulang dari kolom kekar tiang dapat diidentifikasi dari
profil kolomnya. Setiap perulangan dapat memiliki arah yang sedikit berbeda dengan kolom
sebelumnya. Hal inidikarenakan terdapat perbedaan paleoslope dan ketegangannya, yang
mana hal tersebut dapat dilihat dari setiap layernya. Pendinginan yang relatif cepat akan
menghasilkan ukuran kolom yang kecil sedangkan pendinginan yang relatif lambat akan
menghasilkan kolom yang relatif besar. Semakin lama proses pembentukan kekar tiang, maka
akan membentuk bentukan heksagonal yang sempurna. Selain itu, bentukan heksagonal yang
sempurna juga dikontrol oleh ketebalan dan komposisi lavanya (Ryan & Sammis, 1978 dalam
György Hetényi, dkk., 2011).
Metode Peneltian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif.Metode
kuantitatif berupa pengukuran arah kemiringan kekar tiang, pengukuran struktur geologi, serta
pengukuran dip/strike batuan. Sedangkan metode kualitatif menggunakan analisis deskriptif
dengan mengamati gejala-gejala geologi di lapangan. Dari kedua metode tersebut kemudian
dianalisisuntuk menentukan karakteristik kekar tiang di daerah penelitian serta dapat membuat
model genetiknya.
Geologi
Daerah penelitian secara fisiografis termasuk dalam Zona Pegunungan Selatan. Secara
regional daerah penelitian termasuk dalam Formasi Mandalika yang tersusun oleh lava dasit-
andesit, tuf dasit dengan intrusi diorit. Formasi ini diperkirakan berumur Oligosen Akhir-
237
M07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Miosen Awal (Surono,dkk.,1992 dalam Peta Geologi Regional Lembar Surakarta dan
Giritontro).
Berdasarkan pengukuran kelerengan satuan geomorfologi dibagi menjadi 2 yaitu
satuan perbukitan vulkanik berlereng curam dan satuan perbukitan vulkanik berlereng sangat
curam. Kedua satuan geomorfologi tersebut sangat dikontrol oleh litologinya. Saat terangkat
oleh kegiatan tektonik regional, litologi daerah penelitian dan sekitarnya yang merupakan
batuan beku dan piroklastik sangat sulit untuk di erosi, sehingga memberikan kenampakan
morfologi yang terjal.
Berdasarkan pengamatan dan pemetaan di lapangan, satuan litologi pada daerah
penelitian berupa satuan lava andesit dan aglomerat, dimana satuan aglomerat secara
stratigrafi berumur lebih tua dari lava andesit. Disekitar daerah penelitian terdapat satuan
breksi tuf yang menumpang diatas lava andesit. Lava andesit memiliki struktur vesikuler,
bertekstur afanitik (ukuran kristal <0,1 mm) dengan komposisi feldspar dan mineral mafik. Di
beberapa tempat terdapat urat kalsit dengan arah urat yang acak. Struktur geologi yang
mengenai daerah penelitian terdiri dari sesar turun dengan bidang sesar berarah N150oE/80o dan
sesar geser mengiri (memotong sesar turun) dengan arah bidang sesar N35oE/76o (Gambar 3).
U D
238
M07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Morfologi kekar tiang di daerah penelitian memiliki jumlah segi 3, 4, 5 dan 6 dengan diameter
antara 15 sentimeter hingga 1 meter (Gambar 4.a). Bentukan Segi 4 dan 5 adalah yang paling
banyak dijumpai pada kekar tiang di daerah penelitian. Sudut pada segi-segi kekar tiang di
daerah penelitian cenderung teratur dan tidak simetris, namun masih membentuk kolom
dengan arah yang relatif sama. Bentukan yang tidak simetris ini dimungkinkan oleh masih
terjadinya pergerekan lava di saat proses pembentukan kekar. Hal ini dibuktikan dengan
bentukan kekar tiang cenderung memipih searah dengan pergerakan lava.
Dimensi kekar tiang juga berperan penting terhadap interpretasi volume lava yang
dikeluarkan tiap satuan periode erupsi lava. Kekar tiang di daerah penelitian memiliki dimensi
panjang kolom berkisar antara 4 meter hingga 25 meter (Gambar 4.b). Hal ini menunjukkan
volume lava yang dikeluarkan cukup besar pada satu periode pendinginan. Secara umum,
daerah penelitian mengalami periode erupsi lava dengan volume yang cukup besar dengan
periode pendinginan yang relatif lama sehingga membentuk kekar tiang dengan bentukan segi
yang baik dan kolom yang panjang.
Kekar tiang bukanlah merupakan struktur geologi, namun bukan berarti pengukuran pada arah
dan orientasi kekar tiang tidak memberikan makna. Pengukuran yang dilakukan pada arah (dip
direction) dan kemiringan (dip) kekar tiang (terutama pada lava) dapat memberikan implikasi
terhadap arah aliran lava dan paleoslope dari suatu lereng gunungapi. Dengan mengukur arah
(dip direction) dari kekar tiang maka dapat diperoleh perkiraan dari arah aliran lava dengan
239
M07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
asumsi kekar tiang terbentuk tegak lurus dengan arah aliran lava. Dengan demikian kita
mampu untuk menganalisis dari mana arah aliran lava dan mencari sumbernya. Begitu juga
dengan pengukuran kemiringan dari tubuh kekar tiang. Dengan asumsi kekar tiang terbentuk
tegak lurus dengan arah aliran lava, maka kekar tiang yang memiliki kemiringan vertikal (90o)
terbentuk pada lereng (slope) yang datar sebagai bidang lava untuk mengalir.Sedangkan kekar
tiang yang miring mengimplikasikan bahwa lava mengalir pada bidang yang miring. Cara
menganalisis arah aliran lava yaitu dengan mengukur dip direction (arah kemiringan) kekar
tiang. Arah aliran lava adalah bertolak belakang dengan arah dip direction (Gambar 5) atau
dapat dirumuskan menjadi:
Arah Aliran Lava (N...oE) = Dip Direction Kekar Tiang (N...oE) + N180oE
Sedangkan untuk mengetahui kelerengan bidang mengalirnya lava (slope lereng) yaitu
dengan mengukur dip (kemiringan) kekar tiang (Gambar 5). Slope lereng dapat diukur dengan
rumus berikut:
Gambar 5. Animasi pengukuran dip dan dip direction kekar tiang terhadap
interpretasi arah aliran lava dan slope lereng
Daerah penelitian secara umum memiliki kekar tiang yang tidak vertikal dengan arah
kemiringan beragam (5-75o). Hipotesis awal dari peneliti adalah lava mengalir secara bertahap
pada kelerengan yang cukup curam. Penelitian ini terfokus pada suatu daerah pertambangan
andesit di Dusun Randubang yang telah dibuka sejak zaman penjajahan Belanda. Beberapa
arah dan orientasi kekar tiang dapat diukur dan dianalisis. Peta lokasi pengukuran data kekar
tiang dan interpretasi arah aliran lava dapat dilihat pada Gambar 6. Sedangkan pengukuran
arah dan kemiringan kekar tiang pada beberapa stasiun pengamatan (STA) di daerah penelitian
dapat dilihat pada Tabel 1.
240
M07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Tabel 1. Hasil pengukuran bidang kekar pendinginan beserta perkiraan arah aliran lava
No. STA Dip Direction Dip Arah Aliran Lava Paleoslope Tubuh Lava
(N...oE) (...o) (N...oE) (...o)
1 180 30 0 60
150 18 330 72
2
155 30 335 60
120 40 300 50
3.1
120 18 300 72
80 60 260 30
3.2
86 60 266 30
3.3 80 60 260 30
100 30 280 60
4 110 29 290 71
120 13 300 77
5 117 7 297 83
6.1 10 55 170 35
6.2 335 60 155 30
6.3 300 75 120 15
6.4 270 74 90 16
241
M07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
7 240 65 60 25
8 225 5 45 85
Dari data pengukuran arah (dip direction) dan kemiringan (dip) dari kekar tiang pada
STA 1, arah aliran lava cenderung mengarah ke utara dengan paleoslope 60o. Pada STA 2 dan
3.1 arah aliran lava cenderung mengarah ke barat laut dengan paleoslope tubuh lava yang
curam (berkisar antara 50-72o). Pada STA 3.2 dan 3.3 aliran lava mengarah ke barat dengan
paleoslope yang landai sekitar 30o. Sedangkan dalam beberapa puluh meter ke barat yaitu
pada STA 4 aliran lava juga masih mengarah ke barat, namun dengan paleoslope yang curam
(60-70o). Perbedaan paleoslope yang cukup mencolok antara STA 4 dengan STA 3.2 dan 3.3
diperkirakan terjadi akibat deformasi tektonik, yaitu oleh sesar turun yang terdapat diantara 2
stasiun pengamatan tersebut. Kenampakan STA 1-4 dilapangan dapat dilihat pada Gambar 7.a.
Kemudian pada STA 5 aliran lava juga masih ke arah barat dengan paleoslope yang sangat
curam (83o). Pada STA 6.1 hingga 6.4 kekar tiang cenderung lebih vertikal dengan interpretasi
arah aliran lava berubah secara kontras dari arah selatan berangsur-angsur menuju timur
dengan paleoslope yang cukup landai (15-35o). Pada STA 6 ini aliran lava seolah-seolah
berasal dari satu lokasi dan menyebar ke berbagai arah (Gambar 7.b). Pada STA 6 ini juga
ditemukan lava andesit yang masif dengan diameter 10 meter dan banyak terdapat urat kalsit
(Gambar 7.c). Pada STA 7 arah lava masih mengarah ke timur-timurlaut dengan paleoslope
yang masih landai (25o). Sedangkan pada STA 8 yang terpisah cukup jauh aliran lava
mengarah ke arah timur laut dengan paleoslope sangat curam yaitu 85o. Kekar tiang pada STA
8 bisa dikatakan hampir horizontal (Gambar 7.d) Kemungkinan besar aspek tektonik yang
mengenai daerah tersebut yaitu sesar geser mengiri membuat lava andesit pada STA 8 menjadi
lebih ditekan kearah timurlaut sehingga kekar tiang pun lebih merebah.
242
M07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Berdasarkan data-data pengukuran arah dan kemiringan kekar tiang yang ada di daerah
peneltian, maka diketahui arah pergerakan lava pada daerah penelitian tersebar di 8 arah mata
angin. Berdasarkan profil geologinya (Gambar 8), daerah penelitian merupakan daerah pusat
erupsi (center of eruption) yang menghasilkan lava andesit dengan volume cukup besar. Dari
rekonstruksi terhadap aliran lavanya, maka diperkirakan STA 6 merupakan titik pusat
keluarnya lava andesit. Kehadiran lava andesit masif dengan diameter sekitar 10 meter
dengan urat kalsit yang intensif pada STA 6 semakin menunjukkan adanya celah sebagai jalur
keluarnya magma maupun larutan hidrotermal dilokasi tersebut. Sedangkan data pengukuran
dip kekar tiang, menunjukkan bahwa disekitar pusat erupsi memiliki paleoslope yang berkisar
antara 15-30o disekitar pusat erupsi dan semakin menjauh dari pusat kelerengan semakin
curam (30-85o). Daerah peneltian pada saat itu dapat dimodelkan sebagai dome yang
cenderung datar di bagian atas dan memiliki lereng curam.
243
M07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
244
M07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Kesimpulan
Kekar tiang di daerah penelitian terbentuk dari suatu tubuh lava andesit bervolume besar yang
terbentuk secara bertahap dan berulang-ulang. Dengan asumsi pembentukan kekar tiang
adalah tegak lurus dengan permukaan aliran lava, maka arah aliran lava dapat diketahui. Kekar
tiang di daerah penelitian memiliki karakteristik morfologi yang khas berjenis colonnade
dengan bentukan segi 3, 4, 5 dan 6 dengan diameter antara 15 sentimeter hingga 1 meter.
Dimensi panjang kolom kekear berkisar antara 4 meter hingga 25 meter. Kekar tiang di daerah
penelitian memiliki orientasi kemiringan yang tidak vertikal yaitu berkisar antara 5-75o dengan
arah yang bervariasi. Berdasarkan data pengukuran kekar tiang yang telah dikonversi maka
arah aliran lava di daerah penelitian adalah menyebar keluar dari daerah penelitian. Sedangkan
kemiringan yang beragam dari kekar tiang di daerah penelitian lebih dikontrol oleh aspek
paleoslope dengan sedikit kontrol struktur geologi (sesar). Berdasarkan interpretasi arah aliran
lava dan paleoslope, diperkirakan daerah penelitian merupakan pusat erupsi (center of
eruption) dari suatu gunungapi purba berbentuk dome dengan paleoslope yang curam.
Daftar Pustaka
Bates, R.L., & Jackson, J.A., editors, 1987, Glossary of geology, 3rd edition, American
Geological Institute, Alexandria, Virginia, 788 p.
Hamada, A., & Toramaru, A., 2012, Factors Controlling Entablature Formation in
Columnar Joints: Suggestions from the Analogue Experiments, Japan Geoscience Union
Meeting 2012, Chiba Japan.
Hetényi, G., Taisne, B., Garel, F., Médard, E., Bosshard, S., & Mattsson, H.B., 2011,
Scales of Columnar Jointing in Igneous Rocks: Field Measurements and Controlling
Factors, Bull Volcanol (2012) 74:457–482, Springer-Verlag 2011.
Spry, A., 1962,The origin of columnar jointing, particularly in basalt flows. Aust J Earth
Sci 8:191–216
Surono, Sudarno, I., & Toha, B., 1992, Peta Geologi Lembar Surakarta-Giritontro,
Jawa, skala 1:100.000. Puslitbang Geologi, Bandung.
245
M08 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
ABSTRAK
Jasper merupakan mineral kuarsa yang murni dan berwarna buram karena diresapi oleh pengotor
dan menurut sifatnya jasper berwarna hijau, merah, kuning, atau cokelat dan beberapa jasper
memiliki warna lebih dari satu. Jasper memiliki kandungan SiO2 lebih dari 80%. Jasper yang ada di
Kabupaten Purbalingga cukup potensial, meskipun keterdapatannya hanya setempat–setempat,
yang salah satunya tersingkap di Desa Limbasari dan sekitarnya, Kecamatan Bobotsari, Kabupaten
Purbalingga, Propinsi Jawa Tengah. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui karakteristik dan
petrogenesa jasper dengan menggunakan metode analisa petrografi dan analisa kimia XRF. Pada
daerah penelitian terdapat dua satuan morfologi, yaitu satuan perbukitan berlereng miring dan
satuan perbukitan berlereng curam. Stratigrafi daerah penelitian terbagi menjadi 3 satuan batuan,
yaitu satuan satuan lava basalt, satuan batunapal, dan satuan batupasir karbonatan. Jasper yang ada
didaerah penelitian termasuk dalam tipe diferensiasi magma dengan temperatur rendah dan menjadi
urat pada lava basalt. Batuan vulkanik didaerah penelitian berasal dari magma induk basalt calc-
alkali yang apabila terdiferensiasi menghasilkan batuan yang banyak mengandung kuarsa.
Lingkungan tektonik pembentukan batuan yang berupa zona penunjaman menyebabkan daerah
penelitian berada didaerah yang tinggi intensitas struktur geologinya. Struktur ini merupakan faktor
pengontrol terjadinya pergerakan larutan hidrotermal dan pengisian jasper pada rekahan lava basalt.
ABSTRACT
Jasper is a pure quartz and opaque due to impurities and impregnated by their nature green
jasper, red, yellow, or brown jasper and some have more than one color. Material contents jasper
is SiO2 of more than 80%. Jasper in Purbalingga is potential, although only local, one of which
unfolds in the village Limbasari, District Bobotsari, Purbalingga, Central Java. The purpose of
this study was to determine the characteristics and petrogenesa jasper using petrographic analysis
and chemical analysis XRF. In the study area there are two morphological units, there are steep
sloping hills unit and oblique sloping hills unit. Stratigraphy of the study area is divided into 3
lithologies, there are unit basalt lava, marl, and calcareous sandstone. This jasper include the type
of magma differentiation with low temperatures and a vein in basalt lava. Volcanic rocks of the
study area derived from basaltic parent magma calc-alkaline rocks which when differentiated
produce that contains quartz. Tectonic environment of rock formation in the form of the subduction
zone, an area of research is high intensity geological structure. This structure is a factor
controlling the movement of hydrothermal solution and fracture filling jasper in basalt lava.
246
M08 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
PENDAHULUAN
Jasper merupakan mineral kuarsa yang murni dan berwarna buram karena diresapi oleh
pengotor dan menurut sifatnya, jasper berwarna hijau, merah, kuning, atau coklat dan ada beberapa
dari jasper yang memiliki warna lebih dari satu. Sedangkan menurut Fersman, 1962, Jasper adalah
agregat kuarsa yang disemen oleh mineral kuarsa itu sendiri atau kalsedon dan memiliki mineral
pengotor seperti mineral lempung dengan kadar 20%. Jasper berasal dari perkataan Greek yaitu
iaspis yang artinya batuan yang berbintik-bintik (spotted stone). Nama ini diterjemahkan kedalam
bahasa AngloFrench yaitu jaspre yang kemudian disebut jaspe dalam bahasa lama Perancis
(Old French). Jasper merupakan batuan yang sangat popular pada zaman dahulu dan sangat dipercaya
khasiatnya bagi para pemakainya, namanya juga telah diabadikan dalam berbagai bahasa
termasuk dalam bahasa Hebrew (dinamakan yashepheh), Akkadia (yashupu), Parsi (yashp) dan
akhirnya Greek (iaspis).
Fersman (1962) memperkenalkan dua jenis klasifikasi untuk Jasper, yaitu klasifikasi genetik
serta klasifikasi berdasarkan tekstur dan warna yang dimiliki oleh jasper.
Klasifikasi genetik meliputi:
1. Pembentukan jasper pada kontak batuan metamorf dengan batuan sedimen yang mengandung
silika, seringnya dijumpai interlayer dengan tufa hijau dan diabas (Jasper disini bentuknya seperti
pita)
2. Jasper yang berasal dari batugamping, batunapal dan batuan sedimen lainnya yang mengalami
penggantian mineral dengan kuarsa
3. Jasper yang pembentukannya terkait dengan sekis metamorf, quartzit dan hornfels
4. Jasper yang terbentuk dari batuan dengan tekstur felsic porfiri dan silisifikasi porfiri, sering
dijumpai dengan komposisi spherulit
5. Jasper yang terbentuk pada agate bersamaan dengan kuarsa atau kalsedon
Selain klasifikasi genetik, klasifikasi jasper ini dapat dikelompokkan berdasarkan tekstur dan
warna, antara lain:
1. Jasper yang memiliki warna lebih dari satu, biasanya memilki struktur masif dan terdapat inklusif
2. Jasper dengan tekstur bergelombang atau banded
3. Jasper dengan tekstur porfiritik (terdapat inklusi dari feldspar, kuarsa, augit atau amphibole)
4. Jasper yang warnanya mengikuti warna urat yang menjadi tempat terbentuknya
5. Jasper yang menjadi fragmen breksi dan konglomerat
6. Jasper dengan bentuk bulat dan seperti koin
Jasper merupakan salah satu jenis dari kelompok kuarsa mikrokristalin dari jenis granular dan
disusun oleh dominan butir mikrokristalin kuarsa berukuran sama (equidimensial), kuarsa juga
memiliki rumus kimia SiO2 dengan struktur kristal trigonal (Hurlbut et al, 1979). Sistem trigonal
mempunyai tiga sisi perputaran sumbu. Meskipun hanya memiliki tiga sisi putar sumbu, tapi simetri
kristal terbentuk dari enam sisi pembedaan. Meski termasuk dalam sistem heksagonal, kelas trigonal
mengikuti jenis kelas orthorombik dan menyerupai kubah, sphenoid, dan pinakoidnya sistem
monoklin. Jasper memiliki ketembusan cahaya translusent, dengan struktur kristal yang mikro,
terdiri dari beberapa campuran berbagai mineral lainnya dalam pemberi warna dan corak yang
menarik. Jasper mempunyai kekerasan 6,5 - 7,0 pada skala Mohs, berat jenis 2,58 - 2,91 dan
indeks bias 1,54 dengan sistim kristal trigonal (Hartono, 1998). Selain menjadi batu permata untuk
dipakai karena keunikannya, digunakan juga untuk membuat cendramata dan menjadi bahan
hiasan relief pada bangunan. Batuan ini mempunyai variasi warna yang beraneka ragam seperti
merah, putih, hitam, biru, kuning, hijau, pink, ungu dan kelabu (Labaik, 2010).
247
M08 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
METODOLOGI
Penelitian lapangan dilakukan melalui lintasan menapaki daerah perbukitan dan sungai untuk
mendapatkan data pada batuan induk jasper. Observasi detail dilakukan pada daerah yang memiliki
kandungan jasper untuk dibuat kolom litologinya, mendapatkan percontoh jasper dan batuan di
sekitarnya untuk keperluan analisa petrografi dan kimia mineral. Analisis petrografi adalah suatu cara
untuk mengidentifikasi komponen mineral dan jumlah persentase tiap individu mineral dalam batuan
dengan bantuan cahaya terpolarisasi (Philpotts, 1989) menggunakan mikroskop polarisasi. Data yang
didapat dari analisa petrografi adalah komposisi batuan dan penamaannya. Analisa petrografi
dilakukan di Laboratorium Geologi Optik UGM dengan menggunakan mikroskop polarisasi.
Sedangkan analisa kimia adalah suatu metode untuk memperlihatkan atau menyajikan komposisi
kimia dari suatu contoh batuan. Tujuan dari analisis ini adalah untuk menentukan komposisi
mineralogi batuan berdasarkan komposisi kimianya (Carmichael, dkk., 1974 dalam Warmada, dkk)
dari kandungan unsur dalam batuan baik unsur utama, unsur jejak, dan unsur tanah jarang. Analisis
kimia terdiri dari analisis XRF (X-Ray Fluorescence). XRF (X-ray fluorescence spectrometry)
merupakan teknik analisa non-destruktif yang digunakan untuk identifikasi serta penentuan
konsentrasi elemen yang ada pada padatan, bubuk ataupun sample cair. XRF mampu mengukur
elemen dari berilium (Be) hingga Uranium pada level trace element, bahkan dibawah level ppm.
Secara umum, XRF spektrometer mengukur panjang gelombang komponen material secara individu
dari emisi flourosensi yang dihasilkan sampel saat diradiasi dengan sinar-X (Panalytical, 2009).
Metode XRF secara luas digunakan untuk menentukan komposisi unsur suatu material. Karena
metode ini cepat dan tidak merusak sampel, metode ini dipilih untuk aplikasi di lapangan dan industri
untuk kontrol material. Tergantung pada penggunaannya, XRF dapat dihasilkan tidak hanya oleh
sinar-X tetapi juga sumber eksitasi primer yang lain seperti partikel alfa, proton atau sumber elektron
dengan energi yang tinggi (Viklund, 2008). Prinsip kerja XRF ini yaitu, apabila terjadi eksitasi sinar-
X primer yang berasal dari tabung X-ray atau sumber radioaktif mengenai sampel, sinar-X dapat
diabsorpsi atau dihamburkan oleh material. Proses dimana sinar-X diabsorpsi oleh atom dengan
mentransfer energinya pada elektron yang terdapat pada kulit yang lebih dalam disebut efek
fotolistrik. Selama proses ini, bila sinar-X primer memiliki cukup energi, elektron pindah dari kulit
yang di dalam menimbulkan kekosongan. Kekosongan ini menghasilkan keadaan atom yang tidak
stabil. Apabila atom kembali pada keadaan stabil, elektron dari kulit luar pindah ke kulit yang lebih
dalam dan proses ini menghasilkan energi sinar-X yang tertentu dan berbeda antara dua energi ikatan
pada kulit tersebut. Emisi sinar-X dihasilkan dari proses yang disebut X-Ray Fluorescence (XRF).
Proses deteksi dan analisa emisi sinar-X disebut analisa XRF. Pada umumnya kulit K dan L terlibat
pada deteksi XRF. Sehingga sering terdapat istilah Kα dan Kβ serta Lα dan Lβ pada XRF. Jenis
spektrum X-ray dari sampel yang diradiasi akan menggambarkan puncak-puncak pada intensitas yang
berbeda (Viklund,2008).
Dari integrasi hasil analisis petrografi dan analisis kimia dengan data lapangan dapat dikaji
proses pembentukan jasper dan asal – usulnya.
HASIL ANALISA
Stratigrafi
Jasper dijumpai di Desa Limbasari dan sekitarnya Kecamatan Bobotsari, sekitar 20 km arah utara
pusat kota Purbalingga. Pada daerah penelitian terdapat tiga satuan batuan, yaitu satuan lava basalt
yang memiliki hubungan ketidakselarasan dengan batunapal. Diatas batunapal terdapat satuan
batupasir karbonatan yang memiliki hubungan selaras (Gambar 1). Seluruh satuan batuan yang
terdapat pada daerah penelitian berada pada Formasi Tapak yang berumur Pliosen.
248
M08 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Satuan batupasir Satuan ini berwarna cokelat muda, ukuran butir pasir
karbonatan sedang sampai kasar, struktur perlapisan, sortasi baik,
kemas tertutup, bentuk butir subrounded, komposisi
Satuan batunapal plagioklas, kuarsa, dan material sedimen yang
karbonatan.
Daerah yang banyak menghasilkan jasper adalah desa Limbasari, tepatnya di Gunung Plana
dengan ketinggian sekitar 850 meter. Di daerah ini belum terjadi penambangan jasper. Jasper pada
daerah penelitian memiliki berwarna kehijau-hijuan, struktur masif, kekerasan 7 SM, komposisi
terdiri dari mineral silika (Gambar 3).
Petrografi
Analisa petrografi dilakukan pada jasper dan batuan yang ada di sekitarnya. Batuan yang menjadi
urat jasper adalah lava basalt (Gambar 4.a) menunjukkan tingkat kristalinitas yaitu holokristalin.
Ukuran kristalnya antara 0,01 – 4 mm, bentuk dan hubungan antar kristalnya subhedral serta tekstur
umum yaitu inekuigranular, porfiroafanitik, tekstur khusus berupa intergranular dan zoning tipe
normal, komposisinya terdiri dari fenokris dan massa dasar, fenokris tersusun atas plagioklas,
ortoklas, kuarsa, piroksen, hornblenda, dan mineral opak, sedangkan massa dasar tersusun atas
mikrolit plagioklas dan mineral afanit. Jasper (Gambar 4.b) memiliki berwarna putih kekuning –
249
M08 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
kuningan pada nikol sejajar dan abu – abu kehijau – hijauan pada nikol bersilang dengan komposisi
mineral silika, feldspar, kuarsa, mineral opak, dan litik, tipe porositas pada jasper berupa intrapartikel,
menurut tipe porositas yang berupa intrapartikel menunjukkan bahwa pembentukan batuan ini berasal
dari larutan koloid (Kerr, 1959).
Gambar 4.Foto mikroskopis a) Kenampakan lava basalt dibawah mikroskop, menunjukkan adanya mikrolit
plagioklas dan tekstur porfiroafanitik; b) Jasper Limbasari dibawah mikroskop, menampakan mineral – mineral
silika yang berukuran halus
Analisa XRF
Analisa kimia menggunakan data XRF yang akan menghasilkan persentase berat oksida utama
yang terdiri dari SiO2, TiO2, Al2O3, CaO, Cr2O3, Fe2O3, K2O, MgO, MnO, Na2O, dan P2O5, serta LOI
(loss on ignition) yaitu kandungan volatil pada batuan yang hilang/habis dibakar. Analisis yang
dilakukan adalah dengan membandingkan unsur – unsur untuk interpretasi afinitas, kristalisasi
fraksinansi, dan tatanan tektonik yang membentuk daerah penelitian. Untuk afinitas magma, sampel
yang dianalisa pada daerah penelitian dianalisa menggunakan diagram SiO2 dan K2O (Peccerillo dan
Tylor 1976 dalam Wilson, 1989). Data sampel yang digunakan adalah sampel yang berasal dari lava
basalt dengan nomor sampel SA/LS/10/23/1, SA/LS/10/11/3, dan SA/LS/11/25/5. Setelah nilai – nilai
oksida utama berupa SiO2 dan K2O di plot dalam diagram, batuan tersebut masuk dalam klasifikasi
Calc- alkaline Series (Gambar 5).
F
= SA/LS/10/23/1
= SA/LS/10/11/3
= SA/LS/11/25/5
Tholeiite Series
Calc-alkaline Series
A M
250
M08 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Magma dengan seri calc-alkali jelas menunjukkan bahwa magma tersebut berasosiasi dengan
zona subduksi (Wilson, 1989) yang berhubungan dengan penunjaman lempeng / kerak samudera ke
dalam mantel bumi (earth’s mantle).Zona subduksi (penunjaman) terbagi menjadi dua lingkungan
tektonik yang berbeda yaitu busur kepulauan (island arc) dan tepian kontinen aktif (active continental
margin). Magma tipe ini biasanya terbentuk pada zona subduksi antar kerak samudra dan kerak
samudra atau antara kerak benua dan kerak samudra dengan kerak benua yang tipis. Diagram AFM
merupakan diagram segitiga yang menunjukkan hubungan antara persentase berat, yang terdiri dari
komponen A (Na2O + K2O), F (Fe2O3 + FeO) dan M (MgO) (Gambar 4). Pada masing-masing titik
tersebut, jumlah persentasenya sebesar 100%, semakin menjauhi titik, maka persentasenya semakin
sedikit. Sebelum dimasukkan kedalam Diagram AFM, persentase berat senyawa terlebih dahulu harus
dinormalisasikan sehingga hasil antara komponen A, F, dan M berjumlah 100%. Trend pada Diagram
AFM menunjukkan pengkayaan Fe pada awal kristalisasi oksida Fe-Ti (Wilson, 1989). Diagram AFM
digunakan juga sebagai penentuan nilai afinitas magma. Magma calc-alkali cenderung ke arah alkali
(A) akibat kristalisasi oksida Fe-Ti di awal diferensiasi, magma inilah yang menjadi tipe magma pada
proses pembentukan magma di daerah penelitian.
Setting tektonik daerah penelitian termasuk ke dalam zona penunjaman (subduksi), khususnya di
daerah busur kepulauan (island arc). Perbedaan antara seri magma calc-alkali pada busur kepulauan
dan tepian kontinen aktif terletak pada jenis batuan. Menurut Hartono, 2012, batuan yang terbentuk
pada busur kepulauan merupakan batuan basa dan intermediet, sedangkan batuan yang terbentuk pada
tepian kontinen aktif adalah batuan asam, seperti dasit dan riolit. Beberapa faktor yang mempengaruhi
morfologi lava adalah kecepatan efusi, sifat fisik (viskositas), dan faktor lingkungan. Umumnya
kedudukan lava mengikuti kelerengan basemennya dan mengalami pembekuan akibat pendinginan
yang cepat sehingga membentuk kekar dan apabila mengalami kontak dengan tubuh air maka dapat
terbentuk morfologi lava berstruktur. Lava basalt yang terdapat didaerah penelitian diperkirakan
terbentuk di daerah zona penunjaman dan akibat dari tektonik yang berupa sesar maka terjadilah
rekahan sehingga lava basalt ini naik kepermukaan melewati batuan sedimen yang telah ada
sebelumnya. Lava basalt mengalir di Sungai Tungtunggunung dan mengalami pendinginan dengan
cepat karena terjadi kontak dengan tubuh air sehingga membentuk struktur bantal.
Sedangkan analisis kimia mineral dilakukan pada jasper dengan nomor sampel SA/LS/10/11/4,
dan dilakukan juga analisa kimia pada batuan sedimen yang digunakan untuk mengetahui kandungan
oksida utamanya sehingga dapat diketahui tingkat mobilitas kandungannya dan pengaruh dari larutan
hidrotermal yang melewati batuan tersebut. Batuan sedimen memiliki tingkat mobilitas yang tinggi
apabila banyak mengandung K2O dan CaO, serta terpengaruh oleh larutan hidrotermal jika memiliki
kandungan Cr2O3 dan unsur logam yang lain.
Diagram yang dapat digunakan untuk mengetahui proses fraksinasi kristalisasi adalah dengan
melakukan pengeplotan unsur oksida utama dengan berat SiO2 pada Diagram Harker (lihat Gambar
6).
251
M08 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
MnO
K2O
10 2 0.1
CaO
0 0 0
0 50 100 0 50 100 0 50 100
SiO2 SiO2
SiO2
MgO
TiO2
10 0.1
0 0 0
0 50 100 0 50 100 0 50 100
SiO2 SiO2 SiO2
Fe2O3
Na2O
5 0.1 10
0 0 0
0 50 100 0 50 100 0 50 100
SiO2 SiO2
SiO2
Keterangan:
= SA/LS/10/23/1 = SA/LS/10/11/4
= SA/LS/11/25/5 = SA/LS/09/3/2
= SA/LS/11/30/6 = SA/LS/10/11/3
Gambar 6. Hasil pengeplotan unsur oksida utama dengan SiO2 di Desa Limbasari dan sekitarnya pada Diagram
Harker
Chayes (1964, dalam Wilson, 1989) menyatakan bahwa setidak-tidaknya terdapat tiga korelasi
antara hubungan SiO2 dengan oksida utama. Korelasi negatif dimana SiO2 mengalami peningkatan,
sedangkan jumlah oksida utama mengalami penurunan. Korelasi positif ketika SiO2 mengalami
peningkatan seiring dengan jumlah oksida utama yang juga mengalami peningkatan. Selanjutnya
tidak terjadi korelasi positif maupun negatif, melainkan hubungan antara SiO2 dengan unsur
terplotkan secara acak. Korelasi negatif ditunjukkan oleh hubungan antara SiO2 dengan MgO, Al2O3,
Fe2O3, dan MnO. Sedangkan korelasi positif ditunjukkan oleh hubungan antara SiO2 dengan Na2O,
K2O, dan CaO. Kandungan K2O dan CaO pada batuan batupasir karbonatan dan batunapal cenderung
252
M08 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
lebih tinggi dibandingkan batuan induk (lava basalt), sehingga mengindikasikan adanya mobilitas
oksida dari lapisan batuan sebelumnya. Menurut Loughnan, 1969 dalam Ansori, 2010, K+ dan Ca+
lebih bersifat mobile dibandingkan dengan Fe++, Si4+, dan Ti4+. Diagram variasi tersebut menunjukkan
adanya pengkayaan oksida yang bersifat mobile Na2O, K2O, dan CaO pada lapisan batuan sedimen.
Hal ini menunjukkan adanya pergerakan larutan yang ikut terbawa saat lava basalt muncul ke
permukaan melewati batuan sedimen, namun larutan yang terbawa ini tidak menjadi sumber silika
pada pembentukan jasper. Larutan ini hanya menjadi tambahan unsur pada saat terjadi pengkayaan
unsur silika dan unsur logam dari larutan hidrotermal.
Berdasarkan data diatas, maka dapat dianalisa proses pembentukan jasper Limbasari dihasilkan
dari proses diferensiasi magma yang memiliki temperatur rendah. Singkapan batuan mulai terbentuk
pada Pliosen Awal, pada kala ini terjadi aktivitas tektonik yang berupa patahan sehingga
menyebabkan terbentuk sesar geser pada sekitar daerah penelitian. Akibat sesar geser inilah magma
memiliki jalan untuk keluar dari dalam perut bumi kepermukaan. Pada saat magma keluar dan
mengalami pendinginan, lava ini bersentuhan dengan tubuh air sehingga mengalami proses
pendinginan dengan cepat dan terbentuklah struktur bantal. Lava yang memiliki struktur bantal ini
mempunyai rekahan – rekahan. Kemudian pada daerah penelitian terendapkan batuan sedimen yang
berada dibawah permukaan air laut dan diinterpretasikan dekat dengan sumber sedimen, sehingga
produk berupa batupasir karbonatan dan batunapal. Hal ini diperkuat dengan kandungan batupasir
karbonatan dan batunapal yang dominan feldspar dan kuarsa. Pengendapan batupasir karbonatan dan
batunapal ini dihasilkan dari percampuran material silisiklastik dengan material karbonatan. Batuan
ini mengalami dekomposisi karena pengaruh tingkat keasaman serta waktu yang lama.
253
M08 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
KESIMPULAN
1. Batuan vulkanik yang ada didaerah penelitian berupa lava basalt dengan magma asalnya adalah
calc-alkali dan berada di zona penunjaman sehingga daerah penelitian sangat tinggi intensitas
struktur geologinya.
2. Jasper yang terbentuk pada daerah penelitian memiliki nilai kandungan SiO2 yang sangat tinggi
yakni sebesar 85,79% dan termasuk dalam tipe diferensiasi magma yang memiliki temperatur
rendah.
3. Jasper pada daerah penelitian mengisi rekahan pada lava basalt yang berasal dari sisa akhir magma
yang mengalami pengurangan unsur dan kemudian diperkaya oleh unsur silika dan unsur logam.
Unsur logam yang menjadikan jasper pada daerah penelitian berwarna hijau adalah unsur Cr dan
Ti.
DAFTAR PUSTAKA
Ansori, C., 2010, Model Mineralisasi Pembentukan Opal Banten, Balai Informasi dan Konservasi Kebumian –
LIPI, Kebumen
Best, M.G., 1982, Igneous and Metamorphic Petrology, W.H. Freeman and Company, San Fransisco.
Fersman, A. E, 1962, Gem and colour stones of Russia, In: Selected Works, Volume VII. AS USSR, Moscow,
page: 209-242.
Hurlbut, C. S., and switzer, G. S., 1979, Gemology, A Wiley-Interscience Publication, John Wiley & Sons,
New York-Chichester-Brisbane-Toronto-Singapore, page 234
Irvine, T.N., & Baragar, W.R.A., 1971, A Guide to The Chemical Classification of The Common Rocks, Can, I,
Earth Science.
Jensen, M.L dan Bateman, A.M, 1981, Econimic Mineral Deposit, 3rd ed, John Willey and Sons, New York.
Krauss & Ramsdell, 1951, An Introduction To The Study Of Minerals And Crystals, McGraw Hill Book
Company, Inc, New York.
Labaik G, 2010, Potensi dan Prospek Jasper Di Daerah Kecamatan Pancatengah dan Sekitarnya Kabupaten
Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat, Kelompok program peneliti mineral, tidak dipublikasikan.
Nelson, S.A., 2003, Igneous Rocks and Plate Tectonics, Tulane University.
Permana D, 1997, Batu Mulia, Bahan Galian Industri, No. 8, hal. 92-104.
Wilson, M., 1989, Igneous Petrogenesis, Harper Collins Academic, London.
254
M09 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
ABSTRAK
Pengamatan pada citra Digital Elevation Model Sulawesi Utara menunjukan bahwa ± 70%
luas daerah penelitian merupakan daerah volkanik yang dikontrol oleh kelurusan struktur-
struktur berarah relatif Timurlaut- Baratdaya, Tenggara-Baratlaut dan mendekati Utara-
Selatan. Pola pengaliran yang mengontrol daerah penelitian adalah parallel dan rectangular
menambah bukti kuat bahwa daerah penelitian dikontrol oleh volkanik dan sruktur.
Stratigrafi disusun oleh satuan lava andesit terubah (Miosen Tengah), satuan lava andesit
(Pliosen) dan satuan endapan alluvial (Holosen – Resen). Struktur geologi yang bekerja
berupa kekar dan sesar mendatar dan sesar turun. Sesar-sesar berkembang baik pada satuan
lava andesit terubah, yaitu : Sesar berarah Timurlaut- Baratdaya seperti : Sesar Mendatar
Ma’asin–1, Sesar Mendatar Ma’asin–2, Sesar Mendatar Paslaten Satu, Sesar Mendatar
Sinengkeian dan Sesar Turun Paslaten-1. Sesar berarah Tenggara-Baratlaut seperti : Sesar
Mendatar Manembo, Sesar Mendatar Ma’asin dan Sesar Mendatar Paslaten dan sesar yang
relatif berarah Utara-Selatan Sesar Mendatar Sulu, rekahan ini sebagai jalur bagi fluida
hidrotermal naik kepermukaan sehingga mempengaruhi pola sebaran alterasi. Alterasi
didaerah penelitian dibagi menjadi tiga tipe alterasi, yaitu : himpunan mineral kuarsa –
serisit – pirit ± klorit (tipe filik), himpunan mineral kaolinit – monmorilonit – klorit –
kuarsa ± pirit (tipe argilik) dan himpunan mineral klorit – kalsit ± epidot ± pirit (tipe
propilitik). Karakteristik tipe alterasi ini sangat berasosiasi dengan tipe endapan epitermal
sulfidasi rendah.
Kata Kunci : Daerah Volkanik, Kontrol Struktur, Pola Sebaran Alterasi, Tipe Alterasi, Endapan
Epitermal Sulfidasi Rendah
Pendahuluan
Proses tektonik yang terjadi secara terus menerus menyebabkan terjadinya banyak
perubahan pada kondisi geologi. Pembentukan gunungapi, intrusi, sesar dan pembentukan
rekahan terjadi hampir disetiap daerah, terutama yang dekat dengan busur magmatik. Air
meteorik (fluida hidrothermal) yang masuk melalui pori batuan, rekahan yang berada di
255
M09 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
sekitar sumber panas berupa intrusi, sesar, serta air magmatik yang bersentuhan dengan
batuan adalah hal-hal menyebabkan pembentukan ubahan/alterasi hidrotermal.
Dalam kegiatan eksplorasi, kondisi geologi memiliki peran yang sangat penting.
Data geologi pada daerah penelitian ini diambil langsung dari pemetaan geologi. Hasil
pengambilan data-data ini maka dapat diidentifikasi fariasi dan penyebaran litologi,
struktur dan zona ubahan hidrotermal yang berkembang di daerah penelitian ini. Dengan
demikian proses eksploitasipun akan lebih efektif, efisien dan terarah jika faktor-faktor
geologi tersebut teridentifikasi dengan baik.
Berdasarkan penjelasan diatas yang melatar belakangi seorang geologi dalam
memetakan daerah ini karena ingin mengetahui proses–proses geologi yang terjadi di
daerah penelitian, serta aspek–aspek geologi yang berkaitan dengan alterasi dan
mineralisasi daerah penelitian, serta ingin mengetahui pola struktur yang sangat
berpengaruh dalam pembentukan alterasi dan mineralisasi di daerah penelitian.
Daerah penelitian terletak di Kecamatan Tatapaan, Kabupaten Minahasa Selatan,
Provinsi Sulawesi Utara. Ibukota Provinsi kota Manado menuju lokasi penelitian dapat
menggunakan jalur darat. Jarak Ibukota Kabupaten Minahasa Selatan sekitar 64 km dari
Kota Manado dan dapat di tempuh dengan menggunakan kendaraan roda empat maupun
roda dua selama ± 1-1,5 jam. Luasan wilayah untuk dijadikan sebagai data penelitian 2.000
Ha (5 x 4 km), dengan koordinat UTM Zona 51 North X = 675500 – 680500 dan Y =
141500 – 145500. Sedangkan secara geografis terletak pada 1240 34’ 38.5” - 1230 37’
20.3” bujur timur dan 10 16’ 43.1” - 10 18’ 54.2” lintang utara (Gambar 1).
Gambar 1. A. Peta penyebaran busur magmatik di Indonesia (Carlile dan Michell, 1994), B. Peta
Digital Elevation Model (DEM) daerah penelitian, garis kuning interpretasi arah kemenerusan
struktur (Hari Wiki Utama, 2013), C. Peta kesampaian (indeks) lokasi daerah penelitian
Metodologi
256
M09 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Kerangka Geologi
Geologi Regional
Geologi daerah Sulawesi Utara didominasi oleh batugamping sebagai satuan pembentuk
cekungan sedimen Ratatotok. Foramasi Batuan Gunungapi berumur Miosen Tengah terdiri
dari aliran lava basal sampai andesit, breksi. Satuan batuan lainnya terdiri dari breksi-
konglomerat kasar, berselingan dengan batupasir halus-kasar, batu lanau dan batu lempung
yang didapatkan di daerah Ratatotok – Basaan, serta breksi andesit piroksen. Kelompok
Tufa Tondano berumur Pliosen terdiri dari fragmen batuan volkanik kasar andesitan
mengandung pecahan batu apung, tuf, dan breksi ignimbrit, serta lava andesit-trakit.
Batuan Kuarter terdiri dari kelompok Batuan Gunungapi Muda terdiri atas lava andesit-
basal, bom, lapili dan abu. Kelompok batuan termuda terdiri dari batugamping terumbu
koral, endapan danau dan sungai serta endapan aluvium. Evolusi dari Busur Sulawesi
Utara dibagi menjadi dua tahap, yaitu subduksi di bagian barat Sulawesi di awal masa
Miosen (22 – 16 Ma) dan pasca tumbukan dan pengangkatan busur Sulawesi serta
permulaan subduksi sepanjang palung Sulawesi Utara selama akhir Miosen sampai dengan
Kuarter (9 Ma). Batuan vulkanik busur Sangihe yang berusia Pliosen-Kuarter, menyimpan
banyak geologi daerah sekitar Manado di masa awal Miosen. Singkapan-singkapan kecil
berupa andesit dan diorite di bawah batuan vulkanik Kuarter yang menutupi kepulauan
Sangihe dan bagian utara Manado, menunjukkan bahwa busur volkanik yang lebih tua
berada di sepanjang pantai bahkan mungkin sampai ke Mindanao yang membentuk
basement busur Sangihe saat ini. Adapun busur Neogen yang merupakan busur batuan
gunung api berada di antara Tolitoli dan Palu di sekitar leher pulau Sulawesi, hal ini
disebabkan karena pengangkatan tingkat tinggi dan erosi dalam, dimana batuan granit
lower Miosen tidak diketahui, dan bukti bahwa busur Sulawesi di masa awal Miosen
meluas ke arah leher pulau Sulawesi sangat sedikit.
257
M09 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
258
M09 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Foto 1. Singkapan lava andesit terubah yang membentuk ubahan propilitik dengan koordinat X :
679112 dan Y : 143036, azimuth foto N 3160E (A), parameter singkapan (B), rock chip (C)
photomicrographs andesit propilititik pada nikol silang (D)
259
M09 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
260
M09 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Tabel 1 Hasil analisis petrografi pada sembilan belas conto batuan terubah
Keterangan :
(*) : Diperoleh dengan pengamatan megaskopis menggunakan alat bantu loupe
(#) : Diperoleh dengan menggunakan test uji mineral lempung menggunakan alat bantu fluida/air
261
M09 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Tipe alterasi ini berasosiasi dengan urat kuarsa yang dicirikan dengan hadirnya
mineral berupa kuarsa (SiO2) dan kalsedon (SiO2) yang berasosiasi dengan breksi
hidrothermal/ hydrothermal breccia yang terisi oleh mineral silika. Hadirnya breksi
hidrothermal ini merupakan channel way/jalur keluarnya fluida hidrothermal yang menuju
kepermukaan. Breksi hidrothermal ini memiliki fragmen silika kuarsa, matrik mikro kuarsa
dan pori.
Mineral kuarsa dan kalsedon menunjukan warna putih bening dan pada beberapa
tempat keabuan, menunjukan berbagai tekstur pengisian (open space dan vug infilling)
perlapisan crustiform-colloform, cockade, vug dan pejal kuarsa, gradasi ukuran kristal,
comb structure, breccia, sacharroidal drusy, massive silica/chalsedonic .
Foto 2. Kenampakan berbagai macam tekstur pengisian didaerah penelitian, tekstur perlapisan
crustiform-colloform (A), cockade (B), vug dan pejal kuarsa (C), gradasi ukuran kristal (D), comb
structure (E), breccia (F), sacharroidal drusy (G), massive silica/chalsedonic (H)
Alterasi filik ini merupakan batuan andesit yang mengalami alterasi. Kuantitas
ubahan pada batuan ini disebabkan oleh derajad dan lamanya proses ubahan. Berdasarkan
pengamatan lapangan serta hasil dari petrografi didapatkan pola ubahan dari batuan yang
teralterasi filik ini memiliki tingkat pola ubahan Pervasive (penggantian seluruh atau
sebagian besar mineral primer pembentuk batuan, walaupun intensitasnya berbeda)
dicirikan oleh kehadiran kuarsa sekunder (Pirajno, 1992). Batuan yang mengalami alterasi
262
M09 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
ini memiliki intensitas ubahan tingkat intens sampai total berdasarkan pemerian petrografi
yang memperlihatkan himpunan mineral terubah > 75 % (Pirajno, 1992).
Foto 3. Menunjukkan variasi tekstur pengisian pada tipe alterasi argilik, stockwork (A), triangular
texture (B) dan massive chalsedonic (C)
Pola ubahan pada tipe ini menunjukkan pola ubahan Pervasive (penggantian
seluruh atau sebagian besar mineral primer pembentuk batuan, walaupun intensitasnya
berbeda) dicirikan oleh kehadiran mineral lempung, klorit dan kuarsa sekunder (Pirajno,
1992) dan memiliki intensitas ubahan tingkat intens sampai total berdasarkan pemerian
petrografi yang memperlihatkan himpunan mineral terubah > 75 % (Pirajno, 1992).
263
M09 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Foto 4. A. Singkapan tipe filik berasosiasi dengan urat, B. Singkapan tipe argilik berasosiasi
dengan mineral lempung, C. Singkapan tipe propilitik, D. Kehadiran beberapa mineral bijih sulfida.
264
M09 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 4. Peta detail lintasan dan titik lokasi pengamatan alterasi dan sebaran urat kuarsa daerah
penelitian
265
M09 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
fluida yang mengisi rekahan dan menyebabkan batuan yang dilaluinya serta disekelilingnya
terubah
Kesimpulan
Berdasarkan data lapangan, analisis data lapangan yang berdasarkan konsep penelitian dan
teori, penulis menyimpulkan, bahwa :
Struktur geologi yang berkembang didaerah penelitian terdiri dari kekar dan sesar berarah
relatif tenggara - baratlaut dan timurlaut – baratdaya, relatif berarah utara – selatan.
Struktur ini terbentuk akibat deformasi tektonik yang berlangsung pada akhir kala Miosen
Tengah.
Alterasi yang terjadi didaerah penelitian dibagi menjadi tiga zonasi alterasi, yaitu : zona
kuarsa – serisit – pirit ± klorit (tipe filik), zona kaolinit –monmorilonit – klorit – kuarsa ±
pirit (tipe argilik) dan zona klorit – kalsit ± epidot ± pirit (tipe propilitik).
Pola struktur yang begitu lengkap didaerah penelitian merupakan pengontrol dari pola
alterasi yang ada pada daerah penelitian.
Alterasi ini terjadi setelah terbentuknya lava andesit Miosen Tengah dan sebelumnya
terbentuknya lava andesit Pliosen, yaitu sekitar kala Miosen Akhir.
Kala Miosen Akhir ini merupakan fase terjadinya alterasi daerah penelitian.
Berdasarkan tipe alterasi, intrusi, mineralisasi, karakteristik ini sangat berasosiasi dengan
epithermal sulfidasi rendah.
266
M09 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Daftar Pustaka
Buchanan, L.J., 1981, Precious Metal Deposits Associated with Volcanic Environtments in
the Southwest, dalam Dickson, W.R. dan Payne, W.D., eds., Relations of Tectonics
to Ore Deposits in the Southern Cordillera: Arizona Geological Society Digest, vol.
14, hal. 237-262.
Cooke, D. R. dan Simmons, S. F., 2000, Characteristics and genesis of epithermal gold
deposits: Reviews in Economic Geology, vol. 13, hal. 221-244.
Corbett, G.J., dan Leach, T.M., 1996, Southwest Pacific Rim Gold-Copper System:
Structure, Alteration, and Mineralization, Manual Kursus Singkat Eksplorasi di
Baguio, Philippines.
Corbett, G.J., 2002, Epitermal Gold for Explorationist: AIG Journal - Applied geoscientific
practice and research in Australia, Australia, vol. 2002-01 hal. 1-15.
Corbett, G.J., 2004, Epithermal and porphyry gold – Geological models in Pacrim
Congress 2004, Adelaide: The Australian Institute of Mining and Metallurgy, hal.
15-23.
Efans, A.M.,1993. Ore geology and industrial minerals, and introduction, Blackwell
science, 389 p.
Lawless, J V., dan White, N.C., 1997, Epigenetic Magmatic-Related Mineral Deposits,
Exploration Based on Mineralization Models: Kingston-Morrison Ltd.
Leach, T.M., and Corbett, G.J., 1995, Characteristics of low sulphidation gold-copper
systems in the southwest Pacific: Pacific Rim Congress, vol. 95, hal. 19-22.
Lindgren, W., 1933, Mineral Deposits, Fourth Edition: McGraw-Hill, New York, 930 hal.
Utama, W.H. 2013. Geologi dan Studi Mineralisasi Daerah Paslaten dan Sekitarnya,
Kecamatan Tatapaan, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. Yogyakarta :
Forum Ilmiah Seminar Nasional Kebumian UPN “Veteran” VIII-2013.
White, N.C and Hedequist, J.W, 1990. Epithermal Environmments and Style of
Mineralization : Cariation and their Cause, and Guidelines for Exploration.
Epithermal Gold Mineralization of the Circum Pasific : Geology, Geochemistry,
Origin and Exploration. Journal of Geochemical Exploration, 36 : 445 – 474.
Wiliams, H., Turner F.J. and Gilbert C.H, (1954), Petrography An Introduction to the
Study of Thin Sections, W.H. Freeman and Company, San Fransisco.
267
M09 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
268
M10 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Abstract
This modelling is the result of research about developing analysis of Sabour’s (2003) mathematic
model using marginal analysis concept to determine optimum production rate. The case study is
located at East Barito District, Central Kalimantan Province. This model is developed by adding
some relevant parameters to find mathematical model of optimum production rate. The solution
model is produced by integrating result of development of Sabour’s mathematical model with the
cash flow model for coal open pit mining. The values of production rates is determined by
literating and obtaining 4,563 ton/day. That condition will produce maximum NPV, which is USD
1,760,746,878. The solution model resulted is relevant to apply in case study area. The
considerations are: the input data are the same, the value of IRR is higher than discount rate
(56,58%) and also the value of NPV from solution model is higher than the value of NPV from
company projection (USD 1,760,746,878: USD 1,050,031,850)
1. Pendahuluan
Penerimaan tambang secara sederhananya diperoleh dari besarnya cadangan batubara yang
dieksploitasi (terjual) dikalikan dengan harga jual batubara, dimana harga jual batubara
tersebut dipengaruhi oleh parameter kualitas batubara. Menurut Blaschke (1998), secara
empiris kualitas batubara yang dipakai dalam penentuan harga jual batubara adalah nilai
kalori, kandungan abu, dan kandungan total sulfur. Semakin tinggi kualitas batubara, maka
akan semakin tinggi pula harga jual batubara tersebut, begitu pula sebaliknya.
Biaya yang dikeluarkan dalam industri pertambangan umumnya dibagi menjadi 2, yakni
biaya investasi yang dikeluarkan pada awal kegiatan tambang dan biaya operasional. Pada
analisis konvensional Hoteling (1931), investasi diasumsikan linier terhadap ukuran
kapasitas produksi. Campbell (1981) menulis mengenai keterkaitan antara investasi dan
biaya produksi, yang tidak linier terhadap perubahan ukuran kaasitas produksi. Cairns
(2001), mengasumsikan bahwa model biaya investasi memiliki fungsi konkaf (cembung)
terhadap berubahnya ukuran kapasitas produksi.
Biaya operasional sendiri terdiri dari biaya penambangan serta biaya pengolahan. Cairns
(2001) menyebutkan pula bahwa biaya ekstraksi memiliki fungsi konfek (cekung) terhadap
perubahan ukuran kapasitas produksi. Khusus untuk industri pertambangan batubara, ada
269
M10 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
biaya lain yang dimasukkan, yakni biaya pengupasan meterial penutup (overburden).
Biaya ini dapat diklasifikasikan sebagai bagian dari biaya penambangan.
Sabour (2003) membangun model untuk menentukan ukuran tambang (ukuran kapasitas
produksi) dengan menggunakan analisis marjinal pada tambang emas. Penggunaan analisis
marjinal oleh para ahli ekonomi dalam usahanya untuk meningkatkan pendapatan yang
diperoleh perusahaan merupakan hal yang biasa dilakukan dewasa ini. Melalui metode
analisis marjinal, titik/posisi jarak (range) terbesar antara penerimaan dengan pengeluaran
akan dapat ditentukan, dimana saat itulah nilai keuntungan paling besar diperoleh.
2. Metode penelitian
Tahap pertama yang dilakukan adalah melakukan studi literatur untuk menentukan
permasalahan dan eksplorasi model acuan. Adapun model yang diacu dalam penelitian ini
bersumber dari Sabour (2003). Meskipun model ini dibangun untuk dapat diaplikasikan
pada tambang mineral bijih, namun Sabour (2003) juga menambahkan bahwa model ini
juga relevan untuk diterapkan pada industri-industri tambang lainnya dengan
menambahkan atau merubah variabel yang sudah ada. Sehingga di tahap kedua adalah
pengembangan model, yaitu penambahan parameter yang terdapat pada sistem
penambangan batubara dan data sekunder yang berasal dari InfoMine. Tahap ketiga adalah
penentuan solusi model, yaitu dengan penggunaan metode analisis marjinal untuk
menentukan kapasitas produksi optimum batubara.
Dimana 𝐺𝐴𝑅 adalah pendapatan kotor tambang tahunan, 𝐴𝑂𝐶 merupakan biaya
operasional tambang tahunan dan 𝐶𝐶 adalah biaya investasi tambang.
𝐺𝐴𝑅 = 𝑃𝑟 𝑥 𝑁 𝑥 𝑝 𝑥 𝑔𝑟 𝑥 𝑅
(2)
Dimana:
𝑃𝑟 : Kapasitas produksi
𝑁 : Jumlah hari kerja/tahun
𝑝 : Harga mineral bijih tambang/ batubara
𝑔𝑟 : Kualitas mineral bijih rata-rata
𝑅 : Recoveri mineral bijih/ batubara
270
M10 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
industri batubara, harga jual batubara sangat dipengaruhi oleh kualitas batubara, dan
diekspresikan melalui persamaan di bawah ini:
𝐶 = 𝐶𝐵 𝑥 𝑄𝐼
(3)
Dimana:
𝐶 : Harga jual batubara sebenarnya
𝐶𝐵 : Harga jual batubara acuan (berdasarkan referensi)
𝑄𝐼 : Indikator kualitas batubara
Dimana:
𝑄𝐼 : Indikator kualitas batubara
𝑄𝐵 : Nilai kalori batubara acauan (berdasarkan referensi) (kJ/kg)
𝑄𝑅 : Nilai kalori pada batubara sebenarnya (kJ/kg)
𝐴𝐵 : Kandungan abu batubara acuan (berdasarkan referensi) (%)
𝐴𝑅 : Kadungan abu pada batubara sebenarnya (%)
𝑆𝐵 : Kandungan sulfur batubara acuan (berdasarkan referensi) (%)
𝑆𝑅 : Kandungan sulfur pada batubara sebenarnya (%)
𝐺𝐴𝑅 = 𝑃𝑟 𝑥 𝑁 𝑥 𝐶𝐵 𝑥 𝑄𝐼
(5)
Biaya total pengeluaran tambang sendiri terdiri dari dua aspek, yakni biaya investasi (𝐶𝐶)
yang dikeluarkan pada awal umur tambang dan biaya operasional tahunan (𝐴𝑂𝐶) yang
dikeluarkan ketika aktivitas tambang sudah berjalan. Besarnya biaya investasi (𝐶𝐶) sendiri
dapat diekspresikan melalui persamaan di bawah ini (Sabour, 2003):
𝐵 𝐵
𝐶𝐶 = 𝐴𝑚 𝑥 𝑃𝑟 𝑚 + 𝐴𝑝 𝑥 𝑃𝑟 𝑝
(6)
Bagian sisi kiri mencerminkan investasi yang dibutuhkan untuk melakukan penambangan,
sedangkan bagian sisi kanan mencerminkan investasi yang diperlukan untuk menyiapkan
infrastruktur pengolahan mineral/bahan tambang. Nilai 𝐴𝑚 , 𝐵𝑚 , 𝐴𝑝 dan 𝐵𝑝 merupakan
konstanta. Nilai ini ditentukan oleh metode eksploitasi serta pengolahan tambang yang
diterapkan.
271
M10 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Adapun untuk biaya operasional tahunan (𝐴𝑂𝐶) , dapat dirumuskan sebagai berikut
(Sabour, 2003):
1−𝐷𝑚 1−𝐷𝑝
𝐴𝑂𝐶 = 𝑁 𝑥 𝐶𝑚 𝑥 𝑃𝑟 + 𝑁 𝑥 𝐶𝑝 𝑥 𝑃𝑟
(7)
Pada bahasan ini nilai biaya investasi (𝐶𝐶) serta biaya operasional (𝐴𝑂𝐶) akan dicari
berdasarkan data yang bersumber dari InfoMine, 2009 dalam Shafiee, 2009. Data tersebut
berasal dari tambang terbuka batubara mengenai biaya investasi, biaya operasional, serta
tingkat produksi batubara. Persamaan matematika untuk mendapatkan nilai 𝐶𝐶 dan biaya
operasional (𝐴𝑂𝐶) akan ditentukan berdasarkan data sekunder tersebut. Biaya investasi
dan operasional pada tabel tersebut sudah meliputi biaya penambangan serta biaya
pengolahan yang diperlukan (Tabel 1). Stripping ratio optimum pada daerah yang
dijadikan studi kasus ditetapkan sebesar 5,6 : 1.
Perlu diketahui, besarnya biaya investasi pada Tabel 1 di atas direpresentasikan dalam
satuan juta dollar. Sedangkan biaya operasional direpresentasikan dengan satuan
dollar/ton. Model biaya investasi atau Capital Cost (CC) didapatkan dengan membuat
grafik hubungan antara tingkat produksi dengan biaya investasi yang harus dikeluarkan
seperti yang terlihat pada grafik di bawah:
272
M10 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Dari grafik tersebut, biaya investasi yang diperlukan untuk kondisi stripping ratio optimum
dalam studi kasus lapangan adalah:
𝐶𝐶 = 129,881 𝑥 𝑃𝑟0.763
(8)
Model biaya operasi per unitnya atau Unit Operating Cost (UOC) didapatkan dengan
membuat grafik hubungan antara tingkat produksi dengan biaya operasional yang harus
dikeluarkan seperti yang terlihat pada grafik di bawah ini:
273
M10 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Dari grafik di atas, model persamaan untuk menentukan nilai UOC dapat juga ditentukan
yaitu:
Jika ditambahkan parameter umur tambang, tingkat suku bunga tiap tahunnya, kenaikan
rata-rata harga komoditas tambang (batubara) per tahun serta kenaikan rata-rata biaya
operasional tambang akibat inflasi, maka persamaan (5) dan (10) berturut-turut ditulis
sebagai berikut:
𝑇 𝑇
𝑃𝑉𝐺𝐴𝑅 = ∫0 𝐺𝐴𝑅 𝑒 (µ-𝑔𝑝 ) 𝑑𝑇
(11)
𝑇
𝑃𝑉 𝐴𝑂𝐶 = ∫0 �𝑁 𝑥 92.34 𝑥 𝑃𝑟 0.83 �𝑒 −(µ−𝑔𝑐)𝑡 𝑑𝑡
(12)
Notasi 𝑔𝑝 dan 𝑔𝑐 pada kedua persamaan di atas merupakan kenaikan biaya operasional
tiap tahunnya karena faktor inflasi. Dengan mensubsitusikan 𝛼 = 𝜇 − 𝑔𝑐 atau 𝛿 = 𝜇 − 𝑔𝑝
dan 𝑇 = 𝑅𝑒 ⁄𝑁𝑃𝑟 ke persamaan tersebut, maka akan dihasilkan berturut-turut persamaan
sebagai berikut:
𝛼 𝑥 𝑅𝑒
𝑃𝑟 𝑥 𝑁 𝑥 𝐶𝐵 𝑥 𝑄𝐼
𝑃𝑉𝐺𝐴𝑅 = 𝛼
(1 − 𝑒 𝑁 𝑥 𝑃𝑟 )
(13)
𝛿 𝑥 𝑅𝑒
𝑁
𝑃𝑉𝐴𝑂𝐶 = 𝛿
𝑥 �1 − 𝑒 𝑁 𝑥 𝑃𝑟 � 𝑥 �92.34 𝑥 𝑃𝑟 0.83 �
(14)
Dimana, y merupakan besaran prosentase pajak badan dan z merupakan besaran iuran
produksi pada tambang batubara.
Jika dijabarkan, dengan mensubtitusi Pers. 8, Pers. 13 dan Pers. 14 ke dalam Pers 15, maka
akan didapat persamaan baru sebagai berikut:
274
M10 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
𝑁𝑃𝑉 =
𝛼 𝑥 𝑅𝑒 𝛿 𝑥 𝑅𝑒
𝑃𝑟 𝑥 𝑁 𝑥 𝐶𝐵 𝑥 𝑄𝐼 𝑁
�(1 − 𝑦) �(1 − 𝑧) � (1 − 𝑒 𝑁 𝑥 𝑃𝑟 )� − � 𝑥 �1 − 𝑒 𝑁 𝑥 𝑃𝑟 � 𝑥 �92.34 𝑥 𝑃𝑟 0.83 ��� +
𝛼 𝛿
𝑁𝑃𝑉 akan berada dalam kondisi optimum jika memenuhi syarat sebagai berikut:
𝜕𝑁𝑃𝑉
𝜕𝑃𝑟
=0
(17)
𝑃𝑟 →
⎛ 𝑁 𝑥 𝐶𝐵 𝑥 𝑄𝐼
𝛼 𝑥 𝑅𝑒 𝛼 𝑥 𝑅𝑒
⎜ (1 − 𝑦) �(1 − 𝑧) � 𝑥 �1 − 𝑒 𝑁 𝑥 𝑃𝑟 �1 + 𝑒 𝑁 𝑥 𝑃𝑟 ��� −
𝛼
⎝
𝑁𝛿 𝑥 92.34 𝑥 𝑃𝑟−0.17 𝑥 0.83− 𝑒𝛿 𝑥 𝑅𝑒𝑁 𝑥 𝑃𝑟0.83+𝛿 𝑥 𝑅𝑒𝑁 𝑥 𝑃𝑟−0.763 𝑥
129,881 𝑥 𝑃𝑟−0.237 =0 (18)
Solusi Pers. 18 dilakukan dengan cara iterasi, didapat nilai kapsitas produksi optimum
sebesar 4563 ton/hari. Kapasitas produksi optimum tersebut akan menghasilkan NPV yang
paling tinggi di antara beberapa skenario tingkat produksi harian lainnya, yaitu sebesar
USD 1,760,746,878, yang lebih besar dari perencanaan perusahaan yang didapat
keuntungan sebesar USD 1,050,031,850.
Pada dasarnya input data yang dimasukkan pada metode yang dijalankan oleh peneliti 95%
sama dengan input data pada metode yang dijalankan oleh perusahaan. Perbedaannya
dalam penentilitian ini optimum dalam penentuan besaran investasi dan biaya operasinal,
yaitu pada tingkat produksi yang optimum (efisien). Perbedaan lainya adalah pada biaya
pengupasan overburden, dimana pada metode yang dijalankan oleh penulis mengisyaratkan
bahwa nilainya tetap, sedangkan pada perusahaan tidak. Pada setiap tahun biaya
pengupasan overburden pada desain yang dilakukan perusahaan tersebut berubah..
Berdasarkan perhitungan nilai IRR pada cadangan batubara yang diberikan dan kapasitas
produksi optimum, yaitu sebesar 56.58%, sedangkan nilai IRR pada skenario perusahaan,
yaitu sebesar 84%. Karena nilai IRR nya lebih besar dibandingkan suku bunga yang
ditetapkan sebesar 10%, maka dalam konteks penelitian ini, penggunaan metode dan hasil
yang di dapat dalam peneltian ini relevan untuk diterapkan dan secara implisit menerapkan
kaidah konservasi sumberdaya batubara.
275
M10 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
4. Kesimpulan
Model Sabour (2003) dapat dikembangkan dengan menambahkan serta merubah parameter
yang relevan pada sistem penambangan batubara seperti kualitas dan harga jual batubara
acuan, biaya investasi acuan, dan biaya operasional acuan, untuk selanjutnya dipakai guna
menentukan kapasitas produksi optimum dengan membangun model dan menentukan
solusi model dengan menggunakan analisis marginal. Besarnya kapasitas produksi harian
optimum batubara dipengaruhi oleh beberapa parameter seperti besaran investasi, biaya
operasional, harga jual batubara (kualitas batubara), royalti (coal sharing), pajak
perusahaan, jumlah hari kerja, tingkat suku bunga, tingkat inflasi, dan tentunya jumlah
cadangan batubara tertambang.
Solusi model yang dihasilkan dalam penelitian ini cukup relevan untuk dapat diterapkan,
karena pertimbangan, karena nilai IRR yang didapatkan serta NPV penelitian ini yang
bernilai lebih besar dibandingkan dengan proyeksi keuangan yang telah direncanakan oleh
perusahaan.
Daftar Pustaka
Blaschke, W. 1998. Problems of Lignite Prices with Regard to Pricing Foundation of Coal
for Power Engineering, Proceedings of The Session of The Minning Committe
of The Polish Academy of Science, Krakow – Belchatow.
Info Mine, 2012. Mining Cost Service Indexes: Surface & Underground Mining & Milling
Operations (online). Available from: http://www.infomine.com.
Sabour, S.A.A., 2002. Mine Size Optimization Using Marginal Analysis, Resource Policy,
28, 145-151
Shafiee, S., Nehring, M., & Topal, E., 2009. Estimating Average Total Cost of Open Pit
Coal Mines in Australia, Australian Mining Technology Conference.
Wijaya, K.G., 2012. Analisis Break Even Stripping Ratio dan Desain Pit Tambang
Batubara PT. X, Tesis, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta (tidak dipublikasikan).
276
GD01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Abstrak
Semburan lumpur Sidoarjo sudah berlangsung lebih dari 7 tahun dan saat ini debit semburan mulai
menurun. Ancaman jebolnya tanggul masih dikhawatirkan masyarakat dikarenakan tanggul yang
mengelilingi lumpur khususnya di sisi barat. Tanggul jebol akan berisiko terjadinya bencana
dikarenakan adanya jalur rel kereta api dan jalan raya yang masih aktif. Penelitian ini bertujuan untuk
menilai stabilitas tanggul lumpur Sidoarjo khususnya di bagian barat. Metodologi yang dipakai dalam
penelitian ini dengan melakukan analisis data geotektnik tanah dasar, material tanggul dan lumpur serta
dianalisis dengan program Plaxis dengan pendekatan elemen hingga. Tanah dimodelkan dengan
program elemen hingga agar bisa dilakukan simulasi terhadap perilaku dari tanah. Sehinga diperoleh
factor keamanaan untuk menilai stabilitas tanggul. Faktor keamanan umumnya didefinisikan sebagai
perbandingan dari beban runtuh terhadap beban kerja. atau perbandingan antara kuat geser yang
tersedia terhadap kuat geser yang dibutuhkan untuk mencapai keseimbangan. Analisis stabilitas ini
dilakukan dengan anggapan kondisi subsoil masih normal, untuk kondisi subsoil eksisting dengan
banyak retakan dan rongga belum bisa dilakukan perhitungannya karena pola rongga dan atau retakan
belum ada datanya. Berdasarkan analisis dengan PLAXIS maka stabilitas tanggul dalam keadaan kritis
dan siap untuk runtuh. Saran agar dipasang alat pukur penurunan “real time” dengan GPS yang bisa
dipantau dari jauh sehingga kalau terjadi penurunan dalam waktu yang pendek maka bisa dilakukan
penghentian keretaapi dan penutupan Jalan Raya Porong agar risiko bisa dikurangi.
PENDAHULUAN
Semburan Lumpur Sidoarjo masih terus berlangsung hampir delapan tahun lalu sampai
sekarang dan mulai ada penurunan debit semburan. Kebijakan penanggulan dengan urugan
dilakukan untuk membatasi meluasnya lumpur dan dengan harapan dapat mengatur aliran
lumpur. Aktivitas penanggulan telah dilakukan sejak meluasnya sebaran lumpur. Tanggul
urugan ini berada diatas tanah aluvial yang sangat lunak. Tanggul cincin setinggi 30 meter
yang ada di bagian tengah kolam lumpur ambles pada awal 2009, sehingga tanggul yang ada
sekarang ini menjadi tanggul satu satunya. Beberapa tempat tanggul nampak retak, merembes,
ada yang mulai melimpah tanggul bahkan ada yang sudah jebol di bagian utara.
Pada awal tahun 2013 desakan lumpur dari bagian tengah ke tepi menyebabkan permukaan
lumpur hampir rata dengan tanggul. Pihak yang berwenang Badan Penanggulangan Lumpur
Sidoarjo (BPLS) berencana mau meninggikan tanggul agar lumpur tidak meluber. Ada
pnolakan dari masyarakat korban saat akan dilakukan penambahan tanggul. Masyarakat minta
277
GD01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
dilunasi terlebih dahulu baru dilakukan aktivitas penambahan tinggi tanggul. Bahkan beberapa
masyarakat melakukan tindakan yang membahayakan, mereka mau menjebok tanggul.
Sampai saat ini Jalan Raya Porong masih dipakai dan lalulintasnya cukup padat walau sudah
dibuat jalur arteri yang baru. Demikian juga jalur kereta api Surabaya – Banyuwangi masih
beroperasi sampai sekarang. Dengan demikian tanggul lumpur sisi bagian barat menjadi
perhatian banyak pihak apalagi saat memasuki musim hujan seperti saat ini sehingga
diperlukan evaluasi stabilitas tanggul mengingat jebolnya tanggul akan berdampak terhadap
masyarakat dan infrastrujtur di sekitarnya.
Tujuan penlitian adalah untuk menilai stabilitas tanggul ini sehingga diketahui seberapa kuat
tanggul yang telah berdiri lebih dari 7 tahun tersebut.
278
GD01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
permukaan sehingga bersamaan dengan banyaknya retakan muncul pula semburan gas dan
atau air dan atau lumpur..
Plaxis adalah program elemen hingga untuk aplikasi geoteknik dimana digunakan model-
model tanah untuk melakukan simulasi terhadap perilaku dari tanah. Akurasi dari keadaan
sebenarnya yang diperkirakan sangat bergantung pada keahlian dari pengguna terhadap
pemodelan permasalahan, pemahaman terhadap model-model tanah serta keterbatasannya,
penentuan parameter-parameter model, dan kemampuan untuk melakukan interpretasi dari
hasil komputasi.
Faktor keamanan umumnya didefinisikan sebagai perbandingan dari beban runtuh terhadap
beban kerja. atau perbandingan antara kuat geser yang tersedia terhadap kuat geser yang
dibutuhkan untuk mencapai keseimbangan. Plaxis dapat digunakan untuk menghitung faktor
keamanan ini dengan menggunakan prosedur ’Reduksi phi-c’. Model yang sederhana ini
didasarkan pada parameter-parameter tanah yang telah dikenal baik dalam praktek rekayasa
teknik sipil. Model Mohr-Coulomb (MC) dapat digunakan untuk menghitung tegangan
279
GD01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
pendukung yang realistis pada muka terowongan, beban batas pada pondasi dan lain-lain.
Model ini juga dapat digunakan untuk menghitung faktor keamanan dengan pendekatan
’Reduksi phi-c’.
Metode Analisis stabilitas lereng yang digunakan pada studi ini adalah teknik reduksi
kekuatan geser metode elemen hingga (SSR-FEM). Kelebihan menggunakan metode ini
adalah:
1. Asumsi dalam penentuan posisi bidang longsor tidak dibutuhkan, bidang ini akan
terbentuk secara alamiah pada zona dimana kekuatan geser tanah tidak mampu menahan
tegangan geser yang terjadi.
2. Metode ini mampu memantau perkembangan progressive failure termasuk overall shear
failure.
Berdasarkan persamaan tegangan geser tanah (τ) kekuatan geser tanah yang tersedia atau yang
dapat dikerahkan oleh tanah adalah
τ = c + (σ - u).tan ∅
Dalam metode ini, parameter kekuatan geser tanah yang tersedia berturut-turut direduksi
secara otomatis hingga kelongsoran terjadi. Sehingga faktor aman (SF) stabilitas lereng
menjadi :
PEMBAHASAN
Analisis stabilitas lereng dengan metode SSR-FEM dalam penelitian ini menggunakan
software Plaxis 8.0. Langkah permodelan dimulai dari penggambaran model plane strain 2D,
pemasukan input parameter tanah di sekitar tanggul lumpur dengan model tanah Mohr-
Coulomb (Tabel 1). Langkah kemudian dilanjutkan dengan menyusun elemen mesh segitiga,
perhitungan tegangan pori dengan muka air tanah dan tegangan overburden. Tahap selanjutnya
adalah perhitungan analisis stabilitas lereng dengan metode phi/c reduction.
280
GD01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
-12 s/d -312 300 Soft Clay 1.4 1.2 0.4 5 5 3.3 0.2 100
Batu
-312 s/d -1000 688 1.9 1.7 0.9 40 10 6.7 0.2 4000
Lempung
Analisis stabilitas ini dilakukan dengan anggapan kondisi subsoil masih normal, untuk kondisi
subsoil eksisting dengan banyak retakan dan rongga belum bisa dilakukan perhitungannya
karena pola rongga dan atau retakan belum ada datanya.
Gambar 3. Kemungkinan bidang longsor tanggul lumpur porong dan distribusi tegangan.
Daerah pengaruh adalah 60 m dari tumit tanggul).
Gambar 4. Jaring elemen terdeformasi dan pola kelongsoran dekat tanggul dan jauh dari badan
jalan
281
GD01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 5. Jaring elemen terdeformasi dan pola kelongsoran dekat tanggul dan dekat dengan
badan jalan
Hasil running memperlihatkan tanggul mulai terguling dan terjadi pengangkatan tanah (heave)
di dekat tanggul sehingga akan mengakibatkan rumah akan miring (Gambar 6) dan
mempengaruhi erpengaruh yaitu rel Nampak bengkok dan jalan retak (Gambar 7).
Gambar 6 Rumah yang mulai miring akibat terjadi efek guling tanggul.
282
GD01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Saran agar dipasang alat pukur penurunan “real time” dengan GPS yang bisa dipantau dari
jauh sehingga kalau terjadi penurunan dalam waktu yang pendek maka bisa dilakukan
penutupan Jalan Raya Porong agar risiko bisa dikurangi. Kalau memungkinkan dipasang juga
alat detektor gas metan sehingga diketahui kapan terjadi akumulasi gas/peningkatan
konsentrasi gas.
REFERENSI
Alastair H.F. Robertson and Achim Kopf, 1998, Tectonic Setting And Processes Of Mud
Volcanism On The Mediterranean Ridge Accretionary Complex: Evidence From Leg 1601
Jin G. and Richard H. Groshong R.H.Jr., 2006, Trishear kinematic modeling of extensional
fault-propagation folding, Journal of Structural Geology , v.28, p170–183, Elsevier Ltd.
All rights reserved
Kusumastuti A, P. Van Rensbergen, and J. K. Warren, 2002, Seismic sequence analysis and
reservoir potential of drowned Miocene carbonate platforms inhe Madura Strait, East
Java,Indonesia, AAPG Bulletin, v. 86, no. 2 (February 2002), pp. 213–232
283
GD01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Laporan Tim Gubernur, 2010, Kajian Kelayakan Permukiman Akibat Semburan Lumpur
Sidoarjo, tidak dipublikasikan, Surabaya
Yin Hongwei and Groshong, Jr Richard H. 2006, Balancing and restoration of piercement
structures: geologic insights from 3D kinematic models, Journal of Structural
Geology Volume 28, Issue 1, January 2006, Pages 99-114
284
GD02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Abstrak
Gunung Rajabasa terletak di selatan Pulau Sumatra tepatnya di Kalianda, Kabupaten
Lampung Selatan. Keterdapatan beberapa manifestasi panasbumi di Gunung Rajabasa
menjadi indikasi adanya potensi energi panasbumi. Oleh karena itu perlu dilakukan
penelitian mengenai kondisi geologi di daerah ini. Penelitian ini ditujukan untuk
mendapatkan gambaran kondisi geologi di Gunung Rajabasa dengan menggunakan metode
penginderaan jauh (Remote Sensing) pada citra ASTER dan DEM. Dari interpretasi citra
ASTER terdapat beberapa satuan litologi yang dihasilkan dari tiga kerucut gunungapi yang
diinterpretasikan sebagai Gunung Rajabasa tua, Gunung Balerang dan Gunung Rajabasa
muda. Hasil ini dikonfirmasi oleh hasil petrografi pada data lapangan berupa sampel
batuan segar. Beberapa alterasi juga terdapat di daerah manifestasi panasbumi yang
terletak di bagian utara dan selatan Gunung Rajabasa. Berdasarkan interpretasi kelurusan
dari DEM, keterdapatan manifestasi panasbumi ini diperkirakan dikontrol oleh struktur di
daerah tersebut. Struktur utama di Gunung Rajabasa diperkirakan berarah baratlaut-
tenggara akibat pengaruh dari sesar Lampung yang diperkirakan merupakan bagian dari
sistem sesar Sumatra.
Pendahuluan
Tekanan yang terjadi akibat penunjaman oleh lempeng Samudra Hindia di sebelah barat
Sumatera, secara berkala telah dilepaskan melalui sesar-sesar yang sejajar dengan tepi
lempeng (Mangga dkk, 1993). Penunjaman lempeng tersebut ditandai dengan munculnya
deretan gunungapi, di antaranya Gunung Rajabasa yang terletak di ujung selatan pulau
Sumatera, tepatnya di Kalianda, Kabupaten Lampung Selatan. Gunung Rajabasa
merupakan stratovolkano (Stratovolcano) yang merupakan bagian dari busur vulkanik
kwarter Sumatera. Produk busur vulkanik kwarter Sumatera yang dikeluarkan dari pusat di
dalam busur vulkanik melapisi produk piroklastik seperti Formasi Lampung dan Formasi
Tarahan (Barber et al., 2005).
Kerucut vulkanik Rajabasa memiliki ketinggian ±1281 mdpl dan merupakan gunungapi
aktif tipe B (van Padang, 1951; Simkin dan Siebert, 1994 dalam Bronto dkk, 2012).
Keberadaan manifestasi panasbumi di Gunung Rajabasa menandakan adanya potensi
energi panasbumi di daerah ini. Manifestasi panasbumi seperti mata air hangat, mata air
panas, geiser, kolam lumpur dan fumarol ditemukan di kaki Gunung Rajabasa bagian utara
dan selatan,.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kondisi geologi Gunung Rajabasa
berdasarkan interpretasi penginderaan jauh dengan mengintegrasikan citra ASTER,
ASTER DEM dan data geologi permukaan. Band VNIR data ASTER dengan resolusi
spasial 15 m berguna untuk pemetaan topografi dan menghasilkan digital elevation model
285
GD02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
(DEM) (Gad dan Kusky, 2006). Lineaments, unit geologi dan struktur vulkanik bisa
ditentukan pada citra satelit dengan pengolahan citra dan analisis kelurusan (Cengiz et al,
2006). Dengan resolusi spektral yang disediakan oleh ASTER, identifikasi spesifik
mineral-mineral alterasi menjadi mungkin dilakukan, karena memiliki enam saluran (band)
spektral di sensor SWIR (band 4-9) (Crosta et al., 2003). Sedangkan lima saluran TIR
(band 10-14) dengan resolusi spasial 90 m digunakan untuk mencirikan batuan-batuan
silikat (Yamaguchi et al., 1998 dalam Gad and Kusky, 2007).
Geologi Regional
Area penelitian ini berada ujung selatan Pulau Sumatera tepatnya di Gunung Rajabasa,
Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Gunung Rajabasa terletak di sebelah
tenggara dari kota Bandar Lampung, terletak di Kalianda dengan jarak sekitar 31 km dari
pelabuhan Bakauheni. Berdasarkan pada peta geologi regional (Mangga dkk, 1993),
Gunung Rajabasa berada pada Formasi Satuan Gunungapi Muda (Qhv) tersusun dari lava
berkomposisi andesit-basal, breksi dan tuf. Formasi Lampung (QTl) dan Andesit Tersier
(Tpv) berada disekelilingnya (Gambar 1).
Satuan andesit yang lebih tua disusun oleh lava andesitik sebagai produk dari
vulkanisme tersier menyebar dari bagian barat sampai bagian tenggara Gunung Rajabasa.
Berdasarkan karakteristik aliran lava yang terjadi pada Gunung Rajabasa, satuan andesit
diperkirakan berkembang tidak jauh dari sumber erupsi (Bronto dkk, 2012). Tidak ada
sejarah erupsi yang terekam di Gunung Rajabasa, tetapi van Padang (1951) dalam Budiarjo
dkk (1995) mengatakan di tahun 1863 dan 1892 terjadi peningkatan aktivitas vulkanik
tetapi tidak sampai terjadi erupsi.
Gunung berapi Kuarter yang terdapat di sepanjang busur Sunda dan Banda dari
Indonesia adalah contoh yang terkenal dari vulkanisme terkait subduksi. Selat Sunda
menandai transisi dari depan ke subduksi miring, dan ditafsirkan sebagai daerah perluasan
286
GD02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
yang merupakan hasil gerak arah barat laut dari irisan busur yang terletak di antara parit
dan Sistem Sesar Sumatera (Barber et al., 2005). Secara tektonik dan topografi daerah ini
sangat kompleks. Menurut Ninkovich (1976) dalam Barber et al. (2005) pembukaan selat
adalah hasil dari rotasi searah jarum jam di Sumatera sekitar˚20 di sekitar sumbu yang
terletak di dekat Selat Sunda sejak Akhir Miosen (Gambar 2).
Gambar 2. Peta geologi dari Selat Sunda yang disederhanakan (dimodifikasi dari Nishimura et al.,
1986) menunjukkan fitur tektonik dan vulkanik utama daerah di Selat Sunda (Barber
et al., 2005).
Nishimura et al. (1986) dan Harjono dkk. (1991) dalam Barber et al., (2005) menyarankan
bahwa tren zona rekahan N35˚E membentang dari Pulau Panaitan ke Krakatau, Sebesi dan
Sebuku, ke Gunung Rajabasa di daratan Sumatera, dan ke Sukadana Plateau.
Citra ASTER
ASTER adalah citra multispektral yang diluncurkan pada bulan Desember 1999. ASTER
mencakup wilayah spektrum yang luas dengan 14 saluran yang terdiri dari tiga sensor.
Sensor tersebut yaitu VNIR (Visible and Near Infrared) terdiri dari 3 saluran, SWIR (Short
Wave Infrared) terdiri dari 6 saluran dan TIR (Thermal Infrared) terdiri dari 5 saluran.
Untuk saluran VNIR memiliki resolusi spasial 15 m, SWIR memiliki resolusi spasial 30 m
dan TIR memiliki resolusi spasial 90 m, masing-masing citra ASTER mencakup area
seluas 60 x 60 km (Abrams et al., 2002).
Tiga saluran VNIR merupakan sumber informasi penting yang berhubungan dengan
penyerapan pada logam-logan transisi khususnya besi dan beberapa unsur tanah jarang
(REE) (Rowan et al., 1986 dalam Aboelkhair et al., 2010). Data SWIR mendeteksi fitur
spektral dari alterasi hidrotermal yang terkait dengan gugus hidroksil, sulfat dan mineral
karbonat (Rowan and Mars, 2003). Sedangkan sensor pada saluran TIR dapat digunakan
untuk pemetaan kuarsa, mineral mafik dan batuan karbonat (Ninomiya et al., 2005).
287
GD02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Citra ASTER yang digunakan pada penelitian ini adalah citra ASTER L1B yang
diperoleh dari NASA Land Processes Distributed Active Archive Center (LP-DAAC) User
Services, USGS Earth Resources Observation and Science (EROS) Center dalam format
HDF yang diakuisisi pada tanggal 22 September 2006. Gambar 3 menunjukkan citra
ASTER dengan composit warna RGB: 321 di daerah penelitian.
Gambar 3. Citra ASTER L1B dengan komposit warna RGB: 321 (Grayscale) di daerah
penelitian
Dari citra ASTER terlihat sebagian dari daerah penelitian tertutup awan dan adanya
ganguan sensor di utara daerah penelitian. Hal ini membuat daerah tersebut tidak dapat
memberikan informasi mengenai keadaan di permukaan yang tertutupi awan tersebut.
Namun daerah yang tidak tertutupi awan masih cukup untuk memberikan informasi
mengenai reflektansi di permukaan. Scene ini merupakan scene dengan area tidak tertutup
awan terbaik yang dapat diperoleh dalam penelitian ini. Karena sejak tahun 2008, sensor
SWIR pada citra ASTER dimatikan karena terjadi kebocoran foton yang mempengaruhi
seluruh sensor SWIR.
ASTER DEM
Digital Elevation Model (DEM) merupakan kumpulan data ketinggian digital yang
menunjukkan bentuk topografi suatu daerah. Sifat data ketinggian ini berkesinambungan,
tidak dapat dibagi (Sarapirome, et al., 2002). Data ketinggian digunakan untuk membuat
DEM memperlihatkan data kontur. Kontur menunjukkan garis-garis yang menghubungkan
ketinggian yang sama (Klikenberg, 1990). Penggunaan data DEM diarahkan pada
interpretasi kelurusan dan analisis morfometri seperti slope dan ketinggian. Kelurusan
yang dijumpai pada citra berhubungan dengan struktur geologi seperti sesar, kekar, sumbu
antiklin dan sinklin.
ASTER DEM merupakan salah satu jenis data DEM yang dapat diperoleh dengan
mudah dari USGS. Data ini mengandung informasi topografi yang dihasilkan dari data
288
GD02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
ASTER sensor VNIR band 3N dan 3B dengan resolusi 15 m. Data ASTER DEM dapat
digunakan dalam pemetaan 1:50.000 sampai 1:250.000 (Kervyn et al, 2007).
Pengamatan Lapangan
Dalam penelitian ini telah dilakukan pengamatan lapangan di beberapa lokasi meliputi area
manifestasi panasbumi di Gunung Rajabasa (Gambar 4).
289
GD02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 6. Interpretasi topografi (kiri) dan kelerengan (kanan) dari ASTER DEM
Topografi di daerah penelitian (Gambar 6 kiri) terdiri dari lima jenis berdasarkan
klasifikasi dari van Zuidam (1945) yaitu: dataran rendah, dataran rendah pedalaman,
perbukitan rendah, perbukitan dan perbukitan tinggi. Kontur topografi merupakan hasil
ekstraksi dari ASTER DEM dengan interval kontur 50 m. Secara umum daerah penelitian
berada pada daerah perbukitan.
Klasifikasi kelerengan dari ASTER DEM di Gunung Rajabasa juga diklasifikasikan
berdasarkan van Zuidam (1945). Hasil interpretasi kelerengan menghasilkan area yang
menunjukkan tingkat kemiringan dari area di Gunung Rajabasa (Gambar 6 kanan). Pada
gambar tersebut tingkat kemiringan disederhanakan menjadi empat jenis yaitu: datar,
miring, curam dan sangat curam. Daerah yang memiliki tingkat kelerengan yang cukup
tinggi dan sangat curam merupakan daerah yang memiliki potensi bahaya yang lebih besar.
Berdasarkan hasil klasifikasi tersebut sebagian besar daerah penelitian merupakan
perbukitan curam.
Penarikan kelurusan juga dilakukan pada ASTER DEM untuk mengetahui arah dan
gaya yang bekerja pada daerah penelitian. Kelurusan yang dihasilkan merupakan
interpretasi yang dilakukan berdasarkan kenampakan kelurusan di permukaan digital
elevation model (DEM) dari citra ASTER. Hasil penarikan kelurusan masih dipengaruhi
oleh efek-efek permukaan yang diakibatkan oleh pohon dan bangunan. Hasil interpretasi
kelurusan ditunjukkan oleh Gambar 7. Terdapat 174 kelurusan dengan arah utama
baratlaut-tenggara. Hal ini menunjukkan bahwa arah utama dari kelurusan hasil interpretasi
selaras dengan arah struktur utama yang juga memiliki arah utama baratlaut-tenggara,
seperti sesar Lampung-Panjang yang diperkirakan sebagai bagian dari sistem sesar
290
GD02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Sumatera. Jika dikaitkan dengan morfologi daerah penelitian, daerah perbukitan tinggi
yang sangat curam merupakan tempat terdapatnya struktur kelurusan yang jumlahnya lebih
tinggi dari satuan morfologi yang lebih rendah.
diperkirakan sebagai bagian dari area hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
Sedangkan daerah vegetasi sedang dan rendah diperkirakan sebagai area perkebunan,
persawahan dan pemukiman warga. Daerah manifestasi juga terletak di area kerapatan
vegetasi yang sedang dan rendah, hal ini mencirikan keterdapatan mineral-mineral alterasi
yang terubah oleh panas.
Untuk mendeteksi keterdapatan mineral-mineral alterasi tersebut, dilakukan analisis dan
interpretasi lebih lanjut pada citra ASTER dengan menggunakan metode defoliant. Metode
ini menggunakan metode statistik multivariat yang sama dengan principal component
analisis yang disebut directed principal component (DPC). Teknik ini pada dasarnya
adalah teknik penajaman yang dilakukan dengan menggabungkan dua rasio saluran.
Teknik penajaman yang berdasarkan pada analisis directed principal component (DPC)
dari dua rasio saluran disebut software defoliant technique (Carranza, 2002).
Analisis alterasi pada penelitian ini dilakukan untuk mendeteksi keterdapatan alterasi
argilik yang direpresentasikan oleh kaolinit dan alterasi propilitik yang direpresentasikan
oleh klorit. Pemilihan band ratio yang digunakan dalam analisis ini menggunakan nilai
spektral reflektansi dari mineral kaolinit dan klorit yang dikomparasikan dengan nilai
spekral refelktansi dari vegetasi. Seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 9, nilai input
metode defoliant untuk mineral kaolinit (argilik) adalah band 6/band 5 dan band 4/band 5.
Nilai ini diperoleh dari respon spektral vegetasi tinggi dikedua ratio dan respon spektral
kaolinit tinggi di band 4.
Gambar 9. Nilai spektral reflektansi dari mineral kaolinit di laboratorium (kiri) dan nilai
spektral relfektansi resampling untuk ASTER (kanan).
Ratio band 4/band 5 merupakan reflektansi tinggi pada kaolinit dan rendah di ratio band
6/band 5. Sehingga nilai tinggi dari input ratio band 4/band 5 menjadi target untuk
mendeteksi keterdapatan mineral alterasi argilik yang diwakili oleh kaolinit. Tabel 1
menunjukkan statistik hasil analisis metode defoliant untuk kaolinit.
matrik korelasi
Band 6 : Band 5 1.00000 -0.16751
Band 4 : Band 5 -0.16751 1.00000
292
GD02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Berdasarkan Tabel 1., nilai DPC yang berlawanan tanda adalah pada DPC1 yang
menunjukkan adanya perbedaan respon spektral reflektansi. Kaolinit menunjukkan nilai
positif 1.00000 pada input layer 2 yakni ratio band 4/band 5. Dengan demikian daerah
yang terang menunjukkan keterdapatan mineral alterasi argilik yang diwakili oleh respon
spektran reflektansi kaolinit. Sebaran alterasi kaolinit ini ditunjukkan oleh Gambar 10 di
bawah ini sebagai piksel berwarna terang/putih.
Gambar 10. Sebaran keterdapatan mineral kaolinit (Argilik) dengan metode defoliant pada
citra ASTER.
Sebaran alterasi kaolinit nampak terkonsentrasi di sekitar puncak dari Gunung Rajabasa.
Di bagian utara dan selatan mendominasi arah sebaran yang berpusat di puncak Rajabasa.
Keterkaitan antara keterdapatan mineral alterasi kaolinit dengan area manifestasi
panasbumi dapat dianalisis dengan melakukan overlay titik pengamatan lapangan.
Untuk mendeteksi keterdapatan mineral alterasi klorit yang diharapkan dapat
merepresentasikan alterasi propilitik dilakukan metode defoliant pada citra ASTER dengan
input ratio band 3/band 4 dan band 6/band 9. Pemilihan input ratio berdasarkan nilai
spektral reflektansi seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 11. Nilai reflektansi klorit pada
ratio band 3/band 4 rendah menunjukkan absorbsi dan reflektansi pada ratio band 6/band
9. Sedangkan vegetasi menunjukkan nilai reflektansi tinggi di kedua input tersebut. Hal ini
diharapkan agar nilai reflektansi vegetasi dapat dipisahkan dari nilai reflektansi klorit.
Citra untuk masukan dari band ratio dipilih berdasarkan pada informasi yang dikandung
pada ratio yang pertama yang berhubungan dengan komponen yang ingin diketahui
293
GD02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
(misalnya alterasi hidrotermal), respon spektral yang mengalami gangguan dari respon
spektral komponen yang lain (misalnya vegetasi). Ratio yang kedua harus mengandung
informasi tentang komponen yang saling mempengaruhi ini (Rojas, 2003).
Gambar 11. Nilai spektral reflektansi dari mineral klorit di laboratorium (kiri) dan nilai
spektral relfektansi resampling untuk ASTER (kanan).
Grafik yang ditunjukkan oleh Gambar 11 (kiri) merupakan nilai reflektansi mineral klorit
hasil dari pengukuran di laboratorium dan kemudian dilakukan resampling terhadap
jangkauan sensor pada setiap band citra ASTER sehingga menghasilkan grafik yang
ditunjukkan oleh Gambar 11 (kanan).
Ratio band dilakukan sebagai bagian awal untuk mempersiapkan input dalam metode
defoliant menggunakan statistik multivariat yang dikenal dengan Direct Principal
Componet (DPC). Dengan metode ini diharapkan dapat memisahkan antara respon spektral
mineral yang menjadi target dengan respon spektral dari vegetasi. Statistik input ratio yang
digunakan dalam metode defoliant mineral klorit ditunjukkan oleh Tabel 2.
matrik korelasi
Band 3 : Band 4 1.00000 0.00070
Band 6 : Band 9 0.00070 1.00000
Berdasarkan Tabel 2., nilai yang berlawanan tanda terdapat pada DPC2 dengan nilai positif
1.000000 pada input ratio band 3/band 4. Hal ini menunjukkan nilai piksel tinggi/terang
berlawanan dengan keterdapatan mineral klorit. Oleh karena itu nilai dari DCP2 harus di
invert dengan mengalikan (-1).
Sebaran mineral alterasi klorit di daerah penelitian ditunjukkkan oleh Gambar 11.
Sebaran mineral klorit sebagian besar terdapat sekeliling kaki Gunung Rajabasa. Nilai
piksel yang terang menunjukkan kemungkinan keterdapatan mineral alterasi klorit. Nilai
ini juga dapat dipengaruhi oleh vegetasi dan efek permukaan lain seperti persawahan dan
permukiman warga. Dari gambar di bawah juga menunjukkan pola sebaran alterasi klorit
yang cenderung tidak muncul bersamaan dengan keterdapatan mineral kaolinit. Di bagian
294
GD02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
puncak dari Gunung Rajabasa cenderung berpiksel gelap sehingga diperkirakan kecil
kemungkinan keterdapatan mineral klorit.
Gambar 11. Sebaran keterdapatan mineral klorit (propilitik) dengan metode defoliant pada
citra ASTER
Keberadaan awan memang menjadi salah satu masalah dalam metode penginderaan jauh
dengan menggunakan citra satelit, terlebih lagi daerah penelitian merupakan daerah tinggi
dan beriklim tropis, sehingga awan sangat banyak dan sering berkumpul di sana. Daerah
yang tertutup awan tidak dapat memberikan informasi apapun sehingga harus dihilangkan
seperti hasil pengolahan citra ASTER di atas.
Hasil analisis metode defoliant pada citra ASTER hanya dapat memberikan gambaran
sebaran mineral alterasi berdasarkan nilai spektral reflektan yang terekam pada sensor
satelit. Sehingga perlu dilakukan pengamatan dan pengecekan ke lapangan guna
mendapatkan acuan mengenai area yang benar-benar menunjukkan keterdapatan mineral
alterasi. Keterdapatan mineral alterasi dari pengamatan lapangan akan dikomparasikan dan
digunakan untuk menentukan nilai ambang batas dari piksel terang yang menunjukkan
adanya mineral alterasi tersebut.
Untuk mengetahui kaitan keterdapatan mineral alterasi dari hasil interpretasi citra
ASTER dengan data lapangan, maka dilakukan penerapan nilai ambang batas untuk nilai
piksel masing-masing mineal alterasi yang kemudian di overlay dengan data permukaan.
nilai ambang batas yang dipergunakan adalah 𝑇ℎ𝑟𝑒𝑠ℎ𝑜𝑙𝑑 = 𝑚𝑒𝑎𝑛 + (2 × 𝑆𝑡𝑑𝑒𝑣) .
295
GD02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Setelah nilai ambang batas diterapkan maka diperoleh nilai piksel masing-masing alterasi
yang kemudian dioverlay dengan data lapangan seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 12.
Gambar 12. Sebaran keterdapatan mineral alterasi kaolinit (argilik) dan klorit (propilitik)
hasil interpretasi ASTER.
Kesimpulan
Berdasarkan interpretasi citra ASTER dan ASTER DEM maka diperoleh kesimpulan
bahwa topografi Gunung Rajabasa terdiri dari lima jenis berdasarkan klasifikasi dari van
Zuidam (1945) yaitu: dataran rendah, dataran rendah pedalaman, perbukitan rendah,
perbukitan dan perbukitan tinggi. Sedangkan interpretasi kelerengan menghasilkan area
yang menunjukkan tingkat kemiringan yang disederhanakan menjadi empat jenis yaitu:
296
GD02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
datar, miring, curam dan sangat curam. Daerah yang memiliki tingkat kelerengan yang
cukup tinggi dan sangat curam merupakan daerah yang memiliki potensi bahaya yang lebih
besar. Berdasarkan hasil klasifikasi tersebut sebagian besar daerah penelitian merupakan
perbukitan curam.
Hasil interpretasi kelurusan pada ASTER DEM menghasilkan 174 kelurusan dengan
arah utama baratlaut-tenggara. Hal ini menunjukkan bahwa arah utama dari kelurusan hasil
interpretasi selaras dengan arah struktur utama yang juga memiliki arah utama baratlaut-
tenggara, seperti sesar Lampung-Panjang yang diperkirakan sebagai bagian dari sistem
sesar Sumatera.
Analisi NDVI pada citra ASTER menunjukkan kerapatan vegetasi tinggi mendominasi
di area puncak Gunung Rajabasa sedangkan kerapatan sedang dan rendah berada di tengah
dan kaki gunung. Kerapatan di puncak diperkirakan sebagai bagian dari area hutan Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan. Sedangkan daerah vegetasi sedang dan rendah
diperkirakan sebagai area perkebunan, persawahan dan pemukiman warga.
Dari metode defoliant ditunjukkan sebaran alterasi kaolinit nampak terkonsentrasi di
sekitar puncak dari Gunung Rajabasa. Di bagian utara dan selatan mendominasi arah
sebaran yang berpusat di puncak Rajabasa. Sedangkan sebaran mineral klorit sebagian
besar terdapat sekeliling kaki Gunung Rajabasa. Pola sebaran alterasi klorit cenderung
tidak muncul bersamaan dengan keterdapatan mineral kaolinit. Di bagian puncak dari
Gunung Rajabasa cenderung berpiksel gelap sehingga diperkirakan kecil kemungkinan
keterdapatan mineral klorit.
Sebaran alterasi kaolinit (argilik) muncul hampir di seluruh daerah manifestasi
sedangkan alterasi klorit hanya dekat dengan manifestasi mataair panas di Gunung Botak.
Tidak ada data lapangan untuk daerah yang menunjukkan area alterasi klorit di bagian
timur dan utara Gunung Rajabasa dikarenakan pengamatan lapangan hanya difokuskan
pada area-area yang terdapat manifestasi panasbumi di permukaan. Oleh karena itu perlu
dilakukan pengamatan lapangan kembali untuk mendapatkan informasi lapangan mengenai
keterdapatan mineral klorit di daerah tersebut.
Daftar Pustaka
[1] Aboelkhair, M., Ninomiya, Y., Watanabe, Y., Sato, I. Processing and interpretation
of ASTER TIR data for mapping of rare-metal-enriched albite granitoids in the
Central Eastern Desert of Egypt. Journal of African Earth Sciences, No. 58, pp 141-
151, 2010.
[2] Abrams, M., Hook, S., and Ramachandran, B. ASTER User Handbook: Version 2. Jet
Propulsion Laboratory/California Institute of Technology, 2002.
[3] Barber, A. J., Crow, M. J., and Milsom, J. S. Sumatra: Geology, Resources and
Tectonic Evolution. The Geological Society Publishing House, UK, 2005.
[4] Bronto, S., Asmoro, P., Hartono, G., and Sulistiyono. “Evolution of Rajabasa
Volcano in Kalianda Area and Its Vicinity, South Lampung Regency”. Indonesian
Journal of Geology, Vol 7, No. 1 p. 11-25, 2012.
[5] Budiardjo, B., Masdjuk dan Leonardus, A.M. N. Detailed Geological report
Rajabasa Mountain area, Lampung. Pertamina Geothermal Division, Indonesia (not
published), 1995.
297
GD02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
298
GD03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Abstrak
Morfodinamika pesisir dipengaruhi oleh aktivitas gelombang. Pada waktu tertentu, gelombang
berubah menjadi lebih aktif dan berkembang menjadi arus sepanjang pantai (longshore current)
yang menyebabkan abrasi pesisir. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi arah dan pola
gelombang serta pengaruhnya terhadap morfologi pesisir Pantai Depok. Metode penelitian yang
dilakukan adalah pengamatan lapangan terhadap parameter gelombang yang mencakup proses
pembentukan gelombang (plunging), pecah (surging) dan arus balik (rip current). Pengukuran
gelombang secara kuantitatif dilakukan dengan mencakup kecepatan arus, gelombang dan angin.
Gelombang penyebab abrasi pesisir di Pantai Depok berlangsung secara sporadis baik waktu
maupun titik pembentukannya. Aktivitas gelombang tersebut menghasilkan pesisir dengan bentuk
teluk secara lokal. Gelombang dan arus mengerosi berm yang berjarak 3-5 meter dari garis pantai.
Energi gelombang terkonsentrasi di dalam teluk-teluk tersebut dengan kecepatan bervariasi antara
1- 2.7 m/dt dan membentuk turbulensi arus yang menguatkan daya abrasi. Arus balik (rip current)
membawa sedimen pasir ke arah laut dengan kapasitas dan kompetensi relatif besar.
Pendahuluan
Komar (1976) menyebutkan proses gelombang pecah (surging) akan berkembang menjadi arus sisa
gelombang pecah (surf), arus sapuan (swash) dan arus surut (backwash). Proses akhir dari satu kali
periode datangnya gelombang adalah arus balik (rip current). Schiffman (1965, dalam Komar,
1976) menyebutkan bahwa daerah transisi antara surf dan swash adalah daerah tempat arus balik
dan surf berikutnya bertemu yang akan terjadi turbulensi kuat. Davis dan FitzGerald (2004)
membagi gelombang penyebab arus menjadi 3 yaitu longshore current, rip current, dan undertow
current. Rip current dan undertow memiliki arah arus yang sama yaitu arah balik ke laut. Kedua
arus ini dibedakan dari posisi arus yaitu rip current terletak secara sporadis sedangkan undertow
terletak di semua titik sepanjang pantai tepat di bawah muka air laut rerata. Pada penelitian ini, arus
balik yang teridentifikasi termasuk dalam rip current.
Penelitian dilakukan di Pantai Depok, Kretek, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta dengan
koordinat (49M) 0421692 – 9114168 (lihat gambar 1), pada bulan September - November 2013.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengamatan lapangan terhadap
parameter gelombang yang mencakup proses pembentukan gelombang (plunging), gelombang
pecah (surging), dan arus balik (rip current). Hasil pengamatan pola gelombang tersebut dilengkapi
dengan pengukuran kecepatan arus sapuan (swash), arus surut (backwash), dan kecepatan angin
sesaat, dengan menggunakan alat currentmeter digital.
Tatanan Geologi
Morfologi dataran pantai secara umum terdiri atas teluk-teluk, berm, berm crest, dan beach scarp.
Kemiringan dataran pesisir (berm) berkisar 13-15o (Hendratno, 2000), sedangkan lereng teluk di
299
GD03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
depan beach scarp berkisar antara 20-30o. Jarak antara garis pantai dengan berm pertama adalah 3-
5 m. Menurut Davis dan FitzGerald (2004), pesisir selatan Pulau Jawa bagian tengah tergolong
dalam dissipative beach dengan kelerengan yang landai dan dicirikan oleh sand bar/spit.
Litologi penyusun daerah pesisir di Pantai Depok, Bantul didominasi endapan lepas berukuran
pasir sedang dan bersortasi baik (Surjono, 2001). Endapan lepas tersebut tersusun oleh litik
volkanik (andesit dan batupasir tufaan) (Hendratno, 2000) dan mineral utama terdiri atas mineral
magnetit dan ilmenit sebanyak 88-89% volume dengan campuran mineral hematit berkisar 0-2%
volume dan material pengotor lain, 5-12% volume (Alwi, 1999 dalam Surjono, 2001). Berat jenis
mineral magnetit 5.2 dan ilmenit 4.7 (Bonewitz, 2008).
Hasil Penelitian
Gelombang mempunyai pola arah datang menyudut terhadap garis pantai secara umum.
Gelombang pecah dan menghasilkan arus yang menyapu dataran pesisir antara garis pantai dan
berm paling depan, dengan jarak 3-5 m. Arus sisa gelombang pecah ini terakumulasi dalam teluk-
teluk pada pesisir yang berukuran panjang 50-100 m dan lebar 20-30 m. Arus ini mempunyai
kecepatan berkisar 1-2 m/dt, sedangkan arus balik mempunyai kisaran kecepatan 1.5-2.7 m/dt (lihat
tabel 1). Kecepatan angin sesaat di lokasi pengukuran berkisar antara 2.1-5 m/dt.
Pembahasan
Letak pesisir di Pantai Depok, Bantul, DIY, yang berada di selatan garis katulistiwa dan
berhadapan langsung dengan Samudra Hindia menyebabkan gelombang mempunyai pola arah
datang menyudut terhadap garis pantai. Hal ini juga dipengaruhi oleh datangnya angin dan
gelombang dominan sesuai musim yang berlangsung (Triatmodjo, 1999; Surjono, 2001; Freski &
Darmadi, 2012). Kecepatan angin sesaat di lokasi pengukuran berkisar antara 2.1-5 m/dt. Pada
bulan Agustus-September, kecepatan angin berkisar antara 3.33-10.094 m/dt dengan arah yang
berubah secara gradual dari N316oE – N340oE (Surjono, 2001).
Penelitian ini dilakukan pada bulan September-November yang bersamaan dengan pergantian
angin muson dari timur menjadi dari barat. Implikasi dari arah perubahan arah datang angin ini
terwujud pada arah datang gelombang yang menghantam bibir pantai. Posisi bibir pantai di lokasi
penelitian menghadap ke arah laut, Selatan-Baratdaya (SSW), atau mempunyai arah kelurusan
relatif Baratlaut-Barat (NWW) dan Tenggara-Timur (SEE) (lihat gambar 1).
Angin membangkitkan gelombang (plunging) di Samudra Hindia dengan ketinggian dominan
1-2 m (US Army, PT. Puser Bumi, 1993, dalam Triatmodjo, 1999). Gelombang tersebut pecah
(surging) ketika capaian gelombang ke dalam tubuh air terganggu oleh kedalaman air laut yang
semakin dangkal ke arah tepi (Komar, 1976; Triatmodjo, 1999; Freski & Darmadi, 2012). Energi
gelombang akan terdistribusi secara lateral mengikuti posisi dan bentuk daratan paling depan
seperti berm pantai yang menjorok ke arah laut (Davis dan FitzGerald, 2004).
Menurut Kurva Hjulstrøm (Sunborg, 1956 dalam Seibold & Berger, 1996), arus sisa
gelombang pecah (surf) dengan kecepatan berkisar 1-2 m/dt mempunyai daya angkut sedimen lebih
kecil dari pada arus balik yang berkecepatan 1.5-2.7 m/dt (lihat gambar 2 dan 3). Hal ini
disebabkan oleh perubahan kecepatan yang menurun pada arus sisa gelombang pecah akibat
morfologi pesisir yang curam. Kecepatan arus mencapai nilai 0 m/s ketika sesaat sebelum arah arus
berubah kembali ke arah laut menjadi arus balik. Arus balik digerakkan oleh gaya berat tubuh air di
atas lereng curam pesisir. Dimensi teluk yang sempit sebagai tempat akumulasi arus menjadi
pendukung utama turbulensi arus balik. Arus akan terakumulasi pada tekuk dalam teluk yang
berasal dari sayap teluk (lihat gambar 4). Titik-titik tempat terbentuknya pusat teluk bersifat
sporadis dan tidak dapat ditentukan dengan pasti.
Daya angkut sedimen pada musim kemarau (April-Oktober) mencapai 480000 m3/tahun
sedangkan pada musim penghujan (November-Maret) mencapai 405000 m3/tahun (Surjono, 2001).
Angka ini tidak menunjukkan daya angkut sedimen pada saat transisi musim seperti menurut
pembagian arah angin muson: timur, transisi 1, barat, transisi 2 (Wiratmo, 2013 komunikasi
personal). Pada saat transisi muson timur ke barat, arah datang gelombang tidak menyudut terhadap
garis pantai secara umum melainkan tegak lurus (Triatmodjo, 1999).
300
GD03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Periode pembentukan gelombang berkisar 10-15 detik. Dari data volumetrik sedimen yang
hanyut akibat proses erosional (Surjono, 2001), dapat dihitung kecepatan erosi pada satu kali
hempasan arus. Pada musim kemarau (April-Oktober), volume sedimen yang hanyut minimum
adalah 0.396 m3/periode gelombang sedangkan pada musim penghujan (November-Maret), terjadi
erosi dengan volume 0.469 m3/periode gelombang.
Kesimpulan
Gelombang penyebab abrasi pesisir di Pantai Depok berlangsung secara sporadis baik waktu
maupun titik pembentukannya. Aktivitas gelombang tersebut menghasilkan pesisir dengan bentuk
teluk secara lokal. Gelombang dan arus mengerosi berm yang berjarak 3-5 meter dari garis pantai.
Energi gelombang terkonsentrasi di dalam teluk-teluk tersebut dengan kecepatan bervariasi antara
1- 2.7 m/s dan membentuk turbulensi arus yang menguatkan daya abrasi. Arus balik (rip current)
membawa sedimen pasir ke arah laut dengan kapasitas dan kompetensi relatif besar.
Ucapan Terimakasih
Terimakasih diucapkan untuk Dr. Wahyu Wilopo (Teknik Geologi UGM) yang telah memberikan
fasilitas peralatan pengukuran; Jurusan Teknik Geologi UGM yang telah memberikan bantuan
finansial dan tempat belajar.
Referensi
[1] BONEWITZ, R. L. Rocks and Minerals, the Definitive Visual Guide. 2nd Ed., Dorling
Kindersley Limited, Great Britain, 2008.
[2] DAVIS, R. A. DAN FITZGERALD, D. M. Beaches and Coasts. Blackwell Science Ltd,
MA, USA, 2004.
[3] FRESKI, Y. R. DAN DARMADI, “Analisis pembelokan aliran Sungai Opak saat bermuara
di Samudra Hindia”, dalam 41st IAGI Annual Convention & Exhibition Proceeding. pp.
355-360, 2012.
[4] HENDRATNO, A. Kondisi Geologi Untuk Pengembangan Lingkungan Fisik Wilayah
Pesisir Selatan Yogyakarta Antara Muara Sungai Opak dan Girijati. Thesis (M.T.),
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2000.
[5] KOMAR, P. D., Beach Processes and Sedimentation. Prentice Hall, New Jersey. 1999.
[6] SEIBOLD, E. DAN BERGER, W.H. The Sea Floor, An Introduction to Marine Geology, 3rd
Ed. Springer, New York. 1996.
[7] SURJONO, SUGENG S. Geodinamika Muara Sungai Serang dan Bogowonto Kabupaten
Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta Sebagai Pertimbangan Rencana
Pengembangan Wilayah. Thesis (M.T.) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 2001.
[8] TRIATMODJO, B. Teknik Pantai. Beta Offset, Yogyakarta 1999.
301
GD03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
302
GD03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 1. Peta lokasi penelitian dan kelurusan garis Pantai Depok. Arah kelurusan NWW-
SEE.
303
GD03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 2. Hubungan kecepatan arus dan ukuran butir yang dilibatkan menurut Hjulstrøm,
ditunjukkan oleh kotak daerah abu-abu. Ukuran butir pasir sedang (MS) akan tererosi dan terbawa
arus dengan kecepatan 1-2,7 m/dt.
Gambar 3. Hubungan kecepatan arus swash dan backwash, dalam m/dt. Kecepatan arus swash
tidak akan lebih tinggi dari pada kecepatan arus backwash dengan ditunjukkan hasil plot terletak di
atas garis batas rasio.
304
GD03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 4. Kronologi mekanisme abrasi pesisir di Pantai Depok, dengan arah datang gelombang
tegak lurus dengan garis pantai secara umum pada masa transisi angin muson timur-barat.
305
GD04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Abstrak
Wilayah pesisir selatan Pulau Jawa bagian tengah merupakan daerah prospek pengembangan
wilayah yang mempunyai permasalahan di beberapa muara sungai besar. Morfologi muara sungai
seperti spit, menjadi sangat dinamik. Oleh karena itu, perlu penelitian mekanisme pembentukan
spit terkait morfodinamika pesisir. Kajian ini bertujuan untuk pemantauan dan prediksi dinamika
dari waktu ke waktu. Metode penelitian yang dilakukan adalah pengamatan citra satelit IKONOS
dan Quickbird dengan penanggalan berkala (multi-temporal). Analisis citra diikuti kajian lapangan.
Analisis dilengkapi dengan data granulometri, angin, gelombang, dan debit sungai sebagai data
sekunder. Spit terbentuk secara efektif pada tatanan morfologi dataran pantai berlitologi endapan
pasir lepas dengan ukuran butir halus-sedang. Dinamika ini didukung oleh proses wash-over
dengan panjang ke arah sungai (tegak lurus pantai) 50-100 m dan lebar searah pantai 50-150 m.
Proses wash-over meningkat pada musim kemarau dengan proses asal laut lebih kuat daripada
proses asal sungai. Dinamika pembentukan spit di pesisir selatan Pulau Jawa dipengaruhi oleh
musim dan arah angin muson. Pada saat terjadi muson timur dan musim kemarau, pembentukan
spit aktif tumbuh ke arah barat. Pada saat terjadi muson barat dan musim penghujan, pembentukan
spit aktif tumbuh ke arah timur. Kecepatan pembentukan spit pada muara sungai merupakan sebuah
hasil dari rangkaian dinamika faktor-faktor yang saling berkaitan dan berkesinambungan sepanjang
waktu.
Pendahuluan
Wilayah pesisir selatan Pulau Jawa bagian tengah yang meliputi Kabupaten Bantul, Provinsi DIY
hingga Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah, merupakan daerah prospek pengembangan
wilayah. Aspek geologi yang terlihat jelas berpengaruh adalah morfologi dataran landai yang
melampar hingga ke bagian tengah Pulau Jawa. Pada beberapa tempat terdapat deretan pegunungan
resisten seperti Pegunungan Kulon Progo, Karangbolong, dan Nusa Kambangan. Pengembangan
wilayah ini mempunyai permasalahan di beberapa muara sungai besar sebagai contoh Sungai
Opak. Morfologi muara sungai seperti spit, menjadi sangat dinamik. Oleh karena itu, perlu
penelitian mekanisme pembentukan spit terkait morfodinamika pesisir.
Penelitian dilakukan di muara Sungai Opak yang terletak di sebelah barat Pantai Depok,
Kretek, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta dengan koordinat (49M) 0421221 – 9114331
(gambar 1), pada bulan Oktober - November 2013. Metode penelitian yang dilakukan adalah
pengamatan citra satelit IKONOS dan Quickbird dengan penanggalan berkala (multi-temporal).
Citra ini dapat diakses melalui software GoogleEarth. Analisis citra diikuti kajian lapangan di
sebelah timur estuari Sungai Opak sebagai ground-check, untuk mengetahui bukti-bukti lapangan
yang lebih detail. Analisis dilengkapi dengan data granulometri, angin, gelombang, dan debit
sungai sebagai data sekunder.
306
GD04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Menurut Allen dan Chambers (1998), proses pembentukan spit atau barrier dikontrol oleh
mekanisme limpahan air laut (washover/overwash) yang melewati gumuk tertinggi pada spit
tersebut. Washover hanya terjadi pada saat terjadi gelombang badai atau pasang tinggi. Proses ini
mengendapkan sedimen yang diangkut dari abrasi depan spit ke bagian belakangnya (ke arah
laguna). Jenis perkembangan pantai yang dibentuk oleh proses washover adalah pantai
retrogradational (Davis dan FitzGerald, 2004).
Freski dan Darmadi (2012) menyebutkan faktor-faktor yang berpengaruh pada pembentukan
spit di muara Sungai Opak secara umum meliputi:
• Arah dan intensitas angin
• Gelombang dan arus sepanjang pantai (longshore current)
• Sedimentasi Sungai Opak
• Litologi daerah muara sungai
• Tatanan neotektonik
• Geomorfologi muara sungai
Tatanan Geologi
Satuan morfologi daerah muara Sungai Opak secara umum terdiri atas satuan spit, satuan perairan
estuari, satuan dataran banjir, dan satuan gumuk pasir purba (Freski dan Srijono, 2012) (gambar 2).
Kemiringan dataran pesisir (berm) berkisar 13-15o (Hendratno, 2000). Panjang spit mencapai 1.7
km dengan arah kelurusan mengikuti kelurusan garis pantai di Kabupaten Bantul yaitu arah NWW
– SEE.
Posisi inlet (pintu muara) berubah-ubah setiap musim (Triatmodjo, 1999; Davis dan
FitzGerald. 2004; Surjono, 2001). Pada bulan Oktober – November 2013, posisi inlet berada di
ujung perairan estuari bagian timur, tepat berbatasan dengan Pantai Depok.
Litologi di daerah pantai-pantai Bantul didominasi endapan lepas berukuran pasir sedang dan
bersortasi baik yang tersusun oleh litik volkanik (andesit dan batupasir tufaan) (Hendratno, 2000)
dan mineral utama terdiri atas mineral magnetit dan ilmenit sebanyak 88-89% volume dengan
campuran mineral hematit berkisar 0-2% volume dan material pengotor lain, 5-12% volume (Alwi,
1999 dalam Surjono, 2001).
Hasil Penelitian
Dari citra IKONOS dan Quickbird yang diakses melalui GoogleEarth, didapat pola-pola
pertumbuhan spit yang dikontrol oleh sedimen washover yang berbentuk kipas di belakang spit.
Citra yang digunakan direkam pada tanggal 7 Maret 2010, 22 April 2010, dan 21 Agustus 2012.
Dari pengamatan lapangan tanggal 2 Oktober 2013 dan 6 November 2013, dimensi sedimen
washover mencapai panjang tegak lurus pantai 50-100 m dan lebar searah pantai 50-150 m (gambar
3). Sedimen washover terbesar terbentuk di bagian ujung timur dari spit.
Pembahasan
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pembentukan spit dapat dikelompokkan menjadi faktor aktif
dan faktor pasif. Faktor aktif meliputi arah dan intesitas angin, gelombang dan arus sepanjang
pantai (longshore current), proses washover dan kecepatan sedimentasi Sungai Opak. Faktor pasif
meliputi litologi dan geomorfologi daerah muara sungai. Hasil analisis citra menunjukkan adanya
perubahan bentuk spit yang dinamis dalam skala musim. Pergerakan faktor-faktor aktif tersebut
berkorelasi dengan pergantian musim.
Citra IKONOS dan Quickbird menunjukkan perubahan bentuk muara dan spit dari waktu ke
waktu. Pada bulan Maret, April, dan Agustus (musim transisi penghujan-kemarau), pembentukan
sedimen washover mencapai dimensi panjang 20-50 m dan lebar 30-70 m. Dimensi ini lebih kecil
daripada data pengukuran lapangan pada bulan Oktober (musim penghujan) (gambar 4B dan 5A).
Dalam pengamatan citra yang dilakukan, kenampakan spit menunjukkan persebaran ukuran
butir sedimen. Freski dan Darmadi (2012) menyebutkan sedimen yang berukuran butir kasar dan
berwarna abu-abu cerah, melampar di bagian belakang spit (berbatasan dengan laguna) sedangkan
307
GD04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
sedimen yang berukuran butir halus dan berwarna abu-abu gelap, melampar di bagian depan spit
(berbatasan dengan laut). Bagian spit yang berwarna abu-abu gelap disusun oleh mineral-mineral
mafik seperti magnetit dan ilmenit sedangkan bagian yang berwarna abu-abu muda tersusun oleh
material sedimen berupa litik andesit dengan beberapa butir mempunyai senyawa karbonat. Litik
andesit berukuran kerikil hingga kerakal. Material berukuran kasar ini berada di bagian ujung lidah
setiap sedimen washover (gambar 6). Mekanisme transportasi sedimen kasar ini diawali dengan
melewati bagian tertinggi tubuh spit dengan energi dari arus laut. Pada tahap selanjutnya, energi
yang membawa butiran berukuran kasar didominasi oleh gaya berat gravitasional (gambar 7).
Pengamatan lapangan pada tanggal 2 Oktober 2013 dan 6 November 2013 merekam
perkembangan detail dengan interval mendekati 1 bulan. Pada tanggal 2 Oktober 2013, tercatat
telah terbentuk sedimen washover dengan dimensi terbesar di ujung timur. Elevasi spit rata-rata
tercatat adalah 3-4 m (Bakosurtanal, 1995). Proses washover dapat mengerosi secara intensif
sehingga mampu menurunkan elevasi spit menjadi lebih rendah. Titik ini menjadi bagian terlemah
dari spit yang mampu diterobos oleh arus dari sungai (Davis dan FitzGerald, 2004).
Kesimpulan
Spit terbentuk secara efektif pada tatanan morfologi dataran pantai berlitologi endapan pasir lepas
dengan ukuran butir halus-sedang. Dinamika ini didukung oleh proses washover dengan panjang ke
arah sungai (tegak lurus pantai) 50-100 m dan lebar searah pantai 50-150 m. Proses washover
meningkat pada musim kemarau dengan proses asal laut lebih kuat daripada proses asal sungai.
Dinamika pembentukan spit di pesisir selatan Pulau Jawa dipengaruhi oleh musim dan arah angin
muson. Pada saat terjadi muson timur dan musim kemarau, pembentukan spit aktif tumbuh ke arah
barat. Pada saat terjadi muson barat dan musim penghujan, pembentukan spit aktif tumbuh ke arah
timur. Kecepatan pembentukan spit pada muara sungai merupakan sebuah hasil dari rangkaian
dinamika faktor-faktor yang saling berkaitan dan berkesinambungan sepanjang waktu.
Ucapan Terimakasih
Terimakasih diucapkan untuk Jurusan Teknik Geologi UGM yang telah memberikan bantuan
finansial dan tempat belajar.
Referensi
[1] ALLEN, G.P. DAN CHAMBERS, J.L.C, Sedimentation in the Modern and Miocene
Mahakam Delta. Indonesian Petroleum Association Symposium, 1998.
[2] BAKOSURTANAL, Peta Rupabumi Digital Lembar 1407-543 Dringo. Bogor: Badan
Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, 1995.
[3] DAVIS, R.A. JR. DAN FITZGERALD, D.M. Beaches and Coasts, Blackwell Publishing,
USA, 2004.
[4] FRESKI, Y. R. DAN DARMADI, “Analisis pembelokan aliran Sungai Opak saat bermuara
di Samudra Hindia”, dalam 41st IAGI Annual Convention & Exhibition Proceeding. pp.
355-360, 2012.
[5] FRESKI, Y. R. DAN SRIJONO, “Pengembangan kawasan hutan bakau dalam perspektif
morfodinamika muara Sungai Opak Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”, dalam 41st IAGI
Annual Convention & Exhibition Proceeding. pp. 319-321, 2012.
[6] HENDRATNO, A. Kondisi Geologi Untuk Pengembangan Lingkungan Fisik Wilayah
Pesisir Selatan Yogyakarta Antara Muara Sungai Opak dan Girijati. Thesis (M.T.),
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2000.
[7] SURJONO, SUGENG S. Geodinamika Muara Sungai Serang dan Bogowonto Kabupaten
Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta Sebagai Pertimbangan Rencana
Pengembangan Wilayah. Thesis (M.T.) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 2001.
[8] TRIATMODJO, B. Teknik Pantai. Beta Offset, Yogyakarta 1999.
308
GD04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 1. Lokasi pengamatan lapangan di daerah muara Sungai Opak (citra IKONOS dan
Quickbird pada GoogleEarth, tertanggal 21 Agustus 2012)
309
GD04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 2. Satuan geomorfologi daerah muara Sungai Opak. Penarikan batas-batas satuan
didasarkan pada analisis citra IKONOS dan Quickbird pada GoogleEarth.
Gambar 3. Dimensi sedimen washover. Pengukuran ini didasarkan pada pengamatan lapangan.
310
GD04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 4. Perkembangan satuan spit Sungai Opak yang didasarkan pada analisis citra IKONOS
dan Quickbird pada GoogleEarth.
311
GD04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 5. Perkembangan satuan spit Sungai Opak yang didasarkan pada pengamatan lapangan.
312
GD04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 6. Persebaran ukuran butir dan jenis material sedimen berdasarkan analisis rona citra. Dari
analisis citra (A) didapat delineasi (B) meliputi (a) zona basah laut; (b) berm scarp; (c) sedimen
dengan dominasi mineral magnetit dan ilmenit berukuran pasir halus-sedang; (d) sedimen dengan
dominasi litik andesit berukuran pasir kasar-kerakal.
313
GD05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Abstrak
Pulau Sumatera dan Pulau Jawa merupakan tempat yang sering mengalami goncangan gempabumi.
Karakteristik gempabumi di kedua pulau mempunyai perbedaan yang cukup signifikan. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis karakteristik gempabumi di Sumatera dan Jawa dalam periode tahun
1950 – 2013 meliputi posisi episentrum dan magnituder; membandingkan karakteristik masing-masing
gempabumi di kedua pulau tersebut.; serta menginterpretasi penyebab perbedaan karakteristik
gempabumi di kedua pulau. Penelitian menggunakan data gempabumi yang terjadi di Pulau Sumatera
dan Pulau Jawa yang bersumber pada data gempabumi USGS tahun 1950 - 2013.
Dari analisis data diperoleh hasil bahwa gempabumi di Sumatera rata-rata memiliki magnitude yang
lebih besar dibandingkan dengan gempabumi di Jawa. Kedalaman pusat gempabumi di Sumatera lebih
dangkal dibandingkan dengan di Jawa. Perbedaan karakteristik gempabumi di Sumatera dan Jawa ini
diperkirakan disebabkan karena adanya perbedaan sudut pertemuan antar lempeng di barat Sumatera
yang relatif serong, dibandingkan di selatan Jawa yang relatif tegak lurus.
PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara kepulauan dengan luas sekitar 1,92 juta km2, secara geologis
merupakan pertemuan 3 lempeng besar dunia, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng India-
Australia, dan Lempeng Pasifik. Ketiga lempeng tersebut saling bergerak dan berinteraksi
menjadikan wilayah Indonesia secara geologi sangat kompleks. Kondisi ini menyebabkan
beberapa wilayah Indonesia sering mengalami bencana alam berupa gempabumi, tsunami,
gerakan massa tanah dan batuan, letusan gunungapi, dan dinamika geologi destruktif lainnya.
Diantara bencana alam di atas, kejadian gempabumi hingga saat ini masih merupakan misteri,
terutama terkait dengan prediksi kapan, dimana, dan seberapa besar gempabumi akan terjadi.
Pulau Sumatera dan Pulau Jawa merupakan tempat yang sering mengalami goncangan
gempabumi. Karakteristik gempabumi di kedua pulau mempunyai perbedaan yang cukup
signifikan. Perbedaan itu perlu dianalasis dengan baik sehingga didapatkan pemahaman yang
lebih baik tentang karakteristik gempabumi di kedua pulau tersebut.
314
GD05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah:
• Menganalisis karakteristik gempabumi di Sumatera dan Jawa dalam periode tahun 1950 –
2013 meliputi posisi episentrum dan magnitude
• Membandingkan karakteristik masing-masing gempabumi di kedua pulau tersebut.
• Menginterpretasi penyebab perbedaan karakteristik gempabumi di kedua pulau.
BATASAN PENELITIAN
Penelitian menggunakan data gempabumi yang terjadi di Pulau Sumatera dan Pulau Jawa yang
bersumber pada data gempabumi USGS tahun 1950 - 2013. Karakteristik gempabumi yang
dianalisis berupa posisi episentrum (letak dan kedalaman pusat gempa) dan magnitude
gempabumi. Hal ini terkait dengan jenis data yang dapat diunduh dari USGS.
DASAR TEORI
Gempabumi adalah suatu gejala fisik yang ditandai dengan bergetarnya bumi dengan berbagai
intensitas (Boen, 1984). Gempabumi ialah sentakan asli dari bumi, bersumber di dalam bumi
dan yang merambat melalui permukaan dan menembus bumi (Katili & Marks, 1963).
Pembagian gempabumi dalam jenis – jenis tertentu tergantung pada kriteria pembagian,
meliputi:
1. Berdasarkan penyebab:
a. Gempabumi vulkanik yaitu gempabumi yang disebabkan oleh pergerakan magma di
dalam kantong magma dan ledakan gunungapi (terjadi sebelum, selama atau setelah
ledakan gunungapi).
b. Gempabumi tektonik, disebabkan oleh pelepasan tenaga yang terjadi karena pergeseran
lempeng tektonik.
c. Gempabumi runtuhan, terjadi di daerah – daerah dimana terdapat runtuhan dalam tanah
misalnya di daerah pertambangan (Katili & Marks, 1963)
d. Gempabumi induksi terjadi sebagai akibat adanya suatu perubahan situasi dari suatu
keadaan kering ke keadaan basah, di sini juga berperan gaya pembebanan. Gempabumi
induksi ini dapat berkekuatan 4-5 pada Skala Richter (Rachmat, 2004)
315
GD05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
3. Berdasarkan dalamnya fokus (jarak antara episentum dan hiposentrum) (Katili & Marks,
1963)
a. Gempabumi dangkal, dalamnya fokus kurang lebih 70 km
b. Gempabumi intermediet, dalamnya fokus 70 – 300 km
c. Gempabumi dalam, dalamnya fokus 300 – 700 km
HASIL PENELITIAN
Data penelitian diperoleh dari database gempabumi USGS dari tahun 1950 – 2013 pada
koordinat 91o BT – 115o BT, dan 2o LU – 14o LS, diperoleh sejumlah 3.556 data gempa di
Pulau Jawa serta 13.443 data gempa di Pulau Sumatera. Data gempabumi tersebut meliputi
waktu kejadian gempa, koordinat geografis pusat gempa, magnitudo gempa, dan kedalaman
gempa. Grafik data gempa berdasarkan tahun terhadap jumlah gempa, Magnitudo, dan
Kedalaman Pusat Gempa dapat dilihat pada Gambar 1, Gambar 2, dan Gambar 3.
Gempabumi di Pulau Sumatera lebih sering terjadi dibandingkan dengan di Pulau Jawa. Dari
data yang terhimpun, diketahui bahwa selama tahun 1950 – 2013, di Pulau Sumatera telah
terjadi 13.443 kejadian gempabumi, sementara di Pulau Jawa dalam kurun waktu yang sama
hanya terjadi 3.556 kejadian gempabumi. Ini berarti bahwa rasio gempabumi di Sumatera
dibanding di Jawa adalah 3,78 : 1.
Berdasarkan magnitudo gempa yang terjadi, diketahui bahwa rata-rata di Sumatera sebesar
4,58 Skala Richter (SR), sedangkan gempa di Jawa rata-rata 4,65 SR. Namun kalau melihat
distribusi magnitudo gempa, di Sumatera memiliki gempa dengan magnitudo yang lebih besar
dibanding di Jawa, seperti terlihat pada Gambar 2. Di Sumatera terdapat 28 kejadian
gempabumi dengan magnitudo 7 SR atau lebih, dengan magnitudo terbesar adalah 9,1.
Sementara itu di Jawa terdapat 10 kejadian gempabumi dengan magnitudo 7 SR atau lebih,
dengan magnitudo terbesar adalah 7,8 SR.
316
GD05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gempabumi di Jawa
Gempabumi di
Gambar 1. Grafik jumlah kejadian gempabumi di Jawa dan Sumatera sejak tahun 1950 – 2013.
GD05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
JAWA
SUMATERA
Gambar 2. Grafik Magnitudo gempabumi di Jawa dan Sumatera sejak tahun 1950 – 2013.
GD05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gempabumi di Jawa
Gempabumi di Sumatera
Gambar 3. Grafik distribusi kedalaman pusat gempa terhadap tahun kejadian gempa di Jawa dan di Sumatera antara tahun 1950 –
2013.
GD05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Dilihat dari kedalaman pusat gempa, gempa di Jawa mempunyai pusat gempa yang relative
lebih bervariasi dibandingkan dengan gempa di Sumatera. Di Jawa terdapat 138 kejadian
gempa dalam (dengan hiposentrum > 300 km) atau sebesar 3,9 % dari seluruh gempa,
sejumlah 770 kejadian gempa menengah (dengan hiposentrum 70 – 300 km) atau 21,7 %, serta
sejumlah 2648 kejadian gempa dangkal (dengan hiposentrum < 30 km) atau 74,4 % dari
seluruh gempa di Jawa. Sementara itu di Sumatera gempa dalam terjadi sebanyak 10 kali atau
sebesar 0,07 %, gempa menengah sebanyak 1344 kali atau sebesar 10 %, sedangkan gempa
dangkal terjadi sebanyak 89,93 % dari seluruh kejadian gempa di Sumatera. Dari data tersebut
terlihat bahwa gempa di Sumatera didominasi oleh gempa dangkal.
Di wilayah Sumatera dan Jawa terdapat 4 dari 9 wilayah yang berpotensi terjadi gempa besar
di wilayah Indonesia yang dikenal sebagai daerah seismic Gap pada megathrust/backthrust,
seperti terlihat pada Gambar 4 (Natawidjaja, 2012). Seismic gap adalah zona patahan yang
diketahui keaktifannya (dapat mengeluarkan gempa) tapi sudah lama tidak terjadi gempa di
lokasi tersebut. Artinya, ada kemungkinan segmen gempa tersebut sudah mengakumulasi
energi gempa yang besar.
Selain gempa-gempa yang berasosiasi dengan subduksi, di Sumatera terdapat patahan besar
Semangko yang juga berpotensi sebagai pusat-pusat gempa (Gambar 5). Gempa pada sesar ini
biasanya merupakan gempa dangkal, sehingga meskipun dengan magnitudo yang relatif kecil
namun dapat menimbulkan dampak yang besar.
GD05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 4. Peta Keberadaan Seismic Gap pada megathrust/backthrust di Indonesia yang berpotensi sebagai tempat terjadinya gempa
besar (Sumber : Natawidjaja, 2012).
GD05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 5. Tatanan tektonik wilayah Pulau Sumatera-Samudera Hindia. Terlihat bahwa selain zona penunjaman, terdapat juga sesar
Sumatera yang dapat menjadi pusat gempa.
GD05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gempa di Jawa banyak berasosiasi dengan penunjaman Lempeng Hindia Australia di selatan
Pulau Jawa. Zona subduksi ini secara kasat mata nampak sebagai palung Jawa yang
memanjang dari barat ke timur dan di sebelah utaranya terdapat pegunungan memanjang
bawah laut yang dikenal sebagai busur luar. Subduksi Jawa memiliki umur cukup tua yakni
lebih dari 150 juta tahun sehingga sempat dianggap bersifat aseismik atau tidak menghasilkan
gempa. Namun peristiwa gempa Pancer (Banyuwangi) 1994 dan Pangandaran 2006 (keduanya
sama-sama memiliki magnitud momen 7,8) menunjukkan subduksi ini tetap harus
diperhitungkan sebagai sumber potensial gempa besar. Diantara kedua wilayah tersebut
terdapat seismic gap meliputi kawasan sepanjang +/- 400 km (Gambar 6). Kawasan ini
merupakan area yang sedang menimbun energi seismik secara terus-menerus karena belum
mengalami pematahan. Selain berasosiasi dengan zona penunjaman, di Pulau Jawa terdapat
juga sesar-sesar aktif yang dapat menjadi pusat gempa, seperti yang terjadi pada gempa
Yogyakarta tahun 2006. Gempa-gempa ini merupakan gempa dangkal, sehingga dapat
berdampak besar, terutama karena penduduk di Pulau Jawa cukup banyak, dengan kepadatan
penduduk yang tinggi.
Terkait dengan gempa yang diikuti dengan Tsunami, terdapat fenomena yang menarik untuk
didiskusikan, dengan membandingkan tsunami Aceh tahun 2004 dengan Tsunami
Pangandaran tahun 2006. Gempa yang menyebabkan Tsunami Pangandaran memiliki
kekuatan 126 kali lebih lemah dibandingkan dengan kekuatan Gempa Aceh. Namun demikian
kekuatan Tsunami Pangandaran hampir setengah dari kekuatan Tsunami Aceh. Hal ini terlihat
dari tinggi Tsunami Pangandaran sebesar 21 m (Anonim, 2011), sedangkan Tsunami Aceh
setinggi 30 m (Satyayana, 2006). Kemungkinan besar Tsunami Pangandaran disebabkan
karena gempa tsunami (Tsunami Earthquake). Kenyataan ini menimbulkan interpretasi dari
Penulis bahwa lapisan lempeng di Jawa relatif lebih elastis dibandingkan dengan lempeng di
Sumatera yang lebih brittle. Penyebabnya karena di Sumatera merupakan Lempeng Benua,
sementara di Jawa kemungkinan merupakan lempeng Samudera.
GD05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 6. Peta kegempaan Jawa hingga 2007. Nampak dua lokasi dimana episentrum gempa-gempanya sangat rapat, yakni
Pangandaran (2006) dan Pancer (1994). Di antara keduanya membentang seismic gap sepanjang 400 km (Sumber :
http://regional.kompasiana.com).
GD05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
KESIMPULAN
Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari penelitian ini adalah :
1. Gempa di Sumatera lebih sering terjadi dibandingkan dengan di Jawa dengan rasio
sekitar 4 : 1.
2. Magnitudo rata-rata gempa di Jawa sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan di
Sumatera, namun magnitudo gempa terbesar terjadi di Sumatera.
3. Kedalaman pusat gempa di Jawa lebih bervariasi antara gempa dangkal, gempa
menengah, dan gempa dangkal, sedangkan di Sumatera hampir 90 % merupakan gempa
dangkal, dan hampir tidak pernah terjadi gempa dalam.
4. Perbedaan karakteristik kegempaan di Sumatera dengan di Jawa terjadi karena
perbedaan sudut pertemuan dengan lempeng Samudera Hindia Australia, dimana di
Sumatera membentuk sudut sekitar 50o, sedang di Jawa relatif tegak lurus.
5. Diperkirakan terdapat perbedaan komposisi penyusun lempeng. Di bawah Sumatera
merupakan lempeng benua yang brittle, sedangkan di Jawa merupakan lempeng
Samudera yang lebih plastis.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2011, Gempa Cilacap dan Bayang-Bayang Samudera Hindia,
http://regional.kompasiana.com, 15 April 2011.
Boen, T., 1984, Dasar-Dasat Perencanaan Bangunan Tahan Gempa, Yayasan LPMB,
Bandung.
Katili, J.A. dan Marks, 1963, Geologi, Departemen Urusan Research Nasional Djakarta,
Kilatmadju, Bandung.
Natawidjaja, D. H., 2012, Beberapa Patahan Aktif yang berpotensi Gempa Besar,
http://www.politikindonesia.com.
Rachmat, H., 2004, Potensi dan Mitigasi Bencana Geologi di Nusa Tenggara Barat, Ikatan
Ahli Geologi Indonesia, Pengurus Daerah Nusa Tenggara, tidak dipublikasikan.
Satyayana, A.H., 2006, Gempa dan Tsunami Aceh 26 Desember 2004: Setelah Dua Tahun
Berselang, www.mail-archive.com/iagi-net@iagi.or.id
GD06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Abstract
Research are is at Cilacap coast line area, it’s a part of southern coast of Java Island at Cilacap Regency,
Central Java Province. Some ancient coast line lineament behind the modern coast line could be observed
from topographic and satellite image observation. How the coast lines progress formed before the modern
coast line is the question to be answered. This research is the preliminary effort to determine the direction
of coast line development and the amount of coast lines which have formed before the modern coast line.
This ancient coast lines evolution research is done by two stages of work that is studio work and field
work. Studio work was done by observation and interpretation of topographic map, land use map, Google
Earth image and SRTM image. At this stage of work was made an ancient coast lineaments map and
geomorphic profiles of the research area. To the results of the interpretation which have been done then
taken a field work verification by ground check. Some stratigraphic sections have made from the hole and
test pit.
Interpretation to the coast lines of the research area has resulted 10 coast lines which had been formed
along Quarter Age. Ancient coast lines lineament of the research area is in line with the modern one which
have east-west lineament and prograde from the north to the southward. Coast line of the research area is
the upward coast line or emergence coast which was formed by seaward movement of the coast line. This
movement could be happened by uplifting of Java island or global sea level drop.
Kabupaten Cilacap terletak di bagian selatan Pulau Jawa yang termasuk wilayah propinsi
Jawa Tengan bagian barat. Garis pantai purba di daerah penelitian berarah barat timur searah
dengan garis pantai sekarang (modern coast line). Garis pantai sekarang merupakan hasil dari
perkembangan (evolusi) dari garis pantai purba yang sebelumnya pernah ada.
Daerah pantai merupakan suatu jalur saling mempengaruhi antara darat dan laut, yang
memiliki ciri geosfer yang khusus, kearah darat dibatasi oleh sifat fisik laut dan sosial ekonomi
bahari, sedangkan arah ke laut dibatasi oleh proses alami serta akibat kegiatan manusia terhadap
lingkungan di darat (BAKOSURTANAL, 1990, dalam Sutikno, 1999).
Daerah pantai adalah suatu area yang lebarnya bervariasi, yang mencakup tepi laut
(shore) yang meluas kearah daratan hingga batas pengaruh laut masih dapat dirasakan (Bird,
1969 dalam Sutikno, 1999).
Terdapat berbagai jenis klasifikasi pantai, salah satunya menurut Valentin, 1952 dalam
Sutikno, 1999, dasar klasifikasinya adalah perkembangan garis. Garis pantai dapat bergerak maju
atau bergerak mundur. Pantai maju dapat disebabkan oleh pengangkatan pantai atau progradasi
oleh deposisi, sedangkan pantai mundur disebabkan pantai tenggelam atau retrogradasi oleh
erosi.
327
GD06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
METODE PENELITIAN
Studi perkembangan garis pantai Cilacap ini dilakukan melalui dua tahapan, yakni tahap
pekerjaan studio dan pekerjaan lapangan. Pekerjaan studio dilakukan dengan melakukan
pengamatan terhadap peta topografi, peta tataguna lahan dan citra satelit daerah penelitian.
Analisa peta topografi dilakukan dengan mendelineasi kelurusan pola garis kontur yang
tampak. Analisa peta tataguna lahan memberikan gambaran pemanfaatan lahan di daerah
penelitian, Tata guna lahan di daerah penelitian dapat merupakan area pemukiman, infrastruktur
atau persawahan. Pada tahapan ini dilakukan pembuatan peta kelurusan garis pantai serta
pembuatan profil atau penampang morfologi daerah penelitian.
Terhadap hasil interpretasi yang telah dilakukan kemudian dilakukan observasi langsung
dilapangan dengan melakukan ground check yang bertujuan untuk melakukan verifikasi dan
validasi hasil interpretasi. Pekerjaan lapangan dilakukan untuk mengidentifikasi lingkungan
fisik, biologi dan sosial budaya untuk setiap unit tipologi pantai purba yang ada. Pada tahapm
pekerjaan lapangan juga dilakukan penggambaran profil stratigrafi dari data pemboran tangan
dan tes pitt.
328
GD06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Pada studi endapan pantai akan efisien bila didahului dengan interpretasi citra satelit dan
analisis peta geomorfologi, geologi, tata guna lahan (Sunarto, dkk., 2002). Kelurusan-kelurusan
di utara pantai masa kini tampak jelas di dalam citra Google Earth dan citra SRTM (Gambar 2 a
dan b). Deretan beberapa kelurusan barat-timur ini bejejer keutara. Pada citra Google Earth
kelurusan ini tampak jelas
Di daerah penelitian, endapan pasir pantai dan gumuk pasir menjadi tinggian yang
berkembang sebagai daerah pemukiman dan infrastruktur yang berarah barat-timur. Sedangkan
daerah rendahan dari tidal flat berkembang sebagai area persawahan. Satu deretan pemukiman
pada sebuah tinggian dan satu deretan persawahan pada rendahan dapat diinterpretasikan sebagai
satu sekuen pantai.
10
9
8
7
6
3
2
a. b.
1
Gambar 2. Kenampakan daerah penelitian dalam citra Google Earth (a) dan SRTM (b)
Kelurusan garis pantai dalam peta topografi (Gambar 3) masih dapat diikuti. Di bagian
selatan kelurusan ini tampak jelas,hal ini dikarenakan umur garis pantai ini masih relatif muda.
Sedangkan pada bagian utara daerah penelitian kelurusannya kurang teramati dengan jelas,
karena umurnya yang relatif tua sehingga telah mengalami proses erosi yang intensif.
Penampang geomorfologi daerah penelitian dari utara ke selatan disajikan pada Gambar
4, Gambar 5 dan Gambar 6. Pada Gambar 4, disajikan penampang morfologi daerah penelitian
bagian barat dari utara hingga selatan. Bagian barat daerah penelitian memiliki ketinggian dari 0
hingga 18 meteran dari permukaan air laut. Endapan gumuk pasir pantai purba masih
teridentifikasi dengan jelas pada bagian selatan hingga tengah penampang.
329
GD06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 4. Penampang morfologi utara selatan di bagian barat daerah penelitian (A-A’)
Pada Gambar 5, digambarkan morfologi daerah penelitian bagian tengah dari utara
hingga laut di selatan. Bagian tengah ini memiliki ketinggian dari 0 hingga 17 meteran dari
permukaan air laut. Seperti di bagian barat, endapan gumuk pasir pantai purba masih
teridentifikasi dengan jelas pada bagian selatan hingga tengah penampang. Pada daerah di
sebelah utara, endapan gumuk pasir pantai purba kurang jelas teramati.
Gambar 5. Penampang morfologi utara selatan di bagian tengah daerah penelitian (B-B’)
Gambar 6, memperlihatkan morfologi bagian timur dari utara hingga laut di selatan.
Bagian timur darah penelitian ini memiliki ketinggian dari 0 hingga 17 meteran dari permukaan
air laut. Endapan gumuk pasir pantai purba masih teridentifikasi dengan jelas pada bagian selatan
hingga tengah penampang.
330
GD06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 6. Penampang morfologi utara selatan di bagian timur daerah penelitian (C-C’)
Stratigrafi
Penggambaran kolom stratigrafi dari hasil pemboran tangan menujukkan bahwa bagian
daerah rendahan dijumpai dominasi endapan lempung-lanau dengan kandungan material organik
yang tinggi. Pada beberapa bagian dijumpai endapan gambut. Lempung dan lanau umumnya
berwarna gelap/hitam dan karbonan. Dari ukuran butir dan material yang dikandungnya,
diinterpretasikan daerah ini merupakan daerah rawa pasang surut (tidal flat).
Endapan rawa pasang surut dibelakang garis pantai purba no.4, tersusun atas lempung
dibagian atas. Dibawahnya dijumpai endapan gambut mencapai 80 cm. hingga kedalaman 8,8
meter dijumpai lempung dengan sisipan lempung dengan fragmen kerikil dan koral. (Gambar 7).
Gambar 7. Endapan tidal flat di belakang garis pantai purba 4 (Titik Lem 1 dalam Gambar 2b)
Endapan rawa pasang surut dibelakang garis pantai purba no.9, tersusun atas lempung
dibagian atas dan lanau di bawah. Endapan lempung dia bagian atas banyak mengandung
karbon. Dijumpai sisipan tipis pasir lepas di bagian bawah (Gambar 8).
331
GD06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 8. Endapan tidal flat di belakang garis pantai purba 9 (Titik Lem 2 dalam Gambar 2b)
Endapan pantai purba no.3, tersusun atas pasir lepas dengan sisipan lanau pasiran.
Dijumpai struktur laminasi pada seluruh bagian. Material pasir sedang dijumpai pada bagian
atas. Di bagian bawah dijumpai pasir berukuran butir halus (Gambar 9).
Gambar 10. Endapan pantai purba 6 (Titik Lem 4 dalam gambar 2b)
Endapan pantai purba no.6, tersusun atas pasir lepas. Dijumpai struktur laminasi pada
seluruh bagian. Material pasir sedang dijumpai pada bagian atas. Di bagian bawah dijumpai pasir
berukuran butir halus (Gambar 10).
332
GD06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Pantai Cilacap merupakan pantai yang terbentuk oleh majunya garis pantai. Ciri garis
pantai di daerah penelitian adalah garis pantainya relatif lurus, relief relatif rendah, terbentuk
undak pantai dan gosong pasir.
Berdasarkan klasifikasi Johnson, 1919 dalam Thornbury, 1961, garis pantai daerah
penelitian merupakan pantai yang naik atau emergence coast. Jenis pantai ini terbentuk oleh
majunya garis pantai akibat turunnya muka laut relatif yang dapat terjadi karena dua
kemungkinan proses yaitu pengangkatan Pulau Jawa (uplifting) atau penurunan muka laut
(regresion).
KESIMPULAN
1. Terhadap 10 buah garis pantai purba di daerah penelitian. Kelurusan garis pantai purba di
daerah penelitian searah dengan garis pantai modern yang berarah barat-timur.
2. Pantai purba berkembang secara progradasional dari utara ke selatan.
3. Terdapat dua kemungkinan pembentukan evolusi garis pantai di daerah penelitian yakni
karena pengangkatan Pulau Jawa (uplifting) atau sebab lain karena penurunan muka laut
global (regresi).
DAFTAR PUSTAKA
Esry Tommy Opa, 2011, Perubahan Garis Pantai Desa Bentenan Kecamatan Pusomaen,
Minahasa Tenggara, Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis, Vol. VII-3, Desember 2011
Sunarto, Djati Mardiatno, Langgeng Wahyu Santoso, Hartono Suharyadi, Lutfi Muftaali,
Barandi Sapta Widartono, bowo Susilo, 2002, Kajian dan Sajian Tipologi Pantai,
Proseding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Fakultas Geografi UGM.
Sutikno, 1993. Karakteristik Bentuk dan Geologi Pantai di Indonesia. DIKLAT PU WIL III.
Dirjen Pengairan Pepartemen PU. Bentuk dan Geologi Pantai di Indonesia. DIKLAT PU
WIL III. Dirjen Pengairan Pepartemen PU. Yogyakarta. 51 Hal.
Thornbury, W.D. (1969), Principles of Geomorphology, John Willy & Sons. New York.
333
L01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
ABSTRAK
Pertumbuhan penduduk dan konversi penggunaan lahan untuk pemukiman di Daerah Kecamatan
Ngemplak dan sekitarnya, Kabupaten Sleman terus mengalami peningkatan. Kondisi tersebut
memberi tekanan pada sumber daya lahan terutama air karena kebutuhan masyarakat akan air
bersih selalu meningkat setiap tahunnya. Tak dapat dipungkiri lagi bahwa air bersih semakin sulit
didapatkan. Selain bersih, air juga harus tetap memiliki ketersediaan yang cukup meskipun di
musim kemarau.
Oleh karena itu, perlu adanya penelitian untuk mengetahui potensi air tanah dangkal yang
mencakup kondisi akuifer, ketersedian air tanah, kualitas air tanah dan potensi pencemaran pada
daerah tersebut. Adapun metode yang digunakan berupa survei lapangan meliputi pengukuran
kedalaman muka air tanah dangkal, pemanfaatan air, dan jarak relatif terhadap septic tank lalu
dilanjutkan dengan pencarian data curah hujan serta data sumur bor dari instansi terkait.
Berdasarkan korelasi data log bor, litologi akuifer berupa pasir berukuran kasar sampai halus yang
mengandung fragmen breksi dengan kedalaman akuifer sekitar 100 m dari permukaan tanah.
Ketersediaan air tanah berdasarkan debit sumur bor sekitar 1555,2 m3/hari pada bagian utara daerah
Sukoharjo dan 2587 m3/hari pada bagian selatan daerah Purwomartani. Fluktuasi muka air tanah
sebagian besar termasuk kelas F1 dan F2 dan sebagian kecil kelas F3 yang terletak di bagian utara.
Berdasarkan PP No.20 Tahun 1990 Tentang Pengendalian Pencemaran Air, kualitas air tanah pada
umumnya termasuk golongan B, dengan kadar pH dan kandungan E.coli masih berada di bawah
ambang batas. Kecuali di daerah Dukuh Sari yang mangalami pencemaran E.coli. Selain itu
terdapat beberapa lokasi pembuatan septingtank, kandang ternak, dan sumur gali yang saling
berdekatan yaitu kurang dari 10 m.
Manifestasi sumur galian yang paling berpotensi terletak di Desa Wedomartani. Potensi tersebut
dikontrol oleh kedalaman air tanah yang dangkal, fluktuasi yang rendah dan potensi pencemaran
yang kecil. Sedangkan sumber potensi pencemaran berada di Desa Sukoharjo yang berasal dari
pembuangan kotoran hewan.
334
L01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
PENDAHULUAN
Beberapa tahun terakhir ini D.I. Yogyakartamenjadi primadona bagi masyarakat
untuk membangun pemukiman baru maupun pusat kegiatan. Sebagian besar daerah yang
dicari adalah bagian kaki Gunung Merapi seperti kecamatan Kalasan, Ngemplak dan
sekitarnya. Semakin pesat perkembangan suatu daerah yang ditandai dengan
perkembangan ekonomi dan pertumbuhan penduduk menjadi faktor utama dalam
peningkatan penggunaan air baik untuk rumah tangga, kantor, industri, dan lain-lain Oleh
karena itu, kebutuhan air di daerah Kalasan dan Ngemplak mengalami peningkatan dari
tahun ke tahun seiring dengan pertumbuhan penduduk dan kegiatan pembangunan.
Tak dapat dipungkiri lagi bahwa air bersih semakin sulit didapatkan. Selain bersih,
air juga harus tetap memiliki ketersediaan yang cukup meskipun di musim kemarau. Oleh
karena itu, perlu adanya penelitian untuk mengetahui potensi air tanah di daerah
Kecamatan Ngemplak dan Kalasan, baik secara kuantitas maupun kualitas.
335
L01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan metode survei
yang didukung dengan data sekunder. Dalam perolehan kelengkapan data ditempuh
dengan survei lapangan dan survei instansional. Survei lapangan dilakukan dengan cara
pengukuran ketinggian muka air tanah (m.a.t.), kedalaman sumur gali, debit sungai,
pengamatan jarak relatif antara lokasi sumur terhadap lokasi pembuangan kotoran, dan
wawancara penduduk.Survei instansional dilakukan untuk memperoleh data curah hujan,
suhu, evapotranspirasi, dan sumur bor.
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kuantitatif, deskriptif,
dan spasial. Analisis kuantitatif digunakan untuk mengolah data hasil pengukuran
lapangan. Analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahui kondisi fisik litologi daerah
pemetaan dan data sumur bor.Sedangkan analisis spasial digunakan untuk melakukan
klasifikasi daerah pemetaan. Analisis potensi air tanah dangkal dilakukan dengan cara
overlay peta kedalaman muka air tanah, fluktuasi air tanah dan potensi pencemaran.
336
L01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Hidrogeologi
Daerah Ngemplak dan sekitarnya merupakan dataran landai dengan elevasi antara
181 m sampai 291 m dpl dan kemiringan antara 1,67% sampai 3,3%.Berdasarkan
kemiringan lereng dan ketinggian topografi, daerah penelitian termasuk dalam Satuan
Lereng Bawah Gunung Merapi dan Satuan Kaki Gunung Merapi. Satuan Lereng Bawah
memiliki ketinggian antara 241 m – 291 m dengan kemiringan lereng 2% - 3,3%.
Sedangkan Satuan Kaki Gunung Merapi memiliki ketinggian 181 m – 241 m dengan
kemiringan lereng 1,67% sampai 2%. Daerah inidilewati sungai-sungai dengan pola
paralel dan berstadia muda. Terdapat 2 sungai utama pada daerah ini, yaitu Kali Kuning
dan Kali Sembung. Sungai tersebut memiliki aliran yang permanen namun masih
dipengaruhi adanya fluktuasi musiman.
Menurut Mac Donal, 1984, kondisi geologi daerah ini sangat dipengaruhi oleh hasil
proses Gunung Merapi sehingga pada umumnya tersusun atas endapan vulkanik Merapi
Muda yang terbentuk selama zaman kuarter. Litologi yang terdapat di daerah penelitian
umumnya berupa material berukuran pasir sampai kerakal.
Pengamatan dan pengukuran sumur gali (air dangkal)yang dilakukan pada bulan
Maret (musim hujan) meliputi lokasi sumur gali, ketinggian muka air tanah dan kedalaman
muka air tanah.Pengukuran dilakukan sebanyak 65 titik sumur gali seperti pada Gambar 3.
Hasil pengukuran ketinggian muka air tanah menunjukkan bahwa muka air tanah paling
dangkal berada pada ketinggian 196 m dpl dan muka air tanah paling tinggi yang berada
pada 308 m dpl. Sehingga ada perbedaan tinggi sebesar 150 m.
Data klimatologi BMKG, 2013, menunjukkan bahwa rata-rata curah hujan 7 tahun
terakhir sebesar 1793,214mm/tahun seperti pada Tabel 1.Nilai rata-rata kelembaban udara
7 tahun terakhir sebesar 81,51 %/tahun seperti pada Tabel 2. Nilai rata-rata suhu udara 7
tahun terakhir sebesar 26,15oC seperti pada Tabel 3. Sedangkan rata-rata evapotranspirasi
5 tahun terakhir sebersar 86,13 mm/tahun seperti pada Tabel 4.
Berdasarkan korelasi data sumur bor, satuan akuifer daerah penelitian termasuk
akuifer bebas yang tersusun oleh material berupa pasir dan kerakal yang bersifat andesitis
dengan ketebalan akuifer sekitar 100 m. Sedangkan di beberapa tempat terdapat lapisan
impermeabel berupa lapisan lempung. Kedalaman lapisan lempung ini berkisar antara 90
m sampai 100 m. Ketersediaan air tanah berdasarkan debit sumur bor sekitar 1555,2
m3/hari pada bagian utara dan 2587 m3/hari pada bagian selatan.
337
L01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Kedalaman muka air tanah daerah penelitian memiliki kisaran antara 0,48 m
sampai 6,05 m seperti pada Gambar 4. Pada peta kedalaman muka air tanah, keseluruhan
daerah penelitian termasuk dalam kelas K1 (dangkal) dengan kedalaman muka air tanah <
7 meter.
Fluktuasi muka air tanah daerah penelitian sebagian besar termasuk dalam kelas F1
(kecil) dengan fluktuasi < 2 meter yang terletak di bagian tengah, kelas F2 dengan fluktuasi
antara 2 – 4 meter yang terletak di bagian selatan dan utara dan sebagian kecil kelas
F3seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5. Fluktuasi kelas F1 umumnya terletak di bagian
tengah daerah penelitian, fluktuasi kelas F2 terletak di bagian selatan dan utara, dan kelas
F3 terletak dibagian ujung utara.
Berdasarkan peta aliran air tanah seperti pada Gambar 6, daerah utara merupakan
catchment area yang menjadi daerah penangkapan atau pengisian air tanah. Sedangkan
daerah selatan merupakan daerah storage area dimana disini terjadi penyimpanan air
tanah. Kemudian sungai yang berada pada daerah utara cenderung bersifat influent (sungai
masuk ke dalam air tanah) dan pada daerah selatan sungainya cenderung bersifat effluent
(air tanah masuk ke dalam sungai).
Pada pengamatan jarak relatif antara lokasi sumur gali dengan lokasi septic tank
maupun pembuangan kotoran hewan menunjukkan bahwa terdapat beberapa lokasi yang
berpotensi mengalami pencemaran seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7. Pada bagian
utara sebagian besar warganya memiliki hewan ternak dibandingkan dengan warga pada
bagian selatan. Sedangkan untuk lokasi pembuangan kotoran hewan dan septitank terhadap
lokasi sumur gali, pada bagian selatan memiliki penataan lokasi lebih teratur atau selisih
jaraknya lebih dari 10 m dibandingkan dengan bagian utara yang lokasinya saling
berdekatan. Kondisi ini menunjukkan bahwa pada bagian utara memiliki potensi
pencemaran yang tinggi apalagi pada bagian utara memiliki pola aliran discharge sehingga
bisa mencemari kualitas airtanah yang ada di sebelah selatan.
Berdasarkan PP No.20 Tahun 1990 Tentang Pengendalian Pencemaran Air,data
kualitas air sumurgali pada 3 titik yaitu di daerah Dusun Dukuh Sari, Tegalrejo, dan
Sidorejo menunjukkan bahwa di daerah Dukuh Sari telah mengalami pencemaran E.coli
dengan kandungan >1898 MPN/100 ml seperti pada Tabel 5.Sedangkan di daerah
Tegalrejo dan Sidorejo masih dibawah ambang batas.
Potensi air tanah dangkal di daerah penelitian terdiri dari 4 kelas yaitu kelas baik,
sedang, rendah dan sangat rendah seperti pada Gambar 8. Potensi kelas tinggi berada di
bagian tengah atau daerh Wedomartani, kelas sedang berada di bagian utara di daerah
338
L01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
KESIMPULAN
Daftar Pustaka
A. Yudistira, “Kajian Potensial dan Arahan Penggunaan Air Tanah Untuk Kebutuahn
Domestik di Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman”. Forum Geografi Vol. 21, No 2.
Yogyakarta, hlm. 104-112, 2012.
Suharyadi, Evaluasi Potensial Air Tanah di Zona Akuifer Merapi, Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, Laporan Penelitian, Yogyakarta, 2001.
D.K. Todd and L.W. Mays, Groundwater Hydrology 3rd Ed. John Wiley & Sons, Inc. New
York. 2005.
W. Wilopo.Perencanaan Konservasi Air Bawah Tanah di Cekungan Yogyakarta. Jurusan
Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1999.
339
L01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Lampiran
340
L01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
341
L01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
342
L01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
343
L01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
2007 25,84545
2008 25,58333
2009 25,85833
2010 26,35833
2011 26,8
2012 26,35
2013 26,27778
Rata-rata total 26,15332
Tahun
rata-rata (%)
2007 78,93636
2008 79,28182
2009 79,27273
2010 82,50909
2011 78,05455
2012 85,225
2013 87,31111
rata-rata total 81,51295
344
L01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Tahun
rata-rata (mm)
2009 85,24167
2010 83,66667
2011 88,76667
2012 89,19167
2013 83,7875
Rata-rata total 86,13083
Lokasi
Tahun Pos
Pos Hujan Rata-rata
Hujan
Kalasan
Dolo
2006 786 2153 1469,5
2007 1270 2577 1923,5
2008 1075 2153 1614
2009 857 1361 1109
2010 1627 3455 2541
2011 1621 2582 2101,5
2012 1362 2226 1794
Rata-rata total 1793,214
345
L01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
346
L02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Fahmi Hakim*, I Wayan Warmada, Wawan Budianta, Fraga Luzmi Fahmi, dan
Dian Yesy F.
Jurusan Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia
*email: fahmigeologi09@gmail.com
Abstrak
Salah satu tantangan yang dihadapi oleh pengelola perkotaan adalah penanganan masalah
persampahan. Salah satu aspek yang perlu didekati dalam pengelolaan persampahan adalah aspek
teknik yaitu mengenai Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang ramah lingkungan, yaitu
menggunakan metode sanitary landfill. Oleh karena itu dibutuhkan liner yang dapat mencegah
terjadinya hal itu. Dalam penelitian ini, salah satu bahan liner yang murah dan banyak terdapat di
alam adalah lempung, terutama dari jenis bentonit. Namun tidak semua lempung dapat digunakan
sebagai liner. Oleh karena itu perlu dilakukan karakterisasi dari lempung tersebut. Sampel bentonit
untuk penelitian diperoleh dari lima titik yang terletak di Boyolali, Jawa Tengah. Sampel penelitian
terdiri dari 7 sampel bentonit dengan sifat fisik yang berbeda. Bentonit ini terdapat pada Anggota
Banyuurip, Formasi Kerek. Berdasarkan hasil uji karakteristik geoteknik berupa uji plastisitas-
kompetensi, ukuran butir, dan permeabilitas, semua sampel bentonit ini memiliki nilai yang
memenuhi syarat sebagai liner. Kemudian uji mineralogi yang dilakukan yaitu uji CEC dan XRD.
Dimana dari hasil uji XRD, terdapat komposisi mineral lempung berjenis bentonit yang cukup
dominan seperti nontronite dan stevensite, serta mineral lain berupa kaolinite, lizardite,
carlosturanite, surite, kalsit dan kuarsa. Dari ketujuh sampel yang diuji sampel BL-007-A
merupakan sampel yang cukup potensial dijadikan liner karena memiliki nilai permeabilitas yang
paling rendah. Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa Bentonit Boyolali dari daerah Simo,
Karanggede, dan Wonosegoro memiliki potensi yang baik sebagai liner tempat pembuangan
sampah akhir.
Pendahaluan
Salah satu tantangan yang dihadapi oleh pengelola perkotaan adalah penanganan masalah
persampahan. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat tahun 2008, dari 384 kota
yang menimbulkan sampah sebesar 80.235,87 ton setiap hari, penanganan sampah yang
diangkut ke dan dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) adalah sebesar 4,2% yang
dibakar sebesar 37,6%, yang dibuang ke sungai 4,9% dan tidak tertangani sebesar 53,3%.
(Ditjen TPTP, Dep. Kimpraswil, 2001). Para ahli lingkungan merekomendasikan agar
pengelolaan TPA menggunakan sistem sanitary landfill, namun demikian dari sekian
banyak TPA yang ada di Indonesia, umumnya menggunakan sistem open dumping atau
controlled dumping (JICA and PT. Arconin. Report on Solid Waste Data in Indonesia).
Salah satu hasil dari dekomposisi sampah tersebut adalah leachate sampah yang berupa
cairan. Apabila rembesan leachate sampai ke lapisan tanah dan mengalir masuk ke dalam
air tanah maka akan mencemari kualitas air tanah. Padahal sebagian besar masyarakat kita
347
L02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
masih menggunakan air sumur (yang berasal dari air tanah) sebagai sumber air bersih.
Oleh sebab itu, tindakan yang perlu dilakukan adalah bagaimana cara membuat TPA yang
aman terhadap lingkungan.
Sampah-sampah yang dibuang di TPA yang belum didesain yang aman terhadap
lingkungan dapat menyebabkan leachate atau limbah cair yang dihasilkan dari sampah
tersebut dapat langsung masuk ke air tanah yang kemudian akan membahayakan manusia
dan makhluk hidup yang mengkonsumsi air tanah tersebut. Salah satu cara membuat TPA
yang aman terhadap lingkungan adalah dengan mencegah merembesnya leachate ke air
tanah, dengan cara dasar dari tempat pembuangan sampah harus dibuat kedap atau tidak
tembus air. Konsep yang dinamakan sanitary landfill ini merupakan sistem TPA yang
paling modern saat ini (Gambar 1). Sedangkan jenis lapisan yang umum dipakai sekarang
ini pada sanitary landfill di negara maju adalah dengan menggunakan bahan geosintetik
yang mahal, namun dalam hal ini perlu diteliti mengenai lempung lokal berjenis bentonit
yang bisa dipakai sebagai clay liner. Lempung merupakan bahan yang murah, banyak
terdapat dialam dan memiliki nilai permeabilitas rendah, sehingga cocok digunakan
sebagai liner. Tujuan akhir dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik dan
potensi bentonit untuk menjadi clay liner tempat pembuangan akhir sampah (TPA) dilihat
dari karakteristik geoteknik dan komposisi mineralogi.
p e mu k
p e n go l a h i man
a n c a i ra n pendu
d a n ga s t i mbun s u mduurk
tanah d as ar an pendu
( b at u p a s i r )p i p a l i n e r l e m p ung air
s a mpa
penyal ur l indi duk
h
zona j enuh air ( l eac
t a n a h ( a ku i f e r ) h at e )
Geologi
Menurut Pringgoprawiro (1983), Stratigrafi daerah penelitian berada pada Zona Kendeng
yang mana merupakan bagian dari Formasi Kerek. Formasi ini tersiri dari perselingan
antara lempung, napal lempungan, napal, batupasir tufaan gampingan dan batupasir tufaan.
Berdasarkan fosil foraminifera planktonik dan bentoniknya, formasi ini terbentuk pada
Miosen Awal – Miosen Akhir (N10 – N18) pada lingkungan laut dangkal. Ketebalan
formasi ini bervariasi antara 1000 – 3000 meter. Formasi ini terdiri dari 3 anggota:
Anggota Banyuurip, Anggota Sentul dan Batugamping Formasi Kerek. Sedangkan
daerah penelitian termasuk Anggota Banyuurip yang tersusun oleh perselingan antara
napal lempungan, napal, lempung dengan batupasir tuf gampingan dan batupasir tufaan
dengan total ketebalan 270 meter (de Genevreye & Samuel, 1972). Pada bagian tengah
perselingan ini dijumpai batupasir gampingan dan tufaan setebal 5 meter, sedangkan
bagian atas ditandai oleh adanya perlapisan kalkarenit pasiran setebal 5 meter dengan
sisipan tipis dari tuf halus. Anggota ini berumur N10 – N15 (Miosen Tengah bagian tengah
348
L02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
– atas). Pada daerah penelitian, perselingan antara napal lempungan, lempung dan
batupasir tufaan dijumpai secara luas dengan ketebalan bervariasi ulai dari 5 cm hingga 50
cm (Gambar 2.a).
Geomorfologi daerah penelitian merupakan daerah perbukitan landai dengan
kontrol struktur geologi. Sungai merupakan salah satu agen dalam proses ekshumasi
batuan yang berumur tua di daerah penelitian (Gambar 2.b). Jenis struktur yang banyak
dijumpai struktur berupa sesar naik, sesar turun/ekstensional (Gambar 2.c), sesar geser
mendatar, serta lipatan. Di bagian utara daerah penelitian (Gambar 2.d) ditemukan indikasi
batuan telah terlipat dan mungkin terbalik dengan dijumpai dip batuan yang hampir tegak
(90°).
Gambar 2.
a. Perselingan antara napal lempungan, lempung dan batupasir tufaan pada B-01
b. Sungai (aliran air permukaan) sebagai agen ekshumasi batuan berumur tua pada B-03-04
c. Sesar ekstensional pada daerah penelitian pada B-03-04
d. Dip batuan yang hampir tegak pada Formasi Kerek di B-05
Metode Peneltian
Dalam penelitian ini, jenis lempung yang ingin diketahui karakteristiknya diperoleh dari
lima titik yang terletak di Kecamatan Simo, Karanggede, dan Wonosegoro, Kabupaten
Boyolali, Jawa Tengah. Sampel penelitian terdiri dari 7 sampel lempung dengan sifat fisik
yang berbeda. Dimana pada lokasi pengambilan sampel B-03-04 dan B-06-07 diambil 2
lempung sekaligus dalam satu lokasi namun dengan karakteristik berbeda. Jenis lempung
yang dicari adalah yang memiliki swelling capacity yang baik yaitu dari jenis bentonit.
Hampir di setiap lokasi pengambilan sampel dijumpai lempung dengan karakteristik yang
serupa dengan bentonit. Lokasi Pengambilan sampel dapat dilihat pada Gambar 3.
349
L02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Dalam penelitian ini sampel lempung yang diambil akan dilakukan 2 metode
pengujian, yaitu uji karakteristik geoteknik dan uji komposisi mineralogi. Uji karakteristik
geoteknik meliputi analisis distribusi ukuran butir, uji permeabilitas, serta uji plastisitas
dan konsistensi. Sedangkan uji komposisi mineralogi meliputi uji CEC (Cation Exchange
Capacity) dan analisis XRD (X-Ray Diffraction). Menurut Murray, et al, (1992), sampel
yang layak menjadi liner adalah harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. koefisien peremeabilitas ≤ 1,0 × 10-9 m/s
2. persentase silt/clay >10% dan gravel <30%
3. memiliki nilai Liquid Limit (LL) ≤ 90% dan memiliki nilai Plasticity Index (PI) ≤ 65%
350
L02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
butir. Dari hasil tersebut, diperoleh persentase silt/clay yang cukup melimpah dan jauh
diatas 10%, serta nilai gravel yang kurang dari 30%, maka seluruh sampel lempung dapat
dikatakan baik dan layak digunakan sebagai liner berdasarkan kriteria oleh Murray,et al,
(1992).
2. Koefisien Permeabilitas
Karakteristik geoteknik yang kedua adalah koefisien permeabilitas. Koefisien
permeabilitas dicari dengan melakukan pengujian permeabilitas untuk mengetahui sifat
lempung dalam meloloskan air. Menurut Craig (1994), semua jenis tanah bersifat lolos air.
Sedangkan lempung dalam praktek dianggap bersifat tidak lolos air atau secara garis besar
koefisien permeabilitas lempung kecil. Berdasarkan Murray et al. (1992) syarat-syarat
lempung yang baik untuk penggunaan liner dalam pengujian permeabilitas ini adalah yang
memiliki nilai koefisien permeabilitas kurang atau sama dengan dengan 1,0 × 10-9 m/s.
Dari ketujuh sampel yang diuji terlihat satu sampel yaitu BL-007 yang hampir memenuhi
syarat dari Murray et al., (1992) yang dapat dilihat pada Tabel 1. Penyebab yang diketahui
adalah pada sampel BL-007 dijumpai campuran berupa mineral lempung berjenis kaolinite
yang menurut beberapa penelitian jika tercampur dalam kondisi yang tepat mampu
menurunkan koefisien permeabilitas dan swelling capacity bentonit.
351
L02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
air tanah pada kedudukan antara plastis dan semi padat. Pada pengurang kandungan air
tanah selanjutnya akan dijumpai batas dimana butiran-butiran tidak dapat mendekat satu
sama lain dan volume tidak terubah dan lempung menjadi retak-retak. Kadar air pada
kedudukan ini disebut batas susut (Shrinkage Limit) (SL). Selisih antara LL dan PL disebut
Plasticity Index (PI). Plasticity Index merupakan interval kadar air dimana lempung tetap
dalam kondisi plastis. Berdasarkan Murray et al. (1992) syarat-syarat lempung yang baik
untuk penggunaan liner dalam pengujian plastisitas dan konsistensi ini adalah yang
memiliki nilai Liquid Limit (LL) ≤ 90% dan memiliki nilai PI ≤ 65%. Dari ketujuh sampel
yang diuji hampir seluruhnya memenuhi syarat untuk digunakan sebagai liner tempat
pembuangan sampah (Tabel 2).
Karakteristik Mineralogi
1. Cation Exchange Capacity (CEC)
Pengukuran CEC digunakan untuk penafsiran awal kandungan lempung yang
mengembang dari tanah lempung. Nilai CEC yang tinggi menandakan persentase dari
mineral lempung. Jika tanah lempung tersusun secara signifikan jenis lempung yang
mengembang, maka akan menyebabkan penambahan atau pengurangan nilai konduktivitas
hidraulik. Dari hasil uji CEC yang didapatkan maka kandungan mineral lempung yang
hadir cukup banyak sekitar 23,47 - 47,78 (me/100g). Nilai CEC yang cukup tinggi
menandakan bahwa sampel lempung pada daerah penelitian didominasi oleh mineral
lempung berjenis bentonit/smektit.
Natural
Liquid Plastic Plasticity Liquidity
Water CEC
No. Sampel Limit Limit Index Index
Content (me/100 g)
(LL) (PL) (PI) (LI)
(wN)
BL-001-A - - - - - 47,78
BL-002-A 52,91 % 31,89 % 21,02 % 43,41 % 0,55 36,64
BL-003-A 52,51 % 29,76 % 22,75 % 26,86 % -0,13 27,04
BL-004-A 51,57 % 23,23 % 28,34 % 25,75 % 0,09 23,47
BL-005-A 52,34 % 27,65 % 24,69 % 21,89 % -0,23 31,51
BL-006-A 53,60 % 27,96 % 25,63 % 22,79 % -0,20 33,98
BL-007-A 54,53 % 26,94 % 27,59 % 20,29 % -0,24 30,13
352
L02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
dan 5). Pada sampel BL-003 dijumpai juga bentonit berjenis stevensite (Gambar 4).
Bentonit ini yang membuat nilai CEC pada sampel menjadi tinggi. Hal ini berarti
kandungan bentonit sangat melimpah pada masing-masing sampel. Selain mineral lempung
berjenis bentonit, dijumpai juga mineral lempung lain seperti kaolinite, lizardite,
carlosturanite, dan surite. Mineral lain yang muncul adalah kuarsa dan kalsit yang
merupakan mineral umum penyusun batuan sedimen.
353
L02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
354
L02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
secara umum memiliki nilai koefisien permeabilitas yang kecil yaitu di kisaran 9,7x10-8 -
1,8x10-9 m/s, serta memiliki nilai Liquid Limit (LL) 51,57 - 54,53% dan nilai Plasticity
Index (PI) 21,02-28,34 %. Sedangkan dari uji komposisi mineralogi uji CEC serta
analsisis XRD, memperlihatkan bahwa seluruh sampel lempung Boyolali yang diteliti
dalam penelitian ini didominasi oleh mineral lempung dengan nilai CEC 23,47 - 47,78
(me/100g). Sedangkan jenis lempung yang hadir merupakan grup smektit (bentonit)
berjenis nontronite dan sedikit stevensite. Dari ketujuh sampel yang diuji sampel BL-007-
A merupakan sampel yang cukup potensial dijadikan liner karena memiliki nilai koefisien
permeabilitas yang paling rendah (1,8x10-9 m/s). Secara umum seluruh sampel bentonit
Boyolali ini layak dan baik untuk digunakan sebagai liner tempat pembuangan sampah.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mencari nilai koefisien permeabilitas yang
lebih kecil ≤( 1,0 × 10-9 m/s) baik mengenai pencampuran yang tepat antara bentonit
dengan material lain (misal kaolin) maupun dengan melakukan proses kompaksi.
Daftar Pustaka
ASTM., 1996, Annual Book of ASIM Standards. Section 4, Volume 04.08. Soil
and Rock: American Society for Testing and Materials.
Brand, E.W. dan Brenner, R.P., 1981. Soft Clay Eng, Elsevier Scientific
Publishing Company.
Craig, R. F., 1994, Soil Mechanics, Fifth Ed., GB: Chapman and Hall Press.
De Genevraye, P., dan Samuel, L., 1972. Geology of the Kendeng zone (Central
and East Java). In: Proceedings of the Indonesian Petroleum Association, 1st
Annual Convention, hal. 17–30.
Ditjen TPTP, 2001, Data dan Informasi Umum, Pembangunan Perkotaan dan
Perdesaan, Jakarta: Ditjen TPTP, Dep. Kimpraswil.
JICA dan PT. Arconin, 2008, Report on Solid Waste Data in Indonesia, JICA
and PT. Arconin.
Murray, E. J., Rix, D. W. dan Humphrey. R. D. 1992. Clay Linings to Landfill
Sites. Quarterly Journal of Engineering Geology, 25, 3714176.
Pringgoprawiro, H., 1983, Biostratigrafi dan Paleografi Cekungan Jawa Timur
Utara-Suatu Pendekatan Baru-Abstrak Disertasi Doktor, ITB, Bandung (tidak
dipublikasikan)
355
L03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
I. PENDAHULUAN
Air Tanah merupakan salah satu sumberdaya air yang sering digunakan untuk
kebutuhan industri, pertanian maupun kebutuhan domestik. Pengambilan Air Tanah untuk
berbagai macam kebutuhan telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam
meningkatkan kualitas hidup manusia baik secara sosial maupun ekonomi. Hal ini
memunculkan permasalahan yang cukup serius yaitu terjadinya eksploitasi Air Tanah
secara berlebihan dan tidak terkendali, sehingga menyebabkan terjadinya penurunan muka
Air Tanah secara permanen dan subsidence.
Cekungan Air Tanah Yogyakarta-Sleman mencakup wilayah di lereng selatan
Gunung Merapi yang meliputi Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta dan Kabupaten
Bantul. Kabupaten-Kabupaten tersebut saat ini telah mengalami perkembangan yang cukup
pesat dalam bidang industri, pertanian dan domestik dibandingkan beberapa tahun yang
lalu. Hal ini berimbas pada semakin tingginya kebutuhan akan Air Tanah, sehingga akan
menimbulkan degradasi kualitas dan kuantitas Air Tanah. Untuk mengatasi permasalah ini,
maka perlu dilakukannya Pengelolaan Air Tanah. Pengelolaan Air Tanah meliputi beberapa
macam aspek, salah satu faktor penting yang menunjang program pengelolaan Air Tanah
adalah evaluasi cadangan Air Tanah, tingka pemanfaatan dan neraca pemanfaatan Air
Tanah di Cekungan Air Tanah Yogyakarta-Sleman. Cadangan Air Tanah dapat diketahui
dengan melakukan perhitungan cadangan Air Tanah statis, dinamis dan imbuhan Air
Tanah. Hasil dari perhitungan cadangan Air Tanah dan pemanfaatan Air Tanah, dapat
digunakan untuk menghitung tingkat pemanfaatan airtanah dan neraca pemanfaatan Air
Tanah di Cekungan Air Tanah. Dengan demikian, hasil dari pekerjaan tersebut diharapkan
dapat digunakan sebagai salah satu upaya dalam menentukan langkah pendayagunaan Air
Tanah agar tercipta efektivitas dan efisiensi penggunaan Air Tanah secara berkelanjutan.
a) Maksud
Maksud dari perhitungan cadangan Air Tanah berdasarkan geometri dan konfigurasi
sistem akuifer Cekungan Air Tanah Yogyakarta – Sleman adalah untuk mengetahui nilai
dari cadangan Air Tanah statis, cadangan Air Tanah dinamis, nilai imbuhan, jarak
356
L03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
minimum antar sumur, tingkat pemanfaatan Air Tanah, serta neraca pemanfaatan Air Tanah
di Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul.
b) Tujuan
Tujuan dari penelitian adalah untuk mendapatkan data Cekungan Air Tanah
Yogyakarta – Sleman yang meliputi:
• Rekonstruksi pola kontur aliran Air Tanah untuk setiap akuifer berdasarkan
geometri dan konfigurasi sistem akuifer.
• Rekonstruksi pola kontur dasar akuifer dan ketebalan untuk tiap akuifer
berdasarkan geometri dan konfigurasi sistem akuifer.
• Penyebaran nilai/sifat hidrolika setiap akuifer berdasarkan geometri dan konfigurasi
sistem akuifer.
• Analisis cadangan Air Tanah statis, dinamis, nila imbuhan dan Jarak minimum
antar sumur pemompaan berdasarkan geometri dan konfigurasi sistem akuifer.
• Tingkat pemanfaatan Air Tanah dan neraca pemanfaatan Air Tanah.
Metodologi penelitian ini dijelaskan pada gambar Diagram Alir di bawah ini.
357
L03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
358
L03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Di bagian barat, batas H2 terbentuk oleh adanya bagian hulu (upstream) K. Progo
mulai dari puncak G. Merapi sampai dengan di daerah Kalibawang. Pada segmen tersebut,
kedudukan muka Air Tanah menunjukkan adanya arah aliran Air Tanah berbeda, disisi
timur K. Progo berarah relatif ke timur, sedangkan di sisi barat K. Progo berarah relatif ke
barat. Dengan demikian pada segmen tersebut merupakan batas pemisah aliran Air Tanah
(groundwater devide). Sedangkan di bagian timur, batas H2 dibentuk oleh morfologi
tinggian sebelah timur bagian hulu (upstream) K.Gendol mulai dari puncak G. Merapi
sampai dengan di daerah Kalasan. Pada segmen tersebut, kedudukan muka Air Tanah
menunjukkan adanya arah aliran Air Tanah berbeda, disisi timur morfologi tinggian K.
Gendol berarah relatif ke timur, sedangkan di sisi barat morfologi tinggian K. Gendol
berarah relatif ke barat. Dengan demikian pada segmen tersebut juga merupakan batas
pemisah aliran Air Tanah.
359
L03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
imbuhan Air Tanah di dalam cekungan (Q-out/Q-total < 0,1%). Dengan demikian, maka
tipe batas H5 tersebut dapat dianggap sebagai batas tanpa aliran Air Tanah eksternal atau
tipe batas H1.
360
L03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
antara akuifer utama dan non akuifer yang berfungsi sebagai dasar dari sistem akuifer
paling bawah (aquifer basement). Dengan demikian batas tersebut merupakan batas
vertikal bagian bawah suatu Cekungan Air Tanah.
Tipe batas V3 di dalam Cekungan Air Tanah Yogyakarta-Sleman dapat ditentukan
berdasarkan hasil analisis pendugaan geofisika, data geologi dan hidrogeologi bawah
permukaan, serta penampang litologi dari hasil kegiatan pengeboran dalam, yaitu untuk
memperoleh informasi mengenai sebaran dan dimensi akuifer dan non akuifer secara
vertikal. Dasar akuifer di Cekungan Air Tanah Yogyakarta-Sleman disusun oleh formasi
batuan yang bersifat impermeabel atau semi impermeabel atau bersifat sebagai non akuifer.
Penyebaran formasi batuan tersebut, di bagian utara tersusun oleh Endapan Merapi Tua
berupa breksi, endapan lahar dan lava yang sangat keras dan kompak. Sedangkan di bagian
selatan dalam Cekungan Air Tanah, formasi batuan non akuifer tersebut disusun oleh
Formasi Sentolo yang tersusun oleh batulempung dan batugamping di bagian barat, dan di
bagian timur tersusun oleh Formasi Semilir dan Formasi Nglanggran yang terdiri dari
batuan volkanik Tertier berupa batupasir volkanik dan breksi volkanik sangat keras dan
kompak.
D. Penentuan Batas Daerah lmbuhan, Transisi dan Daerah Lepasan Air Tanah
Daerah imbuhan Air Tanah (recharge area) adalah daerah resapan air yang mampu
menambah Air Tanah secara alamiah pada Cekungan Air Tanah. Daerah lepasan Air Tanah
(discharge area) adalah daerah keluaran Air Tanah yang berlangsung secara alamiah pada
Cekungan Air Tanah. Pada daerah yang didominasi sistem akuifer tidak tertekan, batas
antara daerah imbuhan Air Tanah dan daerah lepasan Air Tanah umumnya membentuk
zona transisi (transition zone) yang merupakan zona peralihan dari daerah imbuhan dan
daerah lepasan Air Tanah. Batas daerah imbuhan Air Tanah, daerah transisi dan daerah
lepasan Air Tanah merupakan bagian dari batas Cekungan Air Tanah.
Batas daerah imbuhan Air Tanah, daerah transisi dan daerah lepasan Air Tanah di
Cekungan Air Tanah Yogyakarta-Sleman ditentukan melalui analisis data geologi dan
hidrogeologi yang ada, yaitu dengan mendasarkan metoda sebagai berikut : Analisis
morfologi tekuk lereng; Analisis pemunculan mata air; Analisis kedudukan dan kerapatan
kontur muka Air Tanah; serta Hubungan antara kedudukan muka Air Tanah dan air
permukaan
Penyebaran dan luas daerah imbuhan Air Tanah, zona transisi dan daerah lepasan
Air Tanah di CAT Yogyakarta-Sleman dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
361
L03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Sleman adalah Formasi Yogyakarta di bagian atas dan Formasi Sleman di bagian bawah,
yang merupakan endapan volkanoklastik Gunung Merapi. Kedua formasi ini berfungsi
sebagai lapisan pembawa air utama yang sangat potensial di dalam Cekungan Air Tanah
Yogyakarta-Sleman dan bersifat multilayer aquifer (Djaeni, 1982; Mac Donald & Partners,
1984; Hendrayana, 1993, 1994).
Sistem hidrogeologi yang dibentuk oleh Formasi Yogyakarta dan Formasi Sleman
di dalam Cekungan Air Tanah Yogyakarta-Sleman disebut sebagai Sistem Akuifer Merapi
(SAM). SAM secara hidrogeologis membentuk satu sistem akuifer, dan terdiri atas akuifer
berlapis banyak (multilayer aquifer) yang memiliki sifat-sifat hidraulika relatif sama dan
saling berhubungan antara satu akuifer dengan akuifer lainnya (Hendrayana, 1993, 1994).
Berdasarkan data dan informasi ini dapat diperoleh fakta, bahwa sistem akuifer Cekungan
Air Tanah Yogyakarta-Sleman merupakan akuifer tipe bebas dan setengah bebas yang
membentuk satu sistem akuifer utama.
Secara umum Air Tanah mengalir dari utara ke selatan dengan landaian hidraulika
yang secara bergradasi semakin kecil. Morfologi muka Air Tanah menyerupai bentuk
kerucut dan menyebar secara radial, bentuk tersebut sesuai dengan penyebaran morfologi
gunung api. Bentuk ini merupakan ciri khas morfologi Air Tanah di daerah gunungapi.
Daerah imbuhan (recharge area) terletak antara elevasi 700 m sd 2968 m dml, daerah
transisi (transition area) antara elevasi 700 sd 200 m dml dan daerah lepasan (discharge
area) mempunyai elevasi antara 200 sd 0 m dml. Daerah imbuhan mempunyai garis kontur
elevasi muka Air Tanah relatif sangat rapat, daerah transisi relatif agak rapat, sedangkan
daerah dengan garis kontur elevasi muka Air Tanah yang jarang merupakan daerah lepasan
Air Tanah. Di daerah selatan, yaitu di daerah lepasan Air Tanah, Air Tanah pada akuifer
bagian bawah (diperkirakan sebagai Formasi Sleman) memiliki energi potensial yang
relatif besar dan mengalir pada litologi yang memiliki sifat fisik relatif sama dengan
akuifer bagian atas (diperkirakan sebagai Formasi Yogyakarta), sehingga terjadi aliran Air
Tanah relatif ke arah atas/relatif naik dari akuifer bagian bawah ke arah akuifer bagian atas
(Hendrayana, 1993, 1994).
Di dalam Cekungan Air Tanah Yogyakarta-Sleman, semakin ke arah selatan
terjadi penurunan gradien topografi yang disertai dengan penurunan gradien hidraulika
serta nilai-nilai karakteristik akuifer, sehingga kecepatan aliran Air Tanah ke arah selatan
juga akan semakin berkurang. Ketebalan sistem akuifer Cekungan Air Tanah Yogyakarta-
Sleman sangat beragam, secara umum ketebalan semakin bertambah besar ke arah selatan,
yaitu di sekitar Graben Yogyakarta atau di sekitar daerah Ngaglik-Sleman ketebalan
akuifer mencapai lebih dari 80 meter, sedangkan di daerah Bedog dan Karanggayam
mencapai sekitar 140 meter dan di daerah kota Yogyakarta mencapai hingga 150 meter.
Ketebalan ini berkurang kembali di luar Graben Yogyakarta hingga mencapai sekitar 70 an
meter. Di di sekitar Kota Bantul total ketebalan sistem akuifer Cekungan Air Tanah
Yogyakarta-Sleman meningkat kembali menjadi sekitar 125 m (Hendrayana, 1993, 1994).
Secara vertikal sistem akuifer Cekungan Air Tanah Yogyakarta-Sleman dapat
dibedakan menjadi dua satuan hidrostratigrafi sebagai akuifer utama, yaitu kelompok
akuifer bagian atas/akuifer bebas, kelompok akuifer bagian bawah/akuifer semi bebas, dan
dasar akuifer/kelompok non akuifer. Berdasarkan data log bor yang diperoleh dari data
sumur bor didapatkan, bahwa endapan Kuarter Merapi yang menyusun daerah dataran
363
L03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Yog yakarta-Bantul atau daerah lepasan Air Tanah di bagian selatan, merupakan campuran
dari endapan lahar dan endapan sungai, yaitu berupa endapan fluvio volkanik. Pada log
litologi tersebut dapat diketahui adanya perulangan proses pengendapan lahar dan proses
fluviatil yang membentuk perulangan endapan lahar dan endapan fluvio-volkanik. Endapan
lahar dicirikan dengan adanya fragmen mengambang diantara matrik, yang merupakan ciri
aliran pekat. Pada log litologi dikenal sebagai lapisan pasir kasar berkerakal dengan
fragmen-fragmen kerakal-berangkal-bongkah yang mengambang diantara matrik pasir
kasar. Sedangkan endapan fluvio-volkanik relatif sulit dilihat pada log bor, tetapi
munculnya lapisan kerikil berpasir di antara lapisan pasir kasar berkerakal dapat
menunjukkan fase terhentinya proses lain yang mengontrol terbentuknya endapan lahar.
Dapat disimpulkan, bahwa sisipan kerikil berpasir diantara pasir kasar berkerakal tersebut
merupakan hasil proses fluviatil. Berdasarkan log litologi, juga dapat disimpulkan, bahwa
semakin ke arah selatan material yang menyusun litologi di dalam cekungan secara umum
semakin halus. Adanya jenis akuifer setengah tertekan yang bersifat lokal dan setempat-
setempat dapat dijumpai, seperti di daerah Kota Yogyakarta dan Glugo Bantul, serta di
daerah tepi Cekungan Air Tanah di sisi timur dan barat.
364
L03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
akuifer bagian atas adalah Kecamatan Banguntapan dengan nilai sebesar 109.256.348 m3,
dan Kecamatan Sewon dengan nilai sebesar 141.375.029 m3 pada Sistem akuifer bagian
bawah. Total cadangan Air Tanah statis di Kabupaten Bantul untuk sistem akuifer bagian
atas lebih kurang sebesar 772.095.921 m3, sedangkan untuk sistem akuifer bagian bawah
lebih kurang sebesar 622.352.040 m3.
366
L03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
367
L03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
I. Kesimpulan
1) Batas cekungan Air Tanah dipengaruhi oleh karakteristik geologi dan hidrogeologi
sistem akuifer vulkanik muda dan batuan Tertier.
2) Potensi Air Tanah di dalam cekungan sangat dipengaruhi oleh konfigurasi sistem
akuifer batuan vulkanik Merapi yang dikontrol oleh struktur geologi bawah
permukaan/tertimbun.
3) Tingkat pemanfaatan tinggi hanya pada wilayah bagian tepi cekungan Air Tanah,
yang sangat dipengaruhi oleh konfigurasi sistem akuifer dalam cekungan.
4) Zona saldo pemanfaatan Air Tanah yang tinggi dijumpai di bagian tengah cekungan
yang sangat dipengaruhi oleh konfigurasi sistem akuifer dalam cekungan.
368
L03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
J. Saran
1) Pengelolaan Air Tanah di dalam cekungan seharusnya berbasis pada 3 pilar
pengelolaan yang mempertimbangkan kondisi geometri dan konfigurasi sistem
akuifer setempat.
2) Hasil penelitian ini hendaknya dipakai sebagai dasar penatagunaan Air Tanah di
dalam cekungan.
Daftar Pustaka
Anonim, 2001, Laporan Akhir Pekerjaan Evaluasi Potensi Air Bawah Tanah Di Zona Akuifer
Merapi Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta Dan
Kabupaten Bantul), Daerah Istimewa Yogyakarta, Fakultas Teknik Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
Anonim, 2008, Pengelolaan Air Tanah Berbasis Cekungan Air Tanah, Direktorat Pembinaan
Pengusahaan Panas Bumi dan Pengelolaan Air Tanah, Direktorat Jenderal Mineral, Batubara
dan Panas Bumi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta.
Anonim, 2008, Manajemen Air Tanah Berbasis Konservasi, Direktorat Pembinaan Pengusahaan
Panas Bumi dan Pengelolaan Air Tanah, Direktorat Jenderal Mineral, Batubara dan Panas
Bumi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta.
Anonim, 2011, Rencana Program Kegiatan Pengelolaan Air Tanah di Cekungan Air Tanah
Yogyakarta-Sleman, Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan dan Energi Sumber Daya Mineral
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Anonim, 2011, Pemetaan Zonasi Konservasi Air Tanah di Cekungan Air Tanah Yogyakarta-
Sleman, Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan dan Energi Sumber Daya Mineral Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta.
Anonim, 2012, Pemetaan Zona Kerentanan Air Tanah di Cekungan Air Tanah Yogyakarta-
Sleman, Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan dan Energi Sumber Daya Mineral Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta.
Badan Geologi Pusat Lingkungan Geologi, 2007, Atlas Cekungan Air Tanah Indonesia,
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta.
Djaeni, A., 1982, Peta Hidrogeologi Indonesia Skala 1:250.000 Lembar IX : Yogyakarta (Jawa),
Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Bandung, Indonesia.
Hendrayana, H., 1993, Hydrogeologie und Grundwassergerwinnung Im Yogyakarta Becken
Indonesien, Doctor Arbeit der RWTH, Aachen, Germany (tidak dipublikasikan).
Hendrayana, H., 1994, Hasil Simulasi Model Matematika Aliran Air Tanah Di Bagian Tengah
Cekungan Yogyakarta, Makalah Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Pertemuan Ilmiah Tahunan
Ke 23, Desember 1994, Yogyakarta.
Hendrayana, H., 2011, Kondisi Sumberdaya Air Tanah pada Pasca Erupsi Merapi 2010,
Disampaikan pada FGD Pengda Kagama DIY : ”Pengelolaan dan Teknik Konservasi Mata
Air Pasca Erupsi Merapi” Yogyakarta, 24 Maret 2011.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2011 tentang Penetapan Cekungan Air
Tanah.
MacDonald and Partners, 1984, Greater Yogyakarta Groundwater Resource Study, Volume 3,
Groundwater Development Project, Direct General of Water Resources Development,
Ministry of Publicworks, Government of Indonesia.
PP No. 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah.
369
L03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Putra, D.P.E., 2003, Integrated Water Resources Management In Merapi – Yogyakarta Basin,
Project AUNSEED-Net, UGM, Yogyakarta. (Tidak Dipublikasikan).
Rahardjo, Wartono; Sukandarrumidi; dan Rosidi, H.M.D., 1995, Peta Geologi Lembar Yogyakarta,
Jawa, Skala 1 : 100.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Setiadi, H, Mudiana, W, Akus, U.T, 1990, Peta Hidrogeologi Indonesia Skala 1 : 100.000 Lembar
1407-5 dan Lembar 1408-2 Yogyakarta, Direktorat Geologi Tata Lingkungan , Direktorat
Jendral Geologi Sumberdaya Mineral, Departemen Pertambangan dan Energi
370
L03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Tabel 2. Perhitungan Cadangan Air Tanah, Tingkat Pemanfaatan dan Neraca Pemanfaatan Air Tanah Sistem Akuifer di CAT Yogyakarta-Sleman
Jarak Ratio
Total
Cadangan Cadangan Air Minimum Pemanfaatan Tingkat Tingkat
Imbuhan Pemanfaatan Persentase
No. Kabupaten Kecamatan Air Tanah Tanah Dinamis antar Sumur dan Pemanfaatan Saldo (lt/thn) Persentase
(lt/thn) Air Tanah Saldo (%)
Statis (m3) (lt/thn) Pemompaan Cadangan Air Tanah Saldo
(lt/thn)
(m) (%)
1 Tempel 467.151.531 124.628.864.975 26.428.292.444 247 18.221.907.052 14,62 Sedang 110.612.013.397 88,75 Tinggi
2 Turi 581.726.370 90.509.846.656 32.742.572.405 212 2.284.926.434 2,52 Rendah 88.752.210.938 98,06 Tinggi
3 Pakem 701.660.312 43.169.446.691 42.392.512.435 145 8.636.223.998 20,01 Sedang 36.526.197.461 84,61 Tinggi
4 Cangkringan 598.930.597 243.755.665.137 34.067.016.609 999 14.712.620.706 6,04 Rendah 232.438.264.593 95,36 Tinggi
5 Ngemplak 617.049.086 1.505.905.684.679 25.683.773.731 798 31.920.619.753 2,12 Rendah 1.481.351.361.792 98,37 Tinggi
6 Ngaglik 590.806.801 215.394.809.151 28.717.116.059 237 8.448.890.718 3,92 Rendah 208.895.662.445 96,98 Tinggi
7 Sleman 480.936.192 81.025.037.865 23.361.537.807 184 21.409.084.954 26,42 Tinggi 64.556.510.977 79,67 Sedang
8 Seyegan 298.297.908 108.397.397.561 15.856.256.284 208 14.320.598.321 13,21 Sedang 97.381.552.699 89,84 Tinggi
9 Sleman Mlati 430.103.137 135.464.219.120 16.789.857.821 211 19.298.942.189 14,25 Sedang 120.618.878.975 89,04 Tinggi
10 Depok 423.317.215 230.440.244.393 20.164.027.010 276 38.861.277.353 16,86 Sedang 200.546.954.121 87,03 Tinggi
11 Berbah 210.637.891 46.128.868.742 11.669.689.231 205 51.729.320.171 112,14 Tinggi 6.337.083.995 13,74 Rendah
12 Prambanan 120.818.717 69.491.081.497 7.707.733.158 1.037 14.878.193.784 21,41 Sedang 58.046.317.048 83,53 Tinggi
13 Gamping 201.818.461 29.609.656.229 12.955.003.657 80 4.680.840.429 15,81 Sedang 26.009.009.745 87,84 Tinggi
14 Godean 200.599.214 27.450.353.720 14.633.438.351 37 4.017.908.331 14,64 Sedang 24.359.655.004 88,74 Tinggi
15 Minggir 196.130.437 344.506.832.640 18.052.915.209 115 59.273.701.318 17,21 Sedang 298.911.563.884 86,77 Tinggi
16 Kalasan 457.870.115 645.680.502.346 18.111.950.765 453 19.983.591.762 3,09 Rendah 630.308.508.682 97,62 Tinggi
17 Moyudan 160.434.452 327.953.270.880 19.589.066.218 115 59.092.609.845 18,02 Sedang 282.497.440.442 86,14 Tinggi
18 Tegalrejo 63.937.976 82.045.761.420 1.507.596.843 685 2.062.011.828 2,51 Rendah 80.459.598.475 98,07 Tinggi
19 Wirobrajan 37.291.291 31.874.152.425 799.863.224 64 1.962.346.945 6,16 Rendah 30.364.654.775 95,26 Tinggi
20 Mantrijeron 47.666.665 49.736.423.912 1.113.056.968 61 1.865.734.000 3,75 Rendah 48.301.243.912 97,11 Tinggi
Kota
21 Jetis 34.243.633 44.767.263.359 845.521.812 660 1.720.779.166 3,84 Rendah 43.443.587.078 97,04 Tinggi
22 Gedongtengen 21.381.984 48.277.621.988 435.011.987 286 1.303.138.330 2,70 Rendah 47.275.207.888 97,92 Tinggi
23 Danurejan 17.211.899 16.498.411.562 446.025.751 155 1.810.995.680 10,98 Rendah 15.105.337.962 91,56 Tinggi
L03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Jarak Ratio
Total
Cadangan Cadangan Air Minimum Pemanfaatan Tingkat Tingkat
Imbuhan Pemanfaatan Persentase
No. Kabupaten Kecamatan Air Tanah Tanah Dinamis antar Sumur dan Pemanfaatan Saldo (lt/thn) Persentase
(lt/thn) Air Tanah Saldo (%)
Statis (m3) (lt/thn) Pemompaan Cadangan Air Tanah Saldo
(lt/thn)
(m) (%)
25 Umbulharjo 101.388.417 37.932.573.900 3.570.635.556 535 5.451.927.282 14,37 Sedang 33.738.783.683 88,94 Tinggi
26 Kotagede 34.761.567 25.769.826.360 1.389.509.663 535 1.890.908.123 7,34 Rendah 24.315.281.650 94,36 Tinggi
27 Mergangsan 39.365.964 48.904.644.095 1.079.879.137 79 1.873.416.172 3,83 Rendah 47.463.554.732 97,05 Tinggi
28 Kota Kraton 31.229.453 41.849.534.645 690.671.851 67 1.783.740.400 4,26 Rendah 40.477.426.645 96,72 Tinggi
29 Gondomanan 20.250.803 54.050.783.297 485.998.801 76 1.303.280.680 2,41 Rendah 53.048.259.697 98,15 Tinggi
30 Pakualaman 13.114.723 45.388.254.558 376.518.198 73 1.203.668.895 2,65 Rendah 44.462.355.408 97,96 Tinggi
31 Ngampilan 16.179.070 41.240.198.060 328.195.956 81 1.284.291.190 3,11 Rendah 40.252.281.760 97,60 Tinggi
32 Banguntapan 225.341.220 275.845.321.241 9.431.985.600 92 54.645.223.507 19,81 Sedang 233.810.533.928 84,76 Tinggi
33 Sewon 249.089.338 298.775.317.278 8.503.761.186 723 57.090.015.061 19,11 Sedang 254.859.921.077 85,30 Tinggi
34 Piyungan 60.949.130 18.948.992.786 4.247.326.154 508 22.123.433.519 116,75 Sangat Tinggi 1.930.967.002 10,19 Rendah
35 Kasihan 173.234.303 94.280.234.661 7.771.258.457 782 24.674.586.038 26,17 Tinggi 75.299.783.863 79,87 Sedang
36 Bantul 117.353.283 234.354.553.190 6.106.496.002 1.806 45.645.934.048 19,48 Sedang 199.242.296.230 85,02 Tinggi
37 Jetis 125.932.955 52.065.838.634 6.268.786.491 389 45.633.023.881 87,64 Sangat Tinggi 16.963.512.571 32,58 Rendah
38 Imogiri 26.014.049 9.282.180.096 1.918.170.721 228 3.601.009.326 38,79 Tinggi 6.512.172.922 70,16 Sedang
39 Bambanglipuro 50.072.389 255.215.659.660 5.841.778.732 1.861 50.657.664.370 19,85 Sedang 216.248.225.529 84,73 Tinggi
Bantul
40 Pandak 91.109.903 51.724.446.563 6.944.352.376 1.027 40.376.194.243 78,06 Sangat Tinggi 20.665.835.607 39,95 Rendah
41 Pundong 55.705.974 47.325.165.607 4.107.533.203 323 20.467.109.916 43,25 Sangat Tinggi 31.581.234.903 66,73 Sedang
42 Srandakan 31.779.732 21.343.320.150 5.636.607.895 1.193 19.734.344.690 92,46 Sangat Tinggi 6.163.055.003 28,88 Rendah
43 Pajangan 17.103.992 10.564.259.458 2.484.841.406 464 12.898.485.011 122,10 Sangat Tinggi 642.347.910 6,08 Rendah
44 Sedayu 63.210.672 28.175.670.169 8.800.990.848 102 35.621.927.156 126,43 Sangat Tinggi 774.187.741 2,75 Rendah
45 Kretek 44.181.944 73.539.384.366 6.009.202.220 520 33.191.159.800 45,13 Sangat Tinggi 48.007.722.981 65,28 Sedang
46 Sanden 38.304.357 39.519.863.747 6.159.199.794 725 40.297.770.869 101,97 Sangat Tinggi 8.521.578.463 21,56 Rendah
47 Pleret 38.721.764 24.462.571.219 3.079.265.556 700 11.135.423.030 45,52 Sangat Tinggi 15.896.861.196 64,98 Sedang
L03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
L03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
L03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
L04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
ABSTRAK
Batugamping merupakan salah satu bahan galian industri yang strategis, karena pemanfaatannya
yang luas. Pemanfaatan batugamping yang terbesar adalah sebagai bahan baku untuk pembuatan
semen. Sejumlah besar batugamping terdapat di beberapa lokasi di Indonesia, salah satunya di
daerah Kecamatan Sale, Kabupaten Rembang, Propinsi Jawa Tengah. Dalam kegiatan eksploitasi
batugamping diperlukan suatu rancangan tambang yang baik dan aman bagi lingkungan sekitarnya.
Kondisi tiap lokasi tambang berbeda – beda dan bervariasi yang dipengaruhi oleh kondisi geologi.
Pada lokasi tambang kuari batugamping di daerah Sale, Kabupaten Rembang terdapat zona cavity
yang merupakan layer atau lapisan batugamping berongga. Lapisan batugamping berongga ini
disebabkan oleh adanya proses pelarutan. Zona cavity tersebut sangat berpotensi sebagai zona
lemah. Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui kondisi zona cavity yang berhubungan
dengan kekuatan batuan pada tambang kuari batugamping di daerah Sale, Jawa Tengah. Penelitian
ini merupakan studi kasus. Hasil akhir penelitian ini berupa analisis kondisi pada zona cavity layer
berupa ketebalan, analisis sifat fisik batugamping berongga dan kekuatan batuan pada cavity layer.
PENDAHULUAN
Daerah Sale, Kabupaten Rembang, Propinsi Jawa Tengah terdapat beberapa jenis bahan galian yang
dapat dimanfaatkan secara ekonomis, salah satunya adalah batugamping. Dengan adanya otonomi
daerah, pengusahaan bahan galian tersebut dapat meningkatkan pendapatan asli daerah yang dapat
mendorong kesejahteraan masyarakat khususnya di daerah bahan galian tersebut. Untuk dapat
memanfaatkan bahan galian yang ada, diperlukan operasi penambangan dan untuk mendapatkan hasil
penambangan yang sesuai dengan nilai ekonomis serta memiliki tingkat keamanan yang memadai,
penambangan harus dilakukan sesuai dengan karakteristik dari bahan galian tersebut. Karakteristik dari
bahan galian sangat beragam dan berbeda antara bahan galian yang satu dengan bahan galian yang lain.
Kondisi tiap lokasi tambang berbeda – beda dan bervariasi yang dipengaruhi oleh kondisi geologi.
Pada lokasi tambang kuari batugamping terdapat adanya zona cavity yang merupakan layers atau
perlapisan – perlapisan batugamping yang berongga. Hal ini diakibatkan adanya proses pelarutan oleh
air. Zona cavity batugamping tersebut sangat berpotensi menjadi zona lemah. Penelitian ini merupakan
studi kasus. Kondisi zona cavity tambang kuari batugamping meliputi ketebalan lapisan batugamping
berongga, analisis sifat fisik batugamping berongga dan kekuatan batugamping berongga pada cavity
layer.
376
L04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Lokasi penelitian secara administrasi terletak di Dusun Pancoran, Desa Tahunan, Kecamatan Sale,
Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah. Secara geografis terletak pada garis meridian 558000
mE – 558600 mE dan 9240400 mN – 9241000 mN (Gambar 1). Kondisi topografi di sekitar daerah
penelitian merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian antara 355 m – 410 m di atas permukaan
air laut (dpl). Daerah ini merupakan termasuk dalam morfologi perbukitan landai hingga curam dengan
kemiringan lereng sebesar 5˚ - 75˚.
KEADAAN GEOLOGI
Zona Rembang termasuk dalam Cekungan Jawa Timur Utara. Zona Rembang meliputi pantai utara
Pulau Jawa yang membentang dari Tuban ke arah timur melalui Lamongan, Gresik, dan hampir
keseluruhan Pulau Madura. Daerah ini meupakan dataran yang berundulasi dengan jajaran perbukitan
yang berarah barat-timur dan berselingan dengan dataran aluvial. Pada Zona Rembang terdapat banyak
perbukitan dan pegunungan lipatan Antiklinorium yang memanjang ke arah Barat – Timur, dari Kota
Purwodadi melalui Blora, Jatirogo, Tuban sampai Pulau Madura. Morfologi di Jalur Rembang dapat
dibagi menjadi 3 satuan, yaitu Satuan Morfologi dataran rendah, perbukitan bergelombang dan Satuan
Morfologi perbukitan terjal, dengan punggung perbukitan tersebut umumnya memanjang berarah Barat
– Timur (searah dengan sumbu lipatan). Daerah penelitian menurut Pringgoprawiro (1983) dan
Situmorang, dkk. (1992) terbentuk oleh batuan karbonat anggota Formasi Paciran. Penamaan formasi
ini diambil dari kota Paciran dan dipakai untuk penamaan satuan batugamping yang banyak tersingkap
di daerah tinggian Tuban, Jatirogo dan Sale, Rembang. Formasi ini tersusun oleh batugamping pejal
dan batugamping dolomitan.
Berdasarkan peta geologi lembar Jatirogo (Gambar 2), seluruh daerah penelitian termasuk ke dalam
Formasi Paciran (Situmorang dkk, 1992). Struktur di zona Rembang yang dapat teramati dengan jelas
adalah berupa struktur lipatan yang berupa sinklin dan antiklin. Zona Rembang ini tersusun oleh batuan
hasil pengendapan sedimen laut yang telah mengalami perlipatan dan pensesaran secara intensif.
Karena merupakan batuan sedimen sehingga ketika terkena tektonik batuan tersebut tidak patah selama
masih dalam batas elastisitas. Sedangkan dalam kaitan kerangka tektonik regional, Zona Rembang
yang termasuk bagian dari cekungan Jawa Timur mengalami tektonik regangan (tension) dan
menghasilkan sesar-sesar normal.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan induktif. Penelitian ini
dilakukan melalui beberapa tahap. Tahap pertama adalah studi literatur, kemudian dilanjutkan dengan
melakukan observasi lapangan di lokasi tambang kuari batugamping untuk mengamati kondisi batuan,
topografi, kemiringan lereng dan kondisi serta ketebalan layers atau perlapisan – perlapisan
batugamping yang berongga (cavity). Tahap selanjutnya yaitu pengambilan sampel batugamping di
zona cavity tambang kuari batugamping untuk diuji sifat fisik batuan dan sifat mekanik batuan, yaitu
dengan melakukan uniaxial compressive strength test di laboratorium mekanika batuan. Berdasarkan
analisis data hasil uji laboratorium tersebut dapat ditentukan sifat fisik batuan dan kekuatan batuan
utuh (intact rock). Kemudian tahapan analisis untuk menentukan karakteristik sifat keteknikan
batugamping berongga pada zona cavity tambang kuari batugamping.
377
L04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Terdapatnya cavity layer ini disebabkan proses pelarutan oleh air. Cavity layer pada tambang kuari
batugamping terdapat pada dinding lereng penambangan yang merupakan suatu lapisan batugamping
yang banyak terdapat rongga – rongga dan mempunyai kemiringan lereng sekitar 600 - 750. Lapisan
batugamping berongga yang melintang ini dengan jelas dapat ditunjukkan pada Gambar 3.
KESIMPULAN
Daerah penelitian ini secara administrasi terletak di Desa Tahunan, Kecamatan Sale, Kabupaten
Rembang, Propinsi Jawa Tengah.Daerah ini termasuk ke dalam Formasi Paciran.
Kondisi topografi di sekitar daerah penelitian merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian antara
355 m – 410 m di atas permukaan air laut (dpl). Daerah ini merupakan termasuk dalam morfologi
perbukitan landai hingga sedang kemiringan lereng sebesar 5˚ - 75˚.
378
L04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Cavity layer di dalam lubang bukaan tambang kuari batugamping di daerah Sale, Rembang mempunyai
ketebalan antara (50 – 300) cm dengan kondisi perlapisan tidak rata dan tidak beraturan.
Kekuatan batugamping berongga pada zona cavity mempunyai kekuatan batuan utuh yaitu sekitar (8-
12,4) Mpa. Batugamping berongga (cavity) mempunyai kekuatan batuan yang tergolong rendah.
Kekuatan batugamping berongga yang rendah disebabkan besarnya nilai porositas pada batugamping
berongga dan hal ini merupakan termasuk salah satu bidang lemah pada lereng penambangan.
DAFTAR PUSTAKA
Deere D.U., and Deere D.W., 1967, Uniaxial Compressive Strength (UCS) after 20 years, Report
manual, Contract DACW39-86-M-4273, Department of the Army, U.S. Corps of Engineers,
Washington DC.
Pringgoprawiro, 1983, Biostratigrafi dan Paleogeografi Cekungan Jawa Timur Utara. Suatu
Pendekatan Baru, Disertasi Program Doktor, Institut Teknologi Bandung.
Situmorang, R. L., Smit, R., dan Van Vessem, E. J., 1992, Peta Geologi Lembar Jatirogo, Jawa, 1509
– 2, Skala 1:100.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Badan Geologi, Departemen
Energi dan Sumberdaya Mineral, Bandung.
Van Bemmelen, R.W., 1949, The Geology of Indonesia, Vol. IA, General Geology of Indonesia And
Adjacent Archipelagoes, Second Edition, MartinusNijhoff, The Hague, Netherland.
Wijaya, A., E., 2013, Laporan Hasil Uji Sifat Fisik dan Mekanik Batugamping Berongga pada
Zona Cavity di Daerah Sale, Rembang, Jawa Tengah, Laboaratorium Mekanika Batuan,
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta.
...................., 2013, Rembang Limestone Quarry, PT. Sinar Asia Fortuna, Rembang, Jawa Tengah.
379
L04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
TABEL 1.Lokasi Koordinat Pengambilan Sampel Batugamping Berongga pada Zona Cavity Layer
Kode Sampel mE mN
A 558358 9240927
B 558383 9240925
C 558404 9240928
D 558419 9240931
E 558433 9240936
F 558444 9240942
G 558459 9240952
H 558473 9240963
I 558487 9240975
J 558497 9240988
381
L04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
GAMBAR 4. Peta Lokasi Pengambilan Sampel Batugamping Berongga pada Zona Cavity Layer
382
L04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
TABEL 2. Hasil Uji Sifat Fisik dan Mekanik Batugamping Berongga pada Zona Cavity Layer
(Wijaya, 2013)
383
L05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
ABSTRAK
Kejadian bencana alam tanah longsor di Indonesia semakin meningkat dalam beberapa tahun
belakangan ini dan diikuti pula dengan sebaran wilayah bencana yang semakin luas. Penanganan
bencana longsor mulai dari tahap mitigasi, pencegahan, respon darurat dan rehabilitasi merupakan
aktivitas lintas bidang yang menuntut terjalinnya koordinasi dan kerjasama yang baik. Salah satu
langkah yang dilakukan dalam upaya mitigasi bencana tanah longsor adalah dengan membuat peta
Risiko Bencana Tanah Longsor. Pelaksanaan program penanggulangan bencana di Indonesia
termasuk Pemetaan risiko longsor diatur dalam Peraturan Kepala BNPB No. 02 Tahun 2012 yang
merujuk juga pada Peraturan Menteri ESDM No. 15 Tahun 2011 dengan beberapa penyesuaian.
Proses pembuatan peta bahaya, kerentanan dan kapasitas tanah longsor menggunakan Sistem
Informasi Geografis. Metode Analytical Hierarcy Process (AHP) digunakan terhadap beberapa
parameter peta untuk penyusunan peta ancaman/bahaya tanah longsor, peta kerentanan dan
kapasitas diperoleh berdasarkan data sekunder terbaru seperti data BPS dan data program desa
tangguh. Unit analisis kerentanan dan kapasitas menggunakan satuan batas administratif
kecamatan. Kemudian peta risiko longsor diperoleh dari analisis overlay antara faktor bahaya,
kerentanan dan kapasitas.
Namun demikian terdapat beberapa hal yang kurang sesuai dari hasil risiko yang didapatkan
apabila dilakukan berdasarkan Peraturan Kepala BNPB No.02 Th. 2012. Tulisan ini akan
membahas pembuatan peta risiko longsor, beserta ketidaksuaian hasil yang didapatkan sekaligus
rekomendasi cara memperbaikinya dengan studi kasus di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kata Kunci : Bencana Tanah Longsor, Peraturan Kepala BNPB NO. 02 th 2012, Sistem Informasi
Geografis
I. PENDAHULUAN
Indonesia yang secara geografis terdiri dari pegunungan, perbukitan, dan pantai
memungkinkan terjadinya berbagai jenis ancaman dan memiliki potensi bencana yang
tinggi salahsatunya adalah bencana gerakan massa atau tanah longsor. Kondisi alam ini
384
L05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
menyebabkan timbulnya risiko bencana alam terutama yang terkait dengan kegiatan
manusia dan kedaruratan kompleks. Resiko menghadapi bencana alam dan kerentanan
masyarakat menunjukkan bahwa rencana penanggulangan bencana adalah wacana yang
wajib dimasukkan dalam agenda rencana pembangunan. Mengingat kompleksnya
permasalahan bencana, diperlukan penataan dan perencanaan penanggulangan bencana
yang matang, agar bencana dapat ditangani dengan terarah dan terpadu. Untuk itulah, pasal
35 dan 36 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
mengamanatkan agar daerah menyusun Rencana Penanggulangan Bencana. Hal ini juga
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana.
Dalam beberapa tahun terakhir, intensitas terjadinya bencana alam tanah longsor di
Indonesia terus meningkat dengan sebaran wilayah bencana yang semakin luas. Pada
umumnya, bencana tanah longsor dijumpai terjadi pada daerah dengan kemiringan
lereng curam dan tersusun oleh tanah yang tebal. Dalam perkembangannya, tanah
longsor di Indonesia tidak hanya terjadi akibat dipicu curah hujan tinggi, perubahan
fungsi lahan, namun dipicu pula oleh gempabumi.
Kompleksitas penyelenggaran penanggulangan bencana memerlukan suatu penataan
dan perencanaan yang matang, terarah dan terpadu. Penanggulangan yang dilakukan
selama ini belum didasarkan pada langkah-langkah yang sistematis dan terencana,
sehingga seringkali terjadi tumpang tindih dan bahkan terdapat langkah upaya
penting yang tidak tertangani. Sebagai salah satu kunci efektivitas penyelenggaraan
penanggulangan bencana, kajian risiko bencana harus disusun menggunakan metode
standar disetiap daerah pada setiap jenjang pemerintahan. Standarisasi metode ini
diharapkan dapat mewujudkan keselarasan penyelenggaraan penanggulangan bencana
yang efektif baik di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota. Tingginya
akselerasi perkembangan ruang ilmu terkait pengkajian risiko bencana menjadi salah
satu bahan pemikiran untuk melaksanakan standarisasi metode. Dengan
mempertimbangkan perkembangan tersebut, dibutuhkan Pedoman Umum yang dapat
dijadikan standar minimal bagi penanggung jawab penyelenggaraan penanggulangan
bencana dalam mengkaji risiko bencana.
Untuk penataan dan perencanaan yang matang sekaligus juga satadarisasi dari
pemetaan resiko bencana itulah maka diterbitkan Peraturan Mensteri Energi dan
Sumberdaya Mineral. Nomor 15 tahun 2011, tentang Pedoman Mitigasi Bencana Gunung
Api, Gerakan Tanah, Gempa Bumi dan Tsunami dan Peraturan Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Bencana Nomer 02 tahun 2012, Tentang Pedoman Umum Pengkajian
Resiko Bencana.
2.2 Metode
Peta Bahaya
386
L05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
387
L05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Peta Risiko
Unit analisis pada perhitungan indeks resiko ini adalah piksel, sehingga perlu
dilakukan konversi dari data vektor menjadi data raster pada peta kapasitas dan
kerentanan. Indeks resiko memiliki rentang 0 – 1, dengan nilai 0 menunjukkan
resiko rendah dan nilai 1 menunjukkan resiko tinggi. Pengkelasan nilai indeks
resiko 3 kelas yang tertuang dalam SK BNPB nomor 2 Tahun 2012.
388
L05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Sumber : SK BNPB nomor 2 Tahun 2012
Gambar 4. Peta bahaya longsor continuous data rentang 0-1 (a), hasil pengkelasan berdasarkan
KepMen ESDM No 15 Th 2011 (b), dan proses pengkelasan berdasarkan Peraturan Kepala
BNPB No 02. Th 2012 (c)
Berdasarkan peta tersebut dapat diketahui distribusi spasial bahaya longsor tinggi di
D.I. Yogyakarta cenderung berada pada morfologi asal proses struktural dan
denudasional yang berada di Kabupaten Kulon Progo (Pegunungan Menoreh) dan
Kabupaten Gunungkidul (Pegungungan Batur Agung), hal tersebut disebabkan
kemiringan lereng yang tinggi, formasi batuan yang relatif lebih tua, curah hujan yang
tinggi. Di kabupaten Kulon Progo sebagian besar bahaya longsor tinggi berada pada
Formasi Kebo Butak dan Formasi Jonggrangan sedangkan di Kabupaten Gunungkidul
terdapat pada Formasi Kebo Butak, Formasi Sambipitu dan Formasi Nganggran. Selain
terdapat pada morfologi struktural, pada kedua daerah tersebut, terdapat proses
pelapukan yang intensif akibat pengkekaran yang sangat intensif, pada batuan breksi,
konglomerat, tuf batulempung dan batupasir sehingga menghasilkan tanah yang tebal.
Pengolahan data tabular untuk membuat peta kerentanan dan kapasitas yang
direpresentasikan pada data spasial dilakukan berdasarkan unit analisis terkecil pada
tingkatan kecamatan. Peta Kerentanan dan Kapasitas tersebut pada kelas rendah diberi
nilai 0,3; sedang nilai 0,6 dan tinggi bernilai 1. Berdasarakan hasil yang didapatkan
dapat diketahui bahwa untuk peta kerentanan (Gambar 5a), maka Kota Yogyakarta
paling tinggi, hal tersebut dikarenakan kerentanan fisik dan sosialnya relatif lebih
tinggi daripada kabupaten lainnya. Kecamatan-kecamatan di Kabupaten Sleman berada
pada kerentanan sedang, dimana kerentanan terhadap sosial, fisik dan ekologi terdapat
di kabupaten tersebut. Sedangkan untuk kecamatan-kecamatan di Kabupaten
Gunungkidul, Bantul dan Kulon Progo mempunyai tingkat kerentanan yang rendah.
Peta kapasitas tiap kecamatan dalam menghadapi bencana longsor berbeda-beda di tiap
389
L05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
kabupaten di DIY (Gambar 5b). Hasil dari peta kapasitas mampu menunjukkan bahwa
beberapa kecamatan yang mendapatkan program desa tangguh mempunyai nilai tinggi
(warna hijau) daripada kecamatan lainnya. Hal tersebut dikarenakan pada nilai
kapasitas dalam aspek mitigasi struktural dan non-struktural lebih tinggi oleh karena
adanya program desa tangguh. Hasil dari peta kerentanan dan kapasitas ini dapat
dikatakan rasional berdasarkan data yang dipakai dan hubungannya dengan kondisi
nyata di lapangan.
Gambar 5. Peta Kerentanan Longsor Provinsi DIY per kecamatan (a), Peta Kapasitas Longsor
Provinsi DIY per kecamatan (b)
Berdasarkan Peraturan Kepala BNPB No. 02 Tahun 2012, hasil dari peta risiko
longsor menunjukkan adanya ketidaksesuaian dengan kondisi nyata di lapangan
dimana sebagian besar daerah Kota Yogyakarta menunjukkan risiko yang terlalu besar.
Hal tersebut terkesan janggal dan dapat dikatakan kurang rasional baik secara keilmuan
maupun kenyataan di lapangan bahwa kota Yogyakarta dengan karakter wilayah yang
sangat jarang sekali atau hampir tidak terdapat kejadian longsor dapat menghasilkan
nilai risiko yang tinggi. Ketidaksesuaian ini disebabkan nilai kerentanan yang tinggi
(1), kapasitas rendah (0,3) walaupun nilai dari bahaya rendah (0,3) sehingga indeks
risiko menjadi tinggi (1). Namun dibalik kalkulasi nilai indeks tersebut ketidaksesuaian
lebih disebabkan karena proses pengkelasan nilai bahaya dari 4 kelas menjadi 3 kelas,
dimana kelas sangat rendah yang dimasukkan ke kelas rendah berdasarkan Peraturan
Kepala BNPB no.02 th 2012 dengan nilai 0,3.
Gambar 6. Ketidaksesuaian hasil dari Peta Indeks Risiko Longsor Provinsi DIY berdasarkan
Peraturan BNPB no.02 th 2012 terhadap keadaan riil di lapangan.
390
L05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 7. Hasil penyesuaian terhadap peta indeks risiko longsor Provinsi DIY.
391
L05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
IV. KESIMPULAN
Masih terdapat beberapa kekurangan untuk pembuatan peta resiko bencana tanah
longsor menggunakan Peraturan Kepala BNPB No. 02 Tahun 2012, hal ini dapat
berakibat fatal seperti yang terlihat pada peta resiko tanah longsor di Daerah Istimewa
Yogyakarta, dimana daerah yang semestinya mempunyai tingkat resiko rendah, namun
dalam peta resiko yang dihasilkan mempunyai tinggkat resiko tinggi.
Hal ini dapat diartikan bahwa perlu revisi atau perbaikan yang substansional pada
Peraturan Kepala BNPB No. 02 Tahun 2012, sehingga dapat dihasilkan peta resiko
yang lebih baik dan sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Salah satu cara yang dapat
dilakukan untuk mengurangi kesalah jika kita melakukan pemetaan resiko tanah
longsor mengaju pada Peraturan Kepala BNPB No. 02 Tahun 2012, adalah dengan
menggunakan pendekatan morfologi.
392
L06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
ABSTRACT
Indonesian government through the National Nuclear Agency has planned to build a nuclear
power plants, with one’s site study area in Bangka Barat Regency, Bangka Belitung Archipelago
Province. Engineering geology condition is not yet know in detail. Therefore, some researches are
necessary to do to know the engineering geology condition, especially the rock mass quality in
detail. Engineering geology investigations is carried out by assessing the rock mass quality and
bearing capacity based on field observation and drilling data were done by using Geological
Strength Index classification. The Rock mass at the study area was divided into four units, namely
Units of Sandstone, Granite, Mudstone and Pebbly Sandstone. The GSI value in the study area is
influenced by the parameters of discontinuity space density, roughness, grade of weathering or
alteration. From all four rock units which have been analyzed, Granite Unit has the best quality
which is showed by the average GSI value is 66 with in 393 Ha large area. Based on GSI value of
Granite Unit can be estimated the range of uniaxial compressive strength value is 1.0465 - 183.8
MPa, tensile strength is between -0.0122 - -5.2625 MPa, the rock mass strength value is between
24.5244 - 220.351 MPa, and modulus of deformation with a range 1.73 - 86.68 GPa. Granite Unit
is the most appropriate location for the shallow nuclear power plants foundation with raft
foundation type.
Keywords: Geological Strength Index, Nuclear Power Plants, Rock Mass Quality.
Pendahuluan
Pemerintah Indonesia memiliki rencana untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga
Nuklir (PLTN), dengan salah satu lokasi studi tapak PLTN di Teluk Inggris - Tanah
Merah, Kecamatan Muntok, Kabupaten Bangka Barat, Propinsi Kepulauan Bangka
Belitung (Gambar 1). Penyelidikan geologi teknik tapak PLTN dilakukan secara
komprehensif untuk mengetahui kondisi geologi teknik secara detail, termasuk aspek
mekanika batuan.
Secara fisiografi Pulau Bangka merupakan pulau terbesar di Paparan Sunda [1],
terletak pada Sundaland Craton Lempeng Eurasia [2]. Paparan Sunda membentuk inti
relatif stabil Sundaland, yaitu hasil penggabungan beberapa terrane sebelum Perm [3].
Aktivitas tektonik diperkirakan dimulai waktu Perm dengan pembentukan Malihan Pemali,
kemudian pada Trias Awal terjadi penurunan dan pengendapan Formasi Tanjung Genting,
selanjutnya terjadi pengangkatan dan intrusi Granit Klabat pada Trias Akhir - Jura Akhir,
setelah pengendapan Formasi Ranggam di Kala Miosen Akhir - Pleistosen Awal terjadi
pengangkatan dan pendataran Kala Holosen [4].
Massa batuan merupakan material batuan yang mengalami proses keruntuhan
kompleks [5, 6]. Secara ideal massa batuan tersusun oleh sistem blok batuan dan fragmen-
393
L06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
0 1 2 km
Batu Betumpak
Muntok
KETERANGAN :
Laut
Jalan
Selat Bangka Lokasi penelitian Peta Indeks
Metode Penelitian
Evaluasi kualitas massa batuan pada lokasi studi tapak PLTN menggunakan klasifikasi
Geological Strength Index (GSI) [10] berdasarkan data singkapan batuan (data permukaan)
dan inti bor (data bawah permukaan). Melalui metode GSI dapat diestimasi besar kekuatan
dan modulus deformasi massa batuan [11].
394
L06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
lereng dari Van Zuidam [13] dapat dibedakan menjadi morfologi dataran landai, dataran
agak landai, dataran bergelombang, dan bukit agak curam.
395
L06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
(A) (B)
(C) (D)
396
L06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
397
L06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Sungai
100 m
BBH 09 BBH 08
BBH 11
0m
-100 m
E 500 m 1000 m 1500 m F
Sungai
Sungai
100 m
-100 m
? 500 m 1000 m 1500 m
G H
Sungai
Sungai
Sungai
Sungai
Sungai
100 m
BBH 06A
BBH 07A
0m
-100 m
I 500 m 1000 m 1500 m 2000 m 2500 m J
Sungai
Sungai
Sungai
100 m
BBH 06 BBH 05
BBH 07 BBH 04
0m
-100 m
K 500 m 1000 m 1500 m 2000 m 2500 m 3000 m L
Sungai
Sungai
Sungai
Sungai
100 m
-100 m
M 500 m 1000 m 1500 m 2000 m 2500 m N
Sungai
Sungai
100 m
Bukit Nibung
BBH 02 BBH 01A
BBH 03 BBH 01
0m
-100 m
O 500 m 1000 m 1500 m 2000 m P
Keterangan :
Batupasir Kerikilan : halus - sangat kasar, kerikilan, lapuk sedang, agak liat dan agak lepas,
disisipi batulempung, kekuatan (UCS) 2,93 MPa.
Granit : kristalin, segar - lapuk sedang, sangat kompak, terkekarkan kuat, kekuatan (UCS)
252,14 - 289,71 MPa.
Gambar 4. Sayatan geologi teknik (E-F, G-H, I-J, K-L, M-N dan O-P)
398
L06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
399
L06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
(A) (B)
400
L06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
401
L06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Kesimpulan
Secara umum kualitas GSI massa batuan dikategorikan jelek - baik. Satuan Granit
memiliki kualitas terbaik diantara semua satuan batuan. Satuan Granit dengan luas sebaran
sekitar 393 Ha mempunyai kualitas GSI baik. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas
Satuan Granit adalah variasi kerapatan spasi diskontinuitas, pengisi, kekasaran, dan variasi
tingkat pelapukan.
Berdasarkan Evaluasi kualitas dan kapasitas dukung massa batuan, maka Satuan Granit
menjadi lokasi paling tepat untuk penempatan tapak dangkal PLTN. Karena berdasarkan
atas nilai GSI, Satuan Granit tersebut mempunyai estimasi besar kuat tekan antara 1,0465 -
183,8 MPa, kuat tarik antara -0,0122 - -5,2625 MPa, kekuatan massa batuan 24,5244 -
220,351 MPa, dan besar modulus deformasi 1,73 - 86,68 GPa.
402
L06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 7. Peta kesesuaian lokasi fondasi PLTN berdasarkan daya dukung batuan
403
L06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Daftar Pustaka
[1] Van Bemmelen, R.W., The Geology of Indonesia, General Geology Volume I A.
Martinus Nighoff, The Hague, Netherland, 1970.
[2] Barber, A.J., Crow, M.J. and Milsom, J.S. 2005. Sumatra : Geology, Resources and
Tectonic Evolution. Geological Society Memoir, No. 31.
[3] Van Gorsel, J.T., Sundaland : Bibliography of The Geology of Indonesia and
Surrounding Areas, Edition 4.1., Bibliography of Indonesian Geology, 2012.
[4] Margono, U., Supandjono, R.J.B. dan Partoyo, E., Peta Geologi Lembar Bangka
Selatan, Sumatra. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung, 1995.
[5] Wyllie, D.C. and Mah, C.W., Rock Slope Engineering. Civil and Mining Engineering,
4th Edition, Spon Press, New York, 2004.
[6] Giani, G.P., Rock Slope Stability Analysis, A.A. Balkema Publishers, Rotterdam,
Netherlands, 1992.
[7] Palmstrom, A., RMi - A Rock Mass Characterization System for Rock Engineering
Purposes. Thesis (PhD), Oslo University, Norwegia, 1995.
[8] Bates, R.L. and Jackson, J.A., Glossary Geology, 3th Edition, American Geological
Institute Elexandria, Virginia, 1987.
[9] Hoek, E, Practical Rock Engineering, Notes, Evert Hoek Consulting Engineer Inc.,
Canada, 2007.
[10] Hoek, E., “Strength of Rock and Rock Masses”, News J ISRM 2 (2):4-16, 1994.
[11] Hoek, E., Carranza-Torres, C. and Corkum, B., “Hoek-Brown Failure Criterion-2002
Edition”, Proc. NARMS-TAC Conf., Toronto, Vol. 1, p. 267-273, 2002.
[12] Howard, A. D., “Drainage Analysis in Geologic Interpretation A Summation”, The
American Association of Petroleum Geologists Bulletin, Vol. 51, p. 2246-2259, 1967.
[13] Van Zuidam, R.A., Guide to Geomorphologic-Aerial Photographic Interpretation
and Mapping. ITC, Enschede, Netherland, 1983.
[14] Mangga, A.S. dan Djamal, B., Peta Geologi Lembar Bangka Utara, Sumatra, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung, 1994.
404
L07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
KERENTANAN AIRTANAH DI
KECAMATAN GAMPING, KABUPATEN SLEMAN,
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
D.P.E. Putra, dan Sangka Aryawicaksona
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Indonesia
SARI
Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 12 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) menyatakan bahwa Kecamatan Gamping akan dikembangkan menjadi suatu kawasan
industri menengah dan kawasan permukiman perkotaan dengan kepadatan penduduk yang tinggi.
Untuk mengetahui ketepatan perencanaan tata ruang wilayah ini menurut aspek hidrogeologinya,
pemetaan kerentanan airtanah terhadap pencemaran yang akan menjadi risiko akibat keberadaan
kawasan industri dan permukiman padat merupakan suatu hal yang sangat penting dilakukan. Hasil
evaluasi antara RTRW dan Tingkat Kerentanan Airtanah berguna sebagai dasar pengambilan
keputusan di pemerintahan tentang pemanfaatan lahan dan perlindungan air tanah. Tahapan
pertama pemetaan kerentanan airtanah terhadap pencemaran ini dilakukan dengan melakukan
pemetaan hidrogeologi untuk mengetahui kedalaman muka airtanah dan litologi penyusun zona
tidak jenuh air serta pengumpulan data sekunder berupa data curah hujan dan temperatur
permukaan tahunan yang digunakan untuk memperkirakan jumlah imbuhan airtanah. Uji
laboratorium untuk grain size analysis juga dilakukan untuk mengklasifikasikan litologi zona tidak
jenuh air. Hasil observasi lapangan menunjukkan bahwa ketebalan zona tidak jenuh air 1-12 m dan
material penyusun zona tidak jenuh air didominasi oleh endapan pasir serta nilai imbuhan airtanah
rerata tahunan sebesar 338,4 mm/tahun. Peta kerentanan airtanah diperoleh dengan
mengimplementasikan parameter kedalaman airtanah, litologi penyusun zona tidak jenuh air dan
imbuhan airtanah dengan mengaplikasikan metode pemetaan kerentanan airtanah Simple Vertical
Vulnerability (SVV). Tingkat kebenaran dari peta kerentanan ini divalidasi dengan cara
membandingkan klas kerentananan, tata guna lahan dan kadar Nitrat pada airtanahnya, hasilnya
terdapat korelasi positif antara faktor-faktor tersebut. Kadar Nitrat pada airtanah dominan masih
dibawah 10 mg/L, dimana kadar Nitrat yang lebih tinggi diperoleh pada tata guna lahan
permukiman padat penduduk. Hal ini membuktikan bahwa pencemaran airtanah ditentukan oleh
interaksi antara keberadaan tata guna lahan sebagai sumber pencemar dan kerentanan intrinsik
airtanah.
1 PENDAHULUAN
Kecamatan Gamping merupakan kawasan penyangga kota Yogyakarta. Berdasarkan
Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 12 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Sleman Tahun 2011 – 2031 maka Kecamatan Gamping akan
dikembangkan menjadi suatu kawasan industri menengah dan kawasan permukiman
perkotaan. Kepadatan penduduk diarahkan untuk tinggi.
Sumber utama air yang digunakan di Kecamatan Gamping adalah airtanah. Oleh
karena itu sangat penting untuk menjaga kelestarian dan kebersihan airtanah dari pencemar
dan aktivitas manusia yang menyebabkan airtanah menjadi langka seperti pemompaan
yang berlebih. Seiring dengan kemajuan teknologi, khususnya di bidang industri maka
produksi berbagai macam alat untuk memenuhi kebutuhan manusia makin besar. Begitu
pula limbah yang dihasilkan oleh manusia juga semakin besar, baik limbah hasil kegiatan
405
L07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
2 DAERAH STUDI
Daerah studi terletak di Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Daerah ini terletak diantara 420939,97 East hingga
428058,34 East dan 9134006,4 North hingga 9144657,05 North dengan luas wilayah
29,25 km2 (BPS Sleman, 2012).
Secara regional, daerah studi terdiri atas dua formasi, yaitu Formasi Yogyakarta yang
merupakan hasil letusan Gunungapi Merapi pada suksesi Kuarter dan tersusun oleh pasir,
gravel, lanau, dan lempung; Formasi Sentolo yang terbentuk pada suksesi Tersier dan
tersusun oleh napal, batugamping, dan batugamping napalan (Mac Donald & Partners,
1984). Berdasarkan hasil observasi, daerah studi dapat dibagi menjadi 3 satuan
geomorfologi, yaitu Satuan Dataran Kaki Gunungapi, Satuan Dataran Fluviovulkanik dan
Satuan Perbukitan Struktural Denudasional (lihat Gambar 1). Satuan Dataran Kaki
Gunungapi dan Satuan Dataran Fluviovulkanik tersusun atas endapan pasir geluhan dan
pasir kasar yang merupakan bagian Formasi Yogyakarta yang merupakan salah satu
akuifer utama di Cekungan Airtanah Yogyakarta-Sleman, sedangkan satuan perbukitan
struktural denudasional tersusun atas napal yang merupakan bagian dari Formasi Sentolo
(lihat Gambar 2). Menurut MacDonald & Partners (1984), napal dari Formasi Sentolo ini
merupakan akuitar-akuiklud.
Secara hidrogeologi, daerah penelitian terletak di bagian barat daya Cekungan
Airtanah Yogyakarta yang secara klimatologi memiliki curah hujan tahunan sebesar 2050
mm/tahun dengan musim kemarau dimulai Bulan Mei – Oktober dan musim penghujan
November – April. Suhu tahunan rata-rata wilayah kecamatan ini adalah 25,3ºC.
Berdasarkan perhitungan empiris dan kesetimbangan air, evapotranspirasi nyata
Kecamatan daerah studi adalah sebesar 1367 mm/tahun, dengan nilai runoff 345 mm/tahun
dan nilai imbuhan airtanah sebesar 338 mm/tahun. Kedalaman muka airtanah di daerah
penelitian berkisar antara 1-12 m, dimana kedalaman yang relatif dangkal berada pada
bagian selatan daerah penelitian dan kedalaman muka airtanah dalam terkonsentrasi pada
bagian tengah daerah studi berasosiasi dengan keberadaan Sungai Bedog. Arah aliran
airtanah mengalir secara umum utara-selatan.
406
L07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
407
L07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Tabel 1: Nilai SVV untuk faktor tingkat perkolasi (Wu) menurut kelas tingkat perkolasi.
Tingkat Imbuhan Nilai Tingkat
Airtanah (mm/tahun) Perkolasi
> 50 14
50 – 100 10
100 – 200 8
200 – 300 6
300 – 400 5
400 – 500 4
500 – 600 3
> 600 2
Sumber: Putra (2007)
Skor numerik akhir metode SVV dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
PT = L + Z + Wu
Dimana:
PT Skor akhir efektivitas perlindungan zona tidak jenuh air
L Nilai untuk penutup batuan/tanah
Z Nilai untuk ketebalan zona tidak jenuh air (kedalaman muka airtanah)
Wu Nilai untuk tingkat imbuhan air tanah
Pada kondisi zona tidak jenuh air yang disusun oleh beberapa lapisan tanah/endapan, perlu
dipahami bahwa lapisan yang permeabilitasnya paling kecil akan mengontrol tingkat
imbuhan airtanah dan tingkat perkolasi air. Maka, skor numerik akhir dari metode SVV
yang dikembangkan untuk kondisi perlapisan endapan ini dihitung menggunakan rumus
(Putra, 2007:
PT = La + Z + Wu
Dimana:
PT Skor akhir efektivitas perlindungan zona tidak jenuh air
La Nilai rata-rata penutup batuan atau tanah ; La = (L1 + L2 +…+ Ln)/n
Z Nilai ketebalan zona tidak jenuh air (kedalaman muka airtanah)
Wu Nilai tingkat imbuhan air tanah rata-rata
n Jumlah lapisan zona tidak jenuh air
Tabel 2: Nilai SVV untuk faktor material di atas akuifer (L) menurut jenis batuan belum
terkonsolidasi dan tanah.
Kelas Tekstur Tanah dan Batuan Kode Tekstur Tanah dan Nilai Faktor Material
Batuan (AG Boden, 1996) di atas Akuifer
Pasir kerikilan - kerikil pasiran Gs, SG 8
Pasir sedang mS, mSgs 11
Pasir halus - sedang, pasir sedang mSfs, fSms, Su 16
- kasar, pasir lanauan
pasir geluhan, pasir agak Sl, St’, fS 24
lempungan, pasir halus
Pasir lanauan, pasir lempungan, Su, St, Us 29
408
L07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
lanau pasiran
Geluh pasiran, pasir geluh Ls,Slu, Uls 32
lanauan, lanau pasiran geluh
Geluh lanauan, lanau, lanau Lu, Uu, Ut 36
lempungan
Geluh lempungan, geluh pasiran Lt, Lts 42
lempungan
Lempung lanauan Tu 49
Lempung geluhan Tl 51
Lempung Tt 56
Sumber: Putra (2007)
Tabel 3: Rating akhir dari metode SVV dan klasifikasi kerentanan airtanah.
Interval Efektivitas Perlindungan Kerentanan Waktu Residen Relatif
Rating Lapisan di atas Akuifer Airtanah Intrinsik pada Zona Tidak Jenuh
Akhir Air
>70 Sangat tinggi Sangat rendah > 25 tahun
> 65 – 70 Tinggi Rendah 10 – 25 tahun
> 35 – 65 Sedang Sedang 3 – 10 tahun
> 24 – 35 Rendah Tinggi Beberapa bulan – 3
tahun
< 24 Sangat rendah Sangat tinggi Beberapa hari – 1 tahun
Sumber: Putra (2007)
409
L07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 4. Peta ketebalan zona tidak jenuh air (Z) daerah penelitian.
410
L07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
umum dikenal dengan kerentanan intrinsik. Zona kerentanan sangat tinggi di daerah studi,
disebabkan oleh kedalaman muka airtanah (tebal zona tidak jenuh airtanah) yang sangat
dangkal – agak dalam (2-7m) sehingga waktu tempuh air dan kontaminan dari permukaan
menuju muka airtanah menjadi sangat cepat, material penyusun zona tidak jenuh air yang
tersusun atas pasir geluhan – pasir kerikilan akan menyebabkan nilai faktor overlay
material penyusun zona tidak jenuh air rendah sehingga air dan kontaminan mudah
mengalami perkolasi menuju muka airtanah (pasir memiliki porositas dan permeabilitas
yang tinggi). Nilai imbuhan airtanah yang cukup besar juga mempercepat proses infiltrasi
dan perkolasi air dan kontaminan menuju muka airtanah. Beberapa faktor tersebut
menyebabkan nilai akhir perlindungan efektif zona tidak jenuh air menjadi sangat rendah
sehingga memiliki kerentanan intrinsik yang sangat tinggi. Faktor penyebab zona
kerentanan tinggi sebagian besar sama seperti zona kerentanan sangat tinggi seperti
material penyusun zona tidak jenuh air berupa pasir halus – pasir kerikilan dan nilai
imbuhan airtanah yang cukup besar. Hal yang menjadi pembeda adalah kedalaman muka
airtanah (tebal zona tidak jenuh air) pada zona ini agak dangkal - dalam berkisar antara 4
sampai 12 m.
Perlu dipahami bahwa, setiap metode penentuan kerentanan airtanah dapat
merefleksikan perihal parameter-parameter berbeda dan dapat digunakan pada sistem
hidrogeologi tertentu, cara satu-satunya untuk mendapatkan kepercayaan dalam pemetaan
kerentanan adalah dengan membandingkan hasil dari beragam teknik dan menganalisis
konsistensinya dalam studi kasus nyata dimana kontaminasi telah digunakan (Stigter, et al.,
(2006); Gogu, et al.(2003). Oleh karena itu, pada penelitian ini kadar Nitrat pada airtanah
digunakan sebagai indikator validasi.
Menurut Morris, et al. (2003) kadar pencemaran airtanah ditentukan oleh
kerentanan airtanah daerah tersebut serta pasokan kontaminan dari sumber kontaminan
yang berpotensi mencemari airtanah daerah tersebut. Sumber kontaminan (nitrat) sangat
bergantung pada tata guna lahan pada permukaan tanah. Hasil analisa nitrat terhadap tata
guna lahan dapat dilihat pada gambar 7. Menurut Smith, et al.(1999) septic tank
merupakan sumber utama pencemaran nitrat pada kawasan permukiman. Selain itu
Appleyard (1995) mengatakan bahwa semakin tua usia permukiman maka kandungan
nitrat pada airtanahnya akan semakin tinggi (permukiman padat merupakan permukiman
tua sedangkan permukiman tidak padat merupakan permukiman baru). Hal inilah yang
menyebabkan kandungan nitrat pada airtanah di kawasan permukiman padat mengandung
nitrat dalam jumlah yang lebih tinggi dibandingkan dengan tata guna lahan yang lain.
Gambar 7. Diagram boxplot konsentrasi nitrat dibandingkan dengan tata guna lahan di
daerah studi.
411
L07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Untuk memvalidasi zona kerentananan airtanah, matrik hubungan antara kadar Nitrat
dengan sumber pencemar (pertanian/sawah, pemukiman tidak padat/baru dan pemukiman
padat tua) dan klas kerentanan airtanah dibuat (lihat Tabel 4). Berdasarkan Tabel 4, dapat
dilihat bahwa kadar Nitrat yang relatif tinggi selalu berkorelasi dengan klas kerentanan
sangat tinggi-tinggi dan pemukiman padat, sedangkan kadar yang lebih rendah didapatkan
pada kelompok tata guna lahan yang lain.
Tabel 4. Matrik hubungan antara tata guna lahan, klas kerentanan airtanah dan kadar Nitrat
pada airtanah di daerah studi.
Tata Guna Lahan Kerentanan airtanah
Tinggi Sangat Tinggi
Pemukiman Padat/Tua Kadar Nitrat Kadar Nitrat
4,9-13,2 mg/L 12.8
mg/L
Pemukiman Tidak Padat/Baru Kadar Nitrat Kadar Nitrat
0,1-7 0,2-5,3 mg/L
mg/L
Persawahan Kadar Nitrat Kadar Nitrat
0,4-1,8 mg/L 5,2-7,2 mg/L
Tabel 4 juga memperlihatkan pada tata guna lahan persawahan yang sama namun klas
kerentanan airtanah yang berbeda, kadar Nitrat pada airtanah didapatkan lebih tinggi pada
zona kerentanan sangat tinggi. Walaupun korelasi positif muncul pada tata guna lahan
pemukiman padat/tua dan persawahan, korelasi positif ini tidak muncul pada tata guna
lahan pemukiman tidak padat/baru, tentu saja hal ini memerlukan penelitian yang lebih
detil agar didapatkan jawaban dari anomali pada tata guna pemukiman tidak padat/baru.
Berkaitan dengan RTRW Kab. Sleman 2011-2031, kerentanan airtanah tinggi –
sangat tinggi di daerah studi menunjukkan bahwa pengembangan kawasan ini menjadi
kawasan industri menengah dan pemukiman padat perlu diikuti dengan aturan
perlindungan terhadap kualitas airtanahnya. Upaya kelola lingkungan dan upaya
pemantauan lingkungan perlu diatur dengan ketat sehingga kualitas airtanah di wilayah
Kecamatan Gamping ini dapat tetap baik dan termanfaatkan secara berkelanjutan.
5 KESIMPULAN
Sesuai dengan tujuan penelitian dan hasil penelitian maka beberapa kesimpulan
dapat dirumuskan dari penelitian ini, yaitu:
1. Berdasarkan metode SVV, Kerentanan airtanah di Kecamatan Gamping pada dataran
kaki Gunung Api dan dataran Fluviovolkaniknya terdiri dari 2 zona kerentanan airtanah
yaitu zona kerentanan airtanah tinggi dan zona kerentanan airtanah sangat tinggi.
Sedangkan untuk wilayah perbukitan yang disusun oleh napal anggota Formasi Sentolo,
klas kerentanan airtanahnya tidak dapat ditentukan oleh metode SVV.
2. Matrik hubungan antara kadar Nitrat, tata guna lahan dan klas kerentanan airtanah di
daerah penelitian menunjukkan selain kerentanan airtanahny, aspek tata guna lahan
memiliki korelasi positif terhadap kadar Nitrat pada airtanah khususnya untuk tata guna
lahan pemukiman padat/tua dan persawahan.
3. Menilik klas kerentanan airtanahnya, pengembangan wilayah Kec. Gamping menjadi
kawasan industri menengah dan pemukiman padat perlu diikuti dengan aturan
perlindungan terhadap kualitas airtanahnya. Upaya kelola lingkungan dan upaya
412
L07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
pemantauan lingkungan perlu diatur dengan ketat sehingga kualitas airtanah di wilayah
Kec. Gamping ini dapat tetap baik dan termanfaatkan secara berkelanjutan.
Daftar Pustaka
Appleyard, S., 1995, The Impact of Urban Development on Recharge and Groundwater
Quality in Coastal Aquifer Near Perth, Western Australia, Hydrogeology Journal,
Vol.3, No.2, Springer – Verlag.
BPS Sleman, 2012, Kecamatan Gamping Dalam Angka 2012, BPS Sleman
Gogu, R.C, Hallet, V., and Dassargues, A. (2003), Comparison of aquifer vulnerability
assessment techniques in Néblon river basin, Belgium, Environmental Geology
44:881-892
McDonald and Partners, (1984), Greater Yogyakarta groundwater resources study:
Groundwater (Vol. 3). Groundwater Development Project (P2AT). Ministry of Public
Works, Government of the Republic of Indonesia. pp.14-69
Morris, B.L., Lawrence, A.R.L., Chilton, P J C, Adams, B., Calow R.C. and Klinck, B.A.,
2003, Groundwater and its Susceptibility to Degradation: A Global Assessment of the
Problem and Options for Management. Early Warning and Assessment Report Series,
RS.03-3. United Nations Environment Programme, Nairobi, Kenya.
Pemerintah Kabupaten Sleman, 2012, Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 12
Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sleman Tahun
2011-2031.
Putra, D.P.E. (2007), The Impact of Urbanization on Groundwater Quality: A Case Study
in Yogyakarta City-Indonesia. Aachen, German: RWTH.
Smith,G.D., Wetselaar,R., Fox, J.J., Van de Graff, R.H.M., Moelhardjo, D., Sarwono, J.,
Asjari, W.S.R., Tjojudo, S., dan Basuki, 1999, The Origin and Distribution of Nitrate in
Groundwater From Village Wells in Kotagede, Yogyakarta, Indonesia, Hydrogeology
Journal, Vol.7, Springer – Verlag.
Stigter,E.T, Ribeiro, L., and Carvalho-Dill, A. M. M (2006), Evaluation of an Intrinsic and a
specific vulnerability assessment method in comparison with groundwater salinisation
and nitrate contamination levels in two agriculture regions in the south of Portugal.
Hydrogeological Journal 14: 79 – 99
Vrba and Zaporozec (1994). Guidebook on Mapping Groundwater Vulnerability.
International Association of Hydrogeologists; Vol. 16, XV, pp.28-48
413
L08 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
ABSTRAK
Saat ini, Internet menjadi salah satu kebutuhan utama masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, akan
lebih baik apabila internet dapat dikembangkan menjadi komponen penting dalam mitigasi bencana.
Indonesia memiliki banyak daerah yang berpotensi mengalami longsor. Tanah longsor dari tahun ke
tahun selalu merugikan bagi masyarakat, baik dari segi material dan immaterial. Hal ini dapat dicegah
dengan membuat sistem peringatan dini dengan teknologi berbasis internet. Sistem peringatan dini juga
dapat mendidik masyarakat dengan cara melibatkan masyarakat dalam mengembangkan sistem
peringatan dini. Secara umum, metode yang digunakan adalah tahap lapangan dan tahap bengkel.
Observasi lapangan adalah untuk mengetahui kondisi geologi termasuk geomorfologi, kemiringan dan
tata guna lahan. Sedangkan tahap bengkel adalah pembuatan alat dan simulasi. Konsep sistem
peringatan dini adalah dengan menggunakan potensiometer sebagai Sensor Mekanik dan Tiltmeter
untuk sensor kemiringan. Sensor mekanik memiliki tuas penarik kawat yang ditanam pada kedalaman
tertentu. Ketika terjadi gerakan tanah, tuas penarik kawat akan tertarik dan akan diubah menjadi
tegangan oleh sensor potensiometer . Sementara tilt sensor bekerja ketika ada perubahan dalam
kemiringan lokasi pemasangan detektor dibuat dan dibaca dalam Minimum Sistem Pengolahan Data
ATMEGA 32 sebagai menentukan apakah tanah dianggap sebagai suatu kegiatan atau tanah longsor.
Setiap data yang disimpan MMC ( Memory Card Micro ). Jika gerakan tanah dianggap sebagai tanah
longsor, sirene akan diaktifkan dan modul Wireless Xbee Pro 900 XSC Prima akan mengirim pesan
melalui internet ke lokasi sekitar bencana sehingga masyarakat memiliki waktu untuk mengungsi.
Kata kunci : Tanah Longsor , Potensiometer , Sistem Minimum ATMEGA 32 , Wireless
414
L08 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Pendahuluan
Gerakan tanah atau yang dikenal dengan tanah longsor adalah salah satu peristiwa
geologi berupa pergerakan massa/tubuh tanah dengan berbagai jenis gerakan. Gerakan tanah
ini dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu gaya penahan dan gaya pendorong. Gaya penahan
berkaitan dengan kepadatan tanah dan kekuatan batuan. Sedangkan gaya pendorong berkaitan
dengan kandungan air dalam tanah, sudut kelerengan, beban dan densitas tanah atau batuan.
Apabila gaya pendorong lebih besar dibandingkan dengan gaya penahan, maka akan terjadi
ketidakseimbangan sehingga dapat menyebabkan gerakan tanah atau tanah longsor. Terjadinya
tanah longsor dapat dipicu oleh beberapa hal seperti tingginya curah hujan, kemiringan lereng
yang terjal, tanah yang kurang padat, batuan dasar yang tidak terlalu kuat, tata guna lahan,
getaran, pengikisan atau erosi dan penambahan beban.
Indonesia memiliki karakteristik daerah yang didominasi oleh topografi tinggian dan
rendahan, curah hujan yang tinggi dan berada pada jalur cincin api (ring of fire). Beberapa hal
tersebut menjadikan Indonesia rentan terhadap bencana tanah longsor. Telah tercatat bahwa
Indonesia memiliki kurang lebih 918 lokasi rawan bencana tanah longsor yang mengancam
kehidupan manusia serta kerugian material yang tidak sedikit. Sampai saat ini juga masih
banyak kejadian tanah longsor yang menelan banyak korban jiwa. Intensitas bencana longsor
pun semakin meningkat dari tahun ke tahun dengan sebaran luas wilayah yang juga semakin
meningkat. Hal itu disebabkan karena sekitar 60% daratan di wilayah Indonesia merupakan
daerah rentan longsor dan daerah yang rentan longsor tersebut terus menerus mendapat
gangguan untuk pembangunan yang kurang berwawasan lingkungan (BNPB, 2011).
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada masa kini terutama dalam bidang
komunikasi berkembang begitu pesat. Salah satu contoh adalah perkembangan internet dan
teknologi wireless yang saat ini telah lazim digunakan oleh masyarakat luas. Di masa depan,
teknologi ini akan menjadi kebutuhan standar seiring dengan perkembangan teknologi yang
lain di masa mendatang. Dengan begitu, pemanfaatan internet dan wireless dapat diaplikasikan
ke dalam berbagai bidang seperti peringatan dini tanah longsor seperti yang dibahas dalam
gagasan ini. Terlebih Indonesia mencanangkan diri menjadi cyber country pada tahun 2030,
dimana seluruh kawasan di Indonesia telah memiliki akses internet wifi, (Menkominfo, 2012).
Gagasan ini diangkat sebagai salah satu upaya optimistik dan visioner yakni dengan
memanfaatkan teknologi semaksimal mungkin demi kebermanfaatan masyarakat Indonesia.
Dengan semakin majunya teknologi dan ilmu pengetahuan dalam pemanfaatannya, gagasan
ini akhirnya diangkat. Selain itu, gagasan ini diharapkan mampu stimulus seluruh masyarakat
Indonesia khususnya para pemuda dan pemudi untuk terus mengembangkan inovasinya di
bidang teknologi. Tidak hanya di bidang mitigasi bencana, gagasan ini diharapkan mampu
menjadi semangat untuk pengembangan teknologi di bidang lainnya.
415
L08 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
416
L08 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gerakan pada lereng baru benar-benar dapat terjadi apabila terdapat pemicu gerakan. Pemicu
gerakan tersebut berupa proses-proses alamiah ataupun non alamiah yang dapat merubah
kondisi lereng yang semula siap bergerak menjadi mulai bergerak. Pemicu tersebut umumnya
berupa hujan, getaran-getaran ataupun aktivitas manusia pada lereng , seperti penggalian,
pemotongan, pembebanan berlebilah ataupun proses masuknya air ke dalam lereng melalui
kebocoran pada saluran atau kolam dan sebagainya.
2. Sensor Kemiringan
Sensor kemiringan digunakan untuk pendeteksian gejala longsor di samping rekahan
tanah, yaitu amblasnya tanah.
418
L08 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Untuk sementara ini sensor kemiringan yang digunakan adalah simple tilt meter
berbasis air raksa. Sensor kemiringan ini akan aktif jika badan sensor miring, tanpa bisa
diakses besaran derajat kemiringannya. Pengaturan derajat pemicu aktifnya sensor dilakukan
secara mekanis yaitu dengan pengaturan kemiringan pemasangan sensor pada badan
perangkat.
Kedepannya akan dikembangkan accelerometer dan atau gyrometer sebagai sensor
kemiringan. Dengan sensor jenis ini, data derajat kemiringan dapat dibaca dan diolah dengan
mikrokontroler. (Gambar 3a)
3. Main Board
Mainboard yang digunakan adalah modul keluaran dari Arduino berbasis
mikrokontroler ATMEGA 328. Dengan fitur ADC, pin I/O dan kapasitas program yang ada,
modul mikrokontroler ini sudah mencukupi untuk digunakan sebagai pusat pengolah data
(gambar 3b).
4. Media Komunikasi
XBee Wireless Communication Module (chip antenna) XB24-ACI-001 adalah salah
satu varian dari modul wireless yang dikembangkan oleh Neo Robotics dengan fitur yang
cukup lengkap. Suatu informasi berupa data dalam bentuk tulisan, suara atau paket data dapat
dikirim menggunakan media modul wireless ini yang nantinya akan memberikan informasi
kepada masyarakat terkait dengan bencana tanah longsor yang akan terjadi. Modul ini
mendukung kecepatan data hingga 115kbps. Ini memiliki berbagai ruangan dari 30 meter dan
outdoor RF line-of-sight jarak hingga 100 meter. (Gambar 3c)
5. Antar-Muka
Untuk antarmuka, digunakan sebuah LCD dot-matrix 16x2 dan keypad dengan 6 tombol.
Antar-muka ini sebagai media bantu untuk pengembangan perangkat dan pembantu pada
setting perangkat ketika alat ini diaplikasikan. Selebihnya pada kondisi perangkat stand-by,
unti antar muka ini akan dinonaktifkan karena tidak digunakan(gambar 3d).
A B
C D
Gambar 3 : Pemasangan Simple Tilt Sensor (A);
Main Board berbasis ATMEGA328 (B); Modul 419
GSM-GPRS (C); Unit antar muka (D)
L08 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
IV. Kesimpulan
Sistem peringatan dini sangat diperlukan untuk menghadapi bencana yang mengancam
kehidupan masyarakat. Pada dasarnya, peringatan dini adalah suatu cara untuk memberikan
informasi kepada masyarakat dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh masyarakat. Keadaan
kritis, waktu yang sempit dan keselamatan masyarakat merupakan hal-hal yang membutuhkan
peringatan dini. Dengan adanya gagasan untuk mengembangkan alat detektor tanah longsor
menggunakan transmisi wireless dan internet, diharapkan dapat mengurangi resiko akibat
bencana tanah longsor melalui sistem peringatan dini. Sistem peringatan dini yang bekerja
pada alat tersebut dapat membantu masyarakat untuk melakukan evakuasi dini sebelum
longsor benar-benar terjadi. Kedepannya, Indonesia di masa yang akan datang akan menjadi
pilot project dalam hal mitigasi bencana khususnya mitigasi bencana tanah longsor berbasis
teknologi.
V. Daftar Pustaka
Abramson L.W, Loe T. Si., Sharma S., dan Boyce G.M. 1996. Slope Stability and
Stabilization Methods, John Wiley & Sons, New York.
Clayton, C.R.I, Matthews, M.C. dan Simons, N.E. 1995. The Site Investigation, Second
Edition, Blackwell Science.
Fathani, T.F. and nakamura, H. 2005. A new method for Estimating the Shear Stength
parameters at the Critical Slip Surface. Journal of the Japan landslide Society. Vol.42,
No.2. 159-168.
420
L08 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Japan Landslide Society. 1996. Landslides in Japan (The Fifth Revision)-National Conference
of Landslide Control
Karnawati, D. 2005. Bencana alam Gerakan Massa Tanah di Indonesia dan Upaya
Penanggulangannya. Yogyakarta : Jurusan Teknik Geologi FT UGM.
Karnawati, D. dan Fathani, T.F. 2001. Pemasangan dan Sosialisasi Sistem Peringatan Dini
Bencana Alam Bagi Upaya Perlindungan Lingkungan Hidup di Kabupaten
Banjarnegara dan Kabupaten Situbondo. Laporan Akhir.
Tanah Longsor di Ambon, 4 Orang Tewas. Kompas.
http://regional.kompas.com/read/2011/07/31/13065322/Tanah.Longsor.di.Ambon.4.Orang.Te
was
421
L09 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
1)
Badan Penanggulangan Becana Daerah Provinsi NTT, Kupang
2)
Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
3)
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Intisari
Pada November 2010 erupsi Gunungapi Merapi mengakibatkan korban jiwa lebih dari 100 orang
dan ratusan lainnya luka-luka. Bencana ini merupakan salah satu erupsi terbesar Gunungapi
Merapi yang mampu merubah arah bukaan kawah dari barat menjadi ke arah tenggara sehingga
Kali Gendol yang pada erupsi periode sebelumnya merupakan daerah yang aman menjadi daerah
berbahaya. Pasca bencana ini Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi(PVMBG)
melakukan perubahan Peta Kawasan Bencana yang menjadi salah satu dasar pembuatan Rencana
Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) kebencanaan erupsi gunungapi di Kabupaten Sleman. Untuk
mengantisipasi letusan berikutnya pemerintah Kabupaten Sleman melakukan upaya mitigasi salah
satunya adalah dengan melakukan revisi RTRW Kabupaten Sleman, 2011-2031.
Penelitian ini berpedoman pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 21/ PRT/M/2007 tentang
penataan ruang kawasan rawan letusan gunungapi dan kawasan rawan gempa bumi yang telah
dimodifikasi dengan menggunakan Geographic Information System (GIS) untuk melakukan
tumpang susun dan analisis. Peta indikator kerawanan diperoleh dari tumpang susun peta awan
panas dan peta potensi lahar hujan. Peta indikator kerentanan diperoleh dari proses tumpang susun
peta kepadatan penduduk, peta kelompok rentan, peta pembangunan konstruksi, peta penggunaan
lahan, kepadatan ekonomi ternak besar dan vegetasi. Peta kapasitas diperoleh dari tumpang susun
petalembaga penanggulangan kebencanaan, penduduk mandiri mitigasi, transport evakuasi
mandiri, sistem peringatan dini, jaringan komunikasi, bangunan penahan sedimen.Pembobotan dan
skoring masing-masing indikator diperoleh dari observasi lapangan dan analisis AHP (Analytical
Hierarchy Process).
Hasil dari penelitian ini berupa 1) peta kerawanan, 2) peta kerentanan, 3) peta kapasitas, 4) peta
risiko Gunungapi Merapi, 5) peta klasifikasi zona potensi Gunungapi MerapiKabupaten Sleman.
Daerah yang memiliki tingkat risiko tinggi adalah KecamatanCangkringan, Kalasan, Ngaglik,
Ngemplak, Pakem, Tempel dan Turi.Wilayah dengan tingkat risiko tinggi diarahkan untuk kawasan
lindung dan budidaya terbatas, sedang wilayah dengan tingkat risiko sedang dan rendah dapat
dimanfaatkan sebagai kawasan budidaya dan permukiman dengan persyaratan tertentu. Draf
Rencana Tata RuangWilayah Kabupaten Sleman, 2011-2031 pada kawasan rawan bencana
gunungapi menunjukkan ketidaksesuaian peruntukan pola ruang berdasar Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum No. 21/PRT/M/2007.
ABSTRACT
In November 2010, Volcano Merapi eruption resulted more than 100 people dead and hundreds
injured. This disaster is one of the biggest eruption of Volcano Merapi which is able to change the
422
L09 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
direction of the openings into the crater from the west to the southeast so that the eruption River
Gendol previous period is a safe area into the hazardous area. Vulcanologi and Geology Disaster
Mitigation Center aftermath of this disaster Disaster Zone Map changes that became one of the
basic manufacture of disaster spatial planning volcanic eruption in Sleman. To anticipate the next
eruption Sleman government do to mitigate one of which is the revised spatial planning Sleman
regency, 2011-2031.
This research was based on the Regulation of the Minister of Public Works No. 21/PRT/M/2007 on
spatial management susceptible areas to volcanic eruptions and earthquake region that has been
modified with the use of GIS to overlay and analysis.Indicators of susceptible maps obtained from
overlaying pyroclastic map and map potential lahar. Vulnerable indicators map derived from the
process of overlaying population density map, vulnerable groups map, construction maps, land use
map, the density of the livestock economy and vegetation maps. Capacity maps derived from
overlaying process disaster management foundations maps, population independent mitigation
map, transportindependentevacuation map, early warning systems map, networkcommunication
and building sediment retention maps. Weighting and scoring of each indicator derived from field
observations and analysis of AHP (Analytical Hierarchy Process).
PENDAHULUAN
Erupsi Gunungapi Merapi pada bulan November 2010 merupakan erupsi terbesar
dalam 100 tahun terakhir. Besarnya letusan tersebut juga mampu merubah morfologi
puncak kubah Gunungapi (Subandrio,2011). Perubahan arah letusan membuat sebagian
wilayah Kabupaten Sleman menjadi daerah yang rawan bencana erupsi Gunungapi
Merapi.Untuk meminimalkan kerugian yang terjadi akibat erupsi, baik korban jiwa
maupun materi, diperlukan upaya untuk mengatur penggunaan dan pemanfaatan ruang
sebagai salah satu upaya mitigasi.
Maksud dari penelitian ini adalah melakukan kajian perencanaan tata ruang dari
aspek fisik bencanaletusan Gunungapi sehingga dapat meminimalkan risiko yang
ditimbulkanTujuan penelitian ini adalah: 1) Membuat peta sebagai dasar kajian
perencanaan tata ruang kawasan rawan bencana letusan Gunungapi di Kabupaten Sleman
yang meliputi : a) Peta kerawanan gunungapi, b) Peta kerentanan gunungapi, c) Peta
kapasitas, d) Peta risiko potensi bencana letusangunungapi, e) Peta zonasipotensi bencana
letusan gunungapi; 2) Melakukan tinjauan pembangunan kawasan rawan bencana
Gunungapi Merapi di Kecamatan Cangkringan; 3) Perencanaan tata ruang kawasan rawan
bencana letusan gunungapibesertarekomendasi untuk pemanfaatan dan pengendalian
ruang.
423
L09 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
TINJUAAN PUSTAKA
1. Gunungapi Merapi
Gunungapi merapi salah satu gunungapi dengan tipe a yang paling giat di indonesia.
Sejak tahun 1672 hingga 2010 mengalami lebih dari 80 kali letusan dengan selang waktu
instirahat antara 1-18 tahun atau rata-rata 4 tahun dengan ciri-ciri letusan efusif (lelehan)
dan eksplosif. Letusan ekplosif dengan tipe sub plinian,plinian dan vulkanian
menghasilkan awan panas dengan skala besar terjadi pada 1587, 1672, 1768, 1822, 1849,
dan 1872. (Suyudi, Nurnaning, Juliani dan Muzani, 2010).
Bahaya erupsiGunungapiMerapi dapat dibagi menjadi 2 kategori yaitu
(Ratdomopurbo dan Andreastuti, 2000):
a. Bahaya primer yaitu:awan panas (wedhus gembel), lontaran bahan letusan, abu letusan,
dan gas beracun.
b. Bahaya sekunderberupa aliran lahar hujan
LANDASAN TEORI
1. Kerawanan Bencana Gunungapi
Menurut Dalam UU no 24 tahun 2007 yang di maksud dengan rawan bencana
adalah kondisi atau karakteristik geologis,biologis, hidrologis, klimatologis, geografis,
sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu
tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan
mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu.
Dalam Permen PU No. 21/PRT/M/2007kerawanan dibagi menjadi dua aspek yaitu
kerawanan dan kerentanan.Kerawanan adalah suatu kondisi alam yang secara alami
dimiliki oleh suatu wilayah. Kondisi alam yang merupakan faktor pengontrol (morfologi,
geologi, iklim, hidrologi) terjadinya bencana sehingga menyebabkan wilayah tersebut
rawan.Kerentanan adalah keadaan atau sifat/perilaku manusia atau masyarakat yang
menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya atau ancaman.Kerawanan ini dapat
berupa kerawanan fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan.
Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu
wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam,
hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan
masyarakat.Dalam kaitannya dengan gunungapi, risiko adalah gabungan dari kondisi
kerawanan dan kerentanan yang menunjukkan tingkat bahaya suatu wilayah. Tingkat
risiko bencana (disaster risk) merupakan suatu pendekatan praktis sistematis untuk
mengidentifikasi atau mengenali, mengkaji kerugian yang ditimbulkan akibat kejadian
bencana sehingga dapat diklasifikasikan menjadi risiko rendah, risiko sedang dan risiko
tinggi(Permen PU No. 21/PRT/M/2007).
b. Tipologi B
Kawasan yang berpotensi terlanda aliran awan panas, aliran lahar, lava, lontaran atau
guguran batu pijar, dan gas beracun dengan mempertimbangkan sifat dari gunungapi
tanpa memperhatikan arah angin.Berjarak cukup dekat dengan sumber letusan.Tipologi
B dalam peta kawasan rawan bencana gunungapi yang diterbitkan oleh PVMBG
identik dengan kawasan rawan bencana II.
c. Tipologi C
Kawasan yang letaknya dekat dengan sumber bahaya yang sering terlanda awan panas,
aliran lava, guguran batu, lontaran batu (pijar) dan hujan abu lebat.kawasan ini
memiliki risiko tinggi karena sangat dekat dengan sumber letusan.Tipologi C dalam
peta kawasan rawan bencanagunungapi yang diterbitkan oleh PVMBG identik dengan
kawasan rawan bencana III.
L09 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.
21/PRT/M/2007 tentang penataan ruang kawasan rawan letusan Gunung Berapi dan
Kawasan Rawan Gempa Bumiyang telah dimodifikasi dan menggunakan aplikasi GIS
untuk mengolah data-datadigital, baik data spasial maupun data atribut.
Analisis kerawanan, kerentanan, kapasitasdan risiko gunungapi dilakukan dengan
tahapan sebagai berikut:
1. Pembuatan peta tematik: 1)Indikatorkerawanan meliputi meliputi peta awan panas dan
peta potensi lahar hujan. 2) Indikator kerentanan meliputi peta kepadatan penduduk,
peta kelompok rentan, peta pembangunan konstruksi, peta penggunaan lahan, peta
kepadatan ekonomi ternak dan peta usaha mitigasi3) Indikator kapasitas meliputi peta
bangunanpenahan sedimen, jaringan komunikasi, sistem peringatan dini, penduduk
mandiri mitigasi dan lembaga penanggulangan bencana.
b. Pembobotan indikatorkerentanan
Penentuan bobot masing-masing indikator kerentanan dilakukan dengan metode
AHP(Analytical Hierarchy Process).Nilai kerentanan merupakan penjumlahan dari
hasil perkalian bobotdengan skor masing-masing indikatorkerentanan.Penilaian skor
sebagai adalah berikut: diberi nilai 3 apabila memberi dampak besar; 2 apabila
memberi dampak sedang dan 1 apabila memberi dampak ringan dari kejadian erupsi.
LOKASI PENELITIAN
Lokasipenelitian adalah wilayah Kabupaten Sleman pada kawasan KRB III,II dan I
yaitu kecamatan Turi, Tempel, Pakem,Cangkringan, Ngemplak, Ngaglik, Mlati, Depok,
Kalasan, Prambanan danBerbah.(Gambar 1).
L09 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Tingkat Nilai
Tipologi Kerawanan Verifikasi Kerawanan
Jenis endapan awan panas, Jenis matrik = halus, 3
Perbandingan jumlah fragmen 16 mm-32 mm :
C Tinggi
lebih besar 32 mm = 2:1, Kerapatan fragmen 5
butiran/m2, Jarak dari puncak < 9.5 km
Jenis endapan awan panas, Jenis matrik = halus, 1
Perbandingan jumlah fragmen 16 mm-32 mm :
Rendah
lebih besar 32 mm = > 2.8:1, Kerapatan fragmen 6
butiran/m2, Jarak dari puncak 9.5 s.d 15.5 km
Jenis endapan awan panas, jenis matrik = Pasir 3
B Tinggi Halus. Tidak ada fragmen, Jarak dari Puncak 8 - 11
km
Jenis Endapan Lahar, Jenis Matrik = Pasir Halus 3
s/d Sedang, Perbandingan Jumlah Fragmen 16 mm-
32 mm dengan > 32mm = 3.2:1 s/d 4.5:1,
A Tinggi
Kerapatan Fragmen 4-11 butiran/m2, Jarak dari
Puncak < 4.5-20 km, Gravity flow, Non Sorted
fragment
Jenis Endapan Fluvial, Jenis Matrik = Pasir Halus 1
s/d Sedang, Perbandingan Jumlah Fragmen 16 mm-
Rendah 32 mm dengan > 32mm = > 3.2:1 s/d 4.5:1,
Kerapatan Fragmen 4-11 butiran/m2, Jarak dari
Puncak > 20 km, Stream flow, Sorted Fragment
L09 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
2. Peta Kerentanan
Penilaian kerentanan dilakukan melalui tumpang susun dan penjumlahan dari
perkalian bobothasil perhitungan metode AHPdengan skor masing-masing indikator
kerentanan (Lampiran 1).Bobot hasil perhitungan metode AHP indikator kerentananseperti
pada Tabel 2.
Tabel 2.Pembobotan Indikator Kerentanan
3. Peta Kapasitas
Penilaian kapasitas dilakukan melalui tumpang susun dan penjumlahan dari
perkalian bobot hasil perhitungan metode AHPdengan skor masing-masing indikator
kapasitas (Lampiran 2).Bobot hasil perhitungan metode AHP indikator kapasitasseperti
pada Tabel 3.
Tabel 3.Pembobotan Indikator Kapasitas
No Aspek Kapasitas Indikator Pembobotan (%)
1 Sosial Lembaga penanggulangan kebencanaan 28
2 Jumlah Penduduk Mandiri Mitigasi 16
3 Fisik Transport evakuasi mandiri 20
4 Sistem peringatan dini 15
5 Jaringan komunikasi 11
6 Bangunan penahan sedimen/ SABO 10
Untuk menentukan tingkat kapasitas mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum No. 22/PRT/M/2007 dengan kriteria sebagai berikut:
Nilai kapasitas kemudian dianalisis dan diberi tingkatan sesuai dengan kriteria
kapasitas dengan GIS. Dari analisis GISdiperoleh peta kapasitas seperti disajikan dalam
Gambar 4.
L09 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
𝐾𝑒
𝐼𝑟 = Ka x (1)
𝐾𝑖
Keterangan :
𝐼𝑟 = 𝐼𝑛𝑑𝑒𝑘 𝑟𝑖𝑠𝑖𝑘𝑜 Ke= 𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑘𝑒𝑟𝑒𝑛𝑡𝑎𝑛𝑎𝑛
Ka= 𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑘𝑒𝑟𝑎𝑤𝑎𝑛𝑎𝑛 Ki= 𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑘𝑎𝑝𝑎𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠
(𝑛𝑚𝑎𝑥 −𝑛𝑚𝑖𝑛 )
𝑖 = (2)
𝑘
Keterangan :
𝑖 = 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑠nmax = nilai tertinggi
𝑘 = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑠nmin = nilai terendah
Dari analisis menggunakan GISdiperoleh peta risiko yang disajikan seperti pada Gambar 5.
- - - Kelas
3 Rendah
Draf pada RTRW kabupaten Sleman, 2011-2031 seperti pada Tabel 4 dan Tabel 5.
Telekomunikasi
Cangkrin flow
Jalan Lokal Jaring K
Sebag pan
Jarin
2 te 3
Kaw
C
Jaringan T Ca
Sabo DAM, K
Jarin Sebag
1
- - Kelas
3 Rendah
- - - K pana
te
2 2
Kaw
B
Cangkringan
Jaringan T K
Jalan Lokal Seba
Jarin
1
- - - Kelas
3 Rendah
Jaringan Energi
Jalan KA Jari Ngem
Jal S Depo K
S Dra Se lahar h
Pu 2 K 1
A
Tempel, Turi
Transpotasi Lo
Jalan Kolekt N
Siste K
S Ca
Jarin
Se 1
Kabupaten Sle P T
Lokasi Tipolog N
Peng A Kla
Tabel 4 PenggunaanPola Ruang
L09
Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
- - - Kelas 3Rendah
Pangan
kan Ngemplak flow
Pe Kel
Pe Seb pan
Perunt
H 2 te 3
Kaw
Tanama (sesuai ketentu C
Ngemplak, Pak
P terb Kela
Seb
Hutan Kaw
1
- - - Kelas 3Rendah
- - - Kel pana
te
2 2
Kaw
B
(sesuai ketentu
Peruntukan P
terb Seb Kela
Hutan
Kaw
1
- - - Kelas 3Rendah
Perda
Perun Tempel
ke
Holtik K Kel
Pert lahar h
Perta Seb
Semusim K 1
Huta 2 A
Tanama pada Nge
P pa Ca Kela
Hutan Hutan Ko Sebagi
1
RT No Risiko
Lokasi Tipolog N
Peng A Kl
Tabel 5 PenggunaanStruktur Ruang
L09
L09 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Hunian tetap baru diprioritaskan kepada penduduk yang rumahnya terkena erupsi
dan bersedia direlokasi serta penduduk yang berada pada kawasan bahaya aliran lahar
hujan, sedangkan penduduk yang tidak bersedia di relokasi walupun berada di kawasan
awan panas dan kawasan bahaya aliran lahar hujan diberikan kebijakan menempati rumah
lama yang masih layak huni akan tetapi tidak diperkenankan untuk membangun bangunan
permukiman baru.
Dari hasil pengamatan lapangan hunian tetap baru di Ploso Kerep, Kuwang,
Gondang I,II,III, Dongkelsari dan Banjarsari berjarak cukup jauh dari pusat ancaman
bahaya erupsi Gunungapi Merapi. Lokasi hunian tetap Batur, Gading dan Jetis Sumur
mempunyai jarak yang rekatif dekat dengan puncak Gunungapi Merapi. Bahkan di Desa
Jetis Sumur jarak antara lokasi hunian tetap yang baru dibangun dengan bekas awan panas
2010 + 60 m, sehingga walaupun tidak masuk dalam kawasan terdampak awan panas
masih memiliki potensi kerawanan jika dijadikan lokasi hunian baru.
7. Pembahasan
Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.21/PRT/M/2007 untuk indikator
tingkat kerawanan, indikator kerentanan dan indicator kapasita tidak disebutkan bobot
danindikator apa saja yang harus digunakan. Melalui beberapa kajian yang ada maka untuk
kerawanan mengunakan indikatorawan panas dan potensi lahar hujan.
Indikator kerentananmerupakan kerawanan sosial-demografi, kerawanan fisik,
kerawanan ekonomi dan mitigasi.Kerawanan sosial-demografi mengacu pada Perka BNPN
No 2 tahun 2012 yaitu kepadatan penduduk dan kelompok rentan. Kerawanan fisik yang
digunakankan adalah pembangunan konstruksi, untuk kerawanan ekonomi mengunakan
indikator penggunaan lahan, dan mitigasi menggunkan indikator usaha mitigasi yang
dilakukan dikabupaten Sleman. Indikator tersebut mengacu pada Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum No. 22/PRT/M/2007.Untuk indikator kepadatan ekonomi ternak
mengacu pada Dirjen Peternakan dan Balai Penelitian Ternak tahun 1995.
Indikator kapasitas terdiri kapasitas fisik dan sosial/non fisik, kapasitas fisik terdiri
dari peta bangunanpenahan sedimen, jaringan komunikasi, sistem peringatan dini.
Kapasitas non fisik terdiri dari indikator penduduk mandiri mitigasi dan lembaga
penanggulangan bencana yang diacu dari Dinas Pengairan Pertambangan dan
Penanggulangan Bencana Alam Kabupaten Sleman (Anonim,2009).
Selanjutnya masing-masing indikator dilakukan pembobotan.Dalam penelitian ini,
indikator kerawanan erupsi gunungapi diasumsikan mempunyai tingkat kerawanan yang
sama baik awan panas maupun potensi banjir lahar. Untuk Pembobotan indikator
kerentanan dan kapasitas, hasil pembobotan dilakukan dengan menggunakan AHP.
Hasil pengolahan data pada peta risiko erupsi gunungapi Merapi menunjukkan
Kabupaten Sleman sebagian besar mempunyai tingkat risiko sedang. Hal ini dikarenakan
aktivitas manusiadi daerah rawan bencana erupsi Gunungapi Merapi seperti Kecamatan
Cangkringan, Kalasan, Ngaglik, Ngemplak, Pakem, Tempel dan Turi dari peta kerentanan
mempunyai tingkat kerentanan rendah sampai sedang.
Rencana penggunaan pola ruang kawasan budidaya padadraf RTRW Kabupaten
Sleman, 2011-2031 secara garis besar sudah memperhatikan dan mengakomodasi aspek
bencana erupsi gunungapi. Pada daerah-daerah yang mempunyai potensi resiko tinggi di
tipologi A, B dan C sudah direncanakan dimanfaatkan sebagai fungsi lindung, seperti
diperuntukkan sebagai Taman Nasional Gunungapi Merapi.
Berdasarkan hasil penelitian pada kawasan tipologi A, dan C yang mempunyai
potensi risiko tinggi masih dimanfaatkan sebagai permukiman.Tipologi C risiko tinggi
yang dimanfaatkan sebagai permukiman sebagian besar berada diKecamatan Cangkringan.
Sedangkan tipologi A risiko tinggi yang dimanfaatkan sebagai kawasan permukiman
L09 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
adalah hampir semua kecamatan yang dilewati aliran sungai yang mempunyai hulu di
Gunungapi Merapi seperti Kecamatan Berbah, Cangkringan, Depok, Kalasan, Mlati,
Ngaglik, Ngemplak, Pakem, Prambanan, Tempel, Turi.
Peta pola ruang perutukan kawasan lindung padadraf RTRW Kabupaten Sleman,
2011-2031, kawasan lindung sempadan sungai di Kabupaten Sleman sudah direncanakan
untuk mengantisipasi terhadap banjir dengan buffer sejauh 100 m.Buffer sungai sejauh 100
m untuk sungai yang berhulu langsung di Gunungapi Merapi belum cukup untuk
mengatisipasi aliran lahar hujan, sehingga untuk sungai yang berhulu langsung dengan
Gunungapi Merapi di tipologi A risiko tinggi seperti Sungai Opak, Sungai Kuning, Sungai
Boyong dan Sungai Krasak sebaiknya di buffer sejauh 300 m.
Rencana struktur ruang dalam draf RTRW Kabupaten Sleman, 2011-2031 secara
garis besar sudah mengakomodasi aspek kebencanaan yang ada.Bangunan-bangunan
penting yang direncanakan pada draf RTRW Kabupaten Sleman seperti Stasiun kereta api,
terminal penumpang, dan gardu listrik direncanakan pada daerah non tipologi (daerah
aman). Rencana Pembangunan infrastruktur baru di tipologi A potensi risiko tinggi yang
direncanakan pada draf RTRW Kabupaten Slemanantara lain Jalan Tol, SUTT dan Jalur
Telephon. Sedangkan pembangunan infrastruktur baru tidak direncanakan di tipologi C
risiko tinggi dan tipologi B risiko tinggi. Jaringan infrastruktur yang terdapat pada tipologi
C risiko tinggi dan tipologi B risiko tinggi adalah jalan kolektor dan jalan lokal yang dapat
dimanfaatkan sebagai jalur evakuasi.
Berdasarkan hasil kajian yang mengacu padaPeraturan Menteri Pekerjaan Umum
No. 21/PRT/M/2007 makadraf RTRW Kabupaten Sleman, 2011-2031 perlu dilakukan
revisi. Usulan revisi penggunaan pola ruangKabupaten Sleman seperti pada Gambar 9 dan
Tabel 6 dan, usulan pola ruang untuk Kecamatan Cangkringan seperti pada Tabel 7 dan
usulan revisi pada struktur ruang Kabupaten Sleman seperti pada Tabel 8 dan Gambar 10.
- - - Kelas3 Rendah
Peruntukan Holtikultura Cangkri
Hutan Rakyat Produksi
kan Sebagi
Ke
Pet Cangkringan
Hutan Rakyat Produksi Peruntukan Permukiman 2 flow
H Sebagian wilayah Kecamatan
pan
te 3
Ca Kaw
Hutan Rakyat Produksi terbatas Peruntukan permukiman
ketentuan) Sebagi C
Peruntukan Holtikultura Perta Cangkring Kel
Hutan Rakyat Produksi terbatas
K Sebagi
Cangkring
Hutan Rakyat Produksi terbatas Hutan Rakyat 1
Sebagi
- - - Kelas3 Rendah
- - - Kelas2Sedang pana
te
ketentuan) 2
Kaw
Terbatas Peruntukan P Cangkringan
Perta Kel B
Huta Hutan Sebag
K
1
- - - Kelas3 Rendah
Perkantoran,In
Perun Ngemp
berjarak 3 Permu
Holtiku Depok Ke
sung kan
Pertah Seb
Ka Pet
H 2
lahar h
berjarak 3 K 1
sung A
Ka
Peruntukan Permukiman pada K Dep
Peruntukan Holtikultura
pa Seb Kel
Peruntukan Holtikultura Hutan Ko Cangkringan
Hutan Rakyat Produksi
Sebagian wilayah Kecamatan
Terbatas Cangkringa
Hutan Rakyat, Peruntukan Permukiman 1
Hutan Rakyat Produksi Sebagi
Kabupa No. Risiko
Usulan Re Lokasi Tipolog N
P A K
Tabel 6. Usulan Revisi Pola Ruang Kabupaten Sleman
L09
L09 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
1. Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut
ini:
a. Kawasan erupsi gunungapi Merapi di Kabupaten Sleman :
1) Berdasarkan hasil penelitian indikator kerawananerupsi gunungapi Merapi di
Kabupaten Sleman mempunyai tingkat kerawanan tinggi dengan total luas 4036.86
ha/80.97% dan tingkat kerawanan rendah dengan total luas 948.66 ha/19.03%
2) Berdasarkan hasil penelitian indikator kerentanandi Kabupaten Sleman yang
mempunyai tingkat kerentanan tinggi seluas 1,630.26 ha/4%; tingkat kerentanan
sedang seluas 37,568.52 ha/92.11%; dan tingkat kerentanan rendah 1,568.10
ha/3.89%.
3) Berdasarkan hasil penelitian indikator kapasitasdi Kabupaten Sleman yang
mempunyai tingkat kapasitas tinggi seluas 13,611.36 ha/33.37%; tingkat
kerentanan sedang seluas 27,173.53 ha/66.63%;.
4) Daerah yang mempunyai potensi risiko tinggi terhadap erupsi gunungapi Merapi di
Kabupaten Sleman547.11ha/11.19%; daerah yang mempunyai potensi risiko
sedang seluas 3,479.86 ha/71.15% dan potensi risiko rendah seluas 863.69
ha/17.66%.
5) Berdasarkan tabel klasifikasi zona tipologi potensi risiko Gunungapi Merapi
berdasarkan tingkat resiko,didapat luas masing-masing tipologi adalah: Tipologi
A:1) Risikotinggi 980.11 ha/20.01%; 2)Risikosedang 439.40 ha/ 8.97%;Tipologi B
: Risikotinggi 307.84/6.28%; Tipologi C:1) Risikotinggi 2821.24 ha/57.59%; 2)
Risikosedang 350.63 ha/7.16%.
b. Hasil tinjauan Kecamatan Cangkringan:
1) Letak Kantor Pemerintah berada pada lokasi yang mempunyai bahaya rendah
dari bencana erupsi Gunungapi Merapi.
2) Masih ada daerah yang mempunyai risiko tinggi dijadikan kawasan hunian oleh
penduduk di Kecamatan Cangkringan.
3) Tidak semua lokasi yang direncanakan sebagai relokasi huninan tetap berada di
daerah potensi bahaya rendah terhadap erupsi Gunungapi.
4) Kawasan Kecamatan Cangkringan perlu dibuatkan Rencana Detail Tata Ruang
c. Pada Draf RTRW 2010-2013, penataan ruang di Kabupaten Sleman secara garis
besar sudah mengakomodasi aspek bencana gunungapi,akan tetapi pada
perencanaan pola ruang di tipologi A, dan C potensi berisiko tinggi masih ada
pemanfaatan ruang untuk permukiman. Pada perencanaan struktur ruang, rencana
pembangunan infrastruktur baru di tipologi A potensi risiko tinggi yang
direncanakan antara lain Jalan Tol, SUTT dan jalur telephon. Sedangkan
pembangunan infrastruktur baru tidak direncanakan di tipologi C risiko tinggi dan
tipologi B. Jaringan infrastruktur yang terdapat pada tipologi C risiko tinggi dan
tipologi B adalah jalan lokal. Upaya yang dapat dilakukan untuk memperkecil
risiko diantaranya dengan pembuatan bangunan pengendali sedimen, pembanguan
rumah dome dan penanaman vegatasi di daerah risiko tinggi atau dilakukan
relokasi pada daerah yang lebih aman (non tipologi).
L09 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
2. Saran
a. Penelitian ini merupakan kajian tata ruang skala kabupaten sehingga apabila perlu
ketelitian lebih lanjut dapat dilakukan penelitian lanjutan mengenai rencana detail tata
ruang tingkat kecamatan.
b. Perlu dilakukan revisi pada draf rencana tata ruang Kabupaten Slemansebelum di
tetapkan sebagai Rencana Tata Ruang Kabupaten Sleman.
c. Kawasan lindung sempadan sungai untuk menghindari awan panas dan banjir lahar
hujan pada sungai yang berhulu langsung pada Gunungapi Merapi di perlebar dari 100
m menjadi 300m.
d. Pengaturan dan pemilihan vegetasi tanaman yang memperhatikan kearifan ekologi di
kawasan petensi risiko tinggi yang tidak lagi dipergunakan sebagai permukiman
sebagai pendukung usaha peternakan dan kehutanan guna menambah kesejahteraan
warga bekas penghuni lahan tersebut.
e. Didalam Peraturan Menteri PU No No.21/PRT/M/2007memerlukan pembahasan lebih
rinci indikator-indikator yang berpengaruh terhadap penyusunan risiko erupsi
gunungapi.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2009, Laporan Awal Kegiatan pemetaan Rawan Bencana Peta Risiko Gunungapi
Merapi, Dinas Pengairan, Pertambangan dan Penanggulangan Bencana Alam
Kabupaten Sleman, Yogyakarta
Hidayati,I., 2010, Matrikulasi Tehnik Pengindraan Jauh dan Sistem Informasi Geografis,
Bahan Kuliah Magister Pengelolaan Bencana Alam, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Kadarsyah.S., 1998, Sistem Pengambilan Keputusan: Suatu Wacana Struktural Idealisasi
DanImplementasi Konsep Pengambilan Keputusan. Edisi 1, PT.Remaja
Rosdakarya,Bandung
Ratdomopurbo dan Andreastuti, 2000, Karakteristik Gunungapi Merapi, Balai
Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian, Yogyakarta.
Sagala .S. dan Bisri .M., (2011), Perencanaan Tata Ruang Berbasis Kebencanaan di
Indonesia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.
Subandrio, 2011, BPPTK Belum Bisa Prediksi Letusan Merapi Mendatang,
http://www.detiknews.com.diakses21September 2011.
Surono, 2010, Gagasan Tata Ruang Wilayah Merapi Pasca Erupsi 2010,
http://www.penataanruang.net, diakses 20 Agustus 2012.
Peraturan Kepala BNPB No.4 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana
Penanggulangan Bencana, Jakarta.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.21/PRT/M/2007 TentangPedoman Penataan
Ruang Kawasan Rawan Bencana Erupsi Gunungapi dan KawasanGempa Bumi,
Jakarta.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.22/PRT/M/2007 TentangPedoman Penataan
Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor, Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
0.2 1 Rendah
Tidak ada bangunan Kontruksi
I
0.4 2 Sedang
J
I
22/PTK
0.6 S 3 Tinggi 0.2 20 P3 Fisik
Perme
J
0.16 Total1penduduk rentan
Rendah
<20%
0.32 Total2penduduk rentan
Sedang20%-40%
tahun 20
0.48 Total3penduduk rentan
Tinggi >40%
0.16 16 Kelompok
2 rentan
Pe
0.28 Kepadatan
1 penduduk
Rendah
rendah < 5 jiwa/ha
0.56 Kepadatan
2 penduduk
Sedang
sedang 5-10 jiwa/ha
tahun 20
0.84 Kepadatan
3 penduduk
Tinggitinggi
0.28>1028jiwa/ha Kepadatan
1 Penduduk
Sosia
Pe
i h g f e d c b a
(dxf) K (%)
Sumber Verifer Skor INDIKATORNO KO
B Tin Bo
Lampiran 1. Kriteria dan Indikator Kerentanan
L09
Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas airtanah secara mikrobiologi, terutama pada
kandungan bakteri coli, pada tahun 2013, secara menyeluruh di wilayah Kota Yogyakarta dan
sekitarnya. Lokasi penelitian meliputi seluruh wilayah Kota Yogyakarta, ditambah beberapa wilayah di
Kabupaten Sleman dan Bantul yang dibatasi oleh jalan lingkar. Daerah penelitian dibagi menjadi dalam
kisi-kisi yang berbentuk bujur sangkar, dengan luas masing-masing kuranglebih seribu meter persegi.
Contoh airtanah diambil dari sumur gali penduduk, yang tersebar merata di daerah penelitian pada tiap
kisi-kisi. Dalam penelitian ini, analisis keruangan dan statistik dilakukan secara bersama. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa seluruh contoh airtanah telah tercemar oleh bakteri coli, dam
beberapa faktor hidrogeologi maupun sanitasi lingkungan berperan dalam mempengaruhi penyebaran
kandungan bakteri coli pada airtanah di daerah penelitian, namun hal penting yang perlu diperhatikan
dalam kesimpulan adalah dengan adanya jaringan sistem limbah terpusat terbukti berperan
mengurangi penyebaran bakteri coli pada airtanah di daerah penelitian.
Yogyakarta, tercemar bakteri coli yang dapat menganggu kesehatan masyarakat (Harian
Republika, 21 November 2011). Di bagian lain, Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta
menyebutkan adanya 1.100 sumur di Yogyakarta yang tidak memenuhi syarat. Data itu
terungkap setelah dilakukan penelitian sampel air bersih pada 2010 di kota Yogyakarta
(Harian Tribun Jogja, 28 Januari 2011). Sementara itu Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta
mencatat dari 72.374 jamban milik warga hanya 98 persen yang dinyatakan sehat. Kondisi
ini juga berpotensi menimbulkan pencemaran air (Harian Kedaulatan Rakyat 20 April 2012).
Di bidang akademik, penelitian mengenai pencemaran bakteri coli pada airtanah juga telah
banyak dilakukan (Mulyani, M. C., 2007; Saputra, M, 2007; Winastu, H., 2006; Prehatin, D.,
L., 2009; Gunawan, D., H., 2010 dan Budianta, W., 2001). Secara umum, beberapa
penelitian tersebut menyimpulkan bahwa telah terjadi pencemaran secara mikrobiologi pada
airtanah di Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Beberapa penelitian yang sudah dilakukan dan
disebutkan pada bagian studi pustaka, mempunyai kekurangan antara lain luasan penelitian
yang terbatas dan hanya setempat-setempat dan tidak menyeluruh. Dengan demikian, dengan
dilakukannya penelitian ini akan dapat memberikan gambaran bagaimana kondisi terkini
kualitas airtanah secara mikrobologi, khususnya kandungan bakteri coli pada airtanah di
Kota Yogyakarta dan sekitarnya.
seluruh daerah penelitian. Data tersebut antara lain berupa transmisivitas (T) dan nilai
koefisien kelulusan air (K).
Analisis dilakukan dengan dua analisis, yaitu analisis keruangan dan statistik.
Analisis keruangan dimaksudkan mengetahui penyebaran kadar kandungan bakteri coli
dalam airtanah dangkal yang diteliti. Adapun analisis statistik yang dilakukan meliputi
analisis cluster dan faktor. Tujuan analisis cluster dalam statistik non-parametrik adalah
mengelompokkan objek-objek berdasarkan kesamaan karakteristik di antara objek-objek
tersebut. Sedangkan analisis faktor dilakukan untuk mencoba menemukan hubungan antar
sejumlah variabel-variabel yang saling independen satu dengan yang lain, sehingga bisa
dibuat satu atau beberapa kumpulan variabel yang berjumlah lebih sedikit dari jumlah
variabel awal.
disederhanakan menjadi tiga satuan tanah, yaitu satuan dominan berukuran pasir, satuan
tanah dominan berukuran pasir lempungan, dan satuan tanah dominan berukuran lempung
pasiran. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (PPTA) menyatakan bahwa pembentukan
tanah di daerah penelitian dipengaruhi oleh bahan induk vulkanik, sehingga terbentuk tanah
yang didominasi oleh lapukan batuan dan material vulkanik.
448
L10 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Pada bagian utara peta hal tersebut tidak terjadi, hal ini bisa disebabkan faktor lokal
seperti variasi litologi maupun pembuangan limbah setempat. Pada peta tumpang susun
antara peta penyebaran kandungan bakteri coli dengan peta kedalaman airtanah menunjukkan
bahwa semakin dangkal airtanah pada daerah tersebut, jumlah bakteri coli semakin
meningkat. Peningkatan jumlah bakteri tersebut dapat terjadi karena apabila semakin dekat
dengan permukaan maka airtanah tersebut dapat dengan mudahnya terkontaminasi oleh
pencemar dari luar airtanah (Gambar 2).
Peta tumpang susun antara peta penyebaran kandungan bakteri coli dengan peta tanah,
menunjukkan bahwa pada daerah selatan terlihat lebih banyak jumlah kandungan bakteri coli
pada airtanah di daerah tersebut. Daerah ini memiliki karakteristik tanah berupa kandungan
material yang lanau-lempung yang lebih besar jika dibandingkan dengan daerah lainnya. Hal
tersebut diperkirakan berpengaruh terhadap tingkat kandungan bakteri coli dalam airtanah di
daerah tersebut. Ukuran diameter bakteri adalah dibawah 50µm, sedangkan ukuran lempung-
lanau juga kurang dari 50µm. Apabila pada suatu daerah dengan tanah mengandung material
449
L10 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 2. Tumpang susun kandungan bakteri coli peta dengan peta aliran airtanah,
kedalaman muka airtanah, jenis tanah
Peta tumpang susun antara peta penyebaran kandungan bakteri coli dengan peta
kepadatan penduduk tidak menunjukkan pola yang seharusnya, dimana pada daerah yang
memiliki kepadatan penduduk tertinggi, tidak diikuti pola penyebaran bakteri coli yang tinggi
pula, dimana limbah yang dihasilkan juga akan lebih banyak (Gambar 3). Hal ini bisa terjadi
450
L10 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
mungkin disebabkan karena adanya system pembuangan limbah terpusat yang terpasang di
daerah tersebut.
Peta tumpang susun antara peta kandungan bakteri coli dengan peta jenis sistem
sanitasi limbah menunjukkan bahwa pada tengah daerah penelitian, terdapat jaringan limbah
sistem terpusat, didukung dengan keadaan bahwa pada daerah tersebut memiliki jumlah
kandungan bakteri coli yang lebih kecil jika dibanding kan dengan daerah sekitarnya. Di
bagian utara dan barat-selatan daerah penelitian, terlihat memiliki tingkat kandungan bakteri
coli yang lebih tinggi, dan pada daerah tersebut terlihat semakin menjauh dari jaringan
pembuangan limbah terpusat (Gambar 3).
451
L10 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Secara umum, penyebaran kandungan bakteri coli pada airtanah di daerah penelitian,
jika dibandingkan dengan peneliti di waktu sebelumnya (Budianta, 2000), menunjukkan
adanya penurukan kandungan bakteri coli pada airtanah di daerah penelitian, terutama adanya
penambahan jaringan sistem limbah terpusat di daerah penelitian.
Hasil analisis statistik, yang pertama untuk analisis cluster, pada daerah penelitian,
dapat dibagi menjadi dua cluster, dimana pada dua cluster berdasarkan nilai kandungan
bakteri coli. Setelah pengelompokkan tersebut, dilakukan pembagian atau pengelompokkan
berdasarkan letak titik pengambilan sampel. Pembagian titik pengambilan sampel
berdasarkan letaknya termasuk dalam daerah urban dan daerah rural. Pembagian ini
berdasarkan lokasi dimana daerah yang di dalam jalan lingkar termasuk daerah urban,
sedangkan daerah diluar jalan lingkar diasumsikan sebagai daerah rural.
Tabel 1 menunjukkan pembagian cluster I dan cluster II untuk daerah urban dan rural,
dimana cluster I diasumsikan mempunyai kualitas airtanah yang lebih buruk dibandingkan
dengan cluster II. Interpretasi dari hasil analisis ini menunjukkan bahwa pada daerah urban
mempunyai nilai cluster I sebesar 50% dan pada cluster II sebesar 50%. Pada daerah rural
cluster I mempunyai nilai cluster I sebesar 18.2% dan pada cluster II sebesar 81,8% dimana
cluster II menunjukkan keadaan kualitas airtanah yang kurang baik. Hal ini dapat
dinterpertasikan dimana keadaan airtanah yang kurang baik masih cukup banyak terdapat
pada daerah urban, jika dibandingkan dengan daerah rural yang mempunyai keadaan airtanah
yang lebih baik.Hal tersebut dapat dijelaskan meskipun pada daerah perkotaan telah memiliki
sistem sanitasi yang memadai, tetapi mungkin dikarenakan adanya kebocoran pada sistem
sanitasi ataupun masih terdapat penduduk pada daerah perkotaan tersebut yang belum
memiliki akses ke jaringan limbah terpusat karena beberapa faktor lain.
Dalam penelitian ini juga dilakukan analisis faktor, dimana pada analisis ini mencoba
menemukan faktor yang diperkirakan mempengaruhi kandungan bakteri coli pada airtanah di
daerah penelitian secara kuantitatif. Untuk mendatkan hasil dari analisa faktor untuk variabel
kondisi hidrogeologi dan sanitasi lingkungan, dilakukan dengan menggunakan Bartlett test.
Setalah dilakukan tiga kali reduksi variabel, yaitu variabel yang termasuk dalam Measures of
452
L10 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Sampling Adequacy (MSA) dengan nilai dibawah 0.5 dihilangkan, hasil akhir dari reduksi
antar variable ditunjukkan pada tabel 2.
Berdasarkan hasil akhir yang ditunjukkan oleh tabel 2, terdapat 1 faktor yang
memiliki pengaruh signifikan terhadap tingkat kandungan bakteri coli, dengan terdapat empat
variabel di dalamnya. Empat variabel tersebut meliputi gradien muka airtanah, kedalaman
airtanah, kecepatan aliran airtanah, dan jenis pembuangan limbah. Variabel lain yaitu tipe
tanah dan tingkat kepadatan penduduk telah di reduksi atau dihilangkan karena pengaruhnya
dalam analisa ini terhadap tingkat kandungan bakteri coli kurang signifikan.
Hasil analisis faktor ini mendukung hasil analisis keruangan, seperti dijelaskan pada
pembahasan sebelumnya. Dalam analisis faktor, variable hidrogeologi yang dianggap
berpengaruh adalah gradient muka airtanah, kedalaman airtanah, kecepatan aliran airtanah,
hal ini dapat dijelaskan bahwa daerah penelitian mempunyai karakteristik akuifer dengan
nilai K yang cukup tinggi, sehingga sangat memungkinkan terjadinya penyebaran bakteri coli
dengan cepat.
Untuk variable sanitasi lingkungan, disebutkan variabel yang dominan berpengaruh
adalah variabel jenis pembuangan limbah. Hal ini dapat dijelaskan, bahwa dengan
menggunakan sistem pembuangan limbah indivisual atau septik tank, akan semakin besar
pula potensi airanah pada sumur tersebut untuk tercemar bakteri coli. Sedangkan variabel
kepadatan penduduk tidak berpengaruh, seperti pada penjelasan analisis keruangan, kondisi
penduduk yang padat tidak berpengaruh untuk meningkatkan kandungan bakteri coli pada
airtanah, karena adanya jaringan limbah terpusat yang terpasang di daerah ini.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, maka dihasilkan kesimpulan sebagai berikut:
1. Semua sampel airtanah di daerah penelitian menunjukkan bahwa semua sampel telah
tercemar oleh bakteri coli dengan jumlah kandungan yang bervariasi.
2. Hasil analisis keruangan menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap tingkat
kandungan bakteri coli adalah variabel muka airtanah, kedalaman airtanah, tipe tanah, dan
sistem pembuangan limbah. Variabel yang tidak begitu memiliki pengaruh terhadap jumlah
kandungan bakteri coli adalah tingkat kepadatan penduduk.
3. Berdasarkan analisis statistik, untuk analisis cluster, daerah penelitian dapat dibagi menjadi
dua cluster, dimana cluster I memiliki keadaan airtanah yang lebih baik apabila dibandingkan
dengan keadaan airtanah pada cluster II. Sedangkan hasil dari analisis faktor, menunjukkan
bahwa variabel yang mempengaruhi tingkat kandungan bakteri coli hanya terdiri atas empat
variabel, yaitu meliputi gradien muka airtanah, kedalaman airtanah, kecepatan aliran airtanah,
dan jenis pembuangan limbah.
DAFTAR PUSTAKA
Bitton, G., Gerba, C. P., 1994, Groundwater Pollution Microbiology, Krieger Publishing
Company
Badan Pusat Statistik (BPS), 2011, Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka, BPS
Yogyakarta
Budianta, W., 2001, Pengaruh Kondisi Hidrogeologgi dan Sanitasi Lingkungan terhadap
Kandungan Bakteri Coli pada Airtanah Dangkal di Kotamadya Yogyakarta dan
Sekitarnya, Skripsi, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah
Mada.
453
L10 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Budianta, W., Arcilla, C. A., Peralta, G, L., 2002, Groundwater Contamination and
Effectiveness of Anthropogenic Intervention: Statistical Evidence from Yogyakarta City,
Indonesia, Asia Oceania Geoscience (AOGS) Conference, Singapore.
Gunawan, D., H., 2010, Pengaruh Jaringan sistem Limbah Komunal terhadap Penyebaran
Bakteri Coli Faeces pada air tanah dangkal di daerah Sambirejo, Kelurahan
Prenggan, Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, Skripsi, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah
Mada.
Hendrayana, H, 1993, Hydrogeologie Und Grundwassergewinnung Im Yogyakarta – Becken,
Indonesien, RWTH Aachen University, Germany
Jamieson, R.C., Gordon, R.J., Sharples, K.E., Stratton, G.W., dan Madani, A., 2002,
Movement and Persistence of Fecal Bacteria in Agricultural Soils and Subsurface
Drainage Water: A Review, Department of Engineering and Department of
Environmental Sciences, Nova Scotia Agricultural College, Canada
Lawrence, A.R., Macdonald, D.M.J., Howard, A.G., Barret, M.H., Pedley, S., Ahmed, K.M.,
Nabulega, M., 2001, Guidelines for Assessing the Risk to Groundwater from On-site
Sanitation, British Geological Survey Commissioned Report CR/01/142, British
Geological Survey Keyworth, Department for International Development, Nottingham
Mulyani, M. C., 2007, Pengaruh Jaringan sistem Limbah Komunal terhadap Bakteri Coli
pada Airtanah dangkal di daerah Sindurejan - Surya wijayan Kota Yogyakarta
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Skripsi, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas
Teknik, Universitas Gadjah Mada.
Macler, B. A, and Merkle, J. C., 2000, Current knowledge on groundwater microbial
pathogens and their control, Hydrogeology Journal, Volume 8, Issue 1, pp 29-40
Putra, D.P.E., 2007, Evolution of Groundwater Chemistry on Shallow Aquifer of Yogyakarta
City Urban Area, dalam Journal of Southeast Asian Applied Geology, Vol. 3 No.2, hal.
116-124, AUN Seed Net-JICA
Prehatin, D., L., 2009, Studi Kandungan Bakteri Coli Feces pada Airtanah Dangkal di
Daerah Cokrodiningratan Kecamatan Jetis Yogyakarta, Skripsi, Jurusan Teknik
Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada.
Rahardjo, W., Sukandarrumidi dan Rosidi, H.M.D., 1995, Peta Geologi Lembar Yogyakarta
Skala 1:100.000, Pusat Survey Geologi, Ditjen Geologi Sumberdaya Mineral,
Departemen Pertambangan dan Energi, Bandung
Saputra, M, 2007, Studi Kandungan bakteri Coli pada Airtanah Dangkal di Daerah bantul
bagian Timur, Skripsi, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah
Mada.
Sir M. Mac Donald and Partners, 1984, Greater Yogyakarta Groundwater Resources Study
vol.3: Groundwater, Yogyakarta, Directorate General of Water Resources
Development, Groundwater Development Project
Winastu, H., 2006, Studi Kandungan Bakteri Coli pada Airtanah Dangkal di Daerah
Kabupaten Bantul bagian Barat, Skripsi, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik,
Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta Urban Development Project (YUDP), 1994, Studi Kualitas Air Tanah Dangkal
Wilayah Perkotaan Yogyakarta.
Tribun Jogja, 28 Januari 2011
Republika, 21 November 2011
Harian Kedaulatan Rakyat 20 April 2012
454
S01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Abstrak
Secara Administratif, daerah penelitian terletak di Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan.
Lokasi penelitian berada di Sungai Barru, Sungai Palakka, Sungai Pange, dan Sungai Ralla. Lokasi
tersebut sangat baik untuk dilakukan stratigrafi terukur dan studi fosil khususnya foraminifera.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi pembentukan batuan dengan membuat
rekonstruksi paleoseanografi Formasi Tonasa yang terdiri atas napal dan batugamping, berdasarkan
kelimpahan fosil foraminifera.
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode measuring section, dari sampel
terpilih kemudian dibuat preparasi untuk pengamatan foraminifera kecil maupun foram besar.
Selanjutnya determinasi spesies foraminifera dengan menggunakan mikroskop binokuler dan
mikroskop polarisasi, kemudian analisis foraminifera baik bentonik maupun planktonik untuk
menentukan umur relatif batuan, interpretasi lingkungan pengendapan, suhu, serta salinitas air laut
ketika batuan tersebut terbentuk.
Berdasarkan kelimpahan foraminifera kecil dan foram besar, diperoleh umur relatif batuan dari
Eosen Bawah – Eosen Atas (P9-P16), selama pengendapan napal dan batugamping terjadi siklus
pengendapan antara lingkungan neritik tepi – neritik tengah – neritik luar, pada kondisi temperatur
air hangat (berkisar 35o/oo) dengan kondisi salinitas berada pada normal marine lagoon dan paparan
karbonat.
Perselingan napal dan batugamping menunjukkan perubahan kondisi lingkungan pengendapan,
secara umum pengendapan berlangsung relatif dari arah Baratdaya – Timurlaut atau dari Sungai
Barru hingga Sungai Ralla. Perubahan litologi dengan dominasi batulempung karbonatan di bagian
utara kemudian beransur didominasi oleh batugamping ke arah selatan yaitu di Sungai Ralla dengan
kandungan foram besar yang melimpah.
Latar Belakang
Daerah penelitian termasuk dalam wilayah Kecamatan Barru dan Tanete Riaja Kabupaten
Barru Provinsi Sulawesi Selatan. Daerah penelitian meliputi lintasan Sungai Ralla, Sungai
Palakka, Sungai Pange dan Sungai Barru. Daerah ini merupakan salah satu pusat studi
Geologi dan Kampus Lapangan Jurusan Teknik Geologi Universitas Hasanuddin terletak di
daerah ini (Gambar 1).
455
S01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Studi geologi derah penelitian baik regional maupun secara detail telah dilakukan oleh
beberapa peneliti, diantaranya penelitian Geologi Regional oleh Sukamto, 1982, dan
beberapa studi regional lainnya yang banyak membahas geologi daerah ini, kemudian
Wilson, (1995b) dan Wilson & Bosence (1996), secara detail meneliti tentang evolusi dan
potensi hidrokarbon Batugamping Formasi Tonasa serta redeposite dan fasies napal
khususnya di daerah Barru.
Diantara peneliti tersebut diatas, telah mengemukakan bahwa lingkungan pengendapan
Formasi Tonasa terletak pada Lingkungan neritik dangkal hingga dalam dan laguna
(Sukamto, 1982). Sementara oleh Wilson dan Bosence, 1996, menyebutkan bahwa
sedimen karbonat di daerah Selatan Barru terbentuk pada kondisi air laut dangkal yang
relatif stabil, yang dikenal sebagai paparan karbonat Tonasa atau Formasi Tonasa.
Dari hasil penelitian geologi tersebut, telah mengungkap sejarah pembentukan hingga
ke potensi batuan, namun demikian penelitian detail tentang kandungan biota dalam hal ini
Foraminifera masih secara umum dilakukan untuk menentukan umur dan lingkungan
pengendapan Formasi Tonasa (Sukamto, 1982), dengan demikian dalam penelitian ini
dilakukan studi detail Foraminifera untuk melihat perkembangan siklus pengendapan serta
kondisi temperatur dan salinitas air ketika batuan ini terbentuk.
Geologi Regional
Lengan Selatan Sulawesi merupakan bagian dari kraton Eurasia yang relatif stabil, berbeda
dengan Lengan Tengah, dan Timur dan Tenggara yang lebih kompleks baik dari segi
tatanan tektonik maupun batuan penyusunnya. Lengan Barat, Utara dan Selatan umumnya
disusun oleh batuan gunungapi dan batuan sedimen yang berumur Tersier, sedangkan
Lengan Tengah, Timur dan Tenggara merupakan kompleks ofiolit dan batuan metamorf
(Hall, 1996)
Daerah penelitian merupakan bagian dari Lengan Selatan Sulawesi, yang berada pada
456
S01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
zona jalur sesar Walanae (van Leeuwen, 1981; Wilson & Bosence, 1996). Menurut
Sukamto (1982), batuan yang tersingkap di daerah ini mulai dari yang berumur Kapur
hingga Miosen, terdiri dari batuan ultrabasa, metamorf dan melange yang diperkirakan
berumur Kapur, kemudian secara tidak selaras diatasnya terendapkan Formasi Balangbaru
yang berumur Kapur Akhir. Endapan sedimen Formasi Mallawa dengan sisipan batubara
menindih tidak selaras serpih Balangbaru yang berumur Kapur Akhir, kemudian berangsur
menjadi endapan karbonat Formasi Tonasa dari Eosen Awal hingga bagian bawah Miosen
Tengah.
Formasi Tonasa mempunyai penyebaran yang luas dengan ketebalan hingga 3000
meter, khusus di daerah Barru terdapat perselingan batugamping dan napal yang banyak
mengandung fosil, dan batugamping yang mengandung fragmen sekis dan ultrabasa di
daerah Ralla. Dari hasil gabungan fosil menunjukkan kisaran umur Eosen Awal (Ta.2)
sampai Miosen Tengah (Tf), dan lingkungan neritik dangkal hingga dalam dan laguna.
Pegunungan bagian Barat sebagian besar disusun oleh batuan gunungapi Formasi Camba
yang berumur Miosen Tengah – Pliosen Awal, batuan ini terendapkan secara tidak selaras
di atas Formasi Tonasa.
Batugamping Formasi Tonasa mempunyai penyebaran yang cukup luas dari Utara
(daerah Barru) ke Selatan (daerah Jeneponto) (Sukamto, 1982; Sukamto & Supriatna,
1982), seperti terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Peta Geologi Regional Lengan Selatan Sulawesi (Wilson & Bosence, 1996:
457
S01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
modifikasi dari Sukamto, 1982, Sukamto dan Supriatna, 1982)
Metodologi Penelitian
Pengumpulan data lapangan dengan metode Measuring Section dilakukan di empat jalur,
yakni lintasan Sungai Barru, Sungai Palakka, Sungai Pange dan Sungai Ralla. Pencatatan
disertai foto dan sketsa dan pengambilan sampel untuk setiap lapisan batuan yang segar.
Sampel tersebut kemudian dipilah untuk membuat preparasi foraminifera kecil dengan
mengambil residu setelah proses pencucian, sedangkan preparasi foraminifera besar
dengan membuat sayatan tipis.
Setelah preparasi fosil, selanjutnya determinasi spesies baik foraminifera kecil maupun
foraminifera besar dengan menggunakan Mikroskop Binokuler dan Mikroskop Polarisasi.
Apabila fosil foraminifera cukup melimpah, maka dihitung hingga 200 takson untuk setiap
sampel, namun jika jumlah fosil sedikit/jarang maka determinasi nama spesies dan jumlah
takson.
Selanjutnya penamaan takson dan menentukan umur relatif lapisan batuan berdasarkan
kandungan foraminifera planktonik (Blow, 1969 dan Postuma, 1971) dan juga bentonik
(Bandy, 1967, Cushman, 1983, dan Amstrong & Brasier, 2005) untuk interpretasi
lingkungan pengendapan serta temperatur dan salinitas air laut ketika batuan Formasi
Tonasa di daerah Barru terbentuk.
Batuan di daerah ini didominasi oleh Litologi napal dengan perselingan batugamping
pada bagian atas, terdapat 18 lapisan batuan dengan ketebalan antara 5 – 258 cm. Hasil
determinasi foraminifera planktonik dan bentonik pada lapisan 6, seperti diperlihatkan
pada Gambar 4 dan Gambar 5.
458
S01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 5. (a). Ammobaculites sp. (b). Bulimina sp. (c). Cibicides sp. (d). Dentalina sp.
(e). Elphidium sp. (f). Nodogerina sp. (g). Nodosarella sp. (h). Nonion sp.
(i). Robulus sp. (j). Textularia sp. (k). Siphonodosaria sp. (l). Uvigerina sp.
Gambar 6. Lokasi lintasan Sungai Palakka, litologi napal difoto ke arah N1700E.
459
S01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Dari hasil Measuring section, terdapat 15 perlapisan dengan perselingan batulempung
karbonatan dan batugamping, hasil determinasi foraminifera kecil baik planktonik maupun
bentonik seperti diperlihatkan pada Gambar 7 dan 8.
Gambar 7. (a) Globigerina boweri BOLLI (b) Globigerina senni (BECKMANN) (c)
Globigerina soldadoensis BRONNIMAN (d) Globigerapsis index (FINLAY) (e)
Globorotalia bolivariana (PETTERS)
Gambar 8. (a) Cassidulina sp. (b) Elphidium sp. (c) Dentalina sp. (d) Nodogerina sp.
(f) Chilostomella sp.
Hasil determinasi foraminifera planktonik dan bentonik daerah ini seperti pada Gambar
10 dan 11.
460
S01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 10. (a) Globigerina senni (BECKMANN) (b) Globorotalia bolivariana (PETTERS)
(c) Hastigerina micra (COLE) (d) Clavigerinella jarvisi (CUSHMAN)
(e) Globigerapsis index (FINLAY) (f) Globigerina yeguaensis WEINZIERL
and APPLIN
Gambar 11. (a) Cassidulina sp. (b) Nodogerina sp. (c) Nodogerina laevigata Bermudez
(d) Elphidium sp. (e) Lagena sp. (f) Lagena alveolata H.B. Brady
Sungai Ralla terletak di Desa Ralla dengan titik kooordinat 119 0 43' 12" BT dan 040 32
'48" LS memiliki singkapan dengan panjang ± 40 meter dan memperlihatkan adanya
perselingan batugamping dan batulempung karbonatan, terdapat struktur laminasi pada
batugamping, kedudukan batuan N140E/140 (Gambar 12 ).
461
S01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Dari hasil determinasi foraminifera diperoleh kumpulan fosil planktonik dan bentonik
seperti pada Gambar 13 dan 14.
462
S01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Salah satu contoh distribusi foraminifera planktonik dan bentonik di Sungai Ralla seperti
diperlihatkan pada gambar berikut
Plank
Disamping itu, foraminifera besar dijumpai melimpah pada batugamping di semua lintasan
pengamatan. Contoh hasil determinasi foraminifera besar seperti pada Gambar 16.
Gambar 16. (a) Discocyclina sp. (b). Nummulites sp. (c). Orbitoclypeus sp.
P11- P14 (Eosen Tengah bagian bawah – Eosen Atas bagian bawah)
Pada lintasan Sungai Barru pengendapan batulempung karbonatan berakhir pada P12 atau
pada Eosen Tengah bagian atas. Lingkungan pengendapan adalah paparan karbonat dari
kondisi neritik hingga kedalaman lebih dari 1000 meter (Amstrong & Brasier, 2005), suhu
hangat (warm temperature), dan salinitas normal. Ke arah selatan, Foraminifera bentonik
terutama foram besar tidak dijumpai, sedangkan foraminifera kecil bentonik dimana
ukuran cangkannya kecil. Dari korelasi biostratigrafi pada penampang stratigrafi terlihat
bahwa pada lintasan Sungai Palakka dan Sungai Pange terdapat perselingan batulempung
karbonatan dengan batugamping, ke arah selatan (Sungai Ralla) terjadi perubahan dari
litologi batugamping kemudian perselingan batulempung karbonatan dan batugamping
dengan struktur laminasi sejajar. Menurut Sukamto, 1982 dan Asri, 2001, bahwa Formasi
Tonasa di Sungai Ralla mengandung batuan metamorf dan ultrabasa. Dengan demikian
dari hasil analisis foraminifera bentonik (Cassidulina, Uvigerina, Bolivina dan Bulimina)
menunjukkan kedalaman lebih dari 1000 meter, serta beberapa indikasi adanya material
asal daratan serta struktur sedimen laminasi dan slump, maka ke arah selatan dari lokasi
penelitian merupakan lingkungan slope.
Kesimpulan
Batulempung karbonatan dan batugamping Formasi Tonasa khususnya di empat lintasan
pengukuran di daerah Barru merupakan bagian bawah dari Formasi Tonasa, dengan umur
batuan P9 – P16. Berdasarkan keterdapatan dan kelimpahan fosil foraminifera bentonik,
maka kondisi paleoseanografi ketika batuan ini terendapkan berada pada neritik tengah –
neritik luar pada paparan karbonat, ke arah selatan semakin dalam hingga lebih dari 1000
meter, temperatur air laut hangat, salinitas normal dengan kondisi air laut yang stabil.
464
S01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
REFERENSI
[1] R. Sukamto, Geologi Regional Lembar Pangkajene dan Watampone bagian Barat,
Sulawesi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Direktorat Pertambangan
Umum Departemen Pertambangan Dan Energi, Bandung, Indonesia, 1982.
[2] M.E.J. Wilson, “Evoluation and Hydrocarbon Potential of The Tertiery Tonasa
Limestone Formation, Sulawesi, Indonesia”, Proceedings of 25-th IPA Annual
Convention, h.227-240, 1995b.
[3] M.E.J. Wilson, & D.W.J. Bosence, “The Tertiary evolution of South Sulawesi: a record
in redeposited carbonates of the Tonasa Limestone Formation”, dalam Geological
Society Special Publication, R. Hall & D.J. Blundel, No. 106, h. 365– 389, 1996.
[4] R. Hall, “Reconstructing Cenozoic SE Asia”, dalam Geological Society Special
465
S01 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Publication, R. Hall & D.J. Blundel, No. 106, h. 71-74, 1996.
[5] R. Sukamto & S. Supriatna, Geologi Regional Lembar Ujung Pandang, Benteng dan
Sinjai, Sulawesi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Direktorat
Pertambangan Umum Departemen Pertambangan Dan Energi, Bandung, Indonesia,
1982.
[6] W.H. Blow. Late Middle Eosen to Resent Planktonik Foraminifera Biostratigraphy
-Cont. Planktonik Microfosil, Genewa, Pro.Leiden, E.J. Bull, v.l. 1969.
[7] J.A. Postuma, Manual of Planktonic Foraminifera, Elsevier Publishing Company,
Amsterdam, Netherlands, 1971.
[8] O. L. Bandy, Foraminifera Indices in Paleoecology, Esso Production Research
Company, Houston, Texas, 1967.
[9] H.A. Amstrong & M.D. Basier, Microfossils, Second Edition, Blackwell Publishing,
UK, 2005.
[10] J.A. Cushman, An Illustrated Key to The Genera of The Foraminifera, Sharon,
Massachusetts, U.S.A, 1983.
[11] J.A. Cushman, An Illustrated Key to The Genera of The Foraminifera, Sharon,
Massachusetts, U.S.A, 1983.
[12] J. Asri. Sikuen Stratigrafi dan Diagenesa Batugamping Formasi Tonasa Lintasan Ralla
Sulawesi Selatan, Thesis Magister, Institut Teknologi Bandung, tidak dipublikasikan,
2001.
466
S02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Abstrak
Lokasi penelitian terletak di Sungai Banyumeneng, Desa Girikusumo, Kecamatan Mranggen, Kabupaten
Demak, Jawa Tengah. Pada lokasi penelitian banyak dijumpai lapisan batuan yang tersingkap di permukaan
dan mempunyai ciri - ciri tertentu yang bisa dijadikan indikasi perubahan fasies lingkungan pengendapan.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui fasies lingkungan pengendapan dari sikuen batuan
yang tersingkap di lokasi penelitian. Setelah mengetahui fasies lingkungan pengendapan, selanjutnya
dilakukan analisis lebih lanjut mengenai proses pengendapan dengan menghubungkan proses geologi yang
terjadi di daerah penelitian.
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan melakukan pengukuran stratigrafi (Measuring
Stratigraphy), pengukuran stratigrafi ini dilakukan dengan teknik rentang tali, teknik pengukuran dengan
metode ini lebih sederhana dan lebih akurat dibanding dengan metode – metode pengukuran yang lain.
Setelah memperoleh data pengukuran stratigrafi, dilakukan analisis dengan kajian studi pustaka maupun
referensi lainnya.
Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa lingkungan pengendapan daerah penelitian terbentuk pada
lingkungan transisi hingga lingkungan laut dalam. Berdasarkan hasil pengukuran stratigrafi dan analisis
lingkungan pengendapan didapatkan hasil bahwa fasies lingkungan pengendapan yang terdapat pada daerah
penelitian merupakan fasies outer submarine fan, inner submarine fan, upper – lower continental slope, dan
continental shelf hingga tidal flat.
Kata Kunci: Lingkungan Pengendapan, Measuring Stratigraphy, Fasies Lingkungan Pengendapan
PENDAHULUAN
Sungai Banyumeneng terletak di Kecamatan Mranggen, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Daerah
penelitian terletak sekitar 11 km di sebelah tenggara Kota Semarang, yakni pada koordinat 100o 28’
59,65’’E dan 7o 02’ 48,45’’S.
Zona Kendeng terletak di sebelah utara dari jalur vulkanik Kuarter. Zona Kendeng terdiri dari
endapan – endapan Tersier yang sangat tebal yakni hingga beribu – ribu meter. Zona Kendeng
terdiri dari struktur antiklinorium dengan pola utama barat – timur dan umunya tersusun oleh
sedimen – sedimen marin. Zona ini tersesarkan dan terlipat kuat di sekitar kota Cepu. Di beberapa
tempat, lapisan yang mengalami perlipatan tersbut terpotong oleh sesar naik dengan sudut kecil.
Menurut Pringgoprawiro (1983) stratigrafi Zona kendeng terbagi menjadi dua cekungan
pengendapan, yaitu Cekungan Rembang (Rembang Bed) yang membentuk Pegunungan Kapur
Utara, dan Cekungan Kendeng (Kendeng Bed) yang membentuk Pegunungan Kendeng.
467
S02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Sungai
Banyumeneng,
Kec.
Mranggen,
Kab. Demak
Gambar 1. Peta Lokasi Sungai Banyumeneng, Kec. Mranggen, Kab. Demak
Pada Cekungan Kendeng terdapat beberapa formasi batuan yaitu Formasi Kerek, Formasi Kalibeng,
Formasi Pucangan, Formasi Kabuh, Formasi Notopuro, dan Formasi Undak. Adapun penelitian ini
dilakukan pada Formasi Kerek dan Formasi Kalibeng (Van Bemmelen dalam Simorangkir, 2013).
Formasi Kerek terdiri dari litologi napal, batugamping, batupasir, dan batulempung. Bagian bawah
terdiri dari perselingan napal, batulempung, batupasir gampingan, batulempung gampingan, dan
batupasir tufaan. Bagian atas batugamping, yang di beberapa tempat tufaan dengan sisipan napal
dan batulempung gampingan. Berdasarkan fosil foraminifera planktonik dan bentoniknya, formasi
ini terbentuk pada Miosen Awal – Miosen Akhir. Ketebalan formasi ini bervariasi antara 1000 –
3000 meter. Sedangkan Formasi Kalibeng terletak selaras di atas Formasi Kerek. Formasi ini
dicirikan oleh litologi napal, pejal dan terdapat sisipan batupasir tufaan dan batupasir gampingan.
Napal pada lapisan ini kaya akan foraminifera planktonik. Asosiasi fauna yang ada menunjukkan
bahwa Formasi Kalibeng bagian bawah ini terbentuk pada Miosen Akhir – Pliosen, pada
lingkungan Neritik Luar-Batial Atas. Pada Formasi Kalibeng terdapat dua anggota yaitu Anggota
Banyak (Tmkb) pada bagian bawah dan Anggota Klitik (Tpkk) pada bagian Atas. Anggota Banyak
(Tmkb) terdiri dari litologi breksi andesit dengan warna abu-abu terang, kepingan andesit dengan
sedikit tuf, ukuran komponen 0.3-12 cm, keras, kemas terbuka, pejal; dan breksi tuf, putih keabuan,
matriks tuf dengan sedikit andesit, ukuran 0,2-10 cm, kemas terbuka, pejal dengan ketebalan lapisan
8-25 m. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui fasies lingkungan pengendapan dari sikuen
batuan yang tersingkap di lokasi penelitian. Setelah mengetahui fasies lingkungan pengendapan,
selanjutnya dilakukan analisis lebih lanjut mengenai proses pengendapan dengan menghubungkan
proses geologi yang terjadi di daerah penelitian.
Metode penelitian yang dilakukan di lapangan merupakan kajian terperinci untuk mengetahui
lingkungan pengendapan dari runtutan batuan sedimen penyusun Formasi Kerek dan Formasi
Kalibeng yang tersingkap di lokasi penelitian dengan metode measuring stratigraphy serta
melakukan pengamatan struktur sedimennya. Karakteristik runtunan litologi dan struktur sedimen
tersebut dapat digunakan untuk penafsiran lingkungan pengendapannya. Berdasarkan pengamatan
petrologi di lapangan, litologi penyusun Formasi Kerek dan Formasi Kalibeng merupakan batuan
bersifat karbonatan, hal ini didasarkan dengan uji unsur karbonatan pada batuan dengan menetesi
468
S02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
larutan HCl encer sehingga batuan menghasilkan buih yang mengindikasikan bahwa batuan tersebut
mengandung unsur karbonatan.
Berdasarkan hasil penelitian lapangan dapat diketahui lingkungan pengendapan daerah penelitian
terbentuk pada lingkungan transisi hingga lingkungan laut dalam, yakni pada fasies outer
submarine fan, inner submarine fan, upper – lower continental slope, dan continental shelf hingga
tidal flat.
METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan berdasarkan data hasil kajian secara langsung di lapangan pengamatan.
Data diperoleh dengan melakukan pengukuran stratigrafi (measuring stratigraphy) pada runtutan
perlapisan formasi kerek dan kalibeng, juga dilakukan pengukuran arah perlapisan strike/dip serta
analisis struktur sedimennya. Dari hasil pengukuran stratigrafi, pengukuran arah perlapisan serta
analisis struktur sedimen sehingga dapat menafsirkan fasies lingkungan pengendapan dan kondisi
muka air laut purba saat pembentukan formasi kerek dan formasi kalibeng wilayah penelitian.
Segmen outer submarine fan ini mewakilkan fasies outer submarine fan. Segmen outer submarine
fan ini ditandai oleh perselingan batupasir dengan serpih, dengan struktur sedimen berupa ripple
mark dan convolute. Perselingan batupasir dengan serpih ini diinterpretasikan berada pada chanel –
levee system, dimana terjadi overlapping (tumpang – tindih) antara chanel – levee purba dengan
chanel – levee yang lebih muda, sehingga dimungkinkan terjadi perselingan batupasir dan serpih
dengan ferkuensi yang besar. Adapun struktur sedimen ripple mark dan convolute adalah salah satu
struktur sedimen penyerta yang biasa hadir di submarine fan sebagai produk dari arus turbid.
Adapun keberadaan batugamping pada hasil measuring stratigraphy menunjukkan adanya
transportasi batugamping dari lingkungan yang lebih dangkal.
469
S02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
470
S02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 3. Deskripsi Sedimentologi sungai banyumeneng, Kec. Mranggen, Kab. Demak (lanjutan)
471
S02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Segmen kedua adalah segmen inner fan. Segmen ini mewakilkan fasies inner submarine fan. Pada
segmen inner submarine fan ini terdapat perubahan dari segmen sebelumnya, yakni adanya
batupasir yang lebih tebal dengan struktur sedimen, paralel lamination, ripple mark dan load cast.
Keberadaan batupasir yagn lebih dominan dan lebih tebal diinterpretasikan sebagai hasil
sedimentasi material sedimen dari chanel – chanel yang ada di submarine fan. Adapun struktur
sedimen paralel lamination dan ripple mark, seperti pada penjelasan sebelumnya merupakan hasil
dari arus turbid dan menjadi salah satu dari sikuen Bouma.
Segmen ketiga adalah segmen upper – lower slope, yang mewakilkan fasies upper – lower
continental slope. Fasies upper – lower continental slope ditandai dengan keberadaan perselingan
batupasir dengan batugamping dan juga struktur sedimen load cast, ripple mark dan struktur
sedimen yang lebih sederhana yakni paralel lamination. Secara sederhana dapat dipahami
keberadaan batugamping klastik yang lebih banyak daripada segmen berikutnya menandakan fasies
lingkungan pengendapan yang lebih dekat ke arah reef yakni continental slope. Hal ini juga
didukung oleh keberadaan struktur sedimen berupa load cast.
Segmen yang terakhir adalah segmen continental shelf - tidal flat. Dalam segemen ini sebenarnya
dapat dibagi menjadi dua sub segmen. Sub segmen yang pertama dicirikan oleh semakin tebalnya
batugamping klastik, keberadaan batugamping terumbu, melimpahnya fosil makro, dan juga
struktur sedimen yang lebih sederhana berupa paralel lamination. Sub segmen yang pertama ini
diinterpretasikan hasil dari proses sedimentasi yang berlangsung di continental shelf sebagai
lingkungan yang paling cocok untuk perkembangan dan pertumbuhan terumbu. Kemudian sub
segmen yang kedua dicirikan oleh ketebalan batupasir yang lebih tinggi dibanding sub segmen yang
pertama. Segmen ini diinterpretasikan merupakan hasil dari pengendapan yang terjadi di tidal flat,
dimana material asal darat lebih dominan (berukuran pasir), denga struktur sedimen yang
berkembang cross bedding sebagai produk dari pasangsurut, penciri fasies tidal flat.
Dari urutan segmen–segmen fasies lingkungan pengendapan di atas, dapat diinterpretasikan bahwa
keseluruhan segmen membentuk suatu pola lingkungan pengendapan yang semakin muda semakin
ke arah darat. Hal ini dapat dijadikan dasar untuk menafsirkan kondisi muka air laut purba pada
daerah penelitian, yakni secara global terjadi pergerakan garis pantai ke arah laut, adapun
penyebabnya bisa saja dihubungkan dengan glasiasi ataupun karena pengaruh tektonik yang
berkembang saat itu.
472
S02 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian lapangan, pengolahan data lapangan berupa penampang stratigrafi
terukur, serta analisis struktur sedimen dapat diinterpretasikan bahwa fasies lingkungan pada daerah
penelitian meliputi outer submarine fan, inner submarine fan, upper – lower continental slope, dan
continental shelf hingga tidal flat. Dan dari pola lingkungan pengendapan tersebut dapan dijadikan dasar
untuk menafsirkan kondisi muka air laut purba pada daerah penelitian, yakni secara global terjadi
pergerakan garis pantai ke arah laut
DAFTAR PUSTAKA
Boggs, Sam Jr., 1987, Principles of Sedimentology and Stratigraphy: Merrill Publishing Company,
Columbia.
Staff Asisten Sedimentologi dan Stratigrafi, 2011, Panduan Praktikum Sedimentologi dan
Stratigrafi: Teknik Geologi UNDIP, Semarang.
Van Bemmelen, R., 1949, The Geology of Indonesia Volume 1A: Government Printing Office, The
Hague, Netherlands.
Selley, Richard C. 2000. Applied Sedimentology Second Edition: Academic Press, New York
Walker and James. 1992. Facies Models Response to Sea Level Change: Geological Association of
Canada: Canada
Simorangkir, Abdillah, dkk. 2013. Depositional Environment Analysis of Kali Banyumeneng,
Mranggen, Kabupaten Demak: Indonesian Sedimentologist Forum, Jakarta.
473
S03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
*) Staf Pengajar - Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, email:
shddin@ugm.ac.id
**) Mahasiswa - Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada
SARI
Cekungan Serayu Utara merupakan salah satu dari dua cekungan yang menyusun Jawa Tengah.Di
Cekungan ini, banyak dijumpai rembesan hidrokarbon (minyak dan gas bumi) di permukaan, sebagai salah
satu tanda aktifnya sistem petroleum.Meski demikian, kompleksitas geologi yang dimiliki cekungan ini
membuatnya dikenal sebagai “terra incognita” dalam dunia eksplorasi migas di Pulau Jawa.Sebagai salah
satu manifestasi permukaan, rembesan hidrokarbon dapat menjadi jendela dan titik tolak pendekatan dalam
mempelajari kondisi geologi bawah permukaan bagi unsur-unsur penting dalam sistem
petroleum.Berlandaskan pemahaman tersebut, penelitian ini bermaksud untuk mempelajari faktor-faktor
geologi yang pernah bekerja di Cekungan Serayu Utara yang mengontrol terjadinya rembesan hidrokarbon
di Desa Sijenggung, Kecamatan Banjarmangu, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.Di permukaan,
rembesan tersebut terjadi pada singkapan Formasi Rambatan yang berumur Miosen Awal - Miosen
Tengah.Pendekatan yang dipergunakan adalah pengumpulan data-data geologi permukaan, berupa data
stratigrafi dan struktur geologi.
Penurunan Cekungan Serayu Utara sebagai cekungan belakang busur (back-arc basin) di Miosen
Awalmempengaruhi pengendapan Formasi Rambatan, yang diisi oleh perselingan serpih, napal, dan
tuff.Kandungan material volkaniklastik halus diduga berasal dari volkanisme Waturanda di Busur Volkanik
Serayu Selatan.Mekanisme pengendapan litologi Rambatan tersebut terpengaruh kondisi cekungan yang
terus menurun, menghasilkan gangguan-gangguan sedimentasi (soft sediment deformation) akibat luncuran
gravitasi di lereng cekungan. Memasuki Miosen Akhir, busur volkanik Jawa Tengah berpindah ke cekungan
belakang busur, menghasilkan endapan-endapan vulkaniklastika kasar yang berselingan dengan klastika
halus laut pada formasi-formasi Halang, Tapak, dan Pemali.
Deformasi yang dominan pada Formasi Rambatan adalah luncuran gravitasi (gravity sliding) ke arah
utara-timurlaut dalam rejim ekstensional, yang secara lokal menghasilkan sesar anjak pada bagian ujung
luncuran (toe-thrusting). Selanjutnya, saat aktifitas volkanisme menjadi dominan di Cekungan Serayu
Utara, pembebanan tubuh gunungapi (volcanic load) juga menghasilkan deformasi luncuran gravitasi ke
arah lateral, terutama bergerak ke arah selatan-baratdaya, yang tidak hanya bekerja pada dormasi-formasi
Neogen Akhir tetapi juga mempengaruhi Formasi Rambatan yang lebih tua.
Rembesan hidrokarbon di Desa Sijenggung pada Formasi Rambatan yang memiliki potensi sebagai
batuan penyimpan (reservoar) dan batuan penyekat (seal) sekaligus, diduga melalui mekanisme pecahnya
batuan penyekat (seal failure). Hal ini terjadi karena rendahnya kualitasnya litologi penyekat yang rendah
akibat deformasi luncuran gravitasi, sehingga hidrokarbon dapat mencapai permukaan.
Kata kunci: rembesan hidrokarbon, Formasi Rambatan, struktur luncuran gravitasi, Sijenggung, Serayu
Utara.
474
S03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
PENDAHULUAN
Cekungan Serayu Utara.merupakan salah satu dari dua cekungan yang membentukJawa
Tengah.Melimpahnya rembesan hidrokarbon pada lokasi ini menandakan bahwa dengan tatanan
struktur geologi dan stratigrafi yang sedemikian rupa, terdapat sistem petroleum aktif yang bekerja
pada Cekungan Serayu Utara. Satyana et al. (2007) menyebut Cekungan Serayu Utara sebagai
terra-incognita, yaitu daerah dengan kondisi geologi yang belum dikenal baik dalam eksplorasi
migas, yang memicu munculnya banyak pendapat berbeda mengenai kondisi geologi daerah
setempat.
Sebagai salah satu manifestasi permukaan, rembesan hidrokarbon dapat menjadi jendela dan
titik tolak pendekatan dalam mempelajari kondisi geologi bawah permukaan bagi unsur-unsur
penting dalam sistem petroleum.Berlandaskan pemahaman tersebut, penelitian ini bermaksud
untuk mempelajari faktor-faktor geologi yang pernah bekerja di Cekungan Serayu Utara yang
mengontrol terjadinya rembesan hidrokarbon di Kali Pekacangan, Desa Sijenggung, Kecamatan
Banjarmangu, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.Di permukaan, rembesan tersebut terjadi
pada singkapan Formasi Rambatan yang berumur Miosen Tengah.Pendekatan yang dipergunakan
adalah pengumpulan data-data geologi permukaan, berupa data stratigrafi terukur (outcrop
measured section) dan struktur geologi.
GEOLOGI REGIONAL
Fisiografi orogenik Jawa Tengah dibentuk oleh dua jalur pegunungan utama, yaitu Zona
Serayu Selatan dan Zona Serayu Utara (Gambar 1). Dalam sejarah geologinya, kedua jalur
pegunungan tersebut juga berperan sebagai cekungan sedimenter.
Zona Serayu Selatan berkembang daridaerah hulu aliran Sungai Bogowonto (sebelah utara
Kota Purworejo) di sebelah timur dimana hingga lembah Sungai Citanduy (sebelah selatan Kota
Majenang) di sebelah barat. Secara umum, Zona Serayu Selatan melampar relatif timur-barat
dengan bentuk melengkung ke arah utara. Batas fisiografi sebelah timur zona ini tidak begitu
tegas, dimana mereka bergabung dengan ujung utara Pegunungan Kulon Progo yang melampar
berarah utara-timurlaut – selatan-baratdaya serta tertutup oleh endapan volkanik G. Sumbing.
Batas fisiografi sebelah barat cukup tegas, dengan adanya lembah sempit bentukan erosi vertikal
Sungai Cikawung yang menjadi batas zona ini dengan Zona Bogor yang masih memiliki fisiografi
serupa dengan Zona Serayu Selatan. Van Bemmelen (1949) membagi Zona Serayu Selatan
menjadi dua, bagian timur dan bagian barat, yang dipisahkan oleh dataran rendah Jatilawang pada
aliran Sungai Serayu. Kedua bagian Serayu Selatan tersebut memiliki hubungan geometris susun
genteng tumpuk kiri (left-stepping en echelon), memberikan kesan adanya sesar geser sinistral
regional berarah timur-barat yang mempengaruhi keduanya. Bagian barat memiliki panjang 60 km
dan lebar 15 km serta pelamparan berarah baratlaut-tenggara. Bagian timur melampar timur-barat
dengan panjang 115 km dan lebar mencapai 35 km, dimana bagian tengah zona ini tersingkap
batuan dasar pra-Tersier di daerah Karangsambung.
Zona Serayu Utara berkembang lebih sederhana bila dibandingkan dengan Zona Serayu
Selatan. Zona Serayu Utara hanya terdiri dari satu jalur pegunungan berarah timur-barat, dengan
geometri melengkung membuka ke arah selatan, dan kedua ujungnya ditempati oleh gunungapi
Kuarter. Ujung bagian timur dimulai dari penjajaran G. Sumbing dan G. Sindoro berarah baratlaut-
tenggara, yang dilanjutkan dengan kehadiran kompleks volkanik Dieng ke arah barat-baratlaut.
Ujung barat Zona Serayu Utara ditandai dengan kehadiran G. Slamet.
Stratigrafi regional dan deformasi tektonik kedua zona Serayu tersebut memiliki keterkaitan
satu dengan lainnya (Gambar 2, 3). Zona Serayu Selatan memiliki batuan-batuan pra-Tersier dan
Paleogen yang tersingkap ke permukaan di daerah Karangsambung. Kompleks Luk-Ulo yang
berumur Kapur Akhir, serta Formasi Karangsambung dan Formasi Totogan yang berumur
Paleogen, terbentuk oleh proses longsoran gravitasional laut dalam pasca kolisi antara Sundaland
dan lempeng kontinen mikro Jawa Timur (Hall, 2012), dimana fragmen aneka bahan (batuan
475
S03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
metamorfik, batuan beku, batuan sedimen laut) bercampur-bancuh dalam massa dasar
batulempung. Terdapat perkembangan karakter sedimentasi yang menarik dari matrix-dominated
pada Kompleks Luk-Ulo dan Formasi Karangsambung menjadi lebih fragment-dominated pada
Formasi Totogan (Asikin, dkk., 1992b). Hal ini dapat mengindikasikan semakin mendangkalnya
lingkungan sedimentasi dan semakin kuatnya pengangkatan Karangsambung saat Paleogen Akhir.
Memasuki Oligosen Akhir, Jawa Tengah diduga mengalami segmentasi tektonik busur
volkanik yang telah dimulai semenjak Eosen Tengah (Hall, 2012), dengan berkembangnya busur
volkanik di Zona Serayu Selatan dan terbentuknya peregangan cekungan belakang busur di Zona
Serayu Utara. Volkanisme Serayu Selatan ditandai dengan pengendapan Formasi Gabon di tepi
selatan (van Bemmelen (1949) menganggap breksi volkanik Gabon sebagai bagian dari Zona
Pegunungan Selatan Jawa Tengah) dan Formasi Waturanda di bagian tengah Zona Serayu Selatan.
Formasi Gabon tersusun atas breksi andesit, setempat tuf lapili, lava, dan lahar, dimanasebagian
besar litologi tersebut telah mengalami alterasi (Asikin dkk., 1992a). Sedangkan Formasi
Waturanda terdiri atas batupasir vulkanik di bagian bawah, mengandung sisipan napal tufan, dan
berubah menjadi breksi andesit di bagian atas.
Ke arah utara, Formasi Rambatan mulai diendapkan semenjak Miosen Awal di lingkungan
lereng cekungan belakang busur yang labil, menutupi kelompok sedimen gravitasional Wora-wari
yang lebih dahulu terbentuk saat Oligosen Akhir akibat pembukaan cekungan belakang busur
Serayu Utara (kelompok Wora-wari dimasukkan dalam Formasi Totogan oleh Condon dkk.,
1996). Formasi Rambatan terdiri dari batupasir karbonatan dan konglomerat dengan perselingan
serpih, napal, dan tuff. Meskipun Condon dkk. (1996) menempatkan perkembangan Formasi
Rambatan dimulai Miosen Awal, Lunt et al. (2009) menduga umur dari Formasi Rambatan lebih
muda, yaitu Miosen Tengah (N10-N15).
Memasuki Miosen Tengah, volkanisme Serayu Selatan berkurang intensitasnya, yang
kemungkinan disebabkan oleh efek rotasi berlawanan arah jarum jam yang dialami oleh Sundaland
yang mempengaruhi proses subduksi di selatan Jawa saat itu. Pada masa ini, batugamping terumbu
Formasi Kalipucang menutupi tinggian volkanik Formasi Gabon (Asikin dkk., 1992a), dan
batulempung gampingan Formasi Penosogan berkembang di bagian yang lebih dalam di Busur
Vulkanik Serayu Selatan. Napal dan tuf masih dijumpai menyisip dalam Formasi Penosogan
(Asikin dkk., 1992a,b). Ke utara, Formasi Penosogan menjemari dengan Formasi Rambatan yang
masih terus diendapkan selama Miosen Tengah.
Miosen Akhir ditandai perkembangan busur vulkanik ganda (double-arc) di Jawa Tengah,
dengan reaktifasi vulkanisme Serayu Selatan yang bersamaan munculnya vulkanisme Serayu Utara
(Gambar 3). Secara umum, pada periode ini, batupasir vulkanik Formasi Halang mendominasi
kedua zona. Fraksi kasar dan fragmen vulkanik disumbangkan oleh Formasi Peniron di Zona
Serayu Selatan dan Formasi Kumbang untuk Zona Serayu Utara (Asikin dkk., 1992b; Condon
dkk., 1996). Pada periode ini, dapat dianggap bahwa cekungan belakang busur Serayu Utara telah
berubah menjadi busur vulkanik.
Perubahan konfigurasi tektonik regional diduga kembali terjadi pada kala Pliosen, ditandai
dengan berhentinya aktifitas vulkanisme Serayu Selatan dan berkurangnya intensitas vulkanisme
Serayu Utara (Gambar 3). Hall (2012) mengaitkannya dengan fase akhir rotasi Sundaland. Pada
masa tectonic quiescence ini, sedimentasi batupasir gampingan Formasi Tapak berlangsung di
kedua zona Serayu. Fragmen moluska banyak dijumpai dalam Formasi Tapak (Asikin dkk., 1992a;
Condon dkk., 1996; Djuri dkk., 1996). Lunt et al. (2009) menempatkan awal sedimentasi Tapak di
Miosen Akhir (N17). Semakin ke atas, Formasi Tapak semakin menghalus. Di daerah Serayu
Utara, anggota Tapak yang tersusun atas napal dan batulempung gampingan dinamakan Formasi
Kalibiuk, dan nama Formasi Kaliglagah bagi yang mengandung lignit (Djuri dkk., 1996).Pada
periode tectonic quiescence Pliosen inilah proses perlipatan di zona Serayu Selatan dan Serayu
Utara berlangsung intensif.
Plistosen ditandai dengan reaktifasi Busur Vulkanik Serayu Utara, dengan serangkaian
aktifitas vulkanisme di lingkungan darat oleh Ligung, Mengger, Gintung dan Linggopodo untuk
476
S03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
bagian barat (Djuri dkk., 1996), dan vulkanisme Ligung, Damar, dan Kaligetas untuk bagian timur
(Condon dkk., 1996). Vulkanisme Plistosen tersebut dilanjutkan dengan vulkanisme Holosen oleh
Jembangan, Dieng, Sumbing, dan Sindoro untuk bagian timur (Condon dkk., 1996), dan
vulkanisme Slamet untuk bagian barat (Djuri dkk., 1996). Tingginya aktifitas vulkanisme Kuarter
di Zona Serayu Utara tersebut diduga menghasilkan volcanic load yang besar yang dapat memicu
pengangkatan isostatik Zona Serayu Selatan sebagai proses deformasi paling akhir dan yang paling
berperan menghasilkan bentukan fisiografi yang tampak saat ini di kedua zona tersebut (Gambar
3). Pada periode ini, akibat pengangkatan isostatik yang intensif, bagian inti Zona Serayu Selatan
mengalami proses denudasi yang paling besar hingga menyingkapkan batuan-batuan pra-Tersier
dan Paleogen di Karangsambung.
Sistem petroleum yang bekerja di Zona Serayu Utara tersusun atas elemen-elemen berupa
batuan induk yang berumur Miosen Awal, batuan reservoar dari Formasi Rambatan dan Halang,
batuan penyekat intra-formasi Rambatan dan Formasi Tapak, serta jebakan hidrokarbon berupa
antiklin dan sesar anjak. Petroleum play yang dapat berlaku ialah konsep toe-thrusting yang
berhubungan dengan pengangkatan Neogen, sistem antiklin yang terinversi, serta sistem terumbu
pada horst cekungan tersebut (Satyana, 2007).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan mengungkap mekanisme terjadinya rembesan hidrokarbon di Kali
Pekacangan, Desa Sijenggung.Pendekatan yang dipergunakan adalah pengumpulan data geologi
permukaan, berupa stratigrafi dan struktur geologi.Jalur Kali Pekacangan dipilih karena selain di
jalur tersebut terdapat rembesan hidrokarbon, di lembah sepanjang aliran sungai tersebut banyak
tersingkap batuan-batuan yang menyusun elemen sistem petroleum Serayu Utara.
Data stratigrafi diperoleh dengan melakukan metode penampang terukur, dengan alat bantu
tongkat Jacob dan meteran tali. Koreksi kemiringan topografi terhadap ketebalan stratigrafi terukur
langsung dilakukan di lapangan dengan bantuan busur protaktor dan kompas geologi.Sampel
batuan diambil secara sistematik pada bagian yang mewakili unit litologi yang tengah diukur.
Data struktur geologi diperoleh di lapangan dengan dua tahapan, yaitu: (i) identifikasi jenis
struktur dan geometrinya, dan (ii) identifikasi kinematika struktur dengan mengamati pergeseran
lapisan batuan. Data struktur yang telah direkam di lapangan tersebut kemudian dicantumkan pada
peta kerja yang telah digambarkan sebaran litologinya.Gabungan dari data struktur dan sebaran
litologi tersebut memungkinkan pembagian unit-unit struktur (kompartemen struktur) untuk
memudahkan analisis kinematika keseluruhan.
Sintesis data stratigrafi dan struktur geologi dibuat untuk memperoleh pemahaman proses-
proses geologi yang mengontrol sedimentasi. Selanjutnya sintesis tadi akan ditelaah dalam
perspektif proses tektonostratigrafi regional sehingga hubungan antara daerah penelitian dengan
Cekungan Serayu Utara dapat dibangun dalam perspektif ruang dan waktu. Tahap terakhir adalah
menentukan sistem petroleum yang bekerja di daerah penelitian dan hubungannya dengan sistem
477
S03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
petroleum yang bekerja secara regional di Cekungan Serayu Utara.Pada tahap terakhir ini juga
ditentukan mekanisme penyebab terjadinya rembesan dalam sistem petroleum di daerah penelitian.
478
S03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
TEKTONIK GRAVITASI DAN KAITANNYA DENGAN STRUKTUR
GEOLOGI DESA SIJENGGUNG
Struktur geologi utama yang menyusun daerah penelitian tidak hanya murni karena tenaga
endogenik yang mengompresi maupun meregangkannya, melainkan juga akibat tenaga gravitasi.
Pada Miosen Awal, mulai terjadi pengangkatan di Busur Vulkanik Serayu Selatan akibat aktivitas
magmatisme Andesit Tua yang berumur Oligo-Miosen, dan terbentuknya Cekungan Belakang
Busur Serayu Utara.Tataan tektonik busur vulkanik ini menyebabkan terbentuknya lereng yang
mengarah ke utara menuju dalaman Serayu Utara. Kondisi ini mempengaruhi sedimentasi Formasi
Rambatan yang tengah berlangsung di Cekungan Serayu Utara, menyebabkan sebagian besar dari
sedimen Rambatan yang terendapkan di tepi selatan Serayu Utara tergelincir (gravity gliding)
menuju ke arah utara.
Proses tersebut melakukan sedimentasi ulang (reworking) yang menghasilkan struktur slump.
Pengukuran stratigrafi permukaan di lintasan Kali Pekacangan menunjukkan adanya ciri-ciri
proses reworking dari sedimen yang telah terendapkan sebelumnya. Di samping itu, perubahan
arah kemiringan lapisan batuan yang sangat intensif dalam jarak yang tidak terlalu jauh
mengindikasikan beberapa unit struktur slump yang terbentuk akibat luncuran gravitasi.
Meskipun struktur sedimen menunjukkan arah sedimentasi ke utara-timulaut, namun struktur
geologi di lokasi penelitian justru menunjukkan serangkaian sesar naik ke arah selatan-baratdaya
(Gambar 7, 8).Struktur demikian diduga terbentuk akibat luncuran sedimen Formasi Rambatan
untuk kedua kali yang terjadi kala Miosen Akhir. Pada saat itu, pengendapan Formasi Rambatan
telah berakhir dan digantikan oleh sedimentasi vulkaniklastik Formasi Halang yang didominasi
oleh batupasir tuf dengan fragmen lapili. Kehadiran Formasi Halang menunjukkan perubahan
tataan tektonik Jawa Tengah, dimana Cekungan Serayu Utara berubah fungsi dari cekungan
belakang busur menjadi busur vulkanik (Gambar 2, 3). Kondisi demikian menghasilkan
pengangkatan di Zona Serayu Utara yang menghasilkan perubahan arah kelerengan cekungan
sedimenter di sana. Bila sebelumnya kelerengan sedimentasi di daerah Sijenggung diduga berarah
ke utara-timurlaut menuju deposenter Serayu Utara, maka dengan perubahan tataan tektonik yang
ditandai oleh naiknya Serayu Utara tersebut menyebabkan terbentuknya kelerengan sedimentasi ke
arah selatan-baratdaya. Hal ini menyebabkan batuan Formasi Rambatan mengalami tektonik
gravitasi untuk kedua kalinya, dimana sebagian besar mereka menjadi meluncur ke arah selatan-
baratdaya mengikuti kemiringan cekungan sedimenter yang baru. Hasil akhir dari proses ini
tampak dari penampang geologi Kali Pekacangan menunjukkan beberapa sesar naik yang diduga
merupakan bagian sesar anjak (toe-thrust) bentukan dari beberapa paket slump akibat gravity
gliding (Gambar 7, 8).
Di lokasi penelitian, Formasi Rambatan dijumpai telah tersingkap ke permukaan, dan
Formasi Halang dan Formasi Tapak yang menutupinya telah tererosi dengan ditandai banyak
bongkah-bongkah batupasir vulkanik Halang di sepanjang jalur Sungai Pekacangan. Hal ini
menunjukkan adanya pengangkatan daerah penelitian kembali untuk ketiga kalinya pada kala awal
Plistosen, setelah pengendapan Formasi Tapak. Pengangkatan tektonik ketiga inilah yang diduga
bertanggungjawab terhadap mekanisme rembesan hidrokarbon di daerah penelitian.
479
S03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
migrasi tersier (tertiary migration) dari batuan penyimpan menuju permukaan melalui bidang
patahan, dan (iii) penguapan di permukaan (dissipation near the surface).
Rembesan gas bumi di Kali Pekacangan, Desa Sijenggung terjadi pada Formasi Rambatan
yang beranggotakan batupasir dengan selingan serpih, napal, dan tuf. Formasi ini memiliki kualitas
yang cukup baik pada perlapisan batupasir tuf sebagai batuan penyimpan (reservoar). Batuan
penyekat yang menutupinya ialah serpih dari Formasi Rambatan itu sendiri (penyekat intra-
formasional).Di bagian atasnya, dijumpaibatupasir vulkanik Formasi Halang yang juga berpotensi
sebagai batuan reservoar.
Melihat tataan stratigrafi dan struktur geologi yang berkembang secara lokal, terjadinya
rembesan gas bumi Sijenggung dapat dikelompokkan karena terangkatnya batuan reservoar ke
permukaan, sehingga hidrokarbon yang seharusnya menempuh migrasi sekunder dari batuan
reservoar Formasi Rambatan menuju batuan reservoar Formasi Halang, dapat melalui batuan
penyekat yang telah pecah (mekanisme pertama: seal failure) akibat pengangkatan tektonik yang
ketiga (awal Plistosen), untuk kemudian merembes melalui patahan menuju permukaan
(mekanisme kedua: tertiary migration), dan membentuk rembesan (mekanisme ketiga: dissipation
near surface).
KESIMPULAN
1. Perubahan dan dinamika tektonik busur gunungapi mempengaruhi sedimentasi yang terjadi di
Cekungan Serayu Utara. Cekungan Serayu Utara merupakan cekungan belakang busur pada
rentang Miosen Awal hingga Miosen Tengah, dan kemudian berubah menjadi busur vulkanik
semenjak Miosen Akhir.
2. Daerah penelitian mengalami tiga kali pengangkatan tektonik: (i) pengangkatan Serayu Selatan
pada Miosen Awal, (ii) pengangkatan pertama Serayu Utara pada Miosen Akhir, dan (iii)
pengangkatan kedua Serayu Utara pada awal Plistosen.
3. Pengangkatan pertama dan kedua mempengaruhi sedimentasi Formasi Rambatan dengan
membentuk unit-unit struktur slump, dengan mekanisme luncuran gaya-berat (gravity gliding).
4. Akibat gravity gliding yang terjadi pada daerah penelitian, terbentuklah struktur toe-thrust
faults beserta endapan yang berkarakter turbidit pada Formasi Rambatan.
5. Formasi Rambatan di lokasi penelitian tersusun atas serpih, batulempung, dan batupasir
gampingan. Umur tertua yang dijumpai pada Formasi Rambatan di lokasi penelitian adalah
pada zona N12 – N18 dengan ditemuinya foraminifera plangtonik berupa Globorotalia
menardii A dan B (Bolli), sedangkan umur termuda pada zona N19 dengan ditemuinya
foraminifera plangtonik berupa Sphaeroidinella dehiscens (Parker & Jones). Dari jenis
litologinya, formasi ini berpotensi untuk menjadi reservoar dan batuan segel intra-formasional.
6. Pengangkatan tektonik Serayu Utara yang ketiga menyebabkan tersingkapnya Formasi
Rambatan ke permukaan dan memicu terjadinya rembesan hidrokarbon Sijenggung.
7. Rembesan hidrokarbon di Sijenggung terjadi melalui tiga tahapan mekanisme : (i) pecahnya
batuan penyekat akibat pengangkatan tektonik ketiga, (ii) rembesan melalui patahan, dan (iii)
menguap di permukaan.
480
S03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
DAFTAR PUSTAKA
Asikin, S., A. Handoyo, B. Prastistho, dan S. Gafoer(1992a) Peta Geologi Lembar
Banyumas.Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Asikin, S., A. Handoyo, H. Busono, dan S. Gafoer(1992b) Peta Geologi Lembar Kebumen.Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Boggs, S. Jr., 2006, Principles of Sedimentology and Stratigraphy: Fourth Edition, Pearson
Education, Inc., New Jersey, 662p.
Condon, W.H., L. Pardyanto, K.B. Ketner, T.C. Amin, S. Gafoer, dan H. Samodra (1996) Peta
Geologi Lembar Banjarnegara dan Pekalongan, edisi ke-2. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi.
Djuri, M., H. Samodra, T.C. Amin, dan S. Gafoer(1996) Peta Geologi Lembar Purwokerto dan
Tegal, edisi ke-2.Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Gluyas, J. and R. Swarbrick (2003)Petroleum Geoscience, Blackwell Publishing. New Jersey.
Hall, R. (2012) Late Jurassic–Cenozoic reconstructions of the Indonesian region and the Indian
Ocean.Tectonophysics, 570–571, pp. 1–41
Lunt, P., G. Burgon, A. Baky (2009)The Pemali Formation of Central Java and equivalents:
Indicators of sedimentation on an active plate margin,Journal of Asian Earth Sciences, 34,
pp.100-113.
Satyana, A.H. (2007)Central Java, Indonesia – a “Terra Incognita” in Petroleum Exploration: New
Considerations on the Tectonic Evolution and Petroleum Implications,Proceedings of
Indonesian Petroleum Association 31st Annual Convention and Exhibition, Jakarta.
van Bemmelen, R.W. (1949)The Geology of Indonesia Vol. IA, Martinus Nijhoff.Belanda.
481
S03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 2. Tektonostratigrafi Kenozoikum Zona Serayu (dikompilasi dari Asikin dkk., 1992a; Asikin dkk., 1992b;
Condon dkk., 1996; Djuri dkk., 1996; Lunt et al., 2009; Hall, 2012).Formasi Pemali yang seumur dengan
Formasi Tapak tidak dimasukkan karena sebarannya menempati Zona Bogor.
482
S03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 3. Diagram rekonstruksi evolusi geologi Zona Serayuberdasarkan tektonostratigrafinya (lihat Gambar
2).Tanpa skala.Pada Oligosen Akhir (b) cekungan belakang busur terbentuk di Zona Serayu Utara, dengan
pengendapan gaya-berat Wora-Wari terbentuk di bagian tepi selatannya.Pada Miosen Awal (c) naiknya
genang laut memicu terendapkannya Formasi Rambatan menutupi Wora-Wari. Proses re-sedimentasi
akibat gaya-berat menghasilkan banyak struktur slump.
483
S03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 3 (lanjutan). Pada Miosen Tengah (d) proses magmatisme Serayu Selatan berhenti, diduga terganggu oleh
proses rotasi Sundaland yang baru berjalan. Jawa Tengah mulai mengalami pemendekan
(shortening).Kondisi genang laut maksimum (highstand) mendorong pertumbuhan batugamping terumbu
Formasi Kalipucang.Pada Miosen Akhir (e) terbentuk dua busur vulkanik (double-arc) di Zona Serayu,
dengan reaktifasi vulkanisme Serayu Selatan dan munculnya vulkanisme Serayu Utara.Beban dari tubuh
gunungapi Serayu Utara menekan Formasi Rambatan dan Wora-Wari sehingga mereka bergerak ke arah
luar dari tepi cekungan.Akibat rotasi dan shortening, Karangsambung mulai terangkat dan terlipat.
484
S03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 3 (lanjutan). Pada Pliosen (f) terjadi perubahan tataan subduksi akibat proses rotasi Sundaland yang kembali
berlanjut dan disertai pemendekan/kompresi. Sekali lagi magmatisme dan vulkanisme Jawa Tengah
berhenti, dan pengendapan Formasi Tapak berlangsung.Karangsambung dan Wora-Wari terus
terangkat.Pada Plistosen (g) vulkanisme Serayu Utara kembali aktif.Beban dari tubuh gunungapi kembali
menekan Formasi Rambatan dan Wora-Wari sehingga mereka bergerak naik ke arah selatan.Lembah
Serayu (Zona Serayu sensu-stricto) terbentuk diantara tinggian Karangsambung dan Wora-
Wari.Perkembangan selanjut kala Holosen ditandai dengan intensitas denudasi yang sangat tinggi, baik di
Serayu Selatan maupun di Serayu Utara. Di Karangsambung, erosi menyingkapkan Formasi
Karangsambung sebagai inti dari antiklin. Sedangkan di Wora-Wari, erosi menyingkapkan Formasi
Rambatan (seperti di daerah penelitian), bahkan hingga ke batuan Wora-Wari.
485
S03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 4. (Kiri) Perselingan shale dan batupasir karbonatan yang menyusun Formasi Rambatan pada tempuran Kali
Pekacangan, kamera menghadap ke timur. (Kanan) Struktur sedimen load cast, laminasi konvolut, dan
laminasi paralel pada batupasir Formasi Rambatan.
486
S03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 6. (Atas) penampang panorama singkapan di utara tempuran Kali Pekacangan, di daerah Asinan. (Kiri)
Struktur sedimen laminasi konvolut dan paralel.(Kanan) Fosil jejak pada batupasir Formasi Rambatan yang
digunakan sebagai salah satu penentu top-bottom lapisan batuan.
487
S03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
488
S03 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
489
S04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
ABSTRACT
Latih Formation in Berau area mainly composed of sandstone, which in Tarakan Sub-basin known
as Meliat Formation, is believed as a proven reservoir. In Berau area, which is still part of Berau
Sub-basin of Tarakan Basin, Latih Formation are found in Tanjung Redeb area. A comprehensive
knowledge in characteristic and sedimentology of Latih Formation is expected to also be applied on
Meliat Formation as well, thus leads to a more focused exploration activity. In order to reach the
aim, two traverse lines along the road of Tanjung Redeb-Sangatta and Tanjung Redeb-Tepian have
been measured and analyzed to identify the lower part vertical succession, with total 158.2 meters
thick, of Latih Formation. Laboratorium analysis includes petrographical (9 samples),
granulometry (6 samples) and paleontological analyses (6 samples). A dominant composition of
arenites with iron oxide of hematit as cement is identified from sandstone samples under
petrographical analysis. Based on granulometry analysis, sandstone samples has average grain size
of medium sand, poorly sorted, sub-rounded morphology and very equant sphericity.
Paleontological analysis has mentioned that Latih Formation was deposited within mid-neritic to
transitional paleobathymetry during Middle Miocene (N8-N10). Typical of deltaic depositional
environment, with combination of wave and tidal influence, is mainly identified on the lower part
of Latih Formation.
Keywords: Latih Formation, arenites, granulometry, delta
SARI
Formasi Latih di daerah Berau tersusun terutama oleh batupasir yang merupakan reservoir yang
sudah terbukti di Sub-Cekungan Tarakan, yang dikenal sebagai Formasi Meliat. Di Daerah Berau
yang masuk dalam Cekungan Sub-Berau, Cekungan Tarakan, Formasi Latih tersingkap baik di
daerah Tanjung Redeb. Memahami karakteristik dan sedimentologi Formasi Latih di daerah
penelitian diharapkan dapat diterapkan pada Formasi Meliat, sehingga kegiatan eksplorasi dapat
lebih terarah. Untuk mencapai tujuan tersebut, dua lintasan stratigrafi sepanjang jalan Tanjung
Redeb – Sangatta dan Tanjung Redeb – Tepian telah diukur untuk mengidentifikasi suksesi vertikal
dari Formasi Latih bagian bawah dengan ketebalan total terukur mencapai 158,2m. Analisis lanjut
di laboratorium meliputi sembilan sampel untuk petrografi, enam sampel untuk analisis
granulometri dan enam sampel untuk analisis paleontologi. Karakter batupasir di bawah analisis
mikroskup menunjukkan dominasi arenit dengan semen oksida besi hematit. Analisis granulometri
menunjukkan ukuran rata-rata batupasir adalah berukuran pasir sedang, bersortasi buruk, dengan
morfologi butir subrounded dan sphericity very equant. Berdasarkan analisis paleontologi,
diketahui bahwa Formasi Latih terendapkan pada paleobatimetri neritik tengah sampai transisi
selama Miosen Tengah (N8-N10). Lingkungan pengendapan adalah delta yang menunjukkan
kombinasi ombak dan pasang surut mendominasi sekuen bagian bawah Formasi Latih ini.
Kata kunci: Formasi Latih, arenit, granulometri, delta
490
S04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Pendahuluan
Daerah penelitian yang secara administratif merupakan bagian dalam wilayah Tanjung
Redep, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur (Gambar 1, kiri), secara geologi termasuk
dalam Sub-Cekungan Berau, Cekungan Tarakan. Di daerah ini tersingkap Formasi Latih
yang cukup baik, terutama di tebing-tebing samping jalan akibat pembukaan jalan-jalan
baru yang banyak dilakukan akhir-akhir ini. Secara litostratigrafi, Formasi Latih
mempunyai kemiripan dengan Formasi Meliat yang berkembang di bagian utara Cekungan
Tarakan, yaitu di Sub-Cekungan Tarakan. Menurut Patra Nusa Data [1], Formasi Meliat
merupakan kandidat reservoar batupasir yang sudah terbukti dimana kualitas reservoar
bervariasi dari sedang hingga baik.
Penelitian terfokus pada batupasir Formasi Latih untuk mengetahui karakteristik
litologinya, proses sedimentasi, umur dan lingkungan pengendapan. Hasil penelitian ini
diharapkan bisa dimanfaatkan untuk korelasi dan interpretasi Formasi Meliat di Sub-
Cekungan Tarakan yang terletak di sebelah utara Sub-Cekungan Berau. Dengan
mempertimbangkan aksesibilitas yang mudah, maka penelitian ini dapat mengoptimalkan
pengambilan data lapangan di dua jalur utama dan diberi nama jalur A-B dan jalur C-D
(Gambar 1, kanan). Kedua jalur tersebut dapat dijangkau dengan menggunakan kendaraan
bermotor roda dua, sekitar 2 jam dari kota Tanjung Redeb
Metode Penelitian
Penelitian yang dilakukan menggunakan data primer di lapangan berupa singkapan suksesi
Formasi Latih di sepanjang jalan Tanjung Redeb – Sangatta dan Tanjung Redeb – Tepian
(Gambar 1, kanan). Dengan menggunakan metode pengukuran stratigrafi Jacob’s Staff,
dari kedua jalur tersebut didapatkan ketebalan perlapisan total 158,2 m. Bersamaan dengan
pengukuran stratigrafi, dilakukan juga pengambilan conto batuan sedimen untuk analisis di
laboratorium, meliputi analisis petrografi, granulometri dan paleontologi. Interpretasi
491
S04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
S04 492
S04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 2. Peta geologi dan stratigrafi regional daerah penelitian [7][8] dengan modifikasi.
S04 493
S04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
pada jalur ini, yakni pada STA 28, dengan karakter shale yang berwarna hitam (Gambar
4g).
Berdasarkan data paleontologi, didapatkan hasil bahwa jalur CD berumur lebih
muda yakni N9-N10 dibandingkan dengan jalur AB yakni N8, sehingga secara stratigrafis
dapat diinterpretasikan bahwa jalur CD relatif berada di atas jalur AB. Interpretasi yang
diberikan saat adalah, adanya perubahan sedimentasi secara vertikal berupa coarsening
upward serta thickening upward baik pada jalur AB maupun pada jalur CD. Hal ini
menunjukkan kecenderungan adanya pengingkatan energi pengendapan ke arah yang lebih
muda.
Karakteristik Litologi
Petrografi
Batuan pada lokasi penelitian terdiri atas batuan silisiklastik, mix-silisiklastik, serta
vulkanik (lihat Tabel 1). Klasifikasi mix-silisiklastik digunakan untuk batuan yang
mengalami percampuran antara komposisi silisiklastik dengan komposisi karbonat. Batuan
vulkanik ditemukan pada 2 sampel dengan lokasi STA yang sama yaitu STA 8,
menunjukkan adanya aktivitas vulkanisme di sekitar lokasi penelitian pada Zaman Miosen
Awal-Tengah. Adanya komponen litik dengan kelimpahan yang cukup melimpah selain
kuarsa, menunjukkan bahwa lokasi penelitian tidak terlampau jauh dari batuan asal.
Kehadiran hematit sebagai semen terlihat pada sayatan dengan kode WK12PT (Gambar
5d) dengan lokasi STA 26, menunjukkan adanya fase kontinental dimana terjadi proses
oksidasi pada mineral dengan kandungan unsur besi, yang selanjutnya menghasilkan
hematit. Proses ini terjadi saat batuan tersingkap ke permukaan sehingga terdapat pengaruh
dari air meteorik.
S04 494
S04 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
a b c d
e f g
Gambar 4. Berbagai jenis sturktur sedimen yang berkembang pada batuan sedimen
penyusun Formasi Latih di daerah penelitian. a. Through cross bedding pada konglomerat,
b. Load structure, c. Lenticular structure, d. Ripple mark, e. Red beds, f. Herringbone
structure, g. Black shale
Granulometri
Granulometi dilakukan pada sampel batupasir Formasi Latih karena secara umum sifat dari
formasi ini adalah loose, sehingga butiran dapat dilakukan analisis secara kering sebagai
sedimen lepas. Hasil analisis granulometri ditampilkan pada Tabel 2 berikut.
S04 495
Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
a b c d
S04 496
Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
pada conto di bagian hulu, didominasi oleh partikel dengan ukuran butir yang lebih kasar.
Nilai kurtosis menunjukkan adanya dominasi ukuran butir tertentu pada sebaran nilai
ukuran butirnya, dimana rata-rata sampel memiliki kelas kurtosis leptokurtic, bahkan pada
beberapa lokasi extremely leptokurtic.
Selain analisis granulometri, dilakukan juga analisis tekstur butiran sedimen untuk
sphericity dan roundness. Kedua analisis ini dilakukan untuk mengetahui morfologi butir
dalam mendukung interpretasi mekanisme sedimentasi batupasir tersebut. Nilai kisaran
sphericity menggunakan visual comparison dari Rittenhouse (1943), sedangkan roundness
menggunakan visual comparison dari Power (1953), yang termuat dalam Tucker [10]
Nilai sphericity pada semua sampel berada pada kelas very equent. Sedangkan pada
posisi kedua ada pada kelas equent. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa pada daerah
tersebut memiliki settling velocity yang kecil. Secara umum, butiran yang bentuknya
spheris, menyerupai bola, mempunyai kecepatan pengendapan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan butiran yang tidak spheris. Hal ini berlaku baik pada transportasi
sistem suspensi maupun pada sistem bed load [9,10].
Nilai roundness yang dominan subrounded, namun pada keseluruhan sampel
WK01GM berada pada kelas rounded. Selain itu, feldspar pada sampel WK02GM dan
WK05GM menunjukkan kelas rounded. Feldspar memiliki roundness yang besar karena
feldspar lebih mudah mengalami abrasi ataupun pelapukan [11].
S04 497
Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
WK01GM WK02GM
WK03GM WK04GM
WK05GM WK06GM
S04 498
Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 7. Plot data ukuran butir dan frekuensi kumulatif berdasarkan diagram Visher
Lingkungan Pengendapan
Berdasarkan data paleontologi yang berupa foraminifera plangtonik dan
foraminifera bentonik didapatkan kisaran umur dan lingkungan pengendapan batuan di
daerah penelitian. Untuk jalur A-B terdapat 2 sampel analisa paleontologi yaitu sampel
WK02PL dan WK04PL, sedangkan untuk jalur C-D terdapat 1 sampel analisa paleontologi
yaitu sampel WK05PL. Umur tertua yang dijumpai pada lokasi penelitian yaitu pada
Formasi Latih adalah pada zona N8 (jalur A-B) dengan ditemuinya foraminifera
plangtonik berupa PraeOrbulina Glomerosa Circularis (Blow), sedangkan umur termuda
pada zona N9-N10 (jalur C-D) dengan ditemuinya foraminifera plangtonik berupa
Globigerina Praebulloides Occlusa (Blow & Banner).
Struktur sedimen yang dominan berkembang pada lokasi penelitian adalah
through cross bedding, flaser, lenticular, planar cross bedding, normal grading, ripple
mark, laminasi, dan di beberapa bagian menunjukkan adanya herringbone cross bedding
dan reverse grading. Struktur load cast juga berkembang pada lokasi penelitian ini
khususnya dijumpai pada batupasir dengan sementasi yang kuat dimana selanjutnya
berkembang menjadi struktur ball and pillow. Percampuran antara pasir dan lumpur hadir
pada lingkungan dengan variasi aktifitas arus dan gelombang sehingga membentuk struktur
flaser dan lenticular [9]. Laminasi dapat terbentuk dari pengendapan partikel berukuran
halus dari suspensi dan transportasi traksi pasir pada kondisi yang sama [11]. Cross
bedding terbentuk akibat migrasi ripple dan dune pada air. Menurut Tucker [10],
herringbone cross bedding dihasilkan oleh pembalikan arus, yang menyebabkan dune dan
sand-wave merubah arah migrasi yang merupakan karakteristik dari tidal sand deposit.
Reverse grading dapat timbul akibat peningkatan kekuatan aliran selama sedimentasi,
tetapi pada umumnya dari dispersi butir dan bouyancy effect yang biasa terjadi pada
endapan dengan konsentrasi sedimen yang tinggi (water mixtures).
Konglomerat pada lokasi ini berupa oligomict conglomerate, dimana hanya
tersusun oleh klastika paling stabil seperti kuarsit, chert, dan kuarsa. Shale secara khusus
merupakan karakteristik dari lingkungan laut, berdekatan dengan kontinen, dimana
seafloor berada dibawah storm wave base, namun dapat pula shale terbentuk pada
lingkungan danau, bagian dari sungai dengan air tenang, rawa-rawa, tidal flat, maupun
lingkungan delta [11]. Shale yang berwarna hitam sendiri menunjukkan bahwa kaya akan
S04 499
Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
material organik, dengan kemungkinan lingkungan pengendapan bersifat terkadang
bersifat reduktif.
Lingkungan pengendapan pada lokasi ini adalah berupa delta dengan pengaruh
antara gelombang dan arus pasang surut. Secara khusus, pada lokasi ini terjadi perubahan
variasi dari upper delta plain dan lower delta plain. Upper delta plain dicirikan oleh
adanya lag deposit berupa konglomerat, lower delta plain dicirikan oleh perulangan
batupasir dan batulempung. Sedangkan untuk shale berwarna hitam yang tebal merupakan
hasil endapan lacustrine delta fill pada upper delta plain, dicirikan dengan hadirnya
hematit (lihat gambar 5. d).
Kesimpulan
- Karakteristik litologi dari batupasir Formasi Latih secara petrografi didominasi oleh
arenite dimana kehadiran matriks <15%, dimana memiliki ukuran rata-rata pasir sedang,
bersortasi buruk, dengan morfologi butir subrounded dan sphericity very equant.
- Suksesi Formasi Latih dari bawah keatas menunjukkan coarsening upward dan
thickening upward pada masing-masing jalur AB dan CD. Hal ini menunjukkan adanya
kecenderungan menuju energi pengendapan yang besar
- Lingkungan pengendapan Formasi Latih secara umum adalah delta dengan dominasi
pasang surut dan gelombang. Secara khusus lingkungan pengendapan pada upper delta
plain dan lower delta plain dimana terendapkan pada N8-N10 dengan ditemuinya
foraminifera plangtonik berupa PraeOrbulina Glomerosa Circularis (Blow) dan
Globigerina Praebulloides Occlusa (Blow & Banner).
Daftar Pustaka
[1] Patra Nusa Data, Indonesia Basin Summaries (IBS), Patra Nusa Data, Jakarta, 2005
[2] M.R. Lentini, and H. Darman, “Aspects of the Neogene Tectonic History and
Hydrocarbon Geology of the Tarakan Basin”, Proceedings Indonesian Petroleum
Association 25th Annual Convention, IPA96-1.1-168, pp. 241-251, 1996.
[3] Z. Achmad, and L. Samuel, “Stratigraphy and Depositional Cycles in the NE
Kalimantan Basin”, Proceedings Indonesian Petroleum Association 13th Annual
Convention, pp. 109-120, 1984.
[4] H. Ellen, M.N. Husni, U. Sukanta, R. Abimanyu, Feriyanto, and T. Herdiyan, “Middle
Miocene Meliat Formation in the Tarakan Island, Regional Implications for Deep
Exploration Opportunity”, Proceedings Indonesian Petroleum Association 32nd
Annual Convention, IPA08-G-048, 2008.
[5] E. Biantoro, B.P. Muritno, and J.M.B. Mamuaya, ” Inversion Faults as the Major
Structural Control in the Northern Part of the Kutai Basin, East Kalimantan”,
Proceedings Indonesian Petroleum Association 21st Annual Convention, pp. 45-68,
1992.
[6] N. Heriyanto, W. Satoto, and S. Sardjono, “An Overview of Hydrocarbon Maturity and
its Migration Aspects in Bunyu Island, Tarakan Basin”, Proceedings Indonesian
Petroleum Association 21st Annual Convention, IPA92-13.04, 1992.
[7] Sukardi, B. Djamal, S. Supriatna, dan S. Santosa, Peta Geologi Bersistem Indonesia
Lembar Muara Lasan Skala 1:250.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi,
Bandung, 1995.
S04 500
Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
[8] R.L. Situmorang, dan G. Burchan, Peta Geologi Bersistem Indonesia Lembar Tanjung
Redeb Skala 1:250.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung, 1995.
[9] G. Nichols, Sedimentology and Stratigraphy: Second Edition; Wiley-Blackwell, UK,
2009.
[10] M.E. Tucker, Sedimentary Rock in The Field: Third Edition, John Wiley & Sons Ltd,
England, 2003.
[11] S. Boggs, Principles of Sedimentology and Stratigraphy: Fourth Edition, Pearson
Education, Inc., New Jersey, 2006.
S04 501
S05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
SARI
Pada jalur sungai Niten, jalur Sungai Serang serta jalur Dusun Ngramang, Kecamatan
Kulon Progo, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat singkapan batuan sedimen yang termasuk
ke dalam Formasi Sentolo dengan ketebalan 29 m untuk jalur Sungai Niten, 27 m untuk jalur Sungai
Serang serta 10 m untuk jalur Dusun Ngramang. Pada lintasan tersebut dilakukan pengukuran
stratigrafi serta pengambilan sampel untuk kemudian dilakukan analisa serta identifikasi foraminifera
plangtonik serta foraminifera bentonik yang ditujukan untuk mengetahui umur dan lingkungan
pengendapan. Selain itu hasil pengukuran stratigrafi serta biozonasi yang dihasilkan juga dikorelasikan
dengan peneliti terdahulu yang pernah ada pada Formasi Sentolo. Berdasarkan hasil analisa terhadap
foraminifera plangtonik, jalur penelitian Sungai Niten dibagi menjadi 4 zonasi yaitu zona selang
sebagian Globorotalia kugleri, zona selang Globorotalia kugleri – Catapsydrax stainforthi, zona
selang Catapsydrax stainforthi – Praeorbulina glomerosa curva, serta zona selang sebagian
Praeorbulina glomerosa curva yang berumur N4-N8 (Miosen bawah). Jalur penelitian Sungai Serang
dibagi menjadi 3 zonasi yaitu zona selang sebagian Globorotalia fohsi fohsi, zona selang
Sphaerodinellopsis subdehiscens – Globorotalia nephentes, zona selang sebagian Globigerina
nephentes yang berumur N12 – N 14 (Miosen Tengah). Jalur penelitian Dusun Ngramang dibagi
menjadi 2 zonasi yaitu zona selang sebagian Globorotalia margaritae margaritae dan zona selang
sebagian Globorotalia trilobus fistulosus yang berumur N18-N20 (Miosen akhir-Pliosen). Dari hasil
analisa terhadap foraminifera bentonik menunjukkan kedalaman yang berfluktuasi dari abisal/batial
bawah hingga neritik luar. Fluktuasi kedalaman tersebut selaras dengan kenampalan fasies yang
mengkasar ke arah atas (coarsening upward) yang diduga terkait dengan tektonik lokal yang bersifat
pengangkatan (compression) saat pengendapan. Hasil korelasi terhadap beberapa penelitian terdahulu
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan fasies dengan peneliti terdahulu yang menunjukkan bahwa
pada kurun waktu yang sama terdapat kecenderungan semakin berkembang menjadi fasies batuan
karbonat dan menebal kearah timur.
502
S05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
PENDAHULUAN
Pada jalur Sungai Niten, Desa Giripurwo dan pada jalur Sungai Serang, Desa Jurang
serta pada Dusun Ngramang, Desa Kedungsari, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa
Yogyakarta tersingkap variasi batuan non karbonat dan batuan karbonat yang tergolong ke
dalam Formasi Sentolo. Pada jalur Sungai Niten, ketebalan singkapan mencapai 29 m, dan
panjang lintasan mencapai 150 m. Pada jalur Sungai Serang ketebalan singkapan mencapai 27
m sedangkan pada Dusun Ngramang ketebalan singkapan sebesar 10 m. Berdasarkan posisi
stratigrafi, jalur Sungai Niten berada pada Formasi Sentolo bagian bawah, jalur Sungai Serang
berada pada Formasi Sentolo bagian tengah sedangkan jalur Dusun Ngramang berada pada
Formasi Sentolo bagian atas. Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui urutan
batuan secara vertikal serta melakukan analisa paleontologi berupa identifikasi fosil
foraminifera plangtonik dan bentonik untuk kemudian disusun menjadi biozonasi foraminifera
plangtonik dan kisaran batimetri foraminifera bentonik di sepanjang jalur penelitian. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengetahui umur dan paleobatimetri saat batuan terbentuk.
Selain itu juga dilakukan korelasi dengan hasil penelitian lain pada Formasi Sentolo yang telah
ada sebelumnya untuk memperoleh gambaran secara umum mengenai perubahan fasies
sedimentasi di Formasi Sentolo pada kisaran umur yang sama.
STRATIGRAFI REGIONAL
Berdasarkan stratigrafi regional Pegunungan Kulon Progo (van Bemmelen,1949),
dimulai dari yang paling tua hingga yang paling muda, adalah sebagai berikut :
1. Formasi Nanggulan
Formasi Nanggulan menempati daerah dengan morfologi perbukitan bergelombang
rendah hingga menengah dan tersebar merata di daerah Nanggulan (bagian timur
Pegungungan Kulon Progo). Secara setempat dalam formasi ini juga dijumpai lensa-lensa atau
blok xenolith batuan beku seperti di daerah Sermo, Gandul dan Kokap. Formasi Nanggulan
mempunyai tipe lokasi di daerah Kalisongo, Nanggulan.
Van Bemmelen menjelaskan bahwa formasi ini merupakan batuan tertua di
pegunungan Kulon Progo dengan lingkungan pengendapanya adalah litoral pada fase genang
laut. Litologi penyusunnya terdiri dari batu pasir dengan sisipan lignit, napal pasiran,
batulempung dengan konkresi limonit, sisipan napal dan batugamping, batupasir dan tuff kaya
akan Foraminifera dan Moluska, diperkirakan ketebalannya 350 m. Wilayah tipe formasi ini
tersusun oleh endapan laut dangkal, batupasir, serpih dan perselingan napal dan lignit.
Berdasarkan atas studi foraminifera plangtonik, Formasi Nanggulan ini berumur Eosen Atas
(van Bemmelen,1949), atau Eosen Atas-Oligosen Bawah (Rahardjo dkk,1995).
2.Formasi Andesit Tua
Secara tidak selaras di atas Formasi Nanggulan diendapkan Formasi Andesit Tua.
Formasi ini tersusun atas breksi andesit, tuf, lapili, aglomerat dan sisipan lava andesit. Formasi
ini tersingkap baik di bagian tengah, utara dan barat daya daerah Kulonprogo yang
membentuk morfologi pegunungan bergelombang sedang hingga terjal. Ketebalan formasi ini
diperkirakan hingga mencapai 600 meter. Berdasarkan fosil foraminifera plangtonik dapat
ditentukan umur Formasi Andesit Tua yaitu Oligosen (van Bemmelen,1949) atau Oligosen
Atas-Miosen Bawah (Rahardjo dkk,1995).
503
S05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
3.Formasi Jongrangan
Di atas Formasi Andesit Tua diendapkan Formasi Jonggrangan secara tidak selaras.
Formasi ini secara umum, bagian bawah terdiri dari konglomerat, napal tufan, dan batupasir
gampingan dengan kandungan Moluska serta batulempung dan sisipan lignit. Di bagian atas
komposisi formasi ini berupa batugamping berlapis dan batugamping koral. Morfologi yang
terbentuk dari batuan penyusun formasi ini berupa pegunungan dan perbukitan kerucut dan
tersebar di bagian utara pegunungan Kulonprogo. Ketebalan batuan penyusun formasi ini 250
- 400 meter dan berumur Miosen Bawah – Miosen Tengah.
3.Formasi Sentolo
Di atas Formasi Andesit Tua, selain Formasi Jonggrangan, diendapkan juga secara
tidak selaras Formasi Sentolo. Hubungan Formasi Sentolo dengan Formasi Jonggrangan
adalah saling menjari. Bagian bawah Formasi Sentolo berupa konglomerat yang ditumpuki
oleh napal tufaan dengan sisipan tuf gelasan, batu gamping, batu pasir napalan, napal pasiran
dan napal tufan. Sementara semakin ke atas berkembang menjadi batugamping berlapis
dengan kandungan fosil foraminifera dan fragmen koral. Umur formasi ini berkisar Miosen
Bawah – Pliosen (Rahardjo dkk,1995). Penyebaran Formasi Sentolo meliputi daerah bagian
tenggara dari pegunungan Kulonprogo dengan
504
S05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
PENELITI TERDAHULU
505
S05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
506
S05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
waktu yang sama ini disebabkan oleh perbedaan lingkungan pengendapan. Pada umur yang
sama yaitu N9, bagian paling barat yaitu daerah penelitian Krisnawan Tri Mardani, litologi
yang terbentuk lebih didominasi oleh material vulkanik sedangkan semakin ke timur yaitu
pada daerah penelitian Darwin Kadar pengaruh material vulkanik semakin berkurang. Akan
tetapi ketebalan litologi pada umur ini semakin menipis kearah timur. Pada N10-N11, material
vulkanik pada bagian barat masih dominan walaupun secara vertikal pengaruh material
vulkanik semakin berkurang sedangkan semakin ke timur kandungan material karbonat
semakin dominan. Pada range umur ini, ketebalan litologi semakin menebal kearah timur.
Pada N12-N13, litologi didominasi oleh material karbonat berupa batunapal hingga
batugamping dengan ketebalan litologi yang semakin menipis kearah timur. Pada N14- N19
pengaruh material karbonat semakin dominan dan ketebalan litologi bertambah secara
signifikan secara lateral.
Berdasarkan hasil korelasi diperoleh kesimpulan bahwa secara umum kandungan
material vulkanik di bagian barat lebih dominan lalu kemudian semakin ke timur pengaruh
material vulkanik secara berangsur – angsur berkurang digantikan oleh material sedimen yang
didominasi oleh material karbonatan. Hal ini dapat menunjukkan pada bagian barat,
lingkungan pengendapan berada lebih dekat dengan sumber material vulkanik yaitu gunung
api, sedangkan semakin ke timur semakin jauh dan semakin mendapat pengaruh dari laut
dibuktikan dengan kehadiran material karbonatan yang semakin dominan. Sedangkan
ketebalan litologi secara umum semakin menebal secara lateral kearah timur. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh perbedaan kecepatan suplai sedimen. Pada bagian barat yang
didominasi oleh material vulkanik, kemungkinan lingkungan pengendapannya berada di
daerah slope gunung api dengan kecepatan sedimentasi relatif lebih lambat, sedangkan kearah
timur berhubungan dengan paparan karbonat (carbonate platform) pada daerah shelf dengan
kecepatan sedimentasi yang lebih cepat. D a rw in K a d a r
N20
N19
T
400
N18
300
N16/N17
Gya Puryanta
100
N11
K risn a wa n Tri M a rd a n i
N 16
LEGENDA
N 15
B = barat
N 14
T = timur
1 0 = batulempung
N 13
= napal
N 12 50
N10
= tuff
100
N 11
= batupasir tuffan
N 10
5 = batupasir karbonatan
= batupasir
N9
N9
= batugamping
N8
= breksi
N7
0
N8
B
Gambar 2.3. Korelasi kolom stratigrafi peneliti terdahulu
507
S05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Jalur pengukuran Sungai Serang memiliki ketebalan kurang lebih 27 m dan dibagi
menjadi 8 sampel ayakan. Jalur pengukuran dibagi menjadi 3 zonasi biostratigrafi yaitu zona
selang sebagian Globorotalia fohsi fohsi Cushman & Elissor, Zona selang
Sphaeroidinellopsis subdehiscens Blow – Globigerina nephentes Todd dan zona parsial
Globigerina nephentes Todd
5. Zona parsial Globorotalia fohsi fohsi
Zona ini ditentukan dari fosil penciri berupa kehadiran Globorotalia fohsi fohsi
Cushman & Elissor hingga awal kemunculan Sphaeroidinellopsis subdehiscens Blow.
Batas bawah zona ini tidak dapat diketahui sedangkan batas atasnya berupa awal
kemunculan Sphaeroidinellopsis subdehiscens Blow. Oleh karena itu zona ini disebut
sebagai zona selang sebagian. Zona ini dimulai dari awal lintasan hingga interval 9,8 m.
Jika disebandingkan dengan zonasi Blow maka zona ini berumur N12.
6. Zona selang Sphaeroidinellopsis subdehiscens – Globigerina nephentes
Zona ini ditentukan dari fosil penciri berupa awal kemunculan Sphaeroidinellopsis
subdehiscens Blow hingga awal kemunculan Globigerina nephentes Todd. Zona ini
508
S05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
dimulai dari interval 9,8 m hingga 20 m. Jika disebandingkan dengan zonasi Blow maka
zona ini berumur N13.
7.Zona selang sebagian Globigerina nephentes
Zona ini ditentukan dari fosil penciri berupa awal kemunculan Globigerina nephentes
Todd sedangkan batas atasnya tidak diketahui, oleh karena itu zona ini dinamakan zona
selang sebagian. Zona ini dimulai dari interval 20 m hingga bagian akhir jalur pengukuran.
Jika disebandingkan dengan zonasi Blow maka zona ini berumur N14.
kepada Bandy (1967). Selain itu penentuan lingkungan pengendapan juga didasarkan kepada
pertampalan kisaran batimetri spesies – spesies yang ada. Berdasarkan hasil analisa
foraminifera bentonik didapatkan 5 macam kemungkinan zona kedalaman pada daerah
penelitian yaitu zona neritik luar, batial atas, batial tengah, batial bawah, dan abisal.
510
S05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
relatif global saat itu ada kecenderungan fluktuatif hingga tetap yang akan berpengaruh
terhadap fluktuasi perubahan lingkungan lokal dari batial bawah ke batial tengah atau
kemungkinan pengaruh tektonik lokal yang bersifat fluktuatif (pengagkatan/penurunan)
4. Fasies Perselingan Napal dengan Batupasir Karbonatan
Fasies ini memiliki ketebalan 9,5 m dan terdiri dari litologi berupa batupasir
karbonatan dan napal. Pada batupasirnya dijumpai struktur sedimen gradasi normal, sering
gradasi terbalik,dan batupasir masif yang mengindikasikan endapan turbid dan aliran butir.
Data batimetri menunjukan bahwa fasies ini diendapkan pada lingkungan abisal-batial bawah
yang berlangsung selama N12-N13. Perubahan muka air laut relatif global saat itu
tetap/konstan,sedangkan kondisi lokal terjadi fluktuasi perubahan lingkungan dari abisal ke
batial bawah. Hal ini diduga kemungkinan adanya pengaruh tektonik lokal yang fluktuatif
(pengangkatan/penurunan). Fluktuasi perubahan lingkungan tersebut juga diikuti oleh
perubahan litofasies dari batupasir karbonatan ke napal.
5. Fasies Batupasir Karbonatan
Fasies ini memiliki ketebalan 7 m. dan terdiri dari litologi berupa batupasir
karbonatan dengan sisipan napal.Pada batupasirnya dijumpai struktur sedimen gradasi
normal,gradasi terbalik dan batupasir masif yang mengindikasikan endapan turbid dan aliran
butir. Data batimetri menunjukkan bahwa fasies ini diendapkan pada lingkungan abisal yang
berlangsung selama N13. Perubahan muka air laut relatif global saat itu cenderung
tetap.konstan yang akan berpengaruh terhadap lingkungan lokal yang relatif tetap yaitu abisal.
6. Fasies Perselingan Batugamping dengan Batupasir Karbonatan
Fasies ini memiliki ketebalan 6 m. Fasies ini tersusun atas litologi berupa perselingan
batu gamping dengan batupasir karbonatan. Batugampingnya berwarna abu – abu, masif,
ukuran butir pasir halus hingga kerikil, sortasi buruk, grain supported dengan komposisi fosil,
intraklas dan lumpur karbonat, sebagian lumpur karbonat telah mengalami rekristalisasi
menjadi kalsit.Batupasirnya berwarna abu abu kecoklatan berukuran pasir halus hingga pasir
kasar,sortasi buruk,masif,tersusun atas plagioklas,kwarsa, biotit dan matrik berukuran lanau
hingga lempung. Data batimetri menunjukkan bahwa fasies ini diendapkan pada lingkungan
neritik luar yang berlangsung selama N14 sebagai aliran butir baik pada batugamping maupun
batupasir. Perubahan muka air laut relatif global saat itu cenderung konstan, sedangkan pada
fasies ini cenderung regresive yang dicirikan oleh pengkasaran tekstur ke arah atas menjadi
batugamping tipe grainstone. Hal ini diduga adanya pengaruh tektonik lokal yang berupa
pengangkatan / kompresi
7. Fasies Perselingan Batupasir Karbonatan Berukuran Pasir Sedang dengan Batupasir
Karbonatan Berukuran Pasir Halus
Fasies ini memiliki ketebalan 10 m. Fasies ini terdiri dari litologi berupa perselingan
dalam ukuran butir yaitu batupasir karbonatan berukuran butir pasir halus dengan batupasir
karbonatan berukuran butir pasir sedang. Baik pada batupasir sedang atau batupasir halus
mempuyai struktur masif yang mengindikasikan sebagai aliran butir dan berstruktur gradasi
normal/gradasi terbalik yang mengindikasikan endapan turbid. Data batimetri menunjukkan
bahwa fasies ini diendapkan pada lingkungan batial atas-neritik luar yang berlangsung selama
N18-N20. Perubahan muka air laut relatif global saat itu cenderung fluktuatif yang ternyata
diikuti pula adanya perubahan lingkungan lokal dari batial atas ke neritik luar.
511
S05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
512
S05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
1.Formasi Sentolo pada daerah penelitian berumur Miosen awal hingga Pliosen (N4 – N20)
Jalur Sungai Niten berumur Miosen Awal (N4 – N8) dan dapat dibagi menjadi empat
zonasi foraminifera plangtonik yaitu 2 zona selang dan 2 zona selang sebagian
- Zona selang sebagian Globorotalia kugleri (N4) dengan batas bawah kontak antara
formasi Sentolo dengan Formasi Andesit Tua dan batas atasnya adalah kemunculan
terakhir Globorotalia Kugleri
- Zona selang Globorotalia Kugleri – Catapsydrax stainforthi (N5) dengan batas bawahnya
kemunculan terakhir Globorotalia kugleri dan batas atasnya kemunculan awal
Catapsydrax stainforthi
- Zona selang Catapsydrax stainforthi – Praeorbulina glomerosa curva (N6/N7) dengan
batas bawah kemunculan awal Catapsydrax stainforthi dan batas atasnya adalah
kemunculan awal Praeorbulina glomerosa curva
- Zona selang sebagian Praeorbulina glomerosa curva (N8) dengan batas bawahnya
kemunculan awal Praeorbulina glomerosa curva dan batas atasnya tidak diketahui
Formasi Sentolo pada Jalur Sungai Serang berumur Miosen Tengah (N12 – N14) dan
dapat dibagi menjadi tiga zonasi foraminifera plangtonik yaitu1 zona selang dan 2 zona selang
sebagian
- Zona selang sebagian Globorotalia fohsi fohsi (N12) dengan batas bawah tidak diketahui
dan batas atasnya adalah kemunculan pertama Sphaeroidinellopsis subdehiscens
- Zona selang Sphaeroidinellopsis subdehiscens – Globigerina nephentes (N13) dengan
batas bawahnya kemunculan awal Sphaeroidinellopsis subdehiscens dan batas atasnya
kemunculan awal Globigerina nephentes
- Zona selang sebagian Globigerina nephentes dengan batas bawahnya adalah kemunculan
awal Globigerina nephentes dan batas atasnya tidak diketahui
Formasi Sentolo pada Jalur Dusun Ngramang berumur Miosen Akhir - Pliosen (N18 –
N20) dan dapat dibagi menjadi dua zonasi foraminifera plangtonik yaitu 2 zona selang
sebagian
- Zona selang sebagian Globorotalia margaritae margaritae (N18/N19) dengan batas
bawah tidak diketahui dan batas atasnya adalah kemunculan awal Globorotalia trilobus
fistulosus
- Zona selang sebagian Globorotalia trilobus fistulosus dengan batas bawahnya adalah
kemunculan awal Globorotalia trilobus fistulosus dan batas atasnya tidak diketahui
2.Berdasarkan analisa terhadap litofasies dan foraminifera bentonik diketahui bahwa Formasi
Sentolo pada daerah penelitian diendapkan pada zona kedalaman yang berfluktuasi dari neritik
luar hingga abisal. Secara umum pada masing – masing jalur pengukuran terdapat
kecenderungan perubahan kearah lingkungan pengendapan yang lebih dangkal, yaitu dari
batial bawah/abisal menjadi neritik luar yaitu pada jalur pengukuran Sungai Niten dan Sungai
Serang, sedangkan pada Dusun Ngramang pola tersebut tidak terlihat yang mungkin
disebabkan oleh jalur pengukuran yang cukup pendek. Perubahan muka air laut relatif global
yang cenderung transgresive hingga tetap, sedangkan di daerah penelitian terjadi perubahan
lingkungan pengendapan dari batial bawah/abisal menjadi neritik luar, maka diduga
kemugkinan adanya pengaruh tektonik lokal yang berupa pengangkatan/kompresi saat
berlangsungnya sedimentasi.
513
S05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
3.Berdasarkan hasil korelasi litologi dan stratigrafi dengan peneliti terdahulu disimpulkan
bahwa terdapat perbedaan fasies antara lain yang didominasi oleh perselingan batupasir
karbonatan dan napal di sebelah barat menjadi perselingan napal dan batugamping di sebelah
timur walaupun diendapkan pada kurun waktu yang sama. Selain itu juga terdapat perbedaan
kecepatan sedimentasi sehingga hasil korelasi secara umum menunjukkan kecenderungan
menebal kearah timur.
Daftar Pustaka
Arifianto,I.,2010, Penentuan Hubungan Stratigrafi dan Lingkungan Pengendapan Formasi
Sentolo dengan Batugamping Eosen di Daerah Ambarketawang, Kecamatan Gamping,
Kabupaten Sleman, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada
Bandy, O.L., 1967, Foraminiferal Indices in Paleoecology, Esso Production Research
Company, 77p
Barker, W., 1960,Taxonomic Notes,Society of Economic Paleontologist and
Mineralogist, Tulsa Oklahoma, 238p
Blow, W.H., 1969, The Cainozoic Globigerinida, E.J. Brill, Leiden, Netherlands,336p.
Boggs, Sam, Jr., 1987, Principles of Sedimentology and Stratigrafi, Merill Publishing
Company, Colombus. 784p
Bolli, H. M., Saunders, J. B. and Perch-Nielsen, K., 1985, Plankton Stratigraphy; Cambridge
University Press, 580p.
Boltovskoy, E. and Wright, R., 1976, Recent Foraminifera, The Hague, 515p.
Brasier, M. D., 1980, Microfossils : George Allen & Unwin, London, 193 p
Einsele G., Ricken W., & Seilacher A.,1991, Cycles and Events in Stratighraphy,
Geologisches Institut Universitat Tubingen, 955p.
Folk, RL, 1968, Petrology of Sedimentary Rocks, Hempill’s, Austin, Texas, 170p.
Gupta, B.K.S.,1999, Modern Foraminifera, Kluwer Academic Publishers, 321p.
Haq, B. U. & Boersma, A., 1978, Introduction to Marine Micropaleontology ; Elsevier
Biomedical, New York, 376 p
Jones, D. J., 1969, Introduction to Microfossils; Hafner Publishing Company, New York, 406
p
Jones, R.W.,1994, The Challenger Foraminifera, Oxford University Press, New York 149p
Jufri, R.M., 2009, Analisa Fasies Formasi Sentolo Bagian Bawah Jalur Sungai Niten, Desa
Giripurwo, Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada
Kadar, D., 1981, Planktonic Foraminiferal Biostratigraphy of The Miocene-Pliocene Sentolo
Formation, Central Java, Indonesia; Special Publication; Micropaleontology, Petrology
and Lithostratigraphy of Cenozoic Rocks of The Yogyakarta Region Central Java,
Department of Earth Sciences Faculty of Science Yamagata University, Japan, p25 - p34
Kadar, D., 1986, Neogene Planktonic Foraminiferal Biostratighraphy Of The South Central
Java Area Indonesia, Directorate General Of Geology And Mineral Resources,
Geological Researc And Development Centre, 1986
Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996, Sandi Stratigrafi Indonesia, Ikatan Ahli Geologi
Indonesia, Bandung.
514
S05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Mardani, K.T., 2000, Studi Foraminifera Untuk Identifikasi Batas Sekuen pada Kontak
Formasi Andesit Tua dengan Formasi Sentolo dan Formasi Jonggrangan, Daerah
Kalibawang, Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta, Universitas Gadjah
Mada
Okada, H., 1981, Calcareous nannofossils of Cenozoic formations in Central Java, Special
Publication; Micropaleontology, Petrology and Lithostratigraphy of Cenozoic Rocks of
The Yogyakarta Region Central Java, Department of Earth Sciences Faculty of Science
Yamagata University, Japan, p35 – p47
Pandiangan, S.,1986, Penentuan Umur Relatif Berdasarkan Fosil Foraminifera Plangtonik
pada Formasi Sentolo dengan daerah penelitian pada daerah Gunung Pereng,
Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,
Universitas Gadjah Mada
Pringgoprawiro, H., 1968, On the Age of Sentolo Formation Based on Planktonic, Dept of
Geology, ITB, Bandung.
Postuma, J.A., 1971, Manual of Planktonik Foraminifera, Elsevier Publishing Company,
Amsterdam. 422p
Puryanta, G., 1982, Penafsiran Umur dan Paleotemperatur Formasi Sentolo Berdasarkan
Fosil Foraminifera Plangtonik Pada Jalur Ngentak – Gunung Pendul di Kecamatan
Sedayu, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada
Rahardjo, W., Sukandarrumidi dan Rosidi, 1995, Peta Geologi lembar Yogyakarta, PPPG,
bandung
Sudidadi.,1985, Lingkungan Pengendapan Formasi Sentolo Jalur K. Bening, Kecamatan
Pengasih Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta, Universitas Gadjah
Mada
Van Bemmelen, R.W., 1949, The Geology Of Indonesia, vol. IA, Martinus Nijhoff, The Hague,
Netherland, 732p.
Van Morkhoven, F.P.C.M., Berggren, W.A. and Edward, A.S., 1986, Cenozoic Cosmopolitan
Deep Water Benthic Foraminifera, Buletin des centres recherches production Elf-
Aquitano, memoir 11, 423p.
515
S05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
516
S05 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
517
S06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Semburan gunung lumpur telah menarik perhatian orang sejak dulu dan dikaitkan dengan legenda
yang berkembang di masyarakat. Di daerah Purwodadi dan sekitarnya keberadaan gunung lumpur
banyak ditemukan. Secara fisiografi daerah ini termasuk ke dalam Zona Fisiografi Randublatung yang
dibatasi di bagian utara oleh Zona Rembang dan di bagian selatan oleh Zona Kendeng. Penelitian
dilakukan pada Gunung lumpur (bledug) Kesongo yang terletak di Desa Kesongo dengan koordinat 7o
9’ 19,93” LS – 111o 15’ 14,82” BT dan Gunung lumpur Crewek yang terletak di Desa Crewek dengan
koordinat 7o 9’ 4,62” LS – 111o 6’ 47,00” BT. Beberapa contoh lumpur, batuan dan fragmen batuan
seperti foraminiferal grainstone, batupasir karbonatan, fosil tulang invertebrata serta koral diambil
dari kedua tempat tersebut untuk dilakukan analisa paleontologi. Kedua gunung lumpur ini
mempunyai posisi dan kenampakan morfologi yang berbeda. Gunung lumpur Kesongo berada di
dataran bergelombang, berbentuk kubah berdiameter 1,3 km yang terletak di Antiklin Gabus dan
menerobos satuan batunapal yang tersingkap di permukaan sekitar gunung lumpur tersebut. Gunung
lumpur Crewek berada di dataran, berbentuk bukit kecil dengan diameter kurang dari 100 m dan
dikelilingi oleh endapan limpah banjir. Hasil analisa paleontologi pada lumpur dari Kesongo
menunjukkan kumpulan fosil foraminifera planktonik yang mempunyai dua kisaran umur yaitu N18-
19, N14 dan N7-N9, sedangkan analisa foraminifera besar dari fragmen batuannya menunjukkan
umur Miosen Awal – Tengah. Kumpulan fosil dari batunapal menunjukkan kisaran N17-19. Lumpur
Crewek menunjukkan kisaran N18, N12 dan N7-8. Dari kumpulan fosil tertua yang terdapat pada
masing-masing gunung lumpur maka diperkirakan lumpur di Gunung lumpur Kesongo berasal dari
Formasi Tawun bagian bawah dengan fragmen batuan yang diterobos berasal dari Formasi Wonocolo
dan Ngrayong, sementara batunapal yang berada di sekitarnya termasuk ke dalam Formasi Mundu.
Lumpur pada Gunung lumpur Crewek berasal dari Formasi Tawun.
PENDAHULUAN
Gunung lumpur (mud volkano/bledug) banyak dijumpai di sekitar Purwodadi hingga
menuju ke arah Blora. Fenomena gunung lumpur ini sudah lama terjadi sehingga masyarakat
sekitar gunung lumpur sudah terbiasa dan memanfatkan kehadiran fenomena ini.
Pemanfaatannya berupa pembuatan garam, penambangan minyak bumi dan pariwisata.
518
S06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Walaupun sudah lama terjadi dan banyak muncul di sekitar Purwodadi namun penelitian
mengenai gunung lumpur di daerah ini masih terbatas berbeda dengan Gunung lumpur
Sidoarjo (LUSI) yang baru saja terjadi namun sudah banyak penelitian dilakukan disana
seperti Mazzini et al. (2007,2009), Davies et al (2008, 2011), Mori & Kano (2009), Rudolph
(2011, 2013) dan lain-lain. Sementara itu penelitian terbaru mengenai gunung lumpur di
daerah Purwodadi-Blora dilakukan oleh Satyana dan Asnidar (2008).
Sebagian besar Gunung lumpur di sekitar Purwodadi menempati daerah dataran yang
secara fisiografi termasuk ke dalam Zona Randublatung. Dataran ini tertutup oleh endapan
limpah banjir Kali Lusi. Hanya sedikit gunung lumpur seperti Gunung lumpur Kesongo
berada di dataran bergelombang yang tersusun atas formasi batuan berupa napal.
Penelitian formasi batuan sumber gunung lumpur dilakukan pada empat lokasi yaitu
Gunung lumpur Kesongo, Crewek, Kuwu dan Medang Kamulan. Gunung lumpur Kesongo
terletak paling timur pada koordinat 7o 9’ 19,93” LS – 111o 15’ 14,82” BT. Gunung lumpur
Crewek berada paling selatan dengan koordinat 7o 9’ 4,62” LS – 111o 6’ 47,00” BT. Gunung
lumpur Kuwu berada di sebelah barat dengan koordinat 7o 7’ 3,68” LS – 111o 7’ 18,03” BT
dan Gunung lumpur Medang Kamulan terletak di utara dengan koordinat 7o 5’ 54,33” LS –
111o 8’ 49,73” BT. (Gambar 1)
METODE
Dari keempat gunung lumpur diambil beberapa contoh lumpur untuk dianalisa
kandungan fosil foraminifera terutama foraminifera planktonik. Kumpulan foraminifera
planktonik akan dipakai untuk menunjukkan seberapa tua batuan yang terterobos oleh
lumpur. Fragmen batuan yang ikut keluar bersamaan dengan lumpur juga diidentifikasi dan
diambil contohnya untuk dilakukan proses preparasi. Fragmen batuan ini akan disayat tipis
terutama batuan yang mengandung fosil foraminifera besar. Dengan mengetahui umur batuan
yang terbawa bersama lumpur maka formasi batuan yang tertembus oleh lumpur berdasar
fragmen batuan juga dapat diidentifikasi.
Formasi batuan yang tertembus lumpur ini juga dapat ditentukan dengan melihat
singkapan lapisan batuan yang terpotong oleh gunung lumpur dan melakukan preparasi ayak
untuk mengetahui umur batuannya berdasarkan kandungan fosil foraminifera planktoniknya.
Selain pengambilan contoh batuan dan lumpur, dilakukan juga pengamatan kondisi morfologi
gunung lumpur dan sekitarnya. Hal ini dilakukan karena masing-masing gunung lumpur
mempunyai morfologi yang berbeda.
519
S06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
GEOLOGI REGIONAL
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa gunung lumpur yang menjadi obyek
penelitian ini secara fisiografi terletak pada Zona Randublatung yang dibatasi oleh Zona
Rembang di sebelah utaranya dan Zona Kendeng di sebelah selatannya (van Bemmelen,
1949). Zona Randublatung merupakan dataran yang terisi olehh endapan berukuran lempung,
lanau, pasir hingga kerikil yang berasal endapan limpah banjir Kali Lusi, Kali Wulung dan
Kali Bengawan Solo. Di bawah endapan ini pada bagian selatan terdapat Formasi Pucangan
dan Klitik sementara di bagian utara dijumpai Formasi Tambakromo dan Selorejo. Secara
stratigrafis Zona Randublatung memiliki urutan batuan seperti yang berkembang pada Zona
Rembang maupun Zona Kendeng. Adapun urutan stratigrafi Zona Randublatung menurut
Datun dkk (1996) ini adalah :
Formasi Tawun
Formasi Tawun berisi batulempung dan batugamping dengan sisipan batupasir, batulanau dan
kalkarenit. Kandungan fosil foraminifera planktonik berupa Globigerinoides sicanus, G.
diminutus, G. subuqadratus, Globorotalia mayeri, Gl. siakensis, Gl. peripheroronda, Gl.
birnagea, Praeorbulina, Hastigerina praesiphonifera, dan Cassigerinella chipolensis yang
menunjukkan umur Miosen Awal N7-N8. Kandungan fosil foraminifera bentonik berupa
Bulimina, Saracenaria, Nodosaria, Uvigerina, Laticarinina dan Cassidulina yang
menunjukkan lingkungan laut dalam. Di atas formasi ini diendapkan secara selaras Formasi
Ngrayong.
Formasi Ngrayong
Bagian bawah formasi ini tersusun oleh berupa perselingan batulempung pasiran dengan
napal pasiran, bagian tengah oleh batupasir kuarsa dengan sisipan batulempung pasiran dan
bagian atas oleh batugamping dengan sisipan napal. Fosil foraminifera yang dijumpai berupa
Globorotalia fohsi, Gl. praemenardii, Gl. mayeri, Cycloclypeus indopacificus, C. Inornatus,
dan Lepidocylina angulosa yang menunjukkan umur Miosen Awal – Miosen Tengah N8-N12
dengan lingkungan neritik dangkal. Ketebalan formasi ini 100 – 300 m.
Formasi Wonocolo
Formasi ini terendapkan secara tidak selaras Formasi Ngrayong dan tersusun oleh
batugamping tipis (Kompleks Platenkalk) pada bagian bawah, sementara pada bagian atas
oleh napal dengan sisipan batugamping. Kandungan foraminifera Globorotalia acostaensis,
Hastigerina aequilateralis, Globigerina praebulloides, Cycloclypeus indopacificus, dan C.
inornatus. Umur formasi ini Miosen Tengah bagian akhir – Miosen Akhir N14-N16 dan
terendapkan pada lingkungan neritik dangkal dengan tebal 100 – 300 m. Formasi ini ditutpi
secara selaras oleh Formasi Ledok.
Formasi Ledok
Pada bagian bawah formasi ini tersusun oleh perselingan batugamping keras dengan lunak
kemudian ke arah atas berubah menjadi batugamping glaukonit dengan struktur sedimen
berupa silangsiur mangkuk. Fosil foraminifera yang dijumpai berupa Globigerinoides
520
S06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Formasi Mundu
Formasi ini terendapkan selaras di atas Formasi Ledok dan berisi napal tidak berlapis dengan
di beberapa tempat pasiran. Kandungan foraminifera Globigerinoides extremus, G. ruber, G.
trilobus, Globorotalia tumida, Orbulina universa, Pulleniatina primalis, dan Sphaerodinella
dehiscens menunjukkan umur formasi pada Pliosen Awal N18-N19, sedangkan Buliminina,
Cibicides, Dentalina, Eponides, Nodosaria, Robulus dan Uvigerina menunjukkan lingkungan
neritik dalam – batial atas. Tebal formasi berkisar 100 – 250 m.
Formasi Selorejo
Formasi ini berisi batugamping dengan struktur silang siur di beberapa tempat dan
batulempung pasiran-gampingan yang terendapkan selaras di atas Formasi Mundu.
Batugamping mengandung foraminifera Globigerinoides fistulosus, Globorotalia
acostaensis, Gl. multicamerata, Sphaerodinella dehiscens, dan Pulleniatina obliqueloculata
yang menunjukkan umur Pliosen Akhir N19-N20/21, sementara Buliminina, Cibicides,
Eponides, Nonion, Robulus, Rotalia dan Uvigerina menunjukkan lingkungan neritik dangkal.
Tebal formasi 200 m.
Formasi Tambakromo
Formasi Tambakromo selaras menutupi Formasi Selorejo dan tersusun atas batulempung,
napal dan sisipan tipis batugamping. Kandungan foraminifera berupa Globorotalia tosaensis,
Gl. truncatulinoides, Globigerinoides fistulosus, dan Pulleniatina obliqueloculata
menunjukkan umur Pliosen Akhir bagian atas – Plistosen, sementara Cibicides, Robulus dan
Rotalia beccarii menunjukkan lingkungan pengendapan neritik. Tebal formasi 350 m.
Formasi Kerek
Formasi Kerek bagian bawah tersusun oleh napal, batulempung, batupasir gampingan,
batulempung gampingan dan batupasir tufan. Bagian atas tersusun oleh batugamping yang di
beberapa tempat tufan dengan sisipan napal dan batulempung gampingan. Kandungan
foraminifera berupa Globorotalia acostaensis, Gl. pseudomiocenica, Globigerina
praebulloides yang menunjukkan umur Miosen Akhir bagian tengah N16-N17 dan Bulimina,
Gyroidina, Nonion dan Uvigerina yang menunjukkan lingkungan neritik dalam. Tebal
formasi 825m dan ditindih secara selaras oleh Formasi Kalibeng.
Formasi Kalibeng
Formasi ini tersusun oleh napal pejal dan setempat sisipan batupasir tufan-batugamping. Di
beberapa tempat pada bagian bawah dan tengah formasi ini diendapkan breksi Anggota
Banyak sementara bagian atas diendapkan batugamping Anggota Klitik. Formasi ini selaras
menindih Formasi Kerek. Kandungan foraminifera Globorotalia crassaformis, Gl.
521
S06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Anggota Klitik
Anggota Klitik tersusun atas batugamping dan sisipan napal. Batugamping di beberapa
tempat mengandung koral. Kandungan foraminifera terdiri atas Goborotalia. Tosaensis dan
Pulleniatina obliqueloculata yang mencerminkan umur Pliosen Awal, sedangkan kandungan
Amphistegina, Cibicides, Discorbis, Eggrella, Elphidium dan Triloculina mencerminkan
lingkungan neritik dangkal. Tebal formasi 40 – 150 m.
Formasi Pucangan
Formasi Pucangan diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Kalibeng Bagian bawah
formasi ini tersusun oleh breksi dan batupasir volkanik dan bagian atas tersusun oleh
batulempung yang kaya akan fosil moluska. Pada formasi ini juga dijumpai fosil hominid.
Umur formasi ini diperkirakan Plistosen Awal dengan lingkungan darat-transisi.
Formasi Kabuh
Formasi ini terendapkan selaras di atas Formasi Pucangan dan terdiri dari batupasir silangsiur
konglomeratan dan lensa-lensa konglomerat. Kandungan fosil moluska dan fragmen
vertebrata banyak dijumpai pada formasi ini. Umur batuan Plistosen Tengah dengan
lingkungan pengendapan berupa transisi-darat. Tebal formasi 45 – 200 m.
Formasi Notopuro
Formasi Notopuro tersusun atas breksi lahar, breksi volkanik, konglomerat dan batulanau
volkanik yang diendapkan secara selaras di atas Formasi Kabuh pada Plistosen Akhir.
Lingkungan pengendapan darat dengan tebal 30 – 40 m.
GUNUNG LUMPUR
Istilah gunung lumpur merujuk pada suatu kenampakan topografi berbentuk kerucut
menyerupai bentuk gunung api yang terbentuk secara alami oleh proses geologi berupa
proses pengeluaran sedimen terliquifaksi, fragmen berukuran butir lempung, gas, dan cairan
522
S06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
(Istadi et al, 2012). Gunung lumpur dapat terbentuk melalu proses penekanan pada diapir
lumpur yang menerobos permukaan bumi atau dasar laut (Istadi et al, 2012). Karakteristik
pembentuk gunung lumpur adalah tingkat sedimentasi yang tinggi, lapisan sedimen penutup
yang tebal, kehadiran perlapisan yang plastis di bawah permukaan, suplai gas yang cukup dan
potensi hidrokarbon yang tinggi, tekanan formasi abnormal tinggi, pada setting kompresi,
seismiksitas tinggi dan kehadiran sesar-sesar.
Karakteristik umum gunung lumpur menurut Gansser (1960 dalam Ridd, 1970)
adalah sebagai berikut :
1. Umumnya berasosiasi dengan lapisan sedimen Tersier (dan Kapur Atas)
2. Sedimen umumnya berasal dari sedimen laut
3. Didominasi oleh lapisan plastis dan pelitik
4. Gas dan air formasi kadang hadir
5. Lapisan plastis tertutup oleh lapisan yang lebih kompeten
6. Sinklin yang luas dibatasi secara tajam oleh antiklin akibatnya lapisan sedimen plastis yang
lebih dalam menekan ke atas.
7. Kenaikan tegangan menggerakkan lempung yang plastis pada bagian inti beserta air garam,
gas dan minyak pada banyak tempat. Akibatnya lumpur akan tertekan ke atas seperti
bentukan magma, jika keseimbangan permukaan terganggu maka akan terjadi erupsi dan
membentuk gunung lumpur.
8. Kebanyakan pusat erupsi terdiri dari beberapa kerucut volkanik.
9. Kerucut yang landai dan terjal dapat hadir bersamaan.
10. Erupsi sebagian periodik, tetapi umumnya tidak teratur. Banyak erupsi besar terjadi
setelah periode tenang yang panjang.
11. Fragmen batuan besar atau kecil yang berasal dari lapisan batuan yang lebih tua
umumnya keluar bersamaan dengan lumpur.
12. Keberlangsungan pusat erupsi tunggal umumnya pendek.
13. Zona diapirik dengan gunung lumpur umumnya beradapada daerah anomali gravitasi
negatif.
523
S06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
hidrokarbon secara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat sekitar (Gambar 3). Selain itu
dijumpai lapisan batuan berupa napal yang diduga berasal dari lapisan insitu yang terterobos
oleh Gunung lumpur Kesongo (Gambar 4).
Gunung lumpur Crewek berada di sebelah selatan pada dataran yang dikelilingi oleh
endapan Kali Lusi, berada di tepian ruas jalan Kuwu-Crewek dan di tepian pemukiman
penduduk. Bentuk gunung lumpur ini kubah bulat dengan panjang utara-selatan 37 m, lebar
barat-timur 36 m dengan tinggi kurang dari 10 m dan luasan 1.537 m2. Pada bagian kubah
terdapat beberapa kolam lumpur dimana air bersama sedikit lumpur keluar bagai mata air.
Kolam lumpur dan bagian tepi dari gunung lumpur diselimuti oleh travertin (Gambar 5).
Fragmen batuan yang dijumpai berupa batupasir yang telah mengalami oksidasi,
batugamping dan batupasir karbonatan dengan ukuran 1 – 10 mm. Banyak dari fragmen
tersebut telah tersemen kembali oleh kalsit.
Gunung lumpur Kuwu berada di utara Gunung lumpur Crewek pada tepi ruas jalan
Wirosari-Kuwu dan sudah menjadi salah satu obyek wisata daerah Purwodadi. Gunung
lumpur Kuwu mempunyai semburan lumpur yang terbesar diantara gunung lumpur yang ada
di Purwodadi-Blora. Morfologi berupa kubah dengan panjang barat-timur sebesar 610 m dan
utara-selatan 362 m. Fragmen yang dijumpai umumnya batupasir yang telah mengalami
oksidasi dengan ukuran 1-2 cm.
Gunung lumpur Medang Kamulan terletak paling utara di daerah penelitian. Gunung
lumpur ini berada pada daerah pesawahan dan terdiri dari beberapa pusat erupsi. Satu pusat
erupsi membentuk kenampakan seperti gunungapi tipe strato dengan diameter 20-30 m dan
tinggi sekitar 8 m. Pusat erupsi lainnya membentuk kubah kecil dan beberapa kolam yang
didominasi oleh air. Fragmen yang dijumpai umumnya batupasir yang telah mengalami
oksidasi dan batulempung merah kehitaman. Pada tepian kolam dijumpai genangan-genangan
kecil minyak bumi.
Analisa paleontologi yang dilakukan pada contoh lumpur dari Gunung lumpur
Kesongo menghasilkan kumpulan foraminifera planktonik berupa Orbulina universa
D’Orbigny, Globoquadrina altispira (Cushman & Jarvis), Globigerinoides trilobus Reuss,
Gds. immaturus Le Roy, Gds. sacculiferus, Gds. obliquus Bolli, Praeorbulina sicana
DeStefani, Globorotalia humerosa humerosa D’Orbigny, Glt. pseudomiocenica Bolli &
Bermudez, Gds. ruber (D’Orbigny), Gds.diminutus Bolli, Glt. mayeri Cushman & Jarvis, Glt.
peripheroronda Blow & Banner, Sphaeroidinella subdehiscens Blow, Globigerina
praebulloides Blow, Glt. tumida (Brady), Glt acostaensis Blow, Glt. miocenicaPalmer, Glt.
multicamerata Cushman & Bermudez, Glt. pseudoopima Blow, Gna venezuelana (Hedberg)
dan Hastigerina praesiphonifera (Brady). Kumpulan fosil foraminifera plangtonik ini
mempunyai lebih dari satu kisaran umur. Kisaran umur termuda berada pada N18-N19
(Miosen-Pliosen), berikutnya N14 (akhir Miosen Tengah) dan N7-N9 (Miosen Awal-
Tengah).(Gambar 6)
524
S06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Analisa paleontologi yang dilakukan pada contoh lumpur dari Gunung lumpur
Crewek menghasilkan kumpulan foraminifera planktonik berupa Orbulina universa
D’Orbigny, Orbulina bilobata (D’Orbigny), Globoquadrina altispira (Cushman & Jarvis),
Globigerinoides trilobus Reuss, Gds. immaturus Le Roy, Gds. sacculiferus, Gds. obliquus
Bolli, Praeorbulina sicana DeStefani, Glt. fohsi fohsi Cushman & Ellisor, Glt. mayeri
Cushman & Jarvis, Sphaeroidinella subdehiscens Blow, Sphaeroidinellopsis disjuncta
(Finlay), Glt. tumida (Brady), Glt. miocenica Palmer, Glt. plesiotumida Blow& Banner, Gna
venezuelana (Hedberg) dan Hastigerina praesiphonifera (Brady). Seperti halnya pada
Gunung lumpur Kesongo maka kumpulan fosil foraminifera plangtonik ini mempunyai lebih
dari satu kisaran umur. Kisaran umur termuda berada pada N18 (akhir Miosen Akhir),
berikutnya N12 (Miosen Tengah)dan N7-N8 (akhir Miosen Awal). (Gambar 8)
Penarikan umur dari beberapa contoh lumpur diambil dari kisaran umur yang tertua
yang ditemukan. Hal ini dilakukan mengingat lumpur pada gunung lumpur terbentuk karena
525
S06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
adanya lapisan kaya lumpur mengalami tekanan overburden dari lapisan penutup yang tebal
yang kemudian keluar memotong beberapa lapisan batuan di atasnya. Umur fosil yang lebih
muda diperkirakan berasal dari batuan-batuan lebih muda yang diterobos oleh lumpur.
Struktur pada daerah ini tidak seperti yang berkembang di Zona Kendeng dimana lipatan dan
sesar anjak banyak djumpai. Struktur yang berkembang di daerah ini dianggap lebih
cenderung menyerupai struktur yang berkembang di Zona Rembang. Akibatnya tidak ada
batuan tua di atas batuan yang lebih muda akibat adanya sesar-sesar naik. Sehingga batuan
yang menjadi sumber lumpur diperkirakan berasal dari batuan yang tertua yang bisa teramati
dari kumpulan fosilnya.
Fosil-fosil berumur muda dari contoh lumpur(N12, N14 dan N18-N19) menunjukkan
batuan-batuan yang termuda yang terterobos oleh lumpur. Berdasarkan kandungan fosil
tersebut maka batuan-batuan yang terterobos merupakan batuan penyusun Formasi
Ngrayong, Wonocolo, Ledok hingga Mundu. Sementara dari fragmen batuanpada Gunung
lumpur Kesongo yang mengandung foraminifera besar berumur Miosen Awal – Akhir
menunjukkan kesamaan dengan batuan-batuan penyusun Formasi Ngrayong dan Wonocolo.
Kedua formasi ini banyak memiliki batugamping dengan kandungan foraminifera besar yang
melimpah. Batuan-batuan ini diduga diterobos oleh lumpur yang berasal dari Formasi Tawun
yang terletak di bawah Formasi Wonocolo dan Ngrayong.
Batunapal yang berada di sekitar Gunung lumpur Kesongo mempunyai umur N17-
N19 dan paleobatimetri batial atas-tengah. Umur dan paleobetimetri ini sesuai dengan umur
dan paleobatimetri batuan-batuan penyusun Formasi Mundu. Sehingga selain sebagai formasi
yang diterobos oleh gunung lumpur, di beberapa tempat Formasi Mundu diperkirakan
bertindak sebagai lapisan penutup pada perangkap hidrokarbon di sekitar Gunung lumpur
Kesongo.
526
S06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
KESIMPULAN
Berdasarkan kandungan foraminifera yang dijumpai dalam lumpur maupun fragmen
batuan maka dapat disimpulkan :
PUSTAKA
Davies, R., Manga, M., Tingay, M., and Swarbrick, R., 2011, Fluid transport properties and
estimation of overpressure at the Lusi mud volcano, East Java Basin, Engineering
Geology 121 (2011) 97-99, Elsevier.
Davies, R.J., Brumm, M., Manga, M., Rubiandini, R., Swarbrick, R., and Tingay, M., 2008,
The East Java mud volkano (2006 to present): An Earthquake or drilling trigger?,
Earth and Planetary Science Letters 272 (2008), 627-638, Elsevier.
Istiadi, B.P., Wibowo, H.T., Sunardi, E., Hadi, S., and Sawolo, N., 2012, Mud Volcano and
Its Evolution, Earth Sciences, Dr. Imran Ahmad Dar (Ed.), ISBN: 978-853-307-861-
8, InTech
Mazzini, A., Svensen, H., Akhmanov, G.G., Aloisi, G., Planke, S., Malthe-Sorenssen, A.,
and Istadi, B., 2007, Triggering and dynamic evolution of the Lusi mud volcano,
Indonesia, Earth and Planetary Science Letters 261 (2007), 375 - 388, Elsevier.
Mazzini, A., Nermoen, A., Krotkiewski, M., Podladchikov, Y., Planke, S., Svensen. H.,2009,
Strike-slip faulting as a trigger mechanism for overpressure release through
piercement structures. Implications for the Lusi mud volcano, Indonesia, Marine and
Petroleum Geology 26 (2009), 1751 - 1765, Elsevier.
Mori, J., Kano, Y., 2009, Is the 2006 Yogyakarta Earthquake Related to the Triggering of the
Sidoarjo, Indonesia Mud Volcano?, Journal of Geography 118 (3) 492 – 498 2009.
Ridd, M.F., 1970, Mud Volcanoes in New Zealand, The American Association of Petroleum
Geologists Bulletin v. 54, No. 4 (April, 1970), P. 601 – 616, 13 Figs.
Rudolph, M.L., Shirzaei, M., Manga, M., and Fukushima, Y., 2013, Evolution and Future of
the Lusi Mud Eruption Inferred from Ground Deformation, Geophysical Research
Letters, vol 40,1-4, doi:10.1002/grl.50189.
527
S06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Rudolph, M.L., Karlstrom, L., and Manga, M., 2011, A prediction of the longevity of the Lusi
mud eruption, Indonesia, Earth and Planetary Science Letter308 (2011), 124-130,
Elsevier, doi:10.1016/j.epsl.2011.05.037.
Satyana, A.H., and Asnidar, 2008, Mud Diapirs and Mud Volkanoes in Depressions of Java
to Madura : Origins, Natures, and Implications to Petroleum System, Proceedings,
Indonesian Petroleum Association, 32nd annual Convention & Exhibition, May 2008,
p. 139-158, Jakarta.
Van Bemmelen, R. W., 1970, The Geology of Indonesia, Vol IA, General Geology of
Indonesia and Adjencent Archipelago, 2nd Edition, Goverment Printing Office, The
Haque.
528
S06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
LAMPIRAN
S06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
S06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
S06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
S06 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
S07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Sari
Satu diantara faktor pengontrol kualitas reservoar karbonat yang signifikan adalah diagenesis. Proses
diagenesis yang bisa menghasilkan kualitas reservoar yang bagus adalah pelarutan atau karstifikasi.
Proses tersebut biasanya ditandai dengan adanya fitur subaerial exposure. Fitur tersebut lebih mudah
dikenali pada singkapan batuan di permukaan dibandingkan dari data bawah permukaan. Data bawah
permukaan yang bisa digunakan untuk membantu mengidentifikasi subaerial exposure adalah kombinasi
antara core, log konvensional, dan image logs. Data core sangat terbatas, sehingga data log menjadi lebih
sering digunakan. Untuk memperoleh hasil identifikasi yang maksimal diperlukan suatu perbandingan
dari subaerial exposure di permukaan dengan fitur subaerial exposure dari data bawah permukaan.
Pada studi ini dilakukan penelitian analog fitur subaerial exposure pada singkapan Formasi Wonosari
terhadap fitur subaerial exposure dari data bawah permukaan pada suatu sumur yang menembus
reservoar karbonat. Karakterisasi zona di bawah subaerial exposure dari Formasi Wonosari dilakukan
dengan metode deskripsi sampel permukaan, pengujian porositas dan permeabilitas sampel permukaan,
serta pengamatan sayatan tipis. Untuk data bawah permukaan, fitur tersebut diidentifikasi dengan data
Log Gamma Ray, Log Densitas, Log Neutron, dan FMI.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa fitur subaerial exposure di permukaan diindikasikan dengan
kehadiran paleosoil dan adanya tipe pori berupa honey comb structure. Nilai porositas dan permeabilitas
zona yang terletak di bawah subaerial exposure secara umum cukup baik dan bisa menjadi lapisan
reservoar yang potensial. Fitur subaerial exposure dikenali pada data bawah permukaan berupa naiknya
nilai log Gamma Ray pada suatu interval meskipun dari log FMI interval tersebut masih menunjukkan
tekstur karbonat serta penambahan nilai porositas yang diketahui dari log Densitas dan log Neutron.
Terdapat kesesuaian parameter penciri kehadiran subaerial exposure baik dari data permukaan ataupun
bawah permukaan.
Pendahuluan
Reservoar batuan karbonat masih sangat menarik untuk dipelajari, paling tidak karena tiga
alasan; (i) banyak lapangan migas raksasa ditemukan pada reservoar karbonat, (ii) karakteristik
fasies dan propertiesnya yang sangat heterogen, (iii) banyaknya faktor pengontrol kualitas
reservoarnya.
Selain tekstur dan komposisi mineralogi, kualitas reservoar karbonat juga sangat dipengaruhi
oleh proses diagenesa yang terjadi seperti sementasi, neomorfisme, rekristalisasi, pelarutan dan
lain-lain. Proses diagenesis yang bisa menghasilkan kualitas reservoar yang bagus adalah
534
S07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
pelarutan. Proses ini biasanya terjadi pada saat batuan kerbonat tersingkap di permukaan
(telogenesis) dan kontak dengan air meteorik. Proses ini pada suatu kondisi tertentu akan
menjadi proses karstifikasi yang menghasilkan topografi karst. Selain dikenali dari bentuk
topografinya, proses tersebut biasanya ditandai dengan adanya paleosoil maupun adanya caliche.
Kehadiran fitur-fitur tersebut pada suatu interval batuan karbonat menandakan bahwa interval
tersebut pernah mengalami penyingkapan atau dikenal dengan istilah subaerial exposure.
Fitur subaerial exposure lebih mudah dikenali pada singkapan batuan di permukaan
dibandingkan dari data bawah permukaan. Data bawah permukaan yang bisa digunakan untuk
membantu mengidentifikasi subaerial exposure adalah kombinasi antara core, log konvensional,
dan image logs. Data core sangat terbatas, sehingga data log menjadi lebih sering digunakan.
Untuk memperoleh hasil identifikasi yang maksimal diperlukan suatu perbandingan dari
subaerial exposure di permukaan dengan fitur subaerial exposure dari data bawah permukaan.
Penelitian ini akan mencoba membandingkan karakteristik subaerial exposure dari data bawah
permukaan dengan karakteristik subaerial expsoure dari singkapan Formasi Wonosari di
permukaan.
Obyek Studi
Penelitian dilakukan khususnya pada Formasi Wonosari yang berlokasi di daerah Jetis (gambar
1) , Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunung Kidul (koordinat 8227, 1102925).
Menurut Toha dkk (1994) Formasi Wonosari merupakan reefal limestone yang dijumpai diatas
batugamping tufan berlapis dari Formasi Oyo. Formasi Wonosari ke arah barat daya dari Kota
Wonosari berubah menjadi batugamping berlapis yang berselingan dengan napal dan dikenal
sebagai Formasi Kepek. Secara keseluruhan Formasi Wonosari diperkirakan terbentuk selama
Miosen Tengah sampai dengan Miosen Akhir (lihat stratigrafi regional pada gambar 2). Studi
yang dilakukan oleh Pusat Studi Energi (PSE) - UGM (2008) menunjukkan bahwa Formasi
Wonosari mempunyai ketebalan lebih dari 250 meter, utamanya tersusun oleh bedded to poorly
bedded reefal limestone yang kaya akan fragmen koral dan alga serta diinterpretasikan
diendapkan pada lingkungan laut dangkal. Satuan batuan dari formasi ini relatif miring ke arah
selatan dengan sudut antara 5 sampai dengan 12 derajat dan mengandung Miogypsina sp dan
Lepidocyclina sp yang mengindikasikan umurnya tidak lebih tua dari Miosen Tengah (PSE-
UGM, 2008).
Dibawah permukaan, batugamping dari Formasi Wonosari dijumpai ke arah offshore
menumpang secara tidak selaras diatas tuf dan batulempung (gambar 3) yang berumur Oligosen
Akhir (Bolliger & De Ruiter 1975 vide Jauhari 2004). Batugamping tersebut menurut Jauhari
(2004) terbentuk sebagai patchy reef complex (gambar 4).
Sebagai obyek pembanding dalam studi ini adalah batugamping dari Mid Main Carbonate yang
merupakan bagian dari Upper Cibulakan. Interval tersebut digunakan sebagai pembanding dari
sisi karakter subaerial exposure-nya bukan dari sisi formasi, umur ataupun lokasinya. Alasan
digunakan data dari interval tersebut karena ketersediaan data dari penulis utuk menampilkan
obyek bawah permukaan (dari sumur) yang mempunyai data cukup lengkap.
535
S07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
FMI tidak menunjukkan tekstur sedimentasi mekanis tetapi masih menunjukkan tekstur batuan
karbonat (honey comb structure) maka kemungkinan merupakan interval yang mengandung
paleosoil. Sementara itu jika nilai GR tinggi dan menunjukkan tekstur sedimentasi mekanis dari
shale maka kemungkinan besar merupakan marine flooding shale.
Sebagi contoh pada interval MMC di sumur Explo#1 diidentifikasi terdapat 4 subaerial exposure
yaitu pada kedalaman 1471,3 m, 1486 m, 1495 m,dan 1507,8 m (Winardi dkk, 2013).
Subaerial exposure pada kedalaman 1471,3 (gambar 5) m ditunjukkan dengan harga GR-nya
sekitar 90o API, harga densitasnya adalah 2,5 gr/cc dan harga porositas neutronnya adalah 0,18.
Ketebalan zona porusnya sekitar 2 meter.
Subaerial exposure pada kedalaman 1486 m (gambar 6) juga dicirikan oleh adanya mottled
structure/honeycomb structure dan harga GR sekitar 70o API. Dijumpai juga zona porus dengan
harga densitas rata-rata 2,4 gr/cc dan porositas neutron rata-rata adalah 0,19. zona porus ini
cukup tebal yaitu sekitar 8 meter.
Subaerial exposure pada kedalaman 1495 m (gambar 7) dicirikan sama dengan subaerial
exposure pada kedalaman 1507,8 m. Zona dibawah kedalaman 1495 m mempunyai nilai GR
sekitar 85o API. Densitas zona ini sekitar 2,3 gr/cc dan porositas neutron-nya adalah sekitar 0,24.
Bahkan kedua kurva (densitas dan neutron membentuk sparasi positip).
Subaerial exposure pada kedalaman 1507, 8 m terjadi pada fasies packstone (interval 1501.8 –
1510,5 m). Fasies ini terletak pada stage ke-1. Pembacaan GR pada kedalaman 1507,8 sekitar
75o API (Gambar 8). Pada zona tersebut tidak teramati adanya laminasi pada serpih, tetapi yang
teramati adalah mottled structure/honeycomb structure yang mengindikasikan bahwa interval
tersebut bukan merupakan serpih. Harga densitas zona ini sekitar 2,6 gr/cc dan porositas
neutron-nya terbaca 0,12.
Pada setiap subaerial exposure, selain dicirikan oleh pembacaan nilai GR yang relatif tinggi,
adanya honeycomb structure/mottled structure dan adanya zona porus, juga dicirikan oleh
perkembangan tipe porositas berupa interconnected vugular porosity. Kehadiran tipe porositas
inilah yang menaikkan porositas dibawah zona subaerial exposure.
537
S07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
- dijumpai zona yang mengandung litoklas lepas berukuran kerikil-kerakal yang ditumbuhi
kristal-kristal kalsit berbentuk radialfibrous. Ketebalan zona ini antara 20 sampai 50 cm.
- dijumpai zona setebal 20 hingga 40 cm yang mengandung nodul-nodul caliche (gambar 11)
berwarna coklat, berukuran kerikil sangat kompak.
- dijumpai zona yang merupakan paleosoil (gambar 12) setebal 20 hingga 40 cm, berwarna
coklat dan berukuran lempung. Pada sayatan tipis paleosoil ini menunjukkan adanya rhizolith
dan tekstur alveolar.
- Terkadang dijumpai hardpan yang berwarna coklat gelap berupa kerak berlaminasi dan sangat
kompak.
- terdapat zona chalky limestone (dibawah zona caliche) hasil diagenesis di permukaan. Menurut
Jauhari (2004) terdapat korelasi antara kehadiran chalky limestone ini dengan sifat
petrofisikanya. Semakin jauh dari zona chalky porositas bisa turun dari awalnya 46% (pada zona
chalky) menjadi 22% dan penambahan densitas bulk batuan dari 1,46 gr/cc (pada zona chalky)
menjadi 2,07 gr/cc pada zona dibawah zona chalky.
Berbeda dengan yang dilakukan oleh Jauhari (2004), pada penelitian kali ini penulis tidak hanya
mengamati paleo sub-aerial exposure di beberapa lokasi tetapi juga membandingkan dengan
recent subaerial exposure yang sedang terjadi yaitu pada permukaan paling atas dari batuan
Formasi Wonosari yang berupa grainstone.
Pada recent subaerial exposure (diatas muka air tanah/vadose zone) dijumpai adanya porositas
sekunder hasil pelarutan yang intensif oleh air meteorik yaitu porositas vugs dan channel.
Porositas vugs berukuran mulai dari 2 mm sampai dengan 3 cm (gambar 13). Porositas channel
berdiameter sekitar 3 cm – 5 cm dengan panjang sampai kira-kira 30 cm. Ketebalan zona porus
ini sekitar 20 sampai 70 cm. Besaran nilai porositas visual per satuan luas area (1 meter persegi)
diperkirakan lebih dari 20 persen. Selain itu juga dijumpai soil (gambar 14) baik diatas
permukaan (setebal kurang lebih 10 cm) maupun paleosoil yang masuk kedalam vugs dan
channel terbawa oleh air. Soil ini berwarna coklat kehitaman dan berukuran lanau sampai
lempung. Pada soil yang ada di permukaan banyak dijumpai nodul-nodul caliche berukuran
kerikil sampai kerakal, berwarna coklat muda dan kompak. Semakin kebawah dijumpai bagian
yang chalky meskipun belum dominan.
Sementara itu pengamatan pada paleo subaerial exposure di daerah Jetis, Saptosari (koordinat
8227, 1102925) menunjukkan karakter sebagai berikut (gambar 15 dan 16):
- dijumpai zona sangat porus setebal kira-kira 1 meter dibawah suatu bidang tegas (SB) yang
memisahkan dengan lapisan yang tight diatasnya.
- porositas visual per 1 satuan luas (1 meter persegi) diperkirakan lebih dari 40 persen dan
terlihat semakin berkurang kearah bawah.
- tipe pori yang ada didominasi oleh connected vugs dan channel dengan ukuran diameter 3
sampai 5 cm dan membentuk honey comb structure. Pada batuan yang belum terlarutkan tipe
pori vug juga terlihat dari sayatan tipis (gambar 17).
538
S07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
- terdapat paleosoil berwarna coklat gelap yang mengisi hampir semua pori yang ada.
- terdapat setidaknya 2 zona porus dengan karakter yang hampir mirip dan dibatasi oleh lapisan
yang kompak (hardpan). Total tebal antara zona porus dan tight sekitar 2 meter.
Kesimpulan
1. Membandingkan karakter subaerial exposure dari data bawah permukaan dan permukaan
(Formasi Wonosari) menunjukkan adanya beberapa kesamaan yaitu:
- terdapat zona porus dibawah subaerial exposure dengan ketebalan yang bervariasi.
- zona porus tersebut mempunyai tipe pori vug dan channel yang membantuk honey comb
structure.
- hadirnya paleosoil dan caliche diatas zona porus.
2. Kehadiran paleosoil akan mengakibatkan kenaikan pembacaan log GR, sehingga adanya shale
break tipis diantara batugamping tebal tidak serta merta sebagai marine flooding surface namun
bisa sebagai penanda adanya subaerial exposure.
3. Zona reservoar yang porus dapat diidentifikasikan berada dibawah subaerial exposure.
Daftar Pustaka
Jauhari, U., 2004, Perkembangan Fasies Batuan Karbonat Formasi Wonosari Dan
Aplikasinya Dalam Penentuan Arah Penambangan Chalky Limestone: Studi Kasus Di
Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Tesis di
Program Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta, tidak dipublikasikan.
Pusat Studi Energi-UGM, 2008, Final Report G & G Regional Study Southern of East Java,
Yogyakarta, tidak dipublikasikan.
Toha, B., Purtyasti, R.D., Sriyono, Soetoto, Rahardjo, W., Subagyo, P., 1994, Geologi Daerah
Pegunungan Selatan-Suatu Kontribusi, dalam Prosiding: Geologi dan Geotektonik Pulau Jawa
Sejak Akhir Mezosoik Hingga Kuarter, Jurusan Teknik Geologi, FT UGM, hal. 19-36.
Winardi, S., Toha, B., Suryono, S.S., Prasetya, I., 2013, Reservoir Characterization of Mid
Main Carbonate (MMC) interval in Cipadati Field (North West Java Basin, Indonesia) to
Support Detailed Reservoir Zonation, 30th IAS Meeting of Sedimentology, Manchester, UK.
539
S07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 1. Lokasi penelitian di daerah Jetis, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunung Kidul (koordinat 8227, 1102925).
S07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 2. Stratigrafi regional Pegunungan Selatan dari beberapa sumber vide PSE-UGM, 2008.
S07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 4. Batugamping Formasi Wonosari terbentuk sebagai patchy reef complex menurut
Jauhari (2004).
S07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 5. Subaerial exposure pada kedalaman 1471,3 m ini diidentifikasi dari keberadaan zona porus dan adanya palesoil remain.
Porositas zona tersebut sebesar 0,18 (dari log neutron). Sementara dari data FMI dapat diinterpretasi adanya mottled structure yang
kemungkinan adalah interconnected vugular porosity. Paleosoil remain diinterpretasikan dari nilai GR-nya yaitu sekitar 90o API dan
tekstur. Biasanya nilai GR sebesar itu adalah zona serpih, tetapi dari data FMI tekstur yang teramati tidak menunjukkan indikasi serpih
(image kecoklatan merata dan adanya laminasi), sehingga diinterpretasikan tingginya nilai GR karena adanya paleosoil yang mengisi
rongga pori akibat pelarutan. (Winardi dkk, 2013).
S07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
SUBAERIAL EXPOSURE
“Mottled structure” :
Interconnected
Gambar 6. Subaerial exposure pada kedalaman 1486 m dicirikan oleh adanya mottled structure/honeycomb structure yang
mengindikasikan adanya interconnected vugular porosity dan tingginya harga GR (sekitar 70o API). Pada zona tersebut tidak teramati
adanya tekstur serpih. Zona tersebut porus dengan porositas neutron rata-rata adalah 0,19. (Winardi dkk, 2013).
S07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 7. Subaerial exposure pada 1495 m ini ditunjukkan dengan nilai GR dibawahnya sekitar 85o API. Tekstur pada zona dengan
GR tinggi tersebut tidak mencerminkan tekstur serpih tetapi berupa tekstur batugamping dengan grain dan carbonate mud. Porositas
yang berkembang adalah interconnected vugs dengan besar porositas adalah 0,24. (Winardi dkk, 2013).
S07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 8. Subaerial exposure pada MMC dari sumur Explo#1 kedalaman 1507, 8 m. Zona ini dicirikan oleh pembacaan GR yang
tinggi sekitar 75o API dan pada zona tersebut tidak teramati adanya laminasi pada serpih. Porositas yang teramati dari FMI adalah
interconnected vugs yang diindikasikan dari kehadiran mottled structure/honeycomb structure. Zona dibawahnya cukup porus sekitar
0,12. (Winardi dkk, 2013).
S07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 9. Perkembangan sikuen secara keseluruhan dari Formasi Wonosari, Jauhari (2004).
S07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 10. Korelasi terhadap kurva regional eustacy dari Haq (vide Jauhari 2004).
S07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 11. Nodul-nodul caliche berwarna coklat (panah) yang dijumpai dibawah SB, skala
dalam cm (Jauhari 2004).
S07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 12. Kenampakan paleosil yang dijumpai dibawah SB, skala dalam cm (Jauhari, 2004).
S07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 13. Recent subaerial exposure pada Formasi Wonosari yang diidentifikasikan dengan
kehadiran porositas vugs berukuran mulai dari 2 mm sampai dengan 3 cm yang dijumpai
dibawah soil, sebagian terisi oleh soil berwarna coklat kehitaman.
Gambar 14. Soil yang dijumpai dipermukaan dan sebagian masuk dalam pori vug dan channel.
S07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 15. Paleo subaerial exposure di daerah Jetis, Saptosari (koordinat 8227, 1102925)
menunjukkan adanya kontak tegas (SB).
Gambar 16. Honey comb structure dari pori bertipe vug dan channel yang berisi paleosoil yang
dijumpai dibawah SB.
S07 Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, 11-12 Desember 2013
Gambar 17. Sayatan tipis dari grainstone pada daerah penelitian (Jetis) menunjukkan kemas
grain supported dengan ukuran grain < 1 mm – 3 mm, tipe porositas yang berkembang berupa
intrapartikel dan vuggy (panah), nilai porositas sebesar 12,5%, komposisi fragmen alga (jarang),
foraminifera (melimpah), dan pelet (sedikit melimpah), serta kandungan mikrit 25% dan sparit
75%.
ISBN
ISBN