Anda di halaman 1dari 78

FAKULTAS GEOGRAFI

UNIVERSITAS GADJAH MADA


TAHUN 2010
MODUL I
KONSEP DASAR GEOMORFOLOGI

A. Kata Kunci (Peristilahan yang terdapat dalam setiap pokok bahasan)


Geomorphology (historical, process, applied, and other geomorphologies)
Fisiografi
The present is the key to the past

B. Pertanyaan/perintah diskusi (Pertanyaan/perintah yang mengarahkan


masalah yang didiskusikan)
1. Jelaskan yang disebut dengan geomorfologi!
2. Jelaskan perbedaan antara geomorfologi dan fisiografi!
3. Jelaskan konsep geomorfologi menurut Thornbury (1954)!

C. Materi (berisi uraian teori, tabel, gambar yang terkait)


DEFINISI GEOMORFOLOGI
Geomorfologi berasal dari kata Yunani (Greek): Ge: yang berarti bumi;
morphe yang berarti bentuk, dan logos yang berarti uraian. Arti filologis
geomorfologi adalah uraian tentang bentuk muka bumi (Kardono Darmoyuwono,
1972, Chorley, at al., 1984; Panizza, 1996). Arti filologis geomorfologi adalah
bentuk bumi, tetapi bukan bentuk bumi secara keseluruhan melainkan lebih
ditekankan kepada bentuk kenampakan geometrik dari permukaan buminya
(Chorley, 1984). Meskipun sasaran (obyek) yang dikaji geomorfologi itu adalah
bentuk muka bumi, tetapi ternyata penekanan kajiannya menunjukkan perubahan
dari waktu ke waktu. Hal tersebut dapat diketahui dari definisi- definisi yang
dikemukakan penulis terdahulu seperti Lobeck (1939); Thornbury (1954); Small
(1968); Cooke, et al., (1974), Van Zuidam (1979) dan Verstappen (1983), seperti
tersebut di bawah ini.
1) Geomorfologi adalah studi bentuklahan (Lobeck, 1939).
2) Geomorfologi adalah ilmu pengetahuan tentang bentuklahan (Thornbury,
1954).

2
3) Geomorfologi adalah studi evolusi bentuklahan, terutama yang dihasilkan
oleh erosi (Small, 1968).
4) Geomorfologi adalah studi bentuklahan, terutama mengenai watak/sifat
alaminya, asal mula (genesis), proses perkembangan dan komposisi
materialnya (Cooke, at al., 1974).
5) Geomorfologi adalah studi yang menguraikan bentuklahan dan proses-proses
yang mempengaruhi pembentukannya, dan menyelidiki hubungan antara
bentuklahan dan proses menurut tatanan keruangannya (Van Zuidam, et al.,
1979).
6) Geomorfologi dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan tentang
bentuklahan, pembentuk muka bumi, baik di atas maupun di bawah muka air
laut, yang menekankan pada genesis dan perkembangannya di masa datang,
serta kaitannya (konteksnya) dengan lingkungan (Verstappen, 1983).

Atas dasar definisi tersebut di atas jelas bahwa obyek kajian geomorfologi
adalah bentuklahan. Bentuklahan yang menjadi pusat perhatian kajian
geomorfologi adalah watak (sifat) alaminya, proses geomorfik, material
penyusun, genesis (asal mula), konteksnya dengan lingkungan dan aspek
keruangannya. Pada awal perkembangannya yang menjadi pusat kajiannya
terbatas pada bentuklahan di daratan saja. Munculnya definisi geomorfologi yang
dikemukakan oleh Verstappen (1983) maka obyek kajian geomorfologi
merambah ke dasar perairan laut (lautan). Hal tersebut diperkuat oleh Chorley et
al., (1984), yang menyebutkan bahwa obyek kajian geomorfologi tidak terbatas
pada bentuklahan di kontinen dan tepiannya saja, tetapi termasuk juga morfologi
dasar laut.

Fisiografi dan Geomorfologi


Istilah fisiografi sering digunakan untuk menjelaskan subyek yang
terkandung dalam geomorfologi. Huxley (dalam Fairbridge, 1968) dalam bukunya
berjudul "Physiography" menyebutkan bahwa fisiografi merupakan uraian tentang
hubungan kausal dari fenomena alam. Morgan (dalam Fairbridge, 1968)

3
menyebutkan bahwa fisiografi itu mencakup faktor utama dan pokok dari unsur
fisik, seperti geologi, oseanografi, meteorologi dan astronomi. Fisiografi, terutama
yang digunakan di Eropa, mancakup klimatologi, meteorologi, oseanografi dan
geografi matematika (Thornbury, 1954). Lobeck (1939) menyebutkan bahwa
fisiografi adalah studi tentang daratan (geomorfologi), atmosfer (meteorologi dan
klimatologi) dan lautan (oseanografi). Dalam "kamus geografi" (Monkhouse,
1972) fisiografi adalah uraian dari kenampakan alami dan hubungan timbal
baliknya. Dalam perkembangan lebih lanjut fisiografi disamaartikan dengan
geografi fisik, dan khususnya di Amerika Serikat fisiografi terbatas pada studi
bentuklahan yang identik dengan geomorfologi. Van Zuidam (1979) menyebutkan
bahwa fisiografi dapat mempunyai dua arti, yaitu : (1) uraian bentuklahan atau
medan yang hanya menekankan pada aspek fisik (abiotik) dari lahan; (2) uraian
bentanglahan yang mencakup aspek penggunaan lahan, vegetasi dan pengaruh
manusia. Dalam terapan praktisnya pengertian pertama yang banyak digunakan
sedangkan pengertian kedua telah banyak ditinggalkan.
Atas dasar batasan dan pengertian dari beberapa rujukan tersebut dapat
ditegaskan bahwa fisiografi dalam artian luas mempelajari/menguraikan daratan,
atmosfer dan laut (an). Bagian fisiografi yang mempelajari daratan tercakup dalam
geomorfologi. Meteorologi dan klimatologi bagian fisiografi yang mempelajari
udara, sedangkan oseanografi bagian fisiografi yang mempelajari laut (an). Oleh
sebab itu apabila dalam karangan ilmiah terdapat sub bab fisiografi daerah
(wilayah) maka seharusnya berisikan uraian tentang geomorfologi, meteorologi,
klimatologi dan oseanografi. Apabila yang diuraikan hanya bentang daratan saja
maka uraian tersebut seharusnya termasuk uraian geomorfologi.
Apabila dikaitkan dengan pengertian fisiografi dan geomorfologi seperti
tersebut di atas maka penggunaan batasan fisiografi dan geomorfologi akan lebih
tegas. Fisiografi digunakan apabila uraiannya mencakup seluruh aspek fisik,
daratan, udara dan laut (an), dan apabila batasan pada aspek fisik daratan saja
maka yang digunakan adalah geomorfologi.

4
PERKEMBANGAN GEOMORFOLOGI
Geomorfologi yang kita pelajari seperti saat sekarang ini telah melalui
pengalaman panjang dalam membangun konsep dasar dan metodologinya. Ada
lima fase perkembangan geomorfologi yang dapat ditelusuri, yang masing-
masing uraiannya adalah sebagai berikut ini (Sutikno, 1987).
1. Fase pertama (sebelum abad ke 17)
Fase ini merupakan fase peletak dasar pemikiran geologi dan
geomorfologi yang telah dimulai lima abad sebelum Masehi (Thornbury, 1954).
Pandangan kuno yang terkait dengan geologi dan geomorfologi seperti
dikemukakan oleh Herodutus (485-425 SM), Aristotle (384-322 SM), Strabo (54
SM – 25 M) dan Senecca (- SM – 65 M).
Herodutus, mengamati penimbunan geluh (loam) dan lempung (clay) oleh Sungai
Nil sehingga memberikan julukan "Mesir adalah pemberian Sungai Nil".
Pandangan Herodutus yang lain adalah perbukitan di Mesir yang mengandung
kerang, pada masa lampau pernah di bawah permukaan laut.
Aristotle, berpandangan bahwa air yang keluar dari mata air itu berasal dari air
hujan yang mengalami perkolasi ke bawah permukan tanah; air yang ada di dalam
bumi berasal dari kondensasi di udara yang masuk ke permukaan bumi, dan air
yang berada di dalam bumi menguap dengan berbagai jalan.
Strabo, mengamati dan mencatat adanya penenggelaman lokal dan munculnya
daratan. Strabo berpendapat bahwa "Vale of Tompe" merupakan basil gempa
bumi, selain itu juga mengatakan bahwa Gunung Vesuvius adalah gunungapi,
meskipun semasa hidupnya gunungapi tersebut belum pernah meletus. Pandangan
Strabo yang lain adalah bahwa delta dari sungai bervariasi menurut daerah aliran
sungainya; delta yang besar terbentuk bila daerah yang dialiri luas dan batuannya
lemah, dan pembentukan delta terpengaruh oleh pasang surut dan aliran sungai.
Seneca, mengenal gempa bumi lokal alami, tetapi masih menganggap bahwa gempa
bumi terjadi sebagai akibat bencana internal dari angin daratan. Seneca juga
beranggapan bahwa air hujan cukup untuk mengisi sungai-sungai, dan juga
berpandangan bahwa tenaga aliran sungai dapat mengikis lembah-lembahnya.
Avicenna (Ibnu Sina, 987-1037) berpandangan bahwa asal mula pegunungan

5
dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu pengangkatan seperti yang terjadi
oleh gempa bumi, dan oleh pengaruh air yang mengalir dan embusan angin yang
membentuk lembah-lembah pada batuan lunak.
Leonardo da Vinci (1452-15190) berpandangan bahwa lembah terkikis oleh
sungai dan sungai tersebut mengangkut material dari suatu tempat di permukaan
bumi dan mengendapkannya di mana saja.
Dalam fase pertama ini sebagian besar pandangan memberikan teori dasar
terutama tentang proses berdasarkan pengamatan lokal, dan berusaha memberikan
penjelasan bagaimanakah suatu fenomena alam tersebut terjadi. Pada fase ini ilmu
geomorfologi belum muncul, tetapi pandangan-pandangan yang dikemukakan
sebagian masih relevan dengan konsep yang berlaku hingga saat ini.

2. Fase kedua (Abad 17 dan 18)


Pada fase ini ada dua konsep yang menonjol, yaitu konsep katastrofisme
dan konsep uniformitarianisme (King, 1976). Konsep katastrofisme dikemukakan
oleh Abraham Kitlob Wenner (1979-1817). Konsep tersebut muncul atas dasar
pengamatan Wenner pada strata batuan yang ternyata setiap stratum (lapisan)
memiliki sifat yang khas. Hasil pengamatan tersebut diformulasikan menjadi
konsep lahirnya bumi yang berasal dari basin lautan yang besar. Wenner
berpandangan bahwa setiap stratum batuan terjadi pada suatu dasar tubuh perairan
yang luas kemudian mengendapkan sedimennya di atas stratum yang ada
sebelumnya. Material yang lebih mampat terendapkan oleh larutan yang
pekat/kental. Pada waktu material secara berangsur-angsur diendapkan, laut (an)
secara berangsur-angsur menyusut sehingga terbentuk daerah yang sekarang ini.
Pandangan Wenner lain yang terkait dengan konsep dasar geomorfologi adalah:
a. batuan dasar yang berupa batuan granit tidak berfosil;
b. setiap gradien sungai akan mencapai tingkat keseimbangan, dan
gradien sungai merupakan fungsi dari kecepatan, debit dan muatan
sedimen; dan
c. seluruh sistem sungai merupakan suatu sistem yang terintegrasi.

6
3. Fase Ketiga (Awal abad 19)
Pada fase ke tiga dari perkembangan geomorfologi ada tiga tokoh yang
terkenal yaitu: Sir Charles Lyell (1797-1875), Dean William Buckland (1784-
18560 dan Louis Agassiz (1807-1873).
Lyell sebenarnya lebih antusias dalam geologi daripada ke geomorfologi, dengan
bukti karyanya yang berjudul "Principle of Geology". Sumbangan pemikirannya
dalam geomorfologi adalah tentang perkembangan bentuklahan yang lambat
bahkan melebihi waktu geologi. Meskipun Lyell banyak mengadakan pengamatan
terhadap muatan suspensi, debit dan peubah-peubah lainnya, tetapi memberikan
suatu konsep yang mendasar. Dalam pengamatannya terhadap gletser (es), Lyell
tidak mempercayai kapasitas daya angkutnya dalam memindahkan bongkah dan
endapan gletser.
Buckland, sangat setuju dengan siklus hidrologi, akan tetapi tidak begitu mengerti
mengapa sungai dapat membentuk lembahnya sendiri. Buah fikiran Buckland
yang lain adalah:
a. relief merupakan basil dari struktur geologi dan bukan oleh proses erosi;
b. material yang terangkut dari hulu dan melalui lembah sungai akan
terendapkan di laut; dan
c. pasang surut merupakan tenaga utama dalam transportasi material di
bawah permukaan air laut.

Agassiz, terkenal dengan teori glasialnya, bersama-sama dengan Buckland


mengadakan perjalanan ke Swiss. Mereka mengadakan pengamatan terhadap
pantai dasar glasial, yang akhirnya menghasilkan formulasi tentang struktur
endapan glasial, endapan "till", karakteristik "moraine", striasi dan gravel glasial.

4. Fase ke empat (Akhir abad 19)


Pada fase ke empat ini paling tidak ada lima tokoh yang terkenal, yaitu: Sir
Andrew Ramsey; G.K. Gilbert; J.W. Powell; C.G. Greenwood dan J.B. Jukes.
Sumbangan fikiran Ramsey (1814-1891) dalam geomorfologi terutama dalam
proses glasial. Pendapat penting dari Ramsey, antara lain:

7
a. ada hubungan penting antara teori glasial dengan teori fluvial, terutama
untuk mengetahui tenaga gletser untuk mengerosi;
b. kejadian danau di daerah bergletser tidak dapat dijelaskan dengan proses
fluvial, tetapi dapat dijelaskan dengan proses glasial;
c. tenaga erosi dari gletser terutama terdapat pada bagian bawah;
d. ada hubungan antara retakan/lenturan dengan arah sungai.

Powell (1834-1902) banyak memberikan konsep dasar dalam geomorfologi,


antara lain :
a. prinsip dari "base level" yang menyatakan bahwa "base level" akhir
adalah permukaan air laut;
b. proses erosi itu memiliki potensi relatif;
c. mengusulkan dua klasifikasi lembah sungai, yaitu atas dasar hubungan
antara strata lembah daerah yang dilalui dan klasifikasi lembah menurut
genetiknya.

Gilbert (1843-1918), memberikan dasar-dasar geomorfologi yang hingga kini


masih digunakan. Gilbert terkenal sebagai penulis metode ilmiah dan
memformulasikan pemikiran-pemikiran induktif dan deduktif dalam analisis
geomorfik. Konsep-konsep geomorfologis yang dikemukakan Gilbert, antara lain:
a. teori "grade" yang menunjukkan adanya suatu rangkaian hubungan
antara proses dan kenampakan, yang kemudian diasosiasikan dengan
konsep penyesuaian dinamis;
b. pengangkutan material di sungai meliputi pengangkutan material hasil
erosi, erosi dasar sungai dan pengurangan ukuran material dasar oleh
proses gesekan/benturan;
c. lereng merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap transportasi
material oleh air;
d. bertambahnya debit (luah) akan menyebabkan meningkatnya kecepatan
aliran yang selanjutnya memperbesar kecepatan pengangkutan;
e. penyelidikan komponen fisikal hams dilandasi dengan formulasi teori.

8
Greenwood (1793-1875) adalah pendukung Hutton dan Playfair. Konsep yang
dikemukakan oleh Greenwood adalah:
a. proses denudasi di suatu lahan dapat dijelaskan dengan hujan dan sungai;
air hujan yang jatuh di permukaan bumi membawa material halus di
sepanjang lereng membentuk alur-alur dan akhirnya membentuk sungai-
sungai kecil;
b. lembah dan lereng merupakan suatu sistem yang terintegrasi.

Jukes (1811-1869), mengemukakan pandangannya bahwa erosi marin tidak dapat


membentuk lembah. Jukes adalah orang pertama yang mengidentifikasikan
peranan vegetasi dalam pembentukan bentukahan.

5. Fase ke lima (Awal abad 20)


Dalam fase lima ini tokoh yang paling terkenal adalah William Moris Davis
(1850-1934). Teori yang pertama dikemukakan adalah "Siklus Geomorfik" yang
diterbitkan tahun 1889 dalam makalahnya yang berjudul "The rivers and valleys
in Pennsylvania". Dalam siklus geomorfik tersebut disebutkan bahwa semua
bentuklahan akan berkembang menurut tiga stadium, yaitu : stadium muda,
dewasa, dan tua. Konsep Davis lainnya yang terkenal adalah trilogi. Konsep
trilogi tersebut menjelaskan bahwa bentukahan ditentukan oleh struktur, proses
dan stadium.
Walther Penk dalam tahun 1920 dan 1930 mengemukakan keberatannya
terhadap teori Davis. Perbedaannya terletak pada pandangannya terhadap
perkembangan bentuklahan. Menurut Penck perkembangan bentanglahan
tergantung oleh pengaruh tektonik yang aktif dan iklim. Akhirnya Penck
menyadari bahwa pendekatan yang dilakukannya bersifat geologis, sedangkan
pendekatan Davis lebih bersifat geografis.
Setelah periode Davis dan Penck banyak buku teks geomorfologi yang
terbit, akan tetapi hingga tahun 1960 (an) sebagian besar masih mengikuti konsep
Davis, antara lain: Lobeck (1939), Thornbury (1954), Wooldridge (1959) dan

9
Spark (1960). Setelah tahun 1960 (an) buku-buku teks geomorfologi dapat
dikelompokkan menjadi empat atas dasar pokok bahasannya sebagai berikut.
a. Kelompok topikal, yaitu yang menekankan pada salah satu aspek
geomorfologi seperti proses pelapukan (Oilier, 1969), proses fluvial
(Leopold, et al, 1964), Morisawa, 1968 dan Richard, 1982); gunungapi
(Olier, 1969) dan pantai (Pethick, 1979).
b. Kelompok metode dan teknik penelitian dalam geomorfologi seperti King
dan Goudie (1981, 1990), Dackombe (1983) dan Verstappen (1976).
c. Kelompok pemetaan, yaitu menekankan pada teknik pemetaan morfologi
dan geomorfologi, seperti Verstappen dan Van Zuidam (1966, 1979),
Klimmaszeski (1978), Demek (1978) dan Dorses dan Salome (1973).
d. Kelompok terapan, yaitu yang menekankan pada terapan geomorfologi
untuk berbagai tujuan seperti dalam bidang evaluasi lahan, kerekayasaan,
konservasi lahan, evaluasi sumberdaya material dan dalam bidang
lingkungan, seperti Van Zuidam, et al. (1979), Cooke, et al. (1974, 1982),
Verstappen (1983), Maitor Pesci (1985), Hooke (1988), Viles dan Spencer
(1995), Panizza (1996) dan Oya (2001).

Dalam buku-buku teks geomorfologi setelah tahun 1960 (an) analisis


geomorfologis sudah ada kecenderungan ke analisis kuantitatif. Hal tersebut
dimungkinkan oleh kemajuan teknologi dalam membuat instrumen yang lebih
praktis dan lebih teliti. Dalam bukunya Leopold et al., (1960) yang berjudul
"Fluvial Processes in Geomorphology" banyak menyajikan data debit yang
dikaitkan dengan parameter lembah sungai dan besar muatan sedimen, King
(19660, Goudie (1986) dan Dackombe (1983) memberikan petunjuk praktis dalam
mengukur, mengklasifikasikan aspek geomorfologi secara mendalam, termasuk
analisis material batuan penyusun. Metode pemetaan geomorfologi yang semula
banyak dikerjakan secara terestrial, setelah periode tahun 1960 (an) mulai
memanfaatkan foto udara dan atau citra penginderaan jauh yang lain, bahkan pada
dasawarsa terakhir ini pemetaan geomorfologi tanpa menggunakan teknik
penginderaan jauh dirasa kurang memadai.

10
PERKEMBANGAN GEOMORFOLOGI DI INDONESIA
Setelah diuraikan perkembangan geomorfologi pada umumnya, perlu
kiranya kita lihat perkembangan geomorfologi di Indonesia. Perkembangan
geomorfologi di Indonesia sebenarnya sulit ditelusuri sejak awal. Pada umumnya
ilmu pengetahuan di Indonesia berkembang setelah kemerdekaan Republik
Indoensia, tahun 1945. Sebelum kemerdekaan banyak tulisan tentang geologi
regional untuk beberapa wilayah Indonesia terutama yang berkaitan dengan
pertambangan dan gunungapi. Dua buah buku yang terbit setelah kemerdekaan
yang berkaitan dengan geomorfologi di Indoensia adalah tulisan Van Bemmelen
(1949) yang berjudul "The Geology of Indonesia" dan tulisan Pannekoek (1949)
"Outline of the Geomorphology of Java". Dalam tulisan Van Bemmelen tersebut
terdapat satu bab tentang fisiografi yang di dalamnya terkandung uraian aspek-
aspek geomorfologi. Tulisan Pannekoek tentang Geomorfologi Pulau Jawa
tersebut merupakan tulisan geomorfologi yang lengkap, dalam arti aspek-aspek
geomorfologi dideskripsi secara menyeluruh.
Setelah periode Van Bemmelen dan Pannekoek muncul beberapa tulisan
geomorfologi dalam tahun 1950 hingga tahun 1964 oleh Verstappen, antara lain :
Geomorphologycal Observation of North Molusca-Northern Vogelkop Island
Area (1960); A Constribution to the Geomorphology of Molusca, Volcanic
Landforms of Halmahera (1960) ; Some Volcanoes of Halmahera (Molusca) and
Their Geomorphological Setting (1964); A Geomorphological Reconnaissance of
Sumatra and Adjacent Island, Indonesia (1973); Outline of The Geomprphology
of Indonesia (2000). Atas dasar tulisan-tulisan yang disusun Verstappen tersebut,
tampak bahwa Verstappen menaruh minat yang besar terhadap geomorfologi di
Indonesia. Hal tersebut dimungkinkan karena Verstappen pada waktu itu menjadi
staff pad Balai Geografi Jawatan Topografi Angkatan Darat di Jakarta. Perhatian
Verstappen terhadap pendidikan geomorfologi di Indonesia tampak setelah tahun
1950 berdiri Jurusan Ilmu Bumi di bawah Fakultas Sastra, Paedagogik dan
Filsafat di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Verstappen menjadi salah
seorang pengajarnya dalam mata kuliah geomorfologi dan penafsiran foto udara.

11
Lulusan angkatan pertama dari Jurusan Ilmu Bumi Fakultas Sastra,
Paedagogik dan Filsafat tersebut terjadi pada tahun 1957 dan dua alumni di
antaranya mengambil kekhususan dalam bidang geomorfologi yaitu Kardono
Darmoyuwono (almarhum) dan R. Bambang Suroto. Kardono Darmoyuwono
(alm.) menetap sebagai staf pengajar di Universitas Gadjah Mada pada Fakultas
Sastra, Jurusan Ilmu Bumi dalam mata pelajaran geomorfologi. Pada saat Jurusan
Ilmu Bumi meningkat statusnya menjadi Fakultas Geografi, tahun 1963, Jurusan
Geomorfologi merupakan salah satu jurusan dari 8 jurusan yang ada di Fakultas
Geografi UGM. Pada tahun 1973 Kardono Darmoyuwono memperoleh jabatan
Profesor dalam bidang geomorfologi dan merupakan guru besar pertama dalam
geomorfologi di Indonesia. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa
geomorfologi di Indonesia secara nyata dikembangkan oleh Verstappen yang
kemudian diteruskan oleh Profesor Kardono Darmoyuwono (almarhum) yang
kemudian diikuti oleh Prof. Surastopo Hadisumamo (almarhum), dan Karmono
Mangunsukardjo (almarhum).
Geomorfologi merupakan mata kuliah inti pada program studi geografi,
teknik geologi dan kependidikan geografi baik di manca Negara maupun di
Indonesia. Disamping itu geomorfologi juga diajarkan pada ilmu pengetahuan lain
yang memerlukan informasi kebumian seperti program studi arkeologi, pertanian
dan kehutanan. Perkembangan geomorfologi di Indonesia pada awalnya agak
lamban, kith sudah mulai tampak jelas arti pentingnya. BAKOSURTANAL
(Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional) telah merintis pembuatan peta
geomorfologi sistematik di Indonesia, yang hingga kini baru terselesaikan
sebagian kecil wilayah Indonesia yaitu P.Sumatera dengan skala 1 : 250.000.
Program pemetaan geomorfologi tersebut dan pemetaan sumberdaya lahan yang
mendasarkan pada satuan bentuklahan merupakan tindakan konkrit untuk
pengembangan geomorfologi pada masa akan datang di Indonesia.
Perencanaan penggunaan lahan, perencanaan penanggulangan bencana
alam, perlindungan terhadap lingkungan memerlukan informasi geomorfologi
yang tepat dan teliti. Pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan juga memerlukan informasi geomorfologi. Dalam analisis dapak

12
lingkungan informasi geomorfologi merupakan salah satu komponen lingkungan
yang diperlukan. Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa ada kecenderungan
yang meningkat terapan geomorfologi pada masa yang akan datang di Indonesia.

KONSEP GEOMOFOLOGI (THORNBURRY, 1954):


1. Proses geomorfik yang berkerja pada masa geologi juga bekerja sekarang,
walaupun tidak selalu dengan intensitas yang sama, sehingga dikenal, The
present is the key to the past.
Konsep ini didasari oleh kaidah uniformitarianisme, yang dikemukakan
oleh Hutton (1785), kemudian dinyatakan kembali oleh Playfair (1802) dan
yang dipopulerkan oleh Lyell, yang berbunyi : "Saat sekarang adalah kunci
masa lampau". Proses-proses fisikal yang terjadi saat sekarang seperti erosi,
sedimentasi, longsor lahan juga terjadi pada masa lampau. Atas dasar fakta
proses yang terjadi saat sekarang, kita dapat menginterpretasikan proses yang
terjadi masa lampau. Apabila saat sekarang proses pengendapan pada sungai
teranyam (braided stream) dapat membentuk struktur silang-siur (cross-
bedded) maka kenampakan silangsiur seperti yang terdapat pada. Formasi
Kabuh, di Kubah Sangiran, Sragen, Jawa Tengah juga terbentuk oleh sungai
teranyam. Contoh lain adalah pembentukan topografi karst di Gunung Kidul,
Daerah Istimewa Yogyakarta, yang dicirikan oleh sungai di bawah tanah, dan
proses pembentukan stalaktit dan stalakmit yang masih aktif hingga sekarang.
Pada masa lampaupun juga terdapat sungai di bawah tanah seperti ditunjukkan
oleh gua-gua yang pada dindingnya menggantung stalaktit dan stalakmit di
dasarnya, dan bahkan proses tersebut masih bersambung sejak jaman dulu
hingga sekarang.

13
Gambar 1.1. Munculnya lava flow tipe bantal ke permukaan
menjelaskan letusan gunungapi purba (Gunungapi Nglanggran)

2. Struktur geologi merupakan faktor pengontrol yang dominan dalam


evolusi bentuklahan, dan struktur geologi dicerminkan oleh
bentuklahannya.
Pengertian struktur geologi dalam konsep ini tidak terbatas hanya dalam
artian sempit pada kenampakan batuan seperti lipatan, sesar, tetapi juga
mencakup atribut fisikal dan khemikal dari batuan yang berpengaruh terhadap
proses pentorehan (pengikisan). Struktur yang dimaksud dalam konsep ini
meliputi : sikap batuan (jenis dan lapisan batuan), kekar, bidang perlapisan,
sesar, lipatan, ketidakselarasan, kemasifan batuan, kekerasan fisikal dari
mineral pembentuk batuan, kerentanan mineral terhadap perubahan khemikal,
permeabilitas batuan, dan sifat-sifat lain yang menunjukkan perbedaan dari
batuan penyusun kulit bumi.
Pengertian struktur juga memiliki implikasi stratigrafi. Batuan yang
selang-seling antara yang keras dan lunak, antara batuan yang resisten dan non-
resisten akan berpengaruh pula terhadap bentuklahan. Sebagai contoh gawir
sesar di Pegunungan Baturagung DIY dan Jawa Tengah yang tersusun oleh
breksi vulkanik dan batugamping menunjukkan bentuklahan yang tegas. Jenis

14
batuan tertentu mungkin resisten terhadap proses yang lain, tetapi di bawah
pengaruh kondisi iklim yang berbeda akan memberikan perbedaan tingkat
resistensinya. Batu gamping di daerah iklim tropis basah akan membentuk
topografi karst, sedangkan di daerah beriklim kering batugamping resisten
seperti batu pasir.
Kenampakan struktur dari batuan tentu lebih tua daripada bentuklahan
yang terbentuk padanya. Struktur utama seperti lipatan dan sesar terbentuk
pada waktu yang lama sekali sebelum mengalami proses erosi. Struktur geologi
itu telah terbentuk sebelum bentuklahan itu muncul. Pada umumnya terdapat
hubungan yang erat antara struktur dengan kenampakan topografinya.
Misalnya topografi yang terdapat di perbukitan Dome Sangiran bervariasi
menurut litologinya, dan topografi di Pegunungan Kendeng yang berstruktur
lipatan menunjukkan penggelombangan. Kadang-kadang memang terjadi
kenampakan topografi yang kurang mencerminkan strukturnya. Hal demikian
mungkin saja terjadi karena homogenitas struktur atau ukuran dari strukturnya
terlalu besar.

3. Pada batas-batas tertentu permukaan bumi memiliki relief (timbulan),


karena kerja proses geomorfik mempunyai kecepatan yang berbeda-
beda.
Perbedaan struktur, litologi dan resistensi batuan pembentuk muka
bumi akan menyebabkan perbedaan proses gradasi. Kadang-kadang perbedaan
proses gradasi tersebut sangat nyata dan sering pula hanya menyebabkan
perbedaan yang kecil saja. Perbedaan struktur dan litologi tidak hanya
tercermin dalam perbedaan geomorfik regional tetapi juga tercermin pada
topografi lokalnya.
Faktor temperatur, kelembaban, ketinggian, keterbukaan terhadap
penyinaran matahari, konfigurasi topografi, kerapatan dan jenis vegetasi akan
menentukan intensitas proses geomorfik selain faktor struktur dan litologi.
Iklim mikro pada puncak bukit dan lembah, pada lereng yang menghadap arah
ke utara dan selatan, yang tertutup vegetasi dan yang tidak tertutup vegetasi

15
akan mempengaruhi intensitas proses geomorfik. Begitu banyak faktor yang
berpengaruh terhadap intensitas proses-proses geomorfik di suatu daerah,
sehingga sebagian hasilnya adalah perbedaan relief.
Konsep ke tiga ini memberikan petunjuk bahwa meskipun di suatu
daerah memiliki struktur dan litologi yang sama, daerah tersebut tentu akan
menunjukkan perbedaan relief walaupun hanya kecil sekalipun, apalagi apabila
struktur dan litologinya berbeda maka perbedaan relief akan nyata sekali.
Relief, dengan demikian dapat dijadikan dasar untuk menentukan perbedaan
struktur, litologi maupun proses geomorfik yang bekerja pada suatu daerah.
Konsep ini sangat bermanfaat sebagai dasar interpretasi foto udara
geomorfologikal.

4. Proses-proses geomorfik itu meninggalkan bekas yang nyata pada


bentuklahan dan setiap proses geomorfik berkembang sesuai dengan
karakteristik bentuklahan itu sendiri.
Proses geomorfik itu secara sederhana dapat dibedakan menjadi proses
endogen dan proses eksogen. Proses endogen meliputi proses diastrofisme dan
vulkanisme, yaitu proses-proses yang berasosiasi dengan tenaga yang berasal
dari dalam bumi. Proses eksogen meliputi proses pelapukan, erosi dan gerakan
massa batuan/tanah, hasil dari tenaga asal luar. Hasil dari masing-masing
proses tersebut akan tercermin pada bentuklahan yang terjadi. Proses fluvial
akan menghasilkan bentuklahan seperti tanggul alam, gosong sungai, dataran
banjir dan kipas aluvial. Gua-gua di daerah karst dan sungai di bawah tanah
hasil dari proses pelarutan (solusional).
Proses geomorfik itu secara individual menghasilkan kenampakan yang
menonjol, sehingga dapat untuk mengklasifikasikan bentuklahan atas dasar
genetiknya. Penilaian yang benar tentang arti penting proses geomorfik
terhadap evolusi bentuklahan, tidak hanya memberikan gambaran yang lebih
baik terhadap perkembangan bentuklahan itu, tetapi juga harus menekankan
pada hubungan genetik dari komponen bentuklahan. Bentuklahan itu jarang
yang terjadi secara individual tetapi ada yang diperkirakan berasosiasi dengan

16
bentuklahan lainnya. Apabila suatu bentuklahan terjadi di suatu daerah maka
bentuklahan asosiatifnya akan diketemukan juga. Misalnya di suatu daerah
terdapat danau tapal kuda, maka di daerah tersebut juga akan terdapat tanggul
alam, dataran banjir atau rawa belakang, seperti yang terjadi di sungai-sungai
besar di Indonesia. Sebagai contoh di daerah Adipala Cilacap, Jawa Tengah, di
sana terdapat danau tapal (oxbow lake) dari Sungai Serayu lama, yang di
sekitarnya diketemukan bentuklahan asosiasinya.
Perlu diketahui pula proses geomorfik yang mempengaruhi bentuklahan
itu tidak tunggal, melainkan terbentuk oleh gabungan beberapa proses.
Kompleks dari proses geomorfik dan tenaga yang bekerja di bawah kondisi
iklim tertentu disebut dengan sistem morfogenetik. Sistem morfogenetik itu
dapat digunakan untuk mengklasifikasikan suatu daerah menjadi satuan-satuan
morfogenetik. Setiap satuan morfogenetik akan dicirikan oleh proses
geomorfik yang menonjol.
Konsep ke empat ini dapat digunakan untuk menginterpretasikan proses
geomorfik yang bekerja di suatu daerah atas dasar kenampakan basil proses yang
terdapat pada bentuklahan. Sebagai contoh: lembah yang dalam itu merupakan
basil proses erosi vertikal; material endapan berbutir kasar dan berbentuk pipih
itu merupakan basil dari proses gelombang yang terjadi di daerah pesisir. Di
samping itu konsep ke empat ini dapat memberikan petunjuk bahwa setiap
proses geomorfik akan berkembang menurut karakteristik bentuklahannya.
Misalnya tidak semua pada bentuklahan akan berlangsung proses longsoran
atau dengan perkataan lain proses longsoran itu tidak terjadi pada sebarang
bentuklahan.

5. Oleh karena tenaga erosional yang bekerja di permukaan bumi itu


berbeda-beda maka akan terjadi suatu tingkatan perkembangan dari
bentuklahan.
Menurut konsep Davis bentuklahan itu memiliki karakteristik yang
menonjol tergantung pada stadium perkembangannya (muda, dewasa dan tua).
Pada tingkat (stadium) akhir perkembangan bentuklahan akan menjadi

17
paneplain (dataran nyaris). Kebanyakan ahli geomorfologi memahami bahwa
bentuklahan itu memiliki tingkat perkembangan, tetapi tidak harus dibedakan
menjadi muda, dewasa dan tua. Stadium perkembangan itu lebih bersifat
subyektif. Untuk menyatakan tingkat perkembangan dapat dinyatakan secara
faktual dari data proses. Tingkat perkembangan itu dapat dinyatakan dengan
tingkat pengikisan atau tingkat erosi, yang masing-masing tingkat tersebut
dapat dinyatakan secara kuantitatif seperti : tingkat erosi ringan, menengah dan
tinggi.

Gambar 1.2. Struktur batuan kompleks dihasilkan oleh bentukan vulkanis dasar laut yang
di atasnya terdapat bentukan sedimen marin dan terangkat hingga ke permukaan

Konsep ke lima dapat digunakan untuk menunjukkan tingkat erosinya.


Atas dasar perbedaan tingkat perkembangan dari bentuklahan maka konsep ke
lima ini dapat digunakan sebagai dasar untuk klasifikasi bentuklahan suatu
daerah.

6. Evolusi geomorfik yang kompleks itu lebih umum terjadi berbanding


dengan yang sederhana.
Kenampakan topografi detil pada suatu daerah terbentuk dalam periode
siklus erosi, pada kenampakan tersebut mungkin masih tersisa suatu hasil

18
siklus erosi sebelumnya. Banyak kenampakan bentuklahan individual yang
terbentuk oleh beberapa proses geomorfik, dan jarang diketemukan
bentuklahan yang dicirikan oleh suatu proses geomorfik saja, meskipun kita
dapat menunjukkan salah satu proses yang dominan.
Kaitannya dengan evolusi geomorfik ada lima (5) kategori
bentanglahan yaitu: sederhana, majemuk, monosiklik, multisiklik dan terkubur
atau tergali.
a. Bentanglahan sederhana: adalah bentanglahan yang terbentuk oleh suatu
proses geomorfik tunggal yang dominan; misalnya sand dune/gumuk pasir
terbentuk oleh proses eolian.
b. Bentanglahan majemuk: adalah bentanglahan yang proses
perkembangannya terpengaruh oleh dua atau lebih proses geomorfik.
Menurut kenyataannya bentanglahan itu bersifat majemuk, dan sangat
jarang pada daerah yang luas hanya berlangsung satu proses geomorfik
saja. Contoh sederhana dari bentanglahan majemuk adalah topografi karst,
proses yang dominan adalah proses pelarutan, meskipun demikian proses
pelapukan, erosi dan amblesan juga terjadi.
c. Bentanglahan monosiklik: adalah bentanglahan yang terbentuk oleh satu
siklus proses erosi, sedangkan yang multisiklik terbentuk lebih dari satu
siklus erosi. Kebanyakan dari bentanglahan bersifat multisiklik.
Bentanglahan monosiklik itu umumnya terjadi pada daerah yang baru
terbentuk, seperti pengangkatan dasar lautan, permukaan dari kerucut
gunungapi, dataran lava/plato atau daerah yang terkubur. Bentanglahan
monosiklik maupun multisiklik dapat bersifat sederhana atau majemuk.
d. Bentanglahan poliklimatik; bentanglahan yang berkembang di bawah lebih
dari satu set keadaan iklim, yang diikuti oleh serangkaian variasi proses
geomorfik dominan. Kebanyakan dari variasi keadaan iklim itu berasosiasi
dengan fluktuasi iklim dari Kala Pleistosen, tetapi untuk beberapa daerah
aspek tertentu dari topografinya mencerminkan keadaan iklim yang terjadi
pada masa Tertier. Misalnya kenampakan yang terdapat di Perbukitan
Rembang yang memiliki ciri iklim kering dan iklim basah (Fakultas

19
Geografi, 1986). Ciri iklim kering ditunjukkan oleh pasir pantai yang
mengisi lubang-lubang karst hasil dari proses pelarutan (yang terbentuk
dalam keadaan iklim tropis basah).
e. Bentanglahan terkubur (exhumed) atau tergali: adalah bentanglahan yang
terbentuk selama beberapa periode dalam masa geologi lampau, kemudian
tertimbun oleh batuan beku atau batuan sedimen, yang kemudian
tersingkap kembali karena hilangnya material penutup. Kenampakan
topografi yang terkubur mungkin berasal dari zaman Pre Kambrium, atau
dapat juga yang lebih resen seperti kala Pleistosen. Kebanyakan dari
kenampakan yang tergali ulang bersifat lokal dan hanya meliputi daerah
sempit dari bentanglahan masa kini. Penggalian ulang tersebut dapat
diakibatkan oleh pengikisan aliran sungai atau proses longsoran.
Bentanglahan terkubur pada masa kini banyak terjadi pada daerah
gunungapi aktif seperti di sekitar Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kediri.
Pada ke dua daerah tersebut banyak diketemukan temuan kepurbakalaan
pada Abad 8 yang tertutup oleh lahar dan kemudian tersingkap kembali,
misalnya di Sambisari (Yogyakarta), Candi Tikus di Trowulan
(Mojokerto) dan Candi Kepung di Kediri.

7. Topografi muka bumi kebanyakan tidak lebih tua daripada Kala


Pleistosen dan sedikit saja yang lebih tua dari Zaman Tertier.
Suatu kenyataan bahwa kenampakan topografi yang tua sekali sangat
jarang, seandainya ada kenampakan tersebut merupakan bentuk timbunan yang
tersingkap melalui proses yang memakan waktu lama. Kebanyakan topografi
yang saat sekarang ada mungkin tidak lebih tua dari Kala Pleistosen, dan hanya
sebagian kecil saja yang lebih tua dari Zaman Tertier, karena pada zaman
tersebut permukaan bumi mengalami perubahan yang dahsyat akibat aktivitas
tektonik dan vulkanik yang hebat. Ashley (1931, dalam Thornbury, 1954)
menyebutkan bahwa pegunungan, lembah, pantai, sungai, air terjun dan jeram
terbentuk setelah Kala Miosen, dan jika ada hanya sebagian kecil saja yang
lebih tua dari Kala Miosen. Ashley memperkirakan 90 % dari permukaan lahan

20
saat sekarang berkembang sejak Pasca Tertier dan kemungkinan 99 % berumur
Pasca Miosen Tengah. Srtuktur geologi umumnya lebih tua daripada
kenampakan topografi yang berkembang di atasnya. Sebagai contoh
Pegunungan Himalaya kemungkinan terlipat pertama kali pada Zaman
Kretaseous, kemudian pada Kala Eosen dan Miosen. Kenampakan topografi
dari Pegunungan Himalaya yang sekarang terbentuk pada Kala Pliosen dan
topografi yang lebih detil terjadi pada Kala Pleistosen atau lebih muda.

8. Interpretasi yang tepat terhadap bentanglahan masa kini tidak


dimungkinkan tanpa penilaian yang mendalam tentang pengaruh
perubahan geologis dan klimatologis yang berulangkali terjadi selama
Kala Pleistosen.
Perubahan-perubahan geologis dan klimatologis selama Kala Pleistosen
sangat berpengaruh terhadap topografi pada saat sekarang. Proses glasiasi
secara langsung dapat melanda beberapa juta kilometer persegi, tetapi daerah
yang terpengaruh jauh lebih luas dan bahkan dapat mempengaruhi iklim dunia.
Daerah-daerah di lintang tengah yang sekarang ini beriklim kering, pada
Zaman Glasial beriklim basah. Paling tidak ada 100 basin tertutup di Amerika
Serikat bagian barat pada Kala Pleistosen berupa danau.
Permukaan air laut pada Zaman Glasial juga terpengaruh, yaitu
tertariknya air laut yang cukup besar arah ke kutub menjadi es, sehingga
mengakibatkan penurunan muka air laut lebih kurang 100-150 meter. Akibat
perubahan muka air laut secara global tersebut mengakibatkan proses
peremajaan, yang terbukti adanya kenampakan agradasi dan pentorehan pada
dasar sungai. Zaman interglasial terjadi pencairan es, sehingga air laut naik
kembali seperti permukaan laut sekarang. Dalam periode penarikan kembali
muka air laut, banyak proses geomorfik yang terjadi. Di daerah equator seperti
di Indonesia pengaruh tersebut tidak begitu jelas.
Meskipun proses glacial pada. Kala Pleistosen merupakan kejadian
yang amat penting, kegiatan tektonik di beberapa daerah yang diawali sejak
Kala Pliosen terus berlangsung hingga Kala Pleistosen dan bahkan hingga saat

21
sekarang. Pembentukan sistem pegunungan di P. Jawa misalnya juga diawali
pada Kala Pliosen hingga Pleistosen ( Pannekoek, 1949; van Bemmelen, 1949),
dan bahkan hingga kini masih terjadi proses neotektonik di beberapa tempat di
Indonesia (Katili, 1980; Verstappen, 2000).

9. Pengetahuan tentang iklim dunia perlu untuk memahami arti penting


keanekaragaman proses geomorfik.
Faktor iklim, terutama temperatur dan curate hujan akan berpengaruh
terhadap aktivitas proses geomorfik. Pengaruh variasi iklim terhadap proses
geomorfik tersebut dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Pengaruh
langsung, misalnya seberapa jauh pengaruh hujan terhadap proses erosi, dan
seberapa jauh pengaruh suhu terhadap intensitas pelapukan. Pengaruh tidak
langsung terutama dalam kaitannya dengan pengaruh iklim terhadap penutup
lahan, baik jumlah, jenis dan agihannya. Penutup lahan tersebut secara tidak
langsung berpengaruh terhadap proses geomorfik.
Secara garis besar di dunia ini kita kenal daerah-daerah beriklim basah
(humid), dan kering (arid), yang unsur-unsur iklimnya berbeda-beda.
Perbedaan unsur-unsur iklim tersebut akan mengakibatkan perbedaan proses
geomorfik. Di daerah iklim tropis basah batugamping akan dicirikan oleh
proses pelarutan sehingga menghasilkan topografi karst, sedangkan di daerah
arid batugamping akan dicirikan oleh pelapukan mekanik yang menghasilkan
kenampakan topografi yang kasar.

10. Geomorfologi meskipun lebih menekankan pada bentanglahan saat


sekarang, akan memperoleh manfaat yang maksimum apabila disertai
dengan pendekatan historis.
Dalam geomorfologi yang menjadi sasaran utamanya adalah asal mula
bentuklahan masa kim, tetapi kebanyakan dari bentanglahan itu terbentuk
pada zaman geologis sebelumnya. Pendekatan historis digunakan dalam studi
geomorfik untuk menafsirkan sejarah proses geomorfik (morfogenesa) dari
suatu daerah. Pengenalan permukaan bumi sebagai hasil proses geomorfik

22
pada masa lalu dapat dilakukan dengan pendekatan palaeogeomorfologi.
Pendekatan palaeogeomorfologi tersebut dapat digunakan untuk mengetahui
kronologi dari proses pembentukan bentuklahan dari suatu daerah.
Konsep dasar geomorfologi seperti tersebut di atas dapat memberikan
pengertian tentang: (1) faktor-faktor yang berpengaruh terhadap bentuklahan;
(2) karakteristik proses geomorfik dan (3) pendekatan dalam geomorfologi
untuk mempelajari evolusi bentuklahan.
1) Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap bentuklahan yang tercakup
dalam konsep dasar tersebut adalah:
a. struktur geologi termasuk litologinya, merupakan faktor yang akan
tercermin pada bentuklahannya;
b. relief, setiap bentuklahan memiliki relief tertentu yang merupakan hasil
interaksi antara litologi dengan struktur tertentu terhadap faktor
eksogen;
c. iklim, unsur-unsur iklim akan berpengaruh terhadap intensitas proses
geomorfik, sebagai penyebab perbedaan bentuklahan dan tingkat
perkembangannya.
2) Karakteristik proses geomorfik yang terkandung dalam konsep dasar
tersebut adalah:
a. proses geomorfik itu bekerja sepanjang masa, proses yang bekerja saat
sekarang juga telah terjadi pada masa lalu dan akan bekerja di masa
yang akan datang;
b. setiap proses geomorfik akan mempunyai ciri khas yang berbekas pada
bentuklahannya;
c. proses erosi itu tidak sama intensitasnya sehingga bentuklahan itu
mempunyai tingkatan perkembangan;
d. untuk mempelajari proses geomorfik dan perkembangan bentuklahan
faktor iklim perlu diketahui.
3) Pendekatan geomorfologi dalam mempelajari evolusi bentanglahan dalam
konsep dasar geomorfologi tersebut, adalah:evolusi bentanglahan itu
kebanyakan lebih bersifat kompleks berbanding yang sederhana;

23
a. kebanyakan dari bentanglahan termasuk bentuklahan, terjadi pada Kala
Pleistosen, karena pada zaman tersebut di dunia ini terjadi perubahan
iklim yang dahsyat dan tektonik serta vulkanik sangat aktif;
b. pendekatan historis penting untuk mempelajari perkembangan
bentuklahan.
Selain pendekatan historis dalam mempelajari perkembangan
bentuklahan dan karakteristiknya terdapat juga pendekatan fungsional.

ASPEK KAJIAN GEOMOFOLOGI

Gambar 1.3. Skema kajian geomorfologi

Morfologi:
1) Morfografi : Diskripsi bentuk lereng
2) Morfometri : Aspek kuantitatif bentuk lereng, panjang lereng, dan beda
tinggi

Morfogenesa:
1) Morfostruktur aktif : proses dinamikan endogen

24
2) Morfostruktur pasif : tipe dan struktur lithologi dan kaitanya dengan
pelapukan dan erosi.
3) Morfodinamik : proses dinamik eksogen dalam kaitanya dengan
aktifitas angin, air, es, gerak massa batuan dan
vulkanisme.
Morfokronologi:
1) Umur Relatif
2) Umur Absolut

Morfoaransement : susunan keruangan dan hubungan berbagai macam


bentuklahan dan proses yang berkaitan

Gambar 1.4. Skala waktu geologi

25
MODUL II
KONSEP BENTUKLAHAN, RELIEF,
MATERI PENYUSUN, DAN PROSES

A. Kata Kunci (Peristilahan yang terdapat dalam setiap pokok bahasan)


Proses endogen
Proses eksogen
Orogenesa
Epirogenesa

B. Pertanyaan/perintah diskusi (Pertanyaan/perintah yang mengarahkan


masalah yang didiskusikan)
1. Apa yang disebut dengan bentuklahan?
2. Apa yang dimaksud dengan proses endogen dan eksogen?

C. Materi (berisi uraian teori, tabel, gambar yang terkait)


KONSEP BENTUKLAHAN
Bentuklahan menjadi sasaran utama dalam geomorfologi perlu batasan
yang jelas. Howard dan Spok (1940, dalam Fairbridge, 1970) memberikan definisi
bentuklahan: setiap unsur bentanglahan yang dicirikan oleh ekspresi permukaan
yang jelas, struktur internal, atau kedua-duanya dan menjadi pembeda yang cukup
mencolok dalam membuat deskripsi fisiografik. Secara sederhana Tuttle (1970)
menyebutkan bahwa bentuklahan adalah kenampakan individual yang terlihat di
permukaan bumi, dan kombinasi kenampakan tersebut disebut bentanglahan
(landscapes). Contoh sederhana dari bentuklahan adalah bukit, lembah,
gunungapi, sedangkan contoh bentanglahan adalah seperti: bukit dengan variasi
lereng dan lembah. Way (1973, dalam van Zuidam, 1985) memberikan batasan
bentuklahan lebih komprehensif, yaitu: bentuklahan adalah kenampakan medan
yang terbentuk oleh proses alami, memiliki komposisi tertentu, memiliki julat
karaktenstik fisikal dan visual tertentu dimanapun kenampakan medan tersebut

26
terjadi. Misalnya beting gisik (beach ridge) yang terdapat di Glagah (Kulon
Progo) akan mirip (dengan julat tertentu) dengan beting gisik yang terjadi di
Kroya, Kebumen, Jawa Tengah. Gunungapi Merapi di Yogyakarta dan Jawa
Tengah mempunyai karaktersitik fisikal dan visual yang mirip dengan Gunungapi
Semeru di Jawa Timur, yang kedua-duanya merupakan bentuklahan gunungapi
strato.

Klasifikasi Bentuklahan
Secara umum bentuklahan yang ada di permukaan bumi dapat diklasikfikasikan
ke dalam 4 tipe bentuklahan (Pidwirny, 2006) seperti yang di bawah ini.
1) Bentuklahan struktural
Bentuklahan ini terbentuk oleh pemadatan magma dalam jumlah yang sangt
besar (magma solidification) atau oleh pergerakan lempeng tektonik. Contoh:
shield, pegunungan lipatan, lembah, dan gunungapi.
2) Bentuklahan hasil pelapukan
Pelapukan yang terdiri atas 3 tipe yaitu pelapukan fisik, kemis, dan biologis
menghasilkan bentuklahan diman batuan dan sedimen terdekomposisi dan
terdisintegrasi. Tipe bentuklahan ini meliputi karst, lahan berpola (patterned
gound), dan profil tanah.
3) Bentuklahan erosional
Bentuklahan ini terbentuk akibat proses erosi atau pelapukan oleh angin, air,
glacial, atau gravitasi. Bentuklahan ini meliputi lembah sungai, lembah
glacial, dan pantai bertebing (cliff).
4) Bentuklahan deposisional
Bentuklahan ini terbentuk dari deposisi material hasil pelapukan atau erosi
permukaan. Pada kasus tertentu, deposit dapat mengalami kompesi,
perubahan karena tekanan, panas, dan proses kimia sehingga membentuk
batuan sedimen. Bentuklahan ini meliputi pantai, delta, dataran banjir, dan
glacial moraines.
.

27
Gambar 2.1. Model sederhana perkembangan bentuklahan (Pidwiny, 2006)

Proses dan Tenaga Geomorfologi


Proses Geomorfologi adalah semua proses baik fisik maupun khemis yang
mengakibatkan modifikasi konfigurasi/ bentuk permukaan bumi. Sedangkan
tenaga geomorfologi adalah semua medium alami yang mampu merusak dan
mengangkut material bumi.

28
PROSES
GEOMORFOLOGI

EKSOGEN ENDOGEN EKSTRATERES


TRIAL

DEGRADASI AGRADASI VOLKANISME DIASTROFISME

Gambar 2.2. Skema klasifikasi proses geomorfologi

EKSOGEN

Degradasi

Pelapukan Gerak Massa Erosi


Batuan (mass
wasting)

Fisik Kimia Biologi

Agradasi Gambar 2.3. Skema klasifikasi proses degradasi

Pelapukan adalah pecahnya batuan akibat disintegrasi dan dekomposisi; belum


ada gerakan massa (tidak termasuk pelepasan dan pengangkutan). Adapun
dampak dari pelapukan adalah sebagai berikut:

29
1) Permulaan penyebab terjadinya gerak massa batuan dan erosi’
2) Faktor pengrendahan permukaan lahan secara umum
3) Pengaruh terbentuknya berbagai bentuklahan
4) Proses utama dalam pembentukan regolit dan tanah.

Mass wasting adalah semua pengangkutan massa puing-puing batuan menuruni


lereng akibat pengaruh langsung tenaga gravitasi.
Erosi adalah proses terlepas dan terangkutnya material bumi oleh tenaga erosi.

Mass Wasting

Aliran Aliran Cepat Subsidence


Lambat

Creep Solifluction Earth flow Mud flow Debris Land slides


soil creep, talus avalanche Slump, debris
creep, rock creep, slide, debris fall,
rock glacier creep rock slide, sock
fall

Gambar 2.4. Skema pembagian proses mass wasting

30
Gambar 2.5. Tipe-tipe gerak massa batuan

ENDOGEN
Volkanisme

Diastrofisme
Tenaga diastrofisme dapat membentuk kerak bumi melalui perlipatan,
patahan, pengangkatan, dan subsidence. Ada dua macam tenaga diastrofisme yaitu
orogenesa dan epirogenesa. Orogenesa adalah pembentukan pegunungan dengan
cara pengangkatan akibat proses structural dan tektonik. Hal ini tidak termasuk
erosi yang menghasilkan puncak yang tinggi dan lembah yang dalam. Sedangkan
epirogenesa adalah pengangkatan atau depresi suatu area yang luas tanpa adanya
perlipatan atau patahan yang signifikan.

31
Gambar 2.6. Proses-Proses Endogen
Tabel 2.1. Klasifikasi Bentuklahan

PROSES GEOMORFOLOGI BENTUKLAHAN


1. VOLKANISME 1. VOLKANIS
2. DIASTROPISME 2. STRUKTURAL
2.1. Dataran
2.2. Plato
2.3. Kubah/Dome
2.4. Lipatan
2.5. Blok Sesar
2.6. Kompleks
3. DEGRADASI 3.1. Karst/ Pelarutan
3.1. Pelarutan 3.2. Denudasional
3.2. Gerak massa batuan 3.3. Fluvial
3.3. Erosi 3.4. Marin
a. Air 3.5. Glasial
b. Gelombang/arus 3.6. Aeolian
c. Gleyser (es) 3.7. Organik
d. Angin
3.4. Organisme
4. AGRADASI 4.1. Fluvial
4.1. Air 4.2. Marin
4.2. Gelombang (Abrasi) 4.3. Glasial
4.3. Gleyser (es) 4.4. Aeolian
4.4. Angin (Deflasi)
5. EKSTRA TERESTRIAL 5. Krater Meteor

33
Gambar 2.7. Pembagian Orde di Permukaan Bumi

34
MODUL III
KLASIFIKASI SATUAN BENTUKLAHAN STRUKTURAL

A. Kata Kunci (Peristilahan yang terdapat dalam setiap pokok bahasan)


Lipatan
Patahan
Sinklinal
Antiklinal

B. Pertanyaan/perintah diskusi (Pertanyaan/perintah yang mengarahkan


masalah yang didiskusikan)
1. Apa yang disebut dengan bentuklahan struktural?
2. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan bentuklahan
struktural?
3. Bagaimana proses pembentukan bentuklahan struktural?

C. Materi (berisi uraian teori, tabel, gambar yang terkait)


Bentuklahan struktural adalah semua bentuklahan yang disebabkan oleh
adanya tenaga endogen yaitu tenaga yang berasal dari dalam bumi yang
menyebabkan adanya tekanan pada lempeng / kerak bumi. Akibat adanya tekanan
pada kerak bumi tersebut akan menimbulkan adanya lipatan dan atau patahan.
Lipatan terjadi apabila tenaga endogen tersebut tidak melebihi daya tahan material
terhadap adanya tekanan sedangkan patahan terjadi apabila tenaga endogen
tersebut melebihi besarnya daya tahan material tersebut.
Dalam membicarakan struktur ada 2 macam yaitu, Struktur batuan dan
struktur geologi. Struktur batuan berpengaruh pada perkembangan morfologi,
sehingga sangat penting untuk dipelajari dalam geornorfologi. Struktur batuan
mencakup : struktur perlapisan batuan, materi pembentuk batuan, mineral
penyusun, porositas, permeabilitas, retakan (fracture), sisipan batuan (fein),
kompaksi dan sedimentasi. Ada 2 tipe srtuktur yaitu: struktur primer dan struktur
sekunder. Struktur primer terbentuk bersamaan dengan pembentukan batuan

35
tersebut yaitu pada waktu sedimentasi, pembekuan magma atau lava. Sedangkan
struktur sekunder terbentuk setelah batuan utama terbentuk.
Struktur primer yang dapat ditemukan antara lain : struktur silangsiur
(Cross bedding), struktur delta, struktur gelembur gelombang (ripple marks), dan
struktur horisontal. Struktur sekunder terbentuk akibat adanya tenaga yang bekerja
pada struktur primer. Tenaga tersebut adalah : intrusi magma, orogene sa, tekanan
'

dari beban butuan. Pada batuan sedimen struktur sekunder dapat terjadi oleh
sementasi setelah terbentuk batuan, terjadinya retakan, dan diaklas. Pada batuan
beku struktur sekunder dapat terjadi oleh pengisian batuan berstruktur skoria oleh
mineral sekunder, pembentukan struktur kolumner oleh tekanan.
Dalam struktur geologi dipelajari bentuk lipatan, patahan dan berbagai
perkembangannya. Bentuk-bentuk lipatan dibedakan menjadi sinklinal, antiklinal.
Bagian-bagian sinklinal adalah : sayap sinklinal, inti lembah, bidang simetri dan
poros lembah. Bagian-bagian dari antiklinal adalah : sayap antiklinal, sayap
tengah, punggung antiklinal, bidang simetri, dan inti antiklinal. Bagian-bagian
dari antiklinal disajikan pada Gambar 3.1. Bagian-bagian sinklinal merupakan
analogi dari bagian-bagian antiklinal.

Gambar 3.1. Bagian-Bagian Lipatan

36
Gambar 3.2. Macam-Macam Lipatan

BOX INFO
Dalam perlisan yang miring, bidang mring disebut Sumbu antiklinal yang terlipat disebut dengan
dengan dip. Dip atau dip sebenarnya adalah sudut pitch atau plunge. Sudut plunge adalah sudut
terbesar yang dibentuk oleh bidang miring dan yag dibentuk oleh sumbu antiklinal dan bidang
bidang horizontal. Strike adalah arah atau jurus horizontal. Antiklinal yang rebah (plunging
dari sudut dip yang diukur sesuai dengan arah anticline) dapat disebut dengan kubah yang
azimuth (arah kompas) pada bidang horizontal. memanjang (elongated dome). Sumbu sinklinal
dapat disebut dengan plunge.

Gambar 3.3. Istilah-istilah dalam struktur berlapis (a) Dip dan strike (b) Plunge

37
Gambar 3.4. Lipatan, Sungai, dan Pola Aliran

a) Dendritic, sungai ini mempunyai pola yang menyebar, bercabang-cabang ke


segala arah dan dengan sudut percabangan yang bervariasi. Sungai ini
terbentuk pada daerah daerah datar dengan tingkat resistensi yang seragam,
material lepas (unconsolidated), di atas batuan beku yang tidak terkontrol
struktur.
b) Parallel, pola aliran membentuk cabang-cabang sungai yang sejajar / paralel.
Mencerminkan daerah dengan kekerasan batuan yang hampir sama denga
kemiringan lereng yang cukup besar dan seragam.
c) Trellis, Pola aliran membentuk cabang-cabang sungai yang kecil, berukuran
sama dengan aliran yang tegak lurus sepanjang sungai-sungai utama.
Mencerminkan daerah lipatan, patahan yang paralel, blok punggungan pantai
hasil pengangkatan laut atau daerah yang banyak kekar.
d) Radial, pola aliran membentuk cabang-cabang yang seolah-olah memencar dari
satu titik pusat. Mencerminkan daerah gunung api atau kubah.
e) Centripetal, pola aliran yang mengalir ke titik terendah pada dasar basin atau
cekungan. Pola ini dapat ditemukan di kaldera, kawah, doline, dan basin
tektonik.

38
f) Annular, pola aliran sungai tegak lurus terhadap sungai utama yang melingkar.
Pola aliran ini dikontrol oleh kekar atau sesar pada. bedrock Mencerminkan
struktur kubah (dome).
g) Rectangular, pola aliran membentuk cabang sungai yang tegak lurus terhadap
sungai utama, dengan aliran yang memotong daerah secara tidak kontinyu.
Mencerminkan daerah kekar atau sesar yang saling tegak lurus (namun pola
tidak serumit pada pola aliran trelis)

39
MODUL IV
KLASIFIKASI SATUAN BENTUKLAHAN VULKANIK

A. Kata Kunci (Peristilahan yang terdapat dalam setiap pokok bahasan)


Gunungapi
Pergerakan lempeng

B. Pertanyaan/perintah diskusi (Pertanyaan/perintah yang mengarahkan


masalah yang didiskusikan)
1. Apa yang disebut dengan bentuklahan vulkanik?
2. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan bentuklahan
vulkanik?
3. Bagaimana proses pembentukan bentuklahan vulkanik?

C. Materi (berisi uraian teori, tabel, gambar yang terkait)


Volkanisme adalah semua fenomena yang berkaitan dengan proses
gerakan magma dari dalam bumi menuju ke permukaan bumi yang menghasilkan
bentukan yang cenderung positif di permukaan bumi yang disebut sebagai
bentukan volkanik. Proses volkanisme tersebut dipengaruhi oleh keberadaan
magma di dalam bumi yang bersifat dinamis, terus bergerak selama bumi masih
masih berputar. Gerakan magma ini dari pusat bumi naik mendesak kerak bagian
atas, membentuk igir baik yang terjadi di daratan maupun di lautan. Apabila
proses tersebut terjadi di tengah laut maka akan terbentuk igir tengah laut yang
membentuk beberapa jalur gunungapi di dasar laut seperti pada beberapa jalur
gunungapi di permukaan bumi.

40
Gambar 4.1. Proses penunjaman lempeng di lautan
membentuk jalur gunungapi di tengah laut

Magma yang bergerak dari pusat menuju permukaan bumi, selanjutnya


bergerak secara horisontal dibawah lempeng. Akibatnya lempeng kemudian
bergerak mengikuti gerakan magma di dalam bumi. Adanya gerakan lempeng
yang tidak hanya satu arah, maka dapat terjadi tumbukan lempeng tektonik
(Gambar 4.2.a).

41
Tumbukan lempeng dapat keduanya menunjam Obdaksi (obduction), atau
satu lempeng menunjam di bawah lempeng yang lain (subduction) dan dapat pula
keduanya terangkat (obduction) membentuk pegunungan struktural, dengan
struktur mendekati tegak, terbentuk batuan ubah, membentuk relief bergunung
dengan lereng terjal dan lembah yang dalam, seperti di pegunungan Tengah Irian
Jaya. Penunjaman lempeng tektonik di bawah lempeng yang lain, atau subdaksi
(subduction) mengakibatkan tergangunya magma di dalam perut bumi. Gangguan
ini terjadi akibat penunjaman kerak bumi menjadi lemah, sehingga magma
mampu menyusup ke permukaan.
Penyusupan magma membentuk jalur sepanjang lempeng menunjam, akan
tetapi terdapat perbedaan lokasi antara lokasi penyusupan magma dengan lokasi
penunjaman lempeng. Pada jalur penunjaman terbentuk massa batuan yang
berasal dari lempeng yang tidak ikut menunjam, membentuk melang atau sering
disebut busur non volkanis. Jalur tempat munculnya magma membentuk deretan
gunungapi, sering disebut dengan jalur gunungapi atau busur volkanis. Busur non
volkanis atau busur volkanis dapat terjadi di daratan atau perairan laut.
Dengan terbentuknya gunungapi pada busur volkanis maka sebaran
gunungapi di permukaan bumi mengikuti penunjaman lempeng tektonik.
Pununjaman lempeng dapat berpindah dari waktu ke waktu sehingga deretan
gunungapi yang terbentuk berpindah pula, sehingga terbentuk deretan gunungapi
yang sudah mati dan deretan gunungapi yang masih aktif. Deretan gunungapi
berumur Tersier, semuanya sudah mati, deretan gunungapi Kuarter tua juga sudah
mati dan deretan gunungapi Kuarter muda ada yang sudah mati, istirahat maupun
masih aktif.
Sifat bumi yang dinamis dalam membentuk gunungapi, memberikan
bentukan volkanis yang beraneka pula. Secara garis besar tubuh gunungapi dapat
dibedakan menjadi lereng atas, yang didomisasi oleh gerakan batuan secara
gravitatif, lereng tengah sebagai lereng transportasi, dan lereng bawah sebagai
lereng sedimentasi atau deposisi. perbedaan lereng pada tubuh gunungapi
disebabkan oleh batuan pembentuknya. Selanjutnya berakibat pada terbentuknya

42
alur-alur sungai. Padi lereng curam terbentuk alur lurus dan tunggal, sedangkan
semakin berkurang kemiringan alur menjadi bercabang.

(a)

(b)

Gambar 4.2. Gerakan magma membentuk 3 igir tengah laut dan gerakan lempeng
tektonik yang berlawanan (a), sehingga terjadi tabrakan dan
membentuk jalur gunungapi yang merupakan hasil proses subduksi
(b) (Decker and Decker, 1981)

43
BOX INFO 

Magma adalah batuan yang meleleh


yang ada di bawah permukaan Bumi.
Ketika magma keluar ke permukaan
(erupsi), maka disebut dengan lava.
Magma terdiri dari (1) bagian cair; (2)
bagian padat yang tersusun atas
mineral yang mengkristal; (3) batuan
padat yang keluar bersamaan
dengan magma, disebut dengan
xenoliths atau inklusi; dan (4) gas
yang terlarut.

Gambar 4.3. Sketsa dapur magma


di bawah gunungapi dan saluran
(conduit) yang merupakan
penbentuk kubah lava di
permukaan. Tanda panah
mengindikasikan arah pergerakan
magma. Sumber: www.usgs.org

Tipe Gunungapi
Gunungai diklasifikasikan berdasarkan tipe erupsi yang pernah terjadi.
Secara umum, erupsi dapat diklasifikasikan menjadi effusive atau explosive.
Erupsi effusive sering disebut dengan “erupsi diam” yang ditandai dengan aliran
lava yang menyebar luas di permukaan. Sedangkan erupsi explosive ditandai
dengan ledakan lava dan fragmen batuan yang tersumbat di kepundan gunungapi.
Ledakan tersebut melepaskan gas dari magma yang panas bertekanan tinggi
bersamaan dengan lava, abu, dan material piroklastik yang lain saat terjadi erupsi.

44
Gambar 4.4. Klasifikasi gunungapi

Erupsi Effusive
Erupsi effusive dapat membentuk aliran lava berviskositas rendah yang
luas, lava cair. Magma yang berasosiasi dengan tipe effusive berkandungan silica
sangat rendah sehingga dapat dengan mudah naik ke kepundan dan menyebar ke
permukaan. Berdasarkan pergerakan lava di permukaan, aliran lava dapat
dibedakan menjadi “Pahoehoe” (Bahasa Hawaii) dan “a’a”. Pahoehoe merupakan
lava yang bersifat basaltis yang lembut, menggembung, bergelombang, dan
permukaan yang tidak rata. Sedangkan a’a (bahasa Inggris Hawaii yang berarti
berbatu dengan lava yang kasar tetapi juga terbakar) dicirikan oleh permukaan
yang kasar terdiri atas lava bongkah yang rusak disebut dengan clinker.

a b

Gambar 4.5. Contoh Erupsi Effusive

45
Tipe gunungapi yang terbentuk oleh erupsi effusive adalah gunungapi
perisai atau shield volcanoes yang dicirikan dengan bentuk yang cembung
(konveks) dan kemiringan lereng kecil. Pulau Hawaii merupakan salah satu
contoh gunungapi perisai. Meskipun sebagian besar lava dikeluarkan di kepundan,
flank eruptions juga terjadi melalui lateral vents yang menyebarkan lelehan lava
disekitar gunungapi. Ketika aliran lava membeku, maka pipa atau tubes dapat
terbentuk.

Gambar 4.6. Proses Erupsi Effusive di Hawaii

Erupsi Explosive
Erupsi eksplosif umumnya terjadi pada gunungapi dengan lava yang cair
dan kandungan yang tinggi. Viskositas atau kekentalan lava berkaitan dengan
kandungan silica. Erupsi eksplosif biasa terjadi pada gunungapi sepanjang “ring of
fire”. Ketika magma menuju permukaan kemudian tersumbat dan gas bertekanan
tinggi menjadi gaa pendorong untuk terjadinya erupsi.

Gambar 4.7. Contoh Erupsi Explosive

46
Tipe gunungapi hasil dari erupsi eksplosif adalah cinder cones dan strato
volcanoes (gunungapi strato). Cinder cones utamanya terdiri atas lapisan
piroklastik hasil dari fragmen batuan yang berada di kepundan pusat (central vent)
gunungapi. Gunungapi Paricutin meruakan salah satu cinder cone yang terkenal
dan meletus pada tahun 1943. Strato volcanoes atau gunungapi strato terbentuk
dari erupsi yang berulang kali yang didominasi oleh piroklastik atau lava. Sebagai
hasilnya adalah terbentuknya lapisan-lapisan dari aliran yang berulang kali.
Gunungapi strato biasanya berasosiasi dengan daerah penunjaman lempeng
(subdaksi). Contoh gunungapi strato yang terkenal di dunia adalah Gunung Fuji,
Gunung St. Helens, dan Gunung Kilimanjaro. Gunung Merapi merupakan
gunungapi strato yang masih aktif di Indonesia.

(a) (b)
Gambar 4.8. Bentukan Cinder Cones (a) dan Strato Volcanoes (b) dari Erupsi Explosive

47
Gambar 4.9. Bagian-Bagian dari Tipe Erupsi Explosive

48
MODUL V
KLASIFIKASI SATUAN BENTUKLAHAN DENUDASIONAL

A. Kata Kunci (Peristilahan yang terdapat dalam setiap pokok bahasan)


Pelapukan
Erosi
Gerak massa batuan

B. Pertanyaan/perintah diskusi (Pertanyaan/perintah yang mengarahkan


masalah yang didiskusikan)
1. Apa yang disebut dengan bentuklahan denudasional?
2. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan bentuklahan
denudasional?

C. Materi (berisi uraian teori, tabel, gambar yang terkait)


Proses denudasional adalah semua proses yang mengakibatkan terjadinya
pengikisan permukaan bumi sehingga akan menjadi bentukan yang lebih rendah
dan proses tersebut akan terhenti apabila permukaan bumi telah mencapai level
dasar yang sama dengan permukaan disekitarnya (base level). Proses
denudasional sangat terkait erat oleh ketiga proses yaitu pelapukan (weathering),
erosi (erosion) dan gerak massa batuan (mass wasting). Pelapukan merupakan
pecahnya batuan menjadi fragmen-fragmen yang lebih kecil akibat adanya proses
yang bekerja pada batuan tersebut balk proses mekanis, biologis maupun proses
khemis. Pelapukan batuan merupakan proses awal terjadinya proses
denudasional, material hasil proses pelapukan batuan merupakan sumber bagi
proses erosi maupun gerak massa batuan.
Erosi merupakan proses perpindahan tanah atau batuan di permukaan
bumi akibat kerja air, angin ataupun gelombang. Proses erosi tersebut terjadi
secara bertahap yang pada akhirnya akan membentuk suatu lembah sungai.
Proses erosi tersebut antara lain erosi percik (splash erosion), erosi lembar (sheet
erosion), erosi alur (rill erosion), erosi parit (gully erosion) dan erosi lembah

49
sungai (ravine erosion). Gerak massa batuan adalah gerakan massa batuan atau
puing-puing batuan menuruni lereng akibat gaya gravitasi, sehingga agensia yang
menyebabkan proses gerak massa batuan adalah gaya gravitasi. Tipologi gerak
massa batuan antara lain berupa rayapan (creep), longsoran (slide), gerak jatuh
bebas (fall), dan aliran (flow).
Proses denudasional tersebut akan menyebabkan terjadinya evolusi
bentuklahan yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu bentukan yang hampir
rata (peneplain). Menurut Strahler (1969) ada lima tahapan stadium evolusi
bentuklahan antara lain:
a. Stadium Awal
Pada stadium awal permukaan bumi dibagi menjadi dua yaitu daratan
dan lautan. Kondisi daratan pada stadium awal merupakan kondisi asli dan
proses geomorfologi yang bekerja masih sangat lemah. Pada stadium ini
bentanglahan dibentuk oleh proses struktural yaitu terjadinya pengangkatan.
Bentukan pada stadium awal disajikan pada Gambar 5.1. Ciri-ciri
bentuklahan pada stadium awal adalah proses erosi masih lemah hal ini
ditandai oleh adanya kerapatan aliran yang sangat jarang, relief halus, dan
lembah masih dangkal.

Gambar 5.1. Bentuklahan pada Stadium Awal

50
b. Stadium Muda Awal
Pada stadium ini mulai terjadi proses denudasional yang diawali
dengan adanya proses pelapukan batuan. Hancuran batuan akibat proses
pelapukan terangkut oleh aliran air sehingga terjadi erosi. Pada stadium ini
mulai terjadi proses erosi walapun belum intensif dan didominasi oleh erosi
vertikal yaitu pendalaman lembah, hal ni disebabkan karena memiliki
perbedaan elevasi yang besar antara daratan dengan level dasar. Kondisi
evolusi bentuklahan pada stadium muda awai disajikan pada Gambar 5.2.

Gambar 5.2. Bentuklahan pada Stadium Muda Awal

c. Stadium Muda Akhir


Pada stadium ini piubuzproses denudasional terjadi lebih intensif
dibandingkan pada stadium muda awal, mulai terbentuk igir-igir walaupun
belum intensif, permukaan asli masih terlihat dan masihh didominasi proses
pendalaman lembah dan pembentukan alur-alur sungai mulai terjadi sacara
lebih intensif.

51
Gambar 5.3. Bentuklahan pada Stadium Muda Akhir

d. Stadium Dewasa Awal


Pada stadium dewasa awal proses denudasional sangat intensif terjadi,
igir-igir terbentuk secara intensif, permukaan asli sudah tidak terlihat lagi.
Selain terjadi proses pedalaman lembah, juga terjadi proses pelebaran lembah.
Tahap ini merupakan tahap terjadinya relief maksimum, yaitu pembantukan
relief terjadi paling intensif.

Gambar 5.4. Bentuklahan pada Stadium Dewasa Awal

e. Stadium Dewasa Penuh


Pada stadium dewasa penuh, kondisi relief mulai rendah, proses
pelebaran lembah lebih intensif dibandingkan dengan perdalaman lembah.

52
Proses planasi terjadi secara intensif, mulai terbentuk sungai meander pada
sungai-sungai yang ada.

Gambar 5.5. Bentuklahan pada Stadium Dewasa Penuh

f. Stadium Tua
Pada stadium bentuklahan telah mencapai kondisi hampir rata dan
terbentuk peneplain. Kondisi permukaan bumi mendekati level dasar (base
level) sehingga elevasi menjadi rendah, relief halus dan proses sedimentasi
terjadi lebih intensif dibandingkan dengan proses erosi. Stadium ini
merupakan akhir dari evolusi bentuklahan.

Gambar 5.6. Bentuklahan pada Stadium Tua

53
MODUL VI
KLASIFIKASI SATUAN BENTUKLAHAN FLUVIAL

A. Kata Kunci (Peristilahan yang terdapat dalam setiap pokok bahasan)


‐ Running water
‐ Water-carved landforms
‐ Water-constructed landforms

B. Pertanyaan/perintah diskusi (Pertanyaan/perintah yang mengarahkan


masalah yang didiskusikan)
1. Proses utama yang membentuk bentuklahan fluvial
2. Three phases of single activity

C. Materi (berisi uraian teori, tabel, gambar yang terkait)


Bentuklahan asal proses fluvial adalah semua bentuklahan yang trjadi
akibat adanya proses aliran air baik yang terkonsentrasi yang berupa aliran sungai
maupun yang tidak terkonsentrasi yang berupa limpasan permukaan. Akibat
adanya aliran air tersebut maka akan terjadi mekanisme proses erosi, transportasi,
dan sedimentasi (three phases of single activity). Proses erosi yang disebabkan
oleh proses pelapukan (fisik, khemis, maupun organik), material lapuk ini kan
terpenarkan oleh tetesan air hujan membentuk erosi pecik dan akan terangkut oleh
aliran permukaan hingga terakumulasi di sungai (channel).
Pengangkutan sedimen ini dalam bentuk muatan dasar, muatan suspensi,
muatan terlarut, dan muatan yang mengapung. Pada muatan dasar sedimen
berpindah secara: berguling (rolling), bergeser (shifting), dan melompat
(saltation), sedangkan pada muatan suspensi sedimen bergerak secara melayang-
layang pada aliran sungai. Pada aliran yang relatif cepat, sebagian muatan dasar
dapat menjadi muatan suspensi, sedangkan pada aliran lambat sebagian muatan
suspensi menjadi muatan dasar. Muatan dasar akan mengalami sedimentasi, jika
aliran air sudah tidak mampu mengangkutnya lagi. Demikian juga muatan
suspensi, akan menjadi muatan dasar jika kecepatan aliran menurun, dan

54
selanjutnya akan mengalami sedimentasi. Muatan yang mengapung akan
terangkut terus hingga tenaga aliran sudah tidak mampu untuk mengengkutnya
lagi. Mekanisme pengangkutan muatan sedimen (muatan dasar, muatan suspensi
dan muatan terlarut), disajikan pada Gambar 6.1.

AKTIFITAS SUNGAI

EROSI  TRANSPORTASI SEDIMENTASI 

THREE PASES OF SINGLE ACTIVITY

Gambar. 6.1. Mekanisme pengangkutan muatan sedimen

Aliran sungai akan mengangkut material dari bagian hulu menuju bagian
hilir. Dalam proses pengangkutan sedimen, kemampuan aliran air dalam
mengangkut sedimen (stream competention) akan berkurang hal tersebut
ditentukan oleh : berkurangnya debit aliran, kemiringan dasar sungai semakin
kecil, terjadi penambahan sedimen yang terangkut, dan aliran air sungai
semakin melebar. Struktur sedimen dapat dipengaruhi oleh arah aliran air,
kecepatan aliran, banyaknya material sedimen yang terangkut. Struktur
sedimen yang dihasilkan dapat berupa struktur horisontal, silangsiur, struktur
delta. Permukaan sedimen dapat berombak, dengan berbagai macam bentuk.
Secara vertikal sedimen dapat memiliki sebaran butir, gradasi sangat baik,
gradasi baik, gradasi sedang, gradasi butuk dan tidak bergradasi. Secara
memanjang sungai sebaran sedimen dapat terjadi sortasi, dengan kriteria sortasi
sangat baik, sortasi baik, sortasi sedang, sortasi buruk, dan tidak ada sortasi.

55
Gambar. 6.2. Macam-Macam Pengangkutan Muatan Sedimen

56
Tabel. 6.1. Karakterisrik Bentuklahan Fluvial

No Bentuklahan Relief Batuan- Proses Ciri-ciri


Fluvial Struktur
1 Dataran aluvial Datar Berlapis tidak Sedimentasi Terbentuk oleh
kompak proses fluvial
2 Dataran banjir Datar Berlapis-tidak Sedimentasi Sering tergenang
kompak banjir
3 Tanggul sungai Datar Berlapis-tidak Sedimentsi, Pola memanjang
berombak kompak erosi mengikuti sungai,
sering digunakan
untuk permukiman
4 Teras deposisional Datar Berlapis-tidak Erosi Membentuk teras di
kompak sisi sungai
5 Teras batuan dasar Datar Berlapis, Erosi Membentuk teras di
kompak/tidak sisi sungai
kompak
6 Rawa belakang Cekung- Berlapis, tidak Sedimentasi Selalu tergenang air
datar kompak tidak data mengalir
keluar
7 Kipas alluvial Datar- Berlais, tidak Sedimentasi Terbentuk pada
berombak kompak perubahan lereng
yang tegas
8 Gosong sungai Datar- Berlapis, tidak Sedimentasi Terbentuk pada
berombak kompak bagian tubuh sungai,
bagian yang terletak
pada huu tumpul dan
bagian hilir relatif
lebih lancip
9 Gosong sungai dan Datar- Berlapis, tidak Sedimentasi Merupakan gosong
lengkung dalam cekung kompak sungai yang
berombak menempel pada sisi
sungai
10 Danau Tapal Kuda Datar- Belapis, tidak Sedimentasi
cekung- kompak
berombak
11 Meander terpenggal Cekung Berlapis, tidak Sedimentasi Bagian dari meander
kompak yang terpisah dai
sungai utama
12 Dasar sungai mati Datar Berlapis, tidak Sedimentasi Cekungan
kompak memanjang, material
kompak, tidak
kompak
13 Dataran alluvial Datar Berlapis tidak Sedimentasi Material berasal dai
pantai kompak proses fluvio-marin
14 Delta Datar Berlapis, tidak Sedimentasi Terbentuk pada
kompak (fluvio muara sungai,
marin) berbentuk kipas
menyebar air tawar -
payau

57
Gambar. 6.3. Pengangkutan Muatan Sedimen pada Berbagai Alur Sungai

58
Gambar. 6.4. Pengangkutan dan Pengendapan Muatan Sedimen

59
MODUL VII
KLASIFIKASI SATUAN BENTUKLAHAN MARINE

A. Kata Kunci (Peristilahan yang terdapat dalam setiap pokok bahasan)


Gelombang
Arus
Pesisir
Pantai

B. Pertanyaan/perintah diskusi (Pertanyaan/perintah yang mengarahkan


masalah yang didiskusikan)
1. Apa yang disebut dengan bentuklahan marine?
2. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan bentuklahan
marine?
3. Bagaimana proses pembentukan bentuklahan marine?

C. Materi (berisi uraian teori, tabel, gambar yang terkait)


Bentuklahan asal proses marin adalah semua bentuklahan yang dihasilkan
oleh aktivitas laut yaitu oleh adanya gelombang dan arus laut. Akibat keberadaan
gelombang (wave) dan arus (current) akan menghasilkan bentuklahan asal marin
baik bentukan erosional maupun bentukan deposisional. Bentukan erosional
terjadi apabila aktivitas gelombang atau arus tersebut mampu mengikis dan
mengangkut material dan apabila kekuatan gelombang atau arus tersebut
berkurang maka material tersebut akan terendapkan dan membentuk bentukan
deposisional. Bentukan erosional dapat berupa dinding terjal (cliff) sedangkan
bentukan deposisional dapat berupa delta, beting gisik, sedimen marin, tombolo,
dan spit. Proses marin sering dipengaruhi juga oleh aktivitas daratan yaitu aktifitas
fluvial sehingga sering disebut sebagai proses fluvio-marin. Contoh bentuklahan
yang merupakan hasil proses fluvio-marin adalah delta.

60
Gelombang
Gelombang adalah pergerakan goyangan didalam tubuh air yang
ditunjukkan oleh naik turunnya permukaan air. Gerakan naik turunnya permukaan
air. Ini dapat terjadi pada permukaan perairan terbuka, seperti laut, lautan, dan
danau (Bhatt, 1978).

Gambar 7.1. Tipe-tipe pecah gelombang

Arus Laut
Arus laut merupakan pergerakan massa air secara vertikal dan horizontal
sehingga menuju keseimbangannya, atau gerakan air yang sangat luas yang terjadi
di seluruh lautan dunia (Hutabarat dan Evans, 1986).
Arus juga merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dikarenakan
tiupan angin atau perbedaan densitas atau pergerakan gelombang panjang
(Nontji,1987). Arus dapat dibedakan menjadi:
‐ Sand drift (beach drift) adalah Gerakan pasir pantai secara zig-zag akibat arus
datang (swash) ke dataran pantai menyudut garis pantai dan arus kembali ke
laut (backswash) dengan arah tegak lurus garis pantai (searah kemiringan profl
pantai) membuat gerakannya seperti gerigi gergaji.

61
‐ Longshore drift adalah Gerakan material sedimen laut sejajar garis pantai
akibat tebawa oleh arus laut sejajar garis pantai (longshore current)

Gambar 7.2. Tipe arus laut

Gambar 7.3. Bentukan spit (atas) dan tombolo (bawah) akibat dari adanya arus laut

62
Gambar 7.4 Arus balik (rip current) di depan teluk akibat gelombang datang
yang dipantulkan oleh garis pantai sehingga terjadi konsentrasi
arus balik yang kuat menuju kelaut.

Daerah pesisir (coastal area) merupakan daerah yang masih terpengaruh


oleh aktivitas marin, berdasarkan morfologinnya daerah pesisir dibedakan menjadi
beberapa pantai seperti bagan di bawah ini.

Gambar
a. Pesisir bertebing 7.5. Klasifikasi pantai berdasarkan morfologi
terjal (cliff)

63
Pesisir bertebing terjal merupakan bentukan erosional yang terbentk akibat
oleh proses abrasi pantai yang disebabkan oleh gelombang dan arus laut. Akibat
adanya proses abrasi yang intensif daerah tersebut sering terjadi proses gerak
massa batuan yang mengakibatkan mundurnya garis pantai. Matari penyusun
daerah tersebut adalah material yang kompak dicirikan oleh kemiringan lereng
curam sampai terjal. Gambaran pesisir bertebing terjal disajikan pada Gambar 7.1.

Gambar 7.6. Pesisir bertebing terjal

b. Pesisir bergisik (sand beach)


Pesisir bergisik merupakan daerah yang datar sampai landai yang tersusun
atas material lepas-lepas (pasir) yang merupakan hasil deposisional akibat
aktivitas gelombang/arus laut. Keberadaan material pada daerah tersebut
dipengaruhi oleh keberadnan material dari daratan yang terangkut oleh aliran
sungai karena sangat dipengaruhi oleh aktivitas daratan maka pesisir bergisik
sering dijumpai padsa daerah sekitar muara sungai.

64
Gambar 7.7. Pesisir bergisik

c. Pesisir berawa payau (swampy beach)


Pesisir berawa payau berasosiasi dengan daerah deposisional, sehingga
daerah tersebut merupakan daerah pesisir yang tumbuh (acretion). Pesisir berawa
payau tersusun atas material yang berbutir halus sehingga memiliki permeabilitas
rendah. Pesisir berawa payau berkembang pada daerah dengan relief datar-landai,
terhalang sehingga aktivitas geombang kecil. Daerah tersebut berkembang
tumbuhan mangrove yang merupakan tumbuhan daerah pesisir.

Gambar 7.8. Pesisir berawa

65
d. Terumbu karang
Terumbu karang terbentuk karena aktivitas organisme yang terjadi pada
daerah pesisir, sehingga dapat jugs diklasifikasikan ke dalam bentuklahan asal
organisme.

Gambar 7.9. Terumbu karang

66
MODUL VIII
KLASIFIKASI SATUAN BENTUKLAHAN EOLIN

A. Kata Kunci (Peristilahan yang terdapat dalam setiap pokok bahasan)


Angin
Material lepas
Ablasi
Deflasi

B. Pertanyaan/perintah diskusi (Pertanyaan/perintah yang mengarahkan


masalah yang didiskusikan)
1. Apa yang disebut dengan bentuklahan eolin?
2. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan bentuklahan eolin?
3. Bagaimana proses pembentukan bentuklahan eolin?

C. Materi (berisi uraian teori, tabel, gambar yang terkait)


Bentuklahan asal eolin adalah bentuklahan yang dihasilkan oleh gerakan
udara (angin). Angin merupakan salah satu gensia yang menyebabkan proses erosi
setelah air, gelombang dan es. Bentuklahan asal eolin ini umumnya berkembang
di daerah beriklim kering (arid). Proses erosi yang disebabkan oleh kerja angin
terjadi dengan dua mekanisme antara lain deflasi dan abrasi. Deflasi merupakan
proses pelepasan materi akibat gerakan angin sehingga material tersebut
berpindah baik dengan menggelinding, merayap, melompat maupun terbang.
Sedangkan abrasi adalah proses pengikisan yang disebabkan oleh adanya material
halus yang dibawa oleh angin menabrak material lain sehingga material tersebut
terkikis. Angin hanya mengangkut material yang ringan dengan besar butir paling
kecil, sehingga bentuklahan asal eolin ini tersusun atas materi lepas-lepas dengan
tekstur halus.
Bentuklahan asal eolin ini berkembang secara baik pada kondisi
lingkungan yang mendukung dan terpenuhinya persyaratan sebagai berikut :

67
a. tersedianya material berukuran pasir kasar hingga halus dalam jumlah yang
banyak;
b. adanya periode kering yang panjang dan peralihan antara periode basah dan
kering cukup tegas;
c. kecepatan angin mampu mengangkut material;

Gambar 8.1. Grafik hubungan antara kecepatan angin dan material

d. tidak ada penghalang yang berarti baik itu vegetasi maupun bangunan.

Bentuklahan yang dihasilkan oleh prooses eolin antara lain:


a. Gumuk pasir tipe Barchan
Gumuk pasir tipe barchan bentuknya menyerupai bulan sabit (Gambar
9.1.) dan terbentuk pada daerah yang tidak memiliki barrier. Besarnya kemiringan
lereng daerah yang menghadap angin lebih landai dibandingkan dengan
kemiringan lereng daerah yang membelakangi angin sehingga apabila dibuat
penampang melintang tidak simetri. Ketinggian gumuk pasir barchen umumnya
antara 5 — 15 meter.

68
Gambar 8.2. Gumuk pasir tipe barchan

b. Gumuk pasir melintang (transverse dune)


Gumuk pasir melintang terbentuk di daerah yang tidak berpanghalang dan
banyak cadangan pasirnya. Bentuk gumuk pasir melintang menyarupai ombak
dan tegak lurus terhadap arah angin. Gumuk pasir ini akan berkembang
menjadi bulan sabit apabila pasokan pasirnya berkurang.

Gambar 8.3. Transverse dune

69
c. Gumuk pasir parabolik
Gumuk pasir parabolik hampir sama dengan gumuk pasir barchan akan
tetapi yang membedakan adalah arah angin. Gumuk pasir parabolik arahnya
berhadapan dengan datangnya angin.

Gambar 8.4. Parabolic sand dune

d. Gumuk pasir memanjang (linear dune)


Gumuk pasir memanjang adalah gumuk pasir yang berbentuk lurus dan
sejajar satu sama lain. Arah dari gumuk pasir tersebut searah dengan gerakan
angin.

Gambar 8.5. Linear dune

70
e. Gumuk pasir bintang (star dune)
Gumuk pasir bintang adalah gumuk pasir yang dibentuk sebagi hasil kerja
angin dengan berbagai arah yang bertumbukan.

Gambar 8.6. Pembentukan gumuk pasir tipe bintang (star dune)

71
MODUL IX
KLASIFIKASI SATUAN BENTUKLAHAN SOLUSIONAL

A. Kata Kunci (Peristilahan yang terdapat dalam setiap pokok bahasan)


Pelarutan batuan karbonat
Eksokarst
Endokarst

B. Pertanyaan/perintah diskusi (Pertanyaan/perintah yang mengarahkan


masalah yang didiskusikan)
1. Apa yang disebut dengan bentuklahan solusional?
2. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan bentuklahan
solusional?
3. Bagaimana proses pembentukan bentuklahan solusional?

C. Materi (berisi uraian teori, tabel, gambar yang terkait)


Bentuklahan asal proses solusional terbentuk akibat proses pelarutan
batuan yang terjadi pada daerah berbatuan karbonat tertentu. Tidak semua batuan
karbonat terbentuk topografi karst, walaupun faktor selain batuan sama. Faktor
lain tersebut adalah : terletak pada daerah tropis basah, dengan topografi tinggi,
dan vegetasi penutup cukup rapat. Batuan karbonat yang memiliki banyak diaklas
akan memudahkan air untuk melarutkan CaCO3. Olen karena itu batuan karbonat
yang sedikit diaklas atau tidak mempunyai diaklas, walaupun terletak pada
wilayah dengan curah hujan tinggi, tidak terbentuk topografi karst. Vegetasi rapat
akan menghasilkan humus, yang menyebabkan air di daerah LW mempunyai pH
rendah atau air menjadi asam. Pada kondisi asam, air akan mudah melarutkan
karbonat (CaCO3). Perpaduan antara batuan karbonat dengan, banyak diaklas,
curah hujan dan suhu tinggi, serta vegetasi yang lebat, akan mendorong
terjadinya topografi karst.

72
Gambar 9.1. Proses pelarutan batuan karbonatan

Bentukan hasil proses solusional ini pada dasarnya ada 3 (tiga), yaitu
bentuk soluional, bentuk sisa (residual), dan bentukan deposisionnl. Berdasarkan
hasil proses peribentukannya maka bentuklahan solusional dibedakan menjadi 3
antara lain :
a. Bentukan sisa (residual form)
1) Kubah karst
Kubah karst merupakan bentukan menyerupai kubah (dome) yang
terbentuk akibat adanya sisa proses pelarutan batuan karbonat yang ada
disekelilingnya. Di antara kubah karst dipisahkan oleh cockpit yang satu sama
lain saling berhubungan. Selain dipisahkan oleh cockpit kubah kars juga dapat
dipisahkan oleh dataran aluvial karst. Ciri-cirinya antara lain : bentukan positif,
membulat, dengan ketinggian seragam.

73
Gambar 9.2. Kubah karst

2) Menara karst
Menara karst merupakan bentukan positif yang merupakan sisa dari proses
solusional. Menara karst memiliki lereng curam sampai tegak atau vertikal
yang terpisah satu sama lain dan sebarannya lebih jarang.

Gambar 9.3. Menara karst

74
b. Bentuk solusional (solusional form)
1) Dolin
Dolin merupakan bentukan depresi / cekungan yang terbentuk akibat
proses pelarutan dengan ukuran beberapa meter sampai 1 km dengan kedalaman
beberapa meter hingga ratusan meter. Karena bentuknya cekung maka dolin
sering terisi oleh air hujan sehingga menjadi suatu genangan yang disebut sebagai
danau dolin.

Gambar 9.4. Tipe doline (a) collapse doline (b) solution doline, (c) subsidence doline,

(d) cover collapse doline, (e) alluvial stream sink doline (after Jennings, 1985).

2) Uvala
Uvala Merupakan cekungan yang cukup luas yang terbentuk oleh
gabungan beberapa danau doline.

3) Polje
Polje adalah ledokan tertutup yang luas dan memanjang yang terbentuk
akibat runtuhnya dari beberapa goa, dan biasanya dasarnya tertutup oleh aluvium.

75
Gambar 9.5. Polje yang dibentuk dari runtuhan beberapa atap gua dan tertutup material
alluvium

Gambar 9.6. Bentukan polje dan bentukan karst yang lain

c. Bentuk deposislonal (depositional form)


1) Stalaktit
Stalaktit merupakan bentukan runcing yang menghadap ke bawah dan
menempel pada langit-langit goa yang terbentuk akibat akumulasi batuan karbonat
yang larut akibat adanya air.
2) Stalakmit,

76
Stalakmit hampir sama dengan stalaktit akan tetapi posisinya berada di
lantai goa menghadap ke atas
3) Dataran aluvial kars
Dataran aluvial karst adalah bentukan deposisional dengan relief datar-
landai yang terdiri atas material aluvium.

Gambar 9.7. Bentukan stalaktit dan stalakmit

Menurut tempat terjadinya bentukan solusional dapat dibedakan menjadi


bentukan eksokarst dan endokarst. Eksokarst terletak di permukaan, kontak
langsung dengan udara luar, sedangkan endokarst terdapat di dalam gua atau
terowongan karst. Bentuk-bentuk tersebut adalah sebagai berikut ini.
a. Bentukan Eksokarst
Contoh: dolin, danau dolin, uvala, polye, kubah karst, menara karst, dataran
aiuvial karst
b. Bentukan Endokarst
Contoh: gua, stalakmit, stalaktit, kolom, korden.

77
Gambar 9.8. Proses pembentukan gua

78

Anda mungkin juga menyukai