Anda di halaman 1dari 118

[DOCUMENT TITLE]

[Document subtitle]

[DATE]
[COMPANY NAME]
[Company address]
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

BUKU MATERI TEKNIS PENENTUAN DAN PENETAPAN DAYA DUKUNG DAYA


TAMPUNG LINGKUNGAN HIDUP (D3TLH) NASIONAL
SUB BAGIAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

Hak cipta dilindungi

© 2023

Disclaimer
Seluruh substansi dalam buku ini adalah milik Direktorat Pencegahan Dampak Lingkungan Kebijakan
Wilayah dan Sektor, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dalam penyusunannya, turut didukung oleh Ikatan Ahli Perencana.

Peristilahan yang digunakan dan penyajian materi dalam buku ini mewakili pendapat dari Tim
Penyusun dan tidak digunakan untuk tujuan komersial. Tidak diperkenankan menyalin dan/atau
mencetak konten dalam buku ini tanpa persetujuan dari pihak yang berangkutan.

Setiap materi yang diambil dari buku ini untuk kebutuhan publikasi lain, harus menggunakan kutipan yang benar:
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2023. Buku Materi Teknis Penentuan dan Penetapan
Daya Dukung Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH) Provinsi Kalimantan Timur. Direktorat
Jenderal Planologi dan Tata Lingkungan: Jakarta, Indonesia.

i
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

KATA PENGANTAR

Direktorat PDLKWS

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas tersusunnya buku ini sebagai bentuk kerjasama
antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Planologi
Kehutanan dan Tata Lingkungan dengan Ikatan Ahli Perencana (IAP). Buku Materi Teknis Penentuan
dan Penetapan Daya Dukung Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH) Provinsi Kalimantan Timur
Tahun 2023 ini disusun dengan tujuan untuk menggambarkan profil atau kondisi D3TLH di
Indonesia yang diperkuat dengan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat pada masing-
masing pulau/kepulauan.
Buku ini terealisasi berkat keterlibatan dari para pakar dan para pemangku kepentingan terkait.
Buku ini menghasilkan ambang batas yang terdiri dari jumlah penduduk optimum dan luas lahan
optimum dengan menggunakan metode perhitungan luas lahan eksisting dan mengkonversi jejak
ekologis ke dalam satuan luas lahan serta memasukan perhitungan standar kebutuhan ruang ke
dalamnya. Buku ini juga berisi pemetaan posisi pulau/kepulauan dalam bentuk kuadran
keberlanjutan yang diperoleh dari indeks jasa lingkungan hidup dan indeks sosial, budaya, ekonomi
yang dikompositkan ke dalam parameter keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan (KMK).
Penentuan D3TLH Provinsi turut mengembangkan pendekatan sistem grid skala ragam untuk
memvisualisasikan pemetaan distribusi spasial D3TLH Provinsi yang lebih mudah digunakan dalam
perencanaan strategis ke depannya.
Beberapa keterbatasan seperti belum dimasukannya ekosistem udara dan laut, serta karena
adanya variasi data yang tidak seragam baik secara skala maupun secara kelengkapan dalam tiap
pulau/kepulauan di Indonesia menjadikan buku ini memiliki keterbatasan dalam data dan metode.
Akan tetapi dari berbagai diskusi yang diikuti oleh para tenaga ahli dan para pemangku kepentingan
terkait, maka metode dan data yang dipakai dalam penyusunan D3TLH ini secara umum sudah
memenuhi kebutuhan minimal kelayakan untuk perhitungannya.
Harapan kami, buku ini mampu memberikan manfaat dan dapat dipergunakan sebagai mestinya
bagi para pemangku kepentingan terkait. Tentunya kami menyadari bahwa buku ini masih jauh dari
sempurna, kami menerima saran dan kritik dari berbagai pihak demi penyempurnaan metodologi
yang sedang dikembangkan. Akhir kata kami sampaikan terima kasih kepada seluruh pihak yang
telah membantu dalam penyusunan Materi Teknis Penentuan dan Penetapan Daya Dukung dan
Daya Tampung Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2023.

Jakarta, Agustus 2023

Direktur Pencegahan Dampak Lingkungan Kebijakan Wilayah dan Sektor

ii
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ................................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................. v
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................................. vi
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang: Urgensi Penyusunan D3TLH ...................................................................... 1
1.2 Maksud dan Tujuan .............................................................................................................. 2
1.3 Ruang Lingkup Materi Teknis ............................................................................................... 3
1.3.1 Ruang Lingkup Wilayah .................................................................................................... 3
1.3.2 Ruang Lingkup Substansi ................................................................................................. 4
1.4 Kerangka Konsep D3TLH ...................................................................................................... 4
1.5 Limitasi dan Definisi Operasional D3TLH ............................................................................. 6
1.6 Sistematika Penulisan .......................................................................................................... 8
BAB II EKOREGION PROVINSI KALIMANTAN TIMUR ................................................................ 9
BAB III MUATAN D3TLH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR........................................................ 13
3.1 Penduduk Optimum ........................................................................................................... 13
3.2 Penutupan Lahan Optimum .............................................................................................. 15
3.3 Kondisi Keselamatan, Mutu Hidup, dan Kesejahteraan Provinsi Kalimantan Timur ........ 17
3.3.1 Kondisi Keselamatan...................................................................................................... 17
3.3.2 Kondisi Mutu Hidup ........................................................................................................ 19
3.3.3 Kondisi Kesejahteraan.................................................................................................... 22
BAB IV SINTESIS KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN HIDUP PROVINSI KALIMANTAN TIMUR ...... 26
4.1 Indeks Jasa Lingkungan Provinsi Kalimantan Timur ........................................................ 26
4.2 Indeks Keselamatan, Mutu Hidup dan Kesejahteraan Provinsi Kalimantan Timur .......... 27
4.3 Kuadran Keberlanjutan Provinsi Kalimantan Timur.......................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 29
LAMPIRAN ........................................................................................................................ 35
5.1 LITERATUR DAN METODOLOGI ........................................................................................... 35
5.1.1 Literatur .......................................................................................................................... 35
5.1.2 Metodologi ...................................................................................................................... 61
5.2 KEBUTUHAN DATA .............................................................................................................. 95
5.2.1 Data Spasial .................................................................................................................... 96
5.2.2 Data Non-Spasial (Tabular) ............................................................................................ 97
5.3 KETERBATASAN DATA DAN METODOLOGI .......................................................................... 98
5.3.1 Keterbatasan Data Lingkup Biogeofisik ......................................................................... 98
5.3.2 Keterbatasan Metodologi Lingkup Biogeofisik .............................................................. 99
5.3.3 Keterbatasan Data Lingkup Sosial, Ekonomi, dan Budaya.......................................... 103
5.3.4 Keterbatasan Metodologi Lingkup Sosial, Ekonomi, dan Budaya ............................... 105
5.4 LAMPIRAN PERHITUNGAN ................................................................................................ 107

iii
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

DAFTAR TABEL

Tabel 3-1 Penduduk Optimum di Provinsi Kalimantan Timur .......................................................... 13


Tabel 3-2 Jumlah Penduduk Proyeksi Tahun 2045 dan Optimum Provinsi Kalimantan Timur ........ 15
Tabel 3-3 Luas Penutupan Lahan Optimum Provinsi Kalimantan Timur.......................................... 16
Tabel 3-4 Skor Keselamatan Provinsi Kalimantan Timur 2022 ......................................................... 17
Tabel 3-5 Persentase Rumah Tangga yang Memiliki Akses Terhadap Hunian Yang Layak Dan
Terjangkau Menurut Provinsi Kalimantan Timur .............................................................................. 17
Tabel 3-6 Indeks Resiko Bencana Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2022 ...................................... 18
Tabel 3-7 Skor Mutu Hidup Provinsi Kalimantan Timur .................................................................... 19
Tabel 3-8 Persentase Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas yang Pernah Mengakses Internet dalam 3
Bulan Terakhir Menurut Provinsi dan Jenis Kegiatan Utama 2020-2022 .......................................... 21
Tabel 3-9 Skor Kesejahteraan ............................................................................................................ 22
Tabel 3-10 PDRB Provinsi Kalimantan Timur Menurut Lapangan Usaha Berdasarkan Harga Konstan
Tahun 2022 ......................................................................................................................................... 23
Tabel 4-1 Indeks Jasa Lingkungan Hidup Eksisting Provinsi Kalimantan Timur .............................. 27
Tabel 4-2 Indeks Keselamatan, Mutu Hidup dan Kesejahteraan (KMK) Provinsi Kalimantan Timur 27
Tabel 5-1 Faktor Ekuivalen pada Lahan Bioproduktif ....................................................................... 39
Tabel 5-2 Standar Luas Lantai Per Jiwa RSH ..................................................................................... 43
Tabel 5-3 Standar Kebutuhan Luas Lantai Per Jiwa Rumah Sederhana Internasional .................... 44
Tabel 5-4 Perbandingan Standar Kebutuhan Luas Lantai Per Jiwa Rumah Sederhana ................... 44
Tabel 5-5 Perbandingan Ruang Publik Standar Nasional Indonesia dan Internasional ................... 45
Tabel 5-6 Perbandingan Ruang Publik Standar Nasional Indonesia dan Internasional ................... 48
Tabel 5-7 Standardisasi Kebutuhan Pangan...................................................................................... 65
Tabel 5-8 Standardisasi Kebutuhan Tempat Tinggal dan Ruang Publik ........................................... 66
Tabel 5-9 Standardisasi Kebutuhan Energi ....................................................................................... 67
Tabel 5-10 Reklasifikasi Penutupan Lahan ........................................................................................ 69
Tabel 5-11 Kesesuaian Jenis Penutupan Lahan untuk Kebutuhan Fisiologis................................... 69
Tabel 5-12 Hasil Perhitungan Optimasi Alokasi Penutupan Lahan di Pulau/Kepulauan ................. 71
Tabel 5-13 Contoh Perhitungan Jumlah Penduduk Optimum di Pulau/Kepulauan ........................ 72
Tabel 5-14 Kelas Indeks Indeks Jasa Lingkungan Hidup ................................................................... 79
Tabel 5-15Kelas Skor Keselamatan .................................................................................................... 85
Tabel 5-16 Dasar Penentuan Kriteria Pertumbuhan Ekonomi .......................................................... 89
Tabel 5-17 Dasar Penentuan Kriteria Stabilitas Harga Umum (Inflasi) ............................................. 90
Tabel 5-18 Dasar Penentuan Kriteria Tingkat Pengangguran Terbuka ............................................. 91
Tabel 5-19 Kelas Skor Kesejahteraan ................................................................................................. 92
Tabel 5-20 Kelas Indeks KMK.............................................................................................................. 93
Tabel 5-21 Kebutuhan Data Spasial ................................................................................................... 96
Tabel 5-22 Kebutuhan Data Non-spasial (Tabular) ........................................................................... 97

iv
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1-1 Skenario Konsep D3TLH Nasional ................................................................................... 2


Gambar 1-2 Peta Administrasi Provinsi Kalimantan Timur ................................................................. 3
Gambar 1-3 Kerangka Pikir dalam Penentuan D3TLH berbasis SES Framework ................................ 5
Gambar 1-4 Kerangka Konsep D3TLH .................................................................................................. 6
Gambar 3-1 Peta Penduduk Optimum Provinsi Kalimantan Timur .................................................. 14
Gambar 4-1 Simulasi Kuadran Keberlanjutan Provinsi Kalimantan Timur Terhadap Tingkat Nasional
............................................................................................................................................................ 28
Gambar 4-2 Simulasi Kuadran Keberlanjutan Provinsi Kalimantan Timur terhadap Tingkat
Pulau/Kepulauan ............................................................................................................................... 28
Gambar 5-1 Kerangka Perhitungan Biokapasitas.............................................................................. 40
Gambar 5-2 Grafik Jumlah Kejadian Bencana 2015 – 2021 ............................................................... 50
Gambar 5-3 Metode Pengkajian Risiko Bencana ............................................................................... 51
Gambar 5-4 Aspek Pembangunan Manusia ....................................................................................... 55
Gambar 5-5 Struktur Penduduk Berdasarkan Usia ........................................................................... 61
Gambar 5-6 Kerangka dalam Penentuan D3TLH Nasional berbasis SES Framework ....................... 62
Gambar 5-7 Alur Metode Biogeofisik ................................................................................................. 63
Gambar 5-8 Contoh Hasil Penentuan Kesesuaian Lahan dengan ECOC-SVM ................................... 74
Gambar 5-9 Optimasi pareto untuk lokasi-alokai penutupan lahan dengan kedekatan ................. 76
Gambar 5-10 Alur Metode Penentuan Status D3TLH dan Gap Jasa Lingkungan Hidup ................... 77
Gambar 5-11 Social-Ecological System ............................................................................................. 81
Gambar 5-12 Kerangka Kesejahteraan, Jasa Lingkungan dan Driver Perubahan ............................ 82
Gambar 5-13 Alur Metode Sosial, Ekonomi, dan Budaya .................................................................. 82
Gambar 5-14 Kuadran Pembobotan Bencana ................................................................................... 84
Gambar 5-15 Kinerja Ekonomi Makro ................................................................................................ 89
Gambar 5-16 Alur Penyusunan Indeks KMK dengan Metode Min-Max Sumber: Tim Penyusun, 2023
............................................................................................................................................................ 93
Gambar 5-17 Penggambaran Diagram Kuadran Keberlanjutan ....................................................... 95

v
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kalkulator Jejak Ekologis ............................................................................................. 107


Lampiran 2 Proses Perhitungan dan Hasil Pemrograman Kuadratik dengan Python .................... 108
Lampiran 3 Produktivitas Lahan untuk Kebutuhan Pangan di Pulau/Kepulauan.......................... 110
Lampiran 4 Produktivitas Lahan untuk Kebutuhan Pakaian/Tekstil di Pulau/Kepulauan ............. 111

vi
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang: Urgensi Penyusunan D3TLH


Pada tahun 2023 Stockholm Resilience Center menyampaikan informasi bahwa kondisi
bumi berada pada krisis (Richardson et al., 2023). Batasan planet (planetary boundaries) yang terdiri
atas sembilan batas; bumi sudah melampaui tiga buah batas fungsi biogeofisiknya. Kondisi ini
disebut sebagai triple planetary crisis. Ketiga krisis global tersebut memberikan dampak terhadap
menurunnya kualitas lingkungan hidup hingga dapat mengganggu kehidupan manusia. Pertama,
perubahan iklim dengan perubahan suhu hingga mempengaruhi pola iklim dalam jangka panjang.
Kesepakatan negara-negara melalui Paris Agreement 2015 telah membatasi kenaikan global tidak
melebihi 1,5°C. Kedua, biodiversity loss dengan menurun hingga hilangnya keanekaragaman
hayati (kehati) yang berimplikasi terhadap ketahanan pangan dan air. Berkurangnya biodiversitas
ini secara global menurun sebesar 69 persen dalam 50 tahun terakhir dengan adanya sekitar 422
kota termasuk hotspot cities (Living Planet Report, WWF 2022). Ketiga, polusi dari berbagai jenis
pencemaran yang berkontribusi terhadap keamanan ketersediaan sumber daya alam hingga dapat
menyebabkan kematian. Diperkirakan polusi udara adalah salah satu yang memberikan dampak
cukup besar dan menyebabkan sembilan juta kematian dini di tahun 2019 (Lancet Planetary Health
dalam Kompas.id, 2022).

Ketiga krisis iklim tersebut juga terjadi di Indonesia yang dapat lihat pada kenaikan suhu
tahunan sekitar 0,3 - 1,4°C, kehilangan kehati sekitar tujuh belas persen atau 15.336 spesies, serta
masuk sebagai enam negara paling berkontribusi terhadap polusi udara global (KLHK, 2022;
Konsorsium Biologi Indonesia (KOBI, 2023). Alih fungsi lahan juga mempengaruhi ketahanan
lingkungan hidup di Indonesia. Posisi geografis Indonesia yang strategis, berada di jalur Ring of Fire
memiliki nilai positif dan negatif. Meskipun rawan terhadap bencana alam, tetapi erupsi dari
gunung berapi menghasilkan abu vulkanik yang kaya mineral yang menyuburkan tanah. Potensi
sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan alam lainnya adalah cadangan blue carbon terbesar,
lebih kurang tujuh belas persen dari cadangan dunia (CIDES dan WWF, 2021 dalam Ekaptiningrum,
2021). Karakteristik wilayah Indonesia juga didasarkan pada unit ekoregion yang dapat
mempengaruhi jasa lingkungan hidup seperti ketersediaan air, lahan prima, habitat kehati,
hingga material galian. Sehingga saat ini Indonesia Indonesia disebut sebagai negara
megabiodiversitas yang menempati peringkat kedua di dunia (LIPI, 2020)..
Pertumbuhan penduduk yang meningkat dipredisi akan menyebabkan krisis lingkungan
hidup pada beberapa tahun ke depan. Grafik di bawah ini menggambarkan konsumsi SDA yang
akan terus meningkat hingga pada suatu waktu mencapai kondisi melampaui (overshooting).
Apabila tidak dikontrol, maka akan mengancam terjadinya kebencanaan seperti fenomena
stunting, kelaparan hingga kematian. Oleh karena itu, untuk mencegah kondisi tersebut
dibutuhkan suatu instrumen untuk mengetahui ambang batas lingkungan hidup, yaitu Daya
Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH). Pendekatan D3TLH dinilai tepat sebagai
alat ukut untuk menjaga keseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan terhadap SDA. Dengan
menerapkan D3TLH juga mampu membuka peluang untuk menciptakan cadangan SDA di masa
mendatang melalui pemerataan dan efisiensi pemanfaatan, adaptasi, dan perubahan perilaku.

1
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

Gambar 1-1 Skenario Konsep D3TLH Nasional


Sumber: Dimodifikasi dari KLHK, 2019

Urgensi menjaga lingkungan hidup telah tertuang dalam beberapa peraturan perundang-
undangan. Terlebih D3TLH yang ditekankan sebagai amanat dari Pasal 12 Ayat (2) UU 32/2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berlanjut pada peraturan
turunannya hingga yang terbaru tercantum dalam PP 46/2016 tentang Penyelenggaraan KLHS, PP
21/2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, PP No.22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP 23/2021 tentang Penyelenggaraan
Kehutanan, serta UU 6/2023 tentang Cipta Kerja. Segala peraturan tersebut menempatkan D3TLH
sebagai urgensi dalam memberikan rambu-rambu untuk merencanakan dan mengendalikan
pemanfaatan sumber daya alam. Melalui D3TLH dapat mengidentifikasi status atau kemampuan
ekoregion dalam menjaga keberlanjutan proses, fungsi, dan produktivitas lingkungan hidup
sehingga tercapainya keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena
itu, D3TLH dapat dijadikan referensi terhadap segala perencanaan dalam RTRWN, RPJPN, RPJMN,
serta RPPLHN.

1.2 Maksud dan Tujuan


Materi Teknis Penentuan Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup Provinsi
menjadi sebuah inisiatif yang sangat relevan mengingat pentingnya peran dan posisi informasi
D3TLH sebagai dasar dalam pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan. Dengan
penyusunan Materi Teknis ini, diharapkan dapat memberikan panduan dan acuan yang jelas bagi
pelaksanaan penentuan dan penetapan D3TLH di tingkat provinsi.
Materi Teknis ini tidak hanya memiliki fungsi sebagai pedoman, tetapi juga berperan
sebagai instrumen yang memastikan adanya keseragaman persepsi dan metode dalam penentuan
dan penetapan D3TLH di seluruh provinsi di Indonesia. Dengan demikian, konsistensi dan
kesamaan pendekatan akan dapat tercapai, yang pada gilirannya akan meningkatkan efektivitas
dan efisiensi dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam secara keseluruhan.

2
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

Sementara itu, di tingkat provinsi, Materi Teknis ini diharapkan dapat menjadi sumber
informasi yang andal dan akurat. Dengan akses yang mudah terhadap informasi D3TLH yang
berkualitas, para pemangku kepentingan di tingkat provinsi, termasuk pemerintah daerah dan
masyarakat lokal, akan dapat mengambil keputusan yang lebih tepat dan berdaya guna dalam
mengelola sumber daya alam di wilayahnya.

Keseluruhan dari penyusunan Materi Teknis Penentuan Daya Dukung dan Daya Tampung
Lingkungan Hidup Provinsi ini adalah untuk mencapai keberlanjutan dalam pemanfaatan sumber
daya alam, menjaga keseimbangan ekosistem, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Dengan panduan yang jelas dan akses informasi yang mudah, diharapkan pengelolaan lingkungan
hidup dan sumber daya alam di Indonesia akan menjadi lebih baik dan berkelanjutan di masa yang
akan datang.

1.3 Ruang Lingkup Materi Teknis


1.3.1 Ruang Lingkup Wilayah
Wilayah studi pada kegiatan ini merupakan hasil penentuan D3TLH Provinsi Kalimantan
Timur yang mencakup 10 Kabupaten/Kota diantaranya yaitu Kabupaten Paser, Berau, Kutai Timur,
Mahakam Ulu, Kutai Barat, Penajam Paser Utara, Kota Bontang, Kutai Kertanegara, Balikpapan dan
Samarinda. Peta administrasi Provinsi Kalimantan Timur sebagai berikut.

Gambar 1-2 Peta Administrasi Provinsi Kalimantan Timur


Sumber: Rupa Bumi Indonesia, 2020

3
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

1.3.2 Ruang Lingkup Substansi


Pada penyusunan Materi Teknis Penentuan dan Penetapan D3TLH Provinsi, peninjauan
terhadap kondisi provinsi dilakukan dengan menganalisis kondisi biogeofisik dan sosial, ekonomi,
dan budaya (sosekbud). Kondisi biogeofisik didefinisikan sebagai kondisi lingkungan hidup yang
berpotensi untuk memenuhi kebutuhan manusia sesuai dengan standardisasi kebutuhannya.
Kondisi biogeofisik tergambarkan melalui biokapasitas sebagai penyediaan lingkungan hidup yang
dapat memenuhi kebutuhan manusia berdasarkan jejak ekologis dalam bentuk penutupan lahan.
Kedua hal tersebut akan menjadi parameter dalam Optimasi Alokasi Penutupan Lahan yang
kemudian dijadikan acuan untuk menentukan hasil meliputi: (1) Status D3TLH dengan klasifikasi
Belum Terlampaui dan Terlampaui dari membandingkan jumlah penduduk optimum dengan
penduduk eksisting, serta (2) Gap Jasa Lingkungan Hidup dari membandingkan antara jasa
lingkungan hidup eksisting dan jasa lingkungan hidup optimum.

Kondisi sosekbud didefinisikan sebagai narasi causal model yang menggambarkan kondisi
masyarakat dalam rangka jaring pengaman sosial (social safety net) sebagai strategi tata kelola
lingkungan hidup di suatu wilayah. Kondisi sosekbud tergambarkan melalui Indeks KMK
berdasarkan komposit antara Keselamatan (keselamatan hidup dan keselamatan dari bahaya),
Mutu Hidup (kualitas penduduk dan pemajuan kebudayaan penduduk), dan Kesejahteraan (kinerja
ekonomi makro maupun ketenagakerjaan). Kondisi biogeofisik dan sosekbud akan menjadi acuan
dalam Kuadran Keberlanjutan sebagai penggambaran sejauh mana pulau/kepulauan hingga
provinsi-provinsi yang dapat menyokong wilayahnya dari sisi lingkungan hidup dan masyarakat
menuju kondisi keberlanjutan.
Posisi ideal dalam Kuadran Keberlanjutan adalah Kuadran I atau Pembangunan yang
Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan dimana Indeks Jasa Lingkungan hidup Eksisting dan
Indeks KMK bernilai di atas rata-rata Nasional. Kondisi biogeofisik diwakilkan oleh Indeks Jasa
Lingkungan Hidup Eksisting yang dikompositkan berdasarkan rata-rata geometrik dari jasa
lingkungan hidup terkait pengaturan air, penyediaan pangan, dan pendukung keanekaragaman
hayati. Rata-rata Nasional dalam Indeks Jasa Lingkungan Hidup Eksisting yang dimaksud
merupakan hasil Indeks Jasa Lingkungan Hidup Eksisting. Sedangkan kondisi sosekbud diwakilkan
oleh Indeks KMK (Keselamatan, Mutu Hidup, dan Kesejahteraan) Eksisting yang dikompositkan
berdasarkan akumulatif dari Skor Keselamatan, Mutu Hidup, dan Kesejahteraan.

1.4 Kerangka Konsep D3TLH


Kerangka konsep yang digunakan dalam penentuan D3TLH mengadopsi Social-Ecological
System (SES) Framework yang dikembangkan oleh Elinor Ostrom (2007). SES Framework merupakan
penggambaran dinamika antara alam dengan sosial yang saling terkait dan bergantung pada suatu
ekosistem. Dengan kata lain, terjadi hubungan timbal balik dimana kebutuhan manusia sangat
bergantung pada pasokan ecosystem services (jasa lingkungan hidup) dan menjadi tantangan
utama untuk mencapai keberlanjutan (lihat Gambar 1-2) (Martín-López et al, 2014; Fischer et al,
2015).

4
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

Gambar 1-3 Kerangka Pikir dalam Penentuan D3TLH berbasis SES Framework
Sumber: Diadopsi dari Martín-López et al, 2014

Dengan mempertimbangkan keterbatasan data dan teknik pemodelan yang digunakan,


dan untuk mempermudah pemahaman konsep keterkaitan antara kondisi sosial dan lingkungan
hidup, maka dikembangkan model perhitungan indeks yang dapat menggambarkan peta situasi
dari suatu ekoregion terhadap kedua nilai sosial budaya dan lingkungan hidup. Pemetaan kedua
indeks tersebut diterjemahkan ke dalam suatu matriks, yang disebut dengan kuadran
keberlanjutan. Gambar 1-4 di bawah ini menunjukkan hubungan antara lingkungan hidup dan
kondisi masyarakat. Pada kolom hijau terlihat kondisi biogeofisik sebagai ketersediaan
lingkungan hidup yang mengacu pada Biokapasitas dan Jejak Ekologis sehingga mampu
menentukan jumlah populasi dan jasa lingkungan hidup optimum yang seharusnya. Sedangkan
kolom jingga sebagai kondisi masyarakat dari sosial, ekonomi, dan budaya yang dipengaruhi
oleh lingkungan hidup untuk mencapai keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan. Kondisi
lingkungan hidup dan masyarakat tersebut akan mampu menggambarkan posisi suatu wilayah
dalam Kuadran Keberlanjutan. Hubungan timbal balik antar keduanya terjadi dalam satuan unit
pengelolaan berbasis ekoregion sebagai ciri-ciri sifat dan faktor pembatas potensi sumber daya
alam beserta kemampuan suksesinya dalam memproduksi jasa lingkungan hidup yang dapat
dimanfaatkan masyarakat.
Apabila mengacu pada SES Framework dan didukung oleh berbagai kajian literatur, maka D3TLH
pada dasarnya berkaitan erat dengan prinsip human-carrying capacity yang mengacu pada biophysical
capacity dan social capacity. Oleh karena itu, definisi D3TLH dilakukan penyesuaian menjadi “Jumlah
populasi optimum yang hidup sejahtera secara mandiri dan berkelanjutan (Social Capacity)
dengan didukung oleh kapasitas lingkungan hidup dalam satuan unit ekoregion (Biophysical
Capacity)”. Dengan ketentuan sebagai berikut:
 Jumlah populasi optimum dimaksudkan ambang batas penduduk yang dapat ditampung dan
dipenuhi kebutuhan fisiologisnya
 Menuju hidup sejahtera secara mandiri dan berkelanjutan maka populasi perlu
memperhatikan ketersediaan jasa lingkungan hidup

5
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

 Satuan unit ekoregion sebagai kesatuan pengelolaan wilayah yang dapat lintas batas
administrasi dan/atau kewenangan tertentu yang ditetapkan melalui peraturan perundang-
undangan

Gambar 1-4 Kerangka Konsep D3TLH


Sumber: Dimodifikasi dari Taradini, 2018 dan Tim Penyusun, 2023

Oleh karena itu, hasil penyusunan D3TLH ini adalah (1) Status D3TLH yang ditunjukkan dari
jumlah populasi dan luas lahan optimum dan (2) Posisi dalam kuadran keberlanjutan sebagai baseline
perencanaan pembangunan ke depan di masing-masing ekoregion pulau/kepulauan.

1.5 Limitasi dan Definisi Operasional D3TLH

Terdapat beberapa limitasi yang perlu diperhatikan dalam konteks penggunaan konsep
D3TLH yang terbatas pada tingkat nasional dan unit analisis yang dipecah menjadi pulau atau
kepulauan di Indonesia.
1. Jenis Lingkungan Hidup yang digunakan belum mempertimbangkan kualitas udara dan
laut: Dalam perhitungan daya dukung lingkungan hidup, sangat penting untuk
mempertimbangkan jenis ekosistem yang ada di darat, laut, dan udara. Pada kajian D3TLH
ini baru memperhitungkan ekosistem darat saja karena adanya keterbatasan dan
keseragaman data antara pulau/kepulauan di Indonesia.
2. Skala Regional yang Besar: meskipun kedalaman data menggunakan skala 1:250.000,
pembagian unit analisis ke dalam pulau atau kepulauan masih dapat menghasilkan
generalisasi yang besar. Ini berarti bahwa D3TLH Nasional mungkin tidak dapat
menggambarkan supply dan demand terhadap sumber daya alam pada wilayah yang lebih
kecil atau mikro (kabupaten/kota).
3. Keragaman Regional yang Terabaikan: setiap pulau atau wilayah di Indonesia memiliki
karakteristik unik dalam hal sumber daya alam, budaya, sosial, dan ekonomi. D3TLH yang
diterapkan pada tingkat pulau/kepulauan mungkin tidak cukup sensitif untuk
menggambarkan keragaman ini di tingkat Provinsi.

6
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

4. Ketidakpastian Data: pengumpulan data yang diperlukan untuk D3TLH tidak banyak data
yang memiliki keseragaman, baik dari sisi skala maupun variabilitias. Pada beberapa
Provinsi, data mungkin terbatas atau tidak selalu terbaru, yang dapat mengurangi
keakuratan analisis D3TLH.
Namun dengan keterbatasan tersebut, penyusunan D3TLH ini sudah dapat dianggap
menggambarkan kondisi optimum pemanfaatan sumber daya alam dengan asumsi belum
menggunakan rekayasa teknologi dan masih terbatas pada kemampuan sendiri. Informasi dalam
muatan D3TLH ini sangat penting untuk memberikan rambu-rambu dalam perencanaan
pembangunan dan tata ruang, mendorong pentingnya environmental safeguard apabila ada
rekayasa teknologi yang harus diterapkan, dan meningkatkan prinsip kehati-hatian
(prudentiality) dalam pelaksanaan pembangunan.

Oleh karena itu, D3TLH masih merupakan alat yang berpotensi kuat dalam mengarahkan
pembangunan menuju keberlanjutan, dan dalam mengatasi limitasi ini, dapat diperluas dengan
perencanaan yang lebih spesifik dan sensitif terhadap karakteristik setiap wilayah, serta
mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan budaya dalam pengambilan keputusan yang
berkelanjutan. Selain itu, terus meningkatkan ketersediaan dan akurasi data dapat membantu
meningkatkan validitas analisis D3TLH. Meskipun memiliki keterbatasan, D3TLH tetap menjadi
alat penting dalam menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dan kelestarian
lingkungan di Indonesia.

Definisi Operasional
Definisi operasional D3TLH berisikan batasan pengertian yang menunjukkan tentang apa yang
harus diamati dan diukur dalam metodologi penentuan D3TLH.

1. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan
makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri,
kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain (UU
Nomor 32 Tahun 2009).
2. Ekoregion adalah satuan unit pengelolaan yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, flora,
dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas
sistem lingkungan hidup.
3. Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup (D3TLH) adalah jumlah populasi
optimum yang hidup sejahtera secara mandiri dan berkelanjutan dalam satuan unit
ekoregion.
4. Status D3TLH adalah kondisi yang menggambarkan kemandirian suatu wilayah melalui
perbandingan antara jumlah penduduk optimum dengan eksistingnya berdasarkan hasil
optimasi alokasi penutupan lahan
5. Jasa lingkungan hidup adalah manfaat dari ekosistem dan lingkungan hidup bagi manusia
dan keberlangsungan kehidupan yang diantaranya mencakup penyediaan sumber daya
alam, pengaturan alam dan lingkungan hidup, penyokong proses alam, dan pelestarian
nilai budaya (PP Nomor 47 Tahun 2017).
6. Indeks jasa lingkungan hidup adalah penilaian kinerja lingkungan hidup dalam
memberikan jasa bagi para pemanfaatnya yang dapat mewakili perspektif biogeofisik
terhadap pengaturan air, penyedia pangan, dan pendukung kehati.

7
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

7. Sosial, ekonomi, dan budaya (sosekbud) adalah narasi causal model yang menggambarkan
kondisi masyarakat dalam rangka jaring pengaman sosial (social safety net) sebagai strategi
tata kelola lingkungan hidup di suatu wilayah.
8. Indeks KMK (Keselamatan, Mutu hidup, Kesejahteraan) adalah kondisi terpenuhinya
kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu
mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya dan peningkatan
kualitas penghidupan.
9. Keselamatan adalah kondisi normalnya fungsi organ tubuh (fisik manusia) dan
rohani/batin manusia dalam interaksi penghidupannya yang terhindar dari gangguan atau
ancaman, yang dilihat dari keselamatan hidup dan keselamatan dari bahaya.
10. Mutu hidup adalah wujud kualitas penduduk (tingkat pendidikan, literasi dan perilaku
budayanya) serta proses atau dinamika pemajuan budaya yang bersesuaian dengan
kapasitas jasa lingkungan hidup di sekitarnya (situation) dan diukur dengan kualitas
penduduk dan pemajuan kebudayaan.
11. Kesejahteraan adalah keadaan dimana manusia secara individu dan atau kolektif dapat
menikmati utilitas hidup (utilitas neto) yang maksimal, yang pencapaian ditentukan oleh
kinerja ekonomi makro, yaitu pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga umum dan tingkat
pengangguran terbuka.
12. Kuadran D3TLH adalah posisi suatu wilayah yang dapat menggambarkan sejauh mana
kondisi lingkungan hidup dan masyarakatnya menuju kondisi keberlanjutan.
1.6 Sistematika Penulisan

Materi Teknis Penentuan dan Penetapan D3TLH Provinsi ini terdiri dari empat bab sebagai berikut.
BAB I Pendahuluan
Bab ini memuat latar belakang, maksud dan tujuan, ruang lingkup wilayah dan substansi, kerangka
konsep, limitasi dan definisi operasional D3TLH, serta sistematika penulisan.

BAB II Ekoregion
Bab ini akan menggambarkan kondisi provinsi dari bentuk alamiah fisik wilayah yang terdiri dari
bentang alam dan vegetasi utama sebagai pembentuk ekoregion. Identifikasi ekoregion memegang
peranan penting dalam semua kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

BAB III Muatan D3TLH


Bab ini akan membahas hasil pengolahan data beserta analisis-analisis terkait. Sehingga akan
mampu menggambarkan kondisi lingkungan hidup dan masyarakat pada Pulau/Kepulauan hingga
provinsi. Adapun secara rinci akan mencakup: (1) Jumlah penduduk optimum yang dapat
ditampung; (2) pengalokasian luas penutupan lahan optimum; (3) Kondisi Sosekbud yang berisikan
informasi kaitan kausal antara sosial, ekonomi, dan budaya dengan ekosistem melalui skor
keselamatan, skor mutu hidup, dan skor kesejahteraan.
BAB IV Sintesis Kuadran Keberlanjutan
Bab ini memberikan informasi posisi suatu wilayah yang dapat menggambarkan sejauh mana
kondisi lingkungan hidup dan masyarakatnya menuju kondisi keberlanjutan. Kuadran
Keberlanjutan memadankan antara Indeks Jasa Lingkungan Hidup Eksisting dengan Indeks
Keselamatan, Mutu Hidup, dan Kesejahteraan.

8
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

2 BAB II EKOREGION PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

Ekoregion diartikan sebagai wilayah geografi yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, flora
dan fauna asli serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem
alam lingkungan hidup. Identifikasi ekoregion memegang peranan penting dalam semua kegiatan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, sejak tahap perencanaan hingga pengawasan
dan pengendaliannya.
Wilayah ekoregion Puak Kutai Mahakam Hilir dan Puak Rimba Batung Kerihun Kayan
Mentarang menjadi wilayah ekoregion yang mendominasi di Provinsi Kalimantan Timur (Gambar
3-2). Ekoregion dan penutupan lahan memiliki peranan penting terhadap jasa lingkungan hidup
sebagai fungsi lingkungan hidup salah satunya untuk pemeliharaan siklus hara dan regenerasi
tanah yang menunjukan kesuburan. Kesamaan wilayah ekoregion Provinsi Kalimantan Timur
dengan provinsi sekitarnya, yaitu Provinsi Kalimantan Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah,
dan Kalimantan Selatan menjelaskan bahwa perlu adanya keselarasan dalam menjaga wilayah
ekoregion antarprovinsi untuk menghindari kerusakan jasa lingkungan hidup. Kesamaan tersebut
menyebabkan adanya interaksi dan ketergantungan setiap provinsi dalam memenuhi
kebutuhannya sendiri dalam upaya mewujudkan penutupan lahan optimum, sehingga
memerlukan hubungan dengan daerah lain.

Gambar 2-1 Peta Wilayah Ekoregion Provinsi Kalimantan Timur


Sumber: KLHK, 2023

9
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

Provinsi Kalimantan Timur memiliki luas wilayah sebesar 127.346,92 km 2 yang


menyebabkan wilayah ini memiliki keberagaman ekoregion, baik ekoregion dataran maupun laut.
Wilayah ekoregion darat di Provinsi Kalimantan Timur terdiri dari Puak Kutai Mahakam Hilir, Puak
Meratus Banjar Paser, Puak Rimba Betung Kerihun Kayan Mentarang, Puak Rimba Campuran
Berau Sebuku, dan Puak Tanjung Karst Sangkaliat. Apabila dilihat dari luasnya, Wilayah
Ekoregion Puak Kutai Mahakam Hilir mendominasi Provinsi Kalimantan Timur. Wilayah Ekoregion
Puak Kutai Mahakam Hilir, Puak Meratus Banjar Paser, Puak Rimba Betung Kerihun Kayan
Mentarang, dan Puak Rimba Campuran Berau Sebuku tidak hanya berada di Provinsi Kalimantan
Timur, namun juga menjadi bagian wilayah ekoregion di seluruh provinsi di Pulau Kalimantan.
Berdasarkan unit ekoregion, Provinsi Kalimantan Timur didominasi oleh perbukitan struktural
lipatan bermaterial campuran batuan sedimen karbonat dan non karbonat bervegetasi hutan
dipterokarpa pamah (40,79%), Perbukitan struktural lipatan bermaterial batuan sedimen non
karbonat bervegetasi hutan pegunungan bawah (12,48%), dan Dataran struktural lipatan
berombak-bergelombang bermaterial batuan sedimen non karbonat bervegetasi hutan pamah
(non dipterokarpa) (11,02%). Hutan dipterokarpa pamah merupakan hutan yang terletak pada
ketinggian tidak melebihi 300 mdpl dengan spesies utama meranti, balau, dan kapur.

Gambar 2-2 Peta Ekoregion Provinsi Kalimantan Timur


Sumber: KLHK, 2021

Batuan sedimen karbonat dan non karbonat dapat digunakan sebagai bahan galian
tambang. Potensi ini telah membantu pertumbuhan PDRB pada sektor pertambangan dan
penggalian yang menjadi sektor penyumbang PDRB terbesar di Provinsi Kalimantan Timur. Selain
itu material pada ekosistem ini dapat dimanfaatkan sebagai penyedia air pada lapisan akuifer baik
di permukaan maupun di bawah permukaan. Batuan sedimen di permukaan Provinsi Kalimantan
Timur menunjang potensi perkebunan sawit karena memiliki porositas yang baik, dimana kelapa

10
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

sawit menjadi komoditas utama Provinsi Kalimantan Timur dengan persentase lahan 88% dari
luasan subsetor perkebunan.
Beberapa wilayah Provinsi KalimantanTimur juga ditetapkan menjadi kawasan konservasi,
yaitu Suaka Alam Padang Luway yang melindungi beragam jenis anggrek terutama anggrek hitam
serta Taman Nasional Kutai yang menjadi habitat orang utan, bekantan, beruang madu, macan
dahan, kijang emas, pesut mahakam, buaya muara, dan ditumbuhi oleh hutan mangrove, bakau,
jelutung, gaharu, maupun kayu ulin. Provinsi Kalimantan Timur memiliki hutan lindung seluas 2,84
juta Ha serta suaka alam seluas 1,7 juta Ha yang menjadi hutan lindung dan suaka alam paling
luas di Ekoregion Kalimantan. Hutan Lindung terluas yang ada di Kalimantan Timur yaitu Hutan
Lindung Wehea yang juga mendapatkan penghargaan kalpataru sebagai hutan lindung terbaik.
Provinsi Kalimantan Timur juga menjadi provinsi dengan luas hutan produksi terbesar di Pulau
Kalimantan yang turut membantu dalam pertumbuhan PDRB sektor kehutanan. Dilihat dari
karakteristik bentang alam dan vegetasi aslinya, Provinsi Kalimantan Timur memiliki kemampuan
untuk menjadi sumber genetika penting untuk pengembangan buah-buahan lokal. Salah satu
buah khas Provinsi Kalimantan Timur yaitu buah Lai (Durio kutejenesis) yang telah mendapat
pengakuan secara nasional.
Selain itu, pada bagian timur laut Provinsi Kalimantan Timur terdapat dataran maupun
perbukitan karst dengan luas 6% dari luas wilayahnya. Kawasan karst yang menjadi fokus
pengembangan yaitu Karst Sangkulirang Mangkalihat yang berada di Kutai Timur karena pada
kawasan ini ditemukan benda-benda peninggalan arkeologi yang berumur puluhan ribu tahun.
Penemuan gambar-gambar dalam gua (art rock) di Pegunungan Marang, memberikan prospek
dan perspektif baru terhadap kajian distribusi seni cadas yang lebih luas di Indonesia.
Provinsi Kalimantan Timur memiliki unit region berupa danau bervegetasi hutan danau
diantaranya Danau Melintang, Danau Semayang, dan Danau Jempang yang merupakan habitat
salah satu satwa langka di Indonesia yaitu pesut mahakam (Orcaella brevirostris). Pesut
mahakam merupakan lumba-lumba air tawar yang hanya dapat ditemukan di Sungai Mahakam dan
ketiga danau tersebut. Namun, selain potensi yang ditimbulkan oleh kondisi ekoregion yang
dimiliki Provinsi Kalimantan Timur, terdapat ancaman bencana yang dapat terjadi. Potensi bencana
yang dapat terjadi adalah longsor dan amblesan pada kawasan batuan sedimen karbonat akibat
pelarutan serta kebakaran hutan atau lahan. Tercatat pada tahun 2021, telah terjadi 113 kejadian
kebakaran hutan dan lahan, serta 47 kejadian tanah longsor. Berdasarkan data SiPongi luas
kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Timur pada 2019 mencapai 6.715 Ha diantaranya
terjadi di Nenang, Gunung Seteleng, Lawe-lawe, dan Tahura Bukit Soeharto. Selain diakibatkan oleh
naiknya suhu dan cuaca ekstrem, kebakaran hutan dan lahan juga dipicu oleh kondisi unit
ekoregion dataran organik bermaterial gambut sejumlah 3,68% di Provinsi Kalimantan Timur.

Provinsi Kalimantan Timur bersinggungan dengan Ekoregion Laut 7 Laut Sulawesi dan
Ekoregion Laut 8 Selat Makassar. Ekoregion laut ini menghubungkan Provinsi Kalimantan Timur
dengan Pulau Sulawesi. Pada ekoregion laut ini, terdapat potensi terumbu karang Berau, Bunaken,
Spermonde, dan Kopoposang, potensi hutan mangrove dan padang lamun, serta potensi satwa
penyu hijau terbesar di Asia Tenggara di Berau serta ikan terbang mangrove. Dataran fluviomarin
bermaterial aluvium bervegetasi mangrove pada bagian selatan Provinsi Kalimantan Timur
merupakan gabungan dari proses fluvial dan marin pada lingkungan laut Delta Mahakam di muara

11
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

sungai yang terpengaruh langsung oleh aktivitas laut. Ekosistem Delta Mahakam (EL.8) menjadi
salah satu delta dinamis yang mendapatkan perhatian dari kalangan ilmuwan internasional
karena memilki keunikan terkait arusnya. Delta Mahakam kaya akan sumber daya alam, terutama
minyak bumi dan gas alam. Namun terdapat risiko bencana tsunami pada bagian pantai di Provinsi
Kalimantan Timur. Sungai Berau dan Sungai Mahakam yang memilki fungsi sebagai jalur
transportasi kapal batu bara dan hasil perkebunan juga memberikan dampak pencemaran
terhadap Ekoregion Laut 7 dan 8.

12
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

3 BAB III MUATAN D3TLH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

Muatan D3TLH Provinsi Bengkulu terdiri dari ambang batas yang menghasilkan jumlah
penduduk dan luas lahan optimum. Jumlah penduduk optimum dan luas lahan optimum
mengadopsi dari hasil perhitungan tingkat nasional yang sudah memperhitungkan kondisi
biokapasitas dan jejak ekologis dalam unit pulau/kepulauan. Dalam hal ini, Provinsi Kalimantan
Timur mengacu kepada perhitungan tingkat nasional dari unit analisis Pulau Kalimantan. Secara
rinci, jumlah penduduk optimum didapatkan dari hasil pengolahan data tutupan lahan yang telah
dioptimumkan menggunakan standar ruang dalam mendukung kebutuhan dasar manusia
kemudian dikonversi menjadi kebutuhan ruang per penduduk sehingga menghasilkan jumlah
penduduk optimum. Sementara luas lahan optimum didapatkan dari hasil pengoptimalan luas
lahan eksisting dengan standar kebutuhan ruang sehingga menjadi luas lahan optimum, apabila
antara eksisting dengan optimum bernilai defisit, maka dicari alokasi spasialnya melalui
pemodelan kesesuaian fisik lahan dan pemodelan 2K (Kedekatan dan Kepadatan) Simultan.
Sebagai outcome, maka dilengkapi dengan faktor sosial budaya serta ekonomi dalam bentuk
kondisi keselamatan, mutu hidup dan kesejahteraan.

3.1 Penduduk Optimum Provinsi Kalimantan Timur


Penduduk optimum memiliki makna penduduk yang mampu didukung berdasarkan
kondisi alami dan jasa lingkungan hidup pengatur air, penyedia air, penyedia pangan,
pendukung kehati secara mandiri. Penduduk optimum didapatkan dari hasil pemodelan
Optimasi Alokasi Penutupan Lahan sehingga mendapatkan jumlah optimumnya sebagai ambang
batas wilayah. Apabila penduduk optimum lebih kecil dibanding eksisting, maka Status D3TLH
menunjukkan telah terlampaui. Penduduk optimum ini berfungsi sebagai rambu yang perlu
diperhatikan dalam pengelolaan lingkungan hidup berkelanjutan. Berdasarkan perhitungan lahan
optimum, penduduk optimum Provinsi Kalimantan Timur yang dapat ditampung ±64,36 juta orang.
Berikut adalah perbandingan antara penduduk optimum dan eksisting di Provinsi Kalimantan
Timur.
Tabel 3-1 Penduduk Optimum di Provinsi Kalimantan Timur
D3TLH dikaitan dengan Jumlah Penduduk
Jumlah Jumlah Perbandingan
Penduduk Penduduk Jumlah
Provinsi
Tahun 2022 Optimum Penduduk Status D3TLH
(Jiwa) (Jiwa) Eksisting dan
Optimum (Jiwa)
Kalimantan Timur 3.856.780 32.423.860 28.567.080 Belum Terlampaui
*Status D3TLH ini adalah kondisi ketersediaan sumberdaya alam yang disediakan oleh ekoregion itu sendiri tanpa
dukungan ekoregion lainnya
Sumber: Hasil Analisis, 2023
Perlu dipahami bahwa jumlah penduduk optimum hanya mengacu pada pemenuhan
kebutuhan fisiologis pada setiap Pulau/Kepulauan. Sehingga apabila ada intervensi untuk
memenuhi pemajuan ekonomi, maka jumlah penduduk optimumnya akan menurun. Jumlah
penduduk optimum ini kemudian dibandingkan dengan kondisi eksisting yang menggunakan
baseline tahun 2022 guna mengetahui statusnya. Dengan jumlah penduduk eksisting yang
berjumlah ±3,86 juta orang, maka ambang batas D3TLH Provinsi Kalimantan Timur secara

13
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

indikatif memiliki status belum terlampaui. Wilayah dengan status D3TLH terlampaui
menunjukkan bahwa wilayah tersebut tidak dapat secara mandiri memenuhi kebutuhan
fisiologisnya sehingga membutuhkan pengadaan atau impor komoditas dari luar wilayahnya.
Sedangkan wilayah yang memiliki status yang belum terlampaui menunjukkan bahwa provinsi
tersebut dapat terpenuhi kebutuhan wilayahnya dan dapat memenuhi kebutuhan provinsi lain
disekitarnya dalam satu pulau/kepulauan.
Dari lima provinsi di Pulau Kalimantan termasuk Provinsi Kalimantan Timur, memiliki
status indikatif belum terlampaui. Persebaran penduduk optimum dijabarkan melalui peta
sistem grid sehingga pada masing-masing grid memiliki jumlah yang berbeda. Pada peta terlihat
untuk yang bernilai nol diartikan lokasinya merupakan kawasan lindung/konservasi dan badan air.
Distribusi dengan rentang jumlah penduduk tertinggi pada grid-nya untuk Provinsi Kalimantan
Timur mendominasi di sisi tenggara yaitu di sekitar Kota Samarinda. Hal ini juga dipengaruhi oleh
tingkat kepadatan penduduknya yang lebih tinggi dibandingkan pulau/kepulauan lainnya. Dapat
dilihat distribusi penduduk optimum Provinsi Kalimantan Timur sebagai berikut.

Gambar 3-1 Peta Penduduk Optimum Provinsi Kalimantan Timur


Sumber: Badan Pusat Statistik, 2023
Selain membandingkan dengan penduduk eksisting, penduduk optimum juga
dibandingkan dengan proyeksi penduduk RPJPN tahun 2025-2045 yang dihasilkan oleh Bappenas
tahun 2023. Hal ini bertujuan untuk melihat pada saat Indonesia Emas 2045, apakah ada perubahan
status pada wilayah yang sedang dikaji. Perbandingan tersebut menjadi dasar dalam penentuan
arahan pembangunan dan respon kebijakan kependudukannya. Proyeksi penduduk Provinsi
Kalimantan Timur Tahun 2045 memiliki jumlah sebesar ±6,44 juta orang, jika dibandingkan
dengan jumlah penduduk optimum maka dapat dikatakan ambang batas D3TLH Provinsi

14
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

Kalimantan Timur secara indikatif masih belum terlampaui. Provinsi dengan status terlampaui
dikatakan tidak dapat secara mandiri memenuhi kebutuhan fisiologisnya karena terbatasnya
ketersediaan lahan untuk pemenuhan kebutuhan dasarnya. Oleh karena itu diperlukan usaha lebih
dengan cara import atau kerja sama antar pulau/kepulauan.

Tabel 3-2 Jumlah Penduduk Proyeksi Tahun 2045 dan Optimum Provinsi Kalimantan Timur
D3TLH dikaitan dengan Jumlah Penduduk
Jumlah Proyeksi Jumlah Perbandingan Jumlah
Provinsi
Penduduk Tahun Penduduk Penduduk Proyeksi Tahun Status D3TLH
2045 (Jiwa) Optimum (Jiwa) 2045 dan Optimum (Jiwa)
Kalimantan Timur 6.437.780 32.423.860 25.986.080 Belum Terlampaui
*Status D3TLH ini adalah kondisi ketersediaan sumberdaya alam yang disediakan oleh ekoregion itu sendiri tanpa
dukungan ekoregion lainnya
Sumber: Hasil Analisis, 2023

3.2 Penutupan Lahan Optimum


Penutupan lahan dan ekoregion memiliki peranan penting terhadap jasa lingkungan hidup
sebagai fungsi lingkungan hidup salah satunya untuk pemeliharaan siklus hara dan regenerasi
tanah yang menunjukan kesuburan. Kesamaan wilayah ekoregion Provinsi Kalimantan Timur
dengan seluruh provinsi di Pulau Kalimantan menjelaskan bahwa perlu adanya keselarasan
dalam menjaga wilayah ekoregion antarprovinsi untuk menghindari kerusakan jasa lingkungan
hidup. Kesamaan tersebut menyebabkan adanya interaksi dan ketergantungan setiap
provinsi dalam memenuhi kebutuhannya sendiri dalam upaya mewujudkan penutupan lahan
optimum, sehingga memerlukan hubungan dengan daerah lain.
Penutupan lahan optimum diartikan sebagai lahan yang seharusnya ada sesuai dengan
standarisasi pemenuhan kebutuhan fisiologis penduduk. Diasumsikan bahwa kebiasaan konsumsi
setiap orang pada setiap pulau/kepulauan memiliki jumlah yang sama. Kebutuhan fisiologis
dikonversi menjadi satuan penutupan lahan berdasarkan kebutuhan sandang, pangan, papan
dengan pemenuhan minimal 60% yang dapat dipenuhi secara mandiri pada setiap masing-masing
wilayah. Penutupan lahan optimum diperoleh dari perhitungan kesesuaian lahan terhadap 12
parameter fisik alaminya saja, apabila terdapat defisit pada salah satu tutupan lahan yang tidak
dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, maka digunakan pemodelan 2K (Kedekatan dan
Kepadatan) secara simultan untuk mendapatkan gambaran perkiraan variabel tutupan lahan apa
yang dapat dikonversi sehingga pemenuhan kebutuhan dasar terhadap sandang, pangan, dan
papan masih dapat dipenuhi secara mandiri. Apabila pemodelan 2K tetap tidak dapat
memperolehnya, maka suatu wilayah tersebut harus mendatangkan dari luar wilayahnya dalam
upaya pemenuhan kebutuhan dasar. Pemodelan 2K ini masih terdapat keterbatasan antara lain,
belum memperhitungkan intervensi teknologi dan juga adanya keterbatasan sample data dalam
proses machine learningnya.

Luas penutupan optimum yang dibutuhkan ini pada dasarnya dapat kurang atau lebih dari
kondisi eksisting di tahun 2022. Namun terdapat pengecualian untuk kawasan lindung/konservasi
dan badan air untuk tetap dipertahankan sehingga tidak dijadikan sebagai lokasi alternatif untuk
dimanfaatkan. Selain itu, lahan terbangun juga dikunci terhadap proyeksi penduduk optimum
pada saat pemodelan optimasi alokasi sehingga luas eksisting maupun optimumnya akan
berjumlah sama. Hal ini dikarenakan asumsi bahwa luas lahan terbangun saat ini sudah melebihi

15
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

standarisasi nasional terhadap cakupan luas tempat tinggal dan ruang publik. Hasil optimasi
terhadap penutupan lahan menghasilkan luas lahan optimum di Provinsi Kalimantan Timur yang
dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3-3 Luas Penutupan Lahan Optimum Provinsi Kalimantan Timur

Penutupan Lahan Luas Optimum (Ha) %


Hutan non-lindung/konservasi 7,501,062.07 59%
Pertanian lahan basah 28,885.40 0%
Pertanian lahan kering 877,666.88 7%
Perkebunan 1,490,291.72 12%
Lahan terbangun 247.514,67 2%
Padang rumput/semak belukar 94,177.28 1%
Tambak 91,611.85 1%
Kawasan lindung/konservasi 2.235.359,05 18%
Badan Air 143.678,30 1%
Provinsi Kalimantan Timur 12.710.247,22 100%
*Penutupan lahan optimum sudah disesuaikan dengan konversi lahan dari standardisasi kebutuhan fisiologis serta
dicarikan lokasi alternatifnya apabila defisit melalui 2K Simultan
Sumber: Hasil Analisis, 2023

Provinsi Kalimantan Timur saat ini memiliki lahan optimum ±12,71 juta hektar, dari luasan
tersebut maka yang dapat digunakan untuk, mendukung kebutuhan dasar manusia ada sekitar
10,33 juta Ha atau 81% dari total luas Provinsi Kalimantan Timur. Sementara sisanya dipertahankan
untuk kawasan lindung/konservasi sekitar 2,38 juta Ha atau 19% dari luas total Provinsi Kalimantan
Timur.

Gambar 3-3 Peta Alokasi Spasial Penutupan Lahan Optimum di Provinsi Kalimantan Timur
Sumber: Hasil Analisis, 2023

16
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

3.3 Kondisi Keselamatan, Mutu Hidup, dan Kesejahteraan Provinsi Kalimantan Timur
3.3.1 Kondisi Keselamatan
Keselamatan dalam D3TLH dapat dilihat dalam dua variabel pembentuk, yaitu Akses
Terhadap Hunian Layak dan Indeks Risiko Bencana. Kedua variabel pembentuk tersebut sudah
dapat mewakili dari Keselamatan itu sendiri. Skor Keselamatan diperoleh dari hasil penggabungan
antara nilai akses hunian layak yang sudah di normalisasi dengan nilai indeks risiko bencana
Indonesia (IRBI) yang sudah di normalisasi. Sehingga menghasilkan skor keselamatan. Berikut
merupakan tabel dari hasil perhitungan skor keselamatan Provinsi Kalimantan Timur.
Tabel 3-4 Skor Keselamatan Provinsi Kalimantan Timur 2022
Keselamatan Hidup Keselamatan Dari Bahaya
Skor
Cakupan Wilayah Normalisasi Predikat
Hunian (%) IRBI Normalisasi IRBI Keselamatan
Hunian
Kalimantan Timur 73,18 0,80 146,67 0,18 0,49 Sedang
Pulau Kalimantan 62,23 0,61 138,65 0,26 0,43 Sedang
Nasional 60,66 0,58 134,16 0,30 0,44 Sedang
Sumber: Hasil Analisis, 2023

Asumsi yang dibangun adalah keselamatan itu berasal dari keselamatan hidup dan
keselamatan dari ancaman bahaya bencana alam, sehingga semakin tinggi akses terhadap hunian
layak dan semakin rendah indeks risiko bencananya artinya semakin selamatlah penduduk yang
ada di wilayah tersebut. Berdasarkan hasil analisis, Provinsi Kalimantan Timur memiliki skor
keselamatan 0,49 dengan predikat Sedang. Nilai ini lebih tinggi dibanding skor keselamatan
nasional yaitu 0,44 dan menjadi skor keselamatan paling tinggi di Pulau Kalimantan. Skor ini
diperoleh karena Provinsi Kalimantan Timur memiliki akses hunian layak yang tinggi namun
berdasarkan data IRBI memiliki risiko bencana yang juga tinggi.

a. Keselamatan Hidup
Hunian Layak menjadi salah satu kebutuhan dasar manusia. Akses terhadap hunian layak
menjadi salah satu variabel dalam skor keselamatan hidup yang bernilai positif. Berikut merupakan
tabel presentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap hunian layak di Provinsi Kalimantan
Timur.
Tabel 3-5 Persentase Rumah Tangga yang Memiliki Akses Terhadap Hunian Yang Layak Dan Terjangkau Menurut
Provinsi Kalimantan Timur

Tahun
Cakupan Wilayah
2019 2020 2021 2022
Kalimantan Timur 65,55 70,80 70,70 73,18
Pulau Kalimantan 54,89 60,26 62,07 62,23
Nasional 56,51 59,54 60,90 60,66
Sumber : Diolah dari Data BPS, 2023
Pada tahun 2022 hunian layak di Provinsi Kalimantan Timur sebesar 73,18%. Kondisi ini
melebihi akses hunian layak nasional yang hanya berkisar pada angka 60,66%. Provinsi Kalimantan
Timur memiliki persentase akses terhadap sanitasi tertinggi ke-6 Nasional yaitu sebesar 90,33%.
Namun perlu adanya peningkatan terhadap akses air minum layak karena persentase Provinsi
Kalimantan Timur (87,14%) masih dibawah nilai rata-rata persentase akses air minum layak
nasional (91,05%).

17
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

Provinsi Kalimantan Timur memiliki nilai hunian layak tertinggi di Pulau Kalimantan,
dikarenakan terus adanyanya upaya dalam peningkatan kualitas terhadap perumahan dan
permukiman kumuh dalam sebuah pedoman yang terdapat dalam Peraturan Gubernur Kalimantan
Tumur Nomor 33 Tahun 2022 dengan adanya Bantuan Stimulan Peningkatan Kualitas Rumah
Swadaya (BSPKRS). BSPKRS merupakan bantuan Pemerintah Daerah yang diberikan bagi
masyarakat berpenghasilan rendah sebagai upaya meningkatkan kualitas hunian yang layak, yang
lokasinya masuk ke penetapan kawasan kumuh, memilih rumah yang tidak layak dan pendekatan
data by name by address.
Terjadi peningkatan sebesar akses hunian layak sebesar 3,5% dari tahun 2021 yaitu 70,7%.
Salah satu penyebab Provinsi Kalimantan Timur memiliki kenaikan persentase hunian layak karena
banyaknya program-program yang dilakukan oleh pemerintah kota maupun kabupaten dalam
menanggulangi rumah tidak layak huni. Salah satunya adalah program Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang akan melakukan penyaluran dana Bantuan Stimulan
Perumahan Swadaya (BSPS) untuk 2.016 rumah tidak layak huni di Provinsi Kalimantan Timur pada
tahun 2022. Selain itu, terdapat rencana pelaksanaan program Rumah Pemberdayaan Masyarakat
(RPM) pada tahun 2023 sebanyak 2.000 unit rumah yang tersebar dalam 10 kabupaten/kota di
Provinsi Kalimantan Timur.
b. Keselamatan dari Bahaya
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan risiko bencana yang sangat besar.
Berdasarkan data IRBI pada tahun 2022, Provinsi Kalimantan Timur memiliki indeks risiko bencana
sebesar 146,67 yang termasuk kedalam ketegori risiko bencana Tinggi. Kondisi ini diakibatkan oleh
Provinsi Kalimantan Timur yang memiliki 7 ancaman bencana yaitu gempabumi, banjir, tanah
longsor, kekeringan, gelombang ekstrim/abrasi, kebakaran hutan dan lahan, serta cuaca ekstrim.
Berdasarkan Data dan Informasi Bencana Indonesia (DIBI), dalam periode 2015-2021 terdapat 267
kejadian bencana pada wilayah ini yaitu kebakaran hutan dan lahan 113 kejadian, bencana banjir
85 kejadian, tanah longsor 47 kejadian, puting beliung 20 kejadian, dan abrasi 2 kejadian. Apabila
dilihat dari administrasinya, 5 dari 10 kabupaten/kota yang berada di Provinsi Kalimantan Timur
memiliki tingkat risiko bencana tinggi, sementara 5 kabupaten/kota lainnya memiliki tingkat risiko
bencana sedang.
Tabel 3-6 Indeks Resiko Bencana Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2022
Wilayah 2022 Predikat
Paser 196,4 Tinggi
Berau 188,37 Tinggi
Kutai Timur 181,57 Tinggi
Mahakam Ulu 156,4 Tinggi
Kutai Barat 153,65 Tinggi
Penajam Paser Utara 143 Sedang
Kota Bontang 122,77 Sedang
Kutai Kertanegara 120,96 Sedang
Kota Balikpapan 110,79 Sedang
Kota Samarinda 92,77 Sedang
Provinsi Kalimantan Timur 146,67 Tinggi
Pulau Kalimantan 138,67 Sedang
Nasional 134,16 Sedang
Sumber : Data Diolah dari Data IRBI, 2023

18
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

Berdasarkan data SiPongi luas kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Timur
pada 2019 mencapai 6.715 Ha diantaranya terjadi di Nenang, Gunung Seteleng, Lawe-lawe, dan
Tahura Bukit Soeharto. Selain diakibatkan oleh naiknya suhu dan cuaca ekstrem, kebakaran hutan
dan lahan juga dipicu oleh kondisi unit ekoregion dataran organik bermaterial gambut sejumlah
3,68% di Provinsi Kalimantan Timur, dimana terdapat 56 titik api (hotspot) kebakaran hutan dan
lahan yang tersebar diseluruh kabupaten/kota Provinsi Kalimantan Timur.
3.3.2 Kondisi Mutu Hidup
Kondisi mutu hidup dalam D3TLH dapat dilihat dalam dua variabel pembentuk, yaitu
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan akumulatif tiga dimensi pemajuan kebudayaan (warisan
budaya, ketahanan sosial dan budaya, dan budaya literasi). kedua variabel pembentuk tersebut
sudah dapat mewakili dari mutu hidup. Hasil skor mutu hidup dapat dilihat pada Tabel 3-7.
Tabel 3-7 Skor Mutu Hidup Provinsi Kalimantan Timur
Dinamika Karakteristik Ruang
Kualitas Penduduk
Budaya
Skor Mutu
Hasil Karakter
Provinsi Hidup (Indeks Predikat
IPM Normalisasi Ruang Budaya Normalisasi
Perubahan)
2022 IPM (Pemajuan IP
Kebudayaan)
Kalimantan Timur 77,44 0,79 0,99 0,48 0,63 Tinggi
Pulau Kalimantan 72,27 0,54 1,04 0,62 0,58 Sedang
Nasional 72,91 0,57 0,97 0,42 0,49 Sedang
Sumber : Hasil Analisis, 2023

Berdasarkan hasil analisis seperti tabel di atas Skor Mutu Hidup Provinsi Kalimantan Timur
berada diatas nilai Pulau Kalimantan maupun nilai nasional, yaitu sebesar 0,63. Nilai tersebut
dipengaruhi oleh nilai IPM Provinsi Kalimantan Timur yang melebihi nilai IPM Pulau Kalimantan
maupun nilai IPM Nasional, serta nilai dinamika karakteristik ruang budaya yang lebih tinggi 0,07
poin dari nilai nasional. Provinsi Kalimantan Timur memiliki predikat tinggi, sehingga dapat
diartikan dalam segi pembangunan manusia terbilang sangat baik dan dari segi kebudayaannya
juga menjaga kelestarian budayanya dengan baik.

a. Kualitas Penduduk
Kualitas penduduk merupakan wujud dinamika penduduk yang harapannya selalu
meningkat kapasitasnya. Kualitas penduduk akan menentukan tingkat pembangunan manusia.
Beberapa faktor pembentuk seperti tingkat pendapatan penduduk sebagai tolak ukur besarnya
tingkat pendapatan penduduk, tingkat pendidikan sebagai mengolah sumber daya alam yang
dimiliki dengan baik, dan tingkat kesehatan yang diukur dari angka kematian bayi dan angka
harapan hidup.
Kualitas penduduk di Provinsi Kalimantan Timur jika dilihat berdasarkan data Indeks
Pembangunan Manusia pada BPS Tahun 2022 mencapai 77,44 meningkat 0,56 poin dibandingkan
capaian tahun 2021 (76,88). Nilai ini merupakan nilai tertinggi ke-3 apabila dilihat secara nasional.
Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Kalimantan Timur mengalami pertumbuhan sebesar 0,84%
pada tahun 2021 dan 0,73% pada tahun 2022.

19
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

Gambar 3-4 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Kalimantan Timur, 2010-2022

Sumber: BPS Provinsi Kalimantan Timur, 2023


Peningkatan IPM tahun 2022 disebabkan oleh peningkatan yang terjadi di semua
komponen penyusunnya. Pada dimensi umur panjang dan hidup sehat, bayi yang lahir pada tahun
2022 memiliki harapan untuk dapat hidup hingga 71,85 tahun, meningkat 0,01 tahun dibandingkan
dengan mereka yang lahir pada tahun sebelumnya. Pada dimensi pengetahuan, harapan lama
sekolah penduduk umur 7 tahun meningkat 0,03 tahun dibandingkan tahun sebelumnya, dari 13,81
menjadi 13,84 tahun, sedangkan rata-rata lama sekolah penduduk umur 25 tahun ke atas
meningkat 0,08 tahun, dari 9,84 tahun menjadi 9,92 tahun pada tahun 2022. Sedangkan pada
dimensi standar hidup layak yang diukur berdasarkan rata-rata pengeluaran riil per kapita (yang
disesuaikan) pada tahun 2022 sebesar 12,64 juta Rupiah, meningkat 525 ribu rupiah (4,33 persen)
dibandingkan tahun sebelumnya (BPS Provinsi Kalimantan Timur, 2022).
b. Pemajuan Kebudayaan

Pemajuan kebudayaan merupakan upaya dalam meningkatkan ketahanan berbudaya serta


kontribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia yang semakin maju. Pemajuan
kebudayaan bertujuan untuk mengembangkan nilai-nilai luhur budaya bangsa, melestarikan
warisan budaya bangsa, dan mempengaruhi arah perkembangan peradaban dunia. Pemajuan
kebudayaan dilihat dari Indeks Pemajuan Kebudayaan (IPK). IPK ini nantinya berfungsi sebagai
perhitungan dalam mengukur karakter ruang budaya yang ada dan dilihat 3 dimensi dari 7 dimensi
yang ada. Mengingat keterbatasan yang ada sehingga hanya mengambil 3 dimensi dengan nilai
terbesar diantaranya Warisan Budaya, Ketahanan Sosial dan Budaya, dan Budaya Literasi. Hasil
Karakter Ruang Budaya tersebut akan di normalisasi guna menghitung skor mutu hidup

20
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

Gambar 3-5 Grafik Karakteristik Ruang Budaya Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2019-2021
Sumber: Data diolah dari Kemendikbud, 2021

Hasil Karakter Ruang Budaya Provinsi Kalimantan Timur menghasilkan skor 0,99 (lebih
tinggi dibanding skor nasional). Pada Tahun 2021 warisan budaya Provinsi Kalimantan Timur
sebesar 37,44% , lebih baik apabila dibandingkan dengan tahun 2020 sebesar 30,45%. Namun pada
dua dimensi lainnya yaitu budaya literasi dan ketahanan sosial budaya mengalami penurunan
meskipun kedua dimensi ini memiliki nilai yang melebihi skor nasional.
Peningkatan pada dimensi warisan budaya terjadi karena penetapan tujuh budaya tak
benda Provinsi Kalimantan Timur menjadi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia, yaitu
Gasing Kutai yang merupakan permainan rakyat dan ekspresi, Kertanegara, Parapm Api Bayaq,
Pentengan Gambus Paser, Naek Ayun, Untu Beham, Tursul Kutai, dan Muang Kutai Adat Lawas.
Sehingga, hingga saat ini Provinsi Kalimantan Timur memilki setidaknya 35 warisan budaya yang
telah ditetapkan menjadi WBTB Indonesia. Indikator tertinggi pendukung warisan budaya Provinsi
Kalimantan Timur adalah pada persentase masyarakat yang menggunakan produk tradisional
73.81% dan persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang menonton secara langsung
pertunjukan seni 72,32% (Ditjen Kebudayaan, 2022).
Untuk budaya literasi mengalami keadaan fluktuatif dari tahun ke tahunnya. Dimana pada
tahun 2021 memiliki persentase sebesar 60,09%, lebih tinggi dibandingkan dengan nilai nasional.
Penurunan dimensi budaya literasi disebabkan oleh persentase penduduk usia 10 tahun ke atas
yang mengunjungi perpustakaan/memanfaatkan taman bacaan masyarakat lebih rendah
dibandingkan persentase nasional (Ditjen Kebudayaan, 2022). Indikator tertinggi yang mendukung
budaya literasi Provinsi Kalimantan Timur yaitu persentase penduduk berumur 10 tahun ke atas
yang mengakses internet dalam tiga bulan terkahir (75,76%). Lebih jelasnya persentase penduduk
usia 10 tahun ke atas yang pernah mengakses internet dalam 3 bulan terakhir lebih jelas dapat
dilihat pada Tabel 3-8.
Tabel 3-8 Persentase Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas yang Pernah Mengakses Internet dalam 3 Bulan Terakhir
Menurut Provinsi dan Jenis Kegiatan Utama 2020-2022
Mengurus Rumah
Bekerja Sekolah Lainnya
Provinsi Tangga
2020 2021 2022 2020 2021 2022 2020 2021 2022 2020 2021 2022
Kalimantan
73,4 77,0 84,4 77,1 92,8 92,9 60,4 66,7 76,2 64,9 72,3 76,8
Timur
Indonesia 58,5 62,6 68,8 70,2 85,8 84,7 46,9 54,2 59,84 57,35 64,09 68,45
Sumber: BPS, 2023

21
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

Pada ketahanan sosial budaya terjadi keadaan fluktuatif dari tahun 2019-2021, dimana
terjadi penurunan pada tahun 2021 sebesar 72,46. Penurunan pada ketahanan sosial budaya
disebabkan oleh persentase penduduk berumur 10 tahun ke atas yang mengikuti kegiatan sosial
kemasyarakatan di lingkungan sekitar dalam tiga bulan terakhir (58,76%) yang berada dibawah
persentase nasional (75,00%). Selain itu persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang mengikuti
gotong royong dan persentase masyarakat yang merasa aman di lingkungan tempat tinggal juga
berada di bawah persentase nasional.

3.3.3 Kondisi Kesejahteraan


Kondisi kesejahteraan Provinsi Kalimantan Timur akan berbeda dengan provinsi lainnya,
sesuai dengan ekonomi makro di provinsi tersebut. Ekonomi makro dievaluasi dengan
pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga umum (inflasi), dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT).
Kondisi kesejahteraan Provinsi Kalimantan Timur dijabarkan sebagai berikut.

a. Skor Kesejahteraan
Berdasarkan hasil analisis skor kesejahteraan Provinsi Kalimantan Timur memiliki
predikat Rendah dengan skor sebesar 2,88 yang lebih rendah dibandingkan dengan skor
kesejahteraan Nasional. Provinsi Kalimantan Timur memiliki skor kesejahteraan rendah yang
disebabkan oleh nilai laju IHI yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang sedang, meskipun
tingkat pengangguran terbukanya rendah. .
Tabel 3-9 Skor Kesejahteraan
Laju
Pertumbuhan TPT Skor
Cakupan Predikat IHI Normalis Normalis
Ekonomi 2021- 2022 Kesejahter Predikat
Wilayah LPE 2021- asi IHI asi TPT
2022 (%) (%) aan
2022
Kalimantan 4,48 Sedang 26,59 Tinggi 5,71 Rendah 2,88 Rendah
Timur
Pulau 4,94 Sedang 19,75 Tinggi 4,97 Rendah 2,88 Rendah
Kalimantan
Nasional 5,31 Tinggi 9,57 Sedang 5,86 Rendah 3,63 Sedang
Sumber: Hasil analisis, 2023

b. Pertumbuhan Ekonomi
Provinsi Kalimantan Timur memiliki laju pertumbuhan ekonomi di tahun 2021-2022 sebesar
4,48% (Sedang) lebih rendah dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi Pulau Kalimantan
(5,07%) maupun laju pertumbuhan ekonomi nasional (5,31%). Berdasarkan hasil analisis, laju
perumbuhan ekonomi Provinsi Kalimantan Timur terjadi pertumbuhan naik, dimana pada tahun
2021-2022 sebesar 4,48% dan tahun 2020-2021 dengan laju pertumbuhan ekonomi sebesar 2,55%.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa, tahun 2022 untuk kinerja ekonomi makro terkait
pertumbuhan ekonomi di Provinsi Kalimantan Timur lebih baik dibanding tahun 2021.

22
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

Gambar 3-6 Grafik Laju Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2019-2022
Sumber: BPS Provinsi Kalimantan Timur, 2023

Indikasi lain untuk lapangan usaha yang mengalami kontraksi terdalam atau mengalami
peningkatan secara signifikan terjadi pada Lapangan Usaha Transportasi dan Pergudangan
(11,96%), Jasa Keuangan dan Asuransi (9,46%), serta Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum
(9,16%). Hal ini menandakan, kinerja ekonomi di ketiga lapangan usaha tersebut cukup
mempengaruhi Provinsi Kalimantan Timur. PDRB Provinsi Kalimantan Timur menurut lapangan
usaha berdasarkan harga konstan pada tahun 2022 mencapai Rp. 506,16 triliun. Untuk lebih
jelasnya mengenai PDRB Provinsi Kalimantan Timur menurut lapangan usaha berdasarkan harga
konstan dapat dilihat pada tabel di bawah.
Tabel 3-10 PDRB Provinsi Kalimantan Timur Menurut Lapangan Usaha Berdasarkan Harga Konstan Tahun 2022

PDRB (Miliar Rupiah)


Lapangan Usaha
2022
A Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 33.649,34
B Pertambangan dan Penggalian 235.949,04
C Industri Pengolahan 99.651,98
D Pengadaan Listrik dan Gas 337,25
E Pengadaan Air; Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Daur Ulang 278,10
F Konstruksi 39.887,74
G Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor 30.137,13
H Transportasi dan Pergudangan 15.301,39
I Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 4.577,47
J Informasi dan Komunikasi 9.712,24
K Jasa Keuangan dan Asuransi 8.012,39
L Real Estat 4.397,87
M,N Jasa Perusahaan 960,34
O Administrasi Pemerintahan, Pertahanan, dan Jaminan Sosial Wajib 8.727,05
P Jasa Pendidikan 7.679,67
Q Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 4.048,70
R,S,T,U Jasa Lainnya 2.851,23
Produk Domestik Regional Bruto 506.158,91
Sumber: BPS Provinsi Kalimantan Timur, 2023

Berdasarkan tabel tersebut, dapat diketahui kontribusi terbesar Lapangan Usaha pada
PDRB Provinsi Kalimantan Timur adalah pada Lapangan Usaha Pertambangan dan Penggalian.
Pada Gambar 3-6 dapat diketahui bahwa Lapangan Usaha Pertambangan dan Penggalian pada
tahun 2022 berkontribusi sebesar 47%, Industri Pengolahan sebesar 20%, serta Konstruksi sebesar
8%. Lapangan Usaha Pertambangan dan Penggalian Provinsi Kalimantan Timur dipengaruhi oleh

23
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

1.403 pertambangan yang memproduksi minyak bumi, gas alam, batu bara PKP2B, serta batu bara
KP/IUP. Sementara Lapangan Usaha Industri Pengolahan dipengaruhi oleh industri petrokimia dan
industri crude palm oil (CPO). Sektor pertambangan, lapangan usaha industri pengolahan,
konstruksi, dan perdagangan tumbuh solid seiring dengan pembangunan proyek-proyek strategis
nasional khususnya Ibu Kota Negara (IKN) di wilayah Provinsi Kalimantan Timur, lifting minyak dan
gas yang tinggi, serta mobilitas masyarakat yang terus membaik.

Gambar 3-7 Persentase Konribusi Lapangan Usaha Terhadap PDRB Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2022
Sumber: BPS Provinsi Kalimantan Timur, 2023

c. Stabilitas Harga Umum


Stabilitas harga umum dilihat dari Indeks Harga Implisit (IHI) yang mencerminkan inflasi
suatu daerah. Stabilitas harga umum di Provinsi Kalimantan Timur ditentukan oleh laju inflasi yang
dihitung dari indeks harga implisit (IHI) Provinsi Kalimantan Timur pada tahun 2021 dan tahun 2022.
Laju indeks harga implisit Provinsi Kalimantan Timur pada tahun 2021-2022 sebesar 26,59%, lebih
besar angkanya dibandingkan dengan laju IHI Pulau Kalimantan (16,47%) maupun laju IHI Nasional
(9,57%). Angka ini juga merupakan laju IHI terbesar apabila dibandingkan dengan provinsi di Pulau
Kalimantan lainnnya. Pada studi empiris sebelumnya menjelaskan bahwa angka baik atau sedang
nya di mana sebuah kinerja ekonomi makro yang baik saat angka laju IHI berada rentang 7-10%.
Sehingga, laju IHI di tahun 2022 menunjukan inflasi atau berada di kategori tinggi, atau kinerja
ekonomi makro di Provinsi Kalimantan Timur tahun 2022 dalam kondisi tidak baik.
Tingginya laju IHI Provinsi Kalimantan Timur disebabkan oleh adanya peningkatan tekanan
inflasi pada berbagai lapangan usaha. Lapangan Usaha dengan laju pertumbuhan indeks harga
implisit paling tinggi yaitu lapangan usaha pertambangan dan penggalian sebesar 50,85% yang
disebabkan oleh kelompok pertambangan batubara dan lignit serta kelompok pertambangan
minyak, gas, dan panas bumi. Kenaikan ini dipicu oleh tren harga batu bara acuan (HBA) dan
tingginya permintaan batu bara. Diikuti oleh lapangan usaha transportasi dan pergudangan
sebesar 11,48% utamanya pada kelompok angkutan udara (BPS Kalimantan Timur, 2023).
Peningkatan harga pada jasa angkutan udara utamanya didorong oleh adanya penyesuaian tarif
oleh maskapai seiring diberlakukannya kebijakan fuel surcharge mulai tanggal 4 Agustus 2022

24
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Perhubungan No 142/2022 tentang Besaran Biaya
Tambahan (Surcharge) yang disebabkan adanya fluktuasi bahan bakar tarif penumpang pelayanan
kelas ekonomi angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri.

d. Tingkat Pengangguran Terbuka


Tingkat Pengangguran Terbuka tahun 2022 di Provinsi Kalimantan Timur memiliki nilai yang
baik dibandingkan nasional (5,86%), dengan persentase TPT sebesar 5,71%. Namun apabila
dibandingkan dengan rata-rata Pulau Kalimantan, nilai ini masih lebih tinggi 0,88%. Jumlah TPT
yang rendah akan memberikan nilai yang baik pada pertumbuhan ekonomi. Nilai TPT Provinsi
Kalimantan Timur terus mengalami penurunan sejak tahun 2020. Turunnya TPT antara lain akibat
meningkatnya serapan tenaga kerja dari lapangan pekerjaan sektor transportasi dan pergudangan
(25,05 ribu jiwa) yang didorong oleh pertumbuhan sektor perdagangan, industri pengolahan,
pertambangan, dan konstruksi. Meskipun jumlah angkatan kerja pada tahun 2022 meningkat 6.255
jiwa apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, jumlah penduduk bekerja juga mengalami
peningkatan sebanyak 26.559 jiwa dan jumlah pengangguran mengalami penurunan sebanyak
20.304 jiwa. Sehingga persentase TPT Provinsi Kalimantan Timur mengalami penurunan sebesar
1,21%.

Gambar 3-8 Tingkat Pengangguran Terbuka Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2019-2022
Sumber: BPS, 2023

25
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

4 BAB IV SINTESIS KEBERLANJUTAN


LINGKUNGAN HIDUP PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

4.1 Indeks Jasa Lingkungan Provinsi Kalimantan Timur


Jasa Lingkungan Hidup dikompositkan menjadi indeks yang terdiri dari Jasa Pengatur Air,
Jasa Penyedia Air, Jasa Penyedia Pangan, dan Jasa Pendukung Kehati. Nilai komposit ini dapat
memberikan informasi tambahan mengenai kondisi suplai yang dapat digunakan untuk memenuhi
kebutuhan penduduk. Selain itu, indeks jasa lingkungan juga mampu memberikan kondisi pada
suatu lokasi yang dapat ditingkatkan maupun tetap dilindungi fungsinya. Berikut adalah gambaran
singkat mengenai IJLH secara nasional berbasis unit analisis Provinsi Kalimantan Timur.
1. IJLH Pengatur Air: IJLH Tata Air di Provinsi Kalimantan Timur yaitu 3,992. Nilai ini setara
dengan IJLH Pengatur Air Nasional dan menjadi IJLH Pengatur Air tertinggi ke-2 di Pulau
Kalimantan. Hal ini mencerminkan secara agregat pengatur air pada provinsi ini berkualitas
tinggi yang mempengaruhi kemampuannya dalam mengatur siklus hidrologi secara
berkala.
2. IJLH Penyedia Air: IJLH Penyedia Air di Provinsi Kalimantan Timur adalah sebesar 2,932.
Hal ini mencerminkan secara agregat penyedia air di Provinsi Kalimantan Timur memiliki
kualitas sedang kemampuannya dalam menyediakan air termasuk kapasitas
penyimpanan.
3. IJLH Pendukung Kehati : IJLH Pendukung Kehati Provinsi Kalimantan Timur memiliki nilai
3,683. Hal ini mencerminkan secara agregat lingkungan hidup di Provinsi Kalimantan Timur
berkualitas tinggi dalam menyediakan habitat untuk pembiakan, makan dan istirahat bagi
kehati serta spesies transien.
4. IJLH Penyedian Pangan: IJLH Pangan di Provinsi Kalimantan Timur yaitu 3,165. Hal ini
mencerminkan secara agregat lingkungan hidup di Provinsi Kalimantan Timur berkualitas
sedang kapasitasnya dalam ketersediaan bahan produksi primer untuk pangan.
5. IJLH Gabungan (G): Rata-rata IJLH Gabungan Provinsi Kalimantan Timur adalah 3,418.
IJLH Gabungan menggambarkan proses, fungsi, dan produktivitas lingkungan hidup di
suatu wilayah. Hal ini mencerminkan bahwa secara agregat di Provinsi Kalimantan Timur
berkualitas Tinggi fungsi lingkungan hidupnya. Sehingga ada beberapa wilayahnya yang
perlu dipulihkan maupun ditingkatkan kinerjanya guna mencapai mencapai kondisi lebih
optimum untuk mendukung kebutuhan fisiologis penduduknya

Berdasarkan kondisi di atas, kinerja IJLH di Provinsi Kalimantan Timur dapat sangat
bervariasi karena dipengaruhi oleh karakteristik bentang alam dan vegetasi alami serta
pemanfaatan lahan di atasnya. Kombinasi nilai IJLH yang telah digabungkan berbeda-beda
tergantung pada kinerja pada masing-masing jenis jasa lingkungan hidup. Provinsi Kalimantan
Timur adalah wilayah yang kaya akan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati. Upaya
berkelanjutan dalam pengelolaan air, pelestarian keanekaragaman hayati, dan ketahanan pangan
menjadi fokus penting untuk tetap terjaga kualitas lingkungannya sehingga dapat mendukung
kesejahteraan masyarakat di Provinsi Kalimantan Timur.

26
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

Tabel 4-1 Indeks Jasa Lingkungan Hidup Eksisting Provinsi Kalimantan Timur

IJLH Kelas IJLH


Wilayah
Pengatur Air Penyedia Air Kehati Pangan Gabungan Gabungan
Kalimantan Timur 3,992 2,932 3,683 3,165 3,418 Tinggi
Pulau Kalimantan 3,651 2,744 3,355 3,165 3,211 Sedang
Nasional 3,371 3,060 3,210 3,011 3,160 Sedang
Sumber: Hasil Analisis, 2023

4.2 Indeks Keselamatan, Mutu Hidup dan Kesejahteraan Provinsi Kalimantan Timur
Kondisi keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan di Provinsi Kalimantan Timur akan
berbeda dengan provinsi-provinsi yang lainnya, karena memiliki keunikan yang beragam baik dari
aspek sosial, ekonomi, dan budaya. Berdasarkan hasil analisis Indeks KMK yang merupakan
gabungan dari skor keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan didapatkan hasil bahwa Provinsi
Kalimantan Timur memiliki predikat Sangat Tinggi (0,83). Angka ini lebih tinggi apabila
dibandingkan dengan indeks KMK nasional yaitu sebesar 0,52 (Sedang). Kondisi ini terjadi karena
Skor Mutu Hidup Provinsi Kalimantan Timur berada di skor maksimal, skor keselamatan sedang,
dan skor kesejahteraan rendah.
Tabel 4-2 Indeks Keselamatan, Mutu Hidup dan Kesejahteraan (KMK) Provinsi Kalimantan Timur

Indeks Keselamatan, Mutu Hidup, dan Kesejahteraan (KMK)


Provinsi Skor Mutu Skor Rata Hitung Indeks
Skor Keselamatan Predikat
Hidup Kesejahteraan Indeks KMK KMK
Kalimatan Timur 3 5 4 4 0,83 Sangat Tinggi
Pulau Kalimantan 2,88 4,20 3,20 3,53 0,60 Tinggi
Nasional 3,41 3,59 3,12 3,37 0,52 Sedang
Sumber: Hasil Analisis, 2023

Kesejahteraan rendah (2,88) Provinsi Kalimantan Timur terjadi karena pertumbuhan


ekonomi pada tahun 2021-2022 tergolong sedang (4,48) dengan laju indeks harga implisit yang
tinggi (26,59). Sehingga, meskipun tingkat pengangguran terbukanya rendah (5,71), skor
kesejahteraan yang didapatkan rendah (2,88). Sementara skor mutu hidup tinggi (0,63) terjadi
karena indeks pembangunan manusia Provinsi Kalimantan tinggi (77,44) dan terus naik dari tahun
ke tahun dengan pemajuan kebudayaan yang melebihi nasional (0,99). Apabila dilihat dari segi
keselamatannya, Provinsi Kalimantan Timur memiliki akses hunian layak yang tinggi (73,18%).
Sehingga, meskipun risiko bencana tergolong tinggi (146,47), Provinsi Kalimantan Timur tetap
mendapatkan skor keselamatan sedang (0,49).

4.3 Kuadran Keberlanjutan Provinsi Kalimantan Timur


Kuadran keberlanjutan adalah konsep yang menggambarkan posisi suatu wilayah dalam
mendukung aspek lingkungan hidup dan masyarakatnya menuju kondisi keberlanjutan. Sumbu X
diwakili oleh indeks jasa lingkungan hidup, sumbu Y diwakili oleh Indeks KMK. Berikut merupakan
gambar kuadran keberlanjutan Provinsi Kalimantan Timur apabila dilihat berdasarkan ruang
lingkup nasional dan ruang lingkup Pulau Kalimantan.

27
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

Gambar 4-1 Simulasi Kuadran Keberlanjutan Provinsi Kalimantan Timur Terhadap Tingkat Nasional
Sumber : Hasil Analisis, 2023
Provinsi Kalimantan Timur berada di Kuadran I yang artinya Provinsi Kalimantan Timur
berada pada predikat Pembangunan yang Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan.
Predikat tersebut menandakan bahwa Indeks Jasa Lingkungan Hidup (IJLH) Provinsi Kalimantan
Timur diatas rata-rata nilai nasional, wilayah ini dalam kondisi ideal atau ekosistemnya masih
memberikan banyak manfaat penting seperti pengatur air, penyedia air, pendukung
keanekaragaman hayati, dan penyedia pangan. Sedangkan Indeks KMK memiliki nilai diatas rata-
rata nasional sehingga dari sisi sosio ekosistemnya memiliki nilai keselamatan, bermutu hidup, dan
nilai kesejahteraan yang tinggi. Apabila dilihat dalam lingkup Pulau Sumatera seperti pada Gambar
4-2, Provinsi Kalimantan Timur memiliki posisi penggambaran yang sama denganProvinsi
Kalimantan Tengah.

Gambar 4-2 Simulasi Kuadran Keberlanjutan Provinsi Kalimantan Timur terhadap Tingkat Pulau/Kepulauan
Sumber : Hasil Analisis, 2023

28
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

DAFTAR PUSTAKA

__________. (2016). Ecological footprinting - methods and limitations. Acreewods website:


http://www.acrewoods.net/environment/ecological-footprinting diakses 08 Agustus 2023
Appiah, E. N., & McMahon, W. W. (2002). The social outcomes of education and feedbacks on growth
in Africa. Journal of Development Studies, 38(4), 27–68.
https://doi.org/10.1080/00220380412331322411
Arifin, N. 2018. Bagaimana Hutan Indonesia Sebagai Paru-Paru Dunia di Masa Depan?.
https://www.goodnewsfromindonesia.id/2018/01/12/bagaimana-hutan-indonesia-
sebagai-paru-paru-dunia-di-masa-depan. Diakses pada 30 Agustus 2023.
Arifin, S., & Soesatyo, Y. (2020). Pertumbuhan Ekonomi, Tingkat Pengangguran dan Konsumsi dalam
Bingkai Kesejahteraan Masyarakat. Banyumas: CV. Pena Persada.
Bank Indonesia. (2023). Laporan Perekonomian Provinsi Kalimantan Timur Februari 2023. Bank
Indonesia.
Benson, C., Twigg, J., & Rossetto, T. (2007). Tools for Mainstreaming Disaster Risk Reduction:
Guidance Notes for Development Organisations. Geneva: ProVention Consortium.
Borucke et al. 2012. Accounting for demand and supply of the biosphere’s regenerative capacity:
The National Footprint Accounts’ underlying methodology and framework. Ecological
Indicators, 24.
BPS Provinsi Kalimantan Timur. (2023). Laju Pertumbuhan PDRB menurut Kabupaten/Kota (Persen)
(Persen), 2020-2022.
BPS Provinsi Kalimantan Timur. (2023). Statistik Daerah Provinsi Kalimantan Timur. BPS Provinsi
Kalimantan Timur.
BPS. (2022). Statistik Kriminal 2022. Jakarta: BPS.
BSN (2004). SNI 03-1733-2004 Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan, Badan
Standarisasi Nasional
Coburn, A.W., Spence, R.J.S., & Pomonis. A. (1994). Mitigasi Bencana (Edisi Kedua) Program
Pelatihan Manajemen Bencana. United Kingdom: Cambridge Architectural Research
Limited.
Commission on Environment and Development (1987): Our common future, Oxford University Press,
Oxford, UK, 400 pp.
Coppola, D. (2007). Introduction to International Disaster Management. Oxford: Elsevier.
Darman. (2013). Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Tingkat Pengangguran: Analisis Hukum
Okun. Journal The Winners, 14(1), 1-12.
Ditjen Kebudayaan. (2022). IPK Provinsi Kalimantan Timur
https://ipk.kemdikbud.go.id/provinsi/164. Diakses 19 Okteber 2023.
Ditjen Kebudayaan. (2023). Dimensi Warisan Budaya 2021.
https://ipk.kemdikbud.go.id/provinsi/764. Diakses 19 Okteber 2023.

29
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

Edelman, D. (1997). Carrying capacity-based regional planning by National Institute of Urban Affairs,
New Delhi. Project Paper Institute for Housing and Urban Development Studies, 11.
Rotterdam.
Febrianto. (2017). Daya Dukung Lingkungan Berbasis Ecological Footprint Di Kelurahan Tamangapa
Kota Makassar. Uin Alauddin Makassar.
Fiala, Nathan. (2008). Measuring sustainability: Why the ecological footprint is bad economics and
bad environmental science. Ecological Economics Volume 67, Issue 4, Pages 519-525.
https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2008.07.023
Florian Schaefer, Ute Luksch, Nancy Steinbach, Julio Cabeça, Jörg Hanauer. (2006). Ecological
Footprint and Biocapacity: The world’s ability to regenerate resources and absorb waste in
a limited time period. European Communities: Luxembourg. ISBN 92-79-02943-6.
https://ec.europa.eu/eurostat/documents/3888793/5835641/KS-AU-06-001-EN.PDF
Frank et al. (2011). Harvesting the sun: New estimations of the maximum population of planet Earth.
Ecological Modelling, 222, 2019. DOI: 10.1016/j.ecolmodel.2011.03.030.
Frick, H., & Mulyani, T. H. (2006). Arsitektur Ekologis: Konsep Di Iklim Tropis, Penghijauan Kota
Ekologis, Serta Energi Terbarukan. Yogyakarta : Kanisius.
Galli et al. (2012). Integrating Ecological, Carbon and Water footprint into a “Footprint Family” of
indicators: Definition and role in tracking human pressure on the planet. Ecological
Indicators, 16.
Galli, A., Iha, K., Moreno, S., Serena, M., Alves, A., Zokai, G., Lin, D., Murthy, A., dan Wackernagel, M.
(2020): Assessing the Ecological Footprint and biocapacity of Portuguese cities: Critical results
for environmental awareness and local management, Cities, 96(February 2019), 102442.
https://doi.org/10.1016/j.cities.2019.102442
Geertz, Hildred. (1963). Indonesian cultures and communities. New Haven: HRAF P.
Halim, L.N., & Panjaitan, T. W. 2016. Perancangan Dokumen Hazard Identification Risk Assessment
control (HIRARC) Pada Perusahaan Furniture. Titra, Vol. 4, No. 2 : 279-284

Hasan, M., & Muhammad, A. (2018). Pembangunan Ekonomi & Pemberdayaan Masyarakat Strategi
Pembangunan Manusia Dalam Perpektif Ekonomi Lokal (Kedua). CV. Nur Lina.
IESR. (2022). Indonesia Energy Transition Outlook 2023. Tracking Progress of Energy Transition in
Indonesia: Aiming for Net-Zero Emissions by 2050.
IPCC (2014): Climate Change 2014: Synthesis Report. Contribution of Working Groups I, II and III to
the Fifth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Core Writing
Team, R.K. Pachauri and L.A. Meyer (eds.)], Geneva, Switzerland, 151 pp
Iskandar, A., & Subekan, A. (2018). Analisis Pengaruh Kebijakan Moneter dan Fiskal Regional Terhadap
Inflasi Pertumbuhan Ekonomi Regional dan Pembuktian Flypaper Effect di Era Desentralisasi
Fiskal di Sulawesi Selatan (Issue September). https://doi.ssrn.com/abstract=2937564

Jan Matuštík, Vladimír Kočí. (2021). What is a footprint? A conceptual analysis of environmental
footprint indicators. Journal of Cleaner Production, Volume 285, 2021, 124833, ISSN 0959-
6526, https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2020.124833
Januandari, M. U., Rachmawati, T. A., & Sufianto, H. (2017). Analisa Risiko Bencana Kebakaran
Kawasan Segiempat Tunjungan Surabaya. Jurnal Pengembangan Kota, 5(2), 149-158.

30
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

João-Pedro Ferreira, João Lourenço Marques, Sara Moreno Pires, Katsunori Iha, Alessandro Galli.
(2023). Supporting national-level policies for sustainable consumption in Portugal: A socio-
economic Ecological Footprint analysis. Ecological Economics Volume 205, ISSN 0921-8009,
https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2022.107687
Juhadi, J. (2007). Pola-pola pemanfaatan lahan dan degradasi lingkungan pada kawasan
perbukitan. Jurnal Geografi.
Kartodihardjo, H. 2022. Pertanian dan Hilangnya Keanekaragaman Hayati. Diakses dari
https://www.forestdigest.com/detail/1964/keanekaragaman-hayati.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM). 2015. Implementasi Kebijakan Ekonomi dan
Energi Nasional (Pertama). Pusat Data dan Teknologi Informasi Energi dan Sumber Daya
Mineral. https://www.esdm.go.id/assets/media/content/KEI-
Implementasi_Kebijakan_Ekonomi_dan_Energi_Nasional.pdf

Kementerian Kesehatan. 2020. Infodatin Air Dan Kesehatan Tahun 2020. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2013). Deskripsi Peta Ekoregion Pulau/Kepulauan.
Jakarta Timur: Kementerian Lingkungan Hidup.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2020). Deskripsi Peta Wilayah Ekoregion Indonesia.
Jakarta Pusat: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kementerian Pekerjaan Umum. 2010. Ecological Footprint of Indonesia 2010. Jakarta: Direktorat
Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia.
Kerinci Seblat National Park. (2018). Taman Nasional Kerinci Seblat Harapan Terakhir Habitat
Harimau Sumatera. Sungai Penuh, Jambi: Kerinci Seblat National Park.
Kharisma R, Purnomo H, Kuncahyo B. 2022. Ecological footprint and biocapacity analysis of upper
Cisadane Watershed. Journal of Natural Resources and Environmental Management, 12(2),
197-209. http://dx.doi.org/10.29244/jpsl.12.2.197-209.
Kitzes et al. 2008. Guidebook to the National Footprint Accounts: 2008 Edition. Oakland: Global
Footprint Network.
Kozlowski, J.M. .1990. Sustainable Development in Professional Planning: A Potential Contribution
of the EIA and UET Concepts. Landscape and Urban Planning, 19(4): 307-332. DOI:
10.1016/0169-2046(90)90040-9.
Lane et al. 2013. The essential parameters of a resource-based carrying capacity assessment model:
An Australian case study. Ecological Modelling, 272: 220– 231.
http://dx.doi.org/10.1016/j.ecolmodel.2013.10.006.
Małgorzata Świąder, David Lin, Szymon Szewrański, Jan K. Kazak, Katsunori Iha, Joost van Hoof,
Ingrid Belčáková, Selen Altiok. (2020). The application of ecological footprint and
biocapacity for environmental carrying capacity assessment: A new approach for European
cities. Environmental Science & Policy Volume 105, Pages 56-74, ISSN 1462-9011,
https://doi.org/10.1016/j.envsci.2019.12.010
Manafi et al. 2009. Aplikasi Konsep Daya Dukung Untuk Pembangunan Berkelanjutan Di Pulau Kecil
(Studi Kasus Gugus Pulau Kaledupa, Kabupaten Wakatobi). Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan
Perikanan Indonesia, 16(1), 63.

31
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

Maruf, M. 2023. Indonesia Negara Darurat Impor Pangan. Diakses pada 18 September 2023 dari
https://www.cnbcindonesia.com/research/20230704185303-128-451320/indonesia-
negara-darurat-impor-pangan.

Maryanti et al. (2016). The Urban Green Space Provision Using The Standards Approach: Issues And
Challenges Of Its Implementation In Malaysia, WIT Transactions on Ecology and The
Environment, Vol 210, WIT Press
Meadows, D., Randers, J., dan Meadows, D. (2005): Limits to Growth: The-30-Year Update, Earthscan,
London, 205
Monfreda et al. 2004. Establishing national natural capital accounts based on detailed Ecological
Footprint and biological capacity assessments. Land Use Policy, 21(3).
Muslim, M. R. (2014). Pengangguran Terbuka Dan Determinannya. Jurnal Ekonomi Dan Studi
Pembangunan Volume 15, Nomor 2, 15(2), 171–181.
http://journal.umy.ac.id/index.php/esp/article/download/1234/1292

Mutaali, L. (2011). Environmental Carrying Capacity Based On Spatial Planning. Indonesian Journal
of Geography, 43(2), 142–155.

Nge, U., Maw, D., Tun, U. (1992). Norms and Standards of Education Facilities, Working Paper Series
no. 5,4, Ministry of Education/UNDP/UNESCO, Myanmar
Nirupama, N. (2013). Disaster Risk Management. In P. T. Bobrowsky (Ed.), Encyclopedia of Natural
Hazards (pp. 164–170). Netherlands: Springer.

Noer, R. D. (2022). Konsep Peningkatan Kenyamanan Termal Dalam Lingkungan Permukiman


Kecamatan Panakkukang Kota Makassar= Thermal Comfort Concept In a Settlement Of
Panakkukang District, Makassar City (Doctoral dissertation, Universitas Hasanuddin).
Nurahmawaty Devi, dkk. 2023. Daya Dukung Lingkungan berdasarkan Ketersediaan Air dan
Produktivitas Lahan di Daerah Kecamatan Putussibau Utara Kabupaten Kapuas Hulu. Jurnal
Ilmu Lingkungan Volume 21 Issue 2 ISSN 1829-8907. Semarang: Program Studi Ilmu
Lingkungan Sekolah Pascasarjana UNDIP

Pambudhi et al. 2012. Estimasi Stok Karbon Hutan Dengan Menggunakan Citra Alos Avnir-2 Di
Sebagian Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Kutai Barat. Jurnal Bumi Indonesia. 1.
Panjaitan et al. 2020. Impact of agriculture on water pollution in Deli Serdang Regency, North
Sumatra Province, Indonesia. Organic Agriculture, 10, 420. https://doi.org/10.1007/s13165-020-
00282-7.
Pedoman Umum Rumah Sederhana Sehat nomor 403/KPTS/2002 Keputusan Menteri Kipraswil 2002
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana.

Polat, H. Ibrahim (2019). A Recommendation for Health Facility Areas in the Urban Planning,
Journal of Architecture and Construction Volume 2, Issue 1, 2019, PP 42-45 ISSN 2637-5796
Presiden Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 140. Sekretariat Negara. Jakarta.

32
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

Rachman, A. 2023. RI Kaya Hasil Laut, Tapi Impor Ikan Bejibun dari China & AS. Diakses pada 08
September 2023 dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20230216082540-4-414202/ri-
kaya-hasil-laut-tapi-impor-ikan-bejibun-dari-china-as
Rahardja, P., & Manurung, M. (2019). Pengatar Ilmu Ekonomi (Mikroekonomi & Makroekonomi).
Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
Rees, W. 1990. The ecology of sustainable development. Ecologist, 20(1).
Richard, G. (2002). Human carrying capacity of Earth. ILEA Leaf Winter 2022 Issue. Institute for
Lifecycle Environmental Assessment, Washington DC.
Santoso et al. (2014). Concept of Carrying Capacity: Challenges in Spatial Planning (Case Study of
East Java Province, Indonesia). Procedia–Social and Behavioral Sciences, 135: 130-135. DOI:
10.1016/j.sbspro.2014.07.336.
Silitonga, D. (2021). Pengaruh Inflasi Terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia Pada
Periode Tahun 2010-2020. ESENSI: Jurnal Manajemen Bisnis, 24(1), 2021.

Skole, D. (1994). Data on Global Land-Cover Change: Acquisition, Assessment, and Analysis.
Dalam W. Meyer, & B. Turner (Penyunt.), Changes in Land Use and Land Cover: A Global
Perspective (Vol. II, hal. 437-471). Cambridge: Cambridge University Press.
Smith, A. (1776). An inquiry into the nature and causes of the wealth of nations. Knowledge and
Postmodernism in Historical Perspective, July 2016, 62–72. https://doi.org/10.2307/2221259
Statista (2018). Retail Space per Capita in Selected Countries Worldwide 2018,
Statista.com/statistics/10588552/retail-space-per-capita-selected-countires-worldwide/
Subekti, R.M dan Suroso, D.A. (2018). Ecological Footprint and Ecosystem Services Models: A
Comparative Analysis of Environmental Carrying Capacity Calculation Approach in
Indonesia. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 158.
https://dx.doi.org/10.1088/1755-1315/158/1/012026.
Supriyadi, Ramdan, F. (2017). Identifikasi Bahaya dan Penilaian Risiko pada Divisi Boiler
Menggunakan Metode Hazard Identification Risk Assessment And Risk Control (Hirarc).
Journal of Industrial Hygiene and Occupational Health. 1 (2). 161-177.
Suryo, Mahatma Sindu (2017). Analisia Kebutuhan Luas Minimal Pada rumah Sederhana Tapak di
Indonesia. Jurnal Permukiman Vol. 12 no. 2 November 2017: 116-123
Susanto, D. et al. (2022). The Minimum Space Standard: Proposing New House Floorplan on Dwelling
Activities in Greater Jakarta Region, Indonesia, Urban, Planning And Transport Research
2022, VOL. 10, NO. 1, 372–395
Świąder M, Szewrański S and Kazak JK (2020) Environmental Carrying Capacity Assessment—the
Policy Instrument and Tool for Sustainable Spatial Management. Front. Environ. Sci.
8:579838. https://doi.org/10.3389/fenvs.2020.579838
Świąder M, Szymon Szewrański, Jan K. Kazak, Joost Van Hoof, David Lin, Mathis Wackernagel, and
Armando Alves. (2018). Application of Ecological Footprint Accounting as a Part of an
Integrated Assessment of Environmental Carrying Capacity: A Case Study of the Footprint of
Food of a Large City. Resources 7. https://doi.org/10.3390/resources7030052
Taradini, J. 2018. Pemodelan Alokasi Spasial Penutup/Penggunaan Lahan Berdasarkan Daya Dukung
Lingkungan Hidup Sebagai Skenario Perencanaan (Wilayah Studi: Pulau Jawa, Indonesia).
Institut Teknologi Bandung.

33
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

TFCA-Sumatera. (2020). Ekosistem Kerinci Seblat. Tropical Forest Conservation Action¬-Sumatra


(TFCA-Sumatera): https://tfcasumatera.org/bentang_alam/ekosistem-kerinci-seblat/
TFCA-Sumatera. (2020). Taman Nasional Bukit Barisan. Tropical Forest Conservation Action¬-
Sumatra (TFCA-Sumatera): https://tfcasumatera.org/bentang_alam/taman-nasional-bukit-
barisan-selatan/
The SDGs Wedding Cake. www.stockholmresilience.org. Retrieved 12 July 2022.
UN Environment, dan UNEP (2012): Global Environment Outlook 5 - Environment for the Future We
Want, United Nations Environment Programme (UNEP), Nairobi, Kenya, 550 pp.
UN. (2002). Living with Risk: A Global Review of Disaster Reduction Initiatives. Geneva: United
Nations/Inter-Agency Secretariat of the International Strategy for Disaster Reduction
Undang-Undang No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
United Nations. (2012). Initial input of the Secretary-General to the Open Working Group on
Sustainable Development Goals. 64538(December 2012).

USAID. (2010). Urban Governance and Community Resilience Guides-Risk Assessment in Cities (book
2). Asian Disaster Preparedness Center-United State Agency International Development.
Wackernagel, M., J. Kitzes. (2008). Ecological Footprint. Encyclopedia of Ecology: Academic Press
Halaman 1031-1037, ISBN 9780080454054, https://doi.org/10.1016/B978-008045405-
4.00620-0
Wackernagel, M., Lin, D., Hanscom, L., Galli, A., dan Iha, K. (2019): Ecological Footprint, Encyclopedia
of Ecology, 4(March 2018), 270–282. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-409548-9.09567-1
Wackernagel, M., Lin, David. (2019). Ecological footprint accounting and its critics. GreenBiz:
Oakland, California. https://www.greenbiz.com/article/ecological-footprint-accounting-
and-its-critics diakses 8 Agustus 2023
Wackernagel, M., Rees, W. (1996). Our Ecological Footprint: Reducing Human Impact on the Earth.
New Society Publishers, Gabriola Island.
Wang et al. 2022. Identification of Priority Areas for Improving Urban Ecological Carrying Capacity:
Based on Supply–Demand Matching of Ecosystem Services. Land 2022, 11, 698.
https://doi.org/10.3390/land11050698.
WHO (2016). Urban Green Spaces and Health: A Review of Evidence, WHO Regional Office for Europe,
Denmark
Wisner, B., Blaikie, P., Cannon, T., Davis, I. (2004). At Risk: Natural Hazards, People’s Vulnerability and
Disaster. London: Routledgemusabbe
World Wide Fund For Nature. (2006). Living Planet Report. Cambridge: A BANSON Production.

34
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

5 LAMPIRAN

5.1 LITERATUR DAN METODOLOGI

5.1.1 Literatur
5.1.1.1 Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup: Ukuran Keseimbangan antara
Penyediaan Sumber Daya Alam dan Kebutuhan Manusia
Dinamika global mempengaruhi perkembangan di Indonesia, baik fisik maupun non fisik.
Sebagai contoh adalah pertambahan populasi penduduk di kawasan perkotaan dan peri urban
akibat fenomena urbanisasi dan industrialisasi. Terjadinya perubahan pemanfaatan lahan yang
pesat serta eksploitasi alam mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan. Salah
satunya adalah isu perubahan iklim yang mempengaruhi tatanan pengelolaan lingkungan hidup
saat ini. Indonesia adalah negara kepulauan di daerah tropis dan sangat rentan terhadap ancaman
perubahan iklim. Dalam upaya merespons terhadap isu tersebut maka perlu dilakukan pendekatan
melalui penilaian Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH).
Pembangunan wilayah harus memperhatikan ketahanan lingkungan hidup sebagai
respons terhadap ancaman global. Untuk mencegah risiko kerusakan lingkungan hidup, perlu
adanya upaya untuk menghubungkan antara prinsip pemerataan dan keberlanjutan.
Pembangunan keberlanjutan pertama kali didefinisikan oleh Brundtland Commission atau World
Commission on Environment and Development (1987), yaitu pembangunan yang memenuhi
kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi
kebutuhan mereka sendiri. Sehingga seiring berjalannya waktu, pembangunan wilayah dengan
prinsip berkelanjutan telah menjadi komitmen di berbagai negara guna menciptakan
pengharmonisasian antara alam dan manusia (Wackernagel et al, 2019; Fu et al, 2015 dalam
Kharisma et al, 2022). Akan tetapi dalam praktikalnya, pembangunan lebih banyak memberikan
efek paradoks berupa degradasi lingkungan karena mengejar pertumbuhan ekonomi (Subekti dan
Suroso, 2018).
Agar pembangunan dapat menjamin kualitas hidup yang baik bagi masyarakat, perlu
adanya sinergi antara tujuan ekonomi, sosial, dan lingkungan, serta kebijakan pemerintah. Hal ini
dapat tergambarkan melalui konsep D3TLH sebagai ambang batas dalam menjamin keberlanjutan
suatu wilayah. Merujuk pada Tabel 3-1, D3TLH memiliki posisi sebagai indikator penting yang harus
diperhatikan dan dipertimbangkan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan,
hingga pengelolaan sumber daya alam.
Peran penting D3TLH terhadap keberlanjutan wilayah juga tergambarkan sebagai salah
satu instrumen lingkungan hidup untuk menunjukkan upaya terciptanya kondisi lingkungan hidup
yang baik dan sehat. Tujuan tersebut menjadi bagian dari hak asasi manusia yang diamanatkan
dalam Pasal 28 H Undang-Undang Dasar 1945. D3TLH mampu menunjukkan kemampuan
lingkungan hidup terkait keberlanjutan proses, fungsi, dan produktivitas lingkungan. Dimana
kemampuan tersebut mampu mendukung perikehidupan manusia terkait keselamatan, mutu

35
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

hidup, dan kesejahteraan manusia. Dengan kata lain, D3TLH memperkuat aspek environmental and
social safeguard dalam perencanaan yang ingin dilakukan ke depannya.
Kemampuan lingkungan hidup dimaksudkan untuk ketersediaan aset sumber daya alam
(SDA) di dalamnya. Berdasarkan klasifikasi oleh Miller (1990), SDA terbagi menjadi tiga jenis, yaitu
perpetual resources (sumber daya yang selalu tersedia/terbarukan), potentially renewable (sumber
daya yang berpotensi terbarukan), dan non-renewable resources (sumber daya tidak terbarukan).
Apabila dibandingkan dengan kebutuhan dasar (pangan, sandang, dan papan) manusia, kondisi
SDA potensi terbarukan yang secara langsung terpengaruh. Adapun SDA Potensi Terbarukan yang
dimaksud adalah air, udara, lahan, laut, dan keanekaragaman hayati (kehati). Namun, pada
penentuan D3TLH ini hanya berdasarkan tiga SDA meliputi air, lahan, dan keanekaragaman hayati
(kehati).

Diantara ketiga SDA tersebut, lahan adalah yang paling penting bagi keberlanjutan
keseluruhan lingkungan hidup karena mampu mempengaruhi kuantitas maupun kualitas air dan
kehati. Lahan juga memiliki perubahan yang cukup dinamis. Perencanaan penggunaan lahan yang
optimal dapat lebih mudah menjaga keseimbangan antara supply dan demand (Wang et al, 2022).
Pernyataan tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Subekti dan Suroso (2018),
pendekatan Jejak Ekologis dari sembilan pendekatan lainnya yang paling memenuhi semua kriteria
untuk menghitung D3TLH dengan lahan menjadi unit analisisnya. Adapun lahan yang dimaksud
adalah penutupan lahan sebagai bagian dari biogeofisik pada permukaan bumi yang dapat
diamati. Penutupan lahan mengalami sistem klasifikasi yang akan berkaitan dengan penggunaan
lahan atau penutupan lahan yang dimanfaatkan (Taradini, 2018).

Kondisi ketiga SDA pada D3TLH berkaitan erat dengan jasa ekosistem yang yang
diasumsikan nilainya berbanding lurus, yaitu semakin tinggi nilai jasa ekosistem, maka semakin
tinggi daya dukung lingkungannya. Terminologi jasa ekosistem diadopsi di Indonesia menjadi jasa
lingkungan hidup yang dimodelkan sebagai hasil perpaduan dari proses alami dan faktor manusia
mencakup sosial, ekonomi, dan budaya di dalamnya. Dengan kata lain, jasa lingkungan hidup
menghasilkan nilai manfaat bagi pemenuhan kebutuhan manusia. Dalam penilaiannya, jasa
lingkungan hidup mengacu pada lanskap atau ekoregion dan penutupan lahan. Hasilnya yang
berupa indeks kemudian digunakan sebagai dasar untuk pemetaan D3TLH.

D3TLH tentunya tidak dapat lepas dari aktivitas manusia sebagai makhluk sosial dan
memenuhi kebutuhannya melalui kegiatan ekonomi. Hal ini dikarenakan segala aktivitas manusia
mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas lingkungan hidup. Padahal
idealnya kegiatan ekonomi menyesuaikan dengan peruntukkan pemanfaatan SDA yang
direncanakan. Terlebih dalam UU 32/2009, apabila Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)
menyatakan D3TLH telah terlampaui, maka perlu dilakukan perubahan kebijakan/rencana
pembangunan, serta segala usaha atau kegiatan yang melebihi ambang batas D3TLH tidak
diperbolehkan lagi.

Dukungan D3TLH terhadap kesejahteraan, keselamatan, dan mutu hidup serta


terpenuhinya kebutuhan terhadap ketersediaan sumber daya alam dapat meningkatkan
kapabilitas manusia dalam menghadapi kondisi kerentanan. Adapun kerentanan yang dimaksud
meliputi: (1) keselamatan dalam menghadapi kekeringan, kelangkaan air, banjir, maupun bahaya
lainnya yang berimplikasi pada ketersediaan pangan sebagai kebutuhan paling dasar setelah air

36
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

dalam tatanan kehidupan; (2) mutu hidup dalam keterjaminan kualitas manusia dan kekayaan
budaya dari jasa lingkungan hidup; serta (3) kesejahteraan dalam menikmati utilitas hidup yang
maksimal melalui perekonomian yang aman.

Sebagaimana uraian di atas, D3TLH dapat memberikan ambang batas atau rambu guna
menjamin keberlanjutan suatu wilayah. Dengan kata lain, menurut Manafi et al (2009),
keberlanjutan pemanfaatan sumber daya alam sangat ditentukan dari tingkat pemanfaatan yang
tidak melebihi daya dukungnya. Perlu dipahami bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan
tentunya memiliki nilai D3TLH yang berbeda-beda. Perbedaan mencolok berada di pulau-pulau
kecil dikarenakan karakteristik ekosistemnya dengan keanekaragaman hayati endemik dan risiko
lingkungan yang tinggi. Hal tersebut berimplikasi terbatasnya daya dukung pulau seperti
ketersediaan air dan tanaman pangan sehingga sangat rentan terhadap segala bentuk perubahan
baik dari faktor alam maupun manusia.
D3TLH dinilai urgensi untuk ditentukan dan ditetapkan sebagai target utama pelestarian
fungsi lingkungan hidup bagi pulau/kepulauan di Indonesia. Terlebih bagi pulau-pulau kecil yang
sebagian besar kawasan tertinggal, sarana dan prasarana yang masih terbatas, serta kurangnya
keberpihakan pemerintah sehingga pengelolaan sumber daya alamnya belum kuat dari penegakan
hukum dan saling terintegrasi terhadap lintas sektor di pusat. Nilai D3TLH yang berkaitan dengan
ketersediaan jasa lingkungan hidup sebagian besar dipengaruhi oleh ekoregion.
Ekoregion adalah sebagai wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air,
flora, dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas
sistem alam dan lingkungan hidup (KLHK, 2020). Ekoregion juga dapat dipahami sebagai konsep
unit karakter lahan yang berperan sebagai penciri sifat dan faktor pembatas (constraint). Dimana
ekoregion mampu memberikan gambaran potensi jasa lingkungan hidup sebagai dasar
pengelolaan wilayah yang menyesuaikan dengan daya dukung dan daya tampungnya. Ekoregion
antar wilayah di Indonesia pun berbeda didasarkan pada karakteristik bentang alam diwakili oleh
aspek morfologi maupun morfogenesa lahan dan vegetasi alami diwakili oleh tingkat
keanekaragaman hayati. Interaksi kedua karakteristik tersebut yang kemudian turut
mempengaruhi pola budaya masyarakat yang bermukim di setiap pulau/kepulauan.
Melalui pendekatan ekoregion dalam D3TLH mampu memastikan terjalinnya penguatan
koordinasi horizontal antar wilayah sesuai batas administrasi. Koordinasi yang bersifat saling
bergantung juga antara kawasan hulu dan hilir dapat mempengaruhi pengelolaan dan
perlindungan lingkungan hidup yang di dalamnya mengatur persoalan pemanfaatan dan
pencadangan sumber daya alam, serta permasalahan lingkungan hidup. Selain itu, dikarenakan
letak geografisnya, kondisi D3TLH di Indonesia secara tidak langsung berkontribusi terhadap isu
global seperti perubahan iklim.

Adapun poin utama kontribusi Indonesia adalah keanekaragaman hayati yang tinggi
melalui keberadaan kawasan hutan. Berdasarkan Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN)
2011-2030, cakupan luas kawasan hutan di daratan sebesar 120 juta hektar dan laut sebesar 5 juta
hektar. Indonesia memiliki banyak hutan hujan tropis yang termasuk jenis hutan penyerap dan
penyimpan ratusan miliar ton karbon akibat keberagaman jenis dan kerapatan vegetasinya
(Pambudhi et al, 2012). Hal ini menyebabkan Indonesia berpotensi sebagai pemilik cadangan
karbon terbesar dengan 75-80% dari total stok di dunia. Dikarenakan potensi itulah menjadikan

37
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

Indonesia juga berpotensi sebagai carbon offset superpower di dunia melalui perdagangan karbon
sukarela secara global.
Dikutip dari website goodnewsfromindonesia.id, sumbangan kawasan hutan terluas
Indonesia berada di Pulau Kalimantan dan Papua. Namun kecenderungan kinerja jasa lingkungan
hidup pengatur air periode tahun 1996-2020 menunjukkan bahwa kedua pulau tersebut terindikasi
mengalami penurunan. Hal ini terutama disebabkan alih fungsi lahan dari hutan lahan kering
primer menjadi sekunder atau bekas tebangan sekitar 2–3 juta hektar pada masing-masing wilayah.
Menyambung dengan penentuan D3TLH ini, hutan lahan kering primer merupakan salah satu
bagian dari kawasan lindung /konservasi yang tetap dipertahankan dalam pengalokasian lahan
untuk kebutuhan fisiologis manusia.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa melalui D3TLH dapat digunakan untuk
mengidentifikasi wilayah mana yang perlu dilakukan tindakan pemulihan, pengelolaan yang
lebih efektif hingga diharuskan konservasi dalam menjaga keseimbangan lingkungan hidup.

5.1.1.2 Biokapasitas: Ukuran Penyediaan Kebutuhan Manusia terhadap Lingkungan


Biokapasitas memiliki arti sempit sebagai ketersediaan (supply) dan kapasitas (capacity)
lingkungan hidup untuk memasok sumber daya alam. Menurut Ecological Footprint of Indonesia
(2010), biokapasitas merupakan kapasitas ekosistem untuk menghasilkan bahan biologis yang
berguna dan untuk menyerap bahan buangan (limbah) yang dihasilkan oleh kegiatan manusia
dengan menggunakan skema pengelolaan dan teknologi ekstraksi yang dikuasai saat ini. Kondisi
biokapasitas dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain produktivitas tanah, ketersediaan air,
kemampuan menyerap karbon dan menetralisir polutan, serta ketersediaan keanekaragaman
hayati. Dalam hal ini, biokapasitas berfungsi untuk menyedikan jasa ekosistem (lingkungan hidup)
yang dapat dapat dimanfaatkan.

Galli et al (2012) menyatakan biokapasitas adalah nilai yang dinyatakan dalam satuan bagi
suatu daerah yang diperlukan untuk menyediakan atau regenerasi ekosistem setiap tahunnya.
Mengetahui biokapasitas secara tidak langsung memperoleh faktor pembatas pembangunan dan
ekonomi agar tidak melebihi kemampuan lingkungan hidup (Borucke et al., 2012). Melalui
penelitian National Footprint Accounts yang dilakukan selama 47 tahun (1961-2008), pada skala
dunia menunjukkan kondisi biokapasitas yang mengalami penurunan.

Sedangkan kondisi biokapasitas di Indonesia dijelaskan melalui National Footrpint Account


2017 dalam Subekti dan Suroso (2018). Hasilnya menujukkan bahwa biokapasitas Indonesia
periode 1961-2013 terus menurun dengan gap tertinggi berada di antara tahun 1961-1985
sedangkan jejak ekologisnya fluktuatif dengan kecenderungan meningkat. Hingga saat ini melihat
maraknya alih fungsi lahan dan kegiatan perekonomian yang eksploitasi besar-besaran sudah
dipastikan kondisi biokapasitas semakin menurun sehingga mempengaruhi daya dukung
lingkungan hidup.
Pada keseimbangan sumber daya alam, biokapasias disebut sebagai mitra dari jejak
ekologis yang digunakan untuk menghitung permintaan atau kebutuhan dari makhluk hidup.
Sehingga dalam melacak biokapasitas diperlukan mengetahui tren pola konsumsi dan
pengalokasian barang yang dihasilkan dari penutupan lahan. Adapun penutupan lahan yang dapat
diukur dalam biokapasitas adalah wilayah bioproduktif. Wilayah bioproduktif diartikan sebagai

38
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

lahan teoretis dengan terdapat produktivitas biologis dan dijadikan sebagai ambang batas
(Febrianto, 2017; Monfreda et al, 2004; Wackernagel dan Rees, 1996).
Lahan bioproduktif yang dimaksud tentunya memiliki kapasitas yang berbeda-beda
menurut wujud dan ekosistemnya (penggunaan lahan). Adapun lahan bioproduktif tersebut
meliputi (1) lahan pertanian untuk penyediaan makanan nabati dan produk serat; (2) lahan
perikanan (laut dan darat); (3) tanah penggembalaan dan lahan pertanian untuk produk hewan; (4)
hutan untuk kayu dan hasil hutan lainnya; (5) wilayah terbangun (built-up area) untuk tempat
tinggal dan infrastruktur lainnya; serta (6) tanah serapan untuk mengakomodasi penyerapan
karbon dioksida antropogenik (jejak karbon).

Kapasitas lahan bioproduktif ditentukan melalui nilai ekuivalen yang dikeluarkan oleh
Global Footprint Network melalui The Underlying Calculation Method. Nilai ekuivalen ini merupakan
faktor untuk dalam konversi produktivitas satu hektar lahan tertentu ke dalam produktivitas rata-
rata dunia, yakni dalam satuan hektar (Gha). Berikut adalah nilai ekuivalen pada masing-masing
lahan bioproduktif.
Tabel 5-1 Faktor Ekuivalen pada Lahan Bioproduktif

No Lahan Bioproduktif Faktor Ekuivalen (Gha/Ha)


1 Lahan Pertanian 2,64
2 Lahan Produksi Ikan (Perairan) 0,4
3 Lahan Penggembalaan 0,5
4 Lahan Hutan 1,33
5 Lahan Terbangun 2,64
6 Lahan Serapan Karbon 1,33
Sumber: Global Footprint Network, 2008

Perhitungan biokapasitas secara umum untuk semua kategori lahan biproduktif


menggunakan persamaan matematis di bawah ini. Persamaan tersebut juga digunakan oleh
Kementerian Pekerjaan Umum pada tahun 2010 dalam kajian Ecological Footprint of Indonesia.
BK= A x YF x EqF
BK : Biokapasitas/biocapacity (BC)
A : Luas lahan dari setiap kategori lahan
YF : Yield Faktor (faktor panen)
EqF : Equivalence Factor (faktor ekivalensi untuk kategori lahan dimaksud)

39
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

Adapun secara rinci dijabarkan pada gambar berikut.

Gambar 5-1 Kerangka Perhitungan Biokapasitas


Sumber: National Footprint Accounts dalam Borucke et al (2012)

Perhitungan biokapasitas dimaksudkan untuk memberikan perhitungan yang menyoroti


relevansi batas kapasitas dan seberapa banyak biokapasitas yang diminta oleh manusia. Beberapa
ketentuan yang berkaitan dengan penutupan lahan di atas meliputi (GFN-USA dalam Guidebook to
the National Footprint Accounts, 2008 dan Borucke et al, 2012)
1. Lahan pertanian mewakili produktivitas gabungan dari semua lahan yang ditujukan untuk
menanam tanaman
2. Lahan terbangun selalu memiliki nilai biokapasitas yang sama dengan jejak ekologisnya
dikarenakan setiap pembukaan lahan baru akan disertai dengan pertumbuhan lahan
terbangun
3. Lahan Serapan Karbon tidak memiliki biokapasitas atau bernilai nol. Bersumber dari
asumsi bahwa seluruh penyerapan karbon merupakan kebutuhan biokapasitas lahan
hutan. Sehingga nilai biokapasitas pada lahan penyerap karbon dijadikan tambahan bagi
lahan hutan.

Oleh karena itu, luas penutupan lahan merupakan salah satu syarat mutlak dalam
perhitungan biokapasitas yang dipengaruhi dengan produktivitas pada masing-masing penutupan
lahan. Dalam kaitannya penutupan lahan, tidak dapat terlepas dari penggunaan lahan. Menurut
Skole (1994), penutupan lahan yang dimanfaatkan oleh manusia untuk aktivitas produksi dari
faktor sosial-ekonomi disebut dengan penggunaan lahan. Sehingga penutupan lahan yang menjadi
lahan bioproduktif akan mencakup turunan jenis sesuai penggunaannya. Biokapasitas pada
penentuan D3TLH Provinsi merujuk pada pendefinisian tersebut dengan ada penyesuaian
klasifikasi penutupan lahan berdasarkan ketersediaan data dan pemilihan metodologi.
Perbedaan ini akan dijelaskan subbab 4.1 di keterbatasan data dan metodologi.
Biokapasitas sebagai kunci dalam lingkungan yang akan mempengaruhi pembangunan
suatu wilayah ke depannya. Seperti yang diketahui, pembangunan lebih banyak menyebabkan
degradasi lingkungan dikarenakan umumnya menekan pada kemajuan ekonomi. Dimana dalam
prosesnya menyebabkan alih fungsi lahan hingga pembukaan kawasan hutan. Menurut Living

40
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

Planet Report (2006) yang dikeluarkan oleh World Wide Fund for Nature, perbandingan antara
biokapasitas (penyediaan) dan jejak ekologis (kebutuhan) mampu mencerminkan daya dukung
lingkungan hidup (carrying capacity). Perbandingan tersebut akan menghasilkan dua status
meliputi:
1. Defisit Ekologis diartikan daya dukung lingkungan hidup telah terlampaui dan tidak
berkelanjutan apabila biokapasitas lebih kecil dari jejak ekologis
2. Surplus Ekologis diartikan daya dukung lingkungan hidup belum terlampaui dan
berkelanjutan apabila biokapasitas lebih besar dari jejak ekologis

Kondisi idealnya tentu Surplus Ekologis yang menunjukkan bahwa dalam memenuhi
kebutuhannya, penduduk sudah mampu memperhatikan daya dukung sebagai ambang batas dari
lingkungan hidup. Kemampuan penduduk terlihat dengan aktivitas pemanfaatan sumber daya
alam tidak lagi bersifat destruktif dan ekspoitasi yang berlebihan yang mengancam terjadinya
degradasi. Kondisi ideal juga menunjukkan bahwa lingkungan hidup terjamin keberlanjutannya
sehingga tidak membutuhkan impor sumber daya maupun rekayasa teknologi. Adapun
keberlanjutan yang dimaksud adalah terbentungnya cadangan sumber daya alam yang dapat
dimanfaatkan hingga di masa mendatang.
Brundtland Report (1987) mengasumsikan bahwa dari jumlah total luasan biokapasitas,
hanya sebesar 12% diperuntukkan bagi makhluk hidup lain (selain manusia) atau untuk
keanekaragaman hayati. Sehingga jumlah yang dapat dimanfaatkan oleh manusia sebesar 88%
dari jumlah total biokapasitas. Biokapasitas seharusnya mampu memenuhi kebutuhan suatu
wilayah secara mandiri, namun pada kenyataannya dengan maraknya aktivitas illegal
menyebabkan tidak semuanya terserap. Selain itu, terkadang sumber daya alam tersebut lebih
didahulukan untuk kegiatan ekspor sehingga turut menyebabkan kondisi daya dukung lingkungan
hidup yang Defisit Ekologis. Di lain pihak, Defisit Ekologis apabila secara murni dikarenakan
kekurangan biokapasitas akan mengurangi potensi ekspor dan meningkatkan impor yang akan
mempengaruhi perekonomian. Sehingga dapat disimpulkan bahwa biokapasitas bersama jejak
ekologis membantu evaluasi keberlanjutan praktik manusia.

5.1.1.3 Jejak Ekologis: Ukuran Dampak Manusia terhadap Lingkungan


Jejak ekologis adalah konsep penting dalam ilmu lingkungan, secara luas diteliti dalam
berbagai karya ilmiah selama dua dekade terakhir. Jejak ekologis diperkenalkan oleh Wackernagel
dan Rees (1996) sebagai ukuran sederhana keberlanjutan konsumsi populasi. Berfungsi sebagai alat
ukur, konsep ini mengukur sumber daya yang diperlukan untuk menghasilkan barang konsumsi
oleh individu atau populasi (Fiala, 2008). Secara signifikan, jejak ekologis berperan sebagai
instrumen yang kuat untuk mengukur pengaruh aktivitas manusia terhadap lingkungan, dengan
kata lain dapat juga untuk mengevaluasi keberlanjutan pola konsumsi manusia. Prinsip dasarnya
menekankan bahwa setiap usaha manusia memiliki dampak ekologis, yang dapat diukur dalam hal
sumber daya alam yang diperlukan untuk mendukung aktivitas tersebut.

Konsep jejak ekologis ini memainkan peran sentral dalam menggambarkan area-area di
mana aktivitas manusia menunjukkan ketidakberlanjutan. Dengan mengidentifikasi titik-titik kritis
di mana keseimbangan antara konsumsi sumber daya dan pemulihan lingkungan terancam,
strategi dapat dirumuskan untuk mengurangi dampak merugikan dari tindakan manusia (Matustik

41
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

dan Koci, 2021). Strategi tersebut dapat meliputi pergeseran menuju penggunaan sumber daya
yang lebih efisien, adopsi teknologi ramah lingkungan, dan promosi inisiatif konservasi.
Penerapan konsep ini mungkin merupakan konsep yang paling relevan untuk diterapkan di
masa yang penuh keprihatinan lingkungan. Saat dampak antropogenik terhadap planet semakin
mencolok, jejak ekologis berfungsi sebagai sebuah peringatan untuk tindakan proaktif guna
mencegah ketidakseimbangan ekologis. Konsep ini dapat bertindak sebagai kompas, membimbing
para pembuat kebijakan, peneliti, dan pemangku kepentingan menuju intervensi terarah untuk
meredakan tekanan terhadap lingkungan dan mendorong keberlanjutan bersama (Fereira et all,
2023).

Oleh karena itu, jejak ekologis adalah sebuah ukuran seberapa bergantungnya manusia
terhadap sumber daya alam dan mengindikasikan jumlah tekanan yang manusia berikan pada
sumber daya alam yang tersedia bagi mereka. Konsep ini dapat membantu menilai keberlanjutan
dari aktivitas manusia dan dampaknya terhadap lingkungan. Dengan memahami dan mengurangi
jejak ekologis, kita dapat berkontribusi pada perlindungan lingkungan dan menjaga kapasitas
lingkungan dan manusia yang berkelanjutan.
Terdapat beberapa cara untuk menghitung jejak ekologis seseorang, diantaranya adalah
dengan menggunakan platform perhitungan jejak ekologis yang dikeluarkan oleh EcoOnline,
ClimateHero, Greenly.Earth, dan TreeHugger.com. Dari berbagai platform tersebut, beberapa
langkah umum untuk menghitung jejak ekologis dalam membantu individu mengukur dan
mengurangi dampak lingkungan mereka antara lain:
1. Langkah pertama dalam menghitung jejak ekologis adalah menentukan luas lahan dan air
produktif biologis yang diperlukan untuk menghasilkan barang dan jasa yang dikonsumsi
serta menyerap limbah yang dihasilkan oleh individu, komunitas, atau negara tertentu.
Pada langkah ini, berbagai faktor seperti emisi karbon dioksida, penggunaan lahan
pertanian untuk bercocok tanam, atau hutan untuk produksi kayu, dan faktor-faktor
lainnya diperhitungkan.
2. Langkah kedua melibatkan perhitungan total luas area yang diperlukan dengan
menjumlahkan luas berbagai jenis lahan dan air yang berbeda.
3. Langkah ketiga mengajukan perbandingan antara total luas area yang diperlukan dengan
biokapasitas yang tersedia, yaitu area produktif dari daratan dan laut yang dapat
meregenerasi sumber daya dan menyerap limbah yang dihasilkan.
4. Langkah terakhir adalah mengungkapkan hasil perhitungan dalam satuan luas (hektar).
Hal ini memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang dampak konsumsi sumber daya
dan produksi limbah dalam skala global.
Dalam perkembangan teknologi informasi, beberapa peran kalkulator jejak ekologis telah
menjadi alat yang berharga bagi seseorang yang ingin memahami dampak lingkungan dari gaya
hidup mereka. Salah satu contoh adalah kalkulator yang disediakan oleh ClimateHero 1. Dalam
simulasi tersebut, akan ada beberapa pertanyaan sederhana tentang gaya hidup ekologis, seperti
transportasi, makanan, dan perumahan, dan memberikan umpan balik tentang apa yang sudah

1
https://ecological-footprint-calculator.climatehero.me

42
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

dilakukan pengguna dengan baik serta saran untuk mengurangi jejak ekologis mereka dan hidup
lebih ramah lingkungan.
Secara keseluruhan, penghitungan jejak ekologis melibatkan penentuan luas lahan dan air
produktif biologis yang diperlukan untuk produksi barang dan jasa serta penyerapan limbah yang
dihasilkan, perbandingan dengan biokapasitas yang tersedia, dan pengungkapan hasil perhitungan
dalam hektar global atau dengan jumlah Bumi yang dibutuhkan. Kalkulator jejak ekologis
membantu individu menghitung jejak ekologis mereka dan memberikan saran untuk mengurangi
dampak lingkungan.
5.1.1.4 Standar Kebutuhan Ruang

Berdasarkan informasi sebelumnya, jejak ekologis lebih menekankan pada penilaian


menentukan luas lahan produktif biologis yang dapat mendukung kebutuhan fisiologis manusia.
Kebutuhan fisiologis manusia didasarkan pada teori hierarki Kebutuhan Maslow wajib dipenuhi
sehari-hari dan apabila tidak dipenuhi dengan baik akan mempengaruhi kelayakan hidup manusia.
Adapun kebutuhan yang dimaksud adalah pangan, pakaian, infrastruktur (tempat tinggal dan
ruang publik), serta energi (listrik dan bahan bakar). Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai
kajian literatur terkait kebutuhan infrastruktur yang dinilai lebih dinamis karena berkaitan dengan
pergerakan dan aktivitas manusia.
Perkembangan kawasan perkotaan yang pesat mendorong peningkatan kebutuhan ruang
untuk warga kota. Untuk mewadahi kebutuhan tersebut, setiap negara membuat standar
kebutuhan ruang bagi warganya, termasuk Indonesia. Standar kebutuhan ruang di Indonesia
dibuat oleh Kementerian Pekerjaan Umum pada tahun 1985. Saat ini, standar kebutuhan tempat
tinggal dan ruang publik masih mengikuti Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah
tahun 2002 Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 403/KPTS/M/2002 tentang
Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (Rs SEHAT) dan SNI 03-1733-2004 tentang
Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan. Dengan meningkatnya tuntutan
kebutuhan ruang di kawasan perkotaan, maka standar tersebut memerlukan pengkinian agar
dapat memenuhi kebutuhan warga perkotaan.
1. Standar Kebutuhan Tempat Tinggal
Salah satu standar yang digunakan untuk menentukan luas rumah sederhana sehat adalah
Pedoman Umum Rumah Sederhana Sehat nomor 403/KPTS/2002 Keputusan Menteri Kipraswil
2002. Pedoman ini memberikan referensi terkait menghitung standar minimal kebutuhan ruang
berdasarkan kebutuhan udara untuk rumah sederhana sehat. Dalam pedoman tersebut, dijelaskan
standar minimal luas ruang (m2) per jiwa di Indonesia, yaitu 7,2 m2/jiwa. Sedangkan standar
internasional adalah 12 m2/jiwa. Standar umum dari pedoman tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 5-2 Standar Luas Lantai Per Jiwa RSH
Standardisasi Standar/jiwa (m2) Unit rumah (m2) Luas Lahan (m2)
Minimal 7,2 28,8 60
Indonesia 9 36 60
Internasional 12 48 60
Sumber: Suryo, 2017

Studi lain terkait dengan luasan rumah sehat sederhana dilakukan oleh Pusat Litbang
Permukiman tahun 2011 berdasarkan antropometri orang Indonesia. Studi tersebut menghasilkan
nilai luasan kebutuhan ruang berdasarkan kenyamanan ruang gerak dengan variabel antara lain:

43
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

a) Antropometri manusia Indonesia (pria dan wanita)


b) Aktivitas pokok pengguna dalam melakukan pekerjaannya
c) Perabot yang digunakan
d) Alat bantu yang dipakai
e) Ruang gerak dan sirkulasi yang dibutuhkan

Dari studi tersebut, diperoleh luasan minimal rumah sederhana adalah 47,56 m2 atau 11,89
m2 per jiwa (asumsi 1 keluarga terdiri atas 4 orang). Selain Indonesia, beberapa negara juga memiliki
standar kebutuhan ruang untuk rumah tinggal sederhana, baik di Asia, Eropa, maupun Australia.
Setiap negara memiliki standar yang berbeda dan digunakan sebagai acuan dalam merancang
rumah. Berikut adalah standar luas lantai per jiwa untuk rumah sederhana dari beberapa negara:
Tabel 5-3 Standar Kebutuhan Luas Lantai Per Jiwa Rumah Sederhana Internasional

Lokasi Negara Standar per Orang (m2)


Taiwan 7-10
Asia HK 15
China 20
UK 37
Eropa
Jerman 55
Australia Australia 89
Sumber: Angkasa (2018) dalam Susanto et al (2022)

Apabila dilakukan perbandingan antara kebutuhan ruang berdasarkan SNI 03-1733-2004,


hasil riset Puslitbang Permukiman tahun 2011, dan standar luas minimum per orang internasional,
maka akan diperolah tabel sebagai berikut:
Tabel 5-4 Perbandingan Standar Kebutuhan Luas Lantai Per Jiwa Rumah Sederhana

Lokasi Negara Standar per Orang (m2)


Indonesia SNI 03-1733-2004 (kebutuhan udara) 9
Indonesia Puslitbang Permukiman 2011
11.89
(antropometri/kenyamanan ruang gerak)
Asia
Taiwan 7-10
HK 15
China 20
UK 37
Eropa
Jerman 55
Australia Australia 89
Sumber: Diolah dari berbagai sumber, 2023

Perbandingan dari tabel di atas dapat dilihat bahwa standar luas ruang per orang untuk
rumah sederhana di Indonesia cukup terbatas. Sedangkan negara yang memiliki standar luas ruang
untuk rumah sederhana yang paling besar adalah Jerman, yaitu 55 m2/jiwa.

2. Standar Kebutuhan Ruang Publik


Perhitungan kebutuhan ruang publik di Indonesia mengikuti acuan yang dibuat oleh
SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan. Standar
tersebut membagi jenis ruang-ruang publik, antara lain (1) sarana ruang terbuka, taman dan
lapangan olahraga, (2) sarana budaya dan rekreasi, (3) sarana perdagangan dan niaga, (4) sarana
peribadatan, (5) sarana kesehatan, dan (6) sarana Pendidikan dan pembelajaran. Setiap jenis ruang

44
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

publik memiliki ukuran luasan (m2/jiwa) yang berbeda-beda. Standar ukuran luasan ruang dapat
dilihat pada tabel di bawah.
Tabel 5-5 Perbandingan Ruang Publik Standar Nasional Indonesia dan Internasional

Jenis Ruang Publik Standar Nasional Indonesia (m2/jiwa)


Sarana ruang terbuka, taman, dan lapangan olahraga 0,2 – 1
Sarana budaya dan rekreasi 0,017 -0,12
Sarana perdagangan dan niaga 0,3 – 0,5
Sarana peribadatan 0,03 – 0,36
Sarana kesehatan 0,006 – 0,12
Sarana Pendidikan dan pembelajaran 0,28 – 2,6
Sumber: SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan

Selain Indonesia, negara-negara lain juga memiliki standar kebutuhan ruang publik.
Bahkan organisasi internasional seperti World Health Organization (WHO) dan UNESCO juga
mengeluarkan standar kebutuhan ruang sebagai rekomendasi dalam perencanaan dan menjaga
kualitas lingkungan. Jenis ruang publik yang memiliki standar internasional antara lain, sarana
ruang terbuka hijau, sarana budaya dan rekreasi, sarana perdagangan dan niaga, sarana kesehatan,
dan sarana Pendidikan. Ukuran standar pada setiap negara berbeda-beda karena menyesuaikan
dengan kondisi geografi, fisik, kebutuhan masyarakat, faktor sosial, ekonomi dan faktor-faktor
lainnya. Umumnya, negara-negara di Amerika, Eropa dan Australia memiliki standar kebutuhan
ruang yang lebih besar dibandingkan negara-negara Asia, khususnya Indonesia. Sebagai contoh
kebutuhan sarana perdagangan dan jasa di Amerika Serikat adalah 2.18 m 2/jiwa, sedangkan SNI
merekomendasikan sebesar 0.3 – 0,5 m2/jiwa. Pada standar sarana kesehatan, Inggris memiliki
standar sebesar 1.71 m2/jiwa, Jerman 0.82 m2/jiwa, dan Pakistan 0,7 m2/jiwa. Sedangkan SNI
merekomendasikan kebutuhan ruang sarana kesehatan sebesar 0,006 – 0,12 m2/jiwa. Dari
perbandingan tersebut, dapat dilihat bahwa kebutuhan ruang publik di Indonesia berdasarkan SNI
masih cukup kecil.
3. Sarana Ruang Terbuka, Taman, dan Lapangan Olahraga
Perencanaan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan memiliki peran peting untuk
memastikan bahwa setiap masyarakat memiliki akses dalam menggunakan ruang hijau perkotaan
dalam beraktivitas sebagai bagian untuk memenuhi kebutuhan sosial terutama di daerah
perkotaan dengan kepadatan tinggi. Penyediaan ruang hijau perkotaan sangat penting untuk
meningkatkan kualitas hidup karena ruang terbuka hijau memiliki berbagai manfaat seperti aspek
sosial, lingkungan, ekonomi dan estetika kehidupan perkotaan dan sekitarnya. Oleh karena itu,
penyediaan ruang hijau perkotaan diperlukan untuk menciptakan kota yang layak huni dan
mendorong pembangunan perkotaan menuju kerangka keberlanjutan.
Ruang hijau perkotaan memiliki banyak manfaat antara lain menjaga ekosistem lingkungan
sekitar yang memiliki kaitan dengan tanaman dan hewan, menyediakan udara yang lebih bersih,
memungkinkan air meresap ke dalam tanah, dan mengurangi dampak gelombang panas. Selain
itu, ruang terbuka hijau juga memberikan dampak positif terhadap aktivitas fisik, kesejahteraan
sosial dan psikologis, mengurangi polusi udara dan suara (kebisingan) (WHO, 2016). Pemerintah
kota memiliki kewajiban untuk menyediakan ruang hijau yang berkualitas bagi Masyarakat baik
dari ketersediaan, hingga pemeliharaan dan pengelolaan. Pemanfaatan ruang hijau di kawasan
perkotaan juga perlu dibarengi dengan faktor keamanan, kenyamanan, dan kemudahan

45
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

aksesibilitas. Setiap negara memiliki standar ruang terbuka hijau yang berbeda-beda. WHO
merekomendasikan standar sebesar 9 m2/jiwa di kawasan perkotaan (Maryanti et al., 2016;
https://urban.jrc.ec.europa.eu/thefutureofcities/space-and-the-city#the-chapter).

Di Indonesia, pemerintah membuat Standar Nasional Indonesia (SNI 03-1733-2004) yang


mengatur ukuran ruang terbuka, taman dan fasilitas olahraga di kawasan perkotaan. Berdasarkan
rekomendasi SNI 2004, standar ruang hijau adalah 0,2 – 1 m2/jiwa. Ukuran ruang terbuka hijau ini
cukup kecil apabila dibandingkan dengan standar dari WHO dan kebutuhan ruang hijau untuk
meminimalkan dampak polusi udara dan suara di kawasan perkotaan.
4. Sarana Budaya dan Rekreasi
Pertumbuhan kota yang pesat mendorong perencanaan beragam sarana, salah satunya
terkait dengan rekreasi. Sarana rekreasi dapat dibagi atas dua jenis, yaitu aktif dan pasif. Sarana
rekreasi aktif memiliki karakteristik dimanfaatkan oleh aktivitas fisik seperti permainan aktif anak,
pertunjukan seni dan budaya, pameran, dan lainnya. Sedangkan sarana rekreasi pasif aktivitas fisik
terbatas, seperti membaca, mengamati orang, melukis, membuat kerajinan, menonton film, dan
lainnya. Perencanaan sarana rekreasi menjadi prioritas dalam perencanaan kawasan karena
banyak memberikan hasil positif bagi masyarakat. Di Amerika Serikat, sarana rekreasi memiliki
standar ukuran antara 0.09 - 0.18 m2/jiwa sedangkan di Australia sebesar 28 m2/jiwa.
Standar sarana rekreasi di Indonesia berdasarkan SNI 03-1733-2004 sebesar 0.017 – 0,12
m2/jiwa. Jenis sarana kebudayaan dan rekreasi yang dijelaskan dalam standar SNI 2004 antara lain
balai pertemuan, balai serbaguna, gedung serbaguna, dan gedung bioskop. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa gedung dari sarana ini juga dapat digunakan sebagai bangunan sarana pemerintahan dan
pelayanan umum (SNI, 2004).
5. Sarana Perdagangan dan Niaga
Kebutuhan ruang untuk sarana perdagangan dan niaga di setiap negara memiliki
perbedaan ukuran. Salah satu negara yang memiliki ukuran sarana perdagangan dan niaga
(khususnya mall/ pusat perbelanjaan modern) adalah Amerika Serikat (1.97 m2/jiwa) dan Kanada
(1,41 m2/jiwa), sedangkan ukuran pusat perbelanjaan di Inggris hanya 0.42 m2/jiwa (Baker
Consulting, 2018). Adanya perbedaan ukuran sarana perdagangan dan niaga terkait dengan sistem
perencanaan di masing-masing negara. Di Amerika Serikat, sistem perencanaan bersifat terbuka
terhadap investasi dan pembangunan, sedangkan di Inggris sistem perencanaan berusaha untuk
melindungi pemilik pertokoan kecil dengan membatasi pembangunan pusat perbelanjaan di
daerah padat penduduk (ibid).
Di Indonesia, standar sarana perdagangan dan niaga diatur dalam SNI 03-1733-2004. Dalam
standar tersebut, dijelaskan rekomendasi luasan untuk toko/warung hingga pusat perbelanjaan
skala besar. Namun SNI 2004 tidak memberikan standar ukuran untuk pasar tradisional yang
merupakan tempat perbelanjaan sebagian besar masyarakat Indonesia. Dalam SNI
direkomendasikan ukuran sarana perdagangan dan niaga sebesar 0.3-0.5 m2/jiwa. Hampir seperti
Amerika Serikat perencanaan sarana perdagangan dan niaga di Indonesia terbuka terhadap
investasi dan pembangunan, dengan minim perlindungan pada pemilik pertokoan kecil.
6. Sarana Peribadatan
Sarana peribadatan merupakan sarana yang digunakan oleh masyarakat dalam
melaksanakan ritual beribadah. Sarana ibadah harus dihormati sebagai tempat yang damai agar
masyarakat yang menjalankan ibadah merasa aman dan nyaman. Agar perencanaan sarana

46
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

peribadatan sesuai maka dibuat standar ukuran sebagai referensi. Setiap sarana peribadatan
memiliki standar yang berbeda-beda, sehingga tidak dapat digeneralisasi ukuran untuk seluruh
fasilitas peribadatan.
Ukuran sarana peribadatan di Indonesia dijelaskan dalam SNI 03-1733-2004, akan tetapi
masih terbatas untuk mushola dan masjid. SNI 2004 belum memiliki standar ukuran untuk sarana
peribadatan lain seperti gereja, pura, vihara, dan lainnya. Mengacu pada SNI, standar sarana
peribadatan direncanakan sesuai jumlah penduduk; untuk mushola hingga masjid berkisar antara
0,03 – 0,36 m2/jiwa.
7. Sarana Kesehatan
Meningkatnya kebutuhan sarana kesehatan di setiap negara mendorong berbagai
pendekatan, salah satunya pendekatan berbasis standar dalam menyediakan sarana yang
diperlukan. Standar ukuran fasilitas kesehatan berhubungan langsung dengan jumlah penduduk
dan koefisien yang akan ditentukan untuk fasilitas tersebut (Polat, 2019). Semakin tinggi Jumlah
penduduk maka Jumlah fasilitas kesehatan akan semakin beragam jenisnya dan meningkat
jumlahnya. Umumnya negara-negara di Eropa memiliki standar ukuran sarana kesehatan yang
cukup tinggi, sebagai contoh Inggris memiliki standar 1,71 m2/jiwa sedangkan Jerman 0,82
m2/jiwa.
Di Indonesia, standar untuk sarana kesehatan sudah dibuat oleh pemerintah dalam SNI 03-
1733-2004. Dalam SNI tersebut, dijelaskan jenis-jenis sarana kesehatan yang disediakan
berdasarkan jumlah populasi, yaitu posyandu, balai pengobatan warga, puskesmas, rumah sakit,
tempat praktek dokter, dan apotek. Pada kawasan perkotaan, Lokasi fasilitas kesehatan tersebar,
ada yang berada di kawasan permukiman (posyandu dan balai pengobatan) dan ada juga yang
berada pada area khusus seperti puskesmas dan rumah sakit. Lebih lanjut, SNI 03-1733-2004
merekomendasikan standar ukuran sarana kesehatan per jiwa antara 0,006 – 0,12 m2/jiwa. Sarana
kesehatan dibahas hanya sampai pada puskesmas, sedangkan standar ukuran untuk rumah sakit
tidak ada.
8. Sarana Pendidikan dan Pembelajaran
Pada tahun 1982, Department of Basic Education (DBE) Myanmar membuat inventarisasi
terkait ukuran luas sarana Pendidikan, mulai dari sarana Pendidikan dasar hingga sarana
Pendidikan menengah atas. Usulan dari DBE tersebut merupakan ukuran luas minimal sebagai
berikut 3 hektar untuk sekolah dasar, 6 hektar untuk sekolah menengah, dan 7,5 hektar untuk
sekolah atas (mencakup sekolah dasar), atau 6,5 hektar (tanpa sekolah dasar). DBE juga membuat
usulan standar ukuran ruang per murid pada sarana sekolah atas (setingkat SMA) sebesar 27.11
m2/jiwa. Pada tahun 1992, Kementerian Pendidikan Myanmar bekerjasama dengan UNDP dan
UNESCO mengevaluasi standar ukuran ruang per murid untuk sarana sekolah atas yaitu sebesar
27,25 m2/jiwa. (Nge, et al., 1992). Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam perencanaan sarana
Pendidikan perlu untuk mengadaptasi nilai-nilai lokal berdasarkan lokasi sarana pendidikan baik
yang berada di kawasan perkotaan maupun pedesaan, serta tingkat pendidikan (sekolah dasar,
menengah, dan atas).
Perencanaan sarana Pendidikan di Indonesia mengikuti referensi SNI 03-1733-2004 yang
merekomendasikan ukuran luas sebesar 0.28 – 2,6 m2/jiwa. Dalam SNI tersebut dijelaskan bahwa
perencanaan sarana Pendidikan di Indonesia bertujuan untuk melayani setiap unit administrasi
pemerintahan baik formal (kelurahan hingga kecamatan) maupun informal (RT hingga RW), bukan

47
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

hanya berdasarkan pada Jumlah penduduk yang akan dilayani. “Dasar penyediaan sarana
pendidikan ini juga mempertimbangkan pendekatan desain keruangan unit-unit atau kelompok
lingkungan yang ada. Sedangkan penempatan penyediaan fasilitas ini akan mempertimbangkan
jangkauan radius area layanan terkait dengan kebutuhan dasar sarana yang harus dipenuhi untuk
melayani pada area tertentu” (ibid). Dari penjelasan di atas, perencanaan sarana Pendidikan dalam
SNI maupun oleh Ministry of Education/UNDP/UNESCO mempertimbangkan aspek keruangan selain
populasi. Akan tetapi, standar ukuran luas sarana Pendidikan di Indonesia masih cukup terbatas.
Tabel 5-6 Perbandingan Ruang Publik Standar Nasional Indonesia dan Internasional

Standar Nasional
Jenis Ruang Publik Standar Internasional (m2/jiwa)
Indonesia (m2/jiwa)
Sarana ruang terbuka, taman,
0,2 – 1 9 (WHO)
dan lapangan olahraga
0.09 – 0.18 (USA)
(northernarchitecture.us/space-
Sarana budaya dan rekreasi 0,017 -0,12 requirements/)
28 (Australia)
(Khan, 2014)
2.18 (USA)
Sarana perdagangan dan 1.56 (Canada)
0,3 – 0,5
niaga 1.04 (Australia)
(statista.com, 2022)
Sarana peribadatan 0,03 – 0,36 0,72 (International)
0.82 (Jerman)
1.71 (Inggris)
0.4 (Iran)
Sarana kesehatan 0,006 – 0,12 0.55 (Israel)
0.7 (Pakistan)
0.1 (Portugal)
(Polat, 2017 dalam Polat, 2019)
27,25 (Ministry of
Education/UNDP/UNESCO, 1992 – SMA)
Sarana Pendidikan dan
0,28 – 2,6 9.85 – 12 (USA – SMA)
pembelajaran
(Oklahoma State Department of
Education, 1998)
Sumber: Diolah dari berbagai sumber, 2023

5.1.1.5 Perkembangan Keselamatan sebagai Ukuran Kesehatan dan Keamanan dari Bahaya

Berbagai macam bencana yang terjadi di Indonesia telah memberikan pelajaran bagi
masyarakat Indonesia. Akibat dari kurangnya pengetahuan masyarakat dalam pencegahan
bencana maka menimbulkan banyak korban jiwa dan kerugian harta benda. Dalam parameter
keselamatan berkaitan erat dengan kenyamanan hidup. Kenyamanan hidup dapat dikatakan bila
terpenuhinya kebutuhan fisiologis yang meliputi air dan tempat tinggal yang mempengaruhi
kenyamanan dan kelayakan hidup manusia, dengan terpenuhinya kebutuhan secara langsung
maupun tidak. Parameter keselamatan mencerminkan kemampuannya menghindar dari bahaya,
tekanan dan perubahan yang terjadi di sekitar. Daya dukung alam dan juga daya dukung
masyarakat yang diandalkan dalam situasi rawan, akan menentukan kapasitas individu dan
keluarga untuk menghadapi kekeringan, banjir, kelangkaan air, wabah dan kondisi bahaya lain yang
dapat menimpa.

48
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

Keselamatan dapat diartikan sebagai sehat dan aman. Sehat apabila berkaitan dengan
keselamatan hidup dan aman berbicara tentang keselamatan dari bahaya bencana. Dalam
penyusunan D3TLH parameter keselamatan melingkupi keselamatan hidup dan keselamatan dari
bahaya. Berikut merupakan penjelasan dari masing-masing indikator untuk keselamatan.
1. Keselamatan Hidup
Keselamatan diri merupakan pengetahuan sebagai kapasitas seseorang dalam menjaga,
melindungi diri dan sosialnya terhadap ancaman/bahaya dan cara-cara untuk menghindari diri dari
segala sesuatu yang mengancam dan membahayakan keselamatan. Keselamatan diri secara fisik
merupakan jaminan terhadap kondisi kesehatan diri sendiri maupun masyarakat yang dapat
mencerminkan tingkat kesejahteraan pada masyarakat. Keselamatan diri dapat diartikan
sebagai keselamatan hidup yang merupakan upaya pemenuhan ketangguhan manusia dalam
mencapai kesehatan jasmani, rohani, dan sosialnya melalui hunian yang layak. Dalam D3TLH
keselamatan diri berhubungan dengan kemampuan masyarakat untuk hidup dalam lingkungan
yang bersih dan aman (Ability to live in an environmental clean and safe shelter). Salah satunya
adalah dengan miliki rumah layak huni.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 rumah adalah bangunan gedung yang
berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan
harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya. Pengertian rumah bukan hanya
bangunan (struktural) saja tetapi juga sebagai tempat tinggal yang memenuhi syarat-syarat
kehidupan yang layak, dilihat dari berbagai kehidupan masyarakat (Frick dan Muliani). Berdasarkan
definisi tersebut rumah tinggal diartikan sebagai tempat tinggal yang memiliki multifungsi sebagai
tempat hidup manusia dari berbagai macam ancaman baik dari alam maupun kejahatan sosial.
Menurut Peraturan Menteri PUPR Nomor 29/PRT/M Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal,
Rumah layak huni adalah rumah yang memenuhi persyaratan keselamatan bangunan dan
kecukupan minimum luas bangunan serta kesehatan penghuninya. Rumah juga memiliki syarat
minimal bagi kebutuhan manusia untuk hidup secara manusiawi agar terhindar dari berbagai
ancaman. Setelah tahun 2019, untuk rumah layak dimaknai dari beberapa segi, bukan hanya dari
segi fisik bangunan tetapi di antaranya dari segi sosial, masyarakat, kesehatan dan energi. Menurut
Badan Pusat Statistika, Hunian layak adalah hunian yang memiliki kriteria antara lain yaitu akses
terhadap air minum layak, akses sanitasi layak, kecukupan luas tempat tinggal minimal 7,2
m2 per kapita, dan memiliki ketahanan bangunan dalam meminimalisir risiko bencana alam yang
terjadi. Secara sederhana rumah yang layak memiliki fasilitas untuk memenuhi kebutuhan dasar
mulai dari air bersih, penerangan, sanitasi saluran pembuangan limbah, serta aman baik aktivitas
penghuninya untuk meraih produktivitas.
2. Keselamatan dari bahaya
Keselamatan dari bahaya merupakan suatu tantangan bagi pemerintah dan juga bagi
masyarakat dalam mengatasi berbagai macam ancaman. Ancaman adalah suatu usaha, kegiatan
atau peristiwa baik dari makhluk hidup maupun alam yang dapat dinilai bisa membahayakan diri
maupun suatu negara. Pada pembahasan ini ancaman yang dimaksud merupakan ancaman dari
bencana alam yang terjadi di Indonesia. Risiko bencana menurut data yang didapatkan dalam Data
Informasi Bencana Indonesia (DIBI)-BNPB, terlihat bahwa bencana dibedakan menjadi dua yakni
bencana hidrometeorologi dan bencana geologi. Bencana hidrometeorologi merupakan bencana
yang terjadi akibat bencana banjir, kebakaran hutan dan lahan, gelombang ekstrim, kekeringan,

49
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

dan cuaca ekstrim. Sedangkan bencana geologi terjadi akibat gempa bumi, tanah longsor, tsunami,
dan letusan gunung api. Menurut data bahwa lebih dari 25,487 kejadian bencana pada periode 2015
hingga tahun 2021 lebih dari 74,10% (78,890) kejadian bencana merupakan bencana
hidrometeorologi, sedangkan 25,90% (6,604) merupakan bencana geologi seperti pada gambar
berikut.

Gambar 5-2 Grafik Jumlah Kejadian Bencana 2015 – 2021


Sumber: BNPB, 2021

Dalam upaya untuk pengendalian risiko bencana oleh masyarakat, kita harus memahami
terlebih dahulu mengenai risiko atau risiko bencana itu seperti apa. Ada sejumlah konsep yang
harus dipahami dalam kaitannya dengan pengendalian risiko bencana, di antaranya adalah
bahaya, kerentanan dan kapasitas. Definisi risiko bencana menurut UNDRR (United Nations Disaster
Risk Reduction) yaitu potensi hilangnya nyawa, cedera, atau aset yang hancur/rusak pada sistem,
masyarakat, atau komunitas dalam periode waktu tertentu yang ditentukan secara probabilitas
sebagai fungsi dari bahaya, keterpaparan, kerentanan, dan kapasitas. Kajian risiko bencana adalah
perangkat untuk menilai kemungkinan dan besaran kerugian akibat ancaman bencana guna
menunjang penyusunan perencanaan dan keterpaduan penyelenggaraan penanggulangan
bencana pada suatu wilayah (Peraturan kepala BNPB No.2 Tahun 2012).

Menurut Nirupama (2013), kajian risiko bencana merupakan pendekatan secara


komprehensif terkait ketahanan suatu wilayah terhadap bencana yang meliputi identifikasi dan
analisis terhadap ancaman yang mengarah pada bahaya, memahami kerentanan manusia, dan
mengkaji kapasitas terhadap komunitas guna pengembangan strategi pengurangan risiko bencana
pada masa mendatang serta peningkatan kapasitas dalam penanganan bencana. Berikut
merupakan rumus yang menjadi konsep pendekatan dalam proses pengkajian risiko bencana
sesuai Peraturan Badan Nasional Penanggulangan Bencana No. 2 Tahun 2012:
𝐻𝑥𝑉
𝑅=
𝐶
Keterangan :
R = Risk (Risiko)
H = Hazard (Bahaya)
V = Vulnerability (Kerentanan)
C = Capacity (Kapasitas)

50
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

Potensi kerusakan serta kerugian yang ditimbulkan akibat bencana ditinjau berdasarkan
kombinasi antara komponen tingkat bahaya dan kerentanan terhadap bencana, sementara
komponen tingkat kapasitas berperan dalam mengantisipasi kerusakan dan kerugian yang
ditimbulkan akibat bencana (Januandari et al, 2017). Demikian komponen-komponen yang
digunakan dalam proses pengkajian risiko bencana meliputi bahaya, kerentanan dan kapasitas.
Berdasarkan isi penjelasan dalam Petunjuk Teknis Penyusunan Rencana Daerah Tingkat
Kabupaten/Kota oleh BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), proses dalam pengkajian
risiko bencana dilakukan melalui identifikasi, analisis, serta evaluasi terhadap komponen tingkat
bahaya, kerentanan, dan kapasitas terhadap bencana.

Gambar 5-3 Metode Pengkajian Risiko Bencana


Sumber: BNPB, 2012

A. Hazard (Bahaya)
Menurut Supriyadi et al (2017), hazard (bahaya) adalah suatu kondisi atau tindakan atau
potensi yang dapat menimbulkan potensi yang dapat menimbulkan kerugian terhadap manusia,
harta benda, atau lingkungan. Bahaya adalah sebuah situasi yang membahayakan dan memiliki
potensi untuk menyebabkan kecelakaan atau penyakit pada manusia serta merusak lingkungan
(Halim dkk, 2016). Perlindungan terhadap bencana dapat diperoleh dengan upaya meminimalisir
potensi bahaya yang ditimbulkan dari bencana tersebut. Perlindungan terhadap bencana data
diperoleh dengan upaya meminimalisir potensi bahaya yang ditimbulkan dari bencana tersebut
(Coburn et al, 1994). Berikut adalah komponen terkait bahaya terhadap bencana berdasarkan
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No.2 Tahun 2012, yaitu:
1. Probabilitas, kemungkinan terjadinya ancaman bencana
2. Intensitas, besaran dampak saat terjadinya bencana

B. Vulnerability (Kerentanan)
Definisi kerentanan dari BNPB merupakan suatu kondisi pada komunitas atau masyarakat
yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi. Definisi lain adalah
karakteristik manusia atau komunitas dan situasinya dapat mempengaruhi kapasitas dalam

51
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

mengantisipasi, mengatasi, bertahan dan pulih dari pengaruh bahaya alami (kejadian maupun
prosesnya) (Wisner, dkk, 2004). Kerentanan dapat pula diartikan suatu ukuran kecenderungan dari
objek, tempat, individu, grup, komunitas, negara atau entitas lainnya untuk terkena konsekuensi
bahaya (Coppola, 2007). Berikut adalah komponen terkait kerentanan terhadap bencana
berdasarkan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No. 2 Tahun 2012, yaitu:
1. Kerentanan fisik, meliputi prasarana dasar dan bangunan.
2. Kerentanan ekonomi, meliputi luas lahan produktif dan PDRB per sektor.
3. Kerentanan sosial, meliputi kepadatan penduduk dan kelompok rentan.
4. Kerentanan lingkungan, meliputi kawasan hijau berupa hutan lindung, hutan alam, bakau,
rawa dan semak.

C. Capacity (Kapasitas)
Kapasitas merupakan kombinasi dari kekuatan, kemampuan, serta sumberdaya yang
tersedia pada suatu komunitas, organisasi, maupun individu guna mengurangi tingkat risiko atau
pengaruh dari Bahaya (USAID, 2010). Menurut Benson dkk (2007), kapasitas adalah kemampuan
dalam mengantisipasi, mencegah, dan memulihkan diri dari dampak bahaya. Berikut adalah
komponen terkait kapasitas terhadap bencana berdasarkan Peraturan Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Bencana No. 2 Tahun 2012, yaitu:
1. Kelembagaan/kebijakan, meliputi peraturan daerah terkait penanggulangan bencana,
kelembagaan penanggulangan bencana, penanggulangan bencana dalam pembangunan
daerah, PAD (Pendapatan Asli Daerah), dan anggaran dalam penanggulangan bencana.
2. Peringatan dini, meliputi peta rawan bencana dan early warning system.
3. Peningkatan kapasitas, meliputi peta sosialisasi pengurangan risiko bencana, kurikulum
terkait Pendidikan bencana, dan desa tangguh.
4. Mitigasi, meliputi RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) berbasis mitigasi bencana dan
mitigasi bencana struktural.
Pada penyusunan dokumen D3TLH ini pada indikator keselamatan salah satu variabelnya
adalah Risiko Bencana. Risiko Bencana ini digunakan untuk penyusunan D3TLH dengan
menggunakan nilai dari Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI). Data Indeks Risiko Bencana
Indonesia sudah dapat mewakili dari aspek kebencanaan untuk penyusunan dokumen D3TLH. Nilai
pada indeks risiko bencana ini dihasilkan dari perhitungan antara bahaya, kerentanan dan
kapasitas. Dengan mengetahui risiko bencana, kita dapat melihat dan mempertimbangkan
perencanaan pembangunan pada suatu daerah. Oleh karena itu, Risiko bencana merupakan salah
satu hal yang penting dalam keberlanjutan lingkungan.

5.1.1.6 Perkembangan Mutu Hidup sebagai Ukuran Kualitas Penduduk dan Pemajuan
Kebudayaan

Mutu hidup sebagai salah satu basis tujuan yang diperhatikan dalam penyusunan Rencana
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terkait daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup. Konteks pernyataan tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Bab IV Pemanfaatan Pasal 12 (2)
c. Jika mencermati Bab I Ketentuan Umum dan Penjelasan Pasal Demi Pasal, maka tidak terdapat

52
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

definisi dan ruang lingkup Mutu Hidup. Oleh karena itu, diperlukan suatu kajian dan naskah untuk
menjabarkannya.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 secara garis besar sangat
jelas faktor dari mutu hidup adalah Percaya atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa (Beragama-
mental); Menjunjung nilai-nilai luhur (Nilai budaya luhur), dan Berkehidupan kebangsaan yang
bebas (kreatif-produktif-bermanfaat).
Faktor pertama adalah beragama dan penghayat kepercayaan yang tertuang dalam Pasal
29 Ayat 1 dan 2, pada ayat 1 tertulis ‘Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa’ dan pada
ayat 2 tertulis ’Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu’. Agama yang
sudah diakui dan hidup berdampingan dalam lingkungan Masyarakat dengan menghargai nilai
yang dianut satu sama lain berjumlah enam (6) agama. Agama tersebut antara lain Islam, Kristen
Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Selain agama, penghayat kepercayaan
seperti kepercayaan lokal, kepercayaan yang seperti didasarkan pada ajaran islam, budha, tao dan
konghucu, serta penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME. Nilai-nilai penghayat kepercayaan
terhadap Tuhan YME juga tertuang dalam PP Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan pada Pasal 1.
Faktor kedua adalah nilai budaya luhur yang tertuang dalam Pasal 32 yang tertulis
‘Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia’. Hal tersebut memiliki makna yang
berisikan tentang terjaminnya kebebasan Masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan
nilai-nilai budayanya. Mengingat Pasal 32 tersebut, menjadi dasar lahirnya Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang
Pemajuan Kebudayaan. Sejak masa Pemerintahan Hindia Belanda sudah melakukan sensus
penduduk tahun 1930 terkait kemajemukan suku bangsa di Nusantara, pihak pemerintah Belanda
menggunakan antara lain tolok ukur bahasa yang dipergunakan penduduk sehari-hari, adat
istiadat, di samping batas wilayah persebaran serta golongan ras.
Mendalami kemajemukan budaya Indonesia, Hildred Geertz (1963) mengklasifikasikan
kebudayaan suku bangsa ke dalam tiga kategori, yaitu kebudayaan masyarakat petani beririgasi,
kebudayaan pantai yang diwarnai kebudayaan Islam, dan kebudayaan masyarakat peladang serta
pemburu yang masih sering berpindah tempat. Landasan penyebaran kebudayaan di Indonesia,
menurut Josselin de Jong (1935) tersebut salah satunya adalah seluruh susunan kemasyarakatan
itu erat dihubungkan dengan sistem kepercayaan masyarakat yang bersangkutan, terutama yang
berkaitan dengan kompleks totemisme yang didominasi dengan upacara-upacara keagamaan
dalam bentuk rangkaian upacara inisiasi dan diperkuat dengan dongeng-dongeng suci baik yang
berupa kesusastraan ataupun tradisi lisan. Hingga saat ini, dalam SDG wedding cake model, sudah
tertuang aspek budaya. Pada indikator turunan melalui 24 issues relevant to all nations and business
terdapat aspek budaya yang telah tercakup pada Goal 4 dengan Quality Education, Goal 11 dengan
Sustainable Cities and Communities, dan Goal 23 dengan Bussiness Integrity.
Keragaman dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia dilengkapi
legalitas/regulasi, ideologi agama, organisasi sosial budaya, organisasi ekonomi dan organisasi
lainnya mengantar ke multikulturalisme modern yang selanjutnya menjadi pegangan perilaku
inter–antar kelompok budaya (peran energetik), dalam konteks tugas dan fungsi Kementerian

53
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yaitu ekspresi/perilaku manusia (budaya) yang
berwawasan lingkungan yang berkelanjutan.
1. Pemajuan Kebudayaan
Pemajuan kebudayaan diartikan sebagai peningkatan kualitas kehidupan. dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan kebudayaan pasal 1 ayat 3 pemajuan kebudayaan
adalah upaya untuk meningkatkan ketahanan budaya Indonesia di tengah peradaban dunia
melalui perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan. Kementerian
Kebudayaan telah membuat Indeks Pembangunan Kebudayaan, berdasarkan dimensi SDG’s, dan
merujuk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, dilakukan
pemetaan indikator kandidat penyusun Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK), sehingga
diperoleh 40 indikator awal penyusun IPK, yang dikelompokkan dalam 8 dimensi, yaitu: Ekonomi
Budaya, Pendidikan, Ketahanan Sosial Budaya, Warisan Budaya, Ekspresi Budaya, Budaya
Literasi, Gender, dan Tata Kelola Budaya.
Melalui analisis faktor dapat diketahui matriks hubungan antar sejumlah indikator. Selanjutnya
matriks hubungan tersebut diuji dengan Measure Sampling Adequancy (MSA). Pengujian ini
dilakukan untuk menyeleksi indikator mana yang akan masuk dalam penghitungan IPK. Suatu
indikator akan masuk sebagai indikator penyusun indeks apabila memiliki hubungan yang kuat
dengan indikator lainnya. Hal ini ditunjukkan oleh nilai MSA 0,5 ke atas (MSA ≥ 0,5). Sebaliknya,
indikator yang memiliki hubungan lemah (nilai MSA <0,5) akan dikeluarkan dari penghitungan IPK.
Analisis faktor ini dilakukan terhadap masing-masing dimensi secara terpisah.
Dalam penyusunan D3TLH telah dilakukan diskusi bersama beberapa ahli terkait pemilihan
dimensi-dimensi yang akan digunakan dengan nilai bobot sebesar >50 persen dari terkait 3
dimensi yang akan digunakan sebagai pembentuk pemajuan kebudayaan, yakni dimensi
ketahanan sosial budaya, warisan budaya, dan budaya literasi yang kemudian dapat disebut
dengan Karakter Ruang Budaya. Dimana terdapat 17 indikator penyusun ketiga dimensi tersebut.
Pendekatan ini sebagai proxy dalam menganalogikan mutu hidup dan menuju sejahtera rakyat saat
bangsa tersebut dapat menjaga nilai warisan budaya /cagar budaya (benda cagar budaya,
bangunan bangunan cagar budaya, situs cagar budaya, kawasan cahar budaya, struktur cagar
budaya) dan bahasa, seni daerah. Keempat dimensi lain dalam IPK yang tidak dimasukkan
dalam pemajuan kebudayaan, karena memiliki kesamaan dengan data lainnya yang akan
digunakan oleh variabel lainnya di Indeks Pembangunan Manusia.
Karakter Ruang Budaya menjadi indikator penyusun dalam variabel pemajuan budaya.
Warisan budaya merupakan hasil dari budaya fisik dari tradisi-tradisi yang berbeda dan prestasi-
prestasi spiritual dalam bentuk nilai dari masa lalu yang menjadi elemen pokok dalam membentuk
jati diri suatu kelompok atau bangsa. Sehingga, warisan budaya dapat diartikan sebagai hasil
budaya fisik (tangible) dan nilai budaya (intagible) dari masa lalu (Davidson, 1991). Apabila ditelaah
warisan budaya menjadi indikasi pembelajaran dari keberagamaan budaya lokal dan luar. Warisan
budaya sendiri telah mengandung mutu hidup yang sudah ada dan menjadi inovasi masa kini.
Warisan budaya didukung oleh proses pembelajaran untuk memberikan sumbangan dalam
meningkatkan budaya nasional di samping mempertebal jati diri dan kepribadian bangsa.
Peninggalan warisan budaya dapat meningkatkan harkat, martabat, dan derajat manusia. Norma-
norma, tata cara, adat istiadat, ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi landasan hidup nenek
moyak masa lalu merupakan tolak ukur dalam mengetahui kemajuan budaya dan peradaban

54
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

bangsa (Kusumawati, 2010). Hilangnya warisan budaya disebabkan oleh rendahnya kinerja
menghargai, melupakan budaya, dan penentuan identitas itu sendiri.
Ketahanan sosial budaya dapat diterminologikan sebagai ketahanan budaya.
KEMENDIKBUD telah mendefinisikan ketahanan sosial budaya adalah kemampuan satu
kebudayaan dalam mempertahankan dan mengembangkan identitas, pengetahuan, serta praktik
budaya yang relevan, dan didukung oleh kondisi sosial masyarakat. Sedangkan budaya literasi
berarti Aktivitas serta sarana/prasarana pendukung dalam memperoleh, menguji kesahihan, dan
menghasilkan informasi dan pengetahuan untuk pemberdayaan kecakapan masyarakat. Budaya
literasi sebagai pokok dari pembelajaran. Dimana budaya literasi di masyarakat akan menentukan
tingkat kualitas penghidupan. Menjaga literasi berarti menjaga pengetahuan lokal tetap terjaga.
2. Kualitas Penduduk
Menurut Undang-undang Nomor 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan
dan Pembangunan Keluarga Pasal 1 Ayat (5), kualitas penduduk adalah kondisi penduduk dalam
aspek fisik dan non fisik yang meliputi derajat kesehatan, pendidikan, pekerjaan, produktivitas,
tingkat sosial, ketahanan, kemandirian, kecerdasan, sebagai ukuran dasar untuk mengembangkan
kemampuan dan menikmati kehidupan sebagai manusia yang bertakwa, berbudaya,
berkepribadian, berkebangsaan dan hidup layak. United Nations Development Programme (UNDP)
pada tahun 1990 dan dipublikasikan secara berkala dalam laporan tahunan Human Development
Report (HDR) memperkenalkan suatu perhitungan yang dapat menjelaskan bagaimana penduduk
dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan,
dan sebagainya yang kemudian akan disebut Indeks Pembangunan Manusia.

Gambar 5-4 Aspek Pembangunan Manusia


Sumber: UNDP, 2015
Empat indikator pembentuk IPM terdiri dari angka harapan hidup saat lahir, angka melek
huruf, rata-rata sekolah, dan pengeluaran perkapita. Keempat indikator tersebut dijabarkan
sebagai berikut:
1. Angka harapan hidup saat lahir adalah suatu perkiraan rata-rata lamanya hidup sejak lahir
yang akan dicapai oleh penduduk.

55
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

2. Angka melek huruf adalah Proporsi penduduk berusia 15 tahun ke atas yang memiliki
kemampuan membaca dan menulis kalimat sederhana dalam huruf latin, huruf arab dan
huruf lainnya terhadap penduduk usia 15 tahun ke atas.
3. Rata-rata lama sekolah adalah jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk berumur 25
tahun ke atas dalam menjalani pendidikan formal. RLS digunakan untuk mengetahui kualitas
pendidikan masyarakat dalam suatu wilayah.
4. Pengeluaran perkapita adalah biaya yang dikeluarkan untuk konsumsi semua anggota
rumah tangga selama sebulan baik yang berasal dari pembelian, pemberian maupun
produksi sendiri dibagi dengan banyaknya anggota rumah tangga dalam rumah tangga
tersebut. Indikator ini menggambarkan kemampuan daya beli masyarakat selama periode
tertentu.

5.1.1.7 Perkembangan Kesejahteraan sebagai Indikator Kinerja Ekonomi Suatu Wilayah


Kesejahteraan merupakan suatu aspek penting dalam menjaga dan membina terjadinya
stabilitas sosial dan ekonomi untuk meminimalkan terjadinya kecemburuan sosial dalam
masyarakat (Arifin & Soesatyo, 2020). Dalam Undang-Undang 1945 BAB XIV tentang Kesejahteraan
Sosial Pasal 33 (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Di dalam
Undang-Undang 1945 secara garis besar sangat jelas faktor kesejahteraan masyarakat, yaitu: 1)
Merdeka, damai, adil (modal dasar); 2) Melindungi segenap bangsa Indonesia (manusia/budaya); 3)
Melindungi tumpah darah Indonesia (Tanah air); 4) Mencerdaskan kehidupan bangsa (Literasi-
pendidikan); dan 5) Melaksanakan ketertiban dunia (Tata Kelola/Governance).
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, kesejahteraan
sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan, material, spiritual dan sosial warga negara agar
dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi
sosialnya. Pada Pasal 14 ayat (1) dijelaskan bahwa perlindungan sosial dimaksudkan untuk
mencegah dan menangani risiko dari guncangan dan kerentanan sosial yang artinya perlindungan
terhadap keadaan tidak stabil yang terjadi secara tiba-tiba karena adanya situasi krisis, sosial,
ekonomi, politik, dan fenomena bencana.
Acuan yang dijadikan pokok keberhasilan pembangunan dalam daerah adalah semua yang
berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat (Hasan & Muhammad, 2018). Konsep
kesejahteraan berkaitan erat dengan kebijakan sosial-ekonomi sebagai upaya dalam mewujudkan
kesejahteraan masyarakat.
Dalam pembangunan yang berkelanjutan, indikator-indikator kesejahteraan berpengaruh
terhadap konsep D3TLH pada wilayah. Kesejahteraan masyarakat dalam beberapa literature review
ditentukan oleh tata kelola lingkungan hidup. Mutaali (2011) menyatakan apabila ecological power
melemah, maka kesejahteraan yang tercapai tidak berarti. United Nations (2012) menyebutkan
bahwa inti dari tujuan dari SDGs adalah untuk mencapai kesejahteraan, dimana dapat diartikan
menempatkan kesejahteraan di atas tujuan utama dalam pembangunan. Hasan & Muhammad
(2018) mengatakan bahwa tingkat kesejahteraan yang dapat dinikmati saat ini harus bisa dinikmati
oleh generasi selanjutnya sehingga menimbulkan keberlanjutan (sustainability) dari adanya
kelestarian human development opportunities. Kelestarian dari kapital yang dimaksud di antaranya

56
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

finansial, lingkungan hidup, kapital fisik, dan sumber daya manusia, dengan kemampuan
meregenerasi dan memperbaharui kapital tersebut.
1. Pertumbuhan ekonomi
Pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu indikator dalam melihat kinerja perekonomian
ditingkat nasional dan regional. Menurut Adam Smith dalam bukunya yang berjudul An Inquiry into
The Nature and Causes of The Wealth of Nation, pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses
yang bersifat kumulatif (Hasan & Muhammad, 2018). Suatu perekonomian dapat dikatakan
mengalami pertumbuhan ekonomi apabila jumlah produksi barang dan jasa meningkat (Rahardja
& Manurung, 2019). Produktivitas tinggi mencerminkan tingginya daya saing yang berpotensi
meningkatkan pertumbuhan ekonomi sehingga berdampak pada kesejahteraan masyarakat
(Appiah & McMahon, 2002).
Pertumbuhan ekonomi tercermin dalam nilai Produk Domestik Bruto (PDB). Untuk
mengukur pertumbuhan ekonomi, nilai PDB yang digunakan adalah PDB berdasarkan harga
konstan (PDB riil). Perubahan nilai PDB menunjukkan perubahan jumlah kuantitas barang dan jasa
yang dihasilkan selama periode pengamatan (Rahardja & Manurung, 2019). Perhitungan tingkat
pertumbuhan ekonomi dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Interval selang waktu pertumbuhan hanya satu periode

𝑃𝐷𝑅𝐵𝑡 − 𝑃𝐷𝑅𝐵𝑡−1
𝐺𝑡 = 𝑥 100%
𝑃𝐷𝑅𝐵𝑡−1

Keterangan:
G­t = Pertumbuhan ekonomi periode t (triwulanan atau tahunan)
PDRB­t = Produk Domestik Bruto Riil perode t (berdasarkan harga konstan)
PDRB­t-1 = PDRB satu periode sebelumnya
2. Interval waktu pertumbuhan ekonomi lebih dari satu periode

𝑃𝐷𝑅𝐵𝑡 = 𝑃𝐷𝑅𝐵0 (1 + 𝑟)𝑡

Keterangan:

PDRB­t = Produk Domestik Bruto Riil perode t (berdasarkan harga konstan)


PDRB­0 = PDRB periode awal
R = Tingkat pertumbuhan
t = Jarak periode

Tujuan utama perhitungan pertumbuhan ekonomi adalah untuk melihat apakah kondisi
perekonomian makin membaik. Suatu pertumbuhan ekonomi dapat dikatakan baik atau buruk bila
dilihat dari struktur produksi (sektoral) atau daerah asal produksi (regional). Dengan melihat
struktur produksi dapat diketahui apakah ada sektor yang terlalu tinggi atau lambat dalam
pertumbuhannya (Rahardja & Manurung, 2019). Proses pertumbuhan ekonomi jangka panjang
diarahkan pada proses pertumbuhan sektoral mencakup sektor produksi primer dan sekunder
(Kaldor dalam Djoyohadikusumo, 1994). PDRB berdasarkan sektoral atau lapangan usaha
memberikan bobot 70-80% pada nilai pertumbuhan ekonomi yang terdiri dari beberapa sektor

57
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

unggulan, yakni sektor pertanian, pertambangan, industri pengolahan, perdagangan besar dan
eceran, transportasi dan pergudangan, serta penyediaan akomodasi dan makan minum.
Berdasarkan pengalaman empiris pertumbuhan ekonomi dikatakan baik apabila
pertumbuhan ekonomi sebesar 5-7% dalam arti memperluas lapangan kerja, tidak mengakselerasi
inflasi, dan tingkat pengangguran normal (Rahardja & Manurung, 2019). Hal ini menunjukkan
kuantitas agregat dalam pertumbuhan ekonomi terus bertambah. Indonesia pernah mengalami
pertumbuhan ekonomi negatif selama 3 waktu kejadian. Ekonomi terkontraksi pertama kali pada
tahun 1963 sebesar -2,24% dan tumbuh kembali pada tahun 1966 sebesar 2,79%. Kontraksi
ekonomi kedua terjadi pada tahun 1998 yang mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi hingga
-13,13%, dan yang terakhir pada tahun 2020 saat pandemi Covid-19 sebesar -2,3%.
Pertumbuhan ekonomi sangat penting dan dibutuhkan, karena akan berpengaruh
terhadap kesempatan kerja, produktivitas, distribusi pendapatan, dan tingkat kesejahteraan
(Rahardja & Manurung, 2019). Faktor tenaga kerja mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (Lewis,
1954 dalam Hasan & Muhammad, 2018). Tenaga kerja dengan unsur kualitas (pendidikan) di
dalamnya (Appiah & McMahon, 2002), mampu mengurangi angka kemiskinan yang berpengaruh
terhadap kesejahteraan masyarakat (Hasan & Muhammad, 2018). Masyarakat dapat dikatakan
semakin sejahtera apabila output per kapita meningkat. Apabila tingkat PDB per-kapita semakin
tinggi, maka dapat dikatakan semakin sejahtera. Agar PDB per-kapita terus meningkat, maka
pertumbuhan ekonomi harus lebih besar atau lebih tinggi daripada pertambahan penduduk
(Rahardja & Manurung, 2019).
Namun, PDB per-kapita yang tinggi belum dapat menjamin kemakmuran masyarakat,
apabila ada ketidakmerataan kemakmuran masyarakat. Sehingga, PDB dalam konteks
kesejahteraan masyarakat, PDB baru dapat berjalan dengan baik apabila diiringi dengan perbaikan
dalam distribusi pendapatan (Rahardja & Manurung, 2019). Berdasarkan pengalaman empiris,
wilayah/daerah yang menunjukkan wilayah dengan potensi PDB tinggi menjadi wilayah untuk
migrasi.
2. Tingkat stabilitas harga umum
Pengertian sederhana dari stabilitas harga ekonomi adalah sangat kecilnya tindakan
spekulasi dalam perekonomian (Rahardja & Manurung, 2019). Menurut European Central Bank
stabilitas harga merupakan kontribusi terbaik bahwa monetary policy (kebijakan moneter) bisa
membuat ekonomi tumbuh. Tujuan utama dari kebijakan moneter menurut Bank Indonesia adalah
untuk mencapai stabilitas nilai mata uang, memelihara stabilitas pada sistem pembayaran, dan
turut menjaga stabilitas keuangan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Konsep stabilitas nilai mata uang mencakup kestabilan harga jasa dan barang serta nilai tukar
diukur dari inflasi yang rendah dan stabil.
Menurut Bank Indonesia, inflasi adalah kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan
terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Apabila harga barang dan jasa di dalam negeri
meningkat, maka terjadi kenaikan inflasi. Kenaikan harga tersebut menyebabkan turunnya nilai
mata uang terhadap nilai barang dan jasa secara umum. Namun, apabila hanya beberapa saja
barang atau jasa yang mengalami kenaikan tidak disebut inflasi, kecuali kenaikan tersebut
berpengaruh atau menyebabkan kenaikan pada harga baran dan jasa lainnya (Boediono, 2022
dalam KESDM, 2015). Kebalikan dari inflasi disebut deflasi, yaitu penurunan harga barang dan jasa
terus menerus dalam jangka waktu tertentu.

58
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

Ada 3 komponen yang harus dipenuhi bila terjadi inflasi, yaitu (Rahardja & Manurung, 2019):
1. Kenaikan harga umum, yakni apabila suatu komoditas dikatakan naik jika menjadi lebih tinggi
daripada harga periode sebelumnya.
2. Bersifat umum, yakni kenaikan harga suatu komoditas belum dapat dikatakan inflasi jika
kenaikan tersebut tidak menyebabkan harga-harga secara umum naik.
3. Berlangsung terus menerus, yakni kenaikan harga umum dapat menyebabkan inflasi jika
terjadi hanya sesaat. Karena itu perhitungan inflasi harus dilakukan dalam rentang waktu
bulanan.
Pengukuran laju inflasi menggunakan data Indeks Harga Konsumen (IHK) dan Indeks harga
Implisit (IHI). Menurut Bank Indonesia, indikator lain yang digunakan dalam mengukur tingkat
inflasi yaitu dengan Indeks Harga Konsumen (IHK). Nilai IHK diperoleh berdasarkan hasil
perhitungan harga barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat dalam periode tertentu (Rahardja
& Manurung, 2019). Perubahan IHK menunjukkan pergeseran harga barang dan jasa yang
dikonsumsi masyarakat. Kondisi ekonomi over heated terjadi apabila inflasi tinggi, yang artinya
permintaan produk melebihi kapasitas penawaran dan mengakibatkan harga cenderung
mengalami kenaikan, sehingga menyebabkan menurunnya daya beli uang dan menurunkan
tingkat pendapatan riil (Tandelilin, 2001). IHK dirumuskan sebagai berikut:

𝐼𝐻𝐼𝑛 − 𝐼𝐻𝐼𝑛−1
𝐼𝑛𝑓𝑙𝑎𝑠𝑖 = 𝑥 100%
𝐼𝐻𝐼𝑛−1

Keterangan:
IHKn = Indeks Harga Konsumen Periode n.
IHKn-1 = Indeks Harga Konsumen sebelum Periode n.

Indeks Harga implisit (IHI) diasumsikan sebagai pengukuran inflasi yang paling
menggambarkan keadaan sebenarnya (Silitonga, 2021). Angka IHI merupakan rasio antara nilai PDB
harga berlaku dengan PDB harga konstan. Inflasi berdasarkan angka IHI menunjukkan laju inflasi
yang paling agregat. Dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

𝐼𝐻𝐼𝑛 − 𝐼𝐻𝐼𝑛−1
𝐼𝑛𝑓𝑙𝑎𝑠𝑖 = 𝑥 100%
𝐼𝐻𝐼𝑛−1
Keterangan:
IHIn = Indeks Harga Implisit Periode n.
IHIn-1 = Indeks Harga Implisit sebelum Periode n
Alternatif lain dari perhitungan IHI dapat digunakan apabila data yang dibutuhkan tidak
tersedia. Hal ini karena prinsip perhitungan inflasi berdasarkan deflator PDB dengan
membandingkan tingkat pertumbuhan ekonomi nominal dengan pertumbuhan riil (Rahardja &
Manurung, 2019). Adanya keterbatasan data dalam perhitungan stabilitas harga umum maka
digunakan 2 pendekatan, yakni dari data IHK dan IHI dari kota-kota besar yang tersedia.
Badan Pusat Statistik mempublikasikan inflasi berdasarkan kelompok yang disebut disagregasi.
Menurut Bank Indonesia disagregasi inflasi dilakukan untuk menghasilkan indikator inflasi yang
menggambarkan dampak faktor fundamental. Inflasi inti merupakan inflasi yang dipengaruhi
faktor-faktor fundamenal perekonomian, sedangkan inflasi non inti merupakan inflasi yang

59
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

dipengaruhi selain faktor fundamental. Inflasi non inti terdiri dari inflasi komponen bergejolak
(Volatile Food) dan Inflasi Komponen Harga yang diatur oleh Pemerintah (Administered Prices).
Tingginya inflasi akan mempengaruhi standar hidup masyarakat menjadi menurun, sehingga
tercipta ketidakstabilan (uncertainty) bagi pelaku ekonomi (Tandelilin, 2001). Apabila inflasi lebih
tinggi dari pertumbuhan pendapatan akan menimbulkan dampak buruk, sebagian besar
masyarakat akan mengalami penurunan pendapatan riil (Rahardja & Manurung, 2019).
Berdasarkan pengalaman empiris stabilitas harga pasar berada pada persentase normal
berkisar 3-4%. Hal ini menunjukkan harga secara umum tidak terakselerasi atau stabil. Apabila jika
ekonomi terakselerasi maka ekonomi tersebut akan bersifat panas atau akan terjadi inflasi.
Kestabilan inflasi adalah prasyarat untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan nantinya
dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Untuk mencapai kestabilan inflasi diperlukan kerja
sama dan koordinasi antar instansi untuk menekan atau stabil untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat (Iskandar & Subekan, 2018).
3. Tingkat Pengangguran Terbuka
Menurut BPS penduduk yang termasuk angkatan kerja merupakan penduduk usia kerja
(>15 tahun) yang bekerja atau punya pekerjaan, namun sementara sedang tidak bekerja dan
pengangguran. Pengangguran meliputi penduduk yang tidak bekerja atau sedang mencari
pekerjaan, sedang mempersiapkan diri untuk membuka usaha baru atau merasa tidak mungkin
mendapatkan pekerjaan (putus asa), atau telah diterima bekerja tetapi belum mulai bekerja (Marini
& Putri, 2020).
Pengangguran dapat tercipta karena rendahnya lapangan pekerjaan yang berbanding
terbalik dengan tingginya tenaga kerja yang tersedia (Hasan & Muhammad, 2018). Angka
pengangguran rendah mencerminkan pertumbuhan ekonomi yang baik, karena apabila PDRB
dalam suatu wilayah mengalami penurunan dikaitkan dengan tingginya jumlah pengangguran
(Muslim, 2014). Sukirno (2006) menjelaskan bahwa pengangguran dapat menyebabkan dampak
negatif terhadap perekonomian, karena semakin banyaknya pengangguran maka akan
mengakibatkan ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan hidup dan nantinya akan
menghambat jalannya aktivitas perekonomian daerah tersebut. Efek dari pengangguran salah
satunya adalah mengurangi tingkat kesejahteraan (Arifin & Soesatyo, 2020).
Tingkat pengangguran adalah persentase angkatan kerja yang tidak/belum mendapatkan
pekerjaan (Rahardja & Manurung, 2019). Menurut Badan Pusat Statistik tingkat pengangguran
adalah rasio jumlah pengangguran terhadap jumlah total karyawan. Tingkat Pengangguran
Terbuka (TPT) adalah suatu tingkat yang menunjukkan jumlah pengangguran per 100 penduduk
dalam klasifikasi angkatan kerja.
Rumus perhitungan tingkat pengangguran:
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛𝑔𝑔𝑢𝑟
𝑇𝑖𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛𝑔𝑔𝑢𝑟𝑎𝑛 = 𝑥 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑟𝑗𝑎

60
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

Gambar 5-5 Struktur Penduduk Berdasarkan Usia


Sumber: Rahardja & Manurung, 2019

Dalam dua periode terakhir tingkat pengangguran di Indonesia berkisar antara 5-7%.
Tingkat pengangguran terbuka ini masih tergolong tingkat pengangguran yang wajar bila
dibandingkan negara lainnya (Rahardja & Manurung, 2019). Terdapat dua klasifikasi pengangguran,
yakni pendekatan angkatan kerja dan pendekatan pemanfaatan tenaga kerja. Pendekatan
angkatan kerja (labour force approach) mendefiniskan penganggur sebagi angkatan kerja yang
tidak bekerja.
Pendekatan pemanfaatan tenaga kerja (labour utilization approach) yang memberdakan
angkatan kerja ke dalam 3 kelompok, yakni menganggur (pengangguran terbuka sekitar 3-5%),
setengah menganggur (berkisar 35% per tahun), dan bekerja penuh. Kesempatan kerja ditunjukkan
dengan tingkat pengangguran apabila menyentuh 4%. Apabila tingkat pengangguran menyentuh
angka sebesar 4%, dapat menunjukkan 2 kecenderungan:
a. Semakin sedikit tingkat pengangguran, semakin miskin negara tersebut karena
masyarakatnya harus bekerja.
b. Sebagian besar negara tersebut tidak miskin, tetapi pengangguran di negara tersebut
mendapatkan tunjangan pengangguran.
Menurut Hukum Okun pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi lapangan kerja. Hal ini
karena adanya hubungan terbalik antara perubahan rata-rata tingkat pengangguran dengan
perbedaan antara PDB aktual dengan PDB potensial. Terori hukum Okun menyebutkan bahwa
setiap kenaikan angka rata-rata aktual tingkat pengangguran, maka nilai GDP sesungguhnya akan
turun sebesar 2 sampai 3 persen. Sehingga, bila nilai PDB sesungguhnya meningkat, maka angka
rata-rata aktual tingkat pengangguran akan menurun (Darman, 2013).

5.1.2 Metodologi

Metodologi penentuan D3TLH Provinsi dilakukan melalui serangkaian penilaian secara


kuantitatif dan kualitatif oleh para pakar terkait. Dimulai dari pemodelan numerik hingga visualisasi
secara spasial. Kerangka pikir dalam penentuan D3TLH mengadopsi konsep Social-Ecological
System (SES) Framework. SES Framework merupakan penggambaran dinamika antara alam dengan
sosial yang saling terkait dan bergantung pada suatu ekosistem. Dengan kata lain, terjadi hubungan

61
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

timbal balik dimana kebutuhan manusia sangat bergantung pada pasokan ecosystem services (jasa
lingkungan hidup) dan menjadi tantangan utama untuk mencapai keberlanjutan (Martín-López et
al, 2014; Fischer et al, 2015). Mewujudkan keseimbangan antara supply dan demand, maka
dilakukan pendekatan perhitungan berdasarkan kondisi lingkungan hidup atau biogeofisik pada
kolom hijau serta sosial, ekonomi, budaya (sosekbud) pada kolom jingga.

Perhitungan kondisi biogeofisik akan menghasilkan definisi operasional D3TLH, yaitu


Status D3TLH yang meliputi status Terlampaui dan Belum Terlampaui. D3TLH diperkuat dengan
kondisi sosekbud yang merupakan narasi causal model yang menggambarkan kondisi masyarakat
dalam rangka jaring pengaman sosial (social safety net) sebagai strategi tata kelola lingkungan
hidup di suatu wilayah. Kondisi biogeofisik dan sosekbud tersebut selanjutnya akan mampu
menggambarkan Kuadran Keberlanjutan guna melihat sejauh mana provinsi dapat mendukung
wilayahnya menuju Pembangunan yang Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan.

Gambar 5-6 Kerangka dalam Penentuan D3TLH Nasional berbasis SES Framework
Sumber: Diolah dari Ecosystem Services dalam Martín-López et al, 2014

62
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

5.1.2.1 Perhitungan Biogeofisik

Kondisi biogeofisik didefinisikan sebagai lingkungan hidup yang berpotensi memenuhi


kebutuhan manusia sesuai dengan standarisasi kebutuhannya. Kondisi biogeofisik sangat
dipengaruhi dari sumber daya alam khususnya mencakup air, lahan dan keanekaragaman hayati.
Dalam menilai kondisi biogeofisik didasarkan pada pemodelan pengalokasian lahan yang disebut
dengan Optimasi Alokasi Penutupan Lahan. Pemodelan ini didasarkan pada interaksi antara
penyediaan dan kebutuhan (pemanfaatan) sumber daya alam yang akan menghasilkan Jejak
Ekologis dengan alur sebagai berikut.

Gambar 5-7 Alur Metode Biogeofisik


Sumber: Dimodifikasi dari Taradini, 2018

Proses perhitungan diawali dengan mengetahui penutupan lahan eksisting dengan


produktivitasnya yang berfungsi sebagai Biokapasitas dalam menyediakan kebutuhan fisiologis
manusia. Penutupan lahan eksisting dilakukan reklasifikasi sekaligus dinilai probabilitas
kesesuaian lahannya terhadap 12 parameter fisik. Selanjutnya dilakukan perhitungan Jejak
Ekologis dengan mengumpulkan data statistik yang berkaitan dengan kebutuhan fisiologis
manusia meliputi kebutuhan pangan, pakaian/tekstil, ruang tempat tinggal dan ruang publik
(infrastruktur), serta energi listrik. Pada Jejak Ekologis akan dilakukan konversi jumlah kebutuhan
manusia dalam berbagai satuan menjadi satuan ruang atau luasan lahan (hektar). Sehingga nanti
akan didapatkan pengalokasian luas penutupan lahan optimum yang sesuai dengan
kebutuhannya. Adapun penutupan lahan optimum tersebut mencakup lahan hutan dan belukar
untuk pemenuhan kayu, pertanian, perkebunan, terbangun, padang penggembalaan, serta
kawasan yang perlu dipertahankan.
Hasil dari proses kesesuaian lahan dan Jejak Ekologis akan menjadi input bagi pemodelan
optimasi secara matematika melalui phyton guna mendapatkan nilai D3TLH berupa penduduk
optimum dan alokasi luas penutupan lahan optimum. Alokasi luas dimaksudkan untuk melihat
perbandingan antara penutupan lahan eksisting dengan optimum yang apabila bernilai defisit,

63
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

maka diidentifikasi alokasi spasialnya melalui pemodelan 2K (Kedekatan dan Kepadatan) Simultan
agar tercapai kondisi optimum. Sehingga dalam pemodelan Optimasi Alokasi Penutupan Lahan
akan diperoleh dua hasil sebagai berikut.

1. Status D3TLH yang menggambarkan kondisi D3TLH melalui pendekatan perbandingan


antara jumlah penduduk optimum dengan eksisting pada saat D3TLH ditetapkan. Hasil gap
antar keduanya akan menghasilkan klasifikasi Status D3TLH berupa Belum Terlampaui dan
Terlampaui. Jumlah penduduk optimum ini diartikan yang mampu dipenuhi kebutuhan
fisiologisnya secara mandiri dari jasa lingkungan hidup di suatu wilayah.
2. Gap Jasa Lingkungan Hidup yang berdasarkan kondisi jasa lingkungan hidup optimum
dengan eksisting pada saat D3TLH ditetapkan. Jasa lingkungan hidup optimum merupakan
informasi tambahan suplai yang dapat dimanfaatkan maupun dipelihara untuk
keberlangsungan kehidupan manusia. Analisis gap yang dilakukan melalui kuantifikasi
berupa indeks yang mengandung arti kualitas fungsi lingkungan hidup dan dapat dijadikan
acuan arahan dalam Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH)
Nasional.

5.1.2.2 Pemodelan Alokasi Luas Penutupan Lahan dengan Pendekatan Jejak Ekologis

Menurut Wackernagel dan Rees (1996), Jejak Ekologis merupakan suatu pendekatan
kuantifikasi kebutuhan manusia akan sumber daya yang berkaitan dengan luas lahan produktif
dalam menyediakan sumber daya tersebut. Namun pada kenyataannya interaksi antara
penyediaan dan kebutuhan tidak sepenuhnya dapat seimbang akibat keterbatasan lahan. Oleh
karena itu, diperlukan pengalokasian lahan untuk menentukan optimasi luas yang dibutuhkan
dengan meminimalisir terjadinya degradasi lingkungan hidup. Pemodelan ini menggunakan
Kalkulator Jejak Ekologis melalui beberapa langkah pengerjaan seperti berikut.

Langkah 1: Inventarisasi Kebutuhan Fisiologis


Inventarisasi kebutuhan fisiologis merujuk pada Teori Hierarki Kebutuhan Maslow, yaitu
kebutuhan yang wajib dipenuhi sehari-hari dan apabila tidak dipenuhi dengan baik akan
mempengaruhi kelayakan hidup manusia. Oleh karena itu, ruang lingkup jenis kebutuhan yang
diperhitungkan terbagi menjadi pangan, pakaian/tekstil, infrastruktur dengan tempat tinggal dan
ruang publik, serta energi dengan listrik dan bahan bakar. Jenis kebutuhan yang dimaksud pada
dasarnya sudah mampu menggambarkan kondisi SDA Potensi Terbarukan meliputi air, lahan, dan
keanekaragaman hayati. Jumlah kebutuhan fisiologis ini disesuaikan juga dengan pola hidup atau
kebiasaan konsumsi penduduk dengan diasumsikan setiap orang pada suatu Pulau/Kepulauan
membutuhkan jumlah yang sama. Sehingga standardisasi pada masing-masing kebutuhan
mengalami penyesuaian dengan lokasinya. Namun, terkhusus kebutuhan pakaian/tekstil dan
infrastruktur disamaratakan dengan menggunakan standardisasi secara nasional. Perkiraan jumlah
kebutuhan fisiologis ini diperhitungkan dalam waktu 1 tahun dengan jangka waktu tidak terbatas.
Hasil dari inventarisasi kebutuhan fisiologis berupa luas lahan yang dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan penduduk.
1. Kebutuhan Pangan

64
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

Kebutuhan pangan didasarkan data konsumsi pangan penduduk berdasarkan energi


bahan pangan yang dikonsumsi setiap orang per hari dalam satuan kilo-kalori (kkal). Jumlah
konsumsi bahan pangan (dalam satuan kilogram) dapat digunakan untuk menghitung kebutuhan
lahan untuk produksi, yaitu dengan menggunakan nilai produktivitas setiap jenis bahan pangan.
Sedangkan jumlah konsumsi energi bahan pangan penduduk dikonversi ke dalam satuan massa
(kilogram) agar dapat dihitung untuk menghitung luas lahan yang diperlukan untuk memproduksi
bahan pangan tersebut. Apabila ada bahan pangan yang tidak tersedia datanya, dapat
menggunakan nilai footprint intensity yang mengacu dari literatur Universitas Michigan (2003) dan
Working Guidebook to the National Footprint Accounts oleh Global Footprint Network (Lin et al, 2017).
Adapun contohnya seperti bahan pangan daging ruminansia, daging unggas, telur, dan susu (dalam
kelompok pangan hewani), serta minyak kelapa dan minyak sawit (dalam kelompok pangan
minyak dan lemak).
Tabel 5-7 Standardisasi Kebutuhan Pangan

Kelompok Bahan Pangan Konsumsi Energi (kkal) Energi (kkal/100 gram)


Padi-padian (beras, jagung, terigu) 1.164 393,38
Umbi-umbian (singkong, ubi jalar,
38 119,50
kentang, sagu, dan umbi lainnya)
Pangan hewani (daging ruminansia,
daging ungags, telur, susu, dan ikan 183 178,36
perairan darat)
Minyak dan lemak (minyak kelapa,
243 900,00
minyak sawit, dan minyak lainnya)
Buah/biji berminyak (kelapa dan kemiri) 38 542,86
Kacang-kacangan (kedelai, kacang
57 245,69
tanah, kacang hijau, dan kacang lainnya)
Gula (gula pasir dan gula merah) 90 365,85
Sayur dan buah (sayur dan buah) 101 39,41
Sumber: Diolah dari berbagai sumber dalam Taradini, 2018
Pada Tabel di atas, kelompok bahan pangan dan jenisnya dipilih menyesuaikan dengan
perkembangan konsumsi energi di Indonesia. Terkhusus untuk pangan hewani perikanan dibatasi
hanya dari perairan darat seperti sungai dan danau. Standardisasi kelompok bahan pangan dan
kandungan energi mengacu pada data Statistik Ketahanan Pangan Tahun 2014 yang disamaratakan
secara nasional. Sedangkan jumlah konsumsi menyesuaikan dengan kondisi di provinsi pada
Pulau/Kepulauan menggunakan data Statistik Ketahanan Pangan Tahun 2022. Kebutuhan pangan
dalam satuan konsumsi energi (kkal) merujuk pada Angka Kecukupan Energi sebesar 2.150
kkal/kapita/hari bersumber dari rekomendasi Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi Tahun 2012.
Proses selanjutnya pada setiap kelompok bahan pangan dihitung luas yang dibutuhkan untuk
produksi sesuai dengan jumlah kebutuhan energi bahan pangan, produktivitas lahan, dan
intensitas produksi dalam satu tahun. Adapun persamaan matematiknya adalah sebagai berikut.
𝐾𝑏𝑗 100 𝐹𝐼𝑗
𝐿𝑃𝑖𝑗 = × ×
𝐸𝑗 1000 𝐼𝑃𝑗
LPij = Luas jenis penutupan lahan I yang dibutuhkan untuk produksi bahan pangan jenis j (m²)
Kbj = Kebutuhan energi bahan pangan jenis j setiap orang dalam 1 tahun (kkal)
Ej = Kandungan energi bahan pangan jenis j (kkal/100 gram)
FIj = Footprint intensity dalam poduksi bahan pangan jenis j (m²/kg)
IPj = Intensitas produksi bahan pangan jenis j dalam 1 tahun (kali)

65
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

2. Kebutuhan Pakaian/Tekstil
Jumlah kebutuhan pakaian penduduk digunakan untuk menghitung kebutuhan lahan
untuk produksi bahan baku tekstil, yaitu kapas. Dikarenakan keterbatasan data, jumlah kebutuhan
pakaian ini didasarkan pada rata-rata per kapita/tahun secara nasional sebesar 7,5 kg (Asosiasi
Pertekstilan Indonesia, 2013). Dikutip dari website Kementerian Perindustrian, secara nasional dari
keseluruhan produksi pakaian/tekstil membutuhkan kapas sekitar 42% dari total bahan baku
teksitil. Kebutuhan kapas mengacu pada nilai produktivitas berdasarkan data jumlah produksi
kapas dalam satu tahun dan data luas panen kapas. Intensitas produksi kapas bersumber dari
Kementerian Pertanian dengan diketahui per proses panen terjadi 3 kali dalam satu tahun.
Intensitas panen yang dirujukan berkondisi secara umum nasional. Perhitungan luas yang
dibutuhkan ini bergantung dengan lahan perkebunan melalui persamaan sebagai berikut.
𝐹𝐼
𝐿𝑇 = 𝐾𝑏 × × 𝑃
𝐼𝑃
LT = Luas perkebunan yang dibutuhkan untuk produksi kapas (m2)
Kb = Kebutuhan pakaian setiap orang dalam 1 tahun (kg)
FI = Footprint intensity dalam produksi kapas (m2/kg)
IP = Intensitas produksi kapas dalam 1 tahun (kali)
P = Penggunaan bahan baku kapas untuk pakaian/tekstil (%)

3. Kebutuhan Infrastruktur (Tempat Tinggal dan Ruang Publik)


Agar dapat mengetahui kebutuhan lahan untuk pembangunan infrastruktur, salah satu
referensi yang digunakan adalah standar dari Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana
Wilayah No. 403/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (Rs
SEHAT) dan SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan
(lihat Tabel 3-10). Pada tabel tersebut terdapat dua klasifikasi, yaitu kebutuhan tempat tinggal dan
ruang publik. Terdapat perbedaan antara standar kebutuhan tempat tinggal antara internasional
dan Indonesia. Sedangkan standar kebutuhan ruang publik cukup beragam, antara lain ruang
terbuka hijau hingga berbagai sarana untuk peribadatan, kesehatan, perdagangan, budaya,
olahraga, dan Pendidikan.
Tabel 5-8 Standardisasi Kebutuhan Tempat Tinggal dan Ruang Publik

Tempat Tinggal Ruang Publik


Standar per Standar per
Kelas Keterangan Jenis Ruang Publik
Jiwa (m²) Jiwa (m²)
Sarana ruang terbuka, taman, dan lapangan
1 Internasional 12 0,2-1
olahraga
2 Indonesia 9 Sarana budaya dan rekreasi 0,017-0,12
3 Ambang Batas 7,2 Sarana perdagangan dan niaga 0,3-0,5
Sarana peribadatan 0,03-0,36
Sarana kesehatan 0,006-0,12
Sarana pendidikan dan pembelajaran 0,28-2,6
Sumber: Diolah dari berbagai sumber dalam Taradini, 2018

66
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

Dari tabel di atas, standardisasi tempat tinggal mengikuti kelas 2 (Indonesia) dengan 9 m 2
dan masing-masing jenis ruang publik mengikuti luasan terbesar yang diasumsikan paling
optimum. Selain itu, kebutuhan infrastruktur juga memperhitungkan penggunaan kayu sebagai
pendekatan bahan material pola ruang bangunan. Hal ini dikarenakan produksi kayu berasal dari
lahan hutan. Sehingga dalam menghitung cakupan luasan lahan hutan yang dibutuhkan mengacu
pada jumlah kebutuhan untuk bangunan dan produktivitas kayu untuk footprint intensity. Apabila
pada Pulau/kepulauan tidak ada datanya, mengetahui footprint intensity dapat bersumber dari
literatur Universitas Michigan (2003) dan Working Guidebook to the National Footprint Accounts oleh
Global Footprint Network (Lin et al, 2017). Luas lahan hutan yang dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan kayu dapat dihitung dengan menggunakan persamaan matematik sebagai berikut.
LKi = LBi X Kb X FI

LKi = Luas hutan yang dibutuhkan untuk produksi kayu sebagian bahan bangunan jenis i (m2),
LBi = Luas hutan terbangun jenis i (m bangunan),
2

Kb = Kebutuhan kayu untuk bangunan (m3 kayu/m2 bangunan)


FI = Footprint intensity dalam produksi kayu (m2 hutan/m3 kayu)

4. Kebutuhan Energi
Perhitungan kebutuhan energi untuk menentukan luas lahan yang diperlukan dalam
penyerapan CO2 yang diemisikan pada penggunaan listrik. Referensi yang digunakan bersumber
dari Pedoman Teknis Perhitungan Baseline Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Berbasis Energi oleh
Bappenas. Sedangkan untuk mengetahui daya serap emisi CO2 digunakan referensi dari Buku
Kegiatan Serapan dan Emisi Karbon oleh KLHK. Daya serap emisi CO2 oleh lahan hutan berbeda-
beda sehingga didapatkan nilai faktor serapan karbon. Kebutuhan listrik bersumber dari Statistik
PLN Tahun 2021 per Pulau/Kepulauan, faktor emisi penggunaan bersumber dari Pedoman Teknis
Perhitungan Baseline Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Berbasis Energi oleh Bappenas, serta faktor
serapan karbon di lahan hutan bersumber dari National Forest Reference Emission Level for
Deforestation and Forest Degradation oleh UNFCCC.
Tabel 5-9 Standardisasi Kebutuhan Energi

Faktor Serapan Karbon


Faktor Emisi Penggunaan Energi
di Lahan Hutan
Faktor Serapan
Jenis Energi Faktor Emisi Satuan Jenis Penutup Hutan
(C Ton/Ha)
Hutan lahan kering primer 195,00
Hutan lahan kering sekunder 169,00
Listrik 0,725 kg CO2/kWh Hutan rawa primer 196,00
Hutan mangrove primer 170,00
Hutan mangrove sekunder 120,00
Sumber: Diolah dari berbagai sumber dalam Taradini, 2018

Pada kebutuhan energi maka diperlukan perhitungan menentukan luas hutan yang
diperlukan untuk menyerap karbon dioksida (CO2) yang diemisikan pada penggunaan listrik. Selain
itu, konversi menjadi lahan ini juga digunakan untuk kebutuhan pembangunan sarana penyediaan

67
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

tenaga listrik seperti berbagai jenis Pembangkit Tenaga Listrik. Dari sarana penyediaan ini akan
didapatkan besaran energi yang diproduksi per jenis pembangkit pada masing-masing
Pulau/Kepulauan. Adapun konversi kebutuhan lahan untuk energi dihitung melalui persamaan
matematik sebagai berikut.
Kb𝑖 × FEi
𝐿𝐸𝑖 =
FS
LEi = Luas hutan yang dibutuhkan untuk menyerap CO2 dari emisi penggunaan listrik (m2)
Kbi = Kebutuhan energi listrik (kWh listrik)
FEi = Faktor emisi energi listrik (kg CO2/kWh listrik)
FS = Faktor serapan CO2 lahan hutan (kg CO2/m2)

Berdasarkan inventarisasi semua kebutuhan fisiologis di atas, perhitungan Jejak Ekologis akan
menghasilkan luas penutupan lahan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan setiap orang.
Segala perhitungan konversi satuan kebutuhan fisiologis menjadi satuan luasan dilakukan melalui
pemodelan matematik. Adapun kebutuhan luas penutupan lahan untuk seluruh Pulau/Kepulauan
dihitung dengan mengkalikan kebutuhan luas per orang dengan jumlah penduduk di suatu
Pulau/Kepulauan.
𝐾 𝐿 𝑖 𝑗 =𝐾 𝐿 𝑖 ×𝑃 𝑜 𝑝
Keterangan:

KLij = Kebutuhan penutupan lahan jenis i di Pulau/Kepulauan (m2)


KLi = Kebutuhan penutupan lahan jenis i setiap orang (m2)
Pop = Jumlah penduduk di Pulau/Kepulauan (orang)

Langkah 2: Perhitungan Optimasi Alokasi Penutupan Lahan

Gambar 3-7 di atas menunjukkan bahwa Optimasi Alokasi Penutupan Lahan dihitung
berdasarkan selisih luas antara penutupan lahan eksisting dan penutupan lahan yang dibutuhkan.
Perhitungannya dilakukan melalui Kalkulator Jejak Ekologis yang merupakan model alokasi luas
(dalam m2) pada setiap penutupan lahan berdasarkan skenario penyediaan kebutuhan terhadap
pangan, pakaian/tekstil, infrastruktur, dan energi. Kalkulator Jejak Ekologis untuk menilai
keberlanjutan sumber daya yang mampu menyediakan status ekologi jangka panjang dan
peringatan potensi risiko ekologis. Peringatan risiko ekologis menjabarkan tingkat ambang batas
(threshold) daya dukung dan daya tampung suatu wilayah. Kelebihan metode ini adalah memiliki
satuan perhitungan yang transparan, ketersediaan data, metode yang umumnya sudah terstandar,
serta ukuran keberlanjutan lingkungan yang sederhana namun komprehensif (Miao et al., 2016 dan
Taradini, 2018).

Proses perhitungan Kalkulator Jejak Ekologis dimulai dengan melakukan reklasifikasi


penutupan lahan dimana dari 18 jenis menjadi lebih umum 9 jenis meliputi hutan, pertanian lahan
basah, pertanian lahan kering, perkebunan, lahan terbangun, padang rumput, tambak, kawasan
lindung/konservasi, serta badan air. Namun reklasifikasi penutup lahan masih dapat disesuaikan
dengan ketersediaan lahan per Pulau/Kepulauan. Kawasan lindung/konservasi dan badan air
menjadi lahan yang tetap dipertahankan sehingga tidak diikut sertakan dalam pemodelan alokasi

68
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

luas maupun spasial penutupan lahan. Hal ini dikarenakan kawasan lindung/konservasi memiliki
fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup sedangkan badan air memiliki
kecenderungan bentuknya selalu sama (Taradini, 2018). Penetapan kawasan lindung/konservasi
mengacu pada identifikasi dari UU 26/2007 tentang Penataan Ruang, UU 5/1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta Surat Ketetapan (SK) KLHK dari 433/Kpts-II/1999
hingga 362/Menhlk/Setjen/PLA.0/5/2019. Adapun reklasifikasi penutupan lahan yang akan
digunakan adalah sebagai berikut.
Tabel 5-10 Reklasifikasi Penutupan Lahan

Hasil Reklasifikasi
Klasifikasi Penutupan Lahan Kode
Penutupan Lahan
Hutan Lahan Kering Primer
Hutan Lahan Kering Sekunder
Hutan Mangrove Primer
Hutan Mangrove Sekunder
Hutan dan Belukar untuk Pemenuhan
Hutan Rawa Primer 1
Kayu
Hutan Rawa Sekunder
Hutan Tanaman
Semak Belukar
Semak Belukar Rawa
Sawah Pertanian Lahan Basah 2
Pertanian Lahan Kering
Pertanian Lahan Kering 3
Pertanian Lahan Kering Campur
Perkebunan Perkebunan 4
Bandara/Pelabuhan
5
Permukiman/Transmigrasi Lahan Terbangun
Pertambangan
Savanna/Padang Rumput 6
Padang Rumput
Lahan Terbuka
Tambak Tambak 7
Diambil dari Penetapan Fungsi Kawasan Lindung/Konservasi 8
Kawasan Hutan
Badan Air (hanya perairan darat) Badan Air 9
Sumber: KLHK, 2022 yang dimodifikasi oleh Taradini, 2018

Setelah reklasifikasi, pada setiap jenis penutupan lahan ditentukan kemampuan


menyediakan sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi masing-masing kebutuhan
fisiologis penduduk. Sehingga nantinya mampu menghasilkan matriks kesesuaian lahan terhadap
kebutuhan fisiologis dalam mengisi Kalkulator Jejak Ekologis.
Tabel 5-11 Kesesuaian Jenis Penutupan Lahan untuk Kebutuhan Fisiologis

Kode Jenis Penutupan Lahan


Kebutuhan Fisiologis
1 2 3 4 5 6 7
Padi-padian
Umbi-umbian
Pangan
Pangan Hewani
Minyak dan Lemak
Buah/Biji Berminyak

69
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

Kode Jenis Penutupan Lahan


Kebutuhan Fisiologis
1 2 3 4 5 6 7
Kacang-Kacangan
Pangan Gula
Sayuran dan Buah
Pakaian Kapas
Tempat Tinggal
Infrastruktur
Ruang Publik
Energi Listrik
*Kode jenis penutupan lahan: (1) Hutan; (2) Pertanian Lahan Basah; (3) Pertanian Lahan Kering; (4) Perkebunan; (5) Lahan
Terbangun; (6) Padang Rumput; (7) Tambak
Sumber: Taradini, 2018
Konversi luas lahan pada Kalkulator Jejak Ekologis didapatkan dari hasil pemodelan
matematika melalui program aljabar linier. Pemodelan ini dinilai dapat menghasilkan jumlah
penduduk optimum yang menyesuaikan dengan kondisi eksistingnya saat ini di tahun 2022. Selain
itu, pada beberapa kasus suatu wilayah akan terdapat keterbatasan dengan tidak semua
kebutuhan fisiologis dapat sepenuhnya didukung oleh wilayah tersebut. Sehingga dapat
menggambarkan kondisi yang mengharuskan mencari dan/atau mendapatkan dukungan dari
wilayah lainnya. Oleh karena itu, akan meningkatkan dukungan dalam mewujudkan konektivitas
hinterland antar pulau/kepulauan sesuai dengan isu dan tantangan pembangunan ke depannya
dalam RPJPN 2025-2045. Berikut adalah hasil pemodelan matematika melalui program aljabar
linier untuk menghasilkan konversi kebutuhan fisiologis menjadi satuan lahan (detail ada di
Lampiran 1).
Tabel 313 Hasil Konversi Kebutuhan Fisiologis menjadi Satuan Lahan di Pulau/Kepulauan

No Kebutuhan Fisiologis Luas Lahan (Ha)


1 Beras
2 Jagung, terigu, dan lain-lainnya
3 Umbi-umbian
4 Daging dan susu
5 Unggas dan telur
6 Ikan
7 Minyak dan lemak
8 Buah/biji berminyak
9 Kacang-kacangan
10 Gula
11 Sayuran dan buah
12 Kapas
13 Tempat tinggal
14 Ruang publik
15 Pemenuhan kayu
16 Listrik
Sumber: Hasil Analisis, 2023

Selanjutnya dari hasil perhitungan itu akan diakumulasikan jumlahnya. Pada Tabel hasil
perhitungan akumulasi Optimasi Alokasi Penutupan Lahan pada setiap jenis penutupan lahan yang
menggambarkan seberapa besar ambang batas suplai dalam memenuhi kebutuhan sejumlah
penduduk optimum. Pada dasarnya, dalam tabel untuk luas penutupan lahan eksisting dan

70
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

optimasi alokasi dapat berupa satuan hektar yang sebenarnya maupun persentase terhadap total
luas Pulau/Kepulauan. Hasil pada kotak selisih diperoleh dari perbandingan berupa pengurangan
antara optimasi alokasi dengan eksisting. Apabila selisih menunjukkan angka negatif (-) dimaknai
sebagai defisit, maka penutupan lahan ini yang perlu dicarikan lokasi tambahan untuk memenuhi
kebutuhannya. Pencarian atau pemilihan lokasi tambahan agar mendapatkan penutupan lahan
yang optimum diperlukan pemodelan alokasi spasial untuk menentukan alternatif lokasi potensial.
Sehingga akan diketahui lokasi mana yang perlu ditingkatkan maupun yang tetap dilindungi. Di
antara penutupan lahan lainnya, hanya kawasan lindung/konservasi dan badan air (hanya perairan
darat) yang akan bernilai tetap dikarenakan merupakan lahan yang tetap dipertahankan atau tidak
seharusnya dimanfaatkan.

Tabel 5-12 Hasil Perhitungan Optimasi Alokasi Penutupan Lahan di Pulau/Kepulauan

Optimasi Selisih
Jenis Penutupan Lahan Eksisting (Ha atau %)
(Ha atau %) (Ha atau %)
Hutan
Pertanian Lahan Basah
Pertanian Lahan Kering
Perkebunan
Lahan Terbangun
Padang Rumput
Tambak
Kawasan
Lindung/Konservasi
Badan Air (hanya perairan
darat)
*% terhadap total luas Pulau/Kepulauan
Sumber: Hasil Analisis, 2023

Pemodelan Optimasi Alokasi Penutupan Lahan memiliki fungsi utama untuk menetapkan
sebanyak mungkin jumlah manusia yang dapat didukung kebutuhannya. Sehingga selain
penutupan lahan optimum juga akan didapatkan jumlah penduduk optimum yang selanjutnya
menjadi acuan dalam menentukan seberapa besar jasa lingkungan hidup yang dapat melayani
kebutuhan penduduk tersebut. Jumlah penduduk optimum juga disebut sebagai ambang batas
populasi dengan satuan orang atau kapita yang dapat dipenuhi kebutuhannya oleh setiap jenis
penutupan lahan. Dengan kata lain, Optimasi Alokasi Penutupan Lahan disebut sebagai nilai
D3TLH.

𝐷 3T𝐿 𝐻 𝑖 = (𝐴 𝑃 𝐿 𝑖 /𝐾 𝐿 𝑖 𝑝 𝑒 𝑟 𝑜 𝑟 𝑎 𝑛 𝑔 ) × (1/𝑃 𝑜 𝑝 ) × 100%


Keterangan:
𝐷 3T𝐿 𝐻 𝑖 = Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk penutupan lahan jenis i (%)
𝐴 𝑃 𝐿 𝑖 = Alokasi luas penutup/penggunaan lahan jenis i (hektar)
𝐾𝐿𝑖 = Kebutuhan penutup/penggunaan lahan jenis i setiap orang (hektar/orang)
𝑃𝑜𝑝 = Jumlah penduduk di suatu Pulau/Kepulauan (orang)

71
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

Hasil persentase D3TLH merepresentasikan jumlah penduduk optimum yang dapat


dipenuhi kebutuhannya oleh setiap jenis penutupan lahan. Persentase tersebut kemudian
dikalikan dengan jumlah populasi eksisting untuk menentukan indikasi penduduk optimum atau
ambang batas penduduk. Tabel 2-8 merupakan contoh perhitungan jumlah penduduk optimum di
suatu Pulau/Kepulauan. Misalnya saja jumlah penduduk eksisting sebanyak 143 juta dengan
persentase D3TLH sebesar 98,14% maka hanya 140 juta penduduk dapat terpenuhi kebutuhan
fisiologisnya.
Tabel 5-13 Contoh Perhitungan Jumlah Penduduk Optimum di Pulau/Kepulauan

Populasi Eksisting 143.000.000 orang


Persentase D3TLH 98,14%
Populasi Optimum atau Ambang Batas Penduduk 140.000.000 orang
Sumber: Hasil Analisis, 2023

Oleh karena itu, hasil persentase memiliki arti bahwa setiap orang dapat memiliki akses
terhadap sumber daya yang sudah diperhitungkan penyediaan kebutuhannya. Perlu dipahami
bahwa pemodelan optimasi hanya berdasarkan pemenuhan kebutuhan di wilayah sendiri.
Sehingga belum dapat menjelaskan apakah suatu pulau/kepulauan mampu melakukan ekspor
atau memenuhi kebutuhan di pulau/kepulauan yang lebih defisit.

5.1.2.3 Pemodelan Alokasi Spasial Penutupan Lahan

Pada proses sebelumnya didapatkan alokasi luas pada setiap jenis penutupan lahan sesuai
dengan kebutuhan fisiologis manusia. Dari hasil pemodelan alokasi luas akan didapatkan hasil
negatif yang berarti defisit dan positif yang berarti surplus. Penutupan lahan yang bernilai defisit ini
yang selanjutnya perlu dicari lokasi alternatifnya agar tercapai kondisi optimum. Prosesnya
dilakukan melalui pemodelan alokasi spasial yang didefinisikan sebagai proses mengalokasikan
suatu jenis penutupan lahan pada suatu lokasi secara spasial (Baja, 2012). Alokasi spasial dapat
dijadikan alat untuk memberikan informasi perencanaan tata ruang guna memenuhi kebutuhan
manusia tanpa degradasi lingkungan. Pemilihan lokasi alternatif ini umumnya mengandalkan
penutupan lahan yang mengalami surplus. Namun perlu dipahami bahwa dalam lokasi alternatif
bukan berarti semuanya harus diubah atau diarahkan menjadi optimum. Jadi harus tetap
dipertimbangkan keseimbangannya agar tidak mengganggu sektor lain.
Sebagai contoh, dari hasil alokasi luas maka didapatkan nilai defisit pada lahan
perkebunan. Maka melalui alokasi spasial akan dicari lokasi alternatif untuk mengejar nilai defisit
tersebut dengan mengacu pada penutupan lahan yang surplus dan didukung probabilitas tertinggi
berdasarkan kesesuaian lahannya. Oleh karena itu, pemodelan alokasi spasial terdiri dari dua
tahapan meliputi (1) perhitungan probabilitas kesesuaian penutupan lahan, serta (2) pendekatan
kedekatan dan kepadatan spasial (Safitri, 2021). Pemodelan alokasi spasial penutupan lahan
dibangun dalam sistem grid resolusi 30”x30” (±0,9 km x 0,9 km) dengan tidak mengikutsertakan
kawasan lindung/konservasi dan badan air.
Proses tahapan pemodelan alokasi spasial penutupan lahan, diawali dengan penilaian
parameter fisik menggunakan ECOC-SVM yang akan diteruskan dalam perhitungan kesesuaian
lahan dalam penentuan alternatif potensial sehingga menghasilkan informasi kemampuan multi-

72
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

kelas dan probabilitas tingkatan kesesuaian untuk setiap klasifikasi penutupan lahan dengan
akurasi mencapai 85%. Kemudian dilanjutkan dengan pemilihan lokasi atau distribusi spasialnya
melalui pendekatan 2K Spasial, yaitu kedekatan dan kepadatan spasial secara simultan. Hal
tersebut dikarenakan akan mengurangi atau menghilangkan bentuk tidak efisiensi dari pola
sebaran penutupan lahan karena konflik pembangunan antar penutupan lahan. Pemodelan alokasi
spasial dilakukan melalui perangkat lunak (software) QGis sehingga penjelasan metodologinya
hanya sebatas konsep pada masing-masing tahapannya saja.

Langkah 1: Penentuan Kesesuaian Lahan berdasarkan Parameter Fisik


Pemodelan alokasi spasial penutupan lahan melibatkan kesesuaian lahan yang bertujuan
untuk melihat pemanfaatan lahan yang optimal dan berkelanjutan (Safitri, 2021). Pada dasarnya,
proses yang dilakukan adalah mengidentifikasi pola spasial yang paling tepat untuk penggunaan
lahan di masa depan dengan tingkatan/level kesesuaian untuk setiap lokasi. Kesesuaian lahan
sangat bergantung pada parameter yang digunakan, namun umumnya berdasarkan karakteristik
fisik lahan. Melalui berbagai rujukan dan pertimbangan, matrik kesesuaian lahan yang digunakan
terdiri dari 12 parameter meliputi elevasi, kemiringan lereng, ekoregion, temperatur/suhu
permukaan tanah, curah hujan, jenis tanah, ketersediaan air, kandungan organik tanah/organic
carbon content (% weight), pH tanah (-log(H+)), carbon capture and storage (mm)/bulk density
(g/cm3), Topographic Wetness Index (TWI), serta Terrain Ruggedness Index (TRI).
Elevasi dan kemiringan diekstraksi dari data Shuttle Radar Topography Mission (SRTM). Suhu
permukaan tanah diambil menggunakan band 4, 5, dan 10 Landsat 8 OLI. Unit spasial yang
digunakan adalah grid dengan resolusi 30” x 30” (~0,9 km x 0,9 km). Ketersediaan air per distrik air
atau water district (WD) dikonversi menjadi grid dengan bobot berdasarkan jasa lingkungan
penyedia air. Kesesuaian lahan dilakukan menggunakan Error–Correcting Output Code Support
Vector Machine (ECOC-SVM) yang sudah sering digunakan dalam penelitian dengan akurasi
mencapai lebih dari 75%. Selain itu, metode ini dipilih dikarenakan kemampuan multi-kelas dan
menghitung nilai probabilitas kelas posterior sebagai tingkat kesesuaian penutupan lahan. Nilai
probabilitas posterior (dalam rentang 0-100%) yang dihitung menggunakan ECOC-SVM
menunjukkan tingkat kesesuaian penutupan lahan (McDowell et al, 2018).
Tingkat probabilitas yang tinggi menunjukkan tingkat kesesuaian yang tinggi untuk jenis
penutupan lahan tertentu. Secara teori, setiap lokasi memiliki kesesuaian terhadap semua jenis
penutupan lahan namun tingkat kesesuaiannya berbeda. SVM memberikan batas antar kelas
berdasarkan parameter terpilih secara bersama dan ECOC memungkinkan SVM untuk
menghasilkan nilai probabilitas posterior untuk tujuh kelas penutupan lahan pada setiap grid.
Akurasi hasil dari ECOC-SVM sangat tergantung pada kualitas data. Proses pengerjaan dengan
dimana masing-masing grid memiliki nilai dari 12 parameter dengan rentang nilai normalisasi 0-1
menggunakan metode normalisasi min-max. Penilaian setiap parameter pada setiap grid dilakukan
dengan metode maximum combined area (MCA), yaitu nilai di setiap grid dibandingkan luas total
terbesar yang dominan, akan dipilih menjadi nilai grid.
Gambar di bawah merupakan contoh tabel yang menampilkan hasil kesesuaian lahan
dengan metode ECOC-SVM. Angka 1-7 menunjukkan jenis penutupan lahan meliputi: (1) hutan; (2)
pertanian lahan basah; (3) pertanian lahan kering; (4) perkebunan; (5) lahan terbangun; (6) padang
rumput; (7) tambak; (8) kawasan lindung/konservasi; serta (9) badan air. Nilai pada tabel

73
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

menunjukkan persentase luas dari beberapa perhitungan probabilitas dengan terdapat nilai
maximum dan minimum. Namun untuk kawasan lindung/konservasi dan badan air akan selalu
memiliki nilai probabilitas 0,00% dikarenakan tetap dipertahankan luasannya.

Sebagai contoh, pada tabel di hutan memperoleh persentase luas sebesar 15,2% sebagai
nilai maksimum. Hal ini dapat diartikan bahwa di suatu lokasi akan menjadi prioritas utama dalam
pemilihan lokasi baru untuk lahan hutan. Namun apabila tidak terpenuhi persyaratannya, maka
dapat dipilih tingkat kesesuaian yang kedua dan seterusnya. Berbeda lagi dengan padang rumput
memperoleh pesentase sebesar 65,18% sebagai nilai minimum. Hal ini dapat diartikan bahwa di
suatu lokasi tidak menjadi prioritas atau pilihan terakhir sebagai lokasi padang rumput. Cakupan
luas kesesuaian lahan pada masing-masing penutup lahan dihasilkan melalui mengkalikan
persentase dengan total luas suatu lokasi.

PERSENTASE DARI DISTRIBUSI TINGKAT KESESUAIAN PPL (% )


LEVEL TOTAL
1* 2* 3* 4* 5* 6* 7* 8* 9*
MAX 15,20% 29,02% 34,89% 1,63% 8,74% 0,22% 0,95% 9,03% 0,33% 100%
2ND 25,52% 11,57% 34,96% 6,05% 5,21% 0,77% 6,57% 9,03% 0,33% 100%
3RD 21,27% 23,83% 17,14% 14,58% 7,64% 3,24% 2,94% 9,03% 0,33% 100%
4TH 17,77% 18,21% 3,62% 17,31% 23,38% 5,64% 4,72% 9,03% 0,33% 100%
5TH 9,20% 7,22% 0,19% 24,55% 34,05% 11,99% 3,45% 9,03% 0,33% 100%
6TH 1,58% 0,76% 0,00% 21,26% 11,54% 48,68% 6,83% 9,03% 0,33% 100%
MIN 0,07% 0,00% 5,22% 0,09% 20,09% 65,18% 0,00% 9,03% 0,33% 100%
Gambar 5-8 Contoh Hasil Penentuan Kesesuaian Lahan dengan ECOC-SVM
Sumber: Safitri, 2021

Langkah 2: Pemodelan 2K Spasial Secara Simultan

Setelah diketahui probabilitas kesesuaian lahan, maka tahapan selanjutnya adalah


pemodelan alokasi spasial berdasarkan parameter Kedekatan dan Kepadatan Spasial (2K Spasial).
Pemodelan ini berfungsi untuk mendapatkan lokasi yang dapat memenuhi sebagian atau seluruh
kebutuhan dari jenis penutupan lahan yang mengalami defisit (Safitri, 2021). Lokasi yang dimaksud
umumnya mengandalkan jenis penutupan lahan yang mengalami surplus tetapi tidak akan
menyebabkan degradasi lingkungan.

Kedekatan Spasial akan menggambarkan sekumpulan bidang dengan jenis


penutup/penggunaan lahan tertentu berkumpul atau bertetangga dengan bidang dengan jenis
penutupan lahan yang sama. Misalnya pada gambar berikut menunjukkan pencarian lokasi sawah
yang baru berdasarkan kedekatan, yaitu bersebelahan dengan lokasi sawah eksisting. Hal ini
dilakukan guna mencegah terjadinya fragmentasi lahan. Dalam perhitungan Kedekatan Spasial
menggunakan algoritma nearest neighbor berdasarkan jarak lurus atau Euclidean sesuai nilai
koordinat centroid setiap grid, serta nilai probabilitas posterior dari perhitungan kesesuaian lahan.

74
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

(a)

(b)

Gambar 2‑5 2K Spasial: (a) Kedekatan (b) Kepadatan Spasial untuk Alokasi Spasial Penutupan Lahan

Sumber: Safitri, 2021

Sedangkan Kepadatan Spasial menggambarkan bidang-bidang dengan jenis penutupan


lahan yang sama saling bertetangga, membentuk sebuah lingkaran/melingkar (Cao, 2018 dan
Ligmann-Zielinska et al, 2008 dalam Safitri, 2021). Dalam Kepadatan Spasial menggunakan sistem
metrik polsby-popper yang paling konsisten dalam menghitung berbagai bentuk geometri melalui
perbandingan luas wilayah dengan luas lingkaran yang kelilingnya sama dengan keliling wilayah
(Safitri, 2021). Kepadatan Spasial digunakan untuk mempermudah tersedianya beberapa maupun
seluruh batas pareto sebagai hasil dari optimasi atau disebut dengan istilah optimasi multi-tujuan.
Sehingga secara singkat metode pemilihan lokasi atau alokasi spasial pada masing-masing
pendekatan adalah sebagai berikut.
 Pemilihan lokasi dengan kedekatan spasial (K1) menggunakan pendekatan nearest neighbor:
Lokasi Penutupan Lahan K1 = 𝒇 {jarak antar centroid, probabilitas kesesuaian penutupan
lahan}
 Pemilihan lokasi dengan kepadatan spasial (K2) menggunakan pendekatan optimasi pareto:
Lokasi Penutupan Lahan K2 = 𝒇 {jarak antar centroid, skor PP, luas kluster, luas pulau,
probabilitas kesesuian penutupan lahan}
 Pemilihan lokasi dengan 2K secara simultan menggunakan pendekatan optimasi pareto:
Lokasi Penutupan Lahan 2K = 𝒇 {K1, K2 probabilitas kesesuian penutupan lahan}

75
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

Gambar 5-9 Optimasi pareto untuk lokasi-alokai penutupan lahan dengan kedekatan
dan kepadatan spasial (2K) simultan
Sumber: Safitri et al, 2021

Gambar 3-9 menunjukkan model alokasi spasial penutupan lahan dengan 2K Spasial
simultan menggunakan optimasi pareto melalui tahapan mengombinasikan algoritma-algoritma
yang telah dibangun untuk kedekatan dan kepadatan spasial. Algoritma pendekatan integrasi
model 2K Spasial Simultan pada alokasi spasial memang pada dasarnya dibangun karena adanya
permasalahan pembangunan yang cepat tanpa perencanaan sehingga menimbulkan penurunan
kualitas lingkungan, alih fungsi lahan menyebabkan fragmentasi lahan dan penggunaan lahan yang
berdampingan tapi saling memberi dampak negatif (permukiman bersebelahan dengan kawasan
industri). Pendekatan model 2K Spasial secara simultan menjadi model terbaik dengan jarak
terdekat paling kecil dan kepadatan spasial paling tinggi tetapi dengan hasil jumlah kandidat lokasi
lahan baru yang lebih sedikit namun dengan perbedaan yang tidak signifikan. Hal tersebut
dikarenakan jumlah pembatas yang lebih banyak dibandingkan dengan model lainnya dalam
rangka mencapai perubahan penutupan lahan yang berkelanjutan. Sehingga tiap klasifikasi
penutupan lahan yang telah disesuaikan berdasarkan hasil model spasial alokasi lahan akan
diteruskan menjadi komposisi penutupan lahan optimum.
Perlu dipahami optimasi alokasi luas dan spasial penutupan lahan memang
mengedepankan kondisi optimum yang ideal. Namun tetap pada pengaplikasiannya mengacu
aturan kebijakan penataan ruang yang berlaku. Sehingga tidak serta merta harus dialih
fungsikan semuanya menjadi optimum. Apabila kasus terburuknya dibutuhkan untuk alih
fungsi lahan harus melihat kondisi penutupan lahan di beberapa tahun belakangnya. Hal ini
dilakukan guna mengecek apabila berubah tidak akan mengganggu tatanan fungsi
lingkungan hidup secara keseluruhan.

76
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

5.1.2.4 Penentuan Status D3TLH dan Gap Jasa Lingkungan Hidup

Merujuk pada subbab 5.2.1, perhitungan kondisi biogeofisik dari Biokapasitas dan Jejak
Ekologis akan menghasilkan Optimasi Alokasi Penutupan Lahan. Berlanjut dari optimasi tersebut
akan dihasilkan jumlah penduduk optimum dan penutupan lahan optimum yang selanjutnya
dijadikan sebagai acuan untuk menghasilkan dua kondisi berikut.

Gambar 5-10 Alur Metode Penentuan Status D3TLH dan Gap Jasa Lingkungan Hidup
Sumber: Dimodifikasi dari Taradini, 2018

Status D3TLH

Status D3TLH didefinisikan sebagai kondisi D3TLH melalui pendekatan jumlah penduduk
dari hasil Optimasi Alokasi Penutupan Lahan dengan eksisting pada saat D3TLH disusun. Jumlah
penduduk optimum ini dapat diketahui persebarannya pada Pulau/Kepulauan mengikuti nilai
D3TLH dalam peta dengan sistem grid skala ragam ukuran 30’’ x 30” (± 0,9km x 0,9km). Persebaran
penduduk optimum pada grid mempertimbangkan bobot dari setiap jenis penutupan lahan. Bobot
tipe penutupan lahan ditentukan oleh pakar dan/atau disesuaikan dengan referensi ilmiah.
Semakin besar bobot pada tipe penutupan lahan, maka distribusi jumlah penduduk di wilayah
tersebut akan semakin besar. Adapun bobotnya meliputi hutan (0,009), pertanian lahan basah
(0,048), pertanian lahan kering (0,029), perkebunan (0,002), lahan terbangun (0,328), tambak
(0,038). Sedangkan padang rumput, kawasan lindung/konservasi, dan badan air bernilai 0.
Status D3TLH mencakup klasifikasi Belum Terlampaui dan Terlampaui. Status Belum
Terlampaui diartikan jumlah penduduk eksisting kurang dari jumlah penduduk optimum.
Sedangkan Status Terlampaui diartikan jumlah penduduk eksisting lebih dari jumlah penduduk
optimum. Status Terlampaui bukan berarti suatu wilayah tidak dapat memenuhi dan melayani
kebutuhan wilayahnya sendiri melainkan tetap berfungsi apabila didukung oleh wilayah lainnya.
Status D3TLH ini juga ada kaitannya dengan jasa lingkungan hidup optimum. Hal ini terlihat dimana
jumlah penduduk optimum menjadi acuan dalam menilai sejauh mana dan seberapa besar jasa
lingkungan hidup yang perlu disiapkan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis penduduk per orang.
Dapat disimpulkan bahwa Status D3TLH dapat digunakan sebagai acuan dalam ambang batas

77
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

pengelolaan pola perilaku maupun konsumsi manusia terhadap pemanfaatan sumber daya alam
di suatu Pulau/Kepulauan hingga daerah provinsi.

Gap Jasa Lingkungan Hidup


Gap jasa lingkungan hidup didefinisikan sebagai informasi tambahan kondisi suplai melalui
pendekatan jasa lingkungan hidup dari hasil Optimasi Alokasi Penutupan Lahan dengan eksisting
pada saat D3TLH disusun. Jasa lingkungan hidup pada dasarnya menjadi ambang batas (threshold)
suplai yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Gap jasa lingkungan hidup
didapatkan dari analisis overlay Indeks Jasa Lingkungan Hidup Optimum dan Indeks Jasa
Lingkungan Hidup Eksisting. Melalui informasi gap antar kedua jasa lingkungan hidup, maka akan
didapatkan arahan lokasi mana yang perlu ditingkatkan fungsinya maupun melindungi yang masih
memiliki fungsi tinggi. Dengan kata lain, dapat dijadikan acuan dalam menentukan arahan RPPLH
bagi keberlangsungan lingkungan hidup ke depannya.

Pada umumnya, dalam menghitung jasa lingkungan hidup mengacu pada bobot dan skor
dari tiga parameter, yaitu penutupan lahan, karakteristik bentang alam (KBA), dan karakteristik
vegetasi alami (KVA). Hal yang membedakan adalah penutupan lahannya dimana pada optimum
didasarkan dari hasil pemodelan optimasi alokasi. Alur perhitungannya melalui pembobotan dan
skor berdasarkan peran ketiga parameter terhadap jasa lingkungan hidup tertentu. Adapun rumus
matematik perhitungan jasa lingkungan hidup umunya adalah sebagai berikut.

Jasa Lingkungan Hidup Optimum,Eksisting = f {Bentang Alam, Vegetasi Alami, Penutupan Lahan}
= (Wba × Sba) + (Wveg × Sveg) + (Wpl × Spl)
Keterangan:
Wba = Bobot bentang alam
Sba = Skor bentang alam
Wveg= Bobot vegetasi alami
Sveg = Skor vegetasi alami
Wpl = Bobot penutupan lahan
Spl = Skor penutupan lahan

Perhitungan jasa lingkungan hidup eksisting maupun optimum diasumsikan mampu


menggambarkan SDA Potensi Terbarukan yang terdiri dari air, lahan, dan kehati. Hingga Materi
Teknis Penentuan dan Penetapan D3TLH Provinsi disusun, jasa lingkungan hidup yang dimaksud
mencakup pengatur air, penyedia pangan, dan perlindungan keanekaragaman hayati. Hal ini
dikarenakan ketiga SDA tersebut sangat dipengaruhi maupun mempengaruhi sisi suplai lingkungan
hidup dan kebutuhan fisiologis manusia. Didasarkan juga bahwa hanya ketiga SDA tersebut yang
sudah memiliki ketetapan nilai bobot dan skor pada masing-masing parameter pembentuk jasa
lingkungan hidup. Adapun untuk perbedaan bobot untuk pengatur air dan penyedia pangan
mencakup 28% KBA, 12% KVA, dan 60% penutupan lahan; sedangkan pendukung kehati mencakup
24% KBA, 16% KVA, dan 60% penutupan lahan. Meskipun begitu, kelemahannya adalah nilai bobot
dan skor yang dimaksud belum melalui proses verifikasi secara faktual. Ketetapan penggunaan
nilai bobot dan skor berhubungan juga dengan penentuan ekoregion yang sudah terdapat basis
hukumnya pada SK.1272/MENLHK/SETJEN/PLA.3/12/2021 berskala 1:250.000. Apabila nantinya
diturunkan menjadi skala 1:125.000 pun masih relevan.

78
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

Selanjutnya hasil perhitungan jasa lingkungan hidup untuk pengatur air, pendukung kehati
dan penyedia pangan akan menghasilkan indeks yang kemudian dijadikan satu indeks komposit
melalui metode rata-rata geometrik yang disebut dengan IJLH (Indeks Jasa Lingkungan Hidup)
Gabungan. IJLH Gabungan dapat menggambarkan kondisi proses, fungsi, dan produktivitas
lingkungan hidup di suatu wilayah. Dengan kata lain, semakin tinggi IJLH Gabungan maka
lingkungan hidupnya masih berfungsi dengan baik. IJLH Gabungan dari eksisting akan menjadi
dasar dalam mengetahui posisi provinsi sedangkan IJLH Gabungan dari optimum akan menjadi
dasar rata-rata nasional pada Kuadran Keberlanjutan. Oleh karena itu, apabila IJLH Gabungan
eksisting lebih kecil dari IJLH Optimum maka posisi provinsi akan semakin berada di kuadran yang
jauh dari kondisi berkelanjutan. Adapun secara umum baik eksisting maupun optimum memiliki
nilai IJLH Gabungan yang berada di rentang 5 kelas dengan pembagian nilai sebagai berikut.

Tabel 5-14 Kelas Indeks Indeks Jasa Lingkungan Hidup

Warna Rentang Kelas Kelas Indeks Jasa Lingkungan Hidup


4,21-5,00 Sangat Tinggi
3,41-4,20 Tinggi
2,61-3,40 Sedang
1,81-2,60 Rendah
1,00-1,80 Sangat Rendah
Sumber: Tim Penyusun, 2023

5.1.2.5 Perhitungan Sosial, Ekonomi, dan Budaya


Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kondisi sosial, ekonomi dan budaya dijadikan
sebagai narasi causal model yang menggambarkan kondisi masyarakat dalam rangka jaring
pengaman sosial (social safety net) sebagai strategi tata kelola lingkungan hidup di suatu wilayah.
Selain itu, kondisi sosial, budaya dan ekonomi dapat dijadikan acuan dalam mengetahui isu
kendala ataupun dorongan masyarakat terhadap keseimbangan ketersediaan dan kebutuhan
sumber daya alam. Mengetahui kondisi sosial, budaya dan ekonomi berfungsi untuk terwujudnya
masyarakat yang sejahtera, yaitu masyarakat yang ditopang oleh abundance dari ragam sumber
yang disediakan oleh alam.
Taraf kehidupan masyarakat adalah kondisi kecukupan dalam pemenuhan kebutuhan
fisiologis, yang meliputi sandang, pangan dan papan, yang diperlukan untuk menjaga kesehatan
dan perkembangan fisik anggota keluarga. Dalam kondisi normal, sebuah keluarga akan
mengandalkan berbagai sumber kebutuhannya. Masyarakat tradisional yang mengerjakan
perburuan dan meramu akan sangat tergantung pada kawasan hutan atau alam terbuka untuk
memenuhi kebutuhan pangan. Sedangkan masyarakat kota, mengandalkan pemenuhan
kebutuhannya lewat mekanisme jual beli di pasar, yang mana ditentukan oleh pendapatan dari
pekerjaan yang dimiliki seseorang. Kesempatan kerja, kestabilan pola pencaharian serta
penghidupan (employment dan livelihood) menjadi sangat menentukan mutu hidup dan
kesejahteraan seseorang.
Masyarakat yang terpenuhi kebutuhan fisiologis-nya, secara langsung maupun tidak,
mencerminkan pula kemampuannya menghindar dari ancaman/bahaya, tekanan dan perubahan
yang terjadi di sekitar mereka. Daya dukung alam dan juga masyarakat yang diandalkan dalam

79
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

situasi rawan lingkungan hidupnya, akan menentukan kapasitas individu dan keluarga untuk
menghadapi kekeringan, banjir, kelangkaan air, wabah dan kondisi bahaya lain yang dapat
menimpa. Sedangkan siklus kerawanan atau instabilitas ekonomi yang dapat berdampak pada
pemutusan hubungan kerja dan pendapatan, harus ditanggulangi dengan sistem perlindungan
sosial yang berlaku. Disini, kapasitas kelembagaan masyarakat, keluarga dan peran pemerintah
menjadi penting dalam menciptakan dan memelihara sistem dukungan (support system) yang
diperlukan. Dari sudut daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, kapasitas sistem
kehidupan masyarakat ini akan sangat tergantung pada kualitas tata kelola (governance)
lingkungan hidupnya, yang mana akan menjamin pelaksanaan jasa lingkungan (ecosystem
services).
Perumusan indikator sosial, budaya, ekonomi dalam D3TLH pada dasarnya terkait dengan
pemahaman dinamika perubahan yang terjadi pada lingkungan hidup dalam kaitannya dengan
perkembangan kehidupan sosial, budaya dan ekonomi dalam masyarakat. Ada sejumlah konsep
yang harus dijabarkan dalam kaitan dengan hubungan keberlanjutan dengan proses
perkembangan atau perubahan pada sistem ekologi sosial (social-ecological system). Hansen (2014)
menulis artikel berijudul “Biodiversity governance and social-ecological system dynamics:
transformation in the Australian Alps”. Dalam tulisannya , pertanyaan besar yang ingin dijawab
adalah : What are the ramifications of SES dynamics for biodiversity governance of a nationally
significant landscape? Biodiversity governance adalah kata kunci, sedangkan SES dapat dikatakan
sebagai konteks yang mempengaruhi pencapaian kondisi ideal keberlanjutan.
Akhir-akhir ini Indonesia sedang mengalami perubahan sosial, budaya, ekonomi dan
lingkungan yang cepat. Pembangunan sosial, budaya dan ekonomi secara langsung maupun tidak
langsung berdampak pada dinamika karakteristik lingkungan yang berujung pada perubahan daya
dukung dan daya tampung alam. Melalui uraian berikut, berikut adalah 3 uraian pokok yang perlu
diperhatikan dalam penilaian D3TLH.
1. Konteks pembangunan dan perubahan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Industrialisasi dan pengembangan komoditi bernilai ekspor adalah salah satu pencetus
perubahan lingkungan yang paling signifikan. Ketergantungan negara terhadap ekspor telah
mendorong kebutuhan lahan dan perubahan peruntukan yang merubah secara mendasar
ekosistem dan daya dukung alami yang dimiliki.
2. Pentingnya rujukan konsepsi tiga fungsi ecosystem services (jasa lingkungan hidup).
Penting untuk merujuk pada upaya melestarikan daya dukung alam dalam rangka menjaga
kapasitasnya untuk manjalankan tiga fungsi jasa lingkungan: memberikan (provision),
mengatur (regulating) dan jasa kultural (cultural services). Jasa lingkungan akan bercirikan
karakteristik dari setiap kawasan ekosistem (ecoregions). Keberlanjutan dalam masing masing
ekosistem akan tergantung pada ecosystem governance yang didefinisikan sebagai corak
pendekatan kelembagaan yang melaksanakan tugas menjaga daya dukung kualitas ekosistem
dalam menopang penghidupan dan kehidupan di bumi.
3. Aspek sosial, budaya, ekonomi terkait indikator keselamatan, mutu hidup dan kesejahteraan.
Pada dasarnya ketiga indikator yang disebut dikategorikan sebagai outcome yang sifatnya goal
based dan causal model.

80
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

Dapat disepakati pentingnya titik tolak pemahaman substantif akan konsep jasa lingkungan
sebagai dasar rujukan membangun sistem pemantauan dan pengendalian terhadap daya dukung
dan daya tampung lingkungan hidup. Loss of ecosystem services may compromise the resilience of
social-ecological systems (SESs) and, thus, the economic, mental, and physical well-being of future
generations (Mooney et al. 2009, Ehrlich et al. 2012). Pendekatan kawasan ekosistem (ekoregion)
merupakan tantangan tersendiri. Pendekatan dengan basis karakteristik alam dan lingkungan yang
khas memerlukan pemahaman pada dimensi dasar dari karakteristik, yang mana menandakan
potensi.

Gambar 5-11 Social-Ecological System


Sumber: Diolah dari berbagai sumber, 2023

Lebih lanjut, kita ketahui bahwa upaya mencapai perbaikan keselamatan, mutu hidup dan
kesejahteraan masyarakat sesuai yang tertuang dalam Pasal 12 pada Undang-Undang 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup akan sangat tergantung pada
banyak hal. Realita dinamika penghidupan masyarakat sangat kompleks dan mencakup bekerjanya
berbagai unsur yang memberikan hasil akhir perbaikan taraf kehidupan masyarakat. Terkait fokus
pada daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, penting kita mencatat dua hal pokok
meliputi (1) kondisi dan bekerjanya tata kelola kebijakan lingkungan hidup (ecosystem governance)
dan (2) bagaimana kualitas dari tata kelola pemerintahan secara umum (state governance). Diagram
berikut memberikan gambaran lebih jauh tentang inter-relasi yang menentukan kondisi tata kelola
lingkungan hidup dan tata kelola kebijakan pemerintahan dalam mengelola kehidupan, khususnya
di bidang ekonomi (yang mencakup pula pilihan teknologi) yang menjadi driver utama perubahan
lingkungan hidup.
Pada Diagram berikut memberikan gambaran singkat tentang struktur interaksi elemen
yang menentukan hasil akhir keselamatan, mutu hidup dan kesejahteraan masyarakat. Menjadi
perhatian kita adalah unsur penggerak perubahan lingkungan (driver perubahan) yang sangat erat
dengan berjalannya proses industrialisasi, pertambahan penduduk dan teknologi yang digunakan
untuk menggerakkan produksi. Semua unsur ini menjadi stressor (penekan) bagi berfungsinya jasa
lingkungan hidup; memberikan manfaat lingkungan bagi kehidupan manusia. Dalam konteks

81
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

bekerjanya industri, urbanisasi dan fasilitasi kesejahteraan masyarakat akan ditentukan oleh
kualitas kebijakan publik dan khususnya kebijakan serta implementasi tata kelola lingkungan
hidup.

Gambar 5-12 Kerangka Kesejahteraan, Jasa Lingkungan dan Driver Perubahan


Sumber: Tim Penyusun, 2023

Aspek sosial, budaya, dan ekonomi akan dirumuskan pada suatu parameter yang
terminologinya sudah disepakati, yaitu Keselamatan, Mutu Hidup, dan Kesejahteraan sebagai
indikator outcome dari D3TLH Provinsi. Kemudian, gabungan dari ketiga indeks tersebut akan
menjadi indeks akumulatif yang disebut Indeks Keselamatan, Mutu Hidup dan Kesejahteraan
(KMK). Indeks KMK ini termasuk dalam kategori indeks rata-rata relatif kuantitas sederhana, yang
memiliki bobot masing-masing unsur pembentuknya dengan nilai yang setara. Dalam perhitungan
ini menunjukkan masing-masing indeks pembentuk memiliki nilai 1/3 atau 3,33. Kemudian, setiap
indeks akan terdiri dari 2 atau lebih variabel. Variabel tersebut akan terdiri dari satu indikator yang
menjadi tolok ukur serta menggunakan data yang sudah tersedia. Hal ini menunjukkan pendekatan
perhitungan Indeks KMK ini menggambarkan secara makro terhadap kondisi sosial, budaya, dan
ekonomi suatu wilayah.

Gambar 5-13 Alur Metode Sosial, Ekonomi, dan Budaya


Sumber: Tim Penyusun, 2023

82
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

5.1.2.6 Keselamatan

Keselamatan adalah kondisi kesehatan diri yang menyangkut fisik manusia yang harus
dijaga baik mengenai keamanan tubuh/jasmani, rohani/jiwa dan sosial maupun keselamatan dari
gangguan/ancaman terhadap jiwa dan raga manusia. Keselamatan hidup yang tingkatannya
ditinjau menggunakan akses hunian layak, sedangkan untuk keselamatan dari bahaya ditinjau
menggunakan indikator risiko bencana suatu wilayah. Hasil dari perhitungan kedua variabel
tersebut akan bermakna semakin tinggi nilai akses hunian yang layak dan terjangkau serta semakin
kecil nilai risiko bencana di suatu wilayah, maka semakin besar nilai keselamatan wilayah tersebut.
Keselamatan Hidup
Keselamatan hidup merupakan pengetahuan sebagai kapasitas seseorang dalam menjaga,
melindungi diri dan sosialnya terhadap ancaman/bahaya dan cara-cara untuk menghindari diri dari
segala sesuatu yang mengancam dan membahayakan keselamatan. Variabel keselamatan diri
diidentifikasi dengan indikator akses hunian yang layak dan terjangkau. Data untuk keselamatan
hidup ini bersumber dari walidata: Badan Pusat Statistik melalui ‘Persentase Rumah Tangga yang
Memiliki Akses Terhadap Hunian Yang Layak Dan Terjangkau Menurut Provinsi’. Data tersebut dalam
bentuk proporsi dengan dengan satuan persentase. Pemilihan akses hunian layak dan terjangkau
karena memiliki kriteria yang sudah cukup makro dan memiliki makna yang mengindikasi pada
kondisi kesehatan masyarakat. Pendekatan akses hunian layak ini sejak tahun 2019 ini sudah
memenuhi 4 (empat) kriteria, yaitu kecukupan luas tempat tinggal per kapita, akses terhadap air
minum layak, akses terhadap sanitasi layak dan ketahanan bangunan. Sejalan dengan tujuan
Sustainable Development Goals tentang komitmen masyarakat internasional mendukung hak asasi
manusia melalui aksi mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan, dan melindungi
lingkungan.

Keselamatan dari Bahaya


Keselamatan dari bahaya adalah suatu usaha, kegiatan atau peristiwa baik mencapai sehat
dan aman dari manusia, makhluk hidup maupun untuk alam yang dapat dinilai bisa
membahayakan diri komunitas, bangsa dan maupun tanah air. Variabel keselamatan dari bahaya
(aman) diidentifikasi melalui indikator risiko bencana. Makna dari indikator risiko bencana ini
nantinya merupakan nilai yang berbanding terbalik untuk penilaian keselamatan. Data untuk
keselamatan dari bahaya ini bersumber dari walidata: Badan Penanggulangan Bencana Indonesia
melalui Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI). Data tersebut berupa indeks nilai. Pemilihan IRBI
karena kajian risiko bencana dilakukan dengan melakukan perhitungan pada komponen bahaya
(ancaman dan keterpaparan bencana alam), kerentanan dan atau kerawanan (kondisi fisik
lingkungan dan sosial, ekonomi, dan budaya), dan kapasitas (kebijakan dan kelembagaan) di
masing-masing provinsi (BNPB, 2023).

Penilaian parameter bahaya dilakukan penentuan bobot pada masing-masing jenis bahaya
yang diidentifikasi melalui hubungan antara frekuensi kejadian dengan adanya tidak peringatan.
Ilustrasi menggunakan kuadran dari keterhubungan tersebut di Gambar 3-6. Jenis bahaya tersebut
diberikan tingkat bobot yang bernilai 3, 4 dan 5, sebagai berikut:

- Bobot 3 dengan frekuensi kejadian rendah dan terdapat peringatan, yaitu bencana letusan
gunung api.

83
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

- Bobot 4 dengan frekuensi kejadian rendah tetapi dan tanpa peringatan, yaitu tsunami, gempa
bumi dan kebakaran permukiman
- Bobot 4 dengan frekuensi kejadian tinggi dan ada peringatan, yaitu badai, banjir, dan
kebakaran hutan
- Bobot 5 dengan frekuensi kejadian tinggi dan tanpa peringatan, yaitu banjir dan longsor.

Gambar 5-14 Kuadran Pembobotan Bencana


Sumber: Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2022

Disclaimer Keselamatan
Kondisi sehat terbagi menjadi sehat sosial yang menunjukkan semakin banyak jumlah
Lembaga di suatu wilayah menandakan semakin baiknya wilayah tersebut melakukan bonding,
bridging dan linking social untuk beralkulturasi, asimilasi dan amalgamasi, menunjukkan
kohesifitas sosial dan colective efficacy sehingga tidak menimbulkan segregasi sosial yang dapat
menurunkan konflik antar individu atau kelompok. Sehat rohani pada suatu wilayah menandakan
bahwa setiap individu memiliki agama yang dianut. Selanjutnya, yang paling mendasar yaitu sehat
jasmani terkait kondisi fisik yang menandakan setiap individu mampu berperilaku memelihara,
menjaga normalnya fungsi organ tubuh yang tidak berpotensi terganggu agent penyakit dan
kondisi lingkungannya. Dalam perhitungan keselamatan alam penyusunan D3TLH disepakati
menggunakan aspek sehat jasmani melalui akses terhadap hunian yang layak dan terjangkau.

Perhitungan Skor Keselamatan


Normalisasi Min-Max Untuk 2 Variabel
Langkah pertama yaitu dengan normalisasi data untuk variabel hunian layak dan risiko
bencana. Normalisasi data menggunakan metode Min-Max. Pendekatan tersebut diperlukan untuk
mempermudah dalam melakukan perhitungan kedua variabel tersebut. Metode min max bertujuan
untuk mengubah satuan data menjadi nilai dengan rentang 0 (min) sampai dengan 1 (max).
Normalisasi data tersebut memiliki dua arah perhitungan, arah positif untuk indikator akses hunian
layak dan terjangkau dan arah negatif untuk indikator risiko bencana. Berikut rumus normalisasi
data untuk indikator yang memiliki arah positif:

84
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

Normalisasi Hunian Layak


𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠𝑒 𝐻𝑢𝑛𝑖𝑎𝑛 𝐿𝑎𝑦𝑎𝑘 Pr 𝑜 𝑣𝑖𝑛𝑠𝑖 𝑋 − 𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠𝑒 𝑇𝑒𝑟𝑘𝑒𝑐𝑖𝑙 𝐻𝑢𝑛𝑖𝑎𝑛 𝐿𝑎𝑦𝑎𝑘 𝑁𝑎𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙
=
𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠𝑒 𝑇𝑒𝑟𝑏𝑒𝑠𝑎𝑟 𝐻𝑢𝑛𝑖𝑎𝑛 𝐿𝑎𝑦𝑎𝑘 𝑁𝑎𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙 − 𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠𝑒 𝑇𝑒𝑟𝑘𝑒𝑐𝑖𝑙 𝐻𝑢𝑛𝑖𝑎𝑛 𝐿𝑎𝑦𝑎𝑘 𝑁𝑎𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙
Sedangkan untuk rumus normalisasi data untuk indikator yang memiliki arah negatif adalah
sebagai berikut:
𝐼𝑅𝐵𝐼 Pr 𝑜 𝑣𝑖𝑛𝑠𝑖 𝑋 − 𝐼𝑅𝐵𝐼 𝑇𝑒𝑟𝑏𝑒𝑠𝑎𝑟 𝑁𝑎𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙
𝐍𝐨𝐫𝐦𝐚𝐥𝐢𝐬𝐚𝐬𝐢 𝐑𝐢𝐬𝐢𝐤𝐨 𝐁𝐞𝐧𝐜𝐚𝐧𝐚 = 1 − ( )
𝐼𝑅𝐵𝐼 𝑇𝑒𝑟𝑏𝑒𝑠𝑎𝑟 𝑁𝑎𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙 − 𝐼𝑅𝐵𝐼 𝑇𝑒𝑟𝑘𝑒𝑐𝑖𝑙 𝑁𝑎𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙
Akumulatif Skor Keselamatan
Kedua persamaan di atas menghasilkan nilai baru untuk variabel hunian layak dan risiko
bencana yang sudah ter-normalisasi dengan nilai 0 sampai dengan 1. Sehingga, rumus persamaan
selanjutnya yaitu akumulatif pada dua variabel yang menjadikan rumusan untuk Skor
Keselamatan. Indikator Keselamatan menggunakan operasi matematik sebagai berikut:

Skor Keselamatan = f {Hunian, Risiko Bencana}


(HL) + (RB)
𝑆𝑘𝑜𝑟 𝐾𝑒𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎𝑡𝑎𝑛 =
2
Keterangan:
HL = Normalisasi Nilai Hunian Layak
RB = Normalisasi Nilai Risiko Bencana
Hasil perhitungan Skor Keselamatan akan dikategorikan menggunakan rentang 0 sebagai
skor terendah dan 1 sebagai skor tertinggi. Penjabaran dari rentang kelas dan kategori keselamatan
pada Tabel 5-15 berikut.
Tabel 5-15Kelas Skor Keselamatan

Warna Rentang Kelas Kelas Skor Keselamatan


0.81 – 1.0 Sangat Tinggi
0.61 – 0.8 Tinggi
0.41 – 0.6 Sedang
0.21 – 0.4 Rendah
0.0 – 0.2 Sangat Rendah
Sumber: Tim Penyusun, 2023

5.1.2.7 Mutu Hidup

Mutu Hidup adalah gambaran dari kualitas penduduk dan pemajuan budaya yang
berkaitan dengan jasa lingkungan yang tersedia dimana penduduk tinggal. Kualitas penduduk yang
tingkatannya ditinjau menggunakan Indeks Pembangunan manusia, sedangkan untuk pemajuan
kebudayaan ditinjau menggunakan indikator akumulatif dimensi pembentuk Pembangunan
kebudayaan. Hasil dari perhitungan kedua variabel tersebut akan bermakna: semakin tinggi nilai
indeks Pembangunan manusia dan semakin tingginya nilai pembangunan kebudayaan di suatu
wilayah, maka semakin besar skor mutu hidup wilayah tersebut.
Kualitas Penduduk
Kualitas Penduduk adalah tujuan dari upaya pembangunan manusia diharapkan dapat
mengoptimalkan pembangunan nasional. Variabel kualitas penduduk diidentifikasi dengan
indikator pembangunan manusia. Pembangunan manusia adalah upaya untuk meningkatkan

85
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

kualitas hidup manusia (freedom and choice) melalui berbagai aspek seperti umur panjang dan
sehat, pengetahuan, dan standar hidup layak dan berkelanjutan. Data untuk kualitas penduduk ini
bersumber dari walidata, yaitu Badan Pusat Statistik melalui Indeks Pembangunan Manusia
Provinsi. Data tersebut merupakan data indeks nilai. Pemilihan Indeks Pembangunan Manusia
karena memiliki kriteria yang sudah cukup makro dan memiliki makna yang mengindikasi pada
kualitas hidup suatu penduduk dengan indikator umur harapan hidup saat lahir, harapan lma
sekolah, rata-rata lama sekolah, dan pengeluaran riil per kapita yang disesuaikan (BPS, 2022).
Pendekatan Indeks Pembangunan Manusia ini sejak tahun 2014 telah terjadi penyempurnaan
metode dan standarisasi dari UNDP.

Pemilihan tersebut sejalan dengan tujuan Sustainable Development Goals tentang


meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan, serta memperbaiki lingkungan hidup, sehingga
keberhasilan pembangunan tidak hanya diukur dengan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga harus
memperhitungkan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Selain itu didukung juga dari RPJMN
memberikan fokus pada peningkatan akses dan kualitas pendidikan, kesehatan, perumahan, dan
perlindungan sosial, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia secara
keseluruhan (RPJMN 2020-2024, 2020).
Pemajuan Kebudayaan

Upaya meningkatkan ketahanan identitas (esensial dan interaksional) dan kontribusi


perilaku, budaya Indonesia merdeka menentukan pilihan (freedom and choice) di tengah
peradaban dunia melalui pembangunan kebudayaan disebut juga pemajuan kebudayaan. Variabel
pemajuan kebudayaan diidentifikasi dengan indikator karakter ruang budaya. Karakter ruang
budaya adalah gambaran dari kualitas kebudayaan yang dilihat dari ketahanan sosial dan budaya,
warisan budaya dan budaya literasi. Data untuk karakter ruang budaya ini bersumber dari walidata,
yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang bekerja sama dengan Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional dan Badan Pusat Statistik melalui Indeks Pembangunan Kebudayaan
Provinsi. Data tersebut merupakan indeks nilai. Pemilihan Indeks Pemajuan Kebudayaan karena
memiliki kriteria dalam 3 dimensi yang disepakati dapat mewakili gambaran dari dinamika
kebudayaan yang sudah memperhatikan bobot yang sudah memenuhi >50% dari keseluruhan
bobot dalam IPK, serta ketiga dimensi tersebut tidak mengalami pengulangan indikator penilaian
dengan indikator yang dipilih oleh Indeks Pembangunan manusia. Tindak lanjut terkait karakter
ruang budaya adalah untuk menilai perilaku budaya terkait lingkungan hidup. Dimensi yang
digunakan dalam penyusunan skor mutu hidup ini adalah dimensi warisan budaya, ketahanan
sosial dan budaya serta budaya literasi. Pendekatan ini sebagai proxy dalam menganalogikan mutu
hidup dan menuju sejahtera rakyat saat bangsa tersebut dapat menjaga nilai warisan budaya /cagar
budaya (benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, situs cagar budaya, kawasan cahar budaya,
struktur cagar budaya) dan bahasa, seni daerah. Sehingga, dinamisnya budaya dalam penilaian
pemajuan atau proses pembangunan budaya, lebih tepat dengan membandingkan dua periode
tahun dari masing-masing dimensi yang disepakati, yaitu selisih angka dari tahun 2021 dan 2020.
Disclaimer Mutu Hidup

 Aspek budaya mendapati asumsi terkait unsur pengetahuan atau proses pembelajaran
sebagai penguatan akar suatu individu di suatu bangsa agar menciptakan kemampuan

86
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

beradaptasi, modifikasi, menemukan hal baru (invention) dan inovasi (murah, mudah,
cepat, tidak merusak dan berguna pendukung keberlangsungan lingkungan hidup).
 Penggunaan data dari Indeks Pembangunan Kebudayaan didapati masih terbatas yang
diidentifikasi bersumber dari daftar pertanyaan atau daftar indikator pada masing-masing
dimensi, tetapi sudah dapat dijadikan proxy bentuk Indeks Pembangunan kebudayaan
sebagaimana menggunakan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang masih bersifat
makro. Hal ini menunjukan, setiap nilai dimensi yang nilainya langsung digunakan tidak
dapat mencerminkan kondisi yang lebih detail.
 Angka penilaian warisan budaya menunjukan indikasi angka pencapaian pemerintah
daerah terhadap kinerja pemajuan kebudaayan itu sendiri sesuain dengan Undang-undang
Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan disahkan Pemerintah sebagai acuan
legal-formal pertama untuk mengelola kekayaan budaya di Indonesia.
 Perihal warisan budaya/cagar budaya, setiap pemerintah pusat dan daerah membentuk
Tim Ahli Cagar Budaya (TACB daerah provinsi, Kabupaten/Kota dan TACB Nasional) yang
kinerja dan capaiannya menjadi indikator penilaian apakah tim ahli cagar budaya tersebut
melakukan tugasnya yaitu : pengkajian, pengklasifikasian, mereview berkas usulan,
merekomendasikan: objek pendaftaran, penetapan, pemeringkatan, penginventarisasian
ulang cagar budaya yang ditemukan kembali dan penghapusan cagar budaya, dalam
rangka Pelestarian: perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan cagar budaya untuk
pembelajaran jejak nilai-nilai sejarah bangsa (jatidiri bangsa / identitas esensial dan
interaksional) atau masih belum optimal dalam menjaga warisan budaya yang tersedia di
masing-masing provinsi atau kabupaten/kota dan Nasional.
 Perihal literasi budaya, setiap pemerintah daerah bekerja sama dengan Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dan Organisasi Riset Arbastra - BRIN (Arkeologi,
Bahasa, dan Sastra – Badan Riset Inovasi Nasional), khusus terkait dengan warisan budaya
intangible (tak benda), di antaranya: bahasa, musik, tari, upacara, serta berbagai perilaku
terstruktur lain. (Edi Sedyawati: dalam pengantar Seminar Warisan Budaya Takbenda,
2002).
 Keterbatasan pembahasan aspek budaya melalui dimensi yang terdapat di Indeks
Pembangunan Kebudayaan dalam penyusunan D3TLH masih belum menggunakan
kacamata Lingkungan dalam daftar pertanyaan atau indikator penilaiannya.

Perhitungan Skor Mutu Hidup


Normalisasi Min-Max untuk 2 Variabel
Langkah pertama yaitu dengan normalisasi data untuk variabel Pembangunan Manusia dan
Karakter Ruang Budaya. Normalisasi data menggunakan metode Min-Max. Pendekatan tersebut
diperlukan untuk lebih mudah untuk membandingkan dua nilai tersebut, metode min max
bertujuan untuk mengubah satuan data menjadi nilai dengan rentang 0 (min) sampai dengan 1
(max). Normalisasi kedua data tersebut memiliki satu arah perhitungan positif. Berikut rumus
normalisasi kedua data tersebut:
𝑰𝑷𝑴 𝐏𝐫 𝒐𝒗𝒊𝒏𝒔𝒊 𝑿 − 𝑰𝑷𝑴 𝑻𝒆𝒓𝒌𝒆𝒄𝒊𝒍 𝑵𝒂𝒔𝒊𝒐𝒏𝒂𝒍
Normalisasi Kualitas Penduduk =
𝑰𝑷𝑴 𝑻𝒆𝒓𝒃𝒆𝒔𝒂𝒓 𝑵𝒂𝒔𝒊𝒐𝒏𝒂𝒍 − 𝑰𝑷𝑴 𝑻𝒆𝒓𝒌𝒆𝒄𝒊𝒍 𝑵𝒂𝒔𝒊𝒐𝒏𝒂𝒍

87
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

Sebelum perhitungan standarisasi data untuk variabel karakter ruang budaya, diperlukan
perhitungan dinamika dari tahun 2020 ke tahun 2021 untuk ketiga dimensi penyusunnya yaitu
Warisan Budaya, Budaya Literasi, dan Ketahanan Sosial dan Budaya, dengan persamaan sebagai
berikut:
Indeks Tahun 2021
𝐃𝐢𝐧𝐚𝐦𝐢𝐤𝐚 𝐏𝐞𝐫 𝐌𝐚𝐬𝐢𝐧𝐠 − 𝐌𝐚𝐬𝐢𝐧𝐠 𝐃𝐢𝐦𝐞𝐧𝐬𝐢 = × 100
Indeks Tahun 2020

Kemudian, perhitungan yang dilakukan setelah menghitung dinamika untuk ketiga dimensi
adalah perhitungan akumulatif dinamika karakter ruang budaya. Persamaan tersebut sebagai
berikut:
Dinamika Karakter Ruang Budaya
D𝑖𝑛𝑎𝑚𝑖𝑘𝑎 𝑊𝑎𝑟𝑖𝑠𝑎𝑛 𝐵𝑢𝑑𝑎𝑦𝑎 + 𝐷𝑖𝑛𝑎𝑚𝑖𝑘𝑎 𝐵𝑢𝑑𝑎𝑦𝑎 𝐿𝑖𝑡𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖 + 𝐷𝑖𝑛𝑎𝑚𝑖𝑘𝑎 𝐾𝑒𝑡𝑎ℎ𝑎𝑛𝑎𝑛 𝑆𝑜𝑠𝑖𝑎𝑙 𝑑𝑎𝑛 𝐵𝑢𝑑𝑎𝑦𝑎
=
3

Langkah selanjutnya adalah standarisasi untuk dinamika karakter ruang budaya. Berikut operasi
matematika standarisasi data min-max untuk karakter ruang budaya:

Normalisasi Pemajuan Kebudayaan


𝐼𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 𝑃𝑒𝑟𝑢𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑃𝑒𝑚𝑎𝑗𝑢𝑎𝑛 𝐾𝑒𝑏𝑢𝑑𝑎𝑦𝑎𝑎𝑛 Pro𝑣𝑖𝑛𝑠𝑖 𝑋 − 𝐼𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 𝑃𝑒𝑟𝑢𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝐾𝑒𝑏𝑢𝑑𝑎𝑦𝑎𝑎𝑛 𝑇𝑒𝑟𝑘𝑒𝑐𝑖𝑙 𝑁𝑎𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙
= 𝐼𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 𝑃𝑒𝑟𝑢𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑃𝑒𝑚𝑎𝑗𝑢𝑎𝑛 𝐾𝑒𝑏𝑢𝑑𝑎𝑦𝑎𝑎𝑛 𝑇𝑒𝑟𝑏𝑒𝑠𝑎𝑟 𝑁𝑎𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙 − 𝐼𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 𝑃𝑒𝑟𝑢𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑃𝑒𝑚𝑎𝑗𝑢𝑎𝑛 𝐾𝑒𝑏𝑢𝑑𝑎𝑦𝑎𝑎𝑛 𝑇𝑒𝑟𝑘𝑒𝑐𝑖𝑙 𝑁𝑎𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙

Akumulatif Skor Mutu Hidup


Kedua persamaan di atas menghasilkan nilai baru untuk variabel Pembangunan Manusia
dan Karakter Ruang Budaya yang sudah ter-normalisasi dengan nilai 0 sampai dengan 1. Sehingga,
rumus persamaan selanjutnya yaitu akumulatif pada dua variabel yang menjadikan rumusan untuk
Skor Mutu Hidup. Indikator Keselamatan menggunakan operasi matematik sebagai berikut:
Skor Mutu Hidup = f {Pembangunan Manusia, Pembangunan Kebudayaan }
= (PM) + (PK)
2
Keterangan:
PM = Normalisasi Pembangunan Manusia
PK = Normalisasi Akumulatif 3 Dinamika Dimensi dari Pembangunan Kebudayaan

Hasil perhitungan skor mutu hidup akan dikategorikan menggunakan rentang 0 sebagai
skor terendah dan 1 sebagai skor tertinggi. Penjabaran dari rentang kelas dan kategori mutu
hiduppada Tabel 3-18 berikut.
Tabel 5-16 Kelas Skor Mutu Hidup
Warna Rentang Kelas Kelas Skor Mutu hidup
0.81 – 1.0 Sangat Tinggi
0.61 – 0.8 Tinggi
0.41 – 0.6 Sedang
0.21 – 0.4 Rendah
0.0 – 0.2 Sangat Rendah
Sumber: Tim Penyusun, 2023

88
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

5.1.2.8 Kesejahteraan

Kesejahteraan adalah keadaan dimana manusia secara individu dan atau kolektif dapat
menikmati utilitas hidup (utilitas neto) yang maksimal, yang pencapaian ditentukan oleh
kinerja ekonomi makro, yaitu pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga umum dan tingkat
pengangguran terbuka. Bila nilai sekarang (present value) utilitas yang dinikmati oleh generasi
yang akan mendatang adalah minimal sama (≥) dengan utilitas yang dinikmati generasi
sebelumnya, maka perekonomian mencapai kondisi berkelanjutan. Bila diasumsikan tidak adalah
masalah-masalah institusional dan tata nilai, maka tingkat kesejahteraan ditentukan oleh
kinerja ekonomi makro, yang dievaluasi dari pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga umum dan
tingkat pengangguran terbuka.

Gambar 5-15 Kinerja Ekonomi Makro


Sumber: Manurung, 2023

Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi adalah bertambahnya kuantitas produksi agregat perekonomian
suatu wilayah, selama satu periode tertentu. Suatu perekonomian dikatakan mengalami
pertumbuhan bila kuantitas produksi agregatnya bertambah. Laju kecepatan pertambahan
kuantitas produksi agregat per satuan waktu di sebut laju pertumbuhan ekonomi. Bila laju
pertumbuhan ekonomi makin tinggi, maka kinerja makro dikatakan makin baik. Di Indonesia,
selama periode 2010-2020 laju pertumbuhan ekonomi adalah antara -2,1% per tahun sampai
dengan 6,5% per tahun (Diolah dari data BPS). Sementara itu di tingkat provinsi, angka
pertumbuhan ekonomi lebih bervariasi, dimana terdapat provinsi-provinsi yang mengalami
pertumbuhan ekonomi lebih dari 5% per tahun (BPS, 2023). Maka, diperlukan dasar penentuan
kriteria pertumbuhan ekonomi dari data nasional tahun 1970-2022, data provinsi 2018-2022, dan
data provinsi khusus tahun 2022. Penentuan tingkatan dari pertumbuhan ekonomi dalam kriteria 5
kelas, sebagai berikut:
Tabel 5-16 Dasar Penentuan Kriteria Pertumbuhan Ekonomi

Kriteria Kinerja (%/tahun)


Sangat Tinggi 7
Tinggi 5-7
Sedang 3-5
Rendah 0-3
Sangat Rendah 0
Sumber: Diolah dari berbagai data, 2023

89
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

Tingkat Stabilitas Harga Umum


Kinerja ekonomi makro terkait tingkat stabilitas harga umum diukur dengan laju inflasi.
Dikutip dari website Bank Indonesia (2020), inflasi yaitu kenaikan harga yang bersifat umum dan
terus menerus. Kebalikan dari inflasi adalah deflasi, yaitu penurunan harga yang bersifat umum dan
terus-menerus. Laju inflasi yang semakin tinggi menunjukkan kinerja ekonomi yang semakin buruk.
Sebaliknya deflasi juga menunjukkan ekonomi mengalami penurunan kinerja, yang berdampak
terhadap meningkatnya pengangguran (Kementerian Keuangan, 2022).

Pengukuran laju inflasi menggunakan data Indeks Harga Implisit (IHI). Angka IHI merupakan
rasio antara nilai PDB harga berlaku dengan PDB harga konstan. Inflasi berdasarkan angka IHI
menunjukkan laju inflasi yang paling agregat (Rahardja & Manurung, 2019). Bila laju inflasi makin
tinggi maknanya kenaikan biaya hidup makin cepat.
Belum ada kesepakatan internasional tentang berapa laju inflasi atau deflasi yang baik,
walaupun sudah ada konsensus tentang laju inflasi yang dapat ditoleransi. Studi empiris
menunjukkan bahwa laju inflasi yang sangat tinggi, yaitu ≥30% per tahun akan sangat
membahayakan perekonomian dan stabilitas sosial. Dalam kasus-kasus khusus dapat terjadi
hyperinflation (lebih tinggi dari 100%/tahun), bahkan pernah mencapai lebih dari 1000% per tahun.
Kondisi-kondisi ekstrem ini terjadi karena buruknya pengelolaan perekonomian dan atau
ketidakstabilan politik dalam jangka panjang. Dampaknya terhadap kesejahteraan sosial jauh lebih
berat dibanding dengan laju inflasi yang sekitar 30% per tahun.
Kondisi ekstrem yang berkebalikan dari inflasi yang tinggi adalah deflasi. Perekonomian
yang mengalami deflasi apa lagi berkepanjangan, memberikan indikasi bahwa perekonomian
tersebut mengalami kelesuan atau resesi berkepanjangan. Dampak paling terasa dari deflasi
adalah meningkatnya angka pengangguran. Makin dalam dan makin lama deflasi berlangsung,
maka tingkat pengangguran juga akan semakin tinggi. Di Indonesia, data empiris inflasi selama
periode 2010-2020 adalah antara -2,1% sampai dengan 11% per tahun. Pada level provinsi, datanya
lebih bervariasi, namun tidak ada provinsi yang inflasinya pernah mencapai lebih dari 12% per
tahun.
Maka, diperlukan dasar penentuan kriteria stabilitas harga umum dari data nasional tahun
1970-2022, data provinsi 2018-2022, dan data provinsi khusus tahun 2022. Penentuan tingkatan dari
stabilitas harga umum dalam kriteria 5 kelas, sebagai berikut:
Tabel 5-17 Dasar Penentuan Kriteria Stabilitas Harga Umum (Inflasi)
Kriteria Kinerja (%/tahun)
Sangat Rendah 2-4
Rendah 4-7
Sedang 7-11
Tinggi 11-30
Sangat Tinggi >30
Sumber: Diolah dari berbagai data, 2023

Tingkat Pengangguran Terbuka

Pengangguran adalah angkatan kerja (penduduk usia ≥ 15 tahun) dan ingin bekerja, tetapi
tidak mendapatkan pekerjaan. Tingkat pengangguran menunjukkan proporsi angkatan kerja yang
menganggur. Di Indonesia, angka pengangguran yang resmi dikeluarkan oleh pemerintah, yakni

90
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

BPS (Badan Pusat Statistik), adalah tingkat pengangguran terbuka (TPT), yaitu Tingkat
pengangguran terbuka adalah proporsi angkatan kerja yang menganggur dalam suatu wilayah,
selama satu periode tertentu. Karena berbagai faktor, terutama institusional, maka dalam kondisi
ekonomi yang paling baik dan stabil pun, TPT tidak pernah mencapai 0%. Kajian teoritis dan empiris
menunjukkan bahwa dalam kondisi ekonomi yang paling baik, TPT setidak-tidaknya adalah 4%-6%
angkatan kerja. Bila TPT makin tinggi, maka kinerja ekonomi makro dinilai semakin buruk.
Di Indonesia, selama 2010-2020 pada level nasional, angka TPT adalah antara 5% sampai
dengan 10%. Pada tingkat provinsi, di periode yang sama angka TPT tertinggi adalah 11%,
sedangkan terendah adalah antara 3,3%. Data-data empiris kinerja ekonomi makro pada level
nasional dan provinsi akan digunakan sebagai dasar untuk penghitungan skor indikator
kesejahteraan. Maka, diperlukan dasar penentuan kriteria Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
dari data nasional tahun 1970-2022, data provinsi 2018-2022, dan data provinsi khusus tahun 2022.
Penentuan tingkatan dari TPT dalam kriteria 5 kelas, sebagai berikut:
Tabel 5-18 Dasar Penentuan Kriteria Tingkat Pengangguran Terbuka

Kriteria Kinerja (%/tahun)


Sangat Rendah ≤4
Rendah 4-6
Sedang 6-10
Tinggi 10-15
Sangat Tinggi ≥ 15
Sumber: Diolah dari berbagai data, 2023

Perhitungan Skor Kesejahteraan


Langkah pertama dengan melakukan perhitungan laju pertumbuhan ekonomi tahun 2021-
2022. Data yang digunakan adalah data PDRB harga konstan berdasarkan lapangan usaha tahun
2021 dan 2022. Di bawah ini merupakan operasi matematika:
PDRB HK berdasarkan LU Tahun 2022 − PDRB HK berdasarkan LU Tahun 2021
Laju Pertumbuhan Ekonomi= × 100
PDRB HK berdasarkan LU Tahun 2021

Langkah kedua dengan melakukan perhitungan laju inflasi tahun 2021-2022. Data yang
digunakan adalah data harga implisi tahun 2021 dan 2022. Di bawah ini merupakan operasi
matematika:
Indeks Harga Implisit Tahun 2022 − Indeks Harga Implisit Tahun 2021
𝐋𝐚𝐣𝐮 𝐈𝐧𝐟𝐥𝐚𝐬𝐢 = × 100
Indeks Harga Implisit Tahun 2021

Langkah ketiga dengan melakukan perhitungan tingkat pengangguran. Data yang


digunakan adalah data jumlah angkatan kerja tahun dan jumlah yang bekerja, kedua data tersebut
untuk menghitung jumlah pengangguran. Setelah diketahui jumlah pengangguran, dilakukan
pengoperasian matematika tingkat. Di bawah ini merupakan operasi matematika dari perhitungan
tingkat pengangguran terbuka:
𝐉𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐏𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧𝐠𝐠𝐮𝐫𝐚𝐧 = Jumlah Angkatan Kerja − Jumlah yang Bekerja
𝐉𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝑷𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏𝒈𝒈𝒖𝒓𝒂𝒏
𝐓𝐢𝐧𝐠𝐤𝐚𝐭 𝐏𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧𝐠𝐠𝐮𝐫𝐚𝐧 𝐓𝐞𝐫𝐛𝐮𝐤𝐚 = × 100
Jumlah Angkatan Kerja

91
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

Predikat nilai di sebaran data pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga umum, tingkat
pengangguran terbuka, selanjutnya di akumulatifkan sehingga menghasilkan skor kesejahteraan.
Jadi, skor Kesejahteraan menggunakan operasi matematika sebagai berikut:
Skor Kesejahteraan = f {Pertumbuhan Ekonomi, Stabilitas Harga Umum, Tingkat Pengangguran
Terbuka}
(P𝐸 ) + (SHU) + (𝑇𝑃𝑇)
𝑆𝑘𝑜𝑟 𝐾𝑒𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎𝑡𝑎𝑛 =
2
Keterangan:
PE = Predikat Niliai Pertumbuhan Ekonomi
SHU = Predikat Nilai Stabilitas Harga Umum
TPT = Predikat Nilai Tingkat Pengangguran Terbuka

Hasil perhitungan Skor Kesejahteraan akan dikategorikan menggunakan rentang 1 sebagai


skor terendah dan 5 sebagai skor tertinggi. Penjabaran dari rentang kelas dan kategori keselamatan
pada Tabel 5-19 berikut.
Tabel 5-19 Kelas Skor Kesejahteraan

Warna Rentang Kelas Kelas Skor Kesejahteraan


5 Sangat Tinggi
4 – 4.9 Tinggi
3 – 3.9 Sedang
2 – 2.9 Rendah
1 – 1.9 Sangat Rendah
Sumber: Tim Penyusun, 2023

5.1.2.9 Indeks Keselamatan, Mutu Hidup, dan Kesejahteraan (KMK)


Aspek sosial, budaya, dan ekonomi akan menghasilkan Skor Keselamatan, Mutu Hidup, dan
Kesejahteraan Masyarakat yang dikompositkan menggunakan Indeks Keselamatan, Mutu Hidup,
dan Kesejahteraan (KMK). Penentuan indeks dilakukan melalui skoring dengan bobot yang setara
pada ketiga parameter dengan rentang 0 sebagai skor terendah dan 1 sebagai skor tertinggi.
Penggambaran terkait alur penyusunan indeks KMK, sebagai berikut:

92
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

Gambar 5-16 Alur Penyusunan Indeks KMK dengan Metode Min-Max


Sumber: Tim Penyusun, 2023

Hasil perhitungan Indeks KMK dilakukan klasifikasi ke dalam 5 kategori visualisasi masing-
masing kategori dari sangat rendah hingga sangat tinggi. Melalui metode pendekatan peta berbasis
wilayah administrasi provinsi ditambah data terkait dari lembaga yang kredibel.
Tabel 5-20 Kelas Indeks KMK

Warna Interval Kelas Kelas Indeks KMK


0.81 – 1.0 Sangat Tinggi
0.61 – 0.8 Tinggi
0.41 – 0.6 Sedang
0.21 – 0.4 Rendah
0.0 – 0.2 Sangat Rendah
Sumber: Tim Penyusun, 2023

5.1.2.10 Penentuan Sintesis Kuadran Keberlanjutan


Pada tahap ini akan dilakukan sintesis untuk memadankan hasil perhitungan kondisi
biogeofisik dan sosekbud pada masing-masing wilayah. Sintesis dilakukan melalui analisis kuadran
yang umumnya bermanfaatkan untuk mengidentifikasi prioritas indikator-indikator yang harus
diperbaiki. Oleh karena itu, sintesisnya dinamakan Kuadran Keberlanjutan yang didefinisikan
sebagai posisi suatu wilayah yang dapat menggambarkan sejauh mana kondisi lingkungan hidup
dan masyarakatnya menuju kondisi keberlanjutan. Selain itu, Kuadran keberlanjutan juga
bermakna rambu-rambu yang harus dilakukan agar wilayahnya tetap dapat berfungsi sebagaimana
mestinya dan berkelanjutan dalam memenuhi demand dari masyarakat. Untuk pembahasan
Kuadran Keberlanjutan, wilayah yang dimaksud menggunakan batas administrasi berupa provinsi.

Posisi Indeks Jasa Lingkungan Hidup


Pada subbab Gap Jasa Lingkungan Hidup, telah dijelaskan bahwa jasa lingkungan hidup
dikompositkan menjadi satu nilai berupa indeks. Adapun indeksnya merupakan gabungan antara

93
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

jasa lingkungan hidup untuk tata air, pangan, dan kehati yang kemudian disebut dengan IJLH
Gabungan. Dalam Kuadran Keberlanjutan, rata-rata nasional menggunakan IJLH Gabungan untuk
optimum yang sudah melalui perhitungan rata-rata geometrik. Sedangkan IJLH Gabungan untuk
eksisting yang akan menentukan posisi kondisi lingkungan hidup suatu provinsi pada kuadran. IJLH
Gabungan untuk eksisting menjadi sumbu X dengan ketentuan berikut.

 Apabila IJLH Gabungan Eksisting < IJLH Gabungan Optimum maka posisinya akan berada
di sebelah kiri atau sekitar Kuadran II dan IV
 Apabila IJLH Gabungan Eksisting > IJLH Gabungan Optimum maka posisinya akan berada
di sebelah kanan atau sekitar Kuadran I dan III

Posisi Indeks Keselamatan, Mutu Hidup, dan Kesejahteraan


Pada subbab perhitungan kondisi keselamatan, mutu hidup dan kesejahteraan, telah
dijelaskan bahwa ketiga parameter dikompositkan menjadi satu nilai berupa indeks. Adapun
indeksnya merupakan gabungan antara tiga parameter tersebut yang kemudian disebut dengan
Indeks KMK. Dalam Kuadran Keberlanjutan, rata-rata nasional menggunakan perhitungan rata-rata
geometrik Indeks KMK, yang kemudian disebut Capaian Nasional. Sedangkan Indeks KMK masing-
masing provinsi yang akan menentukan posisi kondisi sosial, ekonomi, dan budaya suatu provinsi
pada kuadran. Indeks KMK menjadi sumbu Y dengan ketentuan berikut.

 Apabila Indeks KMK Provinsi < Capaian Nasional, maka posisinya akan berada di bagian
bawah atau di Kuadran III atau IV
 Apabila Indeks KMK Provinsi > Capaian Nasional, maka posisinya akan berada di bagian
atas atau sekitar Kuadran I dan II
Posisi Kuadran Keberlanjutan

Posisi Kuadran Keberlanjutan mengacu pada Sumbu X menggunakan IJLH Gabungan


Eksisting dan Sumbu Y menggunakan Indeks KMK. Sedangkan sumbu 0 atau titik tengah sebagai
nilai rata-rata nasional dari masing-masing indeks. Rata-rata nasional ini yang nantinya akan
dibandingkan dengan kondisi eksisting pada provinsi untuk mengetahui posisinya terhadap
kuadran. Adapun pemaknaan pada setiap posisi kuadran dalam Kuadran Keberlanjutan adalah
sebagai berikut.

 Kuadran I sebagai Pembangunan yang Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan


yang merupakan kondisi ideal dimana Indeks Jasa Lingkungan Hidup Eksisting dan
Indeks KMK Eksisting di atas rata-rata nasional, maka mengedepankan pemanfaatan
melalui environmental safeguard untuk mempertahankan cadangannya.
 Kuadran II sebagai Pemulihan Sumber Daya Berkelanjutan dimana Indeks Jasa
Lingkungan Hidup Eksisting sudah terlampaui (rendah) dan Indeks KMK Eksisting di atas
nilai rata-rata nasional, maka mengedepankan untuk pemanfaatan dengan asas kehati-
hatian.
 Kuadran III sebagai Peningkatan Kesejahteraan bernilai memiliki Indeks Jasa Lingkungan
Hidup Eksisting tinggi dan Indeks KMK Eksisting dibawah nilai rata-rata nasional, maka
mengedepankan lebih ditingkatkan lagi pemanfaatannya.

94
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

 Kuadran IV sebagai Tantangan Ekologis dimana Indeks Jasa Lingkungan Hidup Eksisting
dan Indeks KMK Eksisting di bawah rata-rata nasional, maka menunjukkan
ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhannya sehingga membutuhkan impor.

Gambar 5-17 Penggambaran Diagram Kuadran Keberlanjutan


Sumber: Tim Penyusun, 2023

5.2 KEBUTUHAN DATA


Melalui inventarisasi akan didapatkan pemutakhiran data yang dibutuhkan dalam
menentukan ambang batas D3TLH, kondisi masyarakat, dan Kuadran Keberlanjutan. Hal ini
bertujuan untuk mewujudkan pembangunan basis data sebagai proses pengembangan sistem
informasi yang akurat, terpadu dan berkualitas baik sekaligus diharapkan terciptanya tata kelola
terkait walidata sebagai kontak penanggung jawab dari masing-masing sumber data. Inventarisasi
kebutuhan data dilakukan melalui studi literatur dari kajian yang relevan dan ditunjang dari
penjaringan masukan para pakar (Tenaga Ahli Perhitungan dan Penyusunan Narasi D3TLH), serta
K/L maupun instansi lainnya yang terkait. Inventarisasi data yang dibutuhkan menyangkut
perhitungan kondisi biogeofisik dan sosekbud dengan mencakup data spasial dan data non-spasial
(tabular).
Data yang dihasilkan dilakukan penyesuaian berdasarkan skala nasional 1:250.000 untuk
Pulau/Kepulauan sebagai gambaran nasional yang juga mampu digunakan untuk provinsi sebagai
gambaran daerah. Dalam menyajikan dan memvisualisasikan hasil analisis data terbagi menjadi
dua, yaitu sistem grid skala ragam untuk kondisi biogeofisik dan batas administrasi provinsi untuk
kondisi sosekbud. Pemilihan sistem grid skala ragam memungkinkan dilakukannya analisis spasial
yang melibatkan banyak jenis data dengan berbagai skala/resolusi berbeda, serta dapat mengubah
data tabulan menjadi sebaran. Selain itu, juga dikarenakan kondisi biogeofisik yang berdasarkan
bentang alam dan biologis di atasnya tidak dapat disamaratakan per administrasi. Penggunaan
sistem grid disesuaikan dengan luasan daerah yang dikaji, namun merujuk pada kajian terdahulu
berskala nasional akan menggunakan ukuran 30’’ x 30” (± 0,9km x 0,9km). Sedangkan batas
administrasi didasarkan pada penyediaan data secara nasional oleh instansi terkait yang umumnya
dimulai dari provinsi hingga kecamatan.

95
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

5.2.1 Data Spasial

Berdasarkan tahapannya, data spasial yang digunakan hanya merujuk pada kondisi
biogeofisik untuk mendapatkan hasil dari Biokapasitas, Optimasi Alokasi Penutupan Lahan sebagai
acuan Jasa Lingkungan Hidup Optimum, serta Jasa Lingkungan Hidup Eksisting. Adapun secara
detail akan dijabarkan pada tabel berikut.

Tabel 5-21 Kebutuhan Data Spasial

Indikator Metode Data Walidata


Penutupan Lahan Eksisting KLHK
Biokapasitas - Penetapan Kawasan
KLHK
Lindung/Konservasi
Penutupan Lahan Eksisting KLHK
Penetapan Kawasan
KLHK
Lindung/Konservasi
Elevasi NASA
Kemiringan Lereng NASA
Ketersediaan Air Kementerian PUPR
Ekoregion Interpretasi BIG, LIPI, dan KLHK
Optimasi Temperatur/suhu
Pemodelan NASA
Alokasi permukaan tanah
Alokasi Luas
Penutupan Curah hujan NASA
dan Spasial
Lahan Kandungan organik
tanah/Organic Carbon FAO/IIASA/ISRIC/ISSCAS/JRC
Content
pH tanah FAO/IIASA/ISRIC/ISSCAS/JRC
Total Nitrogen Content FAO/IIASA/ISRIC/ISSCAS/JRC
Carbon Capture and Storage FAO/IIASA/ISRIC/ISSCAS/JRC
Topographic Wetness Index NASA
Terrain Ruggedness Index NASA
Jasa Hasil Pemodelan Alokasi Luas dan
Penutupan Lahan Optimum
Lingkungan Spasial
Hidup terkait Karakteristik Bentang Alam
Jasa Interpretasi KLHK dan BIG
pengatur air, (KBA)
Lingkungan
pendukung
Hidup Optimum
kehati dan Karakteristik Vegetasi Alami
Interpretasi KLHK dan LIPI
penyedia (KVA)
pangan.
Jasa Penutupan Lahan Eksisting KLHK
Lingkungan Karakteristik Bentang Alam
Interpretasi KLHK dan BIG
Hidup terkait (KBA)
Jasa
pengatur air,
Lingkungan
pendukung
Hidup Eksisting Karakteristik Vegetasi Alami
kehati, dan Interpretasi KLHK dan LIPI
(KVA)
penyedia
pangan.
Sumber: Diolah dari berbagai sumber, 2023

96
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

5.2.2 Data Non-Spasial (Tabular)

Berdasarkan tahapannya, data non-spasial yang digunakan merujuk pada kondisi


biogeofisik untuk mendapatkan hasil dari Jejak Ekologis. Sedangkan kondisi sosekbud untuk
mendapatkan hasil Skor Keselamatan, Skor Mutu Hidup, dan Skor Kesejahteraan. Adapun secara
detail akan dijabarkan pada tabel berikut.

Tabel 5-22 Kebutuhan Data Non-spasial (Tabular)

Indikator Metode Data Walidata


Konversi Kebutuhan
Luas Penutup Lahan
terhadap Kebutuhan
Fisiologis:
 Konsumsi pangan Kementerian
 Kandungan energi Pertanian,
 Kebutuhan energi pangan Kementerian
Pangan  Produksi pangan Kesehatan, Badan
 Luas panen pangan Pusat Statistik, dan
 Footprint intensity dalam Global Footprint
produksi pangan Network
 Kebutuhan pakaian
 Produksi kapas Kementerian
Jejak Ekologis Pakaian  Luas panen kapas Pertanian dan Global
 Footprint intensity dalam Footprint Network
produksi kapas
 Standar Kebutuhan Ruang
Per Orang Untuk Tempat
Kementerian PUPR,
Infrastruktur (Tempat Tinggal Dan Ruang Publik
Badan Standirisasi
Tinggal dan Ruang  Kebutuhan kayu untuk
Nasional, dan Global
Publik) bangunan
Footprint Network
 Footprint Intensity dalam
produksi kayu
 Kebutuhan listrik Perusahan Listrik
 Faktor emisi energi listrik Negara (PLN),
Energi
 Faktor serapan karbon di Bappenas, dan
lahan hutan UNFCCC
 Bobot Karakteristik Bentang
Alam (KBA), Karakteristik
Vegetasi Alami (KVA), dan
Penutupan Lahan pada
Penilaian jasa
Jasa Lingkungan masing-masing jasa
lingkungan hidup untuk
Hidup Eksisting lingkungan hidup KLHK
tata air, pangan, dan
dan Optimum  Skor Karakteristik Bentang
kehati
Alam (KBA), Karakteristik
Vegetasi Alami (KVA), dan
Penutupan Lahan pada
masing-masing jasa

97
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

Indikator Metode Data Walidata


lingkungan hidup
1. Akses Hunian yang Layak
Keselamatan Hidup dan
dan Terjangkau Badan Pusat Statistik
Keselamatan Keselamatan dari
2. Indeks Risiko Bencana dan BNPB
Bahaya
Indonesia
Badan Pusat Statistik
1. Indeks Pembangunan
dan Kementerian
Kualitas Penduduk dan Manusia
Mutu Hidup Pendidikan,
Pemajuan Kebudayaan 2. Indeks Pembangunan
Kebudayaan, Riset
Kebudayaan
dan Teknologi
 Pertumbuhan
1. PDRB AHK & AHB
Ekonomi
berdasarkan sektor
 Stabilitas Harga
Kesejahteraan 2. PDRB AHK & AHB Badan Pusat Statistik
Umum
berdasarkan pengeluaran
 Tingkat Pengangguran
3. Partisipasi angkatan kerja
Terbuka
Sumber: Didapatkan dari berbagai sumber, 2023

5.3 KETERBATASAN DATA DAN METODOLOGI


5.3.1 Keterbatasan Data Lingkup Biogeofisik

Dalam upaya menjaga keseimbangan antara perkembangan manusia dan keberlanjutan


lingkungan, penyusunan D3TLH menjadi tugas yang kompleks dan vital. D3TLH merupakan fondasi
yang penting dalam mengidentifikasi dan menilai daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup di suatu wilayah. Namun, dalam penyusunan D3TLH ini, tantangan terkait keberadaan data
sering kali muncul sebagai hal yang memerlukan perhatian khusus. Sebagai hasil inventarisasi data
biogeofisik telah ditunjukkan, kekayaan informasi yang terkumpul memberikan pandangan yang
komprehensif tentang faktor-faktor lingkungan yang relevan. Namun, penting untuk
mengidentifikasi dan menganalisis gap data yang ada dalam menghitung D3TLH. Terlebih
biogeofisik menjadi acuan dalam menilai supply atau penyediaan lingkungan hidup terhadap
kebutuhan fisiologis manusia. Pemahaman mendalam mengenai keterbatasan sisi data ini akan
memberikan wawasan lebih lanjut tentang bagaimana penilaian dan kebijakan terkait lingkungan
dapat didefinisikan secara lebih akurat dan berdaya guna.

Tabel inventarisasi data biogeofisik yang telah disajikan pada bab sebelumnya
menunjukkan sejumlah keterbatasan yang perlu dipertimbangkan dalam penilaian daya dukung
dan daya tampung lingkungan hidup. Pertama, pendataan lingkungan cenderung jauh dari
ideal. Data-data biogeofisik sering kali tidak mencakup seluruh area atau wilayah yang relevan, dan
pengumpulan data bisa memiliki batasan dalam hal kedalaman dan akurasi. Pendataan yang tidak
merata dapat mengakibatkan ketidakrepresentatifan dalam pemahaman tentang kondisi
lingkungan secara keseluruhan. Sehingga pada beberapa data terkhususnya untuk kebutuhan
fisiologis manusia mengalami penyesuaian tahun sesuai ketersediaan data. Apabila datanya tidak
tersedia di tahun 2022, akan digunakan data di tahun paling terbaru pendataannya misalnya tahun
2021. Penggunaan data yang berbeda hanya 1-2 tahun ini tidak akan secara signifikan akan

98
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

mempengaruhi pemodelan. Hal ini dikarenakan apabila data-data sudah digabungkan,


perbedaannya tidak akan terlalu terlihat.
Kedua, kurangnya alat ukur yang memadai dapat menjadi kendala. Beberapa data
dalam tabel ini, seperti jejak ekologis kayu bulat, mungkin kurang lengkap karena minimnya alat
ukur yang tersedia. Investasi yang rendah dalam pengembangan dan pemeliharaan peralatan
pemantauan lingkungan dapat mengganggu akurasi data dan kemampuan untuk mengukur
dampak aktivitas manusia pada lingkungan.

Ketiga, isu skala merupakan masalah yang perlu diperhatikan. Data dalam tabel ini
memiliki berbagai tingkat skala dan resolusi. Beberapa data hanya tersedia pada tingkat provinsi,
sementara yang lain memiliki resolusi spasial yang lebih tinggi. Perbedaan dalam skala data dapat
menjadi tantangan dalam mengintegrasikannya untuk analisis yang komprehensif.

Keempat, tidak tersedianya beberapa data fisik lainnya. Ada beberapa jenis data yang
seharusnya masuk ke dalam analisis tetapi tidak dimasukkan karena tidak tersedia datanya.
Beberapa informasi yang mungkin belum tercakup dalam inventarisasi adalah data iklim yang lebih
rinci, termasuk pola curah hujan tahunan, musim kering/basah, dan fluktuasi suhu yang dapat
memengaruhi produktivitas lingkungan. Selain itu, data yang mencakup faktor-faktor seperti
kualitas tanah, yang melibatkan parameter seperti kandungan nutrisi dan struktur fisik tanah tidak
tersedia secara lengkap. Begitu pula, data hidrologi seperti debit air dan pola aliran sungai yang
memainkan peran dalam analisis dampak hidrologi dan lingkungan juga tidak tersedia secara
lengkap.
Gap data ini menyoroti pentingnya mendapatkan sumber data yang lebih kaya dan
komprehensif dalam upaya menyusun D3TLH yang akurat dan representatif. Kolaborasi lintas
sektor dan integrasi data dari berbagai sumber menjadi krusial dalam mengatasi keterbatasan ini
dan menghasilkan analisis yang mendalam dan berkelanjutan. Sehingga dapat dikatakan bahwa
inventarisasi data mengalami keterbatasan dalam segi kondisi yang belum ideal. Hal ini
dikarenakan data biogeofisik harus lebih spesifik namun pada kenyataannya tidak bisa akibat
kurangnya alat ukur, investasi yang lemah dalam penyediaan alat ukur, serta isu skala yang
terkadang antar instansi kedalamannya berbeda. Namun dengan berbagai proses yang dilalui
seperti forum diskusi dengan berbagai kalangan ahli, akademisi, dan birokrat, memberikan
masukan bahwa dengan hasil inventarisasi data yang telah dikumpulkan sudah cukup untuk
membantu dalam perhitungan daya dukung daya tampung lingkungan hidup dari perspektif
biogeofisik.
5.3.2 Keterbatasan Metodologi Lingkup Biogeofisik

Dalam memilih metodologi penentuan D3TLH, seharusnya mengikuti panduan dan


kerangka kerja yang didasarkan pada literatur ilmiah yang mumpuni. Terkait perhitungan kondisi
biogeofisik pada D3TLH telah dijelaskan secara rinci pada subbab metodologi. Sehingga sudah
dipastikan bahwa metode yang akan digunakan sudah melalui serangkaian diskursus ilmiah dari
berbagai pakar bidang akademis terkait. Adapun metode yang dimaksud adalah pendekatan
Biokapasitas dan Jejak Ekologis untuk mendapatkan Optimasi Alokasi Penutupan Lahan. Apabila
merujuk pada subbab 3.1.1.2, sesuai dengan penelitian oleh Subekti dan Suroso (2018), pendekatan
Jejak Ekologis yang paling memenuhi kriteria menentukan D3TLH.

99
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

Penentuan D3TLH ini akan sedikit berbeda dari perhitungan idealnya dimana dalam
prosesnya ada yang perlu dikurangi maupun ditambahkan. Tentunya metode tersebut dipastikan
mampu menggambarkan dengan tepat kompleksitas dan interaksi antar faktor-faktor lingkungan
yang mempengaruhi kapasitas lingkungan. Selain itu, mencakup juga langkah kerja yang sistematik
dimulai dari pengumpulan data yang komprehensif, kesesuaian analisis terhadap ruang lingkup
wilayah, hingga mendapatkan hasil integrasi yang cukup holistik.
Meskipun terdapat pembaharuan, metode tersebut dalam praktiknya tetap tidak serta
merta bernilai sangat ideal. Tetap ada keterbatasan khususnya diakibatkan dari keterbatasan data
yang seringkali menjadi kendala utama dalam penerapan metode yang ideal. Dapat dikarenakan
ketersediaannya yang terbatas, tidak sesuai kualitas yang diinginkan, ataupun tidak memadainya
teknologi dalam menganalisis data. Oleh karena itu dilakukan penyesuaian guna mengatasi
keterbatasan metodologi dengan mempertimbangkan kualitas dan validitas analisis, serta diskusi
lanjutan dari para ahli dan stakeholders terkait.
Posisi Perhitungan Biogeofisik dalam D3TLH
D3TLH didefinisikan sebagai daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Daya
dukung sebagai ambang batas lingkungan hidup yang dapat memenuhi kebutuhan manusia secara
optimal. Sedangkan daya tampung sebagai ambang batas beban pencemaran yang dapat diserap
oleh lingkungan hidup misalnya timbulan sampah atau tinja. Namun sejauh ini belum ada diskursi
ilmiah yang menggabungkan keduanya. Bahkan pendefinisian dari UU 32/2009 masih diartikan
secara terpisah. Pada perhitungan biogeofisik sebenarnya hanya mampu memberikan
informasi daya dukung saja dengan hasilnya menunjukkan jumlah penduduk optimum yang
dapat didukung dari penutupan lahan optimum.
Selain itu, daya tampung di Indonesia yang ada hanya berkaitan dengan sungai dan baru
ada di 3 DAS. Sehingga melalui diskusi antara para pakar dan pemangku kebijakan terkait,
diperlukan pendefinisian baru untuk D3TLH yang mengikuti kaidah literatur dunia dan
metodologi yang dipilih. Daya tampung melebur menjadi satu dengan daya dukung dimana
merujuk pada jumlah penduduk yang dapat ditampung dan dipenuhi kebutuhan akan lingkungan
hidup pada suatu wilayah tertentu. Definisi baru D3TLH berkaitan dengan kemandirian suatu
wilayah dalam memenuhi kebutuhan fisiologis penduduknya sendiri. Hal ini menunjukkan
apabila suatu wilayah berstatus D3TLH telah terlampaui, maka bukan berarti harus mengurangi
penduduknya misalnya dengan program transmigrasi. Melainkan menunjukkan bahwa suatu
wilayah tersebut memiliki tantangan dalam memastikan ketersediaan dan kecukupan
pasokan kebutuhannya sehingga membutuhkan strategi pengadaan dari wilayah lainnya.
Optimasi Alokasi Penutupan Lahan
Optimasi alokasi penutup lahan memiliki dua fungsi, yaitu fungsi tujuan untuk
maksimalkan nilai daya dukung berupa jumlah penduduk yang dapat dipenuhi kebutuhannya dan
fungsi pembatas (constraint) untuk menentukan luas tiap pulau/kepulauan yang dapat dijadikan
alternatif pemenuhan kebutuhan berdasarkan kesesuaian fisik lahan. Dalam proses analisisnya,
optimasi alokasi penutupan lahan memiliki keterbatasan metodologi sebagai berikut.

1. Pengolahan data pada pemodelan alokasi luas penutupan lahan


 Keterbatasan 1: Penggunaan terminologi biokapasitas yang berbeda dengan
perumusan matematis pada umumnya. Biokapasitas umumnya selain luas lahan dari
setiap kategori lahan bioproduktif juga mengacu pada faktor panen dan faktor

100
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

ekivalensi untuk kategori lahan yang dimaksud. Namun, pada pemodelan alokasi luas
penutupan lahan ini yang dimaksud biokapasitas berdasarkan luas dan
produktivitas lahan dari setiap kategori lahan bioproduktif yang sudah
mengadopsi sesuai ketentuan secara umum dan jenis penutupan lahan di
Indonesia. Sedangkan yield factor (faktor panen) dan Equivalence Factor (faktor
ekivalensi per kategori lahan) akan melebur dalam perhitungan di Jejak Ekologis yang
tentunya sudah disesuaikan dengan kondisi di Indonesia.
 Keterbatasan 2: Kebutuhan fisiologis dalam Jejak Ekologis diasumsikan bahwa
setiap orang di setiap pulau/kepulauan memiliki standardisasi jumlah kebutuhan
yang sama. Mengacu pada kondisi eksisting hingga tahun 2022 dengan beberapa
ketentuan secara nasional maupun kajian literatur lainnya.
 Keterbatasan 3: Pemodelan lokasi luas hanya mampu menjelaskan pemenuhan
kebutuhan di wilayahnya sendiri. Belum mampu menjelaskan apakah suatu
Pulau/Kepulauan dapat melakukan ekspor maupun menyokong kebutuhan di
Pulau/kepulauan lainnya yang lebih defisit. Sehingga hanya menjelaskan suatu
pulau/kepulauan mengalami defisit penutupan lahan yang dapat dikorelasikan
dengan membutuhkan subtitusi komoditas dari luar pulau/kepulauan.
2. Konsep analisis pada pemodelan alokasi spasial penutupan lahan
 Keterbatasan 1: Merujuk pada subbab 3.1.4 dijelaskan bahwa perencanaan
perencanaan penggunaan lahan yang berkelanjutan mengacu pada pemodelan
berdasarkan alternatif lokasi potensial setelah melihat kesesuaian lahan. Umumnya
pemodelan 3K Spasial (Kedekatan, Kompatibilitas, dan Kepadatan) yang sering
digunakan untuk mendapatkan alokasi spasial tersebut. Namun pada saat uji model,
penentuan D3TLH ini hanya akan memungkinkan menggunakan pendekatan
Kedekatan dan Kepadatan Spasial. Kompatibilitas pada dasarnya berkonsep melihat
eksesuaian lahan dengan lokasi terdekat atau di sebelahnya. Namun konsep ini
umumnya berdasarkan penilaian oleh para ahli dengan metode Delphi. Selain itu,
kebijakan penataan ruang di Indonesia belum ada skema dan standardisasi
kesesuaian lahan dengan sekitarnya. Misalnya saja kawasan industri yang tidak tepat
apabila berada di sebelah lahan sawah. Dengan skema yang masih berbasis ketentuan
luar belum tentu sesuai untuk diadaptasi sehingga diperlukan membangun software
baru dan prosesnya membutuhkan waktu yang lama.
 Keterbatasan 2: Kesesuaian lahan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis dari
pangan, pakaian/tekstil, infrastruktur, serta energi hanya didasarkan pada
parameter fisik alaminya. Hal ini menunjukkan bahwa tidak membicarakan apabila
ada intervensi teknologi. Misalnya dari hasil optimasi terdapat satu komoditas yang
dinilai kekurangan lahan diakibatkan pada lahan eksistingnya saat ini tidak memiliki
kecocokan untuk penanaman.
 Keterbatasan 3: Penguncian pada lahan terbangun pada saat pemodelan
kesesuaian lahan dan 2K Simultan untuk memenuhi kebutuhan lahan
infrastruktur. Kebutuhan lahan infrastruktur terbagi menjadi tempat tinggal dan
ruang publik mengacu pada Kepmen Permukiman dan Prasarana Wilayah No.
403/KPTS/M/2002 dan SNI 03-1733-2004. Luas antara penutupan lahan eksisting dan

101
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

optimum berjumlah sama meskipun jumlah penduduk optimum lebih besar


dibandingkan eksistingnya. Hal tersebut didasarkan asumsi bahwa luas lahan
terbangun eksisting melebihi standardisasi kebutuhan tempat tinggal dan ruang
publik.
 Keterbatasan 4: Pemodelan optimasi alokasi didasarkan pada machine learning
yang bergantung trending data eksisting dan metode SVM (Support Vector
Machine) yang terkadang salah prediksi kecocokan untuk jenis penutupan lahan
tertentu. Sehingga pada saat optimasi alokasi baik luas maupun spasialnya akan
menyebabkan suatu pulau akan tidak secara signifikan relevan hasilnya dibandingkan
pulau lainnya.
3. Perspektif penutupan lahan penduduk optimum di D3TLH
Merujuk pada subbab 3.2.1 dijelaskan bahwa hasil optimasi alokasi akan menghasilkan
penutupan lahan dan penduduk optimum. Perlu dipahami bahwa perspektif kedua hasil
tersebut bukan dimaksudkan untuk mengubah ataupun merombak tatanan wilayah secara
total hingga mencapai kondisi optimum. Tetapi menjadi pedoman (guidelines) terhadap
pemerintah yang apabila aktivitas pemanfaatan sumber daya alam terkhususnya berbasis
lahan tidak sesuai dengan kesesuaian fisiknya, maka akan mengganggu proses, fungsi, dan
produktivitas lingkungan hidupnya.
Jasa Lingkungan Hidup

Merujuk kembali pada metodologi, hasil Optimasi Alokasi Penutupan Lahan akan diperoleh
dua hasil, yaitu jumlah penduduk optimum dan jasa lingkungan hidup optimum. Jumlah penduduk
optimum ini memiliki keterbatasan dengan disyaratkan dari jasa lingkungan hidup optimum.
Sedangkan posisi jasa lingkungan hidup optimum sebagai tambahan suplai untuk memenuhi
kebutuhan penduduk tersebut. Keterbatasan metodologi D3TLH terdapat dalam jasa lingkungan
hidup optimum.

Pada hakikatnya, jasa lingkungan hidup pada D3TLH seharusnya dapat menjelaskan 5 SDA
Potensi Terbarukan meliputi air, lahan, udara, laut, dan keanekaragaman hayati. Metodologi dalam
menghitung jasa lingkungan hidup berdasarkan pemberian bobot dan skoring pada parameter
yang membangun jasa lingkungan hidup. Adapun parameternya adalah karakteristik bentang alam,
karakteristik vegetasi alami, dan penutupan lahan. Namun melihat keterbatasan dalam bobot dan
skoring, jasa lingkungan hidup pada penentuan D3TLH ini diubah hanya menjadi 3 SDA Potensi
Terbarukan, yaitu air, lahan, dan kehati. Keterbatasan bobot dan skoring dimaksudkan untuk
mengikuti yang sudah ada meskipun belum melalui proses verifikasi secara faktual. Bobot dan
skoring juga mengikuti skala ekoregion dengan ukuran 1:250.000.
Melalui ketetapan ini, hasil jasa lingkungan hidup apabila nantinya diturunkan menjadi
skala 1:125.000 masih bernilai relevan. Selain itu, hingga Materi Teknis Penentuan dan Penetapan
D3TLH Nasional disusun, jasa lingkungan hidup yang dihasilkan akan mampu secara agregat
menjelaskan kondisi pengatur air, pendukung kehati, dan penyedia pangan. Keterbatasan
yang terakhir adalah jasa lingkungan hidup berkaitan dengan luasan. Namun apabila dijadikan
sebagai indeks jasa lingkungan hidup maka akan ada informasi terkait luasan menjadi tidak
bermakna. Selain itu, ketiga jenis jasa lingkungan hidup yang dikompositkan menjadi satu nilai
indeks atau disebut dengan IJLH Gabungan disamaratakan proporsinya menggunakan

102
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

perumusan rata-rata geometrik. Sehingga keterbatasannya tidak dapat dikatakan bahwa satu
sumber daya alam lebih penting untuk ditingkatkan maupun dilindungi dibandingkan yang
lainnya. Meskipun pada kenyataannya air dan kehati yang akan mempengaruhi jasa lingkungan
hidup lainnya. Dengan kata lain, IJLH Gabungan menggambarkan kualitas suatu wilayah terkait
fungsi, proses, dan produktivitas lingkungan hidup dalam menunjang kehidupan manusia.

Posisi Perhitungan Biogeofisik dalam Kuadran Keberlanjutan


Selain hubungan supply dan demand terhadap lingkungan hidup, penentuan D3TLH juga
mampu melihat kondisi antara lingkungan hidup dengan sosekbud. Kedua kondisi tersebut akan
dijabarkan melalui Kuadran Keberlanjutan. Pada Kuadran Keberlanjutan, biogeofisik akan
menghasilkan nilai akumulatif indeks berbagai jenis jasa lingkungan hidup yang dihasilkan. Namun
indeks memiliki keterbatasan dengan akan ada generalisir dikarenakan data made by order
berdasarkan expert judgement (penilaian pakar di bidangnya) bukan berupa kelas atau interval.
Sehingga konsekuensi dari indeks adalah akan ada data yang akhirnya tidak dapat dijelaskan
atau hilang pada saat komposit.
5.3.3 Keterbatasan Data Lingkup Sosial, Ekonomi, dan Budaya

Variabel setiap indikatornya sudah menggambarkan kebutuhan data yang digunakan untuk
menyokong D3TLH serta mudah untuk diakses untuk data-data tersebut. Data yang digunakan
untuk perhitungan sosial, ekonomi dan budaya menggunakan data dari Pemerintahan terkait yang
tersedia sebagai walidata yang sah dengan kondisi data sudah sederhana dan operasional.
Walidata yang digunakan antara lain dari Badan Pusat Statistik, Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, serta Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Satuan data
yang digunakan adalah menggunakan data Administrasi (Provinsi).
Data Sosial

Data sosial digunakan untuk mengukur kenyamanan hidup melalui kualitas tempat tinggal
dan tingkat risiko bencana. Data tersebut memainkan peran dalam analisis keselamatan. Data
untuk mengindikasi kualitas tempat tinggal menggunakan akses terhadap hunian yang layak.
Rumah tangga diklasifikasikan memiliki akses terhadap hunian/rumah layak huni apabila
memenuhi kriteria, yaitu: kecukupan luas tempat tinggal minimal 7,2 m 2 per kapita (sufficient living
space); memiliki akses terhadap air minum layak; memiliki akses terhadap sanitasi layak;
ketahanan bangunan (durable housing). Data akses terhadap hunian yang layak merupakan data
gabungan dari beberapa variabel pembentuk dengan output dalam bentuk persentase dengan
kedalaman data pada tingkat provinsi.
Data kebencanaan merupakan indeks kebencanaan yang dihasilkan oleh walidata dari
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Sehingga, untuk memberikan gambaran tentang
kebencanaan suatu wilayah sudah merupakan hasil indeks. Indeks risiko bencana sendiri
merupakan gabungan dari data bahaya, kerentanan, dan kapasitas. Dimana data bahaya
mencakup 9 (sembilan) jenis ancaman, yakni gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, tanah
longsor, banjir, cuaca ekstrim, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, dan gelombang ekstrim dan
abrasi, semua provinsi dihitung dengan ancaman yang sama tidak disesuaikan dengan karakteristik
provinsi. Data kerentanan diukur melalui parameter sosial budaya, lingkungan, fisik, dan ekonomi,
sedangkan data kapasitas diukur melalui unsur ketahanan Pemerintah Daerah dalam menghadapi

103
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

bencana. Sehingga keterbatasan dari data kebencanaan adalah indeks yang kemudian dilakukan
pembobotan menjadi indeks akumulatif akan menjadi sebuah permasalahan. Namun, karena
output yang dihasilkan merupakan komposit dari berbagai variabel dengan kedalaman skala di
level administrasi provinsi, hal tersebut dapat dimaklumi.
Data Budaya

Data budaya yang digunakan untuk mengukur kualitas penduduk dan pemajuan
kebudayaan. Kualitas penduduk diukur dengan data Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang
dikeluarkan oleh BPS. Data yang digunakan untuk pemajuan kebudayaan menggunakan data
Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK). Hanya beberapa dimensi saja yang digunakan, di
antaranya ketahanan sosial budaya, warisan budaya, dan budaya literasi. Pemilihan ketiga dimensi
tersebut berdasarkan diskusi dengan para ahli dengan mengambil bobot dimensi secara
keseluruhan sebesar 55 persen. Keterbatasan data IPK yang didapatkan hanya sampai kedalaman
data tahun 2021, dan data yang digunakan tidak berkaitan langsung dengan lingkungan.
Namun, data-data tersebut menunjukkan tingkat mutu hidup yang mencerminkan kualitas
kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Baik data IPM maupun IPK berjenis data ordinal dengan
satuan indeks.
Data Ekonomi

Data ekonomi digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga umum
dan kesempatan kerja. Pertumbuhan ekonomi melalui perubahan nilai PDRB berdasarkan
lapangan usaha dengan harga konstan. Keterbatasan penggunaan PDRB dengan konteks pada
analisis kemakmuran dan keadilan, masalah tata nilai: baik dan buruk, serta kegiatan-kegiatan
ekonomi tak tercatatkan. Untuk penyusunan D3TLH ini menggunakan data dari 2021 dan tahun
2022 untuk mendapatkan laju pertumbuhan ekonomi. Laju pertumbuhan ekonomi adalah angka
yang menunjukkan kecepatan perubahan output agregat per periode waktu (% per tahun).
Keterbatasan dari laju pertumbuhan ekonomi, di tahun 2022 memiliki latar belakang filosofi
ekonomi dengan kondisi buruk, mengingat pada tahun 2020-2021 pertumbuhan ekonomi masih
dipengaruhi oleh adanya Covid-19 yang menyebabkan ketidakstabilan pertumbuhan ekonomi.

Selanjutnya untuk stabilitas harga umum melalui perhitungan PDB berdasarkan harga
berlaku dan harga konstan (PDB deflator). Pada penyusunan D3TLH data yang digunakan untuk
menentukan stabilitas harga umum merupakan data Indeks Harga Implisit (IHI) yang sudah
disediakan oleh BPS. Penggunaan data IHI sebagai pengukuran dalam variabel stabilitas harga
umum dikarenakan data IHI memiliki ke dalaman data sampai provinsi. IHI digunakan untuk
analisis inflasi agregat minimal setiap triwulan, dimana data IHI didapatkan dari pembagian PDB
harga berlaku dibagi PDB harga konstan. Keterbatasan dalam penggunaan IHI adalah kurang tepat
untuk mengukur kemahalan penghitungan biaya hidup.

Selanjutnya untuk stabilitas harga umum melalui perhitungan PDB berdasarkan harga
berlaku dan harga konstan (PDB deflator). Pada penyusunan D3TLH data yang digunakan untuk
menentukan stabilitas harga umum merupakan data Indeks Harga Implisit (IHI) yang sudah
disediakan oleh BPS. Penggunaan data IHI sebagai pengukuran dalam variabel stabilitas harga
umum dikarenakan data IHI memiliki ke dalaman data sampai provinsi, sedangkan data Indeks
Harga Konsumen (IHK) tidak memiliki data pada tingkat provinsi.

104
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

Data terakhir dari kerja melalui tingkat pengangguran terbuka. Pengangguran terbuka
adalah mereka yang mencari pekerjaan atau mempersiapkan usaha, atau mereka yang tidak
mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaaan dan mereka yang
sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Output gap dan hukum okun (menyatakan
bahwa terdapat hubungan negatif antara pengangguran dan pertumbuhan ekonomi) yaitu output
aktual < output potensial. Setiap peningkatan tingkat pengangguran 1% di atas pengangguran
natural, output aktual akan 2% di bawah output potensial. Data tingkat pengangguran terbuka
berbentuk persentase. Jumlah penduduk di suatu provinsi akan berpengaruh terhadap banyaknya
jumlah pengangguran di suatu provinsi, sehingga provinsi dengan jumlah penduduk yang tinggi
akan memiliki jumlah pengangguran yang lebih besar. Keterbatasan data tingkat pengangguran
terbuka di kota-kota besar akan berpengaruh lebih besar terhadap perhitungan skor
kesejahteraan.
5.3.4 Keterbatasan Metodologi Lingkup Sosial, Ekonomi, dan Budaya

Narasi aspek sosial, budaya, dan ekonomi akan menghasilkan komposit indeks
keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan dari penetapan D3TLH
Nasional. Komposit indeks tersebut diharapkan akan memberikan gambaran kondisi sosial
ekonomi penduduk. Namun indeks ini dibangun dari berbagai asumsi yang masih memerlukan
justifikasi sesuai dengan pengolahan data. Adapun aspek sosial ekonomi sebagai indikator yang
dinamis memerlukan pemahaman dan penguatan berdasarkan fenomena dan ketersediaan data.
Pembobotan pada indikator ini masih menggunakan konsep natural break, yaitu proporsinya sama
yaitu 1/3, belum mempertimbangkan indikator yang memiliki peranan paling dominan.
Perhitungan Keselamatan
Indikator risiko bencana merupakan faktor yang berbanding terbalik untuk skor
keselamatan. Adapun keterbatasannya: Satuan nilai akses terhadap hunian yang layak dan
terjangkau berbentuk persentase, sedangkan untuk risiko bencana sudah merupakan angka
indeks. Maka, langkah yang dilakukan untuk data dalam bentuk persentase agar menunjukkan
menjadi rasio 0-1 dilakukan dengan pendekatan normalisasi. Dimana nilai tertinggi memiliki nilai 1
(satu) dan terendah diberikan nilai 0 (nol). Selanjutnya untuk indeks seperti Indeks Risiko Bencana
Indonesia dilakukan pula normalisasi. Namun, data risiko bencana merupakan faktor yang
berbanding terbalik pada indeks keselamatan, maka data dengan nilai tertinggi diberi nilai 0
(nol) dan terendah diberi nilai (1). Selanjutnya, provinsi dengan karakteristik fisik dengan gugusan
pulau (Provinsi Kepulauan Riau dan Provinsi di Kepulauan Maluku) akan mempengaruhi terkait
variasi bencana diperlukan pendekatan perhitungan keselamatan tersendiri.
Perhitungan Mutu Hidup
Tingkat Mutu hidup merupakan cerminan dari kualitas manusia dan kekayaan budaya yang
berkaitan dengan jasa lingkungan yang tersedia dimana penduduk tinggal. Analisis Mutu hidup
menggunakan indikator pembentuk dari pembangunan manusia dan pemajuan kebudayaan.
Pemajuan kebudayaan merujuk pada angka dari Indeks Pembangunan Kebudayaan. Dari
kedelapan dimensi Indeks Pembangunan Kebudayaan tersebut, maka khusus untuk detil data yang
dibutuhkan, yaitu dimensi ketahanan sosial budaya, warisan budaya, dan budaya literasi yang
kemudian disebut sebagai karakter ruang budaya. Dilakukan perhitungan pada masing-masing
data selama kurun waktu 2020-2021 untuk menghitung laju pertumbuhan dari ketiga data

105
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

pembentuk variabel pemajuan budaya. Selanjutnya mengkompositkan ketiga data tersebut dan
dibagi tiga.
Kemudian untuk Pembangunan Manusia merujuk pada Indeks Pembangunan Manusia.
Pemilihan indikator dilakukan dengan mempertimbangkan ketersediaan data di semua provinsi
serta ketersediaan data secara kontinyu. Sehingga, kesimpulannya pada perhitungan skor mutu
hidup keterbatasannya adalah tidak semua indikator pembentuk IPK digunakan dan data IPM
sudah berbentuk indeks yang kemudian dilakukan pembobotan menjadi indeks akumulatif akan
berpengaruh pada perhitungan. Diperlukan normalisasi baik pada data IPK maupun pada data
ketahanan sosial budaya, warisan budaya, dan budaya literasi untuk memiliki nilai akhir yang sama.
Perhitungan Kesejahteraan
Keterbatasan dalam menilai iskor kesejahteraan adalah asumsi yang menunjukkan tidak
adalah masalah-masalah institusional dan tata nilai, maka tingkat kesejahteraan ditentukan oleh
kinerja ekonomi makro, yang dievaluasi dari pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga umum dan
tingkat pengangguran terbuka. Sehingga, pendekatan perhitungan kesejahteraan akan
berdasarkan dengan pengalaman empiris terkait laju pertumbuhan ekonomi. Kemudian, saat
menghitung skor kesejahteraan harus bertahap mulia dengan menghitung pertumbuhan PDRB
dengan membandingkan tahun 2022 dengan tahun sebelumnya. Data yang dihasilkan dari
perhitungan pertumbuhan ekonomi dalam bentuk persentase. Stabilitas harga umum
menggunakan data laju Indeks Harga Implisit (IHI), dan tingkat pengangguran terbuka
menggunakan data proporsi angkatan kerja yang menganggur.
Selanjutnya melakukan normalisasi pada masing-masing data tersebut. Dimana data
inflasi dan proporsi angkatan kerja yang menganggur merupakan faktor yang berbanding
terbalik pada skor kesejahteraan. Hal ini dikarenakan semakin tinggi laju inflasi dan tingkat
pengangguran maka akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Posisi Perhitungan Indeks Keselamatan, Mutu Hidup, dan Kesejahteraan sebagai Akumulatif
Indeks dalam Kuadran Keberlanjutan
Perhitungan dan pembobotan pada Indeks KMK masih melihat setiap indikator memiliki
bobot yang sama yaitu, 1/3, pembobotan tersebut masih belum melihat indikator yang paling
mempengaruhi pembentukan Indeks KMK. Pada level nasional, pendekatan ini masih dapat
diterima namun pada level yang lebih detail, yaitu level provinsi dan kota/kabupaten seharusnya
menetapkan indikator paling berpengaruh dalam melihat Indeks KMK.
Output dari Indeks KMK adalah peta KMK dengan batas administrasi, sedangkan
konsentrasi penduduk, aktivitas sosial budaya masyarakat hanya pada wilayah terbangun
termasuk permukiman dan konsentrasi tutupan lahan terbangun. Namun karena penyajian dalam
batas administrasi, wilayah non terbangun seperti hutan, perkebunan akan tetap diidentifikasi
sebagai bagian dari kondisi sosio ekosistem sebuah wilayah. Sehingga untuk skala yang lebih detail
nantinya perlu membedakan wilayah terbangun dan non terbangunnya.
Hasil dari setiap pengolahan data dan variabel mutu hidup, keselamatan dan kesejahteraan
memerlukan narasi tambahan untuk penguatan pemahaman berupa catatan kaki untuk setiap
fenomena yang dijadikan sebagai force majeure, misalnya kondisi kebudayaan yang terekam pada
tahun 2021 sebetulnya belum memberikan gambaran utuh terkait dengan kondisi kebudayaan
nasional akibat perubahan pola hidup masyarakat menjadi serba virtual.

106
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

5.4 LAMPIRAN PERHITUNGAN


Lampiran 1 Kalkulator Jejak Ekologis

1. Pangan
Jumlah 1 2 3 4 5 6 7
Jumlah per
Sektor Kebutuhan Satuan per Luas yang dibutuhkan
Hari
Tahun (dalam m2)
Pangan: Angka Kecukupan Energi (AKE) = 2.150 kkal/orang/hari
Padi-Padian kkal
Umbi-umbian kkal
Pangan Hewani
(hanya darat dan kkal
perairan darat)
Minyak dan Lemak kkal
Buah/Biji Berminyak kkal
Kacang-Kacangan kkal
Gula kkal
Sayuran dan Buah kkal
Kebutuhan Lahan untuk Pangan

2. Sandang
Jumlah 1 2 3 4 5 6 7
Jumlah per
Sektor Kebutuhan Satuan per Luas yang dibutuhkan
Hari
Tahun (dalam m2)
Pakaian/Tekstil
Pakaian kg
Kapas %
Penyedian Bahan
%
Baku Kapas
Kebutuhan Lahan untuk Pakaian/Tekstil

3. Infrastruktur

Jumlah 1 2 3 4 5 6 7
Jumlah per
Sektor Kebutuhan Satuan per Luas yang dibutuhkan
Hari
Tahun (dalam m2)
Infrastruktur
Tempat Tinggal Pilih Kelas [1/2/3] 2
Taman Pilih Kelas [A1/A2] A1
Lapangan Olahraga Pilih Kelas [A3/A4] A3
Sarana Budaya dan
Pilih Kelas [B1/B2/B3/B4] B1
Rekreasi
Pusat Perbelanjaan
Pilih Kelas [C1/C2/C3/C4] C2
dan Niaga
Sarana Peribadatan Pilih Kelas [D1/D2/D3/D4] D2
Sarana Kesehatan Pilih Kelas [E1/E2/…/E6] E2
Sarana Pendidikan Pilih Kelas [F1/F2/…/F5] F4
m3
Kebutuhan Kayu
kayu/m2
Penyediaan Kayu
%
untuk Bangunan
Kebutuhan Lahan untuk Infrastruktur

107
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

4. Energi

Jumlah 1 2 3 4 5 6 7
Jumlah per
Sektor Kebutuhan Satuan per
Hari Luas yang dibutuhkan
Tahun
(dalam m2)
Energi
Energi Listrik kWh
Kebutuhan Lahan untuk Listrik

Lampiran 2 Proses Perhitungan dan Hasil Pemrograman Kuadratik dengan Python

Pemrograman kuadratik merupakan kasus spesial dari optimasi linear berbatas yang terjadi
ketika fungsi objektif dari permasalahan berbentuk fungsi kuadrat

Dengan ⃗f ∈ ℝn merupakan sebuah vektor yang mempunyai entri-entri konstanta, ⃗f T merupakan


vektor transpose dari ⃗f dan H ∈ ℝn×n merupakan matriks simetri yang entri-entrinya juga
merupakan konstanta. Kemudian, gradien dari fungsi (1) ialah Hx⃗⃗ + ⃗f, dan matriks Hessian dari
fungsi (1) adalah matriks H (Philip et al, 1981). Konsep dari dual juga diaplikasikan pada
pemograman kuadratik. Misalkan (primal) kuadratik program biasa diberikan oleh

maka, korespodensi masalah dualnya adalah

Sebagai contoh, pemograman kuadratik seringkali digunakan dalam masalah pengoptimalan


portfolio di dalam keuangan, optimalisasi pembangkit listrik untuk utilitas listrik dan desain
optimal untuk engineering.

Adapun hasil perhitungan dalam pemrogaman kuadratik akan berbentuk sebagai berikut.
Enumerasi Jenis Kebutuhan Fisiologis
Kebutuhan Fisiologis i Indikator Kebutuhan Fisiologis
1 Beras
2 Jagung, terigu, dll
3 Umbi-umbian
Kebutuhan Pangan 4 Daging dan susu
5 Unggas dan telur
6 Ikan
7 Minyak dan lemak

108
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

Kebutuhan Fisiologis i Indikator Kebutuhan Fisiologis


8 Buah/biji berminyak
9 Kacang-kacangan
10 Gula
11 Sayuran dan buah
Kebutuhan Pakaian/Tekstil 12 Kapas
13 Tempat tinggal
Kebutuhan Infrastruktur 14 Ruang publik
15 Pemenuhan kayu
Kebutuhan Energi 16 Listrik
*i adalah indikator pada masing-masing kebutuhan fisiologis

Hasil Konversi Kebutuhan Fisiologis menjadi Satuan Orang per Hektar


i Indikator Kebutuhan Fisiologis Nilai ß
1 Beras
2 Jagung, terigu, dll
3 Umbi-umbian
4 Daging dan susu
5 Unggas dan telur
6 Ikan
7 Minyak dan lemak
8 Buah/biji berminyak
9 Kacang-kacangan
10 Gula
11 Sayuran dan buah
12 Kapas
13 Tempat tinggal
14 Ruang publik
15 Pemenuhan kayu
16 Listrik
* ß adalah konversi per indikator kebutuhan fisiologis dalam satuan orang/hektar mengikuti kesesuaian lahannya

Hasil Total Luas pada Penutupan Lahan Optimum di Pulau/Kepulauan


j Indikator Kebutuhan Fisiologis Luas (Ha)
1 Hutan untuk pemenuhan kayu
2 Umbi-Pertanian lahan basah
3 Pertanian lahan kering
4 Perkebunan
5 Lahan terbangun
6 Padang rumput/semak belukar
7 Tambak
8 Kawasan lindung/konvervasi
9 Badan air
*j adalah jenis penutupan lahan

109
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

Lampiran 3 Produktivitas Lahan untuk Kebutuhan Pangan di Pulau/Kepulauan

Kelompok Pangan Pulau/Kepulauan Produktivitas (ton/ha)


Sumatera 2,9
Jawa 3,22-5,93
Bali-Nusa Tenggara 2,85-4,75
Padi-Padian Kalimantan 2,07-5,24
Sulawesi 2,86-4,96
Maluku 2,23-3,19
Papua 2,52-3,64
Sumatera 3,47-27,55
Jawa 19,69-24,52
Bali-Nusa Tenggara 8,23-13,99
Umbi-Umbian Kalimantan 0,53-28,38
Sulawesi 0,7-25,79
Maluku 0,26-22,13
Papua 1,17-7,29
Sumatera 0,74
Jawa 0,25
Bali-Nusa Tenggara 0,19
Pangan Hewani (Ikan) Kalimantan 0,58
Sulawesi 0,27
Maluku -
Papua 6,97
Sumatera 3,11
Jawa 0,09-1,92
Bali-Nusa Tenggara -
Minyak dan Lemak Kalimantan 3,38
Sulawesi 2,18
Maluku 1,43
Papua 3,42
Sumatera 0,88
Jawa 0,02-0,84
Bali-Nusa Tenggara 0,68
Buah/Biji Berminyak Kalimantan 0,67
Sulawesi 0,9
Maluku 0,99
Papua 0,65
Sumatera 0,98-1,69
Jawa 1,16-1,62
Bali-Nusa Tenggara 1,06-1,59
Kacang-Kacangan Kalimantan 1,03-1,84
Sulawesi 1,14-1,61
Maluku 1,09-1,67
Papua 0,67-1,42
Sumatera 1,05-5,22
Jawa 3,41-5,34
Bali-Nusa Tenggara 0,24-3,64
Gula Kalimantan 0,53
Sulawesi 0,55-4,91
Maluku 0,81
Papua -
Sumatera 11,53-36,16
Sayur dan Buah
Jawa 9,82-24,84

110
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Kalimantan Timur

Kelompok Pangan Pulau/Kepulauan Produktivitas (ton/ha)


Bali-Nusa Tenggara 9,88-24,37
Kalimantan 5,71-30,42
Sulawesi 21,23-91,47
Maluku 4,95-49,28
Papua 6,46-121,4
Sumber: Statistik Pertanian, 2022 dan BPS dalam Angka, 2023

Lampiran 4 Produktivitas Lahan untuk Kebutuhan Pakaian/Tekstil di Pulau/Kepulauan

Kebutuhan Pakaian/Tekstil Pulau/Kepulauan Produktivitas Lahan (ton/ha)


Sumatera -
Jawa 0,18
Bali-Nusa Tenggara 0,33
Kapas Kalimantan -
Sulawesi 0,18
Maluku -
Papua -
*Lahan panen kapas hanya berada di Pulau Jawa, Kepulauan Bali-Nusa Tenggara, dan Pulau Sulawesi
Sumber: Statistika Perkebunan Nasional 2021-2023

111

Anda mungkin juga menyukai