[Document subtitle]
[DATE]
[COMPANY NAME]
[Company address]
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
© 2023
Disclaimer
Seluruh substansi dalam buku ini adalah milik Direktorat Pencegahan Dampak Lingkungan Kebijakan
Wilayah dan Sektor, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dalam penyusunannya, turut didukung oleh Ikatan Ahli Perencana.
Peristilahan yang digunakan dan penyajian materi dalam buku ini mewakili pendapat dari Tim
Penyusun dan tidak digunakan untuk tujuan komersial. Tidak diperkenankan menyalin dan/atau
mencetak konten dalam buku ini tanpa persetujuan dari pihak yang berangkutan.
Setiap materi yang diambil dari buku ini untuk kebutuhan publikasi lain, harus menggunakan kutipan yang benar:
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2023. Buku Materi Teknis Penentuan dan Penetapan
Daya Dukung Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH) Provinsi Kalimantan Timur. Direktorat
Jenderal Planologi dan Tata Lingkungan: Jakarta, Indonesia.
i
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
KATA PENGANTAR
Direktorat PDLKWS
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas tersusunnya buku ini sebagai bentuk kerjasama
antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Planologi
Kehutanan dan Tata Lingkungan dengan Ikatan Ahli Perencana (IAP). Buku Materi Teknis Penentuan
dan Penetapan Daya Dukung Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH) Provinsi Kalimantan Timur
Tahun 2023 ini disusun dengan tujuan untuk menggambarkan profil atau kondisi D3TLH di
Indonesia yang diperkuat dengan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat pada masing-
masing pulau/kepulauan.
Buku ini terealisasi berkat keterlibatan dari para pakar dan para pemangku kepentingan terkait.
Buku ini menghasilkan ambang batas yang terdiri dari jumlah penduduk optimum dan luas lahan
optimum dengan menggunakan metode perhitungan luas lahan eksisting dan mengkonversi jejak
ekologis ke dalam satuan luas lahan serta memasukan perhitungan standar kebutuhan ruang ke
dalamnya. Buku ini juga berisi pemetaan posisi pulau/kepulauan dalam bentuk kuadran
keberlanjutan yang diperoleh dari indeks jasa lingkungan hidup dan indeks sosial, budaya, ekonomi
yang dikompositkan ke dalam parameter keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan (KMK).
Penentuan D3TLH Provinsi turut mengembangkan pendekatan sistem grid skala ragam untuk
memvisualisasikan pemetaan distribusi spasial D3TLH Provinsi yang lebih mudah digunakan dalam
perencanaan strategis ke depannya.
Beberapa keterbatasan seperti belum dimasukannya ekosistem udara dan laut, serta karena
adanya variasi data yang tidak seragam baik secara skala maupun secara kelengkapan dalam tiap
pulau/kepulauan di Indonesia menjadikan buku ini memiliki keterbatasan dalam data dan metode.
Akan tetapi dari berbagai diskusi yang diikuti oleh para tenaga ahli dan para pemangku kepentingan
terkait, maka metode dan data yang dipakai dalam penyusunan D3TLH ini secara umum sudah
memenuhi kebutuhan minimal kelayakan untuk perhitungannya.
Harapan kami, buku ini mampu memberikan manfaat dan dapat dipergunakan sebagai mestinya
bagi para pemangku kepentingan terkait. Tentunya kami menyadari bahwa buku ini masih jauh dari
sempurna, kami menerima saran dan kritik dari berbagai pihak demi penyempurnaan metodologi
yang sedang dikembangkan. Akhir kata kami sampaikan terima kasih kepada seluruh pihak yang
telah membantu dalam penyusunan Materi Teknis Penentuan dan Penetapan Daya Dukung dan
Daya Tampung Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2023.
ii
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ................................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................. v
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................................. vi
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang: Urgensi Penyusunan D3TLH ...................................................................... 1
1.2 Maksud dan Tujuan .............................................................................................................. 2
1.3 Ruang Lingkup Materi Teknis ............................................................................................... 3
1.3.1 Ruang Lingkup Wilayah .................................................................................................... 3
1.3.2 Ruang Lingkup Substansi ................................................................................................. 4
1.4 Kerangka Konsep D3TLH ...................................................................................................... 4
1.5 Limitasi dan Definisi Operasional D3TLH ............................................................................. 6
1.6 Sistematika Penulisan .......................................................................................................... 8
BAB II EKOREGION PROVINSI KALIMANTAN TIMUR ................................................................ 9
BAB III MUATAN D3TLH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR........................................................ 13
3.1 Penduduk Optimum ........................................................................................................... 13
3.2 Penutupan Lahan Optimum .............................................................................................. 15
3.3 Kondisi Keselamatan, Mutu Hidup, dan Kesejahteraan Provinsi Kalimantan Timur ........ 17
3.3.1 Kondisi Keselamatan...................................................................................................... 17
3.3.2 Kondisi Mutu Hidup ........................................................................................................ 19
3.3.3 Kondisi Kesejahteraan.................................................................................................... 22
BAB IV SINTESIS KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN HIDUP PROVINSI KALIMANTAN TIMUR ...... 26
4.1 Indeks Jasa Lingkungan Provinsi Kalimantan Timur ........................................................ 26
4.2 Indeks Keselamatan, Mutu Hidup dan Kesejahteraan Provinsi Kalimantan Timur .......... 27
4.3 Kuadran Keberlanjutan Provinsi Kalimantan Timur.......................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 29
LAMPIRAN ........................................................................................................................ 35
5.1 LITERATUR DAN METODOLOGI ........................................................................................... 35
5.1.1 Literatur .......................................................................................................................... 35
5.1.2 Metodologi ...................................................................................................................... 61
5.2 KEBUTUHAN DATA .............................................................................................................. 95
5.2.1 Data Spasial .................................................................................................................... 96
5.2.2 Data Non-Spasial (Tabular) ............................................................................................ 97
5.3 KETERBATASAN DATA DAN METODOLOGI .......................................................................... 98
5.3.1 Keterbatasan Data Lingkup Biogeofisik ......................................................................... 98
5.3.2 Keterbatasan Metodologi Lingkup Biogeofisik .............................................................. 99
5.3.3 Keterbatasan Data Lingkup Sosial, Ekonomi, dan Budaya.......................................... 103
5.3.4 Keterbatasan Metodologi Lingkup Sosial, Ekonomi, dan Budaya ............................... 105
5.4 LAMPIRAN PERHITUNGAN ................................................................................................ 107
iii
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
DAFTAR TABEL
iv
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
DAFTAR GAMBAR
v
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
DAFTAR LAMPIRAN
vi
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
1 BAB I PENDAHULUAN
Ketiga krisis iklim tersebut juga terjadi di Indonesia yang dapat lihat pada kenaikan suhu
tahunan sekitar 0,3 - 1,4°C, kehilangan kehati sekitar tujuh belas persen atau 15.336 spesies, serta
masuk sebagai enam negara paling berkontribusi terhadap polusi udara global (KLHK, 2022;
Konsorsium Biologi Indonesia (KOBI, 2023). Alih fungsi lahan juga mempengaruhi ketahanan
lingkungan hidup di Indonesia. Posisi geografis Indonesia yang strategis, berada di jalur Ring of Fire
memiliki nilai positif dan negatif. Meskipun rawan terhadap bencana alam, tetapi erupsi dari
gunung berapi menghasilkan abu vulkanik yang kaya mineral yang menyuburkan tanah. Potensi
sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan alam lainnya adalah cadangan blue carbon terbesar,
lebih kurang tujuh belas persen dari cadangan dunia (CIDES dan WWF, 2021 dalam Ekaptiningrum,
2021). Karakteristik wilayah Indonesia juga didasarkan pada unit ekoregion yang dapat
mempengaruhi jasa lingkungan hidup seperti ketersediaan air, lahan prima, habitat kehati,
hingga material galian. Sehingga saat ini Indonesia Indonesia disebut sebagai negara
megabiodiversitas yang menempati peringkat kedua di dunia (LIPI, 2020)..
Pertumbuhan penduduk yang meningkat dipredisi akan menyebabkan krisis lingkungan
hidup pada beberapa tahun ke depan. Grafik di bawah ini menggambarkan konsumsi SDA yang
akan terus meningkat hingga pada suatu waktu mencapai kondisi melampaui (overshooting).
Apabila tidak dikontrol, maka akan mengancam terjadinya kebencanaan seperti fenomena
stunting, kelaparan hingga kematian. Oleh karena itu, untuk mencegah kondisi tersebut
dibutuhkan suatu instrumen untuk mengetahui ambang batas lingkungan hidup, yaitu Daya
Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH). Pendekatan D3TLH dinilai tepat sebagai
alat ukut untuk menjaga keseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan terhadap SDA. Dengan
menerapkan D3TLH juga mampu membuka peluang untuk menciptakan cadangan SDA di masa
mendatang melalui pemerataan dan efisiensi pemanfaatan, adaptasi, dan perubahan perilaku.
1
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Urgensi menjaga lingkungan hidup telah tertuang dalam beberapa peraturan perundang-
undangan. Terlebih D3TLH yang ditekankan sebagai amanat dari Pasal 12 Ayat (2) UU 32/2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berlanjut pada peraturan
turunannya hingga yang terbaru tercantum dalam PP 46/2016 tentang Penyelenggaraan KLHS, PP
21/2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, PP No.22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP 23/2021 tentang Penyelenggaraan
Kehutanan, serta UU 6/2023 tentang Cipta Kerja. Segala peraturan tersebut menempatkan D3TLH
sebagai urgensi dalam memberikan rambu-rambu untuk merencanakan dan mengendalikan
pemanfaatan sumber daya alam. Melalui D3TLH dapat mengidentifikasi status atau kemampuan
ekoregion dalam menjaga keberlanjutan proses, fungsi, dan produktivitas lingkungan hidup
sehingga tercapainya keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena
itu, D3TLH dapat dijadikan referensi terhadap segala perencanaan dalam RTRWN, RPJPN, RPJMN,
serta RPPLHN.
2
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Sementara itu, di tingkat provinsi, Materi Teknis ini diharapkan dapat menjadi sumber
informasi yang andal dan akurat. Dengan akses yang mudah terhadap informasi D3TLH yang
berkualitas, para pemangku kepentingan di tingkat provinsi, termasuk pemerintah daerah dan
masyarakat lokal, akan dapat mengambil keputusan yang lebih tepat dan berdaya guna dalam
mengelola sumber daya alam di wilayahnya.
Keseluruhan dari penyusunan Materi Teknis Penentuan Daya Dukung dan Daya Tampung
Lingkungan Hidup Provinsi ini adalah untuk mencapai keberlanjutan dalam pemanfaatan sumber
daya alam, menjaga keseimbangan ekosistem, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Dengan panduan yang jelas dan akses informasi yang mudah, diharapkan pengelolaan lingkungan
hidup dan sumber daya alam di Indonesia akan menjadi lebih baik dan berkelanjutan di masa yang
akan datang.
3
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Kondisi sosekbud didefinisikan sebagai narasi causal model yang menggambarkan kondisi
masyarakat dalam rangka jaring pengaman sosial (social safety net) sebagai strategi tata kelola
lingkungan hidup di suatu wilayah. Kondisi sosekbud tergambarkan melalui Indeks KMK
berdasarkan komposit antara Keselamatan (keselamatan hidup dan keselamatan dari bahaya),
Mutu Hidup (kualitas penduduk dan pemajuan kebudayaan penduduk), dan Kesejahteraan (kinerja
ekonomi makro maupun ketenagakerjaan). Kondisi biogeofisik dan sosekbud akan menjadi acuan
dalam Kuadran Keberlanjutan sebagai penggambaran sejauh mana pulau/kepulauan hingga
provinsi-provinsi yang dapat menyokong wilayahnya dari sisi lingkungan hidup dan masyarakat
menuju kondisi keberlanjutan.
Posisi ideal dalam Kuadran Keberlanjutan adalah Kuadran I atau Pembangunan yang
Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan dimana Indeks Jasa Lingkungan hidup Eksisting dan
Indeks KMK bernilai di atas rata-rata Nasional. Kondisi biogeofisik diwakilkan oleh Indeks Jasa
Lingkungan Hidup Eksisting yang dikompositkan berdasarkan rata-rata geometrik dari jasa
lingkungan hidup terkait pengaturan air, penyediaan pangan, dan pendukung keanekaragaman
hayati. Rata-rata Nasional dalam Indeks Jasa Lingkungan Hidup Eksisting yang dimaksud
merupakan hasil Indeks Jasa Lingkungan Hidup Eksisting. Sedangkan kondisi sosekbud diwakilkan
oleh Indeks KMK (Keselamatan, Mutu Hidup, dan Kesejahteraan) Eksisting yang dikompositkan
berdasarkan akumulatif dari Skor Keselamatan, Mutu Hidup, dan Kesejahteraan.
4
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Gambar 1-3 Kerangka Pikir dalam Penentuan D3TLH berbasis SES Framework
Sumber: Diadopsi dari Martín-López et al, 2014
5
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Satuan unit ekoregion sebagai kesatuan pengelolaan wilayah yang dapat lintas batas
administrasi dan/atau kewenangan tertentu yang ditetapkan melalui peraturan perundang-
undangan
Oleh karena itu, hasil penyusunan D3TLH ini adalah (1) Status D3TLH yang ditunjukkan dari
jumlah populasi dan luas lahan optimum dan (2) Posisi dalam kuadran keberlanjutan sebagai baseline
perencanaan pembangunan ke depan di masing-masing ekoregion pulau/kepulauan.
Terdapat beberapa limitasi yang perlu diperhatikan dalam konteks penggunaan konsep
D3TLH yang terbatas pada tingkat nasional dan unit analisis yang dipecah menjadi pulau atau
kepulauan di Indonesia.
1. Jenis Lingkungan Hidup yang digunakan belum mempertimbangkan kualitas udara dan
laut: Dalam perhitungan daya dukung lingkungan hidup, sangat penting untuk
mempertimbangkan jenis ekosistem yang ada di darat, laut, dan udara. Pada kajian D3TLH
ini baru memperhitungkan ekosistem darat saja karena adanya keterbatasan dan
keseragaman data antara pulau/kepulauan di Indonesia.
2. Skala Regional yang Besar: meskipun kedalaman data menggunakan skala 1:250.000,
pembagian unit analisis ke dalam pulau atau kepulauan masih dapat menghasilkan
generalisasi yang besar. Ini berarti bahwa D3TLH Nasional mungkin tidak dapat
menggambarkan supply dan demand terhadap sumber daya alam pada wilayah yang lebih
kecil atau mikro (kabupaten/kota).
3. Keragaman Regional yang Terabaikan: setiap pulau atau wilayah di Indonesia memiliki
karakteristik unik dalam hal sumber daya alam, budaya, sosial, dan ekonomi. D3TLH yang
diterapkan pada tingkat pulau/kepulauan mungkin tidak cukup sensitif untuk
menggambarkan keragaman ini di tingkat Provinsi.
6
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
4. Ketidakpastian Data: pengumpulan data yang diperlukan untuk D3TLH tidak banyak data
yang memiliki keseragaman, baik dari sisi skala maupun variabilitias. Pada beberapa
Provinsi, data mungkin terbatas atau tidak selalu terbaru, yang dapat mengurangi
keakuratan analisis D3TLH.
Namun dengan keterbatasan tersebut, penyusunan D3TLH ini sudah dapat dianggap
menggambarkan kondisi optimum pemanfaatan sumber daya alam dengan asumsi belum
menggunakan rekayasa teknologi dan masih terbatas pada kemampuan sendiri. Informasi dalam
muatan D3TLH ini sangat penting untuk memberikan rambu-rambu dalam perencanaan
pembangunan dan tata ruang, mendorong pentingnya environmental safeguard apabila ada
rekayasa teknologi yang harus diterapkan, dan meningkatkan prinsip kehati-hatian
(prudentiality) dalam pelaksanaan pembangunan.
Oleh karena itu, D3TLH masih merupakan alat yang berpotensi kuat dalam mengarahkan
pembangunan menuju keberlanjutan, dan dalam mengatasi limitasi ini, dapat diperluas dengan
perencanaan yang lebih spesifik dan sensitif terhadap karakteristik setiap wilayah, serta
mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan budaya dalam pengambilan keputusan yang
berkelanjutan. Selain itu, terus meningkatkan ketersediaan dan akurasi data dapat membantu
meningkatkan validitas analisis D3TLH. Meskipun memiliki keterbatasan, D3TLH tetap menjadi
alat penting dalam menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dan kelestarian
lingkungan di Indonesia.
Definisi Operasional
Definisi operasional D3TLH berisikan batasan pengertian yang menunjukkan tentang apa yang
harus diamati dan diukur dalam metodologi penentuan D3TLH.
1. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan
makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri,
kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain (UU
Nomor 32 Tahun 2009).
2. Ekoregion adalah satuan unit pengelolaan yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, flora,
dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas
sistem lingkungan hidup.
3. Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup (D3TLH) adalah jumlah populasi
optimum yang hidup sejahtera secara mandiri dan berkelanjutan dalam satuan unit
ekoregion.
4. Status D3TLH adalah kondisi yang menggambarkan kemandirian suatu wilayah melalui
perbandingan antara jumlah penduduk optimum dengan eksistingnya berdasarkan hasil
optimasi alokasi penutupan lahan
5. Jasa lingkungan hidup adalah manfaat dari ekosistem dan lingkungan hidup bagi manusia
dan keberlangsungan kehidupan yang diantaranya mencakup penyediaan sumber daya
alam, pengaturan alam dan lingkungan hidup, penyokong proses alam, dan pelestarian
nilai budaya (PP Nomor 47 Tahun 2017).
6. Indeks jasa lingkungan hidup adalah penilaian kinerja lingkungan hidup dalam
memberikan jasa bagi para pemanfaatnya yang dapat mewakili perspektif biogeofisik
terhadap pengaturan air, penyedia pangan, dan pendukung kehati.
7
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
7. Sosial, ekonomi, dan budaya (sosekbud) adalah narasi causal model yang menggambarkan
kondisi masyarakat dalam rangka jaring pengaman sosial (social safety net) sebagai strategi
tata kelola lingkungan hidup di suatu wilayah.
8. Indeks KMK (Keselamatan, Mutu hidup, Kesejahteraan) adalah kondisi terpenuhinya
kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu
mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya dan peningkatan
kualitas penghidupan.
9. Keselamatan adalah kondisi normalnya fungsi organ tubuh (fisik manusia) dan
rohani/batin manusia dalam interaksi penghidupannya yang terhindar dari gangguan atau
ancaman, yang dilihat dari keselamatan hidup dan keselamatan dari bahaya.
10. Mutu hidup adalah wujud kualitas penduduk (tingkat pendidikan, literasi dan perilaku
budayanya) serta proses atau dinamika pemajuan budaya yang bersesuaian dengan
kapasitas jasa lingkungan hidup di sekitarnya (situation) dan diukur dengan kualitas
penduduk dan pemajuan kebudayaan.
11. Kesejahteraan adalah keadaan dimana manusia secara individu dan atau kolektif dapat
menikmati utilitas hidup (utilitas neto) yang maksimal, yang pencapaian ditentukan oleh
kinerja ekonomi makro, yaitu pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga umum dan tingkat
pengangguran terbuka.
12. Kuadran D3TLH adalah posisi suatu wilayah yang dapat menggambarkan sejauh mana
kondisi lingkungan hidup dan masyarakatnya menuju kondisi keberlanjutan.
1.6 Sistematika Penulisan
Materi Teknis Penentuan dan Penetapan D3TLH Provinsi ini terdiri dari empat bab sebagai berikut.
BAB I Pendahuluan
Bab ini memuat latar belakang, maksud dan tujuan, ruang lingkup wilayah dan substansi, kerangka
konsep, limitasi dan definisi operasional D3TLH, serta sistematika penulisan.
BAB II Ekoregion
Bab ini akan menggambarkan kondisi provinsi dari bentuk alamiah fisik wilayah yang terdiri dari
bentang alam dan vegetasi utama sebagai pembentuk ekoregion. Identifikasi ekoregion memegang
peranan penting dalam semua kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
8
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Ekoregion diartikan sebagai wilayah geografi yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, flora
dan fauna asli serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem
alam lingkungan hidup. Identifikasi ekoregion memegang peranan penting dalam semua kegiatan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, sejak tahap perencanaan hingga pengawasan
dan pengendaliannya.
Wilayah ekoregion Puak Kutai Mahakam Hilir dan Puak Rimba Batung Kerihun Kayan
Mentarang menjadi wilayah ekoregion yang mendominasi di Provinsi Kalimantan Timur (Gambar
3-2). Ekoregion dan penutupan lahan memiliki peranan penting terhadap jasa lingkungan hidup
sebagai fungsi lingkungan hidup salah satunya untuk pemeliharaan siklus hara dan regenerasi
tanah yang menunjukan kesuburan. Kesamaan wilayah ekoregion Provinsi Kalimantan Timur
dengan provinsi sekitarnya, yaitu Provinsi Kalimantan Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah,
dan Kalimantan Selatan menjelaskan bahwa perlu adanya keselarasan dalam menjaga wilayah
ekoregion antarprovinsi untuk menghindari kerusakan jasa lingkungan hidup. Kesamaan tersebut
menyebabkan adanya interaksi dan ketergantungan setiap provinsi dalam memenuhi
kebutuhannya sendiri dalam upaya mewujudkan penutupan lahan optimum, sehingga
memerlukan hubungan dengan daerah lain.
9
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Batuan sedimen karbonat dan non karbonat dapat digunakan sebagai bahan galian
tambang. Potensi ini telah membantu pertumbuhan PDRB pada sektor pertambangan dan
penggalian yang menjadi sektor penyumbang PDRB terbesar di Provinsi Kalimantan Timur. Selain
itu material pada ekosistem ini dapat dimanfaatkan sebagai penyedia air pada lapisan akuifer baik
di permukaan maupun di bawah permukaan. Batuan sedimen di permukaan Provinsi Kalimantan
Timur menunjang potensi perkebunan sawit karena memiliki porositas yang baik, dimana kelapa
10
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
sawit menjadi komoditas utama Provinsi Kalimantan Timur dengan persentase lahan 88% dari
luasan subsetor perkebunan.
Beberapa wilayah Provinsi KalimantanTimur juga ditetapkan menjadi kawasan konservasi,
yaitu Suaka Alam Padang Luway yang melindungi beragam jenis anggrek terutama anggrek hitam
serta Taman Nasional Kutai yang menjadi habitat orang utan, bekantan, beruang madu, macan
dahan, kijang emas, pesut mahakam, buaya muara, dan ditumbuhi oleh hutan mangrove, bakau,
jelutung, gaharu, maupun kayu ulin. Provinsi Kalimantan Timur memiliki hutan lindung seluas 2,84
juta Ha serta suaka alam seluas 1,7 juta Ha yang menjadi hutan lindung dan suaka alam paling
luas di Ekoregion Kalimantan. Hutan Lindung terluas yang ada di Kalimantan Timur yaitu Hutan
Lindung Wehea yang juga mendapatkan penghargaan kalpataru sebagai hutan lindung terbaik.
Provinsi Kalimantan Timur juga menjadi provinsi dengan luas hutan produksi terbesar di Pulau
Kalimantan yang turut membantu dalam pertumbuhan PDRB sektor kehutanan. Dilihat dari
karakteristik bentang alam dan vegetasi aslinya, Provinsi Kalimantan Timur memiliki kemampuan
untuk menjadi sumber genetika penting untuk pengembangan buah-buahan lokal. Salah satu
buah khas Provinsi Kalimantan Timur yaitu buah Lai (Durio kutejenesis) yang telah mendapat
pengakuan secara nasional.
Selain itu, pada bagian timur laut Provinsi Kalimantan Timur terdapat dataran maupun
perbukitan karst dengan luas 6% dari luas wilayahnya. Kawasan karst yang menjadi fokus
pengembangan yaitu Karst Sangkulirang Mangkalihat yang berada di Kutai Timur karena pada
kawasan ini ditemukan benda-benda peninggalan arkeologi yang berumur puluhan ribu tahun.
Penemuan gambar-gambar dalam gua (art rock) di Pegunungan Marang, memberikan prospek
dan perspektif baru terhadap kajian distribusi seni cadas yang lebih luas di Indonesia.
Provinsi Kalimantan Timur memiliki unit region berupa danau bervegetasi hutan danau
diantaranya Danau Melintang, Danau Semayang, dan Danau Jempang yang merupakan habitat
salah satu satwa langka di Indonesia yaitu pesut mahakam (Orcaella brevirostris). Pesut
mahakam merupakan lumba-lumba air tawar yang hanya dapat ditemukan di Sungai Mahakam dan
ketiga danau tersebut. Namun, selain potensi yang ditimbulkan oleh kondisi ekoregion yang
dimiliki Provinsi Kalimantan Timur, terdapat ancaman bencana yang dapat terjadi. Potensi bencana
yang dapat terjadi adalah longsor dan amblesan pada kawasan batuan sedimen karbonat akibat
pelarutan serta kebakaran hutan atau lahan. Tercatat pada tahun 2021, telah terjadi 113 kejadian
kebakaran hutan dan lahan, serta 47 kejadian tanah longsor. Berdasarkan data SiPongi luas
kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Timur pada 2019 mencapai 6.715 Ha diantaranya
terjadi di Nenang, Gunung Seteleng, Lawe-lawe, dan Tahura Bukit Soeharto. Selain diakibatkan oleh
naiknya suhu dan cuaca ekstrem, kebakaran hutan dan lahan juga dipicu oleh kondisi unit
ekoregion dataran organik bermaterial gambut sejumlah 3,68% di Provinsi Kalimantan Timur.
Provinsi Kalimantan Timur bersinggungan dengan Ekoregion Laut 7 Laut Sulawesi dan
Ekoregion Laut 8 Selat Makassar. Ekoregion laut ini menghubungkan Provinsi Kalimantan Timur
dengan Pulau Sulawesi. Pada ekoregion laut ini, terdapat potensi terumbu karang Berau, Bunaken,
Spermonde, dan Kopoposang, potensi hutan mangrove dan padang lamun, serta potensi satwa
penyu hijau terbesar di Asia Tenggara di Berau serta ikan terbang mangrove. Dataran fluviomarin
bermaterial aluvium bervegetasi mangrove pada bagian selatan Provinsi Kalimantan Timur
merupakan gabungan dari proses fluvial dan marin pada lingkungan laut Delta Mahakam di muara
11
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
sungai yang terpengaruh langsung oleh aktivitas laut. Ekosistem Delta Mahakam (EL.8) menjadi
salah satu delta dinamis yang mendapatkan perhatian dari kalangan ilmuwan internasional
karena memilki keunikan terkait arusnya. Delta Mahakam kaya akan sumber daya alam, terutama
minyak bumi dan gas alam. Namun terdapat risiko bencana tsunami pada bagian pantai di Provinsi
Kalimantan Timur. Sungai Berau dan Sungai Mahakam yang memilki fungsi sebagai jalur
transportasi kapal batu bara dan hasil perkebunan juga memberikan dampak pencemaran
terhadap Ekoregion Laut 7 dan 8.
12
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Muatan D3TLH Provinsi Bengkulu terdiri dari ambang batas yang menghasilkan jumlah
penduduk dan luas lahan optimum. Jumlah penduduk optimum dan luas lahan optimum
mengadopsi dari hasil perhitungan tingkat nasional yang sudah memperhitungkan kondisi
biokapasitas dan jejak ekologis dalam unit pulau/kepulauan. Dalam hal ini, Provinsi Kalimantan
Timur mengacu kepada perhitungan tingkat nasional dari unit analisis Pulau Kalimantan. Secara
rinci, jumlah penduduk optimum didapatkan dari hasil pengolahan data tutupan lahan yang telah
dioptimumkan menggunakan standar ruang dalam mendukung kebutuhan dasar manusia
kemudian dikonversi menjadi kebutuhan ruang per penduduk sehingga menghasilkan jumlah
penduduk optimum. Sementara luas lahan optimum didapatkan dari hasil pengoptimalan luas
lahan eksisting dengan standar kebutuhan ruang sehingga menjadi luas lahan optimum, apabila
antara eksisting dengan optimum bernilai defisit, maka dicari alokasi spasialnya melalui
pemodelan kesesuaian fisik lahan dan pemodelan 2K (Kedekatan dan Kepadatan) Simultan.
Sebagai outcome, maka dilengkapi dengan faktor sosial budaya serta ekonomi dalam bentuk
kondisi keselamatan, mutu hidup dan kesejahteraan.
13
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
indikatif memiliki status belum terlampaui. Wilayah dengan status D3TLH terlampaui
menunjukkan bahwa wilayah tersebut tidak dapat secara mandiri memenuhi kebutuhan
fisiologisnya sehingga membutuhkan pengadaan atau impor komoditas dari luar wilayahnya.
Sedangkan wilayah yang memiliki status yang belum terlampaui menunjukkan bahwa provinsi
tersebut dapat terpenuhi kebutuhan wilayahnya dan dapat memenuhi kebutuhan provinsi lain
disekitarnya dalam satu pulau/kepulauan.
Dari lima provinsi di Pulau Kalimantan termasuk Provinsi Kalimantan Timur, memiliki
status indikatif belum terlampaui. Persebaran penduduk optimum dijabarkan melalui peta
sistem grid sehingga pada masing-masing grid memiliki jumlah yang berbeda. Pada peta terlihat
untuk yang bernilai nol diartikan lokasinya merupakan kawasan lindung/konservasi dan badan air.
Distribusi dengan rentang jumlah penduduk tertinggi pada grid-nya untuk Provinsi Kalimantan
Timur mendominasi di sisi tenggara yaitu di sekitar Kota Samarinda. Hal ini juga dipengaruhi oleh
tingkat kepadatan penduduknya yang lebih tinggi dibandingkan pulau/kepulauan lainnya. Dapat
dilihat distribusi penduduk optimum Provinsi Kalimantan Timur sebagai berikut.
14
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Kalimantan Timur secara indikatif masih belum terlampaui. Provinsi dengan status terlampaui
dikatakan tidak dapat secara mandiri memenuhi kebutuhan fisiologisnya karena terbatasnya
ketersediaan lahan untuk pemenuhan kebutuhan dasarnya. Oleh karena itu diperlukan usaha lebih
dengan cara import atau kerja sama antar pulau/kepulauan.
Tabel 3-2 Jumlah Penduduk Proyeksi Tahun 2045 dan Optimum Provinsi Kalimantan Timur
D3TLH dikaitan dengan Jumlah Penduduk
Jumlah Proyeksi Jumlah Perbandingan Jumlah
Provinsi
Penduduk Tahun Penduduk Penduduk Proyeksi Tahun Status D3TLH
2045 (Jiwa) Optimum (Jiwa) 2045 dan Optimum (Jiwa)
Kalimantan Timur 6.437.780 32.423.860 25.986.080 Belum Terlampaui
*Status D3TLH ini adalah kondisi ketersediaan sumberdaya alam yang disediakan oleh ekoregion itu sendiri tanpa
dukungan ekoregion lainnya
Sumber: Hasil Analisis, 2023
Luas penutupan optimum yang dibutuhkan ini pada dasarnya dapat kurang atau lebih dari
kondisi eksisting di tahun 2022. Namun terdapat pengecualian untuk kawasan lindung/konservasi
dan badan air untuk tetap dipertahankan sehingga tidak dijadikan sebagai lokasi alternatif untuk
dimanfaatkan. Selain itu, lahan terbangun juga dikunci terhadap proyeksi penduduk optimum
pada saat pemodelan optimasi alokasi sehingga luas eksisting maupun optimumnya akan
berjumlah sama. Hal ini dikarenakan asumsi bahwa luas lahan terbangun saat ini sudah melebihi
15
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
standarisasi nasional terhadap cakupan luas tempat tinggal dan ruang publik. Hasil optimasi
terhadap penutupan lahan menghasilkan luas lahan optimum di Provinsi Kalimantan Timur yang
dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3-3 Luas Penutupan Lahan Optimum Provinsi Kalimantan Timur
Provinsi Kalimantan Timur saat ini memiliki lahan optimum ±12,71 juta hektar, dari luasan
tersebut maka yang dapat digunakan untuk, mendukung kebutuhan dasar manusia ada sekitar
10,33 juta Ha atau 81% dari total luas Provinsi Kalimantan Timur. Sementara sisanya dipertahankan
untuk kawasan lindung/konservasi sekitar 2,38 juta Ha atau 19% dari luas total Provinsi Kalimantan
Timur.
Gambar 3-3 Peta Alokasi Spasial Penutupan Lahan Optimum di Provinsi Kalimantan Timur
Sumber: Hasil Analisis, 2023
16
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
3.3 Kondisi Keselamatan, Mutu Hidup, dan Kesejahteraan Provinsi Kalimantan Timur
3.3.1 Kondisi Keselamatan
Keselamatan dalam D3TLH dapat dilihat dalam dua variabel pembentuk, yaitu Akses
Terhadap Hunian Layak dan Indeks Risiko Bencana. Kedua variabel pembentuk tersebut sudah
dapat mewakili dari Keselamatan itu sendiri. Skor Keselamatan diperoleh dari hasil penggabungan
antara nilai akses hunian layak yang sudah di normalisasi dengan nilai indeks risiko bencana
Indonesia (IRBI) yang sudah di normalisasi. Sehingga menghasilkan skor keselamatan. Berikut
merupakan tabel dari hasil perhitungan skor keselamatan Provinsi Kalimantan Timur.
Tabel 3-4 Skor Keselamatan Provinsi Kalimantan Timur 2022
Keselamatan Hidup Keselamatan Dari Bahaya
Skor
Cakupan Wilayah Normalisasi Predikat
Hunian (%) IRBI Normalisasi IRBI Keselamatan
Hunian
Kalimantan Timur 73,18 0,80 146,67 0,18 0,49 Sedang
Pulau Kalimantan 62,23 0,61 138,65 0,26 0,43 Sedang
Nasional 60,66 0,58 134,16 0,30 0,44 Sedang
Sumber: Hasil Analisis, 2023
Asumsi yang dibangun adalah keselamatan itu berasal dari keselamatan hidup dan
keselamatan dari ancaman bahaya bencana alam, sehingga semakin tinggi akses terhadap hunian
layak dan semakin rendah indeks risiko bencananya artinya semakin selamatlah penduduk yang
ada di wilayah tersebut. Berdasarkan hasil analisis, Provinsi Kalimantan Timur memiliki skor
keselamatan 0,49 dengan predikat Sedang. Nilai ini lebih tinggi dibanding skor keselamatan
nasional yaitu 0,44 dan menjadi skor keselamatan paling tinggi di Pulau Kalimantan. Skor ini
diperoleh karena Provinsi Kalimantan Timur memiliki akses hunian layak yang tinggi namun
berdasarkan data IRBI memiliki risiko bencana yang juga tinggi.
a. Keselamatan Hidup
Hunian Layak menjadi salah satu kebutuhan dasar manusia. Akses terhadap hunian layak
menjadi salah satu variabel dalam skor keselamatan hidup yang bernilai positif. Berikut merupakan
tabel presentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap hunian layak di Provinsi Kalimantan
Timur.
Tabel 3-5 Persentase Rumah Tangga yang Memiliki Akses Terhadap Hunian Yang Layak Dan Terjangkau Menurut
Provinsi Kalimantan Timur
Tahun
Cakupan Wilayah
2019 2020 2021 2022
Kalimantan Timur 65,55 70,80 70,70 73,18
Pulau Kalimantan 54,89 60,26 62,07 62,23
Nasional 56,51 59,54 60,90 60,66
Sumber : Diolah dari Data BPS, 2023
Pada tahun 2022 hunian layak di Provinsi Kalimantan Timur sebesar 73,18%. Kondisi ini
melebihi akses hunian layak nasional yang hanya berkisar pada angka 60,66%. Provinsi Kalimantan
Timur memiliki persentase akses terhadap sanitasi tertinggi ke-6 Nasional yaitu sebesar 90,33%.
Namun perlu adanya peningkatan terhadap akses air minum layak karena persentase Provinsi
Kalimantan Timur (87,14%) masih dibawah nilai rata-rata persentase akses air minum layak
nasional (91,05%).
17
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Provinsi Kalimantan Timur memiliki nilai hunian layak tertinggi di Pulau Kalimantan,
dikarenakan terus adanyanya upaya dalam peningkatan kualitas terhadap perumahan dan
permukiman kumuh dalam sebuah pedoman yang terdapat dalam Peraturan Gubernur Kalimantan
Tumur Nomor 33 Tahun 2022 dengan adanya Bantuan Stimulan Peningkatan Kualitas Rumah
Swadaya (BSPKRS). BSPKRS merupakan bantuan Pemerintah Daerah yang diberikan bagi
masyarakat berpenghasilan rendah sebagai upaya meningkatkan kualitas hunian yang layak, yang
lokasinya masuk ke penetapan kawasan kumuh, memilih rumah yang tidak layak dan pendekatan
data by name by address.
Terjadi peningkatan sebesar akses hunian layak sebesar 3,5% dari tahun 2021 yaitu 70,7%.
Salah satu penyebab Provinsi Kalimantan Timur memiliki kenaikan persentase hunian layak karena
banyaknya program-program yang dilakukan oleh pemerintah kota maupun kabupaten dalam
menanggulangi rumah tidak layak huni. Salah satunya adalah program Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang akan melakukan penyaluran dana Bantuan Stimulan
Perumahan Swadaya (BSPS) untuk 2.016 rumah tidak layak huni di Provinsi Kalimantan Timur pada
tahun 2022. Selain itu, terdapat rencana pelaksanaan program Rumah Pemberdayaan Masyarakat
(RPM) pada tahun 2023 sebanyak 2.000 unit rumah yang tersebar dalam 10 kabupaten/kota di
Provinsi Kalimantan Timur.
b. Keselamatan dari Bahaya
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan risiko bencana yang sangat besar.
Berdasarkan data IRBI pada tahun 2022, Provinsi Kalimantan Timur memiliki indeks risiko bencana
sebesar 146,67 yang termasuk kedalam ketegori risiko bencana Tinggi. Kondisi ini diakibatkan oleh
Provinsi Kalimantan Timur yang memiliki 7 ancaman bencana yaitu gempabumi, banjir, tanah
longsor, kekeringan, gelombang ekstrim/abrasi, kebakaran hutan dan lahan, serta cuaca ekstrim.
Berdasarkan Data dan Informasi Bencana Indonesia (DIBI), dalam periode 2015-2021 terdapat 267
kejadian bencana pada wilayah ini yaitu kebakaran hutan dan lahan 113 kejadian, bencana banjir
85 kejadian, tanah longsor 47 kejadian, puting beliung 20 kejadian, dan abrasi 2 kejadian. Apabila
dilihat dari administrasinya, 5 dari 10 kabupaten/kota yang berada di Provinsi Kalimantan Timur
memiliki tingkat risiko bencana tinggi, sementara 5 kabupaten/kota lainnya memiliki tingkat risiko
bencana sedang.
Tabel 3-6 Indeks Resiko Bencana Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2022
Wilayah 2022 Predikat
Paser 196,4 Tinggi
Berau 188,37 Tinggi
Kutai Timur 181,57 Tinggi
Mahakam Ulu 156,4 Tinggi
Kutai Barat 153,65 Tinggi
Penajam Paser Utara 143 Sedang
Kota Bontang 122,77 Sedang
Kutai Kertanegara 120,96 Sedang
Kota Balikpapan 110,79 Sedang
Kota Samarinda 92,77 Sedang
Provinsi Kalimantan Timur 146,67 Tinggi
Pulau Kalimantan 138,67 Sedang
Nasional 134,16 Sedang
Sumber : Data Diolah dari Data IRBI, 2023
18
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Berdasarkan data SiPongi luas kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Timur
pada 2019 mencapai 6.715 Ha diantaranya terjadi di Nenang, Gunung Seteleng, Lawe-lawe, dan
Tahura Bukit Soeharto. Selain diakibatkan oleh naiknya suhu dan cuaca ekstrem, kebakaran hutan
dan lahan juga dipicu oleh kondisi unit ekoregion dataran organik bermaterial gambut sejumlah
3,68% di Provinsi Kalimantan Timur, dimana terdapat 56 titik api (hotspot) kebakaran hutan dan
lahan yang tersebar diseluruh kabupaten/kota Provinsi Kalimantan Timur.
3.3.2 Kondisi Mutu Hidup
Kondisi mutu hidup dalam D3TLH dapat dilihat dalam dua variabel pembentuk, yaitu
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan akumulatif tiga dimensi pemajuan kebudayaan (warisan
budaya, ketahanan sosial dan budaya, dan budaya literasi). kedua variabel pembentuk tersebut
sudah dapat mewakili dari mutu hidup. Hasil skor mutu hidup dapat dilihat pada Tabel 3-7.
Tabel 3-7 Skor Mutu Hidup Provinsi Kalimantan Timur
Dinamika Karakteristik Ruang
Kualitas Penduduk
Budaya
Skor Mutu
Hasil Karakter
Provinsi Hidup (Indeks Predikat
IPM Normalisasi Ruang Budaya Normalisasi
Perubahan)
2022 IPM (Pemajuan IP
Kebudayaan)
Kalimantan Timur 77,44 0,79 0,99 0,48 0,63 Tinggi
Pulau Kalimantan 72,27 0,54 1,04 0,62 0,58 Sedang
Nasional 72,91 0,57 0,97 0,42 0,49 Sedang
Sumber : Hasil Analisis, 2023
Berdasarkan hasil analisis seperti tabel di atas Skor Mutu Hidup Provinsi Kalimantan Timur
berada diatas nilai Pulau Kalimantan maupun nilai nasional, yaitu sebesar 0,63. Nilai tersebut
dipengaruhi oleh nilai IPM Provinsi Kalimantan Timur yang melebihi nilai IPM Pulau Kalimantan
maupun nilai IPM Nasional, serta nilai dinamika karakteristik ruang budaya yang lebih tinggi 0,07
poin dari nilai nasional. Provinsi Kalimantan Timur memiliki predikat tinggi, sehingga dapat
diartikan dalam segi pembangunan manusia terbilang sangat baik dan dari segi kebudayaannya
juga menjaga kelestarian budayanya dengan baik.
a. Kualitas Penduduk
Kualitas penduduk merupakan wujud dinamika penduduk yang harapannya selalu
meningkat kapasitasnya. Kualitas penduduk akan menentukan tingkat pembangunan manusia.
Beberapa faktor pembentuk seperti tingkat pendapatan penduduk sebagai tolak ukur besarnya
tingkat pendapatan penduduk, tingkat pendidikan sebagai mengolah sumber daya alam yang
dimiliki dengan baik, dan tingkat kesehatan yang diukur dari angka kematian bayi dan angka
harapan hidup.
Kualitas penduduk di Provinsi Kalimantan Timur jika dilihat berdasarkan data Indeks
Pembangunan Manusia pada BPS Tahun 2022 mencapai 77,44 meningkat 0,56 poin dibandingkan
capaian tahun 2021 (76,88). Nilai ini merupakan nilai tertinggi ke-3 apabila dilihat secara nasional.
Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Kalimantan Timur mengalami pertumbuhan sebesar 0,84%
pada tahun 2021 dan 0,73% pada tahun 2022.
19
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Gambar 3-4 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Kalimantan Timur, 2010-2022
20
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Gambar 3-5 Grafik Karakteristik Ruang Budaya Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2019-2021
Sumber: Data diolah dari Kemendikbud, 2021
Hasil Karakter Ruang Budaya Provinsi Kalimantan Timur menghasilkan skor 0,99 (lebih
tinggi dibanding skor nasional). Pada Tahun 2021 warisan budaya Provinsi Kalimantan Timur
sebesar 37,44% , lebih baik apabila dibandingkan dengan tahun 2020 sebesar 30,45%. Namun pada
dua dimensi lainnya yaitu budaya literasi dan ketahanan sosial budaya mengalami penurunan
meskipun kedua dimensi ini memiliki nilai yang melebihi skor nasional.
Peningkatan pada dimensi warisan budaya terjadi karena penetapan tujuh budaya tak
benda Provinsi Kalimantan Timur menjadi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia, yaitu
Gasing Kutai yang merupakan permainan rakyat dan ekspresi, Kertanegara, Parapm Api Bayaq,
Pentengan Gambus Paser, Naek Ayun, Untu Beham, Tursul Kutai, dan Muang Kutai Adat Lawas.
Sehingga, hingga saat ini Provinsi Kalimantan Timur memilki setidaknya 35 warisan budaya yang
telah ditetapkan menjadi WBTB Indonesia. Indikator tertinggi pendukung warisan budaya Provinsi
Kalimantan Timur adalah pada persentase masyarakat yang menggunakan produk tradisional
73.81% dan persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang menonton secara langsung
pertunjukan seni 72,32% (Ditjen Kebudayaan, 2022).
Untuk budaya literasi mengalami keadaan fluktuatif dari tahun ke tahunnya. Dimana pada
tahun 2021 memiliki persentase sebesar 60,09%, lebih tinggi dibandingkan dengan nilai nasional.
Penurunan dimensi budaya literasi disebabkan oleh persentase penduduk usia 10 tahun ke atas
yang mengunjungi perpustakaan/memanfaatkan taman bacaan masyarakat lebih rendah
dibandingkan persentase nasional (Ditjen Kebudayaan, 2022). Indikator tertinggi yang mendukung
budaya literasi Provinsi Kalimantan Timur yaitu persentase penduduk berumur 10 tahun ke atas
yang mengakses internet dalam tiga bulan terkahir (75,76%). Lebih jelasnya persentase penduduk
usia 10 tahun ke atas yang pernah mengakses internet dalam 3 bulan terakhir lebih jelas dapat
dilihat pada Tabel 3-8.
Tabel 3-8 Persentase Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas yang Pernah Mengakses Internet dalam 3 Bulan Terakhir
Menurut Provinsi dan Jenis Kegiatan Utama 2020-2022
Mengurus Rumah
Bekerja Sekolah Lainnya
Provinsi Tangga
2020 2021 2022 2020 2021 2022 2020 2021 2022 2020 2021 2022
Kalimantan
73,4 77,0 84,4 77,1 92,8 92,9 60,4 66,7 76,2 64,9 72,3 76,8
Timur
Indonesia 58,5 62,6 68,8 70,2 85,8 84,7 46,9 54,2 59,84 57,35 64,09 68,45
Sumber: BPS, 2023
21
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Pada ketahanan sosial budaya terjadi keadaan fluktuatif dari tahun 2019-2021, dimana
terjadi penurunan pada tahun 2021 sebesar 72,46. Penurunan pada ketahanan sosial budaya
disebabkan oleh persentase penduduk berumur 10 tahun ke atas yang mengikuti kegiatan sosial
kemasyarakatan di lingkungan sekitar dalam tiga bulan terakhir (58,76%) yang berada dibawah
persentase nasional (75,00%). Selain itu persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang mengikuti
gotong royong dan persentase masyarakat yang merasa aman di lingkungan tempat tinggal juga
berada di bawah persentase nasional.
a. Skor Kesejahteraan
Berdasarkan hasil analisis skor kesejahteraan Provinsi Kalimantan Timur memiliki
predikat Rendah dengan skor sebesar 2,88 yang lebih rendah dibandingkan dengan skor
kesejahteraan Nasional. Provinsi Kalimantan Timur memiliki skor kesejahteraan rendah yang
disebabkan oleh nilai laju IHI yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang sedang, meskipun
tingkat pengangguran terbukanya rendah. .
Tabel 3-9 Skor Kesejahteraan
Laju
Pertumbuhan TPT Skor
Cakupan Predikat IHI Normalis Normalis
Ekonomi 2021- 2022 Kesejahter Predikat
Wilayah LPE 2021- asi IHI asi TPT
2022 (%) (%) aan
2022
Kalimantan 4,48 Sedang 26,59 Tinggi 5,71 Rendah 2,88 Rendah
Timur
Pulau 4,94 Sedang 19,75 Tinggi 4,97 Rendah 2,88 Rendah
Kalimantan
Nasional 5,31 Tinggi 9,57 Sedang 5,86 Rendah 3,63 Sedang
Sumber: Hasil analisis, 2023
b. Pertumbuhan Ekonomi
Provinsi Kalimantan Timur memiliki laju pertumbuhan ekonomi di tahun 2021-2022 sebesar
4,48% (Sedang) lebih rendah dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi Pulau Kalimantan
(5,07%) maupun laju pertumbuhan ekonomi nasional (5,31%). Berdasarkan hasil analisis, laju
perumbuhan ekonomi Provinsi Kalimantan Timur terjadi pertumbuhan naik, dimana pada tahun
2021-2022 sebesar 4,48% dan tahun 2020-2021 dengan laju pertumbuhan ekonomi sebesar 2,55%.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa, tahun 2022 untuk kinerja ekonomi makro terkait
pertumbuhan ekonomi di Provinsi Kalimantan Timur lebih baik dibanding tahun 2021.
22
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Gambar 3-6 Grafik Laju Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2019-2022
Sumber: BPS Provinsi Kalimantan Timur, 2023
Indikasi lain untuk lapangan usaha yang mengalami kontraksi terdalam atau mengalami
peningkatan secara signifikan terjadi pada Lapangan Usaha Transportasi dan Pergudangan
(11,96%), Jasa Keuangan dan Asuransi (9,46%), serta Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum
(9,16%). Hal ini menandakan, kinerja ekonomi di ketiga lapangan usaha tersebut cukup
mempengaruhi Provinsi Kalimantan Timur. PDRB Provinsi Kalimantan Timur menurut lapangan
usaha berdasarkan harga konstan pada tahun 2022 mencapai Rp. 506,16 triliun. Untuk lebih
jelasnya mengenai PDRB Provinsi Kalimantan Timur menurut lapangan usaha berdasarkan harga
konstan dapat dilihat pada tabel di bawah.
Tabel 3-10 PDRB Provinsi Kalimantan Timur Menurut Lapangan Usaha Berdasarkan Harga Konstan Tahun 2022
Berdasarkan tabel tersebut, dapat diketahui kontribusi terbesar Lapangan Usaha pada
PDRB Provinsi Kalimantan Timur adalah pada Lapangan Usaha Pertambangan dan Penggalian.
Pada Gambar 3-6 dapat diketahui bahwa Lapangan Usaha Pertambangan dan Penggalian pada
tahun 2022 berkontribusi sebesar 47%, Industri Pengolahan sebesar 20%, serta Konstruksi sebesar
8%. Lapangan Usaha Pertambangan dan Penggalian Provinsi Kalimantan Timur dipengaruhi oleh
23
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
1.403 pertambangan yang memproduksi minyak bumi, gas alam, batu bara PKP2B, serta batu bara
KP/IUP. Sementara Lapangan Usaha Industri Pengolahan dipengaruhi oleh industri petrokimia dan
industri crude palm oil (CPO). Sektor pertambangan, lapangan usaha industri pengolahan,
konstruksi, dan perdagangan tumbuh solid seiring dengan pembangunan proyek-proyek strategis
nasional khususnya Ibu Kota Negara (IKN) di wilayah Provinsi Kalimantan Timur, lifting minyak dan
gas yang tinggi, serta mobilitas masyarakat yang terus membaik.
Gambar 3-7 Persentase Konribusi Lapangan Usaha Terhadap PDRB Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2022
Sumber: BPS Provinsi Kalimantan Timur, 2023
24
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Perhubungan No 142/2022 tentang Besaran Biaya
Tambahan (Surcharge) yang disebabkan adanya fluktuasi bahan bakar tarif penumpang pelayanan
kelas ekonomi angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri.
Gambar 3-8 Tingkat Pengangguran Terbuka Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2019-2022
Sumber: BPS, 2023
25
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Berdasarkan kondisi di atas, kinerja IJLH di Provinsi Kalimantan Timur dapat sangat
bervariasi karena dipengaruhi oleh karakteristik bentang alam dan vegetasi alami serta
pemanfaatan lahan di atasnya. Kombinasi nilai IJLH yang telah digabungkan berbeda-beda
tergantung pada kinerja pada masing-masing jenis jasa lingkungan hidup. Provinsi Kalimantan
Timur adalah wilayah yang kaya akan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati. Upaya
berkelanjutan dalam pengelolaan air, pelestarian keanekaragaman hayati, dan ketahanan pangan
menjadi fokus penting untuk tetap terjaga kualitas lingkungannya sehingga dapat mendukung
kesejahteraan masyarakat di Provinsi Kalimantan Timur.
26
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Tabel 4-1 Indeks Jasa Lingkungan Hidup Eksisting Provinsi Kalimantan Timur
4.2 Indeks Keselamatan, Mutu Hidup dan Kesejahteraan Provinsi Kalimantan Timur
Kondisi keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan di Provinsi Kalimantan Timur akan
berbeda dengan provinsi-provinsi yang lainnya, karena memiliki keunikan yang beragam baik dari
aspek sosial, ekonomi, dan budaya. Berdasarkan hasil analisis Indeks KMK yang merupakan
gabungan dari skor keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan didapatkan hasil bahwa Provinsi
Kalimantan Timur memiliki predikat Sangat Tinggi (0,83). Angka ini lebih tinggi apabila
dibandingkan dengan indeks KMK nasional yaitu sebesar 0,52 (Sedang). Kondisi ini terjadi karena
Skor Mutu Hidup Provinsi Kalimantan Timur berada di skor maksimal, skor keselamatan sedang,
dan skor kesejahteraan rendah.
Tabel 4-2 Indeks Keselamatan, Mutu Hidup dan Kesejahteraan (KMK) Provinsi Kalimantan Timur
27
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Gambar 4-1 Simulasi Kuadran Keberlanjutan Provinsi Kalimantan Timur Terhadap Tingkat Nasional
Sumber : Hasil Analisis, 2023
Provinsi Kalimantan Timur berada di Kuadran I yang artinya Provinsi Kalimantan Timur
berada pada predikat Pembangunan yang Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan.
Predikat tersebut menandakan bahwa Indeks Jasa Lingkungan Hidup (IJLH) Provinsi Kalimantan
Timur diatas rata-rata nilai nasional, wilayah ini dalam kondisi ideal atau ekosistemnya masih
memberikan banyak manfaat penting seperti pengatur air, penyedia air, pendukung
keanekaragaman hayati, dan penyedia pangan. Sedangkan Indeks KMK memiliki nilai diatas rata-
rata nasional sehingga dari sisi sosio ekosistemnya memiliki nilai keselamatan, bermutu hidup, dan
nilai kesejahteraan yang tinggi. Apabila dilihat dalam lingkup Pulau Sumatera seperti pada Gambar
4-2, Provinsi Kalimantan Timur memiliki posisi penggambaran yang sama denganProvinsi
Kalimantan Tengah.
Gambar 4-2 Simulasi Kuadran Keberlanjutan Provinsi Kalimantan Timur terhadap Tingkat Pulau/Kepulauan
Sumber : Hasil Analisis, 2023
28
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
DAFTAR PUSTAKA
29
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Edelman, D. (1997). Carrying capacity-based regional planning by National Institute of Urban Affairs,
New Delhi. Project Paper Institute for Housing and Urban Development Studies, 11.
Rotterdam.
Febrianto. (2017). Daya Dukung Lingkungan Berbasis Ecological Footprint Di Kelurahan Tamangapa
Kota Makassar. Uin Alauddin Makassar.
Fiala, Nathan. (2008). Measuring sustainability: Why the ecological footprint is bad economics and
bad environmental science. Ecological Economics Volume 67, Issue 4, Pages 519-525.
https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2008.07.023
Florian Schaefer, Ute Luksch, Nancy Steinbach, Julio Cabeça, Jörg Hanauer. (2006). Ecological
Footprint and Biocapacity: The world’s ability to regenerate resources and absorb waste in
a limited time period. European Communities: Luxembourg. ISBN 92-79-02943-6.
https://ec.europa.eu/eurostat/documents/3888793/5835641/KS-AU-06-001-EN.PDF
Frank et al. (2011). Harvesting the sun: New estimations of the maximum population of planet Earth.
Ecological Modelling, 222, 2019. DOI: 10.1016/j.ecolmodel.2011.03.030.
Frick, H., & Mulyani, T. H. (2006). Arsitektur Ekologis: Konsep Di Iklim Tropis, Penghijauan Kota
Ekologis, Serta Energi Terbarukan. Yogyakarta : Kanisius.
Galli et al. (2012). Integrating Ecological, Carbon and Water footprint into a “Footprint Family” of
indicators: Definition and role in tracking human pressure on the planet. Ecological
Indicators, 16.
Galli, A., Iha, K., Moreno, S., Serena, M., Alves, A., Zokai, G., Lin, D., Murthy, A., dan Wackernagel, M.
(2020): Assessing the Ecological Footprint and biocapacity of Portuguese cities: Critical results
for environmental awareness and local management, Cities, 96(February 2019), 102442.
https://doi.org/10.1016/j.cities.2019.102442
Geertz, Hildred. (1963). Indonesian cultures and communities. New Haven: HRAF P.
Halim, L.N., & Panjaitan, T. W. 2016. Perancangan Dokumen Hazard Identification Risk Assessment
control (HIRARC) Pada Perusahaan Furniture. Titra, Vol. 4, No. 2 : 279-284
Hasan, M., & Muhammad, A. (2018). Pembangunan Ekonomi & Pemberdayaan Masyarakat Strategi
Pembangunan Manusia Dalam Perpektif Ekonomi Lokal (Kedua). CV. Nur Lina.
IESR. (2022). Indonesia Energy Transition Outlook 2023. Tracking Progress of Energy Transition in
Indonesia: Aiming for Net-Zero Emissions by 2050.
IPCC (2014): Climate Change 2014: Synthesis Report. Contribution of Working Groups I, II and III to
the Fifth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Core Writing
Team, R.K. Pachauri and L.A. Meyer (eds.)], Geneva, Switzerland, 151 pp
Iskandar, A., & Subekan, A. (2018). Analisis Pengaruh Kebijakan Moneter dan Fiskal Regional Terhadap
Inflasi Pertumbuhan Ekonomi Regional dan Pembuktian Flypaper Effect di Era Desentralisasi
Fiskal di Sulawesi Selatan (Issue September). https://doi.ssrn.com/abstract=2937564
Jan Matuštík, Vladimír Kočí. (2021). What is a footprint? A conceptual analysis of environmental
footprint indicators. Journal of Cleaner Production, Volume 285, 2021, 124833, ISSN 0959-
6526, https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2020.124833
Januandari, M. U., Rachmawati, T. A., & Sufianto, H. (2017). Analisa Risiko Bencana Kebakaran
Kawasan Segiempat Tunjungan Surabaya. Jurnal Pengembangan Kota, 5(2), 149-158.
30
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
João-Pedro Ferreira, João Lourenço Marques, Sara Moreno Pires, Katsunori Iha, Alessandro Galli.
(2023). Supporting national-level policies for sustainable consumption in Portugal: A socio-
economic Ecological Footprint analysis. Ecological Economics Volume 205, ISSN 0921-8009,
https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2022.107687
Juhadi, J. (2007). Pola-pola pemanfaatan lahan dan degradasi lingkungan pada kawasan
perbukitan. Jurnal Geografi.
Kartodihardjo, H. 2022. Pertanian dan Hilangnya Keanekaragaman Hayati. Diakses dari
https://www.forestdigest.com/detail/1964/keanekaragaman-hayati.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM). 2015. Implementasi Kebijakan Ekonomi dan
Energi Nasional (Pertama). Pusat Data dan Teknologi Informasi Energi dan Sumber Daya
Mineral. https://www.esdm.go.id/assets/media/content/KEI-
Implementasi_Kebijakan_Ekonomi_dan_Energi_Nasional.pdf
Kementerian Kesehatan. 2020. Infodatin Air Dan Kesehatan Tahun 2020. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2013). Deskripsi Peta Ekoregion Pulau/Kepulauan.
Jakarta Timur: Kementerian Lingkungan Hidup.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2020). Deskripsi Peta Wilayah Ekoregion Indonesia.
Jakarta Pusat: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kementerian Pekerjaan Umum. 2010. Ecological Footprint of Indonesia 2010. Jakarta: Direktorat
Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia.
Kerinci Seblat National Park. (2018). Taman Nasional Kerinci Seblat Harapan Terakhir Habitat
Harimau Sumatera. Sungai Penuh, Jambi: Kerinci Seblat National Park.
Kharisma R, Purnomo H, Kuncahyo B. 2022. Ecological footprint and biocapacity analysis of upper
Cisadane Watershed. Journal of Natural Resources and Environmental Management, 12(2),
197-209. http://dx.doi.org/10.29244/jpsl.12.2.197-209.
Kitzes et al. 2008. Guidebook to the National Footprint Accounts: 2008 Edition. Oakland: Global
Footprint Network.
Kozlowski, J.M. .1990. Sustainable Development in Professional Planning: A Potential Contribution
of the EIA and UET Concepts. Landscape and Urban Planning, 19(4): 307-332. DOI:
10.1016/0169-2046(90)90040-9.
Lane et al. 2013. The essential parameters of a resource-based carrying capacity assessment model:
An Australian case study. Ecological Modelling, 272: 220– 231.
http://dx.doi.org/10.1016/j.ecolmodel.2013.10.006.
Małgorzata Świąder, David Lin, Szymon Szewrański, Jan K. Kazak, Katsunori Iha, Joost van Hoof,
Ingrid Belčáková, Selen Altiok. (2020). The application of ecological footprint and
biocapacity for environmental carrying capacity assessment: A new approach for European
cities. Environmental Science & Policy Volume 105, Pages 56-74, ISSN 1462-9011,
https://doi.org/10.1016/j.envsci.2019.12.010
Manafi et al. 2009. Aplikasi Konsep Daya Dukung Untuk Pembangunan Berkelanjutan Di Pulau Kecil
(Studi Kasus Gugus Pulau Kaledupa, Kabupaten Wakatobi). Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan
Perikanan Indonesia, 16(1), 63.
31
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Maruf, M. 2023. Indonesia Negara Darurat Impor Pangan. Diakses pada 18 September 2023 dari
https://www.cnbcindonesia.com/research/20230704185303-128-451320/indonesia-
negara-darurat-impor-pangan.
Maryanti et al. (2016). The Urban Green Space Provision Using The Standards Approach: Issues And
Challenges Of Its Implementation In Malaysia, WIT Transactions on Ecology and The
Environment, Vol 210, WIT Press
Meadows, D., Randers, J., dan Meadows, D. (2005): Limits to Growth: The-30-Year Update, Earthscan,
London, 205
Monfreda et al. 2004. Establishing national natural capital accounts based on detailed Ecological
Footprint and biological capacity assessments. Land Use Policy, 21(3).
Muslim, M. R. (2014). Pengangguran Terbuka Dan Determinannya. Jurnal Ekonomi Dan Studi
Pembangunan Volume 15, Nomor 2, 15(2), 171–181.
http://journal.umy.ac.id/index.php/esp/article/download/1234/1292
Mutaali, L. (2011). Environmental Carrying Capacity Based On Spatial Planning. Indonesian Journal
of Geography, 43(2), 142–155.
Nge, U., Maw, D., Tun, U. (1992). Norms and Standards of Education Facilities, Working Paper Series
no. 5,4, Ministry of Education/UNDP/UNESCO, Myanmar
Nirupama, N. (2013). Disaster Risk Management. In P. T. Bobrowsky (Ed.), Encyclopedia of Natural
Hazards (pp. 164–170). Netherlands: Springer.
Pambudhi et al. 2012. Estimasi Stok Karbon Hutan Dengan Menggunakan Citra Alos Avnir-2 Di
Sebagian Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Kutai Barat. Jurnal Bumi Indonesia. 1.
Panjaitan et al. 2020. Impact of agriculture on water pollution in Deli Serdang Regency, North
Sumatra Province, Indonesia. Organic Agriculture, 10, 420. https://doi.org/10.1007/s13165-020-
00282-7.
Pedoman Umum Rumah Sederhana Sehat nomor 403/KPTS/2002 Keputusan Menteri Kipraswil 2002
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana.
Polat, H. Ibrahim (2019). A Recommendation for Health Facility Areas in the Urban Planning,
Journal of Architecture and Construction Volume 2, Issue 1, 2019, PP 42-45 ISSN 2637-5796
Presiden Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 140. Sekretariat Negara. Jakarta.
32
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Rachman, A. 2023. RI Kaya Hasil Laut, Tapi Impor Ikan Bejibun dari China & AS. Diakses pada 08
September 2023 dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20230216082540-4-414202/ri-
kaya-hasil-laut-tapi-impor-ikan-bejibun-dari-china-as
Rahardja, P., & Manurung, M. (2019). Pengatar Ilmu Ekonomi (Mikroekonomi & Makroekonomi).
Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
Rees, W. 1990. The ecology of sustainable development. Ecologist, 20(1).
Richard, G. (2002). Human carrying capacity of Earth. ILEA Leaf Winter 2022 Issue. Institute for
Lifecycle Environmental Assessment, Washington DC.
Santoso et al. (2014). Concept of Carrying Capacity: Challenges in Spatial Planning (Case Study of
East Java Province, Indonesia). Procedia–Social and Behavioral Sciences, 135: 130-135. DOI:
10.1016/j.sbspro.2014.07.336.
Silitonga, D. (2021). Pengaruh Inflasi Terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia Pada
Periode Tahun 2010-2020. ESENSI: Jurnal Manajemen Bisnis, 24(1), 2021.
Skole, D. (1994). Data on Global Land-Cover Change: Acquisition, Assessment, and Analysis.
Dalam W. Meyer, & B. Turner (Penyunt.), Changes in Land Use and Land Cover: A Global
Perspective (Vol. II, hal. 437-471). Cambridge: Cambridge University Press.
Smith, A. (1776). An inquiry into the nature and causes of the wealth of nations. Knowledge and
Postmodernism in Historical Perspective, July 2016, 62–72. https://doi.org/10.2307/2221259
Statista (2018). Retail Space per Capita in Selected Countries Worldwide 2018,
Statista.com/statistics/10588552/retail-space-per-capita-selected-countires-worldwide/
Subekti, R.M dan Suroso, D.A. (2018). Ecological Footprint and Ecosystem Services Models: A
Comparative Analysis of Environmental Carrying Capacity Calculation Approach in
Indonesia. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 158.
https://dx.doi.org/10.1088/1755-1315/158/1/012026.
Supriyadi, Ramdan, F. (2017). Identifikasi Bahaya dan Penilaian Risiko pada Divisi Boiler
Menggunakan Metode Hazard Identification Risk Assessment And Risk Control (Hirarc).
Journal of Industrial Hygiene and Occupational Health. 1 (2). 161-177.
Suryo, Mahatma Sindu (2017). Analisia Kebutuhan Luas Minimal Pada rumah Sederhana Tapak di
Indonesia. Jurnal Permukiman Vol. 12 no. 2 November 2017: 116-123
Susanto, D. et al. (2022). The Minimum Space Standard: Proposing New House Floorplan on Dwelling
Activities in Greater Jakarta Region, Indonesia, Urban, Planning And Transport Research
2022, VOL. 10, NO. 1, 372–395
Świąder M, Szewrański S and Kazak JK (2020) Environmental Carrying Capacity Assessment—the
Policy Instrument and Tool for Sustainable Spatial Management. Front. Environ. Sci.
8:579838. https://doi.org/10.3389/fenvs.2020.579838
Świąder M, Szymon Szewrański, Jan K. Kazak, Joost Van Hoof, David Lin, Mathis Wackernagel, and
Armando Alves. (2018). Application of Ecological Footprint Accounting as a Part of an
Integrated Assessment of Environmental Carrying Capacity: A Case Study of the Footprint of
Food of a Large City. Resources 7. https://doi.org/10.3390/resources7030052
Taradini, J. 2018. Pemodelan Alokasi Spasial Penutup/Penggunaan Lahan Berdasarkan Daya Dukung
Lingkungan Hidup Sebagai Skenario Perencanaan (Wilayah Studi: Pulau Jawa, Indonesia).
Institut Teknologi Bandung.
33
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
USAID. (2010). Urban Governance and Community Resilience Guides-Risk Assessment in Cities (book
2). Asian Disaster Preparedness Center-United State Agency International Development.
Wackernagel, M., J. Kitzes. (2008). Ecological Footprint. Encyclopedia of Ecology: Academic Press
Halaman 1031-1037, ISBN 9780080454054, https://doi.org/10.1016/B978-008045405-
4.00620-0
Wackernagel, M., Lin, D., Hanscom, L., Galli, A., dan Iha, K. (2019): Ecological Footprint, Encyclopedia
of Ecology, 4(March 2018), 270–282. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-409548-9.09567-1
Wackernagel, M., Lin, David. (2019). Ecological footprint accounting and its critics. GreenBiz:
Oakland, California. https://www.greenbiz.com/article/ecological-footprint-accounting-
and-its-critics diakses 8 Agustus 2023
Wackernagel, M., Rees, W. (1996). Our Ecological Footprint: Reducing Human Impact on the Earth.
New Society Publishers, Gabriola Island.
Wang et al. 2022. Identification of Priority Areas for Improving Urban Ecological Carrying Capacity:
Based on Supply–Demand Matching of Ecosystem Services. Land 2022, 11, 698.
https://doi.org/10.3390/land11050698.
WHO (2016). Urban Green Spaces and Health: A Review of Evidence, WHO Regional Office for Europe,
Denmark
Wisner, B., Blaikie, P., Cannon, T., Davis, I. (2004). At Risk: Natural Hazards, People’s Vulnerability and
Disaster. London: Routledgemusabbe
World Wide Fund For Nature. (2006). Living Planet Report. Cambridge: A BANSON Production.
34
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
5 LAMPIRAN
5.1.1 Literatur
5.1.1.1 Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup: Ukuran Keseimbangan antara
Penyediaan Sumber Daya Alam dan Kebutuhan Manusia
Dinamika global mempengaruhi perkembangan di Indonesia, baik fisik maupun non fisik.
Sebagai contoh adalah pertambahan populasi penduduk di kawasan perkotaan dan peri urban
akibat fenomena urbanisasi dan industrialisasi. Terjadinya perubahan pemanfaatan lahan yang
pesat serta eksploitasi alam mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan. Salah
satunya adalah isu perubahan iklim yang mempengaruhi tatanan pengelolaan lingkungan hidup
saat ini. Indonesia adalah negara kepulauan di daerah tropis dan sangat rentan terhadap ancaman
perubahan iklim. Dalam upaya merespons terhadap isu tersebut maka perlu dilakukan pendekatan
melalui penilaian Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH).
Pembangunan wilayah harus memperhatikan ketahanan lingkungan hidup sebagai
respons terhadap ancaman global. Untuk mencegah risiko kerusakan lingkungan hidup, perlu
adanya upaya untuk menghubungkan antara prinsip pemerataan dan keberlanjutan.
Pembangunan keberlanjutan pertama kali didefinisikan oleh Brundtland Commission atau World
Commission on Environment and Development (1987), yaitu pembangunan yang memenuhi
kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi
kebutuhan mereka sendiri. Sehingga seiring berjalannya waktu, pembangunan wilayah dengan
prinsip berkelanjutan telah menjadi komitmen di berbagai negara guna menciptakan
pengharmonisasian antara alam dan manusia (Wackernagel et al, 2019; Fu et al, 2015 dalam
Kharisma et al, 2022). Akan tetapi dalam praktikalnya, pembangunan lebih banyak memberikan
efek paradoks berupa degradasi lingkungan karena mengejar pertumbuhan ekonomi (Subekti dan
Suroso, 2018).
Agar pembangunan dapat menjamin kualitas hidup yang baik bagi masyarakat, perlu
adanya sinergi antara tujuan ekonomi, sosial, dan lingkungan, serta kebijakan pemerintah. Hal ini
dapat tergambarkan melalui konsep D3TLH sebagai ambang batas dalam menjamin keberlanjutan
suatu wilayah. Merujuk pada Tabel 3-1, D3TLH memiliki posisi sebagai indikator penting yang harus
diperhatikan dan dipertimbangkan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan,
hingga pengelolaan sumber daya alam.
Peran penting D3TLH terhadap keberlanjutan wilayah juga tergambarkan sebagai salah
satu instrumen lingkungan hidup untuk menunjukkan upaya terciptanya kondisi lingkungan hidup
yang baik dan sehat. Tujuan tersebut menjadi bagian dari hak asasi manusia yang diamanatkan
dalam Pasal 28 H Undang-Undang Dasar 1945. D3TLH mampu menunjukkan kemampuan
lingkungan hidup terkait keberlanjutan proses, fungsi, dan produktivitas lingkungan. Dimana
kemampuan tersebut mampu mendukung perikehidupan manusia terkait keselamatan, mutu
35
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
hidup, dan kesejahteraan manusia. Dengan kata lain, D3TLH memperkuat aspek environmental and
social safeguard dalam perencanaan yang ingin dilakukan ke depannya.
Kemampuan lingkungan hidup dimaksudkan untuk ketersediaan aset sumber daya alam
(SDA) di dalamnya. Berdasarkan klasifikasi oleh Miller (1990), SDA terbagi menjadi tiga jenis, yaitu
perpetual resources (sumber daya yang selalu tersedia/terbarukan), potentially renewable (sumber
daya yang berpotensi terbarukan), dan non-renewable resources (sumber daya tidak terbarukan).
Apabila dibandingkan dengan kebutuhan dasar (pangan, sandang, dan papan) manusia, kondisi
SDA potensi terbarukan yang secara langsung terpengaruh. Adapun SDA Potensi Terbarukan yang
dimaksud adalah air, udara, lahan, laut, dan keanekaragaman hayati (kehati). Namun, pada
penentuan D3TLH ini hanya berdasarkan tiga SDA meliputi air, lahan, dan keanekaragaman hayati
(kehati).
Diantara ketiga SDA tersebut, lahan adalah yang paling penting bagi keberlanjutan
keseluruhan lingkungan hidup karena mampu mempengaruhi kuantitas maupun kualitas air dan
kehati. Lahan juga memiliki perubahan yang cukup dinamis. Perencanaan penggunaan lahan yang
optimal dapat lebih mudah menjaga keseimbangan antara supply dan demand (Wang et al, 2022).
Pernyataan tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Subekti dan Suroso (2018),
pendekatan Jejak Ekologis dari sembilan pendekatan lainnya yang paling memenuhi semua kriteria
untuk menghitung D3TLH dengan lahan menjadi unit analisisnya. Adapun lahan yang dimaksud
adalah penutupan lahan sebagai bagian dari biogeofisik pada permukaan bumi yang dapat
diamati. Penutupan lahan mengalami sistem klasifikasi yang akan berkaitan dengan penggunaan
lahan atau penutupan lahan yang dimanfaatkan (Taradini, 2018).
Kondisi ketiga SDA pada D3TLH berkaitan erat dengan jasa ekosistem yang yang
diasumsikan nilainya berbanding lurus, yaitu semakin tinggi nilai jasa ekosistem, maka semakin
tinggi daya dukung lingkungannya. Terminologi jasa ekosistem diadopsi di Indonesia menjadi jasa
lingkungan hidup yang dimodelkan sebagai hasil perpaduan dari proses alami dan faktor manusia
mencakup sosial, ekonomi, dan budaya di dalamnya. Dengan kata lain, jasa lingkungan hidup
menghasilkan nilai manfaat bagi pemenuhan kebutuhan manusia. Dalam penilaiannya, jasa
lingkungan hidup mengacu pada lanskap atau ekoregion dan penutupan lahan. Hasilnya yang
berupa indeks kemudian digunakan sebagai dasar untuk pemetaan D3TLH.
D3TLH tentunya tidak dapat lepas dari aktivitas manusia sebagai makhluk sosial dan
memenuhi kebutuhannya melalui kegiatan ekonomi. Hal ini dikarenakan segala aktivitas manusia
mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas lingkungan hidup. Padahal
idealnya kegiatan ekonomi menyesuaikan dengan peruntukkan pemanfaatan SDA yang
direncanakan. Terlebih dalam UU 32/2009, apabila Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)
menyatakan D3TLH telah terlampaui, maka perlu dilakukan perubahan kebijakan/rencana
pembangunan, serta segala usaha atau kegiatan yang melebihi ambang batas D3TLH tidak
diperbolehkan lagi.
36
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
dalam tatanan kehidupan; (2) mutu hidup dalam keterjaminan kualitas manusia dan kekayaan
budaya dari jasa lingkungan hidup; serta (3) kesejahteraan dalam menikmati utilitas hidup yang
maksimal melalui perekonomian yang aman.
Sebagaimana uraian di atas, D3TLH dapat memberikan ambang batas atau rambu guna
menjamin keberlanjutan suatu wilayah. Dengan kata lain, menurut Manafi et al (2009),
keberlanjutan pemanfaatan sumber daya alam sangat ditentukan dari tingkat pemanfaatan yang
tidak melebihi daya dukungnya. Perlu dipahami bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan
tentunya memiliki nilai D3TLH yang berbeda-beda. Perbedaan mencolok berada di pulau-pulau
kecil dikarenakan karakteristik ekosistemnya dengan keanekaragaman hayati endemik dan risiko
lingkungan yang tinggi. Hal tersebut berimplikasi terbatasnya daya dukung pulau seperti
ketersediaan air dan tanaman pangan sehingga sangat rentan terhadap segala bentuk perubahan
baik dari faktor alam maupun manusia.
D3TLH dinilai urgensi untuk ditentukan dan ditetapkan sebagai target utama pelestarian
fungsi lingkungan hidup bagi pulau/kepulauan di Indonesia. Terlebih bagi pulau-pulau kecil yang
sebagian besar kawasan tertinggal, sarana dan prasarana yang masih terbatas, serta kurangnya
keberpihakan pemerintah sehingga pengelolaan sumber daya alamnya belum kuat dari penegakan
hukum dan saling terintegrasi terhadap lintas sektor di pusat. Nilai D3TLH yang berkaitan dengan
ketersediaan jasa lingkungan hidup sebagian besar dipengaruhi oleh ekoregion.
Ekoregion adalah sebagai wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air,
flora, dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas
sistem alam dan lingkungan hidup (KLHK, 2020). Ekoregion juga dapat dipahami sebagai konsep
unit karakter lahan yang berperan sebagai penciri sifat dan faktor pembatas (constraint). Dimana
ekoregion mampu memberikan gambaran potensi jasa lingkungan hidup sebagai dasar
pengelolaan wilayah yang menyesuaikan dengan daya dukung dan daya tampungnya. Ekoregion
antar wilayah di Indonesia pun berbeda didasarkan pada karakteristik bentang alam diwakili oleh
aspek morfologi maupun morfogenesa lahan dan vegetasi alami diwakili oleh tingkat
keanekaragaman hayati. Interaksi kedua karakteristik tersebut yang kemudian turut
mempengaruhi pola budaya masyarakat yang bermukim di setiap pulau/kepulauan.
Melalui pendekatan ekoregion dalam D3TLH mampu memastikan terjalinnya penguatan
koordinasi horizontal antar wilayah sesuai batas administrasi. Koordinasi yang bersifat saling
bergantung juga antara kawasan hulu dan hilir dapat mempengaruhi pengelolaan dan
perlindungan lingkungan hidup yang di dalamnya mengatur persoalan pemanfaatan dan
pencadangan sumber daya alam, serta permasalahan lingkungan hidup. Selain itu, dikarenakan
letak geografisnya, kondisi D3TLH di Indonesia secara tidak langsung berkontribusi terhadap isu
global seperti perubahan iklim.
Adapun poin utama kontribusi Indonesia adalah keanekaragaman hayati yang tinggi
melalui keberadaan kawasan hutan. Berdasarkan Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN)
2011-2030, cakupan luas kawasan hutan di daratan sebesar 120 juta hektar dan laut sebesar 5 juta
hektar. Indonesia memiliki banyak hutan hujan tropis yang termasuk jenis hutan penyerap dan
penyimpan ratusan miliar ton karbon akibat keberagaman jenis dan kerapatan vegetasinya
(Pambudhi et al, 2012). Hal ini menyebabkan Indonesia berpotensi sebagai pemilik cadangan
karbon terbesar dengan 75-80% dari total stok di dunia. Dikarenakan potensi itulah menjadikan
37
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Indonesia juga berpotensi sebagai carbon offset superpower di dunia melalui perdagangan karbon
sukarela secara global.
Dikutip dari website goodnewsfromindonesia.id, sumbangan kawasan hutan terluas
Indonesia berada di Pulau Kalimantan dan Papua. Namun kecenderungan kinerja jasa lingkungan
hidup pengatur air periode tahun 1996-2020 menunjukkan bahwa kedua pulau tersebut terindikasi
mengalami penurunan. Hal ini terutama disebabkan alih fungsi lahan dari hutan lahan kering
primer menjadi sekunder atau bekas tebangan sekitar 2–3 juta hektar pada masing-masing wilayah.
Menyambung dengan penentuan D3TLH ini, hutan lahan kering primer merupakan salah satu
bagian dari kawasan lindung /konservasi yang tetap dipertahankan dalam pengalokasian lahan
untuk kebutuhan fisiologis manusia.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa melalui D3TLH dapat digunakan untuk
mengidentifikasi wilayah mana yang perlu dilakukan tindakan pemulihan, pengelolaan yang
lebih efektif hingga diharuskan konservasi dalam menjaga keseimbangan lingkungan hidup.
Galli et al (2012) menyatakan biokapasitas adalah nilai yang dinyatakan dalam satuan bagi
suatu daerah yang diperlukan untuk menyediakan atau regenerasi ekosistem setiap tahunnya.
Mengetahui biokapasitas secara tidak langsung memperoleh faktor pembatas pembangunan dan
ekonomi agar tidak melebihi kemampuan lingkungan hidup (Borucke et al., 2012). Melalui
penelitian National Footprint Accounts yang dilakukan selama 47 tahun (1961-2008), pada skala
dunia menunjukkan kondisi biokapasitas yang mengalami penurunan.
38
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
lahan teoretis dengan terdapat produktivitas biologis dan dijadikan sebagai ambang batas
(Febrianto, 2017; Monfreda et al, 2004; Wackernagel dan Rees, 1996).
Lahan bioproduktif yang dimaksud tentunya memiliki kapasitas yang berbeda-beda
menurut wujud dan ekosistemnya (penggunaan lahan). Adapun lahan bioproduktif tersebut
meliputi (1) lahan pertanian untuk penyediaan makanan nabati dan produk serat; (2) lahan
perikanan (laut dan darat); (3) tanah penggembalaan dan lahan pertanian untuk produk hewan; (4)
hutan untuk kayu dan hasil hutan lainnya; (5) wilayah terbangun (built-up area) untuk tempat
tinggal dan infrastruktur lainnya; serta (6) tanah serapan untuk mengakomodasi penyerapan
karbon dioksida antropogenik (jejak karbon).
Kapasitas lahan bioproduktif ditentukan melalui nilai ekuivalen yang dikeluarkan oleh
Global Footprint Network melalui The Underlying Calculation Method. Nilai ekuivalen ini merupakan
faktor untuk dalam konversi produktivitas satu hektar lahan tertentu ke dalam produktivitas rata-
rata dunia, yakni dalam satuan hektar (Gha). Berikut adalah nilai ekuivalen pada masing-masing
lahan bioproduktif.
Tabel 5-1 Faktor Ekuivalen pada Lahan Bioproduktif
39
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Oleh karena itu, luas penutupan lahan merupakan salah satu syarat mutlak dalam
perhitungan biokapasitas yang dipengaruhi dengan produktivitas pada masing-masing penutupan
lahan. Dalam kaitannya penutupan lahan, tidak dapat terlepas dari penggunaan lahan. Menurut
Skole (1994), penutupan lahan yang dimanfaatkan oleh manusia untuk aktivitas produksi dari
faktor sosial-ekonomi disebut dengan penggunaan lahan. Sehingga penutupan lahan yang menjadi
lahan bioproduktif akan mencakup turunan jenis sesuai penggunaannya. Biokapasitas pada
penentuan D3TLH Provinsi merujuk pada pendefinisian tersebut dengan ada penyesuaian
klasifikasi penutupan lahan berdasarkan ketersediaan data dan pemilihan metodologi.
Perbedaan ini akan dijelaskan subbab 4.1 di keterbatasan data dan metodologi.
Biokapasitas sebagai kunci dalam lingkungan yang akan mempengaruhi pembangunan
suatu wilayah ke depannya. Seperti yang diketahui, pembangunan lebih banyak menyebabkan
degradasi lingkungan dikarenakan umumnya menekan pada kemajuan ekonomi. Dimana dalam
prosesnya menyebabkan alih fungsi lahan hingga pembukaan kawasan hutan. Menurut Living
40
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Planet Report (2006) yang dikeluarkan oleh World Wide Fund for Nature, perbandingan antara
biokapasitas (penyediaan) dan jejak ekologis (kebutuhan) mampu mencerminkan daya dukung
lingkungan hidup (carrying capacity). Perbandingan tersebut akan menghasilkan dua status
meliputi:
1. Defisit Ekologis diartikan daya dukung lingkungan hidup telah terlampaui dan tidak
berkelanjutan apabila biokapasitas lebih kecil dari jejak ekologis
2. Surplus Ekologis diartikan daya dukung lingkungan hidup belum terlampaui dan
berkelanjutan apabila biokapasitas lebih besar dari jejak ekologis
Kondisi idealnya tentu Surplus Ekologis yang menunjukkan bahwa dalam memenuhi
kebutuhannya, penduduk sudah mampu memperhatikan daya dukung sebagai ambang batas dari
lingkungan hidup. Kemampuan penduduk terlihat dengan aktivitas pemanfaatan sumber daya
alam tidak lagi bersifat destruktif dan ekspoitasi yang berlebihan yang mengancam terjadinya
degradasi. Kondisi ideal juga menunjukkan bahwa lingkungan hidup terjamin keberlanjutannya
sehingga tidak membutuhkan impor sumber daya maupun rekayasa teknologi. Adapun
keberlanjutan yang dimaksud adalah terbentungnya cadangan sumber daya alam yang dapat
dimanfaatkan hingga di masa mendatang.
Brundtland Report (1987) mengasumsikan bahwa dari jumlah total luasan biokapasitas,
hanya sebesar 12% diperuntukkan bagi makhluk hidup lain (selain manusia) atau untuk
keanekaragaman hayati. Sehingga jumlah yang dapat dimanfaatkan oleh manusia sebesar 88%
dari jumlah total biokapasitas. Biokapasitas seharusnya mampu memenuhi kebutuhan suatu
wilayah secara mandiri, namun pada kenyataannya dengan maraknya aktivitas illegal
menyebabkan tidak semuanya terserap. Selain itu, terkadang sumber daya alam tersebut lebih
didahulukan untuk kegiatan ekspor sehingga turut menyebabkan kondisi daya dukung lingkungan
hidup yang Defisit Ekologis. Di lain pihak, Defisit Ekologis apabila secara murni dikarenakan
kekurangan biokapasitas akan mengurangi potensi ekspor dan meningkatkan impor yang akan
mempengaruhi perekonomian. Sehingga dapat disimpulkan bahwa biokapasitas bersama jejak
ekologis membantu evaluasi keberlanjutan praktik manusia.
Konsep jejak ekologis ini memainkan peran sentral dalam menggambarkan area-area di
mana aktivitas manusia menunjukkan ketidakberlanjutan. Dengan mengidentifikasi titik-titik kritis
di mana keseimbangan antara konsumsi sumber daya dan pemulihan lingkungan terancam,
strategi dapat dirumuskan untuk mengurangi dampak merugikan dari tindakan manusia (Matustik
41
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
dan Koci, 2021). Strategi tersebut dapat meliputi pergeseran menuju penggunaan sumber daya
yang lebih efisien, adopsi teknologi ramah lingkungan, dan promosi inisiatif konservasi.
Penerapan konsep ini mungkin merupakan konsep yang paling relevan untuk diterapkan di
masa yang penuh keprihatinan lingkungan. Saat dampak antropogenik terhadap planet semakin
mencolok, jejak ekologis berfungsi sebagai sebuah peringatan untuk tindakan proaktif guna
mencegah ketidakseimbangan ekologis. Konsep ini dapat bertindak sebagai kompas, membimbing
para pembuat kebijakan, peneliti, dan pemangku kepentingan menuju intervensi terarah untuk
meredakan tekanan terhadap lingkungan dan mendorong keberlanjutan bersama (Fereira et all,
2023).
Oleh karena itu, jejak ekologis adalah sebuah ukuran seberapa bergantungnya manusia
terhadap sumber daya alam dan mengindikasikan jumlah tekanan yang manusia berikan pada
sumber daya alam yang tersedia bagi mereka. Konsep ini dapat membantu menilai keberlanjutan
dari aktivitas manusia dan dampaknya terhadap lingkungan. Dengan memahami dan mengurangi
jejak ekologis, kita dapat berkontribusi pada perlindungan lingkungan dan menjaga kapasitas
lingkungan dan manusia yang berkelanjutan.
Terdapat beberapa cara untuk menghitung jejak ekologis seseorang, diantaranya adalah
dengan menggunakan platform perhitungan jejak ekologis yang dikeluarkan oleh EcoOnline,
ClimateHero, Greenly.Earth, dan TreeHugger.com. Dari berbagai platform tersebut, beberapa
langkah umum untuk menghitung jejak ekologis dalam membantu individu mengukur dan
mengurangi dampak lingkungan mereka antara lain:
1. Langkah pertama dalam menghitung jejak ekologis adalah menentukan luas lahan dan air
produktif biologis yang diperlukan untuk menghasilkan barang dan jasa yang dikonsumsi
serta menyerap limbah yang dihasilkan oleh individu, komunitas, atau negara tertentu.
Pada langkah ini, berbagai faktor seperti emisi karbon dioksida, penggunaan lahan
pertanian untuk bercocok tanam, atau hutan untuk produksi kayu, dan faktor-faktor
lainnya diperhitungkan.
2. Langkah kedua melibatkan perhitungan total luas area yang diperlukan dengan
menjumlahkan luas berbagai jenis lahan dan air yang berbeda.
3. Langkah ketiga mengajukan perbandingan antara total luas area yang diperlukan dengan
biokapasitas yang tersedia, yaitu area produktif dari daratan dan laut yang dapat
meregenerasi sumber daya dan menyerap limbah yang dihasilkan.
4. Langkah terakhir adalah mengungkapkan hasil perhitungan dalam satuan luas (hektar).
Hal ini memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang dampak konsumsi sumber daya
dan produksi limbah dalam skala global.
Dalam perkembangan teknologi informasi, beberapa peran kalkulator jejak ekologis telah
menjadi alat yang berharga bagi seseorang yang ingin memahami dampak lingkungan dari gaya
hidup mereka. Salah satu contoh adalah kalkulator yang disediakan oleh ClimateHero 1. Dalam
simulasi tersebut, akan ada beberapa pertanyaan sederhana tentang gaya hidup ekologis, seperti
transportasi, makanan, dan perumahan, dan memberikan umpan balik tentang apa yang sudah
1
https://ecological-footprint-calculator.climatehero.me
42
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
dilakukan pengguna dengan baik serta saran untuk mengurangi jejak ekologis mereka dan hidup
lebih ramah lingkungan.
Secara keseluruhan, penghitungan jejak ekologis melibatkan penentuan luas lahan dan air
produktif biologis yang diperlukan untuk produksi barang dan jasa serta penyerapan limbah yang
dihasilkan, perbandingan dengan biokapasitas yang tersedia, dan pengungkapan hasil perhitungan
dalam hektar global atau dengan jumlah Bumi yang dibutuhkan. Kalkulator jejak ekologis
membantu individu menghitung jejak ekologis mereka dan memberikan saran untuk mengurangi
dampak lingkungan.
5.1.1.4 Standar Kebutuhan Ruang
Studi lain terkait dengan luasan rumah sehat sederhana dilakukan oleh Pusat Litbang
Permukiman tahun 2011 berdasarkan antropometri orang Indonesia. Studi tersebut menghasilkan
nilai luasan kebutuhan ruang berdasarkan kenyamanan ruang gerak dengan variabel antara lain:
43
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Dari studi tersebut, diperoleh luasan minimal rumah sederhana adalah 47,56 m2 atau 11,89
m2 per jiwa (asumsi 1 keluarga terdiri atas 4 orang). Selain Indonesia, beberapa negara juga memiliki
standar kebutuhan ruang untuk rumah tinggal sederhana, baik di Asia, Eropa, maupun Australia.
Setiap negara memiliki standar yang berbeda dan digunakan sebagai acuan dalam merancang
rumah. Berikut adalah standar luas lantai per jiwa untuk rumah sederhana dari beberapa negara:
Tabel 5-3 Standar Kebutuhan Luas Lantai Per Jiwa Rumah Sederhana Internasional
Perbandingan dari tabel di atas dapat dilihat bahwa standar luas ruang per orang untuk
rumah sederhana di Indonesia cukup terbatas. Sedangkan negara yang memiliki standar luas ruang
untuk rumah sederhana yang paling besar adalah Jerman, yaitu 55 m2/jiwa.
44
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
publik memiliki ukuran luasan (m2/jiwa) yang berbeda-beda. Standar ukuran luasan ruang dapat
dilihat pada tabel di bawah.
Tabel 5-5 Perbandingan Ruang Publik Standar Nasional Indonesia dan Internasional
Selain Indonesia, negara-negara lain juga memiliki standar kebutuhan ruang publik.
Bahkan organisasi internasional seperti World Health Organization (WHO) dan UNESCO juga
mengeluarkan standar kebutuhan ruang sebagai rekomendasi dalam perencanaan dan menjaga
kualitas lingkungan. Jenis ruang publik yang memiliki standar internasional antara lain, sarana
ruang terbuka hijau, sarana budaya dan rekreasi, sarana perdagangan dan niaga, sarana kesehatan,
dan sarana Pendidikan. Ukuran standar pada setiap negara berbeda-beda karena menyesuaikan
dengan kondisi geografi, fisik, kebutuhan masyarakat, faktor sosial, ekonomi dan faktor-faktor
lainnya. Umumnya, negara-negara di Amerika, Eropa dan Australia memiliki standar kebutuhan
ruang yang lebih besar dibandingkan negara-negara Asia, khususnya Indonesia. Sebagai contoh
kebutuhan sarana perdagangan dan jasa di Amerika Serikat adalah 2.18 m 2/jiwa, sedangkan SNI
merekomendasikan sebesar 0.3 – 0,5 m2/jiwa. Pada standar sarana kesehatan, Inggris memiliki
standar sebesar 1.71 m2/jiwa, Jerman 0.82 m2/jiwa, dan Pakistan 0,7 m2/jiwa. Sedangkan SNI
merekomendasikan kebutuhan ruang sarana kesehatan sebesar 0,006 – 0,12 m2/jiwa. Dari
perbandingan tersebut, dapat dilihat bahwa kebutuhan ruang publik di Indonesia berdasarkan SNI
masih cukup kecil.
3. Sarana Ruang Terbuka, Taman, dan Lapangan Olahraga
Perencanaan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan memiliki peran peting untuk
memastikan bahwa setiap masyarakat memiliki akses dalam menggunakan ruang hijau perkotaan
dalam beraktivitas sebagai bagian untuk memenuhi kebutuhan sosial terutama di daerah
perkotaan dengan kepadatan tinggi. Penyediaan ruang hijau perkotaan sangat penting untuk
meningkatkan kualitas hidup karena ruang terbuka hijau memiliki berbagai manfaat seperti aspek
sosial, lingkungan, ekonomi dan estetika kehidupan perkotaan dan sekitarnya. Oleh karena itu,
penyediaan ruang hijau perkotaan diperlukan untuk menciptakan kota yang layak huni dan
mendorong pembangunan perkotaan menuju kerangka keberlanjutan.
Ruang hijau perkotaan memiliki banyak manfaat antara lain menjaga ekosistem lingkungan
sekitar yang memiliki kaitan dengan tanaman dan hewan, menyediakan udara yang lebih bersih,
memungkinkan air meresap ke dalam tanah, dan mengurangi dampak gelombang panas. Selain
itu, ruang terbuka hijau juga memberikan dampak positif terhadap aktivitas fisik, kesejahteraan
sosial dan psikologis, mengurangi polusi udara dan suara (kebisingan) (WHO, 2016). Pemerintah
kota memiliki kewajiban untuk menyediakan ruang hijau yang berkualitas bagi Masyarakat baik
dari ketersediaan, hingga pemeliharaan dan pengelolaan. Pemanfaatan ruang hijau di kawasan
perkotaan juga perlu dibarengi dengan faktor keamanan, kenyamanan, dan kemudahan
45
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
aksesibilitas. Setiap negara memiliki standar ruang terbuka hijau yang berbeda-beda. WHO
merekomendasikan standar sebesar 9 m2/jiwa di kawasan perkotaan (Maryanti et al., 2016;
https://urban.jrc.ec.europa.eu/thefutureofcities/space-and-the-city#the-chapter).
46
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
peribadatan sesuai maka dibuat standar ukuran sebagai referensi. Setiap sarana peribadatan
memiliki standar yang berbeda-beda, sehingga tidak dapat digeneralisasi ukuran untuk seluruh
fasilitas peribadatan.
Ukuran sarana peribadatan di Indonesia dijelaskan dalam SNI 03-1733-2004, akan tetapi
masih terbatas untuk mushola dan masjid. SNI 2004 belum memiliki standar ukuran untuk sarana
peribadatan lain seperti gereja, pura, vihara, dan lainnya. Mengacu pada SNI, standar sarana
peribadatan direncanakan sesuai jumlah penduduk; untuk mushola hingga masjid berkisar antara
0,03 – 0,36 m2/jiwa.
7. Sarana Kesehatan
Meningkatnya kebutuhan sarana kesehatan di setiap negara mendorong berbagai
pendekatan, salah satunya pendekatan berbasis standar dalam menyediakan sarana yang
diperlukan. Standar ukuran fasilitas kesehatan berhubungan langsung dengan jumlah penduduk
dan koefisien yang akan ditentukan untuk fasilitas tersebut (Polat, 2019). Semakin tinggi Jumlah
penduduk maka Jumlah fasilitas kesehatan akan semakin beragam jenisnya dan meningkat
jumlahnya. Umumnya negara-negara di Eropa memiliki standar ukuran sarana kesehatan yang
cukup tinggi, sebagai contoh Inggris memiliki standar 1,71 m2/jiwa sedangkan Jerman 0,82
m2/jiwa.
Di Indonesia, standar untuk sarana kesehatan sudah dibuat oleh pemerintah dalam SNI 03-
1733-2004. Dalam SNI tersebut, dijelaskan jenis-jenis sarana kesehatan yang disediakan
berdasarkan jumlah populasi, yaitu posyandu, balai pengobatan warga, puskesmas, rumah sakit,
tempat praktek dokter, dan apotek. Pada kawasan perkotaan, Lokasi fasilitas kesehatan tersebar,
ada yang berada di kawasan permukiman (posyandu dan balai pengobatan) dan ada juga yang
berada pada area khusus seperti puskesmas dan rumah sakit. Lebih lanjut, SNI 03-1733-2004
merekomendasikan standar ukuran sarana kesehatan per jiwa antara 0,006 – 0,12 m2/jiwa. Sarana
kesehatan dibahas hanya sampai pada puskesmas, sedangkan standar ukuran untuk rumah sakit
tidak ada.
8. Sarana Pendidikan dan Pembelajaran
Pada tahun 1982, Department of Basic Education (DBE) Myanmar membuat inventarisasi
terkait ukuran luas sarana Pendidikan, mulai dari sarana Pendidikan dasar hingga sarana
Pendidikan menengah atas. Usulan dari DBE tersebut merupakan ukuran luas minimal sebagai
berikut 3 hektar untuk sekolah dasar, 6 hektar untuk sekolah menengah, dan 7,5 hektar untuk
sekolah atas (mencakup sekolah dasar), atau 6,5 hektar (tanpa sekolah dasar). DBE juga membuat
usulan standar ukuran ruang per murid pada sarana sekolah atas (setingkat SMA) sebesar 27.11
m2/jiwa. Pada tahun 1992, Kementerian Pendidikan Myanmar bekerjasama dengan UNDP dan
UNESCO mengevaluasi standar ukuran ruang per murid untuk sarana sekolah atas yaitu sebesar
27,25 m2/jiwa. (Nge, et al., 1992). Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam perencanaan sarana
Pendidikan perlu untuk mengadaptasi nilai-nilai lokal berdasarkan lokasi sarana pendidikan baik
yang berada di kawasan perkotaan maupun pedesaan, serta tingkat pendidikan (sekolah dasar,
menengah, dan atas).
Perencanaan sarana Pendidikan di Indonesia mengikuti referensi SNI 03-1733-2004 yang
merekomendasikan ukuran luas sebesar 0.28 – 2,6 m2/jiwa. Dalam SNI tersebut dijelaskan bahwa
perencanaan sarana Pendidikan di Indonesia bertujuan untuk melayani setiap unit administrasi
pemerintahan baik formal (kelurahan hingga kecamatan) maupun informal (RT hingga RW), bukan
47
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
hanya berdasarkan pada Jumlah penduduk yang akan dilayani. “Dasar penyediaan sarana
pendidikan ini juga mempertimbangkan pendekatan desain keruangan unit-unit atau kelompok
lingkungan yang ada. Sedangkan penempatan penyediaan fasilitas ini akan mempertimbangkan
jangkauan radius area layanan terkait dengan kebutuhan dasar sarana yang harus dipenuhi untuk
melayani pada area tertentu” (ibid). Dari penjelasan di atas, perencanaan sarana Pendidikan dalam
SNI maupun oleh Ministry of Education/UNDP/UNESCO mempertimbangkan aspek keruangan selain
populasi. Akan tetapi, standar ukuran luas sarana Pendidikan di Indonesia masih cukup terbatas.
Tabel 5-6 Perbandingan Ruang Publik Standar Nasional Indonesia dan Internasional
Standar Nasional
Jenis Ruang Publik Standar Internasional (m2/jiwa)
Indonesia (m2/jiwa)
Sarana ruang terbuka, taman,
0,2 – 1 9 (WHO)
dan lapangan olahraga
0.09 – 0.18 (USA)
(northernarchitecture.us/space-
Sarana budaya dan rekreasi 0,017 -0,12 requirements/)
28 (Australia)
(Khan, 2014)
2.18 (USA)
Sarana perdagangan dan 1.56 (Canada)
0,3 – 0,5
niaga 1.04 (Australia)
(statista.com, 2022)
Sarana peribadatan 0,03 – 0,36 0,72 (International)
0.82 (Jerman)
1.71 (Inggris)
0.4 (Iran)
Sarana kesehatan 0,006 – 0,12 0.55 (Israel)
0.7 (Pakistan)
0.1 (Portugal)
(Polat, 2017 dalam Polat, 2019)
27,25 (Ministry of
Education/UNDP/UNESCO, 1992 – SMA)
Sarana Pendidikan dan
0,28 – 2,6 9.85 – 12 (USA – SMA)
pembelajaran
(Oklahoma State Department of
Education, 1998)
Sumber: Diolah dari berbagai sumber, 2023
5.1.1.5 Perkembangan Keselamatan sebagai Ukuran Kesehatan dan Keamanan dari Bahaya
Berbagai macam bencana yang terjadi di Indonesia telah memberikan pelajaran bagi
masyarakat Indonesia. Akibat dari kurangnya pengetahuan masyarakat dalam pencegahan
bencana maka menimbulkan banyak korban jiwa dan kerugian harta benda. Dalam parameter
keselamatan berkaitan erat dengan kenyamanan hidup. Kenyamanan hidup dapat dikatakan bila
terpenuhinya kebutuhan fisiologis yang meliputi air dan tempat tinggal yang mempengaruhi
kenyamanan dan kelayakan hidup manusia, dengan terpenuhinya kebutuhan secara langsung
maupun tidak. Parameter keselamatan mencerminkan kemampuannya menghindar dari bahaya,
tekanan dan perubahan yang terjadi di sekitar. Daya dukung alam dan juga daya dukung
masyarakat yang diandalkan dalam situasi rawan, akan menentukan kapasitas individu dan
keluarga untuk menghadapi kekeringan, banjir, kelangkaan air, wabah dan kondisi bahaya lain yang
dapat menimpa.
48
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Keselamatan dapat diartikan sebagai sehat dan aman. Sehat apabila berkaitan dengan
keselamatan hidup dan aman berbicara tentang keselamatan dari bahaya bencana. Dalam
penyusunan D3TLH parameter keselamatan melingkupi keselamatan hidup dan keselamatan dari
bahaya. Berikut merupakan penjelasan dari masing-masing indikator untuk keselamatan.
1. Keselamatan Hidup
Keselamatan diri merupakan pengetahuan sebagai kapasitas seseorang dalam menjaga,
melindungi diri dan sosialnya terhadap ancaman/bahaya dan cara-cara untuk menghindari diri dari
segala sesuatu yang mengancam dan membahayakan keselamatan. Keselamatan diri secara fisik
merupakan jaminan terhadap kondisi kesehatan diri sendiri maupun masyarakat yang dapat
mencerminkan tingkat kesejahteraan pada masyarakat. Keselamatan diri dapat diartikan
sebagai keselamatan hidup yang merupakan upaya pemenuhan ketangguhan manusia dalam
mencapai kesehatan jasmani, rohani, dan sosialnya melalui hunian yang layak. Dalam D3TLH
keselamatan diri berhubungan dengan kemampuan masyarakat untuk hidup dalam lingkungan
yang bersih dan aman (Ability to live in an environmental clean and safe shelter). Salah satunya
adalah dengan miliki rumah layak huni.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 rumah adalah bangunan gedung yang
berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan
harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya. Pengertian rumah bukan hanya
bangunan (struktural) saja tetapi juga sebagai tempat tinggal yang memenuhi syarat-syarat
kehidupan yang layak, dilihat dari berbagai kehidupan masyarakat (Frick dan Muliani). Berdasarkan
definisi tersebut rumah tinggal diartikan sebagai tempat tinggal yang memiliki multifungsi sebagai
tempat hidup manusia dari berbagai macam ancaman baik dari alam maupun kejahatan sosial.
Menurut Peraturan Menteri PUPR Nomor 29/PRT/M Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal,
Rumah layak huni adalah rumah yang memenuhi persyaratan keselamatan bangunan dan
kecukupan minimum luas bangunan serta kesehatan penghuninya. Rumah juga memiliki syarat
minimal bagi kebutuhan manusia untuk hidup secara manusiawi agar terhindar dari berbagai
ancaman. Setelah tahun 2019, untuk rumah layak dimaknai dari beberapa segi, bukan hanya dari
segi fisik bangunan tetapi di antaranya dari segi sosial, masyarakat, kesehatan dan energi. Menurut
Badan Pusat Statistika, Hunian layak adalah hunian yang memiliki kriteria antara lain yaitu akses
terhadap air minum layak, akses sanitasi layak, kecukupan luas tempat tinggal minimal 7,2
m2 per kapita, dan memiliki ketahanan bangunan dalam meminimalisir risiko bencana alam yang
terjadi. Secara sederhana rumah yang layak memiliki fasilitas untuk memenuhi kebutuhan dasar
mulai dari air bersih, penerangan, sanitasi saluran pembuangan limbah, serta aman baik aktivitas
penghuninya untuk meraih produktivitas.
2. Keselamatan dari bahaya
Keselamatan dari bahaya merupakan suatu tantangan bagi pemerintah dan juga bagi
masyarakat dalam mengatasi berbagai macam ancaman. Ancaman adalah suatu usaha, kegiatan
atau peristiwa baik dari makhluk hidup maupun alam yang dapat dinilai bisa membahayakan diri
maupun suatu negara. Pada pembahasan ini ancaman yang dimaksud merupakan ancaman dari
bencana alam yang terjadi di Indonesia. Risiko bencana menurut data yang didapatkan dalam Data
Informasi Bencana Indonesia (DIBI)-BNPB, terlihat bahwa bencana dibedakan menjadi dua yakni
bencana hidrometeorologi dan bencana geologi. Bencana hidrometeorologi merupakan bencana
yang terjadi akibat bencana banjir, kebakaran hutan dan lahan, gelombang ekstrim, kekeringan,
49
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
dan cuaca ekstrim. Sedangkan bencana geologi terjadi akibat gempa bumi, tanah longsor, tsunami,
dan letusan gunung api. Menurut data bahwa lebih dari 25,487 kejadian bencana pada periode 2015
hingga tahun 2021 lebih dari 74,10% (78,890) kejadian bencana merupakan bencana
hidrometeorologi, sedangkan 25,90% (6,604) merupakan bencana geologi seperti pada gambar
berikut.
Dalam upaya untuk pengendalian risiko bencana oleh masyarakat, kita harus memahami
terlebih dahulu mengenai risiko atau risiko bencana itu seperti apa. Ada sejumlah konsep yang
harus dipahami dalam kaitannya dengan pengendalian risiko bencana, di antaranya adalah
bahaya, kerentanan dan kapasitas. Definisi risiko bencana menurut UNDRR (United Nations Disaster
Risk Reduction) yaitu potensi hilangnya nyawa, cedera, atau aset yang hancur/rusak pada sistem,
masyarakat, atau komunitas dalam periode waktu tertentu yang ditentukan secara probabilitas
sebagai fungsi dari bahaya, keterpaparan, kerentanan, dan kapasitas. Kajian risiko bencana adalah
perangkat untuk menilai kemungkinan dan besaran kerugian akibat ancaman bencana guna
menunjang penyusunan perencanaan dan keterpaduan penyelenggaraan penanggulangan
bencana pada suatu wilayah (Peraturan kepala BNPB No.2 Tahun 2012).
50
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Potensi kerusakan serta kerugian yang ditimbulkan akibat bencana ditinjau berdasarkan
kombinasi antara komponen tingkat bahaya dan kerentanan terhadap bencana, sementara
komponen tingkat kapasitas berperan dalam mengantisipasi kerusakan dan kerugian yang
ditimbulkan akibat bencana (Januandari et al, 2017). Demikian komponen-komponen yang
digunakan dalam proses pengkajian risiko bencana meliputi bahaya, kerentanan dan kapasitas.
Berdasarkan isi penjelasan dalam Petunjuk Teknis Penyusunan Rencana Daerah Tingkat
Kabupaten/Kota oleh BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), proses dalam pengkajian
risiko bencana dilakukan melalui identifikasi, analisis, serta evaluasi terhadap komponen tingkat
bahaya, kerentanan, dan kapasitas terhadap bencana.
A. Hazard (Bahaya)
Menurut Supriyadi et al (2017), hazard (bahaya) adalah suatu kondisi atau tindakan atau
potensi yang dapat menimbulkan potensi yang dapat menimbulkan kerugian terhadap manusia,
harta benda, atau lingkungan. Bahaya adalah sebuah situasi yang membahayakan dan memiliki
potensi untuk menyebabkan kecelakaan atau penyakit pada manusia serta merusak lingkungan
(Halim dkk, 2016). Perlindungan terhadap bencana dapat diperoleh dengan upaya meminimalisir
potensi bahaya yang ditimbulkan dari bencana tersebut. Perlindungan terhadap bencana data
diperoleh dengan upaya meminimalisir potensi bahaya yang ditimbulkan dari bencana tersebut
(Coburn et al, 1994). Berikut adalah komponen terkait bahaya terhadap bencana berdasarkan
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No.2 Tahun 2012, yaitu:
1. Probabilitas, kemungkinan terjadinya ancaman bencana
2. Intensitas, besaran dampak saat terjadinya bencana
B. Vulnerability (Kerentanan)
Definisi kerentanan dari BNPB merupakan suatu kondisi pada komunitas atau masyarakat
yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi. Definisi lain adalah
karakteristik manusia atau komunitas dan situasinya dapat mempengaruhi kapasitas dalam
51
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
mengantisipasi, mengatasi, bertahan dan pulih dari pengaruh bahaya alami (kejadian maupun
prosesnya) (Wisner, dkk, 2004). Kerentanan dapat pula diartikan suatu ukuran kecenderungan dari
objek, tempat, individu, grup, komunitas, negara atau entitas lainnya untuk terkena konsekuensi
bahaya (Coppola, 2007). Berikut adalah komponen terkait kerentanan terhadap bencana
berdasarkan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No. 2 Tahun 2012, yaitu:
1. Kerentanan fisik, meliputi prasarana dasar dan bangunan.
2. Kerentanan ekonomi, meliputi luas lahan produktif dan PDRB per sektor.
3. Kerentanan sosial, meliputi kepadatan penduduk dan kelompok rentan.
4. Kerentanan lingkungan, meliputi kawasan hijau berupa hutan lindung, hutan alam, bakau,
rawa dan semak.
C. Capacity (Kapasitas)
Kapasitas merupakan kombinasi dari kekuatan, kemampuan, serta sumberdaya yang
tersedia pada suatu komunitas, organisasi, maupun individu guna mengurangi tingkat risiko atau
pengaruh dari Bahaya (USAID, 2010). Menurut Benson dkk (2007), kapasitas adalah kemampuan
dalam mengantisipasi, mencegah, dan memulihkan diri dari dampak bahaya. Berikut adalah
komponen terkait kapasitas terhadap bencana berdasarkan Peraturan Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Bencana No. 2 Tahun 2012, yaitu:
1. Kelembagaan/kebijakan, meliputi peraturan daerah terkait penanggulangan bencana,
kelembagaan penanggulangan bencana, penanggulangan bencana dalam pembangunan
daerah, PAD (Pendapatan Asli Daerah), dan anggaran dalam penanggulangan bencana.
2. Peringatan dini, meliputi peta rawan bencana dan early warning system.
3. Peningkatan kapasitas, meliputi peta sosialisasi pengurangan risiko bencana, kurikulum
terkait Pendidikan bencana, dan desa tangguh.
4. Mitigasi, meliputi RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) berbasis mitigasi bencana dan
mitigasi bencana struktural.
Pada penyusunan dokumen D3TLH ini pada indikator keselamatan salah satu variabelnya
adalah Risiko Bencana. Risiko Bencana ini digunakan untuk penyusunan D3TLH dengan
menggunakan nilai dari Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI). Data Indeks Risiko Bencana
Indonesia sudah dapat mewakili dari aspek kebencanaan untuk penyusunan dokumen D3TLH. Nilai
pada indeks risiko bencana ini dihasilkan dari perhitungan antara bahaya, kerentanan dan
kapasitas. Dengan mengetahui risiko bencana, kita dapat melihat dan mempertimbangkan
perencanaan pembangunan pada suatu daerah. Oleh karena itu, Risiko bencana merupakan salah
satu hal yang penting dalam keberlanjutan lingkungan.
5.1.1.6 Perkembangan Mutu Hidup sebagai Ukuran Kualitas Penduduk dan Pemajuan
Kebudayaan
Mutu hidup sebagai salah satu basis tujuan yang diperhatikan dalam penyusunan Rencana
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terkait daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup. Konteks pernyataan tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Bab IV Pemanfaatan Pasal 12 (2)
c. Jika mencermati Bab I Ketentuan Umum dan Penjelasan Pasal Demi Pasal, maka tidak terdapat
52
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
definisi dan ruang lingkup Mutu Hidup. Oleh karena itu, diperlukan suatu kajian dan naskah untuk
menjabarkannya.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 secara garis besar sangat
jelas faktor dari mutu hidup adalah Percaya atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa (Beragama-
mental); Menjunjung nilai-nilai luhur (Nilai budaya luhur), dan Berkehidupan kebangsaan yang
bebas (kreatif-produktif-bermanfaat).
Faktor pertama adalah beragama dan penghayat kepercayaan yang tertuang dalam Pasal
29 Ayat 1 dan 2, pada ayat 1 tertulis ‘Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa’ dan pada
ayat 2 tertulis ’Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu’. Agama yang
sudah diakui dan hidup berdampingan dalam lingkungan Masyarakat dengan menghargai nilai
yang dianut satu sama lain berjumlah enam (6) agama. Agama tersebut antara lain Islam, Kristen
Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Selain agama, penghayat kepercayaan
seperti kepercayaan lokal, kepercayaan yang seperti didasarkan pada ajaran islam, budha, tao dan
konghucu, serta penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME. Nilai-nilai penghayat kepercayaan
terhadap Tuhan YME juga tertuang dalam PP Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan pada Pasal 1.
Faktor kedua adalah nilai budaya luhur yang tertuang dalam Pasal 32 yang tertulis
‘Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia’. Hal tersebut memiliki makna yang
berisikan tentang terjaminnya kebebasan Masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan
nilai-nilai budayanya. Mengingat Pasal 32 tersebut, menjadi dasar lahirnya Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang
Pemajuan Kebudayaan. Sejak masa Pemerintahan Hindia Belanda sudah melakukan sensus
penduduk tahun 1930 terkait kemajemukan suku bangsa di Nusantara, pihak pemerintah Belanda
menggunakan antara lain tolok ukur bahasa yang dipergunakan penduduk sehari-hari, adat
istiadat, di samping batas wilayah persebaran serta golongan ras.
Mendalami kemajemukan budaya Indonesia, Hildred Geertz (1963) mengklasifikasikan
kebudayaan suku bangsa ke dalam tiga kategori, yaitu kebudayaan masyarakat petani beririgasi,
kebudayaan pantai yang diwarnai kebudayaan Islam, dan kebudayaan masyarakat peladang serta
pemburu yang masih sering berpindah tempat. Landasan penyebaran kebudayaan di Indonesia,
menurut Josselin de Jong (1935) tersebut salah satunya adalah seluruh susunan kemasyarakatan
itu erat dihubungkan dengan sistem kepercayaan masyarakat yang bersangkutan, terutama yang
berkaitan dengan kompleks totemisme yang didominasi dengan upacara-upacara keagamaan
dalam bentuk rangkaian upacara inisiasi dan diperkuat dengan dongeng-dongeng suci baik yang
berupa kesusastraan ataupun tradisi lisan. Hingga saat ini, dalam SDG wedding cake model, sudah
tertuang aspek budaya. Pada indikator turunan melalui 24 issues relevant to all nations and business
terdapat aspek budaya yang telah tercakup pada Goal 4 dengan Quality Education, Goal 11 dengan
Sustainable Cities and Communities, dan Goal 23 dengan Bussiness Integrity.
Keragaman dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia dilengkapi
legalitas/regulasi, ideologi agama, organisasi sosial budaya, organisasi ekonomi dan organisasi
lainnya mengantar ke multikulturalisme modern yang selanjutnya menjadi pegangan perilaku
inter–antar kelompok budaya (peran energetik), dalam konteks tugas dan fungsi Kementerian
53
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yaitu ekspresi/perilaku manusia (budaya) yang
berwawasan lingkungan yang berkelanjutan.
1. Pemajuan Kebudayaan
Pemajuan kebudayaan diartikan sebagai peningkatan kualitas kehidupan. dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan kebudayaan pasal 1 ayat 3 pemajuan kebudayaan
adalah upaya untuk meningkatkan ketahanan budaya Indonesia di tengah peradaban dunia
melalui perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan. Kementerian
Kebudayaan telah membuat Indeks Pembangunan Kebudayaan, berdasarkan dimensi SDG’s, dan
merujuk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, dilakukan
pemetaan indikator kandidat penyusun Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK), sehingga
diperoleh 40 indikator awal penyusun IPK, yang dikelompokkan dalam 8 dimensi, yaitu: Ekonomi
Budaya, Pendidikan, Ketahanan Sosial Budaya, Warisan Budaya, Ekspresi Budaya, Budaya
Literasi, Gender, dan Tata Kelola Budaya.
Melalui analisis faktor dapat diketahui matriks hubungan antar sejumlah indikator. Selanjutnya
matriks hubungan tersebut diuji dengan Measure Sampling Adequancy (MSA). Pengujian ini
dilakukan untuk menyeleksi indikator mana yang akan masuk dalam penghitungan IPK. Suatu
indikator akan masuk sebagai indikator penyusun indeks apabila memiliki hubungan yang kuat
dengan indikator lainnya. Hal ini ditunjukkan oleh nilai MSA 0,5 ke atas (MSA ≥ 0,5). Sebaliknya,
indikator yang memiliki hubungan lemah (nilai MSA <0,5) akan dikeluarkan dari penghitungan IPK.
Analisis faktor ini dilakukan terhadap masing-masing dimensi secara terpisah.
Dalam penyusunan D3TLH telah dilakukan diskusi bersama beberapa ahli terkait pemilihan
dimensi-dimensi yang akan digunakan dengan nilai bobot sebesar >50 persen dari terkait 3
dimensi yang akan digunakan sebagai pembentuk pemajuan kebudayaan, yakni dimensi
ketahanan sosial budaya, warisan budaya, dan budaya literasi yang kemudian dapat disebut
dengan Karakter Ruang Budaya. Dimana terdapat 17 indikator penyusun ketiga dimensi tersebut.
Pendekatan ini sebagai proxy dalam menganalogikan mutu hidup dan menuju sejahtera rakyat saat
bangsa tersebut dapat menjaga nilai warisan budaya /cagar budaya (benda cagar budaya,
bangunan bangunan cagar budaya, situs cagar budaya, kawasan cahar budaya, struktur cagar
budaya) dan bahasa, seni daerah. Keempat dimensi lain dalam IPK yang tidak dimasukkan
dalam pemajuan kebudayaan, karena memiliki kesamaan dengan data lainnya yang akan
digunakan oleh variabel lainnya di Indeks Pembangunan Manusia.
Karakter Ruang Budaya menjadi indikator penyusun dalam variabel pemajuan budaya.
Warisan budaya merupakan hasil dari budaya fisik dari tradisi-tradisi yang berbeda dan prestasi-
prestasi spiritual dalam bentuk nilai dari masa lalu yang menjadi elemen pokok dalam membentuk
jati diri suatu kelompok atau bangsa. Sehingga, warisan budaya dapat diartikan sebagai hasil
budaya fisik (tangible) dan nilai budaya (intagible) dari masa lalu (Davidson, 1991). Apabila ditelaah
warisan budaya menjadi indikasi pembelajaran dari keberagamaan budaya lokal dan luar. Warisan
budaya sendiri telah mengandung mutu hidup yang sudah ada dan menjadi inovasi masa kini.
Warisan budaya didukung oleh proses pembelajaran untuk memberikan sumbangan dalam
meningkatkan budaya nasional di samping mempertebal jati diri dan kepribadian bangsa.
Peninggalan warisan budaya dapat meningkatkan harkat, martabat, dan derajat manusia. Norma-
norma, tata cara, adat istiadat, ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi landasan hidup nenek
moyak masa lalu merupakan tolak ukur dalam mengetahui kemajuan budaya dan peradaban
54
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
bangsa (Kusumawati, 2010). Hilangnya warisan budaya disebabkan oleh rendahnya kinerja
menghargai, melupakan budaya, dan penentuan identitas itu sendiri.
Ketahanan sosial budaya dapat diterminologikan sebagai ketahanan budaya.
KEMENDIKBUD telah mendefinisikan ketahanan sosial budaya adalah kemampuan satu
kebudayaan dalam mempertahankan dan mengembangkan identitas, pengetahuan, serta praktik
budaya yang relevan, dan didukung oleh kondisi sosial masyarakat. Sedangkan budaya literasi
berarti Aktivitas serta sarana/prasarana pendukung dalam memperoleh, menguji kesahihan, dan
menghasilkan informasi dan pengetahuan untuk pemberdayaan kecakapan masyarakat. Budaya
literasi sebagai pokok dari pembelajaran. Dimana budaya literasi di masyarakat akan menentukan
tingkat kualitas penghidupan. Menjaga literasi berarti menjaga pengetahuan lokal tetap terjaga.
2. Kualitas Penduduk
Menurut Undang-undang Nomor 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan
dan Pembangunan Keluarga Pasal 1 Ayat (5), kualitas penduduk adalah kondisi penduduk dalam
aspek fisik dan non fisik yang meliputi derajat kesehatan, pendidikan, pekerjaan, produktivitas,
tingkat sosial, ketahanan, kemandirian, kecerdasan, sebagai ukuran dasar untuk mengembangkan
kemampuan dan menikmati kehidupan sebagai manusia yang bertakwa, berbudaya,
berkepribadian, berkebangsaan dan hidup layak. United Nations Development Programme (UNDP)
pada tahun 1990 dan dipublikasikan secara berkala dalam laporan tahunan Human Development
Report (HDR) memperkenalkan suatu perhitungan yang dapat menjelaskan bagaimana penduduk
dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan,
dan sebagainya yang kemudian akan disebut Indeks Pembangunan Manusia.
55
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
2. Angka melek huruf adalah Proporsi penduduk berusia 15 tahun ke atas yang memiliki
kemampuan membaca dan menulis kalimat sederhana dalam huruf latin, huruf arab dan
huruf lainnya terhadap penduduk usia 15 tahun ke atas.
3. Rata-rata lama sekolah adalah jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk berumur 25
tahun ke atas dalam menjalani pendidikan formal. RLS digunakan untuk mengetahui kualitas
pendidikan masyarakat dalam suatu wilayah.
4. Pengeluaran perkapita adalah biaya yang dikeluarkan untuk konsumsi semua anggota
rumah tangga selama sebulan baik yang berasal dari pembelian, pemberian maupun
produksi sendiri dibagi dengan banyaknya anggota rumah tangga dalam rumah tangga
tersebut. Indikator ini menggambarkan kemampuan daya beli masyarakat selama periode
tertentu.
56
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
finansial, lingkungan hidup, kapital fisik, dan sumber daya manusia, dengan kemampuan
meregenerasi dan memperbaharui kapital tersebut.
1. Pertumbuhan ekonomi
Pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu indikator dalam melihat kinerja perekonomian
ditingkat nasional dan regional. Menurut Adam Smith dalam bukunya yang berjudul An Inquiry into
The Nature and Causes of The Wealth of Nation, pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses
yang bersifat kumulatif (Hasan & Muhammad, 2018). Suatu perekonomian dapat dikatakan
mengalami pertumbuhan ekonomi apabila jumlah produksi barang dan jasa meningkat (Rahardja
& Manurung, 2019). Produktivitas tinggi mencerminkan tingginya daya saing yang berpotensi
meningkatkan pertumbuhan ekonomi sehingga berdampak pada kesejahteraan masyarakat
(Appiah & McMahon, 2002).
Pertumbuhan ekonomi tercermin dalam nilai Produk Domestik Bruto (PDB). Untuk
mengukur pertumbuhan ekonomi, nilai PDB yang digunakan adalah PDB berdasarkan harga
konstan (PDB riil). Perubahan nilai PDB menunjukkan perubahan jumlah kuantitas barang dan jasa
yang dihasilkan selama periode pengamatan (Rahardja & Manurung, 2019). Perhitungan tingkat
pertumbuhan ekonomi dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Interval selang waktu pertumbuhan hanya satu periode
𝑃𝐷𝑅𝐵𝑡 − 𝑃𝐷𝑅𝐵𝑡−1
𝐺𝑡 = 𝑥 100%
𝑃𝐷𝑅𝐵𝑡−1
Keterangan:
Gt = Pertumbuhan ekonomi periode t (triwulanan atau tahunan)
PDRBt = Produk Domestik Bruto Riil perode t (berdasarkan harga konstan)
PDRBt-1 = PDRB satu periode sebelumnya
2. Interval waktu pertumbuhan ekonomi lebih dari satu periode
Keterangan:
Tujuan utama perhitungan pertumbuhan ekonomi adalah untuk melihat apakah kondisi
perekonomian makin membaik. Suatu pertumbuhan ekonomi dapat dikatakan baik atau buruk bila
dilihat dari struktur produksi (sektoral) atau daerah asal produksi (regional). Dengan melihat
struktur produksi dapat diketahui apakah ada sektor yang terlalu tinggi atau lambat dalam
pertumbuhannya (Rahardja & Manurung, 2019). Proses pertumbuhan ekonomi jangka panjang
diarahkan pada proses pertumbuhan sektoral mencakup sektor produksi primer dan sekunder
(Kaldor dalam Djoyohadikusumo, 1994). PDRB berdasarkan sektoral atau lapangan usaha
memberikan bobot 70-80% pada nilai pertumbuhan ekonomi yang terdiri dari beberapa sektor
57
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
unggulan, yakni sektor pertanian, pertambangan, industri pengolahan, perdagangan besar dan
eceran, transportasi dan pergudangan, serta penyediaan akomodasi dan makan minum.
Berdasarkan pengalaman empiris pertumbuhan ekonomi dikatakan baik apabila
pertumbuhan ekonomi sebesar 5-7% dalam arti memperluas lapangan kerja, tidak mengakselerasi
inflasi, dan tingkat pengangguran normal (Rahardja & Manurung, 2019). Hal ini menunjukkan
kuantitas agregat dalam pertumbuhan ekonomi terus bertambah. Indonesia pernah mengalami
pertumbuhan ekonomi negatif selama 3 waktu kejadian. Ekonomi terkontraksi pertama kali pada
tahun 1963 sebesar -2,24% dan tumbuh kembali pada tahun 1966 sebesar 2,79%. Kontraksi
ekonomi kedua terjadi pada tahun 1998 yang mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi hingga
-13,13%, dan yang terakhir pada tahun 2020 saat pandemi Covid-19 sebesar -2,3%.
Pertumbuhan ekonomi sangat penting dan dibutuhkan, karena akan berpengaruh
terhadap kesempatan kerja, produktivitas, distribusi pendapatan, dan tingkat kesejahteraan
(Rahardja & Manurung, 2019). Faktor tenaga kerja mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (Lewis,
1954 dalam Hasan & Muhammad, 2018). Tenaga kerja dengan unsur kualitas (pendidikan) di
dalamnya (Appiah & McMahon, 2002), mampu mengurangi angka kemiskinan yang berpengaruh
terhadap kesejahteraan masyarakat (Hasan & Muhammad, 2018). Masyarakat dapat dikatakan
semakin sejahtera apabila output per kapita meningkat. Apabila tingkat PDB per-kapita semakin
tinggi, maka dapat dikatakan semakin sejahtera. Agar PDB per-kapita terus meningkat, maka
pertumbuhan ekonomi harus lebih besar atau lebih tinggi daripada pertambahan penduduk
(Rahardja & Manurung, 2019).
Namun, PDB per-kapita yang tinggi belum dapat menjamin kemakmuran masyarakat,
apabila ada ketidakmerataan kemakmuran masyarakat. Sehingga, PDB dalam konteks
kesejahteraan masyarakat, PDB baru dapat berjalan dengan baik apabila diiringi dengan perbaikan
dalam distribusi pendapatan (Rahardja & Manurung, 2019). Berdasarkan pengalaman empiris,
wilayah/daerah yang menunjukkan wilayah dengan potensi PDB tinggi menjadi wilayah untuk
migrasi.
2. Tingkat stabilitas harga umum
Pengertian sederhana dari stabilitas harga ekonomi adalah sangat kecilnya tindakan
spekulasi dalam perekonomian (Rahardja & Manurung, 2019). Menurut European Central Bank
stabilitas harga merupakan kontribusi terbaik bahwa monetary policy (kebijakan moneter) bisa
membuat ekonomi tumbuh. Tujuan utama dari kebijakan moneter menurut Bank Indonesia adalah
untuk mencapai stabilitas nilai mata uang, memelihara stabilitas pada sistem pembayaran, dan
turut menjaga stabilitas keuangan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Konsep stabilitas nilai mata uang mencakup kestabilan harga jasa dan barang serta nilai tukar
diukur dari inflasi yang rendah dan stabil.
Menurut Bank Indonesia, inflasi adalah kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan
terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Apabila harga barang dan jasa di dalam negeri
meningkat, maka terjadi kenaikan inflasi. Kenaikan harga tersebut menyebabkan turunnya nilai
mata uang terhadap nilai barang dan jasa secara umum. Namun, apabila hanya beberapa saja
barang atau jasa yang mengalami kenaikan tidak disebut inflasi, kecuali kenaikan tersebut
berpengaruh atau menyebabkan kenaikan pada harga baran dan jasa lainnya (Boediono, 2022
dalam KESDM, 2015). Kebalikan dari inflasi disebut deflasi, yaitu penurunan harga barang dan jasa
terus menerus dalam jangka waktu tertentu.
58
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Ada 3 komponen yang harus dipenuhi bila terjadi inflasi, yaitu (Rahardja & Manurung, 2019):
1. Kenaikan harga umum, yakni apabila suatu komoditas dikatakan naik jika menjadi lebih tinggi
daripada harga periode sebelumnya.
2. Bersifat umum, yakni kenaikan harga suatu komoditas belum dapat dikatakan inflasi jika
kenaikan tersebut tidak menyebabkan harga-harga secara umum naik.
3. Berlangsung terus menerus, yakni kenaikan harga umum dapat menyebabkan inflasi jika
terjadi hanya sesaat. Karena itu perhitungan inflasi harus dilakukan dalam rentang waktu
bulanan.
Pengukuran laju inflasi menggunakan data Indeks Harga Konsumen (IHK) dan Indeks harga
Implisit (IHI). Menurut Bank Indonesia, indikator lain yang digunakan dalam mengukur tingkat
inflasi yaitu dengan Indeks Harga Konsumen (IHK). Nilai IHK diperoleh berdasarkan hasil
perhitungan harga barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat dalam periode tertentu (Rahardja
& Manurung, 2019). Perubahan IHK menunjukkan pergeseran harga barang dan jasa yang
dikonsumsi masyarakat. Kondisi ekonomi over heated terjadi apabila inflasi tinggi, yang artinya
permintaan produk melebihi kapasitas penawaran dan mengakibatkan harga cenderung
mengalami kenaikan, sehingga menyebabkan menurunnya daya beli uang dan menurunkan
tingkat pendapatan riil (Tandelilin, 2001). IHK dirumuskan sebagai berikut:
𝐼𝐻𝐼𝑛 − 𝐼𝐻𝐼𝑛−1
𝐼𝑛𝑓𝑙𝑎𝑠𝑖 = 𝑥 100%
𝐼𝐻𝐼𝑛−1
Keterangan:
IHKn = Indeks Harga Konsumen Periode n.
IHKn-1 = Indeks Harga Konsumen sebelum Periode n.
Indeks Harga implisit (IHI) diasumsikan sebagai pengukuran inflasi yang paling
menggambarkan keadaan sebenarnya (Silitonga, 2021). Angka IHI merupakan rasio antara nilai PDB
harga berlaku dengan PDB harga konstan. Inflasi berdasarkan angka IHI menunjukkan laju inflasi
yang paling agregat. Dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
𝐼𝐻𝐼𝑛 − 𝐼𝐻𝐼𝑛−1
𝐼𝑛𝑓𝑙𝑎𝑠𝑖 = 𝑥 100%
𝐼𝐻𝐼𝑛−1
Keterangan:
IHIn = Indeks Harga Implisit Periode n.
IHIn-1 = Indeks Harga Implisit sebelum Periode n
Alternatif lain dari perhitungan IHI dapat digunakan apabila data yang dibutuhkan tidak
tersedia. Hal ini karena prinsip perhitungan inflasi berdasarkan deflator PDB dengan
membandingkan tingkat pertumbuhan ekonomi nominal dengan pertumbuhan riil (Rahardja &
Manurung, 2019). Adanya keterbatasan data dalam perhitungan stabilitas harga umum maka
digunakan 2 pendekatan, yakni dari data IHK dan IHI dari kota-kota besar yang tersedia.
Badan Pusat Statistik mempublikasikan inflasi berdasarkan kelompok yang disebut disagregasi.
Menurut Bank Indonesia disagregasi inflasi dilakukan untuk menghasilkan indikator inflasi yang
menggambarkan dampak faktor fundamental. Inflasi inti merupakan inflasi yang dipengaruhi
faktor-faktor fundamenal perekonomian, sedangkan inflasi non inti merupakan inflasi yang
59
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
dipengaruhi selain faktor fundamental. Inflasi non inti terdiri dari inflasi komponen bergejolak
(Volatile Food) dan Inflasi Komponen Harga yang diatur oleh Pemerintah (Administered Prices).
Tingginya inflasi akan mempengaruhi standar hidup masyarakat menjadi menurun, sehingga
tercipta ketidakstabilan (uncertainty) bagi pelaku ekonomi (Tandelilin, 2001). Apabila inflasi lebih
tinggi dari pertumbuhan pendapatan akan menimbulkan dampak buruk, sebagian besar
masyarakat akan mengalami penurunan pendapatan riil (Rahardja & Manurung, 2019).
Berdasarkan pengalaman empiris stabilitas harga pasar berada pada persentase normal
berkisar 3-4%. Hal ini menunjukkan harga secara umum tidak terakselerasi atau stabil. Apabila jika
ekonomi terakselerasi maka ekonomi tersebut akan bersifat panas atau akan terjadi inflasi.
Kestabilan inflasi adalah prasyarat untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan nantinya
dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Untuk mencapai kestabilan inflasi diperlukan kerja
sama dan koordinasi antar instansi untuk menekan atau stabil untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat (Iskandar & Subekan, 2018).
3. Tingkat Pengangguran Terbuka
Menurut BPS penduduk yang termasuk angkatan kerja merupakan penduduk usia kerja
(>15 tahun) yang bekerja atau punya pekerjaan, namun sementara sedang tidak bekerja dan
pengangguran. Pengangguran meliputi penduduk yang tidak bekerja atau sedang mencari
pekerjaan, sedang mempersiapkan diri untuk membuka usaha baru atau merasa tidak mungkin
mendapatkan pekerjaan (putus asa), atau telah diterima bekerja tetapi belum mulai bekerja (Marini
& Putri, 2020).
Pengangguran dapat tercipta karena rendahnya lapangan pekerjaan yang berbanding
terbalik dengan tingginya tenaga kerja yang tersedia (Hasan & Muhammad, 2018). Angka
pengangguran rendah mencerminkan pertumbuhan ekonomi yang baik, karena apabila PDRB
dalam suatu wilayah mengalami penurunan dikaitkan dengan tingginya jumlah pengangguran
(Muslim, 2014). Sukirno (2006) menjelaskan bahwa pengangguran dapat menyebabkan dampak
negatif terhadap perekonomian, karena semakin banyaknya pengangguran maka akan
mengakibatkan ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan hidup dan nantinya akan
menghambat jalannya aktivitas perekonomian daerah tersebut. Efek dari pengangguran salah
satunya adalah mengurangi tingkat kesejahteraan (Arifin & Soesatyo, 2020).
Tingkat pengangguran adalah persentase angkatan kerja yang tidak/belum mendapatkan
pekerjaan (Rahardja & Manurung, 2019). Menurut Badan Pusat Statistik tingkat pengangguran
adalah rasio jumlah pengangguran terhadap jumlah total karyawan. Tingkat Pengangguran
Terbuka (TPT) adalah suatu tingkat yang menunjukkan jumlah pengangguran per 100 penduduk
dalam klasifikasi angkatan kerja.
Rumus perhitungan tingkat pengangguran:
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛𝑔𝑔𝑢𝑟
𝑇𝑖𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛𝑔𝑔𝑢𝑟𝑎𝑛 = 𝑥 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑟𝑗𝑎
60
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Dalam dua periode terakhir tingkat pengangguran di Indonesia berkisar antara 5-7%.
Tingkat pengangguran terbuka ini masih tergolong tingkat pengangguran yang wajar bila
dibandingkan negara lainnya (Rahardja & Manurung, 2019). Terdapat dua klasifikasi pengangguran,
yakni pendekatan angkatan kerja dan pendekatan pemanfaatan tenaga kerja. Pendekatan
angkatan kerja (labour force approach) mendefiniskan penganggur sebagi angkatan kerja yang
tidak bekerja.
Pendekatan pemanfaatan tenaga kerja (labour utilization approach) yang memberdakan
angkatan kerja ke dalam 3 kelompok, yakni menganggur (pengangguran terbuka sekitar 3-5%),
setengah menganggur (berkisar 35% per tahun), dan bekerja penuh. Kesempatan kerja ditunjukkan
dengan tingkat pengangguran apabila menyentuh 4%. Apabila tingkat pengangguran menyentuh
angka sebesar 4%, dapat menunjukkan 2 kecenderungan:
a. Semakin sedikit tingkat pengangguran, semakin miskin negara tersebut karena
masyarakatnya harus bekerja.
b. Sebagian besar negara tersebut tidak miskin, tetapi pengangguran di negara tersebut
mendapatkan tunjangan pengangguran.
Menurut Hukum Okun pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi lapangan kerja. Hal ini
karena adanya hubungan terbalik antara perubahan rata-rata tingkat pengangguran dengan
perbedaan antara PDB aktual dengan PDB potensial. Terori hukum Okun menyebutkan bahwa
setiap kenaikan angka rata-rata aktual tingkat pengangguran, maka nilai GDP sesungguhnya akan
turun sebesar 2 sampai 3 persen. Sehingga, bila nilai PDB sesungguhnya meningkat, maka angka
rata-rata aktual tingkat pengangguran akan menurun (Darman, 2013).
5.1.2 Metodologi
61
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
timbal balik dimana kebutuhan manusia sangat bergantung pada pasokan ecosystem services (jasa
lingkungan hidup) dan menjadi tantangan utama untuk mencapai keberlanjutan (Martín-López et
al, 2014; Fischer et al, 2015). Mewujudkan keseimbangan antara supply dan demand, maka
dilakukan pendekatan perhitungan berdasarkan kondisi lingkungan hidup atau biogeofisik pada
kolom hijau serta sosial, ekonomi, budaya (sosekbud) pada kolom jingga.
Gambar 5-6 Kerangka dalam Penentuan D3TLH Nasional berbasis SES Framework
Sumber: Diolah dari Ecosystem Services dalam Martín-López et al, 2014
62
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
63
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
maka diidentifikasi alokasi spasialnya melalui pemodelan 2K (Kedekatan dan Kepadatan) Simultan
agar tercapai kondisi optimum. Sehingga dalam pemodelan Optimasi Alokasi Penutupan Lahan
akan diperoleh dua hasil sebagai berikut.
5.1.2.2 Pemodelan Alokasi Luas Penutupan Lahan dengan Pendekatan Jejak Ekologis
Menurut Wackernagel dan Rees (1996), Jejak Ekologis merupakan suatu pendekatan
kuantifikasi kebutuhan manusia akan sumber daya yang berkaitan dengan luas lahan produktif
dalam menyediakan sumber daya tersebut. Namun pada kenyataannya interaksi antara
penyediaan dan kebutuhan tidak sepenuhnya dapat seimbang akibat keterbatasan lahan. Oleh
karena itu, diperlukan pengalokasian lahan untuk menentukan optimasi luas yang dibutuhkan
dengan meminimalisir terjadinya degradasi lingkungan hidup. Pemodelan ini menggunakan
Kalkulator Jejak Ekologis melalui beberapa langkah pengerjaan seperti berikut.
64
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
65
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
2. Kebutuhan Pakaian/Tekstil
Jumlah kebutuhan pakaian penduduk digunakan untuk menghitung kebutuhan lahan
untuk produksi bahan baku tekstil, yaitu kapas. Dikarenakan keterbatasan data, jumlah kebutuhan
pakaian ini didasarkan pada rata-rata per kapita/tahun secara nasional sebesar 7,5 kg (Asosiasi
Pertekstilan Indonesia, 2013). Dikutip dari website Kementerian Perindustrian, secara nasional dari
keseluruhan produksi pakaian/tekstil membutuhkan kapas sekitar 42% dari total bahan baku
teksitil. Kebutuhan kapas mengacu pada nilai produktivitas berdasarkan data jumlah produksi
kapas dalam satu tahun dan data luas panen kapas. Intensitas produksi kapas bersumber dari
Kementerian Pertanian dengan diketahui per proses panen terjadi 3 kali dalam satu tahun.
Intensitas panen yang dirujukan berkondisi secara umum nasional. Perhitungan luas yang
dibutuhkan ini bergantung dengan lahan perkebunan melalui persamaan sebagai berikut.
𝐹𝐼
𝐿𝑇 = 𝐾𝑏 × × 𝑃
𝐼𝑃
LT = Luas perkebunan yang dibutuhkan untuk produksi kapas (m2)
Kb = Kebutuhan pakaian setiap orang dalam 1 tahun (kg)
FI = Footprint intensity dalam produksi kapas (m2/kg)
IP = Intensitas produksi kapas dalam 1 tahun (kali)
P = Penggunaan bahan baku kapas untuk pakaian/tekstil (%)
66
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Dari tabel di atas, standardisasi tempat tinggal mengikuti kelas 2 (Indonesia) dengan 9 m 2
dan masing-masing jenis ruang publik mengikuti luasan terbesar yang diasumsikan paling
optimum. Selain itu, kebutuhan infrastruktur juga memperhitungkan penggunaan kayu sebagai
pendekatan bahan material pola ruang bangunan. Hal ini dikarenakan produksi kayu berasal dari
lahan hutan. Sehingga dalam menghitung cakupan luasan lahan hutan yang dibutuhkan mengacu
pada jumlah kebutuhan untuk bangunan dan produktivitas kayu untuk footprint intensity. Apabila
pada Pulau/kepulauan tidak ada datanya, mengetahui footprint intensity dapat bersumber dari
literatur Universitas Michigan (2003) dan Working Guidebook to the National Footprint Accounts oleh
Global Footprint Network (Lin et al, 2017). Luas lahan hutan yang dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan kayu dapat dihitung dengan menggunakan persamaan matematik sebagai berikut.
LKi = LBi X Kb X FI
LKi = Luas hutan yang dibutuhkan untuk produksi kayu sebagian bahan bangunan jenis i (m2),
LBi = Luas hutan terbangun jenis i (m bangunan),
2
4. Kebutuhan Energi
Perhitungan kebutuhan energi untuk menentukan luas lahan yang diperlukan dalam
penyerapan CO2 yang diemisikan pada penggunaan listrik. Referensi yang digunakan bersumber
dari Pedoman Teknis Perhitungan Baseline Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Berbasis Energi oleh
Bappenas. Sedangkan untuk mengetahui daya serap emisi CO2 digunakan referensi dari Buku
Kegiatan Serapan dan Emisi Karbon oleh KLHK. Daya serap emisi CO2 oleh lahan hutan berbeda-
beda sehingga didapatkan nilai faktor serapan karbon. Kebutuhan listrik bersumber dari Statistik
PLN Tahun 2021 per Pulau/Kepulauan, faktor emisi penggunaan bersumber dari Pedoman Teknis
Perhitungan Baseline Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Berbasis Energi oleh Bappenas, serta faktor
serapan karbon di lahan hutan bersumber dari National Forest Reference Emission Level for
Deforestation and Forest Degradation oleh UNFCCC.
Tabel 5-9 Standardisasi Kebutuhan Energi
Pada kebutuhan energi maka diperlukan perhitungan menentukan luas hutan yang
diperlukan untuk menyerap karbon dioksida (CO2) yang diemisikan pada penggunaan listrik. Selain
itu, konversi menjadi lahan ini juga digunakan untuk kebutuhan pembangunan sarana penyediaan
67
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
tenaga listrik seperti berbagai jenis Pembangkit Tenaga Listrik. Dari sarana penyediaan ini akan
didapatkan besaran energi yang diproduksi per jenis pembangkit pada masing-masing
Pulau/Kepulauan. Adapun konversi kebutuhan lahan untuk energi dihitung melalui persamaan
matematik sebagai berikut.
Kb𝑖 × FEi
𝐿𝐸𝑖 =
FS
LEi = Luas hutan yang dibutuhkan untuk menyerap CO2 dari emisi penggunaan listrik (m2)
Kbi = Kebutuhan energi listrik (kWh listrik)
FEi = Faktor emisi energi listrik (kg CO2/kWh listrik)
FS = Faktor serapan CO2 lahan hutan (kg CO2/m2)
Berdasarkan inventarisasi semua kebutuhan fisiologis di atas, perhitungan Jejak Ekologis akan
menghasilkan luas penutupan lahan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan setiap orang.
Segala perhitungan konversi satuan kebutuhan fisiologis menjadi satuan luasan dilakukan melalui
pemodelan matematik. Adapun kebutuhan luas penutupan lahan untuk seluruh Pulau/Kepulauan
dihitung dengan mengkalikan kebutuhan luas per orang dengan jumlah penduduk di suatu
Pulau/Kepulauan.
𝐾 𝐿 𝑖 𝑗 =𝐾 𝐿 𝑖 ×𝑃 𝑜 𝑝
Keterangan:
Gambar 3-7 di atas menunjukkan bahwa Optimasi Alokasi Penutupan Lahan dihitung
berdasarkan selisih luas antara penutupan lahan eksisting dan penutupan lahan yang dibutuhkan.
Perhitungannya dilakukan melalui Kalkulator Jejak Ekologis yang merupakan model alokasi luas
(dalam m2) pada setiap penutupan lahan berdasarkan skenario penyediaan kebutuhan terhadap
pangan, pakaian/tekstil, infrastruktur, dan energi. Kalkulator Jejak Ekologis untuk menilai
keberlanjutan sumber daya yang mampu menyediakan status ekologi jangka panjang dan
peringatan potensi risiko ekologis. Peringatan risiko ekologis menjabarkan tingkat ambang batas
(threshold) daya dukung dan daya tampung suatu wilayah. Kelebihan metode ini adalah memiliki
satuan perhitungan yang transparan, ketersediaan data, metode yang umumnya sudah terstandar,
serta ukuran keberlanjutan lingkungan yang sederhana namun komprehensif (Miao et al., 2016 dan
Taradini, 2018).
68
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
luas maupun spasial penutupan lahan. Hal ini dikarenakan kawasan lindung/konservasi memiliki
fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup sedangkan badan air memiliki
kecenderungan bentuknya selalu sama (Taradini, 2018). Penetapan kawasan lindung/konservasi
mengacu pada identifikasi dari UU 26/2007 tentang Penataan Ruang, UU 5/1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta Surat Ketetapan (SK) KLHK dari 433/Kpts-II/1999
hingga 362/Menhlk/Setjen/PLA.0/5/2019. Adapun reklasifikasi penutupan lahan yang akan
digunakan adalah sebagai berikut.
Tabel 5-10 Reklasifikasi Penutupan Lahan
Hasil Reklasifikasi
Klasifikasi Penutupan Lahan Kode
Penutupan Lahan
Hutan Lahan Kering Primer
Hutan Lahan Kering Sekunder
Hutan Mangrove Primer
Hutan Mangrove Sekunder
Hutan dan Belukar untuk Pemenuhan
Hutan Rawa Primer 1
Kayu
Hutan Rawa Sekunder
Hutan Tanaman
Semak Belukar
Semak Belukar Rawa
Sawah Pertanian Lahan Basah 2
Pertanian Lahan Kering
Pertanian Lahan Kering 3
Pertanian Lahan Kering Campur
Perkebunan Perkebunan 4
Bandara/Pelabuhan
5
Permukiman/Transmigrasi Lahan Terbangun
Pertambangan
Savanna/Padang Rumput 6
Padang Rumput
Lahan Terbuka
Tambak Tambak 7
Diambil dari Penetapan Fungsi Kawasan Lindung/Konservasi 8
Kawasan Hutan
Badan Air (hanya perairan darat) Badan Air 9
Sumber: KLHK, 2022 yang dimodifikasi oleh Taradini, 2018
69
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Selanjutnya dari hasil perhitungan itu akan diakumulasikan jumlahnya. Pada Tabel hasil
perhitungan akumulasi Optimasi Alokasi Penutupan Lahan pada setiap jenis penutupan lahan yang
menggambarkan seberapa besar ambang batas suplai dalam memenuhi kebutuhan sejumlah
penduduk optimum. Pada dasarnya, dalam tabel untuk luas penutupan lahan eksisting dan
70
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
optimasi alokasi dapat berupa satuan hektar yang sebenarnya maupun persentase terhadap total
luas Pulau/Kepulauan. Hasil pada kotak selisih diperoleh dari perbandingan berupa pengurangan
antara optimasi alokasi dengan eksisting. Apabila selisih menunjukkan angka negatif (-) dimaknai
sebagai defisit, maka penutupan lahan ini yang perlu dicarikan lokasi tambahan untuk memenuhi
kebutuhannya. Pencarian atau pemilihan lokasi tambahan agar mendapatkan penutupan lahan
yang optimum diperlukan pemodelan alokasi spasial untuk menentukan alternatif lokasi potensial.
Sehingga akan diketahui lokasi mana yang perlu ditingkatkan maupun yang tetap dilindungi. Di
antara penutupan lahan lainnya, hanya kawasan lindung/konservasi dan badan air (hanya perairan
darat) yang akan bernilai tetap dikarenakan merupakan lahan yang tetap dipertahankan atau tidak
seharusnya dimanfaatkan.
Optimasi Selisih
Jenis Penutupan Lahan Eksisting (Ha atau %)
(Ha atau %) (Ha atau %)
Hutan
Pertanian Lahan Basah
Pertanian Lahan Kering
Perkebunan
Lahan Terbangun
Padang Rumput
Tambak
Kawasan
Lindung/Konservasi
Badan Air (hanya perairan
darat)
*% terhadap total luas Pulau/Kepulauan
Sumber: Hasil Analisis, 2023
Pemodelan Optimasi Alokasi Penutupan Lahan memiliki fungsi utama untuk menetapkan
sebanyak mungkin jumlah manusia yang dapat didukung kebutuhannya. Sehingga selain
penutupan lahan optimum juga akan didapatkan jumlah penduduk optimum yang selanjutnya
menjadi acuan dalam menentukan seberapa besar jasa lingkungan hidup yang dapat melayani
kebutuhan penduduk tersebut. Jumlah penduduk optimum juga disebut sebagai ambang batas
populasi dengan satuan orang atau kapita yang dapat dipenuhi kebutuhannya oleh setiap jenis
penutupan lahan. Dengan kata lain, Optimasi Alokasi Penutupan Lahan disebut sebagai nilai
D3TLH.
71
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Oleh karena itu, hasil persentase memiliki arti bahwa setiap orang dapat memiliki akses
terhadap sumber daya yang sudah diperhitungkan penyediaan kebutuhannya. Perlu dipahami
bahwa pemodelan optimasi hanya berdasarkan pemenuhan kebutuhan di wilayah sendiri.
Sehingga belum dapat menjelaskan apakah suatu pulau/kepulauan mampu melakukan ekspor
atau memenuhi kebutuhan di pulau/kepulauan yang lebih defisit.
Pada proses sebelumnya didapatkan alokasi luas pada setiap jenis penutupan lahan sesuai
dengan kebutuhan fisiologis manusia. Dari hasil pemodelan alokasi luas akan didapatkan hasil
negatif yang berarti defisit dan positif yang berarti surplus. Penutupan lahan yang bernilai defisit ini
yang selanjutnya perlu dicari lokasi alternatifnya agar tercapai kondisi optimum. Prosesnya
dilakukan melalui pemodelan alokasi spasial yang didefinisikan sebagai proses mengalokasikan
suatu jenis penutupan lahan pada suatu lokasi secara spasial (Baja, 2012). Alokasi spasial dapat
dijadikan alat untuk memberikan informasi perencanaan tata ruang guna memenuhi kebutuhan
manusia tanpa degradasi lingkungan. Pemilihan lokasi alternatif ini umumnya mengandalkan
penutupan lahan yang mengalami surplus. Namun perlu dipahami bahwa dalam lokasi alternatif
bukan berarti semuanya harus diubah atau diarahkan menjadi optimum. Jadi harus tetap
dipertimbangkan keseimbangannya agar tidak mengganggu sektor lain.
Sebagai contoh, dari hasil alokasi luas maka didapatkan nilai defisit pada lahan
perkebunan. Maka melalui alokasi spasial akan dicari lokasi alternatif untuk mengejar nilai defisit
tersebut dengan mengacu pada penutupan lahan yang surplus dan didukung probabilitas tertinggi
berdasarkan kesesuaian lahannya. Oleh karena itu, pemodelan alokasi spasial terdiri dari dua
tahapan meliputi (1) perhitungan probabilitas kesesuaian penutupan lahan, serta (2) pendekatan
kedekatan dan kepadatan spasial (Safitri, 2021). Pemodelan alokasi spasial penutupan lahan
dibangun dalam sistem grid resolusi 30”x30” (±0,9 km x 0,9 km) dengan tidak mengikutsertakan
kawasan lindung/konservasi dan badan air.
Proses tahapan pemodelan alokasi spasial penutupan lahan, diawali dengan penilaian
parameter fisik menggunakan ECOC-SVM yang akan diteruskan dalam perhitungan kesesuaian
lahan dalam penentuan alternatif potensial sehingga menghasilkan informasi kemampuan multi-
72
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
kelas dan probabilitas tingkatan kesesuaian untuk setiap klasifikasi penutupan lahan dengan
akurasi mencapai 85%. Kemudian dilanjutkan dengan pemilihan lokasi atau distribusi spasialnya
melalui pendekatan 2K Spasial, yaitu kedekatan dan kepadatan spasial secara simultan. Hal
tersebut dikarenakan akan mengurangi atau menghilangkan bentuk tidak efisiensi dari pola
sebaran penutupan lahan karena konflik pembangunan antar penutupan lahan. Pemodelan alokasi
spasial dilakukan melalui perangkat lunak (software) QGis sehingga penjelasan metodologinya
hanya sebatas konsep pada masing-masing tahapannya saja.
73
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
menunjukkan persentase luas dari beberapa perhitungan probabilitas dengan terdapat nilai
maximum dan minimum. Namun untuk kawasan lindung/konservasi dan badan air akan selalu
memiliki nilai probabilitas 0,00% dikarenakan tetap dipertahankan luasannya.
Sebagai contoh, pada tabel di hutan memperoleh persentase luas sebesar 15,2% sebagai
nilai maksimum. Hal ini dapat diartikan bahwa di suatu lokasi akan menjadi prioritas utama dalam
pemilihan lokasi baru untuk lahan hutan. Namun apabila tidak terpenuhi persyaratannya, maka
dapat dipilih tingkat kesesuaian yang kedua dan seterusnya. Berbeda lagi dengan padang rumput
memperoleh pesentase sebesar 65,18% sebagai nilai minimum. Hal ini dapat diartikan bahwa di
suatu lokasi tidak menjadi prioritas atau pilihan terakhir sebagai lokasi padang rumput. Cakupan
luas kesesuaian lahan pada masing-masing penutup lahan dihasilkan melalui mengkalikan
persentase dengan total luas suatu lokasi.
74
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
(a)
(b)
Gambar 2‑5 2K Spasial: (a) Kedekatan (b) Kepadatan Spasial untuk Alokasi Spasial Penutupan Lahan
75
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Gambar 5-9 Optimasi pareto untuk lokasi-alokai penutupan lahan dengan kedekatan
dan kepadatan spasial (2K) simultan
Sumber: Safitri et al, 2021
Gambar 3-9 menunjukkan model alokasi spasial penutupan lahan dengan 2K Spasial
simultan menggunakan optimasi pareto melalui tahapan mengombinasikan algoritma-algoritma
yang telah dibangun untuk kedekatan dan kepadatan spasial. Algoritma pendekatan integrasi
model 2K Spasial Simultan pada alokasi spasial memang pada dasarnya dibangun karena adanya
permasalahan pembangunan yang cepat tanpa perencanaan sehingga menimbulkan penurunan
kualitas lingkungan, alih fungsi lahan menyebabkan fragmentasi lahan dan penggunaan lahan yang
berdampingan tapi saling memberi dampak negatif (permukiman bersebelahan dengan kawasan
industri). Pendekatan model 2K Spasial secara simultan menjadi model terbaik dengan jarak
terdekat paling kecil dan kepadatan spasial paling tinggi tetapi dengan hasil jumlah kandidat lokasi
lahan baru yang lebih sedikit namun dengan perbedaan yang tidak signifikan. Hal tersebut
dikarenakan jumlah pembatas yang lebih banyak dibandingkan dengan model lainnya dalam
rangka mencapai perubahan penutupan lahan yang berkelanjutan. Sehingga tiap klasifikasi
penutupan lahan yang telah disesuaikan berdasarkan hasil model spasial alokasi lahan akan
diteruskan menjadi komposisi penutupan lahan optimum.
Perlu dipahami optimasi alokasi luas dan spasial penutupan lahan memang
mengedepankan kondisi optimum yang ideal. Namun tetap pada pengaplikasiannya mengacu
aturan kebijakan penataan ruang yang berlaku. Sehingga tidak serta merta harus dialih
fungsikan semuanya menjadi optimum. Apabila kasus terburuknya dibutuhkan untuk alih
fungsi lahan harus melihat kondisi penutupan lahan di beberapa tahun belakangnya. Hal ini
dilakukan guna mengecek apabila berubah tidak akan mengganggu tatanan fungsi
lingkungan hidup secara keseluruhan.
76
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Merujuk pada subbab 5.2.1, perhitungan kondisi biogeofisik dari Biokapasitas dan Jejak
Ekologis akan menghasilkan Optimasi Alokasi Penutupan Lahan. Berlanjut dari optimasi tersebut
akan dihasilkan jumlah penduduk optimum dan penutupan lahan optimum yang selanjutnya
dijadikan sebagai acuan untuk menghasilkan dua kondisi berikut.
Gambar 5-10 Alur Metode Penentuan Status D3TLH dan Gap Jasa Lingkungan Hidup
Sumber: Dimodifikasi dari Taradini, 2018
Status D3TLH
Status D3TLH didefinisikan sebagai kondisi D3TLH melalui pendekatan jumlah penduduk
dari hasil Optimasi Alokasi Penutupan Lahan dengan eksisting pada saat D3TLH disusun. Jumlah
penduduk optimum ini dapat diketahui persebarannya pada Pulau/Kepulauan mengikuti nilai
D3TLH dalam peta dengan sistem grid skala ragam ukuran 30’’ x 30” (± 0,9km x 0,9km). Persebaran
penduduk optimum pada grid mempertimbangkan bobot dari setiap jenis penutupan lahan. Bobot
tipe penutupan lahan ditentukan oleh pakar dan/atau disesuaikan dengan referensi ilmiah.
Semakin besar bobot pada tipe penutupan lahan, maka distribusi jumlah penduduk di wilayah
tersebut akan semakin besar. Adapun bobotnya meliputi hutan (0,009), pertanian lahan basah
(0,048), pertanian lahan kering (0,029), perkebunan (0,002), lahan terbangun (0,328), tambak
(0,038). Sedangkan padang rumput, kawasan lindung/konservasi, dan badan air bernilai 0.
Status D3TLH mencakup klasifikasi Belum Terlampaui dan Terlampaui. Status Belum
Terlampaui diartikan jumlah penduduk eksisting kurang dari jumlah penduduk optimum.
Sedangkan Status Terlampaui diartikan jumlah penduduk eksisting lebih dari jumlah penduduk
optimum. Status Terlampaui bukan berarti suatu wilayah tidak dapat memenuhi dan melayani
kebutuhan wilayahnya sendiri melainkan tetap berfungsi apabila didukung oleh wilayah lainnya.
Status D3TLH ini juga ada kaitannya dengan jasa lingkungan hidup optimum. Hal ini terlihat dimana
jumlah penduduk optimum menjadi acuan dalam menilai sejauh mana dan seberapa besar jasa
lingkungan hidup yang perlu disiapkan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis penduduk per orang.
Dapat disimpulkan bahwa Status D3TLH dapat digunakan sebagai acuan dalam ambang batas
77
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
pengelolaan pola perilaku maupun konsumsi manusia terhadap pemanfaatan sumber daya alam
di suatu Pulau/Kepulauan hingga daerah provinsi.
Pada umumnya, dalam menghitung jasa lingkungan hidup mengacu pada bobot dan skor
dari tiga parameter, yaitu penutupan lahan, karakteristik bentang alam (KBA), dan karakteristik
vegetasi alami (KVA). Hal yang membedakan adalah penutupan lahannya dimana pada optimum
didasarkan dari hasil pemodelan optimasi alokasi. Alur perhitungannya melalui pembobotan dan
skor berdasarkan peran ketiga parameter terhadap jasa lingkungan hidup tertentu. Adapun rumus
matematik perhitungan jasa lingkungan hidup umunya adalah sebagai berikut.
Jasa Lingkungan Hidup Optimum,Eksisting = f {Bentang Alam, Vegetasi Alami, Penutupan Lahan}
= (Wba × Sba) + (Wveg × Sveg) + (Wpl × Spl)
Keterangan:
Wba = Bobot bentang alam
Sba = Skor bentang alam
Wveg= Bobot vegetasi alami
Sveg = Skor vegetasi alami
Wpl = Bobot penutupan lahan
Spl = Skor penutupan lahan
78
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Selanjutnya hasil perhitungan jasa lingkungan hidup untuk pengatur air, pendukung kehati
dan penyedia pangan akan menghasilkan indeks yang kemudian dijadikan satu indeks komposit
melalui metode rata-rata geometrik yang disebut dengan IJLH (Indeks Jasa Lingkungan Hidup)
Gabungan. IJLH Gabungan dapat menggambarkan kondisi proses, fungsi, dan produktivitas
lingkungan hidup di suatu wilayah. Dengan kata lain, semakin tinggi IJLH Gabungan maka
lingkungan hidupnya masih berfungsi dengan baik. IJLH Gabungan dari eksisting akan menjadi
dasar dalam mengetahui posisi provinsi sedangkan IJLH Gabungan dari optimum akan menjadi
dasar rata-rata nasional pada Kuadran Keberlanjutan. Oleh karena itu, apabila IJLH Gabungan
eksisting lebih kecil dari IJLH Optimum maka posisi provinsi akan semakin berada di kuadran yang
jauh dari kondisi berkelanjutan. Adapun secara umum baik eksisting maupun optimum memiliki
nilai IJLH Gabungan yang berada di rentang 5 kelas dengan pembagian nilai sebagai berikut.
79
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
situasi rawan lingkungan hidupnya, akan menentukan kapasitas individu dan keluarga untuk
menghadapi kekeringan, banjir, kelangkaan air, wabah dan kondisi bahaya lain yang dapat
menimpa. Sedangkan siklus kerawanan atau instabilitas ekonomi yang dapat berdampak pada
pemutusan hubungan kerja dan pendapatan, harus ditanggulangi dengan sistem perlindungan
sosial yang berlaku. Disini, kapasitas kelembagaan masyarakat, keluarga dan peran pemerintah
menjadi penting dalam menciptakan dan memelihara sistem dukungan (support system) yang
diperlukan. Dari sudut daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, kapasitas sistem
kehidupan masyarakat ini akan sangat tergantung pada kualitas tata kelola (governance)
lingkungan hidupnya, yang mana akan menjamin pelaksanaan jasa lingkungan (ecosystem
services).
Perumusan indikator sosial, budaya, ekonomi dalam D3TLH pada dasarnya terkait dengan
pemahaman dinamika perubahan yang terjadi pada lingkungan hidup dalam kaitannya dengan
perkembangan kehidupan sosial, budaya dan ekonomi dalam masyarakat. Ada sejumlah konsep
yang harus dijabarkan dalam kaitan dengan hubungan keberlanjutan dengan proses
perkembangan atau perubahan pada sistem ekologi sosial (social-ecological system). Hansen (2014)
menulis artikel berijudul “Biodiversity governance and social-ecological system dynamics:
transformation in the Australian Alps”. Dalam tulisannya , pertanyaan besar yang ingin dijawab
adalah : What are the ramifications of SES dynamics for biodiversity governance of a nationally
significant landscape? Biodiversity governance adalah kata kunci, sedangkan SES dapat dikatakan
sebagai konteks yang mempengaruhi pencapaian kondisi ideal keberlanjutan.
Akhir-akhir ini Indonesia sedang mengalami perubahan sosial, budaya, ekonomi dan
lingkungan yang cepat. Pembangunan sosial, budaya dan ekonomi secara langsung maupun tidak
langsung berdampak pada dinamika karakteristik lingkungan yang berujung pada perubahan daya
dukung dan daya tampung alam. Melalui uraian berikut, berikut adalah 3 uraian pokok yang perlu
diperhatikan dalam penilaian D3TLH.
1. Konteks pembangunan dan perubahan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Industrialisasi dan pengembangan komoditi bernilai ekspor adalah salah satu pencetus
perubahan lingkungan yang paling signifikan. Ketergantungan negara terhadap ekspor telah
mendorong kebutuhan lahan dan perubahan peruntukan yang merubah secara mendasar
ekosistem dan daya dukung alami yang dimiliki.
2. Pentingnya rujukan konsepsi tiga fungsi ecosystem services (jasa lingkungan hidup).
Penting untuk merujuk pada upaya melestarikan daya dukung alam dalam rangka menjaga
kapasitasnya untuk manjalankan tiga fungsi jasa lingkungan: memberikan (provision),
mengatur (regulating) dan jasa kultural (cultural services). Jasa lingkungan akan bercirikan
karakteristik dari setiap kawasan ekosistem (ecoregions). Keberlanjutan dalam masing masing
ekosistem akan tergantung pada ecosystem governance yang didefinisikan sebagai corak
pendekatan kelembagaan yang melaksanakan tugas menjaga daya dukung kualitas ekosistem
dalam menopang penghidupan dan kehidupan di bumi.
3. Aspek sosial, budaya, ekonomi terkait indikator keselamatan, mutu hidup dan kesejahteraan.
Pada dasarnya ketiga indikator yang disebut dikategorikan sebagai outcome yang sifatnya goal
based dan causal model.
80
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Dapat disepakati pentingnya titik tolak pemahaman substantif akan konsep jasa lingkungan
sebagai dasar rujukan membangun sistem pemantauan dan pengendalian terhadap daya dukung
dan daya tampung lingkungan hidup. Loss of ecosystem services may compromise the resilience of
social-ecological systems (SESs) and, thus, the economic, mental, and physical well-being of future
generations (Mooney et al. 2009, Ehrlich et al. 2012). Pendekatan kawasan ekosistem (ekoregion)
merupakan tantangan tersendiri. Pendekatan dengan basis karakteristik alam dan lingkungan yang
khas memerlukan pemahaman pada dimensi dasar dari karakteristik, yang mana menandakan
potensi.
Lebih lanjut, kita ketahui bahwa upaya mencapai perbaikan keselamatan, mutu hidup dan
kesejahteraan masyarakat sesuai yang tertuang dalam Pasal 12 pada Undang-Undang 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup akan sangat tergantung pada
banyak hal. Realita dinamika penghidupan masyarakat sangat kompleks dan mencakup bekerjanya
berbagai unsur yang memberikan hasil akhir perbaikan taraf kehidupan masyarakat. Terkait fokus
pada daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, penting kita mencatat dua hal pokok
meliputi (1) kondisi dan bekerjanya tata kelola kebijakan lingkungan hidup (ecosystem governance)
dan (2) bagaimana kualitas dari tata kelola pemerintahan secara umum (state governance). Diagram
berikut memberikan gambaran lebih jauh tentang inter-relasi yang menentukan kondisi tata kelola
lingkungan hidup dan tata kelola kebijakan pemerintahan dalam mengelola kehidupan, khususnya
di bidang ekonomi (yang mencakup pula pilihan teknologi) yang menjadi driver utama perubahan
lingkungan hidup.
Pada Diagram berikut memberikan gambaran singkat tentang struktur interaksi elemen
yang menentukan hasil akhir keselamatan, mutu hidup dan kesejahteraan masyarakat. Menjadi
perhatian kita adalah unsur penggerak perubahan lingkungan (driver perubahan) yang sangat erat
dengan berjalannya proses industrialisasi, pertambahan penduduk dan teknologi yang digunakan
untuk menggerakkan produksi. Semua unsur ini menjadi stressor (penekan) bagi berfungsinya jasa
lingkungan hidup; memberikan manfaat lingkungan bagi kehidupan manusia. Dalam konteks
81
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
bekerjanya industri, urbanisasi dan fasilitasi kesejahteraan masyarakat akan ditentukan oleh
kualitas kebijakan publik dan khususnya kebijakan serta implementasi tata kelola lingkungan
hidup.
Aspek sosial, budaya, dan ekonomi akan dirumuskan pada suatu parameter yang
terminologinya sudah disepakati, yaitu Keselamatan, Mutu Hidup, dan Kesejahteraan sebagai
indikator outcome dari D3TLH Provinsi. Kemudian, gabungan dari ketiga indeks tersebut akan
menjadi indeks akumulatif yang disebut Indeks Keselamatan, Mutu Hidup dan Kesejahteraan
(KMK). Indeks KMK ini termasuk dalam kategori indeks rata-rata relatif kuantitas sederhana, yang
memiliki bobot masing-masing unsur pembentuknya dengan nilai yang setara. Dalam perhitungan
ini menunjukkan masing-masing indeks pembentuk memiliki nilai 1/3 atau 3,33. Kemudian, setiap
indeks akan terdiri dari 2 atau lebih variabel. Variabel tersebut akan terdiri dari satu indikator yang
menjadi tolok ukur serta menggunakan data yang sudah tersedia. Hal ini menunjukkan pendekatan
perhitungan Indeks KMK ini menggambarkan secara makro terhadap kondisi sosial, budaya, dan
ekonomi suatu wilayah.
82
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
5.1.2.6 Keselamatan
Keselamatan adalah kondisi kesehatan diri yang menyangkut fisik manusia yang harus
dijaga baik mengenai keamanan tubuh/jasmani, rohani/jiwa dan sosial maupun keselamatan dari
gangguan/ancaman terhadap jiwa dan raga manusia. Keselamatan hidup yang tingkatannya
ditinjau menggunakan akses hunian layak, sedangkan untuk keselamatan dari bahaya ditinjau
menggunakan indikator risiko bencana suatu wilayah. Hasil dari perhitungan kedua variabel
tersebut akan bermakna semakin tinggi nilai akses hunian yang layak dan terjangkau serta semakin
kecil nilai risiko bencana di suatu wilayah, maka semakin besar nilai keselamatan wilayah tersebut.
Keselamatan Hidup
Keselamatan hidup merupakan pengetahuan sebagai kapasitas seseorang dalam menjaga,
melindungi diri dan sosialnya terhadap ancaman/bahaya dan cara-cara untuk menghindari diri dari
segala sesuatu yang mengancam dan membahayakan keselamatan. Variabel keselamatan diri
diidentifikasi dengan indikator akses hunian yang layak dan terjangkau. Data untuk keselamatan
hidup ini bersumber dari walidata: Badan Pusat Statistik melalui ‘Persentase Rumah Tangga yang
Memiliki Akses Terhadap Hunian Yang Layak Dan Terjangkau Menurut Provinsi’. Data tersebut dalam
bentuk proporsi dengan dengan satuan persentase. Pemilihan akses hunian layak dan terjangkau
karena memiliki kriteria yang sudah cukup makro dan memiliki makna yang mengindikasi pada
kondisi kesehatan masyarakat. Pendekatan akses hunian layak ini sejak tahun 2019 ini sudah
memenuhi 4 (empat) kriteria, yaitu kecukupan luas tempat tinggal per kapita, akses terhadap air
minum layak, akses terhadap sanitasi layak dan ketahanan bangunan. Sejalan dengan tujuan
Sustainable Development Goals tentang komitmen masyarakat internasional mendukung hak asasi
manusia melalui aksi mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan, dan melindungi
lingkungan.
Penilaian parameter bahaya dilakukan penentuan bobot pada masing-masing jenis bahaya
yang diidentifikasi melalui hubungan antara frekuensi kejadian dengan adanya tidak peringatan.
Ilustrasi menggunakan kuadran dari keterhubungan tersebut di Gambar 3-6. Jenis bahaya tersebut
diberikan tingkat bobot yang bernilai 3, 4 dan 5, sebagai berikut:
- Bobot 3 dengan frekuensi kejadian rendah dan terdapat peringatan, yaitu bencana letusan
gunung api.
83
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
- Bobot 4 dengan frekuensi kejadian rendah tetapi dan tanpa peringatan, yaitu tsunami, gempa
bumi dan kebakaran permukiman
- Bobot 4 dengan frekuensi kejadian tinggi dan ada peringatan, yaitu badai, banjir, dan
kebakaran hutan
- Bobot 5 dengan frekuensi kejadian tinggi dan tanpa peringatan, yaitu banjir dan longsor.
Disclaimer Keselamatan
Kondisi sehat terbagi menjadi sehat sosial yang menunjukkan semakin banyak jumlah
Lembaga di suatu wilayah menandakan semakin baiknya wilayah tersebut melakukan bonding,
bridging dan linking social untuk beralkulturasi, asimilasi dan amalgamasi, menunjukkan
kohesifitas sosial dan colective efficacy sehingga tidak menimbulkan segregasi sosial yang dapat
menurunkan konflik antar individu atau kelompok. Sehat rohani pada suatu wilayah menandakan
bahwa setiap individu memiliki agama yang dianut. Selanjutnya, yang paling mendasar yaitu sehat
jasmani terkait kondisi fisik yang menandakan setiap individu mampu berperilaku memelihara,
menjaga normalnya fungsi organ tubuh yang tidak berpotensi terganggu agent penyakit dan
kondisi lingkungannya. Dalam perhitungan keselamatan alam penyusunan D3TLH disepakati
menggunakan aspek sehat jasmani melalui akses terhadap hunian yang layak dan terjangkau.
84
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Mutu Hidup adalah gambaran dari kualitas penduduk dan pemajuan budaya yang
berkaitan dengan jasa lingkungan yang tersedia dimana penduduk tinggal. Kualitas penduduk yang
tingkatannya ditinjau menggunakan Indeks Pembangunan manusia, sedangkan untuk pemajuan
kebudayaan ditinjau menggunakan indikator akumulatif dimensi pembentuk Pembangunan
kebudayaan. Hasil dari perhitungan kedua variabel tersebut akan bermakna: semakin tinggi nilai
indeks Pembangunan manusia dan semakin tingginya nilai pembangunan kebudayaan di suatu
wilayah, maka semakin besar skor mutu hidup wilayah tersebut.
Kualitas Penduduk
Kualitas Penduduk adalah tujuan dari upaya pembangunan manusia diharapkan dapat
mengoptimalkan pembangunan nasional. Variabel kualitas penduduk diidentifikasi dengan
indikator pembangunan manusia. Pembangunan manusia adalah upaya untuk meningkatkan
85
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
kualitas hidup manusia (freedom and choice) melalui berbagai aspek seperti umur panjang dan
sehat, pengetahuan, dan standar hidup layak dan berkelanjutan. Data untuk kualitas penduduk ini
bersumber dari walidata, yaitu Badan Pusat Statistik melalui Indeks Pembangunan Manusia
Provinsi. Data tersebut merupakan data indeks nilai. Pemilihan Indeks Pembangunan Manusia
karena memiliki kriteria yang sudah cukup makro dan memiliki makna yang mengindikasi pada
kualitas hidup suatu penduduk dengan indikator umur harapan hidup saat lahir, harapan lma
sekolah, rata-rata lama sekolah, dan pengeluaran riil per kapita yang disesuaikan (BPS, 2022).
Pendekatan Indeks Pembangunan Manusia ini sejak tahun 2014 telah terjadi penyempurnaan
metode dan standarisasi dari UNDP.
Aspek budaya mendapati asumsi terkait unsur pengetahuan atau proses pembelajaran
sebagai penguatan akar suatu individu di suatu bangsa agar menciptakan kemampuan
86
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
beradaptasi, modifikasi, menemukan hal baru (invention) dan inovasi (murah, mudah,
cepat, tidak merusak dan berguna pendukung keberlangsungan lingkungan hidup).
Penggunaan data dari Indeks Pembangunan Kebudayaan didapati masih terbatas yang
diidentifikasi bersumber dari daftar pertanyaan atau daftar indikator pada masing-masing
dimensi, tetapi sudah dapat dijadikan proxy bentuk Indeks Pembangunan kebudayaan
sebagaimana menggunakan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang masih bersifat
makro. Hal ini menunjukan, setiap nilai dimensi yang nilainya langsung digunakan tidak
dapat mencerminkan kondisi yang lebih detail.
Angka penilaian warisan budaya menunjukan indikasi angka pencapaian pemerintah
daerah terhadap kinerja pemajuan kebudaayan itu sendiri sesuain dengan Undang-undang
Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan disahkan Pemerintah sebagai acuan
legal-formal pertama untuk mengelola kekayaan budaya di Indonesia.
Perihal warisan budaya/cagar budaya, setiap pemerintah pusat dan daerah membentuk
Tim Ahli Cagar Budaya (TACB daerah provinsi, Kabupaten/Kota dan TACB Nasional) yang
kinerja dan capaiannya menjadi indikator penilaian apakah tim ahli cagar budaya tersebut
melakukan tugasnya yaitu : pengkajian, pengklasifikasian, mereview berkas usulan,
merekomendasikan: objek pendaftaran, penetapan, pemeringkatan, penginventarisasian
ulang cagar budaya yang ditemukan kembali dan penghapusan cagar budaya, dalam
rangka Pelestarian: perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan cagar budaya untuk
pembelajaran jejak nilai-nilai sejarah bangsa (jatidiri bangsa / identitas esensial dan
interaksional) atau masih belum optimal dalam menjaga warisan budaya yang tersedia di
masing-masing provinsi atau kabupaten/kota dan Nasional.
Perihal literasi budaya, setiap pemerintah daerah bekerja sama dengan Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dan Organisasi Riset Arbastra - BRIN (Arkeologi,
Bahasa, dan Sastra – Badan Riset Inovasi Nasional), khusus terkait dengan warisan budaya
intangible (tak benda), di antaranya: bahasa, musik, tari, upacara, serta berbagai perilaku
terstruktur lain. (Edi Sedyawati: dalam pengantar Seminar Warisan Budaya Takbenda,
2002).
Keterbatasan pembahasan aspek budaya melalui dimensi yang terdapat di Indeks
Pembangunan Kebudayaan dalam penyusunan D3TLH masih belum menggunakan
kacamata Lingkungan dalam daftar pertanyaan atau indikator penilaiannya.
87
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Sebelum perhitungan standarisasi data untuk variabel karakter ruang budaya, diperlukan
perhitungan dinamika dari tahun 2020 ke tahun 2021 untuk ketiga dimensi penyusunnya yaitu
Warisan Budaya, Budaya Literasi, dan Ketahanan Sosial dan Budaya, dengan persamaan sebagai
berikut:
Indeks Tahun 2021
𝐃𝐢𝐧𝐚𝐦𝐢𝐤𝐚 𝐏𝐞𝐫 𝐌𝐚𝐬𝐢𝐧𝐠 − 𝐌𝐚𝐬𝐢𝐧𝐠 𝐃𝐢𝐦𝐞𝐧𝐬𝐢 = × 100
Indeks Tahun 2020
Kemudian, perhitungan yang dilakukan setelah menghitung dinamika untuk ketiga dimensi
adalah perhitungan akumulatif dinamika karakter ruang budaya. Persamaan tersebut sebagai
berikut:
Dinamika Karakter Ruang Budaya
D𝑖𝑛𝑎𝑚𝑖𝑘𝑎 𝑊𝑎𝑟𝑖𝑠𝑎𝑛 𝐵𝑢𝑑𝑎𝑦𝑎 + 𝐷𝑖𝑛𝑎𝑚𝑖𝑘𝑎 𝐵𝑢𝑑𝑎𝑦𝑎 𝐿𝑖𝑡𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖 + 𝐷𝑖𝑛𝑎𝑚𝑖𝑘𝑎 𝐾𝑒𝑡𝑎ℎ𝑎𝑛𝑎𝑛 𝑆𝑜𝑠𝑖𝑎𝑙 𝑑𝑎𝑛 𝐵𝑢𝑑𝑎𝑦𝑎
=
3
Langkah selanjutnya adalah standarisasi untuk dinamika karakter ruang budaya. Berikut operasi
matematika standarisasi data min-max untuk karakter ruang budaya:
Hasil perhitungan skor mutu hidup akan dikategorikan menggunakan rentang 0 sebagai
skor terendah dan 1 sebagai skor tertinggi. Penjabaran dari rentang kelas dan kategori mutu
hiduppada Tabel 3-18 berikut.
Tabel 5-16 Kelas Skor Mutu Hidup
Warna Rentang Kelas Kelas Skor Mutu hidup
0.81 – 1.0 Sangat Tinggi
0.61 – 0.8 Tinggi
0.41 – 0.6 Sedang
0.21 – 0.4 Rendah
0.0 – 0.2 Sangat Rendah
Sumber: Tim Penyusun, 2023
88
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
5.1.2.8 Kesejahteraan
Kesejahteraan adalah keadaan dimana manusia secara individu dan atau kolektif dapat
menikmati utilitas hidup (utilitas neto) yang maksimal, yang pencapaian ditentukan oleh
kinerja ekonomi makro, yaitu pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga umum dan tingkat
pengangguran terbuka. Bila nilai sekarang (present value) utilitas yang dinikmati oleh generasi
yang akan mendatang adalah minimal sama (≥) dengan utilitas yang dinikmati generasi
sebelumnya, maka perekonomian mencapai kondisi berkelanjutan. Bila diasumsikan tidak adalah
masalah-masalah institusional dan tata nilai, maka tingkat kesejahteraan ditentukan oleh
kinerja ekonomi makro, yang dievaluasi dari pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga umum dan
tingkat pengangguran terbuka.
Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi adalah bertambahnya kuantitas produksi agregat perekonomian
suatu wilayah, selama satu periode tertentu. Suatu perekonomian dikatakan mengalami
pertumbuhan bila kuantitas produksi agregatnya bertambah. Laju kecepatan pertambahan
kuantitas produksi agregat per satuan waktu di sebut laju pertumbuhan ekonomi. Bila laju
pertumbuhan ekonomi makin tinggi, maka kinerja makro dikatakan makin baik. Di Indonesia,
selama periode 2010-2020 laju pertumbuhan ekonomi adalah antara -2,1% per tahun sampai
dengan 6,5% per tahun (Diolah dari data BPS). Sementara itu di tingkat provinsi, angka
pertumbuhan ekonomi lebih bervariasi, dimana terdapat provinsi-provinsi yang mengalami
pertumbuhan ekonomi lebih dari 5% per tahun (BPS, 2023). Maka, diperlukan dasar penentuan
kriteria pertumbuhan ekonomi dari data nasional tahun 1970-2022, data provinsi 2018-2022, dan
data provinsi khusus tahun 2022. Penentuan tingkatan dari pertumbuhan ekonomi dalam kriteria 5
kelas, sebagai berikut:
Tabel 5-16 Dasar Penentuan Kriteria Pertumbuhan Ekonomi
89
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Pengukuran laju inflasi menggunakan data Indeks Harga Implisit (IHI). Angka IHI merupakan
rasio antara nilai PDB harga berlaku dengan PDB harga konstan. Inflasi berdasarkan angka IHI
menunjukkan laju inflasi yang paling agregat (Rahardja & Manurung, 2019). Bila laju inflasi makin
tinggi maknanya kenaikan biaya hidup makin cepat.
Belum ada kesepakatan internasional tentang berapa laju inflasi atau deflasi yang baik,
walaupun sudah ada konsensus tentang laju inflasi yang dapat ditoleransi. Studi empiris
menunjukkan bahwa laju inflasi yang sangat tinggi, yaitu ≥30% per tahun akan sangat
membahayakan perekonomian dan stabilitas sosial. Dalam kasus-kasus khusus dapat terjadi
hyperinflation (lebih tinggi dari 100%/tahun), bahkan pernah mencapai lebih dari 1000% per tahun.
Kondisi-kondisi ekstrem ini terjadi karena buruknya pengelolaan perekonomian dan atau
ketidakstabilan politik dalam jangka panjang. Dampaknya terhadap kesejahteraan sosial jauh lebih
berat dibanding dengan laju inflasi yang sekitar 30% per tahun.
Kondisi ekstrem yang berkebalikan dari inflasi yang tinggi adalah deflasi. Perekonomian
yang mengalami deflasi apa lagi berkepanjangan, memberikan indikasi bahwa perekonomian
tersebut mengalami kelesuan atau resesi berkepanjangan. Dampak paling terasa dari deflasi
adalah meningkatnya angka pengangguran. Makin dalam dan makin lama deflasi berlangsung,
maka tingkat pengangguran juga akan semakin tinggi. Di Indonesia, data empiris inflasi selama
periode 2010-2020 adalah antara -2,1% sampai dengan 11% per tahun. Pada level provinsi, datanya
lebih bervariasi, namun tidak ada provinsi yang inflasinya pernah mencapai lebih dari 12% per
tahun.
Maka, diperlukan dasar penentuan kriteria stabilitas harga umum dari data nasional tahun
1970-2022, data provinsi 2018-2022, dan data provinsi khusus tahun 2022. Penentuan tingkatan dari
stabilitas harga umum dalam kriteria 5 kelas, sebagai berikut:
Tabel 5-17 Dasar Penentuan Kriteria Stabilitas Harga Umum (Inflasi)
Kriteria Kinerja (%/tahun)
Sangat Rendah 2-4
Rendah 4-7
Sedang 7-11
Tinggi 11-30
Sangat Tinggi >30
Sumber: Diolah dari berbagai data, 2023
Pengangguran adalah angkatan kerja (penduduk usia ≥ 15 tahun) dan ingin bekerja, tetapi
tidak mendapatkan pekerjaan. Tingkat pengangguran menunjukkan proporsi angkatan kerja yang
menganggur. Di Indonesia, angka pengangguran yang resmi dikeluarkan oleh pemerintah, yakni
90
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
BPS (Badan Pusat Statistik), adalah tingkat pengangguran terbuka (TPT), yaitu Tingkat
pengangguran terbuka adalah proporsi angkatan kerja yang menganggur dalam suatu wilayah,
selama satu periode tertentu. Karena berbagai faktor, terutama institusional, maka dalam kondisi
ekonomi yang paling baik dan stabil pun, TPT tidak pernah mencapai 0%. Kajian teoritis dan empiris
menunjukkan bahwa dalam kondisi ekonomi yang paling baik, TPT setidak-tidaknya adalah 4%-6%
angkatan kerja. Bila TPT makin tinggi, maka kinerja ekonomi makro dinilai semakin buruk.
Di Indonesia, selama 2010-2020 pada level nasional, angka TPT adalah antara 5% sampai
dengan 10%. Pada tingkat provinsi, di periode yang sama angka TPT tertinggi adalah 11%,
sedangkan terendah adalah antara 3,3%. Data-data empiris kinerja ekonomi makro pada level
nasional dan provinsi akan digunakan sebagai dasar untuk penghitungan skor indikator
kesejahteraan. Maka, diperlukan dasar penentuan kriteria Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
dari data nasional tahun 1970-2022, data provinsi 2018-2022, dan data provinsi khusus tahun 2022.
Penentuan tingkatan dari TPT dalam kriteria 5 kelas, sebagai berikut:
Tabel 5-18 Dasar Penentuan Kriteria Tingkat Pengangguran Terbuka
Langkah kedua dengan melakukan perhitungan laju inflasi tahun 2021-2022. Data yang
digunakan adalah data harga implisi tahun 2021 dan 2022. Di bawah ini merupakan operasi
matematika:
Indeks Harga Implisit Tahun 2022 − Indeks Harga Implisit Tahun 2021
𝐋𝐚𝐣𝐮 𝐈𝐧𝐟𝐥𝐚𝐬𝐢 = × 100
Indeks Harga Implisit Tahun 2021
91
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Predikat nilai di sebaran data pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga umum, tingkat
pengangguran terbuka, selanjutnya di akumulatifkan sehingga menghasilkan skor kesejahteraan.
Jadi, skor Kesejahteraan menggunakan operasi matematika sebagai berikut:
Skor Kesejahteraan = f {Pertumbuhan Ekonomi, Stabilitas Harga Umum, Tingkat Pengangguran
Terbuka}
(P𝐸 ) + (SHU) + (𝑇𝑃𝑇)
𝑆𝑘𝑜𝑟 𝐾𝑒𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎𝑡𝑎𝑛 =
2
Keterangan:
PE = Predikat Niliai Pertumbuhan Ekonomi
SHU = Predikat Nilai Stabilitas Harga Umum
TPT = Predikat Nilai Tingkat Pengangguran Terbuka
92
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Hasil perhitungan Indeks KMK dilakukan klasifikasi ke dalam 5 kategori visualisasi masing-
masing kategori dari sangat rendah hingga sangat tinggi. Melalui metode pendekatan peta berbasis
wilayah administrasi provinsi ditambah data terkait dari lembaga yang kredibel.
Tabel 5-20 Kelas Indeks KMK
93
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
jasa lingkungan hidup untuk tata air, pangan, dan kehati yang kemudian disebut dengan IJLH
Gabungan. Dalam Kuadran Keberlanjutan, rata-rata nasional menggunakan IJLH Gabungan untuk
optimum yang sudah melalui perhitungan rata-rata geometrik. Sedangkan IJLH Gabungan untuk
eksisting yang akan menentukan posisi kondisi lingkungan hidup suatu provinsi pada kuadran. IJLH
Gabungan untuk eksisting menjadi sumbu X dengan ketentuan berikut.
Apabila IJLH Gabungan Eksisting < IJLH Gabungan Optimum maka posisinya akan berada
di sebelah kiri atau sekitar Kuadran II dan IV
Apabila IJLH Gabungan Eksisting > IJLH Gabungan Optimum maka posisinya akan berada
di sebelah kanan atau sekitar Kuadran I dan III
Apabila Indeks KMK Provinsi < Capaian Nasional, maka posisinya akan berada di bagian
bawah atau di Kuadran III atau IV
Apabila Indeks KMK Provinsi > Capaian Nasional, maka posisinya akan berada di bagian
atas atau sekitar Kuadran I dan II
Posisi Kuadran Keberlanjutan
94
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Kuadran IV sebagai Tantangan Ekologis dimana Indeks Jasa Lingkungan Hidup Eksisting
dan Indeks KMK Eksisting di bawah rata-rata nasional, maka menunjukkan
ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhannya sehingga membutuhkan impor.
95
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Berdasarkan tahapannya, data spasial yang digunakan hanya merujuk pada kondisi
biogeofisik untuk mendapatkan hasil dari Biokapasitas, Optimasi Alokasi Penutupan Lahan sebagai
acuan Jasa Lingkungan Hidup Optimum, serta Jasa Lingkungan Hidup Eksisting. Adapun secara
detail akan dijabarkan pada tabel berikut.
96
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
97
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Tabel inventarisasi data biogeofisik yang telah disajikan pada bab sebelumnya
menunjukkan sejumlah keterbatasan yang perlu dipertimbangkan dalam penilaian daya dukung
dan daya tampung lingkungan hidup. Pertama, pendataan lingkungan cenderung jauh dari
ideal. Data-data biogeofisik sering kali tidak mencakup seluruh area atau wilayah yang relevan, dan
pengumpulan data bisa memiliki batasan dalam hal kedalaman dan akurasi. Pendataan yang tidak
merata dapat mengakibatkan ketidakrepresentatifan dalam pemahaman tentang kondisi
lingkungan secara keseluruhan. Sehingga pada beberapa data terkhususnya untuk kebutuhan
fisiologis manusia mengalami penyesuaian tahun sesuai ketersediaan data. Apabila datanya tidak
tersedia di tahun 2022, akan digunakan data di tahun paling terbaru pendataannya misalnya tahun
2021. Penggunaan data yang berbeda hanya 1-2 tahun ini tidak akan secara signifikan akan
98
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Ketiga, isu skala merupakan masalah yang perlu diperhatikan. Data dalam tabel ini
memiliki berbagai tingkat skala dan resolusi. Beberapa data hanya tersedia pada tingkat provinsi,
sementara yang lain memiliki resolusi spasial yang lebih tinggi. Perbedaan dalam skala data dapat
menjadi tantangan dalam mengintegrasikannya untuk analisis yang komprehensif.
Keempat, tidak tersedianya beberapa data fisik lainnya. Ada beberapa jenis data yang
seharusnya masuk ke dalam analisis tetapi tidak dimasukkan karena tidak tersedia datanya.
Beberapa informasi yang mungkin belum tercakup dalam inventarisasi adalah data iklim yang lebih
rinci, termasuk pola curah hujan tahunan, musim kering/basah, dan fluktuasi suhu yang dapat
memengaruhi produktivitas lingkungan. Selain itu, data yang mencakup faktor-faktor seperti
kualitas tanah, yang melibatkan parameter seperti kandungan nutrisi dan struktur fisik tanah tidak
tersedia secara lengkap. Begitu pula, data hidrologi seperti debit air dan pola aliran sungai yang
memainkan peran dalam analisis dampak hidrologi dan lingkungan juga tidak tersedia secara
lengkap.
Gap data ini menyoroti pentingnya mendapatkan sumber data yang lebih kaya dan
komprehensif dalam upaya menyusun D3TLH yang akurat dan representatif. Kolaborasi lintas
sektor dan integrasi data dari berbagai sumber menjadi krusial dalam mengatasi keterbatasan ini
dan menghasilkan analisis yang mendalam dan berkelanjutan. Sehingga dapat dikatakan bahwa
inventarisasi data mengalami keterbatasan dalam segi kondisi yang belum ideal. Hal ini
dikarenakan data biogeofisik harus lebih spesifik namun pada kenyataannya tidak bisa akibat
kurangnya alat ukur, investasi yang lemah dalam penyediaan alat ukur, serta isu skala yang
terkadang antar instansi kedalamannya berbeda. Namun dengan berbagai proses yang dilalui
seperti forum diskusi dengan berbagai kalangan ahli, akademisi, dan birokrat, memberikan
masukan bahwa dengan hasil inventarisasi data yang telah dikumpulkan sudah cukup untuk
membantu dalam perhitungan daya dukung daya tampung lingkungan hidup dari perspektif
biogeofisik.
5.3.2 Keterbatasan Metodologi Lingkup Biogeofisik
99
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Penentuan D3TLH ini akan sedikit berbeda dari perhitungan idealnya dimana dalam
prosesnya ada yang perlu dikurangi maupun ditambahkan. Tentunya metode tersebut dipastikan
mampu menggambarkan dengan tepat kompleksitas dan interaksi antar faktor-faktor lingkungan
yang mempengaruhi kapasitas lingkungan. Selain itu, mencakup juga langkah kerja yang sistematik
dimulai dari pengumpulan data yang komprehensif, kesesuaian analisis terhadap ruang lingkup
wilayah, hingga mendapatkan hasil integrasi yang cukup holistik.
Meskipun terdapat pembaharuan, metode tersebut dalam praktiknya tetap tidak serta
merta bernilai sangat ideal. Tetap ada keterbatasan khususnya diakibatkan dari keterbatasan data
yang seringkali menjadi kendala utama dalam penerapan metode yang ideal. Dapat dikarenakan
ketersediaannya yang terbatas, tidak sesuai kualitas yang diinginkan, ataupun tidak memadainya
teknologi dalam menganalisis data. Oleh karena itu dilakukan penyesuaian guna mengatasi
keterbatasan metodologi dengan mempertimbangkan kualitas dan validitas analisis, serta diskusi
lanjutan dari para ahli dan stakeholders terkait.
Posisi Perhitungan Biogeofisik dalam D3TLH
D3TLH didefinisikan sebagai daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Daya
dukung sebagai ambang batas lingkungan hidup yang dapat memenuhi kebutuhan manusia secara
optimal. Sedangkan daya tampung sebagai ambang batas beban pencemaran yang dapat diserap
oleh lingkungan hidup misalnya timbulan sampah atau tinja. Namun sejauh ini belum ada diskursi
ilmiah yang menggabungkan keduanya. Bahkan pendefinisian dari UU 32/2009 masih diartikan
secara terpisah. Pada perhitungan biogeofisik sebenarnya hanya mampu memberikan
informasi daya dukung saja dengan hasilnya menunjukkan jumlah penduduk optimum yang
dapat didukung dari penutupan lahan optimum.
Selain itu, daya tampung di Indonesia yang ada hanya berkaitan dengan sungai dan baru
ada di 3 DAS. Sehingga melalui diskusi antara para pakar dan pemangku kebijakan terkait,
diperlukan pendefinisian baru untuk D3TLH yang mengikuti kaidah literatur dunia dan
metodologi yang dipilih. Daya tampung melebur menjadi satu dengan daya dukung dimana
merujuk pada jumlah penduduk yang dapat ditampung dan dipenuhi kebutuhan akan lingkungan
hidup pada suatu wilayah tertentu. Definisi baru D3TLH berkaitan dengan kemandirian suatu
wilayah dalam memenuhi kebutuhan fisiologis penduduknya sendiri. Hal ini menunjukkan
apabila suatu wilayah berstatus D3TLH telah terlampaui, maka bukan berarti harus mengurangi
penduduknya misalnya dengan program transmigrasi. Melainkan menunjukkan bahwa suatu
wilayah tersebut memiliki tantangan dalam memastikan ketersediaan dan kecukupan
pasokan kebutuhannya sehingga membutuhkan strategi pengadaan dari wilayah lainnya.
Optimasi Alokasi Penutupan Lahan
Optimasi alokasi penutup lahan memiliki dua fungsi, yaitu fungsi tujuan untuk
maksimalkan nilai daya dukung berupa jumlah penduduk yang dapat dipenuhi kebutuhannya dan
fungsi pembatas (constraint) untuk menentukan luas tiap pulau/kepulauan yang dapat dijadikan
alternatif pemenuhan kebutuhan berdasarkan kesesuaian fisik lahan. Dalam proses analisisnya,
optimasi alokasi penutupan lahan memiliki keterbatasan metodologi sebagai berikut.
100
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
ekivalensi untuk kategori lahan yang dimaksud. Namun, pada pemodelan alokasi luas
penutupan lahan ini yang dimaksud biokapasitas berdasarkan luas dan
produktivitas lahan dari setiap kategori lahan bioproduktif yang sudah
mengadopsi sesuai ketentuan secara umum dan jenis penutupan lahan di
Indonesia. Sedangkan yield factor (faktor panen) dan Equivalence Factor (faktor
ekivalensi per kategori lahan) akan melebur dalam perhitungan di Jejak Ekologis yang
tentunya sudah disesuaikan dengan kondisi di Indonesia.
Keterbatasan 2: Kebutuhan fisiologis dalam Jejak Ekologis diasumsikan bahwa
setiap orang di setiap pulau/kepulauan memiliki standardisasi jumlah kebutuhan
yang sama. Mengacu pada kondisi eksisting hingga tahun 2022 dengan beberapa
ketentuan secara nasional maupun kajian literatur lainnya.
Keterbatasan 3: Pemodelan lokasi luas hanya mampu menjelaskan pemenuhan
kebutuhan di wilayahnya sendiri. Belum mampu menjelaskan apakah suatu
Pulau/Kepulauan dapat melakukan ekspor maupun menyokong kebutuhan di
Pulau/kepulauan lainnya yang lebih defisit. Sehingga hanya menjelaskan suatu
pulau/kepulauan mengalami defisit penutupan lahan yang dapat dikorelasikan
dengan membutuhkan subtitusi komoditas dari luar pulau/kepulauan.
2. Konsep analisis pada pemodelan alokasi spasial penutupan lahan
Keterbatasan 1: Merujuk pada subbab 3.1.4 dijelaskan bahwa perencanaan
perencanaan penggunaan lahan yang berkelanjutan mengacu pada pemodelan
berdasarkan alternatif lokasi potensial setelah melihat kesesuaian lahan. Umumnya
pemodelan 3K Spasial (Kedekatan, Kompatibilitas, dan Kepadatan) yang sering
digunakan untuk mendapatkan alokasi spasial tersebut. Namun pada saat uji model,
penentuan D3TLH ini hanya akan memungkinkan menggunakan pendekatan
Kedekatan dan Kepadatan Spasial. Kompatibilitas pada dasarnya berkonsep melihat
eksesuaian lahan dengan lokasi terdekat atau di sebelahnya. Namun konsep ini
umumnya berdasarkan penilaian oleh para ahli dengan metode Delphi. Selain itu,
kebijakan penataan ruang di Indonesia belum ada skema dan standardisasi
kesesuaian lahan dengan sekitarnya. Misalnya saja kawasan industri yang tidak tepat
apabila berada di sebelah lahan sawah. Dengan skema yang masih berbasis ketentuan
luar belum tentu sesuai untuk diadaptasi sehingga diperlukan membangun software
baru dan prosesnya membutuhkan waktu yang lama.
Keterbatasan 2: Kesesuaian lahan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis dari
pangan, pakaian/tekstil, infrastruktur, serta energi hanya didasarkan pada
parameter fisik alaminya. Hal ini menunjukkan bahwa tidak membicarakan apabila
ada intervensi teknologi. Misalnya dari hasil optimasi terdapat satu komoditas yang
dinilai kekurangan lahan diakibatkan pada lahan eksistingnya saat ini tidak memiliki
kecocokan untuk penanaman.
Keterbatasan 3: Penguncian pada lahan terbangun pada saat pemodelan
kesesuaian lahan dan 2K Simultan untuk memenuhi kebutuhan lahan
infrastruktur. Kebutuhan lahan infrastruktur terbagi menjadi tempat tinggal dan
ruang publik mengacu pada Kepmen Permukiman dan Prasarana Wilayah No.
403/KPTS/M/2002 dan SNI 03-1733-2004. Luas antara penutupan lahan eksisting dan
101
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Merujuk kembali pada metodologi, hasil Optimasi Alokasi Penutupan Lahan akan diperoleh
dua hasil, yaitu jumlah penduduk optimum dan jasa lingkungan hidup optimum. Jumlah penduduk
optimum ini memiliki keterbatasan dengan disyaratkan dari jasa lingkungan hidup optimum.
Sedangkan posisi jasa lingkungan hidup optimum sebagai tambahan suplai untuk memenuhi
kebutuhan penduduk tersebut. Keterbatasan metodologi D3TLH terdapat dalam jasa lingkungan
hidup optimum.
Pada hakikatnya, jasa lingkungan hidup pada D3TLH seharusnya dapat menjelaskan 5 SDA
Potensi Terbarukan meliputi air, lahan, udara, laut, dan keanekaragaman hayati. Metodologi dalam
menghitung jasa lingkungan hidup berdasarkan pemberian bobot dan skoring pada parameter
yang membangun jasa lingkungan hidup. Adapun parameternya adalah karakteristik bentang alam,
karakteristik vegetasi alami, dan penutupan lahan. Namun melihat keterbatasan dalam bobot dan
skoring, jasa lingkungan hidup pada penentuan D3TLH ini diubah hanya menjadi 3 SDA Potensi
Terbarukan, yaitu air, lahan, dan kehati. Keterbatasan bobot dan skoring dimaksudkan untuk
mengikuti yang sudah ada meskipun belum melalui proses verifikasi secara faktual. Bobot dan
skoring juga mengikuti skala ekoregion dengan ukuran 1:250.000.
Melalui ketetapan ini, hasil jasa lingkungan hidup apabila nantinya diturunkan menjadi
skala 1:125.000 masih bernilai relevan. Selain itu, hingga Materi Teknis Penentuan dan Penetapan
D3TLH Nasional disusun, jasa lingkungan hidup yang dihasilkan akan mampu secara agregat
menjelaskan kondisi pengatur air, pendukung kehati, dan penyedia pangan. Keterbatasan
yang terakhir adalah jasa lingkungan hidup berkaitan dengan luasan. Namun apabila dijadikan
sebagai indeks jasa lingkungan hidup maka akan ada informasi terkait luasan menjadi tidak
bermakna. Selain itu, ketiga jenis jasa lingkungan hidup yang dikompositkan menjadi satu nilai
indeks atau disebut dengan IJLH Gabungan disamaratakan proporsinya menggunakan
102
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
perumusan rata-rata geometrik. Sehingga keterbatasannya tidak dapat dikatakan bahwa satu
sumber daya alam lebih penting untuk ditingkatkan maupun dilindungi dibandingkan yang
lainnya. Meskipun pada kenyataannya air dan kehati yang akan mempengaruhi jasa lingkungan
hidup lainnya. Dengan kata lain, IJLH Gabungan menggambarkan kualitas suatu wilayah terkait
fungsi, proses, dan produktivitas lingkungan hidup dalam menunjang kehidupan manusia.
Variabel setiap indikatornya sudah menggambarkan kebutuhan data yang digunakan untuk
menyokong D3TLH serta mudah untuk diakses untuk data-data tersebut. Data yang digunakan
untuk perhitungan sosial, ekonomi dan budaya menggunakan data dari Pemerintahan terkait yang
tersedia sebagai walidata yang sah dengan kondisi data sudah sederhana dan operasional.
Walidata yang digunakan antara lain dari Badan Pusat Statistik, Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, serta Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Satuan data
yang digunakan adalah menggunakan data Administrasi (Provinsi).
Data Sosial
Data sosial digunakan untuk mengukur kenyamanan hidup melalui kualitas tempat tinggal
dan tingkat risiko bencana. Data tersebut memainkan peran dalam analisis keselamatan. Data
untuk mengindikasi kualitas tempat tinggal menggunakan akses terhadap hunian yang layak.
Rumah tangga diklasifikasikan memiliki akses terhadap hunian/rumah layak huni apabila
memenuhi kriteria, yaitu: kecukupan luas tempat tinggal minimal 7,2 m 2 per kapita (sufficient living
space); memiliki akses terhadap air minum layak; memiliki akses terhadap sanitasi layak;
ketahanan bangunan (durable housing). Data akses terhadap hunian yang layak merupakan data
gabungan dari beberapa variabel pembentuk dengan output dalam bentuk persentase dengan
kedalaman data pada tingkat provinsi.
Data kebencanaan merupakan indeks kebencanaan yang dihasilkan oleh walidata dari
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Sehingga, untuk memberikan gambaran tentang
kebencanaan suatu wilayah sudah merupakan hasil indeks. Indeks risiko bencana sendiri
merupakan gabungan dari data bahaya, kerentanan, dan kapasitas. Dimana data bahaya
mencakup 9 (sembilan) jenis ancaman, yakni gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, tanah
longsor, banjir, cuaca ekstrim, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, dan gelombang ekstrim dan
abrasi, semua provinsi dihitung dengan ancaman yang sama tidak disesuaikan dengan karakteristik
provinsi. Data kerentanan diukur melalui parameter sosial budaya, lingkungan, fisik, dan ekonomi,
sedangkan data kapasitas diukur melalui unsur ketahanan Pemerintah Daerah dalam menghadapi
103
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
bencana. Sehingga keterbatasan dari data kebencanaan adalah indeks yang kemudian dilakukan
pembobotan menjadi indeks akumulatif akan menjadi sebuah permasalahan. Namun, karena
output yang dihasilkan merupakan komposit dari berbagai variabel dengan kedalaman skala di
level administrasi provinsi, hal tersebut dapat dimaklumi.
Data Budaya
Data budaya yang digunakan untuk mengukur kualitas penduduk dan pemajuan
kebudayaan. Kualitas penduduk diukur dengan data Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang
dikeluarkan oleh BPS. Data yang digunakan untuk pemajuan kebudayaan menggunakan data
Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK). Hanya beberapa dimensi saja yang digunakan, di
antaranya ketahanan sosial budaya, warisan budaya, dan budaya literasi. Pemilihan ketiga dimensi
tersebut berdasarkan diskusi dengan para ahli dengan mengambil bobot dimensi secara
keseluruhan sebesar 55 persen. Keterbatasan data IPK yang didapatkan hanya sampai kedalaman
data tahun 2021, dan data yang digunakan tidak berkaitan langsung dengan lingkungan.
Namun, data-data tersebut menunjukkan tingkat mutu hidup yang mencerminkan kualitas
kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Baik data IPM maupun IPK berjenis data ordinal dengan
satuan indeks.
Data Ekonomi
Data ekonomi digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga umum
dan kesempatan kerja. Pertumbuhan ekonomi melalui perubahan nilai PDRB berdasarkan
lapangan usaha dengan harga konstan. Keterbatasan penggunaan PDRB dengan konteks pada
analisis kemakmuran dan keadilan, masalah tata nilai: baik dan buruk, serta kegiatan-kegiatan
ekonomi tak tercatatkan. Untuk penyusunan D3TLH ini menggunakan data dari 2021 dan tahun
2022 untuk mendapatkan laju pertumbuhan ekonomi. Laju pertumbuhan ekonomi adalah angka
yang menunjukkan kecepatan perubahan output agregat per periode waktu (% per tahun).
Keterbatasan dari laju pertumbuhan ekonomi, di tahun 2022 memiliki latar belakang filosofi
ekonomi dengan kondisi buruk, mengingat pada tahun 2020-2021 pertumbuhan ekonomi masih
dipengaruhi oleh adanya Covid-19 yang menyebabkan ketidakstabilan pertumbuhan ekonomi.
Selanjutnya untuk stabilitas harga umum melalui perhitungan PDB berdasarkan harga
berlaku dan harga konstan (PDB deflator). Pada penyusunan D3TLH data yang digunakan untuk
menentukan stabilitas harga umum merupakan data Indeks Harga Implisit (IHI) yang sudah
disediakan oleh BPS. Penggunaan data IHI sebagai pengukuran dalam variabel stabilitas harga
umum dikarenakan data IHI memiliki ke dalaman data sampai provinsi. IHI digunakan untuk
analisis inflasi agregat minimal setiap triwulan, dimana data IHI didapatkan dari pembagian PDB
harga berlaku dibagi PDB harga konstan. Keterbatasan dalam penggunaan IHI adalah kurang tepat
untuk mengukur kemahalan penghitungan biaya hidup.
Selanjutnya untuk stabilitas harga umum melalui perhitungan PDB berdasarkan harga
berlaku dan harga konstan (PDB deflator). Pada penyusunan D3TLH data yang digunakan untuk
menentukan stabilitas harga umum merupakan data Indeks Harga Implisit (IHI) yang sudah
disediakan oleh BPS. Penggunaan data IHI sebagai pengukuran dalam variabel stabilitas harga
umum dikarenakan data IHI memiliki ke dalaman data sampai provinsi, sedangkan data Indeks
Harga Konsumen (IHK) tidak memiliki data pada tingkat provinsi.
104
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
Data terakhir dari kerja melalui tingkat pengangguran terbuka. Pengangguran terbuka
adalah mereka yang mencari pekerjaan atau mempersiapkan usaha, atau mereka yang tidak
mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaaan dan mereka yang
sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Output gap dan hukum okun (menyatakan
bahwa terdapat hubungan negatif antara pengangguran dan pertumbuhan ekonomi) yaitu output
aktual < output potensial. Setiap peningkatan tingkat pengangguran 1% di atas pengangguran
natural, output aktual akan 2% di bawah output potensial. Data tingkat pengangguran terbuka
berbentuk persentase. Jumlah penduduk di suatu provinsi akan berpengaruh terhadap banyaknya
jumlah pengangguran di suatu provinsi, sehingga provinsi dengan jumlah penduduk yang tinggi
akan memiliki jumlah pengangguran yang lebih besar. Keterbatasan data tingkat pengangguran
terbuka di kota-kota besar akan berpengaruh lebih besar terhadap perhitungan skor
kesejahteraan.
5.3.4 Keterbatasan Metodologi Lingkup Sosial, Ekonomi, dan Budaya
Narasi aspek sosial, budaya, dan ekonomi akan menghasilkan komposit indeks
keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan dari penetapan D3TLH
Nasional. Komposit indeks tersebut diharapkan akan memberikan gambaran kondisi sosial
ekonomi penduduk. Namun indeks ini dibangun dari berbagai asumsi yang masih memerlukan
justifikasi sesuai dengan pengolahan data. Adapun aspek sosial ekonomi sebagai indikator yang
dinamis memerlukan pemahaman dan penguatan berdasarkan fenomena dan ketersediaan data.
Pembobotan pada indikator ini masih menggunakan konsep natural break, yaitu proporsinya sama
yaitu 1/3, belum mempertimbangkan indikator yang memiliki peranan paling dominan.
Perhitungan Keselamatan
Indikator risiko bencana merupakan faktor yang berbanding terbalik untuk skor
keselamatan. Adapun keterbatasannya: Satuan nilai akses terhadap hunian yang layak dan
terjangkau berbentuk persentase, sedangkan untuk risiko bencana sudah merupakan angka
indeks. Maka, langkah yang dilakukan untuk data dalam bentuk persentase agar menunjukkan
menjadi rasio 0-1 dilakukan dengan pendekatan normalisasi. Dimana nilai tertinggi memiliki nilai 1
(satu) dan terendah diberikan nilai 0 (nol). Selanjutnya untuk indeks seperti Indeks Risiko Bencana
Indonesia dilakukan pula normalisasi. Namun, data risiko bencana merupakan faktor yang
berbanding terbalik pada indeks keselamatan, maka data dengan nilai tertinggi diberi nilai 0
(nol) dan terendah diberi nilai (1). Selanjutnya, provinsi dengan karakteristik fisik dengan gugusan
pulau (Provinsi Kepulauan Riau dan Provinsi di Kepulauan Maluku) akan mempengaruhi terkait
variasi bencana diperlukan pendekatan perhitungan keselamatan tersendiri.
Perhitungan Mutu Hidup
Tingkat Mutu hidup merupakan cerminan dari kualitas manusia dan kekayaan budaya yang
berkaitan dengan jasa lingkungan yang tersedia dimana penduduk tinggal. Analisis Mutu hidup
menggunakan indikator pembentuk dari pembangunan manusia dan pemajuan kebudayaan.
Pemajuan kebudayaan merujuk pada angka dari Indeks Pembangunan Kebudayaan. Dari
kedelapan dimensi Indeks Pembangunan Kebudayaan tersebut, maka khusus untuk detil data yang
dibutuhkan, yaitu dimensi ketahanan sosial budaya, warisan budaya, dan budaya literasi yang
kemudian disebut sebagai karakter ruang budaya. Dilakukan perhitungan pada masing-masing
data selama kurun waktu 2020-2021 untuk menghitung laju pertumbuhan dari ketiga data
105
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
pembentuk variabel pemajuan budaya. Selanjutnya mengkompositkan ketiga data tersebut dan
dibagi tiga.
Kemudian untuk Pembangunan Manusia merujuk pada Indeks Pembangunan Manusia.
Pemilihan indikator dilakukan dengan mempertimbangkan ketersediaan data di semua provinsi
serta ketersediaan data secara kontinyu. Sehingga, kesimpulannya pada perhitungan skor mutu
hidup keterbatasannya adalah tidak semua indikator pembentuk IPK digunakan dan data IPM
sudah berbentuk indeks yang kemudian dilakukan pembobotan menjadi indeks akumulatif akan
berpengaruh pada perhitungan. Diperlukan normalisasi baik pada data IPK maupun pada data
ketahanan sosial budaya, warisan budaya, dan budaya literasi untuk memiliki nilai akhir yang sama.
Perhitungan Kesejahteraan
Keterbatasan dalam menilai iskor kesejahteraan adalah asumsi yang menunjukkan tidak
adalah masalah-masalah institusional dan tata nilai, maka tingkat kesejahteraan ditentukan oleh
kinerja ekonomi makro, yang dievaluasi dari pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga umum dan
tingkat pengangguran terbuka. Sehingga, pendekatan perhitungan kesejahteraan akan
berdasarkan dengan pengalaman empiris terkait laju pertumbuhan ekonomi. Kemudian, saat
menghitung skor kesejahteraan harus bertahap mulia dengan menghitung pertumbuhan PDRB
dengan membandingkan tahun 2022 dengan tahun sebelumnya. Data yang dihasilkan dari
perhitungan pertumbuhan ekonomi dalam bentuk persentase. Stabilitas harga umum
menggunakan data laju Indeks Harga Implisit (IHI), dan tingkat pengangguran terbuka
menggunakan data proporsi angkatan kerja yang menganggur.
Selanjutnya melakukan normalisasi pada masing-masing data tersebut. Dimana data
inflasi dan proporsi angkatan kerja yang menganggur merupakan faktor yang berbanding
terbalik pada skor kesejahteraan. Hal ini dikarenakan semakin tinggi laju inflasi dan tingkat
pengangguran maka akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Posisi Perhitungan Indeks Keselamatan, Mutu Hidup, dan Kesejahteraan sebagai Akumulatif
Indeks dalam Kuadran Keberlanjutan
Perhitungan dan pembobotan pada Indeks KMK masih melihat setiap indikator memiliki
bobot yang sama yaitu, 1/3, pembobotan tersebut masih belum melihat indikator yang paling
mempengaruhi pembentukan Indeks KMK. Pada level nasional, pendekatan ini masih dapat
diterima namun pada level yang lebih detail, yaitu level provinsi dan kota/kabupaten seharusnya
menetapkan indikator paling berpengaruh dalam melihat Indeks KMK.
Output dari Indeks KMK adalah peta KMK dengan batas administrasi, sedangkan
konsentrasi penduduk, aktivitas sosial budaya masyarakat hanya pada wilayah terbangun
termasuk permukiman dan konsentrasi tutupan lahan terbangun. Namun karena penyajian dalam
batas administrasi, wilayah non terbangun seperti hutan, perkebunan akan tetap diidentifikasi
sebagai bagian dari kondisi sosio ekosistem sebuah wilayah. Sehingga untuk skala yang lebih detail
nantinya perlu membedakan wilayah terbangun dan non terbangunnya.
Hasil dari setiap pengolahan data dan variabel mutu hidup, keselamatan dan kesejahteraan
memerlukan narasi tambahan untuk penguatan pemahaman berupa catatan kaki untuk setiap
fenomena yang dijadikan sebagai force majeure, misalnya kondisi kebudayaan yang terekam pada
tahun 2021 sebetulnya belum memberikan gambaran utuh terkait dengan kondisi kebudayaan
nasional akibat perubahan pola hidup masyarakat menjadi serba virtual.
106
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
1. Pangan
Jumlah 1 2 3 4 5 6 7
Jumlah per
Sektor Kebutuhan Satuan per Luas yang dibutuhkan
Hari
Tahun (dalam m2)
Pangan: Angka Kecukupan Energi (AKE) = 2.150 kkal/orang/hari
Padi-Padian kkal
Umbi-umbian kkal
Pangan Hewani
(hanya darat dan kkal
perairan darat)
Minyak dan Lemak kkal
Buah/Biji Berminyak kkal
Kacang-Kacangan kkal
Gula kkal
Sayuran dan Buah kkal
Kebutuhan Lahan untuk Pangan
2. Sandang
Jumlah 1 2 3 4 5 6 7
Jumlah per
Sektor Kebutuhan Satuan per Luas yang dibutuhkan
Hari
Tahun (dalam m2)
Pakaian/Tekstil
Pakaian kg
Kapas %
Penyedian Bahan
%
Baku Kapas
Kebutuhan Lahan untuk Pakaian/Tekstil
3. Infrastruktur
Jumlah 1 2 3 4 5 6 7
Jumlah per
Sektor Kebutuhan Satuan per Luas yang dibutuhkan
Hari
Tahun (dalam m2)
Infrastruktur
Tempat Tinggal Pilih Kelas [1/2/3] 2
Taman Pilih Kelas [A1/A2] A1
Lapangan Olahraga Pilih Kelas [A3/A4] A3
Sarana Budaya dan
Pilih Kelas [B1/B2/B3/B4] B1
Rekreasi
Pusat Perbelanjaan
Pilih Kelas [C1/C2/C3/C4] C2
dan Niaga
Sarana Peribadatan Pilih Kelas [D1/D2/D3/D4] D2
Sarana Kesehatan Pilih Kelas [E1/E2/…/E6] E2
Sarana Pendidikan Pilih Kelas [F1/F2/…/F5] F4
m3
Kebutuhan Kayu
kayu/m2
Penyediaan Kayu
%
untuk Bangunan
Kebutuhan Lahan untuk Infrastruktur
107
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
4. Energi
Jumlah 1 2 3 4 5 6 7
Jumlah per
Sektor Kebutuhan Satuan per
Hari Luas yang dibutuhkan
Tahun
(dalam m2)
Energi
Energi Listrik kWh
Kebutuhan Lahan untuk Listrik
Pemrograman kuadratik merupakan kasus spesial dari optimasi linear berbatas yang terjadi
ketika fungsi objektif dari permasalahan berbentuk fungsi kuadrat
Adapun hasil perhitungan dalam pemrogaman kuadratik akan berbentuk sebagai berikut.
Enumerasi Jenis Kebutuhan Fisiologis
Kebutuhan Fisiologis i Indikator Kebutuhan Fisiologis
1 Beras
2 Jagung, terigu, dll
3 Umbi-umbian
Kebutuhan Pangan 4 Daging dan susu
5 Unggas dan telur
6 Ikan
7 Minyak dan lemak
108
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
109
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
110
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur
111